BAGIAN SATU
PARA ISTRI & PRIA TUA
Oleh Pujangga Binal & Friends
PARA ISTRI & PRIA TUA
Oleh Pujangga Binal & Friends
“Dasar tua bangka bejat!” maki Lidya Safitri saat Pak Bejo pergi meninggalkan rumah.
Alya Arumsari terkejut dan melotot ke arah adiknya dengan pandangan
marah. “Heh! Ngawur! Jangan keras-keras! Mengatai-ngatai orang kok
seenaknya sendiri! Kalau dia denger gimana coba?”
Pak Bejo Suharso adalah seorang tetangga yang baik, gemar membantu
orang lain dan sangat ramah walaupun hidup mereka sedikit kekurangan. Ia
dan istrinya, Bu Bejo, adalah tetangga dekat keluarga Alya. Sejak
kepindahan mereka ke kawasan pemukiman ini Pak Bejo dan istrinya amatlah
sering memberikan bantuan. Bahkan ketika Alya atau suaminya sibuk, Pak
Bejo dan istrinya sering menjaga Opi, putri mungil mereka. Lidya adalah
adik Alya yang semalam kebetulan menginap di rumah Alya. Lidya sudah
mulai tidak suka dengan Pak Bejo sejak pertama kali bertemu dengannya.
“Habis dia nggak tau diri sih, Mbak,” jawab Lidya. “Waktu Mbak Alya
membungkuk mau mengambil mainannya Opi yang jatuh, matanya jelalatan,
ngeliatin ke belahan dada Mbak Alya, lalu menjilat bibirnya dengan
mesum. Itu kan nggak sopan namanya!” Lidya berhenti sebentar, lalu
melanjutkan sambil menatap kakaknya yang molek dengan pandangan serius.
“Jangan-jangan Pak Bejo pengen tidur sama Mbak Alya?”
Seketika Alyapun tertawa, Lidya ikut-ikutan tertawa. Alya tidak
membela Pak Bejo, tapi berjanji dalam hati di lain kesempatan akan lebih
hati-hati saat tetangganya itu datang berkunjung. Lidya juga tidak bisa
menyalahkan Pak Bejo, jangankan dia, semua orang yang normal pasti mau
tidur dengan Alya. Kakak Lidya itu memiliki tubuh yang seksi seperti
bidadari dan memiliki kecantikan luar dalam. Ditambah perilaku yang
sangat lembut dan ramah, makin lengkaplah kesempurnaan Alya. Rambut
panjang indah sebahu, tubuh ramping yang jauh lebih indah lekukannya
daripada sirkuit sentul, kulit putih mulus dan buah dada yang luar biasa
ranum menggiurkan meskipun sudah beranak satu. Ya, semua orang pasti
punya pandangan mesum pada kakaknya itu.
Tapi Lidya sendiri juga sangat cantik. Tubuhnya juga tidak kalah
indah, walaupun kalau dibanding Alya yang memiliki ukuran BH 36, Lidya
hanya 34C. Kecantikan keluarga mereka memang sudah terkenal. Kadang
banyak laki-laki kampung sekitar berkumpul di depan rumah keluarga Alya
kalau Dina, Alya dan Lidya sudah berkumpul.
###
Dina Febrianti sedang resah menghitung tagihan bulanan yang
bertebaran di atas mejanya. Wanita cantik berusia 32 tahun yang masih
terlihat seperti remaja belasan tahun itu menggaruk kepalanya yang tidak
gatal dan membolak-balik kertas berisi angka-angka. Tagihan listrik,
telepon, air, credit card, cicilan motor, cicilan mobil, pembayaran
kredit kontrak rumah dan cicilan kredit biaya rumah sakit mertua. Jumlah
terhutang sangatlah besar, dan tiap bulannya seakan jumlah itu selalu
bertambah besar karena bunga yang ditanggung juga meningkat.
Karena stress, Dina menarik nafas panjang, menyisihkan surat-surat
tagihan dan mengambil sebuah amplop besar berwarna coklat yang berisi
tagihan kredit pinjaman pembangunan rumah. Anton dan Dina tengah
membangun sebuah rumah di kawasan pinggir kota karena sudah bosan selama
ini mengontrak terus. Sayangnya, rumah yang sedang mereka bangun
menurut Dina terlalu besar dan mewah untuk ukuran mereka. Dina sering
membujuk Anton agar berhemat karena dia tahu untuk membangun rumah
seperti yang diinginkan Anton akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit
dan seandainya mereka mengambil kredit, maka biaya berikut bunganya akan
sangat besar. Anton hanya tertawa dan mengatakan istrinya terlalu
banyak khawatir. Saat menyesuaikan keuangan rumah tangga dan tagihan
hari ini, Dina merasa kekhawatirannya menjadi kenyataan.
Untungnya jumlah uang yang mereka kumpulkan bulan ini cukup untuk
membayar semua tagihan, Dina menarik nafas lega. Paling tidak mereka
bertahan sampai bulan depan. Dina berjanji pada dirinya sendiri untuk
lebih hati-hati dalam hal keuangan. Dia berniat memaksa Anton untuk
lebih bijaksana. Paling tidak mereka bisa memotong anggaran untuk credit
card dan kembali ke pembayaran cash. Bunga yang ditarik oleh bank untuk
credit card sangatlah besar dan membuat mereka mengalami defisit.
Sayangnya permintaan Dina selalu ditampik oleh Anton.
“Biarlah yang terjadi esok hari, terjadi esok hari. Yang penting kita
hari ini bisa bertahan.” Kata Anton setiap kali Dina mengajukan usulan.
Seandainya Dina sadar kalau kata-kata Anton itu bagaikan ramalan, dia
seharusnya lebih cemas lagi.
Kalau mengesampingkan kesulitan finansial yang dialami keluarganya,
kehidupan Dina sangatlah sempurna. Dia amat mencintai Anton dan suaminya
itu memang memiliki gaji yang lumayan untuk menghidupi keluarga.
Bersama kedua putranya yang masih kecil, ibu muda yang cantik ini
memiliki segala yang mereka inginkan. Hanya sayangnya, mereka tidak
punya tabungan di bank seandainya sewaktu-waktu diperlukan pengeluaran
mendadak.
Dina tersenyum saat teringat pada kedua anak kebanggaannya. Dani,
putranya yang paling besar sudah kelas 5 SD, sedangkan Dion baru masuk
ke kelas 1 SD. Mengingat kebutuhan mereka yang semakin besar, senyum
Dina memudar. Alat tulis, buku dan seragam makin hari makin mahal. Belum
lagi si Dani sudah waktunya disunat, tentu biaya yang dibutuhkan akan
sangat besar kalau mereka mengadakan syukuran.
Dina mencari amplop berisi uang belanja bulanan yang biasa diberikan
Anton. Begitu menemukannya, Dina langsung menghitung uang yang diberikan
Anton bulan ini. Betapa kagetnya Dina begitu tahu jumlah pemberian uang
belanja bulan ini sangat sedikit. Tidak akan mencukupi kebutuhan rumah
tangga selama sebulan! Dina tidak meminta uang belanja yang
berjuta-juta, cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja
sudah bersyukur. Tapi jumlah uang yang mepet itu ternyata masih dipotong
lagi oleh Anton. Dina memutuskan untuk menelepon suaminya. Ibu rumah
tangga yang kebingungan itu segera memencet nomor HP Anton.
Sayangnya HP Anton tidak aktif. Dina menelepon ke kantor. Menurut
Desi sekretaris Anton, suami Dina itu sudah meninggalkan ruangannya.
Dina meletakkan gagang telepon dengan terheran-heran. “Kemana lagi dia? Bukannya pulang malah keluyuran?”
Tanpa sepengetahuan Dina, Anton memiliki penghasilan lain yang tidak
halal. Sudah bertahun-tahun Anton membohongi Dina. Anton adalah seorang
pemain judi. Bahkan saat ini pun dia sedang berada di arena taruhan.
Suami Dina itu sedang menyobek-nyobek kupon taruhannya karena lagi-lagi
kalah memasang nomor. Perhitungannya meleset jauh padahal jumlah uang
yang dijadikan taruhan tidak sedikit.
Saat Anton pulang ke rumah dan ambruk di ranjang, dia beruntung Dina
tidak sedang dalam kondisi bad mood. Dina segera menanyakan perihal
jumlah uang belanjanya yang berkurang, senyum Anton yang menawan membuat
hati si cantik itu luluh. Dina sangat mencintai suaminya dan dia tahu
Anton juga memujanya. Memangnya kenapa kalau suaminya itu sedikit boros?
Uang belanja adalah uang Anton juga, sehingga kalau dia memang
memerlukannya, tidak ada salahnya Dina rela. Apalagi Anton sudah
memberikan banyak hal untuk Dina dan anak-anaknya. Anton sudah membuai
mereka dengan harta benda.
“Shhh, anak-anak belum tidur. Jangan ribut,” Bisik Dina pada suaminya yang tiba-tiba saja ‘menyerangnya’.
“Oh, masa aku nggak boleh ngentotin istriku sendiri?”
“Anton Hartono! Bahasanya kok jorok gitu? Kampungan!”
“Hm, kalau tahu aku dulu akan menikahi perempuan lugu, aku pasti
protes keras pada almarhum Bapak dan Ibumu,” canda Anton. “Mereka
membesarkan seorang anak perempuan yang cantik jelita namun sangat
naif.”
“Tidak lucu. Aku bukan perempuan lugu.”
Anton mengamati istrinya – rambutnya dipotong ala Dian Sastrowardoyo
presenter acara kuis berhadiah 3 Milyar rupiah, matanya indah dengan
bulu mata yang lentik, pipinya halus mulus tanpa bercak ataupun jerawat,
kulitnya putih mulus bagai susu, buah dadanya masih membusung kencang
dan tidak melorot, pinggang langsing, pinggul sempurna di atas pantat
yang bulat merangsang dan kaki jenjang yang sangat menawan. Dulu pernah
sekali waktu, seorang agen iklan meminta Dina menjadi model iklan sabun
mandi terkenal, namun Dina menolaknya. Anton mengagumi keindahan
istrinya yang hampir sempurna. Tangan-tangannya yang nakal menjelajahi
perut Dina. Masih seperti perut seorang gadis remaja, walaupun
kenyataannya Dina sudah melahirkan dua orang anak.
“Baiklah, kalau begitu wanita konservatif,”
“Maksudnya?” Dina mulai gusar.
Anton menyesal memulai percakapan ini. Dina sangat lugu dan naif
dalam hal bercinta dan berpenampilan. Pakaian yang dikenakan istrinya
selalu sopan dan tidak pernah menonjolkan kemolekan tubuhnya. Dina juga
bukan seorang petualang di ranjang. Dia pemain seks yang konservatif dan
monoton. Berciuman, saling menggesek dan bercinta dengan posisi
missionary. Selalu begitu. Sekali dua kali, Anton bisa melakukan doggie
style, tapi istri Anton itu tidak pernah mengijinkan sang suami
menyentuh anusnya dalam kondisi apapun. Walaupun Dina pernah mengatakan
kalau doggie style itu juga merendahkan diri sama seperti binatang,
namun dalam kondisi ‘panas’ Dina biasanya menyerah pada keinginan
suaminya.
Di awal pernikahan mereka, Anton pernah mencoba melakukan oral seks
pada organ kemaluan Dina, tapi istrinya itu langsung menjerit dan
melonjak-lonjak marah. Dia langsung menghardik Anton dan mengatakan
kalau kemaluan mereka kotor. Dina tidak pernah mengerti kenapa Anton
ingin menjilati bibir kemaluannya yang merupakan sumber penyakit.
Sebaliknya pun begitu. Suatu ketika sesaat setelah Anton meminta Dina
mengulum penisnya, istrinya itu langsung mengunci diri di dalam kamar
mandi dan tidak mau keluar selama dua jam. Anton tidak pernah meminta
posisi yang aneh-aneh lagi.
“Jadi? Ayo katakan saja! Kenapa aku ini wanita konservatif?”, lanjut
Dina. “Apa karena aku ini bukan wanita murahan? Bukan pelacur?”
“Sudahlah. Lupakan saja.”
“Tidak mau. Kau yang memulai percakapan ini, jadi aku ingin mendengar lanjutannya.”
“Yah, kamu kan memang tidak ingin mencoba hal-hal baru saat bercinta denganku?”
“Aku melakukan apa yang menjadi tugasku,” kata Dina penuh emosi. “Aku
seorang istri yang baik, setia, penurut dan telah memberimu dua orang
anak!”
“Maafkan aku, sayang. Kamu benar,” Anton mengalah. Dia berusaha mengembalikan mood sang istri yang nampaknya mulai naik pitam.
“Aku sedang tidak ingin melakukannya,” kata Dina sambil melepaskan
tangan Anton yang meremas payudaranya. Dina mematikan lampu dan menarik
selimut.
Anton memahami nada suara istrinya yang tinggi dan memiringkan badan
untuk mengecup bibir Dina. Setelah mencium bibir Anton, Dina membalikkan
badan dan memunggunginya. Si cantik itu segera terlelap. Anton bangkit
dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.
Entah kenapa, setelah 12 tahun menikah dan hapal dengan sifat-sifat
Dina, dia dengan tololnya memutuskan untuk membicarakan hal yang
menyinggung perasaan istrinya. ‘Dasar sial’ batin Anton. Suami Dina itu
terpaksa coli di kamar mandi untuk melepas hasrat birahinya malam itu.
###
Pak Bejo Suharso yang pensiunan PNS bertubuh gemuk, dengan kulit
hitam kecoklatan terbakar matahari dan berusia enam puluh dua tahun.
Wajahnya sudah dipenuhi keriput, matanya kemerahan dan rambutnya yang
ikal mulai membotak. Wajahnya bukan wajah seorang pria tua yang
simpatik, bahkan cenderung buruk rupa. Walaupun bukan orang berada dan
hidup serba kekurangan, Pak Bejo dikenal lumayan akrab dengan penghuni
sekitar sehingga sering dimintai bantuan dan punya banyak kawan di
kampungnya.
Tapi di balik penampilannya pada Alya sekeluarga, Pak Bejo sebetulnya
adalah seorang preman yang sering judi, jajan PSK, mabuk-mabukan dengan
anak-anak muda dan berkelahi dengan orang yang tidak disukainya. Satu
lagi kejelekan Pak Bejo, orang ini sangat mesum.
Pak Bejo dan istrinya hampir tiap hari berkunjung ke rumah keluarga
Hendra dan Alya. Biasanya Bu Bejo akan merawat Opi yang masih kecil
setiap kali Hendra dan istrinya pergi bekerja. Pak Bejo dan istrinya
memang suka dengan anak kecil apalagi yang selucu dan secantik Opi, tapi
Pak Bejo lebih suka dengan ibunya yang luar biasa manis dan seksi.
Alya yang masih muda dan jelita adalah wanita impian Pak Bejo. Sejak
pindah ke kampung ini, Pak Bejo tak pernah melewatkan mengamati ibu muda
yang segar itu. Wajahnya yang cantik, tubuhnya yang seksi, baunya yang
harum, kakinya yang jenjang, kulitnya yang putih mulus, rambutnya
hitamnya yang panjang sebahu, buah dadanya yang montok dan membusung,
pantatnya yang bulat, semuanya Pak Bejo suka. Sejak Bu Bejo dipercaya
dan sering dipanggil sebagai babysitter keluarga Hendra, Pak Bejo bisa
memuaskan dahaga nafsunya dengan mencuri-curi pandang ke arah semua
titik lekuk keindahan tubuh Alya.
‘Si Alya memang benar-benar dahsyat.’ Kata Pak Bejo dalam hati, “Coba
lihat aja bibirnya. Uahahhh, pokoke maknyuuuss. Kalo dipake buat
nyepong, baru nempel aja paling aku udah keluar.”
Hari ini dia lebih beruntung lagi, karena tadi pagi sempat mencuri
celana dalam Alya yang belum dicuci. Dia sempat mencium bau harum
belahan selangkangan Alya dari celana dalam bekas pakainya itu. Setelah
istrinya tidur, malam ini Pak Bejo beringsut ke kamar mandi dengan
sembunyi-sembunyi sambil membawa celana dalam Alya. Buat apa lagi kalau
bukan buat coli? Ia segera bermasturbasi dengan membayangkan wajah Alya
dan mimpi bercinta dengan istri Hendra itu dari segala macam posisi. Pak
Bejo merem melek dan mendengus-dengus penuh nafsu.
‘Wah,’ pikirnya. ‘Kalau cuma begini terus, bisa rusak kontol ini aku
betot. Gimana yah caranya bisa ngentotin si Alya yang semlohay itu? Aku
musti cari cara buat bisa masukin kontol ini ke memeknya!’
Setelah orgasme dan melepaskan air mani ke lantai kamar mandi, Pak
Bejo kembali ke teras dan kongkow-kongkow. Dia masih mengatur strategi
untuk melaksanakan pikiran kotornya. Suatu saat, teringatlah Pak Bejo
pada adik Alya yang juga sangat cantik dan seksi yang bernama Lidya.
‘Si molek itu kayaknya curiga sama aku. Suatu saat nanti aku harus
memberi dia pelajaran di tempat tidur!’ kata Pak Bejo dalam hati. ‘Yang
mana yah enaknya? Alya atau Lidya yang sebaiknya aku entotin duluan? Wah
wah, satu keluarga kok semlohay semua. Belum lagi kakaknya yang paling
gede, siapa itu namanya… Dina Febrianti? Wah… teteknya oke banget… ah
ah… Dina, Alya atau Lidya?’
Pak Bejo lantas membuka folder-folder gambar di dalam HPnya. Di
dalamnya terdapat tiga foto yang sangat dia sukai. Semuanya seronok dan
diambil tanpa sepengetahuan sang target. Gambar Dina saat mengenakan
kaos ketat yang memperlihatkan kemolekan buah dadanya, gambar belahan
dada Alya saat pujaan Pak Bejo itu membungkuk dan gambar paha mulus
Lidya. Dina sudah menikah dan tinggal tidak jauh dari rumah Alya,
berbeda gang tapi masih dalam satu komplek. Bersama suaminya, Anton,
Dina memiliki dua orang anak yang sekarang sudah bersekolah di SD
terdekat. Sedangkan Lidya adalah penganten baru yang tinggal di sebuah
rumah agak jauh di pinggiran kota. Karena sering tugas keluar kota, maka
Andi suami Lidya sering menitipkan istrinya ke rumah Alya.
Kedua orang tua kakak beradik Dina, Alya dan Lidya sudah meninggal dunia karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu.
Sambil menikmati gambar ketiga kakak beradik yang seksi itu, Pak Bejo
Suharso terus melamun hingga larut malam sambil menggaruk-garuk
selangkangannya yang makin gatal.
###
Alya sudah bekerja keras sepanjang hari Minggu ini dan dia kelelahan.
Ibu rumah tangga muda yang cantik itu sudah mencuci baju, memasak,
membersihkan rumah, memandikan Opi dan menidurkannya. Apalagi hari ini
Alya harus melayani kunjungan ibu mertuanya yang baru pulang sore hari
sementara Bu Bejo sedang mengunjungi relasi sehingga tidak bisa datang.
Akhirnya Alya bisa beristirahat dengan tenang malam itu.
Setelah mandi dengan shower, keramas dan mengenakan piyama, Alya
merebahkan diri di tempat tidur. Sayangnya, Hendra punya pikiran lain
dan mulai bergerak mendekati istrinya yang tidur membelakanginya. Hendra
memeluk Alya dari belakang, menepikan rambut dan menciumi lehernya yang
putih.
“Jangan sekarang ah, Mas Hendra,” kata Alya manja. “Aku capek banget.”
Hendra tidak menjawab. Suami Alya itu terus menciumi lehernya dan
meletakkan tangannya di payudara kiri Alya. Hendra meremas susu Alya
perlahan dan menjilati daun telinganya, sementara tubuhnya kian mendekat
dan akhirnya Hendra menempelkan alat vitalnya di belahan pantat Alya
yang montok.
“Mas…” Alya menggeliat dan mencoba mendorong suaminya menjauh. Tidak
enak juga rasanya menolak melayani suami seperti ini, karena biar
bagaimanapun Alya sangat mencintai Hendra dan ingin melayaninya sampai
puas. Sayangnya, Hendra sering memilih waktu yang tidak tepat saat
meminta jatah.
“Ayolah, sayang,” kata Hendra sambil mencopoti kancing baju piyama yag dikenakan Alya. “Aku pengen.”
“Aku capek, Mas,” jawab Alya. Tapi karena Hendra terus merangsang
payudaranya, Alya akhirnya mengalah. Akan lebih baik kalau dia menyerah
dan pasrah pada kemauan sang suami.
Alya berhenti menolak dan mulai rileks saat Hendra selesai melepaskan
semua kancing baju piyama yang dikenakannya. Telanjang dari perut ke
atas, Hendra segera menyerang kedua payudara Alya yang ranum dan indah.
Hendra memijat buah dada Alya dengan kedua belah telapak tangannya.
Suami Alya itu lalu mengelus-elus susu Alya dan menciumi sisi-sisinya.
Hendra hanya sekilas mencium puting susu Alya (tidak cukup lama untuk
membuatnya mengeras), lalu bangkit dan berlutut. Ia meraih bagian atas
celana piyama yang dipakai Alya dan mencoba menariknya. Alya dengan
desahan panjang mengangkat pantatnya ke atas supaya celananya mudah
ditarik.
Hendra melucuti celana panjang piyama Alya dan melakukan hal serupa
dengan celana dalam istrinya. Kini Alya sudah telanjang bulat di depan
suaminya.
“Seksi banget, sayang. Sudah lebih dari lima tahun kita menikah, tapi
bentuk tubuhmu masih jauh lebih indah dari gadis manapun. Masih seksi,
masih mulus dan hmm… tidak, aku salah. Tubuhmu jauh lebih seksi, lebih
mulus dan lebih aduhai dari siapapun.” Kata Hendra memuji keindahan
tubuh istrinya. Alya tersenyum, paling tidak dia masih mendapatkan
pujian dari suaminya.
“Ini semua untuk kamu, Mas.” Kata Alya mesra.
Hendra ambruk di atas tubuh Alya dan istrinya itu otomatis
merenggangkan kakinya yang jenjang. Alya mengaitkan kakinya diantara
pinggang Hendra dan menjepitnya lembut. Beberapa saat kemudian, Alya
merasakan ujung kemaluan Hendra mulai menyentuh ujung vagina Alya.
Wanita cantik itu menarik nafas panjang. Hendra mungkin bukan orang
paling romantis di dunia, tapi penisnya lumayan besar, dan itu biasanya
mampu mengagetkan dan memuaskan Alya.
Alya menahan nafas sementara Hendra melesakkan penisnya ke dalam
vagina istrinya dengan sangat perlahan. Setelah seluruh batang kemaluan
Hendra masuk ke dalam mulut rahimnya, Alya melepas nafas. Hendra mulai
menyetubuhi Alya dengan gerakan pelan dan lembut. Gerakan Hendra yang
ajeg dibarengi dengan erangan dan lenguhan kenikmatan. Alya merintih
pelan dan manja, untuk memberikan kesan dia menikmati permainan cinta
yang diberikan suaminya. Padahal dalam hati Alya sama sekali tidak puas.
Sebenarnya permainan Hendra tidaklah terlampau buruk, tidak pula
singkat, kadang Alya juga terpuaskan perlahan-lahan, tapi permainan
Hendra tidak mampu melejitkan Alya ke puncak kepuasan yang optimal. Alya
mencoba mengimbangi gerakan memilin suaminya dengan gerakan pinggulnya,
mencoba menyamakan ritme dengan gerakan mendorong yang dilakukan
Hendra, tapi lagi-lagi Alya harus berpura-pura karena tak berapa lama
kemudian Hendra sudah orgasme. Alya tersenyum dan mencium suaminya
lembut. Hendra menyentakkan penisnya dalam vagina Alya untuk kali
terakhir sementara air maninya membanjiri liang kemaluan sang istri.
Setelah semuanya usai, Hendra bergulir dari atas tubuh Alya dan
memejamkan matanya penuh kepuasan. Alya bangkit dari ranjang,
membersihkan diri sebentar dan kembali ke tempat tidur sambil memeluk
suaminya yang sudah tertidur lelap penuh rasa cinta.
Sementara itu, di luar sepengetahuan Alya dan Hendra, sesosok tubuh
gemuk berhenti merekam adegan persetubuhan mereka. Sosok itu sedari tadi
bersembunyi di luar jendela kamar Alya. Entah bagaimana, sosok itu bisa
menemukan celah di antara tirai, mengintip ke dalam kamar lalu merekam
adegan seks mereka dengan kamera HP.
Sosok itu melangkah puas sambil terkekeh-kekeh pulang ke rumah. Sosok Pak Bejo Suharso!
###
Dina duduk di kamar santai dan menyalakan televisi. Tapi ibu muda
yang cantik itu tidak menonton tayangan sinetron di televisi. Dina terus
memijat-mijat tangannya dengan gelisah di pangkuan dan bertanya-tanya
apa yang diinginkan oleh Pak Pramono, bos kerja Anton. Pak Pramono
telepon tadi pagi dan bertanya apakah dia boleh datang berkunjung. Pak
Pramono mengatakan ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan.
Anehnya, saat ini Anton justru tengah dinas keluar kota. Apa yang ingin
disampaikan Pak Pramono padanya? Dina selalu merasa rikuh saat
berhadapan dengan Pak Pramono.
Walaupun sudah tua, tapi pria yang rambutnya sudah beruban semua itu
sangat besar dan masih terlihat gagah. Kulitnya yang hitam dan kumisnya
yang lebat menambah sangar penampilan Pak Pramono. Dia lebih mirip
seorang perwira militer ketimbang bos perusahaan IT. Dina bertanya-tanya
dalam hati apa yang ingin dibicarakan oleh Pak Pramono saat kemudian
bel pintu berbunyi.
Dina buru-buru membukakan pintu dan mempersilahkan seorang pria
masuk. Dia mengantarkan sang tamu ke ruang duduk di mana mereka berdua
akhirnya berhadapan. Dina merasa sedikit grogi berbincang-bincang dengan
pimpinan suaminya. Sangat jarang pimpinan Anton berkunjung kemari,
bahkan bisa dibilang ini baru pertama kalinya mereka berdua berhadapan
langsung.
“Bagaimana kabar anda?” tanya Pak Pramono memulai percakapan.
Dina cukup terkejut dengan pertanyaan sopan ini. Pak Pramono bukan
orang yang suka berbasa-basi dan wajahnya cenderung menyeramkan.
Satu-satunya pertemuan empat mata antara Dina dan Pak Pramono
berlangsung di sebuah pesta perusahaan. Saat itu Pak Pramono bahkan
tidak tersenyum pada siapapun. Sebaliknya Bu Pramono adalah seorang
istri yang sangat ramah. Dina memutuskan untuk tidak memasang wajah kaku
dan berlaku santai. Dia duduk dengan tenang.
“Baik, terima kasih. Bagaimana kabar anda sendiri, dan Bu Pramono, sehat-sehat saja kan?” Dina menjawab ramah.
“Baik. Baik. Ibu juga baik baik saja. Semua sehat.”
Dina melihat wajah Pak Pramono mengeras, sehingga perasaan tegang
kembali menyelimutinya. “Pasti Bu Anton bertanya-tanya kenapa saya ingin
menemui ibu?”
“Betul Pak, saya cukup terkejut dengan telpon dari anda… apalagi saat ini Mas Anton sedang keluar kota dan…”
“Akan lebih baik kalau dia tidak ada di sini. Saya ingin berbincang-bincang soal serius pada Bu Anton perihal bapak.”
“Tentang suami saya? Apa ada masalah di tempat kerja?
“Pertama, apakah ibu tahu soal kebiasaan Pak Anton berjudi?”
Dina terkejut dan hampir pingsan, tapi setelah beberapa saat berdiam,
dia mencoba menguasai dirinya sendiri dan menjawab. “Mas Anton tidak
pernah berjudi, tidak tepat kalau disebut ‘kebiasaan’, Pak Pramono.”
Pak Pramono membuka tas kerjanya dan mengambil secarik amplop manila.
Dia membukanya dan mengeluarkan beberapa carik kertas dari dalamnya.
Memisahkan sebagian dan mengambil beberapa lagi. Dia lalu menunjukkannya
kepada Dina. Kertas-kertas itu adalah foto. Dina duduk terdiam. Dia
hampir pingsan.
“Ini buktinya,” kata Pak Pramono tenang.
Dalam foto-foto itu tergambar kegiatan Anton saat dia sedang di meja
judi. Entah itu saat bermain kartu atau berbagai jenis kegiatan judi
lain. Ada foto-foto saat Anton sedang memasang nomor taruhan, ada foto
saat Anton merobek nomernya yang kalah dengan kesal dan ada foto Anton
saat dia sedang minum bir bersama beberapa bandar.
“Darimana anda mendapatkan foto-foto ini?” tanya Dina kebingungan.
“Itu tidak penting. Jadi patut diketahui oleh ibu, kalau kami selalu
melakukan penyelidikan mendetail pada seluruh karyawan, termasuk Pak
Anton. Dalam kasus ini, kami memang mencurigai beliau.”
“Mencurigai! Kenapa?”
“Saya baru hendak menyampaikan alasannya. Auditor kami menemukan
catatan sejumlah besar dana yang telah diselewengkan oleh seorang
karyawan. Hal itu membuat kami harus memulai langkah penyelidikan.
Setelah langkah-langkah diambil, semua bukti yang ada mengarah pada Pak
Anton, suami ibu. Kami menghubungi pihak yang berwajib dan mereka
mengirim beberapa intel untuk, mm, mematai-matainya.”
“Ini pasti kesalahan besar. Anton tidak mungkin mencuri. Dia tidak pernah berjudi!” Dina mulai gusar, matanya mulai basah.
“Tentunya, seperti yang terbukti dari foto-foto ini, suami ibu
jelas-jelas berjudi.” Pak Pramono mengeluarkan beberapa foto lagi dari
amplop manilanya. “Bahkan kami punya bukti kalau Pak Anton juga telah
melakukan korupsi dan menggelapkan uang perusahaan untuk kegemarannya
itu.”
Dina yang shock duduk dengan mulut terbuka lebar karena
terheran-heran. Ruang tamunya seakan berputar dan perlahan menjadi
gelap. Dina pingsan.
###
“Alya.”
“Iya Mas?”
“Dasiku yang biru kamu simpan dimana? Aku kok tidak bisa menemukannya dimana-mana?”
“Ada kok, di dalam lemari.”
“Iya Mas?”
“Dasiku yang biru kamu simpan dimana? Aku kok tidak bisa menemukannya dimana-mana?”
“Ada kok, di dalam lemari.”
Hendra selalu berharap Alya akan menyiapkan segala kebutuhannya
sebelum berangkat ke kantor. Ketika mereka menikah beberapa tahun yang
lalu, Alya sanggup melayani Hendra. Tapi kini, sebagai seorang wanita
yang juga bekerja dengan seorang anak yang masih kecil, kesibukan pagi
Alya sangatlah padat. Bangun pagi, menyiapkan makan, membangunkan Opi,
menghidangkan sarapan… terus berlanjut sampai Hendra berangkat kerja,
Opi diasuh Bu Bejo dan Alya sendiri berangkat bekerja.
Saat Bu Bejo tidak datang, kehidupan Alya jauh lebih hiruk pikuk.
Untungnya suami istri Pak dan Bu Bejo gemar menolong dan mereka selalu
datang untuk membantu. Bu Bejo tidak pernah menolak membantu dalam hal
apapun juga, hubungan kedua tetangga inipun terjalin erat. Hendra dan
Alya sering memberi uang lebih pada Pak Bejo dan istrinya sebagai balas
jasa.
Sayangnya Alya kemudian mengetahui kehidupan gelap Pak Bejo Suharso.
Pak Bejo adalah seorang suami yang pemabuk dan sering memukuli Bu Bejo
dengan kasar. Tanpa alasan yang jelas (kemungkinan besar karena kalah
judi), Pak Bejo bisa menghajar Bu Bejo sampai bengkak dan biru. Biasanya
kalau sudah begitu, hanya Pak Bejolah yang datang ke rumah Hendra
selama beberapa hari. Alya mengasihani Bu Bejo, kenapa dia masih tetap
bertahan sebagai istri Pak Bejo? Mungkin kondisi ekonomi membuat
kehidupan Pak Bejo menjadi keras, tapi itu bukan alasan untuk menganiaya
istrinya sendiri.
Seandainya Hendra yang berlaku demikian, maka Alya akan minta cerai
dan pergi sejauh mungkin dari rumah ini. Bukanlah penganiayaan fisik
yang membuat Alya marah, tapi penghinaan berlebih terhadap kaum wanita
yang membuatnya tersinggung. Alya hanya tertawa saat membayangkan Hendra
menjadi seorang penganiaya istri, tidak mungkin terjadi. Mereka sudah
pacaran sejak SMU dan Hendra adalah orang terbaik yang pernah ia kenal.
Suatu ketika Alya pernah menanyakan perihal alasan Bu Bejo bertahan,
Bu RT itu hanya tertawa penuh kesabaran. “Kamu belum tahu apa-apa, nDuk.
Mbak Alya belum mengerti apa-apa.”
Tapi, Bu Bejo berjanji, setiap kali Pak Bejo berlaku kasar, dia akan
lari minta perlindungan pada Alya sekeluarga dan berusaha menyadarkan
suaminya dari tindakan yang semena-mena itu. Hari ini Bu Bejo belum
menampakkan batang hidungnya, dan Alyapun bertanya-tanya apa yang sedang
terjadi.
“Opi, ayo habiskan makannya.” Kata Alya memperingatkan putrinya.
Putri kecil Alya punya kebiasaan buruk menghambur-hamburkan sarapan.
Toh walaupun sudah masuk kelas 0 kecil, Opi masih seorang anak kecil.
Alya melirik ke arah jam di dinding. Jam tujuh tiga puluh.
“Sayang, aku pergi dulu. Mungkin pulang agak telat hari ini. Ada
meeting nanti sore dengan pemegang saham.” Kata Hendra sambil mencium
pipi sang istri.
Melangkah keluar dari dapur, Alya dan Hendra mengangkat Opi dari meja
makan. Kalau Bu Bejo tidak datang, Hendralah yang mengantarnya ke TK.
Kalau sudah begitu, biasanya Opi dititipkan pada neneknya yang kebetulan
tinggal di dekat TK dan juga bersedia menampung Opi. Hendra atau Alya
akan menjemput Opi nanti sore sepulang kerja.
Alya merasa pusing hari ini, sehingga dia memutuskan untuk absen
kerja. Setelah menelpon kantor untuk minta ijin, Alya juga menelpon
mertuanya untuk menitipkan Opi. Saat melintas di depan kaca, tidak
sengaja Alya memperhatikan tubuhnya sendiri. Sangat susah mempertahankan
badan agar tetap langsing bagi sebagian orang. Tapi bagi Alya, dia
bagai dikaruniai sebuah tubuh indah yang sangat sempurna. Alya merapikan
rambut sebahunya yang agak kusut.
“Kamu memang seksi banget, sayang. Kalau jalan-jalan di mall, pasti
banyak cowok pengen menggodamu.” Kata Hendra. Dia selalu memuji
istrinya. Memang bukan hal aneh kalau Alya sering digoda cowok dimanapun
dia berada karena sangat cantik dan seksi. Tapi Alya adalah seorang
istri yang setia dan punya martabat yang ia junjung tinggi.
“Mama, Opi pegi dulu.” Kata si kecil sambil mencium pipi sang bunda.
“Iya. Ati-ati ya sayang.” Alya mengecup dahi Opi.
“Aku pergi dulu, say.” Hendra pamit sambil menggandeng Opi.
“Iya. Ati-ati ya sayang.” Alya mengecup dahi Opi.
“Aku pergi dulu, say.” Hendra pamit sambil menggandeng Opi.
Alya melambaikan tangan pada mereka berdua.
Alya ambruk ke atas ranjang setelah Hendra dan Opi pergi. Pengaruh
obat yang dia minum setelah sarapan tadi membuatnya sangat mengantuk.
Ibu rumah tangga yang jelita itu tertidur selama hampir dua jam sebelum
terbangun dan memutuskan untuk bersantai-santai sambil membaca tabloid.
Alya bertanya-tanya kemanakah Bu Bejo hari ini.
###
Saat kemudian terbangun, Dina sedang berbaring di sofa dan Pak Pramono duduk di sampingnya.
“Anda ingin saya ambilkan segelas air?” tanya Pak Pramono.
“Apa yang terjadi? Ya Tuhan, saya ingat. Tidak mungkin. Anton tidak akan melakukan itu semua. Apa yang akan anda lakukan?”
“Itulah sebabnya hari ini saya memutuskan kemari dan menemui Mbak Dina. Saya punya penawaran.” Kata Pak Pramono.
“Penawaran? Untuk saya? Apa yang bisa saya lakukan?”
Pak Pramono tersenyum nakal. “Begini, Bu Anton, atau boleh saya
panggil Mbak Dina saja supaya akrab? Anda terlalu muda dan cantik untuk
dipanggil ibu.”
Dina mengangguk.
“Baiklah, Mbak Dina. Anda bisa membantu suami, dalam hal ini Mas
Anton, dan juga seluruh keluarga Mbak Dina. Saya punya bukti-bukti kuat
yang akan menggiring Pak Anton ke penjara untuk jangka waktu yang sangat
lama. Saat melakukan penyelidikan, kami juga menerima berkas-berkas
laporan keuangan dan bon tagihan bulanan keluarga anda.”
Dina sudah siap memprotes, tapi kemudian terdiam dan membiarkan Pak Pramono meneruskan keterangannya.
“Memang apa yang saya lakukan bersama tim terdengar ilegal, tapi saya
bersumpah apa yang kami lakukan sah sesuai hukum. Saya memberitahu anda
saat ini karena ingin anda mengerti posisi kami. Dari apa yang kami
dapatkan, kami menemukan bukti bahwa keluarga anda telah berfoya-foya
dengan membeli berbagai peralatan elektronik dan…”
“Berfoya-foya? Kami tidak minta apa-apa! Itu semua Mas Anton yang membelikan!” teriak Dina panik.
“Kami minta maaf, tapi saya tetap pada pernyataan saya. Suami anda
menghabiskan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan seiring dengan
kegiatan judi yang dia lakukan dan banyaknya hutang yang dia tanggung
dari kegiatannya itu, saya rasa anda tidak sanggup mengeluarkan lebih
banyak lagi dana dari anggaran belanja anda. Pak Anton harus kehilangan
pekerjaan dan mendekam di penjara.”
“Ya Tuhan, lalu apa yang akan terjadi kalau anda melakukan itu?! Kami
akan kehilangan rumah! Anak-anak! Apa yang terjadi pada mereka? Sekolah
dan lain-lain!”
“Benar sekali. Itu sebabnya saya disini. Saya bukan pendendam. Saya
memang sangat marah saat tahu Pak Anton telah mencuri uang perusahaan,
tapi saya lalu teringat pada Mbak Dina dan… ahh, saya punya penawaran
menarik.”
“Apa yang anda maksud… penawaran menarik?”
“Apakah anda berniat membantu Pak Anton mempertahankan pekerjaannya dan menjauhkan suami anda dari jeruji penjara?”
“Tentu saja.”
“Apa yang anda akan lakukan untuk itu?”
“Apa saja.”
Tentunya Dina bermaksud membayar kembali hutang Anton pada
perusahaan, bahkan jika dia harus menjadi pembantu rumah tangga atau
buruh cuci untuk melakukannya.
Dina akan sangat terkejut saat Pak Pramono melanjutkan niatnya.
“Saya sangat lega anda berpendapat demikian, Mbak Dina. Tahu tidak, anda sungguh sangat cantik jelita. Sangat mempesona.”
“Terima kasih. Tapi sebaiknya kita tetap pada pokok permasalahan.”
“Itulah yang sedang saya lakukan. Saya ingin menolong keluarga anda
keluar dari kesulitan ini. Dengar baik-baik apa yang hendak saya
sampaikan: saya orang yang sangat kaya, jadi saya bisa melupakan uang
yang dicuri suami anda dari perusahaan hanya jika… jika anda berlaku
‘baik’ terhadap saya.”
“Pak Pramono, apa saya tidak pernah berbuat baik pada anda? Apa pernah saya berlaku tidak sopan pada anda?”
“Mbak Dina. Anda selalu sopan terhadap saya. Tapi itu bukan ‘kebaikan’ yang saya maksudkan. Apa anda tahu maksud saya?”
“Mohon maaf, tapi saya tidak tahu. Pikiran saya sedang kalut dan saya tidak bisa berpikir jernih. Apa yang anda maksud?”
“Baiklah. Saya akan terus terang saja. Kalau kamu ingin aku melupakan
kelakuan suamimu dan kerugian yang diderita perusahaan, aku ingin kamu
melayaniku. Tidur denganku. Aku ingin menggauli tubuh indahmu.”
Mulut Dina menganga tak percaya. Dia menutup mulutnya dengan kedua
tangan. Wajahnya pucat pasi dan dia duduk di kursi dengan menggigil
ketakutan. Akhirnya, setelah mengumpulkan semua kekuatan karena shock,
Dina berteriak kencang. “Keluar dari rumahku! Pergi! Orang tua tidak
tahu diri!”
Pak Pramono perlahan memindahkan foto-foto yang berada di amplop
manila dan meletakkannya di dalam tas kerja. Sengaja dia meletakkan tas
itu dengan keras di atas meja sehingga membuat Dina terperanjat. Pak
Pramono berdiri, membalikkan badan dan perlahan berjalan ke arah pintu.
Setelah lima langkah, Pak Pramono berhenti dan melirik ke belakang.
“Penawaran ini tidak akan aku ulangi,” kata Pak Pramono dingin. “Saat
aku melangkah keluar dari rumah ini tanpa kau turuti kemauanku, pihak
yang berwajib – kepolisian, akan segera aku hubungi. Segera.”
Dina meloncat dari kursinya dan berusaha menahan kepergian Pak
Pramono. “Tunggu! Saya mohon, Pak! Berhenti dulu!” Dina sangat
kebingungan. Apa yang harus dilakukannya? Apa yang sebaiknya ia perbuat?
Seluruh tubuhnya bergetar karena takut dan dia tidak dapat berpikir
jernih. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa banyak berpikir,
Dina mengganguk lemah. “Baiklah. Anda menang.”
“Apa itu artinya kamu mau melakukan semua yang aku minta?”
Dina ragu-ragu sesaat, matanya menatap ke lantai dengan hampa dan
akhirnya dengan suara lemah dia menjawab. “Iya. Saya tidak punya pilihan
lain.”
“Bagus. Kalau begitu ayo kita buktikan saja.” Pak Pramono duduk di
sofa dan menunggu dengan santai. Saat Dina berdiri terdiam, Pak Pramono
pun tersenyum puas.
“Buka bajumu.” Perintah Pak Pramono.
###
Hari mulai siang dan Alya masih terus membolak-balik halaman tabloid
Ibu & Anak. Dia masih menunda pekerjaan rumah seperti mencuci piring
atau memasak. Setelah merasa sedikit sembuh dari pusing, barulah Alya
bangkit dari bermalas-malasan dan melangkah menuju dapur.
Saat itulah terdengar pintu pagar dibuka.
Siapa yah? Apa mungkin tukang pos yang mengantarkan surat atau paket?
Pikir Alya dalam hati. Saat membuka pintu, Alya menemui Pak Bejo sedang
membawa tas kresek hitam besar.
“Oh, saya kira siapa. Gimana Pak Bejo?” tanya Alya.
“Mbak Alya kok di rumah? Tidak kerja hari ini?”
“Oh, nggak, Pak. Soalnya hari ini badan agak kurang sehat, kepala juga pusing.”
“Oh begitu. Ini saya mau ngambil sampah. Biasanya Bu Bejo yang ngambil sampah di keranjang belakang. Tapi tadi tiba-tiba saja Bu Bejo juga tidak enak badan.”
“Mbak Alya kok di rumah? Tidak kerja hari ini?”
“Oh, nggak, Pak. Soalnya hari ini badan agak kurang sehat, kepala juga pusing.”
“Oh begitu. Ini saya mau ngambil sampah. Biasanya Bu Bejo yang ngambil sampah di keranjang belakang. Tapi tadi tiba-tiba saja Bu Bejo juga tidak enak badan.”
Meskipun sedang malas berbasa-basi, Alya tidak mau tidak sopan
terhadap tetangganya ini. “Oh begitu. Sampahnya ditaruh depan rumah
saja, Pak. Nanti diambil sama tukang sampah yang keliling kan?”
“Iya, Mbak,” jawab Pak Bejo. “Kalau diletakkan di keranjang depan, pasti diambil tukang sampah komplek.”
Alya mengangguk dan mempersilahkan Pak Bejo masuk.
“Em, maaf Mbak. Tapi boleh saya minta segelas air putih? Saya haus sekali.” tanya Pak Bejo.
“Tentu saja boleh, Pak. Kan sudah biasa? Anggap saja rumah sendiri.
Sini, biar saya saja yang mengambilkan. Bapak duduk dulu.” Kata Alya
sopan.
Ketika kembali dengan segelas air putih, Pak Bejo sudah duduk di
ruang tengah. Dengan cepat Pak Bejo meneguk air putih dan mengembalikan
gelasnya pada Alya. Ibu muda yang cantik itu mencoba mengambil gelas,
tapi sebelum sempat menarik gelas, tangan Alya sudah ditarik oleh Pak
Bejo. Tubuh Alya tertarik ke depan ke arah pelukan Pak Bejo. Dengan
sigap Alya memutar tubuh sehingga Pak Bejo kini berada di belakangnya
dan mencoba lari, tapi Pak Bejo terus memegang tangan Alya dan memeluk
tubuhnya. Saat mereka bergumul gelas yang dipegang Alya terlempar hingga
pecah berkeping-keping. Tangan Pak Bejo mulai nakal meraba-raba dada
kenyal Alya dan meremasnya dengan sangat keras hingga terasa sakit. Alya
membungkukkan badan ke depan mencoba melepaskan diri dari pelukan erat
Pak Bejo.
Semua usaha Alya sia-sia. Untuk bisa mempertahankan keseimbangan
diri, Alya harus mundur ke belakang. Tanpa dikomando, Pak Bejo segera
beraksi. Pria tua itu menyelipkan selangkangannya yang sudah membusung
besar ke lipatan pantat Alya. Tangannya juga meremas buah dada Alya
dengan sangat kasar. Alya mengernyit kesakitan.
“He-Hentikan, Pak!! A-Atau saya akan teriak minta tolong!” kata Alya terbata-bata. Dia sangat ketakutan.
“Aku tahu Mbak Alya tidak akan melakukan itu. Apa yang dibutuhkan
Mbak Alya adalah tidur dengan laki-laki sejati. Setelah kita bersetubuh
nanti, Mbak Alya akan menjadi seorang wanita yang mendambakan kontol
besar setiap hari.” Kata Pak Bejo sambil terengah-engah penuh nafsu.
Setelah berusaha mengatasi kepanikan, Alya mencoba melawan. Tangan
Alya meraih rambut Pak Bejo, memaksa pria tua itu menunduk dan dengan
sekuat tenaga Alya menyepak kemaluan Pak Bejo.
“Aduh! Lonthe!!”
Pria tua yang mesum itu pantas menerimanya. Dengan nekat Alya mencoba
kabur ke pintu depan sambil melewati Pak Bejo yang sedang kesakitan.
Salah besar. Tangan Pak Bejo menarik rambut Alya dan membanting tubuh si
cantik itu ke lantai. Alya yang jauh lebih ringan terbanting dengan
keras.
Pak Bejo melepaskan rambut Alya.
Alya mencoba berdiri dengan sempoyongan, ia berusaha mempertahankan
kesadarannya. Dengan satu tamparan keras di pipi, tubuh Alya terlempar
lagi ke lantai. Air mata mulai menetes di pipi mulus Alya. Tamparan
kedua menyusul tak lama kemudian, membanting tubuh Alya ke arah yang
berlawanan. Akhirnya pukulan dan tendangan Pak Bejo seakan tak berhenti
menghajar tubuh Alya. Pak Bejo mengunci tubuh Alya, sehingga walaupun
Alya berusaha melawan, semua tidak ada gunanya. Tak perlu waktu lama
sebelum akhirnya perlawanan Alya mengendur dan tubuhnya mulai lemas.
Tamparan demi tamparan Pak Bejo menjadi hajaran yang tak tertahankan.
“Pak!! Saya mohon!! Hentikan! Hentikan!!” ratap Alya sambil menangis.
Akhirnya Pak Bejo berhenti menghajar Alya. Alya mulai meraung-raung
dan menangis sejadi-jadinya. Darah menetes dari hidungnya yang sembab.
“Nggak apa-apa. Sebentar lagi juga sembuh.” Pak Bejo menyeringai.
Tangan Pak Bejo mulai bekerja dengan cepat melucuti pakaian yang
dikenakan Alya. Pak Bejo melepas rok dan rok dalam yang dipakai Alya.
Akhirnya Alya bisa merasakan tangan kuat pria tua itu merobek celana
dalamnya.
Alya tidak percaya ini semua terjadi padanya. “Ini pasti mimpi buruk.”
Pak Bejo juga tidak percaya melihat kemolekan tubuh Alya. Kaki yang
jenjang, paha yang mulus dan rambut tipis tercukur rapi menutup gundukan
memek yang bersih. Keindahan yang tidak ada duanya. Keindahan tubuh
Alya persis seperti apa yang selalu diidam-idamkan oleh Pak Bejo ketika
masturbasi sendirian di kamar mandi. Tubuh yang indah itu kini tergolek
pasrah di atas lantai.
Pak Bejo tak perlu waktu lama untuk menyerang tubuh Alya. Dia
membenamkan kepala di antara paha Alya dan mulai menghirup aroma wangi
liang kewanitaannya. Pak Bejo mulai menjilati bibir kemaluan Alya.
“Ya Tuhan!” Alya menggigil tak berdaya sambil mencengkeram kepala Pak
Bejo dengan kedua tangannya dan mencoba mendorongnya menjauh. Bahkan
Hendra tak berani melakukan itu padanya. Lidah Pak Bejo makin lama makin
meningkat intensitas iramanya dan Alya mulai kehilangan kendali pada
tubuhnya. Dengan malu Alya mulai menyadari kalau tubuhnya perlahan
menikmati apa yang dilakukan oleh Pak Bejo sementara batinnya mencoba
mengingkari.
“Aaah!!” lenguh Alya keras sambil terus mencoba mendorong kepala Pak Bejo.
Lenguhan Alya makin lama makin keras dan tubuhnya menggigil penuh
nafsu birahi di bawah rangsangan luar biasa dari Pak Bejo. Alya sudah
tidak ingat lagi akan semua hal yang ia junjung tinggi, pekerjaan,
pendidikan, latar belakang, keluarga, suami, anak… semua hilang ditelan
nafsu. Tidak ada jalan keluar. Dia akan ditiduri oleh laki-laki ini,
seorang pria tua yang ternyata memiliki hati busuk.
Dengan kecepatan tinggi, Pak Bejo mulai meloloskan baju dan celana
yang ia kenakan. Saking nafsunya, ia bahkan merobek kaos oblongnya.
Berbaring di lantai, Alya sekilas melihat batang zakar Pak Bejo sebelum
dia akhirnya memeluk Alya. Kontol Pak Bejo sangat besar, bahkan lebih
besar dari milik Hendra, batin Alya dalam hati. Kaki Alya yang jenjang
diangkat ke atas oleh pria tua yang sudah nafsu itu, keduanya ditautkan
di pundak Pak Bejo dan dengan secepat kilat, Pak Bejo sudah sampai di
selangkangan Alya. Tanpa tunggu waktu terlalu lama, langsung dilesakkan
kontolnya ke dalam memek Alya.
“Ya Tuhan!” lenguh Alya ketika penis Pak Bejo masuk ke dalam liang
kemaluannya. Si cantik itu bahkan harus menutup mulutnya dengan tangan
agar tidak berteriak kesakitan saat kontol Pak Bejo dipompa dalam
rahimnya berulang-ulang kali.
Tapi Pak Bejo tetaplah seorang pria tua. Tidak sampai lima menit, Pak
Bejo sudah melepaskan cairan pejuhnya di dalam rahim Alya. Alya menatap
wajah Pak Bejo dengan perasaan campur aduk.
“Sudah kubilang kalau kau akan menikmati semua ini, Mbak Alya.
Lenguhanmu terdengar sangat keras dan merangsang.” Kata Pak Bejo sambil
meringis penuh kemenangan.
Alya yang malu memalingkan wajah.
Saat Alya berusaha bangun, Pak Bejo menarik tubuh Alya dan memeluknya.
“Mau kemana, sayang? Kita kan belum selesai. Kamu nggak pengen dikenthu lagi?”
“Mau ke kamar mandi.” Kata Alya berusaha melepaskan diri dari pelukan Pak Bejo.
“Tapi kamu kan nggak bisa pergi seperti ini.”
“Mau ke kamar mandi.” Kata Alya berusaha melepaskan diri dari pelukan Pak Bejo.
“Tapi kamu kan nggak bisa pergi seperti ini.”
Pak Bejo berdiri dan membantu Alya ikut berdiri. Satu persatu
dilepaskannya semua pakaian yang melilit tubuh indah Alya. Mulai dari
baju, BH sampai rok dalam yang masih tersangkut di kaki Alya. Setelah
selesai, dibaliknya tubuh Alya.
“Sekarang baru boleh pergi.” Kata Pak Bejo terkekeh sambil menampar
kecil pantat Alya yang bulat dan mulus. Sambil menahan air mata, Alya
pun pergi ke kamar kecil.
Saat kembali ke kamar tengah, Pak Bejo sedang menonton acara TV.
“Duduk di pangkuanku!” Perintah Pak Bejo sambil menepuk kakinya. Alya
sempat ragu-ragu untuk sesaat, dia sangat sadar bahwa dirinya saat ini
sedang telanjang tanpa sehelai benangpun di depan seorang pria yang
bukan suaminya sendiri. Orang itu kini menghendaki tubuh indah Alya
duduk di pangkuannya. Alya hanya bisa mendesah penuh kepasrahan. Air
matanya kembali menetes.
Tak berapa lama setelah duduk di pangkuan Pak Bejo, tangan jahil pria
tua itu mulai meraba-raba tubuh indahnya. Lama kelamaan, api yang
tadinya padam mulai menyala lagi. Kali ini Pak Bejo ingin mengeluarkan
pejuh di mulut Alya. Istri Hendra itu memang sangat jarang melakukan
oral seks atau fellatio pada suaminya sendiri karena terlalu alim.
Sekali dua kali dilakukannya dengan terpaksa. Alya selalu menganggap hal
itu kotor dan menjijikkan. Hanya pemain film porno yang pernah
melakukannya.
“Aku tidak mau melakukannya.” Kata Alya bersikukuh.
Tanpa banyak bicara Pak Bejo meraih kepala Alya dan akhirnya istri
Hendra itu hanya bisa pasrah. Alya mulai mengoral kontol Pak Bejo.
Remasan tangan Pak Bejo di kepala Alya mengeras. Si cantik itu bisa
merasakan denyutan di kontol yang diemutnya kalau Pak Bejo hampir
mencapai orgasme. Kontolnya sangat besar dan keras di dalam mulut Alya
sehingga dia mulai batuk-batuk dan kehabisan nafas tapi Pak Bejo tidak
peduli. Alya berusaha mundur untuk menarik nafas, tapi tangan Pak Bejo
meraih rambut belakang Alya dan mendorongnya maju sampai tertelan
seluruh batang kemaluan sang pria tua. Karena kuatnya dorongan Pak Bejo,
tubuh Alya menggelepar karena tercekik kehabisan nafas.
Alya berontak dan berusaha melepaskan diri, tapi Pak Bejo terlalu
kuat untuknya. Lalu perlahan pria tua itu berhenti sesaat, memberikan
kesempatan bagi Alya untuk bernafas sejenak. Sayang hanya sebentar,
karena kemudian tiba-tiba saja kepala Alya didorong maju dan dipaksa
menelan seluruh batang kontolnya. Tepat ketika ujung kepala kontol Pak
Bejo menyentuh tenggorokan Alya, air mani pun meledak di dalam mulutnya.
Tidak ada jalan lain kecuali menelan seluruh pejuh yang dikeluarkan
oleh Pak Bejo untuk menahan diri agar tidak tercekik. Saat dilepas oleh
Pak Bejo, Alya rubuh ke belakang dan menarik nafas lega. Seluruh pipi
dan dagunya belepotan air mani Pak Bejo yang keluar dari bibirnya yang
merah.
Sadar apa yang baru saja diminumnya, langsung saja Alya merasa mual.
Istri Hendra itu segera lari ke kamar mandi dan muntah-muntah di sana.
Setelah muntah, Alya merasa lebih baik dan tidak lagi merasa mual.
Sesaat setelah muntah, barulah Alya sadar kalau Pak Bejo sudah berdiri
di sampingnya. Alya tidak melakukan perlawanan apapun saat pria yang
lebih pantas menjadi ayahnya itu memeluk tubuh indahnya yang telanjang
dan mengelus rambutnya yang indah untuk menenangkan si cantik itu.
“Apa Mbak Alya sudah enakan sekarang?” bisik Pak Bejo. Mau tak mau Alya mengangguk pasrah.
Pak Bejo membantu Alya bersih-bersih sebelum membawa ibu rumah tangga
yang cantik itu kembali ke ruang keluarga. Pak Bejo menyuruh Alya duduk
di salah satu sofa sementara dia sendiri duduk tepat di hadapan Alya.
“Santai saja. Jangan dianggap masalah berat.” Kata Pak Bejo sambil
mengeluarkan sebungkus rokok dan mulai menghisapnya. “Pindah channel
TVnya.”
Dengan menurut, Alya meraih remote TV dan memencet tombol. Entah acara apa yang ingin ditonton Pak Bejo, Alya tidak peduli.
BAGIAN DUA
SERANGAN PARA PRIA TUA
Oleh Pujangga Binal & Friends
SERANGAN PARA PRIA TUA
Oleh Pujangga Binal & Friends
Pak Hasan adalah mertua Lidya dan ayah kandung Andi. Usianya sudah 58
tahun, bertubuh gemuk, botak dan sudah menduda sejak 12 tahun terakhir.
Setelah kehilangan rumahnya yang berada di desa karena tidak bisa
membayar hutang yang menumpuk, Pak Hasan sedianya akan ditampung
sementara oleh Andi dan menantunya Lidya yang sama-sama baru berusia 26
tahun sebelum nantinya mendapat rumah kontrakan yang baru.
Pak Hasan mengetuk pintu depan dan menantunya yang ayu segera
menyambutnya. Si seksi itu hanya mengenakan daster tipis yang
menerawang, khas baju ibu-ibu rumah tangga. Tapi entah kenapa, saat
Lidya yang mengenakan baju itu, terlihat sangat menggairahkan. Lidya
terlihat sangat cantik dan segar.
“Lho? Bapak? Aku kira bapak baru akan datang besok lusa? Ayo masuk
dulu,” kata Lidya sambil memutar badan. Walau tertutup daster, tapi Pak
Hasan bisa melihat jelas lekuk pantat sempurna milik Lidya yang
menerawang di balik daster. Lidya, seperti juga kakak-kakaknya memiliki
kecantikan natural yang sempurna. Walaupun menantu Pak Hasan itu
memiliki perangai yang manis, ceria dan suka bercanda, tapi sosok ayu
dan seksinyalah yang membuat setiap lelaki ingin menidurinya.
“Mas Andi belum pulang, tapi sebentar lagi pasti datang.”
“Tadi aku naik bis yang sore.” kata Pak Hasan sambil mencari sofa untuk duduk.
“Oh begitu. Istirahat dulu, Pak. Anggap saja rumah sendiri.” Jawab
Lidya sambil membungkuk untuk mengambil cangkir yang ada di meja di
depan Pak Hasan. Karena daster yang dipakai Lidya sangat longgar,
gerakan ini membuat Pak Hasan bisa mengintip celah buah dada putih ranum
yang menggiurkan di balik BH Lidya.
Melihat keseksian menantunya, kemaluan Pak Hasan langsung mengeras.
Mertua Lidya itu segera menyembunyikan tonjolan di selangkangannya
karena malu. Setelah menata meja, Lidya duduk di depan Pak Hasan dan
menyilangkan kakinya, seakan memamerkan kakinya yang putih, mulus dan
jenjang dengan bulu-bulu halus yang menggairahkan. Pak Hasan harus
konsentrasi penuh untuk mendengarkan pertanyaan Lidya.
“Jadi bagaimana perjalanannya? Capek yah, Pak?”
“Lumayan melelahkan. Lima jam perjalanan.”
Mata Pak Hasan bergerak menelusuri seluruh lekuk tubuh Lidya, dari
atas sampai bawah, dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Hampir 5
tahun sudah Pak Hasan tidak melakukan kegiatan seksual. Setelah kematian
istrinya, Pak Hasan sering memanggil pelacur saat masih tinggal di
desa. Tapi kemudian berhenti karena hutang-hutangnya kian bertumpuk dan
dia tidak bisa membayar seorang pelacurpun. Lidya mulai sedikit rikuh
dengan tatapan mata Pak Hasan yang seakan menelanjanginya.
“Aku naik dulu ke kamar ya, Pak. Mau mandi sebentar lalu aku siapkan
makan malam. Bapak pasti sudah lapar kan? Anggap aja rumah sendiri,”
kata Lidya sambil menaiki tangga. Mata Pak Hasan tidak lepas dari
goyangan pantat menantunya yang aduhai sampai ke atas tangga. Walaupun
sudah uzur, tapi Pak Hasan tetap laki-laki normal, dia butuh melepaskan
hasrat birahinya. Dia ingin masturbasi untuk melepaskan gejolak
nafsunya.
Saat itu telepon berbunyi. Pak Hasan mengangkatnya.
“Halo?”
“Halo, ini Bapak ya?”, tanya suara di ujung, yang rupanya suara Andi.
“Iya, ini Bapak, Ndi,” kata Pak Hasan.
“Pak, aku minta maaf aku nggak bisa pulang hari ini, soalnya aku
harus lembur di luar kota dan baru akan pulang sekitar hari Minggu sore.
Mendadak banget dan tidak bisa ditunda. Tolong pamitin ke Lidya ya.
Pesawatnya hampir berangkat, aku tidak bisa lama-lama. Maaf tidak bisa
menemani Bapak. Aku telpon kalau sudah sampai di sana nanti.”
“Baik, Ndi. Nanti Bapak sampaikan. Iya.”
Setelah mengucapkan salam perpisahan, Pak Hasan menutup telepon.
Pak Hasan berniat untuk membawa tas-tasnya yang berisi baju ke kamar
atas. Perlahan dia menaiki tangga, melewati kamar utama — tempat tidur
Lidya dan Andi. Terdengar deru suara air mengalir dari kamar mandi yang
terletak di dalam kamar utama. Pak Hasan meletakkan tasnya di depan
pintu kamar. Setelah berpikir keras, dia memutuskan untuk memasuki kamar
tidur utama pasangan Andi dan Lidya.
Di atas ranjang terdapat celana jeans dan atasan kaos putih. Saat
mengambil kaos itu Pak Hasan mendapati BH dan celana dalam tipis yang
juga berwarna putih. Pak Hasan benar-benar tidak kuat lagi menahan
birahinya. Diambilnya celana dalam Lidya, dibukanya celananya sendiri,
dan mulailah ayah mertua Lidya itu coli dengan menggesekkan celdam Lidya
di kontolnya yang mulai keriput.
Detak jantung Pak Hasan makin cepat karena ia tahu menantunya sedang
mandi sementara dia coli menggunakan celana dalam yang akan dipakai
Lidya. Gerakan Pak Hasan makin meningkat cepat karena saat coli Pak
Hasan membayangkan enaknya menikmati tubuh Lidya di ranjang dan
bagaimana rasanya memeluk menantunya yang cantik itu. Pak Hasan
membayangkan asyiknya melihat tubuh molek Lidya terhentak-hentak didera
sodokan penisnya.
Pak Hasan mengintip sedikit ke kamar mandi. Lidya rupanya lalai dan
membiarkan pintu kamar mandi sedikit terbuka, memudahkan akses bagi
mertuanya mengintip. Pak Hasan mendapati Lidya sedang menyabuni buah
dadanya yang besar dan kenyal.
“Wow. Tubuh si Lidya benar-benar indah. Sangat seksi,” batin Pak
Hasan. “Seandainya mungkin, aku ingin masuk ke dalam sana dan mengenthu
menantuku yang aduhai itu.”
Pak Hasan meneruskan colinya di celdam Lidya saat menantunya itu
membungkuk untuk menyabuni kakinya yang jenjang dan pahanya yang mulus.
Tak lama kemudian, Lidya bersandar pada dinding sementara air shower
membilas tubuhnya yang putih mulus. Tangan kiri Lidya menangkup buah
dadanya yang indah. Jari jemarinya mulai mengelus dan menowel-nowel
pentilnya. Pak Hasan terpana melihat menantunya itu memainkan
payudaranya. Tangan kanan Lidya menuruni perutnya yang langsing dan
masuk ke selangkangannya.
“Aaaaahhhhhh,” Lidya mendesah kecil.
Tangan kiri Lidya yang penuh gelembung sabun itu kini memilin dan
meremas-remas pentil payudaranya hingga mengeras, lalu meremas buah
dadanya bergantian. Tangan kanan Lidya masih berada di selangkangannya.
Semakin mencondongkan tubuhnya ke belakang, Lidya membentangkan kakinya
sedikit. Pak Hasan bisa melihat jari jemari lentik tangan menantunya
keluar masuk memeknya sendiri. Pak Hasan terpesona melihat si cantik
Lidya menggunakan jempolnya untuk menggosok dan menggerakkan daging
menonjol yang ada di ujung atas bibir vaginanya.
“Ah! Ah! Ah! Ehm! Ehm! Ooooohhh!!!” kaki Lidya melengkung saat si
jelita itu melenguh perlahan. Akhirnya tangan kirinya turun lemas ke
samping badannya, sementara jari-jarinya tangan kanannya berhenti
bergerak, namun tetap berada di dalam liang vaginanya.
Pak Hasan merasakan air maninya membanjir. Tangannya belepotan sperma
dan ia membersihkannya menggunakan celana dalam Lidya. Terdengar suara
shower dimatikan dan Lidya mulai keluar dari shower. Secepat kilat Pak
Hasan meletakkan celdam Lidya seperti sediakala dan meninggalkan kamar
itu. Pak Hasan menutup pintu kamar, namun masih membuka sedikit celah.
Saat sudah beranjak meninggalkan tempat itu, terlihat Lidya keluar dari
kamar mandi hanya mengenakan handuk yang terlilit di tubuhnya yang
indah.
Pak Hasan sebenarnya bisa langsung orgasme hanya dengan melihat Lidya
setengah telanjang dan hanya mengenakan handuk, ternyata mertua mesum
itu jauh lebih beruntung daripada yang dia kira. Tak sengaja, Lidya
menjatuhkan handuknya ke lantai. Tanpa sepengetahuan wanita ayu itu,
sang ayah mertua yang nafsu birahinya sedang memuncak ada di luar kamar
sedang mengawasi tiap gerak-geriknya yang molek. Karena memunggungi
pintu, Pak Hasan bisa menyaksikan pantat putih mulus Lidya yang
sempurna.
Perlahan-lahan Lidya berbalik dan Pak Hasan hampir tak kuat menahan
nafsu. Baru kali inilah dia menyaksikan keindahan tubuh Lidya secara
langsung tanpa sehelai benangpun. Rambut di atas kemaluan Lidya terlihat
terawat karena dipotong rapi dan sangat lembut, sementara payudara
Lidya yang montok sangat ranum dan besar. Si molek itu mengambil handuk
lalu mengeringkan rambutnya yang dikeramas. Karena bergerak cepat, buah
dada Lidya bergoyang ke kanan dan ke kiri dengan erotis. Pak Hasan
meletakkan satu tas kresek yang dibawanya dan mulai mengocok kontolnya
lagi.
Saat Lidya usai mengeringkan rambut, istri Andi itu mengambil celana
dalamnya dengan sedikit membungkuk. Tentu saja Pak Hasan makin puas
karena bisa melihat lebih jelas ke arah lubang anus sang menantu. Untung
saja Pak Hasan kuat menahan diri, bisa saja ia masuk ke dalam dan
menyetubuhi Lidya dari belakang dengan paksa. Warna merah muda anus
mungil milik menantunya itu sangat mengundang selera sang pria tua. Pak
Hasan berandai-andai apakah anaknya si Andi pernah menyodomi istrinya.
Lidya mulai mengenakan celana jeansnya dan kembali payudara si cantik
itu bergoyang-goyang. Pemandangan erotis ini makin lama makin memuaskan
Pak Hasan. Tak perlu waktu lama, sperma pria tua itu akhirnya meledak di
dalam celana.
Pak Hasan mengambil semua tasnya dan berjalan kembali ke kamar untuk
berganti pakaian. “Situasinya menarik sekali!”, batin laki-laki tua itu
sambil membersihkan tangan dengan tissue. “Aku sendirian di rumah selama
beberapa hari dengan menantuku yang cantik jelita dan sangat seksi itu!
Aku harus mendapatkan tubuh Lidya! Aku harus menanamkan penisku di
memeknya yang wangi secepatnya!”
Entah apa yang akan dilakukan Andi seandainya dia mengetahui rencana ayah kandung pada istri yang dicintainya.
###
Setelah hampir setengah jam menonton TV dan menghabiskan rokok, Pak Bejo kembali mengajak Alya. “Sudah waktunya. Ayo.”
“Ayo kemana?” tanya Alya.
“Sini. Berlutut di depanku.” Perintah Pak Bejo sambil membuka kakinya.
“Pak Bejo! Saya mohon, jangan suruh saya melakukan hal itu lagi! Saya tidak pernah menyukai melakukan hal itu sebelumnya!”
“Oke. Oke.” kata Pak Bejo. Pria tua itu sepertinya memahami dan melangkah ke arah Alya.
“Sini. Berlutut di depanku.” Perintah Pak Bejo sambil membuka kakinya.
“Pak Bejo! Saya mohon, jangan suruh saya melakukan hal itu lagi! Saya tidak pernah menyukai melakukan hal itu sebelumnya!”
“Oke. Oke.” kata Pak Bejo. Pria tua itu sepertinya memahami dan melangkah ke arah Alya.
Alya bahkan tidak punya kesempatan mengelak saat kemudian Pak Bejo
menampar pipinya dengan keras. Alya pun menangis tersedu-sedu. Belum
pernah seumur-umur dia diperlakukan dengan kasar oleh seorang pria.
Airmatanya meleleh dan isak tangisnya terdengar hingga beberapa saat.
Pak Bejo kembali duduk di hadapan Alya.
“Berapa kali aku harus ngomong sama Mbak Alya kalau Mbak Alya sudah
tidak punya pilihan lain lagi? Mbak Alya harus menuruti semua
perintahku. Jadi ada baiknya kalau Mbak Alya juga mulai menikmati apa
yang aku perintahkan. Jadi merangkaklah kemari dan jangan pernah
membantah apa yang aku perintahkan lagi!” ancam Pak Bejo.
Kali ini tidak ada ulangan perintah. Dengan penuh kepasrahan, Alya
menyepong tetangganya yang mesum dan berusaha menahan diri agar kali ini
dia tidak mual lagi. Pak Hasan melenguh keenakan dan sesekali tertawa
terbahak-bahak menikmati enaknya disepong wanita secantik Alya. Setelah
usai menyepong, Alya duduk di lantai. Ia masih berada di daerah
selangkangan Pak Bejo. Wajahnya yang jelita hanya beberapa centimeter
saja dari kontol besar Pak Bejo. Si cantik itu bahkan sudah terlalu
takut dan malu untuk mengamati bentuk kontol kebanggaan tetangganya itu.
Pak Bejo tahu dia sudah menaklukan wanita cantik bertubuh indah ini.
Alya melihat ke arah jam dinding dan langsung kaget. Opi sebentar
lagi pulang! Dengan buru-buru Alya melepaskan diri dari pelukan mesra
Pak Bejo dan berdiri.
“Pak Bejo, anda harus pergi sekarang. Opi sebentar lagi pulang dan…”
“Ijinkan aku menciummu sekali lagi.” Kata Pak Bejo sembari melihat ke selangkangan Alya dengan pandangan nafsu.
Alya mendekatkan tubuhnya ke Pak Bejo dan merenggangkan kakinya,
memberikan akses penuh pada pria tua itu untuk bisa mencium bibir
kemaluannya. Pak Bejo segera mengulum-ngulum bibir vagina Alya dengan
buas. Alya merem melek dan melenguh tak henti-henti. Kenikmatan
bercampur rasa bersalah menguasai istri Hendra itu.
Setelah beberapa saat menjilati, Pak Bejo bangkit.
Pak Bejo mulai berpakaian. Alya merasa aneh karena kini dirinya mulai
terbiasa dan tidak merasa malu lagi telanjang bulat dihadapan pria tua
ini.
“Aku akan kembali lagi. Mungkin besok, waktu yang sama. Saat membuka
pintu, aku harap Mbak Alya tidak mengenakan sehelai benang pun. Besok
aku akan memberikanmu kenikmatan yang terhebat dan aku akan mengambil
lubang keperawananmu yang tersisa.”
Alya mengangguk karena berharap pria tua brengsek ini segera
meninggalkan rumahnya. Setelah berpamitan dan meremas-remas dada Alya,
Pak Bejo pun pergi. Alya menutup pintu rumah sambil menangis
tersedu-sedu. Dia ambruk ke kasur dan bertanya-tanya dalam hati. Apa
yang dimaksud begundal tua itu dengan ‘lubang perawan yang tersisa?’.
Tapi karena Opi hampir pulang, Alya memaksakan diri untuk bangun. Dia
mandi dan menggosok seluruh tubuhnya yang kotor. Dia telah dijilati
oleh lidah seorang pria yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya akan
menggaulinya. Alya membersihkan tubuhnya dan mandi lebih lama dari
biasanya.
Saat itulah dia sadar.
“Aku memang bodoh.” Renung ibu rumahtangga yang jelita itu dalam
hati. Jangan-jangan yang dimaksud Pak Bejo adalah lubang anusnya? Pasti
akan sangat menyakitkan. Jari jemarinya yang lembut menelusuri bagian
belakang tubuhnya, mengitari pantatnya yang bulat. Dia meremas pantatnya
sendiri dan menangis sejadi-jadinya.
Pasti akan sangat menyakitkan.
###
Setelah mandi dan membersihkan diri, Pak Hasan kembali turun ke ruang
keluarga. Dia duduk di sofa dan menonton berita di televisi, berharap
bisa sejenak melepaskan hasrat birahinya yang liar kepada menantunya
sendiri. Tidak lama kemudian, Pak Hasan mendengar suara lembut dari atas
tangga.
“Pak, siapa tadi yang telepon?”
“Oh, itu si Andi dari bandara,” jawab Pak Hasan. “Katanya dia harus
langsung lembur dan berangkat ke luar kota malam ini juga. Baru pulang
hari Minggu sore. Untuk keperluan bisnis atau yang lain, Bapak kurang
paham.”
Pak Hasan mendengar gerutu kecil dari Lidya tentang kebiasaan Andi
yang jarang pulang dan lain sebagainya. Tak lama kemudian Lidya turun ke
ruang keluarga. Pak Hasan hanya bisa menatap takjub penampilan
menantunya yang indah itu. Lidya memakai baju putih tanpa lengan yang
membuat buah dadanya yang besar terlihat menonjol menantang dan celana
jeans yang hampir-hampir tidak sampai ke pinggulnya. Dari belakang, Pak
Hasan bisa mencuri pandang belahan pantat Lidya.
Pak Hasan mulai terangsang lagi saat membayangkan Lidya menggunakan
celdam yang tadi digunakan oleh Pak Hasan untuk coli. Rambut indah
panjang Lidya diikat kucir kuda dan membuat si cantik itu tampak lebih
muda. Pak Hasan menahan diri dan kembali menatap layar televisi.
Lidya mulai menyiapkan makan malam sementara Pak Hasan menyusulnya ke
dapur untuk melihat apakah dia bisa membantu Lidya. Sekitar dua puluh
menit memasak dan bercakap-cakap, makanan pun siap. Tak disadari oleh
Lidya kalau sedari tadi Pak Hasan memanjakan matanya dengan mengamati
setiap lekuk tubuh Lidya dari atas sampai bawah sementara Lidya memasak.
Pantatnya yang bulat dan montok itu makin terlihat sempurna karena
ketatnya celana jeans yang dikenakan. Saat mengambil bumbu di atas
lemari, celana dalam putih yang dipakai Lidya sedikit terangkat dan
terlihat oleh Pak Hasan. Lelaki tua itu puas melihat menantunya memakai
celdam yang sama yang dia gunakan untuk coli.
Pak Hasan langsung membayangkan nikmatnya menubruk tubuh Lidya,
membungkukkan tubuh si cantik itu ke depan, dan melesakkan kontolnya ke
dalam memek Lidya sementara tangannya meremas-remas susunya. Lamunan itu
sirna begitu Lidya berbalik dan menghidangkan makan malam.
###
Tangan Dina bergetar hebat saat dia melepaskan kancing bajunya.
Pandangan mata Pak Pramono tidak lepas dari payudara Dina yang masih
tertutup kemeja, menunggu dengan penuh harap untuk menyaksikan susu Dina
dalam kondisi tidak tertutup sehelai benang pun. Dina ingin berhenti,
tapi terus membuka kancing dan melepas bajunya. Bh dan isinya yang putih
mulus dan montok menjadi perhatian utama Pak Pramono. Dina meraih
kancing BH di belakang dan melepaskannya. Saat BH itu menggantung di
atas payudaranya, Dina mulai ragu-ragu dan berusaha menggunakannya
menutup buah dadanya. Dina melepaskan celananya sambil masih memegang
BH.
Pak Pramono jelas menikmati pertunjukan ala striptease ini. Sudah
jelas bagi pria tua itu bagaimana malunya perasaan Dina, yang tentu
malah menambah nikmat rangsangannya. Saat buah dada Dina keluar dari BH,
Pak Pramono bisa melihat pentil payudara Dina sudah membesar, tentu
karena udara dingin. Saat melepas celana panjang, Pak Pramono
memperhatikan celana dalam yang dipakai Dina. Celana dalam putih biasa
saja. Hal ini justru menambah minat Pak Pram. Lebih jelas lagi kalau
Dina adalah seorang ibu rumah tangga yang sederhana dan mungkin orang
yang pernah melihat Dina dalam kondisi setengah telanjang hanyalah Anton
dan dirinya sendiri.
Dina menggigil ketakutan. Wanita cantik itu berdiri setengah
telanjang di hadapan pria asing yang juga bos dari suaminya. Satu tangan
mengapit BH yang sudah hampir copot agar tetap menutupi payudara dan
tangan yang satu lagi menangkup selangkangannya. Dengan satu gerakan
dilemparkannya BH ke samping sehingga Pak Pramono bisa menyaksikan tubuh
bugil istri pegawainya.
Pak Pramono menatap si cantik Dina dan menikmati ketidaknyamanan
wanita itu. Tapi dia kemudian menjadi tidak sabar. Pak Pramono membuka
tasnya dan melambaikan amplop manila ke arah Dina. Istri Anton itu tahu
apa yang dimaksud Pak Pramono dan mengambil nafas sekaligus keberanian
ganda. Dina menarik celana dalamnya ke bawah secepat mungkin dan
langsung menutup selangkangannya kembali dengan tangannya. Dina kini
sudah berdiri tanpa sehelai benangpun di hadapan Pak Pramono, dan
berusaha keras menutupi payudara dan vaginanya.
“Letakkan tanganmu di samping,” kata Pak Pramono dingin.
Dina tahu inilah saatnya. Saat-saat penentuan. Apakah dia akan
menunjukkan tubuh telanjangnya pada laki-laki di hadapannya ini? Setelah
mempertimbangkan resiko tidak melakukannya, Dina menarik nafas panjang
dan menyerah. Berdiri tegap dan bergetar hebat, Dina akhirnya
mempersembahkan keindahan tubuh telanjangnya yang luar biasa mempesona
pada pria selain suaminya. Dina membenci pandangan asusila Pak Pramono
pada dirinya, dia membenci pandangan laki-laki tua yang sedang memuaskan
diri dengan menjelajahi sekujur tubuh Dina.
“Berbaliklah… perlahan,” kata Pak Pramono.
Dina menurut, dia berbalik memutar badan. Pantatnya yang mulus
terangkat merangsang di hadapan Pak Pramono. Dina terus memutar sampai
dia kembali berhadapan dengan Pak Pramono.
“Aku tadi bilang berbalik. Bukan memutar,” kata Pak Pramono galak.
Sekali lagi Dina memutar badan, tapi kali ini dia berhenti saat
pantatnya berada di depan Pak Pramono. Ruangan itu menjadi sunyi dan
bagi Dina semuanya menjadi lebih parah karena tidak bisa melihat ke arah
Pak Pramono. Dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan laki-laki tua
itu. Bagi ibu muda yang cantik dan sederhana itu, kesunyian ini seakan
berlangsung amat lama.
“Renggangkan kakimu,” suruh Pak Pramono. “Bagus. Sekarang membungkuklah dan lihat kemari melalui sela-sela kakimu.”
Dina menahan nafas saat dia melihat ke arah Pak Pramono di antara
sela-sela kakinya. Celana panjang sekaligus celana dalam Pak Pramono
sudah copot dan penisnya yang mengeras bagaikan menantang langit. Tidak
hanya keras, sepertinya kontol Pak Pramono juga lebih besar – lebih
besar dan panjang – daripada milik Anton. Dina juga sadar kalau memeknya
bisa dilihat jelas oleh Pak Pramono. Angin semilir membelai bibir
vaginanya yang terbuka menantang. Sebelum ini belum ada satu orangpun
yang pernah menyaksikan liang kemaluannya seperti ini, bahkan suaminya
sendiripun belum pernah.
Saat Pak Pramono memintanya mendekat, Dina berdiri tegak dan menarik
nafas lega. Tapi ketika dia berdiri di samping bos Anton itu dengan
bertelanjang bulat, wajah cantik Dina langsung memerah karena malu. Dina
melompat mundur ketika jari jemari Pak Pramono mengelus bagian dalam
paha mulusnya.
“Kembali ke sini dan buka kakimu lebar-lebar!”
Dina berjalan gontai ke arah kursi tempat Pak Pramono duduk dan
memejamkan mata saat jari jemari Pak Pramono masuk ke vaginanya. Kali
ini walaupun tubuhnya menggigil, Dina tidak beranjak seinci pun.
“Memekmu kering. Aku pengen memekmu basah, masturbasi dulu!”
Dina tidak tahu seberapa jauh lagi dia bisa menahan malu. Bos
suaminya tengah memasukkan sebuah jari ke dalam memeknya dan menyuruhnya
bermasturbasi. Dina pertama kali bermasturbasi saat dia masih remaja.
Dina tahu perbuatan ini tidak baik untuk pertumbuhan mental sehingga dia
berhenti melakukannya. Tapi kini seorang pria asing memerintahkannya
bermasturbasi langsung dihadapannya.
Dina mencari lubang kemaluannya dengan jari tengah dan menggosoknya
dengan gerakan pelan. Wanita cantik yang dipermalukan itu kemudian
merasakan desakan jari jemari Pak Pramono di dalam memeknya pada saat
dia bermasturbasi. Dina tidak tahu mana yang lebih memalukan – saat mata
Pak Pramono menatap jari tengahnya atau wajahnya. Kini jari jemari Pak
Pramono makin bebas keluar masuk liang vagina Dina karena cairan pelumas
dinding vaginanya mulai mengalir.
Pak Pramono mencabut jari jemarinya dan berkata. “Duduk di pangkuanku.”
Dina lega saat Pak Pramono menarik jemarinya sehingga Dina bisa
berhenti bermasturbasi. Dina mencoba duduk di pangkuan Pak Pramono
dengan sesopan mungkin, dia berusaha menutup kedua kakinya dengan rapat.
Tapi Pak Pramono menggeleng dan kaki Dina segera dibuka lebar-lebar.
Wanita cantik itu mencoba berdiri ketika melihat penis Pak Pramono
berdiri tegak menantang.
Pak Pramono tersenyum saat melihat Dina memalingkan wajah dan berkata, “Masukkan ini ke dalam memekmu.”
“Kumohon, Pak Pramono! Aku tidak bisa melakukan ini! Aku sudah
menikah! Ini- ini akan menjadi skandal! Ini zinah!”, Dina merengek.
“Masukkan ini ke dalam memekmu, atau…”
Dina tahu dia tidak punya pilihan lain. Duduk di pangkuan Pak
Pramono, Dina mencoba melesakkan penis laki-laki mesum itu ke dalam
memeknya tanpa menyentuh batang kemaluan bos Anton itu. Tapi usaha Dina
gagal. Ibu rumahtangga yang cantik itu mendesah kecewa dan dengan
tertunduk malu meraih batang zakar Pak Pramono dan menaikkannya ke atas.
Dina memposisikan vaginanya di atas kontol yang sudah menghadap ke atas
lalu perlahan melesakkannya sambil duduk di pangkuan Pak Pramono. Dina
bisa merasakan kontol yang besar dan gemuk itu meraja di liang rahimnya.
Dina dan Pak Pramono saling bertatapan saat kontol Pak Pramono melesak
seluruhnya ke dalam memek Dina.
Tangan Pak Pramono meraih buah dada Dina. Dielus dan diremasnya buah
dada putih mulus, molek dan montok itu. Jemarinya menjepit pentil susu
Dina dan memutar-mutarnya dengan kasar. Dina merasa sangat malu saat
pentil itu mulai membesar. Dina berusaha keras menahan dirinya agar
tidak terangsang dengan remasan dan perlakuan Pak Pramono pada buah
dadanya, tapi gagal. Payudara Dina menegang dan pentilnya membesar.
Tangan Pak Pramono melepaskan buah dada Dina, tapi kini giliran
mulutnya yang nyosor ke susu putih mulus si Dina. Saat Pak Pramono
mengelamuti satu pentilnya, Dina bisa merasakan jari jemari Pak Pramono
menangkup bulat pantat Dina. Diangkat, lalu diturunkan, lalu diangkat
lagi, berulang-ulang. Pak Pramono bergeser ke pentilnya yang lain, lalu
menikmatinya untuk beberapa saat.
Setelah bosan, Pak Pramono menyandarkan kepala ke belakang dengan
menggunakan lengan sebagai bantalannya. Dengan posisi relaks, Pak
Pramono tersenyum sinis.
“Sekarang, genjot kontolku!”, perintah Pak Pramono.
Mulut Dina menganga tak percaya, dia telah dilecehkan, dihina dan
diperdaya. Tapi wanita jelita itu melakukan apa yang diminta oleh Pak
Pram. Karena membutuhkan sandaran, Dina meraih pundak Pak Pram dan
perlahan mengangkat tubuhnya. Saat seluruh penis Pak Pram hampir keluar
dari memeknya, Dina menghentakkan tubuh ke bawah dan kembali ke pangkuan
Pak Pram. Lalu Dina naik lagi, lalu turun, lalu naik, turun, naik
turun, naik turun berulang-ulang.
Dina mengentoti Pak Pramono, bosnya Anton. Dinalah yang bergerak naik
turun, meskipun Pak Pram sekali-kali menggoyang pinggulnya untuk
menumbuk gerakan turun tubuh Dina, tapi ibu muda itulah yang bekerja
keras. Dinalah yang saat ini sedang menyetubuhi Pak Pram! Meskipun hal
itu saja sudah memalukan, tapi Dina kian tak punya muka saat merasakan
kehangatan yang nikmat merajai liang vaginanya. Penis Pak Pram yang jauh
lebih besar dari penis suaminya menjejal liangnya yang sempit dan
memenuhinya dengan nikmat. Gerakan naik turunnya menjadi lebih cepat.
Pak Pramono mulai melihat perubahan pada wajah Dina. Pada awalnya,
Dina bersetubuh dengan perasaan malu dan sakit hati, tapi kemudian
perasaan itu berubah menjadi birahi. Pak Pram tahu Dina mulai menikmati
dientoti oleh pria tua itu. Bukan maksud hati Dina untuk bersetubuh
dengan Pak Pramono, tapi tubuh Dina mengkhianatinya karena lama kelamaan
ibu muda yang cantik itu mulai merasa kenikmatan yang tiada tara
walaupun awalnya dia dipaksa untuk melayani bandot tua ini.
Pak Pramono mulai menelusuri tubuh istri Anton dengan satu tangan dan
akhirnya mencapai ujung kelentit kemaluan Dina. Saat Pak Pramono
menggosok klitoris Dina, mata istri Anton itu terbelalak dan menatap Pak
Pram tak percaya. Tapi Dina tetap meneruskan gerakannya, naik turun dan
membiarkan kontol Pak Pram menusuk tiap jengkal ruas liang kemaluannya.
Pak Pram tidak berhenti menggosok klitoris Dina. Tak lama kemudian, Pak
Pramono merasakan kuku jari Dina menancap makin dalam di pundaknya.
Gerakan Dina makin lama makin cepat hingga Pak Prampun tidak sanggup
lagi merangsang klitoris Dina. Dina melepaskan lenguhan keras dan
tubuhnya bergetar hebat sebelum akhirnya berhenti. Dia sudah mencapai
klimaks.
Pak Pramono menunggu Dina sampai si cantik itu membuka matanya. Wajah
Dina yang dilanda kepuasan memerah karena malu. Pak Pramono
menganggukkan kepalanya sebagai tanda agar Dina meneruskan pekerjaannya.
Maka wanita cantik itu kembali menggunakan memeknya untuk memeras penis
Pak Pramono. Dina kembali menyetubuhi pria tua yang telah membuatnya
orgasme. Tadi Pak Pramono memang ingin memuaskan Dina agar ibu muda yang
cantik itu malu, tapi kini Pak Pramono hanya menginginkan kepuasannya
saja. Pak Pramono menarik bokong Dina dan membimbing tubuhnya naik turun
batang kemaluannya dengan lebih cepat. Dia mendorong tubuh Dina turun
ke pangkuannya dengan kasar sementara pinggulnya bergerak sembari
menggoyang si manis itu. Makin lama makin cepat. Pak Pramono makin
tersengal-sengal karena keenakan.
Tak lama kemudian Pak Pramono orgasme. Dina duduk di pangkuan Pak
Pramono saat pejuh pria tua itu membanjiri liang senggamanya. Dina
merasa malu, dia merasa dirinya sangat rapuh karena menyerah pada Pak
Pramono. Dina merasa diperkosa, tapi lebih malu lagi, karena Dina merasa
dirinyapun telah mencapai titik klimaks yang belum pernah dirasakannya
selama ini. Walaupun awalnya terpaksa, Dina kini juga merasa bersalah
pada Anton. Dia merasa dirinya telah ternoda dan bersalah karena
mencapai orgasme.
Dina duduk terdiam penuh rasa malu pada diri sendiri saat Pak Pramono
mulai kembali sadar dari kenikmatan orgasmenya. Perempuan molek itu itu
bisa merasakan penis Pak Pramono mulai mengecil dan keluar perlahan
dari memeknya sementara dia duduk di paha sang pria tua. Dengan posisi
kaki terbentang, Dina bisa merasakan pula cairan mani Pak Pramono
meleleh keluar dari lubang memeknya. Dina tidak bergerak sama sekali
karena takut pada pria tua yang bengis itu. Pak Pramono membuka matanya
dan tersenyum puas. Dia mendorong tubuh Dina ke samping.
Mengambil nafas dalam-dalam, Pak Pramono berkata. “Aku berterimakasih
atas kerja samanya. Selama kamu terus menerus memberikan kepuasan
padaku, maka aku jamin Pak Anton tidak akan pernah disentuh oleh pihak
yang berwajib. Heh heh heh. Besok, datanglah ke Hotel Elok di Jalan
Surabaya jam dua siang dan masuk ke kamar 224. Aku akan menunggu Mbak
Dina untuk kesepakatan kita selanjutnya.”
Dina hanya memandang diam ke arah Pak Pramono saat pimpinan Anton itu
mengenakan baju kerjanya dan bangkit. Dina duduk di ranjang tanpa
berkeinginan untuk menutupi ketelanjangannya. Untuk apa? Dia baru saja
bersenggama dengan pria tua ini dan Pak Pramono sudah melepaskan pejuh
di dalam rahimnya. Apa akan ada perbedaan berarti kalau sekarang Pak
Pram melihatnya bugil?
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Pak Pramono meletakkan amplop dan
celana dalam milik Dina ke dalam tas kerja lalu berjalan pergi
meninggalkan rumah Anton dan Dina.
###
Lidya sudah hampir terlelap ketika dirasakannya angin semilir masuk
melalui selimutnya yang tebal. Baru disadarinya ternyata selimut itu
diangkat oleh seseorang. Lidya yang masih terpejam tersenyum gembira,
ternyata Andi tidak jadi berangkat ke luar kota.
Saat membalikkan badan, barulah disadari bahwa bukan Andi melainkan
Pak Hasan yang berada di samping tubuhnya! Karena sangat mengantuk,
Lidya lambat bereaksi, dan dengan cekatan Pak Hasan langsung memeluk
tubuh menantunya.
Gesekan tubuh telanjang mereka menyadarkan Lidya akan gawatnya
situasi yang sedang dihadapi. Lidya pun segera mendorong tubuh Pak Hasan
dan berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Pak Hasan hanya tersenyum
sinis dan menelikung tangan Lidya hingga dia tidak bisa berkutik. Tubuh
keriput Pak Hasan menindih tubuh mulus Lidya sehingga istri Andi itu
terengah-engah. Semakin Lidya memberontak dan mencoba melepaskan diri
sergapannya, semakin Pak Hasan terangsang.
“Bapak! Lepaskan aku! Apa yang bapak lakukan di sini?” tanya Lidya.
###
Malam itu, rasa bersalah yang amat besar membuat Alya tidak bisa
tidur. Dia tidak pernah bisa memaafkan dirinya karena memiliki nafsu
birahi liar yang tersembunyi di balik kesetiaannya. Dia tidak pernah
memaafkan dirinya sendiri yang menjadi hamba nafsu dan terlena oleh
perkosaan yang dilakukan Pak Bejo. Awalnya dia mengira itu semua terjadi
karena rasa takut, tapi perasaan nikmat itu tidak bisa ia bohongi.
Seluruh kejadian bersama Pak Bejo terulang bagaikan film di benak Alya.
Apakah dia seorang korban yang pasrah? Saat itu dia teringat kalimat
yang pernah diucapkan oleh Bu Bejo. “Mbak Alya belum mengerti apa-apa.”.
Saat ini Alya baru sadar kenapa Bu Bejo bertahan walaupun didera semua
penyiksaan fisik yang dilakukan oleh Pak Bejo. Pak Bejo memberikan
kenikmatan seksual yang tidak ada bandingannya. Itu sebabnya Bu Bejo
pasrah oleh perlakuan kasar sang suami. “Bahkan terhadapku pun dia
kasar.” Pikir Alya. Dan seperti Bu Bejo pula, Alya harus melalui siksaan
fisik luar biasa sebelum akhirnya menikmati puncak nafsu liarnya yang
terpendam.
Dinginnya malam tak tertahankan. Alya melangkah keluar dari kamar dan
duduk termenung sendirian di ruang depan. Berusaha menenangkan
pikirannya yang kalut.
Bagaimana mungkin Alya mengkhianati Hendra demi nafsu birahi sesaat?
Ibu rumah tangga yang cantik itu tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa
Hendra. Mereka saling mencintai satu sama lain. Hendra sangat mencintai
Alya. Tapi apa yang bisa diharapkan Hendra dari istrinya? Alya telah
ditiduri oleh tetangga mereka yang bejat dan berhati busuk. Dia pasti
akan sangat shock jika tahu apa yang telah terjadi. Alya berusaha keras
agar tidak menangis. Dia tidak akan mengijinkan Pak Bejo melakukan
apapun pada tubuhnya lagi. Alya adalah milik Hendra. Istri sah Hendra.
Alya tidak mau dirinya berakhir sebagai istri simpanan atau bahkan budak
seks laki-laki busuk seperti Pak Bejo.
“Maafkan aku, Mas Hendra. Aku berharap Mas mau memaafkan aku. Aku
berjanji tidak akan mengkhianati kepercayaan Mas Hendra lagi.” Gumam
Alya pada dirinya sendiri. Dia berharap bisa menyelesaikan urusan dengan
Pak Bejo besok. Dia akan menutup pintu rumahnya kuat-kuat supaya lelaki
busuk itu tidak akan bisa masuk dan menodainya lagi. Dia ingin Pak Bejo
tahu apa yang mereka lakukan kemarin tidak ada artinya bagi Alya. Istri
Hendra itu merasakan beban yang ia pikul perlahan-lahan terangkat.
###
“Itu pertanyaan bodoh, menantuku sayang,” Kata Pak Hasan. “Kurasa kau
tahu pasti apa yang sedang aku lakukan. Birahiku sedang tinggi dan aku
bosan onani. Aku pengen memek yang enak, jadi aku masuk ke sini.”
“Gila!! Aku ini menantumu!!” protes Lidya. “Ini tidak mungkin! Bapak tidak bisa…”
“Memangnya siapa yang akan menghentikan aku?” tanya Pak Hasan. “Tidak
ada orang lain di sini. Kamu boleh berteriak kalau mau tapi aku yakin
tidak akan ada orang yang akan masuk dan menjebol tembok untuk
menyelamatkanmu. Dan kau lihat sendiri, aku juga jauh lebih kuat
daripada kamu.”
“Jika bapak memperkosaku, aku akan lapor pada polisi!” ancam Lidya.
“Bisa saja kau lakukan itu. Tapi menurutmu, bagaimana perasaan Andi?”
“Apa maksud bapak?”
“Seandainya kamu berani pergi ke polisi dan mengaku diperkosa oleh
ayah mertuamu sendiri, Andi akan hancur perasaannya. Istrinya yang
cantik dan mempesona diperkosa oleh ayahnya sendiri. Apalagi aku akan
mengarang sebuah cerita kepadanya kalau istrinya, Lidya yang jelita
merayu ayah mertuanya. Bahkan jika dia mencoba untuk tidak mempercayai
ceritaku, dia tidak akan pernah percaya lagi padamu. Aku, tentu saja
akan menceritakan bagaimana enaknya menyetubuhimu dan membuatmu orgasme.
Semua detail akan aku ceritakan. Semua kenikmatan yang tidak pernah ia
bisa berikan kepadamu. Oh ya, sayang. Jika kau cerita pada Andi atau
polisi tentang perkosaan ini, kau akan menghancurkan hidupnya.”
Lidya terdiam dan tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya menganga lebar karena tiap perkataan Pak Hasan ada benarnya.
“Bapak tidak peduli pada Andi? Apa yang akan dirasakannya?” tanya
Lidya dengan lirih. “Bapak benar-benar ingin menyakiti putra bapak
sendiri?”
“Bukan aku yang akan menyakitinya. Kamu yang akan menyakiti
perasaannya. Aku sih cuma pengen ngentotin kamu. Kalau kamu tidak cerita
apa-apa sama dia, semua beres. Semua senang.”
“Kecuali aku.”
“Oh, kalau sampai kamu tidak puas bercinta denganku, namaku bukan
Hasan.” Kata lelaki tua itu dengan bangga. Dengan berani dia mencium
bibir Lidya.
