Prolog
Ini adalah kisah nyata dalam perjalanan hidupku, terjadi sebelum akhirnya nasib mempertemukan aku dengan suamiku sekarang ini.
Namaku Lily, waktu itu umurku 26 tahun, sebagai seorang gadis
panggilan tentu banyak pengalaman sexual yang aku alami dari bermacam
umur, golongan, pangkat, tingkah laku, gaya hidup bahkan perlakuan sex.
Postur tubuhku yang 167 cm, berat 50 dan ukuran 36B, ditambah kulit
tubuhku yang putih mulus, mata agak sipit seperti gadis chinesse, wajah
cantik mirip Cornelia “Sarah” Agatha (kata orang sih), tentu tidaklah
sulit bagiku untuk mendapatkan “tamu” bahkan lebih sering menolak,
daripada mencari. Penampilanku memang layaknya Chinese apalagi
lingkungan pergaulanku juga kalangan Chinese di kota Surabaya, maka 90%
tamu-ku adalah dari kalangan Chinese, sisanya yang sepuluh persen adalah
para penggede Orde Baru, pejabat, anak pejabat, bahkan cucu pejabat,
baik pejabat local maupun pusat, menteri dan anak anaknya, bahkan aku
pernah melayani Pak Menteri dan anaknya dalam satu hari, perwira tinggi
bahkan Jendral, Gubernur, suami artis ternama dan tak ketinggalan sang
cucu dari Cendana, ada yang masih menjabat hingga tahun 2002 ini tapi
banyak yang sudah pensiun, sedang di sidang, bahkan sudah berada di
penjara.
Memang pangsa pasarku adalah golongan atas, sesuai dengan
penampilanku yang high class, tentunya tariff yang aku kenakan juga
sudah pasti angka 7 digit bahkan bisa 8 digit kalau menginap atau harus
ke luar kota, tapi dari para tamu memang harga segitu sepadan dengan
servis yang aku berikan, terbukti hampir 95% dari tamu adalah pelanggan
lama, memang aku membatasi dan sedikit pemilih dalam melayani tamu,
karena disamping masalah uang tapi juga selera, tujuannya adalah untuk
mendapatkan kepuasan dalam sex maupun financial, yang pasti aku berusaha
supaya bukan tamu-ku saja yang puas tapi aku juga bisa mendapatkan
kepuasan.
Aku biasa melayani tamu dan panggilan short time 2-4 kali dalam
sehari, belum lagi yang sampai menginap di hotel berbintang, bisa
dibayangkan berapa kocek yang mengalir dalam kantongku, tapi seperti
kata pepatah “easy come easy go”, uang mengalir masuk dengan mudahnya
dan mengalir keluar dengan mudahnya pula dalam arena perjudian, tapi aku
tidak pernah terlibat dalam drug, memakai sekali kali sih oke, itupun
atas paksaan tamu.
Aku banyak memenuhi keinginan fantasy sexual para tamu, baik hanya
berdua maupun bertiga, berempat tergantung kemauan para tamu, tapi
dengan kelihaian rayuanku aku bisa memaksa para tamu untuk bercinta two
in one atau three in one, yang one adalah aku, ini lebih sering terjadi
dari pada aku bagian dari two atau three.
Banyak tamu yang ingin menjadikanku simpanannya bahkan jatuh cinta
dan ingin menjadikanku simpanan bahkan istri kedua, tapi tak ada yang
kutanggapi, karena pertimbanganku saat itu adalah dari sisi materi aku
mendapat jauh lebih banyak sedangkan dari sisi sexual aku bisa menikmati
dari tamu tamu yang memang aku seleksi, jadi belum ada alasan yang kuat
untuk meninggalkan kehidupan ini, disamping itu aku sudah trauma ketika
menjadi simpanan seorang pengacara Chinese saat pertama menjalani
kehidupan ini. Ternyata freelance tidak terikat pada satu GM membuat aku
bisa menentukan pilihan tamu yang aku terima maupun aku tolak dengan
berbagai alasan.
Saat pertama kali aku terjun ke dunia ini atas bujukan seorang GM
terkenal di Surabaya saat itu, namanya dikenal dengan Om Lok. Dia
menempatkan aku di hotel berbintang di daerah Gunung Sari Surabaya,
stand by di kamar menunggu tamu dating. Dalam posisi seperti itu aku
tidak berdaya untuk menolak tamu kiriman Om Lok yang kebanyakan memang
sudah seusia papaku, maklum dengan tariff setinggi itu tentu hanya orang
berkantong teballah yang mampu “membeli” tubuhku, untuk short time saja
sudah di atas US$ 2500 tentu bukan sembarang kelas yang mampu, padahal
pelayananku saat itu masih biasa saja, maklum dari ibu rumah tangga
langsung terjun ke dunia seperti ini, tapi toh banyak tamu yang
mengulang dan mengulang lagi, sehari aku rata rata bisa menerima tamu
rata rata 2-3 kali. Kujalani kontrak dengan Om Lok selama satu bulan,
karena porsi pembagiannya tidak seimbang antara dia dan aku, maka aku
mulai dengan berjalan sendiri alias freelance.
Dikalangan para Germo (GM) maupun rekan seprofesi “simatupang” (SIang
MAlam Tunggu PANGgilan) aku lebih dikenal dengan sebutan Lily Panther,
karena aku memakai mobil Phanter, hasil kerja kerasku selama sebulan
dibawah “management” Om Lok, bagi para rekan, GM, atau ex-tamu yang
mungkin masih mengenalku kita bisa berkomunikasi via e-mail.
Cerita cerita sex yang aku kirim adalah penggalan catatan harianku
selama menjalani kehidupan sebagai “call girl”, nama dan tempat aku
samarkan tapi tidak jauh dari yang sebenarnya, cerita non sex yang
banyak aku alami tidak aku ceritakan, karena tidak akan menarik
penggemar cerita sex.
Sang Pengacara
Tamu pertama saat aku menjalani profesi ini adalah seorang pengacara
Chinese dari Jakarta yang sedang menangani kasus di Surabaya, namanya
H.Winata aku biasa panggil dia Koh Wi, berumur sekitar 50 tahun dan
dialah orang yang akhirnya dengan kekuatan kepengacaraannya memutuskan
kontrakku dengan Om Lok dan menjadikan aku sebagai simpanannya selama 3
bulan sebelum akhirnya aku tak tahan dan melepaskan diri dari ikatannya,
dengan segala resiko yang harus aku tanggung.
Orangnya kelihatan tidak ramah, wajahnya kurang sedap dipandang, tapi
apa dayaku, aku tak kuasa menolak karena memang tak boleh menolak
setiap tamu yang dikirim Om Lok, padahal melihat wajahnya saja aku sudah
ketakutan, habis seram sih, tapi itulah konsekuensinya.
Setelah Om Lok mengenalkan kami lalu dia meninggalkan aku berdua
dengan Koh Wi, ada rasa tegang dan canggung berdua di kamar dengan orang
asing, apalagi yang bertampang seperti Koh Wi, sungguh aku gugup
dibuatnya.
Untunglah Koh Wi mengetahui kecanggunganku, sebagai tamu pertamaku
dia cukup “berjasa” membimbingku dalam menghadapi tamu berikutnya,
menumbuhkan rasa percaya diriku. Tahu bahwa dia adalah tamu pertamaku,
maka Koh Wi tidak langsung tubruk, dia cukup sabar dan telaten
mengajariku. Perlu dicatat, meski aku dibawah “penguasaan” Om Lok, tapi
hubungan aku dan dia sebatas hubungan bisnis, tak ada paksaan untuk
melayaninya, jadi Koh Wi adalah orang kedua yang akan menikmati
kehangatan tubuhku setelah suamiku dan dia akan kembali mem-perawan-I
ku, karena sudah hampir 2 tahun sejak aku cerai belum pernah bercinta
lagi.
Setelah ngobrol beberapa saat untuk mencairkan suasana, Koh Wi
mendekatiku, menuntunku ke ranjang, jantungku berdetak keras ketika dia
memelukku, kupejamkan mataku saat dia mulai mencium pipiku, kurapatkan
bibirku ketika dia mulai mencoba mencium bibirku, aku mengangis dalam
hati ketika tangannya mulai menjamah dadaku. Ternyata Koh Wi memang
benar benar seorang yang sabar, merasa tidak mendapat respon yang
semestinya, dia menghentikan aksinya, bukannya marah tapi dia malah
tersenyum melihat ke-lugu-anku.
Kembali kami ngobrol, kali ini di atas ranjang, dia memang pandai
membawa suasana hingga aku merasa akrab dengannya. Dia lalu menciumku,
aku tetap memejamkan mataku, tapi ketika dia mencium bibirku, aku mulai
membuka bibirku meski dengan tetap mata tertutup. Aku mulai membalas
ciuman bibirnya ketika tangan Koh Wi menjamah dan mengelus dadaku,
napasku mulai turun naik, maklum sudah 2 tahun tidak terjamah laki laki.
Tanpa melepaskan ciumannya, Koh Wi mulai meremas remas buah dadaku,
tanganku dibimbingnya ke selangkangannya, tak berani aku menggerakkan
tanganku itu, kurasakan ketegangan di balik celananya, kembali tanganku
dipegangnya dan diusap usapkan pada kejantanannya yang sudah tegang.
Ciuman Koh Wi sudah berpindah ke leherku, kurasakan kegelian yang
sudah lama tidak kurasakan lagi, tangan Koh Wi sudah berpindah ke
pahaku, gaun panjangku yang berbelahan hingga ke paha lebih memudahkan
jelajah tangannya di sekitar paha hingga ke pangkalnya. Aku hanya
menengadahkan kepalaku menikmati ciuman di leher dan usapan di pahaku,
tanganku sudah berani mengusap dan meremas kejantanannya dari luar.
Desis tertahan bercampur malu tak sadar keluar dari mulutku, aku sudah
terhanyut dalam buaian lembut Koh Wi.
Tangan kiri Koh Wi yang dari tadi menjelajah di dadaku, sudah
berhasil membuka resliting di punggungku dan menarik ke bawah hingga
tampaklah bra biru tua berenda, secara reflek aku menutupi dadaku dengan
kedua tanganku, Koh Wi tersenyum melihat reaksiku, kembali tanganku
dibimbing ke selangkangannya, kali ini dia membuka ikat pinggang dan
reslitingnya, tanganku dibimbingnya masuk ke dalam celananya hingga aku
bisa menyentuh batang kejantanannya yang menegang keras meski dengan
sedikit gemetar.
Koh Wi kembali menciumi leher dan pundakku, tangannya sudah kembali
menjelajah di dadaku, mengelus dan meremas, lalu diselipkan di balik
bra-ku, dia mendapatkan yang dia cari, putingku yang masih kemerahan
segera dipermainkan dengan jarinya sambil meremas buah dadaku. Aku
mendesis tertahan, tali bra-ku sudah melorot ke lenganku, dan tak lama
kemudian terlepaslah bra itu dari tubuhku, aku ingin menutupi lagi
dengan tanganku tapi dia mencegahnya, mukaku terasa panas memerah, malu
karena harus memperlihatkan buah dadaku di depan orang yang baru kukenal
belum satu jam yang lalu. Tapi Koh Wi tak memberiku kesempatan lebih
lama, mencium leherku dan turun ke dadaku, dijilatinya sekujur buah
dadaku dan berakhir pada kuluman di putingku yang kecil kemerahan.
“Aaaahhhh…ssssshhh…sssshhh” aku tak bisa menahan desah kenikmatan lebih lama lagi.
Tanganku segera mencari batang kejantanan Koh Wi, betapa terkejut
ketika kuraih dan kugenggam, begitu besar rasanya, sepertinya jauh lebih
besar dari punya suamiku dulu. Kuluman dan remasan Koh Wi begitu nikmat
kurasakan setelah sekian lama hampa, dia berhasil menghanyutkanku
kedalam buaiannya lebih jauh, hingga tak kusadari aku secara reflek
menarik keluar batang kejantanannya dan mengocoknya, ternyata hal ini
membuat kuluman dan remasan Koh Wi makin menggairahkan, maka semakin
cepat kukocok penisnya.
Jujur saja ini adalah penis kedua yang aku pegang setelah suamiku.
Ketika kulihat penis itu, sungguh aku terkejut, ternyata benar
dugaanku ini penis itu jauh lebih besar bahkan mungkin dua kali lebih
besar dari suamiku, agak gugup juga aku ketika membayangkan bahwa penis
sebesar itu akan segera masuk ke vaginaku yang sempit. Tapi aku tak
sempat gugup lebih lama lagi ketika Koh Wi merebahkan tubuhku di
ranjang, dia melepas gaunku hingga tinggal celana dalam ungu yang mini.
Koh Wi melepas pakaiannya hingga telanjang, kuperhatikan penisnya yang
besar menggantung tegang di antara kakinya, perutnya yang gendut dan
dada sedikit berbulu, dia langsung menghampiriku, mencium pipiku,
menjilati putingku sambil tangannya menyelip dibalik celana dalamku,
mulai mempermainkan daerah vaginaku, tak lama kemudian celana dalamku
sudah terlepas, masih ada rasa risih bertelanjang di kamar berdua dengan
orang asing.
Jilatan Koh Wi sudah menyusuri perutku, aku kaget ketika ternyata dia
mulai menjilati vaginaku, belum pernah aku diperlakukan seperti ini
oleh suamiku dulu.
“jangan Koh, jangan, aku belum pernah, nggak usahlah” teriakku
terkaget sambil mendorong kepalanya menjauh dari selangkanganku memberi
perlawanan.
“percaya deh, kamu pasti suka, kalau udah tahu rasanya pasti
ketagihan” katanya langsung membenamkan kepalanya di selangkanganku,
perlawananku terhenti ketika lidahnya mulai menyentuh klitoris dan bibir
vagina, berganti dengan desahan desahan kenikmatan. Dia mempermainkan
lidahnya di vaginaku dengan begitu gairah, kuremas remas rambutnya, aku
semakin terbuai dalam permainannya. Kurasakan kenikmatan yang belum
pernah kurasakan bahkan kubayangkan seumur hidupku, suamiku tak pernah
melakukannya karena kuanggap hanya pantas dilakukan di film porno, tapi
kini aku mengalaminya.
“ssssshhh…ssssshhh…ssshhhh…sssssudddaaaah aaaahhh” desahku, tak tahan
menahan kenikmatan yang baru kualami. Kutarik rambutnya ke atas untuk
menghentikan permainan lidahnya, tapi dia tetap melanjutkan sambil
mempermainkan putingku, aku semakin tak karuan terhanyut dalam
kenikmatan. Untunglah dia segera menghentikannya dan telentang di
sampingku, masalah lain kemudian timbul ketika dia minta aku mengulum
kejantanannya, aku berusaha untuk menolak, baru sekali aku melakukan
dengan ex-suamiku, itupun setelah dipaksa dan aku tak mau melakukan
lagi, terlalu menjijikkan bagiku, sepertinya hanya ada di film porno.
Koh Wi tetap memaksaku, meski tidak dengan fisik tapi ucapannya
memaksaku melakukan itu, dengan penuh keraguan kupegang dan kujilat
kepala penisnya yang basah, berulang kali aku meludah di sprei karena
lendir di penis itu, terasa asin dan asing bagiku, ingin muntah rasanya.
Sekali lagi aku harus mengakui kesabaran Koh Wi dalam “membimbingku”,
begitu sabar dia memberi arahan dan rayuan hingga aku tak tega karena
dia sudah melakukannya padaku, dengan menahan segala perasaan masuklah
kepala penis itu ke mulutku, makin lama makin dalam penis itu di dalam
mulutku, meski berkali kali aku harus mengusap ludahku dengan sprei, ini
adalah penis kedua yang masuk mulutku. Seringkali kurasakan gigiku
menggesek penis itu, tapi Koh Wi tetap mendesah desah membuatku ikut
bergairah, aku masih belum tahu bagaimana memperlakukan penis itu di
mulutku kecuali keluar masuk menggesek bibir dan terkadang gigiku.
Akhirnya Koh Wi merebahkanku kembali di ranjang, dia berjongkok di
antara kakiku, kembali jantungku berdegup kencang, ada perasaan tidak
karuan berkecamuk di dadaku ketika dia mulai mengusapkan penisnya ke
bibir vaginaku, disini, di ranjang ini dengan orang ini aku pertama kali
harus menyerahkan harkat kehormatanku sebagai seorang wanita, inilah
tonggak awal sejarah kehidupanku, inilah saat aku mengawali profesiku,
inilah saat mulai menyerahkan tubuhku pada siapapun yang mampu
membayarku, inilah saatnya aku mulai belajar menikmati sex dengan
siapapun tanpa ada rasa cinta yang selama ini aku agung agungkan dan
inilah saatnya aku memendam segala perasaan demi kepuasan orang yang
membayarku, tanpa kusadari air mata menetes dari ujung mataku, segera
kusapu dengan tanganku, aku tak mau Koh Wi melihatnya.
Perlahan lahan kejantanan Koh Wi menembus vaginaku yang sudah lebih 2
tahun tidak tersentuh, kurasakan rasa nyeri ketika penis itu masuk
makin dalam, teringat saat pertama kali berhubungan sex waktu perawan
dulu. Dengan penis Koh Wi yang besar itu rasanya bibir vaginaku seperti
tersobek, makin lama makin dalam hingga semua tertanam, penis Koh Wi
serasa memenuhi vaginaku. Aku memejamkan mataku sambil menggigit
bibirku, tak berani menggerakkan kakiku, begitu besar seolah mengganjal
bagian dalam tubuhku, untungnya Koh Wi cukup berpengalaman, dia
mendiamkan sejenak, meraba raba dan meremas remas buah dadaku untuk
memberikan perasaan santai, semakin tegang maka otot vaginaku semakin
mencengkeram erat. Pelan pelan dia menarik keluar lalu pelan pula dia
mendorong masuk kembali, begitu berkali kali hingga akhirnya rasa nyeri
berubah menjadi nikmat, setiap gerakan penisnya di vaginaku menimbulkan
kenikmatan bagiku, apalagi sudah 2 tahun aku tidak berhubungan sex.
Vaginaku sudah mulai basah hingga Koh Wi mulai mempercepat kocokannya,
aku sudah mulai mendesis dan mendesah kenikmatan, sungguh kenikmatan
yang sudah lama tidak kurasakan, terlupakan sudah air mata yang sempat
menetes, kulupakan sudah harkat ke-wanitaanku, dan terlupakan sudah
dengan siapa aku sekarang sedang bercinta.
Dengan lihainya dia memberiku rangsangan kenikmatan yang lain,
tangannya mengelus pahaku, meremas buah dadaku, mengulum putingku,
mencium bibirku, mengulum telingaku, semua dilakukan tanpa menghentikan
kocokannya, membuat aku makin menggeliat geliat dalam kenikmatan.
Aku sudah melupakan bahwa aku sedang bercinta dengan orang asing yang
baru aku kenal satu jam yang lalu, aku sudah melupakan bahwa aku tidak
mencintai orang ini, aku sudah melupakan bahwa orang ini usianya sebaya
dengan papaku, bahkan aku sudah melupakan bahwa aku sedang bercinta
dengan istri orang, bahkan aku sudah tak sadar bahwa aku sudah mulai
menikmati bercinta tanpa feeling apapun kecuali berdasar uang, yang aku
ingat hanyalah aku sedang mengarungi lautan kenikmatan bersama orang
yang membayarku untuk mendapatkan kenikmatan dariku.
Koh Wi sudah tengkurap di atasku, dia memelukku erat, aku sudah bisa
merasakan kenikmatan kocokannya, aku sudah bisa membalas ciuman bibirnya
dengan penuh gairah, kakiku sudah melingkar di pinggulnya membuat
penisnya makin dalam melesak dalam vaginaku. Keringat Koh Wi sudah
membasahi sekujur tubuhku, waktu seolah berjalan begitu lambat,
sepertinya sudah setengah jam dia mengocokku, tanpa kusadari aku terbawa
dalam kenikmatan yang dalam menuju puncak kenikmatan, dan orgasme lebih
dulu daripada Koh Wi, tubuhku menegang, kupeluk erat tubuh Koh Wi
kemudian otot vaginaku berdenyut dengan kerasnya, aku menjerit dalam
kenikmatan, kualami orgasme pertama setelah dua tahun aku melupakan
bagaimana nikmatnya orgasme, mataku tetap terpejam, aku takut membuka
mataku seakan takut terbangun dari mimpi indah, sesaat Koh Wi
menghentikan gerakannya tapi kemudian dia mengocok lagi dengan tempo
lebih cepat, aku mendesah atau lebih tepatnya menjerit, belum pernah aku
mengalami orgasme seperti ini. Ex-suamiku biasanya akan menghentikan
gerakannya dan menikmati saat orgasmeku bersama sama, tapi Koh Wi lain
lagi, dia malah mempercepat saat otot vaginaku berdenyut dengan
hebatnya, sungguh pengalaman baru bagiku, ternyata justru jauh lebih
nikmat, ini diluar bayanganku semula.
Tak lama kemudian Koh Wi mengikutiku orgasme, dia menanamkan penisnya
dalam dalam dan menekan ke vaginaku, kurasakan penisnya mengembang
membesar di dalam lalu menyemprotkan spermanya di vaginaku, denyutan dan
semprotan itu begitu kuat menghantam dinding vaginaku, aku kaget dan
menjerit kecil menerima semprotan itu, tak kusangka dia bisa menyemprot
sekuat itu, menimbulkan kenikmatan tersendiri pasca orgasme, kunikmati
denyutan demi denyutan, kurasakan denyutan orgasme dari penis kedua
dalam hidupku, sperma kedua yang menyirami rahim dan vaginaku.
Koh Wi menelungkupkan tubuhnya yang penuh peluh di atas tubuhku,
napas kami berpacu dalam kenikmatan, kurasakan perutnya yang gendut
menekan perutku hingga aku agak kesulitan bernapas, kudorong dia hingga
telentang di sampingku.
Kami berdua terdiam, aku merenungkan kejadian ini, baru saja aku
bercinta dengan tamu pertama dalam profesiku, kini aku sudah resmi
menjadi seorang pelacur, kini aku harus siap melayani setiap orang yang
mampu membayar pelayananku tanpa ada hak memilih, kini aku harus bisa
memuaskan tamuku dengan cara apapun, kini aku harus bisa memuaskan
diriku sendiri disamping tugas utamaku memuaskan tamuku, kini aku harus
berusaha membuat tamuku kembali, kini aku harus siap menanggung segala
resiko yang timbul akibat pekerjaanku ini, kini aku harus bisa bercinta
tanpa mempertimbangkan rasa cinta atau rasa suka, dan banyak lagi
keharusan lain yang harus aku siapkan.
“gila Ly, seperti bercinta dengan perawan, kencang banget” komentar Koh Wi memecahkan kebisuan diantara kami.
“habis punya Koh Wi gede buanget, seperti saat perawan dulu, mungkin lecet kali”
“nggak rugi deh aku merawani kamu”
Sebenarnya aku mau mengaku bahwa aku sangat menikmati percintaan
barusan setelah dua tahun tidak bercinta, tapi aku malu mengatakannya.
Tak lama kemudian telepon berbunyi, ternyata dari Om Lok, dia
menanyakan apakah sudah selesai atau Koh Wi mau tinggal lebih lama alis
memperpanjang, kuberikan telepon itu ke Koh Wi, entah apa yang mereka
bicarakan aku tak tahu lagi karena kutinggalkan Koh Wi ke kamar mandi
untuk mencuci tubuh dan vaginaku dari sperma dan keringatnya, ada rasa
jijik melihat spermanya, begitu juga dengan aroma keringatnya, tapi
kutahan perasaan itu.
“Ly, aku ingin lebih lama tinggal tapi aku harus menjemput istriku di
Juanda, terus terang aku sangat sangat sangat puas, mungkin besok aku
kesini lagi” katanya ketika aku keluar dari kamar mandi sambil
mengenakan kembali pakaiannya, sebenarnya aku tak peduli dia mau kesini
apa enggak, aku berharap mendapat tamu yang lebih bagus dari dia.
Koh Wi memberiku tip beberapa ratus dolar sebelum meninggalkan kamar,
kuhitung ada sepuluh lembar berarti hampir 2,5 juta (kurs saat itu
sekitar 2400), aku tercenung di kamar sendirian sambil menggenggam dolar
pemberian Koh Wi, begitu mudah mendapatkan uang dalam bisnis ini, belum
lagi yang aku terima nanti dari Om Lok, aku mulai membayangkan manisnya
profesi ini, disamping materi aku bisa mendapatkan kepuasan sex.
“sudah dapat nikmat masih dibayar lagi”pikirku.
Si Ceking
Aku masih menggenggam dolar itu dan dalam keadaan telanjang ketika Om
Lok masuk ke kamar, sepertinya Koh Wi tidak menutup pintu dengan benar
hingga bisa dibuka dari luar.
“simpan uang itu, jangan dihambur hamburkan” kata Om Lok sambil
matanya melototi tubuh telanjangku. Aku segera menutup tubuhku sebisanya
dan menyamber selimut yang ada di ranjang untuk menutup tubuhku, it’s
not for free. Om Lok dating membawa VCD Player dan beberapa disc, bisa
diduga semua itu adalah film porno. Disamping itu dia membawa makanan
kesukaanku yang pasti tidak tersedia di hotel ini. Aku dan Om Lok
sebenarnya adalah tetangga, karena itu dia tahu dengan pasti saat aku
bercerai dengan suamiku, hampir setahun dia membujukku untuk pekerjaan
ini sebelum akhirnya aku menerimanya.
”jam empat nanti akan ada tamu lagi, bersiaplah” kata Om Lok sebelum
meninggalkan kamar, berarti masih ada waktu dua jam bagiku untuk
istirahat dan bersiap. Sambil tetap telanjang aku nikmati makanan
kesukaanku, kuamati ranjang tempat aku pertama kali menyerahkan
kehormatanku ke Koh Wi, tetap berantakan seperti saat Koh Wi
meninggalkan kamar, beberapa bercak basah tampak di sprei, entah
keringat entah sperma aku tidak tahu pasti.
Selesai makan kurapikan sprei dan aku tiduran sambil nonton VCD
bawaan Om Lok tadi, aku terhanyut menikmati film itu, tak terasa Disc
kedua sudah aku putar hingga kusadari sudah hampir setengah empat,
berarti aku harus bersiap menyambut kedatangan tamuku.
Segera aku mandi menyegarkan badan dan terutama untuk menghilangkan bau keringat Koh Wi yang mungkin masih menempel di tubuhku,
Sesuai pesanan tamuku, kukenakan pakaian yang sexy, gaun panjang
merah dengan punggung terbuka hanya bergantung pada ikatan di leherku,
sengaja kukenakan bra strapless untuk menyesuaikan dengan model gaun
itu, belahan kaki hingga jauh di atas paha, potongan model pakaian yang
ketat hingga tampak tonjolan buah dadaku, kusemprotkan Issey Miyake di
leher dan dadaku, kukenakan make up tipis penghias wajahku, kini aku
sudah siap untuk menerima tamu kedua.
Agak deg deg-an dan penasaran aku menunggu, seperti apakah tamuku ini
?, seperti apakah orang yang akan menikmati kehangatan tubuhku kali ini
?, seperti apakah permainan sex-nya ? apakah dia sesabar Koh Wi tadi?
Berjuta pertanyaan bergelayut di pikiranku, aku tidak berani berharap
terlalu banyak akan tamuku, aku Cuma akan berusaha sedapat mungkin
memuaskan tamu dan sedapat mungkin juga mendapatkan kepuasan.
Pukul 4:10 sore tamuku dating, seorang cina lagi, usianya aku taksir
hampir mendekati 50 tahun, tubuhnya yang ceking gendut dan berkacamata,
entah minus berapa dia tapi kelihatannya cukup tebal. Sungguh jauh dari
kesan romantis dan menyenangkan.
Namanya Rudi, kupanggil dia Koh Rudi, kubiasakan memanggil tamuku dengan Koh supaya tidak terkesan tua.
Aku sudah bisa menguasai diri, karena pembawaanku memang supel maka
kini tak terlalu canggung bersama Koh Rudi berdua di kamar. Setelah
berbasa basi mengakrabkan suasana, dia menarikku ke pangkuannya,
tangannya langsung meraih buah dadaku karena memang terlihat montok
mengundang, diremas remasnya sambil menciumi leherku, kembali rasa risih
menyelimuti batinku, aku duduk dipangkuan Koh Rudi yang baru kukenal
setengah jam yang lalu sambil menjamah dan menggerayangi sekujur
tubuhku. Untuk menutupi rasa risih itu aku pura pura mendesis
ke-enak-an, wajah Koh Rudi sudah diusap usapkan ke buah dadaku yang
menonjol dengan gemas, tangannya mulai menggerayangi pahaku dari belahan
paha gaun merahku.
Melihat Koh Rudi langsung melakukan manuver, akupun melakukan hal
yang sama, “lebih cepat lebih baik” pikirku, sambil mulai membuka
kancing bajunya.
Koh Rudi sudah membuka resliting di punggungku ketika bajunya sudah
terlepas dari tubuhnya, terlihat tulangnya yang terbungkus kulit, dan
perut buncitnya yang menonjol.
Gaunku sudah melorot hingga ke lengan, buah dadaku yang terbungkus
bra biru berenda sudah tampak menantang, kembali Koh Rudi membenamkan
wajahnya di antara kedua bukitku, agak risih juga aku diperlakukan
seperti itu, tangannya sudah sampai di selangkangan dan mempermainkan
vaginaku dari luar celana dalam, aku semakin risih, kututupi dengan
ke-pura pura-anku mendesis, kubelai rambutnya yang sudah banyak memutih.
Dia mengluarkan bukitku dari sarangnya, langsung Koh Rudi mendaratkan
bibirnya di putingku yang masih memerah mungil, dikulumnya putting itu
dengan penuh nafsu sambil mempermainkan lidahnya. Ada sedikit kenikmatan
menjalari tubuhku, tangan Koh Rudi menyelinap di balik celana dalamku,
mempermainkan klitorisku, kupejamkan mataku, aku tak mau melihat wajah
“anehnya”. Bra-ku sudah terlepas menutupi buah dadaku, “gila bagus amat,
kencang lagi” katanya ketika melihat sepasang buah dadaku yang sudah
telanjang, langsung kembali mengulumnya, dari satu putting ke putting
lainnya.
Jari tangan Koh Wi sudah menyusup di liang kenikmatanku, aku merasa
geli dan risih dengan perlakuannya, ingin aku teriak marah tapi tak
mungkin kulakukan, maka kulampiaskan dengan desis ke-pura pura-an.
“aku ingin merasakan vaginamu yang masih segar di hari pertamamu bekerja” bisiknya ketika menciumku.
Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung memintaku duduk dan jongkok di
antara kakiku, dia adalah orang kedua dalam hidupku yang jongkok di
selangkanganku dan dengan bebasnya melototi bagian kewanitaanku yang
selama ini aku jaga, aku jadi malu dan marah, apalagi setelah dia
melepas celana dalamku, diciumnya celana dalam itu, lalu dia kembali
melototi vaginaku yang masih memerah dengan sorot mata penuh nafsu, aku
benar benar marah diperlakukan seperti itu, tapi aku tak bisa berbuat
apa apa, kutarik kepalanya ke vaginaku dan kubenamkan di selangkanganku.
Lebih baik aku menerima jilatan dari pada dipelototi seperti itu, Koh
Rudi mengusap usapkan kepalanya di vaginaku, dia “melahap” dengan
nafsunya. Aku memejamkan mata berusaha menikmati jilatannya,
kukonsentrasikan untuk menikmatinya daripada mengikuti emosi rasa risih
ini sambil membayangkan adegan di film yang baru kulihat tadi,
sepertinya aku berhasil, perlahan birahiku mulai naik, kutekan kepalanya
lebih dalam di selangkanganku, kupaksakan aku mendesah menutupi
kecanggungan birahi yang kurasakan aneh. Cukup lama Koh Rudi menjilati
vaginaku sambil tangannya memainkan putingku, geli, marah, nikmat, semua
bercampur menjadi satu emosi, kembali aku mendesah menutupi marah.
Koh Rudi berdiri, kubuka celananya dan menariknya turun, kini tinggal
celana kolor sekali lagi celana kolor dan bukan celana dalam pada
umumnya, aku geli melihatnya, sungguh tipikal orang kuno, kutarik celana
kolornya turun, tampaklah penisnya yang kecil panjang sudah menegang,
ada yang aneh di penis itu, ternyata dia tidak disunat, baru kali ini
aku melihat penis orang dewasa yang tidak disunat, sungguh kelihatan
aneh dan lucu, kutahan senyumanku agar dia tidak tersinggung.
Kupegang kejantanannya, terasa aneh di tanganku, kukocok, kulit
penisnya terasa mengganggu tanganku mengocok, terasa licin, tidak ada
gesekan antara tanganku dan penisnya. Koh Rudi menyodorkan di mulutku,
dengan senyum halus aku menolaknya, kuusap usapkan penis itu di pipiku
tapi tak pernah menyentuh bibir, lalu kuusapkan kepala penis ke
putingku, dia mulai mendesah.
Tubuh ceking gendut yang berdiri di depanku langsung berlutut di
antara kakiku, menyingkap gaunku yang belum terlepas, lalu menyapukan
kepala penis di bibir vaginaku, sambil memandangku penuh nafsu seakan
hendak menelanku hidup hidup, Koh Rudi mendorong penisnya, dia menciumku
gemas setelah berhasil memasukkan semua batang penis ke vaginaku,
dibandingkan dengan punya ex-suamiku apalagi Koh Wi barusan, penis itu
lebih kecil, terasa aneh di vaginaku, apalagi aku telah merasakan
besarnya penis Koh Wi, terasa tak jauh beda dengan kocokan jari
tangannya.
Rasa aneh bertambah aneh ketika Koh Rudi mulai mengocokku, seperti
licin dan berlari lari di vaginaku, tak ada kenikmatan yang kurasakan,
hanya geli dan lucu merasakan kocokan Koh Rudi, tapi aku tetap mendesah
menutupi keanehan yang ada.
Koh Rudi menciumi leherku sambil meremas buah dada dan mengocok
vaginaku, tangannya begitu aktif menjamah tubuhku, begitu juga dengan
lidahnya yang rajin menjelajah leher dan telingaku, aku menggelinjang
geli, bukan kenikmatan yang kuperoleh tapi rasa geli, sungguh merupakan
siksaan tersendiri, aku lebih suka jilatannya yang bervariasi disbanding
kocokan penisnya di vagina. Kuremas rambutnya, aku mulai menggoyang
pinggulku mengimbangi gerakannya, aku mulai pura pura mendesah desah
kenikmatan, semata mata untuk menambah gairah Koh Rudi biar lebih cepat
menyelesaikan permainannya. Tapi diluar dugaanku, hampir limabelas menit
dia mengocokku lalu minta ganti posisi, aku nungging di kursi dan dia
mengocokku dari belakang, posisi doggie, sebenarnya ini posisi
favouritku, tapi dengan Koh Rudi sungguh menjengkelkan karena aku tak
bisa merasakan kenikmatan sexual. Dia mengocokku dengan keras, beberapa
kali tubuhnya menghentak tubuhku, tapi tetap saja aku tidak bisa
merasakan kenikmatan, padahal aku sudah memejamkan mata berkonsentrasi
untuk meraih kenikmatan, tapi hanya geli dan geli yang kudapat.
“oh yaaa…terus…ya…keraaaaa…yessssss” desahku pura pura, dia
mempercepat kocokannya sambil meremas remas buah dadaku yang
menggantung. Tubuh cekingnya seolah memelukku dari belakang, tapi
terganjal perut buncitnya.
Kugoyang pantatku mengimbanginya, tubuh kami berimpit saling
menggoyang, tak lama kemudian koh Rudi teriak orgasme, kurasakan cairan
hangat membasahi vaginaku, aku pura pura teriak orgasme mengikutinya,
denyutan penis Koh Rudi tak terasa begitu mendenyut, kugoyangkan
pantatku lebih keras, akhirnya tubuh Koh Rudi melemas dan menarik
penisnya dari vaginaku, dia duduk lemas di sofa, kudampingi duduk
disampingnya, disambutnya dengan ciuman di pipi dan bibirku.
Kubersihkan penisnya dengan tissue lalu aku beranjak ke kamar mandi
membersihkan vaginaku, lalu dengan berbalut handuk di badan kutemani Koh
Rudi yang sekarang sudah telentang di ranjang, aku diminta menemaninya
tiduran di situ.Kuangsurkan minuman, lalu kami tiduran di ranjang.
“Kamu banyak koleksi film ya, sering nonton ?” tanyanya, rupanya dia melihat koleksi VCD-ku yang ada di meja rias.
“belum, barusan tadi player dan VCD-nya dibeli, enakan main sendiri dari pada nonton” jawabku
“lebih enak lagi kalo main sambil nonton” katanya lagi
“atau nonton sambil main” jawabku
“terserahlah yang jelas sama sama enak” katanya sambil mencium pipiku.
Atas permintaan Koh Rudi kami nonton film porno koleksiku, lebih
tepatnya pemberian dari Om Lok. Terlihat Koh Rudi begitu menikmati film
itu sambil meraba raba tubuhku, meski aku tidak terlalu menikmatinya,
aku ikutan memegang megang penisnya. Setengah jam tidak terjadi apa apa,
mungkin Koh Rudi belum recovery, tapi setelah itu kurasakan penis Koh
Rudi mulai menegang ketika terlihat di TV seorang laki laki sedang
dikerubuti dua orang cewek bule yang cantik, entah apa yang ada di
benaknya, tapi penisnya mulai bereaksi menegang.
Tak lama kemudian sebelum film itu berakhir, Koh Rudi sudah mulai
mencumbuku, mencium bibirku, lalu meremas dan mengulum putingku, aku
kembali pura pura mendesah, Koh Rudi menggeser dan memiringkan tubuhku
menghadap ke TV, dia berada di belakangku lalu mengusap usapkan penisnya
di pantatku, kaki kiriku di angkat naik untuk memudahkan penisnya
memasuki vaginaku, dengan sedikit susah karena terganjal perut
buncitnya, akhirnya dia berhasil melesakkan ke vaginaku, ini posisi baru
bagiku. Sambil menonton film kami bercinta, dia mengocokku dari
belakang dengan posisi tidur miring menghadap TV. Tangannya tiada henti
meremas remas buah dadaku, sepertinya dia begitu menikmati bercinta dan
nonton film secara bersamaan, desahan ke-pura pura-an bercampur jerit
kenikmatan dari TV, dia makin bergairah mengocokku, seakan dia bercinta
dengan wanita bule yang cantik di film itu, aku tidak tahu fantasi laki
laki yang mengocokku dari belakang ini, tapi yang penting bagiku
bagaimana menyelesaikan secepat mungkin, karena aku tidak bisa menikmati
bercinta dengannya.
Dengan posisi seperti ini aku susah menggoyangkan pantatku, jadi
sepenuhnya tergantung gerakan Koh Rudi, entah sudah berapa kami bercinta
dengan posisi seperti ini, film sudah berganti ke VCD kedua secara
otomatis.
Seiring dengan pergantian VCD, tubuh Koh Rudi naik di atasku, dia
menindih tubuhku, bibirnya menyusuri leher dan dadaku, perut buncitnya
terasa mengganjal perutku membuat aku tidak nyaman dalam tindihannya,
dia menyusupkan tangannya dipunggungku, mengganjal hingga buah dadaku
naik lebih menekan tubuhnya, pelukannya semakin rapat seiring dengan
cepatnya kocokannya, pantatnya turun naik diatas tubuhku, aku mendesah
seolah dalam kenikmatan, bibirnya menyusuri leher jenjangku, sesekali
kepalanya berpaling menyaksikan adegan di TV yang sudah mulai lagi. Tak
lama kemudian sebelum adegan sex pertama berakhir, Koh Rudi
menyemprotkan spermanya ke vaginaku untuk kedua kalinya, aku menjerit
nikmat dalam ke-pura pura-an, dia memelukku lebih rapat hingga
berakhirnya denyutan di penisnya. Tubuh Koh Rudi yang penuh peluh
kenikmatan ambruk di atas tubuhku, napasnya menderu di dekat telingaku,
detak jantungnya kencang kurasakan di dadaku. Perlahan penisnya melemas
dan keluar dengan sendirinya, kudorong tubuhnya menjauh karena aku tak
bisa bernapas terhimpit perut buncitnya, sungguh tersiksa bercinta
dengan dia karena tak secuil kenikmatan yang kudapat, hanya perasaan
risih dan marah yang menggunung di dadaku.
“ly, kamu hebat deh, tubuhmu masih bagus dan buah dada yang kenceng
gitu bikin aku makin bernafsu saja, apalagi desahanmu bikin aku makin
gemes” pujinya.
Aku tak tahu harus menjawab apa, tak mungkin aku berkata jujur didepannya.
“Koh Rudi juga hebat, bisa berturut turut gitu, lama lagi” jawbku klise menghibur
Kubersihkan penis Koh Rudi dengan handuk kecil yang sudah aku
siapkan, kurasakan sperma Koh Rudi meleleh keluar dari vaginaku, tak
benyak memang tapi membuatku risih, segera kucuci di kamar mandi.
Kubersihkan sekalian tubuhku, dengan air shower yang hangat terasa
menyegarkan dan memadamkan kemarahanku, cukup lama aku di kamar mandi
hingga tak kusadari Koh Rudi sudah berada di situ memperhatikanku. Aku
kaget, secara reflek kututup tubuh telanjangku dengan tangan sebisanya,
mau marah, belum pernah seumur umur ada laki laki melihatku mandi
meskipun ex-suamiku dulu, tapi aku segera tersadar bahwa dia adalah
tamuku, percuma aku menutupi tubuhku, toh dia sudah menikmatinya, dengan
senyum terpaksa aku menghilangkan kekagetanku.
“Koh Rudi bikin aku kaget saja” teriakku manja
“Sini aku mandiin” dia menawarkan diri, agak ragu aku menerima
tawarannya, belum pernah aku mandi bersama dengan laki laki, meskipun
ex-suamiku, kini Koh Rudi yang baru kukenal sejam yang lalu sudah mau
mandiin aku, tapi apa dayaku untuk menolak, toh ini untuk kepuasan
tamuku juga, aku hanya tersenyum menerima tawarannya.
Koh Rudi mengikutiku ke dalam bathtub, dia menggosok punggungku
dengan tangan dan sabun, tangannya kemudian menjelajah ke depan dan
meremas buah dadaku, dipeluknya aku dari belakang, kurasakan erotica
tersendiri merasakan pelukan dalam licinnya busa sabun. Kubalikkan
tubuhku, kini aku menggosok tubuh Koh Rudi dengan sabun, tangannya tak
henti menjamah buah dadaku yang masih berbusa sabun, kami kembali
berpelukan, kali ini berhadapan, dia menggesek gesekkan tubuhnya di
tubuhku, memang ada erotica yang tak kuduga, tak mau terhanyut terlalu
lama dalam erotisme ini, kunyalakan air shower menyiram dan membasahi
kami berdua, Koh Rudi membalikkan tubuhku dan mendorongku ke dinding,
dengan posisi condong begitu, maka pantatku tepat di depan penis Koh
Rudi, aku baru menyadari ketika kembali Koh Rudi mengusap usapkan
penisnya di tubuhku. Kakiku sedikit dibuka, maka Koh Rudi dengan mudah
memasukkan penisnya ke tubuhku dibawah siraman air shower yang hangat,
kami bercinta dengan berdiri, pancuran air shower membasahi tubuh kami,
baru sekarang kurasakan nikmatnya bercinta, mungkin karena perasaan
erotisme saat mandi bersama tadi, kali ini aku mendesah tanpa pura pura,
sebenarnya ada sedikit menyesal merasakan nikmat dari Koh Rudi, tapi
tak bisa kupungkiri nikmatnya kocokannya sekarang. Kecipuk air
mengiringi kocokan kami, perlahan gairahku mulai naik, semakin cepat Koh
Rudi mengocokku semakin cepat birahiku naik, tak kuhiraukan air
membasahi rambutku, aku konsentrasi pada pencapaian kenikmatan, tangan
Koh Rudi kembali menjamah buah dadaku dan meremasnya. Kuimbangi kocokan
Koh Rudi dengan goyangan di pantatku, semakin nikmat kurasakan serasa
melayang di awing, tapi tiba tiba kurasakan denyutan di vaginaku,
ternyata Koh Rudi mendahuluiku mencapai puncak kenikmatan, dia
mencengkeram buah dadaku erat, aku tetap menggoyangkan pantat dengan
cepat, tak kupedulikan denyutan Koh Rudi di vaginaku, tak kupedulikan
teriakan kenikmatan darinya, aku ingin orgasme saat ini, tapi harapan
tinggal harapan, ternyata penis Koh Rudi melemas tak lama kemudian
sebelum puncak kenikmatan kugapai, dan orgasme semakin menjauh dariku.
Aku kecewa sungguh kecewa, dia tak dapat memberiku kepuasan
secuilpun, sesaat kemudian aku tersadar, memang bukan tugas dia untuk
memuaskanku, tapi tugaskulah untuk memuaskan dia, jadi tak ada yang
salah dalam hal ini, akulah yang terlalu banyak berharap.
Dengan menelan kekecewaan demi kekecewaan aku tetap berusaha
tersenyum, kututupi kekecewaanku dengan mencuci penis Koh Rudi, kulihat
senyum kepuasan mengembang di wajahnya, aku terpaksa ikut puas melihat
kepuasannya.
“baru kali ini aku bercinta sambil mandi, ternyata sungguh nikmat”
katanya, aku kaget mendengarnya, ternyata aku dijadikan percobaan
olehnya. Kuteruskan mencuci, agak sulit karena harus membuka kulit
penutup kepala penisnya, aku masih merasa lucu melihat bentuk penis yang
belum disunat.
Sehabis mandi Koh Rudi langsung kembali berpakaian bersiap untuk
pulang, aku hanya mengenakan handuk melilit tubuhku, tak terasa hampir
dua jam aku menemani dia dengan tiga kali bercinta, aku berharap dia
puas dan memberiku tip yang lumayan atas pelayananku atau paling tidak
dia akan kembali menjadi pelanggan tetapku.
“tak salah kamu memang primadona si Lok dan kamu memang luar biasa”
katanya sebelum meninggalkan kamarku, dia memberiku ciuman di pipi dan
pergi.
Aku agak kecewa karena tak ada tip untukku, meski hargaku tinggi tapi
kalau dengan tip pasti tak akan aku tolak, mungkin dia merasa sudah
membayar mahal atau mungkin aku kurang memberikan servis yang dia
inginkan, atau aku kurang memuaskannya, tapi ah siapa peduli, aku sudah
berusaha dan dia sudah membayarku mahal untuk pelayanan dan tubuhku.
Aku melanjutkan mandiku yang terpotong, lalu menonton VCD yang belum
selesai tadi sambil mengenakan piyama, menunggu order tamu berikutnya,
tanpa tahu laki laki macam apalagi yang akan menikmati tubuhku, bagiku
yang penting adalah duit dan duit selagi tubuhku masih mempunyai daya
jual.
Sang Ajudan
Sesuai informasi Om Lok, tamuku selanjutnya akan dating sekitar pukul
7 malam, berarti tinggal kurang dari satu jam untuk mempersiapkan diri,
sebenarnya tidak ada persiapan khusus yang harus aku lakukan, tetapi
setelah bermain beberapa babak dengan Koh Rudi, rasanya aku perlu
istirahat lebih lama untuk mengembalikan staminaku, Om Lok hanya
berpesan untuk memperlakukan tamuku ini agak istimewa karena dia seorang
pejabat dari kalangan tentara, seorang ajudan sang panglima. Dia tidak
memberitahuku, Cuma dia mengingatkanku berkali kali untuk menjaga
rahasia ini rapat rapat kalau tidak ingin mendapat masalah.
Seperti umumnya seorang tentara dengan disiplin tinggi, lima menit
sebelum pukul 7 malam beliau sudah ada di kamarku, aku tidak
mengenalnya, orangnya lebih pendek dari aku, berkulit gelap dan
berkepala botak, mungkin sudah menjadi suratan nasibku bahwa hari ini
aku harus melayani para tamu yang usianya sebaya papaku di kisaran 50
tahun.
Kupanggil beliau Pak Sam, meskipun wajahnya terlihat galak, tapi
sikapnya sungguh sopan dan menyenangkan, banyak joke joke yang dia
berikan, ini membuat suasana sangat akrab seperti aku sudah lama
mengenalnya. Kutemani dia ngobrol di sofa, kami duduk bersebelahan dan
saling berhadapan. Sesuai permintaannya, aku hanya mengenakan pakaian
tidur sutra semi transparan berwarna putih, sehingga seluruh lekuk sexy
tubuhku yang ramping tampak dari balik pakaian tidur sutraku. Bra Biru
yang aku pakai sejak tadi pagi untuk kesekian kalinya kembali menghias
tubuhku. Aku salut sama Pak Sam, Selama kami berbicara tak kutangkap
kerling nakal di matanya menatap tubuh terutama buah dadaku, membuat aku
makin terpesona akan kharismanya. Lebih dari lima belas menit kami
berdua, tidak terjadi apa apa, bahkan menyentuhkupun tidak apalagi
mencium, aku jadi bingung bagaimana harus memulai, dari dua tamuku
terdahulu biasanya mereka yang mengambil inisiatif, tapi kali ini lain,
terlalu sopan sehingga membuat aku jadi salah tingkah, aku sadar
mestinya akulah yang harus memulainya, tapi masih ada rasa malu untuk
memulainya.
Berkali kali aku pura pura menyenggolkan buah dadaku ke lengannya,
tapi tidak mendapat respon yang aku harapkan, bahkan ketika aku sengaja
membungkuk didepannya ketika memberikan minuman, aku yakin dia bias
melihat buah dadaku dengan jelas, tapi tak ada tanda tanda untuk
memulainya. Akhirnya kuberanikan diri untuk memulainya, secara
demonstratif kulepas bra-ku didepannya, tentu saja putingku membayang
dibalik baju tidurku, dia hanya memandang dengan sorot mata kagum tidak
lebih dari itu, kuberanikan untuk duduk di pangkuannya sambil
menempelkan buah dadaku di pundaknya, masih tidak ada respon yang
berarti. Aku bertindak lebih jauh lagi, kupeluk kepalanya dan kucium
pipi dan bibirnya, barulah dia merespon dengan membalas ciuman bibirku,
tangannya sudah mulai mengelus pahaku, terus ke atas ke punggungku, aku
tak mau kehilangan momen, kupermainkan lidahku dibibirnya, tangannya
sudah mulai menjelajah di sekitar dadaku, dielusnya buah dadaku lalu dia
meremas remas ringan.
Aku berdiri di depannya, kulepas celana dalamku, aku yakin dia sudah
bisa menikmati tubuh telanjangku dari balik baju tidurku, kutarik Pak
Sam berdiri, kutuntun menuju ranjang, sebelum sampai di ranjang, tiba
tiba Pak Sam membopong tubuhku dan merebahkan di ranjang. Dengan agak
tergesa Pak Sam melepas baju dan celananya, tinggal celana dalam yang
menempel di tubuhnya, sepertinya dia sudah menahan nafsu dari tadi. Aku
kaget melihat postur tubuhnya yang begitu padat atletis, tak tampak
timbunan lemak di balik kulitnya, Pak Sam langsung berlutut di antara
kakiku, aku kira dia akan langsung memasukkan kejantanannya, ternyata
aku salah, dia mengusap usap rambut pubic-ku, kubuka lebar kakiku, aku
memejamkan mata bersiap menikmati sensasi berikutnya, tiba tiba
kurasakan jilatan di vaginaku, kubuka mataku, kulihat kepala Pak Sam
sedang berada di antara kakiku hingga tampak botaknya. Lidah Pak Sam
terasa menari nari di klitoris dan bibir vaginaku, sungguh nikmat
jilatan Pak Sam, tanpa kusadari aku mulai mendesis merasakan nikmatnya
pelayanan Pak Sam, kakiku kubuka makin lebar, kutekuk lututku, hingga
jari jarinnya menyentuh telinga Pak Sam, jilatan dan permainan mulut Pak
Sam semakin lama semakin nikmat kurasakan, aku sudah tak bias
mengontrol gerakan kakiku yang kini sudah berada di kepala botak Pak
Sam, tak pernah terbayang dalam hidupku kalau aku bias “menginjak”
kepala seorang jendral yang selama ini dihormati anak buahnya, dalam
keadaan berdua dan posisi seperti ini siapa peduli antara jendral maupun
pelacur seperti aku ini.
Pak Sam memasukkan jarinya ke vaginaku, lalu dua jari, belum pernah
aku merasakan kocokan dua jari di vagina, ini pengalaman pertamaku,
ternyata nikmat juga apalagi ketika lidahnya mempermainkan klitoris,
aku semakin menggelinjang, kakiku semakin tak teratur menjamah kepala
botak Pak Sam, kujepit kepalanya dengan pahaku, semakin aku mendesis
semakin liar dia mengocok dan menjilat. Pak Sam lalu membalik tubuhku,
kini aku nungging, aku pikir dia segera memasukiku dari belakang,
ternyata aku salah lagi, dia malah menjilati pantatku, kembali vaginaku
mendapat jilatannya, kali ini dari belakang, tanpa kuduga, dia
melanjutkan jilatannya di lubang anusku, aku menjerit kaget, belum
pernah aku mendapat jilatan di situ, membayangkan pun jauh dari benakku,
tapi kurasakan ada kenikmatan tersendiri dari jilatan di lubang anus,
apalagi yang menjilati adalah Pak Sam, seorang jendral yang sedang naik
daun, tentu menimbulkan kenikmatan dan sensasi tersendiri. Kubiarkan dia
menjilati vagina dan anusku bergantian, aku tak peduli selama dia
menyukai dan aku menikmati, apa salahnya. Desahanku semakin berani, tak
malu lagi aku mendesis dan mendesah di depan Pak Sam, yang kupikirkan
hanyalah kenikmatan mendapat permainan lidah dari Pak Sam, padahal dia
adalah orang ketiga yang menikmatiku hari ini, mungkin juga ada sisa
sperma di vaginaku dari Koh Wi atau Koh Rudi, tapi siapa peduli
sepanjang dia mau melakukannya.
Puas bermain di vagina dan anusku, dia lalu telentang di sampingku,
dia minta aku naik di atasnya, kupikir dia ingin aku posisi di atas,
tapi ternyata lagi lagi aku salah, dia justru minta aku naik di
kepalanya, agak bingung aku mengikuti kemauannya, ternyata dia mau
menjilati aku dari bawah, aku turuti saja permintaannya. Kini kepala Pak
Sam ada di bawahku di selangkanganku, aku mengangkangi kepala sang
Jendral, kuatur posisiku seolah jongkok di kepalanya, maka vaginaku
terbuka lebar tepat di atas wajah dan mulutnya, kucoba untuk menggoda
dia, sifat isengke tiba tiba timbul, kusapukan vaginaku ke seluruh
wajahnya, lidahnya menjulur untuk mendapatkan vaginaku, akhirnya dia
pegang pantatku dan langsung mengulum bibir vaginaku yang sudah siap di
depannya. Kembali lidah Pak Sam menjelajah di vagina dan anusku, aku
mengimbangi permainannya dengan menggoyangkan pantatku di atas wajahnya,
tangannya mulai ikutan mempermainkan putingku, entahlah mungkin sudah
menjadi hobinya untuk menikmati vagina dengan mulutnya. Aku Cuma
khawatir dia minta aku melakukan hal yang sama di kejantanannya, cukup
lama aku mengangkangi kepala Pak Jendral sebelum akhirnya beliau
memintaku turun.
Dia memintaku kembali telentang, kini baru kusadari kalau dia masih
mengenakan celana dalamnya, kulepas celana dalamnya hingga tampaklah
kejantanannya yang besar tegang kekar menantang, kuraih batang
kejantanannya, kukocok, untuk membalas “kebaikannya” kujilat kepala
kejantanannya, tapi dia menarik kepalaku, dia nggak mau kukulum
penisnya, kebetulan karena aku juga tidak terlalu suka melakukannya.
Kembali aku ditelentangkan di ranjang, kali ini dia langsung
menyapukan penisnya ke vaginaku, perlahan mendorong masuk hingga semua
melesak ke dalam.
Oh betapa nikmatnya setelah beberapa lama mendapat jilatan, kini
mendapatkan penis di vagina, begitu nikmat apalagi ketika Pak Sam mulai
mengocok vaginaku, aku mendesah dalam kenikmatan, sekaranglah benar
benar kurasakan kenikmatan bercinta dibandingkan dengan tamuku
sebelumnya. Pak Sam mengocokku dengan pelan penuh perasaan, berulang
kali dia mencium pipiku dengan gemas, sungguh aku diperlakukan seperti
layaknya kekasih, dia memandangku dengan sorot mata yang teduh, baru
kusadari dialah orang non Chinese pertama yang menikmati kehangatan
tubuhku, meski aku bukan orang Chinese tapi ex-suami dan lingkungan
pergaulanku adalah Chinese jadi aku sudah menjadi ke-cina cina-an,
apalagi postur tubuh dan wajahku yang memang lebih menyerupai Chinese.
Kunikmati kocokan demi kocokan dari Pak Sam, dia mulai meremas buah
dadaku, kocokannya makin cepat, aku mengimbangi dengan menggoyangkan
pantatku, aku sudah merasakan nikmatnya irama kocokannya membawaku
melayang dalam nikmat yang indah, desahku semakin keras, tanpa malu lagi
kuminta Pak Sam untuk mempercepat kocokannya. Pak Sam memelukku,
kubalas dengan elusan di punggungnya, beliau menciumi leherku yang
mulus, aku semakin menggeliat tak karuan apalagi saat dia mengulum
telingaku, geli bercampur nikmat menyatu dalam birahiku yang makin
terbang tinggi, ketika hampir kugapai puncak kenikmatan, tiba tiba
kurasakan tubuh Pak Sam menegang, sedetik kemudian disusul semprotan dan
denyutan penis Pak Sam di vaginaku, terasa menghantam dinding
vaginaku, aku teriak menerima semprotan Pak Sam, kudiamkan sesaat,
kubiarkan dia menikmati orgasmenya, setelah itu aku mulai menggoyang
pantatku lagi untuk mencapai orgasme yang tertunda, tapi aku harus
menelan kekecewaan, puncak kenikmatan yang sudah didepan mata terasa
makin menjauh, makin lama terasa makin susah digapai, penis Pak Sam
makin melemas, aku berusaha lebih keras menggoyangkan pantatku tapi
tidak menolong, napas Pak Sam turun naik di atasku, akhirnya aku
menyerah harus memendam orgasme, aku sadar bahwa harus mulai membiasakan
diri memendam kekecewaan semacam ini, kudorong tubuh Pak Sam turun ,
kami telentang bersebelahan.
“sorry, aku keluar duluan, kamu belum ya” kata Pak Sam
“nggak apa, toh nanti bias lagi” kataku menghibur, lebih tepatnya
menghibur diriku sendiri, sambil membersihkan penis Pak Sam dengan
handuk kecil.
Aku ke kamar mandi membersihkan vaginaku dari sperma Pak Sam, aku
segera kembali ke ranjang dan langsung tiduran dalam pelukan Pak Sam,
terus terang aku menyukai dadanya yang bidang dengan sedikit bulu dada,
terlihat atletis, kurebahkan kepalaku di dada Pak Sam sambil memainkan
bulu bulu di dadanya. Kutemukan sedikit kehangatan yang selama ini
hilang dalam hidupku, entah kenapa.
Kami berpelukan dalam kebisuan, sambil menikmati HBO yang dari tadi
kami acuhkan, kupegang dan kupermainkan kejantanannya, kujilati
putingnya, tanpa dia sadari aku sudah mulai melancarkan serangan ringan,
perlahan tapi pasti penisnya mulai sedikit demi sedikit menegang, kalau
sebelumnya aku selalu pasif, kali ini terpaksa aku yang harus aktif.
Kunaiki tubuh kekar Pak Sam, aku tengkurap di atasnya, kuciumi leher
dan pipinya sambil menggoyang goyangkan pantatku menggesek gesek
kejantanannya, makin lama kurasakan makin keras, hingga kurasa siap
untuk melanjutkan babak berikutnya.
Kubimbing penis Pak Sam ke vaginaku, kusapukan di bibirnya lalu
kudorong tubuhku ke belakang, masuklah penis itu ke dalam, aku kembali
merasakan nikmatnya penis Pak Sam di vaginaku, Pak Sam memelukku erat,
dia mengocokku dari bawah, desahanku tepat di telinga beliau, Pak Sam
mengocokku makin lama makin cepat, makin nikmat kurasakan. Aku duduk di
atas beliau, kini aku pegang peranan, kugoyangkan pantatku, Pak Sam
meremas buah dadaku sambil mempermainkan putingku, Pak Sam mengimbangi
gerakanku dengan menggoyang pantatnya, kurasakan penisnnya bergerak liar
di dalam membuat aku makin mendesah keras. Kucondongkan tubuhku ke
depan, buah dadaku tepat di atas wajah Pak Sam, langsung disambut
kuluman ringan di putingku tanpa menghentikan remasannya, kugerakkan
tubuhku hingga penis Pak Sam sliding keluar masuk vaginaku, kurasakan
kenikmatan yang hebat, puncak orgasme sudah hampir kuraih, aku semakin
cepat menggerakkan pinggulku, begitu juga Pak Sam, kami berdua seolah
berpacu dalam berahi, ternyata Pak Sam lebih cepat, aku terlalu bernafsu
mengejar puncak kenikmatan hingga tak kusadari penis Pak Sam yang tiba
tiba berdenyut keras, aku teriak kaget terkejut mendapat semprotan itu,
tanpa menunggu berhentinya denyutan itu aku terus mempercepat gerakanku
untuk mengejar orgasme yang tinggal selangkah lagi, tapi sungguh saying
aku harus menelan kekecewan untuk kedua kalinya ketika Pak Sam berulang
kali memintaku menghentikan gerakanku, sungguh tidak sopan apabila aku
memeksakan kehendakku karena dalam hal ini aku dibayar oleh beliau,
dengan menahan kecewa dan marah, aku tak bias berbuat banyak akhirnya
menyerah dibawah kekuasaan uang, kuhentikan gerakanku. Kupaksakan
tersenyum melihat senyum kepuasan mengembang di wajah Pak Sam, kucium
keningnya dan dia menarikku dalam pelukannya, masih bias kurasakan detak
jantungnya yang masih kencang, beliau mengelus punggungku mesra,
kembali kami terdiam sambil pelukan.
“kamu udah keluar saying ?” Tanya Pak Sam, entah pura pura atau memang tidak tahu
“udah, bapak hebat deh aku teller dibuatnya” jawabku berbohong menyenangkan beliau.
“kalo begitu ntar kita main lagi, bapak masih kuat kok” lanjutnya
“cilaka, kalau terus terusan tidak tuntas seperti ini aku bias darah
tinggi” pikirku tapi aku diam saja, hanya tersenyum melihat senyum
bangga diwajah Pak Sam.
“oke tapi kasih aku istirahat dulu, habis bapak bikin aku kewalahan
sih” jawabku kembali berbohong sambil turun dari tubuhnya dan menuju
kamar mandi membersihkan sperma dari vaginaku.
Ketika aku keluar kamar mandi, Pak Sam sudah duduk di sofa, aku duduk disampingnya, kami berdua masih telanjang.
“bagaimana hari pertamamu, cukup menyenangkan ?”Tanya Pak Sam cukup mengagetkanku, rupanya Om Lok memang sedang mempromosikanku.
“ya namanya juga masih baru, jadi harap dimengerti kalau belum
terlalu pintar” jawabku sambil bergelayut manja di lengannya, seperti
anak kecil yang sedang merajuk bapaknya.
“tapi kamu cukup bagus untuk ukuran pemula, apa lagi ini hari pertamamu”
“terima kasih Pak”
Singkat kata akhirnya kami bercinta lagi, kali ini atas permintaan
Pak Sam kami lakukan di sofa. Aku duduk di sofa panjang sementara Pak
Sam sudah berlutut di selangkanganku, aku heran beliau senang sekali
menjilati vagina, aku sih senang senang saja karena aku memang mulai
menikmati jilatan di vaginaku, apalagi aku merasa bias membuat laki laki
apalagi seorang Jendral berlutut di antara kaki dan bahkan bias
menginjak kepala laki laki bahkan Jendral sekalipun, sungguh kejadian
yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
Pak Sam bias bertahan lama menjulurkan lidahnya di sekitar vaginaku,
kuberanikan memegang kepala botaknya dan kutekan ke vaginaku supaya dia
bias menjilat lebih ke dalam, dia diam saja sambil tetap memainkan
lidahnya, aku lebih berani lagi, dengan kedua tanganku, kupegang
kepalanya dan kuusap usapkan di vaginaku, tak kuhiraukan lagi bahwa pada
kenyataannya dia jendral, tapi sekarang dia sedang berlutut di
selangkanganku.
Lidah Pak Sam menari nari di sekitar vaginaku, mulai dari klitoris,
vagina, hingga lubang anus, aku mendesah sambil mengelus elus kepala
botak Pak Sam, kurasakan sensasi tersendiri ketika mengelus kepala
botaknya, aku tahu ketidak sopanan ini, tapi selama beliau tidak
keberatan maka aku makin berani “kurang ajar” padanya, apalagi permainan
lidah Pak Sam benar benar nikmat.
Pak Sam menyudahi permainan lidahnya, kini berlutut dan menyapukan
penisnya di vaginaku, dengan sekali dorong melesaklah kejantanannya ke
dalam diiringi teriakan kenikmatan dari mulutku. Tidak seperti
sebelumnya, kini Pak Sam langsung mengocokku dengan cepat dan sesekali
diselingi hentakan keras ke vaginaku, membuat aku mendesah dan menjerit
kenikmatan, tangan Pak Sam sudah berada di dadaku, memainkan putingku,
kakiku sudah melingkar di pinggangnya, lidah Pak Sam mulai menjilati
leherku, terus turun hingga buah dadaku dan beliau mengulum putingku,
aku makin kelojotan dibuatnya. Kocokannya semakin liar kurasakan,
iramanya jadi kacau, tapi aku makin menyukainya, membawaku melayang
lebih tinggi ke awan kenikmatan.
Pak Sam mengatur posisi duduknya, aku tak tahu apa yang akan dia
lakukan, dia memegang tanganku dan menariknya ke pangkuannya. Ini posisi
baru bagiku, bercinta dipangkuannya, mulanya agak susah aku mengatur
gerakan, karena dengan posisi seperti ini Pak Sam tidak bias bergerak,
hanya mengandalkan gerakanku. Dengan agak kikuk aku menggerakkan
pinggulku, ternyata ada kenikmatan yang lain, aku semakin berani
menggerakkan pantatku lebih cepat, semakin nikmat rasanya hingga aku
sudah bias menguasai gerakanku, buah dadaku yang tepat di depan mulut
Pak Sam langsung mendapat kuluman penuh gairah dari satu putting ke
putting lainnya sambil tangannya tak henti meremas dengan gemas,
sesekali dia memainkan putingku.
Kudorong Pak Sam, kini dia telentang di karpet, kembali aku
menggoyangkan pantatku di atas beliau. Tidak seperti sebelumnya, kali
ini Pak Sam bias bertahan lebih lama, dia memintaku nungging di kursi,
Pak Sam kini mengocokku dari belakang langsung cepat dan keras,
hentakannya membuatku menjerit nikmat, sebenarnya ini adalah posisi
favoritku dulu, dan kini aku merasa ini adalah posisi yang paling nyaman
karena aku tak perlu melihat wajah tamuku yang belum tentu
membangkitkan seleraku, aku bias lebih bebas berfantasi dengan siapa aku
bercinta, apalagi dari pengalaman hari ini semua tamuku tidak ada yang
memenuhi seleraku.
Dengan berpegang pada pinggulku Pak Sam mengocokku dengan cepatnya,
lalu beliau memelukku dari belakang, diremasnya buah dadaku yang
menggantung bebas, diciuminya tengkukku, aku kegelian bercampur nikmat,
semakin keras dia menghentakku semakin aku melambung tinggi, dan terus
tinggi hingga kugapai puncak kenikmatan. Aku menjerit histeris, vaginaku
berdenyut keras seakan meremas penis Pak Sam, ternyata beliau makin
kesetanan mengocokku, teriakanku makin histeris dibuatnya, kuremas
sandaran kursi, tak tahan aku menerima kocokannya saat orgasme, hanya
menjerit dan menjerit yang bias kulakukan, Pak Sam meremas buah dadaku
makin keras. Untunglah tak lama kemudian beliau mengikutiku ke puncak
kenikmatan beberapa detik setelah aku, kurasakan penisnya membesar
sebelum berdenyut, beliau berteriak histeris dalam kenikmatan,
genggamannya di buah dadaku makin kencang hingga melemah seiring dengan
berakhirnya denyutan itu. Beliau lalu ambruk di atas punggungku,
perlahan lahan penisnya melemas dan keluar dengan sendirinya,
kubersihkan dengan tissue.
Kami berdua beristirahat duduk di sofa, napas kami masih memburu dari sisa sisa kenikmatan yang baru kami alami.
“kamu sungguh luar biasa, hebat mau melayaniku tiga kali berturut turut, belum pernah aku bercinta sebanyak ini” puji Pak Sam
“Bapak juga hebat bias bercinta sebanyak itu”
“ini karena kamu yang terlalu sexy, aku selalu terangsang melihatmu telanjang, terlalu hot”
“ah bapak bias saja”
“ingin aku bercinta sepanjang malam”
“ya udah nginap saja, ntar kita habisin malam ini” rayuku, dengan menginap berarti hitungan rupiahnya lebih banyak.
“saying aku nggak bias, besok ada tamu dari Mabes” jawabnya, agak
kecewa aku karena tidak bias mendapat tambahan rupiah lebih banyak, aku
tak pernah berpikir bagaimana seorang tentara semacam dia bias
membayarku sebanyak itu.
“ya kapan dong kesini lagi, jangan lama lama ya” rayuku
“kalau aku nggak bias ntar aku kenalin sama komandanku”
“yang mana ?” tanyaku penasaran
“ntar kamu tahu sendiri”
Akhirnya aku tak bias menahan dia lebih lama lagi, hampir pukul
sebelas malam ketika dia meninggalkan kamarku, Pak Sam meninggalkan tip
ratusan ribu di meja rias.
Belakangan setelah era reformasi aku mengetahui bahwa Pak Sam
bertugas di Jakarta, sebagai Kepala Dinas Penerangan lalu menjadi orang
nomer satu di lembaga pendidikan angkatan darat, entah sekarang
jabatannya apa. Selamat untuk beliau.
Aku kini sendirian di kamar, baru sekarang kurasakan hampa hidup ini.
Kemarin aku masih bias memandang dunia dengan dada membusung, kini aku
harus melihat dunia dengan pandangan lain, mungkin orang akan
memandangku sebagai sampah, penggoda. Apa peduliku dengan mereka, toh
kalau aku susah mereka tak akan membantuku. Yang penting aku tak
menggoda mereka, suami mereka, keluarga mereka, anak mereka, justru
merekalah yang dating ke tempatku karena membutuhkan pelayanan dariku,
membutuhkan kehangatan dariku, membutuhkan petualangan denganku,
membutuhkan pelampiasan padaku, membutuhkan variasi bercinta denganku,
bahkan membutuhkan apa yang tidak mereka dapatkan di rumah, sekali lagi
bukan aku yang menggoda mereka tapi mereka yang mendatangiku. Kucoba
memberikan apa yang mereka harapkan, sebaliknya mereka juga memberikan
apa yang aku harapkan, yaitu uang sebagai balas jasa atas pelayananku
memuaskan dan memenuhi harapan mereka.
Hari ini adalah telah kutulis lembaran sejarah baru bagi perjalanan
hidupku, aku sudah menikmati 3 macam penis dari tiga orang yang berbeda,
baik gaya bercinta maupun bentuk dan ukuran penis. Bahkan aku sudah
berani mempermainkan seorang jendral, membuat sang jendral berlutut
diantara kakiku, ada sedikit kebanggaan di hatiku.
Akhirnya dengan keadaan masih telanjang dan sisa sperma Pak Sam di
vaginaku aku tertidur untuk menyongsong hari esok yang aku sendiri tidak
tahu akan seperti apa, berapa orang lagi yang akan menikmati tubuhku,
siapa lagi yang akan membayarku, dan dengan siapa aku akan tidur besok
malam.
“I don’t care who you are, where you from, what you do, as long as you love me”
lagu Backstreet Boys yang selalu menyemangati hidupku, menunggu
datangnya seorang pangeran yang siap mencium seekor katak untuk menjadi
seorang Putri.
========================================
Sebagai seorang wanita penghibur kelas atas, aku harus membiasakan
diri untuk menerima segala macam tipe tamu dengan segala keramahan,
sesuai kontrakku dengan Om Lok, aku tidak boleh menolak setiap tamu yang
dating mencari pelayanan dariku, karena mereka membayar mahal untuk
itu. Beruntunglah aku apabila mendapatkan tamu yang sesuai seleraku,
tapi itu sangat kecil kemungkinannya.
Kali ini tamuku adalah lagi lagi Chinese seorang promotor tinju
terkenal dari Surabaya, bahkan makin terkenal hingga sekarang. Aku
memanggilnya Koh Seng, orangnya besar dan gendut, cukup berumur, sekali
lagi aku tidak bias memilih orang yang bias bercinta denganku, sejauh
mereka bias bayar kenapa tidak ?.
Begitu dia masuk kamar, aku langsung mengenalinya, karena aku
penggemar olah raga keras seperti tinju, balap mobil, balap motor dan
sejenisnya. Orangnya cukup ramah dan easy going. Tanpa banyak bicara,
begitu dia masuk kamar aku langsung menyambut dengan pelukan, tanganku
hampir tak dapat melingkar di tubuhnya karena terganjal perutnya, kami
berciuman sebentar lalu dia langsung rebah di ranjang. Sambil telentang
kami saling bercakap melepas kekakuan dan mencairkan kebekuan suasana,
seperti biasa kulakukan pada tamuku yang baru pertama kali ketemu.
Koh Seng mencegahku ketika aku akan membuka gaunku, dia memintaku
untuk melakukannya dengan gerakan erotis, mulanya aku menolak halus,
tapi setelah di iming imingi tip, aku melakukannya.
Kuputar musik pengiring gerakanku, aku meliuk liuk mengikuti irama
musik, perlahan kubuka kancing di depan, tampak belahan bukitku dari
balik bajuku, kulepas dan kulemparkan ke wajahnya, dia mencium bajuku
dan melemparkannya ke kursi. Selanjutnya dengan gerakan menggoda,
kusingkap rok miniku ke atas, hingga tampak paha mulus dan celana dalam
merah yang menutupi bagian kewanitaanku, dan terlepaslah rok miniku,
kini aku hanya mengenakan bikini. Kudengar suitan kagum setiap kali aku
melepas bagian demi bagaian pakaianku. , aku melakukan sebisa yang aku
mampu, karena memang belum pernah melihat tarian erotis secara live,
hanya kira kira dan mengikuti naluri exotic yang menyelimuti tubuhku.
Kugoda Koh Seng, kudekatkan buah dadaku ke wajahnya tapi ketika dia
mau memegang aku menjauh, dia menyelipkan 2 lembar 100 dolar pada tali
celana dalam, gerakanku makin erotis dengan melepas bra berenda penutup
buah dadaku, kulemparkan ke wajahnya, lalu kututupi dengan bantal.
“yaaa…kok gitu” protesnya karena tak bisa melihat buah dadaku, tak
kuhiraukan kekecewaannya, tarianku makin erotis diiringi house music
dari VCD, 2 lembar lagi diselipkan ketika kubuka bantal penutup dadaku.
Semakin erotik dan menggoda, semakin banyak lembaran dolar yang terselip
di celana dalam.
Akhirnya giliran celana dalam mini melayang ke mukanya, dalam keadaan
telanjang aku teruskan menari erotis, aku menjauh setiap kali tangan
Koh Seng berusaha meraihku, tanpa melepas sepatu, aku naik ranjang,
kukangkangi tubuh Koh Seng, menari erotis di atasnya, kubiarkan dia
menikmati pemandangan tubuhku terutama bagian kewanitaanku dari bawah,
sesekali kukangkangi kepalanya untuk memberikan pandangan yang lebih
baik, tapi tak pernah kuijinkan tangannya menjamahku. Dengan tetap
berdiri di atasnya, aku membungkuk membuka baju dan celananya, kuberi
kesempatan dia untuk menikmati indahnya buah dadaku yang menggantung,
ketika aku berhasil melepas baju dan celananya, aku terkejut karena dia
sudah tidak memakai celana dalam,”mungkin tidak ada ukuran yang cocok”
pikirku.
Alat kejantanannya kelihatan kecil karena tertutup perutnya yang
gendut, aku jongkok di antara kakinya, kupegang penis kecilnya yang
sudah tegang, kukocok dengan tanganku, sebenarnya sudah cukup keras
untuk dimasukkan ke vaginaku, tapi aku ingin memberi dia pelayanan lebih
lama, kujilat kepala penisnya, kukulum dan kukocok dengan mulutku
sambil tetap menggoyangkan pantat dan tubuhku sesuai irama musik
mengalun, dia mulai mendesis, kugeser tubuhku ke sampingnya hingga dia
bias menjangkau vaginaku, tangannya langsung bermain di vaginaku.
Kunaiku tubuhnya, kini kami dalam posisi 69, agak susah aku berada di
atasnya karena perutnya yang terlalu gendut, sebisa mungkin mulutku
menjangkau penisnya, kurasakan jilatan lidah pada klitoris dan permainan
jari di liang kenikmatanku. Dengan penuh gairah Koh Seng memainkan
daerah kewanitaanku, aku hanya bias memegang dan mengocok penisnya, tapi
untuk mengulumnya mulutku tidak bias menjangkau karena ganjalan perut
buncitnya.
Tahu akan kesulitanku, Koh Seng segera merubah posisi kami, dia minta
aku nungging, dan tanpa kesulitan langsung memasukkan penis kecilnya ke
liang kenikmatanku. Kocokannya langsung cepat, penisnya dengan mudah
meluncur keluar masuk vaginaku.
Terus terang tak kurasakan kenikmatan dalam bercinta ini, apalagi
dengan perut buncitnya masih kurasakan menghambat gerakannya, perutnya
seringkali mengganjal ke pantatku sehingga cukup susah memasukkan
penisnya sedalam mungkin. Apa peduliku, tugasku hanyalah memberikan
kepuasan pada dia dan berusaha memberikan pelayanan yang terbaik sesuai
dengan rupiah yang dia bayar. Aku mendesis nikmat dalam kepura puraan,
entah dia tahu atau tidak. Tangannya meraih buah dadaku yang
menggantung, diremasnya dengan gemas. Kami saling menggoyang, Koh Seng
menarik rambutku ke belakang, aku kaget tapi kubiarkan sejauh masih bias
di tolerir perlakuan kasarnya, itu sudah biasa aku alami dari tamu yang
lain.
Pantatku bergerak makin liar mengimbangi kocokannya, tak lama
kemudian tubuh Koh Seng kurasakan menegang, rambutku dijambak, disusul
dengan denyutan pada penisnya dan kurasaakan cairan hangat menyirami
vaginaku, Koh Seng orgasme dengan sedikit teriakan kepuasan.
Kubiarkan sesaat dia menikmati masa pasca orgasme hingga penisnya
melemas dan keluar dengan sendirinya. Koh Seng rebah di sampingku dengan
napas yang masih turun naik, kubersihkan penisnya dengan tissue lalu
aku ikutan rebah di sampingnya, kusandarkan kepalaku di dada dan
perutnya yang buncit itu. Tak lama kemudian kurasakan spermanya meleleh
keluar dari liang vaginaku, maka aku segera ke kamar mandi mencuci sisa
sperma yang masih di vaginaku.
Setelah beristirahat dan berbincang hampir satu jam, kelihatan nafsu
Koh Aseng kembali naik, dia mulai menciumi leher dan dadaku, dikulumnya
putingku yang dari tadi hanya di raba dan diremas, begitu rakus dia
mempermainkan putingku, diremas dan dijilatinya dengan gemas, membuatku
mau tak mau ikut terbawa dalam birahi sexual.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, kukocok penisnya dan kutuntun ke
vaginaku, dengan sedikit usapan dan dorongan melesaklah penisnya kembali
ke vaginaku, dari atas tubuhku dia mengocok penisnya keluar masuk
vaginaku. Tubuh tambunnya menindih tubuhku, mulanya tak kurasakan berat
karena sebagian masih tertumpu pada lengannya, tapi begitu kocokannya
makin cepat dan Koh Seng mulai menciumi leherku, baru kurasakan perut
buncitnya menggencet perutku, makin lama makin berat, aku tak kuat lagi
menahan beban tubuhnya, napasku jadi sesak,”bias pingsan kalau begini”
pikirku.
Dengan halus kudorong tubuhnya, kini dia berlutut mengocokku, kakiku
dipegang dan dibuka lebar, baru sekarang kurasakan gerakan dia tidak
terganggu perut buncitnya, tapi aku tahu dia kesulitan berlutut seperti
itu, tapi gerakannya mulai normal mengocokku, sedikit kurasakan
kenikmatan kocokannya. Terus terang aku nggak punya ide bagaimana
memberikan pelayanan sex yang maximal pada tamuku yang buncit seperti
dia, kubiarkan dia melakukan improvisasi sendiri, sejauh tidak menyakiti
aku, maka kubiarkan saja, untunglah sepertinya Koh Seng seperti
terbiasa dan tahu bagaimana bercinta dengan kondisi tubuh seperti itu.
Kuminta Koh Seng telentang, aku ingin posisi di atas, kumasukkan
penisnya ke vaginaku dan langsung kugoyang pinggulku, kurasakan lebih
baik dengan posisi seperti ini, aku bias lebih bebas bergerak baik
memutar maupun turun naik, terkadang tubuhku kucondongkan ke belakang
bertumpu pada kakinya untuk memberikan yang lebih baik. Kulihat expresi
kepuasan di wajah Koh Seng dengan improvisasiku, aku makin bergairah
menggoyangnya meskipun sedikit kurasakan kenikmatan, tak lama kemudian
usahaku membuahkan hasil ketika kudengar teriakan orgasme darinya
disusul dengan semprotan sperma dan kurasakan cairan hangat membasahi
vaginaku. Kutelungkupkan tubuhku di atas tubuh Koh Seng, dipeluknya aku,
meski terganjal perutnya kami berusaha saling mendekap hingga kurasakan
degup jantung dan napasnya yang turun naik, rambutku dibelainya dengan
halus dan mesra.
Dia banyak berbicara mengenai dunia pertinjuan di tanah air, rencana
rencana besarnya (sebagian besar terlaksana setelah adanya reformasi dan
anda bisa saksikan sekarang bagaimana kiprahnya di dunia tinju tanah
air, tapi aku sudah mengetahuinya beberapa tahun yang lalu). Karena aku
juga penggemar tinju, maka pembicaraan kita bisa nyambung meskipun
levelku hanya mengenal Mike Tyson, Holyfield, Oscar de La Hoya, Chaves
maupun Kaseem “Prince” Ahmed, atau yang seperti mereka, tak satupun
petinju lokal yang kukenal selain Elyas Pical yang sudah hilang dari
peredaran.
Setengah jam berlalu, saatnya untuk mulai babak kedua, sebenarnya dia
sudah puas dengan sekali main, tapi mengingat dia sudah memberiku tip
yang lumayan banyak akupun harus memberikan pelayanan yang setimpal.
Aku jongkok di antara kakinya ketika dia duduk di sofa, kupermainkan
kejantanannya dengan lidahku, dia mulai mendesah, kukulum dan kukocok
dengan mulutku, desahnya makin keras, dan tak lama kemudian
menyemprotlah sperma yang tidak terlalu banyak ke wajahku, entahlah tak
ada rasa jijik ketika wajahku terkena spermanya. Aku hanya tersenyum
sambil mengusap usapkan kejantanannya yang mulai melemah ke mukaku,
sungguh puas melihat kepuasan di wajahnya, yang berarti akan ada
tambahan tip bagiku.
Hanya sekali kami bercinta dan sekali permainan oral, dia memberikan
tip yang lumayan gede, kutunjukkan expresi kegembiraanku selama
melayaninya apalagi dengan tip sebesar itu, kami berciuman di depan
pintu kamar dan pergilah dia, entah kapan dia akan kembali lagi.
Dalam satu bulan aku “buka praktek” di hotel, sudah tiga kali dia
dating, dan tiap kali dating kami hanya bercinta sekali plus sekali
oral, mungkin karena staminanya yang tidak memungkinkan.
==============================================
Hari Minggu seperti biasa adalah hari yang tidak sibuk, tidak banyak
tamu yang datang di hari itu, maklum sebagian besar dari mereka lebih
banyak dihabiskan bersama keluarga, kecuali mereka yang lagi sedang
dinas keluar kota. Hari biasa kuterima rata rata 3-4 tamu tapi kalo di
Hari Minggu paling banyak 2 tamu, malah terkadang hanya satu. Selama aku
tinggal di hotel tak pernah kulewatkan hari tanpa tamu, tiada hari
tanpa tamu. Entah itu karena kepintaran “marketing” Om Lok atau karena
kepintaranku melayani tamu, aku tak tahu, tapi sesepi apapun pasti
selalu ada laki laki yang memerlukan pelayanan dan kehangatan tubuhku.
Jarum jam baru menunjukkan pukul 7:38 pagi, aku masih terlelap dalam
tidur, kemarin tenagaku habis terkuras dengan banyaknya tamu yang
memerlukanku, 5 tamu yang datang secara beruntun sejak pagi, hanya
berselang tak lebih dari 45 menit tamu berikutnya sudah nongol di depan
pintu kamar, benar benar hari yang melelahkan dan baru tidur hampir
pukul 3 dinihari.
Telepon berbunyi, biasanya Om Lok membawakan masakan kesukaanku saat
Hari Minggu seperti ini sambil menemaniku ngobrol dengan keluarganya,
mungkin karena aku primadona yang menjadi andalan (tepatnya sapi
perahan) utama maka dia memperlakukanku dengan agak istimewa. Ternyata
kali ini dia tidak datang, malahan berpesan akan ada tamu pagi ini,
sekitar jam 9 dia akan datang. Mataku masih berat, tubuhku terasa habis
memikul beban berat, capek semua rasanya, tulangku seakan copot.
Sebenarnya aku berencana memanggil Massage Service yang ada di hotel
pagi itu, tapi keduluan instruksi dari Om Lok, dan seperti biasanya aku
tak mungkin menolak.
Ingin kulanjutkan tidurku tapi aku takut kebabalasan, biasanya kalo
Minggu begini aku memang bangun telat terkadang jam 10 bahkan jam 11,
toh biasanya tamu akan datang setelah jam 12 atau bahkan sore.
Sambil ngedumel menahan kantuk yang masih bergelayut aku mandi, kurendam tubuhku dalam air hangat di bathtub, terasa nyaman. Pelarianku dalam capek adalah berendam di air panas, bisa lebih 30 menit kulakukan itu, kali ini aku ingin berendam lebih lama sambil mencoba aroma therapy rempah rempah yang diberi tamuku kemarin.
Sambil ngedumel menahan kantuk yang masih bergelayut aku mandi, kurendam tubuhku dalam air hangat di bathtub, terasa nyaman. Pelarianku dalam capek adalah berendam di air panas, bisa lebih 30 menit kulakukan itu, kali ini aku ingin berendam lebih lama sambil mencoba aroma therapy rempah rempah yang diberi tamuku kemarin.
Pukul 9:50 ternyata tamuku sudah datang, diluar dugaanku ternyata
orangnya relativ masih muda, tak lebih 40 tahun, penampilan simpatik dan
cukup ganteng dibanding tamu lainnya. Aku terpesona akan penampilannya,
beruntunglah aku hari ini, teriak hatiku, langsung hilang rasa capek
yang masih menggelayutiku. Namanya Hari, aku tak tahu apakah dia
chinesse atau bukan, karena kulitnya yang kecoklatan tapi matanya sipit,
tapi kini aku tak peduli lagi siapa tamuku.
Karena masih pagi, kami tidak terburu buru, bahkan masih sempat makan pagi bersama di kamar, kulayani dia sarapan seperti layaknya seorang istri yang melayani suaminya di meja makan, aku begitu antusias karena teringat saat saat indah dulu, suatu rutinitas membosankan saat itu tapi sungguh terasa mambahagiakan kalau aku mengingatnya. Sudah lama aku tak melayani makan pagi seperti ini, ada kesenangan tersendiri bagiku dan ini membawaku terpengaruh suasana pagi yang ceria itu, meski yang kulayani sarapan pagi itu bukan suamiku, bahkan baru satu jam yang lalu kukenal.
Karena masih pagi, kami tidak terburu buru, bahkan masih sempat makan pagi bersama di kamar, kulayani dia sarapan seperti layaknya seorang istri yang melayani suaminya di meja makan, aku begitu antusias karena teringat saat saat indah dulu, suatu rutinitas membosankan saat itu tapi sungguh terasa mambahagiakan kalau aku mengingatnya. Sudah lama aku tak melayani makan pagi seperti ini, ada kesenangan tersendiri bagiku dan ini membawaku terpengaruh suasana pagi yang ceria itu, meski yang kulayani sarapan pagi itu bukan suamiku, bahkan baru satu jam yang lalu kukenal.
Hampir satu jam kami melakukan acara makan dilanjutkan bersantai
sambil nonton Doraemon, acara anak anak kesukaanku, karena berarti itu
adalah hari minggu, dimana kebanyakan orang berkumpul bersama keluarga,
terkadang aku menangis sendirian sambil nonton acara itu, teringat
begitu ramai dengan anak anak tetangga kalau Doraemon sudah main.
Kuminta room boy membersihkan meja kamarku, mereka sudah mengenalku,
makanya agak terheran ketika melihatku dengan seorang laki laki sepagi
ini karena tak pernah ada tamu yang menginap di kamarku, tentu saja tak
berani dia mengatakannya.
Sambil nonton kami duduk di sofa yang entah sudah berapa puluh kali
kupakai bercinta, kami memang sangat santai saat itu, kukenakan celana
pendek dan T-shirt putih snoopy, seperti dulu kalo aku di rumah, sungguh
suasananya tidak seperti sedang bekerja, tapi seperti sedang berlibur
di hotel bersama suami atau pacar, bahkan kubiarkan rambutku yang masih
basah, sengaja tak kukeringkan.
Kusajikan snack seadanya yang ada di kamar dan kubikinkan kopi,
sesekali kusuapkan ke mulutnya, aku terbawa suasana santai yang
mengharukan. Perlahan tapi pasti tangan Hari sudah mulai menjamah
tubuhku, paha, punggung dan tubuh lainnya, tapi masih dalam batas normal
seperti orang pacaran.
Ketika Doraemon sudah habis, dia mulai mencium pipiku, entah kenapa
tiba tiba aku merinding dibuatnya, kutoleh dia dan dibalas dengan
senyuman manis, dia mengangkat daguku, dipandangnya dalam dalam, dengan
lembut bibirnya menyentuh bibirku, mesra sekali dia melumat bibirku,
tiba tiba jantungku berdetak kencang, kurasakan sentuhan yang lain saat
bibir kami beradu, begitu pula saat lidah kami saling menyapa lembut.
Pagi itu suasana hatiku begitu gembira, terlupa sudah capek semalam,
tanganku mulai meraba raba pahanya, begitu juga rabaan tangan Hari sudah
sampai ke dadaku, dia mengelus mesra buah dadaku sambil kami tetap
berciuman.
Tak lama kemudian dia melepas kaos yang kupakai, dipandanginya dadaku yang masih terbungkus bra putih, bra polos biasa yang tidak biasa kupakai kalau lagi terima tamu.
Tak lama kemudian dia melepas kaos yang kupakai, dipandanginya dadaku yang masih terbungkus bra putih, bra polos biasa yang tidak biasa kupakai kalau lagi terima tamu.
“Kamu cantik deh meski tanpa make up” pujinya lalu kembali menciumi
pipi dan bibirku seraya memulai remasannya di dadaku. Tanganku
mengimbangi remasannya pada selangkangan, sudah tegang, kubuka sabuk dan
reslitingnya, kususupkan tanganku ke dalam celana dalamnya dan kuremas
remas kejantanannya, dia mendesah sambil menciumi leherku.
Kami saling melucuti pakaian sambil tetap berciuman, sepuluh menit kemudian kami sudah sama sama telanjang, kembali pujian keluar darinya, aku hanya tersenyum dengan sedikit bangga meski aku tak tahu apakah itu pujian tulus atau sekedar basa basi.
Kami saling melucuti pakaian sambil tetap berciuman, sepuluh menit kemudian kami sudah sama sama telanjang, kembali pujian keluar darinya, aku hanya tersenyum dengan sedikit bangga meski aku tak tahu apakah itu pujian tulus atau sekedar basa basi.
Hari membopongku dan merebahkan ke ranjang, dilepasnya satu satunya
penutup tubuhku, kusambut ciuman dan cumbuannya yang penuh kemesraan,
tangannya mulai mempermainkan klitorisku ketika mulutnya mengulum liar
putingku, aku mendesah nikmat. Ciumannya turun ke perut diteruskan ke
selangkangan, dia tidak langsung ke vaginaku tapi justru menciumi paha
dan sekitar selangkangan, aku makin mendesah terbakar birahi, jeritku
akhirnya keluar tak tertahankan ketika lidahnya menyentuh klitorisku,
terasa nikmat sekali, apalagi ketika lidah itu menari nari menyusuri
vagina, melayang aku dibuatnya, tak sadar kuremas remas rambutnya.
Aku tak tahan lebih lama lagi, kuminta ber-69 dengan begitu kami bisa
saling memberi kenikmatan, hampir aku orgasme duluan kalau saja tidak
dihentikan. Dia memandangku dengan senyum puas karena berhasil
mempermainkan dan membawaku terbang melayang. Aku sudah telentang
menantinya, siap untuk melayani kemauannya, kali ini dengan senang hati,
bukan seperti biasanya saat melayani tamu. Kusambut dan kupeluk
tubuhnya ketika dia mulai menindihku, ciumannya mendarat di bibirku,
sambil saling melumat dia menyapukan kepala penisnya ke vaginaku yang
basah.
Aku mendesah tertahan saat penisnya menguak liang kenikmatanku, suatu
kenikmatan menjalar dari vagina ke seluruh tubuhku, aku menegang sesaat
merasakan kenikmatan itu, dan semakin nikmat dikala Hari mulai mengocok
perlahan penuh perasaan diiringi ciuman mesra, semakin cepat membawaku
melayang tinggi. Kujepitkan kakiku ke punggungnya, penisnya semakin
dalam mengisi relung vaginaku, meski tidaklah terlalu besar tapi terasa
begitu memenuhi ruangan kenikmatan tubuhku, aku mendesah lepas disaat
kocokannya makin cepat. Kupeluk erat tubuhnya, apalagi ketika dia
menjilati telingaku, aku menggelinjang geli dan nikmat, semakin erat
pelukanku.
Kakiku diangkat ke pundaknya, lebih dalam lagi penisnya menyodok, aku
menjerit dalam kenikmatan yang tak bisa kugambarkan, terlalu indah
permainan pagi ini hingga aku merengkuh puncak kenikmatan begitu cepat.
Jerit kenikmatanku mengiringi denyutan otot vagina yang meremas penis
Hari, dia menatapku tajam seakan menikmati expresi kenikmatan dari
wajahku, malu juga aku dibuatnya, tapi dia hanya tersenyum melihatku
orgasme.
Tanpa memberi istirahat Hari membalik tubuhku, kuperhatikan dia
memasangkan kondom yang bentuknya aneh, tapi tak kuperhatikan lebih
lanjut karena dia sudah melesakkan penisnya kembali, kurasakan
kenikmatan yang lain dari kondom itu, entah kondom macam apa yang
dipakai, bagiku semakin nikmat saja. Kami melakukannya dengan posisi
dogie, posisi favoritku biasanya, tapi dengan Hari aku membenci posisi
ini karena tidak bisa melihat wajah tampannya, sodokan Hari makin keras
mengaduk aduk vaginaku, sungguh luar biasa pengaruh kondom itu
terhadapku, antara geli, nikmat, sakit tapi semua bercampur menjadi
desah dan jerit kenikmatanku.
Semakin keras aku mendesah semakin keras pula dia menyodokku, dan tak
lama kemudian akupun mencapai puncak kenikmatan yang kedua kalinya
dipagi itu. Jeritan kenikmatanku tak menghentikan kocokannya, justru
semakin cepat dan liar gerakannya, maka akupun dengan cepat segera naik
kembali menuju puncak kenikmatan. Belum setengah jam kami bercinta tapi
aku sudah orgasme dua kali, sementara tamuku belum menunjukkan tanda
tanda orgasme, malu aku untuk minta istirahat lagi, kutahan kenikmatan
demi kenikmatan, dan orgasme lainnya menyusul tak lama kemudian.
Melihat aku kewalahan menghadapinya akhirnya dia memberiku istirahat lagi setelah hampir 45 menit mengocokku.
Melihat aku kewalahan menghadapinya akhirnya dia memberiku istirahat lagi setelah hampir 45 menit mengocokku.
“Ih, kamu kuat banget deh, ampun aku” komentarku, dia hanya tersenyum tak menjawab.
Aku telentang mengatur napasku yang masih turun naik menderu, sendiku terasa ngilu.
“Kamu marah nggak kalo aku pakai tali?” tanyanya dengan ragu
“Maksudnya?”
“Kamu kuikat di ranjang, kalau kamu nggak keberatan sih, tapi kalo kamu nggak mau ya nggak maksa kok” jawabnya memelas.
Aku telentang mengatur napasku yang masih turun naik menderu, sendiku terasa ngilu.
“Kamu marah nggak kalo aku pakai tali?” tanyanya dengan ragu
“Maksudnya?”
“Kamu kuikat di ranjang, kalau kamu nggak keberatan sih, tapi kalo kamu nggak mau ya nggak maksa kok” jawabnya memelas.
Hampir saja emosiku naik, marah aku dibuatnya, permintaannya aneh
bagiku, tapi karena dia minta dengan memelas begitu, apalagi dia telah
memberiku kepuasan demi kepuasan, rasanya tak tega aku menolaknya, toh
tak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru, tanpa menjawab aku langsung
telentang dengan tangan dan kaki terbuka.
Kulihat wajahnya bersinar gembira, segera dia mengambil traveling bag yang tadi dia bawa, dikeluarkannya tali atau lebih tepatnya kain yang dipilin menyerupai tali, mungkin supaya tidak melukai kulit, dengan cekatan dia mengikat kedua tangan dan kakiku ke ke empat kaki ranjang.Hari Minggu seperti biasa adalah hari yang tidak sibuk, tidak banyak tamu yang datang di hari itu, maklum sebagian besar dari mereka lebih banyak dihabiskan bersama keluarga, kecuali mereka yang lagi sedang dinas keluar kota. Hari biasa kuterima rata rata 3-4 tamu tapi kalo di Hari Minggu paling banyak 2 tamu, malah terkadang hanya satu. Selama aku tinggal di hotel tak pernah kulewatkan hari tanpa tamu, tiada hari tanpa tamu. Entah itu karena kepintaran “marketing” Om Lok atau karena kepintaranku melayani tamu, aku tak tahu, tapi sesepi apapun pasti selalu ada laki laki yang memerlukan pelayanan dan kehangatan tubuhku.
Kulihat wajahnya bersinar gembira, segera dia mengambil traveling bag yang tadi dia bawa, dikeluarkannya tali atau lebih tepatnya kain yang dipilin menyerupai tali, mungkin supaya tidak melukai kulit, dengan cekatan dia mengikat kedua tangan dan kakiku ke ke empat kaki ranjang.Hari Minggu seperti biasa adalah hari yang tidak sibuk, tidak banyak tamu yang datang di hari itu, maklum sebagian besar dari mereka lebih banyak dihabiskan bersama keluarga, kecuali mereka yang lagi sedang dinas keluar kota. Hari biasa kuterima rata rata 3-4 tamu tapi kalo di Hari Minggu paling banyak 2 tamu, malah terkadang hanya satu. Selama aku tinggal di hotel tak pernah kulewatkan hari tanpa tamu, tiada hari tanpa tamu. Entah itu karena kepintaran “marketing” Om Lok atau karena kepintaranku melayani tamu, aku tak tahu, tapi sesepi apapun pasti selalu ada laki laki yang memerlukan pelayanan dan kehangatan tubuhku.
Jarum jam baru menunjukkan pukul 7:38 pagi, aku masih terlelap dalam
tidur, kemarin tenagaku habis terkuras dengan banyaknya tamu yang
memerlukanku, 5 tamu yang datang secara beruntun sejak pagi, hanya
berselang tak lebih dari 45 menit tamu berikutnya sudah nongol di depan
pintu kamar, benar benar hari yang melelahkan dan baru tidur hampir
pukul 3 dinihari.
Telepon berbunyi, biasanya Om Lok membawakan masakan kesukaanku saat
Hari Minggu seperti ini sambil menemaniku ngobrol dengan keluarganya,
mungkin karena aku primadona yang menjadi andalan (tepatnya sapi
perahan) utama maka dia memperlakukanku dengan agak istimewa. Ternyata
kali ini dia tidak datang, malahan berpesan akan ada tamu pagi ini,
sekitar jam 9 dia akan datang. Mataku masih berat, tubuhku terasa habis
memikul beban berat, capek semua rasanya, tulangku seakan copot.
Sebenarnya aku berencana memanggil Massage Service yang ada di hotel
pagi itu, tapi keduluan instruksi dari Om Lok, dan seperti biasanya aku
tak mungkin menolak.
Ingin kulanjutkan tidurku tapi aku takut kebabalasan, biasanya kalo
Minggu begini aku memang bangun telat terkadang jam 10 bahkan jam 11,
toh biasanya tamu akan datang setelah jam 12 atau bahkan sore.
Sambil ngedumel menahan kantuk yang masih bergelayut aku mandi, kurendam tubuhku dalam air hangat di bathtub, terasa nyaman. Pelarianku dalam capek adalah berendam di air panas, bisa lebih 30 menit kulakukan itu, kali ini aku ingin berendam lebih lama sambil mencoba aroma therapy rempah rempah yang diberi tamuku kemarin.
Sambil ngedumel menahan kantuk yang masih bergelayut aku mandi, kurendam tubuhku dalam air hangat di bathtub, terasa nyaman. Pelarianku dalam capek adalah berendam di air panas, bisa lebih 30 menit kulakukan itu, kali ini aku ingin berendam lebih lama sambil mencoba aroma therapy rempah rempah yang diberi tamuku kemarin.
Pukul 9:50 ternyata tamuku sudah datang, diluar dugaanku ternyata
orangnya relativ masih muda, tak lebih 40 tahun, penampilan simpatik dan
cukup ganteng dibanding tamu lainnya. Aku terpesona akan penampilannya,
beruntunglah aku hari ini, teriak hatiku, langsung hilang rasa capek
yang masih menggelayutiku. Namanya Hari, aku tak tahu apakah dia
chinesse atau bukan, karena kulitnya yang kecoklatan tapi matanya sipit,
tapi kini aku tak peduli lagi siapa tamuku.
Karena masih pagi, kami tidak terburu buru, bahkan masih sempat makan pagi bersama di kamar, kulayani dia sarapan seperti layaknya seorang istri yang melayani suaminya di meja makan, aku begitu antusias karena teringat saat saat indah dulu, suatu rutinitas membosankan saat itu tapi sungguh terasa mambahagiakan kalau aku mengingatnya. Sudah lama aku tak melayani makan pagi seperti ini, ada kesenangan tersendiri bagiku dan ini membawaku terpengaruh suasana pagi yang ceria itu, meski yang kulayani sarapan pagi itu bukan suamiku, bahkan baru satu jam yang lalu kukenal.
Karena masih pagi, kami tidak terburu buru, bahkan masih sempat makan pagi bersama di kamar, kulayani dia sarapan seperti layaknya seorang istri yang melayani suaminya di meja makan, aku begitu antusias karena teringat saat saat indah dulu, suatu rutinitas membosankan saat itu tapi sungguh terasa mambahagiakan kalau aku mengingatnya. Sudah lama aku tak melayani makan pagi seperti ini, ada kesenangan tersendiri bagiku dan ini membawaku terpengaruh suasana pagi yang ceria itu, meski yang kulayani sarapan pagi itu bukan suamiku, bahkan baru satu jam yang lalu kukenal.
Hampir satu jam kami melakukan acara makan dilanjutkan bersantai
sambil nonton Doraemon, acara anak anak kesukaanku, karena berarti itu
adalah hari minggu, dimana kebanyakan orang berkumpul bersama keluarga,
terkadang aku menangis sendirian sambil nonton acara itu, teringat
begitu ramai dengan anak anak tetangga kalau Doraemon sudah main.
Kuminta room boy membersihkan meja kamarku, mereka sudah mengenalku,
makanya agak terheran ketika melihatku dengan seorang laki laki sepagi
ini karena tak pernah ada tamu yang menginap di kamarku, tentu saja tak
berani dia mengatakannya.
Sambil nonton kami duduk di sofa yang entah sudah berapa puluh kali
kupakai bercinta, kami memang sangat santai saat itu, kukenakan celana
pendek dan T-shirt putih snoopy, seperti dulu kalo aku di rumah, sungguh
suasananya tidak seperti sedang bekerja, tapi seperti sedang berlibur
di hotel bersama suami atau pacar, bahkan kubiarkan rambutku yang masih
basah, sengaja tak kukeringkan.
Kusajikan snack seadanya yang ada di kamar dan kubikinkan kopi,
sesekali kusuapkan ke mulutnya, aku terbawa suasana santai yang
mengharukan. Perlahan tapi pasti tangan Hari sudah mulai menjamah
tubuhku, paha, punggung dan tubuh lainnya, tapi masih dalam batas normal
seperti orang pacaran.
Ketika Doraemon sudah habis, dia mulai mencium pipiku, entah kenapa
tiba tiba aku merinding dibuatnya, kutoleh dia dan dibalas dengan
senyuman manis, dia mengangkat daguku, dipandangnya dalam dalam, dengan
lembut bibirnya menyentuh bibirku, mesra sekali dia melumat bibirku,
tiba tiba jantungku berdetak kencang, kurasakan sentuhan yang lain saat
bibir kami beradu, begitu pula saat lidah kami saling menyapa lembut.
Pagi itu suasana hatiku begitu gembira, terlupa sudah capek semalam,
tanganku mulai meraba raba pahanya, begitu juga rabaan tangan Hari sudah
sampai ke dadaku, dia mengelus mesra buah dadaku sambil kami tetap
berciuman.
Tak lama kemudian dia melepas kaos yang kupakai, dipandanginya dadaku yang masih terbungkus bra putih, bra polos biasa yang tidak biasa kupakai kalau lagi terima tamu.
Tak lama kemudian dia melepas kaos yang kupakai, dipandanginya dadaku yang masih terbungkus bra putih, bra polos biasa yang tidak biasa kupakai kalau lagi terima tamu.
“Kamu cantik deh meski tanpa make up” pujinya lalu kembali menciumi
pipi dan bibirku seraya memulai remasannya di dadaku. Tanganku
mengimbangi remasannya pada selangkangan, sudah tegang, kubuka sabuk dan
reslitingnya, kususupkan tanganku ke dalam celana dalamnya dan kuremas
remas kejantanannya, dia mendesah sambil menciumi leherku.
Kami saling melucuti pakaian sambil tetap berciuman, sepuluh menit kemudian kami sudah sama sama telanjang, kembali pujian keluar darinya, aku hanya tersenyum dengan sedikit bangga meski aku tak tahu apakah itu pujian tulus atau sekedar basa basi.
Kami saling melucuti pakaian sambil tetap berciuman, sepuluh menit kemudian kami sudah sama sama telanjang, kembali pujian keluar darinya, aku hanya tersenyum dengan sedikit bangga meski aku tak tahu apakah itu pujian tulus atau sekedar basa basi.
Hari membopongku dan merebahkan ke ranjang, dilepasnya satu satunya
penutup tubuhku, kusambut ciuman dan cumbuannya yang penuh kemesraan,
tangannya mulai mempermainkan klitorisku ketika mulutnya mengulum liar
putingku, aku mendesah nikmat. Ciumannya turun ke perut diteruskan ke
selangkangan, dia tidak langsung ke vaginaku tapi justru menciumi paha
dan sekitar selangkangan, aku makin mendesah terbakar birahi, jeritku
akhirnya keluar tak tertahankan ketika lidahnya menyentuh klitorisku,
terasa nikmat sekali, apalagi ketika lidah itu menari nari menyusuri
vagina, melayang aku dibuatnya, tak sadar kuremas remas rambutnya.
Aku tak tahan lebih lama lagi, kuminta ber-69 dengan begitu kami bisa
saling memberi kenikmatan, hampir aku orgasme duluan kalau saja tidak
dihentikan. Dia memandangku dengan senyum puas karena berhasil
mempermainkan dan membawaku terbang melayang. Aku sudah telentang
menantinya, siap untuk melayani kemauannya, kali ini dengan senang hati,
bukan seperti biasanya saat melayani tamu. Kusambut dan kupeluk
tubuhnya ketika dia mulai menindihku, ciumannya mendarat di bibirku,
sambil saling melumat dia menyapukan kepala penisnya ke vaginaku yang
basah.
Aku mendesah tertahan saat penisnya menguak liang kenikmatanku, suatu
kenikmatan menjalar dari vagina ke seluruh tubuhku, aku menegang sesaat
merasakan kenikmatan itu, dan semakin nikmat dikala Hari mulai mengocok
perlahan penuh perasaan diiringi ciuman mesra, semakin cepat membawaku
melayang tinggi. Kujepitkan kakiku ke punggungnya, penisnya semakin
dalam mengisi relung vaginaku, meski tidaklah terlalu besar tapi terasa
begitu memenuhi ruangan kenikmatan tubuhku, aku mendesah lepas disaat
kocokannya makin cepat. Kupeluk erat tubuhnya, apalagi ketika dia
menjilati telingaku, aku menggelinjang geli dan nikmat, semakin erat
pelukanku.
Kakiku diangkat ke pundaknya, lebih dalam lagi penisnya menyodok, aku
menjerit dalam kenikmatan yang tak bisa kugambarkan, terlalu indah
permainan pagi ini hingga aku merengkuh puncak kenikmatan begitu cepat.
Jerit kenikmatanku mengiringi denyutan otot vagina yang meremas penis
Hari, dia menatapku tajam seakan menikmati expresi kenikmatan dari
wajahku, malu juga aku dibuatnya, tapi dia hanya tersenyum melihatku
orgasme.
Tanpa memberi istirahat Hari membalik tubuhku, kuperhatikan dia
memasangkan kondom yang bentuknya aneh, tapi tak kuperhatikan lebih
lanjut karena dia sudah melesakkan penisnya kembali, kurasakan
kenikmatan yang lain dari kondom itu, entah kondom macam apa yang
dipakai, bagiku semakin nikmat saja. Kami melakukannya dengan posisi
dogie, posisi favoritku biasanya, tapi dengan Hari aku membenci posisi
ini karena tidak bisa melihat wajah tampannya, sodokan Hari makin keras
mengaduk aduk vaginaku, sungguh luar biasa pengaruh kondom itu
terhadapku, antara geli, nikmat, sakit tapi semua bercampur menjadi
desah dan jerit kenikmatanku.
Semakin keras aku mendesah semakin keras pula dia menyodokku, dan tak
lama kemudian akupun mencapai puncak kenikmatan yang kedua kalinya
dipagi itu. Jeritan kenikmatanku tak menghentikan kocokannya, justru
semakin cepat dan liar gerakannya, maka akupun dengan cepat segera naik
kembali menuju puncak kenikmatan. Belum setengah jam kami bercinta tapi
aku sudah orgasme dua kali, sementara tamuku belum menunjukkan tanda
tanda orgasme, malu aku untuk minta istirahat lagi, kutahan kenikmatan
demi kenikmatan, dan orgasme lainnya menyusul tak lama kemudian.
Melihat aku kewalahan menghadapinya akhirnya dia memberiku istirahat lagi setelah hampir 45 menit mengocokku.
Melihat aku kewalahan menghadapinya akhirnya dia memberiku istirahat lagi setelah hampir 45 menit mengocokku.
“Ih, kamu kuat banget deh, ampun aku” komentarku, dia hanya tersenyum tak menjawab.
Aku telentang mengatur napasku yang masih turun naik menderu, sendiku terasa ngilu.
“Kamu marah nggak kalo aku pakai tali?” tanyanya dengan ragu
“Maksudnya?”
“Kamu kuikat di ranjang, kalau kamu nggak keberatan sih, tapi kalo kamu nggak mau ya nggak maksa kok” jawabnya memelas.
Aku telentang mengatur napasku yang masih turun naik menderu, sendiku terasa ngilu.
“Kamu marah nggak kalo aku pakai tali?” tanyanya dengan ragu
“Maksudnya?”
“Kamu kuikat di ranjang, kalau kamu nggak keberatan sih, tapi kalo kamu nggak mau ya nggak maksa kok” jawabnya memelas.
Hampir saja emosiku naik, marah aku dibuatnya, permintaannya aneh
bagiku, tapi karena dia minta dengan memelas begitu, apalagi dia telah
memberiku kepuasan demi kepuasan, rasanya tak tega aku menolaknya, toh
tak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru, tanpa menjawab aku langsung
telentang dengan tangan dan kaki terbuka.
Kulihat wajahnya bersinar gembira, segera dia mengambil traveling bag yang tadi dia bawa, dikeluarkannya tali atau lebih tepatnya kain yang dipilin menyerupai tali, mungkin supaya tidak melukai kulit, dengan cekatan dia mengikat kedua tangan dan kakiku ke ke empat kaki ranjang.
Kulihat wajahnya bersinar gembira, segera dia mengambil traveling bag yang tadi dia bawa, dikeluarkannya tali atau lebih tepatnya kain yang dipilin menyerupai tali, mungkin supaya tidak melukai kulit, dengan cekatan dia mengikat kedua tangan dan kakiku ke ke empat kaki ranjang.
Kini aku dalam posisi terikat tak berdaya telentang di ranjang,
sungguh pengalaman baru bagiku merasakan ketidakberdayaan dihadapan laki
laki yang belum kukenal lama. Dalam posisi terikat kembali Hari
menjamah seluruh tubuhku, diciuminya pipi dan bibirku, menjelajahi
seluruh tubuhku, lalu dia mengulum dan menyedot putingku, aku hanya bisa
mendesah dan menggeliat nikmat, tak bisa membalas dengan pelukan atau
lainnya, tak terasa dengan tidak berdaya seperti ini ada sensasi
tersendiri, suatu sensasi dan kenikmatan yang tak terbayangkan
sebelumnya, antara nikmat dan takut.
Kepala Hari sudah berada di selangkanganku, kunaikkan pinggulku,
dengan liarnya jilatannya menyusuri vaginaku, diselingi dengan kocokan
dua jari, aku makin mendesah dan menggeliat tanpa bisa berbuat apa apa,
tapi anehnya justru aku merasakan sensasi yang lain yang belum pernah
kurasakan. Dia kembali menindihku, dengan sekali dorong masuklah
penisnya menembus vaginaku dan dikocoknya dengan cepat. Tubuhku dipeluk
erat meski aku tak bisa membalas pelukannya, hanya desah kenikmatan yang
bisa kuperbuat.
“Suka?” bisiknya di telingaku, malu menjawab karena memang aku malai
menyukai permainan ini, tapi dia medesakku sambil mengocokku makin
keras.
“Bilang suka apa nggak? atau kulepaskan saja talinya”, kocokannya sudah menyodok rahimku semakin dalam dan semakin cepat. Sesaat aku tak bisa menjawab ya atau tidak, aku terlalu terhanyut dalam permainan baru, dia mendesakku terus sambil mempercepat kocokannya.
“Aaahh.. jangan.. jangaan.. jangan dilepas” hampir tak percaya kuucapkan itu ketika dia menghentikan kocokannya dan hendak melepas ikatan.
“Bilang suka apa nggak? atau kulepaskan saja talinya”, kocokannya sudah menyodok rahimku semakin dalam dan semakin cepat. Sesaat aku tak bisa menjawab ya atau tidak, aku terlalu terhanyut dalam permainan baru, dia mendesakku terus sambil mempercepat kocokannya.
“Aaahh.. jangan.. jangaan.. jangan dilepas” hampir tak percaya kuucapkan itu ketika dia menghentikan kocokannya dan hendak melepas ikatan.
“OK, let’s the game begin”, katanya lalu dengan kasar dia mencabut
penisnya, meninggalkanku yang terikat terbakar birahi setengah jalan
menuju puncak kenikmatan, dia mengambil sesuatu dari tasnya.
Aku terkaget ketika dia menunjukkan dildo berwarna hitam legam menyerupai penis dengan accessories di pangkalnya, ukurannya sedikit lebih besar dari rata rata ukuran sebenarnya, tapi bentuknya mengerikan.
“Koh, apaan itu, jangan ah” setengah teriak aku mencegahnya
“Nggak apa, toh tidak lebih besar dari yang aslinya” hiburnya sambil mengusap usapkan ke vaginaku.
“Jangan Koh, aahh.. pakai asli ajaa.. aku.. aku.. nggak .. pernah me.. melakukannyaa.. aahh” protes bercampur desah setelah sebagian dildo itu memasuki vaginaku, jauh lebih besar dari perkiraanku, vaginaku terasa penuh.
“Coba dulu deh.. enak nggak”, bujuknya sambil perlahan memasukkan dildo makin dalam, aku menggeliat, ada rasa nikmat yang aneh kurasakan.
“Aaagghh.. sszz.. oouuww”, suatu kenikmatan tersendiri, terasa aneh tapi sungguh nikmat apalagi ketika dia memutar dildo itu, tak pernah kurasakan sebelumnya, lagian mana ada penis yang bisa berputar, aku menjerit nikmat, dia mulai mengocokkan dildonya, accessories pada pangkal dildo mengenai sisi vaginaku yang lain menambah kenikmatan tersendiri, jeritanku makin keras, tubuhku menggeliat tak karuan dengan tangan terikat seperti ini.
“Sekarang rasakan kenikmatan yang sesungguhnya” katanya, sedetik kemudian kurasakan dildo itu bergetar, kontan saja aku menjerit kaget, kupelototi Hari yang menikmati expresi aneh wajahku, antara kaget, sakit, nikmat, tidak berdaya bercampur menjadi satu, tubuhku kelojotan seperti cacing kepanasan ditambah lagi dengan ikatan di kaki dan tanganku sungguh suatu siksaan kenikmatan tersendiri, tak pernah kurasakan kegelian pada vaginaku seperti ini.
“Koh, pleaassee.. tolong lepaskan aku.. pleaasessee”, desah dan teriak bercampur permohonan, permohonan untuk melepaskan ikatan bukan untuk menghentikan dildonya karena memang terasa nikmat yang aneh, aku menggeliat geliat tak karuan, tak bisa berbuat apa.
Aku terkaget ketika dia menunjukkan dildo berwarna hitam legam menyerupai penis dengan accessories di pangkalnya, ukurannya sedikit lebih besar dari rata rata ukuran sebenarnya, tapi bentuknya mengerikan.
“Koh, apaan itu, jangan ah” setengah teriak aku mencegahnya
“Nggak apa, toh tidak lebih besar dari yang aslinya” hiburnya sambil mengusap usapkan ke vaginaku.
“Jangan Koh, aahh.. pakai asli ajaa.. aku.. aku.. nggak .. pernah me.. melakukannyaa.. aahh” protes bercampur desah setelah sebagian dildo itu memasuki vaginaku, jauh lebih besar dari perkiraanku, vaginaku terasa penuh.
“Coba dulu deh.. enak nggak”, bujuknya sambil perlahan memasukkan dildo makin dalam, aku menggeliat, ada rasa nikmat yang aneh kurasakan.
“Aaagghh.. sszz.. oouuww”, suatu kenikmatan tersendiri, terasa aneh tapi sungguh nikmat apalagi ketika dia memutar dildo itu, tak pernah kurasakan sebelumnya, lagian mana ada penis yang bisa berputar, aku menjerit nikmat, dia mulai mengocokkan dildonya, accessories pada pangkal dildo mengenai sisi vaginaku yang lain menambah kenikmatan tersendiri, jeritanku makin keras, tubuhku menggeliat tak karuan dengan tangan terikat seperti ini.
“Sekarang rasakan kenikmatan yang sesungguhnya” katanya, sedetik kemudian kurasakan dildo itu bergetar, kontan saja aku menjerit kaget, kupelototi Hari yang menikmati expresi aneh wajahku, antara kaget, sakit, nikmat, tidak berdaya bercampur menjadi satu, tubuhku kelojotan seperti cacing kepanasan ditambah lagi dengan ikatan di kaki dan tanganku sungguh suatu siksaan kenikmatan tersendiri, tak pernah kurasakan kegelian pada vaginaku seperti ini.
“Koh, pleaassee.. tolong lepaskan aku.. pleaasessee”, desah dan teriak bercampur permohonan, permohonan untuk melepaskan ikatan bukan untuk menghentikan dildonya karena memang terasa nikmat yang aneh, aku menggeliat geliat tak karuan, tak bisa berbuat apa.
Sepertinya Hari menikmati geliat tak berdayaku, kulihat sambil
mengocok dildo getarnya dia meremas remas sendiri penisnya, sebenarnya
bisa aja aku teriak keras minta tolong agar orang diluar kamar dengar,
tapi ini sekedar permainan, permainan yang aku sendiri tak tahu harus
menerima, menikmati atau menolak. Aku tidak disakiti secara fisik, tapi
penyiksaan dalam bentuk lain, suatu penyiksaan sexual, tak tahu harus
bagaimana aku menyikapinya, dan tak sempat aku berpikir bagaimana
menyikapinya karena dildo itu begitu liar bergerak nikmat di vaginaku.
Ditinggalkannya dildo itu bergetar di vaginaku, dia berdiri mengangkangiku sambil mengocok penisnya dengan tangannya, wajahnya tajam menatapku yang sedang kelocotan merasakan dildo yang bergetar mengaduk vaginaku.
Desahanku sudah berubah menjadi jeritan yang aku sendiri tak bisa mengartikan apakah jeritan protes, marah atau nikmat.
Ditinggalkannya dildo itu bergetar di vaginaku, dia berdiri mengangkangiku sambil mengocok penisnya dengan tangannya, wajahnya tajam menatapku yang sedang kelocotan merasakan dildo yang bergetar mengaduk vaginaku.
Desahanku sudah berubah menjadi jeritan yang aku sendiri tak bisa mengartikan apakah jeritan protes, marah atau nikmat.
Sepertinya dia menikmati ekspresi wajahku yang tidak berdaya, cairan
penisnya mulai menetes di dadaku, geliatku makin tak beraturan, makin
cepat dia mengocok penisnya dan.. dan.. menyemburlah spermanya mengenai
muka, rambut dan tubuhku, aku teriak marah, merasa terhina, tapi dia
hanya tersenyum sambil mengusapkan penisnya ke wajahku, memaksaku
membuka mulut mengulumnya, terus menyusuri dada, lalu kakiku, tak kuasa
aku menghindarinya sebelum meninggalkanku ke kamar mandi, dildo masih
menancap di vaginaku, geli kenikmatan berubah menjadi kemuakan tapi
tanganku tetap terikat tanpa daya, anehnya tak ada niatan untuk teriak
minta tolong atas “pemerkosaan” ini.
Sungguh aku merasa terhina diperlakukan seperti ini, tetesan tetesan
sperma membasahi hampir seluruh tubuhku, aromanya begitu menyengat, tak
dapat kuhindari beberapa mengalir ke mulutku, aku mencoba menghindar
tapi tak ayal lagi kurasakan juga gurihnya spermanya, kuludahkan sperma
yang sempat masuk mulutku, perasaan jijik menyelimutiku, kalau saja dia
memintaku baik baik untuk mengeluarkan sperma ke tubuhku seperti ini
mungkin aku tak keberatan mengingat bagaimana aku tadi terpesona akan
penampilannya.
Hari duduk di sebelahku, diambilnya dildo dari vaginaku tanpa ada tanda tanda melepas ikatanku.
Aku menghiba memelas untuk dilepaskan, tapi tak dipedulikan, malahan mengancam akan membungkam mulutku apabila aku teriak sampai terdengar dari luar.
Aku menghiba memelas untuk dilepaskan, tapi tak dipedulikan, malahan mengancam akan membungkam mulutku apabila aku teriak sampai terdengar dari luar.
Dia mengambil kain lain dari tasnya lalu ditutupkan ke mataku, semua
kini menjadi gelap, aku merasa benar benar tak berdaya, kupikir ini
sudah bukan lagi permainan yang menyenangkan, dengan mata tertutup aku
tak tahu dia akan berbuat apa lagi terhadapku dan aku tak bisa menduga
selanjutnya.
Sesaat tak kurasakan sentuhan atau gerakannya di atas ranjang, entah
apa yang dilakukan dikamar ini. Tiba tiba kurasakan sentuhan dingin di
putingku, aku terkaget, ternyata dia meletakkan es batu diputingku lalu
dikulumnya, dinginnya es menyusur ke perut dan berhenti di vaginaku, aku
menjerit tapi ada sensasi erotis tersendiri kurasakan, sedikit
kenikmatan, kusesali kenapa dia melakukan dengan cara paksaan seperti
ini, padahal belum tentu aku menolak permainan permainannya yang penuh
kejutan.
Aku menjerit kaget bercampur nikmat saat kurasakan permainan lidahnya
di sela dinginnya es pada klitoris dan vaginaku, kembali kurasakan
dildo itu melesak masuk penisku bersamaan dengan jilatannya pada
klitoris.
Dia sudah tidak mempedulikan permohonanku meski dengan menghiba minta ampun, sepertinya dia menikmati seperti kucing yang mempermainkan cecak, perlahan kenikmatan mulai menjalar, tanpa kusasari aku mulai menggoyangkan pantatku, tak dapat kuhindari meski aku benci melakukannya tapi aku juga tak ada cara untuk menghindar, asal tidak menyakiti secara fisik maka kubiarkan dia menghina dan mempermainkanku, toh aku sudah biasa diperlakukan secara hina oleh tamuku, meski tidak sekasar ini.
Dia sudah tidak mempedulikan permohonanku meski dengan menghiba minta ampun, sepertinya dia menikmati seperti kucing yang mempermainkan cecak, perlahan kenikmatan mulai menjalar, tanpa kusasari aku mulai menggoyangkan pantatku, tak dapat kuhindari meski aku benci melakukannya tapi aku juga tak ada cara untuk menghindar, asal tidak menyakiti secara fisik maka kubiarkan dia menghina dan mempermainkanku, toh aku sudah biasa diperlakukan secara hina oleh tamuku, meski tidak sekasar ini.
Pinggulku sudah turun naik tanpa bisa kukendalikan lagi, bahkan
desahankupun sudah meluncur dengan sendirinya, aku seperti tak bisa lagi
mengontrol emosi dan tubuhku, semua seakan berjalan sendiri sendiri
mengikuti naluri sexual yang mulai terlatih.
Dia mencabut dildonya, aku menunggu kejutan lainnya dengan harap
harap cemas, lama tak ada suara atau gerakan, akhirnya kurasakan dia
menindihku dan menyapukan penisnya ke vaginaku, kembali terkaget aku
dibuatnya ketika penisnya memasuki vaginaku, terasa begitu besar,
panjang, dan kasar menggesek dinding vaginaku, tak mungkin itu penisnya,
pasti dia sedang berbuat sesuatu terhadapku. Dengan ganas menciumi
leher dan buah dadaku disertai gigitan gigitan ringan pada puting, aku
hanya berharap dia tidak meninggalkan bekas memerah di leher dan dada,
kalau itu terjadi tentu akan menurunkan “harga jualku”.
“Penisnya” makin cepat mengocokku, rasa aneh yang kurasakan di vagina
ternyata membuatku makin tinggi melayang nikmat, dan tak dapat
kuhindari ketika aku menjerit orgasme, sungguh memalukan orgasme tapi
dalam keadaan marah, napasku tersengal turun naik, antara marah dan
nikmat sehabis orgasme. Hari masih tetap mencium dan mengocokku, justru
makin ganas, vaginaku sudah terasa memar dan sedikit perih, mungkin
lecet.
Hari menukar posisi ikatan tanganku setelah melepas ikatan di kaki,
posisiku kini tengkurap tanpa ikatan kaki tapi mata tetap tertutup.
Terlalu lemas aku untuk melakukan perlawanan, dia menarik pantatku naik
hingga posisi nungging, kurasakan lidahnya menjilati vaginaku bersamaan
dengan jari tangannya mempermainkan lubang anus, aku bertekad akan
teriak apabila dia memaksakan untuk memasukkan penisnya ke dubur, itu
sudah menjadi prinsipku bahwa tak akan pernah melakukan anal seks.
Sesaat kemudian dia langsung melesakkan kembali “penisnya” yang aneh
itu, kembali rasa nyeri bercampur nikmat menyelimutiku, desahan demi
desahan mengiringi kocokannya. Sepuluh menit kemuian kudengar jeritan
orgasme darinya, tapi aku terheran karena tidak ada denyutan dari
“penis” yang masih meluncur di vaginaku, justru pantatku terasa hangat
terkena cairan, dan “penis” itu masih tetap keras tegang bersemayam di
vaginaku, aku tak tahu apa yang terjadi.
Suasana sunyi kecuali desah napas kami berdua, dia melepaskan tutup
mata dan ikatanku. Aku masih tetap telungkup telanjang, diam saja
menahan marah, beberapa pertanyaannya hanya kujawab ya dan tidak. Baru
kusadari ternyata saat dogie tadi dia mengocokku dengan dildo yang lain
lagi yang diikatkan di pinggangnya, mungkin sambil mengocokkan dildonya
dia bermasturbasi di atas pantatku sehingga kurasakan cairan hangat saat
dia orgasme. Berkali kali dia minta maaf atas perbuatannya, aku diminta
mengerti akan kelainan sexualnya. Tak ada jawaban dariku, tetap diam
membisu, aku tak peduli apakah dia marah, tersinggung atau tidak puas.
Dalam hati aku berjanji tak akan menerima dia lagi meski dengan
imbalan berupa apapun, cukup sekali aku diperlakukan seperti ini, kali
ini mungkin dia hanya mengikat dan mempermainkan dildonya, namun siapa
tahu lain waktu dia berbuat lebih jauh lagi saat ada kesempatan dan
dengan terikat begitu tentu aku tak bisa berbuat apa apa, hanya pasrah
menerima perlakuannya.
Kutinggalkan Hari saat membereskan “mainannya”, sengaja berlama lama
di kamar mandi yang pintunya kukunci, padahal tak pernah aku menutup
apalagi mengunci saat mandi. Aku keluar setelah dia hendak berpamitan
pulang, biasanya kuantar tamuku hingga keluar pintu kamar sambil masih
telanjang atau berbalut handuk di dada, tapi kali ini aku sudah kembali
rapi berpakaian lengkap melepas kepergiannya, masih tetap membisu, tak
ada bujuk rayu untuk kembali lagi seperti terhadap tamu lain yang telah
mempesonaku.
Segera kuhubungi Om Lok, memprotes tamu itu, tapi dia hanya tertawa
saja, akhirnya dia adalah orang pertama yang masuk “black list” dalam
daftar tamuku, meskipun tip yang diberikan sebesar apa yang kudapat dari
Om Lok, tapi resiko dan pengorbanannya terlalu besar.
============================================
“Ly, sudah lebih setengah bulan kamu disini, untunglah banyak tamu
yang terkesan akan penampilan dan servis kamu, dan banyak yang kembali
menjadi langganan tetapmu” kata Om Lok memulai pembicaraan, tidak
bisaanya Om Lok mengajakku ngobrol seperti ini, pasti ada yang perlu
dibicarakan serius. Bisanya tiap minggu dia memberiku uang hasil kerjaku
selama seminggu atau bukti transfer ke rekeningku langsung dia pulang,
tapi kali ini lain.
“Emangnya ada apa Om” kataku to the point karena penasaran
“Ly, mau nggak mencoba yang lain?” tanyanya menjawab rasa penasaranku.
“Maksudnya?” aku tambah nggak ngerti.
“Maksud Om, begini.. mau nggak kamu main bertiga, melayani dua tamu sekaligus, uangnya gede lho” jelasnya langsung membuat aku muak mendengarnya.
“Om ini aneh aneh saja, melayani dua laki laki sekaligus kan ribet urusannya Om, mana bisa aku memuaskan mereka berdua secara bersamaan, ntar dibilang servisku nggak bagus, lagian orangnya ada kelainan jiwa kali” tanyaku polos sedikit tersinggung, aku memang sering melihat di VCD tentang sex bertiga, tapi itu aku anggap hanya dilakukan hanya di film dan orangnya pasti punya kelainan atau fantasi yang kebablasan.
“Siapa bilang melayani dua laki laki sekaligus, justru kerja kamu lebih ringan karena orangnya ini akan datang dengan istrinya, uangnya lumayan gede lho”
“Ha?? Om ini ada ada saja, mana ada orang ngajak istrinya untuk selingkuh dengan wanita lain, gila kali” jawabku sewot merasa dibodohi Om Lok.
