Recent Posts Widget

Romantika Dua Saudara

http://cerita-porno.blogspot.com/2012/06/romantika-dua-saudara.html

Ini kisah pengalaman aku ketika pertama kali mengenal seks. Aku seorang wanita saat ini
usiaku sudah 25 tahun. Kisah ini terjadi pada waktu dulu dalam keluargaku yang marginal yang
biasa hidup di pinggiran hutan dari keluarga perambah hutan yang hampir primitif. Saat itu
kami hidup hanya menggantungkan diri pada alam. Aku punya keluarga berempat orang, ayah, ibu
dan satu orang lagi kakakku laki-laki.

Oh, ya, namaku Munah. Saat itu mungkin usiaku sekitar 7 tahun dan kakakku, namanya Antan,
usianya sudah kira-kira 10 tahun. Kami selalu membantu orang tua berladang menanam
padipadian dan sayuran untuk makan kami sekeluarga. Kakakku, Antan, kadang-kadang diajak
oleh ayah pergi berburu dan mencari ikan. Kehidupan kami waktu itu begitu primitif sekali.
Kami tidak begitu mengenal dunia luar. Hanya kadang-kadang kami bertemu pemburu yang
tersesat ke ladang kami, itulah cuma kami mengenal orang luar.

Semua kebutuhan hidup kami dapatkan dari hutan di sekitar kami tinggal. Pakaian kami gunakan
lebih banyak kulit kayu dan daun-daunan tertentu. Meskipun masih ada juga sisa pakaian dari
kain yang didapatkan oleh ayah dulu ketika dia pergi ke perkampungan. Hutan tersebut memang
berbahaya, ayah dan ibu selalu mengingatkan kami akan bahaya hewan buas seperti ular,
harimau dan juga binatang lainnya.

Kejadian yang sangat menyedihkan bagi kami adalah ketika ibuku meninggal akibat penyakit
yang dideritanya. Kami tidak tahu entah penyakit apa yang menyerang ibu kami, yang jelas
badannya semakin kurus dan akhirnya meninggal. Kami sangat berduka sekali, seakan tidak tega
rasanya kami menguburkan jasad ibu kami. Sejak itu mulailah kehidupan kami bertiga. Ayah
selalu mengajarkan kami tentang cara bertahan untuk hidup, terutama sekali kepada kakakku
karena dialah yang laki-laki dan kuat.

Setelah kira-kira setahun sejak itu, terjadi kejadian yang sangat memukul perasaan kami.
Ayahku diserang oleh ular cobra yang berbisa. Beberapa hari ayah tidak sanggup bergerak ke
luar dangau kami dan kami kebingungan mau mengobatinya. Kami tidak tahu harus diobat pakai
apa, sudah bermacam-macam dedaunan kami tumbuk untuk mengobatinya, namun tidak berhasil.
Akhirnya ayah kami yang kami cintai meninggal dunia. Kami menangis sejadi-jadinya, kami
berangkulan berdua dan dengan berurai air mata kami meratapi kematian ayah. Tiba-tiba
kakakku tersadar dan bangun dari tangis tersebut. Dia ingat bagaimana dulu ketika
menguburkan ibu. Dia kemudian mulai menggali tanah dan mengajakku membantunya. Dengan
menangis aku tetap menurutinya membantu menguburkan ayah.

Begitulah yang terjadi. Sejak itu kami mulai hidup berdua dengan kakakku. Kakak sangat
menyayangiku, dia selalu bekerja keras untuk menopang kehidupan kami. Aku membantunya setiap
waktu.

*****

Beberapa tahun kemudian kami masih dapat bertahan hidup dengan baik. Kami tidak pernah lagi
bertemu dengan orang luar. Kakakku tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan aku sudah
mulai tumbuh menjadi seorang gadis. Di gubuk itu kami tidur terpisah, biasanya Kak Antan
tidur dekat pintu sedangkan aku di sudut dekat dapur dengan beralaskan tikar-tikar yang ada.
Kisah ini bermula dari keadaan tubuh kami yang sudah mulai beranjak dewasa. Kakakku heran
dengan pertumbuhan diriku yang berbeda dari dia. Dia selalu membandingkan perkembangan
tubuhnya dengan tubuhku.

Aku pun saat itu merasakan hal yang sama. Maklumlah kami tidak pernah lagi melihat orang
luar. Pakaian yang kami kenakan cuma alakadarnya dan kadang-kadang cuma penutup aurat bawah
saja, lebih banyak kami memakai kulit kayu dan dedaunan. Dia heran melihat adanya tonjolan
besar di dadaku sedangkan pada dadanya tidak sebesar itu. Dia tidak tahu bahwa payudaraku
itu sebagai pertanda perkembangan diriku menjadi perempuan. Menurutnya aku mestilah seperti
dia, tidak ada yang bengkak di sana sini. Dia sering mempertanyakan ini kepadaku.

"Kenapa ya, dada kamu itu bengkak dan besar, sedangkan dada Abang tidak begitu?" tanyanya.
"Kamu mungkin menderita penyakit," begitulah katanya.

Aku juga tidak mengerti tentang hal ini. Aku juga waktu itu belum tahu kalau itu namanya
payudara. Kami banyak kehilangan kosa kata selain yang pernah diajarkan oleh ibu dan bapak
kami. Kami juga tidak begitu tertarik dengan seks karena jujur tidak tahu. Kami sering juga
melihat monyet di pohon yang bersetubuh, tetapi kami tidak melihat perbedaan yang nyata
antara mereka. Mereka sama-sama monyet dengan bentuk tubuh yang hampir sama. Kami tidak
begitu mengerti tentang jantan dan betina.

Keheranan kami akan hal ini semakin hari semakin bertambah seiring membesarnya payudara dan
pinggulku. Kemudian ditambah lagi adanya darah kotor yang keluar dari tempat buang airku
setiap bulannya (akhirnya aku tahu bahwa itu yang namanya darah haid). Kakak selalu khawatir
tentang aku yang katanya kena penyakit seperti ibu dulu. Akh, aku pun merasa takut juga
tentang hal ini. Akhirnya kami bermufakat untuk secepatnya mencari pengobatan untuk ini.
Kata kakak, kami harus pergi mencari dukun yang bisa mengobati. Kami harus pergi keluar
hutan untuk mencari perkampungan orang dan mencari dukun di sana. Kami tahu bahwa jalan ke
perkampungan itu cukup jauh dan kami belum pernah ke sana.

Namun ketakutan kami akan penyakit tersebut cukup kuat dan kami harus pergi mencari
pengobatannya. Bersepakatlah kami untuk berangkat besok harinya. Hari ini kami siapkan
perbekalan yang dibawa yaitu sedikit makanan dan sisa pakaian kami yang masih ada. Esok
harinya kami mulai melakukan perjalanan pada pagi hari sekali. Kami arahkan perjalanan kami
ke arah lembah dari hutan perbukitan itu berharap arah tersebut adalah arah yang benar. Kami
terus berjalan melewati hutan-hutan dan kami menjumpai sungai. Kami mengikuti sungai ke arah
hilirnya berharap rumah perkampungan tidak akan jauh dari sungai. Kami kadang-kadang menemui
kesulitan melalui semaksemak yang padu di sana. Tetapi kakakku adalah seorang lelaki yang
kuat, dia dengan cekatan membantuku melewati rintangan demi rintangan.

Waktu itu matahari sudah di atas kepala dan artinya sudah tengah hari, kami berhenti di
pinggir sungai dan membuka bungkusan makanan kami. Kakak segera menangkap ikan di sungai
yang kebetulan ikannya banyak sekali. Kakak dengan cekatan membuat api dengan menggosokkan
kayu dengan kayu. Kami langsung membakar ikan tersebut dan makan dengan lahapnya. Setelah
istirahat sebentar kami pun melanjutkan perjalanan. Akhirnya sampailah kami ke sungai dengan
airnya yang agak tenang dan dalam. Kakak mendapat akal untuk membuat rakit dari gelondongan
kayu yang ada. Beberapa batang kayu kami ikat dengan akar membentuk rakit sederhana.

"Dengan rakit ini kita tidak lagi susah berjalan. Pasti di hilir sungai nanti kita akan
berjumpa perkampungan," kata kakakku.

Begitulah, setelah rakit siap kami pun menaikinya dan mulai melaju ke hilir sungai. Kakak
bertugas mengemudikan rakit dengan sebatang kayu galah, sedangkan aku membantu mengayuh
dengan kayu. Pendek cerita, akhirnya kami menemukan sebuah gubuk di pinggir sungai. Kakak
segera menepikan rakit dan kami pun mendarat ke tebing dengan baik. Setelah kami sampai di
darat, kami pun menuju gubuk tersebut. Kami melihat pintu gubuk tutup dan kami mengitarinya
mencari jika ada orang di sekitar gubuk tersebut. Ternyata di sekeliling gubuk itu tidak ada
orang. Kami pun istirahat sebentar di samping gubuk itu. Setelah beberapa saat kami
mendengar suara batuk seseorang dari dalam gubuk. Kami terkejut dan seketika tersentak dan
berdiri. Oh, ada orang rupanya.

"Maaf, ada orang di dalam?" tanya kakakku.

Kami dengar suara pintu berdenyit dan kemudian terbuka. Kami melihat sosok orang tua di
depan pintu. Pria tua berjenggot dan berkumis tebal. Ketika melihat kami dia begitu terkejut
dan bertanya:

"Kalian dari mana?"
"Kami dari hutan Pak, kami mau cari tukang obat," jawab kakak.
"Ke sini masuk dulu, kalian harus ganti pakaian," kata Bapak tua itu.
"Tapi, kami tidak punya yang bagus Pak," jawab kami.
"Masuk saja, nanti Bapak yang kasih," katanya lagi.

Kami pun masuk dan disuruh mandi, kemudian kami diberikannya pakaian seadanya. Rupanya Bapak
tua itu telah kehilangan anak mereka dan dia begitu baik kepada kami. Kami bahkan disuruh
menginap di sana, namun kami menolaknya, karena kami harus mencari dukun. Bapak tua itu
hanya menanyakan siapa yang sakit, namun tidak ditanyakannya apa penyakitku. Lalu, oleh
Bapak tua itu kami dianjurkan untuk terus ke ujung kampung yaitu rumah yang paling ujung. Di
sana katanya ada seseorang yang selama ini dianggap sebagai dukun di kampung itu.

Kami pun meneruskan perjalanan ke rumah yang dimaksud Bapak tua itu. Hari sudah mulai senja
dan matahari sudah hampir terbenam. Akhirnya kami pun sampai ke rumah yang dimaksud setelah
melewati 3 buah rumah lainnya. Jarak satu rumah dengan yang lainnya berjauhan. Rumah dukun
tersebut terbuat dari kayu dengan dindingnya dari anyaman rotan dan atapnya dari daun-daun
yang disusun rapi. Pintu rumah dalam keadaan terbuka dan di dalamnya kelihatan gelap karena
sedikitnya cahaya yang masuk akibat rindangnya pepohonan di sekitar rumah tersebut. Kakak
segera memanggil orang di dalam rumah jika ada. Kami mendengar suara batuk seseorang dan
derap langkah seseorang menuju pintu rumah.

