Recent Posts Widget

Skandal Keluarga

http://cerita-porno.blogspot.com/2012/06/skandal-keluarga.html

Saya seorang pria berumur 40 tahun. Istri saya satu tahun lebih muda dari saya. Secara
keseluruhan kami keluarga bahagia dengan dua anak yang manis-manis. Yang sulung, perempuan
kelas II SMP (Nisa) dan bungsu laki-laki kelas 3 SD. Saya bekerja di sebuah perusahaan
telekomunikasi. Sedangkan istri saya seorang wanita karier yang sukses di bidang farmasi.
Kini dia menjabat sebagai Distric Manager. Kami saling mencintai. Dia merupakan seorang
istri yang setia. Saya sendiri pada dasarnya suami yang setia pula. Paling tidak saya setia
terhadap perasaan cinta saya kepada istri saya. Tapi tidak untuk soal seks. Saya seorang
peselingkuh. Ini semua karena saya memiliki libido yang amat tinggi sementara istri saya
tidak cukup punya minat di bidang seks. Saya menginginkan hubungan paling tidak dua kali
dalam seminggu. Tetapi istri saya menganggap sekali dalam seminggu sudah berlebihan.
Dia pernah bilang kepada saya, "Lebih enak hubungan sekali dalam sebulan."
Tiap kali hubungan kami mencapai orgasme bersama-sama. Jadi sebenarnya tidak ada masalah
dengan saya.

Rendahnya minat istri saya itu dikarenakan dia terlalu terkuras tenaga dan pikirannya untuk
urusan kantor. Dia berangkat ke kantor pukul 07.30 dan pulang lepas Maghrib. Sampai di rumah
sudah lesu dan sekitar pukul 20.00 dia sudah terlelap, meninggalkan saya kekeringan. Kalau
sudah begitu biasanya saya melakukan onani. Tentu tanpa sepengetahuan dia, karena malu kalau
ketahuan.

Selama perkawinan kami sudah tak terhitung berapa kali saya berselingkuh. Kalau istri saya
tahu, saya tak bisa membayangkan akan seperti apa neraka yang diciptakannya. Bukan apa-apa.
Perempuan-perempuan yang saya tiduri adalah mereka yang sangat dekat dengan dia. Saya
menyimpan rapat rahasia itu. Sampai kini. Itu karena saya melakukan persetubuhan hanya
sekali terhadap seorang perempuan yang sama. Saya tak mau mengulanginya. Saya khawatir,
pengulangan bakal melibatkan perasaan. Padahal yang saya inginkan cuma persetubuhan fisik.
Bukan hati dan perasaan. Saya berusaha mengindarinya sebisa mungkin, dan memberi kesan
kepada si perempuan bahwa semua yang terjadi adalah kekeliruan. Memang ada beberapa
perempuan sebagai perkecualian yang nanti akan saya ceritakan.

Perempuan pertama yang saya tiduri semenjak menikah tidak lain adalah kakak istri saya. Oh
ya, istri saya merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Semuanya perempuan. Istri saya
sebut saja bernama Yeni. Kedua kakak Yeni sudah menikah dan punya anak. Mereka keluarga
bahagia semuanya, dan telah memiliki tempat tinggal masing-masing. Hanya saya dan istri yang
ikut mertua dua tahun pertama perkawinan kami. Setiap minggu keluarga besar istri saya
berkumpul. Mereka keluarga yang hangat dan saling menyayangi.

Mbak Maya, kakak istri saya ini adalah seorang perempuan yang dominan. Dia terlihat sangat
menguasai suaminya. Saya sering melihat Mbak Maya menghardik suaminya yang berpenampilan
culun. Suami Mbak Maya sering berkeluh-kesah dengan saya tentang sikap istrinya. Tetapi
kepada orang lain Mbak Maya sangat ramah, termasuk kepada saya. Dia bahkan sangat baik. Mbak
Maya sering datang bersama kedua anaknya berkunjung ke rumah orang tuanya -yang artinya
rumah saya juga- tanpa suaminya.
Kadang-kadang sebagai basa-basi saya bertanya, "Kenapa Mas Wid tidak diajak?"
"Ahh malas saya ngajak dia," jawabnya.
Saya tak pernah bertanya lebih jauh.

Seringkali saat Mbak Maya datang dan menginap, pas istri saya sedang tugas luar kota. Istri
saya dua minggu sekali keluar kota saat itu. Dia adalah seorang detailer yang gigih dan
ambisius. Jika sudah demikian biasanya ibu mertua saya yang menyiapkan kopi buat saya, atau
makan pagi dan makan malam. Tapi jika pas ada Mbak Maya, ya si Mbak inilah yang menggantikan
tugas ibu mertua. Tak jarang Mbak Maya menemani saya makan.

Karena seringnya bertemu, maka saya pun mulai dirasuki pikiran kotor. Saya sering
membayangkan bisa tidur dengan Mbak Maya. Tapi mustahil. Mbak Maya tidak menunjukkan tipe
perempuan yang gampang diajak tidur. Karenanya saya hanya bisa membayangkannya. Apalagi
kalau pas hasrat menggejolak sementara istri saya up country. Aduhh, tersiksa sekali
rasanya. Dan sore itu, sehabis mandi keramas saya mengeringkan rambut dengan kipas angin di
dalam kamar. Saya hanya bercelana dalam ketika Mbak Maya mendadak membuka pintu.

"Kopinya Dik Andy."
Saya terkejut, dan Mbak Maya buru-buru menutup pintu ketika melihat sebelah tangan saya
berada di dalam celana dalam, sementara satu tangan lain mengibas-ibas rambut di depan kipas
angin. Saya malu awalnya. Tetapi kemudian berpikir, apa yang terjadi seandainya Mbak Maya
melihat saya bugil ketika penis saya sedang tegang?

Pikiran itu terus mengusik saya. Peristiwa membuka pintu kamar dengan mendadak bukan hal
yang tidak mungkin. Adik-adik dan kakak-kakak istri saya memang terbiasa begitu. Mereka
sepertinya tidak menganggap masalah. Seolah kamar kami adalah kamar mereka juga. Adik istri
saya yang bungsu (masih kelas II SMU, sebut saja Rosi) bahkan pernah menyerobot masuk begitu
saja ketika saya sedang bergumul dengan istri saya. Untung saat itu kami tidak sedang bugil.
Tapi dia sendiri yang malu, dan berhari-hari meledek kami.

Sejak peristiwa Mbak Maya membuka pintu itu, saya jadi sering memasang diri, tiduran di
dalam kamar dengan hanya bercelana dalam sambil coli (onani). Saya hanya ingin menjaga
supaya penis saya tegang, dan berharap saat itu Mbak Maya masuk. Saya rebahan sambil membaca
majalah. Sialnya, yang saya incar tidak pernah datang. Sekali waktu malah si Rosi yang masuk
buat meminjam lipstik istri saya. Ini memang sudah biasa. Buru-buru saya tutupkan CD saya.
Tapi rupanya mata Rosi keburu melihat.