“Kamu mau nggak?, kalo nggak mau Om kasih ke yang lain, kamu primadonaku selalu mendapat prioritas pertama, yang jelas uangnya bisa dobel sementara kerjamu lebih ringan karena ada wanita lain yang meringankan kerjamu” bujuk Om Lok.
“Emangnya ada apa Om” kataku to the point karena penasaran
“Ly, mau nggak mencoba yang lain?” tanyanya menjawab rasa penasaranku.
“Maksudnya?” aku tambah nggak ngerti.
“Maksud Om, begini.. mau nggak kamu main bertiga, melayani dua tamu sekaligus, uangnya gede lho” jelasnya langsung membuat aku muak mendengarnya.
“Om ini aneh aneh saja, melayani dua laki laki sekaligus kan ribet urusannya Om, mana bisa aku memuaskan mereka berdua secara bersamaan, ntar dibilang servisku nggak bagus, lagian orangnya ada kelainan jiwa kali” tanyaku polos sedikit tersinggung, aku memang sering melihat di VCD tentang sex bertiga, tapi itu aku anggap hanya dilakukan hanya di film dan orangnya pasti punya kelainan atau fantasi yang kebablasan.
“Siapa bilang melayani dua laki laki sekaligus, justru kerja kamu lebih ringan karena orangnya ini akan datang dengan istrinya, uangnya lumayan gede lho”
“Ha?? Om ini ada ada saja, mana ada orang ngajak istrinya untuk selingkuh dengan wanita lain, gila kali” jawabku sewot merasa dibodohi Om Lok.
“Kamu mau nggak?, kalo nggak mau Om kasih ke yang lain, kamu primadonaku selalu mendapat prioritas pertama, yang jelas uangnya bisa dobel sementara kerjamu lebih ringan karena ada wanita lain yang meringankan kerjamu” bujuk Om Lok.
Aku diam saja mencoba memahami jalan pikiran Om maupun tamu aneh itu.
“Entahlah Om, aku pikir pikir dulu” jawabku bingung tak bisa mengambil keputusan untuk hal aneh yang tak terduga semacam itu.
“OK, kasih aku jawaban setelah tamu terakhirmu pulang, jangan lewat besok pagi atau anak lain yang mengambil kesempatan ini” ancamnya sebelum keluar kamar.
“Entahlah Om, aku pikir pikir dulu” jawabku bingung tak bisa mengambil keputusan untuk hal aneh yang tak terduga semacam itu.
“OK, kasih aku jawaban setelah tamu terakhirmu pulang, jangan lewat besok pagi atau anak lain yang mengambil kesempatan ini” ancamnya sebelum keluar kamar.
Aku tidak sempat berpikir lebih jauh karena tak berselang lama tamuku sudah datang menemuiku.
Selama melayani dia aku tak bisa konsentrasi penuh, justru lebih banyak memikirkan tawaran Om Lok, banyak pertimbangan yang aku pikirkan selain materi tentu saja.
Selama melayani dia aku tak bisa konsentrasi penuh, justru lebih banyak memikirkan tawaran Om Lok, banyak pertimbangan yang aku pikirkan selain materi tentu saja.
Aku tak tahu apakah tamuku ini mengetahui apa nggak, untungnya dia
tamu baru bukan pelanggan yang sudah pernah datang, jadi dia tak bisa
membedakan pelayanan dan sikapku saat ini dengan sebelumnya.
Hampir dua jam aku melayaninya, sebenarnya dia cukup menarik dan tidak terlalu tua (tentu saja dibandingkan lainnya) tapi pikiranku sedang tidak in the track. Kuusahakan untuk tetap memuaskan dia meskipun aku sendiri tak bisa menikmatinya, bahkan akupun tak kecewa ketika sudah 3 kali membuatnya orgasme tapi tak sekalipun kuraih.
Hampir dua jam aku melayaninya, sebenarnya dia cukup menarik dan tidak terlalu tua (tentu saja dibandingkan lainnya) tapi pikiranku sedang tidak in the track. Kuusahakan untuk tetap memuaskan dia meskipun aku sendiri tak bisa menikmatinya, bahkan akupun tak kecewa ketika sudah 3 kali membuatnya orgasme tapi tak sekalipun kuraih.
Aku kembali merenung, kubiarkan tubuhku masih telanjang, hanya
berbalut handuk seperti saat mengantar tamu terakhirku pulang tadi,
kuhisap dalam dalam Marlboro putih (aku mulai merokok dikala sendiri
menyambut sang dewi malam).
—— xx —–
“Kamu bodoh, sendirian menunggu di rumah sementara suamimu bersenang
senang dengan wanita lain di hotel” kata suara diseberang telepon yang
aku tahu tetanggaku. Aku memang sering mendengar isu isu kalau suamiku
senang main perempuan, tapi tak pernah kuhiraukan, paling juga orang
yang iri melihat kebahagiaan kami, pikirku. Sejauh ini aku sangat
mempercayai akan kesetiaan suamiku, mengingat bagaimana berat
perjuangannya mendapatkanku dulu, tak kuragukan lagi kecintaannya
padaku. Segala macam isu miring kuanggap angin lalu selama aku tidak
memergoki atau ada bukti lain yang meyakinkan.
Segera kututup dengan kasar telepon itu, entah sudah berapa kali dia
mengatakan hal itu, tiga deringan tak kuangkat, kubiarkan saja
berdering. Deringan keempat aku sudah tak tahan mendengarnya, segera
kuangkat.
“Apa sih maumu?” teriakku kasar tanpa berpikir kalau kalau telepon itu dari orang lain.
“Hotel Simpang kamar 512″, dia langsung menutup telepon dengan kasar pula.
“Hotel Simpang kamar 512″, dia langsung menutup telepon dengan kasar pula.
Aku tercenung, rasa marah berubah menjadi penasaran setelah dia
memberi sedikit petunjuk, tapi segera kulupakan, tak mungkin suamiku
tercinta menghianatiku. Setengah jam aku melupakannya tapi tetap saja
rasa penasaran menggelayut di kepalaku, segera aku ganti baju dan kupacu
mobilku menuju tempat yang disebutkan tadi.
Ragu ragu kumasuki lobby hotel, sebagai wanita rumah tangga
sebenarnya agak segan juga aku ke hotel apalagi sendirian seperti ini,
tapi rasa penasaran lebih menguatkan niatku, kucari House Phone dan
kuhubungi nomer tersebut dan DEG, jantungku terasa berhenti berdetak
ketika kudengar suara suamiku, terdengar latar belakang suara perempuan
yang berisik, langsung kututup, aku tak tahu harus bagaimana, beberapa
saat aku berdiri mematung di pojok Lobby, tercenung dan bingung mau apa.
Tapi rasa penasaran membawaku menuju kamar itu, dengan gemetar
kutekan bel, posisiku sedikit menyamping supaya tidak terlihat dari
lubang intip di pintu, setelah 3 kali bel barulah pintu dibuka.
Darahku seakan berhenti mengalir, lututku seolah tak mampu menahan
beban tubuhku ketika kulihat wajah yang begitu kukenal dan wajah yang
begitu kucintai nongol dari balik pintu itu hanya berbalut handuk di
pinggangnya, langsung kudorong pintu itu dengan penuh emosi, suamiku
yang juga terkaget melihat kedatanganku tak mampu menahan doronganku dan
apa yang kulihat di kamar itu membuat pandanganku langsung berputar,
mataku berkunang kunang, darahku naik ke ujung kepala. Kulihat Elsa
sahabatku sedang duduk di sofa dalam keadaan telanjang, sementara wanita
lain diranjang berusaha menutupi tubuhnya dengan bantal, kami semua
terkaget, aku tak sanggup mengatakan apa apa dan langsung kutinggalkan
kamar celaka itu.
Berlari secepat setan, tak kuhiraukan pandangan orang ketika
melintasi Lobby sambil lari dan bercucuran air mata, segunung perasaan
menggumpal begitu sesak memenuhi dadaku, ingin marah, ingin menjerit,
ingin menangis, semua bercampur menjadi suatu muara air mata, aku
menangis tanpa isak, hanya air mata yang deras membasahi pipiku, air
mata kesedihan, air mata kekecewaan, air mata kemarahan, air mata
keputusasaan.
Hujan deras diiringi petir menyambar mengiringi tangisku, seperti itulah diriku, kutekan dalam gas Toyota Starlet hadiah perkawinan dulu, tanpa arah kususuri kelamnya jalanan Surabaya yang semakin kelam, tak kupedulikan air mata yang terus berderai mengalir di pipiku, tak kupedulikan teriakan sumpah serapah dan “pisuhan” orang dipinggir jalan yang tersiram air genangan dari mobil.
Hujan deras diiringi petir menyambar mengiringi tangisku, seperti itulah diriku, kutekan dalam gas Toyota Starlet hadiah perkawinan dulu, tanpa arah kususuri kelamnya jalanan Surabaya yang semakin kelam, tak kupedulikan air mata yang terus berderai mengalir di pipiku, tak kupedulikan teriakan sumpah serapah dan “pisuhan” orang dipinggir jalan yang tersiram air genangan dari mobil.
Mengapa suamiku tega melakukannya? .. Mengapa Elsa tega
menghianatiku? .. Mengapa aku begitu bodoh tak melihat kenyataan
kedekatan hubungan mereka selama ini? .. Mengapa.. Mengapa .. Mengapa ..
dan sejuta mengapa beruntun memenuhi kepalaku dan tak satupun bisa
kujawab. Apa yang kurang pada diriku? Aku mencoba introspeksi diri, tapi
tak kutemukan juga jawabannya.
Tuut.. tuut.. tuut, Bunyi telepon membuyarkan lamunanku.
“Gimana jawabannya, beri aku berita bagus” suara Om Lok dari seberang sana mendesakku.
Aku terdiam belum mengambil keputusan, Aku berpisah dengan suamiku karena dia tertangkap basah selingkuh bahkan dengan dua wanita sekaligus yang salah satunya sahabatku sendiri, kini aku harus melayani tamu untuk melakukan bertiga bahkan dengan istrinya sendiri, sungguh pelecehan terhadap cinta dan tatanan rumah tangga yang dulu aku agung-agungkan, sungguh tak bisa kumengerti, makin bingung memikirkan jalan hidup manusia.
“Gimana jawabannya, beri aku berita bagus” suara Om Lok dari seberang sana mendesakku.
Aku terdiam belum mengambil keputusan, Aku berpisah dengan suamiku karena dia tertangkap basah selingkuh bahkan dengan dua wanita sekaligus yang salah satunya sahabatku sendiri, kini aku harus melayani tamu untuk melakukan bertiga bahkan dengan istrinya sendiri, sungguh pelecehan terhadap cinta dan tatanan rumah tangga yang dulu aku agung-agungkan, sungguh tak bisa kumengerti, makin bingung memikirkan jalan hidup manusia.
Om Lok terus mendesakku dengan berbagai iming iming dan bujuk rayu, membuatku makin tak bisa berpikir jernih.
“Tapi jangan harap aku ikutan melayani wanita itu” akhirnya lagi lagi aku menyerah oleh bujukannya, sebagaimana dulu aku menyerah ajakannya untuk terjun ke dunia ini, dunia yang selama ini aku cibir dan aku pandang rendah.
“.. aku masih normal Om, masih bisa merasakan enaknya laki laki” lanjutku ketus mengingatkan, ketika tiba tiba teringat adegan di film dimana wanitanya saling menjilat dan mencium, ini membuatku muak.
“Gitu dong primadonaku, tak pernah mengecewakan tamu, oke aku akan hubungi mereka kamu siap siap saja, mungkin besok mereka datang” kata Om Lok mengakhiri pembicaraan.
“Tapi jangan harap aku ikutan melayani wanita itu” akhirnya lagi lagi aku menyerah oleh bujukannya, sebagaimana dulu aku menyerah ajakannya untuk terjun ke dunia ini, dunia yang selama ini aku cibir dan aku pandang rendah.
“.. aku masih normal Om, masih bisa merasakan enaknya laki laki” lanjutku ketus mengingatkan, ketika tiba tiba teringat adegan di film dimana wanitanya saling menjilat dan mencium, ini membuatku muak.
“Gitu dong primadonaku, tak pernah mengecewakan tamu, oke aku akan hubungi mereka kamu siap siap saja, mungkin besok mereka datang” kata Om Lok mengakhiri pembicaraan.
Hari Minggu biasanya justru sepi tamu, paling banyak 2 orang, itupun
bisaanya mereka dari luar kota yang kesepian, dibandingkan hari bisaa
rata rata 3-4 orang, mungkin karena hari itu banyak laki laki yang lebih
suka berkumpul dengan anak istrinya, sebagai suami yang baik, tidak
seperti hari kerja bisaa yang bisa mencuri waktu dengan alasan lembur
atau rapat atau SAL. Biasanya kumanfaatkan waktu Minggu pagi untuk
renang atau fitness di hotel, tak kupedulikan pandangan nakal dari tamu
yang melototiku, bahkan terkadang aku juga over acting meski tak norak
di depan mereka, toh ini bagian dari Marketing.
Aku mengenakan pakaian casual, celana jeans straight putih dengan
kaus you can see ketat orange, full press body, terlihat tubuhku yang
padat dan sexy. Kutunggu sepasang suami istri yang bakal menjadi tamuku,
jarum jam sudah menunjukkan pukul satu lewat, berarti mereka terlambat
dari janjinya. Sepanjang pagi aku masih belum bisa membayangkan akan
seperti apa kalau bermain bertiga, apalagi dengan suami istri. Sudah
beberapa disc aku putar untuk mencari referensi permainan bertiga dengan
dua wanita, sayangnya semua menunjukkan adanya factor lesbian diantara
wanitanya, mereka saling peluk, saling cium, dan saling jilat, aku tak
bisa dan tak akan mau melakukan itu.
Pukul setengah dua mereka baru tiba diantar Om Lok, sepeninggalnya kami sudah bertiga di kamarku.
Mereka pasangan matang usia, sepasang chinese, kutaksir Koh Anton suaminya tidak lebih 40 tahun sedangkan istrinya, Cindy, mungkin baru berumur 34-35 tahun. Pasangan yang ideal tampan dan cantik, entah apa yang salah pada mereka sehingga memerlukan kehadiranku di antara mereka. Harus kuakui Cindy tidak kalah cantik maupun sexy dari aku, apa yang kurang dari dia rasanya secara fisik tidak ada.
Mereka pasangan matang usia, sepasang chinese, kutaksir Koh Anton suaminya tidak lebih 40 tahun sedangkan istrinya, Cindy, mungkin baru berumur 34-35 tahun. Pasangan yang ideal tampan dan cantik, entah apa yang salah pada mereka sehingga memerlukan kehadiranku di antara mereka. Harus kuakui Cindy tidak kalah cantik maupun sexy dari aku, apa yang kurang dari dia rasanya secara fisik tidak ada.
“Hmm, cantik dan sexy, tak salah si Om memuji perimadonanya” komentar
Cindy ketika melihatku, suaminya hanya cengar cengir mendengar komentar
istrinya.
Agak canggung aku menemani mereka berdua, mau mendekati si Anton takut sang istri cemburu, mau mendekati si istri, nggak mungkin aku lakukan, jadi aku serba salah, tak tahu harus bagaimana dan harus darimana memulainya.
Mungkin mereka melihat kecanggunganku, Cindy mengambil inisiatif.
“Lily, masak duduknya berjauhan gitu, sini dong, duduk sini disebelahnya” Cindy mulai membuka peluang ketika aku masih duduk di kursi yang terpisah.
Aku duduk di sebelah Anton, yang kini dijepit aku dan istrinya. Anton menggeser posisi duduknya menghadapku dan membelakangi istrinya, dia menciumku, aku agak risih dicium laki laki didepan istrinya.
“Nggak usah ragu ragu Ly, anggap aja aku tak ada, perlakukan dia sebagaimana biasa, santai saja” kata Cindy sambil beranjak meninggalkan kami dan duduk di tepi ranjang.
Agak canggung aku menemani mereka berdua, mau mendekati si Anton takut sang istri cemburu, mau mendekati si istri, nggak mungkin aku lakukan, jadi aku serba salah, tak tahu harus bagaimana dan harus darimana memulainya.
Mungkin mereka melihat kecanggunganku, Cindy mengambil inisiatif.
“Lily, masak duduknya berjauhan gitu, sini dong, duduk sini disebelahnya” Cindy mulai membuka peluang ketika aku masih duduk di kursi yang terpisah.
Aku duduk di sebelah Anton, yang kini dijepit aku dan istrinya. Anton menggeser posisi duduknya menghadapku dan membelakangi istrinya, dia menciumku, aku agak risih dicium laki laki didepan istrinya.
“Nggak usah ragu ragu Ly, anggap aja aku tak ada, perlakukan dia sebagaimana biasa, santai saja” kata Cindy sambil beranjak meninggalkan kami dan duduk di tepi ranjang.
Meskipun mendapat lampu hijau dari istrinya aku masih canggung,
bahkan ketika dia mulai mencium bibirku, aku sesaat diam saja tanpa
membalas. Ketika Koh Anton mulai menjamah buah dadaku, mengusap dan
meremasnya, barulah aku mulai berani membalas ciuman bibirnya, perlahan
kami mulai saling melumat.
Koh Anton melanjutkan ciumannya di leherku, aku mendesah geli,
tanganku ragu ragu meraih selangkangannya yang mulai menegang, kugosok
dan kuremas remas hingga makin keras. Koh Anton melepas kaosku hingga
tampak bra hitamku yang transparan memperlihatkan putingku di baliknya.
Sejenak Koh Anton mengamati dadaku, lalu kembali menciumi bibirku,
leherku hingga dadaku, begitu bergairah kepalanya mengusap usap di dada,
bibirnya mempermainkan putingku dari balik bra. Birahiku perlahan mulai
naik, terlupakan sudah kehadiran istrinya yang sedang menonton kami,
kubuka resliting celananya dan mengeluarkan kejantanan dari sarangnya,
seperti chinesse pada umumnya, ukurannya kecil, Chinese terbesar masih
milik Koh Wi, tamu pertamaku dulu. Tali bra sudah merosot ke lenganku,
kukocok penis Koh Anton, dengan mudahnya dia membuka kaitan bra yang
memang di depan. Buah dadaku kini menggantung indah tepat di muka Koh
Anton.
“Wow, very very nice, padat berisi, aku jadi minder nih” komentar
Cindy yang langsung disambut suaminya dengan kuluman di putingku,
permainan lidahnya sungguh menghanyutkan. Ternyata ada sensasi
tersendiri ada orang ketiga di ruangan ini, apalagi orang ketiga itu
adalah istrinya, kecanggungan berubah menjadi sensasi erotika yang aneh.
Kuluman dan remasan Koh Anton melambungkanku ke nikmat birahi, kukocok
penisnya semakin cepat, cairan bening sudah membasahi batang
kejantanannya.
Tanpa kusadari aku sudah mulai mendesis nikmat, lidah dan bibirnya
berpindah dari satu puncak bukit yang ke lainnya, tanpa kusadari
ternyata Cindy sudah berlutut di antara kaki suaminya, tangannya berbagi
dengan tanganku meremas kejantanannya. Tanganku masih mengocok ketika
Cindy mulai menjilati penis suaminya, dua tangan dan satu lidah bergerak
di batang kejantanan Koh Anton, kuluman dan jilatan disertai remasannya
makin menjadi jadi di dadaku. Batang kejantanan Koh Anton sudah masuk
ke mulut istrinya tapi aku tak mau menghentikan kocokanku, tangan Cindy
berpindah mengelus kantong bolanya, sesekali Koh Anton mendesah di
antara buah dadaku, nikmat merasakan pelayanan dua wanita sekaligus di
penisnya.
Tanpa melepaskan kulumannya di putingku, tangan Koh Anton mulai
membuka celana jeans-ku dan istrinya membantu menarik turun hingga
tinggal celana dalam mini menempel di tubuhku, tapi tak berlangsung lama
ketika Cindy menarik turun hingga membuatku dalam keadaan telanjang
dihadapan suami istri ini. Tangan Koh Anton langsung mengelus paha
mulusku, dan menjelajah disekitar daerah kewanitaanku, Cindy mengikuti
dengan melepas pakaiannya.
Kulihat buah dadanya juga montok dan padat, mulus layaknya chinesse,
dia kemudian melepas celana suaminya, kembali mulutnya bermain dengan
kejantanan itu. Kubuka baju versace Koh Anton, kini dia telanjang sedang
mendapat keroyokan dari dua wanita cantik. Cindy dengan gairahnya
menjilati kejantanan suaminya hingga ke pangkal dan kantong bolanya,
ternyata dia mahir dalam permainan oral, entahlah apa aku bisa sehebat
dia.
Aku makin mendesis ketika jari tangan Koh Anton mulai keluar masuk liang vaginaku yang sudah basah, apalagi kuluman dan jialtannya masih tetap bergairah.
Aku makin mendesis ketika jari tangan Koh Anton mulai keluar masuk liang vaginaku yang sudah basah, apalagi kuluman dan jialtannya masih tetap bergairah.
Cindy dan suaminya berganti posisi, kini Koh Anton jongkok di depan
kami yang duduk berdampingan di sofa dengan kaki dan vagina terbuka
lebar menghadapnya, kepala Koh Anton langsung menuju selangkanganku
sedang tangannya mengocok vagina istrinya, dua wanita cantik dalam
kendalinya, aku dan Cindy mendesah bersamaan, terlalu nikmat jilatan Koh
Anton di vaginaku, kakiku sudah menjepit kepalanya, tak kupedulikan
apakah dia masih bisa mempermainkan istrinya atau tidak, lidahnya tetap
lincah menyusuri klitoris dan vaginaku. Aku sungguh kecewa ketika dia
kemudian berpaling ke istrinya, berganti dengan jarinya di vaginaku,
Cindy mendesah desah mendapat jilatan dari suaminya, tangannya meremas
tanganku erat, kemudian Koh Anton berganti lagi ke vaginaku, begitu
seterusnya, sepertinya dia sedang mempermainkan birahi kami.
Aku berharap Koh Anton segera memasukkan penisnya ke vaginaku, tapi
dia kemudian berdiri dan menyodorkan penisnya ke kami, dengan segera
Cindy menggapai penis suaminya dan langsung mengulumnya, lalu dia
menyodorkan ke mulutku, aku agak ragu mengulum penis itu, apalagi dari
mulut Cindy langsung tentu banyak ludahnya di batang penis suaminya.
Belum pernah aku merasakan ludah seorang wanita, kalo laki laki sih udah
kerjaannya, kupegang dan kukocok sejenak sambil memandang Cindy dan
suaminya bergantian. Aku sudah menikmati ciuman dan jilatan suaminya,
tentu dia tersinggung kalo aku menolak mengulum penis itu, sepertinya
tak ada pilihan lagi dan akhirnya penis Koh Anton mulai menyentuh
bibirku dan melesak terus memenuhi mulutku. Koh Anton memegang kepalaku
dan mengocokkan kejantanannya di mulutku, sama seperti dia melakukannya
pada istrinya, kemudian dia berpaling kembali ke istrinya dengan hal
yang sama dan berganti lagi ke mulutku, begitu secara ber-ulang ulang.
Koh Anton sudah kembali berlutut di depan kami, sepertinya dia sedang
memilih vagina yang mana duluan, aku berharap dia memilihku sebelum
istrinya, dan harapanku terkabul. Justru Cindy yang memberiku kesempatan
terlebih dahulu, dia memegang kejantanan suaminya lalu menuntunnya ke
vaginaku, bukan main begitu kompak kerjasama mereka, dia menyapukan
penis suaminya ke vaginaku, masih dalam genggaman istrinya, perlahan Koh
Anton mendorong masuk hingga melesak semua ke dalam. Aku mendesis
menikmati penis Koh Anton, Cindy hanya tersenyum melihat expresiku, dan
desahku makin keras ketika Koh Anton mulai mengocokku, makin lama makin
cepat. Cindy mendekati suaminya, mereka berciuman sambil tangan suaminya
meremas buah dadaku.
Melihat mereka berciuman gairahku ternyata makin naik, kugoyangkan
pinggulku mengimbangi gerakan Koh Anton, remasannya di buah dadaku makin
keras, kepala Cindy turun ke perut suaminya, diluar dugaanku dicabutnya
penis itu dari vaginaku dan langsung dimasukkan ke mulutnya, tanpa
risih Cindy mengulum penis suaminya yang masih bercampur cairan
vaginaku, aku kaget melihatnya, penis itu sudah keluar masuk mulutnya
lalu Cindy mengembalikan lagi ke vaginaku, aku terbengong melihat Cindy
bisa seperti itu, hampir pasti aku tak sanggup melakukannya, mengulum
penis yang baru keluar dari vaginaku, jangankan vagina orang lain, dari
vaginaku sendiripun aku jarang sekali mau. Berulang kali Cindy melakukan
hal itu, berulang kali juga aku takjub akan Cindy, tapi lama kelamaan
aku menikmatinya ketika Cindy melahap penis suaminya yang baru
dikeluarkan dari vaginaku, entahlah ada sensasi tersendiri ketika Cindy
menjilati cairan vaginaku yang ada di penis suaminya, tapi tetap aku
sepertinya tak akan mampu melakukan sebaliknya.
Kembali aku dikejutkan ketika tangan Cindy ikut ikutan menstimulasi
klitorisku saat suaminya mengocokku, agak risih aku menerimanya, belum
pernah vaginaku disentuh seorang wanita, apalagi dalam keadaan begini,
sedang dikocok enak, aku mau protes tapi ketika mulai kurasakan lebih
nikmat, maka kubiarkan tangan Cindy bermain di klitorisku.
“Auuwww..gila..yaa” desahku tanpa kusadari tiba tiba meluncur dari mulutku, mereka berdua tersenyum melihatku menggelinjang kenikmatan.
“Auuwww..gila..yaa” desahku tanpa kusadari tiba tiba meluncur dari mulutku, mereka berdua tersenyum melihatku menggelinjang kenikmatan.
Tangan Koh Anton meremas buah dadaku dan buah dada istrinya secara
bersamaan, mungkin dia hendak membandingkan. Cindy duduk di sebelahku,
sepertinya minta giliran, segera Koh Anton beralih ke Cindy, tanpa
membersihkan terlebih dahulu Koh Anton langsung memasukkan penisnya ke
vagina istrinya, Cindy langsung mendesah kenikmatan, dan semakin keras
desahannya ketika suaminya mengocoknya dengan cepat dan keras, kupeluk
Koh Anton dari belakang, tanganku mengelus kantong bolanya, kugesek
gesekkan tubuhku di punggungnya, seperti yang dilakukan istrinya tadi,
desahan Cindy makin keras, ternyata dia lebih berisik dariku.
Cindy memintaku untuk nungging di sampingnya, Koh Anton menciumi lagi
vagina dan lubang anusku, aku menjerit kaget dan nikmat, dia memasukkan
penisnya ke vaginaku kembali, agak risih aku menerima penis Koh Anton
langsung dari istrinya, tentunya cairan vagina kami bercampur, tapi
mengingat Cindy bahkan sudah merasakan cairan vaginaku di mulutnya, dan
penis itu sudah meluncur keluar masuk vaginaku, maka tak ada pilihan
lain kecuali menikmati kocokan Koh Anton yang makin menggairahkan. Cindy
mengikuti nungging di sebelahku, kembali Koh Anton menggilir vagina
kami, dari satu vagina ke vagina lainnya, entah apa dia bisa merasakan
perbedaan diantara vagina kami.
Desahanku saling bersautan dengan desahan Cindy, seperti opera, terkadang diselingi desis kenikmatan darinya, aku terpengaruh hingga ikutan mendesah keras atau lebih tepat menjerit.
Desahanku saling bersautan dengan desahan Cindy, seperti opera, terkadang diselingi desis kenikmatan darinya, aku terpengaruh hingga ikutan mendesah keras atau lebih tepat menjerit.
Lebih setengah jam Koh Anton merasakan nikmat tubuhku dan istrinya
secara simultan, hingga akhirnya sampailah kami di puncak kenikmatan,
pertama Cindy yang menjerit dalam orgasme, jeritannya sungguh bebas
lepas tanpa beban, kemudian suaminya beralih ke vaginaku, dia mengocokku
keras seolah berpacu menuju puncak, tubuhku menegang dan kurasakan
vaginaku berdenyut keras, aku orgasme, tanpa kusadari keluar teriakan
dari mulutku, teriakan orgasme, kuremas tangan Cindy merasakan nikmat
orgasme, tiba tiba kurasakan denyut hebat dan teriakan dari Koh Anton,
dia mengalami orgasme juga beberapa detik setelah aku, denyutan demi
denyutan kurasakan menghantam dinding dinding vaginaku, semprotan demi
semprotan sperma membasahi rahimku, begitu nikmat saat kami berdenyut
secara bersamaan, dipeluknya tubuhku dari belakang beberapa saat
lamanya..
Cindy mengeluarkan penis suaminya dariku, dikulum dan dijilatinya
seolah membersihkan penis itu dari sisa sisa sperma dan cairan vaginaku,
ada rasa jijik aku melihatnya, meski sudah lebih dua minggu bekerja aku
masih belum bisa menikmati aroma sperma. Mereka berciuman, akhirnya Koh
Anton lemas duduk di sofa di antara aku dan istrinya, kami bertiga
duduk telanjang dengan napas turun naik.
Seperti biasa sehabis bercinta, aku ke kamar mandi membersihkan
tubuhku, Cindy mengikutiku meninggalkan suaminya sendirian di sofa.
“Cik Cindy kok bisa menemani dan melihat suami bercinta dengan wanita lain, apa nggak cemburu” tanyaku ketika kami di kamar mandi.
“Mulanya sih cemburu, tapi dilarangpun aku yakin dia akan sembunyi sembunyi mencari wanita lain, ya lebih baik ikutin saja permainannya, bakan terkadang kami juga membayar laki laki untuk melakukan hal yang sama, jadi bisa sama sama enjoy” jelasnya tanpa ada perasaan menyesal.
“Apa dia nggak cemburu melihat Cik Cindy bercinta dengan laki laki lain” tanyaku bodoh.
“Nggak boleh cemburu, lha kita melakukan bersamaan kok, tidak boleh sendiri sendiri, tapi syaratnya harus dengan orang yang tidak kami kenal. Eh aku sebenarnya masih punya fantasi lain, yaitu main berempat, dua pasang, bila perlu tukar pasangan, tapi Koh Anton masih belum bisa terima tuh” dengan enteng dia menjelaskan, aku kaget, ternyata dunia sudah gila, benar benar pasangan edan, dulu aku cerai karena suamiku main perempuan, tapi sekarang malah mereka saling melegalkan selingkuh bersama. Dia banyak cerita tentang petualangan mereka tapi aku tak menanggapi, malah bikin aku pusing.
“Kalau kamu mau, ntar aku akan atur kita main berempat, laki laki lainnya aku yang cari, banyak kok langgananku yang mau, terus terang aku suka sama penampilanmu, cantik, sexy, mulus dan tidak norak seperti lainnya, entahlah rasanya aku tak cemburu kalau suamiku main sama kamu, kapan kapan kamu tidur di rumah saja, kita bisa tidur bertiga di tempatku”
“Entahlah Cik, ini baru pertama kali aku main bertiga, perlu waktu untuk menyesuaikan diri, maklum masih belajaran”
“Dengan penampilanmu yang seperti ini aku yakin akan banyak laki laki yang ngiler sama kamu”
Aku tak menjawab, kusiram tubuhku dengan air hangat menghilangkan keringat yang menempel di tubuhku, tanpa kusadari ternyata Koh Anton sudah berada di kamar mandi bersama istrinya memperhatikanku mandi, aku dikagetkan pelukan dari belakang yang kukira Cindy, ternyata Koh Anton sudah berada di belakangku, menyabuni punggung dan tubuhku, tangannya dengan bebasnya menjelajah ke bagian tubuhku yang lain dan berhenti di buah dadaku, Cindy hanya duduk di meja westafel melihat kami sambil menyalakan Marlboro putihnya, kulihat dia tersenyum melihat kelakuan suaminya terhadapku.
“Cik Cindy kok bisa menemani dan melihat suami bercinta dengan wanita lain, apa nggak cemburu” tanyaku ketika kami di kamar mandi.
“Mulanya sih cemburu, tapi dilarangpun aku yakin dia akan sembunyi sembunyi mencari wanita lain, ya lebih baik ikutin saja permainannya, bakan terkadang kami juga membayar laki laki untuk melakukan hal yang sama, jadi bisa sama sama enjoy” jelasnya tanpa ada perasaan menyesal.
“Apa dia nggak cemburu melihat Cik Cindy bercinta dengan laki laki lain” tanyaku bodoh.
“Nggak boleh cemburu, lha kita melakukan bersamaan kok, tidak boleh sendiri sendiri, tapi syaratnya harus dengan orang yang tidak kami kenal. Eh aku sebenarnya masih punya fantasi lain, yaitu main berempat, dua pasang, bila perlu tukar pasangan, tapi Koh Anton masih belum bisa terima tuh” dengan enteng dia menjelaskan, aku kaget, ternyata dunia sudah gila, benar benar pasangan edan, dulu aku cerai karena suamiku main perempuan, tapi sekarang malah mereka saling melegalkan selingkuh bersama. Dia banyak cerita tentang petualangan mereka tapi aku tak menanggapi, malah bikin aku pusing.
“Kalau kamu mau, ntar aku akan atur kita main berempat, laki laki lainnya aku yang cari, banyak kok langgananku yang mau, terus terang aku suka sama penampilanmu, cantik, sexy, mulus dan tidak norak seperti lainnya, entahlah rasanya aku tak cemburu kalau suamiku main sama kamu, kapan kapan kamu tidur di rumah saja, kita bisa tidur bertiga di tempatku”
“Entahlah Cik, ini baru pertama kali aku main bertiga, perlu waktu untuk menyesuaikan diri, maklum masih belajaran”
“Dengan penampilanmu yang seperti ini aku yakin akan banyak laki laki yang ngiler sama kamu”
Aku tak menjawab, kusiram tubuhku dengan air hangat menghilangkan keringat yang menempel di tubuhku, tanpa kusadari ternyata Koh Anton sudah berada di kamar mandi bersama istrinya memperhatikanku mandi, aku dikagetkan pelukan dari belakang yang kukira Cindy, ternyata Koh Anton sudah berada di belakangku, menyabuni punggung dan tubuhku, tangannya dengan bebasnya menjelajah ke bagian tubuhku yang lain dan berhenti di buah dadaku, Cindy hanya duduk di meja westafel melihat kami sambil menyalakan Marlboro putihnya, kulihat dia tersenyum melihat kelakuan suaminya terhadapku.
Air shower sudah kumatikan ketika tangan Koh Anton berada di
selangkanganku, mempermainkan klitorisku, aku mendesah nikmat. Kuangkat
kakiku ke bibir bathtub memberi jalan lebih bebas ke tangan Koh Anton,
sambil tangannya menjelajah di dada dan selangkanganku, bibirnya ikutan
menjelajahi leher dan telingaku yang belum kena sabun, tak mau kalah
akupun membalas dengan remasan dan kocokan di kejantanannya yang
perlahan mulai menegang. Busa sabun sungguh menambah erotis sentuhan
tubuh kami. Koh Anton memutar tubuhku, kami berhadapan lalu berpelukan,
peganganku pada kejantanannya tak kulepaskan, dia mencium bibirku dan
kubalas dengan gairah. Kembali kakiku kunaikkan ke bibir bathtub,
kuusapkan penisnya pada tubuhku, sebelum dia melakukannya lebih jauh
ternyata Cindy sudah menghampiri kami.
Ciuman Koh Anton berpindah ke bibir istrinya, aku masih tetap
mengusapkan penisnya di sekitar selangkangan dan klitorisku. Cindy
menyalakan air shower hingga membasahi tubuh kami bertiga, Koh Anton
memelukku dan Cindy memeluk suaminya dari belakang, bertiga kami
telanjang di bawah siraman air shower yang hangat sambil saling meraba
dan mencium. Koh Anton yang berada di antara kami harus sering
membalikkan badannya untuk secara bergantian memeluk dan mencium antara
aku dan istrinya.
Ketika Koh Anton kembali menghadapku, aku berlutut di depannya dan
mengulum kejantanannya yang sudah tegang, dia langsung mengocok mulutku,
istrinya memeluk dari belakang sambil memegangi kejantanannya yang
sedang keluar masuk mulutku. Cindy menggeser posisinya, duduk di tepi
bathtub di samping kami, bergantian Koh Anton memasukkan kejantanannya
ke mulut istrinya, bibir Cindy mengunci erat kejantanan suaminya yang
sedang keluar masuk, ku elus elus kantong bolanya saat dia mengocok
mulut istrinya.
Koh Anton menarikku berdiri dan memintaku berbalik membelakanginya,
kucondongkan tubuhku ke depan dan kunaikkan kaki kananku ke tepi
bathtub, setelah kejantanannya keluar dari mulut istrinya, dia
menyapukannya ke bibir vaginaku, dengan sekali dorong melesaklah
kejantanannya ke vaginaku dan langsung mengocok dengan cepatnya, dia
memegang pinggangku dan menarik dorong tubuhku berlawanana dengan
gerakan kejantaanannya sliding di vaginaku, makin lama dia memompa makin
cepat dan keras seperti piston mobil yang tancap gas. Aku mendesis
nikmat, kurasakan makin nikmat ketika Koh Anton mulai meremas remas buah
dadaku sambil mempermainkan putingku. Cindy hanya tersenyum melihatku
mendesis desis dalam kenikmatan mendapat kocokan suaminya, entah apa
yang ada di benaknya, aku tak tahu dan tak mau tahu, yang aku tahu aku
sedang mendapatkan kenikmatan dari suaminya dan aku harus memberikan
kenikmatan pada suaminya.
Cukup lama kami bercinta sambil berdiri, tiba tiba kurasakan Cindy
menutup tubuhku dan suaminya dengan handuk, dengan telaten dia menyeka
air bercampur keringat di tubuh suaminya, begitu juga dengan penuh
pengertian dia mengusapkan handuk di tubuhku yang sudah mulai kedinginan
bercampur peluh nafsu birahi.
Melihat perlakuan Cindy ini bertambah naik birahiku, bagaimana tidak,
aku sedang bercinta dengan suaminya ketika dia menyeka keringat kami
berdua, sungguh sensasi yang tak bisa digambarkan dan begitu
menggairahkan.
Tiba tiba Koh Anton menghentikan kocokannya dan mencabut penisnya dari vaginaku ketika aku sedang menuju ke puncak kenikmatan, aku menoleh ke belakang mau protes tapi dengan senyum dia mencium bibirku menghalangi expresi protes dariku.
Tiba tiba Koh Anton menghentikan kocokannya dan mencabut penisnya dari vaginaku ketika aku sedang menuju ke puncak kenikmatan, aku menoleh ke belakang mau protes tapi dengan senyum dia mencium bibirku menghalangi expresi protes dariku.
Koh Anton menggandeng kami berdua menuju ranjang, kami bertiga
langsung rebah di ranjang dengan Koh Anton di tengah, tanganku dan
tangan Cindy sudah berada di kejantanannya yang masih basah sisa dari
vaginaku. Aku dan Cindy menciumi bibir Koh Anton secara bergantian,
seperti dikomando kami bersama sama terus menyusuri tubuh Koh Anton
dengan lidah kami, terus turun hingga dada dan masing masing mengulum
putingnya, Koh Anton mendesis mendapat pelayanan kami berdua. Jilatan
kami berlanjut ke perut lalu berhenti di selangkangan, lidah kami sudah
berada di kejantanannya secara bergantian menyapu batang penis itu turun
naik.
Cindy memasukkan penis suaminya ke mulutnya dan mengocoknya, lidahku
menjilati sisa batang penis yang tidak tertampung di mulut istrinya, tak
kupedulikan lagi ludah Cindy yang menempel di batang itu, Koh Anton
mendesah sambil meremas rambut kami berdua, dia seperti sedang melayang
layang di awan kenikmatan, gantian aku mengulum penis suaminya dan dia
memainkan lidahnya di bawah.
Koh Anton menarikku ke atas memintaku berada di atas kepalanya
menghadap Cindy yang masih asik bermain dengan penis suaminya, pantatku
sudah tepat di atas mukanya dan vaginaku langsung mendapat jilatan penuh
gairah darinya, kurasakan geli dan nikmat dari permainan lidahnya di
klitoris dan bibir vaginaku.
Kucondongkan tubuhku hingga membuat posisi 69, aku dan Cindy berbagi
penis suaminya, kembali dua lidah bermain di penis Koh Anton, jilatan di
vaginaku kurasakan makin liar dan nikmat, kurebut penis Koh Anton dari
mulut istrinya dan langsung kumasukkan ke mulutku, Cindy hanya tersenyum
melihat “keserakahanku” pada suaminya, tak kupedulikan dia, langsung
kukulum dengan penuh gairah segairah jilatan Koh Anton di vaginaku,
makin lama makin nikmat dan menggairahkan, terutama permainan lidahnya
di klitoris, sungguh mengasyikkan. Tak kuberi giliran Cindy untuk
mengulum penis suaminya, untunglah dia cukup pengertian, berulang kali
dia memintanya tapi tak kuberikan kesempatan itu, dengan senyumnya dia
mengelus elus rambutku yang sedang turun naik mengocok penis suaminya.
Puas dengan permainan oral, Koh Anton memintaku telentang di
sampingnya, dia langsung menindih tubuhku, bibir dan lidahnya menyusuri
telinga, leher dan dadaku, lidahnya berhenti di puncak bukitku,
mempermainkan putingku dengan diselingi gigitan ringan membuatku
menggeliat ke-geli-an, kuremas rambut Koh Anton, dengan rakus dia
menyedot putingku, meremas buah dadaku, aku menggeliat dan menjerit
nikmat, Cindy dengan setia meremas dan mengocok penis suaminya, lalu
disapukan ke bibir vaginaku.
Kubuka kakiku lebar, kujepitkan di pinggang Koh Anton, bersiap
menerima penisnya di vaginaku, kurasakan penis Koh Anton yang mengeras
mulai menguak bibir liang kenikmatanku. Kami kembali berciuman, bibir
kami saling melumat ketika kurasakan penis itu makin dalam menyeruak
liang vaginaku, dengan sekali dorongan keras melesaklah seluruh
kejantanan itu menerobos celah celah nikmat liang vaginaku, aku menjerit
dan menggeliat kaget menerima sodokan keras itu. Aku melotot tapi Koh
Anton hanya tersenyum dan kembali melumat bibirku dengan penuh gairah
segairah kocokannya yang langsung cepat dan keras serasa menghantam
dinding dinding vaginaku.
Desah dan jerit kenikmatan tak tertahan keluar dari mulutku, semakin
cepat sodokannya semakin keras jeritan keluar dari mulutku, sungguh aku
sudah tidak bisa mengontrol emosi lagi, terlalu terlarut dalam
kenikmatan hingga lupa tugasku untuk memberikan kepuasan pada tamuku
ini. Kudekap erat tubuh Koh Anton, mungkin juga dia terluka terkena
kuku-ku, semakin aku menjerit semakin liar Koh Anton mengocokku. Aku
berusaha mengimbangi gerakan Koh Anton dengan menggerarakkan pantatku,
kami saling menggoyang, kurasakan penisnya mengaduk aduk liang vaginaku,
terasa semakin nikmat, semakin keras kugoyangkan pantatku, desahan kami
saling bergantian memenuhi ruangan.
Cindy yang dari tadi menonton suaminya bercinta denganku, mulai
ikutan aktif, kakiku di angkat dan dibuka lebar membentuk “V”, semakin
lebar vaginaku terbuka, semakin dalam penis Koh Anton tertanam di
vaginaku. Melihat “kesetiaan” Cindy pada suaminya, aku semakin
bergairah, kocokan Koh Anton membawaku melayang ke puncak kenikmatan
tertinggi, tubuhku menegang lalu aku menjerit histeris nikmat ketika
otot otot vaginaku berdenyut keras, tubuhku bergetar hebat, ternyata
kocokan Koh Anton tak berhenti sampai disitu, justru makin cepat keluar
masuk vaginaku yang sedang berdenyut, jeritanku makin tak karuan,
kenikmatanku makin membumbung tinggi, kucengkeram erat lengan Koh Anton
hingga denyutanku menghilang perlahan lalu tubuhku melemas. Cindy masih
memegangi kakiku, Koh Anton tanpa memberiku kesempatan istirahat
meneruskan sodokannya, kenikmatan berubah menjadi geli yang tak karuan,
napasku turun naik menggelora, baru saja kulalui puncak kenikmatan
dengan penuh gairah.
Koh Anton meminta aku di atas, dengan lutut yang masih lemas kunaiki
tubuhnya, kuatur posisiku di atas penisnya dan perlahan kuturunkan
tubuhku sambil melesakkan penisnya di vagina. Belum selesai aku
menurunkan tubuhku tiba tiba Koh Anton langsung menyodokku dari bawah
dengan kerasnya, aku teriak kaget atas kenakalannya, dia hanya tersenyum
dan langsung meremas kedua buah dadaku sambil mengocok dari bawah makin
keras, tak mau kalah maka kugerakkan pinggangku memutar hingga kami
saling mengocok. Ternyata hal ini tidak membuatku lebih baik, justru
semakin cepat membawaku menuju puncak kenikmatan, apalagi permainan
lidah Koh Anton di putingku ketika tubuhku membungkuk, sungguh kombinasi
erotis yang tak bisa kutahan, melambungkan birahiku makin tinggi.
Tak lebih dari sepuluh menit aku bergoyang pinggul di atas Koh Anton,
ternyata untuk kedua kalinya kurengkuh puncak kenikmatan, jeritanku
secara spontan keluar dari mulutku tanpa bisa kukontrol, terlalu nikmat
untuk ditahan. Tubuhku langsung ambruk di atas Koh Anton, tapi lagi lagi
dia tidak menghentikan kocokannya, penisnya tetap meluncur keluar masuk
vaginaku dengan lancar dan cepat, tanpa mempedulikan kondisiku yang
sudah lemas, kupikir dia ingin melampiaskan nafsunya secara habis
habisan padaku, aku bagaimanapun harus terima perlakuannya, karena
kesalahanku sendiri dan resiko yang harus kuhadapi kalau aku terlalu
banyak orgasme, suatu kesalahan yang patut dinikmati.
Tidak ada tempo bagiku untuk mengambil napas lebih jauh ketika Koh
Anton memintaku doggie style, kuturuti meski lututku masih makin lemas,
segera dia membenamkan penisnya dan menyodokku dengan keras, untuk
kesekian kalinya aku terkaget hingga kepalaku terdongak ke atas, Koh
Anton memegang rambutku dan menarik ke belakang, diluar dugaanku
perlakuan kasarnya justru membuatku makin bergairah. Kugoyangkan
pantatku mengimbanginya, perlahan tapi pasti birahiku kembali naik
menuju puncak kenikmatan.
Koh Anton meraih buah dadaku yang menggantung bebas, diremasnya
dengan gemas sambil tetap mengocokku, kemudian Koh Anton meraih tanganku
dan menariknya ke belakang hingga tubuhku bergantung pada kedua
lenganku yang ditahannya dari belakang, kurasakan sodokan penisnya
semakin dalam menembus liang vaginaku, aku mendesah desah liar,
“Ah..ah..ah..ya..ya.. ouuhh..yess”, teriakku setiap kali penis Koh Anton
menyodok keras, aku tidak bisa berbuat apa apa dengan posisi seperti
ini, selain mendesah dan mendesah.
Akibatnya sungguh hebat, begitu nikmat sekali penis Koh Anton mengisi
dan sliding di liang vaginaku, sehingga dengan cepat vaginaku berdenyut
pertanda orgasme, tak ada bisa kulakukan selain menjerit histeris,
kugoyang goyangkan kepalaku merasakan kenikmatan ini untuk yang kesekian
kalinya. Sebenarnya aku malu mengalami hal ini berulang kali, terutama
di depan Cindy, tapi apalah artinya malu pada dia dibandingkan
kenikmatan yang kurengkuh dan kurasakan. Aku langsung menggelepar di
atas ranjang, tubuhku sudah lemas habis.
Cindy yang dari tadi sudah bersiap di sampingku sepertinya tidak
dihiraukan suaminya yang sedang di puncak gairah bersamaku, tapi
sepertinya dia tidak marah, malah tersenyum melihat expresi wajahku yang
terbakar nikmatnya nafsu birahi, terutama saat aku menjerit orgasme,
Cindy hanya mempermainkan jarinya di klitorisnya sambil melihat aku dan
suaminya bercinta, sesekali mendesis sendiri, sungguh istri yang penuh
pengertian.
Terus terang aku kagum dengan stamina Koh Anton yang telah tiga kali membuatku orgasme secara berturut turut. Baru kusadari bahwa kehadiran Cindy, istrinya, membuat sensasi tersendiri dan membuatku jadi lebih cepat melayang ke puncak kenikmatan, ternyata bercinta bertiga jauh lebih menyenangkan dibandingkan berdua, apalagi dengan sepasang suami seperti ini.
Terus terang aku kagum dengan stamina Koh Anton yang telah tiga kali membuatku orgasme secara berturut turut. Baru kusadari bahwa kehadiran Cindy, istrinya, membuat sensasi tersendiri dan membuatku jadi lebih cepat melayang ke puncak kenikmatan, ternyata bercinta bertiga jauh lebih menyenangkan dibandingkan berdua, apalagi dengan sepasang suami seperti ini.
Koh Anton masih menyodokku dari belakang, aku hanya nungging dengan
kepala dan tubuhku di ranjang, hanya pantatku yang tersangga pada
lututku, kulihat Cindy telentang asik bermain di klitorisnya dan meremas
buah dadanya sendiri, aku berharap Koh Anton segera menyelesaikan
hasratnya karena aku sudah kecapekan, tapi harapan tinggal harapan, dia
dengan semangatnya mengocok vaginaku lebih keras seperti tak ada belas
kasihan. Meski berkali kali Cindy minta “jatah” tapi suaminya tak
menghiraukannya, Koh Anton malah menggoyangku dengan gerakan liar,
mengaduk aduk vaginaku, aku yang sudah lemas hanya mendesis desis.
Untunglah beberapa menit kemudian Koh Anton menghentikan gerakannya,
mencabut penisnya dan menghampiri istrinya. Bukannya memasukkan penis ke
vagina istrinya tapi malah menjepitkan diantara buah dada Cindy dan
mengocoknya, penis itu sliding diantara kedua bukit Cindy, persis
seperti yang aku sering lihat di VCD porno, tak lama kemudian dia
menyodorkan ke mulut Cindy. Kepala Cindy yang berada di bawah
selangkangan suaminya tak bisa banyak bergerak menerima kocokannya,
penis Koh Anton yang basah dari vaginaku dengan lancar dan cepat
meluncur keluar masuk mulut istrinya yang tetap bergairah menerimanya.
Dan tak lama kemudian Koh Anton menjerit orgasme, menyemprotkan
spermanya di mulut istrinya, entah berapa banyak sperma itu, tapi
kulihat beberapa bagian menetes keluar dari mulut Cindy. Kembali aku
dibuat kagum akan permainan Cindy, tanpa ada rasa risih dia menelan
sperma itu dan mengusap sisa sisa yang ada di bibirnya. Mungkin karena
sperma suaminya maka tak ada risih untuk melakukan itu, tapi aku tentu
saja akan menolak kalau harus keluar sperma di mulut seperti itu, tak
sanggup aku melakukannya, memegang sperma saja masih risih apalagi
mengulum dan menelan seperti itu, Cindy tersenyum ke arahku dan mencium
bibir suaminya.
Kami bertiga telentang dalam kenangan kenikmatan, diam membisu untuk beberapa saat lamanya.
Kami bertiga telentang dalam kenangan kenikmatan, diam membisu untuk beberapa saat lamanya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 sore ketika mereka berdua pulang,
kami masih sempat melakukannya lagi 2 babak permainan. Mereka berjanji
untuk sering melakukannya nanti, Cindy mengaku kalau dia senang dan puas
dengan penampilan dan permainanku, aku mengangguk senang kalau mereka
bisa puas dengan pelayananku. Malamnya saat menerima tamu berikutnya aku
lebih banyak membayangkan bercinta dengan Koh Anton dan Cindy,
akibatnya aku mengalami orgasme berkali kali dengan tamuku itu, meski
bercinta tak terlalu lama.
Terus terang aku sangat menikmati bercinta dengan Koh Anton apalagi
kalau dilihat sama istrinya, entah kapan aku bisa ketemu lagi dengan
mereka, aku hanya bisa berharap dan berharap. Harapan seorang wanita
penghibur yang berlimpah sex tapi haus akan kasih sayang.
==========================================================
Dari sekian banyak tamu yang sudah aku layani, baru kali ini aku
menerima yang benar benar sesuai seleraku, disamping orangnya ganteng
juga masih muda, mungkin 2-3 tahun lebih tua dari usiaku, atau bahkan
lebih muda. Menurut catatan harianku, dia adalah tamuku yang ke-58 pada
hari yang ke-19 aku bekerja, dan merupakan orang yang ke 24 yang aku
layani. Ternyata setelah sekian hari baru terpenuhi harapanku untuk
mendapatkan tamu yang sesuai keinginan dan selera.
Namanya Jimmy, karena chinesse kupanggil dia Koh Jim, entah apa
kerjaannya sehingga bisa membayarku, yang jelas hanya orang yang
kelebihan banyak uang yang mampu, bukan orang yang kelebihan uang pas
pasan karena taripku juga tidak murah.
Mulanya aku dingin dingin saja ketika Om Lok memberitahu akan tamuku,
karena seperti biasa dia tidak pernah memberitahu detail tentang tamuku
yang akan datang kecuali apa yang harus aku persiapkan sesuai
permintaan atau tamuku seorang pejabat yang perlu pelayanan khusus.
Begitu kubuka pintu kamarku menyambut kedatangannya, aku terkesima
takjub akan ketampanannya, mungkin karena terlalu sering melayani orang
yang usianya jauh diatasku, maka begitu melihat Jimmy aku langsung
tertegun, tak menyangka mendapatkan tamu yang seganteng dan semuda dia.
Dengan agak canggung kupersilahkan dia masuk, entah kenapa aku jadi
salah tingkah di depannya, seperti seorang gadis yang sedang jatuh
cinta, cinta ?? kata kata itu sudah jauh kutanam di dasar batinku yang
membatu, tapi apa namanya ini entahlah.
Dia adalah tamuku yang ke 3 hari itu, setelah menemani 2 tamu Chinese
seusia papaku yang Cuma besar nafsu saja dibandingkan tenaganya, aku
sama sekali tidak mendapatkan kenikmatan apalagi kepuasan, aku berharap
Koh Jimmy mempunyai stamina tenaga muda yang bisa memenuhi hasratku.
Sore itu dia mengenakan kaos dan celana jeans, postur tubuhnya cukup
atletis, tentu saja dibandingkan tamuku lainnya, menyesal aku mengenakan
pakaian yang menurutku kurang sexy, kukenakan celana jeans putih dan
kaos yang cukup longgar sehingga tidak bisa mempertunjukkan lekuk
tubuhku.
Seperti biasa kami ngobrol di sofa untuk mencairkan suasana, Koh
Jimmy orangnya enak untuk diajak bicara, sopan dan tidak kasar, aku
makin suka akan penampilannya. Aku sudah bertekad untuk memberikan
servis all out semampu yang kubisa berikan, aku ingin membuatnya benar
benar puas akan pelayananku.
“minum dulu Koh, biar kuat” gurauku
“jangan panggil Koh, toh kita sama usia, paling tak lebih dari tiga tahun, panggil saja Jimmy, biar nggak kaku” pintanya
Entah siapa yang memulai akhirnya kami berpelukan, mulanya dia
mencium pipiku, kemudian bibirku dilumatnya, hatiku berdegup kencang
ketika dia memainkan bibirku dengan bibirnya, lidah kami saling menyapa.
Tangan Jimmy mengelus punggungku, kemudian menyusup di balik kaosku,
gosokan tangannya di punggungku terasa hangat dan lembut, kubalas dengan
usapan tanganku di selangkangannya, kurasakan ketegangan di balik
celananya. Tangan Jimmy bergerak ke depan, mengelus buah dadaku yang
masih terbungkus bra, belum ada remasan yang dilakukannya di buah
dadaku, dengan gemetar kumulai meremas remas selangkangannya, semakin
tegang dan keras, napasku sudah mulai turun naik merasakan gejolak
birahi.
“pakaiannya dilepas ya, ntar kusut” usulku, sebelum aku bertindak
lebih jauh dia sudah mengangkat kaosku dan melepasnya, tampaklah buah
dadaku yang tertutup bra, menantang dengan mulusnya, aku bangga ketika
dia memandangi dengan sorot mata kagum. Kulepas kaosnya, benar dugaanku,
dadanya yang bidang dan atletis, tidak gendut seperti tamuku yang lain,
aku makin bergairah melihatnya.
Kuciumi dada dan kupermainkan putingnya dengan lidahku, dia mulai
mendesis nikmat sambil mulai meremas remas buah dadaku, aku jadi lebih
bergairah, bibir dan lidahku turun menyusuri perutnya sambil tanganku
membuka celananya, kutarik turun jeansnya dan kukeluarkan kejantanannya
dari balik celana dalam. Lumayan, besarnya rata rata chinesse pada
umumnya, mungkin panjangnya 15 cm, tapi kerasnya minta ampun seperti
besi, kupegang dan kuremas sambil mengamati wajah ganteng Jimmy yang
lagi mendesis kenikmatan, makin menggemaskan.
Remasanku tak kulanjutkan, aku berdiri di depannya, kulepas celanaku,
tinggal sepasang bikini ungu yang menutupi tubuhku, ditariknya tubuhku
dalam dekapannya, dan kembali dilumatnya bibirku sambil meremas remas
gemas kedua buah dadaku, aku membalas dengan mengocok kejantanannya yang
keras membatu, bibir Jimmy lalu menyusuri leherku, aku mendesis,
wajahnya dibenamkan di antara kedua bukit di dadaku, tanpa melepas bra,
putingku dikeluarkan dari penutupnya dan langsung mendapat kuluman penuh
gairah, tubuhku langsung menggeliat menerima kulumannya, tanpa kusadari
tangan kiriku mempermainkan klitorisku sendiri sambil tetap mengocok
kejantanannya dengan tangan kanan, kurasakan vaginaku sudah mulai basah
menerima cumbuannya, aku benar benar sudah terbakar nafsu birahi.
Tiba tiba Jimmy menghentikan cumbuannya, aku kecewa, dia lalu
menuntunku menuju ranjang, setelah menelanjangi tubuhku direbahkannya di
atas ranjang, celana dalamnya dilepas sendiri lalu menyusulku ke
ranjang. Aku sudah siap menerima cumbuannya, kurasakan desah napasnya
menerpa wajahku sebelum bibirnya kembali mendarat di puncak bukitku,
cukup lama dia menikmati putingku secara bergantian tanpa melepaskan
remasannya. Tubuhnya kemudian menindihku, kami berciuman dengan penuh
gairah, tak mau menunggu terlalu lama, kusapukan kejantanannya di bibir
vaginaku, dengan perlahan dia mendorongnya masuk, begitu keras kurasakan
menggesek dinding vaginaku yang sudah basah, aku mulai mendesis nikmat,
kurasakan begitu lama Jimmy melesakkan kejantanannya hingga akhirnya
benar benar semua batang kejantanan itu tertanam di dalam. Dia
mendiamkan sesaat sambil mengamati expresi wajahku, kubalas
pandangannya, sama sama terbakar birahi, dengan senyum yang menawan
ditariknya perlahan dan didorongnya lagi, sungguh pelan dia
melakukannya, sepertinya dia begitu menikmati jepitan dan gesekan di
vaginaku, diperlakukannya aku dengan penuh perasaan, membuatku makin
terhanyut dalam irama permainannya. Pelan, nikmat dan penuh perasaan,
sungguh kurasakan baru kali ini aku diperlakukan sebagaimana layaknya
wanita, justru makin membuatku melambung tinggi lebih cepat, kocokan
Jimmy yang pelan dan lembut terasa makin nikmat seiring dengan ciuman
mesra di leher dan bibirku, aku menggeliat dalam kenikmatan yang indah,
kulumat bibirnya yang ada di mulutku, kuremas rambutnya, dipeluknya
tubuhku, kami menyatu dalam irama nafsu birahi, cukup lama kami saling
mencium dan melumat. Berulang kali kami saling memandang dan berulang
kali pula kucium pipinya dengan gemas. Pandangannya sungguh membuatku
makin terhanyut dalam nikmat birahi, tak terasa hanya beberapa menit dia
mengocokku ternyata aku sudah mencapai orgasme, ya orgasme tercepat
selama ini. Aku menahan desahan orgasmeku, malu untuk mengungkapkan
dengan expresi, kugigit bibirku, kuremas lengannya seiring dengan
denyutan nikmat di vaginaku, tubuhku mengejang lalu perlahan lemas tanpa
bisa berbuat lebih banyak. Jimmy tahu aku sudah orgasme lalu mendekapku
dan mencium keningku, oh betapa mesranya, tak pernah aku diperlakukan
begitu mesra penuh perasaan oleh laki laki yang menikmati tubuhku,
kubalas dekapannya dengan pelukan lalu kami kembali berciuman bibir.
Setelah napasku berangsur normal dia minta ganti posisi.
Tanpa melepaskan penisnya, kami bergulingan di ranjang, kini aku di
atas masih tetap berpelukan dan berciuman mesra. Aku duduk di atasnya,
perlahan kugoyang pinggulku, Jimmy memandangiku dengan mesra sambil
mengelus elus dan meremas ringan buah dadaku, disibakkannya rambutku
yang tergerai di mukaku saat aku bergoyang dan menggeliat nikmat.
Tubuhku turun naik sambil sedikit memutar mengocok penisnya, Jimmy mulai
ikutan mendesis, desahan demi desahan bersautan antara kami berdua.
Kutekankan pantatku ke tubuhnya untuk menanamkan lebih dalam penis itu
di vaginaku, lalu kuputar pinggangku, kupermainkan puting di dadanya
dengan jari tanganku, Jimmy mendesah keras menikmati permainanku,
remasan di buah dadaku makin kencang, aku makin bergairah menggoyangnya,
terlalu bergairah hingga dengan segera mencapai puncak kenikmatan
sexual kedua kaliny sepuluh menit kemudian, jeritan kenikmatan keluar
dari mulutku tanpa aku sadari, otot otot vaginaku berdenyut keras,
meremas dan menjepit penisnya, Jimmy menatapku seolah menikmati expresi
wajahku yang dilanda orgasme. Tak kupedulikan tatapannya, meski malu
tapi orgasmenya terlalu nikmat untuk di tahan, Jimmy hanya tersenyum
melihat ekspresiku sambil tetap meremas buah dadaku.
Tubuhku langsung lemas dan roboh di atas tubuh Jimmy, dia memeluk dan
mengelus punggungku, napasku turun naik tak karuan, kemudian Jimmy
memulai gerakannya mengocokku dari bawah, rasa geli dan nikmat kembali
menyelimuti tubuhku, makin lama makin cepat, aku mendesah desah di dekat
telinganya, Jimmy mendekapku makin erat, tubuh kami menyatu saling
merasakan getaran birahi yang makin tinggi. Tiba tiba Jimmy menghentikan
gerakannya, begitu juga aku diminta untuk diam sesaat, kurasakan
denyutan lemah dari kejantanannya, dua detik kemudian dia mulai
mengocokku lagi, diremasnya pantatku, rupanya dia menahan orgasmenya
dengan menghentikan gerakan kami, dan berhasil. Oh betapa nikmatnya
kocokan Jimmy di vaginaku, sepertinya lain dari yang lain, membuatku
kembali melambung tak lama kemudian.
Sebelum terhanyut lebih lama lagi, Jimmy minta ganti posisi dari
belakang, doggie style, dengan senang hati kuturuti permintaannya,
kembali Jimmy dengan penuh perasaan memasukkan penisnya ke vaginaku
secara perlahan sambil menggosok punggungku, begitu pelan hingga bisa
kurasakan gesekan di dinding vaginaku, aku menikmati setiap millimeter
masuknya penis itu di vaginaku hingga semuanya melesak sempurna di
dalam. Dengan mesranya dia mengocokku perlahan dari belakang, yang
kurasakan hanyalah nikmat dan nikmat, kuimbangi gerakannya dengan
goyangan pelan pinggulku, kudengar desisan nikmat keluar dari mulut
Jimmy, makin bergairah aku menggoyangkan pinggulku, kenikmatan bagi
Jimmy adalah kenikmatan juga bagiku. Kocokan Jimmy makin cepat seirama
dengan goyangan pinggulku, kami saling mengocok dengan penuh gairah.
Elusan Jimmy di punggung sudah bergeser ke depan, mengelus dan meremas
buah dadaku yang menggantung dan bergoyang dengan bebasnya. Tiba tiba
Jimmy menyodokku dengan 2-3 kali sodokan keras, terasa penisnya
menghantam dinding rahimku.
“aaaauuuwwww…nakaaaaal…oooouuuughh” teriakku kaget, meski kurasakan
nikmat aku pura pura marah, kutoleh kebelakang menatapnya dengan sorot
mata marah, tapi dia hanya tersenyum dan kembali menyodok dengan keras.
“ooouughh…eeegh…eeegh…ooogh…ooogh” desahku setiap kali sodokan
kerasnya menghantam vaginaku, kombinasi remasannya membikin aku makin
melambung dan benar saja tak lama kemudian kugapai orgasme yang ketiga
kalinya dengan Jimmy, padahal dia belum orgasme sekalipun, sebenarnya
aku agak malu dengan hal ini, tapi sungguh tak bisa kucegah nikmatnya
kocokan Jimmy, untuk kesekian kalinya aku menjerit nikmat hingga tubuhku
terkulai tengkurap di ranjang.
Jimmy mencabut penisnya, membelaiku mesra, melihat expresi kelelahan di wajahku dia tersenyum.
“kalau begini siapa memuaskan siapa, jadi siapa yang harus bayar”
katanya bergurau sambil tersenyum, aku tak menjawab hanya tersenyum
meski dalam hati membenarkan ucapannya, bahkan tak dibayarpun aku mau
melakukannya lagi.
“oke istirahat dulu, nanti kita lanjutin lagi yang lebih asik” lanjutnya sambil menyalakan Marlboro-nya
“kamu memang luar biasa Jim, pasti habis minum obat kuat deh, KO aku, habis enak sih” candaku sambil mengatur napas.
Akhirnya kami berdua masih dalam keadaan telanjang duduk di sofa,
sofa yang entah sudah berapa kali kupakai bercinta entah dengan siapa
saja aku sudah tak bisa mengingatnya. Sambil ngobrol dan bercanda,
selalu kupegangi kejantanan Jimmy yang masih keras tegang. Setelah
beberapa lama aku mulai memberikan rangsangan padanya, mulanya kami
berciuman lalu kujilati puting dadanya, dia mendesis, jilatanku segera
berpindah ke penisnya, kujilati dan kukulum dengan penuh gairah, gairah
yang sesungguhnya bukan dibuat buat seperti biasanya. Tak lama setelah
memberikan kuluman pada penisnya, aku mengatur posisi untuk duduk di
pangkuannya, perlahan kuturunkan tubuhku dan melesaklah penis Jimmy ke
vaginaku, aku diam sesaat menikmati kenyamanan penisnya di vaginaku,
Jimmy menyambut dengan kuluman dan remasan di buah dada membuatku
menggeliat dan mulai bergoyang pinggul, penis Jimmy serasa mengaduk aduk
vaginaku, kupeluk dia dengan erat, aku mendesah di dekat telinganya,
Dia ikutan mengocokku dari bawah membuatku semakin bergairah, kudekap
dia makin erat, wajahnya terbenam diantara kedua buah dadaku, entah dia
bisa bernapas atau tidak. Kami saling menggoyang dan mengocok dengan
gairahnya, desahan demi desahan saling bersautan, saling melumat bibir,
sungguh permainan sex yang paling indah yang aku alami.
Beruntunglah aku hari ini mendapatkan Jimmy, kami berganti posisi,
aku duduk dan Jimmy didepanku berlutut, saling berhadapan. Dengan posisi
seperti ini aku lebih puas menatap wajah gantengnya saat dilanda
kenikmatan, saling tatap dan saling cium disela sela bercinta, kakiku ku
naikkan di pundaknya, penisnya lebih dalam masuk ke vaginaku, aku makin
suka dengan irama kocokannya yang bervariasi antara pelan mesra dan
cepat nakal, mata kami saling bertaut ketika dia menyodokku keras,
seolah saling mengukur seberapa nikmat yang dirasakan, bagiku kenikmatan
ini sungguh berlebihan dan tak lama kemudian untuk kesekian kalinya aku
mendapatkan orgasme dari Jimmy, kembali aku menjerit nikmat sambil
meremas lengannya, kali ini Jimmy tidak menghentikan gerakannya tapi
justru mempercepat kocokannya, aku makin menjerit nikmat, cengkeramanku
dilengannya makin kuat.
Tiba tiba tanpa mempedulikan aku yang sedang dilanda kenikmatan yang
hebat, Jimmy menarik keluar penisnya dan langsung berdiri di depanku
mengocok sendiri penisnya dengan tangannya, aku tak tahu apa maksudnya,
sebelum aku sempat tersadar, menyemprotlah sperma dari penisnya,
mengenai dada, muka dan rambutku, begitu banyak semprotan sperma itu
hingga kurasakan wajahku basah karenanya. Aku tak tahu harus berbuat
apa, dan kembali sebelum aku tersadar harus berbuat apa Jimmy sudah
mengusap usapkan penisnya yang basah ke wajahku. Aneh, tak ada rasa
jijik merasakan sperma di wajahku, biasanya memegang sperma saja masih
ragu dan kini sperma sudah belepotan di wajahku, sambil tersenyum
kupegang penis itu dan kuusapkan ke dadaku. Sebenarnya aku kecewa
karena tidak bisa merasakan nikmatnya orgasme Jimmy di vaginaku, tapi
tetap berusaha tersenyum meski ada rasa jengkel bercampur marah, aku
merasa terhina, tapi dengan senyumnya yang menawan lagi lagi meruntuhkan
pertahananku, bahkan ketika dia memintaku mengulumnya setelah itu,
akupun seperti orang yang linglung yang hanya menurut saja, kujilat dan
kukulum penis Jimmy yang basah kena sperma, inilah pertama kali aku
merasakan sperma di mulutku, ternyata rasanya lumayan, gurih. Kembali
Jimmy mengocokkan penisnya yang mulai lemas ke mulutku. Mengingat
kenikmatan yang telah aku dapatkan darinya, kupikir tidak ada salahnya
kalau aku memberikan pelayanan hingga batas kemampuanku ini, dari
keterpaksaan lama lama aku menyukai aroma dan rasa sperma dari Jimmy.
Kulihat senyum puas di wajahnya, aku ikut senang melihat kepuasannya,
meski agak kecewa karena belum merasakan denyut orgasmenya di vaginaku.
Setelah kami beristirahat di sofa, kutinggalkan Jimmy sendirian, aku
kekamar mandi membersihkan sisa spermanya dari tubuh, wajah dan
rambutku, ketika aku keluar kamar mandi, kulihat dia sudah berpakaian
bersiap untuk pulang, tentu saja ini membuatku kecewa berat, aku masih
ingin merasakan kenikmatan lagi darinya, masih kurang apa yang
kudapatkan barusan, aku harus mendapatkannya lagi darinya, tapi
bagaimana caranya untuk menahan kepergiannya lebih lama ? aku belum
tahu, aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kenikmatan darinya
lagi.
“mau kemana Jim ?, kok buru buru sih” tanyaku dengan nada manja
“pulang dong, emang boleh nginap ?” candanya
“kan bukan berarti harus nginap, lagian masih sore” kataku sambil menggelayutkan tanganku di lehernya dan mencium bibirnya.
Dia balas memelukku yang masih telanjang, kuremas kejantanannya,
kubuka kembali celananya dan kulorotkan turun, sebelum dia protes aku
langsung berlutut didepannya, meski aku yakin dia belum recovery
sepenuhnya tapi kupaksakan juga, kujilati kepala penisnya terus turun ke
batang dan kantong bola lalu naik lagi ke kepala penisnya terus
kukulum, masih terasa sisa sisa sperma yang menempel karena tidak
dicuci, tapi tak kupedulikan.
Jimmy mulai mendesis, penisnya yang lemas perlahan mulai mengeras
meski tidak sekeras tadi, dengan sabar aku berusaha membangkitkan
kembali birahi-nya, Jimmy memegang kepalaku dan mengocoknya, kuelus elus
kantong bolanya sambil tetap membiarkan penisnya keluar masuk mulutku.
Jimmy menarikku berdiri, tubuhku dibalikkan hingga aku membelakanginya,
dipeluknya aku dari belakang sambil meremas remas buah dadaku, tengkuk
dan telingaku diciuminya, aku merinding dan menggeliat sambil meremas
penisnya. Kubungkukkan tubuhku berpegang pada pinggiran meja, tanpa
menunggu lebih lama kusapukan penisnya kembali di vaginaku, kudorong
tubuhku ke belakang hingga melesaklah penis itu memasuki liang vaginaku,
Jimmy tetap diam tidak menggerakkan tubuhnya, hanya mengelus
punggungku, maka kuambil inisiatif dengan menggoyangkan pantatku dan
menggerakkannya maju mundur. Diluar dugaanku, ketika pantatku bergerak
mundur dia menghentakkan tubuhnya ke arah tubuhku, aku kaget dan
menjerit karena penisnya begitu dalam terasa mengenai rahimku, lalu dia
langsung mengocok atau lebih tepatnya menghentakkan ke tubuhku, vaginaku
terasa seperti di sodok benda keras, kurasakan lebih dari nikmat
penisnya memenuhi dan keluar masuk liang vaginaku, aku makin menjerit
dalam kenikmatan yang hebat.
Ini bukan pertama kali aku bercinta sambil berdiri seperti ini, tapi
dengan Jimmy semuanya terasa lain, baik irama kocokannya maupun
kenikmatannya. Kubiarkan hentakan demi hentakan menghantam rahimku,
sambil mendesah sesekali kuberikan goyangan perlawanan, tubuhku sudah
telungkup di atas meja, tanpa mempedulikanku lagi dia tetap menyodokku,
malah makin keras.
Jimmy menarik tanganku kebelakang, kini posisiku menggantung tertahan
lengannya, kocokan Jimmy makin menghebat, aku tidak bisa berbuat apa
apa dengan posisi ini, hanya mendesah dan mendesah. Kemudian pegangannya
beralih ke buah dadaku, kocokannya tetap keras dan cepat, penisnya
makin dalam mengisi vaginaku. Kunikmati kocokannya, kemudian dia
membalikkan tubuhku, kini kami berdiri berhadapan, diangkatnya kaki
kananku dan ditahan dengan lengannya, tubuhku disandarkan di dinding,
kuatur penisnya di vaginaku, dengan sekali dorongan keras kembali
penisnya melesak dalam di celah vaginaku. Dengan punggung tertahan
dinding, terasa kocokannya makin keras menghantam dinding dinding
vaginaku, desah dan jeritanku makin berisik, Jimmy dengan dinginnya
menatapku yang lagi mendesah.
“yaaa…I love it…trusssssss…egh…eh…eh” desahku setiap kali kurasakan
rahimku tersentuh penisnya. Tak bisa menahan lebih lama kenikmatan ini,
akhirnya akupun mencapai puncak kenikmatan, jeritan kenikmatan terlepas
begitu saja dari mulutku.
Lututuku langsung lemas tapi Jimmy tetap saja mengocokku, aku sudah
tak bisa berdiri lebih lama lagi, kudorong tubuh Jimmy menjauh hingga
terlepas penisnya dari vaginaku, dia tidak marah tapi memintaku berlutut
di depannya, kuturuti kemauannya ketika dia kembali memintaku mengulum
penis itu, kurasakan cairan vaginaku yang ada di batang kejantanannya
dan dia kembali mengocok mulutku, tak lama kemudian kurasakan penis itu
mulai menegang pertanda segera orgasme, aku berusaha mengeluarkannya
dari mulutku tapi tangan Jimmy menahannya, aku tak bisa mengeluarkan
penisnya dari mulutku, dan menyemprotlah sperma Jimmy di mulutku,
rasanya mau muntah ketika cairan sperma itu memasuki rongga mulutku,
terasa aneh, semprotan itu cukup kencang hingga beberapa bagian langsung
meluncur masuk ke tenggorokanku tanpa bisa kutahan. Jimmy masih tetap
menahan kepalaku, dengan bebasnya penisnya menyemprotkan sperma
membasahi mulutku, aku berusaha mengeluarkan spermanya dari celah celah
mulutku, beberapa berhasil tapi beberapa tak dapat kuhindari tertelan
masuk.
Setelah puas “memperhina”-ku, Jimmy melepaskan tangannya dari
kepalaku, aku segera meludahkan sisa sperma yang ada di mulutku ke
karpet lantai, kuusap sisa sperma yang ada di bibirku, kutatap dia
dengan pandangan protes tapi disambutnya dengan senyum kepuasan.
Aku marah tertahan, segera aku berdiri dan kucium bibirnya, supaya
dia juga ikutan merasakan spermanya, tapi dia memalingkan muka
menghindari ciumanku, didorongnya tubuhku menjauh dan dia berkelit
langsung memelukku dari belakang, dengan begini aku tak bisa lagi
menciumnya. Akhirnya kami berdua tertawa bahagia, sudah kulupakan
bagaimana dia “menghina” ku tadi.
Kami sempat sekali lagi bercinta di kamar mandi, tapi lagi lagi dia
mengeluarkan spermanya di luar vaginaku, terakhir kali dia keluarkan di
pantatku ketika posisi doggie style. Hingga dia pulang aku tidak
mendapatkan orgasmenya di vaginaku, tapi aku tetap puas, entah sudah
berapa kali aku mengalami orgasme, sungguh tipe tamu yang paling aku
idamkan.
Setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi baik ketika aku masih di
Hotel maupun setelah freelance, tapi dengan dia pertama kali aku
merasakan sperma dan menelannya. Sejak saat itu aku berani menelan
sperma tamuku, baik dia yang minta maupun aku yang minta, tapi sangat
selektif tergantung tipe tamu yang aku suka, tentu saja dengan imbalan
tip yang lumayan gede untuk servis yang satu ini.
=====================================================
Aku diberitahu Om Lok untuk segera bersiap karena seorang pejabat
akan datang, seperti bisa kalau pejabat baik itu sipil maupun militer,
bisaanya beliau datang saat jam istirahat, biasa Sex After Lunch or Sex
During Lunch.
Saat itu aku tak tahu dari mana seorang Jendral atau pejabat punya
duit berlebih untuk membayarku, tak terlintas dalam benakku kalau
sebenarnya mereka tidak membayar dari kantungnya sendiri, tapi atas
service dari orang lain, kolega, konco KKN, rekanan bisnis atau lainnya.
Baru belakangan setelah aku freelance aku tahu semua permainan para
pejabat dan pengusaha, terlalu busuk untuk diikuti, tapi toh sedikit
banyak aku ikutan menikmati manisnya era Orde Baru.
Tepat pukul 12 siang muncullah sang pejabat, dia diantar Om Lok,
seorang Chinese lainnya dan Pak Sam, mereka bertiga berada di kamarku,
setelah menemani sebentar kemudian Om Lok dan Chinese satunya
meninggalkan kamar.
Meskipun aku tidak dikenalkan siapa beliau, tapi aku langsung tahu
karena sebagai pejabat militer di Jatim dia sering muncul di Koran atau
TV. Aku tahu namanya Pak Im, beliau lebih memilih berkarir di Sipil,
sekarang masih menjabat sebagai pejabat tinggi di Jatim.
“oh ini toh primadona si Lok” begitu komentar Pak Im ketika melihatku
yang waktu itu mengenakan gaun hijau berbelahan dada rendah sehingga
tampak tonjolan bukit dadaku.
Aku menawari minuman pada mereka berdua, tentu mereka bisa menikmati
tonjolan buah dadaku ketika aku membungkuk menyajikan minuman di meja.
Pak Im memintaku duduk di sampingnya setelah aku memberikan minuman, Pak Sam hanya memandangku dengan penuh arti.
“jangan bilang bapak kalau kita udah pernah, pura pura saja kita
belum pernah kenal” kata Pak Sam pelan ketika Pak Im sedang ke kamar
mandi, padahal Pak Sam sudah lebih dari tiga kali menikmati manisnya
tubuhku, sehingga aku cukup akrab mengenalnya.
“sekali kali komandan merasakan sisa anak buahnya” lanjut Pak Sam
dengan senyum nakal, ada perasaan sakit hati ketika Pak Sam menyatakan
“sisa”, sepertinya aku ini sesuatu yang habis dipakai lalu dibuang, tapi
aku hanya tersenyum penuh pengertian.
Pak Sam segera pamit ketika Pak Im kembali duduk di sampingku.
“Pak aku tinggal dulu, kalau ada perlu saya ada di lobby dengan si
Lok, jangan lupa Pak nanti kita ada rapat jam 2″ Pak Sam mengingatkan
seraya pamit meninggalkan kamarku.
Kini aku berdua dengan Pak Im, seorang komandan militer di Jatim saat
itu, agak kikuk aku berhadapan dengan seorang pejabat yang berwibawa,
apalagi dengan kumisnya yang tebal terlihat lebih galak dan tegas.
Mengingat waktu beliau tidak banyak, aku harus segera menyesuaikan tanpa bertele tele.
“sepertinya Bapak tidak banyak waktu ya” kataku membuka percakapan
“he eh, memang timingnya nggak pas sih, tapi aku terpengaruh promosi
dari Hongki dan si Lok itu, jadi kusempatkan saja, sekalian refreshing
sebelum rapat nanti, biar segar dan tidak tegang saat rapat.
Aku memberanikan diri duduk di pangkuannya hingga dadaku tepat di
depan beliau. Pak Im mencium pipi lalu bibirku sambil tangannya mulai
meraba raba di dadaku, kubalas dengan elusan dan remasan di
selangkangannya yang kurasakan mulai menegang, ciuman beliau mulai turun
ke leher dan bahu, kuremas lebih kuat kejantanannya yang mengeras.
Tanpa melepaskan bibirnya dari tubuhku Pak Im menarik turun resliting
bajuku, dengan sedikit gigitan beliau melorotkan gaun yang kukenakan
hingga turun ke perutku, tampaklah buah dadaku yang menantang tertutup
bra.
Sedetik beliau memandangi buah dadaku, ada sorot mata kagum sebelum
kepalanya ditanamkan di antara kedua bukit itu, tangan beliau dengan
cekatan membuka kaitan bra di punggungku dan kembali giginya menarik
penutup tubuhku, untuk kedua kalinya beliau memandang buah dadaku dengan
penuh kekaguman, tapi lagi lagi tanpa bicara kepalanya mengusap usap
kedua buah dadaku sambil meremas remas dengan gemas.
Bibir Pak Im mulai menyentuh putingku, kurasakan kegelian karena
kumis beliau yang tebal serasa menggelitik di dadaku, Pak Im langsung
menyedot putingku seperti seorang bayi yang menetek, sambil menyedot
lidahnya bermain main di putingku, sementara tangannya tak pernah lepas
dari kedua bukit itu. Aku mendesis perlahan di dekat telinganya,
bergantian beliau mengulum dari satu puting ke puting lainnya, kuremas
rambutnya dan kutekan kepalanya ke dadaku. Begitu rakus beliau terhadap
buah dadaku, entah mungkin gemas atau mungkin sudah nafsu.
Kubuka kancing baju premannya dan melepaskannya, lalu kaos dalamnya
hingga kini beliau hanya mengenakan celana dinas, terkagum aku memandang
postur tubuhnya, begitu padat berisi, meski sudah 50 tahun tapi tetap
menjaga kondisi tubuhnya, salut aku dibuatnya, apalagi dengan sedikit
bulu di dadanya, sexy rasanya. Mungkin aku sudah terlalu sering melayani
orang seusia papa-ku hingga mempengaruhi selera bercintaku terhadap
orang seusia mereka. Aku berlutut di depannya, kulepas sepatu dan kaos
kakinya, Pak Im hanya tersenyum melihat perbuatanku. Aku mulai membuka
ikat pinggang dan reslitingnya, kutarik turun hingga terlepas, Cuma
celana dalam yang menempel di tubuhnya. Kusimpan rapi pakaiannya di
lemari, lalu aku kembali berlutut di antara kakinya, kugosok gosok dan
kuremas kejantanannya yang mulai menegang dari balik celana dalam,
kuciumi dadanya yang bidang berbulu, terasa dadanya turun naik, napasnya
mulai menderu, aku tahu beliau sedang menahan birahi. Tangannya sudah
meraba raba dadaku kembali, kukulum putingnya, beliau mulai meremas
remas, jilatanku beralih turun ke perut, kukeluarkan kejantanannya dari
sarangnya, lumayan besar dan tegang, kubelai, kuremas, kuciumi dan
kukocok dengan tanganku, sesekali kujilat kepala kejantanannya, cairan
bening sudah meleleh dari ujungnya, kulirik Pak Im mendesis sambil
memperhatikanku menjilati kejantanannya, kulepas celana dalamnya, beliau
sudah telanjang. Lidahku terus menjelajahi daerah kejantanannya, dari
ujung hingga pangkal bahkan kantong bola, desisan Pak Im makin keras
kudengar meski masih sayup,.
Setelah hampir dua minggu bekerja, kegiatanku diluar menemani tamu
adalah menonton film porno dan tuntutan sebagian besar tamuku, aku mulai
terbisaa menikmati oral sex, baik terhadap tamuku maupun mereka
terhadap aku, bahkan kudengar aku dikenal “supel” (bahasa jawanya : suka
peli alias suka penis) karena permainanku terhadap penis yang membikin
sebagian tamuku mendesah desah nikmat, meski belum se-piawai bintang
film porno yang sering aku tonton. Begitu juga dengan Pak Im, mendapat
permainanku di penisnya, desah kenikmatan keluar dari mulutnya,
kombinasi antara jilatan dan kocokan tangan membuatnya merem melek,
tangannya meremas remas rambutku sambil menekan kepalaku ke penisnya.
Pak Im memintaku berdiri di atasnya, kuturuti kemauannya, aku berdiri
di atas kursi menghadap tempat beliau duduk, kukangkangi beliau atas
kemauannya hingga vaginaku tepat didepan wajahnya, kakiku diangkatnya ke
sandaran kursi, dengan begitu kepala Pak Im berada di selangkanganku,
lidah Pak Im langsung mendarat di bibir vaginaku, menari nari di
klitoris dan vagina, aku mendesah menikmati jilatan beliau, tanpa
kusadari pinggulku bergoyang mengikuti iramanya, kurasakan jilatannya
semakin menghebat menyapu vaginaku, aku menggeliat seakan menjepit
kepala Pak Im di selangkanganku, kutekan pantatku ke mukanya hingga
kepalanya tertekan ke sandaran kursi, goyangan pantatku semakin tak
terkontrol sehingga vaginaku menyapu seluruh wajah Pak Im, Pak Jendral
seperti menikmati sapuan vaginaku di wajahnya, aku semakin kegelian
ketika kurasakan kumisnya ikutan menyapu daerah kewanitaanku, kuremas
rambut beliau dan makin kutekankan pantatku ke wajahnya, aku sudah tak
peduli lagi bahwa yang kukangkangi ini adalah Seorang Jendral bintang
dua yang begitu berkuasa dan dihormati, yang kupedulikan hanya seorang
laki laki yang sedang mengharapkan kenikmatan sex dariku.
“ouh..oh..udah …udah Pak, ntar…ntar..a..a..aku keluar” desahku.
Pak Im lalu menuntun dan merebahkanku di ranjang, tapi bukannya
langsung memulai tapi kembali beliau berada di selangkanganku, kami
saling menjilat dengan posisi 69, cukup lama dengan posisi itu hingga
akhirnya Pak Im membalikkan tubuhku, beliau lalu menindih tubuhku,
bibirnya kembali menyusuri leher dan dadaku, tercium aroma vagina ketika
Pak Im melumat bibirku.
Kami masih saling melumat bibir ketika kusapukan penisnya di bibir
vaginaku yang sudah basah, baik dari dalam maupun dari ludahnya , pelan
pelan beliau mendorong masuk kejantanannya, makin lama makin dalam
tertanam di liang kenikmatanku, tatapan matanya yang tajam tak pernah
lepas dari expresi wajahku saat penisnya melesak hingga semua tertanam
ke vaginaku, kulawan tatapan matanya dan terlihat expresi kenikmatan
terpancar di wajahnya. Beliau mencium bibirku ketika mulai menarik dan
mendorong kejantanannya di vaginaku, aku mendesis nikmat menerima
kocokan ringannya, makin lama makin cepat keluar masuk, desahanku makin
keras. Tubuh beliau menindih rapat tubuhku, berkali kali ciuman gemas
mendarat di pipi dan bibirku, aku menggeliat ketika bibir dan lidah
beliau menyusuri leher dan telingaku, kumis beliau terasa menggelitik
daerah sensitive itu, sambil mempercepat kocokannya, antara geli dan
nikmat bercampur menjadi satu.
Kujepitkan kakiku di pinggul beliau sambil memeluknya erat, kejantanannya makin dalam melesak di vaginaku.
“aaaaaaahhhhhh….aaaahhhhh” jeritku ketika beliau menyodokku keras,
kuremas rambut beliau, sodokan demi sodokan makin melambungkanku tinggi
ke awan kenikmatan. Entahlah aku begitu menikmati cumbuan dan kocokan
beliau, kini kedua kakiku sudah berada di pundak beliau, pinggulku
sedikit terangkat, membuat Pak Im makin bebas dan dalam melesakkan
kejantanannya ke vaginaku, dan tentu saja makin nikmat kurasakan. Hampir
duapuluh menit beliau mengocokku tapi belum ada tanda tanda orgasme,
aku salut dengan fisik beliau mengingat usianya yang sudah sekitar
50-an, beliau begitu pintar mengatur irama kocokannya, sepertinya saat
mau mencapai orgasme ditahan dengan menghentikan gerakan kocokannya
beberapa detik kemudian kembali mengocok dengan cepat.
Kami berganti posisi, beliau mengocokku dari belakang, posisi doggie,
sambil mengocok tangannya mengelus punggungku, kedua buah dadaku
menggantung dan bergoyang dengan bebasnya seirama dengan kocokan Pak Im.
Tanpa membuang waktu beliau langsung meraih kedua buah dadaku dan
meremasnya, remasan lembut yang makin liar seliar kocokannya.
“aaaahh…ya pak…trus pak…truuuusssss” desahku sekeras kocokannya yang makin menghebat..
Aku menggoyang pinggulku melawan gerakannya, dan effekknya sungguh
hebat, vaginaku terasa teraduk aduk penis Pak Im, beliau makin dalam
menancapkan penisnya, makin nikmat tentu saja. Goyanganku makin liar
melawan kocokan Pak Im, dan tak lama kemudian tubuhku menegang, aku
mencapai orgasme terlebih dahulu, vaginaku berdenyut kencang meremas
remas kejantanan Pak Im, beliau tak menghentikan kocokannya justru lebih
cepat. Aku menjerit keras dalam nikmat orgasme, sungguh nikmat dalam
selingan kocokannya, tiba tiba kurasakan denyutan hebat dari penis Pak
Im menghantam dinding vaginaku, seperti meriam yang menembakkan
pelurunya secara beruntun, semprotan cairan sperma yang hangat menyirami
vaginaku, kembali aku menjerit nikmat menerima denyutan demi denyutan,
Pak Im meremas pantatku ketika menyemprotkan spermanya di vaginaku,
kemudian tubuhnya melemas dan memelukku dari belakang, kami berdua jatuh
telungkup dan Pak Im masih di atas punggungku, napas kami saling
berpacu kencang, lalu kami berdua telentang dalam kelelahan yang indah.
Beberapa saat kami membisu, kubersihkan penis Pak Im dengan tissue
yang ada di meja kemudian kutinggalkan beliau ke kamar mandi
membersihkan diri dan vaginaku.
Ketika aku kembali dengan berbalut handuk di tubuhku, ternyata Pak Im
sudah berpakaian lengkap bersiap untuk pulang, jam sudah menunjukkan
pukul satu lebih.
“Ly, aku pergi dulu, nanti setelah sekitar jam 5 kembali lagi, bersiaplah”
“siap pak” jawabku manja sambil bergayut di lengannya
“kamu nggemesin sih, cantik dan menggairahkan, terlalu saying kalau
Cuma sekali, istirahat dulu dan jangan terima orang lagi sampai nanti,
aku akan bicara sama si Lok” jawabnya sambil mengangkat daguku dan
mencium bibirku.
Tak lama kemudian Om Lok, Pak Sam dan Chinese yang tadi masuk kamar,
entah kapan Pak Im memanggil mereka, aku masih hanya berbalut handuk
ketika menemani mereka berempat.
Tak lama kemudian mereka keluar kamar, diluar dugaanku Pak Sam
memberiku secarik kertas di genggamanku, setelah mereka pergi kubuka
kertas tersebut dan sungguh mengagetkan aku.
“aku akan kembali nanti setelah mengantar Bapak ke kantor, bersiaplah”
Kuremas dan kusobek kertas itu, “memang aku piala bergilir yang bisa
dipindah tangankan” pikirku, kutelepon Om Lok memprotes pengaturan ini,
bukannya aku keberatan tapi pengaturannya yang harus jelas.
Setelah dijelaskan Om Lok dan negosiasi akhirnya dicapai kesepakatan
sebagai harga satu paket, aku menerima meski dengan sedikit kecewa
karena tidak semua sesuai dengan keinginanku.
Part 2
Aku mandi menyegarkan tubuh, karena masih jengkel, kukenakan pakaian
tidur sutra yang transparan, tanpa pakaian dalam hingga terlihat postur
tubuhku dari balik pakaian tidur itu.
Pukul tiga Pak Sam datang, beliau begitu takjub ketika melihat penampilanku yang lain dengan bisaanya.
“Wah seperti pulang ke rumah disambut wanita cantik, kamu memang bisa
aja bikin orang gemes dan lebih merangsang” komentarnya. Aku hanya
tersenyum bangga melihat kekagumannya.
“kita punya waktu sampai jam setengah lima sebelum aku menjemput
Bapak kembali” katanya langsung memelukku, memang antara Hotel Hilton
dan markasnya tidaklah jauh, mungkin hanya limabelas menit.
Ciuman Pak Sam langsung mendarat di bibirku dan tangannya menjamah di
kedua bukit dadaku, meremas remas gemas. Bibirnya berada di leherku
ketika tanganku meraih kejantanannya, kami masih berdiri sambil saling
meremas. Kukeluarkan penis tegangnya dari lubang reslitingnya dan
kukocok kocok, aku lalu berlutut di depannya, kujilati kepala penisnya
dan kumasukkan ke mulutku, kukulum kepala penisnya hingga ke batang
penis, kucoba sebanyak mungkin memasukkan ke mulutku. Pak Sam memegang
kepalaku dan mengocokkan penisnya di mulutku, batang penis itu dengan
cepatnya keluar masuk mulutku.
Aku kemudian berdiri menghadap meja, tubuhku condong ke depan dengan
tumpuan tanganku di meja, Pak Sam menyingkap baju suteraku, tanpa
membuka pakaiannya lalu menyapukan penisnya di vaginaku, kubuka kakiku
lebih lebar memberi jalan kejantanan beliau menembus liang vaginaku.
Perlahan tapi pasti kejantanan Pak Sam melesak memasuki celah sempit
vaginaku hingga semua tertanam di dalam. Beliau meremas buah dadaku dari
belakang saat menarik penisnya dan kembali memasukkan dengan dorongan
kuat, aku terdongak kaget, antara sakit dan enak bercampur dengan
nikmat. Kocokannya makin cepat dan makin nikmat terasa, remasan pada
buah dadaku makin kuat, aku mendesah nikmat, semakin cepat semakin
nikmat.
Tanpa memperlambat kocokannya, tangannya meremas dan menjambak
rambutku, aku hanya mendesah, kuangkat kaki kananku ke atas meja, penis
Pak Sam makin dalam tertanam di vaginaku, ada perbedaan cara bercinta
dan irama kocokan Pak Sam dengan Pak Im, tapi bagiku dua duanya sama
sama enak menghanyutkan. Dengan keras Pak Sam menyodokku tiga kali lalu
dengan kasar menarik keluar penisnya, aku menoleh protes, tapi beliau
tersenyum dan membalikkan tubuhku, dinaikkan tubuhku di atas meja,
kakiku dibuka lebar dan kembali beliau memasukkan penisnya, langsung
mengocok dengan cepat. Kami bercinta berhadapan, dengan bebasnya Pak Sam
mengocokku sambil menciumi sekujur tubuhku sejauh bisa dijangkau,
tangannya tak pernah meninggalkan daerah di dadaku, mengelus dan meremas
sesukanya.
Kami masih berpakaian, aku dengan baju tidur sutraku dan beliau masih
dengan pakaian lengkap, tapi tak menurunkan gairah bercinta kami,
kuterima sodokan demi sodokan dengan penuh kenikmatan.
Pak Sam mengangkat dan menjepitkan kakiku di pingganggnya, beliau
melesakkan penisnya dalam dalam sambil mencium bibirku, lalu beliau
menarik tubuhku dan mendekapku erat.
Tanpa kuduga beliau mengangkat tubuhku dan menggendongku sambil tetap
menanamkan penisnya di vaginaku, aku kagum dengan fisiknya yang bisa
menggendongku, tubuhku diangkat turun naik di gendongannya memberikan
efek kocokan di vagina. Aku memeluknya erat takut terjatuh, beliau
membawaku ke arah ranjang, lalu kami terjatuh di ranjang, aku
menindihnya, penisnya terlepas dari vaginaku, kami berdua tertawa riang,
segera kumasukkan penisnya kembali dan dengan posisi duduk di atasnya
kini aku yang gantian menggoyangnya.
Pak Sam kembali meremas buah dadaku ketika goyanganku makin cepat,
aku tak berani menggoyang terlalu cepat karena resliting celananya
mengganggu dan sakit apabila terkena di vagina. Tapi Pak Sam tak mau
terlalu lama di bawah, dibaliknya tubuhku dan langsung menindihku,
kuminta beliau melepas celananya karena reslitingnya mengganggu, dengan
tersenyum diturutinya permintaanku, tapi beliau tak mau melepas
semuanya, hanya melorotkan saja, entah apa alasannya. Kakiku dinaikkan
di pundaknya dan dengan posisi push up beliau mengocokku, bukan main
ternyata jauh lebih nikmat, disamping makin dalam penisnya tertanam,
pada saat keluar masuk menggesek klitorisku, aku menjerit nikmat, beliau
tersenyum melihat expresi kenikmatan di wajahku. Kuremas sendiri kedua
buah dadaku sambil mempermainkan putingnya, Pak Sam mencegah ketika aku
berusaha menurunkan baju sutraku, sesekali dilumatnya bibirku yang lagi
tengadah mendesah.
Tubuh Pak Sam turun naik memompaku dari atas, sesekali pantatnya
ditekankan pada vaginaku, penisnya makin dalam tertanam, aku makin
mendesah desah nikmat.
Dan tak lama kemudian kuraih orgasme, tubuhku tegang, otot vaginaku
mencengkeram penis beliau yang masih keluar masuk vagina, kuremas
lengannya sambil menjerit dalam kenikmatan. Pak Sam kemudian menindih
dan mendekapku dalam pelukannya, tanpa memperlambat kocokannya bibirnya
sudah menjelajahi leherku, kuelus kepala botaknya, kakiku menjepit
pinggangnya, dan tak lama kemudian beliau menyusulku mencapai puncak
kenikmatan. Kurasakan cairan hangat membasahi liang vaginaku, penisnya
serasa membesar dan berdenyut keras, memenuhi rongga rongga vaginaku,
menghantam dinding dinding sempit yang menjepitnya, kembali aku menjerit
menerima semprotan spermanya. Tubuh Pak Sam terkulai lemas di atas
tubuhku, napasnya turun naik, kudengar dengusan dari hidungnya dekat
telingaku, kubiarkan sesaat beliau menindihku sebelum kudorong halus
turun dan terlentang di sampingku.
Kurasakan sperma Pak Sam menetes keluar dari vaginaku, segera aku ke
kamar mandi membersihkannya, tak lebih sepuluh menit aku di kamar mandi
ketika kembali ternyata Pak Sam sudah tidur mendengkur dengan kejantanan
yang sudah lemas lunglai, kupandangi wajah beliau, tampak garis tegas
matang yang sudah mulai menua, kepalanya yang botak tanpa kumis sungguh
jauh dari kesan tampan, sama sekali tidak menarik. Kalau kupikir lebih
jauh, inilah orang yang sudah beberapa kali menikmati tubuhku,
menyetubuhiku, dan juga sedikit banyak memberi kenikmatan padaku.
Lamunanku buyar ketika kudengar bunyi hand phone dari celana Pak Sam,
segera beliau terbangun dan menerima telephone itu, ternyata dari Pak
Im, dengan agak gugup beliau menjawab Pak Im.
Kutinggalkan Pak Sam yang lagi bicara dengan atasannya, aku mandi
bersiap menerima kedatangan Pak Im sebentar lagi. Ketika kubuka pintu
kamar mandi, Pak Sam sudah berdiri di depan pintu masih dalam keadaan
telanjang, sambil tersenyum beliau langsung menarikku ke pelukannya,
ditariknya handuk yang memlilit tubuhku hingga terlepas, kami berdua
telanjang berpelukan dan berciuman. Kembali tangan dan bibirnya
menjelajahi sekujur tubuhku yang baru mandi, Pak Sam lalu berlutut di
depanku, diangkatnya kakiku di pundaknya dan lidahnya langsung
menjelajah di vaginaku, dengan rakusnya beliau menjilat dan menghisap
sisa sisa cairan yang masih tersisa di vaginaku. Aku mendesis menerima
permainan lidahnya, tak lama ketika beliau kembali berdiri menghadapku,
didorongnya tubuhku hingga bersandar ke dinding cermin, kakiku diangkat
dan disanggah lengannya, kuusapkan kejantanannya ke bibir vaginaku,
kubasahi dengan ludah di kepala penisnya untuk memberi pelumas dan
memudahkan kejantanannya memasuki vaginaku, perlahan beliau mendorong
masuk hingga semua tertanam ke dalam, langsung mengocoknya, karena
tinggi badan kami sama, tak ada kesulitan bagi beliau untuk mengocokku
dari depan sambil berdiri. Tubuh kami saling menempel, hanya pantat Pak
Sam yang bergerak mendekat dan menjauhi tubuhku, sementara bibirnya
sudah menjelajah di leher dan wajahku sambil sesekali bibir kami menyatu
dalam birahi. Kemudian beliau membalikkan tubuhku, kembali Pak Sam
menyetubuiku dari belakang, beliau mendekapku sambil mengocok, tangannya
meremas remas kedua buah dadaku dari belakang dan tubuh kami masih
menyatu dalam percintaan.
Aku mendesis menerima kocokan dan jilatan Pak Sam dari belakang,
kudorong pantatku kebelakang supaya penis beliau bisa masuk lebih dalam,
kuluman di telingaku membuatku makin menggelinjang geli dan nikmat,
ditambah lagi remasan dan permainan di putingku, kulihat bayangan kami
di cermin, sungguh menambah erotik permainan ini, tanpa kusadari karena
terhanyut dalam permainan Pak Sam, tiba tiba kurasakan badanku menegang
dan otot otot vaginaku berdenyut, aku menjerit nikmat mengalami orgasme,
dan jeritanku lebih keras lagi ketika Pak Sam tanpa henti mengocokku
justru lebih cepat hingga beberapa menit kemudian menyusulku ke puncak
kenikmatan, denyutan penisnya tidak sekuat sebelumnya tapi tetap
membuatku menjerit nikmat. Pak Sam meremas remas buah dadaku, pantatnya
digoyang goyangkan seakan menggodaku, kutoleh ke belakang, senyuman puas
mengembang di wajah beliau, kutarik dan kubalikkan tubuhku, kami
kembali berhadapan, beliau langsung memelukku dan mencium kedua pipiku,
berakhir di bibirku.
“kamu memang benar benar luar bisaa dan menggairahkan” katanya sambil
melepas pelukanku. Pak Sam langsung mengenakan kembali pakaiannya tanpa
mencuci terlebih dahulu.
“Pak Im sebentar lagi datang, mandi sana lagi biar segar dan Pak Im
tidak curiga” katanya sambil meninggalkanku sendirian di kamar masih
dalam keadaan telanjang.
Part 3
Kurebahkan tubuhku di ranjang, istirahat sejenak sebelum kedatangan
Pak Im, badanku terasa letih yang hebat, mungkin terlalu banyak orgasme,
lututku terasa ngilu dan lemas.
“ntar aja mandinya, toh Pak Im masih empatpuluh lima menit lagi” pikirku
Tapi diluar dugaanku, tak lebih limabelas menit setelah Pak Sam
pergi, ternyata Pak Im datang, beliau sudah di depan pintu, sendirian
tanpa ditemani siapapun, entah bagaimana beliau menyelinap di hotel ini
tanpa diketahui banyak orang karena wajah beliau pasti sudah banyak
dikenal di Surabaya ini.
Agak gugup aku melihat kedatangannya, tak kusangka begitu cepat
beliau datang, entah apa mereka sempat ketemu atau tidak, semoga tidak
supaya aku tidak perlu repot menutupi kejadian ini, aku belum sempat
mandi sehabis bercinta dengan Pak Sam tadi. Tak mau membuat Pak Im
menunggu lebih lama, segera kusambar baju tidur sutraku yang tergeletak
di lantai, tanpa mengenakan pakaian dalam lagi dengan agak takut
kubukakan pintu menyambut Pak Im.
Melihat penampilanku yang super sexy dengan pakaian seperti itu, Pak
Im langsung memelukku dari belakang begitu kututup pintu kamar,
tangannya sudah berada di kedua buah dadaku, mengelus dan meremasnya,
bibirnya menjelajah di leherku yang jenjang seterlah menyibakkan
rambutku, aku menggeliat.
“kamu memang benar benar penggoda dan menggairahkan” bisiknya.
Terus terang khawatir kalau Pak Im langsung mau menjilati vaginaku
karena sperma Pak Sam masih banyak didalam belum sempat kubersihkan.
Sebelum keduluan Pak Im, aku langsung jongkok di depannya, kubuka
resliting celananya dan kukeluarkan kejantantannya yang masih sedikit
menegang, tanpa membuang waktu lebih lama, kejantanan itu langsung masuk
mulutku dan segera keluar masuk, batang penis di mulutku makin lama
makin tegang membesar seiring dengan desisan dari beliau. Dipegangnya
kepalaku dan beliau mulai mengocokkan penisnya di mulutku, sambil tetap
mengulum kubuka ikat pinggang dan kutarik celananya turun. Setelah
kurasa kejantanannya sudah siap, aku berdiri dan kutuntun Pak Im dengan
menarik penisnya mengikutiku, beliau hanya nurut saja ketika kutuntun
mendekati meja, tangan kananku menyapukan penis ke vaginaku sementara
tangan kiri menarik bajunya supaya mendekatiku dan kucium bibirnya
supaya beliau tidak perlu melihat ke bawah, aku takut sisa sperma Pak
Sam terlihat oleh beliau. Dengan mudahnya kejantanan Pak Im melesak
masuk ke vaginaku yang masih basah, entah beliau tahu apa tidak kalau
vaginaku habis dipakai, agak khawatir aku kalau kalau Pak Im tahu, aku
hanya berharap beliau berfikir bahwa vaginaku masih basah sisa dari
permainannya tadi siang. Kucumbu dan kukulum bibir Pak Im dengan penuh
gairah, tanganku memeluk kepala dan meremas rambutnya untuk memberikan
sensasi pengalih perhatian supaya tidak terlalu terkonsentrasi di
vaginaku. Aku berusaha agar Pak Im segera orgasme sehingga tertutuplah
“jejak” Pak Sam di vaginaku, untuk itu aku harus extra aktif dengan
segala upaya erotis yang aku mampu.
Diperlakukan dengan penuh gairah, nafsu beliau langsung naik tinggi,
ketika kubuka baju sutraku beliau mencegahnya, kubuka pakaiannya sambil
tetap kami bercinta. Beliau tersenyum memandangku, lalu meremas buah
dadaku, aku mendesis nikmat, diciuminya pipi dan bibirku dengan gemas,
kocokannya makin cepat dan keras kurasakan. Sesekali tubuhnya
dihentakkan ke tubuhku membuat kejantanannya makin dalam tertanam.
“uh…aaaahhh…aaaaauuuugghhhh….yessss” desahku setiap kali tubuhnya
menghentakku, kupandang matanya dengan sorot mata penuh kenikmatan,
beliau hanya tersenyum di balik kumis tebalnya.
Aku telentang di atas meja, kakiku kunaikkan di pundaknya, dengan
berpegang pada kedua buah dadaku beliau meremas dan mengocokku makin
keras, tubuhku menggeliat ke-enak-kan, makin mendesah makin cepat
kejantanannya keluar masuk vaginaku.
“oooohh…ooohhh…aaaaahhhhhh” teriaknya seiring dengan semburan sperma
di vaginaku, tangannya mencengkeram keras buah dadaku, cairan hangat
kembali terasa membasahi celah celah vaginaku, tubuhnya menegang, entah
sudah keberapa kali beliau orgasme denganku hari ini.
Aku sepertinya sudah lama kenal dengan beliau, maka tanpa segan
dengan kakiku kudorong dadanya menjauh hingga terlepaslah penisnya dari
tubuhku, beliau hanya tersenyum melihat kenakalanku, lalu menarikku
berdiri dan memeluknya.
“kamu memang benar benar menggairahkan dan penuh kejutan variasi” katanya sambil memelukku.
“Bapak juga hebat, membuatku kewalahan, sini aku bersihkan” kembali
kutuntun Pak Im dengan memegang penisnya yang sudah lemas menuju kamar
mandi.
Setelah membersihkan, kami rebahan di ranjang dalam keadaan
telanjang. Singkat cerita kami akhirnya kembali bercinta dua kali lagi
di ranjang, sungguh aku salut dengan stamina beliau.
Sebelum tengah malam beliau meninggalkan kamarku dengan meninggalkan
amplop di meja. Aku kembali tercenung dalam kesendirian malam sebelum
tidur, dalam satu hari aku sudah bercinta dengan dua orang jendral yang
begitu dihormati, ada rasa bangga dan meninggikan rasa percaya diri.
Sekarang saat tulisah ini dibuat di awal 2003, kedua jendral tadi
masih menjabat di negara ini, aku hanya tersenyum sendiri kalau melihat
mereka muncul di TV, mengenang bagaimana mereka memperlakukan atau
kuperlakukan di atas ranjang, bagaimana desah mereka saat orgasme, atau
bagaimana expresi kenikmatan terpancar di wajah mereka ketika bercinta,
sungguh jauh dari kesan mereka saat di lapangan ataupun TV, terlihat
begitu tegas dan berwibawa.
Lain ladang, lain pula tingkah laku belalang, lain di ranjang lain pula di lapangan.
==============================================
Di antara tamu-tamu yang membookingku, tak semuanya masih mempunyai
kemampuan dan stamina yang memenuhi syarat untuk terjadinya suatu
hubungan seksual, meskipun hasrat dan gairahnya masih tinggi.
Kisah dibawah ini adalah sepotong pengalaman dari para tamu yang “burungnya tidak lagi mampu berkepak terbang”
*****
SANG DIRJEN
Tamuku kali ini sungguh lain, berbeda dengan tamuku sebelumnya, aku
diminta datang ke kamarnya yang kebetulan atau memang sengaja berada di
satu hotel, cuma letaknya agak berjauhan. Om Lok berpesan supaya aku
berpakaian resmi seperti halnya orang kantoran, tentu saja bukan masalah
bagiku karena di samping koleksi bajuku dan gaunku memang banyak, juga
Om Lok selalu menyediakan gaun dan segala perlengkapan pakaian tidur
yang sexy, termasuk urusan bra dan celana dalam, karena dia memang sudah
mengerti ukuranku dan selera para tamu, bermacam busana baik yang
resmi, santai, gaun pesta, gaun malam, baju tidur, lingerie semuanya
terpajang di lemari kamarku seperti layaknya butik.
Aku sih tak keberatan dan senang senang saja dengan pengaturan
seperti ini, toh meski aku tidak suka busana yang dia belikan, aku kan
tidak harus pakai tiap hari dalam waktu yang lama, paling juga saat
menemani tamu, itupun disesuaikan dengan selera atau permintaan tamu,
ada yang minta supaya aku mengenakan busana sexy, pakaian santai,
pakaian tidur, busana resmi, pakaian ketat, tanpa pakaian dalam, bahkan
ada yang memintaku langsung telanjang ketika menyambutnya, biasanya
kalau sudah lebih dua kali bertemu, permintaan yang aneh-aneh timbul,
mungkin karena sudah merasa saling mengenal jadi mereka juga nggak segan
untuk memintaku tampil berbeda, itu semua kuturuti demi kepuasan
tamuku, toh bagiku nggak ada bedanya, toh semua itu akhirnya dibuka
juga, toh akhirnya aku harus telanjang di depan mereka, jadi apalah
bedanya semua itu bagiku, tapi sangat beda bagi mereka yang memintaku
seperti itu untuk memenuhi fantasinya, yang tidak didapat di rumah.
Hari itu sebenarnya cukup melelahkan bagiku, karena mulai pagi jam 10
sudah menerima tamu, dan tamuku ketiga baru selesai jam setengah tujuh
malam, kini aku masih harus melayani tamuku keempat hari itu. Meskipun
dari ketiga tamuku tadi hanya satu yang bisa membuatku orgasme, tapi
justru dari tamu terakhirlah aku mendapatkannya, bahkan lebih dari 2
kali, jadi capeknya masih terasa hingga malam hari. Ingin aku menolak,
tapi karena Om Lok memberiku iming iming pembayaran lebih karena tamuku
ini seorang pejabat, Dirjen, maka kuturuti saja karena aku juga tak
ingin mengecewakan Om Lok dan pasti kalau aku menolak gadis lain yang
akan menggantikannya, disamping itu keterangan dari Om Lok bahwa Pak
Dirjen ini sudah tua, mungkin sudah lebih 60 tahun, jadi dua kali
usiaku, “jangan jangan seusia opa-ku” pikirku, tentunya tak perlu kerja
keras melayaninya, paling juga nggak lebih lima menit sudah KO dan
rasanya seusia dia tak mungkin melakukannya dua kali.
Jam 19:45 Om Lok sudah menjemputku untuk di antar ke kamar Pak Yono,
sang Dirjen, kukenakan pakaian kerja kantoran, rok resmi dipadu dengan
blus You Can See yang ditutupi blazer biru tua, seperti orang ke kantor.
Ini adalah pertama kali aku “keluar kandang”, menemui panggilan tamuku
di kamarnya, tidak seperti biasanya aku melayani mereka di kamarku,
bercinta dan bercumbu di ranjangku, kembali ada rasa bimbang dan gugup
menggelayut di batinku, sepanjang jalan ke kamar Pak Yono kepercayaan
diriku makin mengecil, seperti anak kecil pertama kali keluar dari
rumah, takut tersesat dan merasa tidak aman, padahal tidak jarang kalau
lagi suntuk di kamar aku jalan jalan sekitar Lobby, atau berenang di
pagi hari sebelum “jam kerja” dimulai.
Ketika sampai di kamar suite Pak Yono, ternyata ada beberapa tamu
yang sedang ditemui beliau, ada lima orang, dua diantaranya chinese,
yang lainnya masih mengenakan seragam dari instansi tertentu. Mengetahui
masih ada tamu, Om Lok mengajakku menunggu di lobby atau di kamarku,
tapi salah seorang chinese tadi menghampiri Om Lok, mereka berdua bicara
menjauh dariku, kemudian chinese tadi masuk kamar sebentar dan kembali
menemui kami seraya mempersilahkan masuk. Aku langsung dikenalkan ke Pak
Dirjen, aku kaget ketika mengetahui yang mana Pak Yono, benar dugaanku,
orangnya seusia Opaku, yang jelas lebih dari 60 tahun, ada sedikit rasa
jijik melihat orang sudah setua itu dan sudah bau kubur masih suka sama
wanita muda. Aku dipersilakan duduk di antara mereka di kamar tamu,
mereka membicarakan masalah proyek angkutan darat di Jawa Timur.
Sambil bicara sesekali para laki laki itu melirik ke arahku, aku jadi
canggung dan jengah mendapat perhatian dari mereka, entah mereka tahu
atau tidak siapa aku ini, tapi aku yakin ingin mereka sudah
mengetahuinya, rasanya aku ingin pergi dari ruangan itu, lebih baik aku
menunggu di kamarku dari pada jadi kambing bodoh di antara laki laki
dengan sorot mata yang ingin menelanjangiku itu.
Untunglah Pak Yono cepat tanggap, aku dipersilakan menunggu di kamar
tidurnya, ada rasa canggung berada di kamar tidur orang lain, meski itu
kamar hotel tetapi beberapa barang pribadi Pak Yono menggeletak di situ,
ada bungkusan menggeletak di tempat duduk satu satunya yaitu sofa
panjang, aku tak berani menyentuh barang pribadi beliau, sehingga mau
tak mau aku harus duduk di ranjang menunggu beliau masuk.
Menunggu adalah siksaan yang berat, lebih setengah jam aku
menunggunya tapi tak nongol juga, sementara badanku yang capek makin
terasa capek dengan hanya duduk tak nyaman di ranjang Pak Yono sambil
nonton MTV di TV, akhirnya kuberanikan diri rebahan di ranjang itu,
entah sudah berapa lama aku menunggu hingga akhirnya ketiduran di
ranjang Pak Yono dengan pakaian masih lengkap.
Dalam tidurku, aku merasa sekujur tubuhku mendapatkan rangsangan
tanpa sadar dan kemudian ada beban berat menindih dadaku, membuatku
susah bernafas, ketika kubuka mataku Pak Yono sudah menindihku sembil
menciumi pipiku, wajah jeleknya tepat di depan wajahku, aku kaget, mau
marah dan teriak tapi untunglah kesadaranku segera pulih.
“Eh Bapak, mengagetkanku saja, maaf Pak aku ketiduran”, kataku segera menghilangkan kekagetanku.
“Nggak apa, aku yang minta maaf membuatmu menunggu terlalu lama”, jawabnya tanpa beranjak dari atas tubuhku, bagian kejantanannya ditekankan di selangkanganku yang ternyata kakiku sudah terbuka dengan rok yang tersingkap di perut sehingga menampakkan celana dalamku, dua kancing atas bajuku sudah terbuka sehingga bra bagian buah dadaku sudah bisa dinikmati, rupanya aku terlalu lelap tidur, mungkin Pak Yono sudah menggerayangi seluruh tubuhku saat aku tidur.
“Orang tua kurang ajar”, pikirku tapi tetap menampakkan senyuman di bibirku sambil memeluknya, baru aku tahu ternyata Pak Yono sudah melepas pakaiannya dan tinggal celana dalam yang menempel di tubuhnya.
Mukanya yang jelek dan hitam sudah menempel di pipiku, menciumi dan menjilati leherku, membuatku makin jijik dibuatnya, digumuli orang setua beliau, opa-ku saja tak pernah menciumiku sebanyak itu.
“Aku lepas baju dulu ya Pak biar nggak kusut”, pintaku
“Nggak apa, aku yang minta maaf membuatmu menunggu terlalu lama”, jawabnya tanpa beranjak dari atas tubuhku, bagian kejantanannya ditekankan di selangkanganku yang ternyata kakiku sudah terbuka dengan rok yang tersingkap di perut sehingga menampakkan celana dalamku, dua kancing atas bajuku sudah terbuka sehingga bra bagian buah dadaku sudah bisa dinikmati, rupanya aku terlalu lelap tidur, mungkin Pak Yono sudah menggerayangi seluruh tubuhku saat aku tidur.
“Orang tua kurang ajar”, pikirku tapi tetap menampakkan senyuman di bibirku sambil memeluknya, baru aku tahu ternyata Pak Yono sudah melepas pakaiannya dan tinggal celana dalam yang menempel di tubuhnya.
Mukanya yang jelek dan hitam sudah menempel di pipiku, menciumi dan menjilati leherku, membuatku makin jijik dibuatnya, digumuli orang setua beliau, opa-ku saja tak pernah menciumiku sebanyak itu.
“Aku lepas baju dulu ya Pak biar nggak kusut”, pintaku
Seperti terlepas dari beban berat ketika tubuh Pak Yono beranjak dari
tubuhku, beliau melarangku ketika aku mau melepas baju di kamar mandi,
dengan terpaksa dan dipenuhi perasaan marah kulepas penutup tubuhku satu
persatu di depannya, hingga aku benar benar telanjang bulat di
hadapannya.
Begitu melihat tubuh telanjangku, beliau langsung menarikku di
pelukannya, kembali wajah jeleknya menyusuri seluruh tubuhku, tangannya
dengan bebasnya menjamah seluruh daerah erotisku, tangannya meremas
remas pantatku kemudian beralih ke buah dadaku dan dengan rakusnya
beliau mengulum putingku, aku makin muak melihat tingkah lakunya.
Kemuakanku makin bertambah ketika beliau berada di antara kakiku,
dengan mata jelalatan diamatinya vaginaku, kebetulan habis aku rapihkan
bulu rambutnya sehingga tampak indah, beliau memandangku dengan
tersenyum lalu secepat kilat lidahnya langsung mendarat di klitorisku,
aku menjerit kaget dan marah, tapi beliau tak memperdulikanku, lidahnya
sudah mempermainkan klitorisku, kemudian menyusuri daerah kewanitaanku,
disapukannya lidah tuanya ke bibir vagina. Tak lama kemudian jari
tangannya sudah mulai ikutan mempermainkan sekitar vaginaku,
dimasukkannya satu jari kemudian dua jari ke liang vaginaku, dan
mengocokknya. Jujur harus aku akui bahwa permainan lidahnya sungguh
menghanyutkanku, mungkin karena pengalamannya yang sudah banyak sehingga
beliau bisa membuatku ikut terhanyut meski sebenarnya aku tidak
menghendaki.
Sungguh aku membenci diriku sendiri ketika tanpa sengaja desahan
nikmat keluar dari mulutku, permainan lidahnya terlalu nikmat bagiku,
desahanku makin sering keluar tanpa kontrol, kupegang kepala Pak Yono
dan kutekankan ke vaginaku, gerakan lidah Pak Yono makin ganas dan liar
menyusuri celah celah kewanitaanku. Tanpa kusadari pantatku sudah
bergoyang mengimbangi jilatan Pak Yono, tentu ini membuat beliau makin
menjadi jadi mempermainkan vaginaku, jilatan di klitoris dan kocokan
jarinya secara kompak bermain di vaginaku, memainkan irama birahinya.
Pak Yono kemudian menindih tubuhku, kupejamkan mataku ketika beliau
menciumi wajahku, aku jijik melihatnya, ciumannya turun ke leher dan
berhenti di kedua putingku, mengulum dengan rakusnya, aku masih
memejamkan mata, jari tangannya menggosok klitorisku dan mengocoknya.
Meski aku biasa melayani orang yang jauh lebih tua, tapi terhadap Pak
Yono rasanya belum siap, tak seperti biasanya, entah kenapa perasaan
jijik selalu menyelimutiku setiap kali wajah Pak Yono mendekat ke
mukaku.
Pak Yono lalu rebah di sampingku, aku mengerti maksudnya, kugeser
posisi tubuhku di antara kedua kakinya, aku kaget, ternyata kejantananku
masih lemah lunglai, kupegang penisnya yang loyo, kuremas remas untuk
memberikan rangsangan, mulai mengeras tapi masih jauh memenuhi syarat,
belum bisa berdiri sendiri. Dengan menahan rasa muak dan jijik, kubelai
dan kuciumi, belum juga bangun, maka terpaksa kujilati kepala penisnya,
kemudian batangnya hingga ke kantong bola, tetap tidak membuahkan hasil
yang diharapkan, kemudian kumasukkan ke mulutku, semua penisnya yang
loyo masuk ke mulutku sampai hidungku menyentuh rambut kemaluannya,
kukulum dan kupermainkan lidahku di kepala penisnya, berharap segera
“bangkit”, tapi tetap sia-sia, hanya sedikit menegang, bahkan ketika
kusapukan kepala penisnya ke putingku, masih saja tidak ada perubahan.
Aku tak tahu apa yang terjadi, apakah beliau impoten, atau aku kurang
bisa memberikan rangsangan atau memang sudah hilang kemampuan ereksinya,
padahal biasanya hanya dengan pegangan dan sedikit ciuman para tamu
sudah kelocotan mendesah nikmat.
Berbagai upaya kulakukan untuk membuatnya “hidup” tapi tetap tak
membawa hasil, akhirnya kunaiki tubuh Pak Yono, kuatur posisiku di atas
penisnya dan kuusap usapkan menyapu bibir vaginaku, berharap hal ini
memberikan rangsangan, tapi tetap saja penis itu tak bisa bereaksi
secara maximal, kembali kukulum dan kukocok dengan mulutku, aku sudah
kehilangan jurus untuk membuatnya “hidup”, segala kemampuanku sudah
kukerahkan tapi tetap tak seperti yang harapan.
“Susah ya nduk?”, katanya, “nduk” adalah panggilan untuk gadis kecil di jawa, kujawab dengan senyuman terpaksa, sambil kembali memasukkan penisnya ke mulutku.
“Ya sudah sini nduk, kalo memang nggak bisa nggak usah dipaksain, maklum sudah tua”, katanya sambil menarikku ke atas, rebah di sampingnya.
“Susah ya nduk?”, katanya, “nduk” adalah panggilan untuk gadis kecil di jawa, kujawab dengan senyuman terpaksa, sambil kembali memasukkan penisnya ke mulutku.
“Ya sudah sini nduk, kalo memang nggak bisa nggak usah dipaksain, maklum sudah tua”, katanya sambil menarikku ke atas, rebah di sampingnya.
Pak Yono kembali menindihku, bibir dan lidahnya kembali dengan rakus
menjelajah sekujur tubuhku, berkali kali beliau menyapukan penisnya ke
vaginaku dan berusaha mendorong masuk tapi berkali kali pula beliau
gagal melakukannya, entah sudah berapa liter ludah yang digunakan untuk
membasai penis dan vaginaku, toh gagal juga.
Ketika penisnya sudah mulai agak menegang, dipaksanya mendorong
masuk, kubuka kakiku lebar lebar, juga kubantu memperlebar bibir
vaginaku dengan tangan, beliau berhasil memasukkan penisnya dengan
paksa, bagiku tak ada artinya tapi bagi beliau sudah sangat berharga,
merupakan kemajuan yang besar, kurasakan penis itu seperti
“berlari-lari” di vaginaku, tapi tak sampai lima kali kocokan kurasakan
cairan hangat membasahi vaginaku, tak ada denyutan atau semprotan,
sepertinya sperma itu menetes dengan sendirinya, tubuh Pak Yono terkulai
lemas menindihku kemudian berguling dan rebah di sisiku. Beliau miring
memelukku, kaki kanannya ditumpangkan ke pahaku, sedangkan mukanya dekat
telingaku, bisa kurasakan hembusan napasnya menerpa telingaku,
membuatku semakin muak dalam pelukannya.
Kami terdiam pada posisi seperti ini, tak lama akupun ikut ketiduran
karena memang sebelumnya sudah kecapekan. Belum kurasakan nyenyaknya
tidurku, tiba tiba kurasakan tangan Pak Yono sudah kembali menjelajah di
vaginaku, digosoknya bibir dan klitorisku dengan jarinya, tentu saja
aku makin risih, kuraih penisnya yang lunglai dan kuremas remas, tetap
seperti tadi lemas tak berdaya.
Baru kusadari, mulailah penyiksaan seksual terhadapku, beliau
menggumuli tubuhku dengan bibir dan lidahnya menjelajah seluruh tubuhku,
aku makin jijik dengan perbuatannya, lebih dari satu jam beliau
memperlakukanku seperti mainan, menjilat, mengulum, mencium, mengocok
dengan jarinya, ingin rasanya kutampar mukanya ketika beliau berada di
selangkanganku, aku hanya menggigit bibirku menahan amarah.
Aku tak tahu dan tak bisa memperkirakan bagaimana berakhirnya permainan ini, karena tentunya tidak ada klimaks-nya.
Ternyata penyiksaanku tak berakhir begitu saja, sepanjang malam dia menggerayangi tubuhku yang tetap telanjang, hanya saat dia tertidurlah penyiksaan itu berhenti tapi begitu terbangun kembali tangan dan lidahnya menggerayangi sekujur tubuhku, dan itu berlangsung hingga pagi hari, kurasakan vaginaku panas dan lecet karena gosokan jari tangannya yang kasar.
Ternyata penyiksaanku tak berakhir begitu saja, sepanjang malam dia menggerayangi tubuhku yang tetap telanjang, hanya saat dia tertidurlah penyiksaan itu berhenti tapi begitu terbangun kembali tangan dan lidahnya menggerayangi sekujur tubuhku, dan itu berlangsung hingga pagi hari, kurasakan vaginaku panas dan lecet karena gosokan jari tangannya yang kasar.
Inilah pengalaman terberat dan terburuk yang aku alami selama
menjalani profesi ini, baik saat itu maupun perjalananku selanjutnya,
begitu berat aku memendam perasaan muak terhadapnya. Ketika aku pamit
meninggalkannya, dia memberiku beberapa lembar uang lima puluh ribu yang
menurutku tidak ada artinya, sangat tidak sepadan dengan “pengorbanan
dan service” yang kuberikan, dua kali kecewa olehnya, dalam hati aku
bersumpah tak akan mau menemui dia lagi. Namun sungguh konyol ketika aku
sudah menjadi freelancer, beberapa bulan kemudian, aku kembali
terperangkap mendapatkan tamu beliau, bahkan 2 kali terperosok dalam
kubangan yang sama.
SANG LAKSAMANA
Pengalaman serupa kembali terulang ketika aku menemani Pak Ari, orang
penting di jajaran Angkatan Laut di Armada Timur yang berpusat di
Surabaya, ARMATIM.
Diantar Om Lok dan seorang Chinese yang aku tak kenal, kami menyusuri
jalanan Surabaya menuju Hotel Majapahit yang terletak ditengah kota.
Seorang pejabat penguasa kota Jakarta adalah tujuan kami, sebenarnya
bukan dia yang minta tapi Yongki, si Chinese, berhasil membujuk Om Lok
untuk “mengumpankan” aku ke pejabat tersebut, siapa tahu setelah melihat
penampilanku hatinya tergoda, katanya. Aku keberatan kalau nggak pasti
seperti itu, tapi dengan persetujuan bahwa begitu aku keluar kamar, maka
“argo carteran” sudah mulai jalan, akupun mengikutinya.
“Kalau dia nggak mau juga, berarti dia laki laki bodoh atau nggak normal, jangan khawatir, kalau dia nggak mau juga, aku yang akan booking”, tantang Yongki pada Lok.
“Kalau dia nggak mau juga, berarti dia laki laki bodoh atau nggak normal, jangan khawatir, kalau dia nggak mau juga, aku yang akan booking”, tantang Yongki pada Lok.
Kami langsung menuju kamar suite beliau, ternyata banyak tamu disana
dan juga 2 gadis seusiaku, melihat “sainganku” aku merasa bahwa mereka
bukanlah kelasku apalagi sainganku, nggak level. Aku dan 2 gadis itu
menunggu di ruang tidur, sepertinya mereka memberi kesempatan beliau
untuk memilih gadis yang dia mau, baru kali ini aku diperlakukan
menunggu untuk dipilih, agak malu juga diperlakukan seperti itu,
biasanya tamu sudah ngantri untuk menikmatiku tapi kini aku harus ikutan
antri, tapi toh aku akan dibayar penuh, baik dipilih maupun tidak,
nggak ada ruginya.
Aku masih belum tahu siapakah beliau ini, karena banyak orang di
ruang tamu, tak sempat aku mengamati siapa siapa yang hadir disitu terus
masuk kamar tidur. Yongki cuma memberitahu bahwa tamunya adalah seorang
penguasa Jakarta. Lima belas menit kami menunggu ketika Yongki menyuruh
kedua gadis itu pulang, tinggallah aku sendiri di kamar itu.
Aku tak berani rebahan di ranjang atau mulai melepas pakaianku menunggu kedatangannya, meski aku yakin sudah terpilih, trauma atas perlakuan Pak Yono tempo hari masih kurasakan.
Aku tak berani rebahan di ranjang atau mulai melepas pakaianku menunggu kedatangannya, meski aku yakin sudah terpilih, trauma atas perlakuan Pak Yono tempo hari masih kurasakan.
Tinggallah aku, Om Lok, Yongki, pejabat itu ditemani ajudannya,
ternyata beliau adalah Pak Sur, memang dia penguasa yang “punya”
Jakarta, aku sangat mengenalnya dari seringnya beliau muncul di TV.
“Ly kamu temani Pak Surya, kalau beliau minta nginap ya ikutin aja”, pesan Om Lok sebelum meninggalkanku berdua dengan beliau.
