Recent Posts Widget

KISAH WANITA CALL SERVICE : XXX STORY

http://cerita-porno.blogspot.com/2012/07/kisah-wanita-call-service-xxx-story.html

Prolog

Ini adalah kisah nyata dalam perjalanan hidupku, terjadi sebelum akhirnya nasib mempertemukan aku dengan suamiku sekarang ini.
Namaku Lily, waktu itu umurku 26 tahun, sebagai seorang gadis panggilan tentu banyak pengalaman sexual yang aku alami dari bermacam umur, golongan, pangkat, tingkah laku, gaya hidup bahkan perlakuan sex.
Postur tubuhku yang 167 cm, berat 50 dan ukuran 36B, ditambah kulit tubuhku yang putih  mulus, mata agak sipit seperti gadis chinesse, wajah cantik mirip Cornelia “Sarah” Agatha (kata orang sih), tentu tidaklah sulit bagiku untuk mendapatkan “tamu” bahkan lebih sering menolak, daripada mencari. Penampilanku memang layaknya Chinese apalagi lingkungan pergaulanku juga kalangan Chinese di kota Surabaya, maka 90% tamu-ku adalah dari kalangan Chinese, sisanya yang sepuluh persen adalah para penggede Orde Baru, pejabat, anak pejabat, bahkan cucu pejabat, baik pejabat local maupun pusat, menteri dan anak anaknya, bahkan aku  pernah melayani Pak Menteri dan anaknya dalam satu hari, perwira tinggi bahkan Jendral, Gubernur, suami artis ternama dan tak ketinggalan sang cucu dari Cendana, ada yang masih menjabat hingga tahun 2002 ini tapi banyak yang sudah pensiun, sedang di sidang, bahkan sudah berada di penjara.
Memang pangsa pasarku adalah golongan atas, sesuai dengan penampilanku yang high class, tentunya tariff yang aku kenakan juga sudah pasti angka 7 digit bahkan bisa 8 digit kalau menginap atau harus ke luar kota, tapi dari para tamu memang harga segitu sepadan dengan servis yang aku berikan, terbukti hampir 95% dari tamu adalah pelanggan lama, memang aku membatasi dan sedikit pemilih dalam melayani tamu, karena disamping masalah uang tapi juga selera, tujuannya adalah untuk mendapatkan kepuasan dalam sex maupun financial, yang pasti aku berusaha supaya bukan tamu-ku saja yang puas tapi aku juga bisa mendapatkan kepuasan.
Aku biasa melayani tamu dan panggilan short time 2-4 kali dalam sehari, belum lagi yang sampai menginap di hotel berbintang, bisa dibayangkan berapa kocek yang mengalir dalam kantongku, tapi seperti kata pepatah “easy come easy go”, uang mengalir masuk dengan mudahnya dan mengalir keluar dengan mudahnya pula dalam arena perjudian, tapi aku tidak pernah terlibat dalam drug, memakai sekali kali sih oke, itupun atas paksaan tamu.
Aku banyak memenuhi keinginan fantasy sexual para tamu, baik hanya berdua maupun bertiga, berempat tergantung kemauan para tamu, tapi dengan kelihaian rayuanku aku bisa memaksa para tamu untuk bercinta two in one atau three in one, yang one adalah aku, ini lebih sering terjadi dari pada aku bagian dari two atau three.
Banyak tamu yang ingin menjadikanku simpanannya bahkan jatuh cinta dan ingin menjadikanku simpanan bahkan istri kedua, tapi tak ada yang kutanggapi, karena pertimbanganku saat itu adalah dari sisi materi aku mendapat jauh lebih banyak sedangkan dari sisi sexual aku bisa menikmati dari tamu tamu yang memang aku seleksi, jadi belum ada alasan yang kuat untuk meninggalkan kehidupan ini, disamping itu aku sudah trauma ketika menjadi simpanan seorang pengacara Chinese saat pertama menjalani kehidupan ini. Ternyata freelance tidak terikat pada satu GM membuat aku bisa menentukan pilihan tamu yang aku terima maupun aku tolak dengan berbagai alasan.
Saat pertama kali aku terjun ke dunia ini atas bujukan seorang GM terkenal di Surabaya saat itu, namanya dikenal dengan Om Lok. Dia menempatkan aku di hotel berbintang di daerah Gunung Sari Surabaya, stand by di kamar menunggu tamu dating. Dalam posisi seperti itu aku tidak berdaya untuk menolak tamu kiriman Om Lok yang kebanyakan memang sudah seusia papaku, maklum dengan tariff setinggi itu tentu hanya orang berkantong teballah yang mampu “membeli” tubuhku, untuk short time saja sudah di atas US$ 2500 tentu bukan sembarang kelas yang mampu, padahal pelayananku saat itu masih biasa saja, maklum dari ibu rumah tangga langsung terjun ke dunia seperti ini, tapi toh banyak tamu yang mengulang dan mengulang lagi, sehari aku rata rata bisa menerima tamu rata rata 2-3 kali. Kujalani kontrak dengan Om Lok selama satu bulan, karena porsi pembagiannya tidak seimbang antara dia dan aku, maka aku mulai dengan berjalan sendiri alias freelance.
Dikalangan para Germo (GM) maupun rekan seprofesi “simatupang” (SIang MAlam Tunggu PANGgilan) aku lebih dikenal dengan sebutan Lily Panther, karena aku memakai mobil Phanter, hasil kerja kerasku selama sebulan dibawah “management” Om Lok, bagi para rekan, GM, atau ex-tamu yang mungkin masih mengenalku kita bisa berkomunikasi via e-mail.
Cerita cerita sex yang aku kirim adalah penggalan catatan harianku selama menjalani kehidupan sebagai “call girl”, nama dan tempat aku samarkan tapi tidak jauh dari yang sebenarnya, cerita non sex yang banyak aku alami tidak aku ceritakan, karena tidak akan menarik penggemar cerita sex.

Sang Pengacara

Tamu pertama saat aku menjalani profesi ini adalah seorang pengacara Chinese dari Jakarta yang sedang menangani kasus di Surabaya, namanya H.Winata aku biasa panggil dia Koh Wi, berumur sekitar 50 tahun dan dialah orang yang akhirnya dengan kekuatan kepengacaraannya memutuskan kontrakku dengan Om Lok dan menjadikan aku sebagai simpanannya selama 3 bulan sebelum akhirnya aku tak tahan dan melepaskan diri dari ikatannya, dengan segala resiko yang harus aku tanggung.
Orangnya kelihatan tidak ramah, wajahnya kurang sedap dipandang, tapi apa dayaku, aku tak kuasa menolak karena memang tak boleh menolak setiap tamu yang dikirim Om Lok, padahal melihat wajahnya saja aku sudah ketakutan, habis seram sih, tapi itulah konsekuensinya.
Setelah Om Lok mengenalkan kami lalu dia meninggalkan aku berdua dengan Koh Wi, ada rasa tegang dan canggung berdua di kamar dengan orang asing, apalagi yang bertampang seperti Koh Wi, sungguh aku gugup dibuatnya.
Untunglah Koh Wi mengetahui kecanggunganku, sebagai tamu pertamaku dia cukup “berjasa” membimbingku dalam menghadapi tamu berikutnya, menumbuhkan rasa percaya diriku. Tahu bahwa dia adalah tamu pertamaku, maka Koh Wi tidak langsung tubruk, dia cukup  sabar dan telaten mengajariku. Perlu dicatat, meski aku dibawah “penguasaan” Om Lok, tapi hubungan aku dan dia sebatas hubungan bisnis, tak ada paksaan untuk melayaninya, jadi Koh Wi adalah orang kedua yang akan menikmati kehangatan tubuhku setelah suamiku dan dia akan kembali mem-perawan-I ku, karena sudah hampir 2 tahun sejak aku cerai belum pernah bercinta lagi.
Setelah ngobrol beberapa saat untuk mencairkan suasana, Koh Wi mendekatiku, menuntunku ke ranjang, jantungku berdetak keras ketika dia memelukku, kupejamkan mataku saat dia mulai mencium pipiku, kurapatkan bibirku ketika dia mulai mencoba mencium bibirku, aku mengangis dalam hati ketika tangannya mulai menjamah dadaku. Ternyata Koh Wi memang benar benar seorang yang sabar, merasa tidak mendapat respon yang semestinya, dia menghentikan aksinya, bukannya marah tapi dia malah tersenyum melihat ke-lugu-anku.
Kembali kami ngobrol, kali ini di atas ranjang, dia memang pandai membawa  suasana hingga aku merasa akrab dengannya. Dia lalu menciumku, aku tetap memejamkan mataku, tapi ketika dia mencium bibirku, aku mulai membuka bibirku meski dengan tetap mata tertutup. Aku mulai membalas ciuman bibirnya ketika tangan Koh Wi menjamah dan mengelus dadaku, napasku mulai turun naik, maklum sudah 2 tahun tidak terjamah laki laki. Tanpa melepaskan ciumannya, Koh Wi mulai meremas remas buah dadaku, tanganku dibimbingnya ke selangkangannya, tak berani aku menggerakkan tanganku itu, kurasakan ketegangan di balik celananya, kembali tanganku dipegangnya dan diusap usapkan pada kejantanannya yang sudah tegang.
Ciuman Koh Wi sudah berpindah ke leherku, kurasakan kegelian yang sudah lama tidak kurasakan lagi, tangan Koh Wi sudah berpindah ke pahaku, gaun panjangku yang berbelahan hingga ke paha lebih memudahkan jelajah tangannya di sekitar paha hingga ke pangkalnya. Aku hanya menengadahkan kepalaku menikmati ciuman di leher dan usapan di pahaku, tanganku sudah berani mengusap dan meremas kejantanannya dari luar. Desis tertahan bercampur malu tak sadar keluar dari mulutku, aku sudah terhanyut dalam buaian lembut Koh Wi.
Tangan kiri Koh Wi yang dari tadi menjelajah di dadaku, sudah berhasil membuka resliting di punggungku dan menarik ke bawah hingga tampaklah bra biru tua berenda, secara reflek aku menutupi dadaku dengan kedua tanganku, Koh Wi tersenyum melihat reaksiku, kembali tanganku dibimbing ke selangkangannya, kali ini dia membuka ikat pinggang dan reslitingnya, tanganku dibimbingnya masuk ke dalam celananya hingga aku bisa menyentuh batang kejantanannya yang menegang keras meski dengan sedikit gemetar.
Koh Wi kembali menciumi leher dan pundakku, tangannya sudah kembali menjelajah di dadaku, mengelus dan meremas, lalu diselipkan di balik bra-ku, dia mendapatkan yang dia cari, putingku yang masih kemerahan segera dipermainkan dengan jarinya sambil meremas buah dadaku. Aku mendesis tertahan, tali bra-ku sudah melorot ke lenganku, dan tak lama kemudian terlepaslah bra itu dari tubuhku, aku ingin menutupi lagi dengan tanganku tapi dia mencegahnya, mukaku terasa panas memerah, malu karena harus memperlihatkan buah dadaku di depan orang yang baru kukenal belum satu jam yang lalu. Tapi Koh Wi tak memberiku kesempatan lebih lama, mencium leherku dan turun ke dadaku, dijilatinya sekujur buah dadaku dan berakhir pada kuluman di putingku yang kecil kemerahan.
“Aaaahhhh…ssssshhh…sssshhh” aku tak bisa menahan desah kenikmatan lebih lama lagi.
Tanganku segera mencari batang kejantanan Koh Wi, betapa terkejut ketika kuraih dan kugenggam, begitu besar rasanya, sepertinya jauh lebih besar dari punya suamiku dulu. Kuluman dan remasan Koh Wi begitu nikmat kurasakan setelah sekian lama hampa, dia berhasil menghanyutkanku kedalam buaiannya lebih jauh, hingga tak kusadari aku secara reflek menarik keluar batang kejantanannya dan mengocoknya, ternyata hal ini membuat kuluman dan remasan Koh Wi makin menggairahkan, maka semakin cepat kukocok penisnya.
Jujur saja ini adalah penis kedua yang aku pegang setelah suamiku.
Ketika kulihat penis itu, sungguh aku terkejut, ternyata benar dugaanku ini penis itu jauh lebih besar bahkan mungkin dua kali lebih besar dari suamiku, agak gugup juga aku ketika membayangkan bahwa penis sebesar itu akan segera masuk ke vaginaku yang sempit. Tapi aku tak sempat gugup lebih lama lagi ketika Koh Wi merebahkan tubuhku di ranjang, dia melepas gaunku hingga tinggal celana dalam ungu yang mini. Koh Wi melepas pakaiannya hingga telanjang, kuperhatikan penisnya yang besar menggantung tegang di antara kakinya, perutnya yang gendut dan dada sedikit berbulu, dia langsung menghampiriku, mencium pipiku, menjilati putingku sambil tangannya menyelip dibalik celana dalamku, mulai mempermainkan daerah vaginaku, tak lama kemudian celana dalamku sudah terlepas, masih ada rasa risih bertelanjang di kamar berdua dengan orang asing.
Jilatan Koh Wi sudah menyusuri perutku, aku kaget ketika ternyata dia mulai menjilati vaginaku, belum pernah aku diperlakukan seperti ini oleh suamiku dulu.
“jangan Koh, jangan, aku belum pernah, nggak usahlah” teriakku terkaget sambil mendorong kepalanya menjauh dari selangkanganku memberi perlawanan.
“percaya deh, kamu pasti suka, kalau udah tahu rasanya pasti ketagihan” katanya langsung membenamkan kepalanya di selangkanganku, perlawananku terhenti ketika lidahnya mulai menyentuh klitoris dan bibir vagina, berganti dengan desahan desahan kenikmatan. Dia mempermainkan lidahnya di vaginaku dengan begitu gairah, kuremas remas rambutnya, aku semakin terbuai dalam permainannya. Kurasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan bahkan kubayangkan seumur hidupku, suamiku tak pernah melakukannya karena kuanggap hanya pantas dilakukan di film porno, tapi kini aku mengalaminya.
“ssssshhh…ssssshhh…ssshhhh…sssssudddaaaah aaaahhh” desahku, tak tahan menahan kenikmatan yang baru kualami. Kutarik rambutnya ke atas untuk menghentikan permainan lidahnya, tapi dia tetap melanjutkan sambil mempermainkan putingku, aku semakin tak karuan terhanyut dalam kenikmatan. Untunglah dia segera menghentikannya dan telentang di sampingku, masalah lain kemudian timbul ketika dia minta aku mengulum kejantanannya, aku berusaha untuk menolak, baru sekali aku melakukan dengan ex-suamiku, itupun setelah dipaksa dan aku tak mau melakukan lagi, terlalu menjijikkan bagiku, sepertinya hanya ada di film porno.
Koh Wi tetap memaksaku, meski tidak dengan fisik tapi ucapannya memaksaku melakukan itu, dengan penuh keraguan kupegang dan kujilat kepala penisnya yang basah, berulang kali aku meludah di sprei karena lendir di penis itu, terasa asin dan asing bagiku, ingin muntah rasanya. Sekali lagi aku harus mengakui kesabaran Koh Wi dalam “membimbingku”, begitu sabar dia memberi arahan dan rayuan hingga aku tak tega karena dia sudah melakukannya padaku, dengan menahan segala perasaan masuklah kepala penis itu ke mulutku, makin lama makin dalam penis itu di dalam mulutku, meski berkali kali aku harus mengusap ludahku dengan sprei, ini adalah penis kedua yang masuk mulutku. Seringkali kurasakan gigiku menggesek penis itu, tapi Koh Wi tetap mendesah desah membuatku ikut bergairah, aku masih belum tahu bagaimana memperlakukan penis itu di mulutku kecuali keluar masuk menggesek bibir dan terkadang gigiku.
Akhirnya Koh Wi  merebahkanku kembali di ranjang, dia berjongkok di antara kakiku, kembali jantungku berdegup kencang, ada perasaan tidak karuan berkecamuk di dadaku ketika dia mulai mengusapkan penisnya ke bibir vaginaku, disini, di ranjang ini dengan orang ini aku pertama kali harus menyerahkan harkat kehormatanku sebagai seorang wanita, inilah tonggak awal sejarah kehidupanku, inilah saat aku mengawali profesiku, inilah saat mulai menyerahkan tubuhku pada siapapun yang mampu membayarku, inilah saatnya aku  mulai belajar menikmati sex  dengan siapapun tanpa ada rasa cinta yang selama ini aku agung agungkan dan inilah saatnya aku memendam segala perasaan demi kepuasan orang yang membayarku, tanpa kusadari air mata menetes dari ujung mataku, segera kusapu dengan tanganku, aku tak mau Koh Wi melihatnya.
Perlahan lahan kejantanan Koh Wi menembus vaginaku yang sudah lebih 2 tahun tidak tersentuh, kurasakan rasa nyeri ketika penis itu masuk makin dalam, teringat saat pertama kali berhubungan sex waktu perawan dulu. Dengan penis Koh Wi yang besar itu rasanya bibir vaginaku seperti tersobek, makin lama makin dalam hingga semua tertanam, penis Koh Wi serasa memenuhi vaginaku. Aku memejamkan mataku sambil menggigit bibirku, tak berani menggerakkan kakiku, begitu besar seolah mengganjal bagian dalam tubuhku, untungnya Koh Wi cukup berpengalaman, dia mendiamkan sejenak, meraba raba dan meremas remas buah dadaku untuk memberikan perasaan santai, semakin tegang maka otot vaginaku semakin mencengkeram erat. Pelan pelan dia menarik keluar lalu pelan pula dia mendorong masuk kembali, begitu berkali kali hingga akhirnya rasa nyeri berubah menjadi nikmat, setiap gerakan penisnya di vaginaku menimbulkan kenikmatan bagiku, apalagi sudah 2 tahun aku tidak berhubungan sex. Vaginaku sudah mulai basah hingga Koh Wi mulai mempercepat kocokannya, aku sudah mulai mendesis dan mendesah kenikmatan, sungguh kenikmatan yang sudah lama tidak kurasakan, terlupakan sudah air mata yang sempat menetes, kulupakan sudah harkat ke-wanitaanku, dan terlupakan sudah dengan siapa aku sekarang sedang bercinta.
Dengan lihainya dia memberiku rangsangan kenikmatan yang lain, tangannya mengelus pahaku, meremas buah dadaku, mengulum putingku, mencium bibirku, mengulum telingaku, semua dilakukan tanpa menghentikan kocokannya, membuat aku makin menggeliat geliat dalam kenikmatan.
Aku sudah melupakan bahwa aku sedang bercinta dengan orang asing yang baru aku kenal satu jam yang lalu, aku sudah melupakan bahwa aku tidak mencintai orang ini, aku sudah melupakan bahwa orang ini usianya sebaya dengan papaku, bahkan aku sudah melupakan bahwa aku sedang bercinta dengan istri orang, bahkan aku sudah tak sadar bahwa aku sudah mulai menikmati bercinta tanpa feeling apapun kecuali berdasar uang, yang aku ingat hanyalah aku sedang mengarungi lautan kenikmatan bersama orang yang membayarku untuk mendapatkan kenikmatan dariku.
Koh Wi sudah tengkurap di atasku, dia memelukku erat, aku sudah bisa merasakan kenikmatan kocokannya, aku sudah bisa membalas ciuman bibirnya dengan penuh gairah, kakiku sudah melingkar di pinggulnya membuat penisnya makin dalam melesak dalam vaginaku. Keringat Koh Wi sudah membasahi sekujur tubuhku, waktu seolah berjalan begitu lambat, sepertinya sudah setengah jam dia mengocokku, tanpa kusadari aku terbawa dalam kenikmatan yang dalam menuju puncak kenikmatan, dan orgasme lebih dulu daripada Koh Wi, tubuhku menegang, kupeluk erat tubuh Koh Wi kemudian otot vaginaku berdenyut dengan kerasnya, aku menjerit dalam kenikmatan, kualami orgasme pertama setelah dua tahun aku melupakan bagaimana nikmatnya orgasme, mataku tetap terpejam, aku takut membuka mataku seakan takut terbangun dari mimpi indah, sesaat Koh Wi menghentikan gerakannya tapi kemudian dia mengocok lagi dengan tempo lebih cepat, aku mendesah atau lebih tepatnya menjerit, belum pernah aku mengalami orgasme seperti ini. Ex-suamiku biasanya akan menghentikan gerakannya dan menikmati saat orgasmeku bersama sama, tapi Koh Wi lain lagi, dia malah mempercepat saat otot vaginaku berdenyut dengan hebatnya,  sungguh pengalaman baru bagiku, ternyata justru jauh lebih nikmat, ini diluar bayanganku semula.
Tak lama kemudian Koh Wi mengikutiku orgasme, dia menanamkan penisnya dalam dalam dan menekan ke vaginaku, kurasakan penisnya mengembang membesar di dalam lalu menyemprotkan spermanya di vaginaku, denyutan dan semprotan itu begitu kuat menghantam dinding vaginaku, aku kaget dan menjerit kecil menerima semprotan itu, tak kusangka dia bisa menyemprot sekuat itu, menimbulkan kenikmatan tersendiri pasca orgasme, kunikmati denyutan demi denyutan, kurasakan denyutan orgasme dari penis kedua dalam hidupku, sperma kedua yang menyirami rahim dan vaginaku.
Koh Wi menelungkupkan tubuhnya yang penuh peluh di atas tubuhku, napas kami berpacu dalam kenikmatan, kurasakan perutnya yang gendut menekan perutku hingga aku agak kesulitan bernapas,  kudorong dia hingga telentang di sampingku.
Kami berdua terdiam, aku merenungkan kejadian ini, baru saja aku bercinta dengan tamu pertama dalam profesiku, kini aku sudah resmi menjadi seorang pelacur, kini aku harus siap melayani setiap orang yang mampu membayar pelayananku tanpa ada hak memilih, kini aku harus bisa memuaskan tamuku dengan cara apapun, kini aku harus bisa memuaskan diriku sendiri disamping tugas utamaku memuaskan tamuku, kini aku harus berusaha membuat tamuku kembali, kini aku harus siap menanggung segala resiko yang timbul akibat pekerjaanku ini, kini aku harus bisa bercinta tanpa mempertimbangkan rasa cinta atau rasa suka, dan banyak lagi keharusan lain yang harus aku siapkan.
“gila Ly, seperti bercinta dengan perawan, kencang banget” komentar Koh Wi memecahkan kebisuan diantara kami.
“habis punya Koh Wi gede buanget, seperti saat perawan dulu, mungkin lecet kali”
“nggak rugi deh aku merawani kamu”
Sebenarnya aku mau mengaku bahwa aku sangat menikmati percintaan barusan setelah dua tahun tidak bercinta, tapi aku malu mengatakannya.
Tak lama kemudian telepon berbunyi, ternyata dari Om Lok, dia menanyakan apakah sudah selesai atau Koh Wi mau tinggal lebih lama alis memperpanjang, kuberikan telepon itu ke Koh Wi, entah apa yang mereka bicarakan aku tak tahu lagi karena kutinggalkan Koh Wi ke kamar mandi untuk mencuci tubuh dan vaginaku dari sperma dan keringatnya, ada rasa jijik melihat spermanya, begitu juga dengan aroma keringatnya, tapi kutahan perasaan itu.
“Ly, aku ingin lebih lama tinggal tapi aku harus menjemput istriku di Juanda, terus terang aku sangat sangat sangat puas, mungkin besok aku kesini lagi” katanya ketika aku keluar dari kamar mandi sambil mengenakan kembali pakaiannya, sebenarnya aku tak peduli dia mau kesini apa enggak, aku berharap mendapat tamu yang lebih bagus dari dia.
Koh Wi memberiku tip beberapa ratus dolar sebelum meninggalkan kamar, kuhitung ada sepuluh lembar berarti hampir 2,5 juta (kurs saat itu sekitar 2400), aku tercenung di kamar sendirian sambil menggenggam dolar pemberian Koh Wi, begitu mudah mendapatkan uang dalam bisnis ini, belum lagi yang aku terima nanti dari Om Lok, aku mulai membayangkan manisnya profesi ini, disamping materi aku bisa mendapatkan kepuasan sex.
“sudah dapat nikmat masih dibayar lagi”pikirku.

Si Ceking

Aku masih menggenggam dolar itu dan dalam keadaan telanjang ketika Om Lok masuk ke kamar, sepertinya Koh Wi tidak menutup pintu dengan benar hingga bisa dibuka dari luar.
“simpan uang itu, jangan dihambur hamburkan” kata Om Lok sambil matanya melototi tubuh telanjangku. Aku segera menutup tubuhku sebisanya dan menyamber selimut yang ada di ranjang untuk menutup tubuhku, it’s not for free. Om Lok dating membawa VCD Player dan beberapa disc, bisa diduga semua itu adalah film porno. Disamping itu dia membawa makanan kesukaanku yang pasti tidak tersedia di hotel ini. Aku  dan Om Lok sebenarnya adalah tetangga, karena itu dia tahu dengan pasti saat aku bercerai dengan  suamiku, hampir setahun dia membujukku untuk pekerjaan ini sebelum akhirnya aku menerimanya.
 ”jam empat nanti akan ada tamu lagi, bersiaplah” kata Om Lok sebelum meninggalkan kamar, berarti masih ada waktu dua jam bagiku untuk istirahat dan bersiap. Sambil tetap telanjang aku nikmati makanan kesukaanku, kuamati ranjang tempat aku pertama kali menyerahkan kehormatanku ke Koh Wi, tetap berantakan seperti saat Koh Wi meninggalkan kamar, beberapa bercak basah tampak di sprei, entah keringat entah sperma aku tidak tahu pasti.
Selesai makan kurapikan sprei dan aku tiduran sambil nonton VCD bawaan Om Lok tadi, aku terhanyut menikmati film itu, tak terasa Disc kedua sudah aku putar hingga kusadari sudah hampir setengah empat, berarti aku harus bersiap menyambut kedatangan tamuku.
Segera aku mandi menyegarkan badan dan terutama untuk menghilangkan bau keringat Koh Wi yang mungkin masih menempel di tubuhku, 
Sesuai pesanan tamuku, kukenakan pakaian yang sexy, gaun panjang merah dengan punggung terbuka hanya bergantung pada ikatan di leherku, sengaja kukenakan bra strapless untuk menyesuaikan dengan model gaun itu, belahan kaki hingga jauh di atas paha, potongan model pakaian yang ketat hingga tampak tonjolan buah dadaku, kusemprotkan Issey Miyake di leher dan dadaku, kukenakan make up tipis penghias wajahku, kini aku sudah siap untuk menerima tamu kedua.
Agak deg deg-an dan penasaran aku menunggu, seperti apakah tamuku ini ?, seperti apakah orang yang akan menikmati kehangatan tubuhku kali ini ?, seperti apakah permainan sex-nya ? apakah dia sesabar Koh Wi tadi? Berjuta pertanyaan bergelayut di pikiranku, aku tidak berani berharap terlalu banyak akan tamuku, aku Cuma akan berusaha sedapat mungkin memuaskan tamu dan sedapat mungkin juga mendapatkan kepuasan.
Pukul 4:10 sore tamuku dating, seorang cina lagi, usianya aku taksir hampir mendekati 50 tahun, tubuhnya yang ceking gendut dan berkacamata, entah minus berapa dia tapi kelihatannya cukup tebal. Sungguh jauh dari kesan romantis dan menyenangkan.
Namanya Rudi, kupanggil dia Koh Rudi, kubiasakan memanggil tamuku dengan Koh supaya tidak terkesan tua.
Aku sudah bisa menguasai diri, karena pembawaanku memang supel maka kini tak terlalu canggung bersama Koh Rudi berdua di kamar. Setelah berbasa basi mengakrabkan suasana, dia menarikku ke pangkuannya, tangannya langsung meraih buah dadaku karena memang terlihat montok mengundang, diremas remasnya sambil menciumi leherku, kembali rasa risih menyelimuti batinku, aku duduk dipangkuan Koh Rudi yang baru kukenal setengah jam yang lalu sambil menjamah dan menggerayangi sekujur tubuhku. Untuk menutupi rasa risih itu aku pura pura mendesis ke-enak-an,  wajah Koh Rudi sudah diusap usapkan ke buah dadaku yang menonjol dengan gemas, tangannya mulai menggerayangi pahaku dari belahan paha gaun merahku.
Melihat Koh Rudi langsung melakukan manuver, akupun melakukan hal yang sama, “lebih cepat lebih baik” pikirku, sambil mulai membuka kancing bajunya.
Koh Rudi sudah membuka resliting di punggungku ketika bajunya sudah terlepas dari tubuhnya, terlihat tulangnya yang terbungkus kulit, dan perut buncitnya yang menonjol.
Gaunku sudah melorot hingga ke lengan, buah dadaku yang terbungkus bra biru berenda sudah tampak menantang, kembali Koh Rudi membenamkan wajahnya di antara kedua bukitku, agak risih juga aku diperlakukan seperti itu, tangannya sudah sampai di selangkangan dan mempermainkan vaginaku dari luar celana dalam, aku semakin risih, kututupi dengan ke-pura pura-anku mendesis, kubelai rambutnya yang sudah banyak memutih. Dia mengluarkan bukitku dari sarangnya, langsung Koh Rudi mendaratkan bibirnya di putingku yang masih memerah mungil, dikulumnya putting itu dengan penuh nafsu sambil mempermainkan lidahnya. Ada sedikit kenikmatan menjalari tubuhku, tangan Koh Rudi menyelinap di balik celana dalamku, mempermainkan klitorisku, kupejamkan mataku, aku tak mau melihat wajah “anehnya”. Bra-ku sudah terlepas menutupi buah dadaku, “gila bagus amat, kencang lagi” katanya ketika melihat sepasang buah dadaku yang sudah telanjang, langsung kembali mengulumnya, dari satu putting ke putting lainnya.
Jari tangan Koh Wi sudah menyusup di liang kenikmatanku, aku merasa geli dan risih dengan perlakuannya, ingin aku teriak marah tapi tak mungkin kulakukan, maka kulampiaskan dengan desis ke-pura pura-an.
“aku ingin merasakan vaginamu yang masih segar di hari pertamamu bekerja” bisiknya ketika menciumku.
Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung memintaku duduk dan jongkok di antara kakiku, dia adalah orang kedua dalam hidupku yang jongkok di selangkanganku dan dengan bebasnya melototi bagian kewanitaanku yang selama ini aku jaga, aku jadi malu dan marah, apalagi setelah dia melepas celana dalamku, diciumnya celana dalam itu, lalu dia kembali melototi vaginaku yang masih memerah dengan sorot mata penuh nafsu, aku benar benar marah diperlakukan seperti itu, tapi aku tak bisa berbuat apa apa, kutarik kepalanya ke vaginaku dan kubenamkan di selangkanganku. Lebih baik aku menerima jilatan dari pada dipelototi seperti itu, Koh Rudi mengusap usapkan kepalanya di vaginaku, dia “melahap” dengan nafsunya. Aku memejamkan mata berusaha menikmati jilatannya, kukonsentrasikan untuk menikmatinya daripada mengikuti emosi rasa risih ini sambil membayangkan adegan di film yang baru kulihat tadi, sepertinya aku berhasil, perlahan birahiku mulai naik, kutekan kepalanya lebih dalam di selangkanganku, kupaksakan aku mendesah menutupi kecanggungan birahi yang kurasakan aneh. Cukup lama Koh Rudi menjilati vaginaku sambil tangannya memainkan putingku, geli, marah, nikmat, semua bercampur menjadi satu emosi, kembali aku mendesah menutupi marah.
Koh Rudi berdiri, kubuka celananya dan menariknya turun, kini tinggal celana kolor sekali lagi celana kolor dan bukan celana dalam pada umumnya, aku geli melihatnya, sungguh tipikal orang kuno, kutarik celana kolornya turun, tampaklah penisnya yang kecil panjang sudah menegang, ada yang aneh di penis itu, ternyata dia tidak disunat, baru kali ini aku melihat penis orang dewasa yang tidak disunat, sungguh kelihatan aneh dan lucu, kutahan senyumanku agar dia tidak tersinggung.
Kupegang kejantanannya, terasa aneh di tanganku, kukocok, kulit penisnya terasa mengganggu tanganku mengocok, terasa licin, tidak ada gesekan antara tanganku dan penisnya. Koh Rudi menyodorkan di mulutku, dengan senyum halus aku menolaknya, kuusap usapkan penis itu di pipiku tapi tak pernah menyentuh bibir,  lalu kuusapkan kepala penis ke putingku, dia mulai mendesah.
Tubuh ceking gendut yang berdiri di depanku langsung berlutut di antara kakiku, menyingkap gaunku yang belum terlepas, lalu menyapukan kepala penis di bibir vaginaku, sambil memandangku penuh nafsu seakan hendak menelanku hidup hidup, Koh Rudi mendorong penisnya, dia menciumku gemas setelah berhasil memasukkan semua batang penis ke vaginaku, dibandingkan dengan punya  ex-suamiku apalagi Koh Wi barusan, penis itu lebih kecil, terasa aneh di vaginaku, apalagi aku telah merasakan besarnya penis Koh Wi, terasa tak jauh beda dengan kocokan jari tangannya.
Rasa aneh bertambah aneh ketika Koh Rudi mulai mengocokku, seperti licin dan berlari lari di vaginaku, tak ada kenikmatan yang kurasakan, hanya geli dan lucu merasakan kocokan Koh Rudi, tapi aku tetap mendesah menutupi keanehan yang ada.
Koh Rudi menciumi leherku sambil meremas buah dada dan mengocok vaginaku, tangannya begitu aktif menjamah tubuhku, begitu juga dengan lidahnya yang rajin menjelajah leher dan telingaku, aku menggelinjang geli, bukan kenikmatan yang kuperoleh tapi rasa geli, sungguh merupakan siksaan tersendiri, aku lebih suka jilatannya yang bervariasi disbanding kocokan penisnya di vagina. Kuremas rambutnya, aku mulai menggoyang pinggulku mengimbangi gerakannya, aku mulai pura pura mendesah desah kenikmatan, semata mata untuk menambah gairah Koh Rudi biar lebih cepat menyelesaikan permainannya. Tapi diluar dugaanku, hampir limabelas menit dia mengocokku lalu minta ganti posisi, aku nungging di kursi dan dia mengocokku dari belakang, posisi doggie, sebenarnya ini posisi favouritku, tapi dengan Koh Rudi sungguh menjengkelkan karena aku tak bisa merasakan kenikmatan sexual. Dia mengocokku dengan keras, beberapa kali tubuhnya menghentak tubuhku, tapi tetap saja aku tidak bisa merasakan kenikmatan, padahal aku sudah memejamkan mata berkonsentrasi untuk meraih kenikmatan, tapi hanya geli dan geli yang kudapat.
“oh yaaa…terus…ya…keraaaaa…yessssss” desahku pura pura, dia mempercepat kocokannya sambil meremas remas buah dadaku yang menggantung. Tubuh cekingnya seolah memelukku dari belakang, tapi terganjal perut buncitnya.
Kugoyang pantatku mengimbanginya, tubuh kami berimpit saling menggoyang, tak lama kemudian koh Rudi teriak orgasme, kurasakan cairan hangat membasahi vaginaku, aku pura pura teriak orgasme mengikutinya, denyutan penis Koh Rudi tak terasa begitu mendenyut, kugoyangkan pantatku lebih keras, akhirnya tubuh Koh Rudi melemas dan menarik penisnya dari vaginaku, dia duduk lemas di sofa, kudampingi duduk disampingnya, disambutnya dengan ciuman di pipi dan bibirku.
Kubersihkan penisnya dengan tissue lalu aku beranjak ke kamar mandi membersihkan vaginaku, lalu dengan berbalut handuk di badan kutemani Koh Rudi yang sekarang sudah telentang di ranjang, aku diminta menemaninya tiduran di situ.Kuangsurkan minuman, lalu kami tiduran di ranjang.
“Kamu banyak koleksi film ya, sering nonton ?” tanyanya, rupanya dia melihat koleksi VCD-ku yang ada di meja rias.
“belum, barusan tadi player dan VCD-nya dibeli, enakan main sendiri dari pada nonton” jawabku
“lebih enak lagi kalo main sambil nonton” katanya lagi
“atau nonton sambil main” jawabku
“terserahlah yang jelas sama sama enak” katanya sambil mencium pipiku.
Atas permintaan Koh Rudi kami nonton film porno koleksiku, lebih tepatnya pemberian dari Om Lok. Terlihat Koh Rudi begitu menikmati film itu sambil meraba raba tubuhku, meski aku tidak terlalu menikmatinya, aku ikutan memegang megang penisnya. Setengah jam tidak terjadi apa apa, mungkin Koh Rudi belum recovery, tapi setelah itu kurasakan penis Koh Rudi mulai menegang ketika terlihat di TV seorang laki laki sedang dikerubuti dua orang cewek bule yang cantik, entah apa yang ada di benaknya, tapi penisnya mulai bereaksi menegang.
Tak lama kemudian sebelum film itu berakhir, Koh Rudi sudah mulai mencumbuku, mencium bibirku, lalu meremas dan mengulum putingku, aku kembali pura pura mendesah, Koh Rudi menggeser dan memiringkan tubuhku menghadap ke TV, dia berada di belakangku lalu mengusap usapkan penisnya di pantatku, kaki kiriku di angkat naik untuk memudahkan penisnya memasuki vaginaku, dengan sedikit susah karena terganjal perut buncitnya, akhirnya dia berhasil melesakkan ke vaginaku, ini posisi baru bagiku. Sambil menonton film kami bercinta, dia mengocokku dari belakang dengan posisi tidur miring menghadap TV. Tangannya tiada henti meremas remas buah dadaku, sepertinya dia begitu menikmati bercinta dan nonton film secara bersamaan, desahan ke-pura pura-an bercampur jerit kenikmatan dari TV, dia makin bergairah mengocokku, seakan dia bercinta dengan wanita bule yang cantik di film itu, aku tidak tahu fantasi laki laki yang mengocokku dari belakang ini, tapi yang penting bagiku bagaimana menyelesaikan secepat mungkin, karena aku tidak bisa menikmati bercinta dengannya.
Dengan posisi seperti ini aku susah menggoyangkan pantatku, jadi sepenuhnya tergantung gerakan Koh Rudi, entah sudah berapa kami bercinta dengan posisi seperti ini, film sudah berganti ke VCD kedua secara otomatis.
Seiring dengan pergantian VCD, tubuh Koh Rudi naik di atasku, dia menindih tubuhku, bibirnya menyusuri leher dan dadaku, perut buncitnya terasa mengganjal perutku membuat aku tidak nyaman dalam tindihannya, dia menyusupkan tangannya dipunggungku, mengganjal hingga buah dadaku naik lebih menekan tubuhnya, pelukannya semakin rapat seiring dengan cepatnya kocokannya, pantatnya turun naik diatas tubuhku, aku mendesah seolah dalam kenikmatan, bibirnya menyusuri leher jenjangku, sesekali kepalanya berpaling menyaksikan adegan di TV yang sudah mulai lagi. Tak lama kemudian sebelum adegan sex pertama berakhir, Koh Rudi menyemprotkan spermanya ke vaginaku untuk kedua kalinya, aku menjerit nikmat dalam ke-pura pura-an, dia memelukku lebih rapat hingga berakhirnya denyutan di penisnya. Tubuh Koh Rudi yang penuh peluh kenikmatan ambruk di atas tubuhku, napasnya menderu di dekat telingaku, detak jantungnya kencang kurasakan di dadaku. Perlahan penisnya melemas dan keluar dengan sendirinya, kudorong tubuhnya menjauh karena aku tak bisa bernapas terhimpit perut buncitnya, sungguh tersiksa bercinta dengan dia karena tak secuil kenikmatan yang kudapat, hanya perasaan risih dan marah yang menggunung di dadaku.
“ly, kamu hebat deh, tubuhmu masih bagus dan buah dada yang kenceng gitu bikin aku makin bernafsu saja, apalagi desahanmu bikin aku makin gemes” pujinya.
Aku tak tahu harus menjawab apa, tak mungkin aku berkata jujur didepannya.
“Koh Rudi juga hebat, bisa berturut turut gitu, lama lagi” jawbku klise menghibur
Kubersihkan penis Koh Rudi dengan handuk kecil yang sudah aku siapkan, kurasakan sperma Koh Rudi meleleh keluar dari vaginaku, tak benyak memang tapi membuatku risih, segera kucuci di kamar mandi.
Kubersihkan sekalian tubuhku, dengan air shower yang hangat terasa menyegarkan dan memadamkan kemarahanku, cukup lama aku di kamar mandi hingga tak kusadari Koh Rudi sudah berada di situ memperhatikanku. Aku kaget, secara reflek kututup tubuh telanjangku dengan tangan sebisanya, mau marah, belum pernah seumur umur ada laki laki melihatku mandi meskipun ex-suamiku dulu, tapi aku segera tersadar bahwa dia adalah tamuku, percuma aku menutupi tubuhku, toh dia sudah menikmatinya, dengan senyum terpaksa aku menghilangkan kekagetanku.
“Koh Rudi bikin aku kaget saja” teriakku manja
“Sini aku mandiin” dia menawarkan diri, agak ragu aku menerima tawarannya, belum pernah aku mandi bersama dengan laki laki, meskipun ex-suamiku, kini Koh Rudi yang baru kukenal sejam yang lalu sudah mau mandiin aku, tapi apa dayaku untuk menolak, toh ini untuk kepuasan tamuku juga, aku hanya tersenyum menerima tawarannya.
Koh Rudi mengikutiku ke dalam bathtub, dia menggosok punggungku dengan tangan dan sabun, tangannya kemudian menjelajah ke depan dan meremas buah dadaku, dipeluknya aku dari belakang, kurasakan erotica tersendiri merasakan pelukan dalam licinnya busa sabun. Kubalikkan tubuhku, kini aku menggosok tubuh Koh Rudi dengan sabun, tangannya tak henti menjamah buah dadaku yang masih berbusa sabun, kami kembali berpelukan, kali ini berhadapan, dia menggesek gesekkan tubuhnya di tubuhku, memang ada erotica yang tak kuduga, tak mau terhanyut terlalu lama dalam erotisme ini, kunyalakan air shower menyiram dan membasahi kami berdua, Koh Rudi membalikkan tubuhku dan mendorongku ke dinding, dengan posisi condong begitu, maka pantatku tepat di depan penis Koh Rudi, aku baru menyadari ketika kembali Koh Rudi mengusap usapkan penisnya di tubuhku. Kakiku sedikit dibuka, maka Koh Rudi dengan mudah memasukkan penisnya ke tubuhku dibawah siraman air shower yang hangat, kami bercinta dengan berdiri, pancuran air shower membasahi tubuh kami, baru sekarang kurasakan nikmatnya bercinta, mungkin karena perasaan erotisme saat mandi bersama tadi, kali ini aku mendesah tanpa pura pura, sebenarnya ada sedikit menyesal merasakan nikmat dari Koh Rudi, tapi tak bisa kupungkiri nikmatnya kocokannya sekarang. Kecipuk air mengiringi kocokan kami, perlahan gairahku mulai naik, semakin cepat Koh Rudi mengocokku semakin cepat birahiku naik, tak kuhiraukan air membasahi rambutku, aku konsentrasi pada pencapaian kenikmatan, tangan Koh Rudi kembali menjamah buah dadaku dan meremasnya. Kuimbangi kocokan Koh Rudi dengan goyangan di pantatku, semakin nikmat kurasakan serasa melayang di awing, tapi tiba tiba kurasakan denyutan di vaginaku, ternyata Koh Rudi mendahuluiku mencapai puncak kenikmatan, dia mencengkeram buah dadaku erat, aku tetap menggoyangkan pantat dengan cepat, tak kupedulikan denyutan Koh Rudi di vaginaku, tak kupedulikan teriakan kenikmatan darinya, aku ingin orgasme saat ini, tapi harapan tinggal harapan, ternyata penis Koh Rudi melemas tak lama kemudian sebelum puncak kenikmatan kugapai, dan orgasme semakin menjauh dariku.
Aku kecewa sungguh kecewa, dia tak dapat memberiku kepuasan secuilpun, sesaat kemudian aku tersadar, memang bukan tugas dia untuk memuaskanku, tapi tugaskulah untuk memuaskan dia, jadi tak ada yang salah dalam hal ini, akulah yang terlalu banyak berharap.
Dengan menelan kekecewaan demi kekecewaan aku tetap berusaha tersenyum, kututupi kekecewaanku dengan mencuci penis Koh Rudi, kulihat senyum kepuasan mengembang di wajahnya, aku terpaksa ikut puas melihat kepuasannya.
“baru kali ini aku bercinta sambil mandi, ternyata sungguh nikmat” katanya, aku kaget mendengarnya, ternyata aku dijadikan percobaan olehnya. Kuteruskan mencuci, agak sulit karena harus membuka kulit penutup kepala penisnya, aku masih merasa lucu melihat bentuk penis yang belum disunat.
Sehabis mandi Koh Rudi langsung kembali berpakaian bersiap untuk pulang, aku hanya mengenakan handuk melilit tubuhku, tak terasa hampir dua jam aku menemani dia dengan tiga kali bercinta, aku berharap dia puas dan memberiku tip yang lumayan atas pelayananku atau paling tidak dia akan kembali menjadi pelanggan tetapku.
“tak salah kamu memang primadona si Lok dan kamu memang luar biasa” katanya sebelum meninggalkan kamarku, dia memberiku ciuman di pipi dan pergi.
Aku agak kecewa karena tak ada tip untukku, meski hargaku tinggi tapi kalau dengan tip pasti tak akan aku tolak, mungkin dia merasa sudah membayar mahal atau mungkin aku kurang memberikan servis yang dia inginkan, atau aku kurang memuaskannya, tapi ah siapa peduli, aku sudah berusaha dan dia sudah membayarku mahal untuk pelayanan dan tubuhku.
Aku melanjutkan mandiku yang terpotong, lalu menonton VCD yang belum selesai tadi sambil mengenakan piyama, menunggu order tamu berikutnya, tanpa tahu laki laki macam apalagi yang akan menikmati tubuhku, bagiku yang penting adalah duit dan duit selagi tubuhku masih mempunyai daya jual.

 

 

Sang Ajudan

Sesuai informasi Om Lok, tamuku selanjutnya akan dating sekitar pukul 7 malam, berarti tinggal kurang dari satu jam untuk mempersiapkan diri, sebenarnya tidak ada persiapan khusus yang harus aku lakukan, tetapi setelah bermain beberapa babak dengan Koh Rudi, rasanya aku perlu istirahat lebih lama untuk mengembalikan staminaku, Om Lok hanya berpesan untuk memperlakukan tamuku ini agak istimewa karena dia seorang pejabat dari kalangan tentara, seorang ajudan sang panglima. Dia tidak memberitahuku, Cuma dia mengingatkanku berkali kali untuk menjaga rahasia ini rapat rapat kalau tidak ingin mendapat masalah.
Seperti umumnya seorang tentara dengan disiplin tinggi, lima menit sebelum pukul 7 malam beliau sudah ada di kamarku, aku tidak mengenalnya, orangnya lebih pendek dari aku, berkulit gelap dan berkepala botak, mungkin sudah menjadi suratan nasibku bahwa hari ini aku harus melayani para tamu yang usianya sebaya papaku di kisaran 50 tahun.
Kupanggil beliau Pak Sam, meskipun wajahnya terlihat galak, tapi sikapnya sungguh sopan dan menyenangkan, banyak joke joke yang dia berikan, ini membuat suasana sangat akrab seperti aku sudah lama mengenalnya. Kutemani dia ngobrol di sofa, kami duduk bersebelahan dan saling berhadapan. Sesuai permintaannya, aku hanya mengenakan pakaian tidur sutra semi transparan berwarna putih, sehingga seluruh lekuk sexy tubuhku yang ramping tampak dari balik pakaian tidur sutraku. Bra Biru yang aku pakai sejak tadi pagi untuk kesekian kalinya kembali menghias tubuhku. Aku salut sama Pak Sam, Selama kami berbicara tak kutangkap kerling nakal di matanya menatap tubuh terutama buah dadaku, membuat aku makin terpesona akan kharismanya. Lebih dari lima belas menit kami berdua, tidak terjadi apa apa, bahkan menyentuhkupun tidak apalagi mencium, aku jadi bingung bagaimana harus memulai, dari dua tamuku terdahulu biasanya mereka yang mengambil inisiatif, tapi kali ini lain, terlalu sopan sehingga membuat aku jadi salah tingkah, aku sadar mestinya akulah yang harus memulainya, tapi masih ada rasa malu untuk memulainya.
Berkali kali aku pura pura menyenggolkan buah dadaku ke lengannya, tapi tidak mendapat respon yang aku harapkan, bahkan ketika aku sengaja membungkuk didepannya ketika memberikan minuman, aku yakin dia bias melihat buah dadaku dengan jelas, tapi tak ada tanda tanda untuk memulainya. Akhirnya kuberanikan diri untuk memulainya, secara demonstratif kulepas bra-ku didepannya, tentu saja putingku membayang dibalik baju tidurku, dia hanya memandang dengan sorot mata kagum tidak lebih dari itu, kuberanikan untuk duduk di pangkuannya sambil menempelkan buah dadaku di pundaknya, masih tidak ada respon yang berarti. Aku bertindak lebih jauh lagi, kupeluk kepalanya dan kucium pipi dan bibirnya, barulah dia merespon dengan membalas ciuman bibirku, tangannya sudah mulai mengelus pahaku, terus ke atas ke punggungku, aku tak mau kehilangan momen, kupermainkan lidahku dibibirnya, tangannya sudah mulai menjelajah di sekitar dadaku, dielusnya buah dadaku lalu dia meremas remas ringan.
Aku berdiri di depannya, kulepas celana dalamku, aku yakin dia sudah bisa menikmati tubuh telanjangku dari balik baju tidurku, kutarik Pak Sam berdiri, kutuntun menuju ranjang,  sebelum sampai di ranjang, tiba tiba Pak Sam membopong tubuhku dan merebahkan di ranjang. Dengan agak tergesa Pak Sam melepas baju dan celananya, tinggal celana dalam yang menempel di tubuhnya, sepertinya dia sudah menahan nafsu dari tadi. Aku kaget melihat postur tubuhnya yang begitu padat atletis, tak tampak timbunan lemak di balik kulitnya, Pak Sam langsung berlutut di antara kakiku, aku kira dia akan langsung memasukkan kejantanannya, ternyata aku salah, dia mengusap usap rambut pubic-ku, kubuka lebar kakiku, aku memejamkan mata bersiap menikmati sensasi berikutnya, tiba tiba kurasakan jilatan di vaginaku, kubuka mataku, kulihat kepala Pak Sam sedang berada di antara kakiku hingga tampak botaknya. Lidah Pak Sam terasa menari nari di klitoris dan bibir vaginaku, sungguh nikmat jilatan Pak Sam, tanpa kusadari aku mulai mendesis merasakan nikmatnya pelayanan Pak Sam, kakiku kubuka makin lebar, kutekuk lututku, hingga jari jarinnya menyentuh telinga Pak Sam, jilatan dan permainan mulut Pak Sam semakin lama semakin nikmat kurasakan, aku sudah tak bias mengontrol gerakan kakiku yang kini sudah berada di kepala botak Pak Sam, tak pernah terbayang dalam hidupku kalau aku bias “menginjak” kepala seorang jendral yang selama ini dihormati anak buahnya, dalam keadaan berdua dan posisi seperti ini siapa peduli antara jendral maupun pelacur seperti aku ini.
Pak Sam memasukkan jarinya ke vaginaku, lalu dua jari, belum pernah aku merasakan kocokan dua jari di vagina, ini pengalaman pertamaku, ternyata nikmat juga  apalagi ketika lidahnya mempermainkan klitoris, aku semakin menggelinjang, kakiku semakin tak teratur menjamah kepala botak Pak Sam, kujepit kepalanya dengan pahaku, semakin aku mendesis semakin liar dia mengocok dan menjilat. Pak Sam lalu membalik tubuhku, kini aku nungging, aku pikir dia segera memasukiku dari belakang, ternyata aku salah lagi, dia malah menjilati pantatku, kembali vaginaku mendapat jilatannya, kali ini dari belakang, tanpa kuduga, dia melanjutkan jilatannya di lubang anusku, aku menjerit kaget, belum pernah aku mendapat jilatan di situ, membayangkan pun jauh dari benakku, tapi kurasakan ada kenikmatan tersendiri dari jilatan di lubang anus, apalagi yang menjilati adalah Pak Sam, seorang jendral yang sedang naik daun, tentu menimbulkan kenikmatan dan sensasi tersendiri. Kubiarkan dia menjilati vagina dan anusku bergantian, aku tak peduli selama dia menyukai dan aku menikmati, apa salahnya. Desahanku semakin berani, tak malu lagi aku mendesis dan mendesah di depan Pak Sam, yang kupikirkan hanyalah kenikmatan mendapat permainan lidah dari Pak Sam, padahal dia adalah orang ketiga yang menikmatiku hari ini, mungkin juga ada sisa sperma di vaginaku dari Koh Wi atau Koh Rudi, tapi siapa peduli sepanjang dia mau melakukannya.
Puas bermain di vagina dan anusku, dia lalu telentang di sampingku, dia minta aku naik di atasnya, kupikir dia ingin aku posisi di atas, tapi ternyata lagi lagi aku salah, dia justru minta aku naik di kepalanya, agak bingung aku mengikuti kemauannya, ternyata dia mau menjilati aku dari bawah, aku turuti saja permintaannya. Kini kepala Pak Sam ada di bawahku di selangkanganku, aku mengangkangi kepala sang Jendral, kuatur posisiku seolah jongkok di kepalanya, maka vaginaku terbuka lebar tepat di atas wajah dan mulutnya, kucoba untuk menggoda dia, sifat isengke tiba tiba timbul, kusapukan vaginaku ke seluruh wajahnya, lidahnya menjulur untuk mendapatkan vaginaku, akhirnya dia pegang pantatku dan langsung mengulum bibir vaginaku yang sudah siap di depannya. Kembali lidah Pak Sam menjelajah di vagina dan anusku, aku mengimbangi permainannya dengan menggoyangkan pantatku di atas wajahnya, tangannya mulai ikutan mempermainkan putingku, entahlah mungkin sudah menjadi hobinya untuk menikmati vagina dengan mulutnya. Aku Cuma khawatir dia minta aku melakukan hal yang sama di kejantanannya, cukup lama aku mengangkangi kepala Pak Jendral sebelum akhirnya beliau memintaku turun.
Dia memintaku kembali telentang, kini baru kusadari kalau dia masih mengenakan celana dalamnya, kulepas celana dalamnya hingga tampaklah kejantanannya yang besar tegang kekar menantang, kuraih batang kejantanannya, kukocok, untuk membalas “kebaikannya” kujilat kepala kejantanannya, tapi dia menarik kepalaku, dia nggak mau kukulum penisnya, kebetulan karena aku juga tidak terlalu suka melakukannya.
Kembali aku ditelentangkan di ranjang, kali ini dia langsung menyapukan penisnya ke vaginaku, perlahan mendorong masuk hingga semua melesak ke dalam.
Oh betapa nikmatnya setelah beberapa lama mendapat jilatan, kini mendapatkan penis di vagina, begitu nikmat apalagi ketika Pak Sam mulai mengocok vaginaku, aku mendesah dalam kenikmatan, sekaranglah benar benar kurasakan kenikmatan bercinta dibandingkan dengan tamuku sebelumnya. Pak Sam mengocokku dengan pelan penuh perasaan, berulang kali dia mencium pipiku dengan gemas, sungguh aku diperlakukan seperti layaknya kekasih, dia memandangku dengan sorot mata yang teduh, baru kusadari dialah orang non Chinese pertama yang menikmati kehangatan tubuhku, meski aku bukan orang Chinese tapi ex-suami dan lingkungan pergaulanku adalah Chinese jadi aku sudah menjadi ke-cina cina-an, apalagi postur tubuh dan wajahku yang memang lebih menyerupai Chinese.
Kunikmati kocokan demi kocokan dari Pak Sam, dia mulai meremas buah dadaku, kocokannya makin cepat, aku mengimbangi dengan menggoyangkan pantatku, aku sudah merasakan nikmatnya irama kocokannya membawaku melayang dalam nikmat yang indah, desahku semakin keras, tanpa malu lagi kuminta Pak Sam untuk mempercepat kocokannya. Pak Sam memelukku, kubalas dengan elusan di punggungnya, beliau menciumi leherku yang mulus, aku semakin menggeliat tak karuan apalagi saat dia mengulum telingaku, geli bercampur nikmat menyatu dalam birahiku yang makin terbang tinggi, ketika hampir kugapai puncak kenikmatan, tiba tiba kurasakan tubuh Pak Sam menegang, sedetik kemudian disusul semprotan dan denyutan penis Pak Sam di vaginaku,  terasa menghantam dinding vaginaku, aku teriak menerima semprotan Pak Sam, kudiamkan sesaat, kubiarkan dia menikmati orgasmenya, setelah itu aku mulai menggoyang pantatku lagi untuk mencapai orgasme yang tertunda, tapi aku harus menelan kekecewaan, puncak kenikmatan yang sudah didepan mata terasa makin menjauh, makin lama terasa makin susah digapai, penis Pak Sam makin melemas, aku berusaha lebih keras menggoyangkan pantatku tapi tidak menolong, napas Pak Sam turun naik di atasku, akhirnya aku menyerah harus memendam orgasme, aku sadar bahwa harus mulai membiasakan diri memendam kekecewaan semacam ini, kudorong tubuh Pak Sam turun , kami telentang bersebelahan.
“sorry, aku keluar duluan, kamu belum ya” kata Pak Sam
“nggak apa, toh nanti bias lagi” kataku menghibur, lebih tepatnya menghibur diriku sendiri, sambil membersihkan penis Pak Sam dengan handuk kecil.
Aku ke kamar mandi membersihkan vaginaku dari sperma Pak Sam, aku segera kembali ke ranjang dan langsung tiduran dalam pelukan Pak Sam, terus terang aku menyukai dadanya yang bidang dengan sedikit bulu dada, terlihat atletis, kurebahkan kepalaku di dada Pak Sam sambil memainkan bulu bulu di dadanya. Kutemukan sedikit kehangatan yang selama ini hilang dalam hidupku, entah kenapa.
Kami berpelukan dalam kebisuan, sambil menikmati HBO yang dari tadi kami acuhkan, kupegang dan kupermainkan kejantanannya, kujilati putingnya, tanpa dia sadari aku sudah mulai melancarkan serangan ringan, perlahan tapi pasti penisnya mulai sedikit demi sedikit menegang, kalau sebelumnya aku selalu pasif, kali ini terpaksa aku yang harus aktif.
Kunaiki tubuh kekar Pak Sam, aku tengkurap di atasnya, kuciumi leher dan pipinya sambil menggoyang goyangkan pantatku menggesek gesek kejantanannya, makin lama kurasakan makin keras, hingga kurasa siap untuk melanjutkan babak berikutnya.
Kubimbing penis Pak Sam ke vaginaku, kusapukan di bibirnya lalu kudorong tubuhku ke belakang, masuklah penis itu ke dalam, aku kembali merasakan nikmatnya penis Pak Sam di vaginaku, Pak Sam memelukku erat, dia mengocokku dari bawah, desahanku tepat di telinga beliau, Pak Sam mengocokku makin lama makin cepat, makin nikmat kurasakan. Aku duduk di atas beliau, kini aku pegang peranan, kugoyangkan pantatku, Pak Sam meremas buah dadaku sambil mempermainkan putingku, Pak Sam mengimbangi gerakanku dengan menggoyang pantatnya, kurasakan penisnnya bergerak liar di dalam membuat aku makin mendesah keras. Kucondongkan tubuhku ke depan, buah dadaku tepat di atas wajah Pak Sam, langsung disambut kuluman ringan di putingku tanpa menghentikan remasannya, kugerakkan tubuhku hingga penis Pak Sam sliding keluar masuk vaginaku, kurasakan kenikmatan yang hebat, puncak orgasme sudah hampir kuraih, aku semakin cepat menggerakkan pinggulku, begitu juga Pak Sam, kami berdua seolah berpacu dalam berahi, ternyata Pak Sam lebih cepat, aku terlalu bernafsu mengejar puncak kenikmatan hingga tak kusadari penis Pak Sam yang tiba tiba berdenyut keras, aku teriak kaget terkejut mendapat semprotan itu, tanpa menunggu berhentinya denyutan itu aku terus mempercepat gerakanku untuk mengejar orgasme yang tinggal selangkah lagi, tapi sungguh saying aku harus menelan kekecewan untuk kedua kalinya ketika Pak Sam berulang kali memintaku menghentikan gerakanku, sungguh tidak sopan apabila aku memeksakan kehendakku karena dalam hal ini aku dibayar oleh beliau, dengan menahan kecewa dan marah, aku tak bias berbuat banyak akhirnya menyerah dibawah kekuasaan uang, kuhentikan gerakanku. Kupaksakan tersenyum melihat senyum kepuasan mengembang di wajah Pak Sam, kucium keningnya dan dia menarikku dalam pelukannya, masih bias kurasakan detak jantungnya yang masih kencang, beliau mengelus punggungku mesra, kembali kami terdiam sambil pelukan.
“kamu udah keluar saying ?” Tanya Pak Sam, entah pura pura atau memang tidak tahu
“udah, bapak hebat deh aku teller dibuatnya” jawabku berbohong menyenangkan beliau.
“kalo begitu ntar kita main lagi, bapak masih kuat kok” lanjutnya
“cilaka, kalau terus terusan tidak tuntas seperti ini aku bias darah tinggi” pikirku tapi aku diam saja, hanya tersenyum melihat senyum bangga diwajah Pak Sam.
“oke tapi kasih aku istirahat dulu, habis bapak bikin aku kewalahan sih” jawabku kembali berbohong sambil turun dari tubuhnya dan menuju kamar mandi membersihkan sperma dari vaginaku.
Ketika aku keluar kamar mandi, Pak Sam sudah duduk di sofa, aku duduk disampingnya, kami berdua masih telanjang.
“bagaimana hari pertamamu, cukup menyenangkan ?”Tanya Pak Sam cukup mengagetkanku, rupanya Om Lok memang sedang mempromosikanku.
“ya namanya juga masih baru, jadi harap dimengerti kalau belum terlalu pintar” jawabku sambil bergelayut manja di lengannya, seperti anak kecil yang sedang merajuk bapaknya.
“tapi kamu cukup bagus untuk ukuran pemula, apa lagi ini hari pertamamu”
“terima kasih Pak”
Singkat kata akhirnya kami bercinta lagi, kali ini atas permintaan Pak Sam kami lakukan di sofa. Aku duduk di sofa panjang sementara Pak Sam sudah berlutut di selangkanganku, aku heran beliau senang sekali menjilati vagina, aku sih senang senang saja karena aku memang mulai menikmati jilatan di vaginaku, apalagi aku merasa bias membuat laki laki apalagi seorang Jendral berlutut di antara kaki dan bahkan bias menginjak kepala laki laki bahkan Jendral sekalipun, sungguh kejadian yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
Pak Sam bias bertahan lama menjulurkan lidahnya di sekitar vaginaku, kuberanikan memegang kepala botaknya dan kutekan ke vaginaku supaya dia bias menjilat lebih ke dalam, dia diam saja sambil tetap memainkan lidahnya, aku lebih berani lagi, dengan kedua tanganku, kupegang kepalanya dan kuusap usapkan di vaginaku, tak kuhiraukan lagi bahwa pada kenyataannya dia jendral, tapi sekarang dia sedang berlutut di selangkanganku.
Lidah Pak Sam menari nari di sekitar vaginaku, mulai dari klitoris, vagina, hingga lubang anus, aku mendesah sambil mengelus elus kepala botak Pak Sam, kurasakan sensasi tersendiri ketika mengelus kepala botaknya, aku tahu ketidak sopanan ini, tapi selama beliau tidak keberatan maka aku makin berani “kurang ajar” padanya, apalagi permainan lidah Pak Sam benar benar nikmat.
Pak Sam menyudahi permainan lidahnya, kini berlutut dan menyapukan penisnya di vaginaku, dengan sekali dorong melesaklah kejantanannya ke dalam diiringi teriakan kenikmatan dari mulutku. Tidak seperti sebelumnya, kini Pak Sam langsung mengocokku dengan cepat dan sesekali diselingi hentakan keras ke vaginaku, membuat aku mendesah dan menjerit kenikmatan, tangan Pak Sam sudah berada di dadaku, memainkan putingku, kakiku sudah melingkar di pinggangnya, lidah Pak Sam mulai menjilati leherku, terus turun hingga buah dadaku dan beliau mengulum putingku, aku makin kelojotan dibuatnya. Kocokannya semakin liar kurasakan, iramanya jadi kacau, tapi aku makin menyukainya, membawaku melayang lebih tinggi ke awan kenikmatan.
Pak Sam mengatur posisi duduknya, aku tak tahu apa yang akan dia lakukan, dia memegang tanganku dan menariknya ke pangkuannya. Ini posisi baru bagiku, bercinta dipangkuannya, mulanya agak susah aku mengatur gerakan, karena dengan posisi seperti ini Pak Sam tidak bias bergerak, hanya mengandalkan gerakanku. Dengan agak kikuk aku menggerakkan pinggulku, ternyata ada kenikmatan yang lain, aku semakin berani menggerakkan pantatku lebih cepat, semakin nikmat rasanya hingga aku sudah bias menguasai gerakanku, buah dadaku yang tepat di depan mulut Pak Sam langsung mendapat kuluman penuh gairah dari satu putting ke putting lainnya sambil tangannya tak henti meremas dengan gemas, sesekali dia memainkan putingku.
Kudorong Pak Sam, kini dia telentang di karpet, kembali aku menggoyangkan pantatku di atas beliau. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Pak Sam bias bertahan lebih lama, dia memintaku nungging di kursi, Pak Sam kini mengocokku dari belakang langsung cepat dan keras, hentakannya membuatku menjerit nikmat, sebenarnya ini adalah posisi favoritku dulu, dan kini aku merasa ini adalah posisi yang paling nyaman karena aku tak perlu melihat wajah tamuku yang belum tentu membangkitkan seleraku, aku bias lebih bebas berfantasi dengan siapa aku bercinta, apalagi dari pengalaman hari ini semua tamuku tidak ada yang memenuhi seleraku.
Dengan berpegang pada pinggulku Pak Sam mengocokku dengan cepatnya, lalu beliau memelukku dari belakang, diremasnya buah dadaku yang menggantung bebas, diciuminya tengkukku, aku kegelian bercampur nikmat, semakin keras dia menghentakku semakin aku melambung tinggi, dan terus tinggi hingga kugapai puncak kenikmatan. Aku menjerit histeris, vaginaku berdenyut keras seakan meremas penis Pak Sam, ternyata beliau makin kesetanan mengocokku, teriakanku makin histeris dibuatnya, kuremas sandaran kursi, tak tahan aku menerima kocokannya saat orgasme, hanya menjerit dan menjerit yang bias kulakukan, Pak Sam meremas buah dadaku makin keras. Untunglah tak lama kemudian beliau mengikutiku ke puncak kenikmatan beberapa detik setelah aku, kurasakan penisnya membesar sebelum berdenyut, beliau berteriak histeris dalam kenikmatan, genggamannya di buah dadaku makin kencang hingga melemah seiring dengan berakhirnya denyutan itu. Beliau lalu ambruk di atas punggungku, perlahan lahan penisnya melemas dan keluar dengan sendirinya, kubersihkan dengan tissue.
Kami berdua beristirahat duduk di sofa, napas kami masih memburu dari sisa sisa kenikmatan yang baru kami alami.
“kamu sungguh luar biasa, hebat mau melayaniku tiga kali berturut turut, belum pernah aku bercinta sebanyak ini” puji Pak Sam
“Bapak juga hebat bias bercinta sebanyak itu”
“ini karena kamu yang terlalu sexy, aku selalu terangsang melihatmu telanjang, terlalu hot”
“ah bapak bias saja”
“ingin aku bercinta sepanjang malam”
“ya udah nginap saja, ntar kita habisin malam ini” rayuku, dengan menginap berarti hitungan rupiahnya lebih banyak.
“saying aku nggak bias, besok ada tamu dari Mabes” jawabnya, agak kecewa aku karena tidak bias mendapat tambahan rupiah lebih banyak, aku tak pernah berpikir bagaimana seorang tentara semacam dia bias membayarku sebanyak itu.
“ya kapan dong kesini lagi, jangan lama lama ya” rayuku
“kalau aku nggak bias ntar aku kenalin sama komandanku”
“yang mana ?” tanyaku penasaran
“ntar kamu tahu sendiri”
Akhirnya aku tak bias menahan dia lebih lama lagi, hampir pukul sebelas malam ketika dia meninggalkan kamarku, Pak Sam meninggalkan tip ratusan ribu di meja rias.
Belakangan setelah era reformasi aku mengetahui bahwa Pak Sam bertugas di Jakarta, sebagai Kepala Dinas Penerangan lalu menjadi orang nomer satu di lembaga pendidikan angkatan darat, entah sekarang jabatannya apa. Selamat untuk beliau.
Aku kini sendirian di kamar, baru sekarang kurasakan hampa hidup ini. Kemarin aku masih bias memandang dunia dengan dada membusung, kini aku harus melihat dunia dengan pandangan lain, mungkin orang akan memandangku sebagai sampah, penggoda. Apa peduliku dengan mereka, toh kalau aku susah mereka tak akan membantuku. Yang penting aku tak menggoda mereka, suami mereka, keluarga mereka, anak mereka, justru merekalah yang dating ke tempatku karena membutuhkan pelayanan dariku, membutuhkan kehangatan dariku, membutuhkan petualangan denganku, membutuhkan pelampiasan padaku, membutuhkan variasi bercinta denganku, bahkan membutuhkan apa yang tidak mereka dapatkan di rumah, sekali lagi bukan aku yang menggoda mereka tapi mereka yang mendatangiku. Kucoba memberikan apa yang mereka harapkan, sebaliknya mereka juga memberikan apa yang aku harapkan, yaitu uang sebagai balas jasa atas pelayananku memuaskan dan memenuhi harapan mereka.
Hari ini adalah telah kutulis lembaran sejarah baru bagi perjalanan hidupku, aku sudah menikmati 3 macam penis dari tiga orang yang berbeda, baik gaya bercinta maupun bentuk dan ukuran penis. Bahkan aku sudah berani mempermainkan seorang jendral, membuat sang jendral berlutut diantara kakiku, ada sedikit kebanggaan di hatiku.
Akhirnya dengan keadaan masih telanjang dan sisa sperma Pak Sam di vaginaku aku tertidur untuk menyongsong hari esok yang aku sendiri tidak tahu akan seperti apa, berapa orang lagi yang akan menikmati tubuhku, siapa lagi yang akan membayarku, dan dengan siapa aku akan tidur besok malam.
“I don’t care who you are, where you from, what you do, as long as you love me”
lagu Backstreet Boys yang selalu menyemangati hidupku, menunggu datangnya seorang pangeran yang siap mencium seekor katak untuk menjadi seorang Putri.
========================================
Sebagai seorang wanita penghibur kelas atas, aku harus membiasakan diri untuk menerima segala macam tipe tamu dengan segala keramahan, sesuai kontrakku dengan Om Lok, aku tidak boleh menolak setiap tamu yang dating mencari pelayanan dariku, karena mereka membayar mahal untuk itu. Beruntunglah aku apabila mendapatkan tamu yang sesuai seleraku, tapi itu sangat kecil kemungkinannya.
Kali ini tamuku adalah lagi lagi Chinese seorang promotor tinju terkenal dari Surabaya, bahkan makin terkenal hingga sekarang. Aku memanggilnya Koh Seng, orangnya besar dan gendut, cukup berumur, sekali lagi aku tidak bias memilih orang yang bias bercinta denganku, sejauh mereka bias bayar kenapa tidak ?.
Begitu dia masuk kamar, aku langsung mengenalinya, karena aku penggemar olah raga keras seperti tinju, balap mobil, balap motor dan sejenisnya. Orangnya cukup ramah dan easy going. Tanpa banyak bicara, begitu dia masuk kamar aku langsung menyambut dengan pelukan, tanganku hampir tak dapat melingkar di tubuhnya karena terganjal perutnya, kami berciuman sebentar lalu dia langsung rebah di ranjang. Sambil telentang kami saling bercakap melepas kekakuan dan mencairkan kebekuan suasana, seperti biasa kulakukan pada tamuku yang baru pertama kali ketemu.
Koh Seng mencegahku ketika aku akan membuka gaunku, dia memintaku untuk melakukannya dengan gerakan erotis, mulanya aku menolak halus, tapi setelah di iming imingi tip, aku melakukannya.
Kuputar musik pengiring gerakanku, aku meliuk liuk mengikuti irama musik, perlahan kubuka kancing di depan, tampak belahan bukitku dari balik bajuku, kulepas dan kulemparkan ke wajahnya, dia mencium bajuku dan melemparkannya ke kursi. Selanjutnya dengan gerakan menggoda, kusingkap rok miniku ke atas, hingga tampak paha mulus dan celana dalam merah yang menutupi bagian kewanitaanku, dan terlepaslah rok miniku, kini aku hanya mengenakan bikini. Kudengar suitan kagum setiap kali aku melepas bagian demi bagaian pakaianku. , aku melakukan sebisa yang aku mampu, karena memang belum pernah melihat tarian erotis secara live, hanya kira kira dan mengikuti naluri exotic yang menyelimuti tubuhku.
Kugoda Koh Seng, kudekatkan buah dadaku ke wajahnya tapi ketika dia mau memegang aku menjauh, dia menyelipkan 2 lembar 100 dolar pada tali celana dalam, gerakanku makin erotis dengan melepas bra berenda penutup buah dadaku, kulemparkan ke wajahnya, lalu kututupi dengan bantal.
“yaaa…kok gitu” protesnya karena tak bisa melihat buah dadaku, tak kuhiraukan kekecewaannya, tarianku makin erotis diiringi house music dari VCD, 2 lembar lagi diselipkan ketika kubuka bantal penutup dadaku. Semakin erotik dan menggoda, semakin banyak lembaran dolar yang terselip di celana dalam.
Akhirnya giliran celana dalam mini melayang ke mukanya, dalam keadaan telanjang aku teruskan menari erotis, aku menjauh setiap kali tangan Koh Seng berusaha meraihku, tanpa melepas sepatu, aku naik ranjang, kukangkangi tubuh Koh Seng, menari erotis di atasnya, kubiarkan dia menikmati pemandangan tubuhku terutama bagian kewanitaanku dari bawah, sesekali kukangkangi kepalanya untuk memberikan pandangan yang lebih baik, tapi tak pernah kuijinkan tangannya menjamahku. Dengan tetap berdiri di atasnya, aku membungkuk membuka baju dan celananya, kuberi kesempatan dia untuk menikmati indahnya buah dadaku yang menggantung, ketika aku berhasil melepas baju dan celananya, aku terkejut karena dia sudah tidak memakai celana dalam,”mungkin tidak ada ukuran yang cocok” pikirku.
Alat kejantanannya kelihatan kecil karena tertutup perutnya yang gendut, aku jongkok di antara kakinya, kupegang penis kecilnya yang sudah tegang, kukocok dengan tanganku, sebenarnya sudah cukup keras untuk dimasukkan ke vaginaku, tapi aku ingin memberi dia pelayanan lebih lama, kujilat kepala penisnya, kukulum dan kukocok dengan mulutku sambil tetap menggoyangkan pantat dan tubuhku sesuai irama musik mengalun, dia mulai mendesis, kugeser tubuhku ke sampingnya hingga dia bias menjangkau vaginaku, tangannya langsung bermain di vaginaku. Kunaiku tubuhnya, kini kami dalam posisi 69, agak susah aku berada di atasnya karena perutnya yang terlalu gendut, sebisa mungkin mulutku menjangkau penisnya, kurasakan jilatan lidah pada klitoris dan permainan jari di liang kenikmatanku. Dengan penuh gairah Koh Seng memainkan daerah kewanitaanku, aku hanya bias memegang dan mengocok penisnya, tapi untuk mengulumnya mulutku tidak bias menjangkau karena ganjalan perut buncitnya.
Tahu akan kesulitanku, Koh Seng segera merubah posisi kami, dia minta aku nungging, dan tanpa kesulitan langsung memasukkan penis kecilnya ke liang kenikmatanku. Kocokannya langsung cepat, penisnya dengan mudah meluncur keluar masuk vaginaku.
Terus terang tak kurasakan kenikmatan dalam bercinta ini, apalagi dengan perut buncitnya masih kurasakan menghambat gerakannya, perutnya seringkali mengganjal ke pantatku sehingga cukup susah memasukkan penisnya sedalam mungkin. Apa peduliku, tugasku hanyalah memberikan kepuasan pada dia dan berusaha memberikan pelayanan yang terbaik sesuai dengan rupiah yang dia bayar. Aku mendesis nikmat dalam kepura puraan, entah dia tahu atau tidak. Tangannya meraih buah dadaku yang menggantung, diremasnya dengan gemas. Kami saling menggoyang, Koh Seng menarik rambutku ke belakang, aku kaget tapi kubiarkan sejauh masih bias di tolerir perlakuan kasarnya, itu sudah biasa aku alami dari tamu yang lain.
Pantatku bergerak makin liar mengimbangi kocokannya, tak lama kemudian tubuh Koh Seng kurasakan menegang, rambutku dijambak, disusul dengan denyutan pada penisnya dan kurasaakan cairan hangat menyirami vaginaku, Koh Seng orgasme dengan sedikit teriakan kepuasan.
Kubiarkan sesaat dia menikmati masa pasca orgasme hingga penisnya melemas dan keluar dengan sendirinya. Koh Seng rebah di sampingku dengan napas yang masih turun naik, kubersihkan penisnya dengan tissue lalu aku ikutan rebah di sampingnya, kusandarkan kepalaku di dada dan perutnya yang buncit itu. Tak lama kemudian kurasakan spermanya meleleh keluar dari liang vaginaku, maka aku segera ke kamar mandi mencuci sisa sperma yang masih di vaginaku.

Setelah beristirahat dan berbincang hampir satu jam, kelihatan nafsu Koh Aseng kembali naik, dia mulai menciumi leher dan dadaku, dikulumnya putingku yang dari tadi hanya di raba dan diremas, begitu rakus dia mempermainkan putingku, diremas dan dijilatinya dengan gemas, membuatku mau tak mau ikut terbawa dalam birahi sexual.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, kukocok penisnya dan kutuntun ke vaginaku, dengan sedikit usapan dan dorongan melesaklah penisnya kembali ke vaginaku, dari atas tubuhku dia mengocok penisnya keluar masuk vaginaku. Tubuh tambunnya menindih tubuhku, mulanya tak kurasakan berat karena sebagian masih tertumpu pada lengannya, tapi begitu kocokannya makin cepat dan Koh Seng mulai menciumi leherku, baru kurasakan perut buncitnya menggencet perutku, makin lama makin berat, aku tak kuat lagi menahan beban tubuhnya, napasku jadi sesak,”bias pingsan kalau begini” pikirku.
Dengan halus kudorong tubuhnya, kini dia berlutut mengocokku, kakiku dipegang dan dibuka lebar, baru sekarang kurasakan gerakan dia tidak terganggu perut buncitnya, tapi aku tahu dia kesulitan berlutut seperti itu, tapi gerakannya mulai normal mengocokku, sedikit kurasakan kenikmatan kocokannya. Terus terang aku nggak punya ide bagaimana memberikan pelayanan sex yang maximal pada tamuku yang buncit seperti dia, kubiarkan dia melakukan improvisasi sendiri, sejauh tidak menyakiti aku, maka kubiarkan saja, untunglah sepertinya Koh Seng seperti terbiasa dan tahu bagaimana bercinta dengan kondisi tubuh seperti itu.
Kuminta Koh Seng telentang, aku ingin posisi di atas, kumasukkan penisnya ke vaginaku dan langsung kugoyang pinggulku, kurasakan lebih baik dengan posisi seperti ini, aku bias lebih bebas bergerak baik memutar maupun turun naik, terkadang tubuhku kucondongkan ke belakang bertumpu pada kakinya untuk memberikan yang lebih baik. Kulihat expresi kepuasan di wajah Koh Seng dengan improvisasiku, aku makin bergairah menggoyangnya meskipun sedikit kurasakan kenikmatan, tak lama kemudian usahaku membuahkan hasil ketika kudengar teriakan orgasme darinya disusul dengan semprotan sperma dan kurasakan cairan hangat membasahi vaginaku. Kutelungkupkan tubuhku di atas tubuh Koh Seng, dipeluknya aku, meski terganjal perutnya kami berusaha saling mendekap hingga kurasakan degup jantung dan napasnya yang turun naik, rambutku dibelainya dengan halus dan mesra.
Dia banyak berbicara mengenai dunia pertinjuan di tanah air, rencana rencana besarnya (sebagian besar terlaksana setelah adanya reformasi dan anda bisa saksikan sekarang bagaimana kiprahnya di dunia tinju tanah air, tapi aku sudah mengetahuinya beberapa tahun yang lalu). Karena aku juga penggemar tinju, maka pembicaraan kita bisa nyambung meskipun levelku hanya mengenal Mike Tyson, Holyfield, Oscar de La Hoya, Chaves maupun Kaseem “Prince” Ahmed, atau yang seperti mereka, tak satupun petinju lokal yang kukenal selain Elyas Pical yang sudah hilang dari peredaran.

Setengah jam berlalu, saatnya untuk mulai babak kedua, sebenarnya dia sudah puas dengan sekali main, tapi mengingat dia sudah memberiku tip yang lumayan banyak akupun harus memberikan pelayanan yang setimpal.
Aku jongkok di antara kakinya ketika dia duduk di sofa, kupermainkan kejantanannya dengan lidahku, dia mulai mendesah, kukulum dan kukocok dengan mulutku, desahnya makin keras, dan tak lama kemudian menyemprotlah sperma yang tidak terlalu banyak ke wajahku, entahlah tak ada rasa jijik ketika wajahku terkena spermanya. Aku hanya tersenyum sambil mengusap usapkan kejantanannya yang mulai melemah ke mukaku, sungguh puas melihat kepuasan di wajahnya, yang berarti akan ada tambahan tip bagiku.

Hanya sekali kami bercinta dan sekali permainan oral, dia memberikan tip yang lumayan gede, kutunjukkan expresi kegembiraanku selama melayaninya apalagi dengan tip sebesar itu, kami berciuman di depan pintu kamar dan pergilah dia, entah kapan dia akan kembali lagi.