"Woww, indahnya."
Dia tampak cengengesan sambil memolesi bibirnya dengan gincu.
"Mau kemana?" tanya saya.
"Nggak. Pengin makai lipstik aja."
Saya meneruskan membaca.
"Coli ya Mas?" katanya.
Gadis ini memang manja, dan sangat terbuka dengan saya. Ketika saya masih berpacaran dengan
istri saya, kemanjaannya bahkan luar biasa. Tak jarang kalau saya datang dia menggelendot di
punggung saya. Tentu saya tak punya pikiran apa-apa. Dia kan masih kecil waktu itu. Tapi
sekarang. Ahh. Tiba-tiba saya memperhatikannya. Dia sudah dewasa. Sudah seksi. Teteknya 34.
Pinggang ramping, kulit bersih. Dia yang paling cantik di antara saudara istri saya.

Pikiran saya mulai kotor. Menurut saya, akan lebih mudah sebenarnya menjebak Rosi daripada
Mbak Maya. Rosi lebih terbuka, lebih manja. Kalau cuma mencium pipi dan mengecup bibir
sedikit, bukan hal yang sulit. Dulu saya sering mengecup pipinya. Tapi sejak dia kelihatan
sudah dewasa, saya tak lagi melakukannya. Akhirnya sasaran jebakan saya beralih ke Rosi.
Saya mencoba melupakan Mbak Maya.

Sore selepas mandi saya rebahan di tempat tidur, dan kembali memasang jebakan untuk Rosi.
Saya berbulat hati untuk memancing dia. Ini hari terakhir istri saya up country. Artinya
besok di kamar ini sudah ada istri saya. Saya elus perlahan-lahan penis saya hingga berdiri
tegak. Saya tidak membaca majalah. Saya seolah sedang onani. Saya pejamkan mata saya.
Beberapa menit kemudian saya dengar pintu kamar berderit lembut. Ada yang membuka. Saya diam
saja seolah sedang keasyikan onani. Tidak ada tanggapan. Saya melihat pintu dengan sudut
mata yang terpicing. Sialan. Tak ada orang sama sekali. Mungkin si Rosi langsung kabur. Saya
hampir saja menghentikan onani saya ketika dari mata yang hampir tertutup saya lihat
bayangan. Segera saya mengelus-elus penis saya dengan agak cepat dan badan bergerak-gerak
kecil. Saya mencoba mengerling di antara picingan mata. Astaga! Kepala Mbak Maya di ambang
pintu. Tapi kemudian bayangan itu lenyap. Lalu muncul lagi, hilang lagi, Kini tahulah saya,
Mbak Maya sembunyi-sembunyi melihat saya. Beberapa saat kemudian pintu ditutup, dan tak
dibuka kembali sampai saya menghentikan onani saya. Tanpa mani keluar.

Malamnya, di meja makan kami makan bersama-sama. Saya, kedua mertua, Mbak Maya, Rosi dan
kakak Rosi, Mayang. Berkali-kali saya merasakan Mbak Maya memperhatikan saya. Saya
berdebar-debar membayangkan apa yang ada di pikiran Mbak Maya. Saya sengaja memperlambat
makan saya. Dan ternyata Mbak Maya pun demikian. Sehingga sampai semua beranjak dari meja
makan, tinggal kami berdua. Selesai makan kami tidak segera berlalu. Piring-piring kotor dan
makanan telah dibereskan Mak Jah, pembantu kami.

"Dik Andy kesepian ya? Suka begitu kalau kesepian?" Mbak Maya mebuka suara.
Saya kaget. Dia duduk persis di kanan saya. Dia memandangi saya. Matanya seakan jatuh
kasihan kepada saya. Sialan.
"Maksud Mbak May apaan sih?" saya pura-pura tidak tahu.
"Tadi Mbak May lihat Dik Andy ngapain di kamar. Sampai Dik Andy nggak liat. Kalau sedang
gitu, kunci pintunya. Kalau Rosi atau Ibu lihat gimana?"
"Apaan sih?" saya tetap pura-pura tidak mengerti.
"Tadi onani kan?"
"Ohh." Saya berpura-pura malu.
Perasaan saya senang bercampur gugup, menunggu reaksi Mbak Maya. Saya menghela nafas
panjang. Sengaja.
"Yahh, Yeni sudah tiga hari keluar kota. Pikiran saya sedang kotor. Jadi.."
"Besok lagi kalau Yeni mau keluar kota, kamu minta jatah dulu."
"Ahh Mbak May ini. Susah Mbak nunggu moodnya si Yeni. Kadang pas saya lagi pengin dia sudah
kecapekan."
"Tapi itu kan kewajiban dia melayani kamu?"
"Saya tidak ingin dia melakukan dengan terpaksa."
Kami sama-sama diam. Saya terus menunggu. Menunggu. Jantung saya berdegup keras.

"Kamu sering swalayan gitu?"
"Yaa sering Mbak. Kalau pengin, terus Yeni nggak mau, ya saya swalayan. Ahh udah aahh. Kok
ngomongin gitu?"
Saya pura-pura ingin mengalihkan pembicaraan. Tapi Mbak Maya tidak peduli.
"Gini lho Dik. Masalahnya, itu tidak sehat untuk perkawinan kalian. Kamu harus berbicara
dengan Yeni. Masa sudah punya istri masih swalayan."
Mbak Maya memegang punggung tangan saya.
"Maaf Mbak. Nafsu saya besar. Sebaliknya dengan Yeni. Jadi kayaknya saya yang mesti
mengikuti kondisi dia." Kali ini saya bicara jujur. "Saya cukup puas bisa melayani diri
sendiri kok."
"Kasihan kamu."

Mbak Maya menyentuh ujung rambut saya, dan disibakkannya ke belakang. Saya memberanikan diri
menangkap tangan itu, dan menciumnya selintas. Mbak Maya seperti kaget, dan buru-buru
menariknya.
"Kapan kalian terakhir kumpul?"
"Dua atau tiga minggu lalu," jawab saya.
Bohong besar. Mbak Maya mendesis kaget.
"Ya ampuun."
"Mbak. Tapi Mbak jangan bilang apa-apa ke Yeni. Nanti salah pengertian. Dikira saya mengadu
soal begituan."
Mbak Maya kembali menggenggam tangan saya. Erat, dan meremasnya. Isi celana saya mulai
bergerak-gerak. Kali ini saya yang menarik tangan saya dari genggaman Mbak Maya. Tapi Mbak
Maya menahannya. Saya menarik lagi. Bukan apa-apa. Kali ini saya takut nanti dilihat orang
lain.
"Saya horny kalau Mbak pegang terus."
Mbak Maya tertawa kecil dan melepaskan tangan saya. Dia beranjak sambil mengucek-ucek rambut
saya.
"Kaciaann ipar Mbak satu ini."
Mbak Maya berlalu, menuju ruang keluarga.
"Liat TV aja yuk," ajaknya.
Saya memaki dalam hati. Kurang ajar betul. Dibilang saya horny malah cengengesan, bukannya
bilang, "Saya juga nih, Dik." Setengah jengkel saya mengikutinya. Di ruang keluarga semua
kumpul kecuali Rosi. Hanya sebentar. Saya masuk ke kamar.