Suara langkah terdengar karena lantai rumah tersebut terbuat dari kayu dengan tinggi lantai
dari tanah kira-kira satu meter. Seorang lelaki setengah baya muncul dengan hanya memakai
kain sarung dan tanpa baju. Kami dipersilakan untuk masuk ke rumah gubuk tersebut. Kami
disuruh duduk di atas tikar rotan yang sudah terbentang sementara dia terus ke belakang.
Kami memperhatikan gubuk tersebut yang terdiri dari satu buah bilik yang berdindingkan
anyaman bambu, satu ruang dapur dan satu ruang lapang di tengah.

Ada sebuah meja dari kayu dengan jalinan rotan yang rapi dengan dua buah kursi rotan. Di
sebelahnya ada lagi semacam ranjang dari rotan yang kelihatannya hanya muat untuk satu
orang. Saya pikir ini sebagai tempat dukun tersebut istirahat siang. Sang dukun muncul dari
belakang dengan memakai baju namun tetap memakai kain sarung. Dia duduk di depan kami dengan
bersila dan mulai melakukan pembicaraan.

"Kalian dari mana sehingga senja begini sampai ke sini?" tanyanya ramah sambil tersenyum.

Tidak ada kesan angker dari nada bicaranya.

"Kami sudah melakukan perjalanan dari tadi pagi dan sampai ke sini karena ada maksud hati
kami yang ingin kami sampaikan," jawab kakak dengan nada datar.
"O, silakan sampaikan saja," jawabnya lagi.Setelah basah seluruhnya, dia pun mengoleskan batangan sabun tadi ke tubuhku mulai dari
tanganku. Ada perasaan aneh lagi yang muncul setiap kali dia menggosokkan sabun ke badanku.
Perasaan aneh ini sangat terasa sekali ketika batangan sabun dioleskan ke payudaraku yang
bengkak itu. Perasaan geli yang sangat menyebabkan putik pinangku menjadi mengeras. Begitu
sabun dioleskan, tangannya pun bermain mengelus lembut kulit tubuhku.
Aku perhatikan sang dukun berbadan gagah dengan kumis tipis dan jenggot yang mulai tumbuh
sedikit. Kulitnya hitam manis seperti berminyak, mungkin karena dia pekerja keras. Lengan
dan kakinya berotot dan rambutnya hitam lurus namun dipangkas sedang. Secara keseluruhan
badannya cukup atletis. Penilaian ini hanya aku buat akhir-akhir ini, karena pada waktu itu
aku hanya terbengong-bengong saja sebab seumurku belum pernah melihat orang seperti dia. Aku
hanya bisa kagum dan terheran-heran. Mungkin dia mengerti dengan keadaanku ini. Aku jelas
dapat melihat bahwa matanya selalu melirik ke arahku.

"Oh, iya, saya lupa, namaku Atin. Orang biasa memanggilku Bang Atin," katanya lagi sambil
memperkenalkan diri.

Seterusnya kami pun memperkenalkan nama kami. Kakakku mulai menceritakan keadaan kami dan
tentunya keadaan aku yang kata kakakku tidak normal. Rupanya selama hidup di hutan, banyak
kata-kata yang kami tidak mengerti dari yang disampaikan oleh Bang Atin. Bang Atin pun
menceritakan bahwa dia pernah mempunyai teman hidup namun saat ini sudah meninggal seperti
orang tua kami. Entah mengapa kami merasa seperti senasib saja.

Bang Atin dalam bercerita amat simpatik sekali sehingga kami merasa senang dan akrab. Hari
sudah mulai malam dan kami pun ditawarkan untuk makan malam bersama Bang Atin. Kami tentu
saja bersedia karena memang sudah lapar sekali. Setelah itu kakakku, Antan, ditawarkan mandi
dulu baru tidur sedangkan aku harus mandi dulu sebelum pengobatan dilakukan. Akan lebih baik
apabila aku mandi dengan diarahkan oleh Bang Atin. Itu yang dikatakan oleh Bang Atin.
Setelah selesai kakakku mandi maka pembicaraan tentang pengobatanpun dimulai.

"Ini Munah, aku panggil adik saja, ya! Pengobatannya tidak bisa hanya satu hari saja.
Sekurang-kurangnya harus tiga hari. Kalian boleh tinggal di sini sampai pengobatannya
selesai. Pengobatannya tidak perlu dibayar. Pengobatannya akan lebih baik dilakukan pada
malam hari," kata Bang Atin.
"Yah, kalau memang begitu tidak apa-apa, yang penting adikku bisa sehat," jawab kakakku.
"Tetapi dia tidak bisa langsung sehat, perlu beberapa minggu baru pulih, dan yang penting
kalian nanti bisa mengerti bagaimana cara menjaga kesehatannya. Aku akan ajarkan Munah nanti
cara-cara olah tubuh untuk menjaga kesehatannya." kata Bang Atin lagi pada kakakku.

Aku hanya diam saja karena tidak begitu mengerti, apalagi dengan kata-kata "olah tubuh" yang
diucapkannya itu. Aku bersedia diobatinya karena aku ingin betulbetul sehat. Hari sudah
berangkat malam, suara jengkrik dan belalang malam pun mulai bersahutan. Kakakku ditawarkan
oleh Bang Atin untuk tidur di atas ranjang rotan yang terletak di ruang tengah. Langsung
kakakku tidur karena mungkin dari tadi sudah lelah. Bang Atin, sang dukun, menyelimuti
kakakku dengan selembar kain panjang. Tidak lama berselang suara dengkur kakakku pun mulai
terdengar. Bang Atin mulai berbicara kepadaku tentang cara-cara pengobatan yang akan
dilakukannya.

"Munah, kamu harus mandi dulu, Abang akan membantu kamu membersihkan tubuhmu, supaya
penyakit tidak mudah lengket," katanya.

Kemudian dia tersenyum manis kepadaku dan mengajakku ke perigi di ruang belakang rumahnya.
Aku mengikutinya dengan keadaan yang masih terheran-heran. Aku melihat dia mengambil semacam
batangan dan selembar serabut. Akhirnya aku baru mengerti bahwa itu yang dinamakan sabun dan
sabut penggosok. Setelah sampai di perigi yang disekelilingnya dipagari oleh bambu, aku pun
disuruhnya berdiri. Sambil menunduk dia mendekatkan hidungnya ke bahuku namun belum
menyentuhku. Aku ukur tinggi badanku kira-kira sebahunya.

"Kamu jarang mandi, ya? Tubuhmu masih bau keringat. Kamu tidak perlu takut kepada ku,"
katanya.

Aku pun berusaha tenang dan pasrah terhadap apa yang dilakukannya. Dia mulai menyentuh
tanganku dengan menggenggam jemari kananku. Aku terkejut, ada getaran baru yang belum pernah
kurasakan. Aku belum pernah disentuh selembut itu oleh seorang lelaki lain. Getaran demi
getaran meletup dari dalam dadaku ketika semakin erat Bang Atin menggenggam jemari tanganku.

"Kamu harus buka dulu pakaian biar Abang mudah memandikan kamu," pintanya.

Aku masih bingung dan diam. Kemudian tangannya mulai membuka simpul kain sarungku dan
melepaskannya ke bawah. Kain sarungku pun jatuh ke lantai dan langsung basah oleh sisa-sisa
air. Selanjutnya baju ku pun dibukanya dan dijatuhkan lagi di lantai. Terpampanglah tubuhku
tanpa sehelai benangpun, karena aku tidak pernah memakai yang namanya celana dalam, singlet
dan beha. Barang-barang itupun baru kutahu akhir-akhir ini. Di keremangan sinar bulan
ditambah sedikit cahaya lampu togok yang redup tubuhku diperhatikannya dengan seksama.

Beberapa kali kulihat dia memandangku penuh perasaan dari atas sampai ke bawah. Aku semakin
bingung saja, perasaan aneh berkecamuk dalam diriku. Dia merangkul pundakku dan menarikku ke
arah baskom besar berisi air. Aku disuruhnya berjongkok dan dia pun mulai menyiramkan air ke
tubuhku mulai dari rambut kepalaku. Akh, dingin sekali malam itu. Rambutku yang panjang
lebat dan hitam pun sudah basah. Seluruh tubuhku tak lepas dari guyurannya.

Tubuhku bergetar dan menggelinjang ketika jemari tangannya mengusap-usap payudaraku yang
belum pernah disentuh itu. Tidak lepas satu inci pun kulit tubuhku yang luput dari olesan
sabunnya. Setelah itu dengan lembut digosokkannya sabut lembut itu ke tubuhku. Aku semakin
kegelian saja. Aku tak sadar lagi perasaan yang kurasakan saat itu. Aku telah lupa dengan
dinginnya malam itu, berganti dengan geli akibat sentuhannya. Setelah selesai memandikan aku
dia mulai melap badanku dengan sehelai kain tebal yang akhirnya kutahu namanya handuk.

Rambutku dikeringkannya dan seluruh tubuhku kering dilapnya. Aku masih tetap terdiam dan
terpana dengan perlakuannya yang sangat lembut tersebut. Kemudian dia menyelimutkan handuk
tersebut ke sekeliling badanku yang m, enutupi dadaku dan pinggulku. Selanjutnya dia menarik
tanganku untuk terus ke ruang tengah. Sambil lewat aku melihat kakakku Antan masih tertidur
sangat pulasnya di atas ranjang rotan kecil itu. Bang Atin mendekati kakakku dan
memperhatikannya, sepertinya dia memastikan apakah kakakku betul-betul tertidur atau tidak.

Kemudian Bang Atin kembali mendekatiku dan dia menempatkan satu tangannya pada pinggulku dan
satunya lagi di tengkukku. Aku terkejut dan menghindar sedikit, namun dengan cepat dia
mengangkatku sehingga aku pun berada dalam gendongannya. Aku digendong ke kamarnya. Aku
pasrah saja dan ada perasaan senang yang muncul ketika dia memperlakukan begitu. Aku
betul-betul tidak mengerti dengan keadaan ini, sudah sekian lama aku belum mendapatkan kasih
sayang dari seseorang seperti itu. Kemudian dia mendudukkan aku di pinggir ranjang yang
ukurannya kira-kira muat 2 orang tersebut. Dia sibuk menambah alas ranjang itu dengan
beberapa lembar tikar dari daun pandan.

Sekarang ranjang itu kelihatan sudah tebal (mungkin maksudnya agar serasa di atas kasur dan
jelas aku tambah tidak mengerti). Aku perhatikan kamar itu cukup sederhana sekali, dengan
satu ranjang dari kayu dan lantainya di alas tikar. Di dindingnya bergantungan kain-kain
yang sepertinya sudah dipakai oleh Bang Atin. Aku melihat satu lemari yang hanya menyerupai
kotak sebagai tempat kain-kainnya.

Kemudian satu buah kelambu yang tergantung di atas ranjang yang belum terpasang. Aku
merasakan bau yang kurang menyenangkan di kamar itu, namun Bang Atin tampaknya mengerti
dengan pikiranku. Dia keluar kamar dan tak berapa lama kembali lagi dengan membawa satu
mangkok yang berisi dedaunan. Kemudian dia menyiramkan dengan ujung jarinya air dalam
mangkok tadi dan suasana pun menjadi wangi. Rupanya dia membawa wewangian dari dedaunan.