“Ly kamu temani Pak Surya, kalau beliau minta nginap ya ikutin aja”, pesan Om Lok sebelum meninggalkanku berdua dengan beliau.
Kulihat wajah dingin beliau seolah tanpa ekspresi menyambutku,
disuruhnya aku duduk di sebelahnya, aroma minyak angin begitu menyengat,
sepertinya beliau lagi tidak enak badan.
“Kamu duduk aja di sini, aku nggak tahu apa maunya mereka, kamu disuruh tinggal ya tinggal aja disini”, katanya dingin tak ada senyum meski terdengar ramah, memang beliau dikenal tidak bisa tersenyum.
Aku tak tahu harus berbuat apa, nggak mungkin kalau beliau nggak tahu maksud dan tujuanku berada di kamar ini. Aku diam saja tak berani bertindak lebih jauh, secara halus sebenarnya ada isyarat penolakannya, entah kurang cocok denganku atau memang lagi nggak enak badan atau juga memang nggak suka perempuan, seperti isunya selama ini.
“Kamu duduk aja di sini, aku nggak tahu apa maunya mereka, kamu disuruh tinggal ya tinggal aja disini”, katanya dingin tak ada senyum meski terdengar ramah, memang beliau dikenal tidak bisa tersenyum.
Aku tak tahu harus berbuat apa, nggak mungkin kalau beliau nggak tahu maksud dan tujuanku berada di kamar ini. Aku diam saja tak berani bertindak lebih jauh, secara halus sebenarnya ada isyarat penolakannya, entah kurang cocok denganku atau memang lagi nggak enak badan atau juga memang nggak suka perempuan, seperti isunya selama ini.
“Mau dipijitin Pak?”, aku memberanikan
“Nggak usah, sebentar lagi dipakai tidur juga hilang”.
Sebentar lagi dipakai tidur? apa berarti dia nggak mau sama aku?, pikirku, belum pernah kudengar penolakan dari laki laki seperti ini.
“Dipijitin sambil tiduran kan bisa cepat tidur Pak”, pancingku mulai mengarah.
“Ntar malah nggak bisa tidur, tambah pusing nanti”, beliau tetap menolak halus sambil menggosok minyak angin ke kepalanya.
“Sini aku bantuin Pak”.
“Gini aja udah enakan kok”.
“Nggak usah, sebentar lagi dipakai tidur juga hilang”.
Sebentar lagi dipakai tidur? apa berarti dia nggak mau sama aku?, pikirku, belum pernah kudengar penolakan dari laki laki seperti ini.
“Dipijitin sambil tiduran kan bisa cepat tidur Pak”, pancingku mulai mengarah.
“Ntar malah nggak bisa tidur, tambah pusing nanti”, beliau tetap menolak halus sambil menggosok minyak angin ke kepalanya.
“Sini aku bantuin Pak”.
“Gini aja udah enakan kok”.
Berbagai usaha yang mengarah sudah aku lakukan tapi tetap saja keluar
penolakan darinya, aku menyerah, belum pernah kutemui laki laki yang
membiarkanku sendirian seperti ini. Aku jadi serba salah, sepertinya dia
tak mau ditemani tapi nggak mungkin kalau aku meninggalkannya begitu
saja, satu satunya jalan keluar adalah dia menyuruhku pergi, tapi itu
terlalu menyakitkan bagiku, ada perasaan terusir.
“Kalau Bapak nggak enak badan dan mau istirahat, aku pulang boleh?”, akhirnya menyerah.
“Gini lho mbak, bukannya aku nggak suka kamu, sebagai laki laki normal aku menyukai wanita apalagi secantik kamu, tapi itu bukan berarti aku harus tidur sama kamu kan? Kalaupun aku mau ingin rasanya ngobrol denganmu sampai pagi, tapi aku lagi nggak enak badan jadi kamu ngerti kan?”.
“Gini lho mbak, bukannya aku nggak suka kamu, sebagai laki laki normal aku menyukai wanita apalagi secantik kamu, tapi itu bukan berarti aku harus tidur sama kamu kan? Kalaupun aku mau ingin rasanya ngobrol denganmu sampai pagi, tapi aku lagi nggak enak badan jadi kamu ngerti kan?”.
Beliau mengatakan banyak hal yang sudah tak kudengarkan lagi, aku
hanya menunduk malu, melihat pintu keluar sudah terbuka lebar, cuma
sekarang bagaimana meninggalkan beliau tanpa ada yang sakit hati,
terutama aku.
“Kalau begitu Bapak istirahat saja, mungkin kalo aku disini Bapak terganggu istirahatnya, aku pulang saja gimana?”, tanyaku sambil menatap matanya yang tajam berwibawa, tak sanggup aku menatapnya lebih lama lagi.
“Kamu nggak usah tersinggung, aku memang nggak biasa melakukan ini”, tetap sopan meski tanpa senyum.
“Kalau begitu Bapak istirahat saja, mungkin kalo aku disini Bapak terganggu istirahatnya, aku pulang saja gimana?”, tanyaku sambil menatap matanya yang tajam berwibawa, tak sanggup aku menatapnya lebih lama lagi.
“Kamu nggak usah tersinggung, aku memang nggak biasa melakukan ini”, tetap sopan meski tanpa senyum.
Akhirnya kutinggalkan beliau sendirian di kamar tanpa terjadi apa
apa, dalam hati aku menghargai dan hormat pada sikap beliau, tak tega
juga kalau memaksa merayu dia untuk bertindak lebih jauh. Kulihat Om Lok
dan Yongki masih duduk di Lobby bersama si ajudan, segera kuhampiri
mereka dan kuceritakan yang terjadi.
“Nah, aku menang”, teriak si ajudan dan kulihat Om Lok memberikan
beberapa lembar 50 ribuan ke ajudan itu. Ternyata mereka taruhan, Om Lok
dengan percaya diri bertaruh bahwa aku berhasil meruntuhkan Imannya,
dia kalah. Pak Sur telah menyuruhku pulang, berarti aku harus menemani
Yongki, bagiku nggak ada masalah toh dengan Yongki atau lainnya sama
saja bagiku, tak ada yang istimewa.
“Berarti memang rejekimu”, kata Om Lok pada Yongki.
“Berarti memang rejekimu”, kata Om Lok pada Yongki.
Tak kusangka ternyata Yongki masih punya “Plan B”, kembali aku
disodorkan pada pejabat lainnya yang tak kalah tinggi pangkatnya,
seorang laksamana di Angkatan Laut wilayah Timur, ARMATIM, namanya Pak
Ari, entah ada acara apa banyak penggede negeri yang menginap di hotel
ini.
“Kalau dia nggak mau juga, baru itu jatahku, tapi rasanya dia nggak akan menolak kok, aku pernah servis dia sih sebelumnya”, katanya.
“Kalau dia nggak mau juga, baru itu jatahku, tapi rasanya dia nggak akan menolak kok, aku pernah servis dia sih sebelumnya”, katanya.
Ternyata benar kata Yonki, singkat cerita akhirnya aku menemani Pak
Ari yang berpangkat Laksamana itu (kalau nggak salah sih), orangnya
tinggi besar agak botak tapi tertutup model rambutnya, meski dia seorang
tentara tapi tutur katanya sopan dan lembut. Sebelum sempat aku berbuat
apa apa, dia sudah membuatkan teh hangat dan menyodorkan ke arahku,
biar segar, katanya. Aku yang biasa melayani agak canggung juga menerima
“kebaikannya”.
Sebelum sempat melepas pakaianku, beliau sudah memijit kakiku, terasa
enak dan nyaman pijatannya, beliau hanya memandangku meringis keenakan.
Aku berusaha mencegahnya lebih lanjut tapi beliau menyuruhku diam dan
menikmati pijitannya, sebenarnya aku menikmati pijitan itu, tapi bukan
tugasnya, adalah tugasku untuk melayani beliau.
“Udah Pak, gantian Bapak yang aku pijitin”, desakku.
“Ah nggak usah, paling juga pijitanmu pijitan nakal”, tolaknya.
Pijitannya sudah mencapai betis dan sebentar lagi ke paha.
“Lepas dulu celananya”.
“Bapak juga lepas dong”.
“Ah nggak usah, paling juga pijitanmu pijitan nakal”, tolaknya.
Pijitannya sudah mencapai betis dan sebentar lagi ke paha.
“Lepas dulu celananya”.
“Bapak juga lepas dong”.
Akhirnya kulepas piyamanya setelah aku melepas pakaianku,
meninggalkan bikini pink yang semi transparan. Tubuhnya yang tegap tak
menyisakan lemak di perutnya aku kagum dengan postur seperti itu, tapi
tak kulihat sorot kekaguman di matanya melihatku semi telanjang,
sepertinya beliau udah biasa mengamati tubuh seperti ini, justru beliau
memintaku langsung tengkurap karena dia mau melanjutkan pijatannya,
masih mengenakan celana dalamnya. Tak ada salahnya kuturuti, toh beliau
yang mau, bukan kehendakku.
Pijatannya memang menghanyutkan, apalagi ketika tangannya sudah
mencapai paha mendekati selangkanganku, mungkin vaginaku sudah basah
hanya karena pijitan itu. Cukup lama ketika tangannya mencapai pantatku,
beliau melepas celana dalamku, sesekali pijitan itu ke celah celah
selangkangan dan nyerempet ke daerah vagina, makin basah aku dibuatnya.
Bra dilepasnya ketika sampai di punggung, kali ini beliau langsung
memijat ke arah depan, diremasnya buah dadaku yang masih tergencet
tubuhku, dia menolak ketika aku berusaha berbalik, remasan remasan halus
menegakkan bulu romaku, terasa geli geli terangsang mendapat remasan
dari tangannya yang kekar dan berbulu.
Aku makin merinding saat kurasakan ciuman di tengkuk dan punggungku,
sementara remasan di dadaku masih lembut. Ciumannya turun ke punggung
lalu ke pantat, tangannya kembali menyelip di antara kakiku, menggosok
bibir vaginaku dari sisi belakang, aku mulai mendesah sambil menaikkan
pantatku secara reflek. Desahanku semakin keras saat kurasakan lidahnya
menjilati pantat, kutekuk kakiku hingga aku nungging, semakin terbuka
daerah kewanitaanku.
Tapi beliau tak melanjutkan jilatannya, beliau telentang disampingku, meski agak kecewa akupun bergeser di antara kakinya, kulepas celana dalamnya.
Tapi beliau tak melanjutkan jilatannya, beliau telentang disampingku, meski agak kecewa akupun bergeser di antara kakinya, kulepas celana dalamnya.
Sesaat aku terkaget heran, ternyata kejantanannya tak setegar
penampilan postur tubuhnya, terlalu kecil dibandingkan dengan ukuran
tubuhnya yang tegap dan gagah, agak kecewa aku melihat kenyataan itu,
tapi tak mungkin kuungkapkan kekecewaanku. Kugenggam penis tegangnya,
hanya seukuran genggaman tanganku, segera kucium dan kubelai penis itu,
meski tidak besar tapi tugasku untuk membuatku terpuaskan dan syukur
kalau aku juga bisa ikutan terpuaskan, tapi kali ini rasanya nggak
mungkin.
Lidahku menyusuri penis yang sudah menegang tak lama kemudian
meluncur keluar masuk mulutku, semua batang kejantanannya bisa
kumasukkan ke rongga mulutku sampai hidungku menyentuh rambut
kemaluannya, beliau memegang kepalaku dan membenamkan lebih dalam ke
selangkangannya.
Tak lebih tiga menit aku mengulumnya, beliau menarikku ke atas dan
merebahkanku ke ranjang, menciumi pipi dan bibirku, baru kusadari kalau
kami tadi belum sempat berciuman. Lidahnya dengan lembut menyapu kedua
putingku, dikulum dan dipermainkannya dengan lembut. Beliau menolak
ketika tanganku hendak meremas penisnya kembali, tarian lidahnya yang
lembut membuatku mulai melayang.
Aku mulai mendesah sambil meremas remas rambut Pak Ari yang berada di
dadaku, baru kutahu kalau ternyata dia agak botak, tak terlihat dalam
keadaan biasa. Beliau kembali mencium bibirku saat kejantanannya mulai
kusapukan ke bibir vaginaku. Tanpa melepas ciuman kami dia menyodokkan
penisnya masuk, kupeluk dan kucium beliau dengan penuh gairah, berharap
aku juga ikut merasakan kenikmatan dari beliau yang gagah perkasa ini.
Satu, dua, tiga kocokan pelan telah dilakukan, aku merasakan kehangatan
dekapannya, pada kocokan ke lima kurasakan cairan hangat membasahi
vaginaku mengiringi lenguhan panjang Pak Ari, lalu tubuhnya menegang
kemudian melemas telungkup di atasku.
Dia sudah mencapai puncak kenikmatannya pada kocokan ke lima, hanya
beberapa detik penis itu berada di vaginaku, kini sudah mengakhiri
kenikmatan itu, tentu saja aku kecewa tapi sekali lagi kekecewaanku tak
mungkin kutunjukkan pada tamuku. Napasnya masih menderu di telingaku,
detak jantungnya seakan mau meledak di dadaku, begitu kencang. Kubiarkan
tubuhnya masih telungkup menindih meski kurasakan agak sesak napasku
terhimpit tubuhnya.
“Kamu belum ya”, bisiknya ditelingaku dengan nada seperti sesal.
Aku hanya tersenyum, dia memandangku, kulihat tatapan kekecewaan dari sorot matanya, hilang rasanya ke-angkeran dan ke-gagahan yang tampak sebelumnya.
“Istirahat dulu, mungkin Bapak terlalu buru buru, ntar aku bantu deh”, hiburku.
“Habis kamu nggemesin sih”, dia turun dari tubuhku, kami telentang bersebelahan.
Aku hanya tersenyum, dia memandangku, kulihat tatapan kekecewaan dari sorot matanya, hilang rasanya ke-angkeran dan ke-gagahan yang tampak sebelumnya.
“Istirahat dulu, mungkin Bapak terlalu buru buru, ntar aku bantu deh”, hiburku.
“Habis kamu nggemesin sih”, dia turun dari tubuhku, kami telentang bersebelahan.
Beberapa saat kami beristirahat dan bersantai, kembali aku dibuatkan
teh hangat, bersantai kami nonton TV sambil sesekali beliau mengomentari
acaranya. Tangannya mulai menggerayangi dada dan pahaku, aku diam saja
tak bereaksi terhadapnya, kubiarkan pula saat tangannya mulai meremas,
hanya desahku yang terdengar ketika mulutnya mengulum putingku.
Kubiarkan kejantanannya menegang dengan sendirinya, aku takut kalau dia
terlalu cepat selesai. Namun aku tak bisa hanya mendesah ketika bibirnya
sudah beradu dengan bibir vaginaku, desahanku makin keras, kuremas
rambut dan kuelus kepala botaknya.
Untuk kesekian kalinya seorang Jendral bertekuk lutut di antara kedua
kakiku dengan kepala terjepit di selangkangan dan mulut terkunci di
vagina. Jilatan lidahnya makin ganas, sesekali seakan dia menyedot semua
isi tubuhku dari vagina, aku menjerit nikmat, apalagi jari tangannya
mulai ikutan mengocokku. Beliau berdiri dan menyodorkan penis kecilnya
yang keras menegang, kubelai dan kuciumi dengan manja, sebentar kukocok,
sebentar kuremas, desahnya mulai terdengar penuh nafsu.
Tanpa diperintah aku nungging di depannya, di atas sofa, dengan
posisi ini dia punya keleluasaan untuk mengatur permainan. Kurasakan
kejantanannya mulai memasuki vaginaku, aku mendesah pelan, beliau
membiarkan penisnya berdiam di dalam beberapa saat lamanya sambil
mengusap punggung dan pantatku. Aku tak berani menggerakkan pantatku
seperti biasanya, khawatir beliau selesai sebelum waktunya, pelan
ditariknya penisnya dan pelan pula didorongkan kembali, lalu didiamkan
lagi. Sebenarnya ini merupakan siksaat tersendiri bagiku, tapi demi
kepuasan tamuku, tentu tak boleh egois.
Beberapa kali dia melakukan dengan pelan, tarik, dorong dan diam,
diremasnya erat pantatku ketika kucoba mengimbanginya, kuurungkan
gerakanku, hanya terdiam menanti kocokan pelannya. Lima kocokan sudah
berlalu, aku masih tetap mematung dan mendesah menerimanya, tak ada
kenikmatan sama sekali bagiku, tapi mungkin bagi beliau ada kenikmatan
tersendiri, biarlah demi kepuasan Bapak Jendral yang terhormat.
Rupanya beliau cukup percaya diri ketika pada kocokan selanjutnya tak
terjadi apa apa, kocokannya mulai cepat dan akupun mulai memberanikan
diri untuk menggerakkan pantatku. Namun seperti sebelumnya, tak lebih
semenit aku menggoyangkan pinggulku mengimbangi gerakannya, dia sudah
teriak dalam orgasme, kurasakan penisnya berdenyut pelan di vaginaku.
Kudiamkan saja sampai dia puas menumpahkan spermanya di vagina. Tak ada
kenikmatan sama sekali yang bisa kudapatkan darinya, kecuali pijitannya.
Kutinggalkan beliau sendirian di sofa setelah membersihkan
kejantanannya, ketika aku kembali dari kamar mandi Pak Ari sudah
telentang di ranjang menanti kedatanganku, kurebahkan tubuhku dan
kusandarkan kepalaku di dadanya yang bidang, terasa ada kedamaian dalam
pelukan tubuh kekarnya, apalagi ketika beliau membelai ramputku sambil
kami bercakap cakap, terasa romantis. Sebenarnya melihat postur tubuhnya
yang terbilang sexy, aku sungguh berharap banyak mendapatkan kenikmatan
darinya, tapi harapanku tinggallah harapan belaka.
Lebih dari setengah jam aku dalam pelukannya, beliau mengangkat
daguku, dicium dan dilumatnya bibirku, dengan mesra kubalas kuluman
bibirnya sambil mulai tanganku menggerayang ke selangkangannya. Kuremas
dan kukocok kejantanannya, perlahan mulai menegang meski masih kecil
dalam genggamanku, tak berani mengocok cepat, takut terlalu cepat
berlalu. Kususuri leher dan dadanya, sesekali kukulum putingnya, ciuman
dan lidahku bermain main di dada dan perutnya, kurasakan penisnya mulai
mengeras.
Kembali kepalaku berada di selangkangannya, aku nungging di
sampingnya sambil mencium dan menjilati kejantanannya, akhirnya penis
itu meluncur keluar masuk mulutku tak lama kemudian. Pak Ari mendesah
merasakan kulumanku, semakin kupercepat kocokan mulutku sambil
mempermainkan lidahku di kepala penisnya, tangannya meremas remas buah
dadaku penuh gairah. Aku ingin membuatnya benar benar siap sebelum
kumasukkan penisnya ke vaginaku, namun kembali terpaksa menelan
kekecewaan saat kudengar teriakannya.
Segera kukeluarkan penis dari mulutku tapi terlambat, penisnya
berdenyut hanya beberapa saat setelah keluar dari mulutku, sedikit
semprotan mengenai wajahku. Tanpa ragu kusapukan penis itu ke wajahku,
beliau mengerang nikmat sambil meremas remas rambutku, kumasukkan
kembali penisnya ke mulutku, dia mengerang kaget dan segera menarik
kejantanannya dari mulut dan genggamanku.
“Ugh.. nakal ya”, katanya, aku hanya tersenyum sambil membersihkan wajahku dengan sprei.
“Ugh.. nakal ya”, katanya, aku hanya tersenyum sambil membersihkan wajahku dengan sprei.
Pukul 2 tengah malam kutinggalkan beliau yang masih terlelap, tentu
saja seijinnya. Si ajudan hanya tersenyum ketika melihatku melintasi
lobby. Aku yang masih terbakar birahi terpaksa harus memendamnya, entah
sampai kapan, sampai kudapatkan kepuasan dari tamuku nantinya, karena
aku sendiri tak tahu siapakah tamuku besok, apakah aku bisa mendapatkan
kepuasan darinya, itulah pertanyaan yang selalu menggelayut di benakku.
Sempat terlintas dalam benakku, apa istrinya bisa terpuaskan dengan
kondisi Pak Ari yang seperti itu, mengingat aku sering melihatnya di TV
betapa cantiknya istrinya meskipun sudah termakan usia, namun masih
menampakkan sisa sisa kecantikannya.
Keesokan siang harinya, si ajudan nongol di depan pintu kamarku
dengan di antar Om Lok, rupanya dia iri ketika aku melayani komandannya,
sekarang dia ingin mendapatkan service yang telah kuberikan ke
atasannya malam sebelumnya.
Tentu saja aku terkaget, tapi apa salahnya sejauh dia bisa membayarku toh tak ada bedanya. Ternyata dari dialah akhirnya kudapatkan kepuasan dan orgasme yang berulang ulang, meski pangkatnya masih kapten tapi permainannya bahkan melebihi si laksamana yang hanya mampu bertahan tak lebih dari semenit.
Tentu saja aku terkaget, tapi apa salahnya sejauh dia bisa membayarku toh tak ada bedanya. Ternyata dari dialah akhirnya kudapatkan kepuasan dan orgasme yang berulang ulang, meski pangkatnya masih kapten tapi permainannya bahkan melebihi si laksamana yang hanya mampu bertahan tak lebih dari semenit.
Itulah manis, pahit dan getirnya menjalani profesi ini, meski tak
banyak frekuensinya tapi cukup menyiksa untuk dilakoni. Banyak kisah
seperti ini yang aku jalani, bahkan tak jarang juga dari mereka yang
masih muda, tentunya merupakan siksaan tersendiri bagiku, mungkin akan
kutuangkan dalam kisah kisah tersendiri.
=========================================================
Akhirnya kutinggalkan Hotel Hilton yang telah menjadi rumahku selama
hampir sebulan ini, sesuai kontrak kerja sama dengan Om Lok. Sebelum
meninggalkan kamar kuamati sejenak kamar itu, begitu banyak kisah yang
telah kulalui disini, ranjang yang telah menjadi saksi bisu perjalanan
hidupku yang penuh warna kelabu, duka dan duka (sedikit suka) telah
kulewati, tak ada kesedihan saat meninggalkan segala “kemewahan” yang
ada, semua telah siap kutinggalkan.
Beberapa Room Boy melepasku dengan sedih, dengan kepaergianku tentu
mereka tidak lagi mendapatkan tip yang hampir tiap hari kuberikan secara
rutin setelah membereskan kamar, mereka semua tahu akan profesiku, tak
bisa disangkal itu meskipun tak pernah mengatakannya, apalagi aku sering
membantu keuangan apabila mereka mengalami masalah. Kubagikan masing
masing 100 ribu setelah mengangkut semua barangku ke mobil, toh ini
terakhir dan aku yakin dan tak ingin akan ketemu mereka lagi.
Koh Wi, si pengacara (tamu pertamaku, baca seri cerita pertama)
menjemput dan membawaku ke Hotel Garden Palace. Dialah orang yang
berhasil membujukku untuk meninggalkan Om Lok dan hidup bersamanya,
meski tak jelas hidup bersama seperti apa, tapi bagiku yang penting
hidup bebas dari ikatan Om Lok terlebih dahulu, setelah itu bagaimana
jadinya, itu urusan belakang. Aku harus keluar dari kandang buaya ini,
tak mungkin selamanya disini, lebih baik pergi selagi masih dibutuhkan
dari pada disuruh pergi setelah manisnya tubuhku habis terhisap, tentu
akan sangat menyakitkan.
“Kenapa kamu mau pergi Ly?”, tanya Om Lok beberapa hari sebelum kontrakku berakhir.
Kutolak perpanjangannya karena aku ingin bebas mengatur hidupku sendiri, tidak tergantung dia, aku juga berhak atas diriku yang selama ini selalu dalam genggaman orang lain, suatu kehidupan yang dengan sengaja “kugadaikan” ditukar dengan limpahan materi, ternyata kurasakan begitu gersang.
“Aku ingin bebas Om”.
“Kenapa? apa disini kurang bebas? semua kebutuhan sudah kucukupi, uang yang kamu dapat tidak berkurang sedikitpun, tamu juga terus berdatangan tak pernah sepi, kamu ingin apa? Mobil? Ntar Om belikan BMW, rumah? Kamu pilih sendiri yang mana? Tinggal bilang saja”, Om Lok masih berusaha membujukku dengan iming iming berbagai limpahan materi.
Tapi tentu saja dia sudah berhitung dengan cermat antara yang diberikan dan yang akan dia dapat, sebenarnya itu juga sebagian besar adalah hasil keringatku sendiri.
Kutolak perpanjangannya karena aku ingin bebas mengatur hidupku sendiri, tidak tergantung dia, aku juga berhak atas diriku yang selama ini selalu dalam genggaman orang lain, suatu kehidupan yang dengan sengaja “kugadaikan” ditukar dengan limpahan materi, ternyata kurasakan begitu gersang.
“Aku ingin bebas Om”.
“Kenapa? apa disini kurang bebas? semua kebutuhan sudah kucukupi, uang yang kamu dapat tidak berkurang sedikitpun, tamu juga terus berdatangan tak pernah sepi, kamu ingin apa? Mobil? Ntar Om belikan BMW, rumah? Kamu pilih sendiri yang mana? Tinggal bilang saja”, Om Lok masih berusaha membujukku dengan iming iming berbagai limpahan materi.
Tapi tentu saja dia sudah berhitung dengan cermat antara yang diberikan dan yang akan dia dapat, sebenarnya itu juga sebagian besar adalah hasil keringatku sendiri.
Aku tetap bersikukuh untuk keluar, apapun resikonya, apalagi Koh Wi
sudah berjanji mendukungku apabila Om Lok bertindak macam-macam, dia kan
pengacaranya dalam beberapa hal, tentu Om Lok tak berani kalau harus
berhadapan dengannya. Akhirnya dia menyerah tak berhasil membujukku
dengan berbagai cara dan iming-iming, tekadku sudah bulat, tak bisa
ditawar lagi, hal ini juga berkat tekanan dari Koh Wi padanya. Sejak
saat itu Om Lok tak pernah telepon apalagi datang ke kamarku, hanya anak
buahnya yang memberi tahu kalau akan ada tamu, sekalian memberikan uang
bagianku.
Beberapa hari terakhir tamuku makin banyak, tidak pernah kurang dari 3
orang, rupanya Om Lok ingin memanfaatkanku habis habisan sebelum aku
lepas dari genggamannya, bahkan di hari terakhir aku harus melayani 5
tamu dalam sehari.
Kugunakan kesempatan ini untuk mulai “marketing” diriku sendiri, secara nggak langsung kuberitahu mereka kalau aku tidak akan disini sebentar lagi, terutama pada tamu tamuku yang sudah menjadi langganan. Kuberikan nomer pagerku, atas bantuan Room Boy aku telah mendapatkan pager tanpa setahu Om Lok, maklum waktu itu handphone masih belum sepopuler sekarang, nomernya masih terbatas sekali, apalagi di daerah Surabaya, masih menggunakan 082-310xx dan pesawatnya sebesar handy talkie, bisa untuk ganjal mobil mogok. Beruntung beberapa tamu tak keberatan memberiku nomer telepon, tentu saja mereka yang sudah percaya diri dan mempercayaiku.
Kugunakan kesempatan ini untuk mulai “marketing” diriku sendiri, secara nggak langsung kuberitahu mereka kalau aku tidak akan disini sebentar lagi, terutama pada tamu tamuku yang sudah menjadi langganan. Kuberikan nomer pagerku, atas bantuan Room Boy aku telah mendapatkan pager tanpa setahu Om Lok, maklum waktu itu handphone masih belum sepopuler sekarang, nomernya masih terbatas sekali, apalagi di daerah Surabaya, masih menggunakan 082-310xx dan pesawatnya sebesar handy talkie, bisa untuk ganjal mobil mogok. Beruntung beberapa tamu tak keberatan memberiku nomer telepon, tentu saja mereka yang sudah percaya diri dan mempercayaiku.
Sengaja kutinggalkan beberapa barang pemberian Om Lok, terutama gaun
malam sexy, sebagian barang rumah tangga kubagi bagikan ke Room Boy yang
kupikir lebih membutuhkan. Kutinggalkan kamar itu sebagai wanita yang
sama sekali berbeda dengan saat masuk sebulan yang lalu, kini namaku
Lily, nama pemberian Om Lok, berbeda dengan nama pemberian orang tua
yang sudah lebih dari 25 tahun kusandang (tentu saja pembaca tak perlu
tahu siapa nama asliku).
“Kita sudah sampai”, kata Koh Wi menyadarkanku dari lamunan.
Ternyata Mercy sudah masuk pelataran parkir Hotel Garden Palace. Aku sendiri masih tak tahu kenapa pilihanku jatuh ke Koh Wi, padahal sudah banyak tamu yang menawarkan diri untuk “melindungiku”, menjadikan simpanannya, menjadikan istri kedua dan sebagainya, tapi aku lebih condong ke Koh Wi. Padahal dia sudah seusia papa-ku, wajahnya tidak ganteng bahkan menyeramkan dengan sedikit bekas cacar di mukanya. Mungkin karena dia “telah berjasa membimbing dan meyakinkanku” sehingga aku punya rasa percaya diri yang tinggi dalam menjalani profesi ini. Aku tak berfikir materi saat ini, karena kurasakan perhatian dan kasih sayang tersendiri darinya, dimana tak kudapatkan dari para tamu yang hanya melampiaskan nafsunya saja. Mungkin saat itu aku terlalu haus kasih sayang sehingga menjadi buta tidak melihat kenyataan bahwa dia sudah berkeluarga dan mempunyai anak seusiaku.
Ternyata Mercy sudah masuk pelataran parkir Hotel Garden Palace. Aku sendiri masih tak tahu kenapa pilihanku jatuh ke Koh Wi, padahal sudah banyak tamu yang menawarkan diri untuk “melindungiku”, menjadikan simpanannya, menjadikan istri kedua dan sebagainya, tapi aku lebih condong ke Koh Wi. Padahal dia sudah seusia papa-ku, wajahnya tidak ganteng bahkan menyeramkan dengan sedikit bekas cacar di mukanya. Mungkin karena dia “telah berjasa membimbing dan meyakinkanku” sehingga aku punya rasa percaya diri yang tinggi dalam menjalani profesi ini. Aku tak berfikir materi saat ini, karena kurasakan perhatian dan kasih sayang tersendiri darinya, dimana tak kudapatkan dari para tamu yang hanya melampiaskan nafsunya saja. Mungkin saat itu aku terlalu haus kasih sayang sehingga menjadi buta tidak melihat kenyataan bahwa dia sudah berkeluarga dan mempunyai anak seusiaku.
Sesampai di kamar kubongkar pakaianku dan kumasukkan ke lemari, kamar
itu cukup luas meski lebih kecil dari Hilton, bertemakan Roman sehingga
kurasakan suasana berbeda, pemandangan kota Surabaya yang lama tak
kunikmati terlihat jelas dari lantai 12. Hari ini kurasakan kembali
kemerdekaanku yang telah beberapa lama tergadai, hatiku begitu ceria
dengan kebebasan ini. Kuutarakan niatanku membeli mobil, Koh Wi berjanji
membelikanku tapi aku menolak, khawatir nanti menjadi suatu ikatan dan
kemerdekaanku kembali tergadai, akhirnya kuputuskan untuk membeli Isuzu
Panther dari hasil keringatku sendiri selama hampir sebulan, tanpa
bantuan sedikitpun dari Koh Wi. Sengaja tidak kupilih sedan, disamping
untuk menghemat pengeluaranku, juga karena aku masih berkeinginan
memiliki BMW yang masih belum terjangkau saat ini, paling tidak harga
jual kembali tidak terlalu jatuh, apalagi aku sedang merenovasi rumah
hasil pembagian harta saat cerai dulu, selama ini tak pernah
kuperhatikan, tak mungkin selamanya aku tinggal di Hotel. Aku sekarang
harus berpikir sendiri soal keuangan, tak tahu bagaimana pemasukanku
nanti setelah lepas dari Om Lok, meskipun optimis tapi masih belum tahu
bagaimana nantinya.
Sehabis mandi sore itu, kukenakan pakaian santai, celan pendek dan
T-shirt polos, rambut kukuncir ke belakang tanpa make up, toh dia bukan
tamuku kali ini, jadi aku lebih bebas. Koh Wi hanya memandangku dengan
pandangan yang lain dari biasanya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Nggak, kamu masih tetap cantik walaupun tanpa make up atau accessories lainnya”, pujinya melihat penampilanku yang apa adanya.
Aku hanya tersenyum dan duduk di pangkuannya. Tentu saja penampilanku jauh berbeda dengan saat menemani tamu, kini aku merasa seperti di rumah, tanpa beban untuk melayani dan memuaskannya dengan segala cara. Koh Wi mencium pipiku, kami berciuman, entah kenapa jantungku berdetak keras, padahal udah berulangkali kami berciuman sebelumnya, tapi kali ini ada perasaan lain saat aku mencium bibirnya, perasaan yang sudah lama tak kurasakan. Cukup lama kami saling melumat, aku benar benar menikmati ciuman ini, tangan Koh Wi sudah menjelajah ke dadaku, diremasnya kedua bukitku yang tanpa bra, aku menggelinjang dalam pangkuannya, tangannya menyusup di balik kaos dan mengusap usap dadaku dengan lembut, makin menggelinjang aku dibuatnya, ciumannya beralih ke telinga dan leherku membuatku tak tahan berlama lama dalam pangkuannya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Nggak, kamu masih tetap cantik walaupun tanpa make up atau accessories lainnya”, pujinya melihat penampilanku yang apa adanya.
Aku hanya tersenyum dan duduk di pangkuannya. Tentu saja penampilanku jauh berbeda dengan saat menemani tamu, kini aku merasa seperti di rumah, tanpa beban untuk melayani dan memuaskannya dengan segala cara. Koh Wi mencium pipiku, kami berciuman, entah kenapa jantungku berdetak keras, padahal udah berulangkali kami berciuman sebelumnya, tapi kali ini ada perasaan lain saat aku mencium bibirnya, perasaan yang sudah lama tak kurasakan. Cukup lama kami saling melumat, aku benar benar menikmati ciuman ini, tangan Koh Wi sudah menjelajah ke dadaku, diremasnya kedua bukitku yang tanpa bra, aku menggelinjang dalam pangkuannya, tangannya menyusup di balik kaos dan mengusap usap dadaku dengan lembut, makin menggelinjang aku dibuatnya, ciumannya beralih ke telinga dan leherku membuatku tak tahan berlama lama dalam pangkuannya.
Tubuhku merosot turun ke bawah, dia melepas kaosku, kubuka resleting
celananya dan kukeluarkan penisnya yang gede, inilah penis yang telah
“mem-perawani” aku saat pertama kali berprofesi, penis yang telah
berulang kali membuatku terkapar dalam lautan kepuasan sex. Kuusap
usapkan ke buah dada dan putingku, lalu kuciumi dengan gemas sambil
kupermainkan lidahku di ujungnya, dia mendesis seraya mengelus dan
membelai rambutku. Belaian berubah menjadi remasan ketika kumasukkan
kejantanannya ke mulutku, desisnya makin keras apalag saat aku lidah dan
bibirku menyusuri batang tegangnya. Sungguh kurasakan nikmat tersendiri
melakukan oral seperti ini tanpa paksaan, beberapa menit kupermainkan
kejantanannya di mulutku. Dia merebahkanku di ranjang, dilepasnya celana
pendek dan celana dalamku dengan sekali tarik, terpesona melihat
selangkanganku, padahal udah berulang kali dia menikmatinya, tapi kali
ini memang lain, semalam sebelum aku tidur yang terakhir kalinya di
kamar itu, kucukur habis bulu bulu kemaluanku, ingin penampilan yang
berbeda sekalian meninggalkan semua “jejak” masa lalu.
“Ha? Cantik..”, komentarnya melihat selangkangan gundul di antara kakiku.
Aku hanya tersenyum tak sempat berkomentar karena Koh Wi sudah mendaratkan bibirnya di bibir vaginaku. Aku menjerit kaget dan nikmat, lidahnya dengan lincah menari nari di klitoris dan vagina, diselingi permainan jari jemarinya yang keluar masuk liang kenikmatanku, desahanku terlepas bebas tanpa ke-pura pura-an, aku benar benar menikmati dengan setulus hati. Hampir saja aku orgasme hanya dengan permainan mulut dan jarinya, kalau saja Koh Wi tidak segera menghentikannya. Dia melepas semua pakaiannya tanpa bantuanku seperti biasanya, penisnya terlihat besar menegang, masih memegang rekor penis terbesar dalam catatanku.
Aku hanya tersenyum tak sempat berkomentar karena Koh Wi sudah mendaratkan bibirnya di bibir vaginaku. Aku menjerit kaget dan nikmat, lidahnya dengan lincah menari nari di klitoris dan vagina, diselingi permainan jari jemarinya yang keluar masuk liang kenikmatanku, desahanku terlepas bebas tanpa ke-pura pura-an, aku benar benar menikmati dengan setulus hati. Hampir saja aku orgasme hanya dengan permainan mulut dan jarinya, kalau saja Koh Wi tidak segera menghentikannya. Dia melepas semua pakaiannya tanpa bantuanku seperti biasanya, penisnya terlihat besar menegang, masih memegang rekor penis terbesar dalam catatanku.
Aku hanya telentang pasrah menanti, dijilatinya kedua putingku yang
sudah besar agak kehitaman (terlalu sering dikulum dan disedot kuat,
mulanya sih kecil kemerahan tapi kini sudah berubah, meski bentuknya
masih tetap kencang seperti sebelumnya, aku sangat bersukur diberi
karunia buah dada yang indah, bahkan mungkin aku berani adu keindahan
dengan Tamara Blezinski yang konon katanya mempunyai buah dada terindah,
Pede aja lagi), lidahnya menyusuri leherku sebelum akhirnya tubuh
gendut Koh Wi menindih.
Kusapukan penisnya ke vaginaku yang basah, perlahan tapi pasti
melesak mengisi rongga kewanitaanku, makin lama makin dalam hingga penis
gede itu sempurna memenuhi vaginaku, rintihan kenikmatanku membuat Koh
Wi makin gairah menciumi leher dan telinga, aku menggelinjang nikmat,
apalagi setelah dia memulai kocokannya, perlahan dan kurasakan penuh
perasaan.
Oh betapa nikmatnya, sudah lama tak kurasakan kenikmatan seperti ini,
sudah lama kulupakan bersetubuh dengan penuh perasaan, kini kembali aku
mengalaminya, suatu kenikmatan yang luar biasa, berkali kali kucium dan
kulumat bibir Koh Wi. Kocokannya makin cepat, kuimbangi dengan gerakan
pinggulku, tak kupedulikan apakah aku orgasme lebih dulu, tak
kupedulikan apakah dia bisa puas apa tidak, aku ingin orgasme secepatnya
sebelum dia.
Gerakanku penuh gairah, segairah hatiku membuat Koh Wi makin cepat
mengocok, aku benar benar bermain total, tidak separuh hati seperti
biasanya, kukerahkan segala imajinasi dan kemampuanku untuk mencapai
puncak kenikmatan secepatnya, sebelum permainan menjadi liar seperti
sebelum sebelumnya. Harapanku terkabul, tak lebih 10 menit Koh Wi
menyetubuhiku, aku langsung terbang ke puncak, kupeluk erat tubuhnya,
jeritan kenikmatanku begitu lepas keluar dekat telinganya, dibalas
pelukanku dengan kuatnya meski tak menghentikan irama kocokannya, justru
membuatku melambung makin tinggi.. Dan langsung lemas terkulai tak
berdaya dalam tindihannya. Meskipun aku tipe wanita yang bisa orgasme
ber-ulang ulang, dan itu sudah terbukti, tapi kali ini aku langsung
kehilangan tenaga sesaat setelah orgasme pertamaku, mungkin terlalu
dipengaruhi perasaan dan terlalu bernafsu sehingga makan banyak energi,
orgasme terindah selama ini.
Koh Wi hanya tersenyum melihat aku sudah tidak menggerakkan tubuhku,
bahkan mendesaHPun rasanya berat. Koh Wi masih saja sabar seperti dulu,
meski dia belum orgasme.
“Oke kita istirahat saja dulu”, katanya sambil turun dari tubuhku, padahal keringat belum sempat keluar dan rokok yang dinyalakan tadi belumlah habis.
“Kok tumben udah KO duluan, masih capek ya kemarin habis di-forsir habis”, katanya ketika kusandarkan kepalaku di dadanya, kami telanjang berpelukan.
Aku hanya tersenyum, tak mungkin dia mengerti perasaan yang tengah kualami, capek bukanlah alasan bagiku, itu hal yang biasa, apalagi kalau capeknya capek enak. Justru ini adalah rekorku, karena hari hampir menjelang malam baru kurasakan satu laki laki, biasanya paling tidak sudah 2 penis yang telah mengisi vaginaku untuk waktu seperti ini.
Sambil berpelukan kuelus elus penisnya yang masih tegang, aku benar benar menyukai penis ini.
“Oke kita istirahat saja dulu”, katanya sambil turun dari tubuhku, padahal keringat belum sempat keluar dan rokok yang dinyalakan tadi belumlah habis.
“Kok tumben udah KO duluan, masih capek ya kemarin habis di-forsir habis”, katanya ketika kusandarkan kepalaku di dadanya, kami telanjang berpelukan.
Aku hanya tersenyum, tak mungkin dia mengerti perasaan yang tengah kualami, capek bukanlah alasan bagiku, itu hal yang biasa, apalagi kalau capeknya capek enak. Justru ini adalah rekorku, karena hari hampir menjelang malam baru kurasakan satu laki laki, biasanya paling tidak sudah 2 penis yang telah mengisi vaginaku untuk waktu seperti ini.
Sambil berpelukan kuelus elus penisnya yang masih tegang, aku benar benar menyukai penis ini.
Tak lama kemudian aku sudah bergoyang kembali di atasnya, tubuhku
turun naik mengocoknya, desahan kami beriringan bersahutan, tangannya
yang kekar membelai dan meremas kedua buah dadaku yang berayun ayun
bebas sambil sesekali menyibakkan rambut yang menutupi mukaku. Keringat
kami mulai menetes deras, entah sudah berapa lama aku bergoyang pinggul
di atas tubuhnya, kuputar pantatku hingga terasa penisnya mengaduk aduk
rongga rongga di vaginaku, ouuhh.. betapa nikmatnya, meskipun ini yang
kesekian kalinya kami bercinta, tapi masih saja kurasakan kenikmatan
yang hebat, sudah beberapa kali kugapai puncak kenikmatan, tapi kepuasan
memang tiada batas.
Posisi doggie yang dia minta tak menurunkan hasrat birahiku, sodokan
demi sodokan menghantam rahimku, terasa sakit dan nikmat, sesekali
ditariknya rambutku ke belakang sambil menyodok keras, desahan bebas
lepas memenuhi kamar ini, aku benar benar bebas meng-ekspresikan
kenikmatan yang kuraih, tanpa beban, tanpa malu, semua kulakukan dengan
penuh perasaan, seakan tak ada lagi hari esok.
Setelah beberapa lama mengocokku, akhirnya kurasakan semprotan keras
menghantam dinding vaginaku seiring dengan cairan hangat yang membasahi
dan memenuhi relung relung kenikmatanku. Aku menjerit kaget dan nikmat
bersamaan dengan jeritan orgasmenya, dicabutnya penis itu dan diusap
usapkan ke pantatku, kurasakan spermanya meleleh keluar membasahi
pahaku, akupun telungkup dalam kelelahan nan nikmat. Napas kami menderu
seperti habis berlari lari, dia mengusap punggungku dengan mesranya.
“Kita ke Tretes yuk”, ajaknya setelah napas kami normal kembali tak lama kemudian.
“Kapan? udah lama aku tak kesana”, dengan girang kusambut ajakannya.
“Sabtu lusa deh kita berangkat, nginap semalam, minggu sore baru balik, gimana?”
“Asal tidak keduluan tamu bulanan yang satu itu”, jawabku, dia hanya tersenyum, kucium keningnya dan kunaiki perut buncitnya, kubiarkan spermanya menetes keluar mengenai perutnya, lalu kutinggalkan ke kamar mandi.
“Kapan? udah lama aku tak kesana”, dengan girang kusambut ajakannya.
“Sabtu lusa deh kita berangkat, nginap semalam, minggu sore baru balik, gimana?”
“Asal tidak keduluan tamu bulanan yang satu itu”, jawabku, dia hanya tersenyum, kucium keningnya dan kunaiki perut buncitnya, kubiarkan spermanya menetes keluar mengenai perutnya, lalu kutinggalkan ke kamar mandi.
Layaknya pasangan yang sedang berbulan madu, kami habiskan malam itu
dengan penuh gairah, tiada waktu yang terbuang sia sia, seperti orang
yang kehausan di padang pasir. Tak malu aku membangunkannya di tengah
malam hanya karena ingin bercinta, tentu saja dia menuruti permintaanku
dengan senang hati dan tak perlu terburu buru karena yang kami punya
saat ini adalah waktu yang panjang. Tak kuhiraukan lagi kenyataan bahwa
aku melakukan ini tanpa dibayar, namun justru itu yang membuatku
terbebas dari beban.
Ketika kubuka mataku keesokan paginya, sejenak agak asing rasanya
melihat sosok laki laki masih berada di ranjangku, masih tertidur.
Biasanya, setiap bangun di pagi hari (agak siang sih) selalu kutemui
kesendirian dan kesunyian di kamar, kali ini terasa lain, ada Koh Wi
disampingku. Selama di Hilton, belum pernah aku “keluar kandang” dan
menginap sampai pagi begini, biasanya sebelum pukul 6 aku sudah
meninggalkan tamuku kembali ke Hilton, karena memang biasanya tak pernah
sempat tidur pulas, selalu “diganggu” dikala tertidur, baru kulanjutkan
tidurku sesampai di kamarku sendiri di Hotel Hilton.
Pukul 9 pagi, Koh Wi berangkat ke kantor, meninggalkanku sendirian di
kamar, kuantar dia sampai di pintu kamar, masih mengenakan piyama tanpa
pakaian dalam, dikecupnya keningku sebelum pergi. Kembali kurasakan
kesepian sepeninggalnya, terus terang aku tak tahu dari mana harus
memulai untuk melanjutkan perjalananku, tak seorangpun yang kukenal di
duniaku kecuali Om Lok, entahlah kupikir nanti saja setelah renang dan
sarapan. Kuhabiskan waktu pagi di hari jum’at itu di kolam renang,
bahkan makan pagi kulakukan di pinggir kolam. Kusadari beberapa pasang
mata memandangku penuh, tapi tak kupedulikan. Waktu makan siang Koh Wi
datang untuk makan siang bersama dilanjutkan dengan percintaan kembali
hingga jam 2, lalu dia kembali ke kantornya. Besok paginya kami tidak
jadi berangkat kerena keduluan datangnya tamu bulanan, tapi bukan
berarti kami tidak melakukan apa apa, justru kerjaku lebih berat karena
harus melakukan oral untuk membuatnya orgasme, meskipun begitu aku
melakukannya dengan senang hati tanpa keterpaksaan.
Kami lewati hari hari yang menyenangkan, tiap jam istirahat Koh Wi
menjengukku untuk makan siang atau sekedar Quickie, disamping itu aku
sudah mulai melakukan kontak dengan tamu yang sudah memberi nomer
teleponnya. Beberapa tamu bahkan telah menghubungi lewat pager, hanya
berselang dua hari setelah kepindahanku, tapi dengan berbagai alasan aku
sementara menghindar.
Ternyata lepasnya aku dari genggaman Om Lok sudah menyebar di
kalangan GM kelas atas, entah darimana mereka mendapat informasi itu,
padahal aku tidak mengenal mereka, beberapa GM menghubungi via pager
ingin membicarakan “bisnis”, tentu kusambut dengan tangan terbuka,
semakin banyak semakin bagus, pikirku. Diam diam tanpa setahu Koh Wi,
aku menemui mereka sambil makan pagi atau sambil menemani berenang di
hotel, tentu saja membicarakan tariff-nya, dari sini aku mulai melihat
jalan ke depan sudah terbuka. Selama masa haid, kulakukan kontak untuk
memastikan bahwa aku masih exist, bahkan beberapa sudah melakukan
appointment, tentu saja saat ini tak bisa kulakukan saat jam istirahat,
paling tidak setelah jam 2 siang dan selesai sebelum jam 5 sore.
Meskipun Koh Wi tahu profesiku memang itu, tapi sementara aku harus
menjaga perasaannya, walaupun dia tidak pernah mengucapkan melarang atau
mengijinkan, entahlah nanti.
Part 2
Hari itu hari Senin, tepat sehari setelah masa haid berakhir, setelah
melayani Koh Wi di siang itu dengan penuh gairah karena sudah menahan
hasrat birahi selama haid, aku segera menghubungi tamuku di kamarnya di
lantai 8. Sengaja kuarahkan dan kubantu tamuku untuk check-in di hotel
itu supaya tidak terlalu lama diperjalanan, tentu saja menggunakan nama
asliku, tak seorangpun tahu, disamping itu aku juga merasa lebih aman
kalau melakukannya masih di Hotel. Kukenakan celana jeans dan kaos yang
ketat sehingga terkesan sexy, apalagi ditambah bra “push-up” makin
menonjokan lekuk lekuk tubuhku. Dengan tinggi 167 cm ditambah sepatu hak
7 cm, aku yakin akan membuat laki laki normal menelan ludah.
Pak David atau lebih akrab kupanggil David adalah tamu pertamaku
sebagai wanita panggilan, dia adalah salah satu tamu yang datang di hari
hari terakhirku di Hilton. Di usia yang relatif muda, mungkin 40
tahunan, dia mempunyai beberapa toko accessories mobil, salah satunya di
daerah Kedungdoro. Pada mulanya dia menolak ketika kuajak, tapi dengan
bujuk rayu dan tariff “perkenalan” untuk orang dan servis yang sama,
akhirnya dia setuju tertarik.
Sesaat David terpesona melihat penampilanku yang lain dari sebelumnya, sekarang jauh lebih modis, rambut model Shaggy dan disemir agak kemerahan menambah pesonaku.
“Kamu makin cantik dan sexy”, pujinya ketika kami sudah berada di kamar dan langsung mencium kedua pipiku.
“Udah makan?”, tanyanya sambil melucuti pakaianku.
“Nggak ah lagi diet”, jawabku bohong membalas melucuti pakaiannya.
“Mandi dulu yuk, biar segar”, ajakku setelah kami sama sama telanjang, kutuntun dia ke kamar mandi dan kumandikan, tangannya tak pernah berhenti menjamah seluruh tubuhku selama kumandikan.
Kini kubiasakan untuk mengajak tamuku mandi sebelum bercinta, selain biar bersih dan segar, juga untuk menghilangkan bau keringat terutama di daerah selangkangan.
Sesaat David terpesona melihat penampilanku yang lain dari sebelumnya, sekarang jauh lebih modis, rambut model Shaggy dan disemir agak kemerahan menambah pesonaku.
“Kamu makin cantik dan sexy”, pujinya ketika kami sudah berada di kamar dan langsung mencium kedua pipiku.
“Udah makan?”, tanyanya sambil melucuti pakaianku.
“Nggak ah lagi diet”, jawabku bohong membalas melucuti pakaiannya.
“Mandi dulu yuk, biar segar”, ajakku setelah kami sama sama telanjang, kutuntun dia ke kamar mandi dan kumandikan, tangannya tak pernah berhenti menjamah seluruh tubuhku selama kumandikan.
Kini kubiasakan untuk mengajak tamuku mandi sebelum bercinta, selain biar bersih dan segar, juga untuk menghilangkan bau keringat terutama di daerah selangkangan.
Akhirnya kami berpelukan telanjang dan saling melumat bibir di atas
ranjang, ciuman penuh nafsu menyusuri leher dan dadaku, diremas remas
dengan gemas sambil mengulum kedua puncak bukitku, kurasakan kenikmatan
mulai menjalar di sekujur tubuhku, aku menggeliat. Sejenak pandangannya
terpaku ketika melihat selangkanganku yang gundul, dia menatapku
tersenyum lalu mulai menjilati klitorisku, aku mulai mendesah dan
desahanku makin keras saat lidahnya mulai bermain di bibir vaginaku. Tak
kupedulikan bahwa belum sejam yang lalu vagina itu telah diobok obok
penis Koh Wi dan dibanjiri dengan spermanya, aku yakin tak ada lagi
sisanya karena sudah kucuci bersih. Begitu bergairah David menjilati
vagina gundulku sambil jari tangannya ikutan mengocok.
Kami berganti posisi, dia telentang menikmati jilatan dan kulumanku
pada penisnya yang tidak sebesar punya Koh Wi, tangannya meremas remas
rambutku. Kuminta dia mengangkat kakinya, kujilati penisnya hingga ke
pangkal, terus turun sampai ke lubang anusnya. Belum pernah kulakukan
hal itu pada tamuku sebelumnya tapi sudah sering terhadap Koh Wi, banyak
improvisasi bercinta yang kulakukan, sebagai “kelinci percobaan”
kulakukan terhadap Koh Wi, kalau dia menyukainya berarti laki laki lain
aku yakin pasti suka, kucoba memberikan kesan dan kepuasan tersendiri
pada tamuku kini.
Desahan David makin keras ketika lidahku dengan lincat bermain di
sekitar lubang anusnya, kepalanya diangkat menatapku yang masih
diselangkangannya, seakan tak percaya aku melakukannya. Kami ber-69,
vaginaku tepat di atas wajahnya, dia langsung menjilat dengan rakus,
bagitu juga aku terhadap penisnya. Puas bermain oral dan vaginaku sudah
basah terangsang, aku berbalik menghadapnya, dengan posisiku di atas,
kuusapkan penisnya yang menegang ke vaginaku, perlahan kuturunkan
tubuhku dan melesaklah penis itu ke vaginaku, penis kedua yang kurasakan
setelah seminggu hanya merasakan penis Koh Wi.
Ooohh.. sungguh nikmat merasakan penis yang lain, padahal dulu aku
biasa merasakan lebih dari 3 penis dalam sehari, lebih dari 3 penis yang
berbeda bentuk dan ukurannya selalu mengobok obok vaginaku setiap
harinya, tapi kini lain rasanya, begitu kunikmati perbedaannya. Baru
kusadari nikmatnya perbedaan setelah hanya kurasakan satu macam, mungkin
itu yang membuat orang sering selingkuh, untuk mencari nikmatnya
perbedaan dari satu wanita ke wanita lainnya diluar yang sudah ada di
rumah.
Kudiamkan sejenak setelah semua penis itu melesak di vaginaku,
kupandang wajah David yang penuh nafsu, ditariknya tubuhku dalam
pelukannya dan dilumatnya bibirku sambil mulai mengocokku dari bawah.
Aku mendesah dekat telinganya, kocokannya makin cepat dan pelukannya
makin erat. Kami sama sama mendesah nikmat memacu nafsu menuju puncak
kenikmatan. Kulepaskan pelukannya, aku mulai mengocok, tubuhku turun
naik diatasnya sambil mengelus elus paha dan kantong bolanya. Aku
menggeliat nikmat ketika tiba tiba dia menyodokku dari bawah, kedua
tenganku tertumpu di pahanya kugoyang pantatku, dia mendesah
mencengkeram buah dadaku, membalas goyanganku dengan kocokan.
Ditariknya kembali tubuhku dalam pelukannya, kami bergulingan, kini
posisiku di bawah, menindih tubuhku, dada dan napas kami menyatu dalam
irama kenikmatan birahi, penisnya makin cepat keluar masuk vaginaku.
Kakiku kujepitkan di pinggangnya mengimbangi, makin dalam kejantanannya
menembus masuk liang vaginaku, aku mendesah nikmat tak tertahankan.
Sebelum kugapai puncak kenikmatan dia sudah terlebih dahulu
menyemprotkan spermanya di vaginaku, cairan hangat terasa memenuhi
rongga kenikmatanku disertai denyutan denyutan kuat menghantam dinding
dindingnya, aku menjerit melambung, dia terdiam menikmati saat saat
orgasmenya, kugoyangkan pinggulku sambil memeras habis sperma yang masih
tersisa, kudengar jeritan kaget tapi tak kuhiraukan, orgasmeku tinggal
selangkah lagi dan aku tak mau kehilangan momen, goyangan pinggulku
makin kuat hingga akhirnya kugapai kenikmatan tertinggi, jeritan keras
mengiringi orgasmeku sambil meremas rambut David. Akhirnya kami berdua
terkulai lemas tak bertenaga, tubuhnya masih diatasku, detak jantung dan
napas kami saling mengisi, diciumnya bibir dan keningku sebelum turun
dari tubuhku, kami telentang di atas ranjang dalam kelelahan.
“Kamu lebih hebat daripada sebelumnya”, komentarnya tanpa memandangku, cairan spermanya masih terasa menetes keluar dari vaginaku dan kubiarkan saja.
“Kamu lebih hebat daripada sebelumnya”, komentarnya tanpa memandangku, cairan spermanya masih terasa menetes keluar dari vaginaku dan kubiarkan saja.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 3:20 sore, cukup lama juga kami
tadi bercinta, masih ada waktu satu jam lebih, masih lama, cukup untuk
satu babak panjang sekali lagi. Setelah beberapa lama kami telentang
saling peluk, kutinggalkan dia, kubersihkan tubuhku di kamar mandi,
kucuci vaginaku dari spermanya. Kami bercinta sekali lagi dengan penuh
gairah dan nafsu di sofa dan kamar mandi, tak sedetikpun waktu kami
biarkan berlalu tanpa desahan penuh nafsu hingga kami sama sama terkulai
tak bertenaga.
Pukul 16:45 aku sudah kembali ke kamarku, inilah “perselingkuhan”
pertamaku sejak bersama Koh Wi, memang tidak ada ikatan atau perjanjian
diantara kami tapi dari nada bicaranya dia keberatan kalau aku bekerja
kembali, sebagai konsekuensinya dia memenuhi segala kebutuhanku termasuk
uang jajan, meski nilainya jauh tidak sebanding dengan pendapatanku
sewaktu di Hotel Hilton, namun ada kepuasan tersendiri dalam hal ini.
Ketika Koh Wi datang, aku bersikap sewajarnya seperti tidak terjadi
sesuatu, seperti hari hari lainnya, kamipun bercinta di malam harinya.
Sejak saat itu aku lakukan “perselingkuhan” dengan tamu, pada mulanya
kulakukan di Hotel yang sama, namun makin lama aku semakin berani untuk
“keluar kandang” ke hotel lainnya asal masih diseputaran daerah itu.
Meski demikian aku tak pernah “melalaikan tugas” untuk melayani nafsunya
tiap jam istirahat dan malam harinya, hampir setiap hari. Banyak alasan
kalau dia menanyakan kepergianku, lagi ke rumah saudara, lagi shopping,
lagi mencoba mobil baru dan sebagainya.
Part 3
Sepandai pandai tupai bersandiwara, akhirnya tercium juga, rupanya
Koh Wi mempunyai mata mata di hotel yang melaporkan kepergianku setiap
siang, sebagai seorang laki laki yang sudah pengalaman tentu dia bisa
mencium ada ketidak beresan. Pada suatu hari dia memberiku hadiah,
sebuah Handphone, waktu itu masih barang langka, tak banyak yang punya,
aku senang sekali, dalam benakku tentu aku lebih leluasa bisa
menghubungi tamu tamuku, tapi aku tak menyadari kalau justru dengan
adanya HP aku malah tidak bisa bergerak leluasa, selalu termonitor
kemana aku pergi.
Dalam seminggu nomor HP-ku sudah beredar di kalangan GM dan para
tamu, hampir tiap pagi tak pernah berhenti berdering, sengaja kumatikan
kalau ada Koh Wi, untuk menghindari kecurigaan. Sejauh ini aku merasa
berhasil memainkan sandiwara, dan beberapa kali berhasil lolos dari
lubang jarum perangkapnya, meski dia curiga tapi tak pernah aku
tertangkap basah, dia hanya menyindir tanpa bukti nyata.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tak terasa sudah lebih 2
bulan aku hidup bersama Koh Wi, dan hidup berselingkuh darinya.
Sepertinya semua berjalan normal tanpa ada hambatan dengan permainan
kucing kucingan ini.
Suatu malam kami bertengkar hebat, dia menemukan sekotak pil KB yang selalu rutin kuminum berikut sekotak kondom yang lupa kusembunyikan, dituduhnya aku yang tidak tahu terima kasih, wanita tak tahu diri, dasar PELACUR dan segudang perkataan yang menyakitkan hatiku, bahkan karena kami sama sama emosi dia menyepakkan kakinya ke pahaku, aku menangis mendapat perlakuan kasar semacam ini, belum pernah seumur hidupku disakiti secara fisik seperti ini, meskipun penyiksaan batin telah sering aku terima.
Suatu malam kami bertengkar hebat, dia menemukan sekotak pil KB yang selalu rutin kuminum berikut sekotak kondom yang lupa kusembunyikan, dituduhnya aku yang tidak tahu terima kasih, wanita tak tahu diri, dasar PELACUR dan segudang perkataan yang menyakitkan hatiku, bahkan karena kami sama sama emosi dia menyepakkan kakinya ke pahaku, aku menangis mendapat perlakuan kasar semacam ini, belum pernah seumur hidupku disakiti secara fisik seperti ini, meskipun penyiksaan batin telah sering aku terima.
Dia memang menghendaki aku hamil, tapi dari sisiku aku belum siap
karena dia tidak bisa memberikan kepastian tentang masa depan hubungan
kami, sekali tanpa sepengetahuan dia kugugurkan kandungan yang baru
berumur 1-2 bulan (ya Tuhan ampunilah aku) karena aku sendiri tak tahu
dari benih siapa ini. Akhirnya malam itu juga kuputuskan untuk pergi
dari kamar itu, kukemasi semua barangku, bersiap meninggalkannya.
Melihat keseriusanku, dia mulai melunak, dia menghiba minta maaf,
berlutut di depanku dan berjanji tak mengulangi lagi, kembali dia
mengungkit kebaikan kebaikannya dulu. Emosiku sudah turun, naluri
kewanitaanku terusik ketika dia mengingatkan kebaikannya terhadapku,
akhirnya akupun melemah, kemarahanku mencair hilang sudah kebencian yang
sempat hinggap.
Kubelai kepalanya yang tersandar di pahaku, kubelai dengan penuh
kasih sayang, tak tega aku membuatnya bersedih, dan kumaafkan apa yang
barusan dia perbuat seperti tidak pernah terjadi. Malam itu kami kembali
bercinta dengan begitu bergairah, biasa kalau pasangan habis berantem
lalu damai pasti percintaannya lebih menggairahkan. Sebagai kesungguhan
permintaan maafnya dia tidak ke kantor besoknya, menemaniku sepanjang
hari, dan sepanjang hari pula kami becumbu dan bercinta, lebih bergairah
dan lebih liar dari sebelumnya.
Namun kedamaian ini hanya berlangsung seminggu, kali ini memang
kesalahanku, aku tertangkap basah di Hotel Tunjungan. Siang itu ada
seorang GM meneleponku untuk datang ke Hotel Tunjungan, sebenarnya aku
udah nggak mau karena sudah terlalu sore, sudah pukul 3 lewat, tentu
nggak enak kalau buru buru, tapi dia berhasil meyakinkanku bahwa ini
tidak akan lama karena dia juga diburu flight ke Jakarta, setelah
berpikir sejenak meluncurlah Panther-ku ke HT yang jaraknya tak lebih 10
menit dari tempatku.
Sesampai di tempat parkir GM itu telah menungguku dan langsung
membawaku ke kamar. Aku tertegun sesaat melihat tamuku, orangnya ganteng
dan masih muda, mungkin tidak lebih dari 30 tahun, namanya Herman.
Beberapa menit GM itu menemani kami sebelum akhirnya meninggalkanku
berdua dengan Herman. Sepeninggal GM, Herman dengan lembut menarikku
dalam pelukannya, aroma parfumnya sungguh menggairahkan, kami berciuman,
bibir kami saling melumat, kurasakan hangat dan lembut sentuhan
bibirnya. Aku hanya memeluk dan menggosok punggungnya, tak berani lebih
jauh sebelum dia mulai terlebih dahulu, itulah prinsipku supaya tidak
terlalu dianggap norak.
Ciuman kami belum terlepas ketika tangannya mulai diselipkan dibalik
kaosku, mengusap punggungku lembut. Seiring dengan ciumannya di leherku,
tangannya sudah bergeser ke depan, menggerayangi dadaku, mengusap
lembut kedua bukitku, aku menggelinjang mulai mendesah. Herman
merebahkanku di ranjang, kembali kami berciuman, masih berpakaian
lengkap, bergulingan di atas ranjang. Saling mencumbu, satu persatu
pakaianku dilucuti, meninggalkan bra hijau satin yang masih menutupi
buah dadaku. Dijilatinya dan diremas kedua buah dadaku tanpa melepas
penutupnya, aku mendesah sambil meraih selangkangannya yang mengeras
dibalik celana, kuremas remas kejantanannya yang masih terkurung rapat,
begitu keras seperti hendak terlepas dari sangkarnya.
Herman telentang, kini giliranku, kubuka kancing kemejanya sambil
menciumi dadanya yang bidang berbulu, terlihat begitu macho, desahannya
mulai keluar ketika kujilati putingnya, jilatanku turun ke perut
bersamaan dengan tanganku membuka celananya. Kejantanannya yang panjang
dan keras langsung menyembul saat kulorot celana dalam yang
mengekangnya, tidak terlalu besar namun panjang dengan bentuk lengkung
ke atas, begitu kerasnya hingga berdiri seperti tugu pahlawan yang tegak
menantang ke atas. Sedetik aku terkesiap akan keindahan yang ada di
depanku, kupegang dengan lembut, kuremas, kukocok, kubelai, kuusapkan ke
wajahku, kuciumi dengan gemas, benar benar gemas bukan dibuat buat.
Lidahku menyusuri kejantanan yang indah itu, dari kepala hingga pangkal,
menari nari di kepala kejantanannya. Beberapa detik kemudian
kejantanannya sudah meluncur keluar masuk mulutku, tak bisa semua masuk
ke mulut tapi desahannya makin keras kudengar, buah dadaku diremas remas
saat aku mengulumnya.
“Benar kata orang, kamu memang pintar oral”, komentarnya di sela desahan kenikmatan.
Tak kuperhatikan, kepalaku masih bermain di selangkangannya, kujilat habis daerah kenikmatan yang ada di sekitar itu.
“Oooh.. sshh.. Ayo ly, sekarang”, pintanya sembari menarik tanganku.
Aku segera berbalik, kusapukan kejantanannya yang makin tegang ke vaginaku, sengaja tak langsung kumasukkan tapi kugesek dan kuusapkan.
“Come oon.. pleeassee..”, desahnya.
Aku tersenyum melihat expresi wajah gantengnya yang terbakar birahi, perlahan kuturunkan tubuhku, perlahan penisnya memasuki vaginaku yang sudah basah, sebelum masuk semua kutarik lagi dan kuturunkan lagi, kugoda dia, aku begitu menikmati wajah wajah dalam birahi. Herman meraih buah dadaku dan menekan tubuhku turun, melesaklah semua penisnya dalam vaginaku.
“Ooouugghh.. ss..”, aku mendesah, betapa nikmatnya penis itu mengisi vaginaku, pelan pelan tubuhku turun naik mengocoknya, kurasakan kenikmatan demi kenikmatan setiap kali penisnya tertanam semua di dalam, desahku makin keras seiring goyangan Herman yang mengimbangiku.
Tak kuperhatikan, kepalaku masih bermain di selangkangannya, kujilat habis daerah kenikmatan yang ada di sekitar itu.
“Oooh.. sshh.. Ayo ly, sekarang”, pintanya sembari menarik tanganku.
Aku segera berbalik, kusapukan kejantanannya yang makin tegang ke vaginaku, sengaja tak langsung kumasukkan tapi kugesek dan kuusapkan.
“Come oon.. pleeassee..”, desahnya.
Aku tersenyum melihat expresi wajah gantengnya yang terbakar birahi, perlahan kuturunkan tubuhku, perlahan penisnya memasuki vaginaku yang sudah basah, sebelum masuk semua kutarik lagi dan kuturunkan lagi, kugoda dia, aku begitu menikmati wajah wajah dalam birahi. Herman meraih buah dadaku dan menekan tubuhku turun, melesaklah semua penisnya dalam vaginaku.
“Ooouugghh.. ss..”, aku mendesah, betapa nikmatnya penis itu mengisi vaginaku, pelan pelan tubuhku turun naik mengocoknya, kurasakan kenikmatan demi kenikmatan setiap kali penisnya tertanam semua di dalam, desahku makin keras seiring goyangan Herman yang mengimbangiku.
Kami saling mengocok mereguk nikmat, dia mencegah ketika kubuka bra-ku, biar tampak sexy, katanya.
Tubuhku ditarik dalam dekapannya, dia mengocokku dari bawah, desahanku makin keras di dekat telinganya, berkali kali kuciumi wajahnya yang ganteng, tak segan aku melumat dan mempermainkan lidahku di mulutnya, begitu menikmatinya aku dengan tamu ini.
Tubuhku ditarik dalam dekapannya, dia mengocokku dari bawah, desahanku makin keras di dekat telinganya, berkali kali kuciumi wajahnya yang ganteng, tak segan aku melumat dan mempermainkan lidahku di mulutnya, begitu menikmatinya aku dengan tamu ini.
Aku kembali duduk diatas penisnya, kuputar pantatku, vaginaku seperti
diobok obok dengan penisnya, makin nikmat rasanya, aku bertahan sekuat
tenaga untuk tidak segera mencapa puncak kenikmatan, terlalu sayang
untuk dilakukan dengan cepat, masih banyak yang kuharapkan darinya.
Keringatku sudah mulai menetes, keringat kenikmatan, goyangan dan
kocokanku makin liar tak beraturan, jak jarang tubuhku kuturunkan dengan
keras menghentak, kejantanannya terasa begitu keras menghantam liang
rahimku, sakit namun bercampur kenikmatan.
Herman menaikkan tubuhnya hingga posisinya duduk memangkuku, kami
saling berpelukan, kepalanya disusupkan diantara kedua buah dadaku yang
terbungkus bra. Lidahnya menyusuri dadaku seiring dengan kocokanku
padanya, kuluman di putingku membuatku semakin cepat melambung tinggi,
gerakanku sudah tidak beraturan. Kuremas kepalanya yang masih menempel
di dadaku dengan gemas, kami bergulingan berganti posisi. Kakiku
dinaikkan ke pundaknya, kejantanannya makin dalam pula mengisi rongga
kenikmatanku, jeritan kenikmatanku semakin tak terkontrol, liar, seliar
penis yang mengaduk adukku. Sodokannya begitu keras, dihempaskannya
tubuhnya ke vaginaku.
“Aagghh.. aaghh.. aagghh”, desahku setiap kali kurasakan hentakan
demi hentakan, sepertinya aku tak bisa bertahan lebih lama lagi
menghadapi keganasan dan kenikmatan yang dia berikan, puncak kenikmatan
sebentar lagi kuraih, namun tiba tiba dia menghentikan gerakannya,
mencabut penisnya. Aku menjerit protes dengan mata melotot, tapi
senyuman nakalnya mengalahkan protesku.
Dibaliknya tubuhku bersiap untuk posisi doggie, tanpa aba aba dengan
sekali dorong dia melesakkan penisnya ke vaginaku, keras dan cepat
sekali dorongannya, aku terdongak kaget, kutoleh dengan experesi marah
tapi dibalas dengan senyuman menggoda. Rambutku ditarik kebelakang
berlawanan dengan gerakan kocokannya, membuatku kembali terbuai dalam
nikmatnya gelombang birahi.
Entah berapa lama kami bercinta sepertinya jarum jam bergerak begitu
cepat, terlupa sudah batasan waktu yang kuberikan, kami mengarungi
lautan kenikmatan, gelombang demi gelombang kami kayuh bersama hingga
berdua mencapai puncak gelombang kenikmatan, dan kamipun terkulai lemas
di atas awing. Kami melanjutkan satu babak lagi sebelum tersadar bahwa
jarum jam sudah menunjukkan 17:20, berarti Koh Wi sudah pulang. Sesaat
aku panic, tapi Herman menghiburku dengan belaian mesranya membuatku
kembali terlupa.
Kegugupan menyergapku ketika HP-ku berdering, dari Koh Wi, dengan
nada tinggi dia langsung mendampratku, kata kata pedas kembali
terdengar, kali ini begitu panas dan lebih menyakitkan, apalagi masih
ada Herman disampingku, entah dia mendengar atau tidak, segera kututup
HP dan dengan berjuta alasan kutinggalkan Herman di kamar, aku tahu dia
kecewa tapi kuminta pengertiannya.
Sesampai di kamar terjadilah perang besar, kami saling beradu mulut
dengan kencang, mungkin terdengar dari luar, alasan kepergianku barusan
ternyata dengan mudahnya dipatahkan karena ternyata dia sudah curiga dan
menyuruh orang untuk me-mata matai, aku tak bisa berkutik berhadapan
dengan pengacara ini. Tak lupa untuk kesekian kalinya dia mengungkit
ungkit “jasa-jasa” nya mengeluarkanku dari Hilton, supaya aku “sadar”
dan hanya miliknya, tapi kali ini tak kugubris, tekadku sudah bulat
untuk keluar pula dari kamar ini, aku sudah tak tahan dalam
cengkeramannya. Malam itu juga aku segera mengemas semua pakaian dan
milikku, tak lupa kutinggalkan barang pemberian Koh Wi, Panther-ku penuh
dengan tas dan koper, diiringi hujan rintik rintik kutinggalkan Hotel
Garden Palace tempatku bernaung selama hamper 3 bulan.
Terus terang aku tak tahu hendak kemana tujuanku selanjutnya, dimalam
seperti ini dan kepergian yang mendadak tentu aku tak punya rencana,
hanya kuikuti emosi, yang jelas aku harus pergi dari Koh Wi. Tanpa arah
tujuan kususuri jalanan kota Surabaya, baru kusadari sudah banyak
terjadi perubahan, mungkin aku yang terlalu terlena dalam kehidupanku
hingga tak sempat mengikuti perkembangan kotaku tercinta ini. Akhirnya
kuparkir mobil ke hotel di Jalan Arjuna, entah hotel apa aku tak ingat
karena memang masih baru dan check in.
Sendirian di kamar hotel yang sempit aku merenungi perjalanan hidupku
yang begitu cepat berubah, kuabaikan HP yang berbunyi tanpa kuterima,
sengaja aku ingin sendiri mencari jawaban atas makna hidup yang kulalui.
Kukenang kebaikan dan kejelekan Koh Wi, dari dialah aku terbebas dari
suatu belenggu meskipun masuk ke belenggu lainnya, dari dialah kukenal
dunia malam yang penuh hiruk pikuk semu bertabur temaram lampu diskotik
dan hangar bingar house music, dari dialah kumulai mengenal apa itu yang
namanya ganja, extasy dan sejenisnya, semua kejadian itu kembali seolah
membayang di depan mataku, hingga akhirnya aku terlelap dalam buaian
angin malam.
Keesokan paginya aku seperti terbangun dari mimpi, kudapati diriku
tergeletak di kamar yang sempit dan jelek, tak ada ciuman selamat pagi,
tak kudapati belaian mesra di pagi hari, semuanya kosong dan hampa,
sehampa hatiku. Kini aku benar benar terlepas dari lindungan orang, aku
harus bisa bertahan dan berdiri sendiri tanpa mengandalkan orang lain,
tak ada lagi orang yang menghiburku dikala gundah, tak ada lagi laki
laki pelindungku dikala susah, sendirian harus kulanjutkan perjalananku
yang aku sendiri tak tahu menuju kemana. Namun terlepas dari semua itu
tekadku sudah bulat, aku harus bertahan dan tetap bertahan tanpa
menggantungkan harapan pada orang lain, semua tergantung pada diriku
sendiri.
Babak ketiga dalam hidupku telah kumulai setelah babak pertama di
Hilton dan babak kedua di Hotel Garden Palace. Kini aku menjadi tuan
atas diriku sendiri, aku bisa menentukan kapan saatnya istirahat dan
kapan saatnya menerima tamu dan dengan siapa aku harus melayani adalah
keputusanku sendiri, inilah saatnya memulai freelance, mengarungi hidup
seorang diri tanpa bimbingan dari orang lain kecuali kata hati ini.
=================================================
Selama perjalanan menjalani kehidupan sebagai seorang Call Girl,
banyak kualami bermacam perilaku sexual, banyak kupelajari kehidupan
yang sama sekali tak pernah terlintas sebelumnya, mungkin sebagian besar
masyarakat menyebut kelainan sexual, sebagian lagi menyebut gaya hidup
bahkan sebagian lainnya menyebut petualangan, terserah dari sudut mana
mereka memandang, tapi bagiku semua itu adalah expresi naluri liar yang
ada dalam diri manusia. Sudah beberapa kali aku melayani tamu yang
mempunyai fantasi sexual yang liar, mereka minta dilayani 2-3 wanita,
meskipun sebenarnya kebanyakan dari segi fisik tidak mampu, tapi fantasi
untuk diperlakukan bak raja mengalahkan logika mereka.
Sore itu seperti biasa aku sudah meluncur dari satu hotel ke hotel
lainnya, dari satu ranjang ke ranjang lainnya, dari pelukan satu laki
laki ke laki laki lainnya. Sebenarnya tamuku kali ini bukanlah seperti
umumnya, dia mengaku bersama istrinya ingin main bertiga, katanya, ini
adalah kali kedua aku melayani suami-istri (baca: “Ada Apa Dengan
Cinta?”).
Meskipun aku sudah ‘kebal’ dengan perilaku aneh, tapi aku masih belum
bisa mengerti mengapa seorang istri membiarkan suaminya bercinta dengan
wanita lain, di hadapannya pula, bahkan ikutan terlibat, tapi apa
peduliku sejauh mereka membayar sesuai kesepakatan bagiku tidak ada
salahnya.
Aku bukanlah seorang bi-sexual yang bisa melayani laki laki dan
perempuan, aku juga cukup sering melayani seorang laki laki bersama
gadis lainnya, tapi dengan sepasang suami istri sebenarnya memberikan
sensasi yang jauh lebih tinggi daripada sekedar permainan bertiga
umumnya.
Ketika sampai di kamar yang kutuju, istrinya, seorang wanita berkulit
putih yang tidak terlalu cantik menyambutku di pintu kamar hotel di
jalan Basuki Rahmat, usianya kutaksir awal 40-an tapi bodynya masih
bagus seperti layaknya gadis 20-an, suaminya kelihatan acuh menyambut
kedatanganku, mungkin berusia 50 tahunan, cukup jauh perbedaan mereka.
“Mas, ini Lily sudah datang nih”, kata si istri pada suaminya yang hanya melirikku sambil nonton TV.
“Hmm.., langsung aja suruh dia mandi”, perintahnya dengan angkuh tanpa melihatku.
Agak ragu juga aku melihat penerimaan suaminya seperti itu, mungkin dia tidak cocok denganku atau bagaimana, aku nggak tahu. Istrinya hanya melihat dan tersenyum ke arahku seraya menggandengku ke kamar mandi.
“Mandi dulu lalu kenakan ini” kata si istri menyerahkan piyama batik yang di ambil dari lemari.
“Bapak baik baik saja Mbak? kalau dia nggak cocok sama aku, lebih baik nggak jadi aja deh daripada dipaksain, ntar nggak bisa enjoy”, tanyaku melihat keangkuhan suaminya.
“Dia emang begitu, dingin dingin mau, lihat aja nanti, percaya deh sama aku”, jawabnya meyakinkan.
Si istri ternyata tidak keluar ketika aku mulai melepas kaos dan celana jeans-ku, dia malah ikutan melepas pakaiannya sambil melihatku mandi.
“Maaf Mbak, aku nggak bisa melayani Mbak”, kembali aku menegaskan posisiku ketika kulihat dia sudah hampir telanjang.
“Huss, aku juga nggak mau, jangan pikirkan itu, yang penting suamiku puas”
“Maass, mau ikutan mandi bareng nggak”, teriak istrinya dari kamar mandi, namun tak ada jawaban dari suaminya, bahkan sampai teriakan ketiga juga tidak terdengar jawaban.
“Body kamu bagus, pasti dia cepat mabok kepayang”, komentarnya saat melihatku mandi.
“Hmm.., langsung aja suruh dia mandi”, perintahnya dengan angkuh tanpa melihatku.
Agak ragu juga aku melihat penerimaan suaminya seperti itu, mungkin dia tidak cocok denganku atau bagaimana, aku nggak tahu. Istrinya hanya melihat dan tersenyum ke arahku seraya menggandengku ke kamar mandi.
“Mandi dulu lalu kenakan ini” kata si istri menyerahkan piyama batik yang di ambil dari lemari.
“Bapak baik baik saja Mbak? kalau dia nggak cocok sama aku, lebih baik nggak jadi aja deh daripada dipaksain, ntar nggak bisa enjoy”, tanyaku melihat keangkuhan suaminya.
“Dia emang begitu, dingin dingin mau, lihat aja nanti, percaya deh sama aku”, jawabnya meyakinkan.
Si istri ternyata tidak keluar ketika aku mulai melepas kaos dan celana jeans-ku, dia malah ikutan melepas pakaiannya sambil melihatku mandi.
“Maaf Mbak, aku nggak bisa melayani Mbak”, kembali aku menegaskan posisiku ketika kulihat dia sudah hampir telanjang.
“Huss, aku juga nggak mau, jangan pikirkan itu, yang penting suamiku puas”
“Maass, mau ikutan mandi bareng nggak”, teriak istrinya dari kamar mandi, namun tak ada jawaban dari suaminya, bahkan sampai teriakan ketiga juga tidak terdengar jawaban.
“Body kamu bagus, pasti dia cepat mabok kepayang”, komentarnya saat melihatku mandi.
Selesai mandi aku tak jadi mengenakan piyama, aku dan si istri hanya
berbalut handuk di dada, kami keluar bersamaan. Ternyata si suami sudah
berbaring di atas ranjang, hanya mengenakan celana dalam, si istri
memandangku penuh arti lalu menganggukkan kepala, aku segera mengerti.
Tanpa rasa segan pada istrinya, aku menyusul suaminya ke ranjang, tapi
sebelum sampai ke ranjang, si istri menarik lepas handukku hingga aku
telanjang di depan suaminya.
“Wow, kamu cantik dan sexy dengan payudara yang indah”, komentar suaminya melihat tubuh telanjangku.
Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya, langsung berjongkok di antara kedua kakinya, kuraba raba pahanya, terlihat
kejantanannya yang menonjol dari balik celana dalamnya, sengaja kuperlambat irama permainan, tidak segera menyentuh
kejantanannya.
“ciumi dadanya Ly, dia senang diperlakukan seperti itu”, bimbing istrinya yang duduk di samping suaminya.
Segera kunaiki tubuh si suami, kuciumi pipi dan lehernya, kujilati putingnya, lidah dan bibirku turun terus menyusuri dada dan perutnya, tanganku mulai meraba dan meremas remas kejantanan yang semakin keras.
“Wow, kamu cantik dan sexy dengan payudara yang indah”, komentar suaminya melihat tubuh telanjangku.
Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya, langsung berjongkok di antara kedua kakinya, kuraba raba pahanya, terlihat
kejantanannya yang menonjol dari balik celana dalamnya, sengaja kuperlambat irama permainan, tidak segera menyentuh
kejantanannya.
“ciumi dadanya Ly, dia senang diperlakukan seperti itu”, bimbing istrinya yang duduk di samping suaminya.
Segera kunaiki tubuh si suami, kuciumi pipi dan lehernya, kujilati putingnya, lidah dan bibirku turun terus menyusuri dada dan perutnya, tanganku mulai meraba dan meremas remas kejantanan yang semakin keras.
Mereka berciuman ketika kulepas celana dalamnya, langsung keluarlah
penisnya, tidak terlalu istimewa, biasa saja. Langsung kugenggam dan
kuremas remas, kukocok kocok, mereka masih berciuman bibir sambil tangan
si suami meremas remas buah dada istrinya.
“Kulum dan lumat dia”, perintah istrinya saat melihatku sudah mulai menciumi kejantanan suaminya.
Ketika lidahku mulai menyentuh kepala penisnya, kulihat sesaat suaminya melihat ke arahku.
“Uff.., ya terus sayang”, komentarnya, entah ditujukan padaku atau pada istrinya.
“Kulum dan lumat dia”, perintah istrinya saat melihatku sudah mulai menciumi kejantanan suaminya.
Ketika lidahku mulai menyentuh kepala penisnya, kulihat sesaat suaminya melihat ke arahku.
“Uff.., ya terus sayang”, komentarnya, entah ditujukan padaku atau pada istrinya.
Kami segera kembali saling melumat bibir, kusapukan lidahku ke
seluruh kepala dan batang penisnya, bahkan hingga kantong bola,
desahannya tertahan di mulut istrinya. Mereka menghentikan ciumannya
ketika kumasukkan kejantanannya ke mulutku, keduanya melihat bagaimana
penis itu menerobos masuk di sela sela bibir manisku lalu meluncur
keluar masuk dengan cepat, tangan si suami memegang kepalaku dan
mendorongnya lebih dalam.
“Ssshh.., kamu pintar manis.., teruss.., yaa” desahnya kembali.
Tak lama saat si istri menyodorkan putingnya ke mulut suaminya, bergantian mereka mendesah. Aku masih menjalankan tugasku, menjilat dan mengulum saat suami istri itu berganti posisi, mereka membentuk 69, ke empat tangan bergantian mengocok penis itu diselingi jilatan dan kulumanku. Beberapa kali jeritan si suami terucap disertai pujian saat penis itu meluncur di mulutku, istrinya hanya tersenyum dan menatapku tajam setiap kali kulumat ataupun kusapukan lidahku pada kejantanannya, dia seperti menikmati, namun tak sekalipun bibirnya menyentuh penis suaminya, apalagi menjilati atau mengulum, entahlah.
“Ssshh.., kamu pintar manis.., teruss.., yaa” desahnya kembali.
Tak lama saat si istri menyodorkan putingnya ke mulut suaminya, bergantian mereka mendesah. Aku masih menjalankan tugasku, menjilat dan mengulum saat suami istri itu berganti posisi, mereka membentuk 69, ke empat tangan bergantian mengocok penis itu diselingi jilatan dan kulumanku. Beberapa kali jeritan si suami terucap disertai pujian saat penis itu meluncur di mulutku, istrinya hanya tersenyum dan menatapku tajam setiap kali kulumat ataupun kusapukan lidahku pada kejantanannya, dia seperti menikmati, namun tak sekalipun bibirnya menyentuh penis suaminya, apalagi menjilati atau mengulum, entahlah.
Si istri memutar tubuhnya, dia mengatur posisi di atas suaminya,
perlahan tubuhnya turun diiringi desahan nikmat, aku yang masih berada
di selangkangan dengan jelas melihat bagaimana penis itu pelan pelan
menguak liang kenikmatannya sambil kuelus elus kantong bolanya. Tubuh si
istri langsung turun naik ketika berhasil melesakkan semua penis si
suami, seperti naik kuda dia menghentakkan tubuhnya dengan kuat diiringi
desahan desahan erotis.
Aku berpindah ke atas, kuciumi pipi si suami, dia langsung meraih kepalaku dan melumat bibirku dengan penuh gairah, lidah kami saling beradu, tangannya menggerayangi kedua buah dadaku, meremasnya agak kuat, sekuat goyangan istrinya di atas. Vaginaku terasa semakin basah melihat permainan liar istrinya, ingin segera merasakan kenikmatan yang di dapat si istri, tinggal tunggu kesempatan, pikirku.
Aku berpindah ke atas, kuciumi pipi si suami, dia langsung meraih kepalaku dan melumat bibirku dengan penuh gairah, lidah kami saling beradu, tangannya menggerayangi kedua buah dadaku, meremasnya agak kuat, sekuat goyangan istrinya di atas. Vaginaku terasa semakin basah melihat permainan liar istrinya, ingin segera merasakan kenikmatan yang di dapat si istri, tinggal tunggu kesempatan, pikirku.
Sambil mendapat kuluman bibir dan remasan, tanganku tanpa sedar mulai
mempermainkan klitorisku sendiri, kusodorkan putingku ke mulut si
suami, disambutnya dengan kuluman kuluman liar pula, dan akupun ikut
mendesah. Ketika kulihat jeritan orgasme dari si istri, aku merasa
giliranku segera tiba, kugeser tubuhku di belakang si istri, seperti
orang yang sedang mengantri. Meskipun sebenarnya penampilan maupun wajah si suami tidaklah menarik perhatianku, tapi melihat permainan mereka aku jadi ikutan terbawa suasana, dan lebih lagi sensasi bercinta dengan laki laki di depan istrinya sungguh tak pernah kulupakan.
“Aduh Mas, enak banget, lebih asyik dari pada di rumah”, kudengar bisikan istrinya di sela sela sengalan napasnya, mereka berpelukan beberapa saat.
orang yang sedang mengantri. Meskipun sebenarnya penampilan maupun wajah si suami tidaklah menarik perhatianku, tapi melihat permainan mereka aku jadi ikutan terbawa suasana, dan lebih lagi sensasi bercinta dengan laki laki di depan istrinya sungguh tak pernah kulupakan.
“Aduh Mas, enak banget, lebih asyik dari pada di rumah”, kudengar bisikan istrinya di sela sela sengalan napasnya, mereka berpelukan beberapa saat.
Aku masih di belakang si istri sambil mengelus elus kantong bola
suaminya, berharap dia segera turun. Setelah istrinya turun, si suami
menarikku dalam pelukannya, kami kembali berciuman dan bergulingan, dia
mencumbui sekujur
tubuhku, menjilati leherku, melumat kedua putingku. Vaginaku yang sudah basah semakin basah, ingin segera kumasukkan kejantantan itu, tapi rupanya dia masih ingin mempermainkanku lebih lama, padahal aku yakin penis tegangnya hanya beberapa mili dari liang kenikmatanku, bahkan sesekali kurasakan gesekan keras di bibir vaginaku, tapi belum juga terjadi penetrasi, aku makin tersiksa seperti cacing kepanasan, berulang kali permintaanku untuk segera melesakkan penisnya hanya ditanggapi dengan senyuman.
tubuhku, menjilati leherku, melumat kedua putingku. Vaginaku yang sudah basah semakin basah, ingin segera kumasukkan kejantantan itu, tapi rupanya dia masih ingin mempermainkanku lebih lama, padahal aku yakin penis tegangnya hanya beberapa mili dari liang kenikmatanku, bahkan sesekali kurasakan gesekan keras di bibir vaginaku, tapi belum juga terjadi penetrasi, aku makin tersiksa seperti cacing kepanasan, berulang kali permintaanku untuk segera melesakkan penisnya hanya ditanggapi dengan senyuman.
Istrinya yang dari tadi hanya melihat suaminya mencumbuiku, mulai
ikutan, dia mengelus elus punggungnya, menciumi pantatnya lalu mengocok
penisnya dengan tangannya, sesekali diusapkan ke vaginaku tanpa
memasukkan. Kupeluk erat tubuh si suami di atasku, ingin rasanya segera
mendapat kocokan di vagina, ciumannya turun hingga mencapai
selangkanganku, lidahnya menjelajah seluruh daerah intim kenikmatan yang sudah basah, aku semakin mendesah terbakar birahi.
selangkanganku, lidahnya menjelajah seluruh daerah intim kenikmatan yang sudah basah, aku semakin mendesah terbakar birahi.
Tiba tiba si istri telentang di sampingku, menarik tubuh suaminya
dari selangkanganku dengan paksa, tentu saja aku kecewa tapi apa dayaku,
aku tak berhak untuk menuntut apa lagi menuntut layanan atas suaminya.
Dengan hati dongkol aku terpaksa tersenyum saat si suami mengecup
bibirku dan berpindah dari tubuhku ke atas tubuh istrinya. Aku masih
telentang terdiam dengan perasaan dongkol, napasku yang mulai menderu
semakin kencang saat melihat pantat si suami
mulai turun naik dengan cepat di atas tubuh istrinya, diiringi desahan desahan nikmat mereka berdua.
mulai turun naik dengan cepat di atas tubuh istrinya, diiringi desahan desahan nikmat mereka berdua.
Permainan mereka sungguh menggoda, aku jadi terbawa untuk ingin
ikutan bermain bertiga, berulang kali kugoda mereka untuk mengalihkan
perhatiannya padaku tapi sepertinya si istri selalu menghalangi ketika
suaminya hendak beralih padaku, kecuali hanya sebatas cumbuan dan
rabaan. Sambil mengocok istrinya, tangan si suami menggerayangi tubuhku,
aku hanya mendesah sambil mempermainkan klitoris dengan jariku sendiri,
tak kupedulikan lagi mereka, kini akupun ikutan mendesah dengan caraku
sendiri, dibantu rabaan si suami.
Mereka bercinta dengan liar, berganti ganti posisi, aku selalu
menempatkan diri supaya tubuhku terjangkau dari rabaan si suami,
terkadang secara demonstratif kupermainkan klitorisku di depan si suami.
Namun semua usahaku untuk merengkuh orgasma sia sia belaka, aku memang
tak pernah melakukannya sendiri sampai orgasme dan memang tak inging
karena selalu ada laki laki yang memenuhi hasrat ini, mana bisa
dibandingkan kenikmatan kocokan penis dengan permainan jari di klitoris.
Ketika mereka berposisi doggie, aku berdiri di depan suaminya,
kusodorkan vaginaku ke mukanya, dia menyambut dengan jilatan lidahnya di
klitoris tanpa menghentikan kocokannya, kuremas remas rambutnya. Bahkan
ketika aku ikutan nungging di atas tubuh istrinya, dia hanya menciumi
vagina dan pantatku, aku hanya berharap dia memenuhi hasratku segera,
paling tidak dengan kocokan jari jari tangannya sudah cukuplah saat itu,
tapi tidak terjadi.
Entah sudah berapa kali kudengar teriakan orgasme dari si istri, tapi
dia selalu menghalangi setiap kali suaminya berusaha menghentikan
kocokannya dan beralih padaku. Akhirnya aku menyerah pasrah, mungkin
nanti setelah babak ini tiba gilirannya. Kupeluk si suami dari belakang,
yang mengocok istrinya, buah dadaku menempel rapat pada punggungnya
yang berkeringat, terasa hangat, kugesek gesekkan sambil meraba raba
dada dan perut yang agak buncit itu, sesekali kuciumi tengkuknya, dia
menggeliat geli. Tangannya kubimbing ke selangkanganku, namun dia hanya
mengusap usap klitoris dan menggesek bibir vaginaku tanpa berusaha
memasukkannya, bahkan ketika kupaksa memasukkan jari jarinya, dia malah
menariknya, aku semakin hopeless. Mereka bersetubuh dengan liar seakan
melupakan keberadaanku di kamar itu.
Harapanku semakin terbang menjauh saat kudengar teriakan kenikmatan
puncak mereka berdua secara bersamaan. Si suami segera menarik keluar
kejantanannya, membalik tubuh istrinya lalu menjepitkan penis yang masih
basah karena cairan kenikmatan itu di antara kedua buah dadanya.
Kulihat berulang kali si istri menghindar dan menutup rapat bibirnya
saat kepala penis mengenai mulutnya. Si suami melihat ke arahku, seperti
baru sadar aku ada, ditariknya tubuhku lalu ditelentangkan di samping
istrinya, dia beralih menaiku tubuhku dan menjepitkan penisnya ke buah
dada sambil memainkan putingku hingga akhirnya melemas beberapa menit
kemudian, diakhiri dengan kocokan di mulut. Kurasakan aroma sperma yang
kuat menyengat memenuhi rongga mulutku, pasti sudah berampur dengan
cairan istrinya. Dia tersenyum puas, tanpa kata meninggalkanku sendirian
di ranjang, menyusul istrinya ke kamar mandi. Tak lama kemudian
kususul mereka yang sedang mandi, berdua dengan istrinya kami memandikannya.
kususul mereka yang sedang mandi, berdua dengan istrinya kami memandikannya.
Babak selanjutnya ternyata tak lebih baik, sepertinya mereka memang
menyewaku hanya untuk menambah sensasi, perananku sebagai foreplay dan
penutup tanpa aku bisa merasakan permainan yang sebenarnya, seperti
layaknya figuran yang hanya numpang lewat penambah indahnya permainan.
Pukul 23:30, setelah membersihkan diri dan mandi, aku pamit pulang,
sebenarnya mereka masih mengharapkanku untuk menginap, melanjutkan
permainannya, namun meskipun statusku dibayar tapi kalau berperan
seperti itu tentu merupakan siksaan yang berat. Dengan alasan aku sudah
ada janjian dengan orang lain, maka mereka tidak bisa menahanku lebih
lama lagi karena memang sebelumnya tidak ada permintaan untuk
menginap.Akhirnya mereka melepaskan kepergianku, mungkin dengan kecewa.
Hingga keluar kamar meninggalkan mereka berdua, aku tidak tahu nama
suami istri tersebut, hal ini bukan pertama kali terjadi, bahkan
terkadang meskipun kami tidur dan bercinta semalaman tak jarang aku
tidak tahu nama orang yang telah meniduri dan menikmati tubuhku.
QUICKIE
Akupun langsung naik ke lantai 9, karena memang sudah janjian untuk menemani menginap dengan tamuku yang lain.
Dengan tamuku inilah aku berharap bisa menumpahkan segala birahi yang tertahan sejak tadi, ingin kuberikan servis yang sepenuhnya, bercinta hingga pagi, nonstop.
Dengan tamuku inilah aku berharap bisa menumpahkan segala birahi yang tertahan sejak tadi, ingin kuberikan servis yang sepenuhnya, bercinta hingga pagi, nonstop.
Pak Beni, nama tamuku berikutnya, ternyata sudah menungguku, terlihat sinar kelelahan di matanya.
“Ah akhirnya kamu datang juga, hampir kutinggal tidur”, sambutnya ketika membukakan pintu kamar.
“Maaf Pak, habis tadi teman teman ngundang pesta ulang tahun dulu, untung aku bisa ngabur nemuin Bapak”, jawabku berdalih.
Mana mungkin aku berterus terang kalau sedang menemani tamu lainnya. Sudah menjadi watak dasar manusia, meskipun statusku hanyalah gadis panggilan tapi kalau mendengar aku sedang bersama laki laki lain selalu timbul rasa cemburunya, ini berdasarkan pengalamanku.
“Ah akhirnya kamu datang juga, hampir kutinggal tidur”, sambutnya ketika membukakan pintu kamar.
“Maaf Pak, habis tadi teman teman ngundang pesta ulang tahun dulu, untung aku bisa ngabur nemuin Bapak”, jawabku berdalih.
Mana mungkin aku berterus terang kalau sedang menemani tamu lainnya. Sudah menjadi watak dasar manusia, meskipun statusku hanyalah gadis panggilan tapi kalau mendengar aku sedang bersama laki laki lain selalu timbul rasa cemburunya, ini berdasarkan pengalamanku.
Aku langsung mandi, dua kali dalam waktu tidak lebih 10 menit, di
kamar yang berbeda dan dengan orang yang berbeda pula, sekedar
meyakinkan bahwa tidak ada lagi sisa sisa dari tamuku sebelumnya.
Selesai mandi kukenakan piyama yang ada di lemari dan kutemani Pak Beny
yang sedang tiduran di ranjang menungguku.
“Bapak capek ya, sini aku pijitin”, aku menawarkan diri.
“Pijit beneran ya, kebetulan aku lagi capek dan ngantuk, dari Jember tadi, jalanan macet lagi”, jawabnya sambil langsung tengkurap.
Sepuluh menit aku memijit kakinya, kudengar dengkur kelelahan dari Pak Beni, rupanya dia sudah tertidur kelelahan,
meninggalkanku seorang diri dalam keadaan masih terbakar gairah. Tak tega rasanya membangunkannya, dan tidaklah etis kalau aku memaksa dia untuk melampiaskan nafsuku, maka akupun kembali “menganggur” mendengarkan dengkurannya.
“sungguh malam yang sial” pikirku, baru kali ini aku dibooking oleh 2 laki laki dalam semalam tanpa merasakan penis di vaginaku. Dengan susah payah akhirnya akupun tertidur di sampingnya dalam keadaan birahi yang masih menggantung tinggi.
“Bapak capek ya, sini aku pijitin”, aku menawarkan diri.
“Pijit beneran ya, kebetulan aku lagi capek dan ngantuk, dari Jember tadi, jalanan macet lagi”, jawabnya sambil langsung tengkurap.
Sepuluh menit aku memijit kakinya, kudengar dengkur kelelahan dari Pak Beni, rupanya dia sudah tertidur kelelahan,
meninggalkanku seorang diri dalam keadaan masih terbakar gairah. Tak tega rasanya membangunkannya, dan tidaklah etis kalau aku memaksa dia untuk melampiaskan nafsuku, maka akupun kembali “menganggur” mendengarkan dengkurannya.
“sungguh malam yang sial” pikirku, baru kali ini aku dibooking oleh 2 laki laki dalam semalam tanpa merasakan penis di vaginaku. Dengan susah payah akhirnya akupun tertidur di sampingnya dalam keadaan birahi yang masih menggantung tinggi.
Keesokan paginya saat aku terbangun, kulihat Pak Beny sudah rapi bersiap untuk pergi.
“Pagi Pak, maaf aku baru bangun, abis Bapak nggak ngebangunin sih”, sapaku lemah.
“Sorry, semalam aku tertidur, habis pijitanmu enak sih, dan lagi badanku terasa capek banget”, jawabnya sopan.
Kulihat dia meletakkan amplop putih di atas meja.
“Aku ada rapat nanti jam 9 ini, kalau kamu pulang titipkan saja kuncinya di receptionist dan ini uang kamu”, lanjutnya.
“Pagi Pak, maaf aku baru bangun, abis Bapak nggak ngebangunin sih”, sapaku lemah.
“Sorry, semalam aku tertidur, habis pijitanmu enak sih, dan lagi badanku terasa capek banget”, jawabnya sopan.
Kulihat dia meletakkan amplop putih di atas meja.
“Aku ada rapat nanti jam 9 ini, kalau kamu pulang titipkan saja kuncinya di receptionist dan ini uang kamu”, lanjutnya.
Pak Beny adalah pelanggan tetapku, setiap kali ke Surabaya dia selalu
mem-booking-ku, biasanya kami bercinta hingga pagi, tapi kali ini lain.
Mungkin karena sudah “akrab” dia tetap membayarku meskipun dia tidak
menerima servis atau menikmati tubuhku, aku jadi nggak enak dibuatnya.
“Ah nggak usah Pak, toh kita nggak ngapa ngapain, lagian aku sudah numpang tidur di sini”, aku menolak pembayarannya.
“Jangan begitu, kamu toh sudah meluangkan waktumu menemaniku tidur, jadi sudah hak kamu untuk mendapatkannya”
“Tapi aku kan tidak berbuat apa apa untuk Bapak”, aku masih bersikeras
“Itu salahku dan aku tidak mau kesalahan itu merugikan kamu”
Aku terdiam sesaat.
“Aku tidak bisa terima pemberian tanpa mengerjakan apa-apa”
“Ya udah kalo begitu bersihkan kamar sebelum pergi”, katanya sambil tertawa.
“Bapak kan rapat jam 9, sekarang masih jam 8, jadi ada waktu 30 menit kan”, bujukku sambil mendekatinya.
Kupeluk tubuhnya yang setinggi telingaku itu, sambil tanganku meremas remas selangkangannya.
“Kamu memang pintar ngerayu, maumu apa” tanyanya pura pura
“Paling 10 menit aja” jawabku meyakinkan sembari membuka resliting celananya, dia diam saja.
“Mana bisa 10 menit, paling tidak 30 menit”
“Percaya aku deh, 10 menit tidak lebih, bahkan mungkin kurang”, tantangku sambil mengeluarkan dan mengocok penisnya.
“Ah nggak usah Pak, toh kita nggak ngapa ngapain, lagian aku sudah numpang tidur di sini”, aku menolak pembayarannya.
“Jangan begitu, kamu toh sudah meluangkan waktumu menemaniku tidur, jadi sudah hak kamu untuk mendapatkannya”
“Tapi aku kan tidak berbuat apa apa untuk Bapak”, aku masih bersikeras
“Itu salahku dan aku tidak mau kesalahan itu merugikan kamu”
Aku terdiam sesaat.
“Aku tidak bisa terima pemberian tanpa mengerjakan apa-apa”
“Ya udah kalo begitu bersihkan kamar sebelum pergi”, katanya sambil tertawa.
“Bapak kan rapat jam 9, sekarang masih jam 8, jadi ada waktu 30 menit kan”, bujukku sambil mendekatinya.
Kupeluk tubuhnya yang setinggi telingaku itu, sambil tanganku meremas remas selangkangannya.
“Kamu memang pintar ngerayu, maumu apa” tanyanya pura pura
“Paling 10 menit aja” jawabku meyakinkan sembari membuka resliting celananya, dia diam saja.
“Mana bisa 10 menit, paling tidak 30 menit”
“Percaya aku deh, 10 menit tidak lebih, bahkan mungkin kurang”, tantangku sambil mengeluarkan dan mengocok penisnya.
Kuciumi lehernya, aroma parfumnya terasa lembut menyengat,
kukeluarkan kejantanannya, dia mulai mendesis dan menjamah dadaku,
tangannya diselipkan di balik piyama, meremas remas lembut bukit ranum
di dadaku. Aku merosot turun dari pelukannya, berlutut di depannya,
penisnya tepat di depanku, sedetik kemudian kulahap habis dan keluar
masuk ke mulutku. Pak Beny mendesis, meremas remas rambutku dan mulai
menggerakkan pinggulnya mengocok mulutku.
Lidah dan bibirku bergerak lincah sepanjang penis yang makin keras menegang, sesekali kuselingi dengan gigitan ringan menggoda. Aku lalu duduk di atas meja menghadapnya, piyama sudah melayang dari tubuhku, kusapukan penis tegangnya, tanpa menunggu lebih lama, dia mendorong masuk melesakkannya ke vaginaku, terasa sedikit sakit dan perih karena vaginaku masih kering, hanya air liurku yang ada di batang penis menjadi pelumas, dengan sedikit usaha akhirnya bisa tertanam semuanya. Terasa begitu nikmat setelah tersiksa semalaman, seperti biasa, Pak Beny langsung mengocokku dengan cepat dan keras, permainannya memang cenderung kasar namun menimbulkan kesan erotis.
Lidah dan bibirku bergerak lincah sepanjang penis yang makin keras menegang, sesekali kuselingi dengan gigitan ringan menggoda. Aku lalu duduk di atas meja menghadapnya, piyama sudah melayang dari tubuhku, kusapukan penis tegangnya, tanpa menunggu lebih lama, dia mendorong masuk melesakkannya ke vaginaku, terasa sedikit sakit dan perih karena vaginaku masih kering, hanya air liurku yang ada di batang penis menjadi pelumas, dengan sedikit usaha akhirnya bisa tertanam semuanya. Terasa begitu nikmat setelah tersiksa semalaman, seperti biasa, Pak Beny langsung mengocokku dengan cepat dan keras, permainannya memang cenderung kasar namun menimbulkan kesan erotis.
Dia meremas remas kedua buah dadaku dengan keras, tiba tiba secara
kasar dicabutnya penis itu, tubuhku dibalik, aku menungging di depannya,
tanganku bersandar pada meja, detik berikutnya dia mulai memompaku dari
belakang, tepat menghadap cermin di atas meja. Aku terdongak merasakan
sodokan demi sodokan, ditariknya rambutku ke belakang, lalu pegangannya
beralih ke buah dadaku dan meremasnya kuat. Aku menjerit antara sakit
dan nikmat, Pak Beny tak mempedulikan jeritanku, semakin kuat dia
membenamkan ke vaginaku, sesekali diiringi tamparan ringan pada
pantatku, terasa agak panas, semakin aku mendesah semakin kuat
tamparannya, kutoleh wajahnya menyeringai menikmati permainan ini,
pantatku sudah agak memerah.
Permainan kasarnya membawaku melayang mengarungi lautan kenikmatan,
aku mengimbangi dengan goyangan pantat, meremas remas kejantanannya yang
berada di vaginaku, akhirnya kurasakan tubuhnya menegang, cengkeraman
di buah dadaku makin kuat dan menyemburlah cairan nikmat memenuhi celah
celah kenikmatanku, terasa hangat, seiring dengan denyutan denyutan kuat
menghantam dinding-dinding kewanitaanku. Pak Beny menjerit keras dalam
kenikmatan bercinta saat kuremas remas dengan otot otot vaginaku.
Meskipun aku belum orgasme tapi aku sudah puas melihat tamuku
mendapat kenikmatannya. Segera kucabut penisnya, kuraih dan kugenggam,
ternyata masih cukup keras. Aku mengambil piyama yang tergeletak di
lantai untuk membersihkan penis itu, tapi Pak Beny mendorong tubuhku
turun, mengerti maksudnya, maka kukulum kembali penisnya sambil
kusapu-sapukan ke wajahku, bau sperma sangat kuat, lebih tajam dari punya tamuku tadi malam.
kusapu-sapukan ke wajahku, bau sperma sangat kuat, lebih tajam dari punya tamuku tadi malam.
“8 menit, ternyata kamu memenuhi janjimu, tak lebih dari 10 menit”, katanya saat aku “mencuci” penisnya dengan mulutku.
Dia langsung memasukkan kejantanannya kembali ke ’sarang’nya setelah dirasa cukup bersih.
“Kuncinya kasih aja ke receptionist kalau kamu pulang nanti”, katanya sambil menutup resluiting celananya.
“Nanti siang kalo Bapak masih mau ngelanjutin, HP aja ya”, kataku sebelum dia meninggalkan kamar.
Aku tahu bagi dia tentu belum cukup kalau hanya permainan cepat seperti itu dan aku yakin uang yang dibayarkan adalah untuk tarif menginap seperti biasanya, meskipun aku belum membuka amplop itu.
“Tergantung nanti”, jawabnya seraya menutup pintu kamar.
Dia langsung memasukkan kejantanannya kembali ke ’sarang’nya setelah dirasa cukup bersih.
“Kuncinya kasih aja ke receptionist kalau kamu pulang nanti”, katanya sambil menutup resluiting celananya.
“Nanti siang kalo Bapak masih mau ngelanjutin, HP aja ya”, kataku sebelum dia meninggalkan kamar.
Aku tahu bagi dia tentu belum cukup kalau hanya permainan cepat seperti itu dan aku yakin uang yang dibayarkan adalah untuk tarif menginap seperti biasanya, meskipun aku belum membuka amplop itu.
“Tergantung nanti”, jawabnya seraya menutup pintu kamar.
VAGINA MONOLOG
Sepeninggal Pak Beny, aku kembali rebahan di ranjang, ingin
melanjutkan tidurku yang tidak terlalu nyenyak, kunyalakan HP dan
membaca SMS yang masuk, tidak ada booking-an yang masuk, semua SMS
hanyalah ajakan hura hura nanti malam.
Aku kembali terlelap dalam pelukan ranjang hangat nan empuk, tiba
tiba HP-ku berbunyi, agak malas juga menerimanya, ternyata Pak Indra,
salah satu tamu langgananku yang unik.
“Haloo, pagi Bapak”, suaraku agak parau.
“Pagi Non, baru bangun rupanya ya”, suara dari seberang sana.
“Ih Bapak sok tahu deh”, jawabku manja
“Dari suaranya emang kelihatan kok, masih parau”
“Ah udah lama kok, tapi tidur lagi, abis cuacanya ngajak tidur sih”, aku memberi alasan karena diluar memang mendung.
“Ya udah, kalo nggak ada acara kita ketemu yuk, gimana?”, ajaknya
“Kapan dan dimana?”, aku mulai antusias mendengarnya.
“Gimana kalo sekarang aja, aku lagi ada seminar di hotel xx, giliranku nanti setelah makan siang, jadi kita bisa ketemu sebelumnya, kalo sesudahnya nggak bisa, gimana?”
Aku terdiam kaget, entah kebetulan macam apa ini, ketiga tamuku berturut turut berada di hotel yang sama, tinggal naik atau turun lantai.
“Haloo, gimana Ly, bisa nggak?”
“Pagi ini? Kasih aku satu jam deh, mandi dulu, sarapan dulu, dan pagi gini biasanya kan macet, Bapak di kamar berapa sih?”
Dia menyebutkan nomor kamarnya, berarti aku harus naik lagi 2 lantai, sengaja aku minta waktu lebih lama supaya tidak curiga kalau kami berada di hotel yang sama.
“Haloo, pagi Bapak”, suaraku agak parau.
“Pagi Non, baru bangun rupanya ya”, suara dari seberang sana.
“Ih Bapak sok tahu deh”, jawabku manja
“Dari suaranya emang kelihatan kok, masih parau”
“Ah udah lama kok, tapi tidur lagi, abis cuacanya ngajak tidur sih”, aku memberi alasan karena diluar memang mendung.
“Ya udah, kalo nggak ada acara kita ketemu yuk, gimana?”, ajaknya
“Kapan dan dimana?”, aku mulai antusias mendengarnya.
“Gimana kalo sekarang aja, aku lagi ada seminar di hotel xx, giliranku nanti setelah makan siang, jadi kita bisa ketemu sebelumnya, kalo sesudahnya nggak bisa, gimana?”
Aku terdiam kaget, entah kebetulan macam apa ini, ketiga tamuku berturut turut berada di hotel yang sama, tinggal naik atau turun lantai.
“Haloo, gimana Ly, bisa nggak?”
“Pagi ini? Kasih aku satu jam deh, mandi dulu, sarapan dulu, dan pagi gini biasanya kan macet, Bapak di kamar berapa sih?”
Dia menyebutkan nomor kamarnya, berarti aku harus naik lagi 2 lantai, sengaja aku minta waktu lebih lama supaya tidak curiga kalau kami berada di hotel yang sama.
Kumanfaatkan waktu yang tersisa dengan mandi dan berendam di bathtub,
air hangat serasa melemaskan otot ototku dan meredakan ketegangan yang
ada dalam diriku, begitu relax dan santai. Lebih 30 menit kuhabiskan
dalam nikmatnya pelukan air panas di pagi hari, segera aku berpakaian,
pakaian yang semalam terpaksa kukenakan kembali untuk menemui tamuku
ketiga dengan pakaian yang sama, make up tipis kusapukan ke wajahku dan
tak lupa Issey Miyake menambah semarak aroma tubuhku. Setelah mengemasi
barangku dan memastikan tak ada yang tertinggal, kupanggil Room Boy
untuk menitipkan kunci ke receptionist dengan diselipi selembar 20
ribuan, kulihat dia begitu gembira menerima rejeki di pagi hari.
Kususuri koridor menuju Lift, beruntunglah sepanjang jalan menuju kamar
Pak Indra tak kujumpai orang yang kukenal (hal ini sering terjadi,
terutama di hotel ini yang merupakan favorit tamuku setelah Shangri La).
Pak Indra menyambutku dengan ciuman di pipi, penampilannya masih
seperti biasanya, tenang, lembut, ganteng dan elegant di usianya yang
sudah pertangahan 40 tahun. Dia seorang dokter, katanya sih spesialis
tapi aku tak tahu spesialis di bidang apa. Kumis dicukur rapi dengan
dasi pink menghiasi stelan kemeja yang berwarna sama.
“Udah lama nunggu Dok?”, sapaku setelah melepaskan diri dari pelukan dan ciumannya.
“Jangan panggil gitu ah, kayak pasien aja, aku baru datang, belum juga duduk kamu udah nongol”
Pak Indra adalah salah satu tamu yang terbilang unik, dia lebih suka mengobrol dan curhat dari pada harus bercinta, entah kenapa, tak jarang dia memuji muji kecantikan dan kebaikan istrinya, toh meskipun begitu dia nyeleweng juga, secara garis besar aku jadi tahu kehidupan pribadi keluarganya, baik itu istri maupun anak anaknya secara mendetail, mulai namanya, kerjanya, umurnya, bahkan aku juga tahu dimana anak anaknya sekolah. Dia begitu terbuka padaku, tapi aku tak pernah tahu alasan dia berselingkuh.
“Udah lama nunggu Dok?”, sapaku setelah melepaskan diri dari pelukan dan ciumannya.
“Jangan panggil gitu ah, kayak pasien aja, aku baru datang, belum juga duduk kamu udah nongol”
Pak Indra adalah salah satu tamu yang terbilang unik, dia lebih suka mengobrol dan curhat dari pada harus bercinta, entah kenapa, tak jarang dia memuji muji kecantikan dan kebaikan istrinya, toh meskipun begitu dia nyeleweng juga, secara garis besar aku jadi tahu kehidupan pribadi keluarganya, baik itu istri maupun anak anaknya secara mendetail, mulai namanya, kerjanya, umurnya, bahkan aku juga tahu dimana anak anaknya sekolah. Dia begitu terbuka padaku, tapi aku tak pernah tahu alasan dia berselingkuh.
Seperti kebiasaannya, kami duduk berseberangan di sofa, seperti orang
yang lagi bicara bisnis, tak ada pembicaraan yang menjurus ke sex
ataupun porno, semua hanyalah masalah ringan tentang politik, film, TV,
musik dan untunglah aku yang sering nonton TV maupun baca majalah bisa
meladeni pembicaraannya, jadi nggak timpang. Cangkir Chinese Tea dan
snack yang ada di meja di depan kami sudah habis, mungkin sudah lebih
setengah jam kami ngobrol tapi tak ada tanda tanda untuk mulai permainan
panas, aku sudah mahfum akan kebiasaannya, jadi tak perlu buru buru.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10:47 ketika dia menggandengku ke
ranjang, kami saling melepas pakaian, menyisakan celana dalam dan bra
hitam berenda putih, kontras dengan kulitku yang putih mulus, dia
memandangiku sejenak.
“Kamu makin cantik dan sexy”, komentarnya.
Dengan sopan Pak Indra merebahkan tubuhku di atas ranjang. Bibir lembutnya menyapu kening, pipi dan bibirku, aku terpejam menikmati sentuhan lembutnya menyusuri wajahku. Sapuannya perlahan menjelajah turun, leher dan dada adalah favoritnya, masih dengan lembut dia mengeluarkan kedua bukitku dari ’sarang’nya. Lidahnya langsung mendarat di puncak bukitku dan menari nari mempermainkan puting yang merah kecoklatan, aku mendesah merasakan kenikmatan yang mulai menjalar ke sekujur tubuhku. Tangan Pak Indra berpindah dari remasan di dada ke selangkangan, diselipkannya di antara celana dalamku, dia menggesek-gesekkan jarinya di bibir liang kenikmatan, masih kering. Bibirnya bergerak turun ke perut dan berhenti di antara kedua kakiku, dengan kedua giginya dia melepas celana dalam yang menghalangi gerakannya.
“Kamu makin cantik dan sexy”, komentarnya.
Dengan sopan Pak Indra merebahkan tubuhku di atas ranjang. Bibir lembutnya menyapu kening, pipi dan bibirku, aku terpejam menikmati sentuhan lembutnya menyusuri wajahku. Sapuannya perlahan menjelajah turun, leher dan dada adalah favoritnya, masih dengan lembut dia mengeluarkan kedua bukitku dari ’sarang’nya. Lidahnya langsung mendarat di puncak bukitku dan menari nari mempermainkan puting yang merah kecoklatan, aku mendesah merasakan kenikmatan yang mulai menjalar ke sekujur tubuhku. Tangan Pak Indra berpindah dari remasan di dada ke selangkangan, diselipkannya di antara celana dalamku, dia menggesek-gesekkan jarinya di bibir liang kenikmatan, masih kering. Bibirnya bergerak turun ke perut dan berhenti di antara kedua kakiku, dengan kedua giginya dia melepas celana dalam yang menghalangi gerakannya.
Aku menjerit tertahan saat lidahnya mulai menyentuh klitorisku, ada
kekhawatiran kalau dia, seorang dokter, masih bisa mendeteksi sisa sisa
sperma yang ada di rongga kewanitaanku, meskipun aku sudah berusaha
untuk membersihkannya sejauh mungkin. Kecemasanku perlahan hilang saat
bibirnya mulai mempermainkan bibir vaginaku, dengan gerakan yang kurasa
indah disusurinya celah celah kewanitaan di selangkanganku, sungguh
terasa kenikmatan yang berbeda dari jilatan lainnya, aku semakin
mendesah nikmat sambil meremas remas kedua buah dadaku, sesekali kujepit
kepalanya dengan pahaku dan meremas remas rambutnya.
Pak Indra hanya tersenyum melihat kenakalanku tapi dia terus
melanjutkan permainan lidah dan mulutnya. Puas bermain di selangkangan,
ciumannya kembali naik ke perut, dada dan untuk kesekian kalinya kami
saling melumat dan
bermain bibir, lidah beradu lidah. Pak Indra membalik tubuhku, dijilatinya telinga, tengkuk dan sekujur punggungku hingga ke pantat, aku menggelinjang geli apalagi tangannya tak henti mempermainkan vagina dan klitoris. Memang kegemaran dan keahlian Pak Indra adalah melumat seluruh tubuh pasangannya, mungkin ini adalah kompensasi atas
kelemahan yang dia miliki. Entah berapa kali vaginaku mendapat sedotan dan kuluman nikmat darinya. Kami berpelukan mesra dan bergulingan, giliranku untuk memuaskannya, ciumanku turun ke lehar dan dada, kukulum dengan gigitan
ringan di putingnya, Pak Indra menggelinjang, lidahku menyusuri perutnya yang rata seolah tanpa lemak. Akhirnya kulepas celana dalamnya, tampaklah kejantanan yang masih tergolek lemas, inilah ke-unikan dari Pak Indra, dia
menderita impotensi ringan (menurutnya sih), laki laki normal pasti sudah tegang setelah cumbuan cumbuan seperti itu, tapi ini kasus lain, karena aku sudah berulang kali melayani dia, akupun sudah mempersiapkan mental untuk itu.
bermain bibir, lidah beradu lidah. Pak Indra membalik tubuhku, dijilatinya telinga, tengkuk dan sekujur punggungku hingga ke pantat, aku menggelinjang geli apalagi tangannya tak henti mempermainkan vagina dan klitoris. Memang kegemaran dan keahlian Pak Indra adalah melumat seluruh tubuh pasangannya, mungkin ini adalah kompensasi atas
kelemahan yang dia miliki. Entah berapa kali vaginaku mendapat sedotan dan kuluman nikmat darinya. Kami berpelukan mesra dan bergulingan, giliranku untuk memuaskannya, ciumanku turun ke lehar dan dada, kukulum dengan gigitan
ringan di putingnya, Pak Indra menggelinjang, lidahku menyusuri perutnya yang rata seolah tanpa lemak. Akhirnya kulepas celana dalamnya, tampaklah kejantanan yang masih tergolek lemas, inilah ke-unikan dari Pak Indra, dia
menderita impotensi ringan (menurutnya sih), laki laki normal pasti sudah tegang setelah cumbuan cumbuan seperti itu, tapi ini kasus lain, karena aku sudah berulang kali melayani dia, akupun sudah mempersiapkan mental untuk itu.
Kugenggam penisnya yang lemas, ingin ketawa rasanya melihat penis
yang begitu tidak berdaya, padahal masih relative muda, tapi tentu saja
kusimpan rasa itu beralih ke rasa kasihan. Kuciumi dengan penuh kasih
sayang pada penis yang tidak pernah memberiku kepuasan itu, seperti
menciumi mainan anak anak, tak ada sama sekali kesan kalau penis itu
merupakan alat kejantanan dan kebanggaan laki laki. Begitu bersih dan
kemerahan seperti penis anak anak, mungkin karena tidak pernah dipakai,
karena itu tanpa ragu dan ada perasaan jijik kujilati dan kumasukkan
dalam mulutku, semua bisa kulahap masuk, hidungku menyentuh rambut
kemaluannya. Pak Indra mulai mendesis saat kupermainkan lidahku pada
penisnya yang masih berada di mulutku, ingin kugigit karena gemas.
Beberapa menit penis itu mulai sedikit menegang, tapi masih jauh dari
memenuhi syarat untuk bisa penetrasi, kombinasi kuluman dan kocokan
tangan disertai elusan lembut di kantong bola membuatnya mekin mendesah
desah dalam irama kulumanku.
“Kita coba Ly”, katanya, seperti kebiasaannya.
Aku telentang di sampingnya, kubuka kakiku lebar lebar, dia mengambil posisi di atas seperti layaknya laki laki siap bersetubuh, kubantu menggesekkan penisnya ke vaginaku, belum berhasil, beberapa kali kucoba tetap saja masih kurang perkasa menembus liang kenikmatanku, malahan semakin melemas. Terpaksa kuambil inisiatif lain, kuminta dia telentang, kukulum dan kupermainkan sejenak seperti tadi, sedikit menegang, segera kunaiki tubuhnya dan kuusapkan ke bibir vaginaku, namun kembali tidak membuahkan hasil.
“Kita coba Ly”, katanya, seperti kebiasaannya.
Aku telentang di sampingnya, kubuka kakiku lebar lebar, dia mengambil posisi di atas seperti layaknya laki laki siap bersetubuh, kubantu menggesekkan penisnya ke vaginaku, belum berhasil, beberapa kali kucoba tetap saja masih kurang perkasa menembus liang kenikmatanku, malahan semakin melemas. Terpaksa kuambil inisiatif lain, kuminta dia telentang, kukulum dan kupermainkan sejenak seperti tadi, sedikit menegang, segera kunaiki tubuhnya dan kuusapkan ke bibir vaginaku, namun kembali tidak membuahkan hasil.
Setelah beberapa kali usaha dengan bermacam cara akhirnya kami
menyerah, terpancar sinar kekecewaan di wajahnya meskipun senyuman
menghiasi wajahnya. Aku merasa gagal untuk memuaskannya, meskipun hal
itu terjadi setiap kali kami bertemu, terkadang hanya sekali penetrasi
tapi begitu ditarik tidak bisa masuk lagi, namun kali ini gagal total.
Akhirnya kuputuskan memuaskannya dengan cara lain seperti yang biasa
kulakukan pada Pak Indra. Aku berlutut di antara kakinya, dia hanya
telentang menunggu permainanku. Menit pertama hanya kuciumi seluruh
batangnya, menit selanjutnya jilatanku merambah ke daerah kantong bola,
menit selanjutnya penis lemas itu sudah keluar masuk mulutku diiringi
permainan lidah dalam rongga mulut. Pak Indra mendesah kenikmatan dengan
caranya sendiri, basah seluruh selangkangannya karena ludahku yang
bercecer di daerah itu, kombinasi antara jilatan, kuluman dan kocokan
cukup membuatnya terbuai dalam gelombang kenikmatan yang kuberikan.
Kami berubah posisi 69, dengan posisi ini kami bisa saling memberikan
kenikmatan, harus kuakui kepiawaiannya bermain oral ikutan membawaku
melayang, meskipun sangat jarang aku bisa orgasme hanya dengan oral,
tapi saat ini kenikmatan seperti itu sudah cukup bagiku, dari pada tidak
sama sekali. Tak lama kemudian kudengar teriakan keras disusul sedotan
kuat pada vaginaku, sedetik kemudian kurasakan sperma meleleh pelan
keluar dari kejantanannya, segera kumasukkan penisnya ke dalam mulutku
dan kurasakan spermanya yang asin gurih membasahi lidahku, aromanya
masih keras kurasa. Dan penis yang lemas itupun semakin melemas dalam
mulutku.
“Uff, kamu memang pintar membuat orang puas”, komentarnya setelah aku turun dari tubuhnya.
Kusapukan penis lemas itu ke wajahku.
“Ah, Bapak juga pintar mempermainkan orang kok”, pujiku jujur.
“Uff, kamu memang pintar membuat orang puas”, komentarnya setelah aku turun dari tubuhnya.
Kusapukan penis lemas itu ke wajahku.
“Ah, Bapak juga pintar mempermainkan orang kok”, pujiku jujur.
Pukul 11:30 aku sudah keluar dari kamar Pak Indra setelah mandi
membersihkan tubuhku dari sisa sisa ludahnya. Meskipun tujuan kami sama
sama ke lobby tapi demi keamanan kami harus jalan sendiri sendiri seolah
tidak saling mengenal. Sesampai di Lobby kucoba menghubungi HP Pak
Benny, tapi tidak aktif, aku belum mendapat keputusan apakah dia akan
melanjutkan atau tidak siang ini.
Beberapa saat kemudian kulihat Pak Indra sudah di lobby diiringi
beberapa rekannya menuju ruang seminar, aku yakin mereka adalah sesame
dokter. Pak Indra terlihat begitu anggun dan berwibawa dengan setelan
jasnya, pasti tak seorangpun menyangka kalau dia menderita secara psikis
sejak terjadinya kecelakaan lalu lintas yang membuatnya impotent, dia
hanya melirikku penuh arti ketika kami bertemu pandang, senyumnya hanya
bisa diartikan antara aku dan dia.
Kutunggu Pak Benny yang belum juga ada kepastian. Setelah 20 menit
tak ada juga kepastian dari Pak Benny, kutinggalkan hotel itu menuju
hotel lain yang sudah menunggu kedatanganku dengan tipe dan bentuk
permainan yang berbeda.
=========================================================
Kupacu Pantherku menuju Hotel Westin (sekarang JW Marriot) di kawasan
Basuki Rachmat, setelah parkir aku langsung menuju ke kamar yang
dimaksud oleh GM yang meng-order-ku. Malam itu sebenarnya aku agak segan
untuk terima tamu, tapi si GM berhasil mengiming-imingiku dengan
imbalan yang jauh diatas biasanya, tentu ini membuatku untuk berpikir
lagi sebelum akhirnya kuputuskan menerima bookingan itu. Tamuku kali ini
seorang pejabat tinggi dari Indonesia Timur, sebut saja namanya Thomas
(samaran), aku tahu dia karena sering muncul di media massa, inilah
salah satu yang membuatku agak segan menerimanya, bukannya diskriminatif
tapi dengan penampilannya yang hitam legam tentu membuatku kurang
begitu menikmati permainan, apalagi aku belum pernah melayani orang
tipikal macam dia dan sepertinya tidak tertarik untuk mencobanya, tapi
kembali lagi aku harus tunduk pada kekuasaan uang.
Dari balik pintu kamar suite muncullah wajah yang sudah cukup kukenal
meskipun dia tidak sehitam yang aku bayangkan tapi tetap saja
menimbulkan perasaan seram dari penampilannya.
“Malam Pak”, tanyaku ragu.
“Lily ya? Masuk, masuk, santai saja”, dia mempersilakanku dengan sopan.
“Malam Pak”, tanyaku ragu.
“Lily ya? Masuk, masuk, santai saja”, dia mempersilakanku dengan sopan.
Kamar suite itu terlihat luas dan lapang, sofa set untuk tamu
dilengkapi dengan meja kerja terpisah dan meja makan yang menghadap ke
jendela, ranjang yang besar masih terlihat rapi, sepertinya beliau baru
datang, terlihat dari barang bawaannya yang masih rapi belum semuanya
dibongkar.
“Makan dulu ya, saya tadi udah pesan kok”, sungguh sopan bertolak belakang dengan wajah angkernya.
“Sambil nunggu makan, saya mandi dulu ya, capek baru datang, nanti kalau Room Servicenya datang terima saja”, lanjutnya lalu masuk ke kamar mandi.
Tidak seperti biasanya kutawarkan diri untuk mandi bersama, kali ini entah ada perasaan yang menahanku untuk menawarinya mandi bersama, dan kebetulan beliau juga tidak mengajakku. Tak lama setelah beliau di kamar mandi, Room Service datang, cukup banyak juga pesanannya, rupanya beliau sudah mempersiapkan dengan baik.
“Makan dulu ya, saya tadi udah pesan kok”, sungguh sopan bertolak belakang dengan wajah angkernya.
“Sambil nunggu makan, saya mandi dulu ya, capek baru datang, nanti kalau Room Servicenya datang terima saja”, lanjutnya lalu masuk ke kamar mandi.
Tidak seperti biasanya kutawarkan diri untuk mandi bersama, kali ini entah ada perasaan yang menahanku untuk menawarinya mandi bersama, dan kebetulan beliau juga tidak mengajakku. Tak lama setelah beliau di kamar mandi, Room Service datang, cukup banyak juga pesanannya, rupanya beliau sudah mempersiapkan dengan baik.
Dua puluh menit beliau di kamar mandi dan keluar dalam keadaan segar,
mengenakan piyama, aroma parfumnya terasa menyengat namun lembut, dalam
keadaan normal sebenarnya sudah bisa membangkitkan birahi tapi kali ini
berbeda. Sebelum makan Pak Thomas memintaku untuk berganti pakaian,
biar lebih santai, katanya. Kuturuti permintaannya, kuambil piyama di
lemari, di kamar mandi kulepas semua pakaianku kecuali pakaian dalam dan
kukenakan piyama. Kamipun makan malam dengan sama sama mengenakan
piyama, suasana begitu santai, apalagi pembawaan Pak Thomas yang ramah
dan senang cerita, kami menjadi lebih akrab, perlahan menghilang
kekakuan suasana yang kualami.