Sekitar pukul 23.00 pintu kamar saya berderit. Saya menoleh. Mbak Maya. Dia menempelkan
telunjuknya di bibirnya.
"Belum bobo?" tanyanya lirih. Jantung saya berdenyut keras.
"Belum." Jawab saya.
"Kita ngobrol di luar yuk?"
"Di sini saja Mbak." Saya seperti mendapat inspirasi.
"Ihh. Di teras aja. Udah ngantuk belum?"
Mbak Maya segera menghilang. Dengan hanya bersarung telanjang dada dan CD saya mengikuti
Mbak Maya ke teras. Saya memang terbiasa tidur bertelanjang dada dan bersarung. Rumah telah
senyap. TV telah dimatikan. Keluarga ini memang terbiasa tidur sebelum jam 22.00. Hanya aku
yang betah melek.

Mbak Maya mengenakan daster tanpa lengan. Ujung atas hanya berupa seutas tali tipis. Daster
kuning yang agak ketat. Saya kini memperhatikan betul lekuk tubuh perempuan yang berjalan di
depan saya itu. Pantat menonjol. Singset. Kulitnya paling putih di antara semua sadaranya.
Umurnya berselisih tiga tahun dengan Yeni.
Mbak Maya duduk di bangku teras yang gelap. Bangku ini dulu sering saya gunakan bercumbu
dengan Yeni. Wajah Mbak Maya hanya terlihat samar-samar oleh cahaya lampu TL 10 watt milik
tetangga sebelah. Itupun terhalang oleh daun-daun angsana yang rimbun.

Dia memberi tempat kepada saya. Kami duduk hampir berhimpitan. Saya memang sengaja. Ketika
dia mencoba menggeser sedikit menjauh, perlahan-lahan saya mendekakan diri.
"Dik Andy" Mbak Maya membuka percakapan.
"Nasib kamu itu sebenernya tak jauh beda dengan Mbak."
Saya mengernyitkan dahi. Menunggu Mbak Maya menjelaskan. Tapi perempuan itu diam saja.
tangannya memilin-milin ujung rambut.
"Maksud Mbak apa sih?"
"Tidak bahagia dalam urusan tempat tidur. Ih. Gimana sih."
Mbak Maya mencubit paha saya. Saya mengaduh. Memang sakit, Tapi saya senang. Perlahan-lahan
penis saya bergerak.
"Kok bisa?"
"Nggak tahu tuh. Mas Wib itu loyo abis."
"Impoten?" Saya agak kaget.
"Ya enggak sih. Tapi susah diajakin. Banyak nolaknya. Malas saya. Perempuan kok dibegituin,"
"Hihihi.. Tadi kok kasih nasihat ke saya?"
Saya tersenyum kecil. Mbak Maya mencoba mendaratkan lagi cubitannya. Tapi saya lebih sigap.
Saya tangkap tangan itu, dan saya amankan dalam genggaman. Saya mulai berani. Saya remas
tangan Mbak Maya. Penis saya terasa menegang. Badan mulai panas dingin. Mungkinkan malam ini
saya dan Mbak Maya..

"Terus cara pelampiasan Mbak gimana? Swalayan juga?" Tanya saya.
Saya taruh sebelah tangan di atas pahanya. Mbak Maya mencoba menghindar, tapi tak jadi.
"Enggak dong. Malu. Risih. Ya ditahan aja."
"Kapan terakhir Mbak Maya tidur sama Mas Wib?"
Saya mencium punggung tangan Mbak Maya. Lalu tangan itu saya taruh perlahan-lahan di antara
pahaku, sedikit menyentuh penis.
"Dua minggu lalu."
"Heh?" Saya menatap matanya. Bener enggak sih. Kok jawabannya sama dengan saya? Ngeledek apa
gimana nih.
"Bener." Matanya mengerling ke bawah, melihat sesuatu di dekat tangannya yang kugenggam.
"Mbak.." Saya menyusun kekuatan untuk berbicara. Tenggorokan terasa kering. Nafsu saya mulai
naik. Perempuan ini bener-bener seperti merpati. Jangan-jangan hanya jinak ketika didekati.
Saat dipegang dia kabur.

"Hm," Mbak Maya menatap mata saya.
"Mbak pengin?"
Dia tak menjawab. Wajahnya tertunduk. Saya raih pundaknya. Saya elus rambutnya. Saya sentuh
pipinya. Dia diam saja. Sejurus kemudian mulut kami berpagutan. Lama. Ciuman yang bergairah.
Saya remas bagian dadanya. Lalu tali sebelah dasternya saya tarik dan terlepas. Mbak Maya
merintih ketika jari saya menyentuh belahan dadanya. Secara spontan tangan kirinya yang
sejak tadi di pangkuan saya menggapai apa saja. Dan yang tertangkap adalah penis. Dia
meremasnya. Saya menggesek-gesekkan jari saya di dadanya. Kami kembali berciuman.
"Di kamar aja yuk Mbak?" ajak saya.
Lalu kami beranjak. Setengah berjingkat-jingkat menuju kamar Mbak Maya. Kamar ini terletak
bersebarangan dengan kamar saya. Di sebelah kamar Mbak Maya adalah kamar mertua saya.

Malam itu tumpahlah segalanya. Kami bermain dengan hebatnya. Berkali-kali. Ini adalah
perselingkuhan saya yang pertama sejak saya kawin. Belakangan saya tahu, itu juga
perselingkuhan pertama Mbak Maya. Sebelum itu tak terbetik pikiran untuk selingkuh, apalagi
tidur dengan laki-laki lain selain Mas Wib.

Bermacam gaya kami lakukan. Termasuk oral, dan sebuah sedotan kuat menjelang saya orgasme.
Semprotan mani menerjang tenggorokan Mbak Maya. Itulah pertama kali mani saya diminum
perempuan. Yeni pun tidak pernah. Tidak mau. Jijik katanya. Menjelang pagi, saat tulang kami
seperti dilolosi, saya kembali ke kamar. Tidur.

Saya tidak berani mengulanginya lagi. Perasaan menyesal tumpah-ruah ketika saya bertemu
istri saya. Mungkin itu juga yang dirasakan Mbak Maya. Selepas itu dia mencoba menghindari
pembicaraan yang menjurus ke tempat tidur. Kami bersikap biasa-biasa, seolah tidak pernah
terjadi apa pun.