Dalam satu bulan aku “buka praktek” di hotel, sudah tiga kali dia dating, dan tiap kali dating kami hanya bercinta sekali plus sekali oral, mungkin karena staminanya yang tidak memungkinkan.
 ==============================================
Hari Minggu seperti biasa adalah hari yang tidak sibuk, tidak banyak tamu yang datang di hari itu, maklum sebagian besar dari mereka lebih banyak dihabiskan bersama keluarga, kecuali mereka yang lagi sedang dinas keluar kota. Hari biasa kuterima rata rata 3-4 tamu tapi kalo di Hari Minggu paling banyak 2 tamu, malah terkadang hanya satu. Selama aku tinggal di hotel tak pernah kulewatkan hari tanpa tamu, tiada hari tanpa tamu. Entah itu karena kepintaran “marketing” Om Lok atau karena kepintaranku melayani tamu, aku tak tahu, tapi sesepi apapun pasti selalu ada laki laki yang memerlukan pelayanan dan kehangatan tubuhku.
Jarum jam baru menunjukkan pukul 7:38 pagi, aku masih terlelap dalam tidur, kemarin tenagaku habis terkuras dengan banyaknya tamu yang memerlukanku, 5 tamu yang datang secara beruntun sejak pagi, hanya berselang tak lebih dari 45 menit tamu berikutnya sudah nongol di depan pintu kamar, benar benar hari yang melelahkan dan baru tidur hampir pukul 3 dinihari.
Telepon berbunyi, biasanya Om Lok membawakan masakan kesukaanku saat Hari Minggu seperti ini sambil menemaniku ngobrol dengan keluarganya, mungkin karena aku primadona yang menjadi andalan (tepatnya sapi perahan) utama maka dia memperlakukanku dengan agak istimewa. Ternyata kali ini dia tidak datang, malahan berpesan akan ada tamu pagi ini, sekitar jam 9 dia akan datang. Mataku masih berat, tubuhku terasa habis memikul beban berat, capek semua rasanya, tulangku seakan copot. Sebenarnya aku berencana memanggil Massage Service yang ada di hotel pagi itu, tapi keduluan instruksi dari Om Lok, dan seperti biasanya aku tak mungkin menolak.
Ingin kulanjutkan tidurku tapi aku takut kebabalasan, biasanya kalo Minggu begini aku memang bangun telat terkadang jam 10 bahkan jam 11, toh biasanya tamu akan datang setelah jam 12 atau bahkan sore.
Sambil ngedumel menahan kantuk yang masih bergelayut aku mandi, kurendam tubuhku dalam air hangat di bathtub, terasa nyaman. Pelarianku dalam capek adalah berendam di air panas, bisa lebih 30 menit kulakukan itu, kali ini aku ingin berendam lebih lama sambil mencoba aroma therapy rempah rempah yang diberi tamuku kemarin.
Pukul 9:50 ternyata tamuku sudah datang, diluar dugaanku ternyata orangnya relativ masih muda, tak lebih 40 tahun, penampilan simpatik dan cukup ganteng dibanding tamu lainnya. Aku terpesona akan penampilannya, beruntunglah aku hari ini, teriak hatiku, langsung hilang rasa capek yang masih menggelayutiku. Namanya Hari, aku tak tahu apakah dia chinesse atau bukan, karena kulitnya yang kecoklatan tapi matanya sipit, tapi kini aku tak peduli lagi siapa tamuku.
Karena masih pagi, kami tidak terburu buru, bahkan masih sempat makan pagi bersama di kamar, kulayani dia sarapan seperti layaknya seorang istri yang melayani suaminya di meja makan, aku begitu antusias karena teringat saat saat indah dulu, suatu rutinitas membosankan saat itu tapi sungguh terasa mambahagiakan kalau aku mengingatnya. Sudah lama aku tak melayani makan pagi seperti ini, ada kesenangan tersendiri bagiku dan ini membawaku terpengaruh suasana pagi yang ceria itu, meski yang kulayani sarapan pagi itu bukan suamiku, bahkan baru satu jam yang lalu kukenal.
Hampir satu jam kami melakukan acara makan dilanjutkan bersantai sambil nonton Doraemon, acara anak anak kesukaanku, karena berarti itu adalah hari minggu, dimana kebanyakan orang berkumpul bersama keluarga, terkadang aku menangis sendirian sambil nonton acara itu, teringat begitu ramai dengan anak anak tetangga kalau Doraemon sudah main.
Kuminta room boy membersihkan meja kamarku, mereka sudah mengenalku, makanya agak terheran ketika melihatku dengan seorang laki laki sepagi ini karena tak pernah ada tamu yang menginap di kamarku, tentu saja tak berani dia mengatakannya.
Sambil nonton kami duduk di sofa yang entah sudah berapa puluh kali kupakai bercinta, kami memang sangat santai saat itu, kukenakan celana pendek dan T-shirt putih snoopy, seperti dulu kalo aku di rumah, sungguh suasananya tidak seperti sedang bekerja, tapi seperti sedang berlibur di hotel bersama suami atau pacar, bahkan kubiarkan rambutku yang masih basah, sengaja tak kukeringkan.
Kusajikan snack seadanya yang ada di kamar dan kubikinkan kopi, sesekali kusuapkan ke mulutnya, aku terbawa suasana santai yang mengharukan. Perlahan tapi pasti tangan Hari sudah mulai menjamah tubuhku, paha, punggung dan tubuh lainnya, tapi masih dalam batas normal seperti orang pacaran.
Ketika Doraemon sudah habis, dia mulai mencium pipiku, entah kenapa tiba tiba aku merinding dibuatnya, kutoleh dia dan dibalas dengan senyuman manis, dia mengangkat daguku, dipandangnya dalam dalam, dengan lembut bibirnya menyentuh bibirku, mesra sekali dia melumat bibirku, tiba tiba jantungku berdetak kencang, kurasakan sentuhan yang lain saat bibir kami beradu, begitu pula saat lidah kami saling menyapa lembut.
Pagi itu suasana hatiku begitu gembira, terlupa sudah capek semalam, tanganku mulai meraba raba pahanya, begitu juga rabaan tangan Hari sudah sampai ke dadaku, dia mengelus mesra buah dadaku sambil kami tetap berciuman.
Tak lama kemudian dia melepas kaos yang kupakai, dipandanginya dadaku yang masih terbungkus bra putih, bra polos biasa yang tidak biasa kupakai kalau lagi terima tamu.
“Kamu cantik deh meski tanpa make up” pujinya lalu kembali menciumi pipi dan bibirku seraya memulai remasannya di dadaku. Tanganku mengimbangi remasannya pada selangkangan, sudah tegang, kubuka sabuk dan reslitingnya, kususupkan tanganku ke dalam celana dalamnya dan kuremas remas kejantanannya, dia mendesah sambil menciumi leherku.
Kami saling melucuti pakaian sambil tetap berciuman, sepuluh menit kemudian kami sudah sama sama telanjang, kembali pujian keluar darinya, aku hanya tersenyum dengan sedikit bangga meski aku tak tahu apakah itu pujian tulus atau sekedar basa basi.
Hari membopongku dan merebahkan ke ranjang, dilepasnya satu satunya penutup tubuhku, kusambut ciuman dan cumbuannya yang penuh kemesraan, tangannya mulai mempermainkan klitorisku ketika mulutnya mengulum liar putingku, aku mendesah nikmat. Ciumannya turun ke perut diteruskan ke selangkangan, dia tidak langsung ke vaginaku tapi justru menciumi paha dan sekitar selangkangan, aku makin mendesah terbakar birahi, jeritku akhirnya keluar tak tertahankan ketika lidahnya menyentuh klitorisku, terasa nikmat sekali, apalagi ketika lidah itu menari nari menyusuri vagina, melayang aku dibuatnya, tak sadar kuremas remas rambutnya.
Aku tak tahan lebih lama lagi, kuminta ber-69 dengan begitu kami bisa saling memberi kenikmatan, hampir aku orgasme duluan kalau saja tidak dihentikan. Dia memandangku dengan senyum puas karena berhasil mempermainkan dan membawaku terbang melayang. Aku sudah telentang menantinya, siap untuk melayani kemauannya, kali ini dengan senang hati, bukan seperti biasanya saat melayani tamu. Kusambut dan kupeluk tubuhnya ketika dia mulai menindihku, ciumannya mendarat di bibirku, sambil saling melumat dia menyapukan kepala penisnya ke vaginaku yang basah.
Aku mendesah tertahan saat penisnya menguak liang kenikmatanku, suatu kenikmatan menjalar dari vagina ke seluruh tubuhku, aku menegang sesaat merasakan kenikmatan itu, dan semakin nikmat dikala Hari mulai mengocok perlahan penuh perasaan diiringi ciuman mesra, semakin cepat membawaku melayang tinggi. Kujepitkan kakiku ke punggungnya, penisnya semakin dalam mengisi relung vaginaku, meski tidaklah terlalu besar tapi terasa begitu memenuhi ruangan kenikmatan tubuhku, aku mendesah lepas disaat kocokannya makin cepat. Kupeluk erat tubuhnya, apalagi ketika dia menjilati telingaku, aku menggelinjang geli dan nikmat, semakin erat pelukanku.
Kakiku diangkat ke pundaknya, lebih dalam lagi penisnya menyodok, aku menjerit dalam kenikmatan yang tak bisa kugambarkan, terlalu indah permainan pagi ini hingga aku merengkuh puncak kenikmatan begitu cepat. Jerit kenikmatanku mengiringi denyutan otot vagina yang meremas penis Hari, dia menatapku tajam seakan menikmati expresi kenikmatan dari wajahku, malu juga aku dibuatnya, tapi dia hanya tersenyum melihatku orgasme.
Tanpa memberi istirahat Hari membalik tubuhku, kuperhatikan dia memasangkan kondom yang bentuknya aneh, tapi tak kuperhatikan lebih lanjut karena dia sudah melesakkan penisnya kembali, kurasakan kenikmatan yang lain dari kondom itu, entah kondom macam apa yang dipakai, bagiku semakin nikmat saja. Kami melakukannya dengan posisi dogie, posisi favoritku biasanya, tapi dengan Hari aku membenci posisi ini karena tidak bisa melihat wajah tampannya, sodokan Hari makin keras mengaduk aduk vaginaku, sungguh luar biasa pengaruh kondom itu terhadapku, antara geli, nikmat, sakit tapi semua bercampur menjadi desah dan jerit kenikmatanku.
Semakin keras aku mendesah semakin keras pula dia menyodokku, dan tak lama kemudian akupun mencapai puncak kenikmatan yang kedua kalinya dipagi itu. Jeritan kenikmatanku tak menghentikan kocokannya, justru semakin cepat dan liar gerakannya, maka akupun dengan cepat segera naik kembali menuju puncak kenikmatan. Belum setengah jam kami bercinta tapi aku sudah orgasme dua kali, sementara tamuku belum menunjukkan tanda tanda orgasme, malu aku untuk minta istirahat lagi, kutahan kenikmatan demi kenikmatan, dan orgasme lainnya menyusul tak lama kemudian.
Melihat aku kewalahan menghadapinya akhirnya dia memberiku istirahat lagi setelah hampir 45 menit mengocokku.
“Ih, kamu kuat banget deh, ampun aku” komentarku, dia hanya tersenyum tak menjawab.
Aku telentang mengatur napasku yang masih turun naik menderu, sendiku terasa ngilu.
“Kamu marah nggak kalo aku pakai tali?” tanyanya dengan ragu
“Maksudnya?”
“Kamu kuikat di ranjang, kalau kamu nggak keberatan sih, tapi kalo kamu nggak mau ya nggak maksa kok” jawabnya memelas.
Hampir saja emosiku naik, marah aku dibuatnya, permintaannya aneh bagiku, tapi karena dia minta dengan memelas begitu, apalagi dia telah memberiku kepuasan demi kepuasan, rasanya tak tega aku menolaknya, toh tak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru, tanpa menjawab aku langsung telentang dengan tangan dan kaki terbuka.
Kulihat wajahnya bersinar gembira, segera dia mengambil traveling bag yang tadi dia bawa, dikeluarkannya tali atau lebih tepatnya kain yang dipilin menyerupai tali, mungkin supaya tidak melukai kulit, dengan cekatan dia mengikat kedua tangan dan kakiku ke ke empat kaki ranjang.Hari Minggu seperti biasa adalah hari yang tidak sibuk, tidak banyak tamu yang datang di hari itu, maklum sebagian besar dari mereka lebih banyak dihabiskan bersama keluarga, kecuali mereka yang lagi sedang dinas keluar kota. Hari biasa kuterima rata rata 3-4 tamu tapi kalo di Hari Minggu paling banyak 2 tamu, malah terkadang hanya satu. Selama aku tinggal di hotel tak pernah kulewatkan hari tanpa tamu, tiada hari tanpa tamu. Entah itu karena kepintaran “marketing” Om Lok atau karena kepintaranku melayani tamu, aku tak tahu, tapi sesepi apapun pasti selalu ada laki laki yang memerlukan pelayanan dan kehangatan tubuhku.
Jarum jam baru menunjukkan pukul 7:38 pagi, aku masih terlelap dalam tidur, kemarin tenagaku habis terkuras dengan banyaknya tamu yang memerlukanku, 5 tamu yang datang secara beruntun sejak pagi, hanya berselang tak lebih dari 45 menit tamu berikutnya sudah nongol di depan pintu kamar, benar benar hari yang melelahkan dan baru tidur hampir pukul 3 dinihari.
Telepon berbunyi, biasanya Om Lok membawakan masakan kesukaanku saat Hari Minggu seperti ini sambil menemaniku ngobrol dengan keluarganya, mungkin karena aku primadona yang menjadi andalan (tepatnya sapi perahan) utama maka dia memperlakukanku dengan agak istimewa. Ternyata kali ini dia tidak datang, malahan berpesan akan ada tamu pagi ini, sekitar jam 9 dia akan datang. Mataku masih berat, tubuhku terasa habis memikul beban berat, capek semua rasanya, tulangku seakan copot. Sebenarnya aku berencana memanggil Massage Service yang ada di hotel pagi itu, tapi keduluan instruksi dari Om Lok, dan seperti biasanya aku tak mungkin menolak.
Ingin kulanjutkan tidurku tapi aku takut kebabalasan, biasanya kalo Minggu begini aku memang bangun telat terkadang jam 10 bahkan jam 11, toh biasanya tamu akan datang setelah jam 12 atau bahkan sore.
Sambil ngedumel menahan kantuk yang masih bergelayut aku mandi, kurendam tubuhku dalam air hangat di bathtub, terasa nyaman. Pelarianku dalam capek adalah berendam di air panas, bisa lebih 30 menit kulakukan itu, kali ini aku ingin berendam lebih lama sambil mencoba aroma therapy rempah rempah yang diberi tamuku kemarin.
Pukul 9:50 ternyata tamuku sudah datang, diluar dugaanku ternyata orangnya relativ masih muda, tak lebih 40 tahun, penampilan simpatik dan cukup ganteng dibanding tamu lainnya. Aku terpesona akan penampilannya, beruntunglah aku hari ini, teriak hatiku, langsung hilang rasa capek yang masih menggelayutiku. Namanya Hari, aku tak tahu apakah dia chinesse atau bukan, karena kulitnya yang kecoklatan tapi matanya sipit, tapi kini aku tak peduli lagi siapa tamuku.
Karena masih pagi, kami tidak terburu buru, bahkan masih sempat makan pagi bersama di kamar, kulayani dia sarapan seperti layaknya seorang istri yang melayani suaminya di meja makan, aku begitu antusias karena teringat saat saat indah dulu, suatu rutinitas membosankan saat itu tapi sungguh terasa mambahagiakan kalau aku mengingatnya. Sudah lama aku tak melayani makan pagi seperti ini, ada kesenangan tersendiri bagiku dan ini membawaku terpengaruh suasana pagi yang ceria itu, meski yang kulayani sarapan pagi itu bukan suamiku, bahkan baru satu jam yang lalu kukenal.
Hampir satu jam kami melakukan acara makan dilanjutkan bersantai sambil nonton Doraemon, acara anak anak kesukaanku, karena berarti itu adalah hari minggu, dimana kebanyakan orang berkumpul bersama keluarga, terkadang aku menangis sendirian sambil nonton acara itu, teringat begitu ramai dengan anak anak tetangga kalau Doraemon sudah main.
Kuminta room boy membersihkan meja kamarku, mereka sudah mengenalku, makanya agak terheran ketika melihatku dengan seorang laki laki sepagi ini karena tak pernah ada tamu yang menginap di kamarku, tentu saja tak berani dia mengatakannya.
Sambil nonton kami duduk di sofa yang entah sudah berapa puluh kali kupakai bercinta, kami memang sangat santai saat itu, kukenakan celana pendek dan T-shirt putih snoopy, seperti dulu kalo aku di rumah, sungguh suasananya tidak seperti sedang bekerja, tapi seperti sedang berlibur di hotel bersama suami atau pacar, bahkan kubiarkan rambutku yang masih basah, sengaja tak kukeringkan.
Kusajikan snack seadanya yang ada di kamar dan kubikinkan kopi, sesekali kusuapkan ke mulutnya, aku terbawa suasana santai yang mengharukan. Perlahan tapi pasti tangan Hari sudah mulai menjamah tubuhku, paha, punggung dan tubuh lainnya, tapi masih dalam batas normal seperti orang pacaran.
Ketika Doraemon sudah habis, dia mulai mencium pipiku, entah kenapa tiba tiba aku merinding dibuatnya, kutoleh dia dan dibalas dengan senyuman manis, dia mengangkat daguku, dipandangnya dalam dalam, dengan lembut bibirnya menyentuh bibirku, mesra sekali dia melumat bibirku, tiba tiba jantungku berdetak kencang, kurasakan sentuhan yang lain saat bibir kami beradu, begitu pula saat lidah kami saling menyapa lembut.
Pagi itu suasana hatiku begitu gembira, terlupa sudah capek semalam, tanganku mulai meraba raba pahanya, begitu juga rabaan tangan Hari sudah sampai ke dadaku, dia mengelus mesra buah dadaku sambil kami tetap berciuman.
Tak lama kemudian dia melepas kaos yang kupakai, dipandanginya dadaku yang masih terbungkus bra putih, bra polos biasa yang tidak biasa kupakai kalau lagi terima tamu.
“Kamu cantik deh meski tanpa make up” pujinya lalu kembali menciumi pipi dan bibirku seraya memulai remasannya di dadaku. Tanganku mengimbangi remasannya pada selangkangan, sudah tegang, kubuka sabuk dan reslitingnya, kususupkan tanganku ke dalam celana dalamnya dan kuremas remas kejantanannya, dia mendesah sambil menciumi leherku.
Kami saling melucuti pakaian sambil tetap berciuman, sepuluh menit kemudian kami sudah sama sama telanjang, kembali pujian keluar darinya, aku hanya tersenyum dengan sedikit bangga meski aku tak tahu apakah itu pujian tulus atau sekedar basa basi.
Hari membopongku dan merebahkan ke ranjang, dilepasnya satu satunya penutup tubuhku, kusambut ciuman dan cumbuannya yang penuh kemesraan, tangannya mulai mempermainkan klitorisku ketika mulutnya mengulum liar putingku, aku mendesah nikmat. Ciumannya turun ke perut diteruskan ke selangkangan, dia tidak langsung ke vaginaku tapi justru menciumi paha dan sekitar selangkangan, aku makin mendesah terbakar birahi, jeritku akhirnya keluar tak tertahankan ketika lidahnya menyentuh klitorisku, terasa nikmat sekali, apalagi ketika lidah itu menari nari menyusuri vagina, melayang aku dibuatnya, tak sadar kuremas remas rambutnya.
Aku tak tahan lebih lama lagi, kuminta ber-69 dengan begitu kami bisa saling memberi kenikmatan, hampir aku orgasme duluan kalau saja tidak dihentikan. Dia memandangku dengan senyum puas karena berhasil mempermainkan dan membawaku terbang melayang. Aku sudah telentang menantinya, siap untuk melayani kemauannya, kali ini dengan senang hati, bukan seperti biasanya saat melayani tamu. Kusambut dan kupeluk tubuhnya ketika dia mulai menindihku, ciumannya mendarat di bibirku, sambil saling melumat dia menyapukan kepala penisnya ke vaginaku yang basah.
Aku mendesah tertahan saat penisnya menguak liang kenikmatanku, suatu kenikmatan menjalar dari vagina ke seluruh tubuhku, aku menegang sesaat merasakan kenikmatan itu, dan semakin nikmat dikala Hari mulai mengocok perlahan penuh perasaan diiringi ciuman mesra, semakin cepat membawaku melayang tinggi. Kujepitkan kakiku ke punggungnya, penisnya semakin dalam mengisi relung vaginaku, meski tidaklah terlalu besar tapi terasa begitu memenuhi ruangan kenikmatan tubuhku, aku mendesah lepas disaat kocokannya makin cepat. Kupeluk erat tubuhnya, apalagi ketika dia menjilati telingaku, aku menggelinjang geli dan nikmat, semakin erat pelukanku.
Kakiku diangkat ke pundaknya, lebih dalam lagi penisnya menyodok, aku menjerit dalam kenikmatan yang tak bisa kugambarkan, terlalu indah permainan pagi ini hingga aku merengkuh puncak kenikmatan begitu cepat. Jerit kenikmatanku mengiringi denyutan otot vagina yang meremas penis Hari, dia menatapku tajam seakan menikmati expresi kenikmatan dari wajahku, malu juga aku dibuatnya, tapi dia hanya tersenyum melihatku orgasme.
Tanpa memberi istirahat Hari membalik tubuhku, kuperhatikan dia memasangkan kondom yang bentuknya aneh, tapi tak kuperhatikan lebih lanjut karena dia sudah melesakkan penisnya kembali, kurasakan kenikmatan yang lain dari kondom itu, entah kondom macam apa yang dipakai, bagiku semakin nikmat saja. Kami melakukannya dengan posisi dogie, posisi favoritku biasanya, tapi dengan Hari aku membenci posisi ini karena tidak bisa melihat wajah tampannya, sodokan Hari makin keras mengaduk aduk vaginaku, sungguh luar biasa pengaruh kondom itu terhadapku, antara geli, nikmat, sakit tapi semua bercampur menjadi desah dan jerit kenikmatanku.
Semakin keras aku mendesah semakin keras pula dia menyodokku, dan tak lama kemudian akupun mencapai puncak kenikmatan yang kedua kalinya dipagi itu. Jeritan kenikmatanku tak menghentikan kocokannya, justru semakin cepat dan liar gerakannya, maka akupun dengan cepat segera naik kembali menuju puncak kenikmatan. Belum setengah jam kami bercinta tapi aku sudah orgasme dua kali, sementara tamuku belum menunjukkan tanda tanda orgasme, malu aku untuk minta istirahat lagi, kutahan kenikmatan demi kenikmatan, dan orgasme lainnya menyusul tak lama kemudian.
Melihat aku kewalahan menghadapinya akhirnya dia memberiku istirahat lagi setelah hampir 45 menit mengocokku.
“Ih, kamu kuat banget deh, ampun aku” komentarku, dia hanya tersenyum tak menjawab.
Aku telentang mengatur napasku yang masih turun naik menderu, sendiku terasa ngilu.
“Kamu marah nggak kalo aku pakai tali?” tanyanya dengan ragu
“Maksudnya?”
“Kamu kuikat di ranjang, kalau kamu nggak keberatan sih, tapi kalo kamu nggak mau ya nggak maksa kok” jawabnya memelas.
Hampir saja emosiku naik, marah aku dibuatnya, permintaannya aneh bagiku, tapi karena dia minta dengan memelas begitu, apalagi dia telah memberiku kepuasan demi kepuasan, rasanya tak tega aku menolaknya, toh tak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru, tanpa menjawab aku langsung telentang dengan tangan dan kaki terbuka.
Kulihat wajahnya bersinar gembira, segera dia mengambil traveling bag yang tadi dia bawa, dikeluarkannya tali atau lebih tepatnya kain yang dipilin menyerupai tali, mungkin supaya tidak melukai kulit, dengan cekatan dia mengikat kedua tangan dan kakiku ke ke empat kaki ranjang.
Kini aku dalam posisi terikat tak berdaya telentang di ranjang, sungguh pengalaman baru bagiku merasakan ketidakberdayaan dihadapan laki laki yang belum kukenal lama. Dalam posisi terikat kembali Hari menjamah seluruh tubuhku, diciuminya pipi dan bibirku, menjelajahi seluruh tubuhku, lalu dia mengulum dan menyedot putingku, aku hanya bisa mendesah dan menggeliat nikmat, tak bisa membalas dengan pelukan atau lainnya, tak terasa dengan tidak berdaya seperti ini ada sensasi tersendiri, suatu sensasi dan kenikmatan yang tak terbayangkan sebelumnya, antara nikmat dan takut.
Kepala Hari sudah berada di selangkanganku, kunaikkan pinggulku, dengan liarnya jilatannya menyusuri vaginaku, diselingi dengan kocokan dua jari, aku makin mendesah dan menggeliat tanpa bisa berbuat apa apa, tapi anehnya justru aku merasakan sensasi yang lain yang belum pernah kurasakan. Dia kembali menindihku, dengan sekali dorong masuklah penisnya menembus vaginaku dan dikocoknya dengan cepat. Tubuhku dipeluk erat meski aku tak bisa membalas pelukannya, hanya desah kenikmatan yang bisa kuperbuat.
“Suka?” bisiknya di telingaku, malu menjawab karena memang aku malai menyukai permainan ini, tapi dia medesakku sambil mengocokku makin keras.
“Bilang suka apa nggak? atau kulepaskan saja talinya”, kocokannya sudah menyodok rahimku semakin dalam dan semakin cepat. Sesaat aku tak bisa menjawab ya atau tidak, aku terlalu terhanyut dalam permainan baru, dia mendesakku terus sambil mempercepat kocokannya.
“Aaahh.. jangan.. jangaan.. jangan dilepas” hampir tak percaya kuucapkan itu ketika dia menghentikan kocokannya dan hendak melepas ikatan.
“OK, let’s the game begin”, katanya lalu dengan kasar dia mencabut penisnya, meninggalkanku yang terikat terbakar birahi setengah jalan menuju puncak kenikmatan, dia mengambil sesuatu dari tasnya.
Aku terkaget ketika dia menunjukkan dildo berwarna hitam legam menyerupai penis dengan accessories di pangkalnya, ukurannya sedikit lebih besar dari rata rata ukuran sebenarnya, tapi bentuknya mengerikan.
“Koh, apaan itu, jangan ah” setengah teriak aku mencegahnya
“Nggak apa, toh tidak lebih besar dari yang aslinya” hiburnya sambil mengusap usapkan ke vaginaku.
“Jangan Koh, aahh.. pakai asli ajaa.. aku.. aku.. nggak .. pernah me.. melakukannyaa.. aahh” protes bercampur desah setelah sebagian dildo itu memasuki vaginaku, jauh lebih besar dari perkiraanku, vaginaku terasa penuh.
“Coba dulu deh.. enak nggak”, bujuknya sambil perlahan memasukkan dildo makin dalam, aku menggeliat, ada rasa nikmat yang aneh kurasakan.
“Aaagghh.. sszz.. oouuww”, suatu kenikmatan tersendiri, terasa aneh tapi sungguh nikmat apalagi ketika dia memutar dildo itu, tak pernah kurasakan sebelumnya, lagian mana ada penis yang bisa berputar, aku menjerit nikmat, dia mulai mengocokkan dildonya, accessories pada pangkal dildo mengenai sisi vaginaku yang lain menambah kenikmatan tersendiri, jeritanku makin keras, tubuhku menggeliat tak karuan dengan tangan terikat seperti ini.
“Sekarang rasakan kenikmatan yang sesungguhnya” katanya, sedetik kemudian kurasakan dildo itu bergetar, kontan saja aku menjerit kaget, kupelototi Hari yang menikmati expresi aneh wajahku, antara kaget, sakit, nikmat, tidak berdaya bercampur menjadi satu, tubuhku kelojotan seperti cacing kepanasan ditambah lagi dengan ikatan di kaki dan tanganku sungguh suatu siksaan kenikmatan tersendiri, tak pernah kurasakan kegelian pada vaginaku seperti ini.
“Koh, pleaassee.. tolong lepaskan aku.. pleaasessee”, desah dan teriak bercampur permohonan, permohonan untuk melepaskan ikatan bukan untuk menghentikan dildonya karena memang terasa nikmat yang aneh, aku menggeliat geliat tak karuan, tak bisa berbuat apa.
Sepertinya Hari menikmati geliat tak berdayaku, kulihat sambil mengocok dildo getarnya dia meremas remas sendiri penisnya, sebenarnya bisa aja aku teriak keras minta tolong agar orang diluar kamar dengar, tapi ini sekedar permainan, permainan yang aku sendiri tak tahu harus menerima, menikmati atau menolak. Aku tidak disakiti secara fisik, tapi penyiksaan dalam bentuk lain, suatu penyiksaan sexual, tak tahu harus bagaimana aku menyikapinya, dan tak sempat aku berpikir bagaimana menyikapinya karena dildo itu begitu liar bergerak nikmat di vaginaku.
Ditinggalkannya dildo itu bergetar di vaginaku, dia berdiri mengangkangiku sambil mengocok penisnya dengan tangannya, wajahnya tajam menatapku yang sedang kelocotan merasakan dildo yang bergetar mengaduk vaginaku.
Desahanku sudah berubah menjadi jeritan yang aku sendiri tak bisa mengartikan apakah jeritan protes, marah atau nikmat.
Sepertinya dia menikmati ekspresi wajahku yang tidak berdaya, cairan penisnya mulai menetes di dadaku, geliatku makin tak beraturan, makin cepat dia mengocok penisnya dan.. dan.. menyemburlah spermanya mengenai muka, rambut dan tubuhku, aku teriak marah, merasa terhina, tapi dia hanya tersenyum sambil mengusapkan penisnya ke wajahku, memaksaku membuka mulut mengulumnya, terus menyusuri dada, lalu kakiku, tak kuasa aku menghindarinya sebelum meninggalkanku ke kamar mandi, dildo masih menancap di vaginaku, geli kenikmatan berubah menjadi kemuakan tapi tanganku tetap terikat tanpa daya, anehnya tak ada niatan untuk teriak minta tolong atas “pemerkosaan” ini.
Sungguh aku merasa terhina diperlakukan seperti ini, tetesan tetesan sperma membasahi hampir seluruh tubuhku, aromanya begitu menyengat, tak dapat kuhindari beberapa mengalir ke mulutku, aku mencoba menghindar tapi tak ayal lagi kurasakan juga gurihnya spermanya, kuludahkan sperma yang sempat masuk mulutku, perasaan jijik menyelimutiku, kalau saja dia memintaku baik baik untuk mengeluarkan sperma ke tubuhku seperti ini mungkin aku tak keberatan mengingat bagaimana aku tadi terpesona akan penampilannya.
Hari duduk di sebelahku, diambilnya dildo dari vaginaku tanpa ada tanda tanda melepas ikatanku.
Aku menghiba memelas untuk dilepaskan, tapi tak dipedulikan, malahan mengancam akan membungkam mulutku apabila aku teriak sampai terdengar dari luar.
Dia mengambil kain lain dari tasnya lalu ditutupkan ke mataku, semua kini menjadi gelap, aku merasa benar benar tak berdaya, kupikir ini sudah bukan lagi permainan yang menyenangkan, dengan mata tertutup aku tak tahu dia akan berbuat apa lagi terhadapku dan aku tak bisa menduga selanjutnya.
Sesaat tak kurasakan sentuhan atau gerakannya di atas ranjang, entah apa yang dilakukan dikamar ini. Tiba tiba kurasakan sentuhan dingin di putingku, aku terkaget, ternyata dia meletakkan es batu diputingku lalu dikulumnya, dinginnya es menyusur ke perut dan berhenti di vaginaku, aku menjerit tapi ada sensasi erotis tersendiri kurasakan, sedikit kenikmatan, kusesali kenapa dia melakukan dengan cara paksaan seperti ini, padahal belum tentu aku menolak permainan permainannya yang penuh kejutan.
Aku menjerit kaget bercampur nikmat saat kurasakan permainan lidahnya di sela dinginnya es pada klitoris dan vaginaku, kembali kurasakan dildo itu melesak masuk penisku bersamaan dengan jilatannya pada klitoris.
Dia sudah tidak mempedulikan permohonanku meski dengan menghiba minta ampun, sepertinya dia menikmati seperti kucing yang mempermainkan cecak, perlahan kenikmatan mulai menjalar, tanpa kusasari aku mulai menggoyangkan pantatku, tak dapat kuhindari meski aku benci melakukannya tapi aku juga tak ada cara untuk menghindar, asal tidak menyakiti secara fisik maka kubiarkan dia menghina dan mempermainkanku, toh aku sudah biasa diperlakukan secara hina oleh tamuku, meski tidak sekasar ini.
Pinggulku sudah turun naik tanpa bisa kukendalikan lagi, bahkan desahankupun sudah meluncur dengan sendirinya, aku seperti tak bisa lagi mengontrol emosi dan tubuhku, semua seakan berjalan sendiri sendiri mengikuti naluri sexual yang mulai terlatih.
Dia mencabut dildonya, aku menunggu kejutan lainnya dengan harap harap cemas, lama tak ada suara atau gerakan, akhirnya kurasakan dia menindihku dan menyapukan penisnya ke vaginaku, kembali terkaget aku dibuatnya ketika penisnya memasuki vaginaku, terasa begitu besar, panjang, dan kasar menggesek dinding vaginaku, tak mungkin itu penisnya, pasti dia sedang berbuat sesuatu terhadapku. Dengan ganas menciumi leher dan buah dadaku disertai gigitan gigitan ringan pada puting, aku hanya berharap dia tidak meninggalkan bekas memerah di leher dan dada, kalau itu terjadi tentu akan menurunkan “harga jualku”.
“Penisnya” makin cepat mengocokku, rasa aneh yang kurasakan di vagina ternyata membuatku makin tinggi melayang nikmat, dan tak dapat kuhindari ketika aku menjerit orgasme, sungguh memalukan orgasme tapi dalam keadaan marah, napasku tersengal turun naik, antara marah dan nikmat sehabis orgasme. Hari masih tetap mencium dan mengocokku, justru makin ganas, vaginaku sudah terasa memar dan sedikit perih, mungkin lecet.
Hari menukar posisi ikatan tanganku setelah melepas ikatan di kaki, posisiku kini tengkurap tanpa ikatan kaki tapi mata tetap tertutup. Terlalu lemas aku untuk melakukan perlawanan, dia menarik pantatku naik hingga posisi nungging, kurasakan lidahnya menjilati vaginaku bersamaan dengan jari tangannya mempermainkan lubang anus, aku bertekad akan teriak apabila dia memaksakan untuk memasukkan penisnya ke dubur, itu sudah menjadi prinsipku bahwa tak akan pernah melakukan anal seks.
Sesaat kemudian dia langsung melesakkan kembali “penisnya” yang aneh itu, kembali rasa nyeri bercampur nikmat menyelimutiku, desahan demi desahan mengiringi kocokannya. Sepuluh menit kemuian kudengar jeritan orgasme darinya, tapi aku terheran karena tidak ada denyutan dari “penis” yang masih meluncur di vaginaku, justru pantatku terasa hangat terkena cairan, dan “penis” itu masih tetap keras tegang bersemayam di vaginaku, aku tak tahu apa yang terjadi.
Suasana sunyi kecuali desah napas kami berdua, dia melepaskan tutup mata dan ikatanku. Aku masih tetap telungkup telanjang, diam saja menahan marah, beberapa pertanyaannya hanya kujawab ya dan tidak. Baru kusadari ternyata saat dogie tadi dia mengocokku dengan dildo yang lain lagi yang diikatkan di pinggangnya, mungkin sambil mengocokkan dildonya dia bermasturbasi di atas pantatku sehingga kurasakan cairan hangat saat dia orgasme. Berkali kali dia minta maaf atas perbuatannya, aku diminta mengerti akan kelainan sexualnya. Tak ada jawaban dariku, tetap diam membisu, aku tak peduli apakah dia marah, tersinggung atau tidak puas.
Dalam hati aku berjanji tak akan menerima dia lagi meski dengan imbalan berupa apapun, cukup sekali aku diperlakukan seperti ini, kali ini mungkin dia hanya mengikat dan mempermainkan dildonya, namun siapa tahu lain waktu dia berbuat lebih jauh lagi saat ada kesempatan dan dengan terikat begitu tentu aku tak bisa berbuat apa apa, hanya pasrah menerima perlakuannya.
Kutinggalkan Hari saat membereskan “mainannya”, sengaja berlama lama di kamar mandi yang pintunya kukunci, padahal tak pernah aku menutup apalagi mengunci saat mandi. Aku keluar setelah dia hendak berpamitan pulang, biasanya kuantar tamuku hingga keluar pintu kamar sambil masih telanjang atau berbalut handuk di dada, tapi kali ini aku sudah kembali rapi berpakaian lengkap melepas kepergiannya, masih tetap membisu, tak ada bujuk rayu untuk kembali lagi seperti terhadap tamu lain yang telah mempesonaku.
Segera kuhubungi Om Lok, memprotes tamu itu, tapi dia hanya tertawa saja, akhirnya dia adalah orang pertama yang masuk “black list” dalam daftar tamuku, meskipun tip yang diberikan sebesar apa yang kudapat dari Om Lok, tapi resiko dan pengorbanannya terlalu besar.
============================================
“Ly, sudah lebih setengah bulan kamu disini, untunglah banyak tamu yang terkesan akan penampilan dan servis kamu, dan banyak yang kembali menjadi langganan tetapmu” kata Om Lok memulai pembicaraan, tidak bisaanya Om Lok mengajakku ngobrol seperti ini, pasti ada yang perlu dibicarakan serius. Bisanya tiap minggu dia memberiku uang hasil kerjaku selama seminggu atau bukti transfer ke rekeningku langsung dia pulang, tapi kali ini lain.
“Emangnya ada apa Om” kataku to the point karena penasaran
“Ly, mau nggak mencoba yang lain?” tanyanya menjawab rasa penasaranku.
“Maksudnya?” aku tambah nggak ngerti.
“Maksud Om, begini.. mau nggak kamu main bertiga, melayani dua tamu sekaligus, uangnya gede lho” jelasnya langsung membuat aku muak mendengarnya.
“Om ini aneh aneh saja, melayani dua laki laki sekaligus kan ribet urusannya Om, mana bisa aku memuaskan mereka berdua secara bersamaan, ntar dibilang servisku nggak bagus, lagian orangnya ada kelainan jiwa kali” tanyaku polos sedikit tersinggung, aku memang sering melihat di VCD tentang sex bertiga, tapi itu aku anggap hanya dilakukan hanya di film dan orangnya pasti punya kelainan atau fantasi yang kebablasan.
“Siapa bilang melayani dua laki laki sekaligus, justru kerja kamu lebih ringan karena orangnya ini akan datang dengan istrinya, uangnya lumayan gede lho”
“Ha?? Om ini ada ada saja, mana ada orang ngajak istrinya untuk selingkuh dengan wanita lain, gila kali” jawabku sewot merasa dibodohi Om Lok.
“Kamu mau nggak?, kalo nggak mau Om kasih ke yang lain, kamu primadonaku selalu mendapat prioritas pertama, yang jelas uangnya bisa dobel sementara kerjamu lebih ringan karena ada wanita lain yang meringankan kerjamu” bujuk Om Lok.
Aku diam saja mencoba memahami jalan pikiran Om maupun tamu aneh itu.
“Entahlah Om, aku pikir pikir dulu” jawabku bingung tak bisa mengambil keputusan untuk hal aneh yang tak terduga semacam itu.
“OK, kasih aku jawaban setelah tamu terakhirmu pulang, jangan lewat besok pagi atau anak lain yang mengambil kesempatan ini” ancamnya sebelum keluar kamar.
Aku tidak sempat berpikir lebih jauh karena tak berselang lama tamuku sudah datang menemuiku.
Selama melayani dia aku tak bisa konsentrasi penuh, justru lebih banyak memikirkan tawaran Om Lok, banyak pertimbangan yang aku pikirkan selain materi tentu saja.
Aku tak tahu apakah tamuku ini mengetahui apa nggak, untungnya dia tamu baru bukan pelanggan yang sudah pernah datang, jadi dia tak bisa membedakan pelayanan dan sikapku saat ini dengan sebelumnya.
Hampir dua jam aku melayaninya, sebenarnya dia cukup menarik dan tidak terlalu tua (tentu saja dibandingkan lainnya) tapi pikiranku sedang tidak in the track. Kuusahakan untuk tetap memuaskan dia meskipun aku sendiri tak bisa menikmatinya, bahkan akupun tak kecewa ketika sudah 3 kali membuatnya orgasme tapi tak sekalipun kuraih.
Aku kembali merenung, kubiarkan tubuhku masih telanjang, hanya berbalut handuk seperti saat mengantar tamu terakhirku pulang tadi, kuhisap dalam dalam Marlboro putih (aku mulai merokok dikala sendiri menyambut sang dewi malam).
—— xx —–
“Kamu bodoh, sendirian menunggu di rumah sementara suamimu bersenang senang dengan wanita lain di hotel” kata suara diseberang telepon yang aku tahu tetanggaku. Aku memang sering mendengar isu isu kalau suamiku senang main perempuan, tapi tak pernah kuhiraukan, paling juga orang yang iri melihat kebahagiaan kami, pikirku. Sejauh ini aku sangat mempercayai akan kesetiaan suamiku, mengingat bagaimana berat perjuangannya mendapatkanku dulu, tak kuragukan lagi kecintaannya padaku. Segala macam isu miring kuanggap angin lalu selama aku tidak memergoki atau ada bukti lain yang meyakinkan.
Segera kututup dengan kasar telepon itu, entah sudah berapa kali dia mengatakan hal itu, tiga deringan tak kuangkat, kubiarkan saja berdering. Deringan keempat aku sudah tak tahan mendengarnya, segera kuangkat.
“Apa sih maumu?” teriakku kasar tanpa berpikir kalau kalau telepon itu dari orang lain.
“Hotel Simpang kamar 512″, dia langsung menutup telepon dengan kasar pula.
Aku tercenung, rasa marah berubah menjadi penasaran setelah dia memberi sedikit petunjuk, tapi segera kulupakan, tak mungkin suamiku tercinta menghianatiku. Setengah jam aku melupakannya tapi tetap saja rasa penasaran menggelayut di kepalaku, segera aku ganti baju dan kupacu mobilku menuju tempat yang disebutkan tadi.
Ragu ragu kumasuki lobby hotel, sebagai wanita rumah tangga sebenarnya agak segan juga aku ke hotel apalagi sendirian seperti ini, tapi rasa penasaran lebih menguatkan niatku, kucari House Phone dan kuhubungi nomer tersebut dan DEG, jantungku terasa berhenti berdetak ketika kudengar suara suamiku, terdengar latar belakang suara perempuan yang berisik, langsung kututup, aku tak tahu harus bagaimana, beberapa saat aku berdiri mematung di pojok Lobby, tercenung dan bingung mau apa.
Tapi rasa penasaran membawaku menuju kamar itu, dengan gemetar kutekan bel, posisiku sedikit menyamping supaya tidak terlihat dari lubang intip di pintu, setelah 3 kali bel barulah pintu dibuka.
Darahku seakan berhenti mengalir, lututku seolah tak mampu menahan beban tubuhku ketika kulihat wajah yang begitu kukenal dan wajah yang begitu kucintai nongol dari balik pintu itu hanya berbalut handuk di pinggangnya, langsung kudorong pintu itu dengan penuh emosi, suamiku yang juga terkaget melihat kedatanganku tak mampu menahan doronganku dan apa yang kulihat di kamar itu membuat pandanganku langsung berputar, mataku berkunang kunang, darahku naik ke ujung kepala. Kulihat Elsa sahabatku sedang duduk di sofa dalam keadaan telanjang, sementara wanita lain diranjang berusaha menutupi tubuhnya dengan bantal, kami semua terkaget, aku tak sanggup mengatakan apa apa dan langsung kutinggalkan kamar celaka itu.
Berlari secepat setan, tak kuhiraukan pandangan orang ketika melintasi Lobby sambil lari dan bercucuran air mata, segunung perasaan menggumpal begitu sesak memenuhi dadaku, ingin marah, ingin menjerit, ingin menangis, semua bercampur menjadi suatu muara air mata, aku menangis tanpa isak, hanya air mata yang deras membasahi pipiku, air mata kesedihan, air mata kekecewaan, air mata kemarahan, air mata keputusasaan.
Hujan deras diiringi petir menyambar mengiringi tangisku, seperti itulah diriku, kutekan dalam gas Toyota Starlet hadiah perkawinan dulu, tanpa arah kususuri kelamnya jalanan Surabaya yang semakin kelam, tak kupedulikan air mata yang terus berderai mengalir di pipiku, tak kupedulikan teriakan sumpah serapah dan “pisuhan” orang dipinggir jalan yang tersiram air genangan dari mobil.
Mengapa suamiku tega melakukannya? .. Mengapa Elsa tega menghianatiku? .. Mengapa aku begitu bodoh tak melihat kenyataan kedekatan hubungan mereka selama ini? .. Mengapa.. Mengapa .. Mengapa .. dan sejuta mengapa beruntun memenuhi kepalaku dan tak satupun bisa kujawab. Apa yang kurang pada diriku? Aku mencoba introspeksi diri, tapi tak kutemukan juga jawabannya.
Tuut.. tuut.. tuut, Bunyi telepon membuyarkan lamunanku.
“Gimana jawabannya, beri aku berita bagus” suara Om Lok dari seberang sana mendesakku.
Aku terdiam belum mengambil keputusan, Aku berpisah dengan suamiku karena dia tertangkap basah selingkuh bahkan dengan dua wanita sekaligus yang salah satunya sahabatku sendiri, kini aku harus melayani tamu untuk melakukan bertiga bahkan dengan istrinya sendiri, sungguh pelecehan terhadap cinta dan tatanan rumah tangga yang dulu aku agung-agungkan, sungguh tak bisa kumengerti, makin bingung memikirkan jalan hidup manusia.
Om Lok terus mendesakku dengan berbagai iming iming dan bujuk rayu, membuatku makin tak bisa berpikir jernih.
“Tapi jangan harap aku ikutan melayani wanita itu” akhirnya lagi lagi aku menyerah oleh bujukannya, sebagaimana dulu aku menyerah ajakannya untuk terjun ke dunia ini, dunia yang selama ini aku cibir dan aku pandang rendah.
“.. aku masih normal Om, masih bisa merasakan enaknya laki laki” lanjutku ketus mengingatkan, ketika tiba tiba teringat adegan di film dimana wanitanya saling menjilat dan mencium, ini membuatku muak.
“Gitu dong primadonaku, tak pernah mengecewakan tamu, oke aku akan hubungi mereka kamu siap siap saja, mungkin besok mereka datang” kata Om Lok mengakhiri pembicaraan.
Hari Minggu biasanya justru sepi tamu, paling banyak 2 orang, itupun bisaanya mereka dari luar kota yang kesepian, dibandingkan hari bisaa rata rata 3-4 orang, mungkin karena hari itu banyak laki laki yang lebih suka berkumpul dengan anak istrinya, sebagai suami yang baik, tidak seperti hari kerja bisaa yang bisa mencuri waktu dengan alasan lembur atau rapat atau SAL. Biasanya kumanfaatkan waktu Minggu pagi untuk renang atau fitness di hotel, tak kupedulikan pandangan nakal dari tamu yang melototiku, bahkan terkadang aku juga over acting meski tak norak di depan mereka, toh ini bagian dari Marketing.
Aku mengenakan pakaian casual, celana jeans straight putih dengan kaus you can see ketat orange, full press body, terlihat tubuhku yang padat dan sexy. Kutunggu sepasang suami istri yang bakal menjadi tamuku, jarum jam sudah menunjukkan pukul satu lewat, berarti mereka terlambat dari janjinya. Sepanjang pagi aku masih belum bisa membayangkan akan seperti apa kalau bermain bertiga, apalagi dengan suami istri. Sudah beberapa disc aku putar untuk mencari referensi permainan bertiga dengan dua wanita, sayangnya semua menunjukkan adanya factor lesbian diantara wanitanya, mereka saling peluk, saling cium, dan saling jilat, aku tak bisa dan tak akan mau melakukan itu.
Pukul setengah dua mereka baru tiba diantar Om Lok, sepeninggalnya kami sudah bertiga di kamarku.
Mereka pasangan matang usia, sepasang chinese, kutaksir Koh Anton suaminya tidak lebih 40 tahun sedangkan istrinya, Cindy, mungkin baru berumur 34-35 tahun. Pasangan yang ideal tampan dan cantik, entah apa yang salah pada mereka sehingga memerlukan kehadiranku di antara mereka. Harus kuakui Cindy tidak kalah cantik maupun sexy dari aku, apa yang kurang dari dia rasanya secara fisik tidak ada.
“Hmm, cantik dan sexy, tak salah si Om memuji perimadonanya” komentar Cindy ketika melihatku, suaminya hanya cengar cengir mendengar komentar istrinya.
Agak canggung aku menemani mereka berdua, mau mendekati si Anton takut sang istri cemburu, mau mendekati si istri, nggak mungkin aku lakukan, jadi aku serba salah, tak tahu harus bagaimana dan harus darimana memulainya.
Mungkin mereka melihat kecanggunganku, Cindy mengambil inisiatif.
“Lily, masak duduknya berjauhan gitu, sini dong, duduk sini disebelahnya” Cindy mulai membuka peluang ketika aku masih duduk di kursi yang terpisah.
Aku duduk di sebelah Anton, yang kini dijepit aku dan istrinya. Anton menggeser posisi duduknya menghadapku dan membelakangi istrinya, dia menciumku, aku agak risih dicium laki laki didepan istrinya.
“Nggak usah ragu ragu Ly, anggap aja aku tak ada, perlakukan dia sebagaimana biasa, santai saja” kata Cindy sambil beranjak meninggalkan kami dan duduk di tepi ranjang.
Meskipun mendapat lampu hijau dari istrinya aku masih canggung, bahkan ketika dia mulai mencium bibirku, aku sesaat diam saja tanpa membalas. Ketika Koh Anton mulai menjamah buah dadaku, mengusap dan meremasnya, barulah aku mulai berani membalas ciuman bibirnya, perlahan kami mulai saling melumat.
Koh Anton melanjutkan ciumannya di leherku, aku mendesah geli, tanganku ragu ragu meraih selangkangannya yang mulai menegang, kugosok dan kuremas remas hingga makin keras. Koh Anton melepas kaosku hingga tampak bra hitamku yang transparan memperlihatkan putingku di baliknya. Sejenak Koh Anton mengamati dadaku, lalu kembali menciumi bibirku, leherku hingga dadaku, begitu bergairah kepalanya mengusap usap di dada, bibirnya mempermainkan putingku dari balik bra. Birahiku perlahan mulai naik, terlupakan sudah kehadiran istrinya yang sedang menonton kami, kubuka resliting celananya dan mengeluarkan kejantanan dari sarangnya, seperti chinesse pada umumnya, ukurannya kecil, Chinese terbesar masih milik Koh Wi, tamu pertamaku dulu. Tali bra sudah merosot ke lenganku, kukocok penis Koh Anton, dengan mudahnya dia membuka kaitan bra yang memang di depan. Buah dadaku kini menggantung indah tepat di muka Koh Anton.
“Wow, very very nice, padat berisi, aku jadi minder nih” komentar Cindy yang langsung disambut suaminya dengan kuluman di putingku, permainan lidahnya sungguh menghanyutkan. Ternyata ada sensasi tersendiri ada orang ketiga di ruangan ini, apalagi orang ketiga itu adalah istrinya, kecanggungan berubah menjadi sensasi erotika yang aneh. Kuluman dan remasan Koh Anton melambungkanku ke nikmat birahi, kukocok penisnya semakin cepat, cairan bening sudah membasahi batang kejantanannya.
Tanpa kusadari aku sudah mulai mendesis nikmat, lidah dan bibirnya berpindah dari satu puncak bukit yang ke lainnya, tanpa kusadari ternyata Cindy sudah berlutut di antara kaki suaminya, tangannya berbagi dengan tanganku meremas kejantanannya. Tanganku masih mengocok ketika Cindy mulai menjilati penis suaminya, dua tangan dan satu lidah bergerak di batang kejantanan Koh Anton, kuluman dan jilatan disertai remasannya makin menjadi jadi di dadaku. Batang kejantanan Koh Anton sudah masuk ke mulut istrinya tapi aku tak mau menghentikan kocokanku, tangan Cindy berpindah mengelus kantong bolanya, sesekali Koh Anton mendesah di antara buah dadaku, nikmat merasakan pelayanan dua wanita sekaligus di penisnya.
Tanpa melepaskan kulumannya di putingku, tangan Koh Anton mulai membuka celana jeans-ku dan istrinya membantu menarik turun hingga tinggal celana dalam mini menempel di tubuhku, tapi tak berlangsung lama ketika Cindy menarik turun hingga membuatku dalam keadaan telanjang dihadapan suami istri ini. Tangan Koh Anton langsung mengelus paha mulusku, dan menjelajah disekitar daerah kewanitaanku, Cindy mengikuti dengan melepas pakaiannya.
Kulihat buah dadanya juga montok dan padat, mulus layaknya chinesse, dia kemudian melepas celana suaminya, kembali mulutnya bermain dengan kejantanan itu. Kubuka baju versace Koh Anton, kini dia telanjang sedang mendapat keroyokan dari dua wanita cantik. Cindy dengan gairahnya menjilati kejantanan suaminya hingga ke pangkal dan kantong bolanya, ternyata dia mahir dalam permainan oral, entahlah apa aku bisa sehebat dia.
Aku makin mendesis ketika jari tangan Koh Anton mulai keluar masuk liang vaginaku yang sudah basah, apalagi kuluman dan jialtannya masih tetap bergairah.
Cindy dan suaminya berganti posisi, kini Koh Anton jongkok di depan kami yang duduk berdampingan di sofa dengan kaki dan vagina terbuka lebar menghadapnya, kepala Koh Anton langsung menuju selangkanganku sedang tangannya mengocok vagina istrinya, dua wanita cantik dalam kendalinya, aku dan Cindy mendesah bersamaan, terlalu nikmat jilatan Koh Anton di vaginaku, kakiku sudah menjepit kepalanya, tak kupedulikan apakah dia masih bisa mempermainkan istrinya atau tidak, lidahnya tetap lincah menyusuri klitoris dan vaginaku. Aku sungguh kecewa ketika dia kemudian berpaling ke istrinya, berganti dengan jarinya di vaginaku, Cindy mendesah desah mendapat jilatan dari suaminya, tangannya meremas tanganku erat, kemudian Koh Anton berganti lagi ke vaginaku, begitu seterusnya, sepertinya dia sedang mempermainkan birahi kami.
Aku berharap Koh Anton segera memasukkan penisnya ke vaginaku, tapi dia kemudian berdiri dan menyodorkan penisnya ke kami, dengan segera Cindy menggapai penis suaminya dan langsung mengulumnya, lalu dia menyodorkan ke mulutku, aku agak ragu mengulum penis itu, apalagi dari mulut Cindy langsung tentu banyak ludahnya di batang penis suaminya. Belum pernah aku merasakan ludah seorang wanita, kalo laki laki sih udah kerjaannya, kupegang dan kukocok sejenak sambil memandang Cindy dan suaminya bergantian. Aku sudah menikmati ciuman dan jilatan suaminya, tentu dia tersinggung kalo aku menolak mengulum penis itu, sepertinya tak ada pilihan lagi dan akhirnya penis Koh Anton mulai menyentuh bibirku dan melesak terus memenuhi mulutku. Koh Anton memegang kepalaku dan mengocokkan kejantanannya di mulutku, sama seperti dia melakukannya pada istrinya, kemudian dia berpaling kembali ke istrinya dengan hal yang sama dan berganti lagi ke mulutku, begitu secara ber-ulang ulang.
Koh Anton sudah kembali berlutut di depan kami, sepertinya dia sedang memilih vagina yang mana duluan, aku berharap dia memilihku sebelum istrinya, dan harapanku terkabul. Justru Cindy yang memberiku kesempatan terlebih dahulu, dia memegang kejantanan suaminya lalu menuntunnya ke vaginaku, bukan main begitu kompak kerjasama mereka, dia menyapukan penis suaminya ke vaginaku, masih dalam genggaman istrinya, perlahan Koh Anton mendorong masuk hingga melesak semua ke dalam. Aku mendesis menikmati penis Koh Anton, Cindy hanya tersenyum melihat expresiku, dan desahku makin keras ketika Koh Anton mulai mengocokku, makin lama makin cepat. Cindy mendekati suaminya, mereka berciuman sambil tangan suaminya meremas buah dadaku.
Melihat mereka berciuman gairahku ternyata makin naik, kugoyangkan pinggulku mengimbangi gerakan Koh Anton, remasannya di buah dadaku makin keras, kepala Cindy turun ke perut suaminya, diluar dugaanku dicabutnya penis itu dari vaginaku dan langsung dimasukkan ke mulutnya, tanpa risih Cindy mengulum penis suaminya yang masih bercampur cairan vaginaku, aku kaget melihatnya, penis itu sudah keluar masuk mulutnya lalu Cindy mengembalikan lagi ke vaginaku, aku terbengong melihat Cindy bisa seperti itu, hampir pasti aku tak sanggup melakukannya, mengulum penis yang baru keluar dari vaginaku, jangankan vagina orang lain, dari vaginaku sendiripun aku jarang sekali mau. Berulang kali Cindy melakukan hal itu, berulang kali juga aku takjub akan Cindy, tapi lama kelamaan aku menikmatinya ketika Cindy melahap penis suaminya yang baru dikeluarkan dari vaginaku, entahlah ada sensasi tersendiri ketika Cindy menjilati cairan vaginaku yang ada di penis suaminya, tapi tetap aku sepertinya tak akan mampu melakukan sebaliknya.
Kembali aku dikejutkan ketika tangan Cindy ikut ikutan menstimulasi klitorisku saat suaminya mengocokku, agak risih aku menerimanya, belum pernah vaginaku disentuh seorang wanita, apalagi dalam keadaan begini, sedang dikocok enak, aku mau protes tapi ketika mulai kurasakan lebih nikmat, maka kubiarkan tangan Cindy bermain di klitorisku.
“Auuwww..gila..yaa” desahku tanpa kusadari tiba tiba meluncur dari mulutku, mereka berdua tersenyum melihatku menggelinjang kenikmatan.
Tangan Koh Anton meremas buah dadaku dan buah dada istrinya secara bersamaan, mungkin dia hendak membandingkan. Cindy duduk di sebelahku, sepertinya minta giliran, segera Koh Anton beralih ke Cindy, tanpa membersihkan terlebih dahulu Koh Anton langsung memasukkan penisnya ke vagina istrinya, Cindy langsung mendesah kenikmatan, dan semakin keras desahannya ketika suaminya mengocoknya dengan cepat dan keras, kupeluk Koh Anton dari belakang, tanganku mengelus kantong bolanya, kugesek gesekkan tubuhku di punggungnya, seperti yang dilakukan istrinya tadi, desahan Cindy makin keras, ternyata dia lebih berisik dariku.
Cindy memintaku untuk nungging di sampingnya, Koh Anton menciumi lagi vagina dan lubang anusku, aku menjerit kaget dan nikmat, dia memasukkan penisnya ke vaginaku kembali, agak risih aku menerima penis Koh Anton langsung dari istrinya, tentunya cairan vagina kami bercampur, tapi mengingat Cindy bahkan sudah merasakan cairan vaginaku di mulutnya, dan penis itu sudah meluncur keluar masuk vaginaku, maka tak ada pilihan lain kecuali menikmati kocokan Koh Anton yang makin menggairahkan. Cindy mengikuti nungging di sebelahku, kembali Koh Anton menggilir vagina kami, dari satu vagina ke vagina lainnya, entah apa dia bisa merasakan perbedaan diantara vagina kami.
Desahanku saling bersautan dengan desahan Cindy, seperti opera, terkadang diselingi desis kenikmatan darinya, aku terpengaruh hingga ikutan mendesah keras atau lebih tepat menjerit.
Lebih setengah jam Koh Anton merasakan nikmat tubuhku dan istrinya secara simultan, hingga akhirnya sampailah kami di puncak kenikmatan, pertama Cindy yang menjerit dalam orgasme, jeritannya sungguh bebas lepas tanpa beban, kemudian suaminya beralih ke vaginaku, dia mengocokku keras seolah berpacu menuju puncak, tubuhku menegang dan kurasakan vaginaku berdenyut keras, aku orgasme, tanpa kusadari keluar teriakan dari mulutku, teriakan orgasme, kuremas tangan Cindy merasakan nikmat orgasme, tiba tiba kurasakan denyut hebat dan teriakan dari Koh Anton, dia mengalami orgasme juga beberapa detik setelah aku, denyutan demi denyutan kurasakan menghantam dinding dinding vaginaku, semprotan demi semprotan sperma membasahi rahimku, begitu nikmat saat kami berdenyut secara bersamaan, dipeluknya tubuhku dari belakang beberapa saat lamanya..
Cindy mengeluarkan penis suaminya dariku, dikulum dan dijilatinya seolah membersihkan penis itu dari sisa sisa sperma dan cairan vaginaku, ada rasa jijik aku melihatnya, meski sudah lebih dua minggu bekerja aku masih belum bisa menikmati aroma sperma. Mereka berciuman, akhirnya Koh Anton lemas duduk di sofa di antara aku dan istrinya, kami bertiga duduk telanjang dengan napas turun naik.
Seperti biasa sehabis bercinta, aku ke kamar mandi membersihkan tubuhku, Cindy mengikutiku meninggalkan suaminya sendirian di sofa.
“Cik Cindy kok bisa menemani dan melihat suami bercinta dengan wanita lain, apa nggak cemburu” tanyaku ketika kami di kamar mandi.
“Mulanya sih cemburu, tapi dilarangpun aku yakin dia akan sembunyi sembunyi mencari wanita lain, ya lebih baik ikutin saja permainannya, bakan terkadang kami juga membayar laki laki untuk melakukan hal yang sama, jadi bisa sama sama enjoy” jelasnya tanpa ada perasaan menyesal.
“Apa dia nggak cemburu melihat Cik Cindy bercinta dengan laki laki lain” tanyaku bodoh.
“Nggak boleh cemburu, lha kita melakukan bersamaan kok, tidak boleh sendiri sendiri, tapi syaratnya harus dengan orang yang tidak kami kenal. Eh aku sebenarnya masih punya fantasi lain, yaitu main berempat, dua pasang, bila perlu tukar pasangan, tapi Koh Anton masih belum bisa terima tuh” dengan enteng dia menjelaskan, aku kaget, ternyata dunia sudah gila, benar benar pasangan edan, dulu aku cerai karena suamiku main perempuan, tapi sekarang malah mereka saling melegalkan selingkuh bersama. Dia banyak cerita tentang petualangan mereka tapi aku tak menanggapi, malah bikin aku pusing.
“Kalau kamu mau, ntar aku akan atur kita main berempat, laki laki lainnya aku yang cari, banyak kok langgananku yang mau, terus terang aku suka sama penampilanmu, cantik, sexy, mulus dan tidak norak seperti lainnya, entahlah rasanya aku tak cemburu kalau suamiku main sama kamu, kapan kapan kamu tidur di rumah saja, kita bisa tidur bertiga di tempatku”
“Entahlah Cik, ini baru pertama kali aku main bertiga, perlu waktu untuk menyesuaikan diri, maklum masih belajaran”
“Dengan penampilanmu yang seperti ini aku yakin akan banyak laki laki yang ngiler sama kamu”
Aku tak menjawab, kusiram tubuhku dengan air hangat menghilangkan keringat yang menempel di tubuhku, tanpa kusadari ternyata Koh Anton sudah berada di kamar mandi bersama istrinya memperhatikanku mandi, aku dikagetkan pelukan dari belakang yang kukira Cindy, ternyata Koh Anton sudah berada di belakangku, menyabuni punggung dan tubuhku, tangannya dengan bebasnya menjelajah ke bagian tubuhku yang lain dan berhenti di buah dadaku, Cindy hanya duduk di meja westafel melihat kami sambil menyalakan Marlboro putihnya, kulihat dia tersenyum melihat kelakuan suaminya terhadapku.
Air shower sudah kumatikan ketika tangan Koh Anton berada di selangkanganku, mempermainkan klitorisku, aku mendesah nikmat. Kuangkat kakiku ke bibir bathtub memberi jalan lebih bebas ke tangan Koh Anton, sambil tangannya menjelajah di dada dan selangkanganku, bibirnya ikutan menjelajahi leher dan telingaku yang belum kena sabun, tak mau kalah akupun membalas dengan remasan dan kocokan di kejantanannya yang perlahan mulai menegang. Busa sabun sungguh menambah erotis sentuhan tubuh kami. Koh Anton memutar tubuhku, kami berhadapan lalu berpelukan, peganganku pada kejantanannya tak kulepaskan, dia mencium bibirku dan kubalas dengan gairah. Kembali kakiku kunaikkan ke bibir bathtub, kuusapkan penisnya pada tubuhku, sebelum dia melakukannya lebih jauh ternyata Cindy sudah menghampiri kami.
Ciuman Koh Anton berpindah ke bibir istrinya, aku masih tetap mengusapkan penisnya di sekitar selangkangan dan klitorisku. Cindy menyalakan air shower hingga membasahi tubuh kami bertiga, Koh Anton memelukku dan Cindy memeluk suaminya dari belakang, bertiga kami telanjang di bawah siraman air shower yang hangat sambil saling meraba dan mencium. Koh Anton yang berada di antara kami harus sering membalikkan badannya untuk secara bergantian memeluk dan mencium antara aku dan istrinya.
Ketika Koh Anton kembali menghadapku, aku berlutut di depannya dan mengulum kejantanannya yang sudah tegang, dia langsung mengocok mulutku, istrinya memeluk dari belakang sambil memegangi kejantanannya yang sedang keluar masuk mulutku. Cindy menggeser posisinya, duduk di tepi bathtub di samping kami, bergantian Koh Anton memasukkan kejantanannya ke mulut istrinya, bibir Cindy mengunci erat kejantanan suaminya yang sedang keluar masuk, ku elus elus kantong bolanya saat dia mengocok mulut istrinya.
Koh Anton menarikku berdiri dan memintaku berbalik membelakanginya, kucondongkan tubuhku ke depan dan kunaikkan kaki kananku ke tepi bathtub, setelah kejantanannya keluar dari mulut istrinya, dia menyapukannya ke bibir vaginaku, dengan sekali dorong melesaklah kejantanannya ke vaginaku dan langsung mengocok dengan cepatnya, dia memegang pinggangku dan menarik dorong tubuhku berlawanana dengan gerakan kejantaanannya sliding di vaginaku, makin lama dia memompa makin cepat dan keras seperti piston mobil yang tancap gas. Aku mendesis nikmat, kurasakan makin nikmat ketika Koh Anton mulai meremas remas buah dadaku sambil mempermainkan putingku. Cindy hanya tersenyum melihatku mendesis desis dalam kenikmatan mendapat kocokan suaminya, entah apa yang ada di benaknya, aku tak tahu dan tak mau tahu, yang aku tahu aku sedang mendapatkan kenikmatan dari suaminya dan aku harus memberikan kenikmatan pada suaminya.
Cukup lama kami bercinta sambil berdiri, tiba tiba kurasakan Cindy menutup tubuhku dan suaminya dengan handuk, dengan telaten dia menyeka air bercampur keringat di tubuh suaminya, begitu juga dengan penuh pengertian dia mengusapkan handuk di tubuhku yang sudah mulai kedinginan bercampur peluh nafsu birahi.
Melihat perlakuan Cindy ini bertambah naik birahiku, bagaimana tidak, aku sedang bercinta dengan suaminya ketika dia menyeka keringat kami berdua, sungguh sensasi yang tak bisa digambarkan dan begitu menggairahkan.
Tiba tiba Koh Anton menghentikan kocokannya dan mencabut penisnya dari vaginaku ketika aku sedang menuju ke puncak kenikmatan, aku menoleh ke belakang mau protes tapi dengan senyum dia mencium bibirku menghalangi expresi protes dariku.
Koh Anton menggandeng kami berdua menuju ranjang, kami bertiga langsung rebah di ranjang dengan Koh Anton di tengah, tanganku dan tangan Cindy sudah berada di kejantanannya yang masih basah sisa dari vaginaku. Aku dan Cindy menciumi bibir Koh Anton secara bergantian, seperti dikomando kami bersama sama terus menyusuri tubuh Koh Anton dengan lidah kami, terus turun hingga dada dan masing masing mengulum putingnya, Koh Anton mendesis mendapat pelayanan kami berdua. Jilatan kami berlanjut ke perut lalu berhenti di selangkangan, lidah kami sudah berada di kejantanannya secara bergantian menyapu batang penis itu turun naik.
Cindy memasukkan penis suaminya ke mulutnya dan mengocoknya, lidahku menjilati sisa batang penis yang tidak tertampung di mulut istrinya, tak kupedulikan lagi ludah Cindy yang menempel di batang itu, Koh Anton mendesah sambil meremas rambut kami berdua, dia seperti sedang melayang layang di awan kenikmatan, gantian aku mengulum penis suaminya dan dia memainkan lidahnya di bawah.
Koh Anton menarikku ke atas memintaku berada di atas kepalanya menghadap Cindy yang masih asik bermain dengan penis suaminya, pantatku sudah tepat di atas mukanya dan vaginaku langsung mendapat jilatan penuh gairah darinya, kurasakan geli dan nikmat dari permainan lidahnya di klitoris dan bibir vaginaku.
Kucondongkan tubuhku hingga membuat posisi 69, aku dan Cindy berbagi penis suaminya, kembali dua lidah bermain di penis Koh Anton, jilatan di vaginaku kurasakan makin liar dan nikmat, kurebut penis Koh Anton dari mulut istrinya dan langsung kumasukkan ke mulutku, Cindy hanya tersenyum melihat “keserakahanku” pada suaminya, tak kupedulikan dia, langsung kukulum dengan penuh gairah segairah jilatan Koh Anton di vaginaku, makin lama makin nikmat dan menggairahkan, terutama permainan lidahnya di klitoris, sungguh mengasyikkan. Tak kuberi giliran Cindy untuk mengulum penis suaminya, untunglah dia cukup pengertian, berulang kali dia memintanya tapi tak kuberikan kesempatan itu, dengan senyumnya dia mengelus elus rambutku yang sedang turun naik mengocok penis suaminya.
Puas dengan permainan oral, Koh Anton memintaku telentang di sampingnya, dia langsung menindih tubuhku, bibir dan lidahnya menyusuri telinga, leher dan dadaku, lidahnya berhenti di puncak bukitku, mempermainkan putingku dengan diselingi gigitan ringan membuatku menggeliat ke-geli-an, kuremas rambut Koh Anton, dengan rakus dia menyedot putingku, meremas buah dadaku, aku menggeliat dan menjerit nikmat, Cindy dengan setia meremas dan mengocok penis suaminya, lalu disapukan ke bibir vaginaku.
Kubuka kakiku lebar, kujepitkan di pinggang Koh Anton, bersiap menerima penisnya di vaginaku, kurasakan penis Koh Anton yang mengeras mulai menguak bibir liang kenikmatanku. Kami kembali berciuman, bibir kami saling melumat ketika kurasakan penis itu makin dalam menyeruak liang vaginaku, dengan sekali dorongan keras melesaklah seluruh kejantanan itu menerobos celah celah nikmat liang vaginaku, aku menjerit dan menggeliat kaget menerima sodokan keras itu. Aku melotot tapi Koh Anton hanya tersenyum dan kembali melumat bibirku dengan penuh gairah segairah kocokannya yang langsung cepat dan keras serasa menghantam dinding dinding vaginaku.
Desah dan jerit kenikmatan tak tertahan keluar dari mulutku, semakin cepat sodokannya semakin keras jeritan keluar dari mulutku, sungguh aku sudah tidak bisa mengontrol emosi lagi, terlalu terlarut dalam kenikmatan hingga lupa tugasku untuk memberikan kepuasan pada tamuku ini. Kudekap erat tubuh Koh Anton, mungkin juga dia terluka terkena kuku-ku, semakin aku menjerit semakin liar Koh Anton mengocokku. Aku berusaha mengimbangi gerakan Koh Anton dengan menggerarakkan pantatku, kami saling menggoyang, kurasakan penisnya mengaduk aduk liang vaginaku, terasa semakin nikmat, semakin keras kugoyangkan pantatku, desahan kami saling bergantian memenuhi ruangan.
Cindy yang dari tadi menonton suaminya bercinta denganku, mulai ikutan aktif, kakiku di angkat dan dibuka lebar membentuk “V”, semakin lebar vaginaku terbuka, semakin dalam penis Koh Anton tertanam di vaginaku. Melihat “kesetiaan” Cindy pada suaminya, aku semakin bergairah, kocokan Koh Anton membawaku melayang ke puncak kenikmatan tertinggi, tubuhku menegang lalu aku menjerit histeris nikmat ketika otot otot vaginaku berdenyut keras, tubuhku bergetar hebat, ternyata kocokan Koh Anton tak berhenti sampai disitu, justru makin cepat keluar masuk vaginaku yang sedang berdenyut, jeritanku makin tak karuan, kenikmatanku makin membumbung tinggi, kucengkeram erat lengan Koh Anton hingga denyutanku menghilang perlahan lalu tubuhku melemas. Cindy masih memegangi kakiku, Koh Anton tanpa memberiku kesempatan istirahat meneruskan sodokannya, kenikmatan berubah menjadi geli yang tak karuan, napasku turun naik menggelora, baru saja kulalui puncak kenikmatan dengan penuh gairah.
Koh Anton meminta aku di atas, dengan lutut yang masih lemas kunaiki tubuhnya, kuatur posisiku di atas penisnya dan perlahan kuturunkan tubuhku sambil melesakkan penisnya di vagina. Belum selesai aku menurunkan tubuhku tiba tiba Koh Anton langsung menyodokku dari bawah dengan kerasnya, aku teriak kaget atas kenakalannya, dia hanya tersenyum dan langsung meremas kedua buah dadaku sambil mengocok dari bawah makin keras, tak mau kalah maka kugerakkan pinggangku memutar hingga kami saling mengocok. Ternyata hal ini tidak membuatku lebih baik, justru semakin cepat membawaku menuju puncak kenikmatan, apalagi permainan lidah Koh Anton di putingku ketika tubuhku membungkuk, sungguh kombinasi erotis yang tak bisa kutahan, melambungkan birahiku makin tinggi.
Tak lebih dari sepuluh menit aku bergoyang pinggul di atas Koh Anton, ternyata untuk kedua kalinya kurengkuh puncak kenikmatan, jeritanku secara spontan keluar dari mulutku tanpa bisa kukontrol, terlalu nikmat untuk ditahan. Tubuhku langsung ambruk di atas Koh Anton, tapi lagi lagi dia tidak menghentikan kocokannya, penisnya tetap meluncur keluar masuk vaginaku dengan lancar dan cepat, tanpa mempedulikan kondisiku yang sudah lemas, kupikir dia ingin melampiaskan nafsunya secara habis habisan padaku, aku bagaimanapun harus terima perlakuannya, karena kesalahanku sendiri dan resiko yang harus kuhadapi kalau aku terlalu banyak orgasme, suatu kesalahan yang patut dinikmati.
Tidak ada tempo bagiku untuk mengambil napas lebih jauh ketika Koh Anton memintaku doggie style, kuturuti meski lututku masih makin lemas, segera dia membenamkan penisnya dan menyodokku dengan keras, untuk kesekian kalinya aku terkaget hingga kepalaku terdongak ke atas, Koh Anton memegang rambutku dan menarik ke belakang, diluar dugaanku perlakuan kasarnya justru membuatku makin bergairah. Kugoyangkan pantatku mengimbanginya, perlahan tapi pasti birahiku kembali naik menuju puncak kenikmatan.
Koh Anton meraih buah dadaku yang menggantung bebas, diremasnya dengan gemas sambil tetap mengocokku, kemudian Koh Anton meraih tanganku dan menariknya ke belakang hingga tubuhku bergantung pada kedua lenganku yang ditahannya dari belakang, kurasakan sodokan penisnya semakin dalam menembus liang vaginaku, aku mendesah desah liar, “Ah..ah..ah..ya..ya.. ouuhh..yess”, teriakku setiap kali penis Koh Anton menyodok keras, aku tidak bisa berbuat apa apa dengan posisi seperti ini, selain mendesah dan mendesah.
Akibatnya sungguh hebat, begitu nikmat sekali penis Koh Anton mengisi dan sliding di liang vaginaku, sehingga dengan cepat vaginaku berdenyut pertanda orgasme, tak ada bisa kulakukan selain menjerit histeris, kugoyang goyangkan kepalaku merasakan kenikmatan ini untuk yang kesekian kalinya. Sebenarnya aku malu mengalami hal ini berulang kali, terutama di depan Cindy, tapi apalah artinya malu pada dia dibandingkan kenikmatan yang kurengkuh dan kurasakan. Aku langsung menggelepar di atas ranjang, tubuhku sudah lemas habis.
Cindy yang dari tadi sudah bersiap di sampingku sepertinya tidak dihiraukan suaminya yang sedang di puncak gairah bersamaku, tapi sepertinya dia tidak marah, malah tersenyum melihat expresi wajahku yang terbakar nikmatnya nafsu birahi, terutama saat aku menjerit orgasme, Cindy hanya mempermainkan jarinya di klitorisnya sambil melihat aku dan suaminya bercinta, sesekali mendesis sendiri, sungguh istri yang penuh pengertian.
Terus terang aku kagum dengan stamina Koh Anton yang telah tiga kali membuatku orgasme secara berturut turut. Baru kusadari bahwa kehadiran Cindy, istrinya, membuat sensasi tersendiri dan membuatku jadi lebih cepat melayang ke puncak kenikmatan, ternyata bercinta bertiga jauh lebih menyenangkan dibandingkan berdua, apalagi dengan sepasang suami seperti ini.
Koh Anton masih menyodokku dari belakang, aku hanya nungging dengan kepala dan tubuhku di ranjang, hanya pantatku yang tersangga pada lututku, kulihat Cindy telentang asik bermain di klitorisnya dan meremas buah dadanya sendiri, aku berharap Koh Anton segera menyelesaikan hasratnya karena aku sudah kecapekan, tapi harapan tinggal harapan, dia dengan semangatnya mengocok vaginaku lebih keras seperti tak ada belas kasihan. Meski berkali kali Cindy minta “jatah” tapi suaminya tak menghiraukannya, Koh Anton malah menggoyangku dengan gerakan liar, mengaduk aduk vaginaku, aku yang sudah lemas hanya mendesis desis.
Untunglah beberapa menit kemudian Koh Anton menghentikan gerakannya, mencabut penisnya dan menghampiri istrinya. Bukannya memasukkan penis ke vagina istrinya tapi malah menjepitkan diantara buah dada Cindy dan mengocoknya, penis itu sliding diantara kedua bukit Cindy, persis seperti yang aku sering lihat di VCD porno, tak lama kemudian dia menyodorkan ke mulut Cindy. Kepala Cindy yang berada di bawah selangkangan suaminya tak bisa banyak bergerak menerima kocokannya, penis Koh Anton yang basah dari vaginaku dengan lancar dan cepat meluncur keluar masuk mulut istrinya yang tetap bergairah menerimanya.
Dan tak lama kemudian Koh Anton menjerit orgasme, menyemprotkan spermanya di mulut istrinya, entah berapa banyak sperma itu, tapi kulihat beberapa bagian menetes keluar dari mulut Cindy. Kembali aku dibuat kagum akan permainan Cindy, tanpa ada rasa risih dia menelan sperma itu dan mengusap sisa sisa yang ada di bibirnya. Mungkin karena sperma suaminya maka tak ada risih untuk melakukan itu, tapi aku tentu saja akan menolak kalau harus keluar sperma di mulut seperti itu, tak sanggup aku melakukannya, memegang sperma saja masih risih apalagi mengulum dan menelan seperti itu, Cindy tersenyum ke arahku dan mencium bibir suaminya.
Kami bertiga telentang dalam kenangan kenikmatan, diam membisu untuk beberapa saat lamanya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 sore ketika mereka berdua pulang, kami masih sempat melakukannya lagi 2 babak permainan. Mereka berjanji untuk sering melakukannya nanti, Cindy mengaku kalau dia senang dan puas dengan penampilan dan permainanku, aku mengangguk senang kalau mereka bisa puas dengan pelayananku. Malamnya saat menerima tamu berikutnya aku lebih banyak membayangkan bercinta dengan Koh Anton dan Cindy, akibatnya aku mengalami orgasme berkali kali dengan tamuku itu, meski bercinta tak terlalu lama.
Terus terang aku sangat menikmati bercinta dengan Koh Anton apalagi kalau dilihat sama istrinya, entah kapan aku bisa ketemu lagi dengan mereka, aku hanya bisa berharap dan berharap. Harapan seorang wanita penghibur yang berlimpah sex tapi haus akan kasih sayang.
==========================================================
Dari sekian banyak tamu yang sudah aku layani, baru kali ini aku menerima yang benar benar sesuai seleraku, disamping orangnya ganteng juga masih muda, mungkin 2-3 tahun lebih tua dari usiaku, atau bahkan lebih muda. Menurut catatan harianku, dia adalah tamuku yang ke-58 pada hari yang ke-19 aku bekerja, dan merupakan orang yang ke 24 yang aku layani. Ternyata setelah sekian hari baru terpenuhi harapanku untuk mendapatkan tamu yang sesuai keinginan dan selera.
Namanya Jimmy, karena chinesse kupanggil dia Koh Jim, entah apa kerjaannya sehingga bisa membayarku, yang jelas hanya orang yang kelebihan banyak uang yang mampu, bukan orang yang kelebihan uang pas pasan karena taripku juga tidak murah.
Mulanya aku dingin dingin saja ketika Om Lok memberitahu akan tamuku, karena seperti biasa dia tidak pernah memberitahu detail tentang tamuku yang akan datang kecuali apa yang harus aku persiapkan sesuai permintaan atau tamuku seorang pejabat yang perlu pelayanan khusus. Begitu kubuka pintu kamarku menyambut kedatangannya, aku terkesima takjub akan ketampanannya, mungkin karena terlalu sering melayani orang yang usianya jauh diatasku, maka begitu melihat Jimmy aku langsung tertegun, tak menyangka mendapatkan tamu yang seganteng dan semuda dia.
Dengan agak canggung kupersilahkan dia masuk, entah kenapa aku jadi salah tingkah di depannya, seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta, cinta ?? kata kata itu sudah jauh kutanam di dasar batinku yang membatu, tapi apa namanya ini entahlah.
Dia adalah tamuku yang ke 3 hari itu, setelah menemani 2 tamu Chinese seusia papaku  yang Cuma besar nafsu saja dibandingkan tenaganya, aku sama sekali tidak mendapatkan kenikmatan apalagi kepuasan, aku berharap Koh Jimmy mempunyai stamina tenaga muda yang bisa memenuhi hasratku.
Sore itu dia mengenakan kaos dan celana jeans, postur tubuhnya cukup atletis, tentu saja dibandingkan tamuku lainnya, menyesal aku mengenakan pakaian yang menurutku kurang sexy, kukenakan celana jeans putih dan kaos yang cukup longgar sehingga tidak bisa mempertunjukkan lekuk tubuhku.
Seperti biasa kami ngobrol di sofa untuk mencairkan suasana, Koh Jimmy orangnya enak untuk diajak bicara, sopan dan tidak kasar, aku makin suka akan penampilannya. Aku sudah bertekad untuk memberikan servis all out semampu yang kubisa berikan, aku ingin membuatnya benar benar puas akan pelayananku.
“minum dulu Koh, biar kuat” gurauku
“jangan panggil Koh, toh kita sama usia, paling tak lebih dari tiga tahun, panggil saja Jimmy, biar nggak kaku” pintanya
Entah siapa yang memulai akhirnya kami berpelukan, mulanya dia mencium pipiku, kemudian bibirku dilumatnya, hatiku berdegup kencang ketika dia memainkan bibirku dengan bibirnya, lidah kami saling menyapa. Tangan Jimmy mengelus punggungku, kemudian menyusup di balik kaosku, gosokan tangannya di punggungku terasa hangat dan lembut, kubalas dengan usapan tanganku di selangkangannya, kurasakan ketegangan di balik celananya. Tangan Jimmy bergerak ke depan, mengelus buah dadaku yang masih terbungkus bra, belum ada remasan yang dilakukannya di buah dadaku, dengan gemetar kumulai meremas remas selangkangannya, semakin tegang dan keras, napasku sudah mulai turun naik merasakan gejolak birahi.
“pakaiannya dilepas ya, ntar kusut” usulku, sebelum aku bertindak lebih jauh dia sudah mengangkat kaosku dan melepasnya, tampaklah buah dadaku yang tertutup bra, menantang dengan mulusnya, aku bangga ketika dia memandangi dengan sorot mata kagum. Kulepas kaosnya, benar dugaanku, dadanya yang bidang dan atletis, tidak gendut seperti tamuku yang lain, aku makin bergairah melihatnya.
Kuciumi dada dan kupermainkan putingnya dengan lidahku, dia mulai mendesis nikmat sambil mulai meremas remas buah dadaku, aku jadi lebih bergairah, bibir dan lidahku turun menyusuri perutnya sambil tanganku membuka celananya, kutarik turun jeansnya dan kukeluarkan kejantanannya dari balik celana dalam. Lumayan, besarnya rata rata chinesse pada umumnya, mungkin panjangnya 15 cm, tapi kerasnya minta ampun seperti besi, kupegang dan kuremas sambil mengamati wajah ganteng Jimmy yang lagi mendesis kenikmatan, makin menggemaskan.
Remasanku tak kulanjutkan, aku berdiri di depannya, kulepas celanaku, tinggal sepasang bikini ungu yang menutupi tubuhku, ditariknya tubuhku dalam dekapannya, dan kembali dilumatnya bibirku sambil meremas remas gemas kedua buah dadaku, aku membalas dengan mengocok kejantanannya yang keras membatu, bibir Jimmy lalu menyusuri leherku, aku mendesis, wajahnya dibenamkan di antara kedua bukit di dadaku, tanpa melepas bra, putingku dikeluarkan dari penutupnya dan langsung mendapat kuluman penuh gairah, tubuhku langsung menggeliat menerima kulumannya, tanpa kusadari tangan kiriku mempermainkan klitorisku sendiri sambil tetap mengocok kejantanannya dengan tangan kanan, kurasakan vaginaku sudah mulai basah menerima cumbuannya, aku benar benar sudah terbakar nafsu birahi.
Tiba tiba Jimmy menghentikan cumbuannya, aku kecewa, dia lalu menuntunku menuju ranjang, setelah menelanjangi tubuhku direbahkannya di atas ranjang, celana dalamnya dilepas sendiri lalu menyusulku ke ranjang. Aku sudah siap menerima cumbuannya, kurasakan desah napasnya menerpa wajahku sebelum bibirnya kembali mendarat di puncak bukitku, cukup lama dia menikmati putingku secara bergantian tanpa melepaskan remasannya. Tubuhnya kemudian menindihku, kami berciuman dengan penuh gairah, tak mau menunggu terlalu lama, kusapukan kejantanannya di bibir vaginaku, dengan perlahan dia mendorongnya masuk, begitu keras kurasakan menggesek dinding vaginaku yang sudah basah, aku mulai mendesis nikmat, kurasakan begitu lama Jimmy melesakkan kejantanannya hingga akhirnya benar benar semua batang kejantanan itu tertanam di dalam. Dia mendiamkan sesaat sambil mengamati expresi wajahku, kubalas pandangannya, sama sama terbakar birahi, dengan senyum yang menawan ditariknya perlahan dan didorongnya lagi, sungguh pelan dia melakukannya, sepertinya dia begitu menikmati jepitan dan gesekan di vaginaku, diperlakukannya aku dengan penuh perasaan, membuatku makin terhanyut dalam irama permainannya. Pelan, nikmat dan penuh perasaan, sungguh kurasakan baru kali ini aku diperlakukan sebagaimana layaknya wanita, justru makin membuatku melambung tinggi lebih cepat, kocokan Jimmy yang pelan dan lembut terasa makin nikmat seiring dengan ciuman mesra di leher dan bibirku, aku menggeliat dalam kenikmatan yang indah, kulumat bibirnya yang ada di mulutku, kuremas rambutnya, dipeluknya tubuhku, kami menyatu dalam irama nafsu birahi, cukup lama kami saling mencium dan melumat. Berulang kali kami saling memandang dan berulang kali pula kucium pipinya dengan gemas. Pandangannya sungguh membuatku makin terhanyut dalam nikmat birahi, tak terasa hanya beberapa menit dia mengocokku ternyata aku sudah mencapai orgasme, ya orgasme tercepat selama ini. Aku menahan desahan orgasmeku, malu untuk mengungkapkan dengan expresi, kugigit bibirku, kuremas lengannya seiring dengan denyutan nikmat di vaginaku, tubuhku mengejang lalu perlahan lemas tanpa bisa berbuat lebih banyak. Jimmy tahu aku sudah orgasme lalu mendekapku dan mencium keningku, oh betapa mesranya, tak pernah aku diperlakukan begitu mesra penuh perasaan oleh laki laki yang menikmati tubuhku, kubalas dekapannya dengan pelukan lalu kami kembali berciuman bibir. Setelah napasku berangsur normal dia minta ganti posisi.
Tanpa melepaskan penisnya, kami bergulingan di ranjang, kini aku di atas masih tetap berpelukan dan berciuman mesra. Aku duduk di atasnya, perlahan kugoyang pinggulku, Jimmy memandangiku dengan mesra sambil mengelus elus dan meremas ringan buah dadaku, disibakkannya rambutku yang tergerai di mukaku saat aku bergoyang dan menggeliat nikmat. Tubuhku turun naik sambil sedikit memutar mengocok penisnya, Jimmy mulai ikutan mendesis, desahan demi desahan bersautan antara kami berdua. Kutekankan pantatku ke tubuhnya untuk menanamkan lebih dalam penis itu di vaginaku, lalu kuputar pinggangku, kupermainkan puting di dadanya dengan jari tanganku, Jimmy mendesah keras menikmati permainanku, remasan di buah dadaku makin kencang, aku makin bergairah menggoyangnya, terlalu bergairah hingga dengan segera mencapai puncak kenikmatan sexual kedua kaliny sepuluh menit kemudian, jeritan kenikmatan keluar dari mulutku tanpa aku sadari, otot otot vaginaku berdenyut keras, meremas dan menjepit penisnya, Jimmy menatapku seolah menikmati expresi wajahku yang dilanda orgasme. Tak kupedulikan tatapannya, meski malu tapi orgasmenya terlalu nikmat untuk di tahan, Jimmy hanya tersenyum melihat ekspresiku sambil tetap meremas buah dadaku.
Tubuhku langsung lemas dan roboh di atas tubuh Jimmy, dia memeluk dan mengelus punggungku, napasku turun naik tak karuan, kemudian Jimmy memulai gerakannya mengocokku dari bawah, rasa geli dan nikmat kembali menyelimuti tubuhku, makin lama makin cepat, aku mendesah desah di dekat telinganya, Jimmy mendekapku makin erat, tubuh kami menyatu saling merasakan getaran birahi yang makin tinggi. Tiba tiba Jimmy menghentikan gerakannya, begitu juga aku diminta untuk diam sesaat, kurasakan denyutan lemah dari kejantanannya, dua detik kemudian dia mulai mengocokku lagi, diremasnya pantatku, rupanya dia menahan orgasmenya dengan menghentikan gerakan kami, dan berhasil. Oh betapa nikmatnya kocokan Jimmy di vaginaku, sepertinya lain dari yang lain, membuatku kembali melambung tak lama kemudian.
Sebelum terhanyut lebih lama lagi, Jimmy minta ganti posisi dari belakang, doggie style, dengan senang hati kuturuti permintaannya, kembali Jimmy dengan penuh perasaan memasukkan penisnya ke vaginaku secara perlahan sambil menggosok punggungku, begitu pelan hingga bisa kurasakan gesekan di dinding vaginaku, aku menikmati setiap millimeter masuknya penis itu di vaginaku hingga semuanya melesak sempurna di dalam. Dengan mesranya dia mengocokku perlahan dari belakang, yang kurasakan hanyalah nikmat dan nikmat, kuimbangi gerakannya dengan goyangan pelan pinggulku, kudengar desisan nikmat keluar dari mulut Jimmy, makin bergairah aku menggoyangkan pinggulku, kenikmatan bagi Jimmy adalah kenikmatan juga bagiku. Kocokan Jimmy makin cepat seirama dengan goyangan pinggulku, kami saling mengocok dengan penuh gairah. Elusan Jimmy di punggung sudah bergeser ke depan, mengelus dan meremas buah dadaku yang menggantung dan bergoyang dengan bebasnya. Tiba tiba Jimmy menyodokku dengan 2-3 kali sodokan keras, terasa penisnya menghantam dinding rahimku.
“aaaauuuwwww…nakaaaaal…oooouuuughh” teriakku kaget, meski kurasakan nikmat aku pura pura marah, kutoleh kebelakang menatapnya dengan sorot mata marah, tapi dia hanya tersenyum dan kembali menyodok dengan keras.
“ooouughh…eeegh…eeegh…ooogh…ooogh” desahku setiap kali sodokan kerasnya menghantam vaginaku, kombinasi remasannya membikin aku makin melambung dan benar saja tak lama kemudian kugapai orgasme yang ketiga kalinya dengan Jimmy, padahal dia belum orgasme sekalipun, sebenarnya aku agak malu dengan hal ini, tapi sungguh tak bisa kucegah nikmatnya kocokan Jimmy, untuk kesekian kalinya aku menjerit nikmat hingga tubuhku terkulai tengkurap di ranjang.
Jimmy mencabut penisnya, membelaiku mesra, melihat expresi kelelahan di wajahku dia tersenyum.
“kalau begini siapa memuaskan siapa, jadi siapa yang harus bayar” katanya bergurau sambil tersenyum, aku tak menjawab hanya tersenyum meski dalam hati membenarkan ucapannya, bahkan tak dibayarpun aku mau melakukannya lagi.
“oke istirahat dulu, nanti kita lanjutin lagi yang lebih asik” lanjutnya sambil menyalakan Marlboro-nya
“kamu memang luar biasa Jim, pasti habis minum obat kuat deh, KO aku, habis enak sih” candaku sambil mengatur napas.

Akhirnya kami berdua masih dalam keadaan telanjang duduk di sofa, sofa yang entah sudah berapa kali kupakai bercinta entah dengan siapa saja aku sudah tak bisa mengingatnya. Sambil ngobrol dan bercanda, selalu kupegangi kejantanan Jimmy yang masih keras tegang. Setelah beberapa lama aku mulai memberikan rangsangan padanya, mulanya kami berciuman lalu kujilati puting dadanya, dia mendesis, jilatanku segera berpindah ke penisnya, kujilati dan kukulum dengan penuh gairah, gairah yang sesungguhnya bukan dibuat buat seperti biasanya. Tak lama setelah memberikan kuluman pada penisnya, aku mengatur posisi untuk duduk di pangkuannya, perlahan kuturunkan tubuhku dan melesaklah penis Jimmy ke vaginaku, aku diam sesaat menikmati kenyamanan penisnya di vaginaku, Jimmy menyambut dengan kuluman dan remasan di buah dada membuatku menggeliat dan mulai bergoyang pinggul, penis Jimmy serasa mengaduk aduk vaginaku, kupeluk dia dengan erat, aku mendesah di dekat telinganya,
Dia ikutan mengocokku dari bawah membuatku semakin bergairah, kudekap dia makin erat, wajahnya terbenam diantara kedua buah dadaku, entah dia bisa bernapas atau tidak. Kami saling menggoyang dan mengocok dengan gairahnya, desahan demi desahan saling bersautan, saling melumat bibir, sungguh permainan sex yang paling indah yang aku alami.
Beruntunglah aku hari ini mendapatkan Jimmy, kami berganti posisi, aku duduk dan Jimmy didepanku berlutut, saling berhadapan. Dengan posisi seperti ini aku lebih puas menatap wajah gantengnya saat dilanda kenikmatan, saling tatap dan saling cium disela sela bercinta, kakiku ku naikkan di pundaknya, penisnya lebih dalam masuk ke vaginaku, aku makin suka dengan irama kocokannya yang bervariasi antara pelan mesra dan cepat nakal, mata kami saling bertaut ketika dia menyodokku keras, seolah saling mengukur seberapa nikmat yang dirasakan, bagiku kenikmatan ini sungguh berlebihan dan tak lama kemudian untuk kesekian kalinya aku mendapatkan orgasme dari Jimmy, kembali aku menjerit nikmat sambil meremas lengannya, kali ini Jimmy tidak menghentikan gerakannya tapi justru mempercepat kocokannya, aku makin menjerit nikmat, cengkeramanku dilengannya makin kuat.
Tiba tiba tanpa mempedulikan aku yang sedang dilanda kenikmatan yang hebat, Jimmy menarik keluar penisnya dan langsung berdiri di depanku mengocok sendiri penisnya dengan tangannya, aku tak tahu apa maksudnya, sebelum aku sempat tersadar,  menyemprotlah sperma dari penisnya,  mengenai dada, muka dan rambutku, begitu banyak semprotan sperma itu hingga kurasakan wajahku basah karenanya. Aku tak tahu harus berbuat apa, dan kembali sebelum aku tersadar harus berbuat apa Jimmy sudah mengusap usapkan penisnya yang basah ke wajahku. Aneh, tak ada rasa jijik merasakan sperma di wajahku, biasanya memegang sperma saja masih ragu dan kini sperma sudah belepotan di wajahku, sambil tersenyum kupegang penis itu dan kuusapkan ke dadaku.  Sebenarnya aku kecewa karena tidak bisa merasakan nikmatnya orgasme Jimmy di vaginaku, tapi tetap berusaha tersenyum meski ada rasa jengkel bercampur marah, aku merasa terhina, tapi dengan senyumnya yang menawan lagi lagi meruntuhkan pertahananku, bahkan ketika dia memintaku mengulumnya setelah itu, akupun seperti orang yang linglung yang hanya menurut saja, kujilat dan kukulum penis Jimmy yang basah kena sperma, inilah pertama kali aku merasakan sperma di mulutku, ternyata rasanya lumayan, gurih. Kembali Jimmy mengocokkan penisnya yang mulai lemas ke mulutku. Mengingat kenikmatan yang telah aku dapatkan darinya, kupikir tidak ada salahnya kalau aku memberikan pelayanan hingga batas kemampuanku ini, dari keterpaksaan lama lama aku menyukai aroma dan rasa sperma dari Jimmy. Kulihat senyum puas di wajahnya, aku ikut senang melihat kepuasannya, meski agak kecewa karena belum merasakan denyut orgasmenya di vaginaku.

Setelah kami beristirahat di sofa, kutinggalkan Jimmy sendirian, aku kekamar mandi membersihkan sisa spermanya  dari tubuh, wajah dan rambutku, ketika aku keluar kamar mandi, kulihat dia sudah berpakaian bersiap untuk pulang, tentu saja ini membuatku kecewa berat, aku masih ingin merasakan kenikmatan lagi darinya, masih kurang apa yang kudapatkan barusan, aku harus mendapatkannya lagi darinya, tapi bagaimana caranya untuk menahan kepergiannya lebih lama ?  aku belum tahu, aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kenikmatan darinya lagi.
“mau kemana Jim ?, kok buru buru sih” tanyaku dengan nada manja
“pulang dong, emang boleh nginap ?” candanya
“kan bukan berarti harus nginap, lagian masih sore” kataku sambil menggelayutkan tanganku di lehernya dan mencium bibirnya.
Dia balas memelukku yang masih telanjang, kuremas kejantanannya, kubuka kembali celananya dan kulorotkan turun, sebelum dia protes aku langsung berlutut didepannya, meski aku yakin dia belum recovery sepenuhnya tapi kupaksakan juga, kujilati kepala penisnya terus turun ke batang dan kantong bola lalu naik lagi ke kepala penisnya terus kukulum, masih terasa sisa sisa sperma yang menempel karena tidak dicuci, tapi tak kupedulikan.
Jimmy mulai mendesis, penisnya yang lemas perlahan mulai mengeras meski tidak sekeras tadi, dengan sabar aku berusaha membangkitkan kembali birahi-nya, Jimmy memegang kepalaku dan mengocoknya, kuelus elus kantong bolanya sambil tetap membiarkan penisnya keluar masuk mulutku. Jimmy menarikku berdiri, tubuhku dibalikkan hingga aku membelakanginya, dipeluknya aku dari belakang sambil meremas remas buah dadaku, tengkuk dan telingaku diciuminya, aku merinding dan menggeliat sambil meremas penisnya. Kubungkukkan tubuhku berpegang pada pinggiran meja, tanpa menunggu lebih lama kusapukan penisnya kembali di vaginaku, kudorong tubuhku ke belakang hingga melesaklah penis itu memasuki liang vaginaku, Jimmy tetap diam tidak menggerakkan tubuhnya, hanya mengelus punggungku, maka kuambil inisiatif dengan menggoyangkan pantatku dan menggerakkannya maju mundur. Diluar dugaanku, ketika pantatku bergerak mundur dia menghentakkan tubuhnya ke arah tubuhku, aku kaget dan menjerit karena penisnya begitu dalam terasa mengenai rahimku, lalu dia langsung mengocok atau lebih tepatnya menghentakkan ke tubuhku, vaginaku terasa seperti di sodok benda keras, kurasakan lebih dari nikmat penisnya memenuhi dan keluar masuk liang vaginaku, aku makin menjerit dalam kenikmatan yang hebat.
Ini bukan pertama kali aku bercinta sambil berdiri seperti ini, tapi dengan Jimmy semuanya terasa lain, baik irama kocokannya maupun kenikmatannya. Kubiarkan hentakan demi hentakan menghantam rahimku, sambil mendesah sesekali kuberikan goyangan perlawanan, tubuhku sudah telungkup di atas meja, tanpa mempedulikanku lagi dia tetap menyodokku, malah makin keras.
Jimmy menarik tanganku kebelakang, kini posisiku menggantung tertahan lengannya, kocokan Jimmy makin menghebat, aku tidak bisa berbuat apa apa dengan posisi ini, hanya mendesah dan mendesah. Kemudian pegangannya beralih ke buah dadaku, kocokannya tetap keras dan cepat, penisnya makin dalam mengisi vaginaku. Kunikmati kocokannya, kemudian dia membalikkan tubuhku, kini kami berdiri berhadapan, diangkatnya kaki kananku dan ditahan dengan lengannya, tubuhku disandarkan di dinding, kuatur penisnya di vaginaku, dengan sekali dorongan keras kembali penisnya melesak dalam di celah vaginaku. Dengan punggung tertahan dinding, terasa kocokannya makin keras menghantam dinding dinding vaginaku, desah dan jeritanku makin berisik, Jimmy dengan dinginnya menatapku yang lagi mendesah.
“yaaa…I love it…trusssssss…egh…eh…eh” desahku setiap kali kurasakan rahimku tersentuh penisnya. Tak bisa menahan lebih lama kenikmatan ini, akhirnya akupun mencapai puncak kenikmatan, jeritan kenikmatan terlepas begitu saja dari mulutku.
Lututuku langsung lemas tapi Jimmy tetap saja mengocokku, aku sudah tak bisa berdiri lebih lama lagi, kudorong tubuh Jimmy menjauh hingga terlepas penisnya dari vaginaku, dia tidak marah tapi memintaku berlutut di depannya, kuturuti kemauannya ketika dia kembali memintaku mengulum penis itu, kurasakan cairan vaginaku yang ada di batang kejantanannya dan dia kembali mengocok mulutku, tak lama kemudian kurasakan penis itu mulai menegang pertanda segera orgasme, aku berusaha mengeluarkannya dari mulutku tapi tangan Jimmy menahannya, aku tak bisa mengeluarkan penisnya dari mulutku, dan menyemprotlah sperma Jimmy di mulutku, rasanya mau muntah ketika cairan sperma itu memasuki rongga mulutku, terasa aneh, semprotan itu cukup kencang hingga beberapa bagian langsung meluncur masuk ke tenggorokanku tanpa bisa kutahan. Jimmy masih tetap menahan kepalaku, dengan bebasnya penisnya menyemprotkan sperma membasahi mulutku, aku berusaha mengeluarkan spermanya dari celah celah mulutku, beberapa berhasil tapi beberapa tak dapat kuhindari tertelan masuk.
Setelah puas “memperhina”-ku, Jimmy melepaskan tangannya dari kepalaku, aku segera meludahkan sisa sperma yang ada di mulutku ke karpet lantai, kuusap sisa sperma yang ada di bibirku, kutatap dia dengan pandangan protes tapi disambutnya dengan senyum kepuasan.
Aku marah tertahan, segera aku berdiri dan kucium bibirnya, supaya dia juga ikutan merasakan spermanya, tapi dia memalingkan muka menghindari ciumanku, didorongnya tubuhku menjauh dan dia berkelit langsung memelukku dari belakang, dengan begini aku tak bisa lagi menciumnya. Akhirnya kami berdua tertawa bahagia, sudah kulupakan bagaimana dia “menghina” ku tadi.

Kami sempat sekali lagi bercinta di kamar mandi, tapi lagi lagi dia mengeluarkan spermanya di luar vaginaku, terakhir kali dia keluarkan di pantatku ketika posisi doggie style. Hingga dia pulang aku tidak mendapatkan orgasmenya di vaginaku, tapi aku tetap puas, entah sudah berapa kali aku mengalami orgasme, sungguh tipe tamu yang paling aku idamkan.

Setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi baik ketika aku masih di Hotel maupun setelah freelance, tapi dengan dia pertama kali aku merasakan sperma dan menelannya. Sejak saat itu aku berani menelan sperma tamuku, baik dia yang minta maupun aku yang minta, tapi sangat selektif tergantung tipe tamu yang aku suka, tentu saja dengan imbalan tip yang lumayan gede untuk servis yang satu ini.
=====================================================

Aku diberitahu Om Lok untuk segera bersiap karena seorang pejabat akan datang, seperti bisa kalau pejabat baik itu sipil maupun militer, bisaanya beliau datang saat jam istirahat, biasa Sex After Lunch or Sex During Lunch.
Saat itu aku tak tahu dari mana seorang Jendral atau pejabat punya duit berlebih untuk membayarku, tak terlintas dalam benakku kalau sebenarnya  mereka tidak membayar dari kantungnya sendiri, tapi atas service dari orang lain, kolega, konco KKN, rekanan bisnis atau lainnya. Baru belakangan setelah aku freelance aku tahu semua permainan para pejabat dan pengusaha, terlalu busuk untuk diikuti, tapi toh sedikit banyak aku ikutan menikmati manisnya era Orde Baru.
Tepat pukul 12 siang muncullah sang pejabat, dia diantar Om Lok, seorang Chinese lainnya dan Pak Sam, mereka bertiga berada di kamarku, setelah menemani sebentar kemudian Om Lok dan Chinese satunya meninggalkan kamar.
Meskipun aku tidak dikenalkan siapa beliau, tapi aku langsung tahu karena sebagai pejabat militer di Jatim dia sering muncul di Koran atau TV. Aku tahu namanya Pak Im, beliau lebih memilih berkarir di Sipil, sekarang masih menjabat sebagai pejabat tinggi di Jatim.
“oh ini toh primadona si Lok” begitu komentar Pak Im ketika melihatku yang waktu itu mengenakan gaun hijau berbelahan dada rendah sehingga tampak tonjolan bukit dadaku.
Aku menawari minuman pada mereka berdua, tentu mereka bisa menikmati tonjolan buah dadaku ketika aku membungkuk menyajikan minuman di meja.
Pak Im memintaku duduk di sampingnya setelah aku memberikan minuman, Pak Sam hanya memandangku dengan penuh arti.
“jangan bilang bapak kalau kita udah pernah, pura pura saja kita belum pernah kenal” kata Pak Sam pelan ketika Pak Im sedang ke kamar mandi, padahal Pak Sam sudah lebih dari tiga kali menikmati manisnya tubuhku, sehingga aku cukup akrab mengenalnya.
“sekali kali komandan merasakan sisa anak buahnya” lanjut Pak Sam dengan senyum nakal, ada perasaan sakit hati ketika Pak Sam menyatakan “sisa”, sepertinya aku ini sesuatu yang habis dipakai lalu dibuang, tapi aku hanya tersenyum penuh pengertian.
Pak Sam segera pamit ketika Pak Im kembali duduk di sampingku.
“Pak aku tinggal dulu, kalau ada perlu saya ada di lobby dengan si Lok, jangan lupa Pak nanti kita ada rapat jam 2″ Pak Sam mengingatkan seraya pamit meninggalkan kamarku.
Kini aku berdua dengan Pak Im, seorang komandan militer di Jatim saat itu, agak kikuk aku berhadapan dengan seorang pejabat yang berwibawa, apalagi dengan kumisnya yang tebal terlihat lebih galak dan tegas.
Mengingat waktu beliau tidak banyak, aku harus segera menyesuaikan tanpa bertele tele.
“sepertinya Bapak tidak banyak waktu ya” kataku membuka percakapan
“he eh, memang timingnya nggak pas sih, tapi aku terpengaruh promosi dari Hongki dan si Lok itu, jadi kusempatkan saja, sekalian refreshing sebelum rapat nanti, biar segar dan tidak tegang saat rapat.
Aku memberanikan diri duduk di pangkuannya hingga dadaku tepat di depan beliau. Pak Im mencium pipi lalu bibirku sambil tangannya mulai meraba raba di dadaku, kubalas dengan elusan dan remasan di selangkangannya yang kurasakan mulai menegang, ciuman beliau mulai turun ke leher dan bahu, kuremas lebih kuat kejantanannya yang mengeras. Tanpa melepaskan bibirnya dari tubuhku Pak Im menarik turun resliting bajuku, dengan sedikit gigitan beliau melorotkan gaun yang kukenakan hingga turun ke perutku, tampaklah buah dadaku yang menantang tertutup bra.
Sedetik beliau memandangi buah dadaku, ada sorot mata kagum sebelum kepalanya ditanamkan di antara kedua bukit itu, tangan beliau dengan cekatan membuka kaitan bra di punggungku dan kembali giginya menarik penutup tubuhku, untuk kedua kalinya beliau memandang buah dadaku dengan penuh kekaguman, tapi lagi lagi tanpa bicara kepalanya mengusap usap kedua buah dadaku sambil meremas remas dengan gemas.
Bibir Pak Im mulai menyentuh putingku, kurasakan kegelian karena kumis beliau yang tebal serasa menggelitik di dadaku, Pak Im langsung menyedot putingku seperti seorang bayi yang menetek, sambil menyedot lidahnya bermain main di putingku, sementara tangannya tak pernah lepas dari kedua bukit itu. Aku mendesis perlahan di dekat telinganya, bergantian beliau mengulum dari satu puting ke puting lainnya, kuremas rambutnya dan kutekan kepalanya ke dadaku. Begitu rakus beliau terhadap buah dadaku, entah mungkin gemas atau mungkin sudah nafsu.
Kubuka kancing baju premannya dan melepaskannya, lalu kaos dalamnya hingga kini beliau hanya mengenakan celana dinas, terkagum aku memandang postur tubuhnya, begitu padat berisi, meski sudah 50 tahun tapi tetap menjaga kondisi tubuhnya, salut aku dibuatnya, apalagi dengan sedikit bulu di dadanya, sexy rasanya. Mungkin aku sudah terlalu sering melayani orang seusia papa-ku hingga mempengaruhi selera bercintaku terhadap orang seusia mereka. Aku berlutut di depannya, kulepas sepatu dan kaos kakinya, Pak Im hanya tersenyum melihat perbuatanku. Aku mulai membuka ikat pinggang dan reslitingnya, kutarik turun hingga terlepas, Cuma celana dalam yang menempel di tubuhnya. Kusimpan rapi pakaiannya di lemari, lalu aku kembali berlutut di antara kakinya, kugosok gosok dan kuremas kejantanannya yang mulai menegang dari balik celana dalam, kuciumi dadanya yang bidang berbulu, terasa dadanya turun naik, napasnya mulai menderu, aku tahu beliau sedang menahan birahi. Tangannya sudah  meraba raba dadaku kembali, kukulum putingnya, beliau mulai meremas remas, jilatanku beralih turun ke perut, kukeluarkan kejantanannya dari sarangnya, lumayan besar dan tegang, kubelai, kuremas, kuciumi dan kukocok dengan tanganku, sesekali kujilat kepala kejantanannya, cairan bening sudah meleleh dari ujungnya, kulirik Pak Im mendesis sambil memperhatikanku menjilati kejantanannya, kulepas celana dalamnya, beliau sudah telanjang. Lidahku terus menjelajahi daerah kejantanannya, dari ujung hingga pangkal bahkan kantong bola, desisan Pak Im makin keras kudengar meski masih sayup,.
Setelah hampir dua minggu bekerja, kegiatanku diluar menemani tamu adalah menonton film porno dan tuntutan sebagian besar tamuku, aku mulai terbisaa menikmati oral sex, baik terhadap tamuku maupun mereka terhadap aku, bahkan kudengar aku dikenal “supel” (bahasa jawanya : suka peli alias suka penis) karena permainanku terhadap penis yang membikin sebagian tamuku mendesah desah nikmat, meski belum se-piawai bintang film porno yang sering aku tonton. Begitu juga dengan Pak Im, mendapat permainanku di penisnya, desah kenikmatan keluar dari mulutnya, kombinasi antara jilatan dan kocokan tangan membuatnya merem melek, tangannya meremas remas rambutku sambil menekan kepalaku ke penisnya.
Pak Im memintaku berdiri di atasnya, kuturuti kemauannya, aku berdiri di atas kursi menghadap tempat beliau duduk, kukangkangi beliau atas kemauannya hingga vaginaku tepat didepan wajahnya, kakiku diangkatnya ke sandaran kursi, dengan begitu kepala Pak Im berada di selangkanganku, lidah Pak Im langsung mendarat di bibir vaginaku, menari nari di klitoris dan vagina, aku mendesah menikmati jilatan beliau, tanpa kusadari pinggulku bergoyang mengikuti iramanya, kurasakan jilatannya semakin menghebat menyapu vaginaku, aku menggeliat seakan menjepit kepala Pak Im di selangkanganku, kutekan pantatku ke mukanya hingga kepalanya tertekan ke sandaran kursi, goyangan pantatku semakin tak terkontrol sehingga vaginaku menyapu seluruh wajah Pak Im, Pak Jendral seperti menikmati sapuan vaginaku di wajahnya, aku semakin kegelian ketika kurasakan kumisnya ikutan menyapu daerah kewanitaanku, kuremas rambut beliau dan makin kutekankan pantatku ke wajahnya, aku sudah tak peduli lagi bahwa yang kukangkangi ini adalah Seorang Jendral bintang dua yang begitu berkuasa dan dihormati, yang kupedulikan hanya seorang laki laki yang sedang mengharapkan kenikmatan sex dariku.
“ouh..oh..udah …udah Pak, ntar…ntar..a..a..aku keluar” desahku.
Pak Im lalu menuntun dan merebahkanku di ranjang, tapi bukannya langsung memulai tapi kembali beliau berada di selangkanganku, kami saling menjilat dengan posisi 69, cukup lama dengan posisi itu hingga akhirnya Pak Im membalikkan tubuhku, beliau lalu menindih tubuhku, bibirnya kembali menyusuri leher dan dadaku, tercium aroma vagina ketika Pak Im melumat bibirku.
Kami masih saling melumat bibir ketika kusapukan penisnya di bibir vaginaku yang sudah basah, baik dari dalam maupun dari ludahnya , pelan pelan beliau mendorong masuk kejantanannya, makin lama makin dalam tertanam di liang kenikmatanku, tatapan matanya yang tajam tak pernah lepas dari expresi wajahku saat penisnya melesak hingga semua tertanam ke vaginaku, kulawan tatapan matanya dan terlihat expresi kenikmatan terpancar di wajahnya. Beliau mencium bibirku ketika mulai menarik dan mendorong kejantanannya di vaginaku, aku mendesis nikmat menerima kocokan ringannya, makin lama makin cepat keluar masuk, desahanku makin keras. Tubuh beliau menindih rapat tubuhku, berkali kali ciuman gemas mendarat di pipi dan bibirku, aku menggeliat ketika bibir dan lidah beliau menyusuri leher dan telingaku, kumis beliau terasa menggelitik daerah sensitive itu, sambil mempercepat kocokannya, antara geli dan nikmat bercampur menjadi satu.
Kujepitkan kakiku di pinggul beliau sambil memeluknya erat, kejantanannya makin dalam melesak di vaginaku.
“aaaaaaahhhhhh….aaaahhhhh” jeritku ketika beliau menyodokku keras, kuremas rambut beliau, sodokan demi sodokan makin melambungkanku tinggi ke awan kenikmatan. Entahlah aku begitu menikmati cumbuan dan kocokan beliau, kini kedua kakiku sudah berada di pundak beliau, pinggulku sedikit terangkat, membuat Pak Im makin bebas dan dalam melesakkan kejantanannya ke vaginaku, dan tentu saja makin nikmat kurasakan. Hampir duapuluh menit beliau mengocokku tapi belum ada tanda tanda orgasme, aku salut dengan fisik beliau mengingat usianya yang sudah sekitar 50-an, beliau begitu pintar mengatur irama kocokannya, sepertinya saat mau mencapai orgasme ditahan dengan menghentikan gerakan kocokannya beberapa detik kemudian kembali mengocok dengan cepat.
Kami berganti posisi, beliau mengocokku dari belakang, posisi doggie, sambil mengocok tangannya mengelus punggungku, kedua buah dadaku menggantung dan bergoyang dengan bebasnya seirama dengan kocokan Pak Im. Tanpa membuang waktu beliau langsung meraih kedua buah dadaku dan meremasnya, remasan lembut yang makin liar seliar kocokannya.
“aaaahh…ya pak…trus pak…truuuusssss” desahku sekeras kocokannya yang makin menghebat..
Aku menggoyang pinggulku melawan gerakannya, dan effekknya sungguh hebat, vaginaku terasa teraduk aduk penis Pak Im, beliau makin dalam menancapkan penisnya, makin nikmat tentu saja. Goyanganku makin liar melawan kocokan Pak Im, dan tak lama kemudian tubuhku menegang, aku mencapai orgasme terlebih dahulu, vaginaku berdenyut kencang meremas remas kejantanan Pak Im, beliau tak menghentikan kocokannya justru lebih cepat. Aku menjerit keras dalam nikmat orgasme, sungguh nikmat dalam selingan kocokannya, tiba tiba kurasakan denyutan hebat dari penis Pak Im menghantam dinding vaginaku, seperti meriam yang menembakkan pelurunya secara beruntun, semprotan cairan sperma yang hangat menyirami vaginaku, kembali aku menjerit nikmat menerima denyutan demi denyutan, Pak Im meremas pantatku ketika menyemprotkan spermanya di vaginaku, kemudian tubuhnya melemas dan memelukku dari belakang, kami berdua jatuh telungkup dan Pak Im masih di atas punggungku, napas kami saling berpacu kencang, lalu kami berdua telentang dalam kelelahan yang indah.

Beberapa saat kami membisu, kubersihkan penis Pak Im dengan tissue yang ada di meja kemudian kutinggalkan beliau ke kamar mandi membersihkan diri dan vaginaku.
Ketika aku kembali dengan berbalut handuk di tubuhku, ternyata Pak Im sudah berpakaian lengkap bersiap untuk pulang, jam sudah menunjukkan pukul satu lebih.
“Ly, aku pergi dulu, nanti setelah  sekitar jam 5 kembali lagi, bersiaplah”
“siap pak” jawabku manja sambil bergayut di lengannya
“kamu nggemesin sih, cantik dan menggairahkan, terlalu saying kalau Cuma sekali, istirahat dulu dan jangan terima orang lagi sampai nanti, aku akan bicara sama si Lok” jawabnya sambil mengangkat daguku dan mencium bibirku.
Tak lama kemudian Om Lok, Pak Sam dan Chinese yang tadi masuk kamar, entah kapan Pak Im memanggil mereka, aku masih hanya berbalut handuk ketika menemani mereka berempat.
Tak lama kemudian mereka keluar kamar, diluar dugaanku Pak Sam memberiku secarik kertas di genggamanku, setelah mereka pergi kubuka kertas tersebut dan sungguh mengagetkan aku.
“aku akan kembali nanti setelah mengantar Bapak ke kantor, bersiaplah”
Kuremas dan kusobek kertas itu, “memang aku piala bergilir yang bisa dipindah tangankan” pikirku, kutelepon Om Lok memprotes pengaturan ini, bukannya aku keberatan tapi pengaturannya yang harus jelas.
Setelah dijelaskan Om Lok dan negosiasi akhirnya dicapai kesepakatan sebagai harga satu paket, aku menerima meski dengan sedikit kecewa karena tidak semua sesuai dengan keinginanku.