Ciuman yang disosorkan oleh Pak Hasan bukanlah ciuman mesra seperti
yang biasa diberikan oleh Andi pada Lidya. Ciuman Pak Hasan sangat kasar
dan penuh nafsu, dengan buas Pak Hasan memaksa lidahnya masuk ke mulut
Lidya, lalu mengeluarmasukkan lidahnya dengan cepat. Gerakan lidah Pak
Hasan seirama dengan gerakan pinggulnya yang mendorong ke depan. Sekali
lagi Lidya berusaha mendorong tubuh Pak Hasan. Kali ini usahanya hampir
berhasil. Pak Hasan yang tidak siap terdorong mundur. Namun saat Lidya
berusaha lari dari ranjang, Pak Hasan menarik kaki sang menantu dan
merentangkannya lebar-lebar. Pria tua yang sudah kehilangan akhlak itu
menarik lutut Lidya dan menjepitkan pinggangnya di antara dua paha
Lidya.
Si cantik itu bisa merasakan jembut kasar Pak Hasan menyentuh bibir
kemaluannya. Memek Lidya yang lama kelamaan basah bisa dirasakan oleh
kulit Pak Hasan yang langsung menyentuh selangkangan Lidya. Istri Andi
itu berusaha mendorong mundur mertuanya. Tak henti-hentinya Lidya
memukul dan menampar Pak Hasan, tapi apa daya seorang wanita lemah? Pak
Hasan tidak mempedulikan perlakuan Lidya dan meremas payudara sang
menantu. Pria tua itu tidak lagi berlaku lembut pada buah dada Lidya.
Dengan kasar diremas-remas dan dipelintirnya pentil susu Lidya. Lidya
merasa malu saat kemudian puting susunya malah makin mengeras. Pak Hasan
tidak melewatkan hal ini dan memelintir pentil Lidya dengan jari-jari
tangannya. Lidya tidak berkutik, sambil merem melek dia melenguh keras.
Pak Hasan mencium pentil Lidya dan menjilatinya dengan penuh nafsu.
Hangatnya mulut Pak Hasan terasa begitu nikmat sehingga Lidya lupa
melawan. Dengan sadis Pak Hasan memangsa buah dada Lidya dengan
lidahnya, sesuatu yang sudah dia idam-idamkan sejak lama. Pak Hasan
menjilati pentil Lidya lalu menciumi buah dadanya. Kenikmatan yang
dirasakan oleh Lidya begitu tinggi sehingga istri Andi itu melenguh
keras dan menjambak rambut Pak Hasan. Dengan wajah senang dan puas, Pak
Hasan tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.
“Susumu bagus sekali, nduk,” kata Pak Hasan. “Aku selalu
memperhatikan buah dadamu dan bertanya-tanya bagaimana rasanya kalau
dijilati. Tidak begitu besar dan tidak terlalu kecil. Cukupan. Sempurna.
Pentilnya juga mempesona, lumayan besar.”
Lidya yang tersinggung oleh ejekan itu mulai melawan Pak Hasan lagi,
kali ini si cantik itu bahkan berteriak-teriak meminta tolong. Sia-sia
saja, tidak ada yang mendengar teriakan Lidya. Pak Hasan tertawa-tawa
dan terus meremas payudara Lidya. Dijilati dan digigitinya susu putih
Lidya, pria tua yang sangat nafsu itu berusaha menelan seluruh buah dada
Lidya ke dalam mulutnya. Dia bahkan meremas payudara Lidya dan berusaha
menelan keduanya bersama-sama. Walaupun tindakannya kasar, tapi Lidya
mulai merasakan sensasi kenikmatan yang aneh dan kesulitan menolak Pak
Hasan.
Pak Hasan mengagetkan Lidya saat mertuanya itu berbalik dan berlutut
di atas tubuhnya. Kepala Pak Hasan menghilang di antara paha Lidya dan
kontol Pak Hasan bergelantung di atas wajah cantiknya. Penis Pak Hasan
sangat berbeda dengan milik Andi. Milik Pak Hasan jauh lebih pendek dan
tebal, warnanya juga lebih hitam kemerahan. Lidya bergidik saat
membayangkan kontol Pak Hasan memasuki tubuhnya. Rasa ngeri dan
ketakutan membuat Lidya mengeluarkan cairan pelumas yang membanjir di
selangkangannya. Lidya menggigit bibirnya saat tiba-tiba saja mulut Pak
Hasan menjelajahi selangkangannya yang basah. Pak Hasan mulai mencium,
menjilat dan menghisap memek sang menantu. Tangan Pak Hasan
merenggangkan kaki jenjang Lidya supaya mendapatkan akses bebas ke
vaginanya. Direntangkannya lebar-lebar sehingga Lidya tidak bisa menolak
perlakuan ini.
Pak Hasan dengan mahir menggunakan lidahnya menjilati klitoris Lidya,
lalu pada bibir vagina dan akhirnya lidah Pak Hasan menjelajah ke dalam
liang cinta Lidya. Ia menjilat dengan gerakan memutar dan menusuk,
membuat Lidya menggelinjang keenakan. Pak Hasan bahkan menggunakan
giginya untuk menggigit-gigit kecil klitoris Lidya. Istri Andi itu masih
terus berteriak dan melawan, bergerak mengelilingi tempat tidur dengan
sekuat tenaga. Tapi Lidya sudah tidak tahu lagi, apakah teriakannya itu
teriakan takut atau teriakan penuh nikmat. Tiba-tiba saja Lidya
mengalami orgasme. Kenikmatan menguasai tubuh indahnya, Lidya bergetar
hebat saat mencapai puncak. Sebuah kenikmatan yang sebelumnya tidak
pernah ia rasakan. Tubuh Lidya tergolek lemas. Tapi bahkan saat orgasme
itu sudah menghilang, Pak Hasan belum selesai menikmati tubuh molek
Lidya.
Pak Hasan membalikkan badan dan sambil menarik pinggul Lidya,
dilesakkannya kontolnya yang besar ke dalam nonok sang menantu. Lidya
merem melek karena tidak bisa menahan kenikmatan yang diberikan oleh
mertuanya. Seluruh memeknya seakan terulur sampai batas dan terisi penuh
oleh kontolnya. Lidya bisa merasakan denyutan demi denyutan kontol sang
mertua di dalam liang cintanya. Vaginanya terus memeras penis sang
mertua yang keluar masuk dengan cepat. Tiap kali digerakkan, seakan
tusukan Pak Hasan makin ke dalam, membuat Lidya mendesah-desah karena
tak tahan. Desahan si cantik itu membuat Pak Hasan makin cepat memompa
vagina Lidya.
Akhirnya Lidya mencapai puncaknya lagi, tubuhnya yang sempurna
melejit karena mengeluarkan cairan cinta. Lidya bisa merasakan air mani
Pak Hasan juga tumpah di dalam rahimnya.
Pak Hasan jatuh menimpa Lidya, tubuh mereka menggigil dan bermandikan
keringat. Akhirnya dia berdiri dan keluar dengan santai dari kamar
Lidya, meninggalkan istri Andi itu terlentang telanjang di kasur.
Saat Pak Hasan akhirnya tertidur, Lidya memutuskan untuk mandi
keramas dan mengganti seprei yang baru saja dipakainya untuk melayani
nafsu ayah mertuanya. Dia mencoba melupakan apa yang terjadi tapi
getaran yang terasa di tubuhnya tak kunjung menghilang. Lidya tahu dia
tidak mungkin mengatakan sejujurnya apa yang terjadi pada Andi ataupun
pada pihak yang berwajib. Lidya tak punya bukti apapun dan dia takut
kalau Andi bertanya padanya apakah Lidya menikmati bersetubuh dengan
ayah mertuanya. Andi selalu tahu saat Lidya berbohong jadi dia pasti
tahu kalau Lidya mendapatkan sensasi kenikmatan lain saat bersetubuh
dengan Pak Hasan. Lidya tidak akan menceritakan apapun pada suaminya.
Saat membersihkan kamar keesokan paginya, Lidya menemukan sepucuk kertas di atas meja riasnya. Surat dari Pak Hasan.
“Aku berharap bisa tidur denganmu lagi, Lidya sayang. Kalau aku sudah
tidak kecapekan tentunya. Membayangkannya saja sudah membuatku nafsu.
Aku berjanji akan lebih perkasa.”
Walaupun Lidya berharap Pak Hasan hanya mengancam, tapi dia tahu
mertuanya itu bersungguh-sungguh. Istri Andi itu gemetar ketakutan. Dia
membayangkan ayah mertuanya akan menyetubuhinya lagi setiap ada
kesempatan dan tidak ada satupun yang bisa dilakukan si cantik itu untuk
menghentikannya.
###
Dina memasukkan kunci dan membuka pintu kamar hotel nomor 224. Sesuai
dengan petunjuk yang ia peroleh dari Pak Pramono. Lampu kamar langsung
menyala saat ia masuk. Dina lalu menaruh jaket dan tas jinjing yang ia
bawa di dalam lemari pakaian. Memperhatikan ruangan kamar hotel, Dina
tahu dia datang lebih awal daripada Pak Pramono. Dina melangkah ke arah
jendela dan memperhatikan mobil-mobil yang berlalu-lalang di jalan
dengan perasaan yang campur aduk.
“Kupikir kamu tidak jadi datang.”
Dina kaget dan hampir melompat saat suara berat di belakangnya
terdengar. Dina tidak perlu membalikkan badan untuk tahu siapa yang
datang.
“Aku tidak punya banyak pilihan kan, Pak Pramono?”
“Siapa bilang? Jalan hidup kita selalu tergantung pada pilihan.” Kata
pria yang sangat percaya diri itu sambil memasukkan tas dan jaket ke
dalam lemari. Dia meredupkan cahaya lampu supaya lebih temaram dan
romantis.
Dina melirik ke arah jari jemarinya. Cincin emas putih yang melingkar
di jari manis sebagai lambang pernikahannya dengan Anton membuatnya
bergetar ketakutan. Demi cinta dan kesetiaan. Dina membalikkan badan.
Tangannya memeluk pinggang seakan hendak menghangatkan badan yang
kedinginan.
“Tidak ada yang memaksa Mbak Dina datang kemari. Ingat itu
baik-baik.” Kata Pak Pramono sambil mendekati istri Anton. Sekitar satu
meter jarak mereka, Pak Pram berhenti. Dina berusaha menantang pandangan
tajam Pak Pramono, namun dia tidak sanggup. Pandangan mata Dina turun
ke lantai.
“Apa yang Bapak inginkan?”
“Mbak Dina tahu apa yang aku inginkan.”
“Aku membencimu! Orang tua berhati busuk!” Desis Dina sengit.
“Bencilah aku sesukamu, sayang. Aku malah lebih suka kamu benci
daripada kamu cintai.”, Dengan jarinya yang hitam Pak Pramono mengelus
pipi dan rahang Dina yang halus mulus. “Sangat sempurna. Cantik sekali.”
Dina menarik wajahnya dan mundur ke belakang. Tapi Pak Pramono segera
menahan Dina dengan menarik kembali bagian belakang leher Dina,
mendekatkan tubuh moleknya ke depan.
“Aku sudah menginginkanmu sejak pertama kali kita bertemu, Mbak Dina.
Begitu tenang, sopan, penuh percaya diri. Tapi aku bisa melihat watak
aslimu.”
“Watak asli? Apa yang anda maksud?”
“Aku tahu sejak pertama kita bertemu, kamu ingin tidur denganku. Kamu
ingin aku menusukkan batang penisku dalam-dalam di liang cintamu yang
sempit itu. Kamu ingin menelan kontolku yang besar dan panjang lalu
menelan semua pejuhku. Iya kan, sayang?”
“Dasar gila.” Kata Dina sambil mencoba menjauh.
“Gila?” Pak Pram membiarkan Dina menjauh hingga jarak mereka ada sekitar dua meter.
“Mungkin aku gila. Tapi saat ini, aku yang pegang kendali. Saat ini,
tubuhmu yang indah itu adalah milikku!” Kata Pak Pramono sambil
tersenyum penuh kemenangan.
“Pak Pramono, saya mohon. Pertimbangkanlah perasaan Mas Anton!”
“Anton? Apa menurutmu dia memikirkanku saat dia mencuri uang perusahaan?”
“Anton? Apa menurutmu dia memikirkanku saat dia mencuri uang perusahaan?”
Dina terdiam tak berdaya.
“Memang tidak. Jadi beritahu aku, Mbak Dina tersayang, apa menurutmu aku harus menghentikan tindakanku ini?”
“Seharusnya.”
“Bah! Tidak akan! Dia sudah mencuri dariku, jadi aku akan mengambil miliknya yang paling berharga! Istrinya yang cantik jelita!”
“Apa anda akan membuka rahasia ini pada Mas Anton?” tanya Dina.
“Tergantung. Menurutmu apa yang akan terjadi jika dia mengetahui istrinya sudah melayani bosnya bermain cinta?”
“Dia pasti minta cerai.”
“Apa Mbak Dina mencintai Pak Anton?”
“Sangat. Mohon pertimbang…”
“Aku kan sudah bilang. Mbak Dina harus menuruti semua perintahku
kalau ingin semua ini berakhir dengan baik bagi semua pihak. Anton tidak
akan dipecat dan tidak akan masuk penjara. Aku dapat hiburan gratis
dari seorang wanita yang cantik jelita dan molek, sedangkan Mbak Dina
sendiri siapa tahu akan mendapatkan seorang keturunan yang berasal dari
spermaku.”
Dina menundukkan kepala. Airmatanya mengalir.
“Semudah itu. Aku menginginkan tubuh Mbak Dina. Tiap kali aku butuh,
aku telpon atau sms, Mbak Dina melakukan apa yang aku minta, dan Anton
tidak perlu tahu apa yang kita lakukan.”
“Aku menjadi budak seks Pak Pramono?”
“Aku ingin kau melayaniku, sayang. Aku ingin kau menerima apa saja
yang ingin aku lakukan pada tubuhmu yang lezat itu selama aku belum
bosan. Setelah merasa bosan, aku akan melepaskanmu dan Anton.”
“Aku tidak bisa melakukannya.”
“Tentu saja bisa.”
“Aku belum pernah mengkhianati suamiku.”
Pak Pramono tersenyum sinis dan mengingatkan Dina. “Belum pernah?
Lalu apa yang kita lakukan kemarin? Wah-wah, anda benar-benar seorang
istri yang sempurna. Cantik, setia dan baik hati pula.”
Air mata semakin menggenang di pipi Dina.
“Kemarilah, sayang.”
Perlahan Dina bergerak mendekati Pak Pramono. Airmata mulai deras
menuruni pipi ibu muda yang cantik itu. Dengan mata berkaca-kaca Dina
menatap Pak Pramono.
“Cium aku.”
Dina membungkuk dan mencium bibir Pak Pramono.
“Dingin sekali. Kamu bisa lebih baik dari itu.” Kata Pak Pram saat Dina mundur.
Sambil meletakkan tangan di pundak Pak Pram, Dina membungkuk sekali
lagi dan menangkup bibir hitam Pak Pram dengan bibirnya yang merah
mungil. Dina bisa merasakan bibir Pak Pramono membuka dan lidahnya
menjelajah ke dalam mulut Dina. Tangan Pak Pram memeluk pinggang
langsingnya dan menarik tubuh Dina agar lebih mendekat. Lidah mereka
beradu dan Dina memejamkan mata.
Beberapa saat kemudian ciuman itu berakhir. Dina merasa mulutnya sudah sangat kotor.
“Boleh juga.” Kata Pak Pramono sambil duduk di ranjang. “Sekarang buka bajumu. Aku ingin melihatmu bugil.”
Dina memang sudah pernah telanjang di hadapan pria ini, satu-satunya
lelaki yang pernah menidurinya selain suaminya sendiri. Tidak ada jalan
keluar kecuali menuruti semua permintaannya. Tangan Dina segera membuka
kancing bajunya. Satu persatu pakaian Dina melorot ke lantai. Baju, rok,
sepatu dan rok dalam sudah dilepas oleh Dina. Kini di hadapan Pak
Pramono berdiri seorang ibu rumahtangga yang amat molek yang hanya
mengenakan celana dalam dan BH.
“Tubuhmu memang benar-benar seksi.” Kata Pak Pramono, matanya nanar
ingin segera melahap tubuh Dina. “Aku sudah sering meniduri banyak
wanita, tapi tubuhmu adalah yang paling indah yang pernah aku entoti.”
Dina mencoba menutupi ketelanjangannya karena risih.
“Bukankah aku sudah bilang aku ingin melihatmu bugil?”
Dina mendesah pasrah dan mulai melepas BHnya. Perlahan-lahan Dina
meloloskan BH melalui kedua lengannya dan melemparkannya ke dekat
pakaian di lantai. Dina membungkuk dan melepas celana dalamnya.
“Lemparkan celdamnya.” Kata Pak Pramono.
Dina melempar celdamnya ke tangan Pak Pramono. Pria tua itu segera
mencium dan menghirup bau memek Dina yang masih tertinggal di celana
dalamnya.
“Hmmmmm… harumnya.” Kata Pak Pramono sambil memasukkan celdam Dina ke kantong celananya sendiri.
“Pak Pramono……”
Tanpa banyak bicara Pak Pram kembali menganggukkan kepala ke arah Dina. Dia masih duduk di pinggir ranjang.
“Berlutut di depanku, Mbak Dina.”
Dina berjalan perlahan ke arah Pak Pramono dan duduk berlutut di
hadapannya. Dina tidak pernah menikmati oral seks. Anton sering
menyuruhnya tapi Dina selalu menolak dengan berbagai alasan. Dina tidak
pernah mau menelan sperma suaminya.
“Keluarkan burungku dari sarang, Mbak Dina. Aku kok ingin lihat kontolku diciumi oleh bibir semerah bibir anda.”
Dina membuka celana Pak Pram dan menarik semua ke bawah berikut
celana dalamnya. Kontol Pak Pram langsung terbebas dan berdiri tegak di
depan wajah Dina. Walaupun sudah pernah melihatnya, Dina selalu terkejut
melihat kontol Pak Pram. Penis ini memang Pak pram begitu panjang,
besar dan bertonjolan urat halus.
“Pak Pram……”
“Anda sudah pernah melakukan oral seks, kan?”
“Sudah. Hanya untuk Mas Anton. Tapi aku tidak suka melakukannya.”
“Sayang. Sesudah melakukannya denganku, Mbak Dina tidak akan ragu lagi untuk melakukan oral seks.”
Dina terus memperhatikan penis Pak Pram. Dia hanya pernah memasukkan
satu penis ke dalam mulutnya dan itu adalah milik suaminya sendiri. Tapi
hari ini, sambil berlutut di hadapan penis Pak Pramono, istri yang
tadinya setia itu harus melayani nafsu hewani sang pria tua. Dina
mengeluarkan lidah dan menjilat ujung gundul kontol Pak Pram, merasakan
lendir yang keluar dari rekahan dengan lidahnya. Perlahan-lahan,
ditelannya seluruh kontol Pak Pram.
“Ah, enaknya……” desis Pak Pram. Tangannya meraih rambut Dina dan
menguntainya lembut. Dia mendorong penisnya lebih jauh ke dalam mulut
Dina.
Dina menutup mata dan mencoba menahan diri agar tidak tersedak oleh
desakan kontol Pak Pram yang terus didorong masuk ke tenggorokan. Dina
berusaha keras agar bisa bernafas saat Pak Pram mulai mendorong
pinggulnya. Kini kontol Pak Pram terbenam dalam di mulut Dina. Tangan
Pak Pram memegang kepala Dina dan membimbingnya agar bisa mengocok penis
Pak Pram dengan mulut. Tiap kali menarik kepala Dina, hidung si cantik
itu terbenam sampai ke dalam keriting jembut Pak Pram.
“Terus sayang. Enak banget disepong istri orang!” kata Pak Pram sambil terus menggerakkan kepala Dina pada kontolnya.
Dina meletakkan tangannya di paha Pak Pram agar bisa meraih
keseimbangan. Jari jemari Dina bisa merasakan sentuhan bulu-bulu kaki
Pak Pram yang keriting.
“Pakai lidah.” Perintah Pak Pram sambil memompa lebih kencang.
Dina menggunakan lidahnya untuk memijat seluruh batang penis Pak
Pram. Suara berkecap mulut Dina memenuhi ruangan yang sepi. Dina
memejamkan mata, dia tidak ingin melihat dirinya sendiri menelan kontol
Pak Pram.
“Ampun, Mbak Dina! Enak banget! Aku mau keluar nih!”
Dina berusaha menarik mulutnya, tapi Pak Pram menjambak rambut Dina
dan memaksanya terus menelan kontolnya yang besar. Dina menggelengkan
kepala dan berusaha melepaskan diri dari tangan Pak Pram. Dina tidak mau
Pak Pram orgasme di dalam mulutnya. Dina bisa mendengar suara tawa pria
tua itu ketika akhirnya pejuh Pak Pram meledak di dalam mulutnya. Pak
Pram membanjiri tenggorokan istri Anton dengan spermanya.
“Telan.” Kata Pak Pram dengan geram, kontolnya dilesakkan sampai ke ujung.
Dina tidak bisa menahan lagi dan dengan satu tegukan, dia menelan semua muntahan sperma Pak Pramono.
“Anak baik.” Kata Pak Pramono sambil mengendurkan pegangannya dan membiarkan Dina jatuh ke lantai dengan lemas.
Dina menundukkan kepala, dia tidak bisa menghentikan air mata yang
terus jatuh menuruni pipinya yang putih mulus. Bibirnya memar dan
mulutnya terasa sakit usai mengoral penis Pak Pramono. Tenggorokan Dina
juga terasa lecet karena dipaksa menelan kontol besar sampai ke ujung.
Dina menunggu sampai Pak Pramono menyuruhnya mengenakan baju. Dia ingin
segera pergi meninggalkan kamar ini. Pulang ke rumah, mandi besar lalu
tidur. Dina ingin segera meninggalkan semua mimpi buruk ini.
Jari jemari Pak Pramono mengelus dagu sembari mengangkat wajah Dina.
“Mbak Dina kok menangis? Tidak menyukai oral seks?”
“Tidak.” Kata Dina pelan.
“Mbak Dina pintar sekali melakukan oral seks. Seharusnya bangga bukannya malah menangis. Belum pernah aku orgasme secepat itu.”
“Saya mohon Pak Pram, bolehkah saya pergi sekarang?”
“Pakai bajumu dulu.”
Wajah pria itu berubah menjadi sopan. Dina segera berdiri dan mengenakan pakaiannya.
“Pak Pram, celana dalam saya?” tanya Dina yang sudah bersiap mengenakan rok.
“Itu milikku sekarang. Beli yang baru.”
“Itu milikku sekarang. Beli yang baru.”
Dina tidak ingin berdebat dengannya. Setelah usai mengenakan pakaian,
Dina langsung bergegas berdiri dan mengambil tas serta jaketnya di
lemari. Dina sudah membuka pintu saat Pak Pramono memanggilnya.
“Mbak Dina.”
Dina terhenti di koridor. Dia hanya melirik sedikit ke belakang.
“Aku akan menghubungimu lagi.”
Dina tidak mengatakan apa-apa dan melangkah pergi meninggalkan Pak
Pramono. Dia amat bersyukur Pak Pram tidak menidurinya hari ini.
###
Bagaimana nasib Dina, Alya dan Lidya selanjutnya?
BAGIAN DUA
TAMAT
BAGIAN DUA
TAMAT
ukiuka
bagus banget ni karya pujangga binal.. detil dan mengalir… tapi mungkin kalo boleh kasi kritik…
mungkin alasan para wanita itu untuk melayani nafsu tokoh pria kurang kuat… perlu diberikan latar belakang alasan lagi kenapa kok mereka mau2nya terjebak dalam situasi seperti itu….
mungkin alasan para wanita itu untuk melayani nafsu tokoh pria kurang kuat… perlu diberikan latar belakang alasan lagi kenapa kok mereka mau2nya terjebak dalam situasi seperti itu….
Misal:
Kasus Dina paling masuk akal karena dia melayani boss2 suaminya demi keluarganya juga…
Kasus Dina paling masuk akal karena dia melayani boss2 suaminya demi keluarganya juga…
Kasus Alya… hmmm ini agak kurang masuk akal karena pak bejo itu
hanyalah tetangga yang kebetulan preman yang cuman bisa main gertak..
sebenarnya kalau Alya mau jujur sama suaminya atau paling tdk lapor pada
polisi mungkin masalah bisa selesai.. hal ini berbeda dengan pak
pramono dan boss nya pada kasus Dina karena mereka punya Power, yaitu
nasib dan masa depan keluarga Dina ada ditangan mereka. Sedangkan pak
bejo? tak lebih dari cecunguk saja.
Kasus Lidya makin tidak masuk akal. Karena dengan tololnya Andi
membiarkan Istrinya hanya berdua di rumah dengan seorang lelaki,
walaupun itu ayahnya sendiri. karena dilihat dari segi budaya/norma kita
pun (settingnya di indo kan) seorang perempuan tinggal berdua dengan
laki2 yg bukan suaminya saja sudah tidak pantas. Jadi seharusnya Andi
mencarikan alternatif untuk pak hasan. menginap di hotel mungkin. Okelah
kasus perkosaan kali pertama lidya itu tidak bisa ditolak. Tapi kenapa
juga dia tetap tinggal dirumah itu. Kan bisa saja dia pindah kerumah
Kakaknya? Terlalu banyak kebetulan dalam kasus lidya.
Lidya tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri yang gegabah
karena selalu tidur tanpa mengenakan pakaian, kebiasaan buruknya itu
membuat mertuanya yang bejat bisa memanfaatkan situasi dengan mudah.
Selain selalu tidur tanpa sehelai benang pun, satu lagi kebiasaan buruk
Lidya adalah dia sering meremehkan situasi. Lidya dengan santainya tidur
telanjang tanpa mengunci pintu kamar, padahal dia hanya berdua saja
dengan mertuanya. Sungguh sebuah kesalahan yang sangat fatal. Ingatan
Lidya tak bisa lepas dari kejadian di malam terkutuk saat Pak Hasan,
mertuanya sendiri dengan leluasa memperkosa Lidya.
Lidya terjaga sepanjang malam, dia tidak bisa tidur karena masih
teringat apa yang telah dilakukan Pak Hasan kepadanya. Dia berusaha
melupakan semua kejadian, tapi amatlah sulit melupakan perkosaan yang
terjadi pada diri sendiri. Jangankan melupakan, denyutan penis mertuanya
yang melesak di dalam vagina seakan tidak pernah hilang dari memek
Lidya. Pak Hasan mengancam akan melakukannya lagi, dan dengan kepergian
Andi selama beberapa hari ini, tentunya amat mudah bagi Pak Hasan
memperoleh kesempatan untuk menidurinya lagi. Lidya berusaha mencari
cara untuk melarikan diri dari terkaman nafsu sang ayah mertua.
Untungnya ayah mertuanya yang bejat itu seharian pergi entah kemana.
Sudah sepanjang pekan Lidya kesulitan menghubungi Mbak Alya, sejak
kunjungannya yang terakhir kali, mereka tidak pernah bertemu lagi,
kalaupun berhubungan hanya melalui sms singkat menanyakan kabar. Mungkin
Alya dan Hendra sedang sibuk sehingga jarang berada di rumah.
Satu-satunya harapan Lidya kini ada pada Dina. Tadi pagi Lidya sudah
berusaha menghubungi Mbak Dina. Tapi ada sesuatu yang aneh dari nada
suaranya. Kakaknya itu biasanya senang kalau ditelpon Lidya atau Alya,
tapi hari ini sangat lain, sepertinya ada beban berat yang tengah
dipikul Mbak Dina.
“Mbak, aku boleh tidur di sana seminggu ini? Paling tidak sampai Mas
Andi pulang.”, tanya Lidya saat menelpon Dina. “A-aku takut di rumah
sendirian, Mbak.”
“Eh… ehm… gimana yah… ehm… a-aku…” Dina terbata-bata menjawab.
Lidya mengernyitkan dahi. Aneh sekali, ada apa dengan kakaknya itu?
Tidak biasanya Mbak Dina terbata-bata saat menerima telepon darinya.
Pasti kakaknya itu tengah menghadapi satu masalah yang sangat berat.
“Mbak Dina? Mbak kenapa?”
“Eh… ehm, aku nggak apa-apa kok. Hanya saja untuk beberapa hari ini
aku tidak bisa menerima tamu, dik. Karena… ehm… karena… karena… aku dan
Mas Anton sangat-sangat sibuk, iya, kami sangat sibuk. Bahkan untuk
mengurus anak-anak saja tidak sempat dan… dan… lalu… ehm…”
“Oh ya sudah kalau begitu. Mbak Dina baru sibuk ya? Nggak apa-apa
kok, Mbak. Aku juga nggak pengen nggangguin kalau Mbak Dina lagi
sibuk.”, Lidya jadi tidak enak hati. Tapi sebagai seorang adik yang
hapal dengan sikap dan sifat kakaknya, Lidya tahu ada sesuatu yang tidak
beres di rumah Dina. Itu sebabnya kakaknya itu menolak kedatangannya.
Belum pernah seumur hidupnya Dina menolak kehadiran Lidya, Alya ataupun
keluarga yang lain. Lidya paham benar ada masalah berat yang tengah
dihadapi kakaknya. Dengan berat hati karena kecewa gagal melarikan diri
dari rumah, Lidya pun pamit. “Kalau begitu, nanti aku telepon lagi yah,
Mbak.”
“I-iya, dik. Sori banget yah. Aku baru…”
“Iya Mbak, nggak apa-apa. Dah Mbak Dina.”
“Dah Lidya.”
“Iya Mbak, nggak apa-apa. Dah Mbak Dina.”
“Dah Lidya.”
Klik.
Kekhawatiran mulai merasuk ke diri Lidya.
###
Alya menguap usai menonton film malam di televisi, karena sudah
merasa mengantuk maka dimatikannya pesawat tv. Film yang diputar mulai
jam 23.00 itu baru usai jam 01.00 dinihari. Hendra sudah terlelap
setelah kelelahan seharian bekerja, Opi juga sudah nyenyak di kamar.
Hanya tinggal Alya sendiri yang belum tidur. Akhir-akhir ini Alya
mengalami kesulitan tidur, mungkin karena trauma akibat insiden yang
dialaminya. Alya telah diperkosa oleh Pak Bejo Suharso, salah seorang
tetangga di komplek.
Saat hendak melangkah dan mematikan lampu, tiba-tiba saja telepon
berdering. Dengan langkah yang sedikit malas karena sudah sangat
mengantuk, Alya mendekati meja telepon. Siapa yang menelpon jam segini?
Alya khawatir kalau-kalau ada keluarganya yang tertimpa musibah.
“Halo?” Alya mengangkat telepon.
“Suaramu merdu sekali, manis. Ini aku, Bejo.”, terdengar suara
dengung lembut khas telepon genggam di telinga Alya. Tetangganya yang
mesum itu menelpon dengan HP.
Sudah beberapa hari ini baik Pak maupun Bu Bejo tidak terlihat datang
ke rumah Alya dan Hendra. Sejak hari naas bagi Alya itu, hanya sekali
Bu Bejo datang ke rumah. Alya merasa lega karena berharap Pak Bejo lupa
akan niatnya yang jahat. Sayangnya harapan Alya tidak terwujud.
Suara Pak Bejo yang berat membuat jantung Alya langsung
berdebar-debar. Seketika itu juga rasa kantuknya menghilang. Alya
mengintip ke arah kamar tidur dan berharap mudah-mudahan Hendra tidak
terbangun.
Pak Bejo terus menyerang. “Akhir-akhir ini aku sangat sibuk bekerja
sampai-sampai tidak sempat mengunjungi Mbak Alya lagi. Jangan takut, aku
akan selalu ingat saat-saat indah kita bermain cinta, sayang.”, bisik
Pak Bejo.
“Pak Bejo sudah gila? Menelponku jam segini?” Alya mendesis marah. Suaranya bergetar karena ketakutan.
“Aku pengen menidurimu lagi malam ini. Bagaimana kalau Mbak Alya
datang ke pos kamling yang sepi di ujung gang? Aku pengen memeluk
tubuhmu yang seksi itu untuk menghangatkan diri di malam dingin ini.”
Alya mendengar suara dari arah kamar. Sepertinya Hendra, suaminya sudah terbangun.
“Sekarang?! Pak Bejo benar-benar sudah gila ya?” Bisik Alya sepelan mungkin.
“Alya? Sayang? Ada telpon ya? Dari siapa malam-malam begini?” tanya
Hendra dari dalam kamar. Untunglah Hendra tidak terbangun. Dia hanya
bertanya dari tempatnya berbaring.
“Bu-bukan siapa-siapa, sayang. Salah sambung. Tidur saja lagi.”
Pak Bejo terkekeh-kekeh. “Aku belum gila, manis. Cuma lagi pengen
ngentotin kamu saja. Sudah dua hari ini aku tidak melihatmu, padahal aku
selalu membayangkan tubuh indahmu yang telanjang dan bermandikan
keringat. Aku selalu teringat suaramu merintih nikmat saat penisku
menembus vaginamu yang wangi itu.”
Hendra menutup kembali tubuhnya dengan selimut. Dia sudah terlampau
capek sehingga tidak bisa bangun. “Ya sudah.”, kata Hendra. “Aku tidur
lagi ya.”
“Dengar, Pak Bejo.”, bisik Alya supaya Hendra tidak curiga. Dia takut
suaminya itu belum benar-benar tertidur sehingga bisa mendengarkan
percakapan ini. “Aku tidak mau melakukannya lagi. Tidak mungkin. Apalagi
sekarang ?! Bapak tahu ini jam berapa?”
“Sayang sekali.” Pak Bejo terdiam agak lama. “Apa perlu aku yang ke
rumahmu sekarang? Apa perlu kamu aku hajar sekali lagi? Atau mungkin
perlu besok aku membawa Opi jalan-jalan dan meninggalkannya di tengah
kota?”
Alya mulai berkaca-kaca menahan tangis. Tidak ada jalan lain
melepaskan diri dari ancaman maut Pak Bejo. Alya ketakutan, dia tidak
mungkin menceritakan semua perkosaan yang dilakukan Pak Bejo pada Hendra
karena takut pria tua yang sangat kasar itu akan menyakiti tidak saja
dirinya tapi juga suami dan anaknya yang masih kecil. Alya hanya bisa
pasrah. Ancaman Pak Bejo sangat nyata. Tubuhnya bersandar di dinding
dengan lemas.
“Tidak.”, desah Alya pasrah. “Tidak perlu kemari. Aku yang akan segera ke sana.”
“Manis…”
“Ya?”
“Aku ingin kamu menggunakan pakaian rumah paling seksi yang pernah
kamu miliki dan juga jangan memakai BH dan celana dalam. Aku akan
menunggumu.”
“Aku tidak punya pakaian yang seksi.” Bisik Alya sambil mengintip ke arah kamar. Hendra benar-benar sudah terlelap sekarang.
“Jangan bohong.”
“Aku tidak punya! Mas Hendra bukan orang yang pikirannya kotor
seperti Pak Bejo! Dia menikahi aku karena mencintaiku, bukan hanya
menginginkan tubuhku!”
Pak Bejo terdiam lagi. Alya takut pria tua marah karena nada suara
Alya meninggi. Tapi terdengar suara kekehan pelan yang menyeramkan.
“Kalau begitu aku menyerahkan keputusan itu padamu, sayang. Pokoknya aku
pengen kamu segera ke pos kamling pakai baju seksi, daster yang tipis
juga boleh. Ha ha ha ha!”
Alya menggerutu kesal. “Aku sudah bilang aku tidak pun…”
“Aku tunggu di pos kamling.” Klek. Pak Bejo menutup telpon.
Tetesan air mata Alya mulai deras. Dengan sesunggukan istri Hendra
itu berusaha bangkit, tapi tubuhnya tak mau beranjak dari dinding
tempatnya bersandar. Kepalanya terasa berat dan jantungnya terus didera
detakan bertubi.
Tiba-tiba telpon berbunyi kembali. Alya bergegas mengangkat telpon. Terdengar suara kekehan Pak Bejo.
“Ada apa lagi?! Apa bapak mau orang satu kampung ini bangun? Bapak pengen Mas Hendra tahu?” desis Alya marah.
“Aku cuma mau mengingatkan, kalau-kalau suamimu nanti terbangun dan
kebingungan mencari-cari istrinya yang tidak ada di rumah. Hendra pasti
kalut. Kamu harus mencari alasan yang tepat untuk mengelabui Hendra
karena aku pengen pakai memekmu agak lama malam ini.”
“Apa yang harus aku katakan pada Mas Hendra?”
Terdengar suara dari kamar. Hendra bergerak lagi. “Alya? Sayang? Ada telpon lagi?”
Sambil berharap Hendra tidak bisa menangkap getar rasa takut dari
suaranya, Alya menengok ke arah kamar. “Ti-Tidak apa-apa kok, sayang.
Bener. Tidur aja lagi.”
“Bilang saja Bu Bejo lagi sakit atau apa. Pikirkan sesuatu. Kamu kan pintar.” Klek. Sekali lagi Pak Bejo menutup telepon.
Alya kembali ke kamar dengan perasaan kacau. Dia berpikir dengan
keras. Apa yang harus dikatakannya pada Hendra? Dia harus punya alasan
secepat mungkin. Perlahan Alya kembali ke kamar dan duduk di samping
Hendra memeluk selimutnya erat.
“Siapa yang telepon?”, tanya Hendra. Matanya masih tertutup. Alya
mengelus rambut suaminya dengan penuh sayang. Hendra memeluk tubuh
sintal istrinya.
“Itu tadi Pak Bejo.”, Alya mencoba mencari alasan, paling tidak
memang benar Pak Bejo yang menelponnya. “Dia baru bepergian jauh dan
ditelpon dari rumah, katanya Bu Bejo sakit. Aku disuruh menengok dan
menemani Bu Bejo malam ini. Paling tidak sampai Pak Bejo datang. Boleh?”
“Boleh saja. Bu Bejo kan sudah banyak menolong kita. Perlu aku antar?”
“Tidak usah. Mas Hendra kan capek dan besok pagi harus berangkat ke kantor. Kalau aku besok bisa berangkat agak siang.”
Alya membungkuk dan mencium bibir Hendra. Pria itu tersenyum saat
merasakan sapuan bibir mungil Alya yang basah. “Aku sayang Mas Hendra.”
Untung saja Hendra terlelap dan tidak membuka mata sehingga tidak bisa
melihat Alya yang hampir menangis.
“Aku juga sayang kamu.” Hendra menguap. “Mudah-mudahan Bu Bejo tidak
apa-apa. Kalaupun tidak bisa ditinggal, kamu tidur di sana saja malam
ini. Kasihan Bu Bejo sendirian. Pak Bejo kemana sih, kok istri sakit
ditinggal sendiri?”
“Se-sedang mencari obat katanya.” Alya tergagap. Dia merasa sangat
bersalah pada Hendra. Suaminya itu tidak tahu, kalau lelaki tua yang
disebutkan namanya itu sebentar lagi akan melesakkan penisnya
dalam-dalam di vagina Alya. “Katanya tadi sih begitu.”
“Baiklah, hati-hati di jalan ya. Sori, aku mengantuk sekali.” Hendra berbalik dan perlahan tenggelam lagi dalam tidurnya.
Setelah Hendra terlelap, Alya mulai membuka lemari pakaian dan
mencari-cari baju. Pak Bejo tidak menginginkan Alya mengenakan BH
ataupun celana dalam, tapi Alya tidak mau ambil resiko. Diambilnya satu
celana dalam G-String yang sudah tidak pernah dipakainya sejak sangat
lama. Hendra membelikannya saat bulan madu. Untung saja, Alya bukanlah
tipe wanita yang melar tubuhnya saat melahirkan ataupun berubah ukuran
celananya dengan drastis. Walaupun agak kesempitan, tapi celana dalam
itu pasti masih cukup dikenakannya.
Alya mengambil daster terusan bermotif bunga yang ada di dalam
lemari. Baju itulah yang menurutnya paling seksi yang ia miliki. Daster
itu tipis sekali, sehingga dengan cahaya seredup apapun, kemolekan lekuk
tubuh Alya akan terlihat menerawang. Selain itu dengan daster yang
sedikit longgar di bagian leher dan bahu, belahan dada Alya akan
terlihat sangat menantang, belum lagi bagian bawah daster sangat pendek
hingga hanya bisa pas menutup sampai satu jengkal di atas lutut Alya.
Kalau dia membungkuk sedikit pasti celana dalamnya kelihatan.
Saat melangkah ke pintu depan, terdengar suara panggilan kecil dari kamar Opi.
“Mama?”
Alya berbalik dan menemui Opi yang terbangun. “Shhh. Tidur lagi yah
sayang.”, bisik Alya sambil memeluk dan mencium putri tersayangnya. Opi
langsung terlelap dengan cepat. Si kecil itu tidak merasakan lelehan air
mata yang menetes di pipi sang ibu.
###
Lokasi pos siskamling yang dimaksud oleh Pak Bejo ada di pojok jalan.
Pos itu berbentuk bangunan kecil yang hanya memiliki dua jendela, satu
di sisi kanan dan satu di kiri serta satu pintu di sisi luar sementara
sisi lain menempel di tembok sebuah pagar beton tinggi milik rumah
warga. Tidak ada apa-apa di dalam pos itu kecuali tikar, asbak dan kartu
remi. Alya sangat berharap, tidak ada orang lain yang berada di luar
rumah malam itu kecuali dirinya dan Pak Bejo.
Harapan Alya terkabul karena malam itu suasana sangat sepi. Hanya
suara angin menggesek daun dan beberapa ekor kucing hilir mudik sambil
mengeong mencari makan yang menemani suara jangkrik dan serangga malam
lain.
Alya merasa aneh berjalan sendirian malam hari ini seperti ini dengan
pakaian yang sangat tipis dan menerawang. Dia berjalan mepet di sisi
tembok agar bisa bersembunyi di balik bayangan pagar yang tinggi.
Walaupun suasana sepi, tapi Alya tidak mau mengambil resiko. Untung saja
jarak antara rumah dan pos kamling tidak terlalu jauh.
Walaupun hanya mengenakan daster dan tidak mengenakan make-up apa
pun, wajah Alya tetap mempesona. Hanya dengan memandangi keelokan paras
dan keseksian tubuhnya saja, penis tua Pak Bejo bisa menegang. Bandot
tua itu geleng-geleng. Dia masih belum bisa mempercayai
keberuntungannya. Pria tua buruk rupa seperti dirinya akhirnya bisa juga
meniduri wanita cantik dan alim seperti Alya.
Terdengar suara ketukan pelan di pintu pos kamling. Pak Bejo segera membukanya.
Alya terlihat sangat cantik dalam balutan daster tipis menerawang.
Tubuhnya yang luar biasa indah terlihat semakin seksi dan kulitnya yang
putih seakan menyala di kegelapan malam. Dia terlihat bagaikan seorang
bidadari yang baru saja turun dari khayangan.
Pak Bejo Suharso terkekeh-kekeh melihat penampilan mempesona wanita
yang akan segera disetubuhinya. “He he he, luar biasa, Mbak Alya.
Benar-benar cantik.”
Alya terdiam dan memalingkan wajahnya yang memerah karena malu. “A-aku sudah datang kemari. Aku harap Pak Bejo…”
“Sstt, jangan membangunkan tetangga yang sudah tidur. Ayo masuk ke dalam.”
Alya menurut saja dan masuk ke dalam pos kamling. Hanya berdua dengan
bandot tua yang bejat itu membuat tubuh Alya menggigil ketakutan. Dia
hampir tak percaya apa yang sedang dilakukannya. Alya dengan rela
menyerahkan diri untuk digauli tetangganya yang buruk rupa sementara
suaminya yang tampan sedang tidur di rumah. Pak Bejo menutup pintu pos
kamling dan menguncinya. Tak lupa dia juga menutup gorden agar tidak ada
orang yang bisa mengintip adegan yang akan segera terjadi di dalam pos
kamling ini.
Alya berdiri di tengah pos kamling sambil memeluk dirinya sendiri
yang kedinginan terkena udara malam. Tubuh Alya masih terus bergetar,
bukan dikarenakan oleh dinginnya semilir angin tapi karena perasaannya
yang campur aduk.
“Uhhhhhmmm.” Desah Alya lirih saat tubuh hangat Pak Bejo memeluknya
dari belakang. Pria tambun itu tidak perlu berbasa-basi dan ingin
langsung menyantap hidangan utama yang lezat yang disuguhkan oleh ibu
rumah tangga yang masih muda dan sangat cantik ini. Tangan Pak Bejo
bergerak menyusur seluruh tubuh Alya sementara dia menempelkan tubuhnya
sendiri di belakang sang ibu muda yang molek itu.
Alya memejamkan mata, setengah tak rela tubuhnya disentuh lelaki
selain suaminya, setengahnya lagi menikmati rabaan Pak Bejo di setiap
jengkal tubuhnya. Alya makin merinding ketika pria tua itu mulai
menciumi bagian belakang leher dan telinganya. Suara kecupan Pak Bejo
menjadi satu-satunya suara yang mengisi sepinya malam itu.
Alya melenguh lagi saat Pak Bejo menempelkan penisnya yang mulai
mengeras di sela-sela pantat sang ibu muda. Pria tua yang makin bernafsu
itu menggerak-gerakkan kontolnya di belahan pantat Alya dengan gerakan
yang lembut sementara bibirnya terus menciumi bagian belakang kepala
Alya. Tangan Pak Bejo mulai bergerak bebas, meraba buah dada Alya yang
ranum.
Untuk beberapa saat lamanya Alya hanya berdiri di tengah pos kamling
sementara Pak Bejo terus meraba-raba seluruh tubuhnya. Baru kali ini
pria tua menjijikkan itu memperlakukannya dengan lembut.
Tak perlu waktu lama bagi Pak Bejo untuk segera melucuti pakaian yang
dikenakan oleh Alya. Dia segera mendorong tubuh ibu muda jelita itu ke
tikar yang kotor di lantai pos kamling. Satu persatu baju Alya dilucuti.
Setelah pertahanan terakhir Alya yang berupa celana dalam mungil
dilucuti oleh Pak Bejo, pria tua itu segera beraksi. Pak Bejo menciumi
ujung jari kaki Alya dan perlahan turun terus hingga ke daerah betis,
lutut, paha dan akhirnya selangkangan Alya. Ketika sampai di daerah
rambut halus bibir vagina Alya, ibu muda itu menangis sesunggukan dan
meremas ujung tikar dengan perasaan campur aduk, antara menikmati dan
menolak.
Saat Pak Bejo menjilati memeknya yang manis, Alya menggerakkan
pinggulnya tanpa sadar dan tubuh seksi wanita cantik itu melonjak-lonjak
karena rangsangan luar biasa yang diakibatkan oleh jilatan lidah Pak
Bejo. Ketika masih meresapi manisnya cairan cinta yang meleleh di
pinggir bibir vagina Alya, Pak Bejo merasakan jemari Alya menjambak
rambutnya. Pak Bejo gembira karena Alya rupanya telah tenggelam dalam
nafsu birahi.
“Jangaaan… jangaaaan… aku tidak mauuuuu!!!” Alya megap-megap sambil
menggeleng kepala menolak kenikmatan badani yang tiba-tiba saja mencapai
puncak dan menguasai tubuh indahnya. Wanita cantik itu telah mencapai
orgasme awal karena tidak bisa menahan gejolak nafsu birahinya sendiri.
Tubuh Alya melejit dan lepas dari pelukan Pak Bejo. Pria tua itu
melepaskan Alya dan membiarkannya terbaring di tikar. Mata Alya
terbelalak dan tubuhnya menggigil karena ketakutan saat melihat Pak Bejo
melucuti pakaiannya sendiri.
Pria tua yang bertubuh gemuk dan berkulit gelap itu berlutut dan
menempelkan ujung gundul kemaluannya yang basah di bibir vagina Alya.
Saat dilesakkan kontolnya ke dalam memek Alya, ternyata liang cinta ibu
muda itu belum sepenuhnya terlumasi. Hanya sebagian saja dari
keseluruhan batang kemaluan Pak Bejo yang bisa masuk.
“Ahhhh… jangaaaaan diteruskaaan… saya mohon Pak! Sakiiiit!! Jangaaan…
pelaaan! Pelaaan sajaaa!! Jangaaaan!! Hentikaaan!! Hentikann!!” Alya
menjerit lirih karena takut membangunkan penghuni komplek di sekitar pos
kamling, tapi rasa sakit yang dirasakannya terlalu menyiksa sehingga
air mata menetes di wajahnya.
Alya berusaha mendorong tubuh Pak Bejo menjauh darinya walaupun
sia-sia. Alya hanya bisa menangis sesunggukan dan berusaha tabah saat
Pak Bejo malah menyodokkan sisa kontolnya ke dalam memek Alya.
“Siap-siap digenjot ya, Bu Hendra?” ejek Pak Bejo yang sengaja
memanggil Alya dengan nama suaminya. Wajah Alya memerah karena
dipermalukan seperti itu.
Pak Bejo menarik kaki Alya yang jenjang dan menempelkannya di kedua
sisi wajahnya. Ibu rumah tangga yang cantik itu harus merelakan tubuhnya
dibolak-balik oleh Pak Bejo yang memang berniat menikmati seutuhnya
keindahan tubuh Alya. Dengan kaki terangkat ke bahu Pak Bejo, Alya
memejamkan mata karena tahu apa yang akan segera dilakukan pria tua itu.
Pak Bejo menarik pinggul Alya dan menjebloskan penisnya ke dalam memek Alya.
“Aaaaaaaaaduhhhh!!! Jangaaaaaaaann!! Sakiiiiiiiiiit!! Aduuuhhhhh…
jangaaaan… pelaaan sajaaa! Pelaaaan!!” pinta memelas Alya belum digubris
oleh Pak Bejo.
Teriakan dan desis perih Alya ibarat musik yang merdu di telinga Pak
Bejo yang bejat. Mendengarkan suara wanita idamannya menjerit kesakitan
dan menggeram karena merasakan desakan penisnya di dalam vagina membuat
Pak Bejo sangat terangsang. Pak Bejo menarik sedikit batang kemaluannya.
Hal ini membuat Alya bisa bernafas sedikit lega, sayang tak berlangsung
lama. Saat Alya masih terengah-engah dan menarik nafas, tiba- tiba Pak
Bejo mendorong batang penisnya masuk ke rahim Alya sampai ujung
terdalam! Alya menjerit kesakitan saat kontol itu menguasai liang
cintanya yang sempit.
“Hiyaaaaaaahhh!!” teriak Alya di tengah sepinya malam. Dia sudah
tidak peduli lagi kalau-kalau ada orang yang melewati pos kamling itu.
Kontol Pak Bejo masuk sepenuhnya ke lubang vagina Alya. Sekali lagi
wanita cantik itu merasakan pahitnya disetubuhi lelaki menjijikkan
seperti Pak Bejo.
###
Duduk di depan meja rias, Dina menyisir rambutnya dengan rapi. Ibu
muda yang jelita itu menatap muram refleksi dirinya di dalam cermin.
Dina tidak mempercayai nasib buruk yang telah dialaminya selama beberapa
hari terakhir. Dina masih tetap cantik, masih tetap seksi, masih tetap
molek dan masih tetap menggairahkan mata setiap orang yang menatapnya.
Akan tetapi predikat istri setia dan ibu yang baik sudah jauh
meninggalkan dirinya. Dina yang sekarang bukan lagi Dina yang lugu dan
suci. Sudah dua kali Dina yang sebelumnya tidak pernah disentuh pria
lain itu bermain api dengan Pak Pramono, atasan suaminya sendiri.
Walaupun baru sekali disetubuhi, tetap saja Dina merasa sangat kotor,
apalagi saat dengan kesadaran sendiri datang ke hotel yang diinginkan
Pak Pram untuk melayaninya menuntaskan hasrat beroral seks.
Pernikahannya dengan Anton seakan lenyap terbakar hawa nafsu birahi
yang menyala. Dina malu mengakui nikmat yang dirasakan saat disetubuhi
laki-laki selain suaminya sendiri. Walaupun awalnya terpaksa melayani
Pak Pramono agar keluarganya selamat dari malapetaka, namun kenikmatan
luar biasa yang dirasakan Dina saat melakukan affair dengan Pak Pram
tetaplah tidak bisa disembunyikan begitu saja.
Berawal dari sebuah ancaman akan memenjarakan Anton dan menyita
seluruh harta mereka, Pak Pram kini menguasai seutuhnya jalan hidup ibu
rumah tangga dua anak itu. Dina takluk pada semua perintahnya termasuk
menjadi budak seks pribadi Pak Pramono. Apa yang akan terjadi seandainya
Anton mengetahui semua kejadian ini? Tentunya dia akan langsung
menceraikan Dina begitu tahu istrinya telah ditiduri Pak Pramono. Dina
bahkan sangat malu berhadapan dengan adik-adiknya seperti Alya dan
Lidya. Sebisa mungkin mereka tidak terlibat dalam masalah ini.
Seandainya saja Dina mampu menolak setiap keinginan Pak Pramono, dia
akan melakukannya. Tapi tiap kali pria tua berwajah garang dan
berperawakan gagah itu menyentuh dirinya, Dina seperti takluk pada semua
perintahnya. Dina juga sangat khawatir dengan aksi Pak Pram yang tidak
menggunakan alat pengaman apapun saat menyetubuhinya. Apa yang akan
terjadi nanti seandainya Pak Pram menghamilinya? Bagaimana mungkin istri
yang tadinya setia dan sangat alim itu terjatuh ke dalam jurang
kenistaan dan berubah menjadi pekerja seks privat untuk Pak Pramono?
Tanpa sadar, Dina menyelipkan jari jemarinya ke selangkangan saat
membayangkan apa yang telah dilakukannya dengan Pak Pramono. Jari jemari
lentik ibu cantik itu masuk ke dalam celana dalam dan menggosok lembut
daerah bibir kemaluannya. Lama kelamaan jari itu masuk ke dalam liang
cinta Dina. Wanita jelita itu tenggelam dalam masturbasi sambil
membayangkan sosok pria yang lebih pantas menjadi ayahnya yaitu Pak
Pramono sedang menyetubuhinya dengan penuh nafsu.
Inikah sosok istri yang tadinya setia itu?
###
Pak Bejo mulai memompa penisnya dalam-dalam di memek Alya. Kenikmatan
bersetubuh dengan Pak Bejo yang pernah dirasakan oleh Alya saat
diperkosa pria tua ini kembali terulang. Pandangan mata Alya mengabur
karena kenikmatan luar biasa yang ia rasakan. Tubuhnya menjadi lemas dan
kepalanya ia sandarkan pada tubuh Pak Bejo. Mulut Alya menganga
keenakan dan rahangnya mengeras saat si cantik itu akhirnya menyerah
pada kenikmatan yang diberikan Pak Bejo.
“Uh! Uh! Uh! Uh!” lenguh Alya pasrah saat pria tua itu menyetubuhinya.
Pak Bejo meremas susu Alya yang montok dan menjilatinya dengan lidah.
Dia melakukannya dengan sedikit kasar karena gemas oleh keindahan
payudara Alya. Ibu rumah tangga yang cantik itu menarik nafas
dalam-dalam karena bibir Pak Bejo yang besar seakan memoles seluruh buah
dadanya dengan air liur. Jilatan Pak Bejo mengitari pentil Alya yang
mengeras dan sekali dua kali dia menggigit ujungnya dengan lembut.
“Aaaaaaaahh!!” Alya menjerit karena sensasi yang ia rasakan. Sakit
yang ia rasakan berasal dari selangkangannya berubah menjadi kenikmatan
yang luar biasa. Memek Alya yang ditembusi penis Pak Bejo berulang-ulang
akhirnya mengeluarkan cairan cinta yang langsung membanjir. Rasa malu
dan puas bercampur menjadi satu sehingga wajah Alya memerah.
Pak Bejo melepas buah dada Alya dan menangkup pipi pantatnya yang
bulat mulus. Alya melenguh saat Pak Bejo meremas dan memilin bokongnya
yang halus dengan tangannya yang kuat. Penis Pak Bejo masih keluar masuk
ke dalam memek Alya yang hangat dan becek. Pinggang Pak Bejo berulang
kali bertamparan dengan paha mulus Alya. Karena dilepas oleh Pak Bejo,
payudara Alya yang besar bergoyang-goyang erotis seiring gerakan maju
mundur pria tua itu.
“Ah! Ah! Ah! Ah!” Alya terengah-engah tiap kali kontol Pak Bejo
menerobos ke dalam liang cintanya yang hangat dan basah. Pria tua itu
menyetubuhi Alya dengan kecepatan yang makin lama makin meningkat.
Seiring makin cepatnya Pak Bejo mengentoti Alya, makin bertambah pula
kepuasan mereka hingga hampir sampai ke puncak. Keringat mulai membasahi
sekujur tubuh telanjang Alya yang putih mulus. Pak Bejo meringis
menahan kekuatan dan giginya terkatup kuat-kuat.
“Huh! Hh! Huh! Hh!” Alya melenguh berulang, tubuhnya bergerak seiring desakan penis Pak Bejo dalam rahimnya.
“Ayo… Hunggh!! Kita… buatkan… Opi… adik baru…!! Huhnggh! Mbak Alya!!”
kata Pak Bejo. Wajahnya yang berkeriput penuh keringat dan nampak cerah
karena bisa menyetubuhi wanita idamannya.
Pak Bejo meraih ke belakang kepala Alya dan menarik rambut
panjangnya. Ia mendekatkan wajah Alya ke wajahnya sendiri dan mulai
menangkup bibir Alya dengan bibirnya. Bibirnya yang tebal mengelus-elus
bibir Alya hingga basah kuyup oleh air ludah. Lidahnya yang panjang juga
bergerak menyusur seluruh bagian dalam mulut Alya. Mata indah Alya
terbelalak karena hampir tersedak.
“Hngghh!!” Alya melenguh parau. Pak Bejo melepaskan ciumannya.
“Bersiaplah menerima… uh! …spermaku…, manis!!” Pak Bejo meraung dan
mengatupkan mata saat dia hampir mencapai titik puncak kepuasan.
Tangannya mencengkeram bulat pantat Alya, melebarkan bibir memek istri
Hendra itu agar bisa menerima penisnya yang besar.
“Engh! Engh! Engh! Huff! Ahhh!! Ahmm!!” Alya mengeluarkan lenguhan
berirama tiap kali Pak Bejo melesakkan penisnya ke dalam vagina Alya.
Ibu rumah tangga yang sintal itu tidak bisa mengumpulkan pikirannya dan
berkonsentrasi, dia hanya mengikuti gerakan Pak Bejo. Alya telah dibuai
kenikmatan sehingga tidak bisa berpikir apalagi mengucapkan kata-kata.
Tubuhnya mental-mental dalam pelukan Pak Bejo. Alya melemparkan
kepalanya ke belakang dan menyerah pada rasa nikmat yang ia rasakan di
daerah selangkangan. Entah kenapa dia ingin sekali merasakan kehangatan
sperma Pak Bejo di dalam liang cintanya. Dia ingin laki-laki tua itu
segera menuntaskan permainannya.
“Hah! Hah! Hah! Hah!”, Pak Bejo melenguh penuh nikmat. Ia menarik
pinggangnya ke belakang untuk menyiapkan satu tusukan akhir ke vagina
Alya.
“Huuuuuuuuuuuunnngggghh!!”, raung pria tua saat akhirnya ia
melesakkan penisnya dalam-dalam. “Hunngghh!! Hunghhh!! Engghhh!!
Hahhhh!!”, Pak Bejo menggeram keenakan saat pinggangnya menampar paha
Alya dan memuncratkan banjir air mani dalam liang kemaluan ibu muda yang
seksi itu.
Alya bisa merasakan semprotan air mani yang hangat dan lengket di
dalam rahimnya. Sensasi yang ia rasakan membuatnya sampai ke ujung
kenikmatan. Kepalanya dilempar ke belakang, rambutnya melambai di udara
dan Alyapun berteriak penuh kepuasan. “Ahhhhhhhh!!”. Seluruh sudut
tubuhnya mengeras untuk sesaat dan kemudian orgasme pun meledak dalam
tubuhnya. Tak pernah sebelumnya saat bermain cinta dengan Hendra Alya
memperoleh kepuasan seksual seperti sekarang. Walaupun dalam hati Alya
lebih baik mati daripada mengakui kenikmatan ini.
“Fuhh… fuhh… fuh…” Alya terengah-engah usai mengalami orgasme dan
melayani nafsu iblis Pak Bejo. Pria tua itu segera menarik penisnya dari
dalam vagina Alya.
Tubuh telanjang Alya tergolek tak berdaya dan air mani meleleh keluar dari dalam memeknya.
Pak Bejo masih belum selesai. Pria tua itu meringis bengis dan bersiap lagi.
Dia menginginkan lubang Alya yang lain.
###
Jam dinding sudah menunjukkan angka melebihi tengah malam saat Lidya
mendengar pintu depan terbuka. Lidya yang kelelahan tertidur di sofa di
depan pesawat televisi setelah menonton acara hiburan malam. Karena
masih mengantuk, Lidya sedikit lambat bangun dari sofa dan lupa
menghindari pertemuan dengan ayah mertuanya. Pria gemuk dan botak itu
langsung mencari menantunya yang molek. Pak Hasan berhasil meraih lengan
Lidya dan membungkukkan badan Lidya di dekat anak tangga menuju ke
lantai atas sebelum si cantik itu berhasil lari ke kamar atas.
“Bapak! Apa yang bapak lakukan!? Aku tidak mau melakukannya lagi! Ini
nista! Zina!” Lidya menjerit dan meronta mencoba melepaskan diri dari
pelukan mertuanya.
“Percuma kamu menjerit. Di rumah ini cuma ada kamu dan aku, toh?”
Lidya mencoba meronta lebih keras lagi namun gagal, semua usahanya
sia-sia. Dengan sekali sentak, Pak Hasan menarik tubuh Lidya dan
melemparnya ke atas bantalan empuk bagian belakang sofa yang berada di
dekat mereka. Tubuh Lidya melayang dan mendarat hanya bertumpukan perut
yang sekarang berada di atas bagian sandaran empuk sofa. Wanita cantik
itu tersentak dan hampir muntah.
Dengan cekatan Pak Hasan melucuti kaos santai yang dikenakan
menantunya. Mertua yang sudah gelap mata itu sekaligus menarik BH yang
dikenakan Lidya dan menggunakannya untuk mengikat tangannya.
Kecepatannya menarik BH dan kaos cukup membuat Lidya kagum sesaat,
seakan-akan pria tua itu sudah sering melakukan hal ini sebelumnya. Pak
Hasan menarik rok pendek yang dikenakan Lidya ke pinggang dan dengan
kasar melucuti celana dalamnya.
Lidya berusaha keras menendang ayah mertuanya, tapi karena posisinya
yang kurang pas, Pak Hasan bisa menghindar. Setelah seluruh tubuh Lidya
terekspos, Pak Hasan dengan leluasa bergerak bebas. Ia segera menampar
pipi pantat Lidya dengan sekeras mungkin. Lidya menjerit kesakitan.
Sayang, hal itu malah menambah semangat Pak Hasan yang kemudian tertawa
terbahak-bahak dan mengulangi tamparannya beberapa kali lagi. Saat ia
puas melakukannya, pantat Lidya memerah karena sakit dan istri Andi yang
seksi itu hanya bisa sesunggukan menahan air mata. Pak Hasan menarik
rambut Lidya dan membalik kepalanya sehingga mereka bisa saling
berhadapan.
“Itu hukuman buat menantu nakal yang menghindari ayah mertuanya yang
sudah kangen. Jangan pernah lari dariku lagi! Mengerti? Sekarang coba
tebak apa yang bapak bakal lakukan sama kamu?” Pak Hasan tertawa
terbahak-bahak melihat wajah Lidya yang memelas dan bersimbah air mata.
“Bapak bakal entotin kamu sampai kamu tidak bisa berdiri tegak lagi!”
Setelah mengatakan itu, Pak Hasan melepaskan jambakannya pada rambut
Lidya dan merenggangkan kedua kakinya melebar. Dia kini memiliki akses
penuh ke memek Lidya yang sudah menantang. Pria tua menggunakan jempol
tangannya untuk membuka lebar-lebar bibir vagina Lidya. Pak Hasan segera
membuka celananya dan seketika penisnya yang ternyata sudah mengeras
keluar dari sarang. Tanpa basa-basi lagi, Pak Hasan menekan penisnya ke
dalam vagina Lidya dengan satu sentakan yang sangat menyakitkan Lidya.
Wanita cantik itu menjerit kesakitan dan berusaha keras melepaskan
diri dari mertuanya, tapi usahanya gagal. Pak Hasan menarik penisnya dan
kembali dia sentakkan ke dalam memek Lidya keras-keras. Lidya kembali
menjerit kesakitan karena liang rahimnya belum terlumas secara
menyeluruh, sehingga penetrasi yang dilakukan Pak Hasan membuatnya
sangat kesakitan. Pak Hasan kembali tertawa terbahak-bahak melihat
menantunya menjerit-jerit tanpa daya.
Tangan Pak Hasan mencoba meraih buah dada Lidya yang bergelantungan.
Setelah mendapatkan yang dicari, tangan gemuk Pak Hasan mulai
meremas-remas serta memilin payudara Lidya seiring gerakan penisnya yang
keluar masuk di liang cinta sang menantu. Lidya menangis dan terus
memohon pada Pak Hasan agar menghentikan perbuatannya, tapi yang
dilakukan mertuanya yang gila itu malah terus menjejalkan kontolnya ke
dalam vagina Lidya. Sempitnya liang cinta sang menantu membuat Pak Hasan
serasa terbang ke langit nirwana.
Kemudian saat-saat yang ditakutkan Lidya akhirnya datang juga. Wanita
cantik bertubuh indah mulai merasakan kenikmatan merambat naik ke
seluruh penjuru badan. Mulai dari rangsangan Pak Hasan yang
meremas-remas payudaranya sampai kecepatan penis sang mertua yang masih
terus keluar masuk lubang vaginanya. Entah kenapa Lidya mulai menikmati
perlakuan seperti ini. Rasa takut dan bersalah yang ada di benak Lidya
bertarung dengan rasa nikmat yang melanda seluruh tubuhnya. Ada
kenikmatan unik yang bercampur antara rasa sakit dan kenikmatan luar
biasa yang diberikan oleh sang ayah mertua. Istri Andi itu makin
kebingungan saat Pak Hasan akhirnya menyemprotkan maninya ke dalam liang
rahim Lidya. Dia bingung karena entah harus merasa lega atau malah
kecewa.
Tubuh Pak Hasan menegang dan sesaat kemudian penisnya mengecil.
Dengan diiringi suara meletup yang nyaring, mertua Lidya itu menarik
kontolnya dari memek sang menantu.
Lidya berbaring di atas sofa dengan perasaan campur aduk. Dia merasa
lelah dan malu. Lidya merasakan sentakan kecil dalam tubuhnya, hampir
saja si cantik itu mencapai puncak kenikmatan. Pak Hasan berjalan
mengitari sofa menuju ke arah Lidya. Sekali lagi mertua cabul itu
menjambak rambut Lidya dan menarik kepalanya. Dengan terpaksa Lidya
duduk di sofa sementara Pak Hasan berdiri. Kepala Lidya tepat berada di
depan selangkangan Pak Hasan.
“Bersihkan kontolku.” Perintah sang mertua.
“Apa?!”, seru Lidya heran. Dia tidak percaya apa yang baru saja
didengarnya. Walaupun sudah mulai mengecil, tapi penis Pak Hasan itu
masih cukup keras dan belepotan air mani. Tangan Lidya masih terikat
oleh kaos dan Bhnya sendiri sehingga dia tidak bisa banyak bergerak.
“Jilati kontolku sampai bersih, nDuk. Cuma gitu aja kok repot? Lebih
baik cepat kau lakukan apa yang aku suruh sebelum sebagian pejuhku
menetes di sofamu yang mahal itu dan menimbulkan noda! Kalau tidak mau,
akan kuhajar kau malam ini juga!”
Karena rasa takut yang amat sangat, tidak ada jalan lain bagi Lidya
kecuali menyerah. Sebagai pengantin baru, Lidya amat sering mengoral
penis suaminya, tapi hal itu bukanlah hal yang menyenangkan. Dengan
perasaan segan, istri yang tadinya setia itu mulai menjilat ujung kontol
ayah mertuanya yang masih belepotan air mani. Lidya membersihkan kontol
Pak Hasan dengan bibir dan lidahnya. Pria tua itu merem melek karena
akhirnya sang menantu tunduk di hadapannya. Perasaan nikmat karena
disepong menyatu dengan pikiran erotis bahwa kontolnya sedang dijilati
oleh menantunya sendiri yang luar biasa cantik dan seksi.
Penis itupun perlahan kembali mengeras. Pak Hasan menarik kepala
Lidya dan menggerakkannya maju mundur. Menantunya yang cantik itu hampir
kehabisan nafas dan tersedak karena penis Pak Hasan terus didesak masuk
makin dalam. Lidya merintih dan mencoba menarik kepalanya, tapi Pak
Hasan jauh lebih kuat darinya. Entah kenapa rintihan Lidya membuat Pak
Hasan berhenti mengeluarmasukkan penisnya ke dalam mulut Lidya.
“Wah wah, sepertinya aku terlalu berlebihan ya, nDuk?” tanya Pak
Hasan. “Untung kamu hentikan, soalnya kita belum selesai ngentotnya,
toh?”
Sebelum Lidya mampu berpikir jernih tentang apa yang dikatakan
mertuanya, pria gemuk dan botak itu menarik tubuh sang menantu dan
menyandarkannya ke tembok. Di samping pesawat televisi. Perasaan sesak
yang diderita Lidya menyebabkan tubuhnya lunglai dan lemas sehingga
tidak mampu berdiri tegak. Hal ini dimanfaatkan Pak Hasan untuk melucuti
seluruh pakaian menantunya hingga telanjang bulat. Pak Hasan sendiri
juga melepas seluruh pakaian yang dikenakannya dengan cepat dan
mendorong tubuh Lidya mepet kembali ke tembok.
Tiba-tiba Pak Hasan menampar Lidya. Lagi dan lagi. Dengan kasar Pak
Hasan menampar Lidya berulang-ulang kali. Lidya menjerit-jerit kesakitan
dan mohon ampun. Airmatanya mengalir deras. Akhirnya Pak Hasan
menghentikan siksaannya.
“Jadi begini situasinya, nDuk.” Bisik Pak Hasan galak. Wajahnya
sangat dekat dengan Lidya sehingga wanita jelita itu bisa merasakan
hembusan nafas penuh nafsu Pak Hasan di pipinya. “Aku masih terangsang
dan pengen menyetubuhimu lagi malam ini. Hanya saja karena aku baru saja
orgasme, tentunya kali ini akan membutuhkan waktu lebih lama untuk
sampai ke klimaks kedua. Aku ingin mencapai orgasme keduaku malam ini,
bahkan kalau untuk mencapai kesana aku harus menyetubuhimu sampai pagi.
Aku harap kamu mau bekerja sama, karena kalau sampai aku tidak mencapai
apa yang aku inginkan, aku akan menghajarmu sampai mati!”
Lidya panik. Si cantik itu tidak tahu mertuanya itu serius atau
tidak, tapi yang jelas tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan dirinya
sendiri kecuali menurut pada permintaan Pak Hasan.
“Jangan, Pak. Aku mohon…” bisik Lidya lemah, “aku mohon jangan sakiti aku lagi.”
“Mengemis tidak akan mengubah pendirianku. Bahkan rengekanmu malah
membuat kontolku jadi lemas lagi, nDuk. Tentunya kamu tidak ingin itu
terjadi setelah bekerja keras mengeraskannya dengan mulutmu. Ayo. Entoti
aku.”
Dengan terpaksa Lidya menurut saat Pak Hasan mengangkat tubuh
telanjang sang menantu dan menyandarkannya ke tembok. Pak Hasan
melesakkan penisnya masuk ke dalam vagina Lidya dengan lebih lembut kali
ini. Wanita cantik itu mengangkat kakinya dan mengaitkannya di pinggang
Pak Hasan sementara tangannya menggantung di leher ayah mertuanya,
tangan Pak Hasan sendiri menahan beban tubuh Lidya dengan mengangkat
pantatnya. Rasanya luar biasa nikmat bagi keduanya berada dalam posisi
seperti ini.
Memek Lidya masih licin oleh air mani yang tadi disemprotkan Pak
Hasan ke dalam liang rahimnya sehingga dia bisa melesakkan penisnya
dengan mudah. Kali ini jejalan kontol sang mertua di dalam liang cinta
sempitnya membuat Lidya merasa nyaman dan bergairah, seluruh tubuhnya
bergetar merasakan liang rahimnya yang sempit kini meremas-remas penis
besar Pak Hasan yang meraja di memeknya.
Dengan punggung Lidya bersandar pada tembok, kedua manusia berlainan
jenis itu mulai bergerak bersamaan. Lidya mulai merasa nikmat karena Pak
Hasan kali ini memperlakukannya lebih lembut. Rasa sakit yang diderita
kedua pipinya karena tamparan Pak Hasan menghilang berganti rasa nikmat
yang meraja di selangkangannya. Lidya berusaha keras menyembunyikan
perasaan nikmatnya agar tidak terlihat terlalu jelas di depan sang
mertua yang cabul. Klitoris Lidya menempel di tubuh Pak Hasan dan setiap
gerakan naik turun membuatnya tergesek seirama, tambahan bulu-bulu
halus yang menyentuh ujung klitoris Lidya membuatnya melejit ke nirwana.
Lidya memejamkan mata dan berusaha keras tidak mendesah keenakan.
“Mana susumu, nDuk?” perintah Pak Hasan lagi tiba-tiba.
Dengan wajah memerah karena terhina, Lidya menyorongkan buah dadanya
dengan satu tangan ke arah mulut Pak Hasan. Pria tua itu meringis penuh
kemenangan dan menikmati wajah malu sang menantu. Dengan penuh nafsu,
Pak Hasan segera menyerang pentil payudara Lidya. Dia tidak lembut lagi
kali ini, tapi sangat lihai memainkannya. Dia menarik dan menghisap
pentil itu dengan mulutnya, lalu menjilati pinggiran puting payudara
Lidya, setelah itu dia mengelamuti pentil itu dan menggigitinya dengan
penuh nafsu.
Rangsangan yang dirasakan Lidya terlalu hebat sehingga menggiring
wanita jelita itu ke puncak kenikmatan. Tanpa sadar dia menggerakkan
pinggangnya lebih cepat dan kuku-kuku jarinya menancap di punggung Pak
Hasan sampai akhirnya Lidya orgasme. Lidya bisa merasakan memeknya
meremas batang kemaluan Pak Hasan dengan sebuah remasan hebat dan dia
mulai merintih serta menjerit lirih penuh nikmat. Akhirnya setelah
selesai mengejang dan memeknya banjir cairan cinta, Lidya membuka
matanya. Pak Hasan meringis penuh kemenangan. Kontolnya tetap keras dan
dia masih terus menumbuk vagina Lidya.
Tak lama setelah Lidya mencapai klimaks, Pak Hasan dengan sengaja
menarik penisnya keluar. Pria tua itu lalu duduk di anak tangga. Dia
memberi isyarat supaya Lidya menghampiri dan duduk mengangkanginya.
Dengan patuh, menantu yang baru saja digauli sampai orgasme oleh
mertuanya itu duduk di pangkuan Pak Hasan.
Lidya menurunkan badannya perlahan dan membiarkan kontol Pak Hasan
yang masih keras menusuk vaginanya dari bawah. Seluruh tubuhnya melejit
begitu penis itu menguasai bagian dalam lubang rahimnya. Rangsangan yang
memberikan nafsu hewani dan kenikmatan pada Lidya kembali terpusat pada
selangkangannya. Kali ini Pak Hasan tidak perlu meminta karena Lidya
tahu apa yang diinginkan mertuanya. Si cantik yang seksi itu pun
bergerak naik turun dan mulai menyetubuhi mertuanya.
Buah dada Lidya yang memantul-mantul terlihat sangat erotis di
hadapan Pak Hasan. Pria tua itu segera memainkan kedua payudara Lidya
dan menghisap pentilnya dalam-dalam. Lidya melenguh manja dan merintih
keenakan. Dia tidak peduli lagi, seluruh pikirannya, seluruh kesetiaan
dan perasaan bersalahnya seakan menghilang ditelan gelombang nafsu
birahi yang diberikan ayah mertuanya. Semakin kasar perlakuan Pak Hasan,
semakin memuncak nafsu Lidya. Setelah beberapa lama tubuh Lidya
meremas-remas kontol Pak Hasan, akhirnya pria tua itu sampai juga pada
ujung klimaksnya. Pak Hasan meremas pinggul Lidya dan menyemprotkan air
mani ke dalam lubang rahimnya.
Untuk beberapa saat lamanya Lidya dan Pak Hasan terbaring berpelukan
telanjang di anak tangga. Tubuh mereka basah bermandikan keringat dan
nafas mereka mendengus karena kecapekan. Perlahan kesadaran akan
kejadian yang telah berlaku menyentakkan Lidya. Dia kembali sadar akan
nistanya perbuatan ini. Bagaimana mungkin dia malah melayani nafsu
binatang sang ayah mertua? Kemana istri Andi yang telah bersumpah setia
itu?
Lidya menangis sejadi-jadinya. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena
terlena oleh nafsu birahi. Lidya meronta dari pelukan Pak Hasan,
mengumpulkan pakaiannya yang tercecer dan lari ke kamar, langsung menuju
kamar mandi.
Saat Pak Hasan masuk ke kamar dan menyusul Lidya, istri Andi yang
cantik itu tengah menggosok seluruh tubuhnya dengan sabun. Wajahnya
penuh dengan kemarahan dan perasaan geram.
“Enak juga punya menantu seksi kayak kamu. Tiap kali butuh ngentot
tinggal ambil. Beberapa hari lagi Andi pulang. Kalau tidak mau semua
terbongkar, sebaiknya mulai sekarang kamu turuti kemauanku! Besok pagi
kalau aku masuk ke sini, aku tidak ingin melihatmu mengenakan sehelai
pakaianpun, mengerti? Aku ingin melihat tubuh indahmu telanjang dan
jangan lupa untuk merentangkan kakimu lebar-lebar!”
Pak Hasan melangkah keluar kamar meninggalkan Lidya yang terhina,
putus asa dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan diri dari
situasi ini.
Air mata menetes deras di pelupuk mata Lidya. Kisahnya masih jauh dari usai.
###
Pak Bejo mengelus seluruh tubuh Alya tanpa ada perlawanan berarti.
Seluruh perasaan dan keinginan Alya untuk melawan hilang ditelan oleh
kenikmatan orgasme yang baru saja dirasakannya. Pak Bejo mengecup pantat
Alya yang bulat, mulus dan kencang. Beberapa kecupan meninggalkan bekas
cupang memerah di pantat Alya. Pak Bejo merenggangkan kedua sisi pantat
itu dan mulai menjilat lubang kecil yang berada di tengah, tepat di
atas bibir vagina Alya yang masih meneteskan air mani. Lubang anus Alya
dibuka sedikit melebar.
Tanpa aba-aba, Pak Bejo mencelupkan jari ke dalam vagina Alya,
menciduk cairan cinta yang leleh di dalam lubang kemaluan wanita jelita
itu dan mengoleskannya di seluruh anus Alya yang menantang. Pak Bejo
melumasi dubur Alya dengan cairan cintanya sendiri, dia berniat
menusukkan jari jemarinya ke dalam lubang kecil yang sangat sempit itu.
“Renggangkan kakimu!” bentak Pak Bejo. Alya hanya bisa menurutinya
dengan isak tangis yang tertahan, ibu muda yang cantik itu pasrah dan
merenggangkan kakinya melebar. Jari jemari Pak Bejo terus melumasi dubur
Alya dan masuk ke dalam tanpa mengindahkan rasa sakit yang menyiksa
Alya. Wanita cantik itu mengernyit kesakitan. Siksaan Pak Bejo sangat
tak tertahankan olehnya. Alya melompat ke depan dan berusaha menggeliat
melepaskan diri dari tusukan jari jemari Pak Bejo di anusnya. Tapi Pak
Bejo ikut bergerak maju dan menindih tubuh Alya.
Pak Bejo terus memasukkan jari demi jari ke dalam dubur Alya
sementara ibu muda itu meronta-ronta kesakitan. Rongga di dalam anus
Alya perlahan melebar karena jari yang masuk ke dalam makin lama makin
banyak. Alya menjerit-jerit tapi Pak Bejo tetap melaksanakan niatnya.
Setelah dirasa cukup melumasi, Pak Bejo menarik jarinya keluar.
“Membungkuk! Ayo cepetan! Lelet amat sih?” maki Pak Bejo. “Naikkan pantatmu tinggi-tinggi! Aku ingin memerawani lubang anusmu!”
Walaupun hatinya menolak, tapi Alya sangat ketakutan. Apa yang harus
dilakukannya? Apakah dia harus menyerahkan lubang anusnya pada pria tua
yang sangat bejat ini? Tidak ada jalan lain. Alya menurut dan
membungkuk. Dia mengangkat pantatnya yang bulat dan mulus tepat di
hadapan Pak Bejo. Alya bisa merasakan penis Pak Bejo dieluskan di
tengah-tengah pantatnya. Wanita cantik itu melelehkan air mata saat
ujung kontol Pak Bejo ditempelkan di bibir anusnya. Pak Bejo memejamkan
mata dan menikmati saat-saat terindah hidupnya ini. Sudah saatnya. Dia
memeluk tubuh Alya.
“Masukkan ke dalam!” desis Pak Bejo. Dengan tangan bergetar Alya meraih kontol besar pria tua bejat yang sedang memeluknya.
Alya memejamkan mata dan menahan nafas saat Pak Bejo meraih
pinggangnya dan menarik tubuhnya ke belakang. Alya menggunakan
perasaannya dan membimbing kontol besar Pak Bejo di bibir duburnya yang
sempit dan kecil. Alya bisa merasakan penis yang besar dan tegang
seperti sebatang kayu itu melesak ke dalam, ujung gundulnya mendesak
masuk ke liang terlarang Alya dan memerawani anusnya. Untuk pertama kali
dalam hidupnya, Alya mengijinkan seorang lelaki melesakkan penis ke
dalam lubang duburnya.
Saat rasa sakit mulai menguasai Alya, wanita cantik itu sadar kontol
Pak Bejo tidak akan muat masuk ke dalam anusnya. Tidak akan cukup! Pak
Bejo menggeram dan menusuk lubang anus Alya dengan tenaga ekstra.
Alya menjerit. Seandainya ada warga sekitar yang masih terbangun saat
itu pasti mereka mendengar jerit kengerian Alya. Ibu muda yang cantik
itu menggeliat dengan panik dan berusaha menarik diri dari desakan penis
Pak Bejo. Tapi pria tua yang sudah bernafsu itu tidak membiarkannya
pergi dan memegang tubuh Alya erat-erat. Alya tidak bisa melepaskan diri
dari pelukan Pak Bejo.
“Ampuuuun!! Sakiiiit!! Sakit sekaliiiii!! Terlalu besaaar!!
Jangaaan!! Hentikaaan!! Bisa robeeek!!” teriak Alya yang tersiksa. Dia
sudah tidak peduli lagi seandainya ada orang yang bisa mendengarkan
teriakannya. Ia tak tahan lagi pada rasa sakit yang dideritanya.
“Hentikaaaan!! Ampuuuuuuuun!!”
Tapi Pak Bejo tidak mengindahkan teriakan Alya. Dia terus saja
mendorong penisnya maju tanpa belas kasihan sambil menarik pinggul indah
ibu muda yang molek itu. Pak Bejo melesakkan kemaluannya makin dalam ke
dalam lubang mungil yang berada di tengah pantat Alya. Anus Alya belum
pernah dilesaki penis sepanjang hidupnya, inilah pertama kali dia
merelakan lubang pengeluarannya dijadikan alat pemuas nafsu.
“Dorong ke belakang! Dorong ke belakang!!” suara Pak Bejo terdengar
parau. “Goyang bokongmu! Dorong ke belakang! Pasti bisa masuk!”
Alya sudah tidak bisa lagi berpikir jernih. Dia hanya bisa merasakan
rasa sakit yang tak tertahankan yang menembus sampai ke tulang sumsum.
Rasa nyeri yang ia rasakan membenamkan seluruh kesadaran Alya hingga dia
tidak ingat apa-apa lagi. Seakan-akan ada sebatang kayu besar yang
ditusukkan ke dalam anusnya.
“Ayo! Dorong ke belakang! Terus! Dorong bokongmu ke belakang!” bentak
Pak Bejo dengan penuh emosi, keringat sebesar jagung memenuhi alisnya
yang tebal.
Alya mendorong, menggeliatkan badan dan mundur ke belakang. Dengan
hati-hati dia mencoba membuka lubang anusnya agar penis Pak Bejo bisa
masuk dan memerawani lubang pembuangannya. Alya menjerit-jerit kesakitan
tapi Pak Bejo menutup mulutnya dengan tangan, sehingga ibu muda yang
cantik itu hanya bisa memendam rasa sakit yang dirasakannya. Alya
menggelengkan kepala kesana-kemari dengan panik saat perlahan-lahan
batang kemaluan Pak Bejo masuk ke dalam lubang yang sempit itu. Alya
terus saja memberontak, tapi eratnya kuncian Pak Bejo membuat istri
Hendra itu tidak bisa berbuat banyak. Alya bisa merasakan lubang anusnya
yang sempit sobek ketika penis Pak Bejo masuk.
“Hyarrrrgghhh!!” lenguh Alya kesakitan saat pinggul Pak Bejo
menghantam pantatnya yang bulat. Bukan hantaman itu yang menyakitkan,
melainkan desakan kontol pria tua bejat yang kini tengah menyumpal
lubang anusnya. Alya bisa mendengar suara lengkingan Pak Bejo yang
sangat bernafsu mengeluarmasukkan penis ke dalam duburnya.
Akhirnya, detik demi detik berlalu dan rasa sakit yang tadinya
merajai anus Alya perlahan menghilang. Kini, anus Alya malah terangsang
oleh penis Pak Bejo yang masih memenuhi liang pembuangannya. Alya
mengatupkan gigi dengan erat sementara kepalanya terombang ambing dari
kanan ke kiri. Rambutnya yang sebahu acak-acakan dan menutupi hampir
seluruh wajahnya. Alya melenguh keras saat Pak Bejo terus melesakkan
penisnya ke dalam anus Alya berulang-ulang, lagi dan lagi dan lagi dan
lagi… Alya telah berhasil disodomi Pak Bejo.
Perlahan-lahan kesadaran mulai menyeruak di benak sang ibu muda yang
cantik itu. Dia mulai sadar apa yang telah dilakukan Pak Bejo pada
dirinya. Alya telah direndahkan derajatnya hingga titik yang paling
nista. Wanita yang tadinya alim dan setia itu kini telah terjerembab ke
jurang yang paling dasar. Tidak seharusnya wanita semulia Alya
mendapatkan perlakuan yang busuk dan cabul seperti yang telah dilakukan
Pak Bejo. Pria bejat itu telah memanfaatkan ketidakberdayaan wanita
seperti Alya dan rasa malu yang amat sangat membuat istri Hendra itu
hanya bisa menangis tersedu-sedu. Rasa bersalah, jijik dan malu silih
berganti menaungi kesadaran Alya, namun rasa nikmat yang dirasakan di
lubang duburnya membuat ibu muda itu mulai menyukai perlakuan Pak Bejo
ini.
Tanpa kekuatan untuk menguasai diri sendiri dan tidak tahu apa yang
harus dilakukan, membuat Alya pasrah dan menyerah pada gairah seksual
yang semakin menguasai tubuh dan perasaannya. Alya mulai bergerak
menumbuk ke belakang dan menerima kontol Pak Bejo di dalam anusnya.
Gerakan mereka berdua mulai seirama, sodokan demi sodokan yang
dilancarkan Pak Bejo dibalas oleh gerakan mundur Alya yang menghentak.
Penis Pa k Bejo makin lama makin melesak ke dalam. Permainan cinta
mereka telah melewati ambang batas yang baru.
Keringat yang menetes deras membuat dahi Pak Bejo basah kuyup, namun
pria tua itu memaksakan diri mencapai kenikmatan yang didapatkan
terutama karena sempitnya lubang dubur Alya yang terus menerus
digenjotnya. Pak Bejo kagum dengan bibir anus Alya yang mungil dan ketat
yang meremas-remas penisnya yang keluar masuk dengan cepat. Senyumnya
makin melebar saat merasakan kantong kemaluannya menumbuk bibir vagina
Alya tiap kali dia menyodokkan kontolnya ke dalam anus wanita jelita
itu. Pak Bejo menatap bangga penisnya yang keriput dan gemuk saat batang
kemaluannya itu masuk ke dalam celah di antara pantat putih mulus Alya
dan lenyap masuk ke dalam lubang anusnya.
Sempitnya lubang anus Alya memang tidak bisa mengalahkan nikmatnya
menyetubuhi memek ibu muda yang cantik itu, tapi tiap kali melesakkan
kontolnya, seakan Pak Bejo memasukkan penis ke dalam mesin penggiling
daging. Perlahan-lahan pria tua itu bisa merasakan makin meningkatnya
simpanan sperma yang menggunung dan siap meluncur kapan saja. Alya
melenguh, menggila, meronta dan kebingungan. Wajahnya yang cantik
memerah dan bola matanya bergerak naik turun seperti sedang kesurupan
semetara keringat deras membanjir di seluruh tubuhnya. Alya sedang
mengalami pengalaman luar biasa.
Alya mengembik seperti seekor kambing muda di bawah pelukan Pak Bejo.
Teriakannya tercekat dan seluruh tubuhnya dipasrahkan kepada lelaki tua
yang lebih pantas menjadi ayahnya itu. Alya hanya bisa mengembik dan
melenguh penuh nafsu. “Eungh, Pak Bejo! Pak Bejoooo!! Eunghhh!! Ahh!
Ahh! Ahh! Ahh!”
Seluruh desahan yang keluar dari bibir merah Alya membuat Pak Bejo
Suharso makin bersemangat. Tiap sodokan membawa Pak Bejo selangkah
menuju kepuasan seksual yang prima. Pak Bejo menarik penisnya sampai ke
ujung dan menikmati pemandangan di bawah pantat Alya. Anus Alya yang
elastis dan sempit itu mengerut di ujung gundul kepala penisnya, Pak
Bejo sengaja membiarkan ujung gundul itu tertinggal di dalam liang.
Dengan satu sodokan yang mantap, Pak Bejo melesakkan lagi seluruh batang
pelirnya. Alya mendesah manja karena kenikmatan yang dirasakannya. Pak
Bejo menumbuk lagi lubang anusnya dan menarik tubuh indah ibu muda yang
cantik itu ke belakang. Berulang-ulang Pak Bejo menyodomi Alya.
Sempitnya anus mungil Alya membuat Pak Bejo seakan sedang memerawani
memek seorang gadis berusia belasan tahun. Nikmatnya luar biasa.
Pak Bejo membelalakkan mata. Spermanya sudah mulai terkumpul di ujung
gundul kepala penisnya dan setiap saat bisa meledak. Tubuh pak tua yang
mesum itu tersentak-sentak merasakan kenikmatan luar biasa yang
disediakan oleh lubang di pantat Alya. Pria tua itu mendorong penisnya
ke dalam sekali lagi, dia juga menarik pantat Alya agar penisnya bisa
masuk lebih dalam lagi. Rapatnya anus Alya membuat Pak Bejo merem melek
keenakan. Tinggal sekali sentakan lagi, Pak Bejo akan mencapai orgasme.
“Argh! Aku mau keluar! Dorong ke belakang! Dorong pantatmu ke
belakang! Lagi! Lagi! Lagi! Argh!!” Pak Bejo berteriak-teriak dan
memejamkan mata penuh kenikmatan.
Alya yang berada dalam pelukan Pak Bejo untuk pertama kali sepanjang
hidup akhirnya merasakan semprotan cairan sperma yang berwarna putih dan
lengket memenuhi lubang anusnya. Semprotan mani Pak Bejo menyiram
bagian dalam saluran pembuangan Alya bagaikan banjir besar yang
mengantarkan kedua orang yang sedang bercinta itu ke titik klimaks
persetubuhan mereka. Klimaks kedua Alya ini membuatnya menjerit lega, ia
melepaskan gairahnya ke awang-awang. Alya bisa merasakan air mani Pak
Bejo yang membanjiri lubang anusnya menetes ke bawah ke bibir memeknya.
Pak Bejo menggeram dan jatuh sambil memeluk tubuh telanjang Alya,
mengunci tubuh indah itu di atas tikar dengan berat badannya sendiri.
Pak Bejo melenguh puas. “Hebat! Itu tadi luar biasa! Memekmu memang
masih sempit dan enak sekali dientoti, tapi lubang anusmu yang masih
perawan itu luar biasa nikmatnya! Lezat! Ha ha ha! Aku puas sekali
menjadi orang yang pertama kali memerawani bokong wanita secantik Mbak
Alya! Ha ha ha!”
Di bawah tubuh Pak Bejo, sosok indah Alya bergetar karena perasaannya
sangat kacau. Nikmat sekaligus menyakitkan. Ibu muda itu bingung dengan
perasaannya sendiri. Ya Tuhan, apa yang telah dilakukannya dengan pria
hidung belang ini? Dia telah menyerahkan lubang anus yang bahkan belum
pernah disentuh oleh suaminya sendiri pada Pak Bejo. Kini tidak ada lagi
lubang yang tersisa dari tubuhnya yang belum pernah dilesaki kontol
pria tua itu. Isak tangisnya tertahan karena takut pada Pak Bejo.
Perasaan malu dan kotor menyergap Alya. Wajahnya memerah karena dia
tidak bisa melawan nafsu bejat tetangganya yang menjijikkan ini. Tubuh
Alya bergerak mencoba melepaskan diri, tapi pelukan Pak Bejo terlalu
erat.
“Ijinkan aku istirahat, Pak Bejo… aku harus bekerja besok pagi…”
Pak Bejo bersungut-sungut. Tapi pria tua itu melepaskan pelukannya
dari tubuh indah Alya. Penisnya mulai mengecil dan ditariknya keluar
dari anus Alya. Terdengar bunyi letupan kecil saat kontol Pak Bejo
ditarik keluar dari dalam dubur Alya yang menyempit.
Tubuh telanjang kedua sosok manusia berbeda jenis dan bertautan usia
hampir 30 tahun itu berpelukan di tengah dinginnya udara malam. Keduanya
lemas setelah bersetubuh di pagi ini. Pak Bejo merasa di puncak
kebahagiaan karena ia mendapatkan kesempatan meniduri istri Hendra yang
muda dan segar ini. Sedangkan bagi Alya, sekali lagi dia merasa malu dan
bersalah baik kepada dirinya sendiri maupun pada keluarganya. Inilah
dia, seorang istri yang tadinya setia dan alim dalam pelukan seorang
laki-laki tua yang hanya menginginkan tubuhnya.
“Sana pulang.” bisik Pak Bejo sambil mengelamuti daun telinga Alya.
“Aku puas sekali malam ini. Sayang sekali besok pagi kamu harus masuk ke
kantor.”
“Iya, aku harus bekerja besok pagi.”, Alya mendongak dan menatap mata
Pak Bejo dalam-dalam. Inilah saatnya menyampaikan isi hatinya. “Pak
Bejo, ini tidak bisa diteruskan. Aku istri sah Hendra. Apa yang kita
lakukan adalah perbuatan yang salah dan sangat terkutuk. Ijinkan aku
pulang dan melupakan semua ini pernah terjadi. Biarlah yang sudah
berlalu kita lupakan. Aku tidak akan melaporkan kepada siapapun tentang
perkosaan yang dilakukan Pak Bejo kepadaku, tapi kumohon dengan sangat,
Pak. Inilah terakhir kali Pak Bejo menyentuhku.”
“Enak saja! Kapan saja aku pengen, kamu akan aku entoti! Awas, kalau
sampai kamu lapor pada orang lain! Kuhajar kamu! Kubunuh anakmu! Tidak
usah banyak tingkah! Pulang dan tidur! Besok kita ngentot lagi!” Pak
Bejo dengan kasar melempar tubuh Alya yang sudah dinikmatinya ke
samping. Bandot tua itu segera mengambil celana dan bajunya lalu
memakainya tanpa mempedulikan Alya yang masih telanjang bulat.
Tak lama kemudian, Pak Bejo yang sudah berpakaian kembali meninggalkan ibu muda yang cantik itu sendirian di dalam pos kamling.
Air mata menetes deras di pelupuk mata Alya. Kisahnya masih jauh dari usai.
###
BAGIAN EMPAT
DALAM CENGKRAMAN PRIA TUA
Oleh Pujangga Binal & FriendsLidya menguap. Wanita cantik itu membolak-balik halaman tabloid wanita yang sedang dipegangnya dengan bosan. Walaupun sudah berusaha membaca dan konsentrasi, tapi susah sekali memahami apa yang ditulis di tabloid itu karena dia tidak bisa fokus. Benaknya masih dibebani perkosaan yang dilakukan Pak Hasan. Dia sangat trauma dan ketakutan, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, dia tidak bisa menceritakan petaka yang menimpanya baik pada suaminya sendiri ataupun pada pihak yang berwajib, dia takut kalau dia membeberkan semuanya, situasinya akan lebih buruk lagi. Semalam suntuk Lidya berusaha tidur tapi tak kunjung bisa memejamkan mata, dia takut sewaktu-waktu Pak Hasan akan datang ke kamar dan menyetubuhinya lagi. Selangkangannya masih terasa sakit setelah mendapatkan perlakuan kasar kemarin.
DALAM CENGKRAMAN PRIA TUA
Oleh Pujangga Binal & FriendsLidya menguap. Wanita cantik itu membolak-balik halaman tabloid wanita yang sedang dipegangnya dengan bosan. Walaupun sudah berusaha membaca dan konsentrasi, tapi susah sekali memahami apa yang ditulis di tabloid itu karena dia tidak bisa fokus. Benaknya masih dibebani perkosaan yang dilakukan Pak Hasan. Dia sangat trauma dan ketakutan, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, dia tidak bisa menceritakan petaka yang menimpanya baik pada suaminya sendiri ataupun pada pihak yang berwajib, dia takut kalau dia membeberkan semuanya, situasinya akan lebih buruk lagi. Semalam suntuk Lidya berusaha tidur tapi tak kunjung bisa memejamkan mata, dia takut sewaktu-waktu Pak Hasan akan datang ke kamar dan menyetubuhinya lagi. Selangkangannya masih terasa sakit setelah mendapatkan perlakuan kasar kemarin.
Dasar panjang umur, pria tua busuk itu tiba-tiba saja muncul dan berdiri di samping Lidya.
“Aku pengen jalan-jalan ke mall, Nduk.”
Lidya meneguk ludah, dia diam saja dan pura-pura tidak mendengar.
Biasanya Pak Hasan akan pergi selama berjam-jam dan Lidya terbebas
darinya. Pria tua itu biasanya pergi begitu saja tanpa pamit, entah
kenapa hari ini dia pamit pada Lidya. Karena perasaannya masih kacau
balau, Lidya diam membisu.
