Bapak mertuaku (Pak Tom, samaran) yang berusia sekitar 60 tahun baru saja pensiun dari
pekerjaannya di salah satu perusahaan di Jakarta. Sebetulnya beliau sudah pensiun dari
anggota ABRI ketika berumur 55 tahun, tetapi karena dianggap masih mampu maka beliau terus
dikaryakan. Karena beliau masih ingin terus berkarya, maka beliau memutuskan untuk kembali
ke kampungnya didaerah Malang, Jawa Timur selain untuk menghabiskan hari tuanya, juga beliau
ingin mengurusi kebun Apelnya yang cukup luas.
Ibu mertuaku (Bu Mar, samaran) walaupun sudah berumur sekitar 45 tahun, tetapi penampilannya
jauh lebih muda dari umurnya. Badannya saja tidak gemuk gombyor seperti biasanya ibu-ibu
yang sudah berumur, walau tidak cantik tetapi berwajah ayu dan menyenangkan untuk dipandang.
Penampilan ibu mertuaku seperti itu mungkin karena selama di Jakarta kehidupannya selalu
berkecukupan dan telaten mengikuti senam secara berkala dengan kelompoknya.
Beberapa bulan yang lalu, aku mengambil cuti panjang dan mengunjunginya bersama Istriku
(anak tunggal mertuaku) dan anakku yang baru berusia 2 tahun. Kedatangan kami disambut
dengan gembira oleh kedua orang mertuaku, apalagi sudah setahun lebih tidak bertemu sejak
mertuaku kembali ke kampungnya. Pertama-tama, aku di peluk oleh Pak Tom mertuaku dan istriku
dipeluk serta diciumi oleh ibunya dan setelah itu istriku segera mendatangi ayahnya serta
memeluknya dan Bu Mar mendekapku dengan erat sehingga terasa payudaranya mengganjal empuk di
dadaku dan tidak terasa penisku menjadi tegang karenanya.
Dalam pelukannya, Bu Mar sempat membisikkan Sur..(namaku).., Ibu kangen sekali denganmu",
sambil menggosok-gosokkan tangannya di punggungku, dan untuk tidak mengecewakannya kubisiki
juga, "Buu.., Saya juga kangen sekali dengan Ibu", dan aku menjadi sangat kaget ketika ibu
mertuaku sambil tetap masih mendekapku membisikiku dengan kata-kata, "Suur.., Ibu merasakan
ada yang mengganjal di perut Ibu", dan karena kaget dengan kata-kata itu, aku menjadi
tertegun dan terus saling melepaskan pelukan dan kuperhatikan ibu mertuaku tersenyum penuh
arti.
Setelah dua hari berada di rumah mertua, aku dan istriku merasakan ada keanehan dalam rumah
tangga mertuaku, terutama pada diri ibu mertuaku. Ibu mertuaku selalu saja marah-marah
kepada suaminya apabila ada hal-hal yang kurang berkenan, sedangkan ayah mertuaku menjadi
lebih pendiam serta tidak meladeni ibu mertuaku ketika beliau sedang marah-marah dan ayah
mertuaku kelihatannya lebih senang menghabiskan waktunya di kebun Apelnya, walaupun di situ
hanya duduk-duduk seperti sedang merenung atau melamun. Istriku sebagai anaknya tidak bisa
berbuat apa-apa dengan tingkah laku orang tuanya terutama dengan ibunya, yang sudah sangat
jauh berlainan dibanding sewaktu mereka masih berada di Jakarta, kami berdua hanya bisa
menduga-duga saja dan kemungkinannya beliau itu terkena post power syndrome. Karena istriku
takut untuk menanyakannya kepada kedua orang tuanya, lalu Istriku memintaku untuk mengorek
keterangan dari ibunya dan supaya ibunya mau bercerita tentang masalah yang sedang
dihadapinya, maka istriku memintaku untuk menanyakannya sewaktu dia tidak sedang di rumah
dan sewaktu ayahnya sedang ke kebun Apelnya.
Di pagi hari ke 3 setelah selesai sarapan pagi, istriku sambil membawa anakku, pamitan
kepada kedua orang tuanya untuk pergi mengunjungi Budenya di kota Kediri, yang tidak terlalu
jauh dari Malang dan kalau bisa akan pulang sore nanti.
"Lho.., Mur (nama istriku), kok Mas mu nggak diajak..?", tanya ibunya.
"Laah.., nggak usahlah Buu.., biar Mas Sur nemenin Bapak dan Ibu, wong nggak lama saja kok",
sahut istriku sambil mengedipkan matanya ke arahku dan aku tahu apa maksud kedipan matanya
itu, sedangkan ayahnya hanya berpesan pendek supaya hati-hati di jalan karena hanya pergi
dengan cucunya saja.
Tidak lama setelah istriku pergi, Pak Tompun pamitan dengan istrinya dan aku, untuk pergi ke
kebun apelnya yang tidak terlalu jauh dari rumahnya sambil menambahkan kata-katanya, "Nak
Suur.., kalau nanti mau lihat-lihat kebun, susul bapak saja ke sana". Sekarang yang di rumah
hanya tinggal aku dan ibu mertuaku yang sedang sibuk membersihkan meja makan. Untuk mengisi
waktu sambil menunggu waktu yang tepat untuk menjalankan tugas yang diminta oleh istriku,
kugunakan untuk membaca koran lokal di ruang tamu.
Entah sudah berapa lama aku membaca koran, yang pasti seluruh halaman sudah kubaca semua dan
tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara sesuatu yang jatuh dan diikuti dengan suara mengaduh
dari belakang, dengan gerakan reflek aku segera berlari menuju belakang sambil berteriak,
"Buu.., ada apa buu?". Dan dari dalam kamar tidurnya kudengar suara ibu mertuaku seperti
merintih, "Nak Suur.., toloong Ibuu", dan ketika kujenguk ternyata ibu mertuaku terduduk di
lantai dan sepertinya habis terjatuh dari bangku kecil di dekat lemari pakaian sambil
meringis dan mengaduh serta mengurut pangkal pahanya. Serta merta kuangkat ibu mertuaku ke
atas tempat tidurnya yang cukup lebar dan kutidurkan sambil kutanya, "Bagian mana yang sakit
Buu", dan ibu mertuaku menjawab dengan wajah meringis seperti menahan rasa sakit, "Di
sini.., sambil mengurut pangkal paha kanannya dari luar rok yang dipakainya".
Tanpa permisi lalu kubantu mengurut paha ibu mertuaku sambil kembali kutanya, "Buu.., apa
ada bagian lain yang sakit..?
"Nggak ada kok Suur.., cuman di sepanjang paha kanan ini ada rasa sakit sedikit..",
jawabnya.
"Ooh.., iya nak Suur.., tolong ambilkan minyak kayu putih di kamar ibu, biar paha ibu terasa
panas dan hilang sakitnya".
Aku segera mencari minyak yang dimaksud di meja rias dan alangkah kagetku ketika aku kembali
dari mengambil minyak kayu putih, kulihat ibu mertuaku telah menyingkap roknya ke atas
sehingga kedua pahanya terlihat jelas, putih dan mulus. Aku tertegun sejenak di dekat tempat
tidur karena melihat pemandangan ini dan mungkin karena melihat keragu-raguanku ini dan
tertegun dengan mataku tertuju ke arah paha beliau, ibu mertuaku langsung saja berkata,
"Ayoo..lah nak Suur.., nggak usah ragu-ragu, kaki ibu terasa sakit sekali ini lho, lagi pula
dengan ibu mertua sendiri saja kok pake sungkan sungkan.., tolong di urutkan paha ibu tapi
nggak usah pakai minyak kayu putih itu.., ibu takut nanti malah paha ibu jadi kepanasan.
Dengan perasaan penuh keraguan, kuurut pelan-pelan paha kanannya yang terlihat ada tanda
agak merah memanjang yang mungkin sewaktu terjatuh tadi terkena bangku yang dinaikinya
seraya kutanya, "Bagaimana Buu.., apa bagian ini yang sakit..?
"Betul Nak Suur.., yaa yang ituu.., tolong urutkan yang agak keras sedikit dari atas ke
bawah", dan dengan patuh segera saja kuikuti permintaan ibu mertuaku. Setelah beberapa saat
kuurut pahanya yang katanya sakit itu dari bawah ke atas, sambil memejamkan matanya, ibu
mertuaku berkata kembali, "Nak Suur.., tolong agak ke atas sedikit ngurutnya", sambil
menarik roknya lebih ke atas sehingga sebagian celana dalamnya yang berwarna merah muda dan
tipis itu terlihat jelas dan membuatku menjadi tertegun dan gemetar entah kenapa, apalagi
vagina ibu mertuaku itu terlihat mengembung dari luar CD-nya dan ada beberapa helai bulu
vaginanya yang keluar dari samping CD-nya.
"Ayoo.., doong.., Nak Sur, kok ngurutnya jadi berhenti", kata ibu mertuaku sehingga
membuatku tersadar.
"Iii.., yaa.., Buu maaf, tapi.., Buu", jawabku agak terbata-bata dan tanpa menyelesaikan
perkataanku karena agak ragu.
"aah.. kenapa sih Nak Suur..?, kata ibu mertuaku kembali sambil tangan kanannya memegang
tangan kiriku serta menggoncangnya pelan.
"Buu.., Saa.., yaa.., saayaa", sahutku tanpa sadar dan tidak tahu apa yang harus kukatakan,
tetapi yang pasti penisku menjadi semakin tegang karena melihat bagian CD ibu mertuaku yang
menggelembung di bagian tengahnya.
"Nak Suur..", katanya lirih sambil menarik tangan kiriku dan kuikuti saja tarikan tangannya
tanpa prasangka yang bukan-bukan, dan setelah tanganku diciumnya serta digeser geserkan di
bibirnya, lalu secara tidak kuduga tanganku diletakkan tepat di atas vaginanya yang masih
tertutup CD dan tetap dipegangnya sambil dipijat-pijatkannya secara perlahan ke vaginanya
diikuti dengan desis suara ibu mertuaku, "sshh.., sshh". Kejadian yang tidak kuduga sama
sekali ini begitu mengagetkanku dan secara tidak sadar aku berguman agak keras.