Part 2

Aku mandi menyegarkan tubuh, karena masih jengkel, kukenakan pakaian tidur sutra yang transparan, tanpa pakaian dalam hingga terlihat postur tubuhku dari balik pakaian tidur itu.
Pukul tiga Pak Sam datang, beliau begitu takjub ketika melihat penampilanku yang lain dengan bisaanya.
“Wah seperti pulang ke rumah disambut wanita cantik, kamu memang bisa aja bikin orang gemes dan lebih merangsang” komentarnya. Aku hanya tersenyum bangga melihat kekagumannya.
“kita punya waktu sampai jam setengah lima sebelum aku menjemput Bapak kembali” katanya langsung memelukku, memang antara Hotel Hilton dan markasnya tidaklah jauh, mungkin hanya limabelas menit.
Ciuman Pak Sam langsung mendarat di bibirku dan tangannya menjamah di kedua bukit dadaku, meremas remas gemas. Bibirnya berada di leherku ketika tanganku meraih kejantanannya, kami masih berdiri sambil saling meremas. Kukeluarkan penis tegangnya dari lubang reslitingnya dan kukocok kocok, aku lalu berlutut di depannya, kujilati kepala penisnya dan kumasukkan ke mulutku, kukulum kepala penisnya hingga ke batang penis, kucoba sebanyak mungkin memasukkan ke mulutku. Pak Sam memegang kepalaku dan  mengocokkan penisnya di mulutku, batang penis itu dengan cepatnya keluar masuk mulutku.
Aku kemudian berdiri menghadap meja, tubuhku condong ke depan dengan tumpuan tanganku di meja, Pak Sam menyingkap baju suteraku, tanpa membuka pakaiannya lalu menyapukan penisnya di vaginaku, kubuka kakiku lebih lebar memberi jalan kejantanan beliau menembus liang vaginaku. Perlahan tapi pasti kejantanan Pak Sam melesak memasuki celah sempit vaginaku hingga semua tertanam di dalam. Beliau meremas buah dadaku dari belakang saat menarik penisnya dan kembali memasukkan dengan dorongan kuat, aku terdongak kaget, antara sakit dan enak bercampur dengan nikmat. Kocokannya makin cepat dan makin nikmat terasa, remasan pada buah dadaku makin kuat, aku mendesah nikmat, semakin cepat semakin nikmat.
Tanpa memperlambat kocokannya, tangannya meremas dan menjambak rambutku, aku hanya mendesah, kuangkat kaki kananku ke atas meja, penis Pak Sam makin dalam tertanam di vaginaku, ada perbedaan cara bercinta dan irama kocokan Pak Sam dengan Pak Im, tapi bagiku dua duanya sama sama enak menghanyutkan. Dengan keras Pak Sam menyodokku tiga kali lalu dengan kasar menarik keluar penisnya, aku menoleh protes, tapi beliau tersenyum dan membalikkan tubuhku, dinaikkan tubuhku di atas meja, kakiku dibuka lebar dan kembali beliau memasukkan penisnya, langsung mengocok dengan cepat. Kami bercinta berhadapan, dengan bebasnya Pak Sam mengocokku sambil menciumi sekujur tubuhku sejauh bisa dijangkau, tangannya tak pernah meninggalkan daerah di dadaku, mengelus dan meremas sesukanya.
Kami masih berpakaian, aku dengan baju tidur sutraku dan beliau masih dengan pakaian lengkap, tapi tak menurunkan gairah bercinta kami, kuterima sodokan demi sodokan dengan penuh kenikmatan.
Pak Sam mengangkat dan menjepitkan kakiku di pingganggnya, beliau melesakkan penisnya dalam dalam sambil mencium bibirku, lalu beliau menarik tubuhku dan mendekapku erat.
Tanpa kuduga beliau mengangkat tubuhku dan menggendongku sambil tetap menanamkan penisnya di vaginaku, aku kagum dengan fisiknya yang bisa menggendongku, tubuhku diangkat turun naik di gendongannya memberikan efek kocokan di vagina. Aku memeluknya erat takut terjatuh, beliau membawaku ke arah ranjang, lalu kami terjatuh di ranjang, aku menindihnya, penisnya terlepas dari vaginaku, kami berdua tertawa riang, segera kumasukkan penisnya kembali dan dengan posisi duduk di atasnya kini aku yang gantian menggoyangnya.
Pak Sam kembali meremas buah dadaku ketika goyanganku makin cepat, aku tak berani menggoyang terlalu cepat karena resliting celananya mengganggu dan sakit apabila terkena di vagina. Tapi Pak Sam tak mau terlalu lama di bawah, dibaliknya tubuhku dan langsung menindihku, kuminta beliau melepas celananya karena reslitingnya mengganggu, dengan tersenyum diturutinya permintaanku, tapi beliau tak mau melepas semuanya, hanya melorotkan saja, entah apa alasannya. Kakiku dinaikkan di pundaknya dan dengan posisi push up beliau mengocokku, bukan main ternyata jauh lebih nikmat, disamping makin dalam penisnya tertanam, pada saat keluar masuk menggesek klitorisku, aku menjerit nikmat, beliau tersenyum melihat expresi kenikmatan di wajahku. Kuremas sendiri kedua buah dadaku sambil mempermainkan putingnya, Pak Sam mencegah ketika aku berusaha menurunkan baju sutraku, sesekali dilumatnya bibirku yang lagi tengadah mendesah.
Tubuh Pak Sam turun naik memompaku dari atas, sesekali pantatnya ditekankan pada vaginaku, penisnya makin dalam tertanam, aku makin mendesah desah nikmat.
Dan tak lama kemudian kuraih orgasme, tubuhku tegang, otot vaginaku mencengkeram penis beliau yang masih keluar masuk vagina, kuremas lengannya sambil menjerit dalam kenikmatan. Pak Sam kemudian menindih dan mendekapku dalam pelukannya, tanpa memperlambat kocokannya bibirnya sudah menjelajahi leherku, kuelus kepala botaknya, kakiku menjepit pinggangnya, dan tak lama kemudian beliau menyusulku mencapai puncak kenikmatan. Kurasakan cairan hangat membasahi liang vaginaku, penisnya serasa membesar dan berdenyut keras, memenuhi rongga rongga vaginaku, menghantam dinding dinding sempit yang menjepitnya, kembali aku menjerit menerima semprotan spermanya. Tubuh Pak Sam terkulai lemas di atas tubuhku, napasnya turun naik, kudengar dengusan dari hidungnya dekat telingaku, kubiarkan sesaat beliau menindihku sebelum kudorong halus turun dan terlentang di sampingku.
Kurasakan sperma Pak Sam menetes keluar dari vaginaku, segera aku ke kamar mandi membersihkannya, tak lebih sepuluh menit aku di kamar mandi ketika kembali ternyata Pak Sam sudah tidur mendengkur dengan kejantanan yang sudah lemas lunglai, kupandangi wajah beliau, tampak garis tegas matang yang sudah mulai menua, kepalanya yang botak tanpa kumis sungguh jauh dari kesan tampan, sama sekali tidak menarik. Kalau kupikir lebih jauh, inilah orang yang sudah beberapa kali menikmati tubuhku, menyetubuhiku, dan juga sedikit banyak memberi kenikmatan padaku.
Lamunanku buyar ketika kudengar bunyi hand phone dari celana Pak Sam, segera beliau terbangun dan menerima telephone itu, ternyata dari Pak Im, dengan agak gugup beliau menjawab Pak Im.
Kutinggalkan Pak Sam yang lagi bicara dengan atasannya, aku mandi bersiap menerima kedatangan Pak Im sebentar lagi. Ketika kubuka pintu kamar mandi, Pak Sam sudah berdiri di depan pintu masih dalam keadaan telanjang, sambil tersenyum beliau langsung menarikku ke pelukannya, ditariknya handuk yang memlilit tubuhku hingga terlepas, kami berdua telanjang berpelukan dan berciuman. Kembali tangan dan bibirnya menjelajahi sekujur tubuhku yang baru mandi, Pak Sam lalu berlutut di depanku, diangkatnya kakiku di pundaknya dan lidahnya langsung menjelajah di vaginaku, dengan rakusnya beliau menjilat dan menghisap sisa sisa cairan yang masih tersisa di vaginaku. Aku mendesis menerima permainan lidahnya, tak lama ketika beliau kembali berdiri menghadapku, didorongnya tubuhku hingga bersandar ke dinding cermin, kakiku diangkat dan disanggah lengannya, kuusapkan kejantanannya ke bibir vaginaku, kubasahi dengan ludah di kepala penisnya untuk memberi pelumas dan memudahkan kejantanannya memasuki vaginaku, perlahan beliau mendorong masuk hingga semua tertanam ke dalam, langsung mengocoknya, karena tinggi badan kami sama, tak ada kesulitan bagi beliau untuk mengocokku dari depan sambil berdiri. Tubuh kami saling menempel, hanya pantat Pak Sam yang bergerak mendekat dan menjauhi tubuhku, sementara bibirnya sudah menjelajah di leher dan wajahku sambil sesekali bibir kami menyatu dalam birahi. Kemudian beliau membalikkan tubuhku, kembali Pak Sam menyetubuiku dari belakang, beliau mendekapku sambil mengocok, tangannya meremas remas kedua buah dadaku dari belakang dan tubuh kami masih menyatu dalam percintaan.
Aku mendesis menerima kocokan dan jilatan Pak Sam dari belakang, kudorong pantatku kebelakang supaya penis beliau bisa masuk lebih dalam, kuluman di telingaku membuatku makin menggelinjang geli dan nikmat, ditambah lagi remasan dan permainan di putingku, kulihat bayangan kami di cermin, sungguh menambah erotik permainan ini, tanpa kusadari karena terhanyut dalam permainan Pak Sam, tiba tiba kurasakan badanku menegang dan otot otot vaginaku berdenyut, aku menjerit nikmat mengalami orgasme, dan jeritanku lebih keras lagi ketika Pak Sam tanpa henti mengocokku justru lebih cepat hingga beberapa menit kemudian menyusulku ke puncak kenikmatan, denyutan penisnya tidak sekuat sebelumnya tapi tetap membuatku menjerit nikmat. Pak Sam meremas remas buah dadaku, pantatnya digoyang goyangkan seakan menggodaku, kutoleh ke belakang, senyuman puas mengembang di wajah beliau, kutarik dan kubalikkan tubuhku, kami kembali berhadapan, beliau langsung memelukku dan mencium kedua pipiku, berakhir di bibirku.
“kamu memang benar benar luar bisaa dan menggairahkan” katanya sambil melepas pelukanku. Pak Sam langsung mengenakan kembali pakaiannya tanpa mencuci terlebih dahulu.
“Pak Im sebentar lagi datang, mandi sana lagi biar segar dan Pak Im tidak curiga” katanya sambil meninggalkanku sendirian di kamar masih dalam keadaan telanjang.