Makan malam sudah lama berlalu, tapi kami masih di meja makan
mendengarkan beliau bercerita, terutama aku tertarik tentang kondisi di
Papua (waktu itu masih bernama Irian Jaya), aku tertarik dengan
kehidupan social dan alamnya. Malam merangkak kian larut, kutemani dia
nonton TV, sesekali HP dia berbunyi, dari staff-nya yang mengatur
meeting besok pagi. Sambil nonton TV kami duduk bersebelahan, diraihnya
tubuhku dalam pelukannya, aroma parfumnya membuatku mulai naik,
dibelainya rambutku.
“Tidur yuk”, ajaknya ketika acara berita di TV berakhir, beliau menggandengku ke ranjang yang besar dan empuk.
Kurebahkan tubuhku di ranjang yang hangat itu, Pak Thomas mulai menciumku sesaat setelah aku telentang, diciumi kedua pipi dan keningku. Mataku kupejamkan rapat rapat melihat wajah seramnya mendekati mukaku, meski sudah banyak laki laki yang menciumiku dengan berbagai wajah dan penampilan, selama ini aku menganggap wajah Koh Wi yang paling seram, tapi Pak Thomas jauh lebih menyeramkan, apalagi dengan kulitnya yang hitam. Bibir tebalnya mulai mencium dan melumat bibirku, rasa muak sempat menyelimutiku, tapi aku tersadar bahwa inilah salah satu resiko yang harus kuhadapi. Masih tetap memejamkan mata, ragu ragu kubalas lumatan bibir dan lidahnya, beliau semakin bergairah menyapukan lidah ke bibirku dan melumatnya dengan bibir tebalnya. Terasa aneh saat aku membalas lumatannya, bibirnya terasa begitu lain dengan kebanyakan tamuku sebelumnya, tapi kutekan perasaan yang timbul, kewajibankulah untuk memuaskan beliau.
Kurebahkan tubuhku di ranjang yang hangat itu, Pak Thomas mulai menciumku sesaat setelah aku telentang, diciumi kedua pipi dan keningku. Mataku kupejamkan rapat rapat melihat wajah seramnya mendekati mukaku, meski sudah banyak laki laki yang menciumiku dengan berbagai wajah dan penampilan, selama ini aku menganggap wajah Koh Wi yang paling seram, tapi Pak Thomas jauh lebih menyeramkan, apalagi dengan kulitnya yang hitam. Bibir tebalnya mulai mencium dan melumat bibirku, rasa muak sempat menyelimutiku, tapi aku tersadar bahwa inilah salah satu resiko yang harus kuhadapi. Masih tetap memejamkan mata, ragu ragu kubalas lumatan bibir dan lidahnya, beliau semakin bergairah menyapukan lidah ke bibirku dan melumatnya dengan bibir tebalnya. Terasa aneh saat aku membalas lumatannya, bibirnya terasa begitu lain dengan kebanyakan tamuku sebelumnya, tapi kutekan perasaan yang timbul, kewajibankulah untuk memuaskan beliau.
Tangan Pak Thomas sudah menjelajah ke sekujur dadaku, diremasnya
dengan halus, diselipkannya dibalik piyama lalu menyelinap masuk dibalik
bra. Kulit tangannya terasa kasar meremas remas buah dadaku sambil
mempermainkan putingnya, tangan satunya mulai membuka ikatan piyama dan
membukanya, tampaklah pasangan bikini hitam berenda merah yang menutupi
bagian erotis tubuhku, sesaat Pak Thomas menghentikan ciumannya,
mengamati tubuhku, tersenyum lalu kembali melumat bibirku lebih
bergairah. Bibir dan lidahnya beranjak menyusuri leher putihku, mataku
masih terpejam meskipun kegelian mulai menghinggapiku, kuremas remas
rambut keritingnya ketika kepalanya sampai di dadaku, dijilatinya
sekujur dadaku, tanpa melepas bra beliau mengeluarkan kedua buah dadaku
dari sarangnya. Dipandanginya sejenak sebelum bibir tebalnyanya mendarat
di puncak bukit di dadaku.
Aku menggeliat tanpa sadar saat bibir tebal itu menyentuh putingku,
terasa aneh dengan kulumannya tapi makin lama makin enak, membuatku
mulai mendesis dalam nikmat, apalagi diselingi remasan pada putingku
satunya, bergantian beliau mengulum dari satu puting ke satunya sambil
meremas remas lembut, desahanku makin lepas keluar. Meskipun aku sudah
kepanasan, mendesah, tapi aku masih belum mampu menatap wajah yang telah
membuaiku, takut gairahku drop begitu melihat wajahnya, tangankupun
hanya sebatas meremas rambutnya, masih ada keraguan untuk menggerakkan
tanganku ke selangkangan Pak Thomas, meskipun aku sangat yakin dia sudah
menegang.
Pak Thomas melanjutkan penjelajahannya, disusurinya perutku dengan
bibirnya dan berhenti di selangkangan, kubuka lebar kakiku, beliau
menarik turun celana dalam penutup selangkangan. Tanpa membuang waktu,
lidahnya langsung menari nari pada klitoris, aku menjerit tertahan
merasakan kenikmatan jilatannya yang tak terduga. Mataku masih terpejam
menikmati permainannya, kuremas remas rambut ikal yang ada di
selangkanganku, lidah dan bibirnya begitu bebas bergerak liar di vagina,
membuatku makin melambung seiring desahanku yang makin keras. Sembari
mempermainkan vaginaku, tangannya mengelus paha dan meremas remas buah
dadaku, remasannya sudah mulai keras dan kasar, meskipun begitu tidak
mengurangi kenikmatanku.
Pak Thomas merubah posisinya, kurasakan tangannya menuntun tanganku
ke selangkanannya, kurasakan penisnya tegang mengeras, dengan masih ragu
ragu kupegang dan kuremas pelan. Terkaget aku merasakan kekerasan dan
serasa aneh menggenggamnya, karena penasaran terpaksa kubuka mataku
untuk melihatnya. Kini baru kusadari kalau Pak Thomas sudah telanjang,
mataku menatap tajam ke selangkangannya, ternyata penis dalam
genggamanku sungguh lain dari kebanyakan, disamping panjang, bentuknya
melengkung ke atas seperti busur panah, aku menebak pasti ini akibat
koteka waktu mudanya. Mataku kembali terpejam saat kurasakan jilatan di
vaginaku makin menghebat, kali ini tanpa ragu tanganku mengocok
kejantanannya, rasanya tak sabar untuk merasakan penis itu didalam
vaginaku.
Beberapa menit kemudian, tubuh Pak Thomas sudah berlutut diantara
kakiku, ingin segera kulesakkan masuk tapi beliau justru mempermainkan
dengan mengusap usapkan penisnya ke paha dan bibir vaginaku. Kakiku
sudah terpentang lebar, pinggulku turun naik merasakan kegelian di luar
vagina, dan ketika sedikit demi sedikit kejantanan Pak Thomas memasuki
liang kenikmatanku, aku mulai menjerit, oohh betapa nikmatnya penis itu,
makin dalam makin nikmat, dan aku benar benar berteriak kenikmatan saat
beliau mulai mengocokku, luar biasa nikmatnya, tak pernah kurasakan
kenikmatan seperti ini. Aku berharap Pak Thomas bisa bertahan lama,
kocokannya makin cepat, begitu pula desah napasku semakin menderu
berpacu dengan desis dan jerit kenikmatan.
Aku tak bisa menahan kenikmatan ini lebih lama lagi dengan hanya
memejamkan mata, terpaksa kubuka mataku, kulihat expresi nikmat dari
wajah Pak Thomas yang hitam menyeramkan, namun kali ini justru terlihat
begitu sexy dengan beberapa butiran keringat di wajahnya. Maka ketika
tubuhnya ditelungkupkan di atas dadaku, akupun tak segan untuk memeluk
dan melumat bibir tebalnya, semuanya telah berubah dari beberapa menit
yang lalu, sejak kurasakan nikmatnya kejantanan beliau.
Kami mengayuh perahu birahi makin ke tengah samudra nafsu,
keringatnya mengalir deras membasahi dada dan bra-ku yang belum juga
terlepas. Tubuhku yang putih mulus semakin erat dalam dekapan tubuh
hitamnya, dipeluknya aku dengan erat sembari pantatnya turun naik di
atasku, kocokannya semakin cepat, membawaku lebih cepat menuju puncak
birahi.
Jepitan kakiku pada pinggulnya membuat kejantanannya semakin dalam mengisi liang kenikmatanku, meski tidak terlalu besar tapi dengan bentuk aneh dan panjang yang di atas rata rata, aku serasa terlempar dari realitas dan membumbung tinggi.
Jepitan kakiku pada pinggulnya membuat kejantanannya semakin dalam mengisi liang kenikmatanku, meski tidak terlalu besar tapi dengan bentuk aneh dan panjang yang di atas rata rata, aku serasa terlempar dari realitas dan membumbung tinggi.
Pertahananku ternyata tak bisa membendung kenikmatan yang diberikan
Pak Thomas, tak lama setelah kujepitkan kakiku, meledaklah jerit
kenikmatanku, orgasme pertama yang kuraih dari beliau, kucengkeram erat
kepalanya yang menempel di leherku sambil menjerit liar, ternyata justru
membuat Pak Thomas mempercepat kocokannya. Hampir saja pertahanan
keduaku jebol lagi tak lama kemudian kalau saja beliau tidak
menghentikan kocokannya dan berganti posisi, hal ini memberiku sedikit
waktu untuk menurunkan tegangan birahiku.
Pak Thomas menolak ketika kuminta doggie, justru beliau telentang dan
memintaku di atas, sebenarnya ini adalah posisi favorit karena aku bisa
pegang kendali, tapi dengan kejantanan beliau yang memabukkan itu, aku
ragu apakah bisa mengendalikan permainan ini. Kupegang, kuremas dan
kukocok kocok dengan tanganku, baru sekarang aku bisa mengamati
“keindahan”, mutiara hitam ini, begitu keras dan hitam seperti kayu
ebony yang sudah tua, kokoh dan berdiri anggun, ingin rasanya melumat
habis. Kuatur posisi tubuhku di atasnya, perlahan kuturunkan pantatnku,
aku ingin menikmati mili demi mili kejantanannya menguak liang
kenikmatanku, semakin dalam semakin nikmat hingga terbenam semua. Pak
Thomas memandangku seolah menikmati expresi nikmat yang kurasakan
sembari tangannya menggerayangi kedua buah dadaku, beliau mencegah
ketika kubuka bra-ku, sepertinya beliau menikmati erotisme yang terjadi.
Tubuhku mulai turun naik, pelan tapi semakin cepat diiringi desahan dan
jeritan nikmat dari kami berdua, kutatap mata beliau yang tak pernah
lepas pandangannya dari wajah dan dadaku, aku juga menikmati expresi
kepuasan di wajahnya.
Gerakanku turun naik dan bergoyang bergantian di atasnya, entah sudah
berapa kali aku mengalami orgasme dengan posisi seperti ini. Ditariknya
tubuhku dalam pelukannya, kami saling mengadu bibir dan lidah, hilang
sudah rasa enggan, beralih dengan perasaan yang begitu exotis, membuatku
makin bergairah dalam pelukan dan kocokannya.
Aku teriak histeris ketika kurasakan tubuh Pak Thomas menegang dan menyemprotkan spermanya dengan kencang di vaginaku, denyutan demi denyutan menghantam dinding dinding vaginaku hingga kurasakan cairan hangat yang memenuhi lorong lorong sempit kenikmatan, seiring dengan jeritan beliau sambil memelukku makin rapat. Napas kami menderu saling berpacu, beberapa saat saling berpelukan lemas dalam keheningan, hanya degup jantung yang saling bersahutan terdengar begitu keras. Kusandarkan kepalaku di bahunya, beliau membelaiku penuh kemesraan, penisnya masih kurasakan tegang mengisi vaginaku.
Aku teriak histeris ketika kurasakan tubuh Pak Thomas menegang dan menyemprotkan spermanya dengan kencang di vaginaku, denyutan demi denyutan menghantam dinding dinding vaginaku hingga kurasakan cairan hangat yang memenuhi lorong lorong sempit kenikmatan, seiring dengan jeritan beliau sambil memelukku makin rapat. Napas kami menderu saling berpacu, beberapa saat saling berpelukan lemas dalam keheningan, hanya degup jantung yang saling bersahutan terdengar begitu keras. Kusandarkan kepalaku di bahunya, beliau membelaiku penuh kemesraan, penisnya masih kurasakan tegang mengisi vaginaku.
“Kamu tidur disini saja ya”, bisiknya lembut ditelingaku.
“Terserah Bapak saja, kalau memang nggak ngganggu istirahat Bapak”, jawabku sopan.
“Justru kalau nggak ada kamu aku malah nggak bisa tidur nyenyak”, candanya
“Ntar malah nggak bisa tidur”.
“Kalau udah capek kan tidur juga”.
Pembicaraan kami terhenti ketika HP Pak Thomas berbunyi, dilepasnya tubuhku dari pelukannya, akupun turun dari tubuhnya. Ternyata dari GM yang mengontakku, menanyakan apakah aku udah datang apa belum, terlambat, pikirku.
“Terserah Bapak saja, kalau memang nggak ngganggu istirahat Bapak”, jawabku sopan.
“Justru kalau nggak ada kamu aku malah nggak bisa tidur nyenyak”, candanya
“Ntar malah nggak bisa tidur”.
“Kalau udah capek kan tidur juga”.
Pembicaraan kami terhenti ketika HP Pak Thomas berbunyi, dilepasnya tubuhku dari pelukannya, akupun turun dari tubuhnya. Ternyata dari GM yang mengontakku, menanyakan apakah aku udah datang apa belum, terlambat, pikirku.
Kuamati tubuh telanjang beliau ketika menerima telepon, kejantanannya
sekarang terlihat indah menggantung di selangkangannya, cukup lama
kutatap pesonanya. Kutinggalkan Pak Thomas yang lagi menerima telepon,
di kamar mandi kubersihkan tubuh dan vaginaku dari spermanya sekalian
mandi menyegarkan tubuh, aku tak menyangka mendapat pengalaman baru,
bercinta dengan orang se-hitam beliau, mimpipun tidak pernah, sungguh
bertolak belakang dengan tamuku yang pada umumnya chinese berkulit
putih, tapi ternyata kenikmatan yang kudapat diatas rata rata, padahal
hampir saja orderan ini aku tolak.
Pak Thomas menyusulku ke kamar mandi tak lama kemudian, maka kamipun
mandi bersama, dengan senang hati aku memandikannya, tak segan
kupermainkan penisnya dengan tanganku, maka dalam hitungan menit penis
itu kembali menegang, beliau hanya tersenyum melihat kenakalanku tapi
tak menolak, hanya membalas dengan remasan remasan di buah dadaku. Atas
permintaannya, kusiram rambutku, biar lebih sexy, katanya.
Kusisir rambutku yang basah dan kukeringkan dengan handuk, Pak Thomas
mendekapku dari belakang ketika aku hendak meninggalkan kamar mandi, di
depan kaca rias bisa kulihat bagaimana perbedaan warna kulit kami, tapi
justru makin membuatku bertambah erotic, very black and white, kubalas
dengan remasan tangan di selangkangan beliau, diciuminya telinga, leher
dan tengkukku, membuatku menggeliat geli. Kukocok penisnya yang
mengeras, beliau memutar tubuhku, kami saling berhadapan, saling meraba,
saling meremas dan saling memeluk. Ciuman berbalas cium, lidah bertemu
lidah, bibir melumat bibir.
Aku duduk di closet menghadap beliau yang berdiri di depanku, kuamati
batang legam dalam genggamanku sebelum akhirnya kusentuh lidahku
mendarat di ujungnya, menyusuri batang hitam hingga hidungku menyentuh
rambut keriting di pangkal penis, berulang kali lidahku menjelajahi
penisnya. Akhirnya kumasukkan penis hitam ke mulutku, sedikit demi
sedikit memasuki rongga mulut, hanya tiga perempat yang bisa masuk lalu
kukocok dengan mulut. Pak Thomas memegangi kepalaku dan memulai gerakan
mengocokkan penisnya ke mulutku, beliau berusaha memasukkan semua penis
hitamnya tapi tidak berhasil, mulutku sudah penuh.
“Kita pindah ke dalam aja”, ajaknya sambil menarik penisnya dari mulutku.
Beliau duduk di sofa, aku bersimpuh diantara kedua kakinya, kulanjutkan permainan oral yang terputus tadi. Bibir dan lidahku kembali menjelajah kejantanannya yang sekeras baja, beliau mendesah menikmati permainan oralku. Tak lama kemudian tubuhku ditariknya, aku didudukkan di pangkuannya, kejantanannya langsung melesak tanpa perlawanan karena vaginaku memang sudah basah, kembali kenikmatan merasuki tubuhku. Aku mengimbangi dengan menggoyangkan pinggulku, buah dadaku ber-ayun bebas di depannya langsung mendapat kuluman penuh gairah dari bibir tebalnya, disedot sambil di remas remas dengan gemas, aku makin melayang tinggi dalam dekapan dan pangkuannya. Desahan demi desahan semakin keras terdengar, kudekap kepalanya yang sedang menempel di dadaku, kuremas rambut keritingnya, sepertinya aku telah kehilangan control atas diriku, desahanku makin nyaring.
Beliau duduk di sofa, aku bersimpuh diantara kedua kakinya, kulanjutkan permainan oral yang terputus tadi. Bibir dan lidahku kembali menjelajah kejantanannya yang sekeras baja, beliau mendesah menikmati permainan oralku. Tak lama kemudian tubuhku ditariknya, aku didudukkan di pangkuannya, kejantanannya langsung melesak tanpa perlawanan karena vaginaku memang sudah basah, kembali kenikmatan merasuki tubuhku. Aku mengimbangi dengan menggoyangkan pinggulku, buah dadaku ber-ayun bebas di depannya langsung mendapat kuluman penuh gairah dari bibir tebalnya, disedot sambil di remas remas dengan gemas, aku makin melayang tinggi dalam dekapan dan pangkuannya. Desahan demi desahan semakin keras terdengar, kudekap kepalanya yang sedang menempel di dadaku, kuremas rambut keritingnya, sepertinya aku telah kehilangan control atas diriku, desahanku makin nyaring.
Tiba tiba beliau melepaskan sedotannya pada putingku, didekapnya
tubuhku makin erat, tanpa melepaskan penisnya beliau berdiri sambil
menggendongku. Kontan aku teriak kaget takut jatuh, tapi beliau hanya
tersenyum penuh percaya diri, kujepitkan kakiku makin erat ke
pinggulnya. Masih menggendongku, berjalan menuju ke meja makan dan
mendudukkanku di atasnya, terus terang aku kagum dengan tenaganya yang
mampu mengangkatku dan berjalan sambil kejantanannya masih berada di
vaginaku, takut terjatuh maka kupeluk makin erat beliau. Aku terduduk di
tepi meja makan, kakiku masih melingkar di pinggulnya, kami berhadapan
saling menatap penuh nafsu, wajahnya bagiku sudah tak seram lagi.
Bersamaan dengan bibirnya mendarat di bibirku, beliau menyodokkan
penisnya dengan keras, ciumannya hampir terlepas ketika aku mendongak
kaget dan enak.
Sodokan demi sodokan menghunjam keras di vaginaku, meja makan
bergoyang keras, tak kami pedulikan gelas dan piring yang masih
berserakan di meja ikutan bergoyang. Tubuhku condong ke belakang,
kutahan dengan kedua tanganku, kocokan beliau makin cepat sambil
mengelus dan meremas remas kedua buah dadaku, sesekali diselingi gigitan
pelan di dagu. Aku sudah tak tahan mendapatkan kenikmatan ini, tapi
sebelum kugapai puncak kenikmatan, beliau meminta kami berganti posisi.
Kubereskan sebentar peralatan makan di meja, sekedar cukup untuk
tubuhku di atasnya. Aku berdiri dan tengkurap di atas meja, kubuka
kakiku lebar lebar saat beliau menyapukan kejantanannya dari belakang,
dengan sekali dorong, kembali busur hitam itu mengisi vaginaku, ooh
nikmat sekali dengan posisi doggie seperti ini, kurasakan kenikmatan
yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Hanya beberapa menit aku bisa bertahan dari kocokannya, sebelum
akhirnya aku menjerit penuh kenikmatan, masih dalam posisi telungkup,
kuremas kuat pinggiran meja saat kugapai orgasmeku. Pak Thomas masih
mengocokku beberapa menit lagi sampai kurasakan denyutan kuat mengantam
dinding dinding vaginaku, diiringi teriakan dan remasan kuat di
pantatku. Aku menyusul Pak Thomas ke ranjang setelah membersihkan
tubuhku di kamar mandi, kami sama sama tidur telanjang, dengan gemas
kugenggam terus kejantanan Pak Thomas hingga kami tertidur pulas.
Keesokan harinya kami bangun pukul 7 pagi, mandi bersama tanpa
terjadi sesuatu yang perlu diceritakan, kecuali tentu saja hanya remasan
remasan nakal selama kami mandi, tapi tidak berkelanjutan.
“Ly, saya ada meeting seharian, kamu boleh pulang tapi nanti malam kesini lagi ya”, kata Pak Thomas setelah mengenakan pakaian safari, ciri khas pejabat, entah permintaan atau perintah.
“Terserah Bapak saja, saya sih ngikut”, jawabku dengan senang hati, tentu saja disamping dapat bayaran aku juga dapat kenikmatan yang lebih dari beliau, bahkan sampai sekarang busur hitamnya seperti masih mengganjal di vaginaku.
“Ly, saya ada meeting seharian, kamu boleh pulang tapi nanti malam kesini lagi ya”, kata Pak Thomas setelah mengenakan pakaian safari, ciri khas pejabat, entah permintaan atau perintah.
“Terserah Bapak saja, saya sih ngikut”, jawabku dengan senang hati, tentu saja disamping dapat bayaran aku juga dapat kenikmatan yang lebih dari beliau, bahkan sampai sekarang busur hitamnya seperti masih mengganjal di vaginaku.
Setelah mengambil amplop tebal yang beliau siapkan di meja, akupun
meninggalkan beliau yang kemudian juga pergi beberapa menit setelah
kepergianku. Sempat kami bertemu di lobby karena aku tidak langsung
pulang melainkan membeli beberapa pastry untuk camilan di tempatku
nanti. Saat bertemu kami seolah tidak saling mengenal, wajar-wajar saja,
apalagi beliau berjalan bersama beberapa orang, hanya pandangan mata
kami yang sempat bertatapan penuh arti. Selama beliau di Surabaya selama
3 malam, selama itu pula aku menemaninya di malam hari, hingga
keberangkatannya ke Jakarta dulu sebelum balik ke Indonesia Timur,
tempat kerjanya.
Karir beliau terus melejit, seiring dengan arus reformasi hingga
sampai ditulisnya cerita ini tahun 2003. Selamat bertugas Pak Thomas,
aku mengenang malam malam yang telah kulalui bersama Bapak.
===========================================================
Di Cengkareng seseorang sudah menunggu kedatanganku dan kami langsung
meluncur menuju Hotel Regent yang letaknya aku sendiri tak tahu dimana,
yang jelas di Jakarta. Ini adalah pertama kali aku mendapat bookingan
untuk terbang melayani tamu di Jakarta, bagiku tamunya sih tidaklah luar
biasa meskipun tergolong VIP, sudah biasa kulakukan, tapi yang agak
beda adalah aku yang terbang menemui dia.
“Tolong layani dia dengan baik, dia seorang pejabat tinggi di negeri
ini” begitu pesan penjemputku yang merupakan orang suruhan GM yang
mengatur perjalanan dan booking-anku.
Sesampai di hotel kami langsung menuju ke kamar yang sudah dipersiapkan, ditinggalnya aku sendirian menunggu tamuku yang katanya pejabat tinggi itu, dia menunggu beliau di lobby. Jarum jam menunjuk ke angka 11:30, mungkin nanti baru jam 12.00 tamuku akan datang, berarti ada waktu setengah jam untuk menyegarkan diri di bathtub.
Sebelum aku beranjak menuju kamar mandi, terdengar telepon berdering, segera kuangkat.
“Halo, Selamat Siang, ini Lily?” Tanya suara dengan nada berat.
“Siang, betul saya sendiri, ini siapa?” tanyaku balik, padahal hanya GM dan tamuku saja yang tahu keberadaanku.
“Bapak sebentar lagi nyampe, mungkin 15 menit lagi, kamu santai aja dulu menunggu beliau”
“Siap Boss ” jawabku santai, kubatalkan acara ke kamar mandi.
Sesampai di hotel kami langsung menuju ke kamar yang sudah dipersiapkan, ditinggalnya aku sendirian menunggu tamuku yang katanya pejabat tinggi itu, dia menunggu beliau di lobby. Jarum jam menunjuk ke angka 11:30, mungkin nanti baru jam 12.00 tamuku akan datang, berarti ada waktu setengah jam untuk menyegarkan diri di bathtub.
Sebelum aku beranjak menuju kamar mandi, terdengar telepon berdering, segera kuangkat.
“Halo, Selamat Siang, ini Lily?” Tanya suara dengan nada berat.
“Siang, betul saya sendiri, ini siapa?” tanyaku balik, padahal hanya GM dan tamuku saja yang tahu keberadaanku.
“Bapak sebentar lagi nyampe, mungkin 15 menit lagi, kamu santai aja dulu menunggu beliau”
“Siap Boss ” jawabku santai, kubatalkan acara ke kamar mandi.
Sambil menunggu kedatangan beliau, kurapikan make up yang agak berantakan selama perjalanan di pesawat.
Ternyata tak sampai 15 menit bel kamar berbunyi, segera kusambut kedatangan beliau yang katanya pejabat tinggi itu. Didampingi seorang ajudan dan orang yang menjemputku tadi, masuklah bapak pejabat itu, segera kukenali bahwa dia adalah seorang Menteri yang masih aktif pada sebuah departemen yang cukup disegani, namanya sebut saja Pak Usman.
“Bapak tidak punya waktu, temani dia dengan baik, oke” pesan yang sama kuterima lagi,
“Beres Boss” jawabku singkat, karena dia bukanlah pejabat tinggi yang pertama kali kulayani, jadi tak ada rasa canggung atau minder berhadapan dengan beliau.
“Pak kita di lobby, kalau ada apa apa just call me” katanya pada Pak Usman lalu mereka meninggalkanku berdua.
Aku maklum, sebagai seorang Menteri tentu acaranya sangat padat tapi masih sempat juga dia meluangkan waktu untuk kesenangan dunia yang satu ini.
Ternyata tak sampai 15 menit bel kamar berbunyi, segera kusambut kedatangan beliau yang katanya pejabat tinggi itu. Didampingi seorang ajudan dan orang yang menjemputku tadi, masuklah bapak pejabat itu, segera kukenali bahwa dia adalah seorang Menteri yang masih aktif pada sebuah departemen yang cukup disegani, namanya sebut saja Pak Usman.
“Bapak tidak punya waktu, temani dia dengan baik, oke” pesan yang sama kuterima lagi,
“Beres Boss” jawabku singkat, karena dia bukanlah pejabat tinggi yang pertama kali kulayani, jadi tak ada rasa canggung atau minder berhadapan dengan beliau.
“Pak kita di lobby, kalau ada apa apa just call me” katanya pada Pak Usman lalu mereka meninggalkanku berdua.
Aku maklum, sebagai seorang Menteri tentu acaranya sangat padat tapi masih sempat juga dia meluangkan waktu untuk kesenangan dunia yang satu ini.
Kami mengobrol ringan, biasa sekedar menghilangkan kekakuan pada
orang yang pertama kali bertemu. Seperempat jam berlalu, Pak Usman sudah
menggeser duduknya di sebelahku, kusandarkan kepalaku di pundaknya,
beliau membalas dengan rangkulan dan elusan di rambut.
“Kulepas dulu ya Pak, biar nggak terlalu ribet dan lebih santai” kataku sembari melepas blazer hitam yang menutupi tubuhku.
Sesuai pesan dari GM yang mem-booking, aku diminta mengenakan pakaian resmi seperti orang kantoran, biar nggak terlalu mencolok, katanya. Kuturuti permintaannya, kukenakan setelan Blus merah tanpa lengan dipadu dengan rok hitam yang sedikit di atas lutut, Blazer hitam menutupi bagian atasku ditambah stocking sewarna kulit menghiasi kakiku.
“Kulepas dulu ya Pak, biar nggak terlalu ribet dan lebih santai” kataku sembari melepas blazer hitam yang menutupi tubuhku.
Sesuai pesan dari GM yang mem-booking, aku diminta mengenakan pakaian resmi seperti orang kantoran, biar nggak terlalu mencolok, katanya. Kuturuti permintaannya, kukenakan setelan Blus merah tanpa lengan dipadu dengan rok hitam yang sedikit di atas lutut, Blazer hitam menutupi bagian atasku ditambah stocking sewarna kulit menghiasi kakiku.
Pak Usman menarikku dalam pangkuannya, diciuminya pipi dan leher
jenjangku, tangannya sudah menggerayang di daerah dada, meraba dengan
remasan ringan. Kami berciuman, tangan beliau sudah menyelinap di balik
blus merahku, remasannya semakin keras. Aku merosot dari pangkuannya,
berlutut diantara kakinya, sengaja kugoda dengan membuka resliting
celananya dan kukeluarkan kejantanan yang sudah tegang mengeras. Tidak
ada yang special, sama dengan umumnya tapi not so bad untuk seusia
beliau, kuremas dan kupermainkan jari jemariku pada penisnya, beliau
mulai mendesis, matanya melototi tanganku yang putih terampil bermain di
penis coklatnya.
“Masukin” perintah beliau pelan tapi tegas seperti memerintah anak
buahnya, agak ragu aku melakukannya, apalagi dengan penis yang coklat
kehitaman, terkesan kurang bersih.
Melihat keraguanku, Pak Usman memegang kepalaku, ditekannya ke arah penis hingga wajahku menempel di selangkangannya.
Sambil mengumpat dalam hati aku hanya tersenyum manja mendapat perlakuannya, bukan sekali ini kualami perlakuan kasar dan sok kuasa dari tamuku, mentang mentang aku dibayar, semua kupendam dalam dalam, anggap saja sebagai resiko pekerjaan.
“Lepas dulu bajunya Pak, ntar kusut” kucoba mengalihkan perhatian dengan mencopot baju safarinya.
Sesaat aku terbebas dari tekanannya, kulepas baju dan celananya sekaligus, akupun ikutan melepas blus dan rok-ku, menyisakan bikini merah tua dan stocking.
Melihat keraguanku, Pak Usman memegang kepalaku, ditekannya ke arah penis hingga wajahku menempel di selangkangannya.
Sambil mengumpat dalam hati aku hanya tersenyum manja mendapat perlakuannya, bukan sekali ini kualami perlakuan kasar dan sok kuasa dari tamuku, mentang mentang aku dibayar, semua kupendam dalam dalam, anggap saja sebagai resiko pekerjaan.
“Lepas dulu bajunya Pak, ntar kusut” kucoba mengalihkan perhatian dengan mencopot baju safarinya.
Sesaat aku terbebas dari tekanannya, kulepas baju dan celananya sekaligus, akupun ikutan melepas blus dan rok-ku, menyisakan bikini merah tua dan stocking.
Kucoba menarik perhatiannya dengan menonjolkan ke-sexy-an tubuhku,
dengan gerakan erotis satu persatu kulepas sisa sisa penutup tubuhku,
tali bra merosot ke lengan, perlahan kuturunkan dan kulepas hingga
terpampanglah kedua bukit indahku, celoteh kekaguman keluar dari mulut
beliau. Aku sengaja ingin membuatnya terpesona akan kemolekanku, supaya
terhindar dari paksaan permainannya, bagiku lebih baik dia yang aktif
menikmati tubuhku dari pada aku harus terjebak alur permainan yang tidak
aku sukai, apalagi dengan beliau yang usianya lebih tua dari Papaku.
Bra yang sudah terlepas kulempar ke muka beliau, dia tersenyum saja,
saat kusodorkan kedua buah dadaku di hadapannya, tangannya langsung
meraih dan meremas remas gemas sambil mempermainkan putingku. Langsung
kuraih kepalanya yang agak botak dan kubenamkan di dada, beliau menuruti
kemauanku, lidahnya menjilati putingku secara bergantian lalu mengulum
dengan penuh nafsu.
Tangannya yang mulai menjelajah di selangkanganku kutepis halus,
belum waktunya, bisikku. Aku kembali menjauh melanjutkan gerakan
menggoda, pelan pelan kulorotkan celana dalam mini yang masih menempel,
tapi sebelum benar benar terlepas Pak Usman menerkamku, hamper terjatuh
aku dibuatnya, untung dengan sigap beliau menangkap tubuhku, dan kamipun
terjatuh di ranjang sambil tertawa lepas. Kami berangkulan bergulingan
di ranjang, beliau melumat bibirku dengan ganas. Aku menggelinjang geli
ketika ciumannya menyusuri leher dan dadaku, kuluman kasar penuh nafsu
bermain main di puncak bukitku, terasa agak nyeri dengan kekasarannya.
Kubiarkan dia menjamah seluruh tubuhku dengan bibir, lidah dan
tangannya, bahkan ketika dua hingga jari tangannya mengocok vaginaku,
akupun hanya mendesah pasrah menerimanya. Beberapa kali turun naik dari
kepala hingga kaki dia menjelajah seluruh tubuhku, termasuk punggung dan
pantat, sepertinya tak ada sejengkalpun tubuhku yang terlepas dari
jamahannya, tak kusadari kalau stockingku sudah tidak berada
ditempatnya. Puas menikmati tubuhku, kutuntun penisnya ke selangkangan,
tanpa usapan pemanasan beliau langsung melesakkan kejantanannya ke liang
senggamaku. Aku tersentak kaget dengan kekasarannya, tapi tak
berlangsung lama saat Pak Usman mulai kocokannya dengan tempo tinggi.
Kejengkelanku perlahan lahan berubah menjadi kenikmatan beberapa menit
kemudian, ternyata alunan permainannya berhasil membuaiku mengarungi
lautan nikmat bersama sama, desahankupun mulai terdengar penuh gairah.
Kuangkat kedua kakiku yang masih bersepatu ke pundaknya, beliau
tersenyum sambil mempercepat sodokannya, aku menggeliat nikmat seraya
meremas remas buah dadaku sendiri. Belum sempat aku menggapai puncak
kenikmatanku, ketika Pak Usman tanpa tanda tanda langsung menyemprotkan
spermanya ke vaginaku, kurasakan cairan hangat membasahi dan memenuhi
liang senggamaku, ada sedikit kecewa tapi bukanlah hakku untuk menuntut
lebih. Kuraih penisnya saat ditarik dari vaginaku, dengan mengabaikan
rasa jijik kukocok dengan tanganku, beliau menjerit geli, lalu kuusapkan
ke buah dadaku.
“Kamu memang nakal dan pandai menggoda orang” komentarnya, aku hanya senyum senyum saja seraya beranjak ke kamar mandi membersihkan diri.
“Kamu memang nakal dan pandai menggoda orang” komentarnya, aku hanya senyum senyum saja seraya beranjak ke kamar mandi membersihkan diri.
Ketika aku keluar, Pak Usman sudah berpakaian rapi bersiap untuk pergi.
“Lho kok buru buru sih Pak, kan masih belum jam satu” aku merajuk bergelayut di lengannya menggandeng duduk kembali di sofa.
Masih telanjang kutemani beliau menghabiskan waktu hingga jam satu, masih 20 menit lagi, meski aku tidak terlalu menikmati bercinta dengannya, tapi sudah tugas pekerjaanku untuk membuatnya merasa perkasa dan dibutuhkan. Dua batang rokok sudah beliau habiskan sambil ngobrol, mendekati pukul satu tanganku menggerayangi selangkangannya, sudah kembali tegang, apalagi melihat aku yang selalu telanjang disampingnya.
“Sekali lagi ya Pak” rayuku seolah aku ketagihan dan minta lagi.
“Jangan waktu kembali ke kantor” tolaknya tanpa berusaha menghentikan tanganku yang membuka resliting dan mengeluarkan penisnya. Matanya terpejam ketika tanganku mengocoknya.
“Sebentar aja ya Pak” kataku, tanpa menunggu jawabannya aku lansung ambil posisi di pangkuannya, kami saling berhadapan.
Kubasahi penisnya dengan ludahku, begitu tubuhku turun, kembali penisnya amblas dalam vaginaku. Aku diam sesaat mengamati expresi kenikmatan yang terpancar diwajah beliau, kupeluk kepalanya dan kutempelkan di antara buah dadaku.
“Lho kok buru buru sih Pak, kan masih belum jam satu” aku merajuk bergelayut di lengannya menggandeng duduk kembali di sofa.
Masih telanjang kutemani beliau menghabiskan waktu hingga jam satu, masih 20 menit lagi, meski aku tidak terlalu menikmati bercinta dengannya, tapi sudah tugas pekerjaanku untuk membuatnya merasa perkasa dan dibutuhkan. Dua batang rokok sudah beliau habiskan sambil ngobrol, mendekati pukul satu tanganku menggerayangi selangkangannya, sudah kembali tegang, apalagi melihat aku yang selalu telanjang disampingnya.
“Sekali lagi ya Pak” rayuku seolah aku ketagihan dan minta lagi.
“Jangan waktu kembali ke kantor” tolaknya tanpa berusaha menghentikan tanganku yang membuka resliting dan mengeluarkan penisnya. Matanya terpejam ketika tanganku mengocoknya.
“Sebentar aja ya Pak” kataku, tanpa menunggu jawabannya aku lansung ambil posisi di pangkuannya, kami saling berhadapan.
Kubasahi penisnya dengan ludahku, begitu tubuhku turun, kembali penisnya amblas dalam vaginaku. Aku diam sesaat mengamati expresi kenikmatan yang terpancar diwajah beliau, kupeluk kepalanya dan kutempelkan di antara buah dadaku.
Pantatku bergerak maju mundur mengocok penisnya, beliau mendesah,
semakin cepat goyanganku, semakin deras desahannya. Beliau membalas
dengan sedotan kuat pada putingku bergantian. Goyanganku makin cepat
bervariasi, maju mundur lalu berputar kemudian berbalik arah, dan tak
lebih dari lima menit beliau sudah mengerang orgasme, tubuhnya kaku
mencengkeram pantatku, kurasakan denyutan yang tak sekeras sebelumnya,
hanya enam denyutan lalu menghilang. Aku masih belum beranjak dari
pangkuannya hingga napasnya normal kembali, dengan hati hati aku turun
supaya tidak ada sperma yang tercecer ke pakaiannya, tapi tetap saja
beberapa tetes keluar mengenai celananya, beliah hanya tersenyum menepuk
pantatku.
“Kamu memang nakal” katanya sambil mencubit kedua pipiku.
“Udah dulu ya, ntar Bapak terlambat ke kantor ” kataku menggoda saat membersihkan penis dan kukecup lalu memasukkan kembali ke celananya.
Kuperiksa kerapihan pakaiannya sebelum meninggalkan kamar.
“See you nanti sore selepas jam kantor” katanya sehabis mengecup bibirku dan keluar kamar.
“Dasar si tua tak tahu diri” gerutuku sepeninggal beliau.
“Kamu memang nakal” katanya sambil mencubit kedua pipiku.
“Udah dulu ya, ntar Bapak terlambat ke kantor ” kataku menggoda saat membersihkan penis dan kukecup lalu memasukkan kembali ke celananya.
Kuperiksa kerapihan pakaiannya sebelum meninggalkan kamar.
“See you nanti sore selepas jam kantor” katanya sehabis mengecup bibirku dan keluar kamar.
“Dasar si tua tak tahu diri” gerutuku sepeninggal beliau.
Kuhabiskan setengah harian di kamar tanpa keluar, menunggu kedatangan
Pak Usman nanti sore, makan siang kupesan dari Room Service. Setelah
mandi membersihkan diri, kurebahkan tubuhku di ranjang hingga tertidur.
Tapi tidurku tak bisa nyenyak, lebih dari 4 kali Pak Usman maupun
suruhannya meneleponku, baik melalui HP maupun ke hotel, sekedar
menanyakan apakah sudah makan atau apakah ingin jalan atau pertanyaan
lainnya yang menunjukkan perhatiannya. Namun semua itu bagiku adalah
cerminan ketidak percayaan padaku, mungkin mereka mengira kalau aku akan
pergi menerima tamu lainnya selama Pak Usman tak ada. Tentu saja aku
tak pernah melakukan itu, aku harus bersikap professional dan loyal pada
tamu yang sudah mem-booking.
Setengah jam sebelum pukul lima sore, aku bersiap menyambutnya,
kukenakan lingerie hitam yang sexy tanpa bra dan bikini lagi, sungguh
kontras dengan kulit putihku. Aku ingin memberinya kejutan saat beliau
masuk ke kamar ini. Tepat pukul 5 sore Pak Usman sudah berada kembali di
kamar ini, rupanya dia tidak mau membuang waktu dengan percuma, begitu
jam kerja berakhir lansung meluncur ke hotel yang letaknya hanya 10-15
menit perjalanan. Sorot kekaguman dan sejuta pujian langsung terucap
melihat penampilanku yang begitu erotis dan menantang, kulihat beliau
menelan ludah seperti kucing yang melihat ikan siap santap di atas meja.
Pak Usman langsung memelukku, dengan sepatu hak tinggi yang
kukenakan, relative aku lebih tinggi, bibir beliau yang berada tepat di
leherku segera beraksi, menciumi leher dan bahu hingga lengan. Sambil
bersandar di dinding, kubiarkan Pak Usman menyusuri seluruh lekuk
tubuhku dengan bibir dan lidahnya, tangannya bergerilya menjarah di
daerah selangkangan dan jarinya langsung menyelinap di liang
kenikmatanku yang tidak mengenakan celana dalam. Kubuka kakiku lebih
lebar, aku ingin menikmati bagaimana kepala Pak Menteri yang terhormat
berada di selangkanganku, moment itulah yang paling aku sukai kalau
melayani pejabat tinggi.
Pak Usman dengan rakus melahap kedua buah dadaku, disedot dengan
kuatnya, aku menggelinjang geli. Begitu bernafsunya beliau mengulum
hingga tubuhku terdorong ke belakang, terduduk di meja sebelah TV.
Ciuman Pak Usman sudah berpindah ke paha, lingerie yang kukenakan tak
diijinkan dilepas meski sudah acak acakan menempel di tubuhku. Moment
yang kutunggu dari tadi kian dekat, semakin menjadi kenyataan saat
beliau mulai menjilati klitoris dan bibir vaginaku. Kubentangkan kakiku
semakin lebar, semakin masuk pula kepala beliau di selangkanganku.
Lingerie yang dari tadi tersingkap di perut kututupkan di atas kepala
beliau, hingga hanya tampak badannya saja sementara kepalanya berada di
selangkanganku tertutup lingerie. Entah sudah puas atau pengap berada di
selangkanganku, beliau menarik kepalanya keluar, baru kusadari kalau
aku belum melakukan sesuatu pada beliau, masih rapi tertutup baju
safarinya.
Aku tersenyum memandang wajahnya yang kemerahan dilanda nafsu,
hidungnya kembang kempis seakan ingin menelanku bulat bulat. Sembari
membuka resliting celana aku mengecup dahi botaknya, kukeluarkan
penisnya yang telah keras menegang dan kutuntun ke arah gerbang surga
dunia. Berbeda dengan tadi siang, kali ini beliau begitu romantis dan
penuh perasaan melesakkan penisnya menyusuri liang sempit dan basahku
sambil kami tetap berciuman bibir. Penisnya keluar masuk vaginaku pelan
pelan, seakan ingin menikmati setiap detik dan setiap kenikmatan yang
timbul, tangan beliaupun pelan meraba dan mengelus buah dadaku, tak ada
kekerasan dalam irama permainannya. Lima menit berlalu dalam tempo
romantis, satu persatu kulepas pakaiannya tanpa menghentikan permainan
kami, lingerie masih menempel di tubuhku meskipun praktis tak karuan
lagi letaknya.
Kami berganti posisi setelah beliau akhirnya melepas lingerieku,
menyisakan stocking hitam dan sepatu, dari belakang sama sama berdiri
menghadap cermin, aku dikocok masih dengan tempo lamban. Dari pantulan
cermin bisa kulihat expresi kepuasannya saat bercinta, beliau selalu
menyibakkan rambutku apabila menghalangi wajahku dari cermin. Kami
seakan melihat adegan sex di layar cermin dengan peranan diri sendiri,
mungkin ini menambah erotis beliau bisa melihat bagaimana menyetubuhi
gadis muda secantik aku. Sebaliknya dengan aku yang selalu menutup mata
rapat rapat saat beliau menengadahkan wajahku ke arah cermin, malu aku
melihat diriku sendiri sedang disetubuhi laki laki seusia Papaku, bahkan
mungkin lebih tua.
Tiba tiba Pak Usman menghentakku keras disusul denyutan kuat dari
kejantanannya menghantam dinding dinding vaginaku, aku kaget, menggeliat
dan menjerit, tak menyangka beliau mengakhiri dengan sentakan kuat
seperti itu, membanjiri vaginaku dengan sperma hangatnya, tangannya
mencengkeram buah dadaku dengan kuatnya, terasa sedikit sakit. Beberapa
detik setelah itu kami terdiam dalam posisi tetap kecuali tangannya yang
beralih membelai punggung dan rambutku, beliau masih menikmati
pemandangan kami di cermin.
“Kamu memang hot dan pintar” katanya sambil mencabut kejantanannya.
Aku berbalik, kuraih kejantanannya yang mulai lemas lalu kuusap usapkan ke tubuhku, aku tahu dari pengalaman bahwa banyak laki laki menyukai hal ini.
“Bapak juga hebat, bisa lama seperti itu” jawabku menghibur dan memang untuk ukuran seusia beliau bercinta 10 menit sudah merupakan hal yang hebat, biasanya malah kurang dari 5 menit, cuma besar di nafsu saja.
Aku berbalik, kuraih kejantanannya yang mulai lemas lalu kuusap usapkan ke tubuhku, aku tahu dari pengalaman bahwa banyak laki laki menyukai hal ini.
“Bapak juga hebat, bisa lama seperti itu” jawabku menghibur dan memang untuk ukuran seusia beliau bercinta 10 menit sudah merupakan hal yang hebat, biasanya malah kurang dari 5 menit, cuma besar di nafsu saja.
Kami menghabiskan sore hingga malam dengan penuh gairah, Kulayani Pak
Usman 2 babak lagi, meski masing masing tidak pernah lebih dari 10
menit, sebelum akhirnya beliau meninggalkanku kembali ke istrinya lewat
tengah malam.
“Besok pagi aku akan datang sebelum kamu kembali ke Surabaya” pesannya sebelum meninggalkanku, aku hanya tersenyum mendengar kerakusannya.
Aku tak tahu bagaimana beliau menghindari sorotan orang atas keberadaannya di hotel, tapi aku yakin beliau sudah biasa melakukan dan sudah punya cara sendiri untuk menghindar. Sampai aku check out siang hari, ternyata beliau tidak pernah datang menemuiku, entah apa yang terjadi, mungkin ada acara mendadak. Tak ada sesal sama sekali atas ketidak hadirannya, justru aku bersukur tak harus melayani nafsu si tua itu lagi.
“Besok pagi aku akan datang sebelum kamu kembali ke Surabaya” pesannya sebelum meninggalkanku, aku hanya tersenyum mendengar kerakusannya.
Aku tak tahu bagaimana beliau menghindari sorotan orang atas keberadaannya di hotel, tapi aku yakin beliau sudah biasa melakukan dan sudah punya cara sendiri untuk menghindar. Sampai aku check out siang hari, ternyata beliau tidak pernah datang menemuiku, entah apa yang terjadi, mungkin ada acara mendadak. Tak ada sesal sama sekali atas ketidak hadirannya, justru aku bersukur tak harus melayani nafsu si tua itu lagi.
Selama melayani beliau beberapa babak, dari siang hingga tengah
malam, aku tak pernah mendapat orgasme sekalipun, tapi aku tak kecewa
apalagi menyesalinya, toh semua itu bagian dari pekerjaanku. Orang
suruhan GM-pun tak pernah nongol atau menelpon, akupun berangkat sendiri
ke Cengkareng tanpa ada orang lagi yang memperhatikan seperti kemarin,
apalagi tiket pulang pergi masih ditangan, jadi bukanlah masalah besar
bagiku. Yang penting semua pembayaran jasaku telah ditransfer sebelum
keberangkatanku ke Jakarta. Itulah manusia, setelah selesai yang
dikehendaki langsung melupakan lainnya.
============================================================
Dengan naik taksi aku menuju ke Club Deluxe, seorang GM telah menunggu di depan lobby saat taxiku berhenti.
“Cepat mereka udah lama menunggu” sapanya sambil menggandengku menuju salah satu ruangan VIP.
Ada 5 orang berada di dalam, anehnya tidak ada seorangpu Purel yang menemani mereka.
“Ini dia bidadari kita” celetuk salah seorang dari mereka saat melihatku memasuki ruangan
“Wow sayang sekali aku tak bisa ikutan” sahut lainnya
“Aku setuju” teriak lainnya tanpa aku tahu apa maksudnya
“Setujuu” yang lain mengekor seperti suara di gedung DPR.
“Oke semua telah setuju jadi kamu bisa tinggal dan temani mereka” kata si GM, aku masih tak tahu maksudnya, jadi kuturuti saja seperti kerbau dicocok hidungnya.
“Cepat mereka udah lama menunggu” sapanya sambil menggandengku menuju salah satu ruangan VIP.
Ada 5 orang berada di dalam, anehnya tidak ada seorangpu Purel yang menemani mereka.
“Ini dia bidadari kita” celetuk salah seorang dari mereka saat melihatku memasuki ruangan
“Wow sayang sekali aku tak bisa ikutan” sahut lainnya
“Aku setuju” teriak lainnya tanpa aku tahu apa maksudnya
“Setujuu” yang lain mengekor seperti suara di gedung DPR.
“Oke semua telah setuju jadi kamu bisa tinggal dan temani mereka” kata si GM, aku masih tak tahu maksudnya, jadi kuturuti saja seperti kerbau dicocok hidungnya.
Satu persatu aku diperkenalkan, tentu saja tak semua nama bisa
kuingat satu persatu tapi untuk saat ini apalah arti sebuah nama, toh
aku belum tahu apa maunya mereka. GM itu hanya memberitahu bahwa aku
di-booking selama 3 malam, mulai kamis-Sabtu, hanya malam sampai pagi
ditambah Minggu siang-sore, akan ada permainan, hanya itulah pesannya,
justru itu yang membuat aku penasaran. Mereka saling berceloteh, saling
mengolok temannya.
Beberapa lagu telah mereka lantunkan dengan suara yang tak terlalu
sedap didengar telinga, satu demi satu mereka mengajakku dance,
bergiliran kulayani mereka melantai diiringi lagu slow yang tak karuan
iramanya. Bisa ditebak bagaimana mereka melantai denganku, semua hampir
sama kelakuannya, memelukku erat sehingga buah dadaku menempel di
tubuhnya, mencium pipi dan leherku, meremas pantatku dan sebagainya,
semua kulayani dengan senyuman manja karena aku masih tidak tahu siapa
yang akan meniduri dan menikmati tubuhku kelak, jadi semua kuperlakukan
sama.
Malam semakin larut, masih juga belum ada tanda tanda acara ini
berakhir dan aku belum mendapat kepastian siapa yang harus tidur
denganku malam ini diantara mereka. Akhirnya Pak Ade yang paling muda
memberitahu aturan permainannya, mereka adalah anggota klub golf dari
Jakarta yang besok ada turnamen di Finna, Bukit Darmo Golf dan Ciputra.
Dari keempat orang yang ada di ruangan ini, siapa yang mendapat score
best net di hari itu berhak mendapat piala bergilir semalam, yaitu aku,
begitu juga di hari selanjutnya sampai hari minggu.
“Nggak ada masalah kan?” tanya Pak Ade menutup penjelasannya.
Aku diam terkejut tak tahu bagaimana harus bersikap, seharusnya si GM itu memberitahu permainan ini terlebih dahulu, apalagi melibatkan banyak orang seperti ini. Kalau aku menolak tentu akan mengecewakan banyak orang, kalau aku terima, sebenarnya tidak ada masalah cuma agak tersinggung dengan si GM karena mengaturku seenak kemauannya sendiri.
“Kalau kamu keberatan ya nggak apa apa, kita cari yang lain, nggak masalah kok” lanjut Pak Ade melihat diamku.
“Eh enggak, nggak apa kok, aku sih oke oke saja” jawabku
“OK gentlemen, kita akhiri acara ini karena besok tee off jam 6.30 pagi, jadi tidak ada alasan kurang tidur kalau kalah” kata Pak Ade pada rekan rekannya
“Dan Lily menjadi milik sang juara besok malam hingga pagi, terserah mau diapain” lanjutnya dan dijawab “setujuu” serentak seraya berdiri dan meninggalkan kamar VIP itu.
Pukul 11 kami semua meninggalkan Club Deluxe, meskipun malam ini tak ada yang kulayani tapi argo sudah jalan, itulah kesepakatannya.
“Besok jam 7 malam kamu sudah siap di Hotel Mercure (sekarang Sommerset kalau nggak salah)” pesan si GM sebelum taxiku berangkat mengantarku pulang.
Aku diam terkejut tak tahu bagaimana harus bersikap, seharusnya si GM itu memberitahu permainan ini terlebih dahulu, apalagi melibatkan banyak orang seperti ini. Kalau aku menolak tentu akan mengecewakan banyak orang, kalau aku terima, sebenarnya tidak ada masalah cuma agak tersinggung dengan si GM karena mengaturku seenak kemauannya sendiri.
“Kalau kamu keberatan ya nggak apa apa, kita cari yang lain, nggak masalah kok” lanjut Pak Ade melihat diamku.
“Eh enggak, nggak apa kok, aku sih oke oke saja” jawabku
“OK gentlemen, kita akhiri acara ini karena besok tee off jam 6.30 pagi, jadi tidak ada alasan kurang tidur kalau kalah” kata Pak Ade pada rekan rekannya
“Dan Lily menjadi milik sang juara besok malam hingga pagi, terserah mau diapain” lanjutnya dan dijawab “setujuu” serentak seraya berdiri dan meninggalkan kamar VIP itu.
Pukul 11 kami semua meninggalkan Club Deluxe, meskipun malam ini tak ada yang kulayani tapi argo sudah jalan, itulah kesepakatannya.
“Besok jam 7 malam kamu sudah siap di Hotel Mercure (sekarang Sommerset kalau nggak salah)” pesan si GM sebelum taxiku berangkat mengantarku pulang.
Hari Pertama
Keesokan harinya berjalan seperti biasa, aku tak terlalu memikirkan
siapa yang akan meniduriku malam ini, toh percuma saja berharap karena
bagiku mereka seperti tamuku lainnya.
Siangnya aku masih menerima tamu, bahkan dua, beruntunglah tamuku
yang kedua tinggal di Hotel Mercure, jadi dari pada mondar mandir, dia
kuberi “bonus” free extra time sambil menunggu jam 7 malam, tentu saja
dia tidak keberatan mendapat bonus itu meskipun tidak tahu alasannya,
Paling tidak bisa mendapatkan satu babak tambahan setelah 2 babak kami
bercinta.
Jam 18:40 kutinggalkan tamuku menuju lobby, aku tak berani menunggu
di lobby, disamping memang bukan kebiasaanku juga karena khawatir
ketahuan tamu terakhirku tadi, maka kutunggu panggilan mereka di mobil.
Belum habis Marlboro putihku, si GM menelpon dan memintaku langsung
memintaku bergabung dengan mereka di restoran hotel itu, begitu tahu aku
udah berada di tempat parkir. Ternyata mereka sudah lengkap
mengelilingi makanan yang sudah terhidang di atas meja. Suara celotehan
terdengar saat aku bergabung dengan mereka. Untunglah tak banyak tamu di
restoran itu, jadi aku tak perlu terlalu khawatir dikenali orang yang
pernah mem-bookingku, hanya tamuku terakhir tadi yang kukhawatirkan.
Selama makan, pembicaraan mereka hanyalah seputar permainan golf tadi
siang, banyak istilah yang tak kumengerti, seperti birdie, par, boogy,
green, rough, best net, gross, handycap dan istilah lain yang sama
sekali asing bagiku.
Hingga selesai makan aku masih tidak tahu siapa yang akan meniduriku
pertama kali, tapi aku tak peduli siapapun yang akan tidur denganku
karena aku tidak dalam posisi untuk memilih. Kucoba menerka siapa laki
laki yang “beruntung” itu, tapi terlalu sulit karena antara pemenang dan
pecundang semua berwajah ceria, tak ada kesedihan tampak di raut muka
mereka.
Akhirnya Pak Bambang berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.
“Sorry guys, aku permisi dulu, I have many thing to do” katanya sambil menggandeng tanganku meninggalkan rekan rekannya diiringi celoteh godaan, ternyata dialah pemenang di hari pertama.
Bergandengan tangan kami menuju kamar Pak Bambang, dia bukan yang paling tua diantara rekan rekannya tadi tapi termasuk yang di-tua-kan karena usianya memang diatas 50-an, kutaksir sekitar 55 tahun, hampir 2 kali usiaku. Tak ada yang istimewa pada diri Pak Bambang, kulitnya yang kehitaman karena terbakar matahari akibat sering main golf, kumisnya yang tebal dengan beberapa uban menghiasi kepalanya.
Akhirnya Pak Bambang berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.
“Sorry guys, aku permisi dulu, I have many thing to do” katanya sambil menggandeng tanganku meninggalkan rekan rekannya diiringi celoteh godaan, ternyata dialah pemenang di hari pertama.
Bergandengan tangan kami menuju kamar Pak Bambang, dia bukan yang paling tua diantara rekan rekannya tadi tapi termasuk yang di-tua-kan karena usianya memang diatas 50-an, kutaksir sekitar 55 tahun, hampir 2 kali usiaku. Tak ada yang istimewa pada diri Pak Bambang, kulitnya yang kehitaman karena terbakar matahari akibat sering main golf, kumisnya yang tebal dengan beberapa uban menghiasi kepalanya.
Sesampai di kamar tanpa banyak basa basi dia langsung mendekapku dari
belakang dan menciumi tengkukku. Aku menggeliat geli, tangannya sudah
berada di dada dengan remasan remasan nakal.
“Bapak nakal deh, sini aku lepasin .”
Belum selesai aku bicara dia langsung menutup mulutku dengan bibirnya dan melumat habis, lidahnya berusaha menembus rongga mulutku, segera kusambut pula dengan lidahku. Kami berciuman sambil saling melucuti pakaian hingga telanjang habis, seperti sudah tidak sabar untuk segera menikmati tubuhku.
“Bapak nakal deh, sini aku lepasin .”
Belum selesai aku bicara dia langsung menutup mulutku dengan bibirnya dan melumat habis, lidahnya berusaha menembus rongga mulutku, segera kusambut pula dengan lidahku. Kami berciuman sambil saling melucuti pakaian hingga telanjang habis, seperti sudah tidak sabar untuk segera menikmati tubuhku.
“Sejak kemarin aku sudah ingin melakukan ini” katanya sambil merebahkanku ke ranjang
“Kenapa nggak bilang dari kemarin, kan aku bisa menyelinap kemari” jawabku sambil tersengal mendapat kuluman darinya
“Nggak boleh, itu sudah aturan, bisa bisa aku dipecat kalo ketahuan” lanjutnya terus mendaratkan bibirnya di putingku.
“Kenapa nggak bilang dari kemarin, kan aku bisa menyelinap kemari” jawabku sambil tersengal mendapat kuluman darinya
“Nggak boleh, itu sudah aturan, bisa bisa aku dipecat kalo ketahuan” lanjutnya terus mendaratkan bibirnya di putingku.
Tubuhnya yang agak gendut menindihku sambil menciumi seluruh tubuhku
sejauh dia bisa menjangkau dengan bibirnya. Terasa agak berat aku
menahan tubuhnya dan semakin berat saat dadanya menggenjet dadaku, sesak
napas dibuatnya. Tapi rupanya dia salah menterjemahkan sengalan
napasku, dikira aku sudah benar benar terangsang oleh foreplaynya
padahal pemanasannya jauh dari cukup bagiku untuk terangsang.
“Gimana? Udah nggak tahan? Kita masukin aja ya” bisiknya lembut sok gentleman.
Aku hanya tersenyum, kubuka kakiku lebar saat dia mulai mengusapkan kejantanannya di liang vaginaku, agak susah, mungkin karena vaginaku belum basah.
“Sini aku basahin dulu” kataku sambil memberi isyarat supaya dia bergeser ke arah kepalaku dan bisa kukulum penisnya, segera tubuhnya mengangkang di atas, kusambut dengan jilatan dan kuluman pada kejantanannya.
Beberapa saat aku mengulumnya, kemudian berganti ke posisi 69, saling menjilat dan mengulum, membuat vaginaku basah dengan cepat. Sudah menjadi kodratku, sebenci dan semuak apapun aku sama seseorang tapi kalau dia berhasil menjilati vaginaku, apalagi ternyata begitu pintar, maka dengan sedikit berimajinasi pastilah cairan kewanitaanku keluar dengan sendirinya.
Aku hanya tersenyum, kubuka kakiku lebar saat dia mulai mengusapkan kejantanannya di liang vaginaku, agak susah, mungkin karena vaginaku belum basah.
“Sini aku basahin dulu” kataku sambil memberi isyarat supaya dia bergeser ke arah kepalaku dan bisa kukulum penisnya, segera tubuhnya mengangkang di atas, kusambut dengan jilatan dan kuluman pada kejantanannya.
Beberapa saat aku mengulumnya, kemudian berganti ke posisi 69, saling menjilat dan mengulum, membuat vaginaku basah dengan cepat. Sudah menjadi kodratku, sebenci dan semuak apapun aku sama seseorang tapi kalau dia berhasil menjilati vaginaku, apalagi ternyata begitu pintar, maka dengan sedikit berimajinasi pastilah cairan kewanitaanku keluar dengan sendirinya.
Perlahan lahan Pak Bambang mendorong kejantanannya memasuki liang
kenikmatanku, penis ketiga di hari itu yang menikmati hangatnya surga
dunia milikku. Dia menatapku tajam dengan sorot mata penuh nafsu seakan
ingin menelanku bulat bulat, senyumnya menyeringai bak srigala lapar
menatap korban yang sudah tidak berdaya dalam cengkeramannya. Dia
menelungkupkan tubuhnya di atasku, memelukku rapat sambil menciumi leher
dan bibirku seiring dengan mulainya gerakan mengocok penisnya. Kocokan
pelan dan dalam membuat bulu kudukku merinding karena geli bercampur
nikmat, aku sendiri heran tak pernah merinding begini saat melayani
tamu, irama permainan apapun kulayani baik romantis, pelan maupun keras
menjurus liar sejauh tidak menyakiti secara fisik, kalau secara mental
sih sudah terlatih untuk menerimanya segala jenis “penghinaan dan
perendahan martabat” sejauh berhubungan dengan pekerjaanku, dan bukan
tentang pribadiku.
Desahan Pak Bambang mengiringi desahan kenikmatanku, hembusan
napasnya yang tersengal mengenai wajahku saat kocokannya mulai berubah
cepat, pantatnya turun naik menekan kuat, klitorisku serasa tergesek
benda keras kejantanannya. Sodokan demi sodokan begitu dia nikmati,
sebentar saja keringat sudah membasahi wajahnya, kuusap lembut dengan
tanganku, seperti mengusap wajah Papaku yang sedang berkeringat,
beberapa sempat menetes di wajahku. Kudorong tubuhnya menjauh karena
terasa semakin berat menindihku, membuat napasku ikutan tersengal, tapi
justru dia mencabut penisnya dan telentang disampingku, menarikku ke
pelukannya.
Mungkin karena lelah menahan berat badannya sendiri, karena
staminanya sudah tak muda lagi, padahal permainan belum 5 menit tapi
terasa begitu lama. Kini posisiku di atas, kucium bibirnya sembari
menuntun penisnya kembali memasuki vaginaku, kembali aku dalam
dekapannya saat kocokannya menghunjam tajam, kuatur posisi pantatku
hingga kejantanannya menggeser klitoris, dengan posisi begini akulah
yang pegang kendali. Kulawan dengan goyangan pantat setiap kali penisnya
meluncur masuk, aku melepaskan diri dari dekapannya, dengan begini
lebih bebas bergerak melakukan improvisasi demi kenikmatan tamu dan
sedikit bagiku.
Tubuhku mulai turun naik di atasnya, tangan Pak Bambang meremas remas
buah dadaku penuh nafsu diiringi desahan kenikmatan kami berdua.
Kurobah gerakanku, dari turun naik menjadi berputar di atas penisnya,
sesaat kulihat Pak Bambang merem melek menikmati perubahan gerakanku,
tangannya makin keras mencengkeram buah dadaku, vaginaku sendiri terasa
diaduk aduk penisnya yang tidak terlalu besar, rata rata, tapi sekeras
batu. Kupermainkan dengan otot otot vagina yang memeras kejantanannya,
dia makin melayang tinggi dan makin cepat mencapai klimaks. Tubuhku
ditarik kembali dalam dekapannya tapi aku menolak, aku ingin menikmati
wajah wajah tua dalam kenikmatan sexual tertinggi yang tidak mungkin
bisa dia dapatkan setiap saat apalagi di rumah.
Beberapa detik kemudian kurasakan semprotan sperma yang kuat
menghantam vaginaku, diiringi jeritan kenikmatan dari Pak Bambang, aku
teriak kaget tak menyangka begitu kuat denyutannya, lima enam tujuh
delapan denyutan yang hebat melandaku disusul denyutan kecil lainnya,
mengisi vaginaku dengan cairan hangat sperma. Aku ambruk tak lama
kemudian dalam pelukannya, meskipun tidak ikutan orgasme tapi kuatnya
semprotan itu begitu nikmat terasa, napasnya menderu kuat ditelingaku,
seperti orang yang sehabis lari marathon.
“Ugh, lebih satu minggu aku tak melakukan ini” katanya pelan sambil
membelai rambutku setelah dia berhasil mengatur nafasnya normal.
“Emang ibu kemana?” tanyaku lancang.
“Dia lagi ke luar kota, biasa kegiatan kelompok ibu ibu” jawabnya masih mengelus elus rambutku.
“Wah ibu pasti puas dengan permainan Bapak seperti ini, bisa KO dia apalagi lidah Bapak pandai sekali bermain di bawah” aku memuji dan semakin berani bertanya karena beliau juga tidak mengalihkan perhatian ke pembicaraan lain, berarti tidak keberatan.
“Ah enggak, dia membenci permainan oral, tapi masih hebat di ranjang, maklum usia kami cukup jauh, dia kan 44 sedangkan aku sudah 56″
“Emang ibu kemana?” tanyaku lancang.
“Dia lagi ke luar kota, biasa kegiatan kelompok ibu ibu” jawabnya masih mengelus elus rambutku.
“Wah ibu pasti puas dengan permainan Bapak seperti ini, bisa KO dia apalagi lidah Bapak pandai sekali bermain di bawah” aku memuji dan semakin berani bertanya karena beliau juga tidak mengalihkan perhatian ke pembicaraan lain, berarti tidak keberatan.
“Ah enggak, dia membenci permainan oral, tapi masih hebat di ranjang, maklum usia kami cukup jauh, dia kan 44 sedangkan aku sudah 56″
Pembicaraan kami berlangsung cukup lama mengenai keluarganya,
terkadang dia memuji kehebatan istrinya bahkan menyanjungnya, aku jadi
tambah bingung, dari pembicaraan itu sebenarnya tak ada alasan untuk
selingkuh mencari wanita lain tapi tetap saja dilakukannya sebagai
selingan hidup, masak makan sayur asem terus, itu alasan klasik yang
selalu di ucapkan lelaki, dasar laki laki, dimana saja ternyata sama
hanya kemasannya saja yang berbeda.
Handphone-nya berbunyi, rupanya dia memang sudah menunggu makanya
ditaruh HP itu di ranjang. Tanpa memintaku turun dari tubuhnya dia
terima telepon itu.
“Ya sayang, enggak lho Mama kan ke Bandung sama ibu ibu sekarang Papa ada di Surabaya sayang, nggak bisa, kamu bilang saja sama tantemu ntar Papa akan ganti sampai minggu iya, senin aja deh, malam sayang”
“Ya sayang, enggak lho Mama kan ke Bandung sama ibu ibu sekarang Papa ada di Surabaya sayang, nggak bisa, kamu bilang saja sama tantemu ntar Papa akan ganti sampai minggu iya, senin aja deh, malam sayang”
Aku hanya diam saja mendengar pembicaraannya, ternyata dari anak
perempuannya yang sedang kuliah di Yogja, berarti hanya sedikit lebih
muda dariku. Beberapa saat kami saling membisu, penisnya sudah keluar
dari vaginaku, kurasakan cairan sperma menetes keluar. Akhirnya aku
turun dari tubuhnya, kubersihkan kejantanannya dengan tisu yang ada di
samping ranjang, baunya begitu menyengat, lalu kutinggalkan ke kamar
mandi membersihkan sperma yang ada di vaginaku.
Jam menunjukkan pukul 9:35 malam ketika aku keluar kamar mandi
selesai mandi, kulihat Pak Bambang sudah duduk di sofa sudah mengenakan
celana dalamnya, perutnya kelihatan semakin buncit dengan posisi duduk
seperti itu.
Kubuatkan 2 cangkir teh dari mini bar, kuhidangkan ke depan beliau dan aku langsung duduk di pangkuannya dengan sikap manja.
Kubuatkan 2 cangkir teh dari mini bar, kuhidangkan ke depan beliau dan aku langsung duduk di pangkuannya dengan sikap manja.
“Besok main dimana lagi Pak?” tanyaku sambil bergelayut di lehernya.
“Bukit Darmo, dekat sini aja, jadi nggak perlu buru buru berangkat jam 5 kayak tadi pagi kalo ke Finna”
“Terus besoknya lagi?”
“Ke Ciputra, tapi cuma 18 hole supaya bisa selesai siang dan sang juara punya waktu untuk menikmati hadiahnya sebelum pulang ke Jakarta flight terakhir”
“Bukit Darmo, dekat sini aja, jadi nggak perlu buru buru berangkat jam 5 kayak tadi pagi kalo ke Finna”
“Terus besoknya lagi?”
“Ke Ciputra, tapi cuma 18 hole supaya bisa selesai siang dan sang juara punya waktu untuk menikmati hadiahnya sebelum pulang ke Jakarta flight terakhir”
Aku banyak menanyakan istilah golf yang kudengar tadi, dan dengan
penuh kesabaran dia menerangkan aturan aturan dasar permainan golf,
termasuk arti istilah itu dan cara penilaiannya diselingi ciuman ringan
pada leher dan dadaku. Sebagian kupahami tapi tidak sedikit yang
terlupakan, maklum begitu banyak pelajaran yang kuterima dalam waktu
singkat, ditambah lagi tangan Pak Bambang yang selalu rajin menjamah
tubuhku sambil menerangkan tadi. Tubuhku sudah merosot di antara kakinya
setelah dia selesai menjelaskan tentang golf, handuk penutupku telah
lama melayang ke ranjang, giliran aku membuktikan one in hole pada
permainan lain, bukan hole in one. Pak Bambang melihat sambil mendesis
ketika penisnya meluncur keluar masuk mulutku sembari mengelus mesra
rambutku.
“Udah udah, ntar aku kebablasan” katanya lalu berdiri menuntunku ke ranjang.
“Udah udah, ntar aku kebablasan” katanya lalu berdiri menuntunku ke ranjang.
Aku telentang pasrah menanti cumbuannya, tapi dia malah membalik
tubuhku dan memintaku pada posisi merangkak. Vaginaku terbuka lebar
menghadapnya, mengundang menanti kehangatan penisnya mengisi liang
sempitku, dia tidak langsung memasukkan penisnya tapi menciumi pantat
dan vaginaku terlebih dahulu. Kembali kurasakan gerakan penuh perasaan
saat penisnya masuk menyusuri dinding dinding vaginaku, begitu pelan
hingga kurasakan seperti suatu perjalanan panjang menembus lorong lorong
kenikmatan. Aku mulai mendesah ketika Pak Bambang mengocokku dengan
iramanya yang berkombinasi cepat dan pelan, sesekali diselingi sodokan
keras mendadak yang membuatku menggeliat kaget.
Kocokan demi kocokan, remasan demi remasan dan desahan demi desahan
mengiringi permainan kami yang sama sama berusaha merengkuh kenikmatan
duniawi, terlupakan sudah pembicaraan tentang istrinya saat aku masih
dalam pelukannya tadi, terlupakan sudah permintaan anaknya yang ada di
Jogja, kami berusaha untuk saling memberi kenikmatan. Tak lebih 5 menit
kemudian Pak Bambang kembali menggempur vaginaku dengan denyutan
denyutan nikmat, jeritanku beriringan dengan jerit kenikmatannya, dan
dia langsung ambruk menindih tubuhku yang sudah tengkurap di ranjang.
Desah napasnya menderu hebat ditelingaku, kubiarkan sejenak sebelum
kuminta turun karena aku tak bisa bernapas.
Akhirnya kami tertidur berpelukan dalam keadaan telanjang tak lama
kemudian, dia tak berani tidur terlalu malam karena besok masih harus
mempertahankan piala kemengangannya.
“Aku harus mempertahankan kamu di kamar ini besok, jadi perlu istirahat yang banyak untuk jaga kondisi” pesannya sebelum terlelap.
“Aku harus mempertahankan kamu di kamar ini besok, jadi perlu istirahat yang banyak untuk jaga kondisi” pesannya sebelum terlelap.
Hari Kedua
Kami terbangun oleh morning call keesokan paginya, jam masih
menunjukkan pukul 5 pagi, terlalu pagi bagiku untuk bangun tapi aku tak
bisa menolak. Untuk mempersingkat waktu kami mandi bersama, dia menolak
ketika kupancing untuk bercinta di kamar mandi.
“Ntar loyo dan nggak bisa menang, kita lakukan saja ntar sore, janji, makanya doakan aku menang” katanya penuh optimis bisa mempertahankan “pialanya”.
“Ntar loyo dan nggak bisa menang, kita lakukan saja ntar sore, janji, makanya doakan aku menang” katanya penuh optimis bisa mempertahankan “pialanya”.
Pukul 6:35 kami sudah berada di Coffe shop, ternyata mereka sudah lengkap menunggu kedatangan Pak Bambang.
“Ini dia sang juara bertahan, sudah biasa kalo juara bertahan datang belakangan” goda Pak Ade.
Mereka hanya memesan bubur ayam atau sandwich, sekedar mengisi perut sebelum bertanding. Sering kulihat mereka memandangku dengan pandangan yang aneh seakan menelanjangiku, entah apa yang ada dalam pikirannya, mungkin juga mereka membayangkan apa yang telah Pak Bambang lakukan pada gadis yang seusia anaknya ini, tapi aku tak peduli, toh pandangan seperti itu sudah sering kali kualami.
“Ini dia sang juara bertahan, sudah biasa kalo juara bertahan datang belakangan” goda Pak Ade.
Mereka hanya memesan bubur ayam atau sandwich, sekedar mengisi perut sebelum bertanding. Sering kulihat mereka memandangku dengan pandangan yang aneh seakan menelanjangiku, entah apa yang ada dalam pikirannya, mungkin juga mereka membayangkan apa yang telah Pak Bambang lakukan pada gadis yang seusia anaknya ini, tapi aku tak peduli, toh pandangan seperti itu sudah sering kali kualami.
Akhirnya mereka meninggalkan “Piala Bergilir” sendirian di hotel,
untuk diperebutkan kembali pada hari kedua. Pak Bambang sempat mengecup
kedua pipiku dihadapan rekan rekannya sebelum masuk ke mobil.
Sepeninggal mereka, aku kembali ke tampat kost melanjutkan tidurku yang
terpotong. Aku sama sekali tidak memikirkan siapa yang akan memiliku
pada hari kedua ini, toh siapa saja dari mereka bagiku sama saja.
Pukul 11 pagi aku sudah keluar dari tempat kost, hari ini aku sudah
menerima dua booking-an, pertama di Palm Inn dan nanti jam 2 siang ke
Hotel Novotel di daerah Dinoyo. Kupacu mobilku menuju Palm Inn di
kawasan Mayjen Sungkono, tempat yang terpencil, ideal bagi laki laki
yang selingkuh. Para room boy yang sudah hapal dengan mobilku segera
berlarian menyambut kedatanganku, mereka sudah hapal kegemaranku yang
selalu mencari kamar yang di pojok karena kamarnya lebih bagus dan luas,
soal tarip yang lebih mahal bukanlah urusanku karena tamuku selalu
membayar harga kamar tanpa banyak tanya.
Limabelas menit aku menunggu kedatangan tamuku, kuminta salah seorang
Room Boy yang sudah cukup akrab kukenal untuk menemaniku sebentar, dari
dia aku tahu selama ini banyak tamu yang mencari aku atau GM yang
menanyakan nomer HP-ku, tentu saja aku tak mau berhubungan dengan GM
kelas teri yang banyak beredar di tempat tempat seperti itu, bukan
kelasku. Akhirnya tamuku datang juga setelah rokok ketiga habis kuhisap,
kuminta Room Boy tadi memindahkan mobilku ke tempat yang sejuk dan
memasukkan mobil tamuku ke garasi yang aman tertutup.
Tamuku ini adalah salah seorang pelanggan tetapku, jadi sudah seperti
teman yang sudah lama. Sebenarnya lebih enak melayani pelanggan seperti
ini, sudah sama sama tahu irama permainannya, jadi tak perlu menebak
kemauannya, semua berjalan alamiah tanpa ada keterpaksaan, bahkan tak
segan untuk mencoba sesuatu yang baru, entah berasal dari fantasi atau
dari melihat film.
Namun demikian bukan berarti menghadapi tamu baru tidak ada enaknya, justru seninya terletak pada cara membaca gaya permainan mereka, sensasinya jauh lebih tinggi.
Namun demikian bukan berarti menghadapi tamu baru tidak ada enaknya, justru seninya terletak pada cara membaca gaya permainan mereka, sensasinya jauh lebih tinggi.
Kuhabiskan hampir 1.5 jam untuk 2 babak percintaan dengan tamu
pertamaku, seperti sudah menjadi perjanjian tak tertulis bahwa untuk
Short Time berlangsung minim 2 babak, jarang yang kurang atau lebih.
Tidak terlalu melelahkan karena tiap babak tidak lebih dari 10 menit,
itu sudah rata rata, hanya beberapa saja bisa dihitung dengan jari yang
bisa bertahan setengah bahkan lebih satu jam nonstop atau bahkan
semalaman hingga pagi.
Dengan alasan ingin istirahat, aku tinggal lebih lama di kamar itu
setelah tamuku pergi. Kuhubungi GM yang mengatur dengan tamu keduaku
untuk ketemu sekarang, lima menit kemudian dia menyatakan
persetujuannya. Setelah ganti baju dan pakaian dalam (aku sudah terbiasa
membawa 3-4 set baju dan pakaian dalam di mobil), mobilku meninggalkan
Palm Inn meliuk liuk disela kemacetan jalanan Surabaya menuju Hotel
Novotel.
Jam 1 lebih dikit mobilku sudah memasuki pelataran parkir hotel,
kutuju kamar yang disebutkan GM tadi, kulewati kolam renang di depan
kamar kamar yang menyerupai cottage, tak ada orang yang berenang di
siang hari seperti ini. Tamuku kali ini adalah lagi lagi seorang
chinese, usianya sekitar 48 tahun, tubuhnya ceking dengan kacamata minus
menghiasi wajahnya, terlihat begitu kolot, aku jadi teringat pada salah
satu tamuku pada saat awal awalku di Hilton, saking kolotnya sampai
sampai dia mengenakan celana kolor, bukan celana dalam pada umumnya
(bagi pembaca yang mengikuti ceritaku sejak awal pasti mengetahuinya).
Tanpa membedakan bentuk fisik yang ada, kulayani dia sama seperti tamuku
lainnya, kecuali kalo ganteng dan aku benar benar menyukainya, maka ada
pelayanan yang lebih karena aku juga ingin memperoleh kenikmatan
darinya.
Mula mula dia menggumuli tubuhku, menciumi seluruh organ intim yang
ada, tapi dia selalu menolak setiap kali kucoba memasukkan penisnya ke
vaginaku. Aku bingung karena tak tahu maunya, akhirnya kusadari bahwa
dia ingin kukulum hingga mencapai klimaks, meskipun tak pernah terucap
tapi dari pengalaman aku bisa membaca kemauannya. Tanpa kesulitan yang
berarti aku bisa membuatnya orgasme dalam waktu 5 menit permainan oral,
kuusapkan penisnya pada kedua buah dadaku dan dia tersenyum puas.
Babak selanjutnya berlangsung 20 menit kemudian, dia hanya bertahan
mengocokku pada 3 menit pertama, selanjutnya aku diminta melakukan oral
hingga keluar seperti sebelumnya, ternyata perlu waktu lebih lama untuk
membikinnya orgasme kedua dengan oral. Sebagai seorang profesional tentu
saja aku tak boleh cepat menyerah, berdasar pengalaman, kutambah
rangsangan dengan mengelus elus dan menjilati kantong bolanya, dan
ternyata effektif, beberapa saat kemudian dia menggapai klimaks dan
menyapukan di wajahku saat penisnya berdenyut, memuntahkan sedikit
cairan ke mukaku. Kuterima amplop coklat berisi uang pembayaran jasaku
dan kumasukkan ke tas Eigner.
Matahari masih bersinar terang saat aku keluar dari Hotel Novotel,
masih lama sebelum ke Hotel Mercure, paling tidak ada waktu 4 jam lagi.
Kuarahkan mobilku menuju Tunjungan Plaza, sekedar belanja baju, pakaian
dalam dan lingerie, aku paling senang koleksi pakaian dalam dan lingerie
yang sexy karena akan menunjang langsung penampilanku di mata tamu.
Kuhabiskan uang hasil pembayaranku tadi untuk membeli beberapa potong
kebutuhanku dan parfum, ternyata masih tidak cukup, hingga aku harus
menggunakan credit card. saat aku memilih pakaian dalam, HP-ku
berdering, dari GM yang mengatur acara di Mercure, dia memintaku datang
jam 4 langsung ke Shang Palace di Hotel Shangri La, aku iyakan saja,
berarti waktu shoppingku berkurang, tinggal kurang dari 2 jam lagi. Lima
menit kemudian HP-ku kembali berdering, dari salah seorang tamu
langganan lainnya, dia minta aku menemaninya nanti malam, tentu saja
kujawab nggak bisa karena sudah ada janjian dengan seseorang. Dia
memohon seperti orang yang mau mati kalau tidak tidur denganku, tapi
komitmentku harus kujaga apalagi dengan bookingan paket seperti ini,
jelas uangnya jauh lebih besar dibandingkan yang hanya semalam, terpaksa
kutolak ajakan nginapnya.
“Aku lagi di TP ini kalau mau sekarang aja di HT” jawabku bergurau
dengan mengajaknya di Hotel Tunjungan yang hanya bersebelahan dengan TP.
Diluar dugaan dia setuju dan segera meluncur.
“Oke, 15 menit lagi ketemu di Lobby” jawabnya langsung menutup teleponnya.
Giliran aku yang bingung karena tidak menyangka dia akan setuju, segera kubayar semua belanjaanku dan bergegas menuju HT dengan jalan kaki. Sebenarnya waktu yang tersisa masih lebih dari cukup untuk melayaninya, tapi karena aku harus berada di Shangri La jam 4 nanti tentu waktunya sangat mepet, namun aku sudah terlanjur buat janji maka terserahlah apa kata nanti. Kutitipkan barang belanjaanku di Concierge yang sudah aku kenal, karena seringnya berkunjung ke hotel itu, dan kutunggu si Joni, nama tamuku, di Lobby. Dia datang tak lama kemudian karena memang kantor atau tepatnya tokonya di Kedung doro.
Setelah dia check in dan kuambil barang belanjaanku di concierge, kami menuju kamar hotel.
Diluar dugaan dia setuju dan segera meluncur.
“Oke, 15 menit lagi ketemu di Lobby” jawabnya langsung menutup teleponnya.
Giliran aku yang bingung karena tidak menyangka dia akan setuju, segera kubayar semua belanjaanku dan bergegas menuju HT dengan jalan kaki. Sebenarnya waktu yang tersisa masih lebih dari cukup untuk melayaninya, tapi karena aku harus berada di Shangri La jam 4 nanti tentu waktunya sangat mepet, namun aku sudah terlanjur buat janji maka terserahlah apa kata nanti. Kutitipkan barang belanjaanku di Concierge yang sudah aku kenal, karena seringnya berkunjung ke hotel itu, dan kutunggu si Joni, nama tamuku, di Lobby. Dia datang tak lama kemudian karena memang kantor atau tepatnya tokonya di Kedung doro.
Setelah dia check in dan kuambil barang belanjaanku di concierge, kami menuju kamar hotel.
Kamipun melakukan gerak cepat, tanpa kata kata setibanya di kamar
langsung berciuman sambil saling melucuti pakaian. Kami bercinta di atas
karpet di depan pintu, hanya beralaskan handuk, aku tak peduli jika
desahan nikmatku terdengar dari balik pintu karena kocokan dia memang
begitu nikmat, apalagi setelah melayani 2 tamu tanpa orgasme. Karena
sudah terbiasa dengan Joni, akupun tak segan untuk memintanya dalam
berbagai posisi, masih tetap di atas karpet. Akhirnya aku mendapatkan
orgasme darinya secara bersama sama, jeritanku begitu keras menggema,
seakan menumpahkan segala perasaan yang terpendam sejak tadi.
Babak kedua kami lakukan di atas ranjang 15 menit kemudian, kali ini
berlangsung cukup lama, mungkin 30 menit atau lebih tapi terasa begitu
cepat karena kami sama sama melakukannya dengan penuh gairah. Tak
kuhiraukan dering teleponku yang berbunyi nyaring, aku tahu itu pasti
dari si GM. Akhirnya akupun terkapar setelah 2 kali orgasme menyusulnya.
Masih sempat kuhabiskan sebatang Marlboro sebelum aku mandi.
Aku terkejut ketika melihat jam, ternyata sudah pukul 4 kurang 10
menit, tak mungkin aku bisa sampai di Shangri La tepat waktu, rupanya
aku terlalu terlena dalam ayunan kenikmatan Joni. Meskipun dia agak
kecewa karena harus check out cepat cepat tapi dia bisa memahami
keadaanku, setelah berganti kaos dan pakaian dalam yang baru saja kubeli
tadi, kamipun keluar kamar dan check out sama sama.
Diperjalanan kuhubungi GM-ku dan minta maaf karena ketiduran, dia
sedikit marah dan minta aku segera meluncur. Jam 4.20 aku sudah berada
di lobby Shangri La, langsung turun ke Chinese Resto. Mereka sudah mulai
makan tanpa menunggu kehadiranku, sepertinya dari Ciputra mereka
langsung kemari. Aku minta maaf atas keterlambatanku tapi rupanya mereka
tak terlalu mempersoalkan, akupun segera duduk bergabung dengan para
golfer itu. Ketika kulirik ke arah Pak Bambang, terlihat raut kekecewaan
di wajahnya, sepertinya dia harus merelakan Pialanya jatuh ke pelukan
laki laki lain. Siapa? inilah yang aku tidak tahu dan baru kuketahui
sesaat sebelum masuk kamar nanti, seperti kemarin. Kali ini sedikit
banyak aku bisa mengikuti pembicaraan mereka karena ajaran dari Pak
Bambang kemarin, tapi masih saja tak bisa menebak siapa pemenangnya di
hari kedua.
Selesai makan kami kembali ke Hotel, Pak Ade ikut di mobilku,
sepanjang jalan kucoba memancing siapa pemenangnya tapi dia tidak
memberi jawaban pasti, jadi aku masih harus menunggu lebih lama. Pak Ade
menggandengku memasuki Lobby hotel, aku yakin dialah pemenangnya,
ternyata salah, dia menyerahkanku ke Pak Bambang, berarti dia dapat
mempertahankan kemenangannya, berlima kami memasuki Lift.
“Pak Napitupulu, kuserahkan piala bergilir ke anda, tapi mungkin besok akan kurebut kembali” kata Pak Bambang menyerahkanku ke rekannya, Pak Napit, bagitu panggilannya adalah pemenang dihari kedua.
Pak Napit menyalami Pak Bambang dan menerima uluran tanganku, dikecupnya kedua pipiku seperti sang juara yang mencium piala kemenangan. Kami semua tertawa dan tepuk tangan di dalam Lift.
“Pak Napitupulu, kuserahkan piala bergilir ke anda, tapi mungkin besok akan kurebut kembali” kata Pak Bambang menyerahkanku ke rekannya, Pak Napit, bagitu panggilannya adalah pemenang dihari kedua.
Pak Napit menyalami Pak Bambang dan menerima uluran tanganku, dikecupnya kedua pipiku seperti sang juara yang mencium piala kemenangan. Kami semua tertawa dan tepuk tangan di dalam Lift.
Kamar Pak Napit berseberangan dengan Pak Bambang, selintas kulihat
Pak Bambang melihat kami saat masuk ke kamar, seperti tak rela pialanya
di ambil alih si juara baru.
“Kamu santai aja dulu aku mau telepon ke Jakarta” katanya dengan dialek batak yang kental
Sepuluh menit dia menelepon ke rumah, sepertinya sebuah keluarga yang “bahagia”, aku membuat dua cangkir teh hangat.
“Biar nggak mengganggu lagi nanti” katanya setelah menutup HP-nya.
“Kamu santai aja dulu aku mau telepon ke Jakarta” katanya dengan dialek batak yang kental
Sepuluh menit dia menelepon ke rumah, sepertinya sebuah keluarga yang “bahagia”, aku membuat dua cangkir teh hangat.
“Biar nggak mengganggu lagi nanti” katanya setelah menutup HP-nya.
Pak Napit adalah orang yang paling senior diantara mereka, usianya
beberapa tahun lebih tua dari Pak Bambang, mungkin 62-63 tapi wajahnya
yang keras terlihat masih segar dan kelihatan lebih muda dari rekannya
itu, apalagi postur tubuhnya yang langsing dan terjaga.
Pak Napit melepas kaos dan celananya, meninggalkan celana dalam dan kaos singlet.
“Lho kok belum dilepas, apa perlu aku lepasin” tegurnya sambil menyalakan Dji Sam Soe kreteknya.
Aku jadi malu sendiri.
Dia membantuku melepas kaos yang baru aku beli tadi, begitu juga dengan celana Jeans-ku.
“Wah bagus betul body kamu, apalagi bikini yang kamu pakai, bisa bisa aku tak bisa bangun lagi besok pagi” komentarnya setelah melihat tubuhku yang terbungkus bra merah berenda semi transparan.
Dialek bataknya begitu kental terdengar lucu seperti pelawak yang sedang naik panggung.
“Lho kok belum dilepas, apa perlu aku lepasin” tegurnya sambil menyalakan Dji Sam Soe kreteknya.
Aku jadi malu sendiri.
Dia membantuku melepas kaos yang baru aku beli tadi, begitu juga dengan celana Jeans-ku.
“Wah bagus betul body kamu, apalagi bikini yang kamu pakai, bisa bisa aku tak bisa bangun lagi besok pagi” komentarnya setelah melihat tubuhku yang terbungkus bra merah berenda semi transparan.
Dialek bataknya begitu kental terdengar lucu seperti pelawak yang sedang naik panggung.
Kami duduk bersebelahan di sofa menghadap TV yang kebetulan di
channel Star Sportnya menayangkan PGA Tournament, aku belum bisa melihat
indahnya permainan itu, tidak seperti sepak bola atau tinju yang begitu
menarik. Sembari nonton dan memberi komentar, tangannya tak henti
menjelajah seluruh tubuhku, terutama bagian paha selalu dielus elusnya,
entah disadari atau tidak. Akupun membalas dengan elusan yang sama.
“Ah kau bikin aku tak bisa konsentrasi melihatnya” katanya saat tanganku meremas remas kejantanannya yang sejak dari tadi tegang.
Dimatikannya TV itu dengan remote control, perhatiannya sekarang tercurah padaku.
“Ah kau bikin aku tak bisa konsentrasi melihatnya” katanya saat tanganku meremas remas kejantanannya yang sejak dari tadi tegang.
Dimatikannya TV itu dengan remote control, perhatiannya sekarang tercurah padaku.
Pak Napit merebahkanku di ranjang setelah terlebih dahulu melepas bra
dan celana dalamku, seperti kebanyakan laki laki lainnya, dia menjamah
seluruh tubuhku tanpa sisa. Bagian payudara adalah bagian yang paling
sering mendapat perhatian berlebih, begitu juga dengan vagina. Berulang
kali dia meremas dan mengulum buah dadaku yang terus berlanjut pada
sedotan kuat di vagina. Aku menggelinjang geli dan nikmat, kembali
dikulumnya kedua putingku dan disedot penuh nafsu, sementara itu jari
tangannya menyusup ke liang vaginaku, dua jari sudah mengaduk aduk liar.
Desahanku semakin keras ketika klitorisku dipermainkan dengan lidahnya
sambil masih tetap mengocok dengan kedua jari jarinya, aku menggelinjang
nikmat. Kucoba meraih penisnya tapi terlalu jauh dari jangkauan, ingin
kuremas kuat penisnya sebagai balasan.
Lima menit lebih dia melakukan oral diselangkanganku, membuatku
terbakar birahi dengan cepat, apalagi aku tak bisa berbuat banyak
padanya kecuali hanya desah kenikmatan yang makin keras. Puas membikin
aku terbakar menggelepar tanpa daya, dia lalu telentang disampingku,
sekarang giliranku. Hal pertama yang kulakukan adalah melepas celana
dalamnya.
Aku tertegun sejenak menghadapi kenyataan di depanku, panjangnya sih
biasa saja tapi besar diameternya melebihi rata rata umumnya, lebih
besar dari gengaman jari tanganku, aku sama sekali tak menyangka dia
mempunyai kejantanan yang begitu perkasa.
“Gila, gede banget” batinku
“Gila, gede banget” batinku
Gairah yang sudah meMbakarku semakin panas menggelora, terbersit
harapan semoga dia bisa bertahan lama, seperkasa penampilannya.
Sementara kubiarkan penis yang membikin vaginaku berdenyut tanpa sebab,
aku ingin mempermainkannya terlebih dahulu seperti yang dia lakukan
tadi. Tanpa menyentuh penisnya kucium bibirnya dan kukulum telinga dan
putingnya, dia mulai mendesah sambil meremas rambutku. Aku sadar,
semakin lama mempermainkannya semakin tersiksa pula aku, apalagi melihat
penis yang berdiri tegak begitu menggoda. Kucium paha dan kujilati
lututnya, aku tahu sebagian orang terangsang apabila lututnya dijilati
penuh gairah, dan Pak Napit termasuk di dalamnya.
Aku sudah tak tahan lagi untuk mempermainkannya lebih lama, kuraih
kejantanannya, ternyata benar dugaanku, jari mungil tanganku tak bisa
menutup penuh di penisnya, kukocok sebentar lalu kumasukkan ke mulutku
yang sudah kelaparan sejak tadi. Kupandangi wajah Pak Napit yang merem
melek menerima kulumanku, desahannya lepas terdengar, apalagi ketika
lidahku menyusuri seluruh batang hingga pangkal kejantanannya, expresi
kenikmatan terpancar jelas di wajahnya yang keras. Capek juga mulutku
mengulumnya meski belum terlalu lama, karena besar berarti aku harus
membuka mulutku lebih lebar dan ini yang membuatku cepat pegal.
Kuatur posisi tubuhku di atasnya, kusapukan sejenak penisnya di
vaginaku dan pelan sekali kucoba memasukkannya. Baru kepala penis yang
masuk tapi vaginaku sudah terasa sesak, sedikit nyeri saat kupaksakan
melesakkan semuanya, meskipun perlahan lahan. Mungkin bibir vaginaku
sedikit tersobek, atau lecet karena permainan dengan si Joni tadi sore
cukup lama, aku tak tahu, yang jelas ada rasa nyeri di vaginaku. Dan
ketika semua penis itu sudah berada di dalam, aku tak berani bergerak,
begitu penuh dan serasa mengganjal di selangkangan.
“Ooouwww.. sshh.. sshiitt” desahku pelan.
“Sakit?” kata Pak Napit melihatku meringis.
“Ooouwww.. sshh.. sshiitt” desahku pelan.
“Sakit?” kata Pak Napit melihatku meringis.
Aku hanya menjawab dengan senyuman, karena kutahu rasa sakit itu
hanya di permulaan saja, selanjutnya adalah rasa enak dan enak bercampur
nikmat. Kucengkeram lengan Pak Napit yang berada di dadaku saat dia
menggerakkan tubuhnya, aku masih mencari posisi yang nyaman sebelum
memulai gerakanku.
“Jangan buru buru keluar Pak ya” pintaku sebelum memulai gerakan, dia hanya tersenyum penuh arti.
“Jangan buru buru keluar Pak ya” pintaku sebelum memulai gerakan, dia hanya tersenyum penuh arti.
Perlahan kuangkat naik tubuhku, perlahan pula kuturunkan, begitu
seterusnya dan semakin cepat. Penis itu mulai sliding di vaginaku, otot
otot vagina sudah bisa menerima. RAsa sakit sedikit demi sedikit berubah
menjadi nikmat dan semakin nikmat saat kocokanku makin cepat. Aku sudah
bisa menguasai keadaan dan kini sudah berani bergoyang seperti biasa.
Meskipun begitu tetap saja terasa sesak di vaginaku.
Pak Napit menarik tubuhku dalam pelukannya, berkurang tekanan
penisnya pada vaginaku tapi justru makin nikmat saat klitorisku tergeser
gerakan kocokannya. Dia melumat bibirku dengan gemas, desahanku
tertahan mulutnya. Napasku menderu hebat menerpa wajahnya, aku tak
peduli, malah membuat dia makin mempercepat irama permainannya. Aku
sudah tak tahan lagi, puncak kenikmatan tinggal sejengkal lagi kugapai,
tapi aku tak mau secepat itu, masih banyak yang ingin kurengkuh darinya.
“Dari belakang Pak” pintaku sambil tersengal sengal untuk mengalihkan perhatian dan menurunkan atmosfir yang ada.
“Dari belakang Pak” pintaku sambil tersengal sengal untuk mengalihkan perhatian dan menurunkan atmosfir yang ada.
Tanpa menjawab dia menghentikan gerakannya dan mendorongku turun. Aku
langsung nungging mengambil posisi doggie tapi Pak Napit malah
memintaku telentang, akupun menurut. Kupejamkan mataku rapat rapat saat
Pak Napit mendorong masuk penisnya, aku tak berani menantang sorot
matanya, terlalu malu untuk mengakui bahwa aku sangat sangat menikmati
bercinta dengan orang setua dia dan aku tak inging dia mengetahuinya.
Kembali aku menjerit keras saat penis Pak Napit memasuki vaginaku.
Tanpa mempedulikan jeritan kesakitan atau kenikmatan dariku, dia
langsung memompa dan menekan sedalam mungkin, klitorisku tertekan
gesekannya. kucengkeram lengannya dengan kuat, mungkin kuku kukuku
melukainya tapi aku tak peduli, dan ketika mataku terbuka aku begitu
malu melihat bagaimana Pak Napit memandangi pancaran kenikmatan yang
kuperoleh darinya, secepatnya kupejamkan kembali dengan tersipu malu.
Akhirnya petahananku runtuh juga beberapa menit setelah dia memompa
dengan cepat, aku benar benar menjerit histeris mendapatkan orgasme
darinya, kututupi mukaku dengan bantal karena malu tapi dia menariknya,
justru makin melototi mukaku yang sedang dilanda orgasme hebat sekali,
wajahnya menyeringai penuh kemenangan. Tubuhnya semakin keras menghentak
disaat aku sedang berada di puncak, aku menggeliat tanpa daya seiring
dengan jeritan jeritanku.
Kocokannya masih berlangsung beberapa menit kemudian, napasku semakin
tersengal mendapat sodokan demi sodokan. Tanpa memberiku kesempatan
mengambil napas, dia membalikku. Penisnya langsung menusuk tajam dari
belakang dan mengocok dengan cepat, semakin keras aku menjerit atau
lebih tepat melolong nikmat, permainannya sudah kasar kearah liar.
Begitu keras dia menyodok dan menghentakku sembari menarik rambutku ke
belakang. Aku yang terbiasa melayani permainan kasar makin menikmati
keliarannya, kulawan gerakannya dengan goyangan pantat. Lima menit lebih
dia memompa dari belakang sebelum akhirnya kurasakan tubuhnya menegang
dan penisnya terasa membesar disusul denyutan sangat kuat menyemburkan
sperma di vaginaku.
“Ooh, sshhiitt.. bitch” teriaknya mengiringi semprotannya.
“Ooh, sshhiitt.. bitch” teriaknya mengiringi semprotannya.
Aku tak mampu lagi berteriak, kugigit kuat bantal yang ada dibawahku,
gempuran itu begitu kuat “menghajar” vaginaku tanpa ampun. Dicabutnya
penis itu dengan kasar dari vaginaku hanya sedetik setelah habisnya
denyutan itu, tanpa memberiku kesempatan menikmatinya lebih jauh.
Tubuhku langsung dibalik, dia mengangkang di atas dada hendak
menjepitkan di buah dadaku. Aku ingin memberi melebihi yang dia
inginkan, sebagai ungkapan terima kasih, kuraih penis yang masih penuh
sperma dan kumasukkan ke mulutku, kukocok sebentar hingga “bersih tanpa
noda”. Kami berdua menggeletak terkapar kehabisan tenaga, benar benar
terkapar seperti orang kalah bertanding.
“Kamu hebat bisa bertahan segitu lamanya” katanya dengan napas masih tersengal.
“Ah bapak yang hebat membuatku menggelepar kayak ikan” aku berkata sejujurnya.
“Kamu hebat bisa bertahan segitu lamanya” katanya dengan napas masih tersengal.
“Ah bapak yang hebat membuatku menggelepar kayak ikan” aku berkata sejujurnya.
Baru sekarang kurasakan kelelahan yang teramat sangat, mungkin
akumulasi sejak tadi pagi setelah melayani bercinta dengan empat orang
hari ini dan 2 terakhir benar benar menguras energi dan emosiku. Sendi
sendiku serasa terlepas dari tempatnya, aku tak mampu lagi berdiri,
hanya napas kami yang menderu terdengar di kamar ini. Aku tak tahu lagi
sudah berapa lama kami tadi bercinta, paling tidak lebih dari 30 menit
menurut perasaanku. Terus terang aku salut akan stamina Pak Napit yang
begitu prima mampu melayani nafsu wanita yang seusia anaknya, bahkan
membuatnya terkapar tak berdaya. Ingin rasanya melanjutkan babak kedua
segera, aku sudah tak sabar untuk merengkuh kenikmatan lebih banyak
lagi.
Dengan langkat tertatih aku ke kamar mandi, rasanya penis itu masih
mengganjal di selangkanganku. Vaginaku terasa perih saat kucuci dengan
sabun, mungkin lecet atau sobek di bibirnya. Aku langsung mandi air
hangat menyegarkan diri supaya bisa bertahan lebih lama di babak kedua.
Ketika aku kembali ke kamar ternyata Pak Napit sudah ngorok, masih
dalam keadaan telanjang, padahal belum terlalu malam, masih belum jam
sebelas, mungkin terlalu capek, baik karena golf tadi siang maupun dari
permainan sex barusan, akupun terpaksa harus memendam hasratku yang aku
sendiri tak tahu apakah bisa terlaksana.
Meskipun sudah capek, aku tak bisa begitu saja tertidur, apalagi
dengan hasrat yang masih mengganjal. Kucoba meredam gairahku dengan
mengalihkan ke layar TV, tapi hingga satu jam berlalu masih juta
menggebu hasrat untuk segera bercinta dengan Pak Napit. Seharusnya aku
ikut menjaga stamina dia untuk bertanding besok, tapi aku khawatir
kejadian seperti Pak Bambang terulang lagi, berarti tertutup sudah
kemungkinan untuk meraih nikmat kembali dengan Pak Napit.
Setelah kupikir beribu kali dan mempertimbangkan masak masak untung
rugi maupun resikonya, akhirnya kuberanikan diri mendekati Pak Napit
yang pulas dalam tidurnya. Kuabaikan segala macam keangkuhan dan rasa
malu, aku harus menerima segala resiko yang terjadi akibat perbuatanku
ini. Dengan ragu tanganku meraih penis Pak Napit yang lemas lunglai,
kukocok dengan pelan dan kumasukkan ke mulutku, perlahan tapi pasti
penis itu membesar di dalam mulut. Kudengar desahan halus dari Pak
Napit, entah dia sudah bangun atau masih tertidur. Tak lama dalam
kulumanku, penis itu segera tegang membesar, siap untuk dipakai. Kulihat
Pak Napit masih memejamkan matanya, tapi suara dengkuran sudah hilang
berganti desahan.
Peralahan kunaiki tubuhnya dan kutuntun penisnya memasuki vaginaku.
“Kamu memang nakal” kudengar suara pelan mengagetkanku yang sedang “berjuang” mengisi vaginaku dengan penis besar itu.
“Habis enak sih.. sshh.. mm” jawabku singkat sambil menurunkan pantatku mendorong masuk penisnya, Pak Napit ikutan mendesah meski matanya masih terpejam.
“Kamu memang nakal” kudengar suara pelan mengagetkanku yang sedang “berjuang” mengisi vaginaku dengan penis besar itu.
“Habis enak sih.. sshh.. mm” jawabku singkat sambil menurunkan pantatku mendorong masuk penisnya, Pak Napit ikutan mendesah meski matanya masih terpejam.
Tanpa membuang waktu lebih lama aku langsung menggoyangkan pantatku,
bergerak liar di atas tubuhnya dengan kecepatan tinggi. Gerakanku makin
liar ketika tangan tangan Pak Napit ikutan mempermainkan buah dada dan
putingku. Aku mendesah lepas menikmati kocokan penisnya yang semakin
nikmat terasa, tak kuhiraukan rasa nyeri yang sudah berganti menjadi
kenikmatan tak terkatakan.
Cukup lama aku “berkuda” di atas Pak Napit. Aku tak mau kenikmatan
ini segera berakhir, kuhentikan gerakanku setiap kali kurasakan tubuh
Pak Napit mulai menegang hendak orgasme dan kulanjutkan lagi setelah
ketegangannya menurun. Dengan cara begini aku bisa memperpanjang
permainan, limabelas menit telah berlalu, sudah 2 kali kurengkuh orgasme
secara beruntun. Aku memang egois, tapi toh dia tidak protes keberatan
atas perlakuanku.
Ketika aku hendak meraih orgasme ketiga, Pak Napit menarikku dalam
pelukannya dan langsung mengocok dari bawah, tak dihiraukannya lagi
permintaanku untuk berhenti sebentar, berarti dia ingin segera mencapai
klimaks, maka akupun berusaha secepatnya mendapatkannya terlebih dahulu.
Kami seakan berpacu menuju puncak, seandainya dia berhasil mendahuluiku
maka Game Over tapi sebaliknya kalau aku mencapai terlebih dahulu, dia
masih bisa mendapatkannya. Tubuh kami sudah menempel rapat, keringat
saling bercucuran di sekujur tubuh, kami memacu nafsu berlomba mencapai
batas akhir. Rupanya nasib baik masih berpihak padaku, beberapa menit
kemudian meledaklah jeritan yang kutahan sejak tadi, otot otot vaginaku
berdenyut lebih keras saat kugapai orgasme, tubuhku menegang. Pak Napit
makin mempercepat kocokannya dan dia menyusulku beberapa detik kemudian
diiringi jeritan kenikmatan kami berdua.
Tubuhku lemah lunglai telungkup di dadanya, detak jantung kami seakan
menyatu. Terpenuhi sudah hasrat yang sejak tadi terpendam dengan penuh
kepuasan. Akhirnya kami tidur dalam kelelahan yang hebat dan kenikmatan
yang masih tersisa untuk dibawa tidur. Pak Napit benar benar telah
menutup hariku dengan penuh kenikmatan, terima kasih Bapak, kuharap
besok Bapak bisa memenangkan pertandingan dan kita bisa mengulang
kenikmatan ini lebih lama lagi, harapanku sebelum terlelap.
Hari Ketiga
Keesokan paginya ketika kubuka mataku, kulihat Pak Napit sudah rapi
bersiap untuk berangkat. Tak ada kesan capek dalam raut wajahnya, bahkan
sepertinya tampak lebih ceria dibanding kemarin.
“Maaf Pak, aku terlalu lelap tidur” sapaku tergopoh gopoh beranjak ke kamar mandi.
“Kamu nggak usah ikut turun kalo masih ngantuk, ntar siangan aja pulang” katanya, aku tahu dia sudah terlambat menghadiri acara sarapan pagi.
“Nggak kok, aku cuma sikat gigi dan cuci muka”
“Maaf Pak, aku terlalu lelap tidur” sapaku tergopoh gopoh beranjak ke kamar mandi.
“Kamu nggak usah ikut turun kalo masih ngantuk, ntar siangan aja pulang” katanya, aku tahu dia sudah terlambat menghadiri acara sarapan pagi.
“Nggak kok, aku cuma sikat gigi dan cuci muka”
Akhirnya tanpa mandi dan ber-make up aku mendampingi Pak Napit ke Coffe Shop.
“kamu tetap cantik meski tanpa make up” sapa Pak BAmbang ketika aku sudah berada diantara mereka.
Dengan mesra aku melayani Pak Napit selama sarapan, hal yang sama kulakukan pada Pak Bambang kemarin.
“Gimana tidurnya Pak, nyenyak?” tanya Pak Bambang, aku yakin dia sedikit cemburu.
“Tanya aja sama dia” jawab Pak Napit sambil mengunyah sandwich bikinanku, aku hanya menunduk malu.
“Melihat mata Lily yang masih cekung, aku bisa tebak bahwa kalian kurang tidur” goda Pak Ade.
“Jadi kesempatan kita terbuka untuk merebut piala dari Pak Napit” celetuk lainnya yang aku sudah lupa namanya.
Mukaku merah mendengar olokan mereka.
“kamu tetap cantik meski tanpa make up” sapa Pak BAmbang ketika aku sudah berada diantara mereka.
Dengan mesra aku melayani Pak Napit selama sarapan, hal yang sama kulakukan pada Pak Bambang kemarin.
“Gimana tidurnya Pak, nyenyak?” tanya Pak Bambang, aku yakin dia sedikit cemburu.
“Tanya aja sama dia” jawab Pak Napit sambil mengunyah sandwich bikinanku, aku hanya menunduk malu.
“Melihat mata Lily yang masih cekung, aku bisa tebak bahwa kalian kurang tidur” goda Pak Ade.
“Jadi kesempatan kita terbuka untuk merebut piala dari Pak Napit” celetuk lainnya yang aku sudah lupa namanya.
Mukaku merah mendengar olokan mereka.
Setelah mencium pipi dan keningku, Pak Napit bergabung dengan rekan
rekannya menuju Ciputra Golf Club (dulu masih bernama Citraland). Aku
kembali ke tempat kost untuk melanjutkan istirahatku, vaginaku masih
terasa sakit dan nyeri, hari ini kuputuskan untuk sementara tidak terima
booking-an supaya tidak memperparah luka di vaginaku, apalagi bila
ternyata pemenangnya kembali Pak Napit, tentu memerlukan stamina yang
lebih prima. Semua itu harga yang harus kubayar atas kenikmaan yang
kudapat dari Pak Napit, tapi aku sama sekali tak menyesalinya.
Kuhabiskan waktuku dengan beristirahat, menunggu tiba saatnya.
Beberapa telepon masuk mengajak ketemu terpaksa kutolak dengan alasan
lagi Mens. Selepas makan siang aku bersiap menuju ke Hotel Mercure,
memenuhi sessi terakhir dari kesepakanku di akhir pekan ini. Sengaja
kukenakan pakaian yang paling sexy yang baru kubeli kemarin, aku ingin
membuat mereka terkesan di hari terakhir kunjungannya ke Surabaya.
Ketika kuhubungi GM-ku, ternyata dia juga tidak tahu tentang acara
terakhir ini, belum ada informasi lebih lanjut kecuali aku disuruh
tunggu di Mercure.
Setiba di Mercure aku langsung cek ke receptionist, ternyata mereka
belum datang juga padahal sudah hampir pukul 1 siang, terpaksa aku harus
nunggu di lobby untuk waktu yang aku sendiri tak tahu. Menunggu adalah
pekerjaan yang paling menjemukan, apalagi menunggu di tempat terbuka
seperti lobby hotel ini, suatu pekerjaan yang paling kubenci selama ini.
Ingin kutunggu di mobil saja tapi aku takut tidak bisa melihat
kedatangan mereka, akhirnya kuputuskan menunggu di Coffe Shop. Kucari
tempat yang strategis, tidak terlalu mencolok tapi bisa memandang
langsung ke arah Lobby, agak susah karena jam makan siang begini cukup
banyak tamu di Coffe Shop itu, untung aku mendapatkannya.
Secangkir teh hangat dan snack menemani penantianku. Sepuluh menit
sudah berlalu, si GM ternyata tidak bisa menghubungi mereka karena
HP-nya pada OFF, jadi aku harus memperpanjang penantian, menyesal aku
tadi buru buru berangkat, mestinya kutunggu saja di tempat Kost menanti
panggilan, toh tidak terlalu jauh letaknya.
“Lagi nunggu seseorang ya” suara dari samping mengagetkanku, ternyata si Doni, salah seorang langgananku yang royal memberi tip dan hadiah hadiah kecil.
“Eh kamu Don, ngapain disini, pasti juga sedang nunggu seseorang” jawabku menutupi kekagetanku.
“Sok tahu, aku lagi jemput temanku, dia baru datang dari Medan minta di antar ke Pasar Turi atau Kapasan, biasa kulakan” jawabnya sambil menghembuskan asap rokoknya ke arahku.
“Teman apa teman” godaku.
“Lagi nunggu seseorang ya” suara dari samping mengagetkanku, ternyata si Doni, salah seorang langgananku yang royal memberi tip dan hadiah hadiah kecil.
“Eh kamu Don, ngapain disini, pasti juga sedang nunggu seseorang” jawabku menutupi kekagetanku.
“Sok tahu, aku lagi jemput temanku, dia baru datang dari Medan minta di antar ke Pasar Turi atau Kapasan, biasa kulakan” jawabnya sambil menghembuskan asap rokoknya ke arahku.
“Teman apa teman” godaku.
Kamipun ngobrol biasa seperti layaknya seorang teman, bukan seorang tamu, itulah kalau udah sering ketemu.
“Emang kamu janjian jam berapa?” tanyanya setelah sepuluh menit belum juga ada yang menghampiriku.
“Jam makan siang sih tapi nggak tahu kok belum datang, katanya masih main golf di Ciputra” jawabku terus terang
“Kita tunggu di kamar aja yuk, lumayan sepukul dua pukul” ajaknya nakal.
“Gila kamu, kalo tiba tiba dia datang gimana, lagian saru menyerobot punya orang” jawabku sambil mencubit lengannya.
“Kalo dia datang kan pasti telpon kamu, bilang aja masih di jalan atau apa kek, kan tinggal pindah kamar saja” dia mendesakku meskipun tak ada nada paksaan.
“Emang kamu janjian jam berapa?” tanyanya setelah sepuluh menit belum juga ada yang menghampiriku.
“Jam makan siang sih tapi nggak tahu kok belum datang, katanya masih main golf di Ciputra” jawabku terus terang
“Kita tunggu di kamar aja yuk, lumayan sepukul dua pukul” ajaknya nakal.
“Gila kamu, kalo tiba tiba dia datang gimana, lagian saru menyerobot punya orang” jawabku sambil mencubit lengannya.
“Kalo dia datang kan pasti telpon kamu, bilang aja masih di jalan atau apa kek, kan tinggal pindah kamar saja” dia mendesakku meskipun tak ada nada paksaan.
Aku terdiam, ucapannya ada betulnya juga sih, lagian aku tahu betul
permainan dia di ranjang, biasanya tak lebih lama dari hisapan sebatang
rokok kretek, aku mulai tertarik dan memperimbangkan tawarannya.
“Kalo ketahuan kan aku kehilangan order dan langganan” kucoba keseriusan tawarannya.
“Ya jangan ketahuan dong, tapi nggak usah khawatir, aku akan ganti kerugianmu, kayak nggak tahu aku aja”.
“Bukan gitu maksudku, tapi jangan lama lama ya”.
“Semakin kamu banyak bertanya semakin lama jadinya” jawabnya seraya berdiri menuntunku setelah merasa mendapat lampu hijau.
Setelah menyelesaikan pembayaran makanan dan minuman kami menuju ke kamar yang letaknya satu lantai di atas kamar Pak Napit.
Ternyata temannya yang punya kamar itu sedang mandi, tak mungkin memintanya menunggu di lobby.
“Ya udah, jangan keluar sebelum kupanggil” katanya sambil mendorong temannya ke kamar mandi.
Aku tertawa geli melihat tingkah mereka.
“Kalo ketahuan kan aku kehilangan order dan langganan” kucoba keseriusan tawarannya.
“Ya jangan ketahuan dong, tapi nggak usah khawatir, aku akan ganti kerugianmu, kayak nggak tahu aku aja”.
“Bukan gitu maksudku, tapi jangan lama lama ya”.
“Semakin kamu banyak bertanya semakin lama jadinya” jawabnya seraya berdiri menuntunku setelah merasa mendapat lampu hijau.
Setelah menyelesaikan pembayaran makanan dan minuman kami menuju ke kamar yang letaknya satu lantai di atas kamar Pak Napit.
Ternyata temannya yang punya kamar itu sedang mandi, tak mungkin memintanya menunggu di lobby.
“Ya udah, jangan keluar sebelum kupanggil” katanya sambil mendorong temannya ke kamar mandi.
Aku tertawa geli melihat tingkah mereka.
Untuk mempersingkat waktu segera kukeluarkan penis Doni dari lubang
resliting celananya, aku langsung berjongkok mengulumnya, sekedar
melumasi dengan ludahku. Dalam hitungan detik penis itu sudah menegang
dan siap pakai. Hanya melepas celana Jeans, aku langsung telentang di
ranjang. Akhirnya kurasakan kocokan pertama di hari itu dari Doni, yang
menyodokku tanpa melepas pakaian sedikitpun. Tak seperti biasanya dia
melakukan dengan singkat, kali ini ternyata berlangsung lebih lama dari
dugaanku, bahkan kami sempat berganti posisi dogie sebelum akhirnya
menyemprotkan spermanya di vagina yang sudah kusiapkan sejak pagi untuk
kupersembahkan pada sang juara. Semua itu berlangsung tak lebih dari 7
menit.
Aku tidak bisa mencuci vaginaku karena ada teman Doni, kubiarkan
spermanya menetes keluar dan hanya kuusap dengan selimut. Kubiarkan
bagian bawahku telanjang beberapa waktu lamanya supaya lebih banyak
cairan itu mengalir keluar dari liangku.
Sepuluh menit berlalu, masih juga belum ada kepastian. Doni rupanya sengaja menghukup temannya di kamar mandi dan tidak boleh keluar.
“Sekali lagi yuk, mumpung masih ada waktu” usul Doni melihat aku mondar mandir gelisah dalam keadaan tanpa celana sambil mengepulkan asap rokok.
Sepuluh menit berlalu, masih juga belum ada kepastian. Doni rupanya sengaja menghukup temannya di kamar mandi dan tidak boleh keluar.
“Sekali lagi yuk, mumpung masih ada waktu” usul Doni melihat aku mondar mandir gelisah dalam keadaan tanpa celana sambil mengepulkan asap rokok.
Aku melotot protes tapi justru dia malah menarikku dalam pelukannya,
kupalingkan wajahku ketika dia berusaha mencium bibirku, aku tak mau
make up ku rusak karenanya, terlalu lama kalau harus memperbaikinya.
Doni malah tertawa dan membalikkan tubuhku, mendorongnya hingga posisiku
nungging menghadap ke meja, tanganku bersandar pada tepi meja. Dia
bersiap untuk menyetubuhiku dari belakang, aku protes tapi tidak melawan
saat penisnya menyentuh vaginaku. Saat Doni mulai mendorong masuk,
handphone-ku berbunyi, segera aku berlari mengambilnya, terlepaslah
penis yang sudah setengah jalan di vaginaku, kudengar sumpah serapah
darinya tapi hanya kutanggapi dengan ketawa geli.
Mereka sudah diperjalanan, berarti paling tidak masih ada 15 menit
sebelum sampai di hotel, masih cukup waktu satu babak lagi sebelum
menyambut mereka di Lobby. Kudekati Doni yang duduk di sofa sambil
mengelus penisnya, dia memandangku dengan penuh harap. Kuraih penisnya
yang mulai lemas dan kukulum kulum sebentar hingga menegang. Semenit
kemudian kami sudah berlayar menyeberangi lautan nafsu, dia mendayung
dari belakang melanjutkan yang sempat terputus tadi. Diperlukan hampir
10 menit untuk mencapai seberang kenikmatan, sedikit lebih lama dari
yang pertama tadi. Untunglah penis Doni masih dibawah rata rata hingga
tak sampai memperparah lukaku.
Ketika kami berbalik, ternyata teman Doni sudah berdiri di depan
kamar mandi, hanya mengenakan celana dalam, secara reflek aku menutupkan
tanganku di selangkangan.
“Sorry, teriakan cewekmu tadi terlalu hot mengundang rasa penasaranku” katanya.
Kuambil bantal menutupi vaginaku dan kulewati dia masuk ke kamar mandi. Bukannya aku sok suci, tapi sudah prinsipku untuk tidak memamerkan tubuhku di depan orang yang bukan tamuku.
“Sorry, teriakan cewekmu tadi terlalu hot mengundang rasa penasaranku” katanya.
Kuambil bantal menutupi vaginaku dan kulewati dia masuk ke kamar mandi. Bukannya aku sok suci, tapi sudah prinsipku untuk tidak memamerkan tubuhku di depan orang yang bukan tamuku.
Setelah membersihkan diri dan menghapus sisa sisa jejak yang masih ada, kutinggalkan Doni dan temannya menuju ke Lobby.
Mereka datang hanya berselang beberapa menit setelah kedatanganku. Kulihat mereka masih sibuk menurunkan stick golf dari mobil ketika Pak Ade menghampiriku.
“Udah lama nunggu?” sapanya.
“Ya kira kira 10 menit” jawabku bohong.
“Pak Napit bilang kamu hebat di ranjang dan pintar oral” katanya pelan, aku kaget tak menyangka dia cerita ke teman temannya.
“Ih kok Pak Napit ceritain ke semua orang sih” ada nada protes.
“Cuma sama aku, dia kan anak buahku jadi akhirnya cerita setelah kudesak, aku jadi ingin sekali membuktikannya, sayang aku kalah, habis terlalu bernafsu sih”.
“Kita ke toilet sebentar yuk” ajaknya, aku kaget dengan ajakannya, kutatap tajam matanya, dia serius.
Mereka datang hanya berselang beberapa menit setelah kedatanganku. Kulihat mereka masih sibuk menurunkan stick golf dari mobil ketika Pak Ade menghampiriku.
“Udah lama nunggu?” sapanya.
“Ya kira kira 10 menit” jawabku bohong.
“Pak Napit bilang kamu hebat di ranjang dan pintar oral” katanya pelan, aku kaget tak menyangka dia cerita ke teman temannya.
“Ih kok Pak Napit ceritain ke semua orang sih” ada nada protes.
“Cuma sama aku, dia kan anak buahku jadi akhirnya cerita setelah kudesak, aku jadi ingin sekali membuktikannya, sayang aku kalah, habis terlalu bernafsu sih”.
“Kita ke toilet sebentar yuk” ajaknya, aku kaget dengan ajakannya, kutatap tajam matanya, dia serius.
Aku tak sempat menjawab karena rekan rekannya sudah datang, Pak Napit
menggandengku menuju Coffe Shop. Aku hanya memesan minuman, sekedar
menemani mereka makan siang. Sesaat kulihat Doni dan temannya melintasi
meja kami, dia memandangku sambil tersenyum.
Pak Ade yang berada di seberangku memandangku dan memberi isyarat,
aku tahu maksudnya tapi pura pura tak melihat, belum kuputuskan apakah
menerima tawarannya atau tidak. Dia berdiri dan berbisik pada Pak Napit
yang duduk di sebelahku, tangan Pak Ade mencolek pundakku memberi
isyarat tanpa ada yang mengetahui, lalu dia pergi ke toilet. Aku bingung
tak tahu harus berbuat apa.
“Permisi Pak, perutku tiba tiba mulas” bisikku ke Pak Napit.
Pak Napit memberikan kunci kamarnya tapi aku menolak.
“Di Lobby aja Pak, lebih dekat” jawabku buru buru berdiri seperti orang yang sakit perut.
Pak Ade sudah menuggu di depan toilet pria, senyumnya mengembang saat melihat kedatanganku, beruntunglah suasana di depan toilet itu tak ada orang.
“Tunggu sebentar masih ada orang” katanya.
“Permisi Pak, perutku tiba tiba mulas” bisikku ke Pak Napit.
Pak Napit memberikan kunci kamarnya tapi aku menolak.
“Di Lobby aja Pak, lebih dekat” jawabku buru buru berdiri seperti orang yang sakit perut.
Pak Ade sudah menuggu di depan toilet pria, senyumnya mengembang saat melihat kedatanganku, beruntunglah suasana di depan toilet itu tak ada orang.
“Tunggu sebentar masih ada orang” katanya.
Begitu orang itu keluar, buru buru kami masuk toilet Pria, masuk ke
WC dan menguncinya. Aku duduk di atas closet, kubuka resliting Pak Ade
yang berdiri di depanku dan mengeluarkan penisnya. Aku tak menyangka
melakukan hal yang sama 2 kali berturut turut, kali ini lebih gawat,
kulakukan di WC pria. Penis Pak Ade yang tegang dengan cepat meluncur
mengocok mulutku, merusak lipstik dan make up wajahku. Gagal sudah
memberikan yang terbaik pada sang juara, dua kali di dahului orang yang
sebetulnya tidak berhak, ada perasaan bersalah. Pandangan Pak Ade tak
pernah terlepas dari wajahku yang sedang mengulumya, dia tak berani
mendesah, tangannya menjaMbak rambutku menambah rusaknya riasanku, dia
seperti tak peduli.
Kulepas celana jeans-ku, aku nungging membelakanginya, kupentangkan
kakiku lebar, tanganku tertumpu pada kloset. Penis Pak Ade sudah melesak
di vaginaku beberapa detik kemudian, dia mengocokku langsung dengan
tempo tinggi diselingi sentakan keras. Hampir saja aku menjerit, kugigit
bibirku menahan kocokannya, tentu saja kami tak berani mendesah.
Semakin cepat dan keras sodokannya, semakin kuat aku menggigit bibirku,
tangannya sudah meremas remas buah dadaku, untunglah kaos yang kupakai
tahan kusut, kalau tidak pasti akan terlihat kusut hanya di bagian dada.
Kudengar orang masuk ke toilet, kami terdiam sesaat menunggu dia
keluar, penis masih tetap menancap. Sodokan teras menghantamku setelah
orang itu keluar.
“Aahh” jeritku tanpa sadar yang segera ditutup tangan Pak Ade.
“Sstt” bisiknya, enak aja orang suruh diam tapi dia menyentak keras, protesku dalam hati.
Kugigit jari Pak Ade yang ada di mulutku.
“Aahh” jeritku tanpa sadar yang segera ditutup tangan Pak Ade.
“Sstt” bisiknya, enak aja orang suruh diam tapi dia menyentak keras, protesku dalam hati.
Kugigit jari Pak Ade yang ada di mulutku.
Kini aku duduk di pangkuan Pak Ade, kami saling berhadapan, giliranku
mengocoknya. Pak Ade menyingkap kaosku hingga ke dada, dilepasnya
kaitan tali bra yang ada di depan dan langsung mengulum putingku sambil
meremas remas. Aku hampir mendesah karenanya, kuhentikan gerakanku saat
kudengar seseorang masuk tapi Pak Ade justru memperkuat sedotannya,
kuremas remas rambutnya sambil menggigit bibirku menahan desahan. Tanpa
menunggu orang itu keluar, aku memulai goyanganku, biar tahu rasa,
pikirku. Tanpa kusadari aku semakin bergairah melayani Pak Ade dari yang
tadi ogah ogahan, ternyata bercinta penuh ketegangan seperti ini
menimbulkan sensasi tersendiri yang tak pernah kubayangkan.
Kami sudah tak pedulikan lagi apakah ada orang diluar atau tidak, toh
tetap saja tanpa desah. Kudekap erat kepala Pak Ade di dadaku, aku
sudah hampir mencapai klimaks, tak tahu bagaimana menghadapi klimaks
tanpa jeritan kenikmatan, dan saat vaginaku berdenyut hebat aku hanya
bisa menggigit bibir bawahku sambil mendekap kepala Pak Ade makin rapat,
tak ada jerit kenikmatan.
Sesaat kemudian Pak Ade mengikutiku ke puncak, penisnya bergerak hebat di vaginaku, dia meremas buah dadaku makin kuat, kali ini kugigit jari tanganku sambil menerima semprotan sperma yang membanjir.
Sesaat kemudian Pak Ade mengikutiku ke puncak, penisnya bergerak hebat di vaginaku, dia meremas buah dadaku makin kuat, kali ini kugigit jari tanganku sambil menerima semprotan sperma yang membanjir.
Kami keluar sendiri sendiri setelah keadaan aman, Pak Ade kembali
bergabung dengan rekannya dan aku langsung pindah ke toilet wanita
merapikan make up dan rambut. Aku kembali bergabung dengan mereka
seperti tidak terjadi sesuatu, ternyata mereka sudah selesai makan, Doni
dan temannya sudah tidak ada di mejanya.
“Maaf Pak, lama, abis mules banget sih” kataku setelah meninggalkan mereka mungkin sekitar 15 menit.
Pak Napit menggandengku menuju Lift, aku sudah siap untuk diserah terimakan ke sang pemenang.
“Oke, dengan ini aku serahkan piala bergilir, and the Lily goes to Pak Bambang again” kata Pak Napit menirukan pembagian Piala Oscar, sambil menyerahkanku ke pelukan Pak Bambang yang menyambut dengan mencium bibirku, lainnya bertepuk tangan.
Hilang sudah perasaan bersalahku karena telah memberikan tubuhku pada dua orang terlebih dahulu sebelum sang juara menikmatinya, karena dia telah pernah merasakannya.
“Maaf Pak, lama, abis mules banget sih” kataku setelah meninggalkan mereka mungkin sekitar 15 menit.
Pak Napit menggandengku menuju Lift, aku sudah siap untuk diserah terimakan ke sang pemenang.
“Oke, dengan ini aku serahkan piala bergilir, and the Lily goes to Pak Bambang again” kata Pak Napit menirukan pembagian Piala Oscar, sambil menyerahkanku ke pelukan Pak Bambang yang menyambut dengan mencium bibirku, lainnya bertepuk tangan.
Hilang sudah perasaan bersalahku karena telah memberikan tubuhku pada dua orang terlebih dahulu sebelum sang juara menikmatinya, karena dia telah pernah merasakannya.
Aku menatap mata Pak Napit dengan perasaan bersalah, mungkin karena
“kuperkosa” tadi malam dia tidak bisa mempertahankan pialanya.
“Jangan kaget kalo kamu kembali ke Pak Bambang, selama ini belum pernah ada yang bisa mempertahankan pialanya 2 hari berturut turut, paling berpindah sementara seperti ini” kata Pak Napit seolah menjawab rasa bersalahku.
Sepertinya aku memang harus mondar mandir dari kamar Pak Napit kembali lagi ke kamar depan.
Mereka langsung check out dari hotel langsung pulang, hanya sang juara yang tinggal hingga last flight nanti malam merayakan kemenangan bersama pialanya.
“Kamu memang memberiku semangat bertanding yang luar biasa, karena kamu aku bertekad kuat untuk memenangkan di hari terakhir” kata Pak Bambang ketika kami di dalam kamar sambil memelukku.
“Ah Bapak bisa aja” jawabku membalas ciumannya.
“Kita mandi yuk, meneruskan yang telah terputus” ajakku sambil melepas celana dan kaosnya, sebenarnya aku ingin membersihkan tubuhku dari sisa sisa Pak Ade tadi.
“Kamu ini memang benar benar penggoda, maunya to the point” jawabnya sambil mencubit pipiku dan melepasi seluruh pakaianku tanpa sisa.
“Jangan kaget kalo kamu kembali ke Pak Bambang, selama ini belum pernah ada yang bisa mempertahankan pialanya 2 hari berturut turut, paling berpindah sementara seperti ini” kata Pak Napit seolah menjawab rasa bersalahku.
Sepertinya aku memang harus mondar mandir dari kamar Pak Napit kembali lagi ke kamar depan.