Tidak mendapat tanggapan dari Lidya membuat marah Pak Hasan. Dengan
geram Pak Hasan mendekati menantunya yang sedang membaca. Tabloid wanita
yang sedang dipegang Lidya disambar Pak Hasan dengan kasar sampai jatuh
berserakan di lantai.
“Kamu dengar tidak? Aku mau mengajak kamu jalan-jalan ke mall!”
Ajakan Pak Hasan pada Lidya itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Ke mall? Apa lagi yang diinginkan kali ini?
“Ke mall?” tanya Lidya sambil merapikan rambutnya yang jatuh ke
kening. “Ngapain kita jalan-jalan ke mall? Kebutuhan dapur dan yang lain
masih ada. Besok lusa Mas Andi juga sudah pulang… kita tidak perlu…”
Wajah Pak Hasan memerah menandakan kemarahannya makin lama makin memuncak.
Pak Hasan menarik tubuh Lidya dan memeluknya dengan kasar. “Justru
karena besok lusa Andi sudah pulang, aku mau menikmati saat-saat
terakhir bersamamu, Nduk! Aku tidak ingin menyakitimu lagi, jadi
sebaiknya kau turuti semua permintaanku tanpa mengeluh, atau aku akan
berubah pikiran! Hari ini kita mulai dengan jalan-jalan ke mall karena
aku pengen memamerkan menantuku yang cantik jelita pada orang-orang
sekota.”
Pak Hasan mencium bibir Lidya dengan kasar bahkan menggigitnya sampai
menantunya itu kesakitan. Akhirnya setelah Lidya meronta-ronta, Pak
Hasan melepaskannya. “Aku juga tidak suka kamu bertanya padaku dengan
sinis! Lain kali pikir dulu sebelum mengajukan pertanyaan!”
Lidya yang sudah lepas dari pelukan Pak Hasan meringkuk di sofa dan
menundukkan kepala, dia sangat ketakutan sampai-sampai tubuhnya
bergetar. “Aku minta ma-…”
“Maaf? Sudah seharusnya!” dengan sombong Pak Hasan memalingkan muka
dan duduk di sofa. “Ganti pakaianmu, dandan yang cantik! Aku menunggu di
sini, jangan lupa bawa uang yang banyak dan kartu kredit. Siapa tahu
aku ingin belanja-belanja.”
Lidya melangkah lemas ke kamar atas, entah apa lagi maksud Pak Hasan.
###
Paidi Sutrisno bukanlah orang yang beruntung. Di usianya yang sudah
mencapai angka 55, pria tua ini masih hidup berkekurangan. Masa mudanya
yang suram membuatnya sering keluar masuk penjara, dia bahkan sangat
terkenal sebagai preman pasar dengan sebutan Paidi Tatto, tentunya
karena tatto gambar wanita bugil yang menghias sebagian besar
punggungnya. Karena kehidupannya yang keras, Paidi diceraikan oleh
istrinya dan bekerja sebagai penjaga pintu sarang PSK. Hanya sebentar
bekerja di sana, Paidi terlibat perkelahian dengan seorang pelanggan.
Hal ini menyebabkan Paidi kembali masuk penjara.
Saat terakhir di penjara, Paidi berkenalan dengan seorang mantan
dosen yang berasal dari keluarga baik-baik dan dipenjara entah karena
masalah apa. Pria itu memberikan ilmu pengetahuan dan mengajarkan banyak
hal pada Paidi. Berkat orang ini pulalah Paidi berani menghapus semua
tatto di tubuhnya walaupun akhirnya meninggalkan bekas luka permanen di
kulit punggungnya. Punggung Paidi yang tadinya bergambar seorang wanita
cantik berubah menjadi kulit carut marut. Kemahiran Paidi berlipat ganda
berkat pengetahuan yang diberikan oleh pria itu.
Setelah keluar bui untuk yang terakhir kalinya di usia 45, Paidi
ternyata tak kunjung bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Entah karena
sejarahnya yang buruk atau karena pengaruh krisis ekonomi. Di jaman
seperti sekarang ini, sangat susah mencari pekerjaan yang halal dengan
mudah. Apalagi Paidi tidak memiliki modal besar dan wajahpun tidak
menunjang, codet besar bekas luka menghias wajahnya sehingga banyak
perusahaan menolak memperkerjakannya.
Akhirnya, Paidi mengerjakan apa yang bisa dia kerjakan. Paidi
memperoleh modal kecil dari temannya dan berjualan bakso keliling. Paidi
Tatto kini berubah menjadi Paidi tukang bakso.
Tubuh Paidi yang dulu gagah dan tegap kini kurus kering dan hitam
legam terbakar matahari. Wajahnya yang dulu bersih kini menjadi kurus
dan kasar, kulitnya tipis dan tulangnya terlihat menonjol di seluruh
badan. Paidi sadar masa-masa keemasannya sebagai preman sudah sirna dan
kini dia berniat melakukan yang terbaik yang dia bisa untuk membalas
kebaikan sahabat yang telah memberinya pengetahuan dan modal berjualan
bakso. Demi mencari nasi untuk sekedar mengisi perut, Paidi menjalankan
pekerjaannya tanpa mengeluh. Tapi, sesungguhnya tidak semudah itu Paidi
berubah menjadi orang baik, dia masih seorang pria oportunis yang
menghalalkan segala cara, dalam hatinya dia masih seorang penjahat.
Hidup Paidi akan segera berubah.
Beberapa malam yang lalu, Paidi baru saja pulang dari nongkrong di
warung kopi yang buka sampai jam dua pagi. Paidi sengaja lewat jalan
komplek yang sepi karena ada jalan tikus yang bisa lebih cepat sampai ke
pasar di seberang komplek. Paidi memang biasa begadang, jam dua minum
kopi, lalu pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan untuk bakso, dan
paginya keliling lagi. Pasar di seberang komplek memang sudah buka sejak
jam empat pagi dan biasanya pembeli yang datang jam segitu akan
mendapatkan potongan harga yang lumayan langsung dari distributor,
apalagi barangnya masih segar dan fresh.
Malam itu, entah kenapa Paidi memilih untuk beristirahat sebentar di
pojok pengkolan jalan di dekat pos kamling. Kebetulan tempat Paidi
beristirahat agak pojok dan terlindung oleh bayangan. Jadi siapapun yang
melintas jalan akan terlihat oleh Paidi, namun sebaliknya, orang itu
tidak akan melihat si tukang bakso.
Paidi tidak akan pernah melupakan pemandangan indah yang lewat di depannya.
Malam itu, Paidi melihat seorang bidadari berjalan terburu-buru
menuju ke pos kamling. Bidadari dalam balutan daster tembus pandang.
Rambutnya sebahu, kulitnya putih mulus, hidungnya mancung, dadanya
membusung dan pantatnya bulat menggemaskan. Entah kenapa bidadari itu
seperti ketakutan dan kebingungan.
Malam itu, Paidi memergoki Alya sedang menemui Pak Bejo.
###
Mall yang dituju taksi yang ditumpangi oleh Lidya dan Pak Hasan
berada di tengah kota. Sejak berangkat dari rumah sampai ke lokasi, Pak
Hasan lebih banyak diam. Untunglah Pak Hasan tidak turut campur mendikte
pakaian yang akan dipakai Lidya sehingga dia bisa pergi menggunakan
baju yang lumayan sopan. Lidya mengenakan rok mini selutut dan baju yang
tidak terlalu ketat. Walaupun berpenampilan seadanya, Lidya masih tetap
terlihat cantik mempesona.
Walaupun mulutnya terdiam, tapi tangan Pak Hasan masih tetap beraksi.
Duduk berdampingan dengan Lidya di kursi belakang, Pak Hasan dengan
nakal mengelus-elus kaki menantunya itu dengan santai. Berulang kali
Lidya merasa tidak enak karena melihat mata sang sopir melirik ke
belakang menggunakan kaca.
Bahkan Pak Hasan kadang nekat membelai paha Lidya yang mulus atau
sesekali meremas payudaranya. Wanita cantik itu sudah memperingatkan
mertuanya agar tidak nekat karena sang sopir bisa melihat mereka. Tapi
Pak Hasan hanya tersenyum. Beberapa kali suara sang sopir meneguk ludah
bisa terdengar dari belakang.
Akhirnya setelah menempuh jarak cukup jauh, Pak Hasan dan Lidya
sampai di pusat pertokoan yang dituju. Ketika Lidya hendak membuka
dompet untuk membayar taksi, Pak Hasan menggeleng. Dia melirik ke arah
argo dan memberikan uang dari kantong celananya.
Sang sopir melongo melihat uang pemberian Pak Hasan. “Wah, gak salah
nih, Pak? Duitnya kurang dong! Argonya aja segitu, masa bayarnya cuma
segini? Yang bener aja!” Wajah sang sopir memerah karena merasa
dipermainkan.
“Ini, ada kok…” Lidya kembali hendak membuka dompet. Tapi tangannya
diremas Pak Hasan yang langsung menggeleng dan melotot galak, Lidyapun
mengurungkan niatnya. Kenapa lagi Pak Hasan ini? Mau cari perkara dengan
sopir taksi? Keringat mulai menetes di dahi istri Andi itu.
“Menurut mas sopir, menantu saya ini cantik tidak?” tanya Pak Hasan
tiba-tiba. Lidya langsung mengernyitkan dahi, perasaannya tidak enak.
Sang sopir meneguk ludah. Pandangannya beralih ke arah Lidya.
Bagaikan seekor macan yang siap menerkam mangsa, dia memperhatikan Lidya
dari atas ke bawah. “Gila, kirain tadi ini istrinya, soalnya mesra
banget, ternyata menantunya ya?”
“Menantu saya ini orangnya sangat pengertian dan baik. Dia senang
kalau bisa menghibur orang lain yang kesusahan, contohnya saya ini, saya
sudah lama jadi duda. Jadi bagaimana menurut mas, menantu saya cantik
tidak?” Pak Hasan mengulang pertanyaannya.
Lidya merasa jengah mendengar percakapan dua orang ini, apalagi sang
sopir kemudian memandang ke arahnya dengan remeh dan tersenyum
menjijikkan.
“Wah, Pak! Bukan cantik lagi namanya kalau yang seperti ini!” jawab sang sopir taksi, “Cuantikkk!! Kayak bintang sinetron!”
“Bagaimana pendapat mas tentang tubuhnya, bagus tidak?” tanya Pak
Hasan lagi. Lidya sudah bersiap keluar dari taksi tapi ditahan oleh Pak
Hasan.
“Seksi, Pak!”
“Baiklah, bagaimana kalau untuk membayar kekurangan saya tadi, saya
tawarkan bibir menantu saya ini? Masnya boleh mencium dia selama satu
menit plus meremas susunya selama itu pula. Bagaimana?” tanya Pak Hasan.
Sopir itu melongo.
Tubuh Lidya langsung lemas. Dia tidak menyangka Pak Hasan akan
menggunakan dirinya sebagai alat pembayaran. Geram sekali rasanya Lidya
karena diperlakukan seperti pelacur hina oleh mertuanya sendiri. Tapi
cengkraman tangan Pak Hasan yang tidak bisa dilepaskannya menyadarkannya
akan satu hal, dia harus melakukan apapun perintah sang mertua, separah
apapun perintahnya itu.
Sang sopir taksi yang bertubuh kurus dan berkulit gelap terbakar
matahari kembali meneguk ludah. Gila, kalau begini caranya orang ini
membayar, bisa kurang nanti duit setoran ke bos, tapi kapan lagi dia
bisa mencium orang secantik bidadari? Walaupun cuma semenit, tapi bibir
Lidya yang ranum itu membuatnya sangat nafsu, belum dekat dengannya saja
si otong yang di bawah sudah ngaceng, apalagi kalau boleh mencium, wah,
asoy sekali. Bininya di rumah jelas kalah jauh. Hatinya bimbang, tapi
nafsu akhirnya mengalahkan akal sehat sang sopir.
Lidya makin merasa tertampar saat melihat sopir berwajah ketus itu
mengangguk sambil cengengesan. “Bolehlah, Pak. Sekali ini saja. Kapan
lagi saya bisa ngerasain yang begini?”
Pak Hasan tersenyum. “Silahkan mas sopir pindah ke kursi belakang, saya yang akan menghitung waktunya.”
Buru-buru sopir itu pindah ke belakang dan duduk di samping Lidya.
“Pak, aku…” Lidya mencoba memprotes.
Pak Hasan kembali mencengkeram lengan Lidya. Tidak ada gunanya melawan pria tua yang busuk ini, Lidyapun menunduk pasrah.
Sang sopir tidak membuang waktu, begitu Pak Hasan mengangguk memberi
ijin sambil memegang erat tubuh Lidya yang sudah siap meronta, dia
langsung mencium bibir Lidya. Lidya memejamkan mata karena tidak tahan
melihat wajah sopir taksi yang sudah mupeng abis, mulutnya yang terkatup
perlahan-lahan dibuka karena ia takut Pak Hasan akan menyakitinya
seandainya ia menolak membalas ciuman sang sopir.
Awalnya mereka berciuman dengan lembut, bibir sang sopir yang sudah
basah dan bau rokok membelai bibir Lidya yang ranum dan membasahinya
pelan-pelan. Lalu pria itu menghisap lembut bibir bawah Lidya sebelum
akhirnya benar-benar menangkupkan seluruh bibirnya ke bibir Lidya.
Menantu Pak Hasan itu melenguh kesakitan saat kemudian sang sopir
meremas buah dadanya dengan kasar dan penuh nafsu. Karena ukuran buah
dada Lidya lebih besar dari milik istrinya, sang sopir makin bernafsu,
remasan tangan sang sopir makin lama makin cepat.
Lenguhan Lidya membuat mulutnya terbuka, sang sopir menyorongkan
lidahnya masuk ke mulut menantu Pak Hasan yang cantik itu. Lidah sang
sopir bertemu dengan lidah Lidya dan keduanya bertautan. Perasaan takut
mengkhianati suami dan rasa bersalah yang menebal malah membuat Lidya
makin pasrah. Dia sudah tidak tahu lagi mana yang seharusnya dilakukan
dan mana yang tidak. Bibirnya selalu menjadi milik Andi sang suami, tapi
kini, mertuanya dan bahkan seorang sopir taksi tak dikenal telah
mencicipi keranuman bibir Lidya.
Pak Hasan tersenyum kegirangan melihat menantunya kembali melenguh,
jelas sekali kalau Lidya lama kelamaan terangsang juga walaupun pada
awalnya menolak mati-matian. Dengan sengaja Pak Hasan memberikan
kesempatan pada sang sopir untuk menikmati bibir Lidya lebih dari satu
menit yang dijanjikan. Dari tonjolan besar di selangkangan, terlihat
jelas sopir itu pasti sudah ngaceng sedari tadi, Pak Hasan terkekeh
melihatnya.
Ciuman Lidya dan sang sopir taksi berakhir saat Pak Hasan menepuk
pundak sang sopir. “Oke, mas. Sudah satu menit lebih dua puluh detik”.
Kata Pak Hasan sambil menunjuk jam digital di dashboard taksi. “Yang dua
puluh detik aku hitung bonus.”
Sopir taksi itu mengangguk puas. “Wah, bapak beruntung sekali punya
menantu seperti ini, dicium semenit aja udah bikin blingsatan! Apalagi
kalau dipake!”
Sambil mengucapkan terima kasih, Pak Hasan dan Lidya keluar dari
taksi dan masuk ke dalam mall. Sopir taksi itu tidak bisa melepaskan
pandangan dari Lidya, sayangnya, beberapa saat kemudian ada seorang
penumpang masuk sehingga dia harus segera pergi Entah kapan lagi dia
bisa berjumpa dengan si cantik itu, mungkin inilah yang dinamakan
pengalaman sekali seumur hidup. Sopir itu menggelengkan kepala mencoba
melupakan apa yang baru saja terjadi dan membawa penumpangnya
meninggalkan mall.
###
Anissa Wibisono merasakan kegembiraan yang meluap-luap seakan meledak
di dalam dadanya. Tunangannya, Dodit Darmawan masih berada di belakang
setir mobil saat Toyota Avanza hitam yang mereka naiki mulai memasuki
jalan menuju komplek perumahan yang cukup terkenal di daerah pinggiran
kota. Pepohonan yang rindang dan sejuk menyambut mobil yang
menggelinding dengan lembut di jalan yang sepi. Anissa melirik ke arah
Dodit dan mencubit paha tunangannya dengan genit. Dodit melirik ke arah
Anissa dan tersenyum penuh rasa sayang.
Dodit sebenarnya agak ragu berkunjung ke rumah kakak Anissa, mereka
belum terlalu akrab sehingga dia khawatir kunjungannya akan mengganggu
kegiatan keluarga Mas Hendra. Tapi karena Mas Hendra ditunjuk sebagai
calon wali dari Anissa kelak di pernikahan mereka, Dodit mau tidak mau
harus mengakrabkan diri dengan Mas Hendra dan Mbak Alya, dalam hatinya
yang paling dalam Dodit berpikir mungkin akan jauh lebih mudah mendekati
putri kecil mereka, Opi.
Baru beberapa bulan bertunangan setelah hampir dua tahun pacaran
membuat pasangan Anissa dan Dodit kembali hot. Dodit yang juga senior
Anissa di kampus sudah lulus tahun lalu dan sekarang magang di sebuah
perusahaan swasta. Tahun ini Anissa juga dipastikan akan lulus dan
pernikahan yang sudah mereka nanti-nantikan akan segera menjadi
kenyataan.
Anissa sangat mengagumi Dodit dan bisa berkunjung ke rumah Mas Hendra
dan Mbak Alya bersama tunangannya tercinta sudah menjadi keinginannya
sejak lama. Karena kesibukannya, Mas Hendra sempat menengok rumah lama.
Atas perintah ibunya, Anissa dan Dodit diminta berkunjung dan menginap
selama akhir pekan di rumah Hendra agar mereka bisa lebih akrab.
Dodit sedikit grogi, walaupun sudah bertunangan dengan Anissa, dia
masih grogi kalau disuruh bertemu dengan keluarganya, apalagi weekend
ini mereka berdua diminta menginap di rumah Mas Hendra. Berulang kali
Dodit melirik ke arah spion untuk memperhatikan penampilannya.
“Kamu ganteng kok, sayang.” Kata Anissa sambil membenahi make-upnya sendiri. “Tampan, seperti biasa.”
Wajah Dodit memang cukup lumayan, dia pantas bersanding dengan Anissa
yang cantik dan menggairahkan. Walaupun masih muda dan tidak memiliki
perawatan khusus, tapi tubuh Anissa benar-benar indah dan menggiurkan.
Didukung wajah cantik melankolis, kulit putih mulus, buah dada
menggunung dan rambut panjang sepunggung, penampilan gadis ini sangat
sempurna.
Dodit tertawa mendengar sindiran Anissa. “Ah, kamu ini. Aku kan
grogi, say. Ini pertama kali aku menginap di tempat Mas Hendra. Aku
harus tampil serapi mungkin. Takut tidak direstui nantinya…”
Anissa tersenyum manis dan dengan rasa sayang membelai rambut Dodit.
“Jangan khawatir, sayang. Mas Hendra dan Mbak Alya pasti akan
menyukaimu. Mudah-mudahan kamu juga bisa menyukai mereka.”
“Ah, sudah jelas aku menyukai mereka. Kakakmu orangnya baik hati
walaupun sedikit pendiam. Mbak Alya apalagi, sangat ramah dan baik hati,
cantik pula,” Dodit merapikan kemejanya yang berkerut, “tapi menurutku
yang paling enak diajak ngobrol sebenarnya si Opi. Aku sudah kangen
ingin menemuinya.”
Anissa tertawa. “Opi memang lucu, menggemaskan sekali. Aku juga sudah kangen.”
Mobil mereka melaju melewati sebuah komplek pemakaman.
“Tapi dengar-dengar, lokasi komplek perumahan ini cukup seram lho.
Aku dengar dari beberapa orang teman, katanya di tempat ini banyak
setannya.” Kata Dodit dengan sengaja menakut-nakuti tunangannya yang
jelita, tentunya dia hanya bohong belaka. “Kalau tidak tahan, boleh
tidur seranjang denganku nanti malam.”
“Ha ha! Dasar otak mesum! Aku tidak mudah kau takut-takuti seperti
itu!” Anissa tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Dodit, dengan manja
gadis itu menggelayut di samping Dodit. “Biarpun ada suster ngesot dan
hantu jeruk purut, aku punya pahlawan perkasa di sampingku!”
Dodit tersenyum sipu, wajahnya memerah tapi dia meneruskan godaannya,
“Kalau tidak salah dengar pula, informasi ini berasal dari sumber yang
bisa dipercaya lho, kabarnya ada hantu cabul yang hobi memangsa anak
perawan orang!”
Dengan manja Anissa memukuli pundak tunangannya. “Udah ah!
Bercandanya nggak asyik! Mas Dodit jahat! Aku nanti nggak bisa tidur!”
“Kamu kan masih perawan, say. Kalau aku jadi kamu… hmmm…” Dodit
tersenyum sok ngeri. “aku akan lebih berhati-hati nanti malam… lebih
baik aku tidur minta ditemani Mbak Alya atau… atau minta ditemani sama
Mas Dodit tersayang! Ha ha ha!”
Anissa mencibir dan menjulurkan lidah, wajahnya yang malu memerah,
makin manis saja gadis ini. “Huh, itu kan maunya Mas Dodit! Dasar otak
mesum!”
Entah kenapa, ada angin dingin yang bersemilir di udara dan
menghembuskan udara dingin di tengkuk Anissa dan Dodit. Perasaan mereka
menjadi tidak enak, seakan suatu hal yang buruk akan segera terjadi.
Tiba-tiba saja Dodit menghentikan mobilnya. Dia mengedip ke arah Anissa. “Kau tahu tidak, say. Kau terlihat sangat mempesona.”
###
Lokasi pusat pertokoan yang didatangi oleh Pak Hasan dan Lidya berada
di tengah kota dan sangat ramai pengunjung. Hilir mudik orang berjalan
keluar masuk toko. Pandangan Lidya masih kabur, entah karena pusing
melihat banyaknya pengunjung mall atau perasaan jengahnya yang tidak
juga mau hilang setelah mencium seorang sopir taksi yang tak dikenal.
Dia merasa seperti seorang pelacur hina dan ini semua karena ulah ayah
mertuanya yang bejat.
Pak Hasan menarik tangan Lidya dengan kasar memasuki sebuah toko baju
yang cukup terkenal. Pria tua itu berkata, “Ayo, nduk. Kita cari baju
yang lebih cocok untuk pelacur seperti kamu.”
Lidya menggeram kesal tapi tak bisa berbuat banyak, mertuanya memang
benar-benar tidak tahu malu, berani-beraninya dia mengatainya pelacur,
padahal ini semua ulahnya. Lidya hanya diam saja di pojok saat Pak Hasan
berkeliling dan menarik beberapa lembar baju wanita, dia bahkan tidak
malu saat mengambil beberapa helai pakaian dalam untuk Lidya. Beberapa
orang SPG menatap heran pada pasangan aneh ini.
Akhirnya, Pak Hasan menarik lengan Lidya untuk ikut berkeliling
bersamanya. “Aku akan memilihkan baju yang terbaik dan bisa membuatmu
tampil seksi, nduk. Jangan khawatir, kau pasti akan terlihat sangat
mempesona. Baju yang sekarang kamu pakai itu kesannya kuno, aku carikan
yang baru.” Kata Pak Hasan.
Lidya melotot galak dan disambut cengiran cabul sang mertua. Setelah
mengikuti Pak Hasan berkeliling dan mengambil beberapa baju, akhirnya
Lidya digiring ke kamar ganti. Sekilas lihat Lidya langsung tahu jenis
baju yang dipilih Pak Hasan, baju-baju yang hanya pantas dikenakan
seorang pelacur. Bahkan menurut Lidya, pelacur yang paling menjijikkan
sekalipun hanya berani mengenakan pakaian seperti itu saat sedang
‘menawarkan dagangannya’, sementara Lidya akan mengenakannya di dalam
mall yang ramai pengunjung.
Lidya dan Pak Hasan masuk ke kamar ganti bersamaan. Lidya melirik ke
arah Pak Hasan, dia berbalik ke arah mertuanya dan memandangnya heran,
dalam hati Lidya bertanya-tanya kapan mertuanya itu akan keluar dari
kamar ganti. Pak Hasan menggelengkan kepala. “Aku tetap di sini. Aku
sudah pernah lihat kamu telanjang, apa salahnya melihatmu berganti
pakaian? Tidak perlu pura-pura sok suci. Ayo cepat ganti!”
Dengan perlahan Lidya melucuti pakaiannya, walaupun air matanya sudah
di ujung pelupuk karena merasakan pahitnya nasib yang ia alami, tapi
wanita cantik itu berusaha menahan diri agar tidak menangis. Dia tidak
mau Pak Hasan lebih marah lagi. Satu persatu pakaian yang dikenakan
dilepasnya, sampai kemudian Lidya hanya mengenakan BH dan celana dalam.
“Kamu memang benar-benar seksi, nduk. Bapak bangga punya menantu
seperti kamu.” Celoteh Pak Hasan. “Dilihat saja enak apalagi kalau
ditiduri. Lezat sekali.”
Pak Hasan menatap tubuh Lidya untuk beberapa saat. Saat menantunya
itu hendak mengambil pakaian, Pak Hasan menggeleng dan melarang. Pria
tua itu mengambil sesuatu dari dalam tumpukan baju dan memberikannya
pada Lidya, rupanya sebuah celana dalam yang sangat mungil, g-string.
Lidya menatap tak percaya celana dalam yang diberikan Pak Hasan
padanya. Dia juga terheran akan dua hal. Satu adalah bagaimana mertuanya
itu bisa tahu ukuran celana dalamnya dan yang kedua adalah ukuran
celana g-string yang sekarang berada di tangannya. Bagaimana mungkin
barang sekecil dan semungil itu bisa dipakai? Terlalu kecil untuk bisa
menyembunyikan apa-apa. Celana itu bagaikan tali kecil yang hanya
melingkar di selangkangannya.
“Cepat dipakai.” Desis Pak Hasan galak. Dia mencubit pantat Lidya sampai memerah. Lidya meringis kesakitan dan mengangguk.
Dengan malas Lidya melepaskan celana dalam krem yang dipakainya dan
menggantinya dengan g-string. Ternyata celana kecil itu pas sekali, bisa
dirasakannya temali celana g-string itu menggaris bibir kemaluannya.
Hanya dengan mengenakan celana ini saja sudah bisa membuat Lidya sangat
terangsang. Wajah Lidya memerah karena malu saat melihat Pak Hasan
tersenyum cabul menatapnya di cermin.
“Masih ada yang kurang…” Pak Hasan memperhatikan tubuh menantunya
yang hanya mengenakan BH dan celana dalam. “Lepaskan BHmu,” perintahnya
kemudian, “dadamu itu bagus, nduk. Dada seperti itu seharusnya
dibanggakan dan dipamerkan, bukannya malah disembunyikan di balik BH
yang sesak.”
Belum sempat Lidya memprotes, Pak Hasan sudah melangkah ke belakang
Lidya, pria tua itu dengan cekatan membuka kait di bagian belakang BH.
Wajah Lidya memerah ketika BHnya jatuh ke lantai ruang ganti. Tanpa
perlindungan BH, payudara Lidya yang ranum bergelantungan dengan erotis
di dada wanita cantik itu.
Pak Hasan meraih ke tumpukan baju yang dibawanya dan mengambil sebuah
rok mini berwarna hitam, dia memberikannya pada Lidya untuk segera
dipakai. Lidyapun segera mengenakannya. Rok yang diberikan Pak Hasan itu
adalah rok mini yang paling pendek yang pernah dipakai Lidya sepanjang
hidupnya. Rok itu sama sekali tidak cocok dikenakan seorang wanita
dengan kaki jenjang seperti Lidya, karena jika dia membungkuk sedikit
saja maka orang-orang di belakangnya akan bisa mengintip isi roknya
dengan jelas dan gratis padahal dia hanya mengenakan g-string tipis.
Sementara bagian atas rok yang rendah akan membuat orang lain bisa
menikmati bagian atas celana dalam yang dipakai Lidya dan celah
pantatnya yang menggaris. Dia tidak akan bisa berdiri dengan nyaman.
Lidya mendesah. Dia hanya bisa pasrah, dalam situasi normal, dia
hanya mau mengenakan pakaian seksi seperti ini di hadapan suaminya
seorang. Tapi saat ini Lidya tidak sedang berada dalam situasi yang
normal. Mertuanya yang bejat membuatnya tak bisa berbuat apa-apa kecuali
menurut padanya.
Lidya menarik baju dari tumpukan pakaian pilihan Pak Hasan. Sebuah
kemeja berwarna putih yang tipis. Tubuh Lidya bergetar ketakutan melihat
pakaian yang dipilih Pak Hasan itu. Jika dia tidak diperbolehkan
mengenakan BH, maka buah dadanya yang kencang dan besar akan terbentuk
jelas di kemeja, bagian lehernya juga rendah sehingga akan
mempertontonkan belahan dada Lidya, belum lagi puting susunya pasti akan
menjulang maju ke depan. Kemeja itu membuat kemontokan dada Lidya bisa
dinikmati oleh banyak orang. Dia akan semakin terlihat seperti seorang
pelacur murahan. Dengan panik Lidya memilih baju lain dari tumpukan
pakaian, ternyata semua sejenis, malah beberapa pakaian ada yang lebih
parah lagi.
“Aku tidak bisa mengenakan baju ini.” Protes Lidya dengan keringat
mengalir deras di dahinya. “Tidak mungkin aku bisa mengenakan pakaian
seperti ini di luar sana. Pak, kumohon… kasihani aku… tolong, Pak!
Carikan baju yang lebih pantas! Aku ini masih menantumu, Pak! Kumohon…”
“Itu baju bagus, nduk. Kenapa tidak mau? Kamu akan terlihat sangat
mempesona.” Jawab Pak Hasan sambil menggeleng kepala menolak protes
Lidya. “Kamu harus memakainya. Kalau tidak mau, aku akan membiarkanmu
keliling mall tanpa menggunakan celana dalam. Pilih mana?”
Lidya tidak percaya ini semua terjadi, ini sudah keterlaluan!
Mertuanya benar-benar sudah kehilangan akal sehat! Tidak saja dia sudah
memperkosa Lidya, memukulinya, menggunakan bibir dan dadanya untuk
membayar taksi, masih ditambah sekarang hendak mempermalukannya di depan
orang banyak! Emosi wanita cantik itu memuncak dan wajahnya memerah,
dia marah pada diri sendiri karena lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa,
dia tidak sanggup menjalani ini semua. Bagaimana nanti seandainya ada
orang yang dia kenal melihatnya berjalan-jalan dengan pakaian seperti
ini? Atau bagaimana nanti seandainya Mbak Dina atau Mbak Alya
melihatnya? Atau… atau…
“Aku tidak bisa melakukannya…” Lidya berbisik lirih.
Sayang Pak Hasan tak bergeming dan menatapnya galak. Tangannya
mencengkeram lengan Lidya hingga terasa sakit sampai ke tulang. Tubuh
Lidya bergetar ketakutan. Tidak mungkin ayah mertuanya itu begitu tega,
tapi Pak Hasan tidak main-main. Istri Andi itu akhirnya pasrah dan hanya
bisa menganggukkan kepala pertanda setuju. Ia mencoba mengenakan
pakaian yang dipilih oleh sang ayah mertua.
Dalam sekejap, pakaian Lidya sudah berganti. Pak Hasan memasukkan
pakaian yang tadinya dikenakan oleh Lidya ke dalam tas plastik. Saat
sudah menggunakan pakaian ala pelacur ini, barulah Lidya sadar susahnya
berjalan tanpa mempertontonkan bagian tubuhnya yang mulus. Dia harus
berhati-hati agar tidak mengangkat kaki terlalu tinggi atau membungkuk
terlalu dalam karena bagian pantatnya yang hanya mengenakan celana dalam
g-string akan terlihat jelas oleh orang di belakangnya.
Kemeja yang dikenakan Lidya juga lebih mengerikan, kemeja itu
seharusnya dikenakan dengan kamisol melihat bagian lehernya yang rendah,
tapi Pak Hasan tidak mengijinkan Lidya mengenakannya, seakan-akan belum
parah, Pak Hasan juga membuka kancing teratas kemeja Lidya sehingga
belahan dadanya makin terlihat jelas, sangat menggoda birahi laki-laki
yang menatap. Buah dadanya yang montok dan kencang menyeruak ke depan
sementara pentilnya makin lama makin menegang karena ac mall yang
dingin. Tiap kali berjalan, Lidya khawatir payudaranya suatu saat akan
terpantul dan mental keluar tepat di depan pengunjung mall. Jelas hal
itu tidak diinginkan olehnya.
Akhirnya, setelah Pak Hasan puas, mereka berdua pergi membayar ke
kasir. Entah sial bagi Lidya entah kebetulan, seorang pemuda tanggung
sedang bertugas di meja kasir, kemana para pegawai wanita yang biasa
berjaga di kasir? Pak Hasan dan Lidya berdiri di depan pemuda itu.
“Saya beli baju yang sudah saya pakai ini…” desah Lidya lirih. “Juga celana dalam yang saya pakai sekarang…”
Saat melihat ke arah Lidya, rahang si pemuda seakan mau copot. Gila,
wanita cantik ini berani sekali berpenampilan seksi! Si otong di
selangkangan pemuda penjaga mesin kasir langsung ngaceng melihat
penampilan Lidya. Dengan hati-hati pemuda itu melepaskan tag harga dan
penjepit anti-maling dari baju dan rok yang dikenakan Lidya, dia
melakukannya sambil hati-hati sekali karena takut dianggap tidak sopan,
wangi tubuh Lidya membuatnya terbang ke awang-awang. Untung saja Pak
Hasan sudah melepaskan tag harga dari celana dalam yang dikenakan Lidya
sehingga dia tidak perlu mempertontonkannya pada sang pemuda yang masih
terlihat sangat lugu ini.
Beberapa orang customer laki-laki yang kebetulan menemani pasangan
mereka belanja juga tidak bisa melepaskan pandangan dari Lidya sambil
meneteskan air liur. Penampilan seksi Lidya benar-benar membuat mereka
nafsu. Lidya merasa malu dan memperhatikan pentil susunya sendiri
perlahan mengeras dan menyodok kemeja yang dikenakannya. Dengan
buru-buru Lidya mengeluarkan dompet dan mengambil kartu kredit.
Pemuda yang menjadi kasir menggesek kartu kredit Lidya dengan tangan
gemetar. Beberapa kali dia salah memencet tombol karena terganggu oleh
pemandangan indah di hadapannya. Penisnya juga makin ngaceng dan
menghunjuk ke luar, pemuda itu dengan malu mengempit otongnya sendiri.
Keadaan ini makin membuat Lidya khawatir, sayangnya makin khawatir
wanita cantik ini, makin besar puting payudaranya mengembang.
Pemuda kasir itu memberikan kesempatan bagi Lidya untuk
menandatangani berkas yang keluar dari mesin kartu kredit. Saat tanda
tangan, Lidya terpaksa membungkuk karena posisi kasir yang pendek. Saat
itulah satu buah dada Lidya tiba-tiba saja melompat keluar dari dalam
kemejanya.
“Ya Tuhan!!” desah si pemuda yang langsung terperanjat.
Dengan cekatan Lidya merapikan kemejanya dan memasukkan buah dadanya
kembali ke dalam sebelum ada orang yang melihat. Walaupun hanya beberapa
detik saja, tapi pemuda kasir itu jelas sangat beruntung. Wajah Lidya
memerah karenanya dan secepat mungkin meninggalkan meja kasir setelah
urusan pembayaran usai. Pak Hasan terkekeh bahagia saat mereka akhirnya
sampai di luar toko.
“Kamu lihat tidak tadi wajah bocah itu?” Pak Hasan tertawa cekakakan
sambil menggandeng Lidya yang pucat pasi menuju tempat lain. Seandainya
mungkin, Lidya ingin pingsan saat ini juga.
Berjalan-jalan di sebuah mall besar yang ramai oleh pengunjung dengan
mengenakan busana minim jelas bukan ide yang baik menurut Lidya.
Berkali-kali wanita muda yang cantik itu membenahi rok dan baju yang
dikenakannya agar tidak terlalu mencolok. Tapi seperti apapun usaha
Lidya untuk membenahi, kemolekannya mengundang birahi. Kepalanya terus
menunduk karena Lidya tidak mau dikenali oleh teman atau siapapun yang
kebetulan berjumpa dengannya. Seandainya tidak kenalpun, Lidya tetap
merasa malu dengan penampilannya yang seronok. Entah mana yang lebih
parah, berjalan di tengah mall dengan pakaian seperti pelacur atau
sekalian saja telanjang. Yang jelas saat ini Lidya merasa dirinya sangat
telanjang.
Seorang satpam garuk-garuk kepala karena indahnya pemandangan yang
disajikan oleh Lidya. Walaupun sudah sering melihat seorang wanita
cantik berpakaian seksi, baru kali inilah satpam itu melihat cewek yang
sepertinya perempuan baik-baik mengenakan baju super minim. Kalau saja
RUU Anti Pornografi & Pornoaksi disahkan, Lidya pasti akan langsung
ditangkap polisi.
“Pak, sudah saja ya, Pak. Kita pulang saja.” Wajah Lidya memelas
memohon ampun pada ayah mertuanya. Wanita cantik itu terus meratap
manja. “Aku malu sekali. Kita pulang saja.”
Pak Hasan menggelengkan kepala sambil tersenyum sadis. “Baru masuk kok sudah mau pulang?”
“Aku malu sekali…”
“Sini, mendekat kesini, nduk!”
Satu-satunya cara bagi Lidya untuk menutupi kejengahan dan rasa
malunya yang membuncah adalah dengan merapatkan tubuhnya dengan sang
ayah mertua. Pak Hasan tertawa saat sang menantu yang seksi itu
mendempel erat. Pak Hasan merangkul pundak Lidya sehingga mereka berdua
nampak seperti sepasang kekasih. Beberapa orang yang berpapasan atau
nongkrong di pinggir koridor menatap heran ke arah sepasang manusia ini.
Bagaimana mungkin bidadari secantik dan seseksi Lidya mau bergaul
dengan pria gemuk buruk rupa seperti Pak Hasan?
Saat mereka berjalan berdua, Pak Hasan memperhatikan banyak laki-laki
tua muda yang sedang berjalan-jalan melirik penuh minat ke arah Lidya.
Buah dadanya yang terpantul naik turun bisa dilihat dengan jelas,
sementara kaki Lidya yang jenjang terlihat seksi dan sangat mulus dengan
rok super mini yang dikenakannya. Beberapa orang meneteskan air liur
melihat kemolekan menantu Pak Hasan itu. Makin bangga mertua bejat itu
pada menantunya.
###
Dodit menghentikan mobil tidak begitu jauh dari gerbang utama komplek
perumahan kakak kandung Anissa. Tunangannya yang lugu itu
terheran-heran.
“Lho? Kok berhenti, Mas? Apa ada yang salah?” tanya Anissa.
Dodit tersenyum. “Tidak ada yang salah. Kamu manis sekali, say. Manis dan seksi.”
Dodit menggeser posisinya duduk agar bisa sedikit mendekati Anissa.
Gadis itu langsung bisa melihat perubahan ukuran gundukan di
selangkangan Dodit. Tangan Dodit membawa jari-jemari Anissa ke arah
gundukan itu. Sembari dibimbing oleh Dodit, tangan Anissa mengelus
kemaluan tunangannya yang makin lama makin membesar di balik celana.
Tangan Dodit sendiri tidak diam begitu saja. Dia mengelus seluruh tubuh
Anissa dari atas sampai ke bawah.
Dengan berani Dodit menciumi wajah dan leher sang kekasih.
“Mas Dodit! Jangan Mas! Apa yang Mas lakukan?” tanya Anissa sambil
merem melek, walaupun sepertinya menolak, tapi gadis cantik itu cukup
menikmati serangan tangan dan banjir ciuman dari Dodit. Dengan penuh
semangat Dodit meremas-remas buah dada Anissa yang montok dan
menggemaskan. Anissa berusaha mendorong Dodit menjauh tapi tunangannya
itu jelas lebih kuat.
Anissa melenguh keenakan saat Dodit mengecup dan melesakkan tangannya
ke balik baju yang dikenakan Anissa. Tangan Dodit kian merajalela di
balik baju yang dikenakan gadis cantik itu. Dengan nekat tanpa takut
ketahuan orang yang kebetulan lewat, Dodit menyelipkan tangan ke balik
BH Anissa yang masih dikenakannya dan memainkan pentilnya dengan memilin
dan meremas gumpalan dagingnya yang indah. Berulang kali Anissa
melenguh.
Baju Anissa terbuka dan BHnya terangkat naik. Dodit makin leluasa
menikmati bagian dada dari Anissa yang memang besar dan indah itu. Makin
lama makin tidak kuatlah Dodit menahan gejolak nafsu birahinya, dia
menggumuli Anissa dan mencoba melepaskan kancing celana jeans
tunangannya. “A-aku ingin bercinta denganmu, say…” bisik Dodit lirih di
telinga Anissa. Laki-laki muda yang sudah horny itu memeluk tubuh indah
Anissa dan mengulum bibirnya dengan nafsu, kedua tangannya bergerak
bebas meremas-remas gundukan indah buah dada Anissa.
Anissa menggelengkan kepala, walaupun merasa panas dan siap bercinta,
tapi Anissa tidak mau menyerah pada nafsu birahinya. Dengan sedikit
memaksa, Anissa mendorong Dodit menjauh. “Jangan, Mas. Aku mohon… sudah
cukup, jangan melakukan sesuatu yang akan kita sesali nantinya… aku
tidak bisa… aku mohon, kalau Mas Dodit benar-benar mencintaiku… Mas
harus menghargai keputusanku untuk mempertahankan milikku yang berharga
sampai pernikahan kita nanti…”
Dodit mundur sambil ngos-ngosan. Nafasnya tersengal dan tidak teratur. Dodit memandang ke arah Anissa dengan kesal.
###
Pak Hasan meninggalkan Lidya sendirian duduk seorang diri di sebuah
bangku panjang di depan toko yang menyediakan peralatan elektronik. Pria
tua itu cekikikan melihat kegelisahan sang menantu dari jarak jauh.
Pria busuk ini memang sengaja membiarkan Lidya sendirian, dia ingin
melihat menantunya yang cantik itu digoda laki-laki lain. Dengan pakaian
yang super seksi seperti itu, pasti mudah bagi Lidya memperoleh
perhatian seorang lelaki, apalagi yang hidung belang. Tanpa mengenakan
pakaian seksipun Lidya sudah mampu membuat mata seorang pria terpukau,
bagaimana seandainya dia mengenakan baju super seksi?
Keringat dingin mulai membasahi tubuh Lidya. Duduk di depan sebuah
toko elektronik yang ramai dikunjungi oleh laki-laki berbagai usia
dengan pakaian seperti seorang pelacur murahan membuatnya ingin lari.
Tapi Lidya takut dengan ancaman Pak Hasan yang tidak saja bisa menghajar
tubuhnya secara fisik tapi juga menghancurkan masa depannya bersama
Andi. Dia hanya bisa pasrah dan berharap mertuanya itu segera keluar dan
menjemputnya. Saat ini Lidya hanya ingin segera pulang ke rumah.
Untungnya Lidya membawa handphone. Walaupun simcard yang tadinya
berada di dalam hp sudah dicabut dan disita oleh Pak Hasan sebelum
mereka berangkat ke mall, tapi dia masih bisa menggunakannya untuk
kamuflase. Tidak peduli berapa jumlah lelaki yang menggoda ataupun nanar
menatapnya seperti akan menelan tubuh indah Lidya bulat-bulat, wanita
cantik itu berkonsentrasi menatap layar mini di hpnya dan berpura-pura
memencet tombol.
Sialnya, bukannya cuek, malah makin banyak pria-pria nakal yang
memperhatikan Lidya. Seorang pria yang berusia sekitar 40 tahun keluar
dari toko yang dimasuki Pak Hasan dan langsung berdiri di depan Lidya.
Pria itu membawa tas jinjing plastik yang berisi mainan anak-anak. Lidya
yang melirik diam-diam langsung tahu kalau pria ini pasti sudah
berkeluarga dan memiliki seorang anak yang masih kecil, tapi sepertinya
dia pergi sendirian. Lidya makin gelisah, dia berusaha menyilangkan
kakinya sesopan mungkin untuk menutup bagian selangkangannya yang
terbuka lebar. Tapi dengan cara itu, kini pahanya yang mulus bisa
dinikmati oleh sang lelaki hidung belang yang sedang memanjakan mata.
Lidya kian jengah, dia terus menanti-nanti Pak Hasan yang tidak
kunjung keluar dari toko elektronik. Paha mulus Lidya sudah
melambai-lambai seakan minta dielus, walaupun sudah berusaha sebisa
mungkin untuk menutupinya, penampilannya tetap terlihat seronok. Mata
wanita cantik itu memerah karena menahan air mata. Lidya melirik lagi ke
arah sang pria hidung belang, ia berharap pria itu sudah pergi.
Ternyata dugaan Lidya salah, orang itu malah makin mendekat. Terlihat
jelas dari posisi Lidya, sebuah gundukan kian membesar di bagian
selangkangan pria itu. Lidya memalingkan wajahnya yang memerah karena
malu.
Pria hidung belang itu memutari etalase toko seperti seorang anak
kecil yang tersesat, berputar tanpa arah yang jelas, tapi satu hal yang
pasti, pandangan matanya selalu kembali ke arah paha Lidya yang putih
mulus tanpa cacat. Entah harus khawatir atau malah bangga, Lidya sedikit
menyunggingkan senyum karena sikap orang itu malu-malu. Tapi Lidya
tidak mau bermain api, dia segera membenahi posisi duduknya dan
berpura-pura tidak memperhatikan.
Orang itu ternyata malah mendekati Lidya dengan berani. Dia mengira senyuman Lidya tadi ditujukan untuknya!
Lidya mengejapkan mata tak percaya dan menahan nafas saat pria itu datang mendekatinya.
“Sedang menunggu teman?” tanyanya, “saya juga. Boleh saya duduk di sebelah anda? Rasanya capek sekali berdiri di sini.”
Lidya mengangkat bahu dengan cuek, jantungnya mulai berdetak dengan
kencang, matanya bergerak mencoba mencari Pak Hasan. Kemana lagi pria
tua brengsek itu? Lidya makin gelisah dan ingin segera pergi dari sini.
Pria yang genit itu duduk di samping Lidya. Dia sengaja duduk sedikit
merapat ke arah si cantik. Lidya bisa merasakan senggolan-senggolan
kecil di daerah pinggul dan pantatnya.
“Wah, hp seri **** ya?” tanya pria genit itu lagi sambil menunjuk
telpon genggam yang dipegang Lidya. “Saya selalu ingin memiliki hp
seperti itu. Sayang di tempat ini sangat susah mendapatkan hp seperti
yang anda miliki, hp seri baru stoknya terbatas. Padahal saya tidak
peduli dengan harganya yang mahal. Berapapun harganya, pasti saya beli.
Saya selalu mengatakan pada diri saya sendiri, kalau saya menginginkan
hp, harus yang memiliki fitur lengkap. Kebetulan hp itu memiliki
fitur-fitur seperti yang saya butuhkan.”
Lidya mengangguk dan mengangkat bahu, dia masih cuek dan tidak peduli
apa yang dikatakan laki-laki di sebelahnya. Pria itu mendekat dan makin
nekat, kini lengan mereka bersinggungan dan saling menempel sisinya.
Lidya berusaha menyembunyikan hpnya karena toh telpon genggam itu
menyala tanpa simcard. Dia tidak ingin ketahuan oleh si hidung belang
ini sedang berpura-pura. Untungnya pria hidung belang itu lebih tertarik
memperhatikan paha dan belahan buah dada Lidya yang putih mulus dan
menggoda daripada hp yang sedang ia sembunyikan.
Sekali lagi, pria hidung belang itu masih terus mencoba mendekati Lidya.
“Hpnya bagus, cocok dengan pemiliknya yang cantik.” puji si hidung belang dengan rayuannya. “Anda sangat cantik.”
“Terima kasih.” Jawab Lidya mencoba ramah.
“Sebelumnya belum pernah saya memuji seorang wanita yang baru saya
temui seperti saat ini.” Kata si hidung belang lagi. “Tapi anda
benar-benar mempesona.”
“Terima kasih. Saya beruntung menjadi yang pertama yang pernah anda
puji.” Jawab Lidya. Dia menarik nafas lega karena sepertinya orang ini
cukup sopan untuk tidak berbuat yang aneh-aneh di tengah keramaian.
“Saya tidak tahu apa yang merasuki diri saya, mudah-mudahan anda tidak tersinggung.” Kata pria itu lagi.
“Ah tidak.” Jawab Lidya pendek. “Saya tidak tersinggung.”
Lidya berusaha membenahi caranya duduk agar pria di sebelahnya tidak
bisa menikmati pahanya yang putih mulus dengan bebas. Matanya masih
terus mencari Pak Hasan. Kalau hanya digoda oleh laki-laki sudah jadi
langganan bagi Lidya, yang membedakan kali ini adalah caranya
berpakaian. Dengan busana yang ia kenakan, Lidya seakan seperti seorang
pelacur yang sedang menunggu pelanggan. Memalukan sekali!
“Saya juga sangat menyukai pakaian yang anda kenakan, sangat modern
dan seksi. Jujur saja saya sangat kagum dengan kecantikan anda. Apakah
anda seorang model iklan atau bintang sinetron?” pria itu mulai berani
melancarkan serangan.
“Bukan. Saya hanya seorang ibu rumah tangga biasa.”
Kata-kata ‘ibu rumah tangga’ membuat lelaki itu sedikit terkejut.
Jarak mereka merenggang. Lidyapun akhirnya bisa menarik nafas lega. Tapi
pria itu masih juga belum mau menyerah.
“Apa anda sedang menunggu suami anda?” tanya laki-laki itu.
“Tidak.” Kali ini Lidya menjawab jujur. “Suami saya sedang berada di luar kota. Saya bersama ayah mertua saya.”
Di saat genting, Lidya malah keceplosan mengatakan hal-hal jujur pada
laki-laki ini, tapi memang Lidya mulai kebingungan mencari kata-kata
karena ditelan oleh perasaan gelisah yang makin lama makin membuncah,
dan pada akhirnya, dia mengatakan hal jujur di saat dia harus berbohong.
Keringat si cantik mengalir deras. Laki-laki itu merasa kembali
mendapatkan angin, dia merapat lagi, kali ini bahkan agak mendesak tubuh
Lidya.
“Wah, kalau begitu suami anda adalah seorang pria yang sangat
beruntung karena memiliki seorang istri yang cantik dan seksi yang juga
sangat sayang pada mertua.” Katanya. “Saya selalu berharap istri saya
berani mengenakan pakaian yang lebih membuat saya bergairah tapi dia
selalu menolaknya.”
“Saya yakin istri anda punya alasan sendiri.” Jawab Lidya sambil menjauh.
Lidya tidak berani menatap mata laki-laki di sebelahnya, pria itu
menatapnya nanar seperti ingin menjilat seluruh tubuh Lidya. Lidya ingin
pergi, dia ingin cepat-cepat meninggalkan pria ini, dia takut sekali,
tapi Lidya jauh lebih takut pada Pak Hasan sehingga dia tidak beranjak
meninggalkan bangku.
“Tentunya kaki istri saya yang gemuk tidak bisa dibandingkan dengan
keindahan kaki anda yang langsing. Suami anda benar-benar seorang
laki-laki yang beruntung.” Kata pria itu lagi. “Sayang dia tidak
mempedulikan anda dan pergi ke luar kota sendirian…”
“Dia sedang dinas keluar kota .”
“…mungkin saja. Tapi hari ini, di mall ini, pasti banyak orang yang
mau meninggalkan istri mereka dan mengajak anda pulang ke rumah.”
“Anda sungguh berani mengatakan hal itu.”
Pria itu tersenyum penuh percaya diri, tangannya perlahan mengelus
lengan Lidya yang putih mulus, dia benar-benar yakin Lidya akan jatuh ke
tangannya. Si cantik itu mulai jengah, kata-kata orang ini terdengar
sopan dan terpelajar, sayang kelakuannya menjijikkan.
“Apakah anda termasuk pria tidak mempedulikan istri anda?” tanya
Lidya menantang. Dia menepis tangan pria hidung belang tak dikenal yang
mulai keterlaluan itu.
“Bagaimana pendapat anda? Apa anda mau saya ajak pulang?” tanya pria
itu sambil cekikikan, wajahnya terlihat sangat nafsu dan menjijikkan.
Dalam benaknya pasti sudah terbayang beribu macam cara menunggangi
Lidya. Dia pasti sudah gatal ingin melesakkan batang kemaluannya
dalam-dalam di liang rahim si cantik ini.
“Maaf sobat. Tapi nampaknya menantu saya tidak tertarik pada anda.” Sebuah suara menyelamatkan Lidya.
Pak Hasan sudah datang.
Beberapa hari ini Lidya merasa jijik dan marah pada mertuanya, baru
kali ini dia merasa sangat lega Pak Hasan datang dan menyelamatkannya
dari godaan seorang lelaki hidung belang. Lidya segera bangkit dan
berlindung di balik tubuh Pak Hasan. Laki-laki itu tahu diri dan mundur
teratur sambil memasang muka masam. Tapi dia masih sempat melirik ke
arah Lidya dan menjilat bibirnya penuh nafsu.
Dasar hidung belang!
Pak Hasan memeluk pinggang menantunya dan mereka berjalan lagi
menyusuri lorong-lorong mall. Karena sudah diselamatkan dari lelaki
iseng dan terlindungi, Lidya diam saja saat tangan mertuanya itu nakal
meraba dan meremas-remas pantatnya saat mereka berjalan bersama. Lidya
seakan sudah tidak peduli seandainya ada orang yang saat itu menatap
mereka.
Satu perasaan bangga memenuhi batin Pak Hasan. Seumur hidupnya, dia
belum pernah memiliki suatu hal yang bisa dibanggakan. Kini, saat
berjalan bersanding dengan seorang wanita yang masih muda, cantik dan
seksi yang bisa ditunggangi setiap saat, banyak lelaki menatapnya iri.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Pak Hasan bisa memamerkan sesuatu
yang membuat orang lain ingin menjadi dirinya. Pak Hasan benar-benar
puas.
“Bagaimana rasanya, nduk?” bisik Pak Hasan di telinga Lidya.
Sekujur tubuh wanita jelita itu merinding karena bisikan Pak Hasan disertai pula dengan ciuman dan jilatan kecil di telinganya.
“Ra-rasanya apa, Pak?” Lidya menggelinjang geli.
“Bagaimana rasanya digoda laki-laki?”
“Bu-bukan yang pertama kali. Aku tidak suka…” Lidya tidak meneruskan
kalimatnya karena sekali lagi Pak Hasan mengendus telinganya yang wangi.
Lidya tidak bohong, walaupun terkesan sombong tapi memang dia sudah
sering sekali digoda laki-laki hidung belang. Sebenarnya Lidya benci
sekali pria semacam itu, karena meskipun Lidya sudah mengenakan pakaian
yang sopan, tidak seksi dan tidak menunjukkan lekuk tubuhnya yang indah,
masih banyak yang mendekatinya dengan tidak sopan. Kali ini situasinya
sedikit berbeda, karena Lidya jelas-jelas menggunakan pakaian seksi yang
mengundang birahi, dia bagaikan seorang pelacur yang sedang menawarkan
dagangan dengan mempertontonkan keindahan lekuk tubuhnya. Lidya
meneruskan kalimatnya dengan lirih sambil memejamkan mata sesaat ketika
lidah Pak Hasan nekat menjelajah daun telinganya di tengah keramaian
mall. “…tidak suka…”
“Kamu tidak suka digoda?”
“Ti-tidak…”
Pak Hasan menyeringai jahat.
###
“Kamu kecewa, Mas?”
Dodit yang sedang merapikan bajunya terdiam membisu. Bagaimana dia
harus menjawab pertanyaan Anissa itu? Jujur saja dia kecewa karena tidak
bisa melampiaskan nafsu birahinya yang sedang memuncak, tapi di sisi
lain, dia juga sangat bangga pada kekasihnya karena masih menjunjung
tinggi nilai dan budaya timur yang kini sudah mulai luntur. Sangat
jarang menemui gadis seperti Anissa.
“Kamu pasti kecewa ya, Mas?” Anissa mengulangi pertanyaannya.
Dodit tersenyum dan mengelus rambut tunangannya yang panjang dan
indah dengan mesra. “Kenapa harus kecewa? Aku bangga sama kamu, say. Di
jaman sekarang ini, susah sekali menemukan gadis yang masih memandang
penting keperawanan seperti kamu. Aku bangga dan merasa terhormat.
Pernikahan kita sudah hampir tiba, jadi kenapa harus kecewa? Aku hanya
perlu sabar dan menunggu sebentar lagi.”
Anissa tersenyum mendengar perkataan Dodit. Dia tidak tahu apakah
Dodit berbohong untuk sekedar menenangkan dirinya atau benar-benar
jujur, tapi Anissa yakin Dodit pria yang baik, dia bersedia menunggu
sampai datang hari pernikahan mereka untuk bisa bersatu dengannya.
Anissa tahu saat ini Dodit sudah sangat horny, tapi kemampuannya
mengendalikan diri memang pantas diacungi jempol. Dia dengan bangga akan
menyerahkan segalanya untuk Dodit di hari pernikahan mereka. Dia akan
memberikan miliknya yang paling berharga, kegadisannya yang sudah dia
jaga sejak kecil.
“Terima kasih, sayang,” kata Anissa sambil lembut mengecup pipi
Dodit, “kau tahu seandainya kau teruskan, aku tidak akan bisa menolakmu
karena aku sangat mencintaimu, tapi aku ingin malam pertama kita
benar-benar menjadi malam pertama yang sangat berharga.”
Dodit tersenyum dan balas mengecup pipi Anissa, dia kembali terdiam
dan membisu. Dodit memutar kunci dan menghidupkan mesin mobil.
###
“Pak, kenapa kita harus mencarinya? Dia menjijikkan! Dia menggodaku…
dia… dia…” kata-kata Lidya patah-patah karena bingung mencari kata yang
cocok. Dia kesulitan berjalan cepat sambil tetap mempertahankan
pakaiannya agar tidak terbuka dengan vulgar, meskipun saat ini dia sudah
seperti seorang pelacur hina.
“Itu sebabnya kita harus menemuinya! Bapak akan memberinya pelajaran berharga!”
Pak Hasan mencari-cari pria hidung belang yang tadi menggoda Lidya.
Setelah berkeliling dari lantai ke lantai, mereka menemukannya sedang
duduk di sebuah restoran siap saji, dia segera menarik tangan Lidya dan
menghampirinya. Lidya yang sudah berharap tidak akan bertemu lagi dengan
orang itu menjadi sangat kecewa, bagaimana mungkin di mall sebesar dan
seramai ini, Pak Hasan bisa menemukan orang itu lagi?
“Selamat siang, mas.” Kata Pak Hasan. Orang itu memang lebih muda
dari Pak Hasan, dengan pandangan curiga dan ragu pria hidung belang yang
tadi menggoda Lidya menatap ke arah Pak Hasan dan menantunya.
“Ya?” pria genit itu mengernyitkan dahi.
“Kenalkan, nama saya Hasan dan ini menantu saya, Lidya.” Kata Pak Hasan sambil mengajak pria mupeng itu bersalaman.
“Saya Nyoto.” Pria itu masih menjawab dengan pendek, tapi dia tidak
melewatkan kesempatan untuk menjabat tangan Lidya dan mengelusnya
sedikit. Pria itu terkekeh pelan menikmati halusnya tangan Lidya. Si
cantik itu sendiri ingin mati rasanya.
“Saya lihat tadi Mas Nyoto tertarik dengan menantu saya, apa benar?”
“Kalau iya kenapa?” Nyoto menjilat lidahnya ke arah Lidya dengan
sengaja, membuat Lidya makin jengah. Dia menarik-narik ujung baju Pak
Hasan dan mengajaknya pergi, tapi rupanya mertuanya itu punya rencana
lain.
“Yah, menantu saya ini rupanya juga sangat tertarik pada anda. Bahkan
dia tadi mengatakan kalau seandainya diberikan kesempatan sebentar saja
dia ingin merasakan kehangatan yang mungkin bisa anda berikan padanya.
Berulang kali dia meminta untuk kembali dipertemukan dengan anda.” Kata
Pak Hasan sambil melirik Lidya puas.
Lidya benar-benar ingin mati, dua pria ini pantas dibunuh. Seandainya
bisa, dia ingin mengambil sebilah pisau dan menancapkannya di dada Pak
Hasan dan Nyoto. Pria yang bernama asli Sunyoto itu bagaikan baru saja
menjadi pemenang undian berhadiah, dia hampir-hampir melompat dari
kursinya dan hendak memeluk Lidya. Tapi Pak Hasan menghentikannya.
“Tapi tentu saja, saya tidak bisa mengijinkan Mas Nyoto memakai
menantu saya ini, karena biar bagaimanapun juga, dia masih menantu saya
dan istri sah dari anak saya. Saya tidak akan mengijinkan siapapun juga
menidurinya.” Kata Pak Hasan sambil menatap Nyoto galak.
Nyoto yang ternyata cukup pengecut kembali duduk ke kursinya. Pria
genit itu menatap Pak Hasan heran. “Kalau tidak boleh dipakai, buat apa
ditawarin?”
“Berhubung anak saya sedang keluar kota, menantu saya ini sangat
kesepian. Bagaimana kalau Mas Nyoto bermain-main sebentar dengan buah
dadanya? Seperti yang mas Nyoto lihat, Lidya tidak mengenakan BH dan
ingin dibelai-belai sebentar di kamar kecil.” Kata Pak Hasan.
Perlahan Lidya meneteskan air mata. Dia sudah tidak mampu lagi
berucap ataupun mengeluarkan protes. Penghinaan Pak Hasan sudah hampir
membuatnya pingsan, dia sama sekali tidak mengira mertuanya itu akan
menyerahkannya pada pria menjijikkan ini.
Nyoto melonjak lagi. “Berapa perlu saya bayar untuk melakukan itu?”
“Mas Nyoto hanya perlu membelikan makan siang untuk kami berdua.”
“Setuju.” Nyoto langsung mengangguk. Dia meraih dompet dan
mengeluarkan lembaran ratusan ribu pada Pak Hasan. “Terserah kalian mau
makan di mana.”
Dengan buru-buru Nyoto menggandeng lengan Lidya dan menariknya ke
kamar kecil di ujung gang yang untungnya sedang sepi. Dia tidak peduli
lagi dengan makan siangnya yang belum habis di restoran siap saji tadi.
Dia lebih bernafsu menikmati buah dada Lidya. Pak Hasan tertawa sambil
mengikuti mereka berdua dari belakang.
Nyoto tidak menunggu terlalu lama, saat berada di gang menuju kamar
kecil yang sepi, dia segera menubruk Lidya. Dengan kasar dia membuka
kancing baju kemeja Lidya dan tidak mempedulikan airmata yang menetes di
pipi wanita cantik itu. Lidya benar-benar sudah tidak bisa berbuat
apa-apa lagi kecuali pasrah.
“Kamu pikir kamu bisa lolos dariku, yah?” kata Nyoto sambil terkekeh
pada Lidya. “Untung sekali kamu punya mertua yang pengertian. Dasar
sombong, rasakan sekarang pembalasanku!”
Dengan sekali sentak, kemeja Lidya terbuka lebar. Perempuan cantik
itu menjerit lirih tak berdaya, tangisannya makin menjadi. Buah dada
Lidya meloncat keluar tepat di hadapan Nyoto dan pentilnya yang menunjuk
ke depan mempesona pria genit itu. Lidya kembali menjerit dan terisak
saat Nyoto dengan kasar meremas buah dadanya dengan gemas dan
memainkannya dengan nakal. Lidya bisa merasakan jari jemari Nyoto
melingkari pentilnya dan perlahan memencetnya. Karena tubuh Lidya dan
Nyoto berdempetan, Lidya bisa merasakan gumpalan kemaluan di
selangkangan Nyoto makin lama makin membesar.
Cukup lama Nyoto meremas-remas buah dada Lidya dan mereguk kenikmatan
darinya, sebelum ada orang yang melewati gang itu, akhirnya Pak Hasan
menghentikan ulah cabul Nyoto pada menantunya. Nyoto mengangguk tanda
mengerti dan menghentikan serangannya pada dada Lidya. Wanita cantik itu
jatuh luruh ke lantai sambil terus menangis terisak-isak.
“Maaf, Mas. Waktunya habis.” Kata Pak Hasan.
“Wah… nanggung sekali, Pak. Saya belum menjilatinya, saya belum
menikmati buah dada itu seutuhnya.” Nyoto ngos-ngosan menahan birahi
yang sudah hampir memuncak. “Saya ingin lebih, saya ingin menidurinya.”
Nyoto meraih dompet dan bersiap mengeluarkan beberapa lembar uang
ratusan ribu lagi. Pak Hasan tersenyum dan menggeleng. “Maaf sekali,
tapi perjanjian adalah perjanjian. Dia masih menantu saya, Mas. Saya
masih harus menghormati dia.”
Nyoto menunduk kesal, dengan setengah membentak, dia mendorong Pak
Hasan. “Berapapun saya bayar, Pak! Berapapun!! Saya punya ATM, kartu
kredit, semua buat Bapak! Saya hanya ingin memeknya! Saya ingin memek
menantu bapak ini! Sekali saja!!”
Pak Hasan menyeringai marah dan balas mendorong Nyoto, di luar
dugaan, ternyata Pak Hasan jauh lebih kuat dari pria yang sedang birahi
ini. “Saya sudah katakan berulang-ulang, perjanjiannya hanya soal buah
dada Lidya, bukan memeknya! Dia bukan pelacur!!”
Nyoto menunduk lagi. Akhirnya emosinya perlahan menyurut. Dengan
langkah lemas dia meninggalkan Pak Hasan dan Lidya. Di luar dugaan, Pak
Hasan mendatangi Lidya dan memeluknya mesra. Lidya memeluk Pak Hasan
erat dan menangis sejadi-jadinya. Pak Hasan mengelus-elus rambut Lidya
dan memberinya penghiburan. Walaupun merasa aneh, Lidya sedikit merasa
terlindung ulah sikap Pak Hasan yang tiba-tiba baik ini.
Nyoto ternyata masih belum menyerah. Dia mengeluarkan kartu nama dari
dalam dompetnya dan menaruhnya di lantai. “Seandainya bapak butuh uang
dan berniat melakukan perjanjian lagi, silahkan hubungi saya. Saya bukan
orang yang kaya raya, tapi berapapun saya bayar untuk bisa menikmati
memeknya.”
Pak Hasan menatap Nyoto sambil meringis sadis. Dia mengambil kartu
nama itu dengan terkekeh. “Yah, kita toh tidak tahu kapan butuh uang.
Siapa tahu Lidya suatu saat nanti kangen pada Mas Nyoto.”
Lidya kaget dengan ucapan mertuanya dan mendorongnya menjauh. Pak Hasan dan Nyoto tertawa berbarengan.
“Kurang ajar! Kalian anggap apa saya ini? Barang dagangan? Pelacur
murahan?” Lidya menjerit marah. Kesabarannya sudah habis. “Pak, saya ini
menantumu! Istri dari anakmu! Teganya kamu melakukan ini semua?”
Plakk!! Tamparan Pak Hasan mendarat di pipi Lidya. Bekas merah merona
tertinggal di pipi mulus wanita cantik itu. Lidya kembali menangis tak
tertahankan.
“Jangan pernah bicara kurang ajar di depan kenalan baru!” bentak Pak
Hasan. “Maafkan menantu saya, Mas Nyoto. Seandainya dia nanti merindukan
remasan-remasan anda, pasti saya hubungi anda lagi.”
“Baik, saya tunggu telpon anda.” Kata Nyoto sambil menyeringai puas.
Sebelum pergi, pria genit itu mengerlingkan mata pada Lidya yang masih
menangis.
Lidya menatap mertuanya ketakutan.
“Bersihkan wajahmu di kamar kecil. Benahi make-upmu! Kuberi waktu
sepuluh menit. Kalau selesai dalam sepuluh menit, kita pulang. Kalau
tidak, akan aku cari orang lain lagi untuk meremas-remas buah dadamu!”
Lidya segera lari ke kamar kecil dengan terburu-buru.
###
“Bang! Baksonya tiga ya, Bang!”
“Iya Bu!”
Akhir-akhir ini Paidi sering lewat di komplek rumah di sekitar pos
kamling lokasi dia memergoki wanita cantik idamannya. Pagi siang malam
Paidi berkeliling untuk mencari tahu siapa sebenarnya sosok bidadari
yang kemarin lusa dia lihat. Wanita itu sangat cantik dan terlihat
seperti wanita baik-baik. Paidi tidak habis pikir apa yang dilakukan
wanita seperti itu malam-malam di pos kamling. Bisa dipastikan wanita
cantik itu adalah warga komplek ini, itu sebabnya Paidi bersemangat
mencarinya. Walaupun nanti kalau sudah bertemu, Paidi tidak tahu apa
yang akan dia lakukan.
Hari ini, Paidi kembali berusaha mendapatkan jawabannya. Kebetulan
sekali ada tiga orang ibu-ibu komplek yang sedang ngerumpi dan membeli
bakso dagangannya. Dengan hati-hati Paidi mendekati mereka dan
berpura-pura memotong-motong sayuran, Paidi menguping pembicaraan
ibu-ibu yang sedang asyik ngobrol, siapa tahu ada informasi yang bisa
dia simpan.
“Eh, Bu Syamsul, katanya Pak Bejo punya cewek simpanan baru lho.”
“Cewek simpanan? Pak Bejo yang gemuk itu? Pak Bejo Suharso? Masa sih,
Bu? Siapa yang mau sama Pak Bejo? Istrinya aja nolak-nolak!”
Ibu-ibu itu tertawa.
“Bener kok, Bu. Ini gosip dari Bu Bejo sendiri. Katanya akhir-akhir
ini Pak Bejo jadi lebih sering dandan dan lebih wangi. Dia jadi lebih
memperhatikan diri. Kalau dulu boro-boro dia mau pakai minyak wangi,
sikat gigi aja jarang!”
“Ah, Bu Tatang ini…”
“Kalau berita itu bener, saya jadi heran sendiri. Siapa sih wanita
bodoh yang mau sama Pak Bejo? Meskipun di depan orang kelakuannya baik,
tapi sebenarnya itu kedok karena di belakang dia punya perangai dan
watak yang jelek! Busuknya kan sudah terkenal sampai kemana-mana!
Kasihan istrinya.”
“Iya tuh, saya juga sering ngeri kalau melihat Pak Hendra dan Bu
Hendra mempercayakan rumah dan anak pada Pak Bejo. Mungkin mereka
satu-satunya warga yang tidak tahu seperti apa Pak Bejo sebenarnya.”
“Yah, kalau soal itu sih, awalnya juga tidak ada yang tahu, Bu
Syamsul. Soalnya Bu Bejo kan orangnya baik banget! Suka menolong dan
ramah. Bu Hendra juga baik, tidak pernah mencurigai orang dan sifatnya
lemah lembut, jadi saya yakin keluarga Pak Hendra pasti mempercayai
keluarga Pak Bejo.”
“Eh, jangan-jangan cewek simpenan Pak Bejo itu Bu Hendra yah?”
Ibu-ibu itu kembali tertawa.
“Ah, Bu Tatang ini ngaco terus! Mana mau Bu Hendra sama Pak Bejo!
Suaminya saja cakep banget, belum lagi Pak Bejo itu gemuk, botak dan
jelek! Buat apa Bu Hendra yang cantik dan seksi itu selingkuh sama Pak
Bejo? Kalau beneran mau selingkuh kan dia bisa cari laki-laki lain yang
lebih cakep? Ah ada-ada saja.”
“Bener, Bu Syamsul. Bu Hendra itu bener-bener tipe ibu rumah tangga
idaman di komplek kita. Masih muda, cantik, seksi, setia, baik, ramah,
sopan, udah gitu lemah lembut pula. Gak ada kurang-kurangnya. Suami saya
aja sering diam-diam melirik nakal kalau sedang berpapasan di jalan
dengan Bu Hendra.”
“Wah, suami saya juga, Bu Sani. Kalau sudah ketemu Bu Hendra, itu
mata kayaknya nggak mau lepas-lepas! Dilalapnya sampai habis penampilan
Bu Hendra dari atas ke bawah! Kakinya yang jenjang, kulitnya yang putih
mulus, bodinya yang aduhai, buah dadanya yang indah, wajahnya yang
cantik, semua ditelan mentah-mentah. Dasar laki-laki, kalau sudah lihat
yang bening lupa sama istri sendiri!”
Ibu-ibu itu tertawa lagi.
Paidi mengangguk-angguk sambil memainkan mangkok baksonya. Pria itu sepertinya mulai menemui titik terang.
Paidi mencatat informasi yang didapatkannya dari percakapan ibu-ibu
itu dalam benaknya. Sepertinya ada seorang wanita yang sangat cantik dan
seksi yang tinggal di komplek ini dan menjadi idola tidak saja bagi
kaum pria tapi juga kaum wanita. Perempuan itu adalah istri dari seorang
warga komplek yang bernama Hendra, apakah mungkin dia wanita yang dia
lihat malam itu?
Paidi jelas berniat mencari tahu.
###
Lidya masuk ke kamarnya dengan langkah lunglai. Badannya lemas dan
capek, wajahnya kuyu, seluruh kekuatannya telah diserap habis oleh
kegiatannya sehari bersama Pak Hasan. Dia sudah tidak bisa lagi menangis
sedih karena sangat lelah. Dia hanya ingin bisa tidur dengan tenang
malam ini.
Lidya menatap dirinya sendiri dalam cermin, dia seolah melihat
seorang pelacur yang sudah kelelahan melayani pelanggan. Tidak nampak
lagi sosok wanita cantik yang ceria seperti dahulu, tidak ada lagi
senyum tersungging di bibirnya yang mungil. Semua hilang karena ulah
mertua yang cabul.
Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka dan Pak Hasan masuk sambil cengengesan.
Untuk beberapa saat lamanya Lidya berdiri kebingungan tanpa tahu apa
yang sebaiknya ia lakukan. Mulutnya sudah terbuka, tapi tak kunjung
keluar kata-kata yang bisa ia ucapkan. Seluruh pikirannya sudah kabur.
Akhirnya Lidya hanya berkata lirih. “Apa yang Bapak inginkan? Aku capek
sekali.”
“Apa yang aku inginkan? Kamu ini benar-benar bodoh atau cuma
pura-pura saja, nduk? Tidak usah pakai basa-basi, langsung dibuka saja
bajumu.” Perintah Pak Hasan. “Sejak tadi pagi aku menahan diri tidak
memakai memekmu, sekarang saat yang tepat”
Wajah Lidya berubah menjadi muram. Dalam hatinya dia sudah berharap
Pak Hasan tidak akan menyetubuhinya lagi malam ini. Harapannya jelas
tidak terwujud. Lidya berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Mertuanya
yang cabul itu sudah pernah menidurinya beberapa kali dan pakaian yang
dikenakannya sendiri saat ini sangat terbuka, apalah bedanya kalau saat
ini dia bugil atau tidak?
Senyum yang tersungging di bibir Pak Hasan makin melebar saat melihat
Lidya melepaskan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya. Seluruh
pakaian yang dibelinya siang tadi di Mall akhirnya terlepas dari tubuh
sang menantu. Kemeja tipis menerawang tanpa BH, rok mini hitam yang
seksi dan celana dalam g-string super kecil jatuh satu persatu ke
lantai.
“Indah sekali.” Pak Hasan tertawa puas menyaksikan menantunya sendiri
berdiri telanjang bulat dan kedinginan dihadapannya. Pria tua itu juga
meringis melihat Lidya berusaha keras menutupi rasa malu luar biasa yang
ditimbulkan karena berdiri tanpa sehelai benangpun di depan mertuanya
sendiri. “Berbaliklah, nduk. Aku ingin melihat pantatmu.”
Lidya menggigit bibir bawahnya dengan geram dan menurut pada perintah
Pak Hasan. Wanita cantik itu berbalik dengan sangat perlahan sehingga
mertuanya bisa melihat dengan jelas gelombang gerakan erotis yang
ditimbulkan oleh pantat Lidya. Pantat sang menantu sangat mempesona Pak
Hasan. Pantat yang bulat, putih mulus dan tanpa cacat, kemolekan yang
sempurna.
“Menakjubkan.” Kata Pak Hasan. Matanya nanar menatap keindahan bokong
sang menantu. “Berbaringlah di ranjang dan buka kakimu lebar-lebar. Aku
pengen ngentot sekarang.”
Lidya menahan nafas karena terkejut dan mulai panik. Dia berusaha
menghindar dari Pak Hasan. Setelah seharian mendapatkan rangsangan demi
rangsangan, Lidya takut dia mulai rindu pada kontol sang mertua yang
beberapa hari ini telah membuatnya orgasme berkali-kali. Hal ini
berusaha dihindarinya sedini mungkin. Dia tidak mau tenggelam dalam
nafsu pada sang mertua. Dengan rasa takut yang amat sangat, Lidya
berusaha menghindar. Dia masih memiliki kesadaran untuk menolak.
Walaupun sudah pernah diperkosa, Lidya tetap menolak untuk pasrah. Tapi
apalah daya seorang wanita lemah sepertinya? Apalagi kini Lidya sudah
bugil di hadapan sang mertua.
“Baiklah, sepertinya kau mendapat kesulitan berkomunikasi dengan
Bapak, ya nduk?” kata Pak Hasan sambil tersenyum lebar. “Bagaimana kalau
kita adakan perjanjian saja?”
“Pak, aku mohon. Cukuplah apa yang Bapak lakukan ini. Perbuatan kita sangat nista, Pak. Ijinkan aku…”
“Shhh, jangan ribut to, nduk. Kita buat perjanjian saja ya? Soalnya
aku masih penasaran sama tubuhmu yang seksi itu,” kata Pak Hasan.
Wajahnya terlihat sangat sadis dan membuat Lidya bergidik ketakutan,
tamparannya siang tadi di mall masih terasa panas di pipinya, “Kali ini
kau akan memperbolehkanku menyetubuhimu tanpa perlawanan. Tidak hanya
itu saja, kali ini kau juga harus membuatku orgasme dan kalau kau tidak
bisa membuatku orgasme secepat mungkin, ah, resiko ada di tanganmu…”
Lidya menatap Pak Hasan heran. “Kenapa resiko ada di tanganku?”
“Oh ya, Lidya sayang. Ada sesuatu yang lupa aku sampaikan padamu.”
Lidya menatap mata ayah mertuanya dengan pandangan bertanya-tanya.
Tubuhnya yang telanjang menggigil terkena angin. Lidya berusaha menutup
ketelanjangannya dengan memeluk dirinya sendiri. Tangan kanan menyilang
menutupi pentil dan tangan kiri menutup gundukan lembut di selangkangan.
“Aku bohong soal Andi.” Kata Pak Hasan.
Jantung Lidya berdetak kencang, perlahan rasa takut menyebar di
seluruh tubuhnya. Pak Hasan tersenyum menghina, dia bergerak mendekati
Lidya dan memeluk tubuh menantunya itu erat-erat. Tangan-tangannya yang
nakal mengelus dan meraba lekuk-lekuk tubuh Lidya. Wanita cantik itu
masih tak bergeming, kedua tangannya juga masih berusaha menutup
auratnya. Pak Hasan terkekeh, dia dengan berani menyentakkan tangan
kanan Lidya dan meremas-remas payudaranya perlahan.
“Andi pulang hari ini. Dia baru saja telpon dari bandara.” Kata pria tua itu.
Mata Lidya terbelalak.
“Dia akan segera sampai di rumah.”
Dengan panik Lidya mencoba melepaskan diri dari pelukan ayah
mertuanya. Menantu Pak Hasan yang cantik itu menjerit-jerit dan menangis
tak tertahankan, dia berusaha menarik tubuhnya dari kuncian sang mertua
namun tidak berhasil. Tubuhnya yang indah dan basah oleh keringat tak
bisa lepas dari pelukan Pak Hasan.
“Lepaskan aku! Lepaskan! Andi sudah mau pulang! Kita tidak boleh
terlihat seperti ini! Kumohon, Pak! Kasihani aku! Kasihani akuuu!!”
Pak Hasan meringis sadis dan tak memberi ampun sedikitpun. Gerakan tangannya meremas buah dada Lidya malah makin kencang.
“Aduh, sial sekali! Aku lupa mengunci pintu depan!” goda Pak Hasan.
Lidya menjerit-jerit ketakutan. Pelukan Pak Hasan makin erat.
“Bagimana menurutmu, nduk? Aku janji akan segera melepaskanmu begitu
aku mencapai klimaks. Sebaiknya kita segera bersetubuh dengan cepat
karena Andi hampir sampai. Aku tidak berani menjamin apa yang akan
dilakukan anakku itu padamu seandainya dia pulang mendapati istrinya
yang cantik jelita telanjang bulat digauli oleh bapaknya sendiri. Jujur
saja, aku tidak peduli seandainya Andi pulang dan menemui kita dalam
posisi seperti ini, tapi aku yakin pendapatmu pasti sebaliknya. Pasti
kau ingin ini semua cepat selesai, iya kan?”
“Ba-bapak benar-benar sudah gila… aku… aku tidak bisa melakukannya!
Mas Andi… mas Andi sudah mau pulang! Ti-tidak akan sempat! Kita tidak
akan sempat ber…” Lidya menjerit putus asa, tubuhnya yang telanjang kian
bersinar indah karena derasnya kucuran keringat bercampur dengan air
mata. Wajahnya yang menunjukkan rasa takut dan gelisah malah membuat Pak
Hasan kian terangsang dan bergairah. Pria tua itu melepaskan pelukannya
dan berdiri di dekat ranjang.
“Tidak sempat bercinta, maksudmu? Kalau begitu, tidak ada waktu lagi
untuk berpikir, nduk,” kata Pak Hasan sambil menyeringai, “Andi bisa
setiap saat pulang ke rumah. Berapa jam sih waktu yang dibutuhkan untuk
sampai ke sini dari bandara?”
“Tidak bisa. Tidak sempat. Tidak … aku tidak mau!” Lidya terus
menggeleng. Pikirannya kalut. Dia meremas-remas jemarinya dengan
perasaan gelisah.
“Waktu terus berjalan, nduk,” Pak Hasan terkekeh menghina,
“Sebenarnya kau tidak punya banyak pilihan, kalau tidak mau melayaniku,
ya berarti kau lebih memilih kuperkosa saja. Karena kalau itu yang kau
mau, aku tidak yakin Andi bisa menerima kenyataan yang harus dihadapi.
Bayangkan, istri dan ayahnya…”
“Hentikan!! Jangan bapak teruskan kata-kata itu!!” Lidya makin panik.
Desah nafas Lidya yang memburu kian keras terdengar, bahkan sampai ke
telinga Pak Hasan. Dadanya naik turun dengan cepat dan nafasnya yang
cepat terdengar berat. Lidya berusaha mencari jalan keluar dari situasi
ini tapi sepertinya tidak ada pilihan yang bisa menyelamatkannya.
Lidya menundukkan kepala dengan pasrah. Tidak ada jalan lain.
Lidya berbisik lirih memohon maaf kepada suaminya. Sambil
terburu-buru Lidya segera menghampiri Pak Hasan, menarik celana
pendeknya dan meraih tongkat kemaluan kebanggaan sang mertua. Mata Lidya
terbelalak melihat ukuran penis Pak Hasan yang terlihat jauh lebih
besar dari sebelumnya.
“Nah, gitu kan enak, bagaimana kontolku, nduk? Pas di tanganmu yah?”
Pak Hasan tertawa melihat menantunya akhirnya mau melayaninya tanpa
paksaan. Selama ini Pak Hasan hanya berhasil memperkosa Lidya, belum
bisa membuat menantunya yang cantik itu bercinta dengannya dengan
kesadaran sendiri. Kali ini akhirnya apa yang diimpikannya menjadi
kenyataan.
Lidya tidak menjawab sindiran Pak Hasan. Matanya berulang kali
menatap ke arah jendela dengan takut. Lidya segera mulai mengocok kontol
Pak Hasan. Jemari lembut Lidya bergerak cepat mengocok penis Pak Hasan
naik turun dengan harapan pria tua yang bejat itu segera mencapai
klimaks.
“Ayo cepat, cepat…” desis Lidya, matanya terus beralih dari jendela
ke kemaluan Pak Hasan. Lidya makin tidak sabar dan bertanya-tanya butuh
waktu berapa lama lagi Pak Hasan akan menembakkan spermanya.
“Menyenangkan, sayang,” kata Pak Hasan, “Tapi percayalah, kalau cuma begini terus aku tidak akan cepat mencapai klimaks.”
Lidya mulai merasa pening. Dia benar-benar sangat stress. Pandangan
matanya terus beralih dan berputar, cukup lama dia menatap penis Pak
Hasan yang besarnya luar biasa itu. Mertuanya itu benar, kalau hanya
begini saja pasti akan memakan waktu yang sangat lama.
“Dasar!” teriak Lidya kalut, dengan serta merta dia melepaskan
pegangan pada kontol Pak Hasan dan menarik celana pendek sang mertua
sampai ke bawah. Kontol besar milik mertuanya itu bergelantungan di
depan wajah Lidya.
Lidya menarik nafas panjang karena lagi-lagi harus melakukan hal yang
tidak begitu disukainya. Seandainya ini Andi, Lidya akan melakukannya
dengan sukarela dan penuh rasa cinta, tapi kontol di depan wajahnya ini
justru milik ayah dari Andi, mertuanya sendiri.
Lidya menarik batang penis Pak Hasan yang menegang dan berukuran
besar. Si cantik itu sempat melirik ke arah mertuanya yang tersenyum
meringis dengan wajah menghina. Lalu sambil mencoba menahan nafas agar
tidak tersedak, kepala Lidya maju ke depan dan mulutnya membuka.
Perlahan lidahnya yang mungil mulai menjilat ujung gundul kepala penis
Pak Hasan. Gerakan Lidya makin lama makin cepat, dia berusaha menelusuri
setiap jengkal penis Pak Hasan dengan lidahnya itu. Pak Hasan mendesah
penuh kenikmatan.
Lidya menggelengkan kepalanya dengan jengkel karena penis Pak Hasan
tidak segera mencapai klimaks walaupun dia sudah berusaha keras. Panik
mulai merasuk ke dalam diri Lidya.
“Memang enak dijilati seperti itu, sayang,” kata Pak Hasan, “tapi aku
tidak akan mengeluarkan sperma dan mencapai kepuasan maksimal hanya
dengan cara seperti itu. Bersiap-siaplah. Sebentar lagi Andi akan segera
pulang…”
“Ahhhhhhhh!” Lidya menjerit keras-keras karena panik dan bingung.
Setelah berpikir keras dan tak kunjung mendapat solusi, akhirnya
Lidya menyerah. Tubuh indah wanita cantik itu pasrah dalam mendekap sang
mertua yang bejat. Pak Hasan makin bergairah saat merasakan gesekan
buah dada Lidya pada tubuhnya, baru kali inilah Lidya mau memeluknya.
Menantunya yang cantik itu kini sedang meletakkan penis Pak Hasan tepat
di pintu masuk surgawinya. Dengan jemarinya yang lentik, Lidya memasang
penis sang mertua tepat di bawah lubang memeknya.
“Nah, gitu dong! Dari tadi kek!”, Pak Hasan terkekeh-kekeh dan menyandarkan tubuhnya ke belakang dengan santai.
Lidya sempat ragu-ragu ketika dia mulai merasakan ujung kepala kontol
mertuanya mengelus bibir vaginanya dengan lembut, tapi perasaan ragu
itu hilang karena Lidya kemudian teringat apa yang akan terjadi
seandainya dia tidak segera melayani Pak Hasan. Setelah menarik nafas
panjang dan memejamkan mata menahan sakit, Lidya menurunkan badannya dan
merasakan batang kemaluan sang mertua perlahan memasuki lubang
vaginanya.
Kedua orang yang tengah bersenggama itu melenguh bersamaan. Mereka
mendesahkan gairah dengan alasan yang berbeda. Lidya mendesahkan rasa
gelisahnya karena telah melayani seorang pria yang bukan suaminya.
Wanita itu merasa bersalah dan tidak berdaya karena diharuskan melayani
ayah mertuanya sampai dia bisa orgasme dan ini semua berlangsung karena
paksaan mertuanya yang bejat itu. Lenguhan panjang Pak Hasan adalah
lenguhan kepuasan. Kebalikan dari apa yang dirasakan oleh Lidya, Pak
Hasan merasa sangat puas bisa menyetubuhi menantunya yang memiliki tubuh
luar biasa seksi itu. Semua paksaan dan intimidasi yang dilakukannya
pada Lidya akhirnya berbuah juga, Lidya akhirnya mau melayaninya.
sebenarnya Lidya tidak ingin ini semua terjadi karena Pak Hasan yang
menyuruhnya melakukannya. Pria tua bejat itu amat menyukai kekuatan, dia
bangga bisa membuat seseorang melakukan hal-hal yang di luar
kebiasaannya, melakukan suatu hal yang biasanya tidak pernah atau tidak
mungkin akan mereka lakukan dalam kondisi normal.
Lidya meremas pundak Pak Hasan karena rasa nikmat yang dia alami
sudah di ambang batas. Wanita jelita itu bisa merasakan rasa hangat yang
melanda seluruh tubuhnya. Cengkraman Lidya di pundak sang mertua
membuat tubuh indah Lidya bergerak naik turun dengan kecepatan tinggi
mengendarai penis Pak Hasan. Tidak pernah terbayangkan dalam benak Lidya
dia akan bersetubuh dengan Pak Hasan, apalagi harus memberikan
pelayanan ekstra.
Pak Hasan makin menikmati permainan kali ini. Sudah dua kali dia
bersetubuh dengan menantunya yang bohay itu, tapi baru kali ini Lidya
sendiri yang mau melayaninya tanpa harus diperkosa. Pak Hasan
menyandarkan tubuh ke belakang dan memejamkan mata menikmati detik demi
detik saat memek Lidya naik turun dengan cepat mengendarai batang
penisnya yang berdiri tegak menjulang ke atas. Batang kemaluan Pak Hasan
mulai basah oleh cairan cinta Lidya. Buah dada Lidya yang indah mental
ke atas dan ke bawah seiring gerakan tubuhnya. Keringat yang mengucur
deras membasahi tiap inci bagian tubuh Lidya termasuk di puting susunya
yang menegang ke depan.
Lidya berusaha mengenyahkan semua pikiran erotis dan nafsu birahi
yang melanda seluruh badannya. Namun sebuah perasaan aneh membuatnya
terangsang secara perlahan. Perasaan itu adalah wujud ketidakmampuannya
untuk mengendalikan situasi, Lidya yang biasanya ceria dan enerjik itu
kini berada dalam kendali seorang pria yang seharusnya menjadi figur
ayah, bukannya malah melesakkan penisnya dalam-dalam ke tubuhnya. Tiap
kali penis Pak Hasan melesak masuk dan menghantam dinding vaginanya
dengan penuh kekuatan, Lidya mengeluarkan desahan demi desahan
menyuarakan kenikmatan, tapi Lidya tidak akan mau mengakuinya.
Lidya berusaha keras membuat pria tua ini segera mencapai klimaks.
Dia menggunakan seluruh kekuatan dan kecepatannya. Lidya bahkan mencoba
melakukan gerakan-gerakan erotis yang selama mungkin bahkan belum pernah
dia praktekkan pada suaminya sendiri. Wanita cantik itu sesekali
memutar pinggulnya, membuat gerakan melingkar tiap kali bibir memeknya
sudah menyentuh ujung batang penis Pak Hasan.
“Bagus sekali, nduk!” pria tua itu tertawa puas. “Begitu baru enak! Kenapa nggak dari tadi? Ayo teruskan! Teruskan!”
Lidya tidak akan sudi menjawab kata-kata sang mertua. Dia melanjutkan
gerakan naik turun mengendarai batang kemaluan Pak Hasan dengan
kecepatan yang makin meningkat. Makin lama makin cepat. Lidya
menghantamkan pantatnya ke arah paha Pak Hasan yang gemuk, mengocok
penis keriput sang mertua dengan memeknya dan berusaha keras membuat
pria tua bejat itu mencapai titik akhir permainan cinta mereka.
Makin lama Lidya makin berani mengangkat pantatnya lebih tinggi dan
menghantamkannya ke bawah dengan kekuatan penuh dan kecepatan tinggi.
Lubang vagina Lidya yang sudah basah oleh cairan cinta menelan seluruh
batang kemaluan gemuk milik Pak Hasan. Lidya meneriakkan jeritan
kekecewaan dan rasa panik, tapi bagi Pak Hasan, teriakan itu terdengar
seperti kenikmatan yang makin memuncak.
Lidya melakukannya berulang-ulang kali, ia mengendarai batang
kemaluan mertuanya dengan kecepatan tinggi seperti kesetanan. Lidya
menghantamkan memeknya ke bawah sampai ke batas pangkal kemaluan Pak
Hasan dengan keras. Naik turun naik turun. Berulang-ulang.
Pak Hasan serasa berada di nirwana. Pria tua itu menjerit dan
melenguh dengan puas, dia sangat menikmati setiap detik saat memek
menantunya yang cantik meremas penisnya yang besar dan menyukai tiap
kali bibir memek Lidya mengatup dan menjepit batangnya saat tubuh indah
Lidya naik turun dengan cepat. Sungguh sangat nikmat.
“Hampir!!” teriak Pak Hasan.
“Cepaaat! Cepaaaaat!!” jerit Lidya panik. Lidya memperkirakan sang
mertua akan segera mengeluarkan air maninya. Seluruh desah dan
tangisannya adalah karena paksaan Pak Hasan, tapi entah kenapa Lidya
tidak yakin lagi. Dia tidak yakin apakah dia sudah berhasil membuat
mertuanya itu mencapai klimaks, atau malah dirinya sendiri yang keenakan
dan mendapatkan kepuasan batin.
Lidya masih bergetar dan tidak mampu mengembalikan kesadarannya
dengan sempurna. Penis Pak Hasan masih terus berdenyut dan bergerak maju
mundur tanpa terhenti di liang cintanya. Campuran antara kenikmatan dan
rasa bersalah membuat Lidya tidak mampu melakukan apa-apa, seluruh
tubuhnya lemas.
Cairan bening mengalir melalui sela-sela memek Lidya yang kini
tersumpal oleh batang penis mertuanya sendiri. Lidya tidak peduli apakah
dia sudah mencapai orgasmenya atau belum. Dia tidak peduli seandainya
cairan cintanya meleleh, kalaupun benar dia sudah klimaks, istri Andi
itu tidak ingin mengetahuinya. Lidya hanya punya satu keinginan saat ini
dan itu adalah membuat Pak Hasan orgasme. Tubuh indah wanita muda itu
terus bergerak naik turun, membiarkan penis sang mertua merajai liang
cinta yang seharusnya hanya diserahkan pada sang suami.
Bibir memek Lidya menjepit kontol Pak Hasan lebih erat lagi dan sang
mertua melenguh keenakan, mertua bejat itu kembali melesakkan satu
sentakan keras ke dalam vagina Lidya. Gerakan tubuh Lidya yang turun ke
bawah disambut oleh gerakan pinggul sang mertua yang mendorong batang
kemaluannya ke atas. Sekali lagi Pak Hasan melenguh puas sebelum
akhirnya menembakkan spermanya ke dalam vagina sang menantu.
“Akhirnyaa… keluaaar…” desah Lidya lemas. Seluruh tubuh wanita jelita
itu basah oleh keringat dan dia juga terengah-engah kelelahan. Lidya
hampir-hampir tidak bisa bernafas.
Terdengar bunyi bel berdentang.
Pak Hasan tersenyum mesra menatap menantunya yang ketakutan mendengar
bel itu. Mertua bejat itu mencium bibir Lidya dan menampar pipi
pantatnya dengan lembut. “Itu, anakku sudah pulang.” Kata pria tua itu.
“Sana kau sambut suamimu, Nduk.”
Lidya segera bergegas melepaskan diri dari pelukan Pak Hasan. Dia
buru-buru mengenakan pakaiannya dan berlari ke bawah menuju pintu depan.
###
BAGIAN LIMA
KEJUTAN PRIA TUA
Oleh Pujangga Binal & Friends
KEJUTAN PRIA TUA
Oleh Pujangga Binal & Friends
Anissa Wibisono. Cantik. Seksi.
Pak Bejo geleng-geleng kepala dengan takjub, pria tua cabul itu
sedang asyik memotong rumput dan memperhatikan kegiatan Anis, Opi dan
Dodit yang sedang bermain-main di halaman rumah Hendra dan Alya. Gadis
muda itu mengenakan celana jeans pendek dan kaos tipis yang bisa
dibilang gagal menyembunyikan balon payudara pemiliknya yang sempurna,
BHnya yang berwarna merah jambu bisa terlihat dari kejauhan karena
diterawang sinar matahari.
Pak Bejo tersenyum sendiri saat menyaksikan buah dada Anissa melonjak-lonjak ketika sedang berlarian bersama Opi. Payudara sempurna itu mental ke atas dan ke bawah dengan mempesona, membuat pria tua itu meneteskan air liur mesum. Belum lagi menatap pantatnya yang hanya dibungkus celana jeans ketat yang ukurannya sangat mungil. Kakinya yang jenjang begitu mulus dan seputih pualam, ingin rasanya Pak Bejo mengelus paha indah milik Anissa.
Pak Bejo tersenyum sendiri saat menyaksikan buah dada Anissa melonjak-lonjak ketika sedang berlarian bersama Opi. Payudara sempurna itu mental ke atas dan ke bawah dengan mempesona, membuat pria tua itu meneteskan air liur mesum. Belum lagi menatap pantatnya yang hanya dibungkus celana jeans ketat yang ukurannya sangat mungil. Kakinya yang jenjang begitu mulus dan seputih pualam, ingin rasanya Pak Bejo mengelus paha indah milik Anissa.
Tubuh yang indah, seperti apa ya kira-kira tubuh itu kalau telanjang?
Pasti lebih menggiurkan lagi. Pasti segar rasanya menyetubuhi tubuh
gadis muda seperti Anissa. Pak Bejo terkekeh, sebentar lagi gadis itu
akan menikah, dia bertanya-tanya apakah Anis masih perawan atau tidak,
mungkin perlu ditest dulu sebelum menikah. Pak Bejo terkekeh mesum.
Mungkin sedang beruntung, tiba-tiba saja Anissa membungkukkan badan
menghadap ke arah Pak Bejo ketika sedang bermain bersama Opi. Bagian
atas kaosnya yang longgar memberikan kesempatan pada Pak Bejo untuk
menikmati belahan dada gadis muda itu.
“Wah, wah, pagi-pagi sudah disuguhi susu non Anis. Enak enak enak.
Putih mulus, besar bulat, wah, pasti lezat sekali dijilati.” Pak Bejo
mengecap lidah menatap keindahan belahan dada Anis yang bisa dilihat
jelas olehnya. “Lihat ginian saja aku ngaceng, apalagi kalau pegang.”