Part 3

Kurebahkan tubuhku di ranjang, istirahat sejenak sebelum kedatangan Pak Im, badanku terasa letih yang hebat, mungkin terlalu banyak orgasme, lututku terasa ngilu dan lemas.
“ntar aja mandinya, toh Pak Im masih empatpuluh lima menit lagi” pikirku
Tapi diluar dugaanku, tak lebih limabelas menit setelah Pak Sam pergi, ternyata Pak Im datang, beliau sudah di depan pintu, sendirian tanpa ditemani siapapun, entah bagaimana beliau menyelinap di hotel ini tanpa diketahui banyak orang karena wajah beliau pasti sudah banyak dikenal di Surabaya ini.
Agak gugup aku melihat kedatangannya, tak kusangka begitu cepat beliau datang, entah apa mereka sempat ketemu atau tidak, semoga tidak supaya aku tidak perlu repot menutupi kejadian ini, aku belum sempat mandi sehabis bercinta dengan Pak Sam tadi. Tak mau membuat Pak Im menunggu lebih lama, segera kusambar baju tidur sutraku yang tergeletak di lantai, tanpa mengenakan pakaian dalam lagi dengan agak takut  kubukakan pintu menyambut Pak Im.
Melihat penampilanku yang super sexy dengan pakaian seperti itu, Pak Im langsung memelukku dari belakang begitu kututup pintu kamar, tangannya sudah berada di kedua buah dadaku, mengelus dan meremasnya, bibirnya menjelajah di leherku yang jenjang seterlah menyibakkan rambutku, aku menggeliat.
“kamu memang benar benar penggoda dan menggairahkan” bisiknya.
Terus terang khawatir kalau Pak Im langsung mau menjilati vaginaku karena sperma Pak Sam masih banyak didalam belum sempat kubersihkan. Sebelum keduluan Pak Im, aku langsung jongkok di depannya, kubuka resliting celananya dan kukeluarkan kejantantannya yang masih sedikit menegang, tanpa membuang waktu lebih lama, kejantanan itu langsung masuk mulutku dan segera keluar masuk, batang penis di mulutku makin lama makin tegang membesar seiring dengan desisan dari beliau. Dipegangnya kepalaku dan beliau mulai mengocokkan penisnya di mulutku, sambil tetap mengulum kubuka ikat pinggang dan kutarik celananya turun. Setelah kurasa kejantanannya sudah siap, aku berdiri dan kutuntun Pak Im dengan menarik penisnya mengikutiku, beliau hanya nurut saja ketika kutuntun mendekati meja, tangan kananku menyapukan penis ke vaginaku sementara tangan kiri menarik bajunya supaya mendekatiku dan kucium bibirnya supaya beliau tidak perlu melihat ke bawah, aku takut sisa sperma Pak Sam terlihat oleh beliau. Dengan mudahnya kejantanan Pak Im melesak masuk ke vaginaku yang masih basah, entah beliau tahu apa tidak kalau vaginaku habis dipakai, agak khawatir aku kalau kalau Pak Im tahu, aku hanya berharap beliau berfikir bahwa vaginaku masih basah sisa dari permainannya tadi siang. Kucumbu dan kukulum bibir Pak Im dengan penuh gairah, tanganku memeluk kepala dan meremas rambutnya untuk memberikan sensasi pengalih perhatian supaya tidak terlalu terkonsentrasi di vaginaku. Aku berusaha agar Pak Im segera orgasme sehingga tertutuplah “jejak” Pak Sam di vaginaku, untuk itu aku harus extra aktif dengan segala upaya erotis yang aku mampu.
Diperlakukan dengan penuh gairah, nafsu beliau langsung naik tinggi, ketika kubuka baju sutraku beliau mencegahnya, kubuka pakaiannya sambil tetap kami bercinta. Beliau tersenyum memandangku, lalu meremas buah dadaku, aku mendesis nikmat, diciuminya pipi dan bibirku dengan gemas, kocokannya makin cepat dan keras kurasakan. Sesekali tubuhnya dihentakkan ke tubuhku membuat kejantanannya makin dalam tertanam.
“uh…aaaahhh…aaaaauuuugghhhh….yessss” desahku setiap kali tubuhnya menghentakku, kupandang matanya dengan sorot mata penuh kenikmatan, beliau hanya tersenyum di balik kumis tebalnya.
Aku telentang di atas meja, kakiku kunaikkan di pundaknya, dengan berpegang pada kedua buah dadaku beliau meremas dan mengocokku makin keras, tubuhku menggeliat ke-enak-kan, makin mendesah makin cepat kejantanannya keluar masuk vaginaku.
“oooohh…ooohhh…aaaaahhhhhh” teriaknya seiring dengan semburan sperma di vaginaku, tangannya mencengkeram keras buah dadaku, cairan hangat kembali terasa membasahi celah celah vaginaku, tubuhnya menegang, entah sudah keberapa kali beliau orgasme denganku hari ini.
Aku sepertinya sudah lama kenal dengan beliau, maka tanpa segan dengan kakiku kudorong dadanya menjauh hingga terlepaslah penisnya dari tubuhku, beliau hanya tersenyum melihat kenakalanku, lalu menarikku berdiri dan memeluknya.
“kamu memang benar benar menggairahkan dan penuh kejutan variasi” katanya sambil memelukku.
“Bapak juga hebat, membuatku kewalahan, sini aku bersihkan” kembali kutuntun Pak Im dengan memegang penisnya yang sudah lemas menuju kamar mandi.
Setelah membersihkan, kami rebahan di ranjang dalam keadaan telanjang. Singkat cerita kami akhirnya kembali bercinta dua kali lagi di ranjang, sungguh aku salut dengan stamina beliau.
Sebelum tengah malam beliau meninggalkan kamarku dengan meninggalkan amplop di meja. Aku kembali tercenung dalam kesendirian malam sebelum tidur, dalam satu hari aku sudah bercinta dengan dua orang jendral yang begitu dihormati, ada rasa bangga dan meninggikan rasa percaya diri.
Sekarang saat tulisah ini dibuat di awal 2003, kedua jendral tadi masih menjabat di negara ini, aku hanya tersenyum sendiri kalau melihat mereka muncul di TV, mengenang bagaimana mereka memperlakukan atau kuperlakukan di atas ranjang, bagaimana desah mereka saat orgasme, atau bagaimana expresi kenikmatan terpancar di wajah mereka ketika bercinta, sungguh jauh dari kesan mereka saat di lapangan ataupun TV, terlihat begitu tegas dan berwibawa.
Lain ladang, lain pula tingkah laku belalang, lain di ranjang lain pula di lapangan.
 ==============================================
Di antara tamu-tamu yang membookingku, tak semuanya masih mempunyai kemampuan dan stamina yang memenuhi syarat untuk terjadinya suatu hubungan seksual, meskipun hasrat dan gairahnya masih tinggi.
Kisah dibawah ini adalah sepotong pengalaman dari para tamu yang “burungnya tidak lagi mampu berkepak terbang”
*****
SANG DIRJEN
Tamuku kali ini sungguh lain, berbeda dengan tamuku sebelumnya, aku diminta datang ke kamarnya yang kebetulan atau memang sengaja berada di satu hotel, cuma letaknya agak berjauhan. Om Lok berpesan supaya aku berpakaian resmi seperti halnya orang kantoran, tentu saja bukan masalah bagiku karena di samping koleksi bajuku dan gaunku memang banyak, juga Om Lok selalu menyediakan gaun dan segala perlengkapan pakaian tidur yang sexy, termasuk urusan bra dan celana dalam, karena dia memang sudah mengerti ukuranku dan selera para tamu, bermacam busana baik yang resmi, santai, gaun pesta, gaun malam, baju tidur, lingerie semuanya terpajang di lemari kamarku seperti layaknya butik.
Aku sih tak keberatan dan senang senang saja dengan pengaturan seperti ini, toh meski aku tidak suka busana yang dia belikan, aku kan tidak harus pakai tiap hari dalam waktu yang lama, paling juga saat menemani tamu, itupun disesuaikan dengan selera atau permintaan tamu, ada yang minta supaya aku mengenakan busana sexy, pakaian santai, pakaian tidur, busana resmi, pakaian ketat, tanpa pakaian dalam, bahkan ada yang memintaku langsung telanjang ketika menyambutnya, biasanya kalau sudah lebih dua kali bertemu, permintaan yang aneh-aneh timbul, mungkin karena sudah merasa saling mengenal jadi mereka juga nggak segan untuk memintaku tampil berbeda, itu semua kuturuti demi kepuasan tamuku, toh bagiku nggak ada bedanya, toh semua itu akhirnya dibuka juga, toh akhirnya aku harus telanjang di depan mereka, jadi apalah bedanya semua itu bagiku, tapi sangat beda bagi mereka yang memintaku seperti itu untuk memenuhi fantasinya, yang tidak didapat di rumah.
Hari itu sebenarnya cukup melelahkan bagiku, karena mulai pagi jam 10 sudah menerima tamu, dan tamuku ketiga baru selesai jam setengah tujuh malam, kini aku masih harus melayani tamuku keempat hari itu. Meskipun dari ketiga tamuku tadi hanya satu yang bisa membuatku orgasme, tapi justru dari tamu terakhirlah aku mendapatkannya, bahkan lebih dari 2 kali, jadi capeknya masih terasa hingga malam hari. Ingin aku menolak, tapi karena Om Lok memberiku iming iming pembayaran lebih karena tamuku ini seorang pejabat, Dirjen, maka kuturuti saja karena aku juga tak ingin mengecewakan Om Lok dan pasti kalau aku menolak gadis lain yang akan menggantikannya, disamping itu keterangan dari Om Lok bahwa Pak Dirjen ini sudah tua, mungkin sudah lebih 60 tahun, jadi dua kali usiaku, “jangan jangan seusia opa-ku” pikirku, tentunya tak perlu kerja keras melayaninya, paling juga nggak lebih lima menit sudah KO dan rasanya seusia dia tak mungkin melakukannya dua kali.
Jam 19:45 Om Lok sudah menjemputku untuk di antar ke kamar Pak Yono, sang Dirjen, kukenakan pakaian kerja kantoran, rok resmi dipadu dengan blus You Can See yang ditutupi blazer biru tua, seperti orang ke kantor. Ini adalah pertama kali aku “keluar kandang”, menemui panggilan tamuku di kamarnya, tidak seperti biasanya aku melayani mereka di kamarku, bercinta dan bercumbu di ranjangku, kembali ada rasa bimbang dan gugup menggelayut di batinku, sepanjang jalan ke kamar Pak Yono kepercayaan diriku makin mengecil, seperti anak kecil pertama kali keluar dari rumah, takut tersesat dan merasa tidak aman, padahal tidak jarang kalau lagi suntuk di kamar aku jalan jalan sekitar Lobby, atau berenang di pagi hari sebelum “jam kerja” dimulai.
Ketika sampai di kamar suite Pak Yono, ternyata ada beberapa tamu yang sedang ditemui beliau, ada lima orang, dua diantaranya chinese, yang lainnya masih mengenakan seragam dari instansi tertentu. Mengetahui masih ada tamu, Om Lok mengajakku menunggu di lobby atau di kamarku, tapi salah seorang chinese tadi menghampiri Om Lok, mereka berdua bicara menjauh dariku, kemudian chinese tadi masuk kamar sebentar dan kembali menemui kami seraya mempersilahkan masuk. Aku langsung dikenalkan ke Pak Dirjen, aku kaget ketika mengetahui yang mana Pak Yono, benar dugaanku, orangnya seusia Opaku, yang jelas lebih dari 60 tahun, ada sedikit rasa jijik melihat orang sudah setua itu dan sudah bau kubur masih suka sama wanita muda. Aku dipersilakan duduk di antara mereka di kamar tamu, mereka membicarakan masalah proyek angkutan darat di Jawa Timur.
Sambil bicara sesekali para laki laki itu melirik ke arahku, aku jadi canggung dan jengah mendapat perhatian dari mereka, entah mereka tahu atau tidak siapa aku ini, tapi aku yakin ingin mereka sudah mengetahuinya, rasanya aku ingin pergi dari ruangan itu, lebih baik aku menunggu di kamarku dari pada jadi kambing bodoh di antara laki laki dengan sorot mata yang ingin menelanjangiku itu.
Untunglah Pak Yono cepat tanggap, aku dipersilakan menunggu di kamar tidurnya, ada rasa canggung berada di kamar tidur orang lain, meski itu kamar hotel tetapi beberapa barang pribadi Pak Yono menggeletak di situ, ada bungkusan menggeletak di tempat duduk satu satunya yaitu sofa panjang, aku tak berani menyentuh barang pribadi beliau, sehingga mau tak mau aku harus duduk di ranjang menunggu beliau masuk.
Menunggu adalah siksaan yang berat, lebih setengah jam aku menunggunya tapi tak nongol juga, sementara badanku yang capek makin terasa capek dengan hanya duduk tak nyaman di ranjang Pak Yono sambil nonton MTV di TV, akhirnya kuberanikan diri rebahan di ranjang itu, entah sudah berapa lama aku menunggu hingga akhirnya ketiduran di ranjang Pak Yono dengan pakaian masih lengkap.
Dalam tidurku, aku merasa sekujur tubuhku mendapatkan rangsangan tanpa sadar dan kemudian ada beban berat menindih dadaku, membuatku susah bernafas, ketika kubuka mataku Pak Yono sudah menindihku sembil menciumi pipiku, wajah jeleknya tepat di depan wajahku, aku kaget, mau marah dan teriak tapi untunglah kesadaranku segera pulih.
“Eh Bapak, mengagetkanku saja, maaf Pak aku ketiduran”, kataku segera menghilangkan kekagetanku.
“Nggak apa, aku yang minta maaf membuatmu menunggu terlalu lama”, jawabnya tanpa beranjak dari atas tubuhku, bagian kejantanannya ditekankan di selangkanganku yang ternyata kakiku sudah terbuka dengan rok yang tersingkap di perut sehingga menampakkan celana dalamku, dua kancing atas bajuku sudah terbuka sehingga bra bagian buah dadaku sudah bisa dinikmati, rupanya aku terlalu lelap tidur, mungkin Pak Yono sudah menggerayangi seluruh tubuhku saat aku tidur.
“Orang tua kurang ajar”, pikirku tapi tetap menampakkan senyuman di bibirku sambil memeluknya, baru aku tahu ternyata Pak Yono sudah melepas pakaiannya dan tinggal celana dalam yang menempel di tubuhnya.
Mukanya yang jelek dan hitam sudah menempel di pipiku, menciumi dan menjilati leherku, membuatku makin jijik dibuatnya, digumuli orang setua beliau, opa-ku saja tak pernah menciumiku sebanyak itu.
“Aku lepas baju dulu ya Pak biar nggak kusut”, pintaku
Seperti terlepas dari beban berat ketika tubuh Pak Yono beranjak dari tubuhku, beliau melarangku ketika aku mau melepas baju di kamar mandi, dengan terpaksa dan dipenuhi perasaan marah kulepas penutup tubuhku satu persatu di depannya, hingga aku benar benar telanjang bulat di hadapannya.
Begitu melihat tubuh telanjangku, beliau langsung menarikku di pelukannya, kembali wajah jeleknya menyusuri seluruh tubuhku, tangannya dengan bebasnya menjamah seluruh daerah erotisku, tangannya meremas remas pantatku kemudian beralih ke buah dadaku dan dengan rakusnya beliau mengulum putingku, aku makin muak melihat tingkah lakunya.
Kemuakanku makin bertambah ketika beliau berada di antara kakiku, dengan mata jelalatan diamatinya vaginaku, kebetulan habis aku rapihkan bulu rambutnya sehingga tampak indah, beliau memandangku dengan tersenyum lalu secepat kilat lidahnya langsung mendarat di klitorisku, aku menjerit kaget dan marah, tapi beliau tak memperdulikanku, lidahnya sudah mempermainkan klitorisku, kemudian menyusuri daerah kewanitaanku, disapukannya lidah tuanya ke bibir vagina. Tak lama kemudian jari tangannya sudah mulai ikutan mempermainkan sekitar vaginaku, dimasukkannya satu jari kemudian dua jari ke liang vaginaku, dan mengocokknya. Jujur harus aku akui bahwa permainan lidahnya sungguh menghanyutkanku, mungkin karena pengalamannya yang sudah banyak sehingga beliau bisa membuatku ikut terhanyut meski sebenarnya aku tidak menghendaki.
Sungguh aku membenci diriku sendiri ketika tanpa sengaja desahan nikmat keluar dari mulutku, permainan lidahnya terlalu nikmat bagiku, desahanku makin sering keluar tanpa kontrol, kupegang kepala Pak Yono dan kutekankan ke vaginaku, gerakan lidah Pak Yono makin ganas dan liar menyusuri celah celah kewanitaanku. Tanpa kusadari pantatku sudah bergoyang mengimbangi jilatan Pak Yono, tentu ini membuat beliau makin menjadi jadi mempermainkan vaginaku, jilatan di klitoris dan kocokan jarinya secara kompak bermain di vaginaku, memainkan irama birahinya.
Pak Yono kemudian menindih tubuhku, kupejamkan mataku ketika beliau menciumi wajahku, aku jijik melihatnya, ciumannya turun ke leher dan berhenti di kedua putingku, mengulum dengan rakusnya, aku masih memejamkan mata, jari tangannya menggosok klitorisku dan mengocoknya. Meski aku biasa melayani orang yang jauh lebih tua, tapi terhadap Pak Yono rasanya belum siap, tak seperti biasanya, entah kenapa perasaan jijik selalu menyelimutiku setiap kali wajah Pak Yono mendekat ke mukaku.
Pak Yono lalu rebah di sampingku, aku mengerti maksudnya, kugeser posisi tubuhku di antara kedua kakinya, aku kaget, ternyata kejantananku masih lemah lunglai, kupegang penisnya yang loyo, kuremas remas untuk memberikan rangsangan, mulai mengeras tapi masih jauh memenuhi syarat, belum bisa berdiri sendiri. Dengan menahan rasa muak dan jijik, kubelai dan kuciumi, belum juga bangun, maka terpaksa kujilati kepala penisnya, kemudian batangnya hingga ke kantong bola, tetap tidak membuahkan hasil yang diharapkan, kemudian kumasukkan ke mulutku, semua penisnya yang loyo masuk ke mulutku sampai hidungku menyentuh rambut kemaluannya, kukulum dan kupermainkan lidahku di kepala penisnya, berharap segera “bangkit”, tapi tetap sia-sia, hanya sedikit menegang, bahkan ketika kusapukan kepala penisnya ke putingku, masih saja tidak ada perubahan. Aku tak tahu apa yang terjadi, apakah beliau impoten, atau aku kurang bisa memberikan rangsangan atau memang sudah hilang kemampuan ereksinya, padahal biasanya hanya dengan pegangan dan sedikit ciuman para tamu sudah kelocotan mendesah nikmat.
Berbagai upaya kulakukan untuk membuatnya “hidup” tapi tetap tak membawa hasil, akhirnya kunaiki tubuh Pak Yono, kuatur posisiku di atas penisnya dan kuusap usapkan menyapu bibir vaginaku, berharap hal ini memberikan rangsangan, tapi tetap saja penis itu tak bisa bereaksi secara maximal, kembali kukulum dan kukocok dengan mulutku, aku sudah kehilangan jurus untuk membuatnya “hidup”, segala kemampuanku sudah kukerahkan tapi tetap tak seperti yang harapan.
“Susah ya nduk?”, katanya, “nduk” adalah panggilan untuk gadis kecil di jawa, kujawab dengan senyuman terpaksa, sambil kembali memasukkan penisnya ke mulutku.
“Ya sudah sini nduk, kalo memang nggak bisa nggak usah dipaksain, maklum sudah tua”, katanya sambil menarikku ke atas, rebah di sampingnya.
Pak Yono kembali menindihku, bibir dan lidahnya kembali dengan rakus menjelajah sekujur tubuhku, berkali kali beliau menyapukan penisnya ke vaginaku dan berusaha mendorong masuk tapi berkali kali pula beliau gagal melakukannya, entah sudah berapa liter ludah yang digunakan untuk membasai penis dan vaginaku, toh gagal juga.
Ketika penisnya sudah mulai agak menegang, dipaksanya mendorong masuk, kubuka kakiku lebar lebar, juga kubantu memperlebar bibir vaginaku dengan tangan, beliau berhasil memasukkan penisnya dengan paksa, bagiku tak ada artinya tapi bagi beliau sudah sangat berharga, merupakan kemajuan yang besar, kurasakan penis itu seperti “berlari-lari” di vaginaku, tapi tak sampai lima kali kocokan kurasakan cairan hangat membasahi vaginaku, tak ada denyutan atau semprotan, sepertinya sperma itu menetes dengan sendirinya, tubuh Pak Yono terkulai lemas menindihku kemudian berguling dan rebah di sisiku. Beliau miring memelukku, kaki kanannya ditumpangkan ke pahaku, sedangkan mukanya dekat telingaku, bisa kurasakan hembusan napasnya menerpa telingaku, membuatku semakin muak dalam pelukannya.
Kami terdiam pada posisi seperti ini, tak lama akupun ikut ketiduran karena memang sebelumnya sudah kecapekan. Belum kurasakan nyenyaknya tidurku, tiba tiba kurasakan tangan Pak Yono sudah kembali menjelajah di vaginaku, digosoknya bibir dan klitorisku dengan jarinya, tentu saja aku makin risih, kuraih penisnya yang lunglai dan kuremas remas, tetap seperti tadi lemas tak berdaya.
Baru kusadari, mulailah penyiksaan seksual terhadapku, beliau menggumuli tubuhku dengan bibir dan lidahnya menjelajah seluruh tubuhku, aku makin jijik dengan perbuatannya, lebih dari satu jam beliau memperlakukanku seperti mainan, menjilat, mengulum, mencium, mengocok dengan jarinya, ingin rasanya kutampar mukanya ketika beliau berada di selangkanganku, aku hanya menggigit bibirku menahan amarah.
Aku tak tahu dan tak bisa memperkirakan bagaimana berakhirnya permainan ini, karena tentunya tidak ada klimaks-nya.
Ternyata penyiksaanku tak berakhir begitu saja, sepanjang malam dia menggerayangi tubuhku yang tetap telanjang, hanya saat dia tertidurlah penyiksaan itu berhenti tapi begitu terbangun kembali tangan dan lidahnya menggerayangi sekujur tubuhku, dan itu berlangsung hingga pagi hari, kurasakan vaginaku panas dan lecet karena gosokan jari tangannya yang kasar.
Inilah pengalaman terberat dan terburuk yang aku alami selama menjalani profesi ini, baik saat itu maupun perjalananku selanjutnya, begitu berat aku memendam perasaan muak terhadapnya. Ketika aku pamit meninggalkannya, dia memberiku beberapa lembar uang lima puluh ribu yang menurutku tidak ada artinya, sangat tidak sepadan dengan “pengorbanan dan service” yang kuberikan, dua kali kecewa olehnya, dalam hati aku bersumpah tak akan mau menemui dia lagi. Namun sungguh konyol ketika aku sudah menjadi freelancer, beberapa bulan kemudian, aku kembali terperangkap mendapatkan tamu beliau, bahkan 2 kali terperosok dalam kubangan yang sama.
SANG LAKSAMANA
Pengalaman serupa kembali terulang ketika aku menemani Pak Ari, orang penting di jajaran Angkatan Laut di Armada Timur yang berpusat di Surabaya, ARMATIM.
Diantar Om Lok dan seorang Chinese yang aku tak kenal, kami menyusuri jalanan Surabaya menuju Hotel Majapahit yang terletak ditengah kota. Seorang pejabat penguasa kota Jakarta adalah tujuan kami, sebenarnya bukan dia yang minta tapi Yongki, si Chinese, berhasil membujuk Om Lok untuk “mengumpankan” aku ke pejabat tersebut, siapa tahu setelah melihat penampilanku hatinya tergoda, katanya. Aku keberatan kalau nggak pasti seperti itu, tapi dengan persetujuan bahwa begitu aku keluar kamar, maka “argo carteran” sudah mulai jalan, akupun mengikutinya.
“Kalau dia nggak mau juga, berarti dia laki laki bodoh atau nggak normal, jangan khawatir, kalau dia nggak mau juga, aku yang akan booking”, tantang Yongki pada Lok.
Kami langsung menuju kamar suite beliau, ternyata banyak tamu disana dan juga 2 gadis seusiaku, melihat “sainganku” aku merasa bahwa mereka bukanlah kelasku apalagi sainganku, nggak level. Aku dan 2 gadis itu menunggu di ruang tidur, sepertinya mereka memberi kesempatan beliau untuk memilih gadis yang dia mau, baru kali ini aku diperlakukan menunggu untuk dipilih, agak malu juga diperlakukan seperti itu, biasanya tamu sudah ngantri untuk menikmatiku tapi kini aku harus ikutan antri, tapi toh aku akan dibayar penuh, baik dipilih maupun tidak, nggak ada ruginya.
Aku masih belum tahu siapakah beliau ini, karena banyak orang di ruang tamu, tak sempat aku mengamati siapa siapa yang hadir disitu terus masuk kamar tidur. Yongki cuma memberitahu bahwa tamunya adalah seorang penguasa Jakarta. Lima belas menit kami menunggu ketika Yongki menyuruh kedua gadis itu pulang, tinggallah aku sendiri di kamar itu.
Aku tak berani rebahan di ranjang atau mulai melepas pakaianku menunggu kedatangannya, meski aku yakin sudah terpilih, trauma atas perlakuan Pak Yono tempo hari masih kurasakan.
Tinggallah aku, Om Lok, Yongki, pejabat itu ditemani ajudannya, ternyata beliau adalah Pak Sur, memang dia penguasa yang “punya” Jakarta, aku sangat mengenalnya dari seringnya beliau muncul di TV.
“Ly kamu temani Pak Surya, kalau beliau minta nginap ya ikutin aja”, pesan Om Lok sebelum meninggalkanku berdua dengan beliau.
Kulihat wajah dingin beliau seolah tanpa ekspresi menyambutku, disuruhnya aku duduk di sebelahnya, aroma minyak angin begitu menyengat, sepertinya beliau lagi tidak enak badan.
“Kamu duduk aja di sini, aku nggak tahu apa maunya mereka, kamu disuruh tinggal ya tinggal aja disini”, katanya dingin tak ada senyum meski terdengar ramah, memang beliau dikenal tidak bisa tersenyum.
Aku tak tahu harus berbuat apa, nggak mungkin kalau beliau nggak tahu maksud dan tujuanku berada di kamar ini. Aku diam saja tak berani bertindak lebih jauh, secara halus sebenarnya ada isyarat penolakannya, entah kurang cocok denganku atau memang lagi nggak enak badan atau juga memang nggak suka perempuan, seperti isunya selama ini.
“Mau dipijitin Pak?”, aku memberanikan
“Nggak usah, sebentar lagi dipakai tidur juga hilang”.
Sebentar lagi dipakai tidur? apa berarti dia nggak mau sama aku?, pikirku, belum pernah kudengar penolakan dari laki laki seperti ini.
“Dipijitin sambil tiduran kan bisa cepat tidur Pak”, pancingku mulai mengarah.
“Ntar malah nggak bisa tidur, tambah pusing nanti”, beliau tetap menolak halus sambil menggosok minyak angin ke kepalanya.
“Sini aku bantuin Pak”.
“Gini aja udah enakan kok”.
Berbagai usaha yang mengarah sudah aku lakukan tapi tetap saja keluar penolakan darinya, aku menyerah, belum pernah kutemui laki laki yang membiarkanku sendirian seperti ini. Aku jadi serba salah, sepertinya dia tak mau ditemani tapi nggak mungkin kalau aku meninggalkannya begitu saja, satu satunya jalan keluar adalah dia menyuruhku pergi, tapi itu terlalu menyakitkan bagiku, ada perasaan terusir.
“Kalau Bapak nggak enak badan dan mau istirahat, aku pulang boleh?”, akhirnya menyerah.
“Gini lho mbak, bukannya aku nggak suka kamu, sebagai laki laki normal aku menyukai wanita apalagi secantik kamu, tapi itu bukan berarti aku harus tidur sama kamu kan? Kalaupun aku mau ingin rasanya ngobrol denganmu sampai pagi, tapi aku lagi nggak enak badan jadi kamu ngerti kan?”.
Beliau mengatakan banyak hal yang sudah tak kudengarkan lagi, aku hanya menunduk malu, melihat pintu keluar sudah terbuka lebar, cuma sekarang bagaimana meninggalkan beliau tanpa ada yang sakit hati, terutama aku.
“Kalau begitu Bapak istirahat saja, mungkin kalo aku disini Bapak terganggu istirahatnya, aku pulang saja gimana?”, tanyaku sambil menatap matanya yang tajam berwibawa, tak sanggup aku menatapnya lebih lama lagi.
“Kamu nggak usah tersinggung, aku memang nggak biasa melakukan ini”, tetap sopan meski tanpa senyum.
Akhirnya kutinggalkan beliau sendirian di kamar tanpa terjadi apa apa, dalam hati aku menghargai dan hormat pada sikap beliau, tak tega juga kalau memaksa merayu dia untuk bertindak lebih jauh. Kulihat Om Lok dan Yongki masih duduk di Lobby bersama si ajudan, segera kuhampiri mereka dan kuceritakan yang terjadi.
“Nah, aku menang”, teriak si ajudan dan kulihat Om Lok memberikan beberapa lembar 50 ribuan ke ajudan itu. Ternyata mereka taruhan, Om Lok dengan percaya diri bertaruh bahwa aku berhasil meruntuhkan Imannya, dia kalah. Pak Sur telah menyuruhku pulang, berarti aku harus menemani Yongki, bagiku nggak ada masalah toh dengan Yongki atau lainnya sama saja bagiku, tak ada yang istimewa.
“Berarti memang rejekimu”, kata Om Lok pada Yongki.
Tak kusangka ternyata Yongki masih punya “Plan B”, kembali aku disodorkan pada pejabat lainnya yang tak kalah tinggi pangkatnya, seorang laksamana di Angkatan Laut wilayah Timur, ARMATIM, namanya Pak Ari, entah ada acara apa banyak penggede negeri yang menginap di hotel ini.
“Kalau dia nggak mau juga, baru itu jatahku, tapi rasanya dia nggak akan menolak kok, aku pernah servis dia sih sebelumnya”, katanya.
Ternyata benar kata Yonki, singkat cerita akhirnya aku menemani Pak Ari yang berpangkat Laksamana itu (kalau nggak salah sih), orangnya tinggi besar agak botak tapi tertutup model rambutnya, meski dia seorang tentara tapi tutur katanya sopan dan lembut. Sebelum sempat aku berbuat apa apa, dia sudah membuatkan teh hangat dan menyodorkan ke arahku, biar segar, katanya. Aku yang biasa melayani agak canggung juga menerima “kebaikannya”.
Sebelum sempat melepas pakaianku, beliau sudah memijit kakiku, terasa enak dan nyaman pijatannya, beliau hanya memandangku meringis keenakan. Aku berusaha mencegahnya lebih lanjut tapi beliau menyuruhku diam dan menikmati pijitannya, sebenarnya aku menikmati pijitan itu, tapi bukan tugasnya, adalah tugasku untuk melayani beliau.
“Udah Pak, gantian Bapak yang aku pijitin”, desakku.
“Ah nggak usah, paling juga pijitanmu pijitan nakal”, tolaknya.
Pijitannya sudah mencapai betis dan sebentar lagi ke paha.
“Lepas dulu celananya”.
“Bapak juga lepas dong”.
Akhirnya kulepas piyamanya setelah aku melepas pakaianku, meninggalkan bikini pink yang semi transparan. Tubuhnya yang tegap tak menyisakan lemak di perutnya aku kagum dengan postur seperti itu, tapi tak kulihat sorot kekaguman di matanya melihatku semi telanjang, sepertinya beliau udah biasa mengamati tubuh seperti ini, justru beliau memintaku langsung tengkurap karena dia mau melanjutkan pijatannya, masih mengenakan celana dalamnya. Tak ada salahnya kuturuti, toh beliau yang mau, bukan kehendakku.
Pijatannya memang menghanyutkan, apalagi ketika tangannya sudah mencapai paha mendekati selangkanganku, mungkin vaginaku sudah basah hanya karena pijitan itu. Cukup lama ketika tangannya mencapai pantatku, beliau melepas celana dalamku, sesekali pijitan itu ke celah celah selangkangan dan nyerempet ke daerah vagina, makin basah aku dibuatnya. Bra dilepasnya ketika sampai di punggung, kali ini beliau langsung memijat ke arah depan, diremasnya buah dadaku yang masih tergencet tubuhku, dia menolak ketika aku berusaha berbalik, remasan remasan halus menegakkan bulu romaku, terasa geli geli terangsang mendapat remasan dari tangannya yang kekar dan berbulu.
Aku makin merinding saat kurasakan ciuman di tengkuk dan punggungku, sementara remasan di dadaku masih lembut. Ciumannya turun ke punggung lalu ke pantat, tangannya kembali menyelip di antara kakiku, menggosok bibir vaginaku dari sisi belakang, aku mulai mendesah sambil menaikkan pantatku secara reflek. Desahanku semakin keras saat kurasakan lidahnya menjilati pantat, kutekuk kakiku hingga aku nungging, semakin terbuka daerah kewanitaanku.
Tapi beliau tak melanjutkan jilatannya, beliau telentang disampingku, meski agak kecewa akupun bergeser di antara kakinya, kulepas celana dalamnya.
Sesaat aku terkaget heran, ternyata kejantanannya tak setegar penampilan postur tubuhnya, terlalu kecil dibandingkan dengan ukuran tubuhnya yang tegap dan gagah, agak kecewa aku melihat kenyataan itu, tapi tak mungkin kuungkapkan kekecewaanku. Kugenggam penis tegangnya, hanya seukuran genggaman tanganku, segera kucium dan kubelai penis itu, meski tidak besar tapi tugasku untuk membuatku terpuaskan dan syukur kalau aku juga bisa ikutan terpuaskan, tapi kali ini rasanya nggak mungkin.
Lidahku menyusuri penis yang sudah menegang tak lama kemudian meluncur keluar masuk mulutku, semua batang kejantanannya bisa kumasukkan ke rongga mulutku sampai hidungku menyentuh rambut kemaluannya, beliau memegang kepalaku dan membenamkan lebih dalam ke selangkangannya.
Tak lebih tiga menit aku mengulumnya, beliau menarikku ke atas dan merebahkanku ke ranjang, menciumi pipi dan bibirku, baru kusadari kalau kami tadi belum sempat berciuman. Lidahnya dengan lembut menyapu kedua putingku, dikulum dan dipermainkannya dengan lembut. Beliau menolak ketika tanganku hendak meremas penisnya kembali, tarian lidahnya yang lembut membuatku mulai melayang.
Aku mulai mendesah sambil meremas remas rambut Pak Ari yang berada di dadaku, baru kutahu kalau ternyata dia agak botak, tak terlihat dalam keadaan biasa. Beliau kembali mencium bibirku saat kejantanannya mulai kusapukan ke bibir vaginaku. Tanpa melepas ciuman kami dia menyodokkan penisnya masuk, kupeluk dan kucium beliau dengan penuh gairah, berharap aku juga ikut merasakan kenikmatan dari beliau yang gagah perkasa ini. Satu, dua, tiga kocokan pelan telah dilakukan, aku merasakan kehangatan dekapannya, pada kocokan ke lima kurasakan cairan hangat membasahi vaginaku mengiringi lenguhan panjang Pak Ari, lalu tubuhnya menegang kemudian melemas telungkup di atasku.
Dia sudah mencapai puncak kenikmatannya pada kocokan ke lima, hanya beberapa detik penis itu berada di vaginaku, kini sudah mengakhiri kenikmatan itu, tentu saja aku kecewa tapi sekali lagi kekecewaanku tak mungkin kutunjukkan pada tamuku. Napasnya masih menderu di telingaku, detak jantungnya seakan mau meledak di dadaku, begitu kencang. Kubiarkan tubuhnya masih telungkup menindih meski kurasakan agak sesak napasku terhimpit tubuhnya.
“Kamu belum ya”, bisiknya ditelingaku dengan nada seperti sesal.
Aku hanya tersenyum, dia memandangku, kulihat tatapan kekecewaan dari sorot matanya, hilang rasanya ke-angkeran dan ke-gagahan yang tampak sebelumnya.
“Istirahat dulu, mungkin Bapak terlalu buru buru, ntar aku bantu deh”, hiburku.
“Habis kamu nggemesin sih”, dia turun dari tubuhku, kami telentang bersebelahan.
Beberapa saat kami beristirahat dan bersantai, kembali aku dibuatkan teh hangat, bersantai kami nonton TV sambil sesekali beliau mengomentari acaranya. Tangannya mulai menggerayangi dada dan pahaku, aku diam saja tak bereaksi terhadapnya, kubiarkan pula saat tangannya mulai meremas, hanya desahku yang terdengar ketika mulutnya mengulum putingku. Kubiarkan kejantanannya menegang dengan sendirinya, aku takut kalau dia terlalu cepat selesai. Namun aku tak bisa hanya mendesah ketika bibirnya sudah beradu dengan bibir vaginaku, desahanku makin keras, kuremas rambut dan kuelus kepala botaknya.
Untuk kesekian kalinya seorang Jendral bertekuk lutut di antara kedua kakiku dengan kepala terjepit di selangkangan dan mulut terkunci di vagina. Jilatan lidahnya makin ganas, sesekali seakan dia menyedot semua isi tubuhku dari vagina, aku menjerit nikmat, apalagi jari tangannya mulai ikutan mengocokku. Beliau berdiri dan menyodorkan penis kecilnya yang keras menegang, kubelai dan kuciumi dengan manja, sebentar kukocok, sebentar kuremas, desahnya mulai terdengar penuh nafsu.
Tanpa diperintah aku nungging di depannya, di atas sofa, dengan posisi ini dia punya keleluasaan untuk mengatur permainan. Kurasakan kejantanannya mulai memasuki vaginaku, aku mendesah pelan, beliau membiarkan penisnya berdiam di dalam beberapa saat lamanya sambil mengusap punggung dan pantatku. Aku tak berani menggerakkan pantatku seperti biasanya, khawatir beliau selesai sebelum waktunya, pelan ditariknya penisnya dan pelan pula didorongkan kembali, lalu didiamkan lagi. Sebenarnya ini merupakan siksaat tersendiri bagiku, tapi demi kepuasan tamuku, tentu tak boleh egois.
Beberapa kali dia melakukan dengan pelan, tarik, dorong dan diam, diremasnya erat pantatku ketika kucoba mengimbanginya, kuurungkan gerakanku, hanya terdiam menanti kocokan pelannya. Lima kocokan sudah berlalu, aku masih tetap mematung dan mendesah menerimanya, tak ada kenikmatan sama sekali bagiku, tapi mungkin bagi beliau ada kenikmatan tersendiri, biarlah demi kepuasan Bapak Jendral yang terhormat.
Rupanya beliau cukup percaya diri ketika pada kocokan selanjutnya tak terjadi apa apa, kocokannya mulai cepat dan akupun mulai memberanikan diri untuk menggerakkan pantatku. Namun seperti sebelumnya, tak lebih semenit aku menggoyangkan pinggulku mengimbangi gerakannya, dia sudah teriak dalam orgasme, kurasakan penisnya berdenyut pelan di vaginaku. Kudiamkan saja sampai dia puas menumpahkan spermanya di vagina. Tak ada kenikmatan sama sekali yang bisa kudapatkan darinya, kecuali pijitannya.
Kutinggalkan beliau sendirian di sofa setelah membersihkan kejantanannya, ketika aku kembali dari kamar mandi Pak Ari sudah telentang di ranjang menanti kedatanganku, kurebahkan tubuhku dan kusandarkan kepalaku di dadanya yang bidang, terasa ada kedamaian dalam pelukan tubuh kekarnya, apalagi ketika beliau membelai ramputku sambil kami bercakap cakap, terasa romantis. Sebenarnya melihat postur tubuhnya yang terbilang sexy, aku sungguh berharap banyak mendapatkan kenikmatan darinya, tapi harapanku tinggallah harapan belaka.
Lebih dari setengah jam aku dalam pelukannya, beliau mengangkat daguku, dicium dan dilumatnya bibirku, dengan mesra kubalas kuluman bibirnya sambil mulai tanganku menggerayang ke selangkangannya. Kuremas dan kukocok kejantanannya, perlahan mulai menegang meski masih kecil dalam genggamanku, tak berani mengocok cepat, takut terlalu cepat berlalu. Kususuri leher dan dadanya, sesekali kukulum putingnya, ciuman dan lidahku bermain main di dada dan perutnya, kurasakan penisnya mulai mengeras.
Kembali kepalaku berada di selangkangannya, aku nungging di sampingnya sambil mencium dan menjilati kejantanannya, akhirnya penis itu meluncur keluar masuk mulutku tak lama kemudian. Pak Ari mendesah merasakan kulumanku, semakin kupercepat kocokan mulutku sambil mempermainkan lidahku di kepala penisnya, tangannya meremas remas buah dadaku penuh gairah. Aku ingin membuatnya benar benar siap sebelum kumasukkan penisnya ke vaginaku, namun kembali terpaksa menelan kekecewaan saat kudengar teriakannya.
Segera kukeluarkan penis dari mulutku tapi terlambat, penisnya berdenyut hanya beberapa saat setelah keluar dari mulutku, sedikit semprotan mengenai wajahku. Tanpa ragu kusapukan penis itu ke wajahku, beliau mengerang nikmat sambil meremas remas rambutku, kumasukkan kembali penisnya ke mulutku, dia mengerang kaget dan segera menarik kejantanannya dari mulut dan genggamanku.
“Ugh.. nakal ya”, katanya, aku hanya tersenyum sambil membersihkan wajahku dengan sprei.
Pukul 2 tengah malam kutinggalkan beliau yang masih terlelap, tentu saja seijinnya. Si ajudan hanya tersenyum ketika melihatku melintasi lobby. Aku yang masih terbakar birahi terpaksa harus memendamnya, entah sampai kapan, sampai kudapatkan kepuasan dari tamuku nantinya, karena aku sendiri tak tahu siapakah tamuku besok, apakah aku bisa mendapatkan kepuasan darinya, itulah pertanyaan yang selalu menggelayut di benakku. Sempat terlintas dalam benakku, apa istrinya bisa terpuaskan dengan kondisi Pak Ari yang seperti itu, mengingat aku sering melihatnya di TV betapa cantiknya istrinya meskipun sudah termakan usia, namun masih menampakkan sisa sisa kecantikannya.
Keesokan siang harinya, si ajudan nongol di depan pintu kamarku dengan di antar Om Lok, rupanya dia iri ketika aku melayani komandannya, sekarang dia ingin mendapatkan service yang telah kuberikan ke atasannya malam sebelumnya.
Tentu saja aku terkaget, tapi apa salahnya sejauh dia bisa membayarku toh tak ada bedanya. Ternyata dari dialah akhirnya kudapatkan kepuasan dan orgasme yang berulang ulang, meski pangkatnya masih kapten tapi permainannya bahkan melebihi si laksamana yang hanya mampu bertahan tak lebih dari semenit.
Itulah manis, pahit dan getirnya menjalani profesi ini, meski tak banyak frekuensinya tapi cukup menyiksa untuk dilakoni. Banyak kisah seperti ini yang aku jalani, bahkan tak jarang juga dari mereka yang masih muda, tentunya merupakan siksaan tersendiri bagiku, mungkin akan kutuangkan dalam kisah kisah tersendiri.
=========================================================
Akhirnya kutinggalkan Hotel Hilton yang telah menjadi rumahku selama hampir sebulan ini, sesuai kontrak kerja sama dengan Om Lok. Sebelum meninggalkan kamar kuamati sejenak kamar itu, begitu banyak kisah yang telah kulalui disini, ranjang yang telah menjadi saksi bisu perjalanan hidupku yang penuh warna kelabu, duka dan duka (sedikit suka) telah kulewati, tak ada kesedihan saat meninggalkan segala “kemewahan” yang ada, semua telah siap kutinggalkan.
Beberapa Room Boy melepasku dengan sedih, dengan kepaergianku tentu mereka tidak lagi mendapatkan tip yang hampir tiap hari kuberikan secara rutin setelah membereskan kamar, mereka semua tahu akan profesiku, tak bisa disangkal itu meskipun tak pernah mengatakannya, apalagi aku sering membantu keuangan apabila mereka mengalami masalah. Kubagikan masing masing 100 ribu setelah mengangkut semua barangku ke mobil, toh ini terakhir dan aku yakin dan tak ingin akan ketemu mereka lagi.
Koh Wi, si pengacara (tamu pertamaku, baca seri cerita pertama) menjemput dan membawaku ke Hotel Garden Palace. Dialah orang yang berhasil membujukku untuk meninggalkan Om Lok dan hidup bersamanya, meski tak jelas hidup bersama seperti apa, tapi bagiku yang penting hidup bebas dari ikatan Om Lok terlebih dahulu, setelah itu bagaimana jadinya, itu urusan belakang. Aku harus keluar dari kandang buaya ini, tak mungkin selamanya disini, lebih baik pergi selagi masih dibutuhkan dari pada disuruh pergi setelah manisnya tubuhku habis terhisap, tentu akan sangat menyakitkan.
“Kenapa kamu mau pergi Ly?”, tanya Om Lok beberapa hari sebelum kontrakku berakhir.
Kutolak perpanjangannya karena aku ingin bebas mengatur hidupku sendiri, tidak tergantung dia, aku juga berhak atas diriku yang selama ini selalu dalam genggaman orang lain, suatu kehidupan yang dengan sengaja “kugadaikan” ditukar dengan limpahan materi, ternyata kurasakan begitu gersang.
“Aku ingin bebas Om”.
“Kenapa? apa disini kurang bebas? semua kebutuhan sudah kucukupi, uang yang kamu dapat tidak berkurang sedikitpun, tamu juga terus berdatangan tak pernah sepi, kamu ingin apa? Mobil? Ntar Om belikan BMW, rumah? Kamu pilih sendiri yang mana? Tinggal bilang saja”, Om Lok masih berusaha membujukku dengan iming iming berbagai limpahan materi.
Tapi tentu saja dia sudah berhitung dengan cermat antara yang diberikan dan yang akan dia dapat, sebenarnya itu juga sebagian besar adalah hasil keringatku sendiri.
Aku tetap bersikukuh untuk keluar, apapun resikonya, apalagi Koh Wi sudah berjanji mendukungku apabila Om Lok bertindak macam-macam, dia kan pengacaranya dalam beberapa hal, tentu Om Lok tak berani kalau harus berhadapan dengannya. Akhirnya dia menyerah tak berhasil membujukku dengan berbagai cara dan iming-iming, tekadku sudah bulat, tak bisa ditawar lagi, hal ini juga berkat tekanan dari Koh Wi padanya. Sejak saat itu Om Lok tak pernah telepon apalagi datang ke kamarku, hanya anak buahnya yang memberi tahu kalau akan ada tamu, sekalian memberikan uang bagianku.
Beberapa hari terakhir tamuku makin banyak, tidak pernah kurang dari 3 orang, rupanya Om Lok ingin memanfaatkanku habis habisan sebelum aku lepas dari genggamannya, bahkan di hari terakhir aku harus melayani 5 tamu dalam sehari.
Kugunakan kesempatan ini untuk mulai “marketing” diriku sendiri, secara nggak langsung kuberitahu mereka kalau aku tidak akan disini sebentar lagi, terutama pada tamu tamuku yang sudah menjadi langganan. Kuberikan nomer pagerku, atas bantuan Room Boy aku telah mendapatkan pager tanpa setahu Om Lok, maklum waktu itu handphone masih belum sepopuler sekarang, nomernya masih terbatas sekali, apalagi di daerah Surabaya, masih menggunakan 082-310xx dan pesawatnya sebesar handy talkie, bisa untuk ganjal mobil mogok. Beruntung beberapa tamu tak keberatan memberiku nomer telepon, tentu saja mereka yang sudah percaya diri dan mempercayaiku.
Sengaja kutinggalkan beberapa barang pemberian Om Lok, terutama gaun malam sexy, sebagian barang rumah tangga kubagi bagikan ke Room Boy yang kupikir lebih membutuhkan. Kutinggalkan kamar itu sebagai wanita yang sama sekali berbeda dengan saat masuk sebulan yang lalu, kini namaku Lily, nama pemberian Om Lok, berbeda dengan nama pemberian orang tua yang sudah lebih dari 25 tahun kusandang (tentu saja pembaca tak perlu tahu siapa nama asliku).
“Kita sudah sampai”, kata Koh Wi menyadarkanku dari lamunan.
Ternyata Mercy sudah masuk pelataran parkir Hotel Garden Palace. Aku sendiri masih tak tahu kenapa pilihanku jatuh ke Koh Wi, padahal sudah banyak tamu yang menawarkan diri untuk “melindungiku”, menjadikan simpanannya, menjadikan istri kedua dan sebagainya, tapi aku lebih condong ke Koh Wi. Padahal dia sudah seusia papa-ku, wajahnya tidak ganteng bahkan menyeramkan dengan sedikit bekas cacar di mukanya. Mungkin karena dia “telah berjasa membimbing dan meyakinkanku” sehingga aku punya rasa percaya diri yang tinggi dalam menjalani profesi ini. Aku tak berfikir materi saat ini, karena kurasakan perhatian dan kasih sayang tersendiri darinya, dimana tak kudapatkan dari para tamu yang hanya melampiaskan nafsunya saja. Mungkin saat itu aku terlalu haus kasih sayang sehingga menjadi buta tidak melihat kenyataan bahwa dia sudah berkeluarga dan mempunyai anak seusiaku.
Sesampai di kamar kubongkar pakaianku dan kumasukkan ke lemari, kamar itu cukup luas meski lebih kecil dari Hilton, bertemakan Roman sehingga kurasakan suasana berbeda, pemandangan kota Surabaya yang lama tak kunikmati terlihat jelas dari lantai 12. Hari ini kurasakan kembali kemerdekaanku yang telah beberapa lama tergadai, hatiku begitu ceria dengan kebebasan ini. Kuutarakan niatanku membeli mobil, Koh Wi berjanji membelikanku tapi aku menolak, khawatir nanti menjadi suatu ikatan dan kemerdekaanku kembali tergadai, akhirnya kuputuskan untuk membeli Isuzu Panther dari hasil keringatku sendiri selama hampir sebulan, tanpa bantuan sedikitpun dari Koh Wi. Sengaja tidak kupilih sedan, disamping untuk menghemat pengeluaranku, juga karena aku masih berkeinginan memiliki BMW yang masih belum terjangkau saat ini, paling tidak harga jual kembali tidak terlalu jatuh, apalagi aku sedang merenovasi rumah hasil pembagian harta saat cerai dulu, selama ini tak pernah kuperhatikan, tak mungkin selamanya aku tinggal di Hotel. Aku sekarang harus berpikir sendiri soal keuangan, tak tahu bagaimana pemasukanku nanti setelah lepas dari Om Lok, meskipun optimis tapi masih belum tahu bagaimana nantinya.
Sehabis mandi sore itu, kukenakan pakaian santai, celan pendek dan T-shirt polos, rambut kukuncir ke belakang tanpa make up, toh dia bukan tamuku kali ini, jadi aku lebih bebas. Koh Wi hanya memandangku dengan pandangan yang lain dari biasanya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Nggak, kamu masih tetap cantik walaupun tanpa make up atau accessories lainnya”, pujinya melihat penampilanku yang apa adanya.
Aku hanya tersenyum dan duduk di pangkuannya. Tentu saja penampilanku jauh berbeda dengan saat menemani tamu, kini aku merasa seperti di rumah, tanpa beban untuk melayani dan memuaskannya dengan segala cara. Koh Wi mencium pipiku, kami berciuman, entah kenapa jantungku berdetak keras, padahal udah berulangkali kami berciuman sebelumnya, tapi kali ini ada perasaan lain saat aku mencium bibirnya, perasaan yang sudah lama tak kurasakan. Cukup lama kami saling melumat, aku benar benar menikmati ciuman ini, tangan Koh Wi sudah menjelajah ke dadaku, diremasnya kedua bukitku yang tanpa bra, aku menggelinjang dalam pangkuannya, tangannya menyusup di balik kaos dan mengusap usap dadaku dengan lembut, makin menggelinjang aku dibuatnya, ciumannya beralih ke telinga dan leherku membuatku tak tahan berlama lama dalam pangkuannya.
Tubuhku merosot turun ke bawah, dia melepas kaosku, kubuka resleting celananya dan kukeluarkan penisnya yang gede, inilah penis yang telah “mem-perawani” aku saat pertama kali berprofesi, penis yang telah berulang kali membuatku terkapar dalam lautan kepuasan sex. Kuusap usapkan ke buah dada dan putingku, lalu kuciumi dengan gemas sambil kupermainkan lidahku di ujungnya, dia mendesis seraya mengelus dan membelai rambutku. Belaian berubah menjadi remasan ketika kumasukkan kejantanannya ke mulutku, desisnya makin keras apalag saat aku lidah dan bibirku menyusuri batang tegangnya. Sungguh kurasakan nikmat tersendiri melakukan oral seperti ini tanpa paksaan, beberapa menit kupermainkan kejantanannya di mulutku. Dia merebahkanku di ranjang, dilepasnya celana pendek dan celana dalamku dengan sekali tarik, terpesona melihat selangkanganku, padahal udah berulang kali dia menikmatinya, tapi kali ini memang lain, semalam sebelum aku tidur yang terakhir kalinya di kamar itu, kucukur habis bulu bulu kemaluanku, ingin penampilan yang berbeda sekalian meninggalkan semua “jejak” masa lalu.
“Ha? Cantik..”, komentarnya melihat selangkangan gundul di antara kakiku.
Aku hanya tersenyum tak sempat berkomentar karena Koh Wi sudah mendaratkan bibirnya di bibir vaginaku. Aku menjerit kaget dan nikmat, lidahnya dengan lincah menari nari di klitoris dan vagina, diselingi permainan jari jemarinya yang keluar masuk liang kenikmatanku, desahanku terlepas bebas tanpa ke-pura pura-an, aku benar benar menikmati dengan setulus hati. Hampir saja aku orgasme hanya dengan permainan mulut dan jarinya, kalau saja Koh Wi tidak segera menghentikannya. Dia melepas semua pakaiannya tanpa bantuanku seperti biasanya, penisnya terlihat besar menegang, masih memegang rekor penis terbesar dalam catatanku.
Aku hanya telentang pasrah menanti, dijilatinya kedua putingku yang sudah besar agak kehitaman (terlalu sering dikulum dan disedot kuat, mulanya sih kecil kemerahan tapi kini sudah berubah, meski bentuknya masih tetap kencang seperti sebelumnya, aku sangat bersukur diberi karunia buah dada yang indah, bahkan mungkin aku berani adu keindahan dengan Tamara Blezinski yang konon katanya mempunyai buah dada terindah, Pede aja lagi), lidahnya menyusuri leherku sebelum akhirnya tubuh gendut Koh Wi menindih.
Kusapukan penisnya ke vaginaku yang basah, perlahan tapi pasti melesak mengisi rongga kewanitaanku, makin lama makin dalam hingga penis gede itu sempurna memenuhi vaginaku, rintihan kenikmatanku membuat Koh Wi makin gairah menciumi leher dan telinga, aku menggelinjang nikmat, apalagi setelah dia memulai kocokannya, perlahan dan kurasakan penuh perasaan.
Oh betapa nikmatnya, sudah lama tak kurasakan kenikmatan seperti ini, sudah lama kulupakan bersetubuh dengan penuh perasaan, kini kembali aku mengalaminya, suatu kenikmatan yang luar biasa, berkali kali kucium dan kulumat bibir Koh Wi. Kocokannya makin cepat, kuimbangi dengan gerakan pinggulku, tak kupedulikan apakah aku orgasme lebih dulu, tak kupedulikan apakah dia bisa puas apa tidak, aku ingin orgasme secepatnya sebelum dia.
Gerakanku penuh gairah, segairah hatiku membuat Koh Wi makin cepat mengocok, aku benar benar bermain total, tidak separuh hati seperti biasanya, kukerahkan segala imajinasi dan kemampuanku untuk mencapai puncak kenikmatan secepatnya, sebelum permainan menjadi liar seperti sebelum sebelumnya. Harapanku terkabul, tak lebih 10 menit Koh Wi menyetubuhiku, aku langsung terbang ke puncak, kupeluk erat tubuhnya, jeritan kenikmatanku begitu lepas keluar dekat telinganya, dibalas pelukanku dengan kuatnya meski tak menghentikan irama kocokannya, justru membuatku melambung makin tinggi.. Dan langsung lemas terkulai tak berdaya dalam tindihannya. Meskipun aku tipe wanita yang bisa orgasme ber-ulang ulang, dan itu sudah terbukti, tapi kali ini aku langsung kehilangan tenaga sesaat setelah orgasme pertamaku, mungkin terlalu dipengaruhi perasaan dan terlalu bernafsu sehingga makan banyak energi, orgasme terindah selama ini.
Koh Wi hanya tersenyum melihat aku sudah tidak menggerakkan tubuhku, bahkan mendesaHPun rasanya berat. Koh Wi masih saja sabar seperti dulu, meski dia belum orgasme.
“Oke kita istirahat saja dulu”, katanya sambil turun dari tubuhku, padahal keringat belum sempat keluar dan rokok yang dinyalakan tadi belumlah habis.
“Kok tumben udah KO duluan, masih capek ya kemarin habis di-forsir habis”, katanya ketika kusandarkan kepalaku di dadanya, kami telanjang berpelukan.
Aku hanya tersenyum, tak mungkin dia mengerti perasaan yang tengah kualami, capek bukanlah alasan bagiku, itu hal yang biasa, apalagi kalau capeknya capek enak. Justru ini adalah rekorku, karena hari hampir menjelang malam baru kurasakan satu laki laki, biasanya paling tidak sudah 2 penis yang telah mengisi vaginaku untuk waktu seperti ini.
Sambil berpelukan kuelus elus penisnya yang masih tegang, aku benar benar menyukai penis ini.
Tak lama kemudian aku sudah bergoyang kembali di atasnya, tubuhku turun naik mengocoknya, desahan kami beriringan bersahutan, tangannya yang kekar membelai dan meremas kedua buah dadaku yang berayun ayun bebas sambil sesekali menyibakkan rambut yang menutupi mukaku. Keringat kami mulai menetes deras, entah sudah berapa lama aku bergoyang pinggul di atas tubuhnya, kuputar pantatku hingga terasa penisnya mengaduk aduk rongga rongga di vaginaku, ouuhh.. betapa nikmatnya, meskipun ini yang kesekian kalinya kami bercinta, tapi masih saja kurasakan kenikmatan yang hebat, sudah beberapa kali kugapai puncak kenikmatan, tapi kepuasan memang tiada batas.
Posisi doggie yang dia minta tak menurunkan hasrat birahiku, sodokan demi sodokan menghantam rahimku, terasa sakit dan nikmat, sesekali ditariknya rambutku ke belakang sambil menyodok keras, desahan bebas lepas memenuhi kamar ini, aku benar benar bebas meng-ekspresikan kenikmatan yang kuraih, tanpa beban, tanpa malu, semua kulakukan dengan penuh perasaan, seakan tak ada lagi hari esok.
Setelah beberapa lama mengocokku, akhirnya kurasakan semprotan keras menghantam dinding vaginaku seiring dengan cairan hangat yang membasahi dan memenuhi relung relung kenikmatanku. Aku menjerit kaget dan nikmat bersamaan dengan jeritan orgasmenya, dicabutnya penis itu dan diusap usapkan ke pantatku, kurasakan spermanya meleleh keluar membasahi pahaku, akupun telungkup dalam kelelahan nan nikmat. Napas kami menderu seperti habis berlari lari, dia mengusap punggungku dengan mesranya.
“Kita ke Tretes yuk”, ajaknya setelah napas kami normal kembali tak lama kemudian.
“Kapan? udah lama aku tak kesana”, dengan girang kusambut ajakannya.
“Sabtu lusa deh kita berangkat, nginap semalam, minggu sore baru balik, gimana?”
“Asal tidak keduluan tamu bulanan yang satu itu”, jawabku, dia hanya tersenyum, kucium keningnya dan kunaiki perut buncitnya, kubiarkan spermanya menetes keluar mengenai perutnya, lalu kutinggalkan ke kamar mandi.
Layaknya pasangan yang sedang berbulan madu, kami habiskan malam itu dengan penuh gairah, tiada waktu yang terbuang sia sia, seperti orang yang kehausan di padang pasir. Tak malu aku membangunkannya di tengah malam hanya karena ingin bercinta, tentu saja dia menuruti permintaanku dengan senang hati dan tak perlu terburu buru karena yang kami punya saat ini adalah waktu yang panjang. Tak kuhiraukan lagi kenyataan bahwa aku melakukan ini tanpa dibayar, namun justru itu yang membuatku terbebas dari beban.
Ketika kubuka mataku keesokan paginya, sejenak agak asing rasanya melihat sosok laki laki masih berada di ranjangku, masih tertidur. Biasanya, setiap bangun di pagi hari (agak siang sih) selalu kutemui kesendirian dan kesunyian di kamar, kali ini terasa lain, ada Koh Wi disampingku. Selama di Hilton, belum pernah aku “keluar kandang” dan menginap sampai pagi begini, biasanya sebelum pukul 6 aku sudah meninggalkan tamuku kembali ke Hilton, karena memang biasanya tak pernah sempat tidur pulas, selalu “diganggu” dikala tertidur, baru kulanjutkan tidurku sesampai di kamarku sendiri di Hotel Hilton.
Pukul 9 pagi, Koh Wi berangkat ke kantor, meninggalkanku sendirian di kamar, kuantar dia sampai di pintu kamar, masih mengenakan piyama tanpa pakaian dalam, dikecupnya keningku sebelum pergi. Kembali kurasakan kesepian sepeninggalnya, terus terang aku tak tahu dari mana harus memulai untuk melanjutkan perjalananku, tak seorangpun yang kukenal di duniaku kecuali Om Lok, entahlah kupikir nanti saja setelah renang dan sarapan. Kuhabiskan waktu pagi di hari jum’at itu di kolam renang, bahkan makan pagi kulakukan di pinggir kolam. Kusadari beberapa pasang mata memandangku penuh, tapi tak kupedulikan. Waktu makan siang Koh Wi datang untuk makan siang bersama dilanjutkan dengan percintaan kembali hingga jam 2, lalu dia kembali ke kantornya. Besok paginya kami tidak jadi berangkat kerena keduluan datangnya tamu bulanan, tapi bukan berarti kami tidak melakukan apa apa, justru kerjaku lebih berat karena harus melakukan oral untuk membuatnya orgasme, meskipun begitu aku melakukannya dengan senang hati tanpa keterpaksaan.
Kami lewati hari hari yang menyenangkan, tiap jam istirahat Koh Wi menjengukku untuk makan siang atau sekedar Quickie, disamping itu aku sudah mulai melakukan kontak dengan tamu yang sudah memberi nomer teleponnya. Beberapa tamu bahkan telah menghubungi lewat pager, hanya berselang dua hari setelah kepindahanku, tapi dengan berbagai alasan aku sementara menghindar.
Ternyata lepasnya aku dari genggaman Om Lok sudah menyebar di kalangan GM kelas atas, entah darimana mereka mendapat informasi itu, padahal aku tidak mengenal mereka, beberapa GM menghubungi via pager ingin membicarakan “bisnis”, tentu kusambut dengan tangan terbuka, semakin banyak semakin bagus, pikirku. Diam diam tanpa setahu Koh Wi, aku menemui mereka sambil makan pagi atau sambil menemani berenang di hotel, tentu saja membicarakan tariff-nya, dari sini aku mulai melihat jalan ke depan sudah terbuka. Selama masa haid, kulakukan kontak untuk memastikan bahwa aku masih exist, bahkan beberapa sudah melakukan appointment, tentu saja saat ini tak bisa kulakukan saat jam istirahat, paling tidak setelah jam 2 siang dan selesai sebelum jam 5 sore. Meskipun Koh Wi tahu profesiku memang itu, tapi sementara aku harus menjaga perasaannya, walaupun dia tidak pernah mengucapkan melarang atau mengijinkan, entahlah nanti.
Part 2
Hari itu hari Senin, tepat sehari setelah masa haid berakhir, setelah melayani Koh Wi di siang itu dengan penuh gairah karena sudah menahan hasrat birahi selama haid, aku segera menghubungi tamuku di kamarnya di lantai 8. Sengaja kuarahkan dan kubantu tamuku untuk check-in di hotel itu supaya tidak terlalu lama diperjalanan, tentu saja menggunakan nama asliku, tak seorangpun tahu, disamping itu aku juga merasa lebih aman kalau melakukannya masih di Hotel. Kukenakan celana jeans dan kaos yang ketat sehingga terkesan sexy, apalagi ditambah bra “push-up” makin menonjokan lekuk lekuk tubuhku. Dengan tinggi 167 cm ditambah sepatu hak 7 cm, aku yakin akan membuat laki laki normal menelan ludah.
Pak David atau lebih akrab kupanggil David adalah tamu pertamaku sebagai wanita panggilan, dia adalah salah satu tamu yang datang di hari hari terakhirku di Hilton. Di usia yang relatif muda, mungkin 40 tahunan, dia mempunyai beberapa toko accessories mobil, salah satunya di daerah Kedungdoro. Pada mulanya dia menolak ketika kuajak, tapi dengan bujuk rayu dan tariff “perkenalan” untuk orang dan servis yang sama, akhirnya dia setuju tertarik.
Sesaat David terpesona melihat penampilanku yang lain dari sebelumnya, sekarang jauh lebih modis, rambut model Shaggy dan disemir agak kemerahan menambah pesonaku.
“Kamu makin cantik dan sexy”, pujinya ketika kami sudah berada di kamar dan langsung mencium kedua pipiku.
“Udah makan?”, tanyanya sambil melucuti pakaianku.
“Nggak ah lagi diet”, jawabku bohong membalas melucuti pakaiannya.
“Mandi dulu yuk, biar segar”, ajakku setelah kami sama sama telanjang, kutuntun dia ke kamar mandi dan kumandikan, tangannya tak pernah berhenti menjamah seluruh tubuhku selama kumandikan.
Kini kubiasakan untuk mengajak tamuku mandi sebelum bercinta, selain biar bersih dan segar, juga untuk menghilangkan bau keringat terutama di daerah selangkangan.
Akhirnya kami berpelukan telanjang dan saling melumat bibir di atas ranjang, ciuman penuh nafsu menyusuri leher dan dadaku, diremas remas dengan gemas sambil mengulum kedua puncak bukitku, kurasakan kenikmatan mulai menjalar di sekujur tubuhku, aku menggeliat. Sejenak pandangannya terpaku ketika melihat selangkanganku yang gundul, dia menatapku tersenyum lalu mulai menjilati klitorisku, aku mulai mendesah dan desahanku makin keras saat lidahnya mulai bermain di bibir vaginaku. Tak kupedulikan bahwa belum sejam yang lalu vagina itu telah diobok obok penis Koh Wi dan dibanjiri dengan spermanya, aku yakin tak ada lagi sisanya karena sudah kucuci bersih. Begitu bergairah David menjilati vagina gundulku sambil jari tangannya ikutan mengocok.
Kami berganti posisi, dia telentang menikmati jilatan dan kulumanku pada penisnya yang tidak sebesar punya Koh Wi, tangannya meremas remas rambutku. Kuminta dia mengangkat kakinya, kujilati penisnya hingga ke pangkal, terus turun sampai ke lubang anusnya. Belum pernah kulakukan hal itu pada tamuku sebelumnya tapi sudah sering terhadap Koh Wi, banyak improvisasi bercinta yang kulakukan, sebagai “kelinci percobaan” kulakukan terhadap Koh Wi, kalau dia menyukainya berarti laki laki lain aku yakin pasti suka, kucoba memberikan kesan dan kepuasan tersendiri pada tamuku kini.
Desahan David makin keras ketika lidahku dengan lincat bermain di sekitar lubang anusnya, kepalanya diangkat menatapku yang masih diselangkangannya, seakan tak percaya aku melakukannya. Kami ber-69, vaginaku tepat di atas wajahnya, dia langsung menjilat dengan rakus, bagitu juga aku terhadap penisnya. Puas bermain oral dan vaginaku sudah basah terangsang, aku berbalik menghadapnya, dengan posisiku di atas, kuusapkan penisnya yang menegang ke vaginaku, perlahan kuturunkan tubuhku dan melesaklah penis itu ke vaginaku, penis kedua yang kurasakan setelah seminggu hanya merasakan penis Koh Wi.
Ooohh.. sungguh nikmat merasakan penis yang lain, padahal dulu aku biasa merasakan lebih dari 3 penis dalam sehari, lebih dari 3 penis yang berbeda bentuk dan ukurannya selalu mengobok obok vaginaku setiap harinya, tapi kini lain rasanya, begitu kunikmati perbedaannya. Baru kusadari nikmatnya perbedaan setelah hanya kurasakan satu macam, mungkin itu yang membuat orang sering selingkuh, untuk mencari nikmatnya perbedaan dari satu wanita ke wanita lainnya diluar yang sudah ada di rumah.
Kudiamkan sejenak setelah semua penis itu melesak di vaginaku, kupandang wajah David yang penuh nafsu, ditariknya tubuhku dalam pelukannya dan dilumatnya bibirku sambil mulai mengocokku dari bawah. Aku mendesah dekat telinganya, kocokannya makin cepat dan pelukannya makin erat. Kami sama sama mendesah nikmat memacu nafsu menuju puncak kenikmatan. Kulepaskan pelukannya, aku mulai mengocok, tubuhku turun naik diatasnya sambil mengelus elus paha dan kantong bolanya. Aku menggeliat nikmat ketika tiba tiba dia menyodokku dari bawah, kedua tenganku tertumpu di pahanya kugoyang pantatku, dia mendesah mencengkeram buah dadaku, membalas goyanganku dengan kocokan.
Ditariknya kembali tubuhku dalam pelukannya, kami bergulingan, kini posisiku di bawah, menindih tubuhku, dada dan napas kami menyatu dalam irama kenikmatan birahi, penisnya makin cepat keluar masuk vaginaku. Kakiku kujepitkan di pinggangnya mengimbangi, makin dalam kejantanannya menembus masuk liang vaginaku, aku mendesah nikmat tak tertahankan.
Sebelum kugapai puncak kenikmatan dia sudah terlebih dahulu menyemprotkan spermanya di vaginaku, cairan hangat terasa memenuhi rongga kenikmatanku disertai denyutan denyutan kuat menghantam dinding dindingnya, aku menjerit melambung, dia terdiam menikmati saat saat orgasmenya, kugoyangkan pinggulku sambil memeras habis sperma yang masih tersisa, kudengar jeritan kaget tapi tak kuhiraukan, orgasmeku tinggal selangkah lagi dan aku tak mau kehilangan momen, goyangan pinggulku makin kuat hingga akhirnya kugapai kenikmatan tertinggi, jeritan keras mengiringi orgasmeku sambil meremas rambut David. Akhirnya kami berdua terkulai lemas tak bertenaga, tubuhnya masih diatasku, detak jantung dan napas kami saling mengisi, diciumnya bibir dan keningku sebelum turun dari tubuhku, kami telentang di atas ranjang dalam kelelahan.
“Kamu lebih hebat daripada sebelumnya”, komentarnya tanpa memandangku, cairan spermanya masih terasa menetes keluar dari vaginaku dan kubiarkan saja.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 3:20 sore, cukup lama juga kami tadi bercinta, masih ada waktu satu jam lebih, masih lama, cukup untuk satu babak panjang sekali lagi. Setelah beberapa lama kami telentang saling peluk, kutinggalkan dia, kubersihkan tubuhku di kamar mandi, kucuci vaginaku dari spermanya. Kami bercinta sekali lagi dengan penuh gairah dan nafsu di sofa dan kamar mandi, tak sedetikpun waktu kami biarkan berlalu tanpa desahan penuh nafsu hingga kami sama sama terkulai tak bertenaga.
Pukul 16:45 aku sudah kembali ke kamarku, inilah “perselingkuhan” pertamaku sejak bersama Koh Wi, memang tidak ada ikatan atau perjanjian diantara kami tapi dari nada bicaranya dia keberatan kalau aku bekerja kembali, sebagai konsekuensinya dia memenuhi segala kebutuhanku termasuk uang jajan, meski nilainya jauh tidak sebanding dengan pendapatanku sewaktu di Hotel Hilton, namun ada kepuasan tersendiri dalam hal ini. Ketika Koh Wi datang, aku bersikap sewajarnya seperti tidak terjadi sesuatu, seperti hari hari lainnya, kamipun bercinta di malam harinya.
Sejak saat itu aku lakukan “perselingkuhan” dengan tamu, pada mulanya kulakukan di Hotel yang sama, namun makin lama aku semakin berani untuk “keluar kandang” ke hotel lainnya asal masih diseputaran daerah itu. Meski demikian aku tak pernah “melalaikan tugas” untuk melayani nafsunya tiap jam istirahat dan malam harinya, hampir setiap hari. Banyak alasan kalau dia menanyakan kepergianku, lagi ke rumah saudara, lagi shopping, lagi mencoba mobil baru dan sebagainya.
Part 3
Sepandai pandai tupai bersandiwara, akhirnya tercium juga, rupanya Koh Wi mempunyai mata mata di hotel yang melaporkan kepergianku setiap siang, sebagai seorang laki laki yang sudah pengalaman tentu dia bisa mencium ada ketidak beresan. Pada suatu hari dia memberiku hadiah, sebuah Handphone, waktu itu masih barang langka, tak banyak yang punya, aku senang sekali, dalam benakku tentu aku lebih leluasa bisa menghubungi tamu tamuku, tapi aku tak menyadari kalau justru dengan adanya HP aku malah tidak bisa bergerak leluasa, selalu termonitor kemana aku pergi.
Dalam seminggu nomor HP-ku sudah beredar di kalangan GM dan para tamu, hampir tiap pagi tak pernah berhenti berdering, sengaja kumatikan kalau ada Koh Wi, untuk menghindari kecurigaan. Sejauh ini aku merasa berhasil memainkan sandiwara, dan beberapa kali berhasil lolos dari lubang jarum perangkapnya, meski dia curiga tapi tak pernah aku tertangkap basah, dia hanya menyindir tanpa bukti nyata.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tak terasa sudah lebih 2 bulan aku hidup bersama Koh Wi, dan hidup berselingkuh darinya. Sepertinya semua berjalan normal tanpa ada hambatan dengan permainan kucing kucingan ini.
Suatu malam kami bertengkar hebat, dia menemukan sekotak pil KB yang selalu rutin kuminum berikut sekotak kondom yang lupa kusembunyikan, dituduhnya aku yang tidak tahu terima kasih, wanita tak tahu diri, dasar PELACUR dan segudang perkataan yang menyakitkan hatiku, bahkan karena kami sama sama emosi dia menyepakkan kakinya ke pahaku, aku menangis mendapat perlakuan kasar semacam ini, belum pernah seumur hidupku disakiti secara fisik seperti ini, meskipun penyiksaan batin telah sering aku terima.
Dia memang menghendaki aku hamil, tapi dari sisiku aku belum siap karena dia tidak bisa memberikan kepastian tentang masa depan hubungan kami, sekali tanpa sepengetahuan dia kugugurkan kandungan yang baru berumur 1-2 bulan (ya Tuhan ampunilah aku) karena aku sendiri tak tahu dari benih siapa ini. Akhirnya malam itu juga kuputuskan untuk pergi dari kamar itu, kukemasi semua barangku, bersiap meninggalkannya. Melihat keseriusanku, dia mulai melunak, dia menghiba minta maaf, berlutut di depanku dan berjanji tak mengulangi lagi, kembali dia mengungkit kebaikan kebaikannya dulu. Emosiku sudah turun, naluri kewanitaanku terusik ketika dia mengingatkan kebaikannya terhadapku, akhirnya akupun melemah, kemarahanku mencair hilang sudah kebencian yang sempat hinggap.
Kubelai kepalanya yang tersandar di pahaku, kubelai dengan penuh kasih sayang, tak tega aku membuatnya bersedih, dan kumaafkan apa yang barusan dia perbuat seperti tidak pernah terjadi. Malam itu kami kembali bercinta dengan begitu bergairah, biasa kalau pasangan habis berantem lalu damai pasti percintaannya lebih menggairahkan. Sebagai kesungguhan permintaan maafnya dia tidak ke kantor besoknya, menemaniku sepanjang hari, dan sepanjang hari pula kami becumbu dan bercinta, lebih bergairah dan lebih liar dari sebelumnya.
Namun kedamaian ini hanya berlangsung seminggu, kali ini memang kesalahanku, aku tertangkap basah di Hotel Tunjungan. Siang itu ada seorang GM meneleponku untuk datang ke Hotel Tunjungan, sebenarnya aku udah nggak mau karena sudah terlalu sore, sudah pukul 3 lewat, tentu nggak enak kalau buru buru, tapi dia berhasil meyakinkanku bahwa ini tidak akan lama karena dia juga diburu flight ke Jakarta, setelah berpikir sejenak meluncurlah Panther-ku ke HT yang jaraknya tak lebih 10 menit dari tempatku.
Sesampai di tempat parkir GM itu telah menungguku dan langsung membawaku ke kamar. Aku tertegun sesaat melihat tamuku, orangnya ganteng dan masih muda, mungkin tidak lebih dari 30 tahun, namanya Herman. Beberapa menit GM itu menemani kami sebelum akhirnya meninggalkanku berdua dengan Herman. Sepeninggal GM, Herman dengan lembut menarikku dalam pelukannya, aroma parfumnya sungguh menggairahkan, kami berciuman, bibir kami saling melumat, kurasakan hangat dan lembut sentuhan bibirnya. Aku hanya memeluk dan menggosok punggungnya, tak berani lebih jauh sebelum dia mulai terlebih dahulu, itulah prinsipku supaya tidak terlalu dianggap norak.
Ciuman kami belum terlepas ketika tangannya mulai diselipkan dibalik kaosku, mengusap punggungku lembut. Seiring dengan ciumannya di leherku, tangannya sudah bergeser ke depan, menggerayangi dadaku, mengusap lembut kedua bukitku, aku menggelinjang mulai mendesah. Herman merebahkanku di ranjang, kembali kami berciuman, masih berpakaian lengkap, bergulingan di atas ranjang. Saling mencumbu, satu persatu pakaianku dilucuti, meninggalkan bra hijau satin yang masih menutupi buah dadaku. Dijilatinya dan diremas kedua buah dadaku tanpa melepas penutupnya, aku mendesah sambil meraih selangkangannya yang mengeras dibalik celana, kuremas remas kejantanannya yang masih terkurung rapat, begitu keras seperti hendak terlepas dari sangkarnya.
Herman telentang, kini giliranku, kubuka kancing kemejanya sambil menciumi dadanya yang bidang berbulu, terlihat begitu macho, desahannya mulai keluar ketika kujilati putingnya, jilatanku turun ke perut bersamaan dengan tanganku membuka celananya. Kejantanannya yang panjang dan keras langsung menyembul saat kulorot celana dalam yang mengekangnya, tidak terlalu besar namun panjang dengan bentuk lengkung ke atas, begitu kerasnya hingga berdiri seperti tugu pahlawan yang tegak menantang ke atas. Sedetik aku terkesiap akan keindahan yang ada di depanku, kupegang dengan lembut, kuremas, kukocok, kubelai, kuusapkan ke wajahku, kuciumi dengan gemas, benar benar gemas bukan dibuat buat. Lidahku menyusuri kejantanan yang indah itu, dari kepala hingga pangkal, menari nari di kepala kejantanannya. Beberapa detik kemudian kejantanannya sudah meluncur keluar masuk mulutku, tak bisa semua masuk ke mulut tapi desahannya makin keras kudengar, buah dadaku diremas remas saat aku mengulumnya.
“Benar kata orang, kamu memang pintar oral”, komentarnya di sela desahan kenikmatan.
Tak kuperhatikan, kepalaku masih bermain di selangkangannya, kujilat habis daerah kenikmatan yang ada di sekitar itu.
“Oooh.. sshh.. Ayo ly, sekarang”, pintanya sembari menarik tanganku.
Aku segera berbalik, kusapukan kejantanannya yang makin tegang ke vaginaku, sengaja tak langsung kumasukkan tapi kugesek dan kuusapkan.
“Come oon.. pleeassee..”, desahnya.
Aku tersenyum melihat expresi wajah gantengnya yang terbakar birahi, perlahan kuturunkan tubuhku, perlahan penisnya memasuki vaginaku yang sudah basah, sebelum masuk semua kutarik lagi dan kuturunkan lagi, kugoda dia, aku begitu menikmati wajah wajah dalam birahi. Herman meraih buah dadaku dan menekan tubuhku turun, melesaklah semua penisnya dalam vaginaku.
“Ooouugghh.. ss..”, aku mendesah, betapa nikmatnya penis itu mengisi vaginaku, pelan pelan tubuhku turun naik mengocoknya, kurasakan kenikmatan demi kenikmatan setiap kali penisnya tertanam semua di dalam, desahku makin keras seiring goyangan Herman yang mengimbangiku.
Kami saling mengocok mereguk nikmat, dia mencegah ketika kubuka bra-ku, biar tampak sexy, katanya.
Tubuhku ditarik dalam dekapannya, dia mengocokku dari bawah, desahanku makin keras di dekat telinganya, berkali kali kuciumi wajahnya yang ganteng, tak segan aku melumat dan mempermainkan lidahku di mulutnya, begitu menikmatinya aku dengan tamu ini.
Aku kembali duduk diatas penisnya, kuputar pantatku, vaginaku seperti diobok obok dengan penisnya, makin nikmat rasanya, aku bertahan sekuat tenaga untuk tidak segera mencapa puncak kenikmatan, terlalu sayang untuk dilakukan dengan cepat, masih banyak yang kuharapkan darinya. Keringatku sudah mulai menetes, keringat kenikmatan, goyangan dan kocokanku makin liar tak beraturan, jak jarang tubuhku kuturunkan dengan keras menghentak, kejantanannya terasa begitu keras menghantam liang rahimku, sakit namun bercampur kenikmatan.
Herman menaikkan tubuhnya hingga posisinya duduk memangkuku, kami saling berpelukan, kepalanya disusupkan diantara kedua buah dadaku yang terbungkus bra. Lidahnya menyusuri dadaku seiring dengan kocokanku padanya, kuluman di putingku membuatku semakin cepat melambung tinggi, gerakanku sudah tidak beraturan. Kuremas kepalanya yang masih menempel di dadaku dengan gemas, kami bergulingan berganti posisi. Kakiku dinaikkan ke pundaknya, kejantanannya makin dalam pula mengisi rongga kenikmatanku, jeritan kenikmatanku semakin tak terkontrol, liar, seliar penis yang mengaduk adukku. Sodokannya begitu keras, dihempaskannya tubuhnya ke vaginaku.
“Aagghh.. aaghh.. aagghh”, desahku setiap kali kurasakan hentakan demi hentakan, sepertinya aku tak bisa bertahan lebih lama lagi menghadapi keganasan dan kenikmatan yang dia berikan, puncak kenikmatan sebentar lagi kuraih, namun tiba tiba dia menghentikan gerakannya, mencabut penisnya. Aku menjerit protes dengan mata melotot, tapi senyuman nakalnya mengalahkan protesku.
Dibaliknya tubuhku bersiap untuk posisi doggie, tanpa aba aba dengan sekali dorong dia melesakkan penisnya ke vaginaku, keras dan cepat sekali dorongannya, aku terdongak kaget, kutoleh dengan experesi marah tapi dibalas dengan senyuman menggoda. Rambutku ditarik kebelakang berlawanan dengan gerakan kocokannya, membuatku kembali terbuai dalam nikmatnya gelombang birahi.
Entah berapa lama kami bercinta sepertinya jarum jam bergerak begitu cepat, terlupa sudah batasan waktu yang kuberikan, kami mengarungi lautan kenikmatan, gelombang demi gelombang kami kayuh bersama hingga berdua mencapai puncak gelombang kenikmatan, dan kamipun terkulai lemas di atas awing. Kami melanjutkan satu babak lagi sebelum tersadar bahwa jarum jam sudah menunjukkan 17:20, berarti Koh Wi sudah pulang. Sesaat aku panic, tapi Herman menghiburku dengan belaian mesranya membuatku kembali terlupa.
Kegugupan menyergapku ketika HP-ku berdering, dari Koh Wi, dengan nada tinggi dia langsung mendampratku, kata kata pedas kembali terdengar, kali ini begitu panas dan lebih menyakitkan, apalagi masih ada Herman disampingku, entah dia mendengar atau tidak, segera kututup HP dan dengan berjuta alasan kutinggalkan Herman di kamar, aku tahu dia kecewa tapi kuminta pengertiannya.
Sesampai di kamar terjadilah perang besar, kami saling beradu mulut dengan kencang, mungkin terdengar dari luar, alasan kepergianku barusan ternyata dengan mudahnya dipatahkan karena ternyata dia sudah curiga dan menyuruh orang untuk me-mata matai, aku tak bisa berkutik berhadapan dengan pengacara ini. Tak lupa untuk kesekian kalinya dia mengungkit ungkit “jasa-jasa” nya mengeluarkanku dari Hilton, supaya aku “sadar” dan hanya miliknya, tapi kali ini tak kugubris, tekadku sudah bulat untuk keluar pula dari kamar ini, aku sudah tak tahan dalam cengkeramannya. Malam itu juga aku segera mengemas semua pakaian dan milikku, tak lupa kutinggalkan barang pemberian Koh Wi, Panther-ku penuh dengan tas dan koper, diiringi hujan rintik rintik kutinggalkan Hotel Garden Palace tempatku bernaung selama hamper 3 bulan.
Terus terang aku tak tahu hendak kemana tujuanku selanjutnya, dimalam seperti ini dan kepergian yang mendadak tentu aku tak punya rencana, hanya kuikuti emosi, yang jelas aku harus pergi dari Koh Wi. Tanpa arah tujuan kususuri jalanan kota Surabaya, baru kusadari sudah banyak terjadi perubahan, mungkin aku yang terlalu terlena dalam kehidupanku hingga tak sempat mengikuti perkembangan kotaku tercinta ini. Akhirnya kuparkir mobil ke hotel di Jalan Arjuna, entah hotel apa aku tak ingat karena memang masih baru dan check in.
Sendirian di kamar hotel yang sempit aku merenungi perjalanan hidupku yang begitu cepat berubah, kuabaikan HP yang berbunyi tanpa kuterima, sengaja aku ingin sendiri mencari jawaban atas makna hidup yang kulalui. Kukenang kebaikan dan kejelekan Koh Wi, dari dialah aku terbebas dari suatu belenggu meskipun masuk ke belenggu lainnya, dari dialah kukenal dunia malam yang penuh hiruk pikuk semu bertabur temaram lampu diskotik dan hangar bingar house music, dari dialah kumulai mengenal apa itu yang namanya ganja, extasy dan sejenisnya, semua kejadian itu kembali seolah membayang di depan mataku, hingga akhirnya aku terlelap dalam buaian angin malam.
Keesokan paginya aku seperti terbangun dari mimpi, kudapati diriku tergeletak di kamar yang sempit dan jelek, tak ada ciuman selamat pagi, tak kudapati belaian mesra di pagi hari, semuanya kosong dan hampa, sehampa hatiku. Kini aku benar benar terlepas dari lindungan orang, aku harus bisa bertahan dan berdiri sendiri tanpa mengandalkan orang lain, tak ada lagi orang yang menghiburku dikala gundah, tak ada lagi laki laki pelindungku dikala susah, sendirian harus kulanjutkan perjalananku yang aku sendiri tak tahu menuju kemana. Namun terlepas dari semua itu tekadku sudah bulat, aku harus bertahan dan tetap bertahan tanpa menggantungkan harapan pada orang lain, semua tergantung pada diriku sendiri.
Babak ketiga dalam hidupku telah kumulai setelah babak pertama di Hilton dan babak kedua di Hotel Garden Palace. Kini aku menjadi tuan atas diriku sendiri, aku bisa menentukan kapan saatnya istirahat dan kapan saatnya menerima tamu dan dengan siapa aku harus melayani adalah keputusanku sendiri, inilah saatnya memulai freelance, mengarungi hidup seorang diri tanpa bimbingan dari orang lain kecuali kata hati ini.
=================================================
Selama perjalanan menjalani kehidupan sebagai seorang Call Girl, banyak kualami bermacam perilaku sexual, banyak kupelajari kehidupan yang sama sekali tak pernah terlintas sebelumnya, mungkin sebagian besar masyarakat menyebut kelainan sexual, sebagian lagi menyebut gaya hidup bahkan sebagian lainnya menyebut petualangan, terserah dari sudut mana mereka memandang, tapi bagiku semua itu adalah expresi naluri liar yang ada dalam diri manusia. Sudah beberapa kali aku melayani tamu yang mempunyai fantasi sexual yang liar, mereka minta dilayani 2-3 wanita, meskipun sebenarnya kebanyakan dari segi fisik tidak mampu, tapi fantasi untuk diperlakukan bak raja mengalahkan logika mereka.
Sore itu seperti biasa aku sudah meluncur dari satu hotel ke hotel lainnya, dari satu ranjang ke ranjang lainnya, dari pelukan satu laki laki ke laki laki lainnya. Sebenarnya tamuku kali ini bukanlah seperti umumnya, dia mengaku bersama istrinya ingin main bertiga, katanya, ini adalah kali kedua aku melayani suami-istri (baca: “Ada Apa Dengan Cinta?”).
Meskipun aku sudah ‘kebal’ dengan perilaku aneh, tapi aku masih belum bisa mengerti mengapa seorang istri membiarkan suaminya bercinta dengan wanita lain, di hadapannya pula, bahkan ikutan terlibat, tapi apa peduliku sejauh mereka membayar sesuai kesepakatan bagiku tidak ada salahnya.
Aku bukanlah seorang bi-sexual yang bisa melayani laki laki dan perempuan, aku juga cukup sering melayani seorang laki laki bersama gadis lainnya, tapi dengan sepasang suami istri sebenarnya memberikan sensasi yang jauh lebih tinggi daripada sekedar permainan bertiga umumnya.
Ketika sampai di kamar yang kutuju, istrinya, seorang wanita berkulit putih yang tidak terlalu cantik menyambutku di pintu kamar hotel di jalan Basuki Rahmat, usianya kutaksir awal 40-an tapi bodynya masih bagus seperti layaknya gadis 20-an, suaminya kelihatan acuh menyambut kedatanganku, mungkin berusia 50 tahunan, cukup jauh perbedaan mereka.
“Mas, ini Lily sudah datang nih”, kata si istri pada suaminya yang hanya melirikku sambil nonton TV.
“Hmm.., langsung aja suruh dia mandi”, perintahnya dengan angkuh tanpa melihatku.
Agak ragu juga aku melihat penerimaan suaminya seperti itu, mungkin dia tidak cocok denganku atau bagaimana, aku nggak tahu. Istrinya hanya melihat dan tersenyum ke arahku seraya menggandengku ke kamar mandi.
“Mandi dulu lalu kenakan ini” kata si istri menyerahkan piyama batik yang di ambil dari lemari.
“Bapak baik baik saja Mbak? kalau dia nggak cocok sama aku, lebih baik nggak jadi aja deh daripada dipaksain, ntar nggak bisa enjoy”, tanyaku melihat keangkuhan suaminya.
“Dia emang begitu, dingin dingin mau, lihat aja nanti, percaya deh sama aku”, jawabnya meyakinkan.
Si istri ternyata tidak keluar ketika aku mulai melepas kaos dan celana jeans-ku, dia malah ikutan melepas pakaiannya sambil melihatku mandi.
“Maaf Mbak, aku nggak bisa melayani Mbak”, kembali aku menegaskan posisiku ketika kulihat dia sudah hampir telanjang.
“Huss, aku juga nggak mau, jangan pikirkan itu, yang penting suamiku puas”
“Maass, mau ikutan mandi bareng nggak”, teriak istrinya dari kamar mandi, namun tak ada jawaban dari suaminya, bahkan sampai teriakan ketiga juga tidak terdengar jawaban.
“Body kamu bagus, pasti dia cepat mabok kepayang”, komentarnya saat melihatku mandi.
Selesai mandi aku tak jadi mengenakan piyama, aku dan si istri hanya berbalut handuk di dada, kami keluar bersamaan. Ternyata si suami sudah berbaring di atas ranjang, hanya mengenakan celana dalam, si istri memandangku penuh arti lalu menganggukkan kepala, aku segera mengerti. Tanpa rasa segan pada istrinya, aku menyusul suaminya ke ranjang, tapi sebelum sampai ke ranjang, si istri menarik lepas handukku hingga aku telanjang di depan suaminya.
“Wow, kamu cantik dan sexy dengan payudara yang indah”, komentar suaminya melihat tubuh telanjangku.
Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya, langsung berjongkok di antara kedua kakinya, kuraba raba pahanya, terlihat
kejantanannya yang menonjol dari balik celana dalamnya, sengaja kuperlambat irama permainan, tidak segera menyentuh
kejantanannya.
“ciumi dadanya Ly, dia senang diperlakukan seperti itu”, bimbing istrinya yang duduk di samping suaminya.
Segera kunaiki tubuh si suami, kuciumi pipi dan lehernya, kujilati putingnya, lidah dan bibirku turun terus menyusuri dada dan perutnya, tanganku mulai meraba dan meremas remas kejantanan yang semakin keras.
Mereka berciuman ketika kulepas celana dalamnya, langsung keluarlah penisnya, tidak terlalu istimewa, biasa saja. Langsung kugenggam dan kuremas remas, kukocok kocok, mereka masih berciuman bibir sambil tangan si suami meremas remas buah dada istrinya.
“Kulum dan lumat dia”, perintah istrinya saat melihatku sudah mulai menciumi kejantanan suaminya.
Ketika lidahku mulai menyentuh kepala penisnya, kulihat sesaat suaminya melihat ke arahku.
“Uff.., ya terus sayang”, komentarnya, entah ditujukan padaku atau pada istrinya.
Kami segera kembali saling melumat bibir, kusapukan lidahku ke seluruh kepala dan batang penisnya, bahkan hingga kantong bola, desahannya tertahan di mulut istrinya. Mereka menghentikan ciumannya ketika kumasukkan kejantanannya ke mulutku, keduanya melihat bagaimana penis itu menerobos masuk di sela sela bibir manisku lalu meluncur keluar masuk dengan cepat, tangan si suami memegang kepalaku dan mendorongnya lebih dalam.
“Ssshh.., kamu pintar manis.., teruss.., yaa” desahnya kembali.
Tak lama saat si istri menyodorkan putingnya ke mulut suaminya, bergantian mereka mendesah. Aku masih menjalankan tugasku, menjilat dan mengulum saat suami istri itu berganti posisi, mereka membentuk 69, ke empat tangan bergantian mengocok penis itu diselingi jilatan dan kulumanku. Beberapa kali jeritan si suami terucap disertai pujian saat penis itu meluncur di mulutku, istrinya hanya tersenyum dan menatapku tajam setiap kali kulumat ataupun kusapukan lidahku pada kejantanannya, dia seperti menikmati, namun tak sekalipun bibirnya menyentuh penis suaminya, apalagi menjilati atau mengulum, entahlah.
Si istri memutar tubuhnya, dia mengatur posisi di atas suaminya, perlahan tubuhnya turun diiringi desahan nikmat, aku yang masih berada di selangkangan dengan jelas melihat bagaimana penis itu pelan pelan menguak liang kenikmatannya sambil kuelus elus kantong bolanya. Tubuh si istri langsung turun naik ketika berhasil melesakkan semua penis si suami, seperti naik kuda dia menghentakkan tubuhnya dengan kuat diiringi desahan desahan erotis.
Aku berpindah ke atas, kuciumi pipi si suami, dia langsung meraih kepalaku dan melumat bibirku dengan penuh gairah, lidah kami saling beradu, tangannya menggerayangi kedua buah dadaku, meremasnya agak kuat, sekuat goyangan istrinya di atas. Vaginaku terasa semakin basah melihat permainan liar istrinya, ingin segera merasakan kenikmatan yang di dapat si istri, tinggal tunggu kesempatan, pikirku.
Sambil mendapat kuluman bibir dan remasan, tanganku tanpa sedar mulai mempermainkan klitorisku sendiri, kusodorkan putingku ke mulut si suami, disambutnya dengan kuluman kuluman liar pula, dan akupun ikut mendesah. Ketika kulihat jeritan orgasme dari si istri, aku merasa giliranku segera tiba, kugeser tubuhku di belakang si istri, seperti
orang yang sedang mengantri. Meskipun sebenarnya penampilan maupun wajah si suami tidaklah menarik perhatianku, tapi melihat permainan mereka aku jadi ikutan terbawa suasana, dan lebih lagi sensasi bercinta dengan laki laki di depan istrinya sungguh tak pernah kulupakan.
“Aduh Mas, enak banget, lebih asyik dari pada di rumah”, kudengar bisikan istrinya di sela sela sengalan napasnya, mereka berpelukan beberapa saat.
Aku masih di belakang si istri sambil mengelus elus kantong bola suaminya, berharap dia segera turun. Setelah istrinya turun, si suami menarikku dalam pelukannya, kami kembali berciuman dan bergulingan, dia mencumbui sekujur
tubuhku, menjilati leherku, melumat kedua putingku. Vaginaku yang sudah basah semakin basah, ingin segera kumasukkan kejantantan itu, tapi rupanya dia masih ingin mempermainkanku lebih lama, padahal aku yakin penis tegangnya hanya beberapa mili dari liang kenikmatanku, bahkan sesekali kurasakan gesekan keras di bibir vaginaku, tapi belum juga terjadi penetrasi, aku makin tersiksa seperti cacing kepanasan, berulang kali permintaanku untuk segera melesakkan penisnya hanya ditanggapi dengan senyuman.
Istrinya yang dari tadi hanya melihat suaminya mencumbuiku, mulai ikutan, dia mengelus elus punggungnya, menciumi pantatnya lalu mengocok penisnya dengan tangannya, sesekali diusapkan ke vaginaku tanpa memasukkan. Kupeluk erat tubuh si suami di atasku, ingin rasanya segera mendapat kocokan di vagina, ciumannya turun hingga mencapai
selangkanganku, lidahnya menjelajah seluruh daerah intim kenikmatan yang sudah basah, aku semakin mendesah terbakar birahi.
Tiba tiba si istri telentang di sampingku, menarik tubuh suaminya dari selangkanganku dengan paksa, tentu saja aku kecewa tapi apa dayaku, aku tak berhak untuk menuntut apa lagi menuntut layanan atas suaminya. Dengan hati dongkol aku terpaksa tersenyum saat si suami mengecup bibirku dan berpindah dari tubuhku ke atas tubuh istrinya. Aku masih telentang terdiam dengan perasaan dongkol, napasku yang mulai menderu semakin kencang saat melihat pantat si suami
mulai turun naik dengan cepat di atas tubuh istrinya, diiringi desahan desahan nikmat mereka berdua.
Permainan mereka sungguh menggoda, aku jadi terbawa untuk ingin ikutan bermain bertiga, berulang kali kugoda mereka untuk mengalihkan perhatiannya padaku tapi sepertinya si istri selalu menghalangi ketika suaminya hendak beralih padaku, kecuali hanya sebatas cumbuan dan rabaan. Sambil mengocok istrinya, tangan si suami menggerayangi tubuhku, aku hanya mendesah sambil mempermainkan klitoris dengan jariku sendiri, tak kupedulikan lagi mereka, kini akupun ikutan mendesah dengan caraku sendiri, dibantu rabaan si suami.
Mereka bercinta dengan liar, berganti ganti posisi, aku selalu menempatkan diri supaya tubuhku terjangkau dari rabaan si suami, terkadang secara demonstratif kupermainkan klitorisku di depan si suami. Namun semua usahaku untuk merengkuh orgasma sia sia belaka, aku memang tak pernah melakukannya sendiri sampai orgasme dan memang tak inging karena selalu ada laki laki yang memenuhi hasrat ini, mana bisa dibandingkan kenikmatan kocokan penis dengan permainan jari di klitoris.
Ketika mereka berposisi doggie, aku berdiri di depan suaminya, kusodorkan vaginaku ke mukanya, dia menyambut dengan jilatan lidahnya di klitoris tanpa menghentikan kocokannya, kuremas remas rambutnya. Bahkan ketika aku ikutan nungging di atas tubuh istrinya, dia hanya menciumi vagina dan pantatku, aku hanya berharap dia memenuhi hasratku segera, paling tidak dengan kocokan jari jari tangannya sudah cukuplah saat itu, tapi tidak terjadi.
Entah sudah berapa kali kudengar teriakan orgasme dari si istri, tapi dia selalu menghalangi setiap kali suaminya berusaha menghentikan kocokannya dan beralih padaku. Akhirnya aku menyerah pasrah, mungkin nanti setelah babak ini tiba gilirannya. Kupeluk si suami dari belakang, yang mengocok istrinya, buah dadaku menempel rapat pada punggungnya yang berkeringat, terasa hangat, kugesek gesekkan sambil meraba raba dada dan perut yang agak buncit itu, sesekali kuciumi tengkuknya, dia menggeliat geli. Tangannya kubimbing ke selangkanganku, namun dia hanya mengusap usap klitoris dan menggesek bibir vaginaku tanpa berusaha memasukkannya, bahkan ketika kupaksa memasukkan jari jarinya, dia malah menariknya, aku semakin hopeless. Mereka bersetubuh dengan liar seakan melupakan keberadaanku di kamar itu.
Harapanku semakin terbang menjauh saat kudengar teriakan kenikmatan puncak mereka berdua secara bersamaan. Si suami segera menarik keluar kejantanannya, membalik tubuh istrinya lalu menjepitkan penis yang masih basah karena cairan kenikmatan itu di antara kedua buah dadanya. Kulihat berulang kali si istri menghindar dan menutup rapat bibirnya saat kepala penis mengenai mulutnya. Si suami melihat ke arahku, seperti baru sadar aku ada, ditariknya tubuhku lalu ditelentangkan di samping istrinya, dia beralih menaiku tubuhku dan menjepitkan penisnya ke buah dada sambil memainkan putingku hingga akhirnya melemas beberapa menit kemudian, diakhiri dengan kocokan di mulut. Kurasakan aroma sperma yang kuat menyengat memenuhi rongga mulutku, pasti sudah berampur dengan cairan istrinya. Dia tersenyum puas, tanpa kata meninggalkanku sendirian di ranjang, menyusul istrinya ke kamar mandi. Tak lama kemudian
kususul mereka yang sedang mandi, berdua dengan istrinya kami memandikannya.
Babak selanjutnya ternyata tak lebih baik, sepertinya mereka memang menyewaku hanya untuk menambah sensasi, perananku sebagai foreplay dan penutup tanpa aku bisa merasakan permainan yang sebenarnya, seperti layaknya figuran yang hanya numpang lewat penambah indahnya permainan.
Pukul 23:30, setelah membersihkan diri dan mandi, aku pamit pulang, sebenarnya mereka masih mengharapkanku untuk menginap, melanjutkan permainannya, namun meskipun statusku dibayar tapi kalau berperan seperti itu tentu merupakan siksaan yang berat. Dengan alasan aku sudah ada janjian dengan orang lain, maka mereka tidak bisa menahanku lebih lama lagi karena memang sebelumnya tidak ada permintaan untuk menginap.Akhirnya mereka melepaskan kepergianku, mungkin dengan kecewa. Hingga keluar kamar meninggalkan mereka berdua, aku tidak tahu nama suami istri tersebut, hal ini bukan pertama kali terjadi, bahkan terkadang meskipun kami tidur dan bercinta semalaman tak jarang aku tidak tahu nama orang yang telah meniduri dan menikmati tubuhku.
QUICKIE
Akupun langsung naik ke lantai 9, karena memang sudah janjian untuk menemani menginap dengan tamuku yang lain.
Dengan tamuku inilah aku berharap bisa menumpahkan segala birahi yang tertahan sejak tadi, ingin kuberikan servis yang sepenuhnya, bercinta hingga pagi, nonstop.
Pak Beni, nama tamuku berikutnya, ternyata sudah menungguku, terlihat sinar kelelahan di matanya.
“Ah akhirnya kamu datang juga, hampir kutinggal tidur”, sambutnya ketika membukakan pintu kamar.
“Maaf Pak, habis tadi teman teman ngundang pesta ulang tahun dulu, untung aku bisa ngabur nemuin Bapak”, jawabku berdalih.
Mana mungkin aku berterus terang kalau sedang menemani tamu lainnya. Sudah menjadi watak dasar manusia, meskipun statusku hanyalah gadis panggilan tapi kalau mendengar aku sedang bersama laki laki lain selalu timbul rasa cemburunya, ini berdasarkan pengalamanku.
Aku langsung mandi, dua kali dalam waktu tidak lebih 10 menit, di kamar yang berbeda dan dengan orang yang berbeda pula, sekedar meyakinkan bahwa tidak ada lagi sisa sisa dari tamuku sebelumnya. Selesai mandi kukenakan piyama yang ada di lemari dan kutemani Pak Beny yang sedang tiduran di ranjang menungguku.
“Bapak capek ya, sini aku pijitin”, aku menawarkan diri.
“Pijit beneran ya, kebetulan aku lagi capek dan ngantuk, dari Jember tadi, jalanan macet lagi”, jawabnya sambil langsung tengkurap.
Sepuluh menit aku memijit kakinya, kudengar dengkur kelelahan dari Pak Beni, rupanya dia sudah tertidur kelelahan,
meninggalkanku seorang diri dalam keadaan masih terbakar gairah. Tak tega rasanya membangunkannya, dan tidaklah etis kalau aku memaksa dia untuk melampiaskan nafsuku, maka akupun kembali “menganggur” mendengarkan dengkurannya.
“sungguh malam yang sial” pikirku, baru kali ini aku dibooking oleh 2 laki laki dalam semalam tanpa merasakan penis di vaginaku. Dengan susah payah akhirnya akupun tertidur di sampingnya dalam keadaan birahi yang masih menggantung tinggi.
Keesokan paginya saat aku terbangun, kulihat Pak Beny sudah rapi bersiap untuk pergi.
“Pagi Pak, maaf aku baru bangun, abis Bapak nggak ngebangunin sih”, sapaku lemah.
“Sorry, semalam aku tertidur, habis pijitanmu enak sih, dan lagi badanku terasa capek banget”, jawabnya sopan.
Kulihat dia meletakkan amplop putih di atas meja.
“Aku ada rapat nanti jam 9 ini, kalau kamu pulang titipkan saja kuncinya di receptionist dan ini uang kamu”, lanjutnya.
Pak Beny adalah pelanggan tetapku, setiap kali ke Surabaya dia selalu mem-booking-ku, biasanya kami bercinta hingga pagi, tapi kali ini lain. Mungkin karena sudah “akrab” dia tetap membayarku meskipun dia tidak menerima servis atau menikmati tubuhku, aku jadi nggak enak dibuatnya.
“Ah nggak usah Pak, toh kita nggak ngapa ngapain, lagian aku sudah numpang tidur di sini”, aku menolak pembayarannya.
“Jangan begitu, kamu toh sudah meluangkan waktumu menemaniku tidur, jadi sudah hak kamu untuk mendapatkannya”
“Tapi aku kan tidak berbuat apa apa untuk Bapak”, aku masih bersikeras
“Itu salahku dan aku tidak mau kesalahan itu merugikan kamu”
Aku terdiam sesaat.
“Aku tidak bisa terima pemberian tanpa mengerjakan apa-apa”
“Ya udah kalo begitu bersihkan kamar sebelum pergi”, katanya sambil tertawa.
“Bapak kan rapat jam 9, sekarang masih jam 8, jadi ada waktu 30 menit kan”, bujukku sambil mendekatinya.
Kupeluk tubuhnya yang setinggi telingaku itu, sambil tanganku meremas remas selangkangannya.
“Kamu memang pintar ngerayu, maumu apa” tanyanya pura pura
“Paling 10 menit aja” jawabku meyakinkan sembari membuka resliting celananya, dia diam saja.
“Mana bisa 10 menit, paling tidak 30 menit”
“Percaya aku deh, 10 menit tidak lebih, bahkan mungkin kurang”, tantangku sambil mengeluarkan dan mengocok penisnya.
Kuciumi lehernya, aroma parfumnya terasa lembut menyengat, kukeluarkan kejantanannya, dia mulai mendesis dan menjamah dadaku, tangannya diselipkan di balik piyama, meremas remas lembut bukit ranum di dadaku. Aku merosot turun dari pelukannya, berlutut di depannya, penisnya tepat di depanku, sedetik kemudian kulahap habis dan keluar masuk ke mulutku. Pak Beny mendesis, meremas remas rambutku dan mulai menggerakkan pinggulnya mengocok mulutku.
Lidah dan bibirku bergerak lincah sepanjang penis yang makin keras menegang, sesekali kuselingi dengan gigitan ringan menggoda. Aku lalu duduk di atas meja menghadapnya, piyama sudah melayang dari tubuhku, kusapukan penis tegangnya, tanpa menunggu lebih lama, dia mendorong masuk melesakkannya ke vaginaku, terasa sedikit sakit dan perih karena vaginaku masih kering, hanya air liurku yang ada di batang penis menjadi pelumas, dengan sedikit usaha akhirnya bisa tertanam semuanya. Terasa begitu nikmat setelah tersiksa semalaman, seperti biasa, Pak Beny langsung mengocokku dengan cepat dan keras, permainannya memang cenderung kasar namun menimbulkan kesan erotis.
Dia meremas remas kedua buah dadaku dengan keras, tiba tiba secara kasar dicabutnya penis itu, tubuhku dibalik, aku menungging di depannya, tanganku bersandar pada meja, detik berikutnya dia mulai memompaku dari belakang, tepat menghadap cermin di atas meja. Aku terdongak merasakan sodokan demi sodokan, ditariknya rambutku ke belakang, lalu pegangannya beralih ke buah dadaku dan meremasnya kuat. Aku menjerit antara sakit dan nikmat, Pak Beny tak mempedulikan jeritanku, semakin kuat dia membenamkan ke vaginaku, sesekali diiringi tamparan ringan pada pantatku, terasa agak panas, semakin aku mendesah semakin kuat tamparannya, kutoleh wajahnya menyeringai menikmati permainan ini, pantatku sudah agak memerah.
Permainan kasarnya membawaku melayang mengarungi lautan kenikmatan, aku mengimbangi dengan goyangan pantat, meremas remas kejantanannya yang berada di vaginaku, akhirnya kurasakan tubuhnya menegang, cengkeraman di buah dadaku makin kuat dan menyemburlah cairan nikmat memenuhi celah celah kenikmatanku, terasa hangat, seiring dengan denyutan denyutan kuat menghantam dinding-dinding kewanitaanku. Pak Beny menjerit keras dalam kenikmatan bercinta saat kuremas remas dengan otot otot vaginaku.
Meskipun aku belum orgasme tapi aku sudah puas melihat tamuku mendapat kenikmatannya. Segera kucabut penisnya, kuraih dan kugenggam, ternyata masih cukup keras. Aku mengambil piyama yang tergeletak di lantai untuk membersihkan penis itu, tapi Pak Beny mendorong tubuhku turun, mengerti maksudnya, maka kukulum kembali penisnya sambil
kusapu-sapukan ke wajahku, bau sperma sangat kuat, lebih tajam dari punya tamuku tadi malam.
“8 menit, ternyata kamu memenuhi janjimu, tak lebih dari 10 menit”, katanya saat aku “mencuci” penisnya dengan mulutku.
Dia langsung memasukkan kejantanannya kembali ke ’sarang’nya setelah dirasa cukup bersih.
“Kuncinya kasih aja ke receptionist kalau kamu pulang nanti”, katanya sambil menutup resluiting celananya.
“Nanti siang kalo Bapak masih mau ngelanjutin, HP aja ya”, kataku sebelum dia meninggalkan kamar.
Aku tahu bagi dia tentu belum cukup kalau hanya permainan cepat seperti itu dan aku yakin uang yang dibayarkan adalah untuk tarif menginap seperti biasanya, meskipun aku belum membuka amplop itu.
“Tergantung nanti”, jawabnya seraya menutup pintu kamar.
VAGINA MONOLOG
Sepeninggal Pak Beny, aku kembali rebahan di ranjang, ingin melanjutkan tidurku yang tidak terlalu nyenyak, kunyalakan HP dan membaca SMS yang masuk, tidak ada booking-an yang masuk, semua SMS hanyalah ajakan hura hura nanti malam.
Aku kembali terlelap dalam pelukan ranjang hangat nan empuk, tiba tiba HP-ku berbunyi, agak malas juga menerimanya, ternyata Pak Indra, salah satu tamu langgananku yang unik.
“Haloo, pagi Bapak”, suaraku agak parau.
“Pagi Non, baru bangun rupanya ya”, suara dari seberang sana.
“Ih Bapak sok tahu deh”, jawabku manja
“Dari suaranya emang kelihatan kok, masih parau”
“Ah udah lama kok, tapi tidur lagi, abis cuacanya ngajak tidur sih”, aku memberi alasan karena diluar memang mendung.
“Ya udah, kalo nggak ada acara kita ketemu yuk, gimana?”, ajaknya
“Kapan dan dimana?”, aku mulai antusias mendengarnya.
“Gimana kalo sekarang aja, aku lagi ada seminar di hotel xx, giliranku nanti setelah makan siang, jadi kita bisa ketemu sebelumnya, kalo sesudahnya nggak bisa, gimana?”
Aku terdiam kaget, entah kebetulan macam apa ini, ketiga tamuku berturut turut berada di hotel yang sama, tinggal naik atau turun lantai.
“Haloo, gimana Ly, bisa nggak?”
“Pagi ini? Kasih aku satu jam deh, mandi dulu, sarapan dulu, dan pagi gini biasanya kan macet, Bapak di kamar berapa sih?”
Dia menyebutkan nomor kamarnya, berarti aku harus naik lagi 2 lantai, sengaja aku minta waktu lebih lama supaya tidak curiga kalau kami berada di hotel yang sama.
Kumanfaatkan waktu yang tersisa dengan mandi dan berendam di bathtub, air hangat serasa melemaskan otot ototku dan meredakan ketegangan yang ada dalam diriku, begitu relax dan santai. Lebih 30 menit kuhabiskan dalam nikmatnya pelukan air panas di pagi hari, segera aku berpakaian, pakaian yang semalam terpaksa kukenakan kembali untuk menemui tamuku ketiga dengan pakaian yang sama, make up tipis kusapukan ke wajahku dan tak lupa Issey Miyake menambah semarak aroma tubuhku. Setelah mengemasi barangku dan memastikan tak ada yang tertinggal, kupanggil Room Boy untuk menitipkan kunci ke receptionist dengan diselipi selembar 20 ribuan, kulihat dia begitu gembira menerima rejeki di pagi hari. Kususuri koridor menuju Lift, beruntunglah sepanjang jalan menuju kamar Pak Indra tak kujumpai orang yang kukenal (hal ini sering terjadi, terutama di hotel ini yang merupakan favorit tamuku setelah Shangri La).
Pak Indra menyambutku dengan ciuman di pipi, penampilannya masih seperti biasanya, tenang, lembut, ganteng dan elegant di usianya yang sudah pertangahan 40 tahun. Dia seorang dokter, katanya sih spesialis tapi aku tak tahu spesialis di bidang apa. Kumis dicukur rapi dengan dasi pink menghiasi stelan kemeja yang berwarna sama.
“Udah lama nunggu Dok?”, sapaku setelah melepaskan diri dari pelukan dan ciumannya.
“Jangan panggil gitu ah, kayak pasien aja, aku baru datang, belum juga duduk kamu udah nongol”
Pak Indra adalah salah satu tamu yang terbilang unik, dia lebih suka mengobrol dan curhat dari pada harus bercinta, entah kenapa, tak jarang dia memuji muji kecantikan dan kebaikan istrinya, toh meskipun begitu dia nyeleweng juga, secara garis besar aku jadi tahu kehidupan pribadi keluarganya, baik itu istri maupun anak anaknya secara mendetail, mulai namanya, kerjanya, umurnya, bahkan aku juga tahu dimana anak anaknya sekolah. Dia begitu terbuka padaku, tapi aku tak pernah tahu alasan dia berselingkuh.
Seperti kebiasaannya, kami duduk berseberangan di sofa, seperti orang yang lagi bicara bisnis, tak ada pembicaraan yang menjurus ke sex ataupun porno, semua hanyalah masalah ringan tentang politik, film, TV, musik dan untunglah aku yang sering nonton TV maupun baca majalah bisa meladeni pembicaraannya, jadi nggak timpang. Cangkir Chinese Tea dan snack yang ada di meja di depan kami sudah habis, mungkin sudah lebih setengah jam kami ngobrol tapi tak ada tanda tanda untuk mulai permainan panas, aku sudah mahfum akan kebiasaannya, jadi tak perlu buru buru.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10:47 ketika dia menggandengku ke ranjang, kami saling melepas pakaian, menyisakan celana dalam dan bra hitam berenda putih, kontras dengan kulitku yang putih mulus, dia memandangiku sejenak.
“Kamu makin cantik dan sexy”, komentarnya.
Dengan sopan Pak Indra merebahkan tubuhku di atas ranjang. Bibir lembutnya menyapu kening, pipi dan bibirku, aku terpejam menikmati sentuhan lembutnya menyusuri wajahku. Sapuannya perlahan menjelajah turun, leher dan dada adalah favoritnya, masih dengan lembut dia mengeluarkan kedua bukitku dari ’sarang’nya. Lidahnya langsung mendarat di puncak bukitku dan menari nari mempermainkan puting yang merah kecoklatan, aku mendesah merasakan kenikmatan yang mulai menjalar ke sekujur tubuhku. Tangan Pak Indra berpindah dari remasan di dada ke selangkangan, diselipkannya di antara celana dalamku, dia menggesek-gesekkan jarinya di bibir liang kenikmatan, masih kering. Bibirnya bergerak turun ke perut dan berhenti di antara kedua kakiku, dengan kedua giginya dia melepas celana dalam yang menghalangi gerakannya.
Aku menjerit tertahan saat lidahnya mulai menyentuh klitorisku, ada kekhawatiran kalau dia, seorang dokter, masih bisa mendeteksi sisa sisa sperma yang ada di rongga kewanitaanku, meskipun aku sudah berusaha untuk membersihkannya sejauh mungkin. Kecemasanku perlahan hilang saat bibirnya mulai mempermainkan bibir vaginaku, dengan gerakan yang kurasa indah disusurinya celah celah kewanitaan di selangkanganku, sungguh terasa kenikmatan yang berbeda dari jilatan lainnya, aku semakin mendesah nikmat sambil meremas remas kedua buah dadaku, sesekali kujepit kepalanya dengan pahaku dan meremas remas rambutnya.
Pak Indra hanya tersenyum melihat kenakalanku tapi dia terus melanjutkan permainan lidah dan mulutnya. Puas bermain di selangkangan, ciumannya kembali naik ke perut, dada dan untuk kesekian kalinya kami saling melumat dan
bermain bibir, lidah beradu lidah. Pak Indra membalik tubuhku, dijilatinya telinga, tengkuk dan sekujur punggungku hingga ke pantat, aku menggelinjang geli apalagi tangannya tak henti mempermainkan vagina dan klitoris. Memang kegemaran dan keahlian Pak Indra adalah melumat seluruh tubuh pasangannya, mungkin ini adalah kompensasi atas
kelemahan yang dia miliki. Entah berapa kali vaginaku mendapat sedotan dan kuluman nikmat darinya. Kami berpelukan mesra dan bergulingan, giliranku untuk memuaskannya, ciumanku turun ke lehar dan dada, kukulum dengan gigitan