"Sekarang coba adik berbaring di atas ranjang ini!" perintahnya.

Aku pun menurut dan dia pun naik ke ranjang dan menggeser aku ke tepi sebelah dinding.
Kulihat dia pun menurunkan kelambu dan memasangnya pada pinggir-pinggir ranjang. Jadilah
kami berdua saja yang berada dalam kelambu jarang tersebut. Cahaya temaram lampu minyak itu
menampakkan perbedaan kulit kami. Aku tampak seperti sosok putih sedangkan dia seperti sosok
kehitaman namun masih jelas ku lihat lekuk-lekuk tubuh kami.

Aku yang hanya memakai handuk sementara dia masih dengan kain sarungnya. Perlahan dia
membuka singletnya dan tampaklah olehku kulit dadanya yang bidang. Kemudian dia memiringkan
tubuhnya ke arahku dan dadaku terasa berdegup keras kembali menantikan apa yang akan
dilakukannya kepadaku.

"Munah, mungkin kamu belum mengerti apa kegunaan milik kamu itu. Sebenarnya banyak
kegunaannya. Abang akan jelaskan padamu," begitu katanya memulai bicara.
"Sekarang Abang buka handuk kamu ya?" pintanya.

Aku menurut saja, perlahan dibukanya simpul handukku dan disingkapkannya ke samping.
Terbukalah tubuh telanjangku di hadapannya. Tubuh gadis 14 tahun yang sedang subur-suburnya.
Kalau boleh aku misalkan sekarang mungkin seperti tubuh Marshanda, artis sinetron itu,
tetapi buah dadaku mungkin lebih besar dan rambutku tentunya lebih panjang.

"Kamu tahu kan, ini namanya payudara," katanya seraya tangannya mulai menyentuh dan
menggenggamnya. Kembali tubuhku bergetar kegelian.
"Yang ini namanya itup," katanya lagi saat dia memegang ujung puting susuku.
"Kamu pasti merasakan kegelian dan lama-lama akan terasa enak," lanjutnya lagi.
"Ya, Bang," jawabku singkat.

Dia malah meneruskan meremas payudaraku kiri dan kanan. Sesekali di putarnya "itup" atau
pentilku. Dengan lembut tangannya mengelus dadaku dan meremas-remas payudaraku hingga aku
menggelinjang hebat sehingga menimbulkan suara derit pada ranjang kayu tersebut.

"Sshshhsshh," aku hanya sanggup mendesis atas perlakuannya yang memberikan sejuta rasa
nikmat yang belum pernah kurasa. Kemudian jari tangannya terus meraba sampai ke leherku dan
aku tidak sadar ketika merasakan ada rasa lembut di dadaku, rupanya dia telah mengulum itup
ku dengan mulutnya serta memainkan lidahnya pada putingku.

"Ohh, akh, ohh, ssh," rintihku saat itu.
"Aku harus membetulkan itup kamu dulu dengan cara melemaskannya pakai mulut," katanya sambil
berbisik dan tangannya terus meraba-raba dadaku.

Aku mendengar lenguhan nafasnya yang keras dan membuatku seperti senang begitu saja. Aku
betul-betul terpedaya dengan perlakuan yang diberikan oleh Bang Atin. Aku tidak tahu apakah
kakakku di luar mendengar atau tidak suara kami di kamar itu apalagi suara derit ranjang
kayu itu. Perlahan kemudian jemari Bang Atin berpindah menyusuri perutku ke bawah dan
kemudian naik lagi ke atas dan begitu berulang-ulang hingga aku merasakan sesuatu yang enak
di pangkal pahaku.

"Dik, ini kamu tahu namanya?" tanyanya padaku ketika tapak tangannya ditempelkan pada
gundukan pangkal pahaku.
"Itu tempat kencing aku Bang," jawabku karena memang aku belum tahu namanya.
"Ya, namanya epot, dan gunanya bukan untuk kencing saja," terangnya.

Aku diam sambil menunggu gerakan tangannya yang kurasa semakin berkurang.

"Abang akan tunjukkan cara menggunakannya dan pasti kamu senang," katanya lagi.

Kemudian kurasakan tangannya mulai mengelus-elus milikku itu yang baru ditumbuhi bulu-bulu
halus tersebut. Aku merasa sensasi yang aneh dan nikmat. Sesekali ujung jemarinya menyentuh
lubang vaginaku dan terasa sangat geli sekali. Ada rasa pancaran energi kejutan listrik yang
muncul saat itu. Kemudian Bang Atin kulihat membuka kain sarungnya dan kulihat dari
selangkangnya keluar benda besar panjang. Aku terpana melihatnya dalam keremangan cahaya
saat itu. Aku terkejut ketika tangannya mencoba mengangkat tanganku dan meyentuhkannya ke
batang besar tadi.

"Oh, tidak apa-apa Munah, ini namanya Kitang, milik laki-laki," katanya.
"Kitang Abang ini gunanya untuk mengobati kamu," tambahnya lagi.

Aku diam dan mencerna kata-katanya. Aku merasa benda itu panas dan berdenyut, tetapi aku
tidak menggenggamnya karena aku masih gugup. Akh, aku tidak mampu berpikir logis lagi. Aku
percayakan saja kepadanya. Kemudian Bang Atin menggeser posisinya. Dia merangkak di atasku
dan kulihat benda besar itu tergantung keras di atas pinggangku. Kemudian dia merendahkan
kepalanya dan aku hanya pasrah sambil memejamkan mata.

Tiba-tiba kudengar dengus nafasnya semakin dekat saja dan kurasakan mulutnya mulai melumat
bibirku. Aku semakin terkejut dan seperti tersengat arus listrik saja. Beberapa kali
bibirnya melumat-lumat bibirku, kadang-kadang lidahnya menerobos masuk menyapu-nyapu
langit-langit rongga mulutku. Aku merasa kegelian sangat. Tiba-tiba ujung lidahnya
menggoyang-goyang lidahku. Aku semakin terpana dan merasa semakin aneh dengan itu. Aku
merasa tubuhnya semakin rendah saja dan akhirnya kurasakan semakin merapat ke badanku dan
terasa sudah menindih tubuhku. Dadaku serasa sesak dan degup nafasku hampir tak terkendali
lagi.

Aku merasakan ada sesuatu yang membelah celah pahaku yang terasa panas dan lembut. Aku
berpikir mungkin itu benda besar tadi yang dikenalkannya dengan nama "kitang" Bibirnya masih
tetap menggumuli mulutku. Tidak henti-hentinya lidahnya menyapu tenggorokanku dan aku pun
mulai mencoba untuk menggerakkan lidahku mencari rasa yang lebih enak. Kadang-kadang dia
mengisap lidahku hingga aku merasa seakan putus saja namun kemudian dilepasnya.

Sementara itu tangannya merengkuh punggung ku, dan menghimpitkan dadaku dengan dadanya.
Sedangkan benda yang dibawah tadi berdenyut-denyut dan semakin panas saja. Aku semakin
tersiksa ketika dia mulai menggerakkan pahanya menggeser-geser pahaku. Rasa yang aneh lagi
muncul pada gundukan epotku itu, akhirnya kutahu itu yang namanya terangsang berat.
Kitangnya mulai menyundul lubang epotku dan terasa enak sekali. Kemudian seluruh tubuhnya
kurasakan bergerak-gerak di atasku yang menimbulkan rangsangan hebat pada bibirku, dadaku
dan tentu saja epotku. Aku merasa diriku tidak terkendali lagi, bergerak ke kiri dan kanan
menahan kenikmatan yang pertama itu.

Sementara suara derit ranjang semakin menjadi-jadi dan kelambu pun bergoyang-goyang serta
enguh nafas Bang Atin dan aku pun tidak beraturan lagi. Tubuhku bergetar hebat dan pinggulku
menghentak-hentak dan aku merasakan seakan mau pipis yang tertahan. Sensasi yang tidak
terbendung akhirnya kualami, tubuhku menegang dan akhirnya lemas setelah menghentak-hentak
sejadi-jadinya. Rupanya aku telah mengalami yang namanya orgasme pertama dalam hidupku.

Bang Atin melepaskan kuluman bibirnya dan aku pun lega dapat bernapas kembali, namun dia
masih tetap di atasku. Aku masih merasakan benda itu dicelah pahaku yang kurapatkan. Kulihat
Bang Atin tersenyum kepadaku. Aku merasakan itu suatu senyuman indah yang merasuki hatiku.
Mungkin adalah senyuman kemenangan baginya.

"Munah, kamu pasti tadi rasakan nikmat sangat, bukan?" tanyanya padaku.
"Ehm, ya," jawabku sambil menahan deru nafasku yang belum normal.
"Masih ada kenikmatan lain yang harus kau dapatkan," katanya lagi.

Aku terdiam dan kucoba mencerna kata-katanya. Kenikmatan macam apa lagi yang akan
diberikannya. Namun kemudian dia berguling dan dengan cepat dia menyambar handuk dan
melilitkannya di pinggangnya. Selanjutnya dia turun dari ranjang dan menyibakkan kelambu
serta terus keluar. Aku masih terdiam dan perlahan kuraba-raba tubuhku, hingga aku tersadar
bahwa aku rupanya telanjang bulat. Aku mencoba membuka pikiran dan akhirnya aku ingat
kakakku, Antan, yang tidur di luar.

Aku pun duduk dan segera kuambil handukku, kulilitkan dipinggangku. Aku menyibakkan kelambu
dan suara derit ranjang pun bergema kembali dan aku terus berjalan ke dekat pintu, rencanaku
akan keluar melihat kakakku. Tiba-tiba Bang Atin sudah kembali masuk dan aku terkejut ketika
kami hampir bertabrakan di pintu. Secepat kilat Bang Atin memelukku dan berbisik kepadaku.

"Ayo ke dalam lagi, kakakmu masih tidur pulas!" ajaknya.

Aku terpaksa menurut saja. Dengan cekatan dia mengangkatku dan menggendongku ke ranjang.
Kulihat dia menanggalkan handuknya dan melemparkannya ke lantai, kemudian giliran handukku
yang dilemparkannya ke lantai. Jadilah aku kembali bugil di hadapannya. Aku beranikan mataku
yang sayu menatapnya dan kulihat matanya tajam seperti ingin memakanku hingga timbul juga
rasa ngeriku. Namun dia menenangkanku.

"Kamu jangan takut, Abang tadi janji akan mengobatimu," bisiknya.
"Sebentar lagi Abang akan gunakan kitang Abang mengobatimu, dan kamu akan merasa senang,"
tambahnya lagi.