"Buu.., Saa..yaa", dan belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, dari mulut ibu mertuaku
terdengar, "Nak Suur.., kook seperti anak kecil saja.., siih?".
"Buu.., Saa.., yaa.., takuut kalau nanti bapak datang", sahutku gemetar karena memang saat
itu aku takut benar, sambil mencoba menarik tanganku tetapi tangan ibu mertuaku yang masih
tetap memegang tanganku, menahannya dan bahkan semakin menekan tanganku ke vaginanya serta
berkata pelan, "Nak Suur.., Bapak pulang untuk makan siang selalu jam 1 siang nanti..,
tolong Ibuu.., naak", terdengar seperti mengiba.
Sebetulnya siapa sih yang tidak mau kalau sudah seperti ini, aku juga tidak munafik dan
pasti para pembaca Situs "sumbercerita.com" pun juga tidak bisa menahan diri kalau dalam
situasi seperti ini, tetapi karena ini baru pertama kualami dan apalagi dengan ibu mertuaku
sendiri, tentunya perasaan takutpun pasti akan ada.
"Ayoo..lah Nak Suur.., tolongin Ibuu.., Naak", kudengar ibu mertuaku mengiba kembali
sehingga membuatku tersadar dan tahu-tahu ibu mertuaku telah memelukku.
"Buu.., biar saya kunci pintunya dulu, yaa..?", pintaku karena aku was-was kalau nanti ada
orang masuk, tetapi ibu mertuaku malah menjawab, "Nggak usah naak.., selama ini nggak pernah
ada orang pagi-pagi ke rumah Ibu", serta terus mencium bibirku dengan bernafsu sampai aku
sedikit kewalahan untuk bernafas. Semakin lama ibu mertuaku semakin tambah agresif saja,
sambil tetap menciumiku, tangannya berusaha melepaskan kaos oblong yang kukenakan dan
setelah berhasil melepaskan kaosku dengan mudah disertai dengan bunyi nafasnya yang
terdengar berat dan cepat, ibu mertuaku terus mencium wajah serta bibirku dan perlahan-lahan
ciumannya bergerak ke arah leher serta kemudian ke arah dadaku.
Ciuman demi ciuman ibu mertuaku ini tentu saja membuatku menjadi semakin bernafsu dan
ketakutanku yang tadipun sudah tidak teringat lagi.
"Buu.., boleh saya bukaa.., rok Ibu..? tanyaku minta izin.
"Suur.., bol.., eh.., boleh.., Nak, Nak Suur.., boleh lakukan apa saja..", katanya dengan
suara terputus-putus dan terus kembali menciumi dadaku dengan nafasnya yang cepat dan
sekarang malah berusaha melepas kancing celana pendek yang ada di badanku. Setelah rok ibu
mertuaku terlepas, lalu kulepaskan juga kaitan BH-nya dan tersembulah payudaranya yang tidak
begitu besar dan sudah agak menggelantung ke bawah dengan puting susunya yang besar
kecoklatan. Sambil kuusapkan kedua tanganku ke bagian bawah payudaranya lalu kutanyakan,
"Buu.., boleh saya pegang dan ciumi tetek.., Ibuu..?
"Bool.., eh.., boleh.., sayang.., lakukan apa saja yang Nak Sur mau.., Ibu sudah lama sekali
tidak mendapatkan ini lagi dari bapakmu.., ayoo.., sayaang", sahut ibu mertuaku dengan suara
terbata-bata sambil mengangkat dadanya dan perlahan-lahan kupegang kedua payudara ibu
mertuaku dan salah satu puting susunya langsung kujilati dan kuhisap-hisap, serta
pelan-pelan kudorong tubuh ibu mertuaku sehingga jatuh tertidur di kasur dan dari mulut ibu
mertuaku terdengar, "sshh.., aahh.., sayaang.., oohh.., teruus.., yaang.., tolong puasiin
Ibuu.., Naak", dan suara ibu mertuaku yang terdengar menghiba itu menjadikanku semakin
terangsang dan aku sudah lupa kalau yang kugeluti ini adalah ibu mertuaku sendiri dan ibu
dari istriku.
"Naak Suur", kudengar suara ibu mertuaku yang sedang meremas-remas rambut di kepalaku serta
menciuminya, "Ibuu.., ingin melihat punyamu.., Naak", seraya tangannya berusaha memegang
penisku yang masih tertutup celana pendekku.
"Iyaa.., Buu.., saya buka celana dulu Buu", sahutku setelah kuhentikan hisapanku pada
payudaranya serta segera saja aku bangkit dan duduk di dekat muka ibu mertuaku. Segera saja
ibu mertuaku memegang penisku yang sedang berdiri tegang dari luar celana dan berkomentar,
"Nak Suur.., besar betuul.., dan keras lagi, ayoo.., dong cepaat.., dibuka celananya.., agar
Ibu bisa melihatnya lebih jelas", katanya seperti sudah tidak sabar lagi, dan tanpa disuruh
ibu untuk kedua kalinya, langsung saja kulepas celana pendek yang kukenakan.
Ketika aku membuka CD-ku serta melihat penisku berdiri tegang ke atas, langsung saja ibu
mertuaku berteriak kecil, "Aduuh.., Suur.., besaar sekali", padahal menurut anggapanku
ukuran penisku sepertinya wajar saja menurut ukuran orang Indonesia tapi mungkin saja lebih
besar dari punya suaminya dan ibu mertuaku langsung saja memegangnya serta mengocoknya
pelan-pelan sehingga tanpa kusadari aku mengeluarkan desahan kecil, "sshh.., aahh", sambil
kedua tanganku kuusap-usapkan di wajah dan rambutnya.
"Aduuh.., Buu.., sakiit", teriakku pelan ketika ibu mertuaku berusaha menarik penisku ke
arah wajahnya, dan mendengar keluhanku itu segera saja ibu mertuaku melepas tarikannya dan
memiringkan badannya serta mengangkat separuh badannya yang ditahan oleh tangan kanannya dan
kemudian mendekati penisku. Setelah mulutnya dekat dengan penisku, langsung saja ibu
mertuaku mengeluarkan lidahnya serta menjilati kepala penisku sedangkan tangan kirinya
meremas-remas pelan kedua bolaku, sedangkan tangan kiriku kugunakan untuk meremas-remas
rambutnya serta sekaligus untuk menahan kepala ibu mertuaku. Tangan kananku kuremas-remaskan
pada payudaranya yang tergantung ke samping.
Setelah beberapa kali kepala penisku dijilatinya, pelan-pelan kutarik kepala ibu mertuaku
agar bisa lebih dekat lagi ke arah penisku dan rupanya ibu mertuaku cepat mengerti apa yang
kumaksud dan walaupun tanpa kata-kata langsung saja kepalanya didekatkan mengikuti tarikan
kedua tanganku dan sambil memegangi batang penisku serta dengan hanya membuka mulutnya
sedikit, ibu mertuaku secara pelan-pelan memasukkan penisku yang sudah basah oleh air
liurnya sampai setengah batang penisku masuk ke dalam mulutnya. Kurasakan lidah ibu mertuaku
dipermainkannya dan digesek-gesekannya pada kepala penisku, setelah itu kepala ibu
ditariknya mundur pelan-pelan dan kembali dimajukan sehingga penisku terasa sangat nikmat.
Karena tidak tahan menahan kenikmatan yang di berikan ibu mertuaku, aku jadi mendesis,
"sshh.., aaccrr.., oohh", mengikuti irama maju mundurnya kepala ibu. Makin lama gerakan
kepala ibu mertuaku maju mundur semakin cepat dan ini menambah nikmat bagiku.
Beberapa menit kemudian, ibu mertuaku secara tiba-tiba melepaskan penisku dari mulutnya,
padahal aku masih ingin hal ini terus berlangsung dan sambil kembali menaruh kepalanya di
tempat tidur, dia menarik bahuku untuk mengikutinya. Ibu langsung mencium wajahku dan ketika
ciumannya mengarah ke telingaku, kudengar ibu berkata dengan agak berbisik, "Naak Suur..,
Ibu juga kepingin punya ibu dijilati", dan sambil kunaiki tubuh ibu mertuaku lalu
kutanyakan, "Buu.., apa boleh.., saya lakukan?", dan segera saja ibu menjawabnya, "Nak
Suur.., tolong pegang dan jilati kepunyaan ibu.., naak.., ibu sudah lama kepingin di
gituin".
Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, aku menurunkan badanku secara perlahan-lahan dan
ketika melewati dadanya kembali kuciumi serta kujilati payudara ibu mertuaku yang sudah
tidak terlalu keras lagi, setelah beberapa saat kuciumi payudara ibu, aku segera menurunkan
badanku lagi secara perlahan sedangkan ibu mertuaku meremas-remas rambutku, juga terasa
seperti berusaha mendorong kepalaku agar cepat-cepat sampai ke bawah. Kuciumi dan kujilati
perut dan pusar ibu sambil salah satu tanganku kugunakan untuk menurunkan CD-nya. Kemudian
dengan cekatan ku lepas CD-nya dan kulemparkan ke atas lantai. Kulihat vagina ibu mertuaku
begitu lebat ditumbuhi bulu-bulu yang hitam mengitari liang vaginanya. Mungkin karena
terlalu lama aku menjilati perut dan sekitarnya, kembali kurasakan tangan ibu yang ada di
kepalaku menekan ke bawah dan kali ini kuikuti dengan menurunkan badanku pelan-pelan ke
bawah dan sesampainya di dekat vaginanya, kuciumi daerah di sekitarnya dan apa yang
kulakukan ini mungkin menyebabkan ibu tidak sabaran lagi, sehingga kudengar suara ibu
mertuaku, "Nak Suur.., toloong.., cepaat.., saa.., yaang.., ayoo.., Suur".