ringan di putingnya, Pak Indra menggelinjang, lidahku menyusuri perutnya yang rata seolah tanpa lemak. Akhirnya kulepas celana dalamnya, tampaklah kejantanan yang masih tergolek lemas, inilah ke-unikan dari Pak Indra, dia
menderita impotensi ringan (menurutnya sih), laki laki normal pasti sudah tegang setelah cumbuan cumbuan seperti itu, tapi ini kasus lain, karena aku sudah berulang kali melayani dia, akupun sudah mempersiapkan mental untuk itu.
Kugenggam penisnya yang lemas, ingin ketawa rasanya melihat penis yang begitu tidak berdaya, padahal masih relative muda, tapi tentu saja kusimpan rasa itu beralih ke rasa kasihan. Kuciumi dengan penuh kasih sayang pada penis yang tidak pernah memberiku kepuasan itu, seperti menciumi mainan anak anak, tak ada sama sekali kesan kalau penis itu merupakan alat kejantanan dan kebanggaan laki laki. Begitu bersih dan kemerahan seperti penis anak anak, mungkin karena tidak pernah dipakai, karena itu tanpa ragu dan ada perasaan jijik kujilati dan kumasukkan dalam mulutku, semua bisa kulahap masuk, hidungku menyentuh rambut kemaluannya. Pak Indra mulai mendesis saat kupermainkan lidahku pada penisnya yang masih berada di mulutku, ingin kugigit karena gemas.
Beberapa menit penis itu mulai sedikit menegang, tapi masih jauh dari memenuhi syarat untuk bisa penetrasi, kombinasi kuluman dan kocokan tangan disertai elusan lembut di kantong bola membuatnya mekin mendesah desah dalam irama kulumanku.
“Kita coba Ly”, katanya, seperti kebiasaannya.
Aku telentang di sampingnya, kubuka kakiku lebar lebar, dia mengambil posisi di atas seperti layaknya laki laki siap bersetubuh, kubantu menggesekkan penisnya ke vaginaku, belum berhasil, beberapa kali kucoba tetap saja masih kurang perkasa menembus liang kenikmatanku, malahan semakin melemas. Terpaksa kuambil inisiatif lain, kuminta dia telentang, kukulum dan kupermainkan sejenak seperti tadi, sedikit menegang, segera kunaiki tubuhnya dan kuusapkan ke bibir vaginaku, namun kembali tidak membuahkan hasil.
Setelah beberapa kali usaha dengan bermacam cara akhirnya kami menyerah, terpancar sinar kekecewaan di wajahnya meskipun senyuman menghiasi wajahnya. Aku merasa gagal untuk memuaskannya, meskipun hal itu terjadi setiap kali kami bertemu, terkadang hanya sekali penetrasi tapi begitu ditarik tidak bisa masuk lagi, namun kali ini gagal total. Akhirnya kuputuskan memuaskannya dengan cara lain seperti yang biasa kulakukan pada Pak Indra. Aku berlutut di antara kakinya, dia hanya telentang menunggu permainanku. Menit pertama hanya kuciumi seluruh batangnya, menit selanjutnya jilatanku merambah ke daerah kantong bola, menit selanjutnya penis lemas itu sudah keluar masuk mulutku diiringi permainan lidah dalam rongga mulut. Pak Indra mendesah kenikmatan dengan caranya sendiri, basah seluruh selangkangannya karena ludahku yang bercecer di daerah itu, kombinasi antara jilatan, kuluman dan kocokan cukup membuatnya terbuai dalam gelombang kenikmatan yang kuberikan.
Kami berubah posisi 69, dengan posisi ini kami bisa saling memberikan kenikmatan, harus kuakui kepiawaiannya bermain oral ikutan membawaku melayang, meskipun sangat jarang aku bisa orgasme hanya dengan oral, tapi saat ini kenikmatan seperti itu sudah cukup bagiku, dari pada tidak sama sekali. Tak lama kemudian kudengar teriakan keras disusul sedotan kuat pada vaginaku, sedetik kemudian kurasakan sperma meleleh pelan keluar dari kejantanannya, segera kumasukkan penisnya ke dalam mulutku dan kurasakan spermanya yang asin gurih membasahi lidahku, aromanya masih keras kurasa. Dan penis yang lemas itupun semakin melemas dalam mulutku.
“Uff, kamu memang pintar membuat orang puas”, komentarnya setelah aku turun dari tubuhnya.
Kusapukan penis lemas itu ke wajahku.
“Ah, Bapak juga pintar mempermainkan orang kok”, pujiku jujur.
Pukul 11:30 aku sudah keluar dari kamar Pak Indra setelah mandi membersihkan tubuhku dari sisa sisa ludahnya. Meskipun tujuan kami sama sama ke lobby tapi demi keamanan kami harus jalan sendiri sendiri seolah tidak saling mengenal. Sesampai di Lobby kucoba menghubungi HP Pak Benny, tapi tidak aktif, aku belum mendapat keputusan apakah dia akan melanjutkan atau tidak siang ini.
Beberapa saat kemudian kulihat Pak Indra sudah di lobby diiringi beberapa rekannya menuju ruang seminar, aku yakin mereka adalah sesame dokter. Pak Indra terlihat begitu anggun dan berwibawa dengan setelan jasnya, pasti tak seorangpun menyangka kalau dia menderita secara psikis sejak terjadinya kecelakaan lalu lintas yang membuatnya impotent, dia hanya melirikku penuh arti ketika kami bertemu pandang, senyumnya hanya bisa diartikan antara aku dan dia.
Kutunggu Pak Benny yang belum juga ada kepastian. Setelah 20 menit tak ada juga kepastian dari Pak Benny, kutinggalkan hotel itu menuju hotel lain yang sudah menunggu kedatanganku dengan tipe dan bentuk permainan yang berbeda.
=========================================================
Kupacu Pantherku menuju Hotel Westin (sekarang JW Marriot) di kawasan Basuki Rachmat, setelah parkir aku langsung menuju ke kamar yang dimaksud oleh GM yang meng-order-ku. Malam itu sebenarnya aku agak segan untuk terima tamu, tapi si GM berhasil mengiming-imingiku dengan imbalan yang jauh diatas biasanya, tentu ini membuatku untuk berpikir lagi sebelum akhirnya kuputuskan menerima bookingan itu. Tamuku kali ini seorang pejabat tinggi dari Indonesia Timur, sebut saja namanya Thomas (samaran), aku tahu dia karena sering muncul di media massa, inilah salah satu yang membuatku agak segan menerimanya, bukannya diskriminatif tapi dengan penampilannya yang hitam legam tentu membuatku kurang begitu menikmati permainan, apalagi aku belum pernah melayani orang tipikal macam dia dan sepertinya tidak tertarik untuk mencobanya, tapi kembali lagi aku harus tunduk pada kekuasaan uang.
Dari balik pintu kamar suite muncullah wajah yang sudah cukup kukenal meskipun dia tidak sehitam yang aku bayangkan tapi tetap saja menimbulkan perasaan seram dari penampilannya.
“Malam Pak”, tanyaku ragu.
“Lily ya? Masuk, masuk, santai saja”, dia mempersilakanku dengan sopan.
Kamar suite itu terlihat luas dan lapang, sofa set untuk tamu dilengkapi dengan meja kerja terpisah dan meja makan yang menghadap ke jendela, ranjang yang besar masih terlihat rapi, sepertinya beliau baru datang, terlihat dari barang bawaannya yang masih rapi belum semuanya dibongkar.
“Makan dulu ya, saya tadi udah pesan kok”, sungguh sopan bertolak belakang dengan wajah angkernya.
“Sambil nunggu makan, saya mandi dulu ya, capek baru datang, nanti kalau Room Servicenya datang terima saja”, lanjutnya lalu masuk ke kamar mandi.
Tidak seperti biasanya kutawarkan diri untuk mandi bersama, kali ini entah ada perasaan yang menahanku untuk menawarinya mandi bersama, dan kebetulan beliau juga tidak mengajakku. Tak lama setelah beliau di kamar mandi, Room Service datang, cukup banyak juga pesanannya, rupanya beliau sudah mempersiapkan dengan baik.
Dua puluh menit beliau di kamar mandi dan keluar dalam keadaan segar, mengenakan piyama, aroma parfumnya terasa menyengat namun lembut, dalam keadaan normal sebenarnya sudah bisa membangkitkan birahi tapi kali ini berbeda. Sebelum makan Pak Thomas memintaku untuk berganti pakaian, biar lebih santai, katanya. Kuturuti permintaannya, kuambil piyama di lemari, di kamar mandi kulepas semua pakaianku kecuali pakaian dalam dan kukenakan piyama. Kamipun makan malam dengan sama sama mengenakan piyama, suasana begitu santai, apalagi pembawaan Pak Thomas yang ramah dan senang cerita, kami menjadi lebih akrab, perlahan menghilang kekakuan suasana yang kualami.
Makan malam sudah lama berlalu, tapi kami masih di meja makan mendengarkan beliau bercerita, terutama aku tertarik tentang kondisi di Papua (waktu itu masih bernama Irian Jaya), aku tertarik dengan kehidupan social dan alamnya. Malam merangkak kian larut, kutemani dia nonton TV, sesekali HP dia berbunyi, dari staff-nya yang mengatur meeting besok pagi. Sambil nonton TV kami duduk bersebelahan, diraihnya tubuhku dalam pelukannya, aroma parfumnya membuatku mulai naik, dibelainya rambutku.
“Tidur yuk”, ajaknya ketika acara berita di TV berakhir, beliau menggandengku ke ranjang yang besar dan empuk.
Kurebahkan tubuhku di ranjang yang hangat itu, Pak Thomas mulai menciumku sesaat setelah aku telentang, diciumi kedua pipi dan keningku. Mataku kupejamkan rapat rapat melihat wajah seramnya mendekati mukaku, meski sudah banyak laki laki yang menciumiku dengan berbagai wajah dan penampilan, selama ini aku menganggap wajah Koh Wi yang paling seram, tapi Pak Thomas jauh lebih menyeramkan, apalagi dengan kulitnya yang hitam. Bibir tebalnya mulai mencium dan melumat bibirku, rasa muak sempat menyelimutiku, tapi aku tersadar bahwa inilah salah satu resiko yang harus kuhadapi. Masih tetap memejamkan mata, ragu ragu kubalas lumatan bibir dan lidahnya, beliau semakin bergairah menyapukan lidah ke bibirku dan melumatnya dengan bibir tebalnya. Terasa aneh saat aku membalas lumatannya, bibirnya terasa begitu lain dengan kebanyakan tamuku sebelumnya, tapi kutekan perasaan yang timbul, kewajibankulah untuk memuaskan beliau.
Tangan Pak Thomas sudah menjelajah ke sekujur dadaku, diremasnya dengan halus, diselipkannya dibalik piyama lalu menyelinap masuk dibalik bra. Kulit tangannya terasa kasar meremas remas buah dadaku sambil mempermainkan putingnya, tangan satunya mulai membuka ikatan piyama dan membukanya, tampaklah pasangan bikini hitam berenda merah yang menutupi bagian erotis tubuhku, sesaat Pak Thomas menghentikan ciumannya, mengamati tubuhku, tersenyum lalu kembali melumat bibirku lebih bergairah. Bibir dan lidahnya beranjak menyusuri leher putihku, mataku masih terpejam meskipun kegelian mulai menghinggapiku, kuremas remas rambut keritingnya ketika kepalanya sampai di dadaku, dijilatinya sekujur dadaku, tanpa melepas bra beliau mengeluarkan kedua buah dadaku dari sarangnya. Dipandanginya sejenak sebelum bibir tebalnyanya mendarat di puncak bukit di dadaku.
Aku menggeliat tanpa sadar saat bibir tebal itu menyentuh putingku, terasa aneh dengan kulumannya tapi makin lama makin enak, membuatku mulai mendesis dalam nikmat, apalagi diselingi remasan pada putingku satunya, bergantian beliau mengulum dari satu puting ke satunya sambil meremas remas lembut, desahanku makin lepas keluar. Meskipun aku sudah kepanasan, mendesah, tapi aku masih belum mampu menatap wajah yang telah membuaiku, takut gairahku drop begitu melihat wajahnya, tangankupun hanya sebatas meremas rambutnya, masih ada keraguan untuk menggerakkan tanganku ke selangkangan Pak Thomas, meskipun aku sangat yakin dia sudah menegang.
Pak Thomas melanjutkan penjelajahannya, disusurinya perutku dengan bibirnya dan berhenti di selangkangan, kubuka lebar kakiku, beliau menarik turun celana dalam penutup selangkangan. Tanpa membuang waktu, lidahnya langsung menari nari pada klitoris, aku menjerit tertahan merasakan kenikmatan jilatannya yang tak terduga. Mataku masih terpejam menikmati permainannya, kuremas remas rambut ikal yang ada di selangkanganku, lidah dan bibirnya begitu bebas bergerak liar di vagina, membuatku makin melambung seiring desahanku yang makin keras. Sembari mempermainkan vaginaku, tangannya mengelus paha dan meremas remas buah dadaku, remasannya sudah mulai keras dan kasar, meskipun begitu tidak mengurangi kenikmatanku.
Pak Thomas merubah posisinya, kurasakan tangannya menuntun tanganku ke selangkanannya, kurasakan penisnya tegang mengeras, dengan masih ragu ragu kupegang dan kuremas pelan. Terkaget aku merasakan kekerasan dan serasa aneh menggenggamnya, karena penasaran terpaksa kubuka mataku untuk melihatnya. Kini baru kusadari kalau Pak Thomas sudah telanjang, mataku menatap tajam ke selangkangannya, ternyata penis dalam genggamanku sungguh lain dari kebanyakan, disamping panjang, bentuknya melengkung ke atas seperti busur panah, aku menebak pasti ini akibat koteka waktu mudanya. Mataku kembali terpejam saat kurasakan jilatan di vaginaku makin menghebat, kali ini tanpa ragu tanganku mengocok kejantanannya, rasanya tak sabar untuk merasakan penis itu didalam vaginaku.
Beberapa menit kemudian, tubuh Pak Thomas sudah berlutut diantara kakiku, ingin segera kulesakkan masuk tapi beliau justru mempermainkan dengan mengusap usapkan penisnya ke paha dan bibir vaginaku. Kakiku sudah terpentang lebar, pinggulku turun naik merasakan kegelian di luar vagina, dan ketika sedikit demi sedikit kejantanan Pak Thomas memasuki liang kenikmatanku, aku mulai menjerit, oohh betapa nikmatnya penis itu, makin dalam makin nikmat, dan aku benar benar berteriak kenikmatan saat beliau mulai mengocokku, luar biasa nikmatnya, tak pernah kurasakan kenikmatan seperti ini. Aku berharap Pak Thomas bisa bertahan lama, kocokannya makin cepat, begitu pula desah napasku semakin menderu berpacu dengan desis dan jerit kenikmatan.
Aku tak bisa menahan kenikmatan ini lebih lama lagi dengan hanya memejamkan mata, terpaksa kubuka mataku, kulihat expresi nikmat dari wajah Pak Thomas yang hitam menyeramkan, namun kali ini justru terlihat begitu sexy dengan beberapa butiran keringat di wajahnya. Maka ketika tubuhnya ditelungkupkan di atas dadaku, akupun tak segan untuk memeluk dan melumat bibir tebalnya, semuanya telah berubah dari beberapa menit yang lalu, sejak kurasakan nikmatnya kejantanan beliau.
Kami mengayuh perahu birahi makin ke tengah samudra nafsu, keringatnya mengalir deras membasahi dada dan bra-ku yang belum juga terlepas. Tubuhku yang putih mulus semakin erat dalam dekapan tubuh hitamnya, dipeluknya aku dengan erat sembari pantatnya turun naik di atasku, kocokannya semakin cepat, membawaku lebih cepat menuju puncak birahi.
Jepitan kakiku pada pinggulnya membuat kejantanannya semakin dalam mengisi liang kenikmatanku, meski tidak terlalu besar tapi dengan bentuk aneh dan panjang yang di atas rata rata, aku serasa terlempar dari realitas dan membumbung tinggi.
Pertahananku ternyata tak bisa membendung kenikmatan yang diberikan Pak Thomas, tak lama setelah kujepitkan kakiku, meledaklah jerit kenikmatanku, orgasme pertama yang kuraih dari beliau, kucengkeram erat kepalanya yang menempel di leherku sambil menjerit liar, ternyata justru membuat Pak Thomas mempercepat kocokannya. Hampir saja pertahanan keduaku jebol lagi tak lama kemudian kalau saja beliau tidak menghentikan kocokannya dan berganti posisi, hal ini memberiku sedikit waktu untuk menurunkan tegangan birahiku.
Pak Thomas menolak ketika kuminta doggie, justru beliau telentang dan memintaku di atas, sebenarnya ini adalah posisi favorit karena aku bisa pegang kendali, tapi dengan kejantanan beliau yang memabukkan itu, aku ragu apakah bisa mengendalikan permainan ini. Kupegang, kuremas dan kukocok kocok dengan tanganku, baru sekarang aku bisa mengamati “keindahan”, mutiara hitam ini, begitu keras dan hitam seperti kayu ebony yang sudah tua, kokoh dan berdiri anggun, ingin rasanya melumat habis. Kuatur posisi tubuhku di atasnya, perlahan kuturunkan pantatnku, aku ingin menikmati mili demi mili kejantanannya menguak liang kenikmatanku, semakin dalam semakin nikmat hingga terbenam semua. Pak Thomas memandangku seolah menikmati expresi nikmat yang kurasakan sembari tangannya menggerayangi kedua buah dadaku, beliau mencegah ketika kubuka bra-ku, sepertinya beliau menikmati erotisme yang terjadi. Tubuhku mulai turun naik, pelan tapi semakin cepat diiringi desahan dan jeritan nikmat dari kami berdua, kutatap mata beliau yang tak pernah lepas pandangannya dari wajah dan dadaku, aku juga menikmati expresi kepuasan di wajahnya.
Gerakanku turun naik dan bergoyang bergantian di atasnya, entah sudah berapa kali aku mengalami orgasme dengan posisi seperti ini. Ditariknya tubuhku dalam pelukannya, kami saling mengadu bibir dan lidah, hilang sudah rasa enggan, beralih dengan perasaan yang begitu exotis, membuatku makin bergairah dalam pelukan dan kocokannya.
Aku teriak histeris ketika kurasakan tubuh Pak Thomas menegang dan menyemprotkan spermanya dengan kencang di vaginaku, denyutan demi denyutan menghantam dinding dinding vaginaku hingga kurasakan cairan hangat yang memenuhi lorong lorong sempit kenikmatan, seiring dengan jeritan beliau sambil memelukku makin rapat. Napas kami menderu saling berpacu, beberapa saat saling berpelukan lemas dalam keheningan, hanya degup jantung yang saling bersahutan terdengar begitu keras. Kusandarkan kepalaku di bahunya, beliau membelaiku penuh kemesraan, penisnya masih kurasakan tegang mengisi vaginaku.
“Kamu tidur disini saja ya”, bisiknya lembut ditelingaku.
“Terserah Bapak saja, kalau memang nggak ngganggu istirahat Bapak”, jawabku sopan.
“Justru kalau nggak ada kamu aku malah nggak bisa tidur nyenyak”, candanya
“Ntar malah nggak bisa tidur”.
“Kalau udah capek kan tidur juga”.
Pembicaraan kami terhenti ketika HP Pak Thomas berbunyi, dilepasnya tubuhku dari pelukannya, akupun turun dari tubuhnya. Ternyata dari GM yang mengontakku, menanyakan apakah aku udah datang apa belum, terlambat, pikirku.
Kuamati tubuh telanjang beliau ketika menerima telepon, kejantanannya sekarang terlihat indah menggantung di selangkangannya, cukup lama kutatap pesonanya. Kutinggalkan Pak Thomas yang lagi menerima telepon, di kamar mandi kubersihkan tubuh dan vaginaku dari spermanya sekalian mandi menyegarkan tubuh, aku tak menyangka mendapat pengalaman baru, bercinta dengan orang se-hitam beliau, mimpipun tidak pernah, sungguh bertolak belakang dengan tamuku yang pada umumnya chinese berkulit putih, tapi ternyata kenikmatan yang kudapat diatas rata rata, padahal hampir saja orderan ini aku tolak.
Pak Thomas menyusulku ke kamar mandi tak lama kemudian, maka kamipun mandi bersama, dengan senang hati aku memandikannya, tak segan kupermainkan penisnya dengan tanganku, maka dalam hitungan menit penis itu kembali menegang, beliau hanya tersenyum melihat kenakalanku tapi tak menolak, hanya membalas dengan remasan remasan di buah dadaku. Atas permintaannya, kusiram rambutku, biar lebih sexy, katanya.
Kusisir rambutku yang basah dan kukeringkan dengan handuk, Pak Thomas mendekapku dari belakang ketika aku hendak meninggalkan kamar mandi, di depan kaca rias bisa kulihat bagaimana perbedaan warna kulit kami, tapi justru makin membuatku bertambah erotic, very black and white, kubalas dengan remasan tangan di selangkangan beliau, diciuminya telinga, leher dan tengkukku, membuatku menggeliat geli. Kukocok penisnya yang mengeras, beliau memutar tubuhku, kami saling berhadapan, saling meraba, saling meremas dan saling memeluk. Ciuman berbalas cium, lidah bertemu lidah, bibir melumat bibir.
Aku duduk di closet menghadap beliau yang berdiri di depanku, kuamati batang legam dalam genggamanku sebelum akhirnya kusentuh lidahku mendarat di ujungnya, menyusuri batang hitam hingga hidungku menyentuh rambut keriting di pangkal penis, berulang kali lidahku menjelajahi penisnya. Akhirnya kumasukkan penis hitam ke mulutku, sedikit demi sedikit memasuki rongga mulut, hanya tiga perempat yang bisa masuk lalu kukocok dengan mulut. Pak Thomas memegangi kepalaku dan memulai gerakan mengocokkan penisnya ke mulutku, beliau berusaha memasukkan semua penis hitamnya tapi tidak berhasil, mulutku sudah penuh.
“Kita pindah ke dalam aja”, ajaknya sambil menarik penisnya dari mulutku.
Beliau duduk di sofa, aku bersimpuh diantara kedua kakinya, kulanjutkan permainan oral yang terputus tadi. Bibir dan lidahku kembali menjelajah kejantanannya yang sekeras baja, beliau mendesah menikmati permainan oralku. Tak lama kemudian tubuhku ditariknya, aku didudukkan di pangkuannya, kejantanannya langsung melesak tanpa perlawanan karena vaginaku memang sudah basah, kembali kenikmatan merasuki tubuhku. Aku mengimbangi dengan menggoyangkan pinggulku, buah dadaku ber-ayun bebas di depannya langsung mendapat kuluman penuh gairah dari bibir tebalnya, disedot sambil di remas remas dengan gemas, aku makin melayang tinggi dalam dekapan dan pangkuannya. Desahan demi desahan semakin keras terdengar, kudekap kepalanya yang sedang menempel di dadaku, kuremas rambut keritingnya, sepertinya aku telah kehilangan control atas diriku, desahanku makin nyaring.
Tiba tiba beliau melepaskan sedotannya pada putingku, didekapnya tubuhku makin erat, tanpa melepaskan penisnya beliau berdiri sambil menggendongku. Kontan aku teriak kaget takut jatuh, tapi beliau hanya tersenyum penuh percaya diri, kujepitkan kakiku makin erat ke pinggulnya. Masih menggendongku, berjalan menuju ke meja makan dan mendudukkanku di atasnya, terus terang aku kagum dengan tenaganya yang mampu mengangkatku dan berjalan sambil kejantanannya masih berada di vaginaku, takut terjatuh maka kupeluk makin erat beliau. Aku terduduk di tepi meja makan, kakiku masih melingkar di pinggulnya, kami berhadapan saling menatap penuh nafsu, wajahnya bagiku sudah tak seram lagi. Bersamaan dengan bibirnya mendarat di bibirku, beliau menyodokkan penisnya dengan keras, ciumannya hampir terlepas ketika aku mendongak kaget dan enak.
Sodokan demi sodokan menghunjam keras di vaginaku, meja makan bergoyang keras, tak kami pedulikan gelas dan piring yang masih berserakan di meja ikutan bergoyang. Tubuhku condong ke belakang, kutahan dengan kedua tanganku, kocokan beliau makin cepat sambil mengelus dan meremas remas kedua buah dadaku, sesekali diselingi gigitan pelan di dagu. Aku sudah tak tahan mendapatkan kenikmatan ini, tapi sebelum kugapai puncak kenikmatan, beliau meminta kami berganti posisi.
Kubereskan sebentar peralatan makan di meja, sekedar cukup untuk tubuhku di atasnya. Aku berdiri dan tengkurap di atas meja, kubuka kakiku lebar lebar saat beliau menyapukan kejantanannya dari belakang, dengan sekali dorong, kembali busur hitam itu mengisi vaginaku, ooh nikmat sekali dengan posisi doggie seperti ini, kurasakan kenikmatan yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Hanya beberapa menit aku bisa bertahan dari kocokannya, sebelum akhirnya aku menjerit penuh kenikmatan, masih dalam posisi telungkup, kuremas kuat pinggiran meja saat kugapai orgasmeku. Pak Thomas masih mengocokku beberapa menit lagi sampai kurasakan denyutan kuat mengantam dinding dinding vaginaku, diiringi teriakan dan remasan kuat di pantatku. Aku menyusul Pak Thomas ke ranjang setelah membersihkan tubuhku di kamar mandi, kami sama sama tidur telanjang, dengan gemas kugenggam terus kejantanan Pak Thomas hingga kami tertidur pulas.
Keesokan harinya kami bangun pukul 7 pagi, mandi bersama tanpa terjadi sesuatu yang perlu diceritakan, kecuali tentu saja hanya remasan remasan nakal selama kami mandi, tapi tidak berkelanjutan.
“Ly, saya ada meeting seharian, kamu boleh pulang tapi nanti malam kesini lagi ya”, kata Pak Thomas setelah mengenakan pakaian safari, ciri khas pejabat, entah permintaan atau perintah.
“Terserah Bapak saja, saya sih ngikut”, jawabku dengan senang hati, tentu saja disamping dapat bayaran aku juga dapat kenikmatan yang lebih dari beliau, bahkan sampai sekarang busur hitamnya seperti masih mengganjal di vaginaku.
Setelah mengambil amplop tebal yang beliau siapkan di meja, akupun meninggalkan beliau yang kemudian juga pergi beberapa menit setelah kepergianku. Sempat kami bertemu di lobby karena aku tidak langsung pulang melainkan membeli beberapa pastry untuk camilan di tempatku nanti. Saat bertemu kami seolah tidak saling mengenal, wajar-wajar saja, apalagi beliau berjalan bersama beberapa orang, hanya pandangan mata kami yang sempat bertatapan penuh arti. Selama beliau di Surabaya selama 3 malam, selama itu pula aku menemaninya di malam hari, hingga keberangkatannya ke Jakarta dulu sebelum balik ke Indonesia Timur, tempat kerjanya.
Karir beliau terus melejit, seiring dengan arus reformasi hingga sampai ditulisnya cerita ini tahun 2003. Selamat bertugas Pak Thomas, aku mengenang malam malam yang telah kulalui bersama Bapak.
===========================================================
Di Cengkareng seseorang sudah menunggu kedatanganku dan kami langsung meluncur menuju Hotel Regent yang letaknya aku sendiri tak tahu dimana, yang jelas di Jakarta. Ini adalah pertama kali aku mendapat bookingan untuk terbang melayani tamu di Jakarta, bagiku tamunya sih tidaklah luar biasa meskipun tergolong VIP, sudah biasa kulakukan, tapi yang agak beda adalah aku yang terbang menemui dia.
“Tolong layani dia dengan baik, dia seorang pejabat tinggi di negeri ini” begitu pesan penjemputku yang merupakan orang suruhan GM yang mengatur perjalanan dan booking-anku.
Sesampai di hotel kami langsung menuju ke kamar yang sudah dipersiapkan, ditinggalnya aku sendirian menunggu tamuku yang katanya pejabat tinggi itu, dia menunggu beliau di lobby. Jarum jam menunjuk ke angka 11:30, mungkin nanti baru jam 12.00 tamuku akan datang, berarti ada waktu setengah jam untuk menyegarkan diri di bathtub.
Sebelum aku beranjak menuju kamar mandi, terdengar telepon berdering, segera kuangkat.
“Halo, Selamat Siang, ini Lily?” Tanya suara dengan nada berat.
“Siang, betul saya sendiri, ini siapa?” tanyaku balik, padahal hanya GM dan tamuku saja yang tahu keberadaanku.
“Bapak sebentar lagi nyampe, mungkin 15 menit lagi, kamu santai aja dulu menunggu beliau”
“Siap Boss ” jawabku santai, kubatalkan acara ke kamar mandi.
Sambil menunggu kedatangan beliau, kurapikan make up yang agak berantakan selama perjalanan di pesawat.
Ternyata tak sampai 15 menit bel kamar berbunyi, segera kusambut kedatangan beliau yang katanya pejabat tinggi itu. Didampingi seorang ajudan dan orang yang menjemputku tadi, masuklah bapak pejabat itu, segera kukenali bahwa dia adalah seorang Menteri yang masih aktif pada sebuah departemen yang cukup disegani, namanya sebut saja Pak Usman.
“Bapak tidak punya waktu, temani dia dengan baik, oke” pesan yang sama kuterima lagi,
“Beres Boss” jawabku singkat, karena dia bukanlah pejabat tinggi yang pertama kali kulayani, jadi tak ada rasa canggung atau minder berhadapan dengan beliau.
“Pak kita di lobby, kalau ada apa apa just call me” katanya pada Pak Usman lalu mereka meninggalkanku berdua.
Aku maklum, sebagai seorang Menteri tentu acaranya sangat padat tapi masih sempat juga dia meluangkan waktu untuk kesenangan dunia yang satu ini.
Kami mengobrol ringan, biasa sekedar menghilangkan kekakuan pada orang yang pertama kali bertemu. Seperempat jam berlalu, Pak Usman sudah menggeser duduknya di sebelahku, kusandarkan kepalaku di pundaknya, beliau membalas dengan rangkulan dan elusan di rambut.
“Kulepas dulu ya Pak, biar nggak terlalu ribet dan lebih santai” kataku sembari melepas blazer hitam yang menutupi tubuhku.
Sesuai pesan dari GM yang mem-booking, aku diminta mengenakan pakaian resmi seperti orang kantoran, biar nggak terlalu mencolok, katanya. Kuturuti permintaannya, kukenakan setelan Blus merah tanpa lengan dipadu dengan rok hitam yang sedikit di atas lutut, Blazer hitam menutupi bagian atasku ditambah stocking sewarna kulit menghiasi kakiku.
Pak Usman menarikku dalam pangkuannya, diciuminya pipi dan leher jenjangku, tangannya sudah menggerayang di daerah dada, meraba dengan remasan ringan. Kami berciuman, tangan beliau sudah menyelinap di balik blus merahku, remasannya semakin keras. Aku merosot dari pangkuannya, berlutut diantara kakinya, sengaja kugoda dengan membuka resliting celananya dan kukeluarkan kejantanan yang sudah tegang mengeras. Tidak ada yang special, sama dengan umumnya tapi not so bad untuk seusia beliau, kuremas dan kupermainkan jari jemariku pada penisnya, beliau mulai mendesis, matanya melototi tanganku yang putih terampil bermain di penis coklatnya.
“Masukin” perintah beliau pelan tapi tegas seperti memerintah anak buahnya, agak ragu aku melakukannya, apalagi dengan penis yang coklat kehitaman, terkesan kurang bersih.
Melihat keraguanku, Pak Usman memegang kepalaku, ditekannya ke arah penis hingga wajahku menempel di selangkangannya.
Sambil mengumpat dalam hati aku hanya tersenyum manja mendapat perlakuannya, bukan sekali ini kualami perlakuan kasar dan sok kuasa dari tamuku, mentang mentang aku dibayar, semua kupendam dalam dalam, anggap saja sebagai resiko pekerjaan.
“Lepas dulu bajunya Pak, ntar kusut” kucoba mengalihkan perhatian dengan mencopot baju safarinya.
Sesaat aku terbebas dari tekanannya, kulepas baju dan celananya sekaligus, akupun ikutan melepas blus dan rok-ku, menyisakan bikini merah tua dan stocking.
Kucoba menarik perhatiannya dengan menonjolkan ke-sexy-an tubuhku, dengan gerakan erotis satu persatu kulepas sisa sisa penutup tubuhku, tali bra merosot ke lengan, perlahan kuturunkan dan kulepas hingga terpampanglah kedua bukit indahku, celoteh kekaguman keluar dari mulut beliau. Aku sengaja ingin membuatnya terpesona akan kemolekanku, supaya terhindar dari paksaan permainannya, bagiku lebih baik dia yang aktif menikmati tubuhku dari pada aku harus terjebak alur permainan yang tidak aku sukai, apalagi dengan beliau yang usianya lebih tua dari Papaku. Bra yang sudah terlepas kulempar ke muka beliau, dia tersenyum saja, saat kusodorkan kedua buah dadaku di hadapannya, tangannya langsung meraih dan meremas remas gemas sambil mempermainkan putingku. Langsung kuraih kepalanya yang agak botak dan kubenamkan di dada, beliau menuruti kemauanku, lidahnya menjilati putingku secara bergantian lalu mengulum dengan penuh nafsu.
Tangannya yang mulai menjelajah di selangkanganku kutepis halus, belum waktunya, bisikku. Aku kembali menjauh melanjutkan gerakan menggoda, pelan pelan kulorotkan celana dalam mini yang masih menempel, tapi sebelum benar benar terlepas Pak Usman menerkamku, hamper terjatuh aku dibuatnya, untung dengan sigap beliau menangkap tubuhku, dan kamipun terjatuh di ranjang sambil tertawa lepas. Kami berangkulan bergulingan di ranjang, beliau melumat bibirku dengan ganas. Aku menggelinjang geli ketika ciumannya menyusuri leher dan dadaku, kuluman kasar penuh nafsu bermain main di puncak bukitku, terasa agak nyeri dengan kekasarannya.
Kubiarkan dia menjamah seluruh tubuhku dengan bibir, lidah dan tangannya, bahkan ketika dua hingga jari tangannya mengocok vaginaku, akupun hanya mendesah pasrah menerimanya. Beberapa kali turun naik dari kepala hingga kaki dia menjelajah seluruh tubuhku, termasuk punggung dan pantat, sepertinya tak ada sejengkalpun tubuhku yang terlepas dari jamahannya, tak kusadari kalau stockingku sudah tidak berada ditempatnya. Puas menikmati tubuhku, kutuntun penisnya ke selangkangan, tanpa usapan pemanasan beliau langsung melesakkan kejantanannya ke liang senggamaku. Aku tersentak kaget dengan kekasarannya, tapi tak berlangsung lama saat Pak Usman mulai kocokannya dengan tempo tinggi. Kejengkelanku perlahan lahan berubah menjadi kenikmatan beberapa menit kemudian, ternyata alunan permainannya berhasil membuaiku mengarungi lautan nikmat bersama sama, desahankupun mulai terdengar penuh gairah.
Kuangkat kedua kakiku yang masih bersepatu ke pundaknya, beliau tersenyum sambil mempercepat sodokannya, aku menggeliat nikmat seraya meremas remas buah dadaku sendiri. Belum sempat aku menggapai puncak kenikmatanku, ketika Pak Usman tanpa tanda tanda langsung menyemprotkan spermanya ke vaginaku, kurasakan cairan hangat membasahi dan memenuhi liang senggamaku, ada sedikit kecewa tapi bukanlah hakku untuk menuntut lebih. Kuraih penisnya saat ditarik dari vaginaku, dengan mengabaikan rasa jijik kukocok dengan tanganku, beliau menjerit geli, lalu kuusapkan ke buah dadaku.
“Kamu memang nakal dan pandai menggoda orang” komentarnya, aku hanya senyum senyum saja seraya beranjak ke kamar mandi membersihkan diri.
Ketika aku keluar, Pak Usman sudah berpakaian rapi bersiap untuk pergi.
“Lho kok buru buru sih Pak, kan masih belum jam satu” aku merajuk bergelayut di lengannya menggandeng duduk kembali di sofa.
Masih telanjang kutemani beliau menghabiskan waktu hingga jam satu, masih 20 menit lagi, meski aku tidak terlalu menikmati bercinta dengannya, tapi sudah tugas pekerjaanku untuk membuatnya merasa perkasa dan dibutuhkan. Dua batang rokok sudah beliau habiskan sambil ngobrol, mendekati pukul satu tanganku menggerayangi selangkangannya, sudah kembali tegang, apalagi melihat aku yang selalu telanjang disampingnya.
“Sekali lagi ya Pak” rayuku seolah aku ketagihan dan minta lagi.
“Jangan waktu kembali ke kantor” tolaknya tanpa berusaha menghentikan tanganku yang membuka resliting dan mengeluarkan penisnya. Matanya terpejam ketika tanganku mengocoknya.
“Sebentar aja ya Pak” kataku, tanpa menunggu jawabannya aku lansung ambil posisi di pangkuannya, kami saling berhadapan.
Kubasahi penisnya dengan ludahku, begitu tubuhku turun, kembali penisnya amblas dalam vaginaku. Aku diam sesaat mengamati expresi kenikmatan yang terpancar diwajah beliau, kupeluk kepalanya dan kutempelkan di antara buah dadaku.
Pantatku bergerak maju mundur mengocok penisnya, beliau mendesah, semakin cepat goyanganku, semakin deras desahannya. Beliau membalas dengan sedotan kuat pada putingku bergantian. Goyanganku makin cepat bervariasi, maju mundur lalu berputar kemudian berbalik arah, dan tak lebih dari lima menit beliau sudah mengerang orgasme, tubuhnya kaku mencengkeram pantatku, kurasakan denyutan yang tak sekeras sebelumnya, hanya enam denyutan lalu menghilang. Aku masih belum beranjak dari pangkuannya hingga napasnya normal kembali, dengan hati hati aku turun supaya tidak ada sperma yang tercecer ke pakaiannya, tapi tetap saja beberapa tetes keluar mengenai celananya, beliah hanya tersenyum menepuk pantatku.
“Kamu memang nakal” katanya sambil mencubit kedua pipiku.
“Udah dulu ya, ntar Bapak terlambat ke kantor ” kataku menggoda saat membersihkan penis dan kukecup lalu memasukkan kembali ke celananya.
Kuperiksa kerapihan pakaiannya sebelum meninggalkan kamar.
“See you nanti sore selepas jam kantor” katanya sehabis mengecup bibirku dan keluar kamar.
“Dasar si tua tak tahu diri” gerutuku sepeninggal beliau.
Kuhabiskan setengah harian di kamar tanpa keluar, menunggu kedatangan Pak Usman nanti sore, makan siang kupesan dari Room Service. Setelah mandi membersihkan diri, kurebahkan tubuhku di ranjang hingga tertidur. Tapi tidurku tak bisa nyenyak, lebih dari 4 kali Pak Usman maupun suruhannya meneleponku, baik melalui HP maupun ke hotel, sekedar menanyakan apakah sudah makan atau apakah ingin jalan atau pertanyaan lainnya yang menunjukkan perhatiannya. Namun semua itu bagiku adalah cerminan ketidak percayaan padaku, mungkin mereka mengira kalau aku akan pergi menerima tamu lainnya selama Pak Usman tak ada. Tentu saja aku tak pernah melakukan itu, aku harus bersikap professional dan loyal pada tamu yang sudah mem-booking.
Setengah jam sebelum pukul lima sore, aku bersiap menyambutnya, kukenakan lingerie hitam yang sexy tanpa bra dan bikini lagi, sungguh kontras dengan kulit putihku. Aku ingin memberinya kejutan saat beliau masuk ke kamar ini. Tepat pukul 5 sore Pak Usman sudah berada kembali di kamar ini, rupanya dia tidak mau membuang waktu dengan percuma, begitu jam kerja berakhir lansung meluncur ke hotel yang letaknya hanya 10-15 menit perjalanan. Sorot kekaguman dan sejuta pujian langsung terucap melihat penampilanku yang begitu erotis dan menantang, kulihat beliau menelan ludah seperti kucing yang melihat ikan siap santap di atas meja.
Pak Usman langsung memelukku, dengan sepatu hak tinggi yang kukenakan, relative aku lebih tinggi, bibir beliau yang berada tepat di leherku segera beraksi, menciumi leher dan bahu hingga lengan. Sambil bersandar di dinding, kubiarkan Pak Usman menyusuri seluruh lekuk tubuhku dengan bibir dan lidahnya, tangannya bergerilya menjarah di daerah selangkangan dan jarinya langsung menyelinap di liang kenikmatanku yang tidak mengenakan celana dalam. Kubuka kakiku lebih lebar, aku ingin menikmati bagaimana kepala Pak Menteri yang terhormat berada di selangkanganku, moment itulah yang paling aku sukai kalau melayani pejabat tinggi.
Pak Usman dengan rakus melahap kedua buah dadaku, disedot dengan kuatnya, aku menggelinjang geli. Begitu bernafsunya beliau mengulum hingga tubuhku terdorong ke belakang, terduduk di meja sebelah TV. Ciuman Pak Usman sudah berpindah ke paha, lingerie yang kukenakan tak diijinkan dilepas meski sudah acak acakan menempel di tubuhku. Moment yang kutunggu dari tadi kian dekat, semakin menjadi kenyataan saat beliau mulai menjilati klitoris dan bibir vaginaku. Kubentangkan kakiku semakin lebar, semakin masuk pula kepala beliau di selangkanganku. Lingerie yang dari tadi tersingkap di perut kututupkan di atas kepala beliau, hingga hanya tampak badannya saja sementara kepalanya berada di selangkanganku tertutup lingerie. Entah sudah puas atau pengap berada di selangkanganku, beliau menarik kepalanya keluar, baru kusadari kalau aku belum melakukan sesuatu pada beliau, masih rapi tertutup baju safarinya.
Aku tersenyum memandang wajahnya yang kemerahan dilanda nafsu, hidungnya kembang kempis seakan ingin menelanku bulat bulat. Sembari membuka resliting celana aku mengecup dahi botaknya, kukeluarkan penisnya yang telah keras menegang dan kutuntun ke arah gerbang surga dunia. Berbeda dengan tadi siang, kali ini beliau begitu romantis dan penuh perasaan melesakkan penisnya menyusuri liang sempit dan basahku sambil kami tetap berciuman bibir. Penisnya keluar masuk vaginaku pelan pelan, seakan ingin menikmati setiap detik dan setiap kenikmatan yang timbul, tangan beliaupun pelan meraba dan mengelus buah dadaku, tak ada kekerasan dalam irama permainannya. Lima menit berlalu dalam tempo romantis, satu persatu kulepas pakaiannya tanpa menghentikan permainan kami, lingerie masih menempel di tubuhku meskipun praktis tak karuan lagi letaknya.
Kami berganti posisi setelah beliau akhirnya melepas lingerieku, menyisakan stocking hitam dan sepatu, dari belakang sama sama berdiri menghadap cermin, aku dikocok masih dengan tempo lamban. Dari pantulan cermin bisa kulihat expresi kepuasannya saat bercinta, beliau selalu menyibakkan rambutku apabila menghalangi wajahku dari cermin. Kami seakan melihat adegan sex di layar cermin dengan peranan diri sendiri, mungkin ini menambah erotis beliau bisa melihat bagaimana menyetubuhi gadis muda secantik aku. Sebaliknya dengan aku yang selalu menutup mata rapat rapat saat beliau menengadahkan wajahku ke arah cermin, malu aku melihat diriku sendiri sedang disetubuhi laki laki seusia Papaku, bahkan mungkin lebih tua.
Tiba tiba Pak Usman menghentakku keras disusul denyutan kuat dari kejantanannya menghantam dinding dinding vaginaku, aku kaget, menggeliat dan menjerit, tak menyangka beliau mengakhiri dengan sentakan kuat seperti itu, membanjiri vaginaku dengan sperma hangatnya, tangannya mencengkeram buah dadaku dengan kuatnya, terasa sedikit sakit. Beberapa detik setelah itu kami terdiam dalam posisi tetap kecuali tangannya yang beralih membelai punggung dan rambutku, beliau masih menikmati pemandangan kami di cermin.
“Kamu memang hot dan pintar” katanya sambil mencabut kejantanannya.
Aku berbalik, kuraih kejantanannya yang mulai lemas lalu kuusap usapkan ke tubuhku, aku tahu dari pengalaman bahwa banyak laki laki menyukai hal ini.
“Bapak juga hebat, bisa lama seperti itu” jawabku menghibur dan memang untuk ukuran seusia beliau bercinta 10 menit sudah merupakan hal yang hebat, biasanya malah kurang dari 5 menit, cuma besar di nafsu saja.
Kami menghabiskan sore hingga malam dengan penuh gairah, Kulayani Pak Usman 2 babak lagi, meski masing masing tidak pernah lebih dari 10 menit, sebelum akhirnya beliau meninggalkanku kembali ke istrinya lewat tengah malam.
“Besok pagi aku akan datang sebelum kamu kembali ke Surabaya” pesannya sebelum meninggalkanku, aku hanya tersenyum mendengar kerakusannya.
Aku tak tahu bagaimana beliau menghindari sorotan orang atas keberadaannya di hotel, tapi aku yakin beliau sudah biasa melakukan dan sudah punya cara sendiri untuk menghindar. Sampai aku check out siang hari, ternyata beliau tidak pernah datang menemuiku, entah apa yang terjadi, mungkin ada acara mendadak. Tak ada sesal sama sekali atas ketidak hadirannya, justru aku bersukur tak harus melayani nafsu si tua itu lagi.
Selama melayani beliau beberapa babak, dari siang hingga tengah malam, aku tak pernah mendapat orgasme sekalipun, tapi aku tak kecewa apalagi menyesalinya, toh semua itu bagian dari pekerjaanku. Orang suruhan GM-pun tak pernah nongol atau menelpon, akupun berangkat sendiri ke Cengkareng tanpa ada orang lagi yang memperhatikan seperti kemarin, apalagi tiket pulang pergi masih ditangan, jadi bukanlah masalah besar bagiku. Yang penting semua pembayaran jasaku telah ditransfer sebelum keberangkatanku ke Jakarta. Itulah manusia, setelah selesai yang dikehendaki langsung melupakan lainnya.
============================================================
Dengan naik taksi aku menuju ke Club Deluxe, seorang GM telah menunggu di depan lobby saat taxiku berhenti.
“Cepat mereka udah lama menunggu” sapanya sambil menggandengku menuju salah satu ruangan VIP.
Ada 5 orang berada di dalam, anehnya tidak ada seorangpu Purel yang menemani mereka.
“Ini dia bidadari kita” celetuk salah seorang dari mereka saat melihatku memasuki ruangan
“Wow sayang sekali aku tak bisa ikutan” sahut lainnya
“Aku setuju” teriak lainnya tanpa aku tahu apa maksudnya
“Setujuu” yang lain mengekor seperti suara di gedung DPR.
“Oke semua telah setuju jadi kamu bisa tinggal dan temani mereka” kata si GM, aku masih tak tahu maksudnya, jadi kuturuti saja seperti kerbau dicocok hidungnya.
Satu persatu aku diperkenalkan, tentu saja tak semua nama bisa kuingat satu persatu tapi untuk saat ini apalah arti sebuah nama, toh aku belum tahu apa maunya mereka. GM itu hanya memberitahu bahwa aku di-booking selama 3 malam, mulai kamis-Sabtu, hanya malam sampai pagi ditambah Minggu siang-sore, akan ada permainan, hanya itulah pesannya, justru itu yang membuat aku penasaran. Mereka saling berceloteh, saling mengolok temannya.
Beberapa lagu telah mereka lantunkan dengan suara yang tak terlalu sedap didengar telinga, satu demi satu mereka mengajakku dance, bergiliran kulayani mereka melantai diiringi lagu slow yang tak karuan iramanya. Bisa ditebak bagaimana mereka melantai denganku, semua hampir sama kelakuannya, memelukku erat sehingga buah dadaku menempel di tubuhnya, mencium pipi dan leherku, meremas pantatku dan sebagainya, semua kulayani dengan senyuman manja karena aku masih tidak tahu siapa yang akan meniduri dan menikmati tubuhku kelak, jadi semua kuperlakukan sama.
Malam semakin larut, masih juga belum ada tanda tanda acara ini berakhir dan aku belum mendapat kepastian siapa yang harus tidur denganku malam ini diantara mereka. Akhirnya Pak Ade yang paling muda memberitahu aturan permainannya, mereka adalah anggota klub golf dari Jakarta yang besok ada turnamen di Finna, Bukit Darmo Golf dan Ciputra. Dari keempat orang yang ada di ruangan ini, siapa yang mendapat score best net di hari itu berhak mendapat piala bergilir semalam, yaitu aku, begitu juga di hari selanjutnya sampai hari minggu.
“Nggak ada masalah kan?” tanya Pak Ade menutup penjelasannya.
Aku diam terkejut tak tahu bagaimana harus bersikap, seharusnya si GM itu memberitahu permainan ini terlebih dahulu, apalagi melibatkan banyak orang seperti ini. Kalau aku menolak tentu akan mengecewakan banyak orang, kalau aku terima, sebenarnya tidak ada masalah cuma agak tersinggung dengan si GM karena mengaturku seenak kemauannya sendiri.
“Kalau kamu keberatan ya nggak apa apa, kita cari yang lain, nggak masalah kok” lanjut Pak Ade melihat diamku.
“Eh enggak, nggak apa kok, aku sih oke oke saja” jawabku
“OK gentlemen, kita akhiri acara ini karena besok tee off jam 6.30 pagi, jadi tidak ada alasan kurang tidur kalau kalah” kata Pak Ade pada rekan rekannya
“Dan Lily menjadi milik sang juara besok malam hingga pagi, terserah mau diapain” lanjutnya dan dijawab “setujuu” serentak seraya berdiri dan meninggalkan kamar VIP itu.
Pukul 11 kami semua meninggalkan Club Deluxe, meskipun malam ini tak ada yang kulayani tapi argo sudah jalan, itulah kesepakatannya.
“Besok jam 7 malam kamu sudah siap di Hotel Mercure (sekarang Sommerset kalau nggak salah)” pesan si GM sebelum taxiku berangkat mengantarku pulang.
Hari Pertama
Keesokan harinya berjalan seperti biasa, aku tak terlalu memikirkan siapa yang akan meniduriku malam ini, toh percuma saja berharap karena bagiku mereka seperti tamuku lainnya.
Siangnya aku masih menerima tamu, bahkan dua, beruntunglah tamuku yang kedua tinggal di Hotel Mercure, jadi dari pada mondar mandir, dia kuberi “bonus” free extra time sambil menunggu jam 7 malam, tentu saja dia tidak keberatan mendapat bonus itu meskipun tidak tahu alasannya, Paling tidak bisa mendapatkan satu babak tambahan setelah 2 babak kami bercinta.
Jam 18:40 kutinggalkan tamuku menuju lobby, aku tak berani menunggu di lobby, disamping memang bukan kebiasaanku juga karena khawatir ketahuan tamu terakhirku tadi, maka kutunggu panggilan mereka di mobil. Belum habis Marlboro putihku, si GM menelpon dan memintaku langsung memintaku bergabung dengan mereka di restoran hotel itu, begitu tahu aku udah berada di tempat parkir. Ternyata mereka sudah lengkap mengelilingi makanan yang sudah terhidang di atas meja. Suara celotehan terdengar saat aku bergabung dengan mereka. Untunglah tak banyak tamu di restoran itu, jadi aku tak perlu terlalu khawatir dikenali orang yang pernah mem-bookingku, hanya tamuku terakhir tadi yang kukhawatirkan.
Selama makan, pembicaraan mereka hanyalah seputar permainan golf tadi siang, banyak istilah yang tak kumengerti, seperti birdie, par, boogy, green, rough, best net, gross, handycap dan istilah lain yang sama sekali asing bagiku.
Hingga selesai makan aku masih tidak tahu siapa yang akan meniduriku pertama kali, tapi aku tak peduli siapapun yang akan tidur denganku karena aku tidak dalam posisi untuk memilih. Kucoba menerka siapa laki laki yang “beruntung” itu, tapi terlalu sulit karena antara pemenang dan pecundang semua berwajah ceria, tak ada kesedihan tampak di raut muka mereka.
Akhirnya Pak Bambang berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.
“Sorry guys, aku permisi dulu, I have many thing to do” katanya sambil menggandeng tanganku meninggalkan rekan rekannya diiringi celoteh godaan, ternyata dialah pemenang di hari pertama.
Bergandengan tangan kami menuju kamar Pak Bambang, dia bukan yang paling tua diantara rekan rekannya tadi tapi termasuk yang di-tua-kan karena usianya memang diatas 50-an, kutaksir sekitar 55 tahun, hampir 2 kali usiaku. Tak ada yang istimewa pada diri Pak Bambang, kulitnya yang kehitaman karena terbakar matahari akibat sering main golf, kumisnya yang tebal dengan beberapa uban menghiasi kepalanya.
Sesampai di kamar tanpa banyak basa basi dia langsung mendekapku dari belakang dan menciumi tengkukku. Aku menggeliat geli, tangannya sudah berada di dada dengan remasan remasan nakal.
“Bapak nakal deh, sini aku lepasin .”
Belum selesai aku bicara dia langsung menutup mulutku dengan bibirnya dan melumat habis, lidahnya berusaha menembus rongga mulutku, segera kusambut pula dengan lidahku. Kami berciuman sambil saling melucuti pakaian hingga telanjang habis, seperti sudah tidak sabar untuk segera menikmati tubuhku.
“Sejak kemarin aku sudah ingin melakukan ini” katanya sambil merebahkanku ke ranjang
“Kenapa nggak bilang dari kemarin, kan aku bisa menyelinap kemari” jawabku sambil tersengal mendapat kuluman darinya
“Nggak boleh, itu sudah aturan, bisa bisa aku dipecat kalo ketahuan” lanjutnya terus mendaratkan bibirnya di putingku.
Tubuhnya yang agak gendut menindihku sambil menciumi seluruh tubuhku sejauh dia bisa menjangkau dengan bibirnya. Terasa agak berat aku menahan tubuhnya dan semakin berat saat dadanya menggenjet dadaku, sesak napas dibuatnya. Tapi rupanya dia salah menterjemahkan sengalan napasku, dikira aku sudah benar benar terangsang oleh foreplaynya padahal pemanasannya jauh dari cukup bagiku untuk terangsang.
“Gimana? Udah nggak tahan? Kita masukin aja ya” bisiknya lembut sok gentleman.
Aku hanya tersenyum, kubuka kakiku lebar saat dia mulai mengusapkan kejantanannya di liang vaginaku, agak susah, mungkin karena vaginaku belum basah.
“Sini aku basahin dulu” kataku sambil memberi isyarat supaya dia bergeser ke arah kepalaku dan bisa kukulum penisnya, segera tubuhnya mengangkang di atas, kusambut dengan jilatan dan kuluman pada kejantanannya.
Beberapa saat aku mengulumnya, kemudian berganti ke posisi 69, saling menjilat dan mengulum, membuat vaginaku basah dengan cepat. Sudah menjadi kodratku, sebenci dan semuak apapun aku sama seseorang tapi kalau dia berhasil menjilati vaginaku, apalagi ternyata begitu pintar, maka dengan sedikit berimajinasi pastilah cairan kewanitaanku keluar dengan sendirinya.
Perlahan lahan Pak Bambang mendorong kejantanannya memasuki liang kenikmatanku, penis ketiga di hari itu yang menikmati hangatnya surga dunia milikku. Dia menatapku tajam dengan sorot mata penuh nafsu seakan ingin menelanku bulat bulat, senyumnya menyeringai bak srigala lapar menatap korban yang sudah tidak berdaya dalam cengkeramannya. Dia menelungkupkan tubuhnya di atasku, memelukku rapat sambil menciumi leher dan bibirku seiring dengan mulainya gerakan mengocok penisnya. Kocokan pelan dan dalam membuat bulu kudukku merinding karena geli bercampur nikmat, aku sendiri heran tak pernah merinding begini saat melayani tamu, irama permainan apapun kulayani baik romantis, pelan maupun keras menjurus liar sejauh tidak menyakiti secara fisik, kalau secara mental sih sudah terlatih untuk menerimanya segala jenis “penghinaan dan perendahan martabat” sejauh berhubungan dengan pekerjaanku, dan bukan tentang pribadiku.
Desahan Pak Bambang mengiringi desahan kenikmatanku, hembusan napasnya yang tersengal mengenai wajahku saat kocokannya mulai berubah cepat, pantatnya turun naik menekan kuat, klitorisku serasa tergesek benda keras kejantanannya. Sodokan demi sodokan begitu dia nikmati, sebentar saja keringat sudah membasahi wajahnya, kuusap lembut dengan tanganku, seperti mengusap wajah Papaku yang sedang berkeringat, beberapa sempat menetes di wajahku. Kudorong tubuhnya menjauh karena terasa semakin berat menindihku, membuat napasku ikutan tersengal, tapi justru dia mencabut penisnya dan telentang disampingku, menarikku ke pelukannya.
Mungkin karena lelah menahan berat badannya sendiri, karena staminanya sudah tak muda lagi, padahal permainan belum 5 menit tapi terasa begitu lama. Kini posisiku di atas, kucium bibirnya sembari menuntun penisnya kembali memasuki vaginaku, kembali aku dalam dekapannya saat kocokannya menghunjam tajam, kuatur posisi pantatku hingga kejantanannya menggeser klitoris, dengan posisi begini akulah yang pegang kendali. Kulawan dengan goyangan pantat setiap kali penisnya meluncur masuk, aku melepaskan diri dari dekapannya, dengan begini lebih bebas bergerak melakukan improvisasi demi kenikmatan tamu dan sedikit bagiku.
Tubuhku mulai turun naik di atasnya, tangan Pak Bambang meremas remas buah dadaku penuh nafsu diiringi desahan kenikmatan kami berdua. Kurobah gerakanku, dari turun naik menjadi berputar di atas penisnya, sesaat kulihat Pak Bambang merem melek menikmati perubahan gerakanku, tangannya makin keras mencengkeram buah dadaku, vaginaku sendiri terasa diaduk aduk penisnya yang tidak terlalu besar, rata rata, tapi sekeras batu. Kupermainkan dengan otot otot vagina yang memeras kejantanannya, dia makin melayang tinggi dan makin cepat mencapai klimaks. Tubuhku ditarik kembali dalam dekapannya tapi aku menolak, aku ingin menikmati wajah wajah tua dalam kenikmatan sexual tertinggi yang tidak mungkin bisa dia dapatkan setiap saat apalagi di rumah.
Beberapa detik kemudian kurasakan semprotan sperma yang kuat menghantam vaginaku, diiringi jeritan kenikmatan dari Pak Bambang, aku teriak kaget tak menyangka begitu kuat denyutannya, lima enam tujuh delapan denyutan yang hebat melandaku disusul denyutan kecil lainnya, mengisi vaginaku dengan cairan hangat sperma. Aku ambruk tak lama kemudian dalam pelukannya, meskipun tidak ikutan orgasme tapi kuatnya semprotan itu begitu nikmat terasa, napasnya menderu kuat ditelingaku, seperti orang yang sehabis lari marathon.
“Ugh, lebih satu minggu aku tak melakukan ini” katanya pelan sambil membelai rambutku setelah dia berhasil mengatur nafasnya normal.
“Emang ibu kemana?” tanyaku lancang.
“Dia lagi ke luar kota, biasa kegiatan kelompok ibu ibu” jawabnya masih mengelus elus rambutku.
“Wah ibu pasti puas dengan permainan Bapak seperti ini, bisa KO dia apalagi lidah Bapak pandai sekali bermain di bawah” aku memuji dan semakin berani bertanya karena beliau juga tidak mengalihkan perhatian ke pembicaraan lain, berarti tidak keberatan.
“Ah enggak, dia membenci permainan oral, tapi masih hebat di ranjang, maklum usia kami cukup jauh, dia kan 44 sedangkan aku sudah 56″
Pembicaraan kami berlangsung cukup lama mengenai keluarganya, terkadang dia memuji kehebatan istrinya bahkan menyanjungnya, aku jadi tambah bingung, dari pembicaraan itu sebenarnya tak ada alasan untuk selingkuh mencari wanita lain tapi tetap saja dilakukannya sebagai selingan hidup, masak makan sayur asem terus, itu alasan klasik yang selalu di ucapkan lelaki, dasar laki laki, dimana saja ternyata sama hanya kemasannya saja yang berbeda.
Handphone-nya berbunyi, rupanya dia memang sudah menunggu makanya ditaruh HP itu di ranjang. Tanpa memintaku turun dari tubuhnya dia terima telepon itu.
“Ya sayang, enggak lho Mama kan ke Bandung sama ibu ibu sekarang Papa ada di Surabaya sayang, nggak bisa, kamu bilang saja sama tantemu ntar Papa akan ganti sampai minggu iya, senin aja deh, malam sayang”
Aku hanya diam saja mendengar pembicaraannya, ternyata dari anak perempuannya yang sedang kuliah di Yogja, berarti hanya sedikit lebih muda dariku. Beberapa saat kami saling membisu, penisnya sudah keluar dari vaginaku, kurasakan cairan sperma menetes keluar. Akhirnya aku turun dari tubuhnya, kubersihkan kejantanannya dengan tisu yang ada di samping ranjang, baunya begitu menyengat, lalu kutinggalkan ke kamar mandi membersihkan sperma yang ada di vaginaku.
Jam menunjukkan pukul 9:35 malam ketika aku keluar kamar mandi selesai mandi, kulihat Pak Bambang sudah duduk di sofa sudah mengenakan celana dalamnya, perutnya kelihatan semakin buncit dengan posisi duduk seperti itu.
Kubuatkan 2 cangkir teh dari mini bar, kuhidangkan ke depan beliau dan aku langsung duduk di pangkuannya dengan sikap manja.
“Besok main dimana lagi Pak?” tanyaku sambil bergelayut di lehernya.
“Bukit Darmo, dekat sini aja, jadi nggak perlu buru buru berangkat jam 5 kayak tadi pagi kalo ke Finna”
“Terus besoknya lagi?”
“Ke Ciputra, tapi cuma 18 hole supaya bisa selesai siang dan sang juara punya waktu untuk menikmati hadiahnya sebelum pulang ke Jakarta flight terakhir”
Aku banyak menanyakan istilah golf yang kudengar tadi, dan dengan penuh kesabaran dia menerangkan aturan aturan dasar permainan golf, termasuk arti istilah itu dan cara penilaiannya diselingi ciuman ringan pada leher dan dadaku. Sebagian kupahami tapi tidak sedikit yang terlupakan, maklum begitu banyak pelajaran yang kuterima dalam waktu singkat, ditambah lagi tangan Pak Bambang yang selalu rajin menjamah tubuhku sambil menerangkan tadi. Tubuhku sudah merosot di antara kakinya setelah dia selesai menjelaskan tentang golf, handuk penutupku telah lama melayang ke ranjang, giliran aku membuktikan one in hole pada permainan lain, bukan hole in one. Pak Bambang melihat sambil mendesis ketika penisnya meluncur keluar masuk mulutku sembari mengelus mesra rambutku.
“Udah udah, ntar aku kebablasan” katanya lalu berdiri menuntunku ke ranjang.
Aku telentang pasrah menanti cumbuannya, tapi dia malah membalik tubuhku dan memintaku pada posisi merangkak. Vaginaku terbuka lebar menghadapnya, mengundang menanti kehangatan penisnya mengisi liang sempitku, dia tidak langsung memasukkan penisnya tapi menciumi pantat dan vaginaku terlebih dahulu. Kembali kurasakan gerakan penuh perasaan saat penisnya masuk menyusuri dinding dinding vaginaku, begitu pelan hingga kurasakan seperti suatu perjalanan panjang menembus lorong lorong kenikmatan. Aku mulai mendesah ketika Pak Bambang mengocokku dengan iramanya yang berkombinasi cepat dan pelan, sesekali diselingi sodokan keras mendadak yang membuatku menggeliat kaget.
Kocokan demi kocokan, remasan demi remasan dan desahan demi desahan mengiringi permainan kami yang sama sama berusaha merengkuh kenikmatan duniawi, terlupakan sudah pembicaraan tentang istrinya saat aku masih dalam pelukannya tadi, terlupakan sudah permintaan anaknya yang ada di Jogja, kami berusaha untuk saling memberi kenikmatan. Tak lebih 5 menit kemudian Pak Bambang kembali menggempur vaginaku dengan denyutan denyutan nikmat, jeritanku beriringan dengan jerit kenikmatannya, dan dia langsung ambruk menindih tubuhku yang sudah tengkurap di ranjang. Desah napasnya menderu hebat ditelingaku, kubiarkan sejenak sebelum kuminta turun karena aku tak bisa bernapas.
Akhirnya kami tertidur berpelukan dalam keadaan telanjang tak lama kemudian, dia tak berani tidur terlalu malam karena besok masih harus mempertahankan piala kemengangannya.
“Aku harus mempertahankan kamu di kamar ini besok, jadi perlu istirahat yang banyak untuk jaga kondisi” pesannya sebelum terlelap.
Hari Kedua
Kami terbangun oleh morning call keesokan paginya, jam masih menunjukkan pukul 5 pagi, terlalu pagi bagiku untuk bangun tapi aku tak bisa menolak. Untuk mempersingkat waktu kami mandi bersama, dia menolak ketika kupancing untuk bercinta di kamar mandi.
“Ntar loyo dan nggak bisa menang, kita lakukan saja ntar sore, janji, makanya doakan aku menang” katanya penuh optimis bisa mempertahankan “pialanya”.
Pukul 6:35 kami sudah berada di Coffe shop, ternyata mereka sudah lengkap menunggu kedatangan Pak Bambang.
“Ini dia sang juara bertahan, sudah biasa kalo juara bertahan datang belakangan” goda Pak Ade.
Mereka hanya memesan bubur ayam atau sandwich, sekedar mengisi perut sebelum bertanding. Sering kulihat mereka memandangku dengan pandangan yang aneh seakan menelanjangiku, entah apa yang ada dalam pikirannya, mungkin juga mereka membayangkan apa yang telah Pak Bambang lakukan pada gadis yang seusia anaknya ini, tapi aku tak peduli, toh pandangan seperti itu sudah sering kali kualami.
Akhirnya mereka meninggalkan “Piala Bergilir” sendirian di hotel, untuk diperebutkan kembali pada hari kedua. Pak Bambang sempat mengecup kedua pipiku dihadapan rekan rekannya sebelum masuk ke mobil. Sepeninggal mereka, aku kembali ke tampat kost melanjutkan tidurku yang terpotong. Aku sama sekali tidak memikirkan siapa yang akan memiliku pada hari kedua ini, toh siapa saja dari mereka bagiku sama saja.
Pukul 11 pagi aku sudah keluar dari tempat kost, hari ini aku sudah menerima dua booking-an, pertama di Palm Inn dan nanti jam 2 siang ke Hotel Novotel di daerah Dinoyo. Kupacu mobilku menuju Palm Inn di kawasan Mayjen Sungkono, tempat yang terpencil, ideal bagi laki laki yang selingkuh. Para room boy yang sudah hapal dengan mobilku segera berlarian menyambut kedatanganku, mereka sudah hapal kegemaranku yang selalu mencari kamar yang di pojok karena kamarnya lebih bagus dan luas, soal tarip yang lebih mahal bukanlah urusanku karena tamuku selalu membayar harga kamar tanpa banyak tanya.
Limabelas menit aku menunggu kedatangan tamuku, kuminta salah seorang Room Boy yang sudah cukup akrab kukenal untuk menemaniku sebentar, dari dia aku tahu selama ini banyak tamu yang mencari aku atau GM yang menanyakan nomer HP-ku, tentu saja aku tak mau berhubungan dengan GM kelas teri yang banyak beredar di tempat tempat seperti itu, bukan kelasku. Akhirnya tamuku datang juga setelah rokok ketiga habis kuhisap, kuminta Room Boy tadi memindahkan mobilku ke tempat yang sejuk dan memasukkan mobil tamuku ke garasi yang aman tertutup.
Tamuku ini adalah salah seorang pelanggan tetapku, jadi sudah seperti teman yang sudah lama. Sebenarnya lebih enak melayani pelanggan seperti ini, sudah sama sama tahu irama permainannya, jadi tak perlu menebak kemauannya, semua berjalan alamiah tanpa ada keterpaksaan, bahkan tak segan untuk mencoba sesuatu yang baru, entah berasal dari fantasi atau dari melihat film.
Namun demikian bukan berarti menghadapi tamu baru tidak ada enaknya, justru seninya terletak pada cara membaca gaya permainan mereka, sensasinya jauh lebih tinggi.
Kuhabiskan hampir 1.5 jam untuk 2 babak percintaan dengan tamu pertamaku, seperti sudah menjadi perjanjian tak tertulis bahwa untuk Short Time berlangsung minim 2 babak, jarang yang kurang atau lebih. Tidak terlalu melelahkan karena tiap babak tidak lebih dari 10 menit, itu sudah rata rata, hanya beberapa saja bisa dihitung dengan jari yang bisa bertahan setengah bahkan lebih satu jam nonstop atau bahkan semalaman hingga pagi.
Dengan alasan ingin istirahat, aku tinggal lebih lama di kamar itu setelah tamuku pergi. Kuhubungi GM yang mengatur dengan tamu keduaku untuk ketemu sekarang, lima menit kemudian dia menyatakan persetujuannya. Setelah ganti baju dan pakaian dalam (aku sudah terbiasa membawa 3-4 set baju dan pakaian dalam di mobil), mobilku meninggalkan Palm Inn meliuk liuk disela kemacetan jalanan Surabaya menuju Hotel Novotel.
Jam 1 lebih dikit mobilku sudah memasuki pelataran parkir hotel, kutuju kamar yang disebutkan GM tadi, kulewati kolam renang di depan kamar kamar yang menyerupai cottage, tak ada orang yang berenang di siang hari seperti ini. Tamuku kali ini adalah lagi lagi seorang chinese, usianya sekitar 48 tahun, tubuhnya ceking dengan kacamata minus menghiasi wajahnya, terlihat begitu kolot, aku jadi teringat pada salah satu tamuku pada saat awal awalku di Hilton, saking kolotnya sampai sampai dia mengenakan celana kolor, bukan celana dalam pada umumnya (bagi pembaca yang mengikuti ceritaku sejak awal pasti mengetahuinya). Tanpa membedakan bentuk fisik yang ada, kulayani dia sama seperti tamuku lainnya, kecuali kalo ganteng dan aku benar benar menyukainya, maka ada pelayanan yang lebih karena aku juga ingin memperoleh kenikmatan darinya.
Mula mula dia menggumuli tubuhku, menciumi seluruh organ intim yang ada, tapi dia selalu menolak setiap kali kucoba memasukkan penisnya ke vaginaku. Aku bingung karena tak tahu maunya, akhirnya kusadari bahwa dia ingin kukulum hingga mencapai klimaks, meskipun tak pernah terucap tapi dari pengalaman aku bisa membaca kemauannya. Tanpa kesulitan yang berarti aku bisa membuatnya orgasme dalam waktu 5 menit permainan oral, kuusapkan penisnya pada kedua buah dadaku dan dia tersenyum puas.
Babak selanjutnya berlangsung 20 menit kemudian, dia hanya bertahan mengocokku pada 3 menit pertama, selanjutnya aku diminta melakukan oral hingga keluar seperti sebelumnya, ternyata perlu waktu lebih lama untuk membikinnya orgasme kedua dengan oral. Sebagai seorang profesional tentu saja aku tak boleh cepat menyerah, berdasar pengalaman, kutambah rangsangan dengan mengelus elus dan menjilati kantong bolanya, dan ternyata effektif, beberapa saat kemudian dia menggapai klimaks dan menyapukan di wajahku saat penisnya berdenyut, memuntahkan sedikit cairan ke mukaku. Kuterima amplop coklat berisi uang pembayaran jasaku dan kumasukkan ke tas Eigner.
Matahari masih bersinar terang saat aku keluar dari Hotel Novotel, masih lama sebelum ke Hotel Mercure, paling tidak ada waktu 4 jam lagi. Kuarahkan mobilku menuju Tunjungan Plaza, sekedar belanja baju, pakaian dalam dan lingerie, aku paling senang koleksi pakaian dalam dan lingerie yang sexy karena akan menunjang langsung penampilanku di mata tamu.
Kuhabiskan uang hasil pembayaranku tadi untuk membeli beberapa potong kebutuhanku dan parfum, ternyata masih tidak cukup, hingga aku harus menggunakan credit card. saat aku memilih pakaian dalam, HP-ku berdering, dari GM yang mengatur acara di Mercure, dia memintaku datang jam 4 langsung ke Shang Palace di Hotel Shangri La, aku iyakan saja, berarti waktu shoppingku berkurang, tinggal kurang dari 2 jam lagi. Lima menit kemudian HP-ku kembali berdering, dari salah seorang tamu langganan lainnya, dia minta aku menemaninya nanti malam, tentu saja kujawab nggak bisa karena sudah ada janjian dengan seseorang. Dia memohon seperti orang yang mau mati kalau tidak tidur denganku, tapi komitmentku harus kujaga apalagi dengan bookingan paket seperti ini, jelas uangnya jauh lebih besar dibandingkan yang hanya semalam, terpaksa kutolak ajakan nginapnya.
“Aku lagi di TP ini kalau mau sekarang aja di HT” jawabku bergurau dengan mengajaknya di Hotel Tunjungan yang hanya bersebelahan dengan TP.
Diluar dugaan dia setuju dan segera meluncur.
“Oke, 15 menit lagi ketemu di Lobby” jawabnya langsung menutup teleponnya.
Giliran aku yang bingung karena tidak menyangka dia akan setuju, segera kubayar semua belanjaanku dan bergegas menuju HT dengan jalan kaki. Sebenarnya waktu yang tersisa masih lebih dari cukup untuk melayaninya, tapi karena aku harus berada di Shangri La jam 4 nanti tentu waktunya sangat mepet, namun aku sudah terlanjur buat janji maka terserahlah apa kata nanti. Kutitipkan barang belanjaanku di Concierge yang sudah aku kenal, karena seringnya berkunjung ke hotel itu, dan kutunggu si Joni, nama tamuku, di Lobby. Dia datang tak lama kemudian karena memang kantor atau tepatnya tokonya di Kedung doro.
Setelah dia check in dan kuambil barang belanjaanku di concierge, kami menuju kamar hotel.
Kamipun melakukan gerak cepat, tanpa kata kata setibanya di kamar langsung berciuman sambil saling melucuti pakaian. Kami bercinta di atas karpet di depan pintu, hanya beralaskan handuk, aku tak peduli jika desahan nikmatku terdengar dari balik pintu karena kocokan dia memang begitu nikmat, apalagi setelah melayani 2 tamu tanpa orgasme. Karena sudah terbiasa dengan Joni, akupun tak segan untuk memintanya dalam berbagai posisi, masih tetap di atas karpet. Akhirnya aku mendapatkan orgasme darinya secara bersama sama, jeritanku begitu keras menggema, seakan menumpahkan segala perasaan yang terpendam sejak tadi.
Babak kedua kami lakukan di atas ranjang 15 menit kemudian, kali ini berlangsung cukup lama, mungkin 30 menit atau lebih tapi terasa begitu cepat karena kami sama sama melakukannya dengan penuh gairah. Tak kuhiraukan dering teleponku yang berbunyi nyaring, aku tahu itu pasti dari si GM. Akhirnya akupun terkapar setelah 2 kali orgasme menyusulnya. Masih sempat kuhabiskan sebatang Marlboro sebelum aku mandi.
Aku terkejut ketika melihat jam, ternyata sudah pukul 4 kurang 10 menit, tak mungkin aku bisa sampai di Shangri La tepat waktu, rupanya aku terlalu terlena dalam ayunan kenikmatan Joni. Meskipun dia agak kecewa karena harus check out cepat cepat tapi dia bisa memahami keadaanku, setelah berganti kaos dan pakaian dalam yang baru saja kubeli tadi, kamipun keluar kamar dan check out sama sama.
Diperjalanan kuhubungi GM-ku dan minta maaf karena ketiduran, dia sedikit marah dan minta aku segera meluncur. Jam 4.20 aku sudah berada di lobby Shangri La, langsung turun ke Chinese Resto. Mereka sudah mulai makan tanpa menunggu kehadiranku, sepertinya dari Ciputra mereka langsung kemari. Aku minta maaf atas keterlambatanku tapi rupanya mereka tak terlalu mempersoalkan, akupun segera duduk bergabung dengan para golfer itu. Ketika kulirik ke arah Pak Bambang, terlihat raut kekecewaan di wajahnya, sepertinya dia harus merelakan Pialanya jatuh ke pelukan laki laki lain. Siapa? inilah yang aku tidak tahu dan baru kuketahui sesaat sebelum masuk kamar nanti, seperti kemarin. Kali ini sedikit banyak aku bisa mengikuti pembicaraan mereka karena ajaran dari Pak Bambang kemarin, tapi masih saja tak bisa menebak siapa pemenangnya di hari kedua.
Selesai makan kami kembali ke Hotel, Pak Ade ikut di mobilku, sepanjang jalan kucoba memancing siapa pemenangnya tapi dia tidak memberi jawaban pasti, jadi aku masih harus menunggu lebih lama. Pak Ade menggandengku memasuki Lobby hotel, aku yakin dialah pemenangnya, ternyata salah, dia menyerahkanku ke Pak Bambang, berarti dia dapat mempertahankan kemenangannya, berlima kami memasuki Lift.
“Pak Napitupulu, kuserahkan piala bergilir ke anda, tapi mungkin besok akan kurebut kembali” kata Pak Bambang menyerahkanku ke rekannya, Pak Napit, bagitu panggilannya adalah pemenang dihari kedua.
Pak Napit menyalami Pak Bambang dan menerima uluran tanganku, dikecupnya kedua pipiku seperti sang juara yang mencium piala kemenangan. Kami semua tertawa dan tepuk tangan di dalam Lift.
Kamar Pak Napit berseberangan dengan Pak Bambang, selintas kulihat Pak Bambang melihat kami saat masuk ke kamar, seperti tak rela pialanya di ambil alih si juara baru.
“Kamu santai aja dulu aku mau telepon ke Jakarta” katanya dengan dialek batak yang kental
Sepuluh menit dia menelepon ke rumah, sepertinya sebuah keluarga yang “bahagia”, aku membuat dua cangkir teh hangat.
“Biar nggak mengganggu lagi nanti” katanya setelah menutup HP-nya.
Pak Napit adalah orang yang paling senior diantara mereka, usianya beberapa tahun lebih tua dari Pak Bambang, mungkin 62-63 tapi wajahnya yang keras terlihat masih segar dan kelihatan lebih muda dari rekannya itu, apalagi postur tubuhnya yang langsing dan terjaga.
Pak Napit melepas kaos dan celananya, meninggalkan celana dalam dan kaos singlet.
“Lho kok belum dilepas, apa perlu aku lepasin” tegurnya sambil menyalakan Dji Sam Soe kreteknya.
Aku jadi malu sendiri.
Dia membantuku melepas kaos yang baru aku beli tadi, begitu juga dengan celana Jeans-ku.
“Wah bagus betul body kamu, apalagi bikini yang kamu pakai, bisa bisa aku tak bisa bangun lagi besok pagi” komentarnya setelah melihat tubuhku yang terbungkus bra merah berenda semi transparan.
Dialek bataknya begitu kental terdengar lucu seperti pelawak yang sedang naik panggung.
Kami duduk bersebelahan di sofa menghadap TV yang kebetulan di channel Star Sportnya menayangkan PGA Tournament, aku belum bisa melihat indahnya permainan itu, tidak seperti sepak bola atau tinju yang begitu menarik. Sembari nonton dan memberi komentar, tangannya tak henti menjelajah seluruh tubuhku, terutama bagian paha selalu dielus elusnya, entah disadari atau tidak. Akupun membalas dengan elusan yang sama.
“Ah kau bikin aku tak bisa konsentrasi melihatnya” katanya saat tanganku meremas remas kejantanannya yang sejak dari tadi tegang.
Dimatikannya TV itu dengan remote control, perhatiannya sekarang tercurah padaku.
Pak Napit merebahkanku di ranjang setelah terlebih dahulu melepas bra dan celana dalamku, seperti kebanyakan laki laki lainnya, dia menjamah seluruh tubuhku tanpa sisa. Bagian payudara adalah bagian yang paling sering mendapat perhatian berlebih, begitu juga dengan vagina. Berulang kali dia meremas dan mengulum buah dadaku yang terus berlanjut pada sedotan kuat di vagina. Aku menggelinjang geli dan nikmat, kembali dikulumnya kedua putingku dan disedot penuh nafsu, sementara itu jari tangannya menyusup ke liang vaginaku, dua jari sudah mengaduk aduk liar. Desahanku semakin keras ketika klitorisku dipermainkan dengan lidahnya sambil masih tetap mengocok dengan kedua jari jarinya, aku menggelinjang nikmat. Kucoba meraih penisnya tapi terlalu jauh dari jangkauan, ingin kuremas kuat penisnya sebagai balasan.
Lima menit lebih dia melakukan oral diselangkanganku, membuatku terbakar birahi dengan cepat, apalagi aku tak bisa berbuat banyak padanya kecuali hanya desah kenikmatan yang makin keras. Puas membikin aku terbakar menggelepar tanpa daya, dia lalu telentang disampingku, sekarang giliranku. Hal pertama yang kulakukan adalah melepas celana dalamnya.
Aku tertegun sejenak menghadapi kenyataan di depanku, panjangnya sih biasa saja tapi besar diameternya melebihi rata rata umumnya, lebih besar dari gengaman jari tanganku, aku sama sekali tak menyangka dia mempunyai kejantanan yang begitu perkasa.
“Gila, gede banget” batinku
Gairah yang sudah meMbakarku semakin panas menggelora, terbersit harapan semoga dia bisa bertahan lama, seperkasa penampilannya. Sementara kubiarkan penis yang membikin vaginaku berdenyut tanpa sebab, aku ingin mempermainkannya terlebih dahulu seperti yang dia lakukan tadi. Tanpa menyentuh penisnya kucium bibirnya dan kukulum telinga dan putingnya, dia mulai mendesah sambil meremas rambutku. Aku sadar, semakin lama mempermainkannya semakin tersiksa pula aku, apalagi melihat penis yang berdiri tegak begitu menggoda. Kucium paha dan kujilati lututnya, aku tahu sebagian orang terangsang apabila lututnya dijilati penuh gairah, dan Pak Napit termasuk di dalamnya.
Aku sudah tak tahan lagi untuk mempermainkannya lebih lama, kuraih kejantanannya, ternyata benar dugaanku, jari mungil tanganku tak bisa menutup penuh di penisnya, kukocok sebentar lalu kumasukkan ke mulutku yang sudah kelaparan sejak tadi. Kupandangi wajah Pak Napit yang merem melek menerima kulumanku, desahannya lepas terdengar, apalagi ketika lidahku menyusuri seluruh batang hingga pangkal kejantanannya, expresi kenikmatan terpancar jelas di wajahnya yang keras. Capek juga mulutku mengulumnya meski belum terlalu lama, karena besar berarti aku harus membuka mulutku lebih lebar dan ini yang membuatku cepat pegal.
Kuatur posisi tubuhku di atasnya, kusapukan sejenak penisnya di vaginaku dan pelan sekali kucoba memasukkannya. Baru kepala penis yang masuk tapi vaginaku sudah terasa sesak, sedikit nyeri saat kupaksakan melesakkan semuanya, meskipun perlahan lahan. Mungkin bibir vaginaku sedikit tersobek, atau lecet karena permainan dengan si Joni tadi sore cukup lama, aku tak tahu, yang jelas ada rasa nyeri di vaginaku. Dan ketika semua penis itu sudah berada di dalam, aku tak berani bergerak, begitu penuh dan serasa mengganjal di selangkangan.
“Ooouwww.. sshh.. sshiitt” desahku pelan.
“Sakit?” kata Pak Napit melihatku meringis.
Aku hanya menjawab dengan senyuman, karena kutahu rasa sakit itu hanya di permulaan saja, selanjutnya adalah rasa enak dan enak bercampur nikmat. Kucengkeram lengan Pak Napit yang berada di dadaku saat dia menggerakkan tubuhnya, aku masih mencari posisi yang nyaman sebelum memulai gerakanku.
“Jangan buru buru keluar Pak ya” pintaku sebelum memulai gerakan, dia hanya tersenyum penuh arti.
Perlahan kuangkat naik tubuhku, perlahan pula kuturunkan, begitu seterusnya dan semakin cepat. Penis itu mulai sliding di vaginaku, otot otot vagina sudah bisa menerima. RAsa sakit sedikit demi sedikit berubah menjadi nikmat dan semakin nikmat saat kocokanku makin cepat. Aku sudah bisa menguasai keadaan dan kini sudah berani bergoyang seperti biasa. Meskipun begitu tetap saja terasa sesak di vaginaku.
Pak Napit menarik tubuhku dalam pelukannya, berkurang tekanan penisnya pada vaginaku tapi justru makin nikmat saat klitorisku tergeser gerakan kocokannya. Dia melumat bibirku dengan gemas, desahanku tertahan mulutnya. Napasku menderu hebat menerpa wajahnya, aku tak peduli, malah membuat dia makin mempercepat irama permainannya. Aku sudah tak tahan lagi, puncak kenikmatan tinggal sejengkal lagi kugapai, tapi aku tak mau secepat itu, masih banyak yang ingin kurengkuh darinya.
“Dari belakang Pak” pintaku sambil tersengal sengal untuk mengalihkan perhatian dan menurunkan atmosfir yang ada.
Tanpa menjawab dia menghentikan gerakannya dan mendorongku turun. Aku langsung nungging mengambil posisi doggie tapi Pak Napit malah memintaku telentang, akupun menurut. Kupejamkan mataku rapat rapat saat Pak Napit mendorong masuk penisnya, aku tak berani menantang sorot matanya, terlalu malu untuk mengakui bahwa aku sangat sangat menikmati bercinta dengan orang setua dia dan aku tak inging dia mengetahuinya.
Kembali aku menjerit keras saat penis Pak Napit memasuki vaginaku. Tanpa mempedulikan jeritan kesakitan atau kenikmatan dariku, dia langsung memompa dan menekan sedalam mungkin, klitorisku tertekan gesekannya. kucengkeram lengannya dengan kuat, mungkin kuku kukuku melukainya tapi aku tak peduli, dan ketika mataku terbuka aku begitu malu melihat bagaimana Pak Napit memandangi pancaran kenikmatan yang kuperoleh darinya, secepatnya kupejamkan kembali dengan tersipu malu.
Akhirnya petahananku runtuh juga beberapa menit setelah dia memompa dengan cepat, aku benar benar menjerit histeris mendapatkan orgasme darinya, kututupi mukaku dengan bantal karena malu tapi dia menariknya, justru makin melototi mukaku yang sedang dilanda orgasme hebat sekali, wajahnya menyeringai penuh kemenangan. Tubuhnya semakin keras menghentak disaat aku sedang berada di puncak, aku menggeliat tanpa daya seiring dengan jeritan jeritanku.
Kocokannya masih berlangsung beberapa menit kemudian, napasku semakin tersengal mendapat sodokan demi sodokan. Tanpa memberiku kesempatan mengambil napas, dia membalikku. Penisnya langsung menusuk tajam dari belakang dan mengocok dengan cepat, semakin keras aku menjerit atau lebih tepat melolong nikmat, permainannya sudah kasar kearah liar. Begitu keras dia menyodok dan menghentakku sembari menarik rambutku ke belakang. Aku yang terbiasa melayani permainan kasar makin menikmati keliarannya, kulawan gerakannya dengan goyangan pantat. Lima menit lebih dia memompa dari belakang sebelum akhirnya kurasakan tubuhnya menegang dan penisnya terasa membesar disusul denyutan sangat kuat menyemburkan sperma di vaginaku.
“Ooh, sshhiitt.. bitch” teriaknya mengiringi semprotannya.
Aku tak mampu lagi berteriak, kugigit kuat bantal yang ada dibawahku, gempuran itu begitu kuat “menghajar” vaginaku tanpa ampun. Dicabutnya penis itu dengan kasar dari vaginaku hanya sedetik setelah habisnya denyutan itu, tanpa memberiku kesempatan menikmatinya lebih jauh. Tubuhku langsung dibalik, dia mengangkang di atas dada hendak menjepitkan di buah dadaku. Aku ingin memberi melebihi yang dia inginkan, sebagai ungkapan terima kasih, kuraih penis yang masih penuh sperma dan kumasukkan ke mulutku, kukocok sebentar hingga “bersih tanpa noda”. Kami berdua menggeletak terkapar kehabisan tenaga, benar benar terkapar seperti orang kalah bertanding.
“Kamu hebat bisa bertahan segitu lamanya” katanya dengan napas masih tersengal.
“Ah bapak yang hebat membuatku menggelepar kayak ikan” aku berkata sejujurnya.
Baru sekarang kurasakan kelelahan yang teramat sangat, mungkin akumulasi sejak tadi pagi setelah melayani bercinta dengan empat orang hari ini dan 2 terakhir benar benar menguras energi dan emosiku. Sendi sendiku serasa terlepas dari tempatnya, aku tak mampu lagi berdiri, hanya napas kami yang menderu terdengar di kamar ini. Aku tak tahu lagi sudah berapa lama kami tadi bercinta, paling tidak lebih dari 30 menit menurut perasaanku. Terus terang aku salut akan stamina Pak Napit yang begitu prima mampu melayani nafsu wanita yang seusia anaknya, bahkan membuatnya terkapar tak berdaya. Ingin rasanya melanjutkan babak kedua segera, aku sudah tak sabar untuk merengkuh kenikmatan lebih banyak lagi.
Dengan langkat tertatih aku ke kamar mandi, rasanya penis itu masih mengganjal di selangkanganku. Vaginaku terasa perih saat kucuci dengan sabun, mungkin lecet atau sobek di bibirnya. Aku langsung mandi air hangat menyegarkan diri supaya bisa bertahan lebih lama di babak kedua.
Ketika aku kembali ke kamar ternyata Pak Napit sudah ngorok, masih dalam keadaan telanjang, padahal belum terlalu malam, masih belum jam sebelas, mungkin terlalu capek, baik karena golf tadi siang maupun dari permainan sex barusan, akupun terpaksa harus memendam hasratku yang aku sendiri tak tahu apakah bisa terlaksana.
Meskipun sudah capek, aku tak bisa begitu saja tertidur, apalagi dengan hasrat yang masih mengganjal. Kucoba meredam gairahku dengan mengalihkan ke layar TV, tapi hingga satu jam berlalu masih juta menggebu hasrat untuk segera bercinta dengan Pak Napit. Seharusnya aku ikut menjaga stamina dia untuk bertanding besok, tapi aku khawatir kejadian seperti Pak Bambang terulang lagi, berarti tertutup sudah kemungkinan untuk meraih nikmat kembali dengan Pak Napit.
Setelah kupikir beribu kali dan mempertimbangkan masak masak untung rugi maupun resikonya, akhirnya kuberanikan diri mendekati Pak Napit yang pulas dalam tidurnya. Kuabaikan segala macam keangkuhan dan rasa malu, aku harus menerima segala resiko yang terjadi akibat perbuatanku ini. Dengan ragu tanganku meraih penis Pak Napit yang lemas lunglai, kukocok dengan pelan dan kumasukkan ke mulutku, perlahan tapi pasti penis itu membesar di dalam mulut. Kudengar desahan halus dari Pak Napit, entah dia sudah bangun atau masih tertidur. Tak lama dalam kulumanku, penis itu segera tegang membesar, siap untuk dipakai. Kulihat Pak Napit masih memejamkan matanya, tapi suara dengkuran sudah hilang berganti desahan.
Peralahan kunaiki tubuhnya dan kutuntun penisnya memasuki vaginaku.
“Kamu memang nakal” kudengar suara pelan mengagetkanku yang sedang “berjuang” mengisi vaginaku dengan penis besar itu.
“Habis enak sih.. sshh.. mm” jawabku singkat sambil menurunkan pantatku mendorong masuk penisnya, Pak Napit ikutan mendesah meski matanya masih terpejam.
Tanpa membuang waktu lebih lama aku langsung menggoyangkan pantatku, bergerak liar di atas tubuhnya dengan kecepatan tinggi. Gerakanku makin liar ketika tangan tangan Pak Napit ikutan mempermainkan buah dada dan putingku. Aku mendesah lepas menikmati kocokan penisnya yang semakin nikmat terasa, tak kuhiraukan rasa nyeri yang sudah berganti menjadi kenikmatan tak terkatakan.
Cukup lama aku “berkuda” di atas Pak Napit. Aku tak mau kenikmatan ini segera berakhir, kuhentikan gerakanku setiap kali kurasakan tubuh Pak Napit mulai menegang hendak orgasme dan kulanjutkan lagi setelah ketegangannya menurun. Dengan cara begini aku bisa memperpanjang permainan, limabelas menit telah berlalu, sudah 2 kali kurengkuh orgasme secara beruntun. Aku memang egois, tapi toh dia tidak protes keberatan atas perlakuanku.
Ketika aku hendak meraih orgasme ketiga, Pak Napit menarikku dalam pelukannya dan langsung mengocok dari bawah, tak dihiraukannya lagi permintaanku untuk berhenti sebentar, berarti dia ingin segera mencapai klimaks, maka akupun berusaha secepatnya mendapatkannya terlebih dahulu. Kami seakan berpacu menuju puncak, seandainya dia berhasil mendahuluiku maka Game Over tapi sebaliknya kalau aku mencapai terlebih dahulu, dia masih bisa mendapatkannya. Tubuh kami sudah menempel rapat, keringat saling bercucuran di sekujur tubuh, kami memacu nafsu berlomba mencapai batas akhir. Rupanya nasib baik masih berpihak padaku, beberapa menit kemudian meledaklah jeritan yang kutahan sejak tadi, otot otot vaginaku berdenyut lebih keras saat kugapai orgasme, tubuhku menegang. Pak Napit makin mempercepat kocokannya dan dia menyusulku beberapa detik kemudian diiringi jeritan kenikmatan kami berdua.
Tubuhku lemah lunglai telungkup di dadanya, detak jantung kami seakan menyatu. Terpenuhi sudah hasrat yang sejak tadi terpendam dengan penuh kepuasan. Akhirnya kami tidur dalam kelelahan yang hebat dan kenikmatan yang masih tersisa untuk dibawa tidur. Pak Napit benar benar telah menutup hariku dengan penuh kenikmatan, terima kasih Bapak, kuharap besok Bapak bisa memenangkan pertandingan dan kita bisa mengulang kenikmatan ini lebih lama lagi, harapanku sebelum terlelap.
Hari Ketiga
Keesokan paginya ketika kubuka mataku, kulihat Pak Napit sudah rapi bersiap untuk berangkat. Tak ada kesan capek dalam raut wajahnya, bahkan sepertinya tampak lebih ceria dibanding kemarin.
“Maaf Pak, aku terlalu lelap tidur” sapaku tergopoh gopoh beranjak ke kamar mandi.
“Kamu nggak usah ikut turun kalo masih ngantuk, ntar siangan aja pulang” katanya, aku tahu dia sudah terlambat menghadiri acara sarapan pagi.
“Nggak kok, aku cuma sikat gigi dan cuci muka”
Akhirnya tanpa mandi dan ber-make up aku mendampingi Pak Napit ke Coffe Shop.
“kamu tetap cantik meski tanpa make up” sapa Pak BAmbang ketika aku sudah berada diantara mereka.
Dengan mesra aku melayani Pak Napit selama sarapan, hal yang sama kulakukan pada Pak Bambang kemarin.
“Gimana tidurnya Pak, nyenyak?” tanya Pak Bambang, aku yakin dia sedikit cemburu.
“Tanya aja sama dia” jawab Pak Napit sambil mengunyah sandwich bikinanku, aku hanya menunduk malu.
“Melihat mata Lily yang masih cekung, aku bisa tebak bahwa kalian kurang tidur” goda Pak Ade.
“Jadi kesempatan kita terbuka untuk merebut piala dari Pak Napit” celetuk lainnya yang aku sudah lupa namanya.
Mukaku merah mendengar olokan mereka.
Setelah mencium pipi dan keningku, Pak Napit bergabung dengan rekan rekannya menuju Ciputra Golf Club (dulu masih bernama Citraland). Aku kembali ke tempat kost untuk melanjutkan istirahatku, vaginaku masih terasa sakit dan nyeri, hari ini kuputuskan untuk sementara tidak terima booking-an supaya tidak memperparah luka di vaginaku, apalagi bila ternyata pemenangnya kembali Pak Napit, tentu memerlukan stamina yang lebih prima. Semua itu harga yang harus kubayar atas kenikmaan yang kudapat dari Pak Napit, tapi aku sama sekali tak menyesalinya.
Kuhabiskan waktuku dengan beristirahat, menunggu tiba saatnya. Beberapa telepon masuk mengajak ketemu terpaksa kutolak dengan alasan lagi Mens. Selepas makan siang aku bersiap menuju ke Hotel Mercure, memenuhi sessi terakhir dari kesepakanku di akhir pekan ini. Sengaja kukenakan pakaian yang paling sexy yang baru kubeli kemarin, aku ingin membuat mereka terkesan di hari terakhir kunjungannya ke Surabaya. Ketika kuhubungi GM-ku, ternyata dia juga tidak tahu tentang acara terakhir ini, belum ada informasi lebih lanjut kecuali aku disuruh tunggu di Mercure.
Setiba di Mercure aku langsung cek ke receptionist, ternyata mereka belum datang juga padahal sudah hampir pukul 1 siang, terpaksa aku harus nunggu di lobby untuk waktu yang aku sendiri tak tahu. Menunggu adalah pekerjaan yang paling menjemukan, apalagi menunggu di tempat terbuka seperti lobby hotel ini, suatu pekerjaan yang paling kubenci selama ini. Ingin kutunggu di mobil saja tapi aku takut tidak bisa melihat kedatangan mereka, akhirnya kuputuskan menunggu di Coffe Shop. Kucari tempat yang strategis, tidak terlalu mencolok tapi bisa memandang langsung ke arah Lobby, agak susah karena jam makan siang begini cukup banyak tamu di Coffe Shop itu, untung aku mendapatkannya.
Secangkir teh hangat dan snack menemani penantianku. Sepuluh menit sudah berlalu, si GM ternyata tidak bisa menghubungi mereka karena HP-nya pada OFF, jadi aku harus memperpanjang penantian, menyesal aku tadi buru buru berangkat, mestinya kutunggu saja di tempat Kost menanti panggilan, toh tidak terlalu jauh letaknya.
“Lagi nunggu seseorang ya” suara dari samping mengagetkanku, ternyata si Doni, salah seorang langgananku yang royal memberi tip dan hadiah hadiah kecil.
“Eh kamu Don, ngapain disini, pasti juga sedang nunggu seseorang” jawabku menutupi kekagetanku.
“Sok tahu, aku lagi jemput temanku, dia baru datang dari Medan minta di antar ke Pasar Turi atau Kapasan, biasa kulakan” jawabnya sambil menghembuskan asap rokoknya ke arahku.
“Teman apa teman” godaku.
Kamipun ngobrol biasa seperti layaknya seorang teman, bukan seorang tamu, itulah kalau udah sering ketemu.
“Emang kamu janjian jam berapa?” tanyanya setelah sepuluh menit belum juga ada yang menghampiriku.
“Jam makan siang sih tapi nggak tahu kok belum datang, katanya masih main golf di Ciputra” jawabku terus terang
“Kita tunggu di kamar aja yuk, lumayan sepukul dua pukul” ajaknya nakal.
“Gila kamu, kalo tiba tiba dia datang gimana, lagian saru menyerobot punya orang” jawabku sambil mencubit lengannya.
“Kalo dia datang kan pasti telpon kamu, bilang aja masih di jalan atau apa kek, kan tinggal pindah kamar saja” dia mendesakku meskipun tak ada nada paksaan.
Aku terdiam, ucapannya ada betulnya juga sih, lagian aku tahu betul permainan dia di ranjang, biasanya tak lebih lama dari hisapan sebatang rokok kretek, aku mulai tertarik dan memperimbangkan tawarannya.
“Kalo ketahuan kan aku kehilangan order dan langganan” kucoba keseriusan tawarannya.
“Ya jangan ketahuan dong, tapi nggak usah khawatir, aku akan ganti kerugianmu, kayak nggak tahu aku aja”.
“Bukan gitu maksudku, tapi jangan lama lama ya”.
“Semakin kamu banyak bertanya semakin lama jadinya” jawabnya seraya berdiri menuntunku setelah merasa mendapat lampu hijau.
Setelah menyelesaikan pembayaran makanan dan minuman kami menuju ke kamar yang letaknya satu lantai di atas kamar Pak Napit.
Ternyata temannya yang punya kamar itu sedang mandi, tak mungkin memintanya menunggu di lobby.
“Ya udah, jangan keluar sebelum kupanggil” katanya sambil mendorong temannya ke kamar mandi.
Aku tertawa geli melihat tingkah mereka.
Untuk mempersingkat waktu segera kukeluarkan penis Doni dari lubang resliting celananya, aku langsung berjongkok mengulumnya, sekedar melumasi dengan ludahku. Dalam hitungan detik penis itu sudah menegang dan siap pakai. Hanya melepas celana Jeans, aku langsung telentang di ranjang. Akhirnya kurasakan kocokan pertama di hari itu dari Doni, yang menyodokku tanpa melepas pakaian sedikitpun. Tak seperti biasanya dia melakukan dengan singkat, kali ini ternyata berlangsung lebih lama dari dugaanku, bahkan kami sempat berganti posisi dogie sebelum akhirnya menyemprotkan spermanya di vagina yang sudah kusiapkan sejak pagi untuk kupersembahkan pada sang juara. Semua itu berlangsung tak lebih dari 7 menit.
Aku tidak bisa mencuci vaginaku karena ada teman Doni, kubiarkan spermanya menetes keluar dan hanya kuusap dengan selimut. Kubiarkan bagian bawahku telanjang beberapa waktu lamanya supaya lebih banyak cairan itu mengalir keluar dari liangku.
Sepuluh menit berlalu, masih juga belum ada kepastian. Doni rupanya sengaja menghukup temannya di kamar mandi dan tidak boleh keluar.
“Sekali lagi yuk, mumpung masih ada waktu” usul Doni melihat aku mondar mandir gelisah dalam keadaan tanpa celana sambil mengepulkan asap rokok.
Aku melotot protes tapi justru dia malah menarikku dalam pelukannya, kupalingkan wajahku ketika dia berusaha mencium bibirku, aku tak mau make up ku rusak karenanya, terlalu lama kalau harus memperbaikinya. Doni malah tertawa dan membalikkan tubuhku, mendorongnya hingga posisiku nungging menghadap ke meja, tanganku bersandar pada tepi meja. Dia bersiap untuk menyetubuhiku dari belakang, aku protes tapi tidak melawan saat penisnya menyentuh vaginaku. Saat Doni mulai mendorong masuk, handphone-ku berbunyi, segera aku berlari mengambilnya, terlepaslah penis yang sudah setengah jalan di vaginaku, kudengar sumpah serapah darinya tapi hanya kutanggapi dengan ketawa geli.
Mereka sudah diperjalanan, berarti paling tidak masih ada 15 menit sebelum sampai di hotel, masih cukup waktu satu babak lagi sebelum menyambut mereka di Lobby. Kudekati Doni yang duduk di sofa sambil mengelus penisnya, dia memandangku dengan penuh harap. Kuraih penisnya yang mulai lemas dan kukulum kulum sebentar hingga menegang. Semenit kemudian kami sudah berlayar menyeberangi lautan nafsu, dia mendayung dari belakang melanjutkan yang sempat terputus tadi. Diperlukan hampir 10 menit untuk mencapai seberang kenikmatan, sedikit lebih lama dari yang pertama tadi. Untunglah penis Doni masih dibawah rata rata hingga tak sampai memperparah lukaku.
Ketika kami berbalik, ternyata teman Doni sudah berdiri di depan kamar mandi, hanya mengenakan celana dalam, secara reflek aku menutupkan tanganku di selangkangan.
“Sorry, teriakan cewekmu tadi terlalu hot mengundang rasa penasaranku” katanya.
Kuambil bantal menutupi vaginaku dan kulewati dia masuk ke kamar mandi. Bukannya aku sok suci, tapi sudah prinsipku untuk tidak memamerkan tubuhku di depan orang yang bukan tamuku.
Setelah membersihkan diri dan menghapus sisa sisa jejak yang masih ada, kutinggalkan Doni dan temannya menuju ke Lobby.
Mereka datang hanya berselang beberapa menit setelah kedatanganku. Kulihat mereka masih sibuk menurunkan stick golf dari mobil ketika Pak Ade menghampiriku.
“Udah lama nunggu?” sapanya.
“Ya kira kira 10 menit” jawabku bohong.
“Pak Napit bilang kamu hebat di ranjang dan pintar oral” katanya pelan, aku kaget tak menyangka dia cerita ke teman temannya.
“Ih kok Pak Napit ceritain ke semua orang sih” ada nada protes.
“Cuma sama aku, dia kan anak buahku jadi akhirnya cerita setelah kudesak, aku jadi ingin sekali membuktikannya, sayang aku kalah, habis terlalu bernafsu sih”.
“Kita ke toilet sebentar yuk” ajaknya, aku kaget dengan ajakannya, kutatap tajam matanya, dia serius.
Aku tak sempat menjawab karena rekan rekannya sudah datang, Pak Napit menggandengku menuju Coffe Shop. Aku hanya memesan minuman, sekedar menemani mereka makan siang. Sesaat kulihat Doni dan temannya melintasi meja kami, dia memandangku sambil tersenyum.
Pak Ade yang berada di seberangku memandangku dan memberi isyarat, aku tahu maksudnya tapi pura pura tak melihat, belum kuputuskan apakah menerima tawarannya atau tidak. Dia berdiri dan berbisik pada Pak Napit yang duduk di sebelahku, tangan Pak Ade mencolek pundakku memberi isyarat tanpa ada yang mengetahui, lalu dia pergi ke toilet. Aku bingung tak tahu harus berbuat apa.
“Permisi Pak, perutku tiba tiba mulas” bisikku ke Pak Napit.
Pak Napit memberikan kunci kamarnya tapi aku menolak.
“Di Lobby aja Pak, lebih dekat” jawabku buru buru berdiri seperti orang yang sakit perut.
Pak Ade sudah menuggu di depan toilet pria, senyumnya mengembang saat melihat kedatanganku, beruntunglah suasana di depan toilet itu tak ada orang.
“Tunggu sebentar masih ada orang” katanya.
Begitu orang itu keluar, buru buru kami masuk toilet Pria, masuk ke WC dan menguncinya. Aku duduk di atas closet, kubuka resliting Pak Ade yang berdiri di depanku dan mengeluarkan penisnya. Aku tak menyangka melakukan hal yang sama 2 kali berturut turut, kali ini lebih gawat, kulakukan di WC pria. Penis Pak Ade yang tegang dengan cepat meluncur mengocok mulutku, merusak lipstik dan make up wajahku. Gagal sudah memberikan yang terbaik pada sang juara, dua kali di dahului orang yang sebetulnya tidak berhak, ada perasaan bersalah. Pandangan Pak Ade tak pernah terlepas dari wajahku yang sedang mengulumya, dia tak berani mendesah, tangannya menjaMbak rambutku menambah rusaknya riasanku, dia seperti tak peduli.
Kulepas celana jeans-ku, aku nungging membelakanginya, kupentangkan kakiku lebar, tanganku tertumpu pada kloset. Penis Pak Ade sudah melesak di vaginaku beberapa detik kemudian, dia mengocokku langsung dengan tempo tinggi diselingi sentakan keras. Hampir saja aku menjerit, kugigit bibirku menahan kocokannya, tentu saja kami tak berani mendesah. Semakin cepat dan keras sodokannya, semakin kuat aku menggigit bibirku, tangannya sudah meremas remas buah dadaku, untunglah kaos yang kupakai tahan kusut, kalau tidak pasti akan terlihat kusut hanya di bagian dada.
Kudengar orang masuk ke toilet, kami terdiam sesaat menunggu dia keluar, penis masih tetap menancap. Sodokan teras menghantamku setelah orang itu keluar.
“Aahh” jeritku tanpa sadar yang segera ditutup tangan Pak Ade.
“Sstt” bisiknya, enak aja orang suruh diam tapi dia menyentak keras, protesku dalam hati.
Kugigit jari Pak Ade yang ada di mulutku.
Kini aku duduk di pangkuan Pak Ade, kami saling berhadapan, giliranku mengocoknya. Pak Ade menyingkap kaosku hingga ke dada, dilepasnya kaitan tali bra yang ada di depan dan langsung mengulum putingku sambil meremas remas. Aku hampir mendesah karenanya, kuhentikan gerakanku saat kudengar seseorang masuk tapi Pak Ade justru memperkuat sedotannya, kuremas remas rambutnya sambil menggigit bibirku menahan desahan. Tanpa menunggu orang itu keluar, aku memulai goyanganku, biar tahu rasa, pikirku. Tanpa kusadari aku semakin bergairah melayani Pak Ade dari yang tadi ogah ogahan, ternyata bercinta penuh ketegangan seperti ini menimbulkan sensasi tersendiri yang tak pernah kubayangkan.
Kami sudah tak pedulikan lagi apakah ada orang diluar atau tidak, toh tetap saja tanpa desah. Kudekap erat kepala Pak Ade di dadaku, aku sudah hampir mencapai klimaks, tak tahu bagaimana menghadapi klimaks tanpa jeritan kenikmatan, dan saat vaginaku berdenyut hebat aku hanya bisa menggigit bibir bawahku sambil mendekap kepala Pak Ade makin rapat, tak ada jerit kenikmatan.
Sesaat kemudian Pak Ade mengikutiku ke puncak, penisnya bergerak hebat di vaginaku, dia meremas buah dadaku makin kuat, kali ini kugigit jari tanganku sambil menerima semprotan sperma yang membanjir.
Kami keluar sendiri sendiri setelah keadaan aman, Pak Ade kembali bergabung dengan rekannya dan aku langsung pindah ke toilet wanita merapikan make up dan rambut. Aku kembali bergabung dengan mereka seperti tidak terjadi sesuatu, ternyata mereka sudah selesai makan, Doni dan temannya sudah tidak ada di mejanya.
“Maaf Pak, lama, abis mules banget sih” kataku setelah meninggalkan mereka mungkin sekitar 15 menit.
Pak Napit menggandengku menuju Lift, aku sudah siap untuk diserah terimakan ke sang pemenang.
“Oke, dengan ini aku serahkan piala bergilir, and the Lily goes to Pak Bambang again” kata Pak Napit menirukan pembagian Piala Oscar, sambil menyerahkanku ke pelukan Pak Bambang yang menyambut dengan mencium bibirku, lainnya bertepuk tangan.
Hilang sudah perasaan bersalahku karena telah memberikan tubuhku pada dua orang terlebih dahulu sebelum sang juara menikmatinya, karena dia telah pernah merasakannya.
Aku menatap mata Pak Napit dengan perasaan bersalah, mungkin karena “kuperkosa” tadi malam dia tidak bisa mempertahankan pialanya.
“Jangan kaget kalo kamu kembali ke Pak Bambang, selama ini belum pernah ada yang bisa mempertahankan pialanya 2 hari berturut turut, paling berpindah sementara seperti ini” kata Pak Napit seolah menjawab rasa bersalahku.
Sepertinya aku memang harus mondar mandir dari kamar Pak Napit kembali lagi ke kamar depan.
Mereka langsung check out dari hotel langsung pulang, hanya sang juara yang tinggal hingga last flight nanti malam merayakan kemenangan bersama pialanya.
“Kamu memang memberiku semangat bertanding yang luar biasa, karena kamu aku bertekad kuat untuk memenangkan di hari terakhir” kata Pak Bambang ketika kami di dalam kamar sambil memelukku.
“Ah Bapak bisa aja” jawabku membalas ciumannya.
“Kita mandi yuk, meneruskan yang telah terputus” ajakku sambil melepas celana dan kaosnya, sebenarnya aku ingin membersihkan tubuhku dari sisa sisa Pak Ade tadi.
“Kamu ini memang benar benar penggoda, maunya to the point” jawabnya sambil mencubit pipiku dan melepasi seluruh pakaianku tanpa sisa.
Kugandeng dia ke kamar mandi sebelum berbuat lebih jauh lagi, sambil menunggu air panas memenuhi bathtub aku duduk di kloset menghadap penis Pak Bambang yang setengah tegang, kuciumi dan kuusapkan ke wajahku. Pak Bambang mulai mendesis ketika lidahku menari di kepala penisnya dan semakin keras saat kukulum, persis seperti yang kulakukan dengan Pak Ade 20 menit yang lalu, hanya berbeda suasana. Pak Bambang memegang kepalaku lalu mengocok mulutku, tanpa kesulitan kumasukkan semua hingga ke pangkalnya, tidak seperti Pak Napit kemarin yang hanya mampu kukulum setengah saja.
Pak Bambang berlutut di depanku, diciumi pahaku.
“Jangan Paak” teriakku ketika Pak Bambang mau menjilati vaginaku.
Sebersih apapun aku mencuci pasti masih ada sisa dan bau sperma Pak Ade yang tertinggal, aku nggak mau dia menjilati sisa sisa sperma rekannya. Namun sayang, teriakanku tadi diterjemahkan lain olehnya, dikira aku teriak kenikmatan, dia malah memaksa membuka kakiku lebih lebar. Akhirnya kubiarkan saja dia menikmati lembabnya vaginaku, sambil berharap dia tidak terlalu sensitif mencium aroma sisa sperma. Lidahnya dengan lincah menyusuri lekuk sudut organ intimku, akupun mendesah nikmat, kuremas rambutnya dengan gemas, dia makin ganas menjilati tanpa ampun diselingi kocokan jari tangan yang bergerak gerak liar di dalam. Desahan nikmatku makin lepas.
Aku tak tahan dipermainkan seperti ini, kudorong tubuhnya hingga terduduk di lantai, aku langsung menyusul turun ke pangkuannya. Segera kelesakkan penis Pak Bambang ke vaginaku dan langsung mengocok dengan gerakan pinggul memutar, dia menyambut putingku yang sudah berada di depannya dengan kuluman gemas penuh gairah.
“Aagghh sshh ennaakk” desahku tanpa malu sambil mempercepat gerakanku.
Mulutnya bergerak lincah dari satu puting ke lainnya.
“Jangan dikeluarin dulu Pak, aku ingin yang lama” bisikku disela desahan kenikmatan, dia menjawab dengan pagutan di bibirku.
Kudorong tubuhnya lagi hingga telentang di lantai kamar mandi, aku tahu dia merasa dingin karena lantai marmer itu, tapi tak kupedulikan. Tubuhku makin cepat turun naik di atasnya. Air hangat di bathtub sudah meluber tapi tak kami perhatikan, aku ingin spermanya yang meluber di vaginaku. Namun luberan air di lantai mengganggunya, aku baru sadar kalau Pak BAmbang sudah tidak muda lagi, seusia dia tentu gampang masuk angin kalau kedinginan.
“Kita ke bathtub aja yuk, sambil mandi” ajakku sambil menghentikan gerakanku, sekalian menurunkan tegangan birahi kami.
Kami berendam bersama sama, air bathtub makin meluber keluar. Kami tidak langsung menyambung adegan yang terputus, tapi saling memandikan, saling menyabun dengan sentuhan sentuhan di bagian sensitif.
“Mau disini apa di ranjang” kuberi dia pilihan, aku tahu dia sudah berada dalam cengkeraman pesonaku, apapun yang kumau pasti dituruti.
“Terserah kamu aja yang penting enak, tapi disini dingin, ntar rematikku kambuh” katanya, dasar orang tua tak tahu diri, udah sakit sakitan gitu masih juga doyan daun muda, batinku.
“Ya udah kita di ranjang aja biar hangat, yuk aku keringin dari pada masuk angin”
Setelah mengeringkan dengan handuk kamipun berpindah ke ranjang. Pak Bambang langsung menggumuli tubuhku yang sudah telentang menantang, tak secuil tubuhku terlewatkan dari jamahannya.
“Dari belakang yuk, kemarin kan belum mencoba” ajakku, padahal aku sudah lupa apakah memang belum mencobanya, tapi dia mengiyakan saja.
Untuk kesekian kalinya Pak Bambang meng-obok obok vaginaku dengan penisnya, digenjotnya keras tubuhku seakan ingin menjangkau rahimku. Aku diam saja tak menggerakkan tubuhku supaya dia bisa bertahan lebih lama, hanya desahanku yang terdengar. Aku menoleh ke arahnya, wajah Pak Bambang terlihat begitu serius mengocokku, butiran keringat sudah menghiasi mukanya, padahal kita barusan mandi. Lima menit lebih dia memompa vaginaku tanpa ada tanda tanda orgasme, sudah ada kemajuan dibanding kemarin.
Dia membalik tubuhku telentang, inilah posisi yang paling berat bagiku, disamping perutnya yang gendut akan menekanku, aku juga tak bisa memandangi wajahnya saat mengocokku, bukan karena memang tidak ganteng tapi mengingatkanku pada Papaku.
Kupejamkan mataku saat penisnya menembus vaginaku, dia mengocok sambil meremas buah dadaku. Bayangan bercinta dengan tamu sebelumnya tiba tiba melintas datang dan pergi, mulai dari Doni lalu berganti dengan Pak Napit dan berganti lagi dengan Pak Ade, mereka silih berganti hinggap di pikiranku, membuatku makin bergairah melayani Pak Bambang seakan aku bercinta dengan mereka, terutama Pak Napit, tamu terhebat dalam 3 hari terakhir ini.
Tiba tiba aku tersadar ketika Pak BAmbang berteriak orgasme dan kurasakan denyutan penisnya memompakan sperma di vaginaku, kubuka mataku dan aku kembali ke alam nyata dangan Pak BAmbang masih menyetubuhiku sedang mengisi vaginaku dengan spermanya, terasa hangat dan penuh. Aku tersenyum menyadari ketololanku. Setelah kubersihkan penisnya dengan sprei, dia langsung telentang di sampingku dengan napas yang ngos-ngosan.
“Bapak hebat, bisa tahan lama seperti itu” aku memuji
“Kamu juga makin lama makin hebat, lebih hot dari kemarin”
Kubiarkan sperma yang membanjir di vaginaku menetes keluar mengenai sprei.
“Pak aku mau tanya tapi jangan marah atau tersinggung ya?” tanyaku sambil menyandarkan kepalaku di dadanya.
“Mengenai apa?” jawabnya sambil mengelu elus rambut dan punggungku.
“Emm mengenai anu, piala bergilir” aku agak ragu melanjutkannya.
“Emang kenapa? Nggak suka ya?”.
“Bukan begitu sekedar menjawab rasa penasaranku, itu kalo bapak nggak keberatan sih”.
“Penasaran kenapa?”.
“Aku pikir Bapak Bapak itu bisa booking cewek sendiri tanpa harus menunggu menang dulu, kenapa jadi dipersulit sih”.
“Oh itu toh, memang benar sih, tapi sensasinya kurang dan tidak ada perjuangan kalo begitu”.