Tiba-tiba saja Anissa berbalik dan kali ini Pak Bejo disuguhi
keindahan bulat pantatnya yang juga sempurna. Bokong gadis itu begitu
indah menopang kedua kaki jenjangnya, menyeruak ke atas seakan minta
dielus seseorang.
“Kalau sampai tidak bisa menjejalkan kontolku ke dalam anus Anissa,
namaku bukan Bejo Suharso!” batin Pak Bejo sambil pelan mengelus
kemaluannya yang kian membesar. “Akan kubelah memek dan anusnya sampai
gadis itu tidak bisa lagi berdiri tegak!”
“Ayo, semuanya! Sarapan dulu!” panggil Bu Bejo dari dalam rumah, menghancurkan lamunan suaminya yang cabul.
###
Air hangat yang menyegarkan seluruh badan Alya yang terasa pegal
membuatnya rileks. Gelembung sabun yang meletup-letup seakan
mengingatkan Alya pada permainan cintanya yang panas dengan tetangganya
yang cabul, Pak Bejo. Ketika menyabuni kakinya yang panjang dan jenjang,
Alya berusaha keras untuk tidak bermain-main dengan kemaluannya, dia
membuang jauh-jauh semua birahi yang setiap saat dikobarkan oleh Pak
Bejo. Wanita cantik itu bersungut dan memaki pria tua itu dalam hati,
Pak Bejo telah membangkitkan gairah seksual liar di dalam dirinya dan
karenanya Alya membenci pria tua itu setengah mati. Alya hanyalah
seorang wanita lemah yang dimanfaatkan dan tidak bisa melepaskan diri
dari cengkramannya. Alya beruntung karena kehadiran Anissa dan Dodit
membuat Pak Bejo sedikit menarik diri karena tidak bisa diam-diam
mendekatinya.
“Mandinya enak, manis?” tiba-tiba saja sesosok tubuh yang sangat ia kenal hadir di hadapan Alya tanpa diundang.
“Pak Bejo?!” Alya yang kaget spontan menutup dadanya dan
menenggelamkan diri di dalam bak mandi. Hal yang sebenarnya tidak perlu
dilakukan karena pria tua itu toh sudah pernah melihatnya telanjang
berulang kali.
“Pak Bejo!” teriak Alya lagi ketika Pak Bejo membuka celananya.
Batang kemaluannya yang besar dan keras dikeluarkan dari dalam celana
dan pria menjijikkan itu kemudian kencing sembarangan. Alya panik namun
tidak bisa berbuat apa-apa, bagaimana mungkin laki-laki ini bisa masuk
ke kamar mandi pribadinya? Alya yakin sekali dia sudah mengunci pintu
kamar, jangan-jangan Pak Bejo sudah menduplikat kunci semua pintu di
rumah ini? Ketegangan Alya memuncak karena Hendra belum berangkat kerja
dan masih sarapan di belakang bersama Anissa, Dodit dan Opi. Alya tidak
tahu di mana Bu Bejo berada, mungkin sedang bersih-bersih. Walaupun
marah, pandangan Alya langsung terpatri pada kemaluan Pak Bejo yang
memang besar itu.
“Kamu kangen sama kontolku, manis?” Pak Bejo tersenyum meringis.
“Pak Bejo sudah gila? Mas Hendra ada di belakang! Anissa! Dodit! Opi! Bu Bejo! Kalau sampai ketahuan Pak Bejo masuk kemari…”
“Santai saja, Mbak Alya. Suamimu memang masih di belakang dan aku
memang tidak berencana lama-lama di sini. Aku hanya mampir untuk
memastikan tubuhmu masih seindah beberapa malam yang lalu. Aku kangen
sekali sama kamu.” Pak Bejo dengan santai mendekati Alya dan duduk di
tepian bak mandi tanpa menaikkan lagi celananya. Dia membiarkan saja
kemaluannya tergantung di hadapan Alya.
“Aku ingin mandi tanpa diganggu, Pak. Silahkan meninggalkan kamar mandiku sebelum aku berteriak.”
“Ha ha ha. Beraninya kamu mengancamku, manis. Untung saja hari ini
aku sedang tidak mood menamparmu, jadi kamu selamat, tidak perlu
kerepotan lagi menyembunyikan lebam di wajahmu dengan bedak. Jangan
khawatir, aku tidak akan lama.”
Pak Bejo memiringkan tubuhnya ke dalam bak mandi, tangannya yang
kasar menarik leher Alya supaya lebih maju ke depan. Dengan hati-hati
Pak Bejo menarik tubuh Alya dan mendekatkan kepala mereka. Bibir Pak
Bejo segera mencumbu bibir Alya, lidah pria tua itu tidak kesulitan
menyeruak masuk ke dalam rongga mulut Alya. Sambil melenguh lirih, Alya
menerima ciuman Pak Bejo dan memejamkan mata. Alya beruntung ciuman itu
tidak berlangsung lama, Pak Bejo melepaskan Alya kembali ke dalam bak
mandi.
“Pak Bejo sudah gila! Nekat! Bagaimana kalau sampai ada yang tahu Pak Bejo masuk ke kamar mandiku?!”
“Aku sudah bosan main di belakang terus. Aku ingin bisa menidurimu
siang malam tanpa khawatir, soalnya tubuhmu yang seksi itu benar-benar
membuatku blingsatan tidak bisa tidur.”
“Dasar cabul!”
“Setelah apa yang Mas Hendra dan Mbak Alya lakukan dengan membantu
aku dan Bu Bejo sekeluarga, tentunya aku bertekad untuk mengembalikan
semua bantuan itu tanpa pamrih pada kalian.”
“Apa maksud Pak Bejo?”
“Tak lama lagi aku pasti bisa menidurimu tiap kali aku mau tanpa
harus menunggu suamimu pergi bekerja atau tertidur lelap.” Bisik Pak
Bejo mesra di telinga Alya. “Kenikmatan yang kau rasakan akan menjadi
seratus persen murni berasal dariku dan memekmu yang lezat itu akan
melupakan penis Hendra yang kecil dan tak bisa lepas dari kontolku ini.”
“KELUAR! KELUAR SEKARANG JUGA!” bentak Alya. Dia berusaha keras
menahan suara agar tidak ada mendengar keributan di kamar mandi ini.
Selain kemarahannya memuncak, ibu muda yang panik itu juga tidak ingin
skandalnya dengan pria mesum ini terkuak karena ulahnya yang berengsek
dan nekat.
Pak Bejo tertawa-tawa, sambil membenahi celananya dia keluar dengan
lagak sombong, dia merasa sudah berhasil menaklukan Alya yang jelita dan
diidolakan banyak orang, dia pantas untuk sombong.
Setelah Pak Bejo meninggalkan kamar mandi dan menutup pintu, Alya
berulang kali membenamkan kepalanya ke dalam air. “Pria tua mesum itu
makin tak terkendali. Nekat sekali dia masuk kemari dan menciumku…”
batin Alya.
###
Dengan gelisah Dina menunggu panggilan.
Sudah hampir setengah jam ia menunggu panggilan Pak Pramono. Entah
apa maksud pria tua itu memanggilnya ke kantor. Dina punya cukup alasan
untuk gelisah, dia baru saja bertemu dengan beberapa orang teman Anton
dan menurut mereka suaminya itu sudah menghilang sejak pagi tadi. Mereka
memperkirakan, itulah alasannya Pak Pram memanggil Dina ke kantor,
dengan karir yang makin tersendat sungguh tidak bijaksana bagi Anton
kalau tiba-tiba saja dia memutuskan untuk pergi tanpa pamit.
Mungkin saja Anton tiba-tiba kalut setelah mengetahui skandal
finansial yang dilakukan olehnya telah menimbulkan kerugian besar bagi
perusahaan. Tanpa mengetahui perjanjian rahasia yang dilakukan oleh Dina
dan Pak Pram, Anton lantas melarikan diri entah kemana. Dina takut Pak
Pramono mengingkari perjanjian yang sudah mereka sepakati, Dina bersedia
diapakan saja oleh Pak Pram asal mengampuni kesalahan suaminya.
Seharian ini Dina tidak bisa menghubungi telpon genggam sang suami,
kekhawatirannya makin memuncak ketika Pak Pramono kemudian juga
menghubunginya lewat sms. Tapi pesan sms dari Pak Pramono di hp Dina
sudah jelas mengatakan kalau dia memanggilnya karena ‘alasan’ lain.
Untuk kesekian kalinya, dia harus melayani nafsu pria biadab itu.
Sekretaris Pak Pram sudah meninggalkan ruangan sejak istirahat makan
siang, seorang satpam yang tadinya berada di lantai atas juga sudah
turun ke lantai bawah, Dina hanya sendirian saja menunggu panggilan Pak
Pramono di ruang tunggu kantornya. Ruangan Pak Pram yang eksklusif dan
luas dan terletak di lantai atas gedung perkantoran ternyata cukup sepi,
di lantai ini hanya ada seorang satpam, seorang sekretaris dan tentunya
Pak Pram seorang. Saat ini, satpam dan sekretarisnya sedang istirahat
dan Dina harus menunggu sendiri. Dina curiga, jangan-jangan satpam dan
sekretaris Pak Pram itu memang sengaja meninggalkannya seorang diri di
sini.
“Ibu Dina, silahkan masuk.” Terdengar suara entah dari mana dan pintu masuk ke ruang pribadi Pak Pram terbuka.
Dengan langkah berani dan berusaha mempertahankan harga diri, Dina
masuk ke dalam. Pak Pram rupanya sedang berbincang-bincang dengan
seorang laki-laki yang sudah terlihat sangat tua dan keriput. Walaupun
begitu, terlihat binar mata ceria berkilat di mata lelaki tua itu.
“Ibu Dina, kenalkan ini Pak Bambang Haryanto.”, kata Pak Pramono
sambil mengenalkan sosok kakek tua di sebelahnya. Entah kenapa Pak
Pramono tidak memanggil Dina dengan sebutan ‘mbak’ seperti biasa. “Pak
Bambang, wanita cantik ini adalah Ibu Dina Febrianti, istri dari salah
satu pegawai saya, Pak Anton Hartono.”
“Oh, Anton yang itu.” suara Pak Bambang terdengar berat dan serak,
sangat tidak enak didengar. Dari nada kalimat yang diucapkannya, Dina
menduga Pak Bambang mengetahui kejadian penggelapan uang perusahaan yang
dilakukan oleh Anton suaminya. Pasti mereka ingin menanyakan keberadaan
suaminya yang sejak pagi tadi menghilang. Dina mulai ketakutan.
Dina segera menyalami Pak Bambang. Sepertinya Pak Pramono sangat
menaruh hormat kepada kakek tua ini. Rambut di kepala Pak Bambang sudah
beruban, putih semua. Wajahnya sudah keriput dan alisnya yang tebal
panjang juga sudah memutih, sekilas penampilannya mengingatkan pada
presiden kita yang kedua. Tubuh Pak Bambang lebih pendek dari Pak Pram,
bahkan lebih pendek dari Dina. Hanya saja tubuh Pak Bambang jauh lebih
gemuk sehingga terlihat sangat besar dan mengintimidasi.
Kalau Pak Pramono walaupun sudah berusia di atas kepala lima tapi
masih terlihat gagah, sebaliknya dengan Pak Bambang. Kakek gemuk ini
mungkin sudah 70 tahun, wajahnya juga terlihat sangat tua dan keriput,
walaupun pada kenyataannya sangat sehat dan segar.
Berhubung tubuh Pak Bambang pendek, tentunya saat menyalaminya Dina
harus sedikit membungkuk supaya terlihat sopan. Saat menegakkan badan,
Dina melihat mata Pak Bambang nanar melihat belahan dadanya yang indah
dan tentunya terlihat jelas di hadapan kakek tua itu. Wajah Dina memerah
karena malu dan segera membenahi cara berdirinya. Mata Pak Bambang
tidak bergeming dan terus menatap kedua buah dada Dina. Ibu rumah tangga
yang cantik itu ingin menyilangkan tangan di depan dada karena merasa
sangat malu, tapi pandangan mata galak dari Pak Pramono membuatnya
mengurungkan niat. Dia tidak mau membuat Pak Pramono marah.
Ketiga orang itu segera duduk di tempat masing-masing. Pak Pram duduk
di belakang meja kerjanya, sementara Dina dan Pak Bambang duduk
bersebelahan.
“Pak Bambang adalah pendiri dan direktur dari PT Sasana, salah satu
owner baru perusahaan ini.”, kata Pak Pram. “Setelah suksesnya
pengambilalihan perusahaan melalui pembelian saham yang dilakukan oleh
PT Sasana serta merger dengan anak perusahaan lain yang akan dilakukan
sesegera mungkin, kami dari pihak perusahaan hendak memberikan
kenang-kenangan untuk Pak Bambang selaku pemegang saham terbesar.”
Entah kepada siapa Pak Pram menerangkan panjang lebar. Dina hanya
terdiam dan duduk dengan sopan. Pak Bambang terus saja mencuri-curi
pandang ke arah payudara montok wanita cantik di sebelahnya.
“Nah, Ibu Dina. Karena Pak Anton belum juga memberikan laporan yang
sangat penting dan amat kami butuhkan sehubungan dengan pengambilalihan
perusahaan oleh PT Sasana dan keberadaan Pak Anton juga entah di mana
saat ini, maka saya harapkan Ibu Dina sebagai istri dari Pak Anton
bersedia memberikan down payment sekaligus kenang-kenangan pada Pak
Bambang.”
Perasaan Dina mulai tidak enak. Pak Pram menatapnya tajam. Pandangan
mata itu seakan-akan hendak mengatakan – jangan berani-berani melawan –.
“Kita mulai saja pertemuan ini dengan membuka baju Ibu Dina. Saya
pribadi sangat menyukai pilihan baju yang Ibu Dina kenakan, tapi kalau
saya tidak salah, nampaknya Pak Bambang jauh lebih tertarik pada isi
yang ada di balik blus Ibu Dina. Silahkan blusnya dibuka dulu.”
Dina hampir pingsan. Dia tidak percaya apa yang dikatakan oleh Pak
Pram. Dia hendak menyerahkan tubuh Dina pada kakek tua pendek
menjijikkan ini? Benar-benar gila! Dina sudah siap berdiri dan
meninggalkan ruangan itu, namun dia segera teringat perjanjiannya dengan
Pak Pram dan tubuhnya pun langsung lemas. Selama Anton masih belum
didepak dari pekerjaan dan posisinya aman, maka Dina masih harus
melayani Pak Pram sampai dia bosan. Tidak ada gunanya melawan, semua
sudah terjadi dan harus dihadapi. Dina menundukkan kepala sambil menahan
air matanya agar tidak tumpah. Walaupun terdesak Dina tidak ingin
terlihat lemah di hadapan dua laki-laki tua yang mesum ini.
Dengan tangan bergetar, Dina berusaha membuka kancing bajunya.
Sekilas Dina melirik pada Pak Bambang yang menatapnya penuh nafsu.
Karena dalam sms sebelumnya Dina dilarang mengenakan pakaian dalam oleh
Pak Pram, maka Dina sempat mampir ke kamar kecil di lantai bawah untuk
melepas pakaian dalamnya, dia sengaja mengenakan pakaian yang sopan dan
tertutup rapat sehingga tidak menarik perhatian orang. Setelah dibuka
seluruh kancing bajunya, Pak Bambang bisa segera menikmati keindahan
buah dada sempurna milik Dina. Ibu rumah tangga yang cantik itu sengaja
tidak segera melepas blusnya dan beralih membuka roknya.
Pandangan mata Dina yang mulai berlinang air mata memohon ampun pada
Pak Pram, karena selain dilarang mengenakan BH, Dina juga dilarang
mengenakan celana dalam, seandainya roknya dilepas, Dina akan langsung
bugil di hadapan kedua orang ini, dia malu sekali. Tapi pria tua itu
tidak mengindahkan tatapan Dina. Dia bahkan bangkit, menghampiri Dina
dan membantu menarik resleting rok pendek istri Anton itu. Dina
beruntung karena rok yang ia kenakan sangat ketat sehingga walaupun
resletingnya sudah ditarik sampai ujung, tapi rok itu tidak lepas. Pak
Pram menahan diri untuk tidak menarik dan melepas rok Dina, sebaliknya
ibu rumah tangga itu panik dan berusaha menahan rok serta blusnya agar
tidak terlepas dan membuatnya telanjang bulat di depan Pak Bambang.
“Nah. Nah. Begitu baru seksi. Anda setuju dengan saya, Pak Bambang?”
Dina melirik ke arah kakek gemuk yang terkekeh-kekeh di sebelahnya.
Selain wajahnya yang menatap tubuh Dina lumat-lumat, dia juga
memperhatikan adanya tonjolan yang makin lama makin besar di
selangkangan Pak Bambang. Pandangan mata Pak Bambang beralih dari dada
ke kaki jenjang Dina, lalu ke paha dan tentunya selangkangan si seksi
itu. Pak Bambang nampaknya tidak terlalu memperhatikan pertanyaan dari
Pak Pram.
“Ibu Dina sayang, tolong antarkan Pak Bambang beristirahat di sofa
yang ada di samping sana.” Kata Pak Pram sambil menunjuk sebuah sofa
panjang yang berada di dalam ruangan pribadi Pak Pram. “Temani beliau
duduk di dalam.”
Pak Bambang terkekeh-kekeh lagi saat tangannya dibimbing oleh Dina
bak seorang jompo yang sudah tidak mampu berdiri dengan tegak. Dina
sendiri berusaha keras berada di belakang langkah Pak Bambang sehingga
kakek gemuk itu tidak bisa menyaksikan langsung perjuangan kerasnya
mempertahankan blus dan roknya agar tidak melorot. Walaupun begitu,
berkali-kali lengan Pak Bambang dengan sengaja disenggolkan ke payudara
Dina.
Setelah duduk di sofa dan disusul oleh Pak Pram, Dina duduk di
samping Pak Bambang. Saat duduk, salah satu bagian blus yang dikenakan
Dina melorot dan susu sebelah kanannya pun bisa dilihat jelas oleh kedua
laki-laki yang ada dalam ruangan. Dina hendak membenahi bajunya tapi
Pak Pram menggelengkan kepala sehingga diurungkannya niatnya itu.
Dina tersentak saat tangan Pak Bambang meraih buah dadanya yang
terbuka. Dina bisa melihat kilau emas cincin kawin di jemari Pak
Bambang. Dina baru teringat kalau dia juga masih mengenakan cincin
kawinnya. Nama Anton terngiang berulang-ulang kali dalam benak Dina,
begitu pula nama kedua anaknya. Ini semua untuk keluarga. Dia melakukan
ini semua untuk keutuhan keluarga. Dina berusaha menenangkan dirinya
sendiri. Belum pernah seumur hidupnya Dina membayangkan hal seperti ini
akan menimpa dirinya.
Tangan Pak Bambang meremas-remas buah dada Dina dengan lembut dan
beralih ke payudara yang sebelah lagi. Karena merasa terganggu, kakek
bejat itu segera melepaskan blus yang dikenakan Dina. Setelah melepaskan
blus Dina, Pak Bambang segera meremas-remas kedua payudara si cantik
itu.
“Ibu Dina, tolong keluarkan kemaluan Pak Bambang agar tidak sesak di
dalam.” Kata Pak Pram. “Sekalian digosok agar tidak kedingingan. Ruangan
ini ACnya dingin sekali.”
Dina memejamkan mata dan berusaha tidak memikirkan apa yang saat ini
sedang dialaminya. Dengan tangan bergetar, Dina meraih sabuk celana Pak
Bambang dan membuka kaitannya. Setelah sabuk itu tidak terkait lagi,
Dina menarik resleting celana Pak Bambang ke bawah. Dina memasukkan
tangan ke dalam dan mencari batang zakar Pak Bambang. Setelah beberapa
kali mencari dengan grogi, Dina menemukan penis Pak Bambang yang berada
di balik celana dalamnya. Dina membuka celana dengan tangan kiri dan
menarik keluar penis Pak Bambang dengan tangan kanannya.
Dina mengocok penis Pak Bambang dengan jemarinya yang lembut.
###
Hendra meninggalkan Anissa dan Dodit yang masih duduk di meja makan
sambil menonton TV. Setelah menelpon taksi, Hendra siap berangkat kerja.
Sudah beberapa hari ini Hendra tidak mengendarai mobilnya sendiri.
“Bagaimana mobilnya, Mas Hendra? Sudah dibawa ke bengkel yang saya
sarankan?” tanya Pak Bejo yang tiba-tiba saja muncul dan mengagetkan
Hendra.
Hendra tersenyum, “Wah, sudah Pak. Bengkelnya bagus dan murah. Nanti
sore mobil saya sudah jadi, saya ambil sepulang kerja. Terima kasih
banyak buat rekomendasinya, Pak Bejo. Kalau tahu dari dulu ada bengkel
yang murah seperti itu pasti saya sudah langganan sejak lama.”
“Ah sama-sama, Mas. Saya kan juga sudah sering dibantu Mas Hendra.”
Hendra tersenyum dan masuk ke dalam kamar untuk menemui istrinya.
Pak Bejo menengok ke dalam sejenak kemudian meraih ke dalam saku
celana dan mengambil telpon genggamnya. Dia mulai mengetikkan sms dan
mengirimnya ke sebuah nomor.
- Bgmn psnku td? Kalian sdh sabot mobil si Hndr? Truk si Somad sdh siap? -
Tak lama kemudian, balasan sms itu datang, Pak Bejo terkekeh membaca pesan singkat yang masuk ke hpnya.
- Semua sdh diatur. Brs bos. -
###
Alya sedang memandangi dirinya sendiri di dalam cermin ketika
suaminya masuk ke dalam kamar, ia terkejut dan bersiap karena mengira
yang masuk adalah Pak Bejo. Wanita cantik itu langsung menghembuskan
nafas lega begitu tahu yang masuk adalah suaminya.
“Kamu selalu cantik, sayang. Tidak perlu berkaca terlalu lama.” Kata Hendra sambil mendekap tubuh istrinya dengan mesra.
Alya tersenyum manis dan membiarkan kehangatan penuh cinta yang
diberikan suaminya memberikan kedamaian setelah tadi sempat tegang
dikejutkan Pak Bejo. Tangan Hendra yang nakal membelai tubuh istrinya
yang masih mengenakan kimono. Dengan hati-hati sekali Hendra membuka
bagian atas kimono itu dan membelai payudara Alya. Puting susu Alya
menonjol ke depan dan dimainkan Hendra dengan lembut.
Alya mendesah penuh kenikmatan. “Aku menyukai sentuhanmu.”
Hendra memeluk istrinya erat-erat. “Aku sangat mencintaimu.”
“Aku lebih mencintaimu daripada kau mencintai aku, mas.”
Hendra mengecup bibir istrinya dengan lembut, tidak ada kekasaran
yang dirasakan oleh Alya, hanya usapan bibir penuh cinta yang sangat
didambanya. Sayangnya Hendra tidak tahu kalau bibir yang sama juga baru
saja dinikmati oleh tetangganya yang cabul.
“Sudah mau berangkat kerja, Mas?”
“Aku sudah telpon taksi tadi.”
“Opi?”
“Diantar Bu Bejo. Kamu berangkat siang?”
“Iya. Katanya Anis sama Dodit mau jalan-jalan ke mall, aku mau numpang.”
“Ya udah kalau begitu, tadinya aku kira kamu mau dianter Pak Bejo pakai motor.”
Nama itu bagaikan kilat yang menyambar batin Alya. Tiap kali Hendra
menyebut nama pemerkosanya, seluruh tubuh Alya terasa lemas tak berdaya.
Batinnya menjerit-jerit namun tidak ada kata-kata yang terucap. Maafkan
aku, Mas. Maafkan istrimu yang telah membiarkan diri dinodai oleh
tetangga yang kurang ajar itu. Maafkan istrimu yang tidak mampu menjaga
diri. Banyak yang ingin terucap, tapi bibir Alya tetap terkatup rapat.
“Nanti pulangnya jangan malam-malam ya, Mas.”
“Memangnya kenapa? Mungkin agak sore, aku ambil mobil dulu di bengkel.”
Alya menggelayut manja di pelukan sang suami. “Sudah beberapa hari ini kita tidak bercinta, aku kangen sekali sama kamu.”
Hendra tertawa dan mencium bibir Alya sekali lagi. “Gampang, nanti bisa diatur.”
Terdengar bunyi klakson taksi.
“Taksinya udah datang, aku berangkat dulu ya, sayang.”
“Iya, mas. Hati-hati.”
Hendra meninggalkan istrinya dan membuka pintu kamar lalu melangkah
keluar. Belum sampai satu menit, Hendra kembali lagi ke kamar dengan
keringat bercucuran.
“Mas? Kamu kenapa?” Alya terkejut melihat suaminya dan mengambil sapu
tangan, dengan hati-hati diusapnya keringat Hendra. “Kamu sakit?”
“Nggak tau nih, nggak sakit kok, hanya saja perasaanku tiba-tiba tidak enak.”
Alya mulai khawatir. “Kamu yakin tidak apa-apa? Aku telpon ke kantor saja ya, minta ijin?”
Hendra tersenyum dan mencium dahi Alya. “Aku tidak apa-apa kok, sayang. Bener. Apapun yang terjadi, aku selalu mencintai kamu.”
“Aku juga, mas.”
“Aku berangkat ya.”
“Iya, mas.”
Perasaan Alya tidak enak.
###
Saat ini Dina sedang berada di sebuah ruangan di kantor suaminya.
Tepatnya di sebuah ruangan pribadi yang berada di dalam kantor pimpinan
Anton. Dina sedang mengocok seorang pria tak dikenal sementara tangan
pria itu meremas-remas buah dadanya. Tak tahan lagi akan keindahan susu
Dina, Pak Bambang mengelamuti payudara ibu muda itu. Dina mengernyit
saat tangan Pak Bambang yang tadi meremasi payudaranya kini beralih
mengelus bagian bawah pahanya yang mulus. Kaki Dina masih tertutup rapat
sehingga tangan Pak Bambang harus mendesak ke dalam jepitan paha agar
bisa masuk ke selangkangan kaki Dina.
Tangan Pak Pram menepuk bahu Dina sedikit keras. Karena kerasnya, suara tepukan itu mengagetkan Dina.
Dina tahu apa yang diinginkan Pak Pramono. Dengan penuh kepatuhan,
Dina membuka kakinya. Tangan Pak Bambang langsung masuk ke selangkangan
dan meraih belahan memek Dina. Tidak perlu waktu lama bagi Pak Bambang
untuk menjelajahi bibir vagina Dina. Jari jemari gemuk pria tua itu
beraksi dengan cepat, mencubit, menusuk dan mengelus bagian dalam memek
Dina. Jempol Pak Bambang digunakannya untuk mengelus-elus klitoris Dina
sementara jari tengahnya masuk ke liang cinta ibu rumah tangga yang
cantik itu.
Dina mendesis lirih saat jari tengah Pak Bambang memasuki vaginanya dengan kasar.
Saat memperhatikan ke bawah, Dina melihat Pak Bambang masih asyik
menjilati kedua buah dadanya dan mengelamuti puting susunya. Dengan
sekali tarik, rok Dina dilepas oleh Pak Bambang sehingga memudahkannya
mengakses memek Dina. Kakek itu segera sibuk dengan vagina Dina yang
wangi.
Dina memejamkan matanya lagi. Betapa rendahnya diri Dina saat ini,
beberapa hari yang lalu Dina adalah seorang istri setia yang tidak sudi
melayani pria lain selain suaminya. Bahkan Anton sendiri kadang
ditolaknya bermain cinta. Kini, sudah ada dua orang laki-laki lain yang
tidak saja menyaksikannya bugil, tapi juga mempermainkannya seperti
seorang pelacur. Dina merasa lebih rendah dari seorang pelacur, dia
adalah seorang istri yang berzina dan mengkhianati kepercayaan suaminya.
Tapi ini semua demi masa depan keluarga, ini semua untuk Anton dan
kedua anaknya, Dina bersedia mengorbankan apa saja.
Gerakan mulut dan jemari Pak Bambang tidak ada hentinya menghujani
tubuh indah Dina dengan rangsangan. Sebagai perempuan normal, rangsangan
kakek mesum itu lama kelamaan berpengaruh juga pada tubuh Dina. Dina
membuka kakinya yang jenjang makin melebar tanpa sadar. Bau cairan cinta
Dina yang kian membanjir memenuhi seisi ruangan yang berAC, begitu pula
bunyi becek memek Dina yang terus disodok jari jemari Pak Bambang yang
keluar masuk dengan cepat. Kali ini tidak perlu waktu lama sebelum Dina
akhirnya menyerah pada nafsu birahinya sendiri. Istri Anton itu meraih
kepala Pak Bambang dan ditekannya ke arah buah dadanya sementara pinggul
Dina bergerak seiring sodokan jemari Pak Bambang di memeknya. Tangan
Dina yang lain terus mengocok penis Pak Bambang dengan gerakan yang
makin lama makin cepat.
“Uaaaahhhhh!!” Dina menjerit lirih karena rangsangan hebat yang
dilakukan Pak Bambang. Kakek mesum itu terus menyerang payudara dan
vagina sang ibu muda yang cantik. Bagaikan seorang pekerja seks
komersial yang binal, Dina menggerakkan pinggangnya agar tusukan jemari
Pak Bambang masuk lebih dalam, Dina sudah lupa pada statusnya sebagai
seorang istri dan ibu yang setia. Entah kemana Dina yang beberapa saat
tadi masih teringat pada Anton dan dua orang anaknya.
Saat membuka matanya yang terpejam sedari tadi, Dina menyadari
tubuhnya sudah hampir jatuh dari pinggir sofa. Kakinya terbentang sangat
lebar dan memeknya dapat diakses dengan mudah oleh Pak Bambang. Bibir
vagina Dina terlihat lebih merah dari biasanya dan rambut-rambut di
sekitar lubang cintanya itu basah oleh cairan pekat. Baik pakaian maupun
roknya sudah terbuka. Dia sudah telanjang bulat.
Pak Bambang meraih kepala Dina dan menariknya ke bawah, ke arah
selangkangannya. Sebelum Dina menyadari apa yang terjadi, penis Pak
Bambang sudah masuk ke dalam mulutnya.
Walaupun sudah keriput dan tidak terlalu besar, tapi penis Pak
Bambang masih tetap bisa membuat Dina tersedak saat pria tua itu memaksa
kepala Dina naik turun dengan cepat. Tangan Dina menggapai-gapai lengan
Pak Bambang dan berusaha meronta. Tapi walaupun sudah uzur, kakek tua
yang bejat itu masih tetap perkasa dan Dina tidak semudah itu bisa
menghentikan aksinya.
Tiap kali kepala Dina turun ke arah selangkangan Pak Bambang,
penisnya yang besar masuk ke tenggorokannya. Dina tersedak dan makin
lama makin kehilangan kesadarannya karena tidak bisa bernafas. Pria tua
yang dihormati oleh Pak Pram itu mencekik Dina dengan kontolnya sampai
ibu rumah tangga itu hampir mati lemas. Untungnya Pak Bambang mengakhiri
aksinya dan menarik kontolnya dari mulut Dina. Wanita cantik itu segera
jatuh ke lantai dan terbatuk-batuk. Dina berusaha menarik nafas
dalam-dalam dan menghirup udara walaupun terasa sangat berat.
Akhirnya, sambil mengangkat pinggul indah Dina ke arahnya, Pak
Bambang menyelipkan kemaluannya yang mengeras ke dalam lubang vagina ibu
muda yang cantik itu. Pak Bambang bisa merasakan gerakan spontan Dina
yang mencoba melawan dengan beringsut menjauh, tapi itu malah membuat
sang kakek tua mendesah keenakan karena tubuh mereka saling
bersinggungan dengan lembut. Dengan pandai, kakek tua yang banyak
pengalaman itu mengelus-elus paha Dina yang terbentang lebar dan mulai
bergerak maju mundur sementara lubang rahimnya terus menyedot penis Pak
Bambang dengan nyaman. Gerakan penis kakek tua itu makin lama makin
dalam menjelajah rapatnya pertahanan vagina Dina. Walaupun mendesak ke
dalam terus menerus, tapi Pak Bambang tidak ingin menusukkan penisnya
sampai ke ujung, dia merasakan pelan-pelan katupan bibir memek Dina yang
menjepit kontolnya bagaikan penghisap debu, liang cinta ibu muda yang
hangat dan basah ia rasakan dengan nikmat dan perlahan. Dina
hampir-hampir gila dibuatnya.
Tiap sentakan, tiap putaran dan tiap kali kontol Pak Bambang berpilin
di dalam lubang vagina membuat Dina tidak bisa menahan gairah sensual
yang makin lama makin meraja dalam dirinya. Dina tidak mampu menahan
hausnya diri sendiri akan kenikmatan bercinta, dia ingin penis Pak
Bambang menusuk lebih dalam dan lebih dalam lagi. Dia ingin menurunkan
vaginanya sampai mentok ke paha Pak Bambang agar batang penisnya bisa
masuk semua ke dalam vaginanya. Tapi Pak Bambang menahan diri dengan
menikmati tubuh Dina selama mungkin dan itu membuat istri Anton itu
melenguh tak berdaya.
Saat akhirnya penis itu menusuk lebih jauh ke dalam dan membelah
vaginanya yang masih cukup rapat, Dina seakan hampir mati oleh gelombang
kenikmatan yang mengubur dirinya. Sayangnya, sekali lagi Pak Bambang
menahan diri dan tidak memasukkan seluruh kontolnya masuk ke dalam memek
sang ibu rumah tangga yang cantik.
Dina menggeleng frustasi, walaupun dia malu mengakui kalau dia
menginginkan penis Pak Bambang lebih dalam lagi tapi gairah sensual yang
makin dirasakan membuatnya lupa diri. Dengan penuh keputusasaan, wanita
cantik itu hanya bisa melenguh panjang dan meminta dengan dengan manja.
“Pak… masukkan…”
Dina merasakan jemari kakek tua yang dengan nakal meremas, meraba dan
memijat pipi bokongnya yang bulat putih mulus, mata Dina memejam dan
seluruh tubuhnya bagaikan disetrum jutaan volt llistrik ketika tangan
Pak Bambang menyibakkan pantat Dina dan jari tengah kakek tua itu masuk
ke dalam lubang anusnya.
“Hngghh!!” Dina mengernyit menahan rasa sakit bercampur nikmat yang disebabkan oleh jari sang kakek nakal.
“Masukkan apa… Ibu Dina?” tanya Pak Pram yang kemudian menyadari
kalau istri Anton itu sudah di ambang batas penyerahan diri yang total.
“I-itu… dimasukkan…”
“Apanya?”
“I-itunya…”
“Itunya apa?”
“Penisnya… masukkan… masukkan lebih dalam!!”
Pak Pram mengerling pada Pak Bambang dan kakek tua itu lagi-lagi
mempermainkan Dina, dengan sengaja dia menggerakkan pinggulnya dengan
gerakan sangat pelan yang menyiksa sang ibu rumah tangga. Dia tidak mau
membuat Dina puas dan tak pernah mau melesakkan penisnya sampai mentok
jauh ke dalam. Dia belum mau membuat Dina puas, dia ingin Dina lebih
responsif, dia ingin Dina lebih binal lagi, dia ingin ibu muda yang
cantik itu melupakan eksistensinya sebagai seorang istri dan ibu dan
berubah menjadi budak seks yang haus disetubuhi saat itu juga.
Dengan penuh keputusasaan, Dina merayapkan bibir vaginanya yang haus
kemaluan lelaki dan menangkup penis kakek tua yang walaupun keriput tapi
berukuran besar dan memenuhi seluruh liangnya dengan sangat rapat,
dinding vagina Dina seakan tidak rela diserang dan liang rahimnya itu
langsung mengeluarkan cairan cinta yang menjadi pelumas. Dina sudah
pasrah, dia sudah siap dihina sampai serendah-rendahnya, dia hanyalah
seorang wanita biasa yang ingin merasakan disetubuhi saat ini juga.
Rangsangan hebat dari Dina membuat Pak Bambang tak tahan lagi. Dengan
sebuah teriakan keras, kakek tua itu menghunjamkan seluruh kontolnya
yang mengejang keras ke dalam vagina Dina dengan kekuatan penuh, dia
tidak main-main lagi sekarang, seluruh batang kemaluannya melesak ke
dalam sampai paha mereka saling tampar. Pak Bambang membiarkan kontolnya
berada di dalam untuk sesaat sambil mendengarkan desahan kekalahan yang
keluar dari mulut Dina. Dengan kekuatan penuh, kakek tua yang masih
perkasa itu mulai menggiling memek sang ibu rumah tangga yang cantik dan
menusukkan kemaluannya dalam-dalam sampai seluruh batangnya selalu
tertelan habis.
Pak Pramono bisa merasakan lesakan dahsyat kemaluan Pak Bambang di
seluruh tubuh Dina, dia bisa merasakan pahitnya kekalahan yang tentunya
menguasai diri Dina yang kini hanya bisa pasrah disetubuhi Pak Bambang.
Pak Pramono bergerak ke hadapan Dina, tubuh wanita cantik yang
tersengal-sengal dientoti Pak Bambang itu terkulai pasrah di atas
lantai. Dengan gerakan ringan, Pak Pram mengangkangi dada Dina dan duduk
di atas buah dadanya. Satu tangan Pak Pram meraih rambut Dina,
menjambaknya dan menarik kepalanya ke depan. Tangan Pak Pram yang lain
menggiring penisnya yang sudah tegang ke bibir mungil Dina. Mata Dina
terbelalak karena terkejut dan dia memalingkan wajah dengan marah,
walaupun sedang dilanda gairah birahi yang sangat tinggi tapi Dina tahu
dia tidak mau melayani dua orang sekaligus! Dia masih waras dan tidak
ingin disamakan seperti seorang pelacur!
Dina merintih, “Jangan! Aku mohon… aku tidak bisa melayani kalian berdua bersamaan!”
“Kenapa tidak? Sekarang saat yang tepat, Ibu Dina… ayo kulum penis saya.” Kata Pak Pram tenang.
“Tidak! Jangan… aku tidak mau!!” Dina menolak. “Aku bukan pelacur! Aku tidak mau… dua orang… aku…”
Pada saat bersamaan Pak Bambang menusuk kontolnya lebih jauh lagi ke
dalam liang rahim Dina, entah sudah berapa jauh ia menguasai memek Dina,
yang jelas, ia sudah lebih jauh dari apa yang pernah dicapai oleh
Anton, suami Dina. Wanita cantik itu melenguh nikmat dan hal itu
memberikan kesempatan untuk Pak Pramono menyerang Dina. Dengan sedikit
kasar Pak Pram menyodokkan penisnya ke dalam mulut Dina.
“Atas kena bawah bisa, Ibu Dina sayang.” Bisik Pak Pram menggoda.
Rongga mulut Dina langsung sesak begitu penis Pak Pram masuk ke dalam
dengan paksaan, ibu muda yang cantik itu hampir saja tersedak dan
merasakan daging berotot milik Pak Pram melindas lidahnya sampai ke
dalam. Tubuh Dina tersentak dan dia menggelinjang tak berdaya. Di bawah,
Pak Bambang terus saja membenamkan kontol raksasa yang keriput ke dalam
memeknya sementara di atas Pak Pram menghunjamkan penis ke dalam rongga
mulutnya. Air mata Dina meleleh saat dia menyadari betapa rendah
dirinya saat ini, apalagi jika ia teringat pada sang suami yang tentunya
masih mengira dia seorang istri setia. Penghinaan dan rasa malu apalagi
yang masih bisa ia hadapi saat ini? Dia disetubuhi oleh dua orang
sekaligus. Jari jemari Pak Bambang yang sesekali masuk ke dalam lubang
anus membuat Dina menyadari satu hal lagi, seluruh lubang di tubuhnya
sudah mereka kuasai, seluruh tubuhnya sudah menjadi milik dua laki-laki
tua biadab ini. Dia sudah tidak berharga lagi. Dia sudah tidak punya
harga diri lagi.
Sementara Dina menghisap-hisap penis Pak Pram, Pak Bambang kian liar
mengendarai memek sang ibu muda yang cantik itu. Dengan sisa tenaga yang
entah didapat dari mana, kakek tua itu terus menggerakkan kontolnya
keluar masuk, Dina juga menggerakkan pinggulnya seiring gerakan penis
Pak Bambang dan melayani permainan kakek tua itu. Pak Bambang dengan
pandangan mata bahagia menyaksikan batang kemaluannya yang masih tetap
keras keluar masuk dari memek Dina dengan perkasa, dengan sengaja kakek
tua itu menarik penisnya hingga ujung gundulnya saja yang tersisa di
dalam. Kemudian dengan kekuatan penuh, Pak Bambang kembali melesakkan
kontolnya masuk ke memek Dina.
Disepong oleh wanita secantik Dina sungguh nikmat rasanya, Pak Pram
menekan penisnya jauh lebih dalam ke mulut Dina, memasuki rongga
tenggorokannya sampai perempuan cantik itu sesak dan hampir tersedak.
Gerakan tubuh Dina yang didorong oleh Pak Bambang juga membuat sensasi
tersendiri bagi Pak Pram, seakan-akan ibu muda yang cantik itulah yang
bergerak naik turun, padahal dorongan itu datang dari bawah.
Dalam keadaan tidak berdaya, tubuh Dina menjadi bulan-bulanan kedua
laki-laki tua yang kini menguasai dirinya itu. Berkali-kali Pak Bambang
membolak-balik tubuh Dina agar bisa mendapatkan posisi yang enak dan
kini ibu rumah tangga yang cantik itu turun ke lantai dan menelungkup ke
bawah. Wajahnya berada tepat di bawah perut Pak Pramono sementara di
belakang, Pak Bambang mengendarai Dina secara ‘doggie-style’. Wajah Dina
semakin pucat dan sayu, dengan memelas Dina memohon pada Pak Pramono
agar menyelamatkannya dan segera mengakhiri semua ini. Sayangnya tidak
ada harapan bagi Dina.
Dengan satu tusukan penuh tenaga, Pak Bambang melesakkan penisnya ke dalam liang cinta Dina.
“Hnnghh!” Dina menggeram dan memejamkan mata menahan sakit.
Tubuh pendek Pak Bambang berada di belakang tubuh Dina. Tangannya
memeluk pinggang Dina agar seimbang sementara dia melesakkan penisnya ke
dalam rahim Dina. Tidak ada kelembutan saat kakek mesum itu menyetubuhi
Dina, Pak Bambang bergerak dengan sangat cepat dan kasar. Agar tidak
tergoyang terlalu hebat, Dina mencengkeram lutut Pak Pram yang duduk di
sofa. Dina menengadah dan Pak Pram kembali menyodorkan kontolnya.
Lagi-lagi Dina harus menyepong Pak Pram. Dina segera menjilati batang
kemaluan Pak Pramono sementara Pak Bambang mengentoti vaginanya dengan
kecepatan tinggi.
Hampir sepuluh menit posisi ini tidak berubah. Pak Pramono menjambak
rambut Dina dengan gemas. Dina merasakan semprotan air mani membanjiri
mulutnya. Agar tidak tersedak, Dina menelan seluruh sperma yang
disemprotkan oleh atasan Anton itu. Walaupun sudah mencapai klimaks, Pak
Pram tidak segera menarik kontolnya dari mulut Dina. Sementara itu, Pak
Bambang masih terus menggerakkan pinggulnya menyetubuhi Dina dari
belakang. Gerakan Pak Bambang sangat cepat dan penuh nafsu, mengingat
usianya yang sudah uzur, Dina takjub pada kekuatan dan kecepatan Pak
Bambang. Belum pernah seumur hidupnya Dina merasakan dientoti sedemikian
cepat dan lama. Makin lama makin cepatlah kocokan kontol Pak Bambang di
dalam memek Dina sampai pria tua itu melenguh keras dan menyemprotkan
pejuhnya membanjiri vagina Dina.
Kedua lelaki busuk itu mencapai klimaks hampir bersamaan, dua
laki-laki buas yang mencengkeram erat tubuh Dina berebut ingin
memeluknya, masing-masing ingin melesakkan penisnya jauh lebih dalam ke
dalam mulut dan vagina wanita cantik itu dan menembakkan air mani mereka
dalam dalam. Pak Pram beralih ke sisi kiri Dina, dia menarik kontolnya
yang mulai lemas meskipun si cantik itu masih saja menyedot air mani
yang masih keluar dari ujung kemaluannya. Pak Bambang mundur ke belakang
dan menarik keluar kontolnya dari dalam memek Dina, terdengar suara
letupan kecil dan desahan nikmat dari kakek tua yang mesum itu. Pak
Bambang berbaring di sisi kanan Dina.
Mereka bertiga kelelahan… kenyang oleh nikmatnya regukan birahi yang
telah diraih. Dina memejamkan mata kecapekan, dia tidak mengira bahwa
sekali ini dia benar-benar sudah mengkhianati suaminya dengan cara yang
paling menjijikkan, tidak saja dia berselingkuh dengan atasannya, tapi
dia juga melayani tamu Pak Pram secara bersamaan. Bagaimana mungkin
wanita seperti dia bisa melayani dua orang sekaligus? Dulu bersetubuh
dengan Pak Pram saja sudah seperti kiamat, rasa malu dan jijik yang
hinggap tidak bisa hilang oleh apapun. Tapi kini? Dia disetubuhi oleh
dua orang lelaki sekaligus. Seorang pria tua yang masih gagah dan
seorang kakek-kakek yang keperkasaannya menakjubkan. Rasa malu pada diri
sendiri kian membuncah karena Dina merasa mendapatkan kenikmatan yang
luar biasa disetubuhi oleh mereka berdua.
Ibu rumah tangga seksi yang baru saja dinikmati dua pria tua itu
ambruk ke lantai kantor. Nafasnya terasa berat hingga Dinapun
terengah-engah. Belum sampai lima menit beristirahat, rambut Dina sudah
dijambak oleh Pak Bambang. Pria tua itu menarik kepala Dina dan
menyorongkan kontolnya yang basah oleh air mani ke mulut Dina. Dina
segera menjilati kontol Pak Bambang dan membersihkan semua pejuh yang
ada di batang kemaluan kakek tua itu.
Setelah Dina selesai membersihkan penis Pak Bambang dengan mulut,
kakek mesum itu mendorong kepala Dina menjauh. Sekali lagi Dina duduk
dengan lemas di lantai sementara dua pria yang baru saja menyetubuhinya
duduk di sofa dan bersantai tanpa mempedulikannya.
“Bagaimana rasanya, Pak Bambang?” tanya Pak Pram dengan sopan sambil merapikan celananya kembali.
“Luar biasa, memeknya kok masih sempit ya? Padahal anaknya sudah dua,
enak sekali. Untung saja tadi aku sempat minum obat kuat. Kamu
beruntung punya koleksi seperti dia. Sudah berapa lama kamu pakai?”
“Sekitar dua minggu.”
“Buat aku saja. Dia cantik sekali.”
“Wah, saya tidak tahu apakah Ibu Dina…”
“Kalau di luaran, harga lonthe yang cantik dan seksi seperti ini
mahal sekali, padahal kebanyakan memeknya sudah melar, aku sering rugi
kalau beli. Yang dia punya masih sempit, padahal sudah pernah
melahirkan, mungkin prosesnya melalui operasi caesar ya? Luar biasa,
masih rapat, aku puas.” Suaranya yang serak terdengar semakin
menyeramkan di telinga Dina. “Bagaimana kalau aku beli saja dia? Berapa
harganya?” Pak Bambang mencari-cari buku cek di dalam saku bajunya.
“Wah-wah…” senyum Pak Pramono makin melebar. “Kalau dijual harganya
mahal sekali, Pak Bambang. Dia ini masih orisinil. Ibu rumah tangga
biasa yang…”
“Berapapun harganya aku beli. Aku bisa membeli perusahaanmu, Pram.
Kalau hanya membeli lonthe semacam ini tentunya aku lebih dari sekedar
mampu.”
Sudah jelas kalau Pak Bambang memang lebih kaya dibanding Pak Pram.
Tapi selain lebih kaya dan jauh lebih tua, kakek-kakek yang bertubuh
pendek dan gemuk ini nampaknya juga menjadi panutan Pak Pramono sehingga
dia sangat hormat kepadanya. Kekhawatiran makin menyeruak ke dalam
batin Dina.
Dina sadar sepenuhnya kalau dia sebelumnya telah berjanji bersedia
menjadi budak seks Pak Pramono. Apa yang terjadi saat ini sudah
menyalahi janji dan seandainya Pak Pram memberikannya pada Pak Bambang
maka bisa dipastikan hidupnya akan lebih sengsara lagi. Pak Bambang
jelas tidak selembut dan segagah Pak Pramono. Walaupun telah membuatnya
menderita, tapi ada sisi-sisi lembut Pak Pramono yang kadang membuat
Dina merasa sedikit dihargai. Dari dua bajingan tua ini, Dina jelas tahu
siapa yang dia pilih.
“Pak Pram,” bisik Dina lirih, “perjanjiannya kan tidak seperti ini…”
“Diam! Siapa yang menyuruhmu bicara?” bentak Pak Pram galak.
Dina kaget oleh bentakan Pak Pram, ibu muda cantik itu lantas diam
membisu karena takut, airmatanya meleleh membasahi pipi. Bagaimana
mungkin ini terjadi? Dulu dia adalah seorang wanita baik-baik yang tidak
mungkin akan berselingkuh dengan lelaki lain, tapi kini tubuhnya
diperjualbelikan bagaikan seorang pelacur di pasar budak. Dina merasa
sangat terhina. Dina meyakinkan dirinya sendiri kalau ini adalah jalan
untuk menyelamatkan keluarga sehingga tidak ada jalan keluar dari
masalah ini kecuali menjalankan semua perintah Pak Pram. Pandangan mata
Dina kian mengabur karena pikirannya yang shock berat. Dia berusaha
menahan tangisnya.
Tiba-tiba terdengar suara gemerincing di balik sebuah tirai yang
tertutup sedikit di pojok ruangan. Karena sibuk meladeni nafsu kedua
bandot tua tadi, Dina tidak memperhatikan sudut itu. Dina melirik ke
arah Pak Pramono, entah kenapa orang itu tersenyum sinis.
“Pak Bambang.” Kata Pak Pram kemudian. “Rasa-rasanya saya tidak bisa
memutuskan hal itu karena terkait dengan banyak hal. Tapi seandainya Pak
Bambang memang berminat pada Ibu Dina, mungkin bisa ditanyakan langsung
pada yang bersangkutan.”
Dina bingung dengan maksud Pak Pramono, jantungnya berdetak dengan
kencang karena nasib dan masa depannya ada di tangan Pak Pramono,
bagaimana mungkin dia melanggar perjanjian dan memberikannya pada kakek
menjijikkan ini? Namun belum sempat Dina memprotes, suara gemerincing
terdengar lagi. Suara dari sudut itu makin keras dan mengganggu. Pak
Pram mendengus kesal.
“Ibu Dina, tolong buka tirai itu.” perintah Pak Pram jengkel.
Dina yang lemas dan masih telanjang hendak mengambil pakaiannya. Namun Pak Pram menggeleng.
“Aku ingin Ibu Dina membuka tirai. Bukan mengenakan baju.”
Dina menatap Pak Pram pilu dan mencoba berdiri. Tetesan air mani
masih leleh dari sela selangkangannya yang sudah dinikmati Pak Bambang.
Dengan langkah kaki yang masih lemas dan bergetar, ibu rumah tangga
yang cantik itu berjalan telanjang menuju ke arah sudut ruangan yang
terus mengeluarkan suara gemerincing. Nampaknya ada sesuatu yang
tersembunyi di balik tirai itu.
Sesuatu atau… seseorang?!
Seseorang sedang duduk di kursi yang berada di balik tirai!
Selama Dina melayani Pak Pram dan Pak Bambang, tentunya orang ini
bisa melihat semua aksi mereka. Dina bisa melihat garis tali temali,
orang yang duduk di atas kursi di balik tirai sedang terikat erat. Suara
gemerincing itu berasal dari lonceng kecil yang ada di ujung tirai.
Orang itu pasti berjuang keras agar bisa membunyikan lonceng kecil
karena diikat sedemikian erat di kursi, mulutnya juga disumpal oleh
kain.
Dengan sedikit ketakutan dan berusaha menutupi ketelanjangannya, Dina membuka tirai.
Dina menjerit karena shock melihat sosok di balik tirai.
Sosok itu adalah Anton! Suaminya!
###
Alya terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Dia baru sadar ternyata
dia tertidur di depan televisi sepanjang malam, suara telepon di tengah
malam mengejutkannya. Alya tidak menyukai suara telpon yang berdering di
tengah malam. Suara dering telpon yang terus berbunyi mengingatkannya
pada kejadian bersama Pak Bejo beberapa malam yang lalu dan itu terus
menghantuinya. Masih belum terlalu malam, jam sebelas lebih sedikit,
Hendra belum pulang dan Opi sudah terlelap. Anissa dan Dodit juga belum
pulang, mungkin mereka masih jalan-jalan ke kota.
Alya berharap telpon itu bukan datang dari Pak Bejo. Dengan berat hati diangkatnya gagang telpon dan ditempelkannya ke telinga.
“Halo…”
Suara seorang wanita kemudian bertanya. “Selamat malam. Apa benar ini rumah Bapak Hendra Wibisono?”
Jantung Alya berdegup kencang. “Benar.”
“Dengan siapa saya bicara?”
Makin berdebar. “Saya Alya, istrinya. Maaf, ini siapa?”
“Ibu Alya, kami dari Rumah Sakit ***** hendak memberitahukan kalau
malam ini Pak Hendra Wibisono mengalami kecelakaan, mobil yang
dikendarai beliau bertabrakan dengan sebuah truk di jalan *****. Keadaan
Pak Hendra cukup parah dan membutuhkan perawatan medis yang serius.
Sampai saat ini beliau belum sadarkan diri dan kami membutuhkan
kehadiran ibu segera.”
Dunia Alya berputar dan semua berubah menjadi gelap.
“Halo? Halo? Ibu Alya? Ibu masih di sana?”
###
BAGIAN ENAM
PERAWAN & PRIA TUA
Oleh Pujangga Binal & Friends
PERAWAN & PRIA TUA
Oleh Pujangga Binal & Friends
Dina sangat kaget, ia tidak menyangka ternyata sejak awal suaminya
berada di dalam ruangan tempat ia melayani nafsu dua bos tua yang penuh
nafsu terkutuk. Ibu muda yang cantik itu sama sekali tak mengira, Pak
Pramono tega melakukannya.
Anton ternyata berada di dalam ruangan kantor Pak Pramono sepanjang
hari ini. Ia bisa mendengar dengan jelas dan melihat bayangan Dina dari
balik kelambu tempatnya disembunyikan dengan badan terikat dan mulut
tersumpal. Suami Dina itu bisa melihat tubuh sang istri dipermainkan
dengan buas oleh dua lelaki tua yang haus seks, perasaan Anton hancur
melihat istrinya menderita, apalagi semua ini terjadi karena ulahnya
yang menggunakan aset kantor. Ia tak mengira sama sekali perbuatannya
yang merugikan perusahaan tertangkap basah dan berdampak langsung pada
kehancuran kehidupan rumah tangga Anton dan Dina.
Dina mengusap pipinya yang basah oleh air mata, ia tidak menduga akan
bertemu Anton dalam situasi seperti ini. Entah kenapa, Dina merasa malu
dan berusaha menutup ketelanjangannya dari tatapan nanar mata Anton
yang menyala penuh kebencian. Kedua tangan Dina bergerak menutup dada
dan selangkangannya, walaupun usaha itu tentunya tak berhasil. Sementara
itu, dua sosok lain yang juga telanjang, Pak Bambang dan Pak Pramono
tertawa melihat Anton yang terikat erat di kursi tak bisa melakukan
apa-apa untuk menyelamatkan istrinya.
Sambil bermain-main, Pak Pram merenggut tangan Dina dan membimbingnya
ke arah kemaluannya yang kembali menegang. Dengan gerakan berulang,
didorongnya tangan Dina naik turun mengocok kemaluannya. Mulusnya tangan
Dina membuat Pak Pramono kembali terangsang, penis itu membesar dan
ukurannya membuat Anton terbelalak takjub. Dina menggelengkan kepala dan
merintih memohon ampun dengan air mata menetes. Tidak ada seorangpun
yang akan percaya, ia – seorang ibu muda yang alim – sedang mengocok
kemaluan pria lain di hadapan suaminya. Tetesan air mata Dina deras
menuruni wajah membasahi lantai. Hebatnya, setelah berkali-kali menegang
hari ini, Pak Pram tidak menunjukkan tanda-tanda kecapaian, malah
kemaluannya kembali menegang menantang usai dikocok perlahan oleh
jari-jari lentik Dina.
Pak Pramono menjambak rambut Dina agar kepala perempuan jelita itu
tak bergerak kemana-mana. Dengan nakal Pak Pram mengoleskan ujung gundul
kemaluannya ke mulut Dina dan menggesekkannya di pipi, mata dan hidung
istri Anton itu. Dina tahu apa maksud Pak Pram, dengan terpaksa ibu muda
dua anak itu membuka mulut. Tanpa menunggu aba-aba, Pak Pram langsung
melesakkan penisnya yang besar menjejal masuk ke mulut Dina. Anton
terbelalak melihat kemaluan Pak Pram yang besar dan panjang bisa masuk
ke mulut Dina, ia bisa membayangkan penderitaan sang istri yang harus
membuka mulutnya lebar-lebar agar benda itu bisa masuk.
Ada sensasi aneh melihat seorang suami berada dalam posisi tak
berdaya menyaksikan istrinya sibuk menyepong lelaki lain tepat di depan
matanya, apalagi sang istri adalah seorang wanita molek yang sangat
cantik dan seksi seperti Dina. Sensasi itu membuat Pak Pramono mencapai
klimaks dengan sangat cepat. Hanya beberapa menit disepong Dina, Pak
Pram menyemprotkan pejuhnya membanjiri mulut istri Anton. Dina
terbatuk-batuk dan berusaha memuntahkan kembali sperma Pak Pram yang
dijejalkan ke tenggorokannya, untunglah Pak Pram segera menarik batang
kemaluannya sehingga wanita cantik itu tidak sampai kehabisan nafas.
Karena Pak Pramono menarik penisnya dengan terburu, air maninya
menyemprot juga ke wajah Dina.
Dengan penuh kemenangan, Pak Pramono menyorongkan wajah Dina yang
belepotan air mani ke arah sang suami. “Lihat ini baik-baik, Pak Anton.
Lain kali anda berbuat kesalahan, yakinkan diri anda untuk menebus
kesalahan itu sebelum sesuatu seperti ini terjadi.”
Anton menatap jijik wajah istrinya yang belepotan sperma lelaki lain,
ia menatap geram ke arah Pak Pramono. Dina yang merasa kotor menunduk
malu tak berani menatap mata Anton sementara pejuh bercampur air mata
menetes dari pipi turun ke lantai.
Sambil duduk di kursi, Pak Pramono dengan santai mengelus-elus tubuh
Dina yang duduk lemas di lantai. Wanita cantik itu bahkan tak berani
menatap mata suaminya yang terikat erat, ia tahu nasib dan masa depan
mereka berada di tangan Pak Pramono dan rekannya yang bernama Bambang.
Pak Pram melirik ke arah Pak Bambang yang ternyata sudah kembali
menyiapkan kemaluannya. Dengan senyum menghina Pak Pram menatap Anton
yang menatap tak percaya gerakan Pak Bambang menarik Dina dan
membaringkannya di lantai. Tubuh gemuk Pak Bambang masuk di antara kaki
jenjang Dina yang putih mulus. Dengan main-main pria tua itu menepuk
penisnya yang besar di selangkangan sang ibu muda.
“Aku tidak akan menjamin istrimu bisa menikmati penisku ini, Pak
Anton. Tapi aku bisa menjamin kalau AKU pasti menikmati detik demi detik
mencicipi tubuh seksi istrimu.” Kata kakek tua itu.
Anton meraung namun karena mulutnya tersumpal kain, tak ada suara
keluar dari mulutnya. Dina menggelengkan kepala karena kelelahan, ia
tidak mengira Pak Bambang akan menyetubuhinya lagi dan kali ini,
langsung di hadapan suaminya!
“Siap Ibu Dina? Mudah-mudahan yang kali ini bisa membuatmu hamil ya.”
Pak Bambang terkekeh lagi. Ia menarik pinggulnya ke belakang dan dengan
kecepatan tinggi menghunjamkan penisnya masuk ke dalam kemaluan Dina.
“Ahhhhh!! Sakit!!” jerit Dina sambil memejamkan mata, air mata
menetes dari ujung pelupuknya. Bermain cinta tanpa foreplay sangat
menyakitkan bagi seorang wanita, karena liang rahimnya belum benar-benar
basah oleh cairan pelumas yang keluar dari dinding vagina. Kali ini Pak
Bambang menusukkan penisnya di saat Dina belum siap, membuat penis yang
lebih besar dari milik Anton itu meraja di liang kemaluan sang ibu
muda. Dina menjerit kesakitan tiap kali penis Pak Bambang menusuk masuk
ke dalam memeknya.
Anton tidak bisa mempercayai pemandangan yang kemudian berlangsung di
depan matanya. Selama hampir seperempat jam istrinya yang cantik jelita
disetubuhi oleh monster tua bertubuh gemuk menjijikkan. Lebih pedih
lagi bagi Anton, istrinya itu berulang kali mengejang dan
berteriak-teriak kesakitan tiap kali Pak Bambang melesakkan kontolnya ke
dalam. Karena tak tahan dengan sodokan demi sodokan penis Pak Bambang,
Dina akhirnya mengangkat kakinya dan menggunakan kaki jenjang itu untuk
memeluk pinggang Pak Bambang yang lebar sementara tangannya mengait di
leher. Istri Anton yang merem melek akhirnya mencoba menikmati permainan
ini, bahkan dengan berani Dina menggoyang pinggulnya untuk membalas
sodokan penis sang kakek tua.
“Ehhhmmmm… a-aku sudah mau keluaaar…” begitu nikmatnya Dina dientoti
Pak Bambang sampai-sampai wanita cantik yang tadinya alim itu meracau
tak jelas. “Auuuhh… ehmm… jangaaan… teruuuus… sakiit… ugh… ahhh… ahh…”
Akhirnya Dina tak kuat lagi menahan nafsu birahinya yang sudah
memuncak, tubuhnya langsung mengejang dan tak lama kemudian liang
rahimnya dibanjiri oleh cairan cinta. Pak Bambang menyusul Dina tak lama
kemudian, tubuhnya menegang, lalu bergetar, lalu tanpa bisa ditahan,
air mani menyemprot tanpa henti di dalam memek Dina yang masih dijejali
kemaluannya. Air mani mengalir dari sela-sela penis yang melesak di
dalam memek Dina dan menetes keluar.
“Ha ha ha. Lihat ini, Pram. Gadis kecilmu ini benar-benar pelacur,
mudah sekali dia dibikin orgasme. Berani taruhan, pasti kontol suaminya
tidak sanggup memuaskannya seperti ini.” kata Pak Bambang. “Pak Anton!
Istrimu jago ngentot nih, aku puas sekali. Mudah-mudahan ada spermaku
yang bisa menembus ke dalam dan menghamilinya. Pengen lihat aku, kalau
bapaknya sejelek aku, ibunya secantik istrimu, anaknya jadi kayak apa…”
Pak Pram melangkah dengan penuh percaya diri menghampiri suami Dina
yang terikat tak berdaya di kursi, penisnya masih berdiri tegak seakan
menantang kejantanan Anton yang tak mampu berbuat apa-apa menyaksikan
istrinya digumuli dua orang bejat. “Istrimu enak sekali dientoti, Pak
Anton. Susunya empuk, memeknya rapet, bibirnya mungil, bokongnya bulet,
pokoknya enak sekali dientoti. Mudah-mudahan kami tidak merusak
memeknya, karena penis kami ukurannya jauh lebih besar daripada milikmu
yang sebesar pensil itu. Memek Ibu Dina masih terhitung rapat untuk kami
berdua, tapi saya tidak yakin ukuran penis Pak Anton akan sanggup
memuaskan Ibu Dina. Apalagi Ibu Dina sudah merasakan nikmatnya dientoti
dua laki-laki sejati.”
Pak Bambang tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan Pak Pramono yang
menyakitkan bagi Anton itu. Di samping Pak Bambang, Dina terbaring lemas
dengan memek yang masih terus mengeluarkan sperma tumpahan sang kakek
bejat. Berkali-kali ibu muda itu terbatuk sambil mengeluarkan air mani
Pak Pramono yang masih tersisa di mulutnya.
“Lihat keadaan istrimu sekarang, Pak Anton. Bisa dibayangkan berapa
banyak pejuh yang sudah kami tumpahkan dalam rahim Ibu Dina. Mungkin
saja kelak Ibu Dina akan melahirkan anak kembar, yang satu mirip Pak
Bambang dan yang satu lagi mirip saya.”
Kembali Pak Bambang tertawa, Pak Pramono amat pintar memanipulasi kata-kata untuk mengumbar emosi Anton.
“Untuk mengakhiri semua penderitaan ini…” kali ini Pak Pram tidak
main-main, ia mendekat ke arah Anton, menatapnya tajam dan mencengkeram
kedua lengannya dengan sekuat tenaga, “aku sangat berharap Pak Anton mau
bekerja sama untuk terakhir kalinya dengan kami.”
Keringat Anton mengucur deras, apalagi yang diinginkan bosnya yang
kejam ini? Dia sudah menghancurkan hidupnya, hidup Dina, hidup
keluarganya. Apalagi yang diinginkannya?
“Pak Bambang adalah orang yang sangat kaya dan sangat mampu membiayai
kehidupan Ibu Dina selanjutnya, termasuk biaya untuk menyekolahkan
kedua anak kalian dan biaya hidupmu yang menyedihkan itu. Kami akan
berbaik hati menyediakan sebuah rumah di kota lain dan modal untuk usaha
bagi Pak Anton, sekaligus menjamin kehidupan kedua anak kalian, dengan
syarat… Pak Anton bersedia menceraikan Ibu Dina dan menyerahkan
kepemilikan Ibu Dina pada Pak Bambang. Itu artinya, Pak Anton tidak
boleh bertemu lagi dengan Ibu Dina… selamanya.”
Mata Anton dan Dina terbelalak tak percaya, mereka tidak mempercayai
pendengaran mereka, benarkah Pak Pram mengajukan proposal pada Anton
untuk menjual Dina? Anton menggeram marah dan melompat-lompat gemas.
Pria itu meraung-raung dan menggeram penuh emosi, tapi dalam keadaan
terikat ia tidak bisa berbuat banyak, air matanya menetes membanjiri
wajah, ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, semua ini terjadi
karena kesalahannya. Ia harus tunduk pada indecent proposal yang
diajukan oleh bosnya ini kalau ingin selamat.
Dina menangis tersedu-sedu, ia terlalu lemah untuk menolong Anton,
wajahnya menunduk ke bawah dengan pasrah. Yang akan terjadi terjadilah.
“Aku tidak tertarik menikahi wanita ini.” tiba-tiba saja Pak Bambang
berucap. “Akan tetapi, aku punya seorang anak yang usianya kurang lebih
sama dengan Pak Anton, bedanya kalau Pak Anton lulusan universitas
terkenal, anakku itu lulusan SLB. Sangat tidak membanggakan seorang
konglomerat punya anak idiot, tapi akan sangat membanggakan memiliki
cucu cantik seandainya anakku itu menikah dengan wanita secantik Dina.”
Kali ini giliran Pak Pramono yang menganga heran. Ia memang sudah
tahu kalau Pak Bambang memiliki seorang anak idiot yang disembunyikan di
sebuah villa jauh dari kota besar. Tapi ia tidak menyangka pria tua ini
berniat menikahkan Dina dengan anaknya itu, benar-benar tindakan yang
di luar perkiraannya.
Mendengar kata demi kata yang diucapkan Pak Bambang, mata Dina
menjadi berkunang-kunang, pandangannya pun mengabur. Wanita cantik itu
ambruk ke lantai dan pingsan.
Kisah penderitaan Dina belumlah usai, justru baru akan dimulai.
###
Ruang Dokter Wibowo menjadi sepi ketika sang dokter berusia lanjut
itu menerangkan dampak kecelakaan yang menimpa Hendra, suami Alya.
“Kecelakaan fatal yang dialami oleh Pak Hendra mengakibatkan beliau
menderita trauma atau benturan di kepala dan akibatnya terjadi kerusakan
syaraf motorik pada jaringan fungsi otaknya. Sejauh pengamatan kami
hingga saat ini, mulai dari bagian bawah perut hingga ke ujung kaki
syaraf beliau tidak bisa berfungsi secara normal dan mengakibatkan
terjadinya kelumpuhan. Saluran pengeluaran beliau sejauh ini tidak
mengalami masalah, tapi tidak ada jaminan beliau akan mampu melakukan
kegiatan-kegiatan lain seperti berjalan ataupun berlari secara normal,
termasuk melakukan hubungan suami istri. Walaupun kelumpuhan semacam ini
tidak permanen tapi bisa dikatakan kelumpuhan Pak Hendra adalah
kelumpuhan jangka panjang.” Kata Dokter Wibowo.
“Ja-jadi suami saya lumpuh, Dokter?” Seluruh tubuh Alya bergetar dan
airmatanya tidak berhenti meleleh membasahi pipi. Lidya memeluk kakaknya
yang sedang tertimpa musibah dan berusaha menenangkannya agar tetap
tabah. Tubuh Alya bergetar menggigil karena perasaannya panik dan kalut,
Lidya hanya bisa berdoa agar semua masalah yang menimpa keluarga mereka
segera bisa terlewati.
“Lumpuh dari bagian perut ke bawah, beliau tidak akan bisa
menggunakan kedua kaki dan tidak akan lagi mampu melakukan hubungan
suami istri, walaupun seperti yang saya katakan tadi, tidak ada masalah
dengan saluran pengeluarannya.” Lanjut Dokter.
“Apakah kelumpuhan itu bisa sembuh nantinya, Dokter?” tanya Alya lagi.
Sang dokter menggeleng, “belum bisa dipastikan, Bu Hendra. Dalam
beberapa kasus, kelumpuhan semacam ini memang bisa sembuh karena
sifatnya tidak permanen dan hanya menimpa bagian tubuh tertentu saja,
walaupun tidak bisa dipungkiri kemungkinan Pak Hendra bisa kembali pulih
seperti sediakala dalam waktu singkat mungkin hanya hanya sekitar 5
sampai 6%, itupun dalam jangka waktu yang sangat panjang bahkan mungkin
hingga menahun, apalagi semakin tua umur seorang penderita, makin
berkurang pula kemampuan syarafnya bisa pulih. Sangat tipis kemungkinan
Pak Hendra bisa sembuh total.”
Ruangan Dokter Wibowo yang berada di RS ***** menjadi sangat panas,
ac memang sudah menyala, tapi perasaan orang-orang yang berada di dalam
ruangan itu semua sangat kacau balau. Alya, Lidya dan Anissa sedang
berada di dalam ruang periksa dokter sementara Andi, Dodit dan Pak Bejo
menanti di luar. Opi tidak ikut menemani mereka dan dititipkan pada Bu
Bejo di rumah.
“Berapa lama kakak saya harus menjalani rawat inap, Pak Dokter?”
tanya Anissa, seperti halnya Alya, gadis cantik itu juga menangis
sesunggukan meratapi nasib kakak kandungnya yang malang.
“Paling cepat sekitar dua minggu dan paling lambat mungkin satu
bulan, tergantung dari kondisi Pak Hendra sendiri. Saat ini beliau
sangat lemah dan tidak bisa melakukan aktivitas apapun, walaupun bagian
perut ke atas bisa dibilang tidak mengalami cidera serius.” Jawab
Dokter.
“Seandainya suami saya tidak mengalami masalah dengan saluran
pengeluaran, kenapa dia tidak bisa melakukan kegiatan suami istri, dok?”
tanya Alya lagi.
“Sayangnya, kecelakaan itu juga membuat beliau mengalami impotensi.
Saya masih belum bisa memastikan apakah impotensi Pak Hendra juga
bersifat temporer atau permanen. Hasil testnya baru bisa diperoleh dalam
beberapa hari ke depan.” Jawab Dokter Wibowo.
Air mata Alya kembali meleleh, tapi ia mengangguk dan mengucapkan
terima kasih pada dokter yang telah merawat suaminya. Ketiga wanita
cantik itupun meninggalkan ruang dokter.
“Mbak Alya tidak apa-apa, kan?” tanya Lidya khawatir melihat kakaknya.
“Tidak apa-apa. Aku bersyukur Mas Hendra selamat dari kecelakaan
itu.” kata Alya kemudian. “Aku tidak peduli dia cacat atau lumpuh, aku
akan selalu berada disisinya, aku sangat mencintainya. Di saat sulit
seperti inilah, aku wajib menemaninya.”
Anissa dan Lidya saling berpandangan dan kagum pada Alya yang sedang
berusaha kuat menabahkan diri. Tapi sesungguhnya, kisah penderitaan Alya
belumlah usai, justru baru akan dimulai.
###
Annisa memperhatikan Alya yang masih duduk di samping ranjang Hendra
dengan setia. Tidak mudah mengajak Mbak Alya pulang walaupun mungkin
kakak iparnya itu sudah sangat kelelahan. Mbak Lidya dan suaminya sudah
pulang dan Mbak Dina belum juga menunjukkan batang hidungnya sedari
tadi. Harus ada seseorang yang menemani Mbak Alya seandainya dia butuh
makan atau mengurus administrasi rumah sakit yang belum selesai. Anis
segera mendiskusikan masalah itu dengan Dodit dan Pak Bejo.
“Begini saja, Non.” Usul Pak Bejo. “Karena Mbak Alya belum mau diajak
pulang, sebaiknya salah satu dari saya atau Mas Dodit mengantar dulu
Non Anis pulang karena hari sudah mulai gelap. Nanti kalau Mbak Alya
sudah merasa capek dan ingin pulang, yang tinggal di sini bisa mengantar
pulang setiap saat. Kalaupun Mbak Alya mau menginap di sini, lebih baik
ada seseorang yang menemani.”
Annisa menganggukkan kepala, “wah, kalau begitu biar Mas Dodit saja
yang tinggal di sini, kalau-kalau nanti Mbak Alya mau cari makan atau
mengurus surat-surat, Mas Dodit bisa lebih cepat membantu.”
“Saya juga tidak apa-apa kok, Mbak.” Kata Pak Bejo.
“Terima kasih, Pak, tapi sepertinya kami sudah terlalu banyak
ngrepotin Pak Bejo.” Kata Dodit. “Kamu pulang dulu aja ya, say. Aku
tinggal di sini sama Mbak Alya.”
Annisa mengangguk sementara Pak Bejo tersenyum malu-malu. “Wah, Mas
Dodit ini bisa aja, saya gak merasa direpotkan kok Mas, kan keluarga Mas
Hendra sudah saya anggap keluarga sendiri.”
“Iya sih, tapi siapa tahu Bu Bejo juga ada urusan yang gak bisa
ditinggal? Kan kasihan anak-anak Pak Bejo kalau di rumah gak ada yang
ngurus? Lagipula mobil yang dibawa Pak Bejo kan mobil pinjaman dari
saudara, pokoknya, kami sekeluarga berterimakasih banyak sama Pak Bejo.”
Kata Dodit lagi, sambil tersenyum dia mengambil dua lembar lima puluh
ribuan berwarna biru dan memberikannya pada Pak Bejo saat bersalaman.
“Ini Pak, buat beli rokok.”
“Lho? Mas Dodit gimana sih? Gak usah, Mas! Beneran, gak usah!” Pak
Bejo menggeleng kepala sambil berusaha mengembalikan uang Dodit, pria
tua itu memang jagonya sandiwara, pura-pura nolak padahal pengen. Pemuda
baik hati itu tetap memaksa sambil memasukkan uang ke dalam saku baju
Pak Bejo.
“Cuma seadanya kok, Pak. Buat beli rokok atau ganti bensin nganterin Non Anis.”
“Iya, Pak. Gak apa-apa, diambil aja.” Rayu Anissa sambil tersenyum manis.
Pak Bejo yang pintar bersandiwara pun pura-pura luluh dan menerima
uang pemberian Dodit. “Wah, sebenarnya saya melakukan ini semua tanpa
pamrih apa-apa, Mas Dodit. Beneran. Keluarga saya sudah sangat sering
ditolong Mas Hendra dan Mbak Alya, ini kesempatan saya untuk membalas
kebaikan hati mereka. Terima kasih banyak ya, Mas Dodit. Non Anis.”
Dodit dan Anissa mengangguk dan tersenyum ramah. Setelah Anissa dan
Dodit berbincang-bincang berdua, akhirnya mereka menemui Pak Bejo di
teras rumah sakit.
“Ayo, Pak. Kita pulang sekarang.” Ajak Anis, gadis itu melambaikan
tangan pada Dodit. “Aku pulang dulu ya, say. Titip Mbak Alya sama Mas
Hendra.”
“Iya. Hati-hati di jalan.” Balas Dodit.
“Mari, Mas Dodit. Saya duluan.” Ujar Bejo.
“Iya, Pak Bejo. Saya titip Anissa ya.”
“Pokoknya beres, Mas.” Pak Bejo menyeringai aneh sambil meninggalkan
Dodit di tangga rumah sakit dan mengiringi kepergian Anissa menuju
mobil. Dodit menatap kepergian orang tua itu dengan perasaan yang tidak
enak, tapi dia percaya penuh pada tetangga Mas Hendra itu karena Pak
Bejo sekeluarga sudah seperti saudara sendiri. Kenapa orang tua itu
menyeringai aneh? Dodit menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan masuk
kembali ke gedung utama rumah sakit.
Sementara itu, kemaluan Pak Bejo bergerak menegang karena gembira.
Kesempatan berduaan dengan Anissa telah datang. Pantat bulat si cantik
itu akan jadi miliknya.
Anissa tidak sadar, ia kini sedang berada dalam ancaman hebat lelaki
yang sudah memperkosa kakak iparnya. Anissa sudah berada dalam genggaman
Pak Bejo Suharso!
###
Nada tunggu.
Tidak ada yang mengangkat, Lidya menutup gagang telpon.
Lidya bertanya-tanya kemana Mbak Dina sebenarnya. Sudah sejak pagi
dia tidak bisa menghubungi HP dan telepon rumahnya. Mas Anton juga sama
saja, tidak bisa dihubungi. Kemana mereka pergi? Mas Andi sudah mencoba
menjemput tapi ternyata rumah mereka kosong dan terkunci rapat,
anak-anak juga tidak terlihat berada di rumah. Padahal ada musibah yang
menimpa salah satu anggota keluarga, tapi Mbak Dina gagal dihubungi.
Kasihan Mbak Alya, dia amat butuh dukungan dari keluarga. Kemana Mbak
Dina sebenarnya?
Usai gagal mencoba menghubungi Mbak Dina, Lidya melangkah masuk ke
dapur untuk menghangatkan lauk makan malam. Pikiran wanita muda itu
sangat kalut, ia sama sekali tidak menyangka, di saat dia mengalami
masalah berat ternyata kesulitan yang tak kalah hebatnya dialami oleh
Mbak Alya. Apa sebenarnya yang terjadi pada keluarga mereka? Lidya
merasa beruntung suaminya sudah pulang, kedatangan Andi membuat Pak
Hasan tidak berani macam-macam terhadapnya, walau sekali dua kali Pak
Hasan dengan nakal menepuk pantat atau mencolek buah dadanya.
Lidya mulai mengambil bahan makanan dari dalam lemari es dan
menyusunnya dengan rapi di tempat yang sudah ia sediakan. Ketika sedang
sibuk menyiapkan bahan masakan itulah tiba-tiba saja ada sepasang tangan
perkasa memeluk tubuh Lidya dengan sangat kuat. Wanita cantik itu tidak
bisa bergerak dan pucat pasi. Mulut yang berbau minuman keras, tangan
yang nakal menggerayang, tubuh yang masih tegap dan kasar. Orang ini
jelas Pak Hasan, Andi akan memperlakukannya dengan lebih lembut.
“Pak! Jangan ah! Mas Andi kan ada di atas! Dia sedang mandi… bagaimana kalau dia nanti…”
“Memangnya kenapa kalau Andi sedang mandi di kamar atas? Kita pasti
akan mendengar suara langkah kakinya kalau dia turun lewat tangga. Ada
sesuatu yang harus kita bicarakan, Nduk. Sejak anakku datang, kamu
selalu menghindari aku dan tidak pernah lagi mau berdua denganku.” Desis
Pak Hasan menahan emosi. “Aku kangen sekali dengan tubuhmu yang molek
ini, aku ingin tidur denganmu.”
“A-aku…” Lidya kebingungan mencari kata-kata yang tepat.
Kepanikan Lidya dimanfaatkan dengan baik oleh Pak Hasan. Pria tua itu
menggunakan kedua tangannya untuk menjelajah keseksian tubuh sang
menantu. Tangan kirinya masuk ke dalam celana pendek Lidya dan
meremas-remas pantatnya yang bulat, sementara tangan kanannya memainkan
buah dada Lidya yang ranum. Pantat Lidya putih mulus dan sangat halus
tanpa cacat, sangat merangsang nafsu Pak Hasan. Sedangkan buah dada
menantu Pak Hasan itu tidak perlu lagi diceritakan, bulat besar
menggiurkan.
“A-aku tidak mau melakukan ini lagi …” Lidya mencoba meronta dan
melepaskan diri dari pelukan ayah mertuanya, sia-sia saja karena pria
tua itu jauh lebih kuat. “Lepaskan aku… Mas Andi…”
“Bayangkan apa yang akan dilakukan oleh anakku itu seandainya dia
turun ke bawah dan melihat kita sedang bermesraan seperti ini, hmm? Ayah
kandungnya sedang bermain-main dengan pantat mulus dan payudara molek
istrinya.” Pak Hasan membisikkan kata-kata yang membuat Lidya urung
melakukan perlawanan. “Aku hanya ingin menikmati keindahan tubuhmu,
Nduk. Bukan hal yang aneh kan? Kita sudah berulang kali bermain cinta
dan…”
“Aku tidak ingin melakukan ini lagi!” Lidya mencoba tegas.
Karena jengkel, Pak Hasan menggeram dan mendorong tubuh menantunya
sampai menempel ke tembok. Karena posisi tubuhnya yang terjebak pelukan
Pak Hasan dari belakang, Lidya tidak mampu melawan, dia terdorong ke
depan sampai menempel ke tembok. Untunglah dorongan Pak Hasan tidak
cukup keras sehingga menyakiti sang menantu. Lidya menjerit kecil tapi
karena takut Andi akan mendengar suaranya, si cantik itu menutup
mulutnya sendiri.
Dengan terengah-engah Pak Hasan menahan agar tubuh Lidya tetap
menempel di tembok dapur, pria tua berbisik perlahan ke telinga Lidya.
“Aku sudah berusaha ramah padamu, Nduk. Tapi kalau kau mengajak main
kasar, aku tidak akan segan-segan meladenimu. Aku ingin kau mendengarkan
kata-kataku karena aku tidak akan mengulanginya lagi… paham?”
Lidya mengangguk dengan ketakutan.
“Aku ingin menidurimu lagi. Aku tidak peduli Andi sedang berada di
rumah atau pergi bekerja, tapi saat aku ingin memasukkan kontolku ke
dalam memekmu yang wangi, maka kau wajib membuka lebar-lebar kakimu agar
aku bisa menikmatinya. Aku tidak suka perlawananmu hari ini, dan
sebagai hukumannya, selama seminggu ini aku akan memberikan
perintah-perintah yang harus kau turuti. Kalau tidak mau melakukannya,
aku akan tetap menjepitmu dalam posisi ini sampai Andi turun ke bawah.”
Ancam Pak Hasan. “Pendek kata, aku ingin kau menjadi budakku seminggu ke
depan, bagaimana?”
Lidya menggeleng kepala, “A-aku tidak ingin melakukan ini lagi… ini salah… ini…”
Terdengar langkah kaki di lorong kamar atas, sepertinya Andi sudah
bersiap turun ke bawah menyusul Pak Hasan dan Lidya. Keringat istri
setia itu menetes sebesar jagung, apa yang harus dilakukannya? Ia tidak
mau lagi melayani kebejatan sang mertua, tapi kalau Mas Andi sampai
tahu, seluruh dunia mereka pasti akan hancur berantakan. Detik demi
detik berlalu, terdengar langkah kaki Andi turun melalui tangga, Lidya
makin panik, ia berusaha meronta tapi gagal karena jepitan kunci Pak
Hasan sangat kuat. Dengan hati remuk redam, akhirnya Lidya mengangguk
pasrah.
“Baiklah…” bisik Lidya lemah.
“Baiklah apa?” Pak Hasan meringis keji penuh kemenangan sambil
mengulum-ngulum daun telinga Lidya. “Baiklah kau akan menjadi budakku
atau baiklah kau akan nekat membiarkan Andi melihat kita sedang
bermesraan?”
“Baiklah aku bersedia menjadi budak bapak…” desahan yang keluar dari mulut Lidya terdengar panjang dan pasrah.
Kisah penderitaan Lidya belumlah usai, justru baru akan dimulai.
###
Mobil yang dikendarai Pak Bejo berkelak-kelok melalui jalan yang
belum dikenal Anissa, karena memang belum mahir menyetir mobil, Anissa
kurang begitu mengenal wilayah dan tidak hapal jalan-jalan kecil yang
dilalui Pak Bejo. Tapi kali ini Pak Bejo melalui jalan yang tidak
biasanya dilalui, berkelak-kelok melalui jalan sempit dan melewati
daerah yang sepi hunian. Kendaraan yang berpapasan dengan mobil mereka
bisa dihitung dengan jari.
Rumah sakit tempat Mas Hendra dirawat dan rumah tempat tinggal Mbak
Alya memang cukup jauh, tapi jalan yang dilalui Pak Bejo ini seakan-akan
membuat perjalanan mereka pulang menjadi lebih jauh dan lama. Karena
hari mulai gelap, Anis memberanikan diri bertanya pada Pak Bejo.
“Pak, kita lewat jalan apa sih? Kok kayaknya malah jadi lebih jauh?” tanya Anissa.
“Oh, maaf. Saya belum menjelaskan ya? Kita mampir sebentar ke rumah
adik saya, Non Anis. Kebetulan tadi dia sms katanya ada titipan untuk
istri saya.”
“Oh gitu. Sms yang masuk saat kita keluar dari rumah sakit ya?”
“Iya. Nggak apa-apa kan, mampir sebentar?”
“Nggak apa-apa kok, tapi sebentar saja ya, Pak.”
“Iya.”
Walaupun jengkel karena tidak diberitahu sebelumnya kalau Pak Bejo
akan mampir ke tempat lain, Anissa diam saja. Perjalanan berlanjut tanpa
ada percakapan lagi, Anissa terus melirik ke arah jam tangannya karena
walaupun hari semakin larut, tidak ada tanda-tanda mobil akan berhenti.
Tiba-tiba saja mobil berhenti mendadak di tengah kawasan perbukitan
yang dipenuhi pohon rindang dan amat sepi, mereka jauh dari jalan utama
dan sudah cukup jauh untuk kembali ke rumah sakit. Annisa mulai
khawatir, walaupun ia sangat percaya pada Pak Bejo tapi karena hari
sudah gelap, Anissa mulai berpikiran macam-macam.
“Kok berhenti di sini, Pak?” Anissa makin ragu. “Pak Bejo yakin ini jalan pulang ke rumah Mbak Alya?”
Ada sesuatu yang ganjil pada kelakuan Pak Bejo sore ini dan makin
lama kecurigaan Anissa makin besar, walaupun masih muda, Anis bukanlah
gadis bodoh. Rute pulang yang tidak seperti biasa, alasan mampir di
rumah saudara, berhenti mendadak di tengah jalan, situasinya makin aneh.
Anissa memeluk dirinya sendiri yang menggigil dan mulai membayangkan
hal yang tidak baik.
“Aduh, saya minta maaf, Non Anis. Tiba-tiba saja saya ingin buang air
kecil, sebentar saja ya Non…” rayu Pak Bejo. Anissa tidak bisa melihat
senyum licik tersungging di bibir Pak Bejo karena gelapnya malam.
“Iya deh, tapi jangan lama-lama ya Pak, saya takut.” Anissa
tersenyum, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dan meyakinkan bahwa
Pak Bejo bukanlah orang jahat.
Pria tua itu meninggalkan kursinya dan melangkah keluar mobil sambil menahan tawa iblisnya.
###
Anissa sedang menikmati lantunan lagu jazz lembut yang mengalun di
radio ketika terdengar ketukan pelan di jendela mobilnya. Wajah Pak Bejo
yang tiba-tiba muncul mengagetkan dara itu. Anis memencet tombol
membuka jendela.
“Ada apa, Pak?” tanya Anissa.
“A-anu, non… sepertinya saya kehilangan kunci mobil sewaktu buang air kecil tadi.”
“Aduuuh… Pak Bejo ini gimana sih?” nada suara Anissa meninggi karena
jengkel, tapi gadis itu segera memperbaiki nada suaranya agar Pak Bejo
tidak marah. Mereka hanya berdua saja di tempat sepi ini dan hal
terakhir yang diinginkan Anissa adalah membuat Pak Bejo marah. “Saya
temani deh mencari kuncinya.”
Anissa melangkah keluar dari mobil, karena hari mulai gelap, ia
menggunakan nyala HP-nya sebagai penerang sementara Pak Bejo menyiapkan
lampu darurat bertenaga baterei yang ia ambil dari bagasi mobil. Karena
sering memakainya, Pak Bejo sudah sangat hapal dengan mobil yang ia
pinjam dari salah seorang sepupunya ini.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan Anissa, di suatu tempat di lokasi
itu, Pak Bejo baru saja menggelar koran yang sudah ia bawa sedari tadi
sebagai alas, tempat di mana nantinya Pak Bejo akan menikmati malam
terindah bersama Anissa, tempat di mana Anissa akan kehilangan
kegadisannya.
Anissa mulai khawatir karena Pak Bejo menggiringnya makin masuk ke
tengah pepohonan rindang dan sudah cukup jauh dari jalan utama. Gadis
itu mulai merasa seakan-akan dia sedang memasuki satu jebakan.
Akhirnya Anis menyerah, “Saya telpon Mas Dodit aja deh, Pak… hari sudah terlalu malam, saya takut…”
Belum sempat Anissa melanjutkan kata-katanya, Pak Bejo dengan sigap
menubruk gadis itu! Anissa menjerit ketakutan karena tiba-tiba disergap
Pak Bejo yang bertubuh besar, ia ambruk ke tanah dan HP yang sedari tadi
ia bawa terlempar jauh.
“PAK BEJO! APA-APAAN INI?!” Anissa mencoba menyadarkan pria tua yang
sudah lupa diri itu, tapi Pak Bejo sudah berubah menjadi setan dengan
hawa nafsu tak terkendalikan. Bagaimanapun Anissa mencoba meronta dan
melawan, Pak Bejo tetap tak bergeming. Dengusan nafas Pak Bejo yang
berat membuat Anissa makin panik, ia tahu apa yang diinginkan Pak Bejo
saat ini, ia tahu pasti dari dengusan nafas penuh nafsu itu. “LEPASKAN
SAYA!! LEPASKAAAAN!!”
Jeritan, pukulan, cengkraman, semua upaya silih berganti dilakukan
oleh Anissa yang terus meronta dalam pelukan lelaki tua berotak mesum
itu. Sayangnya Pak Bejo adalah seorang preman yang sangat kuat, semua
perlawanan Anis malah membuat pria tua itu semakin terangsang, makin
Anis melawan, makin ingin rasanya Pak Bejo menaklukkan si cantik ini.
Setelah si jelita itu takluk nanti, Pak Bejo akan menidurinya tanpa
ampun!
Cukup lama dua sosok manusia itu bergumul di tanah, Pak Bejo yang
mulai merasa jengkel akhirnya mengeluarkan pisau lipat dari dalam
kantong celananya dengan susah payah dan menempelkannya di leher Anissa.
“Kalau begini terus, kita berdua yang akan rugi dan kelelahan, Non
Anis.” bisik Pak Bejo sambil menekan leher Anissa dengan pisau dan
mengancamnya. Anissa yang menyadari adanya sebilah pisau yang siap
menggorok lehernya akhirnya menghentikan semua aksi perlawanan.
Dengan senyum kemenangan dan terkekeh pelan, Pak Bejo mengelus pipi
Anissa. “Sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah ingin mencicipimu,
gadis manis.”
“Dasar lelaki tua busuk! Bajingan! Laknat! Lepaskan aku sebelum…”
JLEB!
Pak Bejo menancapkan pisau tepat di sebelah kepala Anissa dengan
penuh kemarahan, gadis itu langsung lemas dan menggigil ketakutan. Mata
Anissa mulai berkaca-kaca karena ia sadar bencana apa yang saat ini
sedang mengancam dirinya. “Jangan… jangan…”
Pak Bejo kembali menarik pisaunya dari tanah dan menempelkannya ke leher Anissa.
“Kamu sudah dewasa, sudah tahu permainan apa yang sedang kita mainkan
saat ini. Aku tidak akan segan menyakitimu baik dengan pisau ini
ataupun dengan tangan kosong seandainya kau berani melawanku. Lebih baik
kita bekerja sama maka aku tidak akan menyakitimu, setuju?” dengan
sengaja Pak Bejo menekan pisaunya lebih dalam ke leher Anissa namun
tidak sampai menyayat kulitnya yang putih mulus seperti pualam.
“I-Iya…” lirih Anissa menjawab, ia sangat ketakutan. Air mata gadis itu mulai menetes.
“Cup cup, tidak perlu menangis, sayang. Aku janji tidak akan
menyakitimu, semuanya pasti baik-baik saja dan menyenangkan. Kalau
sampai tidak enak, jangan panggil aku Bejo. Heh heh heh…”
Dengan penuh percaya diri, Pak Bejo memeluk Anissa dan menempelkan
kemaluannya yang sudah membesar ke paha sang gadis cantik. Tangan pria
tua itu bergerilya menyusuri seluruh tubuh Anis, bergerak turun dari
atas, mulai rambut, hidung, pipi, leher, hingga ke payudara.
“Kamu cantik sekali, sayang.” Bisik Pak Bejo di telinga Anis.
Anissa memejamkan mata ketika bibir hitam pria tua itu menelusuri
leher dan pipinya, sentuhannya membuat bulu kuduk sang dara berdiri dan
merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Belaian demi
belaian Pak Bejo disarangkan, semua demi mencoba membuai angan Anissa
yang masih dilanda shock dan ketakutan yang amat sangat.
Tangan Pak Bejo dengan mahir membuat gadis itu rileks dan mulai
pasrah pada tangan jahil sang pria tua. Nafas Anissa mulai berat, walau
pasti tidak mau mengakui, tapi gadis itu pasti mulai terangsang. Kali
ini Pak Bejo menarik tangan dan menjelajah masuk ke perut Anissa dari
bagian bawah pakaian yang dikenakan dara cantik itu.
Sentuhan lembut Pak Bejo mau tidak mau membuat Anissa merinding, pria
tua itu bisa merasakan gelinjang tubuh Anis ketika tangannya bergerak
ke atas menuju ke buah dada sang dara yang ranum. Gadis itu menatap Pak
Bejo dengan mulut terbuka kecil dan mata yang menerawang entah ke mana.
Mengetahui Anissa sudah mulai terangsang, Pak Bejo memberanikan diri
menyingkap baju dan BH gadis muda itu. Sekejap saja, gundukan payudara
sentosa sang dara menyambut dinginnya malam dan siap dinikmati oleh sang
pria tua. Pak Bejo mengusap dan meremas payudara Anis, membuat gadis
itu menjerit lirih karena tak kuat menahan nafsu.
“Ouuughhh…” desah Anissa lirih ketika puting susunya dipermainkan lidah Pak Bejo.
Kecupan demi kecupan membuat Anissa yang masih minim pengalaman bercinta menjadi merem melek menahan diri agar tidak terangsang.
“Aheemm… haaahhh… ahhh…” erangan sensual Anissa terdengar sangat
erotis bagi Pak Bejo, ia menggigit puting payudara gadis itu dengan
gigitan kecil dan meninggalkan cupang di balon buah dadanya.
Kepasrahan Anissa membuat Pak Bejo dengan bebas melucuti satu demi
satu pakaian yang dikenakan gadis itu. Sesuai dengan namanya, Pak Bejo
adalah orang yang ‘bejo’ atau beruntung. Ia menjadi orang pertama yang
menikmati keindahan utuh tubuh seksi sang gadis muda rupawan ini.
Akhirnya kedua sosok berlainan jenis itu bertelanjang bulat.
“Benar-benar bidadari turun dari langit.” Walaupun hanya diterangi
oleh lampu darurat, tapi setiap lekuk keindahan tubuh Anissa bisa
terlihat jelas oleh Pak Bejo. Pria tua itu menundukkan kepala dan
mendekatkan bibirnya ke bibir Anis. dengan satu sapuan, bibir mereka
saling bersentuhan. Bibir mungil yang ranum, basah dan sensual. Dengan
penuh nafsu, Pak Bejo melumat bibir Anis.
Pak Bejo memaksakan lidahnya masuk ke mulut Anissa, sementara
tangannya menarik tangan Anis dan memaksanya memegang kemaluan Pak Bejo
yang sudah mengeras seperti batang kayu. Gadis polos itu hanya diam saja
dan menurut perintah Pak Bejo, ia sangat takut pada pria tua yang nekat
itu.
Tiba-tiba saja Pak Bejo berdiri, setelah berdiri tegak di hadapan
Anissa, Pak Bejo menjambak rambut indah Anis supaya bangkit dari posisi
berbaring dan dengan kasar pria tua itu mendorong kepala Anissa ke depan
selangkangannya supaya wajah dara itu bisa mendekat ke arah penisnya,
Anissa meronta dan menolak, tapi Pak Bejo mengunci tubuhnya dengan erat
sehingga sang dara tidak bisa bergerak banyak.
Anissa masih terus meronta hendak melawan ketika akhirnya, PLAKK!!
Satu tamparan mendarat di pipi mulusnya. Tamparan itu begitu keras
sehingga pipinya memerah dan air matanya meleleh seketika, Anis tidak
mengira Pak Bejo akan menyakitinya setelah beberapa saat
memperlakukannya dengan lembut.
“Kalau tidak mau mati kuperkosa sebaiknya kamu berlutut sekarang juga
dan melayani apa mauku!” Kata Pak Bejo tegas, kata-kata pria tua itu
diucapkan pelan namun sangat menakutkan hati Anissa karena penuh
ancaman. Mata gadis itu berlinang air mata dan tubuhnya merinding karena
tidak tahu harus berbuat apa. Melihat Anissa kebingungan, Pak Bejo
malah terangsang, akhirnya penis Pak Bejo berdiri tegak tepat di hadapan
sang dara, ukurannya yang besar mengagetkan Anis.
“Berlutut, kulum kontolku.” Perintah Pak Bejo pada gadis yang sedang ketakutan itu.
Walaupun masih perawan, tapi Anissa sudah pernah menyepong penis
Dodit, itupun karena Anissa yakin Dodit adalah pria yang kelak akan
menikahinya sehingga Anissa mau melayani sang kekasih beroral-seks.