Ketika tidur di samping istri saya, saya berjanji dalam hati Tidak akan selingkuh lagi.
Ternyata janji tinggal janji. Nafsu besar lebih mengusik saya. Terutama saat istri saya ke
luar kota dan keinginan bersetubuh mendesak-desak dalam diri saya. Rasanya ingin
mengulanginya dengan Mbak Maya. Tapi tampaknya mustahil. Mbak Maya benar-benar tidak memberi
kesempatan kepada saya. Dia tidak lagi mau masuk kamar saya. Jika ada perlu di menyuruh
Rosi, atau berteriak di luar kamar, memanggil saya. Bahkan mulai jarang menginap.

Akhirnya saya kembali ke sasaran awal saya. Rosi. Mungkinkah saya menyetubuhi adik istri
saya? Uhh. Mustahil. Kalau hamil? Beda dengan Mbak Maya. Kepada dia saya tidak ragu untuk
mengeluarkan benih saya ke dalam rahimnya. Kalaupun hamil, tak masalah kan. Paling-paling
kalau anaknya lahir dan mirip dengan saya yaa banyak cara untuk menepis tuduhan. Lagian
masak sih pada curiga?

Kehidupan terus berjalan. Usia kandungan istri saya menginjak bulan ke-4. Tahu sendirilah
bagaimana kondisi perempuan kalau sedang hamil muda. Bawaannya malas melulu. Tapi untuk
urusan pekerjaan dia sangat bersemangat. Dia memang pekerja yang ambisius. Berdedikasi,
disiplin, dan penuh tanggung jawab. Karena itu jadwal keluar kota tetap dijalani. Kualitas
hubungan seks kami makin buruk. Dia seakan benar-benar tak ingin disentuh kecuali pada saat
benar-benar sedang relaks. Saya juga tak ingin memaksa. Karenanya saya makin sering beronani
diam-diam di kamar mandi. Kadang-kadang saya kasihan terhadap diri sendiri. Kata-kata Mbak
Maya sering terngiang-ngiang, terutama sesaat setelah sperma memancar dari penis saya.
"Kacian adik iparku ini.." Tapi saya tak punya pilihan lain. Saya tak suka "jajan". Maaf,
saya agak jijik dengan perempuan lacur.

Tiap kali beronani, yang saya bayangkan adalah wajah Mbak Maya atau si bungsu Rosi,
bergantian. Rosi telah tumbuh menjadi gadis yang benar-benar matang. Montok, lincah. Cantik
penuh gairah, dan terkesan genit. Meskipun masih bersikap manja terhadap saya, tetapi sudah
tidak pernah lagi bergayutan di tubuh saya seperti semasa saya ngapelin kakaknya. Saya
sering mencuri pandang ke arah payudaranya. Ukurannya sangat saya idealkan. Sekitar 34.
Punya istri saya sendiri hanya 32.

Seringkali, di balik baju seragam SMU-nya saya lihat gerakan indah payudara itu. Keinginan
untuk melihat payudara itu begitu kuatnya. Tapi bagaimana? Mengintip? Di mana? Kamar mandi
kami sangat rapat. Letak kamar saya dengannya berjauhan. Dia menempati kamar di sebelah
gudang. Yang paling ujung kamar Mak Jah, pembantu kami. Setelah kamar Mayang, kakak Rosi,
baru kamar saya. Kamar kami seluruhnya terbuat dari tembok. Sehingga tak mugkin buat
ngintip. Tapi tunggu! Saya teringat gudang. Ya, kalau tidak salah antara gudang dengan kamar
Rosi terdapat sebuah jendela. Dulunya gudang ini memang berupa tanah kosong semacam taman.
Karena mertua butuh gudang tambahan, maka dibangunlah gudang. Jendela kamar Rosi yang
menghadap ke gudang tidak dihilangkan. Saya pernah mengamati, dari jendela itu bisa
mengintip isi kamar Rosi.

Sejak itulah niat saya kesampaian. Saya sangat sering diam-diam ke gudang begitu Rosi
selesai mandi. Memang ada celah kecil tapi tak cukup untuk mengintip. Karenanya diam-diam
lubang itu saya perbesar dengan obeng. Saya benar-benar takjub melihat sepasang payudara
montok dan indah milik Rosi. Meski sangat jarang, saya juga pernah melihat kemaluan Rosi
yang ditumbuhi bulu-bulu lembut.

Tiap kali mengintip, selalu saya melakukan onani sehingga di dekat lubang intipan itu
terlihat bercak-bercak sperma saya. Tentu hanya saya yang tahu kenapa dan apa bercak itu.
Keinginan untuk menikmati tubuh Rosi makin menggelayuti benak saya. Tetapi selalu tak saya
temukan jalan. Sampai akhirnya malam itu. Mertua saya meminta saya mendampingi Rosi untuk
menghadiri Ultah temannya di sebuah diskotik. Ibu khawatir terjadi apa-apa. Dengan perasaan
luar biasa gembira saya antar Rosi. Istri saya menyuruh saya membawa mobil. Tapi saya
menolak. "Kamu kan harus detailing. Pakai saja. Masa orang hamil mau naik motor?" Padahal
yang sebenarnya, saya ingin merapat-rapatkan tubuh dengan Rosi.

Kami berangkat sekitar pukul 19.00. Dia membonceng. Kedua tangannya memeluk pinggang saya.
Saya rasakan benda kenyal di punggung saya. Jantung saya berdesir-desir. Sesekali dengan
nakal saya injak pedal rem dengan mendadak. Akibatnya terjadi sentakan di punggung. Saya
pura-pura tertawa ketika Rosi dengan manja memukuli punggung saya.
"Mas Andy genit," katanya.
Pada suatu ketika, mungkin karena kesal, Rosi bahkan tanpa saya duga sengaja menempelkan
dadanya ke puggung saya. Menekannya.
"Kalau mau gini, bilang aja terus terang," katanya.
"Iya iya mau," sahut saya.
Tidak ada tanggapan. Rosi bahkan menggeser duduknya, merenggang. Sialan.

Malam itu Rosi mengenakan rok span ketat dan atasan tank top, dibalut jaket kulit.
Benar-benar seksi ipar saya ini.
Di diskotik telah menunggu teman-teman Rosi. Ada sekitar 15-an orang. Saya membiarkan Rosi
berabung dengan teman-temannya. Saya memilih duduk di sudut. Malu dong kalau nimbrung. Sudah
tua, ihh. Saya hanya mengawasi dari kejauhan, menikmati tubuh-tubuh indah para ABG. Tapi
pandangan saya selalu berakhir ke tubuh Rosi. She is the most beautiful girl. Di antara
saudara istri saya Rosi memang yang paling cantik. Tercantik kedua ya Mbak Maya, baru Yeni,
istri saya. Mayang yang terjelek. Tubuhnya kurus kering sehingga tidak menimbulkan nafsu.