Tanpa kujawab permintaannya, aku mulai melebarkan kakinya dan kuletakkan badanku di antara
kedua pahanya, lalu kusibak bulu vaginanya yang lebat itu untuk melihat belahan vagina ibu
dan setelah bibir vagina ibu terlihat jelas lalu kubuka bibir kemaluannya dengan kedua jari
tanganku, ternyata vagina ibu mertuaku telah basah sekali. Ketika ujung lidahku kujilatkan
ke dalam vaginanya, kurasakan tubuh ibu menggelinjang agak keras sambil berkata, "Cepaat..,
Suur.., ibu sudah nggak tahaan".
Dengan cepat kumasukkan mulut dan lidahku ke dalam vaginanya sambil kujilati dan
kusedot-sedot dan ini menyebabkan ibu mulai menaik-turunkan pantatnya serta bersuara,
"sshh.., aahh.., Suur.., teruus.., adduuhh.., enaak.., Suur", Lalu kukecup clitorisnya
berulang kali hingga mengeras, hal ini membuat ibu mertuaku menggelinjang hebat, "Aahh..,
oohh.., Suur.., betuul.., yang itu.., Suur.., enaak.., aduuh.., Suur.., teruskaan.., aahh",
sambil kedua tangannya menjambak rambutku serta menekan kepalaku lebih dalam masuk ke
vaginanya. Kecupan demi kecupan di vagina ibu ini kuteruskan sehingga gerakan badan ibu
mertuaku semakin menggila dan tiba-tiba kudengar suara ibu setengah mengerang, "aahh..,
ooh.., duuh.., Suur.., ibuu.., mau.., mauu.., sampaii.., Naak.., ooh", disertai dengan
gerakan pantatnya naik turun secara cepat.
Gerakan badannya terhenti dan yang kudengar adalah nafasnya yang menjadi terengah-engah
dengan begitu cepatnya dan tangannyapun sudah tidak meremas-remas rambutku lagi, sementara
itu jilatan lidahku di vagina ibu hanya kulakukan sekedarnya di bagian bibirnya saja. Dengan
nafasnya yang masih memburu itu, tiba-tiba ibu mertuaku bangun dan duduk serta berusaha
menarik kepalaku seraya berkata, "Naak Suur.., ke sinii.., saayaang", dan tanpa menolak
kuikuti saja tarikan tangan ibu, ketika kepalaku sudah di dekat kepalanya, ibu mertuaku
langsung saja memelukku seraya berkata dengan suara terputus-putus karena nafasnya yang
masih memburu, "Suur.., Ibu puas dengan apa yang Nak Suur.., lakukan tadi, terima kasiih..,
Naak". Ibu mertuaku bertubi-tubi mencium wajahku dan kubalas juga ciumannya dengan menciumi
wajahnya sambil kukatakan untuk menyenangkan hatinya, "Buu.., saya sayang Ibuu.., saya ingin
ibu menjadi.., puu..aas".
Setelah nafas ibu sudah kembali normal dan tetap saja masih menciumi seluruh wajahku dan
sesekali bibirku, dia berkata, "Naak Suur.., Ibu masih belum puas sekali.., Suur.., toloong
puasin ibu sampai benar-benar puaas.., Naak", seraya kurasakan ibu merenggangkan kedua
kakinya. Karena aku masih belum memberikan reaksi atas ucapannya itu, karena tiba-tiba aku
terpikir akan istriku dan yang kugeluti ini adalah ibu kandungnya, aku menjadi tersadar
ketika ibu bersuara kembali, "Sayaang.., ayoo.., toloong Ibu dipuasin lagi Suur, tolong
masukkan punyamu yang besar itu ke punya ibu".
"Buu.., seharusnya saya tidak boleh melakukan ini.., apalagi kepada Ibuu", sahutku di dekat
telinganya.
"Suur.., nggak apa-apa.., Naak.., Ibu yang kepingin, lakukanlah Naak.., lakukan sampai Ibu
benar-benar puas Suur", katanya dengan suara setengah mengiba.
"aahh.., biarlah, kenapa kutolak", pikirku dan tanpa membuang waktu lagi aku lalu mengambil
ancang-ancang dan kupegang penisku serta kuusap-usapkan di belahan bibir vagina ibu mertuaku
yang sudah sedikit terbuka. Sambil kucium telinga ibu lalu kubisikkan, "Buu.., maaf yaa..,
saya mau masukkan sekarang, boleh?".
"Suur.., cepat masukkan, Ibu sudah kepingin sekali Naak", sahutnya seperti tidak sabar lagi
dan tanpa menunggu ibu menyelesaikan kalimatnya aku tusukkan penisku ke dalam vaginanya,
mungkin entah tusukan penisku terlalu cepat atau karena ibu katanya sudah lama tidak pernah
digauli oleh suaminya langsung saja beliau berteriak kecil, "Aduuh.., Suur.., pelan-pelan
saayaang.., ibu agak sakit niih", katanya dengan wajah yang agak meringis mungkin menahan
rasa kesakitan. Kuhentikan tusukan penisku di vaginanya, "Maaf Buu.., saya sudah menyakiti
Ibu.., maaf ya Bu". Ibu mertuaku kembali menciumku, "Tidak apa-apa Suur.., Ibu cuma sakit
sedikit saja kok, coba lagi Suur..", sambil merangkulkan kedua tangannya di pungungku.
"Buu.., saya mau masukkan lagi yaa dan tolong Ibu bilang yaa.., kalau ibu merasa sakit",
sahutku. Tanpa menunggu jawaban ibu segera saja kutusukkan kembali penisku tetapi sekarang
kulakukan dengan lebih pelan. Ketika kepala penisku sudah menancap di lubang vaginanya,
kulihat ibu sedikit meringis tetapi tidak mengeluarkan keluhan, "Buu.., sakit.., yaa?". Ibu
hanya menggelengkan kepalanya serta menjawab, "Suur.., masukkan saja sayaang", sambil
kurasakan kedua tangan ibu menekan punggungku. Aku segera kembali menekan penisku di lubang
vaginanya dan sedikit terasa kepala penisku sudah bisa membuka lubang vaginanya, tetapi
kembali kulihat wajah ibu meringis menahan sakit. Karena ibu tidak mengeluh maka aku
teruskan saja tusukan penisku dan, "Bleess", penisku mulai membongkar masuk ke liang
vaginanya diikuti dengan teriakan kecil, "Aduuh.., Suur", sambil menengkeramkan kedua
tangannya di punggungku dan tentu saja gerakan penisku masuk ke dalam vaginanya segera
kutahan agar tidak menambah sakit bagi ibu.
"Buu.., sakit yaa..? maaf ya Buu". Ibu mertuaku hanya menggelengkan kepalanya.
"Enggak kok sayaang.., ibu hanya kaget sedikit saja", lalu mencium wajahku sambil berucap
kembali, "Suur.., besar betul punyamu itu".
Pelan-pelan kunaik-turunkan pantatku sehingga penisku yang terjepit di dalam vaginanya
keluar masuk dan ibupun mulai menggoyang-goyangkan pantatnya pelan-pelan sambil berdesah,
"sshh.., ooh.., aahh.., sayaang.., nikmat.., teruuskan.., Naak", katanya seraya mempercepat
goyangan pantatnya. Akupun sudah mulai merasakan enaknya vaginan ibu dan kusahut desahannya,
"Buu.., aahh.., punyaa Ibu juga nikmat, buu", sambil kuciumi pipinya.
Makin lama gerakanku dan ibu semakin cepat dan ibupun semakin sering mendesah, "Aah..,
Suurr.., ooh.., teruus.., Suur". Ketika sedang nikmat-enaknya menggerakkan penisku keluar
masuk vaginanya, ibu menghentikan goyangan pantatnya. Aku tersentak kaget, "Buu.., kenapa?
apa ibu capeek?", Ibu hanya menggelengkan kepalanya saja, sambil mencium leherku ibu
berucap, "Suur.., coba hentikan gerakanmu itu sebentar".
"Ada apa Buu", sahutku sambil menghentikan goyangan pantatku naik turun.
"Suur.., kamu diam saja dan coba rasakan ini", kata ibu tanpa menjelaskan apa maksudnya dan
tidak kuduga tiba-tiba terasa penisku seperti tersedot dan terhisap di dalam vagina ibu
mertuaku, sehingga tanpa sadar aku mengatakan, "Buu.., aduuh.., enaak.., Buu.., teruus Bu,
ooh.., nikmat Buu", dan tanpa sadar, aku kembali menggerakkan penisku keluar masuk dengan
cepat dan ibupun mulai kembali menggoyangkan pantatnya.
"ooh.., aah.., Suur.., enaak Suur", dan nafasnya dan nafaskupun semakin cepat dan tidak
terkontrol lagi.
Mengetahui nafas Ibu serta goyangan pantat Ibu sudah tidak terkontrol lagi, aku tidak ingin
ibu cepat-cepat mencapai orgasmenya, lalu segera saja kuhentikan gerakan pantatku dan
kucabut penisku dari dalam vaginanya yang menyebabkan ibu mertuaku protes, "Kenapa..,
Suur.., kok berhenti?", tapi protes ibu tidak kutanggapi dan aku segera melepaskan diri dari
pelukannya lalu bangun.
Tanpa bertanya, lalu badan ibu mertuaku kumiringkan ke hadapanku dan kaki kirinya kuangkat
serta kuletakkan di pundakku, sedangkan ibu mertuaku hanya mengikuti saja apa yang kulakukan
itu. Dengan posisi seperti ini, segera saja kutusukkan kembali penisku masuk ke dalam vagina
ibu mertuaku yang sudah sangat basah itu tanpa kesulitan. Ketika seluruh batang penisku
sudak masuk semua ke dalam vaginanya, segera saja kutekan badanku kuat-kuat ke badan ibu
sehingga ibu mulai berteriak kecil, "Suur.., aduuh.., punyamu masuk dalam sekali.., naak..,
aduuh.., teruus sayaang.., aah", dan aku meneruskan gerakan keluar masuk penisku dengan
kuat. Setiap kali penisku kutekan dengan kuat ke dalam vagina ibu mertuaku, ibu terus saja
berdesah, "Ooohh.., aahh.., Suur.., enaak.., terus, tekan yang kuaat sayaang".