Mereka langsung check out dari hotel langsung pulang, hanya sang juara yang tinggal hingga last flight nanti malam merayakan kemenangan bersama pialanya.
“Kamu memang memberiku semangat bertanding yang luar biasa, karena kamu aku bertekad kuat untuk memenangkan di hari terakhir” kata Pak Bambang ketika kami di dalam kamar sambil memelukku.
“Ah Bapak bisa aja” jawabku membalas ciumannya.
“Kita mandi yuk, meneruskan yang telah terputus” ajakku sambil melepas celana dan kaosnya, sebenarnya aku ingin membersihkan tubuhku dari sisa sisa Pak Ade tadi.
“Kamu ini memang benar benar penggoda, maunya to the point” jawabnya sambil mencubit pipiku dan melepasi seluruh pakaianku tanpa sisa.
Kugandeng dia ke kamar mandi sebelum berbuat lebih jauh lagi, sambil
menunggu air panas memenuhi bathtub aku duduk di kloset menghadap penis
Pak Bambang yang setengah tegang, kuciumi dan kuusapkan ke wajahku. Pak
Bambang mulai mendesis ketika lidahku menari di kepala penisnya dan
semakin keras saat kukulum, persis seperti yang kulakukan dengan Pak Ade
20 menit yang lalu, hanya berbeda suasana. Pak Bambang memegang
kepalaku lalu mengocok mulutku, tanpa kesulitan kumasukkan semua hingga
ke pangkalnya, tidak seperti Pak Napit kemarin yang hanya mampu kukulum
setengah saja.
Pak Bambang berlutut di depanku, diciumi pahaku.
“Jangan Paak” teriakku ketika Pak Bambang mau menjilati vaginaku.
Sebersih apapun aku mencuci pasti masih ada sisa dan bau sperma Pak Ade yang tertinggal, aku nggak mau dia menjilati sisa sisa sperma rekannya. Namun sayang, teriakanku tadi diterjemahkan lain olehnya, dikira aku teriak kenikmatan, dia malah memaksa membuka kakiku lebih lebar. Akhirnya kubiarkan saja dia menikmati lembabnya vaginaku, sambil berharap dia tidak terlalu sensitif mencium aroma sisa sperma. Lidahnya dengan lincah menyusuri lekuk sudut organ intimku, akupun mendesah nikmat, kuremas rambutnya dengan gemas, dia makin ganas menjilati tanpa ampun diselingi kocokan jari tangan yang bergerak gerak liar di dalam. Desahan nikmatku makin lepas.
“Jangan Paak” teriakku ketika Pak Bambang mau menjilati vaginaku.
Sebersih apapun aku mencuci pasti masih ada sisa dan bau sperma Pak Ade yang tertinggal, aku nggak mau dia menjilati sisa sisa sperma rekannya. Namun sayang, teriakanku tadi diterjemahkan lain olehnya, dikira aku teriak kenikmatan, dia malah memaksa membuka kakiku lebih lebar. Akhirnya kubiarkan saja dia menikmati lembabnya vaginaku, sambil berharap dia tidak terlalu sensitif mencium aroma sisa sperma. Lidahnya dengan lincah menyusuri lekuk sudut organ intimku, akupun mendesah nikmat, kuremas rambutnya dengan gemas, dia makin ganas menjilati tanpa ampun diselingi kocokan jari tangan yang bergerak gerak liar di dalam. Desahan nikmatku makin lepas.
Aku tak tahan dipermainkan seperti ini, kudorong tubuhnya hingga
terduduk di lantai, aku langsung menyusul turun ke pangkuannya. Segera
kelesakkan penis Pak Bambang ke vaginaku dan langsung mengocok dengan
gerakan pinggul memutar, dia menyambut putingku yang sudah berada di
depannya dengan kuluman gemas penuh gairah.
“Aagghh sshh ennaakk” desahku tanpa malu sambil mempercepat gerakanku.
Mulutnya bergerak lincah dari satu puting ke lainnya.
“Jangan dikeluarin dulu Pak, aku ingin yang lama” bisikku disela desahan kenikmatan, dia menjawab dengan pagutan di bibirku.
“Aagghh sshh ennaakk” desahku tanpa malu sambil mempercepat gerakanku.
Mulutnya bergerak lincah dari satu puting ke lainnya.
“Jangan dikeluarin dulu Pak, aku ingin yang lama” bisikku disela desahan kenikmatan, dia menjawab dengan pagutan di bibirku.
Kudorong tubuhnya lagi hingga telentang di lantai kamar mandi, aku
tahu dia merasa dingin karena lantai marmer itu, tapi tak kupedulikan.
Tubuhku makin cepat turun naik di atasnya. Air hangat di bathtub sudah
meluber tapi tak kami perhatikan, aku ingin spermanya yang meluber di
vaginaku. Namun luberan air di lantai mengganggunya, aku baru sadar
kalau Pak BAmbang sudah tidak muda lagi, seusia dia tentu gampang masuk
angin kalau kedinginan.
“Kita ke bathtub aja yuk, sambil mandi” ajakku sambil menghentikan gerakanku, sekalian menurunkan tegangan birahi kami.
“Kita ke bathtub aja yuk, sambil mandi” ajakku sambil menghentikan gerakanku, sekalian menurunkan tegangan birahi kami.
Kami berendam bersama sama, air bathtub makin meluber keluar. Kami
tidak langsung menyambung adegan yang terputus, tapi saling memandikan,
saling menyabun dengan sentuhan sentuhan di bagian sensitif.
“Mau disini apa di ranjang” kuberi dia pilihan, aku tahu dia sudah berada dalam cengkeraman pesonaku, apapun yang kumau pasti dituruti.
“Terserah kamu aja yang penting enak, tapi disini dingin, ntar rematikku kambuh” katanya, dasar orang tua tak tahu diri, udah sakit sakitan gitu masih juga doyan daun muda, batinku.
“Ya udah kita di ranjang aja biar hangat, yuk aku keringin dari pada masuk angin”
“Mau disini apa di ranjang” kuberi dia pilihan, aku tahu dia sudah berada dalam cengkeraman pesonaku, apapun yang kumau pasti dituruti.
“Terserah kamu aja yang penting enak, tapi disini dingin, ntar rematikku kambuh” katanya, dasar orang tua tak tahu diri, udah sakit sakitan gitu masih juga doyan daun muda, batinku.
“Ya udah kita di ranjang aja biar hangat, yuk aku keringin dari pada masuk angin”
Setelah mengeringkan dengan handuk kamipun berpindah ke ranjang. Pak
Bambang langsung menggumuli tubuhku yang sudah telentang menantang, tak
secuil tubuhku terlewatkan dari jamahannya.
“Dari belakang yuk, kemarin kan belum mencoba” ajakku, padahal aku sudah lupa apakah memang belum mencobanya, tapi dia mengiyakan saja.
Untuk kesekian kalinya Pak Bambang meng-obok obok vaginaku dengan penisnya, digenjotnya keras tubuhku seakan ingin menjangkau rahimku. Aku diam saja tak menggerakkan tubuhku supaya dia bisa bertahan lebih lama, hanya desahanku yang terdengar. Aku menoleh ke arahnya, wajah Pak Bambang terlihat begitu serius mengocokku, butiran keringat sudah menghiasi mukanya, padahal kita barusan mandi. Lima menit lebih dia memompa vaginaku tanpa ada tanda tanda orgasme, sudah ada kemajuan dibanding kemarin.
“Dari belakang yuk, kemarin kan belum mencoba” ajakku, padahal aku sudah lupa apakah memang belum mencobanya, tapi dia mengiyakan saja.
Untuk kesekian kalinya Pak Bambang meng-obok obok vaginaku dengan penisnya, digenjotnya keras tubuhku seakan ingin menjangkau rahimku. Aku diam saja tak menggerakkan tubuhku supaya dia bisa bertahan lebih lama, hanya desahanku yang terdengar. Aku menoleh ke arahnya, wajah Pak Bambang terlihat begitu serius mengocokku, butiran keringat sudah menghiasi mukanya, padahal kita barusan mandi. Lima menit lebih dia memompa vaginaku tanpa ada tanda tanda orgasme, sudah ada kemajuan dibanding kemarin.
Dia membalik tubuhku telentang, inilah posisi yang paling berat
bagiku, disamping perutnya yang gendut akan menekanku, aku juga tak bisa
memandangi wajahnya saat mengocokku, bukan karena memang tidak ganteng
tapi mengingatkanku pada Papaku.
Kupejamkan mataku saat penisnya menembus vaginaku, dia mengocok sambil meremas buah dadaku. Bayangan bercinta dengan tamu sebelumnya tiba tiba melintas datang dan pergi, mulai dari Doni lalu berganti dengan Pak Napit dan berganti lagi dengan Pak Ade, mereka silih berganti hinggap di pikiranku, membuatku makin bergairah melayani Pak Bambang seakan aku bercinta dengan mereka, terutama Pak Napit, tamu terhebat dalam 3 hari terakhir ini.
Kupejamkan mataku saat penisnya menembus vaginaku, dia mengocok sambil meremas buah dadaku. Bayangan bercinta dengan tamu sebelumnya tiba tiba melintas datang dan pergi, mulai dari Doni lalu berganti dengan Pak Napit dan berganti lagi dengan Pak Ade, mereka silih berganti hinggap di pikiranku, membuatku makin bergairah melayani Pak Bambang seakan aku bercinta dengan mereka, terutama Pak Napit, tamu terhebat dalam 3 hari terakhir ini.
Tiba tiba aku tersadar ketika Pak BAmbang berteriak orgasme dan
kurasakan denyutan penisnya memompakan sperma di vaginaku, kubuka mataku
dan aku kembali ke alam nyata dangan Pak BAmbang masih menyetubuhiku
sedang mengisi vaginaku dengan spermanya, terasa hangat dan penuh. Aku
tersenyum menyadari ketololanku. Setelah kubersihkan penisnya dengan
sprei, dia langsung telentang di sampingku dengan napas yang
ngos-ngosan.
“Bapak hebat, bisa tahan lama seperti itu” aku memuji
“Kamu juga makin lama makin hebat, lebih hot dari kemarin”
Kubiarkan sperma yang membanjir di vaginaku menetes keluar mengenai sprei.
“Bapak hebat, bisa tahan lama seperti itu” aku memuji
“Kamu juga makin lama makin hebat, lebih hot dari kemarin”
Kubiarkan sperma yang membanjir di vaginaku menetes keluar mengenai sprei.
“Pak aku mau tanya tapi jangan marah atau tersinggung ya?” tanyaku sambil menyandarkan kepalaku di dadanya.
“Mengenai apa?” jawabnya sambil mengelu elus rambut dan punggungku.
“Emm mengenai anu, piala bergilir” aku agak ragu melanjutkannya.
“Emang kenapa? Nggak suka ya?”.
“Bukan begitu sekedar menjawab rasa penasaranku, itu kalo bapak nggak keberatan sih”.
“Penasaran kenapa?”.
“Aku pikir Bapak Bapak itu bisa booking cewek sendiri tanpa harus menunggu menang dulu, kenapa jadi dipersulit sih”.
“Oh itu toh, memang benar sih, tapi sensasinya kurang dan tidak ada perjuangan kalo begitu”.
“Mengenai apa?” jawabnya sambil mengelu elus rambut dan punggungku.
“Emm mengenai anu, piala bergilir” aku agak ragu melanjutkannya.
“Emang kenapa? Nggak suka ya?”.
“Bukan begitu sekedar menjawab rasa penasaranku, itu kalo bapak nggak keberatan sih”.
“Penasaran kenapa?”.
“Aku pikir Bapak Bapak itu bisa booking cewek sendiri tanpa harus menunggu menang dulu, kenapa jadi dipersulit sih”.
“Oh itu toh, memang benar sih, tapi sensasinya kurang dan tidak ada perjuangan kalo begitu”.
Akhirnya Pak Bambang menceritakan aturan permainan dengan teman
temannya, sebenarnya semuanya ada 37 orang yang mengikuti aturan itu,
tapi sebagian besar sedang main di Bali, Yogja, Bandung dan Jakarta
sendiri. Pada dasarnya aturan itu sama dengan berjudi, tapi dirupakan
dalam bentuk yang lain dengan prinsip winner take all. Pemenang berhak
mendapatkan free hotel plus piala bergilir yang ditentukan oleh seluruh
peserta tanpa ada seorangpun yang menolak pilihan Piala itu.
Nilai dari Piala Bergilir itu berdasar kesepakatan taruhan, bisa
semua dirupakan Piala bisa juga sebagaian. Kalau ketemu kelompok yang
lebih gila bahkan Piala Bergilirnya 2 cewek sekaligus, tentu saja
taruhannya juga lebih besar. Namanya Piala Bergilir, harus cuma satu
untuk diperebutkan selama even, yang biasanya 2-3 hari berlangsung. Bagi
yang kalah, selamat gigit jari dan tidak boleh mencari piala lain
selama even itu berlangsung, kecuali setelahnya. Kalau ini dilanggar
untuk selanjutnya dia tidak akan diundang lagi, tapi siapa yang tahu.
Tentu saja aturan ini tidak menghapus taruhan lainnya diluar yang ini.
“Kamu adalah orang kedua yang kami pilih setelah cewek yang pertama
datang kami tolak karena Pak Napit tidak setuju dan aku beruntung bisa
mendapatkanmu secara gratis bahkan 2 kali”.
Aku bingung mendengar penjelasan Pak Bambang, tak menyangka ada perilaku sekelompok orang seperti ini, padahal mereka dari keluarga yang bahagia, paling tidak itu yang kutangkap dari pembicaraan telepon Pak Bambang dan Pak Napit kemarin.
Aku bingung mendengar penjelasan Pak Bambang, tak menyangka ada perilaku sekelompok orang seperti ini, padahal mereka dari keluarga yang bahagia, paling tidak itu yang kutangkap dari pembicaraan telepon Pak Bambang dan Pak Napit kemarin.
Cerita Pak Bambang diakhiri dengan kuluman di putingku, tanpa
membersihkan sperma di vaginaku dia kembali mengocokku dengan keras.
Babak ini dengan lebih santai dia menyetubuhiku, bahkan sempat berpindah
dari ranjang ke sofa, dengan sabar kulayani semua keinginannya hingga
dia bisa bertahan hingga lebih dari 15 menit sebelum mencapai
klimaksnya. Berkali kali dia mengucapkan terima kasih karena telah
membuatnya merasa perkasa di usianya itu.
Episode Lain
Pukul 7 malam kami berpisah di lobby hotel, dia naik taxi ke Juanda
dan aku ke tempat parkir bersiap pulang. Tiba tiba aku teringat si Doni
yang tadi siang telah membajakku. Kuhubungi HP-nya sambil berharap dia
bersedia melanjutkan acara tadi siang sekalian menuntaskan nafsuku yang
tidak tersalurkan saat menemani Pak Bambang tadi, 2 babak tanpa orgasme
tentu siksaan tersendiri yang susah untuk dibawa tidur dalam keadaan
birahi tinggi, meskipun itu sudah sering sekali terjadi.
“Don, kita lanjutkan yang tadi siang yuk” ajakku langsung.
“Kenapa?, si tua itu nggak bisa muasin kamu ya” ejeknya.
“Udah jangan cerewet, mau nggak?”.
“Sorry aku nggak bisa sayang, aku udah mau pulang nih, nggak tahu temenku kayaknya mau deh”.
Agak kecewa juga aku mendengar ketidakbisaannya itu, apalagi melihat temannya yang kelihatannya masih lugu banget, mana bisa muasin aku.
“Oke dia mau asal nggak buru buru” lanjutnya kemudian.
“Terserah deh sampai pagi juga boleh” tantangku kepalang tanggung.
Aku yang masih tergantung birahi tinggi langsung saja menyetujuinya dan turun dari mobil kembali ke hotel menuju kamar tempat Doni membajakku tadi.
“Kenapa?, si tua itu nggak bisa muasin kamu ya” ejeknya.
“Udah jangan cerewet, mau nggak?”.
“Sorry aku nggak bisa sayang, aku udah mau pulang nih, nggak tahu temenku kayaknya mau deh”.
Agak kecewa juga aku mendengar ketidakbisaannya itu, apalagi melihat temannya yang kelihatannya masih lugu banget, mana bisa muasin aku.
“Oke dia mau asal nggak buru buru” lanjutnya kemudian.
“Terserah deh sampai pagi juga boleh” tantangku kepalang tanggung.
Aku yang masih tergantung birahi tinggi langsung saja menyetujuinya dan turun dari mobil kembali ke hotel menuju kamar tempat Doni membajakku tadi.
Sesampai di kamar, Doni yang sudah bersiap pulang, mencium pipiku.
“Kamu temanin dia malam ini, jangan bikin kecewa, jangan lupa mandi dulu biar bersih!!” pesannya sebelum meninggalkan kami.
“Beress Boss” godaku.
“Jangan lupa nanti uangnya kasih ke dia, itu sampai besok pagi” teriak Done ke temannya sebelum menutup pintu.
Sepeninggal Doni kami menjadi canggung, ternyata temannya itu tidak terlalu suka bicara seperti Doni, aku harus bisa membuat suasana akrab. Beberapa pertanyaan hanya di jawab dengan pendek, terlihat dia cukup nervous hanya berduaan di kamar.
“Kamu temanin dia malam ini, jangan bikin kecewa, jangan lupa mandi dulu biar bersih!!” pesannya sebelum meninggalkan kami.
“Beress Boss” godaku.
“Jangan lupa nanti uangnya kasih ke dia, itu sampai besok pagi” teriak Done ke temannya sebelum menutup pintu.
Sepeninggal Doni kami menjadi canggung, ternyata temannya itu tidak terlalu suka bicara seperti Doni, aku harus bisa membuat suasana akrab. Beberapa pertanyaan hanya di jawab dengan pendek, terlihat dia cukup nervous hanya berduaan di kamar.
“Aku belum pernah selain sama pacarku” akhirnya dia berterus terang.
“Itupun baru beberapa kali” lanjutnya.
Aku sebenarnya tidak terlalu terkejut melihat dia begitu canggung ketika kudekati.
“Masih mau terus nggak, aku nggak mau kamu terpaksa melakukannya, ntar kecewa dan Doni marah” kucoba bersikap netral.
Dia diam saja, begitu juga ketika kutumpangkan tanganku ke pahanya, tidak ada reaksi, tapi dia juga tidak menolak ketika kucium dan kuelus selangkangannya beberapa saat kemudian. Terus terang, inilah pertama kali aku melayani tamu selugu dia, kalau pengakuannya benar. Dan aku belum punya kiat khusus menghadapinya, semua tamuku selama ini adalah para jawara dan expert dalam perselingkuhan dan permainan sex, jadi tak perlu lagi memandu, semua berjalan secara otomatis.
“Itupun baru beberapa kali” lanjutnya.
Aku sebenarnya tidak terlalu terkejut melihat dia begitu canggung ketika kudekati.
“Masih mau terus nggak, aku nggak mau kamu terpaksa melakukannya, ntar kecewa dan Doni marah” kucoba bersikap netral.
Dia diam saja, begitu juga ketika kutumpangkan tanganku ke pahanya, tidak ada reaksi, tapi dia juga tidak menolak ketika kucium dan kuelus selangkangannya beberapa saat kemudian. Terus terang, inilah pertama kali aku melayani tamu selugu dia, kalau pengakuannya benar. Dan aku belum punya kiat khusus menghadapinya, semua tamuku selama ini adalah para jawara dan expert dalam perselingkuhan dan permainan sex, jadi tak perlu lagi memandu, semua berjalan secara otomatis.
Sepuluh menit terbuang sia sia, dia masih belum memberikan respon
positif atau dia belum berani menyentuhku meskiupun selangkangannya
sudah keras kuremas remas dari luar.
“Aku mandi dulu ya, mau ikut nggak” teringat aku pesan Doni tadi sekalian ingin memancingnya lebih jauh, dia hanya diam tanpa jawaban ketika aku beranjak dari sisinya menuju kamar mandi.
“Koh, sini tolong lepasin ini dong” aku teriak dari kamar mandi memancingnya untuk membantu membuka kaitan bra.
“Aku mandi dulu ya, mau ikut nggak” teringat aku pesan Doni tadi sekalian ingin memancingnya lebih jauh, dia hanya diam tanpa jawaban ketika aku beranjak dari sisinya menuju kamar mandi.
“Koh, sini tolong lepasin ini dong” aku teriak dari kamar mandi memancingnya untuk membantu membuka kaitan bra.
Kulihat tangannya agak gemetar saat membuka kaitan bra, apalagi
kaitan yang ada didepan itu memang nyangkut. Keringat dingin membasahi
dahinya. Kuusap dengan mesra. Begitu kaitan bra terlepas, terpampanglah
keindahan bukit di baliknya, entah setan darimana tiba tiba muncul
keberaniannya atau nafsu yang sudah tak tertahan lagi. Diremasnya kedua
buah dadaku dan langsung dikulumnnya putingku dengan penuh nafsu dan
ganas, aku kaget akan serangannya yang tak terduga. Bersamaan dengan itu
tangannya menggesek gesek selangkanganku yang masih tertutup celana
dalam mini yang hanya menutupi bagian segitiga di depan.
“Kita mandi dulu yuk” bujukku sambil mendesah tapi dia tak menghiraukan ajakanku malah makin memperkuat sedotannya.
Maka akupun membalas dengan melucuti pakaiannya menyisakan hanya celana dalam, dari remasan tadi aku perkirakan penisnya lebih besar dari Doni dan kelihatannya dugaanku benar. Aku merosot turun berlutut didepannya, saat kutarik celana dalamnya sejenak kutertegun, dugaanku ternyata salah, penisnya tidak lebih besar dari Doni tapi jauh lebih panjang, mungkin 17 cm, suatu ukuran yang jarang dimiliki seorang Chinese, paling tidak itu dari pengalamanku selama ini.
“Kenapa? Kecil ya?” katanya melihat ketertegunanku.
“Bukan kurang besar tapi terlalu panjang” godaku sambil mengocoknya, penis itu terlihat indah dengan warna kemerahan belum disunat, segera kujilati dengan gemas, dia mulai mendesis sambil meremas rambutku.
Pantatnya mulai ikutan bergoyang ketika kumasukkan ke mulutku, goyangannya mengocok penis itu di mulut, desahannya makin keras.
“Uff, kita kedalam aja” ajaknya
Maka akupun membalas dengan melucuti pakaiannya menyisakan hanya celana dalam, dari remasan tadi aku perkirakan penisnya lebih besar dari Doni dan kelihatannya dugaanku benar. Aku merosot turun berlutut didepannya, saat kutarik celana dalamnya sejenak kutertegun, dugaanku ternyata salah, penisnya tidak lebih besar dari Doni tapi jauh lebih panjang, mungkin 17 cm, suatu ukuran yang jarang dimiliki seorang Chinese, paling tidak itu dari pengalamanku selama ini.
“Kenapa? Kecil ya?” katanya melihat ketertegunanku.
“Bukan kurang besar tapi terlalu panjang” godaku sambil mengocoknya, penis itu terlihat indah dengan warna kemerahan belum disunat, segera kujilati dengan gemas, dia mulai mendesis sambil meremas rambutku.
Pantatnya mulai ikutan bergoyang ketika kumasukkan ke mulutku, goyangannya mengocok penis itu di mulut, desahannya makin keras.
“Uff, kita kedalam aja” ajaknya
Dia menelentangkanku di ranjang dan langsung menggumuli tubuhku,
melumat bibirku, menjilati leherku, mengulum rakus buah dada dan
putingku, aku mendesah menggelinjang geli dan nikmat.
“Gantian” bisikku setelah beberapa lama merasakan cumbuan ganas darinya, kudorong dia telentang disampingku.
Segera kulahap penisnya yang panjang, hanya separuh yang bisa masuk, kepalaku turun naik diselangkangannya. Kunaikkan kakinya lalu kujilati kantong bola hingga ke lubang anus, dia menjerit keras tak menyangka kuperlakukan seperti ini, semakin dia menjerit semakin aku bergairah.
“Udah udah aahh” desahnya, mungkin sudah tak tahan lebih lama lagi.
“Gantian” bisikku setelah beberapa lama merasakan cumbuan ganas darinya, kudorong dia telentang disampingku.
Segera kulahap penisnya yang panjang, hanya separuh yang bisa masuk, kepalaku turun naik diselangkangannya. Kunaikkan kakinya lalu kujilati kantong bola hingga ke lubang anus, dia menjerit keras tak menyangka kuperlakukan seperti ini, semakin dia menjerit semakin aku bergairah.
“Udah udah aahh” desahnya, mungkin sudah tak tahan lebih lama lagi.
Aku tersenyum, telentang disampingnya. Dia mencium bibirku dan
mengatur posisinya di antara kakiku, penisnya disapukan ke bibir
vaginaku dan mendorongnya pelan pelan memasuki celah sempit kenikmatan.
Penis keempat yang mengisi vaginaku di hari ini. Terasa begitu lama
perjalanan sebelum semua tertanam, rahimku serasa ditusuk keras, aku
menggeliat. Dengan halus dia mengocokku, berlawanan dengan cumbuan
ganasnya tadi, ditatapnya tajam mataku seakan ingin melihat seberapa
nikmat yang kualami. Kubalas tatapannya, baru kusadari kalau dia masih
begitu muda, paling belum 25 tahun, atau mungkin malah masih kuliah,
suatu perbedaan mencolok dibandingkan dengan Pak Bambang yang seusia
Papaku.
Meski tidak terlalu ganteng tapi dengan wajahnya yang putih bersih
layaknya chinesse, tak segan aku memandangnya apalagi semburat semu
merah menghiasi wajah penuh birahi itu. Dia masih mengocokku dengan
irama tetap, kami masih beradu pandang, kalung emasnya sering berayun
mengenai mukaku. Tubuhya kurarik dalam dekapanku, dan kamipun saling
beradu bibir dan lidah. Kocokannya serasa menyodok rahimku, terasa
sedikit nyeri tapi banyak nikmat.
Namun sayang, tak lebih 5 menit tubuhnya sudah mengejang pertanda
orgasme, padahal aku baru mulai mendaki menuju puncak, sedetik kemudian
denyutan kuat menghantam vagina dan rahimku, aku teriak kaget karena tak
menyangka semprotan spermanya begitu kuat dan banyak, cairan hangat
serasa membanjir di celah celah liang kenikmatanku. Dia langsung
mencabut penisnya begitu denyutannya habis, beranjak menuju kamar mandi.
Tapi aku mencegahnya, aku tahu dia ingin segera membersihkan penisnya,
kuraih dan kumasukkan ke mulutku penis basah yang sudah mulai lemas, tak
kuhiraukan jeritan protesnya karena kutahu dia pasti tak keberatan,
entah kenapa ada keinginan untuk melakukan yang aku yakin belum pernah
diberikan pacarnya atau apa yang belum dialaminya.
“Sekarang boleh kamu cuci” kataku setelah menjilat habis sperma yang ada, tapi dia nggak jadi ke kamar mandi.
“Nggak usah, udah bersih kok” katanya sambil tersenyum puas menatapku.
“Sekarang boleh kamu cuci” kataku setelah menjilat habis sperma yang ada, tapi dia nggak jadi ke kamar mandi.
“Nggak usah, udah bersih kok” katanya sambil tersenyum puas menatapku.
Kami istirahat cukup lama sambil makan malam di kamar, dia tak pernah
mengijinkanku mengenakan penutup tubuh, bahkan handuk yang menutupiku
setelah mandi dilepasnya.
“Body kamu bagus” katanya saat kami makan, masih telanjang.
“Tapi tak sebagus pacarmu yang masih mahasiswa itu kan” godaku asal teMbak aja.
“Rupanya Doni banyak cerita ya”.
Lebih satu jam kami bersantai, suasana tidak sekaku tadi, bahkan dia menunjukkan foto pacarnya, pretty chinesse girl.
“Tapi tidak se-sexy dan sepintar kamu” komentarnya saat aku memuji kecantikannya.
“Body kamu bagus” katanya saat kami makan, masih telanjang.
“Tapi tak sebagus pacarmu yang masih mahasiswa itu kan” godaku asal teMbak aja.
“Rupanya Doni banyak cerita ya”.
Lebih satu jam kami bersantai, suasana tidak sekaku tadi, bahkan dia menunjukkan foto pacarnya, pretty chinesse girl.
“Tapi tidak se-sexy dan sepintar kamu” komentarnya saat aku memuji kecantikannya.
Saatnya untuk mulai lagi, babak kedua kami lakukan di sofa, ternyata
dia mengaku belum pernah melakukan selain di ranjang, aku bertekad
memberi yang belum pernah dia rasakan. Penisnya benar benar menggelitik
rahimku ketika aku bergoyang di pangkuannya, serasa begitu panjang
seakan tembus hingga dada, tak kupedulikan rasa nyeri yang timbul karena
rasa nikmatnya jauh melebihi rasa sakit itu. Kali ini dia bertahan
lebih lama, kami berganti posisi, aku duduk di sofa menerima kocokannya,
kami saling berhadapan hingga dia bisa bebas menciumi bibir dan
leherku.
Mungkin karena sering melihat BF, kini kreatifitasnya timbul, dia
mulai berani meminta posisi yang dia mau. Justru aku semakin bergairah
melayani improvisasinya, orgasme pertama kuraih saat dia mengocokku dari
belakang, masih di sofa, dan kudapatkan kembali hanya berselang
beberapa menit ketika dia mengocokku saat aku telentang di meja, ini
semua hasil improvisasinya. Lebih 25 menit permainan babak kedua sebelum
dia menyudahi dengan denyutan hangat beberapa detik setelah orgasme
keduaku. Akupun terkulai lemas dalam kelelahan yang hebat, tamuku
terakhir ini ternyata bisa memenuhi kehausanku seharian, bahkan melebihi
harapan, berat rasanya mengangkat tubuh yang masih tergolek di atas
meja.
Malam itu dia benar benar mewujudkan semua fantasi terpendamnya
selama ini, tanpa memperhatikan rasa capekku dia mencumbuku semalaman,
seakan tak ada hari esok. Tak perduli apakah aku sudah tertidur atau
masih bangu, begitu dia terbangun dari tidurnya langsung menindihku dan
mengocoknya dan kalau aku masih malas diapun melakukannya dengan posisi
miring. Semua kulayani tanpa protes karena pada dasarnya aku juga
menikmatinya, hingga kami benar benar tertidur. Aku tak bisa menghitung
lagi berapa babak permainan di malam itu, dia seperti kuda liar yang
lepas dari kandang dan bertemu kuda betina, ditambah stamina darah muda
yang prima membuat malam menjadi semakin panjang.
Aku pulang pukul 10 pagi setelah Doni datang menjemput temannya untuk
melanjutkan kulakan ke Tanggulangin. Sesampai di tempat kost barulah
kurasakan nyeri yang hebat di vaginaku, luka saat melayani Pak Napit
semakin lebar dengan perlakuan tamuku sepanjang malam (sampai saat itu
aku tidak tahu siapa namanya, karena memang tidak dikenalkan dan kami
terlalu bernafsu hingga tak sempat saling menanyakan nama, bagiku itu
sudah sering terjadi).
Sejak kejadian dengan para golfer tersebut, aku sering dijadikan
piala bergilir di antara mereka, meski anggotanya tidak sama tapi
permainannya hampir sama. Baru kutahu ternyata komunitas para golfer
berperilaku seperti itu banyak di Surabaya dan aku menjadi salah satu
favorit piala itu. Karena booking-an seperti itu uangnya besar dan
hampir semuanya puas dengan pelayananku, maka GM memberiku hadiah satu
set perangkat Golf “Mizuno” dan membiayaiku untuk kursus Golf. “Pasarnya
menjanjikan” katanya. Hingga cerita ini dibuat tak pernah sekalipun aku
turun ke lapangan menggunakannya, meskipun permainan Piala Bergilir
masih sering kuterima.
--------------------------========================================
Banyak email tanggapan yang masuk atas cerita ceritaku, perlu aku
tegaskan sekali lagi, meskipun sudah kuutarakan di seri awal ceritaku,
bahwa cerita itu adalah 90% NYATA, sisanya adalah bumbu penyedap supaya
cerita itu lebih menarik.
Sekalian aku mohon maaf apabila banyak email yang tidak terjawab
saking banyaknya email masuk, bukannya sombong tapi dari pada menjawab
email yang terkadang tidak tahu alur cerita awal dan mengajak ketemu
atau kencan, lebih baik waktu dan tenaga kugunakan untuk membuat cerita
lainnya.
Untuk tawaran penerbitan secara komersial, terus terang saat ini aku
masih belum tertarik untuk meng-komersial-kan cerita ini, anyway thanks
atas tawarannya.
Mengenai bagaimana aku atau statusku sekarang, silahkan baca kembali
di seri awal “Selintas Kisah Seorang Call Girl”, pada prolog sudah jelas
aku bercerita siapa diriku.
Salam kangen untuk semuanya.
*****
“Ly, kita ke tretes yuk” terdengar suara dari Hari dari ujung telepon pada suatu siang.
“Kapan?” jawabku antusias karena udah beberapa minggu aku nggak keluar kota, sekalian refreshing, sekalian dapat duit, berarti taripnya adalah menginap di luar kota yang besarnya bisa 2-3 kali daripada short time.
“Ntar sore kujemput ke tempat kost-mu gimana, kita berangkat rame rame” kata Hari, salah seorang langgananku yang sudah seperti seorang teman meski tak pernah melupakan bisnis.
“Rame rame?, emang dengan berapa orang?” tanyaku penasaran.
“Kita tiga orang, tapi yang satu bawa pacarnya sedangkan satunya lagi masih kosong, dia baru datang dari Jakarta nanti jam 5 sore, kalo kamu ada teman boleh juga di ajak sekalian, tapi yang bagus dong, minim kayak kamu lah, ha.. ha.. ha”
“Berarti harus lebih cantik dong, ah nggak ah, ntar aku dicuekin, lagian susah nyari orang yang lebih cantik dari aku” jawabku tak mau kalah.
“Oke deh terserah kamu aja lah, yang jelas harus cantik, sexy, tinggi, putih dan .. ah kamu tahu sendiri deh gimana maunya, ntar aku jemput jam setengah empat, ke Juanda dulu lalu langsung ke Tretes, oke?”
“Jangan setengah empat, jam limaan gitu lho” aku mencoba menawar karena jam 2 nanti aku harus melayani tamuku di Shangri La, takut waktunya terlalu mepet.
“Jangan, ntar terlambat kasihan dia menunggu kelamaan di Juanda” jawabnya.
“.. setengah lima deh”
“Oke tapi carikan temanmu ya.. “
“Oke aku carikan, tapi nggak janji lho, aku kan kurang punya teman” jawabku menyanggupi.
“Kapan?” jawabku antusias karena udah beberapa minggu aku nggak keluar kota, sekalian refreshing, sekalian dapat duit, berarti taripnya adalah menginap di luar kota yang besarnya bisa 2-3 kali daripada short time.
“Ntar sore kujemput ke tempat kost-mu gimana, kita berangkat rame rame” kata Hari, salah seorang langgananku yang sudah seperti seorang teman meski tak pernah melupakan bisnis.
“Rame rame?, emang dengan berapa orang?” tanyaku penasaran.
“Kita tiga orang, tapi yang satu bawa pacarnya sedangkan satunya lagi masih kosong, dia baru datang dari Jakarta nanti jam 5 sore, kalo kamu ada teman boleh juga di ajak sekalian, tapi yang bagus dong, minim kayak kamu lah, ha.. ha.. ha”
“Berarti harus lebih cantik dong, ah nggak ah, ntar aku dicuekin, lagian susah nyari orang yang lebih cantik dari aku” jawabku tak mau kalah.
“Oke deh terserah kamu aja lah, yang jelas harus cantik, sexy, tinggi, putih dan .. ah kamu tahu sendiri deh gimana maunya, ntar aku jemput jam setengah empat, ke Juanda dulu lalu langsung ke Tretes, oke?”
“Jangan setengah empat, jam limaan gitu lho” aku mencoba menawar karena jam 2 nanti aku harus melayani tamuku di Shangri La, takut waktunya terlalu mepet.
“Jangan, ntar terlambat kasihan dia menunggu kelamaan di Juanda” jawabnya.
“.. setengah lima deh”
“Oke tapi carikan temanmu ya.. “
“Oke aku carikan, tapi nggak janji lho, aku kan kurang punya teman” jawabku menyanggupi.
Beberapa teman kucoba kuhubungi tapi banyak yang lagi off atau sedang
ada booking-an, aku nggak mau mencari lewat GM, karena khawatir tidak
tahu ceweknya dan kalau ternyata nggak cocok menjadi bebanku. Akhirnya
aku menyerah, tak bisa mendapatkannya.
Kucoba menghubungi Hari untuk melapor tapi HP-nya sibuk, sementara aku harus segera berangkat ke Hotel Shangri-La, menemui tamuku yang sudah bikin appointment. Untuk sementara kulupakan Hari, masih ada waktu 3 jam sebelum Hari menjemputku, waktu yang lebih dari cukup untuk sekedar short time.
Kucoba menghubungi Hari untuk melapor tapi HP-nya sibuk, sementara aku harus segera berangkat ke Hotel Shangri-La, menemui tamuku yang sudah bikin appointment. Untuk sementara kulupakan Hari, masih ada waktu 3 jam sebelum Hari menjemputku, waktu yang lebih dari cukup untuk sekedar short time.
Perhatianku benar benar kucurahkan pada tamuku ini, meskipun aku
belum pernah bertemu tapi karena dia adalah rekanan bisnis dari Koh
Toni, tamu langgananku, yang sedang di servis, maka aku harus memberikan
servis dan kepuasan padanya, supaya tamu langgananku tidak kecewa. Koh
Toni menyambutku di lobby hotel, berdua kami naik ke lantai 9 menemui
rekanan bisnisnya.
Ternyata ada 3 orang di kamar itu, satu persatu aku diperkenalkan,
sementara aku sendiri tak tahu yang mana yang harus aku layani. Sepuluh
menit kami berlima di kamar itu, satu persatu mereka meninggalkan kamar
hingga tinggallah aku, Koh Toni dan rekanan bisnisnya yang bernama Tio,
inilah tamuku yang sebenarnya.
“Ly, aku tinggal dulu, kamu temanin Pak Tio ya, ntar kalo udah
selesai hubungi aku di lobby” kata Koh Toni seraya meninggalkan kami
berdua.
Sepeninggal Koh Toni kami berbasa basi sebentar, lalu seperti biasa kamipun berpacu menembus batas mengejar nafsu menggapai kepuasan. Detail permainan tak perlu diceritakan karena ini hanyalah pembuka alur cerita, detailnya ya seperti biasa saja, tak ada yang istimewa pada diri Pak Tio. Seperti kebanyakan tamuku besar nafsu tenaga kurang, meskipun kami bermain tiga babak tapi aku tak mendapatkan orgasme darinya karena masing masing babak hanya bertahan tak lebih dari 5 menit, jadi kurang
menarik untuk diceritakan.
Sepeninggal Koh Toni kami berbasa basi sebentar, lalu seperti biasa kamipun berpacu menembus batas mengejar nafsu menggapai kepuasan. Detail permainan tak perlu diceritakan karena ini hanyalah pembuka alur cerita, detailnya ya seperti biasa saja, tak ada yang istimewa pada diri Pak Tio. Seperti kebanyakan tamuku besar nafsu tenaga kurang, meskipun kami bermain tiga babak tapi aku tak mendapatkan orgasme darinya karena masing masing babak hanya bertahan tak lebih dari 5 menit, jadi kurang
menarik untuk diceritakan.
Kuhabiskan waktu 1,5 jam menemani Pak Tio, kutinggalkan dia sendirian
dengan mengantongi beberapa ratus ribu tips. Aku langsung pulang lewat
pintu samping, tak sempat kutemui Koh Toni yang katanya di Lobby,
seperti biasanya dia akan mentransfer pembayaran lewat rekeningku.
Di perjalanan pulang ternyata Koh Toni meneleponku.
“Kamu udah pulang kok nggak ngomong ngomong, ada apa?” tegurnya.
“Ah nggak ada apa apa, kata Pak Tio tadi nggak usah nunggu Koh Toni, jadi aku langsung pulang aja, gimana dia puas nggak?” jawabku memancing.
“Pak Tio puas banget sama kamu, dia malah minta kamu temanin dia ntar malam, gimana?”
Aku terdiam sejenak, baru sekarang teringat ajakan Hari.
“Maaf Koh, aku nggak bisa, ntar sore mau ke Tretes sama teman teman, biasa refreshing” tolakku halus
“Refreshing mah bisa menyusul, ntar aku ajak ke Bali deh, inikan ada duitnya” dia berusaha merayuku.
“Nggak bisa Koh, ini juga bisnis” aku berusaha menolak halus.
“Sayang deh, padahal dia suka kamu lho, sampai kapan di Tretes?” masih juga dia tak mau menyerah.
“Entahlan mungkin besok malam kali baru balik”
“Ya udah kita lihat besok deh, apa dia masih mau” akhirnya dia menutup telepon.
“Kamu udah pulang kok nggak ngomong ngomong, ada apa?” tegurnya.
“Ah nggak ada apa apa, kata Pak Tio tadi nggak usah nunggu Koh Toni, jadi aku langsung pulang aja, gimana dia puas nggak?” jawabku memancing.
“Pak Tio puas banget sama kamu, dia malah minta kamu temanin dia ntar malam, gimana?”
Aku terdiam sejenak, baru sekarang teringat ajakan Hari.
“Maaf Koh, aku nggak bisa, ntar sore mau ke Tretes sama teman teman, biasa refreshing” tolakku halus
“Refreshing mah bisa menyusul, ntar aku ajak ke Bali deh, inikan ada duitnya” dia berusaha merayuku.
“Nggak bisa Koh, ini juga bisnis” aku berusaha menolak halus.
“Sayang deh, padahal dia suka kamu lho, sampai kapan di Tretes?” masih juga dia tak mau menyerah.
“Entahlan mungkin besok malam kali baru balik”
“Ya udah kita lihat besok deh, apa dia masih mau” akhirnya dia menutup telepon.
Sesampai di tempat Kost yang hanya 15 menit dari Shangri La, kucoba
menghubungi Hari, melaporkan kegagalanku mendapatkan teman tapi HP-nya
selalu sibuk. Pukul 4 hari menghubungiku, dia kecewa ketika tahu aku
tidak bisa mendapatkan teman untuk tamunya yang dari Jakarta.
“Wah sekarang udah nggak ada waktu untuk hunting” jawabnya pasrah.
“Kita cari aja disana, kan banyak” hiburku
“Mana mau dia dengan cewek cewek di sana, bukan seleranya” jawabnya ketus.
Aku jadi serba salah, tentu saja aku tak mau ribut menyalahkan dia karena HP-nya selalu sibuk waktu dihubungi, biarlah kesalahan ini kutanggung aja.
“Ya udah, kita lihat saja nanti, kali kali dia bisa nemukan cewek yang cocok disana, aku jemput kamu 10 menit lagi, udah dijalan nih” katanya memutus pembicaraan.
“Wah sekarang udah nggak ada waktu untuk hunting” jawabnya pasrah.
“Kita cari aja disana, kan banyak” hiburku
“Mana mau dia dengan cewek cewek di sana, bukan seleranya” jawabnya ketus.
Aku jadi serba salah, tentu saja aku tak mau ribut menyalahkan dia karena HP-nya selalu sibuk waktu dihubungi, biarlah kesalahan ini kutanggung aja.
“Ya udah, kita lihat saja nanti, kali kali dia bisa nemukan cewek yang cocok disana, aku jemput kamu 10 menit lagi, udah dijalan nih” katanya memutus pembicaraan.
Berempat kami berangkat menjemput kedatangan Piter di Juanda, Aku dan
Hari mengendarai Mercy E320 keluaran terbaru sementara Ivan dan Nenny,
pacarnya, membawa BMW 520. Untunglah selama perjalanan ke Juanda Hari
tidak mengungkit ungkit kegagalanku mendapatkan cewek untuk Piter.
Justru Hari banyak bercerita tentang Piter, rupanya mereka adalah
sahabat karib sejak sekolah di California, begitu juga dengan Ivan,
mereka adalah tiga serangkai yang menjalankan bisnis keluarga mereka
masing masing dan sukses. Diusia mereka yang relative muda, awal 30-an,
sudah manjadi pengusaha sukses, dan bisa berfoya foya tak perlu menunggu
tua. Hubungan mereka bak saudara, sepiring bahkan seranjang bersama,
berbagi kesenangan dan kesusahan.
Kami tak perlu menunggu terlalu lama di Juanda, begitu Piter keluar
dari pintu kedatangan, mereka langsung berpelukan dan termasuk Nenny
yang memberikan ciuman di pipinya. Kedua mobil langsung meluncur ke arah
Tretes, berhenti sebentar di Restorant Dewi Sri di Pandaan untuk
sekedar mengganjal perut, dan tak lupa membawa bekal karena ntar malam
tak perlu keluar Villa mencari makan.
Setelah melewati pasar di depan Hotel Surya mobil belok kanan
menyusuri jalan kecil yang hanya cukup untuk 1 mobil, 500 M kemudian
tampaklah vila yang dituju, vila milik keluarga Hari. Si penjaga Vila
buru buru membuka pintu gerbang dan menutupnya kembali setelah kami
berada di dalam, lampu lampu yang tadi Cuma temaram sekarang terang
benderang. Hari membawa kami masuk menjelajahi kamar kamar yang ada,
semua ada 5 kamar dengan 2 kamar besar, kolam renang berbentuk oval
tidak terlalu besar namun indah.
“Oke terserah kalian pilih kamar yang mana, yang jelas aku dan Lily
ambil yang depan di sebelah kolam, Pit kamu kamar yang tempo hari kamu
pakai aja biar Ivan dan Nenny bisa bulan madu di kamarnya bokap” kata
Hari mengatur.
“Sip, gue sih kamar mana aja oke tapi temannya ini nih gimana?” Piter mulai menanyakan.
Aku dan Hari saling berpandangan.
“Van, kita mau hunting kamu terserah deh mau ikut apa nggak” kata Hari pada Ivan dan pacarnya.
“Nggak, disini aja, lagian ada Nenny” jawab Ivan sambil meringis dicubit pacarnya.
“Sip, gue sih kamar mana aja oke tapi temannya ini nih gimana?” Piter mulai menanyakan.
Aku dan Hari saling berpandangan.
“Van, kita mau hunting kamu terserah deh mau ikut apa nggak” kata Hari pada Ivan dan pacarnya.
“Nggak, disini aja, lagian ada Nenny” jawab Ivan sambil meringis dicubit pacarnya.
Bertiga kami turun menuju ke diskotik di depan Hotel Surya (namanya
udah lupa tuh), beberapa cewek berdiri disitu menjajakan diri secara
terselubung, beruntunglah aku tidak dalam grup itu, batinku.
Dari satu kelompok ke kelompok lain sepertinya Piter belum mendapatkan yang cocok dengan seleranya.
“Maumu yang gimana sih Van?” Tanya Hari yang sudah capek berkeliling jalan kaki karena lebih praktis daripada naik mobil.
“Ya yang kayak cewekmu itu” jawabnya ringan sambil tetap memelototi satu persatu cewek yang ada disitu.
Dari satu kelompok ke kelompok lain sepertinya Piter belum mendapatkan yang cocok dengan seleranya.
“Maumu yang gimana sih Van?” Tanya Hari yang sudah capek berkeliling jalan kaki karena lebih praktis daripada naik mobil.
“Ya yang kayak cewekmu itu” jawabnya ringan sambil tetap memelototi satu persatu cewek yang ada disitu.
Jarum jam menunjukkan pukul 21.00, makin banyak cewek yang datang ke
diskotik, makin banyak pilihan tapi sepertinya belum ada yang sesuai
dengan seleranya. Entah sudah berapa banyak jagung bakar dan bir hitam
yang mereka tegak dan tak terhitung lagi batang rokok yang telah
berceceran di bawah, tapi sang idaman tak juga kunjung didapat.
Mungkin karena sudah kedinginan dan pasrah atau karena terpaksa
akhirnya dia menjatuhkan pilihan pada salah satu gadis yang ada disitu,
aku yakin dia terpaksa memilih karena sudah tidak ada pilihan lagi,
daripada kedinginan sendirian, maka kamipun kembali ke Vila dengan
membawa seorang gadis.
Sesampai di Villa ternyata Ivan dan Nenny sudah masuk ke kamar, sayup
sayup kami dengar jeritan kenikmatan Nenny dari dalam kamar, kami hanya
tersenyum berpandangan dan langsung masuk ke kamar masing masing. Hari
ngomel memaki maki Piter yang terlalu banyak pilihan, sudah berapa jam
waktu terbuang percuma, aku makin merasa bersalah. Sebenarnya bisa saja
Hari memintaku menemani Piter, berarti mengorbankan diri sendiri, tapi
itu tak dilakukannya.
“Kasihan Piter, dia mendapat cewek yang bukan seleranya” kataku pelan sambil melepas sweater dan Jins-ku.
“Emang sih, tapi itu diluar rencana” jawabnya tanpa menyinggung kesalahanku tadi siang.
“Har, aku usul nih, jangan marah ya, janji?” aku memberanikan diri, dia diam menatapku tajam, lalu menganggukkan kepala.
“Piter kan jauh jauh dari Jakarta, sedangkan kamu kan di surabaya, gimana kalo aku temanin Piter malam ini, toh kita bisa ketemu kapan saja, anytime, tapi itu terserah kamu sih” aku memberanikan diri, takut dia tersinggung, tak berani menatapnya.
“Emang sih, tapi itu diluar rencana” jawabnya tanpa menyinggung kesalahanku tadi siang.
“Har, aku usul nih, jangan marah ya, janji?” aku memberanikan diri, dia diam menatapku tajam, lalu menganggukkan kepala.
“Piter kan jauh jauh dari Jakarta, sedangkan kamu kan di surabaya, gimana kalo aku temanin Piter malam ini, toh kita bisa ketemu kapan saja, anytime, tapi itu terserah kamu sih” aku memberanikan diri, takut dia tersinggung, tak berani menatapnya.
Hari diam saja memandangku makin tajam, sepertinya ada gejolak di batinnya, entah mempertimbangkan entah marah.
“Lalu aku harus tidur sama cewek kampung itu?” dengan nada tinggi.
Aku diam saja sambil berpura pura sibuk melepas bra-ku, menyesal mengajukan usul. Kupeluk dia dan kucium bibirnya.
“Ya udah, lupakan usulku itu sayang” kataku sambil melepas baju dan celananya, ternyata dia sudah tidak mengenakan celana dalam.
Aku langsung berlutut di depannya, kuraih kejantanannya yang lemas, kuremas dan kukocok sambil menciuminya untuk membangkitkan gairah yang terpendam sejak tadi. Hari meremas remas rambutku ketika aku mulai mengocok dengan mulutku, penisnya yang tidak disunat dengan cepat keluar masuk menerobos bibirku, apalagi ditambah gerakan pantatnya yang seakan mempercepat kocokannya. Mulutku kewalahan menerima gerakan liarnya, tetesan air liur keluar dari celah bibirku.
Kami pindah ke ranjang yang besar, baru kusadari ternyata kamar itu begitu erotis, dikelilingi cermin disepanjang dinding dindingnya, begitu juga atap di atas ranjang, aku bisa melihat pantulan bayanganku telentang pasrah di atas ranjang.
“Lalu aku harus tidur sama cewek kampung itu?” dengan nada tinggi.
Aku diam saja sambil berpura pura sibuk melepas bra-ku, menyesal mengajukan usul. Kupeluk dia dan kucium bibirnya.
“Ya udah, lupakan usulku itu sayang” kataku sambil melepas baju dan celananya, ternyata dia sudah tidak mengenakan celana dalam.
Aku langsung berlutut di depannya, kuraih kejantanannya yang lemas, kuremas dan kukocok sambil menciuminya untuk membangkitkan gairah yang terpendam sejak tadi. Hari meremas remas rambutku ketika aku mulai mengocok dengan mulutku, penisnya yang tidak disunat dengan cepat keluar masuk menerobos bibirku, apalagi ditambah gerakan pantatnya yang seakan mempercepat kocokannya. Mulutku kewalahan menerima gerakan liarnya, tetesan air liur keluar dari celah bibirku.
Kami pindah ke ranjang yang besar, baru kusadari ternyata kamar itu begitu erotis, dikelilingi cermin disepanjang dinding dindingnya, begitu juga atap di atas ranjang, aku bisa melihat pantulan bayanganku telentang pasrah di atas ranjang.
Hari langsung mendatangi selangkanganku, dilepasnya celana dalam ungu
transparan yang menutupi kewanitaanku, dia mencium celana dalam itu
sebelum melemparnya ke lantai.
Tanpa buang waktu, bibirnya segera mendarat di vaginaku, dikulumnya
sambil mempermainkan lidah, klitorisku dipermainkan dengan jari
tangannya. Dia menyedot seperti seorang yang kehausan, aku menjerit
kaget dan nikmat, dengan cepatnya vaginaku menjadi basah, baik karena
ludahnya maupun karena cairan vaginaku sendiri. Jari jari tangannya
ikutan menjarah permukaan kewanitaanku, dua jari sudah mengocokku
diselingi permainan lidah di klitoris, aku makin menjerit nikmat, tak
kuhiraukan apakah jeritanku terdengar dari kamar sebelah, toh mereka
juga melakukan hal yang sama.
Aku benar benar dibuatnya kelojotan karena permainan tangan dan
oralnya, nikmat sekali, kuremas remas kedua buah dadaku. Berkali kali
kutarik rambutnya untuk segera memasukkan penisnya, tapi tak digubris,
sepertinya dia menikmati siksaannya.
Tubuhku dibalik pada posisi menungging, aku berharap dia segera
melakukannya dengan posisi doggie, tapi kembali kurasakan tangan dan
lidahnya yang menyentuh organ kenikmatanku, jeritanku makin keras ketika
lidahnya menyentuh anusku, tak kusangka dia melakukan itu meski aku
sering malakukan padanya hal yang sama.
“Come on Har, pleeasse” desahku tak tahan menghadapi foreplay-nya, napasku sudah tersengal sengal menahan gejolak birahi.
Aku mendekap bantal erat erat saat kurasakan kepala penisnya mulai mengusap bibir vaginaku, bersiap mendapatkan kenikmatan darinya.
“Aauuwww.. sshit” teriakku kaget ketika tanpa aba aba Hari langsung mendorong masuk penisnya dengan keras dan sekali dorong, meskipun ukurannya tidak terlalu besar, alias rata rata tapi dengan sodokan keras seperti itu tak urung membuatku kaget, sakit bercampur nikmat, semua beraduk menjadi satu. Dia tersenyum penuh kemenangan melihatku menggeliat karena sodokannya.
Aku mendekap bantal erat erat saat kurasakan kepala penisnya mulai mengusap bibir vaginaku, bersiap mendapatkan kenikmatan darinya.
“Aauuwww.. sshit” teriakku kaget ketika tanpa aba aba Hari langsung mendorong masuk penisnya dengan keras dan sekali dorong, meskipun ukurannya tidak terlalu besar, alias rata rata tapi dengan sodokan keras seperti itu tak urung membuatku kaget, sakit bercampur nikmat, semua beraduk menjadi satu. Dia tersenyum penuh kemenangan melihatku menggeliat karena sodokannya.
Dengan tempo tinggi dia langsung mengocok vaginaku tanpa ampun
diiringi remasan remasan kuat di buah dadaku. Hari tak mempedulikan
jeritanku, justru semakin aku menjerit semakin kuat dia menghentakkan
penisnya, berulang kali aku berusaha menahan sodokannya tapi tanganku
selalu ditepisnya, sepertinya dia melampiaskan dendam yang sudah lama
terpendam.
Suatu permainan kasar yang tidak biasa dia lakukan, lima menit
kemudian aku sudah bisa menyesuaikan dengan irama permainannya. Kubalas
setiap hentakan dengan hentakan lagi, bahkan aku menggoyang goyangkan
pantatku mengimbanginya. Tiba tiba dia menarik penisnya dengan kasar,
aku menjerit kecewa.
Dia meninggalkanku turun dari ranjang, sambil menyalakan rokok,
dikecilkan lampu kamar hingga meredup dan dibukanya jendela yang ke arah
kolam. Pemandangan kota Surabaya terlihat indah di malam hari, diiringi
dinginnya udara pegunungan yang menerobos masuk ke kamar. Aku masih
belum tahu apa maksudnya, menghentikan permainan yang lagi seru dan
membuka jendela, memandang keluar sambil merokok. Kuselimuti tubuhku
dengan selimut untuk menahan dinginnya udara malam pegunungan yang
menerobos masuk kamar, kudekap Hari dari belakang.
“Kok tiba tiba berhenti sayang” tanyaku manja sambil mengelus elus dadanya manja.
Dia diam, hanya menghembuskan asap rokok kuat kuat keluar. Tubuh telanjangku kupepetkan ke punggungnya, terasa kehangatan yang mengalir, elusanku turun ke perut dan selangkangan, aku kaget, ternyata penisnya basah dan banyak cairan, ketika kucium aroma sperma yang kuat menyengat, ternyata dia menariknya keluar saat orgasme.
“Ih curang, begitu keluar ditarik keluar” protesku sambil menggigit ringan pundaknya.
Dia hanya tertawa terbahak bahak, kami kembali berpelukan di depan jendela yang terbuka, selimut penutup tubuhku sudah jatuh ke lantai, udara dingin berubah menjadi kehangatan pelukan gairah birahi.
Dia diam, hanya menghembuskan asap rokok kuat kuat keluar. Tubuh telanjangku kupepetkan ke punggungnya, terasa kehangatan yang mengalir, elusanku turun ke perut dan selangkangan, aku kaget, ternyata penisnya basah dan banyak cairan, ketika kucium aroma sperma yang kuat menyengat, ternyata dia menariknya keluar saat orgasme.
“Ih curang, begitu keluar ditarik keluar” protesku sambil menggigit ringan pundaknya.
Dia hanya tertawa terbahak bahak, kami kembali berpelukan di depan jendela yang terbuka, selimut penutup tubuhku sudah jatuh ke lantai, udara dingin berubah menjadi kehangatan pelukan gairah birahi.
“Ntar dilihat orang” bisikku disela sela ciumannya.
“Nggak mereka udah pergi kok, lagian tempat ini terpencil” hiburnya meyakinkanku.
Maka kamipun kembali bercinta di depan jendela yang terbuka dengan pemandangan kelap kelip kota Surabaya, dinginnya angin malam tak mampu mengusir panasnya nafsu kami.
“Nggak mereka udah pergi kok, lagian tempat ini terpencil” hiburnya meyakinkanku.
Maka kamipun kembali bercinta di depan jendela yang terbuka dengan pemandangan kelap kelip kota Surabaya, dinginnya angin malam tak mampu mengusir panasnya nafsu kami.
Aku tak bisa mengingat sudah berapa kali orgasme dan berapa babak
melayani buasnya nafsu Hari dengan berbagai posisi, meskipun begitu
bersemangat tapi kami harus menyerah dengan apa yang namanya capek dan
lapar, mungkin terlalu banyak energi yang keluar ketika kami bercinta
tadi. Sebenarnya aku masih ingin melanjutkan merengkuh kenikmatan lebih
lama, aku sendiri tak tahu, semakin bergairah semakin bersemangat aku
bercinta tanpa mengenal lelah, namun Hari sudah menyerah dan minta “Time
out”, terpaksa aku harus ikutan menunda keinginanku. Akhirnya kami
putuskan untuk break dan membuka bekal yang kami bungkus dari Dewi Sri
tadi.
Perlahan lahan kami membuka bungkusan di tengah temaram lampu ruang
tamu yang sengaja tidak kami besarkan. Dalam waktu singkat ludeslah
seekor ayam berpindah ke perut kami berdua didorong setengah botol Aqua,
masih menyisakan 2 ekor lagi tapi kami biarkan tetap terbungkus.
Limabelas menit kami beristirahat di ruang tamu, udara dingin mulai
terasa menusuk kulit, apalagi aku hanya mengenakan kemeja tipis milik
Hari tanpa dilapis jaket, bahkan kakiku tetap telanjang tanpa penutup,
hanya kemaja Hari itulah yang menutupi tubuhku hingga ke paha. Begitu
juga dengan Hari yang hanya mengenakan celana pendek tipis, kamipun
duduk berpelukan menikmati sunyinya malam dipegunungan diiringi suara
jangkrik yang jelas terdengar, suasana begitu romantis.
Terbawa suasana, tak lama kemudian kamipun akhirnya berciuman,
kuselipkan tanganku ke dalam celana Hari, dia melepas kancing kancing
kemejaku dan meremas kedua buah dadaku bergantian. Aku mendesah pelan
ketika dia mengulum putingku, kuremas makin keras kejantanannya, segera
kami kembali dalam pergulatan penuh nafsu, lupa sudah dimana kami
berada.
Hari duduk di sandaran sofa menerima kulumanku pada penisnya, dia mendesah perlahan, mungkin takut terdengar lainnya.
Hari berlutut didepanku, penisnya disapukan sejenak lalu menyodokku dengan keras, seperti sebelumnya, aku hanya menggigit jariku menerima kocokan kerasnya, tak berani bersuara, tangannya ikutan meremas dan memilin ringan putingku, membuatku semakin kepanasan, semakin keras kugigit jariku. Dia tersenyum melihat expresiku yang aku sendiri tak bisa menggambarkan seperti apa, begitu bernafsu dia menggerakkan penisnya keluar masuk vaginaku.
Hari berlutut didepanku, penisnya disapukan sejenak lalu menyodokku dengan keras, seperti sebelumnya, aku hanya menggigit jariku menerima kocokan kerasnya, tak berani bersuara, tangannya ikutan meremas dan memilin ringan putingku, membuatku semakin kepanasan, semakin keras kugigit jariku. Dia tersenyum melihat expresiku yang aku sendiri tak bisa menggambarkan seperti apa, begitu bernafsu dia menggerakkan penisnya keluar masuk vaginaku.
Kurebahkan Hari di atas sofa, langsung kubimbing penisnya memasuki
liang kenikmatanku, sama seperti yang dilakukannya padaku tadi, dengan
sekali gerakan melesaklah kejantanannya mengisi rongga vaginaku dengan
cepat, dia menjerit kaget tanpa sadar, aku hanya tersenyum melihatnya.
Sebelum dia sadar, kususul dengan gerakan dan goyangan pantat yang liar
tidak beraturan, aku ingin melihatnya terkapar dalam kenikmatan, seperti
apa yang telah dilakukannya padaku, lebih mengasyikkan lagi karena dia
tidak berani mendesah keras, kunikmati permainan ini. Gerakanku makin
menjadi ketika dia mulai meremas remas buah dadaku, kami sadar bahwa
permainan ini beresiko tertangkap basah sama lainnya, tapi kami tak
peduli, hanya menjaga supaya tidak menimbulkan berisik yang bisa
membangunkan macan tidur.
Tiba tiba lampu ruang tamu menyala terang, kami berdua kaget,
bersamaan kami menoleh ke arah pintu depan, ternyata Piter sudah berdiri
disitu, matanya tertuju pada tubuhku, dalam keadaan kaget kami ternyata
hanya terbengong, aku masih di atas Hari dengan penis yang masih
tertanam, sementara tangan Hari masih meremas buah dadaku. Celakanya,
begitu tersadar bukannya segera menutupi diri tapi langsung memeluk
rapat tubuh Hari, maksudnya menutupi tubuhku dari pandangan Piter, tapi
justru posisi itu makin membuat pemandangan menjadi lebih erotis.
“Wah curang, kalian bermain begitu hot, tapi aku kamu kasih si mayat
hidup” komentar Piter sambil berjalan masuk dan duduk di depan kami.
Aku yang masih di pelukan Hari jadi serba salah, apalagi Piter duduk tepat menghadap kami yang sedang telanjang berpelukan, sepertinya dia sudah biasa, tak ada rasa segan menghadapi kami yang sedang dalam keadaan begini.
“Lho cewek kamu kemana?” Tanya Hari yang masih memelukku.
“Aku pulangin, habis udah hitam nggak bisa ngapa ngapain, untuk apa dilanjutin, aku tadi keluar mau nyari lagi, tapi rupanya nggak ada yang bagus” jawabnya sambil menyalakan rokoknya.
“Iadi kamu belum main toh”
“Nggak ah sayang, mending dikasih ke cewek lain yang cocok, entah kapan dimana”
Aku yang masih di pelukan Hari jadi serba salah, apalagi Piter duduk tepat menghadap kami yang sedang telanjang berpelukan, sepertinya dia sudah biasa, tak ada rasa segan menghadapi kami yang sedang dalam keadaan begini.
“Lho cewek kamu kemana?” Tanya Hari yang masih memelukku.
“Aku pulangin, habis udah hitam nggak bisa ngapa ngapain, untuk apa dilanjutin, aku tadi keluar mau nyari lagi, tapi rupanya nggak ada yang bagus” jawabnya sambil menyalakan rokoknya.
“Iadi kamu belum main toh”
“Nggak ah sayang, mending dikasih ke cewek lain yang cocok, entah kapan dimana”
Tak mungkin kami ngobrol dalam keadaan begini, kuberanikan untuk
turun dari tubuh Hari dengan resiko tubuh telanjangku terlihat Piter.
Meskipun aku seorang call girl yang terbiasa telanjang di depan laki
laki tapi belum pernah aku telanjang dihadapan orang yang tidak
mem-booking-ku.
“Wow, suit suit” celetuk Piter melihat tubuhku, langsung kututupi
dengan kemeja yang ada di lantai, aku ingin masuk kamar tapi Hari
mencegahku dan meminta duduk disampingnya menemani ngobrol dengan Piter,
agak segan juga aku karena sudah pasti kemeja tipis itu tak mampu
menutupi postur tubuhku, apalagi selangkanganku saat duduk, terpaksa
kuturuti kemauan Hari.
Hari tetap telanjang sambil memelukku ketika bicara dengan Piter yang mengeluhkan cewek-nya tadi, pada dasarnya dia kecewa apalagi membandingkan denganku. Ternyata sudah lama dia berada di luar, dia melihat semua yang kami lakukan di kamar tamu, bahkan sesaat dia melihat kami bercinta di depan jendela kamar yang terbuka. Kembali rasa bersalah menyelimutiku.
Hari tetap telanjang sambil memelukku ketika bicara dengan Piter yang mengeluhkan cewek-nya tadi, pada dasarnya dia kecewa apalagi membandingkan denganku. Ternyata sudah lama dia berada di luar, dia melihat semua yang kami lakukan di kamar tamu, bahkan sesaat dia melihat kami bercinta di depan jendela kamar yang terbuka. Kembali rasa bersalah menyelimutiku.
“Kamu nggak fair Har, masak teman yang jauh disuruh cari sendiri,
terang aja nggak bisa, bilang kek kalo kamu nggak bisa nyariin, kan aku
nggak perlu jauh jauh terbang hanya untuk ketemu si mayat hidup tadi”
Piter mulai protes, aku diam saja, begitu juga Hari, entah apa yang ada
dalam benaknya karena apa yang diucapkan Piter meskipun dengan bergurau
ada benarnya dan sama dengan usulku tadi, tapi semua itu tergantung pada
Hari.
Hari menatapku tapi kualihkan pandanganku ke luar sambil menyalakan rokok yang ada di meja.
“Oke sekarang maumu apa?” Tanya Hari
“Ya cariin aku cewek yang seperti dia dong, kan nggak mungkin aku minta ke Ivan”
“Malam malam begini? ngaco kamu” kata Hari.
“Ya udah selamat bersenang senang deh, aku mau tidur aja biar besok bisa tenang kembali ke Jakarta” kata Piter seraya berdiri meninggalkan kami berdua, sepertinya dia ngambek.
“Oke sekarang maumu apa?” Tanya Hari
“Ya cariin aku cewek yang seperti dia dong, kan nggak mungkin aku minta ke Ivan”
“Malam malam begini? ngaco kamu” kata Hari.
“Ya udah selamat bersenang senang deh, aku mau tidur aja biar besok bisa tenang kembali ke Jakarta” kata Piter seraya berdiri meninggalkan kami berdua, sepertinya dia ngambek.
Aku dan Hari terdiam melihat sikap Piter, semua tergantung Hari,
namanya orang dibayar aku sih terserah sama yang bayar, lagipula dari
segi fisik, umur maupun wajah mereka tak jauh berbeda.
“Ly, kamu keberatan nggak kalo nemenin Piter malam ini” kata Hari dengan suara terbata bata.
“Terserah kamu saja Har, toh kamu yang booking, lagipula apa kata Piter emang ada benarnya” kataku pelan takut membuatnya tersinggung.
“Tapi rasanya aku nggak rela melepasmu ke Piter, kamu nggak akan puas sama dia, aku tahu betul permainannya, mana bisa dia muasin kamu dengan permainan sejam nonstop kayak tadi” bisik Hari.
“Ya terserah saja, kalo kamu nggak rela sama sahabat sendiri ya tungguin saja biar tahu aku lagi diapain ” jawabku asal karena sudah kesal sama Hari yang selalu mencari pembenaran tindakannya disamping itu aku juga ingin menebus kesalahanku, tak ada pamrih lain.
“Kamu nggak keberatan aku ikut ndampingi?” tanyanya bego
“Jangan Tanya aku, Tanya sama Piter, mau nggak dia main ditungguin dan dipelototin gitu”
Tanpa menjawab dia langsung menuju ke kamar Piter, aku sendirian kedinginan, kembali kudengar sayup sayup desahan Nenny dan Ivan.
“Oke dia setuju” katanya menggandengku menuju kamar Piter.
“Ly, kamu keberatan nggak kalo nemenin Piter malam ini” kata Hari dengan suara terbata bata.
“Terserah kamu saja Har, toh kamu yang booking, lagipula apa kata Piter emang ada benarnya” kataku pelan takut membuatnya tersinggung.
“Tapi rasanya aku nggak rela melepasmu ke Piter, kamu nggak akan puas sama dia, aku tahu betul permainannya, mana bisa dia muasin kamu dengan permainan sejam nonstop kayak tadi” bisik Hari.
“Ya terserah saja, kalo kamu nggak rela sama sahabat sendiri ya tungguin saja biar tahu aku lagi diapain ” jawabku asal karena sudah kesal sama Hari yang selalu mencari pembenaran tindakannya disamping itu aku juga ingin menebus kesalahanku, tak ada pamrih lain.
“Kamu nggak keberatan aku ikut ndampingi?” tanyanya bego
“Jangan Tanya aku, Tanya sama Piter, mau nggak dia main ditungguin dan dipelototin gitu”
Tanpa menjawab dia langsung menuju ke kamar Piter, aku sendirian kedinginan, kembali kudengar sayup sayup desahan Nenny dan Ivan.
“Oke dia setuju” katanya menggandengku menuju kamar Piter.
Kini ganti aku yang salah tingkah, baru kusadari konsekuensi atas
ucapanku tadi, belum pernah aku bercinta ditonton laki laki lain, kalo
dilihat bahkan main bertiga dengan dua wanita sih udah sering tapi kali
ini keadaannya terbalik, penontonnya adalah Hari, tamu langgananku
sendiri.
Aku berhenti di depan pintu kamar Hari, entahlah seolah ada yang
menahanku, sepertinya aku belum siap untuk bercinta dihadapan laki laki
lain, tapi Piter menyambutku dengan senyuman kemenangan, dia
membimbingku ke ranjang diikuti Hari yang sudah mengenakan celana
pendeknya, dia langsung duduk di sofa di ujung kamar setelah menyalakan
lampu dengan terangnya, seolah ingin melihat dengan jelas bagaimana
sobatnya memuaskanku atau ingin melihat bagaimana aku melayani laki laki
lain.
Piter langsung melucuti pakaian satu satunya penutup tubuhku, kini
aku telanjang dihadapan dua laki laki, belum pernah aku mengalami hal
seperti ini, kembali rasa nervous membayangiku.
“Nah ini baru betul, nggak rugi dibelain terbang dari Jakarta” komentarnya sesaat melihat tubuhku yang telanjang duduk di tepi ranjang.
Dia duduk disebelahku, dielusnya punggungku, celotehan pujian terucap setiap kali tangannya bergeser ke bagian lain tubuhku. Tangannya mulai menjelajahi kedua buah bukit di dada, diremasnya dengan gemas sambil menciumi pipi dan leherku, aku menggelinjang geli.
“Nah ini baru betul, nggak rugi dibelain terbang dari Jakarta” komentarnya sesaat melihat tubuhku yang telanjang duduk di tepi ranjang.
Dia duduk disebelahku, dielusnya punggungku, celotehan pujian terucap setiap kali tangannya bergeser ke bagian lain tubuhku. Tangannya mulai menjelajahi kedua buah bukit di dada, diremasnya dengan gemas sambil menciumi pipi dan leherku, aku menggelinjang geli.
Secara reflek tanganku menjamah selangkangannya, kubuka resliting
celananya dan kususupkan tanganku ke dalam, langsung masuk di balik
celana dalamnya, ada perasaan aneh ketika tanganku berhasil meraih
kejantanannya, ternyata jauh lebih pendek dari punya Hari yang berukuran
sedang itu, meskipun besarnya hampir sama, mungkin segenggaman sudah
hilang padahal sudah keras menegang.
Aku menggeser tubuhku ke bawah, berlutut di antara kedua kakinya, tak
kuhiraukan dinginnya lantai kamar yang menusuk, kulepas celananya
bersamaan dengan dia melepas kaos dan jaketnya. Ketika kutarik turun
celana dalamnya, mencuatlah kejantanannya, hamper mengenai mukaku,
kugenggam dan kuremas remas, begitu kecil rasanya sehingga tak ada sisa
dalam genggaman tanganku, bisa dibayangkan sebesar pisang emas yang
manis dan mungil. Tak kupedulikan ukuran penis di genggamanku, segera
kucium dan kujilati penisnya, tak ada aroma sperma, berarti dia memang
tidak sempat melakukan dengan ceweknya tadi, kukulum dan kulumat habis
hingga pangkalnya, bukan masalah besar bagiku untuk melumat penis
seukuran ini.
Piter mulai mendesis saat kocokanku makin cepat, berulang kali dia
memuji permainan oralku yang menurut dia the best, apalagi ketika
lidahku menyusuri seluruh daerah sensitif di selangkangannya. Ditariknya
tubuhku naik, aku duduk dipangkuannya sambil beradu lidah, tangannya
menggerayang di dadaku, terus turun hingga ke vagina, dua jari masuk
tapi cepat ditariknya lagi, mungkin dia merasakan sperma Hari yang masih
ada di dalam. Dia merebahkan diri sambil menarik tubuhku dalam
pelukannya, kamipun saling bergumul penuh nafsu di atas ranjang,
bergulingan dan saling memagut. Putting dan kedua bukitku dikulum dan
dilumat dengan gemas, wajahnya ditanam dan dijepitkan diantara kedua
payudaraku.
Kugenggam erat dan kukocok kejantanannya, kusapukan ke bibir vaginaku
tapi dia menolak dan berdiri menuju traveling bag-nya, rupanya dia
mengambil kondom dan diserahkan padaku. Dengan gerakan mulut tanpa
kesulitan kukenakan kondom bergerigi dan berassesoris itu ke penisnya.
Kini dia tak menolak saat kubimbing memasuki liang kenikmatanku,
vaginaku yang sejak sore sudah di-obok obok penis Hari yang jauh lebih
besar, kini serasa begitu mudah ditembus.
Piter menelungkupkan tubuhnya di atasku, kami saling berpelukan
rapat, bibir kami kembali saling melumat seiring dengan gerakan
pantatnya turun naik, penisnya sudah keluar masuk vaginaku makin cepat,
kini baru terasa pengaruh gerigi dan assesoris yang begitu nikmat
menggesek gesek dinding vaginaku, apalagi ketika mutiara di pangkal
kondom mengenai klitorisku, membuatku mulai mendesis nikmat, ternyata
tak terpengaruh oleh ukuran penisnya.
Sepertinya dia tahu bagaimana bermain dengan kondomnya, seringkali
dia memasukkan dalam dalam lalu menekan kuat kemudian menggoyang
goyangkan pantatnya, kontan saja aku mendesah nikmat tak tertahan,
tubuhku menggeliat enak saat mutiara mutiara itu bergerak liar menggesek
klitorisku, ini pengalaman baru bagiku yang belum pernah kualami.
Desahanku semakin keras, terlupa sudah keberadaan Hari di pojok
ruangan sedang menonton permainan kami. Bunyi kecipuk cairan vagina dan
sperma Hari jelas terdengar saat Piter mengocokku keras, kupeluk
tubuhnya yang sudah mulai berkeringat, desahan kami saling bersahutan.
Sepintas kulihat Hari ternyata sudah telanjang, mengamati kami sambil
meremas remas penisnya, aku sudah tak pedulikan lagi, toh dia sudah
menyerahkanku ke Piter.
Kami beralih ke posisi dogie, dia menyetubuhiku dari belakang,
kugeser tubuhku tepat menghadap Hari, tanpa kusadari secara demonstratif
ingin kutunjukkan pada Hari beginilah caraku melayani laki laki lain.
Ternyata posisi dari belakang tidaklah senikmat dari depan, mungkin
karena mutiara mutiara itu tidak bisa mengenai klitorisku, semakin cepat
Piter mengocokku, serasa hanya berlarian di dalam vaginaku.
Tanpa permisi, kutarik keluar penisnya, kudorong dia telentang di
ranjang, aku mengambil posisi di atas. Pinggulku langsung bergoyang
lincah begitu penisnya tertanam ke dalam, dengan posisi ini aku bisa
leluasa mencari posisi sudut yang kurasakan paling nikmat, dimana
mutiara mutiara itu bisa menggesek dan bergerak liar pada klitoris. Aku
benar benar terbuai hingga tersadar ketika kurasakan pelukan dan remasan
buah dada dari belakang, ternyata Hari sudah berada dibelakangku.
“Kamu memang membuatku tak tahan dan aku benar benar cemburu” bisiknya sambil menciumi telinga dan tengkukku.
Gerakanku terganggu ciumannya, sesaat aku berhenti, konsentrasiku terpecah antara Piter di bawah dan Hari di atas, apalagi Piter tak mau gerakanku terhenti, kini dia yang mengocokku dari bawah, sungguh aku dibuatnya kewalahan mendapat rangsangan dari dua arah yang berbeda, tubuhkupun menggeliat tak karuan dan meledaklah jeritanku, entah jeritan kenikmatan atau kegelian, yang jelas keduanya sama enaknya.
Gerakanku terganggu ciumannya, sesaat aku berhenti, konsentrasiku terpecah antara Piter di bawah dan Hari di atas, apalagi Piter tak mau gerakanku terhenti, kini dia yang mengocokku dari bawah, sungguh aku dibuatnya kewalahan mendapat rangsangan dari dua arah yang berbeda, tubuhkupun menggeliat tak karuan dan meledaklah jeritanku, entah jeritan kenikmatan atau kegelian, yang jelas keduanya sama enaknya.
Beberapa menit kulalui dengan segala “Kerepotan”, dikeroyok dua orang
sekaligus yang sama sama tidak mau mengalah, masing masing ingin
membuktikan dialah yang terbaik, akibatnya aku yang jadi korban ajang
pembuktian mereka. Belum pernah kualami keroyokan macam ini, ternyata
cukup merepotkan, apalagi ada tuntutan untuk memuaskan mereka berdua,
ini pengalaman baru bagiku.
Perlahan aku mulai bisa menyesuaikan dengan kedua rangsangan yang
ada, pinggulku mulai bisa bergoyang seraya berciuman dengan Hari. Baru
sekarang kurasakan sensasi yang hebat bermain bertiga, biasanya akulah
yang mengeroyok laki laki, kini aku dikeroyok laki laki, pengalaman
pertama yang tak pernah terlintas dalam fantasiku sekalipun. Bahkan
ketika Hari beranjak ke depanku, menyodorkan kejantanannya di saat aku
masih di atas Piter, tanpa ragu segera kulumat dan kukulum dengan
bibirku, sensasinya sungguh luar biasa mendapat kocokan atas bawah
sekaligus, apalagi mutiara itu selalu menggesek klitoris dengan liar
tanpa ampun.
Mungkin karena sensasi yang terlalu berlebihan, aku tak bisa menahan
lebih lama lagi, dan meledaklah teriakan orgasme tanpa bisa kubendung,
segera kukeluarkan penis Hari dari mulutku, takut tergigit tanpa
sengaja, berganti dengan kocokan tangan yang cepat. Tubuhku menegang
dalam remasan Piter yang justru makin meningkatkan tempo kocokannya di
vagina. Hari memaksakan memasukkan penisnya kembali ke mulutku tapi aku
menolak, hanya kusapukan ke wajahku. Teriakan orgasme kembali terdengar,
kali ini dari Piter, kurasakan denyutan sangat kuat di vaginaku membuat
aku ikutan menjerit nikmat dan kuremas makin kuat penis di genggamanku.
Tubuhku langsung lemas dan terkulai dalam dekapan Piter yang langsung
menyambutku dengan pelukan, napas kami menyatu dalam pacuan tak
berirama, kurasakan penis Piter sudah terlepas dari liangku. Hari yang
kutinggalkan sesaat ternyata sudah bergeser diantara kaki kami, aku
menoleh protes saat kurasakan penisnya menyapu vaginaku.
“Har, pleass aku istirahat dulu” aku menghiba, tapi dia menyodokkan penisnya sebagai jawabannya.
Gila dia, masak mau menyetubuhiku dari belakang saat aku masih dalam pelukan sahabatnya, pikirku.
“Har, pleass aku istirahat dulu” aku menghiba, tapi dia menyodokkan penisnya sebagai jawabannya.
Gila dia, masak mau menyetubuhiku dari belakang saat aku masih dalam pelukan sahabatnya, pikirku.
Kembali aku terdongak merasakan penisnya yang menerobos masuk mengisi
liang basah kenikmatanku, terasa nikmat yang aneh setelah merasakan
penis Piter, padahal sejam yang lalu penis itu telah meng-aduk aduk
vaginaku tapi kali ini lain rasanya, aku diselimuti sensasi yang erotis,
dalam waktu kurang semenit kurasakan 2 penis yang berbeda, biasanya ini
kualami dalam kurun sekitar satu jam, tapi ini secara simultan, akupun
mendesah dan menggeliat dalam pelukan Piter yang semakin erat
mendekapku.
Aku tak menyangka sama sekali bahwa begitu nikmat bercinta keroyokan
seperti ini, meskipun membutuhkan stamina yang lebih, pantesan banyak
laki laki yang ingin dikeroyok dan diladeni 2 atau lebih cewek
sekaligus. Penis Hari makin dalam dan cepat menghunjam di vaginaku,
akupun tak mau terhanyut lebih lama dalam irama permainannya, maka
kuangkat tubuhku melepaskan diri dari pelukan Piter, posisi tubuhku
seperti merangkak, dan akupun bisa mengimbangi irama kocokannya dengan
ikutan menggoyangkan pantatku.
Ternyata posisi tubuhku membuat Piter jadi lebih leluasa berkreasi,
buah dadaku yang bergoyang goyang indah karena kocokan Hari langsung
mendapat kuluman darinya, aku menjerit kaget tak menyangka mendapat
rangsangan sekaligus seperti ini, desahanku kembali memenuhi kamar
dingin yang sudah membara terbakar nafsu kami. Berulang kali kuluman
Piter terlepas saat Hari menyodokku keras, tapi dengan sabar dia meraih
dan mengulumnya lagi.
Piter menggeser tubuhnya keluar dari kungkunganku, dia duduk
selonjor, penisnya tepat di mukaku, segera kuraih, kulepas kondomnya dan
kumasukkan ke mulutku, tak kuhiraukan lagi aroma sperma yang menusuk.
Meskipun kocokan Hari cukup keras menghantam vaginaku, tapi dengan
ukuran penis Piter yang mini aku masih bisa mempermainkannya dengan
mulut dan lidahku, konsentrasiku sudah mulai terbiasa terbagi diantara
dua kenikmatan.
Terbersit kebanggaan bisa membuat dua laki laki mengerang kenikmatan
dalam waktu bersamaan, gerakanku kepala dan pantatku semakin liar, aku
ingin mengendalikan permainan ini meskipun dikeroyok, desahan kami
bertiga saling bersautan membentuk simponi nafsu yang indah. Hari memang
tipe laki laki penikmat sex, belum ada tanda tanda dia segera
mengakhiri, justru Piterlah yang untuk kedua kalinya menggapai orgasme
lebih dulu. Kumasukkan semua penisnya saat kulihat tanda tanda orgasme
darinya, maka keluarlah sperma yang tidak banyak, mungkin hanya tetesan
tetesan sisa yang ada, penisnya berdenyut lemah dalam mulutku, Piter
yang tidak menyangka mendapatkan servis seperti itu berteriak kaget,
apalagi saat kupermainkan lidahku di penisnya yang sedang berdenyut.
Kocokan Hari tidak berkurang apalagi berhenti, justru dia lalu
memintaku telentang, dan kamipun kembali bercinta one on one lebih
bergairah meskipun sensasinya tak mengalahkan two in one. Giliran Piter
yang menonton kami disampingku, sambil tangannya mengusap dan meremas
buah dadaku. Saat kujepit pinggang Hari dengan kedua kakiku hingga
penisnya makin dalam
melesak, Piter menuntun tanganku ke penisnya yang lemas lunglai, kuremas remas sambil merasakan kocokan Hari yang makin tidak beraturan. Aku hanya menjaga supaya tidak orgasme terlebih dahulu, kalau ini terjadi maka seluruh ototku langsung lemas dan tidak mampu lagi melanjutkan permainan yang mengasyikkan ini, kuingin mereguk kenikmatan lebih dari mereka berdua, terlalu sayang untuk dilewatkan dengan cepat, meskipun sebenarnya sudah cukup lama berlangsung, tapi sepertinya tak ada kata puas.
melesak, Piter menuntun tanganku ke penisnya yang lemas lunglai, kuremas remas sambil merasakan kocokan Hari yang makin tidak beraturan. Aku hanya menjaga supaya tidak orgasme terlebih dahulu, kalau ini terjadi maka seluruh ototku langsung lemas dan tidak mampu lagi melanjutkan permainan yang mengasyikkan ini, kuingin mereguk kenikmatan lebih dari mereka berdua, terlalu sayang untuk dilewatkan dengan cepat, meskipun sebenarnya sudah cukup lama berlangsung, tapi sepertinya tak ada kata puas.
Aku harus mengagumi kondisi Piter, meskipun penisnya kecil tapi
begitu cepat recovery, tak lama dalam genggamanku dia sudah bisa tegak
kembali, siap tempur. Dia turun dari ranjang, mengeluakan kondom yang
bentuknya berbeda dengan sebelumnya, ada seperti kepala anjing di ujung
dan rambut rambut pada pangkalnya, dari pengalamanku bentuk kondom
memang sangat banyak variasinya, sebenarnya kesemua itu hanya untuk
memuaskan kaum wanita, rupanya dia sudah mempersiapkan segalanya,
tinggal menunggu giliran. Rupanya dia tidak perlu menunggu terlalu lama
ketika Hari memberinya kesempatan sebelum dia orgasme, aku
tahu trik dia, pasti sudah mau orgasme makanya buru buru mencabut keluar, aku hanya tersenyum melihat tingkah lakunya.
tahu trik dia, pasti sudah mau orgasme makanya buru buru mencabut keluar, aku hanya tersenyum melihat tingkah lakunya.
Penis besar berganti penis kecil berkondom unik mengisi vaginaku, tak
kurasakan ke-unikan saat Piter mendorong masuk penisnya, biasa saja,
tapi begitu semua penisnya masuk semua barulah kurasakan kepala
anjingnya menusuk vagian dalam vagina dan bulu bulunya menggelitik
klitoris. Ketika dia mulai mengocok, barulah kurasakan sensasi keunikan
yang sesungguhnya
yang membuatku mendesah kelojotan dalam kenikmatan. Hari duduk di tepi ranjang sambil mengusap usap buah dadaku, membuatku semakin terbakar birahi, apalagi saat dia mengulum dan lidahnya menari nari di putingku.
yang membuatku mendesah kelojotan dalam kenikmatan. Hari duduk di tepi ranjang sambil mengusap usap buah dadaku, membuatku semakin terbakar birahi, apalagi saat dia mengulum dan lidahnya menari nari di putingku.
Kuraih penisnya dan kubalas dengan remasan kuat, Piter semakin cepat
menancapkan penisnya, kepala anjingnya terasa makin dalam menyundul
rahimku, apalagi ketika dia menekan kuat ke selangkanganku, antara sakit
dan nikmat bercampur menjadi satu.
Hari mengganjal kepalaku dengan bantal lalu memasukkan penisnya ke mulutku yang sedang terbuka mendesah dalam nikmat, dia langsung mengocok begitu penisnya masuk ke mulutku, kembali aku mendapat dua kocokan yang bersamaan dengan posisi kebalikan.
Hari mengganjal kepalaku dengan bantal lalu memasukkan penisnya ke mulutku yang sedang terbuka mendesah dalam nikmat, dia langsung mengocok begitu penisnya masuk ke mulutku, kembali aku mendapat dua kocokan yang bersamaan dengan posisi kebalikan.
Akhirnya pertahananku runtuh juga dikeroyok secara bersamaan,
meledaklah jeritan kenikmatanku, kujepit Piter dengan pahaku erat erat
dan kuremas penis Hari, tubuhku mengejang kaku, suatu orgasme yang
menjebol segala dinding dinding pertahanan dan menerbangkan semua energi
yang tersisa, beruntung Piter menyusulku beberapa detik kemudian,
kepala anjing itu serasa membesar di vaginaku, aku memejamkan mata dan
menggigit bibir bawah, tak mampu lagi meneriakkan kenikmatan yang
teramat nikmat.
Piter langsung mencabut penisnya begitu denyutan berakhir, melepas
kondom lalu menumpahkan isinya di perutku sambil mengusapkan penisnya di
selangkanganku. Masih tersisa satu penis di tanganku, tanpa menunggu
lagi Hari langsung mengocok mulutku dengan cepat, tubuhku yang berada di
bawah kangkangan kakinya tak mampu menghindar, hanya pasrah menerima.
Beberapa menit kemudian aku berhasil melaksanakan tugasku, Hari
menyemprotkan spermanya memenuhi mulutku, sebagian tertelan sebagian
menetes keluar dari celah celah bibirku, lalu dia menyapukannya ke
wajahku dengan senyum penuh kepuasan.
Kedua laki laki itu lalu menggeletak di sampingku, napas kami masih
tersengal, baru sekarang kurasakan betapa letihnya aku, entah sudah
berapa jam mulai di kamar Hari tadi, sama sekali aku tak menyangka
mengalami pengalaman seperti ini, ternyata kenikmatannya jauh lebih
mengasyikkan. Akhirnya akupun terdidur dalam pelukan kedua laki laki
ini, membawa sejuta kenikmatan dan kenangan, kubiarkan sperma yang ada
di vagina dan tubuhku seakan tak mau terbangun dari mimpi.
Keesokan harinya aku terbangun kesiangan, matahari sudah tinggi,
sinarnya yang menerobos jendela menyilaukan pandangan mataku yang baru
terbuka, kulihat Hari dan Piter masih tertidur di sampingku, kaki kanan
Hari menumpang kakiku sedang tangan Piter masih memelukku, perlahan
kusingkirkan dan aku beranjak ke kamar mandi.
Kehangatan air dari shower menyegarkan tubuhku, terasa segar dan
mengembalikan kebugaran, mengusir semua kelelahan yang ada, kupejamkan
mata relax, entah berapa lama aku berendam dalam bathtub, ketika
kusadari ternyata Hari dan Piter sudah berdiri menghadapku, masih
telanjang.
“Hai, kamu bikin aku kaget saja”
“Habis kamu sepertinya asik banget” kata Hari lansung menyusulku masuk ke bathtub, diikuti Piter, air bathtub meluber keluar.
“Sini aku mandiin” kata Piter yang posisinya di belakangku seraya mengambil busa dan sabun, digosoknya punggungku sambil tangannya meraba raba bagian dadaku.
“Hai, kamu bikin aku kaget saja”
“Habis kamu sepertinya asik banget” kata Hari lansung menyusulku masuk ke bathtub, diikuti Piter, air bathtub meluber keluar.
“Sini aku mandiin” kata Piter yang posisinya di belakangku seraya mengambil busa dan sabun, digosoknya punggungku sambil tangannya meraba raba bagian dadaku.
Hari yang posisinya berhadapan di depanku ikutan meraba bagian yang
sama, empat tangan menjamah kedua buah dadaku. Kuraih penis Hari dan
mengocoknya dalam hangatnya air, ciuman Piter dari belakang menjelajah
telinga, tengkuk dan punggung, aku menggeliat geli. Hari menarikku dalam
pangkuannya, sesaat kemudian penisnya sudah berada dalam hangatnya
vaginaku. Air beriak keras makin meluber saat aku mulai mengocoknya,
kami mulai saling mendesah, Piter keluar dari bathtub dan berdiri
disampingku menyodorkan penisnya ke mulut, kusambut dengan jilatan dan
kuluman yang membuat kami mendesah berbarengan. Aku sangat menikmati
permainan bertiga ini, makanya kukerahkan segala kemampuanku untuk
meraih kenikmatan demi kenikmatan.
Piter memegang kepalaku dan mengocoknya dengan cepat sementara
pantatku juga bergoyang di atas kejantanan Hari. Tak kusangka permainan
bertiga di kamar mandi di pagi hari membuatku lebih cepat melayang, dan
akupun mencapai puncak kenikmatan terlebih dahulu, kali ini tak
kukeluarkan penis Piter dari mulutku, aku hanya menahannya di dalam,
suatu percobaan apakah aku bisa menanganinya tanpa gigitan, dan aku
berhasil melalui puncak dengan penis di mulut.
Hari memintaku doggie, tapi sebelum dia sempat pada posisinya, Piter sudah mendahului memegang pantatku.
“Aku ingin merasakannya tanpa kondom, sebelum kamu mencemarinya, oke?” katanya sambil menyapukan penisnya.
Aku sih terserah saja siapa yang melakukannya, tapi dengan Piter tanpa kondom uniknya, aku bisa memperkirakan berkurangnya kenikmatan apalagi setelah penis Hari mendahuluinya. Perkiraanku benar, penis Piter serasa meluncur begitu saja dalam vaginaku, jauh dari nikmat, masih lebih nikmat kocokan dua jari yang bisa berputar putar di dalam, apalagi dibandingkan dengan Hari.
“Aku ingin merasakannya tanpa kondom, sebelum kamu mencemarinya, oke?” katanya sambil menyapukan penisnya.
Aku sih terserah saja siapa yang melakukannya, tapi dengan Piter tanpa kondom uniknya, aku bisa memperkirakan berkurangnya kenikmatan apalagi setelah penis Hari mendahuluinya. Perkiraanku benar, penis Piter serasa meluncur begitu saja dalam vaginaku, jauh dari nikmat, masih lebih nikmat kocokan dua jari yang bisa berputar putar di dalam, apalagi dibandingkan dengan Hari.
Untunglah Hari membantu rangsanganku, tubuhnya berada di bawahku yang
nungging menghadap dinding kamar mandi, dikulumnya buah dadaku yang
menggantung berayun ayun di depannya, inilah yang membuatku mendesah
desah. Hari memegangi tubuhku, kami saling berpelukan dan berciuman,
sementara Piter masih asik mengocokku dengan sodokan sodokan kerasnya
dari belakang, tapi apalah artinya untuk ukuran penisnya, bahkan lebih
sering terlepas karena terganjal pantatku. Mereka membalik posisiku, aku
berpelukan dengan Piter dan ganti Hari mengocokku dari belakang,
barulah kini kurasakan nikmatnya. Beberapa kali posisiku berbalik mondar
mandir seperti itu, aku sudah tak peduli lagi siapa yang akan memenuhi
vaginaku dengan spermanya terlebih dahulu.
Mereka menuntunku keluar dari bathtub, aku kira mereka mau
melanjutkan di ranjang seperti tadi malam tapi aku keliru, justru mereka
memintaku jongokok, dua penis yang berbeda ukuran dan dalam keadaan
tegang telah siap di depan mulutku, kuraih keduanya dan bergantian aku
kulum penuh gairah. Piter mengisi mulutku dengan spermanya tak lama
kemudian, kutelan habis tanpa ada sisa, lalu kusapukan ke wajahku, dia
langsung mandi setelah itu. Giliranku membuat Hari orgasme, cukup lama
mulutku mengocoknya hingga terasa pegal. Akhirnya dia menyemprotkan
spermanya di wajahku, dan diusapkan ke seluruh mukaku, berakhir dengan
kuluman membersihan, kujilati dan kutelan sisa sisa sperma yang masih
menempel di penisnya hingga bersih.
Inilah sarapan pertamaku di Tretes, dua macam sperma yang berbeda rasa dan aroma.
Inilah sarapan pertamaku di Tretes, dua macam sperma yang berbeda rasa dan aroma.
Hanya mencuci muka membersihkan wajahku, dan tanpa mandi lagi
kukenakan kemeja Hari tadi malam karena setelah ini kami berencana
menyusul Ivan dan Nenny ke kolam renang. Bersamaan kami keluar dari
kamar Piter, ternyata terpergok Ivan dan Nenny yang sedang menuju
kamarnya.
“Eh kok kalian bertiga keluar dari kamar Piter, baru bangun lagi siang siang begini dan kemana si cewek kampung itu?” Tanya Nenny.
Kami hanya diam tersenyum tanpa menjawab, tapi kulihat mata Ivan yang menatapku dengan tatapan aneh, mungkin dia menebak apa yang telah kami lakukan.
“Eh kok kalian bertiga keluar dari kamar Piter, baru bangun lagi siang siang begini dan kemana si cewek kampung itu?” Tanya Nenny.
Kami hanya diam tersenyum tanpa menjawab, tapi kulihat mata Ivan yang menatapku dengan tatapan aneh, mungkin dia menebak apa yang telah kami lakukan.
Karena aku memang tidak siap untuk berenang, maka terpaksa kupakai
bikini yang semi transparan untuk berenang, toh mereka sudah tahu isi
tubuhku, untuk apa ditutupi lagi, bagitu pikirku tanpa mengingat bahwa
masih ada Ivan dan pacarnya. Lebih dari satu jam kami berenang dan
bermain di kolam, Ivan dan pacarnya kembali ikutan bergabung dengan
kami, sering kulihat tatapan nakal Ivan yang mengarah ke tubuhku,
apalagi hanya mengenakan bra semi transparan yang bisa menggambarkan apa
dibaliknya.
“Piter sudah cerita apa yang terjadi tadi malam, kapan kapan aku ingin mencobanya, tapi yang jelas bukan sekarang” katanya pada suatu kesempatan di pinggir kolam yang jauh dari pacarnya.
“Piter sudah cerita apa yang terjadi tadi malam, kapan kapan aku ingin mencobanya, tapi yang jelas bukan sekarang” katanya pada suatu kesempatan di pinggir kolam yang jauh dari pacarnya.
Sehabis makan siang, Hari mengajakku ke kamarnya, disusul Piter.
Terjadilah adegan ulangan tadi malam, aku melayani mereka dengan penuh
kenikmatan, kami lakukan tidak hanya diranjang bahkan di kursi dan di
atas meja seperti santapan penutup makan siang. Hampir tanpa istirahat
aku melayaninya hingga sore, kami hanya keluar kamar untuk makan malam,
setelah itu melanjutkan lagi sampai keesokan paginya, terlupakan sudah
keberadaan Ivan dengan pacarnya. Dengan penuh semangat kuhadapi mereka
berdua, baik secara sendiri sendiri, bergantian maupun bersamaan.
Aku paling menyukai ketika mereka bersamaan mengulum putingku atau
saat dimana satu mengulum puting dan satunya menjilati vagina bersamaan,
sensasinya sungguh luar biasa, tentu hal ini tak bisa dilakukan kalau
hanya bermain dengan satu orang. Dan juga ketika kami bercinta bertiga
di pinggiran kolam di tengah dinginnya malam udara Tretes beratapkan
langit yang berbintang cerah, suatu moment yang tak didapat setiap saat.
Aku yakin Ivan dan Nenny sudah tahu apa yang kami lakukan selama di
kamar bertiga, tapi tentu saja mereka tak tahu detilnya.
Setelah menghabiskan segala nafsu selama 3 hari 2 malam, sorenya
kamipun kembali meluncur ke Surabaya, mengejar flight terakhir. Piter
ingin melanjutkan lagi di Surabaya tapi pekerjaannya menuntut dia berada
di Jakarta esoknya. Perjalanan Tretes-Juanda terasa begitu cepat meski
kecepatan kami tidak lebih dari 60 km/jam, tapi mulutku terpaksa bekerja
sangat keras. Bergantian aku melakukan oral pada mereka di jok belakang
New Eyes, masing masing mendapatkan satu kali orgasme dengan semua
sperma keluar di mulutku. Kalau saja tidak diingatkan Hari, Piter sudah
minta jatah lagi, karena mobil sudah keluar dari tol, terlalu beresiko
kalau melakukan di jalanan umum meskipun kaca film-nya tidak tembus
pandang.
Kami mengantar hingga di depan Pintu Keberangkatan, aku berharap tak
ada orang yang memperhatikanku karena mungkin masih ada sisa sisa sperma
di wajah atau rambutku. Setelah mendapat ciuman perpisahan dari aku dan
Nenny dia masuk.
“Thanks atas segalanya, kita lakukan lagi lain waktu, aku akan sering ke Surabaya” bisiknya ketika aku menciumnya.
“Thanks atas segalanya, kita lakukan lagi lain waktu, aku akan sering ke Surabaya” bisiknya ketika aku menciumnya.
Kamipun berpisah ke mobil masing masing, Ivan dengan pacarnya entah kemana lagi, sedangkan Hari mengantarku ke tempat kost.
“Ivan ngajak kita main bertiga seperti kemarin, entah besok entah lusa, di Surabaya aja, nggak perlu jauh jauh dan nggak usah nginap, kita lakukan di jam kerja” kata Hari ketika kami meluncur di jalan.
Aku yang udah merasakan nikmatnya bermain bertiga tentu saja menyambut gembira tawaran ini, tapi tentu saja aku harus bertindak professional.
“Ivan ngajak kita main bertiga seperti kemarin, entah besok entah lusa, di Surabaya aja, nggak perlu jauh jauh dan nggak usah nginap, kita lakukan di jam kerja” kata Hari ketika kami meluncur di jalan.
Aku yang udah merasakan nikmatnya bermain bertiga tentu saja menyambut gembira tawaran ini, tapi tentu saja aku harus bertindak professional.
“Terserah, tapi jangan mendadak” jawabku meng-iyakan, asal nego-nya cocok, lanjutku dalam hati.
Sebelum sampai di tempat Kost, HP-ku berbunyi, dari Koh Toni.
“Aduuh susah banget dihubungi” katanya tanpa basa basi, memang selama di Tretes HP-ku sengaja kumatikan agar tidak mengganggu.
“Sorry Koh, nggak ada sinyal, ini baru sampai, belum juga mandi” jawabku bohong, Hari hanya memandangku sambil tersenyum. Dia pasti sudah tahu siapa yang menelepon.
“Ya udah langsung saja ke Shangri La, Pak Tio udah nunggu tuh, dia kemarin sama sekali nggak puas dengan cewek yang di dapat dari GM-mu itu, minta aku carikan lagi, untung kamu udah datang” kata Koh Toni mendesakku.
“Tapi aku masih capek Koh, besok aja gimana, aku janji deh” bujukku karena aku masih capek setelah 3 hari melayani Hari dan Piter, paling tidak perlu semalam istirahat.
“Ly, please tolong aku, aku nggak mau ngecewain Pak Tio dua kali, please temanin dia malam ini, ayo dong sayang” Koh Toni memelas.
Aku diam sejenak, rasa capek masih terasa.
“Oke deh, demi Koh Toni” akhirnya aku mengalah demi kepuasan tamuku dan yang pasti juga demi uang.
“Gitu dong, aku tunggu di kamar ya sekarang” katanya seraya menutup HP-nya.
“Har, jangan marah ya” kataku nggak enak sama Hari yang masih menyetir.
“Nggak dong, masa gitu aja marah” jawabnya santai, tentu saja dia nggak boleh marah meskipun ada nada cemburu pada jawabannya, toh dia tahu siapa aku.
“Turunin aku di Pom Bensin depan itu deh” pintaku.
“Nggak usah ragu, kamu mau kemana, aku antar deh sekalian pulang, asal jangan minta di antar kembali ke Airport” jawabnya enteng.
“Shangri La” jawabku, berarti memang sejalan.
Akhirnya malam itu hingga pagi aku menemani Pak Tio, berpindah dari satu ranjang ke ranjang lain, dari pelukan satu laki laki ke laki laki lain, itulah perjalanan hidupku.
Sebelum sampai di tempat Kost, HP-ku berbunyi, dari Koh Toni.
“Aduuh susah banget dihubungi” katanya tanpa basa basi, memang selama di Tretes HP-ku sengaja kumatikan agar tidak mengganggu.
“Sorry Koh, nggak ada sinyal, ini baru sampai, belum juga mandi” jawabku bohong, Hari hanya memandangku sambil tersenyum. Dia pasti sudah tahu siapa yang menelepon.
“Ya udah langsung saja ke Shangri La, Pak Tio udah nunggu tuh, dia kemarin sama sekali nggak puas dengan cewek yang di dapat dari GM-mu itu, minta aku carikan lagi, untung kamu udah datang” kata Koh Toni mendesakku.
“Tapi aku masih capek Koh, besok aja gimana, aku janji deh” bujukku karena aku masih capek setelah 3 hari melayani Hari dan Piter, paling tidak perlu semalam istirahat.
“Ly, please tolong aku, aku nggak mau ngecewain Pak Tio dua kali, please temanin dia malam ini, ayo dong sayang” Koh Toni memelas.
Aku diam sejenak, rasa capek masih terasa.
“Oke deh, demi Koh Toni” akhirnya aku mengalah demi kepuasan tamuku dan yang pasti juga demi uang.
“Gitu dong, aku tunggu di kamar ya sekarang” katanya seraya menutup HP-nya.
“Har, jangan marah ya” kataku nggak enak sama Hari yang masih menyetir.
“Nggak dong, masa gitu aja marah” jawabnya santai, tentu saja dia nggak boleh marah meskipun ada nada cemburu pada jawabannya, toh dia tahu siapa aku.
“Turunin aku di Pom Bensin depan itu deh” pintaku.
“Nggak usah ragu, kamu mau kemana, aku antar deh sekalian pulang, asal jangan minta di antar kembali ke Airport” jawabnya enteng.
“Shangri La” jawabku, berarti memang sejalan.
Akhirnya malam itu hingga pagi aku menemani Pak Tio, berpindah dari satu ranjang ke ranjang lain, dari pelukan satu laki laki ke laki laki lain, itulah perjalanan hidupku.
*****======================================
Selama menjalani profesi sebagai seorang Call Girl, banyak pengalaman
yang selama ini tak pernah kubayangkan atau hanya bisa kulihat di film
porno, tapi kini aku mengalami keunikan demi keunikan atas fantasi
manusia, tiada beda antara laki dan perempuan.
Siang itu mobilku sudah meluncur menuju Palm Inn di kawasan Mayjen
Sungkono, tempat yang memang strategis untuk sekedar SAL atau selingkuh
lainnya.
“Ly, ketemu yuk, kita kan udah lama nih nggak ketemu, kangen deh, ntar siang oke?” begitu sapaan hangat dari Pak Edi, seorang Manager disebuah perusahaan Export Import yang berkantor di Wisma BII, paling tidak sebulan sekali mem-bookingku. Usianya relatif masih muda, hampir 40 tahun menurut perkiraanku.
“Mas Edi mesti begitu, senangnya buru buru, ini kan udah jam 11 lewat berarti sekarang dong” jawabku manja.
“Iya aku lagi judeg nih, dan lagi mumpung ada temannya” katanya
“Tumben kok bawa teman, perlu dicariin cewek lain nggak? atau udah punya sendiri” tanyaku heran, nggak biasanya dia selingkuh rame rame.
“Nggak usah kali ini spesial, dia sekretaris di kantor sebelah, kebetulan suaminya keluar kota” jelasnya, aku jadi mengerti, ternyata dia menginginkan permainan dengan 2 wanita.
“Lho udah ada gitu kok masih cari aku lagi” godaku pura pura nggak ngerti.
“Udahlah pokoknya mau apa nggak?” tegasnya
“Asal aku tidak ikutan melayani teman wanitamu itu sih, ya.. ya.. yaa” jawabku menirukan iklan kondom, kebanyakan tamuku tahu kalau aku sangat membenci dan selalu menolak permainan lesbian.
“Ly, ketemu yuk, kita kan udah lama nih nggak ketemu, kangen deh, ntar siang oke?” begitu sapaan hangat dari Pak Edi, seorang Manager disebuah perusahaan Export Import yang berkantor di Wisma BII, paling tidak sebulan sekali mem-bookingku. Usianya relatif masih muda, hampir 40 tahun menurut perkiraanku.
“Mas Edi mesti begitu, senangnya buru buru, ini kan udah jam 11 lewat berarti sekarang dong” jawabku manja.
“Iya aku lagi judeg nih, dan lagi mumpung ada temannya” katanya
“Tumben kok bawa teman, perlu dicariin cewek lain nggak? atau udah punya sendiri” tanyaku heran, nggak biasanya dia selingkuh rame rame.
“Nggak usah kali ini spesial, dia sekretaris di kantor sebelah, kebetulan suaminya keluar kota” jelasnya, aku jadi mengerti, ternyata dia menginginkan permainan dengan 2 wanita.
“Lho udah ada gitu kok masih cari aku lagi” godaku pura pura nggak ngerti.
“Udahlah pokoknya mau apa nggak?” tegasnya
“Asal aku tidak ikutan melayani teman wanitamu itu sih, ya.. ya.. yaa” jawabku menirukan iklan kondom, kebanyakan tamuku tahu kalau aku sangat membenci dan selalu menolak permainan lesbian.
Ternyata mereka telah menungguku didalam kamar, Mas Edi ditemani
seorang wanita cantik yang usianya sedikit lebih tua dariku, mungkin
sekitar 30 tahunan.
“Ly, kenalin ini Widya” sambut Mas Edi setelah mencium pipiku di depan pintu.
Wanita yang disebutkan Widya berdiri menyalamiku, tinggi kami hampir sama tapi dia terlihat begitu anggun dengan blazer hitam membungkus tubuhnya, kesan pertama aku menyukai penampilan dan kecantikannya.
“Welcome to the party, hope we have wonderful one” katanya, aku hanya tersenyum.
“Ly, kenalin ini Widya” sambut Mas Edi setelah mencium pipiku di depan pintu.
Wanita yang disebutkan Widya berdiri menyalamiku, tinggi kami hampir sama tapi dia terlihat begitu anggun dengan blazer hitam membungkus tubuhnya, kesan pertama aku menyukai penampilan dan kecantikannya.
“Welcome to the party, hope we have wonderful one” katanya, aku hanya tersenyum.
“Terserah kalian tapi aku ingin mandi dulu” katanya sambil melepas pakaiannya dan menuju ke kamar mandi.
Aku yang tanggap dengan permintaannya segera menyusulnya. Setelah melepas semua pakaianku, kupeluk tubuh Mas Edi yang sedang asyik berada dibawah kucuran hangat air shower. Kami berpelukan dan berciuman dibawah hangatnya air, serasa segar dan menggairahkan, tangannya meraba sekujur tubuhku, meremas remas buah dada dan pantatku, aku membalasnya dengan remasan di kejantanannya.
“Wah kalian udah duluan nih” suara Widya mengagetkan kami, dia sudah telanjang di depan pintu kamar mandi, tubuhnya langsing dan sexy dengan buah dada yang montok meski udah agak turun. Segera dia bergabung dibawah siraman air shower, kami bertiga berpelukan mesra penuh gairah, terutama Mas Edi yang begitu bernafsu menciumi kami bergantian, dari satu bibir ke bibir lainnya.
Aku yang tanggap dengan permintaannya segera menyusulnya. Setelah melepas semua pakaianku, kupeluk tubuh Mas Edi yang sedang asyik berada dibawah kucuran hangat air shower. Kami berpelukan dan berciuman dibawah hangatnya air, serasa segar dan menggairahkan, tangannya meraba sekujur tubuhku, meremas remas buah dada dan pantatku, aku membalasnya dengan remasan di kejantanannya.
“Wah kalian udah duluan nih” suara Widya mengagetkan kami, dia sudah telanjang di depan pintu kamar mandi, tubuhnya langsing dan sexy dengan buah dada yang montok meski udah agak turun. Segera dia bergabung dibawah siraman air shower, kami bertiga berpelukan mesra penuh gairah, terutama Mas Edi yang begitu bernafsu menciumi kami bergantian, dari satu bibir ke bibir lainnya.
Kejantanan Mas Edi yang dari tadi tegang kini semakin tegang
merasakan remasan tangan 2 wanita cantik dan sexy. Aku masih belum
mengenal Widya, belum tahu gaya permainannya. Ketika aku jongkok di
depan Mas Edi, Widya mengikutiku, bahkan saat aku mulai menjilati
penisnya, diapun ikutan, dua lidah menyusuri penis Mas Edi yang tegang
mengeras.
Kami pindah ke ranjang setelah mengeringkan badan, Mas Edi telentang
di tengah diapit tubuh kami berdua. Bergantian kami berciuman bibir, tak
kusangka sangka Widya mendaratkan bibirnya dibibirku, aku kaget tak
menyangka mendapat ciuman darinya, hampir tubuhnya kudorong keras, belum
pernah ada wanita yang mencium bibirku. Namun tanpa kusangka ada
getaran getaran aneh yang membuatku diam menikmati kuluman bibirnya, ada
getaran aneh menjalari seluruh tubuhku, aku bukanlah seorang bisex dan
benci lesbian tapi sentuhan bibir Widya yang lembut berbeda dengan
kuluman laki laki, membuatku tertegun tanpa tahu harus berbuat apa,
hanya berdiam sambil memejamkan mata, tidak membalas lumatannya namun
juga tidak menolak.
Melihat aku hanya terdiam, Widya makin memberanikan diri, lidahnya
menyapu rongga mulutku, aku yang biasanya muak melihat adegan lesbi di
film porno, kini terdiam menikmati sapuan bibir dan lidah Widya di
bibirku. Dia semakin bergairah, kepalaku dipegang dan aku diciumi
seperti layaknya dilakukan laki laki lain. Baru kutahu ternyata ciuman
wanita sangat berbeda dengan laki laki. Mas Edi yang sesaat sempat
kuabaikan meraba buah dadaku dan meremasnya, aku menggelinjang, apalagi
saat tangan Mas Edi mulai menyentuh klitorisku. Tanpa bisa kukendalikan
lagi, bibirku mulai membalas kuluman Widya, begitu juga lidahku
menyambut lidahnya, semua seperti diluar kehendakku.
Aku hanya nurut saja ketika mereka merebahkan tubuhku, Widya kembali
melumat bibirku, kali ini aku membalas lumatannya, Mas Edi mengulum buah
dadaku bergantian sambil tangannya mempermainkan klitoris, aku mendesah
disela ciuman Widya. Ciuman Widya turun menyusuri leher hingga ke
dadaku, sebaliknya Mas Edi naik hingga ke bibir, memang terasa beda
ciuman Widya dan Mas Edi, begitu juga kenikmatannya terasa berbeda.
Jilatan dan kuluman Widya di putingku serasa begitu lembut dan terasa
kenikmatan yang aneh saat dia menyedot putingku. Pengalaman pertama
bagiku mendapat “Serangan” dari 2 orang yang berbeda, terus terang aku
kewalahan menghadapi keduanya, konsentrasiku terbelah diantara keduanya,
tapi tanpa kusadari aku lebih tertuju pada Widya.
Aku menjerit keras terkaget saat Mas Edi dan Widya bersamaan menyedot
putingku dengan cara yang berbeda, belum pernah kedua putingku disedot
dan dikulum bersamaan seperti ini, hanya sekali aku mengalami sedotan
bersamaan oleh 2 laki laki (baca: “Lily Panther: Berbagi Ceria Dimana
Saja”), tapi kali ini benar benar lain, aku tak bisa menggambarkan
dengan kata kata akan nikmatnya. Kuremas remas kedua kepala yang ada
dikepalaku, tubuhku semakin menggelinjang kala kurasakan gesekan jari
jari tangan di vaginaku, aku yakin Mas Edi melakukan bersamaan dengan
Widya. Jari jari itu begitu liar bermain di lorong vagina dan
klitorisku, desahanku semakin keras diiringi geliat tubuh bak cacing
terbakar birahi.
Kejutan demi kejutan kuterima dari permainan mereka, dan tak berhenti
sampai disitu. Widya sudah berada di selangkanganku, aku tahu yang akan
terjadi, kupersiapkan mental menghadapi jilatan seorang wanita pada
vaginaku, hal yang belum pernah kualami. Mas Edi masih asyik menjilat
dan mengulum putingku, tak sadar aku menjerit keras saat lidah Widya
menyentuh klitoris, terasa sangat lembut sentuhan lidahnya. Aku
menggelinjang, permainan oral Widya sangat sangat berbeda dengan
kebanyakan laki laki yang pernah kurasakan, sepertinya dia banyak tahu
sisi sisi kenikmatan seorang wanita, begitu pintar dia memainkan irama
jilatannya. Celah celah sensitif di daerah kewanitaanku tak luput dari
sapuan lidahnya, aku semakin membumbung tinggi dalam irama permainan
kedua tamuku ini.
Kenikmatan yang kudapat semakin bertambah saat Mas Edi ikutan bermain
di selangkangan, jeritan kenikmatanku sudah tak bisa kukontrol lagi,
aku benar benar seperti gadis kesetanan yang tenggelam dalam lautan
kenikmatan, benar benar pengalaman yang tak pernah aku alami, serasa
berjuta juta nikmatnya, dua lidah yang berbeda bergerak liar dengan cara
yang berbeda pula di daerah vaginaku. Bisa kulihat dengan jelas
bagaimana gerakan liar kedua lidah itu, sungguh sensasi yang tak
terbayangkan sebelumnya.
Tak kuasa aku menahan lebih lama.. dan rontoklah pertahananku
digempur habis kedua lidah itu dengan kenikmatan tak terhingga. Jeritan
orgasme diiringi tubuh mengejang, bersamaan dengan denyutan kuat pada
otot otot vaginaku. Mereka tidak berhenti sampai disitu, justru semakin
kuat menyedot vaginaku seakan hendak menguras habis cairan orgasme yang
ada di vaginaku.
Aku telentang dengan napas yang masih menderu disamping tubuh mereka
yang sedang ber-69, bisa kulihat jelas bagaimana Widya yang berada di
atas mengulum penis Mas Edi dengan penuh gairah, sesekali matanya
berbinar menatapku. Penis itu dengan cepat meluncur keluar masuk di
celah bibir mungilnya, membuatku yang hanya melihat ikutan bergairah.
Tak lama kemudian akupun kembali berbagi penis dengan Widya, mereka
masih ber-69, penis Mas Edi bergantian meluncur di mulutku dan Widya.
“Masukin” kata Widya sambil menyodorkan penis di tangannya ke arahku, kubalas dengan senyuman lalu aku mengatur posisi tubuhku di atas Mas Edi.
“Masukin” kata Widya sambil menyodorkan penis di tangannya ke arahku, kubalas dengan senyuman lalu aku mengatur posisi tubuhku di atas Mas Edi.
Perlahan kuturunkan tubuhku melesakkan penis itu ke vaginaku, tak ada
yang istimewa dengannya, namun kembali kurasakan sensasi aneh saat
penis itu mulai melesak masuk bibir lembut Widya menyentuh dan melumat
bibirku. Sambil mendesah kubalas kulumannya dengan gairah, Widya
menuntun tanganku ke buah dadanya, agak ragu aku menuruti permintaannya
dan dengan ragu pula kuremas remas buah dada itu sesuai kemauannya.
Bersamaan melesaknya penis ke vaginaku kami bertiga mendesah bersamaan,
kepala Mas Edi yang berada di bawah selangkangan Widya rupanya menyedot
kuat vagina yang ada di atasnya, terjadilah permainan segitiga.
Goyanganku di atas tubuh Mas Edi makin keras seiring dengan gairah
ciuman kami sambil saling meremas lembut buah dada.
Aku tak tahu pasti apa yang dilakukan Mas Edi pada vagina Widya tapi
desahan kenikmatannya tak kalah bergairah dengan desahanku. Kukocok
penis divaginaku semakin liar, serasa mengaduk aduk liang kenikmatanku
dengan hebatnya. Remasanku pada buah dada Widya makin keras begitu juga
remasannya pada buah dadaku, bibir dan lidah kami semakin bertaut
menyatu.
“Mau ganti posisi?” tanyaku setelah beberapa lama mengocok Mas Edi.
Rasanya nggak enak kalau harus menguasai penis itu sendirian, tapi dia tersenyum menatapku sambil menggelengkan kepala. Akupun melanjutkan goyanganku di atas Mas Edi. Beberapa menit kemudian kudengar teriakan histeris dari Widya, rupanya dia mendapatkan orgasme dari permainan oral Mas Edi.
“Mau ganti posisi?” tanyaku setelah beberapa lama mengocok Mas Edi.
Rasanya nggak enak kalau harus menguasai penis itu sendirian, tapi dia tersenyum menatapku sambil menggelengkan kepala. Akupun melanjutkan goyanganku di atas Mas Edi. Beberapa menit kemudian kudengar teriakan histeris dari Widya, rupanya dia mendapatkan orgasme dari permainan oral Mas Edi.
Mas Edi minta posisi dogie, kembali Widya menolak tawaranku untuk
bergantian. Akupun kembali menerima kocokan Mas Edi, kali ini dari
belakang, Widya masih terbaring di sebelah kami, melihat expresi
kenikmatan di wajahku saat menerima sodokan dan hentakan keras. Tak lama
kemudian Widya kembali bergabung bersama kami, tubuhnya berada
dibawahku yang sedang nungging menerima kocokan Mas Edi, dia menarik
tubuhku dalam pelukannya. Seperti orang sedang bercinta, aku dan Widya
berpelukan dan berciuman, tubuh telanjang kami menyatu dalam ikatan
birahi dihiasi keringat yang saling yang bercampur menjadi satu. Buah
dada kami saling berhimpit, kurasakan kelembutan sentuhan kulit kami
menimbulkan sensasi tersendiri.
Sesekali ciuman bibirku terlepas saat Mas Edi menyentakku keras tapi
Widya kembali meraih dan mengulumnya. Mungkin terbawa sensasi, kocokan
dan sodokan dari belakang makin keras dan liar, serasa mengaduk aduk
rongga vaginaku. Entah sudah berapa lama kami bercinta, ketika tiba tiba
Mas Edi mencabut penisnya dengan kasar, dia bergeser ke arah kepala
kami lalu menyodorkan penisnya diantara wajahku dan Widya. Kulihat mata
Widya melotot ke Mas Edi, tapi tanpa protes dia segera membuka mulutnya,
penis yang masih ada cairan vaginaku itu langsung mengisi mulutnya yang
terbuka, akupun jadi terbawa gairah mereka. Sambil kepala penis keluar
masuk mulut Widya, aku tak mau kalah dengan menjilati batangnya, lalu
berganti penis Mas Edi keluar masuk mulutku.
Akhirnya tanpa bisa ditahan lagi, menyemprotlah spermanya ke mulutku,
namun belum habis denyutan di mulut, Widya mengambil alih dan segera
memasukkan ke mulutnya. Sperma itu tercecer ke di mulut dan wajah kami
berdua, Mas Edi tampak tersenyum puas melihat spermanya menghiasi wajah
cantik kami. Aku dan Widya berpelukan sesaat sebelum akhirnya turun dari
tubuhnya. Kami bertiga rebah berjejer di atas ranjang, tanpa suara
namun jari tangan kami saling meremas seakan menyalurkan getaran getaran
birahi yang menurun.
Babak kedua kami lakukan 30 menit kemudian, Widya masih menolak saat
kutawari berbagi penis Mas Edi di vaginanya. Berulang kali dia memintaku
mengulum puting dan vaginanya namun sebanyak itu pula aku menolak
permintaannya, untuk yang itu aku masih belum bisa melakukannya. Aku
tahu dia kecewa tapi dalam hal ini tak seorangpun bisa memaksaku, dia
boleh melakukannya padaku tapi tidak sebaliknya. Akhirnya dia
mendapatkan orgasme dari jilatan dan kocokan jari tangan Mas Edi, tanpa
penetrasi penis ke vaginanya. Kali ini sperma Mas Edi dikeluarkan di
dalam vaginaku saat aku berada di atasnya, dan kembali Widya menyambar
penis itu begitu keluar dari vaginaku, dia sangat menyukai sperma yang
ada di penis.
“Sorry Wid, aku nggak bisa melakukan apa yang kamu lakukan padaku”
aku minta maaf telah berkali kali menolak permintaannya, berharap
pengertian darinya.
“Nggak apa kok, lagian aku udah dapat orgasme dari Mas Edi” jawabnya menyenangkan hatiku.
“Kalo aku tanya marah nggak” tanyaku sambil menatapnya serius, dia membalas tatapanku
“Tanya apa?”
“Kenapa sih kamu selalu menolak penis Mas Edi di vagina?” kuberanikan diri setelah kulihat isyarat gelengan kepala pertanda tak keberatan dengan pertanyaanku.
“Aku udah berkeluarga dan tak kubiarkan penis laki laki lain menyentuh kehormatan dan vaginaku, ini hanya untuk suamiku dan aku tak mau selingkuh” jawabnya dengan mimik serius
“Apa ini bukan selingkuh?” pertanyaanku semakin berani seperti orang tolol
“Ya nggak toh, selama tidak ada penetrasi atau pertemuan kelamin ya aku masih tetap suci tak tercemar laki laki lain” lanjutnya.
Aku menjadi bingung, ternyata dia mempunya definisi sendiri tentang arti perselingkuhan.
“Nggak apa kok, lagian aku udah dapat orgasme dari Mas Edi” jawabnya menyenangkan hatiku.
“Kalo aku tanya marah nggak” tanyaku sambil menatapnya serius, dia membalas tatapanku
“Tanya apa?”
“Kenapa sih kamu selalu menolak penis Mas Edi di vagina?” kuberanikan diri setelah kulihat isyarat gelengan kepala pertanda tak keberatan dengan pertanyaanku.
“Aku udah berkeluarga dan tak kubiarkan penis laki laki lain menyentuh kehormatan dan vaginaku, ini hanya untuk suamiku dan aku tak mau selingkuh” jawabnya dengan mimik serius
“Apa ini bukan selingkuh?” pertanyaanku semakin berani seperti orang tolol
“Ya nggak toh, selama tidak ada penetrasi atau pertemuan kelamin ya aku masih tetap suci tak tercemar laki laki lain” lanjutnya.
Aku menjadi bingung, ternyata dia mempunya definisi sendiri tentang arti perselingkuhan.
============================================================
“Ly, nanti sore jam 4 di Hotel Westin, bisa nggak?” tanya seorang GM wanita via HP pada suatu hari.
“Kalau untuk cicikku yang satu ini pasti bisa dong” balasku manja karena aku tahu GM wanita yang satu ini, biasa kupanggil cicik karena selain yang aku tahu dia seorang chinese yang banyak kenalan kalangan atas, aku tak tahu nama aslinya.
Seperti biasanya dia pasti memberi orderan gede, bukan kelas kakap bahkan tak jarang kelas paus.
“Tapi kali ini agak lain, terserah kamu mau nggak, biasanya kan kamu nggak suka yang aneh aneh” tanyanya ragu.
“Emang kenapa cik?” tanyaku penasaran.
“Emm.. dia cuman ingin lihat kamu main sama laki lain, kalo kamu nggak mau nggak apa sih” jelasnya, aku tercenung sejenak.
“Kalau untuk cicikku yang satu ini pasti bisa dong” balasku manja karena aku tahu GM wanita yang satu ini, biasa kupanggil cicik karena selain yang aku tahu dia seorang chinese yang banyak kenalan kalangan atas, aku tak tahu nama aslinya.
Seperti biasanya dia pasti memberi orderan gede, bukan kelas kakap bahkan tak jarang kelas paus.
“Tapi kali ini agak lain, terserah kamu mau nggak, biasanya kan kamu nggak suka yang aneh aneh” tanyanya ragu.
“Emang kenapa cik?” tanyaku penasaran.
“Emm.. dia cuman ingin lihat kamu main sama laki lain, kalo kamu nggak mau nggak apa sih” jelasnya, aku tercenung sejenak.
Ini adalah hal baru bagiku, belum pernah aku di booking untuk hanya
ditonton live seperti ini, apa asiknya melihat orang bercinta padahal
dia bisa menikmatinya secara langsung pemain wanitanya. Atau jangan
jangan orang itu hanya timbul gairahnya saat melihat orang bercinta lalu
baru menikmati tubuhku, sejuta pikiran berkecamuk penuh tanda tanya.
“Ly? gimana?” tanya cicik mengagetkanku.
“Laki laki lainnya siapa? teman dia?” Tanyaku makin penasaran
“Nggak sih, dia nyerahin ke aku, tapi terserah kamu kalo kamu punya pilihan atau pacarmu barangkali kalo kamu mau, lumayankan udah dapat enak dapat duit lagi.. ha.. ha.. ha” godanya.
“Gila apa, masak pacar dilibatkan urusan beginian, saru” jawabku sambil membalas candaannya.
“Ya udah pilih siapa yang kamu kenal” desaknya.
“Ly? gimana?” tanya cicik mengagetkanku.
“Laki laki lainnya siapa? teman dia?” Tanyaku makin penasaran
“Nggak sih, dia nyerahin ke aku, tapi terserah kamu kalo kamu punya pilihan atau pacarmu barangkali kalo kamu mau, lumayankan udah dapat enak dapat duit lagi.. ha.. ha.. ha” godanya.
“Gila apa, masak pacar dilibatkan urusan beginian, saru” jawabku sambil membalas candaannya.
“Ya udah pilih siapa yang kamu kenal” desaknya.
Terus terang meski aku cukup lama malang melintang di dunia ini, tapi
aku termasuk “kuper” karena lingkungan pergaulanku emang jarang dengan
teman sesama profesi baik wanita apalagi para prianya. Kalaupun kenal
paling juga sebatas asal kenal tidak terlalu erat, apalagi sampai main
seranjang, sangat jarang sekali.
“Gimana Ly, ada pilihan nggak, cari aja yang cakep gitu biar kamu bisa enjoy” kembali dia menggoda.
“Aku nggak ada cik, terserah cicik aja deh” aku menyerah
Dia menyebut beberapa nama yang kesemuanya gigolo, baik yang profesional maupun yang hanya sampingan. Banyak nama yang kutolak tapi beberapa nama aku tidak mengenalnya.
“Ala pake pilih pilih segala, biasanya sama laki laki siapa saja nggak nolak, udah pokoknya percaya deh sama aku, pasti kamu nggak kecewa” akhirnya dia maksa.
“Iya deh, aku percaya sama cicikku yang satu ini” akhirnya aku menuruti keinginannya setelah menyebutkan beberapa nama yang tidak aku suka.
“Gimana Ly, ada pilihan nggak, cari aja yang cakep gitu biar kamu bisa enjoy” kembali dia menggoda.
“Aku nggak ada cik, terserah cicik aja deh” aku menyerah
Dia menyebut beberapa nama yang kesemuanya gigolo, baik yang profesional maupun yang hanya sampingan. Banyak nama yang kutolak tapi beberapa nama aku tidak mengenalnya.
“Ala pake pilih pilih segala, biasanya sama laki laki siapa saja nggak nolak, udah pokoknya percaya deh sama aku, pasti kamu nggak kecewa” akhirnya dia maksa.
“Iya deh, aku percaya sama cicikku yang satu ini” akhirnya aku menuruti keinginannya setelah menyebutkan beberapa nama yang tidak aku suka.
Sebenarnya aku masih merasa capek setelah melayani 2 tamu sebelumnya,
tapi “keanehan” yang ditawarkan si cicik tadi sungguh membuatku
penasaran akan sensasinya. Sepuluh menit sebelum waktu yang disepakati,
aku sudah berada di lobby Hotel Westin (sekarang JW Mariot), langsung
menuju lantai 10 tempat kamar tamuku berada. Seorang laki laki muda awal
30-an menyambut kedatanganku di depan pintu, namanya Hengki.
“Ah tepat waktu, dia baru saja datang” katanya sambil menunjuk laki laki lain yang lebih muda sedang memegang botol Kratingdaeng, aku tidak mengenalnya.
Usianya mungkin sekitar 25 tahuh, dengan wajah yang sedap dipandang dengan kulit kuning bersih.
“Kalian sudah saling kenal?” tanyanya, hampir bersamaan kami menggeleng kepala
“Bagus, lebih asyik berarti karena kita bertiga tidak saling mengenal, silahkan berkenalan sendiri” lanjutnya.
“Ah tepat waktu, dia baru saja datang” katanya sambil menunjuk laki laki lain yang lebih muda sedang memegang botol Kratingdaeng, aku tidak mengenalnya.
Usianya mungkin sekitar 25 tahuh, dengan wajah yang sedap dipandang dengan kulit kuning bersih.