Sesekali Rosi menengok ke arah tempat duduk saya sambil melambai. Saya tersenyum mengangguk.
Mereka turun ke arena. Sekitar tiga lagu Rosi menghampiri saya.
"Mas Andy udah pesan minum?" tanyanya.
Dagu saya menunjuk gelas berisi lemon tea di depan saya. Saya tak berani minum minuman
beralkohol, meski hanya bir. Saya pun bukan pecandu.
"Kamu kok ke sini, udah sana gabung temen-temen kamu," kata saya.
Janjinya Rosi dkk pulang pukul 22.00. Tadi ibu mertua juga bilang supaya pulangnya jangan
larut.
"Nggak enak liat Mas Andy mencangkung sendirian," kata Rosi duduk di sebelah saya.
"Sudah nggak pa-pa."
"Bener?" Saya mengangguk, dan Rosi kembali ke grupnya.
Habis satu lagu, dia mendatangi saya. Menarik tangan saya. Saya memberontak.
"Ayo. Nggak apa-apa, sekalian saya kenalin ama temen-temen. Mereka juga yang minta kok."
Saya menyerah. Saya ikut saja bergoyang-goyang. Asal goyang. Dunia diskotik sudah sangat
lama tidak saya kunjungi. Dulupun saya jarang sekali. Hampir tidak pernah. Saya ke diskotik
sekedar supaya tahu saja kayak apa suasananya.
Sesekali tangan Rosi memegang tangan saya dan mengayun-ayunkannya. Musik bener-benr
hingar-bingar. Lampu berkelap-kelip, dan kaki-kaki menghentak di lantai disko. Sesekali Rosi
menuju meja untuk minum.

Menjelang pukul 22.00 sebagian teman Rosi pulang. Saya segera mengajak Rosi pulang juga.
"Bentar dong Mas Andy, please," kata Rosi.
Astaga. Tercium aroma alkohol dari mulutnya.
"Heh. Kamu minum apa? Gila kamu. Sudah ayo pulang." Segera saya gelandang dia.
"Yee Mas Andy gitu deh." Dia merajuk tapi saya tak peduli. Ruangan ini mulai menjemukan
saya.
"Udah dulu ya bro, sis. Satpam ngajakin pulang neh."
"Satpam-mu itu."
Saya menjitak lembut kepala Rosi. Rosi memang minum alkohol. Tak tahu apa yang diminumnya
tadi. Dia pun terlihat sempoyongan. Saya jadi cemas. Takut nanti kena marah mertua. Disuruh
jagain kok tidak bisa. Tapi ada senangnya juga sih. Rosi jadi lebih sering memeluk lengan
saya supaya tidak sempoyongn.

Kami menuju tempat parkir untuk mengambil motor. Saya bantu Rosi mengenakan jaket yang kami
tinggal di motor. Saya bantu dia mengancing resluitingnya. Berdesir darah saya ketika
sedikit tersentuk bukit di dadanya.
"Hayoo, nakal lagi," katanya.
"Hus. Nggak sengaja juga."
"Sengaja nggak pa-pa kok Mas."
Omongan Rosi makin ngaco. Dia tarik ke bawah resluitingnya.
Dan sebelum saya berkomentar dia sudah berkata, "Masih gerah. Ntar kalau dingin Rosi
kancingin deh."
Segera mesin kunyalakan, dan motor melaju meninggalkan diskotik SO.

Sungguh menyenangkan. Rosi yang setengah mabuk ini seakan merebahkan badannya di punggung
saya. Kedua tangannya memeluk erat perut saya. Jangan tanya bagaimana birahi saya. Penis
saya menegang sejak tadi. Dagu Rosu disadarkan ke pundak saya. Lembut nafasnya sesekali
menyapu telinga saya. Saya perlambat laju motor. Benar-benar saya ingin menikmati. Lalu saya
seperti merasa Rosi mencium pipi saya. Saya ingin memastikan dengan menoleh. Ternyata memang
dia baru saja mencium pipi saya. Bahkan selanjutnya dia mengecup pipi saya. Saya kira dia
benar-benar mabuk.

"Mas Andy, Rosi pengin pacaran dulu," katanya mengejutkan saya.
"Pacaran sama Mas Andy? Gila kamu ya." Penis saya makin kencang.
"Mau enggak?"
"Kamu mabuk ya?" Dia tak menjawab. Hanya pelukannya tambah erat.
"Mas.."
"Hmm"
"Mas masih suka coli?"
"Hus. Napa sih?"
"Pengen tahu aja. Mbak Yeni nggak mau melayani ya?"
"Tahu apa kamu ini."
Saya sedikit berteriak. Saya kaget sendiri. Entah kenapa saya tidak suka dia omong begitu,
Mungkin reflek saja karena saya dipermalukan.
"Sorry. Gitu aja marah." Rosi kembali mencium pipi saya.
Bahkan dia tempelkan terus bibirnya di pipi saya, sedikit di bawah telinga.
"Saya horny Ros."
"Kapan? Sekarang? Ahh masak. Belum juga diapa-apain"

Saya raih tangannya dan saya taruh di penis saya yang menyodok celana saya. Terperanjat dia.
Tapi diam saja. Tangannya merasakan sesuatu bergerak-gerak di balik celana saya.
"Pacaran ama Rosi mau nggak?" kata Rosi. Aroma alkohol benar-benar menyengat.
"Di mana? Lagian udah malam. Nanti Ibu marah kalau kita pulang kemalaman."
"Kalau ama Mas Andy dijamin Ibu gak marah."
"Sok tahu."
"Bener. Ayuk deh. Ke taman aja. Tuh deket SMA I ajak. Asyik lagi. Bentar aja."
Tanpa menunggu perintah, motor saya arahkan ke Taman KB di seberang SMU I. Taman ini memang
arena asyik bagi mereka yang seang berpacaran. Meski di sekitarnya lalu lintas ramai, tapi
karena gelap, yaa tetap enak buat berpacaran.
Kami mencari bangku kosong di taman. Sudah agak sepi jadi agak mudah mencarinya. Biasanya
cukup ramai sehingga banyak yang berpacaran di rumputan. Begitu duduk. Langsung saja Rosi
merebahkan kepalanya di dada saya. Saya tak mengira anak ini akan begini agresif. Atau
karena pengaruh alkohol makin kuat? Entahlah. Kami melepas jaket dan menaruhnya di dekat
bangku.