Aku tidak berlama-lama dengan posisi seperti ini. Kembali kehentikan gerakanku dan kucabut
penisku dari dalam vaginanya. Kulihat ibu hanya diam saja tanpa protes lagi dan lalu
kukatakan pada ibu, "Buu.., coba ibu tengkurap dan nungging", kataku sambil kubantu
membalikkan badan dan mengatur kaki ibu sewaktu nungging, "Aduuh.., Suur.., kamu kok
macem-macem sih", komentar Ibu mertuaku. Aku tidak menanggapi komentarnya dan tanpa kuberi
aba-aba penisku kutusukkan langsung masuk ke dalam vagina ibu serta kutekan kuat-kuat dengan
memegang pinggangnya sehingga ibu berteriak, "Aduuh Suur, ooh", dan tanpa kupedulikan
teriakan ibu, langsung saja kukocok penisku keluar masuk vaginanya dengan cepat dan kuat
hingga membuat badan ibu tergetar ketika sodokanku menyentuh tubuhnya dan setiap kali
kudengar ibu berteriak, "ooh.., ooh.., Suur", dan tidak lama kemudian ibu mengeluh lagi,
"Suur.., Ibu capek Naak.., sudaah Suur.., Ibuu capeek", dan tanpa kuduga ibu lalu
menjatuhkan dirinya tertidur tengkurap dengan nafasnya yang terengah-engah, sehingga mau tak
mau penisku jadi keluar dari vaginanya.
Tanpa mempedulikan kata-katanya, segera saja kubalik badan ibu yang jatuh tengkurap.
Sekarang sudah tidur telentang lagi, kuangkat kedua kakinya lalu kuletakkan di atas kedua
bahuku. Ibu yang kulihat sudah tidak bertenaga itu hanya mengikuti saja apa yang kuperbuat.
Segera saja kumasukkan penisku dengan mudah ke dalam vagina ibu mertuaku yang memang sudah
semakin basah itu, kutekan dan kutarik kuat sehingga payudaranya yang memang sudah aggak
lembek itu terguncang-guncang. Ibu mertuaku nafasnya terdengar sangat cepat, "Suur..,
jangaan.., kuat-kuat Naak.., badan ibu sakit semua", sambil memegang kedua tanganku yang
kuletakkan di samping badannya untuk menahan badanku.
Mendengar kata-kata ibu mertuaku, aku menjadi tersadar dan teringat kalau yang ada di
hadapanku ini adalah ibu mertuaku sendiri dan segera saja kehentikan gerakan penisku keluar
masuk vaginanya serta kuturunkan kedua kaki ibu dari bahuku dan langsung saja kupeluk badan
ibu serta kuucapkan, "Maaf.., Buu.., kalau saya menyakiti Ibu, saya akan mencoba untuk
pelan-pelan", segera saja ibu berucap, "Suur nggak apa-apa Nak, tapi Ibu lebih suka dengan
posisi seperti ini saja, ayoo.., Suur mainkan lagi punyamu agar ibu cepat puaas".
"Iyaa.., Buu.., saya akan coba lagi", sahutku sambil kembali kunaik-turunkan pantatku
sehingga penisku keluar masuk vagina ibu dan kali ini aku lakukan dengan hati-hati agar
tidak menyakiti badan ibu, dan ibu mertuakupun sekarang sudah mulai menggoyangkan pantatnya
serta sesekali mempermainkan otot-otot di vaginanya, sehingga kadang-kadang terasa penisku
terasa tertahan sewaktu memasuki liang vaginanya.
Ketika salah satu payudara ibu kuhisap-hisap puting susunya yang sudah mengeras itu, ibu
mertuaku semakin mempercepat goyangan pinggulnya dan terdengar desahannya yang agak keras
diantara nafasnya yang sudah mulai memburu, "oohh.., aahh.., Suur.., teruus.., ooh", seraya
meremas-remas rambutku lebih keras. Akupun ikut mempercepat keluar masuknya penisku di dalam
vaginanya.
Goyangan pinggul ibu mertuakupun semakin cepat dan sepertinya sudah tidak bisa mengontrol
dirinya lagi. Disertai nafasnya yang semakin terengah-engah dan kedua tangannya dirangkulkan
ke punggungku kuat-kuat, ibu mengatakan dengan terbata-bata, "Nak Suur.., aduuh.., Ibuu..,
sudaah.., ooh.., mauu kelluaar". Aku sulit bernafas karena punggungku dipeluk dan
dicengkeramnya dengan kuat dan kemudian ibu mertuaku menjadi terdiam, hanya nafasnya saja
yang kudengar terengah-engah dengan keras dan genjotan penisku keluar masuk vaginanya. Untuk
sementara aku hentikan untuk memberikan kesempatan pada ibu menikmati orgasmenya sambil
kuciumi wajahnya, "Bagaimana.., Buu?, mudah-mudahan ibu cukup puas.
Ibu mertuaku tetap masih menutup matanya dan tidak segera menjawab pertanyaanku, yang pasti
nafas ibu masih memburu tetapi sudah mulai berkurang dibanding sebelumnya. Karena ibu masih
diam, aku menjadi sangat kasihan dan kusambung pertanyaanku tadi di dekat telinganya,
"Buu.., saya tahu ibu pasti capek sekali, lebih baik ibu istirahat dulu saja.., yaa?",
seraya aku mulai mengangkat pantatku agar penisku bisa keluar dari vagina ibu yang sudah
sangat basah itu. Tetapi baru saja pantatku ingin kuangkat, ternyata ibu mertuaku
cepat-cepat mencengkeram pinggulku dengan kedua tangannya dan sambil membuka matanya,
memandang ke wajahku, "Jangaan.., Suur.., jangan dilepas punyamu itu, ibu diam saja karena
ingin melepaskan lelah sambil menikmati punyamu yang besar itu mengganjal di tempat ibuu,
jangaan dicabut dulu.., yaa.., sayaang", terus kembali menutup matanya.
Mendengar permintaan ibu itu, aku tidak jadi mencabut penisku dari dalam vagina ibu dan
kembali kujatuhkan badanku pelan-pelan di atas badan ibu yang nafasnya sekarang sudah
kelihatan mulai agak teratur, sambil kukatakan, "Tidaak.., Buu.., saya tidak akan
mencabutnya, saya juga masih kepingin terus seperti ini", sambil kurangkul leher ibu dengan
tangan kananku. Ibu hanya diam saja dengan pernyataanku itu, tetapi tiba-tiba penisku yang
sejak tadi kudiamkan di dalam vaginanya terasa seperti dijepit dan tersedot vagina ibu
mertuaku, dan tanpa sadar aku mengaduh, "Aduuh.., ooh.., Buu".
"Kenapa.., sayaang.., enaak yaa?", sahut ibu sambil mencium bibirku dengan lembut dan sambil
kucium hidungnya kukatakan, "Buu.., enaak sekalii", dan seperti tadi, sewaktu ibu mertuaku
mula-mula menjepit dan menyedot penisku dengan vaginanya, secara tidak sengaja aku mulai
menggerakkan lagi penisku keluar masuk vaginanya dan ibu mertuakupun kembali mendesah,
"ooh.., aah.., Suur.., teruus.., naak.., aduuh.., enaak sekali".
Semakin lama gerakan pinggul ibu semakin cepat dan kembali kudengar nafasnya semakin lama
semakin memburu. Gerakan pinggul ibu kuimbangi dengan mempercepat kocokan penisku keluar
masuk vaginanya. Makin lama aku sepertinya sudah tidak kuat untuk menahan agar air maniku
tetap tidak keluar, "Buu.., sebentar lagi.., sayaa.., sudaah.., mau keluaar", sambil
kupercepat penisku keluar masuk vaginanya dan mungkin karena mendengar aku sudah mendekati
klimaks, ibu mertuakupun semakin mempercepat gerakan pinggulnya serta mempererat cengkeraman
tangannya di punggungku seraya berkata, "Suur.., teruuss.., Naak.., Ibuu.., jugaa.., sudah
dekat, oohh.., ayoo Suur.., semproot Ibuu dengan airmuu.., sekaraang".
"Iyaa.., Buu.., tahaan", sambil kutekan pantatku kuat-kuat dan kami akhiri teriakan itu
dengan berpelukan sangat kuat serta tetap kutekan penisku dalam-dalam ke vagina ibu
mertuaku. Dalam klimaksnya terasa vagina ibu memijat penisku dengan kuat dan kami terus
terdiam dengan nafas terengah-engah.
Setelah nafas kami berdua agak teratur, lalu kucabut penisku dari dalam vagina ibu dan
kujatuhkan badanku serta kutarik kepala ibu mertuaku dan kuletakkan di dadaku.Setelah
nafasku mulai teratur kembali dan kuperhatikan nafas ibupun begitu, aku jadi ingat akan
tugas yang diberikan oleh istriku.
"Buu.., apa ini yang menyebabkan ibu selalu marah-marah pada Bapak..?", tanyaku.
"Mungkin saja Suur.., kenapa Suur?", Sahutnya sambil tersenyum dan mencium pipiku.
"Buu.., kalau benar, tolong ibu kurangi marah-marahnya kepada Bapak, kasihan dia", ibu hanya
diam dan seperti berfikir.
Setelah diam sebentar lalu kukatakan, "Buu.., sudah siang lho, seraya kubangunkan tubuh ibu
serta kubimbing ke kamar mandi.
Setelah peristiwa ini terjadi, ibu seringkali mengunjungi rumah kami dengan alasan kangen
cucu dan anaknya Mur, tetapi kenyataannya ibu mertuaku selalu mengontakku melalui telepon di
kantor dan meminta jatahnya di suatu motel, sebelum menuju ke rumahku. Untungnya sampai
sekarang Istriku tidak curiga, hanya saja dia merasa aneh, karena setiap bulannya ibunya
selalu mengunjung rumah kami.