“Kalian sudah saling kenal?” tanyanya, hampir bersamaan kami menggeleng kepala
“Bagus, lebih asyik berarti karena kita bertiga tidak saling mengenal, silahkan berkenalan sendiri” lanjutnya.
Setelah berkenalan, aku mengambil tempat di sampingnya, dia bernama
Bram, aku pernah dengar namanya, dia simpanan seorang istri pengusaha di
Surabaya.
“Aku banyak dengar tentang kamu, akhirnya bisa juga kita ketemu” kata Bram
“Semoga hanya dengar yang baik saja” jawabku.
“Oke silahkan mulai, terserah dari mana, aku hanya penonton” Pak Hengki menyela pembicaraan kami, baru kali ini ada keraguan dan merasa canggung ketika ada laki laki memelukku, apalagi saat Bram mencium pipiku ditambah adanya orang yang menonton permainan kami.
“Aku banyak dengar tentang kamu, akhirnya bisa juga kita ketemu” kata Bram
“Semoga hanya dengar yang baik saja” jawabku.
“Oke silahkan mulai, terserah dari mana, aku hanya penonton” Pak Hengki menyela pembicaraan kami, baru kali ini ada keraguan dan merasa canggung ketika ada laki laki memelukku, apalagi saat Bram mencium pipiku ditambah adanya orang yang menonton permainan kami.
Inilah pertama kali aku bercinta dengan seorang gigolo, mungkin bisa
terjadi adu keahlian dan permainan. Dengan masih penuh keraguan, kami
berciuman saling melumat bibir, tangan Bram sudah berada di dadaku,
memulai remasan remasan ringan pada kedua buah dadaku, aku menggelinjang
saat tangan Bram mulai menyusup disela sela resliting depan blusku dan
menyelinap dibalik bra. Diraihnya putingku dan dipermainkan dengan penuh
gairah, aku mendesah antara geli dan nikmat. Ciuman Bram sungguh
romantis dan penuh gairah, dia seakan tahu betul bagaimana memuaskan
wanita, dia tahu persis bagian bagian sensitif dan erotis.
Hanya beberapa menit sejak ciuman pertama, aku sudah dalam keadaan
topless, dia memandang sejenakkedua buah dadaku yang menggantung indah.
“Very beautiful” pujinya, sebelum mendaratkan lidahnya pada putingku, disusul kuluman dan sedotan ringan oleh bibirnya, aku kembali mendesah nikmat.
Tangan Bram beralih dari kedua buah dadaku turun ke selangkangan, dengan mudah dia melepas celanaku tanpa mengangkat mulutnya dari putingku. Sedetik kemudian akupun sudah dalam keadaan telanjang dihadapan kedua laki laki yang masih berpakaian lengkap. Pak Hengki mendekati kami seolah hendak melihat lebih jelas kemolekan dan kemulusan tubuh telanjangku, matanya melotot menatap tanpa kedip. Kami tak pedulikan, terserah dari sudut mana saja dia menonton.
“Very beautiful” pujinya, sebelum mendaratkan lidahnya pada putingku, disusul kuluman dan sedotan ringan oleh bibirnya, aku kembali mendesah nikmat.
Tangan Bram beralih dari kedua buah dadaku turun ke selangkangan, dengan mudah dia melepas celanaku tanpa mengangkat mulutnya dari putingku. Sedetik kemudian akupun sudah dalam keadaan telanjang dihadapan kedua laki laki yang masih berpakaian lengkap. Pak Hengki mendekati kami seolah hendak melihat lebih jelas kemolekan dan kemulusan tubuh telanjangku, matanya melotot menatap tanpa kedip. Kami tak pedulikan, terserah dari sudut mana saja dia menonton.
Bram sudah jongkok di depan kakiku yang terbuka lebar, menunjukkan
liang sempit kenikmatanku yang sedikit dihiasi bulu bulu halus. Kembali
bibir dan lidah Bram mendarat ditubuhku, disusurinya kedua paha dan
berhenti di sekitar selangkangan, dia tidak langsung menyentuh daerah
vagina tapi justru mengitarinya dengan jilatan jilatan menggairahkan.
Aku mendesah penuh gairah, kuremas rambutnya dan kutekankan ke
selangkanganku berharap dia segera melakukan jilatan pada vagina, tapi
dia tak terpengaruh.
“Bram, please” pintaku sambil mengerang penuh kenikmatan, dia hanya menatapku sambil tersenyum.
Akhirnya aku menjerit lepas saat lidahnya menyentuh klitorisku, disusul dengan ciuman bibirnya pada vaginaku, desahanku semakin keras saat jari jari tangannya ikutan bermain pada liang kenikmatanku. Pak Hengki sudah jongkok disamping kami, Bram semakin liar bermain main di vaginaku, permainan oralnya sungguh menghanyutkan, tak dapat dipungkiri aku sangat menikmatinya.
Akhirnya aku menjerit lepas saat lidahnya menyentuh klitorisku, disusul dengan ciuman bibirnya pada vaginaku, desahanku semakin keras saat jari jari tangannya ikutan bermain pada liang kenikmatanku. Pak Hengki sudah jongkok disamping kami, Bram semakin liar bermain main di vaginaku, permainan oralnya sungguh menghanyutkan, tak dapat dipungkiri aku sangat menikmatinya.
Bram berdiri di depanku, aku segera membuka celananya dan menarik
turun berikut celana dalamnya, tampaklah penisnya yang sudah keras
menegang, tidak terlalu istimewa, sama seperti umumnya. Kuraih
kejantanannya dan kukocok kocok dengan tanganku, dia mulai mendesis.
Kujilat kepala penisnya lalu kumasukkan ke mulutku, perlahan lahan
hingga lebih separoh berada di dalam. Bram memegang kepalaku, sebelum
aku mulai gerakanku, dia mendahului dengan mengocokkan penisnya di
mulutku. Pak Hengki makin melototkan matanya saat penis Bram keluar
masuk mulutku, aku semakin bergairah dibuatnya. Sekilas kulihat
tangannya meremas remas di selangkangannya sendiri. Aku semakin over
acting, kujilati sekujur batang penis Bram hingga ke pangkal lalu
kembali mengocok dengan mulut, desahan Bram makin terdengar penuh
gairah. Sambil mengulum Bram, tanganku bermain di klitorisku membuat aku
ikutan mendesah beriringan dengannya.
Aku dan Bram sudah tak tahan lagi, dia kembali berlutut diantara
kakiku. Kami berciuman saling melumat bibir sambil mengusapkan penisnya
ke vaginaku yang sudah basah. Namun sebelum Bram mendorong masuk
penisnya, Pak Hengki menyela permainan kami.
“Pake ini” katanya sambil menyodorkan kondom yang sudah dia buka, kami saling berpandangan lalu tersenyum bersamaan.
Sedikit demonstratif, kupasangkan kondom ke penis Bram dengan mulutku, dibalas dengan pandangan kagum dari kedua laki laki itu. Bram menyapukan sejenak kepala penisnya, perlahan didorong memasuki celah celah kenikmatanku sambil kembali melumat bibirku, lidah kami saling beradu seiring melesaknya penis itu semakin dalam.
“Pake ini” katanya sambil menyodorkan kondom yang sudah dia buka, kami saling berpandangan lalu tersenyum bersamaan.
Sedikit demonstratif, kupasangkan kondom ke penis Bram dengan mulutku, dibalas dengan pandangan kagum dari kedua laki laki itu. Bram menyapukan sejenak kepala penisnya, perlahan didorong memasuki celah celah kenikmatanku sambil kembali melumat bibirku, lidah kami saling beradu seiring melesaknya penis itu semakin dalam.
Kami berpandangan ketika kejantanannya sudah masuk semua, sama sama
tersenyum memberi isyarat, tatapannya begitu romantis menghanyutkan. Dia
mulai gerakan menarik dan mendorong dengan perlahan dan semakin cepat,
gerakan dan tatapannya membuaiku dan semakin cepat. Tanpa malu akupun
mendesah lepas tanpa dibuat buat, sungguh nikmat bercinta dengannya, dia
tahu kapan saatnya melakukan apa, sungguh seorang penakluk wanita.
Tangannya dengan halus meraba raba dan meremas lembut kedua buah dadku,
sesekali dikulumnya putingku, semua dilakukan tanpa menurunkan irama
kocokannya. Kakiku diangkat ke pundaknya, penisnya semakin dalam
menghunjam liang vaginaku, dan desahanku semakin lepas tanpa kendali.
Bram memutar tubuhku untuk posisi dogie, tubuhku bertumpu pada
sandaran sofa, agak kecewa aku karena tidak bisa menatap wajahnya yang
cool itu. Namun kekecewaanku tak berlangsung lama saat Bram kembali
mengisi vaginaku dengan kejantanannya yang serasa semakin tegang,
diraihnya kedua buah dadaku yang berayun sembari memulai kocokannya.
Sesekali dia mencium dan menjilati punggung hingga tengkukku, aku
menggeliat geli bercampur nikmat, dan jeritanku tak tertahankan saat dia
mengulum telingaku. Pak Hengki mendekati wajahku, dia mencium kening
dan bibirku, baru kusadari kalau sejak awal tadi dia tidak pernah
menyentuh gadis yang di booking ini. Ciumannya tak berlangsung lama,
lebih tepat sekedar kecupan tanpa bertindak lebih jauh, dia kembali agak
menjauh.
Kocokan Bram semakin menggila, remasannyapun makin kuat namun lebih
nikmat. Tiba tiba dia menarik tubuhku ke atas, lenganku dipegangnya dari
belakang, kini tubuhku tergantung pada pegangan kedua tangannya,
penisnya serasa makin menusuk dalam.
Pak Hengki kembali bergeser di depanku, tepat berhadapan denganku, sepertinya dia begitu menikmati wajahku yang penuh expresi kenikmatan sambil sesekali meraba mukaku dengan gemas. Sementara Bram makin liar mengocokku, semakin membawaku melambung tinggi dan beberapa kocokan kemudian jeritan kenikmatan terlontar dari mulutku. Aku orgasme dalam pelukan Bram dari belakang dan didepan Pak Hengki yang tak pernah bosan menatapku. Tak kupedulikan rabaan Pak Hengki di wajahku yang tengah dilanda orgasme, aku begitu menikmati kenikmatan yang tengah kugapai.
Pak Hengki kembali bergeser di depanku, tepat berhadapan denganku, sepertinya dia begitu menikmati wajahku yang penuh expresi kenikmatan sambil sesekali meraba mukaku dengan gemas. Sementara Bram makin liar mengocokku, semakin membawaku melambung tinggi dan beberapa kocokan kemudian jeritan kenikmatan terlontar dari mulutku. Aku orgasme dalam pelukan Bram dari belakang dan didepan Pak Hengki yang tak pernah bosan menatapku. Tak kupedulikan rabaan Pak Hengki di wajahku yang tengah dilanda orgasme, aku begitu menikmati kenikmatan yang tengah kugapai.
“Gila kamu Bram, enak banget” bisikku setelah denyutanku habis.
“Mau lanjut?” tanyanya sambil mencium bibirku. Tanpa menunggu jawabanku, dia duduk di sofa dan menarikku dipangkuannya. Setelah napasku normal kembali, kuatur posisi tubuhku dan perlahan turun melesakkan penis Bram ke vaginaku. Aku mencium bibirnya saat kumulai gerakanku diatas pangkuannya.
“Kini giliranku pegang peranan” pikirku sambil menggoyangkan pinggul dan turun naik.
Desahan Bram mengiringi desah desah nikmatku, tangannya meremas remas buah dadaku yang tepat bergoyang menggoda di depannya diselingi kuluman dan gigitan ringan pada puting, aku menggeliat nikmat. Gerakan goyanganku semakin cepat dan liar diatasnya, aku seperti kesurupan dalam permainan penuh gairah, apalagi keberadaan Pak Hengki sebagai penonton ternyata membuat sensasi yang semakin bergairah. Tiba tiba Bram menghentikan gerakanku.
“Sebentar, ganti kondom dulu” katanya dengan berani sambil mendorong tubuhku turun.
“Pak bisa kami diambilkan kondom lagi” katanya pada Pak Hengki yang dari tadi menonton aksi kami, tanpa bertanya lebih lanjut dia mengambil kondom kedua dan menyerahkan kondom yang sudah dibuka kepadaku.
“Mau lanjut?” tanyanya sambil mencium bibirku. Tanpa menunggu jawabanku, dia duduk di sofa dan menarikku dipangkuannya. Setelah napasku normal kembali, kuatur posisi tubuhku dan perlahan turun melesakkan penis Bram ke vaginaku. Aku mencium bibirnya saat kumulai gerakanku diatas pangkuannya.
“Kini giliranku pegang peranan” pikirku sambil menggoyangkan pinggul dan turun naik.
Desahan Bram mengiringi desah desah nikmatku, tangannya meremas remas buah dadaku yang tepat bergoyang menggoda di depannya diselingi kuluman dan gigitan ringan pada puting, aku menggeliat nikmat. Gerakan goyanganku semakin cepat dan liar diatasnya, aku seperti kesurupan dalam permainan penuh gairah, apalagi keberadaan Pak Hengki sebagai penonton ternyata membuat sensasi yang semakin bergairah. Tiba tiba Bram menghentikan gerakanku.
“Sebentar, ganti kondom dulu” katanya dengan berani sambil mendorong tubuhku turun.
“Pak bisa kami diambilkan kondom lagi” katanya pada Pak Hengki yang dari tadi menonton aksi kami, tanpa bertanya lebih lanjut dia mengambil kondom kedua dan menyerahkan kondom yang sudah dibuka kepadaku.
Terpaksa aku lepas penisnya dari vaginaku, ternyata kondom itu sudah
terisi cukup banyak cairan putih keruh, sepertinya dia sudah keluar tapi
entah kapan karena tak kurasakan orgasme darinya, atau mungkin dia
memang menahan orgasmenya, pantas sering kurasakan denyutan denyutan
kecil ketika kami bercinta. Segera kuganti kondom dengan mulutku,
kukulum sejenak lalu kembali kulesakkan ke vaginaku, disusul goyangan
tubuhku di atas pangkuannya. Tak lama kemudian kami saling mengocok,
saling melumat dan saling memberi kenikmatan, Pak Hengki tak pernah
bosan melihat dengan berbagai sudut pandang.
Berulang kali Bram memuji keliaranku di sela desahannya, tak jarang
dia hanya diam saja menikmati gerakanku tanpa menyentuhku sama sekali,
hanya tatapan dan desahannya yang menandakan dia menikmati gerakan
tubuhku dipangkuannya.. dan akupun tak bisa bertahan lebih lama lagi,
untuk kedua kalinya kuraih orgasme dari Bram, orgasme yang indah. Pak
Hengki mendekapku dari belakang dikala aku menggelinjang menikmati
sensasi orgasme, hanya pelukan tanpa ada usaha meremas buah dadaku,
disusul lumatan pada bibirku yang terbuka saat merasakan nikmat orgasme.
Bram hanya dia melihat kami.
“Uff.. istirahat dulu Bram” kataku sambil turun dari pangkuan Bram,
ternyata dia mengikutiku berdiri, penisnya yang masih terbungkus kondom
menggelayut kekar diselangkangannya.
Sedetik kemudian dia mendekapku dari belakang lalu tubuhku direbahkan diatas ranjang hangat, permintaanku untuk istirahat tak digubris, justru dia menjawab dengan membuka kakiku lebar lebar dan langsung membenamkan kepalanya diselangkanganku, aku teriak menjerit kaget tapi tak dipedulikan. Sangat rakus Bram menjilati sekujur vaginaku, disedotnya kuat seluruh cairan orgasme yang ada di vagina, aku menjerit nikmat, belum pernah diperlakukan seperti ini oleh laki laki. Biasanya akulah yang membersihkan sperma dari penis tapi kini terjadi sebaliknya, kuremas remas rambut Bram yang masih asyik menikmati cairan vaginaku.
Sedetik kemudian dia mendekapku dari belakang lalu tubuhku direbahkan diatas ranjang hangat, permintaanku untuk istirahat tak digubris, justru dia menjawab dengan membuka kakiku lebar lebar dan langsung membenamkan kepalanya diselangkanganku, aku teriak menjerit kaget tapi tak dipedulikan. Sangat rakus Bram menjilati sekujur vaginaku, disedotnya kuat seluruh cairan orgasme yang ada di vagina, aku menjerit nikmat, belum pernah diperlakukan seperti ini oleh laki laki. Biasanya akulah yang membersihkan sperma dari penis tapi kini terjadi sebaliknya, kuremas remas rambut Bram yang masih asyik menikmati cairan vaginaku.
Puas bermain di selangkangan, Bram langsung menindihku, penisnya
kembali menghunjam dalam di vaginaku, kocokannya begitu nikmat membuatku
kembali naik menuju puncak. Kami berpelukan rapat, kakiku menjepit
pinggangnya, keringat dan desah napas menyatu dalam irama permainan
penuh nafsu. Lidah dan bibirnya tak pernah beranjak dari tubuhku, dari
leher, bibir, pipi atau telinga, aku semakin mendesah sambil
menggelinjang penuh kenikmatan. Tak perlu waktu lama untuk membawaku
kembali ke puncak birahi, dan untuk ketiga kalinya kuraih kenikmatan itu
dari Bram tanpa membuat dia orgasme.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Bram tidak menghentikan kocokannya
dikala aku sedang menggelinjang penuh kenikmatan, justru dia makin
mempercepat kocokannya, karuan saja jeritanku semakin nyaring terdengar.
Tanpa memberiku kesempatan lebih lanjut, dia membalik tubuhku. Aku
hanya nungging dengan dada masih menempel di ranjang, tubuhku terlalu
lemas untuk kuangkat.
Dari belakang dengan Bebasnya Bram mengocokku, aku tak kuasa lagi
menjerit, hanya desah kenikmatan yang keluar dari hidungku, beberapa
kocokan dan sodokan keras kurasakan tapi aku tak kuasa menggeliat, tiba
tiba Bram menghentikan kocokannya, kurasakan denyutan kecil di vaginaku.
“Pak tolong kondom lagi dong” kudengar dia minta Pak Hengki untuk kondom ketiga, berarti kondom terakhir dalam satu kemasan. Kurasakan Pak Hengki naik ke ranjang, Bram mencabut penisnya lalu tak sampai semenit kembali dilesakkan ke vaginaku, rupanya dia mengganti kondomnya, dilemparkan kondom bekas itu ke depanku, terlihat cairan putih sedikit mengisinya.
“Pak tolong kondom lagi dong” kudengar dia minta Pak Hengki untuk kondom ketiga, berarti kondom terakhir dalam satu kemasan. Kurasakan Pak Hengki naik ke ranjang, Bram mencabut penisnya lalu tak sampai semenit kembali dilesakkan ke vaginaku, rupanya dia mengganti kondomnya, dilemparkan kondom bekas itu ke depanku, terlihat cairan putih sedikit mengisinya.
Untuk kesekian kalinya kurasakan penisnya menghentak dan menyodok
vaginaku dengan keras, entah apa yang dilakukan Pak Hengki dibelakang
sana, tak bisa kulihat jelas dan akupun tak berminat melihatnya. Disaat
kocokan Bram sedang menghebat, kurasakan cairan hangat membasahi
punggungku lalu diusap usap ke sekujur punggung hingga pantat.
“Entah apa yang dilakukan Bram, mungkin meludahi belakangku” pikirku, aku tak peduli, kulawan gerakan Bram dengan mengoyangkan pantatku mengimbanginya.
“Entah apa yang dilakukan Bram, mungkin meludahi belakangku” pikirku, aku tak peduli, kulawan gerakan Bram dengan mengoyangkan pantatku mengimbanginya.
Entah sudah berapa lama dia mengocokku dari belakang, hingga kudengar
jeritan kenikmatan darinya, penisnya serasa membesar disusul denyutan
keras pada vaginaku, dia meremas pantatku kuat kuat, aku membalas dengan
tetap menggoyangkan pantatku, dia makin menjerit keras tapi aku tak
peduli. Akhirnya Bram mencabut penisnya, dia segera bergeser ke depanku,
dicabutnya kondom yang penuh sperma dan disodorkan kejantanannya ke
mulutku, aku tak menanggapi namun dia mengusap usapkannya ke wajahku.
Akhirnya kuturuti kemauannya, kuraih penis di depanku dan kumasukkan ke
mulutku, aroma sperma sangat keras tercium, kupermainkan penis yang
mulai mengecil itu di mulutku, tak kubiarkan dia menariknya keluar,
lidahku menari nari di kepala penisnya, Bram menjerit histeris.
Kami telentang bersebelahan, napas kami masih menderu sisa sisa
permainan birahi yang melelehkan, Pak Hengki kembali ke sofa melihat
tubuh kami yang tergolek lemas diranjang.
“Kalian berdua memang pasangan yang cocok, 1 jam 7 menit permainan kalian” kata Pak Hengki, tak kusangka selama itu, padahal rasanya baru 10 atau 15 menit kami bercinta, mungkin kami terlalu menikmati hingga terasa waktu berjalan cepat.
“Ternyata apa yang aku dengar selama ini memang tidak bohong, dan beruntunglah aku ikut membuktikan, ntar kita lanjutin lagi” kata Bram masih dengan napas berat.
“Oke Bram, tugas kamu sudah selesai dan kamu bisa tinggalkan kami” kata Pak Hengki sambil meletakkan amplop di meja.
Sebenarnya aku agak kecewa mendengar Bram harus pergi, rasanya terlalu sayang melewatkan waktu dengan dia cuma sebentar, dalam hati aku tidak keberatan kalau harus melayani mereka berdua, toh ini bukan pertama kali meskipun aku baru mengalaminya sekali, tapi Pak Hengkilah yang berkuasa, aku diam saja.
“Kalian berdua memang pasangan yang cocok, 1 jam 7 menit permainan kalian” kata Pak Hengki, tak kusangka selama itu, padahal rasanya baru 10 atau 15 menit kami bercinta, mungkin kami terlalu menikmati hingga terasa waktu berjalan cepat.
“Ternyata apa yang aku dengar selama ini memang tidak bohong, dan beruntunglah aku ikut membuktikan, ntar kita lanjutin lagi” kata Bram masih dengan napas berat.
“Oke Bram, tugas kamu sudah selesai dan kamu bisa tinggalkan kami” kata Pak Hengki sambil meletakkan amplop di meja.
Sebenarnya aku agak kecewa mendengar Bram harus pergi, rasanya terlalu sayang melewatkan waktu dengan dia cuma sebentar, dalam hati aku tidak keberatan kalau harus melayani mereka berdua, toh ini bukan pertama kali meskipun aku baru mengalaminya sekali, tapi Pak Hengkilah yang berkuasa, aku diam saja.
Dengan muka penuh kecewa, Bram beranjak dari ranjang, dipungutinya
pakaiannya dan dikenakan kembali. Kini dia tampak seperti anak muda
umumnya, tak ada kesan kalau dia seorang gigolo yang pandai memuaskan
wanita, termasuk aku. Dia mengambil amplop yang ada di meja dan
menyalami Pak Hengki, setelah itu menghampiriku yang masih rebahan
telanjang di ranjang, dikecupnya keningku.
“Bersihkan sperma Pak Hengki di punggungmu” bisiknya saat mencium pipiku, baru kusadari cairan hangat yang kukira ludah tadi adalah sperma Pak Hengki.
“Terima kasih Pak, Bapak tahu bagaimana kalau menghubungiku lain waktu, selamat bersenang senang” katanya sambil pamit melirikku.
“Jangan pergi, kita main bertiga saja, aku sanggup kok melayani kalian berdua sekaligus” teriak batinku, tapi kata kata itu tak keluar dari mulutku.
“Bersihkan sperma Pak Hengki di punggungmu” bisiknya saat mencium pipiku, baru kusadari cairan hangat yang kukira ludah tadi adalah sperma Pak Hengki.
“Terima kasih Pak, Bapak tahu bagaimana kalau menghubungiku lain waktu, selamat bersenang senang” katanya sambil pamit melirikku.
“Jangan pergi, kita main bertiga saja, aku sanggup kok melayani kalian berdua sekaligus” teriak batinku, tapi kata kata itu tak keluar dari mulutku.
Pak Hengki menyeringai melihatku masih telanjang, wajah gantengnya
sebenarnya cukup mempesona tapi aku masih terbuai dengan permainan Bram.
Dia mengeluarkan tisu basah dari bajunya dan menyerahkan kepadaku.
“Usap wajahmu dari spermanya” perintahnya, aku menurutinya.
Pak Hengki duduk ditepi ranjang menghadapku.
“Kamu memang benar benar menggairahkan, hampir tak tahan aku melihat permainanmu tadi, makanya aku berubah pikiran, terlalu sayang melewatkan saat saat seperti ini begitu saja” katanya sambil menyibakkan rambut yang menutupi sebagian dadaku. Aku diam saja ingin tahu rencananya lebih jauh, sebenarnya ini sudah diluar kesepakatan, harus melayani 2 orang.
“Usap wajahmu dari spermanya” perintahnya, aku menurutinya.
Pak Hengki duduk ditepi ranjang menghadapku.
“Kamu memang benar benar menggairahkan, hampir tak tahan aku melihat permainanmu tadi, makanya aku berubah pikiran, terlalu sayang melewatkan saat saat seperti ini begitu saja” katanya sambil menyibakkan rambut yang menutupi sebagian dadaku. Aku diam saja ingin tahu rencananya lebih jauh, sebenarnya ini sudah diluar kesepakatan, harus melayani 2 orang.
“Jangan khawatir, aku mengerti kok soal uangnya, tak perlu dipikirin,
atau kamu mau telepon GM-mu” lanjut Pak Hengki seakan membaca
pikiranku.
Malu aku dibuatnya, kujawab dengan senyuman.
“Nggak usah, aku percaya sama Bapak kok, aku mandi dulu ya” kataku seraya hendak beranjak dari ranjang, tapi dia menahan tubuhku.
“Nggak usah mandi, biar lebih hot dengan keringat di tubuhmu” katanya pendek disusul gerakan menindihku, aku terkejut tapi terlambat, dia sudah berada di atasku menciumi leher dan melumat bibirku.
Aku segera membalas lumatan penuh gairah itu.
“Kamu cantik.. dan bertambah cantik saat mendesah.. dan makin cantik kala orgasme” katanya disela ciuman kami, aku membalas dengan desisan ringan, apalagi ketika bibirnya sudah berada di putingku.
Malu aku dibuatnya, kujawab dengan senyuman.
“Nggak usah, aku percaya sama Bapak kok, aku mandi dulu ya” kataku seraya hendak beranjak dari ranjang, tapi dia menahan tubuhku.
“Nggak usah mandi, biar lebih hot dengan keringat di tubuhmu” katanya pendek disusul gerakan menindihku, aku terkejut tapi terlambat, dia sudah berada di atasku menciumi leher dan melumat bibirku.
Aku segera membalas lumatan penuh gairah itu.
“Kamu cantik.. dan bertambah cantik saat mendesah.. dan makin cantik kala orgasme” katanya disela ciuman kami, aku membalas dengan desisan ringan, apalagi ketika bibirnya sudah berada di putingku.
Tak berlama lama kami melakukan pemanasan karena sama sama terbakar
pada babak sebelumnya. Tanpa melepas ciuman dan tindihannya, dia
mengeluarkan penisnya, kurasakan sapuan kepala penis di bibir vaginaku,
aku tak tahu seberapa besar penis yang akan melesak di liang vaginaku
kali ini. Tanpa kondom, perlahan kepala penis itu menembus celah
vaginaku, sepertinya cukup besar dan terus menembus masuk makin dalam,
seperti perjalanan yang panjang sebelum menyentuh dasar vaginaku. Aku
mendesis nikmat meski baru 15 menit yang lalu kurasakan kenikmatan yang
sama dari Bram. Harus kuakui kalau kurasakan penis yang lebih panjang
telah melesak memenuhi vaginaku.
Beberapa detik kemudian mulai kurasakan ayunan kenikmatan dari Pak
Hengki dan semakin cepat. Sambil menikmati kayuhannya kulepas
pakaiannya, terkesiap sesaat disela desah kenikmatanku melihat dada
bidang Pak Hengki yang dihiasi bulu bulu, begitu sexy tanpa timbunan
lemak. Aku semakin terangsang hebat, kekecewaan ditinggal Bram segera
terlupakan dan berganti kenikmatan kocokan Pak Hengki, tamuku yang
sebenarnya.
Kutarik tubuhnya dalam dekapanku, aku ingin merasakan dekapan
kehangatan penuh birahi dari tamuku yang sexy kali ini, berkali kali
kubalas lumatannya dengan lumatan tak kalah gairah. Entah mimpi apa aku
tadi malam mendapatkan berkah yang tak terhingga seperti ini, 2 laki
laki jantan berurutan menikmati tubuhku dan memberi kenikmatan yang tak
terhingga, berulang kali aku berterima kasih pada si cicik yang
memberiku kedua laki laki ini.
Kami saling mendekap erat, terlupakan sudah rasa capek dengan Bram
tadi, napas kami bersatu menderu diiringi desah kenikmatan dari kami
berdua.
“Sshh.. trus Pak.. uff.. ennaak Pak” desahku ditelinganya tanpa dibuat buat.
Cukup lama dia mengocok dari atas sebelum membalik tubuhku. Aku tak mau posisi diatas karena hampir bisa dipastikan tamuku tak akan bisa bertahan lama berada dibawahku.
“Dari belakang Pak” kataku sambil turun dari tubuhnya dan nungging disamping.
Pak Hengki melepas pakaian yang masih tersisa, kami sama sama telanjang, diraihnya pantatku dan sedetik kemudian melesaklah penisnya kembali ke vaginaku disusul kocokan cepat. Aku menggeliat nikmat merasakah hunjaman penis itu, meski belum sempat melihat tapi yakin bahwa lebih besar dari punya Bram.
“Sshh.. trus Pak.. uff.. ennaak Pak” desahku ditelinganya tanpa dibuat buat.
Cukup lama dia mengocok dari atas sebelum membalik tubuhku. Aku tak mau posisi diatas karena hampir bisa dipastikan tamuku tak akan bisa bertahan lama berada dibawahku.
“Dari belakang Pak” kataku sambil turun dari tubuhnya dan nungging disamping.
Pak Hengki melepas pakaian yang masih tersisa, kami sama sama telanjang, diraihnya pantatku dan sedetik kemudian melesaklah penisnya kembali ke vaginaku disusul kocokan cepat. Aku menggeliat nikmat merasakah hunjaman penis itu, meski belum sempat melihat tapi yakin bahwa lebih besar dari punya Bram.
Sodokan demi sodokan menghunjam tajam di vaginaku, desahan demi
desahan mengiringi permainan kami, remasan demi remasan menambah gairah
semakin tinggi. Aku benar benar melambung dalam nikmat, dan tak bisa
kutahan lebih lama lagi akupun mencapai puncak kenikmatan mendahului Pak
Hengki. Tubuhku langsung lunglai begitu denyutan di vaginaku
menghilang, lututku serasa gemetar, mungkin terlalu banyak orgasme
berturut turut dalam waktu yang singkat. Pak Hengki menghentikan
kocokannya sesaat, tapi melanjutkan kembali dengan lebih keras. Kembali
aku dipaksa untuk mendaki birahi yang tinggi, beberapa sodokan menusuk
tajam, aku terhenyak dalam kelelahan.
Kami berganti posisi beberapa menit kemudian, aku langsung bergoyang
di atas tubuhnya, pandangan mata dan tubuh atletisnya ternyata membuaiku
semakin tinggi, gerakanku semakin liar tak beraturan, kututup mataku
rapat tak mampu melawan tatapan mata dan ke-sexy-annya. Aku terlalu
lelah untuk menggoyangkan tubuhku, kutelungkupkan di atas dada
bidangnya, bulu bulu dada serasa menggelitik putingku, semakin
terangsang aku dibuatnya. Dengan mendekap tubuhku rapat, dia mengocokku
dari bawah, dan tak lama kemudian kurasakan denyutan yang sangat kuat
dari penisnya seiring jeritan kenikmatan yang keluar dari mulut Pak
Hengki, pelukannya semakin kuat. Akupun tak kuasa ketika denyutannya
membawaku ikutan berdenyut menyusulnya ke puncak, kami orgasme hampir
bersamaan, cairan hangat terasa memenuhi liang vaginaku.
Tubuh kami terkulai berpelukan lemas tak berdaya, detak jantung kami
saling beriringan berpacu menuruni puncak kenikmatan, kusandarkan
kepalaku di pundaknya dengan napas masih berat tersengal, sungguh
orgasme yang indah yang kuraih dari 2 laki laki berbeda berurutan.
“Kamu nginap disini aja ya” kata Pak Hengki ketika sudah bisa bernapas normal, aku tak keberatan tentu saja, setelah apa yang kudapat darinya.
“Terserah Bapak saja” jawabku pelan menyembunyikan gejolak kegembiraan, aku harus tetap bersikap profesional meski mengharap tawaran seperti itu yang datangnya belum tentu sebulan sekali.
Kamipun mandi malam bersama, baru kusadari ternyata kejantanannya lumayan besar melebihi milik Bram yang sempat membuatku menggelepar kenikmatan. Secara fisik sebenarnya Pak Hengki lebih sexy tapi dari segi variasi permainan, Bram jauh lebih unggul.
“Kamu nginap disini aja ya” kata Pak Hengki ketika sudah bisa bernapas normal, aku tak keberatan tentu saja, setelah apa yang kudapat darinya.
“Terserah Bapak saja” jawabku pelan menyembunyikan gejolak kegembiraan, aku harus tetap bersikap profesional meski mengharap tawaran seperti itu yang datangnya belum tentu sebulan sekali.
Kamipun mandi malam bersama, baru kusadari ternyata kejantanannya lumayan besar melebihi milik Bram yang sempat membuatku menggelepar kenikmatan. Secara fisik sebenarnya Pak Hengki lebih sexy tapi dari segi variasi permainan, Bram jauh lebih unggul.
Malam itu kami habiskan dengan penuh gairah, 2 babak lagi kami
bercinta, sekali di sofa dan meja lalu disusul adegan di ranjang,
sebelum akhirnya tertidur setelah lewat tengah malam. Keesokan paginya
ketika aku bangun, tak kutemui Pak Hengki disampingku, terdengar
gemericik air dari kamar mandi. Segera aku bangun dan menyusul ke kamar
mandi.
“Pagi Bapak, wah udah duluan nih, kok nggak mbangunin aku sih” sapaku melihat Pak Hengki yang sedang menyiram tubuhnya di shower.
“Eh pagi sayang, udah bangun rupanya, habis tidurmu nyenyak banget sih, nggak tega aku mbangunin” jawabnya sambil melanjutkan mandi.
“Aku mandiin sini” aku menawarkan diri.
“Monggo, tapi buruan ya, aku sedang buru buru nih”
“Sip lah” jawabku langsung masuk ke bathtub, kusabuni tubuhnya dengan gerakan gerakan menggoda terutama disekitar selangkangannya.
“Pagi Bapak, wah udah duluan nih, kok nggak mbangunin aku sih” sapaku melihat Pak Hengki yang sedang menyiram tubuhnya di shower.
“Eh pagi sayang, udah bangun rupanya, habis tidurmu nyenyak banget sih, nggak tega aku mbangunin” jawabnya sambil melanjutkan mandi.
“Aku mandiin sini” aku menawarkan diri.
“Monggo, tapi buruan ya, aku sedang buru buru nih”
“Sip lah” jawabku langsung masuk ke bathtub, kusabuni tubuhnya dengan gerakan gerakan menggoda terutama disekitar selangkangannya.
Sebenarnya aku masih menginginkan bercinta darinya sebelum kami
berpisah, paling tidak sekali lagi. Tapi rupanya dia tidak menanggapi
meskipun kejantanannya sudah menegang dalam genggamanku.
“Udahan ah, kamu lanjutin aja mandi” katanya lalu ngeloyor pergi mengambil handuk dan meninggalkanku di kamar mandi, aku agak kecewa juga dengan penolakannya.
Sengaja aku agak berlama lama di kamar mandi untuk meredakan birahi di pagi hari. Ketika aku keluar dari kamar mandi, ternyata Pak Hengki sudah berpakaian rapi bersiap ke kantor, meskipun sebenarnya terlambat karena sudah jam 9 pagi.
“Ly, aku duluan ya, ntar kamu check out-in aja, bisa kan?” katanya bersiap hendak pergi
“Beress” jawabku sambil melepas handuk penutup tubuhku dan mengeringkan rambutku.
“Oh ya, yang itu nanti sama si cicik aja ya dan ini untuk bayar hotel dan bensin” katanya tentang pembayaran seraya meletakkan amplop putih di meja.
“Thanks” jawabku masih mengeringkan rambut.
“Udahan ah, kamu lanjutin aja mandi” katanya lalu ngeloyor pergi mengambil handuk dan meninggalkanku di kamar mandi, aku agak kecewa juga dengan penolakannya.
Sengaja aku agak berlama lama di kamar mandi untuk meredakan birahi di pagi hari. Ketika aku keluar dari kamar mandi, ternyata Pak Hengki sudah berpakaian rapi bersiap ke kantor, meskipun sebenarnya terlambat karena sudah jam 9 pagi.
“Ly, aku duluan ya, ntar kamu check out-in aja, bisa kan?” katanya bersiap hendak pergi
“Beress” jawabku sambil melepas handuk penutup tubuhku dan mengeringkan rambutku.
“Oh ya, yang itu nanti sama si cicik aja ya dan ini untuk bayar hotel dan bensin” katanya tentang pembayaran seraya meletakkan amplop putih di meja.
“Thanks” jawabku masih mengeringkan rambut.
Sebelum Pak Hengki meninggalkan kamar, dia mencium bibirku, ciuman
perpisahan, cukup lama dia memeluk tubuh telanjangku, maka tak kusia
siakan kesempatan, kuremas remas penisnya hingga berdiri.
“Sekali lagi yuk, sebentar aja” ajakku, dia menatapku tajam seakan ingin menengok isi hatiku.
“Kamu benar benar penggoda” jawabnya sambil meremas buah dadaku.
“Sekali lagi yuk, sebentar aja” ajakku, dia menatapku tajam seakan ingin menengok isi hatiku.
“Kamu benar benar penggoda” jawabnya sambil meremas buah dadaku.
Tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung merosot turun, berlutut
didepannya, kubuka resliting celananya dan kukeluarkan penis yang sudah
menegang keras. Sedetik kemudian kejantanan Pak Hengki sudah keluar
masuk mulutku, mendahului sarapan pagi. Hanya beberapa menit aku
mengulumnya, Pak Hengki menarikku berdiri, memutar tubuh telanjangku
hingga menghadap tembok. Kubuka kakiku lebar ketika dia mengusapkan
penisnya dari belakang.. dan melesaklah penis pertama di hari ini
mengisi vaginaku.
Tanpa menunggu lebih lama, dia langsung mengocokku cepat dan keras,
aku menggeliat dan mendesah menikmati sodokan demi sodokan yang nikmat.
Sepertinya tak pernah puas aku menikmati kocokannya meskipun sudah 3
babak kami lakukan semalam.
Tak lebih dari 10 menit akhirnya kami menggapai orgasme hampir
bersamaan, cairan hangat membanjiri liang vaginaku. Aku segera berbalik
meraih penisnya, kujilati dan kukulum hingga tiada lagi sisa sperma di
kejantanannya lalu kumasukkan kembali ke celananya. Tanpa berkata kata
lagi Pak Hengki langsung meninggalkan kamar setelah merapikan kembali
pakaiannya.
Hingga kami berpisah, aku tak tahu kenapa dia memerlukan bantuan
seorang gigolo sebelum bercinta, padahal secara keseluruhan tak ada
masalah dengan dirinya apalagi dia masih muda dan tampan lagi, tapi
pertanyaan itu tetap kupendam, biarlah dia hidup dalam fantasi
fantasinya, bukan urusanku untuk mencampuri khayalan seseorang, tapi
merupakan pekerjaanku bila harus memenuhi fantasi fantasi itu.
Belakangan setelah beberapa kali ketemu dan selalu menggunakan “jasa”
laki laki lain, baik itu gigolo pilihannya atau dia dapat dari GM,
akhirnya kutahu ternyata dia sangat terobsesi melihat permainan sex
orang lain dan ritual itu selalu dilakukan sebelum berhubungan dengan
wanita, beruntung dia belum kawin, tentu berabe kalau sudah. Aku sangat
menyukai fantasinya, meski terkadang laki laki lain tidak sekelas Bram,
tapi bagiku cukup memberikan sensasi aneh sebelum bercinta dengan Pak
Hengki.
=================================================
Sore itu Kuketuk pintu kamar 812 Hotel Shangri La, Edward membuka pintu dengan senyum ramah dan mempersilakanku masuk.
“Udah lama nunggu?” tanyaku basa basi.
“Ah enggak, barusan aja mandi”.
Edward adalah seorang chinese tamu langgananku, entah sudah berapa
kali aku melayaninya, hampir tak terhitung, kutemani dia setiap kali
datang ke Surabaya. Sebenarnya tak ada yang istimewa darinya kecuali
pembawaannya yang santai dan cenderung lucu, aku menyukai pembawaannya
itu, di usianya pertengahan 30-an, dia seorang bisnisman sukses, kalau
nggak salah dia mensuply suku cadang ke Pertamina. Seringkali aku
diminta melayani client-nya yang dari pertamina, tentu saja setelah puas
dia menikmati hangatnya tubuhku.
“Kamu itu bawa rejeki, setiap kali kukasih kamu pasti proyeknya gol”
ujarnya suatu hari ketika kucoba menawarkan gadis lain saat aku “Fully
booked”.
Hampir jadi kebiasaan setelah menikmatiku semalaman, besoknya aku
diberikan ke rekanannya untuk servis, bahkan ketika harus men-servis dua
atau tiga tamu, aku dan gadis lain ditidurinya dulu bersamaan, tentu
saja tanpa setahu mereka. Bagiku sendiri nggak masalah dengan siapa aku
harus tidur, yang penting negosiasinya jelas dan menguntungkan.
“Ly, malam ini kamu nginap ya dan besoknya dengan Pak Sastro, nggak apa kan?” katanya sambil menghembus asap rokoknya.
Ini bukan pertama kali hal seperti itu, tentu saja aku nggak
keberatan, toh nggak ada bedanya antara dia ataupun Pak Sastro yang
belum kukenal. Tak lama kemudian kami sudah berpelukan telanjang di atas
ranjang, saling berciuman dan meraba. Tangannya menjamah seluruh tubuh
dan dadaku, kubalas pada selangkangannya.
Tubuhku ditelentangkan, dengan bebasnya dia menggumuli sekujur
tubuhku, dari telinga, leher, dada, dikulumnya penuh gairah kedua
putingku, lalu turun ke selangkangan. Tapi dia tidak langsung menjilati
vaginaku, justru memutari menjilati paha hingga lutut. Aku menggeliat
antara geli dan nikmat, desahan sudah keluar dari mulutku.
Kubuka kakiku makin lebar saat kepalanya berada di depan liang
kenikmatanku, desahan berubah menjadi jeritan nikmat ketika lidahnya
menyentuh perlahan klitoris dan bibir vagina. Kuremas kepalanya yang
berada diantara kedua kakiku, tubuhku menggelinjang merasakan nikmatnya
jilatan demi jilatan menyapu vagina, apalagi diselingi kocokan jari
tangannya.
Napasku sudah ter-engah engah menerima permainan oralnya, aku
terpejam sambil meremas remas kedua buah dadaku. Melihat aku sudah
terbakar birahi, Edward mulai menyapukan kejantanannya ke bibir vagina,
dengan dorongan pelan penis itu menerobos masuk celah sempit yang sudah
lembab. Terasa begitu nikmat setelah sehari tadi melayani 2 tamu yang
sudah tua, yang hanya mengandalkan nafsu tanpa tenaga.
Tarikan pertama yang perlahan kurasakan begitu indah untuk dirasakan,
begitu juga sodokan sodokan berikutnya, aku benar benar melayang dengan
penis yang tidak terlalu besar itu, mungkin karena perlakuan 2 tamu
sebelumnya yang tidak bisa memuaskanku.
Kulihat wajah Edward yang penuh nafsu, wajah putihnya memerah
terbakar birahi. Beberapa menit sudah dia mengocokku dari atas,
kenikmatan demi kenikmatan kami reguk bersama. Tubuh kami rapat menyatu
dalam ayunan irama birahi, desah dan dengus napas penuh gelora memenuhi
kamar ini. Kujepit pingganggnya dengan kedua kakiku hingga penisnya
semakin dalam mengisi rongga kewanitaanku, semakin nikmat rasanya.
Namun tak lebih 3 menit kami memacu birahi ketika kurasakan tubuhnya
menegang disusul teriakan bersamaan dengan semprotan kuat pada vaginaku.
Akupun ikutan teriak merasakan denyutan hebat darinya, 6.. 7.. 8
denyutan kurasakan, cairan hangat memenuhi liang vagina hingga serasa
penuh dan meluber. Tubuhnya telungkup menindihku, napas dan denyut
jantungnya begitu kencang terdengar, kupeluk dan kuelus punggunggnya
untuk meredakan ketegangannya.
Aku yang sudah sering bercinta dengannya tak terlalu kecewa karena
sudah tahu perilakunya, dia memang cepat selesai tapi cepat juga
recover, dalam sort time kami kadang bisa bercinta hingga 3-4 kali, tapi
kalau menginap tak bisa terhitung lagi, bahkan sering tidak sempat
tidur untuk melampiaskan nafsu. Edward turun dari tubuhku, kami diam
telentang berdampingan. Kupeluk kembali dia dan kusandarkan kepalaku di
dadanya, dibalasnya dengan elusan lembut pada rambutku.
“Ly, kamu marah nggak kalau kita tambah satu orang lagi, bertiga
gitu” katanya memecah kesunyian, entah kenapa suaranya sedikit bergetar.
“Kenapa harus marah? kan kita pernah ngelakuin, waktu itu di Sheraton
kalo nggak salah” jawabku agak heran, nggak biasanya dia minta ijin
seperti itu. Aku memang tak pernah menolak untuk main bertiga karena
kerjanya lebih ringan tapi bayarannya sama atau bahkan lebih besar
karena sensasinya bisa berlipat lipat.
“Bukan yang itu maksudku, tapi orang ketiganya itu laki” jawabnya pelan hampir tak terdengar.
Aku agak kaget, kutatap matanya tapi dia menghindari tatapanku. Aku
diam saja, meski pernah melayani 2 laki laki sekaligus, tentu saja aku
tak mau terlalu vulgar menerima ajakannya, tetap harus menjaga image
supaya tidak terlalu terkesan murahan. Teringat kembali bagaimana aku
melayani 2 tamuku bersamaan di Tretes (baca: Berbagi Ceria Dimana Saja)
atau saat bergantian melayani tamuku dan seorang gigolo (baca: Live
Show), entah model mana yang dia mau.
“Kamu marah ya, ya udah nggak usah dipikirin, anggap aja omongan
orang bingung” kata Edward melihat aku terdiam. Aku beranjak dari
tidurku dan duduk di atas tubuhnya, kutatap matanya dalam dalam.
“Emang kamu ingin melakukannya?” tanyaku. Dia diam, hanya anggukan kepala yang menjawab. Kami sama sama diam.
“Kalau kamu maunya gitu, ya terserah saja, toh tamu adalah raja” jawabku sambil memeluknya.
“Benar? nggak marah?” tanyanya seolah nggak percaya.
“Tapi aku belum pernah ngelakuin” jawabku bohong, pura pura lugu.
“Aku juga belum pernah, justru kita perlu coba, kata teman teman sih lebih asik” suaranya masih bergetar.
“Ntar jangan salahkan aku kalo nggak bisa muasin kamu” kataku lagi.
“Ah nggak, namanya juga nyoba”. Aku terdiam, begitu juga dia.
“Lalu bagaimana dengan..”
“Masalah uangnya kamu nggak usah khawatir, aku ngerti kok” dia memotong pertanyaanku seakan tahu apa yang ingin aku tanyakan.
“Trus satunya lagi siapa?” tanyaku. Sesaat dia terdiam.
“Ada temanku yang sering ngelakuin bertiga seperti itu, dari dia aku
pingin nyoba, tapi kalo kamu keberatan bisa juga orang lain kalo kamu
punya kenalan” katanya.
Aku teringat si Hengki, tamuku yang senang juga main bertiga dan aku
sangat menikmati bercinta dengannya baik sendirian maupun bertiga (baca:
Live Show), tapi kalo kupanggil dia, pasti kedokku terbongkar bahwa aku
pernah main bertiga.
“Terserah kamu sajalah” jawabku pelan, toh dengan siapa saja bukanlah masalah bagiku.
Edward turun dari ranjang, diambilnya HP yang tergeletak di meja, dia
menghubungi temannya menawari permainan itu. Aku menyusulnya ke sofa
tapi duduk diantara kakinya, kubiarkan dia bicara dengan temannya, tak
kuperhatikan bagaimana cara mengajaknya karena aku sudah asik memasukkan
penisnya ke mulutku, sesekali terdengar desahan di sela pembicaraannya.
“Oke dia menuju kesini, paling 15 menit udah sampai” katanya ketika
aku berdiri didepannya, tak kuperhatikan pembicaraannya, aku langsung
duduk dipangkuannya. Namun dia menolak saat kucoba memasukkan penisnya
yang sudah menegang.
“Kita tunggu Raymon aja dulu” katanya sambil mendorong tubuhku turun
dari pangkuannya. Aku yang sedari tadi sedang tergantung dalam birahi
tinggi, dengan muka masam meninggalkannya di sofa.
“Sambil nunggu kan bisa pemanasan dulu” kataku seraya memhempaskan
tubuhku ke ranjang, dengan sedikit demonstratif kubuka kakiku lebar
sambil mempermainkan klitorisku, akupun mendesis tak dibuat buat.
Pancinganku berhasil, Edward berdiri menyusulku ke ranjang.
“Kamu memang wanita penggoda” katanya disusul kuluman pada putingku,
tanpa menunggu lebih lama, kutarik tubuhnya keatas tubuhku dan kamipun
berpelukan bergulingan di atas ranjang.
Tubuh telanjang kami bergantian di atas dan dibawah, saling menindih.
Kali ini Edward diam saja saat kusapukan penisnya ke bibir vaginaku,
kami saling bertatapan penuh nafsu, dengan sekali dorong amblaslah
penisnya mengisi liang kewanitaanku. Untuk kesekian kalinya aku menjerit
nikmat merasakan kocokan demi kocokan darinya. Kuraih kepalanya,
kudekatkan ke wajahku dan kulumat bibirnya, kami saling memagut dengan
gairahnya. Terlupakan sudah Raymon yang sebentar lagi datang bergabung
dengan kami.
Meskipun kami bercinta dengan penuh nafsu, namun tanpa kata seolah
sama sama menjaga supaya tidak orgasme, ini terlihat beberapa kali dia
menahan gerakan atau bahkan mengeluarkan penisnya sejenak lalu
memasukkan kembali tak lama kemudian. Akupun melakukan hal yang sama.
Edward mulai mengocokku dari belakang, posisi dogie, bak berkuda liar,
kami naik turun bukit birahi tanpa ada niatan menggapai puncaknya.
..DING ..DONG, bunyi bel pintu membuyarkan konsentrasi kami, tanpa
aba aba Edward langsung mencabut keluar penisnya dan turun dari ranjang.
Dia memintaku mengikutinya menuju pintu. Edward membuka pintu menyambut
temannya, aku memeluknya dari belakang sambil menyembunyikan tubuh
telanjangku dipunggungnya.
“Wah rupanya kalian sudah pemanasan” sapanya ketika melihat tubuh telanjang kami yang berdiri menyambutnya.
“Habis kamu kelamaan sih, eh kenalin ini Lily” kata Edward setelah
menutup pintu. Masih bersembunyi di balik punggung Edward, kusalami
Raymon.
“Oh ini toh yang namanya Lily, sudah lama aku dengar nama kamu tapi
belum ada kesempatan mencobanya, habis katanya kamu susah sih” kata
Raymon sambil menyalamiku.
“Ah nggak juga, mungkin belum jodoh kali” balasku.
“Begitu ketemu langsung berpesta nih” lanjut Raymon seraya menarik tubuhku dari punggung Edward.
“Wow.. perfect body” komentarnya ketika tubuh telanjangku sudah
terpampang jelas dihadapannya, sorot matanya sekan hendak menelanku
bulat bulat tapi dia tidak bertindak lebih jauh.
“Ed, rupanya kesampaian juga fantasimu ngeroyok seorang cewek” lanjut Raymon seraya duduk di sofa.
“Gara gara kamu juga sih, makanya kupanggil kamu kemari” jawab Edward.
Edward dan Raymon duduk di sofa sedangkan aku dengan tubuh masih
telanjang duduk di pinggiran ranjang melihat kedua laki laki itu saling
meledek terutama mengenai pengalaman sex mereka, terlihat bahwa Raymon
mempunyai jam terbang yang jauh melebihi Edward, entah permainannya,
masih perlu dibuktikan apakah sehebat omongannya.
Edward memintaku duduk diantara mereka, Raymond masih mengenakan
pakaian lengkap, sepertinya dia tidak terlalu terburu buru, atau dia
hendak melihat aku dan Edward bercinta duluan, entahlah. Bagiku Edward
dan Raymon tidaklah jauh beda, baik fisik maupun penampilannya, sama
sama chinese dan seusia, tapi Raymon tampak lebih langsing. Aku tidak
duduk diantara mereka, tapi langsung duduk dipangkuan Edward, kami
saling berhadapan, tak kupedulikan si Raymon yang duduk disamping.
Kucium dan kulumat bibir Edward yang rupanya tidak menyangka akan
kenekatanku itu.
“Wow, ternyata benar yang kudengar selama ini, yang namanya Lily
sangat agresif dan explosif dalam bercinta, aku ingin membuktikan
permainan oralnya yang sudah lama kudengar itu” komentar Raymon melihat
ke-cuek-anku.
Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya. Bibir dan lidah Edward
sudah menempel asik mempermainkan kedua putingku. Tanpa melepas baju,
Raymon berdiri dibelakangku, mengelus elus punggungku dengan elusan
menggoda sambil menciumi tengkuk, aku menggeliat geli diciumi dari depan
dan belakang.
“Sshh.. ih nakal deh” desahku sambil mencari pegangan diselangkangan
Raymon tapi dia menepis halus tanganku, tentu ini membuatku penasaran.
Tak tahan dipermainkan kedua laki laki tanpa bisa berbuat banyak,
akupun turun dari pangkuan Edward dan jongkok di depannya. Kusambar dan
kumasukkan penis Edward ke mulutku, dia mendesis menikmati kulumanku,
sengaja kubuat se-attraktif mungkin supaya Raymon segera tergoda. Tak
kupedulikan celotehan pujian dari Raymon, tanganku meremas remas
selangkangannya, kali ini dia diam saja, bahkan ketika kubuka resliting
celananya diapun masih diam, namun perlahan mendesis. Saat tanganku
memasuki ke celananya dan mengeluarkan kejantanannya, aku sedikit
terkaget, meski panjangnya tidak melebihi punya Edward, mungkin lebih
kecil, tapi diameternya sungguh besar, hampir tak muat jari tanganku
melingkarinya.
Raymon mendekatkan kejantanannya ke mukaku, dua penis ada
digenggamanku. Aku beralih ke Raymon, kusapukan penisnya ke wajahku lalu
kujilati sekujur batang hingga ujung bahkan kantong bolanya, dia mulai
mendesis, dan bertambah keras desisannya saat penisnya memasuki mulutku
dan langsung keluar masuk dengan cepatnya. Dipegangnya kepalaku dan
dikocoknya mulutku seperti memompa ban sepeda. Meski agak susah karena
penisnya cukup besar, kucoba mempermainkan lidah saat penis itu berada
di dalam sekalian menyedotnya, desahan bercampur celoteh semakin keras.
Edward yang sejenak terlupakan ikutan berdiri di depanku, 2 penis
yang menegang telah terpampang jelas begitu dekat di wajah, kuhentikan
kulumanku pada Raymon, kukocok kedua penis yang ada di kedua tanganku.
Aku sama sekali tak menyangka kalau mendapatkan 2 penis sekaligus
seperti ini begitu exciting, meski bukan pertama kali melakukan, tapi
ini adalah direncanakan untuk main bertiga hingga sensasinya begitu
berbeda. Aku merasa bak ratu yang sedang dilayani kedua pelayannya,
pantesan banyak tamu yang menyukai dilayani 2 wanita sekaligus, mungkin
perasaan itu sama dengan perasaanku saat ini, be like a queen.
Bergantian aku mengulum penis Edward dan Raymon, sesekali kedua penis
itu bersentuhan di bibirku, bahkan sengaja kuadu kepalanya. Perbedaan
ukuran diameter kedua penis itu menambah sensasi tersendiri bagiku, baik
saat kuremas maupun saat memasuki mulutku, pasti akan bertambah ketika
bergantian memasuki vaginaku, pikirku.
Beberapa menit aku melakukan oral pada mereka, kini giliranku untuk
menjadi the real queen. Tanpa melepas kedua penis dari genggamanku, aku
berdiri diantara mereka, Raymon segera meraih kepalaku dan mencium
bibirku, kami saling melumat dan bermain lidah. Kulepas pakaian Raymon
hingga telanjang, baru kulihat dengan jelas postur tubuhnya yang cukup
atletis meski masih tampak sedikit timbunan lemak di perut, namun tak
sebanyak Edward. Dan penisnya yang putih kemerahan tampak tegar kokoh
begitu menggoda.
Kutuntun mereka menuju ranjang dengan menarik penisnya, aku rebah
pasrah di atas ranjang menunggu mereka bersamaan menggumuliku, suatu
sensasi yang luar biasa dicumbu 2 laki laki bersamaan. Raymon kambali
menciumi bibirku, menyusuri pipi dan leher dan berhenti di kedua buah
dadaku, sementara Edward mendapat bagian pada paha dan vaginaku. Namun
saat Raymon mengulum putingku, Edward bergeser naik dan mengulum puting
satunya, aku menjerit kaget dan nikmat mendapat kuluman pada kedua
putingku bersamaan.
Meski ini bukan pertama kali, tapi entahlah, kenikmatan selalu
berbeda pada setiap event, kuremas remas kedua kepala yang ada di dadaku
sambil mendesah lepas. Dan desahanku semakin tak terkendali ketika
kedua tangan mereka bersamaan ikut bermain di daerah vagina, antara
bermain di klitoris dan mengocok dengan jari tangan, aku benar benar
serasa melayang, hanya geliat dan desah napas panjang yang bisa
kulakukan.
Bibir Edward mulai menjalar turun menyusuri perut, tapi segera
kutarik keatas dan kucium bibirnya, Raymon ikutan melepaskan putingku
dan menciumiku, bergantian kulumat kedua bibir itu. Kembali mereka
berbagi tugas, Raymon mengulum kedua putingku bergantian, tak
dipedulikannya sisa ludah temannya yang masih basah di putingku. Edward
dengan lincahnya menyapukan lidah dan bibirnya di vaginaku.
Untuk kesekian kalinya aku menggeliat dan menjerit nikmat
diperlakukan begitu bernafsu oleh kedua tamuku ini, sulit untuk
dibayangkan kenikmatannya ketika dua lidah secara bersamaan menari nari
di puting dan vagina. Aku berharap pertahananku mampu bertahan dari
gempuran birahi yang begitu hebat, kalau sampai kebobolan juga berarti
perjalanan panjang akan semakin terasa panjang dan terjal.
“Ed, aku mau berduaan dulu sama Lily sebelum kita keroyok dia, tadi kamu kan udah, oke?” pinta Raymond.
“No problem, you are my guest” jawab Edward disela sela jilatannya.
Bersamaan dengan itu, Raymon sudah menggeser posisinya disamping
temannya, bersiap memulai babak pendahuluan, aku hanya pasrah mengikuti
permainan mereka sambil membayangkan penis Raymon yang gede itu segera
memenuhi vaginaku, tentu akan lebih nikmat dibanding punya Edward.
“Wait..wait..wait, sebelum kamu acak acak dia, aku mau 69 dulu” kata Edward seraya mengatur posisinya di atasku.
“Lily yang di atas dong” atur Raymon, Edward hanya menuruti perintah temannya tanpa banyak komentar.
Untuk kesekian kalinya penis Edward mengisi mulutku, ternyata Raymon
tak mau jadi penonton, dia menyodorkan penisnya saat aku masih mengulum
temannya, akupun menurutinya, bergantian penis penis itu keluar masuk
mengocok mulutku bersamaan sapuan lidah Edward yang tak kalah nikmatnya
menyusur vaginaku. Entah sampai berapa lama kami ber-69 kalau saja
Raymon tidak menghentikan kami.
Aku telentang bersiap untuk Raymon, dia membuka kondom tapi segera
kurebut. “Sini aku pasangkan” kataku, dengan mulut aku memasukkan kondom
itu ke penisnya, dia memuji ketrampilanku ini. Raymon menindih tubuhku,
kami berciuman sambil menyapukan penis gede itu ke bibir vaginaku,
kupejamkan mataku saat penisnya mulai menyeruak masuk, terasa penuh
sesak. Meski bukan yang terbesar yang pernah kurasakan, tapi dalam
sehari ini rasanya penis itu begitu besar seolah nggak muat vaginaku
menerimanya, apalagi dibandingkan penis Edward yang beberapa saat lalu
kurasakan.
Kubuka kakiku selebar mungkin saat dia memulai gerakan mengocoknya,
hanya beberapa kali kocokan pelan setelah itu berubah menjadi cepat dan
keras sambil ditekankan ke pinggulku. Aku mendesah semakin keras,
sesekali kulirik Edward yang nonton kami sambil memegangi kejantanannya,
terlihat kecil dibanding penis yang sedang berada di vaginaku.
Kocokan Raymon semakin liar, aku tak sempat lagi memperhatikan
Edward, sorot mata Raymon begitu menyala penuh nafsu, tubuhnya
menindihku, semakin rapat aku dalam dekapannya, seolah tubuh telanjang
kami menyatu dalam ikatan emosi yang sama, saling memberi kenikmatan.
Meski terasa begitu nikmat, aku tak mau orgasme duluan, perjalanan masih
sangatlah panjang, apalagi masih ada penis lain yang menunggu, tentu
cukup memalukan apabila minta istirahat hanya pada putaran pertama.
Kakiku sudah bergantian turun naik di pundak Raymon, tapi belum juga dia menurunkan temponya.
Kakiku sudah bergantian turun naik di pundak Raymon, tapi belum juga dia menurunkan temponya.
Mau tak mau, kocokan nikmat dari Raymon membawaku perlahan mendaki
puncak kenikmatan, meski aku berusaha menahannya lebih lama. Sebelum
terlanjur terlalu jauh, aku mengambil inisiatif, kudorong tubuh Raymon
menjauh hingga dia rebah telentang, kunaiki tubuhnya, dengan posisi di
atas aku bisa pegang kendali permainan. Tak lama kemudian tubuhku sudah
turun naik bergoyang di atas Raymon, penis besar itu serasa mengaduk
aduk isi vaginaku, namun justru semakin nikmat.
Sambil tetap bergoyang dan mendesah, kupanggil Edward mendekat, sudah
saatnya dia gabung, sudah cukup Raymon sendirian menikmatiku. Edward
berdiri mendekati kami, kuminta dia naik ke ranjang, sepertinya dia tak
tahu harus berbuat apa atau harus mulai dari mana.
“Tuh atasnya masih kosong” teriak Raymon pada temannya yang tampak kebingungan.
Edward berdiri di atas ranjang, kuraih penisnya dan kumasukkan ke
mulutku, dua penis mengisi lubang tubuhku bersamaan, atas dan bawah.
Kembali kurasakan sensasi yang berlebihan menghadapi keadaan ini, suatu
sensasi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, meskipun sering kulihat
di film porno, tapi kini aku mengalami sendiri, bercinta dengan 2 orang
secara bersamaan, orang bilang threesome atau 2 in 1 atau MMF atau
gangbang.
Mulanya agak kerepotan juga aku mengatur gerakanku meng-handle 2
penis sekaligus, apalagi kedua penis itu bergerak cukup liar di
lubangnya masing masing. Kenikmatan yang kurasakan sungguh jauh dari apa
yang kubayangkan, aku kewalahan dibuatnya. Seringkali hanya terdiam
menerima kocokan nikmat dari mereka di atas dan dibawah.
Perlahan aku bisa menguasai gejolak emosiku dan gerakanku mulai bisa
aku kendalikan mengimbangi kocokan kocokan itu, bahkan aku semakin
berani aktif bergoyang pantat dan kepala. Kami semua saling bergoyang
dengan irama permainan yang sama, tiga gerakan berpadu menjadi suatu
sensasi dan kenikmatan yang sangat tinggi.
Tak ada desahan dari mulutku kecuali dengus napas kenikmatan yang
keluar dari hidung, hanya desisan mereka berdua yang terdengar
bersahutan. Remasan remasan Raymon pada buah dadaku semakin membawaku
terbang tinggi.
“Ganti” perintah Raymon setelah kami bertiga bercinta lebih 10 menit.
Edward memintaku dogie, melanjutkan yang tadi sebelum temannya
datang. Aku merasa ada yang kurang ketika penis Edward memasuki liang
vaginaku, begitu beda dengan penis Raymon yang gede. Pergantian penis
yang begitu cepat, hanya dalam hitungan detik, tentu belum bisa membuat
vaginaku berkontraksi menyesuaikan besarnya penis Edward, serasa begitu
longgar saat dia mulai mengocok, aku yakin dia juga merasakan hal yang
sama, tapi aku tak berani menanyakannya.
Raymon mengambil posisi didepanku, bersandar pada sandaran ranjang,
penis yang sudah tanpa kondom menantang tegak dihadapanku, siap mengisi
mulutku. Dari belakang Edward sudah mulai mengocok dengan tempo tinggi,
menyodokku dengan keras hingga sesekali penis Raymon yang hampir tidak
muat dimulutku terlempar keluar. Raymon tak mau kalah, dipegangnya
kepalaku dan ditekankan lebih dalam ke selangkangannya, aku benar benar
dalam tekanan kuat dua laki laki itu, namun semakin nikmat rasanya.
Cukup lama kami bercinta dengan posisi dogie seperti itu, rupanya
dengan kondom Edward bisa melakukan lebih lama dari biasanya. Edward tak
mau menuruti ketika Raymon minta bertukar posisi, “Tanggung” katanya
tanpa menurunkan temponya. Dan benar saja, hanya berselang semenit
kemudian kurasakan penisnya membesar disusul denyutan kuat melanda
dinding dinding vaginaku, dia menjerit histeris, aku menghentikan
kulumanku untuk menikmati denyutan demi denyutan darinya.
Raymon bergeser ke belakangku, memasang kondom baru ke penisnya,
hanya sedetik setelah penis Edward dicabut keluar, liang vaginaku sudah
kembali terisi penis Raymon yang besar itu, terasa perbedaan yang sangat
menyolok dan serasa begitu penuh. Aku mendesah terkaget akan perbedaan
yang begitu mendadak.
Edward yang sudah kehabisan napas menyodorkan penis yang masih
terbungkus kondom ke mukaku, sambil merasakan nikmat sodokan Raymon dari
belakang, kulepas kondom Edward lalu kumasukkan penisnya ke mulut,
aroma sperma begitu kuat tercium. Penis Raymon sangat kuat dan keras
menghunjam vaginaku, ditariknya rambutku ke belakang hingga penis
temannya tercabut dari mulutku. Seperti menunggang kuda betina, dia
mempermainkan gerakannya sambil meremas remas buah dadaku yang
menggantung berayun bebas.
Beberapa menit berlalu, mungkin total sudah lebih 30 menit kami
bercinta bertiga, tapi tak tanda tanda puncak kenikmatan belum
kelihatan, apalagi Raymon pintar mengatur irama permainan, seringkali
dia menghentikan gerakannya menahan supaya tidak orgasme. Sedangkan aku
sendiri, disetubuhi 2 orang bersamaan dan bergantian secara terus
menerus, tak dapat disangkal lagi, berulang kali kuraih “Orgasme kecil”,
meskipun puncak dari kenikmatan itu belum juga kuraih, karena sengaja.
Namun demikian, pertahananku tak bisa bertahan lebih lama lagi,
akhirnya tanpa bisa dicegah meledaklah segala emosi dan gairah yang
terpendam, aku menjerit histeris hampir menggigit penis Edward yang ada
di mulutku kalau tidak segera kukeluarkan, kutelungkupkan wajahku di
selangkangan Edward saat vaginaku berdenyut hebat merasakan orgasme yang
tertahan sedari tadi. Mengetahui aku sedang orgasme, Raymon justru
semakin mempercepat gerakannya, aku semakin teriak histeris tapi dia
tidak peduli, dihentakkannya tubuhnya lebih keras ke arah tubuhku, tak
tahu lagi rasanya antara nikmat, geli dan sakit, kucengkeram lengan
Edward kuat kuat.
Tubuhku langsung melemas seiring hilangnya denyutan di vaginaku, tapi
Raymon masih tetap mengocokku tanpa belas kasihan dan itu masih
berlangsung beberapa menit kemudian sebelum dia menyusulku menggapai
puncak kenikmatan, denyutan penisnya begitu kuat menghantam dinding
dinding vaginaku membuat aku kembali menjerit, inilah salah satu
kenikmatan bercinta saat merasakan penis di vagina membesar dan
berdenyut, apalagi bila disusul dengan semburan hangatnya sperma
membasahi vagina.
Raymon mencabut penisnya, menarik lepas kondomnya dan menuangkan
spermanya ke punggung dan pantatku. Aku terkapar telentang diantara
kedua laki laki yang telah menyetubuhiku berbarengan. Tak kusangka
Edward yang sudah recovery kembali bersiap menindihku, vaginaku masih
terasa tebal dan panas karena kocokan Raymon tapi aku ingin menunjukkan
bahwa aku bisa menangani kedua laki laki itu, timbul ego-ku untuk merasa
lebih hebat dari mereka.
Kubuka kakiku bersiap menerima penis Edward, dia mengganjal pantatku
dengan bantal hingga menantang ke atas dan dengan sekali sodok masuklah
penis itu ke vagina. Dua penis bergantian mengisi vaginaku dalam
hitungan detik, terasa sekali perbedaannya, baik rasa, ukuran dan irama
kocokannya, mungkin kalau mataku ditutup aku bisa membedakan siapa yang
sedang menyetubuhiku.
Raymon masih telentang dengan napas menderu sambil tangannya meremas
erat tanganku ketika temannya mulai mengocokku dengan cepatnya. Seperti
sebelumnya Edward tidak bisa terlalu lama bertahan, tak sampai 5 menit
kemudian dia sudah menggapai puncak kenikmatannya. Kali ini kondom tidak
banyak membantu, mungkin sensasinya terlalu berlebihan hingga dia
begitu cepat menyudahi permainan, seperti halnya Raymon, diapun
menumpahkan sisa sperma di kondom yang nggak banyak di dadaku lalu
diapun ikutan terkapar disebelahku.
Kami sama sama telentang dengan napas dan degup jantung yang berdetak
kencang, tubuh telanjangku dijepit kedua tubuh telanjang mereka.
“Gila, kamu memang hebat bisa melayani kami berdua tanpa kewalahan”
kata Raymon memecah keheningan. Aku diam saja, napasku belum normal dan
vaginaku masih terasa berdenyut panas karena gesekan kondom.
“Pantesan kamu suka main bertiga seperti ini, ternyata mengasyikkan, tak kalah dengan main sama 2 wanita” Edward menimpali.
“Ternyata apa yang selama ini kudengar bukanlah isapan jempol belaka, bahkan melebihi apa yang kubayangkan” lanjut Raymon.
“Nggak salah kan pilihanku” timpal Edward.
“Sepertinya 2 orang nggak berat, mungkin perlu tambah orang lagi nih” ledek Raymon lagi.
“Kalian edan, 2 aja udah ngos ngosan, nih vaginaku masih panas” potongku.
“Tapi mau kan?” desak Raymon.
Entah karena masih terbawa suasana yang begitu liar atau karena aku
memang ingin mencoba “Something new” atau perlu petualangan baru yang
nggak umum atau memang aku menikmati dikeroyok rame rame seperti ini
setelah selama ini selalu menjadi pihak yang mengeroyok, atau juga
karena tingginya sensasi yang kudapatkan saat penis penis yang berbeda
bergantian mengisi vaginaku, sebenarnya aku nggak menolak kalau tambah
seorang lagi, tapi tentu saja aku malu mengatakannya. Tanpa menjawab
kutinggalkan mereka ke kamar mandi, membersihkan tubuhku dari sisa
sperma yang belepotan hampir di sekujur tubuhku.
“Apa itu berarti iya?” desak Raymon melihat aku diam meninggalkan mereka.
“Tau ah” teriakku sambil menutup pintu kamar mandi.
Jam baru menunjukkan pukul 7.30 malam ketika aku keluar kamar mandi,
berarti sudah hampir 2 jam aku menemani mereka termasuk permainan
bertiga hampir 45 menit.
“Ly, kalau kamu mau, kita habikan malam ini disini dengan satu orang
lagi, biar kamu ngerasain dikeroyok 3 orang sekaligus” kata Raymon yang
memang bicaranya ceplas ceplos tanpa risih.
“Kalian kalian ini memang sakit kali, terlalu sering nonton film porno” jawabku ketus.
“Udah nggak usah komentar, mau apa nggak, jawab aja simpel kan” desaknya.
Kali ini aku benar benar terpojok, dilain pihak aku tertarik juga
melakukannya tapi sisi lain aku harus menjaga image bahwa aku ini
hypersex, mengenai uang kalau lagi senang seperti ini apalagi dengan
pengalaman baru bukanlah menjad pertimbangan utama, yang penting enjoy,
meskipun aku sangat yakin mereka akan membayarku sesuai tarifku.
“Mau apa enggak?” desaknya, Edward hanya diam saja melihat temannya mendesakku. Aku hanya diam saja tak menjawab.
“Oke aku anggap mau, aku akan kontak si Leo” katanya sambil berdiri mengambil HP yang ada di celananya.
“Leo? si ambon itu ceking itu?” komentar Edward terheran, sepertinya
dia nggak rela berbagi gadis dengan yang namanya Lea si Ambon.
“Bukan Ambon tapi Irian, kelihatannya aja ceking tapi dia berisi dan
dia itu kuda jantan di atas ranjang, jangan remehkan” koreksi Raymon
sambil menekan nomor di HP-nya
Edward memandangku tajam seolah meminta pertimbangan, tapi kualihkan
pandanganku ke tempat lain, aku tak peduli siapa orang ketiga itu, aku
sudah begitu bergairah setelah permainan bertiga tadi, tambah satu orang
lagi rasanya masih bisa mengatasi.
“Sialan nggak diangkat, kita makan aja dulu, udah lapar nih” usul Raymon.
“Ya udah pesan aja dari Room Service” kata Edward.
“Nggak ah, kita keluar saja sekalian beli kondom, udah habis nih stok” kata Raymon lagi.
Kulirik sisa sisa kondom yang masih berserakan di lantai, kuhitung
ada 5, entah kapan mereka mengganti kondom kondom itu, tak kuperhatikan.
Kami segera berpakaian, bersiap untuk keluar tapi Raymon tidak
mengijinkan aku memakai bra padahal kaos yang kukenakan press body dan
tipis, pasti putingku akan tampak menonjol dan membayang dari luar.
“Biarin aja orang orang lihat, toh hanya melihat tapi aku sudah menikmatinya” komentar Raymon.
Dengan menggunakan mobil Raymon, BMW seri 7, kami menuju TP. Raymon
memilih tempat yang terbuka dan ramai, seafood di TP2 atas (namanya udah
lupa).
“Kalau bertiga gini orang kan nggak curiga kalau kita lagi selingkuh,
paling dikira teman” komentarnya atas kenekatan show of force-nya.
Kupikir ada benarnya juga apa kata Raymon, mana orang menyangka kalau
kedua laki laki ini barusan menyetubuhiku berame rame, pasti tak ada
yang menyangka sejauh itu.
Selesai makan Edward mengajak kami ke Matahari, ternyata kedua laki
laki itu memilihkan aku pakaian dalam yang sesuai dengan selera fantasy
mereka. Setiap kali aku mencoba pakaian dalam atau lingerie yang mereka
pilihkan, mereka selalu melihat atau bahkan mengikutiku masuk ke Fitting
Room. Praktis selama mereka memilihkan bergantian aku hanya menunggu di
dalam Fitting Room, telanjang, dari pada buka tutup, kan capek.
Akhirnya kudapatkan 5 pasang bra dan panties yang semuanya serba mini
dan berwarna mencolok ditambah 3 pakaian tidur sutra yang sexy, aku
nggak tahu kenapa mereka membelikan semua itu, toh kalaupun dipakai
paling tak lebih dari 15 menit sudah terlepas kembali. Sebelum keluar
dari Fitting Room, Edward memberikan kaos ketat dan rok mini.
“Pake untuk sekarang, lepas celana dalammu” bisiknya, akhirnya
kupakai juga kaos kuning tak berlengan dengan belahan dada rendah yang
aku yakin buah dadaku terlihat jelas bila membungkuk, dipadu dengan rok
mini setinggi lebih sejengkal dari lutut.
Edward mengajak ke Station, diskotik yang terletak di lantai atas TP,
tapi jam masih menunjukkan 21.15, mana buka diskotik jam segitu.
“Ya udah kita kembali ke hotel aja, toh lebih baik kita habiskan
waktu di kamar” usulku, perasaan horny kembali menyelimutiku, mungkin
pengaruh pakaian ketat tanpa pakaian dalam membuatku begitu terangsang
dengan sendirinya, ingin segera menikmati dua penis bergantian atau tiga
penis, membayangkan saja vaginaku sudah basah dengan sendirinya.
Sesampai di lobby hotel ternyata mereka tidak mau langsung ke kamar,
tapi justru ingin nongkrong di lobby lounge yang nyaman itu sambil
dengerin musik, aku meskipun sudah begitu bergairah terpaksa mengikuti
saja. Aku meskipun menyukai pakaian ketat tanpa pakaian dalam ini,
merasa kurang nyaman duduk di lobby seperti itu, salah duduk bisa bisa
vaginaku terlihat dari kejauhan, disamping itu ini adalah hotel dimana
paling banyak kuhabiskan waktu waktu malam bersama tamu tamuku, boleh
dibilang inilah rumah kedua bagiku.
Sambil menemani mereka berdua aku berharap tidak ada orang yang
melihatku meskipun tampaknya mustahil karena tempat duduk kami berada di
tengah. Kami bertiga menikmati alunan musik live yang berkumandang,
kusapukan pandanganku ke arah lobby, sekedar meyakinkan bahwa tak ada
yang kukenal, beruntunglah hanya wajah wajah asing yang kulihat. Para
tamu asik berbicara dengan rekan di sebelah atau dihadapannya seolah tak
memperhatikan alunan musik yang mengalun indah, mungkin pembicaraan
bisnis.
Tiba tiba pandanganku terpaku pada salah seorang yang sedang duduk
berdua di bawah pohon besar di tengah lobby, aku mengenalnya, dia Pak
Pram, salah satu orang kepercayaan cendana, lebih 3 kali aku menemaninya
bahkan sekali kami “Berbulan madu” di Bali selaa 2 malam saat dia ada
Turnament Golf. Pak Pram tersenyum ke arahku pertanda dia melihat
kehadiranku, akupun tersenyum dengan sembunyi sembunyi takut ketahuan
Edward maupun Reymon. Sepertinya tahu kalau aku sedang menemani tamu
makanya dia tidak menghampiriku, tapi memberi isyarat supaya untuk
bicara. Sehabis memberi isyarat dia langsung berjalan melintasi tempatku
duduk, aku permisi ke toilet sebentar, Edward dan Raymon langsung
mengajak ke kamar tapi dengan alasan aku masih ingin menikmati musik
lagi kuminta mereka menunggu sebentar. Pak Pram sudah menunggu di depan
Lift.
“Malam Bapak, tumben ke surabaya nggak kontak kontak” sapaku.
“Kontak apaan, HP kamu mati sedari sore tadi” jawabnya.
“Lagi ada orderan nih” godanya, aku hanya tersenyum.
“Temanin aku ke atas sebentar yuk, aku ada hadiah untuk kamu”
ajaknya, dengan halus aku menolak, nggak mungkin meninggalkan tamuku
terlalu lama.
“Please.. sebentar saja” pintanya memelas, aku nggak enak kalau harus
bersitegang di depan lift, ntar dilihat orang, akhirnya aku mengalah.
“Tapi nggak macam macam kan?”
“Janji deh.. paling cuma satu macam”. Akhirnya aku naik mengikutinya ke lantai 16.
“Aku paling nggak bisa pegang janji kalo sama gadis secantik kamu”
katanya setelah menutup pintu kamar, dia langsung memelukku dari
belakang, diremasnya kedua buah dadaku. Pak Pram tampak kaget saat tahu
aku tak memakai bra.
“Aku kangen lho sejak kita dari Bali, sayang harus berpisah di Ngurah
Rai, padahal aku masih ingin melanjutkan lagi di Surabaya, gara gara
big boss yang memanggil mendadak” bisiknya sambil mencium telingaku,
remasannya tak berhenti, bahkan menyusupkan tangannya dibalik kaos
ketatku.
“Pak aku sedang ditunggu di bawah, tadi pamit cuma ke toilet, besok
aja aku temanin Bapak, janji deh” kataku sambil menggeliat geli.
“Kita quickie aja sayang” bisiknya, dia selalu memanggilku sayang, seperti memanggil putrinya yang seusiaku.
Aku segera berbalik menghadapnya, kucium bibirnya dan dia membalas
lumatan bibirku, sambil tetap berciuman kukeluarkan kejantanannya dari
lubang resliting, sudah tegang. Segera aku berjongkok di depannya,
kujilati sejenak lalu kumasukkan ke mulutku, hanya semenit aku
mengulumnya. Kutuntun Pak Pram ke arah meja kerja, aku duduk di atasnya,
saat kusingkap rok miniku, terlihat expresi terkejut di wajahnya saat
tahu aku sudah tidak memakai celana dalam, tanpa memberinya kesempatan
bertanya lebih lanjut kusapukan penisnya ke bibir vaginaku yang sudah
basah sedari tadi.
Pak Pram melapas kaosku lalu melesakkan penisnya ke dalam dan
mengocok langsung dengan tempo tinggi, desahan kenikmatan keluar dari
mulutnya, akupun ikutan mendesah, sedikit terlampiaskan gairah yang
terpendam sedari tadi meskipun tidaklah senikmat dikala bermain bertiga
nanti. Hanya semenit kami sudah berganti posisi, aku berdiri telungkup
di atas meja menerima sodokan Pak Pram dari belakang, kugoyang goyangkan
pantatku mengimbanginya, aku hanya berharap dia segera menuntaskan
nafsu birahinya secepat mungkin, nggak enak meninggalkan Edward dan
Raymon dibawah, ntar mereka curiga.
Dan beberapa menit kemudian, kurasakan penisnya membesar diiringi
semprotan sperma yang hangat membasahi vaginaku, tubuh Pak Pram menegang
mencengkeram erat pantatku. Akhirnya dia menarik keluar dan mengusap
usapkan sisa spermanya pada pantatku. Aku berbalik dan jongkok di
depannya, kukulum penisnya yang masih banyak spermanya, dia melotot
melihat kenakalanku tapi tak mencegahnya, justru malah mengusap usapkan
ke wajahku. Aku berdiri merapikan rok-ku, mengenakan kembali kaosku,
lalu mencuci vagina dan wajahku dari sperma Pak Pram.
“Lain kali kamu seperti ini saja kalo ketemu, besok aku hubungi” kata
Pak Pram sambil memberikan beberapa lembar ratusan dollar, kita keluar
kamar bersamaan tapi turun dengan lift yang berbeda.
Hampir 12 menit aku meninggalkan Edward dan Raymon, ternyata mereka
ketemu 2 temannya, berempat mengelilingi meja kami, aku diperkenalkan
sama mereka, tak ada yang bernama Leo, berarti bukan salah satu dari
mereka. Aku minta maaf karena terlalu lama meninggalkannya, semoga
mereka tidak curiga saat kubilang sakit perut mendadak.
“Mungkin kebanyakan nelan sperma dan bereaksi dengan kerang rebus tadi” bisik Raymon, tenanglah hatiku berarti dia tidak curiga.
Lima belas menit kami melanjutkan di lobby, aku masih tak tahu apakah
salah satu atau kedua temannya itu ikut bersama kami. Ternyata tidak
satupun yang ikut, mereka berpisah sedangkan aku, Edward dan Raymon
kembali ke kamar, berarti malam ini kita melanjutkan permainan bertiga
alias 2 in 1, tak ada 3 in 1.
Malam sudah semakin larut, sudah melewati pukul 11 malam, lobby hotel
mulai sepi. Bertiga kami masuk Lift, begitu pintu lift tertutup, Raymon
menarik tubuhku dalam pelukannya, diciuminya bibirku sambil meremas
remas buah dada. Edward tak mau ketinggalan, dia menyingkap rok-ku dan
mempermainkan klitorisku, aku mendesah di dalam lift. Meskipun sudah
terbakar nafsu, aku masih bisa berpikir normal, kutolak ketika Edward
hendak menyetubuhiku di lift, terlalu beresiko apabila tiba tiba lift
berhenti dan ada orang masuk. Mereka berdua tertawa terbahak.
Namun begitu, sepanjang perjalanan di lift, tangan kedua laki laki
itu tak berhanti menjamah dan menyusuri tubuhku, mulai dari tangannya
yang menyusup masuk di balik kaos hingga menyusup di balik rok dan
meremas buah dada maupun pantatku yang tanpa menutup lagi. Ternyata
rangsangan bercampur ketegangan membuat birahiku sempat turun setelah
melayani Pak Pram, bangkit kembali dengan cepatnya, akupun mendesis
pelan dalam lift.
Beruntung pintu Lift tidak terbuka hingga lantai 8, kamipun bergegas
menuju kamar. Aku heran saat mereka menekan bel pintu, bukannya langsung
membukanya dengan kunci yang ada. Keherananku segera terjawab ketika
pintu terbuka dan muncullah seorang laki laki hitam manis dari balik
pintu.
“Inikah yang namanya Leo?” pikirku.
“Ly kenalin, ini Edo, karena Leo tidak ada kebetulan yang muncul dia,
ya rejeki dia lah” kata Raymon setelah kami semua di dalam, rupanya si
Edo sedang mandi.
“Sorry tadi nggak sempat ketemu soalnya aku baru dari Malang, jadi
mandi dulu tapi kalian keburu naik” katanya, sepintas kulihat Edo
seperti orang Ambon atau Irian meskipun tidak terlalu hitam tapi
dibandingkan dengan kedua chinese itu dia tampak sekali bedanya.
Cengkeraman tangannya begitu kuat saat menjabat tanganku, pertanda
dia bukan orang kantoran. Dengan santai dan hanya mengenakan handuk
membalut pinggangnya, Edo menemani kami ngobrol di sofa, obrolan mereka
justru seputar permainan kami tadi siang dan membandingkan dengan
pengalaman mereka sebelumnya. Terbersit sedikit kebanggaan saat mereka
memuji bagaimana aku melayaninya dan mereka puas. Baru sekarang kutahu
kalau mereka sendiri belum pernah main berempat seperti ini, berarti
sama sama pengalaman pertama, terutama bagi Edward, baru bermain rame
rame langsung main berempat, tentu saja dia sangat exiting.
Selama kami ngobrol, aku duduk antara Edward dan Raymon, tangan
keduanya tak beranjak dari tubuhku, baik di punggung maupun paha, Edo
hanya melihat sambil tersenyum. Tak lebih 10 menit kami ngobrol, tangan
Edward dan Raymon bersamaan menyelinap masuk dibalik kaosku dan berbagi
buah dada, mereka berpandangan lalu tersenyum, bersamaan pula mereka
mencium pipi kanan dan kiriku, menyusur turun ke leher sambil masih
meremas remas buah dada, aku mendesah desah diperlakukan seperti ini,
apalagi didepan Edo yang kelihatan begitu cool melihat temannya sudah
mulai.
“Lepas kaosnya dong” teriak Edo tanpa beranjak dari duduknya, kulihat tangannya sudah berada dibalik handuknya.
Tanpa diminta dua kali, Edward menarik lepas kaosku, bersamaan mereka
langsung mengulum putingku yang sudah menantang, Edo memuji keindahan
payudaraku sebelum kedua laki laki di sebelahku mengulumnya. Tangan
Edward sudah mulai menjamah selangkanganku, aku semakin mendesah, kuraih
kejantanan mereka, ternyata sudah keluar dari celananya. Dua penis
berbeda bentuk dan ukuran berada dalam genggamanku, kukocok dan kuremas,
mereka mulai ikutan mendesah. Raymon mendahului berlutut di antara
kakiku, disingkapnya rok-ku, aku mendorongnya menjauh, khawatir masih
tersisa aroma sperma Pak Pram, tapi dia tak mempedulikan penolakanku,
kubiarkan saja ketika lidahnya mulai menyusuri pahaku, justru kakiku
kubuka semakin lebar.
Aku mendesah atau lebih tepatnya menjerit nikmat ketika lidah Raymon
mulai menyentuh klitoris dan bibir vaginaku, sementara Edward masih
menempelkan mulutnya pada puting, dua lidah bermain dengan lincahnya di
kedua titik sensitif tubuhku, desahan demi desahan keluar dari mulutku
tanpa terkendali. Kuremas remas kepala Raymon yang berada di
selangkangan dan kutekankan lebih dalam sambil mengocok penis Edward.
“Ugh.. ss.. copot dong pakaiannya” pintaku sambil mendesah.
Kedua laki laki itu berdiri melepaskan diriku dari cumbuannya,
melihat kekosongan ini, Edo berdiri menghampiriku, dilemparnya handuk
penutup tubuhnya, tampaklah tubuhnya yang cukup atletis dengan penis
yang menegang, sama besar dengan punya Raymon, dia langsung
menyodorkannya ke mukaku. Dengan tersenyum kuraih penisnya, kukocok
sejenak sambil menatapnya, dia tersenyum. Aku mulai menciumi penis Edo,
menjilatinya sekujur batang hingga ke kantong bola, cairan bening
meleleh dari kepala penisnya, terasa asin tapi tak kupedulikan. Penis
itu segera memasuki mulutku ketika Edward kembali duduk di sampingku,
Raymon berdiri di samping Edo menunggu giliran, ternyata Edward
mengikutinya, akupun menyesuaikan posisiku, jongkok di depan ketiga laki
laki telanjang yang 2 diantaranya baru kukenal bebarapa jam yang lalu.
Tiga penis yang tegang sudah berada di mukaku, kulumanku pada Edo
berhenti lalu berganti ke Raymon kemudian dilanjutkan ke Edward, dua
penis kukocok dengan tangan dan satu dengan mulut, bergantian penis
penis itu memasuki dan mengocok mulutku. Aku begitu bergairah dan
semakin terbakar nafsu, sering kali sengaja kudekatkan ke mulut dan
ketiganya bersentuhan satu sama lain seakan berebut memasuki rongga
mulut yang hanya cukup untuk satu penis. Sebentar saja mulutku terasa
pegal mengulum seperti itu terus menerus meskipun sebenarnya aku ingin
lebih lama lagi bermain oral dengan mereka.
Kutinggalkan mereka yang sedang mendesah nikmat, aku telentang di
atas ranjang menanti cumbuan ketiga laki laki itu secara bersamaan.
Tanpa dikomando lagi, ketiga laki laki itu mengerubungi tubuhku, Raymon
dan Edo di kedua putingku sedangkan Edward pada vagina.
Inilah sensasi terbaru bagiku, belum pernah aku alami sebelumnya
bahkan membayangkan saja tidak berani, hanya ada di film porno yang
sering aku lihat, tiga laki laki bersamaan memainkan mulutnya pada tiga
titik sensitif, tiga lidah menari nari dengan bebasnya dan tiga pasang
tangan menggerayang sekujur tubuhku, aku mendesah dengan kerasnya
merasakan sensasi dan kenikmatan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya,
sungguh sensasi yang jauh melebihi anganku.
Aku tak tahu harus bagaimana, akal sehatku sudah terbenam jauh
tertutup naluri hewani yang meledak ledak. Bak seorang putri yang sedang
dilayani para budaknya, aku benar benar terbius dan melayang tinggi
dalam belaian para budak budak nafsu yang sedang melampiaskan hasrat
naluri hewannya.
Mereka berganti posisi dengan melakukan rotasi, dari ketiga laki laki
itu, ternyata Edo yang paling pintar mempermainkan lidahnya di
vaginaku, dia tahu bagaimana dan dimana melakukan jilatan, kapan saat
menyedot dan bilamana perlu sedikit gigitan lembut, apalagi dia
melakukan kuluman hingga jari jari kakiku, aku benar benar terbuai dalam
ayunan nafsu birahi.
“Kasih Edo kesempatan berdua dulu, biar dia bisa menikmatinya sebelum
kita keroyok” seperti sudah menjadi “Kode etik”, masing masing diberi
kesempatan berdua dulu sebelum memulai permainan.
“Satu babak atau paling lama 10 menit” kata Raymon sebelum
meninggalkan aku dan Edo berdua di ranjang, Edward mengikutinya duduk di
sofa melihat kami bercinta di atas ranjang.
“Thank you” kata Edo sambil memintaku ber-69, aku di atas.
Ketika kami sedang asik saling menjilat dan mengulum, ternyata Edward
dan Raymon sudah berada didepanku, menyodorkan penis mereka. Kembali
tiga penis berada di depanku, dan untuk kesekian kalinya mulutku
mendapat kocokan tiga penis bergantian.
“It’s my time guys” kata Edo beberapa saat kemudian sambil memintaku turun dari tubuhnya.
Edo segera mengusap penisnya pada vaginaku yang sudah banjir, aku
yang telantang pasrah membuka lebar kakiku dengan lutut ditekuk ke atas,
dia menatapku tajam ketika mulai mendorong masuk menguak celah vagina,
aku mendesis merasakan penis keenam yang mengisi vaginaku hari ini,
sungguh terasa besar setelah kurasakan penis Pak Pram barusan, penuh
rasanya. Dia mencium bibirku yang menengadah mendesah nikmat, dilumatnya
bibirku dengan lembut saat dia mulai mengocok pelan, desah kenikmatan
tertahan.
“Pake ini dulu” potong Raymon yang sudah berdiri disamping kami sambil menyodorkan kondom yang sudah dibuka.
“Aku bawa sendiri” katanya sambil meminta Edward mengambilnya dari
travel bag-nya. Ternyata kondom dia berbeda, berwarna merah menyala
dengan kepala anjing di ujungnya, rambut rambut halus menempel di
pangkal, terlihat unik.
“Tuh aku bawa banyak kemarin dari Singapore, macam macam terserah
kalian pilih aja yang kamu suka” katanya seraya menyapukan dan
memasukkan kembali penisnya ke vaginaku, aku mendelik dan melotot
kearahnya, terasa sekali perbedaan dengan sebelumnya, jauh lebih nikmat,
dan saat penisnya masuk semua kedalam, “Kepala anjing” serasa
menggelitik rahimku.
Aku menjerit keras menikmati kocokannya, dan jeritanku bertambah
keras saat rambut rambut halus itu menggesek gesek klitorisku, sungguh
nikmat rasanya. Lima menit sudah aku terbakar dalam nikmatnya permainan
Edo, Edward dan Raymon mendekat dari sisi yang berbeda seakan hendak
melihat expresi wajahku yang sedang terbakar nikmat. Melihat mereka
begitu menikmati permainan kami, aku semakin bergairah menggoyangkan
pantatku mengimbangi kocokannya.
Sambil mengocok sendiri penisnya, Edward memegangi kakiku tinggi
diikuti Raymon hingga kakiku terbuka lebar lurus membentuk huruv “V”
dengan Edo di tengah huruf itu, penis Edo semakin dalam mengisi
vaginaku, desahan liar semakin terdengar liar. Ingin kugapai kedua penis
mereka untuk pegangan tapi terlalu jauh tak tergapai tangan, bahkan
mereka tidak mau memberikannya seakan membiarkan aku sendirian
menggeliat bak cacing kepanasan terbakar birahi.
Edward dan Raymon masih membiarkan sobatnya menikmatiku sendirian
saat kami berganti ke posisi dogie, penis Edo semakin dalam mengaduk
aduk vaginaku. Berulang kali kuminta Raymon dan Edward mendekat tapi
Raymon selalu mencegah ketika Edward hendak berdiri, dia sungguh
menikmati pemandangan indah di atas ranjang. Lima belas menit telah
berlalu namun tak satupun dari 2 laki laki itu mendekat, mereka justru
membiarkan sobatnya makin lama menikmati kehangatan tubuhku sendirian.
“Ternyata apa yang kudengar salama ini memang bukan isapan jempol belaka” kata Edo sambil mengocokku semakin keras.
“Emang dengar apa” tanyaku disela desahan.
“Berisik” jawabnya sambil menghentakku keras.
Tubuhku nungging dengan dada menempel di ranjang, Edward mendekat ke
Edo di belakang, aku tak memperhatikan apa yang mereka lakukan, tiba
tiba Edo menarik keluar penisnya, sejenak vaginaku “Kosong”, mungkin
mereka bergantian. Namun aku segera menjerit kaget ketika sebuah penis
melesak kembali dengan cepat dan rasa yang berbeda, tak mungkin punya
Edward karena masih terasa penuh, aku menoleh ternyata masih Edo yang
menyetubuhiku, rupanya dia minta Edward mengambil kondom jenis lain dan
begitu terpasang yang baru langsung menggenjotku.
Gelitik nikmat lain kembali kurasakan, pasti jenis kondom yang
berbeda, aku tak tahu bentuknya tapi tak kalah nikmat dengan sebelumnya,
membuat desahanku semakin lancar mengalir. Disetubuhi Edo dengan 2 laki
laki lain yang menonton menunggu giliran membawaku lebih cepat ke
puncak kenikmatan, dan tak bisa dibendung lagi ketika doronan emosi yang
begitu kuat meledak dari dalam, menimbulkan suatu sensasi kenikmatat
yang tinggi, tubuhku menegang, otot vaginaku berdenyut hebat, sehebat
dorongan roket yang melesat hingga akupun menjerit dalam nikmat orgasme
yang tinggi. Sejenak Edo menghentikan gerakannya tapi aku justru
menggoyangkan pantatku dan minta dia tetap mengocokku disaat dilanda
orgasme.
Tubuhku mulai melemas seiring dengan hilangnya denyutan di vaginaku,
lututku terasa ngilu, namun kocokan nikmat dari Edo membuatku terlupa
akan rasa capek dan lemas karena orgasme. Perlahan gairah birahiku mulai
naik kembali terbawa arus permainan dari Edo.
Mungkin sudah 25 menit berlalu saat Edward yang kelihatan sudah tak
bisa lagi menahan nafsunya mengambil posisi di depanku. Kakinya dibuka
lebar hingga kepalaku berada diantaranya, penisnya yang tegang terasa
sangat keras saat kupegang. Tanpa diminta, segera kumasukkan penis itu
ke mulutku, 2 kocokan sekaligus menerpaku, sensasi dan gairahku semakin
bertambah, pesta sudah dimulai, sebentar Raymon pasti menyusul, entah
apa yang akan dia lakukan padaku mengingat kedua lubangku sudah terisi.
Dugaanku tepat, Raymon menyusul naik ke ranjang, sejenak dia hanya
mengelus elus punggung dan meremas remas buah dadaku yang berayun ayun,
sambil masih meremas remas, disodorkannya penisnya, dua penis berada di
depan mulut sementara satu lainnya masih dengan kerasnya menyodok nyodok
dari belakang. Meskipun kocokan Edo cukup keras, aku berusaha mengatur
irama permainanku sendiri pada kedua penis di mulut walaupun sesekali
terpental keluar saat dari belakang menghentak.
Aku benar benar kewalahan melayani mereka bertiga sekaligus, 2 penis
berebut masuk ke mulut bergantian sementara di vagina seperti tak mau
kalah perhatian, agak susah juga membagi konsentrasi diantara mereka.
Raymon menggeser ke samping Edo, rupanya dia minta giliran, agak lama
juga dia menunggu sebelum Edo “Memberikan” vaginaku padanya, tak ada
perbedaan yang berarti antara penis Edo dan Raymon, hanya gelitik geli
di vagina saat penis itu melesak masuk, mungkin karena pengaruh kondom.
Edo duduk disamping Edward yang masih asik menerima kulumanku,
dilepasnya kondom dari penisnya dan menyapukan ke wajahku, segera aku
berganti mengulum penis Edo yang basah, tercium aroma sperma meski aku
tak merasakannya saat dia orgasme, mungkin hanya keluar tapi belum
orgasme.
Kembali aku menerima sodokan keras dari belakang dan 2 penis di
mulut, semuanya mengocokku dengan iramanya sendiri sendiri, aku
kewalahan mengikuti irama permainan yang berbeda beda, tapi justru
membuat permainan semakin menggairahkan. Tidak seperti Edo yang cool
cenderung pendiam saat menyetubuhiku, Raymon banyak mendesah bersahutan
dengan desahanku apalagi ditimpali desah Edward, terjadi simponi indah
beriramakan nafsu birahi.
Sepuluh menit Raymon menyetubuhiku dari belakang, dia membalik
tubuhku hingga telentang. Setelah mengganti dengan kondom yang baru,
dilesakkannya penisnya dengan sekali dorong, gelitik lain kembali
kurasakan, kali ini lebih geli dan nikmat, apalagi sepetinya ada bagian
yang menggesek keras klitorisku dan sepertinya lebih dalam menjangkau
relung relung vaginaku. Aku tak sempat melihat apa yang menggesek
klitorisku karena 2 penis sudah dipukul pukulkan ke wajahku. Kubuka
mulutku lebar terserah siapa dulu yang mau memasukkan penisnya. Kalau
sebelumnya aku yang mengatur penis yang memasuki mulutku, kali ini
kubiarkan mereka mengatur sendiri.
Rupanya Edo yang lebih berpengalaman segera mengambil inisiatif, dia
naik ke atas kepalaku setelah mengganjal dengan bantal, dimasukkannya
penis gedenya memenuhi mulut dan mengocoknya. Kini aku benar benar
mendapat dua kocokan atas bawah tanpa bisa berbuat apa apa karena
tubuhku tergencet mereka. Kocokan di mulut tak kalah liarnya dengan di
vagina, hampir aku tak bisa bernapas, meskipun begitu aku masih teringat
untuk meremas dan mengocok penis Edward yang masih dalam genggamanku.
“Aku mau keluar” teriak Edward, mungkin sensasinya terlalu tinggi
hingga dia tak bisa menahan lebih lama lagi melihat aku disetubuhi 2
laki laki sekaligus dengan 1 cadangan menunggu giliran.
“Di mulut aja” jawab Raymon tak mau memberikan giliran kenikmatan padanya.
Edo menyingkir dari atas dadaku, Edward segera menggantikan penis Edo
pada mulutku, hanya beberapa kocokan pada mulut dia sudah menyemprotkan
spermanya, memenuhi mulutku, terasa gurih dan keras aromanya. Dengan
posisi seperti ini aku tak bisa mengelak kecuali hanya menelan semua
sperma yang sudah memenuhi mulutku.
Edward segera turun dan Edo kembali mengambil alih rongga mulut dan
memasukkan kembali penisnya, Raymon seperti tak peduli apa yang sedang
terjadi di atas, mengetahui temannya menyemprotkan sperma di mulutku,
dia malah semakin bergairah dan mengocokku makin cepat.
“Do, tukar” perintah Raymon pada sahabatnya itu.
Edo yang mendapat giliran kembali bersiap menikmati hangat vaginaku,
tapi dia tidak mau melanjutkan gaya permainan Raymon, tapi memintaku
pada posisi di atas. Kupasang kondom ke penis Edo dengan mulutku seperti
yang kulakukan pada Raymon tadi, entah kondom yang keberapa yang dia
pakai, bentuknya lain pula dengan sebelumnya, dia mengagumi kemahiranku
itu.
Edo langsung meremas remas kedua buah dadaku ketika aku sudah
berhasil memasukkan penis dan duduk di atasnya. Raymon tidak langsung
bergabung tapi dia ke kemar mandi dulu, entah ngapain, sedangkan Edward
masih duduk di sofa mengamati kami bercinta. Beberapa saat lamanya Edo
kembali menyetubuhiku sendirian tanpa “Gangguan” teman temannya.
Aku yang sudah benar benar lupa diri dan begitu bergairah bergerak
liar di atasnya, antara naik turun dan berputar pantat mengocok penis
Edo, vaginaku serasa semakin di aduk aduk dan semakin nikmat, apalagi
penggeli pada kondom bekerja dengan semestinya membuatku melayang tinggi
ke awan. Kuluman Edo pada buah dadaku tak kuperhatikan lagi, puncak
kenikmatan sudah didepan mata dan sebentar lagi kuraih. Orgasme kedua
bakal kugapai, gerakanku semakin cepat tak beraturan, Edo hanya diam
saja menikmati kebinalanku, desah kenikmatan menimbulkan gairah
tersendiri baginya.
Raymon naik dan berdiri di atas ranjang, menyodorkan penisnya ke
mulutku dan untuk kesekian kalinya penis itu mengisi dan mengocok
mulutku. Puncak kenikmatanku semakin bertambah dekat dan meledaklah
jeritan kenikmatan yang tiada henti. Kali ini tak kukeluarkan penis
Raymon dari mulutku dikala orgasme, aku yakin bisa mengendalikan diri
hingga tak sampai menggigit penisnya, tapi aku tak sanggup melakukannya,
terlalu sayang kalau expresi kenikmatan orgasme ditahan hanya karena
ada penis di mulut. Kukeluarkan juga akhirnya penis Raymon hingga
jeritanku semakin menjadi jadi.
Sendi sendiku serasa mau copot, rasa capek yang hebat tiba tiba
melanda namun kembali kocokan Edo membuatku segera melayang, perlahan
tapi pasti. Dua kali sudah aku mendapat orgasme dari Edo tapi aku tak
tahu apakah dia sudah orgasme atau belum, sungguh konyol tidak
memperhatikan laki laki yang telah memberi 2 kali kenikmatan.
Konsetrasiku terlalu terpecah pada 2 laki laki lainnya hingga terkadang
tak kurasakan denyutan denyutan kecil darinya.
Edo menarik tubuhku dalam dekapannya, dengan posisi seperti ini
Raymon praktis tak bisa mendapatkan bagian, hanya elusan di punggung dan
belaian di rambut yang bisa dia perbuat. Dikocoknya vaginaku dari bawah
dengan cepatnya, kulumat bibir Edo meskipun beberapa kali dia
menghindar, mungkin aroma sperma Edward masih tercium dari nafasku tapi
akhirnya dia membalas juga lumatan bibirku itu. Tak lebih 5 menit dari
orgasme keduaku, Edo mengejang sambil berteriak nyaring seiring denyutan
kuat melanda vaginaku, akupun ikutan menjerit terkaget merasakan
kuatnya denyutan itu, didekapnya tubuhku erat erat sambil wajahnya
menatapku, hidung kami bersentuhan, napas kami sama sama menderu berat.
Kami berdiam sesaat menikmati indahnya orgasme, namun Raymon tak mau
membiarkan suasana terlalu romantis. Dia duduk disamping kami,
ditariknya tubuhku dalam pangkuannya, sebelum aku sempat memasukkan
penisnya, Edward memintanya, mengingat Edward belum mendapat giliran di
vagina, dengan tersenyum Raymon mengalah, direlakannya vaginaku pada
temannya.
Kuturuti saja apa mau mereka, aku beranjak dari pangkuan Raymon ke pangkuan Edward, kucium dan kulumat bibirnya sambil menyapukan penisnya ke vaginaku dan amblas masuk kedalam dengan mudahnya, otot vaginaku belum berkontraksi sempurna setelah mendapat kocokan Edo, hingga penis Edward serasa berlari lari dalam vaginaku. Dalam keadaan seperti ini, kondom unik sangat banyak membantu menggelitik saraf saraf sensitif di vaginaku.
Kuturuti saja apa mau mereka, aku beranjak dari pangkuan Raymon ke pangkuan Edward, kucium dan kulumat bibirnya sambil menyapukan penisnya ke vaginaku dan amblas masuk kedalam dengan mudahnya, otot vaginaku belum berkontraksi sempurna setelah mendapat kocokan Edo, hingga penis Edward serasa berlari lari dalam vaginaku. Dalam keadaan seperti ini, kondom unik sangat banyak membantu menggelitik saraf saraf sensitif di vaginaku.
Kudorong tubuh Edward hingga dia telentang di antara kedua temannya,
sembari bergoyang pinggul, kukocok kedua penis lainnya, kini 3 penis
berada dalam kendaliku. Kubiarkan 4 tangan berebut menjamah kedua buah
dadaku, justru semakin menambah sensasi tersendiri. Aku menggeliat
nikmat ketika tangan tangan itu mempermainkan putingku, kutatap mata
mereka satu persatu, semua memancarkan sorot mata penuh nafsu namun
terlihat begitu tak berdaya dalam genggaman dan kendaliku seorang.
Dengan bebas aku menggerakkan tubuhku di atas Edward sambil membungkuk
ke kanan dan ke kiri begantian untuk mengulum kedua penis yang menunggu
giliran.
Edo duduk lalu mengulum putingku, diikuti Raymon melakukan hal yang
sama, aku menjerit nikmat yang tak terhingga mendapatkan perlakuan
seperti itu. Dua laki laki mengulum putingku bersamaan sementara satu
lainnya mengocokku, sungguh suatu kenikmatan yang sangat tinggi
kurasakan. Aku tak tahu lagi harus bagaimana, antara mengocok penis di
genggaman atau meremas rambut mereka, sungguh pengalaman yang tak
terduga. Jerit kenikmatanku membuat mereka semakin kuat menyedot kedua
putingku.
“Sshh.. gila.. kalian gilaa” teriakku meracu, dan goyangan pantatku
semakin tak karuan iramanya, tapi justru semakin menambah kenikmatan.
Dan benar saja, tak sampai 10 menit aku bergoyang di atas Edward, dia
sudah memuntahkan spermanya, denyutan pelan nyaris tak terperhatikan
olehku, namun teriakan dan remasan kuat pada paha menyadarkanku bahwa
dia sedang orgasme.
Aku segera turun dan kembali ke pangkuan Raymon, vaginaku kembali
terasa penuh sesak terisi penis Raymon yang lebih besar dari Edward.
Belum sempat aku menggerakkan tubuhku, Edo sudah berada di depan
menyodorkan penis hitamnya ke mulut. Bersamaan dengan masuknya penis itu
ke mulut, aku mulai bergoyang pantat diatas Raymon, 2 penis besar
mengocok kocok kedua lubangku. Edo memegangi kepalaku dan suka suka
menggerakkan penisnya pada mulutku. Beberapa menit berlalu dengan
kocokan atas bawah, Edward kembali bergabung, memeluk dan menciumi
tengkukku dari belakang sambil meremas remas buah dadaku, aku
menggelinjang geli dan nikmat yang tak terkira, goyanganku terbatasi
pelukan Edward, namun tak mengurangi gerakan pantatku pada Raymon.
Raymon praktis hanya berdiam menikmati kocokanku sekaligus menikmati
bagaimana aku melakukan oral pada Edo. Begitu aku terbebas dari Edo dan
Edward, segera tubuhku mengocok Raymon dengan gerakan liar, geliat penuh
nafsu tak bisa dihindari. Tubuhku condong kebelakang bertumpu pada kaki
Raymon ketika secara bersamaan Edo dan Edward mengulum kedua putingku,
aku menjerit histeris dalam nikmat birahi yang tak terkatakan. Dan
beberapa menit kemudian pertahananku pun bobol, dengan mencengkeram
kedua kepala yang ada di dada, aku menjerit keras, sekeras denyutan pada
vaginaku. Mereka tak menghentikan gerakannya, malah justru semakin
menjadi jadi saat melihat aku tengah dilanda orgasm hebat.
Baru terasa kelelahan yang teramat sangat, rasa ngilu disekujur
tubuhku, 3 orgasme berturut turut dalam sekali permainan, tapi ketiga
laki laki itu masih juga belum beranjak dari tubuhku, bahkan semakin
gila menyetubuhi dan mencumbu sekujur tubuhku.
Tetes demi tetes keringat sudah membasahi tubuh kami berempat tapi
tak ada tanda tanda permainan berakhir, dan ketika Raymon mendapatkan
orgasmenya, Edo langsung menggantikan posisinya tanpa memberiku
istirahat, aku benar benar ter-exploitasi dalam permainan sex yang tiada
akhir, namun aku begitu menikmatinya, terutama saat pergantian antara
satu penis dengan penis lainnya, terasa sekali perbedaan sensasi yang
kurasa.
Edward bersiap menyetubuhiku kembali saat Edo mencapai puncak, begitu
seterusnya selalu bergantian menyetubuhiku setelah satu selesai, entah
kapan permainan ini berakhir, antara kelelahan dan kenikmatan selalu
datang susul menyusul, tak terhitung sudah berapa kali aku orgasme dan
tak kuhitung pula berapa kali mereka masing masing orgasme, semua
memoriku jadi error tersapu gelombang kenikmatan yang datang bertubi
tubi. Ini permainan tanpa akhir, endless game.
Namun manusia ada batasannya meskipun emosi selalu mengalahkan logika pada saat seperti ini.
Akhirnya aku menyerah terkapar tak berdaya di tangan ketiga laki laki itu, benar benar habis, bahkan untuk ke kamar mandipun rasanya begitu berat.
Akhirnya aku menyerah terkapar tak berdaya di tangan ketiga laki laki itu, benar benar habis, bahkan untuk ke kamar mandipun rasanya begitu berat.
Belum pernah kurasakan capek yang hebat seperti ini, vaginaku terasa
berdenyut nyeri. Sekitar 2 jam mereka menyetubuhiku tanpa henti, tak
sedetikpun vaginaku “menganggur” selama itu. Aroma sperma tercium dari
tubuhku, baik di dada, wajah, rambut apalagi mulut, entah berapa banyak
sperma yang mengisi perutku, aku benar benar berantakan, tapi justru
tambah sexy, kata mereka menghibur.
Setelah mandi air hangat di malam hari, badan terasa segar kembali,
Edward mengangsurkan Lipovitan ketika aku keluar dari kamar mandi.
Ranjang yang masih berantakan dan ceceran sperma masih membekas di sana
sini, begitu juga kondom, lebih dari selusin kondom sisa yang tercecer
di lantai.
“Beri aku istirahat dulu, oke” pintaku pada mereka sambil merebahkan
tubuhku di atas hangatnya ranjang yang masih penuh nafsu. Mereka hanya
tertawa tanpa memberi jawaban.
Setengah jam mereka memberiku waktu istirahat sebelum Edo memulai
untuk babak berikutnya, dan Endless Game berputar kembali, di atas
ranjang kulayani ketiga laki laki itu bersamaan. Kali ini aku benar
benar kewalahan melayani mereka yang seolah melampiaskan semua nafsu
birahinya tanpa henti, tak ada kata puas pada diri mereka. Aku hanya
bisa bertahan sekitar satu jam sebelum menyerah kalah akan kebuasan
mereka bertiga, tak kuhitung lagi berapa kali aku mengalami orgasme dan
tak tahu lagi aku siapa yang sedang mengisi vaginaku, aku benar benar
habis.
Kami berempat tergeletak lunglai di atas ranjang dalam kebisuan,
hanya napas berat yang terdengar. Mataku serasa berat dan pandanganku
mulai nanar, tak lebih 10 menit kemudian akupun terlelap dalam buaian
malam yang penuh nafsu.
Keesokan paginya saat aku bangun, hari sudah terang, jam menunjukkan
pukul 7:30 pagi, terlihat Edward dan Raymon tidur di samping kiri
kananku, tangan Raymon ditumpangkan ke dadaku sedang kaki Edward
menindih pahaku, Edo yang tidak mendapat tempat tidur di sofa, kami
semua masih telanjang, entah jam berapa kami tadi malam tidur setelah
pertempuran terbesar yang pernah kualami. Mereka masih tidur pulas
ketika aku turun dari ranjang. Setelah gosok gigi dan cuci muka, aku
kembali ke kamar, ternyata Edo sudah bangun.
“Kamu makin cantik setelah bangun tidur” katanya sambil menghembuskan asap rokok.
“Ngeledek nih” jawabku seraya duduk di sampingnya.
“Udah fresh? siap melanjutkan?” tanyanya sambil menjamah buah dadaku.
Tanpa diperintah lebih lanjut, aku segera berlutut didepannya dan
kulahap penis hitam yang masih setengah tidur sebagai sarapan pagi,
makin lama makin membesar di mulut. Aku makin asik ber-oral ria saat
Edward bangun dan turun dari ranjang, dia duduk disamping Edo, kugapai
penisnya dan kukocok kocok sebentar lalu kulumanku berpindah ke penis
Edward. Dua penis berbeda ukuran dan warna bergantian mengisi mulutku,
aku lebih bisa mempermainkan lidahku pada punya Edward yang relatif
lebih kecil.
“Ikut dong” Raymon mengagetkanku, dia sudah berdiri di belakang,
karena terlalu asik aku nggak perhatikan dia bangun dari ranjang.
“Ntar aja deh, aku belum sarapan nih, habis makan aja ya” usulku pada mereka.
“Satu putaran” kata Edward sambil berdiri mengambil posisi dibelakangku, Raymon menggantikan posisinya.
Tanpa membuang waktu lebih lama, Edward segera memasukkan penisnya ke
vaginaku, penis pertama di hari itu. Tidak seperti tadi malam, kali ini
penis Edward terasa cukup penuh mengisi liang kenikmatanku, mungkin
karena ototku sudah berkontraksi normal dan belum kemasukan penis Edo
atau Raymon.
“Jangan keluarin di dalam kalo nggak pake kondom” kata Raymon melihat
Edward langsung mengocokku tanpa kondom, dia hanya tersenyum.
Sambil menerima kocokan dari belakang dengan posisi dogie, bergantian
kedua penis di tangan mengisi mulutku. Tak lebih 5 menit kemudian
Edward orgasme, mencabut keluar dan menumpahkan spermanya di punggung
dan pantatku. Edo segera mengganti posisinya, kurasakan otot otot
vaginaku membesar menerima penisnya. Kocokan cepat dan keras menghantam
dinding vaginaku dan terdengarlah jeritan kenikmatan di pagi hari. Meski
tanpa kondom yang unik kurasakan penisnya sama nikmatnya, mungkin lebih
nikmat karena kepala penis Edo yang membesar bak jamur, aku menggeliat
kenikmatan. Kucoba menahan orgasme lebih lama, paling tidak akan
kuberikan pada Raymon yang mendapat giliran terakhir nanti, namun apa
dayaku, sodokan Edo terlalu nikmat untuk dibendung. Dan tanpa kumau
dinding dinding vaginaku berdenyut kuat, aku menjerit dengan tubuh kaku,
orgasme pertama di pagi hari. Edo semakin mempercepat sodokannya dan
semenit kemudian dia mencabut keluar lalu memuntahkan spermanya di
pantat, terasa hangat.
Raymon tanpa menunggu lebih lama segera mengisi “Kekosongan”
vaginaku, untuk kesekian kalinya aku disetubuhi secara maraton. Setelah
bertahan cukup lama, akhirnya Raymon tak sanggup melanjutkan lagi, namun
sebagai pemain terakhir, dia tidak mencabut penisnya, diseprotkannya
spermanya membasahi vagina, terasa nikmat sekali dengan siraman
hangatnya. Rasanya sudah berbulan bulan tak mendapatkan siraman sperma,
aku merindukan denyut bercampur kehangatan itu, semalam hanya denyutan
kuat tanpa sperma yang kurasakan.
“Oke guys, time to breakfast” kata Edward.
“Aku mandi dulu” kataku, namun dia mencegahnya.
“Nggak usah, kita sarapan sekalian renang di kolam, kan asik” usulnya, ide gila apalagi ini.
“Setujuu” teriak kedua temannya menimpali.
Mereka tak mempedulikan kalau aku tak bawa pakaian renang, dan memang
aku nggak pernah bawa kalau menginap di Hotel bersama tamu, toh tidak
ada yang pernah ngajak renang bersama di Hotel, kecuali kalau keluar
kota.
“Kita cari aja di bawah, mungkin ada” kata Edo.
Jarum jam menunjukkan pukul 8:20, berarti hanya untuk satu putaran cepat tadi memakan waktu lebih dari setengah jam.
Kukenakan kembali pakaian baru tadi malam, masih tanpa bra dan panty, berempat kami keluar kamar bersamaan. Sungguh suatu kebetulan ketika pintu lift terbuka, ternyata Pak Pram ada di dalam, kami berpandangan sejenak dengan tatapan mata penuh arti. Aku jadi salah tingkah berada di dalam lift dengan semua laki laki yang pernah meniduri dan merasakan kehangatan tubuhku.
Kukenakan kembali pakaian baru tadi malam, masih tanpa bra dan panty, berempat kami keluar kamar bersamaan. Sungguh suatu kebetulan ketika pintu lift terbuka, ternyata Pak Pram ada di dalam, kami berpandangan sejenak dengan tatapan mata penuh arti. Aku jadi salah tingkah berada di dalam lift dengan semua laki laki yang pernah meniduri dan merasakan kehangatan tubuhku.
Kami semua terdiam dengan beribu pikiran di benak masing masing, aku
masih belum percaya bahwa aku telah bercinta dengan tiga orang
sekaligus, semalaman lagi, tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kulirik
satu persatu laki laki itu, terbersit kebanggaan aku sudah mengetahui
permainan dan apa yang ada dibalik baju yang dikenakannya, terutama Pak
Pram yang begitu anggun mengenakan setelan Jas hitam. Aku tak tahu apa
yang ada dalam pikiran beliau melihat sepagi ini bersama 3 laki laki
turun dari kamar, meski begitu aku sangat yakin dia tidak akan berpikir
terlalu jauh mengenai apa yang telah kami perbuat semalam.
Lamunanku buyar saat pintu Lift terbuka di lobby, kami turun satu
lantai lagi, sementara Edward pergi mencarikan pakaian renang untukku.
Ternyata nggak dapat, beruntunglah aku, tenagaku bisa dipakai untuk
melanjutkan babak selanjutnya. Selama makan pagi, berulang kali Pak Pram
menatap ke arahku tapi aku pura pura menghindar, khawatir kejadian
“Perselingkuhan” semalam terulang lagi.
Ketika aku mengambil makanan di table, dia mendekat disampingku.
“Kamu nginap sini ya” bisiknya sambil mengambil makanan.
“He eh” jawabku pendek takut ketahuan ketiga tamuku.
“Sama yang mana?”. Aku diam, bingung menjawabnya, tak menyangka dia tanyakan itu dan tak mungkin kubilang sama semuanya.
“Sama mereka” jawabku mengambang.
“Mereka yang mana?” desaknya.
“Yang bersamaku tadi”.
“Kan ada tiga, masak ketiganya”. Aku tak menjawab lalu menginggalkannya kembali ke meja, membiarkan dia berteka teki.
Aku sadar kalau banyak mata memandang ke arahku, entah mungkin karena
penampilanku atau karena mereka tahu kalau aku tak mengenakan pakaian
dalam atau mereka berhasil mencuri pandang payudaraku saat mengambil
makanan, entahlah, tapi aku enjoy saja melihat banyak sorot tersedot ke
arahku. Yang aku yakin pasti adalah mereka tidak akan pernah mengira
kalau aku telah melayani ketiga laki laki ini sekaligus.
“Desertnya ntar aja dikamar” cegah Raymon ketika aku hendak mengambil
makanan penutup, aku segera tahu yang dimaksud adalah aku sebagai
penutup makan pagi mereka dan desertku adalah sperma mereka.
Sekembali kami ke kamar, kejadian semalam terulang lagi, aku
dikeroyok rame rame. Mereka merebahkan tubuhku di atas ranjang setelah
terlebih dahulu saling melucuti pakaian. Mula mula Edward sebagai
pembuka sementara kedua temannya berada di atasku menyodorkan penis
mereka, semua tanpa kondom. Ketika Edward hampir orgasme, Edo bertukar
tempat dengannya. Edward dan Edo yang sudah mengocok vaginaku,
melanjutkan kocokannya pada mulutku bergantian. Kini Raymon yang sedang
menikmati kehangatan liang kenikmatanku, cukup lama dia melakukannya.
Tak lama kemudian Raymon menarik keluar dan bergegas ke arah
kepalaku, kini tiga penis tepat berada di wajahku, mereka mengocok
sendiri penisnya, hendak menumpahkan sperma mereka ke wajahku. Raymon
yang sudah diambang pintu orgasme menyemprotkan spermanya mengenai
wajahku, disusul Edward tak lama kemudian lalu diakhiri dengan semprotan
sperma Edo menyirami wajahku. Aku hanya menengadah membuka mulut
menerima tumpahan sperma mereka, seperti yang pernah kusaksikan di film
porno. Sebagian besar memasuki mulutku, ada yang tercecer mengenai
hidung, dahi, mata bahkan rambut. Aku tak bisa membayangkan seperti apa
rupaku dengan sperma ketiga laki laki itu belepotan di hampir sekujur
wajahku, tentu terlihat aneh, mungkin inilah yang dimaksud dengan desert
tadi.
Kami beristirahat sebentar untuk melanjutkan ke babak yang lebih seru
seperti tadi malam, dan kenyataannya memang sangat seru, bahkan
melebihi permainan semalam. Bertiga mereka menyetubuhiku baik bersamaan
maupun bergantian, tidak hanya di ranjang bahkan kami melakukannya di
sofa bahkan di meja seolah aku menjadi santapan makanan bagi mereka dan
tak terlewatkan dengan posisi berdiri.
Entah berapa babak kami melakukannya, rasanya tak pernah ada kata
cukup untuk melampiaskan segala nafsu birahi, aku benar benar
di-exploitasi habis habisan seakan budak nafsu mereka, namun justru
semakin menggairahkan. Meskipun tidak ada kata puas, stamina dan waktu
jua-lah yang membatasi kami, setelah puas menyetubuhiku berulang ulang
dengan segala variasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, akhirnya
kami harus mengakhiri permainan ini pukul 1 siang. Edward harus mengejar
pesawatnya balik ke Ujung Pandang setelah 2 kali diundur.
Pukul 13:30 kami keluar kamar bersama sama, disamping membawa
beberapa pakaian dalam yang tidak sempat kupakai semalam (seperti
dugaanku), aku membawa banyak sekali rupiah dan dollar. Edward
membayarku 5 kali tarif bookingan semalam sementara Raymon dan Edo tak
ketinggalan memberi Tip yang nilainya hampir sama dengan Edward, sungguh
hari yang indah, disamping mendapat kenikmatan dan pengalaman baru yang
sangat berkesan, juga mendapatkan uang puluhan juta hanya dalam semalam
bersama mereka.
“Ly, kalau nggak ada acara, minggu depan kita ke Sarangan, temanku
punya Villa disana, sekalian ajak dia berpesta semalam suntuk” kata Edo
ketika kami di Lift.
Aku yang masih terbawa suasana horny hanya meng-iyakan saja usulan
itu. Edward dan Raymon yang mendengar hanya tersenyum penuh arti.
“Ketagihan nih” kata Raymon entah ditujukan pada siapa.
Aku tak bisa menolak saat mereka minta ikutan mengantar Edward ke
Juanda, dan bisa ditebak sepanjang perjalanan aku masih harus melakukan
oral di jok belakang secara bergantian.
Sepeninggal Edward, ternyata Edo mengajak melanjutkan lagi hingga
sore tapi aku nggak sanggup melakukannya lagi hari itu, terlalu capek
dan pasti Raymon pasti nggak mau ketinggalan, aku ingin istirahat dulu
hari ini setelah bercinta sepanjang pagi hingga siang tadi. Namun aku
berjanji untuk ikut Edo ke Sarangan minggu depan, berarti 2 hari lagi,
untunglah mereka menyadari staminaku dan mengantar aku kembali ke Hotel
untuk mengambil mobilku.
===============================================================\
Di Batas Pelangi
Ketika aku memasuki halaman rumah itu, banyak mobil mewah sudah diparkir memenuhi area yang ada, seorang satpam mendekat.
“Kucarikan parkir Bos, langsung aja sudah ditungguin di dalam,” katanya pada GM yang mendampingiku.
“Kucarikan parkir Bos, langsung aja sudah ditungguin di dalam,” katanya pada GM yang mendampingiku.
Kulihat rumah itu begitu besar, seperti layaknya rumah di kawasan
elit Galaxy, lebih tepat disebut istana barangkali, mungkin bisa
dibandingkan besarnya dengan rumah di kawasan Pondok Indah.
Seorang anak muda chinese, namanya Indra menyambut kedatangan kami.
“Langsung masuk aja, mereka sudah nunggu” sambutnya
“Langsung masuk aja, mereka sudah nunggu” sambutnya
Ternyata sudah ada 6 anak muda seusia Indra di dalam, mereka bersiul
riuh menyambut kedatanganku, berbagai celoteh terlontar memujiku.
“Wah bisa nggak jadi kawin tuh si Joseph,” salah satu yang kudengar.
“Oke friend, Ini Lily dan jangan ganggu dia karena milik Joseph,” Indra mengingatkan.
“Wah bisa nggak jadi kawin tuh si Joseph,” salah satu yang kudengar.
“Oke friend, Ini Lily dan jangan ganggu dia karena milik Joseph,” Indra mengingatkan.
Kembali teman temannya teriak kecewa.
Berbagai macam minuman sudah tersedia di meja, dari soft drink hingga whiskey, kulihat beberapa dari mereka wajahnya sudah merah terbakar alkohol, tatapannya begitu liar seolah hendak menerkamku.
Berbagai macam minuman sudah tersedia di meja, dari soft drink hingga whiskey, kulihat beberapa dari mereka wajahnya sudah merah terbakar alkohol, tatapannya begitu liar seolah hendak menerkamku.
Secara sepintas si GM sudah memberi tahu bahwa ini adalah acara
“Lepas Bujang” alias Bachelor Party, aku diminta sebagai bintang tamu
melayani Joseph yang akan menikah 2 hari lagi, seperti pesta ‘Lepas
Bujang’ lainnya, aku hanya melayani Joseph seorang tapi dihadapan teman
temannya yang tak tahu berapa jumlahnya, biasanya antara 4-9 orang, tapi
dia menjamin bahwa hanya Joseph yang harus aku layani untuk acara ini,
setelah itu terserah aku sendiri bagaimana dengan lainnya, biasanya ada
beberapa orang yang tertarik mem-booking setelah pesta, semua terserah
ke aku karena diluar harga paket spesial yang kutawarkan.
Meskipun aku sudah menyiapkan diri secara mental untuk bercinta
dihadapan lebih dari 2 orang, ternyata ada rasa nervous juga dikelilingi
laki-laki yang haus dengan wajah menyeringai seakan hendak
memperkosaku, meskipun sebenarnya wajah mereka nice looking tapi sorot
mata yang menakutkanku.
Sepuluh menit kemudian, si Joseph datang, seorang chinese seusiaku,
mungkin lebih muda dengan kaca mata minus bulat ala John Lennon.
“Sep, tuh sudah ditunggu,” kata Indra menyambut kedatangannya.
“Li, ini Joseph laki-laki yang beruntung itu dan Seph, she is yours,” Indra mengenalkanku, kusambut uluran tangannya tapi dia melanjutkan dengan ciuman di pipi, temannya mulai berteriak gaduh.
“Sep, tuh sudah ditunggu,” kata Indra menyambut kedatangannya.
“Li, ini Joseph laki-laki yang beruntung itu dan Seph, she is yours,” Indra mengenalkanku, kusambut uluran tangannya tapi dia melanjutkan dengan ciuman di pipi, temannya mulai berteriak gaduh.
Irama House musik mulai keras menghentak, aku didaulat untuk menari
dihadapan mereka, seperti biasa, menari streaptease hingga totally nude
dan tugasku untuk membuat Joseph bertekuk lutut.
Dengan sedikit nervous diiringi tatapan mata liar laki-laki yang mengelilingiku, akupun mulai meliuk liukkan tubuhku dihadapan mereka, mengikuti dentuman iringan musik yang kian memanas.
Kuperagakan gerakan erotis seperti yang sering kulihat di night club, sebisanya kutiru gerakan gerakan sensualnya yang bisa membangkitkan syahwat para laki-laki.
Dengan sedikit nervous diiringi tatapan mata liar laki-laki yang mengelilingiku, akupun mulai meliuk liukkan tubuhku dihadapan mereka, mengikuti dentuman iringan musik yang kian memanas.
Kuperagakan gerakan erotis seperti yang sering kulihat di night club, sebisanya kutiru gerakan gerakan sensualnya yang bisa membangkitkan syahwat para laki-laki.
Namun belum satu musik berlalu, Joseph berdiri menghampiriku, tanpa
mempedulikan celoteh teman temannya, dia menarikku duduk di pangkuannya,
sofa besar ditengah ruangan itu tampaknya sengaja dikosongkan untuk
Joseph. Tak kulihat lagi GM yang mengantarku tadi, sepertinya dia sudah
pulang setelah selesai tugasnya termasuk mengurus pembayarannya.