Dodit yang baik juga menahan diri dengan tidak melanjutkan petting dan
foreplay mereka sampai ke tahap penetrasi. Satu-satunya penis milik
seorang laki-laki yang pernah dilihat oleh Anissa adalah milik Dodit,
tapi kini dia menatap satu kontol besar yang ukurannya melebihi milik
sang kekasih, perasaannya bercampur antara kalut dan takjub. Tangan Pak
Bejo yang sudah tak sabar membimbing Anissa menggenggam kemaluannya.
“Ampuuun… jangan paksa saya, pak… jangan… ter-terlalu besar…” rengek
Anissa tanpa dihiraukan oleh Pak Bejo. Tangannya yang halus tanpa cacat
menggenggam batang kemaluan sang pria tua dengan ragu-ragu.
Setelah menunggu lama tanpa ada reaksi dari Anissa, dengan jengkel
Pak Bejo menampar lagi pipi Anissa yang tadi sudah memerah. Pria itu
memang sangat kasar dan memuakkan, dia semena-mena menyakiti gadis muda
yang tak berdaya. Anissa jatuh terjerembab karena tamparan Pak Bejo,
wajahnya kian sembab membiru karena terus dihajar.
“Sudah ditampar masih berani melawan! Kalau tidak mau kubunuh sebaiknya cepat kau kulum kontolku!!”
Tangis Anissa makin menjadi, dia meringkuk di bawah dan tidak mau
berdiri, tapi setelah Pak Bejo mengancam dengan mengangkat tangannya,
Anissa buru-buru berlutut dan meraih kembali penis Pak Bejo yang tadi ia
lepaskan dan meletakkan batang kontol itu tepat di depan mulutnya. Anis
masih ragu-ragu hendak menyepong kemaluan Pak Bejo.
“CEPAT!” kembali Pak Bejo membentak.
Dengan nakal pria tua itu mendorong pinggulnya ke depan sehingga
kemaluannya berulang kali menyentuh wajah Anissa. Gadis muda yang cantik
itu terpaksa menahan tangis dan membuka mulut dengan berat hati. Pak
Bejo tertawa-tawa dengan sadis sambil menyorongkan kemaluannya pada
gadis jelita itu.
“Nah… begitu… baru… anak… baik…” kata-kata Pak Bejo terpatah-patah
karena merasakan enaknya disepong gadis secantik Anissa. Mulut Anis yang
mungil menerima sodokan demi sodokan kemaluan Pak Bejo. Dengan lembut
Pak Bejo mengelus-elus rambut Anissa.
“Jilati batangnya… anak manis…” kata sang pria bejat sembari menahan
kepala Anissa dan menarik penisnya dari mulut gadis itu. Walaupun malu
dan ragu, Anissa terpaksa membiarkan lidahnya menari di batang kemaluan
Pak Bejo. Beberapa saat kemudian, kembali Pak Bejo menahan kepala Anis
dan memasukkan ujung gundulnya ke mulutnya. Sedikit demi sedikit Anissa
mulai diajari cara menyepong oleh pria bejat itu, beberapa kali Anissa
tersedak ketika penis Pak Bejo menyodok hingga ujung. Pria tua itu hanya
tertawa melihat penderitaan Anissa.
“Sudah ya, Pak? Saya sudah capek… saya mohon… kasihan …” pinta Anissa
memohon ampun. Air matanya deras mengalir, tapi Pak Bejo menatapnya
galak. Dengan kasar dijambaknya rambut Anis sehingga mereka saling
bertatapan.
“Aku yang bilang kapan harus berhenti.” Geram sang pria tua mengancam
Anissa, ia mengambil kembali pisau lipatnya yang tadi ia simpan di
dalam saku baju. Gadis cantik itu menggigil ketakutan dan mengangguk
pasrah.
“Sekarang, berbaringlah menghadap ke bawah.” Perintah Pak Bejo sambil
memasukkan kembali pisau lipat yang ia gunakan untuk mengancam Anis
kembali ke saku.
Dengan hati-hati Anissa berbaring, walaupun sudah beralaskan kertas
koran, berbaring di atas rumput di alam bebas membuat tubuh Anissa
menggigil kedinginan, apalagi dengan posisi menelungkup. Dengan berani
Pak Bejo mengangkangi tubuh Anissa, kakinya yang besar dan penuh bulu
mengempit sisi kanan kiri paha Anissa. Lalu tangan pria tua itupun mulai
bergerilya dan meraba tubuh si cantik, perlahan sekali ia menikmati
setiap jengkal tubuh telanjang Anissa yang memang sangat seksi. Gadis
itu terhenyak ketika merasakan tangan jahil Pak Bejo masuk ke sisi bawah
lengan dan meremas payudaranya yang empuk.
“Pak Bejo! Sudah Pak! Jangan diteruskan! Aku mohon…!”
Pria tua itu hanya tertawa dan menarik tangannya dari payudara
Anissa, tapi ia tidak berhenti begitu saja, Pak Bejo beralih ke kaki
jenjang si jelita dan mengelus-elusnya penuh nafsu birahi. Makin lama
tangan Pak Bejo makin naik, dari betis ke paha. Anissa berusaha menutup
kaki agar Pak Bejo tidak bisa dengan mudah meraba bagian dalam pahanya,
tapi pria itu lebih kuat dan membuka lebar-lebar paha Anissa. Elusan
tangan Pak Bejo makin lama makin naik ke atas ke arah selangkangan
Anissa sampai akhirnya dengan nekat pria tua itu menyentuh bibir vagina
sang dara.
Anissa menjerit tertahan, merasakan sentuhan tangan pria yang lebih
pantas menjadi ayah atau kakeknya itu meraba-raba bagian tubuhnya yang
paling sensitif. Pak Bejo menangkupkan tangan di atas memek Anissa.
“Jangan!” keluh Anissa tanpa daya, ia berusaha meronta kembali, tapi
Pak Bejo sudah siap, tubuhnya menubruk Anissa hingga gadis itu tak
berdaya dalam pelukannya.
Terjebak di bawah tubuh pria tua berotak busuk seperti Pak Bejo,
Anissa bagaikan seekor kijang muda yang takluk dalam sergapan seekor
singa lapar. Gadis muda yang jelita itu harus memutar kepalanya ke kiri
kanan hanya untuk bisa menarik nafas yang berat karena seluruh tubuhnya
ditekan ke bawah. Anissa meneteskan air mata pasrah ketika merasakan
tangan Pak Bejo beraksi dengan berani mengelus-elus bibir memek Anissa.
Gadis itu mulai sesunggukan dan menangis tersedu-sedu, tapi Pak Bejo tak
mau berhenti, tangan pria tua itu malah masuk ke dalam bibir memek
Anissa dan merogohnya bagai kantong mainan.
“Hebaaat! Rapet banget! Siapa sangka? Tubuhnya seksi, wajahnya cantik
seperti bintang sinetron, tapi memeknya masih rapet dan orisinil. Ini
baru namanya perawan!” Pak Bejo menarik tangannya dari dalam memek
Anissa. “Dengan tubuh indahmu itu, kamu pasti berharga mahal kalau mau
jadi pelacur. Siapa tahu dapat langganan anggota DPR, mau?”
Anissa menjerit marah karena merasa dipermalukan, kembali ia meronta,
tapi kali ini Pak Bejo melawan dengan mengeluarkan senjata andalannya.
Pak Bejo menempelkan penisnya di antara selat dua bokong indah Anissa.
Gadis itu menjejakkan kakinya dengan panik, ia tahu sebentar lagi pria
tua busuk itu pasti hendak memperkosanya! Tubuh Pak Bejo terlalu berat
dan kuat, Anissa tak bisa melawan kehendak sang pria tua yang sudah
tertelan nafsu birahi liar. Kemaluan Pak Bejo yang besar dan tegang
menyelip di antara paha mulus Anissa.
“Jangan, Pak… jangan…” lemas suara Anissa memohon.
“Ssst… kamu menurut saja, ya manis. Pasti enak kok.” Jawab Pak Bejo
tanpa belas kasihan. “Aku ingin jadi orang pertama yang merasakan
lezatnya memekmu.”
Pak Bejo menggesek-gesekkan kemaluannya di celah bukit bokong Anissa,
ia dibuat merem melek oleh pantat bulat seksi milik gadis muda itu.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, pantat Anissa menerima sentuhan
langsung penis menegang milik seorang pria, sayang pria itu bukanlah
calon suaminya. Gadis itu tersengal-sengal karena didorong maju mundur
oleh Pak Bejo, ia sangat berharap Pak Bejo kelelahan dan mengurungkan
niat memperkosa dirinya.
“Teruuuus… terussss…” Pak Bejo merem melek keenakan.
Setelah beberapa saat lamanya keenakan menggesekkan penis di belahan
pantat Anis, Pak Bejo membalik tubuh gadis itu sehingga wajah mereka
saling berhadapan. Pak Bejo mencium bibir mungil Anissa sementara
tangannya bergerilya meremasi buah dada sang dara jelita. Tubuh gemuk
besar Pak Bejo menindih tubuh mungil Anis di bawah langit malam terang,
udara dingin berhembus menerpa kedua tubuh telanjang yang bermandikan
keringat.
Pak Bejo menarik puting payudara Anissa dengan gigi dan menggigitinya
kecil-kecil, ia juga mencupang balon buah dada gadis itu hingga
membekas merah. Ketika gadis itu lengah, Pak Bejo menempatkan
kemaluannya di mulut vagina Anissa sebelum dara cantik itu sadar apa
yang akan segera dilakukan oleh sang pria tua bejat.
“Jangan Pak! Jangaaaaaaan!!!” rengek Anissa mencoba menghalangi Pak
Bejo mengambil miliknya yang sangat berharga dan tak tergantikan itu.
Tapi Pak Bejo jauh lebih kuat dan nafsu birahinya sudah sampai ke ujung
ubun, Anis tak berdaya dalam pelukan Pak Bejo. Rengekan mohon ampun dari
Anis malah semakin membuat Pak Bejo bernafsu, ia menyiapkan penisnya
untuk melakukan tugas yang paling menyenangkan, merenggut kegadisan
Anissa.
Pak Bejo bertanya-tanya dalam hati, benarkah gadis ini masih perawan?
Hanya ada satu jalan untuk membuktikannya. Pak Bejo mengangkat tubuh
dan melesakkan kemaluannya ke dalam memek Anissa dengan sekuat tenaga.
Karena kerasnya usaha Pak Bejo, akhirnya bobol juga pertahanan terakhir
Anissa. Pria pertama yang berhasil mencicipi madu kenikmatan dari
kegadisannya bukanlah Dodit yang diharapkan menjadi suaminya, melainkan
seorang pria tua bejat bernama Bejo Suharso.
“Jangaaan!! Kumohon, Pak Bejo! Sudah! Sudaaaah!!” Anissa meronta dan
memukuli Pak Bejo sekuat tenaga, tapi mantan preman itu jauh lebih kuat
daripada sang gadis muda. Karena jengkel, Pak Bejo menampar gadis itu di
pipi kanan dan kiri. Saat itulah Anissa berhasil ditundukkan.
Anissa mendengar lenguhan Pak Bejo yang mulai melesakkan penisnya
pelan-pelan, “Duuuh… enaknya memek kamu, Non Anis. Rapet banget! Wah,
beneran nih Non Anis masih perawan!”
Kemaluan Pak Bejo maju sedikit demi sedikit, Anissa memejamkan mata
ketika merasakan ujung gundul penis pria tua itu mulai melesak masuk
melewati bibir vaginanya. Anissa ingin menjerit tapi tenaganya sudah
habis, batang kemaluan Pak Bejo masuk ke dalam liang rahim Anissa dengan
lembut. Gadis jelita itu hanya bisa pasrah dan menangis sesunggukan
tanpa daya.
“Jangan…” bisik Anissa memohon ampun untuk yang terakhir kali sebelum
Pak Bejo mengambil miliknya yang paling berharga. Calon pengantin itu
mengerang ketakutan dan kesakitan namun tak berdaya, ia tak bisa
mempertahankan diri dan gagal menahan serangan pria tua menjijikkan yang
menginginkan kesuciannya ini. Jika Pak Bejo berhasil mendapatkan
keperawanannya, maka Anissa akan kehilangan Dodit. Anissa tahu dia akan
menjadi gadis kotor yang tidak lagi pantas menjadi istri kekasihnya itu.
Pernikahan mereka terancam berantakan.
“Ahhhhhhhhh!!” jerit Anissa setengah berteriak ketika seluruh batang
kemaluan Pak Bejo berhasil menembus masuk ke dalam memeknya, selaput
daranya berhasil disobek. Pak Bejo menikmati tiap detik kenikmatan
memerawani Anissa.
“Wow, surprise! Non Anissa bener-bener masih perawan!” teriak Pak
Bejo sambil tertawa puas, ia bahagia menjadi orang pertama yang memasuki
liang kewanitaan Anissa dan menembus selaput daranya.
Merasakan kenikmatan luar biasa menjadi pembobol keperawanan Anissa
yang sebentar lagi akan menikah itu, Pak Bejo menyetubuhinya tanpa
ampun. Ia menusukkan kemaluannya ke dalam vagina Anissa yang terbaring
tak berdaya di bawahnya. Gadis itu tak henti menggigil sambil bergetar
dan menangis sesunggukan. Pak Bejo menatap mata Anissa lekat-lekat dan
tertawa terbahak. “Nggak nyangka sama sekali, di jaman seperti sekarang
masih ada cewek yang mempertahankan keperawanannya sebelum menikah.
Tadinya saya pikir Non Anis sudah berkali-kali ditiduri Mas Dodit.
Sayang sekali dia tidak berani melakukannya, tentunya sekarang Non Anis
akan mengingat saya seumur hidup ya, cinta pertama memang tak akan
terlupakan, ha ha ha.”
Anissa kembali menjerit-jerit karena tak rela dirinya diperawani pria
sebejat Pak Bejo. Pria tua itu hanya tertawa terbahak melihat gadis itu
mencoba meronta. Gerakannya malah justru membuat gairah birahi Pak Bejo
melejit tak tertahan.
“Ahh… enakgh… enak sekali… ahhh memekmu top banget, Non Anis!” kata
pria tua sambil merendahkan martabat gadis yang tengah diperkosanya
dengan mengeluar masukkan penisnya sekuat tenaga.
“Ohhhh… ampuuuun! Ampuuuun, Pak! Sudaaaah! Cukuppp! Ahhhh! Ehhhmm…!!”
rintihan suara Anissa bercampur antara rasa sakit dan nikmat, sangat
menyenangkan di telinga Pak Bejo yang terus menggenjot kemaluannya.
“Gadis cantik seperti kamu memang harus diperlakukan seperti ini…
unghhh… enak banget memek kamu, Non Anis… ungh… ungh… ungh…” Pak Bejo
merem melek merasakan sempitnya kemaluan gadis yang ada di pelukannya.
Anissa menyeringai menahan sakit ketika penis Pak Bejo berulang-ulang
menjejal di dalam liang rahimnya, air mata Anis menetes tak tertahan.
Pak Bejo tak kunjung usai, ia menarik paha si cantik dan menumbukkan
kemaluannya sampai ke ujung leher rahim, sangat menyakitkan bagi Anissa
yang baru pertama kali ini bersetubuh dengan seorang lelaki. Belum cukup
rasa sakit ditimbulkan oleh Pak Bejo, pria tua menjijikkan itu juga
meremas-remas payudara Anissa dengan ganas.
“Aduuuhh… sakit! Sakit! Ampuuun…” rintih Anissa tanpa henti sementara
Pak Bejo menyetubuhinya dengan berbagai macam gaya. Pria tua itu tidak
puas hanya dengan posisi misionaris biasa, ia menarik Anissa dan
menyetubuhi dari belakang dengan gaya doggie-style. Berkali-kali Anissa
merengek minta ampun ketika Pak Bejo menjambak rambutnya hingga wajah
gadis itu mendongak menatap ke atas. Karena waktunya sempit, Pak Bejo
tidak bisa terlalu banyak melakukan eksperimen posisi, tapi dia merasa
puas merasakan memek Anissa yang masih sangat rapat hingga penisnya
terasa sangat enak di dalam memek gadis itu. Tidak hanya asyik
melesakkan penisnya keluar masuk memek Anissa, Pak Bejo juga menggigiti
pundak dan menciumi leher gadis itu sementara tangannya asyik
meremas-remas buah dada si cantik.
“Aduuuh! Aduuuh! Aku tidak tahaaan lagiiii!!” erang Pak Bejo setengah
berteriak. Sesaat kemudian Anissa merasakan ujung gundul penis Pak Bejo
seperti membengkak dan berdenyut di dalam liang kewanitaannya.
Tiba-tiba saja terpancar cairan hangat yang keluar dari ujung penis Pak
Bejo, kemaluan Anissa dipenuhi oleh air mani pria tua bejat itu. Setelah
hampir satu jam Pak Bejo menyetubuhi Anissa dengan kejam, diapun
menyemprotkan air maninya di dalam liang rahim sang gadis manis yang
sudah direnggut kesuciannya itu.
Bukannya takut dilaporkan pihak yang berwajib karena telah memperkosa
calon istri orang, Pak Bejo malah berharap ia bisa menghamili Anis. Pak
Bejo tetap mendiamkan penisnya berada di dalam memek Anis untuk
beberapa saat lamanya, sementara gadis itu terdiam tak berdaya di bawah
pelukan sang pria tua. Setelah beberapa menit mereka beristirahat, Pak
Bejo melepaskan penisnya dari dalam vagina Anis. Pak Bejo menangkup
selangkangan Anis dengan nakal dan terkekeh menghina.
“Memang paling enak acara belah duren.” Pak Bejo menggesekkan
penisnya di dada ranum dan wajah cantik Anissa tanpa rasa dosa.
“Dengarkan baik-baik, anak manis. Ada baiknya kejadian ini tidak kau
sebarkan ke semua orang. Aku punya banyak kawan di luar sana, jadi
seandainya kau lapor polisi atau membacot pada Mas Hendra, Mbak Alya
atau Mas Dodit dan yang lainnya, siap-siap saja. Tidak hanya menyiksamu,
aku juga akan meminta orang menghabisi Mas Doditmu tercinta itu!
Paham?!”
Anissa mengangguk lemah tak berdaya.
Puas mempermalukan dan mengancam Anissa, dengan santai Pak Bejo
membersihkan dirinya dengan tissue yang ia ambil dari saku kantong
celana, ia melemparkan beberapa helai tissue pada Anissa yang masih
sesunggukan dan meringkuk tak berdaya. Pak Bejo dengan senyum puas
membersihkan penisnya yang belepotan air mani bercampur darah perawan
Anissa. Ia puas sekali bisa mendapatkan seorang gadis yang cantik dan
seksi apalagi masih perawan seperti Anissa, ia merasa jauh lebih muda
setelah meneguk kenikmatan sejati seorang gadis perawan.
Beberapa saat kemudian, mereka kembali ke mobil yang diparkir di tepi jalan.
Sementara Pak Bejo merasa puas dan merokok di kursi depan, Anis
menangis terisak-isak di kursi belakang. Tubuh gadis itu terasa berat
dan lemas sampai-sampai ia tak mampu bergerak. Anissa tahu, pasti orang
tua sinting ini akan mengulangi lagi perbuatannya kapanpun ia mau.
Anissa tidak bisa melaporkannya ke pihak yang berwajib karena Pak Bejo
adalah orang yang sangat kasar dan berani melakukan setiap ancamannya,
ia takut Pak Bejo akan melukai dirinya, keluarga Mas Hendra atau bahkan
Dodit. Anissa tidak mau itu terjadi, dia juga tidak ingin melapor ke
polisi karena merasa malu sudah ternoda, seumur hidup Anissa ingin
memberikan yang terbaik pada suaminya yang sah, ternyata, mendekati
hari-hari pernikahannya, ia malah kehilangan kesuciannya karena
diperkosa oleh seorang pria tua bajingan.
Hampir dua jam kemudian baru mereka pulang. Ketika berpindah dari
belakang ke kursi depan, Anissa berjalan dengan sedikit timpang,
tentunya karena selangkangannya terasa sangat sakit. Pak Bejo terkekeh
menatap nyeri yang dialami korbannya. Ia sangat puas menjadi orang
pertama yang bisa meraih kenikmatan vagina Anissa.
###
Anissa terbangun dengan badan kaku dan linu. Matahari menembus ke
dalam kamar dengan sinar tipis yang menyeruak melalui sela-sela kain
gorden jendela dan lubang angin di atasnya. Gadis muda itu menguap, dia
kecapekan, seluruh tubuhnya terasa remuk. Ketika melirik ke arah jam
dinding, Anis baru sadar kalau ternyata hari sudah siang.
Kaca besar yang berada di meja rias menyadarkan Anissa. Wajahnya
sembab dan membekas biru, kelopak matanya sayu dan berkantung tebal.
Peristiwa semalam mengagetkan Anissa seperti kilat menyambar, semalam ia
diperkosa! Ia telah diperkosa! Ia bukan perawan lagi! Ia sudah
diperkosa!
Anissa menggeleng, ia tidak mau menerima kenyataan ini… ia tidak mau…
ini semua hanya mimpi, pasti hanya mimpi. Buru-buru gadis itu
menyibakkan selimut dan memeriksa bagian selangkangannya. Ada rasa gatal
yang hangat di bagian lekuk selangkangan yang terasa aneh, Anissa
meneteskan air mata lagi, ia tidak mau menerima kenyataan yang pahit
ini. Ia tidak mau menerimanya. Detik demi detik yang berlalu semalam
kembali terulang dalam benak Anissa, akhirnya ia sadar sepenuhnya.
Semalam, ia telah ditiduri Pak Bejo. Ia telah diperkosa oleh orang yang
lebih pantas menjadi orang tuanya itu. Anissa tidak bisa mempertahankan
kegadisannya karena direnggut seorang lelaki hina.
Dengan tubuh lemas lunglai, Anis berjalan tertatih menuju kamar
mandi. Bagian selangkangannya terasa panas dan perih, ia duduk di toilet
dan berusaha mengenyahkan semua kejadian semalam yang berulang di
benaknya bagaikan film yang diputar berkali-kali. Gadis itu berusaha
tabah dan menahan diri agar tidak menangis, tapi air matanya tetap
menetes membasahi pipi.
Anissa duduk terdiam di toilet dengan pikiran yang melayang jauh. Entah apa yang sedang dilamunkan gadis malang itu.
Ia tidak ingin berjumpa dengan siapapun saat ini, tidak juga Dodit.
Karena ia tahu, kisah penderitaannya belumlah usai, justru baru akan
dimulai.
###
BAGIAN TUJUH (PART 7 OF 12)
DALAM PELUKAN PRIA TUA
Oleh Pujangga Binal & Friends
DALAM PELUKAN PRIA TUA
Oleh Pujangga Binal & Friends
Kamar VIP tempat Hendra dirawat mulai terlihat membosankan bagi Alya,
dia ingin segera pulang dan membawa suaminya meninggalkan kamar rumah
sakit yang berbau obat ini untuk kembali menjalani hidup bersama di
rumah sendiri. Ibu muda yang cantik itu duduk termenung di samping
jendela kamar sambil melamun, pandangannya tak berpindah dari halaman
rumah sakit yang asri dan dipenuhi pepohonan menghijau, walaupun hari
sudah gelap tapi pemandangan taman tetap terlihat karena nyala terang
lampu hias di taman. Malam mulai menggelayut dan gelap menyelimuti hari.
Pandangan Alya beralih dari satu lampu ke lampu yang lain, setelah
bosan ia beralih memperhatikan pepohonan tinggi yang menunduk seakan
tertidur lelap di tengah malam yang sunyi.
Pikiran Alya termenung lebih jauh lagi, seperti apa kehidupan mereka
selanjutnya dengan keadaan Mas Hendra yang seperti ini? Separuh tubuhnya
sudah lumpuh, masa penyembuhannya akan berlangsung lama, belum lagi
pengaruh psikisnya pada Mas Hendra dan keluarga mereka. Pekerjaan Mas
Hendra memang masih bisa dikerjakan dari rumah melalui internet bahkan
perusahaan Mas Hendra sudah mengatakan opsi pekerjaan tersebut bisa
dikerjakan oleh Mas Hendra selama sakitnya. Mereka tidak akan memecat
Hendra, melainkan tetap memperkerjakannya walaupun tetap berada di rumah
karena kemampuan Hendra memang tidak ada duanya dan dia sangat
dibutuhkan untuk tetap bekerja. Walaupun begitu, akan tetap butuh waktu
bagi mereka semua untuk menyesuaikan diri.
Alya menatap keluar halaman dengan pandangan yang makin mengabur.
Bagaimana dengan dia sendiri? Kuatkah dia menghadapi semua masalah demi
masalah yang makin lama makin besar dan meremukkan seluruh jiwaraganya?
Kuatkah dia untuk terus berada di samping suaminya sementara hidupnya
terus berada di bawah ancaman pria tua busuk seperti Bejo Suharso?
Keluhan pelan keluar dari mulut Alya, wanita cantik itu hanya bisa
berharap ini semua segera berakhir.
Terdengar ketukan pelan dari pintu, Alya melirik ke jam dinding,
siapa gerangan yang mengetuk jam segini? Jam bezuk sudah lewat dan Alya
tidak menunggu siapapun termasuk Dodit, Anis ataupun Lidya sementara Opi
sudah dititipkan pada Bu Bejo. Siapa yang malam ini datang? Susterkah?
Jarang sekali suster masuk ke dalam ruangan jam segini, biasanya mereka
datang hampir tengah malam.
“Halo… halo… kamu sendirian ya sayang? Bagus! Ayo kita bersenang-senang!”
Alya hampir menjerit ketika sosok gemuk Bejo Suharso masuk ke dalam
kamar sambil menyeringai. Dengan bantuan tangannya sendiri, Alya
membekap mulut agar tidak menjerit dan menimbulkan kegaduhan. Pak Bejo
datang seorang diri, pria tua itu bahkan dengan berani menggeser kursi
yang ada untuk memalang pintu kamar, siapapun yang hendak masuk akan
kesulitan membuka pintu kecuali kursi itu disingkirkan. Alya meringkuk
ketakutan di pojok ruangan. Berulang kali wanita cantik itu melirik ke
arah suaminya yang masih lelap. Kepada siapa Alya harus minta
pertolongan? Keringat deras mengalir di dahinya.
“Ayo… ayo… tidak usah takut. Ini aku, sayang. Kekasihmu tercinta.”
Bejo berjalan tegap ke arah istri Hendra yang pucat pasi dan ketakutan, kangen sekali rasanya dia pada si molek ini.
Alya menggeleng. “Jangan mendekat! Jangan mendekat!!”
Alya bangkit dan mencoba melarikan diri, tapi tangan besar Pak Bejo
lebih cekatan dari gerakan Alya yang panik. Dengan satu sentakan, Alya
dilempar kembali ke pembaringan di samping tempat tidur Hendra yang
masih terlelap. Di kamar VIP itu, memang disediakan satu pembaringan
untuk tamu penunggu pasien.
“Jika kau mau semua ini berakhir, diam dan layani aku.” bisik Pak Bejo mengancam.
###
Lidya tidak bisa tidur malam ini, saat makan malam tadi Andi
mengatakan kalau dia harus pergi lagi selama seminggu ke luar kota.
Suaminya itu mengatakan kalau ternyata ada beberapa pekerjaan kantor
yang belum tuntas diselesaikan saat dia ke dinas di sana seminggu yang
lalu. Karena pekerjaan itu sifatnya mendesak, besok Andi harus segera
terbang lagi kesana dan membereskannya.
Sebenarnya bukan perpisahan selama seminggu dengan Andi yang
membebani batin Lidya, melainkan rasa takutnya kembali berdua saja
dengan ayah mertuanya yang cabul. Pantas saja Pak Hasan memaksa Lidya
menjadi budaknya seminggu ini, ternyata mertuanya itu sudah lebih dahulu
tahu kalau Andi akan pergi dinas lagi selama seminggu. Membayangkan
senyum ejekan menggaris di bibir Pak Hasan, ingin rasanya Lidya
menamparnya. Menjijikkan sekali! Orang yang tadinya dianut sebagai
pengganti orang tua, malah menjebloskannya ke lembah hina.
“Mass…,” Lidya menggelayut manja di pundak suaminya yang baru saja
naik ke ranjang. “Apa perginya tidak bisa ditunda? Mas Andi kan baru
saja pulang, belum sampai seminggu di rumah sudah pergi lagi.”
“Maaf sayang, tidak bisa, aku tetap harus pergi besok. Kamu tahu
sendiri kan ini sudah masuk jadwal rutin akhir tahun anggaran, pekerjaan
di daerah menumpuk sementara teman kerjaku malah cuti karena istrinya
melahirkan, tidak ada orang lain lagi selain aku yang bisa
mengerjakannya, padahal rencananya bulan depan bos besar akan datang
dari Singapore, reportnya harus segera selesai dalam minggu ini.” bisik
Andi yang sudah mulai memejamkan mata, dia lelah sekali hari ini.
“Terus aku bagaimana?” desah Lidya lagi.
“Kamu bagaimana gimana? Kamu ya di rumah aja, aku kan cuma seminggu,
nggak lama, lagi pula ada Bapak di rumah. Dia bisa menemani kamu selama
aku pergi, kamu tidak perlu takut kesepian, kalau butuh jalan-jalan
tolong temani Bapak keliling-keliling cari kontrakan baru. Siapa tahu
bapak bosan di rumah terus.”
Lidya merengut, kalau diberi kesempatan dan diperbolehkan, dia justru
ingin menghajar mertuanya yang dengan biadab telah memperkosa dan
mempermalukannya itu, tapi Lidya tentu saja tidak mungkin melakukannya.
“Aku kan masih kangen,” rayu Lidya manja sambil menciumi bagian
belakang leher suaminya. “baru beberapa hari kamu di rumah… malam ini…
kamu… kita…”
Andi yang tertidur sambil membelakangi Lidya geli diciumi oleh
istrinya, diapun membalikkan badan. “Aduh sayang, jangan sekarang ya…
aku capek sekali.”
Setelah mendorong Lidya agar menjauh sedikit, Andi kembali berbalik dan terlelap.
Lidya mencibir dengan kesal.
###
“Apa mau Pak Bejo?” tanya Alya geram. Dia menyimpan kekhawatiran pada tatapan mesum lelaki tua itu.
“Buka resleting celanaku!” perintah Pak Bejo.
“Sinting! Gila! Pak Bejo pikir ini dimana? Ini rumah sakit! Bagaimana
nanti kalau ada orang masuk?” Alya mengeluarkan keringat dingin karena
tegang. “Lagipula aku tidak mau melakukannya di depan Mas Hendra!!”
tambah Alya. Si cantik itu mencoba mengelak dengan segala cara namun
pergelangan tangannya dipegang erat oleh Pak Bejo. Alya buru-buru
mencari cara lain untuk meloloskan diri dari situasi gawat ini. “Aku
akan layani Pak Bejo kalau kita sudah sampai rumah nanti! Tidak di sini,
tidak sekarang! Pokoknya aku tidak mau!”
“Aku tidak peduli. Kamu pikir selama ini aku tidak mengamati kegiatan
di rumah sakit ini? Aku lebih pintar dari yang kau kira, sayang. Suster
tidak akan datang ke kamar ini dalam waktu seperempat jam ke depan dan
sekarang bukan jam bezuk, jadi tidak akan ada orang lain di sini kecuali
kita berdua, Mbak Alyaku yang cantik jelita.” Pak Bejo terkekeh
digdaya, “Coba lihat suamimu itu. Kasihan sekali kan kalau sampai arah
infusnya berbalik? Darahnya akan tersedot ke atas… hehehe. Kau sadar
tidak, mudah sekali kalau aku ingin menyakiti orang-orang yang kamu
cintai kapanpun aku mau. Kalau tidak ingin Mas Hendra kucelakai sampai
mampus di tempat ini juga, sebaiknya kau segera buka resleting celanaku
dan sedot kontolku sampai aku puas!”
Alya menatap Pak Bejo tak percaya, ia memutar otak mencoba mencari
jalan keluar dari situasi yang sedang ia hadapi, tapi memang tidak ada
jalan lain yang aman baginya kecuali melayani kemauan bajingan tua ini.
Keselamatan Mas Hendra lebih penting dari martabatnya yang sudah tak ada
harganya lagi. Alya akhirnya menurut, ia jongkok ke bawah, membuka
kancing lalu menarik turun kait resleting celana Pak Bejo. Setelah
dibuka, Alya menarik turun celana panjang berikut celana dalam yang
dikenakan oleh pria tua itu sampai ke betis. Kemaluan Pak Bejo yang
besar dan panjang meloncat keluar dari celana dalam yang ia kenakan dan
menampar pipi mulus Alya.
Ingin sekali rasanya Alya menendang kantung kemaluan Pak Bejo dan
melarikan diri dari ruangan ini, tapi melihat Hendra yang lelap tak
berdaya Alya tahu ia harus tunduk dan menuruti semua kemauan Pak Bejo.
pria tua itu menjambak rambut Alya dan menariknya ke belakang, wajah
Alya menengadah ke atas dan bertatapan mata langsung dengan mata jalang
Pak Bejo.
Wajah takluk Alya membuat Pak Bejo tersenyum puas. Dengan jari-jari
nakalnya, pria tua itu memainkan rambut indah Alya lalu dengan kasar dia
mendorong wajah Alya mendekati kemaluannya.
“Sedot.” Bisik Pak Bejo, suaranya pelan namun tegas.
Alya tahu, dia harus segera melayani kemauan Pak Bejo saat ini juga
atau pria tua yang jahat itu akan menghajarnya seperti beberapa waktu
yang lalu. Pak Bejo memang tidak berperasaan, dia menyuruh Alya mengoral
kemaluannya tepat di hadapan sang suami yang masih lelap, belum lagi
kalau ada suster yang datang. Benar-benar nekat orang tua tak tahu malu
ini. Mereka berada cukup dekat dengan ranjang penunggu pasien tempat
Alya biasa tidur menemani Hendra.
“Kamu mau ketahuan orang? Mumpung sepi, cepat sedot.” Gertak Pak Bejo sekali lagi.
Alya melirik ke arah Hendra yang masih terlelap, lalu menatap sengit mata Pak Bejo.
Alya mencondongkan badan ke depan dan membuka mulutnya perlahan. Si
cantik itu menelan batang kemaluan Pak Bejo dan memainkan lidah di
sekitar ujung gundulnya. Alya memegang kontol Pak Bejo dengan lembut dan
mengocoknya perlahan. Si cantik itu mendorong Pak Bejo agar tidur
terlentang di ranjang penunggu pasien dan ia mulai menjilati seluruh
batang kemaluan lelaki tua itu, mulai dari kantungnya, lalu batang,
sampai ke atas. Jilatan lidah Alya membuat Pak Bejo terangsang dan
belingsatan, enak sekali rasanya.
Nafas Pak Bejo kian berat, ia sangat menyukai perasaan berkuasa
seperti ini. Ia merasa seperti seorang raja yang sedang dilayani oleh
selirnya. Saat ini pria tua itu tahu apapun yang ia perintahkan pasti
akan dilaksanakan ibu muda yang seksi itu. Membayangkan wanita secantik
Alya melakukan hal-hal yang memalukan membuat Pak Bejo terangsang.
Kontolnya langsung ngaceng, bahkan akan meledak mengeluarkan air mani
seandainya tidak ditahan-tahannya.
Lama kelamaan, seluruh batang pelir Pak Bejo sudah tertelan oleh
Alya, kepalanya naik turun bersama gerakan mulutnya mengocok kemaluan
sang lelaki tua dari ujung gundul sampai kantung kemaluan. Pak Bejo
memiringkan kepala Alya dan menyibakkan rambut yang menutup wajah
cantiknya. Ia ingin melihat langsung kontolnya keluar masuk bibir mungil
wanita secantik Alya, pemandangan indah itu membuatnya semakin
terangsang.
Benar saja, hanya beberapa detik melihat Alya mengoral kemaluannya,
Pak Bejo sudah siap mencapai klimaks. Pria tua itu mengencangkan
cengkramannya pada rambut Alya dan menggerakkan kepala wanita jelita itu
seraya memompakan penisnya ke dalam mulut Alya. Si cantik itu
memberontak sesaat, tapi tatapan galak Pak Bejo meluruhkan niatnya,
nyali Alya menciut dan Pak Bejo pun membentaknya galak. “Ayo dikulum
terus! Kenapa berhenti?”
Walau kesal dan jengkel tapi Alya tak melawan sedikitpun. Si cantik
itu melumat kontol Pak Bejo seiring gerakan sang pria tua menggiling
kemaluannya memasuki tenggorokan Alya dengan gerakan yang sangat cepat
sampai-sampai si cantik itu tak sempat menarik nafas. Lama kelamaan
sodokannya makin cepat dan pendek sementara nafas Pak Bejo terdengar
mendengus-dengus. Alya yakin pria tua itu pasti akan segera mencapai
puncak kenikmatan.
“Mainkan kantungku,” lenguh Pak Bejo sambil menggemeretakkan gigi.
Pria itu masih terus menyodokkan kemaluannya ke mulut Alya. Begitu
jari-jari lembut Alya menyentuh kantung kemaluannya, Pak Bejo tidak kuat
lagi, ia langsung mencapai klimaks dengan cepat. Diiringi lenguhan
panjang, Pak Bejo menyemprotkan cairan cintanya. Pria tua itu memaksa
Alya menerima semua semprotan pejuh dengan mulutnya, tangan Pak Bejo
bahkan memegang kepala Alya erat-erat agar si cantik itu menelan semua
semprotan air maninya tanpa ada yang tersisa. “Telan!” desak Pak Bejo
melihat Alya enggan menerima air maninya, perintah Pak Bejo terpaksa
dituruti oleh ibu muda yang cantik itu karena takut dan ia ingin
sesegera mungkin mengakhiri sesi oral seks dengan orang tua bejat itu.
Merasakan penisnya dikulum dan pejuhnya ditelan mentah-mentah oleh
Alya membuat Pak Bejo sangat puas. Setelah penis Pak Bejo menembakkan
peluru pejuhnya yang terakhir, pria tua itu meringis dan menarik
penisnya dari kuluman Alya. Beberapa tetes air mani kental ikut terbawa
saat ia menarik kemaluannya. “Bersihkan kontolku.” Perintah pria tua
itu.
Dengan hati-hati Alya menjilat dan menelan setiap tetes pejuh yang
membasahi kemaluan Pak Bejo. Bibir si cantik itu belepotan air mani sang
pria tua, Alya memang sengaja tidak menelan seluruh cairan yang keluar
dari kemaluan Pak Bejo karena jijik, pejuh putih kental menetes dari
sela-sela mulutnya dan jatuh di atas lantai. Pak Bejo menepuk-nepuk
kepala Alya dan mengenakan kembali celananya dengan penuh kepuasan.
“Memang enak seponganmu, Mbak Alya,” kata Pak Bejo. “mungkin Mas
Hendra bisa sembuh dari lumpuhnya dan bangun dari tempat tidur kalau kau
sepong terus tiap hari.”
Sambil tertawa terbahak-bahak Pak Bejo melangkah pergi meninggalkan
kamar tempat Hendra dirawat, Alya menatap kepergian orang tua bejat itu
dengan penuh kebencian. Beberapa orang suster yang sedang duduk
beristirahat di ruang administrasi menatap heran langkah jumawa dan
senyum sumringah Pak Bejo meninggalkan bangsal, baru kali ini ada orang
yang tertawa terbahak-bahak usai mengunjungi pasien yang sakit parah,
keterlaluan sekali orang ini.
Sepeninggal Pak Bejo, Alya membersihkan lantai yang basah oleh air mani dengan tissue dan mencuci mulutnya di kamar mandi.
Tanpa sepengetahuan Alya yang telah masuk ke kamar mandi, setetes air mata mengalir di pipi Hendra.
###
Andi memasuk-masukkan tasnya ke dalam mobil, bersiap hendak
berangkat. Matahari pagi terasa jauh lebih panas dari biasanya, walaupun
enggan meninggalkan istrinya yang jelita sendirian di rumah lagi, Andi
tetap harus berangkat.
“Yakin nih, Mas? Bakal seminggu lagi?” tanya Lidya sambil memendam
rasa kecewa. Belum tuntas rasanya ia melepaskan rasa rindu dan mencari
perlindungan pada suaminya, ternyata kini Andi harus pergi lagi. “Apa
nggak bisa dipercepat pulangnya?”
“Maunya sih begitu, sayang. Tapi ini kan perintah langsung dari
atasan, aku tidak bisa bilang tidak. Aku coba lihat nanti berapa banyak
pekerjaan yang numpuk, kalau memang bisa pulang lebih awal, aku pasti
pulang.” Andi tersenyum lembut melihat istrinya cemberut, ia tahu Lidya
kecewa. Dengan penuh rasa sayang dikecupnya bibir sang istri. “Aku
janji, kalau pulang nanti akan aku bawakan oleh-oleh makanan
kesukaanmu.”
Lidya masih tetap cemberut.
Tiba-tiba saja Pak Hasan datang dan dengan santai merangkul pundak
Lidya. Wanita cantik itu tentu terkejut sekali, berani-beraninya Pak
Hasan merangkulnya di depan Andi!
“Jangan khawatir, Bapak pasti akan menjaga istrimu baik-baik, Ndi.”
“Iya, Pak. Untung saja ada Bapak di sini, jadi Lidya tidak akan kesepian.” Kata Andi.
Dasar bodoh, amuk batin Lidya, andai saja suaminya itu tahu, kalau
selama ini justru ayahnya yang telah memperlakukan Lidya seperti seorang
pelacur jalanan. Dengan gerakan sesopan mungkin, Lidya menurunkan
tangan Pak Hasan yang tadinya merangkul pundaknya.
“Aku pergi dulu yah, sayang.” Pamit Andi, “Pak, titip Lidya ya.”
“Iya. Hati-hati di jalan.” Pak Hasan menyeringai. Ia sangat bahagia
diberi titipan yang sangat berharga oleh anaknya itu, seorang wanita
jelita yang seksi yang bisa ia tiduri kapan saja ia mau.
Lidya terdiam saat mobil Andi berangkat meninggalkan rumah.
Ketika mobil itu menghilang dari pandangan, tangan Pak Hasan langsung
beraksi, meremas-remas pantat bulat Lidya. Si cantik itu menghardik
mertuanya dan melangkah masuk ke rumah dengan sewot. Pak Hasan meringis
penuh kemenangan.
###
Dina mengejap-kejapkan matanya yang masih mengantuk. Semalam suntuk
ia tak bisa tidur memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Pak Pram
dan Pak Bambang telah menyewakan satu kamar hotel mewah yang semalam ia
gunakan untuk beristirahat, tapi Dina tetap tak bisa tidur, ia ingin
tahu bagaimana kabar anak-anaknya, bagaimana kabar Alya dan Lidya –
adiknya dan bagaimana kabar Anton suaminya.
Proposal yang diajukan Pak Bambang adalah pisau bermata ganda yang
bisa membuat mereka sekeluarga hidup berkecukupan walaupun hidup
terpisah tapi juga akan membelenggu hidupnya sebagai istri seorang idiot
pewaris kekayaan seorang konglomerat yang sudah sangat tua. Apa yang
akan dilakukannya?
Langkah kaki Dina terasa berat menyusuri lorong hotel mewah menuju
kamar pertemuan yang berada di ujung. Dalam hati kecilnya, Dina merasa
dirinya bagaikan seorang narapidana yang hendak dihukum mati. Ia memang
bersalah, ia sudah bersedia melacurkan diri untuk menyelamatkan
kelangsungan hidup keluarga, ia berani menanggung resiko sebagai wanita
jalang yang mau melayani kemauan binal orang-orang tua tak tahu diri. Ia
merasa bersalah, karena telah mengkhianati janji pernikahan dengan Mas
Anton. Seandainya hari ini Anton memutuskan untuk memberikannya pada Pak
Bambang… sepertinya… Dina rela…
Wanita cantik itu mengambil tissue dari kantong bajunya dan menghapus
airmata yang menetes perlahan membasahi pipi. Beberapa orang penjaga
melirik ke arah Dina dengan pandangan meremehkan, bibir mereka
tersungging menghina dan merendahkan, menambah pedih sakit di dalam
hatinya. Langkah kaki yang terasa berat membuat pinggul Dina bergerak
pelan, bagi para penjaga, gerakan pantat Dina bagaikan suguhan
pertunjukkan yang mengasyikkan, seandainya wanita ini tidak lagi
diinginkan oleh pimpinan mereka, ingin rasanya mereka mencicipi tubuhnya
yang indah.
Pintu besar ruang pertemuan dibuka lebar, beberapa orang menemani
Dina masuk ke dalam. Di dalam ruangan, terdapat sebuah meja besar dengan
kursi yang saling berhadapan. Di sisi jauh, Pak Bambang, Pak Pramono,
beberapa orang pegawai pemerintah berjabatan tinggi serta beberapa orang
asisten sudah sedari tadi menunggu Kedatangannya. Sementara di kursi
yang menghadap ke arah mereka, duduklah suami Dina dengan kepala
menunduk tanpa berani diangkat.
Dengan wajah lesu Dina duduk di kursi yang telah disediakan di samping suaminya.
Pak Bambang dan Pak Pramono duduk dengan tenang sementara asistennya
mengeluarkan beberapa lembar berkas dan meletakkannya di hadapan Anton
dan Dina. Sepasang suami istri itu tidak saling memandang dan terdiam
membisu, perasaan keduanya kacau balau.
“Ini adalah berkas-berkas yang perlu ditanda-tangani seandai kalian
berdua bersedia menerima penawaran dari Pak Bambang. Dengan
menandatangani surat-surat ini, kalian berdua akan resmi bercerai secara
sah dan legal.” Kata asisten Pak Bambang.
Dina dan Anton menatap tak percaya surat-surat yang berada di hadapan
mereka. Bagaimana mungkin Pak Bambang dan Pak Pramono bisa menyediakan
surat cerai bagi mereka dalam waktu yang sangat singkat? Anton menatap
geram kedua orang tua yang sangat kaya itu dan yakin, surat ini bisa
turun tentunya dengan menyogok petugas pemerintah yang mengurusnya. Ada
uang ada barang. Bagi orang sekaya Pak Bambang, mudah sekali mendapatkan
surat-surat yang diinginkan, apalagi hanya surat cerai bagi kaum
menengah sepertinya. Mereka bahkan tidak perlu menghadiri sidang
perceraian atau apapun, hanya menandatangani surat-surat ini, pernikahan
mereka sudah berakhir. Urusan legalitas dan administrasi sudah
ditangani oleh dua pengusaha kaya yang memeras mereka itu, segala
sesuatunya benar-benar sudah disiapkan.
Tubuh Dina gemetar ketakutan melihat surat-surat di hadapannya
sementara Anton membolak-balik kertas dengan geram. Benar-benar sudah
lengkap semua yang dibutuhkan, tidak ada celah sedikitpun bagi Anton dan
Dina untuk berkelit.
“Keputusan sekarang berada di tangan kalian berdua.” Kata Pak Pram.
Anton menatap Dina dengan pandangan sedih yang tak terkatakan, Dina
menatap suaminya kembali dan menggelengkan kepala. Anton menunduk sedih
tanpa mampu mengucap kata-kata. Tangannya memegang pena dengan gemetar,
Anton bingung, perasaannya bimbang, apa yang harus ia lakukan? Manakah
keputusan yang terbaik bagi semuanya?
Mata Anton menatap surat-surat berisi pemberian modal usaha dan surat
tanah serta hak milik rumah dan tempat usaha yang akan diberikan Pak
Pramono bersamaan dengan surat cerainya. Anton menatap Pak Bambang, Pak
Pramono dan akhirnya ia melirik ke arah cincin yang dulu ia sematkan di
jari manis sang istri saat prosesi pernikahan mereka.
“Baiklah, sudah saya putuskan.” Kata Anton.
Dina menutup mata dan menarik nafas karena tegang, saat ini yang bisa dilakukannya hanyalah berharap.
###
Aneh sekali rasanya memasak hanya mengenakan handuk yang melilit di
tubuhnya, Lidya merasa risih sekali, apalagi di belakangnya, Pak Hasan
menyantap sarapan di meja makan dengan wajah bahagia. Siapa orang yang
tidak senang, makan pagi ditemani seorang wanita cantik laksana bidadari
yang hanya mengenakan handuk sebagai penutup tubuh. Apalagi handuk
milik Lidya berukuran medium, hanya bisa menutup sebagian balon buah
dada dan berada tipis di atas paha, jika dia merunduk sedikit, pasti
selangkangannya akan terlihat dengan jelas dari belakang. Dalam situasi
normal, Lidya tidak akan mau berpakaian senekat ini, tapi ini bukan
situasi normal, Lidya sedang berada di bawah kekuasaan sang ayah mertua
yang bejat. Pria tua itu menghendaki menantunya memasak dan
menghidangkan sarapan hanya dengan mengenakan handuk.
Lidya geram dan jengkel sekali pada sang mertua karena
memperlakukannya seperti pelacur hina. Yang lebih mengerikan lagi adalah
penyakit Pak Hasan yang suka memamerkan tubuh Lidya di depan keramaian.
Tempo hari saat berjalan-jalan di mall, Lidya bahkan dipermalukan
dengan dipaksa melayani dua laki-laki tak dikenal, yang pertama seorang
pengemudi taksi dan yang kedua seorang laki-laki hidung belang. Entah
apa lagi yang diinginkan Pak Hasan karena seminggu ini dia harus
bersedia dijadikan budak seks lelaki tua mesum itu.
“Nduk, kamu masaknya sudah selesai belum? Makan siang kan masih lama,
apa tidak sebaiknya kamu selesaikan nanti saja memasaknya?” tanya Pak
Hasan setelah menyelesaikan sarapannya. Lidya yakin, pasti si tua ini
ada maunya.
“Sudah hampir selesai, Pak.” Jawab si cantik itu dengan nada suara datar.
“Aku tadi sudah mencuci baju dan celana, tapi belum aku jemur. Bisa minta tolong dijemurkan sebentar di lantai atas?”
Bukan permintaan yang aneh-aneh. Tumben.
“Bisa, Pak. Setelah ini selesai.”
Pak Hasan berdiri dan mensejajari menantunya, pria tua itu
geleng-geleng kepala. Andi memang benar-benar lelaki yang beruntung,
lihat saja perempuan mulus yang menjadi istrinya ini, kurang apa lagi?
Wajahnya cantik jelita, tubuhnya seksi seperti biola, kulitnya putih
mulus seperti pualam, rambutnya panjang dan hitam, payudaranya montok
dan kencang, pantatnya bulat dan memeknya masih sangat rapat.
Benar-benar spesimen perempuan yang sangat menggairahkan. Dengan
main-main Pak Hasan menepuk pantat menantunya pelan.
“Tentunya tidak baik menjemur pakaian di halaman belakang hanya
memakai handuk seperti ini.” kata Pak Hasan. “Aku carikan baju untukmu.”
Lidya curiga, tapi diam saja dan hanya mengangguk mengiyakan. Pak
Hasan bersiul-siul aneh sambil melangkah meninggalkan dapur, Lidya
menarik nafas lega. Saat itulah tiba-tiba Pak Hasan membalikkan badan
dan melucuti kemeja yang sedang ia pakai.
“Hah, bodohnya aku ini. Semua bajuku kan sedang dicuci, bagaimana kalau kau pakai dulu kemejaku ini saja?”
Lidya menunduk lesu, ini dia rupanya, si tua ini memang selalu ada
saja maunya. Dengan langkah malas Lidya mendatangi ayah mertuanya dan
menerima kemeja yang diberikan padanya. Kemeja itu adalah sebuah kemeja
putih tipis yang menerawang, seandainya dipakai pasti akan terlihat
sangat seksi.
“Bagaimana celananya?” tanya Lidya.
“Celana apa? Siapa yang menyuruhmu pakai celana?” Pak Hasan belagak
bodoh. “Aku hanya ingin melihatmu pakai kemeja ini dan menjemur pakaian
di atas sana. Tentunya tidak usah menggunakan BH dan celana dalam pula,
hari ini panas sekali, aku takut kamu kepanasan, kasihan sekali.”
Mulut Lidya menganga terheran. Dia tidak percaya mendengar permintaan
Pak Hasan. Mertuanya itu memintanya menjemur pakaian di tingkat atas
hanya mengenakan sehelai kemeja tanpa baju yang lain? Bagaimana kalau
nanti terlihat oleh tetangga sebelah rumah? Rumah Andi dan Lidya memang
cukup besar, dengan pagar tinggi melindungi bagian tengah hingga
belakang. Untuk menjemur pakaian, Lidya biasa menggunakan lantai atas
yang terbuka dan kosong. Walaupun tidak akan terlihat langsung oleh
tetangga-tetangga yang berada di bagian depan rumah, namun keerotisan
Lidya bisa terlihat jelas oleh tetangga samping dan belakang seandainya
mereka secara tidak sengaja mendongak dan menatap ke atas.
“Apa ada masalah?” Pak Hasan mendekatkan wajahnya ke arah Lidya
sambil menatapnya galak. Lidya tahu, pria tua itu bisa menyakitinya
kapan saja ia mau, hanya satu cara untuk menghindari pukulannya yaitu
dengan menuruti semua permintaannya. Toh, Lidya sudah bersedia menjadi
budak seksnya untuk seminggu ini.
“Ti-tidak, Pak… tidak ada masalah…” Lidya menundukkan wajahnya yang ayu.
Pak Hasan terkekeh lagi sambil menyerahkan kemejanya pada Lidya.
###
Sudah beberapa hari ini Anissa malas bangun dan keluar dari kamar. Ia
ingin pulang saja ke rumah, ia ingin menghindar sejauh mungkin dari
tempat terkutuk ini, tapi dengan kecelakaan yang menimpa Mas Hendra,
Anis harus siap merawat Opi jika Bu Bejo sedang berhalangan karena Mbak
Alya lebih sering berada di rumah sakit.
Walaupun sudah mandi dan makan, Anis lebih suka berdiam diri di
kamar, sejak diperkosa oleh Pak Bejo yang bejat, Anissa berubah total.
Perangainya yang tadinya manis dan ceria berubah menjadi seorang gadis
yang paranoid dan menutup diri. Anissa bahkan tidak mau berlama-lama di
luar kamar walaupun itu ditemani oleh Dodit sekalipun.
Hari ini Dodit akan seharian berada di rumah sakit menemani Mbak Alya
karena kondisi Mas Hendra drop lagi. Bu Bejo sudah pulang dan Opi
sekolah, sepertinya hari ini Anis bisa sedikit tenang. Ia merasa lelah
karena setiap hari menangis, Dodit mengira Anissa menangis karena
mengkhawatirkan kakaknya yang masih berada di rumah sakit, tapi gadis
itu sebenarnya menangis karena meratapi nasibnya yang malang, diperawani
oleh seorang pria tua yang bejat menjelang hari perkawinannya.
“Jangan melamun terus. Sudah makan belum?”
Kaget sekali Anissa mendengar suara itu, siapa yang tiba-tiba saja masuk ke kamarnya? Apa dia tadi lupa mengunci pintu?
Sosok tua menjijikkan mendekati Anis dengan langkah penuh keyakinan.
Suara Anissa tercekat dalam tenggorokan ketika ia melihat pria tua
yang telah merenggut kegadisannya tiba-tiba saja sudah berada di dalam
kamarnya! Ia tidak mendengar suara pria busuk itu masuk ke dalam rumah.
Dengan langkah arogan dan pandangan mata bengis penuh nafsu birahi, Pak
Bejo berjingkat-jingkat menuju ranjang Anis. Mata pria tua itu
bersinar-sinar jalang, membuat bulu kuduk si cantik Anis merinding.
“Ya Tuhan, ini tidak mungkin… tidak mungkin terjadi lagi… tidak
lagi…” bisik Anissa pada diri sendiri. Gadis itu meraih selimutnya yang
tebal dan menutupi tubuhnya yang indah, tapi tentunya sia-sia saja.
Dengan sekali sentak, selimut itu melayang jauh ke pojok kamar,
membiarkan tubuh Anissa terbuka lebar untuk dinikmati sang pria tua yang
bejat. Pak Bejo menubruk tubuh gadis muda itu sebelum Anissa sempat
melarikan diri. Mereka sempat bergumul sesaat di atas ranjang sebelum
akhirnya Pak Bejo berhasil menangkup buah dada Anissa yang ranum di
balik kaos yang dikenakannya dalam cakupan jemarinya yang kotor.
“Aku dengar seharian ini kamu tidak mau keluar kamar, anak manis?”
tanya Pak Bejo sambil memainkan payudara Anissa yang masih berada di
balik baju. “Kenapa? Kamu malu sudah tidak perawan lagi? Kamu malu sudah
bersetubuh denganku?”
“Dasar bajingan!” desis Anis geram.
“Aku tadi berbincang-bincang dengan Mas Doditmu. Dia mengira kamu
tidak ingin diganggu seharian ini karena sedang tidak enak badan dan
ingin beristirahat, dia sama sekali tidak tahu akulah penyebab semua
ini, dia tidak tahu aku sudah menjebol selaput daramu yang sangat
berharga itu. Dia tidak tahu kalau aku telah memperoleh keperawanan
pengantinnya yang cantik jelita.” Pak Bejo terkekeh-kekeh saat
mengucapkan kata-kata yang melukai perasaan Anissa itu, “Dia tidak bisa
menolongmu waktu kau kuperkosa, jadi jangan harap tunanganmu itu akan
menolongmu sekarang. Mas Doditmu itu sedang menunggu Pak Hendra di rumah
sakit, dia tadi bahkan menitipkan salam untukmu. Katanya Non Anis yang
cantik diminta minum obat supaya lekas sembuh, makanya aku datang kemari
untuk memberikan obat.”
Air mata Anissa mulai turun, dia takut sekali.
“Karena disuruh mengantar obat, maka harus saya sampaikan toh?” Pak
Bejo terkekeh lagi. “Ini obatnya…” Dengan gerakan cabul, Pak Bejo
meremas selangkangannya sendiri dan menghunjukkan benjolan penis di
celananya ke wajah Anissa. Gadis itu memalingkan wajahnya dengan sebal,
ia menghardik Pak Bejo karena kesal. Tapi Pak Bejo merenggut rambut Anis
dan menyentakkannya kuat-kuat sampai-sampai gadis itu menjerit
kesakitan. sekilas tercium bau minuman keras dari mulut Pak Bejo, apakah
pria tua itu sempat mabuk sebelum masuk ke kamarnya? Anis tidak berani
bergerak banyak karena takut oleh ancaman Pak Bejo. Melihat mangsanya
hanya pasrah, tangan Pak Bejo bergerak bebas meremas-remas payudara
ranum Anissa.
“Tolong kasihani aku, tinggalkan aku sendirian…” bisik Anissa lemah, “tolong…”
“Rasanya Mas Dodit pasti akan sangat berterima kasih seandainya kita
berdua memberinya hadiah yang terindah yang akan selalu ia ingat
sepanjang hidup.” Tangan Pak Bejo turun dari dada Anis ke perutnya,
tangan itu menepuk pelan perut langsing Anis, “Hadiah terindah berupa
seorang anak dari kekasihnya tercinta yang didapatkan dari sperma
seorang pria tua buruk rupa.”
Anissa menutup mulutnya karena kaget dan takut, dia terhenyak berdiri
dari posisinya yang rebah di ranjang, dia memang sudah diperkosa Pak
Bejo, tapi gadis itu tidak akan mau dihamili oleh sang pria tua yang
menjijikkan itu! Dia tidak sudi! Sayang, walau sudah berusaha bangkit,
tapi tangan nakal Pak Bejo masih tetap erat memeluk tubuh indahnya.
“Jangan! Saya mohon, Pak! Kita tidak bisa melakukan ini! Saya ingin
menikah dengan Mas Dodit, jangan hancurkan impian saya, jangan hancurkan
kehidupan saya!” air mata Anis menetes membasahi pipi.
Pak Bejo menarik tubuh Anissa dan memeluknya erat, gadis itu terpaksa
mundur ke belakang dan membiarkan tubuhnya bersandar di perut gendut
sang pria tua. Tangan Pak Bejo mulai beraksi, tangan kanannya menyusuri
buah dada ranum Anissa sementara tangan kirinya menggosok-gosok
selangkangan si cantik itu. Anissa sendiri tak tahan diperlakukan penuh
nafsu oleh Pak Bejo, gadis itu bisa merasakan kejantanan sang pria tua
digesek-gesekkan ke pahanya.
Dengan menggunakan mulutnya, Pak Bejo melalap daun telinga Anissa
sambil berbisik kepadanya. “Aku tidak melarang kamu menikah dengan
siapapun, Non Anis. Kamu boleh menikah dengan Dodit atau siapa saja, aku
hanya ingin menyetubuhimu tiap kali aku mau. Itu saja. Layani aku
dengan baik dan aku tidak akan mengganggu hubungan kalian. Tapi kalau
kau melawanku, aku bersumpah, kau tidak akan pernah merasakan lagi yang
namanya cinta kasih sejati! Akan kubuat Mas Doditmu itu menderita!!”
Anissa bergetar ketakutan dalam pelukan si tua bejat, Pak Bejo bisa
merasakan gerakan tubuh gadis muda itu. Anissa makin bingung, ia tidak
tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Dengan sisa tenaga yang ia
miliki, Anissa menendang tulang kering kaki Pak Bejo dan meloncat turun
dari tempat tidur.
“Auuughh!! Lonthe!!!” maki Pak Bejo geram.
Pak Bejo menjerit kesakitan dan meraung penuh amarah mengejar sang
gadis yang lari ketakutan dalam keadaan panik. Karena harus memutari
ranjang untuk mencapai pintu, Anissa kalah cepat dari Pak Bejo yang
meloncati ranjang dengan beringas, gadis itu kembali tertangkap olehnya.
Dengan kekuatannya yang hebat, Pak Bejo menyeret Anis ke tempat tidur.
Dengan mudah ia memutar tubuh gadis muda itu dan menghempaskannya ke
ranjang. Pak Bejo kemudian melucuti pakaiannya sendiri, sekali lagi Anis
melirik ke arah pintu dan mencari saat yang tepat untuk bisa melarikan
diri.
“Jangan coba-coba.” Bentak Pak Bejo saat melepas kemejanya. Ia tahu
apa yang sedang direncanakan oleh gadis muda itu. Karena Anissa terus
melawan, dengan terpaksa pria tua itu mengeluarkan pisau lipat yang
selalu ia kantongi. “Aku tidak mau menggunakan ini, manis. Tapi kalau
sampai kau melakukan hal yang aneh-aneh, aku terpaksa mengiris-iris
tubuhmu dan memberikannya pada anjing tetangga.”
Kemarin, ancaman pisau inilah yang mengakibatkan Anissa kehilangan
keperawanannya. Kali ini ancaman pisau Pak Bejo kembali berhasil
berhasil melunakkan perlawanan Anis. Gadis itu terdiam pasrah tanpa
berani melawan, matanya menatap ngeri pada pisau yang diacungkan oleh
Pak Bejo sementara keringatnya mengalir deras. Dengan bebas Pak Bejo
mendapatkan keinginannya.
“Aduh, aku tidak tahan lagi, anak manis. Sejak datang ke rumah ini,
tubuhmu itu selalu membuat penisku ngaceng nggak turun-turun. Hari ini
aku jamin, aku akan memuaskanmu dengan baik sampai-sampai kau tidak akan
mampu berjalan tegak lima hari lima malam, hahaha. Kau bisa memilih,
kita melakukan hal ini bersama-sama dengan lembut atau aku akan
memaksamu melakukannya dengan kasar. Bagaimana? Pilih yang pertama kan?
Kalau setuju, buka pakaianmu itu pelan-pelan!”
Anissa masih berbaring tanpa daya dan tak mampu mengucapkan
kata-kata. Semuanya berlangsung begitu cepat seperti mimpi buruk yang
tidak kunjung berakhir. Pak Bejo berdiri di depan Anis dengan gelisah
dan tak sabar, pria tua itu sudah melucuti pakaiannya sendiri sampai
hanya mengenakan celana dalam. Anis tahu Pak Bejo pasti akan
memperkosanya dengan cara yang paling menyakitkan seandainya dia
menolak. Satu-satunya jalan agar semua ini berlangsung tanpa rasa sakit
adalah menuruti semua kemauannya. Dengan berat hati Anissa mencopot kaos
dan mulai menelanjangi dirinya sendiri di hadapan sang pemerkosa.
Satu persatu pakaian yang dikenakan Anissa dilepas, atasan, bawahan
dan BH yang ia kenakan semuanya sudah lepas. Gadis itu hanya mengenakan
celana dalam dan menggunakan pakaian yang tadi ia lepas sebagai
pelindung untuk menutup dadanya yang telanjang. Anissa bergetar
ketakutan sambil menyembunyikan diri dari pandangan penuh nafsu Pak
Bejo. Pria itu tidak kenal kompromi, ia mendekat ke arah Anis, menarik
pakaian penutup dada Anis dengan kasar dan melemparnya jauh-jauh.
“Sekarang celana dalamnya!” bentak Pak Bejo.
“Pak Bejo…” isak Anissa, “tidak bisakah kita…”
“Copot celana dalamnya, atau kau akan menyesal nanti,” Pak Bejo
menatap Anis dengan galak sampai gadis itu ketakutan. Sambil terisak,
Anis melepaskan pelindung tubuhnya yang terakhir, celana dalamnya.
“Gadis pintar.” senyum puas membentang di wajah pria cabul itu ketika
dia menatap jalang selangkangan Anissa yang telanjang, “Sekarang
berbaringlah ke ranjang dan buka kakimu lebar-lebar.”
Anissa menelan ludah dengan rasa takut yang membuncah, tapi gadis itu
mengikuti perintah Pak Bejo. Setelah kembali berbaring di ranjang, Anis
membuka pahanya lebar, memberikan akses pada Pak Bejo menatap liang
kewanitaannya yang memerah. Anis melirik ke bawah dan melihat Pak Bejo
sedang melucuti celana dalamnya sendiri dengan terburu-buru, penisnya
yang berukuran besar melejit keluar seperti cemeti. Nafas Anis makin
berat ketika dia menyaksikan benda yang sebentar lagi akan dilesakkan ke
liang vaginanya yang masih rapat. Benda itu benar-benar sangat besar,
akan terasa sangat menyakitkan seandainya dimasukkan ke dalam
kemaluannya. Perut Anissa melintir dan mual menyaksikan ukuran kemaluan
Pak Bejo, karena takut, gadis itu kembali menutup kakinya rapat saat Pak
Bejo mulai merangkak di atas ranjang mendekati mangsanya.
###
Anton meraih pena dan menandatangani surat cerai dengan tangan
gemetar. Tiap goresan di atas kertas bagaikan pisau yang merobek-robek
hati Dina. Seperti inikah akhir pernikahannya dengan Mas Anton? Seperti
inikah berakhirnya masa-masa susah senang yang telah mereka arungi
berdua bersama? Benarkah suaminya itu tega menjual istri untuk melarikan
diri dari hutang dan tanggung jawab? Walaupun di kemudian hari Anton,
Dina dan anak-anak tidak akan pernah kekurangan uang lagi, tapi…
“Selamat tinggal… sampaikan maafku pada anak-anak… ” bisik Anton
lemah, tidak ada kekuatan dalam ucapan itu. Suara Anton terdengar
seperti seorang lelaki yang sudah kalah perang. Anton menatap wajah Dina
untuk yang terakhir kali, lalu mencium wanita jelita itu dengan penuh
kasih sayang, sebuah ciuman terakhir. Dengan langkah tertatih Anton
meninggalkan ruangan sambil membawa file-file kepemilikan modal, rumah
dan tanah di kota lain yang diberikan oleh Pak Pramono. Entah masa depan
seperti apa yang akan ia hadapi nanti, yang jelas, Dina dan Anton tidak
akan pernah bertemu kembali.
Dina melepas kepergian suaminya dengan tertunduk lesu. Airmatanya
sudah kering dan ia tak mampu lagi menangis. Inikah kelanjutan hidupnya?
Menjadi menantu Pak Bambang yang pernah menidurinya? Sebuah foto yang
berada di atas meja menjadi ketakutan lain bagi Dina, apakah ia akan
bersedia menjadi istri seorang lelaki yang tidak saja buruk rupa namun
juga idiot?
Dina tahu, demi masa depan anak-anaknya dan demi kelangsungan hidup
mereka, itulah kehidupan baru yang harus dijalaninya. Di bawah payung
perlindungan Pak Bambang, Dina dan anak-anak tidak akan pernah lagi
hidup kekurangan, walaupun untuk mendapatkan semua ini, dia harus
menjual diri.
Dina menandatangani surat cerai dengan Anton. Ia tidak menangis sama sekali.
Pak Pramono menyalami Pak Bambang atas keberhasilannya mendapatkan seorang menantu yang sangat cantik dan seksi.
###
Lidya mengelap keringat yang menetes di kening. Akhir-akhir ini sinar
matahari sangat panas dan menusuk kulit. Si cantik itu geleng-geleng
melihat banyaknya cucian yang diberikan oleh Pak Hasan, sudah berapa
hari si tua itu tidak mencuci pakaian? Jangan-jangan dia memang sengaja
tidak mencuci baju agar bisa mengerjai Lidya? Satu demi satu baju dan
celana yang dijemurnya di tali-tali yang sengaja dipasang.
Lidya sudah tidak mempedulikan lagi penampilannya yang seronok, ia
ingin semua pekerjaan hari ini segera selesai dan ia bisa istirahat. Ia
sudah tidak peduli lagi pada angin nakal yang berhembus dan
melambai-lambaikan bagian bawah kemeja yang ia kenakan. Si cantik itu
tidak mengenakan sehelai bajupun kecuali satu kemeja berukuran besar
yang diberikan oleh Pak Hasan. Saat angin berhembus meniup bagian bawah
tubuhnya, selangkangan Lidya terbuka dan menerima langsung desiran angin
yang mengenai kulit dan bibir kemaluannya.
Tanpa sepengetahuan Lidya, penampilan hotnya ternyata mendapat
perhatian langsung dari sebelah rumah. Seorang pembantu rumah tangga
yang kebetulan sedang membersihkan rumput secara tidak sengaja melihat
wanita cantik itu dengan pakaian seronok sedang menjemur pakaian.
Pemandangan yang sangat indah.
Pembantu itu geleng-geleng kepala, dulu sewaktu pasangan muda
Andi-Lidya baru datang menempati rumah sebelah, Lidya langsung menjadi
perhatian banyak lelaki di sekitar sini, baik yang sudah menikah maupun
yang masih bujang. Penampilan wanita cantik itu sangat modern dan hot,
membuat setiap mata yang memandang blingsatan, tapi baru sekali ini
pembantu itu memperoleh hadiah yang menyenangkan, tubuh seindah itu
dipamerkan seenaknya, benar-benar nekat Bu Lidya… seandainya saja dia
bisa menikmati tubuh indahnya… ah… mimpi…
Pembantu itu tak bergerak sedikit pun, hanya memandang setiap gerakan
gemulai Lidya. Tapi sayang pertunjukan itu tak berlangsung lama,
setelah sekitar sepuluh menit menjemur pakaian, Lidya turun kembali ke
lantai bawah. Sang pembantu tersenyum puas, ia memang tidak akan pernah
bisa mencicipi keindahan tubuh nyonya tetangga, bagai pungguk merindukan
bulan, tapi begini saja dia sudah puas.
Sang pembantu kembali melanjutkan tugasnya memotong rumput dengan senyum tersungging di bibir.
Dari balik jendela kamar, Pak Hasan mengelus-elus dagu sambil
mengamati gerak-gerik sang pembantu tetangga. Beberapa saat kemudian
terdengar suara langkah kaki Lidya turun dari tangga dan melewati Pak
Hasan.
“Nduk, sudah selesai menjemurnya?”
“Sudah, Pak.”
“Omong-omong, apa kamu kenal dengan pembantu tetangga sebelah kiri
kita ini?” tanya Pak Hasan sambil menunjuk rumah sebelah dari jendela
tempatnya bersandar. “Siapa namanya?”
“Pembantu sebelah? Yang laki atau perempuan?”
“Yang laki.” Pak Hasan menunjuk ke luar jendela. “Itu, yang sedang memotong rumput.”
Lidya melihat keluar jendela dan mengenali sosok sang pemotong
rumput. “Mas Marto?” Lidya menatap mertuanya curiga, “Kenapa memangnya?”
Pak Hasan hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. “Ah nggak…”
Ada senyum aneh menghias bibir lelaki tua itu, senyum yang membuat
bulu kuduk Lidya berdiri. “Dulu kita pernah jalan-jalan ke mall.
Bagaimana kalau besok pagi kita jalan-jalan ke pasar, Nduk?” tanya Pak
Hasan sambil menyeringai lebar, “kita bisa beli sayur-sayuran dan ikan
segar.”
Mata Lidya terbelalak ketakutan. Ke pasar? Kalau ingat apa yang
dilakukan Pak Hasan saat mereka pergi ke mall tempo hari, pergi ke pasar
bersama Pak Hasan bisa jadi hal yang menakutkan untuk Lidya.
Pak Hasan terkekeh melihat menantunya panik. Besok pagi pasti akan menyenangkan sekali.
###
Ruang VIP tempat Hendra dirawat sangat sunyi siang itu, Alya dan
Dodit yang biasa menemani Hendra turut tertidur karena kelelahan. Alya
terlelap di pembaringan penunggu pasien di samping ranjang Hendra,
sementara Dodit duduk di kursi. Dodit lebih memilih menemani calon kakak
iparnya karena di rumah Anissa bertingkah laku aneh tidak seperti
biasanya. Gadis itu juga tidak menjawab SMS maupun misscallnya, entah
apa yang telah terjadi kepada gadis tunangannya itu sehingga sikapnya
berubah total. Sendirian saja di ruangan yang sepi, Doditpun akhirnya
tertidur, ia terlelap sambil duduk di kursi.
Setelah beberapa kali kepalanya tersentak ke bawah, Dodit terbangun
dari tidurnya. Saat ini dia masih berada di kamar VIP Mas Hendra. Calon
kakak iparnya itu masih tergolek lemah di ranjang rumah sakit, tertidur
oleh pengaruh obat yang menenangkan, entah kapan Hendra bisa mulai sadar
dan berinteraksi kembali, hari ini kondisi kesehatannya sangat drop dan
sempat mengkhawatirkan, namun dokter sudah datang dan mengisyaratkan
kalau Hendra hanya harus beristirahat total.
Kamar VIP yang dihuni oleh Hendra memiliki fasilitas berlebih,
terdapat satu pesawat televisi, kamar mandi, lemari pendingin, bahkan
terdapat satu ranjang tambahan untuk penunggu pasien. Pembaringan itu
biasanya dipakai Mbak Alya, kalau harus bermalam, Dodit memilih tidur di
lantai beralaskan tikar tebal.
Siang itu Dodit tertidur saat duduk di kursi sementara Mas Hendra dan
Mbak Alya terlelap di ranjang masing-masing. Dodit merenggangkan tangan
dan menguap lebar-lebar, capek dan pegal sekali rasanya.
Tiba-tiba terdengar suara desahan.
“Ohh… ehhhmmm…”
Suara apa itu? Dodit melirik ke arah Mas Hendra, masih tetap tidur
dengan tenang, siapa yang tadi mendesah? Kali ini Dodit melirik ke arah
Mbak Alya. Pemuda itu langsung terkesiap dengan pemandangan indah yang
ia lihat. Alya yang sedang tidur nyenyak tanpa sadar menarik rok yang ia
kenakan hingga tersingkap ke atas. Mungkin sekali, Alya juga tengah
bermimpi sedang bermain cinta dengan seseorang karena desahan-desahan
erotis kadang terdengar lirih dari mulutnya. Dengan pandangan yang
menatap tajam ke arah paha mulus Alya, Dodit menelan ludah.
Berulang kali Dodit mengusap muka dan berusaha menekan hawa nafsunya,
pemuda itu sudah mencoba mengalihkan pandangan ke jendela, tabung
oksigen, meja, keranjang buah, televisi, tapi tidak ada satupun yang
berhasil menghilangkan pikirannya yang mesum pada Mbak Alya. Sekali lagi
Dodit melirik ke arah Alya, alangkah indahnya pemandangan yang ia
saksikan. Paha mulus Mbak Alya sudah terlihat utuh hingga sampai ke
selangkangannya. Sedikit lagi rok itu tertarik ke atas, Dodit pasti bisa
melihat celana dalam yang dipakai oleh calon kakak iparnya itu.
Dodit mengerang, batinnya berkecamuk, terjadi perang antara akal
sehat dan nafsu birahi. Dodit menggelengkan kepala mencoba menghapus
pikiran busuknya. Mbak Alya adalah calon kakak iparnya. Calon kakak
iparnya! Pemuda macam apa dia ini? Tidak tahu malu! Sebentar lagi dia
akan menikah dengan seorang gadis yang alim dan manis yang telah susah
payah menjaga keperawanan hanya untuk dipersembahkan padanya, sedangkan
dia malah nafsu melihat keseksian kakak ipar tunangannya. Tidak, Dodit
ingin menjadi pria yang baik dan setia bagi Anissa.
Dodit mencari-cari bungkus rokok di dalam kantong sakunya, ia
menjumput satu batang, menjepit rokok itu dengan bibir lalu mencari-cari
korek gas di dalam saku lain. Satu-satunya cara untuk menghapus
pemandangan indah ini adalah dengan merokok di teras di luar kamar dan…
Rokok Dodit jatuh ke atas lantai. Mulutnya menganga.
Rok Alya tersingkap makin naik, seluruh pahanya sudah bisa terlihat
dengan jelas, bahkan kini celana dalamnya pun sudah terlihat seutuhnya.
Celakanya, calon kakak ipar Dodit itu mengenakan celana dalam yang tipis
menerawang sehingga Dodit bisa melihat apa yang ada di balik celana
dalam. Mulut pemuda itu menganga karena terkesima, sangat indah! Sangat
indah sekali!
Pikiran alim Dodit sudah melesat meninggalkan raganya. Buru-buru
pemuda itu mengambil telepon genggamnya dan segera menyiapkan handphone.
Ia tidak akan melewatkan pemandangan seindah ini! Mas Hendra dan Mbak
Alya sudah sama-sama lelap dan tidak akan sadar Dodit mengambil
gambar-gambar seksi calon kakak ipar dengan kamera telepon genggamnya.
Pemuda itupun segera menggunakan kamera handphone untuk mengambil gambar
paha dan selangkangan mulus Alya dari berbagai sudut.
Setelah puas mengambil gambar, Dodit melangkah masuk ke kamar mandi,
mengunci pintu dan membuka celananya. Ia melucuti celana yang ia kenakan
berikut celana dalamnya, setelah itu Dodit membasahi kemaluannya dan
mengambil sabun. Sambil membuka file gambar yang berisikan pemandangan
paha dan selangkangan Alya, pemuda itu memuaskan birahinya dengan
mengocok kemaluannya.
“Uhhhhmmm… Mbak Alya… ohhhhmmm… Mbak Alyaaaa…” desahan memanggil nama
calon kakak ipar keluar dari mulut Dodit. Seluruh perasaan galau karena
selalu gagal menggauli Anis tumpah ruah kali ini dan yang menjadi
fantasi pemuda itu tak lain adalah calon kakak iparnya yang sangat
seksi.
###
Sambil berlutut di hadapan kaki Anis yang ditutup rapat, Pak Bejo
menggeram. “Buka kakimu! Jangan main-main, anak manis! Aku tahu kalau
sebenarnya kau merindukan penisku yang keras ini menjejal di dalam liang
memekmu, kan?” tangan Pak Bejo menggenggam erat pergelangan kaki
Anissa. Gadis muda itu berusaha melawan dan meronta, tapi Pak Bejo
terlalu kuat, ia berhasil membuka paha Anis dengan sedikit paksaan.
Anissa mengerang takut ketika Pak Bejo menarik pergelangan kakinya.
Kedua kaki Anis kini diletakkan di samping pinggul Pak Bejo. Pantat Anis
diangkat dari tempat tidur sementara pria tua itu meremas-remas pantat
sang gadis muda yang ketakutan di depannya. Pak Bejo merenggangkan kaki
Anis lebih lebar lagi dan ia membungkuk ke depan, membimbing belalainya
yang mulai membesar ke arah memek Anis.
Anissa menahan nafas karena takut, ia merasakan kengerian membuncah
di dalam hati ketika bibir kewanitaannya bersentuhan langsung dengan
kontol besar Pak Bejo. Dengan senyum menggoda, Pak Bejo mengoles-oleskan
ujung gundul kemaluannya ke bibir bawah vagina Anis, rangsangan itu
membuat cairan cina Anis meleleh tanpa bisa dibendungnya. Pak Bejo
menggerakkan kontolnya naik turun dan dengan sengaja dioles-oleskan ke
bibir kemaluan sang dara, pria tua itu seakan meratakan cairan cinta
yang meleleh di bibir kemaluan Anis ke seluruh bagian bibir vaginanya.
Akhirnya, dengan penuh nafsu, pria tua bejat itu menatap lekat mata
Anis. “Saatnya melakukannya, ya sayang?” Pak Bejo terkekeh sadis.
Anissa menggeleng dan mencoba meronta, tapi ia tidak mampu berbuat
banyak karena selain kakinya dijerat oleh kaki Pak Bejo, kini giliran
kedua lengannya ditahan di sisi ranjang oleh tangan sang lelaki tua
bejat. Ingin rasanya Anis berteriak, tapi ia tahu sia-sia saja melawan
pria tua menjijikkan ini.
Dengan satu sentakan penuh tenaga, Pak Bejo mendorong penisnya ke
depan, masuk ke dalam memek Anissa dengan satu tusukan yang sangat
menyakitkan, Anissa melenguh karena kaget dan merasa perih, bibir
memeknya terbelah dan vaginanya menelan batang kontol Pak Bejo. Ukuran
penis Pak Bejo yang besar memenuhi rapat liang kewanitaan Anis. Tak mau
menahan diri lagi, Pak Bejo terus menyorongkan kemaluannya hingga ujung
terdalam vagina Anissa.
Terdengar suara kecipak becek memek Anis, tak terasa, seluruh batang
kemaluan Pak Bejo telah melesak ke dalam. Anissa menarik nafas yang
terasa berat, matanya terbelalak dan ia bisa merasakan ukuran
sesungguhnya dari penis Pak Bejo yang kian lama kian membesar di dalam
memeknya.
“Hrghhh!! Bisa kau rasakan itu, manis? Memekmu yang rapet
meremas-remas kontolku!” Pak Bejo tertawa menghina, “pasti ini
pengalaman baru bagimu ya sayang? Enak kan dientoti terus sama Pak Bejo?
Kalau sudah merasakan kontolku, aku yakin kamu tidak akan mau
disetubuhi calon suamimu yang kontolnya seupil itu!”
“Tidak mauu…” Anissa merintih, kesadarannya mulai melayang karena
rasa sakit yang ia rasakan mulai menguasai seluruh tubuhnya. Tangan
kotor Pak Bejo merenggangkan bokong Anissa dengan kasar, lalu sambil
menggemeretakkan gigi dengan gemas, Pak Bejo menusuk memek Anis sekuat
tenaga. Anis memejamkan mata, besarnya ukuran penis Pak Bejo membuatnya
merem melek, ia bisa merasakan tiap sudut batang kemaluan pria tua cabul
itu, tiap urat yang menonjol, benjolan kecil atau permukaannya yang
kasar, semua bisa ia rasakan. Pak Bejo menggiling liang kewanitaan Anis
dengan gelombang serangan bertubi-tubi sampai akhirnya ujung gundul
kontol Pak Bejo menabrak ujung terdalam liang rahim gadis muda itu.
Anissa mengembik kesakitan, ukuran penis besar milik Pak Bejo
membuatnya tak bisa menahan air mata yang mengalir. Seakan-akan sebatang
tiang listrik dilesakkan ke dalam kewanitaannya. Sambil meringis
kesakitan, Anis berusaha meronta dan melepaskan diri dari tusukan Pak
Bejo. Selangkangannya terasa sangat panas dan nyeri, namun ketika dia
meronta, gerakannya malah membuat Pak Bejo makin keenakan. Pria tua itu
sudah gelap mata dan terus menusuk ke depan, menimpakan seluruh berat
tubuhnya ke badan Anissa.
“Oooohhhh, memekmu rapet bangeeet!” Pak Bejo terengah-engah
menyetubuhi Anissa. Ia menarik bokong gadis itu ke belakang dan tubuh
mereka saling menampar dengan penis yang masih tertanam di dalam vagina
Anis. Kemaluan Pak Bejo merenggang hingga ke ukuran terbesarnya, ia
menggoyangkan pinggulnya dan menggiling liang kewanitaan Anissa sampai
ke dalam leher rahimnya.
“Mas Dodit… maafkan akuuu… a-aku tidak kuat…” desah Anissa dalam
keputusasaannya, ia bisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar dan
menyerah dalam pelukan sang lelaki tua. Ia belum pernah merasakan
gelombang kenikmatan seperti ini menyapu seluruh tubuhnya.
Perlahan-lahan, Anissa mulai menggoyangkan pantat agar kemaluan Pak Bejo
bisa masuk ke dalam memeknya lebih dalam lagi.
Pak Bejo puas melihat takluknya Anissa. “Enak kan sayang? Enak kan
kontolku? Bisa kau rasakan gerakan kontolku di dalam liang rahimmu,
sayang? Bisa kau rasakan geliat kontolku di dalam liang yang telah aku
perawani? Bagaimana rasanya disetubuhi seorang pria sejati, sayang?
Berbaringlah dan rasakan kenikmatan permainan cinta yang sesungguhnya.”
Tiap kata yang diucapkan Pak Bejo bagaikan pisau yang menusuk perasaan
Anissa, dia terhina sekaligus menginginkannya.
Karena gerakan pantat Anissa itu melambat, Pak Bejo menarik pinggul
gadis itu dan memompakan tubuh mungilnya itu ke arah kemaluannya yang
masih tertanam di dalam memek. Pak Bejo menarik kemaluannya keluar dari
memek Anissa, menimbulkan rasa sakit karena gesekan yang membakar
dinding kewanitaan liang cinta Anis. Lalu dengan kecepatan tinggi, pria
tua bejat itu menumbuk vagina Anissa tanpa ampun, berulang kali menusuk
hingga terdengar suara kecipak campuran air cinta Anis dan penyerangnya.
“Oghh! Ouughhhhh! Ougggggggghh!!” Anissa mengerang tak berdaya. “Ahhhh!! Ahhhh!!”
Detik demi detik berlalu, Anissa memejamkan matanya, gerakan Pak Bejo
makin lama makin stabil, dia ingin seperti ini terus, nikmat luar biasa
yang berasal dari selangkangannya membuat Anissa terbang ke angkasa, ia
tidak ingin Pak Bejo berhenti. Ia ingin terus disetubuhi. Sejenak
Anissa lupa, bahwa pria yang tengah memberikan kenikmatan ini bukanlah
orang yang pantas menjadi suaminya.
Kontol tua Pak Bejo keluar masuk dengan mantap menyetubuhi memek
Anissa yang basah oleh cairan cinta. Ketika membuka matanya, Anissa
mengalihkan pandangan ke arah cermin yang berada di meja riasnya.
Bayangan yang berada di cermin membuat gadis itu bergidik ngeri. Tubuh
gemuk sang pria tua memeluk erat paha Anis sambil memaju mundurkan
pinggul untuk melesakkan kemaluan ke dalam vaginanya. Anissa menatap
cermin dengan pandangan tak percaya namun pasrah, ia benar-benar sedang
disetubuhi oleh Pak Bejo, orang yang juga telah memerawaninya. Yang
lebih menyakitkan lagi bagi Anissa adalah, karena Pak Bejo adalah orang
pertama yang memerawaninya, ia merasa begitu nikmat bersetubuh dengan
pria tua itu, ia ingin lagi… lagi… dan lagi.
Nafas pria tua itu menjadi lebih pendek dan kembang kempis beberapa
menit kemudian, begitu juga dengan gerakan maju mundurnya yang makin
lama makin cepat. Ujung gundul kemaluan Pak Bejo makin membesar dan bisa
dirasakan perubahannya oleh Anissa. Gadis itu membelalakkan mata dengan
ngeri, inilah dia saatnya, pria tua itu akan orgasme di dalam
vaginanya! Bayangan tubuhnya yang seksi di bawah pelukan lelaki tua
gemuk buruk rupa yang menyemprotkan cairan sperma hangat di dalam
vaginanya membuat Anissa muak. Apa yang akan terjadi seandainya ia hamil
nanti?
“Ja-jangan di dalam… jangan… aku tidak mau hamil…” protes Anissa di sela-sela desahan nafsunya.
“Diam saja, anak manis.” Sergah Pak Bejo.
“Diam saja, anak manis.” Sergah Pak Bejo.
Saat yang dinanti pun tiba, Pak Bejo mengangkat kepalanya dengan
penuh kenikmatan, ia melolong pelan dan bulat matanya berputar ke
belakang hingga hanya bagian putihnya saja yang terlihat. Pria tua itu
benar-benar mengalami sensasi kenikmatan yang luar biasa. Anissa memang
kalah jelita dibanding Alya yang jauh lebih feminin dan lebih matang,
tapi vaginanya yang masih rapat memberikan kenikmatan hingga ke atas
awan. Pak Bejo memeluk Anis erat-erat dan menyemprotkan semburan hangat
air maninya ke dalam memek dara muda yang basah itu. Anissa hanya bisa
terisak histeris karena dia tidak ingin hamil oleh sperma pria busuk
ini.
Pak Bejo ambruk ke atas tubuh Anissa. Gadis itu masih terus terbaring
di bawah tubuh Pak Bejo yang gemuk sambil menangis sesunggukan. Ia bisa
merasakan kontol Pak Bejo yang masih tertanam di dalam liang rahimnya
perlahan mengulir keluar. Mereka terdiam seperti itu untuk beberapa saat
lamanya sampai Anissa mulai merasakan berat tubuh Pak Bejo
membebaninya. Dengan tenaga yang tersisa, Anis bergerak ke samping
mencoba melepaskan diri dari pelukan Pak Bejo. Lelaki tua itu mengerang
malas dan ambruk ke samping dengan wajah memerah karena kelelahan.
Puas sekali rasanya ia bisa menikmati tubuh Alya dan adik iparnya,
Anissa. Dua hari ini Pak Bejo merasakan nikmatnya hidup bagai seorang
raja yang memiliki banyak harem. Suara berkecipak menandai lepasnya
kemaluan lelaki tua itu dari bibir vagina Anis, air cinta yang bercampur
di dalam memek Anispun ikut menetes keluar, leleh seakan menangis.
Anissa memejamkan mata di samping Pak Bejo tanpa berani mengeluarkan
sepatah kata, gadis cantik itu terbaring dengan kaki yang terbentang
lebar usai digauli dan air mata yang mengalir deras membasahi pipi. Pak
Bejo meringis puas sambil menatap tubuh telanjang Anissa dari kepala
hingga ke ujung jempol kaki. Keindahan tubuh gadis muda ini telah
menjadi miliknya.
“Bagaimana rasanya disetubuhi pria tua seperti saya, Non Anis?” Pak
Bejo terkekeh puas, “Kok diem aja? Pasti enak ya merasakan penis besar
seperti yang aku punya? Kalau nggak percaya, coba saja rasakan punya
Dodit, pasti kalah. Berani jamin.”
Sambil tertawa terbahak-bahak, tangan Pak Bejo maju ke depan,
menyelip di antara paha Anis yang basah dan menangkup bukit kemaluan
lembut gadis itu. Anissa terisak lagi tanpa bisa berbuat banyak. Ia
hanya bisa membiarkan jari jemari nakal Pak Bejo mempermainkan bibir
vaginanya. Pria tua itu membuka lebar-lebar bibir kemaluan Anissa
sampai-sampai gadis itu merasa risih, apalagi cairan cinta bercampur
sperma Pak Bejo masih meleleh keluar dari sela-sela bibir kemaluan
Anissa.
“Wah wah! Banyak juga tadi aku nyembur, kasihan sekali kamu, anak
manis. Hahaha.” Pak Bejo tertawa melihat spermanya yang putih kental
meleleh keluar dari memek gadis yang baru saja ia gauli. Pria tua bejat
itu berdiri meninggalkan ranjang, kontolnya yang besar terkibas kesana
sini. Setelah mengenakan celana dan baju, Pak Bejo melirik ke arah
Anissa dengan pandangan jumawa.
Untunglah kemudian Pak Bejo memutuskan untuk meninggalkan Anissa.
“Tubuhmu lezat sekali rasanya, anak manis. Besok pasti aku datang lagi
untuk mencicipimu. Siapkan memekmu dan usahakan kali ini lebih bisa
mengimbangi permainanku, jangan diam saja seperti kayu. Hahaha.” Tawa
Pak Bejo bagaikan pisau yang mengiris-iris perasaan Anissa. Pria tua
yang menjijikkan itu bahkan masih tetap tertawa saat telah melangkah
keluar dari kamar Anis, seakan-akan kata-katanya yang cabul adalah hal
yang sangat lucu baginya.
Setelah Pak Bejo pergi, Anis berlari ke kamar mandi. Selangkangan gadis itu terasa panas dan gatal, bibir vaginanya membengkak dan basah oleh air mani Pak Bejo. Ia merasa sangat kotor. Anissa jongkok di pojok kamar mandi dan membiarkan air shower menghujani tubuhnya tanpa henti, jari-jarinya bergetar saat ia membuka perlahan bibir vaginanya yang masih terasa sakit, sperma Pak Bejo menetes dari dalam liang cintanya.
Setelah Pak Bejo pergi, Anis berlari ke kamar mandi. Selangkangan gadis itu terasa panas dan gatal, bibir vaginanya membengkak dan basah oleh air mani Pak Bejo. Ia merasa sangat kotor. Anissa jongkok di pojok kamar mandi dan membiarkan air shower menghujani tubuhnya tanpa henti, jari-jarinya bergetar saat ia membuka perlahan bibir vaginanya yang masih terasa sakit, sperma Pak Bejo menetes dari dalam liang cintanya.
Anis ingin menyemprot bersih-bersih kemaluannya dengan air tapi gadis
itu tahu semprotan air yang masuk malah akan mendorong dan memperbesar
peluang sperma itu membuahi sel telurnya, ia bukan gadis bodoh. Gadis
itu terdiam di pojok sambil berharap sperma Pak Bejo sudah keluar semua
dari memeknya.
Matanya sembab karena tak berhenti menangis. Ia bingung, ia ingin
bertemu sekaligus ingin berpisah dengan Dodit, ia merasa kotor dan tak
berharga lagi baginya, ia hanyalah seorang gadis yang sudah kehilangan
kesucian akibat diperkosa seorang lelaki tua yang tidak akan bertanggung
jawab.
Tak kuat rasanya gadis itu menanggung semua beban, ingin rasanya ia bunuh diri saja.
###
Pagi itu tidak seperti biasanya, terik panas mentari lebih panas dari
biasanya. Keringat lebih cepat menetes walaupun baru berjemur beberapa
menit di bawah sinar matahari. Beberapa orang pemuda berkulit gelap
menurunkan karung-karung berisi beras dari mobil bak tanpa mengeluh,
sementara di bawah, seorang pria berusia paruh baya menghitung karung
dan meletakkannya di timbangan besar di mana seorang lelaki lain
mengukurnya. Pria paruh baya itu berulang kali mengelap keringat yang
menetes dari dahi dengan menggunakan handuk kecil yang ia selampirkan di
leher, berkali pula ia menarik topi kerucut yang ia kenakan dan ia
kipas-kipaskan ke wajah untuk memberikan angin.
“Panas banget si… hari ini.” keluh sang pria paruh baya.
“Iya bang, kali panas ini gara-gara pemanasan glo… apa tuh… yang disebut-sebut di tipi itu ya?” timpal sang pengukur timbangan.
“Pemanasan global kali maksudnya?” jawab sang pria paruh baya sambil mengerutkan kening.
“Iya yah? Saya sih gak maksud, bang. Ya itu yang dibilang sama abang itu.” Sang pengukur timbangan tersenyum dan tersipu malu.
Sang pria paruh baya menepuk-nepuk pundak sang pengukur timbangan.
Tiba-tiba saja satu sosok wanita berkelebat melalui mereka, sosok yang
membuat kedua orang itu dan para pemuda yang sedang menurunkan karung
beras berhenti bekerja karena takjub.
“Buset! Apaan tuh yang barusan, bang?” tanya sang pengukur timbangan
sambil mengucek mata. “Beneran kagak yang lewat? Beneran yah?”
Sang pria paruh baya menatap ke arah sosok yang lewat sambil
geleng-geleng tak percaya. “Beneran, Jo. Gila. Yang baru lewat itu
beneran.”
Apa yang membuat kedua orang itu dan para pemuda yang sedang menurunkan beras terpukau?
Sosok wanita yang baru saja melewati mereka adalah sosok Lidya. Kali
ini menantu Pak Hasan itu mengikuti kemauan gila sang mertua dengan
mengantarkannya berjalan-jalan di sebuah pasar kecil yang berada sedikit
jauh dari rumahnya. Lidya tidak mau mengambil resiko berjalan-jalan di
pasar besar yang berada di dekat rumah karena takut akan ketahuan
beberapa orang kenalan atau tetangga.
Sambil menggandeng mertuanya yang tersenyum bangga, Lidya
berlenggak-lenggok di lorong-lorong pasar sambil memutar pinggulnya, dia
sebenarnya malu sekali melakukan ini di depan orang-orang pasar, tapi
mertuanya yang bejat memaksanya tanpa kenal ampun. Seperti waktu
berjalan-jalan di mall, Lidya mengenakan baju yang sama sekali tidak
sepantasnya dikenakan sewaktu masuk ke dalam pasar.
Lidya hanya mengenakan sebuah kemeja kecil putih yang sangat pas
dengan lekuk tubuh atasnya dengan memakai BH berukuran mini dan tipis.
Ukuran kemeja yang terlalu kecil mencetak keindahan lekuk tubuh Lidya
untuk santapan mata para lelaki yang saat itu berada di dalam pasar.
Mata mereka mengikuti gerak tubuh Lidya bagaikan seorang penonton
pertandingan tenis yang mengikuti gerak arah bola. Buah dada Lidya
bergerak naik turun tanpa bisa dikendalikan seiring gerakan lenggok
pantatnya yang bergerak dengan sempurna. Karena sempitnya pakaian dan
tipisnya bh yang ia kenakan, orang bisa melihat ujung puting buah dada
Lidya menjorok ke luar seakan minta diselamatkan dari sempitnya pakaian
yang ia kenakan. Ukuran buah dada Lidya yang besar membuat pakaian itu
sulit dikancingkan, ia hanya bisa pasrah seandainya ada orang yang
dengan sengaja mengintip-intip buah dadanya melalui sela-sela kancing
yang terbuka.
Selain mengenakan pakaian sempit dengan BH tipis, Pak Hasan memaksa
Lidya mengenakan rok pendek yang terlalu mini untuk wanita setinggi
Lidya, kakinya yang jenjang melangkah melalui lorong pasar tanpa
dilindungi apapun. Pahanya yang putih mulus seperti pualam menimbulkan
decak kagum sekaligus birahi yang makin memuncak dari para penjual,
khususnya yang berjenis kelamin lelaki. Rok mini Lidya hanya bisa
melindungi kira-kira beberapa cm saja dari selangkangannya, jika menantu
Pak Hasan itu memaksa jongkok atau membungkuk, orang yang berada di
depan atau belakangnya bisa melihat celana dalam jaring-jaring yang ia
kenakan. Jaring-jaring itu tidak melindungi apapun, karena seandainya
cermat melihat dan mengamati, bibir vagina Lidya akan terlihat jelas dan
membayang.