Bagi pembaca yang ingin memberi komentar, silakan kirim email pada saya.
TAMAT
pekerjaannya di salah satu perusahaan di Jakarta. Sebetulnya beliau sudah pensiun dari
anggota ABRI ketika berumur 55 tahun, tetapi karena dianggap masih mampu maka beliau terus
dikaryakan. Karena beliau masih ingin terus berkarya, maka beliau memutuskan untuk kembali
ke kampungnya didaerah Malang, Jawa Timur selain untuk menghabiskan hari tuanya, juga beliau
ingin mengurusi kebun Apelnya yang cukup luas.
Ibu mertuaku (Bu Mar, samaran) walaupun sudah berumur sekitar 45 tahun, tetapi penampilannya
jauh lebih muda dari umurnya. Badannya saja tidak gemuk gombyor seperti biasanya ibu-ibu
yang sudah berumur, walau tidak cantik tetapi berwajah ayu dan menyenangkan untuk dipandang.
Penampilan ibu mertuaku seperti itu mungkin karena selama di Jakarta kehidupannya selalu
berkecukupan dan telaten mengikuti senam secara berkala dengan kelompoknya.
Beberapa bulan yang lalu, aku mengambil cuti panjang dan mengunjunginya bersama Istriku
(anak tunggal mertuaku) dan anakku yang baru berusia 2 tahun. Kedatangan kami disambut
dengan gembira oleh kedua orang mertuaku, apalagi sudah setahun lebih tidak bertemu sejak
mertuaku kembali ke kampungnya. Pertama-tama, aku di peluk oleh Pak Tom mertuaku dan istriku
dipeluk serta diciumi oleh ibunya dan setelah itu istriku segera mendatangi ayahnya serta
memeluknya dan Bu Mar mendekapku dengan erat sehingga terasa payudaranya mengganjal empuk di
dadaku dan tidak terasa penisku menjadi tegang karenanya.
Dalam pelukannya, Bu Mar sempat membisikkan Sur..(namaku).., Ibu kangen sekali denganmu",
sambil menggosok-gosokkan tangannya di punggungku, dan untuk tidak mengecewakannya kubisiki
juga, "Buu.., Saya juga kangen sekali dengan Ibu", dan aku menjadi sangat kaget ketika ibu
mertuaku sambil tetap masih mendekapku membisikiku dengan kata-kata, "Suur.., Ibu merasakan
ada yang mengganjal di perut Ibu", dan karena kaget dengan kata-kata itu, aku menjadi
tertegun dan terus saling melepaskan pelukan dan kuperhatikan ibu mertuaku tersenyum penuh
arti.
Setelah dua hari berada di rumah mertua, aku dan istriku merasakan ada keanehan dalam rumah
tangga mertuaku, terutama pada diri ibu mertuaku. Ibu mertuaku selalu saja marah-marah
kepada suaminya apabila ada hal-hal yang kurang berkenan, sedangkan ayah mertuaku menjadi
lebih pendiam serta tidak meladeni ibu mertuaku ketika beliau sedang marah-marah dan ayah
mertuaku kelihatannya lebih senang menghabiskan waktunya di kebun Apelnya, walaupun di situ
hanya duduk-duduk seperti sedang merenung atau melamun. Istriku sebagai anaknya tidak bisa
berbuat apa-apa dengan tingkah laku orang tuanya terutama dengan ibunya, yang sudah sangat
jauh berlainan dibanding sewaktu mereka masih berada di Jakarta, kami berdua hanya bisa
menduga-duga saja dan kemungkinannya beliau itu terkena post power syndrome. Karena istriku
takut untuk menanyakannya kepada kedua orang tuanya, lalu Istriku memintaku untuk mengorek
keterangan dari ibunya dan supaya ibunya mau bercerita tentang masalah yang sedang
dihadapinya, maka istriku memintaku untuk menanyakannya sewaktu dia tidak sedang di rumah
dan sewaktu ayahnya sedang ke kebun Apelnya.
Di pagi hari ke 3 setelah selesai sarapan pagi, istriku sambil membawa anakku, pamitan
kepada kedua orang tuanya untuk pergi mengunjungi Budenya di kota Kediri, yang tidak terlalu
jauh dari Malang dan kalau bisa akan pulang sore nanti.
"Lho.., Mur (nama istriku), kok Mas mu nggak diajak..?", tanya ibunya.
"Laah.., nggak usahlah Buu.., biar Mas Sur nemenin Bapak dan Ibu, wong nggak lama saja kok",
sahut istriku sambil mengedipkan matanya ke arahku dan aku tahu apa maksud kedipan matanya
itu, sedangkan ayahnya hanya berpesan pendek supaya hati-hati di jalan karena hanya pergi
dengan cucunya saja.
Tidak lama setelah istriku pergi, Pak Tompun pamitan dengan istrinya dan aku, untuk pergi ke
kebun apelnya yang tidak terlalu jauh dari rumahnya sambil menambahkan kata-katanya, "Nak
Suur.., kalau nanti mau lihat-lihat kebun, susul bapak saja ke sana". Sekarang yang di rumah
hanya tinggal aku dan ibu mertuaku yang sedang sibuk membersihkan meja makan. Untuk mengisi
waktu sambil menunggu waktu yang tepat untuk menjalankan tugas yang diminta oleh istriku,
kugunakan untuk membaca koran lokal di ruang tamu.
Entah sudah berapa lama aku membaca koran, yang pasti seluruh halaman sudah kubaca semua dan
tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara sesuatu yang jatuh dan diikuti dengan suara mengaduh
dari belakang, dengan gerakan reflek aku segera berlari menuju belakang sambil berteriak,
"Buu.., ada apa buu?". Dan dari dalam kamar tidurnya kudengar suara ibu mertuaku seperti
merintih, "Nak Suur.., toloong Ibuu", dan ketika kujenguk ternyata ibu mertuaku terduduk di
lantai dan sepertinya habis terjatuh dari bangku kecil di dekat lemari pakaian sambil
meringis dan mengaduh serta mengurut pangkal pahanya. Serta merta kuangkat ibu mertuaku ke
atas tempat tidurnya yang cukup lebar dan kutidurkan sambil kutanya, "Bagian mana yang sakit
Buu", dan ibu mertuaku menjawab dengan wajah meringis seperti menahan rasa sakit, "Di
sini.., sambil mengurut pangkal paha kanannya dari luar rok yang dipakainya".
Tanpa permisi lalu kubantu mengurut paha ibu mertuaku sambil kembali kutanya, "Buu.., apa
ada bagian lain yang sakit..?
"Nggak ada kok Suur.., cuman di sepanjang paha kanan ini ada rasa sakit sedikit..",
jawabnya.
"Ooh.., iya nak Suur.., tolong ambilkan minyak kayu putih di kamar ibu, biar paha ibu terasa
panas dan hilang sakitnya".
Aku segera mencari minyak yang dimaksud di meja rias dan alangkah kagetku ketika aku kembali
dari mengambil minyak kayu putih, kulihat ibu mertuaku telah menyingkap roknya ke atas
sehingga kedua pahanya terlihat jelas, putih dan mulus. Aku tertegun sejenak di dekat tempat
tidur karena melihat pemandangan ini dan mungkin karena melihat keragu-raguanku ini dan
tertegun dengan mataku tertuju ke arah paha beliau, ibu mertuaku langsung saja berkata,
"Ayoo..lah nak Suur.., nggak usah ragu-ragu, kaki ibu terasa sakit sekali ini lho, lagi pula
dengan ibu mertua sendiri saja kok pake sungkan sungkan.., tolong di urutkan paha ibu tapi
nggak usah pakai minyak kayu putih itu.., ibu takut nanti malah paha ibu jadi kepanasan.
Dengan perasaan penuh keraguan, kuurut pelan-pelan paha kanannya yang terlihat ada tanda
agak merah memanjang yang mungkin sewaktu terjatuh tadi terkena bangku yang dinaikinya
seraya kutanya, "Bagaimana Buu.., apa bagian ini yang sakit..?
"Betul Nak Suur.., yaa yang ituu.., tolong urutkan yang agak keras sedikit dari atas ke
bawah", dan dengan patuh segera saja kuikuti permintaan ibu mertuaku. Setelah beberapa saat
kuurut pahanya yang katanya sakit itu dari bawah ke atas, sambil memejamkan matanya, ibu
mertuaku berkata kembali, "Nak Suur.., tolong agak ke atas sedikit ngurutnya", sambil
menarik roknya lebih ke atas sehingga sebagian celana dalamnya yang berwarna merah muda dan
tipis itu terlihat jelas dan membuatku menjadi tertegun dan gemetar entah kenapa, apalagi
vagina ibu mertuaku itu terlihat mengembung dari luar CD-nya dan ada beberapa helai bulu
vaginanya yang keluar dari samping CD-nya.
"Ayoo.., doong.., Nak Sur, kok ngurutnya jadi berhenti", kata ibu mertuaku sehingga
membuatku tersadar.
"Iii.., yaa.., Buu maaf, tapi.., Buu", jawabku agak terbata-bata dan tanpa menyelesaikan
perkataanku karena agak ragu.
"aah.. kenapa sih Nak Suur..?, kata ibu mertuaku kembali sambil tangan kanannya memegang
tangan kiriku serta menggoncangnya pelan.
"Buu.., Saa.., yaa.., saayaa", sahutku tanpa sadar dan tidak tahu apa yang harus kukatakan,
tetapi yang pasti penisku menjadi semakin tegang karena melihat bagian CD ibu mertuaku yang
menggelembung di bagian tengahnya.
"Nak Suur..", katanya lirih sambil menarik tangan kiriku dan kuikuti saja tarikan tangannya
tanpa prasangka yang bukan-bukan, dan setelah tanganku diciumnya serta digeser geserkan di
bibirnya, lalu secara tidak kuduga tanganku diletakkan tepat di atas vaginanya yang masih
tertutup CD dan tetap dipegangnya sambil dipijat-pijatkannya secara perlahan ke vaginanya
diikuti dengan desis suara ibu mertuaku, "sshh.., sshh". Kejadian yang tidak kuduga sama
sekali ini begitu mengagetkanku dan secara tidak sadar aku berguman agak keras.