Joseph mulai menciumi leher sambil meremas remas buah dadaku
dihadapan teman temannya, pada mulanya aku agak risih melakukannya
dihadapan sekian banyak laki-laki yang hanya melihat dengan penuh
perhatian.
Namun perasaan risih itu perlahan memudar berganti suatu sensasi yang aku sendiri tak tahu dari mana datangnya, semakin berani Joseph menggerayangiku semakin bergairah pula aku mendesah, seakan tak ada lagi orang lain di ruangan besar itu.
Namun perasaan risih itu perlahan memudar berganti suatu sensasi yang aku sendiri tak tahu dari mana datangnya, semakin berani Joseph menggerayangiku semakin bergairah pula aku mendesah, seakan tak ada lagi orang lain di ruangan besar itu.
Tangan Joseph sudah menyelinap dibalik kaos ketatku, diremasnya
dengan penuh gemas, tak lama kemudian terlepaslah bra hijau dan
dilemparkan ke teman temannya, mereka bersorak riuh seperti melihat
pertandingan bola. Sempat kudengar celoteh pujian dari “penonton” ketika
kaosku disingkap memperlihatkan buah dadaku. Aku tak bisa menahan
gairah lagi saat dia mulai mengulum putingku bergantian, kuremas remas
rambutnya sambil mendesah nikmat. Dari gerakannya aku sangat yakin kalau
ini bukan pertama kali baginya, dia sepertinya sudah berpengalaman dan
tahu bagaimana memperlakukan wanita.
Hanya bertahan 5 menit kaosku menempel sebelum akhirnya
meninggalkanku dan berpindah ke para “penonton” diiringi tepuk tangan
nyaring, aku benar benar ditengah tengah srigala srigala lapar yang siap
menerkam, meskipun tak mungkin terjadi, paling tidak untuk saat ini.
Joseph semakin bergairah menggumuli bukit dan putingku, seperti ingin
membuktikan sesuatu pada teman temannya.
Giliran selanjutnya adalah celana jeans yang masih kukenakan, Joseph sudah melepas kancing dan resliting hingga tampak celana dalam mini berwarna hijau tua.
Giliran selanjutnya adalah celana jeans yang masih kukenakan, Joseph sudah melepas kancing dan resliting hingga tampak celana dalam mini berwarna hijau tua.
“Lepas.. lepas.. lepas,” para penonton memberi dukungan, dan tak
perlu lama lama mereka menahan napas untuk melihat kemolekan dan
ke-sexy-an tubuhku. Kembali sorak kemenangan menggema mengiringi
lepasnya celana jeans-ku, tinggallah aku sendirian hampir telanjang
mengenakan celana dalam mini diantara srigala srigala lapar itu.
Mendengar sorakan yang riuh rendah, aku semakin bergairah, dengan
gerakan yang demonstratif aku berlutut didepan kaki Joseph yang sudah
berdiri bersiap menerima kenikmatan, kubuka dan kutarik turun celananya
hingga menampakkan celana dalam HOM bermotif batik. Kuremas remas
benjolan dibalik celana dalam itu, sambil menciumi perutnya yang agak
buncit. Kembali terdengar teriakan ketika aku merosot turun penutup
kejantanannya, tersembullah kejantanan yang sudah keras menegang
mengenai wajahku.
Sambil tersenyum dan melirik ke arah penonton, kukocok dan kujilati
sekujur penis itu tanpa sisa dari ujung hingga pangkal, Joseph mulai
mendesah nikmat, para penonton terdiam, keadaan semakin sunyi saat
kumasukkan penis itu ke mulutku, hanya desahan napas Joseph yang
terdengar mengiringi kuluman permainan oralku. Aku sangat menikmati
kesunyian yang berbalut birahi, mereka seakan terlongo melihat permainan
oralku.
Penis Joseph yang tidak terlalu besar dengan mudahnya keluar masuk mulutku, semua bisa memasukinya hingga hidungku menyentuh rambut rambut halus di pangkal penisnya.
Penis Joseph yang tidak terlalu besar dengan mudahnya keluar masuk mulutku, semua bisa memasukinya hingga hidungku menyentuh rambut rambut halus di pangkal penisnya.
Kalaupun ada cicak lewat pasti terdengar karena keheningan ini,
desahan Joseph benar benar menguasai ruangan, semua terdiam melihat
penis temannya yang tidak disunat itu keluar masuk membelah bibir
manisku. Aku semakin bersemangat saat tahu bahwa aku berhasil membetot
perhatian para srigala lapar tanpa mereka bisa berbuat apa apa, semakin
demonstratif pula kupermainkan bibir dan lidahku pada penisnya.
Entah karena sensasinya terlalu tinggi mendapatkan oral didepan teman
temannya atau memang dia tidak bisa bertahan lama, tak lebih 5 menit
setelah jilatan pertama, Joseph berteriak kencang sambil menyemprotkan
spermanya ke mulut dan wajahku, sebagian tertelan dan sebagian lagi
membasahi wajah dan rambutku.
Kusapukan penisnya pada wajah dan buah dadaku, sambil tersenyum aku menatap para penonton satu persatu seakan hendak melongok apa yang ada di benak mereka. Kebanyakan menghindar tatapanku, mungkin takut terbaca apa yang ada dalam pikirannya, sebagian lagi menatapku dengan penuh nafsu dan sorot mata kekaguman.
Kusapukan penisnya pada wajah dan buah dadaku, sambil tersenyum aku menatap para penonton satu persatu seakan hendak melongok apa yang ada di benak mereka. Kebanyakan menghindar tatapanku, mungkin takut terbaca apa yang ada dalam pikirannya, sebagian lagi menatapku dengan penuh nafsu dan sorot mata kekaguman.
Sorak dan tepuk tangan bergema ketika Joseph duduk di sofa dan
menarikku ke pangkuannya, tubuh telanjang kami saling berpelukan
dihadapan teman temannya, seakan mereka baru tersadar kalau babak
pertama sudah selesai.
Indra membawa 2 botol bir hitam dan menyerahkan ke kami, aku menolak
dan minta Lippovitan atau air putih saja, sekedar mencuci mulutku yang
terasa bergetah terkena sperma. Joseph mengusap wajah dan tubuhku yang
terkena sperma dengan handuk kecil yang sepertinya sudah disiapkan.
“Beruntunglah kamu Joseph, belum tentu si Yeni nanti mau melakukan seperti itu,” kata Indra
“Aku mau kamu panggil dia lagi saat pestaku nanti,” celoteh salah seorang penonton.
“Tunggu saja giliranmu, dapat aja belum, makanya jangan terlalu sering ganti pacar,” sahut lainnya.
“Aku mau kamu panggil dia lagi saat pestaku nanti,” celoteh salah seorang penonton.
“Tunggu saja giliranmu, dapat aja belum, makanya jangan terlalu sering ganti pacar,” sahut lainnya.
Aku tak memperhatikan lagi celoteh mereka, kupunguti pakaian yang
berserakan di lantai sekaligus sengaja lebih memamerkan lekuk sexy
tubuhku dihadapan mereka, aku ingin mereka mengetahui lebih jauh betapa
sexy-nya tubuhku.
Hanya berselang 15 menit, Joseph sudah bersiap melanjutkan permainan,
dia jongkok di antara kakiku yang dinaikkan tinggi, liang vagina yang
bersih tanpa dihiasi bulu bulu halus begitu jelas terhampar
dihadapannya, juga dihadapan teman temannya.
Dipandangi sejenak sebelum mendaratkan lidahnya, seperti dia baru tersadar kalau selangkanganku tidak berambut sehabis dicukur. Diawali dengan ciuman pada paha dan remasan di dada, lidahnya menjelajahi daerah selangkanganku, menari nari sebentar pada klitoris lalu mulai melakukan hisapan hisapan kuat di vagina, akupun mendesah lepas tanpa peduli penonton yang mulai menahan napas.
Dipandangi sejenak sebelum mendaratkan lidahnya, seperti dia baru tersadar kalau selangkanganku tidak berambut sehabis dicukur. Diawali dengan ciuman pada paha dan remasan di dada, lidahnya menjelajahi daerah selangkanganku, menari nari sebentar pada klitoris lalu mulai melakukan hisapan hisapan kuat di vagina, akupun mendesah lepas tanpa peduli penonton yang mulai menahan napas.
Beberapa menit kemudian kudorong kepalanya menjauh, aku berdiri
menuntunnya menuju sofa panjang, kuusir mereka yang sedang mendudukinya
untuk berpindah ke tempat lain. Dengan halus kurebahkan tubuh telanjang
Joseph di sofa panjang, kamipun melakukan 69 di atasnya, saling
menjilat, saling mendesah, saling berbagi kenikmatan.
Kulirik beberapa penonton mulai mendekat, melihat lebih dekat
bagaimana aku mengulum dan menjilat, sebagian lagi melototi vaginaku
yang sudah mendapat jilatan nikmat, mereka berdiri mengelilingi kami,
aku tak peduli, justru semakin bergairah, namun tidak demikian dengan
Joseph, dia merasa terganggu dengan jarak yang terlalu dekat, diberinya
aba aba supaya temannya kembali menjauh.
Setelah kulihat semua sudah duduk pada tempatnya, aku berdiri
mengatur posisiku diatas penisnya, sengaja kupilih posisi di atas supaya
penonton bisa menikmati tubuhku sepenuhnya, berikut buah dadaku yang
akan berguncang saat aku turun naik mengocok Joseph.
Dugaanku benar, mereka mulai menggeser sofa tempat duduknya ke arah depanku, sehingga terlihat dengan jelas bagaimana expresi wajahku saat menerima kenikmatan dan bagaimana temannya sedang merasakan kenikmatan tubuhku sambil meremas remas buah dadaku, aku mendesah makin bergairah seirama gerakan mengocokku di atasnya.
Berulang kali Joseph mengulum putingku disaat aku mengocoknya, penonton tercekat diam menikmati permainan kami, beberapa mulai meremas remas selangkangannya sendiri, bahkan salah seorang sudah mengeluarkan penis dari celananya sembari mengocok dan menonton kami, aku tertawa puas dalam hati bisa mempermainkan mereka, membuat mereka terbakar api birahinya sendiri.
Dugaanku benar, mereka mulai menggeser sofa tempat duduknya ke arah depanku, sehingga terlihat dengan jelas bagaimana expresi wajahku saat menerima kenikmatan dan bagaimana temannya sedang merasakan kenikmatan tubuhku sambil meremas remas buah dadaku, aku mendesah makin bergairah seirama gerakan mengocokku di atasnya.
Berulang kali Joseph mengulum putingku disaat aku mengocoknya, penonton tercekat diam menikmati permainan kami, beberapa mulai meremas remas selangkangannya sendiri, bahkan salah seorang sudah mengeluarkan penis dari celananya sembari mengocok dan menonton kami, aku tertawa puas dalam hati bisa mempermainkan mereka, membuat mereka terbakar api birahinya sendiri.
Melihat kondisi birahi para penonton, aku semakin bergairah
mengocoknya, justru membuat Joseph semakin mendesis melayang kenikmatan,
diremasnya buah dadaku semakin gemas, akupun terbawa suasana panasnya
nafsu disekelilingku.
Gerakanku semakin liar, berputar dan naik turun di atas Joseph, untung dia bisa tahan lebih lama sehingga aku semakin menikmati permainan ini, bukannya menikmati kocokan Joseph tapi menikmati sensasi yang terjadi.
Gerakanku semakin liar, berputar dan naik turun di atas Joseph, untung dia bisa tahan lebih lama sehingga aku semakin menikmati permainan ini, bukannya menikmati kocokan Joseph tapi menikmati sensasi yang terjadi.
Kami berganti posisi dogie, aku posisikan tubuhku tetap menghadap
para penonton meskipun dengan posisi nungging, justru semakin menambah
erotisme saat buah dadaku berayun ayun bebas ketika Joseph mengocok dari
belakang.
Sodokan Joseph langsung keras menerjang segala rintangan yang ada,
dikocoknya vaginaku dengan kerasnya, tentu saja buah dadaku bergoyang
semakin hebat, beberapa penonton terlihat menelan ludah menahan napas
tanpa bisa berbuat apa apa, terjebak permainannya sendiri. Aku semakin
menikmati wajah wajah mereka yang menahan nafsu tinggi, 2 orang sudah
orgasme tanpa bisa berbuat banyak, kecuali minta bantuan ketrampilan
tangannya sendiri, mungkin lainnya menyusul tak lama lagi.
Tak ada yang bersuara kecuali kami berdua, semua menahan nafas dan
gejolak nafsunya sendiri sendiri, kuimbangi gerakan Joseph dengan
gerakan pantat yang berlawanan sambil memutar mutar pantat. Joseph
semakin liar mengocokku, keringat mulai membawahi tubuhnya, dinginnya AC
tak mampu meredam panasnya nafsu yang menggelora.
Aku merasa Joseph sudah dekat ke puncak kenikmatan, tapi aku tak mau secepat itu meski kami sudah bercinta lebih 15 menit. Kuminta berganti posisi, sekedar menurunkan tegangannya, tanpa minta persetujuan kucabut penis dari vaginaku dan aku langsung telentang di atas karpet di dekat kaki para penonton. Spontan mereka melongo sejenak melihat tubuh telanjangku telentang di kaki kaki mereka, tapi tak lama, Joseph sudah menutupi tubuhku dengan tubuh gendutnya. Aku kembali mendesah nikmat menerima kocokan Joseph, mereka melihat expresi desahanku dari celah pundak Joseph.
Aku merasa Joseph sudah dekat ke puncak kenikmatan, tapi aku tak mau secepat itu meski kami sudah bercinta lebih 15 menit. Kuminta berganti posisi, sekedar menurunkan tegangannya, tanpa minta persetujuan kucabut penis dari vaginaku dan aku langsung telentang di atas karpet di dekat kaki para penonton. Spontan mereka melongo sejenak melihat tubuh telanjangku telentang di kaki kaki mereka, tapi tak lama, Joseph sudah menutupi tubuhku dengan tubuh gendutnya. Aku kembali mendesah nikmat menerima kocokan Joseph, mereka melihat expresi desahanku dari celah pundak Joseph.
Kuangkat kakiku ke pundaknya, dengan posisi agak jongkok Joseph
mengocokku, penisnya serasa semakin dalam mengisi liang vaginaku, para
penonton semakin mendekat, bahkan Indra sudah dalam jarak jangkauan
tanganku, kalau aku mau bisa saja kuraih dan kumainkan penisnya yang
sudah keluar dari celananya, tapi itu diluar kesepakatan. Aku bisa
menikmati wajah wajah yang terbakar birahi tinggi, wajah wajah putih
terlihat kemerahan seperti udang rebus.
Joseph sudah tak mempedulikan lagi teman temannya yang bergerak semakin dekat, dia terlalu berkonsentrasi padaku, dan tak lama kemudian diapun menjerit seiring kurasakan denyutan kuat pada vaginaku, tubuhnya mengejang sambil meremas buah dadaku, akupun menjerit kaget dan nikmat, denyutan demi denyutan menghantam dinding dinding vagina dan akhirnya Joseph terkulai lemas di atas tubuhku dengan keringat yang deras membasahi tubuh kami berdua.
Joseph sudah tak mempedulikan lagi teman temannya yang bergerak semakin dekat, dia terlalu berkonsentrasi padaku, dan tak lama kemudian diapun menjerit seiring kurasakan denyutan kuat pada vaginaku, tubuhnya mengejang sambil meremas buah dadaku, akupun menjerit kaget dan nikmat, denyutan demi denyutan menghantam dinding dinding vagina dan akhirnya Joseph terkulai lemas di atas tubuhku dengan keringat yang deras membasahi tubuh kami berdua.
Riuh tepuk tangan kembali bergema di ruangan itu, aku masih
memejamkan mata saat Joseph meninggalkan tubuh telanjangku yang masih
telentang di atas karpet lantai, ketika kubuka mataku, ternyata aku
tengah dikelilingi para penonton yang berdiri dengan penis yang teracung
keluar, sungguh pemandangan unik.
Segera aku berdiri, tak bisa dihindari lagi ketika tubuh telanjangku
bersinggungan dengan mereka, bahkan kurasakan beberapa menepuk atau
meremas pantatku saat aku melewatinya, kubalas dengan senyum menggoda.
“Kamar mandi dimana?” tanyaku, serentak mereka menunjuk ke sudut
ruangan seakan terlupa kalau penis mereka masih mengacung tegang.
Hanya dengan berbalut handuk yang ada di kamar mandi, aku kembali ke
ruangan dan langsung duduk kembali di pangkuan Joseph. Mereka sudah
merapikan pakaiannya kembali kecuali Joseph yang hanya mengenakan celana
dalam.
“Masih bisa lanjut?” bisikku, meskipun aku belum orgasme, tapi aku
puas melihat mata mata liar yang takluk dalam permainanku, seakan aku
berhasil menaklukan mereka 8 orang sekaligus tanpa harus bersetubuh.
Entah berapa orang yang sudah orgasme hanya dengan melihat permainanku dengan Joseph.
Entah berapa orang yang sudah orgasme hanya dengan melihat permainanku dengan Joseph.
“Sialan, dia sih jauh lebih hot dari yang kalian berikan ke aku tempo
hari, rugi aku, kirain waktu itu dia yang terbaik tapi ternyata ini
jauh melebihi,” protes salah seorang disambut tawa dari lainnya.
Sambil beristirahat, kami bersantai, mereka saling meledek, baik
tentang pribadi, istri istri mereka ataupun pacar dan mantan pacarnya.
Botol botol kosong bir hitam sudah berserakan di meja. Akupun berputar
dari satu pangkuan ke pangkuan lainnya tanpa mereka boleh menyentuhku,
itulah aturannya.
“Kita lanjutin di kamar” kata Indra mengingatkan.
Kamipun berame rame menuju kamar yang ditunjuk Indra, selaku tuan
rumah. Sebelum aku mencapai pintu kamar, seseorang menarik lepas
handukku hingga aku telanjang. Aku hanya tersenyum melihat kenakalan
mereka, tanpa mempedulikan tubuhku yang tanpa selembar penutup, aku
santai saja berjalan menuju kamar mengiringi para laki-laki itu.
Kamar itu begitu besar dengan ranjang King Size, designnya bagus
seperti kamar hotel suite, namun aku tak bisa memperhatikan lebih lanjut
karena Joseph sudah memelukku dari belakang sebelum aku mencapai
ranjang. Dia menciumi tengkukku sambil tangannya meremas remas buah
dada, tubuhku lalu disandarkan menghadap dinding kamar, kubuka lebar
kakiku karena aku tahu dia ingin menyetubuhiku dari belakang dengan
posisi berdiri.
Penisnya mulai disapukan ke daerah kewanitaanku, namun berulang kali
dia mencoba berulang kali pula dia gagal melesakkan penisnya mungkin
terganjal perut.
Aku mengambil inisiatif, kutuntun Joseph menuju sofa dimana teman temannya duduk bersiap melihat permainan berikutnya. Kuminta salah seorang yang duduk di sofa panjang itu untuk bergeser, akupun duduk diantara mereka, berhimpitan di sofa panjang itu. Kuraih penis Joseph yang sudah berdiri di depanku dan langsung kumasukkan ke mulutku, mereka mulai bersiul melihat aku mulai beraksi, begitu dekat jarak antara mereka dengan mulutku yang sedang mengulum penis Joseph, hingga kurasakan dengus napas berat menerpa wajahku.
Aku mengambil inisiatif, kutuntun Joseph menuju sofa dimana teman temannya duduk bersiap melihat permainan berikutnya. Kuminta salah seorang yang duduk di sofa panjang itu untuk bergeser, akupun duduk diantara mereka, berhimpitan di sofa panjang itu. Kuraih penis Joseph yang sudah berdiri di depanku dan langsung kumasukkan ke mulutku, mereka mulai bersiul melihat aku mulai beraksi, begitu dekat jarak antara mereka dengan mulutku yang sedang mengulum penis Joseph, hingga kurasakan dengus napas berat menerpa wajahku.
Joseph berlutut didepanku, kubuka kakiku lebar dan menumpangkan ke
paha disampingku, dengan sedikit sapuan pada bibir vagina, Joseph
melesakkan ke dalam, mengisi liang kenikmatanku, desahan nikmatku
menyambut sodokannya. Aku menggeliat sejenak, kuremas lengan lengan yang
ada disampingku sementara mereka membalas dengan elusan elusan pada
kakiku yang menumpang di pahanya.
Kocokan Joseph semakin keras dan cepat, desahanku pun semakin lepas,
tanpa kusadari remasanku sudah beralih ke paha mereka, hanya beberapa
centi dari selangkangan. Sejauh ini hanya Joseph yang telah menjamah
tubuhku, tapi cengkeraman dan elusan tanganku pada paha membuat mereka
semakin berani, seakan mendapat sinyal dariku.
Indra yang berdiri dibelakang sofa, tepat di atasku memasukkan jari tangannya ke mulutku, aku menyambut dengan kuluman seperti layaknya mengulum penis. Sementara mereka yang tepat berada disampingku menggeserkan tanganku ke selangkangannya, akupun menyambut dengan remasan pada penis mereka. Sebelah kanan mengambil inisiatif terlalu jauh, dikeluarkannya penisnya dari celana dan membimbing tanganku ke arahnya, seolah tak menyadari hal itu aku mulai meremas remas penis itu sambil menerima kocokan dari Joseph, mereka mulai mendesis bersamaan.
Ketika tangan Indra hendak menjamah buah dadaku, Joseph sepertinya tersadar, ditepisnya tangan tangan yang menggerayangi tubuhku, termasuk tanganku yang sedang mengocok penis orang lain.
Indra yang berdiri dibelakang sofa, tepat di atasku memasukkan jari tangannya ke mulutku, aku menyambut dengan kuluman seperti layaknya mengulum penis. Sementara mereka yang tepat berada disampingku menggeserkan tanganku ke selangkangannya, akupun menyambut dengan remasan pada penis mereka. Sebelah kanan mengambil inisiatif terlalu jauh, dikeluarkannya penisnya dari celana dan membimbing tanganku ke arahnya, seolah tak menyadari hal itu aku mulai meremas remas penis itu sambil menerima kocokan dari Joseph, mereka mulai mendesis bersamaan.
Ketika tangan Indra hendak menjamah buah dadaku, Joseph sepertinya tersadar, ditepisnya tangan tangan yang menggerayangi tubuhku, termasuk tanganku yang sedang mengocok penis orang lain.
“Boleh dilihat, tak boleh dipegang!!, tunggu giliran kalo mau,”
hardik dia pada temannya, disambut senyum kecut dari mereka, aku hanya
tersenyum saja melihat expresinya yang marah bercampur nafsu birahi.
Kini aku telentang di atas meja, menerima sodokan demi sodokan dari
Joseph, sementara teman temannya mengocok penisnya sendiri tepat di
atasku sambil melihat bagaimana sobatnya yang sebentar lagi kawin
menyetubuhiku dengan penuh gairah nafsu. Tanganku yang bebas bergerak
sebenarnya bisa menggapai penis penis itu, tapi sepertinya Joseph tak
mengijinkan aku melakukannya. Aku sangat yakin mereka ingin menumpahkan
spermanya di tubuhku saat aku sedang menerima kocokan, tapi entahlah apa
hal itu diperbolehkan, toh mereka tidak menyentuhku.
Dan keyakinanku terbukti saat salah seorang dari mereka menyemprotkan spermanya tepat mengenai wajahku, Joseph sempat protes tapi tentu saja tak bisa dicegah, dia mengalah dan semakin mempercepat kocokannya. Sebelum Joseph menumpahkan spermanya di vaginaku, 2 orang temannya kembali menyirami tubuhku dengan sperma secara beruntun, kali ini dia diam saja. Bahkan Joseph semakin bergairah saat kusapukan sperma sperma yang ada di tubuh dan wajahku ke mulut, untunglah Joseph segera menyusul, diiringi teriakan keras dia kembali membasahi liang kewanitaanku dengan vaginanya.
Dan keyakinanku terbukti saat salah seorang dari mereka menyemprotkan spermanya tepat mengenai wajahku, Joseph sempat protes tapi tentu saja tak bisa dicegah, dia mengalah dan semakin mempercepat kocokannya. Sebelum Joseph menumpahkan spermanya di vaginaku, 2 orang temannya kembali menyirami tubuhku dengan sperma secara beruntun, kali ini dia diam saja. Bahkan Joseph semakin bergairah saat kusapukan sperma sperma yang ada di tubuh dan wajahku ke mulut, untunglah Joseph segera menyusul, diiringi teriakan keras dia kembali membasahi liang kewanitaanku dengan vaginanya.
Tanpa menunggu habisnya denyutan, dia mencabut penisnya dan bergerak
ke arah kepalaku, dimasukkannya penisnya ke mulutku, dan kusambut dengan
kuluman dan permainan lidah. Satu lagi semprotan sperma kuterima di
dada saat aku sedang mengulum Joseph.
“Real bitch,” kudengar salah seorang berguman melihat keliaranku.
Joseph melempar handuk ke arahku untuk membersihkan sperma yang
belepotan di tubuhku, aku beranjak menuju kamar mandi di kamar itu.
Kamar mandi itu begitu besar dengan bathtub berbentuk seperempat
lingkaran dilengkapi dengan whirpool dan sauna apalagi accessories
lainnya tak kalah dengan kamar mandi di suite hotel bintang lima,
sungguh rumah yang benar benar mewah.
Kurendam tubuhku di bathtub, air hangat terasa begitu segar menyirami
tubuhku setelah tadi disiram sperma hangat. Tubuhku semakin nyaman saat
Indra menghidupkan whirpool hingga serasa dipijitin, satu persatu
mereka melihatku mandi hingga tak kusadari mereka sudah berdiri
disekeliling bathtub.
“Tolong handuknya dong,” pintaku pada salah seorang yang dekat denganku.
Mereka berbaris mengikutiku saat aku kembali ke kamar, aku duduk di
tepi ranjang yang tidak pernah kupakai, mereka duduk teratur di depanku,
hanya Joseph yang duduk disampingku, dia mengenakan piyama.
“So what next?” tanyaku menantang sambil merebahkan tubuhku yang masih berbalut handuk di ranjang.
“Terserah dia tuh, kalau sudah menyerah ya selesai tugasmu,” jawab Indra sambil memandang ke temannya
“Tidak ada kata menyerah untuk urusan beginian, tapi aku harus segera pulang sebelum calon istri mencari, maklum sedang sibuk sibuknya menyiapkan acara, ini aja sembunyi sembunyi, untung HP habis baterei,” jawabnya, berarti acara sudah selesai.
“Tapi kalau kalian mau melanjutkan ya silahkan, aku sampai disini saja,” lanjutnya seraya mencium pipiku lalu beranjak keluar kamar meninggalkan kami.
“Tidak ada kata menyerah untuk urusan beginian, tapi aku harus segera pulang sebelum calon istri mencari, maklum sedang sibuk sibuknya menyiapkan acara, ini aja sembunyi sembunyi, untung HP habis baterei,” jawabnya, berarti acara sudah selesai.
“Tapi kalau kalian mau melanjutkan ya silahkan, aku sampai disini saja,” lanjutnya seraya mencium pipiku lalu beranjak keluar kamar meninggalkan kami.
“Oke siapa yang mau melanjutkan dengan Lily, tentu saja urusannya atur sendiri, itu diluar acara,” kata Indra mengikuti Joseph.
Tak ada yang menjawab, entah karena sudah jenuh atau sudah tahu permainanku atau juga mungkin karena segan dengan teman lainnya, mereka hanya diam.
Tak ada yang menjawab, entah karena sudah jenuh atau sudah tahu permainanku atau juga mungkin karena segan dengan teman lainnya, mereka hanya diam.
Bersama sama kami keluar kamar, Joseph yang sudah berpakaian rapi menyerahkan pakaianku.
“Aku tak menemukan celana dalammu,” katanya.
“Nggak apa, mungkin ada yang nyimpan untuk kenangan,” jawabku, didepan mereka kukenakan kembali pakaianku minus celana dalam.
“Bisa kita quickie sebentar?, Just to say goodbye,” tanya Joseph sambil menarikku kembali ke kamar, akupun menuruti kemauannya.
“Aku tak menemukan celana dalammu,” katanya.
“Nggak apa, mungkin ada yang nyimpan untuk kenangan,” jawabku, didepan mereka kukenakan kembali pakaianku minus celana dalam.
“Bisa kita quickie sebentar?, Just to say goodbye,” tanya Joseph sambil menarikku kembali ke kamar, akupun menuruti kemauannya.
Sesampai di kamar aku langsung nungging di atas ranjang, tanpa
melepas pakaian, hanya menurunkan celana hingga lutut, Joseph
mengeluarkan penisnya dari lubang resliting. Tidak seperti sebelumnya,
kali ini agak susah untuk memasukkan penis itu ke liang kewanitaanku,
mungkin karena belum terlalu tegang, vaginaku pun masih kering. Setelah
kulumasi dengan ludahku, barulah dia bisa melesakkan penisnya dan
langsung mengocok cepat dan keras, desahan kembali terdengar. Rupanya
desahanku mengundang teman temannya ke kamar, satu persatu mereka masuk
kamar melihat babak terakhir persetubuhanku dengannya. Hanya berlangsung
3 menit akhirnya Joseph menggapai orgasmenya yang terakhir denganku,
diiringi tepuk tangan teman temannya. Setelah saling merapikan pakaian
kami keluar kamar.
Kuantar kepergian Joseph hingga pintu, diapun benar benar pergi
setelah memberikan goodbye kiss seakan melepas kepergian pacarnya ke
tempat yang jauh.
“The best sex yang pernah kudapat,” bisiknya sebelum pergi, aku hanya tersenyum melepas kepergiannya kembali ke calon istrinya.
=====================================================
Aku kembali ke ruang keluarga untuk pamit dan minta dipanggilkan taxi
atau ikut salah satu dari mereka saat pulang nanti, karena jarang
sekali taxi yang lewat daerah ini.
“Ly, kami sepakat lanjut, gimana?” tanya salah seorang dari mereka
“Aku sih terserah saja, tapi sama siapa?” tanyaku, mereka saling berpandangan seakan tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dan tak ada yang mengalah untuk memberikan kesempatan ini pada temannya.
Setelah berunding beberapa lama, akhirnya aku usulkan untuk diadakan lelang, dijadiken obyek pelelangan aku sih oke saja. Penawar tertinggi akan mendapatkan tubuhku, diluar urusan pembayaran dengan GM, jadi yang dilelang adalah tips yang akan aku terima.
“Aku sih terserah saja, tapi sama siapa?” tanyaku, mereka saling berpandangan seakan tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dan tak ada yang mengalah untuk memberikan kesempatan ini pada temannya.
Setelah berunding beberapa lama, akhirnya aku usulkan untuk diadakan lelang, dijadiken obyek pelelangan aku sih oke saja. Penawar tertinggi akan mendapatkan tubuhku, diluar urusan pembayaran dengan GM, jadi yang dilelang adalah tips yang akan aku terima.
Serempak mereka menulis angka angka di kertas tisu dan menyerahkan
padaku sebagai juri. Satu persatu kubuka, kuumumkan nama dan jumlah yang
ditulis, ternyata angka tertinggi ada 2 orang, masing masing menulis
2,5 juta, yaitu Robi dan David. Aku tak tahu bagaimana harus menentukan
pemenang, bagiku bukan orangnya yang harus kupilih tapi angkanya, toh
melayani siapa saja sudah biasa bagiku.
Apakah diundi pakai coin atau suit atau lelang lanjutan, aku benar benar nggak tahu, tapi aku tahu ada potensi untuk mendapatkan angka yang lebih besar dari yang tertulis namun dengan cara yang lebih halus dan tidak terlihat terlalu mata duitan.
Apakah diundi pakai coin atau suit atau lelang lanjutan, aku benar benar nggak tahu, tapi aku tahu ada potensi untuk mendapatkan angka yang lebih besar dari yang tertulis namun dengan cara yang lebih halus dan tidak terlihat terlalu mata duitan.
Kuminta Robi dan David mendekatiku.
“Sorry lainnya, sebagai juri aku harus menentukan siapa pemenangnya,” kataku pada yang lain
Begitu mereka mendekat, kupeluk mereka berdua dan kuremas selangkangannya seakan menguji seberapa besar yang mereka punya, ini hanyalah untuk mengalihkan perhatian yang lain dan juga untuk membuat kedua orang ini terhanyut dalam skenarioku.
“Sorry lainnya, sebagai juri aku harus menentukan siapa pemenangnya,” kataku pada yang lain
Begitu mereka mendekat, kupeluk mereka berdua dan kuremas selangkangannya seakan menguji seberapa besar yang mereka punya, ini hanyalah untuk mengalihkan perhatian yang lain dan juga untuk membuat kedua orang ini terhanyut dalam skenarioku.
“Aku tahu kamu menikmati saat aku dikeroyok di sofa tadi,” bisikku
sambil menatap mata mereka satu persatu meski aku tak yakin betul mereka
menikmatinya.
“Kalau masing mau menggandakan apa yang kamu tulis tadi, aku mau menemani kalian berdua bersamaan, pasti jauh lebih heboh dari yang tadi, tapi tidak ditempat ini, kita bertiga aja.. kalau nggak mau aku tawarkan pada yang lain,” bisikku, mereka berpandangan, kuremas remas makin kuat kejantanannya dan kutempelkan tubuhku pada mereka seraya menggeser geserkan buah dada, sekedar menggoyahkan logika mereka supaya menuruti usulanku.
“Kalau masing mau menggandakan apa yang kamu tulis tadi, aku mau menemani kalian berdua bersamaan, pasti jauh lebih heboh dari yang tadi, tapi tidak ditempat ini, kita bertiga aja.. kalau nggak mau aku tawarkan pada yang lain,” bisikku, mereka berpandangan, kuremas remas makin kuat kejantanannya dan kutempelkan tubuhku pada mereka seraya menggeser geserkan buah dada, sekedar menggoyahkan logika mereka supaya menuruti usulanku.
Usahaku berhasil, mereka menyetujui tanpa berpikir lebih lama lagi,
tentu saja bagi mereka apalah artinya uang sebesar itu ditambah tarif
yang harus dia urus dengan si GM, apabila dibandingkan sensasi yang
bakal mereka nikmati.
Kutatap mereka bergantian, hanya anggukan yang kuterima sebagai jawabannya.
Kutatap mereka bergantian, hanya anggukan yang kuterima sebagai jawabannya.
“Sorry, kami sepakat melanjutkan acara sendiri diluar, kalian nggak
keberatan kan?” tanyaku sambil menggandeng Robi dan David keluar tanpa
menunggu jawaban dari lainnya, meskipun begitu sempat kudengar teriakan
“Huu”, tapi aku tak peduli.
“Fren, bawa mobilku dulu” kata David sambil melempar kunci kontak ke arah temannya.
Dengan mengendarai si mata kucing, kami bertiga meluncur meninggalkan kawasan Galaxy menuju hotel terdekat.
“Aku belum pernah main rame rame kayak gini” kata Robi yang sedang nyetir.
“Aku juga, meski pinginnya sih udah lama” timpal David yang duduk dibelakang.
“Emang aku pernah, gara gara kalian tadi aku jadi pingin nyoba” cetusku berbohong.
“Kalo aku nggak suka boleh mundur kan?” tanya David lagi.
“Terserah tapi janji tetap janji seperti yang ditulis tadi,” godaku.
“Aku belum pernah main rame rame kayak gini” kata Robi yang sedang nyetir.
“Aku juga, meski pinginnya sih udah lama” timpal David yang duduk dibelakang.
“Emang aku pernah, gara gara kalian tadi aku jadi pingin nyoba” cetusku berbohong.
“Kalo aku nggak suka boleh mundur kan?” tanya David lagi.
“Terserah tapi janji tetap janji seperti yang ditulis tadi,” godaku.
“Ly, kamu pindah belakang dong, jangan ganggu sopir,” pinta Robi,
kamipun berhenti sebentar dan aku berpindah ke jok belakang, aku tahu
maksud dari Robi menyuruhku pindah.
“Awas kamu nanti, aku balas di kamar, pokoknya aku yang duluan,”
ancam Robi sambil kembali menjalankan Mercy-nya dan mengatur kaca spion
menghadap ke kami.
Begitu aku duduk di belakang, Robi memelukku, bersamaan tangannya
menjamah buah dadaku bibirnya mendarat di pipi dan leher, aku
menggelinjang. Kusambut bibirnya saat menyentuh bibirku, kulumat dengan
penuh gairah. Kaca film yang gelap menyembunyikan perbuatan kami dari
pandangan luar.
Tangan Robi menyelinap dibalik kaosku, aku menolak saat dia minta
kulepas, terlalu berani, dengan trampilnya tangan itu melepas kaitan bra
dipunggung, buah dadaku sudah bergantung tanpa penyangga lagi, makin
gemas dia meremas remasnya. Jalanan Kertajaya mulai macet, memberi
kesempatan lebih lama pada Robi untuk menikmati tubuhku lebih dulu,
dengan menyingkap kaos hingga ke dada, dia semakin berani dan mengulum
kedua putingku bergantian, akupun mendesah dalam nikmat seraya
mengeluarkan penisnya, sesaat kulirik mata David mengamati kami dari
kaca spion, beruntung macetnya jalanan tak terlalu membutuhkan
konsentrasi saat nyetir.
Aku tahu sambil melirik David meremas remas sendiri kejantanannya
yang kuyakin sudah setegang batu karang, namun aku tak bisa
memperhatikan lebih jauh saat Robi menundukkan kepalaku pada
selangkangannya. Sedetik kemudian penis Robi sudah keluar masuk mulutku,
sambil menerima kulumanku, dia tak melepaskan remasannya pada buah dada
diiringi permainan di puting.
Tanpa kusadari, aku tidak lagi menolak ketika dia melepas kaosku
hingga topless. Kulumanku semakin bergairah, desahan Robi seakan
mengundang temannya untuk segera bergabung. Aku tahu dia tak akan
bertahan lebih lama lagi, maka semakin kupercepat kulumanku diselingi
remasan remasan menggoda, dan.. muncratlah spermanya di dalam mulutku,
aku tak mau mengeluarkannya, kutahan penis itu tetap berada dimulut
hingga habis spermanya. Banyak sekali sperma yang ditumpahkan ke mulut,
meskipun aku berusaha menelan semua tapi tak bisa dihindari beberapa
tetes mengalir keluar mengenai celananya, kuremas remas seakan memeras
habis sisa sisa sperma yang ada, dia mengerang berusaha menarik kepalaku
tapi aku tak mau, malahan kupermainkan lidahku di ujung penisnya.
“Ah disini sajalah, kalian sudah mulai duluan,” kata David ketika tiba didepan Hotel Sahid.
“Jangan disini, nggak enak, situ aja di Garden Palace, lebih asik,” usulku ketika dia hendak belok kanan memasuki area hotel Sahid, aku masih menjilati sisa sisa sperma yang masih ada di penis Robi.
“Jangan disini, nggak enak, situ aja di Garden Palace, lebih asik,” usulku ketika dia hendak belok kanan memasuki area hotel Sahid, aku masih menjilati sisa sisa sperma yang masih ada di penis Robi.
Ketika mobil memasuki halaman parkir Garden Palace, aku masih
bertelanjang dada di pangkuan Robi, dari belakang dia meremas remas buah
dadaku sambil mencium dan menjilati punggungku seakan tak pernah bosah
untuk menjamah tubuhku.
Entahlah apakah tukang parkir yang mengatur parkir bisa melihatku telanjang atau tidak karena kaca depan memang terang. Segera aku turun dan mengenakan kaosku tanpa bra yang sudah dikantongi Robi, bertiga kami menuju Lobby, David menggandengku dan menunggu di sofa saat Robi check in di meja Receptionis.
Entahlah apakah tukang parkir yang mengatur parkir bisa melihatku telanjang atau tidak karena kaca depan memang terang. Segera aku turun dan mengenakan kaosku tanpa bra yang sudah dikantongi Robi, bertiga kami menuju Lobby, David menggandengku dan menunggu di sofa saat Robi check in di meja Receptionis.
Kuamati Lobby hotel yang sempat menjadi “rumahku” selama 3 bulan saat
aku menjadi “simpanan” Koh Wi, tak banyak yang berubah bahkan mungkin
tak ada yang berubah, beberapa bell boy dan satpam masih kukenali dan
mereka tampaknya masih mengenali aku, mungkin karena penampilanku memang
tak banyak berubah.
Sesampai di kamar di lantai 14, David yang dari tadi sudah menahan
birahinya, langsung memelukku hingga kami terjatuh ke ranjang. Bukannya
berhenti malah semakin ganas menggumuliku, dengan kasar ditariknya lepas
kaosku dan dilempar ke arah temannya.
Celanakupun meninggalkanku tak lama kemudian, aku telanjang didepan kedua pria yang masih berpakaian lengkap, sesaat mereka membiarkanku telentang sendirian di ranjang. Dengan tergesa gesa David melepas pakaiannya, begitu telanjang dia langsung melompat ke atasku, kusambut dengan pelukan dan ciuman hangat, bibir dan lidah kami saling bertaut menyalurkan getar getar birahi. Begitu ganas David mencumbuiku, entah karena tipenya atau karena tak mampu lagi menahan birahi sejak kejadian di rumah Indra tadi, yang jelas ciumannya sangat liar, namun justru membuatku semakin bergairah. Lidahnya menyusuri tubuhku, dari leher turun dan berhenti di buah dada dan turun lagi hingga selangkangan tapi dia tidak melakukan oral, mungkin masih ragu karena sperma temannya telah membasahi saat di rumah Indra, ciumannya kembali naik setelah sampai di klitoris.
Celanakupun meninggalkanku tak lama kemudian, aku telanjang didepan kedua pria yang masih berpakaian lengkap, sesaat mereka membiarkanku telentang sendirian di ranjang. Dengan tergesa gesa David melepas pakaiannya, begitu telanjang dia langsung melompat ke atasku, kusambut dengan pelukan dan ciuman hangat, bibir dan lidah kami saling bertaut menyalurkan getar getar birahi. Begitu ganas David mencumbuiku, entah karena tipenya atau karena tak mampu lagi menahan birahi sejak kejadian di rumah Indra tadi, yang jelas ciumannya sangat liar, namun justru membuatku semakin bergairah. Lidahnya menyusuri tubuhku, dari leher turun dan berhenti di buah dada dan turun lagi hingga selangkangan tapi dia tidak melakukan oral, mungkin masih ragu karena sperma temannya telah membasahi saat di rumah Indra, ciumannya kembali naik setelah sampai di klitoris.
Kami berpelukan bergulingan hingga hampir jatuh, kuminta dia
telentang dan diam saja menikmati kenikmatan yang akan kuberikan. Mula
mula kujilati putingnya, aku membalas seperti apa yang dia lakukan
padaku tadi, dia masih terdiam menahan desahan, namun begitu lidahku
menyentuh lipatan pahanya, desahan lirih mulai terdengar dan semakin
keras ketika kuremas kejantanannya sambil menjilati kepala penisnya yang
tidak disunat. Akhirnya diapun mendesah lepas saat lidahku menjilati
dan menyusuri sekujur batang kemaluan hingga ke kantong bola dan
menyentuh lubang anus. Kubuka lebar dan kuangkat kakinya ke atas hingga
aku lebih bebas menjilati daerah seputar lubang pembuangannya, dia
menjerit semakin keras tak menyangka mendapat servis seperti itu, servis
yang tak kuberikan pada temannya sebelumnya, apalagi tanganku tak
pernah berhenti mengocok penisnya.
Kurasakan elusan di punggungku, ternyata Robi sudah telanjang bersiap
ikutan menikmati tubuhku, kuminta dia telentang di samping David untuk
mendapatkan servis yang sama, tapi dia menolak, malahan menciumi
pantatku yang sedang nungging. Robi menciumi vaginaku dari belakang,
sesekali menyentuh lubang anusku, seperti halnya David, akupun tak
menyangka dia akan melakukan itu, akupun mendesah sambil menjilati
David.
Cukup lama aku menjilat dan dijilat di tempat yang sama, kemudian
kurasakan penis Robi menyapu vaginaku dari belakang disusul dorongan
pelan menguak liang kenikmatanku. Aku beranjak dari posisiku, belum tiba
saatnya, aku ingin pemanasan yang lama dengan dua laki laki ini,
kurebahkan tubuhku telentang disamping David dan kubuka kakiku lebar
mengundang untuk dikulum. David yang dari tadi cuma telentang,
menyerobot posisi temannya, dia segera menyusupkan kepalanya di
selangkanganku, rupanya dia ingin membalas perlakuanku. Aku mendesah
nikmat dikala bibir dan lidahnya menyentuh klitorisku, dan semakin keras
saat Robi ikutan mendaratkan lidahnya pada putingku bergantian.
Dua lidah laki laki bermain di kedua daerah sensitifku, sungguh kenikmatan yang tak terbayangkan, begitu indah rasanya, apalagi permainan lidah David tak kalah liar dengan Robi menari nari di vagina, kukocok keras penis Robi yang berada dalam genggamanku, diapun ikutan mendesah.
Robi menggumuli bagian atas tubuhku dengan penuh gairah, mengulum putingku, melumat bibir sambil meremas kedua buah dadaku, menciumi leher hingga kembali ke puting, rasanya tidak satu centi-pun tubuhku yang terlewatkan dari sapuan bibir dan lidahnya. David yang berada dibawah juga tak kalah liarnya, menyusuri bagian bawah, dari jilatan di klitoris menyebar ke bibir vagina hingga ke lipatan paha dan paha dalam terus kembali lagi ke vagina dan sekitar dubur. Semua dia lakukan bersamaan dengan temannya, seperti paduan antara keahlian dan gerak tari lidah yang terpadu di atas tubuhku, sungguh permainan yang penuh gelora birahi tinggi.
Dua lidah laki laki bermain di kedua daerah sensitifku, sungguh kenikmatan yang tak terbayangkan, begitu indah rasanya, apalagi permainan lidah David tak kalah liar dengan Robi menari nari di vagina, kukocok keras penis Robi yang berada dalam genggamanku, diapun ikutan mendesah.
Robi menggumuli bagian atas tubuhku dengan penuh gairah, mengulum putingku, melumat bibir sambil meremas kedua buah dadaku, menciumi leher hingga kembali ke puting, rasanya tidak satu centi-pun tubuhku yang terlewatkan dari sapuan bibir dan lidahnya. David yang berada dibawah juga tak kalah liarnya, menyusuri bagian bawah, dari jilatan di klitoris menyebar ke bibir vagina hingga ke lipatan paha dan paha dalam terus kembali lagi ke vagina dan sekitar dubur. Semua dia lakukan bersamaan dengan temannya, seperti paduan antara keahlian dan gerak tari lidah yang terpadu di atas tubuhku, sungguh permainan yang penuh gelora birahi tinggi.
“Oke siapa duluan,” tantangku setelah merasakan serbuan liar bertubi
tubi dari bibir dan lidah mereka, agak kewalahan juga menikmati
permainan oral mereka. Mereka berpandangan seakan tidak ada yang mau
ngalah.
“Kamu berunding aja dulu dan jangan berantem, semua pasti kebagian,
tunggu dulu ya,” kataku menggoda sembari turun dari ranjang mengambil
kondom dari tas Eigner-ku yang selalu ready.
“Pake ini dulu, kecuali kalian mau sama sama nggak pake,” kataku sambil meletakkan beberapa bungkus kondom di atas ranjang dan aku kembali telentang menunggu siapa yang beruntung mendapatkan vaginaku terlebih dahulu.
“Pake ini dulu, kecuali kalian mau sama sama nggak pake,” kataku sambil meletakkan beberapa bungkus kondom di atas ranjang dan aku kembali telentang menunggu siapa yang beruntung mendapatkan vaginaku terlebih dahulu.
“Kamu yang pilih deh,” kata David.
“Nggak,” jawabku singkat sambil mendesah pelan, mempermainkan klitorisku sendiri dengan tangan, selain untuk menggoda mereka, aku tak mau gairahku drop hanya karena menunggu mereka berebut, tentu saja kedua laki laki itu semakin sengit berebut. Mereka berunding berbisik, aku tak peduli sambil mendesah semakin keras melanjutkan kocokan jariku yang sudah keluar masuk vagina.
“Nggak,” jawabku singkat sambil mendesah pelan, mempermainkan klitorisku sendiri dengan tangan, selain untuk menggoda mereka, aku tak mau gairahku drop hanya karena menunggu mereka berebut, tentu saja kedua laki laki itu semakin sengit berebut. Mereka berunding berbisik, aku tak peduli sambil mendesah semakin keras melanjutkan kocokan jariku yang sudah keluar masuk vagina.
“Guys, please” pintaku disela desahan melihat mereka belum juga mau mengalah.
Tak sabar menunggu mereka, akhirnya aku turun dari ranjang dan
jongkok diantara tubuh telanjang mereka, kugenggam kedua penis yang
mulai melemas.
“Kamu lanjutkan rundingannya,” kataku seraya memasukkan salah satu penis ke mulutku, mereka terdiam dan berganti dengan desahan nikmat.
“Yang keluar duluan, kalah,” kataku melanjutkan kulumanku. Bergantian dua penis itu keluar masuk ke mulut, aku semakin mempercepat kocokanku. Bersamaan mereka mendesah semakin keras menikmati permainan lidahku yang menyusuri batang batang menegang secara bergantian.
“Kamu lanjutkan rundingannya,” kataku seraya memasukkan salah satu penis ke mulutku, mereka terdiam dan berganti dengan desahan nikmat.
“Yang keluar duluan, kalah,” kataku melanjutkan kulumanku. Bergantian dua penis itu keluar masuk ke mulut, aku semakin mempercepat kocokanku. Bersamaan mereka mendesah semakin keras menikmati permainan lidahku yang menyusuri batang batang menegang secara bergantian.
Bisa ditebak, David yang sedari tadi nafsunya sedang meluap luap
tanpa pelampiasan, segera memenuhi mulutku dengan spermanya, diiringi
teriakan kenikmatan. Kenikmatan yang sudah dia tunggu dan harapkan
sedari tadi.
Robi segera menggandengku ke ranjang, meninggalkan David yang duduk
terengah engah setelah merasakan orgasme di mulutku. Aku telentang
menanti cumbuan lanjutan dari Robi yang sudah bersiap di atas tubuh
telanjangku.
Seperti kebanyakan tamuku lainnya, dia tidak langsung menyetubuhiku tapi menikmati setiap bagian dari tubuhku dengan bibir dan lidahnya. Tanpa mempedulikan aroma sperma dari mulutku, dilumatnya bibirku hingga lidah kami bertaut menyatu, disusul dengan sapuan bibir menyusuri leher dan berhenti pada kedua bukit di dada. Aku menggelinjang saat kuluman dan sedotan lembut menerpa putingku, disela remasan dan jilatannya, akupun mendesah geli bercampur nikmat.
Seperti kebanyakan tamuku lainnya, dia tidak langsung menyetubuhiku tapi menikmati setiap bagian dari tubuhku dengan bibir dan lidahnya. Tanpa mempedulikan aroma sperma dari mulutku, dilumatnya bibirku hingga lidah kami bertaut menyatu, disusul dengan sapuan bibir menyusuri leher dan berhenti pada kedua bukit di dada. Aku menggelinjang saat kuluman dan sedotan lembut menerpa putingku, disela remasan dan jilatannya, akupun mendesah geli bercampur nikmat.
Kurasakan ranjang bergoyang, ternyata David tak mau berdiam diri
melihat temannya telah membuatku menggelinjang penuh nafsu, dia duduk
disampingku, meraba raba dan meremas remas buah dadaku, berbagi dengan
temannya. Setelah mengusap sisa ludah Robi, David mendaratkan bibir dan
lidahnya pada putingku. kini dua mulut dan lidah menari nari pada
putingku, akupun semakin menggeliat tak karuan mendapatakan kenikmatan
ganda seperti ini, suatu kenikmatan yang tak bisa digambarkan, apalagi
gerakan mereka tidak sama antara menjilat dan menyedot, sungguh
pengalaman yang luar biasa.
Desahanku semakin tak terkontrol ketika bersamaan jari jari tangan
mereka menyeruak masuk ke liang kenikmatanku, akupun kembali menggeliat
hebat, empat stimulus berjalan bersamaan, dua di puting lainnya di
klitoris dan vagina, tak terbayangkan kenikmatan yang kudapatkan.
Kuraih kedua penis mereka yang mulai menegang, kuremas dan kukocok dengan cepat, hanya itulah yang bisa kulakukan selain mendesah.
Robi sudah mengambil posisi diselangkanganku selagi David masih asik melumat bibir dan lidahku, dan.. bless, tanpa kesulitan penis Robi menerobos memasuki vaginaku yang sudah basah, aku terhenyak sejanak merasakan penisnya memenuhi liang kenikmatanku, namun hanya beberapa detik kembali saling kulum dengan David disaat Robi mulai bergerak keluar masuk. Agak susah aku membagi konsentrasi antara kocokan di bawah dan kuluman di atas, apalagi ketika David bergerak mengulum putingku bergantian.
Kedua laki laki itu menikmati tubuhku dengan caranya masing masing sesuai porsi yang ada. Beberapa menit mereka mengocok dan mengulum, baru kusadari kalau Robi tidak memakai kondom tapi aku diam saja, toh ini bukan pertama kali laki laki menyetubuhiku tanpa kondom meskipun kebanyakan lebih menyukai memakainya, demi kesehatan, katanya.
Kuraih kedua penis mereka yang mulai menegang, kuremas dan kukocok dengan cepat, hanya itulah yang bisa kulakukan selain mendesah.
Robi sudah mengambil posisi diselangkanganku selagi David masih asik melumat bibir dan lidahku, dan.. bless, tanpa kesulitan penis Robi menerobos memasuki vaginaku yang sudah basah, aku terhenyak sejanak merasakan penisnya memenuhi liang kenikmatanku, namun hanya beberapa detik kembali saling kulum dengan David disaat Robi mulai bergerak keluar masuk. Agak susah aku membagi konsentrasi antara kocokan di bawah dan kuluman di atas, apalagi ketika David bergerak mengulum putingku bergantian.
Kedua laki laki itu menikmati tubuhku dengan caranya masing masing sesuai porsi yang ada. Beberapa menit mereka mengocok dan mengulum, baru kusadari kalau Robi tidak memakai kondom tapi aku diam saja, toh ini bukan pertama kali laki laki menyetubuhiku tanpa kondom meskipun kebanyakan lebih menyukai memakainya, demi kesehatan, katanya.
David beranjak ke atas, menyodorkan penisnya ke mulutku, kesempatan
ini tak disia siakan Robi, segera dia telungkup menindihku sambil
menciumi leher dan telinga, tubuh kami menyatu terpatri birahi. Sejenak
aku terlupa penis David yang sudah sudah menegang di samping wajahku.
David menyodorkan penisnya ke mulutku yang tengah menengadah merasakan
nikmatnya kocokan Robi, aku baru tersadar kalau masih ada satu penis
lagi yang harus aku handle, segera kuraih dan dengan agak susah karena
posisi tubuh Robi yang di atasku, akupun mengulum penis David sembari
menerima kocokan Robi yang semakin keras dan liar. David tak mau hanya
menerima kulumanku saja, diapun ikutan mengocokku, kini aku mendapat 2
kocokan sekaligus di atas dan di bawah.
Sebenarnya kenikmatan yang kudapat biasa biasa saja, namun sensasi
yang ditimbulkan membuat kenikmatan yang biasa biasa saja menjadi luar
biasa, akupun dengan mudahnya terhanyut dalam irama permainan birahi
yang penuh nafsu, melambung tinggi ke awan kenikmatan.
Tanpa mempedulikan sobatya yang tengah asik mengocok mulutku, Robi
membalik tubuhku hingga nungging, David menyesuaikan dengan posisi baru,
dia duduk di depanku disaat Robi mengocokku dengan posisi dogie.
Kembali aku menerima dua kocokan sekaligus, kali ini aku lebih bebas bergerak baik untuk mengimbangi kocokan Robi di vagina maupun gerakan kepalaku pada penis David.
Gerakan Robi semakin bebas dan liar, akupun mengimbangi keliarannya dengan goyangan pantat dan kepala, bersamaan kami mendesah nikmat membentuk suatu simfoni penuh nafsu.
Kembali aku menerima dua kocokan sekaligus, kali ini aku lebih bebas bergerak baik untuk mengimbangi kocokan Robi di vagina maupun gerakan kepalaku pada penis David.
Gerakan Robi semakin bebas dan liar, akupun mengimbangi keliarannya dengan goyangan pantat dan kepala, bersamaan kami mendesah nikmat membentuk suatu simfoni penuh nafsu.
“Rob, tukar,” pinta David beberapa menit kemudian.
Tanpa menunggu jawaban mereka, aku segera memutar balik tubuhku,
pantat ke arah David dan kepala pada selangkangan Robi. Robi lebih dulu
memasukkan penisnya yang basah cairan vagina ke mulutku, disusul David
pada vaginaku sedetik kemudian. Tak ada perbedaan rasa antara penis Robi
dan David saat memasuki vaginaku, tak ada yang istimewa pada mereka,
seperti penis pada umumnya dengan ukuran rata rata, hanya permainan
David lebih halus dibandingkan temannya, justru itu yang membuatku
seperti nggak sabar melihat dia mengocokku dengan pelan sementara
kocokan mulutku bergerak liar hingga mulutku kewalahan menerima
kocokannya.
“Vid, jangan dikeluarin di dalam,” kata Robi beberapa menit kemudian
setelah dia tahu temannya itu tak mengenakan kondom. Tapi terlambat,
hanya beberapa detik setelah Robi mengingatkan, David menjerit dalam
orgasme, kurasakan denyutan kuat menerpa dinding vaginaku. Sesaat
kuhentikan kulumanku pada Robi untuk menikmati gempuran demi gempuran
yang kuterima begitu nikmat.
“Ya kamu gimana sih, sudah dibilang keluarin diluar,” protes Robi
melihat sobatnya telah mendahului menumpahkan spermanya di vaginaku,
meskipun tak sebanyak saat oral tadi.
“Sorry Rob, tanggung, habis enak banget sih,” jawabnya sembari mengusap usapkan sisa sisa spermanya di pantat.
“Sialan kamu ini, masa nggak bisa nahan sih,” gerutunya, rupanya dia
mulai drop, perlahan penisnya yang masih dalam genggamanku melemas.
“Ya udah nggak usah ngambek gitu sama teman, aku bersiin dulu,”
kataku lalu turun dari ranjang menuju kamar mandi, namun sebelumnya
kukulum dulu penis David yang masih basah dengan spermanya.
Selagi aku jongkok di bathtub membersihkan vaginaku, Robi menyusul ke kamar mandi masih menggerutu.
“Tahu gitu kusuruh pake kondom dari tadi,” omelnya.
Aku hanya tersenyum melihat dia masih uring uringan, kuraih
kejantanannya yang lemas dan kubelai sambil menciumi, perlahan menegang
dan meluncur masuk ke mulutku. Sambil membersihkan vagina, aku melakukan
oral pada Robi, dengan bebasnya dia mengocok mulut tanpa pegangan
tanganku yang masih sibuk di vagina.
“Sudah bersih nih kalau mau lanjut,” kataku disela sela kulumanku.
Tanpa banyak bicara Robi ikutan masuk ke bathtub, dibaliknya tubuhku
nungging membelakanginya, meski agak susah karena tempatnya sempit,
kubuka kakiku saat Robi mulai menyapukan kepala penisnya ke vagina.
Cukup satu dorongan keras untuk melesakkan penisnya ke dalam, hanya
dengan satu sodokan telah membawaku kembali melayang mengarungi bahtera
birahi, aku terdongak sesaat terkaget mendapati kekasaran dia, namun
kurasakan kenikmatan dibalik kekasaran sodokan itu.
Meskipun bercinta di bathtub yang cukup sempit untuk tubuh kami berdua, namun terasa justru semakin erotis, apalagi ketika tanpa sengaja tanganku memegangi kran air hingga menyemburlah air dari shower di atas. Kami terkaget sejenak saat air itu membasahi tubuh kami yang tengah mendayung nikmat, tapi Robi mencegah ketika akan kumatikan pancuran itu.
Meskipun bercinta di bathtub yang cukup sempit untuk tubuh kami berdua, namun terasa justru semakin erotis, apalagi ketika tanpa sengaja tanganku memegangi kran air hingga menyemburlah air dari shower di atas. Kami terkaget sejenak saat air itu membasahi tubuh kami yang tengah mendayung nikmat, tapi Robi mencegah ketika akan kumatikan pancuran itu.
“Biar lebih asik,” katanya tanpa memperlambat kocokannya.
Tubuh kami basah kuyub, antara keringat nafsu dan dinginnya siraman shower, kami justru semakin bergairah.
Tak lama kemudian, akupun sudah berganti bergoyang pantat di pangkuan
Robi, penisnya serasa semakin mengaduk aduk isi rahimku, masih dengan
iringan siraman air shower yang kini sudah diatur hangat, sungguh
sensasi yang luar biasa.
Desahan kami saling bersahutan diiringi gemericik air yang membasahi tubuh kami, tak bisa dipungkiri aku sungguh menikmati permainannya. Tak terasa sudah 2 kali kugapai orgasme saat dia menyetubuhiku di bathtub.
Desahan kami saling bersahutan diiringi gemericik air yang membasahi tubuh kami, tak bisa dipungkiri aku sungguh menikmati permainannya. Tak terasa sudah 2 kali kugapai orgasme saat dia menyetubuhiku di bathtub.
“Rob, gantian dong,” suara David mengagetkanku, rupanya aku terlalu
terhanyut dalam alunan birahi hingga tak memperhatikan David yang
berdiri di pintu kamar mandi, tengah mengamati kami sambil meremas remas
penisnya yang telah tegang.
Sambil tetap bergoyang pinggul, kubantu David meremas dan mengocok
penisnya, ingin kukulum dan kulumat penis itu tapi posisiku tak
memungkinkan melakukannya, kecuali Robi mau penis David menempel di
kepalanya.
Satu penis mengaduk aduk vagina, satu mulut bergantian mengulum dan
menggigit ringan putingku dan satu penis berada dalam genggamanku, semua
terjadi secara bersamaan. Akan lebih nikmat lagi bila penis
digenggamanku itu bisa mengisi mulutku.
Kami mengatur posisi supaya David bisa ikutan bergabung, dan itu
tidaklah terlalu sulit meski bathtub yang kecil menghalangi gerakan
kami, dan tak lama kemudian dua penis sudah mengocok kedua lubang
tubuhku bersamaan, diiringi siraman hangatnya air shower, sungguh
pengalaman yang lain daripada sebelumnya. Aku yang sudah diatas awang
awang kenikmatan semakin cepat mendaki menuju puncak, hanya beberapa
menis setelah penis David mengocok mulut, akupun orgasme untuk kesekian
kalinya dipangkuan Robi.
Walaupun lututku serasa semakin melemas, aku berusaha tetap bergairah
dan menggoyang di atasnya, beruntunglah Robi menyusulku tak lama
kemudian menggapai puncaknya. Tapi episode ini ternyata belum berakhir,
David segera mengganti posisi temannya sesaat setelah Robi mengeluarkan
penisnya. Lututku serasa benar benar copot, kupaksakan untuk bertahan
beberapa saat lagi. Siraman air shower masih deras membasahi tubuhku
saat aku mengambil posisi merangkak di bathtub, bersiap menerima sodokan
David dari belakang.
Untuk kesekian kalinya penis itu kembali mengisi dan menyodok keluar
masuk vaginaku, kali ini aku benar benar tak mampu mengimbangi
gerakannya, hanya pasrah menerima sodokan demi sodokan dari belakang,
bahkan ketika David menyemprotkan sisa sisa spermanya di vagina, aku
sudah tak bisa merasakan lagi kenikmatan denyutannya, terlalu capek
untuk menikmatinya.
Setelah beristirahat cukup lama dan memberiku kesempatan recovery,
kami mainkan satu babak lagi dengan permainan satu satu dan diakhiri
dengan bermain bertiga lagi.
Sebelum tengah malam mereka meninggalkan kamar hotel, meninggalkanku
sendirian di kamar, ternyata mereka masih anak mama yang takut untuk
menginap di luar rumah tapi sudah berani untuk booking.
============================================================
Peristiwa ini terjadi ketika aku dengan 2 temanku, Yeni dan Ana,
menemani 3 orang tamu. Yeni-lah yang mengajak aku dan Ana untuk
menemaninya melayani ketiga tamunya, masing masing berpasangan.
Setelah ngobrol sejenak di kamar hotel, kami ber-enam dengan 2 taxi
menuju Club Deluxe di bilangan Tunjungan, mereka ingin santai dulu
sambil berkaraoke di Club itu.
Sebagian waitress dan mami ditempat itu sudah mengenali Yeni, apalagi
aku yang sering sekali menemani tamu tamu bersantai disitu hingga Mami
Mami disitu tak perlu repot mencarikan Purel untuk rombongan kami karena
sudah cukup pasangannya.
Setelah memesan minuman yang kebanyakan ber-alkohol, kamipun
bernyanyi dengan modal nekat meski suara pas pas-an, yang penting enjoy
dan tamuku bisa rileks disitu.
Satu jam berlalu, snack dan minuman sudah berulang kali diganti
dengan yang baru, entah berapa gelas alkohol yang telah mengisi rongga
mulutku, aku tak bisa menghitungnya, kepalaku sudah mulai agak pusing.
Untunglah Tomi, pasanganku, mencegah ketika aku pesan Singapore Sling,
rupanya dia melihatku mulai agak mabok, sebagai gantinya dipesankan aku
teh hangat.
Slow dance, House Music, ataupun joget dangdut bergantian kami
lakukan, tidak hanya dengan Tomi tapi tak jarang berganti ke Yudi
ataupun Indra, temannya yang lain. Tak bisa dihindari tangan merekapun
dengan nakalnya ikutan menjamah pantat dan terkadang buah dadaku, aku
tak protes karena Tomi, pasanganku, malakukan hal yang sama pada Yeni
atau Ana.
Ketika lagu mandarinnya Andi Lau sedang dikumandangkan Indra dengan
suara fals-nya, Yeni memanggil aku dan Ana ke Toilet di kamar itu,
meninggalkan ketiga laki laki itu menyanyi sendiri.
“Rek (panggilan khas Surabaya), kita taruhan yuk” sambut Yeni ketika kami bertiga di toilet.
Aku yang sudah terbiasa dengan berjudi jadi tertarik.
“Taruhannya gimana dan hadiahnya apa?” tanyaku penuh minat.
“Kita lakukan dengan cara yang berbeda dari biasanya” sambung Yeni, kulihat matanya berbinar melihat aku dan Ana menyambut dengan antusias.
“Begini, kita lakukan oral pada pasangan kita masing masing, siapa yang bisa membuat orgasme pertama dialah yang menang dan yang terakhir harus membayar, nomer 2 nggak dapat apa apa..”
“Setuju, berapa taruhannya?” potong Ana langsung dengan penuh percaya diri.
“Sabar dulu non, nah disini asiknya permainan ini, yang terakhir membuat orgasme maka dia harus membayar uang bookingan pada tamu berikutnya, dimana yang mencarikan tamu itu adalah pemenang pertama” jelas Yeni.
“Jadi yang kalah harus menyerahkan hasil bookingan untuk tamu yang dicarikan pemenang?” tanya Ana seolah memperjelas.
“Yap, dan tidak boleh menolak tamu macam apapun, apa itu kaya, muda, tua pokoknya terima layani saja tamu yang dikirim pemenang, titik, setuju?” jelas Yeni lagi.
“Deal” tantang Ana.
“Kita lakukan dengan cara yang berbeda dari biasanya” sambung Yeni, kulihat matanya berbinar melihat aku dan Ana menyambut dengan antusias.
“Begini, kita lakukan oral pada pasangan kita masing masing, siapa yang bisa membuat orgasme pertama dialah yang menang dan yang terakhir harus membayar, nomer 2 nggak dapat apa apa..”
“Setuju, berapa taruhannya?” potong Ana langsung dengan penuh percaya diri.
“Sabar dulu non, nah disini asiknya permainan ini, yang terakhir membuat orgasme maka dia harus membayar uang bookingan pada tamu berikutnya, dimana yang mencarikan tamu itu adalah pemenang pertama” jelas Yeni.
“Jadi yang kalah harus menyerahkan hasil bookingan untuk tamu yang dicarikan pemenang?” tanya Ana seolah memperjelas.
“Yap, dan tidak boleh menolak tamu macam apapun, apa itu kaya, muda, tua pokoknya terima layani saja tamu yang dikirim pemenang, titik, setuju?” jelas Yeni lagi.
“Deal” tantang Ana.
Aku diam saja.
“Gimana Ly, berani nggak?” tanya Ana sambil menatapku.
Sebelum aku menjawab, pintu toilet dibuka, Indra masuk.
“Eh kalau arisan jangan di toilet dong, kami jadi batu nih sendirian”
celetuk Indra, tanpa mempedulikan kami dia langsung membuka celananya
dan kencing di kloset, kami terdiam.
“Jangan lama lama ya, ntar kami jadi patung lho” katanya sambil mencium bibir Yeni lalu keluar.
“Aku sih setuju aja, tapi usul boleh kan, supaya permainan lebih menarik dan menantang gimana kalau taruhan dinaikkan, yang kalah menyerahkan hasil bookingan sekarang ke pemenang pertama, dan juga menyerahkan uangnya pada bookingan berikutnya dari tamu yang dicarikan pemenang pertama dan kedua, jadi looser loss all” usulku penuh percaya diri karena yakin bisa mengalahkan mereka, aku sudah sering melihat permainan oral Yeni sedangkan Ana meski belum tahu kelihaiannya tapi rasanya tak mungkin kalah dengan Ana.
“Aku sih setuju aja, tapi usul boleh kan, supaya permainan lebih menarik dan menantang gimana kalau taruhan dinaikkan, yang kalah menyerahkan hasil bookingan sekarang ke pemenang pertama, dan juga menyerahkan uangnya pada bookingan berikutnya dari tamu yang dicarikan pemenang pertama dan kedua, jadi looser loss all” usulku penuh percaya diri karena yakin bisa mengalahkan mereka, aku sudah sering melihat permainan oral Yeni sedangkan Ana meski belum tahu kelihaiannya tapi rasanya tak mungkin kalah dengan Ana.
Yeni diam memandang Ana.
“Jangan terlalu besar gitu ah, kasihan yang kalah nanti, gimana kalau
setengah saja untuk bookingan sekarang, anggap saja uang panjar” kata
Ana.
Setelah melakukan beberapa perubahan akhirnya kami sepakat dengan
beberapa perubahan aturan main, pemenang dengan menelan sperma mendapat
hadiah penuh bila tidak hanya separoh yang didapat, apabila mau melayani
tamu pilihan kedua pemenang sekaligus alias 2 in 1, maka cukup
menyerahkan setengah perolehannya, sedangkan hasil bookingan kali ini
diberikan setengah ke pemenang pertama, Pemenang Pertama dan Kedua
diberi kesempatan untuk mencarikan tamu tidak lebih dari 3 hari atau
hadiah hangus. Mungkin kami sudah sama sama mabuk hingga melakukan
taruhan yang nggak umum ini, bertiga kembali ke ruangan karaoke ke
pasangan kita masing masing, kupanggil waitres yang siaga di depan pintu
kamar.
“Jangan sekali kali masuk sebelum kami panggil dan tolong redupkan
lampu itu” bisikku sambil menyelipkan 50 ribuan ke kantong bajunya.
Kami minta ketiga laki laki itu duduk berjejer di sofa panjang, tanpa
bicara, kami langsung jongkok di depan pasangan kami, mereka terlihat
bingung tapi tentu saja senang dan gembira melihat kami mulai membuka
celananya dan mengeluarkan penisnya.
Seperti dikomando, bersamaan kami memasukkan penis itu ke mulut,
perlombaan telah dimulai. Aku yang hanya mengeluarkan penis Tomi dari
lubang resliting rasanya kurang bebas, kubuka celananya dan kulorotkan
hingga ke lutut.
Kujilati seluruh penis Tomi dari ujung hingga lubang anus, kedua
kakinya kunaikkan ke atas hingga aku bebas menyapukan lidahku ke daerah
sekitar selangkangannya, kudengar dengan jelas desah kenikmatan dari
Tomi, diiringi desahan Indra dan Yudi.
Kukerahkan semua kemampuanku untuk memenangkan permainan ini,
sesekali kulirik Yeni menuntun tangan Indra ke balik kaosnya, diremas
remasnya buah dada Yeni. Sedangkan Ana aku yang di ujung tak bisa
melihat trik-nya karena terhalang tubuh Yeni. Kepala kami bergantian
turun naik di selangkangan para laki laki itu, berlomba menggapai tepian
nafsu yang tak bertepi.
Beberapa menit berlalu, aku semakin penasaran karena Tomi ternyata
“bandel” juga, antara mabuk dan nafsu membuatku semakin nekat, dengan
maksud membuat Tomi cepat terangsang dan orgasme, kubuka kaosku hingga
menampakkan kedua bra hijau satin transparan yang tak mampu
menyembunyikan tonjolan buah dadaku dengan puting yang tampak menerawang
meski lampu agak redup.
Tangan Tomi segera meraih dan meremas remas kedua buah dadaku, tapi
tampaknya dia ingin lebih, dikeluarkannya buah dadaku dari sarangnya
hingga menggantung bebas.
Ternyata aku membuat kesalahan fatal ketika melepas kaosku tadi,
Indra yang duduk di sebelah Tomi justru lebih sering melototiku, pada
mulanya aku senang saja mendapat perhatian darinya meski dia sedang
memperoleh kuluman Yeni, malahan perhatiannya lebih tercurah kepadaku
saat Tomi mengeluarkan buah dadaku, padahal Yeni sudah mengikutiku
melepas kaosnya.
Tiba tiba kudengar teriakan orgasme dari Indra, teriakan seperti itu
biasanya terdengar begitu penuh menggairahkan, tapi kali ini terdengar
sangat menyeramkan bagai petir di siang hari bolong. Aku sangat kaget,
hampir tak kupercaya bahwa dia yang menurutku permainannya biasa biasa
saja, tidak istimewa.
Aku dan Ana menghentikan kuluman sejenak untuk melihat apakah dia
menelannya atau tidak, dan kembali aku terkaget saat Yeni menelan dan
menjilati sperma yang ada di mulut dan tangannya itu seperti menjilat
ice cream, tak biasanya dia melakukan itu. Sungguh dengan telak dia
mengalahkan aku pada situasi yang seharusnya aku menangkan.
“Oke nona nona manis, aku sudah selesai” katanya seraya berdiri
menuntun pasangannya ke toilet, sepertinya melanjutkan permainan, namun
dia sempat menerangkan lampu kamar, biar permainan lebih seru, katanya.
Kini tinggal aku dan Ana yang masih berjongkok dalam terangnya lampu
kamar karaoke. Kamipun kembali berlomba memacu nafsu menuju garis tepi.
Sudah kepalang tanggung, aku nggak mau menjadi pecundang, kulepas bra
yang menutupi dadaku, supaya Tomi lebih bergairah, kurasakan penisnya
semakin menegang dalam mulutku, akupun semakin liar mengulumnya, bahkan
bertambah nekat, celanaku-pun akhirnya melayang dari tubuhku, menyisakan
celana dalam mini string yang masih menempel.
Sempat kulihat mata Yudi melotot melihat tubuhku yang hampir
telanjang, desahan Tomi semakin keras seakan mengimbangi alunan musik
dari karaoke box yang masih terus bernyanyi tanpa ada yang
memperhatikan.
“Wow, semakin panas nih permainan” komentar Yeni ketika keluar dari
toilet, aku tak memperhatikan lagi karena sedang memacu nafsu Tomi
menuju puncak.
“Aku akan jadi jurinya” lanjut Yeni sambil duduk di pangkuan Indra di sofa seberang.
“Aku akan jadi jurinya” lanjut Yeni sambil duduk di pangkuan Indra di sofa seberang.
Sambil menyusurkan lidahku di selangkangan Tomi, kulirik Ana yang
tengah asik mengulum penis Yudi, pandanganku bertatapan dengan Yudi yang
tengah mengamati tubuh terutama buah dadaku nan tengah dalam remasan
pasanganku. Kembali kepala kami mengangguk angguk diselangkangan
pasangan masing masing, memacu nafsu menuju tepian birahi.
Namun untuk kedua kalinya aku dikagetkan teriakan orgasme yang serasa
menggelagar bagaikan suara guntur di siang hari, merontokkan segala
kebanggaan yang selama ini kumiliki. Teriakan itu sepertinya sangat
menyeramkan, baru kali ini aku begitu membenci teriakan orgasme dari
laki laki, terutama dari Yudi, lemaslah lututku seketika.
Kini kulihat Ana tengah menjilati sperma yang ada di bibir dan
sekitar wajahnya sambil tersenyum penuh kemenangan memandangku,
pandangan itu terlihat begitu penuh cemooh kemenangan, aku benar benar
merasa bagaikan seorang pecundang dihadapan Ana dan Yeni.
Meski sambil memendam kekesalan karena kalah, aku tetap melanjutkan
kulumanku pada Tomi hanya untuk menyenangkan hatinya, namun hingga
beberapa menit kemudian, tak terlihat ada tanda tanda menuju puncak,
akhirnya aku menyerah dan menghentikan kulumanku, untungnya dia nggak
marah.
“Nggak apa, kita lanjutkan nanti di hotel” katanya sembari mencium bibirku.
Dengan agak keras karena kesal, kuhempaskan tubuh hampir telanjang ke
sofa diantara Yudi dan Tomi, aku benar benar kecewa dengan penampilanku
sendiri, sungguh kusesali kekalahan dari Yeni dan Ana, bukan uang yang
kupikirkan tapi lebih pada kebanggaan bahwa aku kalah dengan mereka pada
situasi yang tidak kuharapkan.
“Tom, untung kamu dapat Lily, disamping body-nya oke, oralnya juga
hebat lho aku perhatikan tadi” kata Yudi, kuanggap sebagai hiburan.
“Kalau saja dia nggak telanjang gitu, mungkin dia yang menang” lanjutnya mengagetkanku.
“Jadi..” tanyaku
“Ya, aku melihat bagaimana kamu ber-karaoke dengan tubuh hampir telanjang, makanya cepat naik” akunya cukup mengagetkanku, tak kusangka aku membuat kesalahan sefatal itu, kesalahan yang tanpa kusadari memberi peluang menang pada sainganku, mungkin juga Indra melakukan hal yang sama dan ternyata hal itu diakui olehnya.
“Melihat live show sambil di-oral tentu lebih cepat dibandingkan pemainnya sendiri” timpal Indra berteori sambil memangku dan memeluk Yeni, keduanya tertawa.
“Kalau saja dia nggak telanjang gitu, mungkin dia yang menang” lanjutnya mengagetkanku.
“Jadi..” tanyaku
“Ya, aku melihat bagaimana kamu ber-karaoke dengan tubuh hampir telanjang, makanya cepat naik” akunya cukup mengagetkanku, tak kusangka aku membuat kesalahan sefatal itu, kesalahan yang tanpa kusadari memberi peluang menang pada sainganku, mungkin juga Indra melakukan hal yang sama dan ternyata hal itu diakui olehnya.
“Melihat live show sambil di-oral tentu lebih cepat dibandingkan pemainnya sendiri” timpal Indra berteori sambil memangku dan memeluk Yeni, keduanya tertawa.
Dengan membawa kekalahan telak, kami kembali ke Hotel, aku masih
kesal dengan kekalahanku ini tapi Tomi menghibur dengan membesarkan
hatiku untuk mengembalikan kepercayaanku.
“Kamu sangat baik kok, cuma karena kalah strategi dan aku juga memang
sangat jarang bisa orgasme hanya dengan oral, apalagi rame rame seperti
itu, pasti nggak akan bisa keluar, Yeni tahu itu” katanya sesampai di
kamar hotel. Aku terperangah, berarti aku sudah “dijebak” oleh Yeni,
tetapi dia hanya tertawa saat kutelepon tentang pengakuan Tomi.
“Deal is deal” katanya sambil menutup HP-nya, aku dongkol bukan
karena kehilangan uang tapi merasa dipermainkan, awas kubalas nanti,
tekadku dalam hati.
Aku menghindar saat Tomi tanya soal uang taruhan permainan tadi, dia mau mengganti karena dia juga merasa terlibat.
“Urusan wanita” jawabku singkat sembari melepas pakaianku untuk kedua
kalinya, namun kali ini benar benar telanjang dihadapan Tomi yang baru
kukenal beberapa jam yang lalu.
“Body kamu bagus, kencang lagi” katanya sembari mengelus dan meremas buah dadaku, padahal dia sudah melakukannya sedari tadi.
“Body kamu bagus, kencang lagi” katanya sembari mengelus dan meremas buah dadaku, padahal dia sudah melakukannya sedari tadi.
Masih dengan pakaian lengkap, bibirnya langsung mendarat di puncak
bukitku, dijilat dan dikulum penuh hasrat birahi, aku mendesah perlahan
merasakan kegelian nan nikmat.
Tomi menelentangkan tubuh telanjangku di ranjang, secepat kilat dia
melepas pakaiannya hingga kami sama sama bugil. Sedetik kemudian kepala
Tomi sudah berada diantara kedua kakiku dengan lidah menari nari
menyusuri klitoris dan daerah vagina. Dengan rakus dia menyedot cairan
basah yang ada di vaginaku, aku menjerit mendesah nikmat sambil meremas
remas rambutnya.
Lidahnya cukup lincah menikmati detail vaginaku yang telah merasakan 2
penis dari tamu sebelumnya, Tomi adalah tamu ketiga-ku di hari itu.
Kami berposisi 69, saling melumat dan saling membagi kenikmatan birahi.
Aku-pun mulai menapak bukit menuju puncak kenikmatan bersamanya.
Hanya dengan sekal dorong, melesaklah penisnya memenuhi vaginaku,
tidak sebesar tamuku sore tadi tapi tetap saja terasa nikmat, apalagi
ketika dia mulai mengocokku dari atas sambil menciumi bibir dan leherku,
membuat semakin melayang cepat menuju puncak.
Tidak seperti saat oral tadi, hanya beberapa menit berselang dia
mengocokku menyemburlah spermanya memenuhi vagina dengan kuatnya, aku
menjerit terkaget nikmat menikmati denyutan demi denyutan hingga tetes
sperma terakhir.
“Kamu terlalu sexy, nggak tahan aku lebih lama lagi” katanya seraya
turun dari tubuhku, padahal aku masih setengah jalan ke puncak.
Mungkin karena foreplay terlalu lama atau masih terpengaruh suasana
di tempat karaoke tadi makanya begitu cepat dia selesai, pikirku.
“Nggak apa, kan ada babak kedua, waktu kita masih panjang nggak usah
buru buru” hiburku sambil meraih penisnya, dengan nakal aku menjilati
sisa sperma yang masih ada di batang kejantanannya dan mengulumnya, dia
menjerit kaget tapi tak menolak, aroma sperma begitu kuat menyengat
hidung.
Malam itu kami habiskan dengan penuh nafsu birahi hingga pagi, meski
Tomi tidak bisa bertahan lama tapi dia begitu cepat recovery, satu
posisi satu orgasme hingga tak terasa 5 babak kami lewatkan hingga
menjelang pagi dan kamipun tertidur setelah matahari mulai mengintip
dari ufuk timur.
Belum lelap tidurku ketika terdengar telepon berbunyi, Tomi
mengangkatnya, ternyata dari Ana yang ingin bicara dengan aku. Dia
menawari setelah selesai dengan Tomi untuk gabung dengan Yudi, diluar
kesepakatan tadi karena ini permintaan Yudi.
“Aduh, aku masih capek nih, barusan juga tidur, kalian udah ganggu”
jawabku dengan mata masih berat karena ngantuk dan pengaruh alkohol
semalam.
Ana nggak menyerah begitu saja, kini gantian Yudi yang bicara
mendesakku, akhirnya aku sanggupi tapi setelah beres dengan Tomi.
Kembali aku dan Tomi melanjutkan tidur berpelukan dengan tubuh masih
sama sama telanjang, selimut menyatukan tubuh kami di atas ranjang.
Belum lelap tidurku, kembali telepon berbunyi, Tomi mengangkat dan
langsung menyerahkan ke aku, dengan mata agak tertutup kuterima juga.
Ternyata Yeni, dia mengajak untuk bertukar partner, sebenarnya aku agak
malas meladeninya.
“Terserah Tomi deh” jawabku setengah ogah ogahan.
Ternyata Tomi nggak mau menukar aku dengan Yeni.
“Mendingan sama kamu aja, lebih pintar dan liar, lebih sexy dan lebih
montok meski Yeni nggak kalah cantik sih, juga aku udah sering sama
Yeni” katanya tanpa membuka matanya.
“Dia nggak mau, masih capek katanya, kita barusan tidur” jawabku berbohong.
“Ya udah kamu yang kesini gih, kita keroyok Indra” ajak Yeni.
“Dia nggak mau, masih capek katanya, kita barusan tidur” jawabku berbohong.
“Ya udah kamu yang kesini gih, kita keroyok Indra” ajak Yeni.
Aku bingung karena sudah menyanggupi Ana, entah kenapa kok semua
menginginkan aku padahal mereka sudah punya pasangan masing masing,
mungkin karena tergoda penampilan dan postur tubuhku semalam, meski aku
kalah telak.
“Tapi aku udah janji sama Ana ngeroyok Yudi setelah ini, kamu sih teleponnya telat” jawabku.
Meski Indra ikutan membujukku, aku tak bisa memenuhi ajakannya,
kudengar nada kecewa darinya tapi apa boleh buat first in first serve.
Pukul 11 siang kami mandi bersama, itupun setelah Ana berulang kali
menelepon untuk segera datang. Di kamar mandi kami lanjutkan satu babak
permainan lagi. Tomi harus segera terbang ke Balikpapan, itulah sebabnya
dia harus check out duluan.
Setelah berpakaian rapi kami menuju kamar Yudi, sengaja tak kukenakan
bra dan celana dalamku karena toh sebentar lagi akan dilepas juga,
padahal kaosku cukup menerawang transparan, kalau saja ada yang
memperhatikan pasti dia bisa melihat bayangan putingku yang menonjol
dibalik kaos Versace-ku, Tomi hanya tersenyum melihat kenakalanku.
Ternyata Ana dan Yudi belum berpakaian, mereka sedang makan pagi hanya mengenakan balutan handuk di tubuhnya.
“Eh masuk, kami barusan makan pagi atau makan siang nih” sambut Ana
sambil mendaratkan ciumannya di bibir Tomi, begitu juga Yudi menyambutku
dengan pelukan dan ciuman bibir, pasti dia bisa merasakan buah dadaku
yang tidak terlindung bra.
“Yud, aku harus segera terbang, titip Lily ya” kata Tomi sambil menyalami sobatnya.
“Sip, nggak usah khawatir kalau dengan aku, pasti well maintained” balas sobatnya.
“Oh ya, sebentar lagi si Indra juga terbang ke Denpasar, kalau kamu mau Yeni juga hubungi aja dia” lanjut Tomi.
“Sip, nggak usah khawatir kalau dengan aku, pasti well maintained” balas sobatnya.
“Oh ya, sebentar lagi si Indra juga terbang ke Denpasar, kalau kamu mau Yeni juga hubungi aja dia” lanjut Tomi.
Setelah memberikan ciuman di bibir padaku dan juga pada Ana, dia meninggalkan kami bertiga.
“Ini dia yang sok pamer semalem” kata Yudi seraya menarik tubuhku
dalam pelukannya dan disusul ciuman pada leherku. Aku spontan
menggelinjang geli, tangan Yudi sudah menyelinap di balik kaos dan mulai
meremas remas buah dadaku. Ana hanya mengamati sambil meneruskan
makannya seakan tak terpengaruh kehadiranku.
Kubalas cumbuan Yudi dengan menarik handuknya dan kugenggam penisnya
yang mulai menegang, tak kusangka ternyata lebih besar dari perkiraanku
semalam, bahkan melebihi punya Tomi. Satu persatu pakaianku terlepas
hingga kami sama sama telanjang, namun dia tak melanjutkan cumbuannya,
ditatapnya tubuhku yang sekarang telanjang sama sekali.
“Kita makan dulu yuk” ajaknya setelah mengamati tubuhku dari atas bawah depan belakang.
Secepat mungkin kami menghabiskan makanan yang tersedia di meja tanpa
sisa, aku tak bisa menolak ketika Ana dan Yudi mengajakku mandi lagi.
Ketiga tubuh telanjang kami akhirnya ber-basah basah dibawah siraman
air hangat dari shower, aku benar benar diperlakukan bak ratu oleh
mereka, Yudi menyabuniku dari depan sementara Ana dari belakang, padahal
setengah jam yang lalu aku sudah mandi.
Empat tangan berada di kedua buah dadaku, aku terjepit dalam pelukan
mereka di depan dan belakang, ada erotisme tersendiri seperti ini.
Yudi membalik tubuhku hingga berhadapan dengan Ana, kami saling
berpelukan ketika kaki kiriku diangkat ke bibir bathtub. Kupeluk Ana
erat saat penis Yudi mulai mengusap bibir vaginaku dari belakang, dan
pelukanku semakin erat ketika dia melesakkan penisnya, diiringi desah
kenikmatanku.
Siraman air hangat mengiringi kocokan Yudi padaku, semakin lama
semakin cepat dan semakin keras pula desahanku, remasan Yudi dan Ana
semakin liar menggerayangi buah dadaku. Hentakan demi hentakan keras
menerjangku, semakin aku mendesah liar dalam nikmat.
“Ih kamu berisik juga ya” komentar Ana karena baru pertama kali aku
melakukannya dengan dia, tapi aku tak peduli, kebanyakan laki laki
menyukai “kebisingan” seperti ini.
Aku dan Ana bertukar posisi, giliran Yudi mengocoknya, ternyata dia
juga berisik meski tak seheboh aku, berulang kali dia meremas buah
dadaku, begitu juga dengan Yudi karena punyaku memang lebih montok dari
Ana tentu lebih pas pegangannya.
“Pindah ke ranjang yuk” ajakku beberapa saat kemudian, mereka mengikutiku setelah saling mengeringkan badan dengan handuk.
“Ntar kita panggil sekalian Yeni, sekalian kita berpesta pora” lanjutnya.
“Ntar kita panggil sekalian Yeni, sekalian kita berpesta pora” lanjutnya.
Yudi langsung telentang di ranjang, aku dan Ana sudah bersiap di selangkangannya tapi dia minta aku sendirian mengulum penisnya.
“Biar kurasakan nikmatnya kulumanmu seperti yang kamu berikan pada
Tomi semalam” katanya sambil meminta Ana bergeser ke pelukannya.
Aku segera memenuhi permintaannya, kujilati seluruh daerah
selangkangannya hingga ke lubang anus, Yudi menjerit kaget dan geli
sambil mengumpat tak karuan karena nikmatnya. Kuangkat kakinya ke atas
hingga aku bisa dengan bebas menyusurkan lidahku antara lubang anus
hingga ke ujung penis, bukan main, teriaknya tak menyangka mendapatkan
perlakuan semacam itu, padahal aku belum mengulumnya, hanya permainan
lidah saja.
Melihat permainan oralku Ana menjadi gemas dan mengikutiku, dua lidah
dan dua bibir menjelajah di selangkangan tanpa ada yang mengulum, Yudi
semakin kelojotan. Entah mengapa ada perasaan ingin membuktikan bahwa
aku tidak layak kalah dalam oral dengan Ana, meskipun kenyataan semalam
mengatakan sebaliknya, itu hanya faktor keteledoranku semata, pikirku.
Tanpa memperhatikan Ana, dia minta 69, meskipun begitu aku dan Ana
tetap mengeroyok di kedua pahanya, bergantian kami mengulum dan menjilat
seakan ingin menunjukkan siapa yang lebih unggul.
“Udah ah aku nggak tahan lagi” teriak Yudi memintaku turun.
Sedetik setelah aku turun, Ana sudah bersiap melesakkan penis Yudi ke vaginanya, dia sudah memposisikan dirinya di atas.
“Aku duluan ya, udah nggak tahan nih” katanya seraya perlahan menurunkan tubuhnya membenamkan penis itu di liang kenikmatannya.
Aku hanya tersenyum bergeser ke belakang Ana, kupeluk dia dari
belakang sambil meremas remas buah dadanya yang tidak sebesar punyaku
sambil menggeser geserkan putingku ke punggungnya. Tak menyangka
kuperlakukan seperti itu, dia menjerit dan menggelinjang, tentu saja
yang paling menikmatinya adalah si Yudi.
Gerakan Ana kacau di atas, apalagi saat Yudi ikutan menjamah dadanya.
Kualihkan sasaranku ke paha dan kaki Yudi, dia menjerit ketika lidahku
terus menyusur dari paha hingga jari jari kakinya, dan semakin mendesah
ketika kukulum jari jari kaki itu.
Kedua manusia yang sedang bercinta itu menggeliat, meracu nggak
karuan. Kini mereka saling mengocok sambil berpelukan seakan melupakan
keberadaanku di kamar itu.
Tiba tiba telepon berbunyi, dengan seijin Yudi, kuangkat, ternyata si
Yeni, dia kaget saat tahu aku ada di kamar Yudi, padahal sudah aku
kasih tahu tadi. Yudi dan Ana tak peduli, mereka tetap mendesah keras
meski bisa didengar dari telepon.
Ternyata Yeni sudah selesai sama Indra, sebenarnya dia mau ngajak
check out bareng bareng, tapi sepertinya Yudi mau extend jadi mungkin
dia harus check out duluan.
“Suruh mereka kemari sebentar sebelum check out” teriak Yudi sambil merasakan kocokan Ana.
“Tuh kamu udah dengar sendiri kan” kataku lalu menutup telepon.
“Tuh kamu udah dengar sendiri kan” kataku lalu menutup telepon.
Ternyata Ana tak bisa bertahan lama, dia terkapar tak lama kemudian
mendahului pasangannya, aku segera mengganti posisinya dengan posisi
yang sama. Begitu penis Yudi membenam, langsung kugoyang pantatku
berputar dan turun naik, kuhentakkan pantatku ke tubuhnya dengan keras,
ingin kubuktikan kalau aku lebih hebat dan lebih liar dari Ana, tak
pantas aku kalah semalam.
Yudi menarik tubuhku dalam pelukannya tanpa menurunkan irama
permainan, kamipun berguling tak lama kemudian, aku dibawah. Dengan
bebasnya dia mengocokku membuat kami saling mendesah bersahutan.
Cukup lama Yudi menyetubuhiku, tidak seperti Tomi yang cuma satu
posisi setiap babak, sudah berganti bermacam posisi dan tempat dia belum
juga orgasme, entah sudah berapa menit berlalu, akupun semakin
menikmati permainannya.
Bel pintu berbunyi saat Yudi mengocokku dari belakang.
“Pasti Indra dan Yeni, An, buka pintunya dong” perintah Yudi tanpa berusaha untuk berhenti.
“Wah lagi pesta nih” kudengar suara Indra, pasti dia sudah mendengar desah kenikmatanku.
“Ndra, masuk, sorry lagi tanggung nih” sapa Yudi tanpa menghentikan kocokannya, sesaat agak risih juga dilihat mereka.
“Sayang banget aku harus segera cabut” lanjutnya saat melihat temannya sedang menyetubuhiku dengan penuh gairah.
“Wah lagi pesta nih” kudengar suara Indra, pasti dia sudah mendengar desah kenikmatanku.
“Ndra, masuk, sorry lagi tanggung nih” sapa Yudi tanpa menghentikan kocokannya, sesaat agak risih juga dilihat mereka.
“Sayang banget aku harus segera cabut” lanjutnya saat melihat temannya sedang menyetubuhiku dengan penuh gairah.
Indra dan Yeni bukannya segera pergi tapi justru duduk di sofa
melihat permainan ranjang kami, sesekali Indra mendekat untuk melihat
lebih jelas expresi kenimkatan dariku. Tanpa kusadari ternyata dilihat
mereka aku jadi semakin liar mengimbangi kocokan Yudi dan Indra-pun
makin dekat malahan duduk di tepi ranjang.
Tadi pagi aku sudah merasakan permainan Tomi, sekarang dengan Yudi,
mungkin nggak ada salahnya kalau sekalian ku-servis Indra, sekalian aku
bisa menikmati ketiganya, pikirku melihatnya begitu antusias.
“Mau coba?” tanyaku menggoda disela desahanku, dia diam saja
memandang ke Yudi trus berganti ke Yeni dan Ana seakan minta persetujuan
Tanpa persetujuan Yudi, kudorong dia hingga penisnya terlepas lalu
aku menggeser tubuhku hingga pantat atau vaginaku menghadapnya, aku tak
peduli apakah ada sperma di vaginaku.
Indra terbingung sesaat seolah tak tahu harus ngapain padahal aku
yakin dia menginginkannya. Hanya beberpa detik dalam kebingungan, segera
dia mengeluarkan penisnya lewat celah resliting celana.
Diraihnya pantatku bersamaan dengan sapuan penis ke vagina, disusul
dorongan perlahan melesakkannya ke dalam, penis yang tidak besar itupun
terbenam semua, tidak sebesar punya Tomi apalagi punya Yudi, tapi yang
namanya penis sebesar apapun tetap nikmat rasanya and I love it.
Tangan Indra mulai mengelus punggungku terus merambah ke dada sambil
tetap mengocok semakin cepat, kulirik sepintas Yeni, Ana dan Yudi duduk
di sofa melihat kami, siapa peduli.
Kocokan dan sodokan Indra semakin cepat dan keras seakan memburu
untuk segera menggapai puncak dengan cepat, aku tahu dia memburu waktu.
Kugoyang goyangkan pantatku supaya Indra bisa segera menuntaskan
hasratnya.
Tiba tiba dia mencabut penisnya keluar dan memintaku jongkok
didepannya, kuraih penis itu dan segera kumasukkan ke mulutku, hanya
beberapa detik kulakukan oral Indra memenuhi mulutku dengan spermanya
diiringi erangan keras dan disaksikan mereka bertiga.
Setelah kubersihkan dengan mulutku, Indra memasukkan penisnya kembali
dan berpamitan menciumi satu persatu lalu menghilang dibalik pintu
dengan diantar Yeni.
“Nih dari Indra” kata Yeni menyerahkan beberapa lembar 50 ribuan.
Kini tinggal Yudi dengan 3 gadis yang siap melayaninya. Akhirnya kami
habiskan siang itu melayani Yudi bergantian sampai dia minta ampun
untuk beristirahat.
“Ly, jangan dihabisin disini, ntar malam aku ada tugas untuk kamu,
jam 9 tepat, tempatnya aku kasih tau ntar, aku udah atur untuk hadiahku
sendiri dari kamu” bisik Yeni pada suatu kesempatan.
“Siapa dia? Apa aku kenal?” tanyaku penasaran.
“Ada deh pokoknya, kamu pasti kenal meski aku yakin kamu nggak pernah sama dia, pokoknya tidak boleh nolak” bisiknya lagi penuh goda.
“Siapa dia? Apa aku kenal?” tanyaku penasaran.
“Ada deh pokoknya, kamu pasti kenal meski aku yakin kamu nggak pernah sama dia, pokoknya tidak boleh nolak” bisiknya lagi penuh goda.
Malam itu gantian Yeni yang menemani Yudi, Ana ada bookingan lain begitu juga aku sudah tergadai oleh taruhanku sendiri.
Sambil menunggu jam 9 yang masih lama, aku menemani Yeni dan Yudi,
meski sebenarnya lebih tepat menjadi penonton permainan mereka karena
Yeni tak mengijinkanku ikut permainannya, biar nggak capek, katanya.
“Kamar 812 hotel ini, temui dia, sekarang orangnya udah check in dan
menunggumu” perintahnya setelah dia menerima telepon dari seseorang.
“Sekarang? Katanya jam 9, kan baru jam 6″ protesku.
“Ada perubahan, udah sana pergi, dia tak mau membuang waktu”
“Sekarang? Katanya jam 9, kan baru jam 6″ protesku.
“Ada perubahan, udah sana pergi, dia tak mau membuang waktu”
Segera kukenakan kembali pakaianku, dengan make up sekedarnya akupun
menuju kamar yang dimaksud. Bagiku tidur dengan siapa saja bukanlah
masalah karena memang profesiku, tapi membuat penasaran tentu hal yang
berbeda, di lift aku bertanya tanya siapakah yang selama ini kukenal
tapi nggak pernah tidur denganku, hingga sampai di depan kamar 812
pertanyaanku belum juga terjawab.
Pintu terbuka sedetik setelah bel kutekan, muncullah wajah yang
selama ini kubenci, dia adalah Jimmy Jemblung alias JJ, seorang germo
yang sudah berkali kali mengajakku tidur tapi tak pernah kutanggapi dan
selalu kutolak meski dia cukup sering memberiku order.
“Eh ngapain kamu disini, mana tamuku?” tanyaku langsung menerobos
masuk, kupikir dia sedang membawa seseorang, ternyata hanya dia di kamar
itu.
“He.. He.. He, nggak ada siapa siapa non, kecuali aku dan akulah tamumu kali ini atas jasa baik temanmu Yeni” jawabnya dengan senyum penuh kemenangan.
“He.. He.. He, nggak ada siapa siapa non, kecuali aku dan akulah tamumu kali ini atas jasa baik temanmu Yeni” jawabnya dengan senyum penuh kemenangan.
Kuambil HP-ku dan kuhubungi Yeni, tapi HP-nya nggak aktif.
“Kurang ajar” teriak batinku.
“Aku tahu kamu kaget dan nggak suka tapi Yeni bilang kamu nggak akan bisa menolak, makanya aku bayar 3 kali lipat dari biasanya” lanjutnya dengan wajah menyeringai seperti srigala lapar hendak menerkam mangsa yang sudah tak terjerat tak berdaya.
“Aku tahu kamu kaget dan nggak suka tapi Yeni bilang kamu nggak akan bisa menolak, makanya aku bayar 3 kali lipat dari biasanya” lanjutnya dengan wajah menyeringai seperti srigala lapar hendak menerkam mangsa yang sudah tak terjerat tak berdaya.
Jimmy Jemblung yang akrab dipanggi JJ, meski dia chinese tapi hitam
dan perutnya buncit seperti orang bunting, di usianya yang menjelang
50-an, seusia Papa-ku, dia mempunyai koleksi yang cukup banyak dengan
berbagai tingkat harga, sebagai germo senior tentu tak susah mencari
tamu, diluar itu sebenarnya dia cukup baik dan perhatian pada anak
buahnya meskipun aku yakin semua itu ada niatan tersembunyi. Entah
berapa anak buah yang sudah dia “cicipi” namun beberapa menolak dengan
tegas termasuk aku, meskipun begitu dia tetap memberiku order, mungkin
karena dianggap masih menguntungkan.
Akhirnya aku sadar bahwa aku tak bisa lari darinya, dan sebentar lagi
aku masuk kelompok yang telah “dicicipinya” dan tak lama lagi berita
ini telah menyebar bahwa Lily telah berhasil ditaklukkan si JJ.
Karena jengkel dan kesal, kuhempaskan tubuhku ke sofa, bersiap
menerima terkaman ganasnya. Aku diam saja ketika dia menyusul duduk
disebelahku.
“Kok cemberut gitu sih melayani tamu” godanya mulai menciumi pipi dan leherku.
Aku diam saja, kalau tamunya kayak kamu udah kutolak dari tadi, jeritku dalam hati.
“Akhirnya aku bakal membuktikan sendiri apa yang selama ini dipuji
puji para tamumu, seperti apa sih kamu dan bagaimana sih servisnya,
kalau tahu sendiri kan bisa lebih enak ceritanya” katanya lagi sembari
tangannya yang ber-rantai emas mulai menjamah buah dadaku sementara
tangan satunya sudah menyelinap di balik kaos di punggung, dipermainkan
tali bra.
“Kok nggak dilepas sih, aku kan tamu yang membayar bukan gratisan,
apa bedanya sih dengan lainnya” ada nada protes dalam ucapannya yang
menyadarkanku akan kebenarannya, meski aku tak akan menerima duitnya.
Dengan terpaksa kubuka kaosku, dia bersiul ketika melihat hamparan
dadaku yang masih tertutup bra transparan, decaknya bertambah saat
kulepas celana jeans yang menutupi bagian bawah tubuhku, dicegahnya saat
aku mau melepas bikini mini yang masih tersisa menempel di tubuh.
JJ berselonjor di sofa menunggu tindakanku lebih lanjut, dengan agak
ogah ogahan kulepas bajunya hingga terlihat perutnya yang buncit dan
dada berhias kalung rantai emas, ada tato di lengan dan dadanya. Tangan
JJ tak pernah lepas dari dadaku, meremas remas dan memainkan putinku.
Tubuhku langsung ditarik kepangkuannya setelah aku melepas celananya,
ternyata dia sudah tidak mengenakan celana dalam atau memang tidak
pernah pakai.
Bibirnya langsung mendarat di leher, diciuminya dengan gemas bak
kekasih yang melepas rindu, aku hanya tengadah agak jijik menerima
ciumannya.
Satu jentikan jari melepaskan bra-ku, dia memuji saat melihat
keindahan buah dadaku yang menggantung dengan sempurna tepat didepan
hidungnya, diremas dengan penuh nafsu dan diusap usapkan kepalanya
diantara kedua bukitku. Sedetik kemudian putingku sudah berada dalam
mulutnya, dia menyedot dengan nafsu yang menggelora sambil lidahnya
bermain main pada puting, akupun mulai menggelinjang geli sambil meremas
kepala yang menempel di dada, semakin lama jilatannya semakin
menggairahkan dan mulai membawaku naik birahi.
Mulutnya berpindah dari satu puting ke puting lainnya seperti anak
kecil mendapat mainan baru, bibir dan lidahnya terus bergerak dari dada
ke leher dilanjutkan ke bibir, mulanya aku menolak ciuman bibirnya tapi
lama kelamaan akupun bisa menerima sentuhan bibirnya pada bibirku,
bahkan membalas sapaan lidahnya ketika menyapu bibir dan lidah kamipun
bertautan.
Tubuhku mulai merosot turun dan bersimpuh diantara kakinya, penisnya
yang tegang tidak disunat hanya beberapa mili dari wajahku, kuremas dan
kukocok kocok hingga semakin menegang.
Untuk ukuran dia penis itu cukup besar, aku tak menyangka sebelumnya,
kuusap usapkan pada kedua putingku lalu dengan gerakan nakal kusapukan
pula pada wajahk.
JJ mulai mendesis sambil memandang tanpa berkedip saat lidahku mulai
menyentuh penisnya, pandangan kemenangan seakan menikmati bagaimana
penisnya memasuki mulutku, desahnya semakin keras mengiringi gerakan
lidahku menyusuri daerah selangkangan. Batang penis kususuri dengan
lidah tanpa sisa hingga kantong bola dan berlanjut sampai ke lubang
anus. Dia menjerit kaget, seperti halnya tamu lainnya saat kulakukan hal
yang sama, tentu mereka tak mengira kuperlakukan seperti itu.
Terlupakan sudah bahwa aku sedang menjilati lubang anus laki laki
yang selama ini aku benci, meski agak susah kuangkat kakinya supaya aku
bisa lebih bebas menjelajahi daerah belakangnya. Kini aku memperlakukan
JJ sebagaimana mestinya seorang tamu yang harus aku puaskan, dan dia
memang berhak mendapatkan itu karena memang aku dibayar untuk
memuaskannya meski dalam hal ini aku tidak menerima duitnya.
Desahan kenikmatan JJ makin menjadi jadi, lidahku menjelajah tiada
henti disekitar selangkangannya. Tanpa mengulumnya, kutinggalkan dia dan
kurebahkan tubuhku diranjang, JJ mengikutiku, dilepasnya celana dalam
mini yang masih setia menutupi organ kewanitaanku dan dilemparnya entah
kemana setelah menciumi terlebih dahulu.
JJ mementangkan kakiku lebar lebar, dia membuka bibir vaginaku dengan
jari jari tangannya, diamatinya sebentar lalu kepalanya dibenamkan
diselangkanganku. Kurasakan lidahnya mulai menyentuh klitoris dan bibir
vagina, tubuhku serasa merinding mengingat lelaki yang kubenci sedang
asik menjilati vaginaku, namun itu tak berlangsung lama, perlahan lahan
kurasakan kenikmatan dari jilatannya, birahiku semakin naik tinggi
merasakan permainan lidahnya pada vagina.
Kugigit bibirku untuk menahan desahan tapi aku tak kuasa menahan lebih lama lagi dan meledaklah desah kenikmatan dari mulutku.
Terlupa sudah segala gengsi, semua terkikis oleh jilatan lidahnya
pada klitoris yang sungguh nikmat rasanya, dengan pintar dia memainkan
irama permainan, apalagi kombinasi dengan kocokan jari tangan membuatku
semakin melayang tak karuan. Tak dapat kutahan lagi saat tubuhku mulai
menggelinjang dalam kenikmatan dan akupun tak malu lagi untuk mendesah
dengan bebasnya.
Lidah JJ semakin liar menari nari, kocokan jarinya-pun semakin lincah
keluar masuk liang vaginaku dan aku benar benar terbakar api
permainannya. Harus kuakui JJ sangat pintar bermain oral hingga
terhanyut dan aku harus takluk pada kelihaiannya ini, sungguh tak
kusangka sebelumnya.
“Sshh.. Truss Jim.. Ya truss” desahku tanpa bisa kukendalikan lagi dan diapun semakin menjadi jadi.
Napasku sudah menderu nggak karuan, kalau ini berlanjut terus aku
bisa kebobolan lebih dulu dan ini tentu memalukan, sekuat tenaga
berusaha kutahan supaya tak orgasme hanya dari permainan oralnya.
Tiba tiba JJ menghentikan permainan oralnya dan telentang disampingku, ada rasa kecewa ketika dia menghentikan itu.
“Aku mau lagi tak peduli meski harus orgasme lebih dulu, terlalu
sayang kalau dihentikan begitu saja” teriak hatiku, maka kunaiki tubuh
gendut JJ dengan posisi 69 dan aku yakin dia tidak keberatan.
Aku kembali merasakan nikmatnya permainan oral JJ pada vaginaku,
kubalas dengan memasukkan penisnya ke mulutku, maka kamipun mulai
mendesah bersahutan bak simfoni dengan nada sumbang.
Jari tangan dan lidah JJ bergantian keluar masuk vagina begitu juga
penisnya dengan cepat keluar masuk mulutku dan lidahku-pun tak kalah
lincah menari nari diujung penisnya. Maka simfoni mendesah-pun semakin
keras terdengar memenuhi kamar hingga berlangsung beberapa menit
kemudian.
Kini kami siap untuk ke tahap berikutnya, kuturunkan tubuhku perlahan
lahan sambil melesakkan penis JJ memasuki vaginaku, penis keempat
dihari itu setelah Tomi, Yudi dan Indra, kini JJ tengah mengisi liang
kenikmatanku.
Tubuhku mulai turun naik mengocokkan penisnya ke vaginaku diiringi
desah kenikmatan kami berdua, tangan JJ mengiringi dengan remasan
remasan kuat dan permainan pada puting. Gerakan pinggulku berubah ubah
dari turun naik lalu berputar membuat JJ merem melek merasakan
kenikmatan yang kuberikan.
JJ menarik tubuhku dalam pelukannya, dilumatnya bibirku dengan penuh
gairah dan kubalas dengan tak kalah gairah, kutatap matanya yang
berbinar penuh nafsu, aku benar benar sudah melupakan bahwa sekarang
dalam pelukan laki laki yang masih kubenci satu jam yang lalu.
Aku harus jujur mengagumi kekuatannya, meski lebih 20 menit bergoyang
dan ber-hola hop diatasnya, dia masih bisa bertahan dan tidak orgasme,
apalagi untuk seusia dia, tentu suatu rekor yang luar biasa, bahkan
mengalahkan ketiga anak muda yang telah menyetubuhiku sebelumnya.
Kami berganti posisi dogie, dengan posisi ini JJ bisa lebih bebas
mengocokku menurut iramanya, ternyata dia lebih liar menyodokkan
penisnya ke vaginaku, cepat dan keras, akupun menjerit histeris dalam
nikmat. Keliarannya menjurus kasar, dia menjambak rambutku kebelakang
sambil menghentak keras, akupun terdongak kaget namun tak menolak karena
memang menikmati kekasaran itu.
Bahkan ketika dia memasukkan jari tangannya ke lubang anusku, akupun
tak menolak meski lebih satu jari yang mengocoknya. JJ tak berusaha
malakukan anal sex karena dia yakin betul kalau aku keberatan dan tentu
saja tak mau merusak suasana yang sedang penuh birahi.
Kembali kami mengubah posisi, sebenarnya dia ingin diatas, tapi
mengingat perutnya yang buncit tentu akan membuatku sesak napas, maka
kami lakukan di meja.
Aku telentang di atas meja sambil berharap meja ini kuat untuk
menahan tubuhku dan goyangannya, ternyata JJ tidak langsung memasukkan
penisnya tapi kembali melakukan jilatan dan sedotan di vaginaku yang
penuh cairan, disedotnya kuat kuat seakan hendak mengeringkan vaginaku,
belum pernah ada yang malakukan ini setelah bersetubuh. Akupun tak ayal
lagi langsung menjerit menggeliat terkaget tak menyangkanya. Tidak lama
tapi cukup memberiku pengalaman baru, dengan terkekeh kekeh dia lalu
memasukkan penisnya ke vaginaku yang sudah terbuka lebar, masih dengan
wajah menyeringai JJ mulai mengocokku kembali.
Untuk kesekian kalinya desah dan jeritan nikmat menggema memenuhi
kamar, kami berpacu menuju puncak birahi yang tak terlihat entah dimana,
meja tempatku telentang bergoyang dengan hebatnya, sehebat gempuran
penis JJ pada vaginaku, tangannya yang kekar dengan kasar meremas remas
buah dadaku yang ikutan bergoyang.
Tatapan matanya tak pernah lepas dari memandang wajahku yang tengah
mengerang dalam nikmat, mungkin pemandangan yang tak pernah dia dapatkan
selama ini dariku, dia ingin menikmati sepuasnya.
Sepertinya dia begitu menikmati semua dariku, tangannya menjamah
semua bagian tubuhku tanpa terlewatkan sedikitpun, sudah berpuluh laki
laki yang dia berikan kesempatan seperti ini tapi baru kali ini bisa
mendapatkannya sendiri, suatu penantian panjang yang tak boleh disia
siakan.
Kurasakan tubuh JJ mulai menegang dan beberapa detik kemudian
kurasakan penisnya membesar disusul denyutan kuat menyemburkan sperma
liang vagina, aku menjerit tak menyangka denyutan itu begitu kuat
menghantam syaraf syaraf dalam vaginaku, begitu nikmat. Kubiarkan dia
menikmati saat saat orgasmenya, dicengkeramnya buah dadaku dengan
kerasnya hingga terasa sakit, tapi aku diam saja.
JJ mencabut penisnya begitu selesai dan menghempaskan tubuhnya di
ranjang, tentu saja kelelahan yang hebat setelah bercinta cukup lama
dengan penuh gairah menggebu. Kudekati dia, napasnya masih menderu
dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya, kuciumi penis yang
masih penuh sperma lalu kumasukkan ke mulut, tak kupedulikan teriakan
kaget darinya, penis itu sudah keluar masuk mulutku, kujilati sisa sisa
sperma yang masih ada hingga bersih.
Akhirnya kami berdua terkapar di atas ranjang. Meskipun aku belum
orgasme tapi merasa puas dengan permainan barusan, rasanya tak ada
salahnya untuk mengulangi lagi babak kedua.
“Apa yang kudengar dari tamu tamu itu ternyata tidak benar, yang
benar adalah jauh lebih hebat dari itu, pantesan setiap kali tamu
kusodori kamu, selanjutnya minta kamu temenin” katanya setelah dia bisa
mengatur napasnya dengan normal.
“Setelah ini kamu mau kemana? Pulang atau nemenin aku hingga besok, kalau mau sih?” tanyanya.
“Setelah ini kamu mau kemana? Pulang atau nemenin aku hingga besok, kalau mau sih?” tanyanya.
Kalau pertanyaan itu diucapkan satu jam yang lalu aku pasti pilih
pulang tapi setelah merasakan apa yang baru saja aku alami, aku jadi
bimbang, pinginnya sih sampai besok tapi malu mengucapkannya.
“Ya udah kalau kamu nggak mau, aku nggak maksa kok, yang penting aku
sudah bisa merasakan servismu yang selama ini hanya kudengar dari orang
lain, setelah tahu bagaimana kamu melayaniku barusan, rasanya kok sayang
kalau aku harus menyerahkan tubuhmu ke laki laki lain seperti biasanya,
kini ada perasaan nggak rela” lanjutnya.
Aku tak peduli perasaan maupun apa yang diomongin barusan, toh selama
ini dia memang tak punya perasaan, aku tengah berfikir bagaimana minta
menginap tanpa kelihatan menginginkannya.
“Hei Lily, sungguh bodoh kamu, kenapa sekarang menginginkannya?
Padahal dia laki laki yang kau benci selama ini” aku berusaha menepis
keinginan gila itu, tapi ternyata nafsu lebih unggul dalam kecamuk
dikepalaku, kini bagaimana cara memintanya.
JJ berdiri menuju meja disebelah bar, diambilnya bungkusan yang terbungkus rapi dan diberikan padaku.
“Ini untuk kamu, mudah mudahan kamu suka dan cocok ukurannya” katanya sambil menyuruhku membukanya.
Ternyata isinya adalah 2 pasang pakaian dalam mini, baju tidur satin
transparan warna pink dan kaos ungu DKNY yang ketat. Kucoba satu
persatu, ternyata ukurannya cocok dengan tubuhku dan enak dipakainya.
“Terima kasih Koh, aku jadi pingin mencobanya sekarang” kataku.
“Ya sudah, pake aja nanti kita ke Diskotik kalo kamu mau” jawabnya, aku melihat peluang untuk tetap tinggal tanpa rasa malu.
“Benar nih, kalau begitu aku mandi dulu” kataku.
“Ya sudah, pake aja nanti kita ke Diskotik kalo kamu mau” jawabnya, aku melihat peluang untuk tetap tinggal tanpa rasa malu.
“Benar nih, kalau begitu aku mandi dulu” kataku.
Ketika aku di kamar mandi kudengar telepon kamar berbunyi, ternyata
dari Yeni yang ingin bicara denganku, maka kuterima dari kamar mandi.
“Gimana? Kamu ingin mengumpat aku atau mau ngucapin terima kasih?” godanya.
“Sialan, kamu telah menjebakku” kataku pura pura marah.
“Jangan marah begitu dong non, aku juga taruhan sama dia, kalau nggak bisa membujukmu menemani dia, aku harus menemani JJ ke Tretes, dan aku menang 2 kali sekaligus, disamping dapat 3 kali lipat bayaranmu yang selangit, aku juga dapat 10 juta” katanya dengan nada gembira.
“Dasar monyet” umpatku.
“Tapi dia mainnya hebat kan? Lalu kamu diberi hadiah apa?” godanya.
“Kok kamu tahu?”
“Iya dong, aku kan beberapa kali bobok sama dia, bahkan kemarin sebelum sama Indra, siangnya sempat melayani JJ, KO deh rasanya, makanya kalau sama dia pasti minta seorang lagi untuk berbagi, kalau nggak gitu bisa keok kita, lha wong dia itu hyper kok, biasanya dia minta jatah kalau habis memberi order gede, aku sih OKE saja toh juga enjoy meski pada mulanya muak” lanjutnya.
“Dia minta aku nginap sih, gimana baiknya” tanyaku bohong.
“Kalau masih kuat terima saja, tapi kamu mau nggak bobok sama orang yang selama ini kamu benci” tanyanya mengingatkan.
“Ah, brengsek kamu” tukasku.
“Udah ah, aku mandi dulu kita mau ke Diskotik, ikut yuk”
“Nggak ah, mending ngelonin Yudi dari pada keluar sama si bandot tua”
“Tapi sebenarnya kamu menyukainya kan?” godanya.
“Iya sih, permainannya itu lho, penuh kejutan”
“Sialan, kamu telah menjebakku” kataku pura pura marah.
“Jangan marah begitu dong non, aku juga taruhan sama dia, kalau nggak bisa membujukmu menemani dia, aku harus menemani JJ ke Tretes, dan aku menang 2 kali sekaligus, disamping dapat 3 kali lipat bayaranmu yang selangit, aku juga dapat 10 juta” katanya dengan nada gembira.
“Dasar monyet” umpatku.
“Tapi dia mainnya hebat kan? Lalu kamu diberi hadiah apa?” godanya.
“Kok kamu tahu?”
“Iya dong, aku kan beberapa kali bobok sama dia, bahkan kemarin sebelum sama Indra, siangnya sempat melayani JJ, KO deh rasanya, makanya kalau sama dia pasti minta seorang lagi untuk berbagi, kalau nggak gitu bisa keok kita, lha wong dia itu hyper kok, biasanya dia minta jatah kalau habis memberi order gede, aku sih OKE saja toh juga enjoy meski pada mulanya muak” lanjutnya.
“Dia minta aku nginap sih, gimana baiknya” tanyaku bohong.
“Kalau masih kuat terima saja, tapi kamu mau nggak bobok sama orang yang selama ini kamu benci” tanyanya mengingatkan.
“Ah, brengsek kamu” tukasku.
“Udah ah, aku mandi dulu kita mau ke Diskotik, ikut yuk”
“Nggak ah, mending ngelonin Yudi dari pada keluar sama si bandot tua”
“Tapi sebenarnya kamu menyukainya kan?” godanya.
“Iya sih, permainannya itu lho, penuh kejutan”
Setelah kubujuk, akhirnya Yeni dan Yudi setuju untuk menemani ke Diskotik, kamipun pergi tak lama kemudian.
Malam itu Diskotik begitu ramai, untunglah JJ cukup dikenal disana
hingga tak susah untuk mendapatkan tempat duduk. Ketika House Music
bergema, kuajak Yudi jojing, 5 lagu telah terlewati, saat kembali ke
tempat duduk kami, kulihat JJ berbicara dengan seorang bapak bapak
seusianya, dia mengenalkanku tapi aku tak ingat lagi namanya.
“Dia adalah orang keempat yang menginginkanmu” bisiknya setelah orang itu pergi.
“Yeni mana?” tanya Yudi.
“Ke toilet” jawab JJ.
“Dia dapat orderan Quickie, kalau kamu mau bisa aku atur, kerja ringan duit lumayan, semalam bisa 3-4 kali kalau sama aku, paling lama 10 menit, harus pake kondom” bisiknya ditelingaku tanpa setahu Yudi.
“Yeni mana?” tanya Yudi.
“Ke toilet” jawab JJ.
“Dia dapat orderan Quickie, kalau kamu mau bisa aku atur, kerja ringan duit lumayan, semalam bisa 3-4 kali kalau sama aku, paling lama 10 menit, harus pake kondom” bisiknya ditelingaku tanpa setahu Yudi.
Aku belum pernah melakukan hal seperti itu, tapi membuatku tertarik karena tentu mempunyai sensasi tersendiri.
“Aku belum pernah sih, tapi boleh juga dicoba sih” kataku tertarik.
“Mau coba? Tapi tarifnya nggak sampai separoh biasanya, toh hanya oral, buka celana, nungging, selesai deh dan bayar ditempat” jelasnya disela hingar bingar musik.
“Boleh” jawabku, uang bukanlah masalah kali ini, tapi sensasinya yang ingin kurasakan.
“Tunggu sebentar” katanya lalu berdiri meninggalkanku.
“Mau coba? Tapi tarifnya nggak sampai separoh biasanya, toh hanya oral, buka celana, nungging, selesai deh dan bayar ditempat” jelasnya disela hingar bingar musik.
“Boleh” jawabku, uang bukanlah masalah kali ini, tapi sensasinya yang ingin kurasakan.
“Tunggu sebentar” katanya lalu berdiri meninggalkanku.
Yeni sudah datang bergabung kembali dengan kami, dengan senyum
mengembang di bibir dia lalu duduk di samping Yudi, matanya mengedip ke
arahku penuh arti, lima menit kemudian JJ datang bersama bapak yang
tadi.
“Tanpa oral, selesai atau tidak, 10 menit keluar” bisiknya sambil
menyelipkan kondom ditanganku, sebelum aku digandeng menuju toilet.
Tak kusangka ternyata toilet laki laki penuh dan harus antri untuk
memakainya, memang toilet laki laki lebih bebas, wanita bisa keluar
masuk tidak seperti toilet wanita.
Sepuluh menit kami menunggu di depan toilet sebelum tiba giliran
kami, toilet itu cukup sempit dan agak bau, entah bagaimana mereka bisa
melakukan di tempat seperti ini.
Tanpa basa basi, Pak tua itu segera memelukku, meremas remas buah
dada dan pantatku dengan kasarnya, diciuminya pipi, leher dan bibirku
meski aku berusaha menutup mulut rapat rapat, aroma rokok bercampur
alkohol tercium dari mulutnya.
Tanpa menghiraukan jamahan tangannya disekujur tubuhku, secepatnya
kubuka resliting celananya dan kukeluarkan penis yang sudah menegang,
cuma sebesar genggamanku dan tak lebih besar lagi setelah kuremas remas
dan kukocok.
Tangan tangan Pak Tua itu sudah menyusup dibalik kaos dan bra,
melanjutkan remasan dan memainkan puting begitu mendapatkannya. Setelah
memasangkan kondom, yang aku khawatir kebesaran hingga bisa terlepas,
kulorotkan celana jeans beserta celana dalam sekaligus dan nungging di
depannya dengan tangan bersandar pada dinding toilet.
Pak Tua itu mulai mengusap usapkan penisnya pada vaginaku, tentu agak
susah bagiku karena tanpa pemanasan, meski bukan pertama kali aku
melakukan hal ini di toilet umum, tapi di tempat ramai seperti ini
adalah pengalaman pertama, tentu hal ini menjadi kesulitan tersendiri.
Kubasahi penis itu dengan ludah dan tanpa kesulitan dia mendorong
masuk merasakan nikmatnya vaginaku, penis kelima yang menikmatinya. Pak
Tua mulai mengocokku dari belakang diiringi hingar bingar alunan Lemon
Tree versi House Music yang menerobos masuk ke toilet. Tak ada desahan
kenikmatan, tak ada jeritan histeria, semua berlangsung seperti mesin,
hanya kocokan, rabaan dan remasan diseluruh tubuhku menghiasi
persetubuhan ini. Aku yang terbiasa main ditempat tenang dan romantis
agak kesulitan menyesuaikan dan menikmati kocokannya meskipun aku
berusaha menikmati sensasinya.
Alunan Lemon Tree versi House Music menerobos masuk ke toilet
mengiringi kocokan kami, tanpa sadar tubuhku bergoyang mengikuti alunan
musik itu dan sebelum lagu itu habis kurasakan denyutan denyutan
mengenai vaginaku. Seperti kata JJ, semua serba cepat, mungkin hanya 2-3
menit dia mengocokku, lebih lama ngantrinya.
Aku segera berbalik menghadapnya, kulepas kondom dari penisnya dan
membuang ke tempat sampah. Setelah kuminta dia mengaitkan kembali
bra-ku, kami merapikan pakaian masing masing. Pak Tua mengangsurkan
beberapa lembar 50 ribu-an ketanganku lalu kami keluar bersama sama
diiringi sorot mata menatap tajam dari para peng-antri toilet, aku tak
peduli. Sungguh aneh, hingga kami berpisah di depan toilet aku tak tahu
nama Pak Tua yang telah menjamah sekujur tubuh dan mengobok obok
vaginaku barusan.
Ketika aku kembali bergabung dengan JJ, tak kulihat Yeni dan Yudi.
“Kok lama?” tanya JJ.
“Ngantrinya yang lama” jawabku pendek sambil meneguk Coca Cola yang sudah tidak dingin lagi.
“Gimana? Masih mau lagi? Kalo begini semalam bisa terima order lebih dari 5 kali nih, udah banyak yang menanyakan kamu tadi” kata JJ, tentu saja mereka semua tahu siapa si JJ, dan gadis yang bersamanya pasti adalah para anak buahnya.
“Satu dua lagi boleh juga sih” jawabku kepalang tanggung, malam ini aku benar benar di obral seperti pelacur jalanan.
“Kalau gitu tunggu disini aku carikan lagi yang tadi udah minta” jawabnya seraya meninggalkanku.
“Ngantrinya yang lama” jawabku pendek sambil meneguk Coca Cola yang sudah tidak dingin lagi.
“Gimana? Masih mau lagi? Kalo begini semalam bisa terima order lebih dari 5 kali nih, udah banyak yang menanyakan kamu tadi” kata JJ, tentu saja mereka semua tahu siapa si JJ, dan gadis yang bersamanya pasti adalah para anak buahnya.
“Satu dua lagi boleh juga sih” jawabku kepalang tanggung, malam ini aku benar benar di obral seperti pelacur jalanan.
“Kalau gitu tunggu disini aku carikan lagi yang tadi udah minta” jawabnya seraya meninggalkanku.
Kulihat Yudi dan Yeni sedang jojing di floor, seorang laki laki
mendekatiku, mencoba bersikap akrab meski aku tak pernah melihatnya
sebelumnya. Sebenarnya bisa diduga maunya tapi aku pura pura nggak tahu,
nggak enak rasanya kalau cari tamu tanpa setahu JJ karena dialah yang
memiliki aku malam ini.
“Aku tadi lihat kamu keluar dari toilet” katanya, tapi aku cuek saja.
“Emang kenapa?” jawabku, untunglah Yudi datang, tanpa Yeni, melihat kedatangannya laki laki tadi langsung mundur teratur.
“Mana Yeni?” tanyaku.
“Tuh ngelanjutin turun sama temannya” katanya sambil menunjuk ke floor, tapi tak terlihat dia disana.
“Emang kenapa?” jawabku, untunglah Yudi datang, tanpa Yeni, melihat kedatangannya laki laki tadi langsung mundur teratur.
“Mana Yeni?” tanyaku.
“Tuh ngelanjutin turun sama temannya” katanya sambil menunjuk ke floor, tapi tak terlihat dia disana.
JJ datang dan mengajakku ke tempat lain, tempat itu begitu ramai
hingga untuk jalan saja susah, terpaksa aku harus merelakan buah
tersenggol sana sini.
Kami menemui seorang anak muda cina di dekat DJ, dia sedang bersama
temannya, kelihatannya sedang ON. Bergandengan tangan melintasi dance
floor, kami menuju ke toilet seperti tadi, ternyata banyak orang sedang
menunggu entah apa yang ditunggu.
“Kita ke VIP saja, kalau ngantri kapan mainnya” katanya seraya kembali menggandengku ke lantai 2.
Di salah satu ruangan VIP dia langsung masuk, tanpa kuduga ternyata
ruangan itu sedang terjadi persetubuhan seru 2 pasang, sepintas aku
mengenali salah satu dari gadis itu, hanya sesaat mereka terkaget atas
kedatangan kami tapi langsung kembali ke urusannya masing masing.
“Mau disini rame rame atau di toilet itu, masih ada sofa kosong sih” katanya.
“Disini aja deh, di toilet kurang enak” jawabku.
“Disini aja deh, di toilet kurang enak” jawabku.
Sesampai di sofa kosong itu, seperti kedua pasangan itu, kami hanya
membuka celana masing masing, tanpa banyak basa basi kupasangkan kondom
pada penisnya, agak susah karena masih belum tegang, kukocok dan kuremas
sebentar supaya segera bangun, ternyata susah juga membangunkannya,
memang pengaruh drug membuat susah terangsang, bahkan ketika kupaksa
kupasangkan ternyata masih belum bisa.
Setelah beberapa menit kucoba ternyata masih juga belum berhasil,
terpaksa aku harus mengulumnya, padahal itu diluar perjanjian tapi demi
servis kulakukan juga. Beberapa kuluman membuahkan hasil, langsung
kupasangi kondom dan kubasahi dengan ludah.
Aku sudah nungging siap menerima sodokannya dari belakang tapi dia
justru membalik tubuhku, memintanya duduk selonjor di sofa, rupanya dia
menginginkan dari depan. Dibuka kakiku lebar lebar seraya memasukkan
penis itu ke vaginaku, penis keenam di hari itu, kocokannya langsung
cepat dan keras, untung tadi sudah kulumasi dengan ludah, kalau tidak
tentu lecet karena vaginaku belum basah.
Tengah asik kami bersetubuh, pasangan lain masuk ke kamar itu, kami
semua terkejut sesaat tapi segera kembali melanjutkan tanpa peduli siapa
yang masuk. Empat pasang dengan desahan yang tak karuan saling
bersahutan mengiringi dentuman musik yang keras.
Ternyata tak secepat yang kuduga, tentu saja masih pengaruh drug yang
dia minum. Aku kini duduk dipangkuanya berganti mengocoknya, kaos dan
bra-ku sudah tersingkap hingga dada, maka dengan bebas diapun mulai
mengulum putingku dikala aku tengah bergoyang pantat di atasnya, kalau
dituruti dia sudah minta aku melepas kaos hingga telanjang, tentu saja
kutolak.