"Kamu kan belum punya pacar, kok sudah segini berani Ros?" tanya saya.
"Enak aja belum punya pacar." Dia protes.
"Habis siapa pacar kamu?" Saya genggam tangannya. Dia mengelus-elus dada saya.
"Yaa ini." Dia membuka kancing kemeja saya. Saya makin yakin dia diracuni alkohol. Tapi apa
peduli saya. Inilah saatnya.
Saya kecup keningnya. Matanya. Hidung, pipi, lalu bibirnya. Dia tersentak, dan memberikan
pipinya. Saya kembali mencari bibirnya. Saya kecup lagi perlahan. Dia diam. Saya kulum. Dia
diam saja. Benarkah anak ini belum pernah berciuman bibir dengan cowok?
"Kamu belum pernah melakukan ya?" kata saya.
Dia tak menjawab. Saya cium lagi bibirnya. Saya julurkan lidah saya. Tangannya meremas
pinggang saya. Saya hisap lidahnya, saya kulum. Tangan saya kini menjalar mencari payudara.
Dia menggelinjang tetapi membiarkan tangan saya menyusiup di antara celah BH-nya. Ketika
saya menemukan bukit kenyal dan meremasnya, dia mengerang panjang. Kedua kakinya terjatuh
dari bangku dan menendang-nendang rumputan. Saya buka kancing BH-nya yang terletak di bagian
depan. Saya usap-usap lembut, ke kiri, lalu ke kanan. Saya remas, saya kili-kili. Dia
mengaduh. Tangannya terus meremasi pinggang dan paha saya.

"Mas Andy.."
"Hmm"
"Please.. Please."
Saya mengangsurkan muka saya menciumi bukit-bukit itu. Dia makin tak terkendali. Lalu, srrt
srrt..srrt. Sesuatu keluar dari penis saya. Busyet. Masa saya ejakulasi? Tapi benar, mani
saya telah keluar. Anehnya saya masih bernafsu. Tidak seperti ketika bersetubuh dengan Yeni.
Begitu mani keluar, tubuh saya lemas, dan nafsu hilang. Saya juga masih merasakan penis saya
sanggup menerima rangsangan. Saya masih menciumi payudara itu, menghisap puting, dan tangan
saya mengelus paha, menyelinap di antara celap CD. Membelai bulu-bulu lembut. Menyibak, dan
merasakan daging basah. Mulut Rosi terus mengaduh-aduh. Saya rasakan kemaluan saya
digeggamnya. Diremas dengan kasar, sehingga terasa sakit. Saya perlu menggeser tempat duduk
karena sakitnya. Agaknya dia tahu, dan melonggarkan cengkeramannya.

Lalu dia membuka resluiting celana saya, merogoh isinya. Meremas kuat-kuat. Tapi dia
berhenti sebentar.
"Kok basah Mas?" tanyanya. Saya diam saja.
"Ehh, ini yang disebut mani ya?"
Sejenak situasi kacau. Ini anak malah ngajak diskusi sih. Dia cium penis saya tapi tidak
sampai menempel. Kayaknya dia mencoba membaui.
"Kok gini baunya ya? Emang kayak gini ya?
"Heeh," jawab saya lalu kembali memainkan kelaminnya.
"Asin juga ya?"
Dia mengocok penis saya dengan tangannya.
"Pelan-pelan Ros. Enakan kamu ciumin deh," kata saya.

Tanpa perintah lanjutan Rosi mencium dan mengulum penis saya. Uhh, kasarnya minta ampun,
Tidak ada enaknya. Jauhh dengan yang dilakukan Mbak Maya. Berkali-kai saya meminta dia untuk
lebih pelan. Bahkan sesekali dia menggigit penis saya sampai saya tersentak. Akhirnya saya
kembali ejakulasi. Bukan oleh mulutnya tapi karena kocokan tangannya. Setelah itu sunyi.
Saya lemas. Saya benahi pakaian saya. Dia juga membenahi pakaiannya. Tampaknya dia telah
terbebas dari pengaruh alkohol. Wajahnya yang belepotan mani dibersihkan dengan tissu.
"Makasih pelajarannya ya Mas." Dia mengecup pipi saya.
"Tapi kamu janji jaga rahasia kan?" Saya ingin memastikan.
"Iyaah. Emang mau cerita ama siapa? Bunuh diri?"
"Siapa tahu. Pokoknya just for us! Nobody else may knows."
Dia mengangguk. Kami bersiap-siap pulang. Sepanjang perjalanan dia memeluk erat tubuh saya.
Menggelendot manja. Dan pikiran waras saya mulai bekerja. Saya mulai dihinggapi kecemasan.

"Ros.."
"Yaa"
"Kamu nggak jatuh cinta ama Mas Andy kan? Everyting just for sex kan?"
"Tahu deh."
"Please Ros. Kita nggak boleh keterusan. Anggap saja tadi kita sedang mabuk." Saya
menghentikan motor.
"Iya deh."
"Bener ya? Ingat, Mas Andy ini suami Mbak Yeni."
Dia mengangguk mengerti.
"Makasih Ros." Saya kembali menjalankan motor.
"Apa yang terjadi malam ini, tidak usahlah terulang lagi," kata saya.
Saya benar-benar takut sekarang. Saya sadari, Rosi masih kanak-kanak. Masih labil. Dia amat
manja. Bisa saja dia lepas kendali dan tak mengerti apa arti hubungan seks sesaat. Lalu saya
dengar dia sesenggukan. Menangis. Untunglah dia menepati janji. Segalanya berjalan seperti
yang saya harapkan. Saya tak berani lagi mengulangi, meskipun kesempatan selalu terbuka dan
dibuka oleh Rosi. Saya benar-benar takut akibatnya. Saya tidak mau menhancurkan keluarga
besar istri saya. Tak mau menghancurkan rumah tangga saya.

Saya hanya menikmati Rosi di dalam bayangan. Ketika sedang onani atau ketika sedang
bersetubuh dengan Yeni. Sesekali saja saya membayangkan Mbak Maya.

Menjelang kelahiran anak pertama saya, ayah mertua meninggal. Keluarga besar istri saya
sangat terpukul. Terutama ibu mertua dan Rosi. Kedua perempuan ini memang yang paling dekat
dengan almarhum. Rumah ini terasa murung berhari-hari lamanya. Tetapi segalanya berangsur
pulih setelah selamatan 40 hari dilaksanakan. Semuanya sudah bisa menerima kenyataan, bahwa
semua pada akhirnya harus kembali. Apalagi semenjak anak saya lahir, tiga bulan setelah
kematian almarhum.

Rumah ini kembali menemukan kehangatannya. Seisi rumah dipersatukan dalam kegembiraan. Bayi
lucu itu menjadi pusat pelampiaskan kasih sayang. Saya juga semakin mencintai istri saya.
Tapi dalam urusan tempat tidur tidak ada yang berubah. Seringkali saya tergoda untuk mencari
pelampiasan dengan wanita PSK terutama jika teman-teman sekantor mengajak. Namun saya tak
pernah bisa. Sekali waktu saya diajak kawan ke sebuah salon esek-esek. Saya pikir tidak ada
salahnya untuk sekedar tahu. Salon itu terletak di sebuah kompleks pasar. Kapsternya sekitar
15 orang. Masih muda-muda, cantik, dan seksi dengan celana pendek dan tank top di tubuhnya.
Para pengunjung seluruhnya laki-laki, walaupun di papan nama tertulis salon itu melayani
pria dan wanita.