Lidya bersyukur dia diijinkan mengenakan kacamata hitam, karena
dengan begitu dia bisa menyembunyikan air mata dan bersembunyi dari
pandangan mesum seluruh lelaki buas yang berada di pasar. Berbeda dengan
keadaan saat mereka berjalan-jalan di mall tempo hari, kala itu banyak
lelaki yang melirik namun malu-malu memandang. Tapi kini, hampir semua
lelaki memandang ke arahnya tanpa rasa malu, bahkan beberapa orang
menyiulinya dan berkomentar menjijikkan.
“Pak, sudah ya pak… kita pulang saja… aku takut… malu…” bisik Lidya pada sang mertua yang menggandengnya.
“Ayolah, sayangku. Kita sudah pernah melakukan ini kan? Kenapa harus malu?”
“Tapi itu kan di mall, ini pasar… lagipula…”
“Hh… apa bedanya mall dengan pasar?” senyum lebar menghiasi wajah
menjijikkan Pak Hasan. Lidya langsung tahu usahanya sia-sia saja.
“Jangan berhenti melenggokkan pantatmu, pastikan orang yang berada di
belakang bisa melihat lenggokanmu yang panas itu, Nduk.” Kata Pak Hasan
sambil terkekeh pelan.
Saat berjalan-jalan di mall dulu, Lidya bahkan tidak mengenakan bra,
tapi saat ini, saat ia masih mengenakan pakaian dalam, Lidya merasa
lebih parah. Orang-orang yang berada di pasar kecil ini sebagian besar
adalah masyarakat menengah ke bawah yang tidak pernah melihat
pertunjukan heboh semacam ini, keberadaan Lidya mengundang banyak orang
untuk melihat. Ia bagaikan seorang bintang sinetron yang sedang
dikejar-kejar oleh banyak wartawan.
Bisa dibilang, mungkin di seantero pasar, tubuh seksi Lidya tidak ada
yang bisa menyaingi. Rambutnya yang panjang dan indah seperti cewek
cantik di iklan shampo, kulitnya yang putih bersih seperti pualam
bagaikan bintang iklan sabun, kecantikannya yang di atas rata-rata
seakan bagaikan bidadari yang turun dari langit, dan yang lebih hebat
lagi, keseksian tubuhnya yang tak bisa disangkal siapapun juga sangat
menggugah nafsu birahi.
Seorang penjual ayam potong hampir kehilangan jari-jarinya gara-gara
tak berkonsentrasi saat memotong daging ayam yang dibeli oleh seorang
ibu-ibu. Seorang kuli yang sedang mengusung plastik besar berisi makanan
anak-anak bertabrakan dengan kuli lain yang sedang membawa plastik
berisi sayuran. Seorang penjaja makanan kecil berkali-kali merobek
plastik hingga bertaburan karena tak bisa berkonsentrasi. Singkat kata,
kehadiran Lidya benar-benar membuat heboh pasar kecil itu.
Sebelum datang kemari bersama Lidya, Pak Hasan sudah melakukan survey
terlebih dahulu. Dia tahu pasti kalau di pasar kecil ini banyak pemuda
dan para penjaja yang sering berkumpul di sebuah tempat bilyard kecil
yang ada di ujung pasar. Disanalah tempat sebagian besar laki-laki
penghuni pasar berkumpul, dan kesanalah ia akan mengajak Lidya.
Hati Lidya berdegup tak menentu, dia diam saja digiring oleh sang
mertua ke tempat paling ujung di pasar. Dia makin ketakutan dan panik
namun tak berdaya setelah melihat di tempat yang dituju mertuanya
ternyata banyak laki-laki yang berkumpul, jangan-jangan mertuanya
membawanya ke sarang preman pasar?
Lokasi tempat permainan bilyard itu sedikit masuk ke gang dan tidak
bisa dilihat dari luar ataupun dari pasar. Hampir semua penjual di
pasar, khususnya yang laki-laki, nongkrong di tempat ini. Beberapa meja
bilyardnya sendiri sudah rusak dan tidak bisa dipakai sempurna, tapi
tetap saja banyak orang yang berkumpul di ruangan ini untuk bermain judi
kartu. Alangkah kaget orang yang sedang berkumpul di ruangan itu
tatkala Pak Hasan dan menantunya yang aduhai masuk ke ruangan dengan
nekat. Lidya berusaha menutup bagian dadanya dengan lengan dan
berulangkali membenahi roknya yang naik ke atas, tentunya usaha itu
sia-sia.
“Selamat sore, nama saya Hasan dan saya ingin ‘mengamen’ di sini.”
Kata Pak Hasan di tengah-tengah keramaian orang yang memandangnya heran
dan galak. “Saya tidak akan menyanyi atau bermain gitar, tapi menantu
saya ini hendak menghibur anda-anda semua dengan menari. Ada yang mau
lihat?”
Sontak kumpulan orang itupun ramai, mereka berteriak-teriak dengan
girang mengiyakan, Lidya makin kecut nyalinya melihat buas dan
beringasnya orang-orang yang berada di tempat itu.
“Bapak sudah gila? Aku disuruh menari di depan orang-orang ini?
Bagaimana kalau mereka nanti hilang akal dan memperkosaku? Apa masih
belum cukup bapak memperlakukan aku seperti pelacur? Aku bersedia masuk
ke pasar dengan pakaian seminim ini dengan syarat tidak akan ada orang
yang menyentuhku lagi.” bisik Lidya pada mertuanya dengan geram, “Aku
tidak mau melakukannya! Pokoknya tidak!”
“Kau harus menari di depan mereka! Ingat perjanjian kita? Hari ini
peran yang sedang kau jalani adalah sebagai budakku dan bukan istri
anakku! Semua permintaanku harus kau turuti!” Bisik Pak Hasan di telinga
Lidya sambil menggenggam lengan menantunya itu dengan sekuat tenaga,
Lidya mengernyit kesakitan karenanya, “Menarilah dengan erotis, jangan
lupa beri servis lebih pada mereka, tidak perlu striptease, cukup buka
baju dan rokmu itu, lalu goyangkan dada dan pantat pasti sudah cukup
untuk membuat mereka puas.”
“Ini gila… aku tidak mungkin…”
“Tidak mungkin apa, Nduk?”
Geram hati Lidya, tapi apa yang bisa ia lakukan di hadapan
serigala-serigala lapar ini? Dia hanya bisa berlindung pada Pak Hasan,
jadi apapun yang dia minta harus diturutinya.
“Baiklah, tapi janji tidak akan membiarkan mereka melakukan apa-apa
padaku.” Bisik Lidya lagi. Wajahnya yang tadinya keras berubah pasrah,
ini sangat menggembirakan bagi Pak Hasan. Sebaliknya bagi Lidya, mimpi
buruk menjadi kenyataan. Di siang bolong begini, di dekat pasar, di
sebuah kios kosong yang kotor tempat para lelaki kasar biasa bermain
bilyard, Lidya harus menari bagi mereka. Memang dia tidak akan
benar-benar telanjang, tapi menari hanya dengan BH tipis dan celana
dalam menerawang di depan banyak lelaki buas seperti ini sama saja
seperti menari telanjang, sama saja parahnya.
“Tidak akan ada satu penispun yang masuk ke dalam memekmu hari ini
kecuali milikku.” Bisik Pak Hasan, kata-kata itu menusuk perasaan
sekaligus menenangkan Lidya, membuat wajahnya memerah. Lidya ingin
menangis rasanya, tapi sangat takut Pak Hasan akan main kasar kalau
sampai dia mengembik meminta ampun, karena itu dipendamnya semua
perasaannya. Tubuh wanita cantik itu gemetar karena ketakutan. Lidya
menundukkan kepala karena malu yang luar biasa, wajahnya memerah dan
keringat dinginnya mengalir tanpa henti, tangannya meremas-remas
pinggiran rok mininya dengan cemas.
“Siapa yang ingin menonton si cantik ini bergoyang? Silahkan
menikmati pertunjukan gratis ini!” kata Pak Hasan, dia meletakkan satu
tape kecil yang memang sudah sedari tadi ia siapkan di atas meja bilyard
kosong. Tombol play ditekan, lagu dangdutpun mengalun.
“Goyang! Goyang! Goyang!” hampir bersamaan, para penonton berteriak-teriak.
“Ingat, selalu sunggingkan senyum. Buka bajumu sambil
melenggak-lenggok seperti penari striptease, cukup sampai bh dan celdam
saja, tidak perlu telanjang. Kalau kamu tidak mau melakukannya, aku akan
meninggalkanmu seorang diri di tempat ini dan menyerahkanmu pada
orang-orang itu… bagaimana?” bisik Pak Hasan pada Lidya. Istri Andi itu
mengangguk, bukankah ia hanya bisa pasrah?
Setelah Lidya menganggukkan kepala tanda tunduk, dengan terpaksa ia
menyunggingkan senyum pada orang-orang yang berkeliling menonton
keindahan tubuhnya. Ketika Pak Hasan memperbesar volume musik yang
sedang berdendang, Lidya mulai menggoyangkan badannya. Goyangan pinggul
dan pantat bulat si cantik itu langsung menghipnotis dan mempesona tiap
orang yang menonton. Wajah mereka langsung memerah menahan nafsu melihat
wanita secantik Lidya melenggak-lenggok memancing birahi. Teriakan
mesum dan siulan nakal bergema silih berganti, kata-kata kotor terlontar
mengomentari kemolekan Lidya. Kebetulan dulu saat masih kuliah, Lidya
pernah mengikuti kursus modern dance.
“Buka! Buka! Buka!” teriak orang-orang yang berada di situ. Tidak ada
pilihan lain bagi Lidya. Lebih baik membuka pakaiannya sendiri sebelum
para preman itu malah memaksanya telanjang nanti. Dengan gerakan
perlahan dan sedikit meliuk-liukkan badan sesuai irama lagu, Lidya
melucuti baju tipis menerawang yang ia kenakan. Payudaranya yang sentosa
menggelinjang erotis dalam balutan bh tipis berwarna putih. Guncangan
buah dada Lidya memompa birahi para penjual sayur dan buah-buahan, ingin
rasanya mereka melihat balon buah dada Lidya meloncat keluar dari
ketatnya bh yang menutupnya.
Dengan wajah merah karena malu dan keringat deras mengalir, Lidya
mulai melucuti rok mini yang ia pakai dan melemparkannya pelan ke pojok
ruangan. Istri Andi yang cantik jelita itu kini berdiri hanya mengenakan
kutang dan celana dalam di sebuah bilik kecil tempat para preman pasar
asyik bermain bilyar. Beberapa orang penonton yang berada di ruangan itu
pun bersorak sorai dan bertepuk tangan melihat kemolekan Lidya. Dengan
goyangan erotis yang mengundang syahwat, Lidya berlenggak-lenggok
mengikuti irama lagu. Lidya sengaja beberapa kali memejamkan mata karena
tak kuat menahan diri yang ingin menangis menari setengah telanjang di
hadapan mata para lelaki buas yang menatapnya penuh nafsu. Pantat Lidya
yang bulat sempurna dan montok bergerak-gerak erotis mengikuti lenggokan
pinggulnya sementara buah dadanya berulang kali meloncat-loncat seakan
mau copot dari ikatan ketat kaitan BHnya, penonton berseru meminta Lidya
mendekat supaya mereka bisa meremasnya sekali atau dua kali, tentu saja
seruan itu selalu ditolaknya.
Setelah hampir tiga lagu Lidya melenggak-lenggok di ruangan sempit
yang gelap dikelilingi oleh sekelompok lelaki kasar, akhirnya Pak Hasan
menyuruhnya berhenti. Tubuh si cantik itu basah kuyup dihujani keringat
yang deras mengalir sampai-sampai tubuhnya yang seputih pualam bagai
digosok sampai mengkilat. Tepuk tangan meriah sedikit mengagetkan Lidya,
pria-pria buas dan kotor yang baru saja menyaksikannya menari terlihat
bagaikan serigala kelaparan yang sudah siap menubruknya.
“Huibat sekali neng geulis ini menari, hayo dilanjutkeun! Kenapa
berhenti? Merangsang pisan euy…” kata Pak Somad yang sehari-hari
berjualan buah-buahan segar.
“Maaf, saudara-saudara semua, tapi pertunjukannya cukup sampai di
sini dulu. Kalau ingin lanjut dan ingin lebih kenal dekat dengan menantu
saya ini, silahkan menghubungi saya, tapi tentunya ada ongkos yang
harus dibayar dan belum tentu semua orang akan saya ijinkan
mendekatinya.” Kata Pak Hasan sambil tersenyum puas melihat orang-orang
yang menonton aksi Lidya menjadi gelisah karena kecewa. Ia melemparkan
baju dan rok yang tadi dipakai Lidya untuk dikenakan kembali.
“Yaaaah… masa cuma segitu doang? Nanggung nih ngacengnya!” keluh Pak
Ramin si penjual gorengan disusul makian teman-temannya yang juga
kecewa, tangan kirinya masih terselip masuk di dalam celana, tangan itu
tadinya ia gunakan untuk mengocok si kecil dengan paksa, akhirnya tangan
itu ditarik keluar dengan kecewa. Pemandangan indah adegan tari
striptease Lidya memang membuat pria itu tadinya tak tahan, dia tak
peduli kalaupun harus coli di depan teman-temannya.
“Terima kasih atas perhatian saudara-saudara sekalian. Demikianlah
akhir dari pertunjukan ini.” Pak Hasan tersenyum lebar mendengar nada
kecewa yang menggema di ruangan kecil itu, “dia ini menantu saya, boleh
dilihat, tidak boleh dipakai.”
“Ka-kalau ada yang pengen ngentot? Bayarnya berapa ya, Pak?” tanya
Pak Ngadi si penjual mainan anak-anak, dari tadi dia blingsatan melihat
Lidya menari-nari, kecantikan dan kemolekan Lidya membuat Ngadi lupa
pada anak istri, dengan bergetar Ngadi membuka kantong plastik berisi
uang ribuan yang sudah beberapa hari ini dia kumpulkan untuk istri di
rumah dan modal berjualan mainan esok hari.
Teman-teman Pak Ngadi tertawa mendengar pertanyaan itu, termasuk Pak
Ramin. “Wah -wah, Ngadi… Ngadi! Jangan belagu kamu, punya duit dari
mana? Emang ngewe cewek secakep ini murah? Mau kamu bayar pake apa?
Utangmu gopek sama si Slamet aja belum dibayar dari bulan kemarin!”
Ngadi pun menunduk malu sambil melangkah ke belakang. Menggantikan
posisinya kini adalah Abah Aseng, juragan beras di pasar itu. Pria
keturunan bertubuh gemuk itu mendekati Pak Hasan. “You minta berapa
duit? Aku mau pakai dia satu jam. Berapapun harganya aku bayar.”
“Ha ha ha… aduh, Abah Aseng! Masa cuma sejam?” Pak Ramin ribut lagi. “Bayarnya sih kuat, otongnya yang gak kuat… ha ha ha…”
Kumpulan lelaki mesum itu langsung ramai penuh tawa, tapi Abah Aseng
yang sudah biasa menghadapi mereka segera menjentikkan jari. Dua orang
laki-laki bertubuh besar dan berwajah sangar mendekati Pak Ramin.
Penjual gorengan itu langsung mundur teratur tanpa berani berkomentar
macam-macam lagi. Abah Aseng ternyata membawa dua premannya yang
terkenal ganas.
Pak Hasan menggelengkan kepala. “Sepertinya semua orang di sini belum
mendengar apa yang tadi saya sampaikan ya? Dilihat boleh, dipakai
jangan.”
Abah Aseng tidak terima begitu saja, dia menjentikkan jari sekali
lagi. Dua premannya mendekati Pak Hasan dengan pandangan mengancam.
“Ayolah, Pak.” Kata Abah Aseng. “Dipikir dulu, aku kan pakenya ndak
lama. You malah mestinya terima kasih, aku mau pake barang you itu. Jadi
gimana? Aku bayar berapapun ndak masalah. Tapi kalau you ndak tau
terima kasih, ya aku ndak tanggung jawab kalau nanti anak-anak turun
tangan. You pikir you siapa bisa seenaknya masang cewek di pasar ini?
You kan sudah tua, lebih baik tidur saja di rumah, biar aku yang rawat
anak manis ini.”
Dengan kurang ajar Abah Aseng mencolek dagu Lidya. Si cantik yang
sedari tadi ketakutan dan terdiam itu menjerit ketakutan, ia segera
berlindung di balik tubuh Pak Hasan.
Pak Hasan tersenyum sinis. “Saya memang sudah tua, tapi kalau cuma
dua preman kelas teri begini, saya sendirian masih sanggup menghadapi.
Saya tidak datang ke pasar ini tanpa persiapan terlebih dahulu.” Dengan
sigap Pak Hasan maju ke depan dan mendekati Abah Aseng, tangannya
bergerak dengan cepat, masuk ke selangkangan sang juragan beras dan
mencengkeram kantung kemaluannya tanpa bisa dicegah. Abah Aseng langsung
berteriak kesakitan, suasana pasar yang tadinya ramai berubah menjadi
senyap saat Abah Aseng menjerit-jerit.
Dua preman yang tadinya sigap jadi kebingungan, saat mereka maju, Pak
Hasan mencengkeram lebih erat lagi. “Kalau dua preman itu nggak mundur,
saya remuk bola Abah, bagaimana?”
Abah Aseng mengangguk-angguk dengan cepat, dia sangat kesakitan.
Dengan gerakan tangan melambai, Abah Aseng menyuruh dua premannya
meninggalkan tempat itu. Kelompok kecil itu bersorak-sorai, baru kali
ini ada orang yang berani melawan Abah Aseng. Mereka puas karena selama
ini selalu menjadi bulan-bulanan dua preman sang juragan beras. Abah
Aseng segera lari terbirit-birit karena malu di bawah sorak sorai para
penjual.
“Baiklah, karena hari ini saya sedang gembira, saya akan memberi
kesempatan pada satu orang untuk ikut bersama kami dan menikmati
keindahan tubuh menantu saya ini. Orang tersebut akan dipilih sendiri
oleh menantu saya dan dia akan mendapatkan servis gratis tanpa ditarik
biaya apapun. Siapa yang mau?”
Semua orang yang sedang berkumpul di tempat itu menunjukkan jari ke
atas. Semua mau dipilih, semua ingin mendapatkan servis gratis, semua
ingin mencicipi kemolekan wanita cantik kelas atas seperti Lidya. Siapa
yang menolak?
“Siapa yang kau pilih, Nduk?” tanya Pak Hasan pada menantunya yang
sedang sibuk mengenakan kembali pakaiannya, “harus dipilih salah satu.”
Lidya gelagapan karena bingung, mana kiranya yang harus dipilih?
Wajah mereka kasar, rata-rata berkulit coklat gelap dan penampilannya
jelas tidak ada menarik, mereka juga sangat bau dan tidak kenal sopan
santun. Mana yang harus dia pilih?
“A-aku tidak…” Lidya menggelengkan kepala, dia menolak kalau harus melayani satu di antara para penjual dan preman ini.
Wajah Pak Hasan mengeras dan pandangannya berubah galak, Lidya tahu
apa artinya perubahan wajah mertuanya itu, dia harus memilih.
“Siapa yang kau pilih, Nduk?” tanya Pak Hasan sekali lagi dengan suara tegas.
“Di… dia.” Lidya menunjuk Pak Ngadi, sang penjual mainan anak-anak.
###
Hari ini Alya terlalu lelah, ia memutuskan untuk istirahat dan
membiarkan Dodit dan Anissa yang menjaga Hendra di rumah sakit. Ia ingin
di rumah saja bersama Opi, beruntung sekali Pak Bejo dan istrinya harus
pergi sehingga dia aman dari gangguan lelaki tua tengik itu. Wanita
cantik itu duduk di teras depan rumahnya sembari melamun menatap awan
yang beriringan di langit.
Alya menghapus airmatanya yang meleleh tanpa henti sedari tadi. Apa
yang harus mereka lakukan sekarang? Hidupnya hancur berantakan, suaminya
cacat dan tak akan bisa bekerja dan beraktifitas seperti sebelumnya,
dirinya telah ternoda oleh perbuatan kotor Pak Bejo dan menjadi hamba
seks tetangganya yang cabul itu. Bagaimana mereka akan melalui semua
ini? Alya menundukkan wajahnya dan menangis tersedu-sedu, hampir satu
jam ia tak bergerak, hanya menangis dan melamun.
Kecelakaan parah yang menimpa Hendra membuat Alya dan Opi sedikit
kerepotan kalau hendak bepergian, sepertinya, mereka akan membutuhkan
tenaga pekerja baru sebagai seorang sopir. Alya jelas tidak mau
memperkerjakan Pak Bejo yang berhati busuk itu. Dimanakah ia bisa
menemukan seorang driver yang dapat dipercaya?
Setelah satu jam berlalu, terdengar suara denting keras dan Alyapun
mulai sadar kembali dari lamunannya, ternyata langit sudah gelap dan
hari telah sore. Dentingan suara apakah yang telah menyadarkan Alya?
Suara apa itu? Alya menengok ke arah asal dentingan. Rupa-rupanya dentingan suara mangkok seorang penjual bakso keliling.
“Bakso, bakso. Baksonya, Mbak?”
Seorang penjual bakso bertubuh kurus dan berkulit hitam tersenyum pada Alya, penjual bakso itu bernama Paidi.
###
Ngadi menganga melihat rumah Lidya. Dia kagum sekali, ternyata Lidya
adalah seorang wanita yang mapan dan berkecukupan, tinggal di kawasan
perumahan kaum menengah ke atas yang tenang dan asri. Apa yang dia
lakukan bersama seorang bandot tengik seperti Pak Hasan? Kalau tidak
salah, kata pria tua itu wanita cantik ini adalah menantunya? Orang gila
seperti apa yang melacurkan menantunya pada orang-orang pasar? Sudah
kacau dunia ini.
Tapi segila-gilanya dunia, Ngadi masih waras, dia masih mau ditawarin tubuh ranum seperti milik Lidya, dia belum gila.
Duduk di ruang tamu selama setengah jam seorang diri membuat Ngadi
melamun. Penjual mainan anak-anak itu tak puas-puasnya mengagumi isi
rumah Lidya dan Andi. Berkali-kali ia menggelengkan kepala saat melihat
foto mesra pasangan Lidya dan Andi, sungguh sayang wanita secantik Lidya
jatuh ke tangan bandot tua seperti Pak Hasan.
“Bagaimana, Pak Ngadi? Sudah siap?” tanya Pak Hasan seraya turun dari tangga, “jamunya sudah diminum?”
Ngadi menganggukkan kepala, dia memang belum berganti pakaian dan
membersihkan diri, tapi dia sudah tidak sabar lagi ingin menyantap
hidangan utama yang sedari tadi sudah ditawarkan oleh Pak Hasan yaitu
tubuh Lidya, sang nyonya rumah.
Pak Hasan tersenyum melihat ketidaksabaran Ngadi yang buru-buru
berdiri. “Sabar… kalau ingin diservis menantu saya, tentunya Pak Ngadi
harus mandi dulu yang bersih.”
“Ma… mandi?”
“Iya, Lidya sudah menunggu di kamar mandi atas, diharapkan Pak Ngadi mau mandi bersamanya. Silahkan.”
Mulut Ngadi menganga lebar tak percaya. “Mak… maksudnya mandi bareng Mbak Lidya?”
Pak Hasan mengangguk.
Mimpi apa Ngadi semalam? Mimpi kejatuhan durian mungkin? Setelah
seharian hanya bisa melamunkan kecantikan Lidya, dia tidak menyangka
akan diberi kesempatan mandi bersama wanita yang secantik bidadari itu.
Benar-benar beruntung dia hari ini!
“Be-bener ini, Pak? Saya nggak mimpi kan?” Ngadi masih belum mempercayai keberuntungannya, “ng-nggak perlu bayar?”
“Nggak perlu bayar. Tapi ingat, hanya sekali ini saja.” Kata Pak
Hasan sambil menepuk-nepuk pundak Pak Ngadi. “Oh iya, Pak Ngadi, meski
gratis pegang apa saja, tapi tetap tidak boleh penetrasi. Memeknya tidak
boleh diganggu-gugat oleh kemaluan Pak Ngadi, mengerti?”
“Wa-wah… sudah boleh mandi bareng saja saya sudah senang, Pak. Saya
nggak akan minta macam-macam.” Kata Pak Ngadi jujur, penjual mainan
anak-anak itu benar-benar sudah tidak ingat lagi pada anak istri. Siapa
sih yang tidak mau ditawari mandi bersama seorang bidadari?
Dengan diantarkan oleh Pak Hasan, Ngadi berjingkat menuju kamar mandi
yang terletak di kamar atas, kamar tempat pasangan suami istri Lidya
dan Andi menghabiskan waktu bersama. Kamar itu sangat bersih dan harum,
wangi semerbak juga tercium dari pintu kamar mandi yang terbuka lebar.
Pak Ngadi menahan nafas saat dia perlahan memasuki kamar mandi yang
sudah terbuka.
Tubuh indah Lidya terpampang jelas di depan matanya. Si cantik itu
telanjang! Pak Ngadi terbelalak tak percaya, ini semua benar-benar
terjadi?
Lidya berdiri bersandar ke tembok dengan wajah menunduk malu dan
lengan yang menutup buah dada dan kemaluannya. Walaupun begitu, di bawah
guyuran air shower yang membasahi sekujur tubuh indahnya, Pak Ngadi
bagaikan menatap keindahan seorang dewi.
Kejadian ini tentu saja disaksikan oleh Pak Hasan yang terus memantau
di dekat pintu, dia selalu berada di belakang Pak Ngadi tanpa mau
bergerak melindungi menantunya. Pria tua itu bahkan memberi kode pada
Lidya untuk menarik tubuh Pak Hasan mendekat.
“P-pak Hasan ma-mau mandi?” Lidya terbata-bata. Dia tahu seharusnya
dia mengucapkan kata-kata itu dengan suara semanja dan seseksi mungkin,
tapi Pak Ngadi bukanlah suaminya, dia tidak mungkin bersikap manja pada
orang tak dikenal berwajah buruk dan sekotor Pak Ngadi. Tapi bagi Ngadi,
suara yang keluar dari mulut Lidya itu bagaikan nyanyian merdu seorang
bidadari.
“I-iya… saya mau mandi.” Kata pria tua itu tergagap.
“Ma-Mau mandi b-bersama?” ajak Lidya. Berulangkali dia menatap Pak
Hasan yang berdiri di pintu agar mau menyelamatkannya dari situasi
canggung ini, tapi Pak Hasan bergeleng tanpa ampun. Hanya satu jalan
keluar bagi Lidya, yaitu mempercepat semuanya agar segera selesai.
Dengan gerakan pelan yang sangat erotis, Lidya mendekati Pak Ngadi.
Pria tua yang biasa menjual mainan anak-anak itu melotot dan menatap
tak percaya gerakan tubuh Lidya, payudaranya yang besar dan kencang
bergerak menggelombang ketika si cantik itu berjalan. Lidya kini tak
peduli lagi apakah tubuhnya yang telanjang terlihat jelas atau tidak.
Pandangan Pak Ngadi juga tak lepas dari gundukan mungil yang berada di
selangkangan Lidya, karena rambut yang berada di atas kemaluan dicukur
bersih, gundukan bibir kemaluan Lidya bisa terlihat jelas oleh Pak Ngadi
yang langsung meneguk ludah karena menahan nafsu.
“Saya lepas ya baju Pak Ngadi.” Bisik Lidya perlahan. Ngadi hanya pasrah, mau diapakan juga dia mau, asal oleh Lidya.
Dengan gerakan gemulai, Lidya melucuti satu demi satu pakaian yang
disandang Pak Ngadi dan meletakkannya. Berdiri sangat dekat dengan
wanita telanjang secantik Lidya membuat Pak Ngadi merinding, nafsu, malu
tapi mau. Buah dada Lidya yang masih kencang memompa semangat Pak
Ngadi, ingin rasanya dia menjamah, tapi rasa takut dan segan membayangi.
Akhirnya, seluruh pakaian Pak Ngadi telah dilepas. Pria sederhana itu
kini berdiri telanjang di depan Lidya. Kemaluan Ngadi yang ukurannya
sedang-sedang saja berdiri menantang di hadapan Lidya, tegangnya penis
Ngadi tentu adalah hasil pertunjukan erotis Lidya. Walaupun situasinya
sangat tidak menyenangkan, entah kenapa Lidya merasa geli dengan
keluguan Ngadi.
“Jangan takut pak, saya tidak menggigit kok… kecuali diminta…” bisik
Lidya sambil menggigit bibir bawahnya. “Ayo mandi sama saya.”
Si cantik itu kaget sendiri setelah mengatakan pernyataan erotis itu.
Bagaimana mungkin kata-kata itu bisa terucap dari mulutnya? Apa yang
terjadi pada dirinya? Apakah dia sudah mulai menyukai affair semacam ini
setelah berhari-hari ‘dididik’ oleh Pak Hasan? Tidak… ia tidak mau… Mas
Andi… tolong… Mas Andi…
Perubahan wajah Lidya terlihat jelas, ia mundur beberapa langkah dan
menjauhi Pak Ngadi, kali ini sekali lagi Lidya menutupi buah dada dan
kemaluannya. Sikap Lidya yang berubah-ubah membuat Ngadi bingung, pria
tua itu berbalik menghadap Pak Hasan tapi mertua Lidya menggeleng.
“Maju saja, Pak Ngadi. Silahkan.” Kata Pak Hasan. Pak Ngadipun kembali berbalik dan mendekati Lidya yang menyudut di pojokan.
Setelah menyuruh Ngadi untuk maju, Pak Hasan mengambil kursi tepat di
depan pintu kamar mandi dan duduk menghadap ke dalam, apapun yang
terjadi di dalam, ia bisa menyaksikannya. Mertua Lidya itu melucuti
celananya sendiri dan siap mengocok kemaluannya. Ada perasaan aneh yang
bisa merangsang Pak Hasan saat ia melihat menantunya yang seksi berada
dalam pelukan lelaki lain yang bukan suaminya. Ia pasti akan sangat
menikmati pertunjukan ini.
“Sa… saya mandikan ya, Mbak Lidya…” kata Ngadi perlahan.
Lidya yang ternyata tengah meneteskan air mata mencoba menyembunyikan
tangisnya lewat guyuran air yang turun dari shower, ia tidak mau Pak
Hasan marah dan menghajarnya nanti. Mendengar suara lugu Pak Ngadi yang
mendekatinya, Lidya hanya bisa mengangguk dengan pasrah. Yang akan
terjadi terjadilah. Sebelum peristiwa ini terjadi, selama hidupnya Lidya
hanya pernah mandi bersama dengan satu orang lelaki, yaitu Andi
suaminya. Merinding juga rasanya mandi dengan lelaki tak dikenal seperti
Pak Ngadi.
Air yang turun dari shower menghujani dua tubuh telanjang yang saling
berhadapan, perlahan-lahan Lidya membalikkan badan karena malu, namun
melepas kedua lengan yang menyembunyikan buah dada dan kemaluannya. Si
cantik itu memejamkan mata menanti gerakan Ngadi. Penjual mainan
anak-anak itu bergerak perlahan, dia tak puas-puasnya mengagumi
keindahan tubuh Lidya yang molek. Bagian belakang tubuhnya pun sangat
putih dan mulus tanpa bercak sedikitpun, berbeda dengan tubuhnya yang
kotor dan bopeng-bopeng.
Tangan Pak Ngadi menyentuh punggung Lidya perlahan. Inilah untuk
pertama kalinya mereka bersentuhan. Lidya mengeluarkan desahan pelan, ia
berharap Pak Ngadi tidak mendengarnya. Walaupun tidak mendengar desahan
erotis Lidya, Ngadi bisa merasakan getaran pelan dari tubuh wanita
seksi yang sedang memunggunginya. Dengan perlahan, Pak Ngadi menggosok
punggung Lidya dengan tangannya, ia mengambil sabun dan mengoleskan
pelan di punggung seputih pualam milik istri Andi itu.
Melihat kepasrahan Lidya, Ngadi makin berani, tangannya bergerak ke
depan dan perlahan-lahan meraih payudara Lidya yang sedari tadi
membuatnya terpesona. Dengan dua tangan dari kiri dan kanan, pria tua
itu menangkup buah dada Lidya yang besar dan kencang. Lidya meringkik
lirih ketika Ngadi meremas balon buah dadanya. Pria tua itu makin
mendekat dan memeluk tubuh Lidya dari belakang. Kini Ngadi menggosok
punggung Lidya dengan dadanya, hal ini makin membuat Lidya terangsang
hebat. Terlebih ketika dirasakannya kemaluan Ngadi terselip tepat di
tengah-tengah lembah pantatnya. Pria tua itupun dengan nakal
menggerakkan pinggul agar kontolnya menggesek-gesek pantat Lidya.
Lidya merengek lebih keras, gesekan kontol di pantat dan remasan
tangan di payudara makin ditingkatkan, membuatnya tak mampu bertahan. Si
cantik itu masih memejamkan mata ketika ia berbalik. Dengan sengaja ia
mengeraskan aliran shower agar memancar lebih keras. Berhadap-hadapan
dengan Lidya membuat kontol Ngadi makin menegang, ia memeluk wanita
seksi itu erat-erat. Dengan bantuan sabun, Ngadi mengoles-oles buah dada
Lidya, ia menggerakkan payudara Lidya naik turun di dadanya sendiri.
Lidya melenguh menahan nafsu, ia akhirnya bergerak naik turun tanpa
diminta, menjadikan buah dadanya yang bersabun sebagai penggosok dada
Ngadi. Pria tua itu sendiri tak berhenti, ia meremas pantat bulat si
jelita dan mulai berani menciumi tubuhnya. Bibir Ngadi bergerak dari
wajah namun menghindari bibir seksi Lidya, Ngadi menciumi setiap jengkal
kulit mulus Lidya yang basah oleh siraman air dari shower, mulai dari
lehernya yang jenjang, lalu turun ke dada yang masih belepotan sabun.
Sambil membersihkan buah dada Lidya dengan tangan, ia juga menciumi
kedua balon payudara si cantik itu dengan penuh nafsu, kali ini ia
menghindar dari puting payudara Lidya. Ciuman Ngadi berlanjut ke daerah
perut, terus turun sampai akhirnya ke bibir kemaluan Lidya. Kali ini
Ngadi tak menghindar.
Dengan kepasrahan penuh birahi, Lidya menahan dirinya dengan
menyandarkan tangan ke tembok kamar mandi. Ngadi berjongkok hingga
kepalanya tepat berada di depan kemaluan Lidya. Air terus mengalir
membasahi tubuh mereka berdua, sementara Pak Hasan menyaksikan adegan
demi adegan sambil mengocok kemaluannya sekuat tenaga.
Ngadi mengelus-elus paha mulus Lidya lalu menciuminya bergantian,
kiri ke kanan, kanan ke kiri, terus menerus. Ciuman itu tak berhenti dan
makin lama makin masuk ke arah selangkangan.
“Ohhhhmmm… esssstttt…” desah Lidya tak berdaya saat bibir vaginanya mulai tersentuh lidah nakal Pak Ngadi.
Dengan menggunakan jemarinya, Ngadi membuka bibir memek Lidya yang
berwarna merah muda dan menjejalkan lidahnya masuk ke dalam liangnya.
Sodokan lidah Lidya yang hangat ditambah guyuran air shower membuat
sensasi erotis yang lain daripada yang lain, Lidya makin tak mampu
menguasai dirinya sendiri, si cantik itu merem melek diperlakukan
sedemikian rupa oleh Ngadi.
Selang beberapa saat kemudian, giliran bibir Ngadi yang asyik mempermainkan seputaran selangkangan Lidya.
“Mmmmhhhh! Sssttthhh… oooohhh…” desahan Lidya terus menguat.
Melihat Lidya sudah tak kuat lagi, Ngadi malah melanjutkan
serangannya dengan mempermainkan tonjolan klitoris Lidya. Dijilatinya
tonjolan itu dengan lidahnya. Tubuh Lidya bergetar tak berdaya, ia tak
tahan lagi, tubuhnya menggelinjang tanpa mampu ia hentikan.
“Yaaaaaaaaaaaaaahhhh…” Lidya menjerit lirih ketika ia akhirnya
mencapai kenikmatan. Tubuhnya bergelinjang hebat dan menegang lalu
ambruk ke depan. Untunglah Pak Ngadi sigap dan segera menangkap tubuh
Lidya agar tidak sampai jatuh.
“Aduh… aku… lemas… sekali…” kata Lidya dengan suara lirih.
Sambil berhati-hati, Pak Ngadi mengangkat tubuh Lidya ke pinggir,
mematikan keran shower dan mengelap seluruh tubuh Lidya dengan handuk.
Pak Ngadi mengangkat tubuh telanjang Lidya yang sudah tidak basah dan
berniat hendak menggendongnya ke ranjang. Si cantik itu sebenarnya
keberatan, tapi tatapan mata galak Pak Hasan menundukkannya. Dengan
berani penjual mainan anak-anak yang beruntung itu mulai mengangkat
tubuh Lidya.
“Kuat kan, Pak? Tubuh saya berat.” bisik Lidya. Dia khawatir penjual
mainan bertubuh kurus ini akan menjatuhkannya. “Kalau tidak kuat saya
jalan sendiri saja…”
“Kuat kok, Mbak. Peluk saya erat-erat ya.” Kata Pak Ngadi.
Malu-malu Lidya memeluk Pak Ngadi, si cantik itu menautkan kedua
lengannya ke leher sang penjual mainan saat dia digendong ke arah
ranjang. Untunglah jarak antara kamar mandi dan ranjang Lidya tidaklah
jauh. Wangi tubuh Lidya membuat Ngadi memiliki ekstra semangat, baru
kali ini dia menggendong tubuh seorang wanita cantik yang tak mengenakan
sehelai pakaianpun. Buah dada Lidya yang berukuran besar menempel di
dada tipis Ngadi, menimbulkan percikan tenaga ekstra di hati sang
penjual mainan.
Di pojok ruangan, Pak Hasan masih terus menyaksikan aksi sang penjual
mainan dan menantunya, tangannya juga masih terus bergerak mengocok
kemaluannya. “Nduk, kamu tidur tengkurap saja.” Kata Pak Hasan.
Lidya tidur tengkurap sesuai perintah Pak Hasan saat Ngadi
meletakkannya di ranjang, matanya terpejam menanti serangan Ngadi
selanjutnya. Pria setengah baya berkulit gelap mengkilap dan bertubuh
kurus yang baru saja menggendong Lidya itu akhirnya naik ke atas
ranjang, Ngadi bergerak dengan malu-malu mendekati istri Andi yang
cantik itu. Perlahan-lahan Ngadi memulai serangannya dari ujung jari
kaki Lidya. Ngadi belum pernah melihat jari-jari kaki yang mulus, lembut
dan terawat seperti milik Lidya, sangat berbeda dibandingkan dengan
jemari istrinya yang kotor dan keras karena jarang mengenakan sandal.
Ngadi mencium dan menjilati satu persatu jari-jari kaki Lidya.
“Ehhhhmmm…” erang Lidya. Matanya masih belum terbuka tapi bibirnya tak kuat menahan rangsangan geli jilatan lidah Pak Ngadi.
Satu persatu jari-jari kaki Lidya dijilati oleh sang penjual mainan
anak-anak sambil tak lupa mengelus-elus lembut telapak kaki Lidya yang
putih. Ciuman Pak Ngadi naik ke betis, pria tua itu menikmati jengkal
demi jengkal tubuh mulus Lidya, biarpun ini istri orang, tapi nikmatnya
bukan main. Setelah puas menciumi satu kaki, Pak Ngadi beralih ke kaki
yang lain, serangannya sama, mencium dan menjilati jemari kaki sang
dewi.
“Engghhh…” Lidya menutup kepalanya dengan bantal, ia tidak tahan pada
serangan Ngadi ini, membuatnya gelagapan. Pak Hasan yang masih duduk di
kursi tak terlalu jauh dari ranjang tersenyum puas melihat menantunya
keenakan, ia masih mengocok penisnya sendiri dengan gerakan ringan yang
makin lama makin cepat.
Pak Ngadi meneruskan lagi, ia menggerakkan bibirnya menelusuri kaki
Lidya hingga sampai ke paha. Pria tua itu sangat kagum, ini baru namanya
paha, sangat sempurna, putih mulus tanpa cela. Ngadi menikmati detik
demi detik, ia tahu ia hanya sekali ini saja bisa menikmati keindahan
tubuh Lidya, itu sebabnya dia tidak ingin terburu-buru. Ini yang namanya
sekali seumur hidup. Dia merasa sangat beruntung tadi Pak Hasan
menyuguhkan jamu kuat yang diminumnya sebelum naik ke atas dan mandi
bersama Lidya.
“Ohhhhh… ehhhmm…” Lidya tidak mau mengakui, tapi ciuman yang
dilancarkan Pak Ngadi mulai dari jari kaki naik sampai ke paha membuat
wanita jelita itu belingsatan, tak berdaya sekali dia rasanya. “Ohhhhh…”
sekali lagi Lidya mengerang kala Pak Ngadi menjilati pahanya. Pria tua
itu nekat naik hingga sampai ke perbatasan paha dan gunung pantat mulus
Lidya.
Lidya menggelengkan kepalanya karena tak tahan ketika bibir dan lidah
Pak Ngadi akhirnya sampai di gundukan pantatnya yang kencang dan bulat.
“Ouggghhsssttt… essssstt…” desah Lidya berulang-ulang, suara erotis
yang keluar dari wanita secantik Lidya menambah semangat Ngadi. Pria tua
mulai naik lagi, kali ini tangannya ikut bergerak, meremas-remas pantat
Lidya yang montok dengan gemas. Lidya belum mau membuka matanya, tapi
ia tak tahan dan menahan jeritannya.
Punggung Lidya menjadi sasaran selanjutnya, tubuh istri Andi ini
sangat seksi, merangsang di setiap jengkalnya. Benar-benar bagaikan
tubuh seorang dewi yang turun dari khayangan, sempurna tanpa cela. Kini
tubuh yang indah itu menggelinjang di bawah sapuan lidah Ngadi yang
menggerayangi bagian punggungnya. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai
penjual mainan anak-anak itu sepertinya sudah sering melakukan ini pada
sang istri, dia mahir sekali melakukannya. Sebaliknya, Lidya yang belum
pernah merasakan lidah maut Pak Ngadi pun takluk dan tak bisa bertahan.
Pak Ngadi naik lagi, lidahnya kini menyapu pinggir sela lengan dan
dinding buah dada Lidya.
“Ouuuugghhhhh… asssstttt… eessssssssttt…” mulut Lidya mendesah-desah,
tubuhnya menggelinjang, tapi ia masih tetap tak mau membuka matanya.
Pak Ngadi yang tadinya takut-takut mulai percaya diri, gelinjang
tubuh dan desah nafas Lidya membuatnya yakin, walaupun wanita ini
secantik dewi dan seindah bidadari, tetap saja dia seorang perempuan
biasa, pasti bisa ditaklukkan. Ngadi mengangkangi tubuh Lidya dengan
penis yang diarahkan ke belahan pantatnya.
Sampai di sela bokong mulus Lidya, penis pria setengah baya itu
sengaja diselipkan di tengah lalu digosok-gosokkan naik turun. Saat
tangan Ngadi mengelus-elus kelembutan pinggang Lidya, bibir dan lidahnya
menjelajah punggung, naik ke pundak, lalu bagian belakang leher dan
akhirnya sampai di daun telinga. Daun telinga adalah salah satu titik
kelemahan Lidya, lidah Ngadi bergerak lincah menggoyang daun telinganya.
Semua rangsangan ini membuat si cantik itu takluk, ia pasrah
sepasrah-pasrahnya.
Ngadi masih belum selesai, dibaliknya tubuh Lidya agar menghadap ke
atas. Lidah pria tua itu beraksi lagi, berawal dari serangan di leher
depan, menuruni pundak sampai ke sela ketiak, turun lagi ke lengan
sampai ke telapak tangan dan akhirnya berhenti di jari-jari Lidya.
Ciuman bibir dan jilatan lidah Ngadi tak pernah berhenti, terus bergerak
tanpa kenal lelah menguasai tubuh Lidya. Inilah yang dinamakan
mencicipi tubuh seorang wanita dengan arti yang sebenarnya.
“Auuuuuhhmmm… esssssttt… eehhhgg…” walau tak mau mengakui dan merasa
terpaksa melayani orang yang bukan suaminya, tapi kalau Lidya mau jujur,
dia puas sekali dengan foreplay yang dilakukan Pak Ngadi. Siapa sangka
orang seperti itu bisa melakukan foreplay seenak ini?
Lidah mungil Lidya merekah, seakan minta dicium, tapi Ngadi belum mau
melakukannya. Pria tua itu terdiam sejenak karena takjub dengan
kemolekan bagian depan tubuh Lidya, terutama bagian dadanya. Selama ini
Ngadi harus puas dengan dada istrinya yang seperti papan cucian, ia tak
mengira, akan datang hari dimana dia akan diberi kesempatan mencicipi
payudara sempurna seorang bidadari. Pria tua itupun memanfaatkan
waktunya yang longgar selama mungkin, dijilatinya gunung payudara Lidya
tanpa menyentuh ujung pentilnya. Buah dada Lidya yang montok dilalap
habis oleh Ngadi, istri Andi yang sudah pasrah itu hanya bisa mendesah
penuh nikmat saat payudaranya dioles-oles oleh Ngadi. Pentil Lidya sudah
mengeras sedari tadi, ujung payudara itu menonjol ke atas, memohon
dikulum secepatnya.
Pak Ngadi makin berani, melihat puting susu yang bentuknya sempurna
itu mau tak mau ia nafsu juga. Diawali hembusan nafas yang ditebarkan ke
puting agar terasa hangat, Pak Ngadi menowel ujung pentil Lidya dengan
ujung lidahnya, melontarkan nafsu Lidya bangkit sampai ke puncak.
“Uaaaaaaahhhh!!” Lidya membelalakkan matanya! Tubuh si cantik itu
menggelinjang tak karuan. Pak Hasan makin kagum pada orang tua yang kini
sedang menikmati tubuh menantunya ini, luar biasa juga kemampuannya, ia
ternyata mampu menundukkan menantunya yang jelita dengan lidahnya yang
lincah.
Bangkitnya nafsu birahi Lidya membuatnya tak bisa begitu saja
membiarkan Ngadi terus berlama-lama, tanpa takut-takut Lidya mengangkat
payudaranya dan menyodorkan putingnya pada Pak Ngadi. Melihat istri Andi
itu menyerah pada nafsu membuat Pak Hasan ingin bertepuk tangan. Hebat,
sungguh hebat penjual mainan anak-anak ini!
“I… ini… tolong… cepat…” desah Lidya, ia memejamkan matanya kembali
dan menunggu Pak Ngadi menghisap pentilnya yang sudah menjorok. Ngadi
melirik ke arah Pak Hasan, meminta persetujuan. Ketika Pak Hasan
mengangguk, pria tua itu memberanikan diri, bibirnya menelan pentil
payudara Lidya dan menghisap-hisapnya dengan buas.
“AAAAAAAAAHHHH!!!” Lidya setengah berteriak, matanya terbelalak
karena nikmat yang ia rasakan. Setelah seharian memamerkan tubuh di
pasar, kini seorang penjual mainan anak-anak berhasil mendapatkan akses
ke pentilnya. Pentil yang selama ini hanya diperuntukkan sang suami
tercinta dan direnggut paksa oleh mertuanya yang bejat. “Ah! Ah!
Auuuhhh!! Esssstt!” Lidya menahan semua nafsu yang sudah siap meledak di
selangkangannya, digigitnya bibir bawah untuk membantu menahan semua
getaran nafsunya.
Pak Hasan akhirnya tak tahan hanya melihat saja menantunya yang bugil
itu dipermainkan oleh seorang pria yang baru mereka kenal tadi pagi.
Dengan langkah hati-hati agar tak mengganggu proses foreplay Pak Ngadi,
Pak Hasan duduk di pinggir ranjang dengan rasa ingin tahu yang berlipat.
Tangan Pak Hasan bergerak maju menyelip di antara paha Lidya, dengan
lihai ia meraba-raba bibir memek sang menantu sambil memijit tonjolan di
bibir atas vagina Lidya yang ternyata sudah basah.
“Eyaaaaaaagghhhh!! Uaaahhh! Aaahhh!! Jangaaaaan!!” Lidya tersentak
kaget sekaligus mengalami kenikmatan yang luar biasa ketika jemari Pak
Hasan bermain di sekitar mulut vaginanya. Belum usai serangan yang
dilakukan Pak Ngadi, kini Pak Hasan sudah datang.
Pak Ngadi menyelipkan tangan kirinya ke punggung Lidya dan menarik
tubuhnya ke atas, sementara tangan kanannya masih tetap beraksi
meremas-remas payudara kanan dan kiri silih berganti. Begitu posisi
mereka berhadapan, Pak Ngadi melumat bibir mungil Lidya dengan penuh
nafsu. Bibir yang tadinya mendesah berulang-ulang itu kini terdiam dalam
dekapan sang lelaki tua. Lidya yang sudah tak ingat apa-apa lagi
menyerahkan dirinya penuh kepada kedua lelaki tua. Ia pasrah ketika Pak
Ngadi melumat bibirnya, bahkan Lidya membalas ciuman sang penjual mainan
dengan permainan lidah yang saling memilin.
Sementara Pak Ngadi mencium Lidya dengan hot, Pak Hasan menggerakkan
jemarinya di selangkangan sang menantu dengan lincah.
Digesek-gesekkannya jari tengahnya di bibir vagina Lidya sementara jari
telunjuknya memainkan klitoris yang menonjol. Lidya sudah lupa diri, si
cantik itu memaju mundurkan pinggul karena tak tahan, ia ingin memeknya
segera ditembus sesuatu yang keras dan panjang.
Lidah Pak Ngadi beraksi sepuasnya di mulut Lidya, menjelajah masuk
dan menjilati seluruh liang mulut si cantik itu. Bibir Lidya juga tak
tinggal diam, ia mengulum dan melumat bibir Pak Ngadi yang besar, lidah
si cantik itu juga masuk ke mulut Pak Ngadi, bau rokok murahan yang
tersebar dari kerongkongan lelaki tua itu tidak membuat Lidya berhenti,
ia terus menerjang, menjilat dan melumat.
Pak Hasan naik ke atas ranjang dan bersiap untuk melesakkan penis ke
dalam memek sang menantu, penisnya yang sudah keras seperti kayu
ditempelkan dan dimainkan di mulut vagina Lidya, ia belum mau
memasukkannya, ia ingin menggoda si cantik itu. Pak Ngadi yang tahu si
empunya cewek sudah siap melakukan penetrasi bergeser ke samping memberi
tempat pada Pak Hasan untuk beraksi. Lidya mengerang dan mendesah, ia
bingung sekaligus menikmati. Ia lupa pada suaminya, ia lupa pada
statusnya sebagai seorang istri, ia lupa semuanya, ia hanya ingat ia
sedang bermain cinta dengan dua orang lelaki tua yang perkasa yang
memberinya kenikmatan tiada tara.
Pak Hasan bersiap, diangkatnya kontolnya yang kini bagaikan tiang
bendera dan dengan satu tusukan pelan, masuklah kemaluannya ke dalam
liang kewanitaan Lidya. Wanita jelita yang tak berdaya itu menggelinjang
dan kebingungan, dia menjerit lirih di bawah serangan Pak Ngadi yang
belum juga berhenti menciumi bibir dan meremas-remas payudaranya.
“Iiiiihhh… ehmmm… aaaahhh! Ahhhh!! Ahhh!!” desi Lidya berulang kala Pak Ngadi melepaskan pagutannya.
Pak Hasan menarik Lidya dan mengaitkan kakinya yang jenjang di
pinggangnya. Bagian atas tubuh Lidya sudah kembali turun ke ranjang,
walau masih dipermainkan oleh Pak Ngadi, sementara kakinya kini mengait
pinggang sang mertua. Pak Hasan akhirnya mulai menggerakkan pinggul
untuk menyetubuhi sang menantu, ia bergerak maju mundur dengan pelan.
Walaupun Lidya dan Andi adalah pasangan yang belum terlalu lama
menikah, intensitas hubungan intim antara Lidya dan suaminya termasuk
jarang. Andi lebih suka bekerja daripada tinggal di rumah dan tidur
dengan istrinya. Hal ini sangat disyukuri oleh Pak Hasan, karena memek
Lidya masih terasa rapat bagaikan seorang perawan. Entah karena jarang
bermain cinta dengan suaminya ataukah karena kontol Andi hanya sebesar
tusuk gigi sehingga tidak mampu merenggangkan dinding dalam kemaluan si
cantik itu.
“Heeeeennghhhgghhh!!” Pak Hasan menggemeretakkan gigi dengan gemas saat ia mulai meningkatkan kecepatan tumbukannya.
Tubuh Lidya yang bergerak naik turun sesuai sodokan Pak Hasan
dimanfaatkan oleh Ngadi, pria tua itu menyodorkan kemaluannya ke wajah
Lidya. Si cantik itu awalnya jijik dengan kemaluan Pak Ngadi yang
bentuknya tidak karuan, hitam, keras dan panjang. Dari segi ukuran,
mungkin Pak Hasan lebih unggul. Tapi Lidya sudah tenggelam dalam nafsu
birahi, ia tahu apa maksud Pak Ngadi menghunjukkan kontolnya. Segera
saja Lidya meraih penis hitam itu dan memasukkannya ke mulut.
“Ughhhhhoooooohhh…” sekarang giliran Pak Ngadi yang merem melek
keenakan. Siapa yang tidak mau kontolnya disepong seorang dewi bermulut
indah seperti Lidya?
Pak Hasan makin getol memaju mundurkan pinggulnya, enak sekali
rasanya memompa vagina menantunya yang masih sangat rapat ini. Tangan
kirinya meremas-remas buah dada kiri Lidya sementara payudara yang kanan
menjadi santapan tangan Pak Ngadi.
Pak Hasan terus menggenjot vagina Lidya dengan beringas, nafas pria
tua yang sangat bernafsu itu tersengal-sengal karena ingin segera
mencapai kenikmatan maksimal. Desah nafas tiga orang yang tengah
bercinta itu menjadi musik indah pencapaian kenikmatan seksual. Pak
Ngadi yang keenakan dioral oleh Lidya merem melek, ia makin tak tahan
sepongan si cantik itu, apalagi setelah melihat wajah Lidya yang
mempesona menelan bulat-bulat kontolnya yang hitam dan panjang.
“Huuuungghhhh!!!” akhirnya diiringi satu lenguhan panjang, Pak Ngadi mencapai orgasme. Ia tak kuat lagi bertahan.
Semburan pejuh Pak Ngadi tersebar ke seluruh permukaan wajah cantik
Lidya, lalu ke dada dan akhirnya perut, cukup banyak cairan putih kental
yang dikeluarkan ujung gundul kemaluan pria tua itu. Lidya
tersengal-sengal mengatur nafas, baru kali ini dia bermain dengan dua
orang pria yang sama-sama mahir bercinta, hebatnya dua laki-laki ini
bukanlah suaminya, tubuh si cantik itu mengejang, dan pantatnya
terangkat kuat-kuat. Bola mata Lidya berputar ke belakang, sampai hanya
bagian putihnya saja yang terlihat, rupanya si cantik itu juga telah
mencapai tingkat kepuasan maksimal.
Setelah Ngadi dan Lidya selesai, giliran Pak Hasan, ia merasakan air
cinta membanjir di dalam liang kenikmatan Lidya, tapi mertua bejat itu
terus saja menyodokkan kemaluannya dalam-dalam, tak mau berhenti. Tak
terlalu lama menggoyang memek Lidya, akhirnya Pak Hasan juga mencapai
ujung tertinggi tingkat kenikmatannya.
Meledaklah air mani Pak Hasan di dalam memek sang menantu. Pria tua
itu mengejang, mengeluarkan semua birahinya dalam tumpahan air mani yang
mengalir deras membanjiri memek Lidya. Benar-benar puas dia kali ini,
untuk pertama kalinya Lidya bersedia melayaninya tanpa melawan dan
menangis. Menantunya itu benar-benar telah berubah dan bersedia
dijadikan budak seksnya. Setelah mengeluarkan penisnya dari vagina Lidya
diiringi bunyi letupan kecil, Pak Hasan ambruk ke ranjang.
Pak Ngadi tidak mempercayai keberuntungannya. Walaupun ia memang
tidak diijinkan memasukkan penisnya ke memek Lidya, tapi disepong wanita
secantik bidadari seperti istri Andi itu adalah mimpi yang menjadi
kenyataan. Inilah pengalaman sekali dalam seumur hidup yang tak akan
dilupakannya. Setelah tak lagi lelah nanti, ia akan memakai pakaiannya
dan pergi dari rumah ini, kembali ke kehidupannya yang sederhana dengan
membawa memori terindah yang pernah dirasakannya.
Lidya terbaring lemas tak berdaya di ranjang. Tubuhnya yang telanjang
kini basah kuyup oleh semprotan air mani yang dikeluarkan oleh Pak
Hasan dan Pak Ngadi. Mata si cantik itu terpejam, makin kotor saja
dirinya – ia bahkan mulai menikmati permainan gila mertuanya ini, sampai
kapan Pak Hasan akan memperlakukannya dengan hina seperti ini? Sampai
kapan semua ini akan terjadi? Apa yang akan terjadi esok hari?
Perlahan wanita cantik yang kelelahan itu terlelap dan tenggelam dalam tidurnya.
###
BAGIAN DELAPAN (PART 8 OF 12)
PERNIKAHAN DINA
Oleh Pujangga Binal & Friends
Hari pernikahan adalah hari yang banyak ditunggu-tunggu oleh pasangan yang saling mencintai. Hampir semua orang yang sedang dilanda asmara akan beranggapan bahwa hari pernikahan adalah sebuah hari besar dimana mereka akan melangkahkan kaki menuju gerbang kebahagiaan yang sejati, dimana mereka bisa merasakan nikmatnya hidup bersama orang yang paling dikasihi untuk selama-lamanya. Hari pernikahan adalah ujung sempurna dari sebuah hubungan asmara.
PERNIKAHAN DINA
Oleh Pujangga Binal & Friends
Hari pernikahan adalah hari yang banyak ditunggu-tunggu oleh pasangan yang saling mencintai. Hampir semua orang yang sedang dilanda asmara akan beranggapan bahwa hari pernikahan adalah sebuah hari besar dimana mereka akan melangkahkan kaki menuju gerbang kebahagiaan yang sejati, dimana mereka bisa merasakan nikmatnya hidup bersama orang yang paling dikasihi untuk selama-lamanya. Hari pernikahan adalah ujung sempurna dari sebuah hubungan asmara.
Sayangnya hal tersebut tidak berlaku bagi seorang wanita jelita yang
bernama Dina Febrianti. Baginya, hari pernikahan adalah bencana.
Esok lusa dia akan menikah.
Pernikahannya yang kedua.
Dengan seorang lelaki idiot yang tidak dia kenal sama sekali.
Dina tidak bisa mengelak dan menolak pernikahan yang telah
direncanakan ini. Dia hanya bisa pasrah menghadapinya, sebagaimana ia
juga pasrah menghadapi semua masalah yang datang bagaikan badai yang
menghantamnya bertubi-tubi. Suaminya sendiri telah pergi dan menjual
Dina pada laki-laki lain demi menyelamatkan diri dari hutang yang
bertumpuk. Anton adalah laki-laki brengsek dan mungkin saja Dina
beruntung telah berpisah dengannya. Kadang Dina heran pada dirinya
sendiri, bagaimana dia bisa bertahan menghadapi semua masalah ini? Kalau
saja tidak ingat pada anak-anaknya yang masih kecil Dina pasti sudah
bunuh diri sejak pertama kali dia disetubuhi Pak Pramono yang bejat itu.
Dina hanya bisa pasrah menghadapi semua masalah ini. Yang akan
terjadi terjadilah. Suatu saat kelak, keadaan pasti akan menjadi lebih
baik.
Wanita jelita itu memperhatikan pantulan dirinya pada cermin yang
terdapat di kamarnya yang besar. Usianya memang sudah lebih dari 30,
tapi wajah dan tubuhnya masih bisa bersaing dengan remaja belasan tahun.
Dina masih cantik dan masih tetap seksi. Lekukan tubuhnya yang matang
sangat menggiurkan bagi seorang pria normal, wajahnya yang cantik namun
tidak membosankan menimbulkan kesan mendalam bagi mata yang memandang,
kulitnya putih bagaikan pualam, tubuhnya harum bagaikan bunga, rambutnya
yang sebahu menambah aksen kedewasaan yang lembut yang didamba seorang
pria. Dina adalah seorang wanita yang mendekati kata ‘sempurna’.
Walaupun tidak telanjang, keindahan tubuh Dina masih terlihat jelas
di cermin. Dina tidak tahu apakah dia harus berterima kasih ataukah
malah mengutuk semua karunia ini. Apakah kecantikan dan keseksiannya
merupakan anugerah atau justru kutukan? Saat ini Dina sedang mencoba
baju pengantin yang akan ia pakai esok lusa. Ia mengenakan baju berwarna
putih tulang yang sangat indah dan cantik.
Gaun putih yang diberikan oleh Pak Bambang sebagai baju pengantin
sangat pas ia pakai, selain menampilkan lekuk tubuhnya yang indah, Dina
makin terlihat bercahaya jika mengenakannya, pas sekali dengan warna
kulitnya yang seputih pualam. Dengan baju indah yang tentunya harganya
sangat mahal ini Dina bisa memamerkan pundaknya yang halus putih mulus,
leher yang sempurna dan belahan dada yang aduhai. Dia pasti terlihat
sangat cantik dengan baju pengantin ini, jauh lebih cantik dari saat dia
pertama kali menikah dulu.
Sungguh sayang, dia akan menikah dengan orang yang tidak ia cintai.
Bagaimana mungkin ia bisa mencintai calon suaminya kalau bertemu saja
belum pernah?
Walaupun terpaksa mencoba baju pengantin, tapi Dina tak bisa
memungkiri kalau baju yang sedang ia pakai sangatlah indah. Bahannya
halus dan nyaman digunakan, harganya sudah pasti sangat mahal. Berulang
kali Dina melenggak-lenggokkan badan di depan cermin. Karena asyik
mencoba baju seperti layaknya seorang calon pengantin baru,
perlahan-lahan Dina lupa kalau esok lusa dia akan dinikahkan paksa
dengan putra Pak Bambang yang idiot. Pak Bambang memang hebat, dia bisa
tahu pasti pakaian pengantin mana yang bagus dikenakan Dina tanpa perlu
memastikan ukurannya. Baju tersebut membuat kemolekan tubuh mulus Dina
makin bercahaya, seperti seorang bidadari. Selayaknya seorang wanita
yang menggemari baju bagus, Dina menyukai gaun pengantinnya.
Kamar yang saat ini digunakan Dina berada di lantai atas villa
raksasa milik keluarga Pak Bambang, letaknya jauh di luar kota. Dina
tidak tahu dengan pasti di mana mereka sebenarnya berada karena Pak
Bambang masih merahasiakannya, Dina hanya tahu mereka berada jauh di
luar kota dan berada di lokasi yang asing baginya. Agaknya Pak Bambang
masih takut Dina akan ketakutan dan melarikan diri dari pernikahannya
nanti. Selain melarang Dina menggunakan telepon dan melarangnya keluar
villa, kakek tua itu juga membatasi pertemuan Dina dengan anak-anaknya.
Mereka hanya bertemu beberapa jam saja perhari. Pak Bambang sengaja
membatasi pertemuan itu agar Dina tahu pasti, nasibnya dan nasib
anak-anak berada di tangan laki-laki tua itu. Sesudah pernikahannya
dengan putra Pak Bambang, barulah Dina bebas menemui anak-anaknya lagi.
Anak-anak Dina dijadikan jaminan supaya Dina tetap menurut kepadanya.
Terlalu asyik melamun dan mengamati dirinya sendiri di cermin membuat
Dina terlena dan lengah. Dia tidak menyadari ada sesosok laki-laki tua
masuk ke dalam kamarnya.
“Cantik.”
Ungkapan kagum Pak Bambang membuat Dina kaget, ia terhenyak dan mundur ke belakang.
“Kamu cantik sekali. Aku puas punya menantu seperti kamu.” Wajah Pak
Bambang yang sudah terbakar nafsu birahi membuat Dina bergidik
ketakutan. Saat masih menjadi boneka Pak Pram saja kakek tua ini dengan
mudah bisa menidurinya, apalagi sekarang saat mereka tinggal serumah.
“Kalau nanti si Dudung absen meniduri istri barunya, Bapak bersedia
mengambil alih pekerjaan itu. Mempercepat memperoleh keturunan.” Katanya
sambil terkekeh-kekeh.
“Ma-maaf… tapi saya sedang tidak ingin diganggu, bisa Bapak keluar
dulu sementara saya berganti…?” Belum sempat Dina melanjutkan, Pak
Bambang sudah maju ke depan mendekatinya. Kepala Dina menunduk takluk,
ia tidak berani melawan kakek cabul ini.
“Aku tidak akan mengganggumu bersolek.”
“Saya hanya sedang mencoba baju, bukan bersolek…”
“Bagus! Itu artinya kamu sudah siap menikah dengan anakku esok lusa,
kamu sudah sadar dan menerima siapa kamu serta apa posisimu sekarang.
Jujur saja, aku akan jauh lebih lega kalau kamu akhirnya dapat menikmati
hidup bersama anakku, Dudung.” Kata Pak Bambang. “Tapi kalau melihatmu
dengan baju itu, sayang sekali rasanya harus memberikanmu pada Dudung…
kamu terlihat sangat cantik dengan baju pengantin.”
“Terima kasih atas pujiannya, tapi…”
“Tidak perlu takut seperti itu, aku tidak akan menyentuhmu hari ini.
Aku masih lelah. Kecapekan gara-gara kemarin sore meniduri sekretarisku
yang baru. Aku tidak ingin penyakit punggungku kumat gara-gara
kebanyakan meniduri wanita cantik yang mengantri, walaupun harus kuakui,
tubuhmu yang indah itu benar-benar menggiurkan.” Kata Pak Bambang
sambil menjilat bibirnya.
Dina mengeluarkan nafas lega, sepertinya dia selamat kali ini.
“Tapi tidak ada salahnya kalau kamu ingin memuaskan calon ayah
mertuamu dengan seponganmu yang nikmat itu.” lanjut Pak Bambang. Dina
yang tadinya sudah lega kini menunduk kesal dan mengumpat, sekali bejat
ternyata tetap bejat, dasar laki-laki tua busuk! Melihat Dina kesal, Pak
Bambang tersenyum puas dan kembali menambahi. “Sangat tidak sopan kalau
kamu tidak menyuguhkan hidangan yang menarik untuk calon mertuamu, kan,
Mbak Dina?”
Dina mengangguk sambil menggemeretakkan gigi menahan jengkel.
Pak Bambang duduk dengan jumawa di tepi ranjang Dina. pria tua itu
lalu membuka celananya dan mengeluarkan kemaluannya dari dalam celana
dalam tanpa rasa risih sedikitpun. “Dihisap-hisap sedikit saja.” Katanya
sambil menyunggingkan senyum tanpa dosa. “Seperti biasanya.”
Senyuman yang sangat menjijikkan dan membuat harga diri Dina jatuh ke
dasar lantai terbawah. Si cantik itu terhina sekali namun tak bisa
melakukan apa-apa, dia harus melakukan apapun yang diminta Pak Bambang.
“Kamu punya wajah yang sangat cantik,” kata Pak Bambang, “bibir yang indah…”
Dina tidak ingin mendengar kata-kata gombal dari kakek tua itu lebih
panjang lagi, dia tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan langkah pelan
ibu muda yang cantik itu berjongkok di hadapan calon ayah mertuanya,
perut Pak Bambang yang gemuk menggelambir membuat Dina muak, tapi dia
harus menahan diri agar tidak muntah di hadapannya. Pria tua itu sendiri
kegirangan melihat Dina sudah siap mengulum kemaluannya.
Dengan jari jemari lentik yang terawat rapi Dina mengangkat kantong
kemaluan Pak Bambang dan memainkannya dengan lembut. Ketika tangan
kirinya sibuk mengelus kantung Pak Bambang, tangan kanan Dina mengangkat
batang kemaluannya. Jari jemari Dina yang sangat halus dan lembut
membuat kakek tua itu harus menggigit bibir agar bisa menahan nafsunya
yang menggelegak. Baru dipegang saja sudah nafsuin, apalagi nanti kalau
sudah masuk ke mulutnya…
Wajah Dina kian mendekati penis Pak Bambang, entah kenapa makin lama
dia semakin ingin mengulum kemaluan laki-laki tua itu. Dia malu pada
dirinya sendiri karena tak mampu mempertahankan harga diri dan lemah
pada nafsu birahi yang selama ini telah dilatih dan dibangkitkan oleh
Pak Pramono. Kemaluan Pak Bambang tidak menarik, keriput dan terlihat
tua, tapi seperti apapun bentuk penis Pak Bambang, Dina mau tidak mau
harus menikmatinya.
Pak Bambang terus mengamati wajah cantik dan jari-jari lembut yang
kini memegang alat vitalnya. Wajah Dina yang segar dan sangat cantik
membuat laki-laki tua itu hampir-hampir tak tahan.
Dina melirik ke atas, menatap wajah Pak Bambang yang diselimuti nafsu
birahi. Wajah laki-laki tua itu berkeringat deras, matanya terbelalak
tajam seakan hendak keluar dari wajahnya dan air liur menetes pelan dari
ujung mulutnya. Dina tahu pasti, wajah yang sedang menatapnya bukanlah
wajah yang tampan, wajah itu adalah wajah seorang kakek tua bejat yang
penuh nafsu dan berkuasa penuh atas dirinya.
Mulut Dina terbuka, lidahnya keluar dan dengan lembut ia menjilat
bagian bawah batang kemaluan keriput milik Pak Bambang. Kakek tua itu
bergetar karena nikmat yang ia rasakan. Ia menatap tajam mata indah
milik Dina ketika ibu muda dua anak itu mulai memasukkan ujung gundul
kemaluan Pak Bambang ke dalam mulutnya yang mungil dan perlahan
menghisapnya.
“AAARRGHH!!!” teriak Pak Bambang. Kakek tua itu tak mampu menahan
dirinya lagi, ia merasa tubuhnya melayang dan melambung tinggi ke awan,
ia merasa dirinya bagaikan raja yang sedang dilayani oleh hambanya. Rasa
nikmat yang ia rasakan tak terucapkan, penis tuanya yang lelah masih
bisa diperlakukan dengan lembut oleh wanita terhormat seperti Dina. Pak
Bambang memejamkan mata ketika lidah Dina mulai berputar di ujung
kemaluannya.
Pak Bambang memang sering bermain cinta dengan wanita muda, dengan
istri atau bahkan dengan anak gadis orang. Tapi nikmat yang ia rasakan
tidak setulus ini, kelembutan wanita dewasa yang anggun seperti Dina
membuat Pak Bambang merasakan nikmat yang luar biasa. Sementara bibir
Dina terus bergerak mengulum dan lidahnya menjilat, Pak Bambang mengelus
rambut indah Dina yang lurus sebahu dengan jari jemarinya yang gemuk.
Kedua tangan Pak Bambang lama kelamaan menjepit kepala Dina dan
menyorongkannya maju mundur seiring gerak hisapan si cantik itu. Dina
tak melawan sedikitpun. Pak Bambang mulai menggerakkan kepala Dina
dengan cepat, mendorong kemaluannya masuk ke kerongkongan ibu muda yang
jelita itu dan menariknya keluar, lalu mendorong masuk lagi secepatnya.
Kakek tua itu melakukannya berulang dan semakin lama semakin cepat. Ia
sangat menikmati kuluman bibir mungil Dina.
“Arrrggghhhh, …enaknyaaaa!!” kata Pak Bambang yang mulai kehilangan kontrol.
Dina tetap meneruskan sepongannya sementara Pak Bambang menggerakkan
pinggulnya agar bisa melesakkan penisnya dalam-dalam ke mulut Dina.
Jepitan tangan Pak Bambang di kepala Dina makin rapat dan dorongannya
makin dalam, hal itu membuat Dina terbatuk-batuk.
“Aaaaggghh, aku mau keluar! Di dalam mulutmu! Aku mau keluarin di
dalam mulutmu!” kata-kata itu diucapkan Pak Bambang sambil memejamkan
mata dan menggemeretakkan gigi. “Yaaaaa!! Yaaaaaaaaaa…!!! Ahhhhhhhh!!!”
Tanpa basa-basi, kontol Pak Bambang menyemprotkan cairan kental ke
dalam kerongkongan Dina seperti keran bocor. Dina harus berusaha menelan
air mani kakek tua itu agar tidak tersedak. Semprotan kontol keriput
itu hanya berlangsung beberapa detik, tidak terlalu lama dan tidak
banyak.
Pak Bambang mengangkat kepala Dina agar wajah si cantik itu
menatapnya. “Kamu cantik. Sungguh sangat cantik.” Pak Bambang tak pernah
bisa menahan diri di hadapan wanita anggun yang jelita ini. Setelah
tetesan terakhir mani kakek tua itu turun, Pak Bambang menarik kontolnya
dari mulut Dina. Mulutnya tersenyum penuh kepuasan.
Dina berdiri dengan goyah, ia meneguk semua mani Pak Bambang agar
tertelan ke perut, hanya itulah satu-satunya cara agar tidak tersedak.
Tanpa menunggu Pak Bambang yang masih dibuai kenikmatan, Dina berjalan
ke arah kamar mandi. Dia ingin berkumur dan membersihkan mulutnya yang
kotor oleh penis peyot si kakek tua bejat. Pak Bambang mengawasi Dina
yang melangkah pelan ke kamar mandi. Pantatnya yang bulat dan buah
dadanya yang kenyal membuatnya meneguk ludah. Alangkah senangnya dia
bisa memperoleh menantu seperti Dina yang bisa dipakai kapanpun dia mau.
Pak Bambang tertawa penuh kemenangan.
###
Hari sudah semakin siang, jam dinding di ruang tamu sudah berdentang
sepuluh kali. Piring sarapan sudah dibersihkan oleh para pembantu,
menyisakan beberapa buah gelas bersih dan satu pitcher minuman sari
jeruk serta satu botol air putih mineral. Dina masih duduk
bermalas-malasan di balkon ‘rumah’ barunya. Rumah yang kini ia tempati
sangat besar dan mewah, mirip rumah-rumah yang sering ditampilkan di
sinetron-sinetron lokal. Belum pernah seumur hidupnya ia membayangkan
bisa tinggal di rumah sebesar ini, tapi apakah pantas semua ini ia raih?
Apakah pantas semua ia dapatkan? Apakah pantas ia memperoleh semua ini
dengan mengorbankan tubuhnya?
Dina mengelus bibirnya pelan, masih terasa di mulutnya – air mani Pak
Bambang yang meleleh membasahi bibir dan pipinya. Walaupun baru kemarin
ia melakukan oral seks dengan kakek tua bejat itu, tapi sampai sekarang
ia tidak bisa melupakannya. Masih bisa dirasakannya penis keriput Pak
Bambang keluar masuk mulutnya.
Dina memejamkan mata, mencoba menghapus semua kenangan buruk yang
mengganggunya. Ia kehilangan cinta, ia kehilangan martabat, ia
kehilangan harga diri, tapi demi kedua anaknya yang masih kecil, Dina
tidak mau kehilangan kewarasannya. Entah di mana, entah kapan, Dina
yakin, masih ada harapan.
Terdengar ketukan pelan di pintu kaca balkon, salah seorang pembantu
menemui Dina dengan langkah tertahan. Gadis yang manis dan masih sangat
muda, mungkin berasal dari desa. Dia berusaha sopan saat menemui Dina.
“Maaf, Bu. Tapi Pak Bambang ingin mengajak Ibu makan di ruang makan.
Beliau juga berpesan agar Ibu mengenakan baju yang sudah disiapkan.”
Kata sang pembantu.
Dina mengeluh kesal, mau apa lagi kakek tua itu sekarang? Dengan
malas Dina masuk ke dalam kamar dan melihat baju yang sudah disiapkan
oleh Pak Bambang tergeletak di atas ranjang. Ia sudah menduga kakek tua
cabul itu memberikan baju yang sangat seksi. Baju yang diberikan Pak
Bambang berupa rok terusan yang sangat ketat bila dikenakan. Ujung
bagian bawah hanya bisa menutupi sampai ke paha, sehingga seandainya
Dina membungkuk atau duduk maka selangkangannya akan terlihat jelas.
Sementara itu atasan baju menutup dada agak rendah, baju ini tidak cocok
dipakai dengan BH, karena memang difungsikan untuk mempertontonkan
belahan sekaligus memamerkan kemolekan buah dada Dina. Baju yang sangat
seksi dan merangsang, bukan baju yang pantas dipakai seorang ibu rumah
tangga.
Sambil mendesah kesal Dina mengenakan baju pemberian Pak Bambang.
Dina melangkahkan kakinya dengan berat hati ke ruangan yang dimaksud
sang pembantu. Ruangan itu berada di ujung villa, di lantai bawah. Saat
Dina melangkah anggun menuruni tangga, beberapa orang pembantu Pak
Bambang yang sedang membersihkan ruang tengah berdecak kagum melihat
kemolekannya. Mereka tahu Dina cantik, tapi mereka kini jauh lebih kagum
melihat keseksiannya. Ibu muda itu cukup pantas kalau berprofesi
sebagai artis sinetron atau model pakaian dalam.
Dina membuka pintu ruang makan, melangkah masuk dan menutupnya kembali.
“Ah. Dina! Akhirnya datang juga!” sambut Pak Bambang dengan gembira.
Sambutan itu agak di luar dugaan Dina. Biasanya Pak Bambang jauh
lebih tenang dan cool. Ia tidak mengira laki-laki tua itu akan
menunjukkan perangai yang seperti ini.
“Ada perlu dengan saya, Pak?” tanya Dina sopan.
Pak Bambang mengayunkan tangan meminta Dina mendekat. Dengan langkah
perlahan wanita cantik itu mendekati sang kakek tua. Ia melihat seorang
laki-laki muda duduk di samping Pak Bambang.
“Perkenalkan. Ini Dudung, anak saya.” Senyum Pak Bambang terkembang. “Calon suami kamu.”
Dina terperangah.
###
Dudung Haryanto adalah putra Pak Bambang Haryanto. Banyak yang tidak
menyangka kalau orang cerdas dan licik seperti Pak Bambang memiliki anak
idiot seperti Dudung. Walaupun keberadaannya disembunyikan di sebuah
tempat terpencil seperti villa yang kini ditempati pula oleh Dina, tapi
sebenarnya Pak Bambang sangat menyayangi putranya ini. Pak Bambang
bahkan ‘membeli’ Dina untuk disandingkan dengan Dudung walaupun wanita
cantik itu juga menjadi obyek pemuasan nafsu birahinya.
Saat berhadapan dengan Dina, Dudung tidak berani menatapnya langsung,
pemuda itu hanya menunduk malu tanpa berani sedikitpun mengangkat
kepala. Walaupun kecantikan dan keseksian Dina membuat kejantanannya
bergolak dan membuatnya melirik sedikit demi sedikit.
“Dina,” kata Pak Bambang sedikit ketus, wajahnya terlihat sangat serius, “cepat beri salam pada calon suamimu.”
Dina mendekati Dudung dan membungkuk sambil menawarkan jabat tangan. “Saya Dina.”
Dudung malah berbalik dan menjauhi Dina, ia tidak membalas jabat
tangan ataupun salam perkenalan Dina. Dudung membungkuk sambil
mengucapkan kata-kata yang tidak jelas dan sangat pelan.
Pak Bambang tersenyum lembut sambil mendekati anaknya yang menggumam tidak karuan. “Dudung, ini Dina. Calon istri kamu.”
Dudung masih tidak bereaksi.
“Dudung, ini Dina. Calon istri kamu. Cantik tidak?” ulang Pak Bambang.
Dudung masih terdiam.
“Dudung…”
“Ca-ca-cantik sekali.” Tiba-tiba saja Dudung menjawab. Kata-katanya terdengar berat dan terpatah-patah.
Walaupun begitu, tidak ada perubahan posisi, Dudung masih membungkuk
dan menghindari bertatapan langsung dengan Dina yang berdiri di
belakangnya.
Dudung bertubuh sedang, dengan rambut panjang yang acak-acakan.
Wajahnya tersembunyi di balik rambut, namun Dina bisa melihat kalau
Dudung adalah versi muda dari Pak Bambang. Keduanya mirip sekali! Hanya
saja kalau Pak Bambang sangat gemuk, Dudung biasa-biasa saja. Yang
jelas, Dudung bukanlah orang yang tampan. Tubuhnya membungkuk seperti
udang dan gayanya berpakaian sangat aneh, seperti anak-anak. Kalau
dilihat-lihat, mungkin Dudung dan Dina sebaya.
“Dudung?” tanya Pak Bambang sekali lagi.
Dudung kembali terdiam tak menjawab.
Pak Bambang berdiri, lalu menggandeng Dina mendekati Dudung. Ibu muda
yang cantik itu masih belum tahu apa yang diinginkan Pak Bambang, tapi
tiba-tiba saja… Pak Bambang menarik tangan Dudung dan meletakkannya di
payudara Dina!
Dina menjerit lirih karena kaget.
Secara reflek Dina ingin melepaskan tangan Dudung dari dadanya, namun
ketika dia hendak menepis tangan lelaki idiot itu, Pak Bambang
menatapnya galak. Dina terpaksa menurut. Sial sekali… buah dadanya harus
dikorbankan untuk menarik perhatian Dudung!
Pada awalnya Dudung tersentak, ia kaget dan menarik tangannya saat
ditempelkan ke payudara Dina, apalagi si cantik itu tidak mengenakan bra
sehingga tangannya bisa langsung merasakan lekuk keindahan buah dada
Dina. Tapi ketika Pak Bambang mengulangi aksinya, Dudung tidak menolak.
Walaupun masih malu dan tidak mau memandang ke arah Dina, tapi tangannya
meremas dan menelusuri buah dada Dina yang kenyal dengan liar.
“Ungghhh…” Dina mendesah. Ada perasaan campur aduk dalam dirinya, antara sakit secara fisik dan bergairah secara khayal.
“Bagaimana, Dudung? Enak tidak?” tanya Pak Bambang pada anaknya yang masih malu-malu.
Dudung belum menjawab, tapi butiran keringat mulai deras membasahi
wajahnya. Laki-laki dewasa yang masih seperti anak kecil itu kebingungan
harus menjawab apa. Untuk sesaat Dina merasa kasihan pada Dudung, dia
hanya menuruti apa yang diperintahkan oleh ayahnya yang bejat. Dudung
tidak punya pendirian, harus selalu dibimbing.
“E-enak…” tiba-tiba saja Dudung menjawab.
Pak Bambang dengan kasar menarik dan membuka baju Dina, kedua balon
buah dadanya kini terpampang dengan jelas di depan kedua lelaki itu.
Dina menjerit ketakutan, tapi remasan tangan Pak Bambang di pergelangan
tangannya membuat si cantik itu bungkam. Pak Bambang mendekati Dina dan
membisikkan sesuatu ke telinganya.
Dina berbicara dengan nada bergetar. “D-Dudung… i-ini susu saya…”
Tiba-tiba saja Dudung berbalik! Cukup cepat bahkan, sampai-sampai
Dina kaget dibuatnya. Kedua tangan Dudung langsung beraksi, meremas,
memilin dan memutar-mutar buah dada Dina dengan liar. Kali ini Dudung
beraksi tanpa bimbingan ayahnya dan tanpa rasa malu.
“E-enak… susu…” kata Dudung sambil menyeringai bahagia. “Susu… susu…”
Tanpa basa-basi Dudung nyosor ke dada Dina, menangkup puting susu
Dina dengan mulutnya. Dengan buas, Dudung menyedot-nyedot pentil
payudara Dina yang kuncup. Kelakuan Dudung persis seperti seorang bayi
yang menetek pada bundanya.
“Aaaahh!!” Tubuh Dina bergetar, rasa nikmat dan geli membuatnya
gelisah, enak sekali pentilnya dikulum-kulum laki-laki berbibir monyong
seperti Dudung. Ukuran bibirnya yang besar membuat payudaranya seperti
dioles oleh sepon besar basah yang mengitari balon buah dadanya. Entah
harus senang atau malah risih, membingungkan Dina. Ia tidak ingin
terlena oleh orang seperti Dudung, tapi ini enak sekali.
Tangan Dudung yang besar masih tak terhentikan, meremas dan memilin
buah dada Dina sebelah kanan sementara mulutnya nyosor kesana kemari di
dada kiri. Pak Bambang duduk di kursi yang agak jauh dan membiarkan
anaknya menikmati keindahan payudara ibu muda yang cantik itu. Ini bukan
pertama kalinya buah dada Dina menjadi sasaran laki-laki asing, namun
entah kenapa Dina tidak ingin menghentikan Dudung menikmati tubuhnya.
Entah kenapa pula Dudung bersikap sangat agresif sekaligus kebingungan,
gerakannya patah-patah dan ragu-ragu, seperti seorang laki-laki penuh
nafsu yang baru pertama kalinya mengenal payudara wanita.
Dudung menggerakkan bibirnya berputar liar di sekitar pentil susu
Dina, lalu menangkupnya berulang, menghisap kenikmatan erotis yang
diberikan oleh buah dada ibu muda yang cantik itu. Tangan Dudung tidak
tinggal diam, bergerak bebas menyusuri perut dan pinggang Dina, menambah
sensasi erotis bagi mereka berdua. Dina hanya bisa mendesah-desah
menahan perasaannya. Ia menutup mata sambil menggigit bibir bawah untuk
mempertahankan diri.
Sayangnya lama kelamaan Dudung berubah menjadi semakin buas, sedotan
bibirnya pada payudara Dina mengencang dan menguat, cenderung menggigit.
Karena gemas, Dudung juga mencubit puting dan meremas buah dada Dina
kuat-kuat, tentu saja rasanya sakit sekali.
Dina berusaha bertahan, tapi ketika Dudung menggigit puting
payudaranya, wanita cantik itu tak kuat lagi, ia menjerit kesakitan.
“Aaaaahhh!!”
Rasa sakitnya tak tertahankan, gigitan Dudung meninggalkan bekas
memerah di sekitar pentil Dina. Karena kaget mendengarkan teriakan Dina,
Dudung melepaskan gigitannya dan melompat mundur.
“Maaf! Maaf! Maaf! Maaf!” ulang Dudung berulang-ulang, wajahnya ketakutan sekali.
“Ti-tidak apa-apa…” Dina berusaha meraih Dudung yang ketakutan, ia
khawatir Pak Bambang akan tersinggung melihat Dudung ketakutan seperti
ini.
Benar saja, pria tua itu bangkit dari kursinya dan mendekati Dina dengan penuh amarah.
PLAAKK!!
Pipi kanan Dina memerah karena tamparan keras Pak Bambang. Wajah pria
tua itu berubah sadis, rahangnya mengeras. “Dengar baik-baik, pelacur
brengsek! Aku tidak peduli sekalipun pentilmu itu putus digigit anakku!
Pokoknya apapun yang dia mau, bagaimanapun caranya, harus kamu berikan!
Mengerti?! Jangan sekali-sekali membuat dia kaget atau takut!”
“Tapi… tapi…” Air mata Dina mengalir, ia menutup dadanya yang telanjang dan menggigil ketakutan.
“TIDAK ADA TAPI!” bentak Pak Bambang. Tangannya sudah diangkat, bersiap menampar sekali lagi.
“Ja-jangan!”
Pak Bambang dan Dina sama-sama terkejut. Belum sampai Pak Bambang
menampar Dina, Dudung sudah menahan tangan sang ayah. Rupanya ia tidak
ingin Pak Bambang menyakiti Dina.
“Jangan. Jangan. Jangan…” Dudung menggelengkan kepala berulang kali. “Jahat. Jahat…”
Pak Bambang menurunkan tangannya dan mendesah, ia mengeluarkan nafas
panjang dengan berat hati. Tangannya yang gemuk membelai rambut Dudung
dengan penuh rasa sayang. Wajahnya berubah menjadi lembut. Dina akhirnya
mengeluarkan nafas lega, dengan takut-takut ia meninggalkan Pak Bambang
dan Dudung berdua di ruang itu. Beruntung, keduanya tidak mempedulikan
kepergian Dina. Ibu muda yang cantik itu segera lari ke kamarnya yang
berada di atas.
Dina hanya bisa menangis.
###
Dina tidak ingin hari pernikahannya tiba, tapi tidak ada satu
orangpun di dunia ini yang bisa menghentikan atau memutar waktu. Mau
tidak mau, terpaksa atau tidak, hari ini, dia akan menikah dengan
Dudung.
Awalnya Dina takut dan kecewa setelah melihat penampilan Dudung yang
kurang mengesankan, tapi kebaikan hatinya mengagetkan Dina. Ia
menghentikan Pak Bambang sebelum ia menampar Dina, itu membuktikan
walaupun Dudung bodoh dan idiot, ia bukanlah orang yang jahat. Ada
sedikit rasa tenang di batin Dina, kalaupun ia terpaksa menikahi seorang
lelaki idiot, setidaknya ia menikah dengan orang idiot yang baik.
“Bagaimana, Mbak Dina? Sudah?”
Dina tersadar dari lamunannya. Ia sedang berada di kamar dan sedang
dirias oleh penata rias pilihan Pak Bambang, wajahnya kini terlihat
sangat cantik, ia bagaikan seorang artis yang sedang melakukan
pernikahan di sinetron atau film, cantik sekali. Seandainya nanti sudah
dipadu dengan gaun pengantin yang indah dan mewah, Dina akan tampil
sempurna bagaikan seorang ratu.
“Bagaimana menurut Mbak Dina, sudah cukup riasannya?” tanya penata rias itu untuk kedua kalinya.
“I-Iya… sudah…” jawab Dina sambil memperhatikan dirinya di dalam cermin. “Terima kasih.”
“Mbak Dina ini cantik sekali, jadi saya tidak perlu mendandani
terlalu berlebihan, semua riasan saya hanya untuk memperjelas kecantikan
Mbak Dina saja.” Kata penata rias itu lagi, sedikit terlalu cerewet.
“Saya iri sekali, bisa-bisanya Mbak Dina punya kulit yang halus, wajah
cantik dan rambut yang sesempurna ini. Wah, kalau saya, bukannya Mas
Dudung, saya lebih pilih bintang sinetron, penyanyi band terkenal atau
pengusaha kelas atas sebagai suami saya, Mbak. Ah, tapi itu kan saya ya…
bukan Mbak Dina. Nah, sekarang… kita pakai gaun pengantinnya, ya?”
Dina hanya bisa tersenyum lemas mendengar komentar jujur dari sang
penata rias, seandainya bisa memilih, ia tidak akan memilih Dudung.
Sebelum gaun dipakai, tiba-tiba saja pintu kamar Dina terbuka dan
sosok seorang lelaki tua yang gemuk masuk ke dalam. Rupanya Pak Bambang
yang datang, entah apa maunya. “Kalian sudah selesai?”
Sang penata rias mengangguk dan menghampiri Pak Bambang. “Sudah, Pak.
Hanya tinggal menata rambut dan memakaikan gaunnya saja. Mbak Dina ini
cantik sekali, jadi riasan saya cukup sekedarnya, wajahnya sudah
sempurna dan…”
“Ya sudah, kamu keluar dulu sana, saya ingin bicara dengan Dina.”
kata Pak Bambang ketus. Mata lelaki tua itu melirik ke arah beberapa
orang asisten sang penata rias, ia membuka pintu lebar-lebar, menyuruh
mereka semua keluar. “Saya ingin bicara dengannya sendiri. Nanti kalau
sudah selesai, kalian boleh masuk lagi.”
Tak perlu diminta untuk kedua kalinya, sang penata rias dan
asistennya berbondong-bondong pergi ke luar meninggalkan Pak Bambang dan
calon menantunya di dalam kamar. Mereka semua takut pada pria tua yang
sangat kaya dan berkuasa ini.
Dina berpura-pura membenahi bedak di wajahnya untuk menghindari bertatapan mata langsung dengan Pak Bambang.
“Dina.” panggil Pak Bambang.
Dina menengok ke arah Pak Bambang dengan malas. “Ya?”
“Sebentar lagi kamu akan menikah dengan anakku, ijinkan aku mencicipimu untuk yang terakhir kali sebelum kamu menikah.”
Mata Dina terbelalak kaget.
“Angkat rokmu tinggi-tinggi dan buka celana dalammu, ini tidak akan lama.”
Tubuh Dina bergetar ketakutan. Sekarang? Bandot tua ini hendak
menyetubuhinya sekarang? Beberapa jam sebelum pernikahan dengan anaknya
dimulai?
“Buka!” Pak Bambang maju mendekati Dina yang ketakutan.
Ibu muda yang cantik itu kebingungan mencari beribu alasan, tapi mulutnya tercekat, tak sepatah katapun keluar dari bibirnya.
Apa yang harus dilakukannya? Sebentar lagi dia akan menikah!
###
Tempat pernikahan telah tertata, Dudung duduk sendiri di tengah
ruangan. Beberapa orang saudara mengitarinya dan menyiapkan tempat
duduk.
Dudung melihat ke arah jam tangannya berulang-ulang kali, ia gelisah
sekali, mana ayahnya? Kenapa tidak turun-turun? Ia tidak suka kalau ada
banyak orang yang mengerumuninya seperti sekarang ini, ia tidak suka.
Mana ayahnya? Dudung menggerakkan kerah bajunya dengan sebal. Baju ini
tidak enak dipakai, terlalu ketat, terlalu panas, ia tidak suka. Ia
ingin pakai kaos saja. Mana ayahnya?
Dua orang pembantu yang kebetulan berada di dekat Dudung saling berbisik.
“Mana Pak Bambang? Mas Dudung sudah gelisah tuh.”
“Katanya sih tadi ke atas, nyari Mbak Dina.”
“Nyari Mbak Dina? Bukannya Mbak Dina baru dandan juga? Emang Pak Bambang mau
ngapain?”
ngapain?”
“Ngapain lagi coba? Ya pengen itu…”
“Astaga! Sekarang?”
“Iya. Sekarang.”
“Gila. Bener-bener gila. Kasihan sekali Mbak Dina.”
Hubungan Dina dan Pak Bambang memang sudah menjadi rahasia umum,
terutama di kalangan karyawan-karyawan kakek tua itu. Kebanyakan dari
mereka menyayangkan kemolekan Dina yang tersia-sia karena harus melayani
bandot tua seperti Pak Bambang. Hampir semua karyawan bersimpati pada
Dina.
###
Keringat Dina bercucuran, bola matanya yang indah berulang kali mengawasi jam dinding yang berdetak pelan di atas dinding.
“Ja-jangan lama-lama…” bisik Dina. “Ki-kita sudah ditunggu… ah!”
Pak Bambang tidak menanggapi kata-kata Dina, ia putar tubuh calon
menantunya itu agar menghadap ke arah dinding dan membelakanginya.
Dengan gerakan ringan laki-laki tua yang sudah dilanda nafsu syahwat itu
mengangkat rok Dina, lalu menarik celana dalamnya tanpa basa-basi.
Celana dalam Dina yang mungil merosot ke bawah melewati kakinya yang
jenjang dan indah. Pantat bulatnya yang putih kini tinggi menantang sang
pria tua.
“Ja-jangan…” desah Dina lagi.
“Jangan apa?” kali ini Pak Bambang menanggapi dengan nada ketus. Pria
tua itu sedang melucuti celananya sambil menikmati keindahan bibir
kemaluan Dina yang terlihat jelas di selangkangan sang calon menantu.
“Buka kakimu lebar-lebar!”
Dengan gerakan patah-patah dan gelisah, Dina membuka kakinya.
Tubuhnya bergetar, sebagian karena takut, sebagian lagi mengantisipasi
kalau-kalau Pak Bambang melesakkan kemaluannya tanpa pemanasan.
“Jangan apa?” ulang Pak Bambang.
“Ti-tidak…” Dina menggelengkan kepala dengan takut.
“Buka kakimu! Lebih lebar!”
Karena takut, tanpa sadar Dina malah menutup kaki dan mengunci
selangkangannya. Hal ini tentu saja membuat Pak Bambang jengkel. Dia
menampar pipi pantat Dina keras-keras!
PLAKK!! PLAKKK!! PLAKKK!!
Dina yang takut dan kesakitan membuka kembali kakinya, memberikan
akses pada Pak Bambang untuk bisa segera melanjutkan niatnya. Tubuh Dina
bergetar ketika tangan-tangan Pak Bambang mulai menyentuh dan meremas
pantatnya. Lalu…
“HNGHHHHH!!!” Dina memejamkan mata dan menggigit bibirnya kuat-kuat. Sakit! Sakit sekali rasanya!
Tiba-tiba saja Pak Bambang melesakkan kemaluannya! Tanpa pemanasan
dan tanpa aba-aba! Liang kenikmatan Dina belum sepenuhnya mengeluarkan
cairan pelumas sehingga masih kering dan rapat. Penis Pak Bambang yang
mendesak masuk membuat Dina sangat kesakitan!
“ANNGHHH!! Sakit!!!” desah Dina, ia mengerang berulang, tubuhnya
mengejang dan berontak. Tapi Pak Bambang sudah siap, ia erat mengunci
tubuh Dina dan mendorongnya ke depan – ke arah tembok. Karena tidak
tahan, Dinapun menjerit. “Sakit!!! Sakit!!”
Pak Bambang tidak peduli, walaupun air mata menetes di pipi Dina dan
merusak make-up tipis yang tadi dioleskan oleh penata rias, Pak Bambang
tetap melaksanakan niatnya. Dengan ganas kakek tua itu memaju-mundurkan
pinggulnya, menusukkan kemaluannya dalam-dalam ke memek Dina yang rapat.
Kenikmatan bagi Pak Bambang, siksaan luar biasa bagi Dina.
Dina memejamkan mata menahan sakit, ia menggigit bibir, mencoba
memberontak, merenggangkan kaki, tapi tidak ada yang bisa membuat
permainan Pak Bambang jauh lebih nyaman baginya. Dia juga tak mungkin
berteriak minta tolong karena tidak ada yang bisa menghalangi niat Pak
Bambang menyetubuhinya. Setelah beberapa saat lamanya penis laki-laki
tua itu keluar masuk liang kenikmatannya, Dina merasakan cairan pelumas
mulai meleleh membasahi dinding vaginanya. Sayang sakit yang tak
tertahankan masih terus terasa.
Pak Bambang menyetubuhi Dina dengan ganas, ia lepaskan semua penat
yang ia rasakan dengan memanfaatkan tubuh calon menantunya yang aduhai.
Semua cara ia lakukan untuk bisa meraih kepuasan tertinggi, ia meremas
buah dada Dina, menciumi punggung dan tengkuk lehernya sembari
berulangkali menghunjamkan batang kemaluan ke liang kenikmatan sang
bidadari dari arah belakang. Tubuh ibu dua anak itu memang masih sangat
sintal dan padat, menggiurkan sekali, tak rela rasanya Pak Bambang kalau
dia harus menikmati keindahan tubuh Dina ini untuk terakhir kali.