Akhirnya Pak Bambang menceritakan aturan permainan dengan teman temannya, sebenarnya semuanya ada 37 orang yang mengikuti aturan itu, tapi sebagian besar sedang main di Bali, Yogja, Bandung dan Jakarta sendiri. Pada dasarnya aturan itu sama dengan berjudi, tapi dirupakan dalam bentuk yang lain dengan prinsip winner take all. Pemenang berhak mendapatkan free hotel plus piala bergilir yang ditentukan oleh seluruh peserta tanpa ada seorangpun yang menolak pilihan Piala itu.
Nilai dari Piala Bergilir itu berdasar kesepakatan taruhan, bisa semua dirupakan Piala bisa juga sebagaian. Kalau ketemu kelompok yang lebih gila bahkan Piala Bergilirnya 2 cewek sekaligus, tentu saja taruhannya juga lebih besar. Namanya Piala Bergilir, harus cuma satu untuk diperebutkan selama even, yang biasanya 2-3 hari berlangsung. Bagi yang kalah, selamat gigit jari dan tidak boleh mencari piala lain selama even itu berlangsung, kecuali setelahnya. Kalau ini dilanggar untuk selanjutnya dia tidak akan diundang lagi, tapi siapa yang tahu. Tentu saja aturan ini tidak menghapus taruhan lainnya diluar yang ini.
“Kamu adalah orang kedua yang kami pilih setelah cewek yang pertama datang kami tolak karena Pak Napit tidak setuju dan aku beruntung bisa mendapatkanmu secara gratis bahkan 2 kali”.
Aku bingung mendengar penjelasan Pak Bambang, tak menyangka ada perilaku sekelompok orang seperti ini, padahal mereka dari keluarga yang bahagia, paling tidak itu yang kutangkap dari pembicaraan telepon Pak Bambang dan Pak Napit kemarin.
Cerita Pak Bambang diakhiri dengan kuluman di putingku, tanpa membersihkan sperma di vaginaku dia kembali mengocokku dengan keras. Babak ini dengan lebih santai dia menyetubuhiku, bahkan sempat berpindah dari ranjang ke sofa, dengan sabar kulayani semua keinginannya hingga dia bisa bertahan hingga lebih dari 15 menit sebelum mencapai klimaksnya. Berkali kali dia mengucapkan terima kasih karena telah membuatnya merasa perkasa di usianya itu.
Episode Lain
Pukul 7 malam kami berpisah di lobby hotel, dia naik taxi ke Juanda dan aku ke tempat parkir bersiap pulang. Tiba tiba aku teringat si Doni yang tadi siang telah membajakku. Kuhubungi HP-nya sambil berharap dia bersedia melanjutkan acara tadi siang sekalian menuntaskan nafsuku yang tidak tersalurkan saat menemani Pak Bambang tadi, 2 babak tanpa orgasme tentu siksaan tersendiri yang susah untuk dibawa tidur dalam keadaan birahi tinggi, meskipun itu sudah sering sekali terjadi.
“Don, kita lanjutkan yang tadi siang yuk” ajakku langsung.
“Kenapa?, si tua itu nggak bisa muasin kamu ya” ejeknya.
“Udah jangan cerewet, mau nggak?”.
“Sorry aku nggak bisa sayang, aku udah mau pulang nih, nggak tahu temenku kayaknya mau deh”.
Agak kecewa juga aku mendengar ketidakbisaannya itu, apalagi melihat temannya yang kelihatannya masih lugu banget, mana bisa muasin aku.
“Oke dia mau asal nggak buru buru” lanjutnya kemudian.
“Terserah deh sampai pagi juga boleh” tantangku kepalang tanggung.
Aku yang masih tergantung birahi tinggi langsung saja menyetujuinya dan turun dari mobil kembali ke hotel menuju kamar tempat Doni membajakku tadi.
Sesampai di kamar, Doni yang sudah bersiap pulang, mencium pipiku.
“Kamu temanin dia malam ini, jangan bikin kecewa, jangan lupa mandi dulu biar bersih!!” pesannya sebelum meninggalkan kami.
“Beress Boss” godaku.
“Jangan lupa nanti uangnya kasih ke dia, itu sampai besok pagi” teriak Done ke temannya sebelum menutup pintu.
Sepeninggal Doni kami menjadi canggung, ternyata temannya itu tidak terlalu suka bicara seperti Doni, aku harus bisa membuat suasana akrab. Beberapa pertanyaan hanya di jawab dengan pendek, terlihat dia cukup nervous hanya berduaan di kamar.
“Aku belum pernah selain sama pacarku” akhirnya dia berterus terang.
“Itupun baru beberapa kali” lanjutnya.
Aku sebenarnya tidak terlalu terkejut melihat dia begitu canggung ketika kudekati.
“Masih mau terus nggak, aku nggak mau kamu terpaksa melakukannya, ntar kecewa dan Doni marah” kucoba bersikap netral.
Dia diam saja, begitu juga ketika kutumpangkan tanganku ke pahanya, tidak ada reaksi, tapi dia juga tidak menolak ketika kucium dan kuelus selangkangannya beberapa saat kemudian. Terus terang, inilah pertama kali aku melayani tamu selugu dia, kalau pengakuannya benar. Dan aku belum punya kiat khusus menghadapinya, semua tamuku selama ini adalah para jawara dan expert dalam perselingkuhan dan permainan sex, jadi tak perlu lagi memandu, semua berjalan secara otomatis.
Sepuluh menit terbuang sia sia, dia masih belum memberikan respon positif atau dia belum berani menyentuhku meskiupun selangkangannya sudah keras kuremas remas dari luar.
“Aku mandi dulu ya, mau ikut nggak” teringat aku pesan Doni tadi sekalian ingin memancingnya lebih jauh, dia hanya diam tanpa jawaban ketika aku beranjak dari sisinya menuju kamar mandi.
“Koh, sini tolong lepasin ini dong” aku teriak dari kamar mandi memancingnya untuk membantu membuka kaitan bra.
Kulihat tangannya agak gemetar saat membuka kaitan bra, apalagi kaitan yang ada didepan itu memang nyangkut. Keringat dingin membasahi dahinya. Kuusap dengan mesra. Begitu kaitan bra terlepas, terpampanglah keindahan bukit di baliknya, entah setan darimana tiba tiba muncul keberaniannya atau nafsu yang sudah tak tertahan lagi. Diremasnya kedua buah dadaku dan langsung dikulumnnya putingku dengan penuh nafsu dan ganas, aku kaget akan serangannya yang tak terduga. Bersamaan dengan itu tangannya menggesek gesek selangkanganku yang masih tertutup celana dalam mini yang hanya menutupi bagian segitiga di depan.
“Kita mandi dulu yuk” bujukku sambil mendesah tapi dia tak menghiraukan ajakanku malah makin memperkuat sedotannya.
Maka akupun membalas dengan melucuti pakaiannya menyisakan hanya celana dalam, dari remasan tadi aku perkirakan penisnya lebih besar dari Doni dan kelihatannya dugaanku benar. Aku merosot turun berlutut didepannya, saat kutarik celana dalamnya sejenak kutertegun, dugaanku ternyata salah, penisnya tidak lebih besar dari Doni tapi jauh lebih panjang, mungkin 17 cm, suatu ukuran yang jarang dimiliki seorang Chinese, paling tidak itu dari pengalamanku selama ini.
“Kenapa? Kecil ya?” katanya melihat ketertegunanku.
“Bukan kurang besar tapi terlalu panjang” godaku sambil mengocoknya, penis itu terlihat indah dengan warna kemerahan belum disunat, segera kujilati dengan gemas, dia mulai mendesis sambil meremas rambutku.
Pantatnya mulai ikutan bergoyang ketika kumasukkan ke mulutku, goyangannya mengocok penis itu di mulut, desahannya makin keras.
“Uff, kita kedalam aja” ajaknya
Dia menelentangkanku di ranjang dan langsung menggumuli tubuhku, melumat bibirku, menjilati leherku, mengulum rakus buah dada dan putingku, aku mendesah menggelinjang geli dan nikmat.
“Gantian” bisikku setelah beberapa lama merasakan cumbuan ganas darinya, kudorong dia telentang disampingku.
Segera kulahap penisnya yang panjang, hanya separuh yang bisa masuk, kepalaku turun naik diselangkangannya. Kunaikkan kakinya lalu kujilati kantong bola hingga ke lubang anus, dia menjerit keras tak menyangka kuperlakukan seperti ini, semakin dia menjerit semakin aku bergairah.
“Udah udah aahh” desahnya, mungkin sudah tak tahan lebih lama lagi.
Aku tersenyum, telentang disampingnya. Dia mencium bibirku dan mengatur posisinya di antara kakiku, penisnya disapukan ke bibir vaginaku dan mendorongnya pelan pelan memasuki celah sempit kenikmatan. Penis keempat yang mengisi vaginaku di hari ini. Terasa begitu lama perjalanan sebelum semua tertanam, rahimku serasa ditusuk keras, aku menggeliat. Dengan halus dia mengocokku, berlawanan dengan cumbuan ganasnya tadi, ditatapnya tajam mataku seakan ingin melihat seberapa nikmat yang kualami. Kubalas tatapannya, baru kusadari kalau dia masih begitu muda, paling belum 25 tahun, atau mungkin malah masih kuliah, suatu perbedaan mencolok dibandingkan dengan Pak Bambang yang seusia Papaku.
Meski tidak terlalu ganteng tapi dengan wajahnya yang putih bersih layaknya chinesse, tak segan aku memandangnya apalagi semburat semu merah menghiasi wajah penuh birahi itu. Dia masih mengocokku dengan irama tetap, kami masih beradu pandang, kalung emasnya sering berayun mengenai mukaku. Tubuhya kurarik dalam dekapanku, dan kamipun saling beradu bibir dan lidah. Kocokannya serasa menyodok rahimku, terasa sedikit nyeri tapi banyak nikmat.
Namun sayang, tak lebih 5 menit tubuhnya sudah mengejang pertanda orgasme, padahal aku baru mulai mendaki menuju puncak, sedetik kemudian denyutan kuat menghantam vagina dan rahimku, aku teriak kaget karena tak menyangka semprotan spermanya begitu kuat dan banyak, cairan hangat serasa membanjir di celah celah liang kenikmatanku. Dia langsung mencabut penisnya begitu denyutannya habis, beranjak menuju kamar mandi. Tapi aku mencegahnya, aku tahu dia ingin segera membersihkan penisnya, kuraih dan kumasukkan ke mulutku penis basah yang sudah mulai lemas, tak kuhiraukan jeritan protesnya karena kutahu dia pasti tak keberatan, entah kenapa ada keinginan untuk melakukan yang aku yakin belum pernah diberikan pacarnya atau apa yang belum dialaminya.
“Sekarang boleh kamu cuci” kataku setelah menjilat habis sperma yang ada, tapi dia nggak jadi ke kamar mandi.
“Nggak usah, udah bersih kok” katanya sambil tersenyum puas menatapku.
Kami istirahat cukup lama sambil makan malam di kamar, dia tak pernah mengijinkanku mengenakan penutup tubuh, bahkan handuk yang menutupiku setelah mandi dilepasnya.
“Body kamu bagus” katanya saat kami makan, masih telanjang.
“Tapi tak sebagus pacarmu yang masih mahasiswa itu kan” godaku asal teMbak aja.
“Rupanya Doni banyak cerita ya”.
Lebih satu jam kami bersantai, suasana tidak sekaku tadi, bahkan dia menunjukkan foto pacarnya, pretty chinesse girl.
“Tapi tidak se-sexy dan sepintar kamu” komentarnya saat aku memuji kecantikannya.
Saatnya untuk mulai lagi, babak kedua kami lakukan di sofa, ternyata dia mengaku belum pernah melakukan selain di ranjang, aku bertekad memberi yang belum pernah dia rasakan. Penisnya benar benar menggelitik rahimku ketika aku bergoyang di pangkuannya, serasa begitu panjang seakan tembus hingga dada, tak kupedulikan rasa nyeri yang timbul karena rasa nikmatnya jauh melebihi rasa sakit itu. Kali ini dia bertahan lebih lama, kami berganti posisi, aku duduk di sofa menerima kocokannya, kami saling berhadapan hingga dia bisa bebas menciumi bibir dan leherku.
Mungkin karena sering melihat BF, kini kreatifitasnya timbul, dia mulai berani meminta posisi yang dia mau. Justru aku semakin bergairah melayani improvisasinya, orgasme pertama kuraih saat dia mengocokku dari belakang, masih di sofa, dan kudapatkan kembali hanya berselang beberapa menit ketika dia mengocokku saat aku telentang di meja, ini semua hasil improvisasinya. Lebih 25 menit permainan babak kedua sebelum dia menyudahi dengan denyutan hangat beberapa detik setelah orgasme keduaku. Akupun terkulai lemas dalam kelelahan yang hebat, tamuku terakhir ini ternyata bisa memenuhi kehausanku seharian, bahkan melebihi harapan, berat rasanya mengangkat tubuh yang masih tergolek di atas meja.
Malam itu dia benar benar mewujudkan semua fantasi terpendamnya selama ini, tanpa memperhatikan rasa capekku dia mencumbuku semalaman, seakan tak ada hari esok. Tak perduli apakah aku sudah tertidur atau masih bangu, begitu dia terbangun dari tidurnya langsung menindihku dan mengocoknya dan kalau aku masih malas diapun melakukannya dengan posisi miring. Semua kulayani tanpa protes karena pada dasarnya aku juga menikmatinya, hingga kami benar benar tertidur. Aku tak bisa menghitung lagi berapa babak permainan di malam itu, dia seperti kuda liar yang lepas dari kandang dan bertemu kuda betina, ditambah stamina darah muda yang prima membuat malam menjadi semakin panjang.
Aku pulang pukul 10 pagi setelah Doni datang menjemput temannya untuk melanjutkan kulakan ke Tanggulangin. Sesampai di tempat kost barulah kurasakan nyeri yang hebat di vaginaku, luka saat melayani Pak Napit semakin lebar dengan perlakuan tamuku sepanjang malam (sampai saat itu aku tidak tahu siapa namanya, karena memang tidak dikenalkan dan kami terlalu bernafsu hingga tak sempat saling menanyakan nama, bagiku itu sudah sering terjadi).
Sejak kejadian dengan para golfer tersebut, aku sering dijadikan piala bergilir di antara mereka, meski anggotanya tidak sama tapi permainannya hampir sama. Baru kutahu ternyata komunitas para golfer berperilaku seperti itu banyak di Surabaya dan aku menjadi salah satu favorit piala itu. Karena booking-an seperti itu uangnya besar dan hampir semuanya puas dengan pelayananku, maka GM memberiku hadiah satu set perangkat Golf “Mizuno” dan membiayaiku untuk kursus Golf. “Pasarnya menjanjikan” katanya. Hingga cerita ini dibuat tak pernah sekalipun aku turun ke lapangan menggunakannya, meskipun permainan Piala Bergilir masih sering kuterima.
--------------------------========================================
Banyak email tanggapan yang masuk atas cerita ceritaku, perlu aku tegaskan sekali lagi, meskipun sudah kuutarakan di seri awal ceritaku, bahwa cerita itu adalah 90% NYATA, sisanya adalah bumbu penyedap supaya cerita itu lebih menarik.
Sekalian aku mohon maaf apabila banyak email yang tidak terjawab saking banyaknya email masuk, bukannya sombong tapi dari pada menjawab email yang terkadang tidak tahu alur cerita awal dan mengajak ketemu atau kencan, lebih baik waktu dan tenaga kugunakan untuk membuat cerita lainnya.
Untuk tawaran penerbitan secara komersial, terus terang saat ini aku masih belum tertarik untuk meng-komersial-kan cerita ini, anyway thanks atas tawarannya.
Mengenai bagaimana aku atau statusku sekarang, silahkan baca kembali di seri awal “Selintas Kisah Seorang Call Girl”, pada prolog sudah jelas aku bercerita siapa diriku.
Salam kangen untuk semuanya.
*****
“Ly, kita ke tretes yuk” terdengar suara dari Hari dari ujung telepon pada suatu siang.
“Kapan?” jawabku antusias karena udah beberapa minggu aku nggak keluar kota, sekalian refreshing, sekalian dapat duit, berarti taripnya adalah menginap di luar kota yang besarnya bisa 2-3 kali daripada short time.
“Ntar sore kujemput ke tempat kost-mu gimana, kita berangkat rame rame” kata Hari, salah seorang langgananku yang sudah seperti seorang teman meski tak pernah melupakan bisnis.
“Rame rame?, emang dengan berapa orang?” tanyaku penasaran.
“Kita tiga orang, tapi yang satu bawa pacarnya sedangkan satunya lagi masih kosong, dia baru datang dari Jakarta nanti jam 5 sore, kalo kamu ada teman boleh juga di ajak sekalian, tapi yang bagus dong, minim kayak kamu lah, ha.. ha.. ha”
“Berarti harus lebih cantik dong, ah nggak ah, ntar aku dicuekin, lagian susah nyari orang yang lebih cantik dari aku” jawabku tak mau kalah.
“Oke deh terserah kamu aja lah, yang jelas harus cantik, sexy, tinggi, putih dan .. ah kamu tahu sendiri deh gimana maunya, ntar aku jemput jam setengah empat, ke Juanda dulu lalu langsung ke Tretes, oke?”
“Jangan setengah empat, jam limaan gitu lho” aku mencoba menawar karena jam 2 nanti aku harus melayani tamuku di Shangri La, takut waktunya terlalu mepet.
“Jangan, ntar terlambat kasihan dia menunggu kelamaan di Juanda” jawabnya.
“.. setengah lima deh”
“Oke tapi carikan temanmu ya.. “
“Oke aku carikan, tapi nggak janji lho, aku kan kurang punya teman” jawabku menyanggupi.
Beberapa teman kucoba kuhubungi tapi banyak yang lagi off atau sedang ada booking-an, aku nggak mau mencari lewat GM, karena khawatir tidak tahu ceweknya dan kalau ternyata nggak cocok menjadi bebanku. Akhirnya aku menyerah, tak bisa mendapatkannya.
Kucoba menghubungi Hari untuk melapor tapi HP-nya sibuk, sementara aku harus segera berangkat ke Hotel Shangri-La, menemui tamuku yang sudah bikin appointment. Untuk sementara kulupakan Hari, masih ada waktu 3 jam sebelum Hari menjemputku, waktu yang lebih dari cukup untuk sekedar short time.
Perhatianku benar benar kucurahkan pada tamuku ini, meskipun aku belum pernah bertemu tapi karena dia adalah rekanan bisnis dari Koh Toni, tamu langgananku, yang sedang di servis, maka aku harus memberikan servis dan kepuasan padanya, supaya tamu langgananku tidak kecewa. Koh Toni menyambutku di lobby hotel, berdua kami naik ke lantai 9 menemui rekanan bisnisnya.
Ternyata ada 3 orang di kamar itu, satu persatu aku diperkenalkan, sementara aku sendiri tak tahu yang mana yang harus aku layani. Sepuluh menit kami berlima di kamar itu, satu persatu mereka meninggalkan kamar hingga tinggallah aku, Koh Toni dan rekanan bisnisnya yang bernama Tio, inilah tamuku yang sebenarnya.
“Ly, aku tinggal dulu, kamu temanin Pak Tio ya, ntar kalo udah selesai hubungi aku di lobby” kata Koh Toni seraya meninggalkan kami berdua.
Sepeninggal Koh Toni kami berbasa basi sebentar, lalu seperti biasa kamipun berpacu menembus batas mengejar nafsu menggapai kepuasan. Detail permainan tak perlu diceritakan karena ini hanyalah pembuka alur cerita, detailnya ya seperti biasa saja, tak ada yang istimewa pada diri Pak Tio. Seperti kebanyakan tamuku besar nafsu tenaga kurang, meskipun kami bermain tiga babak tapi aku tak mendapatkan orgasme darinya karena masing masing babak hanya bertahan tak lebih dari 5 menit, jadi kurang
menarik untuk diceritakan.
Kuhabiskan waktu 1,5 jam menemani Pak Tio, kutinggalkan dia sendirian dengan mengantongi beberapa ratus ribu tips. Aku langsung pulang lewat pintu samping, tak sempat kutemui Koh Toni yang katanya di Lobby, seperti biasanya dia akan mentransfer pembayaran lewat rekeningku.
Di perjalanan pulang ternyata Koh Toni meneleponku.
“Kamu udah pulang kok nggak ngomong ngomong, ada apa?” tegurnya.
“Ah nggak ada apa apa, kata Pak Tio tadi nggak usah nunggu Koh Toni, jadi aku langsung pulang aja, gimana dia puas nggak?” jawabku memancing.
“Pak Tio puas banget sama kamu, dia malah minta kamu temanin dia ntar malam, gimana?”
Aku terdiam sejenak, baru sekarang teringat ajakan Hari.
“Maaf Koh, aku nggak bisa, ntar sore mau ke Tretes sama teman teman, biasa refreshing” tolakku halus
“Refreshing mah bisa menyusul, ntar aku ajak ke Bali deh, inikan ada duitnya” dia berusaha merayuku.
“Nggak bisa Koh, ini juga bisnis” aku berusaha menolak halus.
“Sayang deh, padahal dia suka kamu lho, sampai kapan di Tretes?” masih juga dia tak mau menyerah.
“Entahlan mungkin besok malam kali baru balik”
“Ya udah kita lihat besok deh, apa dia masih mau” akhirnya dia menutup telepon.
Sesampai di tempat Kost yang hanya 15 menit dari Shangri La, kucoba menghubungi Hari, melaporkan kegagalanku mendapatkan teman tapi HP-nya selalu sibuk. Pukul 4 hari menghubungiku, dia kecewa ketika tahu aku tidak bisa mendapatkan teman untuk tamunya yang dari Jakarta.
“Wah sekarang udah nggak ada waktu untuk hunting” jawabnya pasrah.
“Kita cari aja disana, kan banyak” hiburku
“Mana mau dia dengan cewek cewek di sana, bukan seleranya” jawabnya ketus.
Aku jadi serba salah, tentu saja aku tak mau ribut menyalahkan dia karena HP-nya selalu sibuk waktu dihubungi, biarlah kesalahan ini kutanggung aja.
“Ya udah, kita lihat saja nanti, kali kali dia bisa nemukan cewek yang cocok disana, aku jemput kamu 10 menit lagi, udah dijalan nih” katanya memutus pembicaraan.
Berempat kami berangkat menjemput kedatangan Piter di Juanda, Aku dan Hari mengendarai Mercy E320 keluaran terbaru sementara Ivan dan Nenny, pacarnya, membawa BMW 520. Untunglah selama perjalanan ke Juanda Hari tidak mengungkit ungkit kegagalanku mendapatkan cewek untuk Piter. Justru Hari banyak bercerita tentang Piter, rupanya mereka adalah sahabat karib sejak sekolah di California, begitu juga dengan Ivan, mereka adalah tiga serangkai yang menjalankan bisnis keluarga mereka masing masing dan sukses. Diusia mereka yang relative muda, awal 30-an, sudah manjadi pengusaha sukses, dan bisa berfoya foya tak perlu menunggu tua. Hubungan mereka bak saudara, sepiring bahkan seranjang bersama, berbagi kesenangan dan kesusahan.
Kami tak perlu menunggu terlalu lama di Juanda, begitu Piter keluar dari pintu kedatangan, mereka langsung berpelukan dan termasuk Nenny yang memberikan ciuman di pipinya. Kedua mobil langsung meluncur ke arah Tretes, berhenti sebentar di Restorant Dewi Sri di Pandaan untuk sekedar mengganjal perut, dan tak lupa membawa bekal karena ntar malam tak perlu keluar Villa mencari makan.
Setelah melewati pasar di depan Hotel Surya mobil belok kanan menyusuri jalan kecil yang hanya cukup untuk 1 mobil, 500 M kemudian tampaklah vila yang dituju, vila milik keluarga Hari. Si penjaga Vila buru buru membuka pintu gerbang dan menutupnya kembali setelah kami berada di dalam, lampu lampu yang tadi Cuma temaram sekarang terang benderang. Hari membawa kami masuk menjelajahi kamar kamar yang ada, semua ada 5 kamar dengan 2 kamar besar, kolam renang berbentuk oval tidak terlalu besar namun indah.
“Oke terserah kalian pilih kamar yang mana, yang jelas aku dan Lily ambil yang depan di sebelah kolam, Pit kamu kamar yang tempo hari kamu pakai aja biar Ivan dan Nenny bisa bulan madu di kamarnya bokap” kata Hari mengatur.
“Sip, gue sih kamar mana aja oke tapi temannya ini nih gimana?” Piter mulai menanyakan.
Aku dan Hari saling berpandangan.
“Van, kita mau hunting kamu terserah deh mau ikut apa nggak” kata Hari pada Ivan dan pacarnya.
“Nggak, disini aja, lagian ada Nenny” jawab Ivan sambil meringis dicubit pacarnya.
Bertiga kami turun menuju ke diskotik di depan Hotel Surya (namanya udah lupa tuh), beberapa cewek berdiri disitu menjajakan diri secara terselubung, beruntunglah aku tidak dalam grup itu, batinku.
Dari satu kelompok ke kelompok lain sepertinya Piter belum mendapatkan yang cocok dengan seleranya.
“Maumu yang gimana sih Van?” Tanya Hari yang sudah capek berkeliling jalan kaki karena lebih praktis daripada naik mobil.
“Ya yang kayak cewekmu itu” jawabnya ringan sambil tetap memelototi satu persatu cewek yang ada disitu.
Jarum jam menunjukkan pukul 21.00, makin banyak cewek yang datang ke diskotik, makin banyak pilihan tapi sepertinya belum ada yang sesuai dengan seleranya. Entah sudah berapa banyak jagung bakar dan bir hitam yang mereka tegak dan tak terhitung lagi batang rokok yang telah berceceran di bawah, tapi sang idaman tak juga kunjung didapat.
Mungkin karena sudah kedinginan dan pasrah atau karena terpaksa akhirnya dia menjatuhkan pilihan pada salah satu gadis yang ada disitu, aku yakin dia terpaksa memilih karena sudah tidak ada pilihan lagi, daripada kedinginan sendirian, maka kamipun kembali ke Vila dengan membawa seorang gadis.
Sesampai di Villa ternyata Ivan dan Nenny sudah masuk ke kamar, sayup sayup kami dengar jeritan kenikmatan Nenny dari dalam kamar, kami hanya tersenyum berpandangan dan langsung masuk ke kamar masing masing. Hari ngomel memaki maki Piter yang terlalu banyak pilihan, sudah berapa jam waktu terbuang percuma, aku makin merasa bersalah. Sebenarnya bisa saja Hari memintaku menemani Piter, berarti mengorbankan diri sendiri, tapi itu tak dilakukannya.
“Kasihan Piter, dia mendapat cewek yang bukan seleranya” kataku pelan sambil melepas sweater dan Jins-ku.
“Emang sih, tapi itu diluar rencana” jawabnya tanpa menyinggung kesalahanku tadi siang.
“Har, aku usul nih, jangan marah ya, janji?” aku memberanikan diri, dia diam menatapku tajam, lalu menganggukkan kepala.
“Piter kan jauh jauh dari Jakarta, sedangkan kamu kan di surabaya, gimana kalo aku temanin Piter malam ini, toh kita bisa ketemu kapan saja, anytime, tapi itu terserah kamu sih” aku memberanikan diri, takut dia tersinggung, tak berani menatapnya.
Hari diam saja memandangku makin tajam, sepertinya ada gejolak di batinnya, entah mempertimbangkan entah marah.
“Lalu aku harus tidur sama cewek kampung itu?” dengan nada tinggi.
Aku diam saja sambil berpura pura sibuk melepas bra-ku, menyesal mengajukan usul. Kupeluk dia dan kucium bibirnya.
“Ya udah, lupakan usulku itu sayang” kataku sambil melepas baju dan celananya, ternyata dia sudah tidak mengenakan celana dalam.
Aku langsung berlutut di depannya, kuraih kejantanannya yang lemas, kuremas dan kukocok sambil menciuminya untuk membangkitkan gairah yang terpendam sejak tadi. Hari meremas remas rambutku ketika aku mulai mengocok dengan mulutku, penisnya yang tidak disunat dengan cepat keluar masuk menerobos bibirku, apalagi ditambah gerakan pantatnya yang seakan mempercepat kocokannya. Mulutku kewalahan menerima gerakan liarnya, tetesan air liur keluar dari celah bibirku.
Kami pindah ke ranjang yang besar, baru kusadari ternyata kamar itu begitu erotis, dikelilingi cermin disepanjang dinding dindingnya, begitu juga atap di atas ranjang, aku bisa melihat pantulan bayanganku telentang pasrah di atas ranjang.
Hari langsung mendatangi selangkanganku, dilepasnya celana dalam ungu transparan yang menutupi kewanitaanku, dia mencium celana dalam itu sebelum melemparnya ke lantai.
Tanpa buang waktu, bibirnya segera mendarat di vaginaku, dikulumnya sambil mempermainkan lidah, klitorisku dipermainkan dengan jari tangannya. Dia menyedot seperti seorang yang kehausan, aku menjerit kaget dan nikmat, dengan cepatnya vaginaku menjadi basah, baik karena ludahnya maupun karena cairan vaginaku sendiri. Jari jari tangannya ikutan menjarah permukaan kewanitaanku, dua jari sudah mengocokku diselingi permainan lidah di klitoris, aku makin menjerit nikmat, tak kuhiraukan apakah jeritanku terdengar dari kamar sebelah, toh mereka juga melakukan hal yang sama.
Aku benar benar dibuatnya kelojotan karena permainan tangan dan oralnya, nikmat sekali, kuremas remas kedua buah dadaku. Berkali kali kutarik rambutnya untuk segera memasukkan penisnya, tapi tak digubris, sepertinya dia menikmati siksaannya.
Tubuhku dibalik pada posisi menungging, aku berharap dia segera melakukannya dengan posisi doggie, tapi kembali kurasakan tangan dan lidahnya yang menyentuh organ kenikmatanku, jeritanku makin keras ketika lidahnya menyentuh anusku, tak kusangka dia melakukan itu meski aku sering malakukan padanya hal yang sama.
“Come on Har, pleeasse” desahku tak tahan menghadapi foreplay-nya, napasku sudah tersengal sengal menahan gejolak birahi.
Aku mendekap bantal erat erat saat kurasakan kepala penisnya mulai mengusap bibir vaginaku, bersiap mendapatkan kenikmatan darinya.
“Aauuwww.. sshit” teriakku kaget ketika tanpa aba aba Hari langsung mendorong masuk penisnya dengan keras dan sekali dorong, meskipun ukurannya tidak terlalu besar, alias rata rata tapi dengan sodokan keras seperti itu tak urung membuatku kaget, sakit bercampur nikmat, semua beraduk menjadi satu. Dia tersenyum penuh kemenangan melihatku menggeliat karena sodokannya.
Dengan tempo tinggi dia langsung mengocok vaginaku tanpa ampun diiringi remasan remasan kuat di buah dadaku. Hari tak mempedulikan jeritanku, justru semakin aku menjerit semakin kuat dia menghentakkan penisnya, berulang kali aku berusaha menahan sodokannya tapi tanganku selalu ditepisnya, sepertinya dia melampiaskan dendam yang sudah lama terpendam.
Suatu permainan kasar yang tidak biasa dia lakukan, lima menit kemudian aku sudah bisa menyesuaikan dengan irama permainannya. Kubalas setiap hentakan dengan hentakan lagi, bahkan aku menggoyang goyangkan pantatku mengimbanginya. Tiba tiba dia menarik penisnya dengan kasar, aku menjerit kecewa.
Dia meninggalkanku turun dari ranjang, sambil menyalakan rokok, dikecilkan lampu kamar hingga meredup dan dibukanya jendela yang ke arah kolam. Pemandangan kota Surabaya terlihat indah di malam hari, diiringi dinginnya udara pegunungan yang menerobos masuk ke kamar. Aku masih belum tahu apa maksudnya, menghentikan permainan yang lagi seru dan membuka jendela, memandang keluar sambil merokok. Kuselimuti tubuhku dengan selimut untuk menahan dinginnya udara malam pegunungan yang menerobos masuk kamar, kudekap Hari dari belakang.
“Kok tiba tiba berhenti sayang” tanyaku manja sambil mengelus elus dadanya manja.
Dia diam, hanya menghembuskan asap rokok kuat kuat keluar. Tubuh telanjangku kupepetkan ke punggungnya, terasa kehangatan yang mengalir, elusanku turun ke perut dan selangkangan, aku kaget, ternyata penisnya basah dan banyak cairan, ketika kucium aroma sperma yang kuat menyengat, ternyata dia menariknya keluar saat orgasme.
“Ih curang, begitu keluar ditarik keluar” protesku sambil menggigit ringan pundaknya.
Dia hanya tertawa terbahak bahak, kami kembali berpelukan di depan jendela yang terbuka, selimut penutup tubuhku sudah jatuh ke lantai, udara dingin berubah menjadi kehangatan pelukan gairah birahi.
“Ntar dilihat orang” bisikku disela sela ciumannya.
“Nggak mereka udah pergi kok, lagian tempat ini terpencil” hiburnya meyakinkanku.
Maka kamipun kembali bercinta di depan jendela yang terbuka dengan pemandangan kelap kelip kota Surabaya, dinginnya angin malam tak mampu mengusir panasnya nafsu kami.
Aku tak bisa mengingat sudah berapa kali orgasme dan berapa babak melayani buasnya nafsu Hari dengan berbagai posisi, meskipun begitu bersemangat tapi kami harus menyerah dengan apa yang namanya capek dan lapar, mungkin terlalu banyak energi yang keluar ketika kami bercinta tadi. Sebenarnya aku masih ingin melanjutkan merengkuh kenikmatan lebih lama, aku sendiri tak tahu, semakin bergairah semakin bersemangat aku bercinta tanpa mengenal lelah, namun Hari sudah menyerah dan minta “Time out”, terpaksa aku harus ikutan menunda keinginanku. Akhirnya kami putuskan untuk break dan membuka bekal yang kami bungkus dari Dewi Sri tadi.
Perlahan lahan kami membuka bungkusan di tengah temaram lampu ruang tamu yang sengaja tidak kami besarkan. Dalam waktu singkat ludeslah seekor ayam berpindah ke perut kami berdua didorong setengah botol Aqua, masih menyisakan 2 ekor lagi tapi kami biarkan tetap terbungkus.
Limabelas menit kami beristirahat di ruang tamu, udara dingin mulai terasa menusuk kulit, apalagi aku hanya mengenakan kemeja tipis milik Hari tanpa dilapis jaket, bahkan kakiku tetap telanjang tanpa penutup, hanya kemaja Hari itulah yang menutupi tubuhku hingga ke paha. Begitu juga dengan Hari yang hanya mengenakan celana pendek tipis, kamipun duduk berpelukan menikmati sunyinya malam dipegunungan diiringi suara jangkrik yang jelas terdengar, suasana begitu romantis.
Terbawa suasana, tak lama kemudian kamipun akhirnya berciuman, kuselipkan tanganku ke dalam celana Hari, dia melepas kancing kancing kemejaku dan meremas kedua buah dadaku bergantian. Aku mendesah pelan ketika dia mengulum putingku, kuremas makin keras kejantanannya, segera kami kembali dalam pergulatan penuh nafsu, lupa sudah dimana kami berada.
Hari duduk di sandaran sofa menerima kulumanku pada penisnya, dia mendesah perlahan, mungkin takut terdengar lainnya.
Hari berlutut didepanku, penisnya disapukan sejenak lalu menyodokku dengan keras, seperti sebelumnya, aku hanya menggigit jariku menerima kocokan kerasnya, tak berani bersuara, tangannya ikutan meremas dan memilin ringan putingku, membuatku semakin kepanasan, semakin keras kugigit jariku. Dia tersenyum melihat expresiku yang aku sendiri tak bisa menggambarkan seperti apa, begitu bernafsu dia menggerakkan penisnya keluar masuk vaginaku.
Kurebahkan Hari di atas sofa, langsung kubimbing penisnya memasuki liang kenikmatanku, sama seperti yang dilakukannya padaku tadi, dengan sekali gerakan melesaklah kejantanannya mengisi rongga vaginaku dengan cepat, dia menjerit kaget tanpa sadar, aku hanya tersenyum melihatnya. Sebelum dia sadar, kususul dengan gerakan dan goyangan pantat yang liar tidak beraturan, aku ingin melihatnya terkapar dalam kenikmatan, seperti apa yang telah dilakukannya padaku, lebih mengasyikkan lagi karena dia tidak berani mendesah keras, kunikmati permainan ini. Gerakanku makin menjadi ketika dia mulai meremas remas buah dadaku, kami sadar bahwa permainan ini beresiko tertangkap basah sama lainnya, tapi kami tak peduli, hanya menjaga supaya tidak menimbulkan berisik yang bisa membangunkan macan tidur.
Tiba tiba lampu ruang tamu menyala terang, kami berdua kaget, bersamaan kami menoleh ke arah pintu depan, ternyata Piter sudah berdiri disitu, matanya tertuju pada tubuhku, dalam keadaan kaget kami ternyata hanya terbengong, aku masih di atas Hari dengan penis yang masih tertanam, sementara tangan Hari masih meremas buah dadaku. Celakanya, begitu tersadar bukannya segera menutupi diri tapi langsung memeluk rapat tubuh Hari, maksudnya menutupi tubuhku dari pandangan Piter, tapi justru posisi itu makin membuat pemandangan menjadi lebih erotis.
“Wah curang, kalian bermain begitu hot, tapi aku kamu kasih si mayat hidup” komentar Piter sambil berjalan masuk dan duduk di depan kami.
Aku yang masih di pelukan Hari jadi serba salah, apalagi Piter duduk tepat menghadap kami yang sedang telanjang berpelukan, sepertinya dia sudah biasa, tak ada rasa segan menghadapi kami yang sedang dalam keadaan begini.
“Lho cewek kamu kemana?” Tanya Hari yang masih memelukku.
“Aku pulangin, habis udah hitam nggak bisa ngapa ngapain, untuk apa dilanjutin, aku tadi keluar mau nyari lagi, tapi rupanya nggak ada yang bagus” jawabnya sambil menyalakan rokoknya.
“Iadi kamu belum main toh”
“Nggak ah sayang, mending dikasih ke cewek lain yang cocok, entah kapan dimana”
Tak mungkin kami ngobrol dalam keadaan begini, kuberanikan untuk turun dari tubuh Hari dengan resiko tubuh telanjangku terlihat Piter. Meskipun aku seorang call girl yang terbiasa telanjang di depan laki laki tapi belum pernah aku telanjang dihadapan orang yang tidak mem-booking-ku.
“Wow, suit suit” celetuk Piter melihat tubuhku, langsung kututupi dengan kemeja yang ada di lantai, aku ingin masuk kamar tapi Hari mencegahku dan meminta duduk disampingnya menemani ngobrol dengan Piter, agak segan juga aku karena sudah pasti kemeja tipis itu tak mampu menutupi postur tubuhku, apalagi selangkanganku saat duduk, terpaksa kuturuti kemauan Hari.
Hari tetap telanjang sambil memelukku ketika bicara dengan Piter yang mengeluhkan cewek-nya tadi, pada dasarnya dia kecewa apalagi membandingkan denganku. Ternyata sudah lama dia berada di luar, dia melihat semua yang kami lakukan di kamar tamu, bahkan sesaat dia melihat kami bercinta di depan jendela kamar yang terbuka. Kembali rasa bersalah menyelimutiku.
“Kamu nggak fair Har, masak teman yang jauh disuruh cari sendiri, terang aja nggak bisa, bilang kek kalo kamu nggak bisa nyariin, kan aku nggak perlu jauh jauh terbang hanya untuk ketemu si mayat hidup tadi” Piter mulai protes, aku diam saja, begitu juga Hari, entah apa yang ada dalam benaknya karena apa yang diucapkan Piter meskipun dengan bergurau ada benarnya dan sama dengan usulku tadi, tapi semua itu tergantung pada Hari.
Hari menatapku tapi kualihkan pandanganku ke luar sambil menyalakan rokok yang ada di meja.
“Oke sekarang maumu apa?” Tanya Hari
“Ya cariin aku cewek yang seperti dia dong, kan nggak mungkin aku minta ke Ivan”
“Malam malam begini? ngaco kamu” kata Hari.
“Ya udah selamat bersenang senang deh, aku mau tidur aja biar besok bisa tenang kembali ke Jakarta” kata Piter seraya berdiri meninggalkan kami berdua, sepertinya dia ngambek.
Aku dan Hari terdiam melihat sikap Piter, semua tergantung Hari, namanya orang dibayar aku sih terserah sama yang bayar, lagipula dari segi fisik, umur maupun wajah mereka tak jauh berbeda.
“Ly, kamu keberatan nggak kalo nemenin Piter malam ini” kata Hari dengan suara terbata bata.
“Terserah kamu saja Har, toh kamu yang booking, lagipula apa kata Piter emang ada benarnya” kataku pelan takut membuatnya tersinggung.
“Tapi rasanya aku nggak rela melepasmu ke Piter, kamu nggak akan puas sama dia, aku tahu betul permainannya, mana bisa dia muasin kamu dengan permainan sejam nonstop kayak tadi” bisik Hari.
“Ya terserah saja, kalo kamu nggak rela sama sahabat sendiri ya tungguin saja biar tahu aku lagi diapain ” jawabku asal karena sudah kesal sama Hari yang selalu mencari pembenaran tindakannya disamping itu aku juga ingin menebus kesalahanku, tak ada pamrih lain.
“Kamu nggak keberatan aku ikut ndampingi?” tanyanya bego
“Jangan Tanya aku, Tanya sama Piter, mau nggak dia main ditungguin dan dipelototin gitu”
Tanpa menjawab dia langsung menuju ke kamar Piter, aku sendirian kedinginan, kembali kudengar sayup sayup desahan Nenny dan Ivan.
“Oke dia setuju” katanya menggandengku menuju kamar Piter.
Kini ganti aku yang salah tingkah, baru kusadari konsekuensi atas ucapanku tadi, belum pernah aku bercinta ditonton laki laki lain, kalo dilihat bahkan main bertiga dengan dua wanita sih udah sering tapi kali ini keadaannya terbalik, penontonnya adalah Hari, tamu langgananku sendiri.
Aku berhenti di depan pintu kamar Hari, entahlah seolah ada yang menahanku, sepertinya aku belum siap untuk bercinta dihadapan laki laki lain, tapi Piter menyambutku dengan senyuman kemenangan, dia membimbingku ke ranjang diikuti Hari yang sudah mengenakan celana pendeknya, dia langsung duduk di sofa di ujung kamar setelah menyalakan lampu dengan terangnya, seolah ingin melihat dengan jelas bagaimana sobatnya memuaskanku atau ingin melihat bagaimana aku melayani laki laki lain.
Piter langsung melucuti pakaian satu satunya penutup tubuhku, kini aku telanjang dihadapan dua laki laki, belum pernah aku mengalami hal seperti ini, kembali rasa nervous membayangiku.
“Nah ini baru betul, nggak rugi dibelain terbang dari Jakarta” komentarnya sesaat melihat tubuhku yang telanjang duduk di tepi ranjang.
Dia duduk disebelahku, dielusnya punggungku, celotehan pujian terucap setiap kali tangannya bergeser ke bagian lain tubuhku. Tangannya mulai menjelajahi kedua buah bukit di dada, diremasnya dengan gemas sambil menciumi pipi dan leherku, aku menggelinjang geli.
Secara reflek tanganku menjamah selangkangannya, kubuka resliting celananya dan kususupkan tanganku ke dalam, langsung masuk di balik celana dalamnya, ada perasaan aneh ketika tanganku berhasil meraih kejantanannya, ternyata jauh lebih pendek dari punya Hari yang berukuran sedang itu, meskipun besarnya hampir sama, mungkin segenggaman sudah hilang padahal sudah keras menegang.
Aku menggeser tubuhku ke bawah, berlutut di antara kedua kakinya, tak kuhiraukan dinginnya lantai kamar yang menusuk, kulepas celananya bersamaan dengan dia melepas kaos dan jaketnya. Ketika kutarik turun celana dalamnya, mencuatlah kejantanannya, hamper mengenai mukaku, kugenggam dan kuremas remas, begitu kecil rasanya sehingga tak ada sisa dalam genggaman tanganku, bisa dibayangkan sebesar pisang emas yang manis dan mungil. Tak kupedulikan ukuran penis di genggamanku, segera kucium dan kujilati penisnya, tak ada aroma sperma, berarti dia memang tidak sempat melakukan dengan ceweknya tadi, kukulum dan kulumat habis hingga pangkalnya, bukan masalah besar bagiku untuk melumat penis seukuran ini.
Piter mulai mendesis saat kocokanku makin cepat, berulang kali dia memuji permainan oralku yang menurut dia the best, apalagi ketika lidahku menyusuri seluruh daerah sensitif di selangkangannya. Ditariknya tubuhku naik, aku duduk dipangkuannya sambil beradu lidah, tangannya menggerayang di dadaku, terus turun hingga ke vagina, dua jari masuk tapi cepat ditariknya lagi, mungkin dia merasakan sperma Hari yang masih ada di dalam. Dia merebahkan diri sambil menarik tubuhku dalam pelukannya, kamipun saling bergumul penuh nafsu di atas ranjang, bergulingan dan saling memagut. Putting dan kedua bukitku dikulum dan dilumat dengan gemas, wajahnya ditanam dan dijepitkan diantara kedua payudaraku.
Kugenggam erat dan kukocok kejantanannya, kusapukan ke bibir vaginaku tapi dia menolak dan berdiri menuju traveling bag-nya, rupanya dia mengambil kondom dan diserahkan padaku. Dengan gerakan mulut tanpa kesulitan kukenakan kondom bergerigi dan berassesoris itu ke penisnya. Kini dia tak menolak saat kubimbing memasuki liang kenikmatanku, vaginaku yang sejak sore sudah di-obok obok penis Hari yang jauh lebih besar, kini serasa begitu mudah ditembus.
Piter menelungkupkan tubuhnya di atasku, kami saling berpelukan rapat, bibir kami kembali saling melumat seiring dengan gerakan pantatnya turun naik, penisnya sudah keluar masuk vaginaku makin cepat, kini baru terasa pengaruh gerigi dan assesoris yang begitu nikmat menggesek gesek dinding vaginaku, apalagi ketika mutiara di pangkal kondom mengenai klitorisku, membuatku mulai mendesis nikmat, ternyata tak terpengaruh oleh ukuran penisnya.
Sepertinya dia tahu bagaimana bermain dengan kondomnya, seringkali dia memasukkan dalam dalam lalu menekan kuat kemudian menggoyang goyangkan pantatnya, kontan saja aku mendesah nikmat tak tertahan, tubuhku menggeliat enak saat mutiara mutiara itu bergerak liar menggesek klitorisku, ini pengalaman baru bagiku yang belum pernah kualami.
Desahanku semakin keras, terlupa sudah keberadaan Hari di pojok ruangan sedang menonton permainan kami. Bunyi kecipuk cairan vagina dan sperma Hari jelas terdengar saat Piter mengocokku keras, kupeluk tubuhnya yang sudah mulai berkeringat, desahan kami saling bersahutan. Sepintas kulihat Hari ternyata sudah telanjang, mengamati kami sambil meremas remas penisnya, aku sudah tak pedulikan lagi, toh dia sudah menyerahkanku ke Piter.
Kami beralih ke posisi dogie, dia menyetubuhiku dari belakang, kugeser tubuhku tepat menghadap Hari, tanpa kusadari secara demonstratif ingin kutunjukkan pada Hari beginilah caraku melayani laki laki lain. Ternyata posisi dari belakang tidaklah senikmat dari depan, mungkin karena mutiara mutiara itu tidak bisa mengenai klitorisku, semakin cepat Piter mengocokku, serasa hanya berlarian di dalam vaginaku.
Tanpa permisi, kutarik keluar penisnya, kudorong dia telentang di ranjang, aku mengambil posisi di atas. Pinggulku langsung bergoyang lincah begitu penisnya tertanam ke dalam, dengan posisi ini aku bisa leluasa mencari posisi sudut yang kurasakan paling nikmat, dimana mutiara mutiara itu bisa menggesek dan bergerak liar pada klitoris. Aku benar benar terbuai hingga tersadar ketika kurasakan pelukan dan remasan buah dada dari belakang, ternyata Hari sudah berada dibelakangku.
“Kamu memang membuatku tak tahan dan aku benar benar cemburu” bisiknya sambil menciumi telinga dan tengkukku.
Gerakanku terganggu ciumannya, sesaat aku berhenti, konsentrasiku terpecah antara Piter di bawah dan Hari di atas, apalagi Piter tak mau gerakanku terhenti, kini dia yang mengocokku dari bawah, sungguh aku dibuatnya kewalahan mendapat rangsangan dari dua arah yang berbeda, tubuhkupun menggeliat tak karuan dan meledaklah jeritanku, entah jeritan kenikmatan atau kegelian, yang jelas keduanya sama enaknya.
Beberapa menit kulalui dengan segala “Kerepotan”, dikeroyok dua orang sekaligus yang sama sama tidak mau mengalah, masing masing ingin membuktikan dialah yang terbaik, akibatnya aku yang jadi korban ajang pembuktian mereka. Belum pernah kualami keroyokan macam ini, ternyata cukup merepotkan, apalagi ada tuntutan untuk memuaskan mereka berdua, ini pengalaman baru bagiku.
Perlahan aku mulai bisa menyesuaikan dengan kedua rangsangan yang ada, pinggulku mulai bisa bergoyang seraya berciuman dengan Hari. Baru sekarang kurasakan sensasi yang hebat bermain bertiga, biasanya akulah yang mengeroyok laki laki, kini aku dikeroyok laki laki, pengalaman pertama yang tak pernah terlintas dalam fantasiku sekalipun. Bahkan ketika Hari beranjak ke depanku, menyodorkan kejantanannya di saat aku masih di atas Piter, tanpa ragu segera kulumat dan kukulum dengan bibirku, sensasinya sungguh luar biasa mendapat kocokan atas bawah sekaligus, apalagi mutiara itu selalu menggesek klitoris dengan liar tanpa ampun.
Mungkin karena sensasi yang terlalu berlebihan, aku tak bisa menahan lebih lama lagi, dan meledaklah teriakan orgasme tanpa bisa kubendung, segera kukeluarkan penis Hari dari mulutku, takut tergigit tanpa sengaja, berganti dengan kocokan tangan yang cepat. Tubuhku menegang dalam remasan Piter yang justru makin meningkatkan tempo kocokannya di vagina. Hari memaksakan memasukkan penisnya kembali ke mulutku tapi aku menolak, hanya kusapukan ke wajahku. Teriakan orgasme kembali terdengar, kali ini dari Piter, kurasakan denyutan sangat kuat di vaginaku membuat aku ikutan menjerit nikmat dan kuremas makin kuat penis di genggamanku.
Tubuhku langsung lemas dan terkulai dalam dekapan Piter yang langsung menyambutku dengan pelukan, napas kami menyatu dalam pacuan tak berirama, kurasakan penis Piter sudah terlepas dari liangku. Hari yang kutinggalkan sesaat ternyata sudah bergeser diantara kaki kami, aku menoleh protes saat kurasakan penisnya menyapu vaginaku.
“Har, pleass aku istirahat dulu” aku menghiba, tapi dia menyodokkan penisnya sebagai jawabannya.
Gila dia, masak mau menyetubuhiku dari belakang saat aku masih dalam pelukan sahabatnya, pikirku.
Kembali aku terdongak merasakan penisnya yang menerobos masuk mengisi liang basah kenikmatanku, terasa nikmat yang aneh setelah merasakan penis Piter, padahal sejam yang lalu penis itu telah meng-aduk aduk vaginaku tapi kali ini lain rasanya, aku diselimuti sensasi yang erotis, dalam waktu kurang semenit kurasakan 2 penis yang berbeda, biasanya ini kualami dalam kurun sekitar satu jam, tapi ini secara simultan, akupun mendesah dan menggeliat dalam pelukan Piter yang semakin erat mendekapku.
Aku tak menyangka sama sekali bahwa begitu nikmat bercinta keroyokan seperti ini, meskipun membutuhkan stamina yang lebih, pantesan banyak laki laki yang ingin dikeroyok dan diladeni 2 atau lebih cewek sekaligus. Penis Hari makin dalam dan cepat menghunjam di vaginaku, akupun tak mau terhanyut lebih lama dalam irama permainannya, maka kuangkat tubuhku melepaskan diri dari pelukan Piter, posisi tubuhku seperti merangkak, dan akupun bisa mengimbangi irama kocokannya dengan ikutan menggoyangkan pantatku.
Ternyata posisi tubuhku membuat Piter jadi lebih leluasa berkreasi, buah dadaku yang bergoyang goyang indah karena kocokan Hari langsung mendapat kuluman darinya, aku menjerit kaget tak menyangka mendapat rangsangan sekaligus seperti ini, desahanku kembali memenuhi kamar dingin yang sudah membara terbakar nafsu kami. Berulang kali kuluman Piter terlepas saat Hari menyodokku keras, tapi dengan sabar dia meraih dan mengulumnya lagi.
Piter menggeser tubuhnya keluar dari kungkunganku, dia duduk selonjor, penisnya tepat di mukaku, segera kuraih, kulepas kondomnya dan kumasukkan ke mulutku, tak kuhiraukan lagi aroma sperma yang menusuk. Meskipun kocokan Hari cukup keras menghantam vaginaku, tapi dengan ukuran penis Piter yang mini aku masih bisa mempermainkannya dengan mulut dan lidahku, konsentrasiku sudah mulai terbiasa terbagi diantara dua kenikmatan.
Terbersit kebanggaan bisa membuat dua laki laki mengerang kenikmatan dalam waktu bersamaan, gerakanku kepala dan pantatku semakin liar, aku ingin mengendalikan permainan ini meskipun dikeroyok, desahan kami bertiga saling bersautan membentuk simponi nafsu yang indah. Hari memang tipe laki laki penikmat sex, belum ada tanda tanda dia segera mengakhiri, justru Piterlah yang untuk kedua kalinya menggapai orgasme lebih dulu. Kumasukkan semua penisnya saat kulihat tanda tanda orgasme darinya, maka keluarlah sperma yang tidak banyak, mungkin hanya tetesan tetesan sisa yang ada, penisnya berdenyut lemah dalam mulutku, Piter yang tidak menyangka mendapatkan servis seperti itu berteriak kaget, apalagi saat kupermainkan lidahku di penisnya yang sedang berdenyut.
Kocokan Hari tidak berkurang apalagi berhenti, justru dia lalu memintaku telentang, dan kamipun kembali bercinta one on one lebih bergairah meskipun sensasinya tak mengalahkan two in one. Giliran Piter yang menonton kami disampingku, sambil tangannya mengusap dan meremas buah dadaku. Saat kujepit pinggang Hari dengan kedua kakiku hingga penisnya makin dalam
melesak, Piter menuntun tanganku ke penisnya yang lemas lunglai, kuremas remas sambil merasakan kocokan Hari yang makin tidak beraturan. Aku hanya menjaga supaya tidak orgasme terlebih dahulu, kalau ini terjadi maka seluruh ototku langsung lemas dan tidak mampu lagi melanjutkan permainan yang mengasyikkan ini, kuingin mereguk kenikmatan lebih dari mereka berdua, terlalu sayang untuk dilewatkan dengan cepat, meskipun sebenarnya sudah cukup lama berlangsung, tapi sepertinya tak ada kata puas.
Aku harus mengagumi kondisi Piter, meskipun penisnya kecil tapi begitu cepat recovery, tak lama dalam genggamanku dia sudah bisa tegak kembali, siap tempur. Dia turun dari ranjang, mengeluakan kondom yang bentuknya berbeda dengan sebelumnya, ada seperti kepala anjing di ujung dan rambut rambut pada pangkalnya, dari pengalamanku bentuk kondom memang sangat banyak variasinya, sebenarnya kesemua itu hanya untuk memuaskan kaum wanita, rupanya dia sudah mempersiapkan segalanya, tinggal menunggu giliran. Rupanya dia tidak perlu menunggu terlalu lama ketika Hari memberinya kesempatan sebelum dia orgasme, aku
tahu trik dia, pasti sudah mau orgasme makanya buru buru mencabut keluar, aku hanya tersenyum melihat tingkah lakunya.
Penis besar berganti penis kecil berkondom unik mengisi vaginaku, tak kurasakan ke-unikan saat Piter mendorong masuk penisnya, biasa saja, tapi begitu semua penisnya masuk semua barulah kurasakan kepala anjingnya menusuk vagian dalam vagina dan bulu bulunya menggelitik klitoris. Ketika dia mulai mengocok, barulah kurasakan sensasi keunikan yang sesungguhnya
yang membuatku mendesah kelojotan dalam kenikmatan. Hari duduk di tepi ranjang sambil mengusap usap buah dadaku, membuatku semakin terbakar birahi, apalagi saat dia mengulum dan lidahnya menari nari di putingku.
Kuraih penisnya dan kubalas dengan remasan kuat, Piter semakin cepat menancapkan penisnya, kepala anjingnya terasa makin dalam menyundul rahimku, apalagi ketika dia menekan kuat ke selangkanganku, antara sakit dan nikmat bercampur menjadi satu.
Hari mengganjal kepalaku dengan bantal lalu memasukkan penisnya ke mulutku yang sedang terbuka mendesah dalam nikmat, dia langsung mengocok begitu penisnya masuk ke mulutku, kembali aku mendapat dua kocokan yang bersamaan dengan posisi kebalikan.
Akhirnya pertahananku runtuh juga dikeroyok secara bersamaan, meledaklah jeritan kenikmatanku, kujepit Piter dengan pahaku erat erat dan kuremas penis Hari, tubuhku mengejang kaku, suatu orgasme yang menjebol segala dinding dinding pertahanan dan menerbangkan semua energi yang tersisa, beruntung Piter menyusulku beberapa detik kemudian, kepala anjing itu serasa membesar di vaginaku, aku memejamkan mata dan menggigit bibir bawah, tak mampu lagi meneriakkan kenikmatan yang teramat nikmat.
Piter langsung mencabut penisnya begitu denyutan berakhir, melepas kondom lalu menumpahkan isinya di perutku sambil mengusapkan penisnya di selangkanganku. Masih tersisa satu penis di tanganku, tanpa menunggu lagi Hari langsung mengocok mulutku dengan cepat, tubuhku yang berada di bawah kangkangan kakinya tak mampu menghindar, hanya pasrah menerima. Beberapa menit kemudian aku berhasil melaksanakan tugasku, Hari menyemprotkan spermanya memenuhi mulutku, sebagian tertelan sebagian menetes keluar dari celah celah bibirku, lalu dia menyapukannya ke wajahku dengan senyum penuh kepuasan.
Kedua laki laki itu lalu menggeletak di sampingku, napas kami masih tersengal, baru sekarang kurasakan betapa letihnya aku, entah sudah berapa jam mulai di kamar Hari tadi, sama sekali aku tak menyangka mengalami pengalaman seperti ini, ternyata kenikmatannya jauh lebih mengasyikkan. Akhirnya akupun terdidur dalam pelukan kedua laki laki ini, membawa sejuta kenikmatan dan kenangan, kubiarkan sperma yang ada di vagina dan tubuhku seakan tak mau terbangun dari mimpi.
Keesokan harinya aku terbangun kesiangan, matahari sudah tinggi, sinarnya yang menerobos jendela menyilaukan pandangan mataku yang baru terbuka, kulihat Hari dan Piter masih tertidur di sampingku, kaki kanan Hari menumpang kakiku sedang tangan Piter masih memelukku, perlahan kusingkirkan dan aku beranjak ke kamar mandi.
Kehangatan air dari shower menyegarkan tubuhku, terasa segar dan mengembalikan kebugaran, mengusir semua kelelahan yang ada, kupejamkan mata relax, entah berapa lama aku berendam dalam bathtub, ketika kusadari ternyata Hari dan Piter sudah berdiri menghadapku, masih telanjang.
“Hai, kamu bikin aku kaget saja”
“Habis kamu sepertinya asik banget” kata Hari lansung menyusulku masuk ke bathtub, diikuti Piter, air bathtub meluber keluar.
“Sini aku mandiin” kata Piter yang posisinya di belakangku seraya mengambil busa dan sabun, digosoknya punggungku sambil tangannya meraba raba bagian dadaku.
Hari yang posisinya berhadapan di depanku ikutan meraba bagian yang sama, empat tangan menjamah kedua buah dadaku. Kuraih penis Hari dan mengocoknya dalam hangatnya air, ciuman Piter dari belakang menjelajah telinga, tengkuk dan punggung, aku menggeliat geli. Hari menarikku dalam pangkuannya, sesaat kemudian penisnya sudah berada dalam hangatnya vaginaku. Air beriak keras makin meluber saat aku mulai mengocoknya, kami mulai saling mendesah, Piter keluar dari bathtub dan berdiri disampingku menyodorkan penisnya ke mulut, kusambut dengan jilatan dan kuluman yang membuat kami mendesah berbarengan. Aku sangat menikmati permainan bertiga ini, makanya kukerahkan segala kemampuanku untuk meraih kenikmatan demi kenikmatan.
Piter memegang kepalaku dan mengocoknya dengan cepat sementara pantatku juga bergoyang di atas kejantanan Hari. Tak kusangka permainan bertiga di kamar mandi di pagi hari membuatku lebih cepat melayang, dan akupun mencapai puncak kenikmatan terlebih dahulu, kali ini tak kukeluarkan penis Piter dari mulutku, aku hanya menahannya di dalam, suatu percobaan apakah aku bisa menanganinya tanpa gigitan, dan aku berhasil melalui puncak dengan penis di mulut.
Hari memintaku doggie, tapi sebelum dia sempat pada posisinya, Piter sudah mendahului memegang pantatku.
“Aku ingin merasakannya tanpa kondom, sebelum kamu mencemarinya, oke?” katanya sambil menyapukan penisnya.
Aku sih terserah saja siapa yang melakukannya, tapi dengan Piter tanpa kondom uniknya, aku bisa memperkirakan berkurangnya kenikmatan apalagi setelah penis Hari mendahuluinya. Perkiraanku benar, penis Piter serasa meluncur begitu saja dalam vaginaku, jauh dari nikmat, masih lebih nikmat kocokan dua jari yang bisa berputar putar di dalam, apalagi dibandingkan dengan Hari.
Untunglah Hari membantu rangsanganku, tubuhnya berada di bawahku yang nungging menghadap dinding kamar mandi, dikulumnya buah dadaku yang menggantung berayun ayun di depannya, inilah yang membuatku mendesah desah. Hari memegangi tubuhku, kami saling berpelukan dan berciuman, sementara Piter masih asik mengocokku dengan sodokan sodokan kerasnya dari belakang, tapi apalah artinya untuk ukuran penisnya, bahkan lebih sering terlepas karena terganjal pantatku. Mereka membalik posisiku, aku berpelukan dengan Piter dan ganti Hari mengocokku dari belakang, barulah kini kurasakan nikmatnya. Beberapa kali posisiku berbalik mondar mandir seperti itu, aku sudah tak peduli lagi siapa yang akan memenuhi vaginaku dengan spermanya terlebih dahulu.
Mereka menuntunku keluar dari bathtub, aku kira mereka mau melanjutkan di ranjang seperti tadi malam tapi aku keliru, justru mereka memintaku jongokok, dua penis yang berbeda ukuran dan dalam keadaan tegang telah siap di depan mulutku, kuraih keduanya dan bergantian aku kulum penuh gairah. Piter mengisi mulutku dengan spermanya tak lama kemudian, kutelan habis tanpa ada sisa, lalu kusapukan ke wajahku, dia langsung mandi setelah itu. Giliranku membuat Hari orgasme, cukup lama mulutku mengocoknya hingga terasa pegal. Akhirnya dia menyemprotkan spermanya di wajahku, dan diusapkan ke seluruh mukaku, berakhir dengan kuluman membersihan, kujilati dan kutelan sisa sisa sperma yang masih menempel di penisnya hingga bersih.
Inilah sarapan pertamaku di Tretes, dua macam sperma yang berbeda rasa dan aroma.
Hanya mencuci muka membersihkan wajahku, dan tanpa mandi lagi kukenakan kemeja Hari tadi malam karena setelah ini kami berencana menyusul Ivan dan Nenny ke kolam renang. Bersamaan kami keluar dari kamar Piter, ternyata terpergok Ivan dan Nenny yang sedang menuju kamarnya.
“Eh kok kalian bertiga keluar dari kamar Piter, baru bangun lagi siang siang begini dan kemana si cewek kampung itu?” Tanya Nenny.
Kami hanya diam tersenyum tanpa menjawab, tapi kulihat mata Ivan yang menatapku dengan tatapan aneh, mungkin dia menebak apa yang telah kami lakukan.
Karena aku memang tidak siap untuk berenang, maka terpaksa kupakai bikini yang semi transparan untuk berenang, toh mereka sudah tahu isi tubuhku, untuk apa ditutupi lagi, bagitu pikirku tanpa mengingat bahwa masih ada Ivan dan pacarnya. Lebih dari satu jam kami berenang dan bermain di kolam, Ivan dan pacarnya kembali ikutan bergabung dengan kami, sering kulihat tatapan nakal Ivan yang mengarah ke tubuhku, apalagi hanya mengenakan bra semi transparan yang bisa menggambarkan apa dibaliknya.
“Piter sudah cerita apa yang terjadi tadi malam, kapan kapan aku ingin mencobanya, tapi yang jelas bukan sekarang” katanya pada suatu kesempatan di pinggir kolam yang jauh dari pacarnya.
Sehabis makan siang, Hari mengajakku ke kamarnya, disusul Piter. Terjadilah adegan ulangan tadi malam, aku melayani mereka dengan penuh kenikmatan, kami lakukan tidak hanya diranjang bahkan di kursi dan di atas meja seperti santapan penutup makan siang. Hampir tanpa istirahat aku melayaninya hingga sore, kami hanya keluar kamar untuk makan malam, setelah itu melanjutkan lagi sampai keesokan paginya, terlupakan sudah keberadaan Ivan dengan pacarnya. Dengan penuh semangat kuhadapi mereka berdua, baik secara sendiri sendiri, bergantian maupun bersamaan.
Aku paling menyukai ketika mereka bersamaan mengulum putingku atau saat dimana satu mengulum puting dan satunya menjilati vagina bersamaan, sensasinya sungguh luar biasa, tentu hal ini tak bisa dilakukan kalau hanya bermain dengan satu orang. Dan juga ketika kami bercinta bertiga di pinggiran kolam di tengah dinginnya malam udara Tretes beratapkan langit yang berbintang cerah, suatu moment yang tak didapat setiap saat. Aku yakin Ivan dan Nenny sudah tahu apa yang kami lakukan selama di kamar bertiga, tapi tentu saja mereka tak tahu detilnya.
Setelah menghabiskan segala nafsu selama 3 hari 2 malam, sorenya kamipun kembali meluncur ke Surabaya, mengejar flight terakhir. Piter ingin melanjutkan lagi di Surabaya tapi pekerjaannya menuntut dia berada di Jakarta esoknya. Perjalanan Tretes-Juanda terasa begitu cepat meski kecepatan kami tidak lebih dari 60 km/jam, tapi mulutku terpaksa bekerja sangat keras. Bergantian aku melakukan oral pada mereka di jok belakang New Eyes, masing masing mendapatkan satu kali orgasme dengan semua sperma keluar di mulutku. Kalau saja tidak diingatkan Hari, Piter sudah minta jatah lagi, karena mobil sudah keluar dari tol, terlalu beresiko kalau melakukan di jalanan umum meskipun kaca film-nya tidak tembus pandang.
Kami mengantar hingga di depan Pintu Keberangkatan, aku berharap tak ada orang yang memperhatikanku karena mungkin masih ada sisa sisa sperma di wajah atau rambutku. Setelah mendapat ciuman perpisahan dari aku dan Nenny dia masuk.
“Thanks atas segalanya, kita lakukan lagi lain waktu, aku akan sering ke Surabaya” bisiknya ketika aku menciumnya.
Kamipun berpisah ke mobil masing masing, Ivan dengan pacarnya entah kemana lagi, sedangkan Hari mengantarku ke tempat kost.
“Ivan ngajak kita main bertiga seperti kemarin, entah besok entah lusa, di Surabaya aja, nggak perlu jauh jauh dan nggak usah nginap, kita lakukan di jam kerja” kata Hari ketika kami meluncur di jalan.
Aku yang udah merasakan nikmatnya bermain bertiga tentu saja menyambut gembira tawaran ini, tapi tentu saja aku harus bertindak professional.
“Terserah, tapi jangan mendadak” jawabku meng-iyakan, asal nego-nya cocok, lanjutku dalam hati.
Sebelum sampai di tempat Kost, HP-ku berbunyi, dari Koh Toni.
“Aduuh susah banget dihubungi” katanya tanpa basa basi, memang selama di Tretes HP-ku sengaja kumatikan agar tidak mengganggu.
“Sorry Koh, nggak ada sinyal, ini baru sampai, belum juga mandi” jawabku bohong, Hari hanya memandangku sambil tersenyum. Dia pasti sudah tahu siapa yang menelepon.
“Ya udah langsung saja ke Shangri La, Pak Tio udah nunggu tuh, dia kemarin sama sekali nggak puas dengan cewek yang di dapat dari GM-mu itu, minta aku carikan lagi, untung kamu udah datang” kata Koh Toni mendesakku.
“Tapi aku masih capek Koh, besok aja gimana, aku janji deh” bujukku karena aku masih capek setelah 3 hari melayani Hari dan Piter, paling tidak perlu semalam istirahat.
“Ly, please tolong aku, aku nggak mau ngecewain Pak Tio dua kali, please temanin dia malam ini, ayo dong sayang” Koh Toni memelas.
Aku diam sejenak, rasa capek masih terasa.
“Oke deh, demi Koh Toni” akhirnya aku mengalah demi kepuasan tamuku dan yang pasti juga demi uang.
“Gitu dong, aku tunggu di kamar ya sekarang” katanya seraya menutup HP-nya.
“Har, jangan marah ya” kataku nggak enak sama Hari yang masih menyetir.
“Nggak dong, masa gitu aja marah” jawabnya santai, tentu saja dia nggak boleh marah meskipun ada nada cemburu pada jawabannya, toh dia tahu siapa aku.
“Turunin aku di Pom Bensin depan itu deh” pintaku.
“Nggak usah ragu, kamu mau kemana, aku antar deh sekalian pulang, asal jangan minta di antar kembali ke Airport” jawabnya enteng.
“Shangri La” jawabku, berarti memang sejalan.
Akhirnya malam itu hingga pagi aku menemani Pak Tio, berpindah dari satu ranjang ke ranjang lain, dari pelukan satu laki laki ke laki laki lain, itulah perjalanan hidupku.
*****======================================
Selama menjalani profesi sebagai seorang Call Girl, banyak pengalaman yang selama ini tak pernah kubayangkan atau hanya bisa kulihat di film porno, tapi kini aku mengalami keunikan demi keunikan atas fantasi manusia, tiada beda antara laki dan perempuan.
Siang itu mobilku sudah meluncur menuju Palm Inn di kawasan Mayjen Sungkono, tempat yang memang strategis untuk sekedar SAL atau selingkuh lainnya.
“Ly, ketemu yuk, kita kan udah lama nih nggak ketemu, kangen deh, ntar siang oke?” begitu sapaan hangat dari Pak Edi, seorang Manager disebuah perusahaan Export Import yang berkantor di Wisma BII, paling tidak sebulan sekali mem-bookingku. Usianya relatif masih muda, hampir 40 tahun menurut perkiraanku.
“Mas Edi mesti begitu, senangnya buru buru, ini kan udah jam 11 lewat berarti sekarang dong” jawabku manja.
“Iya aku lagi judeg nih, dan lagi mumpung ada temannya” katanya
“Tumben kok bawa teman, perlu dicariin cewek lain nggak? atau udah punya sendiri” tanyaku heran, nggak biasanya dia selingkuh rame rame.
“Nggak usah kali ini spesial, dia sekretaris di kantor sebelah, kebetulan suaminya keluar kota” jelasnya, aku jadi mengerti, ternyata dia menginginkan permainan dengan 2 wanita.
“Lho udah ada gitu kok masih cari aku lagi” godaku pura pura nggak ngerti.
“Udahlah pokoknya mau apa nggak?” tegasnya
“Asal aku tidak ikutan melayani teman wanitamu itu sih, ya.. ya.. yaa” jawabku menirukan iklan kondom, kebanyakan tamuku tahu kalau aku sangat membenci dan selalu menolak permainan lesbian.
Ternyata mereka telah menungguku didalam kamar, Mas Edi ditemani seorang wanita cantik yang usianya sedikit lebih tua dariku, mungkin sekitar 30 tahunan.
“Ly, kenalin ini Widya” sambut Mas Edi setelah mencium pipiku di depan pintu.
Wanita yang disebutkan Widya berdiri menyalamiku, tinggi kami hampir sama tapi dia terlihat begitu anggun dengan blazer hitam membungkus tubuhnya, kesan pertama aku menyukai penampilan dan kecantikannya.
“Welcome to the party, hope we have wonderful one” katanya, aku hanya tersenyum.
“Terserah kalian tapi aku ingin mandi dulu” katanya sambil melepas pakaiannya dan menuju ke kamar mandi.
Aku yang tanggap dengan permintaannya segera menyusulnya. Setelah melepas semua pakaianku, kupeluk tubuh Mas Edi yang sedang asyik berada dibawah kucuran hangat air shower. Kami berpelukan dan berciuman dibawah hangatnya air, serasa segar dan menggairahkan, tangannya meraba sekujur tubuhku, meremas remas buah dada dan pantatku, aku membalasnya dengan remasan di kejantanannya.
“Wah kalian udah duluan nih” suara Widya mengagetkan kami, dia sudah telanjang di depan pintu kamar mandi, tubuhnya langsing dan sexy dengan buah dada yang montok meski udah agak turun. Segera dia bergabung dibawah siraman air shower, kami bertiga berpelukan mesra penuh gairah, terutama Mas Edi yang begitu bernafsu menciumi kami bergantian, dari satu bibir ke bibir lainnya.
Kejantanan Mas Edi yang dari tadi tegang kini semakin tegang merasakan remasan tangan 2 wanita cantik dan sexy. Aku masih belum mengenal Widya, belum tahu gaya permainannya. Ketika aku jongkok di depan Mas Edi, Widya mengikutiku, bahkan saat aku mulai menjilati penisnya, diapun ikutan, dua lidah menyusuri penis Mas Edi yang tegang mengeras.
Kami pindah ke ranjang setelah mengeringkan badan, Mas Edi telentang di tengah diapit tubuh kami berdua. Bergantian kami berciuman bibir, tak kusangka sangka Widya mendaratkan bibirnya dibibirku, aku kaget tak menyangka mendapat ciuman darinya, hampir tubuhnya kudorong keras, belum pernah ada wanita yang mencium bibirku. Namun tanpa kusangka ada getaran getaran aneh yang membuatku diam menikmati kuluman bibirnya, ada getaran aneh menjalari seluruh tubuhku, aku bukanlah seorang bisex dan benci lesbian tapi sentuhan bibir Widya yang lembut berbeda dengan kuluman laki laki, membuatku tertegun tanpa tahu harus berbuat apa, hanya berdiam sambil memejamkan mata, tidak membalas lumatannya namun juga tidak menolak.
Melihat aku hanya terdiam, Widya makin memberanikan diri, lidahnya menyapu rongga mulutku, aku yang biasanya muak melihat adegan lesbi di film porno, kini terdiam menikmati sapuan bibir dan lidah Widya di bibirku. Dia semakin bergairah, kepalaku dipegang dan aku diciumi seperti layaknya dilakukan laki laki lain. Baru kutahu ternyata ciuman wanita sangat berbeda dengan laki laki. Mas Edi yang sesaat sempat kuabaikan meraba buah dadaku dan meremasnya, aku menggelinjang, apalagi saat tangan Mas Edi mulai menyentuh klitorisku. Tanpa bisa kukendalikan lagi, bibirku mulai membalas kuluman Widya, begitu juga lidahku menyambut lidahnya, semua seperti diluar kehendakku.
Aku hanya nurut saja ketika mereka merebahkan tubuhku, Widya kembali melumat bibirku, kali ini aku membalas lumatannya, Mas Edi mengulum buah dadaku bergantian sambil tangannya mempermainkan klitoris, aku mendesah disela ciuman Widya. Ciuman Widya turun menyusuri leher hingga ke dadaku, sebaliknya Mas Edi naik hingga ke bibir, memang terasa beda ciuman Widya dan Mas Edi, begitu juga kenikmatannya terasa berbeda. Jilatan dan kuluman Widya di putingku serasa begitu lembut dan terasa kenikmatan yang aneh saat dia menyedot putingku. Pengalaman pertama bagiku mendapat “Serangan” dari 2 orang yang berbeda, terus terang aku kewalahan menghadapi keduanya, konsentrasiku terbelah diantara keduanya, tapi tanpa kusadari aku lebih tertuju pada Widya.
Aku menjerit keras terkaget saat Mas Edi dan Widya bersamaan menyedot putingku dengan cara yang berbeda, belum pernah kedua putingku disedot dan dikulum bersamaan seperti ini, hanya sekali aku mengalami sedotan bersamaan oleh 2 laki laki (baca: “Lily Panther: Berbagi Ceria Dimana Saja”), tapi kali ini benar benar lain, aku tak bisa menggambarkan dengan kata kata akan nikmatnya. Kuremas remas kedua kepala yang ada dikepalaku, tubuhku semakin menggelinjang kala kurasakan gesekan jari jari tangan di vaginaku, aku yakin Mas Edi melakukan bersamaan dengan Widya. Jari jari itu begitu liar bermain di lorong vagina dan klitorisku, desahanku semakin keras diiringi geliat tubuh bak cacing terbakar birahi.
Kejutan demi kejutan kuterima dari permainan mereka, dan tak berhenti sampai disitu. Widya sudah berada di selangkanganku, aku tahu yang akan terjadi, kupersiapkan mental menghadapi jilatan seorang wanita pada vaginaku, hal yang belum pernah kualami. Mas Edi masih asyik menjilat dan mengulum putingku, tak sadar aku menjerit keras saat lidah Widya menyentuh klitoris, terasa sangat lembut sentuhan lidahnya. Aku menggelinjang, permainan oral Widya sangat sangat berbeda dengan kebanyakan laki laki yang pernah kurasakan, sepertinya dia banyak tahu sisi sisi kenikmatan seorang wanita, begitu pintar dia memainkan irama jilatannya. Celah celah sensitif di daerah kewanitaanku tak luput dari sapuan lidahnya, aku semakin membumbung tinggi dalam irama permainan kedua tamuku ini.
Kenikmatan yang kudapat semakin bertambah saat Mas Edi ikutan bermain di selangkangan, jeritan kenikmatanku sudah tak bisa kukontrol lagi, aku benar benar seperti gadis kesetanan yang tenggelam dalam lautan kenikmatan, benar benar pengalaman yang tak pernah aku alami, serasa berjuta juta nikmatnya, dua lidah yang berbeda bergerak liar dengan cara yang berbeda pula di daerah vaginaku. Bisa kulihat dengan jelas bagaimana gerakan liar kedua lidah itu, sungguh sensasi yang tak terbayangkan sebelumnya.
Tak kuasa aku menahan lebih lama.. dan rontoklah pertahananku digempur habis kedua lidah itu dengan kenikmatan tak terhingga. Jeritan orgasme diiringi tubuh mengejang, bersamaan dengan denyutan kuat pada otot otot vaginaku. Mereka tidak berhenti sampai disitu, justru semakin kuat menyedot vaginaku seakan hendak menguras habis cairan orgasme yang ada di vaginaku.
Aku telentang dengan napas yang masih menderu disamping tubuh mereka yang sedang ber-69, bisa kulihat jelas bagaimana Widya yang berada di atas mengulum penis Mas Edi dengan penuh gairah, sesekali matanya berbinar menatapku. Penis itu dengan cepat meluncur keluar masuk di celah bibir mungilnya, membuatku yang hanya melihat ikutan bergairah. Tak lama kemudian akupun kembali berbagi penis dengan Widya, mereka masih ber-69, penis Mas Edi bergantian meluncur di mulutku dan Widya.
“Masukin” kata Widya sambil menyodorkan penis di tangannya ke arahku, kubalas dengan senyuman lalu aku mengatur posisi tubuhku di atas Mas Edi.
Perlahan kuturunkan tubuhku melesakkan penis itu ke vaginaku, tak ada yang istimewa dengannya, namun kembali kurasakan sensasi aneh saat penis itu mulai melesak masuk bibir lembut Widya menyentuh dan melumat bibirku. Sambil mendesah kubalas kulumannya dengan gairah, Widya menuntun tanganku ke buah dadanya, agak ragu aku menuruti permintaannya dan dengan ragu pula kuremas remas buah dada itu sesuai kemauannya. Bersamaan melesaknya penis ke vaginaku kami bertiga mendesah bersamaan, kepala Mas Edi yang berada di bawah selangkangan Widya rupanya menyedot kuat vagina yang ada di atasnya, terjadilah permainan segitiga. Goyanganku di atas tubuh Mas Edi makin keras seiring dengan gairah ciuman kami sambil saling meremas lembut buah dada.
Aku tak tahu pasti apa yang dilakukan Mas Edi pada vagina Widya tapi desahan kenikmatannya tak kalah bergairah dengan desahanku. Kukocok penis divaginaku semakin liar, serasa mengaduk aduk liang kenikmatanku dengan hebatnya. Remasanku pada buah dada Widya makin keras begitu juga remasannya pada buah dadaku, bibir dan lidah kami semakin bertaut menyatu.
“Mau ganti posisi?” tanyaku setelah beberapa lama mengocok Mas Edi.
Rasanya nggak enak kalau harus menguasai penis itu sendirian, tapi dia tersenyum menatapku sambil menggelengkan kepala. Akupun melanjutkan goyanganku di atas Mas Edi. Beberapa menit kemudian kudengar teriakan histeris dari Widya, rupanya dia mendapatkan orgasme dari permainan oral Mas Edi.
Mas Edi minta posisi dogie, kembali Widya menolak tawaranku untuk bergantian. Akupun kembali menerima kocokan Mas Edi, kali ini dari belakang, Widya masih terbaring di sebelah kami, melihat expresi kenikmatan di wajahku saat menerima sodokan dan hentakan keras. Tak lama kemudian Widya kembali bergabung bersama kami, tubuhnya berada dibawahku yang sedang nungging menerima kocokan Mas Edi, dia menarik tubuhku dalam pelukannya. Seperti orang sedang bercinta, aku dan Widya berpelukan dan berciuman, tubuh telanjang kami menyatu dalam ikatan birahi dihiasi keringat yang saling yang bercampur menjadi satu. Buah dada kami saling berhimpit, kurasakan kelembutan sentuhan kulit kami menimbulkan sensasi tersendiri.
Sesekali ciuman bibirku terlepas saat Mas Edi menyentakku keras tapi Widya kembali meraih dan mengulumnya. Mungkin terbawa sensasi, kocokan dan sodokan dari belakang makin keras dan liar, serasa mengaduk aduk rongga vaginaku. Entah sudah berapa lama kami bercinta, ketika tiba tiba Mas Edi mencabut penisnya dengan kasar, dia bergeser ke arah kepala kami lalu menyodorkan penisnya diantara wajahku dan Widya. Kulihat mata Widya melotot ke Mas Edi, tapi tanpa protes dia segera membuka mulutnya, penis yang masih ada cairan vaginaku itu langsung mengisi mulutnya yang terbuka, akupun jadi terbawa gairah mereka. Sambil kepala penis keluar masuk mulut Widya, aku tak mau kalah dengan menjilati batangnya, lalu berganti penis Mas Edi keluar masuk mulutku.
Akhirnya tanpa bisa ditahan lagi, menyemprotlah spermanya ke mulutku, namun belum habis denyutan di mulut, Widya mengambil alih dan segera memasukkan ke mulutnya. Sperma itu tercecer ke di mulut dan wajah kami berdua, Mas Edi tampak tersenyum puas melihat spermanya menghiasi wajah cantik kami. Aku dan Widya berpelukan sesaat sebelum akhirnya turun dari tubuhnya. Kami bertiga rebah berjejer di atas ranjang, tanpa suara namun jari tangan kami saling meremas seakan menyalurkan getaran getaran birahi yang menurun.
Babak kedua kami lakukan 30 menit kemudian, Widya masih menolak saat kutawari berbagi penis Mas Edi di vaginanya. Berulang kali dia memintaku mengulum puting dan vaginanya namun sebanyak itu pula aku menolak permintaannya, untuk yang itu aku masih belum bisa melakukannya. Aku tahu dia kecewa tapi dalam hal ini tak seorangpun bisa memaksaku, dia boleh melakukannya padaku tapi tidak sebaliknya. Akhirnya dia mendapatkan orgasme dari jilatan dan kocokan jari tangan Mas Edi, tanpa penetrasi penis ke vaginanya. Kali ini sperma Mas Edi dikeluarkan di dalam vaginaku saat aku berada di atasnya, dan kembali Widya menyambar penis itu begitu keluar dari vaginaku, dia sangat menyukai sperma yang ada di penis.
“Sorry Wid, aku nggak bisa melakukan apa yang kamu lakukan padaku” aku minta maaf telah berkali kali menolak permintaannya, berharap pengertian darinya.
“Nggak apa kok, lagian aku udah dapat orgasme dari Mas Edi” jawabnya menyenangkan hatiku.
“Kalo aku tanya marah nggak” tanyaku sambil menatapnya serius, dia membalas tatapanku
“Tanya apa?”
“Kenapa sih kamu selalu menolak penis Mas Edi di vagina?” kuberanikan diri setelah kulihat isyarat gelengan kepala pertanda tak keberatan dengan pertanyaanku.
“Aku udah berkeluarga dan tak kubiarkan penis laki laki lain menyentuh kehormatan dan vaginaku, ini hanya untuk suamiku dan aku tak mau selingkuh” jawabnya dengan mimik serius
“Apa ini bukan selingkuh?” pertanyaanku semakin berani seperti orang tolol
“Ya nggak toh, selama tidak ada penetrasi atau pertemuan kelamin ya aku masih tetap suci tak tercemar laki laki lain” lanjutnya.
Aku menjadi bingung, ternyata dia mempunya definisi sendiri tentang arti perselingkuhan.
============================================================
“Ly, nanti sore jam 4 di Hotel Westin, bisa nggak?” tanya seorang GM wanita via HP pada suatu hari.
“Kalau untuk cicikku yang satu ini pasti bisa dong” balasku manja karena aku tahu GM wanita yang satu ini, biasa kupanggil cicik karena selain yang aku tahu dia seorang chinese yang banyak kenalan kalangan atas, aku tak tahu nama aslinya.
Seperti biasanya dia pasti memberi orderan gede, bukan kelas kakap bahkan tak jarang kelas paus.
“Tapi kali ini agak lain, terserah kamu mau nggak, biasanya kan kamu nggak suka yang aneh aneh” tanyanya ragu.
“Emang kenapa cik?” tanyaku penasaran.
“Emm.. dia cuman ingin lihat kamu main sama laki lain, kalo kamu nggak mau nggak apa sih” jelasnya, aku tercenung sejenak.
Ini adalah hal baru bagiku, belum pernah aku di booking untuk hanya ditonton live seperti ini, apa asiknya melihat orang bercinta padahal dia bisa menikmatinya secara langsung pemain wanitanya. Atau jangan jangan orang itu hanya timbul gairahnya saat melihat orang bercinta lalu baru menikmati tubuhku, sejuta pikiran berkecamuk penuh tanda tanya.
“Ly? gimana?” tanya cicik mengagetkanku.
“Laki laki lainnya siapa? teman dia?” Tanyaku makin penasaran
“Nggak sih, dia nyerahin ke aku, tapi terserah kamu kalo kamu punya pilihan atau pacarmu barangkali kalo kamu mau, lumayankan udah dapat enak dapat duit lagi.. ha.. ha.. ha” godanya.
“Gila apa, masak pacar dilibatkan urusan beginian, saru” jawabku sambil membalas candaannya.
“Ya udah pilih siapa yang kamu kenal” desaknya.
Terus terang meski aku cukup lama malang melintang di dunia ini, tapi aku termasuk “kuper” karena lingkungan pergaulanku emang jarang dengan teman sesama profesi baik wanita apalagi para prianya. Kalaupun kenal paling juga sebatas asal kenal tidak terlalu erat, apalagi sampai main seranjang, sangat jarang sekali.
“Gimana Ly, ada pilihan nggak, cari aja yang cakep gitu biar kamu bisa enjoy” kembali dia menggoda.
“Aku nggak ada cik, terserah cicik aja deh” aku menyerah
Dia menyebut beberapa nama yang kesemuanya gigolo, baik yang profesional maupun yang hanya sampingan. Banyak nama yang kutolak tapi beberapa nama aku tidak mengenalnya.
“Ala pake pilih pilih segala, biasanya sama laki laki siapa saja nggak nolak, udah pokoknya percaya deh sama aku, pasti kamu nggak kecewa” akhirnya dia maksa.
“Iya deh, aku percaya sama cicikku yang satu ini” akhirnya aku menuruti keinginannya setelah menyebutkan beberapa nama yang tidak aku suka.
Sebenarnya aku masih merasa capek setelah melayani 2 tamu sebelumnya, tapi “keanehan” yang ditawarkan si cicik tadi sungguh membuatku penasaran akan sensasinya. Sepuluh menit sebelum waktu yang disepakati, aku sudah berada di lobby Hotel Westin (sekarang JW Mariot), langsung menuju lantai 10 tempat kamar tamuku berada. Seorang laki laki muda awal 30-an menyambut kedatanganku di depan pintu, namanya Hengki.
“Ah tepat waktu, dia baru saja datang” katanya sambil menunjuk laki laki lain yang lebih muda sedang memegang botol Kratingdaeng, aku tidak mengenalnya.
Usianya mungkin sekitar 25 tahuh, dengan wajah yang sedap dipandang dengan kulit kuning bersih.
“Kalian sudah saling kenal?” tanyanya, hampir bersamaan kami menggeleng kepala
“Bagus, lebih asyik berarti karena kita bertiga tidak saling mengenal, silahkan berkenalan sendiri” lanjutnya.
Setelah berkenalan, aku mengambil tempat di sampingnya, dia bernama Bram, aku pernah dengar namanya, dia simpanan seorang istri pengusaha di Surabaya.
“Aku banyak dengar tentang kamu, akhirnya bisa juga kita ketemu” kata Bram
“Semoga hanya dengar yang baik saja” jawabku.
“Oke silahkan mulai, terserah dari mana, aku hanya penonton” Pak Hengki menyela pembicaraan kami, baru kali ini ada keraguan dan merasa canggung ketika ada laki laki memelukku, apalagi saat Bram mencium pipiku ditambah adanya orang yang menonton permainan kami.
Inilah pertama kali aku bercinta dengan seorang gigolo, mungkin bisa terjadi adu keahlian dan permainan. Dengan masih penuh keraguan, kami berciuman saling melumat bibir, tangan Bram sudah berada di dadaku, memulai remasan remasan ringan pada kedua buah dadaku, aku menggelinjang saat tangan Bram mulai menyusup disela sela resliting depan blusku dan menyelinap dibalik bra. Diraihnya putingku dan dipermainkan dengan penuh gairah, aku mendesah antara geli dan nikmat. Ciuman Bram sungguh romantis dan penuh gairah, dia seakan tahu betul bagaimana memuaskan wanita, dia tahu persis bagian bagian sensitif dan erotis.
Hanya beberapa menit sejak ciuman pertama, aku sudah dalam keadaan topless, dia memandang sejenakkedua buah dadaku yang menggantung indah.
“Very beautiful” pujinya, sebelum mendaratkan lidahnya pada putingku, disusul kuluman dan sedotan ringan oleh bibirnya, aku kembali mendesah nikmat.
Tangan Bram beralih dari kedua buah dadaku turun ke selangkangan, dengan mudah dia melepas celanaku tanpa mengangkat mulutnya dari putingku. Sedetik kemudian akupun sudah dalam keadaan telanjang dihadapan kedua laki laki yang masih berpakaian lengkap. Pak Hengki mendekati kami seolah hendak melihat lebih jelas kemolekan dan kemulusan tubuh telanjangku, matanya melotot menatap tanpa kedip. Kami tak pedulikan, terserah dari sudut mana saja dia menonton.
Bram sudah jongkok di depan kakiku yang terbuka lebar, menunjukkan liang sempit kenikmatanku yang sedikit dihiasi bulu bulu halus. Kembali bibir dan lidah Bram mendarat ditubuhku, disusurinya kedua paha dan berhenti di sekitar selangkangan, dia tidak langsung menyentuh daerah vagina tapi justru mengitarinya dengan jilatan jilatan menggairahkan. Aku mendesah penuh gairah, kuremas rambutnya dan kutekankan ke selangkanganku berharap dia segera melakukan jilatan pada vagina, tapi dia tak terpengaruh.
“Bram, please” pintaku sambil mengerang penuh kenikmatan, dia hanya menatapku sambil tersenyum.
Akhirnya aku menjerit lepas saat lidahnya menyentuh klitorisku, disusul dengan ciuman bibirnya pada vaginaku, desahanku semakin keras saat jari jari tangannya ikutan bermain pada liang kenikmatanku. Pak Hengki sudah jongkok disamping kami, Bram semakin liar bermain main di vaginaku, permainan oralnya sungguh menghanyutkan, tak dapat dipungkiri aku sangat menikmatinya.
Bram berdiri di depanku, aku segera membuka celananya dan menarik turun berikut celana dalamnya, tampaklah penisnya yang sudah keras menegang, tidak terlalu istimewa, sama seperti umumnya. Kuraih kejantanannya dan kukocok kocok dengan tanganku, dia mulai mendesis. Kujilat kepala penisnya lalu kumasukkan ke mulutku, perlahan lahan hingga lebih separoh berada di dalam. Bram memegang kepalaku, sebelum aku mulai gerakanku, dia mendahului dengan mengocokkan penisnya di mulutku. Pak Hengki makin melototkan matanya saat penis Bram keluar masuk mulutku, aku semakin bergairah dibuatnya. Sekilas kulihat tangannya meremas remas di selangkangannya sendiri. Aku semakin over acting, kujilati sekujur batang penis Bram hingga ke pangkal lalu kembali mengocok dengan mulut, desahan Bram makin terdengar penuh gairah. Sambil mengulum Bram, tanganku bermain di klitorisku membuat aku ikutan mendesah beriringan dengannya.
Aku dan Bram sudah tak tahan lagi, dia kembali berlutut diantara kakiku. Kami berciuman saling melumat bibir sambil mengusapkan penisnya ke vaginaku yang sudah basah. Namun sebelum Bram mendorong masuk penisnya, Pak Hengki menyela permainan kami.
“Pake ini” katanya sambil menyodorkan kondom yang sudah dia buka, kami saling berpandangan lalu tersenyum bersamaan.
Sedikit demonstratif, kupasangkan kondom ke penis Bram dengan mulutku, dibalas dengan pandangan kagum dari kedua laki laki itu. Bram menyapukan sejenak kepala penisnya, perlahan didorong memasuki celah celah kenikmatanku sambil kembali melumat bibirku, lidah kami saling beradu seiring melesaknya penis itu semakin dalam.
Kami berpandangan ketika kejantanannya sudah masuk semua, sama sama tersenyum memberi isyarat, tatapannya begitu romantis menghanyutkan. Dia mulai gerakan menarik dan mendorong dengan perlahan dan semakin cepat, gerakan dan tatapannya membuaiku dan semakin cepat. Tanpa malu akupun mendesah lepas tanpa dibuat buat, sungguh nikmat bercinta dengannya, dia tahu kapan saatnya melakukan apa, sungguh seorang penakluk wanita. Tangannya dengan halus meraba raba dan meremas lembut kedua buah dadku, sesekali dikulumnya putingku, semua dilakukan tanpa menurunkan irama kocokannya. Kakiku diangkat ke pundaknya, penisnya semakin dalam menghunjam liang vaginaku, dan desahanku semakin lepas tanpa kendali.
Bram memutar tubuhku untuk posisi dogie, tubuhku bertumpu pada sandaran sofa, agak kecewa aku karena tidak bisa menatap wajahnya yang cool itu. Namun kekecewaanku tak berlangsung lama saat Bram kembali mengisi vaginaku dengan kejantanannya yang serasa semakin tegang, diraihnya kedua buah dadaku yang berayun sembari memulai kocokannya. Sesekali dia mencium dan menjilati punggung hingga tengkukku, aku menggeliat geli bercampur nikmat, dan jeritanku tak tertahankan saat dia mengulum telingaku. Pak Hengki mendekati wajahku, dia mencium kening dan bibirku, baru kusadari kalau sejak awal tadi dia tidak pernah menyentuh gadis yang di booking ini. Ciumannya tak berlangsung lama, lebih tepat sekedar kecupan tanpa bertindak lebih jauh, dia kembali agak menjauh.
Kocokan Bram semakin menggila, remasannyapun makin kuat namun lebih nikmat. Tiba tiba dia menarik tubuhku ke atas, lenganku dipegangnya dari belakang, kini tubuhku tergantung pada pegangan kedua tangannya, penisnya serasa makin menusuk dalam.
Pak Hengki kembali bergeser di depanku, tepat berhadapan denganku, sepertinya dia begitu menikmati wajahku yang penuh expresi kenikmatan sambil sesekali meraba mukaku dengan gemas. Sementara Bram makin liar mengocokku, semakin membawaku melambung tinggi dan beberapa kocokan kemudian jeritan kenikmatan terlontar dari mulutku. Aku orgasme dalam pelukan Bram dari belakang dan didepan Pak Hengki yang tak pernah bosan menatapku. Tak kupedulikan rabaan Pak Hengki di wajahku yang tengah dilanda orgasme, aku begitu menikmati kenikmatan yang tengah kugapai.
“Gila kamu Bram, enak banget” bisikku setelah denyutanku habis.
“Mau lanjut?” tanyanya sambil mencium bibirku. Tanpa menunggu jawabanku, dia duduk di sofa dan menarikku dipangkuannya. Setelah napasku normal kembali, kuatur posisi tubuhku dan perlahan turun melesakkan penis Bram ke vaginaku. Aku mencium bibirnya saat kumulai gerakanku diatas pangkuannya.
“Kini giliranku pegang peranan” pikirku sambil menggoyangkan pinggul dan turun naik.
Desahan Bram mengiringi desah desah nikmatku, tangannya meremas remas buah dadaku yang tepat bergoyang menggoda di depannya diselingi kuluman dan gigitan ringan pada puting, aku menggeliat nikmat. Gerakan goyanganku semakin cepat dan liar diatasnya, aku seperti kesurupan dalam permainan penuh gairah, apalagi keberadaan Pak Hengki sebagai penonton ternyata membuat sensasi yang semakin bergairah. Tiba tiba Bram menghentikan gerakanku.
“Sebentar, ganti kondom dulu” katanya dengan berani sambil mendorong tubuhku turun.
“Pak bisa kami diambilkan kondom lagi” katanya pada Pak Hengki yang dari tadi menonton aksi kami, tanpa bertanya lebih lanjut dia mengambil kondom kedua dan menyerahkan kondom yang sudah dibuka kepadaku.
Terpaksa aku lepas penisnya dari vaginaku, ternyata kondom itu sudah terisi cukup banyak cairan putih keruh, sepertinya dia sudah keluar tapi entah kapan karena tak kurasakan orgasme darinya, atau mungkin dia memang menahan orgasmenya, pantas sering kurasakan denyutan denyutan kecil ketika kami bercinta. Segera kuganti kondom dengan mulutku, kukulum sejenak lalu kembali kulesakkan ke vaginaku, disusul goyangan tubuhku di atas pangkuannya. Tak lama kemudian kami saling mengocok, saling melumat dan saling memberi kenikmatan, Pak Hengki tak pernah bosan melihat dengan berbagai sudut pandang.
Berulang kali Bram memuji keliaranku di sela desahannya, tak jarang dia hanya diam saja menikmati gerakanku tanpa menyentuhku sama sekali, hanya tatapan dan desahannya yang menandakan dia menikmati gerakan tubuhku dipangkuannya.. dan akupun tak bisa bertahan lebih lama lagi, untuk kedua kalinya kuraih orgasme dari Bram, orgasme yang indah. Pak Hengki mendekapku dari belakang dikala aku menggelinjang menikmati sensasi orgasme, hanya pelukan tanpa ada usaha meremas buah dadaku, disusul lumatan pada bibirku yang terbuka saat merasakan nikmat orgasme. Bram hanya dia melihat kami.
“Uff.. istirahat dulu Bram” kataku sambil turun dari pangkuan Bram, ternyata dia mengikutiku berdiri, penisnya yang masih terbungkus kondom menggelayut kekar diselangkangannya.
Sedetik kemudian dia mendekapku dari belakang lalu tubuhku direbahkan diatas ranjang hangat, permintaanku untuk istirahat tak digubris, justru dia menjawab dengan membuka kakiku lebar lebar dan langsung membenamkan kepalanya diselangkanganku, aku teriak menjerit kaget tapi tak dipedulikan. Sangat rakus Bram menjilati sekujur vaginaku, disedotnya kuat seluruh cairan orgasme yang ada di vagina, aku menjerit nikmat, belum pernah diperlakukan seperti ini oleh laki laki. Biasanya akulah yang membersihkan sperma dari penis tapi kini terjadi sebaliknya, kuremas remas rambut Bram yang masih asyik menikmati cairan vaginaku.
Puas bermain di selangkangan, Bram langsung menindihku, penisnya kembali menghunjam dalam di vaginaku, kocokannya begitu nikmat membuatku kembali naik menuju puncak. Kami berpelukan rapat, kakiku menjepit pinggangnya, keringat dan desah napas menyatu dalam irama permainan penuh nafsu. Lidah dan bibirnya tak pernah beranjak dari tubuhku, dari leher, bibir, pipi atau telinga, aku semakin mendesah sambil menggelinjang penuh kenikmatan. Tak perlu waktu lama untuk membawaku kembali ke puncak birahi, dan untuk ketiga kalinya kuraih kenikmatan itu dari Bram tanpa membuat dia orgasme.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Bram tidak menghentikan kocokannya dikala aku sedang menggelinjang penuh kenikmatan, justru dia makin mempercepat kocokannya, karuan saja jeritanku semakin nyaring terdengar. Tanpa memberiku kesempatan lebih lanjut, dia membalik tubuhku. Aku hanya nungging dengan dada masih menempel di ranjang, tubuhku terlalu lemas untuk kuangkat.
Dari belakang dengan Bebasnya Bram mengocokku, aku tak kuasa lagi menjerit, hanya desah kenikmatan yang keluar dari hidungku, beberapa kocokan dan sodokan keras kurasakan tapi aku tak kuasa menggeliat, tiba tiba Bram menghentikan kocokannya, kurasakan denyutan kecil di vaginaku.
“Pak tolong kondom lagi dong” kudengar dia minta Pak Hengki untuk kondom ketiga, berarti kondom terakhir dalam satu kemasan. Kurasakan Pak Hengki naik ke ranjang, Bram mencabut penisnya lalu tak sampai semenit kembali dilesakkan ke vaginaku, rupanya dia mengganti kondomnya, dilemparkan kondom bekas itu ke depanku, terlihat cairan putih sedikit mengisinya.
Untuk kesekian kalinya kurasakan penisnya menghentak dan menyodok vaginaku dengan keras, entah apa yang dilakukan Pak Hengki dibelakang sana, tak bisa kulihat jelas dan akupun tak berminat melihatnya. Disaat kocokan Bram sedang menghebat, kurasakan cairan hangat membasahi punggungku lalu diusap usap ke sekujur punggung hingga pantat.
“Entah apa yang dilakukan Bram, mungkin meludahi belakangku” pikirku, aku tak peduli, kulawan gerakan Bram dengan mengoyangkan pantatku mengimbanginya.
Entah sudah berapa lama dia mengocokku dari belakang, hingga kudengar jeritan kenikmatan darinya, penisnya serasa membesar disusul denyutan keras pada vaginaku, dia meremas pantatku kuat kuat, aku membalas dengan tetap menggoyangkan pantatku, dia makin menjerit keras tapi aku tak peduli. Akhirnya Bram mencabut penisnya, dia segera bergeser ke depanku, dicabutnya kondom yang penuh sperma dan disodorkan kejantanannya ke mulutku, aku tak menanggapi namun dia mengusap usapkannya ke wajahku. Akhirnya kuturuti kemauannya, kuraih penis di depanku dan kumasukkan ke mulutku, aroma sperma sangat keras tercium, kupermainkan penis yang mulai mengecil itu di mulutku, tak kubiarkan dia menariknya keluar, lidahku menari nari di kepala penisnya, Bram menjerit histeris.
Kami telentang bersebelahan, napas kami masih menderu sisa sisa permainan birahi yang melelehkan, Pak Hengki kembali ke sofa melihat tubuh kami yang tergolek lemas diranjang.
“Kalian berdua memang pasangan yang cocok, 1 jam 7 menit permainan kalian” kata Pak Hengki, tak kusangka selama itu, padahal rasanya baru 10 atau 15 menit kami bercinta, mungkin kami terlalu menikmati hingga terasa waktu berjalan cepat.
“Ternyata apa yang aku dengar selama ini memang tidak bohong, dan beruntunglah aku ikut membuktikan, ntar kita lanjutin lagi” kata Bram masih dengan napas berat.
“Oke Bram, tugas kamu sudah selesai dan kamu bisa tinggalkan kami” kata Pak Hengki sambil meletakkan amplop di meja.
Sebenarnya aku agak kecewa mendengar Bram harus pergi, rasanya terlalu sayang melewatkan waktu dengan dia cuma sebentar, dalam hati aku tidak keberatan kalau harus melayani mereka berdua, toh ini bukan pertama kali meskipun aku baru mengalaminya sekali, tapi Pak Hengkilah yang berkuasa, aku diam saja.
Dengan muka penuh kecewa, Bram beranjak dari ranjang, dipungutinya pakaiannya dan dikenakan kembali. Kini dia tampak seperti anak muda umumnya, tak ada kesan kalau dia seorang gigolo yang pandai memuaskan wanita, termasuk aku. Dia mengambil amplop yang ada di meja dan menyalami Pak Hengki, setelah itu menghampiriku yang masih rebahan telanjang di ranjang, dikecupnya keningku.
“Bersihkan sperma Pak Hengki di punggungmu” bisiknya saat mencium pipiku, baru kusadari cairan hangat yang kukira ludah tadi adalah sperma Pak Hengki.
“Terima kasih Pak, Bapak tahu bagaimana kalau menghubungiku lain waktu, selamat bersenang senang” katanya sambil pamit melirikku.
“Jangan pergi, kita main bertiga saja, aku sanggup kok melayani kalian berdua sekaligus” teriak batinku, tapi kata kata itu tak keluar dari mulutku.
Pak Hengki menyeringai melihatku masih telanjang, wajah gantengnya sebenarnya cukup mempesona tapi aku masih terbuai dengan permainan Bram. Dia mengeluarkan tisu basah dari bajunya dan menyerahkan kepadaku.
“Usap wajahmu dari spermanya” perintahnya, aku menurutinya.
Pak Hengki duduk ditepi ranjang menghadapku.
“Kamu memang benar benar menggairahkan, hampir tak tahan aku melihat permainanmu tadi, makanya aku berubah pikiran, terlalu sayang melewatkan saat saat seperti ini begitu saja” katanya sambil menyibakkan rambut yang menutupi sebagian dadaku. Aku diam saja ingin tahu rencananya lebih jauh, sebenarnya ini sudah diluar kesepakatan, harus melayani 2 orang.
“Jangan khawatir, aku mengerti kok soal uangnya, tak perlu dipikirin, atau kamu mau telepon GM-mu” lanjut Pak Hengki seakan membaca pikiranku.
Malu aku dibuatnya, kujawab dengan senyuman.
“Nggak usah, aku percaya sama Bapak kok, aku mandi dulu ya” kataku seraya hendak beranjak dari ranjang, tapi dia menahan tubuhku.
“Nggak usah mandi, biar lebih hot dengan keringat di tubuhmu” katanya pendek disusul gerakan menindihku, aku terkejut tapi terlambat, dia sudah berada di atasku menciumi leher dan melumat bibirku.
Aku segera membalas lumatan penuh gairah itu.
“Kamu cantik.. dan bertambah cantik saat mendesah.. dan makin cantik kala orgasme” katanya disela ciuman kami, aku membalas dengan desisan ringan, apalagi ketika bibirnya sudah berada di putingku.
Tak berlama lama kami melakukan pemanasan karena sama sama terbakar pada babak sebelumnya. Tanpa melepas ciuman dan tindihannya, dia mengeluarkan penisnya, kurasakan sapuan kepala penis di bibir vaginaku, aku tak tahu seberapa besar penis yang akan melesak di liang vaginaku kali ini. Tanpa kondom, perlahan kepala penis itu menembus celah vaginaku, sepertinya cukup besar dan terus menembus masuk makin dalam, seperti perjalanan yang panjang sebelum menyentuh dasar vaginaku. Aku mendesis nikmat meski baru 15 menit yang lalu kurasakan kenikmatan yang sama dari Bram. Harus kuakui kalau kurasakan penis yang lebih panjang telah melesak memenuhi vaginaku.
Beberapa detik kemudian mulai kurasakan ayunan kenikmatan dari Pak Hengki dan semakin cepat. Sambil menikmati kayuhannya kulepas pakaiannya, terkesiap sesaat disela desah kenikmatanku melihat dada bidang Pak Hengki yang dihiasi bulu bulu, begitu sexy tanpa timbunan lemak. Aku semakin terangsang hebat, kekecewaan ditinggal Bram segera terlupakan dan berganti kenikmatan kocokan Pak Hengki, tamuku yang sebenarnya.
Kutarik tubuhnya dalam dekapanku, aku ingin merasakan dekapan kehangatan penuh birahi dari tamuku yang sexy kali ini, berkali kali kubalas lumatannya dengan lumatan tak kalah gairah. Entah mimpi apa aku tadi malam mendapatkan berkah yang tak terhingga seperti ini, 2 laki laki jantan berurutan menikmati tubuhku dan memberi kenikmatan yang tak terhingga, berulang kali aku berterima kasih pada si cicik yang memberiku kedua laki laki ini.
Kami saling mendekap erat, terlupakan sudah rasa capek dengan Bram tadi, napas kami bersatu menderu diiringi desah kenikmatan dari kami berdua.
“Sshh.. trus Pak.. uff.. ennaak Pak” desahku ditelinganya tanpa dibuat buat.
Cukup lama dia mengocok dari atas sebelum membalik tubuhku. Aku tak mau posisi diatas karena hampir bisa dipastikan tamuku tak akan bisa bertahan lama berada dibawahku.
“Dari belakang Pak” kataku sambil turun dari tubuhnya dan nungging disamping.
Pak Hengki melepas pakaian yang masih tersisa, kami sama sama telanjang, diraihnya pantatku dan sedetik kemudian melesaklah penisnya kembali ke vaginaku disusul kocokan cepat. Aku menggeliat nikmat merasakah hunjaman penis itu, meski belum sempat melihat tapi yakin bahwa lebih besar dari punya Bram.
Sodokan demi sodokan menghunjam tajam di vaginaku, desahan demi desahan mengiringi permainan kami, remasan demi remasan menambah gairah semakin tinggi. Aku benar benar melambung dalam nikmat, dan tak bisa kutahan lebih lama lagi akupun mencapai puncak kenikmatan mendahului Pak Hengki. Tubuhku langsung lunglai begitu denyutan di vaginaku menghilang, lututku serasa gemetar, mungkin terlalu banyak orgasme berturut turut dalam waktu yang singkat. Pak Hengki menghentikan kocokannya sesaat, tapi melanjutkan kembali dengan lebih keras. Kembali aku dipaksa untuk mendaki birahi yang tinggi, beberapa sodokan menusuk tajam, aku terhenyak dalam kelelahan.
Kami berganti posisi beberapa menit kemudian, aku langsung bergoyang di atas tubuhnya, pandangan mata dan tubuh atletisnya ternyata membuaiku semakin tinggi, gerakanku semakin liar tak beraturan, kututup mataku rapat tak mampu melawan tatapan mata dan ke-sexy-annya. Aku terlalu lelah untuk menggoyangkan tubuhku, kutelungkupkan di atas dada bidangnya, bulu bulu dada serasa menggelitik putingku, semakin terangsang aku dibuatnya. Dengan mendekap tubuhku rapat, dia mengocokku dari bawah, dan tak lama kemudian kurasakan denyutan yang sangat kuat dari penisnya seiring jeritan kenikmatan yang keluar dari mulut Pak Hengki, pelukannya semakin kuat. Akupun tak kuasa ketika denyutannya membawaku ikutan berdenyut menyusulnya ke puncak, kami orgasme hampir bersamaan, cairan hangat terasa memenuhi liang vaginaku.
Tubuh kami terkulai berpelukan lemas tak berdaya, detak jantung kami saling beriringan berpacu menuruni puncak kenikmatan, kusandarkan kepalaku di pundaknya dengan napas masih berat tersengal, sungguh orgasme yang indah yang kuraih dari 2 laki laki berbeda berurutan.
“Kamu nginap disini aja ya” kata Pak Hengki ketika sudah bisa bernapas normal, aku tak keberatan tentu saja, setelah apa yang kudapat darinya.
“Terserah Bapak saja” jawabku pelan menyembunyikan gejolak kegembiraan, aku harus tetap bersikap profesional meski mengharap tawaran seperti itu yang datangnya belum tentu sebulan sekali.
Kamipun mandi malam bersama, baru kusadari ternyata kejantanannya lumayan besar melebihi milik Bram yang sempat membuatku menggelepar kenikmatan. Secara fisik sebenarnya Pak Hengki lebih sexy tapi dari segi variasi permainan, Bram jauh lebih unggul.
Malam itu kami habiskan dengan penuh gairah, 2 babak lagi kami bercinta, sekali di sofa dan meja lalu disusul adegan di ranjang, sebelum akhirnya tertidur setelah lewat tengah malam. Keesokan paginya ketika aku bangun, tak kutemui Pak Hengki disampingku, terdengar gemericik air dari kamar mandi. Segera aku bangun dan menyusul ke kamar mandi.
“Pagi Bapak, wah udah duluan nih, kok nggak mbangunin aku sih” sapaku melihat Pak Hengki yang sedang menyiram tubuhnya di shower.
“Eh pagi sayang, udah bangun rupanya, habis tidurmu nyenyak banget sih, nggak tega aku mbangunin” jawabnya sambil melanjutkan mandi.
“Aku mandiin sini” aku menawarkan diri.
“Monggo, tapi buruan ya, aku sedang buru buru nih”
“Sip lah” jawabku langsung masuk ke bathtub, kusabuni tubuhnya dengan gerakan gerakan menggoda terutama disekitar selangkangannya.
Sebenarnya aku masih menginginkan bercinta darinya sebelum kami berpisah, paling tidak sekali lagi. Tapi rupanya dia tidak menanggapi meskipun kejantanannya sudah menegang dalam genggamanku.
“Udahan ah, kamu lanjutin aja mandi” katanya lalu ngeloyor pergi mengambil handuk dan meninggalkanku di kamar mandi, aku agak kecewa juga dengan penolakannya.
Sengaja aku agak berlama lama di kamar mandi untuk meredakan birahi di pagi hari. Ketika aku keluar dari kamar mandi, ternyata Pak Hengki sudah berpakaian rapi bersiap ke kantor, meskipun sebenarnya terlambat karena sudah jam 9 pagi.
“Ly, aku duluan ya, ntar kamu check out-in aja, bisa kan?” katanya bersiap hendak pergi
“Beress” jawabku sambil melepas handuk penutup tubuhku dan mengeringkan rambutku.
“Oh ya, yang itu nanti sama si cicik aja ya dan ini untuk bayar hotel dan bensin” katanya tentang pembayaran seraya meletakkan amplop putih di meja.
“Thanks” jawabku masih mengeringkan rambut.
Sebelum Pak Hengki meninggalkan kamar, dia mencium bibirku, ciuman perpisahan, cukup lama dia memeluk tubuh telanjangku, maka tak kusia siakan kesempatan, kuremas remas penisnya hingga berdiri.
“Sekali lagi yuk, sebentar aja” ajakku, dia menatapku tajam seakan ingin menengok isi hatiku.
“Kamu benar benar penggoda” jawabnya sambil meremas buah dadaku.
Tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung merosot turun, berlutut didepannya, kubuka resliting celananya dan kukeluarkan penis yang sudah menegang keras. Sedetik kemudian kejantanan Pak Hengki sudah keluar masuk mulutku, mendahului sarapan pagi. Hanya beberapa menit aku mengulumnya, Pak Hengki menarikku berdiri, memutar tubuh telanjangku hingga menghadap tembok. Kubuka kakiku lebar ketika dia mengusapkan penisnya dari belakang.. dan melesaklah penis pertama di hari ini mengisi vaginaku.
Tanpa menunggu lebih lama, dia langsung mengocokku cepat dan keras, aku menggeliat dan mendesah menikmati sodokan demi sodokan yang nikmat. Sepertinya tak pernah puas aku menikmati kocokannya meskipun sudah 3 babak kami lakukan semalam.
Tak lebih dari 10 menit akhirnya kami menggapai orgasme hampir bersamaan, cairan hangat membanjiri liang vaginaku. Aku segera berbalik meraih penisnya, kujilati dan kukulum hingga tiada lagi sisa sperma di kejantanannya lalu kumasukkan kembali ke celananya. Tanpa berkata kata lagi Pak Hengki langsung meninggalkan kamar setelah merapikan kembali pakaiannya.
Hingga kami berpisah, aku tak tahu kenapa dia memerlukan bantuan seorang gigolo sebelum bercinta, padahal secara keseluruhan tak ada masalah dengan dirinya apalagi dia masih muda dan tampan lagi, tapi pertanyaan itu tetap kupendam, biarlah dia hidup dalam fantasi fantasinya, bukan urusanku untuk mencampuri khayalan seseorang, tapi merupakan pekerjaanku bila harus memenuhi fantasi fantasi itu.
Belakangan setelah beberapa kali ketemu dan selalu menggunakan “jasa” laki laki lain, baik itu gigolo pilihannya atau dia dapat dari GM, akhirnya kutahu ternyata dia sangat terobsesi melihat permainan sex orang lain dan ritual itu selalu dilakukan sebelum berhubungan dengan wanita, beruntung dia belum kawin, tentu berabe kalau sudah. Aku sangat menyukai fantasinya, meski terkadang laki laki lain tidak sekelas Bram, tapi bagiku cukup memberikan sensasi aneh sebelum bercinta dengan Pak Hengki.
=================================================
Sore itu Kuketuk pintu kamar 812 Hotel Shangri La, Edward membuka pintu dengan senyum ramah dan mempersilakanku masuk.
“Udah lama nunggu?” tanyaku basa basi.
“Ah enggak, barusan aja mandi”.
Edward adalah seorang chinese tamu langgananku, entah sudah berapa kali aku melayaninya, hampir tak terhitung, kutemani dia setiap kali datang ke Surabaya. Sebenarnya tak ada yang istimewa darinya kecuali pembawaannya yang santai dan cenderung lucu, aku menyukai pembawaannya itu, di usianya pertengahan 30-an, dia seorang bisnisman sukses, kalau nggak salah dia mensuply suku cadang ke Pertamina. Seringkali aku diminta melayani client-nya yang dari pertamina, tentu saja setelah puas dia menikmati hangatnya tubuhku.
“Kamu itu bawa rejeki, setiap kali kukasih kamu pasti proyeknya gol” ujarnya suatu hari ketika kucoba menawarkan gadis lain saat aku “Fully booked”.
Hampir jadi kebiasaan setelah menikmatiku semalaman, besoknya aku diberikan ke rekanannya untuk servis, bahkan ketika harus men-servis dua atau tiga tamu, aku dan gadis lain ditidurinya dulu bersamaan, tentu saja tanpa setahu mereka. Bagiku sendiri nggak masalah dengan siapa aku harus tidur, yang penting negosiasinya jelas dan menguntungkan.