"Buu.., Saa..yaa", dan belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, dari mulut ibu mertuaku
terdengar, "Nak Suur.., kook seperti anak kecil saja.., siih?".
"Buu.., Saa.., yaa.., takuut kalau nanti bapak datang", sahutku gemetar karena memang saat
itu aku takut benar, sambil mencoba menarik tanganku tetapi tangan ibu mertuaku yang masih
tetap memegang tanganku, menahannya dan bahkan semakin menekan tanganku ke vaginanya serta
berkata pelan, "Nak Suur.., Bapak pulang untuk makan siang selalu jam 1 siang nanti..,
tolong Ibuu.., naak", terdengar seperti mengiba.
Sebetulnya siapa sih yang tidak mau kalau sudah seperti ini, aku juga tidak munafik dan
pasti para pembaca Situs "sumbercerita.com" pun juga tidak bisa menahan diri kalau dalam
situasi seperti ini, tetapi karena ini baru pertama kualami dan apalagi dengan ibu mertuaku
sendiri, tentunya perasaan takutpun pasti akan ada.
"Ayoo..lah Nak Suur.., tolongin Ibuu.., Naak", kudengar ibu mertuaku mengiba kembali
sehingga membuatku tersadar dan tahu-tahu ibu mertuaku telah memelukku.
"Buu.., biar saya kunci pintunya dulu, yaa..?", pintaku karena aku was-was kalau nanti ada
orang masuk, tetapi ibu mertuaku malah menjawab, "Nggak usah naak.., selama ini nggak pernah
ada orang pagi-pagi ke rumah Ibu", serta terus mencium bibirku dengan bernafsu sampai aku
sedikit kewalahan untuk bernafas. Semakin lama ibu mertuaku semakin tambah agresif saja,
sambil tetap menciumiku, tangannya berusaha melepaskan kaos oblong yang kukenakan dan
setelah berhasil melepaskan kaosku dengan mudah disertai dengan bunyi nafasnya yang
terdengar berat dan cepat, ibu mertuaku terus mencium wajah serta bibirku dan perlahan-lahan
ciumannya bergerak ke arah leher serta kemudian ke arah dadaku.
Ciuman demi ciuman ibu mertuaku ini tentu saja membuatku menjadi semakin bernafsu dan
ketakutanku yang tadipun sudah tidak teringat lagi.
"Buu.., boleh saya bukaa.., rok Ibu..? tanyaku minta izin.
"Suur.., bol.., eh.., boleh.., Nak, Nak Suur.., boleh lakukan apa saja..", katanya dengan
suara terputus-putus dan terus kembali menciumi dadaku dengan nafasnya yang cepat dan
sekarang malah berusaha melepas kancing celana pendek yang ada di badanku. Setelah rok ibu
mertuaku terlepas, lalu kulepaskan juga kaitan BH-nya dan tersembulah payudaranya yang tidak
begitu besar dan sudah agak menggelantung ke bawah dengan puting susunya yang besar
kecoklatan. Sambil kuusapkan kedua tanganku ke bagian bawah payudaranya lalu kutanyakan,
"Buu.., boleh saya pegang dan ciumi tetek.., Ibuu..?
"Bool.., eh.., boleh.., sayang.., lakukan apa saja yang Nak Sur mau.., Ibu sudah lama sekali
tidak mendapatkan ini lagi dari bapakmu.., ayoo.., sayaang", sahut ibu mertuaku dengan suara
terbata-bata sambil mengangkat dadanya dan perlahan-lahan kupegang kedua payudara ibu
mertuaku dan salah satu puting susunya langsung kujilati dan kuhisap-hisap, serta
pelan-pelan kudorong tubuh ibu mertuaku sehingga jatuh tertidur di kasur dan dari mulut ibu
mertuaku terdengar, "sshh.., aahh.., sayaang.., oohh.., teruus.., yaang.., tolong puasiin
Ibuu.., Naak", dan suara ibu mertuaku yang terdengar menghiba itu menjadikanku semakin
terangsang dan aku sudah lupa kalau yang kugeluti ini adalah ibu mertuaku sendiri dan ibu
dari istriku.
"Naak Suur", kudengar suara ibu mertuaku yang sedang meremas-remas rambut di kepalaku serta
menciuminya, "Ibuu.., ingin melihat punyamu.., Naak", seraya tangannya berusaha memegang
penisku yang masih tertutup celana pendekku.
"Iyaa.., Buu.., saya buka celana dulu Buu", sahutku setelah kuhentikan hisapanku pada
payudaranya serta segera saja aku bangkit dan duduk di dekat muka ibu mertuaku. Segera saja
ibu mertuaku memegang penisku yang sedang berdiri tegang dari luar celana dan berkomentar,
"Nak Suur.., besar betuul.., dan keras lagi, ayoo.., dong cepaat.., dibuka celananya.., agar
Ibu bisa melihatnya lebih jelas", katanya seperti sudah tidak sabar lagi, dan tanpa disuruh
ibu untuk kedua kalinya, langsung saja kulepas celana pendek yang kukenakan.
Ketika aku membuka CD-ku serta melihat penisku berdiri tegang ke atas, langsung saja ibu
mertuaku berteriak kecil, "Aduuh.., Suur.., besaar sekali", padahal menurut anggapanku
ukuran penisku sepertinya wajar saja menurut ukuran orang Indonesia tapi mungkin saja lebih
besar dari punya suaminya dan ibu mertuaku langsung saja memegangnya serta mengocoknya
pelan-pelan sehingga tanpa kusadari aku mengeluarkan desahan kecil, "sshh.., aahh", sambil
kedua tanganku kuusap-usapkan di wajah dan rambutnya.
"Aduuh.., Buu.., sakiit", teriakku pelan ketika ibu mertuaku berusaha menarik penisku ke
arah wajahnya, dan mendengar keluhanku itu segera saja ibu mertuaku melepas tarikannya dan
memiringkan badannya serta mengangkat separuh badannya yang ditahan oleh tangan kanannya dan
kemudian mendekati penisku. Setelah mulutnya dekat dengan penisku, langsung saja ibu
mertuaku mengeluarkan lidahnya serta menjilati kepala penisku sedangkan tangan kirinya
meremas-remas pelan kedua bolaku, sedangkan tangan kiriku kugunakan untuk meremas-remas
rambutnya serta sekaligus untuk menahan kepala ibu mertuaku. Tangan kananku kuremas-remaskan
pada payudaranya yang tergantung ke samping.
Setelah beberapa kali kepala penisku dijilatinya, pelan-pelan kutarik kepala ibu mertuaku
agar bisa lebih dekat lagi ke arah penisku dan rupanya ibu mertuaku cepat mengerti apa yang
kumaksud dan walaupun tanpa kata-kata langsung saja kepalanya didekatkan mengikuti tarikan
kedua tanganku dan sambil memegangi batang penisku serta dengan hanya membuka mulutnya
sedikit, ibu mertuaku secara pelan-pelan memasukkan penisku yang sudah basah oleh air
liurnya sampai setengah batang penisku masuk ke dalam mulutnya. Kurasakan lidah ibu mertuaku
dipermainkannya dan digesek-gesekannya pada kepala penisku, setelah itu kepala ibu
ditariknya mundur pelan-pelan dan kembali dimajukan sehingga penisku terasa sangat nikmat.
Karena tidak tahan menahan kenikmatan yang di berikan ibu mertuaku, aku jadi mendesis,
"sshh.., aaccrr.., oohh", mengikuti irama maju mundurnya kepala ibu. Makin lama gerakan
kepala ibu mertuaku maju mundur semakin cepat dan ini menambah nikmat bagiku.
Beberapa menit kemudian, ibu mertuaku secara tiba-tiba melepaskan penisku dari mulutnya,
padahal aku masih ingin hal ini terus berlangsung dan sambil kembali menaruh kepalanya di
tempat tidur, dia menarik bahuku untuk mengikutinya. Ibu langsung mencium wajahku dan ketika
ciumannya mengarah ke telingaku, kudengar ibu berkata dengan agak berbisik, "Naak Suur..,
Ibu juga kepingin punya ibu dijilati", dan sambil kunaiki tubuh ibu mertuaku lalu
kutanyakan, "Buu.., apa boleh.., saya lakukan?", dan segera saja ibu menjawabnya, "Nak
Suur.., tolong pegang dan jilati kepunyaan ibu.., naak.., ibu sudah lama kepingin di
gituin".
Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, aku menurunkan badanku secara perlahan-lahan dan
ketika melewati dadanya kembali kuciumi serta kujilati payudara ibu mertuaku yang sudah
tidak terlalu keras lagi, setelah beberapa saat kuciumi payudara ibu, aku segera menurunkan
badanku lagi secara perlahan sedangkan ibu mertuaku meremas-remas rambutku, juga terasa
seperti berusaha mendorong kepalaku agar cepat-cepat sampai ke bawah. Kuciumi dan kujilati
perut dan pusar ibu sambil salah satu tanganku kugunakan untuk menurunkan CD-nya. Kemudian
dengan cekatan ku lepas CD-nya dan kulemparkan ke atas lantai. Kulihat vagina ibu mertuaku
begitu lebat ditumbuhi bulu-bulu yang hitam mengitari liang vaginanya. Mungkin karena
terlalu lama aku menjilati perut dan sekitarnya, kembali kurasakan tangan ibu yang ada di
kepalaku menekan ke bawah dan kali ini kuikuti dengan menurunkan badanku pelan-pelan ke
bawah dan sesampainya di dekat vaginanya, kuciumi daerah di sekitarnya dan apa yang
kulakukan ini mungkin menyebabkan ibu tidak sabaran lagi, sehingga kudengar suara ibu
mertuaku, "Nak Suur.., toloong.., cepaat.., saa.., yaang.., ayoo.., Suur".