Walaupun resmi akan dinikahi Dudung, ia akan terus mencicipi kenikmatan
sang bidadari setiap ada kesempatan! Kemolekan Dina terlalu sayang untuk
dilewatkan!
Gerakan pinggul laki-laki tua gemuk itu makin lama makin cepat, ia
memompa sekuat tenaga dengan gerakan bertubi, menumbuk memek Dina tanpa
kenal henti. Untuk lelaki seumur Pak Bambang, hal ini sebenarnya luar
biasa sekali, siapa sangka kakek tua gemuk itu masih punya tenaga
ekstra?
Selagi kelaminnya bekerja keras, mulut Pak Bambang tak mau kalah, ia
mencium dan menjilat bagian belakang leher dan telinga Dina, membuat
bidadari itu merintih dihajar nafsu birahi. Rengekannya bagaikan musik
yang merdu bagi sang lelaki tua, membuatnya semakin meningkatkan
kekuatan tumbukan kontolnya pada liang kemaluan sang ibu muda. Walaupun
awalnya kesakitan, namun lama kelamaan Dina bisa merasakan kenikmatan
yang muncul dengan cepat.
“Paaaakkk!!!” jerit Dina tak kuat menahan nafsu birahinya yang
mendesak keluar, matanya merem melek merasakan kenikmatan, tubuhnya
bergetar dan bibirnya tak lelah mengeluarkan desahan. Ia ingin
berteriak, tapi tak bisa. Kedua lengannya bertumpu ke dinding sementara
calon mertuanya terus memompanya dari belakang, pipinya sampai menempel
ke tembok dan berulangkali terhantam karena kuatnya dorongan dari
belakang. Dina benar-benar tak kuat lagi, dia ingin teriak… “Paaaakk!!”
Pak Bambang merasakan tubuh Dina mengejang, kedua mata Dina naik ke
atas dan hampir-hampir memutar ke belakang. Si cantik itu telah sampai
ke ujung kenikmatannya. Kini giliran Pak Bambang, dia hampir sampai ke
titik penghabisan, dia pastinya tak mau kalah. Gerakan laki-laki tua itu
menggila, ia pompakan semua tenaganya, ia fokuskan pada kemaluannya.
“Harrrrghhh!!!!!”
Letupan sperma kental melesat ke dalam liang rahim Dina,
berulang-ulang. Puas sekali Pak Bambang. Memek Dina yang tadinya sudah
basah kini makin banjir oleh campuran cairan cinta mereka berdua.
Pijatan liang kenikmatan pada penis Pak Bambang mulai mengendur, tubuh
gemuk laki-laki tua yang kelelahan itu ambruk dan bersandar di punggung
Dina.
Air mata tipis meleleh di pelupuk mata sang bidadari, Dina malu
sekali. Dia tidak ingin diperlakukan seperti ini terus menerus. Tapi dia
tidak bisa mengingkari kenikmatan yang ia rasakan, bagaimana mungkin ia
mengaku terpaksa, kalau dia juga mencapai orgasme?
Pak Bambang menarik keluar kemaluannya dengan satu sentakan kasar,
Dina sampai mendesis dibuatnya. Habis manis sepah dibuang. Setelah
merasa puas, laki-laki tua itu berdiri dan memakai kembali celananya
tanpa peduli pada Dina yang ambruk kelelahan. Air mani Pak Bambang
meleleh dari sela-sela memek Dina, turun hingga sampai ke paha.
“Bersihkan dirimu, sebentar lagi kamu akan menikah.” Kata Pak Bambang ketus. “Besok kita lanjutkan lagi.”
Dina diam saja, dengan tenaga yang tersisa ibu muda yang cantik itu
menyeret tubuhnya ke atas ranjang dan rebah di sana. Ia tak berkutik
lagi karena lelah.
Ketika Pak Bambang melangkah keluar dari kamarpun, Dina tak beranjak.
Dina hanya bisa menangis tanpa suara.
###
Pak Bambang keluar dari kamar Dina dengan langkah kaki jumawa dan
wajah yang sangat puas. Ia segera disambut penata rias dan para
asistennya yang rupanya sudah menunggu sedari tadi.
“Bagaimana, Pak? Sudah selesai bincang-bincangnya?” tanya sang penata rias.
“Sudah. Sana masuk, bereskan yang tadi.” angguk Pak Bambang.
“Baik, Pak…” Sang penata rias melambaikan tangan mengajak para
asistennya masuk ke kamar sementara Pak Bambang meninggalkan tempat itu.
“AH!” Sang penata rias menjerit!
Ia melihat Dina tertelungkup di atas ranjang pengantin dengan make-up
berantakan dan baju yang acak-acakan. Calon pengantin itu nyaris
telanjang!
Apa yang baru saja terjadi?
Apa yang Pak Bambang lakukan pada menantunya?
Sang penata rias rupanya belum mengetahui rahasia umum yang beredar di kalangan pembantu Pak Bambang.
Penata rias itu menjadi lemas karena harus mengulangi semuanya dari
awal, terlebih lagi wajah Dina kini acak-acakan. Secantik apapun Dina,
butuh waktu untuk mengembalikan semuanya seperti semula.
###
Matahari bersinar cerah, mendung yang menggantung sepanjang siang
kemarin tidak nampak sedikitpun pagi ini. Awan yang berarak tipis tak
mampu menghalangi terangnya sinar mentari yang menerawang menembus
langit biru. Burung-burung berkicauan sepanjang pagi, mereka bertengger
di ranting-ranting pohon mendendangkan pujian hari yang indah.
Villa besar milik keluarga Haryanto yang berdiri megah di atas bukit
sejuk hari ini ramai oleh mobil-mobil mewah yang parkir di sepanjang
halaman hingga ke jalan raya. Siapapun yang mengenal Bambang Haryanto,
hadir hari itu di villa keluarganya yang megah. Tenda berwarna biru dan
putih penuh hiasan digelar di halaman, meja penuh santapan lezat tak
pernah sepi dikelilingi para tamu. Para tamu tidak tahu kalau Pak
Bambang punya seorang anak yang sebelumnya tidak pernah terlihat di
kota, tapi tahu-tahu sekarang akan menikah.
Hari itu adalah hari pernikahan Dudung Haryanto dan Dina Febrianti.
Prosesi pernikahan diadakan di ruang tamu di dalam villa. Pak Bambang
duduk dengan santai di depan meja pernikahan sementara Dudung yang
gembira tak mampu menutupi keceriaannya. Dudung yang sudah berjumpa
dengan Dina bahagia sekali mendapatkan seorang pengantin wanita yang
sangat cantik. Pak Bambang juga sama bahagianya, ia melakukan semua ini
demi Dudung. Melihat putra yang paling dikasihi sekaligus paling
memalukan itu bahagia membuat Pak Bambang menarik nafas lega
dalam-dalam, tugas untuk merawat Dudung kini ia serahkan pada Dina.
Pak Bambang terkekeh sendiri kalau teringat dia baru saja mencicipi
pengantin wanita yang cantik. Pasti butuh waktu agak lama bagi Dina
untuk mempersiapkan diri lagi setelah Pak Bambang menyetubuhinya
beberapa saat yang lalu. Petugas KUA yang sudah ditunjuk dan disuap oleh
Pak Bambang duduk dengan tenang memeriksa semua berkas-berkas catatan
yang ada di meja pernikahan.
Akhirnya, Dina datang diiringi kedua putranya yang membawa bunga dan
saudara-saudara jauh Dudung. Wanita dewasa yang cantik jelita itu
semakin nampak seksi dalam balutan baju pengantin berwarna putih tulang
yang sangat indah. Kalau saja ada orang yang memeriksa, bercak-bercak
pejuh Pak Bambang yang tadi bertebaran di sekujur paha dan selangkangan
Dina mungkin saja menempel di baju pengantinnya. Si cantik itu hanya
bisa membersihkan diri di beberapa bagian saja.
Dudung makin ngiler melihat calon pengantinnya datang, seksi sekali
memang Dina saat itu. Langkah kakinya anggun memasuki ruang pernikahan.
Walaupun kepalanya tertunduk dan wajahnya pucat, tapi semua orang yang
berada di tempat itu setuju, Dina Febrianti menantu Pak Bambang adalah
wanita yang sangat cantik dan seksi. Mereka juga sangat kasihan sekali
melihat wanita secantik Dina disandingkan dengan pria seperti Dudung.
Dina duduk di samping petugas dari KUA, di depan Dudung.
Prosesi pernikahan dimulai.
###
Dina menangis. Ia menangis sejadi-jadinya.
Prosesi pernikahannya telah berlangsung dengan lancar tanpa gangguan
dan kini namanya telah tertera resmi dalam buku penikahan dan catatan
sipil sebagai istri dari Dudung Haryanto. Bukankah seharusnya ia
bahagia? Sebaliknya, ia sakit hati sekali, ia merasa hancur, ia merasa
kotor seperti seorang pelacur. Ia berharap Anton akan datang dan
menghentikan pernikahan ini, ia berharap mantan suaminya akan datang dan
menyelamatkannya. Tapi tak seorangpun datang untuk menyelamatkannya,
tak ada seorangpun yang peduli, tak ada yang berani.
Dina tidak peduli kalau make-upnya berantakan dan wajahnya belepotan,
ia tidak peduli kalau ia berubah menjadi jelek seperti orang-orangan
sawah sekalipun. Ia hanya ingin pergi dari tempat ini bersama kedua
anaknya dan kembali bersatu dengan Alya dan Lidya. Sayang semua itu
tidak bisa ia lakukan, ia terjebak dalam genggaman laki-laki tua
brengsek tapi kaya raya bernama Bambang.
“Mbak Dina? Mbak Dina ada di dalam? Mas Dudung sedang menunggu
sendirian di luar, kasihan dia, masih banyak tamu yang ingin bersalaman.
Ayo cepat keluar!” panggil salah seorang saudara dari luar kamar mandi.
“I-iya… sebentar.” Jawab Dina terbata-bata. Buru-buru wanita cantik
itu mencermati cermin yang ada di kamar mandi dan membenahi make-upnya
yang berantakan karena menangis.
Tak lama kemudian, Dina keluar dari kamar mandi dan menemani Dudung
yang masih terus menemui beberapa orang tamu. Beberapa kali Dudung
berteriak-teriak ingin masuk ke kamar karena capek dan bosan, tapi Pak
Bambang selalu melarang. Untunglah Dina keluar dan menemaninya, karena
setiap kali bersanding dengan pengantin barunya, Dudung menjadi pendiam
dan sangat sopan.
###
Lampu dinyalakan sedikit temaram, beberapa batang lilin dinyalakan di
pojok ruangan, lagu-lagu lama yang melodius dan menyejukkan penuh syair
cinta dinyalakan dari satu CD player. Ranjang besar sudah tertata rapi.
Wangi bunga yang semerbak mengharumkan seisi ruangan. Kamar pengantin
yang sempurna. Entah siapa yang telah merapikan ruangan ini, mungkin
penata rias yang siang tadi mendandani Dina.
Dina duduk terdiam di ujung ranjang, ia sendirian.
Bukannya takut ataupun khawatir, tapi Dudung tak nampak batang
hidungnya sejak acara tadi siang. Mungkin dia kelelahan. Dina juga sudah
sangat lelah, baik pikiran maupun fisik. Menurut Dina akan lebih baik
kalau Dudung tidak datang ke kamar pengantin malam ini. Dina akan sangat
bahagia kalau diperbolehkan tidur sendiri tanpa harus melayani suami
barunya. Dia tidak peduli ini malam pertama atau bukan.
Dina merebahkan diri ke atas ranjang, ia memejamkan mata, lelah
sekali rasanya hari ini, banyaknya tamu yang datang membuat Dina harus
selalu tersenyum dan memasang wajah bahagia. Ia lelah harus berbohong
sepanjang hari, apalagi vaginanya masih terasa nyeri karena diperkosa
Pak Bambang pagi tadi.
Lalu, ketika Dina merasa aman, pintu kamarnya terbuka. Satu sosok masuk ke dalam dengan langkah ragu. Pintu kamar ditutupnya.
“Di… Dina?” bisik suara asing itu selembut mungkin.
“Mas Dudung?”
“I… Iya… Dudung.”
Dina bangkit dari tidurnya. Tapi sosok Dudung tetap tidak bergerak,
pria itu masih berdiri di dekat pintu, seakan-akan takut mendekat ke
ranjang. Dina menunggu dan duduk terdiam di atas ranjang.
Dina menunggu.
Dan menunggu.
Masih menunggu.
“Mas Dudung?”
“I… Iya?”
“Kenapa berdiri di situ terus? Mas Dudung mau tidur kan?”
“I… Iya…”
Masih dengan langkah ragu, Dudung bergerak maju ke arah ranjang. Ia duduk di tepi pembaringan, dengan tubuh membelakangi Dina.
Dina duduk menjauh, dia hanya berharap laki-laki bodoh ini sudah terlalu lelah sehingga mereka tidak perlu bermain cinta.
“Mas Dudung capek?”
“Iya…”
“Mas Dudung mau tidur?”
Dudung menggelengkan kepala dengan semangat.
“Katanya capek?” tanya Dina. “Kalau capek tidur saja, ya?”
“Ka-kata bapak… Du-Dudung… Dudung harus masukin kontol ke memek Dina sebelum tidur… boleh?”
Dina terhenyak, dasar kakek tua, tidak bisa membiarkannya beristirahat dengan tenang!
“Iya… tentu saja boleh, kita kan sudah suami istri? Tapi aku lelah
sekali… kita bisa melakukannya besok. Hari ini kita tidur saja, ya?”
“Ka-kata bapak… Du-Dudung… Dudung harus masukin kontol ke memek Dina sebelum tidur…”
Dina jengkel. Wanita cantik itu akhirnya merebahkan diri tanpa
mempedulikan Dudung. Dia ingin tidur! Kalau Dudung ingin menidurinya,
maka dia akan meniduri wanita yang sudah tidur. Dina memejamkan mata dan
membiarkan Dudung terdiam di tepi ranjang. Dina heran juga, walaupun
bodoh – Dudung sepertinya tahu apa fungsi alat vital laki-laki dan
perempuan. Dasar, anak bapak sama saja, batin Dina menggerutu.
“Ka-kata bapak… Du-Dudung… Dudung harus masukin kontol ke memek Dina
sebelum tidur…” ulang Dudung lagi. Kali ini Dudung tidak diam saja, dia
bergerak dan mendekati Dina yang berusaha untuk tidur. Dengan gerakan
patah-patah karena takut akan mengganggu Dina, Dudung mulai membuka baju
Dina.
Dina yang tidak tahu harus berbuat apa terdiam ketika Dudung membuka
baju dan celananya. Dina diam tanpa perlawanan, ia seolah berubah
menjadi boneka yang pasrah dilucuti busananya. Walaupun bodoh, tidak
perlu waktu lama bagi Dudung untuk menelanjangi Dina.
Setelah selesai melepas semua pakaian Dina, Dudung melucuti
pakaiannya sendiri. Telanjang dan tersenyum polos, Dudung membungkuk di
antara selangkangan Dina, batang kemaluannya yang ukurannya luar biasa
besar menggelantung di bawah, siap disentakkan ke dalam memek Dina.
Dudung mencoba merenggangkan kaki Dina, ia menikmati pemandangan indah
yang dipamerkan bibir vagina ibu muda yang cantik itu.
“Mas Dudung…! Apa… apa yang…?” Dina menjerit tertahan, dia berusaha
melepaskan diri dari pelukan Dudung, setelah sekian lama, akhirnya Dina
sadar. Betapa terkejutnya Dina ketika dia melihat ukuran alat kelamin
Dudung yang menggantung. “Jangan, Mas!”
“Kenapa… kenapa Dudung tidak boleh? Apa gara-gara punya Dudung besar? Dina takut? Nanti Dudung paksa supaya bisa masuk…”
“Jangan! Ya Tuhan! Jangan… jangan kamu paksakan!” kata Dina
kebingungan, bagaimana caranya menolak laki-laki bodoh ini? “Aku tidak
bisa… aku… punyaku sempit sekali… punya Mas Dudung besar sekali… tidak
bisa masuk! Punyaku tidak bisa menerima barang sebesar itu!”
“Tapi… tapi… tapi Dudung tidak tahan! Du… Dudung mau… mau… mau
memasukkan ini… ke situ…” kata Dudung terpatah-patah, kepalanya
menggeleng dan mengangguk dengan gerakan patah-patah. Pria bodoh itu
menunjuk ke arah kontolnya sendiri lalu menunjuk ke bibir vagina Dina.
“Du-Dudung mau… Dudung kepingin… Dudung… Dudung tidak mau menyakiti
Dina, beneran… pasti enak… beneran. Dina cantik. Dina mau kan?”
Dina menggeleng, dia berusaha mendorong Dudung agar menjauh. Tapi
pria bodoh itu diam tak bergeming. Secara tak sengaja Dina melihat wajah
Dudung. Betapa kagetnya Dina melihat wajah laki-laki itu. Dudung
terlihat sangat sedih dan terpukul, wajahnya memerah dan siap menangis.
Melihat perubahan wajah Dudung membuat Dina menghentikan dorongannya.
Dudung sesunggukan, ia menyingkir dari atas tubuh Dina dan duduk di tepi ranjang.
Dina terdiam.
Di hadapannya kini, seorang pria dewasa tengah terisak-isak karena
penolakannya, sangat berbeda dengan ayahnya yang pernah memaksa dan
memperkosa Dina. Kenapa Dina menolaknya? Apa yang telah terjadi pada
Dina bukanlah kesalahan Dudung… apalagi Dudung telah resmi menikahinya,
sehingga sebenarnya dia berhak atas tubuh Dina.
Dina menundukkan kepala, berpikir keras sementara Dudung masih sesunggukan.
Dengan satu desahan panjang Dina menggeleng kepala dan menepuk pundak Dudung. Dia yakin akan menyesali keputusannya ini…
“Kamu mau melakukannya, Mas? Sekarang?” Dina memandang ke arah Dudung
dengan pandangan mata pasrah. Dudung terhenyak kaget, ia menghapus air
mata yang mengaliri pipinya. Dina bertanya lagi, “Kenapa? Kenapa kamu
ingin melakukannya denganku, Mas?”
“Du-Dudung mau karena… karena… karena Dudung suka Dina. Dina cantik.”
“Kamu suka sama aku, Mas? Suka atau sayang?”
“Dudung sayang Dina. Dina cantik… Du-Dudung tidak mau menyakiti Dina.
Janji! Tidak sakit… Dina pasti senang. Pasti…” wajah Dina yang cantik
bersinar membuat Dudung makin bersemangat, dalam keluguan dan
kebodohannya ia tidak sadar bahwa ia mungkin mencintai Dina sejak
pertama kali bertemu dengannya.
Dina tidak bisa melepaskan pandangan dari benda menggantung yang ada
di selangkangan Dudung, ukurannya, bentuknya… ah! Bagaimana mungkin ia
bisa tertarik pada alat vital Dudung? Apakah dia akhirnya bersedia
digauli Dudung karena kasihan dan terpaksa, atau karena dia ingin segera
merasakan batang kemaluan Dudung itu di dalam memeknya?
Dina tahu dia tak akan pernah bisa menjelaskan pada siapapun,
bagaimana dia bisa tertarik pada manusia aneh bernama Dudung ini.
Dorongan seksual menggebu dalam batinnya menjadi gairah liar tak
tertahankan yang mengurung perasaannya sendiri. Dina hanya mengangguk
pasrah pada pria idiot yang berdiri tegak di hadapannya. Ibu muda yang
cantik itu bahkan membuka kakinya lebar-lebar, mengeluarkan desahan
mesra penuh irama kala batang kemaluan raksasa milik Dudung menyentuh
paha bagian dalamnya. Sentuhan ringan ujung gundul kemaluan Dudung
mengalirkan sensasi dahsyat ke seluruh bagian tubuh Dina, melejitkan
nafsu birahinya sampai ke tingkat yang tak terkatakan. Dina hanya
terdiam, memejamkan mata dan menunggu.
Dudung yang bodoh tidak tahu bagaimana caranya membuai seorang
wanita, dia tidak mengerti bagaimana caranya melakukan permainan cinta
sejati. Dia tidak tahu bagaimana melakukan pemanasan. Dudung mengulurkan
jarinya ke dalam selangkangan Dina, membiarkan jarinya masuk dan
mencubit bibir kemaluan sang istri yang berwarna merah jambu, dia
melakukannya dengan kasar – tanpa mengelus dan tanpa rabaan.
Dina melonjak kaget ketika jari-jari Dudung yang ukurannya sangat
besar mengobrak-abrik pukinya yang kini mulai basah. Dina malu pada
dirinya sendiri, Dudung belum melakukan apa-apa tapi kemaluannya sudah
mulai basah. Hanya dengan melihat penis Dudung yang besar itu, Dina tak
mampu menahan nafsu birahinya. Dudung sendiri sekarang mulai maju,
penisnya yang mengeras bagai baja seperti tak sabar ingin segera
menjajah liang kenikmatan milik Dina. Wanita cantik itu sendiri juga tak
sabar, ia ingin Dudung segera melakukannya, ia ingin penis itu segera
masuk ke vaginanya yang dahaga. Tanpa ada seorangpun yang meminta, Dina
mengangkat kakinya lebih tinggi, memberikan Dudung akses yang lebih
bebas, si cantik itu telah menunggu.
“Ma… masukkan saja, Mas.” Desis Dina, tangannya mencengkeram dan
kukunya menancap di pundak Dudung. “A… aku menginginkannya… berikan
padaku… berikan pada istrimu ini…”
Kata-kata Dina bagaikan musik yang indah bagi Dudung, belum pernah ia
mendapatkan seorang wanita yang mau ia perlakukan seperti ini
sebelumnya. Senyumnya yang manis mengundang Dudung untuk segera
melakukan apa yang mereka berdua inginkan. Dengan satu lolongan yang
keluar dari mulut Dudung, kepala gundul kontol raksasa miliknya mulai
masuk ke dalam liang kenikmatan Dina, sedikit demi sedikit,
perlahan-lahan sekali.
Awalnya ujung gundul kemaluan Dudung hanya menyentuh bibir kemaluan
Dina saja, walaupun begitu vagina si cantik itu sudah basah dan siap
menerima serangan. Ketika Dudung benar-benar bersiap melesakkan
kemaluannya, mata Dina terbelalak melebar. Ujung kontol Dudung dioles
kesana kemari, bibir vagina, rambut kemaluan, paha dalam, seluruh bagian
sensitif di sekitar memek Dina dirambahnya. Dudung tidak tahu mana yang
enak dan mana yang tidak. Ia hanya mengamati perubahan wajah Dina saja.
Lalu dengan satu hentakan pinggul yang kuat, pria bodoh itu memakukan
batang penisnya ke dalam liang kenikmatan Dina yang elastis,
merenggangkan dinding-dindingnya ke batas maksimal.
“Aaaaaaaaaahhhhh!!!” teriak Dina, gabungan rasa sakit dan kenikmatan
yang dirasakannya tak terkatakan. Ia hanya bisa melolong tanpa daya.
“Ooooohhhhhmmm… enaaaaaaakkkkghhhh…”
Luar biasa, kontol Dudung baru masuk hanya beberapa senti saja ke
dalam memeknya, tapi Dina sudah melolong tak berdaya. Tubuh Dina
bergetar hebat merasakan batang kemaluan yang kerasnya bagai kayu mulai
dilesakkan ke dalam kemaluannya, diiringi dengan nafas yang kembang
kempis, Dina mengangkat pinggul dan pantatnya agar Dudung lebih leluasa.
“Terus… terus, Mas,” bisik Dina yang sudah tak mampu menahan diri lagi.
“Tidak apa-apa… pelan-pelan saja… jangan -… jangan terlalu cepat…”
Dudung yang sudah sangat bernafsu tidak bisa mendengar kata-kata
Dina, pria bodoh itu melanjutkan niat buasnya. Ketika penisnya
ditusukkan, rasa sakit menyengat Dina. Si cantik itu mulai
memukul-mukulkan tangannya ke pundak Dudung, perihnya tak tertahankan
lagi, apa yang awalnya nikmat berubah menjadi rasa sakit yang luar
biasa.
Tapi Dudung sudah terlanjur berubah menjadi pejantan yang buas tanpa
ampun, saat itu tiba-tiba saja Dina merasa bodoh. Ia menyesal merasa
siap menerima kemaluan Dudung yang sangat besar itu. Kini, batang yang
keras bagai baja itu telah melesak masuk dan akan terus masuk sampai
ujung terdalam. Siap tidak siap, mau tidak mau, Dina harus menahannya.
Ukuran kemaluan Dudung yang besar seakan membuat dia hendak merobek
bibir kemaluan Dina ketika penisnya ditanam dalam-dalam di memek sang
istri.
“Gakkghhh!! Aghhh!! Ahhh!” Dina melenguh berulang, tenggorokannya
tercekat. Rasa sakit yang tak tertahan membuatnya berontak secara
reflek, namun sia-sia, Dudung sudah berubah menjadi makhluk mengerikan
yang memangsa tubuhnya dengan buas. Tidak ada kata berhenti atau
istirahat, Dudung melanjutkan niatnya, mengobrak-abrik memek sempit Dina
dengan batang kemaluannya yang raksasa. Dina mengeluarkan air mata,
sungguh dia tidak tahan, dia sudah mencakar, memukul, mendorong, tapi
Dudung tetap memompanya. Teriakan Dina juga tak digubris. Si cantik itu
berharap dia bisa segera pingsan, lebih baik tak sadarkan diri daripada
merasakan sakit yang seperti ini.
“Ja-jangan menangis, Dina,” pinta Dudung dengan suara memelas,
“…ka-kalau Dina diam saja, Dudung cepat selesai. Kalau diam saja, Dina
pasti merasa enak, soalnya Dudung juga enak. Sebentar lagi selesai,
janji! Jangan menangis… jangan menangis…”
Dina mendengarkan permintaan Dudung yang memelas itu dan membuka
matanya. Pandangan matanya buram dan kabur karena baru saja menangis.
Rasa sakit itu tidak seberapa… batin Dina, setelah semua yang terjadi…
setelah pernikahannya dengan Dudung yang diawali tanpa dasar cinta, ini
semua tak seberapa. Bukanlah Dudung yang bersalah, tapi ayahnya. Pak
Bambanglah yang telah memaksa mereka menikah. Dina merasa tidak enak
hati pada Dudung, pria ini tidak mengenal siapapun kecuali Dina dan Pak
Bambang dalam hidupnya. Pria yang kesepian dan tak punya teman. Dia
tidaklah sebodoh yang Dina kira, Dudung bahkan sangat cermat dan
perhatian, walau kadang terlalu sensitif. Dudung memang bukan suami yang
sempurna, tapi Dina bisa belajar mencintai. Ketika Dudung menusukkan
lagi kemaluannya ke dalam vagina Dina, si cantik itu memilih memejamkan
mata dan menggigit bibirnya tanpa mengeluarkan suara. Lebih baik dia
yang kesakitan, daripada Dudung tahu rasa sakit yang ditimbulkan karena
bersetubuh dengannya.
Batang kemaluan Dudung tidak berhenti berdenyut dan membesar,
seakan-akan batang itu adalah balon gas yang terus membesar, bedanya
kontol Dudung yang besar lebih mirip batang baja daripada balon gas.
Kontol Dudung terus saja mendesak ke dalam bagian terdalam kemaluan Dina
yang menolak kehadiran benda asing itu. Dudung mengira kalau dia sudah
selesai menancapkan kontolnya, Dina akan merasa nyaman dan bisa
menikmati permainan cinta mereka. Sayang tidak seperti itu keadaan
sebenarnya. Dari gayanya — walaupun ada kesan malu-malu – Dina bisa
memperkirakan kalau ini bukanlah pertama kalinya Dudung bermain cinta.
Entah dengan siapa dulu dia bercinta… tapi bagi Dina sendiri, dari semua
‘lawan main’nya, barang milik Dudunglah yang paling besar.
‘Ampuuuun!’ batin Dina, sungguh dia bisa merasakan setiap senti
desakan kontol Dudung dalam liang rahimnya. Kali ini, kemaluan Dudung
amblas lebih dalam dari sebelumnya, tanpa ampun menusuk terus ke dalam,
sakitnya terasa sampai ke perut si cantik itu. Batang penis Dudung yang
keras bagai baja menjajah dan mengobrak-abrik dinding lembut memek Dina,
mendesak ke dalam bagaikan paku. Dina tidak ingin berteriak lagi, tapi
sungguh dia tidak tahan… dia tidak tahan kalau begini terus… dia tidak
tahan kalau Dudung tidak berhenti!
Gaya permainan buas ala Dudung membuat Dina terombang-ambing tanpa
daya, namun detik detik berikutnya hal yang mengejutkan Dina terjadi.
Dudung menggoyang penisnya dan memompa keluar masuk, sekali, dua
kali, tiga kali… terus menerus tanpa henti! Dina mulai merasakan sesuatu
yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, sesuatu yang tidak pernah
terlintas dalam benaknya… kenikmatan yang luar biasa. Terus… terus…
terus… jangan berhenti… Dina tidak mau Dudung mengakhiri permainannya,
enak… enak sekali… jangan berhenti…
Dina tidak percaya ini, setelah semua rasa sakit yang ia terima dan
genjotan tanpa ampun dari Dudung, akhirnya ia menerima semuanya dengan
penuh kenikmatan. Ia ingin Dudung melanjutkannya tanpa henti, Dina
membuka kakinya lebar-lebar, ia ingin Dudung masuk lebih dalam! Lebih
dalam! Ia percaya suaminya yang tidak begitu pintar ini ingin
membuktikan kalau dia menyayangi Dina, mencintainya… sepenuh hati…
Tiba-tiba saja, denyutan batang kontol Dudung terhenti. Ujung gundul
penis yang tadinya melesak ke dalam tiba-tiba saja terdiam. Dudung
menarik batang kemaluannya dengan perlahan. Dina sudah bersiap melepas,
ia merenggangkan kakinya dan memejamkan mata… tapi… tiba-tiba saja…
dengan satu sodokan penuh tenaga, Dudung mendorong kemaluannya kembali
masuk ke dalam!
“Aaaaaaaaaaaaahhhhh!!!” Dina menjerit kesakitan.
Seluruh batang kontol Dudung amblas ke dalam memek Dina, semuanya
masuk ke dalam, dari ujung gundul sampai batas terbawah. Kantong
kemaluan Dudung menampar bagian bawah bibir memek Dina sampai ke lubang
anusnya. Ya Tuhan! Dudung benar-benar melakukannya… pria bodoh itu
memasukkan semuanya sampai ke dalam!
“Sa-sakit?” tanya Dudung yang terkejut mendengar jerit kesakitan Dina.
“Sakit…” erang Dina.
Dudung memperlambat gerakannya. Wajahnya berubah, ia merasa bersalah.
“Ooooohhhh…” Dina melenguh perlahan.
Dudung mengubah gaya permainannya. Dia tidak sebuas seperti awal
serangannya, dia kini lebih lembut, sepertinya pria bodoh itu mulai
sadar kalau apa yang telah dia lakukan tadi menyakiti Dina dan kini ia
berusaha memperbaiki kesalahannya. Dudung memegang lengan Dina dan
mengelusnya lembut, bukannya berusaha memaksa kemaluannya masuk secara
bertubi, Dudung kini menunggu agar Dina bisa menyesuaikan diri. Dengan
sabar pria bodoh itu memperhatikan tubuh Dina mulai relaks dan bisa
membiasakan diri dengan ukuran kemaluan Dudung yang memang di atas
rata-rata lelaki Asia pada umumnya. Dudung tidak melakukan ini semua
karena ia pintar, ia melakukannya secara refleks, intuisi laki-laki yang
entah sejak kapan ia miliki.
Dina tidak percaya apa yang baru saja terjadi pada dirinya, seluruh
batang kemaluan Dudung telah amblas! Masuk ke dalam liang kenikmatannya!
Sesuatu yang sebelumnya tak terbayangkan olehnya… batang sekeras baja
itu kini berada di dalam tubuhnya, masuk ke dalam liang rahimnya,
menyodok seakan hendak mengoyak perut. Dina membuka mata dan menatap
kekasih barunya dengan pandangan penuh pengertian, ia berusaha
menyembunyikan rasa sakit yang masih dirasakannya, rasa sakit yang
ditimbulkan oleh sesaknya desakan batang kejantanan Dudung di dalam
vagina mungilnya.
Setelah gerakan lembut keduanya berinteraksi, otot-otot kemaluan
Dudung yang tadinya lemas kini mulai mengeras kembali. Dina mengerang
perlahan, ia takut Dudung akan menghentikan gerakannya kalau tahu dia
kesakitan. Dengan sekuat tenaga, Dina berusaha bertahan, ia sampai
menggemeretakkan gigi karenanya. Entah bagaimana Dudung merasa curiga,
ia memperhatikan Dina, menunggu dan bergerak maju mundur kembali. Rasa
sakit yang tadi begitu menyiksa Dina kini sudah mulai banyak berkurang,
sekali lagi wanita cantik itu memaksakan senyum pada Dudung. Lagi dan
lagi, luapan cinta keduanya saling bertumbukan, tersalurkan melalui
tumbukan sebuah batang kemaluan yang sekeras baja. Dudung memperlakukan
tubuh Dina dengan penuh kelembutan dan rasa sayang, ia bergerak pelan,
memutar pinggul dan penisnya, menggiling kemaluan Dina dengan tumbukan
yang sebisa mungkin tidak menyakitkan, sampai akhirnya dinding memek
Dina yang elastis merenggang dan bisa menyesuaikan ukuran dengan kontol
Dudung.
Dina merasakan kegairahan yang makin lama makin memuncak, membuatnya
bingung dibuai kenikmatan yang tak seharusnya terjadi. Dina tidak mampu
berpikir dengan jernih, tubuhnya terasa melayang ke atas awan. Ibu muda
yang cantik itu membiarkan tubuhnya lepas, ia ikuti kemana saja suami
barunya akan membimbing. Dina berharap perlakuan yang begitu nyaman dan
enak ini tak akan pernah berakhir. Bidadari jelita itu membentangkan
kakinya lebar-lebar, membiarkan lututnya membuka dan mengimbangi gerakan
maju mundur suaminya yang idiot dengan hempasan pantat penuh nafsu.
Wanita cantik yang tadinya jijik pada suaminya itu kini tergila-gila. Ia
mengerang dan menjerit, membiarkan tubuh dan pikirannya terbebas.
Setiap hentakan yang dilakukan Dudung membuat Dina makin mabuk oleh
kenikmatan yang diberikan suaminya. Kantung kemaluan sang pria idiot
menumbuk kuntum liang anus sang istri tanpa kenal lelah sementara
jembutnya yang lebat mencambuk kelentit Dina. Enak sekali rasanya.
Sangat enak sekali.
Tiba-tiba Dudung berhenti dan menarik keluar kemaluannya. Dina
menggeleng kepalanya keras-keras, dia lalu merubah posisi agar Dudung
lebih nyaman, ia berbalik, merendahkan tubuhnya ke bawah hingga buah
dadanya tergencet. Doggie style, siapa tahu Dudung menyukai posisi ini,
ia berniat memuaskan Dudung sebisa mungkin, bukankah itu tugas seorang
istrii? Permukaan karpet yang kasar merangsang pentil payudara Dina
hingga menjorok ke depan. Dina mengembik penuh kenikmatan saat batang
kemaluan Dudung yang sangat besar kembali melesat masuk ke dalam liang
kewanitaannya tanpa bisa dihentikan.
Dina melejit nikmat ketika batang penis Dudung digenjotkan di dalam
kemaluannya, wanita cantik itu tidak percaya penis raksasa milik Dudung
bisa masuk ke dalam memeknya. Ia sudah pernah merasakan milik Anton,
milik Pak Pramono dan milik ayah Dudung, tapi semua tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan pria idiot yang kini telah resmi menjadi suaminya
ini.
Ujung gundul penis Dudung mengoles-oles dinding dalam kewanitaan
Dina. Belum pernah ada lelaki yang pernah melesakkan penis sedalam
Dudung, nyeri dan sakit yang dinikmati oleh Dina bagaikan gadis yang
sedang diambil keperawanannya. Si cantik itu menjerit-jerit dengan
bingung, sebenarnya dia kesakitan atau malah keenakan. Saat ini Dina
sudah tidak peduli lagi siapa sebenarnya Dudung, suami barunya yang
idiot itu menyimpan keperkasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dina bagaikan seorang budak seks yang duduk berlutut dan membiarkan
seorang pria bodoh menggenjot memeknya dari belakang, menanamkan nafsu
birahinya dalam-dalam di liang kenikmatan yang diberikan oleh Dina.
Setelah selama ini dipermainkan oleh pria-pria hidung belang, baru kali
inilah Dina tahu bagaimana rasa nikmat yang sesungguhnya. Tidak ada pria
yang bisa menandingi Dudung dalam hal memuaskannya, tidak ada. Dina
tahu dia ingin selalu menikmati kebersamaan dengan Dudung seperti ini,
dia ingin selalu di samping Dudung, Dina ingin selalu menghentakkan
tubuhnya yang indah di atas penis tegak milik Dudung. Dina sudah dibuat
terpukau oleh penis raksasa Dudung.
Dina tidak ragu sedikitpun. Ada sesuatu yang mendesak dan membuncah
dalam hatinya yang membuat si seksi itu hampir-hampir gila karena nafsu
birahi yang menggelegak. Dina ingin menghisap seluruh kemaluan Dudung
dengan memeknya! Malu rasanya Dina mengaku pada dirinya sendiri kalau
dia ingin terus menikmati batang penis laki-laki itu! Awalnya dia kalap
dan panik ketika Dudung mendekati dan akhirnya menidurinya, tapi semua
kini berbalik. Dia ingin menikmati permainan cinta dengan Dudung, dia
menginginkan Dudung. Dia membutuhkan Dudung.
Kenikmatan dalam tubuh Dina makin lama makin memuncak menuju sebuah
ujung yang tak ingin ia capai dengan cepat. Dina tahu inilah saatnya ia
merasakan kenikmatan puncak itu! Kenikmatan yang tidak ia dapatkan dari
mantan suaminya yang pengecut dan telah menjualnya. Dudung mengerang
hebat dan Dina bisa merasakan batang penis suami barunya menegang dengan
sangat keras di dalam liang kewanitaannya. Tak perlu waktu lama bagi
Dudung untuk segera menyemprotkan air maninya yang putih lengket ke
dalam memek wanita cantik yang kini sudah ia miliki itu.
Semprotan pejuh Dudung menggila di dalam memek Dina, memenuhi seluruh
ruang liang kewanitaan sang istri hingga luber keluar, membasahi
pinggul dan kantung kemaluannya sendiri.
Tanpa malu-malu Dina memutar-mutar pantatnya dan mengisi seluruh
rahimnya dengan sperma kiriman Dudung. Si cantik itu tidak ingin
permainan seks yang indah ini segera berakhir, dia ingin Dudung tetap
menyetubuhinya selama mungkin. Tapi sekuat apapun Dina berusaha
bertahan, dia tetap seorang wanita biasa. Dengan satu teriakan sekuat
tenaga, Dina melepaskan seluruh kenikmatan puncak yang bisa ia rasakan,
kenikmatan yang telah dihantarkan oleh seorang lelaki idiot yang
ternyata bisa memuaskannya. Dina merasakan tubuhnya meledak akibat
aliran sensasi erotis yang dilepaskan, si cantik itu lalu terisak-isak
saat mengeluarkan seluruh kegembiraannya yang meluap-luap, sampai-sampai
inti sari kehidupannya seakan ikut tersedot keluar.
Saat semua usai, kedua insan berbeda jenis itu ambruk terkulai tak berdaya.
Puas.
Dudung memeluk Dina dengan penuh rasa sayang.
Dina memejamkan matanya, ia benar-benar lelah, seluruh badannya
terasa linu, tapi ia tidak akan memungkiri, rasa nikmat yang diberikan
Dudung benar-benar berbeda. Dia jauh lebih perkasa dari pria manapun
yang pernah menidurinya.
“Dina… masih… sakit?” tanya Dudung setelah terdiam lama. Matanya yang
polos menatap Dina takut, ia tidak mau wanita cantik yang berada di
hadapannya ini kesakitan. Ia sangat menyayanginya, ia merasa bersalah
tadi sempat menyakiti Dina.
Dina tersenyum lembut sambil membelai rambut Dudung, “sedikit.”
“Dina sudah hamil?”
“Hah?” terkejut Dina mendengar pertanyaan Dudung. “Hamil? Maksud Mas?”
“Se-setahu Dudung… kalau sudah memasukkan ke dalam, terus selesai, terus hamil, terus punya anak.”
Dina tidak tahu apakah harus tertawa atau sedih mendengarnya. Dengan
lembut Dina mengecup dahi Dudung. “Tidurlah, Mas…” bisiknya pelan.
“Kalau hari ini gagal, besok kita coba terus sampai aku hamil…”
Dudung menurut, pria dewasa yang masih seperti anak-anak itu meringkuk dalam balutan selimut dan pelukan bidadari.
Dua orang yang kelelahan itu akhirnya terlelap.
###
Pak Bambang membalik kalender duduk yang ada di meja kerjanya, hari
telah berganti, memasuki bulan baru. Tidak terasa cepatnya waktu
berlalu, sudah tiga bulan lebih sejak Dina menikah dengan Dudung. Betapa
enaknya punya menantu yang cantik dan seksi seperti Dina, tiap seminggu
sekali, Pak Bambang selalu meminta Dina datang dan melayani nafsu
syahwatnya. Seakan-akan Dina memiliki dua orang suami.
Dengan perlahan, laki-laki tua itu melangkah menuju jendela dan
melihat ke luar. Di taman villa yang asri, Dina, kedua anaknya dan
Dudung sedang berpiknik. Sejak kemarin Dina memasak roti kesukaan kedua
anaknya dan membuatkan steak kesukaan Dudung. Entah bagaimana Dina bisa
berbincang-bincang dengan Dudung yang idiot itu, tapi makin hari, Dudung
terlihat semakin dewasa. Dia semakin terlihat normal. Ketelatenan dan
keikhlasan Dina merawat Dudung lama kelamaan membuat Pak Bambang
terharu.
Setelah apa yang telah dia perbuat pada Dina, setelah semua masalah
yang bertubi-tubi ditimpakan pada wanita cantik itu, dia membalasnya
dengan perbuatan yang mulia. Pak Bambang geleng-geleng kepala. Dalam
hati kecilnya yang terdalam, dalam hati yang ternyata masih berperasaan,
Pak Bambang mulai merasakan penyesalan.
Dudung bermain bola dengan kedua putra Dina, mereka tertawa dan
bahagia. Dina bertepuk tangan dan tertawa lepas ketika kedua putranya
berhasil mengalahkan Dudung. Kalau saja tidak mengenal Dudung, mereka
terlihat seperti keluarga biasa saja. Keluarga yang bahagia.
Pak Bambang terbatuk.
Ia tersenyum melihat kebahagiaan Dudung dan bahagia telah menemukan
wanita yang tepat untuknya. Mulai hari ini, Pak Bambang tidak akan
memanggil Dina ke kamarnya lagi. Biarkan dia menjadi milik Dudung
seorang. Semoga mereka berdua membangun kehidupan yang jauh lebih baik
dari hari ini.
Pak Bambang kembali ke meja kerjanya.
###
Pak Bambang menyalakan lampu kamarnya dan duduk di depan meja kerja
sambil memegang pena dan beberapa carik kertas kosong. Apa yang ia
saksikan beberapa minggu belakangan ini telah mengubah semua
pandangannya, ia tidak menduga kehadiran Dina akan membawa perubahan
besar dalam keluarganya, terutama pada Dudung, tapi nyatanya itulah yang
terjadi. Dudung berubah menjadi laki-laki yang lebih baik, lebih
menurut dan pada saat-saat tertentu Pak Bambang yakin, walaupun Dudung
bukanlah orang yang pintar, paling tidak ia bukan orang jahat seperti
dirinya.
Semua itu berkat Dina.
Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Dina meladeni Dudung dengan
penuh kesabaran dan telaten. Ia berharap Dina mulai luluh dan jatuh
cinta pada putranya yang lugu itu. Dina bisa membuat Dudung melakukan
hal-hal yang sebelumnya tak pernah ia lakukan dalam kemampuannya yang
terbatas.
Semua berkat Dina.
Dina yang telah ia perkosa dan permalukan. Dina yang telah ia gagahi
di depan suaminya sendiri. Dina yang ia paksa cerai. Dina yang ia paksa
menikahi Dudung.
Bukannya dendam, Dina malah memberikan semua yang terbaik untuk Dudung dan keluarganya.
Pak Bambang terbatuk-batuk.
Akhir-akhir ini batuknya lebih terasa sakit di dada. Berat dan menyesakkan.
Pak Bambang menulis dengan tenaganya yang lemah sambil
terbatuk-batuk. Sebuah surat yang panjang. Kalau ada yang bisa ia
lakukan untuk Dina, mungkin inilah yang terbaik. Setelah semua yang ia
paksakan pada Dina, mungkin inilah cara terbaik untuk membayarnya.
Pak Bambang meraih pesawat telepon di mejanya dan memencet beberapa
tombol. Terdengar nada tunggu, lalu suara di ujung mengucapkan kalimat
sapa.
Pak Bambang terbatuk-batuk sebelum berbicara. “Bud, ini aku, Bambang.
Iya. Aku sudah menyelesaikan suratnya. Kelak bisa kamu ambil di tempat
yang sudah kita janjikan di kamarku. Kalau bisa ajak juga Randy atau
anak-anakku yang lain saat mengambilnya. Oke? Ya, begitu saja. Terima
kasih.”
Pak Bambang meletakkan gagang telpon di tempatnya dan kembali terbatuk-batuk.
Pria tua itu tercenung ketika membaca kembali surat yang baru saja ia tulis.
Ia tersenyum dan sekali lagi terbatuk-batuk.
Kali ini batuknya mengeluarkan darah.
###
Pak Hasan sedang asyik membaca menonton acara televisi ketika telepon
berdering. Jengkel juga dia diganggu malam-malam begini. Dengan langkah
gontai orang tua itu berjalan menuju meja telepon dan mengangkat
gagangnya.
Pak Hasan mengangkat telepon dengan malas, “Halo? Siapa ini?”
“Ini Dina, Pak. Lidyanya ada?”
“Ooh, Mbak Dina. sebentar, saya panggilkan Lidya ya.”
Dina menunggu sesaat di ujung telepon yang satu lagi.
Dalam hati, Dina iri pada Lidya. Rupanya Pak Hasan benar-benar betah
tinggal di rumah adiknya itu, menemani sang menantu yang kesepian
ditinggal suaminya saat sibuk bekerja. Baik benar mertua Lidya itu,
tidak seperti mertuanya yang kalau malam malah menyuruh menantunya
melayani keinginan bejatnya.
Seandainya saja Dina tahu.
Terdengar suara langkah kaki yang lari dan suara Lidya di ujung telepon, nafasnya kembang kempis. “Ha-halo?”
“Halo. Lidya? Ini Mbak Dina.”
“Eh? Mbak Dina!!! ini bener Mbak Dina??” Suara Lidya yang terkejut
dan gembira terdengar sangat jelas di telepon. “Aduh, Mbak! Mbak Dina
kemana aja? Aku sama Mbak Alya khawatir sekali! HP Mbak Dina dimatiin,
HP Mas Anton juga. Telpon rumah nggak diangkat, rumah kosong… Mas Andi
malah sudah menghubungi bagian orang hilang di kepolisian. Mbak Dina
baik-baik saja kan? Mbak Dina kemana aja? Anak-anak bagaimana?”
“Semua sehat-sehat saja. Tapi…” suara Dina terputus.
Lidya mengerutkan kening. “Tapi apa, Mbak?”
“Ceritanya panjang. Terlalu panjang bahkan.” desah Dina. “Aku ingin bertemu dengan kalian, kamu dan Alya. Aku kangen sekali.”
“Sama, Mbak! Kami juga…” Lidya menghela nafas sejenak. “Aku kangen sekali, Mbak.”
“Jangan khawatir. Aku akan segera pulang. Semua akan baik-baik saja
mulai sekarang.” Kata Dina penuh keyakinan. “Semua akan baik-baik saja.”
“Syukurlah kalau begitu, Mbak.”
Kedua wanita jelita itu menarik nafas lega, hampir bersamaan.
Angin sejuk berhembus membuai wajah Dina. Untuk pertama kali sejak
berbulan-bulan, harapan yang tak pernah berhenti ia gantungkan, akhirnya
datang juga kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Seperti kalimat yang
ia ucapkan untuk menenangkan Lidya tadi, semuanya akan baik-baik saja.
Dina yakin sekali.
###
Siapa yang bisa menduga nasib manusia? Kadang berada di atas kadang
jatuh ke bawah, terdengar klise memang karena kata-kata tersebut selalu
diulang dalam setiap pergulatan hidup manusia, tapi memang seperti
itulah kenyataannya. Hidup manusia seperti roda yang berputar. Kala
seorang berada di bawah, dia selalu memimpikan puncak kejayaan yang
berada di atas. Sebuah impian yang kadang bisa menjadi pemicu semangat
untuk bergerak maju dan menggapai prestasi. Sayang kala dia sudah berada
di atas, setelah meraih semua yang ia impikan, seorang manusia sering
lupa pada semua hal yang mendukungnya, hal-hal kecil yang telah
membantunya, semua harapan yang dipikulkan ke pundaknya. Ia lupakan
semua yang telah membantu menapaki tangga kejayaan.
Bambang Haryanto dulunya adalah seorang pekerja keras, ia sempat
bekerja sebagai tukang koran dan tinggal dari kontrakan murah ke
kontrakan murah lainnya. Ia hidup sederhana dengan istrinya, seorang
wanita sederhana yang berjualan gado-gado untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Mereka dikaruniai beberapa orang anak, sayangnya anak yang
paling bungsu dan paling mereka sayangi menderita keterbelakangan
mental. Hal yang membuat hidup keluarga Pak Bambang semakin susah dan
menderita. Tapi saat itu, Pak Bambang tak pernah berhenti berusaha dan
mengeluh, sedikit demi sedikit mereka menabung, uang yang tidak seberapa
ia gunakan untuk membeli barang dagangan di pasar dan dijual ke
perumahan.
Lama kelamaan, karena jujur dan suka bekerja keras, banyak warga
perumahan yang bersimpati dan membantu keluarga Pak Bambang. Warung
gado-gado istrinya menjadi lebih besar dan laris. Pekerjaan demi
pekerjaan serabutan diberikan pada Pak Bambang sampai akhirnya ia
dipercaya menjadi karyawan sebuah perusahaan distributor yang sedang
berkembang yang kebetulan dikelola oleh salah seorang warga perumahan.
Berkat usaha kerasnya perusahaan tersebut sukses besar dan posisinya pun
makin lama makin meningkat seiring prestasi dan jasanya pada
perusahaan.
Berbekal pengalaman dan modal yang ia miliki, Pak Bambang mendirikan
perusahaan sendiri. Berkat kerja keras dan relasi yang melimpah, Pak
Bambang menuai sukses besar. Perusahaannya maju pesat bahkan mampu
mengalahkan tempat kerjanya yang lama. Ia kini dikenal sebagai Raja
Midas kecil, pengusaha yang punya sentuhan emas.
Sayang gelimang harta yang makin sering menghampiri tak mampu
menyelamatkan nyawa istrinya yang terkena penyakit ganas. Setelah sempat
menikmati sejenak kehidupan mewah, istrinya meninggal dunia. Hal ini
sangat memukul Pak Bambang, ia begitu menyayangi istrinya yang setia.
Rasa kehilangan yang amat sangat dirasakannya membuat Pak Bambang lupa
diri, ia berubah menjadi lelaki dingin yang kejam.
Sepeninggal sang istri, Pak Bambang lalu menikahi banyak wanita dan
terus memangsa gadis muda yang cantik sebagai pemuas nafsu birahinya. Ia
kucilkan anaknya yang idiot di sebuah villa terpencil karena malu atas
keberadaannya. Ia gusur perumahan yang dulu menjadi tempatnya mencari
uang untuk didirikan kompleks industri yang sangat luas. Ia buat
perusahaan lamanya gulung tikar. Ia menjadi predator yang buas dalam
dunia usaha, kekayaannya tak terhitung. Pak Bambang melupakan masa
lalunya.
Tapi semua kekayaan yang ia dapat semasa hidup tak mampu
membahagiakannya. Ia tak mampu mengatur nasib yang ia jalani. Beberapa
hari setelah merayakan ulang tahun ke-73, Pak Bambang meninggal dunia,
meninggalkan kerajaan bisnis yang sangat besar ke tangan keluarga.
Tubuh kakek tua pendek yang sudah beruban itu terbujur kaku di dalam
petinya. Inilah pertama kalinya Dina melihat ayah mertuanya itu tak
berdaya. Dudung menjerit-jerit dan menangis melihat jenazah ayahandanya
diangkat untuk dikebumikan di samping istri pertamanya. Istri-istri muda
Pak Bambang datang untuk memberikan penghormatan terakhir sekaligus
meminta hak waris, untunglah Pak Bambang sudah menitipkan surat warisan
pada sang pengacara yang juga kawan dekatnya.
Dina menepuk-nepuk bahu suaminya yang menangis tersedu-sedu.
Dina tahu, kini dia bebas. Tak ada lagi pria tua yang membelenggunya
dalam jeratan nafsu birahi. Namun walaupun ia kini bebas, Dina tak akan
mengkhianati cinta Dudung, dibandingkan Anton yang telah menjerumuskan
keluarga mereka dalam hutang yang tak bisa dilunasi dan menjualnya pada
laki-laki lain, Dudung mencintainya dengan segala kepolosannya, dengan
segala kejujurannya. Dina tak akan meninggalkan Dudung. Apalagi
anak-anak juga sudah mulai menyukai ayah baru mereka ini, walaupun
mereka menganggap Dudung sebagai teman, bukan ayah.
Hanya satu dendam yang masih menyala dalam hati Dina. Dendam pada
laki-laki yang telah menghancurkan rumah tangganya, menghancurkan
hidupnya sebagai istri setia dan ibu yang baik bagi anak-anaknya,
menghancurkan kepolosannya sebagai wanita baik-baik yang tak ternoda.
Hanya tinggal satu orang lagi yang menjadi incarannya.
Pak Pramono.
###
“Setelah melihat keabsahan wasiat pemilik perusahaan sebelum beliau
meninggal, kami memutuskan untuk mengadakan rapat ini guna mengumumkan
bahwa kami dari pihak notaris dan badan hukum telah menerima dengan sah
keputusan terakhir pemilik perusahaan sesuai tertera di surat wasiat.
Sebelum meninggal Almarhum Pak Bambang telah memilih orang yang beliau
pertimbangkan tepat untuk selanjutnya menggantikan beliau memimpin
perusahaan ini.”
Terdengar desahan bisik dari peserta rapat.
“Pemilik seluruh asset dan juga pimpinan perusahaan yang baru adalah…”
Desahan bisik mereda, menunggu pengumuman.
“…Ibu Dina Febrianti.”
Terdengar suara kaget dan terkejut dari mimbar rapat.
Semua orang kaget mendengar keputusan itu. Mereka tahu Almarhum Pak
Bambang telah menunjuk siapa pengganti pemilik perusahaan raksasa ini
dalam surat wasiat yang ia tulis, tapi mereka tidak menduga orang
tersebut adalah Dina. Terlebih karena mereka semua sudah mengenal siapa
Dina, istri dari putra idiot Pak Bambang. Memang Dina adalah menantu
kesayangan Pak Bambang, tapi mereka benar-benar kaget mengetahui wanita
itu mewarisi semua kejayaannya. Mereka bahkan kaget mengetahui nama
wanita itu tertulis di surat wasiat Pak Bambang. Bagaimana mungkin
seorang wanita asing yang tidak tahu apa-apa tentang manajemen bisa
menangani perusahaan sebesar ini?
Sebagian besar karyawan mengira perusahaan akan dipegang oleh Randy
Haryanto, putra Pak Bambang dari istri kedua yang selama ini banyak
membantu sang ayah. Itu sebabnya banyak petinggi yang memberikan ‘upeti’
untuk menjilat Randy. Mereka ingin dipertahankan di lingkaran utama
manajemen puncak perusahaan. Bagaimana mungkin skenario itu bisa
berubah?
Dengan penuh kebanggaan Dina berdiri di hadapan semua orang yang
hadir, memberikan senyuman termanisnya. Wanita jelita itu tersenyum
bangga. “Mulai sekarang, semua akan berubah.” Katanya tegas. Ia
mengeluarkan secarik kertas dari tas yang ia bawa, “Saudara ipar saya,
Bapak Randy Haryanto telah dipindahtugaskan ke cabang kita di luar
negeri atas permintaan pribadi. Oleh karena itu saya kemudian diberi
wewenang menjalankan perusahaan ini, sesuai dengan wasiat yang ditulis
oleh mendiang Pak Bambang.”
Orang-orang yang selama ini menjilat pada Randy mendesah kesal.
Mereka tahu Randy terlibat dalam skandal penggelapan dana pemerintah,
itu sebabnya sebelum ia diciduk pihak berwenang, Randy dibuang ke luar
negeri. Mereka memang sudah memperhitungkan kemungkinan itu, tapi tidak
menyangka akan secepat ini Randy hijrah. Mereka menggeleng-geleng
kecewa, hilang sudah uang untuk menyuap, sia-sia saja usaha mereka
selama ini.
“Sebelum berangkat ke luar negeri, Pak Randy memberikan saya catatan
berikut,” kata Dina sambil mengangkat kertas berisi daftar nama,”isinya
adalah daftar nama orang-orang yang berusaha menyuap Pak Randy,
melakukan tindak korupsi dan merugikan perusahaan tanpa pernah menerima
hukuman.”
Beberapa orang terhenyak kaget.
“Nama-nama yang disebut silahkan kembali ke meja kerja, mengemas
berkas-berkas dan barang pribadi, lalu mengambil uang pesangon yang saya
sediakan di lobby depan dan pulang saat ini juga. Kalian saya pecat!”
Kata Dina tegas. “Terhitung mulai hari ini, kalian dinyatakan tidak
bekerja di perusahaan ini lagi. Terima kasih atas kerja keras kalian
selama ini, semoga mendapatkan pekerjaan lain yang jauh lebih baik.”
Rapat itu berubah menjadi ramai. Orang-orang yang selama ini bekerja
dengan jujur dan bersih bertepuk tangan sementara mereka yang pernah
melakukan kesalahan menjadi risau dan gelisah.
Dina telah menancapkan kukunya. Tidak akan ada satu orangpun kini
yang akan mempertanyakan kepemimpinannya. Dan yang lebih penting lagi…
Dendam akan ia balaskan.
###
BAGIAN SEMBILAN (PART 9 OF 12)
KEMELUT CINTA ALYA
Oleh Pujangga Binal & Friends
Alya
“Selamat datang kembali, sayang.” Kata Alya sambil mendorong kursi roda Hendra masuk ke rumah.
Opi melonjak – lonjak gembira melihat ayahnya pulang, tapi pria yang
duduk di kursi roda itu bereaksi negatif, dia diam saja tanpa ekspresi,
tangannya bergerak lemah mengelus rambut Opi dengan wajah masam. Melihat
wajah lesu suaminya Alya menggigil menahan emosi, ingin rasanya dia
menangis melihat Hendra yang terus saja memperlihatkan ekspresi pahit
terutama kepada dirinya, tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia hanya mampu
memberikan dorongan doa agar suaminya itu bisa cepat sembuh dan kembali
menjadi suaminya seperti Hendra yang dulu. Beberapa hari sebelum pulang
Hendra sudah mulai bisa tersenyum dan bercanda, lalu entah kenapa, tiba
– tiba saja senyum itu hilang dan berganti dengan kemuraman dan wajah
penuh emosi yang tidak berkesudahan. Dalam hati kecilnya Alya merasa
Hendra memendam kekecewaan dan rasa marah kepadanya, tapi kenapa?
Atas ijin dokter, Hendra sudah diperbolehkan pulang dan menerima
rawat jalan, karena pertimbangan finansial dan kenyamanan, pihak
keluarga membawa Hendra pulang hari ini. Sayangnya entah kenapa Hendra
yang pada hari – hari terakhir memperlihatkan wajah optimis berubah
total, ia terlihat enggan pulang ke rumah. Ketika Dodit menanyakan hal
ini pada Alya, istri Hendra itu hanya bisa menggeleng dan mengangkat
bahu tanda tak tahu. Alya sudah mencoba menanyakannya langsung tapi
Hendra tak menjawab, ia bahkan menggeram marah ketika Alya terus
bertanya. Itu sebabnya Alya memilih diam dan berpura – pura semua baik –
baik saja. Ia yakin suatu saat nanti, Hendra akan kembali seperti
semula. Paling tidak Hendra sudah pulang ke rumah.
“Tas – tasnya Bapak langsung dibawa ke kamar, Bu?” tanya supir yang membawa tas berisi baju dan perlengkapan Hendra.
“Iya, Mas Paidi.” Angguk Alya. “Letakkan saja di samping tempat tidur Bapak, nanti biar saya yang membereskan.”
“Baik, Bu.” Kata Paidi sambil bergegas membawa barang – barang itu masuk ke dalam rumah.
Paidi? Ya. Paidi yang dulunya adalah penjual bakso keliling kini
telah resmi diangkat sebagai supir keluarga Hendra. Alya memutuskan
untuk menyewa Paidi karena kondisi Hendra yang masih memerlukan
perawatan secara intensif. Dia tidak mempercayai Pak Bejo untuk
melakukan tugas – tugas yang penting lagi, itu sebabnya dia menyewa
Paidi. Memang tidak mudah mempercayai orang yang baru saja ia kenal,
tapi Paidi sudah mengenalkan diri dan jujur tentang masa lalunya.
Setelah beberapa kali membeli bakso dan akrab dengan Paidi, Alya
memutuskan bahwa lelaki tua kurus ini orang yang dapat dipercaya. Tentu
saja Paidi tidak pernah mengatakan kalau dia adalah mantan napi sehingga
memperoleh kepercayaan Alya.
Paidi memang orang asing bagi keluarga Alya, tapi mungkin akan lebih
baik menyewa orang asing yang benar – benar membutuhkan pekerjaan
daripada membiarkan pria brengsek seperti Pak Bejo merajalela di
rumahnya. Masa lalu Paidi yang masih simpang siur, memang membuat Alya
sedikit merasa was – was, tapi pada dasarnya setiap orang bisa berubah,
kenapa tidak memberi kesempatan pada orang ini untuk membuktikan
kesungguhannya bekerja pada Alya dan keluarga? Tentu saja Paidi tidak
lantas dengan mudah menceritakan masa suramnya ketika harus mendekam di
bui. Ia sengaja menyimpan cerita itu untuk dirinya sendiri, karena kalau
sampai Alya tahu, sudah pasti dia tidak akan bekerja bagi ibu muda yang
seksi itu lagi.
Karena berbagai pertimbangan pula, Alya meminta Paidi tinggal di
kamar pembantu yang ada di kebun belakang, sebuah kamar yang terpisah
dari rumah utama.
###
Paidi bersiul sambil membilas Toyota Avanza milik Alya dengan riang
gembira. Lagu – lagu ceria ia dendangkan dengan siulan merdu. Ia akan
membuat mobil ini bersih dan cantik seperti majikannya. Panasnya terik
matahari yang bersinar tak membuat mantan napi itu gerah, ia bahagia
sekali bisa bekerja sebagai supir pribadi Alya. Walaupun baru memperoleh
pekerjaan itu selama beberapa hari, tapi Paidi berniat akan menjadikan
pekerjaan ini pekerjaan terakhirnya. Kalaupun gagal dan dipecat, paling
tidak sekali dalam hidupnya ia bisa tinggal di rumah yang sama dengan
wanita secantik Alya. Siapa yang tidak ingin selalu berada di dekat
seorang wanita yang semolek bidadari?
Paidi bekerja dengan gembira, ia mengoleskan sabun, membilas,
menyemprot dan membersihkan mobil dengan perasaan berbunga. Pekerjaan
sudah hampir selesai ketika hari mulai siang.
Saat itulah sebuah suara serak mengagetkannya.
“Siapa kamu? Ngapain kamu di sini?”
Paidi berbalik ke belakang dan melihat sesosok tubuh gemuk
menghampirinya. Ini dia orangnya, Bejo Suharso. Orang yang ia lihat
malam itu, preman kampung yang meniduri Alya di pos kamling tempo hari.
Orang yang telah membuat kehidupan Alya berubah menjadi neraka.
Pandangan kedua laki – laki itu segera beradu, tapi karena teringat
statusnya sebagai orang baru, Paidi memilih untuk mengalah. “Nama saya
Paidi, Pak. Saya supir baru di sini.”
“Supir baru?” Pak Bejo mulai gelisah, kenapa Alya menyewa supir baru?
Apakah dia dengan sengaja hendak menyingkirkannya? Dasar lonthe tidak
tahu diri! Sudah diberi kenikmatan malah mau membuangnya begitu saja!
Perek itu harus diberi pelajaran! Pak Bejo berkacak pinggang, “ohhh…
kalau begitu perkenalkan, nama saya Bejo Suharso. Saya tinggal di dekat
sini.”
Kedua orang itu bersalaman dan memegang tangan masing – masing dengan
sangat erat. Entah siapa yang memulai, keduanya beradu kuat saat
bersalaman, seakan menunjukkan siapa yang memegang kendali. Pak Bejo
kaget juga melihat kekuatan Paidi, ia tidak mengira supir kurus itu akan
membalas jabat tangannya dengan sekuat tenaga.
“Kalau butuh apa – apa, bilang saja sama saya. Saya sudah sering
bantu – bantu kok.” Kata Pak Bejo. “Keluarga Pak Hendra sudah saya
anggap keluarga sendiri.”
“Iya Pak.” Walaupun kurus, Paidi tidak kalah kuat dibanding Pak Bejo.
Supir baru Alya itu cuma nyengir sewaktu Pak Bejo menegangkan rahang
tanda geram sambil menarik tangan dengan kasar.
###
Alya mendesah di ruang kerja, ia menatap layar netbooknya dengan
malas. Pekerjaannya menumpuk. Ia memang sudah menduga perawatan Hendra
di rumah sakit akan memakan banyak biaya dan waktu, tapi ia tidak
menduga pekerjaannya yang tertunda akan menumpuk begitu banyaknya. Alya
meregangkan tangannya ke atas, lelah sekali rasanya. Ah, seandainya saja
Mas Hendra mau memijatnya…
Satu tangan gemuk tiba – tiba saja meraih pundak Alya dan mulai
memijit bahunya yang pegal. Awalnya Alya mengerang lirih karena
keenakan, tapi lalu terdiam saat tahu siapa yang datang.
“Capek ya, sayang? Tenang saja. Akan kubuat tubuhmu rileks supaya
nanti malam bisa melayaniku sampai pagi.” Kata Pak Bejo sambil
menurunkan kepala tepat di samping kepala Alya, tak lupa pria tua itu
menyunggingkan senyum menjijikkan. Sambil terkekeh, Pak Bejo mengecup
pipi Alya yang halus.
Alya berontak ketika ia sadar siapa yang datang. “Tidak perlu. Terima
kasih. Pekerjaan saya banyak sekali hari ini. Pak Bejo ada perlu apa?
Kenapa masuk ke ruang kerja saya? Jangan lupa sekarang ada Mas Hendra di
rumah ini! Pak Bejo tidak boleh berbuat seenaknya lagi!” Alya berdiri
dan melangkah menjauh dari Pak Bejo. Walaupun tubuhnya bergetar karena
takut, tapi untuk pertama kalinya sejak diperkosa, ia berani melawan.
Pak Bejo geram, wajahnya memerah karena marah. “Begitu ya sekarang?
Berani kamu melawan? Dasar lonthe! Habis manis sepah dibuang! Setelah
semua jasa – jasaku selama ini, kamu berani – beraninya menyewa seekor
anjing untuk menjaga rumahmu!?”
Ingin muntah rasanya Alya mendengar Pak Bejo memaki-makinya dan
mengungkit-ungkit jasa yang sebenarnya tak ada artinya dibandingkan
perlakuan kasarnya pada Alya. Tapi ibu muda yang cantik itu menahan diri
dan berpura – pura bodoh. “Apa maksud Pak Bejo? Menyewa siapa?”
“Siapa laki – laki yang sedang mencuci mobil di luar?”
“Mas Paidi maksudnya?”
“Kenapa kamu menyewa supir baru?”
“Saya butuh supir.”
“Buat apa? Kan ada saya?”
“Saya butuh supir yang bisa mengantar Opi dan Mas Hendra kapan saja
dibutuhkan. Pak Bejo belum tentu ada setiap hari. Lagi pula…”
Pak Bejo mendengus. “Aku tidak suka orang itu. Kamu pecat saja.”
Alya mengerutkan kening dengan marah. “Pak Bejo! Saya memang sudah
Bapak peras habis – habisan, luar dalam, tapi saya tidak mau Pak Bejo
mendikte apa yang boleh saya lakukan dan apa yang tidak! Saya bukan
budak! Paidi saya sewa karena Mas Hendra masih belum kuat menyetir
sendiri! Siapa yang akan mengantarkan Opi? Siapa yang akan merawat
mobil? Saya…”
PLAK!!
Bekas tangan memerah terasa perih di pipi Alya.
“Lonthe tidak tahu diri!” geram Pak Bejo mendekati Alya. “Kalau aku bilang pecat ya pecat! Susah amat sih!”
Titik airmata siap menetes di pelupuk mata Alya, tapi istri Hendra
itu berusaha tegar. Ia tidak akan mau lagi menjadi bulan – bulanan laki –
laki bejat ini. Semua kejadian pahit yang telah menimpanya adalah
karena ia dan suaminya menaruh kepercayaan terlalu besar kepada preman
kampung ini untuk bisa keluar masuk rumah mereka. Hal itu tidak boleh
diteruskan dan tidak boleh terjadi lagi! Cukup sudah!
“Pak Bejo…” desis Alya dengan segenap kekuatan, suaranya terdengar
bergetar karena menahan diri dari rasa takut yang amat dalam. “Saya
ingin Bapak segera keluar dari ruang kerja ini dan…”
Pak Bejo tidak tahan lagi. Dengan geram ia mendorong tubuh lemah Alya
ke dinding. Pak Bejo menekan kedua tangan Alya di belakang punggungnya
sendiri. Karena eratnya tekanan Pak Bejo, kedua tangan Alya terkunci dan
tidak mampu digerakkan. Setelah tubuh molek Alya terkunci, Pak Bejo
lantas menjepit leher Alya dengan lengannya yang gemuk. Istri Hendra itu
tidak bisa bergerak. Ia mencoba berontak untuk melawan tapi sia – sia
saja, tenaga mereka tidak sebanding. Perbedaan kekuatan jelas terlihat.
Pak Bejo telah mengunci tubuhnya.
“Baiklah, manis. Aku tidak tahu sejak kapan kamu punya keberanian
untuk melawanku. Apalagi kamu cantik sekali kalau sedang marah. Tapi…”
Pak Bejo berbicara dengan nada pelan namun penuh ancaman. Wajahnya
sangat dekat dengan wajah Alya, si molek itu bahkan bisa merasakan
hembusan nafas berat dan bau yang keluar dari hidung dan mulut Pak Bejo,
“aku tidak akan mengulang lagi semua yang aku katakan, jadi aku ingin
kamu mendengarkan aku baik – baik. Setuju?”
Alya mengangguk lemah.
Pak Bejo tersenyum menghina. Ia mencoba mencium bibir Alya, namun ibu
rumah tangga yang cantik itu tidak mau membuka mulut, ia terus meronta
dan menolak. Sayang desakan lengan Pak Bejo di leher sangat menyesakkan
nafasnya, mau tak mau Alya merintih kesakitan. Ketika mulutnya membuka
sedikit, lelaki tua gemuk itu langsung menempelkan bibirnya di bibir
mungil Alya. Pak Bejo bahkan menggigit kecil bibir bawah wanita cantik
yang hanya bisa meringis kesakitan itu.
“Besok…” kata Pak Bejo dengan suara berat setelah puas menciumi bibir
Alya, “aku ingin tikus kurus itu mengepak semua barang – barangnya dan
meninggalkan rumah ini. Aku tidak peduli bagaimana caranya kamu
menyuruhnya pergi, yang penting aku tidak mau melihat muka jeleknya di
tempat ini lagi! Mengerti?”
Alya diam, ia tidak menjawab.
Pak Bejo mendengus, ia mengecup bibir Alya beberapa kali lagi. “Huh.
Alya… Alya… apa sih hebatnya orang itu sampai – sampai kamu
mempertahankannya mati – matian? Memangnya dia itu siapa kamu? Jangan –
jangan kamu juga sudah tidur sama dia? Dasar lonthe… sopir sendiri juga
mau.”
Alya meronta lagi dan membelalakkan mata dengan marah. Ia geram namun
tak bisa mengeluarkan kata – kata karena lehernya ditekan sangat keras
oleh lengan Pak Bejo. Matanya berlinang, air matanya siap tumpah kapan
saja.
“Aku kangen sama bibir kamu yang mungil itu. Bukan bibir atas lho,
tapi bibir bawah. Ha ha ha ha!” kata Pak Bejo sambil tertawa terbahak.
“Nanti malam semprot pakai parfum biar wangi, aku mau pakai kamu sampai
pagi! Ha ha ha!”
“Apa ada masalah di sini?”
Terkejut dengan suara yang tiba – tiba saja muncul dan
mengagetkannya, Pak Bejo melepaskan kuncian pada Alya. Setelah berhasil
lepas, Alya langsung menghempaskan diri ke sofa yang berada tak jauh
darinya dan terbatuk, ia duduk sambil berusaha menenangkan diri,
nafasnya terasa sesak sekali. Alya memicingkan mata dan menahan lehernya
yang sakit. Si cantik itu mencoba melihat siapa yang datang… Mas
Hendrakah?
Bukan! Ternyata Paidi!
“Heh, supir! Mending kamu urus urusanmu sendiri! Apapun yang aku
omongin sama Bu Alya sama sekali bukan urusanmu! Tahu!?” bentak Pak Bejo
sambil melotot.
Paidi hanya tersenyum melihat pria bertubuh gempal itu membentaknya,
mantan napi itu jelas bukan orang yang mudah digertak, ia menjawab
bentakan Pak Bejo dengan tenang. “Bu Alya itu majikan saya. Tentunya
sebagai karyawan yang baik dan mengabdi, saya tidak ingin ada hal – hal
yang buruk menimpa beliau.” Pandangan mata Paidi menusuk tajam ke arah
Pak Bejo. Keduanya saling menatap, siap mengeluarkan pukulan. Suara
Paidi berubah menjadi geram, wajahnya mengeras. “Bukan begitu, Pak
Bejo?”
Alya ketakutan sekaligus bingung melihat situasi ini, keributan
sedikit apapun akan mengundang perhatian Mas Hendra yang sedang
berisitirahat walaupun kamarnya jauh dari ruang kerja Alya, kedatangan
Mas Hendra kemari saat itu adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan.
Ia tidak ingin Hendra tahu perbuatan bejat Pak Bejo kepadanya selama
ini. Alya mendorong Paidi dan Pak Bejo yang sudah sangat dekat dan
saling mengancam agar menjauh satu sama lain. “Sudah! Sudah! Kalian bisa
membuatku gila kalau begini caranya, tolong pelankan suara kalian! Mas
Hendra dan Opi ada di dalam! Kalau kalian mau ribut, bukan di sini!
Jangan sekarang!”
“Baiklah.” Pak Bejo mendesah, “tapi kalau boleh aku memberi usul,
lebih baik supir baru ini diberi pelajaran tambahan soal tatakrama, Bu
Alya. Apalagi di kampung kita dia bukan siapa – siapa. Aku tidak ingin
ada hal – hal yang buruk menimpanya. Kecelakaan sering terjadi di
wilayah ini.”
Paidi menggemeretakkan gigi dengan geram, dia tahu itu ancaman, tapi
melihat wajah Alya yang menatap mereka khawatir, dia diam saja. Demi
majikan yang sangat ia kagumi, Paidi mengalah.
Pak Bejo melangkah dengan penuh kemenangan meninggalkan ruang kerja,
dengan sengaja ia menyenggol pundak Paidi sambil meringis menantang. Pak
Bejo berjalan keluar rumah dengan bersiul – siul santai.
Tetes air mata mulai leleh di pipi Alya. Betapa lelahnya ia dengan
semua ini, betapa inginnya dia lepas dari semua masalah yang membebani
pikirannya. Perih pula rasanya tamparan Pak Bejo yang masih terasa
menyengat di pipinya.
“Maaf kalau saya lancang, Bu. Tapi tadi saya sudah mencuri dengar
percakapan Ibu dengan Pak Bejo, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya
Paidi dengan lembut. “Benarkah…”
Alya kaget mendengar pertanyaan nekat dari supirnya itu, ia bangkit
dan mengusap air matanya yang menetes. Wajahnya yang cantik berubah
menjadi ketus, “Dengar baik – baik, Mas Paidi. Aku ingin kamu tahu kalau
aku bisa mengatasi semua persoalanku sendiri. Aku tidak suka karyawanku
tahu rahasia – rahasiaku, jadi lebih baik kau lupakan semua yang kamu
dengar hari ini, atau besok kamu angkat barang – barangmu dan pergi dari
rumah ini! Mengerti?”
Paidi kaget, tapi ia lalu tersenyum lembut karena tahu tentunya saat
ini Alya sedang kacau dan sangat kalut. Wanita jelita itu tentunya masih
sangat terbawa emosi. “Saya tidak berani lancang. Tentu saya tahu apa
yang harus saya lakukan, Bu. Saya tidak akan mengungkit kejadian ini
lagi di masa mendatang. Ibu bisa percaya pada saya.”
“Bagus!”
Alya meninggalkan Paidi sendiri, ia berjalan keluar dengan langkah tegas, tapi getaran kaki Alya tidak bisa mengelabui Paidi.
Pria tua itu duduk di sofa dengan tenang sambil menatap kepergian
majikannya yang jelita. Ia tidak peduli apa yang akan terjadi besok, ia
harus menolong si cantik itu lepas dari genggaman Pak Bejo yang bejat.
Kalaupun ia harus dipecat karena usahanya, ia tidak akan menyesal
karenanya.
Ia harus melakukannya, karena sejak melihat Alya di Pos Kamling malam itu, Paidi telah jatuh cinta.
Ia akan melawan Pak Bejo. Demi Alya.
###
Alya ambruk di ranjang kosong di dalam kamarnya dan menangis tersedu –
sedu. Bagaimana caranya dia bisa lepas dari semua ancaman Pak Bejo? Dia
tidak ingin disakiti lagi, dia tidak ingin diperkosa setiap hari. Tapi
kalau dia nekat melawan Pak Bejo, dia khawatir akan keselamatan Opi dan
Mas Hendra, belum lagi di rumah ini juga ada Anissa dan Dodit. Preman
kampung seperti Pak Bejo selalu mengancam keselamatan keluarganya, oleh
karena itu Alya tidak berani berbuat gegabah. Apa dia harus pindah
rumah? Alasan apa yang sebaiknya disampaikan pada Hendra agar mereka
bisa pindah dari lingkungan ini tanpa membuka semua nista yang telah ia
perbuat? Bagaimana caranya meyakinkan Mas Hendra agar pindah ke tempat
lain tanpa membuka aib bahwa istrinya sendiri telah diperkosa?
“Kamu kenapa?”
Alya berbalik, ia terkejut mendengar suara itu… suara Mas Hendra!
“Mas?”
Di hadapan Alya, Hendra yang sedang duduk di atas kursi rodanya
tengah menyantap setangkup roti tawar dengan keju, ia baru saja kembali
dari ruang tengah menonton acara TV kesukaannya. Walaupun wajah Hendra
masih ketus dan sepertinya acuh tak acuh, tapi Alya senang sekali! Ini
pertama kalinya sejak mereka pulang ke rumah suaminya mau menyapa!
“Kamu sudah lebih baik, Mas?” tanya Alya dengan semangat, “akan aku buatkan lauk untuk makan ya. Sepertinya Mas sangat lapar…”
“Aku tadi tanya kamu kenapa.” Nada suara Hendra sama sekali tidak enak didengar, ketus dan keras.
“A – aku tidak apa – apa… mungkin hanya kecapekan.” Jawab Alya dengan gugup.
“Ya sudah.” Hendra mengayuh roda kursinya dengan tangan, berbalik, dan meninggalkan Alya sendirian saja di kamar.
Alya menatap kepergian suaminya dengan wajah sendu.
“Mas…?”
Tidak ada jawaban, Hendra telah pergi tanpa mempedulikannya.
Alya menundukkan kepala. Tubuhnya ambruk ke lantai dan ia kembali
menangis tersedu – sedu. Kenapa di saat satu hal kacau, yang lain juga
jadi ikut berantakan?
###
Alya meregangkan tangannya yang pegal. Saat ini ia sedang duduk di
kursi yang berada di beranda halaman belakang rumah, tempat yang
langsung menghadap ke kebun belakang. Kebun belakang ini cukup luas dan
dikitari oleh tembok tinggi yang mengisolasinya dari tetangga sekitar,
tidak akan ada tetangga yang bisa melihat keadaan di kebun Alya yang
asri. Hijaunya tanaman, harum wangi bunga yang semerbak, burung yang
berkicau dan selintas hinggap, serta langit yang biru cerah, membuat
suasana hati Alya lebih riang dari biasanya.
Hari ini wanita cantik yang juga seorang wanita karir itu sedang
libur. Dodit dan Anissa pergi mengantarkan Mas Hendra check – up rutin
di rumah sakit sedangkan Opi sudah diantar Paidi ke sekolah. Akhirnya ia
bisa istirahat sebentar tanpa gangguan dari siapapun. Setelah beberapa
saat melihat suasana kebun belakang yang menyejukkan, ibu muda yang
jelita itu memutuskan untuk melakukan senam sebentar. Semua stress yang
harus ia hadapi membuatnya lelah, ada baiknya dia melepas semua penat
dengan berolahraga.
Alya mengenakan tanktop putih ketat yang menampilkan kemolekan lekuk
tubuhnya, tanktop mungil itu hampir – hampir tidak sanggup menahan
kemontokan buah dada Alya yang ukurannya cukup lumayan, ia memang
sengaja mengenakan tanktop agar bisa lebih rileks berolahraga, karena
ketatnya tanktop, Alya sengaja tidak mengenakan bra. Selain tanktop,
sebuah celana ketat pendek yang juga berwarna putih ia kenakan agar
lebih mudah bergerak. Paha Alya yang putih mulus bagai pualam terlihat
sangat seksi dalam balutan seadanya celana mini yang sangat ketat itu.
Hari ini ia tahu tidak akan ada seorangpun yang bisa masuk ke rumah,
termasuk Pak Bejo yang tengah pergi keluar kota karena ada urusan
keluarga, jadi ia benar – benar sedang sangat bebas. Itu sebabnya dia
berani mengenakan baju ketat ini.
Sambil memasang headset di telinganya, Alya menyalakan IPod untuk
memutar lagu sembari ia berolahraga. Untuk beberapa saat lamanya, Alya
berlari di tempat atau memutar kebun, melakukan peregangan badan, lalu
berlari lagi, senam sebentar, angkat berat sedikit, meregangkan badan
lagi, lalu berlari lagi. Ia melakukannya berulang kali, lebih lama dari
waktu yang dianjurkan.
Seandainya ada orang yang melihat, mereka pasti akan heran melihat
olahraga yang dilakukan Alya. Ada kesan kalau si cantik itu tidak hanya
sekedar melakukan olahraga namun mendorong kemampuannya melebihi batas
maksimal, seakan hendak menghukum diri sendiri entah atas alasan apa.
Dampaknya jelas terlihat, karena memaksakan diri, keringat mulai deras
mengalir di pelipis Alya, jauh lebih deras dari keringat biasa. Nafasnya
kembang kempis dan tidak teratur, jantungnya juga berdebar lebih
kencang.
Alya tidak mau tahu dengan kondisi badannya yang mulai tidak karuan,
ia makin memaksakan diri. Ia hanya menganggap kalau itu semua terjadi
hanya karena akhir – akhir ini ia jarang berolahraga. Sayangnya ia lupa
kalau manusia tetap punya batasan. Tubuhnya terlalu lemah dan pikirannya
sudah terlalu lelah. Ia tidak sadar kalau ia belum mampu berolahraga
seberat itu.
Perlahan, Alya makin lemah. Badannya makin susah digerakkan.
Pandangan matanya kian berkunang – kunang, semuanya jadi kabur.
Kepalanya juga sangat berat dan pusing sekali. Entah kenapa rasanya Alya
ingin tidur saat ini juga.
Lalu semuanya gelap.
Alya pingsan di kebun rumahnya.
###
Alya mencoba membuka matanya, tapi rasanya berat sekali. Ia mendengar
suara seseorang memanggilnya. Di mana ini? Kenapa berat sekali rasanya
bangkit dari tidur? Tunggu dulu… ini bukan tempat tidurnya, ia tidak
sedang berada di ranjang, ia sedang berada di rerumputan… ia sedang
berada di kebun! Ya! Alya ingat sekarang! Dia tadi pingsan karena
kelelahan!
Perlahan fokus Alya mulai kembali, matanya terbuka perlahan, sinar
terang seperti menembus ke dalam batok kepalanya, nyeri sekali.
Untungnya Alya tidak perlu membuka mata terlalu lebar untuk tahu siapa
yang datang.
“Bu Alya? Ibu tidak apa – apa?” tanya Paidi khawatir, keringat yang
mengalir di tubuh Alya adalah keringat dingin. Paidi mengetahuinya
ketika ia mencoba mengusap keringat yang menetes di dahi majikannya
dengan menggunakan punggung tangannya. Paidi merinding ketika merasakan
betapa lembut dan halusnya kulit wajah Alya. Paidi mengulang
pertanyaannya ketika Alya tak segera menjawab pertanyaannya. “Ibu tidak
apa – apa? Ibu bisa bangun?”
Alya mencoba bangun dan menggelengkan kepala, namun ia tidak tahan dan berbaring lagi. “Ohh, pusing sekali.” Keluhnya.
“Ibu berbaring saja. Biar saya yang membawa Ibu ke kamar!”
“Ti – tidak usah! A – aku…” belum sempat Alya menolak, Paidi sudah
mengangkat tubuh Alya dan menggendongnya masuk ke dalam rumah utama.
Kaget juga Alya melihat kekuatan sesungguhnya dari supir tua yang
terlihat kurus, lemah dan keriput ini. Dengan sekali angkat, tubuh indah
Alya sudah digendongnya. Karena lemah dan tak mampu bergerak, Alya
hanya bisa mengalungkan tangannya di leher Paidi. Untuk pertama kali,
tubuh keduanya bersentuhan dengan sangat dekat.
Alya bisa merasakan kerasnya kulit Paidi yang berwarna gelap. Nafas
pria perkasa yang sedang menggendongya terasa hangat menerpa wajah Alya.
Mau tak mau Alya membuka mata dan menatap langsung wajah keras supirnya
yang sudah mulai keriput. Paidi hanya mengenakan kaos yang tipis,
liatnya kulit sang lelaki jantan itu membuat Alya merinding. Ia salah
menduga, ia mengira supirnya itu adalah seorang pria lemah. Kini, dalam
gendongannya, Alya merasa terlindungi dan mendapat kehangatan yang
selama ini ia cari dari sosok suaminya, perlindungan dan rasa hangat
yang sudah lenyap dari Mas Hendra. Eh, apa yang dia pikirkan? Alya
memejamkan mata lagi. Gara – gara pingsan, pikirannya melantur kemana –
mana!
Gejolak semangat Paidi bangkit ketika mencium harum wangi tubuh Alya.
Paidi semakin kagum, tidak hanya cantik, Alya ternyata juga sangat
harum. Namun yang membuat gairah kelelakiannya tak kuat bertahan adalah
mulusnya paha Alya yang memang jenjang dan luar biasa indah. Sebuah kaki
yang pas bagi tubuh yang sangat sempurna. Ia berusaha keras agar
keindahan wanita yang sedang ia gendong tidak membuatnya kehilangan
fokus. Ia harus tetap bertahan dan mengantarkan Alya ke kamar, jangan
sampai jatuh hanya gara – gara tergiur kemolekan majikannya… tapi… ini
benar – benar di luar dugaan Paidi, Alya mengalungkan tangannya di leher
Paidi dan bergantung sepenuhnya kepadanya. Dada Alya yang montok dan
tidak mengenakan bra itu kini menempel seutuhnya di dada Paidi! Dada Bu
Alya! Dada yang selama ini ia impikan! Paidi meneguk ludah, toh ia
lelaki biasa. Merasakan kenyalnya payudara Alya menempel di dadanya
membuat lututnya ngilu, kalau saja tidak ingat situasinya, Paidi bisa –
bisa ikut pingsan karena pelukan Alya ini!
Dengusan nafas Paidi yang kian menguat membuat Alya sedikit tidak
enak, jangan – jangan Mas Paidi malu karena pakaian ketat yang ia
kenakan? Apalagi dia tidak mengenakan BH! Habisnya… dia tidak mengira
dia akan pingsan! Kalau dia tahu dia tidak akan mengenakan baju dan
celana yang ketat dan minim seperti ini! Tapi ya sudahlah, tidak apa –
apa, untuk kali ini saja. Apalagi Mas Paidi juga sudah menolongnya.
Akhirnya Paidi meletakkan Alya di pembaringannya yang kosong.
Alya menderu nafasnya yang masih tak teratur, begitu juga Paidi, walaupun untuk alasan yang lain.
“Te… terima kasih.” Kata Alya malu – malu. Ia mencoba tersenyum,
wajahnya yang cantik mulai memerah kembali setelah sempat pucat selama
pingsan tadi. “Aku khilaf. Berolahraga terlalu berlebihan, padahal
tubuhku lemah karena tidak pernah berolahraga. Jadi merepotkan Mas Paidi
saja…”
“Tidak apa – apa, Bu.” Paidi menundukkan kepala, ia tidak berani
menatap langsung ke arah Alya, takut dia akan terpesona. Dia takut akan
menubruk tubuh gemulai yang sangat menggiurkan itu dan memperkosanya
saat ini juga. Tidak. Dia tidak boleh jatuh ke dalam perangkap nafsu
seperti Pak Bejo. Alya terlalu indah untuk disakiti. Dengan suara lemah
Paidi menjawab. “Sudah menjadi tugas saya sebagai karyawan ibu.”
Alya masih tersenyum, Paidi dan Pak Bejo memang dua orang yang sangat
berbeda. Entah kenapa Alya jadi membandingkan Paidi dan Pak Bejo, dalam
bayangannya, mereka adalah dua sisi mata koin yang berlawanan dilihat
dari kelakuan keduanya yang sangat berbeda. Dan lihatlah pria ini!
Begitu lembut dan sopan dalam pembawaannya yang sederhana. Mungkin itu
sebabnya Alya jadi semakin tertarik pada sosok Paidi yang bersahaja.
Wajahnya buruk, usianya lanjut, kulitnya gelap, tubuhnya kurus namun dia
sangat kuat dan lebih penting lagi, berpikiran lurus.
“Mas… boleh saya minta tolong lagi?”
“Iya, Bu?”
“Tolong ambilkan minum di…”
“Oh iya! Maaf jadi lupa! Segera saya ambilkan!” Paidi yang tadi
sempat khawatir pada kondisi Alya jadi lupa diri karena terpesona
kemolekan sang majikan. Ketika teringat kalau tadi Alya pingsan iapun
jadi malu sendiri. Bukannya merawat malah memperhatikan lekuk – lekuk
tubuh majikannya! Dasar tidak tahu diri! Bergegas Paidi menuju dapur,
mengambil segelas air putih dari dispenser, meletakkannya di tatakan
lalu membawanya ke kamar Alya. “Ini Bu, maaf saya tadi…”
“Tidak apa – apa, Mas. Saya sudah enakan kok. Kalau nanti sore masih lemas, saya minta diantarkan ke dokter saja.”
“Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu. Kalau ada apa – apa, panggil saya saja.”
“Iya, Mas. Terima kasih banyak.”
Paidi beranjak keluar kamar dan mengelus dadanya. Ia tidak sanggup
lagi berlama – lama di kamar hanya berdua saja dengan sang bidadari.
Kalau saja tadi pikiran jahatnya kambuh, ia pasti sudah menubruk Alya
dan menelanjanginya! Ah, betapa senangnya hati Paidi ia sudah berhasil
mengalahkan nafsunya sendiri… tapi… Alya memang benar – benar seorang
dewi. Sangat cantik, seksi dan luar biasa mempesona. Dengan hati gembira
mantan narapidana itu melangkah menuju kamarnya yang berada di kebun
belakang.
Sementara itu, di dalam kamar, hati Alya menjadi berdebar tak menentu
saat sosok tubuh Paidi berjalan keluar. Kenapa… kenapa ia jadi seperti
ini? Kenapa rasanya ia ingin terus berada dalam pelukan hangat Paidi?
Kenapa ia ingin selalu bersamanya? Kenapa rasanya ia tidak rela Paidi
meninggalkannya sendiri dalam keadaan lemah? Tubuh Alya bergetar ketika
ia mencoba melawan perasaannya sendiri yang tidak masuk akal itu, ia
tidak ingin semua ini terjadi… tapi jangan – jangan… apakah ia sudah
mulai tertarik pada supirnya sendiri? Ah tidak mungkin! Ia tidak akan
pernah mengkhianati Mas Hendra, apalagi untuk seseorang seperti Paidi!
Hilangkan jauh – jauh pikiran kotor itu!
Dengan geli Alya menggelengkan kepala. Ini pasti gara – gara pingsan tadi, pikirannya jadi kacau dan berkeliaran dengan liar.
Alya meminum air putih, memejamkan mata dan berusaha beristirahat.
###
“Haaaaaaaahhh!!!”
Hendra terbangun dari mimpi buruknya dan hampir saja terlempar karena
terbangun dengan kaget. Ia mengambil handuk kecil dan menyeka keringat
yang turun deras di dahinya. Nafasnya terengah – engah, berulangkali ia
batuk kecil dan susah mengatur beratnya nafas. Tangannya mencengkeram
erat gagang kursi rodanya ketika ia menatap foto pernikahannya dengan
Alya yang ada di atas meja rias.
Hendra mendengus kesal, ia tidak akan pernah memaafkan Alya. Ia tidak
akan pernah memaafkan Pak Bejo. Ia tidak akan pernah memaafkan siapa –
siapa lagi! Tidak akan pernah!! Tidak akan pernah!!
Air matanya perlahan turun, ia tahu laki – laki sejati tak akan
menangis, tapi hatinya begitu sakit, hatinya sangat terluka. Kenapa ia
harus melihat secara langsung kemesraan antara Alya dan Pak Bejo?
Kenapa? Kenapaaaa??
###
Jantung Alya berdegup kencang ketika ia sudah sampai di depan pintu
kamar Paidi. Sendok dalam piring yang ada di tangannya sampai berderak
kencang karena tangannya yang gemetar. Kenapa dia takut? Atau mungkin
ini bukan rasa takut? Jangan – jangan ini gairah? Gairah yang sudah lama
sekali tidak ia rasakan sejak pertama kali bertemu dengan Mas Hendra?
Gairah yang sama ia rasakan ketika mereka pertama kali kencan, menikah
atau bercinta? Kenapa dia merasa takut dengan gairah ini? Dia hanya
mengantarkan roti kepada sopirnya. Kenapa dia harus takut?
Tangan mungil Alya pelan mengetuk pintu kamar Paidi.
Sosok kurus hitam yang ia tunggu akhirnya membukakan pintu. Karena
tidak menduga Alya akan datang ke kamarnya, Paidi hanya berpakaian
seadanya, ia tidak mengenakan baju dan hanya memakai celana pendek
ketat.
“Ah, Bu Alya? Ada apa ya, kok malam – malam begini? Ibu mau saya antar keluar? Sebentar, Bu… saya ganti pakaian dulu…”
“Ti… Tidak usah, Mas. Tidak perlu, saya tidak mau keluar kok,” kata Alya. “Saya hanya ingin mengantar roti ini untuk Mas Paidi.”
“Terima kasih, Bu.” Jawab Paidi sambil meraih kemeja yang ada di atas
kursi. Kemeja itu sebenarnya sudah dicuci, namun belum disetrika, ia
memakainya karena tidak enak berhadapan dengan Alya dengan bertelanjang
dada. Setelah memakai baju, Paidi menerima roti pemberian Alya dengan
sangat berterima kasih.
“Boleh saya masuk?”
Pertanyaan itu mengagetkan Paidi, tapi Alya kan majikannya? Ia berhak
masuk ke ruang mana saja di rumah ini. “Bo… boleh saja, Bu. Tapi kamar
saya masih berantakan. Belum sempat dirapikan.”
“Ah, tidak apa – apa.” Alya pun masuk ke kamar Paidi setelah sopirnya
itu mendahului untuk merapikan beberapa bagian kamar. “Se… sebetulnya
saya kemari karena saya ingin berterima kasih pada Mas Paidi yang telah
membantu saya beberapa hari yang lalu sewaktu saya pingsan di kebun.”
Kata Alya sambil menyerahkan roti kepada Paidi.
“Lho, itu kan sudah tugas saya, Bu. Tidak perlu repot – repot seperti ini.”
“Terima kasih juga karena telah mengusir Pak Bejo malam itu.” Lanjut Alya dengan suara yang lirih.
“Ahhh…” Paidi menghela nafas. Ia meletakkan piring roti di meja,
menarik sofa kecil dan mempersilahkan Alya duduk. “Pak Bejo sebenarnya
patut diberi pelajaran karena telah bertindak kurang ajar terhadap Ibu.
Kenapa tidak dilaporkan saja kepada Pak Hendra, Bu?”
Alya menggeleng dan tersenyum, “Mas Hendra sudah punya masalah yang
jauh lebih berat dan menyita pikiran, kita tidak boleh membebaninya
lagi. Aku juga tidak ingin Mas Paidi menceritakan peristiwa pingsannya
aku di kebun kepada siapapun. Mengerti?”
“Mengerti.” Angguk Paidi. “Walaupun kalau menurut saya, preman seperti Pak Bejo tidak perlu diberikan kunci rumah ini.”
“Sebenarnya hanya Bu Bejo yang membuatku segan, Mas. Beliau sudah
banyak membantu. Tanpa bantuan Bu Bejo, keadaan rumah ini pasti sudah
berantakan.”
Paidi tiba – tiba terdiam. Dengan langkah pelan ia mendekati Alya, ia
menatap wajah Alya dengan pandangan aneh, lama dan sangat lekat,
membuat Alya menjadi tidak enak. “Kenapa, Mas? Ada yang aneh dengan
wajahku?” tanya Alya risih.
“Ibu baru saja menangis?”
Alya tertegun. Pasti gara – gara kantung matanya. Ia menunduk. “Iya.”
“Kenapa?”
“Tidak apa – apa.” Jawab Alya sambil tersenyum.
Walaupun senyum itu sangat manis bagi Paidi, namun kegalauan hati
majikannya lebih penting. Ia membungkuk di depan Alya dan berlutut. “Bu.