Aku kembali pasrah ketika mulutnya mulai mengulum bibirku, terus dilumatnya dan semakin lama
mulutnya kurasakan berpindah ke leherku dan melumuri leherku kiri dan kanan. Aku merasakan
kegelian seperti tadi yang mulai melanda. Kemudian dia menaikiku dan menindihku kembali.
Benda panas tadi kembali membelah celah pahaku. Bibirnya terus bergerak ke bawah dan
berlabuh di itupku sebelah kanan, sementara jemari kirinya memutar-mutar itup kiriku. Begitu
lama mulutnya bersarang di situ sambil menyedot-nyedot itupku. Aku sempat berpikir mungkin
itu cara pengobatan supaya payudaraku mengecil. Tetapi aku heran kenapa pengobatannya
menjadi enak begini.

Kemudian Bang Atin beralih ke payudara satu lagi yang membuatku semakin dilanda kenikmatan.
Dia malah terus menyonyot itupku. Aku hanya mampu mendesis menahan gejolak nafsu. Bang Atin
kemudian menyusurkan lidahnya melewati pusarku dan terus ke bawah, kemudian naik lagi ke
atas dan menggelitik pusarku. Setelah itu kurasakan lidahnya telah sampai ke gundukan
epotku. Lidahnya menjalari kitaran selangkanganku dan terus memandikan bulu-bulu halus yang
tumbuh di sana hingga aku merasakan kegelian sangat dan menyebabkan aku merasa ada cairan
yang keluar.

Sesekali lidahnya menerobos masuk ke dalam lubang epotku dan terasa seperti mengadukaduk
seluruh isinya. Kemudian dia menggerakkan ujung lidahnya pada kacangan dalam epotku (aku
tahu namanya kemudian sebagai klitoris) hingga membuatku berkelojotan dan kembali pinggulku
menghentak-hentak kuat menahan kenikmatan hebat yang sedang kurasakan. Semakin kuat aku
mengerang semakin kuat lidahnya mengaduk-aduk epotku dan malah kedua tangannya pun memegang
pantatku dan meremasnya kuat-kuat sampai akhirnya kenikmatan luar biasa kembali melanda
diriku.

Aku merasa pipis kembali, seluruh tubuhku menegang dan aku menangkap kepalanya dan dengan
erat kutekan ke epotku. Aku sudah dua kali merasakannya. Pastilah ranjang dan kelambu kami
itu bergoyang seperti gajah yang dikasih selimut. Bayangkan betapa gaduhnya suara ranjang,
dan bisa saja membangunkan kakakku. Aku kemudian tersadar melihat kelambu kami rupanya
tersingkap dan pintu kamar tidak tertutup. Rupanya Bang Antan tadi lupa menutupnya.

Aku merasa lemas sekali saat itu, kemudian kulihat Bang Atin menegakkan kepalanya dan
tersenyum kepadaku. Kemudian dia berkata: "Sekarang Abang mau mengobatimu. Abang akan
memasukkan obat ke dalam dirimu"

Aku terdiam dengan nafas yang ngos-ngosan. Kulihat bibirnya kembali mendekati mulutku dan
kemudian kembali berlabuh melumat bibirku. Aku berusaha melepaskan diri dan menunjuk-nunjuk
ke arah pintu, berharap Bang Atin sadar dan tahu bahwa kakakku masih di luar. Dengan cepat
dan dalam kondisi telanjang Bang Atin melangkah ke pintu dan melongok ke luar kemudian masuk
lagi langsung menutup pintu. Mungkin Bang Atin masih tidur. Kira-kira waktu itu sudah hampir
tengah malam.

Dia pun naik ke ranjang dan menutup kelambu yang tersingkap, kemudian kembali dia merangkak
ke atasku. Dia merendahkan pinggulnya dan mulai kurasakan sentuhan benda panasnya itu pada
selangkanganku. Kemudian dia menindihku rapat sekali hingga dadaku dihimpit oleh dada
bidangnya. Tangannya bergerak ke bawah menggapai pahaku dan menyibakkan pahaku yang tadi
kurapatkan hingga kurasakan pinggulnya berlabuh di antara dua pahaku.

Terasa kitangnya semakin menekan epotku dan dia tidak henti-hentinya menggesekkan pahanya
dengan pahaku. Selanjutnya dia mengangkat dadanya dan mengubah posisi sehingga kurasakan ada
sesuatu yang menusuknusuk epotku. Epotku yang sudah basah karena campuran lendir dan
ludahnya itu, kembali dicucuk-cucuk dan kemudian dia diam sejenak. Sebentar kemudian dia
menekan lagi hingga kurasakan ada benda yang mau memasuki liang epotku. Benda itu
menyundul-nyundul lubang milikku itu.

"Abang akan masukkan obat ke dalam diri kamu, kamu harus bantu Abang dan jangan takut. Kamu
tenang saja dan rasakan saja jika nanti agak sakit katakan pada Abang tapi jika enak nikmati
saja," katanya setengah berbisik di sela-sela nafasnya yang bergemuruh.

Aku tetap diam menunggu apa yang akan dilakukannya. Aku terus terang merasakan kenikmatan
ketika benda miliknya itu menyentuh bibir epotku. Kemudian dia mulai lagi menggerak-gerakkan
pinggulnya dan terasa kitangnya tepat persis di liang milikku, dia mulai mendorongnya
sedikit dan aku merasakan bibir epotku telah menjepit benda itu. Dia mendiamkannya sambil
mengatur posisi tubuhnya dengan bertumpu pada sikunya. Kemudian lidahnya dijulurkannya ke
mulutku dan terus dilumatnya bibirku. Cukup lama juga dia melumat bibirku hingga membuatku
terangsang kembali.

Seketika kemudian pinggulnya ditekannya hingga kitangnya terbenam lagi sedikit dan aku
merasa agak perih di sekitar epotku. Otot-otot epotku bereaksi menerima masuknya benda asing
itu walaupun mungkin baru ujungnya saja yang masuk. Dia kembali terdiam seperti membiarkan
aku merasakan benda itu. Kemudian aku merasakan kegelian yang amat sangat ketika dia
menjilat-jilat telinga kiriku dan kadang-kadang ujung lidahnya menjolok-jolok lubang
telingaku. Entah berapa lama pula dia merangsangku dengan cara demikian dan kemudian dia
berpindah pula ke telinga kananku.

Posisinya rapat menindih tubuhku, tangannya diletakkan di bawah kepalaku dan kurasakan
kepalaku diangkat-angkat olehnya. Sepertinya dia sangat geram sekali dengan aku. Rangsangan
demi rangsangan itu membuatku betul-betul terlena hingga tidak sadar pinggulku kugerakkan ke
kiri dan ke kanan. Menikmati gerakan-gerakanku itu, Bang Atin malah semakin gencar
melumat-lumat telingaku, bibirku, hidungku dan juga pipiku tidak luput dari sapuan lidahnya.
Pada saat aku begitu terlena, dengan kuat ditekannya pantatnya hingga membuatku terkejut
karena kurasakan ada benda panas yang menerobos epot ku.

"Auuw.. Ohh," teriakku.
"Maaf, sayang, Abang mau memasukkannya. Nanti akan terasa enak," katanya.

Kemudian semua hening dan terdiam hanya suara nafas kami saja yang terdengar. Bang Atin
membiarkan kitangnya terbenam, mungkin belum separuh miliknya masuk, agar epotku mulai
menyesuaikannya. Aku masih merasakan perih dan pedih pada bibir epotku. Kemudian Bang Atin
mulai lagi menjilat-jilat leherku dan kembali mengulangi lagi lumatan-lumatannya pada bibir,
telinga dan semua wajahku tidak luput dari lidahnya. Aku tentu saja kembali dilanda birahi
yang amat sangat, sehingga dengan tidak sadar seluruh tubuhku bergerak bergetar serta
pinggulku kembali meliuk-liuk dan aku pun merasakan gerakan tubuh Bang Atin di atasku
menggesekkan perut dan dadanya pada tubuhku.

Sungguh suatu perasaan yang luar biasa sekali. Aku merasakan otot epotku mulai meremas-remas
kitang Bang Atin, keadaan ini sangat nikmat sekali. Aku berharap Bang Atin
menggerak-gerakkan kitangnya, tetapi dia malah diam saja. Namun rangsangan yang kuterima
dari cumbuan-cumbuannya cukup membuat tubuhku menggelinjang hebat hingga sampai aku merasa
tubuhku menegang dan pinggulku bergerak liar dan kembali kenikmatan orgasme mulai melandaku.

Ketika aku tengah menikmati denyutan orgasme itu dengan tiba-tiba aku terkejut dan menjerit,
"Auuww, sakiit, oohh," teriakku kuat.

Kurasakan ada sesuatu yang membelah selangkanganku dan merobek alur epotku. Rupanya Bang
Atin menunggu kesempatan ini untuk memasukkan miliknya. Menunggu aku lupa dengan benda yang
menunggu di pintu epotku itu. Alangkah perihnya lubang epotku saat itu dan aku merasa ada
yang robek. Ketika kulihat ke bawah ternyata pinggul kami sudah menyatu. Bang Atin malah
mencari-cari bibirku untuk mendiamkan suaraku dan langsung melumatnya.

Tetapi rasa perih dan pedih itu belum hilang ketika kurasakan Bang Atin mulai
menggerak-gerakkan kitangnya di dalam milikku. Mulanya dia hanya gerakkan sedikit saja ke
atas dan ke bawah, namun kemudian dia menariknya dan ditekan lagi sedikit. Aku menggigit
bibir menahan sakit karena tidak terbiasa menerima benda itu. Semakin lama dia semakin
gencar mendorong dan menarik milikknya keluar masuk milikku. Kadang ditekannya kuat-kuat
dicabutnya perlahan, kemudian ditekan lagi dengan cepat dan ditariknya dengan cepat pula.

Aku merasa milikku itu menguncup dan mengembang seiring keluar masuknya milik Bang Atin. Aku
belum bisa menikmatinya karena keterkejutan tadi. Kitang Bang Atin semakin cepat keluar
masuk menghajar epotku. Kadang-kadang dia pelintir-pelintir ke kiri dan kanan sehingga rasa
perih masih tetap terasa. Kemudian dengus nafasnya semakin cepat saja dan kurasakan tubuhku
terasa remuk diobrak-abriknya. Pinggulnya menghantam selangkanganku dengan keras dan
bertenaga sekali sehingga bunyi ranjang berderit-derit tak beraturan. Kelambu pun bergoyang
goyang.

Aku hanya sanggup mengaduh menahan sakit, aku tidak berani menjerit. Tidak berapa lama Bang
Atin mengobrak-abrik epotku dengan kitangnya akhirnya dengan gerakan yang kuat sekali
kurasakan tubuhnya menghimpit dadaku dan pinggulnya menekan rapat selangkanganku hingga aku
sesak. Ketika itulah kurasakan cairan panas menyemprot dalam epotku.

"Ahh, ahh, Abang telah masukkan obatnya," katanya dengan nafas sesak.

Kemudian kitangnya masih terus mengeluarkan cairan itu sambil berdenyut-denyut. Aku
merasakan cairan itu meleleh ke bibir epotku. Dia masih mendiamkan kitangnya dalam epotku
namun aneh aku masih ingin benda itu tetap di dalam. Padahal tadi aku sangat kesakitan
sekali. Aku merasakan rangsangan aneh sejak cairan tadi (sperma) menyemprot ke dalam epotku,
mungkin aku bergairah kembali. Bang Atin mulai mencabut kitangnya sedikit demi sedikit,
tetapi aku sebenarnya tidak rela, namun aku pasrah saja. Bang Atin pun berguling ke samping.
Nafasnya masih berbunyi berat.