Di salon itu para pria minta layanan lulur, dan konon, di dalam ruang lulur itulah
percintaan dilakukan. Sungguh aneh, saya tidak birahi. Benak saya dipenuhi pikiran bahwa
perempuan-perempuan itu telah dirajam oleh puluhan penis laki-laki. Mungkin ketika seorang
pria menyetubuhinya, saat itu masih ada sisa-sisa sperma milik pria-pria lain. Inilah yang
membuat saya tak pernah bisa menerima diri saya bersetubuh dengan perempuan PSK. Jadi bukan
alasan moral. Saya lebih suka onani sambil membayangkan perempuan-perempuan lain.

Ketika anak saya berumur tiga bulan, istri saya sudah mulai masuk kerja dan kegiatan luar
kota tetap dijalankan seperti biasa. Dia sudah dipromosikan dalam jabatan supervisor. Istri
saya tampak senang dengan jabatan barunya, dan makin giat bekerja.

Tioap kali ke luar kota anak saya diasuh tante-tantenya. Rosi atau Mayang atau kadang-kadang
Mak Jah. Hanya jika makan (bubur bayi) saja tante-tantenya tidak sabaran. Mereka tak sanggup
menyuapi bayi. Saya sendiri geli melihat bayi makan. Bubur itu sepertinya tidak pernah mau
masuk ke dalam perut. Hanya keluar masuk dari bibirnya. Ibu mertua saya yang paling telaten.
Kadang-kadang satu mangkuk kecil masih nambah jika ibu yang menyuapi.
Jika siang saya sering tidur dengan anak saya. Saya senang sekali menatap wajah mungilnya,
Saya juga mulai pintar mengganti popok dan memberinya susu. Hanya kalau malam anak saya
tidur dengan ibu mertua. Soalnya kalau tidur malam, saya susah bangun. Biar anak menangis
keras-keras saya sulit bangun.

Siang itu, sepulang dari kantor, seperti biasa saya cuci muka dan tangan lalu rebahan di
kamar. Badan saya agak meriang. Mungkin saya akan terkena radang tenggorokan. Kerongkongan
saya agak sakit buat menelan.
Ketika ibu hendak menaruh anak saya untuk tidur (kalau siang anak saya biasa tidur dua-tiga
kali), dengan terbata-bata saya bilang, "Bu, boleh Nisa tidur sama Ibu?"
Nisa anak saya terlanjur ditaruh di sebelah saya.
"Ya boleh tho. Memangnya kenapa?" tanya ibu melepas selendang gendongan.
"Badan saya agak meriang, saya ingin istirahat," kata saya.
"Rosi dan Niken sudah pulang Bu?"
Ibu tidak menjawab. Punggung tangannya ditempelkan ke dahi saya.
"Wah, badan kamu panas. Ya sudah Nisa biar tidur di kamar Ibu. Kamu istirahat saja. Ayuk
cucu, bobo sama eyang ya?"
Ibu pelan-pela mengangkat Nisa. Lega rasanya saya. Saya benar-benar ingin istirahat tanpa
diganggu tangisan anak.

Setelah Ibu keluar dari kamar, saya segera tidur mendekap guling. Benar-benar sakit semua
badan saya. Kepala juga mulai berat. Saya mencoba mengurangi rasa sakit dengan memijit-mijit
dahi dan kening.
"Nak Andy sudah minum obat?" tanya Ibu di ambang pintu.
"Belum, Bu. Nggak usah. Nanti saja."
Dengan badan seperti ini rasanya saya pengin dikerik. Dulu waktu masih bujang saya sealu
minta kerik ibu saya. Jika sudah dikerik badan terasa ringan dan bugar. Tapi mau minta kerik
sama ibu mertua sungkan. Dulu memang pernah sih dikerik ibu mertua. Tapi itu karena setelah
ibu melihat saya dan istri saya bersitegang soal kerik-mengerik. Istri saya tidak mau
mengerik saya. Bukan apa-apa, dia tidak suka cara itu. Katanya itu berakibat buruk bagi
tubuh. Istri saya memang doctor minded. Maklum dia dealer obat-obatan, Dia lebih mempercayai
dokter dan obat daripada cara-cara penyembuhan tradisional.

Melihat kami bersitegang ayah mertua saya membela saya, dan menyuruh ibu mengerik saya.
Kini saya sebenarnya sangat ingin dikerik. Seolah tahu pikiran saya, ibu menawarinya.
"Mau ibu kerik?"
"Mm terserah ibu saja," kata saya.
Dalam hati saya bersorak. Ibu memanggil Mak Jah minta diambilkan minyak bayi (baby oil) dan
ulang logam. Sejurus kemudian Mak Jah datang.
"Kamu lagi ngapain?" tanya mertua saya.
"Setrika baju, Bu"
"Ya sudah.." Ibu duduk di tepi ranjang.
"Lepaskan bajunya," kata ibu.

Saya melepas baju dan celana panjang saya. Saya bungkus bagian bawah tubuh saya dengan kain
sarung, lalu tengkurap. Ibu mulai mengerik bagian punggung. Nikmat rasanya. Kadang-kadang
saja terasa sakit. Mungkin itu karena di daerah situ ada penyumbatan aliran darah. Entahlah.
"Merah semua nih Nak Andy," komentar ibu mertua. Saya hanya bergumam.
Ibu mertua memang pandai mengerik. Bahkan lebih pandai dibanding ibu saya. Secara
keseluruhan tidak menimbulkan rasa pedih. Bahkan seperti dipijat utur. Saya benar-benar
rileks dibuatnya, Apalagi kalau ngerik ibu ini sangat sabar. Hampir tiap jengkal badan saya
dikerik. Ibu menarik kain sarung, dan sedikit menurunkan CD saya, lalu mengerik bagian
pantat. Sudah itu bagian paha. Selesai paha aku diminta membalikkan badan. Dikeriknya dada
saya. Yang ini agak berat. Saya banyak gelinya. Alalagi kalau arah kerikan menuju bagian
ketiak. Uhh seperti digelitik. Saya berkali-kali merapatkan tangan saya menahan geli. Ibu
tersenyum melihatnya. Setelah beberapa saat badan saya mulai beradaptasi. Rasa geli
berkurang. Saya mulai membuka mata yang tadi ikut terpicing menahan geli. Saya liat wajah
ibu mertua saya.

Mungkin kalau tua nanti istri saya akan seperti ini ya. Umur ibu sekitar 50 tahun. Masih ada
sisa-sisa kecantikan. Bagian wajahnya masih terlihat kencang. Hanya bagian leher dan lengan
yang tampak memperlihatkan usianya. Kasihan sebenarnya, usia segitu sudah ditinggal suami.