Tanpa kujawab permintaannya, aku mulai melebarkan kakinya dan kuletakkan badanku di antara
kedua pahanya, lalu kusibak bulu vaginanya yang lebat itu untuk melihat belahan vagina ibu
dan setelah bibir vagina ibu terlihat jelas lalu kubuka bibir kemaluannya dengan kedua jari
tanganku, ternyata vagina ibu mertuaku telah basah sekali. Ketika ujung lidahku kujilatkan
ke dalam vaginanya, kurasakan tubuh ibu menggelinjang agak keras sambil berkata, "Cepaat..,
Suur.., ibu sudah nggak tahaan".
Dengan cepat kumasukkan mulut dan lidahku ke dalam vaginanya sambil kujilati dan
kusedot-sedot dan ini menyebabkan ibu mulai menaik-turunkan pantatnya serta bersuara,
"sshh.., aahh.., Suur.., teruus.., adduuhh.., enaak.., Suur", Lalu kukecup clitorisnya
berulang kali hingga mengeras, hal ini membuat ibu mertuaku menggelinjang hebat, "Aahh..,
oohh.., Suur.., betuul.., yang itu.., Suur.., enaak.., aduuh.., Suur.., teruskaan.., aahh",
sambil kedua tangannya menjambak rambutku serta menekan kepalaku lebih dalam masuk ke
vaginanya. Kecupan demi kecupan di vagina ibu ini kuteruskan sehingga gerakan badan ibu
mertuaku semakin menggila dan tiba-tiba kudengar suara ibu setengah mengerang, "aahh..,
ooh.., duuh.., Suur.., ibuu.., mau.., mauu.., sampaii.., Naak.., ooh", disertai dengan
gerakan pantatnya naik turun secara cepat.
Gerakan badannya terhenti dan yang kudengar adalah nafasnya yang menjadi terengah-engah
dengan begitu cepatnya dan tangannyapun sudah tidak meremas-remas rambutku lagi, sementara
itu jilatan lidahku di vagina ibu hanya kulakukan sekedarnya di bagian bibirnya saja. Dengan
nafasnya yang masih memburu itu, tiba-tiba ibu mertuaku bangun dan duduk serta berusaha
menarik kepalaku seraya berkata, "Naak Suur.., ke sinii.., saayaang", dan tanpa menolak
kuikuti saja tarikan tangan ibu, ketika kepalaku sudah di dekat kepalanya, ibu mertuaku
langsung saja memelukku seraya berkata dengan suara terputus-putus karena nafasnya yang
masih memburu, "Suur.., Ibu puas dengan apa yang Nak Suur.., lakukan tadi, terima kasiih..,
Naak". Ibu mertuaku bertubi-tubi mencium wajahku dan kubalas juga ciumannya dengan menciumi
wajahnya sambil kukatakan untuk menyenangkan hatinya, "Buu.., saya sayang Ibuu.., saya ingin
ibu menjadi.., puu..aas".
Setelah nafas ibu sudah kembali normal dan tetap saja masih menciumi seluruh wajahku dan
sesekali bibirku, dia berkata, "Naak Suur.., Ibu masih belum puas sekali.., Suur.., toloong
puasin ibu sampai benar-benar puaas.., Naak", seraya kurasakan ibu merenggangkan kedua
kakinya. Karena aku masih belum memberikan reaksi atas ucapannya itu, karena tiba-tiba aku
terpikir akan istriku dan yang kugeluti ini adalah ibu kandungnya, aku menjadi tersadar
ketika ibu bersuara kembali, "Sayaang.., ayoo.., toloong Ibu dipuasin lagi Suur, tolong
masukkan punyamu yang besar itu ke punya ibu".
"Buu.., seharusnya saya tidak boleh melakukan ini.., apalagi kepada Ibuu", sahutku di dekat
telinganya.
"Suur.., nggak apa-apa.., Naak.., Ibu yang kepingin, lakukanlah Naak.., lakukan sampai Ibu
benar-benar puas Suur", katanya dengan suara setengah mengiba.
"aahh.., biarlah, kenapa kutolak", pikirku dan tanpa membuang waktu lagi aku lalu mengambil
ancang-ancang dan kupegang penisku serta kuusap-usapkan di belahan bibir vagina ibu mertuaku
yang sudah sedikit terbuka. Sambil kucium telinga ibu lalu kubisikkan, "Buu.., maaf yaa..,
saya mau masukkan sekarang, boleh?".
"Suur.., cepat masukkan, Ibu sudah kepingin sekali Naak", sahutnya seperti tidak sabar lagi
dan tanpa menunggu ibu menyelesaikan kalimatnya aku tusukkan penisku ke dalam vaginanya,
mungkin entah tusukan penisku terlalu cepat atau karena ibu katanya sudah lama tidak pernah
digauli oleh suaminya langsung saja beliau berteriak kecil, "Aduuh.., Suur.., pelan-pelan
saayaang.., ibu agak sakit niih", katanya dengan wajah yang agak meringis mungkin menahan
rasa kesakitan. Kuhentikan tusukan penisku di vaginanya, "Maaf Buu.., saya sudah menyakiti
Ibu.., maaf ya Bu". Ibu mertuaku kembali menciumku, "Tidak apa-apa Suur.., Ibu cuma sakit
sedikit saja kok, coba lagi Suur..", sambil merangkulkan kedua tangannya di pungungku.
"Buu.., saya mau masukkan lagi yaa dan tolong Ibu bilang yaa.., kalau ibu merasa sakit",
sahutku. Tanpa menunggu jawaban ibu segera saja kutusukkan kembali penisku tetapi sekarang
kulakukan dengan lebih pelan. Ketika kepala penisku sudah menancap di lubang vaginanya,
kulihat ibu sedikit meringis tetapi tidak mengeluarkan keluhan, "Buu.., sakit.., yaa?". Ibu
hanya menggelengkan kepalanya serta menjawab, "Suur.., masukkan saja sayaang", sambil
kurasakan kedua tangan ibu menekan punggungku. Aku segera kembali menekan penisku di lubang
vaginanya dan sedikit terasa kepala penisku sudah bisa membuka lubang vaginanya, tetapi
kembali kulihat wajah ibu meringis menahan sakit. Karena ibu tidak mengeluh maka aku
teruskan saja tusukan penisku dan, "Bleess", penisku mulai membongkar masuk ke liang
vaginanya diikuti dengan teriakan kecil, "Aduuh.., Suur", sambil menengkeramkan kedua
tangannya di punggungku dan tentu saja gerakan penisku masuk ke dalam vaginanya segera
kutahan agar tidak menambah sakit bagi ibu.
"Buu.., sakit yaa..? maaf ya Buu". Ibu mertuaku hanya menggelengkan kepalanya.
"Enggak kok sayaang.., ibu hanya kaget sedikit saja", lalu mencium wajahku sambil berucap
kembali, "Suur.., besar betul punyamu itu".
Pelan-pelan kunaik-turunkan pantatku sehingga penisku yang terjepit di dalam vaginanya
keluar masuk dan ibupun mulai menggoyang-goyangkan pantatnya pelan-pelan sambil berdesah,
"sshh.., ooh.., aahh.., sayaang.., nikmat.., teruuskan.., Naak", katanya seraya mempercepat
goyangan pantatnya. Akupun sudah mulai merasakan enaknya vaginan ibu dan kusahut desahannya,
"Buu.., aahh.., punyaa Ibu juga nikmat, buu", sambil kuciumi pipinya.
Makin lama gerakanku dan ibu semakin cepat dan ibupun semakin sering mendesah, "Aah..,
Suurr.., ooh.., teruus.., Suur". Ketika sedang nikmat-enaknya menggerakkan penisku keluar
masuk vaginanya, ibu menghentikan goyangan pantatnya. Aku tersentak kaget, "Buu.., kenapa?
apa ibu capeek?", Ibu hanya menggelengkan kepalanya saja, sambil mencium leherku ibu
berucap, "Suur.., coba hentikan gerakanmu itu sebentar".
"Ada apa Buu", sahutku sambil menghentikan goyangan pantatku naik turun.
"Suur.., kamu diam saja dan coba rasakan ini", kata ibu tanpa menjelaskan apa maksudnya dan
tidak kuduga tiba-tiba terasa penisku seperti tersedot dan terhisap di dalam vagina ibu
mertuaku, sehingga tanpa sadar aku mengatakan, "Buu.., aduuh.., enaak.., Buu.., teruus Bu,
ooh.., nikmat Buu", dan tanpa sadar, aku kembali menggerakkan penisku keluar masuk dengan
cepat dan ibupun mulai kembali menggoyangkan pantatnya.
"ooh.., aah.., Suur.., enaak Suur", dan nafasnya dan nafaskupun semakin cepat dan tidak
terkontrol lagi.
Mengetahui nafas Ibu serta goyangan pantat Ibu sudah tidak terkontrol lagi, aku tidak ingin
ibu cepat-cepat mencapai orgasmenya, lalu segera saja kuhentikan gerakan pantatku dan
kucabut penisku dari dalam vaginanya yang menyebabkan ibu mertuaku protes, "Kenapa..,
Suur.., kok berhenti?", tapi protes ibu tidak kutanggapi dan aku segera melepaskan diri dari
pelukannya lalu bangun.
Tanpa bertanya, lalu badan ibu mertuaku kumiringkan ke hadapanku dan kaki kirinya kuangkat
serta kuletakkan di pundakku, sedangkan ibu mertuaku hanya mengikuti saja apa yang kulakukan
itu. Dengan posisi seperti ini, segera saja kutusukkan kembali penisku masuk ke dalam vagina
ibu mertuaku yang sudah sangat basah itu tanpa kesulitan. Ketika seluruh batang penisku
sudak masuk semua ke dalam vaginanya, segera saja kutekan badanku kuat-kuat ke badan ibu
sehingga ibu mulai berteriak kecil, "Suur.., aduuh.., punyamu masuk dalam sekali.., naak..,
aduuh.., teruus sayaang.., aah", dan aku meneruskan gerakan keluar masuk penisku dengan
kuat. Setiap kali penisku kutekan dengan kuat ke dalam vagina ibu mertuaku, ibu terus saja
berdesah, "Ooohh.., aahh.., Suur.., enaak.., terus, tekan yang kuaat sayaang".