Kemudian dia tersenyum padaku. Kemudian dia mengatakan bahwa dia senang mengobatiku dan
nanti pengobatannya akan dia lakukan lagi. Kemudian aku meraba selangkanganku dan terasa
cairan yang sangat banyak sekali. Aku mencoba melihatnya dan aku terkejut karena warnanya
bercampur antara putih dan merah darah. Aku kaget dan muncul rasa takut. Namun Bang Atin
mengetahui perasaanku. Dia menenangkanku dengan mengatakan bahwa itu biasa saja karena aku
masih perawan. Dia katakan bahwa orang perawan kalau dilakukan pengobatan akan mengeluarkan
darah sedikit.

Kemudian dia mengambil selembar kain dan mengelap cairan dan darah yang ada di
selangkanganku setelah itu dia pun mengelap cairan yang ada pada kitangnya. Aku melihat
kitangnya sudah tidak sebesar tadi lagi. Kemudian dia mencium pipiku kiri dan kanan.

"Abang keluar kamar dulu, ya? Kamu tunggu saja di sini dan tidurlah!" bisiknya.

Dia mengambil handuk dan menyelimuti tubuhku kemudian dia menyingkapkan kelambu dan terus
memakai sarung dan singlet. Setelah itu dia berjalan ke pintu dan membukanya serta terus
keluar. Kudengar langkah-langkahnya menuju ke perigi belakang rumah. Tidak berapa lama
terdengar suara guyuran air, mungkin dia mandi setelah melakukan pengobatan tadi kepadaku.
Aku masih menerawang membayangkan apa yang telah kami lakukan, sayang Kakak Antan tidak
mengetahuinya karena saat ini mungkin dia masih tidur.

Aku menjadi orang yang benar-benar bingung, bahwa seperti mimpi rasanya menikmati pengobatan
tadi dengan perasaan yang senikmatnikmatnya namun kemudian malah berganti dengan rasa perih
yang sangat dan saat ini aku masih menginginkan kitang Bang Atin memasuki milikku. Namun
akhirnya karena keletihan tersebut aku tertidur. Entah berapa lama aku tertidur, sampai
sayup-sayup kudengar suara percakapan dua lelaki di luar. Kudengar suara kakakku
berbincang-bincang dengan Bang Atin. Kakakku menanyakan keadaan pengobatanku dan Bang Atin
menjawabnya dengan mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan akan segera sembuh.

Kudengar Bang Atin mengatakan bahwa pengobatannya masih ada 2 hari lagi dan selanjutnya
nanti biar kakakku yang meneruskan. Setelah beberapa lama tidak ada lagi suara mereka yang
kudengar. Kemudian kulihat pintu kamar terkuak dan dari balik pintu muncul Bang Atin dengan
memakai kain sarung dan singlet, kemudian dia masuk dan menutup pintu kembali.

"Klik," kudengar suara pintu dikunci.

Bang Atin menyibakkan kelambu dan naik ke ranjang kemudian dia langsung berbaring di
sampingku. Sekilas kulihat dia tersenyum sambil membuka singletnya dan setelah itu dia
miring menghadapku. Dia menatap wajahku dengan pandangan lembut yang penuh arti, seperti
pandangannya saat mulai mencumbuiku beberapa waktu yang lalu. Aku hanya memandangnya dengan
mata sayu. Kemudian dia mengelus pipiku dan membelai rambutku.

"Kakakmu sudah tidur. Katanya dia baru kali ini dapat tidur nyenyak seperti ini," kata Bang
Atin menceritakan kakakku, Antan. Memang selama ini aku dan kakakku tidur hanya di
beralaskan tikar lusuh saja.
"Kamu tidak tidur ya? Apa kamu lapar, Munah? Atau kamu mau minum?" tanya Bang Atin kepadaku.
"Aku mau buang air, Bang," jawabku.
"Baiklah. Sekarang Abang antar kamu ke belakang," tawar Bang Atin.

Tangan Bang Atin menarik lenganku dan mendudukkanku, kemudian dia membelitkan handuk di
pinggangku. Diambilkannya bajuku dan disuruhnya kupakai. Aku menurutinya dengan patuh.
Selanjutnya ditariknya tanganku untuk turun dari ranjang. Dia menyibakkan kelambu dan terus
membimbingku menuju pintu. Aku merasakan perih di selangkanganku yang masih belum hilang.
Ketika berjalan aku masih tertatih-tatih dan terpincang-pincang. Di ruang tengah memang
kulihat Kak Antan tertidur pulas dengan suara dengkurnya.

Bang Atin rupanya telah menyelimutinya sehingga pantas Kak Antan tertidur nyenyak. Setelah
sampai ke perigi aku mengambil segayung air dan mulai buang air. Terasa pedih epotku ketika
disirami oleh air kencingku. Mungkin luka karena kitang Bang Atin tadi masih membekas dan
belum hilang. Kemudian aku menyiramnya dan semakin terasa perih dan pedih terkena air yang
dingin itu. Aku harus menahan rasa itu. Bang Atin menyodorkan sabun kepadaku dan menyuruhku
menyabun selangkanganku. Aku mulai mengoleskan sabun dan rasa pedih terpaksa kutahan.

"Kamu harus bersihkan dulu, karena nanti Bang Atin akan obati lagi," katanya.

Aku tersentak dan terbayang olehku kitang Bang Atin pasti akan mengobrak-abrik lagi epotku
yang perih ini. Aku hanya mampu menurut karena aku harus sembuh. Setelah selesai Bang Atin
kembali membimbing tanganku untuk kembali ke kamar. Sambil berjalan masih sempat ku melirik
kakakku yang tertidur. Bagaimana reaksi kakakku nanti seandainya dia tahu Bang Atin
mengobatiku seperti itu.

Setelah membuka pintu kami pun masuk ke kamar dan Bang Atin langsung mengunci pintu. Sambil
berjalan ke arah ranjang kulihat Bang Atin langsung menaggalkan sarungnya, dan terpacaklah
kitangnya yang besar itu. Rupanya kitangnya kembali besar seperti saat dia mengobatiku tadi.
Kemudian dilepasnya singletnya, sementara itu aku terus naik ranjang dan segera berbaring.
Aku siap untuk menerima pengobatan lagi oleh Bang Atin. Bang Atin segera menaiki ranjang dan
langsung merangkak ke atasku. Kitangnya yang besar tadi benar-benar mencanak dan mengarah ke
selangkanganku.

Segera dia melepaskan lilitan handukku dan dia mulai membuka kancing-kancing bajuku. Nafasku
kembali sesak dan rasa cemas kembali menghantui. Sambil menolong membukakan bajuku kurasakan
tubuh bagian bawahku sudah ditindihnya. Kitangnya sudah terjepit selangkanganku. Bulu romaku
pun berdiri merasakan kegelian akibat sentuhan-sentuhan Bang Atin itu. Sekarang aku berada
dalam dekapan eratnya. Dia membisikkan kata-kata bahwa dia sangat senang dapat mengobatiku
dan katanya dia ingin terus melakukannya selama tiga hari ini. Sambil mendekap erat tubuhku,
bibirnya mulai melumat-lumat bibirku yang membuatku merasa sesak.

Kemudian lidahnya menyapu lembut pipi dan leherku dan terus ke arah telingaku dan
menjolok-jolok lubang telingaku yang membuatku menggelinjang hebat. Pinggulnya pun
digerak-gerakkan sehingga kitangnya yang terasa hangat itu menggesek-gesek milikku. Perasaan
tubuhku saat itu dilanda kegelian yang sangat. Setelah puas memainkan bibir dan lidahnya di
wajah dan telingaku, kemudian dia beralih ke payudaraku. Puting kiri dan kananku jadi
bulan-bulanan Bang Atin. Kadang-kadang dihisapnya kuat-kuat kadang-kala diremas-remasnya.
Semua perlakuan Bang Atin terhadap itup (puting)ku itu membuatku menggelinjang dan menahan
rasa gatal yang amat sangat.

Aku merasa epotku telah basah karena rangsangan tadi, namun Bang Atin masih belum puas
menyonyot payudaraku. Dia masih sibuk meremas dan memilin-milin. Aku rasanya tak sanggup
lagi menahan dan ingin segera agar kitang Bang Atin kembali mengobati epotku. Aku
mendesis-desis dan akhirnya aku beranikan diri berkata kepada Bang Atin yang selama ini aku
hanya diam saja.

"Bang, Munah tidak tahan. Munah ingin diobati lagi," pintaku padanya.
"Oh iyya, tentu Munah," jawabnya segera dan dia langsung mendongakkan kepalanya dan
tersenyum kepadaku.

Selanjutnya kembali dia mendekapku sangat erat sepertinya terasa lengket tubuh kami. Saat
itulah dia membisikkan kepadaku: "Munah, aku mencintaimu!"

Suatu kata yang sangat asing bagiku. Aku tidak mengerti dengan kata "mencintai" tersebut.
Namun aku merasakan nyaman ketika dia mengatakannya secara lembut di telingaku. Bang Atin
mengatur posisinya. Ujung kitangnya tepat diarahkannya ke epotku yang sudah basah. Kemudian
dia kembali mendekapku sambil kurasakan tekanan-tekanan pada epotku oleh ujung kitangnya.
Aku merasa posisinya telah tepat dan sambil menunggu sodokannya aku merasakan kenikmatan
yang sangat indah kala itu. Aku merasa damai dengan kedua tubuh kami yang berimpit dan
terasa menyatu luar dalam. Dengan lembut Bang Atin menggesekkan tubuhnya dengan tubuhku
sementara itu bibir dan lidahnya selalu bermain disekitar wajahku. Aku tidak lagi merasakan
pedih pada epotku seperti waktu itu, yang ada hanyalah rasa gatal dan ingin segera dimasuki
oleh Bang Atin. Bang Atin mulai menekan pantatnya menyebabkan kepala kitangnya menekan-nekan
bibir epotku.

Beberapa kali ditekan-tekannya sampai akhirnya kepala kitangnya masuk sedikit. Kemudian dia
mendiamkannya sebentar dan dicoba menekan lagi hingga masuk sedikit demi sedikit. Dia
menariknya kembali dan terus didorongnya dan malah semakin dalam masuknya. Karena rasa
gairahku yang semakin tinggi menyebabkan rasa pedih dan perih seperti yang lalu tidak begitu
terasa, walaupun ada sedikit rasa ngilu. Beberapa kali ditariksorongnya oleh Bang Atin
menyebabkan epotku basah, sehingga semakin lancar saja kitang Bang Atin keluar masuk. Aku
merasakan nikmat yang sangat luar biasa karena Bang Atin bukan hanya melakukan tarik sorong
saja tetapi juga melumat-lumat bibir, telinga dan leherku.