“Ly, malam ini kamu nginap ya dan besoknya dengan Pak Sastro, nggak apa kan?” katanya sambil menghembus asap rokoknya.
Ini bukan pertama kali hal seperti itu, tentu saja aku nggak keberatan, toh nggak ada bedanya antara dia ataupun Pak Sastro yang belum kukenal. Tak lama kemudian kami sudah berpelukan telanjang di atas ranjang, saling berciuman dan meraba. Tangannya menjamah seluruh tubuh dan dadaku, kubalas pada selangkangannya.
Tubuhku ditelentangkan, dengan bebasnya dia menggumuli sekujur tubuhku, dari telinga, leher, dada, dikulumnya penuh gairah kedua putingku, lalu turun ke selangkangan. Tapi dia tidak langsung menjilati vaginaku, justru memutari menjilati paha hingga lutut. Aku menggeliat antara geli dan nikmat, desahan sudah keluar dari mulutku.
Kubuka kakiku makin lebar saat kepalanya berada di depan liang kenikmatanku, desahan berubah menjadi jeritan nikmat ketika lidahnya menyentuh perlahan klitoris dan bibir vagina. Kuremas kepalanya yang berada diantara kedua kakiku, tubuhku menggelinjang merasakan nikmatnya jilatan demi jilatan menyapu vagina, apalagi diselingi kocokan jari tangannya.
Napasku sudah ter-engah engah menerima permainan oralnya, aku terpejam sambil meremas remas kedua buah dadaku. Melihat aku sudah terbakar birahi, Edward mulai menyapukan kejantanannya ke bibir vagina, dengan dorongan pelan penis itu menerobos masuk celah sempit yang sudah lembab. Terasa begitu nikmat setelah sehari tadi melayani 2 tamu yang sudah tua, yang hanya mengandalkan nafsu tanpa tenaga.
Tarikan pertama yang perlahan kurasakan begitu indah untuk dirasakan, begitu juga sodokan sodokan berikutnya, aku benar benar melayang dengan penis yang tidak terlalu besar itu, mungkin karena perlakuan 2 tamu sebelumnya yang tidak bisa memuaskanku.
Kulihat wajah Edward yang penuh nafsu, wajah putihnya memerah terbakar birahi. Beberapa menit sudah dia mengocokku dari atas, kenikmatan demi kenikmatan kami reguk bersama. Tubuh kami rapat menyatu dalam ayunan irama birahi, desah dan dengus napas penuh gelora memenuhi kamar ini. Kujepit pingganggnya dengan kedua kakiku hingga penisnya semakin dalam mengisi rongga kewanitaanku, semakin nikmat rasanya.
Namun tak lebih 3 menit kami memacu birahi ketika kurasakan tubuhnya menegang disusul teriakan bersamaan dengan semprotan kuat pada vaginaku. Akupun ikutan teriak merasakan denyutan hebat darinya, 6.. 7.. 8 denyutan kurasakan, cairan hangat memenuhi liang vagina hingga serasa penuh dan meluber. Tubuhnya telungkup menindihku, napas dan denyut jantungnya begitu kencang terdengar, kupeluk dan kuelus punggunggnya untuk meredakan ketegangannya.
Aku yang sudah sering bercinta dengannya tak terlalu kecewa karena sudah tahu perilakunya, dia memang cepat selesai tapi cepat juga recover, dalam sort time kami kadang bisa bercinta hingga 3-4 kali, tapi kalau menginap tak bisa terhitung lagi, bahkan sering tidak sempat tidur untuk melampiaskan nafsu. Edward turun dari tubuhku, kami diam telentang berdampingan. Kupeluk kembali dia dan kusandarkan kepalaku di dadanya, dibalasnya dengan elusan lembut pada rambutku.
“Ly, kamu marah nggak kalau kita tambah satu orang lagi, bertiga gitu” katanya memecah kesunyian, entah kenapa suaranya sedikit bergetar.
“Kenapa harus marah? kan kita pernah ngelakuin, waktu itu di Sheraton kalo nggak salah” jawabku agak heran, nggak biasanya dia minta ijin seperti itu. Aku memang tak pernah menolak untuk main bertiga karena kerjanya lebih ringan tapi bayarannya sama atau bahkan lebih besar karena sensasinya bisa berlipat lipat.
“Bukan yang itu maksudku, tapi orang ketiganya itu laki” jawabnya pelan hampir tak terdengar.
Aku agak kaget, kutatap matanya tapi dia menghindari tatapanku. Aku diam saja, meski pernah melayani 2 laki laki sekaligus, tentu saja aku tak mau terlalu vulgar menerima ajakannya, tetap harus menjaga image supaya tidak terlalu terkesan murahan. Teringat kembali bagaimana aku melayani 2 tamuku bersamaan di Tretes (baca: Berbagi Ceria Dimana Saja) atau saat bergantian melayani tamuku dan seorang gigolo (baca: Live Show), entah model mana yang dia mau.
“Kamu marah ya, ya udah nggak usah dipikirin, anggap aja omongan orang bingung” kata Edward melihat aku terdiam. Aku beranjak dari tidurku dan duduk di atas tubuhnya, kutatap matanya dalam dalam.
“Emang kamu ingin melakukannya?” tanyaku. Dia diam, hanya anggukan kepala yang menjawab. Kami sama sama diam.
“Kalau kamu maunya gitu, ya terserah saja, toh tamu adalah raja” jawabku sambil memeluknya.
“Benar? nggak marah?” tanyanya seolah nggak percaya.
“Tapi aku belum pernah ngelakuin” jawabku bohong, pura pura lugu.
“Aku juga belum pernah, justru kita perlu coba, kata teman teman sih lebih asik” suaranya masih bergetar.
“Ntar jangan salahkan aku kalo nggak bisa muasin kamu” kataku lagi.
“Ah nggak, namanya juga nyoba”. Aku terdiam, begitu juga dia.
“Lalu bagaimana dengan..”
“Masalah uangnya kamu nggak usah khawatir, aku ngerti kok” dia memotong pertanyaanku seakan tahu apa yang ingin aku tanyakan.
“Trus satunya lagi siapa?” tanyaku. Sesaat dia terdiam.
“Ada temanku yang sering ngelakuin bertiga seperti itu, dari dia aku pingin nyoba, tapi kalo kamu keberatan bisa juga orang lain kalo kamu punya kenalan” katanya.
Aku teringat si Hengki, tamuku yang senang juga main bertiga dan aku sangat menikmati bercinta dengannya baik sendirian maupun bertiga (baca: Live Show), tapi kalo kupanggil dia, pasti kedokku terbongkar bahwa aku pernah main bertiga.
“Terserah kamu sajalah” jawabku pelan, toh dengan siapa saja bukanlah masalah bagiku.
Edward turun dari ranjang, diambilnya HP yang tergeletak di meja, dia menghubungi temannya menawari permainan itu. Aku menyusulnya ke sofa tapi duduk diantara kakinya, kubiarkan dia bicara dengan temannya, tak kuperhatikan bagaimana cara mengajaknya karena aku sudah asik memasukkan penisnya ke mulutku, sesekali terdengar desahan di sela pembicaraannya.
“Oke dia menuju kesini, paling 15 menit udah sampai” katanya ketika aku berdiri didepannya, tak kuperhatikan pembicaraannya, aku langsung duduk dipangkuannya. Namun dia menolak saat kucoba memasukkan penisnya yang sudah menegang.
“Kita tunggu Raymon aja dulu” katanya sambil mendorong tubuhku turun dari pangkuannya. Aku yang sedari tadi sedang tergantung dalam birahi tinggi, dengan muka masam meninggalkannya di sofa.
“Sambil nunggu kan bisa pemanasan dulu” kataku seraya memhempaskan tubuhku ke ranjang, dengan sedikit demonstratif kubuka kakiku lebar sambil mempermainkan klitorisku, akupun mendesis tak dibuat buat. Pancinganku berhasil, Edward berdiri menyusulku ke ranjang.
“Kamu memang wanita penggoda” katanya disusul kuluman pada putingku, tanpa menunggu lebih lama, kutarik tubuhnya keatas tubuhku dan kamipun berpelukan bergulingan di atas ranjang.
Tubuh telanjang kami bergantian di atas dan dibawah, saling menindih. Kali ini Edward diam saja saat kusapukan penisnya ke bibir vaginaku, kami saling bertatapan penuh nafsu, dengan sekali dorong amblaslah penisnya mengisi liang kewanitaanku. Untuk kesekian kalinya aku menjerit nikmat merasakan kocokan demi kocokan darinya. Kuraih kepalanya, kudekatkan ke wajahku dan kulumat bibirnya, kami saling memagut dengan gairahnya. Terlupakan sudah Raymon yang sebentar lagi datang bergabung dengan kami.
Meskipun kami bercinta dengan penuh nafsu, namun tanpa kata seolah sama sama menjaga supaya tidak orgasme, ini terlihat beberapa kali dia menahan gerakan atau bahkan mengeluarkan penisnya sejenak lalu memasukkan kembali tak lama kemudian. Akupun melakukan hal yang sama. Edward mulai mengocokku dari belakang, posisi dogie, bak berkuda liar, kami naik turun bukit birahi tanpa ada niatan menggapai puncaknya.
..DING ..DONG, bunyi bel pintu membuyarkan konsentrasi kami, tanpa aba aba Edward langsung mencabut keluar penisnya dan turun dari ranjang. Dia memintaku mengikutinya menuju pintu. Edward membuka pintu menyambut temannya, aku memeluknya dari belakang sambil menyembunyikan tubuh telanjangku dipunggungnya.
“Wah rupanya kalian sudah pemanasan” sapanya ketika melihat tubuh telanjang kami yang berdiri menyambutnya.
“Habis kamu kelamaan sih, eh kenalin ini Lily” kata Edward setelah menutup pintu. Masih bersembunyi di balik punggung Edward, kusalami Raymon.
“Oh ini toh yang namanya Lily, sudah lama aku dengar nama kamu tapi belum ada kesempatan mencobanya, habis katanya kamu susah sih” kata Raymon sambil menyalamiku.
“Ah nggak juga, mungkin belum jodoh kali” balasku.
“Begitu ketemu langsung berpesta nih” lanjut Raymon seraya menarik tubuhku dari punggung Edward.
“Wow.. perfect body” komentarnya ketika tubuh telanjangku sudah terpampang jelas dihadapannya, sorot matanya sekan hendak menelanku bulat bulat tapi dia tidak bertindak lebih jauh.
“Ed, rupanya kesampaian juga fantasimu ngeroyok seorang cewek” lanjut Raymon seraya duduk di sofa.
“Gara gara kamu juga sih, makanya kupanggil kamu kemari” jawab Edward.
Edward dan Raymon duduk di sofa sedangkan aku dengan tubuh masih telanjang duduk di pinggiran ranjang melihat kedua laki laki itu saling meledek terutama mengenai pengalaman sex mereka, terlihat bahwa Raymon mempunyai jam terbang yang jauh melebihi Edward, entah permainannya, masih perlu dibuktikan apakah sehebat omongannya.
Edward memintaku duduk diantara mereka, Raymond masih mengenakan pakaian lengkap, sepertinya dia tidak terlalu terburu buru, atau dia hendak melihat aku dan Edward bercinta duluan, entahlah. Bagiku Edward dan Raymon tidaklah jauh beda, baik fisik maupun penampilannya, sama sama chinese dan seusia, tapi Raymon tampak lebih langsing. Aku tidak duduk diantara mereka, tapi langsung duduk dipangkuan Edward, kami saling berhadapan, tak kupedulikan si Raymon yang duduk disamping. Kucium dan kulumat bibir Edward yang rupanya tidak menyangka akan kenekatanku itu.
“Wow, ternyata benar yang kudengar selama ini, yang namanya Lily sangat agresif dan explosif dalam bercinta, aku ingin membuktikan permainan oralnya yang sudah lama kudengar itu” komentar Raymon melihat ke-cuek-anku.
Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya. Bibir dan lidah Edward sudah menempel asik mempermainkan kedua putingku. Tanpa melepas baju, Raymon berdiri dibelakangku, mengelus elus punggungku dengan elusan menggoda sambil menciumi tengkuk, aku menggeliat geli diciumi dari depan dan belakang.
“Sshh.. ih nakal deh” desahku sambil mencari pegangan diselangkangan Raymon tapi dia menepis halus tanganku, tentu ini membuatku penasaran.
Tak tahan dipermainkan kedua laki laki tanpa bisa berbuat banyak, akupun turun dari pangkuan Edward dan jongkok di depannya. Kusambar dan kumasukkan penis Edward ke mulutku, dia mendesis menikmati kulumanku, sengaja kubuat se-attraktif mungkin supaya Raymon segera tergoda. Tak kupedulikan celotehan pujian dari Raymon, tanganku meremas remas selangkangannya, kali ini dia diam saja, bahkan ketika kubuka resliting celananya diapun masih diam, namun perlahan mendesis. Saat tanganku memasuki ke celananya dan mengeluarkan kejantanannya, aku sedikit terkaget, meski panjangnya tidak melebihi punya Edward, mungkin lebih kecil, tapi diameternya sungguh besar, hampir tak muat jari tanganku melingkarinya.
Raymon mendekatkan kejantanannya ke mukaku, dua penis ada digenggamanku. Aku beralih ke Raymon, kusapukan penisnya ke wajahku lalu kujilati sekujur batang hingga ujung bahkan kantong bolanya, dia mulai mendesis, dan bertambah keras desisannya saat penisnya memasuki mulutku dan langsung keluar masuk dengan cepatnya. Dipegangnya kepalaku dan dikocoknya mulutku seperti memompa ban sepeda. Meski agak susah karena penisnya cukup besar, kucoba mempermainkan lidah saat penis itu berada di dalam sekalian menyedotnya, desahan bercampur celoteh semakin keras.
Edward yang sejenak terlupakan ikutan berdiri di depanku, 2 penis yang menegang telah terpampang jelas begitu dekat di wajah, kuhentikan kulumanku pada Raymon, kukocok kedua penis yang ada di kedua tanganku.
Aku sama sekali tak menyangka kalau mendapatkan 2 penis sekaligus seperti ini begitu exciting, meski bukan pertama kali melakukan, tapi ini adalah direncanakan untuk main bertiga hingga sensasinya begitu berbeda. Aku merasa bak ratu yang sedang dilayani kedua pelayannya, pantesan banyak tamu yang menyukai dilayani 2 wanita sekaligus, mungkin perasaan itu sama dengan perasaanku saat ini, be like a queen.
Bergantian aku mengulum penis Edward dan Raymon, sesekali kedua penis itu bersentuhan di bibirku, bahkan sengaja kuadu kepalanya. Perbedaan ukuran diameter kedua penis itu menambah sensasi tersendiri bagiku, baik saat kuremas maupun saat memasuki mulutku, pasti akan bertambah ketika bergantian memasuki vaginaku, pikirku.
Beberapa menit aku melakukan oral pada mereka, kini giliranku untuk menjadi the real queen. Tanpa melepas kedua penis dari genggamanku, aku berdiri diantara mereka, Raymon segera meraih kepalaku dan mencium bibirku, kami saling melumat dan bermain lidah. Kulepas pakaian Raymon hingga telanjang, baru kulihat dengan jelas postur tubuhnya yang cukup atletis meski masih tampak sedikit timbunan lemak di perut, namun tak sebanyak Edward. Dan penisnya yang putih kemerahan tampak tegar kokoh begitu menggoda.
Kutuntun mereka menuju ranjang dengan menarik penisnya, aku rebah pasrah di atas ranjang menunggu mereka bersamaan menggumuliku, suatu sensasi yang luar biasa dicumbu 2 laki laki bersamaan. Raymon kambali menciumi bibirku, menyusuri pipi dan leher dan berhenti di kedua buah dadaku, sementara Edward mendapat bagian pada paha dan vaginaku. Namun saat Raymon mengulum putingku, Edward bergeser naik dan mengulum puting satunya, aku menjerit kaget dan nikmat mendapat kuluman pada kedua putingku bersamaan.
Meski ini bukan pertama kali, tapi entahlah, kenikmatan selalu berbeda pada setiap event, kuremas remas kedua kepala yang ada di dadaku sambil mendesah lepas. Dan desahanku semakin tak terkendali ketika kedua tangan mereka bersamaan ikut bermain di daerah vagina, antara bermain di klitoris dan mengocok dengan jari tangan, aku benar benar serasa melayang, hanya geliat dan desah napas panjang yang bisa kulakukan.
Bibir Edward mulai menjalar turun menyusuri perut, tapi segera kutarik keatas dan kucium bibirnya, Raymon ikutan melepaskan putingku dan menciumiku, bergantian kulumat kedua bibir itu. Kembali mereka berbagi tugas, Raymon mengulum kedua putingku bergantian, tak dipedulikannya sisa ludah temannya yang masih basah di putingku. Edward dengan lincahnya menyapukan lidah dan bibirnya di vaginaku.
Untuk kesekian kalinya aku menggeliat dan menjerit nikmat diperlakukan begitu bernafsu oleh kedua tamuku ini, sulit untuk dibayangkan kenikmatannya ketika dua lidah secara bersamaan menari nari di puting dan vagina. Aku berharap pertahananku mampu bertahan dari gempuran birahi yang begitu hebat, kalau sampai kebobolan juga berarti perjalanan panjang akan semakin terasa panjang dan terjal.
“Ed, aku mau berduaan dulu sama Lily sebelum kita keroyok dia, tadi kamu kan udah, oke?” pinta Raymond.
“No problem, you are my guest” jawab Edward disela sela jilatannya.
Bersamaan dengan itu, Raymon sudah menggeser posisinya disamping temannya, bersiap memulai babak pendahuluan, aku hanya pasrah mengikuti permainan mereka sambil membayangkan penis Raymon yang gede itu segera memenuhi vaginaku, tentu akan lebih nikmat dibanding punya Edward.
“Wait..wait..wait, sebelum kamu acak acak dia, aku mau 69 dulu” kata Edward seraya mengatur posisinya di atasku.
“Lily yang di atas dong” atur Raymon, Edward hanya menuruti perintah temannya tanpa banyak komentar.
Untuk kesekian kalinya penis Edward mengisi mulutku, ternyata Raymon tak mau jadi penonton, dia menyodorkan penisnya saat aku masih mengulum temannya, akupun menurutinya, bergantian penis penis itu keluar masuk mengocok mulutku bersamaan sapuan lidah Edward yang tak kalah nikmatnya menyusur vaginaku. Entah sampai berapa lama kami ber-69 kalau saja Raymon tidak menghentikan kami.
Aku telentang bersiap untuk Raymon, dia membuka kondom tapi segera kurebut. “Sini aku pasangkan” kataku, dengan mulut aku memasukkan kondom itu ke penisnya, dia memuji ketrampilanku ini. Raymon menindih tubuhku, kami berciuman sambil menyapukan penis gede itu ke bibir vaginaku, kupejamkan mataku saat penisnya mulai menyeruak masuk, terasa penuh sesak. Meski bukan yang terbesar yang pernah kurasakan, tapi dalam sehari ini rasanya penis itu begitu besar seolah nggak muat vaginaku menerimanya, apalagi dibandingkan penis Edward yang beberapa saat lalu kurasakan.
Kubuka kakiku selebar mungkin saat dia memulai gerakan mengocoknya, hanya beberapa kali kocokan pelan setelah itu berubah menjadi cepat dan keras sambil ditekankan ke pinggulku. Aku mendesah semakin keras, sesekali kulirik Edward yang nonton kami sambil memegangi kejantanannya, terlihat kecil dibanding penis yang sedang berada di vaginaku.
Kocokan Raymon semakin liar, aku tak sempat lagi memperhatikan Edward, sorot mata Raymon begitu menyala penuh nafsu, tubuhnya menindihku, semakin rapat aku dalam dekapannya, seolah tubuh telanjang kami menyatu dalam ikatan emosi yang sama, saling memberi kenikmatan. Meski terasa begitu nikmat, aku tak mau orgasme duluan, perjalanan masih sangatlah panjang, apalagi masih ada penis lain yang menunggu, tentu cukup memalukan apabila minta istirahat hanya pada putaran pertama.
Kakiku sudah bergantian turun naik di pundak Raymon, tapi belum juga dia menurunkan temponya.
Mau tak mau, kocokan nikmat dari Raymon membawaku perlahan mendaki puncak kenikmatan, meski aku berusaha menahannya lebih lama. Sebelum terlanjur terlalu jauh, aku mengambil inisiatif, kudorong tubuh Raymon menjauh hingga dia rebah telentang, kunaiki tubuhnya, dengan posisi di atas aku bisa pegang kendali permainan. Tak lama kemudian tubuhku sudah turun naik bergoyang di atas Raymon, penis besar itu serasa mengaduk aduk isi vaginaku, namun justru semakin nikmat.
Sambil tetap bergoyang dan mendesah, kupanggil Edward mendekat, sudah saatnya dia gabung, sudah cukup Raymon sendirian menikmatiku. Edward berdiri mendekati kami, kuminta dia naik ke ranjang, sepertinya dia tak tahu harus berbuat apa atau harus mulai dari mana.
“Tuh atasnya masih kosong” teriak Raymon pada temannya yang tampak kebingungan.
Edward berdiri di atas ranjang, kuraih penisnya dan kumasukkan ke mulutku, dua penis mengisi lubang tubuhku bersamaan, atas dan bawah. Kembali kurasakan sensasi yang berlebihan menghadapi keadaan ini, suatu sensasi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, meskipun sering kulihat di film porno, tapi kini aku mengalami sendiri, bercinta dengan 2 orang secara bersamaan, orang bilang threesome atau 2 in 1 atau MMF atau gangbang.
Mulanya agak kerepotan juga aku mengatur gerakanku meng-handle 2 penis sekaligus, apalagi kedua penis itu bergerak cukup liar di lubangnya masing masing. Kenikmatan yang kurasakan sungguh jauh dari apa yang kubayangkan, aku kewalahan dibuatnya. Seringkali hanya terdiam menerima kocokan nikmat dari mereka di atas dan dibawah.
Perlahan aku bisa menguasai gejolak emosiku dan gerakanku mulai bisa aku kendalikan mengimbangi kocokan kocokan itu, bahkan aku semakin berani aktif bergoyang pantat dan kepala. Kami semua saling bergoyang dengan irama permainan yang sama, tiga gerakan berpadu menjadi suatu sensasi dan kenikmatan yang sangat tinggi.
Tak ada desahan dari mulutku kecuali dengus napas kenikmatan yang keluar dari hidung, hanya desisan mereka berdua yang terdengar bersahutan. Remasan remasan Raymon pada buah dadaku semakin membawaku terbang tinggi.
“Ganti” perintah Raymon setelah kami bertiga bercinta lebih 10 menit.
Edward memintaku dogie, melanjutkan yang tadi sebelum temannya datang. Aku merasa ada yang kurang ketika penis Edward memasuki liang vaginaku, begitu beda dengan penis Raymon yang gede. Pergantian penis yang begitu cepat, hanya dalam hitungan detik, tentu belum bisa membuat vaginaku berkontraksi menyesuaikan besarnya penis Edward, serasa begitu longgar saat dia mulai mengocok, aku yakin dia juga merasakan hal yang sama, tapi aku tak berani menanyakannya.
Raymon mengambil posisi didepanku, bersandar pada sandaran ranjang, penis yang sudah tanpa kondom menantang tegak dihadapanku, siap mengisi mulutku. Dari belakang Edward sudah mulai mengocok dengan tempo tinggi, menyodokku dengan keras hingga sesekali penis Raymon yang hampir tidak muat dimulutku terlempar keluar. Raymon tak mau kalah, dipegangnya kepalaku dan ditekankan lebih dalam ke selangkangannya, aku benar benar dalam tekanan kuat dua laki laki itu, namun semakin nikmat rasanya.
Cukup lama kami bercinta dengan posisi dogie seperti itu, rupanya dengan kondom Edward bisa melakukan lebih lama dari biasanya. Edward tak mau menuruti ketika Raymon minta bertukar posisi, “Tanggung” katanya tanpa menurunkan temponya. Dan benar saja, hanya berselang semenit kemudian kurasakan penisnya membesar disusul denyutan kuat melanda dinding dinding vaginaku, dia menjerit histeris, aku menghentikan kulumanku untuk menikmati denyutan demi denyutan darinya.
Raymon bergeser ke belakangku, memasang kondom baru ke penisnya, hanya sedetik setelah penis Edward dicabut keluar, liang vaginaku sudah kembali terisi penis Raymon yang besar itu, terasa perbedaan yang sangat menyolok dan serasa begitu penuh. Aku mendesah terkaget akan perbedaan yang begitu mendadak.
Edward yang sudah kehabisan napas menyodorkan penis yang masih terbungkus kondom ke mukaku, sambil merasakan nikmat sodokan Raymon dari belakang, kulepas kondom Edward lalu kumasukkan penisnya ke mulut, aroma sperma begitu kuat tercium. Penis Raymon sangat kuat dan keras menghunjam vaginaku, ditariknya rambutku ke belakang hingga penis temannya tercabut dari mulutku. Seperti menunggang kuda betina, dia mempermainkan gerakannya sambil meremas remas buah dadaku yang menggantung berayun bebas.
Beberapa menit berlalu, mungkin total sudah lebih 30 menit kami bercinta bertiga, tapi tak tanda tanda puncak kenikmatan belum kelihatan, apalagi Raymon pintar mengatur irama permainan, seringkali dia menghentikan gerakannya menahan supaya tidak orgasme. Sedangkan aku sendiri, disetubuhi 2 orang bersamaan dan bergantian secara terus menerus, tak dapat disangkal lagi, berulang kali kuraih “Orgasme kecil”, meskipun puncak dari kenikmatan itu belum juga kuraih, karena sengaja.
Namun demikian, pertahananku tak bisa bertahan lebih lama lagi, akhirnya tanpa bisa dicegah meledaklah segala emosi dan gairah yang terpendam, aku menjerit histeris hampir menggigit penis Edward yang ada di mulutku kalau tidak segera kukeluarkan, kutelungkupkan wajahku di selangkangan Edward saat vaginaku berdenyut hebat merasakan orgasme yang tertahan sedari tadi. Mengetahui aku sedang orgasme, Raymon justru semakin mempercepat gerakannya, aku semakin teriak histeris tapi dia tidak peduli, dihentakkannya tubuhnya lebih keras ke arah tubuhku, tak tahu lagi rasanya antara nikmat, geli dan sakit, kucengkeram lengan Edward kuat kuat.
Tubuhku langsung melemas seiring hilangnya denyutan di vaginaku, tapi Raymon masih tetap mengocokku tanpa belas kasihan dan itu masih berlangsung beberapa menit kemudian sebelum dia menyusulku menggapai puncak kenikmatan, denyutan penisnya begitu kuat menghantam dinding dinding vaginaku membuat aku kembali menjerit, inilah salah satu kenikmatan bercinta saat merasakan penis di vagina membesar dan berdenyut, apalagi bila disusul dengan semburan hangatnya sperma membasahi vagina.
Raymon mencabut penisnya, menarik lepas kondomnya dan menuangkan spermanya ke punggung dan pantatku. Aku terkapar telentang diantara kedua laki laki yang telah menyetubuhiku berbarengan. Tak kusangka Edward yang sudah recovery kembali bersiap menindihku, vaginaku masih terasa tebal dan panas karena kocokan Raymon tapi aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa menangani kedua laki laki itu, timbul ego-ku untuk merasa lebih hebat dari mereka.
Kubuka kakiku bersiap menerima penis Edward, dia mengganjal pantatku dengan bantal hingga menantang ke atas dan dengan sekali sodok masuklah penis itu ke vagina. Dua penis bergantian mengisi vaginaku dalam hitungan detik, terasa sekali perbedaannya, baik rasa, ukuran dan irama kocokannya, mungkin kalau mataku ditutup aku bisa membedakan siapa yang sedang menyetubuhiku.
Raymon masih telentang dengan napas menderu sambil tangannya meremas erat tanganku ketika temannya mulai mengocokku dengan cepatnya. Seperti sebelumnya Edward tidak bisa terlalu lama bertahan, tak sampai 5 menit kemudian dia sudah menggapai puncak kenikmatannya. Kali ini kondom tidak banyak membantu, mungkin sensasinya terlalu berlebihan hingga dia begitu cepat menyudahi permainan, seperti halnya Raymon, diapun menumpahkan sisa sperma di kondom yang nggak banyak di dadaku lalu diapun ikutan terkapar disebelahku.
Kami sama sama telentang dengan napas dan degup jantung yang berdetak kencang, tubuh telanjangku dijepit kedua tubuh telanjang mereka.
“Gila, kamu memang hebat bisa melayani kami berdua tanpa kewalahan” kata Raymon memecah keheningan. Aku diam saja, napasku belum normal dan vaginaku masih terasa berdenyut panas karena gesekan kondom.
“Pantesan kamu suka main bertiga seperti ini, ternyata mengasyikkan, tak kalah dengan main sama 2 wanita” Edward menimpali.
“Ternyata apa yang selama ini kudengar bukanlah isapan jempol belaka, bahkan melebihi apa yang kubayangkan” lanjut Raymon.
“Nggak salah kan pilihanku” timpal Edward.
“Sepertinya 2 orang nggak berat, mungkin perlu tambah orang lagi nih” ledek Raymon lagi.
“Kalian edan, 2 aja udah ngos ngosan, nih vaginaku masih panas” potongku.
“Tapi mau kan?” desak Raymon.
Entah karena masih terbawa suasana yang begitu liar atau karena aku memang ingin mencoba “Something new” atau perlu petualangan baru yang nggak umum atau memang aku menikmati dikeroyok rame rame seperti ini setelah selama ini selalu menjadi pihak yang mengeroyok, atau juga karena tingginya sensasi yang kudapatkan saat penis penis yang berbeda bergantian mengisi vaginaku, sebenarnya aku nggak menolak kalau tambah seorang lagi, tapi tentu saja aku malu mengatakannya. Tanpa menjawab kutinggalkan mereka ke kamar mandi, membersihkan tubuhku dari sisa sperma yang belepotan hampir di sekujur tubuhku.
“Apa itu berarti iya?” desak Raymon melihat aku diam meninggalkan mereka.
“Tau ah” teriakku sambil menutup pintu kamar mandi.
Jam baru menunjukkan pukul 7.30 malam ketika aku keluar kamar mandi, berarti sudah hampir 2 jam aku menemani mereka termasuk permainan bertiga hampir 45 menit.
“Ly, kalau kamu mau, kita habikan malam ini disini dengan satu orang lagi, biar kamu ngerasain dikeroyok 3 orang sekaligus” kata Raymon yang memang bicaranya ceplas ceplos tanpa risih.
“Kalian kalian ini memang sakit kali, terlalu sering nonton film porno” jawabku ketus.
“Udah nggak usah komentar, mau apa nggak, jawab aja simpel kan” desaknya.
Kali ini aku benar benar terpojok, dilain pihak aku tertarik juga melakukannya tapi sisi lain aku harus menjaga image bahwa aku ini hypersex, mengenai uang kalau lagi senang seperti ini apalagi dengan pengalaman baru bukanlah menjad pertimbangan utama, yang penting enjoy, meskipun aku sangat yakin mereka akan membayarku sesuai tarifku.
“Mau apa enggak?” desaknya, Edward hanya diam saja melihat temannya mendesakku. Aku hanya diam saja tak menjawab.
“Oke aku anggap mau, aku akan kontak si Leo” katanya sambil berdiri mengambil HP yang ada di celananya.
“Leo? si ambon itu ceking itu?” komentar Edward terheran, sepertinya dia nggak rela berbagi gadis dengan yang namanya Lea si Ambon.
“Bukan Ambon tapi Irian, kelihatannya aja ceking tapi dia berisi dan dia itu kuda jantan di atas ranjang, jangan remehkan” koreksi Raymon sambil menekan nomor di HP-nya
Edward memandangku tajam seolah meminta pertimbangan, tapi kualihkan pandanganku ke tempat lain, aku tak peduli siapa orang ketiga itu, aku sudah begitu bergairah setelah permainan bertiga tadi, tambah satu orang lagi rasanya masih bisa mengatasi.
“Sialan nggak diangkat, kita makan aja dulu, udah lapar nih” usul Raymon.
“Ya udah pesan aja dari Room Service” kata Edward.
“Nggak ah, kita keluar saja sekalian beli kondom, udah habis nih stok” kata Raymon lagi.
Kulirik sisa sisa kondom yang masih berserakan di lantai, kuhitung ada 5, entah kapan mereka mengganti kondom kondom itu, tak kuperhatikan. Kami segera berpakaian, bersiap untuk keluar tapi Raymon tidak mengijinkan aku memakai bra padahal kaos yang kukenakan press body dan tipis, pasti putingku akan tampak menonjol dan membayang dari luar.
“Biarin aja orang orang lihat, toh hanya melihat tapi aku sudah menikmatinya” komentar Raymon.
Dengan menggunakan mobil Raymon, BMW seri 7, kami menuju TP. Raymon memilih tempat yang terbuka dan ramai, seafood di TP2 atas (namanya udah lupa).
“Kalau bertiga gini orang kan nggak curiga kalau kita lagi selingkuh, paling dikira teman” komentarnya atas kenekatan show of force-nya. Kupikir ada benarnya juga apa kata Raymon, mana orang menyangka kalau kedua laki laki ini barusan menyetubuhiku berame rame, pasti tak ada yang menyangka sejauh itu.
Selesai makan Edward mengajak kami ke Matahari, ternyata kedua laki laki itu memilihkan aku pakaian dalam yang sesuai dengan selera fantasy mereka. Setiap kali aku mencoba pakaian dalam atau lingerie yang mereka pilihkan, mereka selalu melihat atau bahkan mengikutiku masuk ke Fitting Room. Praktis selama mereka memilihkan bergantian aku hanya menunggu di dalam Fitting Room, telanjang, dari pada buka tutup, kan capek.
Akhirnya kudapatkan 5 pasang bra dan panties yang semuanya serba mini dan berwarna mencolok ditambah 3 pakaian tidur sutra yang sexy, aku nggak tahu kenapa mereka membelikan semua itu, toh kalaupun dipakai paling tak lebih dari 15 menit sudah terlepas kembali. Sebelum keluar dari Fitting Room, Edward memberikan kaos ketat dan rok mini.
“Pake untuk sekarang, lepas celana dalammu” bisiknya, akhirnya kupakai juga kaos kuning tak berlengan dengan belahan dada rendah yang aku yakin buah dadaku terlihat jelas bila membungkuk, dipadu dengan rok mini setinggi lebih sejengkal dari lutut.
Edward mengajak ke Station, diskotik yang terletak di lantai atas TP, tapi jam masih menunjukkan 21.15, mana buka diskotik jam segitu.
“Ya udah kita kembali ke hotel aja, toh lebih baik kita habiskan waktu di kamar” usulku, perasaan horny kembali menyelimutiku, mungkin pengaruh pakaian ketat tanpa pakaian dalam membuatku begitu terangsang dengan sendirinya, ingin segera menikmati dua penis bergantian atau tiga penis, membayangkan saja vaginaku sudah basah dengan sendirinya.
Sesampai di lobby hotel ternyata mereka tidak mau langsung ke kamar, tapi justru ingin nongkrong di lobby lounge yang nyaman itu sambil dengerin musik, aku meskipun sudah begitu bergairah terpaksa mengikuti saja. Aku meskipun menyukai pakaian ketat tanpa pakaian dalam ini, merasa kurang nyaman duduk di lobby seperti itu, salah duduk bisa bisa vaginaku terlihat dari kejauhan, disamping itu ini adalah hotel dimana paling banyak kuhabiskan waktu waktu malam bersama tamu tamuku, boleh dibilang inilah rumah kedua bagiku.
Sambil menemani mereka berdua aku berharap tidak ada orang yang melihatku meskipun tampaknya mustahil karena tempat duduk kami berada di tengah. Kami bertiga menikmati alunan musik live yang berkumandang, kusapukan pandanganku ke arah lobby, sekedar meyakinkan bahwa tak ada yang kukenal, beruntunglah hanya wajah wajah asing yang kulihat. Para tamu asik berbicara dengan rekan di sebelah atau dihadapannya seolah tak memperhatikan alunan musik yang mengalun indah, mungkin pembicaraan bisnis.
Tiba tiba pandanganku terpaku pada salah seorang yang sedang duduk berdua di bawah pohon besar di tengah lobby, aku mengenalnya, dia Pak Pram, salah satu orang kepercayaan cendana, lebih 3 kali aku menemaninya bahkan sekali kami “Berbulan madu” di Bali selaa 2 malam saat dia ada Turnament Golf. Pak Pram tersenyum ke arahku pertanda dia melihat kehadiranku, akupun tersenyum dengan sembunyi sembunyi takut ketahuan Edward maupun Reymon. Sepertinya tahu kalau aku sedang menemani tamu makanya dia tidak menghampiriku, tapi memberi isyarat supaya untuk bicara. Sehabis memberi isyarat dia langsung berjalan melintasi tempatku duduk, aku permisi ke toilet sebentar, Edward dan Raymon langsung mengajak ke kamar tapi dengan alasan aku masih ingin menikmati musik lagi kuminta mereka menunggu sebentar. Pak Pram sudah menunggu di depan Lift.
“Malam Bapak, tumben ke surabaya nggak kontak kontak” sapaku.
“Kontak apaan, HP kamu mati sedari sore tadi” jawabnya.
“Lagi ada orderan nih” godanya, aku hanya tersenyum.
“Temanin aku ke atas sebentar yuk, aku ada hadiah untuk kamu” ajaknya, dengan halus aku menolak, nggak mungkin meninggalkan tamuku terlalu lama.
“Please.. sebentar saja” pintanya memelas, aku nggak enak kalau harus bersitegang di depan lift, ntar dilihat orang, akhirnya aku mengalah.
“Tapi nggak macam macam kan?”
“Janji deh.. paling cuma satu macam”. Akhirnya aku naik mengikutinya ke lantai 16.
“Aku paling nggak bisa pegang janji kalo sama gadis secantik kamu” katanya setelah menutup pintu kamar, dia langsung memelukku dari belakang, diremasnya kedua buah dadaku. Pak Pram tampak kaget saat tahu aku tak memakai bra.
“Aku kangen lho sejak kita dari Bali, sayang harus berpisah di Ngurah Rai, padahal aku masih ingin melanjutkan lagi di Surabaya, gara gara big boss yang memanggil mendadak” bisiknya sambil mencium telingaku, remasannya tak berhenti, bahkan menyusupkan tangannya dibalik kaos ketatku.
“Pak aku sedang ditunggu di bawah, tadi pamit cuma ke toilet, besok aja aku temanin Bapak, janji deh” kataku sambil menggeliat geli.
“Kita quickie aja sayang” bisiknya, dia selalu memanggilku sayang, seperti memanggil putrinya yang seusiaku.
Aku segera berbalik menghadapnya, kucium bibirnya dan dia membalas lumatan bibirku, sambil tetap berciuman kukeluarkan kejantanannya dari lubang resliting, sudah tegang. Segera aku berjongkok di depannya, kujilati sejenak lalu kumasukkan ke mulutku, hanya semenit aku mengulumnya. Kutuntun Pak Pram ke arah meja kerja, aku duduk di atasnya, saat kusingkap rok miniku, terlihat expresi terkejut di wajahnya saat tahu aku sudah tidak memakai celana dalam, tanpa memberinya kesempatan bertanya lebih lanjut kusapukan penisnya ke bibir vaginaku yang sudah basah sedari tadi.
Pak Pram melapas kaosku lalu melesakkan penisnya ke dalam dan mengocok langsung dengan tempo tinggi, desahan kenikmatan keluar dari mulutnya, akupun ikutan mendesah, sedikit terlampiaskan gairah yang terpendam sedari tadi meskipun tidaklah senikmat dikala bermain bertiga nanti. Hanya semenit kami sudah berganti posisi, aku berdiri telungkup di atas meja menerima sodokan Pak Pram dari belakang, kugoyang goyangkan pantatku mengimbanginya, aku hanya berharap dia segera menuntaskan nafsu birahinya secepat mungkin, nggak enak meninggalkan Edward dan Raymon dibawah, ntar mereka curiga.
Dan beberapa menit kemudian, kurasakan penisnya membesar diiringi semprotan sperma yang hangat membasahi vaginaku, tubuh Pak Pram menegang mencengkeram erat pantatku. Akhirnya dia menarik keluar dan mengusap usapkan sisa spermanya pada pantatku. Aku berbalik dan jongkok di depannya, kukulum penisnya yang masih banyak spermanya, dia melotot melihat kenakalanku tapi tak mencegahnya, justru malah mengusap usapkan ke wajahku. Aku berdiri merapikan rok-ku, mengenakan kembali kaosku, lalu mencuci vagina dan wajahku dari sperma Pak Pram.
“Lain kali kamu seperti ini saja kalo ketemu, besok aku hubungi” kata Pak Pram sambil memberikan beberapa lembar ratusan dollar, kita keluar kamar bersamaan tapi turun dengan lift yang berbeda.
Hampir 12 menit aku meninggalkan Edward dan Raymon, ternyata mereka ketemu 2 temannya, berempat mengelilingi meja kami, aku diperkenalkan sama mereka, tak ada yang bernama Leo, berarti bukan salah satu dari mereka. Aku minta maaf karena terlalu lama meninggalkannya, semoga mereka tidak curiga saat kubilang sakit perut mendadak.
“Mungkin kebanyakan nelan sperma dan bereaksi dengan kerang rebus tadi” bisik Raymon, tenanglah hatiku berarti dia tidak curiga.
Lima belas menit kami melanjutkan di lobby, aku masih tak tahu apakah salah satu atau kedua temannya itu ikut bersama kami. Ternyata tidak satupun yang ikut, mereka berpisah sedangkan aku, Edward dan Raymon kembali ke kamar, berarti malam ini kita melanjutkan permainan bertiga alias 2 in 1, tak ada 3 in 1.
Malam sudah semakin larut, sudah melewati pukul 11 malam, lobby hotel mulai sepi. Bertiga kami masuk Lift, begitu pintu lift tertutup, Raymon menarik tubuhku dalam pelukannya, diciuminya bibirku sambil meremas remas buah dada. Edward tak mau ketinggalan, dia menyingkap rok-ku dan mempermainkan klitorisku, aku mendesah di dalam lift. Meskipun sudah terbakar nafsu, aku masih bisa berpikir normal, kutolak ketika Edward hendak menyetubuhiku di lift, terlalu beresiko apabila tiba tiba lift berhenti dan ada orang masuk. Mereka berdua tertawa terbahak.
Namun begitu, sepanjang perjalanan di lift, tangan kedua laki laki itu tak berhanti menjamah dan menyusuri tubuhku, mulai dari tangannya yang menyusup masuk di balik kaos hingga menyusup di balik rok dan meremas buah dada maupun pantatku yang tanpa menutup lagi. Ternyata rangsangan bercampur ketegangan membuat birahiku sempat turun setelah melayani Pak Pram, bangkit kembali dengan cepatnya, akupun mendesis pelan dalam lift.
Beruntung pintu Lift tidak terbuka hingga lantai 8, kamipun bergegas menuju kamar. Aku heran saat mereka menekan bel pintu, bukannya langsung membukanya dengan kunci yang ada. Keherananku segera terjawab ketika pintu terbuka dan muncullah seorang laki laki hitam manis dari balik pintu.
“Inikah yang namanya Leo?” pikirku.
“Ly kenalin, ini Edo, karena Leo tidak ada kebetulan yang muncul dia, ya rejeki dia lah” kata Raymon setelah kami semua di dalam, rupanya si Edo sedang mandi.
“Sorry tadi nggak sempat ketemu soalnya aku baru dari Malang, jadi mandi dulu tapi kalian keburu naik” katanya, sepintas kulihat Edo seperti orang Ambon atau Irian meskipun tidak terlalu hitam tapi dibandingkan dengan kedua chinese itu dia tampak sekali bedanya.
Cengkeraman tangannya begitu kuat saat menjabat tanganku, pertanda dia bukan orang kantoran. Dengan santai dan hanya mengenakan handuk membalut pinggangnya, Edo menemani kami ngobrol di sofa, obrolan mereka justru seputar permainan kami tadi siang dan membandingkan dengan pengalaman mereka sebelumnya. Terbersit sedikit kebanggaan saat mereka memuji bagaimana aku melayaninya dan mereka puas. Baru sekarang kutahu kalau mereka sendiri belum pernah main berempat seperti ini, berarti sama sama pengalaman pertama, terutama bagi Edward, baru bermain rame rame langsung main berempat, tentu saja dia sangat exiting.
Selama kami ngobrol, aku duduk antara Edward dan Raymon, tangan keduanya tak beranjak dari tubuhku, baik di punggung maupun paha, Edo hanya melihat sambil tersenyum. Tak lebih 10 menit kami ngobrol, tangan Edward dan Raymon bersamaan menyelinap masuk dibalik kaosku dan berbagi buah dada, mereka berpandangan lalu tersenyum, bersamaan pula mereka mencium pipi kanan dan kiriku, menyusur turun ke leher sambil masih meremas remas buah dada, aku mendesah desah diperlakukan seperti ini, apalagi didepan Edo yang kelihatan begitu cool melihat temannya sudah mulai.
“Lepas kaosnya dong” teriak Edo tanpa beranjak dari duduknya, kulihat tangannya sudah berada dibalik handuknya.
Tanpa diminta dua kali, Edward menarik lepas kaosku, bersamaan mereka langsung mengulum putingku yang sudah menantang, Edo memuji keindahan payudaraku sebelum kedua laki laki di sebelahku mengulumnya. Tangan Edward sudah mulai menjamah selangkanganku, aku semakin mendesah, kuraih kejantanan mereka, ternyata sudah keluar dari celananya. Dua penis berbeda bentuk dan ukuran berada dalam genggamanku, kukocok dan kuremas, mereka mulai ikutan mendesah. Raymon mendahului berlutut di antara kakiku, disingkapnya rok-ku, aku mendorongnya menjauh, khawatir masih tersisa aroma sperma Pak Pram, tapi dia tak mempedulikan penolakanku, kubiarkan saja ketika lidahnya mulai menyusuri pahaku, justru kakiku kubuka semakin lebar.
Aku mendesah atau lebih tepatnya menjerit nikmat ketika lidah Raymon mulai menyentuh klitoris dan bibir vaginaku, sementara Edward masih menempelkan mulutnya pada puting, dua lidah bermain dengan lincahnya di kedua titik sensitif tubuhku, desahan demi desahan keluar dari mulutku tanpa terkendali. Kuremas remas kepala Raymon yang berada di selangkangan dan kutekankan lebih dalam sambil mengocok penis Edward.
“Ugh.. ss.. copot dong pakaiannya” pintaku sambil mendesah.
Kedua laki laki itu berdiri melepaskan diriku dari cumbuannya, melihat kekosongan ini, Edo berdiri menghampiriku, dilemparnya handuk penutup tubuhnya, tampaklah tubuhnya yang cukup atletis dengan penis yang menegang, sama besar dengan punya Raymon, dia langsung menyodorkannya ke mukaku. Dengan tersenyum kuraih penisnya, kukocok sejenak sambil menatapnya, dia tersenyum. Aku mulai menciumi penis Edo, menjilatinya sekujur batang hingga ke kantong bola, cairan bening meleleh dari kepala penisnya, terasa asin tapi tak kupedulikan. Penis itu segera memasuki mulutku ketika Edward kembali duduk di sampingku, Raymon berdiri di samping Edo menunggu giliran, ternyata Edward mengikutinya, akupun menyesuaikan posisiku, jongkok di depan ketiga laki laki telanjang yang 2 diantaranya baru kukenal bebarapa jam yang lalu.
Tiga penis yang tegang sudah berada di mukaku, kulumanku pada Edo berhenti lalu berganti ke Raymon kemudian dilanjutkan ke Edward, dua penis kukocok dengan tangan dan satu dengan mulut, bergantian penis penis itu memasuki dan mengocok mulutku. Aku begitu bergairah dan semakin terbakar nafsu, sering kali sengaja kudekatkan ke mulut dan ketiganya bersentuhan satu sama lain seakan berebut memasuki rongga mulut yang hanya cukup untuk satu penis. Sebentar saja mulutku terasa pegal mengulum seperti itu terus menerus meskipun sebenarnya aku ingin lebih lama lagi bermain oral dengan mereka.
Kutinggalkan mereka yang sedang mendesah nikmat, aku telentang di atas ranjang menanti cumbuan ketiga laki laki itu secara bersamaan. Tanpa dikomando lagi, ketiga laki laki itu mengerubungi tubuhku, Raymon dan Edo di kedua putingku sedangkan Edward pada vagina.
Inilah sensasi terbaru bagiku, belum pernah aku alami sebelumnya bahkan membayangkan saja tidak berani, hanya ada di film porno yang sering aku lihat, tiga laki laki bersamaan memainkan mulutnya pada tiga titik sensitif, tiga lidah menari nari dengan bebasnya dan tiga pasang tangan menggerayang sekujur tubuhku, aku mendesah dengan kerasnya merasakan sensasi dan kenikmatan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, sungguh sensasi yang jauh melebihi anganku.
Aku tak tahu harus bagaimana, akal sehatku sudah terbenam jauh tertutup naluri hewani yang meledak ledak. Bak seorang putri yang sedang dilayani para budaknya, aku benar benar terbius dan melayang tinggi dalam belaian para budak budak nafsu yang sedang melampiaskan hasrat naluri hewannya.
Mereka berganti posisi dengan melakukan rotasi, dari ketiga laki laki itu, ternyata Edo yang paling pintar mempermainkan lidahnya di vaginaku, dia tahu bagaimana dan dimana melakukan jilatan, kapan saat menyedot dan bilamana perlu sedikit gigitan lembut, apalagi dia melakukan kuluman hingga jari jari kakiku, aku benar benar terbuai dalam ayunan nafsu birahi.
“Kasih Edo kesempatan berdua dulu, biar dia bisa menikmatinya sebelum kita keroyok” seperti sudah menjadi “Kode etik”, masing masing diberi kesempatan berdua dulu sebelum memulai permainan.
“Satu babak atau paling lama 10 menit” kata Raymon sebelum meninggalkan aku dan Edo berdua di ranjang, Edward mengikutinya duduk di sofa melihat kami bercinta di atas ranjang.
“Thank you” kata Edo sambil memintaku ber-69, aku di atas.
Ketika kami sedang asik saling menjilat dan mengulum, ternyata Edward dan Raymon sudah berada didepanku, menyodorkan penis mereka. Kembali tiga penis berada di depanku, dan untuk kesekian kalinya mulutku mendapat kocokan tiga penis bergantian.
“It’s my time guys” kata Edo beberapa saat kemudian sambil memintaku turun dari tubuhnya.
Edo segera mengusap penisnya pada vaginaku yang sudah banjir, aku yang telantang pasrah membuka lebar kakiku dengan lutut ditekuk ke atas, dia menatapku tajam ketika mulai mendorong masuk menguak celah vagina, aku mendesis merasakan penis keenam yang mengisi vaginaku hari ini, sungguh terasa besar setelah kurasakan penis Pak Pram barusan, penuh rasanya. Dia mencium bibirku yang menengadah mendesah nikmat, dilumatnya bibirku dengan lembut saat dia mulai mengocok pelan, desah kenikmatan tertahan.
“Pake ini dulu” potong Raymon yang sudah berdiri disamping kami sambil menyodorkan kondom yang sudah dibuka.
“Aku bawa sendiri” katanya sambil meminta Edward mengambilnya dari travel bag-nya. Ternyata kondom dia berbeda, berwarna merah menyala dengan kepala anjing di ujungnya, rambut rambut halus menempel di pangkal, terlihat unik.
“Tuh aku bawa banyak kemarin dari Singapore, macam macam terserah kalian pilih aja yang kamu suka” katanya seraya menyapukan dan memasukkan kembali penisnya ke vaginaku, aku mendelik dan melotot kearahnya, terasa sekali perbedaan dengan sebelumnya, jauh lebih nikmat, dan saat penisnya masuk semua kedalam, “Kepala anjing” serasa menggelitik rahimku.
Aku menjerit keras menikmati kocokannya, dan jeritanku bertambah keras saat rambut rambut halus itu menggesek gesek klitorisku, sungguh nikmat rasanya. Lima menit sudah aku terbakar dalam nikmatnya permainan Edo, Edward dan Raymon mendekat dari sisi yang berbeda seakan hendak melihat expresi wajahku yang sedang terbakar nikmat. Melihat mereka begitu menikmati permainan kami, aku semakin bergairah menggoyangkan pantatku mengimbangi kocokannya.
Sambil mengocok sendiri penisnya, Edward memegangi kakiku tinggi diikuti Raymon hingga kakiku terbuka lebar lurus membentuk huruv “V” dengan Edo di tengah huruf itu, penis Edo semakin dalam mengisi vaginaku, desahan liar semakin terdengar liar. Ingin kugapai kedua penis mereka untuk pegangan tapi terlalu jauh tak tergapai tangan, bahkan mereka tidak mau memberikannya seakan membiarkan aku sendirian menggeliat bak cacing kepanasan terbakar birahi.
Edward dan Raymon masih membiarkan sobatnya menikmatiku sendirian saat kami berganti ke posisi dogie, penis Edo semakin dalam mengaduk aduk vaginaku. Berulang kali kuminta Raymon dan Edward mendekat tapi Raymon selalu mencegah ketika Edward hendak berdiri, dia sungguh menikmati pemandangan indah di atas ranjang. Lima belas menit telah berlalu namun tak satupun dari 2 laki laki itu mendekat, mereka justru membiarkan sobatnya makin lama menikmati kehangatan tubuhku sendirian.
“Ternyata apa yang kudengar salama ini memang bukan isapan jempol belaka” kata Edo sambil mengocokku semakin keras.
“Emang dengar apa” tanyaku disela desahan.
“Berisik” jawabnya sambil menghentakku keras.
Tubuhku nungging dengan dada menempel di ranjang, Edward mendekat ke Edo di belakang, aku tak memperhatikan apa yang mereka lakukan, tiba tiba Edo menarik keluar penisnya, sejenak vaginaku “Kosong”, mungkin mereka bergantian. Namun aku segera menjerit kaget ketika sebuah penis melesak kembali dengan cepat dan rasa yang berbeda, tak mungkin punya Edward karena masih terasa penuh, aku menoleh ternyata masih Edo yang menyetubuhiku, rupanya dia minta Edward mengambil kondom jenis lain dan begitu terpasang yang baru langsung menggenjotku.
Gelitik nikmat lain kembali kurasakan, pasti jenis kondom yang berbeda, aku tak tahu bentuknya tapi tak kalah nikmat dengan sebelumnya, membuat desahanku semakin lancar mengalir. Disetubuhi Edo dengan 2 laki laki lain yang menonton menunggu giliran membawaku lebih cepat ke puncak kenikmatan, dan tak bisa dibendung lagi ketika doronan emosi yang begitu kuat meledak dari dalam, menimbulkan suatu sensasi kenikmatat yang tinggi, tubuhku menegang, otot vaginaku berdenyut hebat, sehebat dorongan roket yang melesat hingga akupun menjerit dalam nikmat orgasme yang tinggi. Sejenak Edo menghentikan gerakannya tapi aku justru menggoyangkan pantatku dan minta dia tetap mengocokku disaat dilanda orgasme.
Tubuhku mulai melemas seiring dengan hilangnya denyutan di vaginaku, lututku terasa ngilu, namun kocokan nikmat dari Edo membuatku terlupa akan rasa capek dan lemas karena orgasme. Perlahan gairah birahiku mulai naik kembali terbawa arus permainan dari Edo.
Mungkin sudah 25 menit berlalu saat Edward yang kelihatan sudah tak bisa lagi menahan nafsunya mengambil posisi di depanku. Kakinya dibuka lebar hingga kepalaku berada diantaranya, penisnya yang tegang terasa sangat keras saat kupegang. Tanpa diminta, segera kumasukkan penis itu ke mulutku, 2 kocokan sekaligus menerpaku, sensasi dan gairahku semakin bertambah, pesta sudah dimulai, sebentar Raymon pasti menyusul, entah apa yang akan dia lakukan padaku mengingat kedua lubangku sudah terisi.
Dugaanku tepat, Raymon menyusul naik ke ranjang, sejenak dia hanya mengelus elus punggung dan meremas remas buah dadaku yang berayun ayun, sambil masih meremas remas, disodorkannya penisnya, dua penis berada di depan mulut sementara satu lainnya masih dengan kerasnya menyodok nyodok dari belakang. Meskipun kocokan Edo cukup keras, aku berusaha mengatur irama permainanku sendiri pada kedua penis di mulut walaupun sesekali terpental keluar saat dari belakang menghentak.
Aku benar benar kewalahan melayani mereka bertiga sekaligus, 2 penis berebut masuk ke mulut bergantian sementara di vagina seperti tak mau kalah perhatian, agak susah juga membagi konsentrasi diantara mereka. Raymon menggeser ke samping Edo, rupanya dia minta giliran, agak lama juga dia menunggu sebelum Edo “Memberikan” vaginaku padanya, tak ada perbedaan yang berarti antara penis Edo dan Raymon, hanya gelitik geli di vagina saat penis itu melesak masuk, mungkin karena pengaruh kondom. Edo duduk disamping Edward yang masih asik menerima kulumanku, dilepasnya kondom dari penisnya dan menyapukan ke wajahku, segera aku berganti mengulum penis Edo yang basah, tercium aroma sperma meski aku tak merasakannya saat dia orgasme, mungkin hanya keluar tapi belum orgasme.
Kembali aku menerima sodokan keras dari belakang dan 2 penis di mulut, semuanya mengocokku dengan iramanya sendiri sendiri, aku kewalahan mengikuti irama permainan yang berbeda beda, tapi justru membuat permainan semakin menggairahkan. Tidak seperti Edo yang cool cenderung pendiam saat menyetubuhiku, Raymon banyak mendesah bersahutan dengan desahanku apalagi ditimpali desah Edward, terjadi simponi indah beriramakan nafsu birahi.
Sepuluh menit Raymon menyetubuhiku dari belakang, dia membalik tubuhku hingga telentang. Setelah mengganti dengan kondom yang baru, dilesakkannya penisnya dengan sekali dorong, gelitik lain kembali kurasakan, kali ini lebih geli dan nikmat, apalagi sepetinya ada bagian yang menggesek keras klitorisku dan sepertinya lebih dalam menjangkau relung relung vaginaku. Aku tak sempat melihat apa yang menggesek klitorisku karena 2 penis sudah dipukul pukulkan ke wajahku. Kubuka mulutku lebar terserah siapa dulu yang mau memasukkan penisnya. Kalau sebelumnya aku yang mengatur penis yang memasuki mulutku, kali ini kubiarkan mereka mengatur sendiri.
Rupanya Edo yang lebih berpengalaman segera mengambil inisiatif, dia naik ke atas kepalaku setelah mengganjal dengan bantal, dimasukkannya penis gedenya memenuhi mulut dan mengocoknya. Kini aku benar benar mendapat dua kocokan atas bawah tanpa bisa berbuat apa apa karena tubuhku tergencet mereka. Kocokan di mulut tak kalah liarnya dengan di vagina, hampir aku tak bisa bernapas, meskipun begitu aku masih teringat untuk meremas dan mengocok penis Edward yang masih dalam genggamanku.
“Aku mau keluar” teriak Edward, mungkin sensasinya terlalu tinggi hingga dia tak bisa menahan lebih lama lagi melihat aku disetubuhi 2 laki laki sekaligus dengan 1 cadangan menunggu giliran.
“Di mulut aja” jawab Raymon tak mau memberikan giliran kenikmatan padanya.
Edo menyingkir dari atas dadaku, Edward segera menggantikan penis Edo pada mulutku, hanya beberapa kocokan pada mulut dia sudah menyemprotkan spermanya, memenuhi mulutku, terasa gurih dan keras aromanya. Dengan posisi seperti ini aku tak bisa mengelak kecuali hanya menelan semua sperma yang sudah memenuhi mulutku.
Edward segera turun dan Edo kembali mengambil alih rongga mulut dan memasukkan kembali penisnya, Raymon seperti tak peduli apa yang sedang terjadi di atas, mengetahui temannya menyemprotkan sperma di mulutku, dia malah semakin bergairah dan mengocokku makin cepat.
“Do, tukar” perintah Raymon pada sahabatnya itu.
Edo yang mendapat giliran kembali bersiap menikmati hangat vaginaku, tapi dia tidak mau melanjutkan gaya permainan Raymon, tapi memintaku pada posisi di atas. Kupasang kondom ke penis Edo dengan mulutku seperti yang kulakukan pada Raymon tadi, entah kondom yang keberapa yang dia pakai, bentuknya lain pula dengan sebelumnya, dia mengagumi kemahiranku itu.
Edo langsung meremas remas kedua buah dadaku ketika aku sudah berhasil memasukkan penis dan duduk di atasnya. Raymon tidak langsung bergabung tapi dia ke kemar mandi dulu, entah ngapain, sedangkan Edward masih duduk di sofa mengamati kami bercinta. Beberapa saat lamanya Edo kembali menyetubuhiku sendirian tanpa “Gangguan” teman temannya.
Aku yang sudah benar benar lupa diri dan begitu bergairah bergerak liar di atasnya, antara naik turun dan berputar pantat mengocok penis Edo, vaginaku serasa semakin di aduk aduk dan semakin nikmat, apalagi penggeli pada kondom bekerja dengan semestinya membuatku melayang tinggi ke awan. Kuluman Edo pada buah dadaku tak kuperhatikan lagi, puncak kenikmatan sudah didepan mata dan sebentar lagi kuraih. Orgasme kedua bakal kugapai, gerakanku semakin cepat tak beraturan, Edo hanya diam saja menikmati kebinalanku, desah kenikmatan menimbulkan gairah tersendiri baginya.
Raymon naik dan berdiri di atas ranjang, menyodorkan penisnya ke mulutku dan untuk kesekian kalinya penis itu mengisi dan mengocok mulutku. Puncak kenikmatanku semakin bertambah dekat dan meledaklah jeritan kenikmatan yang tiada henti. Kali ini tak kukeluarkan penis Raymon dari mulutku dikala orgasme, aku yakin bisa mengendalikan diri hingga tak sampai menggigit penisnya, tapi aku tak sanggup melakukannya, terlalu sayang kalau expresi kenikmatan orgasme ditahan hanya karena ada penis di mulut. Kukeluarkan juga akhirnya penis Raymon hingga jeritanku semakin menjadi jadi.
Sendi sendiku serasa mau copot, rasa capek yang hebat tiba tiba melanda namun kembali kocokan Edo membuatku segera melayang, perlahan tapi pasti. Dua kali sudah aku mendapat orgasme dari Edo tapi aku tak tahu apakah dia sudah orgasme atau belum, sungguh konyol tidak memperhatikan laki laki yang telah memberi 2 kali kenikmatan. Konsetrasiku terlalu terpecah pada 2 laki laki lainnya hingga terkadang tak kurasakan denyutan denyutan kecil darinya.
Edo menarik tubuhku dalam dekapannya, dengan posisi seperti ini Raymon praktis tak bisa mendapatkan bagian, hanya elusan di punggung dan belaian di rambut yang bisa dia perbuat. Dikocoknya vaginaku dari bawah dengan cepatnya, kulumat bibir Edo meskipun beberapa kali dia menghindar, mungkin aroma sperma Edward masih tercium dari nafasku tapi akhirnya dia membalas juga lumatan bibirku itu. Tak lebih 5 menit dari orgasme keduaku, Edo mengejang sambil berteriak nyaring seiring denyutan kuat melanda vaginaku, akupun ikutan menjerit terkaget merasakan kuatnya denyutan itu, didekapnya tubuhku erat erat sambil wajahnya menatapku, hidung kami bersentuhan, napas kami sama sama menderu berat.
Kami berdiam sesaat menikmati indahnya orgasme, namun Raymon tak mau membiarkan suasana terlalu romantis. Dia duduk disamping kami, ditariknya tubuhku dalam pangkuannya, sebelum aku sempat memasukkan penisnya, Edward memintanya, mengingat Edward belum mendapat giliran di vagina, dengan tersenyum Raymon mengalah, direlakannya vaginaku pada temannya.
Kuturuti saja apa mau mereka, aku beranjak dari pangkuan Raymon ke pangkuan Edward, kucium dan kulumat bibirnya sambil menyapukan penisnya ke vaginaku dan amblas masuk kedalam dengan mudahnya, otot vaginaku belum berkontraksi sempurna setelah mendapat kocokan Edo, hingga penis Edward serasa berlari lari dalam vaginaku. Dalam keadaan seperti ini, kondom unik sangat banyak membantu menggelitik saraf saraf sensitif di vaginaku.
Kudorong tubuh Edward hingga dia telentang di antara kedua temannya, sembari bergoyang pinggul, kukocok kedua penis lainnya, kini 3 penis berada dalam kendaliku. Kubiarkan 4 tangan berebut menjamah kedua buah dadaku, justru semakin menambah sensasi tersendiri. Aku menggeliat nikmat ketika tangan tangan itu mempermainkan putingku, kutatap mata mereka satu persatu, semua memancarkan sorot mata penuh nafsu namun terlihat begitu tak berdaya dalam genggaman dan kendaliku seorang. Dengan bebas aku menggerakkan tubuhku di atas Edward sambil membungkuk ke kanan dan ke kiri begantian untuk mengulum kedua penis yang menunggu giliran.
Edo duduk lalu mengulum putingku, diikuti Raymon melakukan hal yang sama, aku menjerit nikmat yang tak terhingga mendapatkan perlakuan seperti itu. Dua laki laki mengulum putingku bersamaan sementara satu lainnya mengocokku, sungguh suatu kenikmatan yang sangat tinggi kurasakan. Aku tak tahu lagi harus bagaimana, antara mengocok penis di genggaman atau meremas rambut mereka, sungguh pengalaman yang tak terduga. Jerit kenikmatanku membuat mereka semakin kuat menyedot kedua putingku.
“Sshh.. gila.. kalian gilaa” teriakku meracu, dan goyangan pantatku semakin tak karuan iramanya, tapi justru semakin menambah kenikmatan. Dan benar saja, tak sampai 10 menit aku bergoyang di atas Edward, dia sudah memuntahkan spermanya, denyutan pelan nyaris tak terperhatikan olehku, namun teriakan dan remasan kuat pada paha menyadarkanku bahwa dia sedang orgasme.
Aku segera turun dan kembali ke pangkuan Raymon, vaginaku kembali terasa penuh sesak terisi penis Raymon yang lebih besar dari Edward. Belum sempat aku menggerakkan tubuhku, Edo sudah berada di depan menyodorkan penis hitamnya ke mulut. Bersamaan dengan masuknya penis itu ke mulut, aku mulai bergoyang pantat diatas Raymon, 2 penis besar mengocok kocok kedua lubangku. Edo memegangi kepalaku dan suka suka menggerakkan penisnya pada mulutku. Beberapa menit berlalu dengan kocokan atas bawah, Edward kembali bergabung, memeluk dan menciumi tengkukku dari belakang sambil meremas remas buah dadaku, aku menggelinjang geli dan nikmat yang tak terkira, goyanganku terbatasi pelukan Edward, namun tak mengurangi gerakan pantatku pada Raymon.
Raymon praktis hanya berdiam menikmati kocokanku sekaligus menikmati bagaimana aku melakukan oral pada Edo. Begitu aku terbebas dari Edo dan Edward, segera tubuhku mengocok Raymon dengan gerakan liar, geliat penuh nafsu tak bisa dihindari. Tubuhku condong kebelakang bertumpu pada kaki Raymon ketika secara bersamaan Edo dan Edward mengulum kedua putingku, aku menjerit histeris dalam nikmat birahi yang tak terkatakan. Dan beberapa menit kemudian pertahananku pun bobol, dengan mencengkeram kedua kepala yang ada di dada, aku menjerit keras, sekeras denyutan pada vaginaku. Mereka tak menghentikan gerakannya, malah justru semakin menjadi jadi saat melihat aku tengah dilanda orgasm hebat.
Baru terasa kelelahan yang teramat sangat, rasa ngilu disekujur tubuhku, 3 orgasme berturut turut dalam sekali permainan, tapi ketiga laki laki itu masih juga belum beranjak dari tubuhku, bahkan semakin gila menyetubuhi dan mencumbu sekujur tubuhku.
Tetes demi tetes keringat sudah membasahi tubuh kami berempat tapi tak ada tanda tanda permainan berakhir, dan ketika Raymon mendapatkan orgasmenya, Edo langsung menggantikan posisinya tanpa memberiku istirahat, aku benar benar ter-exploitasi dalam permainan sex yang tiada akhir, namun aku begitu menikmatinya, terutama saat pergantian antara satu penis dengan penis lainnya, terasa sekali perbedaan sensasi yang kurasa.
Edward bersiap menyetubuhiku kembali saat Edo mencapai puncak, begitu seterusnya selalu bergantian menyetubuhiku setelah satu selesai, entah kapan permainan ini berakhir, antara kelelahan dan kenikmatan selalu datang susul menyusul, tak terhitung sudah berapa kali aku orgasme dan tak kuhitung pula berapa kali mereka masing masing orgasme, semua memoriku jadi error tersapu gelombang kenikmatan yang datang bertubi tubi. Ini permainan tanpa akhir, endless game.
Namun manusia ada batasannya meskipun emosi selalu mengalahkan logika pada saat seperti ini.
Akhirnya aku menyerah terkapar tak berdaya di tangan ketiga laki laki itu, benar benar habis, bahkan untuk ke kamar mandipun rasanya begitu berat.
Belum pernah kurasakan capek yang hebat seperti ini, vaginaku terasa berdenyut nyeri. Sekitar 2 jam mereka menyetubuhiku tanpa henti, tak sedetikpun vaginaku “menganggur” selama itu. Aroma sperma tercium dari tubuhku, baik di dada, wajah, rambut apalagi mulut, entah berapa banyak sperma yang mengisi perutku, aku benar benar berantakan, tapi justru tambah sexy, kata mereka menghibur.
Setelah mandi air hangat di malam hari, badan terasa segar kembali, Edward mengangsurkan Lipovitan ketika aku keluar dari kamar mandi. Ranjang yang masih berantakan dan ceceran sperma masih membekas di sana sini, begitu juga kondom, lebih dari selusin kondom sisa yang tercecer di lantai.
“Beri aku istirahat dulu, oke” pintaku pada mereka sambil merebahkan tubuhku di atas hangatnya ranjang yang masih penuh nafsu. Mereka hanya tertawa tanpa memberi jawaban.
Setengah jam mereka memberiku waktu istirahat sebelum Edo memulai untuk babak berikutnya, dan Endless Game berputar kembali, di atas ranjang kulayani ketiga laki laki itu bersamaan. Kali ini aku benar benar kewalahan melayani mereka yang seolah melampiaskan semua nafsu birahinya tanpa henti, tak ada kata puas pada diri mereka. Aku hanya bisa bertahan sekitar satu jam sebelum menyerah kalah akan kebuasan mereka bertiga, tak kuhitung lagi berapa kali aku mengalami orgasme dan tak tahu lagi aku siapa yang sedang mengisi vaginaku, aku benar benar habis.
Kami berempat tergeletak lunglai di atas ranjang dalam kebisuan, hanya napas berat yang terdengar. Mataku serasa berat dan pandanganku mulai nanar, tak lebih 10 menit kemudian akupun terlelap dalam buaian malam yang penuh nafsu.
Keesokan paginya saat aku bangun, hari sudah terang, jam menunjukkan pukul 7:30 pagi, terlihat Edward dan Raymon tidur di samping kiri kananku, tangan Raymon ditumpangkan ke dadaku sedang kaki Edward menindih pahaku, Edo yang tidak mendapat tempat tidur di sofa, kami semua masih telanjang, entah jam berapa kami tadi malam tidur setelah pertempuran terbesar yang pernah kualami. Mereka masih tidur pulas ketika aku turun dari ranjang. Setelah gosok gigi dan cuci muka, aku kembali ke kamar, ternyata Edo sudah bangun.
“Kamu makin cantik setelah bangun tidur” katanya sambil menghembuskan asap rokok.
“Ngeledek nih” jawabku seraya duduk di sampingnya.
“Udah fresh? siap melanjutkan?” tanyanya sambil menjamah buah dadaku.
Tanpa diperintah lebih lanjut, aku segera berlutut didepannya dan kulahap penis hitam yang masih setengah tidur sebagai sarapan pagi, makin lama makin membesar di mulut. Aku makin asik ber-oral ria saat Edward bangun dan turun dari ranjang, dia duduk disamping Edo, kugapai penisnya dan kukocok kocok sebentar lalu kulumanku berpindah ke penis Edward. Dua penis berbeda ukuran dan warna bergantian mengisi mulutku, aku lebih bisa mempermainkan lidahku pada punya Edward yang relatif lebih kecil.
“Ikut dong” Raymon mengagetkanku, dia sudah berdiri di belakang, karena terlalu asik aku nggak perhatikan dia bangun dari ranjang.
“Ntar aja deh, aku belum sarapan nih, habis makan aja ya” usulku pada mereka.
“Satu putaran” kata Edward sambil berdiri mengambil posisi dibelakangku, Raymon menggantikan posisinya.
Tanpa membuang waktu lebih lama, Edward segera memasukkan penisnya ke vaginaku, penis pertama di hari itu. Tidak seperti tadi malam, kali ini penis Edward terasa cukup penuh mengisi liang kenikmatanku, mungkin karena ototku sudah berkontraksi normal dan belum kemasukan penis Edo atau Raymon.
“Jangan keluarin di dalam kalo nggak pake kondom” kata Raymon melihat Edward langsung mengocokku tanpa kondom, dia hanya tersenyum.
Sambil menerima kocokan dari belakang dengan posisi dogie, bergantian kedua penis di tangan mengisi mulutku. Tak lebih 5 menit kemudian Edward orgasme, mencabut keluar dan menumpahkan spermanya di punggung dan pantatku. Edo segera mengganti posisinya, kurasakan otot otot vaginaku membesar menerima penisnya. Kocokan cepat dan keras menghantam dinding vaginaku dan terdengarlah jeritan kenikmatan di pagi hari. Meski tanpa kondom yang unik kurasakan penisnya sama nikmatnya, mungkin lebih nikmat karena kepala penis Edo yang membesar bak jamur, aku menggeliat kenikmatan. Kucoba menahan orgasme lebih lama, paling tidak akan kuberikan pada Raymon yang mendapat giliran terakhir nanti, namun apa dayaku, sodokan Edo terlalu nikmat untuk dibendung. Dan tanpa kumau dinding dinding vaginaku berdenyut kuat, aku menjerit dengan tubuh kaku, orgasme pertama di pagi hari. Edo semakin mempercepat sodokannya dan semenit kemudian dia mencabut keluar lalu memuntahkan spermanya di pantat, terasa hangat.
Raymon tanpa menunggu lebih lama segera mengisi “Kekosongan” vaginaku, untuk kesekian kalinya aku disetubuhi secara maraton. Setelah bertahan cukup lama, akhirnya Raymon tak sanggup melanjutkan lagi, namun sebagai pemain terakhir, dia tidak mencabut penisnya, diseprotkannya spermanya membasahi vagina, terasa nikmat sekali dengan siraman hangatnya. Rasanya sudah berbulan bulan tak mendapatkan siraman sperma, aku merindukan denyut bercampur kehangatan itu, semalam hanya denyutan kuat tanpa sperma yang kurasakan.
“Oke guys, time to breakfast” kata Edward.
“Aku mandi dulu” kataku, namun dia mencegahnya.
“Nggak usah, kita sarapan sekalian renang di kolam, kan asik” usulnya, ide gila apalagi ini.
“Setujuu” teriak kedua temannya menimpali.
Mereka tak mempedulikan kalau aku tak bawa pakaian renang, dan memang aku nggak pernah bawa kalau menginap di Hotel bersama tamu, toh tidak ada yang pernah ngajak renang bersama di Hotel, kecuali kalau keluar kota.
“Kita cari aja di bawah, mungkin ada” kata Edo.
Jarum jam menunjukkan pukul 8:20, berarti hanya untuk satu putaran cepat tadi memakan waktu lebih dari setengah jam.
Kukenakan kembali pakaian baru tadi malam, masih tanpa bra dan panty, berempat kami keluar kamar bersamaan. Sungguh suatu kebetulan ketika pintu lift terbuka, ternyata Pak Pram ada di dalam, kami berpandangan sejenak dengan tatapan mata penuh arti. Aku jadi salah tingkah berada di dalam lift dengan semua laki laki yang pernah meniduri dan merasakan kehangatan tubuhku.
Kami semua terdiam dengan beribu pikiran di benak masing masing, aku masih belum percaya bahwa aku telah bercinta dengan tiga orang sekaligus, semalaman lagi, tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kulirik satu persatu laki laki itu, terbersit kebanggaan aku sudah mengetahui permainan dan apa yang ada dibalik baju yang dikenakannya, terutama Pak Pram yang begitu anggun mengenakan setelan Jas hitam. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran beliau melihat sepagi ini bersama 3 laki laki turun dari kamar, meski begitu aku sangat yakin dia tidak akan berpikir terlalu jauh mengenai apa yang telah kami perbuat semalam.
Lamunanku buyar saat pintu Lift terbuka di lobby, kami turun satu lantai lagi, sementara Edward pergi mencarikan pakaian renang untukku. Ternyata nggak dapat, beruntunglah aku, tenagaku bisa dipakai untuk melanjutkan babak selanjutnya. Selama makan pagi, berulang kali Pak Pram menatap ke arahku tapi aku pura pura menghindar, khawatir kejadian “Perselingkuhan” semalam terulang lagi.
Ketika aku mengambil makanan di table, dia mendekat disampingku.
“Kamu nginap sini ya” bisiknya sambil mengambil makanan.
“He eh” jawabku pendek takut ketahuan ketiga tamuku.
“Sama yang mana?”. Aku diam, bingung menjawabnya, tak menyangka dia tanyakan itu dan tak mungkin kubilang sama semuanya.
“Sama mereka” jawabku mengambang.
“Mereka yang mana?” desaknya.
“Yang bersamaku tadi”.
“Kan ada tiga, masak ketiganya”. Aku tak menjawab lalu menginggalkannya kembali ke meja, membiarkan dia berteka teki.
Aku sadar kalau banyak mata memandang ke arahku, entah mungkin karena penampilanku atau karena mereka tahu kalau aku tak mengenakan pakaian dalam atau mereka berhasil mencuri pandang payudaraku saat mengambil makanan, entahlah, tapi aku enjoy saja melihat banyak sorot tersedot ke arahku. Yang aku yakin pasti adalah mereka tidak akan pernah mengira kalau aku telah melayani ketiga laki laki ini sekaligus.
“Desertnya ntar aja dikamar” cegah Raymon ketika aku hendak mengambil makanan penutup, aku segera tahu yang dimaksud adalah aku sebagai penutup makan pagi mereka dan desertku adalah sperma mereka.
Sekembali kami ke kamar, kejadian semalam terulang lagi, aku dikeroyok rame rame. Mereka merebahkan tubuhku di atas ranjang setelah terlebih dahulu saling melucuti pakaian. Mula mula Edward sebagai pembuka sementara kedua temannya berada di atasku menyodorkan penis mereka, semua tanpa kondom. Ketika Edward hampir orgasme, Edo bertukar tempat dengannya. Edward dan Edo yang sudah mengocok vaginaku, melanjutkan kocokannya pada mulutku bergantian. Kini Raymon yang sedang menikmati kehangatan liang kenikmatanku, cukup lama dia melakukannya.
Tak lama kemudian Raymon menarik keluar dan bergegas ke arah kepalaku, kini tiga penis tepat berada di wajahku, mereka mengocok sendiri penisnya, hendak menumpahkan sperma mereka ke wajahku. Raymon yang sudah diambang pintu orgasme menyemprotkan spermanya mengenai wajahku, disusul Edward tak lama kemudian lalu diakhiri dengan semprotan sperma Edo menyirami wajahku. Aku hanya menengadah membuka mulut menerima tumpahan sperma mereka, seperti yang pernah kusaksikan di film porno. Sebagian besar memasuki mulutku, ada yang tercecer mengenai hidung, dahi, mata bahkan rambut. Aku tak bisa membayangkan seperti apa rupaku dengan sperma ketiga laki laki itu belepotan di hampir sekujur wajahku, tentu terlihat aneh, mungkin inilah yang dimaksud dengan desert tadi.
Kami beristirahat sebentar untuk melanjutkan ke babak yang lebih seru seperti tadi malam, dan kenyataannya memang sangat seru, bahkan melebihi permainan semalam. Bertiga mereka menyetubuhiku baik bersamaan maupun bergantian, tidak hanya di ranjang bahkan kami melakukannya di sofa bahkan di meja seolah aku menjadi santapan makanan bagi mereka dan tak terlewatkan dengan posisi berdiri.
Entah berapa babak kami melakukannya, rasanya tak pernah ada kata cukup untuk melampiaskan segala nafsu birahi, aku benar benar di-exploitasi habis habisan seakan budak nafsu mereka, namun justru semakin menggairahkan. Meskipun tidak ada kata puas, stamina dan waktu jua-lah yang membatasi kami, setelah puas menyetubuhiku berulang ulang dengan segala variasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, akhirnya kami harus mengakhiri permainan ini pukul 1 siang. Edward harus mengejar pesawatnya balik ke Ujung Pandang setelah 2 kali diundur.
Pukul 13:30 kami keluar kamar bersama sama, disamping membawa beberapa pakaian dalam yang tidak sempat kupakai semalam (seperti dugaanku), aku membawa banyak sekali rupiah dan dollar. Edward membayarku 5 kali tarif bookingan semalam sementara Raymon dan Edo tak ketinggalan memberi Tip yang nilainya hampir sama dengan Edward, sungguh hari yang indah, disamping mendapat kenikmatan dan pengalaman baru yang sangat berkesan, juga mendapatkan uang puluhan juta hanya dalam semalam bersama mereka.
“Ly, kalau nggak ada acara, minggu depan kita ke Sarangan, temanku punya Villa disana, sekalian ajak dia berpesta semalam suntuk” kata Edo ketika kami di Lift.
Aku yang masih terbawa suasana horny hanya meng-iyakan saja usulan itu. Edward dan Raymon yang mendengar hanya tersenyum penuh arti.
“Ketagihan nih” kata Raymon entah ditujukan pada siapa.
Aku tak bisa menolak saat mereka minta ikutan mengantar Edward ke Juanda, dan bisa ditebak sepanjang perjalanan aku masih harus melakukan oral di jok belakang secara bergantian.
Sepeninggal Edward, ternyata Edo mengajak melanjutkan lagi hingga sore tapi aku nggak sanggup melakukannya lagi hari itu, terlalu capek dan pasti Raymon pasti nggak mau ketinggalan, aku ingin istirahat dulu hari ini setelah bercinta sepanjang pagi hingga siang tadi. Namun aku berjanji untuk ikut Edo ke Sarangan minggu depan, berarti 2 hari lagi, untunglah mereka menyadari staminaku dan mengantar aku kembali ke Hotel untuk mengambil mobilku.
===============================================================\
Di Batas Pelangi
Ketika aku memasuki halaman rumah itu, banyak mobil mewah sudah diparkir memenuhi area yang ada, seorang satpam mendekat.
“Kucarikan parkir Bos, langsung aja sudah ditungguin di dalam,” katanya pada GM yang mendampingiku.
Kulihat rumah itu begitu besar, seperti layaknya rumah di kawasan elit Galaxy, lebih tepat disebut istana barangkali, mungkin bisa dibandingkan besarnya dengan rumah di kawasan Pondok Indah.
Seorang anak muda chinese, namanya Indra menyambut kedatangan kami.
“Langsung masuk aja, mereka sudah nunggu” sambutnya
Ternyata sudah ada 6 anak muda seusia Indra di dalam, mereka bersiul riuh menyambut kedatanganku, berbagai celoteh terlontar memujiku.
“Wah bisa nggak jadi kawin tuh si Joseph,” salah satu yang kudengar.
“Oke friend, Ini Lily dan jangan ganggu dia karena milik Joseph,” Indra mengingatkan.
Kembali teman temannya teriak kecewa.
Berbagai macam minuman sudah tersedia di meja, dari soft drink hingga whiskey, kulihat beberapa dari mereka wajahnya sudah merah terbakar alkohol, tatapannya begitu liar seolah hendak menerkamku.
Secara sepintas si GM sudah memberi tahu bahwa ini adalah acara “Lepas Bujang” alias Bachelor Party, aku diminta sebagai bintang tamu melayani Joseph yang akan menikah 2 hari lagi, seperti pesta ‘Lepas Bujang’ lainnya, aku hanya melayani Joseph seorang tapi dihadapan teman temannya yang tak tahu berapa jumlahnya, biasanya antara 4-9 orang, tapi dia menjamin bahwa hanya Joseph yang harus aku layani untuk acara ini, setelah itu terserah aku sendiri bagaimana dengan lainnya, biasanya ada beberapa orang yang tertarik mem-booking setelah pesta, semua terserah ke aku karena diluar harga paket spesial yang kutawarkan.
Meskipun aku sudah menyiapkan diri secara mental untuk bercinta dihadapan lebih dari 2 orang, ternyata ada rasa nervous juga dikelilingi laki-laki yang haus dengan wajah menyeringai seakan hendak memperkosaku, meskipun sebenarnya wajah mereka nice looking tapi sorot mata yang menakutkanku.
Sepuluh menit kemudian, si Joseph datang, seorang chinese seusiaku, mungkin lebih muda dengan kaca mata minus bulat ala John Lennon.
“Sep, tuh sudah ditunggu,” kata Indra menyambut kedatangannya.
“Li, ini Joseph laki-laki yang beruntung itu dan Seph, she is yours,” Indra mengenalkanku, kusambut uluran tangannya tapi dia melanjutkan dengan ciuman di pipi, temannya mulai berteriak gaduh.
Irama House musik mulai keras menghentak, aku didaulat untuk menari dihadapan mereka, seperti biasa, menari streaptease hingga totally nude dan tugasku untuk membuat Joseph bertekuk lutut.
Dengan sedikit nervous diiringi tatapan mata liar laki-laki yang mengelilingiku, akupun mulai meliuk liukkan tubuhku dihadapan mereka, mengikuti dentuman iringan musik yang kian memanas.
Kuperagakan gerakan erotis seperti yang sering kulihat di night club, sebisanya kutiru gerakan gerakan sensualnya yang bisa membangkitkan syahwat para laki-laki.
Namun belum satu musik berlalu, Joseph berdiri menghampiriku, tanpa mempedulikan celoteh teman temannya, dia menarikku duduk di pangkuannya, sofa besar ditengah ruangan itu tampaknya sengaja dikosongkan untuk Joseph. Tak kulihat lagi GM yang mengantarku tadi, sepertinya dia sudah pulang setelah selesai tugasnya termasuk mengurus pembayarannya.
Joseph mulai menciumi leher sambil meremas remas buah dadaku dihadapan teman temannya, pada mulanya aku agak risih melakukannya dihadapan sekian banyak laki-laki yang hanya melihat dengan penuh perhatian.
Namun perasaan risih itu perlahan memudar berganti suatu sensasi yang aku sendiri tak tahu dari mana datangnya, semakin berani Joseph menggerayangiku semakin bergairah pula aku mendesah, seakan tak ada lagi orang lain di ruangan besar itu.
Tangan Joseph sudah menyelinap dibalik kaos ketatku, diremasnya dengan penuh gemas, tak lama kemudian terlepaslah bra hijau dan dilemparkan ke teman temannya, mereka bersorak riuh seperti melihat pertandingan bola. Sempat kudengar celoteh pujian dari “penonton” ketika kaosku disingkap memperlihatkan buah dadaku. Aku tak bisa menahan gairah lagi saat dia mulai mengulum putingku bergantian, kuremas remas rambutnya sambil mendesah nikmat. Dari gerakannya aku sangat yakin kalau ini bukan pertama kali baginya, dia sepertinya sudah berpengalaman dan tahu bagaimana memperlakukan wanita.
Hanya bertahan 5 menit kaosku menempel sebelum akhirnya meninggalkanku dan berpindah ke para “penonton” diiringi tepuk tangan nyaring, aku benar benar ditengah tengah srigala srigala lapar yang siap menerkam, meskipun tak mungkin terjadi, paling tidak untuk saat ini. Joseph semakin bergairah menggumuli bukit dan putingku, seperti ingin membuktikan sesuatu pada teman temannya.
Giliran selanjutnya adalah celana jeans yang masih kukenakan, Joseph sudah melepas kancing dan resliting hingga tampak celana dalam mini berwarna hijau tua.
“Lepas.. lepas.. lepas,” para penonton memberi dukungan, dan tak perlu lama lama mereka menahan napas untuk melihat kemolekan dan ke-sexy-an tubuhku. Kembali sorak kemenangan menggema mengiringi lepasnya celana jeans-ku, tinggallah aku sendirian hampir telanjang mengenakan celana dalam mini diantara srigala srigala lapar itu.
Mendengar sorakan yang riuh rendah, aku semakin bergairah, dengan gerakan yang demonstratif aku berlutut didepan kaki Joseph yang sudah berdiri bersiap menerima kenikmatan, kubuka dan kutarik turun celananya hingga menampakkan celana dalam HOM bermotif batik. Kuremas remas benjolan dibalik celana dalam itu, sambil menciumi perutnya yang agak buncit. Kembali terdengar teriakan ketika aku merosot turun penutup kejantanannya, tersembullah kejantanan yang sudah keras menegang mengenai wajahku.
Sambil tersenyum dan melirik ke arah penonton, kukocok dan kujilati sekujur penis itu tanpa sisa dari ujung hingga pangkal, Joseph mulai mendesah nikmat, para penonton terdiam, keadaan semakin sunyi saat kumasukkan penis itu ke mulutku, hanya desahan napas Joseph yang terdengar mengiringi kuluman permainan oralku. Aku sangat menikmati kesunyian yang berbalut birahi, mereka seakan terlongo melihat permainan oralku.
Penis Joseph yang tidak terlalu besar dengan mudahnya keluar masuk mulutku, semua bisa memasukinya hingga hidungku menyentuh rambut rambut halus di pangkal penisnya.
Kalaupun ada cicak lewat pasti terdengar karena keheningan ini, desahan Joseph benar benar menguasai ruangan, semua terdiam melihat penis temannya yang tidak disunat itu keluar masuk membelah bibir manisku. Aku semakin bersemangat saat tahu bahwa aku berhasil membetot perhatian para srigala lapar tanpa mereka bisa berbuat apa apa, semakin demonstratif pula kupermainkan bibir dan lidahku pada penisnya.
Entah karena sensasinya terlalu tinggi mendapatkan oral didepan teman temannya atau memang dia tidak bisa bertahan lama, tak lebih 5 menit setelah jilatan pertama, Joseph berteriak kencang sambil menyemprotkan spermanya ke mulut dan wajahku, sebagian tertelan dan sebagian lagi membasahi wajah dan rambutku.
Kusapukan penisnya pada wajah dan buah dadaku, sambil tersenyum aku menatap para penonton satu persatu seakan hendak melongok apa yang ada di benak mereka. Kebanyakan menghindar tatapanku, mungkin takut terbaca apa yang ada dalam pikirannya, sebagian lagi menatapku dengan penuh nafsu dan sorot mata kekaguman.
Sorak dan tepuk tangan bergema ketika Joseph duduk di sofa dan menarikku ke pangkuannya, tubuh telanjang kami saling berpelukan dihadapan teman temannya, seakan mereka baru tersadar kalau babak pertama sudah selesai.
Indra membawa 2 botol bir hitam dan menyerahkan ke kami, aku menolak dan minta Lippovitan atau air putih saja, sekedar mencuci mulutku yang terasa bergetah terkena sperma. Joseph mengusap wajah dan tubuhku yang terkena sperma dengan handuk kecil yang sepertinya sudah disiapkan.
“Beruntunglah kamu Joseph, belum tentu si Yeni nanti mau melakukan seperti itu,” kata Indra
“Aku mau kamu panggil dia lagi saat pestaku nanti,” celoteh salah seorang penonton.
“Tunggu saja giliranmu, dapat aja belum, makanya jangan terlalu sering ganti pacar,” sahut lainnya.
Aku tak memperhatikan lagi celoteh mereka, kupunguti pakaian yang berserakan di lantai sekaligus sengaja lebih memamerkan lekuk sexy tubuhku dihadapan mereka, aku ingin mereka mengetahui lebih jauh betapa sexy-nya tubuhku.
Hanya berselang 15 menit, Joseph sudah bersiap melanjutkan permainan, dia jongkok di antara kakiku yang dinaikkan tinggi, liang vagina yang bersih tanpa dihiasi bulu bulu halus begitu jelas terhampar dihadapannya, juga dihadapan teman temannya.
Dipandangi sejenak sebelum mendaratkan lidahnya, seperti dia baru tersadar kalau selangkanganku tidak berambut sehabis dicukur. Diawali dengan ciuman pada paha dan remasan di dada, lidahnya menjelajahi daerah selangkanganku, menari nari sebentar pada klitoris lalu mulai melakukan hisapan hisapan kuat di vagina, akupun mendesah lepas tanpa peduli penonton yang mulai menahan napas.
Beberapa menit kemudian kudorong kepalanya menjauh, aku berdiri menuntunnya menuju sofa panjang, kuusir mereka yang sedang mendudukinya untuk berpindah ke tempat lain. Dengan halus kurebahkan tubuh telanjang Joseph di sofa panjang, kamipun melakukan 69 di atasnya, saling menjilat, saling mendesah, saling berbagi kenikmatan.
Kulirik beberapa penonton mulai mendekat, melihat lebih dekat bagaimana aku mengulum dan menjilat, sebagian lagi melototi vaginaku yang sudah mendapat jilatan nikmat, mereka berdiri mengelilingi kami, aku tak peduli, justru semakin bergairah, namun tidak demikian dengan Joseph, dia merasa terganggu dengan jarak yang terlalu dekat, diberinya aba aba supaya temannya kembali menjauh.
Setelah kulihat semua sudah duduk pada tempatnya, aku berdiri mengatur posisiku diatas penisnya, sengaja kupilih posisi di atas supaya penonton bisa menikmati tubuhku sepenuhnya, berikut buah dadaku yang akan berguncang saat aku turun naik mengocok Joseph.
Dugaanku benar, mereka mulai menggeser sofa tempat duduknya ke arah depanku, sehingga terlihat dengan jelas bagaimana expresi wajahku saat menerima kenikmatan dan bagaimana temannya sedang merasakan kenikmatan tubuhku sambil meremas remas buah dadaku, aku mendesah makin bergairah seirama gerakan mengocokku di atasnya.
Berulang kali Joseph mengulum putingku disaat aku mengocoknya, penonton tercekat diam menikmati permainan kami, beberapa mulai meremas remas selangkangannya sendiri, bahkan salah seorang sudah mengeluarkan penis dari celananya sembari mengocok dan menonton kami, aku tertawa puas dalam hati bisa mempermainkan mereka, membuat mereka terbakar api birahinya sendiri.
Melihat kondisi birahi para penonton, aku semakin bergairah mengocoknya, justru membuat Joseph semakin mendesis melayang kenikmatan, diremasnya buah dadaku semakin gemas, akupun terbawa suasana panasnya nafsu disekelilingku.
Gerakanku semakin liar, berputar dan naik turun di atas Joseph, untung dia bisa tahan lebih lama sehingga aku semakin menikmati permainan ini, bukannya menikmati kocokan Joseph tapi menikmati sensasi yang terjadi.
Kami berganti posisi dogie, aku posisikan tubuhku tetap menghadap para penonton meskipun dengan posisi nungging, justru semakin menambah erotisme saat buah dadaku berayun ayun bebas ketika Joseph mengocok dari belakang.
Sodokan Joseph langsung keras menerjang segala rintangan yang ada, dikocoknya vaginaku dengan kerasnya, tentu saja buah dadaku bergoyang semakin hebat, beberapa penonton terlihat menelan ludah menahan napas tanpa bisa berbuat apa apa, terjebak permainannya sendiri. Aku semakin menikmati wajah wajah mereka yang menahan nafsu tinggi, 2 orang sudah orgasme tanpa bisa berbuat banyak, kecuali minta bantuan ketrampilan tangannya sendiri, mungkin lainnya menyusul tak lama lagi.
Tak ada yang bersuara kecuali kami berdua, semua menahan nafas dan gejolak nafsunya sendiri sendiri, kuimbangi gerakan Joseph dengan gerakan pantat yang berlawanan sambil memutar mutar pantat. Joseph semakin liar mengocokku, keringat mulai membawahi tubuhnya, dinginnya AC tak mampu meredam panasnya nafsu yang menggelora.
Aku merasa Joseph sudah dekat ke puncak kenikmatan, tapi aku tak mau secepat itu meski kami sudah bercinta lebih 15 menit. Kuminta berganti posisi, sekedar menurunkan tegangannya, tanpa minta persetujuan kucabut penis dari vaginaku dan aku langsung telentang di atas karpet di dekat kaki para penonton. Spontan mereka melongo sejenak melihat tubuh telanjangku telentang di kaki kaki mereka, tapi tak lama, Joseph sudah menutupi tubuhku dengan tubuh gendutnya. Aku kembali mendesah nikmat menerima kocokan Joseph, mereka melihat expresi desahanku dari celah pundak Joseph.
Kuangkat kakiku ke pundaknya, dengan posisi agak jongkok Joseph mengocokku, penisnya serasa semakin dalam mengisi liang vaginaku, para penonton semakin mendekat, bahkan Indra sudah dalam jarak jangkauan tanganku, kalau aku mau bisa saja kuraih dan kumainkan penisnya yang sudah keluar dari celananya, tapi itu diluar kesepakatan. Aku bisa menikmati wajah wajah yang terbakar birahi tinggi, wajah wajah putih terlihat kemerahan seperti udang rebus.
Joseph sudah tak mempedulikan lagi teman temannya yang bergerak semakin dekat, dia terlalu berkonsentrasi padaku, dan tak lama kemudian diapun menjerit seiring kurasakan denyutan kuat pada vaginaku, tubuhnya mengejang sambil meremas buah dadaku, akupun menjerit kaget dan nikmat, denyutan demi denyutan menghantam dinding dinding vagina dan akhirnya Joseph terkulai lemas di atas tubuhku dengan keringat yang deras membasahi tubuh kami berdua.
Riuh tepuk tangan kembali bergema di ruangan itu, aku masih memejamkan mata saat Joseph meninggalkan tubuh telanjangku yang masih telentang di atas karpet lantai, ketika kubuka mataku, ternyata aku tengah dikelilingi para penonton yang berdiri dengan penis yang teracung keluar, sungguh pemandangan unik.
Segera aku berdiri, tak bisa dihindari lagi ketika tubuh telanjangku bersinggungan dengan mereka, bahkan kurasakan beberapa menepuk atau meremas pantatku saat aku melewatinya, kubalas dengan senyum menggoda.
“Kamar mandi dimana?” tanyaku, serentak mereka menunjuk ke sudut ruangan seakan terlupa kalau penis mereka masih mengacung tegang.
Hanya dengan berbalut handuk yang ada di kamar mandi, aku kembali ke ruangan dan langsung duduk kembali di pangkuan Joseph. Mereka sudah merapikan pakaiannya kembali kecuali Joseph yang hanya mengenakan celana dalam.
“Masih bisa lanjut?” bisikku, meskipun aku belum orgasme, tapi aku puas melihat mata mata liar yang takluk dalam permainanku, seakan aku berhasil menaklukan mereka 8 orang sekaligus tanpa harus bersetubuh.
Entah berapa orang yang sudah orgasme hanya dengan melihat permainanku dengan Joseph.
“Sialan, dia sih jauh lebih hot dari yang kalian berikan ke aku tempo hari, rugi aku, kirain waktu itu dia yang terbaik tapi ternyata ini jauh melebihi,” protes salah seorang disambut tawa dari lainnya.
Sambil beristirahat, kami bersantai, mereka saling meledek, baik tentang pribadi, istri istri mereka ataupun pacar dan mantan pacarnya. Botol botol kosong bir hitam sudah berserakan di meja. Akupun berputar dari satu pangkuan ke pangkuan lainnya tanpa mereka boleh menyentuhku, itulah aturannya.
“Kita lanjutin di kamar” kata Indra mengingatkan.
Kamipun berame rame menuju kamar yang ditunjuk Indra, selaku tuan rumah. Sebelum aku mencapai pintu kamar, seseorang menarik lepas handukku hingga aku telanjang. Aku hanya tersenyum melihat kenakalan mereka, tanpa mempedulikan tubuhku yang tanpa selembar penutup, aku santai saja berjalan menuju kamar mengiringi para laki-laki itu.
Kamar itu begitu besar dengan ranjang King Size, designnya bagus seperti kamar hotel suite, namun aku tak bisa memperhatikan lebih lanjut karena Joseph sudah memelukku dari belakang sebelum aku mencapai ranjang. Dia menciumi tengkukku sambil tangannya meremas remas buah dada, tubuhku lalu disandarkan menghadap dinding kamar, kubuka lebar kakiku karena aku tahu dia ingin menyetubuhiku dari belakang dengan posisi berdiri.
Penisnya mulai disapukan ke daerah kewanitaanku, namun berulang kali dia mencoba berulang kali pula dia gagal melesakkan penisnya mungkin terganjal perut.
Aku mengambil inisiatif, kutuntun Joseph menuju sofa dimana teman temannya duduk bersiap melihat permainan berikutnya. Kuminta salah seorang yang duduk di sofa panjang itu untuk bergeser, akupun duduk diantara mereka, berhimpitan di sofa panjang itu. Kuraih penis Joseph yang sudah berdiri di depanku dan langsung kumasukkan ke mulutku, mereka mulai bersiul melihat aku mulai beraksi, begitu dekat jarak antara mereka dengan mulutku yang sedang mengulum penis Joseph, hingga kurasakan dengus napas berat menerpa wajahku.
Joseph berlutut didepanku, kubuka kakiku lebar dan menumpangkan ke paha disampingku, dengan sedikit sapuan pada bibir vagina, Joseph melesakkan ke dalam, mengisi liang kenikmatanku, desahan nikmatku menyambut sodokannya. Aku menggeliat sejenak, kuremas lengan lengan yang ada disampingku sementara mereka membalas dengan elusan elusan pada kakiku yang menumpang di pahanya.
Kocokan Joseph semakin keras dan cepat, desahanku pun semakin lepas, tanpa kusadari remasanku sudah beralih ke paha mereka, hanya beberapa centi dari selangkangan. Sejauh ini hanya Joseph yang telah menjamah tubuhku, tapi cengkeraman dan elusan tanganku pada paha membuat mereka semakin berani, seakan mendapat sinyal dariku.
Indra yang berdiri dibelakang sofa, tepat di atasku memasukkan jari tangannya ke mulutku, aku menyambut dengan kuluman seperti layaknya mengulum penis. Sementara mereka yang tepat berada disampingku menggeserkan tanganku ke selangkangannya, akupun menyambut dengan remasan pada penis mereka. Sebelah kanan mengambil inisiatif terlalu jauh, dikeluarkannya penisnya dari celana dan membimbing tanganku ke arahnya, seolah tak menyadari hal itu aku mulai meremas remas penis itu sambil menerima kocokan dari Joseph, mereka mulai mendesis bersamaan.
Ketika tangan Indra hendak menjamah buah dadaku, Joseph sepertinya tersadar, ditepisnya tangan tangan yang menggerayangi tubuhku, termasuk tanganku yang sedang mengocok penis orang lain.
“Boleh dilihat, tak boleh dipegang!!, tunggu giliran kalo mau,” hardik dia pada temannya, disambut senyum kecut dari mereka, aku hanya tersenyum saja melihat expresinya yang marah bercampur nafsu birahi.
Kini aku telentang di atas meja, menerima sodokan demi sodokan dari Joseph, sementara teman temannya mengocok penisnya sendiri tepat di atasku sambil melihat bagaimana sobatnya yang sebentar lagi kawin menyetubuhiku dengan penuh gairah nafsu. Tanganku yang bebas bergerak sebenarnya bisa menggapai penis penis itu, tapi sepertinya Joseph tak mengijinkan aku melakukannya. Aku sangat yakin mereka ingin menumpahkan spermanya di tubuhku saat aku sedang menerima kocokan, tapi entahlah apa hal itu diperbolehkan, toh mereka tidak menyentuhku.
Dan keyakinanku terbukti saat salah seorang dari mereka menyemprotkan spermanya tepat mengenai wajahku, Joseph sempat protes tapi tentu saja tak bisa dicegah, dia mengalah dan semakin mempercepat kocokannya. Sebelum Joseph menumpahkan spermanya di vaginaku, 2 orang temannya kembali menyirami tubuhku dengan sperma secara beruntun, kali ini dia diam saja. Bahkan Joseph semakin bergairah saat kusapukan sperma sperma yang ada di tubuh dan wajahku ke mulut, untunglah Joseph segera menyusul, diiringi teriakan keras dia kembali membasahi liang kewanitaanku dengan vaginanya.
Tanpa menunggu habisnya denyutan, dia mencabut penisnya dan bergerak ke arah kepalaku, dimasukkannya penisnya ke mulutku, dan kusambut dengan kuluman dan permainan lidah. Satu lagi semprotan sperma kuterima di dada saat aku sedang mengulum Joseph.
“Real bitch,” kudengar salah seorang berguman melihat keliaranku.
Joseph melempar handuk ke arahku untuk membersihkan sperma yang belepotan di tubuhku, aku beranjak menuju kamar mandi di kamar itu. Kamar mandi itu begitu besar dengan bathtub berbentuk seperempat lingkaran dilengkapi dengan whirpool dan sauna apalagi accessories lainnya tak kalah dengan kamar mandi di suite hotel bintang lima, sungguh rumah yang benar benar mewah.
Kurendam tubuhku di bathtub, air hangat terasa begitu segar menyirami tubuhku setelah tadi disiram sperma hangat. Tubuhku semakin nyaman saat Indra menghidupkan whirpool hingga serasa dipijitin, satu persatu mereka melihatku mandi hingga tak kusadari mereka sudah berdiri disekeliling bathtub.
“Tolong handuknya dong,” pintaku pada salah seorang yang dekat denganku.
Mereka berbaris mengikutiku saat aku kembali ke kamar, aku duduk di tepi ranjang yang tidak pernah kupakai, mereka duduk teratur di depanku, hanya Joseph yang duduk disampingku, dia mengenakan piyama.
“So what next?” tanyaku menantang sambil merebahkan tubuhku yang masih berbalut handuk di ranjang.
“Terserah dia tuh, kalau sudah menyerah ya selesai tugasmu,” jawab Indra sambil memandang ke temannya
“Tidak ada kata menyerah untuk urusan beginian, tapi aku harus segera pulang sebelum calon istri mencari, maklum sedang sibuk sibuknya menyiapkan acara, ini aja sembunyi sembunyi, untung HP habis baterei,” jawabnya, berarti acara sudah selesai.
“Tapi kalau kalian mau melanjutkan ya silahkan, aku sampai disini saja,” lanjutnya seraya mencium pipiku lalu beranjak keluar kamar meninggalkan kami.
“Oke siapa yang mau melanjutkan dengan Lily, tentu saja urusannya atur sendiri, itu diluar acara,” kata Indra mengikuti Joseph.
Tak ada yang menjawab, entah karena sudah jenuh atau sudah tahu permainanku atau juga mungkin karena segan dengan teman lainnya, mereka hanya diam.
Bersama sama kami keluar kamar, Joseph yang sudah berpakaian rapi menyerahkan pakaianku.
“Aku tak menemukan celana dalammu,” katanya.
“Nggak apa, mungkin ada yang nyimpan untuk kenangan,” jawabku, didepan mereka kukenakan kembali pakaianku minus celana dalam.
“Bisa kita quickie sebentar?, Just to say goodbye,” tanya Joseph sambil menarikku kembali ke kamar, akupun menuruti kemauannya.
Sesampai di kamar aku langsung nungging di atas ranjang, tanpa melepas pakaian, hanya menurunkan celana hingga lutut, Joseph mengeluarkan penisnya dari lubang resliting. Tidak seperti sebelumnya, kali ini agak susah untuk memasukkan penis itu ke liang kewanitaanku, mungkin karena belum terlalu tegang, vaginaku pun masih kering. Setelah kulumasi dengan ludahku, barulah dia bisa melesakkan penisnya dan langsung mengocok cepat dan keras, desahan kembali terdengar. Rupanya desahanku mengundang teman temannya ke kamar, satu persatu mereka masuk kamar melihat babak terakhir persetubuhanku dengannya. Hanya berlangsung 3 menit akhirnya Joseph menggapai orgasmenya yang terakhir denganku, diiringi tepuk tangan teman temannya. Setelah saling merapikan pakaian kami keluar kamar.
Kuantar kepergian Joseph hingga pintu, diapun benar benar pergi setelah memberikan goodbye kiss seakan melepas kepergian pacarnya ke tempat yang jauh.
“The best sex yang pernah kudapat,” bisiknya sebelum pergi, aku hanya tersenyum melepas kepergiannya kembali ke calon istrinya.
=====================================================
Aku kembali ke ruang keluarga untuk pamit dan minta dipanggilkan taxi atau ikut salah satu dari mereka saat pulang nanti, karena jarang sekali taxi yang lewat daerah ini.
“Ly, kami sepakat lanjut, gimana?” tanya salah seorang dari mereka
“Aku sih terserah saja, tapi sama siapa?” tanyaku, mereka saling berpandangan seakan tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dan tak ada yang mengalah untuk memberikan kesempatan ini pada temannya.
Setelah berunding beberapa lama, akhirnya aku usulkan untuk diadakan lelang, dijadiken obyek pelelangan aku sih oke saja. Penawar tertinggi akan mendapatkan tubuhku, diluar urusan pembayaran dengan GM, jadi yang dilelang adalah tips yang akan aku terima.
Serempak mereka menulis angka angka di kertas tisu dan menyerahkan padaku sebagai juri. Satu persatu kubuka, kuumumkan nama dan jumlah yang ditulis, ternyata angka tertinggi ada 2 orang, masing masing menulis 2,5 juta, yaitu Robi dan David. Aku tak tahu bagaimana harus menentukan pemenang, bagiku bukan orangnya yang harus kupilih tapi angkanya, toh melayani siapa saja sudah biasa bagiku.
Apakah diundi pakai coin atau suit atau lelang lanjutan, aku benar benar nggak tahu, tapi aku tahu ada potensi untuk mendapatkan angka yang lebih besar dari yang tertulis namun dengan cara yang lebih halus dan tidak terlihat terlalu mata duitan.
Kuminta Robi dan David mendekatiku.
“Sorry lainnya, sebagai juri aku harus menentukan siapa pemenangnya,” kataku pada yang lain
Begitu mereka mendekat, kupeluk mereka berdua dan kuremas selangkangannya seakan menguji seberapa besar yang mereka punya, ini hanyalah untuk mengalihkan perhatian yang lain dan juga untuk membuat kedua orang ini terhanyut dalam skenarioku.
“Aku tahu kamu menikmati saat aku dikeroyok di sofa tadi,” bisikku sambil menatap mata mereka satu persatu meski aku tak yakin betul mereka menikmatinya.
“Kalau masing mau menggandakan apa yang kamu tulis tadi, aku mau menemani kalian berdua bersamaan, pasti jauh lebih heboh dari yang tadi, tapi tidak ditempat ini, kita bertiga aja.. kalau nggak mau aku tawarkan pada yang lain,” bisikku, mereka berpandangan, kuremas remas makin kuat kejantanannya dan kutempelkan tubuhku pada mereka seraya menggeser geserkan buah dada, sekedar menggoyahkan logika mereka supaya menuruti usulanku.
Usahaku berhasil, mereka menyetujui tanpa berpikir lebih lama lagi, tentu saja bagi mereka apalah artinya uang sebesar itu ditambah tarif yang harus dia urus dengan si GM, apabila dibandingkan sensasi yang bakal mereka nikmati.
Kutatap mereka bergantian, hanya anggukan yang kuterima sebagai jawabannya.
“Sorry, kami sepakat melanjutkan acara sendiri diluar, kalian nggak keberatan kan?” tanyaku sambil menggandeng Robi dan David keluar tanpa menunggu jawaban dari lainnya, meskipun begitu sempat kudengar teriakan “Huu”, tapi aku tak peduli.
“Fren, bawa mobilku dulu” kata David sambil melempar kunci kontak ke arah temannya.
Dengan mengendarai si mata kucing, kami bertiga meluncur meninggalkan kawasan Galaxy menuju hotel terdekat.
“Aku belum pernah main rame rame kayak gini” kata Robi yang sedang nyetir.
“Aku juga, meski pinginnya sih udah lama” timpal David yang duduk dibelakang.
“Emang aku pernah, gara gara kalian tadi aku jadi pingin nyoba” cetusku berbohong.
“Kalo aku nggak suka boleh mundur kan?” tanya David lagi.
“Terserah tapi janji tetap janji seperti yang ditulis tadi,” godaku.
“Ly, kamu pindah belakang dong, jangan ganggu sopir,” pinta Robi, kamipun berhenti sebentar dan aku berpindah ke jok belakang, aku tahu maksud dari Robi menyuruhku pindah.
“Awas kamu nanti, aku balas di kamar, pokoknya aku yang duluan,” ancam Robi sambil kembali menjalankan Mercy-nya dan mengatur kaca spion menghadap ke kami.
Begitu aku duduk di belakang, Robi memelukku, bersamaan tangannya menjamah buah dadaku bibirnya mendarat di pipi dan leher, aku menggelinjang. Kusambut bibirnya saat menyentuh bibirku, kulumat dengan penuh gairah. Kaca film yang gelap menyembunyikan perbuatan kami dari pandangan luar.
Tangan Robi menyelinap dibalik kaosku, aku menolak saat dia minta kulepas, terlalu berani, dengan trampilnya tangan itu melepas kaitan bra dipunggung, buah dadaku sudah bergantung tanpa penyangga lagi, makin gemas dia meremas remasnya. Jalanan Kertajaya mulai macet, memberi kesempatan lebih lama pada Robi untuk menikmati tubuhku lebih dulu, dengan menyingkap kaos hingga ke dada, dia semakin berani dan mengulum kedua putingku bergantian, akupun mendesah dalam nikmat seraya mengeluarkan penisnya, sesaat kulirik mata David mengamati kami dari kaca spion, beruntung macetnya jalanan tak terlalu membutuhkan konsentrasi saat nyetir.
Aku tahu sambil melirik David meremas remas sendiri kejantanannya yang kuyakin sudah setegang batu karang, namun aku tak bisa memperhatikan lebih jauh saat Robi menundukkan kepalaku pada selangkangannya. Sedetik kemudian penis Robi sudah keluar masuk mulutku, sambil menerima kulumanku, dia tak melepaskan remasannya pada buah dada diiringi permainan di puting.
Tanpa kusadari, aku tidak lagi menolak ketika dia melepas kaosku hingga topless. Kulumanku semakin bergairah, desahan Robi seakan mengundang temannya untuk segera bergabung. Aku tahu dia tak akan bertahan lebih lama lagi, maka semakin kupercepat kulumanku diselingi remasan remasan menggoda, dan.. muncratlah spermanya di dalam mulutku, aku tak mau mengeluarkannya, kutahan penis itu tetap berada dimulut hingga habis spermanya. Banyak sekali sperma yang ditumpahkan ke mulut, meskipun aku berusaha menelan semua tapi tak bisa dihindari beberapa tetes mengalir keluar mengenai celananya, kuremas remas seakan memeras habis sisa sisa sperma yang ada, dia mengerang berusaha menarik kepalaku tapi aku tak mau, malahan kupermainkan lidahku di ujung penisnya.
“Ah disini sajalah, kalian sudah mulai duluan,” kata David ketika tiba didepan Hotel Sahid.
“Jangan disini, nggak enak, situ aja di Garden Palace, lebih asik,” usulku ketika dia hendak belok kanan memasuki area hotel Sahid, aku masih menjilati sisa sisa sperma yang masih ada di penis Robi.
Ketika mobil memasuki halaman parkir Garden Palace, aku masih bertelanjang dada di pangkuan Robi, dari belakang dia meremas remas buah dadaku sambil mencium dan menjilati punggungku seakan tak pernah bosah untuk menjamah tubuhku.
Entahlah apakah tukang parkir yang mengatur parkir bisa melihatku telanjang atau tidak karena kaca depan memang terang. Segera aku turun dan mengenakan kaosku tanpa bra yang sudah dikantongi Robi, bertiga kami menuju Lobby, David menggandengku dan menunggu di sofa saat Robi check in di meja Receptionis.
Kuamati Lobby hotel yang sempat menjadi “rumahku” selama 3 bulan saat aku menjadi “simpanan” Koh Wi, tak banyak yang berubah bahkan mungkin tak ada yang berubah, beberapa bell boy dan satpam masih kukenali dan mereka tampaknya masih mengenali aku, mungkin karena penampilanku memang tak banyak berubah.
Sesampai di kamar di lantai 14, David yang dari tadi sudah menahan birahinya, langsung memelukku hingga kami terjatuh ke ranjang. Bukannya berhenti malah semakin ganas menggumuliku, dengan kasar ditariknya lepas kaosku dan dilempar ke arah temannya.
Celanakupun meninggalkanku tak lama kemudian, aku telanjang didepan kedua pria yang masih berpakaian lengkap, sesaat mereka membiarkanku telentang sendirian di ranjang. Dengan tergesa gesa David melepas pakaiannya, begitu telanjang dia langsung melompat ke atasku, kusambut dengan pelukan dan ciuman hangat, bibir dan lidah kami saling bertaut menyalurkan getar getar birahi. Begitu ganas David mencumbuiku, entah karena tipenya atau karena tak mampu lagi menahan birahi sejak kejadian di rumah Indra tadi, yang jelas ciumannya sangat liar, namun justru membuatku semakin bergairah. Lidahnya menyusuri tubuhku, dari leher turun dan berhenti di buah dada dan turun lagi hingga selangkangan tapi dia tidak melakukan oral, mungkin masih ragu karena sperma temannya telah membasahi saat di rumah Indra, ciumannya kembali naik setelah sampai di klitoris.