Saya ini sudah Ibu bantu lebih dari cukup. Ibu sudah mengangkat derajat
saya dari orang tak punya apa – apa menjadi memiliki segalanya. Ibu
sudah menolong mengembalikan harga diri saya… sekarang, saya mohon. Jika
ada masalah, ibu bersedia menceritakannya kepada saya karena saya akan
membantu ibu sekuat tenaga.”
Kembali Alya hanya tersenyum. “Terima kasih atas tawarannya, tapi benar kok. Saya tidak apa – apa.”
Paidi mendesah kecewa, tapi ia lalu berdiri dan mengangguk. “Mudah –
mudahan begitu, Bu. Tapi kalau ada apa – apa, silahkan Ibu minta saya
untuk melakukan apa saja karena pasti saya akan mengerjakannya.”
“Terima kasih.” Alya pun berdiri dan siap untuk kembali ke rumah utama. “Ya sudah kalau begitu, saya tinggal dulu ya, Mas?”
“Baik, Bu.”
Berat hati Paidi melihat Alya mengalami depresi dan menyimpannya
untuk diri sendiri, seandainya bisa, dia ingin membantu, memeluknya dan
memberinya kehangatan agar dia bisa merasa aman dan terlindungi.
Langkah Alya mendadak terhenti sebelum melangkah keluar kamar. Ia
tidak berbalik namun dari gerak tubuhnya Paidi tahu kalau majikannya
yang jelita itu gemetar mencoba menahan tangis.
“Bu…?” tanya Paidi sambil mencoba maju mendekati Alya.
“Semua yang aku lakukan salah. Mas Hendra tidak mau lagi bicara
padaku, Pak Bejo selalu bersikap kurang ajar tanpa pernah mau berhenti,
kakakku hilang entah kemana, adikku juga tidak bisa dihubungi. Semua
yang aku lakukan salah, semuanya membuat aku bingung dan aku tidak ada
tempat untuk menceritakannya. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Apa
yang harus aku lakukan, Mas?” kepala Alya menunduk dan ia menangis
tersedu – sedu. Walaupun awalnya ragu untuk bercerita kepada sopirnya,
Alya kini membuka semuanya karena dia sudah tidak kuat menahan beban
hidupnya. Kepada siapa dia akan berterus – terang kecuali kepada Paidi
yang pernah menolongnya mengusir Pak Bejo.
Paidi menutup pintu dan memberanikan diri memutar tubuh Alya
berhadapan dengannya. Wajah cantik itu kini berlelehan air mata. Dengan
gerakan reflek, Alya memeluk sopirnya. Ia menangis tersedu – sedu di
dada kurus Paidi.
Awalnya Paidi terkejut karena tiba – tiba Alya memeluknya, namun
karena ia tahu ibu muda yang cantik itu tengah dilanda dilema, iapun
membiarkan saja Alya luruh dalam pelukannya tanpa mengembangkan pikiran
mesum. Berulangkali Paidi harus mengusir pikiran kotor karena dada Alya
yang ranum amat rapat di dadanya. Wangi harum rambut Alya membuat Paidi
terbang ke awan. Dengan berani Paidi mengelus rambut Alya untuk
memberikan ketenangan. Ia biarkan si cantik itu menangis tersedu hingga
selesai.
“Mas…” desah takut Alya melantun manja di telinga Paidi. Indah sekali
bunyinya. Ia ingin Alya terus memanggilnya dengan nada manja. Isak
tangis Alya mulai reda. Ia menatap ke atas, ke arah mata Paidi yang
menatapnya lembut.
“Bu Alya…” Paidi dengan berani mencium kening majikannya yang gemetar takut dan menggenggam jemarinya.
Tangan mereka kembali bersentuhan, jari jemari Paidi erat menggenggam
tangan Alya. Terlalu lama dan terlalu hangat. Mereka sadar hanya ada
satu jalan untuk menyudahi ini semua, terjun ke dalam nafsu atau pergi
tanpa berpaling. Alya hanya terdiam, tapi bola matanya yang indah
menatap tajam ke arah Paidi, sopir itu tentunya tidak akan melewatkan
kesempatan yang ada di depan mata. Ia bergerak maju sedikit, lalu
sedikit lagi, lalu lagi. Wajah mereka kini sudah sangat dekat hingga
hanya seukuran kuku jari.
“Bu Alya sangat cantik… sangat cantik sekali… selama ini saya selalu
membayangkan bisa bersama dengan Ibu…” batin Paidi dalam hati.
Bibir mereka akhirnya bertemu. Mata Alya tetap terbuka lebar pada
awalnya, namun ketika lidah Paidi yang melumatnya mulai bergerak, ia
memejamkan mata untuk menikmati ciuman dari sang sopir. Alya melenguh
kecil dan membalas ciuman Paidi. Mereka berdua saling mencium dan
melumat, lama sekali. Keduanya sudah jatuh dalam jebakan nafsu. Mulut
dan lidah bekerja bersamaan hingga menimbulkan rangsangan kenikmatan.
Kali ini Paidi sudah membulatkan tekad. Ia tidak akan berhenti apapun
yang terjadi! Ia sudah tidak tahan lagi. Tubuh Alya terlalu indah untuk
dibiarkan begitu saja melenggang di depan matanya! Ia harus
mencicipinya! Sekarang juga! Peduli amat kalau nanti dia bakal dipecat
atau bahkan dipenjara! Biar bagaimanapun dia mencoba menahan diri, dia
tetaplah seorang lelaki normal yang membutuhkan kehangatan seorang
wanita dalam dekapannya. Godaan yang hadir dalam bentuk bidadari bernama
Alya ini terlalu berat untuknya.
Tapi saat ini Alya dalam kondisi sadar. Ia tidak mau mengkhianati
suaminya lagi. Ia sudah berdosa karena telah menerima Pak Bejo dan mau –
maunya diperlakukan seperti budak. Tidak! Hal semacam itu tidak akan
terulang lagi! Apa yang ia perbuat telah membuat Hendra semakin jauh dan
ia tidak mau semakin terjerembab lebih dalam ke lembah nista! Ia ingin
lepas dari semua masalah seperti ini, bukan malah terjun ke dalamnya!
Alya akhirnya berusaha menjauh dari sang sopir.
Ketika Alya berusaha mendorong tubuh Paidi, ia baru teringat betapa
kuatnya laki – laki yang terlihat kurus dan lemas ini. Alya dilanda
dilema. Di satu sisi perasaan Alya berusaha mengingatkannya agar segera
tersadar dari godaan dan teringat pada suaminya, namun sisi yang lain
lagi – sisi yang lebih menuntut dan lebih kuat - mengeluarkan semua
pancaran nafsu birahi yang selama ini ia simpan. Pria ini begitu kuatnya
sehingga membuat fantasi Alya melayang, apakah mungkin lelaki tua ini
bisa memuaskan hasrat dan… ah… Alya menggelengkan kepala. Tidak! Dia
tidak mau terhanyut. Dia adalah wanita karir yang terhormat, ibu rumah
tangga yang baik dan istri yang berusaha untuk setia. Ia ingin bangkit
setelah semua yang ia alami dengan Pak Bejo, Alya tidak mau jatuh lebih
dalam ke jurang nista dengan menyerahkan tubuh ke supirnya sendiri!
Sungguh tidak pantas!
Paidi mengangkat dagu Alya, mulutnya turun ke bawah. Dengan satu gerakan, supir itu sekali lagi melumat bibir Alya.
Semua sisi kesadaran Alya hilang. Beradunya bibir mereka membuat
sentakan luar biasa yang menghapus penolakan dalam tubuhnya yang haus
kasih sayang. Ia balik mencium Paidi. Keduanya kini melupakan pikiran
yang kalut dan membiarkan hasrat kebinatangan mengambil alih. Esensi
diri terdalam yang hanya menuruti kenikmatan membuat keduanya lupa diri,
melupakan status mereka sebagai supir dan majikan. Melupakan status
sebagai istri dan ibu. Membiarkan tubuh mereka mereguk kenikmatan
terlarang. Nafsu mengambil alih jati diri mereka.
Lidah Alya bergerak lentur dan luwes seakan memiliki nyawa, bagaikan
ular yang melata. Lidahnya menyambut kedatangan lidah lawan dengan
tumbukan dan lumatan penuh nafsu yang menggelegak hebat. Alya
mengingkari perasaan dalam dirinya sendiri, perasaan bersalah yang tiba –
tiba saja menghinggap. Ini… terlarang! Tidak seharusnya ia melakukan
ini! Ia sudah menikah! Ia… ia… ia pernah diperkosa… dan…
Batin Alya berkecamuk. Mata Alya menutup dan perlahan membiarkan
nafsunya menggelora. Ia ingin melawan, namun gejolak nafsu yang
ditumpahkan oleh Paidi membuatnya takluk. Ciuman Paidi sangat memabukkan
dan membuat pikirannya melayang. Alya bingung, kenapa tubuhnya justru
pasrah ketika pikirannya sangat kalut, ia tidak sadar bahwa tubuhnya
ingin dibelai, ingin disayang, ingin menikmati indahnya permainan cinta
yang bukan karena terpaksa.
Sudah lama sekali rasanya ia tidak dicium seperti ini oleh Mas Hendra.
Mas Hendra! Suaminya! Astaga! Alya terbangun dari fantasinya. Ia
sedang dicium oleh laki – laki yang bukan suaminya! Mata yang tadi
terpejam mendadak terbuka. Wajah yang ada di hadapannya bukanlah orang
yang seharusnya berhak menikmati keindahan tubuhnya! Alya tengah menatap
wajah Paidi! Supirnya! Paidi sedang menciumnya! Begitu kesadaran
menguasainya kembali, Alya mencoba bangkit dan berontak tapi tangan kuat
Paidi mengingkari perlawanannya.
“Jangan Mas… suamiku…” tangan Alya menghalangi tangan Paidi yang
mencoba meraih buah dadanya. Rasanya seperti mengangkat tiang besi yang
berat, hangat tapi berat. Usaha Alya gagal, Paidi berhasil menangkup
buah dada kanannya. Pria tua kurus itu segera meremas, memilin dan
menggoyang payudara Alya dengan bebas. Tidak ada perlawanan berarti yang
dilakukan Alya. Si cantik itu malah semakin mendesah tidak berdaya.
Alya kecewa pada dirinya sendiri yang tidak kuat menahan godaan.
Semudah inikah dia takluk pada Paidi? Orang yang tak lebih adalah
supirnya sendiri? Orang yang ia angkat menjadi supir setelah sering
berlangganan baksonya? Orang asing yang tidak dia kenal asal – usulnya!
Alya tidak ingin dikalahkan semudah itu… ia tidak ingin… ia tidak…
Lidah Paidi masuk ke dalam mulut Alya dan pikiran si cantik itu kembali melayang ke awan. Semudah inikah dia takluk?
Paidi merasa bangga pada dirinya sendiri karena Alya - istri Hendra
majikannya yang cantik jelita dan tadinya setia itu kini mulai
menyerah. Tangannya yang kurus dengan berani meremas buah dada Alya yang
montok, Paidi meremas dan memilinnya tanpa perlu takut. Walaupun sudah
berstatus sebagai seorang ibu dan sudah digauli dua orang laki – laki
lain, Alya masih memiliki payudara yang kencang dan kenyal. Paidi sangat
mengagumi tubuh Alya, ia merawat tubuhnya dengan baik.. Lekuk tubuhnya
masih sangat indah dipandang, ramping dan seksi. Kulitnya juga sangat
halus dan mulus, kulitnya yang seputih susu membuat kenikmatan lain
dalam menggelegak dalam hati mantan napi yang sudah sejak lama tidak
bercinta itu.
Payudara Alya yang indah itu sama sekali tidak melorot walaupun sudah
dinikmati Hendra dan Bejo, bahkan menjadi sumber ASI bagi seorang anak
yang sangat manis. Paidi menikmati keindahan susu Alya sesuka hati. Ia
menangkup, meremas, menggoyang, menimang dan membelai buah dada sang
nyonya rumah tanpa ada perlawanan berarti. Jari – jari Paidi yang kurus
menyentil puting payudara Alya yang masih berada di balik kaos dan BH
yang ia kenakan. Karena kaos tipis yang dikenakan Alya berwarna putih,
BH berenda warna ungu yang ia pakai saat itu bisa terlihat dengan jelas.
Sambil terus menggoyang payudara sang bidadari, Paidi memberanikan diri
menggigit bibir bawah Alya dengan lembut.
Wanita jelita yang ada di dalam dekapan Paidi itu menggeliat, mencoba
melawan untuk yang kesekiankalinya. Namun pria kurus berkulit hitam itu
masih belum melepaskan ciuman ataupun remasannya. Untuk yang kesekian
kalinya pula, Alya kembali takluk pada ciuman Paidi.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka berciuman dengan penuh nafsu.
Ketika Paidi akhirnya melepaskan remasan tangan pada susu Alya, si
cantik itu masih tetap menghamba pada ciumannya. Tubuh Alya merinding
dan menggigil karena tak kuat menahan nafsu. Paidi bukan orang bodoh,
rangsangan hebat yang menaklukan Alya ini pasti berkat sentuhan ringan
namun efektif pada pentil buah dada sang ibu muda. Sekali lagi Paidi
meremas payudara Alya dan menggoyang puting payudaranya dengan jempolnya
yang besar. Alya menggeram dan merintih, tubuhnya gemetar tersambar
kenikmatan.
Alya mulai terengah – engah, ia kesulitan mengatur aliran nafasnya
sendiri. Matanya yang tadi terpejam kini terbuka lebar, menatap pria
yang bukan suaminya tengah menggumulinya dengan penuh nafsu. Bibirnya
basah oleh lumatan bibir Paidi yang sedari tadi tak berhenti menciumnya,
dadanya naik turun oleh nafsu birahi yang menggelora. Satu persatu
pakaian Alya dilucuti tanpa ada perlawanan berarti. Ketika Paidi
melepaskan BH dan menyisakan rok serta celana dalam, barulah wanita
cantik itu kembali tersadar… ia sudah setengah telanjang dalam pelukan
supirnya!
“Apa yang… apa yang telah aku lakukan?! Jangan!! Tidak! Aku tidak
mau! Sudah…! Aku mohon! Kita sudah terlalu jauh dan… dan…” Alya
kebingungan mencari kata – kata, ia tidak ingin mengucapkan kalimat
vulgar yang hanya akan menambah nafsu Paidi. “Aku mencintai suamiku. Dia
mencintai aku. Aku mohon… jangan tambah lagi dosaku…”
Tangan Paidi kini bisa menyentuh payudara Alya yang sudah telanjang.
Alya menggeleng dan mencoba mendorong tangan sang supir. Usaha ibu muda
itu tentu saja gagal, Paidi jauh lebih kuat dan Alya sama sekali tidak
mengeluarkan tenaga, bahkan sepertinya dia menginginkan Paidi
menyentuhnya! Dia ingin supir itu melanjutkan niatnya!
Payudara Alya segera tergenggam tanpa halangan oleh tangan buas
Paidi. Diremas dan digoyangnya payudara istri Hendra yang jelita itu
sesuka hati. Alya merintih tak berdaya, ia tak mampu mengontrol tubuhnya
sendiri. Sensasi hangat serangan Paidi membuatnya tenggelam dalam
kenikmatan dan tak ingin melawan. Yang dilakukan Paidi sama sekali
berbeda dengan Pak Bejo yang memaksakan kehendak, Paidi membuat Alya
keenakan sehingga justru Alyalah yang ingin meminta lebih. Alya berusaha
melawan keinginan dirinya sendiri yang tidak tahan ingin segera membuka
kaki lebar – lebar agar Paidi bisa memasukkan penisnya ke dalam… tidak!
Alya tidak mau itu terjadi! Alya harus melawan!
Paidi menatap penuh pesona ke pentil susu Alya yang kini menjorok ke
atas, benda mungil merekah itu seakan menantangnya. Sangat menggiurkan
dengan warnanya yang gelap kecoklatan. Balon buah dada Alya bagaikan
benda pusaka yang masih terawat rapi. Dia tak boleh membiarkannya sia –
sia! Kepala Paidi segera turun ke bawah, bibirnya melumat tanpa ampun
pentil susu yang sedari tadi terus menantangnya itu!
Alya melonjak kaget ketika mulut hangat Paidi menangkup puting
payudaranya. Apalagi ketika bibir pria tua itu lalu mencium dan lidahnya
menjilat seluruh balon buah dadanya! Akhirnya, tanpa dipaksa, Alya
mendorong dadanya ke depan agar Paidi bisa lebih leluasa menikmati
dadanya. Gigi Paidi bahkan menggigiti daerah ujung pentilnya, membuat
sensasi kenikmatan menjalar dari dada ke seluruh tubuh, bahkan jari kaki
Alya sampai merenggang karena keenakan!
“Oooooh!” lenguh Alya menahan nikmat.
Paidi menyeringai dan menggerakkan giginya dengan tenaga. Paidi bisa
merasakan tubuh Alya yang gemetar dan menggelinjang karena rangsangan
hebatnya pada puting susunya. Dengan sigap lidah Paidi melingkari pentil
yang masih menonjol keluar. Hal ini membuat Alya makin salah tingkah,
tubuhnya melengkung ke belakang, matanya terpejam dan tanpa sadar wanita
cantik itu menghunjukkan buah dadanya ke mulut sang supir yang terus
merangsangnya.
Bertentangan dengan apa yang ia rasakan, Alya menggunakan kedua
tangannya untuk terus mendorong tubuh Paidi agar segera melepaskan
pelukannya. Akhirnya Paidi bersedia mundur sesaat, ia melepaskan pentil
payudara Alya, lalu memperhatikan wajah Alya, menikmati kecantikannya.
Mata Alya sangat indah, bercahaya dan penuh pengharapan. Buah dada
kirinya yang belum tersentuh terlihat gersang dibanding buah dada kanan
yang terus menerus diserang sejak tadi.
“Sudah… cukup! Aku… tidak bisa melanjutkan ini semua, aku harus
pergi!” pinta Alya dengan suara bergetar. Tangan si manis itu terus
berada di pundak Paidi, menghalanginya mendekat. Tapi Alya tidak
melakukan apapun untuk menutup payudaranya yang telanjang. Paidi kembali
menyeringai dan menurunkan kepalanya ke dada kiri Alya.
“Jangan!” tangan Alya mencoba mencegah Paidi agar tidak mendekat.
Namun tangan ramping Alya bukanlah penghalang berarti bagi supir tua
berwajah buruk itu, dengan sigap ia menangkup pentil kanan Alya dengan
mulutnya dan kembali menyebarkan sengatan kehangatan ke seluruh tubuh
sang ibu muda.
Demi dewa… Paidi sungguh sangat kuat! Alya tak mampu berkutik. Si
cantik itu hanya bisa megap – megap menggapai nafas ketika gigi Paidi
mengunyah puting payudaranya, setelah pentil itu menonjol, lidah Paidi
ganti menjilati sisi areolanya. Tubuh Alya melenting ke belakang, ia
berusaha melepaskan dadanya dari mulut Paidi, namun belum sampai
payudaranya bebas, Alya sudah terganggu oleh tangan sang supir yang
dengan nakal menjelajah ke bawah roknya dan membelai ke atas menuju
selangkangan!
Alya ingin melepaskan diri dari pelukan Paidi, sungguh dia telah
berusaha, namun supirnya ini telah memakunya di atas sofa. Alya benar –
benar tak berdaya di bawah rengkuhan sang lelaki kurus. Tubuh Paidi
mengunci rapat kaki dan lengan Alya sementara gigi, bibir dan lidahnya
merangsang habis – habisan puting payudara istri Hendra itu. Belum lagi
rangsangan yang datang dari bawah roknya… apa yang bisa dilakukan Alya
kecuali pasrah?
Tangan Paidi yang hangat berputar – putar di paha sang wanita pujaan,
melaju ke atas tanpa halangan. Tangan hitam di atas paha putih mulus,
sangat kontras. Paidi mengagumi seluruh tubuh Alya, paha yang ia sentuh
ini dulu adalah milik suaminya seorang, sebelum akhirnya Alya jatuh ke
jebakan maut Pak Bejo.
Ketika melihat Paidi lengah, Alya melawan lagi. Bayangan wajah suami
yang ia cintai mendatangi benaknya dan ia melakukan semua yang ia bisa
untuk mendorong sang supir. Tapi… tapi… ini enak sekali…! Mas Hendra
sekarang berubah menjadi laki – laki dingin yang tak berperasaan,
padahal Alya masih sangat membutuhkan belaian kasihnya! Apakah kini apa
yang ia lakukan adalah hal yang salah? Membiarkan Paidi menguasai
tubuhnya? Alya butuh kehangatan seorang laki – laki! Ia tidak mau terus
menerus melayani Pak Bejo… ia ingin melakukannya dengan orang yang dia
suka! Hasrat birahinya selalu bergejolak… Alya bingung saat ini, apakah
dia diperkosa Paidi… atau justru membuka diri terhadap supirnya itu? Toh
seandainya ia melayani Paidi, tidak akan ada orang yang tahu, kan?
Batin Alya berkecamuk. Ini enak sekali… apa yang harus ia lakukan? Ia
tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ini memang enak sekali…
Tidak ada orang yang akan tahu, kan? Termasuk Mas Hendra!?
Saat perang berkecamuk dalam batin Alya, tangan Paidi leluasa masuk
ke dalam celana dalamnya yang mungil dan membiarkan rok Alya tetap di
tempatnya. Kini ia lebih bebas bergerak merangsang sang nyonya majikan!
Tangan Paidi meraih tempat yang lebih atas dan Alya membiarkan laki –
laki yang bukan suaminya ini membuka kakinya lebar – lebar. Tubuh wanita
cantik itu menegang ketika Paidi menemukan bibir vaginanya yang lembut
bagai sutra. Alya melonjak kaget saat sang supir mulai membelai bibir
kemaluannya secara perlahan – lahan.
Ya Tuhan! Tidak seharusnya ia mengijinkan Paidi melakukan ini! Tapi
batin Alya berkecamuk… benarkah dia yang mengijinkan? Paidi walaupun
kurus jelas lebih kuat dan perkasa, bahkan mungkin lebih kuat dari Mas
Hendra saat ia sedang sehat sekalipun! Tangan, bibir dan gigi Paidi
dibiarkan bebas berbuat apa saja dengan tubuhnya, bagaimanapun caranya
Alya menolak, ia tidak mampu menahan keinginan Paidi. Namun… ia juga
tidak diperkosa… ia mengijinkan Paidi menggumulinya!
Sekilas rasa takut menyambar batin Alya. Setelah semua peristiwa
mengerikan yang ia alami dengan Pak Bejo, ia tidak ingin kehilangan
kontrol atas situasi lagi. Apa yang ia alami saat ini adalah karena ia
kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Ia tidak ingin jatuh ke dalam
kubangan yang lebih dalam. Hanya saja… saat ini, di atas sofa ini, Alya
jelas tidak sedang mengontrol apapun. Sensasi birahi berlebih membuat
tubuhnya lemah atas semua rangsangan. Alya tidak ingin mengkhianati
suaminya… tapi apa yang Paidi lakukan sungguh membuatnya terbang ke
awang – awang.
Satu jari telunjuk masuk ke dalam memek Alya.
Wajah wanita cantik itu memerah karena malu saat ia menyadari
memeknya sudah mulai basah. Sangat memalukan menjaga harga diri di
hadapan supirnya kalau memeknya sudah mulai membanjir seperti ini. Dari
wajahnya yang tersenyum, Alya yakin Paidi juga sudah tahu hal itu.
Tangan Alya meraih lengan Paidi, ia berusaha mendorong tangan itu
meninggalkan tubuhnya. Tapi Paidi jauh lebih kuat, bukannya tangan Paidi
yang terdorong menjauh, malah justru tangan Alya yang kini digenggam
oleh sang supir.
Paidi membimbing tangan Alya yang halus ke dalam selangkangannya.
Jari – jari lentik Alya segera bersentuhan dengan batang kejantanan yang
hangat, besar dan panjang. Kaget, Alya menarik tangannya mundur. Si
cantik itu terkejut dengan kehangatan dan kerasnya batang kemaluan
Paidi. Alya tidak tahu sejak kapan Paidi mengeluarkan kemaluannya dari
dalam celana. Paidi tidak menyerah begitu saja, supir nakal itu menarik
kembali tangan Alya dan membimbingnya lagi ke kontolnya yang besar dan
hitam. Kali ini Alya tidak melawan. Jari – jari mungilnya mengitari
batang besar kontol Paidi.
Ukuran kontol Paidi ini pas sekali dalam genggaman tangan mungil
Alya, ukurannya yang besar tidak cocok dengan postur tubuh Paidi, tapi
sangat mempesona ibu muda satu anak itu. Urat – urat yang mengitari
batang kemaluan Paidi berdenyut dalam genggaman tangan Alya, wanita
cantik itu berusaha mencari cara untuk menghindari kekagumannya pada
alat vital Paidi, namun seperti anggota tubuh yang telah dipasangi
susuk, Alya tidak bisa melepas pandangan dari kemaluan Paidi. Ingin
sekali rasanya Alya merasakan kontol Paidi itu di dalam memeknya, ia
tidak yakin benda besar dan panjang ini bisa masuk seluruhnya, tapi…
Alya tidak akan mengijinkan Paidi menyetubuhinya. Ya. Itu pasti. Tidak
mungkin. Tidak boleh.
Tangan Paidi meraih pergelangan tangan Alya dan membimbingnya
mengocok kemaluannya secara perlahan. Kontol Paidi yang hitam, besar dan
panjang membuat Alya sangat terpesona. Penis Paidi memang tidak segemuk
milik Pak Bejo, tapi lebih panjang dan sangat keras. Panjangnya
melebihi milik Mas Hendra. Hitam… besar… panjang…
Setelah beberapa saat membiarkan tangan Paidi membimbingnya, Alya
tidak membutuhkan dorongan apapun lagi untuk terus menikmati kemantapan
alat kelamin Paidi, ketika Paidi melepas tangannya, Alya masih terus
mengocok kontol pria kurus itu. Apa yang dimiliki supirnya itu seakan –
akan mengingkari hukum alam, bagaimana bisa orang sekurus dan sehitam
Paidi memiliki penis yang seperti ini? Begitu besar dan panjang… tangan
Alya bergerak turun ke pangkal batang kemaluan Paidi, mengagumi ukuran
kejantanan yang sebelumnya belum pernah ia lihat. Nafas Alya makin
berat, nafsunya mengambil alih, birahinya makin meningkat. Alya tidak
akan keberatan kalau benda ini dicoba dimasukkan ke dalam liang
kenikmatannya… tapi… tapi…
Saat itulah Paidi mendorong jarinya yang panjang ke dalam bagian
terlarang milik Alya. Terpengaruh oleh rangsangan bertubi, Alya mencoba
menyikapi dengan kesadaran yang tersisa. Hanya ada satu konsekuensi yang
akan ia peroleh jika mengijinkan Paidi melakukan rangsangan lagi, dan
hal itu tidak boleh terjadi.
Alya berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Dia telah menikah. Dia
mencintai Hendra, suaminya. Dia tidak mencintai Paidi, dia tidak
mencintai Pak Bejo. Tubuhnya hanya milik Hendra, suaminya. Dia tidak
boleh membiarkan ini semua berlanjut!
“Lepaskan aku!” tuntut si seksi itu. Tapi Paidi tidak
menghiraukannya. Bibir pria hitam dan kurus itu masih terus memagut
leher putih mulus milik Alya. Jari jemari Paidi menusuk lebih ke dalam.
Kaki Alya menggeliat dan menjepit tangan Paidi, ia berusaha menarik
tangan Paidi keluar dari selangkangannya.
“Ini sudah keterlaluan, kita tidak boleh melakukan ini! Aku ini istri orang!”
Paidi malah nyengir ketika dia diingatkan bahwa tubuh molek yang
menggiurkan yang sedang menggeliat di bawah tubuhnya ini adalah milik
laki – laki lain, tubuh seorang majikan bahkan! Dengan nekat Paidi
memutarkan jarinya di bibir kemaluan Alya yang makin lama makin basah,
lalu menusukkan jarinya itu ke dalam memek Alya lebih dalam lagi.
Ketika jari Paidi melesak masuk, tanpa sadar Alya meremas kemaluan
Paidi dengan kencang. Penis itu begitu besar dan keras, Alya seakan tak
mampu menggenggamnya utuh karena ukuran lingkarnya yang sangat besar.
Dia tak pernah menduga orang sekurus Paidi memiliki penis yang
sedemikian besarnya, ia sudah memperkirakan ukurannya, tapi penis milik
Paidi ini melebihi semua imajinasi lliarnya. Batang kemaluan hitam besar
milik Paidi berdenyut dalam genggaman tangan Alya yang halus, si cantik
itu bisa merasakan denyut yang bergerak di urat yang bertonjolan di
batang yang terisi oleh desakan darah dan sperma yang siap diledakkan.
Paidi menarik jarinya dan merubah posisi. Ia mengangkat tubuhnya
sehingga Alya kini bisa melihat langsung ukuran sebenarnya batang
kemaluan laki – laki yang baru saja menindihnya. Mata indah si cantik
itu langsung terbelalak!
Luar biasa besarnya!
Jauh lebih besar daripada milik Hendra atau bahkan Pak Bejo!
“Ya Tuhan!” desis Alya yang terkejut.
Paidi nyengir. Dia bangga dan bahagia melihat reaksi majikannya yang
terkejut saat melihat ukuran kontolnya. Reaksi jujur yang ditunjukkan
oleh Alya sungguh sedap baginya. Rasa ketakutan karena tak ingin
ketahuan, perasaan bersalah, nafsu yang menggelegak yang sangat terlihat
di wajah Alya adalah keindahan sempurna bagi Paidi. Inilah yang
membuatnya terangsang hebat.
Alya memang bukan seorang perawan, tapi Paidi memperkirakan tusukan
pertama penetrasinya akan seret sekali, karena walaupun sudah pernah
berkali – kali melayani nafsu binatang Pak Bejo, memek Alya masih sangat
mungil.
Alya memandang penis Paidi dengan penuh ketakutan sekaligus
kekaguman. Seakan ia berhadapan langsung dengan seekor ular kobra dan
takut untuk menggerakkan tubuh sedikitpun. Bagi Paidi, menyaksikan
konflik batin ibu muda yang jelita itu sungguh suatu kenikmatan yang tak
terkira.
“Apakah ini yang anda inginkan selama ini?”
Alya menatap Paidi bingung, apa maksud kata – katanya itu?
Paidi tersenyum dan mengulangi lagi ucapannya, “setelah selama ini
ditiduri oleh laki – laki lemah seperti Pak Hendra dan laki – laki
brengsek seperti Pak Bejo… apakah ini yang ibu inginkan? Kejantanan
sejati seperti ini?”
Wajah Alya memerah karena malu. Ia marah dan kesal pada sikap Paidi
yang arogan, tapi memang benar apa kata supirnya itu – Alya sangat
tertarik mencicipi kejantanan milik Paidi yang luar biasa besarnya.
Warna merah jambu karena malu menutup pipi hingga ke dada Alya.
Kejantanan sejati… kejantanan sejati… kata – kata itu terus berulang di
otak Alya yang dipenuhi kekalutan.
Tidak mungkin ada penis sebesar itu! Terlalu besar! Ini semua pasti
rekayasa! Batin Alya dalam hati. Kalau mau hiperbola, tidak mungkin ada
penis yang batangnya hampir sama besarnya dengan pergelangan tangan
Alya! Ketika Paidi berpindah posisi dan kedua tangannya kini berada di
bawah rok Alya, ibu muda yang jelita itu bisa melihat dengan jelas
batang penis Paidi!
Alya terbata – bata melihat panjang penis Paidi. Tidak akan muat!
Benda ini tidak akan muat masuk ke dalam kemaluannya yang mungil! Benda
itu akan menghancurkan rahimnya! Batin Alya lagi.
“Terlalu besar…” desis Alya perlahan. Nafasnya kembang kempis, ada
desakan berat di dalam dadanya, di tenggorokan dan dalam pikirannya.
Panas menghentak – hentak membuat birahi Alya meninggi, ada kehausan
luar biasa yang ditimbulkan pemandangan indah yang diberikan Paidi pada
lubang kemaluan Alya. Paidi tersenyum penuh kemenangan ketika dia
menarik celana dalam Alya, wanita cantik itu menggerakkan pinggulnya
tanpa sadar, memudahkan Paidi melucuti celana dalamnya yang mungil.
Alya telah menyerah kepada supirnya…
Alya telah ditaklukkan…
“Ya Tuhan! Apa yang… suamiku…”
Paidi tersenyum, lagi – lagi laki – laki kurus berkulit hitam itu
menempelkan bibirnya ke bibir tipis Alya, mengatupkan mulutnya ke mulut
Alya dengan satu ciuman penuh nafsu. Apapun kata – kata yang hendak
diucapkan Alya, semua permohonan dan penolakannya, luruh oleh ciuman
itu. Alya menggeser kepalanya mencoba menghindar dari ciuman Paidi, tapi
gerakan itu justru membuat Paidi mendapatkan akses ke arah telinganya
yang seputih pualam. Setelah gagal mencium Alya, perhatian Paidi beralih
ke arah lain. Bibir dowernya menyosor ke daun telinga Alya. Lidah supir
itu bergerak lincah menjelajahi tiap sudut bagian dalam telinga Alya.
Tubuh wanita cantik itu menggelinjang geli ketika merasakan sentuhan
lembut lidah Paidi pada telinganya. Lidah Paidi bergerak lincah membuai
Alya sementara tangannya bebas bergerak di bawah roknya. Jari – jari
nakal milik lelaki kurus itu membelai tiap jengkal paha putih milik
istri majikannya.
Paidi tidak berhenti di bibir Alya, lidahnya menjilat pipi dan
telinga si cantik itu, masuk ke dalam daun telinganya, memutar dan
merasakan tiap sisi kecantikan parasnya. Dada kurus Paidi bisa merasakan
kehangatan yang dihadirkan buah dada Alya yang menempel kepadanya,
mendorongnya naik turun seiring emosi dan nafsu yang menggelora di badan
sang ibu muda. Alya tidak bisa menghindar dari rangsangan hebat yang
dilakukan Paidi pada telinga dan pipinya, tubuhnya bergetar dan
menggelinjang. Tangan Paidi merenggangkan kedua paha Alya, mengangkat
roknya sampai ke lekuk pinggul.
Pria itu memposisikan dirinya di antara kedua kaki sang majikan.
Alya menyadari bahaya yang tengah ia hadapi. Godaan lidah Paidi yang
terus menjilati wajah dan telinganya tak berbelaskasihan… sekaligus
menggairahkan. Lelaki kurus berkulit gelap itu benar – benar tahu
bagaimana caranya membuatnya bergairah! Sangat nakal, sangat… terlarang.
Alya memiringkan kepala, membuat telinganya jauh dari jangkauan lidah
Paidi, ia menatap pria yang tengah menggumulinya dan hendak memintanya
berhenti. Ia menatap mata Paidi… mata yang penuh dengan hasrat dan
nafsu.
Nafsu birahi untuk menggauli tubuh indah majikannya.
Batin Alya dipenuhi perasaan yang berkecamuk dan menggelora. Dia
bingung, jantungnya berdebar kencang dan nafasnya kembang kempis naik
turun. Bukannya menolak laki – laki yang bukan suaminya, Alya malah
menggoyang pinggul karena tak tahan godaannya. Ia malu sekali. Ia ingin
memaki – maki dirinya sendiri yang tak mampu menahan birahinya, namun
ketika mulut Paidi mencium bibirnya, Alya tak mampu melawan sedikitpun.
Bibirnya yang indah membuka sedikit untuk menerima serangan nafsu dari
sang supir. Ketika lidah Paidi masuk ke dalam mulutnya, lidah Alya
menyambut dan keduanya segera bertemu dalam pertempuran nafsu.
Ujung gundul penis Paidi menyentuh bibir vagina Alya, batang kemaluan
laki – laki tua itu siap dilesakkan ke dalam liang cinta sang ibu muda
yang jelita. Mata indah milik Alya menyala karena kaget. Dengan
pandangan bingung, wanita cantik itu menatap mata buas penuh nafsu milik
Paidi yang sedang memeluk dan menciuminya.
Paidi menatap mangsanya dengan senyum penuh kemenangan. Dia sangat
menyukai saat – saat seperti ini, saat di mana wanita yang hendak ia
tiduri menatap tak percaya kepadanya. Mata Alya terbelalak lebar karena
tahu penis hitam milik sang supir sudah siap masuk ke dalam liangnya
yang mungil. Paidi mendorong pantatnya ke depan dan melepaskan ciuman
dari mulut Alya.
“Ja – Jangan! Jangan…!! Kamu tidak boleh…” Alya mencoba melawan.
Paidi menusuk lagi. Akhirnya ia benar – benar menembus gerbang kewanitaan Alya.
“Ahhhhhhhh!!!” jerit Alya tertahan.
Ia lalu berhenti. Paidi kaget sekaligus senang ketika tahu bahwa
memek Alya ternyata masih cukup sempit dan rapat, batang penisnya yang
masuk ke dalam liang kenikmatan Alya seperti dihimpit oleh dinding basah
yang rapat dan nyaman, memberikan kehangatan yang lain daripada yang
lain. Setelah tidur dengan Hendra dan Pak Bejo, memek mungil itu masih
tetap seperti milik seorang pengantin baru. Paidi menggerakkan badan ke
depan, menusukkan kontolnya ke memek Alya lebih dalam lagi.
Masuknya batang penis Paidi yang menjajah vaginanya sedikit demi
sedikit membuat Alya secara refleks membuka kakinya lebar – lebar. Paidi
mengangkat pinggul Alya yang seksi dan mengangkatnya tinggi sementara
dia melanjutkan niatnya menumbuk sang bidadari. Hampir tiga perempat
bagian batangnya sudah masuk ke dalam, melewati bibir vagina Alya yang
basah dan merah. Paidi menusuk sekali lagi, menambah kedalaman
batangnya.
“Ooooooh… jangan… aku tidak kuat lagi!”
Paidi tertawa penuh kemenangan dan mendorong kemaluannya lagi.
Pinggul Alya mulai tersentak – sentak tak teratur di bawah pelukan sang
supir, kakinya yang jenjang meronta – ronta. Alya mencoba mendorong
tubuh Paidi, ia mencoba memberontak meskipun semuanya sia – sia, Paidi
masih tetap bertahan. Justru karena Alya memberontak, batang kemaluan
laki – laki kurus itu makin membenam di dalam liang cintanya. Akhirnya
si cantik itu menyerah, batang kemaluan sang supir sudah terlalu dalam
terbenam dan memeknya sudah menangkupnya dengan erat, tak akan ada
gunanya melawan apalagi mencoba mendorong Paidi. Dia harus rela
disetubuhi Paidi.
Kalimat itu membuat gemetar seluruh tubuh Alya. Dia tak mampu berbuat
apa – apa lagi! Dia hanya bisa pasrah! Dia akan segera disetubuhi
supirnya!
Nafsu birahi yang bercampur dalam benak sang ibu muda membuatnya
sangat bergairah. Ada perasaan aneh yang menyapu tubuh Alya, gairah
sensasi birahi yang menyelimuti dari ujung kaki hingga ke ujung rambut.
Ia mulai terbiasa dengan ukuran kemaluan Paidi. Memeknya yang terus
disiksa oleh kenikmatan mulai lengket pada batang penis sang supir,
dinding memek Alya mulai merenggang dan menyesuaikan dengan ukuran penis
yang menginvasi.
Namun… ketika Alya sudah bersiap, tiba – tiba saja Paidi berhenti.
Setelah beberapa detik tanpa ada gerakan, Alya akhirnya sadar Paidi
sudah berhenti menusuk. Ketika mata indah ibu muda yang cantik itu
melihat ke tubuh yang menguasainya, Paidi rupanya tengah terdiam dan
menikmati saat – saat yang sangat diimpikannya, yaitu saat penisnya
masuk ke dalam memek Alya. Vagina Alya meremas batang penis yang
ditusukkan ke dalam, menyebarkan sentakan birahi ke seluruh tubuh Alya.
Wanita cantik itu puas sekaligus malu karena bagian dalam tubuhnya
seakan membelai batang kemaluan Paidi. Bagaimanapun caranya Alya mencoba
untuk mengendalikan tubuhnya sendiri.
Ketika Alya melihat ke atas, ia melihat Paidi menatapnya tajam, merekapun saling bertatapan. Wajah Alya memerah karena malu.
“Su… sudah semua? A… apa sudah masuk semua?” tanya Alya.
Paidi menyeringai. “Belum.”
Pria kurus berkulit gelap itu mengeluskan tangannya di lekuk pinggang
Alya, menikmati kehalusan kulit sang bidadari, naik ke atas, lalu
menggenggam erat lengan mungil ibu muda itu.
“Belum, ini belum masuk semua,” tambah Paidi. Ia ketawa dan menusuk lagi.
Betapa nikmatnya melihat wajah Alya yang terkejut oleh jangkauan
tusukannya. Kali ini Paidi memeluk erat Alya supaya posisi mereka tidak
berubah dan ia bisa menusuk lebih dalam. Paidi sangat menyukai
cengkraman vagina Alya yang seperti sarung tangan erat menangkup batang
kemaluannya. Tusukan penis panjang itu bagai melawan dinding rahim Alya
dan menembus terus ke dalam rintangan yang sebelumnya belum pernah
ditembus oleh penis lain.
“Ooooooh… Ya Tuhan… oooooh.” Desah Alya.
Paidi melepas satu tangan dan meraih rambut panjang Alya, ia
menjambak rambut si cantik itu dan membuat kepalanya tertarik ke
belakang. Alya berteriak kesakitan, tapi rasa sakit itu seiring dengan
gelombang nikmat sodokan di selangkangannya. Vagina Alya meremas penis
Paidi tiap kali benda panjang yang keras itu masuk dan mencoba menjajah
ke dalam.
Beberapa sat kemudian, Alya bisa merasakan tamparan kantung kemaluan
Paidi yang mengenai pantatnya. Saat itulah Alya sadar, kalau kantung
kemaluan Paidi telah menempel di pantatnya, itu artinya batang kemaluan
sang supir telah masuk seluruhnya ke dalam memeknya! Secara insting,
Alya mulai menggoyang pantatnya.
Paidi menatap ke bawah, dia menikmati kecantikan alami Alya, dia
menikmati halusnya leher jenjang Alya, dia menikmati matanya yang
melebar dan nafasnya yang kembang kempis. Mata si cantik itu kabur,
Paidi memberi kesempatan pada Alya untuk mengembalikan kesadaran, ketika
akhirnya mata indah itu menatapnya tajam, Paidi tersenyum penuh
kemenangan pada Alya. Wanita cantik itu membalasnya dengan senyuman
lemah.
“Sekarang,” kata Paidi, “saatnya menikmati memek Bu Alya.”
Mata Alya terbelalak melebar, dia terkejut oleh situasi dan kata –
kata kasar yang dikeluarkan sang supir. Tapi Paidi lebih terkejut lagi
ketika dia merasakan kaki jenjang Alya melingkar di pinggangnya.
Paidi tersenyum lagi, kali ini Alya membalasnya dengan gugup.
Lalu Paidi mulai menyetubuhinya.
Alya melenguh dan mengembik penuh nafsu ketika Paidi menarik diri dan
kemudian menusuk dengan kekuatan penuh. Berulang kali Paidi mengangkat
pinggulnya dan menjatuhkan diri ke dalam selangkangan Alya yang terbuka
lebar. Paidi menikmati kelembutan paha dalam Alya yang bagaikan sutra
ketika majikannya ini mengikat pinggulnya dan menariknya ke bawah.
Majikannya yang seksi takluk akan kenikmatan birahi di bawah pelukannya!
Apakah ada yang lebih nikmat daripada ini?
Tentu saja ada, bagi Paidi, kenikmatan puncaknya adalah ketika dia
menyemburkan spermanya dan berharap ia bisa menghamili wanita sesempurna
Alya. Itu akan jadi hal yang terindah baginya.
Paidi merenggut pundak Alya dan menikmati tiap jengkal kedalaman
memeknya, ia terus mendorong penisnya dan mengobrak – abrik memek yang
seharusnya hanya menjadi milik suami wanita cantik yang kini meringkuk
dalam pelukannya. Bagi Paidi, sesaknya memek Alya adalah surga yang
menjadi nyata.
Kenikmatan yang terlalu berlebih membuat Alya tak kuat lagi, ia
melolong ketika cairan cintanya mengalir. Ratapan yang keluar dari mulut
Alya bertolak belakang dengan orgasme yang keluar dalam liang
kenikmatannya. Paidi merasakan getaran pada tubuh indah yang kini berada
di bawahnya, ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan lagi genjotannya.
“Jangan Mas… sudah… sudah cukup… aku sudah keluar… sudah…”
Paidi hanya tertawa dan meneruskan gerakan maju mundurnya.
“Oh Tuhan! Sudahlah, Mas! Sudah cukup… aku tidak kuat lagi… kamu dengar tidak? Aku sudah keluar… aku tidak kuat…”
Paidi tidak mempedulikan rengekan Alya dan meneruskan gerakannya.
Alya menggeliat dan meronta, mencoba mendorong tubuh Paidi. Tapi pria
kurus itu lebih kencang memegang tubuhnya, ia juga lebih kuat dan lebih
bernafsu. Tiba – tiba saja tubuh Alya mengejang, dengan satu lolongan
kalah, Alya sampai di puncak kenikmatannya yang kedua. Wanita cantik itu
tersentak – sentak dan bergetar akibat sensasi luar biasa yang berasal
dari tubuh bagian bawahnya. Si cantik itu tidak percaya, kaget dan
terkejut… belum pernah ia mengalami hal seperti ini sebelumnya…
Alya ambruk dalam pelukan Paidi, kalah dan pasrah. Tidak ada gunanya
melawan. Paidi meneruskan aksinya menggoyang dan menusuk memek Alya
sekuat tenaga, memberikan serangan bergelombang di antara selangkangan
sang wanita idaman yang mengikat pinggulnya dengan kaki yang jenjang.
Gelombang orgasme membuat Alya lemas, ia tidak lagi melawan dan
membiarkan Paidi melakukan apa saja dengan tubuhnya. Paidi adalah
seorang pria kuat yang telah mengambil apa yang ia inginkan dan dari apa
yang baru saja Alya alami, ia gembira sekali Paidi menginginkannya.
Kehangatan yang lembek terasa di sekitar selangkangan dan pinggang
Alya, si cantik itu segera sadar kalau Paidi akhirnya mencapai puncak
orgasme. Semprotan pejuh Paidi melesat jauh ke rahim Alya, tubuh wanita
cantik itu bergetar seakan menunggu – nunggu bibit unggul yang ditanam
oleh pria kurus berkulit hitam yang bukan suami sahnya ini.
Paidi menarik kontolnya dengan pelan, batangnya yang tebal dan
panjang penuh dengan lumuran cairan cinta yang tercampur dari keduanya.
Untuk beberapa saat lamanya kedua tubuh telanjang itu diam tak
bergerak di atas sofa. Paidi mengguling ke bawah dengan lemas, ia
meninggalkan Alya yang masih diam tak bergerak. Sambil duduk dan
menyalakan rokok Paidi melirik ke arah wanita jelita yang baru saja ia
tiduri.
“Bagaimana? Ibu suka kan tidur sama saya?”
Alya mendengus keras dan berbalik, ia lebih memilih menatap tembok
karena tak ingin melihat wajah puas Paidi yang telah berhasil
menidurinya. Seluruh pikiran Alya terbagi menjadi dua bagian, saling
bercampur dan bertarung. Alya tidak bisa memilah diri dan memutuskan
apakah kenikmatan luar biasa yang telah ia raih sebagai hasil
memuncaknya birahi ataukah rasa putus asa yang sangat mendalam yang saat
ini sebenarnya ia rasakan. Dia gagal menjadi wanita yang tegar dan
mampu berjuang demi diri sendiri. Ia selalu ditekan oleh keperkasaan
lelaki bejat seperti Pak Bejo dan kini oleh nafsu binatang supirnya
sendiri. Alya telah kalah dan ditundukkan.
Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi? Alya tidak tahu dan dalam
hati kecilnya ia mungkin tidak peduli. Dia hanya tahu kalau dia kini
sedang berbaring di samping seorang laki – laki yang telah membuatnya
terbang ke langit ke tujuh dengan permainan cinta yang fantastis, penuh
rasa cinta yang menggebu dan nafsu yang membuncah. Dia tidak peduli
kalau laki – laki itu bukanlah suaminya yang kini tergolek lemah tak
berdaya di salah satu kamar. Alya juga tidak peduli kalau laki – laki
itu bukanlah pemerkosanya yang bejat dan tidak tahu diri. Dia tidak
peduli.
“Sebaiknya Bu Alya segera kembali ke kamar sendiri. Bapak mungkin sudah menunggu.”
Alya menatap laki – laki di sampingnya dengan pandangan lemah. Entah
kenapa dia lebih ingin menghabiskan malam ini bersama Paidi daripada
harus kembali ke kamar dengan Mas Hendra. Tapi itu pemikiran yang salah
dan bodoh. Si cantik itu bergegas bangkit dan mengenakan pakaiannya
kembali.
Suaminya pasti sudah menunggu! Dengan buru – buru Alya mengenakan BH
dan baju, ia mencoba mencari celana dalam tapi tak kunjung menemukannya.
Dengan kebingungan Alya mencari kesana kemari, di mana celana dalamnya?
Kemana tadi Paidi membuangnya?
“Celana dalamku…? Mana celanaku, Mas? Jangan diam saja! Ayo bantu cari!”
“Seandainya kita hanya bisa bercinta malam ini, biarlah celana dalam
Ibu menjadi benda yang bisa saya bawa sampai kelak saya pergi, saya akan
menyimpannya sebagai benda paling berharga yang pernah saya miliki.”
Kata Paidi dengan tenang, “lebih baik sekarang Ibu kembali ke Pak
Hendra.”
Dengan langkah cepat Alya keluar dari kamar Paidi, melewati taman dan
masuk ke rumah induk, ia mencari Hendra ke kamar. Nafas Alya yang
kembang kempis mengejutkan Hendra yang tengah mengetik dengan laptop.
Hendra sudah bangun? Jangan – jangan ia sedang menunggu Alya? Sambil
berusaha mengembalikan perasaannya yang kacau balau setelah disetubuhi
Paidi, Alya duduk di samping sang suami. Alya berkeringat dingin,
semuanya hancur. Dunianya kembali berantakan, bukan oleh ulah Pak Bejo…
melainkan oleh ulahnya sendiri… yang tergoda laki – laki lain!
“Kamu baik – baik saja?” tanya Hendra dengan suara dingin. Ia hanya menatap Alya sekilas dan melanjutkan lagi pekerjaannya.
Alya memandang wajah Hendra dari samping dan menyesali perbuatannya.
Ia sangat menyesal… ia telah bersalah kepada suaminya, ia telah
mengkhianati cinta mereka. Bukannya berusaha meraih kembali hati
suaminya yang tengah terpuruk, ia malah jatuh ke pelukan laki – laki
lain! Ini lebih buruk daripada diperkosa Pak Bejo. Ini sama saja dengan
selingkuh! Sudah pasti, kesalahan ada di pundak Alya.
“Mmmm… aku baik – baik saja.” jawab Alya lirih.
“Kamu kok kebingungan begitu? Apa ada yang kamu pikirkan?”
“A… anu… aku… aku tadi sakit perut… dan… aku dari kamar mandi… dan…”,
Alya tidak kuat menanggung ini semua, lagi – lagi dia harus berbohong
kepada Mas Hendra. Yang lebih parah, kali ini dia menutupi ulahnya
sendiri yang mau – maunya menerima rayuan Paidi dan bukan atas paksaan
Pak Bejo. Dia benar – benar telah berubah menjadi seorang wanita
gampangan! Ingin menangis rasanya Alya kalau ingat apa yang baru saja
terjadi.
“Kamu sakit perut?”
“Mmm… sudah baikan… aku tidak apa – apa.”
“Tidur saja kalau sakit.”
“Iya mas…”
Tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Hendra meneruskan
pekerjaannya tanpa mempedulikan kehadiran Alya. Dengan tubuh yang masih
gemetar ketakutan Alya berbaring di ranjang dan mencoba memejamkan mata.
Pengkhianatannya dan tanggapan dingin Hendra membuat tubuhnya
menggigil.
Tanpa sepengetahuan Hendra, setetes air mata mengalir di pipi Alya, sementara setetes air mani yang tersisa mengalir di pahanya.
###
Pojok pos ronda di gang keempat sebelah selatan rumah Pak Bejo sering
digunakan sebagai tempat berkumpulnya para preman kampung. Tempat ini
sebetulnya sudah tidak pernah dipakai lagi karena warga kampung lebih
memilih menggunakan pos ronda yang ada di dekat perumahan, yang pernah
dipakai Pak Bejo menggauli Alya. Apalagi karena para preman sering
sekali menggunakan pos ronda ini sebagai markas mereka kalau sedang
bermain judi atau mabuk – mabukan, maka tempat ini makin ditinggalkan
dan dilupakan. Lokasinya juga agak jauh dari rumah lain dan menempel di
belakang gedung sekolah bertembok tinggi, berbatasan dengan sebuah gang
kecil yang langsung menuju ke jalan besar. Jarang ada yang berani
melewati gang kecil ini, karena kalau ada yang lewat, para preman
langsung beraksi meminta retribusi. Karenanya, warga kampung lebih
memilih memutar lewat perumahan daripada harus melewati gang kecil ini.
Tidak ada lagi orang menyebut tempat ini Pos Ronda, mereka kini
menyebutnya Pos Preman.
Di tempat inilah Pak Bejo biasa menghabiskan waktunya.
Namun hari itu lain, hanya ada tiga orang saja yang berada di pos
preman itu, Badu, Jabrik dan Kribo, ketiganya anak buah Pak Bejo. Botol
minuman keras berserakan, asap rokok mengepul tinggi, pemandangan yang
biasa bagi warga kampung, walau sesungguhnya bukanlah pemandangan yang
sehat. Ketiga anak buah Pak Bejo itu sedang asyik dengan kegiatan masing
– masing sambil tertawa – tawa. Entah apa ada yang lucu ataukah syaraf
mereka sudah terpengaruh minuman keras.
Jabrik dan Badu sedang bermain kartu sambil melempar – lempar uang
ribuan, sementara Kribo sibuk menikmati gambar artis – artis berdada
sentosa yang ada di dalam majalah khusus pria dewasa yang tadinya ia
rampas dari tas seorang anak SMA. Dari ketiganya, Kribo adalah yang
paling ditakuti, tubuhnya besar dan wajahnya sangar. Bisa dianggap kalau
dia ini tangan kanan Pak Bejo. Perhatian Kribo yang sedang membuka –
buka majalah terusik ketika dia melihat ada satu sosok masuk ke gang
mereka.
“Sst… duit! Duit!” bisik Kribo pada Badu dan Jabrik.
Kedua orang yang tadinya asyik dengan kartu mereka bangun dan memasang wajah sangar.
“Siapa yang lewat?” bisik Badu.
“Bukan orang kampung.” Jawab Jabrik. “Gak kenal.”
“Abisin aja.” Kata Kribo sambil kembali menatapi kemolekan artis yang
pernah tampil di iklan sabun mandi berpose menantang di dalam majalah.
Kalau hanya urusan kompas – mengompas mending dia berikan saja kepada
dua temannya itu, dia malas berurusan dengan hal – hal sepele.
Badu dan Jabrik tertawa – tawa lagi karena mereka akan kembali menuai
uang. Anehnya, sosok yang baru saja datang itu bukannya menjauh saat
melihat mereka, dia malah mendekat bahkan berjalan dengan langkah yang
sangat cepat menuju mereka. Aneh sekali!
Bruk!!!
Tiba – tiba saja orang itu menendang Badu!
Tubuh Badu yang tak siap terlempar jauh menubruk tembok. Nasib yang
sama menimpa Jabrik yang juga terkejut melihat temannya terlempar.
Brak!!!
Jabrik terlempar terkena tendangan dan jatuh tepat di samping Badu.
Kedua orang itu meringis kesakitan. Melihat kedua temannya terkapar,
Kribo dengan kesal melempar majalah yang ia baca dan mencabut pisau
lipat dari saku di celananya. Dia berjalan pelan ke arah Badu dan
Jabrik, lalu membantu mereka berdiri. Tiga lawan satu, kelihatannya
tidak seimbang tapi kedua kawannya sudah jatuh, orang ini harus
diwaspadai. Kribo meludah dan menatap orang itu dengan pandangan seram.
Badu dan Jabrik yang melihat Kribo sudah memegang pisau ikut – ikutan
menyiapkan pisau lipat mereka.
“Siapa kamu!? Kurang ajar! Berani – beraninya menantang kami! Jangan
sok jago! Tadi kami belum siap! Ayo maju!” teriak Badu, walaupun
menantang, ia sebenarnya gentar juga, dengan tangan gemetar ia mengacung
– acungkan pisau yang ia pegang ke arah orang yang tiba – tiba saja
datang.
“Banci! Beraninya pakai senjata!” ejek orang itu sambil mencibir.
Badu menggerutu geram ketika orang tak dikenal itu maju tanpa
mempedulikan pisau yang ia pegang. Badu tidak takut, toh dia tidak
sendirian. Kedua kawannya yang lain juga sudah siap menyerang lelaki
asing itu. Ketika komando Badu diteriakkan, mereka bertiga menyerang
membabi buta. Tapi dengan mudah dan sigap ia menghindari semua serangan
mereka. Orang itu sebenarnya tidak besar dan kekar, bahkan kurus dan
sangat hitam, wajahnya juga terlihat tua dengan keriput yang tidak bisa
disembunyikan. Tapi orang ini sangat liat dan lincah, gerakannya cepat
dan efektif, semua diperhitungkan masak – masak, sepertinya dia sudah
sering melakukan pertarungan jalanan semacam ini.
Ketika serangan mereka dengan mudah dapat dihindari, Badu, Jabrik dan
Kribo merubah strategi dan mengepung sang lawan yang tidak bersenjata.
Kali ini mereka mengunci posisinya dari semua sisi.
Kribo berteriak kencang sambil menyergap maju, ia menusuk – nusukkan
pisaunya ke kepala sang lawan. Orang yang ia serang berputar cepat
menggunakan tumit kanan dan melambaikan tangannya dengan keras -
memukul tangkai pisau yang dipegang Kribo. Kaget karena tiba – tiba
saja kehilangan senjata, Kribo lengah. Dengan cepat sang lawan
menggunakan lengan bawahnya untuk mendesak leher Kribo dan
menjatuhkannya ke bawah. Kribo terbanting dengan keras dan berteriak
kesakitan. Kribo masih belum mau kalah, ia mencoba menyepak lawannya
menggunakan kakinya yang bebas. Namun orang itu bukan orang biasa, ia
melompat dan menubruk tubuh Kribo dengan sangat keras. Satu pukulan di
rahang dan satu sodokan sikut di perut Kribo membuat pria berambut afro
itu berteriak kesakitan. Kribo tak mampu bergerak lagi.
Melihat Kribo gagal merubuhkan sang lawan, bahkan berhasil dibekuk
dengan sangat mudah, membuat Badu dan Jabrik saling berpandangan dengan
bingung. Dari mereka bertiga, Kribo adalah yang paling kuat, ulet dan
susah dilawan. Kalau Kribo saja jatuh, apalagi mereka berdua! Keduanya
berteriak kencang dan lari ketakutan. Mereka lari terbirit – birit
seperti baru saja melihat hantu.
Lawan mereka, tentu saja bukan hantu.
Orang yang mereka hadapi adalah Paidi. Dulu narapidana, lalu penjual bakso, sekarang supir.
Pria tua kurus itu geleng – geleng melihat sifat pengecut Badu dan
Jabrik yang meninggalkan Kribo seorang diri. Ia melirik ke bawah dan
melihat Kribo meringis kesakitan, ia mengembik minta ampun. Kribo tak
bisa melarikan diri karena tubuhnya tak bisa digerakkan. Perutnya mulas
karena sodokan sikut dan rahangnya seperti mau copot.
Paidi mendengus, ia mencengkeram kaos Kribo dan mengangkatnya ke atas.
“Dengar aku baik – baik dan jangan sampai lupa menyampaikan pesanku
ini, bocah ingusan,” gertak Paidi. Ia menjelaskan tiap kata dengan
mendorong tubuh sang preman ke pagar besi yang tumpul, pasti sakit
sekali rasanya. “Aku akan melepaskanmu, dengan syarat kau mau
menyampaikan pesan kepada Bejo Suharso. Mengerti? Mengerti tidak? Bagus!
Bilang sama dia kalau Paidi tidak takut menghadapi berapapun anak buah
yang dia punya, karena aku juga punya anak buah. Teman – temanku yang
sudah lepas dari penjara akan senang sekali kalau mereka punya ‘kantung
pasir’ yang bisa dipukuli untuk melepas penat selama dipenjara. Dia
hanya preman kampung yang sok aksi. Bilang sama dia kalau dia sampai
berani mendekati keluarga Hendra lagi aku tidak akan segan menghajarnya.
Mengerti?”
“I – iya, bang… ngerti… nanti saya sampaikan… ke… uhhh… ke Pak Bejo.”
Paidi melempar tubuh Kribo ke tong sampah yang langsung terguling
berantakan. Ia meninggalkan tubuh Kribo dan mengelap tangannya ke kaos
yang ia kenakan.
Dengan langkah yakin Paidi meninggalkan Kribo yang sudah tak berdaya.
###
Hari ini, lagi – lagi Hendra memilih untuk berangkat ke kantor dengan
diantar oleh Paidi. Dia menolak diantar Alya ataupun mengerjakan
pekerjaannya di rumah, padahal pihak kantor sudah memberikan kompensasi
pada Hendra agar dia mengerjakan saja tugas – tugasnya di rumah. Jurang
antara pasangan suami istri serasi ini memang makin melebar. Hendra
sudah berubah, ia bukan lagi sosok yang tenang dan mencintai istrinya,
bahkan ada kesan kalau Hendra benci sekali pada Alya. Entah apa
sebabnya.
Sore itu, Alya yang sedih pulang ke rumah dengan kelelahan. Tadi Mas
Hendra sudah SMS kalau dia akan pulang besok, malam ini Mas Hendra ingin
berkunjung ke tempat saudara dan menginap di sana, pulang kerja
langsung dijemput oleh Anissa dan Dodit yang baru saja berangkat.
Setelah memandikan, makan dan menidurkan Opi, Alya bersantai – santai di
ruang tengah.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Alya menyaksikan
sinetron di televisi dengan pikiran yang menggelayut. Entah sinetron apa
yang sedang diputar di televisi itu, Alya sama sekali tidak
memikirkannya, ia hanya sedang pusing memikirkan semua masalah yang
menimpanya. Bukannya berkurang malah bertambah semakin ruwet. Tapi
mungkin itu juga gara – gara dia sendiri yang lengah.
Alya menggelengkan kepala, dalam benaknya kini berulang – ulang
adegan permainan cintanya dengan Paidi yang tak bisa hilang. Ia tahu ia
hanya bisa sekali itu saja bermain cinta dengan Paidi dan memang sudah
menjadi niat Alya untuk tidak mengulanginya lagi. Besok, Alya memutuskan
untuk memecat Paidi, ia tidak ingin mengulangi kesalahannya menjadi
budak Pak Bejo yang bejat itu. Hanya sekali itu saja ia mau melayani
Paidi… ya, hanya sekali itu saja ia… mmm… tapi… kenapa rasanya ia rindu
sekali pada pelukan laki – laki tua itu? Kenapa… tidak! Tidak boleh! Ia
tidak mau!
Benak Alya yang kacau memang diakibatkan oleh retaknya hubungannya
dengan Hendra dan perubahan mental akibat berulangkali ditiduri Pak
Bejo, gairah seksual Alya menjadi meledak – ledak, ia membutuhkan
permainan cinta yang tidak pernah lagi disediakan oleh Hendra. Paidi
yang tiba – tiba saja hadir dalam kehidupannya adalah sosok yang sama
sekali berbeda dengan Pak Bejo. Paidi mungkin tidak setampan Hendra,
tubuhnya cenderung kurus dengan wajah jelek yang keriput dan kulit yang
gelap terbakar matahari. Tapi anehnya… ada sesuatu yang lain dalam diri
Paidi yang membuat Alya merinding jika berdekatan dengannya. Mungkin
akibat terlalu sering berkencan dengan Pak Bejo membuat pandangan Alya
terhadap seorang laki – laki bergeser. Ia tidak lagi menganggap
ketampanan adalah segalanya.
Alya menggelengkan kepala, ia sudah melamun terlalu jauh.
“Kesepian ya, sayang?”
Alya terkejut mendengar suara jelek itu. Suara Pak Bejo!! Alya segera
membalikkan tubuh dengan cepat, benar! Pak Bejo ada dibelakangnya!
Kurang ajar! Kapan dia masuk? Bagaimana dia bisa masuk? Oh iya, dia
masih memegang duplikat kunci rumah!
“Sejak kapan Pak Bejo ada di dalam rumah?” desis Alya geram. “Keluar! Bapak tidak diundang masuk ke rumah ini!”
“Ha ha ha, sejak kapan aku butuh undangan untuk menikmati memek kamu
yang manis itu, sayang?” tawa Pak Bejo sambil mengelap air liurnya yang
menetes. Ia benar – benar sudah rindu pada tubuh molek Alya. Ibu muda
cantik itu memiliki tubuh yang sangat menggiurkan dan membuatnya kangen.
Seperti seorang perantau yang ingin selalu kembali pulang ke rumah,
sekali merasakan kehangatan tubuh sang bidadari, dia ingin selalu
menikmatinya. “Tahu rasa kamu sekarang! Sendirian saja di rumah tanpa
Mas Hendramu yang cacat dan supirmu yang sok jago itu!”
Tanpa menunggu aba – aba dari siapapun, Alya bergerak cepat dan
segera berlari menuju kamar. Kalau ia sudah sampai di kamar, dia akan
mengunci pintu sehingga Pak Bejo tidak bisa masuk.
Sayang, laki – laki tua gemuk itu lebih cepat.
Dengan gerakan tak terduga yang lincah Pak Bejo menubruk Alya. Tidak
menunggu lama, pria tua itu dengan paksa mencoba membuka baju sang ibu
muda. Alya mencoba berteriak, namun mulutnya lalu dibekap oleh Pak Bejo,
ia bahkan tidak bisa meronta karena eratnya pelukan sang preman
kampung. Nasibnya kini ada di tangan Pak Bejo! Lagi – lagi dia akan
diperkosa!
Pak Bejo mendengus – dengus seperti babi, nafsunya sudah memuncak
hingga ke ujung ubun – ubun. Dia sudah tidak tahan, sekali dia bisa
memasukkan penisnya ke memek Alya, dia akan memuntahkan semua pejuhnya
di dalam perut ibu muda yang cantik itu! Dia akan hamili istri Hendra
yang molek itu! Kalau sudah hamil, Alya pasti akan selalu merindukan
ayah anaknya!
Alya yang tak berdaya meringkuk dalam pelukan Pak Bejo. Air matanya
kembali mengalir walaupun mulutnya kini terkatup rapat. Ia tetap tidak
mau membuka mulut saat Pak Bejo menyorongkan bibirnya untuk mencium
bibir mungil Alya.
Pak Bejo yang sudah tak tahan melucuti bajunya sendiri, ia melepaskan
celana dan membuka kancing bajunya, ia ingin segera menelanjangi Alya
ketika tiba – tiba… terdengar suara dari jarak yang tidak begitu jauh.
“Lepaskan Bu Alya! Bajingan tengik!”
Suara itu lagi! Sial banget! Itu suara Paidi! Pak Bejo menoleh dan
mendesis kesal. “Kurang ajar!! Lagi – lagi kamu! Lonthe ini milikku!
Dasar Anj…”
Plaaaaaaaaakkkk!!!
Belum sampai Pak Bejo menyelesaikan kata – kata yang ia ucapkan,
Paidi sudah menamparnya dengan sangat keras. Begitu kerasnya hingga
tubuh Pak Bejo terlempar dari atas tubuh Alya. Si cantik itu meringkuk
ketakutan, dia lega sekali melihat kedatangan Paidi.
“Sudah saya bilang, lepaskan! Jangan salahkan saya kalau saya jadi
gelap mata! Saya minta dengan sangat untuk yang terakhir kalinya, tolong
hormati majikan saya! Jangan berani – berani mendekatinya lagi! Selama
ada saya disisinya, tidak akan saya biarkan siapapun juga menyakitinya!
Mengerti!? Saya harap Pak Bejo sadar kalau Pak Bejo sudah tidak
dibutuhkan lagi oleh keluarga ini! Pergi jauh – jauh dan jangan pernah
kembali lagi!!” bentak Paidi dengan galak.
Melihat ketangguhan dan kekerasan hati Paidi, Pak Bejo mau tak mau
gentar juga melihatnya. Ia sudah mendengar berita Kribo yang dihajar
oleh lelaki ini tempo hari. Dengan langkah gemetar, preman tua itu
meninggalkan Alya dan Paidi.
“Kau… kau… bajingan! Tunggu pembalasanku! Tunggu saja!” Pak Bejo
memegangi pipinya yang memerah karena kerasnya tamparan Paidi. Pria
gemuk itu langsung berlari tunggang langgang tanpa mempedulikan
pakaiannya yang masih belum dikenakannya dengan benar.
Paidi mendengus. Orang seperti Pak Bejo kadang memang tidak boleh
diberi hati. Dia harus diberi pelajaran supaya tidak memperlakukan orang
lain dengan semena – mena. Dasar preman kampung tidak tahu diri! Belum
cukup rupanya dia menghajar anak buahnya tempo hari. Paidi menengok ke
belakang dan melihat ke arah Alya yang duduk bersimpuh dengan lemas.
Pakaiannya terkoyak dan matanya berkaca – kaca. Dia memandang ke arah
Paidi dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan dengan kata – kata.
Dengan lembut Paidi berjongkok di depan Alya, dia merapikan rambut
dan baju Alya. “Orang itu sudah pergi, Bu. Semua akan baik – baik saja
mulai sekarang. Saya akan melindungi ibu.”
“Sudah pergi…?”
“Iya. Pak Bejo sudah pergi, semua pasti baik – baik saja. Ibu tidak apa – apa kan?”
Alya menggeleng. Dia masih belum bisa mempercayai kejadian yang baru saja ia alami.
“Bagus kalau begitu. Mari saya bantu berdiri.” Kata Paidi sambil mencoba mengangkat lengan Alya.
Tapi Alya tak bergeming, ia memandang ke arah Paidi dengan pandangan
yang sayu dan lemah. Matanya yang berkaca – kaca kini mulai meneteskan
air mata. Wanita cantik itu akhirnya tak kuat lagi, ia menangis dan
berteriak keras dalam pelukan Paidi.
Dengan lembut Paidi mengelus – elus punggung dan rambut majikannya
yang sangat indah. “Jangan khawatir, Bu. Mulai sekarang saya akan selalu
melindungi Ibu. Orang itu tidak akan saya ijinkan mendekati Ibu lagi.
Saya tidak akan membiarkan orang itu menganggu wanita yang saya cintai.”
Tadinya Alya terus saja menangis, menumpahkan semua kekesalan dan
penat yang ia rasakan dalam pelukan supirnya. Namun ia tersentak ketika
mendengar kata – kata cinta keluar dari mulut Paidi. Alya mundur dari
pelukan Paidi, ia menghapus air mata yang leleh di pipi. Keduanya
terdiam beberapa saat lamanya, saling memandang dan mendalami perasaan
masing – masing.
“Ka… kamu… apa yang kamu…?” tanya Alya dengan terbata – bata.
“Saya mencintai Bu Alya.” Jawab Paidi dengan bersungguh – sungguh.
“Be… benarkah?”
Paidi mengangguk, sudah kepalang basah, ia tidak akan mundur lagi. Ia
benar – benar telah mencintai Alya. Tidak masalah kalau ia ditolak dan
harus mengundurkan diri menjadi supir keluarga karena toh Alya telah
berkeluarga, yang penting, ia telah melindungi wanita yang ia cintai dan
membuktikan cintanya tidak hanya sekedar keinginan yang berlandaskan
nafsu semata.
Alya masih terus menatap mata Paidi dengan pandangan berlinang. Lalu…
dengan kekuatan yang entah datang dari mana, Alya menyorongkan kepala
ke atas, menarik kepala Paidi ke bawah, dan mencium bibirnya dengan
lembut.
Paidi kaget sekali melihat reaksi Alya ini, ia tidak mengira
majikannya itu akan menciumnya. Namun Alya adalah wanita yang sangat
diidam – idamkannya. Mendapat ciuman dari Alya bagaikan mendapat
anugerah yang tak ternilai harganya. Paidi membalas ciuman Alya dengan
sapuan lembut di bibir. Mereka saling melumat dan memberikan nafas,
menyapu bibir dan lidah dengan kelembutan. Setelah lama tak
merasakannya, baru kali inilah Paidi sadar, ia telah memperoleh apa yang
telah ia damba selepas kehidupan kelamnya, ia telah memperoleh cinta.
Setelah cukup lama mereka berciuman lembut, Alya akhirnya melepas bibir Paidi.
Paidi terdiam tak mampu bicara, bibirnya bergetar karena merasakan keindahan yang telah lama ia idam – idamkan.
“Mas…”
“I… Iya, Bu?”
“Maukah kamu tidur lagi denganku?”
Pandangan mata Paidi terbelalak kaget.
###
Ketika masuk ke kamar Paidi, Alya baru sadar kalau ternyata kamar
supirnya itu sangat bersih dan rapi. Ia tidak sempat memperhatikan
ketika masuk ke tempat ini tempo hari. Barang – barangnya disusun di
pojok, tempat tidurnya juga sangat bersih, sepreinya harum seperti baru
dicuci. Kamar yang sebelumnya dijadikan gudang itu juga sangat wangi.
Alya jadi semakin kagum dengan pria yang telah menyelamatkannya dari
cengkraman Pak Bejo ini. Walaupun punya masa lalu yang bisa dibilang
tidak menyenangkan, Paidi adalah pria yang mengagumkan. Paidi memang
telah menceritakan masa lalunya yang kelam, menjadi seorang penghuni bui
karena kesalahannya yang fatal. Kini Paidi ingin memperbaiki
kesalahannya itu.
Bagaikan pengantin yang baru saja menikah, tanpa diminta Paidi
mengangkat tubuh Alya dan meletakkan tubuh indahnya dengan lembut di
atas ranjang. Walaupun awalnya kaget, namun Alya menuruti saja kemauan
lelaki tua perkasa itu. Kain seprei yang bersih dan harum membuat Alya
tidak merasa jijik, ia bahkan sangat kagum dengan kerajinan dan
kebersihan Paidi, sungguh sangat jarang laki – laki seperti ini. Paidi
duduk di samping Alya yang terbaring. Dengan berani istri Hendra itu
menyentuh pundak laki – laki kurus dan tua yang rebah disampingnya. Ia
menyentuh pundak Paidi tanpa melepaskan pandangan dari mata pria yang
pernah berjualan bakso itu. Tangan lembut Alya meraih bagian belakang
kepala Paidi dan menariknya ke bawah, lalu bibir seksi si cantik itu
mengecup bibir sang supir.
Ciuman lembut Alya yang tulus mengoles bibirnya bagaikan obat untuk
semua lelah, gelisah dan keluh kesah yang pernah Paidi keluarkan seumur
hidupnya. Olesan lembut bibir mungil majikannya itu juga membuat tubuh
Paidi bagaikan disentak aliran listrik berjuta volt, seandainya dia
adalah sebuah baterai hidup, Paidi sudah langsung tercharge dengan
energi hingga penuh. Bibir mereka berdua saling mengelus, saling
menimang, beruntai, berjalin, menikmati sentuhan pelan dan nikmat yang
tak bisa diungkap dengan kata.
“Mmmhh…” desah Alya manja. Ia memejamkan mata dan membiarkan bibir
Paidi menari di atas bibirnya yang lembut, membiarkan bibir tebal dan
keras sang sopir menyelimuti bibirnya yang ranum. Olesan bibir Paidi
tidak seperti bibir Hendra yang lembut atau bibir Pak Bejo yang kasar
dan menuntut.
Lama pagutan bibir mereka tak saling lepas, Paidi mulai mengeluarkan
lidahnya yang bagai ular. Lidah Paidi membuat Alya makin tak berkutik
dan tenggelam sepenuhnya dalam pelukan sang sopir.
“Mas?” tanya Alya ketika bibir mereka lepas sejenak.
“Hmm?”
Alya tak buru – buru menjawab karena kembali menikmati lidah dan bibir Paidi.
“Aku… mhh… mmhh… mau… tanya…”
“Hmm?”
Kembali bibir Paidi menggelayut di bibir sang kekasih namun kali ini Alya menolaknya.
“Iiihhh… Mas nakal! Aku kan mau tanya sesuatu yang penting, jangan digangguin dulu!”
“Habis bibir kamu menggemaskan, mungil dan mengundang, aku jadi tidak
tahan.” Kata Paidi sambil tersenyum. “Baiklah, kamu mau tanya apa,
sayang?”
“Bagian mana dari tubuhku yang paling Mas Paidi suka? Akan langsung
aku berikan sekarang juga.” Kata Alya sambil menggigit bibir bawahnya
dengan genit.
“Aku suka semuanya.”
“Ah, jawaban gombal.”
“Kalau begitu… aku suka dari ujung kaki sampai ujung rambut.”
“Hi hi hi, aku nggak percaya. Mana ada yang suka ujung kaki aku.”
“Aku suka.”
“Bohong.”
“Eh, gak percaya? Baik aku buktiin!”
Paidi membalik badannya dengan cepat tanpa mempedulikan protes Alya yang tertawa.
“Aku kan cuma becanda, Mas!”
Paidi membuktikan kesungguhannya dengan menciumi jempol dan jemari
kaki Alya. Si cantik beranak satu itu adalah wanita yang amat
memperhatikan kebersihan, sehingga Paidi tidak sedikitpun merasa jijik
karena kaki Alya sangat mulus dan bersih. Mirip kaki seorang bayi yang
lembut dan suci. Paidi mencium dan menjilat – jilat kaki sang kekasih
dengan sepenuh hati. Alya bergetar karena rangsangan Paidi ini.
“A… aku percaya, Mas… aku percaya…”
Sambil tersenyum puas Paidi mengelus lembut betis sang bidadari.
Tentu saja pria tua itu tidak berhenti sampai di situ saja. Ia
mengeluskan tangannya dari bawah ke atas, naik ke arah paha mulus Alya.
Kaki Alya yang jenjang membuat Paidi terkagum – kagum, begitu mulus,
indah dan putih, sangat sedap dipandang. Alya memiliki karunia yang
sangat lengkap dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, semua indah dan
sempurna.
Tapi bidadari itu kini tengah dilanda nafsu birahi yang meledak –
ledak, ia tidak mau tangan Paidi hanya mengelus – elus betis dan pahanya
saja, ia ingin lebih. Sambil berbaring di ranjang, Alya memberanikan
diri mengelus batang kemaluan Paidi yang masih tersembunyi di balik
celana. Tangannya yang lembut bergerak naik turun dengan perlahan,
membuat sekujur tubuh Paidi merinding keenakan. Siapa yang tidak mau
penisnya dikocok wanita semolek Alya? Hanya dengan melihat pandangan
mata Alya yang berbinar, Paidi tahu kalau Alya merindukan permainan
cinta yang sebenarnya, bukan perkosaan brutal ala Pak Bejo, atau
hubungan dingin tanpa perasaan seperti yang ditunjukkan Hendra. Paidi
akan membuat si cantik ini menikmati seks yang indah bersamanya.
Perlahan Paidi menurunkan celana berikut celana dalamnya. Batang kemaluannya menegak kencang di hadapan wajah cantik Alya.
“Mas… aku ingin… mmm… boleh aku…?” tanya Alya malu – malu. “Mmm… bolehkah?”
Alya tidak melanjutkan kata – katanya saat ia melihat Paidi
mengernyit keenakan. Elusan lembut jemari Alya pada batang kemaluan
Paidi membuat mantan penjual bakso itu bergetar dan menggelinjang tak
kuasa menahan nafsu. Hal itu membuat Alya tersenyum tertahan, seperkasa
apapun Paidi, ia ternyata tidak tahan dengan jari – jarinya yang lembut.
Sembari menikmati elusan lembut jemari Alya pada penisnya, Paidi
melucuti pakaian yang ia kenakan. Ia ingin bersentuhan langsung dengan
kulit mulus Alya, tanpa terhalang baju mereka. Seakan mengerti kemauan
Paidi, Alya mengikuti dengan melucuti pakaiannya sendiri. Ia berhenti
sebentar mengelus penis Paidi untuk membuka baju. Pria tua itu mengerang
kecewa ketika Alya berhenti menyentuh kemaluannya, namun karena ia
mendapati Alya sudah tak berbusana ketika ia membuka mata, Paidi tak
mengeluh sedikitpun.
Paidi berdecak kagum ketika kembali bisa menikmati keutuhan tubuh
molek Alya. Benar – benar seorang bidadari yang turun dari langit,
sempurna tiada duanya. Bila dibandingkan dengan bintang sinetron,
mungkin Alya lebih cantik dan seksi, kini bayangkan jika tubuh
sesempurna itu dipersembahkan untuk pria seperti Paidi! Pandangan
matanya tak ingin lepas dari kesempurnaan Alya, wajah cantik lembut
dengan rambut yang terurai indah, kulit mulus seputih susu yang
memancarkan keharuman mewangi, payudara sempurna yang sintal dan
menggairahkan, pinggang ramping, pantat bulat, semua – untuk Paidi.
Alya diam saja tanpa mempedulikan kekaguman Paidi kepadanya dan meneruskan ‘pekerjaannya’ memainkan kemaluan Paidi.
Paidi buru – buru sadar dari rasa kagum yang membuatnya terbengong –
bengong dan segera kembali ke posisi semula, ia berbaring dan membiarkan
wajah Alya tepat berada di depan penisnya sementara ia sendiri
berhadapan langsung dengan kaki sang bidadari. Saat itulah pria tua yang
perkasa itu menurunkan wajahnya hingga ke kaki sang bidadari. Alya
meringis keenakan saat Paidi beraksi, tanpa malu – malu pria tua yang
pernah berjualan bakso itu menjilati dan menciumi ujung – ujung jemari
kaki Alya. Paidi melakukan aksinya dengan sangat pintar dan membuat Alya
menggelinjang, ibu muda satu anak yang statusnya adalah istri orang
itupun tak kuasa menahan desahan demi desahan yang terus menerus keluar
dari bibir mungilnya.
“Auhhhhhmmm, Masss… geli mass… jangan… aaaaahhhh…” tangan Alya tak
beranjak dari batang kemaluan Paidi, terus meremas dan mengocok penisnya
yang besar dan hitam sementara sang supir mencumbu dan mengulum jari –
jari kaki dan betisnya. Melihat Alya keenakan, Paidi menarik kaki wanita
cantik yang mulus dan jenjang itu ke bawah. Jengkal demi jengkal sisi –
sisi kaki Alya dicumbui dengan buas oleh Paidi, si cantik itu makin tak
tahan dibuatnya, kakinya bergerak tak menentu arah, menyepak kesana
kemari. Paidi tersenyum, dengan tangannya yang berotot dipegangnya kaki
Alya erat – erat, lalu dijilatinya seluruh bagian kaki Alya yang sangat
putih dan indah itu.
“Aaaahh, Massss… ouuuhhh, jahaaaat… geli ahhhh!!”
Paidi melanjutkan ciuman dan jilatannya tanpa memperdulikan desahan
manja sang ibu muda. Alya memejamkan mata menahan nafsunya yang
menggelegak hebat karena foreplay yang dilakukan oleh Paidi. Semua
perasaan jijik yang selama ini dipelihara karena tidur dengan laki –
laki yang tidak ia sukai ia lepaskan dengan bebas bersama Paidi. Laki –
laki ini memang bukan Hendra, tapi paling tidak ia bukan Pak Bejo. Alya
melenguh dan mengembik tanpa malu, membiarkan suaranya lepas menyebar ke
seluruh penjuru rumah. Seluruh penat dan stress karena masalah Pak Bejo
dan Hendra membuat Alya menyerahkan seluruh tubuhnya pada Paidi.
Paidi kini tak hanya menggunakan lidah dan mulutnya saja, tangannya
bergerak menyentuh paha Alya dan mengelus – elusnya lembut. Tak pernah
ia membayangkan sebelumnya kalau ia mampu melakukan hal ini selepas
keluar dari penjara, yaitu mengelus – elus paha mulus seorang wanita
cantik dan terhormat seperti Alya.
Istri Hendra itu masih memejamkan mata, ia membiarkan saja tangan
Paidi bergerak nakal menyusuri pahanya yang putih mulus sampai ke
pangkal paha. Setelah bagian bawah kaki Alya yang jenjang basah oleh
ciuman dan jilatan bibir dan lidah Paidi, kini giliran paha mulus Alya
yang diserang.
Ibu muda satu anak itu membuka pahanya lebar – lebar memperlihatkan
keindahan bibir kemaluannya yang merekah merah muda, kuncupnya yang
mungil mempesona Paidi. Ia kagum Alya masih memiliki bentuk vagina yang
indah padahal sudah memberikan keperawanan pada Hendra, melahirkan Opi
dan tidur berkali – kali dengan Pak Bejo.
Jari jemari Paidi bergerak lincah menyusuri daerah sekitar kemaluan
Alya tanpa sekalipun menyentuh bibir vaginanya. Tubuh Alya menggelinjang
karena menahan nafsu yang kian lama kian tak tertahankan. Sekali –
sekali Paidi menyentuhkan jarinya ke bibir kemaluan Alya seakan tak
disengaja.
“Ahhhh!! Ahhh!!” desah Alya manja, tubuhnya bergetar hebat tiap kali
Paidi memancingnya. Tak tahan oleh perlakuan sang supir, Alya melenguh
panjang, kepalanya bergerak makin tak terkendali ke kanan kiri sementara
matanya masih terus terpejam. Melihat gerakan erotis dan lenguhan manja
sang majikan, Paidi makin berani. Dengan nekat pria kurus berkulit
gelap itu mendorong kepalanya masuk ke pangkal paha Alya.
“Aaaaaaaaaaahhhh!!!” Alya kembali mengeluarkan desahan panjang.
Paidi terus melaksanakan niatnya menguasai daerah kemaluan Alya
dengan bibir dan lidahnya. Hisapan, ciuman dan jilatan silih berganti
menyerang sang ibu muda. Belum sampai kemaluan Paidi masuk, liang cinta
Alya sudah mulai basah. Bahkan Paidi bisa melihat tetesan air cinta
mengalir tipis dari bibir mungil kemaluan sang kekasih. Alya mengangkat
pantatnya, meminta bibir Paidi terus mengelus bibir vaginanya. Dengan
lembut Paidi menyusuri rambut kemaluan Alya yang lembut. Paidi paling
suka dengan wanita seperti Alya, dia merawat rambut kemaluannya dengan
mencukurnya rajin, baunya juga sangat wangi dengan aroma khas. Paidi
sengaja menggoda Alya dengan menghembuskan nafas ke liang memeknya tanpa
menyentuh. Alya tak tahan lagi, dia sodorkan bibir kewanitaannya ke
mulut Paidi.
Dengan kedua jarinya, Paidi membuka sedikit mulut kemaluan Alya.
Iapun segera mencari titik kelemahan sang ibu muda - klitorisnya.
Ketika tonjolan kecil yang mematikan itu berhasil ditemukan, Paidi
memperlancar aksinya menaklukkan Alya. Jilatan, hisapan dan sedotannya
membuat tubuh Alya melonjak – lonjak bagai kuda liar yang sangat binal.
Paidi bahkan harus memegang erat tubuh Alya agar tak terlonjak jatuh
dari ranjang. Paidi melumat lembut kelentit sang wanita cantik yang ada
dalam pelukannya, ciumannya lalu beralih ke sisi luar bibir vagina dan
akhirnya ke bawah, masuk ke dalam liang cintanya. Sekali lagi Alya
melonjak ke atas dan mendesis dengan keras, wajahnya yang cantik
terlihat histeris namun ia berusaha keras menahan teriakannya.
“Mas! Sudah, Mas! Aku tidak kuat lagi! Masukkan! Ayo! Masukkan…”
Paidi tidak begitu saja menuruti permintaan Alya. Ia mainkan dulu
lidahnya di bibir memek Alya. Gerakan kaki sang bidadari makin tak
tertahan, ia menendang kesana kemari tanpa sasaran. Kepalanya berpaling
ke kanan dan kiri dengan mata terpejam dan keringat yang terus
bercucuran. Alya mengambil bantal dan menggigit ujungnya untuk menahan
kenikmatan yang terus ia rasakan. Ketika Paidi menyedot cairan cinta
yang menetes keluar dari memek Alya, rasa gelinya ia alirkan dengan
menggigit ujung bantal.
Lidah Paidi makin berkuasa. Ia mendorong lidahnya masuk ke memek
Alya, menjilat dinding yang ada di dalam, menari dan bergoyang tanpa
ampun. Jari jemari Paidi membuka sedikit bibir memek Alya agar lidahnya
bisa lebih leluasa.
“Sudah, Mas! Sudah cukup! Aku tidak tahan lagi!” desis Alya untuk yang kesekiankali.
Paidi mengangkat kepala dan tubuhnya, kini ia membenamkan bibirnya ke
telinga sang bidadari. Orang yang pernah menjadi narapidana itu terus
membisikkan kata – kata mesra ke telinga Alya, sementara tangannya asyik
memainkan pentil susu yang sudah sangat menjorok keluar. Istri Hendra
itu sudah sangat bernafsu, wajahnya memerah karena sangat menginginkan
kemaluan Paidi. Ia mengelus dada Paidi dan meminta dengan pandangan
memelas. Paidi tahu apa yang diinginkan oleh majikannya yang jelita itu,
ia segera mengambil posisi.
Paidi kembali mengincar klitoris milik Alya. Benda mungil yang
menjorok tepat di dalam area kemaluan sang bidadari itu dijilatnya ke
kanan dan kiri, digerakkan naik turun. Bagi seorang wanita, titik
kelemahan inilah yang membuatnya tak tahan menerima godaan laki – laki.
Begitu pula bagi Alya, tubuhnya melejit dan pantatnya diangkat tinggi –
tinggi, cairan cintapun meleleh membasahi bibir kemaluan si cantik itu.
Ketika Paidi nekat menyeruput cairan cinta Alya, istri Hendra itupun
menggelinjang keenakan dan meronta.
“Masssss… ahhhhh… ooooohhhhmmm… jangan dimaininnnn…” Alya merem melek
keenakan, dia sudah tidak tahan lagi. “Ayo masukkan, Mas! Cepeeeet!!
Aku tidak tahaaaan!!” rengeknya manja.
Dengan hati – hati Paidi menaiki tubuh sempurna milik Alya, putihnya
kulit mulus Alya yang bagai pualam membuat pria tua kurus itu terkagum –
kagum. Kontras sekali kulit bidadari ini dengan kulitnya yang hitam
legam. Apalagi melihat payudara sempurna yang tak puas – puas remas
dengan gemas. Betapa kagetnya Paidi ketika Alya nekat menarik batang
kemaluannya yang sudah mengeras.
“Ouuuughhhh, besar sekali… ehmmmm… masukin, Masssss!! Cepeeettt!!”
Tentu saja Paidi tidak ingin begitu saja menyodokkan penisnya ke
memek Alya walaupun dia sangat ingin. Dengan gerakan ringan, digoyangkan
ujung gundul penisnya ke bibir kemaluan Alya tapi selalu ditariknya
batang kemaluan itu ketika Alya ingin membimbingnya masuk ke dalam.
“Aaaahhh! Gimana sih!! Ayoooo, aku sudah tidak tahaaaann!!!” rengek si cantik.
Dengan hati – hati batang kemaluan Paidi ditarik oleh Alya masuk ke
dalam liang kemaluannya. Bagi Paidi, ini yang namanya mimpi menjadi
kenyataan. Sang majikan yang cantik jelita dan seksi sangat bernafsu
menikmati kemaluan supirnya yang buruk rupa, kurus dan hitam legam. Alya
sudah tidak ingat lagi statusnya sebagai istri Hendra ataupun ibu Opi,
ia hanya ingin disetubuhi saat ini - – disetubuhi oleh penis raksasa
Paidi!
Penis Paidi melesak masuk dengan mudah karena memek Alya sudah sangat
basah, cairan pelumas yang keluar di dalam liang kenikmatan Alya
membanjir dengan deras, memudahkan batang kemaluan Paidi melesak masuk
ke dalam. Alya mengerang dan menggoyangkan kepalanya ke kiri dan kanan,
ia menderita dalam kenikmatan. Ketika melihat Alya sedikit kesakitan,
Paidi menunda menyodokkan penisnya, tapi Alya justru mengangkat
pantatnya, ingin segera digenjot.
Paidi memaju mundurkan pinggulnya dengan perlahan, ia takut menyakiti
vagina Alya. Tapi wanita cantik itu sudah terlalu tenggelam dalam
kenikmatan birahi yang tanpa ujung. Paidi tak puas – puasnya memandang
kecantikan dan kemolekan wajah dan tubuh Alya. Lekuk tubuhnya yang
sempurna, buah dadanya yang kenyal, pinggang ramping dan kulit putih
mulus sang majikan. Ia bagaikan berada di awang – awang, tak percaya ia
ternyata berhasil menikmati keindahan tubuh istri Hendra yang sangat
seksi ini.
“Masss… aku nggak tahan… terussss… aaaahhhh…” Alya merengek manja.
Paidi tidak mampu menjawab karena merem melek keenakan. Memek Alya
meremas – remas kemaluannya, memilin dan menggilingnya dalam liang
kenikmatan yang sempit dan lembab. Ia tidak menyangka memek ibu satu
anak ini masih begitu sempit dan nikmat, penisnya seakan disedot ke
dalam tubuh Alya. Memek si cantik itu lama kelamaan makin basah oleh
cairan kenikmatan yang keluar dari dalam, membuat goyangan penis Paidi
seakan menumbuk liang yang becek.
Desahan manja dan kecantikan Alya membuat Paidi makin tak kuat
menahan nafsunya. Dengan penuh tenaga pria tua kurus berkulit gelap itu
mempercepat gerakan menumbuknya. Alya makin kebingungan, sakit sekaligus
enak sekali rasanya, ia tidak tahu harus berbuat apa. Alya hanya bisa
mengimbangi gerakan memilin Paidi dengan menggerakkan pinggulnya maju
mundur. Kemaluan Paidi yang ukurannya sangat besar memenuhi liang
kenikmatannya dengan penuh, hanya dengan menggerakkan pinggulnya
sedikit, penis itu sudah sampai di ujung terdalam dinding memek Alya,
si cantik itupun belingsatan dan merem melek keenakan.
Tempat tidur Paidi makin tak berbentuk, sepreinya acak – acakan,
bantal dan gulingnya terjatuh entah kemana. Makin lama, kedua insan yang
sedang bercinta itu semakin dekat ke puncak kenikmatan. Paidi berusaha
keras menahan orgasme, ia tak ingin terlalu cepat mengeluarkan air
maninya, ia masih ingin menikmati memek Alya yang nikmatnya bagaikan
surgawi. Tapi ia tak bisa mengingkari kekuatannya sendiri, dengan sekuat
tenaga, Paidi menyodokkan penisnya berkali – kali ke dalam memek Alya
yang menjerit – jerit penuh kenikmatan. Akhirnya Paidi mengeluarkan satu
lolongan panjang, ia meremas bahu Alya kuat – kuat. Ia hampir sampai di
puncak kenikmatan.
Alya yang tahu Paidi sudah hampir orgasme juga tak mau kalah, ia
menggerakkan tubuhnya dengan gerakan menggila dan mendaki jalan nikmat
menuju puncak. Alya sudah tidak peduli lagi dengan posisinya sebagai
majikan Paidi ataupun statusnya sebagai istri Hendra dan ibu satu anak.
Ia hanya ingin memuaskan birahinya secara alami, tanpa paksaan, tanpa
tuntutan. Alya mengangkat kakinya dan mengapit pinggul Paidi, ia
sodokkan pantatnya ke atas untuk melesakkan penis Paidi lebih dalam
lagi. Akhirnya si cantik itu sampailah ke ujung perjalanan permainan
cinta ini, ia mengerang tanpa terkendali.
“Masssss! Massss! Aku mau keluaaaaaar!!” jerit Alya panik, ia tak kuat lagi menahan orgasme. “Ahhhhhh! Aaahhhh!!!”
“Ahhhhmmm!! Ayo sayang! Kita sama – sama keluar! Aaahhh!!! Alyaku sayaaaang!!”
Semprotan demi semprotan air mani mengalir deras di dalam memek Alya,
bercampur dengan cairan cinta yang memancar dari dalam. Cairan kental
meleleh dari ujung bibir kemaluan sang ibu muda, membuktikan penyatuan
kedua tubuh insan berlainan jenis ini.
Desah nafas kelelahan berpacu dari mulut Alya dan Paidi yang masih
berpelukan dalam ketelanjangan, keringat deras membanjir di seluruh
tubuh mereka, kemaluan Paidi masih bertahan di dalam liang lembut Alya.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka berdua hanya terdiam, membiarkan
waktu berlalu dan mencoba memperoleh kembali nafas mereka yang kembang
kempis.
Tangan Paidi menggenggam erat tangan Alya, untuk sesaat sekalipun, ia
tidak mau melepaskannya. Ia ingin terus bisa melakukan ini, ia ingin
terus bisa menikmati keindahan tubuh sang majikan… ah bukan… ia ingin
terus bisa menikmati tubuh indah sang kekasih pujaan. Ya, walaupun di
mata orang luar mereka adalah majikan dan sopir, tapi Paidi dan Alya
kini resmi menjadi sepasang kekasih.
Mata mereka saling berpandangan, mencoba menyelami perasaan masing –
masing. Paidi tahu, walaupun ada kepuasan dalam diri Alya, namun matanya
yang indah itu tak bisa berbohong. Ia menyimpan kesedihan yang teramat
dalam. Paidi tahu apa yang mereka lakukan ini salah, Alya adalah istri
sah Hendra dan ia mungkin telah menggoda wanita cantik itu untuk
berselingkuh. Mungkin apa yang mereka berdua rasakan bukan cinta,
mungkin hanya nafsu… tapi… seandainya diijinkan, ia ingin selalu
bersama… selamanya.
Alya menatap mata Paidi tajam, entah kenapa ia terlihat ragu hendak
mengungkapkan sesuatu. “Mas, aku… bolehkah aku menanyakan sesuatu?
Sebenarnya aku malu… tapi…”
“Boleh saja, sayang. Mau tanya apa?”
“Mas… emmm, sudah capek belum?… emm… mau… lagi?” Alya mengedip genit dan tersenyum manja.
Paidi tertawa geli. Ia memeluk bidadarinya erat – erat tanpa
sedikitpun keinginan melepas tubuh indahnya. “Apapun yang kamu minta,
sayang. Apapun yang kamu minta.”
Dengan manja Alya mengangkat tangan Paidi dan membiarkan jemarinya
mengelus pantatnya yang bulat, Alya kemudian menggoyangnya tanpa merasa
malu. “Mau coba dari belakang?” tanya si cantik itu dengan senyum nakal.
Ini bukan kali pertama baginya, dan jelas bukan yang terakhir.
Malam pun terasa panjang untuk mereka berdua.
###.
TAMAT