Sesekali Bang Atin menghunjamkan dalam-dalam miliknya hingga membuatku tersentak dan tubuh
kami semakin rapat dan basah oleh peluh. Bang Atin semakin rajin menggenjot kitangnya yang
sangat keras itu keluar masuk epotku. Ketika dia menarik keluar serasa bagian dalam epotku
menjemputnya ke atas dan ketika dibenamkannya dalam-dalam terasa sisi dalam epotku menyibak
dan menimbulkan rasa nikmat yang sangat luar biasa. Itulah yang kurasakan saat itu. Aku
tidak sadar lagi bahwa ranjang kami berderit-derit keras dan kelambu bergoyang hebat dan
kedengarannya riuh rendah suara derit, dengus nafas dan juga rintihanku bergabung satu
memenuhi kamar kecil tersebut. Bang Atin sudah tidak peduli lagi dengan sekelilingnya,
bahkan dengan keras dia menyodok epotku hingga aku tercungapcungap kehilangan nafas.

Bunyi kecipak-kecipuk suara lendir epotku semakin menambah semangat Bang Atin
mengobarak-abrik epot mungilku ini. Aku betul-betul kelelahan dan tekanan-tekanan dalam
epotku membuatku berkelojotan dan menegang. Aku telah sampai pada orgasme, seluruh
otot-ototku meregang nikmat, sementara itu Bang Atin semakin beringas menghajar milikku.

"Ohh, ohh, Munah, Abang sayang kamu. Enak sekali Munah. Abang tidak ingin berhenti sayang.
Kamu disini saja selamanya. Abang enak mengobatimu," begitulah suara racau Bang Atin ketika
mengobrak-abrik milikku ini.
"Abang, ingin menembak obatnya, terima ya?," kata Bang Atin dengan nafas sesak.

Aku yang sudah letih meneguk orgasme dari tadi, terkulai lemas dan terkapar tak berdaya.
Melihat kondisiku seperti itu, Bang Atin malah semakin mempercepat kocokannya pada epotku
dan akhirnya semburan panas itu kuterima jua. Berdenyut-denyut kitang Bang Atin
menyemprotkan sisa cairannya sampai akhirnya dia terkapar di atasku dengan suara nafas yang
sangat keras dan cepat.

"Abang sangat bahagia, sayang. Kamu begitu cantik, kamu telah memberikan Abang segalanya,"
bisik Bang Atin kepadaku.

Dalam diamku yang lemas, aku sempat berpikir apa memang begini pengobatan yang harus
dilakukan kepadaku. Apakah betul begini pengobatan itu, akh sudahlah, aku sudah merasakan
ada dunia lain yang betul-betul nikmat. Dalam merenung itu aku merasakan Bang Atin mengelap
pangkal pahaku dengan selembar kain. Antara sadar dan tidak karena letih aku terus diam dan
tertidur. Aku baru terbangun ketika kurasakan ada orang yang menaikiku, ketika kubuka mata
ternyata Bang Atin sudah berada di atasku dalam keadaan telanjang dan begitu pula aku.
Rupanya sewaktu kutidur dia bekerja membugilkanku. Dia membelai-belai rambutku dan sesekali
diciumnya pipiku. Tangannya mulai mengelus dadaku dan berhenti pada puting itupku, kemudian
memutar-mutarnya sehingga membuatku kegelian.

"Munah, Abang masih ingin melakukannya lagi sebelum kita keluar," begitu kata Bang Atin
padaku.

Seperti biasa aku hanya diam dan mengangguk saja. Aku teruskan menikmati gesekangesekan yang
diberikan Bang Atin. Tidak berapa lama kemudian dengan mengubah posisinya, dia mengarahkan
kitangnya ke lubang epotku. Dia menekannya kemudian ditarik lagi, ditekan lagi ditarik lagi,
begitu seterusnya hingga kurasakan kepala kitangnya terjepit bibir epotku. Agaknya dia
begitu kesulitan memasukkan batangnya karena epotku belum basah. Dengan gigih terus
disodok-sodok dan dicabut-cabut serta tekan tusuk ke lubang epotku, hingga kurasakan sedikit
demi sedikit benda itu menyeruak memasuki epotku. Setelah separuh masuk dia berhenti dan
mengatur nafas.

"Oh, sempit sekali punyamu Munah. Tidak seperti tadi," katanya.
"Abang berkeringat dibuatnya," sambungnya lagi.

Kemudian dia meneruskan usahanya menekan kitangnya hingga kurasakan kandas. Aku merasakan
panas sekali seakan terbakar epotku dibuatnya. Dimulainya tusuk tekan pada epotku. Seiring
gerakan tusuk tarik itu begitu pula kurasakan perih dan panas bibir-bibir epotku. Dia tetap
terus dengan sodokan-sodokannya dan bahkan tidak peduli dengan rintihan kesakitan yang
kurasakan. Semakin lama dia melakukan gerakan-gerakan itu semakin berkurang rasa perih
karena epotku sudah mulai basah. Bang Atin malah semakin beringas. Bunyi derit ranjang dan
lenguhannya menjadi satu. Aku pun sudah mulai menikmati. Dengan cepat diaduknya lubang
epotku seakan hancur.

"Oh, oh, Munah, Abang akan hantam punyamu. Rasakan! Abang akan lantak sampai pagi. Ohh,
nikmatnya," racau Bang Atin saat itu.

Kemudian dengan gerakan yang tidak teratur dan beringas, dia menyudahi pekerjaannya dengan
menyemprotkan cairan-cairan itu ke epotku. Seperti sebelumnya kurasakan denyut-denyut
kitangnya menyudahi pengobatan ini. Sebentar kemudian dia sudah terkapar dengan nafas
memburu di sampingku. Dia mengecup keningku dan terus mengelap pahaku. Bang Atin bangkit dan
memakai sarung serta singletnya kemudian terus ke pintu dan membukanya. Aku terkejut begitu
melihat cahaya pagi sudah memasuki rumah itu. Berarti semalaman aku telah diobati oleh Bang
Atin dengan penuh pengalaman yang menarik bagiku. Aku membereskan diri dan memakai sarung
serta handuk dan berniat untuk terus ke kamar mandi.

Ketika berjalan keluar, kulihat Kak Antan sedang duduk-duduk di luar rumah. Aku teruskan ke
kamar mandi dan sesampainya di kamar mandi tersebut langsung kubuka handuk dan sarung dan
terus mengambil air. Aku tidak sadar bahwa Bang Atin juga di situ memperhatikanku. Aku
terkejut ketika mengetahuinya, namun Bang Atin begitu cepat memelukku dan menciumi pipiku.

"Abang sangat bahagia, Munah. Maukah kau tetap tinggal di sini?," tanyanya padaku sambil
berbisik di telingaku.
"Ehm, ooh, aku tak tahu, Bang. Terserah sama Kakak Antan," jawabku.
"Baiklah," balasnya.

Selanjutnya dia meninggalkan kamar mandi dan aku terus membersihkan diri serta mandi
sepuas-puasnya.

Hari itu Bang Atin mengajak Kak Antan untuk pergi berburu ke hutan. Bang Atin bercerita
bahwa dia sering berburu dan dapat banyak hewan seperti pelanduk, kancil dan bahkan ada rusa
juga. Mendengar hal itu tentu saja kakakku sangat tertarik. Setelah makan pagi mereka berdua
berangkat dengan peralatan yang telah disiapkan oleh Bang Atin. Tinggallah aku sendiri di
rumah itu. Di rumah tersebut aku bekerja mencuci pinggan mangkok yang sudah kotor serta juga
mencuci kain-kain yang sudah kotor. Saat itu memang masih kurasakan perih di selangkanganku,
apalagi bila kena air, karena pengobatan yang dilakukan oleh Bang Atin. Setelah selesai
semua pekerjaan tersebut lalu aku tidur-tiduran di kamar. Aku merenung mengenang masa lalu
dan memikirkan tentang apa yang baru saja kualami.

Akhirnya dengan tanpa sadar aku pun tertidur. Aku terbangun dari tidurku setelah ada suara
yang memanggilku dari luar rumah. Aku terus bangun dan keluar membukakan pintu, ternyata
Bang Atin telah pulang dari berburu dengan membawa seekor pelanduk. Hari saat itu baru
kira-kira tengah hari karena kulihat matahari tepat berada di atas kepala. Namun aku menjadi
heran kenapa Bang Atin pulang sendirian. Seharusnya dia pulang bersama kakakku. Bang Atin
tersenyum kepadaku. Setelah meletakkan hasil buruannya di lantai, dia merengkuh kepalaku dan
langsung mencium pipiku. Aku terkejut karena keherananku belum terjawab.

Akhirnya aku pun bertanya: "Bang, Kak Antan mana?" tanyaku padanya.
"Oo, kakakmu masih berburu di hutan. Aku tadi berjanji kepadanya pada waktu sedang dalam
perjalanan ke hutan, apabila nanti dapat satu ekor hewan maka akan Abang Atin antarkan
langsung pulang agar dapat dimasak oleh Adik Munah. Selain itu Abang juga sampaikan padanya
bahwa Abang akan mengobatimu siang ini sebentar," cerita Bang Atin panjang lebar.

Mendengar cerita itu tahulah aku apa yang akan terjadi. Pastilah epot mungilku ini nanti
akan jadi bulan-bulanan kitang Bang Atin. Belum sempat aku berpikir tentang itu, tangan Bang
Atin telah merengkuh tanganku dan menarikku ke kamar. Setelah sampai di kamar Bang Atin
menyuruhku berbaring di ranjang sementara itu dia pergi keluar dan tampaknya dia pergi
menutup pintu. Kemudian dia masuk lagi dan dengan tergesa-gesa dia menanggalkan pakaian
berburunya satu persatu hingga akhirnya dia telanjang bulat. Dia memandangku dengan sorot
mata tajam seperti hendak menelanku saja.

Hari inilah baru pertama kali aku melihat tubuhnya dengan jelas karena semalam aku hanya
melihatnya dalam keremangan sinar lampu togok. Dengan jelas kulihat raut tubuhnya yang hitam
manis berminyak diselingi bulubulu halus di sekujur tubuhnya. Aku melihat jelas kitang Bang
Atin yang berwarna hitam berurat itu sedang tegak-tegaknya. Dengan tersenyum dia mendekatiku
dan menaiki ranjang tersebut. Hatiku terkesiap dan merasakan akan terjadi sesuatu yang di
luar perkiraanku. Dia menyuruhku segera membuka pakaian.

"Munah, tolong buka pakaianmu!" perintahnya padaku.
"Ii.. I.. Ya," jawabku.

Aku segera duduk dan mulai membuka satu persatu pakaianku mulai dari baju dan terus ke
sarung yang kupakai. Sambil membuka baju aku merasakan dia mempermainkan kitangnya di
punggungku. Ikh, terasa benda itu menggesek-gesek pinggulku. Setelah aku bugil tanpa sehelai
benang pun, dia merengkuh bahuku dan langsung membaringkanku di atas ranjang itu. Aku
ditelentangkannya sambil tangannya mengelus tubuhku dari dada sampai ke perut. Kemudian dia
mulai merangkak ke atasku dan bertumpu pada kedua sikunya. Sementara itu aku merasakan tubuh
bagian bawahnya sudah merapat ke pahaku. Sangat nyata kurasakan kitang Bang Atin yang sudah
keras itu menusuk selangkanganku. Berat tubuhnya menambah tertekannya epotku oleh kitangnya.