Tiba-tiba badan saya tergelinjang. Refleks saya mencengkeram lengan ibu. Rupanya ibu mulai
mengerik bagian perut. Ini yang membuat saya geli. Bahkan sangat geli. Bulu kuduk saya ikut
berdiri. Ibu terus mengerik perut saya, dan saya terus mencengkeram lengan ibu. Sesekali
saya mengangkat bagian perut dan pinggul saya hingga menyentuh tubuh ibu. Gesekan-gesekan
itu ternyata mnimbulkan rangsangan pada penis saya. Sedikit demi sedikit penis saya
mengembang. Tegang. Gila. Nafsu saya juga muncul perlahan-lahan. Saya bahkan dengan sengaja
menempelkan bagian penis saya ke pinggang ibu. Sedikit menekannya dengan berpura-pura geli
oleh kerikannya. Padahal tidak. Saya sudah mulai beradap tasi lagi. Tangan saya masih
mencengkeram lengan ibu.

Jantung saya berdebar-debar ketika ibu menurunkan sarung. Di hadapannya tubuh bawah saya
terbungkus CD dengan isi yang menegang dengan sempurna. Maksimal. Sesekali saya lihat ibu
melirik ke arah penis saya. Diturunkannya bagian atas CD saya. Hanya sedikit. Ahh padahal
saya berharap seluruhnya ditanggalkan. Saya rasakan ujung penis saya tersembul keluar.
Mustahil ibu tak meihatnya. Saya tatap wajahnya. Wajahnya tak menampakkan reaksi apa-apa.
Mungkinkah perempuan ini sudah tawar terhadap seks? Ataukah dia menganggap saya tak lebih
dari anaknya sendiri? Apakah dia pernah melihat penis lain selain milik suaminya?

Kerikan di bagian bawah perut menimbulkan sensasi yang luar biasa. Sesekali secara tak
sengaja tangan ibu menyentuh ujung penis saya. Seperti dikocok dengan lembut. Saya telah
benar-benar terangsang. Birahi saya membakar kepala saya. Saya beranikan diri mengelus
lengan ibu.
"Ibu makasih sudah mau mengerik badan saya," kata saya gemetar.
Ibu cuma tersenyum. Saya tak tahu artinya. Ia terus mengerik. S

aya memberanikan diri menurunkan sedikit lagi CD saya, sehingga separuh penis saya keluar.
"Bagian sini juga kan Bu?" kata saya menunjuk selangkangan.
"Iya," suara ibu bergetar.
Sentuhan tangannya ke arah penis saya makin sering. Makin nikmat rasanya. Saya makin tak
tahan. Saya turunkan sedikit lagi CD saya, dan kini terbukalah seluruhnya. Saya rasakan
kerikan ibu sudah mulai kacau. Saya tahu ibu mulai terpengaruh oleh pemandangan di depannya.
Ya. Mustahil kalau tidak. Bagaimana pu dia perempauan biasa, dan saya laki-laki asing.

Saya pegang tangan ibu, saya bimbing dengan pelan dan cemas menuju penis saya. Saya taruh
tangan itu di sana. Tak ada reaksi. Tangan itu hanya diam. Saya berusaha menggerak-gerakan
penis saya. Sekali waktu saya sentakkan.
"Bu.." saya mendesis dan menggerak-gerakkan pinggul saya.
Ibu sudah tak konsentrasi lagi di kerikan. Gerakannya sudah bukan lagi gerakan mengerik,
tapi lebih menyerupai garukan. Saya usap punggung ibu. Saya telusuri lekuk badannya. Dia
mengenakan daster. Saya rasakan tali BH di punggungnya. Saya jadi penasaran seperti apa rupa
payudara perempuan 50 tahun. Ibu meremas-remas penis saya, mengocoknya perlahan. Saya buka
resluiting dasternya. Saya buka kancing BH-nya. Saya remas kulit punggung. Memang tidak
sekenyal istri saya atau Rosi. Tapi putihnya tetap membuat saya makin terangsang. Saya
rebahkan tubuh ibu, saya cium pipinya, telinga, leher dan bibirnya. Kami berciuman penuh
nnafsu. Saya lepaskan dasternya di bagian atas. Hmm, payudara yang kendur. Tapi apa peduli
saya. Saya telah dikuasai oleh nafsu. Saya ciumi payudara itu, saya hisap, saya remas. Ibu
menggeliat-geliat dan mengocok penis saya. Saya turukan CD-nya. Ahh seperti apakah rupa
memek perempuan 50 tahun? Seperti apakah rasanya?

Memek itu dibalut rambut yang amat lebat. Sepintas tak ada bedanya dengan milik istri saya.
Sama-sama kenyalnya. Perbedaan baru saya ketahu setelah penis saya menyentuh lubang
vaginanya. Terasa kendurnya. Tetapi gerakan-gerakan yang dilakukan ibu memberikan efek yang
fantastis bagi saya. Saya belum pernah merasakan yang seperti itu. Istri saya seperti telah
saya ceritakan, tidak enjoy dengan seks. Tampaknya seks adalah bagian dari kewajiban rumah
tangga, sehingga persetubuhan kami pun lebih mirip formalitas. Orgasme yang dia dapatkan
tampakya tak pernah mengubah sikapnya terhadap seks.

Kini di bawah saya, ibu mertua seperti mengajarkan kepada saya, bagaimana seorang perempuan
sejati di atas ranjang. Penis saya seperti diputar-putar, diremas-remas oleh memeknya. Luar
biasa. Saya lebih banyak diam. Hanya bibir dan tangan saya yang bergerak ke sana-kemari,
sedangkan bagian pinggul hanya diam menerima semua perlakukan ibu.
Ibu merintih-rintih, mengerang, lalu mendekap saya. Gerakannya makin hebat, membuat saya tak
tahan lagi. Saya menggenjot pinggul sekuat tenaga, dengan kecepatan penuh. Kedua kaki ibu
menekan betis saya, bibirnya mencium dan mengisap leher saya. Lalu diciumnya bibir saya
dengan rakus. Hampir digigitnya. Dan srrt srtt srtt sperma saya memancar di dalam vaginanya.
Saya tahu ini akan aman bagi rahim ibu. Senyap di dalam kamar. Tubuh saya lemas, tapi
pikiran jadi jernih. Ibu bergegas membetulkan letak dasternya, mengenakan CD, dan menghilang
dari hadapan saya. Saya tertidur. Malas mau ke kamar mandi.

Peristiwa itu membuat hubungan saya dengan ibu menjadi kaku. Ibu berusaha menghindari berdua
dengan saya. Beliau juga hanya bicara seperlunya. Tampaknya beliau amat terpukul atau malu.
Saya sendiri berusaha bersikap wajar. Apa yang telah terjadi antara saya dengan Mbak Maya
dan Rosi telah mengajarkan saya bagaimana bersikap wajar setelah terjadinya skandal. Beda
dengan ibu dan Mbak Maya yang berubah drastis. Mereka cenderung murung.

TAMAT
Skandal Keluarga, Pada: Senin, Juni 25, 2012
Copyright © 2015 CERITA DEWASA Design by bokep - All Rights Reserved