Satu pasangan sudah menuntaskan hasratnya dan keluar, namun tak lama
berganti dengan pasangan lain, entahlah tempat ini sepertinya memang
disewa untuk dijadikan tempat pelampiasan nafsu. Pasangan demi pasangan
sudah berganti keluar masuk tapi aku masih belum juga menyelesaikannya.
Barulah ketika pada posisi dogie dia berhasil menggapai orgasmenya,
sekitar 15 menit nonstop.
Belum selesai aku berpakaian dan merapikan make up, dia memberikan
uang lalu meninggalkan begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun
apalagi ciuman, sungguh aku diperlakukan seperti pelacur jalanan yang
hanya menjadi tempat pelampiasan nafsu belaka, tanpa sentuhan romantisme
sama sekali seperti selama ini yang aku lakukan pada tamu tamuku,
bahkan namanya-pun dia nggak tanya dan akupun tak tahu.
Enam penis sudah kurasakan hari ini, sama dengan rekorku sebelumnya,
tambah satu lagi berarti rekor baru bagiku, dengan buru buru aku segera
keluar kamar itu meninggalkan beberapa pasang yang tengah mengayuh nafsu
birahi.
Baru beberapa meter keluar dari kamar VIP, seorang laki laki mendekatiku.
“Lily, tumben kamu berkeliaran ditempat seperti ini” sapa laki laki
itu, aku tak terlalu mengenalnya karena tempat itu memang remang remang,
mungkin juga salah satu tamuku.
“Siapa ya?” tanyaku mendekatinya, suaraku tertimpa kebingaran musik yang semakin menggelegar.
“Kebetulan kita kurang satu orang, ikut yuk, dari tadi aku nyari nyari tapi nggak dapat yang cocok” jawabnya agak teriak ditelingaku.
“Siapa ya?” tanyaku mendekatinya, suaraku tertimpa kebingaran musik yang semakin menggelegar.
“Kebetulan kita kurang satu orang, ikut yuk, dari tadi aku nyari nyari tapi nggak dapat yang cocok” jawabnya agak teriak ditelingaku.
Setelah kuamati lebih seksama ternyata dia adalah teman dari tamu langgananku, aku mengenali meski tak pernah tidur dengannya.
“Eh kamu toh, sama sama dia?” tanyaku mengira dia sedang menemani temannya yang tamuku itu.
“Nggak, mana mau dia datang ke tempat beginian, gimana mau temanin aku nggak?” tanyanya, aku tahu sudah lama dia menginginkan aku tapi segan sama temannya itu padahal tak perlu begitu.
“Kemana?” tanyaku, tanpa menjawab dia menggandengku, ternyata kembali ke tempat VIP tadi.
“Tempat ini memang disewa untuk beginian, kami share menyewanya” jelasnya seraya memasuki kamar, anehnya sofa yang kutempati tadi masih kosong, seolah memang disediakan untuk aku. Saat kulirik ke sofa lain, ternyata pasangan yang ada sudah berganti, sungguh cepat perputarannya.
“Nggak, mana mau dia datang ke tempat beginian, gimana mau temanin aku nggak?” tanyanya, aku tahu sudah lama dia menginginkan aku tapi segan sama temannya itu padahal tak perlu begitu.
“Kemana?” tanyaku, tanpa menjawab dia menggandengku, ternyata kembali ke tempat VIP tadi.
“Tempat ini memang disewa untuk beginian, kami share menyewanya” jelasnya seraya memasuki kamar, anehnya sofa yang kutempati tadi masih kosong, seolah memang disediakan untuk aku. Saat kulirik ke sofa lain, ternyata pasangan yang ada sudah berganti, sungguh cepat perputarannya.
Seperti tadi, kamipun segera melepas celana, kondom yang kubawa sudah terpakai, sialnya dia juga nggak bawa.
“Ada yang bawa kondom nggak?” tiba tiba teriaknya entah ditujukan pada siapa.
“Ambil di tas biru itu” kata seorang gadis sambil menunjuk tas biru disampingnya karena dia juga sedang menerima kocokan dasyat dari pasangannya.
“Ambil di tas biru itu” kata seorang gadis sambil menunjuk tas biru disampingnya karena dia juga sedang menerima kocokan dasyat dari pasangannya.
Setelah mengambil dan memasangnya, baru kusadari ternyata kondom itu
berkepala seperti kelinci, aku bisa membayangkan kepala kelinci itu akan
menyodok nyodok rahimku karena sebenarnya penis itu sendiri sudah cukup
panjang.
Tiba tiba aku teringat bahwa itu adalah penis ketujuh, berarti
pemecahan rekor, tanpa tersadar aku merinding membayangkan merasakan
tujuh penis berbeda dalam sehari, tapi segera tersadar saat penis
ketujuh itu mulai menyentuh bibir vagina.
Kubasahi vaginaku dengan ludah saat dia mulai menyapukan penis itu
pada vagina, tangannya menyingkap kaos dan bra-ku keatas sambil
mendorong masuk kejantanannya memenuhi vaginaku. Dugaanku benar, penis
yang panjang ditambah kepala kelincinya menyodok rahimku dan mengocok
serta mengaduk aduk vaginaku, aku menjerit mendesah nikmat, kenikmatan
pertama dari tiga persetubuhan terakhir.
Kocokan demi kocokan, sodokan demi sodokan kali ini kuterima dengan
penuh kenikmatan, tak kupedulikan lagi pasangan lain yang berganti
keluar masuk, aku tengah merasakan nikmatnya sex ditengah kebingaran
musik tecno yang mengalun tiada henti.
Bahkan saat ada pasangan yang bermain disamping sofa kami, karena
semua sudah penuh, akupun tak peduli lagi, bahkan tak melirik sedikitpun
siapa dia. Desah dan jeritanku seakan mengalahkan kerasnya musik itu
saat aku dikocok dari belakang, serasa kepala kelinci itu semakin dalam
dan mulai menggigit gigit rahimku, ada rasa sakit bercampur nikmat.
Dan akupun berteriak histeris, tak menyangka mendapatkan orgasme dari
quickie dan suasana seperti ini, kulirik beberapa orang melihatku saat
aku histeria orgasme, tapi siapa peduli. Kembali teriakanku terdengar
beberapa menit kemudian saat kurasakan kepala kelinci itu membesar dan
berdenyut kuat. Denyutan demi denyutan kurasakan menghantam dinding
dinding vaginaku hingga cengkeraman kuat pada buah dadaku tak kurasakan
lagi dan kamipun melemas, kali ini aku benar benar lemas.
Aku masih tergeletak di sofa tanpa celana dan kaos berantakan saat
dia kembali memakai celananya, diselipkannya uang di sela sela pahaku,
setelah memberi ciuman di bibir aku ditinggalkannya sendirian dalam
keadaan semula dan terkapar di sofa disekeliling manusia manusia yang
tengah mengayuh bahtera birahi.
Begitu sadar bahwa masih ada orang yang mau pakai sofa ini, aku
beranjak merapikan pakaian dan mengenakan kembali celanaku, baru kusadar
kalau kaitan bra telah terbuka. Aku tak bisa memasang sendiri dalam
keadaan seperti ini, mau minta bantuan kulihat semua sedang sibuk,
akhirnya kuputuskan untuk melepas sekalian bra itu.
Sebelum keluar kamar, kuhampiri wanita yang memberiku kondom tadi, mereka baru selesai menuntaskan hasratnya.
“Terima kasih kondomnya” kataku sambil mencium pipinya, dia hanya terenyum.
“Lama banget” kata JJ setelah aku kembali, hampir setengah jam kutinggalkan dia.
“Lama banget” kata JJ setelah aku kembali, hampir setengah jam kutinggalkan dia.
Aku hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaannya seraya menyerahkan bra-ku.
“Titip tolong disimpan, dari pada bongkar pasang lebih baik nggak pake sekalian” jawabku sembil tersenyum.
“Aku udah dapatkan seorang lagi” katanya, sebenarnya aku menolak, masih lemas karena orgasme barusan tapi JJ mendesak, sudah telanjur bikin janji untuk aku, nggak enak, desaknya.
“Aku udah dapatkan seorang lagi” katanya, sebenarnya aku menolak, masih lemas karena orgasme barusan tapi JJ mendesak, sudah telanjur bikin janji untuk aku, nggak enak, desaknya.
Akhirnya terpaksa aku melakukannya sekali lagi, di toilet, delapan
laki sudah kurasakan dalam satu hari, suatu rekor pribadi baru telah
kuciptakan.
“Udah cukup ah, kita pulang yuk” ajakku sekembali dari toilet.
“Ly, terserah kamu mau nggak, ada anaknya cakep masih muda lagi, aku yakin kamu pasti menyukainya, kali ini terserah kamu deh” tawarnya.
“Udah ah, capek nih” tolakku, perasaan dari tadi juga terserah aku, tapi aku memang nggak nolak tawarannya.
“Kamu lihat aja dulu anaknya, kalau oke kita bawa dia ke hotel, aku ngalah deh” desaknya, ternyata justru dia menawari aku anak muda untuk dibawa ke hotel, apakah dia mau main bertiga? Entahlah, tapi aku tertarik dengan promosinya.
“Ly, terserah kamu mau nggak, ada anaknya cakep masih muda lagi, aku yakin kamu pasti menyukainya, kali ini terserah kamu deh” tawarnya.
“Udah ah, capek nih” tolakku, perasaan dari tadi juga terserah aku, tapi aku memang nggak nolak tawarannya.
“Kamu lihat aja dulu anaknya, kalau oke kita bawa dia ke hotel, aku ngalah deh” desaknya, ternyata justru dia menawari aku anak muda untuk dibawa ke hotel, apakah dia mau main bertiga? Entahlah, tapi aku tertarik dengan promosinya.
Aku terkesima melihat penampilan dan wajah Bobi, meski cahaya remang
remang tapi bisa kulihat posturnya yang cukup atletis dengan pakaian
ketat menampilkan lekuk sexy tubuhnya, wajahnya terlihat keras dan
garang bukannya imut, justru menimbulkan kesan macho, sungguh membuat
lemas lututku tapi aku harus menjaga image, tentu saja tak kuperlihatkan
kekagumanku, bahkan aku berusaha bersikap cuek seperti biasanya saat
baru berkenalan.
“Gimana?” bisik JJ.
“Terserah deh, aku ngikut aja” jawabku berusaha menahan diri.
“Kalo gitu kita cabut sekarang” katanya lalu menghampiri Bobi dan kitapun segera pergi setelah mencari cari Yeni dan Yudi.
“Dia oke kan? Anggap hadiah dariku, selain itu aku ingin lihat bagaimana kamu kalau melayani tamu yang kamu sukai” bisiknya nakal dalam perjalanan menuju tempat parkir. Aku diam saja, tak sabar ingin segera sampai di hotel.
“Terserah deh, aku ngikut aja” jawabku berusaha menahan diri.
“Kalo gitu kita cabut sekarang” katanya lalu menghampiri Bobi dan kitapun segera pergi setelah mencari cari Yeni dan Yudi.
“Dia oke kan? Anggap hadiah dariku, selain itu aku ingin lihat bagaimana kamu kalau melayani tamu yang kamu sukai” bisiknya nakal dalam perjalanan menuju tempat parkir. Aku diam saja, tak sabar ingin segera sampai di hotel.
Begitu pintu kamar ditutup, aku tak bisa menahan gejolak nafsu lebih
lama lagi, tanpa mempedulikan keberadaan JJ, kupeluk dan kulumat bibir
Bobi dengan penuh gairah, seperti laki laki lainnya diapun membalas
cumbuanku tak kalah ganasnya. Tangannya langsung mendara di dadaku,
meremas remas buah dada yang tidak berpelindung, kubalas dengan remasan
di selangkangannya yang sudah mengeras.
“Nggak usah segan, anggap aku nggak ada” komentar JJ melihat aku dan
Bobi langsung beraksi, entah sindiran atau memang kemauannya seperti
itu.
Tak lebih semenit kami sudah sama sama telanjang, pengamatanku benar,
badannya benar benar sexy dengan penis indah besar menggantung diantara
kakinya, sunggu pemandangan yang begitu menggoda bagiku.
Aku langsung berlutut didepannya, menciumi dan menjilati sekujur
daerah selangkangan dan penisnya yang kurasakan begitu keras dan kenyal,
Bobi mengimbangi dengan mengocokkan penisnya pada mulutku hingga aku
kewalahan dibuatnya.
Belum puas aku meng-oral tapi Bobi sudah memintaku berdiri,
disandarkan tubuhku pada pintu kamar dan dia berlutut didepanku. Setelah
mengatur posisi tubuhku yang nyaman, lidahnya mulai menjelajah di
sekitar selangkangan dan berhenti di klitoris dan vagina, menari nari
dengan lincahnya, meski tak sepintar permainan JJ namun cukup untuk
membakar birahiku yang sedang memanas.
Desahanku mulai mengerasm, tak peduli kalau orang lewat di depan
kamar mendegarnya, terlalu nikmat untuk ditahan, apalagi ketika Bobi
membalik tubuhku menghadap ke pintu lalu melanjutkan jilatannya pada
pantat, tubuhku semakin membungkuk hingga lubang anusku bisa terjangkau
lidahnya. Sungguh nikmat sekali apalagi jari jari tangannya ikutan
mengocok vaginaku, maka lengkaplah sudah kenikmatan oral yang kurasakan.
Tanpa berusaha pindah ke ranjang, Bobi mulai menyapukan penisnya ke
bibir vagina, kubiarkan penis tanpa kondom itu mulai menyusuri liang
kenikmatanku. Desah dan jerit meledak tak kala penis yang besar itu
mulai keluar masuk mengocok, semakin lama semakin cepat dan keras,
berulang kali kepalaku terbentur pintu saat dia menyentakku keras namun
tak kami perdulikan.
Celotehan dan komentar dari JJ tak kami hiraukan, justru membuat
permainan kami semakin memanas, remasan remasan pada buah dada dan
sesekali kurasakan tamparan pada pantat mengiringi kocokannya. Kurengkuh
kenikmatan demi kenikmatan hingga meledaklah jeritan orgasme dariku.
“Bobii” teriakku saat otot otot vaginaku berdenyut hebat diiringi
tubuh mengejang, namun dia tak peduli justru semakin mempercepat
kocokannya dan meremas buah dadaku makin kencang.
Lutut serasa melemas tak mampu berdiri, tubuhku merosot turun hingga
posisi dogie. Sungguh gila dia mengocokku lebih dari 10 menit di depan
pintu tanpa memperdulikan adanya orang lewat depan kamar, pasti bisa
mendengar desah dan jeritan kenikmatanku.
Ternyata dengan posisi ini dia bisa lebih bebas mengaduk aduk
vaginaku tanpa ampun. Kalau saja kubiarkan, dia sudah melesakkan
penisnya ke lubang dubur, tentu saja aku menolak meski dia telah
berhasil mempesonaku. Tiga kali usahanya memasukkan penisnya ke dubur
kutolak dia tak mencoba lagi, namun seakan melampiaskan ke vagina.
Aku benar benar terhanyut dalam permainannya, kubiarkan saat tubuhku
dibalik telentang, masih juga di depan pintu, tak kuhiraukan karpet
kamar yang agak bau dan berdebu. Bobi menindih tubuhku bersamaan dengan
melesaknya kembali penis ke vagina, untuk kesekian kalinya jeritan lepas
tanpa kontrol mengalun keras di kamar ini, sungguh permainannya semakin
liar.
Tak ada niatan untuk pindah ke ranjang, bahkan saat aku berada di
atas, kami masih melakukannya di tempat yang sama, di depan pintu.
Dengan posisi di atas, aku bisa memandang wajah dan postur tubuhnya
lebih jelas, begitu juga sebaliknya. Remasan dan kuluman pada putingku
mengiringi gerakan di atas Bobi dan,
“Bobii, yess” desahku beberapa menit kemudian saat kugapai orgasme
yang kedua darinya, dan disusulnya tak lama kemudian dengan pelukan kuat
tubuhku.
Aku langsung terkulai lemas dalam pelukan Bobi, napas kami menyatu
dalam irama tak karuan, berulang kali kuciumi wajah dan bibirnya yang
tampak semakin menggemaskan, begitu juga dia lakukan padaku.
Kutinggalkan Bobi yang masih telentang di atas karpet lantai, aku mandi
membersihkan diri dari keringat beberapa orang yang bercampur aduk
menempel tubuhku.
Ketika aku kembali ke kamar dengan tubuh berbalut handuk, sebenarnya
nggak perlu karena toh mereka berdua telah tahu dan telah menikmati apa
yang ada dibalik handuk yang kukenakan, kulitah Bobi telentang di atas
ranjang masih telanjang, ngobrol dengan JJ dengan santainya.
Kuambil tempat kosong disebelah JJ, dia mengangsurkan rokok yang baru saja dinyalakan.
“Bob, percaya nggak kalau kamu adalah orang kedelapan yang main sama dia” kata JJ.
“Ha?? Sudah orang kedelapan? Mainnya masih liar gitu, gimana yang pertama dan kedua?” tanyanya heran, aku hanya tersenyum saja sambil menghembuskan asap rokok kuat kuat.
“Ha?? Sudah orang kedelapan? Mainnya masih liar gitu, gimana yang pertama dan kedua?” tanyanya heran, aku hanya tersenyum saja sambil menghembuskan asap rokok kuat kuat.
Tak lebih 15 menit kami beristirahat, Bobi sudah membawaku kembali
mengayuh biduk birahi, ranjang itu serasa terlalu sempit untuk kami
berdua, berbagai gaya dan posisi kami lewati dalam mengarungi lautan
birahi. Bahkan kamipun berpindah medan, di sofa tanpa memperdulikan JJ
yang makin asyik menikmati permainan kami berdua.
Kali ini lebih lama dari sebelumnya, entah sudah berapa kali kugapai
orgasme hingga kamipun terkapar dalam indahnya kenikmatan birahi. Hampir
satu jam kami lewati dan aku benar benar tiada daya lagi, bahkan untuk
ke kamar mandipun kakiku serasa berat melangkah.
Pukul 2 dini hari, Bobi meninggalkan kami, kulepas kepergiannya
dengan berat hati, sebenarnya aku ingin dia tinggal hingga besok tapi
dia harus pulang, maklum masih ikut orang tua. Setelah mengantar Bobi
hingga pintu, tanpa mandi, kubersihkan vaginaku dari spermanya.
Kamar itu serasa hampa tanpa keberadaannya, apalagi hanya si jelek JJ
dengan senyum seringai bak srigala buas yang siap menerkam. Hanya 10
menit semenjak kepergian Bobi, JJ sudah mulai merajuk, tangannya
menjamah sekujur tubuhku yang masih berkeringat, dia tak peduli dengan
bekas keringat Bobi yang masih menempel di tubuhku dan belum aku
bersihkan.
“Aku udah capek Om, besok pagi aja ya” tolakku halus tapi dia tak peduli.
“Nggak, justru aku ingin lihat kamu sampai batas terakhir, bila perlu sampai pingsan juga nggak apa apa, seperti apa sih daya tahan kamu yang hebat itu?” desaknya mulai mengulum putingku seiring permainan jari jari pada vagina.
“Nggak, justru aku ingin lihat kamu sampai batas terakhir, bila perlu sampai pingsan juga nggak apa apa, seperti apa sih daya tahan kamu yang hebat itu?” desaknya mulai mengulum putingku seiring permainan jari jari pada vagina.
Sungguh beda rasanya cumbuan JJ dan Bobi, meski dia lebih pintar tapi
aku lebih menyukai cumbuan Bobi. Kupejamkan mataku rapat rapat
membayangkan Bobi masih ada dan sedang mencumbuku, bahkan saat kurasakan
sentuhan di bibirku, akupun membalas lumatan itu seakan sedang
berciuman dengannya.
Sisa malam aku habiskan dengan melayani nafsu birahi JJ, dan
sepanjang itu pula bayangan Bobi selalu melayang layang dalam angan. Aku
merasakan kuluman Bobi saat JJ mencumbuku, bahkan kocokannya serasa
Bobi yang melakukan, entahlah mungkin juga JJ yang sudah banyak
pengalaman bisa membedakan khayalanku tapi mungkin juga dia menikmatinya
karena permainan jadi bertambah panas. Terlupakan sudah kelelahan dan
keletihan yang kualami, tak terhitung berapa kali lagi aku mendapatkan
orgasme tambahan dari JJ, sepertinya aku benar benar dipacu hingga batas
terakhir birahiku.
Terlupakan sudah bahwa JJ tua yang bertubuh gendut dengan mata agak
juling sedang memacu birahinya diatas tubuhku, yang ada hanyalah seraut
wajah dan bayangan si Bobi yang macho.
Hingga semburat sinar matahari yang mulai menampakkan dirinya diufuk
sana, kami baru bisa memejamkan mata dengan keletihan yang teramat
sangat, sepertinya aku tak mampu lagi melalui hari esok.
Bunyi telepon membangunkanku, JJ masih terlelap dengan dengkurnya
yang keras seperti Babi yang sedang digorok, kembali perasaan jijik
menghampiri mengingat bahwa tubuh gendut dan jelek itu semalam telah
menyetubuhiku habis habisan dan lebih memalukan lagi bahwa akupun bisa
menggapai orgasme darinya meskipun dengan caraku sendiri.
“Hei bangun putri malas” teriak Ana setelah tahu aku yang terima, entah dari mana dia tahu aku berada disini.
“Sialan kamu, aku barusan tidur jam 6 tadi, masih ngantuk nih” jawabku agak marah karena tidurku terganggu.
“Nona manis, sekarang udah hampir jam 11, jadi kamu tidur udah 5 jam, cukup tuh” jawabnya tak kalah sengit.
“Iya.. Yaa.. Yaa, ada apa sih?” tanyaku masih menahan kantuk.
“Waktunya bayar hutang” jawabnya mengingatkan taruhanku.
“Aduuh, aku capek banget nih, apa nggak bisa besok aja” jawabku.
“NO Way sayang, aku udah bikin janjian untuk kamu dan tak mungkin lagi diundur” desaknya.
“Sialan kamu, aku barusan tidur jam 6 tadi, masih ngantuk nih” jawabku agak marah karena tidurku terganggu.
“Nona manis, sekarang udah hampir jam 11, jadi kamu tidur udah 5 jam, cukup tuh” jawabnya tak kalah sengit.
“Iya.. Yaa.. Yaa, ada apa sih?” tanyaku masih menahan kantuk.
“Waktunya bayar hutang” jawabnya mengingatkan taruhanku.
“Aduuh, aku capek banget nih, apa nggak bisa besok aja” jawabku.
“NO Way sayang, aku udah bikin janjian untuk kamu dan tak mungkin lagi diundur” desaknya.
Dengan berbagai alasan aku berusaha menolak tapi Ana tetap mendesak,
akhirnya akupun menyerah untuk menemani tamu pilihannya nanti saat jam
makan siang, berarti 1 jam lagi.
“Oke jam 12 aku telepon lagi dimana kamu temuin dia”
“Siapa sih tamunya..” dia sudah menutup teleponnya.
“Siapa sih tamunya..” dia sudah menutup teleponnya.
Kutinggalkan JJ yang masih juga mendengkur, siraman air hangat
rasanya mengembalikan kesegaran tubuhku yang serasa raib ditelan
ganasnya gelombang nafsu. Kumanjakan diriku dalam pelukan air hangat di
bathtub, hampir 30 menit aku berendam dengan santainya.
Aku terkaget dan ketika kurasakan sesosok tubuh memasuki bathtub, tentu saja si juling JJ karena memang hanya ada dia.
“Boleh ikutan kan sayang” sapanya tanpa menunggu jawabanku tubuhnya
sudah memasuki bathtub, air menjadi tumpah semua dan bathtub itu serasa
terlalu kecil untuk kami berdua.
“Om, aku ada janjian jam 12 nanti, please tolong aku dong Om” aku merajuk protes saat tangan JJ mulai menjamah buah dadaku, aku tak ingin kelelahan sekarang, masih nggak tahu kayak apa laki laki yang akan disodorkan Ana nanti, tapi aku yakin bahwa tamu itu pasti spesial.
“Om, aku ada janjian jam 12 nanti, please tolong aku dong Om” aku merajuk protes saat tangan JJ mulai menjamah buah dadaku, aku tak ingin kelelahan sekarang, masih nggak tahu kayak apa laki laki yang akan disodorkan Ana nanti, tapi aku yakin bahwa tamu itu pasti spesial.
Bukannya beringsut tapi malah meremas remas buah dadaku dan mulai menciumi leherku.
“Semakin cepat melayaniku semakin cepat pula selesai dan kamu tak akan terlambat janjian” bisiknya sebelum mengulum telingaku.
Rasanya sudah nggak ada lagi jalan keluar, terpaksa kulayani kembali
nafsu birahi si bandot tua itu, padahal semalam kami sudah bercinta
hingga batas terakhir tapi sepertinya tak ada kata puas dari dia.
“Oke, sampai ada telepon nanti, selesai atau nggak, your time is
over” syaratku, sebenarnya adalah suatu kesalahan besar karena masih 20
menit dari jam 12, kalau tidak bersyarat mungkin bisa kuselesaikan 5-10
menit.
Akupun mengambil posisi dogie, dan untuk kesekian kalinya penis JJ
kembali melesak diantara celah kenikmatan merasakan nikmatnya vaginaku,
langsung keluar masuk dengan tempo tinggi diiringi remasan pada buah
dada dan sedikit tamparan pada pantat. Kami bercinta dengan liarnya
seperti semalam, begitu liar hingga air bathtub kembali meluber ke
lantai, tapi tak kami hiraukan dan desahan nikmatpun tanpa terasa keluar
dari mulutku, kuimbangi kocokannya dengan goyangan pinggul.
Entah sudah berapa lama dia menyetubuhiku dari belakang, rasanya tak terlalu lama ketika dia memintaku keluar dari bathtub.
Didudukkan tubuh telanjangku di atas closet yang tertutup, dia lalu
berjongkok didepanku, tanpa ragu lidahnya langsung mendarat di vagina,
aku menggeliat nikmat. Kusadari, inilah ciri permainan JJ, dia senang
menjilati vagina ditengah permainan tanpa mempedulikan apakah aku atau
dia sudah keluar, dan itu sering dilakukan, bisa 3-4 kali oral disela
permainan, dan sialnya aku sangat menikmati hal itu, cuma khawatir
menjadi ketagihan dengan gaya seperti dia, sepertinya belum pernah
kutemui laki laki yang mau menjilati vagina di tengah tengah permainan
seperti ini.
Sebelum dia melesakkan kembali penisnya, kudengar HP-ku berbunyi,
pasti Ana, pikirku. Berarti permainan harus diakhiri, tapi entahlah tiba
tiba terasa sayang kalau harus mengakhiri dengan cara begini. Ingin
kuabaikan telepon itu tapi aku juga harus jaga gengsi di depan JJ.
“Om telepon udah bunyi tuh” kataku seakan mengingatkan sambil mendorong kepalanya menjauh dari vaginaku.
Namun aku membiarkan saat tangannya meraba raba tubuhku saat aku menerima telepon Ana.
“Yap, dimana dan dengan siapa?” tanyaku singkat karena kepala JJ
sudah berada kembali di selangkanganku saat aku duduk di pinggiran
ranjang.
“Sabar non, aku juga lagi nungguin di lobby Garden Palace, dia masih meeting, kamu kesini aja deh temenin aku di coffee shop Kencana, nggak enak nih sendirian” jawabnya.
“Sabar non, aku juga lagi nungguin di lobby Garden Palace, dia masih meeting, kamu kesini aja deh temenin aku di coffee shop Kencana, nggak enak nih sendirian” jawabnya.
JJ sudah menelentangkan tubuhku, aku diam saja, bahkan ketika
tubuhnya menindihku dan dia berusaha melesakkan kembali penisnya, akupun
diam saja, malahan membuka lebar kakiku.
“Nggak mau ah, ngapain nongkrong di situ, kayak orang nggak ada
kerjaan saja” tolakku sambil menikmati kocokan dan cumbuan nikmat JJ.
Aku memang paling benci kalau harus nongkrong di lobby atau tempat
terbuka seperti itu, apalagi di Garden Palace yang sempat menjadi rumah
kedua-ku, tentu masih banyak yang mengenalku. Mati matian aku berusaha
menahan desah nikmat dari kocokannya.
“Ih kamu jahat ya, awas nanti pembalasanku..” jawabnya tapi aku tak
dapat mendengar lagi lanjutan kata katanya karena kocokan JJ semakin
liar, kugigit erat bibirku takut kalau mulutku terbuka hanya desahan
yang keluar.
“Oke kalau jagoanmu sudah datang, call me, oke?” jawabku supaya segera bisa mengakhiri pembicaraanku dengannya.
“Oke kalau jagoanmu sudah datang, call me, oke?” jawabku supaya segera bisa mengakhiri pembicaraanku dengannya.
Begitu HP kututup, JJ menyambut dengan hentakan keras, akupun
menjerit kaget, permainannya memang kasar seakan ingin membalas dendam
atas penolakanku selama ini, itulah yang dilakukannya semalam dan
berlanjut hingga siang ini, anehnya akupun menikmati pembalasan
dendamnya. Akhirnya perahu birahi kami sampai juga ketepian bersamaan
dengan bel HP dari Ana.
“Gimana? Udah datang si arjuna?” tanyaku to the point, padahal tubuh
JJ masih ngos ngos-an nangkring diatas menindihku karena sengaja HP itu
kuletakkan selalu di dekatku.
“Tuan putri, udah kita tunggu nih di kamar 1620, cepat berangkat sekarang” perintahnya langsung mematikan HP.
“Tuan putri, udah kita tunggu nih di kamar 1620, cepat berangkat sekarang” perintahnya langsung mematikan HP.
Kudorong tubuh JJ turun dan aku ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku lagi.
Setelah kembali berpakaian, me-make up wajahku, kutinggalkan JJ yang
masih telentang telanjang memandangku seakan berat melepas kepergianku
ke pelukan laki laki lain, padahal itu adalah kerjaan dia sehari hari.
“Ly, kapan kita bisa melakukannya lagi” katanya sambil menyelipkan segebok uang dalam belahan dadaku.
“In your dream” jawabku terus meninggalkan kamar itu.
“In your dream” jawabku terus meninggalkan kamar itu.
Hanya perlu 10 menit untuk mencapai Garden Palace, tanpa menoleh kiri
kanan aku langsung menuju kamar 1620, seperti biasa aku tak ambil
peduli siapa laki laki yang bakal kutemani dan bakal meniduriku.
Ana sudah menunggu di kamar bersama seorang laki laki bule muda dan tampan, bermata biru dan berambut blonde.
“Ly kenalin, Dion” katanya, kamipun saling bersalaman, kubiarkan dia mencium pipiku.
Kurang ajar si Ana, sudah tahu aku nggak mau melayani bule dia malah
ngasih si bule itu, tapi kalau tampan seperti dia nggak ada salahnya
dicoba, pikirku dalam hati, jantungku sudah berdetak kencang menyadari
bakal melayani bule untuk pertama kalinya.
“Ly, kamu kan nggak mau melayani bule, jadi ini untuk aku, kamu
tunggu aja sebentar lagi dia datang kok” kata Ana dalam bahasa jawa,
mungkin supaya si bule tidak mengerti. Sambil berkata demikian dia lalu
duduk dipangkuan Dion dan mereka mulai berciuman tanpa menghiraukan
keberadaanku.
Tangan Dion sudah bergerilya di dada Ana yang tengah mendesis, ciuman
Dion terlihat begitu penuh perasaan dan romantis, aku hanya duduk saja
melihat mereka, penasaran untuk menonton bagaimana permainan seorang
bule. Tak perlu menunggu lama, pakaian mereka satu demi satu sudah
berterbangan. Aku sedikit terkesiap melihat tubuh atletis Dion apalagi
dihiasi penis yang besar nan tegang berwarna kemerahan.
Mereka sudah berpindah ke ranjang, mulanya Dion melakukan oral pada
Ana kemudian berganti posisi, dan dilanjutkan dengan 69, aku bisa
melihat dengan jelas bagaimana penis kemerahan itu keluar masuk mulut
Ana, terlihat Dion begitu pintar bermain oral. Dengan tatapan menggoda
dia menatapku setiap kali penis itu mau memasuki mulutnya. Ada perasaan
penasaran, iri maupun geli melihatnya, terasa penis itu aneh bagiku.
Sesaat terlupakan sudah siapa bakal tamuku, mereka sudah mulai
bercinta, Ana tengah menjerit jerit nikmat menerima kocokan penis Dion
yang besar itu. Sepuluh menit berlalu live show dihadapanku ketika bel
berbunyi, mereka menghentikan aksinya.
“Tuh lakimu datang” kata Ana yang masih dibawah tindihan Dion.
Aku beranjak menuju pintu menyambut tamuku, ketika pintu kubuka aku
begitu terkejut dengan apa yang ada dihadapanku. Berdiri di depan pintu,
seorang laki laki setengah baya dengan pakaian lusuh agak kumal, topi
kumal menghiasi kepalanya, menutup rambut yang mulai memutih. Aku
tertegun hingga tak sempat mempersilahkan dia masuk.
“Ly, masak tamunya nggak dipersilahkan masuk, masuk aja Pak Taryo” teriak Ana dari atas ranjang.
Aku seperti tersadar, segera kupersilahkan masuk, ternyata Ana dan Dion sudah mengenakan piyama-nya.
“Pak Taryo, ini Lily milik Pak Taryo seperti yang kamu inginkan” kata Dion dengan logat bule-nya.
“Tapi tuan, saya nggak biasa dengan yang seperti ini, apalagi cantik kayak Non Lily ini, paling juga dengan si Ina pembantu sebelah, apa Non Lily mau sama saya” kata Pak Taryo terbata bata sambil menatapku bergantian dengan Dion.
“Pak Taryo pernah ke Tandes atau Dolly?” tanya Ana.
“Eh neng, bikin malu aja, sekali kali sih, itupun kalau dapat persen dari tuan” kata Pak Taryo tersipu.
“Tapi tuan, saya nggak biasa dengan yang seperti ini, apalagi cantik kayak Non Lily ini, paling juga dengan si Ina pembantu sebelah, apa Non Lily mau sama saya” kata Pak Taryo terbata bata sambil menatapku bergantian dengan Dion.
“Pak Taryo pernah ke Tandes atau Dolly?” tanya Ana.
“Eh neng, bikin malu aja, sekali kali sih, itupun kalau dapat persen dari tuan” kata Pak Taryo tersipu.
Kepalaku berputar pening mendengar pembicaraan mereka, laki laki macam apa yang akan disodorkan ke aku ini? Siapakah dia?
“Udah anggap aja dia dari Dolly atau Tandes, nggak ada bedanya, cuma
dia lebih cantik dan lebih mulus dan lebih.. Pokoknya lebih dari
segalanya deh.. Jauuh, mau nggak?” timpal Ana sambil menatapku.
Aku tak bisa berkata apa apa, sama sekali tak menyangka permainan taruhan bisa begini liar.
“Pak Taryo nggak suka sama dia ya, oke I carikan yang lain atau ntar
kita ke tempat kamu biasanya” timpal Dion dengan bahasa yang aneh.
“Bu.. Bukan begitu tuan, aku cuma masih seperti bermimpi” jawab Pak Taryo dengan lugunya, sambil menatap ke bawah, dia seperti tak berani menatapku.
“Ly, kamu ini gimana sih kok diam saja, dia kan tamumu” hardik Ana sambil mendorong tubuhku ke arah Pak Taryo, tercium bau keringatnya yang tidak sedap.
“Udah urus dia, aku mau ngelanjutin, ntar aku keburu drop ngelihat Pak Taryo” bisiknya menggoda dan mendorong tubuhku semakin dekat ke Pak Taryo.
“Bu.. Bukan begitu tuan, aku cuma masih seperti bermimpi” jawab Pak Taryo dengan lugunya, sambil menatap ke bawah, dia seperti tak berani menatapku.
“Ly, kamu ini gimana sih kok diam saja, dia kan tamumu” hardik Ana sambil mendorong tubuhku ke arah Pak Taryo, tercium bau keringatnya yang tidak sedap.
“Udah urus dia, aku mau ngelanjutin, ntar aku keburu drop ngelihat Pak Taryo” bisiknya menggoda dan mendorong tubuhku semakin dekat ke Pak Taryo.
Kutatap matanya dengan penuh kemarahan, tapi dia membalas dengan
tatapan penuh kemenangan, dia bisa mendapatkan laki laki seperti Dion
tapi memberiku Pak Taryo. Dengan sangat terpaksa kugandeng Pak Taryo ke
kamar mandi, aku ingin memandikan dia dulu, menghilangkan bau
keringatnya yang menyengat.
Kukuatkan hatiku ketika melepas pakaian Pak Taryo satu demi satu
sambil menggerutu dalam hati, kalau aku diberi tamu yang tua tapi
berduit tentu nggak terlalu masalah karena tentunya masih bisa mengharap
tip darinya tapi dengan orang seperti Pak Taryo, mana bisa memberiku
tip, paling banter kalau dia memang memberi tak lebih dari 10.000,
padahal aku biasa memberi tip pada room boy paling tidak 2 lembar 20
ribuan.
Tubuh Pak Taryo sudah telanjang didepanku, terlihat dia agak rikuh didepanku.
“Nggak usah non, aku mandi sendiri aja, non tunggu aja diluar”
katanya saat celananya mau kulepas, tapi aku tak mau diketawain Ana.
“Nggak apa Pak, emang udah tugasku kok” jawabku menghibur diri.
“Kalo begitu non juga harus lepas, masak cuma aku yang telanjang” katanya mulai nakal.
“Nggak apa Pak, emang udah tugasku kok” jawabku menghibur diri.
“Kalo begitu non juga harus lepas, masak cuma aku yang telanjang” katanya mulai nakal.
Aku terdiam sejenak, agak marah juga sih sebenarnya, tapi dilepas
sekarang atau nanti toh akhirnya memang harus dilepas juga. Dengan
terpaksa kulepas juga pakaian dan celanaku.
“Non makin cantik kalo begitu” katanya saat aku mulai mengguyurkan air hangat ke tubuhnya.
“Lepas aja itu sekalian non, ntar basah lho” katanya lagi saat aku mulai menyapukan sabun ke tubuhnya.
“Lepas aja itu sekalian non, ntar basah lho” katanya lagi saat aku mulai menyapukan sabun ke tubuhnya.
Akupun menurutinya, sudah kepalang tanggung, pikirku.
“Aku seperti mimpi bisa begini dengan non Lily” katanya ketika melihat tubuh telanjangku.
Tubuh telanjang kami sudah berada dalam satu bathtub, Pak Taryo sudah
mulai berani memegang dan mengelus pundakku ketika aku menyabuni
penisnya. Elusannya bergeser ke dadaku dan mulai meremas buah dada saat
kuremas remas penisnya dengan sabun.
“Non jauh lebih sintal dari pada si Ina atau Ijah si janda gatel,
apalagi kalau dibandingkan Mince yang di Dolly, wah kalah jauh non,
mereka nggak ada apa apanya” katanya sambil meremas dan mempermainkan
putingku.
Dalam hati aku mendongkol dan marah dibandingkan dengan pembantu atau
para pelacur di Dolly, jelas bukan kelasku mereka itu. Kubiarkan dia
dengan gemas mempermainkan buah dadaku, toh dia pasti melakukannya dan
lebih dari itu penis yang ada digenggamanku ini juga tak lama lagi akan
masuk dan menikmati hangatnya vaginaku.
“Emang Pak Taryo apanya Dion” tanyaku sambil mengocok penisnya dengan tanganku.
“Oh dia tuanku, sudah lebih 3 tahun aku menjadi sopirnya, dia itu orangnya baik sekali non, aku sering mendapat persen darinya” katanya memuji muji bos-nya.
“Oh dia tuanku, sudah lebih 3 tahun aku menjadi sopirnya, dia itu orangnya baik sekali non, aku sering mendapat persen darinya” katanya memuji muji bos-nya.
Kudengar jeritan kenikmatan dari Ana menikmati permainan Dion, ingin
aku melihat bagaimana Dion menyetubuhi Ana segera tapi aku harus
melayani Pak Taryo dulu.
“Oouughh.. Shit.. Yes.. Yess.. Fuck me hard.. Harder.. Yes harder”
berulangkali desahan lepas dari Ana terdengar melewati pintu kamar mandi
yang tidak tertutup.
“Aku mah sudah terbiasa mendengar suara suara seperti itu dari neng Ana” katanya mulai mendesis.
“Aku mah sudah terbiasa mendengar suara suara seperti itu dari neng Ana” katanya mulai mendesis.
Sambil saling memandikan, akhirnya aku tahu kalau Pak Taryo yang
sopir itu sering mengantar Dion dan Ana ke Tretes atau Batu, dan tak
jarang dia melihat mereka bercinta, sepertinya Dion tak peduli kalau
dilihat atau diintip sama sopirnya. Bukan cuma dengan Ana tapi begitu
juga dengan gadis lain yang dia bawa tapi Ana yang paling sering dia
bawa, makanya Ana mengenal Pak Taryo.
Sambil cerita Pak Taryo mulai menyabuni tubuhku, dia sudah berani
mencium punggung dan leherku dari belakang disela sela ceritanya.
Teriakan dan jeritan Ana masih terdengar, malahan semakin nyaring,
sepertinya semakin liar.
Setiap dari luar kota, Dion selalu memberinya uang lebih, dan untuk
pelampiasan dari apa yang dilihat di Tretes atau Batu, Pak Taryo pergi
ke Dolly atau Tandes, memang tempat itulah yang bisa dia jangkau.
Akhirnya kebiasaan itu ketahuan Dion, suatu hari Dion bertanya gadis
seperti apa yang diimpikan Pak TAryo.
“Saya mah orang kecil nggak berani berangan angan yang muluk muluk”
jawab Pak Taryo waktu itu, tapi Dion mendesak akhirnya Pak Taryo
mengungkapkan impian nakalnya. Gadis yang putih mulus kalau bisa cina,
tinggi, montok dan tentu saja cantik, itu sih semua orang juga mau,
ledek Dion saat mengetahui impian Pak Taryo.
“Jangan kuatir Pak Taryo, impian kamu suatu saat pasti terjadi” janji Dion.
Minggu besok Dion mau pulang ke Belanda, karena visanya habis, Pak
Taryo tidak berani menagih janjinya tempo hari karena beranggapan itu
sekedar menghiburnya, hingga siang tadi sepulang rapat Dion memintanya
untuk naik ke kamar ini sekitar jam 1:30 dan beginilah jadinya.
Kami sudah berpelukan sambil membersihkan sisa sisa sabun yang masih
menempel di tubuh kami, tubuhnya yang tidak sampai se-telingaku, dengan
mudahnya menciumi leher.
Jerit kenikmatan Ana sudah tak terdengar lagi, ketika Pak Taryo
memintaku duduk ditepian bathtub. Aku tahu yang dia mau ketika dia mulai
jongkok di depanku, kubuka kakiku lebar saat kepalanya mendekat di
selangkangan.
Tanpa canggung Pak Taryo mulai menjilati vaginaku, kupejamkan mata
saat bibirnya menyentuh klitoris, perlahan tapi pasti akupun mulai
mendesah, apalagi ketika tangannya pun ikutan bermain di puting. Mau tak
mau birahiku mulai bangkit, kuremas remas buah dadaku sambil meremas
rambut Pak Taryo yang berada diselangkangan, kutekan semakin dalam.
Ternyata permainan oral Pak Taryo cukup lihai, tak seperti
penampilannya yang lugu, dia mahir mempermainkan irama tarian lidahnya
pada klitoris, aku masih malu untuk mendesah bebas, hanya rintihan
tertahan.
Lidahnya dengan lincah menyusuri paha, vagina dan klitoris,
sepertinya tak sejengkal paha yang terlewatkan dari sapuan bibir dan
lidahnya. Kalau saja kubiarkan, tentu bekas merah akan banyak bertebaran
di pahaku.
Kedua tangan si sopir itu sudah beralih meremas remas kedua buah
dadaku dengan kasarnya, diikuti bibir dan lidahnya mendarat pada puncak
bukit itu, dengan kuat dia menyedotnya bergantian, aku menggelinjang
antara sakit dan geli, kambali dia berusaha meninggalkan bercak merah
pada bukitku tapi segera kucegah, mungkin dia begitu gemas melihat
kemulusan buah dadaku yang ada dalam genggamannya itu atau ingin
menikmati apa yang selama ini dia impikan.
Mataku terlalu lama terpejam berusaha menikmati cumbuan Pak Taryo,
hingga aku dikagetkan suara, ketika kubuka mataku, ternyata Ana dan Dion
sudah berdiri disamping kami, mereka masih telanjang. Ana dengan
santainya menyandarkan tubuhnya di dada Dion tanpa risih meskipun
didepan sopirnya.
“Udah gantian, kamu yang karaoke Ly” kata Ana.
“Sialan” umpatku dalam hati, kutatap matanya tapi dia membalas tatapanku dengan sorot mata penuh kemenangan menggoda.
“Sialan” umpatku dalam hati, kutatap matanya tapi dia membalas tatapanku dengan sorot mata penuh kemenangan menggoda.
Pak Taryo menghentikan cumbuannya, menatapku seakan meminta
persetujuan, aku diam saja, tak sanggup untuk meng-iya-kan, padahal
sebenarnya memang tugasku.
“Itu para cewek di Dolly atau Tandes aja bisa melakukan, masak Lily
yang terkenal itu nggak mau sih, lagian Dion juga ingin melihat
bagaimana pintarnya kamu setelah kubilang kalau kamu lebih pintar
karaoke dari pada aku” lanjut Ana dalam bahasa jawa.
Aku semakin jengkel tapi merasa tertantang saat dibilang Dion ingin
melihat kemahiranku, entah kenapa seakan aku ingin membuktikan dihadapan
Dion bahwa aku lebih hebat dari Ana.
Kuminta Pak Taryo berdiri, penisnya tepat berada didepanku, kupegang
dan kuremas remas, lalu kukocok dengan tangan, kembali ada keragu raguan
saat penis itu hendak kucium. Kulirik Ana dan Dion yang tengah melihat
kami dengan penuh perhatian, terpancar sorot mata aneh dari Dion yang
tak bisa kuterjemahkan.
Penis di genggamanku semakin mengeras seiring desahan nikmat dari Pak
Taryo, kubulatkan tekadku sambil memejamkan mata saat bibirku akhirnya
menyentuh ujung penis. Sapuan bibir sepanjang penis mengiringi desahan
kenikmatan darinya, tangan Pak Taryo mulai meremas remas rambutku, suatu
hal yang sangat tabu dilakukan seorang sopir padaku, tapi kali ini dia
adalah tamuku yang berhak melakukan apa saja yang dimaui.
Dion mendekat ketika penis sopirnya memasuki mulutku, rasanya mau
muntah merasakan penis itu dimulut, meski ini bukan pertama kali aku
mengulum penis dari orang “rendah” macam dia tapi kali ini sungguh lain
karena apa yang aku lakukan adalah suatu harga yang harus kubayar, dan
aku tak mendapatkan sepeserpun dari perbuatanku ini. Mengingat hal ini,
perutku semakin mual tapi tetap kuteguhkan tekadku.
Aku agak “terhibur” saat tangan Dion yang penuh bulu itu mulai ikutan
menyentuhku, mengelus punggung, rambut dan meremas remas buah dadaku
dengan lembut, jauh lebih lembut dari Pak Taryo. Kalau saja
diperbolehkan, tentu kualihkan kulumanku pada penis Dion yang kemerahan
menggemaskan itu. Tapi, jangankan mengulumnya, ketika tanganku berusaha
meraihnya, Ana langsung menepis.
“Ojo nyenggol Dion” katanya, padahal Dion tengah meremas remas buah dada dan mempermainkan putingku.
Sentuhan Dion membuat birahiku perlahan naik, menghilangkan mual
diperut, dan kulumankupun semakin bergairah pada Pak Taryo, tentu saja
dia semakin senang menikmatinya, berulangkali lidah dan bibirku menyapu
sekujur batang hingga kantong bolanya. Pak Taryo-pun semakin berani,
dipegangnya kepalaku dan dikocoknya mulutku dengan penisnya.
“Ya begitu, bagus Pak Taryo.. Faster.. Harder” komentar dan perintah
Dion dengan nada pelo pada sopirnya, sementara dia sendiri meremasku
semakin liar dan satu tangannya dari belakang sudah berada di
selangkananku. Tak dapat kutahan lagi ketika pinggulku mulai bergoyang
mengikuti permainan jari Dion pada vagina, kini atas dan bawah tubuhku
bergoyang bersamaan.
“Kita pindah ke ranjang yuk” usulku sambil berharap bisa mendapat
cumbuan lebih banyak dan lebih bebas dari Dion, meski aku belum pernah
melayani bule dan selama ini tidak ingin, tapi untuk Dion aku tak
keberatan sebagai yang pertama.
Tanpa menunggu persetujuan, aku berdiri meninggalkan mereka menuju
ranjang, langsung telentang diatas ranjang bersiap menerima cumbuan,
terutama Dion.
Harapan tinggallah harapan, yang muncul ternyata Pak Taryo, tanpa
mempedulikan mimik kekecewaanku, dia langsung mencumbu dan menindih
tubuhku, menciumi leher dan bibir, melumat habis hingga putingku terasa
agak nyeri.
“Oh yess.. Fuck me harder.. Yess faster.. Faster” sayup sayup mulai
kudengar jeritan Ana dari kamar mandi. Sebercak iri melintas dibenakku
membayangkan Ana mendapat kocokan dari si bule dengan penis yang besar
dan kemerahan itu, sementara aku sendiri hanya mendapatkan sopirnya yang
tua dan jelek, rakus lagi.
Pak Taryo mulai menyapukan penisnya ke vaginaku.
“Non, aku sungguh nggak nyangka akan mendapat kesempatan seperti ini,
bisa bersama non yang cantik, malah lebih cantik dari neng Ana” katanya
seraya mulai memasukkan perlahan penisnya. Aku sama sekali tidak merasa
tersanjung dengan pujian seorang sopir seperti dia.
Penis Pak Taryo mulai merasakan nikmatnya vaginaku, diiringi wajah
tuanya yang menyeringai penuh kepuasan dan nafsu bak singa tua mendapat
kambing muda. Begitu melesak semua, digenjotnya vaginaku dengan
kecepatan penuh bak mobil tancap gas, tubuh tua itu menelungkup di
atasku, terdengar jelas desah napasnya yang menderu dekat telinga, aku
sama sekali tak bisa menikmati kocokannya, justru perasaan muak yang
kembali menyelimutiku.
Dari dalam kamar mandi Ana berteriak semakin liar, ingin aku melihat
apa yang tengah mereka lakukan hingga membuat Ana terdengar begitu
histeris.
“Oh.. Yaa.. Come on, Mark can do more than this” terdengar disela
desahannya Ana membandingkan Dion dengan orang lain yang aku sendiri tak
tahu.
Aku lebih menikmati desahan dan jeritan Ana daripada permainan Pak
Taryo yang tengah mengocokku dengan penuh nafsu, justru suara suara itu
lebih membangkitkan birah. Kugoyangkan pantatku mengimbangi gerakannya,
bukannya karena aku mulai bernafsu tapi lebih berharap supaya Pak Taryo
cepat selesai dan aku bisa melihat permainan Ana dan Dion.
“Oh no.. No.. Pleasse.. Not my ass..” teriakan Ana menarik
perhatianku, Dion memaksakan anal sex padanya, kudengar Dion berkata
tapi terlalu pelan tak bisa kudengar apalagi dengus napas Pak Taryo
tepat di telinga.
“Please.. Please don’t, I never.. Aauuww.. Sshit..” lalu senyap tak
terdengar lagi teriakannya, entah apa yang terjadi, apakah dia pingsan?
Tak sempat aku menduga duga karena Pak Taryo sudah melumat bibirku tanpa
menghentikan kocokannya.
“Oh shiit.. Bule edaan..my ass.. Ugh.. Ugh..” desah Ana kembali
terdengar, rupanya Dion telah berhasil mem-perawani anus Ana,
membayangkan penis yang besar itu keluar masuk lubang anusnya, birahiku
kembali naik. Goyangan pinggulku semakin cepat, ingin segera kutuntaskan
tugas berat ini dan aku yakin Pak Taryo tak bisa bertahan lebih lama
lagi, apalagi dengan sedikit berpura pura mendesah nikmat.
Dugaanku benar, dari raut wajahnya tampak dia sudah dekat dengan puncaknya.
“Keluarin di luar aja” pintaku sambil pura pura mendesah, rasanya tak rela kalau vaginaku dikotori spermanya.
Tapi terlambat, belum sempat aku memperhatikannya lebih lanjut tiba
tiba kurasakan tubuhnya menegang seiring denyutan kuat penisnya pada
vaginaku, aku menjerit keras, bukannya nikmat tapi karena marah, sopir
itu telah “mengotori” vaginaku dengan spermanya, sperma yang selama ini
disemprotkan pada wanita murahan di Dolly atau tandes.
Aku tak sempat mendorongnya keluar karena tubuhnya sudah ditelungkupkan di atasku bersamaan semprotan hangatnya.
“Sialan.. Sialan.. Sialaan, dasar sopir tak tahu diuntung” gerutuku dalam hati sambil merasakan denyutan demi denyutan.
“Maaf non, habis tanggung sih, lagian non Lily membolehkan aku tanpa kondom, biasanya mereka selalu meminta pakai kondom” kata Pak Taryo setelah denyutan itu habis. Aku tertegun mendengar kalimat terakhirnya.
“Ya udah turun gih, berat nih nggak bisa napas aku” kataku menahan marah sambil mendorong tubuh Pak Taryo yang masih menindihku (saat menulis cerita ini, aku teringat kalau tubuh Pak Taryo mirip Mat Solar dalam sinetron Bajaj Bajuri itu).
“Maaf non, habis tanggung sih, lagian non Lily membolehkan aku tanpa kondom, biasanya mereka selalu meminta pakai kondom” kata Pak Taryo setelah denyutan itu habis. Aku tertegun mendengar kalimat terakhirnya.
“Ya udah turun gih, berat nih nggak bisa napas aku” kataku menahan marah sambil mendorong tubuh Pak Taryo yang masih menindihku (saat menulis cerita ini, aku teringat kalau tubuh Pak Taryo mirip Mat Solar dalam sinetron Bajaj Bajuri itu).
Desah kenikmatan dari kamar mandi masih terdengar, segera aku
beranjak menuju kamar mandi untuk melihat mereka. Kulihat mereka sedang
melakukan dogie di lantai, tampak penis kemerahan itu keluar masuk
lubang anus Ana yang tengah mendesah. Tampaknya Ana benar benar sedang
melayang tinggi hingga tak menyadari kedatanganku, aku mendekat sambil
berharap Dion mau menjamah dan berbagi gairah denganku.
Dion yang tengah mengocok anus Ana melihatku, dia menarik tubuh
telanjangku dalam pelukannya, inilah pertama kali aku berpelukan dengan
seorang bule, telanjang lagi. Maka akupun tak mampu menghindar saat
bibir Dion mendarat ke bibirku dan bibir kamipun bertemu. Aku hanya
tertegun tak membalas lumatannya, setelah tangan kekar Dion yang berbulu
itu mulai menjamah dan meremas remas buah dadaku, barulah seakan
tersadar.
Namun sebelum aku membalas kuluman itu, ternyata Ana menyadari
keberadaanku, disela sela desahan kenikmatannya Ana masih sempat
menghardik.
“Ly, stay away from him, don’t even think about it”
Spontan Dion melepaskan pelukannya dan akupun menjauh melihat mereka
dari pintu kamar mandi, rasanya birahiku terbakar hebat tanpa bisa
berbuat apa apa, tanpa malu kupermainkan sendiri klitorisku, Dion hanya
tersenyum melihat tingkah lakuku.
Beberapa menit berlalu, mereka belum juga selesai, malahan berpindah
ke ranjang tempat Pak Taryo tadi melampiaskan nafsunya padaku. Aku
sengaja duduk menjauh dari Pak Taryo sambil melihat Dion dan Ana
bercinta, berbagai posisi telah mereka lakukan, namun belum juga
terlihat tanda tanda menuju puncak, tapi aku yakin sekali kalau Ana
telah berkali kali menggapainya. Dalam hati aku mengagumi Dion yang
begitu jantan, baik penampilan maupun gaya bercintanya, kembali aku Iri
pada Ana.
Ketika Ana sedang bergoyang pinggul di atas Dion, dia melihatku.
“Ly, sini” ajaknya untuk ikut naik diatas ranjang, akupun dengan
senang hati menurutinya, akhirnya kesampaian juga untuk merasakan
kejantanan Dion, pikirku.
Namun aku harus menelan sekali lagi kekecewaan pada detik berikutnya.
“Pak Taryo, kenapa duduk saja, tuh Lily sudah nganggur dan telah siap” kata Ana lalu melanjutkan goyangan dan desahannya.
Pak Taryo yang merasa mendapat angin segera menuju ranjang dan langsung menubrukku, tubuh telanjang kami kembali menyatu.
Selanjutnya kamipun memacu nafsu di arena yang sama, ranjang.
Berulang kali kulihat Ana menatapku dengan sorot penuh kemenangan,
dibiarkannya Dion menyentuh dan menjamah tubuhku, tapi tak sekalipun aku
diijinkan untuk menyentuh pasangannya, sepertinya dia benar benar
menikmati kemenangannya.
Ana dan Dion bercinta seperti tak ada hari esok, mereka benar benar
liar, mungkin aku juga melakukan hal yang sama kalau mendapatkan
pasangan seperti Dion, tapi kini yang kudapat adalah Pak Taryo,
sopirnya.
Hingga akhirnya akupun menyerah kalah atas permainan Ana dan terpaksa
harus kurelakan sperma Pak Taryo mencemari vagina dan rahimku dua kali
lagi.
“Neng boleh tahu nggak kalau sama non Lily itu berapa ya bayarnya” kata Pak Taryo saat hendak keluar kamar.
“Ha? Udah sana sana pergi, yang jelas kamu nggak akan mampu sampai kapanpun” hardik Ana lalu mengusir Pak Taryo keluar kamar.
“Ha? Udah sana sana pergi, yang jelas kamu nggak akan mampu sampai kapanpun” hardik Ana lalu mengusir Pak Taryo keluar kamar.
Sepeninggal Pak Taryo aku masih bersama mereka, sebenarnya berharap
untuk mendapatkan sepenggal kenikmatan dari Dion, tapi hingga batang
rokok kedua kuhabiskan sepertinya Ana tidak akan memberi kesempatan itu.
Sesungguhnya aku bisa saja meninggalkan mereka karena taruhan sudah
terbayar tapi seberkas harapan masih menahanku untuk lebih lama tinggal
bersama mereka. Kalaupun aku tak bisa mendapatkannya paling tidak bisa
mengulum penis kemerahan itu atau paling tidak memegang dan meremasnya.
“Ly, aku mau tinggal sampai besok, terserah kamu mau disini atau
pergi, tapi jangan harap aku membagi Dion dengan kamu, karena pasti aku
kalah kalau harus bersaing denganmu, seperti yang sudah sudah” kata Ana
menggoda.
Daripada menjadi penonton pasif, maka kuputuskan untuk meninggalkan
mereka. Lebih baik aku mencari tamu lagi, toh masih belum terlalu malam.
Aku bertekad untuk melayani tamuku nanti dengan penuh gairah,
beruntunglah tamuku malam ini karena akan mendapat bonus sampai pagi,
akan lebih baik kalau bisa 2 in 1 atau bahkan 3 in 1, sekedar
pelampiasan birahi, bila perlu bercinta sampai pagi.
Kutinggalkan mereka diiringi jeritan kenikmatan Ana saat penis Dion sudah kembali keluar masuk lubang anusnya.
Dalam 2 hari ini aku telah mengalami kejadian yang luar biasa,
kemarin telah memecahkan rekor untuk melayani laki laki dalam sehari dan
berbuat liar seperti pelacur jalanan. Hari ini aku harus melayani
seorang sopir dan mulai membayangkan nikmatnya bermain dengan seorang
bule seperti Dion.
Ketika aku melintasi area parkir, kulihat Pak Taryo duduk bergerombol dengan rekan sesama sopir di pojok, kupanggil dia.
“Kalau kamu ngomong macem macem pada siapa saja, awas!!” ancamku, dia hanya manggut manggut.
Sambil menyusuri jalanan malam kota Surabaya, kuhubungi beberapa GM
untuk menanyakan orderan, ingin kulampiaskan birahiku segera dengan
satu, dua atau bila perlu tiga laki laki sekaligus seperti yang sudah
kualami sebelumnya.
====================================================
Sudah lama aku mengenal tamuku yang bernama sebut saja Dibyo, seorang
chinese yang bekerja sebagai pemasaran di Maspion, dia merupakan salah
satu tamu langgananku yang pada mulanya adalah teman biasa di bisnis
jual beli mobil bekas, pekerjaan “sampingan” sekaligus kamuflase. Dia
mengetahui profesiku yang lain secara kebetulan tak kala diajak teman
temannya untuk “hunting”, dan ternyata salah satu gadis yang dibooking
adalah aku, melalui seorang GM, jadi aku tidak menyangka sama sekali
kalau “kepergok” seperti ini, begitu juga diapun tak menyangka bertemu
aku dalam posisi seperti ini. Tentu saja kami berdua terkejut tapi
sama-sama tak mungkin mengelak.
Aku kenal istri dan keluarganya, termasuk adik-adiknya karena kami
memang sangat dekat. Sungguh suatu keadaan yang sama sekali lain dan
tidak disangka sebelumnya, aku merasa begitu rikuh dan kulihat dia juga
mengalami hal yang sama. Ingin rasanya aku lari keluar kembali ke
mobilku, tapi tentu saja si GM akan kecewa dan mencoretku dari
daftarnya, padahal GM itu banyak memberi orderan dan aku tak ingin hal
itu terjadi. Harapan satu satunya adalah aku tidak melayaninya.
Dia ditemani kedua temannya begitu juga aku dengan 2 gadis lain yang
dikirim oleh GM yang sama. Saat kami dikenalkan satu persatu, tertangkap
sorot mata aneh menatapku tajam, aku tak bisa menerjamahkan sorot mata
itu, dengan tersipu malu dan wajah bersemu merah aku memalingkan
tatapanku dari sorotnya, tak sanggup melawannya.
Tanpa memberi kesempatan teman temannya, dia langsung memilih aku,
membuatku semakin bertambah rikuh, rasanya tak mungkin melakukan dengan
orang yang selama ini kukenal sebagai seorang teman dalam batas
pertemanan, tak tega rasanya menghianati Wenny, istrinya yang kuanggap
sebagai seorang teman.
Berenam kami menuju ke Stasium di Tunjungan Plaza, sepanjang jalan
aku dan Dibyo terdiam tanpa bicara, sejuta kecamuk dalam pikiran kami
masing masing, tak tahu harus mulai dari mana. Sungguh berbeda dengan
kedua temannya yang banyak canda dan tawa dengan kedua gadisnya.
Aku tahu bahwa aku harus bertindak profesional, tapi dalam bisnis
ini, emosi dan perasaan tetap memegang peranan yang besar, itu
manusiawi.
Keadaan sedikit tertolong karena dia harus nyetir BMW-nya sehingga
kekakuan kami tidak terlalu terbaca teman temannya, mereka pasti pikir
si Dibyo diam karena konsentrasi pada setirannya, mereka tentu tidak
memperhatikan bahwa tak sejengkalpun tubuhku disentuhnya, tidak seperti
mereka yang dibelakang yang tangannya sudah menggerayang ke seluruh
tubuh pasangannya masing masing.
Detak pekik House musik dan geliat birahi para pengunjung di lantai
dance tak mampu mencairkan kekakuan di antara kami, bahkan saat lagu
“Lemon Tree” kesukaanku berkumandang nyaring, tetap tak mampu
menggerakkan kakiku menuju lantai dansa, begitu kaku, begitu juga Dibyo
yang tak berani mengambil inisiatif mengajakku turun, kalau saja dia
mengajakku pasti aku tak kuasa untuk menolak tapi hal itu tak terjadi.
Padahal sudah sering kali aku turun sama dia saat bersama istrinya ke
diskotik.
Butir butir extasi yang mereka bagikan, hanya kugenggam di tanganku.
Kami sama sama terpaku membeku dalam panasnya alunan hentakan house
music.
Pukul 01.00 kami meninggalkan diskotik menuju Hotel Tunjungan yang
hanya bersebelahan dengan komplek pertokoan itu. Tiga jam yang panjang
kualami penuh kebekuan, tak seujung rambutpun dia menyentuhku apalagi
mencium atau meraba tubuhku, meskipun kesempatan itu sangat luas
terbentang.
Ketika kami memasuki kamar masing masing, kekakuan diantara kami
masih ada bahkan terasa semakin membeku. Aku tak tahu harus berbuat apa.
“Aku nggak nyangka kalau kita bisa bertemu dalam keadaan seperti ini”
katanya setelah menyalakan Marlboronya, inilah kata pertama yang
ditujukan padaku sejak ketemu 4 jam yang lalu.
“Aku juga” jawabku singkat sedikit bergetar, keringat dingin mulai
membasahi telapak tanganku, kebiasaan kalau aku dalam keadaan gugup.
“Selanjutnya gimana nih” tanyanya, entah pura pura atau memang karena rikuh.
“Terserah kamu saja, aku ikut” jawabku masih bergetar.
“Selanjutnya gimana nih” tanyanya, entah pura pura atau memang karena rikuh.
“Terserah kamu saja, aku ikut” jawabku masih bergetar.
Dibyo beranjak dari tempat duduknya menghampiriku, dia duduk
disampingku, jantungku berdetak kencang dan semakin kencang saat dia
memelukku. Bukan pertama kali dia memelukku seperti ini, bahkan mencium
pipiku pun sudah sering dia lakukan meskipun di depan istrinya, tapi
semua itu tentu saja dalam konteks yang lain.
Aku hanya diam saja sambil meremas tanganku semakin erat ketika dia
mulai mencium pipiku, sungguh terasa lain ciumannya dibandingkan sebelum
sebelumnya, ada getaran aneh menyelimuti hatiku, kembali aku tak tahu
harus berbuat apa.
Ciuman Dibyo sudah menyusur ke leharku, kurasakan tangannya gemetar
saat mulai mengelus elus buah dadaku, jantungku semakin berdetak kencang
saat tangan gemetar itu menyusup dibalik kaosku, terasa dingin ketika
menyentuh kulit buah dadaku.
Sesaat aku hanya terdiam saat bibirnya mulai menyentuh bibirku,
dilumatnya dengan lembut bibir merahku sembari menuntun tanganku ke
selangkangannya, terasa menegang. Tanpa kusadari ternyata dia sudah
membuka resliting celananya hingga tanganku langsung menyentuh
kejantanannya yang masih terbungkus celana dalam.
Aku mulai membalas kulumannya ketika tanganku sudah menyusup dibalik
celana dalamnya dan mulai meremas remas kejantanan sobatku ini.
Menit menit selanjutnya terlupakan sudah siapa Dibyo sebelumnya,
terlupakan sudah si Wenny istrinya yang cantik, aku kembali berada dalam
duniaku, seorang gadis panggilan yang sedang bekerja memuaskan tamunya,
meskipun demikian aku masih tak tega memandang wajah gantengnya, setiap
kali kulihat wajahnya aku selalu teringat akan istrinya, jadi aku
selalu berusaha untuk memalingkan wajahku atau memejamkan mata saat
wajah kami berhadapan.
Harus kuakui ternyata Dibyo seorang yang sabar dan romantis, kuluman
pada bibir dan putingku serasa begitu nikmat dan penuh perasaan, akupun
tanpa malu mulai mendesah nikmat dalam buaian sobatku.
Perlu hampir 1 jam bagi kami untuk saling menelanjangi, tubuh bugil
kami sudah beralih ke atas ranjang, Dibyo melanjutkan ciumannya pada
sekujur tubuhku tapi tampaknya masih ada keraguan untuk menjilati
selangkanganku, begitu juga aku, seakan ada penghalang yang mencegahku
mengulum penisnya.
Ketika tubuh telanjangnya hendak menindihku, tiba tiba terdengar
bunyi telepon. Dengan agak malas dia mengangkat telepon, rupanya teman
temannya telah lama menyelesaikan satu babak, padahal kami baru akan
mulai. Mereka menanyakan apakah akan melanjutkan hingga pagi, dia
menanyaiku dan kujawab terserah. Akhirnya diputuskan untuk nginap.
Sebelum kembali ke pelukanku, Dibyo mengambil HP dan menghubungi
istrinya untuk memberitahu kalau dia pulang pagi dengan alasan
menemaniku di diskotik, entah apa dalam benak Wenny karena tidak ada
iringan musik pada backgroundnya. Kami memang sering ke diskotik sama
sama hingga menjelang pagi jadi bukan sekali ini Dibyo pulang pagi. Dia
memberikan HP-nya kepadaku.
“Hai Wen, sorry malam ini aku pinjam suamimu tanpa permisi” kataku.
“Ya udah, tolong jaga dia jangan sampai lupa pulang, yang penting pulang dengan selamat biar dengan botol kosong” katanya ditutup dengan ketawa ciri khasnya, kami memang sudah biasa bergurau bebas, aku jadi semakin merasa bersalah melihat begitu percayanya dia padaku. Tapi ini adalah bisnis bukan aku berselingkuh dengan suaminya tapi dia yang mem-bookingku, hiburku dalam hati.
“Ya udah, tolong jaga dia jangan sampai lupa pulang, yang penting pulang dengan selamat biar dengan botol kosong” katanya ditutup dengan ketawa ciri khasnya, kami memang sudah biasa bergurau bebas, aku jadi semakin merasa bersalah melihat begitu percayanya dia padaku. Tapi ini adalah bisnis bukan aku berselingkuh dengan suaminya tapi dia yang mem-bookingku, hiburku dalam hati.
Dibyo kembali menghampiriku yang masih telentang telanjang di atas
ranjang, kami harus mulai lagi dari awal. Kali ini tiada lagi keraguan
diantara kami meski aku tetap tak bisa menatap wajahnya. Dengan
memejamkan mata, kusambut lumatan bibirnya sembari meremas remas
kejantantannya yang sudah lemas. Dia mulai berani mendesah, akupun
demikian saat bibirnya mendarat di puncak bukitku.
Kujepit pinggangnya dengan kakiku saat sedotannya semakin kuat sambil
menyapukan kepala penisnya ke bibir vaginaku, kubuka sedikit mataku
menatapnya, ternyata dia menatapku dengan penuh perasaan, tak sanggup
aku menatapnya lebih lama, kututup kembali mataku rapat rapat dan
semakin rapat saat penisnya mulai menerobos memasuki liang vaginaku.
Entahlah, tidak seperti pada tamuku lainnya, kali ini kurasakan
getaran getaran aneh menyelimuti diriku, semakin dalam penis itu melesak
masuk, semakin keras getaran itu seiring kerasnya degup jantungku yang
berdetak kencang. Aku telah menodai persahabatan yang selama ini
kubangun, aku telah menghianati Wenny yang begitu percaya padaku. Tapi
perasaan nikmat dan semakin nikmat perlahan mengusir rasa bersalah dan
segala keseganan antara aku dan Dibyo.
Kejantanan Dibyo perlahan penuh perasaan mengocokku diiringi cumbuan
dan lumatan pada bibirku yang kubalas dengan tak kalah gairahnya, dan
akupun semakin kelojotan dalam dekapan hangat suami sahabatku ini
takkala ciumannya menyusuri leherku.
Berdua kami mengayuh biduk birahi menyeberangi lautan nafsu, lenguh
dan desah kenikmatan mengiringi perjalanan kami. Beberapa menit kemudian
kamipun telah sampai ke seberang kenikmatan, hanya berselang beberapa
detik setelah Dibyo menumpahkan semua cairan birahinya ke rahimku, aku
menyusulnya menggapai puncak kenikmatan dari suami sobatku.
Tubuh lemasnya langsung terkulai menindihku, napas kami menyatu
mengiringi denyut jantung yang berdetak kencang, hembusan napasnya
menerpa telingaku, aku kembali terbuai akan kehangatannya meski perlahan
gairah kami mulai menurun.
Beberapa saat suasana hening, entah apa yang berkecamuk dalam
pikirannya, apakah menyesal telah meniduri temannya ataukah puas telah
menikmati tubuhku, hanya dia yang tahu. Bagiku tugas melayani seorang
tamu telah kulaksanakan, kebetulan dia adalah teman dan suami sobatku,
itu adalah diluar kehendak kami masing masing.
Mungkin karena sama sama segan, permainan kami biasa biasa saja,
bahkan relatif singkat, tak ada pergantian posisi seperti umumnya, baik
dari dia maupun dari aku sendiri.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi ketika telepon berbunyi,
dengan segan Dibyo menerima, yang pasti dari temannya di kamar sebelah.
“Hei, kamu yang ke sini atau aku yang ke sana, si kampret satu itu
sudah pulang soalnya” kata suara dari seberang sayup sayup kudengar, aku
tak tahu maksudnya.
“Kali ini nggak bisa Jon, kita sendiri sendiri aja deh” jawabnya.
“Kok kamu gitu sih, mentang mentang dapat yang si cantik Lily terus nggak mau berbagi, kawan macam apa itu” dari seberang terdengar dengan nada tinggi, aku masih nggak tahu maksudnya.
“Kali ini nggak bisa Jon, kita sendiri sendiri aja deh” jawabnya.
“Kok kamu gitu sih, mentang mentang dapat yang si cantik Lily terus nggak mau berbagi, kawan macam apa itu” dari seberang terdengar dengan nada tinggi, aku masih nggak tahu maksudnya.
Dibyo diam sejenak, menatapku dalam dalam seakan hendak mengatakan sesuatu.
“Dia mau ke sini” katanya pelan.
“Emang sudah selesai? Mau check out? Malam malam begini? Tanggung amat” tanyaku nggak ngerti.
“Enggak, mau pindah bergabung ke sini sama ceweknya”
“Pindah? Bergabung? Trus?” tanyaku semakin tak mengerti.
“Emang sudah selesai? Mau check out? Malam malam begini? Tanggung amat” tanyaku nggak ngerti.
“Enggak, mau pindah bergabung ke sini sama ceweknya”
“Pindah? Bergabung? Trus?” tanyaku semakin tak mengerti.
Dia diam sejenak.
“Trus.. Trus.. Ya disini.. Ber.. Berempat” jawabnya terpatah patah, kulihat mimik muka bersalah di wajahnya.
“Sorry ya, aku telah membawamu ke situasi seperti ini, sudah kebiasaan untuk bertukar pasangan atau bersamaan pada akhirnya” lanjutnya sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya, sepertinya untuk menutupi rasa bersalahnya.
“Sorry ya, aku telah membawamu ke situasi seperti ini, sudah kebiasaan untuk bertukar pasangan atau bersamaan pada akhirnya” lanjutnya sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya, sepertinya untuk menutupi rasa bersalahnya.
Sebenarnya aku tidak keberatan melakukan hal itu, toh sudah sering
kulakukan, tapi ini di depan Dibyo, ada keengganan tersendiri yang
menjadi penghalang, entahlah perasaan jaga image masih kuat kurasakan.
Disamping itu, aku agak kaget mendapati kenyataan bahwa Dibyo yang
kukenal cukup pendiam, meski aku cukup yakin sebelumnya dia bukan tipe
suami yang setia, ternyata menjalani petualangan seperti ini dengan
teman temannya, sungguh jauh dari penampilan keseharian yang terkesan
pendiam.
“Terserah kamu saja lah, toh kamu boss-nya” jawabku lirih berusaha
memberi kesan terpaksa, takut kalau dia tahu kalau aku sudah sering
melakukan permainan seperti ini.
“Ly, kamu boleh menolak, bebas kok, paling resikonya aku dijauhi teman teman dan dibilang egois”
“Janganlah kalau sampai ditinggal teman teman hanya masalah beginian, malu kan” aku menghibur.
“Sebenarnya aku nggak rela kalau kamu harus melayani orang lain, apalagi dihadapanku, tapi semua terserah kamu deh”
“Ly, kamu boleh menolak, bebas kok, paling resikonya aku dijauhi teman teman dan dibilang egois”
“Janganlah kalau sampai ditinggal teman teman hanya masalah beginian, malu kan” aku menghibur.
“Sebenarnya aku nggak rela kalau kamu harus melayani orang lain, apalagi dihadapanku, tapi semua terserah kamu deh”
Aku diam sejenak memikirkan kalimat yang “innocent” untuk menjawab
kata IYA, tak tega rasanya mengatakan kalau selama ini akupun selalu
melayani orang lain, apa bedanya dengan sekarang.
“Okelah kalau itu maumu” jawabku sembari mengambil rokok yang ada di jarinya, kulihat sorot mata aneh dari matanya.
“Jon, kamu ke sini aja deh” akhirnya dia meminta temannya untuk datang.
“Jon, kamu ke sini aja deh” akhirnya dia meminta temannya untuk datang.
Sambil menunggu kedatangan si Josua, aku mandi membersihkan tubuh terutama vaginaku dari sisa sisa keringat maupun sperma Dibyo.
Tak lebih 10 menit kemudian, teman Dibyo sudah berada di kamar,
ternyata gadis yang datang bersamanya adalah Lenny, bukan Cindy yang
tadi bersamanya, rupanya dia telah melakukan pertukaran dengan
sebelumnya.
“Len, bukannya dia tadi sama Cindy, kok sekarang sama kamu, sudah
tukeran rupanya ya” bisikku ketika aku dan Lenny berada di kamar mandi
berdua.
“Gila tuh si Josua, kuat banget, dan malam ini dia bakal dapat 3 cewek berurutan” bisiknya pelan.
“Gila tuh si Josua, kuat banget, dan malam ini dia bakal dapat 3 cewek berurutan” bisiknya pelan.
Kamipun tertawa cekikan di kamar mandi.
Dengan berbalut handuk di dada, aku dan Lenny keluar kamar mandi,
Dibyo duduk di sofa sementara Josua sudah telentang di ranjang, keduanya
sudah dalam keadaan telanjang.
Lenny langsung mengambil posisi di antara kaki Dibyo, aku mau tak mau
harus langsung menuju ranjang melayani Josua. Kejantanan Josua yang
sudah tegang memang mengagumkan, meski tidak terlalu panjang tapi cukup
besar diameternya dengan hiasan otot melingkar terlihat semakin kokoh.
Josua langsung menarik tubuhku dalam pelukannya, dilemparkannya
handuk penutup tubuhku dan tubuh telanjang kami saling berangkulan.
Kubalas lumatan bibirnya dengan tak kalah gairah, desahankupun
terlepas bebas tatkala bibir dan lidahnya mempermainkan kedua putingku
bergantian. Sesaat kulirik Dibyo sudah merem melek menikmati sapuan
bibir mungil Lenny pada penisnya sambil meremas remas kedua buah dadanya
yang sedikit lebih besar dari punyaku. Sudah sering kudengar kemahiran
Lenny dalam ber-oral, kini kulihat sendiri bagaimana bibirnya menyusuri
penis Dibyo dengan bergairah.
Perhatianku kembali beralih ke Josua saat dia membalik tubuhku
dibawahnya, lidahnya dengan lincah menari nari dikedua putingku,
menyusur turun hingga selangkangan dan kembali bergerak liar saat
mendapati klitorisku. Kombinasi antara jilatan dan kocokan jari jari
tangannya di vagina membuatku menggeliat dan mendesah dalam nikmat
sambil meremas remas kepala Josua yang berada di selangkanganku.
Tiba tiba aku dikagetkan teriakan Lenny, rupanya aku terlalu asik
melayang layang hingga tak memperhatikan mereka telah berganti posisi,
kepala Dibyo sudah berada di antara paha Lenny sedang asik menjilati
vaginanya, ternyata itu yang membuat Lenny menjerit nikmat.
Meskipun cumbuan permainan oral Josua begitu nikmat, aku banyak
membagi perhatianku pada Dibyo dan Lenny, sekedar ingin tahu bagaimana
permainan Dibyo bila dengan gadis lain setelah aku mengalami dengannya
biasa biasa saja. Baru sekarang aku tahu ternyata Dibyo juga seorang
great fucker, dengan telaten dia menyusuri seluruh lekuk tubuh Lenny
dengan lidahnya, bahkan hingga jari jari kaki tak luput dari sapuan
lidahnya, terang saja membuat Lenny kelojotan tak karuan. Andai saja dia
tadi melakukannya padaku. Beruntunglah Wenny bisa mendapatkan cumbuan
seperti itu setiap saat.
Perhatianku terganggu saat tubuh Josua sudah mekangkang di atas
dadaku, menyodorkan kejantanannya ke mukaku, segera kuraih, kukocok
sejenak dengan tanganku lalu kujilati kepala penisnya, terasa asin akan
cairan yang sudah menetes keluar. Beberapa detik kemudian penis Josua
sudah lancar mengisi mulutku, keluar masuk mengocoknya.
Puas mengocokkan penisnya ke mulutku, Josua bergeser ke bawah,
mengatur posisinya diantara kakiku, aku membuka lebih lebar saat kepala
penisnya menyapu bibir vagina dan perlahan menyeruak membelah celah
celah sempit liang kenikmatanku. Perlahan tapi pasti penis itu melesak
semakin dalam, namun gerakan penetrasi terganggu ketika Dibyo dan Lenny
berpindah ke ranjang di samping kami sehingga mengharuskan kami sedikit
bergeser memberi tempat pada mereka. Terpaksa Josua menarik keluar
penisnya yang sudah setengah jalan menyusuri liang kenikmatanku.
Aku dan Lenny telentang berdampingan dengan kedua laki laki sudah
siap diantara selangkangan kami masing masing. Namun sebelum Josua
melesakkan kembali penisnya, Dibyo bergeser ke kepalaku, menyodorkan
penisnya tepat di atas mulutku. Segera kuraih dan kumasukkan ke mulutku,
hal yang tadi tidak kami lakukan, bersamaan dengan penis Josua mulai
meluncur masuk liang vaginaku. Sesaat kuhentikan kulumanku ketika Josua
sudah melesakkan seluruh batang kejantanannya, terasa penuh dibandingkan
dengan Dibyo sebelumnya. Akupun melanjutkan kulumanku pada Dibyo ketika
Josua memulai kocokannya. Hanya beberapa menit Dibyo mengocok mulutku
kemudian beralih ke mulut Lenny, rupanya dia hendak membandingkan antara
kulumanku dengan Lenny.
Tubuh Josua sudah menindihku, sodokan penisnya semakin cepat dan
keras penuh nafsu gairah, akupun mengimbangi dengan jeritan dan desahan
nikmat sembari menjepitkan kakiku di pinggangnya. Bibir Josua tak pernah
lepas dari tubuhku, menyusur leher, pipi, bibir lalu kembali ke leher.
Kulihat Dibyo masih mengocok bibir Lenny sambil memperhatikan expresi
kenikmatan yang terpancar di wajahku, expresi yang tidak aku tunjukkan
saat bersamanya dan aku yakin dia mengetahui itu, sesekali jari
tangannya dimasukkan ke mulutku yang tengah menengadah mendesah, akupun
membalas dengan kuluman dan mempermainkan lidahku pada jari jarinya.
Berulangkali tubuhku terhentak terkaget tapi nikmat merasakan
hentakan keras dari Josua, kudekap tubuhnya semakin rapat seakan tubuh
telanjang kami menyatu dalam nikmatnya birahi.
Josua mengangkat tubuhnya, masih tetap mengocokku dengan tubuh
setengah jongkok, justru kurasakan penisnya semakin dalam tertanam.
Bersamaan dengan itu, Dibyo sudah berada di antara kaki Lenny bersiap
melesakkan penisnya tapi dia tidak langsung memasukkannya, justru lebih
suka melihat wajahku yang tengah mendesah sambil mengamati bagaimana
penis temannya keluar masuk menyodok vagina sobat istrinya ini.
Aku sudah tak memperhatikan lebih jauh lagi karena sodokan Josua
semakin liar dan nikmat, namun kemudian kudengar desah dan jerit
kenikmatan dari Lenny mengiringi desahanku. Dengan irama goyangan yang
berbeda, kedua laki laki itu mengocok kami berdua, simfony desah
kenikmatan memenuhi kamar yang penuh aroma birahi. Kutatap wajah ganteng
Josua yang penuh expresi nikmat birahi. Berulang kali tatapan mataku
beradu pandang dengan Dibyo, rupanya meskipun sedang mengocok Lenny yang
cantik, tapi tatapan matanya lebih sering tertuju pada wajahku yang
tengah mendesah nikmat merasakan kocokan temannya, apalagi Josua
mengocokku dengan gerakan yang liar dan tak beraturan diselingi dengan
hentakan keras yang membuatku menjerit jerit nikmat.
Josua membalik tubuhku disusul kocokan dari belakang, posisi dogie,
Dibyo mengikutinya. Begitu juga ketika kami berganti lagi posisi, aku di
atas, diapun meminta Lenny untuk di atas.
Kami bercinta seolah berlomba ketahanan, entah sudah berapa lama dan
berapa kali ganti posisi telah kami lakukan. Diluar dugaanku, ternyata
Dibyo bisa bertahan lebih lama, ketika kami di posisi dogie, Josua tak
bisa bertahan lebih lama lagi, tanpa bisa dicegah lagi, diapun
memuntahkan spermanya di vaginaku diiringi teriakan kenikmatan,
kurasakan denyutan denyutan nikmat menerpa dinding dinding vaginaku
meski tidak terlalu kuat.
Beberapa saat kemudian Josua menarik keluar penisnya, akupun
menggelosor tengkurap dengan napas yang menderu setelah permainan
panjang. Belum sempat aku mengatur napasku, Dibyo menarik pantatku,
memintaku kembali nungging, meskipun capek tapi aku tak tega menolaknya,
sepertinya sedari tadi dia sudah memendam keinginan untuk kembali
menikmati tubuhku.
Aku hendak mencegahnya saat penisnya sudah di ambang pintu vaginaku,
nggak enak rasanya kalau dia harus menyetubuhiku sementara sperma Josua
masin di dalam, aku ingin membersihkan dulu, tapi terlambat, sepertinya
dia tak peduli, dengan sekali dorongan keras, penis Dibyo kembali
memasuki liang vaginaku, terasa masih ada celah kosong saat penisnya
melesak semuanya.
Berbeda dengan sebelumnya, tanpa membuang waktu lagi, kali ini Dibyo
mengocokku dengan penuh nafsu, begitu keras dan cepat sambil
menghentakkan tubuhnya pada pantatku, diiringi tarikan pada rambutku,
sungguh liar permainannya kali ini, sangat berlawanan dengan yang tadi.
Akupun tak mau kalah, kuimbangi dengan menggoyangkan pantatnya melawan
gerakannya, desahan kami berdua saling bersahutan, kecipuk suara cairan
vagina bercampur sperma tak kami hiraukan, terlupakan sudah bahwa Dibyo
adalah suami dari sobat karibku, yang ada hanyalah nafsu dan birahi
diantara kami.
Aku minta mengubah posisi, kali ini aku di atas, ingin kutunjukkan
bagaimana goyangan pinggulku membobol pertahanan terakhirnya. Dengan
sisa sisa tenaga karena aku sudah beberapa kali orgasme saat dengan
Josua tadi, akupun bergoyang liar di atasnya, ingin kuberikan apa yang
kuyakin belum pernah dia alami bersama Wenny, istrinya, entah kenapa aku
jadi ingin membuktikan bahwa aku tak kalah dengan si istri yang sobatku
itu.
Kami bercinta dengan penuh gairah, jauh melebihi apa yang telah kami
lakukan tadi, sepertinya kami sudah mengeluarkan watak asli permainan
kami yang cenderung liar.
Keringat sudah membasahi tubuh kami berdua, aku begitu bersemangat,
begitu juga dia, tak kuhiraukan ternyata justru aku yang mencapai
orgasme lebih dulu, sungguh luar biasa stamina Dibyo, jauh dari
perkiraanku, kalau aku tak mengalami sendiri tentu sulit untuk percaya
bahwa dia begitu perkasa di ranjang.
Menit demi menit berlalu hingga aku tak kuasa lagi menahan orgasme
yang kesekian kali, sementara dia masih belum terlihat tanda tanda ke
arah sana, dan akhirnya akupun menyerah dalam dekapannya.
“Sudah.. sudah.. Ah.. Ampun, aku menyerah”, dan akupun terkulai lemas di atasnya, tak mampu lagi menggoyangkan pinggulku.
“Ya sudah, istirahat sana” katanya seraya mendorong tubuhku turun dari atasnya, dan akupun menggelepar di sampingnya.
“Ya sudah, istirahat sana” katanya seraya mendorong tubuhku turun dari atasnya, dan akupun menggelepar di sampingnya.
Permainan Dibyo tidak berhenti sampai disitu, dia menghampiri Lenny
yang dari tadi mengamati kami bercinta sambil berbaring di atas ranjang
sembari mempermainkan klitorisnya. Begitu Dibyo menghampirinya, Lenny
langsung mengambil posisi telentang dengan kaki terbuka lebar, tapi
Dibyo justru memintanya nungging. Dengan irama kocokan yang liar dia
mengocok Lenny dengan posisi dogie.
Aku meninggalkan mereka, membersihkan sperma lalu menyusul Josua
duduk di sofa mengamati permainan Dibyo dan Lenny, terus terang aku
terkagum dengan keperkasaan sobatku ini, entah bagaimana Wenny bisa
melayani suaminya itu sendirian kalau di rumah.
“Gila itu orang, kuat banget mainnya” komentarku sembari berbagi Marlboro dengan Josua.
“Dia sih paling kuat diantara kelompok kami berlima, hampir tak pernah dia booking cewek sendirian, biasanya langsung 2 orang, kalau nggak gitu kasihan ceweknya” jawab Josua mengagetkanku, sungguh jauh dari penampilan biasanya yang terlihat pendiam.
“Dia sih paling kuat diantara kelompok kami berlima, hampir tak pernah dia booking cewek sendirian, biasanya langsung 2 orang, kalau nggak gitu kasihan ceweknya” jawab Josua mengagetkanku, sungguh jauh dari penampilan biasanya yang terlihat pendiam.
Cukup lama mereka bercinta di atas ranjang, sudah beberapa kali
berganti posisi sebelum akhirnya mereka menggapai orgasme hampir
bersamaan ketika posisi Dibyo sedang di atas.
Mereka berpelukan beberapa saat sebelum Dibyo turun dari tubuh Lenny, tampak wajah kepuasan bercampur kelelahan dari mereka.
Beberapa menit mereka sama sama menggelepar di atas ranjang sambil
mengatur napas yang menderu. Dibyo berdiri menghampiriku, duduk menjepit
aku dan Josua, diambilnya Marlboro yang ada di tanganku dan
menghisapnya kuat kuat.
“Sorry Ly, aku harus segera pulang, ntar istriku curiga dan aku nggak
boleh ke diskotik lagi” katanya sambil mengepulkan asap rokoknya.
“Kamu tinggal aja disini nemenin Josua dan Lenny besok siang aku telepon lagi, oke?” lanjutnya.
“Kamu tinggal aja disini nemenin Josua dan Lenny besok siang aku telepon lagi, oke?” lanjutnya.
Aku hanya diam saja tak tahu harus ngomong apa, tanpa menunggu
jawaban dariku, dia beranjak mengenakan pakaiannya tanpa membersihkan
tubuh terlebih dahulu.
Dibyo memanggilku ke kamar mandi.
“Sebenarnya aku tak tega melakukan ini, tapi harus kulakukan, apa
yang kita lakukan barusan hanyalah sekedar bisnis, nothing personal, dan
tidak ada yang berubah di antara kita termasuk dengan Wenny maupun Reno
adikku, kamu ngerti kan” katanya sembari memberikan segebok uang 50
ribuan. Aku hanya mengangguk tanpa kata, 100 persen setuju apa yang dia
katakan.
“Boleh aku minta satu hal?” tanyaku.
“Apa itu?” jawabnya, tanpa menunggu lagi reaksinya aku jongkok di depannya, kubuka resliting celananya dan kukeluarkan penisnya yang lemas.
“Sekedar tip, memberi apa yang belum aku berikan” jawabku sambil memasukkan penis itu ke mulutku.
“Boleh aku minta satu hal?” tanyaku.
“Apa itu?” jawabnya, tanpa menunggu lagi reaksinya aku jongkok di depannya, kubuka resliting celananya dan kukeluarkan penisnya yang lemas.
“Sekedar tip, memberi apa yang belum aku berikan” jawabku sambil memasukkan penis itu ke mulutku.
Dibyo diam saja, penisnya kupermainkan dengan lidahku, kususuri
sekujur batang hingga pangkalnya, perlahan mulai menegang dalam
genggaman dan mulutku, selanjutnya penis tegangnya sudah meluncur cepat
keluar masuk mengisi rongga mulut diiringi desah kenikmatan.
Lima menit sudah aku melakukan oral, tanpa kusadari tanganku ikutan
mempermainkan klitorisku sendiri seiring dengan kocokan pada mulutku.
Aku tak kuasa menolaknya ketika dia menarik tubuhku berdiri dan memutar
menghadap cermin di kamar mandi, dengan sedikit membungkuk, dari
belakang Dibyo melesakkan penisnya ke vaginaku.
“Kita quickie saja yaa” bisiknya seraya mendorong masuk penisnya,
segera kurasakan sodokan demi sodokan yang semakin keras dari belakang
menghantamku diiringi dekapan dan remasan dikedua buah dadaku, sesekali
ciuman pada tengkukku yang membuatku semakin menggeliat dalam
dekapannya.
Pantulan bayangan kami di cermin membuat suasana semakin bergairah,
apalagi belaian lembut pada rambutku yang kurasakan begitu penuh
perasaan meski kocokannya makin menjadi jadi.
“Aku mau keluar” bisiknya beberapa menit kemudian, segera kudorong
tubuhnya mundur hingga penisnya terlepas dan akupun langsung jongkok di
depannya.
“Keluarin di mulut” kataku, tanpa menunggu reaksinya, kumasukkan
kejantanannya kembali ke mulutku, entah kenapa rasanya aku ingin
memberikan apa yang kuyakin belum pernah dia dapatkan dari istrinya. Dan
tak lama kemudian diapun menyemprotkan sisa sisa spermanya di mulutku,
kujilati batang kejantanannya hingga bersih lalu kumasukkan ke
celananya.
“Salam untuk Wenny” kataku saat menutup reslitingnya, dia hanya tersenyum mencubit pipiku.
Aku membersihkan tubuhku dengan air hangat ketika Dibyo pamit pulang,
ketika aku kembali ke kamar, ternyata Lenny sedang bergoyang pinggul di
pangkuan Josua, mereka melakukannya di sofa. Kuhampiri mereka dan duduk
di samping Josua, dia meraih tubuhku dan mencium bibirku, sembari
tangannya meremas remas buah dadaku bergantian.
Sisa malam kami habiskan dengan penuh birahi, bergantian Josua
menyetubuhi aku dan Lenny, dilayani 2 gadis cantik dan sexy seperti aku
dan Lenny, tentu membuat laki laki bertambah gairah dan ada tambahan
energi tersendiri untuk menunjukkan ego keperkasaannya. Akhirnya kondisi
fisik jualah yang menjadi pembatas antara keinginan dan kenyataan,
kamipun istirahat dan terlelap dalam kelelahan tak kala sang mentari
sudah menampakkan sedikit berkas sinarnya di ufuk timur, entah jam
berapa itu.
Aku terbangun saat kudengar HP-ku berbunyi, Lenny dan Josua masih
terlelap disampingku, matahari sudah tinggi, terang menampakkan
sinarnya. Ternyata salah seorang tamu langganan lain yang ingin kutemani
makan siang nanti, orderan baru.
Jarum jam menunjukkan hampir ke angka 11, cukup lama kami tertidur tadi.
Perlahan kutinggalkan Josua dan Lenny, aku mandi untuk bersiap
menemui tamuku berikutnya di Hotel Westin (sekarang JW Marriot) di
Embong Malang. Josua dan Lenny baru bangun ketika aku sudah rapi
berpakaian dan ber-make up.
“Sorry, aku ada janji siang ini, aku tinggal dulu ya” sapaku.
“Kamu tetap sexy meski sudah berpakaian, bahkan semakin membuat penasaran yang melihatnya” jawab Josua sambil menghampiriku, dipeluknya tubuhku dari belakang dan diremasnya buah dadaku.
“Wah banyak orderan nih” celetuk Lenny.
“Selamat bekerja sayang” bisik Josua tanpa melepaskan tangannya dari dadaku.
“sudah ah, ntar kusut pakaianku ini, aku nggak bawa ganti nih” jawabku sambil menggelinjang karena bibirnya sudah menempel di telingaku, akupun menghindar menjauh.
“Kamu tetap sexy meski sudah berpakaian, bahkan semakin membuat penasaran yang melihatnya” jawab Josua sambil menghampiriku, dipeluknya tubuhku dari belakang dan diremasnya buah dadaku.
“Wah banyak orderan nih” celetuk Lenny.
“Selamat bekerja sayang” bisik Josua tanpa melepaskan tangannya dari dadaku.
“sudah ah, ntar kusut pakaianku ini, aku nggak bawa ganti nih” jawabku sambil menggelinjang karena bibirnya sudah menempel di telingaku, akupun menghindar menjauh.
Setelah menerima pembayaan dari Josua, akupun meninggalkan mereka
yang masih telanjang menuju ranjang lain dengan permainan yang lain
pula.
Sejak kejadian itu, sengaja atau tidak, aku jarang bertemu berdua
dengan Dibyo seperti sebelumnya, begitupun dengan istrinya, rasanya
nggak ada muka untuk ketemu Wendy, kalaupun mereka ngajak jalan bareng,
aku pastikan harus ada istrinya, selebihnya semua berjalan seperti
biasa.
Akibatnya, aku justru lebih dekat dengan si Reno, adiknya yang
terkenal Playboy itu, dengan wajah yang imut tak susah baginya untuk
mendapatkan cewek dan aku yakin sudah tak terhitung cewek yang jatuh ke
pelukannya dan berhasil dia bawa ke ranjang.
Lebih 2 bulan setelah kejadian itu, aku makan siang berdua dengan
Reno di Bon Cafe, sungguh sial ternyata ketemu sama Josua yang
menggandeng seorang gadis, atas ajakan Reno mereka akhirnya bergabung
dengan table kami.
Kamipun makan sambil ngobrol berempat, entah keceplosan atau
disengaja, Josua bercerita betapa hebat permainanku di ranjang, terutama
permainan oral, dia kira aku sudah pernah melakukan dengan Reno. Reno
yang selama ini mengenalku sebagai teman menatapku seakan tak percaya,
aku menghindari tatapannya sambil mengumpat kelancangan Josua, tentu
saja dalam hati.
“Selamat bersenang senang, sorry aku nggak bisa gabung dengan kalian,
ada acara sama dia” kata Josua sambil menunjuk gadis disebelahnya.
“Dia senang rame rame lho, tanya Dibyo kalo kamu nggak percaya” bisiknya lagi sebelum meninggalkan kami.
“Dia senang rame rame lho, tanya Dibyo kalo kamu nggak percaya” bisiknya lagi sebelum meninggalkan kami.
Aku terdiam dengan muka memerah, malu karena kedokku dibongkar dihadapan temanku sendiri.
Sepeninggal Josua kami terdiam, entah apa yang terlintas dalam
benaknya, kulirik sesaat, ternyata Reno melototi tubuhku, seakan
berusaha menembus dibalik pakaianku.
“Kita pulang yuk” ajakku melihat suasana sudah nggak enak lagi.
“Lho, katanya mau shopping di Galaxy”
“Nggak jadi ah, lain kali aja” tolakku, dan kamipun beranjak pergi.
“Lho, katanya mau shopping di Galaxy”
“Nggak jadi ah, lain kali aja” tolakku, dan kamipun beranjak pergi.
Sepanjang jalan kami sama sama terdiam hingga tiba didepan tempat kos, aku langsung turun tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Beberapa hari kemudian setelah aku selesai melayani tamu di Hotel
Sheraton, kulihat missed call di HP-ku, dari Dibyo, entah kenapa aku kok
ingin meneleponnya, padahal biasanya aku cuekin saja missed call dari
dia.
“Ly, ketemu yuk, kangen nih” katanya dengan suara memelas tak seperti
biasanya, pasti dia lagi ada maunya, dan aku yakin maunya tak jauh dari
urusan ranjang.
Meski aku berusaha menghindari hal seperti ini, tapi tak dapat
dipungkiri akupun merindukan keperkasaannya di atas ranjang, apalagi
tamuku barusan tidak bisa memuaskanku, jadi sebenarnya ini hanyalah
masalah timing yang tepat. Setelah berpura pura menolak dan dia terus
merajuk, akhirnya aku sanggupi permintaannya.
“Oke Hotel Sheraton kamar 816″ kataku karena tamuku tadi sudah pulang
dan aku belum check out, sekalian saja kumanfaatkan sisa waktu yang
ada, daripada terbuang sia sia, check in mahal mahal cuma dipakai 2 jam.
Baru saja HP kututup, dia telepon lagi.
“Ly, boleh nggak bawa teman”
Aku yang sudah tergadai nafsu karena birahi yang tak tertuntaskan
barusan hanya mengiyakan tanpa tanya lebih lanjut siapa temannya.
Sambil menunggu kedatangannya, aku segarkan tubuhku dengan air
hangat, berendam sejenak untuk menghilangkan rasa capek setelah hari ini
melayani 3 tamu sejak pagi tadi. Belum setengah jam aku berendam, bel
pintu berbunyi, pasti Dibyo sudah datang, pikirku.
Masih dengan telanjang, kubuka pintu dan aku langsung kembali masuk bathtub.
“Tunggu ya, aku mandi dulu biar segar dan wangi, santai saja anggap
rumah sendiri” jawabku meneruskan acara berendam tanpa buru buru
menyelesaikan, kalau dia nggak sabar pasti menyusulku ke kamar mandi.
Ternyata dia tidak menyusulku hingga kuselesaikan mandiku. Tanpa
mengenakan penutup, dengan telanjang aku ke kamar, bersiap untuk
menumpahkan segala birahi dengan keperkasaan Dibyo.
“Aku sudah siaap” teriakku sambil melompat ke ranjang, dan baru
kusadari ternyata yang duduk di sofa bukanlah Dibyo melainkan si Reno,
adiknya.
Begitu tersadar, aku berusaha menutupi tubuhku dengan apa yang ada
disekitarku, tapi terlambat, Reno sudah menubruk tubuh telanjangku dan
menindihnya.
“Ly, nggak usah sok alim, aku selalu membayangkan sejak diceritakan
Josua tempo hari, kebetulan saat kutanya Dibyo dia malah ngajak
membuktikan” bisiknya sambil menindih tubuhku, akupun tak bisa berontak.
Didekap tubuh Reno yang atletis ditambah wajah imut yang menempel
dekat wajahku, akupun takluk akan kekuatannya, disamping itu akupun tak
sunggu sungguh untuk berontak, hanya reaksi spontan melihat laki laki
yang tidak diharapkan melihat tubuh telanjangku.
“Oke.. Oke, mana Dibyo” tanyaku.
“Sebentar lagi dia datang, aku disuruh tunggu di lobby tapi kupikir lebih baik langsung aja aku bisa ngobrol sambil nunggu kedatangannya, ternyata aku mendapatkan lebih dari yang kuharapkan” jawabnya sambil mengendorkan dekapannya.
“Sebentar lagi dia datang, aku disuruh tunggu di lobby tapi kupikir lebih baik langsung aja aku bisa ngobrol sambil nunggu kedatangannya, ternyata aku mendapatkan lebih dari yang kuharapkan” jawabnya sambil mengendorkan dekapannya.
Begitu dekapannya longgar, kudorong tubuhnya hingga terjengkang telentang, ganti aku menindihnya.
“Kalian bersaudara memang nakal, ini namanya jebakan pada teman sendiri” kataku setelah menguasai emosiku.
“Tapi nggak marah kan?” jawab Reno, aku hanya menjawab dengan ciuman pada bibir Reno dan dia membalas dengan bergairah, sedetik kemudian tangannya sudah berada di dadaku, menjelajah dan meremas remas.
“Ih nakal ya” bisikku disela lumatan bibirnya.
“Tapi suka kan” balasnya, kulumat bibirnya sambil mempermainkan lidahku hingga bertaut lidah dengan lidah.
“Tapi nggak marah kan?” jawab Reno, aku hanya menjawab dengan ciuman pada bibir Reno dan dia membalas dengan bergairah, sedetik kemudian tangannya sudah berada di dadaku, menjelajah dan meremas remas.
“Ih nakal ya” bisikku disela lumatan bibirnya.
“Tapi suka kan” balasnya, kulumat bibirnya sambil mempermainkan lidahku hingga bertaut lidah dengan lidah.
Reno kembali membalik dan menindih tubuhku, bibirnya beranjak menyusuri pipi dan leherku, berhenti pada kedua puncak bukitku.
“Bagus.. Kencang dan padat.. Indah” pujinya sambil mengulum dan menyedot putingku.
Aku mendesah geli meskipun cumbuannya tak sepintar kakaknya tapi
cukup membuatku mendesah melayang. Bibir dan lidahnya sudah sampai ke
perut dan terus turun hingga ke selangkangan, aku menjerit ketika
lidahnya menyentuh klitorisku, tapi dia justru semakin memperlincah
gerakan lidahnya, dan akupun semakin menggeliat dalam kenikmatan.
Aku tak tahu mana yang lebih lihai bermain oral apakah dia atau
kakaknya karena Dibyo belum pernah melakukannya padaku, siapapun yang
lebih pintar yang jelas Reno telah membuatku melayang karena jilatannya
pada vaginaku.
“Eh, kamu kok masih pake pakaian gitu, curang deh, sini aku lepasin” kataku ketika sadar bahwa dia belum melepas pakaiannya.
Kudorong tubuh Reno hingga telentang lalu aku melucuti pakaiannya
satu persatu hingga menyisakan celana dalamnya yang tampak menonjol pada
bagian selangkangan, ketika kuraba dan kuremas tonjolan itu, begitu
keras menegang. Segera kulorot celana dalamnya dan aku terkaget melihat
ukuran kejantanannya, tidak terlalu panjang bahkan relativ lebih pendek
dari umumnya tapi diameternya begitu besar, tak cukup tanganku
melingkarinya.
Membayangkan penis besar itu akan memasuki vaginaku, tiba tiba otot
vaginaku terasa berdenyut denyut dengan sendirinya. Ini bukanlah penis
terbesar yang pernah kupegang, tapi dengan panjang yang tidak terlalu
maka penis itu kelihatan begitu gede di genggamanku, dan otot vaginaku
semakin berdenyut keras melihat postur tubuhnya yang berotot, ramping
dan sexy, jauh lebih menggairahkan tubuhnya dibandingkan kakaknya,
apalagi rambut kemaluannya dicukur habis, pentesan banyak gadis yang
tergila gila padanya.
Kukocok dan kuremas remas sebentar penis tegang di genggamanku, lalu
kususuri lidahku pada seluruh batang dari ujung hingga pangkal, dia
mulai mendesis kenikmatan.
Agak susah aku memasukkan penis itu ke mulutku tapi dengan segala
usaha akhirnya penis itupun bisa meluncur keluar masuk membelah bibir
mungilku. Sembari mendesah, tangannya tak henti menekankan kepalaku pada
selangkangannya, seakan memaksaku untuk memasukkan penisnya lebih dalam
ke mulutku.
Kami berganti posisi 69, aku di atas, tidak seperti saat pertama kali
bercinta dengan Dibyo yang penuh kecanggungan dan kekakuan, kali ini
aku bebas lepas mencurahkan segala expresiku untuk menikmati bercinta
dengan Reno.
Gerakan lidah Reno yang liar kubalas dengan sapuan liar pula pada
penisnya, aku lebih sering menjilati dari pada mengulum batang gede itu.
Puas saling bermain oral, Reno kembali menelentangkan tubuhku, posisi
tubuhnya sudah siap untuk segera melesakkan penisnya. Jantungku tiba
tiba berdetak kencang seiring otot vaginaku berdenyut ketika kepala
penis yang besar itu mulai menyapu bibir vagina.
Aku memejamkan mata sambil membuka kakiku lebar lebar menunggu apa
yang akan terjadi, entah sakit entah nikmat. Rasa pedih mulai terasa
ketika penis itu perlahan mulai melesak masuk padahal vaginaku sudah
basah, dan semakin nyeri tak kala tertanam semua. Aku tak berani
menggerakkan kakiku, penis itu terasa begitu mengganjal gerakanku di
selangkangan. Perlahan Reno memulai gerakan memompa namun kuberi isyarat
untuk menghentikan dulu.
“Sebentar, penuh nih” bisikku bercampur desah.
Namun dia hanya menurut beberapa detik, selanjutnya dia mulai
gerakannya tanpa memperhatikan isyaratku. Gerakan memompa yang perlahan
semakin lama semakin terasa nikmat, rasa nyeri berangsur menjadi nikmat
dan semakin nikmat ketika dia mulai mempercepat gerakannya, aku sangat
berharap dia bisa seperkasa kakaknya.
Begitu rasa nyeri hilang, jeritan kesakitankupun berubah menjadi
jeritan kenikmatan, tubuh atletis Reno menempel erat di dadaku, ada rasa
geli saat dada yang berbulu itu menyentuh putingku, tapi justru semakin
menambah rangsangan, apalagi perutnya yang rata tak terasa mengganjal
di perut. Kamipun semakin erat berpelukan saling mentransfer kenikmatan.
Sebenarnya aku agak keberatan ketika dia minta posisi dogie, aku
masih ingin merasakan lebih lama dekapan tubuh atletisnya, jarang sekali
mendapatkan cumbuan dan belaian laki laki seperti dia, apalagi dengan
penis yang gede meskipun relatif pendek.
Begitu tubuhku nungging, segera Reno melesakkan kembali penisnya,
kali ini tanpa rasa nyeri saat mulai menerobos menguak liang sempit
vagina. Gerakan memompa Reno terasa begitu penuh perasaan meskipun
terkadang diiringi sodokan sodokan keras, aku merasa dia begitu romantis
saat menyetubuhiku. Rabaan dan ciuman di tengkuk mengiringi gerakan
kami, akupun semakin menggeliat tak karuan.
“Sshh.. Aduuh.. Ennaak.. Truss.. Truss.. Yang keraass” tanpa malu aku
mendesah memintanya lebih keras menyodokku, rasanya penis besar itu
masih kurang masuk ke vaginaku, ada bagian lain di dalam yang belum
tersentuh.
“Enak mana sama Dibyo” katanya tanpa memperlambat kocokannya.
“Enak.. Inii, lebih keraass” jawabku sejujurnya dan mulai meracu.
“Enak.. Inii, lebih keraass” jawabku sejujurnya dan mulai meracu.
Tak lama kemudian aku sudah berada di atasnya, kutekankan pinggulku
lebih dalam sekan hendak melesakkan penis yang tidak panjang itu lebih
dalam lagi, alangkah enaknya kalau penis yang gede itu lebih panjang
lagi, paling tidak sama dengan punya kakaknya, tapi itulah kenyataannya,
gede tapi pendek tapi tetap saja enaak.
Kugerakkan tubuhku di atasnya dengan liar, antara turun naik dan
berputar seperti hula hop, Reno merem melek sambil meremas remas buah
dadaku. Kutatap wajahnya yang sedang mengerang kenikmatan, rasanya tak
bosan menatap wajah imut dan dadanya yang bidang. Dan ternyata itu
membawaku lebih cepat menuju puncak kenikmatan, tanpa bisa menahan lebih
lama lagi, akupun menjerit dalam nikmatnya orgasme.
Sebenarnya aku nggak mau orgasme duluan, perjalanan masih panjang,
masih ada Dibyo yang sebentar lagi datang, kalau sampai orgasme tentu
energiku akan banyak terkuras dan akan kelelahan sebelum perjalanan
berakhir. Tapi itu hanyalah keinginan, kenikmatan yang kudapat dari Reno
terlalu sayang untuk ditahan tahan, dan terpaksa aku menyerah dalam
pelukan dan kegagahan Reno.
Aku terkulai lemas dalam pelukan Reno, terbalaskan sudah kekecewaan
pada tamuku sebelumnya, bahkan melebihi apa yang aku harapkan, begitu
puas rasanya. Tapi ternyata Reno tak berhenti sampai disini, tanpa
mempedulikan aku yang sedang lemas dalam dekapannya, dia membalik
tubuhku dan langsung menindihnya.
Kembali tubuh kekar itu menghimpit nikmat tubuhku, kocokan Reno mulai
cepat dan liar namun masih saja kurasakan penuh perasaan. Hanya
beberapa kocokan kemudian, gairahku kembali naik dengan cepatnya,
apalagi bibir Reno tak pernah lepas dari leher, dada dan bibirku.
Kedua kakiku naik di pundaknya, terasa kejantanannya semakin dalam
melesak di vagina, lebih nikmat rasanya. Kuimbangi gerakannya dengan
sebisa mungkin menggoyang pinggulku, tentu lebih susah dengan kaki di
atas pundaknya. Kami berdua benar benar terhanyut dalam buaian birahi,
terlupakan sudah Dibyo yang belum juga datang.
Akhirnya akupun untuk kedua kalinya tak bisa bertahan, kuraih orgasme
kedua darinya, namun kali ini diapun menyusulku ke puncak birahi,
hampir bersamaan kami saling memberikan denyutan. Sperma Reno terasa
begitu banyak membanjiri liang vaginaku, kudekap erat tubuh Reno hingga
kurasakan hembusan napasnya menerpa telingaku.
Ketika Reno turun dari tubuhku, penisnya tercabut keluar, vaginaku
serasa kosong dan tetesan sperma sepertinya meleleh keluar membasahi
sprei. Kamipun telentang berdampingan dengan napas yang masih senin
kamis.
“Kamu hebat, 2 kali aku dibikin orgasme” kataku setelah beberapa saat
terdiam sambil menumpangkan kepalaku di dadanya yang bidang.
“Kamu juga hebat, kalau cewek lain sudah terkapar minta berhenti” jawabnya ringan sambil membelai rambutku.
“Andai saja aku tahu kamu seperti ini, sudah sejak dulu aku melakukannya” lanjutnya.
“Tapi belum terlambat kan”
“Iya sih, tapi terlalu lama penantiannya”
“Penantian?”
“Iya, laki laki normal mana sih bisa tahan melihat penampilanmu yang selalu sexy dan ceria, pasti mereka punya fantasi terhadapmu kalau di ranjang, bahkan aku pernah berfantasi bercinta denganmu sambil main sama cewek lain”
“Ah yang benar!!” tanyaku terkejut.
“Sungguh dan aku yakin Dibyo juga sudah lama memendam keinginan mengajakmu ke ranjang tapi nggak ada keberanian saja”
“Dan sekarang?” tanyaku penasaran.
“Ternyata apa yang menjadi fantasiku, tidak ada apa apanya dibandingkan kenyataan barusan, jauh melebihi angan dan harapanku”
“Kamu juga hebat, kalau cewek lain sudah terkapar minta berhenti” jawabnya ringan sambil membelai rambutku.
“Andai saja aku tahu kamu seperti ini, sudah sejak dulu aku melakukannya” lanjutnya.
“Tapi belum terlambat kan”
“Iya sih, tapi terlalu lama penantiannya”
“Penantian?”
“Iya, laki laki normal mana sih bisa tahan melihat penampilanmu yang selalu sexy dan ceria, pasti mereka punya fantasi terhadapmu kalau di ranjang, bahkan aku pernah berfantasi bercinta denganmu sambil main sama cewek lain”
“Ah yang benar!!” tanyaku terkejut.
“Sungguh dan aku yakin Dibyo juga sudah lama memendam keinginan mengajakmu ke ranjang tapi nggak ada keberanian saja”
“Dan sekarang?” tanyaku penasaran.
“Ternyata apa yang menjadi fantasiku, tidak ada apa apanya dibandingkan kenyataan barusan, jauh melebihi angan dan harapanku”
Sambil berbincang, kurasakan sperma Reno deras mengalir keluar tapi aku biarkan saja.
“Sekarang aku tak perlu lagi memimpikan kehangatan kamu, kalau aku
pingin bisa booking kapan saja, dan kita masih tetap berteman, itulah
enaknya setelah ini” lanjutnya.
Dibyo datang tak lama kemudian, setelah aku membersihkan tubuhku,
Reno membuka pintu menyambut kakaknya, aku cuek saja telanjang di atas
ranjang.
“Sorry aku telat” sapanya sambil mencium pipiku.
“Ah nggak apa kok” jawabku, malah kebetulan aku ada kesempatan bersama Reno lebih lama, lanjutku dalam hati.
“Ah nggak apa kok” jawabku, malah kebetulan aku ada kesempatan bersama Reno lebih lama, lanjutku dalam hati.
Tanpa diminta lagi, Dibyo segera melepas pakaiannya hingga telanjang,
terlihat kejantanannya yang setengah menegang, tampak kecil dan
memanjang sungguh berbeda dengan adiknya.
“Belum terlalu terlambat kan” tanyanya sembari menghampiri dan
mencium bibirku dan kubalas dengan lumatan pula, kali ini aku biasa saja
melayani ciuman Dibyo, tak ada kecanggungan seperti saat pertama kali
dulu.
Tubuhnya langsung menindihku, kamipun berpelukan sambil berciuman
bertautan lidah, seolah saling menumpahkan rasa rindu yang hebat. Bibir
Dibyo dengan cepatnya menyusuri tubuhku, turun terus, tak dihiraukan
puting buah dadaku, hanya sedikit jilatan lalu terus turun ke perut
namun kembali lagi ke atas.
Ketika bibirnya mencapai kedua putingku, kudorong kepalanya ke bawah,
ke arah selangkangan. Aku mau merasakan jilatan Dibyo di vagina, dia
belum melakukannya, ingin kubandingkan kemahirannya dengan si adik.
Ternyata permainan lidahnya tidak kalah hebat, bahkan lebih mahir
dibandingkan adiknya, aku menggeliat kelojotan merasakan lidahnya menari
nari dengan lincahnya diantara klitoris dan bibir vaginaku. Cukup lama
kepalanya terjepit di antara kakiku, dan kalau tak segera kuhentikan
bisa bisa aku mengalami orgasme hanya dengan permainan lidahnya, ini
sungguh memalukan.
Dibyo tersenyum penuh kemanangan ketika aku minta dia segera
memasukkan penisnya, namun bukannya segera memenuhi kemauanku, tapi
malah telentang disampingku dan memintaku gantian mengulum
kejantanannya.
Aku yang sudah terbakar birahi terpaksa memenuhi keinginannya, ketika
aku tengah jongkok diantar kakinya, Reno yang sedari tadi duduk di sofa
mengamati kami, sudah berada di sampingku, dia ikutan telentang di
samping kakaknya dengan kejantanan yang sudah tegak menantang.
Sembari mengulum penis Dibyo, kuremas dan kukocok kejantanan adiknya,
dua penis yang berbeda bentuk dan ukuran berada dalam genggaman
kekuasaanku. Meskipun menyolok perbedaannya, tapi keduanya seakan saling
melengkapi, yang satu besar dan pendek sedangkan lainnya kecil tapi
panjang, kalau digabungkan tentu akan menimbulkan kenikmatan tersendiri.
Bergantian penis kakak beradik itu mengisi dan mengocok mulutku,
mereka mendesis nikmat bergairah, akupun melayani dengan tak kalah
gairahnya, perbedaan yang menyolok itu semakin menambah sensasi dan
erotika pada diriku, bisa dibayangkan betapa nikmatnya kalau penis itu
bergantian mengocok vaginaku, membayangkan saja aku sudah semakin
terbakar nafsu.
“Siapa duluan” tantangku setelah aku telentang diantara kedua
bersaudara itu, sengaja kubuat suasana lebih liar meskipun aku tahu
pasti bahwa sekarang giliran Dibyo. Kalau disuruh pilih, aku lebih suka
Dibyo duluan supaya masih bisa merasakan “kebesaran” kejantanan adiknya
setelahnya. Harapanku terkabul ketika Dibyo sudah berada di antara
kakiku.
“Jangan posisi gini dong, aku susah nih” kata Reno lalu dia minta kami untuk ber-dogie.
Reno duduk di atasku saat kakaknya berada di belakang, penisnya tepat
berada di wajahku. Ketika kakaknya mulai mendorong masuk kejantanannya,
masuk pula penis adiknya di mulutku, dua penis bersaudara yang berbeda
itu mengisi kedua lubang kenikmatan tubuhku bersamaan dari arah yang
berbeda. Dengan posisi seperti ini, aku lebih suka penis Dibyo yang
dimulut dan adiknya di vagina, tapi itu tinggal tunggu waktu saja.
Sodokan Dibyo dari belakang semakin lama semakin cepat dan keras,
berkali kali penis Reno terpental dari mulutku saat kakaknya menghentak
tubuhku. Cukup kewalahan aku menghadapi sodokan liar dari belakang
sambil mengulum penis gede yang ada digenggamanku, justru aku lebih
banyak memainkan lidahku menyusuri sekujur daerah kejantanannya.
“Bang gantian dong” pinta adiknya, meskipun mereka chinese, tapi Reno
lebih sering memanggil kakaknya hanya nama atau Abang, mungkin karena
mereka Chinese Medan.
“Sebentar lagi” balas kakaknya.
“Sebentar lagi” balas kakaknya.
Beberapa saat berlalu, Dibyo masih belum ada tanda memberi giliran
pada adiknya, tak mau menunggu lebih lama lagi, Reno bergeser ke bawah
dan berlutut disamping kakaknya, menunggu giliran dan ternyata si kakak
mengalah, dicabutnya penisnya dan dia bergeser sedikit memberi ruang
adiknya untuk menyetubuhiku dari belakang. Dibyo tetap berada disamping
adiknya yang tengah mengocokku sambil mengelu elus punggungku.
Beberapa menit berlalu, apa yang tidak kubayangkan sebelumnya
terjadi, ternyata mereka bergantian mengocokku dari belakang. Beberapa
menit Reno mengocokku lalu diberikannya kesempatan berikutnya pada
kakaknya, begitu sebaliknya.
Aku yang mendapat kocokan berurutan dari dua penis yang berbeda dan
saling melengkapi, tak ayal lagi menggeliat dan menjerit histeris dalam
nikmat yang tak terhingga, apa lagi saat pergantian yang begitu cepat,
hanya dalam hitungan detik penis yang mengisi dan mengocok vaginaku
berganti, tentu saja otot vaginaku tak sempat berkontraksi menyesuaikan
diri, tapi kedua penis itu saling melengkapi, menggesek daerah yang
tidak tersentuh lainnya, sungguh pengalaman baru bagiku.
Desahan dan jeritan tak henti hentinya keluar dari mulutku, aku
meracu dalam kenikmatan yang teramat sangat hingga tak dapat kubendung
lagi ketika dorongan kuat dari dalam tubuhku menimbulkan denyutan
denyutan hebat pada vagina, akupun orgasme tak lama kemudian, tak lebih
dari 15 menit setelah mereka mengocok bergantian. Jeritan histeris
orgasmeku hanya ditanggapi dengan senyum kemenangan, mereka meneruskan
kocokannya tanpa menurunkan tempo permainan, entah sudah berapa kali
bergantian.
“Kalau capek bilang aja, kita istirahat dulu” kata Reno sambil
mengocokku, tentu saja aku tak mau, disamping tak ingin kehilangan
kenikmatan yang sangat hebat ini, akupun gengsi untuk mengakuinya.
“Kalian memang kakak beradi gila” teriakku disela sela desahan.
“Kalian memang kakak beradi gila” teriakku disela sela desahan.
Setelah berlangsung beberapa lama, kami berganti posisi. Kali ini aku
diatas memegang peranan, kuminta mereka berjejer telentang, segera
kunaiki tubuh Dibyo. Sedetik setelah penisnya melesak dalam vagina, aku
langsung bergoyang pinggul dengan cepatnya, kami sama sama mendesis,
tangan Dibyo meremas remas buah dadaku dengan kerasnya.
Tak lebih 3 menit saat Dibyo mulai mendaki menuju puncak kenikmatan,
dengan gerakan spontan kucabut penisnya dan langsung duduk di atas
adiknya, tak kuhiraukan teriakan protes darinya.
“Emang enaak” godaku sembari melakukan goyangan yang sama pada Reno,
dan hal yang sama pula kulakukan padanya untuk berpindah lagi ke
kakaknya. Memang nikmat tapi bagiku lebih capek karena harus berpindah
dari satu ke lainnya, tapi sensasinya mengalahkan segalanya.
Setelah beberapa kali berpindah, Dibyo bangkit, berdiri dan
menyodorkan penisnya di mulutku disaat aku tengah mendaki puncak
kenikmatan bersama adiknya.
Inilah yang kutunggu sedari tadi, penis gede di vagina dan penis
panjang di mulut, keduanya mengocokku bersamaan. Penis gede yang
tertanam di vagina terasa agak menghalangi gerakanku tapi tak
kuhiraukan, justru semakin nikmat rasanya, apalagi kocokan di mulut tak
pernah berhenti sambil sesekali disapukan ke wajahku.
Dengan posisi ini ternyata aku juga tak bisa bertahan lebih lama,
kenikmatannya terlalu sayang untuk ditahan tahan, dan jebollah
pertahananku untuk kedua kalinya. Kulepas penis Dibyo dari genggamanku
dan kutelungkupkan tubuhku di atas dada bidang Reno, ingin kunikmati
denyutan orgasmeku dalam dekapannya. Seiring dengan habisnya denyutan di
vaginaku, habis pula tenagaku, akupun terkulai lemas telentang
disamping Reno.
Tanpa memberiku istirahat, Dibyo sudah ambil posisi bersiap
melanjutkan gilirannya, tak dipedulikan isyarat kelelahanku, penisnya
dengan mudah kembali mengisi relung relung vagina yang habis berdenyut
hebat, dengan sisa sisa tenaga yang ada, kucoba mengimbangi kocokannya
yang langsung keras dan tak beraturan.
Episode babak awal terulang lagi, bergantian kedua bersaudara itu
mengocokku, akupun dengan cepatnya melambung setinggi awan kenikmatan,
terlupakan sudah rasa capek yang menyelimutiku, rasanya ada tambahan
energi yang timbul dari dalam didorong sensasi yang teramat hebat.
Jerit dan desahku kembali terdengar dengan keras lepas, antara besar
pendek dan kecil panjang berurutan mengisi dan keluar masuk vaginaku,
tak ayal lagi orgasmeku pun datang dengan cepatnya, entah untuk keberapa
kali aku tak bisa menghitungnya lagi, apalagi mereka tak mempedulikan
teriakan teriakan kenikmatan orgasmeku.
“Udah udah.. Istirahat dulu.. Ampun deh” desahku akhirnya harus mengakui kehebatan kedua bersaudara itu.
Dibyo yang sedang mengocokku menghentikan kocokannya dan mencabut
keluar, tapi adiknya tak mau melihat liang vagina yang kosong, segera
digantikannya posisi kakakknya. Dibyo bergeser ke atas, menyapukan
penisnya yang penuh lendir vagina ke wajah sembari mengocok dengan
tangannya. Tak lama kemudian, menyemburlah sperma mengenai wajah dan
rambutku, dipaksakannya penis yang sedang berdenyut itu masuk ke
mulutku, rasanya tak ada dayaku untuk menolaknya setelah apa yang telah
kudapatkan darinya, dan masuklah penis dengan spermanya kedalam mulutku,
sisa sisa sperma masih mengalir deras membasahi tenggorokanku, tertelan
masuk.
Reno menghentikan gerakannya saat melihat bagaimana kakaknya
mengeluarkan spermanya di wajah dan mulutku, namun dilanjutkan dengan
sodokan yang semakin cepat. Tiba tiba dia menarik penisnya dan segera
mengangkangkan kakinya di atas mukaku, meniru kakaknya, disapukan penis
yang basah ke mukaku yang masih belepotan sperma Dibyo.
Ketika kumasukkan penis itu ke mulutku, langsung menyemprotkan
sperma, tak ayal lagi hampir semua sperma yang disemprotkan tertelan ke
masuk. Dibyo dan adiknya bersama sama menyapukan penis mereka yang mulai
melemas ke wajahku dengan senyum kemenangan.
“Tak kusangka ternyata Lily yang kukenal selama ini begitu hebat di ranjang” komentar Reno sambil menyapukan penisnya.
Aku diam saja sambil menjilati sisa sisa sperma yang masih ada di
batang penis mereka. Akhirnya kami bertiga terkulai lemas telentang
berjejer di atas ranjang.
Berkali kali Reno memuji kehebatan permainan ranjangku dan berkali
kali pula dia menyatakan ketakjuban dan kekagetannya melihat permainan
yang aku suguhkan, hampir tak percaya dia melakukannya denganku, yang
selama ini dianggap seorang yang cukup dewasa dan terkesan seperti orang
rumahan, seperti dalam mimpi.
Tak mungkin percaya kalau tak mengalaminya sendiri, Dibyo hanya
mengiyakan celotehan adiknya yang Play Boy itu, seperti anak mendapat
mainan baru yang hebat.
Setelah beristirahat cukup lama, kami melakukannya lagi di sofa,
hampir dengan pola permainan yang sama, bergantian berurutan, meski
dengan posisi yang berbeda beda.
Kami melakukan 2 babak lagi sebelum Dibyo pulang meninggalkan aku dan
adiknya bermalam di hotel, aku sangat tak keberatan menemani Reno
hingga pagi dan kami memang menghabiskan sisa malam dengan segala nafsu
birahi penuh gairah, seperti tidak bercinta dengan tamu melainkan dengan
seorang pacar, apalagi postur tubuh Reno yang memang menggugah naluri
birahi wanita normal.
Tak terhitung lagi babak demi babak yang kami lewati hingga kelelahan
menjelang pagi bersamanya. Nafsu Reno sangatlah besar, sepertinya tak
mau membuang kesempatan yang datang sekali seumur hidup, tak pernah
dibiarkan aku sedetik menganggur, selalu saja dia minta lagi dan lagi,
kalau aku menolak dia yang melakukan oral pada vagina, tentu saja
gairahku segera timbul lagi untuk melayaninya.
Keesokan harinya setelah menjalani 1 babak saat bangun tidur, kami
check out, dia mengajakku mampir ke rumahnya di kawasan Darmo Satelit
yang juga rumah Dibyo karena dia memang masih tinggal bersama kakaknya
itu, sebenarnya aku agak segan ke rumahnya, rasanya nggak ada muka untuk
ketemu Wenny tapi Reno memaksaku dan berhasil meyakinkan kalau jam
segini Wenny tidak ada dirumah.
Ternyata Wenny menyambut kedatanganku, rupanya dia sedang di rumah
sehabis dari salon, dengan sumringah wajah cantik nan ceria itu
mempersilahkan aku masuk setelah kami berciuman pipi, padahal semalam
pipi itu berlumur sperma suaminya dan juga adik iparnya.
“Kudengar kalian bertiga semalam ada pesta di Sheraton, pestanya
siapa sih?” tanyanya sambil lalu seraya membikinkan aku makan siang, dia
tahu pasti aku menyukai Kwe Tiaw bikinannya.
Dibyo datang tak lama kemudian ketika kami tengah makan bersama,
diapun ikutan makan siang, berempat kami mengelilingi meja yang penuh
masakan bikinan Wenny, pasti dia tak pernah menyangka bahwa dua laki
laki dirumahnya yang kini duduk dihadapannya telah meniduriku semalam,
bersamaan malah.
Sehabis makan, Dibyo dan Wenny kembali pergi lagi meninggalkan aku
dan Reno, sekali lagi kami melakukannya 1 babak di kamar Reno sebelum
dia mengantarku pulang.
“Nanti aku transfer saja, bisnis is bisnis” kata Reno sebelum meninggalkanku.
Di kamar kos, aku ingin merenung tentang apa yang telah kuperbuat
dengan kedua sobatku, tapi tak pernah terjadi renungan itu karena
bookingan lain telah menunggu.
Itulah kedekatanku dengan keluarga Dibyo, suatu persahabatan yang
diawali ketulusan tapi kini telah ternoda oleh bisnisku, aku merasa
bersalah setiap kali melihat wajah innocent Wenny yang cantik. Tapi itu
bukan salahku, tapi salah suami dan adik iparnya, aku toh hanya seorang
call girl yang bersedia diajak ke ranjang oleh siapa saja yang bisa
membayarku, hibur hatiku setiap kali perasaan bersalah menggelayut
dihatiku. Dan prinsip itu semakin menyeretku semakin dalam ke pusaran
persahabatan yang ternoda.
Tak terhitung lagi aku “berbisnis” dengan Dibyo maupun Reno ataupun
keduanya, bahkan Reno dengan bangganya memperkenalkanku pada teman
temannya, tentu saja menambah jaringan tamu langgananku.
Tak dapat kuhindari kalau kemudian Reno seperti ketagihan akan
pelayananku, terutama dia sangat menyukai saat mengeluarkan spermanya di
mulut dan wajahku, paling tidak seminggu sekali dia mem-booking-ku.
Hingga saat aku tinggal di Jakarta kini, kami sering berhubungan
lewat telepon, terutama dengan Wenny, seakan dia tidak pernah tahu apa
yang telah kuperbuat dengan kedua laki lakinya. Entahlah.
E N D
E N D