"Sayang, Abang tadi waktu berburu ingat dengan Munah. Abang masih merasakan kenikmatan
sewaktu mengobatimu tadi malam," katanya setengah berbisik padaku.

Aku hanya mengangguk saja. Kemudian Bang Atin memulai operasinya pada tubuhku dengan
menggelitik telingaku dengan ujung lidahnya. Seterusnya dia semakin ke bawah menggerakkan
lidahnya hingga sampai pada leherku dan berputar-putar di situ. Dengan gemasnya Bang Atin
melumat-lumat bibirku entah beberapa puluh kali hingga aku merasa kegelian. Selanjutnya Bang
Atin mengisap-isap puting susuku bergantian kiri kanan dengan rakusnya hingga kadang-kadang
aku merasa kesakitan. Sementara itu aku juga merasakan tekanan-tekanan pada selangkanganku
oleh kitang Bang Atin semakin kuat saja. Bang Atin sedikit mengangkat badannya dan mulailah
kitangnya menusuk-nusuk epot mungilku ini.

Aku merasakan bibir-bibir epotku timbul tenggelam seiring tusukannya. Semakin lama dia
menekan-nekan kitangnya semakin basah epotku dan semakin terasa keenakannya hingga akhirnya
kitang Bang Atin yang lumayan itu mulai menyeruak ke antara bibir epotku. Masuk sedikit demi
sedikit seiring tarik dorong yang di lakukannya. Cukup lama juga dia berusaha menerobos
epotku dengan cara begitu sampai keringatnya membanjiri tubuhnya dan menetes di dadaku.
Setelah sekian lama terasa sudah separuh kitangnya yang masuk namun dia tetap menarik dan
mendorong ke keluar dan kedalam.

"Aww, sakiit, Baang!" teriakku ketika satu hentakan yang sangat kuat menghantam epotku.

Rupanya Bang Atin sengaja mempermainkan aku dengan menunda-nunda memasukkan kitangnya.
Sekarang kitang besar itu sudah terbenam habis dan sudah bersarang dalam epotku.
Selangkangan kami sudah bertaut tidak ada jarak lagi. Tubuh kami telah menyatu, keringat
Bang Atin pun sudah membasahi dada dan perutku. Bang Atin merapatkan tubuhnya
serapat-rapatnya sehingga aku jadi sesak untuk bernafas. Sementara itu rasa perih juga masih
terasa pada epotku yang saat ini menampung benda besar itu. Benda itu masih diam di
sarangnya tanpa gerak dan secara otomatis epotku menyesuaikan diri dengan kehadirannya.

Tidak berapa lama kemudian aku sudah merasakan gerakan-gerakan kitangnya menerjang ke atas
dan ke bawah. Seiring dengan itu tubuh Bang Atin bergerak lincah menggesek dan menggilas
tubuhku. Semakin lama semakin kurasakan rangsangan yang enak melanda epotku. Berjuta-juta
rasa nikmat melanda seiring terjangan-terjangan kitang Bang Atin dan ditambah lagi
cumbuan-cumbuannya pada leher dan seluruh wajahku.

"Alangkah nikmatnya pengobatan ini," pikirku saat itu.

Setelah agak lama menyodok keluar masuk, aku merasakan jemari tangan Bang Atin menyelinap ke
bawah bongkahan pantatku. Kemudian kurasakan tangan itu meremasremas pantatku, sehingga ada
kenikmatan lain yang kurasakan. Selanjutnya kedua tangannya mendekap erat pantatku hingga
kurasakan epotku merapat erat dengan milik Bang Atin. Ketika itulah dia memutar-mutar
pinggulnya yang menimbulkan kenikmatan luar biasa bagiku.

"Ohh.. Ohh.. Ohh.." rintihku saat itu karena meregang nikmat.

Kemudian tubuhku mengejang dan bergetar sejadi-jadinya karena orgasme yang telah melanda
diriku. Tidak berapa lama kemudian dengan beringasnya Bang Atin menggoyang tubuhku kuat
sekali dan..

Crot.. Crot.. semburan cairannya memenuhi ruang epotku. Kami berdua terkapar lemas, Bang
Atin kemudian mencabut kitangnya dan berbisik padaku.

"Munah, kamu istirahat di rumah ya? Masak daging pelanduk tadi dan makan sepuaspuasmu. Nanti
malam Abang akan mengobatimu lagi," bisiknya lembut dekat telingaku.

Kemudian dia bergegas berpakaian dan langsung pergi meninggalkanku. Dia kembali pergi
menemui kakakku Antan yang sedang berburu di hutan. Sorenya mereka kembali dari berburu dan
mendapat banyak hewan buruan seperti kancil dan pelanduk serta ayam hutan. Bang Atin dan
kakakku sibuk membersihkan hasil buruan mereka dan sebagian dimasak sore itu juga. Malamnya
kami pun makan bersama. Setelah selesai makan dan bercerita sebentar, semuanya bersiap-siap
untuk tidur. Kakakku Antan karena sangat capek berburu langsung tertidur lelap di ranjang
ruang tengah.

Sementara itu aku mulai beringsut ke kamar dan berbaring di ranjang. Mataku menerawang
membayangkan akan terjadi lagi pengobatan rutin oleh Bang Atin. Benar saja! Sebentar
kemudian Bang Atin telah muncul di kamar dan naik ke ranjang. Dia langsung memelukku dan
menciumiku bertubi-tubi, dia sangat rindu dan bernafsu sekali. Malam itu adalah seperti
malam sebelumnya, Bang Atin sampai tiga kali mengarungi kenikmatan bersamaku hingga paginya.
Pertama sekali ketika akan tidur, selanjutnya ketika aku terjaga tengah malam dia telah
lebih dahulu menaiki tubuhku dan terakhir ketika pagi harinya.

Aku terbangun paginya ketika matahari sudah meninggi. Bang Atin dan Kak Antan sudah tidak di
rumah lagi, mereka telah berangkat berburu. Hari itu adalah hari kedua kami di rumah Bang
Atin. Kira-kira tengah harinya kembali aku dikejutkan dengan kedatangan Bang Atin dari
berburu. Herannya masih seperti hari sebelumnya hanya dia sendiri yang pulang, namun hari
ini dia tidak membawa hewan buruan. Dia cuma membawa dedaunan hutan. Katanya dedaunan ini
agar disayur saja sebagai obat. Ketika kutanyakan keberadaan kakakku, dia bilang bahwa
kakakku lagi berburu dan menunggu di hutan. Bang Atin minta izin pada kakakku mengantarkan
dedaunan tersebut untuk obatku. Aku tahu apa yang akan terjadi. Pasti sebentar lagi aku akan
bergumul dengan kitang Bang Atin.

Dan benar saja, setelah Bang Atin keluar dari kamar mandi langsung saja mengajakku ke
ranjang di kamar. Dengan pasrah aku menurut perintahnya untuk membuka seluruh pakaian.
Kejadian seperti hari kemarin kembali terjadi, namun hari ini aku betul-betul menikmati
permainan obat Bang Atin. Hari ini aku diberikan sebuah cara yang menurutku cukup nikmat
yaitu ketika kitangnya sedang enak-enaknya membenam dalam epotku, posisi kami dibaliknya
sehingga aku tepat berada di atasnya. Pinggulku digoyang-goyangnya sehingga kenikmatan
kitangnya dapat kuatur sesuai seleraku.

Aku betul-betul menikmati permainan ini. Sambil mengatur kenikmatan kitang Bang Atin, aku
merasakan bibir-bibirnya mengecup ganas puting susuku sehingga aku semakin berkelojotan dan
akhirnya mengejang menahan kenikmatan orgasme. Melihat aku terkapar lemas, Bang Atin
membalikkan posisi. Sekarang dia berada di atasku, dengan bersemangat dan bernafsu sekali
dia mengerjai epotku menyudahi permainan ini. Dia menghabiskan beberapa waktu untuk
mengobarak-abrik empotku hingga akhirnya aku kembali orgasme dan terakhir dia menyemprotkan
cairan itu ke dalam epotku.

Selama tiga malam dan tiga hari itu aku betul-betul diobati Bang Atin sepuaspuasnya. Ketika
kakakku terlelap dan ketika berburu dia berkesempatan melakukan itu kepadaku. Malam hari
entah beberapa kali aku harus pergi ke sumur untuk membersihkan epotku dari sperma Bang
Atin, sambil lewat aku memperhatikan bahwa Kak Antan malah enak-enaknya tidur lelap di ruang
tengah. Sementara itu aku membanting tulang melayani keperkasaan Bang Atin di ranjang.
Bahkan pada saat-saat perpisahan kami di hari ketiga, siang itu Bang Atin meminta kepada
kakakku untuk mengobatiku sebentar di kamar. Anehnya, kakakku malah mengiyakan hingga
terjadilah kembali pergumulan perpisahan yang betul-betul dimanfaatkan Bang Atin untuk
menghajar dan mengobarak-abrik milikku dengan sepuas-puasnya.

Dengan senyum kemenangan Bang Atin berpesan padaku agar aku tetap menjaga tubuh dengan baik,
kalau menginginkan hal seperti ini lagi agar aku mendatanginya. Dia malah mengajakku agar
tinggal saja bersamanya, namun aku tidak mau karena memikirkan kakakku.

*****Sekarang aku telah balik ke hutan lagi bersama kakak kandungku, Kak Antan. Di hutan ini ada
lagi petualangan hidup yang kami alami. Di sini aku akan ceritakan kepada anda, semoga anda
puas.

*****

Dalam perjalanan pulang dari rumah Bang Atin, kami menemukan kesulitan untuk kembali karena
kami harus melawan arus sungai ke hulu. Kak Antan berpikir bahwa jika diteruskan maka kami
pasti tidak akan mampu lagi, apalagi melihat kondisiku yang sudah payah dan letih setelah
berobat dengan Bang Atin. Anda pasti tahu bahwa selama tiga hari tiga malam aku diobati Bang
Atin, seluruh tenagaku terkuras untuk mengimbangi alat suntik Bang Atin yang begitu perkasa
mengoabrak-abrik kemaluanku yang masih mungil dan kecil ini. Sehingga Kak Antan memutuskan
untuk mencari pemukiman baru yang tidak jauh dari kampung itu.

Di dekat pinggir sungai itu kami membuat dangau tempat tinggal. Kak Antan yang cekatan
dengan tangkasnya hanya memerlukan waktu sebentar untuk membuat tempat tinggal kami.
Akhirnya selesai sudah pembuatan satu buah dangau kecil yang akan kami tempati berdua.
Dangau kami yang baru ini jauh lebih kecil dari dangau yang kami tempati dulu. Setelah malam
tiba kami tidur. Kak Antan tidur seperti biasa dekat pintu sedang kan aku tidur di tepi
dinding sebelahnya lagi. Kami tidur nyenyak sekali, apalagi aku yang sudah tiga malam
kekurangan tidur akibat dibangunkan selalu oleh Bang Atin untuk melayani pengobatan yang
dilakukannya padaku.