Aku tidak berlama-lama dengan posisi seperti ini. Kembali kehentikan gerakanku dan kucabut
penisku dari dalam vaginanya. Kulihat ibu hanya diam saja tanpa protes lagi dan lalu
kukatakan pada ibu, "Buu.., coba ibu tengkurap dan nungging", kataku sambil kubantu
membalikkan badan dan mengatur kaki ibu sewaktu nungging, "Aduuh.., Suur.., kamu kok
macem-macem sih", komentar Ibu mertuaku. Aku tidak menanggapi komentarnya dan tanpa kuberi
aba-aba penisku kutusukkan langsung masuk ke dalam vagina ibu serta kutekan kuat-kuat dengan
memegang pinggangnya sehingga ibu berteriak, "Aduuh Suur, ooh", dan tanpa kupedulikan
teriakan ibu, langsung saja kukocok penisku keluar masuk vaginanya dengan cepat dan kuat
hingga membuat badan ibu tergetar ketika sodokanku menyentuh tubuhnya dan setiap kali
kudengar ibu berteriak, "ooh.., ooh.., Suur", dan tidak lama kemudian ibu mengeluh lagi,
"Suur.., Ibu capek Naak.., sudaah Suur.., Ibuu capeek", dan tanpa kuduga ibu lalu
menjatuhkan dirinya tertidur tengkurap dengan nafasnya yang terengah-engah, sehingga mau tak
mau penisku jadi keluar dari vaginanya.
Tanpa mempedulikan kata-katanya, segera saja kubalik badan ibu yang jatuh tengkurap.
Sekarang sudah tidur telentang lagi, kuangkat kedua kakinya lalu kuletakkan di atas kedua
bahuku. Ibu yang kulihat sudah tidak bertenaga itu hanya mengikuti saja apa yang kuperbuat.
Segera saja kumasukkan penisku dengan mudah ke dalam vagina ibu mertuaku yang memang sudah
semakin basah itu, kutekan dan kutarik kuat sehingga payudaranya yang memang sudah aggak
lembek itu terguncang-guncang. Ibu mertuaku nafasnya terdengar sangat cepat, "Suur..,
jangaan.., kuat-kuat Naak.., badan ibu sakit semua", sambil memegang kedua tanganku yang
kuletakkan di samping badannya untuk menahan badanku.
Mendengar kata-kata ibu mertuaku, aku menjadi tersadar dan teringat kalau yang ada di
hadapanku ini adalah ibu mertuaku sendiri dan segera saja kehentikan gerakan penisku keluar
masuk vaginanya serta kuturunkan kedua kaki ibu dari bahuku dan langsung saja kupeluk badan
ibu serta kuucapkan, "Maaf.., Buu.., kalau saya menyakiti Ibu, saya akan mencoba untuk
pelan-pelan", segera saja ibu berucap, "Suur nggak apa-apa Nak, tapi Ibu lebih suka dengan
posisi seperti ini saja, ayoo.., Suur mainkan lagi punyamu agar ibu cepat puaas".
"Iyaa.., Buu.., saya akan coba lagi", sahutku sambil kembali kunaik-turunkan pantatku
sehingga penisku keluar masuk vagina ibu dan kali ini aku lakukan dengan hati-hati agar
tidak menyakiti badan ibu, dan ibu mertuakupun sekarang sudah mulai menggoyangkan pantatnya
serta sesekali mempermainkan otot-otot di vaginanya, sehingga kadang-kadang terasa penisku
terasa tertahan sewaktu memasuki liang vaginanya.
Ketika salah satu payudara ibu kuhisap-hisap puting susunya yang sudah mengeras itu, ibu
mertuaku semakin mempercepat goyangan pinggulnya dan terdengar desahannya yang agak keras
diantara nafasnya yang sudah mulai memburu, "oohh.., aahh.., Suur.., teruus.., ooh", seraya
meremas-remas rambutku lebih keras. Akupun ikut mempercepat keluar masuknya penisku di dalam
vaginanya.
Goyangan pinggul ibu mertuakupun semakin cepat dan sepertinya sudah tidak bisa mengontrol
dirinya lagi. Disertai nafasnya yang semakin terengah-engah dan kedua tangannya dirangkulkan
ke punggungku kuat-kuat, ibu mengatakan dengan terbata-bata, "Nak Suur.., aduuh.., Ibuu..,
sudaah.., ooh.., mauu kelluaar". Aku sulit bernafas karena punggungku dipeluk dan
dicengkeramnya dengan kuat dan kemudian ibu mertuaku menjadi terdiam, hanya nafasnya saja
yang kudengar terengah-engah dengan keras dan genjotan penisku keluar masuk vaginanya. Untuk
sementara aku hentikan untuk memberikan kesempatan pada ibu menikmati orgasmenya sambil
kuciumi wajahnya, "Bagaimana.., Buu?, mudah-mudahan ibu cukup puas.
Ibu mertuaku tetap masih menutup matanya dan tidak segera menjawab pertanyaanku, yang pasti
nafas ibu masih memburu tetapi sudah mulai berkurang dibanding sebelumnya. Karena ibu masih
diam, aku menjadi sangat kasihan dan kusambung pertanyaanku tadi di dekat telinganya,
"Buu.., saya tahu ibu pasti capek sekali, lebih baik ibu istirahat dulu saja.., yaa?",
seraya aku mulai mengangkat pantatku agar penisku bisa keluar dari vagina ibu yang sudah
sangat basah itu. Tetapi baru saja pantatku ingin kuangkat, ternyata ibu mertuaku
cepat-cepat mencengkeram pinggulku dengan kedua tangannya dan sambil membuka matanya,
memandang ke wajahku, "Jangaan.., Suur.., jangan dilepas punyamu itu, ibu diam saja karena
ingin melepaskan lelah sambil menikmati punyamu yang besar itu mengganjal di tempat ibuu,
jangaan dicabut dulu.., yaa.., sayaang", terus kembali menutup matanya.
Mendengar permintaan ibu itu, aku tidak jadi mencabut penisku dari dalam vagina ibu dan
kembali kujatuhkan badanku pelan-pelan di atas badan ibu yang nafasnya sekarang sudah
kelihatan mulai agak teratur, sambil kukatakan, "Tidaak.., Buu.., saya tidak akan
mencabutnya, saya juga masih kepingin terus seperti ini", sambil kurangkul leher ibu dengan
tangan kananku. Ibu hanya diam saja dengan pernyataanku itu, tetapi tiba-tiba penisku yang
sejak tadi kudiamkan di dalam vaginanya terasa seperti dijepit dan tersedot vagina ibu
mertuaku, dan tanpa sadar aku mengaduh, "Aduuh.., ooh.., Buu".
"Kenapa.., sayaang.., enaak yaa?", sahut ibu sambil mencium bibirku dengan lembut dan sambil
kucium hidungnya kukatakan, "Buu.., enaak sekalii", dan seperti tadi, sewaktu ibu mertuaku
mula-mula menjepit dan menyedot penisku dengan vaginanya, secara tidak sengaja aku mulai
menggerakkan lagi penisku keluar masuk vaginanya dan ibu mertuakupun kembali mendesah,
"ooh.., aah.., Suur.., teruus.., naak.., aduuh.., enaak sekali".
Semakin lama gerakan pinggul ibu semakin cepat dan kembali kudengar nafasnya semakin lama
semakin memburu. Gerakan pinggul ibu kuimbangi dengan mempercepat kocokan penisku keluar
masuk vaginanya. Makin lama aku sepertinya sudah tidak kuat untuk menahan agar air maniku
tetap tidak keluar, "Buu.., sebentar lagi.., sayaa.., sudaah.., mau keluaar", sambil
kupercepat penisku keluar masuk vaginanya dan mungkin karena mendengar aku sudah mendekati
klimaks, ibu mertuakupun semakin mempercepat gerakan pinggulnya serta mempererat cengkeraman
tangannya di punggungku seraya berkata, "Suur.., teruuss.., Naak.., Ibuu.., jugaa.., sudah
dekat, oohh.., ayoo Suur.., semproot Ibuu dengan airmuu.., sekaraang".
"Iyaa.., Buu.., tahaan", sambil kutekan pantatku kuat-kuat dan kami akhiri teriakan itu
dengan berpelukan sangat kuat serta tetap kutekan penisku dalam-dalam ke vagina ibu
mertuaku. Dalam klimaksnya terasa vagina ibu memijat penisku dengan kuat dan kami terus
terdiam dengan nafas terengah-engah.
Setelah nafas kami berdua agak teratur, lalu kucabut penisku dari dalam vagina ibu dan
kujatuhkan badanku serta kutarik kepala ibu mertuaku dan kuletakkan di dadaku.Setelah
nafasku mulai teratur kembali dan kuperhatikan nafas ibupun begitu, aku jadi ingat akan
tugas yang diberikan oleh istriku.
"Buu.., apa ini yang menyebabkan ibu selalu marah-marah pada Bapak..?", tanyaku.
"Mungkin saja Suur.., kenapa Suur?", Sahutnya sambil tersenyum dan mencium pipiku.
"Buu.., kalau benar, tolong ibu kurangi marah-marahnya kepada Bapak, kasihan dia", ibu hanya
diam dan seperti berfikir.
Setelah diam sebentar lalu kukatakan, "Buu.., sudah siang lho, seraya kubangunkan tubuh ibu
serta kubimbing ke kamar mandi.
Setelah peristiwa ini terjadi, ibu seringkali mengunjungi rumah kami dengan alasan kangen
cucu dan anaknya Mur, tetapi kenyataannya ibu mertuaku selalu mengontakku melalui telepon di
kantor dan meminta jatahnya di suatu motel, sebelum menuju ke rumahku. Untungnya sampai
sekarang Istriku tidak curiga, hanya saja dia merasa aneh, karena setiap bulannya ibunya
selalu mengunjung rumah kami.
Bagi pembaca yang ingin memberi komentar, silakan kirim email pada saya.
TAMAT