Siang harinya seperti biasa Kak Antan pergi berburu dan mencari buah-buahan untuk makanan,
sedangkan aku hanya menunggu di rumah sambil bekerja menyiangi sekitar rumah. Jika dulu aku
sering ikut Kak Antan berburu namun sekarang Kak Antan malah melarangku ikut karena dia
khawatir dengan sakitku. Begitulah kehidupan kami setelah menetap di dangau itu. Setelah
seminggu tinggal di dangau itu aku mulai kembali mengingat Bang Atin. Ada rasa inginku untuk
kembali dibelai dan dicumbuinya. Mungkin perasaan alamiah yang kurasakan, sehingga setiap
hari aku selalu bermenung dan melamun. Keadaanku yang seperti ini diperhatikan oleh kakakku
sehingga dia pun menanyakan padaku.

"Munah, aku lihat kamu setiap hari hanya melamun saja, ada apa denganmu?" tanya Kak Antan
suatu hari.

Aku terkejut dari lamunanku dan mencoba biasa-biasa saja.

"Aku mengingat Bang Atin, Kak. Sudah lama kita tidak berjumpa," jawabku jujur.
"Oo, jadi kamu mau diobati lagi sama Bang Atin? Bagaimana jika kakak saja yang mengobatimu?
Kamu kan tahu apa bahan yang dibuat mengobatinya?" jawab kakakku.
"Ah, biar sajalah Kak," jawabku lagi.

Akhirnya berlalu begitu saja. Suatu malam ketika kami mau tidur, Kak Antan mulai lagi
membicarakan tentang pengobatan yang dilakukan oleh Bang Atin. Saat itu aku betul-betul
merindukan Bang Atin, aku membayangkan bagaimana dia dengan lembutnya mengerjai epot
mungilku. Aku membayangkan saat-saat kitang Bang Atin menembus epotku yang membuatku merasa
nikmat yang luar biasa. Aku mengingat saat-saat kitang itu menyemprotkan cairan obatnya ke
dalam epotku.

"Akh, sungguh aku merindukanmu Bang Atin," hasratku.
"Munah, waktu kita di rumah Bang Atin, kakak mendengar suara ribut dari kamar pengobatanmu.
Aku mendengar seperti suara rintihan kamu, apakah Bang Atin menyakiti sewaktu mengobatimu?"
tanya Kak Antan.

Aku berpikir bahwa rupanya Kak Antan tidak tidur waktu itu sehingga dia mendengar
suara-suara kami.

"Tidak, Kak. Malah Bang Atin membuat Munah merasa keenakan diobati," jawabku seenaknya.
"Kalau begitu, biar kakak saja yang mengobati Munah, ajarkan saja caranya!" pinta Kak Antan
padaku.

Karena sudah didesak seperti itu, maka aku pun bersedia.

"Pertama, harus buka dulu pakaian kakak!" kataku memulai.
"Apa? Kok pakaian kakak yang dibuka? Yang diobati kan kamu!" bantah Kak Antan.
"Iya, aku juga," jawabku sambil menanggalkan pakaianku satu persatu.

Kak Antan hanya melongo saja melihat aku sudah telanjang bulat. Rupanya dia belum pernah
melihat aku telanjang bulat. Dari atas sampai ke bawah dipandangnya aku dengan mata tak
berkedip.

"Sekarang, buka pakaian kakak!" perintahku padanya. Namun dia hanya diam.
"Kakak sungguh mau mengobatiku? Jika ya, buka pakaian kakak!" perintahku lagi.

Akhirnya dibukalah pakaiannya satu persatu. Aku memperhatikan dia mempreteli satu persatu
kain-kainnya dalam terang cahaya lampu togok itu. Aku menunggu saat dia membuka celananya,
membayangkan bentuk kitang Kak Antan, apakah masih seperti kepunyaan Bang Atin juga atau
tidak. Aku sudah merindukan saat-saat benda itu menerobos epot mungilku dan mengoyak-ngoyak
liangku. Aku tidak peduli lagi akan pengobatan diriku, yang kuinginkan sekarang adalah benda
panjang itu mengaduk-aduk milikku.

"Oops, ehh," ketika celananya terselak, ternyata punya Kak Antan masih lisut dan kempes,
besarnya lebih sedikit dari jempol.
"Waduhh," pikirku.

Aku tidak kehilangan akal, kusuruh Kak Antan memegang payudaraku seperti Bang Atin pernah
lakukan padaku. Kak Antan bergerak mendekatiku dan sambil duduk dia mulai memegang
payudaraku.

"Remas, Kak!" kataku. Kak Antan mulai meremas-remasnya.
"Munah, rasanya kok lembut sekali? Malah enak meremasnya" kata Kak Antan.
"Terus saja Kak!" jawabku lagi.

Akhirnya aku lihat kitang Bang Atin bergerak sendiri semakin membesar. Setelah ukurannya
maksimal, aku perhatikan kok bentuknya membengkok ke kanan, tidak lurus seperti punya Bang
Atin. Semakin ke ujung semakin membesar namun lingkaran pangkalnya cukup kecil dan ukuran
panjangnya menyamai kitang Bang Atin. Aku tidak tahan lagi, segera kuraih benda itu. Namun
Kak Antan terkejut dan menghindar.

"Ehh, Munah, kamu mau apa?" tanyanya.
"Kak, waktu Bang Atin mengobatiku, dia menggunakan benda punyanya seperti punya Kakak itu.
Namanya kitang," terangku kepadanya.
"Benda itulah yang menyalurkan obat ke tubuhku," jelasku lagi.
"Eh, kok bisa, bagaimana caranya?" tanya Kak Antan heran.
"Caranya akan Munah jelaskan asalkan Kakak menuruti perintahku," jawabku tak sabar.
"Baiklah, kakak akan menuruti" Kak Antan menyerah.

Aku mulai berbaring telentang. Kak Antan kusuruh meremas-remas payudaraku, setelah agak
lama, aku menyuruhnya menelungkup di atasku. Kucari bibirnya dan kukulum-kulum bibir Kak
Antan. Bibirnya terasa dingin, namun aku merasakan kitangnya sudah terimpit di antara
pahaku. Aku menyuruhnya memasukkan kitangnya ke epotku, karena aku tidak sabar lagi. Namun,
dia malah tidak mengerti. Terpaksa aku bantu dengan tanganku.

Bles, bles... Kitang kakakku mulai masuk dan dia langsung menekannya sekuatkuatnya.
Sepertinya dia menemukan suatu kenikmatan baru yang belum pernah dirasakannya. Ampun! Suara
nafasnya memburu seperti habis berlari jauh. Kemudian belum sempat aku menikmati permainan
ini, dengan tergesa-gesa dia memaju mundurkan kitangnya dengan cepat sekali, sehingga terasa
panas epotku dan tidak berapa lama kemudian crot.. crot... obatnya (air maninya) kurasakan
menyemprot banyak sekali. Setelah itu dengan cepat langsung dicabutnya kitangnya tanpa
menunggu rileks, sehingga menimbulkan rasa perih di epotku. Biasanya Bang Atin membiarkan
dulu beberapa saat sebelum mencabutnya.

"Akh, Dik, apa yang telah Kakak lakukan padamu?" tanyanya padaku.
"Kak, begitulah Bang Atin mengobatiku selama 3 hari itu. Namun Bang Atin bisa membuat Munah
merasa enak karena dia melama-lamakannya." jawabku dengan kecewa.
"Apa kamu tidak merasa sakit?"
"Waktu pertama saja Kak sakitnya, setelah itu tidak lagi" jawabku.

Kejadian itu merupakan pengalaman pertamaku dengan Kakak Antan, selanjutnya di gubuk kecil
itu hampir setiap malam kami melakukannya. Aku mengajari Kakak Antan bagaimana yang telah
dilakukan oleh Bang Atin. Aku menjadi ketagihan dan setiap hari aku selalu menunggu Kak
Antan pulang dari berburu untuk kemudian berburu kenikmatan dengan dalih mengobatiku.
Perbuatan ini kami lakukan berbulan-bulan, hingga suatu saat aku merasa ada keganjilan pada
perut dan perasaanku.

Perutku bertambah besar dan payudaraku pun semakin besar, padahal tujuan kami sebelumnya
adalah mengobati agar payudaraku jangan membesar. Disamping itu ada perasaan aneh pada
diriku, yaitu selalu mual-mual dan ingin muntah. Sedangkan darah yang selama ini selalu
keluar setiap bulannya dari epotku sudah sembuh. Dalam kebingungan ini akhirnya kami
putuskan untuk kembali menemui Bang Atin. Kembali kami ke rumah Bang Atin pada suatu sore
dan menjumpai Bang Atin sedang duduk-duduk di depan rumahnya. Melihat kami datang Bang Atin
terkejut dan kemudian tersenyum. Dia melirik nakal ke arahku. Aku kembali merasa denyut
birahi yang dulu selalu diobati Bang Atin kembali muncul ketika melihat Bang Atin.

"Apa kabar kalian sekarang," tanya Bang Atin.
"Bang, adikku bukannya sembuh tapi malah semakin bertambah penyakitnya," jawab Kak Antan
gusar.
"Oh, itu masalahnya. Dik Antan jangan marah dulu. Nanti aku ceritakan," kata Bang Atin.

Sore itu dijelaskanlah oleh Bang Atin, bahwa sebenarnya aku hamil karena telah melakukan
suatu perkawinan antara lelaki dengan wanita. Terungkaplah di sana cerita kakakku bahwa kami
pun telah melakukannya di rumah. Mendengar itu Bang Atin malah marah dan mengatakan bahwa
yang kami lakukan itu terlarang karena kami bersaudara. Kak Antan menangis menyesali itu
semua, namun Bang Atin mengatakan bahwa janin yang ada di perutku bukan milik Kak Antan
tetapi miliknya.

Penyelesaiannya saat itu adalah bahwa aku harus menjadi istri Bang Atin dan Kak Antan boleh
tinggal di rumah itu dan nanti akan dicarikan pula istrinya. Malam itu kami tidur kembali di
rumah Bang Atin. Setelah kakakku tertidur, Bang Atin dengan berbisik kemudian mengajakku ke
kamarnya dan kami pun melepaskan rindu di sana. Jadilah malam itu merupakan malam kenikmatan
yang tak dapat kulupakan. Mengingat aku yang hamil, maka Bang Atin memasukkan kitangnya dari
belakang dan posisiku menungging. Sensasi lain yang kurasakan saat itu membuat aku menggapai
orgasme berkali-kali. Akhirnya malam itu selesai juga, terobati pulalah rindu kami.

Kehidupan kami selanjutnya dan sampai saat ini tetap bermukim di kampung itu. Aku telah
menjadi istri Bang Atin dan telah mempunyai dua orang anak yang lucu sekali, keduanya
perempuan. Sedangkan Kak Antan baru setahun dinikahkan dengan famili Bang Atin, saat ini
istrinya sedang hamil tua. Kami selalu merahasiakan kisah kami kepada famili dan penduduk
kampung.


TAMAT
Romantika Dua Saudara, Pada: Senin, Juni 25, 2012
Copyright © 2015 CERITA DEWASA Design by bokep - All Rights Reserved