Kami berpelukan bergulingan hingga hampir jatuh, kuminta dia telentang dan diam saja menikmati kenikmatan yang akan kuberikan. Mula mula kujilati putingnya, aku membalas seperti apa yang dia lakukan padaku tadi, dia masih terdiam menahan desahan, namun begitu lidahku menyentuh lipatan pahanya, desahan lirih mulai terdengar dan semakin keras ketika kuremas kejantanannya sambil menjilati kepala penisnya yang tidak disunat. Akhirnya diapun mendesah lepas saat lidahku menjilati dan menyusuri sekujur batang kemaluan hingga ke kantong bola dan menyentuh lubang anus. Kubuka lebar dan kuangkat kakinya ke atas hingga aku lebih bebas menjilati daerah seputar lubang pembuangannya, dia menjerit semakin keras tak menyangka mendapat servis seperti itu, servis yang tak kuberikan pada temannya sebelumnya, apalagi tanganku tak pernah berhenti mengocok penisnya.
Kurasakan elusan di punggungku, ternyata Robi sudah telanjang bersiap ikutan menikmati tubuhku, kuminta dia telentang di samping David untuk mendapatkan servis yang sama, tapi dia menolak, malahan menciumi pantatku yang sedang nungging. Robi menciumi vaginaku dari belakang, sesekali menyentuh lubang anusku, seperti halnya David, akupun tak menyangka dia akan melakukan itu, akupun mendesah sambil menjilati David.
Cukup lama aku menjilat dan dijilat di tempat yang sama, kemudian kurasakan penis Robi menyapu vaginaku dari belakang disusul dorongan pelan menguak liang kenikmatanku. Aku beranjak dari posisiku, belum tiba saatnya, aku ingin pemanasan yang lama dengan dua laki laki ini, kurebahkan tubuhku telentang disamping David dan kubuka kakiku lebar mengundang untuk dikulum. David yang dari tadi cuma telentang, menyerobot posisi temannya, dia segera menyusupkan kepalanya di selangkanganku, rupanya dia ingin membalas perlakuanku. Aku mendesah nikmat dikala bibir dan lidahnya menyentuh klitorisku, dan semakin keras saat Robi ikutan mendaratkan lidahnya pada putingku bergantian.
Dua lidah laki laki bermain di kedua daerah sensitifku, sungguh kenikmatan yang tak terbayangkan, begitu indah rasanya, apalagi permainan lidah David tak kalah liar dengan Robi menari nari di vagina, kukocok keras penis Robi yang berada dalam genggamanku, diapun ikutan mendesah.
Robi menggumuli bagian atas tubuhku dengan penuh gairah, mengulum putingku, melumat bibir sambil meremas kedua buah dadaku, menciumi leher hingga kembali ke puting, rasanya tidak satu centi-pun tubuhku yang terlewatkan dari sapuan bibir dan lidahnya. David yang berada dibawah juga tak kalah liarnya, menyusuri bagian bawah, dari jilatan di klitoris menyebar ke bibir vagina hingga ke lipatan paha dan paha dalam terus kembali lagi ke vagina dan sekitar dubur. Semua dia lakukan bersamaan dengan temannya, seperti paduan antara keahlian dan gerak tari lidah yang terpadu di atas tubuhku, sungguh permainan yang penuh gelora birahi tinggi.
“Oke siapa duluan,” tantangku setelah merasakan serbuan liar bertubi tubi dari bibir dan lidah mereka, agak kewalahan juga menikmati permainan oral mereka. Mereka berpandangan seakan tidak ada yang mau ngalah.
“Kamu berunding aja dulu dan jangan berantem, semua pasti kebagian, tunggu dulu ya,” kataku menggoda sembari turun dari ranjang mengambil kondom dari tas Eigner-ku yang selalu ready.
“Pake ini dulu, kecuali kalian mau sama sama nggak pake,” kataku sambil meletakkan beberapa bungkus kondom di atas ranjang dan aku kembali telentang menunggu siapa yang beruntung mendapatkan vaginaku terlebih dahulu.
“Kamu yang pilih deh,” kata David.
“Nggak,” jawabku singkat sambil mendesah pelan, mempermainkan klitorisku sendiri dengan tangan, selain untuk menggoda mereka, aku tak mau gairahku drop hanya karena menunggu mereka berebut, tentu saja kedua laki laki itu semakin sengit berebut. Mereka berunding berbisik, aku tak peduli sambil mendesah semakin keras melanjutkan kocokan jariku yang sudah keluar masuk vagina.
“Guys, please” pintaku disela desahan melihat mereka belum juga mau mengalah.
Tak sabar menunggu mereka, akhirnya aku turun dari ranjang dan jongkok diantara tubuh telanjang mereka, kugenggam kedua penis yang mulai melemas.
“Kamu lanjutkan rundingannya,” kataku seraya memasukkan salah satu penis ke mulutku, mereka terdiam dan berganti dengan desahan nikmat.
“Yang keluar duluan, kalah,” kataku melanjutkan kulumanku. Bergantian dua penis itu keluar masuk ke mulut, aku semakin mempercepat kocokanku. Bersamaan mereka mendesah semakin keras menikmati permainan lidahku yang menyusuri batang batang menegang secara bergantian.
Bisa ditebak, David yang sedari tadi nafsunya sedang meluap luap tanpa pelampiasan, segera memenuhi mulutku dengan spermanya, diiringi teriakan kenikmatan. Kenikmatan yang sudah dia tunggu dan harapkan sedari tadi.
Robi segera menggandengku ke ranjang, meninggalkan David yang duduk terengah engah setelah merasakan orgasme di mulutku. Aku telentang menanti cumbuan lanjutan dari Robi yang sudah bersiap di atas tubuh telanjangku.
Seperti kebanyakan tamuku lainnya, dia tidak langsung menyetubuhiku tapi menikmati setiap bagian dari tubuhku dengan bibir dan lidahnya. Tanpa mempedulikan aroma sperma dari mulutku, dilumatnya bibirku hingga lidah kami bertaut menyatu, disusul dengan sapuan bibir menyusuri leher dan berhenti pada kedua bukit di dada. Aku menggelinjang saat kuluman dan sedotan lembut menerpa putingku, disela remasan dan jilatannya, akupun mendesah geli bercampur nikmat.
Kurasakan ranjang bergoyang, ternyata David tak mau berdiam diri melihat temannya telah membuatku menggelinjang penuh nafsu, dia duduk disampingku, meraba raba dan meremas remas buah dadaku, berbagi dengan temannya. Setelah mengusap sisa ludah Robi, David mendaratkan bibir dan lidahnya pada putingku. kini dua mulut dan lidah menari nari pada putingku, akupun semakin menggeliat tak karuan mendapatakan kenikmatan ganda seperti ini, suatu kenikmatan yang tak bisa digambarkan, apalagi gerakan mereka tidak sama antara menjilat dan menyedot, sungguh pengalaman yang luar biasa.
Desahanku semakin tak terkontrol ketika bersamaan jari jari tangan mereka menyeruak masuk ke liang kenikmatanku, akupun kembali menggeliat hebat, empat stimulus berjalan bersamaan, dua di puting lainnya di klitoris dan vagina, tak terbayangkan kenikmatan yang kudapatkan.
Kuraih kedua penis mereka yang mulai menegang, kuremas dan kukocok dengan cepat, hanya itulah yang bisa kulakukan selain mendesah.
Robi sudah mengambil posisi diselangkanganku selagi David masih asik melumat bibir dan lidahku, dan.. bless, tanpa kesulitan penis Robi menerobos memasuki vaginaku yang sudah basah, aku terhenyak sejanak merasakan penisnya memenuhi liang kenikmatanku, namun hanya beberapa detik kembali saling kulum dengan David disaat Robi mulai bergerak keluar masuk. Agak susah aku membagi konsentrasi antara kocokan di bawah dan kuluman di atas, apalagi ketika David bergerak mengulum putingku bergantian.
Kedua laki laki itu menikmati tubuhku dengan caranya masing masing sesuai porsi yang ada. Beberapa menit mereka mengocok dan mengulum, baru kusadari kalau Robi tidak memakai kondom tapi aku diam saja, toh ini bukan pertama kali laki laki menyetubuhiku tanpa kondom meskipun kebanyakan lebih menyukai memakainya, demi kesehatan, katanya.
David beranjak ke atas, menyodorkan penisnya ke mulutku, kesempatan ini tak disia siakan Robi, segera dia telungkup menindihku sambil menciumi leher dan telinga, tubuh kami menyatu terpatri birahi. Sejenak aku terlupa penis David yang sudah sudah menegang di samping wajahku. David menyodorkan penisnya ke mulutku yang tengah menengadah merasakan nikmatnya kocokan Robi, aku baru tersadar kalau masih ada satu penis lagi yang harus aku handle, segera kuraih dan dengan agak susah karena posisi tubuh Robi yang di atasku, akupun mengulum penis David sembari menerima kocokan Robi yang semakin keras dan liar. David tak mau hanya menerima kulumanku saja, diapun ikutan mengocokku, kini aku mendapat 2 kocokan sekaligus di atas dan di bawah.
Sebenarnya kenikmatan yang kudapat biasa biasa saja, namun sensasi yang ditimbulkan membuat kenikmatan yang biasa biasa saja menjadi luar biasa, akupun dengan mudahnya terhanyut dalam irama permainan birahi yang penuh nafsu, melambung tinggi ke awan kenikmatan.
Tanpa mempedulikan sobatya yang tengah asik mengocok mulutku, Robi membalik tubuhku hingga nungging, David menyesuaikan dengan posisi baru, dia duduk di depanku disaat Robi mengocokku dengan posisi dogie.
Kembali aku menerima dua kocokan sekaligus, kali ini aku lebih bebas bergerak baik untuk mengimbangi kocokan Robi di vagina maupun gerakan kepalaku pada penis David.
Gerakan Robi semakin bebas dan liar, akupun mengimbangi keliarannya dengan goyangan pantat dan kepala, bersamaan kami mendesah nikmat membentuk suatu simfoni penuh nafsu.
“Rob, tukar,” pinta David beberapa menit kemudian.
Tanpa menunggu jawaban mereka, aku segera memutar balik tubuhku, pantat ke arah David dan kepala pada selangkangan Robi. Robi lebih dulu memasukkan penisnya yang basah cairan vagina ke mulutku, disusul David pada vaginaku sedetik kemudian. Tak ada perbedaan rasa antara penis Robi dan David saat memasuki vaginaku, tak ada yang istimewa pada mereka, seperti penis pada umumnya dengan ukuran rata rata, hanya permainan David lebih halus dibandingkan temannya, justru itu yang membuatku seperti nggak sabar melihat dia mengocokku dengan pelan sementara kocokan mulutku bergerak liar hingga mulutku kewalahan menerima kocokannya.
“Vid, jangan dikeluarin di dalam,” kata Robi beberapa menit kemudian setelah dia tahu temannya itu tak mengenakan kondom. Tapi terlambat, hanya beberapa detik setelah Robi mengingatkan, David menjerit dalam orgasme, kurasakan denyutan kuat menerpa dinding vaginaku. Sesaat kuhentikan kulumanku pada Robi untuk menikmati gempuran demi gempuran yang kuterima begitu nikmat.
“Ya kamu gimana sih, sudah dibilang keluarin diluar,” protes Robi melihat sobatnya telah mendahului menumpahkan spermanya di vaginaku, meskipun tak sebanyak saat oral tadi.
“Sorry Rob, tanggung, habis enak banget sih,” jawabnya sembari mengusap usapkan sisa sisa spermanya di pantat.
“Sialan kamu ini, masa nggak bisa nahan sih,” gerutunya, rupanya dia mulai drop, perlahan penisnya yang masih dalam genggamanku melemas.
“Ya udah nggak usah ngambek gitu sama teman, aku bersiin dulu,” kataku lalu turun dari ranjang menuju kamar mandi, namun sebelumnya kukulum dulu penis David yang masih basah dengan spermanya.
Selagi aku jongkok di bathtub membersihkan vaginaku, Robi menyusul ke kamar mandi masih menggerutu.
“Tahu gitu kusuruh pake kondom dari tadi,” omelnya.
Aku hanya tersenyum melihat dia masih uring uringan, kuraih kejantanannya yang lemas dan kubelai sambil menciumi, perlahan menegang dan meluncur masuk ke mulutku. Sambil membersihkan vagina, aku melakukan oral pada Robi, dengan bebasnya dia mengocok mulut tanpa pegangan tanganku yang masih sibuk di vagina.
“Sudah bersih nih kalau mau lanjut,” kataku disela sela kulumanku.
Tanpa banyak bicara Robi ikutan masuk ke bathtub, dibaliknya tubuhku nungging membelakanginya, meski agak susah karena tempatnya sempit, kubuka kakiku saat Robi mulai menyapukan kepala penisnya ke vagina.
Cukup satu dorongan keras untuk melesakkan penisnya ke dalam, hanya dengan satu sodokan telah membawaku kembali melayang mengarungi bahtera birahi, aku terdongak sesaat terkaget mendapati kekasaran dia, namun kurasakan kenikmatan dibalik kekasaran sodokan itu.
Meskipun bercinta di bathtub yang cukup sempit untuk tubuh kami berdua, namun terasa justru semakin erotis, apalagi ketika tanpa sengaja tanganku memegangi kran air hingga menyemburlah air dari shower di atas. Kami terkaget sejenak saat air itu membasahi tubuh kami yang tengah mendayung nikmat, tapi Robi mencegah ketika akan kumatikan pancuran itu.
“Biar lebih asik,” katanya tanpa memperlambat kocokannya.
Tubuh kami basah kuyub, antara keringat nafsu dan dinginnya siraman shower, kami justru semakin bergairah.
Tak lama kemudian, akupun sudah berganti bergoyang pantat di pangkuan Robi, penisnya serasa semakin mengaduk aduk isi rahimku, masih dengan iringan siraman air shower yang kini sudah diatur hangat, sungguh sensasi yang luar biasa.
Desahan kami saling bersahutan diiringi gemericik air yang membasahi tubuh kami, tak bisa dipungkiri aku sungguh menikmati permainannya. Tak terasa sudah 2 kali kugapai orgasme saat dia menyetubuhiku di bathtub.
“Rob, gantian dong,” suara David mengagetkanku, rupanya aku terlalu terhanyut dalam alunan birahi hingga tak memperhatikan David yang berdiri di pintu kamar mandi, tengah mengamati kami sambil meremas remas penisnya yang telah tegang.
Sambil tetap bergoyang pinggul, kubantu David meremas dan mengocok penisnya, ingin kukulum dan kulumat penis itu tapi posisiku tak memungkinkan melakukannya, kecuali Robi mau penis David menempel di kepalanya.
Satu penis mengaduk aduk vagina, satu mulut bergantian mengulum dan menggigit ringan putingku dan satu penis berada dalam genggamanku, semua terjadi secara bersamaan. Akan lebih nikmat lagi bila penis digenggamanku itu bisa mengisi mulutku.
Kami mengatur posisi supaya David bisa ikutan bergabung, dan itu tidaklah terlalu sulit meski bathtub yang kecil menghalangi gerakan kami, dan tak lama kemudian dua penis sudah mengocok kedua lubang tubuhku bersamaan, diiringi siraman hangatnya air shower, sungguh pengalaman yang lain daripada sebelumnya. Aku yang sudah diatas awang awang kenikmatan semakin cepat mendaki menuju puncak, hanya beberapa menis setelah penis David mengocok mulut, akupun orgasme untuk kesekian kalinya dipangkuan Robi.
Walaupun lututku serasa semakin melemas, aku berusaha tetap bergairah dan menggoyang di atasnya, beruntunglah Robi menyusulku tak lama kemudian menggapai puncaknya. Tapi episode ini ternyata belum berakhir, David segera mengganti posisi temannya sesaat setelah Robi mengeluarkan penisnya. Lututku serasa benar benar copot, kupaksakan untuk bertahan beberapa saat lagi. Siraman air shower masih deras membasahi tubuhku saat aku mengambil posisi merangkak di bathtub, bersiap menerima sodokan David dari belakang.
Untuk kesekian kalinya penis itu kembali mengisi dan menyodok keluar masuk vaginaku, kali ini aku benar benar tak mampu mengimbangi gerakannya, hanya pasrah menerima sodokan demi sodokan dari belakang, bahkan ketika David menyemprotkan sisa sisa spermanya di vagina, aku sudah tak bisa merasakan lagi kenikmatan denyutannya, terlalu capek untuk menikmatinya.
Setelah beristirahat cukup lama dan memberiku kesempatan recovery, kami mainkan satu babak lagi dengan permainan satu satu dan diakhiri dengan bermain bertiga lagi.
Sebelum tengah malam mereka meninggalkan kamar hotel, meninggalkanku sendirian di kamar, ternyata mereka masih anak mama yang takut untuk menginap di luar rumah tapi sudah berani untuk booking.
============================================================
Peristiwa ini terjadi ketika aku dengan 2 temanku, Yeni dan Ana, menemani 3 orang tamu. Yeni-lah yang mengajak aku dan Ana untuk menemaninya melayani ketiga tamunya, masing masing berpasangan.
Setelah ngobrol sejenak di kamar hotel, kami ber-enam dengan 2 taxi menuju Club Deluxe di bilangan Tunjungan, mereka ingin santai dulu sambil berkaraoke di Club itu.
Sebagian waitress dan mami ditempat itu sudah mengenali Yeni, apalagi aku yang sering sekali menemani tamu tamu bersantai disitu hingga Mami Mami disitu tak perlu repot mencarikan Purel untuk rombongan kami karena sudah cukup pasangannya.
Setelah memesan minuman yang kebanyakan ber-alkohol, kamipun bernyanyi dengan modal nekat meski suara pas pas-an, yang penting enjoy dan tamuku bisa rileks disitu.
Satu jam berlalu, snack dan minuman sudah berulang kali diganti dengan yang baru, entah berapa gelas alkohol yang telah mengisi rongga mulutku, aku tak bisa menghitungnya, kepalaku sudah mulai agak pusing. Untunglah Tomi, pasanganku, mencegah ketika aku pesan Singapore Sling, rupanya dia melihatku mulai agak mabok, sebagai gantinya dipesankan aku teh hangat.
Slow dance, House Music, ataupun joget dangdut bergantian kami lakukan, tidak hanya dengan Tomi tapi tak jarang berganti ke Yudi ataupun Indra, temannya yang lain. Tak bisa dihindari tangan merekapun dengan nakalnya ikutan menjamah pantat dan terkadang buah dadaku, aku tak protes karena Tomi, pasanganku, malakukan hal yang sama pada Yeni atau Ana.
Ketika lagu mandarinnya Andi Lau sedang dikumandangkan Indra dengan suara fals-nya, Yeni memanggil aku dan Ana ke Toilet di kamar itu, meninggalkan ketiga laki laki itu menyanyi sendiri.
“Rek (panggilan khas Surabaya), kita taruhan yuk” sambut Yeni ketika kami bertiga di toilet.
Aku yang sudah terbiasa dengan berjudi jadi tertarik.
“Taruhannya gimana dan hadiahnya apa?” tanyaku penuh minat.
“Kita lakukan dengan cara yang berbeda dari biasanya” sambung Yeni, kulihat matanya berbinar melihat aku dan Ana menyambut dengan antusias.
“Begini, kita lakukan oral pada pasangan kita masing masing, siapa yang bisa membuat orgasme pertama dialah yang menang dan yang terakhir harus membayar, nomer 2 nggak dapat apa apa..”
“Setuju, berapa taruhannya?” potong Ana langsung dengan penuh percaya diri.
“Sabar dulu non, nah disini asiknya permainan ini, yang terakhir membuat orgasme maka dia harus membayar uang bookingan pada tamu berikutnya, dimana yang mencarikan tamu itu adalah pemenang pertama” jelas Yeni.
“Jadi yang kalah harus menyerahkan hasil bookingan untuk tamu yang dicarikan pemenang?” tanya Ana seolah memperjelas.
“Yap, dan tidak boleh menolak tamu macam apapun, apa itu kaya, muda, tua pokoknya terima layani saja tamu yang dikirim pemenang, titik, setuju?” jelas Yeni lagi.
“Deal” tantang Ana.
Aku diam saja.
“Gimana Ly, berani nggak?” tanya Ana sambil menatapku.
Sebelum aku menjawab, pintu toilet dibuka, Indra masuk.
“Eh kalau arisan jangan di toilet dong, kami jadi batu nih sendirian” celetuk Indra, tanpa mempedulikan kami dia langsung membuka celananya dan kencing di kloset, kami terdiam.
“Jangan lama lama ya, ntar kami jadi patung lho” katanya sambil mencium bibir Yeni lalu keluar.
“Aku sih setuju aja, tapi usul boleh kan, supaya permainan lebih menarik dan menantang gimana kalau taruhan dinaikkan, yang kalah menyerahkan hasil bookingan sekarang ke pemenang pertama, dan juga menyerahkan uangnya pada bookingan berikutnya dari tamu yang dicarikan pemenang pertama dan kedua, jadi looser loss all” usulku penuh percaya diri karena yakin bisa mengalahkan mereka, aku sudah sering melihat permainan oral Yeni sedangkan Ana meski belum tahu kelihaiannya tapi rasanya tak mungkin kalah dengan Ana.
Yeni diam memandang Ana.
“Jangan terlalu besar gitu ah, kasihan yang kalah nanti, gimana kalau setengah saja untuk bookingan sekarang, anggap saja uang panjar” kata Ana.
Setelah melakukan beberapa perubahan akhirnya kami sepakat dengan beberapa perubahan aturan main, pemenang dengan menelan sperma mendapat hadiah penuh bila tidak hanya separoh yang didapat, apabila mau melayani tamu pilihan kedua pemenang sekaligus alias 2 in 1, maka cukup menyerahkan setengah perolehannya, sedangkan hasil bookingan kali ini diberikan setengah ke pemenang pertama, Pemenang Pertama dan Kedua diberi kesempatan untuk mencarikan tamu tidak lebih dari 3 hari atau hadiah hangus. Mungkin kami sudah sama sama mabuk hingga melakukan taruhan yang nggak umum ini, bertiga kembali ke ruangan karaoke ke pasangan kita masing masing, kupanggil waitres yang siaga di depan pintu kamar.
“Jangan sekali kali masuk sebelum kami panggil dan tolong redupkan lampu itu” bisikku sambil menyelipkan 50 ribuan ke kantong bajunya.
Kami minta ketiga laki laki itu duduk berjejer di sofa panjang, tanpa bicara, kami langsung jongkok di depan pasangan kami, mereka terlihat bingung tapi tentu saja senang dan gembira melihat kami mulai membuka celananya dan mengeluarkan penisnya.
Seperti dikomando, bersamaan kami memasukkan penis itu ke mulut, perlombaan telah dimulai. Aku yang hanya mengeluarkan penis Tomi dari lubang resliting rasanya kurang bebas, kubuka celananya dan kulorotkan hingga ke lutut.
Kujilati seluruh penis Tomi dari ujung hingga lubang anus, kedua kakinya kunaikkan ke atas hingga aku bebas menyapukan lidahku ke daerah sekitar selangkangannya, kudengar dengan jelas desah kenikmatan dari Tomi, diiringi desahan Indra dan Yudi.
Kukerahkan semua kemampuanku untuk memenangkan permainan ini, sesekali kulirik Yeni menuntun tangan Indra ke balik kaosnya, diremas remasnya buah dada Yeni. Sedangkan Ana aku yang di ujung tak bisa melihat trik-nya karena terhalang tubuh Yeni. Kepala kami bergantian turun naik di selangkangan para laki laki itu, berlomba menggapai tepian nafsu yang tak bertepi.
Beberapa menit berlalu, aku semakin penasaran karena Tomi ternyata “bandel” juga, antara mabuk dan nafsu membuatku semakin nekat, dengan maksud membuat Tomi cepat terangsang dan orgasme, kubuka kaosku hingga menampakkan kedua bra hijau satin transparan yang tak mampu menyembunyikan tonjolan buah dadaku dengan puting yang tampak menerawang meski lampu agak redup.
Tangan Tomi segera meraih dan meremas remas kedua buah dadaku, tapi tampaknya dia ingin lebih, dikeluarkannya buah dadaku dari sarangnya hingga menggantung bebas.
Ternyata aku membuat kesalahan fatal ketika melepas kaosku tadi, Indra yang duduk di sebelah Tomi justru lebih sering melototiku, pada mulanya aku senang saja mendapat perhatian darinya meski dia sedang memperoleh kuluman Yeni, malahan perhatiannya lebih tercurah kepadaku saat Tomi mengeluarkan buah dadaku, padahal Yeni sudah mengikutiku melepas kaosnya.
Tiba tiba kudengar teriakan orgasme dari Indra, teriakan seperti itu biasanya terdengar begitu penuh menggairahkan, tapi kali ini terdengar sangat menyeramkan bagai petir di siang hari bolong. Aku sangat kaget, hampir tak kupercaya bahwa dia yang menurutku permainannya biasa biasa saja, tidak istimewa.
Aku dan Ana menghentikan kuluman sejenak untuk melihat apakah dia menelannya atau tidak, dan kembali aku terkaget saat Yeni menelan dan menjilati sperma yang ada di mulut dan tangannya itu seperti menjilat ice cream, tak biasanya dia melakukan itu. Sungguh dengan telak dia mengalahkan aku pada situasi yang seharusnya aku menangkan.
“Oke nona nona manis, aku sudah selesai” katanya seraya berdiri menuntun pasangannya ke toilet, sepertinya melanjutkan permainan, namun dia sempat menerangkan lampu kamar, biar permainan lebih seru, katanya.
Kini tinggal aku dan Ana yang masih berjongkok dalam terangnya lampu kamar karaoke. Kamipun kembali berlomba memacu nafsu menuju garis tepi. Sudah kepalang tanggung, aku nggak mau menjadi pecundang, kulepas bra yang menutupi dadaku, supaya Tomi lebih bergairah, kurasakan penisnya semakin menegang dalam mulutku, akupun semakin liar mengulumnya, bahkan bertambah nekat, celanaku-pun akhirnya melayang dari tubuhku, menyisakan celana dalam mini string yang masih menempel.
Sempat kulihat mata Yudi melotot melihat tubuhku yang hampir telanjang, desahan Tomi semakin keras seakan mengimbangi alunan musik dari karaoke box yang masih terus bernyanyi tanpa ada yang memperhatikan.
“Wow, semakin panas nih permainan” komentar Yeni ketika keluar dari toilet, aku tak memperhatikan lagi karena sedang memacu nafsu Tomi menuju puncak.
“Aku akan jadi jurinya” lanjut Yeni sambil duduk di pangkuan Indra di sofa seberang.
Sambil menyusurkan lidahku di selangkangan Tomi, kulirik Ana yang tengah asik mengulum penis Yudi, pandanganku bertatapan dengan Yudi yang tengah mengamati tubuh terutama buah dadaku nan tengah dalam remasan pasanganku. Kembali kepala kami mengangguk angguk diselangkangan pasangan masing masing, memacu nafsu menuju tepian birahi.
Namun untuk kedua kalinya aku dikagetkan teriakan orgasme yang serasa menggelagar bagaikan suara guntur di siang hari, merontokkan segala kebanggaan yang selama ini kumiliki. Teriakan itu sepertinya sangat menyeramkan, baru kali ini aku begitu membenci teriakan orgasme dari laki laki, terutama dari Yudi, lemaslah lututku seketika.
Kini kulihat Ana tengah menjilati sperma yang ada di bibir dan sekitar wajahnya sambil tersenyum penuh kemenangan memandangku, pandangan itu terlihat begitu penuh cemooh kemenangan, aku benar benar merasa bagaikan seorang pecundang dihadapan Ana dan Yeni.
Meski sambil memendam kekesalan karena kalah, aku tetap melanjutkan kulumanku pada Tomi hanya untuk menyenangkan hatinya, namun hingga beberapa menit kemudian, tak terlihat ada tanda tanda menuju puncak, akhirnya aku menyerah dan menghentikan kulumanku, untungnya dia nggak marah.
“Nggak apa, kita lanjutkan nanti di hotel” katanya sembari mencium bibirku.
Dengan agak keras karena kesal, kuhempaskan tubuh hampir telanjang ke sofa diantara Yudi dan Tomi, aku benar benar kecewa dengan penampilanku sendiri, sungguh kusesali kekalahan dari Yeni dan Ana, bukan uang yang kupikirkan tapi lebih pada kebanggaan bahwa aku kalah dengan mereka pada situasi yang tidak kuharapkan.
“Tom, untung kamu dapat Lily, disamping body-nya oke, oralnya juga hebat lho aku perhatikan tadi” kata Yudi, kuanggap sebagai hiburan.
“Kalau saja dia nggak telanjang gitu, mungkin dia yang menang” lanjutnya mengagetkanku.
“Jadi..” tanyaku
“Ya, aku melihat bagaimana kamu ber-karaoke dengan tubuh hampir telanjang, makanya cepat naik” akunya cukup mengagetkanku, tak kusangka aku membuat kesalahan sefatal itu, kesalahan yang tanpa kusadari memberi peluang menang pada sainganku, mungkin juga Indra melakukan hal yang sama dan ternyata hal itu diakui olehnya.
“Melihat live show sambil di-oral tentu lebih cepat dibandingkan pemainnya sendiri” timpal Indra berteori sambil memangku dan memeluk Yeni, keduanya tertawa.
Dengan membawa kekalahan telak, kami kembali ke Hotel, aku masih kesal dengan kekalahanku ini tapi Tomi menghibur dengan membesarkan hatiku untuk mengembalikan kepercayaanku.
“Kamu sangat baik kok, cuma karena kalah strategi dan aku juga memang sangat jarang bisa orgasme hanya dengan oral, apalagi rame rame seperti itu, pasti nggak akan bisa keluar, Yeni tahu itu” katanya sesampai di kamar hotel. Aku terperangah, berarti aku sudah “dijebak” oleh Yeni, tetapi dia hanya tertawa saat kutelepon tentang pengakuan Tomi.
“Deal is deal” katanya sambil menutup HP-nya, aku dongkol bukan karena kehilangan uang tapi merasa dipermainkan, awas kubalas nanti, tekadku dalam hati.
Aku menghindar saat Tomi tanya soal uang taruhan permainan tadi, dia mau mengganti karena dia juga merasa terlibat.
“Urusan wanita” jawabku singkat sembari melepas pakaianku untuk kedua kalinya, namun kali ini benar benar telanjang dihadapan Tomi yang baru kukenal beberapa jam yang lalu.
“Body kamu bagus, kencang lagi” katanya sembari mengelus dan meremas buah dadaku, padahal dia sudah melakukannya sedari tadi.
Masih dengan pakaian lengkap, bibirnya langsung mendarat di puncak bukitku, dijilat dan dikulum penuh hasrat birahi, aku mendesah perlahan merasakan kegelian nan nikmat.
Tomi menelentangkan tubuh telanjangku di ranjang, secepat kilat dia melepas pakaiannya hingga kami sama sama bugil. Sedetik kemudian kepala Tomi sudah berada diantara kedua kakiku dengan lidah menari nari menyusuri klitoris dan daerah vagina. Dengan rakus dia menyedot cairan basah yang ada di vaginaku, aku menjerit mendesah nikmat sambil meremas remas rambutnya.
Lidahnya cukup lincah menikmati detail vaginaku yang telah merasakan 2 penis dari tamu sebelumnya, Tomi adalah tamu ketiga-ku di hari itu. Kami berposisi 69, saling melumat dan saling membagi kenikmatan birahi. Aku-pun mulai menapak bukit menuju puncak kenikmatan bersamanya.
Hanya dengan sekal dorong, melesaklah penisnya memenuhi vaginaku, tidak sebesar tamuku sore tadi tapi tetap saja terasa nikmat, apalagi ketika dia mulai mengocokku dari atas sambil menciumi bibir dan leherku, membuat semakin melayang cepat menuju puncak.
Tidak seperti saat oral tadi, hanya beberapa menit berselang dia mengocokku menyemburlah spermanya memenuhi vagina dengan kuatnya, aku menjerit terkaget nikmat menikmati denyutan demi denyutan hingga tetes sperma terakhir.
“Kamu terlalu sexy, nggak tahan aku lebih lama lagi” katanya seraya turun dari tubuhku, padahal aku masih setengah jalan ke puncak.
Mungkin karena foreplay terlalu lama atau masih terpengaruh suasana di tempat karaoke tadi makanya begitu cepat dia selesai, pikirku.
“Nggak apa, kan ada babak kedua, waktu kita masih panjang nggak usah buru buru” hiburku sambil meraih penisnya, dengan nakal aku menjilati sisa sperma yang masih ada di batang kejantanannya dan mengulumnya, dia menjerit kaget tapi tak menolak, aroma sperma begitu kuat menyengat hidung.
Malam itu kami habiskan dengan penuh nafsu birahi hingga pagi, meski Tomi tidak bisa bertahan lama tapi dia begitu cepat recovery, satu posisi satu orgasme hingga tak terasa 5 babak kami lewatkan hingga menjelang pagi dan kamipun tertidur setelah matahari mulai mengintip dari ufuk timur.
Belum lelap tidurku ketika terdengar telepon berbunyi, Tomi mengangkatnya, ternyata dari Ana yang ingin bicara dengan aku. Dia menawari setelah selesai dengan Tomi untuk gabung dengan Yudi, diluar kesepakatan tadi karena ini permintaan Yudi.
“Aduh, aku masih capek nih, barusan juga tidur, kalian udah ganggu” jawabku dengan mata masih berat karena ngantuk dan pengaruh alkohol semalam.
Ana nggak menyerah begitu saja, kini gantian Yudi yang bicara mendesakku, akhirnya aku sanggupi tapi setelah beres dengan Tomi. Kembali aku dan Tomi melanjutkan tidur berpelukan dengan tubuh masih sama sama telanjang, selimut menyatukan tubuh kami di atas ranjang.
Belum lelap tidurku, kembali telepon berbunyi, Tomi mengangkat dan langsung menyerahkan ke aku, dengan mata agak tertutup kuterima juga. Ternyata Yeni, dia mengajak untuk bertukar partner, sebenarnya aku agak malas meladeninya.
“Terserah Tomi deh” jawabku setengah ogah ogahan.
Ternyata Tomi nggak mau menukar aku dengan Yeni.
“Mendingan sama kamu aja, lebih pintar dan liar, lebih sexy dan lebih montok meski Yeni nggak kalah cantik sih, juga aku udah sering sama Yeni” katanya tanpa membuka matanya.
“Dia nggak mau, masih capek katanya, kita barusan tidur” jawabku berbohong.
“Ya udah kamu yang kesini gih, kita keroyok Indra” ajak Yeni.
Aku bingung karena sudah menyanggupi Ana, entah kenapa kok semua menginginkan aku padahal mereka sudah punya pasangan masing masing, mungkin karena tergoda penampilan dan postur tubuhku semalam, meski aku kalah telak.
“Tapi aku udah janji sama Ana ngeroyok Yudi setelah ini, kamu sih teleponnya telat” jawabku.
Meski Indra ikutan membujukku, aku tak bisa memenuhi ajakannya, kudengar nada kecewa darinya tapi apa boleh buat first in first serve.
Pukul 11 siang kami mandi bersama, itupun setelah Ana berulang kali menelepon untuk segera datang. Di kamar mandi kami lanjutkan satu babak permainan lagi. Tomi harus segera terbang ke Balikpapan, itulah sebabnya dia harus check out duluan.
Setelah berpakaian rapi kami menuju kamar Yudi, sengaja tak kukenakan bra dan celana dalamku karena toh sebentar lagi akan dilepas juga, padahal kaosku cukup menerawang transparan, kalau saja ada yang memperhatikan pasti dia bisa melihat bayangan putingku yang menonjol dibalik kaos Versace-ku, Tomi hanya tersenyum melihat kenakalanku.
Ternyata Ana dan Yudi belum berpakaian, mereka sedang makan pagi hanya mengenakan balutan handuk di tubuhnya.
“Eh masuk, kami barusan makan pagi atau makan siang nih” sambut Ana sambil mendaratkan ciumannya di bibir Tomi, begitu juga Yudi menyambutku dengan pelukan dan ciuman bibir, pasti dia bisa merasakan buah dadaku yang tidak terlindung bra.
“Yud, aku harus segera terbang, titip Lily ya” kata Tomi sambil menyalami sobatnya.
“Sip, nggak usah khawatir kalau dengan aku, pasti well maintained” balas sobatnya.
“Oh ya, sebentar lagi si Indra juga terbang ke Denpasar, kalau kamu mau Yeni juga hubungi aja dia” lanjut Tomi.
Setelah memberikan ciuman di bibir padaku dan juga pada Ana, dia meninggalkan kami bertiga.
“Ini dia yang sok pamer semalem” kata Yudi seraya menarik tubuhku dalam pelukannya dan disusul ciuman pada leherku. Aku spontan menggelinjang geli, tangan Yudi sudah menyelinap di balik kaos dan mulai meremas remas buah dadaku. Ana hanya mengamati sambil meneruskan makannya seakan tak terpengaruh kehadiranku.
Kubalas cumbuan Yudi dengan menarik handuknya dan kugenggam penisnya yang mulai menegang, tak kusangka ternyata lebih besar dari perkiraanku semalam, bahkan melebihi punya Tomi. Satu persatu pakaianku terlepas hingga kami sama sama telanjang, namun dia tak melanjutkan cumbuannya, ditatapnya tubuhku yang sekarang telanjang sama sekali.
“Kita makan dulu yuk” ajaknya setelah mengamati tubuhku dari atas bawah depan belakang.
Secepat mungkin kami menghabiskan makanan yang tersedia di meja tanpa sisa, aku tak bisa menolak ketika Ana dan Yudi mengajakku mandi lagi.
Ketiga tubuh telanjang kami akhirnya ber-basah basah dibawah siraman air hangat dari shower, aku benar benar diperlakukan bak ratu oleh mereka, Yudi menyabuniku dari depan sementara Ana dari belakang, padahal setengah jam yang lalu aku sudah mandi.
Empat tangan berada di kedua buah dadaku, aku terjepit dalam pelukan mereka di depan dan belakang, ada erotisme tersendiri seperti ini.
Yudi membalik tubuhku hingga berhadapan dengan Ana, kami saling berpelukan ketika kaki kiriku diangkat ke bibir bathtub. Kupeluk Ana erat saat penis Yudi mulai mengusap bibir vaginaku dari belakang, dan pelukanku semakin erat ketika dia melesakkan penisnya, diiringi desah kenikmatanku.
Siraman air hangat mengiringi kocokan Yudi padaku, semakin lama semakin cepat dan semakin keras pula desahanku, remasan Yudi dan Ana semakin liar menggerayangi buah dadaku. Hentakan demi hentakan keras menerjangku, semakin aku mendesah liar dalam nikmat.
“Ih kamu berisik juga ya” komentar Ana karena baru pertama kali aku melakukannya dengan dia, tapi aku tak peduli, kebanyakan laki laki menyukai “kebisingan” seperti ini.
Aku dan Ana bertukar posisi, giliran Yudi mengocoknya, ternyata dia juga berisik meski tak seheboh aku, berulang kali dia meremas buah dadaku, begitu juga dengan Yudi karena punyaku memang lebih montok dari Ana tentu lebih pas pegangannya.
“Pindah ke ranjang yuk” ajakku beberapa saat kemudian, mereka mengikutiku setelah saling mengeringkan badan dengan handuk.
“Ntar kita panggil sekalian Yeni, sekalian kita berpesta pora” lanjutnya.
Yudi langsung telentang di ranjang, aku dan Ana sudah bersiap di selangkangannya tapi dia minta aku sendirian mengulum penisnya.
“Biar kurasakan nikmatnya kulumanmu seperti yang kamu berikan pada Tomi semalam” katanya sambil meminta Ana bergeser ke pelukannya.
Aku segera memenuhi permintaannya, kujilati seluruh daerah selangkangannya hingga ke lubang anus, Yudi menjerit kaget dan geli sambil mengumpat tak karuan karena nikmatnya. Kuangkat kakinya ke atas hingga aku bisa dengan bebas menyusurkan lidahku antara lubang anus hingga ke ujung penis, bukan main, teriaknya tak menyangka mendapatkan perlakuan semacam itu, padahal aku belum mengulumnya, hanya permainan lidah saja.
Melihat permainan oralku Ana menjadi gemas dan mengikutiku, dua lidah dan dua bibir menjelajah di selangkangan tanpa ada yang mengulum, Yudi semakin kelojotan. Entah mengapa ada perasaan ingin membuktikan bahwa aku tidak layak kalah dalam oral dengan Ana, meskipun kenyataan semalam mengatakan sebaliknya, itu hanya faktor keteledoranku semata, pikirku.
Tanpa memperhatikan Ana, dia minta 69, meskipun begitu aku dan Ana tetap mengeroyok di kedua pahanya, bergantian kami mengulum dan menjilat seakan ingin menunjukkan siapa yang lebih unggul.
“Udah ah aku nggak tahan lagi” teriak Yudi memintaku turun.
Sedetik setelah aku turun, Ana sudah bersiap melesakkan penis Yudi ke vaginanya, dia sudah memposisikan dirinya di atas.
“Aku duluan ya, udah nggak tahan nih” katanya seraya perlahan menurunkan tubuhnya membenamkan penis itu di liang kenikmatannya.
Aku hanya tersenyum bergeser ke belakang Ana, kupeluk dia dari belakang sambil meremas remas buah dadanya yang tidak sebesar punyaku sambil menggeser geserkan putingku ke punggungnya. Tak menyangka kuperlakukan seperti itu, dia menjerit dan menggelinjang, tentu saja yang paling menikmatinya adalah si Yudi.
Gerakan Ana kacau di atas, apalagi saat Yudi ikutan menjamah dadanya. Kualihkan sasaranku ke paha dan kaki Yudi, dia menjerit ketika lidahku terus menyusur dari paha hingga jari jari kakinya, dan semakin mendesah ketika kukulum jari jari kaki itu.
Kedua manusia yang sedang bercinta itu menggeliat, meracu nggak karuan. Kini mereka saling mengocok sambil berpelukan seakan melupakan keberadaanku di kamar itu.
Tiba tiba telepon berbunyi, dengan seijin Yudi, kuangkat, ternyata si Yeni, dia kaget saat tahu aku ada di kamar Yudi, padahal sudah aku kasih tahu tadi. Yudi dan Ana tak peduli, mereka tetap mendesah keras meski bisa didengar dari telepon.
Ternyata Yeni sudah selesai sama Indra, sebenarnya dia mau ngajak check out bareng bareng, tapi sepertinya Yudi mau extend jadi mungkin dia harus check out duluan.
“Suruh mereka kemari sebentar sebelum check out” teriak Yudi sambil merasakan kocokan Ana.
“Tuh kamu udah dengar sendiri kan” kataku lalu menutup telepon.
Ternyata Ana tak bisa bertahan lama, dia terkapar tak lama kemudian mendahului pasangannya, aku segera mengganti posisinya dengan posisi yang sama. Begitu penis Yudi membenam, langsung kugoyang pantatku berputar dan turun naik, kuhentakkan pantatku ke tubuhnya dengan keras, ingin kubuktikan kalau aku lebih hebat dan lebih liar dari Ana, tak pantas aku kalah semalam.
Yudi menarik tubuhku dalam pelukannya tanpa menurunkan irama permainan, kamipun berguling tak lama kemudian, aku dibawah. Dengan bebasnya dia mengocokku membuat kami saling mendesah bersahutan.
Cukup lama Yudi menyetubuhiku, tidak seperti Tomi yang cuma satu posisi setiap babak, sudah berganti bermacam posisi dan tempat dia belum juga orgasme, entah sudah berapa menit berlalu, akupun semakin menikmati permainannya.
Bel pintu berbunyi saat Yudi mengocokku dari belakang.
“Pasti Indra dan Yeni, An, buka pintunya dong” perintah Yudi tanpa berusaha untuk berhenti.
“Wah lagi pesta nih” kudengar suara Indra, pasti dia sudah mendengar desah kenikmatanku.
“Ndra, masuk, sorry lagi tanggung nih” sapa Yudi tanpa menghentikan kocokannya, sesaat agak risih juga dilihat mereka.
“Sayang banget aku harus segera cabut” lanjutnya saat melihat temannya sedang menyetubuhiku dengan penuh gairah.
Indra dan Yeni bukannya segera pergi tapi justru duduk di sofa melihat permainan ranjang kami, sesekali Indra mendekat untuk melihat lebih jelas expresi kenimkatan dariku. Tanpa kusadari ternyata dilihat mereka aku jadi semakin liar mengimbangi kocokan Yudi dan Indra-pun makin dekat malahan duduk di tepi ranjang.
Tadi pagi aku sudah merasakan permainan Tomi, sekarang dengan Yudi, mungkin nggak ada salahnya kalau sekalian ku-servis Indra, sekalian aku bisa menikmati ketiganya, pikirku melihatnya begitu antusias.
“Mau coba?” tanyaku menggoda disela desahanku, dia diam saja memandang ke Yudi trus berganti ke Yeni dan Ana seakan minta persetujuan
Tanpa persetujuan Yudi, kudorong dia hingga penisnya terlepas lalu aku menggeser tubuhku hingga pantat atau vaginaku menghadapnya, aku tak peduli apakah ada sperma di vaginaku.
Indra terbingung sesaat seolah tak tahu harus ngapain padahal aku yakin dia menginginkannya. Hanya beberpa detik dalam kebingungan, segera dia mengeluarkan penisnya lewat celah resliting celana.
Diraihnya pantatku bersamaan dengan sapuan penis ke vagina, disusul dorongan perlahan melesakkannya ke dalam, penis yang tidak besar itupun terbenam semua, tidak sebesar punya Tomi apalagi punya Yudi, tapi yang namanya penis sebesar apapun tetap nikmat rasanya and I love it.
Tangan Indra mulai mengelus punggungku terus merambah ke dada sambil tetap mengocok semakin cepat, kulirik sepintas Yeni, Ana dan Yudi duduk di sofa melihat kami, siapa peduli.
Kocokan dan sodokan Indra semakin cepat dan keras seakan memburu untuk segera menggapai puncak dengan cepat, aku tahu dia memburu waktu. Kugoyang goyangkan pantatku supaya Indra bisa segera menuntaskan hasratnya.
Tiba tiba dia mencabut penisnya keluar dan memintaku jongkok didepannya, kuraih penis itu dan segera kumasukkan ke mulutku, hanya beberapa detik kulakukan oral Indra memenuhi mulutku dengan spermanya diiringi erangan keras dan disaksikan mereka bertiga.
Setelah kubersihkan dengan mulutku, Indra memasukkan penisnya kembali dan berpamitan menciumi satu persatu lalu menghilang dibalik pintu dengan diantar Yeni.
“Nih dari Indra” kata Yeni menyerahkan beberapa lembar 50 ribuan.
Kini tinggal Yudi dengan 3 gadis yang siap melayaninya. Akhirnya kami habiskan siang itu melayani Yudi bergantian sampai dia minta ampun untuk beristirahat.
“Ly, jangan dihabisin disini, ntar malam aku ada tugas untuk kamu, jam 9 tepat, tempatnya aku kasih tau ntar, aku udah atur untuk hadiahku sendiri dari kamu” bisik Yeni pada suatu kesempatan.
“Siapa dia? Apa aku kenal?” tanyaku penasaran.
“Ada deh pokoknya, kamu pasti kenal meski aku yakin kamu nggak pernah sama dia, pokoknya tidak boleh nolak” bisiknya lagi penuh goda.
Malam itu gantian Yeni yang menemani Yudi, Ana ada bookingan lain begitu juga aku sudah tergadai oleh taruhanku sendiri.
Sambil menunggu jam 9 yang masih lama, aku menemani Yeni dan Yudi, meski sebenarnya lebih tepat menjadi penonton permainan mereka karena Yeni tak mengijinkanku ikut permainannya, biar nggak capek, katanya.
“Kamar 812 hotel ini, temui dia, sekarang orangnya udah check in dan menunggumu” perintahnya setelah dia menerima telepon dari seseorang.
“Sekarang? Katanya jam 9, kan baru jam 6″ protesku.
“Ada perubahan, udah sana pergi, dia tak mau membuang waktu”
Segera kukenakan kembali pakaianku, dengan make up sekedarnya akupun menuju kamar yang dimaksud. Bagiku tidur dengan siapa saja bukanlah masalah karena memang profesiku, tapi membuat penasaran tentu hal yang berbeda, di lift aku bertanya tanya siapakah yang selama ini kukenal tapi nggak pernah tidur denganku, hingga sampai di depan kamar 812 pertanyaanku belum juga terjawab.
Pintu terbuka sedetik setelah bel kutekan, muncullah wajah yang selama ini kubenci, dia adalah Jimmy Jemblung alias JJ, seorang germo yang sudah berkali kali mengajakku tidur tapi tak pernah kutanggapi dan selalu kutolak meski dia cukup sering memberiku order.
“Eh ngapain kamu disini, mana tamuku?” tanyaku langsung menerobos masuk, kupikir dia sedang membawa seseorang, ternyata hanya dia di kamar itu.
“He.. He.. He, nggak ada siapa siapa non, kecuali aku dan akulah tamumu kali ini atas jasa baik temanmu Yeni” jawabnya dengan senyum penuh kemenangan.
Kuambil HP-ku dan kuhubungi Yeni, tapi HP-nya nggak aktif.
“Kurang ajar” teriak batinku.
“Aku tahu kamu kaget dan nggak suka tapi Yeni bilang kamu nggak akan bisa menolak, makanya aku bayar 3 kali lipat dari biasanya” lanjutnya dengan wajah menyeringai seperti srigala lapar hendak menerkam mangsa yang sudah tak terjerat tak berdaya.
Jimmy Jemblung yang akrab dipanggi JJ, meski dia chinese tapi hitam dan perutnya buncit seperti orang bunting, di usianya yang menjelang 50-an, seusia Papa-ku, dia mempunyai koleksi yang cukup banyak dengan berbagai tingkat harga, sebagai germo senior tentu tak susah mencari tamu, diluar itu sebenarnya dia cukup baik dan perhatian pada anak buahnya meskipun aku yakin semua itu ada niatan tersembunyi. Entah berapa anak buah yang sudah dia “cicipi” namun beberapa menolak dengan tegas termasuk aku, meskipun begitu dia tetap memberiku order, mungkin karena dianggap masih menguntungkan.
Akhirnya aku sadar bahwa aku tak bisa lari darinya, dan sebentar lagi aku masuk kelompok yang telah “dicicipinya” dan tak lama lagi berita ini telah menyebar bahwa Lily telah berhasil ditaklukkan si JJ.
Karena jengkel dan kesal, kuhempaskan tubuhku ke sofa, bersiap menerima terkaman ganasnya. Aku diam saja ketika dia menyusul duduk disebelahku.
“Kok cemberut gitu sih melayani tamu” godanya mulai menciumi pipi dan leherku.
Aku diam saja, kalau tamunya kayak kamu udah kutolak dari tadi, jeritku dalam hati.
“Akhirnya aku bakal membuktikan sendiri apa yang selama ini dipuji puji para tamumu, seperti apa sih kamu dan bagaimana sih servisnya, kalau tahu sendiri kan bisa lebih enak ceritanya” katanya lagi sembari tangannya yang ber-rantai emas mulai menjamah buah dadaku sementara tangan satunya sudah menyelinap di balik kaos di punggung, dipermainkan tali bra.
“Kok nggak dilepas sih, aku kan tamu yang membayar bukan gratisan, apa bedanya sih dengan lainnya” ada nada protes dalam ucapannya yang menyadarkanku akan kebenarannya, meski aku tak akan menerima duitnya.
Dengan terpaksa kubuka kaosku, dia bersiul ketika melihat hamparan dadaku yang masih tertutup bra transparan, decaknya bertambah saat kulepas celana jeans yang menutupi bagian bawah tubuhku, dicegahnya saat aku mau melepas bikini mini yang masih tersisa menempel di tubuh.
JJ berselonjor di sofa menunggu tindakanku lebih lanjut, dengan agak ogah ogahan kulepas bajunya hingga terlihat perutnya yang buncit dan dada berhias kalung rantai emas, ada tato di lengan dan dadanya. Tangan JJ tak pernah lepas dari dadaku, meremas remas dan memainkan putinku. Tubuhku langsung ditarik kepangkuannya setelah aku melepas celananya, ternyata dia sudah tidak mengenakan celana dalam atau memang tidak pernah pakai.
Bibirnya langsung mendarat di leher, diciuminya dengan gemas bak kekasih yang melepas rindu, aku hanya tengadah agak jijik menerima ciumannya.
Satu jentikan jari melepaskan bra-ku, dia memuji saat melihat keindahan buah dadaku yang menggantung dengan sempurna tepat didepan hidungnya, diremas dengan penuh nafsu dan diusap usapkan kepalanya diantara kedua bukitku. Sedetik kemudian putingku sudah berada dalam mulutnya, dia menyedot dengan nafsu yang menggelora sambil lidahnya bermain main pada puting, akupun mulai menggelinjang geli sambil meremas kepala yang menempel di dada, semakin lama jilatannya semakin menggairahkan dan mulai membawaku naik birahi.
Mulutnya berpindah dari satu puting ke puting lainnya seperti anak kecil mendapat mainan baru, bibir dan lidahnya terus bergerak dari dada ke leher dilanjutkan ke bibir, mulanya aku menolak ciuman bibirnya tapi lama kelamaan akupun bisa menerima sentuhan bibirnya pada bibirku, bahkan membalas sapaan lidahnya ketika menyapu bibir dan lidah kamipun bertautan.
Tubuhku mulai merosot turun dan bersimpuh diantara kakinya, penisnya yang tegang tidak disunat hanya beberapa mili dari wajahku, kuremas dan kukocok kocok hingga semakin menegang.
Untuk ukuran dia penis itu cukup besar, aku tak menyangka sebelumnya, kuusap usapkan pada kedua putingku lalu dengan gerakan nakal kusapukan pula pada wajahk.
JJ mulai mendesis sambil memandang tanpa berkedip saat lidahku mulai menyentuh penisnya, pandangan kemenangan seakan menikmati bagaimana penisnya memasuki mulutku, desahnya semakin keras mengiringi gerakan lidahku menyusuri daerah selangkangan. Batang penis kususuri dengan lidah tanpa sisa hingga kantong bola dan berlanjut sampai ke lubang anus. Dia menjerit kaget, seperti halnya tamu lainnya saat kulakukan hal yang sama, tentu mereka tak mengira kuperlakukan seperti itu.
Terlupakan sudah bahwa aku sedang menjilati lubang anus laki laki yang selama ini aku benci, meski agak susah kuangkat kakinya supaya aku bisa lebih bebas menjelajahi daerah belakangnya. Kini aku memperlakukan JJ sebagaimana mestinya seorang tamu yang harus aku puaskan, dan dia memang berhak mendapatkan itu karena memang aku dibayar untuk memuaskannya meski dalam hal ini aku tidak menerima duitnya.
Desahan kenikmatan JJ makin menjadi jadi, lidahku menjelajah tiada henti disekitar selangkangannya. Tanpa mengulumnya, kutinggalkan dia dan kurebahkan tubuhku diranjang, JJ mengikutiku, dilepasnya celana dalam mini yang masih setia menutupi organ kewanitaanku dan dilemparnya entah kemana setelah menciumi terlebih dahulu.
JJ mementangkan kakiku lebar lebar, dia membuka bibir vaginaku dengan jari jari tangannya, diamatinya sebentar lalu kepalanya dibenamkan diselangkanganku. Kurasakan lidahnya mulai menyentuh klitoris dan bibir vagina, tubuhku serasa merinding mengingat lelaki yang kubenci sedang asik menjilati vaginaku, namun itu tak berlangsung lama, perlahan lahan kurasakan kenikmatan dari jilatannya, birahiku semakin naik tinggi merasakan permainan lidahnya pada vagina.
Kugigit bibirku untuk menahan desahan tapi aku tak kuasa menahan lebih lama lagi dan meledaklah desah kenikmatan dari mulutku.
Terlupa sudah segala gengsi, semua terkikis oleh jilatan lidahnya pada klitoris yang sungguh nikmat rasanya, dengan pintar dia memainkan irama permainan, apalagi kombinasi dengan kocokan jari tangan membuatku semakin melayang tak karuan. Tak dapat kutahan lagi saat tubuhku mulai menggelinjang dalam kenikmatan dan akupun tak malu lagi untuk mendesah dengan bebasnya.
Lidah JJ semakin liar menari nari, kocokan jarinya-pun semakin lincah keluar masuk liang vaginaku dan aku benar benar terbakar api permainannya. Harus kuakui JJ sangat pintar bermain oral hingga terhanyut dan aku harus takluk pada kelihaiannya ini, sungguh tak kusangka sebelumnya.
“Sshh.. Truss Jim.. Ya truss” desahku tanpa bisa kukendalikan lagi dan diapun semakin menjadi jadi.
Napasku sudah menderu nggak karuan, kalau ini berlanjut terus aku bisa kebobolan lebih dulu dan ini tentu memalukan, sekuat tenaga berusaha kutahan supaya tak orgasme hanya dari permainan oralnya.
Tiba tiba JJ menghentikan permainan oralnya dan telentang disampingku, ada rasa kecewa ketika dia menghentikan itu.
“Aku mau lagi tak peduli meski harus orgasme lebih dulu, terlalu sayang kalau dihentikan begitu saja” teriak hatiku, maka kunaiki tubuh gendut JJ dengan posisi 69 dan aku yakin dia tidak keberatan.
Aku kembali merasakan nikmatnya permainan oral JJ pada vaginaku, kubalas dengan memasukkan penisnya ke mulutku, maka kamipun mulai mendesah bersahutan bak simfoni dengan nada sumbang.
Jari tangan dan lidah JJ bergantian keluar masuk vagina begitu juga penisnya dengan cepat keluar masuk mulutku dan lidahku-pun tak kalah lincah menari nari diujung penisnya. Maka simfoni mendesah-pun semakin keras terdengar memenuhi kamar hingga berlangsung beberapa menit kemudian.
Kini kami siap untuk ke tahap berikutnya, kuturunkan tubuhku perlahan lahan sambil melesakkan penis JJ memasuki vaginaku, penis keempat dihari itu setelah Tomi, Yudi dan Indra, kini JJ tengah mengisi liang kenikmatanku.
Tubuhku mulai turun naik mengocokkan penisnya ke vaginaku diiringi desah kenikmatan kami berdua, tangan JJ mengiringi dengan remasan remasan kuat dan permainan pada puting. Gerakan pinggulku berubah ubah dari turun naik lalu berputar membuat JJ merem melek merasakan kenikmatan yang kuberikan.
JJ menarik tubuhku dalam pelukannya, dilumatnya bibirku dengan penuh gairah dan kubalas dengan tak kalah gairah, kutatap matanya yang berbinar penuh nafsu, aku benar benar sudah melupakan bahwa sekarang dalam pelukan laki laki yang masih kubenci satu jam yang lalu.
Aku harus jujur mengagumi kekuatannya, meski lebih 20 menit bergoyang dan ber-hola hop diatasnya, dia masih bisa bertahan dan tidak orgasme, apalagi untuk seusia dia, tentu suatu rekor yang luar biasa, bahkan mengalahkan ketiga anak muda yang telah menyetubuhiku sebelumnya.
Kami berganti posisi dogie, dengan posisi ini JJ bisa lebih bebas mengocokku menurut iramanya, ternyata dia lebih liar menyodokkan penisnya ke vaginaku, cepat dan keras, akupun menjerit histeris dalam nikmat. Keliarannya menjurus kasar, dia menjambak rambutku kebelakang sambil menghentak keras, akupun terdongak kaget namun tak menolak karena memang menikmati kekasaran itu.
Bahkan ketika dia memasukkan jari tangannya ke lubang anusku, akupun tak menolak meski lebih satu jari yang mengocoknya. JJ tak berusaha malakukan anal sex karena dia yakin betul kalau aku keberatan dan tentu saja tak mau merusak suasana yang sedang penuh birahi.
Kembali kami mengubah posisi, sebenarnya dia ingin diatas, tapi mengingat perutnya yang buncit tentu akan membuatku sesak napas, maka kami lakukan di meja.
Aku telentang di atas meja sambil berharap meja ini kuat untuk menahan tubuhku dan goyangannya, ternyata JJ tidak langsung memasukkan penisnya tapi kembali melakukan jilatan dan sedotan di vaginaku yang penuh cairan, disedotnya kuat kuat seakan hendak mengeringkan vaginaku, belum pernah ada yang malakukan ini setelah bersetubuh. Akupun tak ayal lagi langsung menjerit menggeliat terkaget tak menyangkanya. Tidak lama tapi cukup memberiku pengalaman baru, dengan terkekeh kekeh dia lalu memasukkan penisnya ke vaginaku yang sudah terbuka lebar, masih dengan wajah menyeringai JJ mulai mengocokku kembali.
Untuk kesekian kalinya desah dan jeritan nikmat menggema memenuhi kamar, kami berpacu menuju puncak birahi yang tak terlihat entah dimana, meja tempatku telentang bergoyang dengan hebatnya, sehebat gempuran penis JJ pada vaginaku, tangannya yang kekar dengan kasar meremas remas buah dadaku yang ikutan bergoyang.
Tatapan matanya tak pernah lepas dari memandang wajahku yang tengah mengerang dalam nikmat, mungkin pemandangan yang tak pernah dia dapatkan selama ini dariku, dia ingin menikmati sepuasnya.
Sepertinya dia begitu menikmati semua dariku, tangannya menjamah semua bagian tubuhku tanpa terlewatkan sedikitpun, sudah berpuluh laki laki yang dia berikan kesempatan seperti ini tapi baru kali ini bisa mendapatkannya sendiri, suatu penantian panjang yang tak boleh disia siakan.
Kurasakan tubuh JJ mulai menegang dan beberapa detik kemudian kurasakan penisnya membesar disusul denyutan kuat menyemburkan sperma liang vagina, aku menjerit tak menyangka denyutan itu begitu kuat menghantam syaraf syaraf dalam vaginaku, begitu nikmat. Kubiarkan dia menikmati saat saat orgasmenya, dicengkeramnya buah dadaku dengan kerasnya hingga terasa sakit, tapi aku diam saja.
JJ mencabut penisnya begitu selesai dan menghempaskan tubuhnya di ranjang, tentu saja kelelahan yang hebat setelah bercinta cukup lama dengan penuh gairah menggebu. Kudekati dia, napasnya masih menderu dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya, kuciumi penis yang masih penuh sperma lalu kumasukkan ke mulut, tak kupedulikan teriakan kaget darinya, penis itu sudah keluar masuk mulutku, kujilati sisa sisa sperma yang masih ada hingga bersih.
Akhirnya kami berdua terkapar di atas ranjang. Meskipun aku belum orgasme tapi merasa puas dengan permainan barusan, rasanya tak ada salahnya untuk mengulangi lagi babak kedua.
“Apa yang kudengar dari tamu tamu itu ternyata tidak benar, yang benar adalah jauh lebih hebat dari itu, pantesan setiap kali tamu kusodori kamu, selanjutnya minta kamu temenin” katanya setelah dia bisa mengatur napasnya dengan normal.
“Setelah ini kamu mau kemana? Pulang atau nemenin aku hingga besok, kalau mau sih?” tanyanya.
Kalau pertanyaan itu diucapkan satu jam yang lalu aku pasti pilih pulang tapi setelah merasakan apa yang baru saja aku alami, aku jadi bimbang, pinginnya sih sampai besok tapi malu mengucapkannya.
“Ya udah kalau kamu nggak mau, aku nggak maksa kok, yang penting aku sudah bisa merasakan servismu yang selama ini hanya kudengar dari orang lain, setelah tahu bagaimana kamu melayaniku barusan, rasanya kok sayang kalau aku harus menyerahkan tubuhmu ke laki laki lain seperti biasanya, kini ada perasaan nggak rela” lanjutnya.
Aku tak peduli perasaan maupun apa yang diomongin barusan, toh selama ini dia memang tak punya perasaan, aku tengah berfikir bagaimana minta menginap tanpa kelihatan menginginkannya.
“Hei Lily, sungguh bodoh kamu, kenapa sekarang menginginkannya? Padahal dia laki laki yang kau benci selama ini” aku berusaha menepis keinginan gila itu, tapi ternyata nafsu lebih unggul dalam kecamuk dikepalaku, kini bagaimana cara memintanya.
JJ berdiri menuju meja disebelah bar, diambilnya bungkusan yang terbungkus rapi dan diberikan padaku.
“Ini untuk kamu, mudah mudahan kamu suka dan cocok ukurannya” katanya sambil menyuruhku membukanya.
Ternyata isinya adalah 2 pasang pakaian dalam mini, baju tidur satin transparan warna pink dan kaos ungu DKNY yang ketat. Kucoba satu persatu, ternyata ukurannya cocok dengan tubuhku dan enak dipakainya.
“Terima kasih Koh, aku jadi pingin mencobanya sekarang” kataku.
“Ya sudah, pake aja nanti kita ke Diskotik kalo kamu mau” jawabnya, aku melihat peluang untuk tetap tinggal tanpa rasa malu.
“Benar nih, kalau begitu aku mandi dulu” kataku.
Ketika aku di kamar mandi kudengar telepon kamar berbunyi, ternyata dari Yeni yang ingin bicara denganku, maka kuterima dari kamar mandi.
“Gimana? Kamu ingin mengumpat aku atau mau ngucapin terima kasih?” godanya.
“Sialan, kamu telah menjebakku” kataku pura pura marah.
“Jangan marah begitu dong non, aku juga taruhan sama dia, kalau nggak bisa membujukmu menemani dia, aku harus menemani JJ ke Tretes, dan aku menang 2 kali sekaligus, disamping dapat 3 kali lipat bayaranmu yang selangit, aku juga dapat 10 juta” katanya dengan nada gembira.
“Dasar monyet” umpatku.
“Tapi dia mainnya hebat kan? Lalu kamu diberi hadiah apa?” godanya.
“Kok kamu tahu?”
“Iya dong, aku kan beberapa kali bobok sama dia, bahkan kemarin sebelum sama Indra, siangnya sempat melayani JJ, KO deh rasanya, makanya kalau sama dia pasti minta seorang lagi untuk berbagi, kalau nggak gitu bisa keok kita, lha wong dia itu hyper kok, biasanya dia minta jatah kalau habis memberi order gede, aku sih OKE saja toh juga enjoy meski pada mulanya muak” lanjutnya.
“Dia minta aku nginap sih, gimana baiknya” tanyaku bohong.
“Kalau masih kuat terima saja, tapi kamu mau nggak bobok sama orang yang selama ini kamu benci” tanyanya mengingatkan.
“Ah, brengsek kamu” tukasku.
“Udah ah, aku mandi dulu kita mau ke Diskotik, ikut yuk”
“Nggak ah, mending ngelonin Yudi dari pada keluar sama si bandot tua”
“Tapi sebenarnya kamu menyukainya kan?” godanya.
“Iya sih, permainannya itu lho, penuh kejutan”
Setelah kubujuk, akhirnya Yeni dan Yudi setuju untuk menemani ke Diskotik, kamipun pergi tak lama kemudian.
Malam itu Diskotik begitu ramai, untunglah JJ cukup dikenal disana hingga tak susah untuk mendapatkan tempat duduk. Ketika House Music bergema, kuajak Yudi jojing, 5 lagu telah terlewati, saat kembali ke tempat duduk kami, kulihat JJ berbicara dengan seorang bapak bapak seusianya, dia mengenalkanku tapi aku tak ingat lagi namanya.
“Dia adalah orang keempat yang menginginkanmu” bisiknya setelah orang itu pergi.
“Yeni mana?” tanya Yudi.
“Ke toilet” jawab JJ.
“Dia dapat orderan Quickie, kalau kamu mau bisa aku atur, kerja ringan duit lumayan, semalam bisa 3-4 kali kalau sama aku, paling lama 10 menit, harus pake kondom” bisiknya ditelingaku tanpa setahu Yudi.
Aku belum pernah melakukan hal seperti itu, tapi membuatku tertarik karena tentu mempunyai sensasi tersendiri.
“Aku belum pernah sih, tapi boleh juga dicoba sih” kataku tertarik.
“Mau coba? Tapi tarifnya nggak sampai separoh biasanya, toh hanya oral, buka celana, nungging, selesai deh dan bayar ditempat” jelasnya disela hingar bingar musik.
“Boleh” jawabku, uang bukanlah masalah kali ini, tapi sensasinya yang ingin kurasakan.
“Tunggu sebentar” katanya lalu berdiri meninggalkanku.
Yeni sudah datang bergabung kembali dengan kami, dengan senyum mengembang di bibir dia lalu duduk di samping Yudi, matanya mengedip ke arahku penuh arti, lima menit kemudian JJ datang bersama bapak yang tadi.
“Tanpa oral, selesai atau tidak, 10 menit keluar” bisiknya sambil menyelipkan kondom ditanganku, sebelum aku digandeng menuju toilet.
Tak kusangka ternyata toilet laki laki penuh dan harus antri untuk memakainya, memang toilet laki laki lebih bebas, wanita bisa keluar masuk tidak seperti toilet wanita.
Sepuluh menit kami menunggu di depan toilet sebelum tiba giliran kami, toilet itu cukup sempit dan agak bau, entah bagaimana mereka bisa melakukan di tempat seperti ini.
Tanpa basa basi, Pak tua itu segera memelukku, meremas remas buah dada dan pantatku dengan kasarnya, diciuminya pipi, leher dan bibirku meski aku berusaha menutup mulut rapat rapat, aroma rokok bercampur alkohol tercium dari mulutnya.
Tanpa menghiraukan jamahan tangannya disekujur tubuhku, secepatnya kubuka resliting celananya dan kukeluarkan penis yang sudah menegang, cuma sebesar genggamanku dan tak lebih besar lagi setelah kuremas remas dan kukocok.
Tangan tangan Pak Tua itu sudah menyusup dibalik kaos dan bra, melanjutkan remasan dan memainkan puting begitu mendapatkannya. Setelah memasangkan kondom, yang aku khawatir kebesaran hingga bisa terlepas, kulorotkan celana jeans beserta celana dalam sekaligus dan nungging di depannya dengan tangan bersandar pada dinding toilet.
Pak Tua itu mulai mengusap usapkan penisnya pada vaginaku, tentu agak susah bagiku karena tanpa pemanasan, meski bukan pertama kali aku melakukan hal ini di toilet umum, tapi di tempat ramai seperti ini adalah pengalaman pertama, tentu hal ini menjadi kesulitan tersendiri.
Kubasahi penis itu dengan ludah dan tanpa kesulitan dia mendorong masuk merasakan nikmatnya vaginaku, penis kelima yang menikmatinya. Pak Tua mulai mengocokku dari belakang diiringi hingar bingar alunan Lemon Tree versi House Music yang menerobos masuk ke toilet. Tak ada desahan kenikmatan, tak ada jeritan histeria, semua berlangsung seperti mesin, hanya kocokan, rabaan dan remasan diseluruh tubuhku menghiasi persetubuhan ini. Aku yang terbiasa main ditempat tenang dan romantis agak kesulitan menyesuaikan dan menikmati kocokannya meskipun aku berusaha menikmati sensasinya.
Alunan Lemon Tree versi House Music menerobos masuk ke toilet mengiringi kocokan kami, tanpa sadar tubuhku bergoyang mengikuti alunan musik itu dan sebelum lagu itu habis kurasakan denyutan denyutan mengenai vaginaku. Seperti kata JJ, semua serba cepat, mungkin hanya 2-3 menit dia mengocokku, lebih lama ngantrinya.
Aku segera berbalik menghadapnya, kulepas kondom dari penisnya dan membuang ke tempat sampah. Setelah kuminta dia mengaitkan kembali bra-ku, kami merapikan pakaian masing masing. Pak Tua mengangsurkan beberapa lembar 50 ribu-an ketanganku lalu kami keluar bersama sama diiringi sorot mata menatap tajam dari para peng-antri toilet, aku tak peduli. Sungguh aneh, hingga kami berpisah di depan toilet aku tak tahu nama Pak Tua yang telah menjamah sekujur tubuh dan mengobok obok vaginaku barusan.
Ketika aku kembali bergabung dengan JJ, tak kulihat Yeni dan Yudi.
“Kok lama?” tanya JJ.
“Ngantrinya yang lama” jawabku pendek sambil meneguk Coca Cola yang sudah tidak dingin lagi.
“Gimana? Masih mau lagi? Kalo begini semalam bisa terima order lebih dari 5 kali nih, udah banyak yang menanyakan kamu tadi” kata JJ, tentu saja mereka semua tahu siapa si JJ, dan gadis yang bersamanya pasti adalah para anak buahnya.
“Satu dua lagi boleh juga sih” jawabku kepalang tanggung, malam ini aku benar benar di obral seperti pelacur jalanan.
“Kalau gitu tunggu disini aku carikan lagi yang tadi udah minta” jawabnya seraya meninggalkanku.
Kulihat Yudi dan Yeni sedang jojing di floor, seorang laki laki mendekatiku, mencoba bersikap akrab meski aku tak pernah melihatnya sebelumnya. Sebenarnya bisa diduga maunya tapi aku pura pura nggak tahu, nggak enak rasanya kalau cari tamu tanpa setahu JJ karena dialah yang memiliki aku malam ini.
“Aku tadi lihat kamu keluar dari toilet” katanya, tapi aku cuek saja.
“Emang kenapa?” jawabku, untunglah Yudi datang, tanpa Yeni, melihat kedatangannya laki laki tadi langsung mundur teratur.
“Mana Yeni?” tanyaku.
“Tuh ngelanjutin turun sama temannya” katanya sambil menunjuk ke floor, tapi tak terlihat dia disana.
JJ datang dan mengajakku ke tempat lain, tempat itu begitu ramai hingga untuk jalan saja susah, terpaksa aku harus merelakan buah tersenggol sana sini.
Kami menemui seorang anak muda cina di dekat DJ, dia sedang bersama temannya, kelihatannya sedang ON. Bergandengan tangan melintasi dance floor, kami menuju ke toilet seperti tadi, ternyata banyak orang sedang menunggu entah apa yang ditunggu.
“Kita ke VIP saja, kalau ngantri kapan mainnya” katanya seraya kembali menggandengku ke lantai 2.
Di salah satu ruangan VIP dia langsung masuk, tanpa kuduga ternyata ruangan itu sedang terjadi persetubuhan seru 2 pasang, sepintas aku mengenali salah satu dari gadis itu, hanya sesaat mereka terkaget atas kedatangan kami tapi langsung kembali ke urusannya masing masing.
“Mau disini rame rame atau di toilet itu, masih ada sofa kosong sih” katanya.
“Disini aja deh, di toilet kurang enak” jawabku.
Sesampai di sofa kosong itu, seperti kedua pasangan itu, kami hanya membuka celana masing masing, tanpa banyak basa basi kupasangkan kondom pada penisnya, agak susah karena masih belum tegang, kukocok dan kuremas sebentar supaya segera bangun, ternyata susah juga membangunkannya, memang pengaruh drug membuat susah terangsang, bahkan ketika kupaksa kupasangkan ternyata masih belum bisa.
Setelah beberapa menit kucoba ternyata masih juga belum berhasil, terpaksa aku harus mengulumnya, padahal itu diluar perjanjian tapi demi servis kulakukan juga. Beberapa kuluman membuahkan hasil, langsung kupasangi kondom dan kubasahi dengan ludah.
Aku sudah nungging siap menerima sodokannya dari belakang tapi dia justru membalik tubuhku, memintanya duduk selonjor di sofa, rupanya dia menginginkan dari depan. Dibuka kakiku lebar lebar seraya memasukkan penis itu ke vaginaku, penis keenam di hari itu, kocokannya langsung cepat dan keras, untung tadi sudah kulumasi dengan ludah, kalau tidak tentu lecet karena vaginaku belum basah.
Tengah asik kami bersetubuh, pasangan lain masuk ke kamar itu, kami semua terkejut sesaat tapi segera kembali melanjutkan tanpa peduli siapa yang masuk. Empat pasang dengan desahan yang tak karuan saling bersahutan mengiringi dentuman musik yang keras.
Ternyata tak secepat yang kuduga, tentu saja masih pengaruh drug yang dia minum. Aku kini duduk dipangkuanya berganti mengocoknya, kaos dan bra-ku sudah tersingkap hingga dada, maka dengan bebas diapun mulai mengulum putingku dikala aku tengah bergoyang pantat di atasnya, kalau dituruti dia sudah minta aku melepas kaos hingga telanjang, tentu saja kutolak.
Satu pasangan sudah menuntaskan hasratnya dan keluar, namun tak lama berganti dengan pasangan lain, entahlah tempat ini sepertinya memang disewa untuk dijadikan tempat pelampiasan nafsu. Pasangan demi pasangan sudah berganti keluar masuk tapi aku masih belum juga menyelesaikannya. Barulah ketika pada posisi dogie dia berhasil menggapai orgasmenya, sekitar 15 menit nonstop.
Belum selesai aku berpakaian dan merapikan make up, dia memberikan uang lalu meninggalkan begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun apalagi ciuman, sungguh aku diperlakukan seperti pelacur jalanan yang hanya menjadi tempat pelampiasan nafsu belaka, tanpa sentuhan romantisme sama sekali seperti selama ini yang aku lakukan pada tamu tamuku, bahkan namanya-pun dia nggak tanya dan akupun tak tahu.
Enam penis sudah kurasakan hari ini, sama dengan rekorku sebelumnya, tambah satu lagi berarti rekor baru bagiku, dengan buru buru aku segera keluar kamar itu meninggalkan beberapa pasang yang tengah mengayuh nafsu birahi.
Baru beberapa meter keluar dari kamar VIP, seorang laki laki mendekatiku.
“Lily, tumben kamu berkeliaran ditempat seperti ini” sapa laki laki itu, aku tak terlalu mengenalnya karena tempat itu memang remang remang, mungkin juga salah satu tamuku.
“Siapa ya?” tanyaku mendekatinya, suaraku tertimpa kebingaran musik yang semakin menggelegar.
“Kebetulan kita kurang satu orang, ikut yuk, dari tadi aku nyari nyari tapi nggak dapat yang cocok” jawabnya agak teriak ditelingaku.
Setelah kuamati lebih seksama ternyata dia adalah teman dari tamu langgananku, aku mengenali meski tak pernah tidur dengannya.
“Eh kamu toh, sama sama dia?” tanyaku mengira dia sedang menemani temannya yang tamuku itu.
“Nggak, mana mau dia datang ke tempat beginian, gimana mau temanin aku nggak?” tanyanya, aku tahu sudah lama dia menginginkan aku tapi segan sama temannya itu padahal tak perlu begitu.
“Kemana?” tanyaku, tanpa menjawab dia menggandengku, ternyata kembali ke tempat VIP tadi.
“Tempat ini memang disewa untuk beginian, kami share menyewanya” jelasnya seraya memasuki kamar, anehnya sofa yang kutempati tadi masih kosong, seolah memang disediakan untuk aku. Saat kulirik ke sofa lain, ternyata pasangan yang ada sudah berganti, sungguh cepat perputarannya.
Seperti tadi, kamipun segera melepas celana, kondom yang kubawa sudah terpakai, sialnya dia juga nggak bawa.
“Ada yang bawa kondom nggak?” tiba tiba teriaknya entah ditujukan pada siapa.
“Ambil di tas biru itu” kata seorang gadis sambil menunjuk tas biru disampingnya karena dia juga sedang menerima kocokan dasyat dari pasangannya.
Setelah mengambil dan memasangnya, baru kusadari ternyata kondom itu berkepala seperti kelinci, aku bisa membayangkan kepala kelinci itu akan menyodok nyodok rahimku karena sebenarnya penis itu sendiri sudah cukup panjang.
Tiba tiba aku teringat bahwa itu adalah penis ketujuh, berarti pemecahan rekor, tanpa tersadar aku merinding membayangkan merasakan tujuh penis berbeda dalam sehari, tapi segera tersadar saat penis ketujuh itu mulai menyentuh bibir vagina.
Kubasahi vaginaku dengan ludah saat dia mulai menyapukan penis itu pada vagina, tangannya menyingkap kaos dan bra-ku keatas sambil mendorong masuk kejantanannya memenuhi vaginaku. Dugaanku benar, penis yang panjang ditambah kepala kelincinya menyodok rahimku dan mengocok serta mengaduk aduk vaginaku, aku menjerit mendesah nikmat, kenikmatan pertama dari tiga persetubuhan terakhir.
Kocokan demi kocokan, sodokan demi sodokan kali ini kuterima dengan penuh kenikmatan, tak kupedulikan lagi pasangan lain yang berganti keluar masuk, aku tengah merasakan nikmatnya sex ditengah kebingaran musik tecno yang mengalun tiada henti.
Bahkan saat ada pasangan yang bermain disamping sofa kami, karena semua sudah penuh, akupun tak peduli lagi, bahkan tak melirik sedikitpun siapa dia. Desah dan jeritanku seakan mengalahkan kerasnya musik itu saat aku dikocok dari belakang, serasa kepala kelinci itu semakin dalam dan mulai menggigit gigit rahimku, ada rasa sakit bercampur nikmat.
Dan akupun berteriak histeris, tak menyangka mendapatkan orgasme dari quickie dan suasana seperti ini, kulirik beberapa orang melihatku saat aku histeria orgasme, tapi siapa peduli. Kembali teriakanku terdengar beberapa menit kemudian saat kurasakan kepala kelinci itu membesar dan berdenyut kuat. Denyutan demi denyutan kurasakan menghantam dinding dinding vaginaku hingga cengkeraman kuat pada buah dadaku tak kurasakan lagi dan kamipun melemas, kali ini aku benar benar lemas.
Aku masih tergeletak di sofa tanpa celana dan kaos berantakan saat dia kembali memakai celananya, diselipkannya uang di sela sela pahaku, setelah memberi ciuman di bibir aku ditinggalkannya sendirian dalam keadaan semula dan terkapar di sofa disekeliling manusia manusia yang tengah mengayuh bahtera birahi.
Begitu sadar bahwa masih ada orang yang mau pakai sofa ini, aku beranjak merapikan pakaian dan mengenakan kembali celanaku, baru kusadar kalau kaitan bra telah terbuka. Aku tak bisa memasang sendiri dalam keadaan seperti ini, mau minta bantuan kulihat semua sedang sibuk, akhirnya kuputuskan untuk melepas sekalian bra itu.
Sebelum keluar kamar, kuhampiri wanita yang memberiku kondom tadi, mereka baru selesai menuntaskan hasratnya.
“Terima kasih kondomnya” kataku sambil mencium pipinya, dia hanya terenyum.
“Lama banget” kata JJ setelah aku kembali, hampir setengah jam kutinggalkan dia.
Aku hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaannya seraya menyerahkan bra-ku.
“Titip tolong disimpan, dari pada bongkar pasang lebih baik nggak pake sekalian” jawabku sembil tersenyum.
“Aku udah dapatkan seorang lagi” katanya, sebenarnya aku menolak, masih lemas karena orgasme barusan tapi JJ mendesak, sudah telanjur bikin janji untuk aku, nggak enak, desaknya.
Akhirnya terpaksa aku melakukannya sekali lagi, di toilet, delapan laki sudah kurasakan dalam satu hari, suatu rekor pribadi baru telah kuciptakan.
“Udah cukup ah, kita pulang yuk” ajakku sekembali dari toilet.
“Ly, terserah kamu mau nggak, ada anaknya cakep masih muda lagi, aku yakin kamu pasti menyukainya, kali ini terserah kamu deh” tawarnya.
“Udah ah, capek nih” tolakku, perasaan dari tadi juga terserah aku, tapi aku memang nggak nolak tawarannya.
“Kamu lihat aja dulu anaknya, kalau oke kita bawa dia ke hotel, aku ngalah deh” desaknya, ternyata justru dia menawari aku anak muda untuk dibawa ke hotel, apakah dia mau main bertiga? Entahlah, tapi aku tertarik dengan promosinya.
Aku terkesima melihat penampilan dan wajah Bobi, meski cahaya remang remang tapi bisa kulihat posturnya yang cukup atletis dengan pakaian ketat menampilkan lekuk sexy tubuhnya, wajahnya terlihat keras dan garang bukannya imut, justru menimbulkan kesan macho, sungguh membuat lemas lututku tapi aku harus menjaga image, tentu saja tak kuperlihatkan kekagumanku, bahkan aku berusaha bersikap cuek seperti biasanya saat baru berkenalan.
“Gimana?” bisik JJ.
“Terserah deh, aku ngikut aja” jawabku berusaha menahan diri.
“Kalo gitu kita cabut sekarang” katanya lalu menghampiri Bobi dan kitapun segera pergi setelah mencari cari Yeni dan Yudi.
“Dia oke kan? Anggap hadiah dariku, selain itu aku ingin lihat bagaimana kamu kalau melayani tamu yang kamu sukai” bisiknya nakal dalam perjalanan menuju tempat parkir. Aku diam saja, tak sabar ingin segera sampai di hotel.
Begitu pintu kamar ditutup, aku tak bisa menahan gejolak nafsu lebih lama lagi, tanpa mempedulikan keberadaan JJ, kupeluk dan kulumat bibir Bobi dengan penuh gairah, seperti laki laki lainnya diapun membalas cumbuanku tak kalah ganasnya. Tangannya langsung mendara di dadaku, meremas remas buah dada yang tidak berpelindung, kubalas dengan remasan di selangkangannya yang sudah mengeras.
“Nggak usah segan, anggap aku nggak ada” komentar JJ melihat aku dan Bobi langsung beraksi, entah sindiran atau memang kemauannya seperti itu.
Tak lebih semenit kami sudah sama sama telanjang, pengamatanku benar, badannya benar benar sexy dengan penis indah besar menggantung diantara kakinya, sunggu pemandangan yang begitu menggoda bagiku.
Aku langsung berlutut didepannya, menciumi dan menjilati sekujur daerah selangkangan dan penisnya yang kurasakan begitu keras dan kenyal, Bobi mengimbangi dengan mengocokkan penisnya pada mulutku hingga aku kewalahan dibuatnya.
Belum puas aku meng-oral tapi Bobi sudah memintaku berdiri, disandarkan tubuhku pada pintu kamar dan dia berlutut didepanku. Setelah mengatur posisi tubuhku yang nyaman, lidahnya mulai menjelajah di sekitar selangkangan dan berhenti di klitoris dan vagina, menari nari dengan lincahnya, meski tak sepintar permainan JJ namun cukup untuk membakar birahiku yang sedang memanas.
Desahanku mulai mengerasm, tak peduli kalau orang lewat di depan kamar mendegarnya, terlalu nikmat untuk ditahan, apalagi ketika Bobi membalik tubuhku menghadap ke pintu lalu melanjutkan jilatannya pada pantat, tubuhku semakin membungkuk hingga lubang anusku bisa terjangkau lidahnya. Sungguh nikmat sekali apalagi jari jari tangannya ikutan mengocok vaginaku, maka lengkaplah sudah kenikmatan oral yang kurasakan.
Tanpa berusaha pindah ke ranjang, Bobi mulai menyapukan penisnya ke bibir vagina, kubiarkan penis tanpa kondom itu mulai menyusuri liang kenikmatanku. Desah dan jerit meledak tak kala penis yang besar itu mulai keluar masuk mengocok, semakin lama semakin cepat dan keras, berulang kali kepalaku terbentur pintu saat dia menyentakku keras namun tak kami perdulikan.
Celotehan dan komentar dari JJ tak kami hiraukan, justru membuat permainan kami semakin memanas, remasan remasan pada buah dada dan sesekali kurasakan tamparan pada pantat mengiringi kocokannya. Kurengkuh kenikmatan demi kenikmatan hingga meledaklah jeritan orgasme dariku.
“Bobii” teriakku saat otot otot vaginaku berdenyut hebat diiringi tubuh mengejang, namun dia tak peduli justru semakin mempercepat kocokannya dan meremas buah dadaku makin kencang.
Lutut serasa melemas tak mampu berdiri, tubuhku merosot turun hingga posisi dogie. Sungguh gila dia mengocokku lebih dari 10 menit di depan pintu tanpa memperdulikan adanya orang lewat depan kamar, pasti bisa mendengar desah dan jeritan kenikmatanku.
Ternyata dengan posisi ini dia bisa lebih bebas mengaduk aduk vaginaku tanpa ampun. Kalau saja kubiarkan, dia sudah melesakkan penisnya ke lubang dubur, tentu saja aku menolak meski dia telah berhasil mempesonaku. Tiga kali usahanya memasukkan penisnya ke dubur kutolak dia tak mencoba lagi, namun seakan melampiaskan ke vagina.
Aku benar benar terhanyut dalam permainannya, kubiarkan saat tubuhku dibalik telentang, masih juga di depan pintu, tak kuhiraukan karpet kamar yang agak bau dan berdebu. Bobi menindih tubuhku bersamaan dengan melesaknya kembali penis ke vagina, untuk kesekian kalinya jeritan lepas tanpa kontrol mengalun keras di kamar ini, sungguh permainannya semakin liar.
Tak ada niatan untuk pindah ke ranjang, bahkan saat aku berada di atas, kami masih melakukannya di tempat yang sama, di depan pintu. Dengan posisi di atas, aku bisa memandang wajah dan postur tubuhnya lebih jelas, begitu juga sebaliknya. Remasan dan kuluman pada putingku mengiringi gerakan di atas Bobi dan,
“Bobii, yess” desahku beberapa menit kemudian saat kugapai orgasme yang kedua darinya, dan disusulnya tak lama kemudian dengan pelukan kuat tubuhku.
Aku langsung terkulai lemas dalam pelukan Bobi, napas kami menyatu dalam irama tak karuan, berulang kali kuciumi wajah dan bibirnya yang tampak semakin menggemaskan, begitu juga dia lakukan padaku. Kutinggalkan Bobi yang masih telentang di atas karpet lantai, aku mandi membersihkan diri dari keringat beberapa orang yang bercampur aduk menempel tubuhku.
Ketika aku kembali ke kamar dengan tubuh berbalut handuk, sebenarnya nggak perlu karena toh mereka berdua telah tahu dan telah menikmati apa yang ada dibalik handuk yang kukenakan, kulitah Bobi telentang di atas ranjang masih telanjang, ngobrol dengan JJ dengan santainya.
Kuambil tempat kosong disebelah JJ, dia mengangsurkan rokok yang baru saja dinyalakan.
“Bob, percaya nggak kalau kamu adalah orang kedelapan yang main sama dia” kata JJ.
“Ha?? Sudah orang kedelapan? Mainnya masih liar gitu, gimana yang pertama dan kedua?” tanyanya heran, aku hanya tersenyum saja sambil menghembuskan asap rokok kuat kuat.
Tak lebih 15 menit kami beristirahat, Bobi sudah membawaku kembali mengayuh biduk birahi, ranjang itu serasa terlalu sempit untuk kami berdua, berbagai gaya dan posisi kami lewati dalam mengarungi lautan birahi. Bahkan kamipun berpindah medan, di sofa tanpa memperdulikan JJ yang makin asyik menikmati permainan kami berdua.
Kali ini lebih lama dari sebelumnya, entah sudah berapa kali kugapai orgasme hingga kamipun terkapar dalam indahnya kenikmatan birahi. Hampir satu jam kami lewati dan aku benar benar tiada daya lagi, bahkan untuk ke kamar mandipun kakiku serasa berat melangkah.
Pukul 2 dini hari, Bobi meninggalkan kami, kulepas kepergiannya dengan berat hati, sebenarnya aku ingin dia tinggal hingga besok tapi dia harus pulang, maklum masih ikut orang tua. Setelah mengantar Bobi hingga pintu, tanpa mandi, kubersihkan vaginaku dari spermanya.
Kamar itu serasa hampa tanpa keberadaannya, apalagi hanya si jelek JJ dengan senyum seringai bak srigala buas yang siap menerkam. Hanya 10 menit semenjak kepergian Bobi, JJ sudah mulai merajuk, tangannya menjamah sekujur tubuhku yang masih berkeringat, dia tak peduli dengan bekas keringat Bobi yang masih menempel di tubuhku dan belum aku bersihkan.
“Aku udah capek Om, besok pagi aja ya” tolakku halus tapi dia tak peduli.
“Nggak, justru aku ingin lihat kamu sampai batas terakhir, bila perlu sampai pingsan juga nggak apa apa, seperti apa sih daya tahan kamu yang hebat itu?” desaknya mulai mengulum putingku seiring permainan jari jari pada vagina.
Sungguh beda rasanya cumbuan JJ dan Bobi, meski dia lebih pintar tapi aku lebih menyukai cumbuan Bobi. Kupejamkan mataku rapat rapat membayangkan Bobi masih ada dan sedang mencumbuku, bahkan saat kurasakan sentuhan di bibirku, akupun membalas lumatan itu seakan sedang berciuman dengannya.
Sisa malam aku habiskan dengan melayani nafsu birahi JJ, dan sepanjang itu pula bayangan Bobi selalu melayang layang dalam angan. Aku merasakan kuluman Bobi saat JJ mencumbuku, bahkan kocokannya serasa Bobi yang melakukan, entahlah mungkin juga JJ yang sudah banyak pengalaman bisa membedakan khayalanku tapi mungkin juga dia menikmatinya karena permainan jadi bertambah panas. Terlupakan sudah kelelahan dan keletihan yang kualami, tak terhitung berapa kali lagi aku mendapatkan orgasme tambahan dari JJ, sepertinya aku benar benar dipacu hingga batas terakhir birahiku.
Terlupakan sudah bahwa JJ tua yang bertubuh gendut dengan mata agak juling sedang memacu birahinya diatas tubuhku, yang ada hanyalah seraut wajah dan bayangan si Bobi yang macho.
Hingga semburat sinar matahari yang mulai menampakkan dirinya diufuk sana, kami baru bisa memejamkan mata dengan keletihan yang teramat sangat, sepertinya aku tak mampu lagi melalui hari esok.
Bunyi telepon membangunkanku, JJ masih terlelap dengan dengkurnya yang keras seperti Babi yang sedang digorok, kembali perasaan jijik menghampiri mengingat bahwa tubuh gendut dan jelek itu semalam telah menyetubuhiku habis habisan dan lebih memalukan lagi bahwa akupun bisa menggapai orgasme darinya meskipun dengan caraku sendiri.
“Hei bangun putri malas” teriak Ana setelah tahu aku yang terima, entah dari mana dia tahu aku berada disini.
“Sialan kamu, aku barusan tidur jam 6 tadi, masih ngantuk nih” jawabku agak marah karena tidurku terganggu.
“Nona manis, sekarang udah hampir jam 11, jadi kamu tidur udah 5 jam, cukup tuh” jawabnya tak kalah sengit.
“Iya.. Yaa.. Yaa, ada apa sih?” tanyaku masih menahan kantuk.
“Waktunya bayar hutang” jawabnya mengingatkan taruhanku.
“Aduuh, aku capek banget nih, apa nggak bisa besok aja” jawabku.
“NO Way sayang, aku udah bikin janjian untuk kamu dan tak mungkin lagi diundur” desaknya.
Dengan berbagai alasan aku berusaha menolak tapi Ana tetap mendesak, akhirnya akupun menyerah untuk menemani tamu pilihannya nanti saat jam makan siang, berarti 1 jam lagi.
“Oke jam 12 aku telepon lagi dimana kamu temuin dia”
“Siapa sih tamunya..” dia sudah menutup teleponnya.
Kutinggalkan JJ yang masih juga mendengkur, siraman air hangat rasanya mengembalikan kesegaran tubuhku yang serasa raib ditelan ganasnya gelombang nafsu. Kumanjakan diriku dalam pelukan air hangat di bathtub, hampir 30 menit aku berendam dengan santainya.
Aku terkaget dan ketika kurasakan sesosok tubuh memasuki bathtub, tentu saja si juling JJ karena memang hanya ada dia.
“Boleh ikutan kan sayang” sapanya tanpa menunggu jawabanku tubuhnya sudah memasuki bathtub, air menjadi tumpah semua dan bathtub itu serasa terlalu kecil untuk kami berdua.
“Om, aku ada janjian jam 12 nanti, please tolong aku dong Om” aku merajuk protes saat tangan JJ mulai menjamah buah dadaku, aku tak ingin kelelahan sekarang, masih nggak tahu kayak apa laki laki yang akan disodorkan Ana nanti, tapi aku yakin bahwa tamu itu pasti spesial.
Bukannya beringsut tapi malah meremas remas buah dadaku dan mulai menciumi leherku.
“Semakin cepat melayaniku semakin cepat pula selesai dan kamu tak akan terlambat janjian” bisiknya sebelum mengulum telingaku.
Rasanya sudah nggak ada lagi jalan keluar, terpaksa kulayani kembali nafsu birahi si bandot tua itu, padahal semalam kami sudah bercinta hingga batas terakhir tapi sepertinya tak ada kata puas dari dia.
“Oke, sampai ada telepon nanti, selesai atau nggak, your time is over” syaratku, sebenarnya adalah suatu kesalahan besar karena masih 20 menit dari jam 12, kalau tidak bersyarat mungkin bisa kuselesaikan 5-10 menit.
Akupun mengambil posisi dogie, dan untuk kesekian kalinya penis JJ kembali melesak diantara celah kenikmatan merasakan nikmatnya vaginaku, langsung keluar masuk dengan tempo tinggi diiringi remasan pada buah dada dan sedikit tamparan pada pantat. Kami bercinta dengan liarnya seperti semalam, begitu liar hingga air bathtub kembali meluber ke lantai, tapi tak kami hiraukan dan desahan nikmatpun tanpa terasa keluar dari mulutku, kuimbangi kocokannya dengan goyangan pinggul.
Entah sudah berapa lama dia menyetubuhiku dari belakang, rasanya tak terlalu lama ketika dia memintaku keluar dari bathtub.
Didudukkan tubuh telanjangku di atas closet yang tertutup, dia lalu berjongkok didepanku, tanpa ragu lidahnya langsung mendarat di vagina, aku menggeliat nikmat. Kusadari, inilah ciri permainan JJ, dia senang menjilati vagina ditengah permainan tanpa mempedulikan apakah aku atau dia sudah keluar, dan itu sering dilakukan, bisa 3-4 kali oral disela permainan, dan sialnya aku sangat menikmati hal itu, cuma khawatir menjadi ketagihan dengan gaya seperti dia, sepertinya belum pernah kutemui laki laki yang mau menjilati vagina di tengah tengah permainan seperti ini.
Sebelum dia melesakkan kembali penisnya, kudengar HP-ku berbunyi, pasti Ana, pikirku. Berarti permainan harus diakhiri, tapi entahlah tiba tiba terasa sayang kalau harus mengakhiri dengan cara begini. Ingin kuabaikan telepon itu tapi aku juga harus jaga gengsi di depan JJ.
“Om telepon udah bunyi tuh” kataku seakan mengingatkan sambil mendorong kepalanya menjauh dari vaginaku.
Namun aku membiarkan saat tangannya meraba raba tubuhku saat aku menerima telepon Ana.
“Yap, dimana dan dengan siapa?” tanyaku singkat karena kepala JJ sudah berada kembali di selangkanganku saat aku duduk di pinggiran ranjang.
“Sabar non, aku juga lagi nungguin di lobby Garden Palace, dia masih meeting, kamu kesini aja deh temenin aku di coffee shop Kencana, nggak enak nih sendirian” jawabnya.
JJ sudah menelentangkan tubuhku, aku diam saja, bahkan ketika tubuhnya menindihku dan dia berusaha melesakkan kembali penisnya, akupun diam saja, malahan membuka lebar kakiku.
“Nggak mau ah, ngapain nongkrong di situ, kayak orang nggak ada kerjaan saja” tolakku sambil menikmati kocokan dan cumbuan nikmat JJ.
Aku memang paling benci kalau harus nongkrong di lobby atau tempat terbuka seperti itu, apalagi di Garden Palace yang sempat menjadi rumah kedua-ku, tentu masih banyak yang mengenalku. Mati matian aku berusaha menahan desah nikmat dari kocokannya.
“Ih kamu jahat ya, awas nanti pembalasanku..” jawabnya tapi aku tak dapat mendengar lagi lanjutan kata katanya karena kocokan JJ semakin liar, kugigit erat bibirku takut kalau mulutku terbuka hanya desahan yang keluar.
“Oke kalau jagoanmu sudah datang, call me, oke?” jawabku supaya segera bisa mengakhiri pembicaraanku dengannya.
Begitu HP kututup, JJ menyambut dengan hentakan keras, akupun menjerit kaget, permainannya memang kasar seakan ingin membalas dendam atas penolakanku selama ini, itulah yang dilakukannya semalam dan berlanjut hingga siang ini, anehnya akupun menikmati pembalasan dendamnya. Akhirnya perahu birahi kami sampai juga ketepian bersamaan dengan bel HP dari Ana.
“Gimana? Udah datang si arjuna?” tanyaku to the point, padahal tubuh JJ masih ngos ngos-an nangkring diatas menindihku karena sengaja HP itu kuletakkan selalu di dekatku.
“Tuan putri, udah kita tunggu nih di kamar 1620, cepat berangkat sekarang” perintahnya langsung mematikan HP.
Kudorong tubuh JJ turun dan aku ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku lagi.
Setelah kembali berpakaian, me-make up wajahku, kutinggalkan JJ yang masih telentang telanjang memandangku seakan berat melepas kepergianku ke pelukan laki laki lain, padahal itu adalah kerjaan dia sehari hari.
“Ly, kapan kita bisa melakukannya lagi” katanya sambil menyelipkan segebok uang dalam belahan dadaku.
“In your dream” jawabku terus meninggalkan kamar itu.
Hanya perlu 10 menit untuk mencapai Garden Palace, tanpa menoleh kiri kanan aku langsung menuju kamar 1620, seperti biasa aku tak ambil peduli siapa laki laki yang bakal kutemani dan bakal meniduriku.
Ana sudah menunggu di kamar bersama seorang laki laki bule muda dan tampan, bermata biru dan berambut blonde.
“Ly kenalin, Dion” katanya, kamipun saling bersalaman, kubiarkan dia mencium pipiku.
Kurang ajar si Ana, sudah tahu aku nggak mau melayani bule dia malah ngasih si bule itu, tapi kalau tampan seperti dia nggak ada salahnya dicoba, pikirku dalam hati, jantungku sudah berdetak kencang menyadari bakal melayani bule untuk pertama kalinya.
“Ly, kamu kan nggak mau melayani bule, jadi ini untuk aku, kamu tunggu aja sebentar lagi dia datang kok” kata Ana dalam bahasa jawa, mungkin supaya si bule tidak mengerti. Sambil berkata demikian dia lalu duduk dipangkuan Dion dan mereka mulai berciuman tanpa menghiraukan keberadaanku.
Tangan Dion sudah bergerilya di dada Ana yang tengah mendesis, ciuman Dion terlihat begitu penuh perasaan dan romantis, aku hanya duduk saja melihat mereka, penasaran untuk menonton bagaimana permainan seorang bule. Tak perlu menunggu lama, pakaian mereka satu demi satu sudah berterbangan. Aku sedikit terkesiap melihat tubuh atletis Dion apalagi dihiasi penis yang besar nan tegang berwarna kemerahan.
Mereka sudah berpindah ke ranjang, mulanya Dion melakukan oral pada Ana kemudian berganti posisi, dan dilanjutkan dengan 69, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana penis kemerahan itu keluar masuk mulut Ana, terlihat Dion begitu pintar bermain oral. Dengan tatapan menggoda dia menatapku setiap kali penis itu mau memasuki mulutnya. Ada perasaan penasaran, iri maupun geli melihatnya, terasa penis itu aneh bagiku.
Sesaat terlupakan sudah siapa bakal tamuku, mereka sudah mulai bercinta, Ana tengah menjerit jerit nikmat menerima kocokan penis Dion yang besar itu. Sepuluh menit berlalu live show dihadapanku ketika bel berbunyi, mereka menghentikan aksinya.
“Tuh lakimu datang” kata Ana yang masih dibawah tindihan Dion.
Aku beranjak menuju pintu menyambut tamuku, ketika pintu kubuka aku begitu terkejut dengan apa yang ada dihadapanku. Berdiri di depan pintu, seorang laki laki setengah baya dengan pakaian lusuh agak kumal, topi kumal menghiasi kepalanya, menutup rambut yang mulai memutih. Aku tertegun hingga tak sempat mempersilahkan dia masuk.
“Ly, masak tamunya nggak dipersilahkan masuk, masuk aja Pak Taryo” teriak Ana dari atas ranjang.
Aku seperti tersadar, segera kupersilahkan masuk, ternyata Ana dan Dion sudah mengenakan piyama-nya.
“Pak Taryo, ini Lily milik Pak Taryo seperti yang kamu inginkan” kata Dion dengan logat bule-nya.
“Tapi tuan, saya nggak biasa dengan yang seperti ini, apalagi cantik kayak Non Lily ini, paling juga dengan si Ina pembantu sebelah, apa Non Lily mau sama saya” kata Pak Taryo terbata bata sambil menatapku bergantian dengan Dion.
“Pak Taryo pernah ke Tandes atau Dolly?” tanya Ana.
“Eh neng, bikin malu aja, sekali kali sih, itupun kalau dapat persen dari tuan” kata Pak Taryo tersipu.
Kepalaku berputar pening mendengar pembicaraan mereka, laki laki macam apa yang akan disodorkan ke aku ini? Siapakah dia?
“Udah anggap aja dia dari Dolly atau Tandes, nggak ada bedanya, cuma dia lebih cantik dan lebih mulus dan lebih.. Pokoknya lebih dari segalanya deh.. Jauuh, mau nggak?” timpal Ana sambil menatapku.
Aku tak bisa berkata apa apa, sama sekali tak menyangka permainan taruhan bisa begini liar.
“Pak Taryo nggak suka sama dia ya, oke I carikan yang lain atau ntar kita ke tempat kamu biasanya” timpal Dion dengan bahasa yang aneh.
“Bu.. Bukan begitu tuan, aku cuma masih seperti bermimpi” jawab Pak Taryo dengan lugunya, sambil menatap ke bawah, dia seperti tak berani menatapku.
“Ly, kamu ini gimana sih kok diam saja, dia kan tamumu” hardik Ana sambil mendorong tubuhku ke arah Pak Taryo, tercium bau keringatnya yang tidak sedap.
“Udah urus dia, aku mau ngelanjutin, ntar aku keburu drop ngelihat Pak Taryo” bisiknya menggoda dan mendorong tubuhku semakin dekat ke Pak Taryo.
Kutatap matanya dengan penuh kemarahan, tapi dia membalas dengan tatapan penuh kemenangan, dia bisa mendapatkan laki laki seperti Dion tapi memberiku Pak Taryo. Dengan sangat terpaksa kugandeng Pak Taryo ke kamar mandi, aku ingin memandikan dia dulu, menghilangkan bau keringatnya yang menyengat.
Kukuatkan hatiku ketika melepas pakaian Pak Taryo satu demi satu sambil menggerutu dalam hati, kalau aku diberi tamu yang tua tapi berduit tentu nggak terlalu masalah karena tentunya masih bisa mengharap tip darinya tapi dengan orang seperti Pak Taryo, mana bisa memberiku tip, paling banter kalau dia memang memberi tak lebih dari 10.000, padahal aku biasa memberi tip pada room boy paling tidak 2 lembar 20 ribuan.
Tubuh Pak Taryo sudah telanjang didepanku, terlihat dia agak rikuh didepanku.
“Nggak usah non, aku mandi sendiri aja, non tunggu aja diluar” katanya saat celananya mau kulepas, tapi aku tak mau diketawain Ana.
“Nggak apa Pak, emang udah tugasku kok” jawabku menghibur diri.
“Kalo begitu non juga harus lepas, masak cuma aku yang telanjang” katanya mulai nakal.
Aku terdiam sejenak, agak marah juga sih sebenarnya, tapi dilepas sekarang atau nanti toh akhirnya memang harus dilepas juga. Dengan terpaksa kulepas juga pakaian dan celanaku.
“Non makin cantik kalo begitu” katanya saat aku mulai mengguyurkan air hangat ke tubuhnya.
“Lepas aja itu sekalian non, ntar basah lho” katanya lagi saat aku mulai menyapukan sabun ke tubuhnya.
Akupun menurutinya, sudah kepalang tanggung, pikirku.
“Aku seperti mimpi bisa begini dengan non Lily” katanya ketika melihat tubuh telanjangku.
Tubuh telanjang kami sudah berada dalam satu bathtub, Pak Taryo sudah mulai berani memegang dan mengelus pundakku ketika aku menyabuni penisnya. Elusannya bergeser ke dadaku dan mulai meremas buah dada saat kuremas remas penisnya dengan sabun.
“Non jauh lebih sintal dari pada si Ina atau Ijah si janda gatel, apalagi kalau dibandingkan Mince yang di Dolly, wah kalah jauh non, mereka nggak ada apa apanya” katanya sambil meremas dan mempermainkan putingku.
Dalam hati aku mendongkol dan marah dibandingkan dengan pembantu atau para pelacur di Dolly, jelas bukan kelasku mereka itu. Kubiarkan dia dengan gemas mempermainkan buah dadaku, toh dia pasti melakukannya dan lebih dari itu penis yang ada digenggamanku ini juga tak lama lagi akan masuk dan menikmati hangatnya vaginaku.
“Emang Pak Taryo apanya Dion” tanyaku sambil mengocok penisnya dengan tanganku.
“Oh dia tuanku, sudah lebih 3 tahun aku menjadi sopirnya, dia itu orangnya baik sekali non, aku sering mendapat persen darinya” katanya memuji muji bos-nya.
Kudengar jeritan kenikmatan dari Ana menikmati permainan Dion, ingin aku melihat bagaimana Dion menyetubuhi Ana segera tapi aku harus melayani Pak Taryo dulu.
“Oouughh.. Shit.. Yes.. Yess.. Fuck me hard.. Harder.. Yes harder” berulangkali desahan lepas dari Ana terdengar melewati pintu kamar mandi yang tidak tertutup.
“Aku mah sudah terbiasa mendengar suara suara seperti itu dari neng Ana” katanya mulai mendesis.
Sambil saling memandikan, akhirnya aku tahu kalau Pak Taryo yang sopir itu sering mengantar Dion dan Ana ke Tretes atau Batu, dan tak jarang dia melihat mereka bercinta, sepertinya Dion tak peduli kalau dilihat atau diintip sama sopirnya. Bukan cuma dengan Ana tapi begitu juga dengan gadis lain yang dia bawa tapi Ana yang paling sering dia bawa, makanya Ana mengenal Pak Taryo.
Sambil cerita Pak Taryo mulai menyabuni tubuhku, dia sudah berani mencium punggung dan leherku dari belakang disela sela ceritanya. Teriakan dan jeritan Ana masih terdengar, malahan semakin nyaring, sepertinya semakin liar.
Setiap dari luar kota, Dion selalu memberinya uang lebih, dan untuk pelampiasan dari apa yang dilihat di Tretes atau Batu, Pak Taryo pergi ke Dolly atau Tandes, memang tempat itulah yang bisa dia jangkau. Akhirnya kebiasaan itu ketahuan Dion, suatu hari Dion bertanya gadis seperti apa yang diimpikan Pak TAryo.
“Saya mah orang kecil nggak berani berangan angan yang muluk muluk” jawab Pak Taryo waktu itu, tapi Dion mendesak akhirnya Pak Taryo mengungkapkan impian nakalnya. Gadis yang putih mulus kalau bisa cina, tinggi, montok dan tentu saja cantik, itu sih semua orang juga mau, ledek Dion saat mengetahui impian Pak Taryo.
“Jangan kuatir Pak Taryo, impian kamu suatu saat pasti terjadi” janji Dion.
Minggu besok Dion mau pulang ke Belanda, karena visanya habis, Pak Taryo tidak berani menagih janjinya tempo hari karena beranggapan itu sekedar menghiburnya, hingga siang tadi sepulang rapat Dion memintanya untuk naik ke kamar ini sekitar jam 1:30 dan beginilah jadinya.
Kami sudah berpelukan sambil membersihkan sisa sisa sabun yang masih menempel di tubuh kami, tubuhnya yang tidak sampai se-telingaku, dengan mudahnya menciumi leher.
Jerit kenikmatan Ana sudah tak terdengar lagi, ketika Pak Taryo memintaku duduk ditepian bathtub. Aku tahu yang dia mau ketika dia mulai jongkok di depanku, kubuka kakiku lebar saat kepalanya mendekat di selangkangan.
Tanpa canggung Pak Taryo mulai menjilati vaginaku, kupejamkan mata saat bibirnya menyentuh klitoris, perlahan tapi pasti akupun mulai mendesah, apalagi ketika tangannya pun ikutan bermain di puting. Mau tak mau birahiku mulai bangkit, kuremas remas buah dadaku sambil meremas rambut Pak Taryo yang berada diselangkangan, kutekan semakin dalam.
Ternyata permainan oral Pak Taryo cukup lihai, tak seperti penampilannya yang lugu, dia mahir mempermainkan irama tarian lidahnya pada klitoris, aku masih malu untuk mendesah bebas, hanya rintihan tertahan.
Lidahnya dengan lincah menyusuri paha, vagina dan klitoris, sepertinya tak sejengkal paha yang terlewatkan dari sapuan bibir dan lidahnya. Kalau saja kubiarkan, tentu bekas merah akan banyak bertebaran di pahaku.
Kedua tangan si sopir itu sudah beralih meremas remas kedua buah dadaku dengan kasarnya, diikuti bibir dan lidahnya mendarat pada puncak bukit itu, dengan kuat dia menyedotnya bergantian, aku menggelinjang antara sakit dan geli, kambali dia berusaha meninggalkan bercak merah pada bukitku tapi segera kucegah, mungkin dia begitu gemas melihat kemulusan buah dadaku yang ada dalam genggamannya itu atau ingin menikmati apa yang selama ini dia impikan.
Mataku terlalu lama terpejam berusaha menikmati cumbuan Pak Taryo, hingga aku dikagetkan suara, ketika kubuka mataku, ternyata Ana dan Dion sudah berdiri disamping kami, mereka masih telanjang. Ana dengan santainya menyandarkan tubuhnya di dada Dion tanpa risih meskipun didepan sopirnya.
“Udah gantian, kamu yang karaoke Ly” kata Ana.
“Sialan” umpatku dalam hati, kutatap matanya tapi dia membalas tatapanku dengan sorot mata penuh kemenangan menggoda.
Pak Taryo menghentikan cumbuannya, menatapku seakan meminta persetujuan, aku diam saja, tak sanggup untuk meng-iya-kan, padahal sebenarnya memang tugasku.
“Itu para cewek di Dolly atau Tandes aja bisa melakukan, masak Lily yang terkenal itu nggak mau sih, lagian Dion juga ingin melihat bagaimana pintarnya kamu setelah kubilang kalau kamu lebih pintar karaoke dari pada aku” lanjut Ana dalam bahasa jawa.
Aku semakin jengkel tapi merasa tertantang saat dibilang Dion ingin melihat kemahiranku, entah kenapa seakan aku ingin membuktikan dihadapan Dion bahwa aku lebih hebat dari Ana.
Kuminta Pak Taryo berdiri, penisnya tepat berada didepanku, kupegang dan kuremas remas, lalu kukocok dengan tangan, kembali ada keragu raguan saat penis itu hendak kucium. Kulirik Ana dan Dion yang tengah melihat kami dengan penuh perhatian, terpancar sorot mata aneh dari Dion yang tak bisa kuterjemahkan.
Penis di genggamanku semakin mengeras seiring desahan nikmat dari Pak Taryo, kubulatkan tekadku sambil memejamkan mata saat bibirku akhirnya menyentuh ujung penis. Sapuan bibir sepanjang penis mengiringi desahan kenikmatan darinya, tangan Pak Taryo mulai meremas remas rambutku, suatu hal yang sangat tabu dilakukan seorang sopir padaku, tapi kali ini dia adalah tamuku yang berhak melakukan apa saja yang dimaui.
Dion mendekat ketika penis sopirnya memasuki mulutku, rasanya mau muntah merasakan penis itu dimulut, meski ini bukan pertama kali aku mengulum penis dari orang “rendah” macam dia tapi kali ini sungguh lain karena apa yang aku lakukan adalah suatu harga yang harus kubayar, dan aku tak mendapatkan sepeserpun dari perbuatanku ini. Mengingat hal ini, perutku semakin mual tapi tetap kuteguhkan tekadku.
Aku agak “terhibur” saat tangan Dion yang penuh bulu itu mulai ikutan menyentuhku, mengelus punggung, rambut dan meremas remas buah dadaku dengan lembut, jauh lebih lembut dari Pak Taryo. Kalau saja diperbolehkan, tentu kualihkan kulumanku pada penis Dion yang kemerahan menggemaskan itu. Tapi, jangankan mengulumnya, ketika tanganku berusaha meraihnya, Ana langsung menepis.
“Ojo nyenggol Dion” katanya, padahal Dion tengah meremas remas buah dada dan mempermainkan putingku.
Sentuhan Dion membuat birahiku perlahan naik, menghilangkan mual diperut, dan kulumankupun semakin bergairah pada Pak Taryo, tentu saja dia semakin senang menikmatinya, berulangkali lidah dan bibirku menyapu sekujur batang hingga kantong bolanya. Pak Taryo-pun semakin berani, dipegangnya kepalaku dan dikocoknya mulutku dengan penisnya.
“Ya begitu, bagus Pak Taryo.. Faster.. Harder” komentar dan perintah Dion dengan nada pelo pada sopirnya, sementara dia sendiri meremasku semakin liar dan satu tangannya dari belakang sudah berada di selangkananku. Tak dapat kutahan lagi ketika pinggulku mulai bergoyang mengikuti permainan jari Dion pada vagina, kini atas dan bawah tubuhku bergoyang bersamaan.
“Kita pindah ke ranjang yuk” usulku sambil berharap bisa mendapat cumbuan lebih banyak dan lebih bebas dari Dion, meski aku belum pernah melayani bule dan selama ini tidak ingin, tapi untuk Dion aku tak keberatan sebagai yang pertama.
Tanpa menunggu persetujuan, aku berdiri meninggalkan mereka menuju ranjang, langsung telentang diatas ranjang bersiap menerima cumbuan, terutama Dion.
Harapan tinggallah harapan, yang muncul ternyata Pak Taryo, tanpa mempedulikan mimik kekecewaanku, dia langsung mencumbu dan menindih tubuhku, menciumi leher dan bibir, melumat habis hingga putingku terasa agak nyeri.
“Oh yess.. Fuck me harder.. Yess faster.. Faster” sayup sayup mulai kudengar jeritan Ana dari kamar mandi. Sebercak iri melintas dibenakku membayangkan Ana mendapat kocokan dari si bule dengan penis yang besar dan kemerahan itu, sementara aku sendiri hanya mendapatkan sopirnya yang tua dan jelek, rakus lagi.
Pak Taryo mulai menyapukan penisnya ke vaginaku.
“Non, aku sungguh nggak nyangka akan mendapat kesempatan seperti ini, bisa bersama non yang cantik, malah lebih cantik dari neng Ana” katanya seraya mulai memasukkan perlahan penisnya. Aku sama sekali tidak merasa tersanjung dengan pujian seorang sopir seperti dia.
Penis Pak Taryo mulai merasakan nikmatnya vaginaku, diiringi wajah tuanya yang menyeringai penuh kepuasan dan nafsu bak singa tua mendapat kambing muda. Begitu melesak semua, digenjotnya vaginaku dengan kecepatan penuh bak mobil tancap gas, tubuh tua itu menelungkup di atasku, terdengar jelas desah napasnya yang menderu dekat telinga, aku sama sekali tak bisa menikmati kocokannya, justru perasaan muak yang kembali menyelimutiku.
Dari dalam kamar mandi Ana berteriak semakin liar, ingin aku melihat apa yang tengah mereka lakukan hingga membuat Ana terdengar begitu histeris.
“Oh.. Yaa.. Come on, Mark can do more than this” terdengar disela desahannya Ana membandingkan Dion dengan orang lain yang aku sendiri tak tahu.
Aku lebih menikmati desahan dan jeritan Ana daripada permainan Pak Taryo yang tengah mengocokku dengan penuh nafsu, justru suara suara itu lebih membangkitkan birah. Kugoyangkan pantatku mengimbangi gerakannya, bukannya karena aku mulai bernafsu tapi lebih berharap supaya Pak Taryo cepat selesai dan aku bisa melihat permainan Ana dan Dion.
“Oh no.. No.. Pleasse.. Not my ass..” teriakan Ana menarik perhatianku, Dion memaksakan anal sex padanya, kudengar Dion berkata tapi terlalu pelan tak bisa kudengar apalagi dengus napas Pak Taryo tepat di telinga.
“Please.. Please don’t, I never.. Aauuww.. Sshit..” lalu senyap tak terdengar lagi teriakannya, entah apa yang terjadi, apakah dia pingsan? Tak sempat aku menduga duga karena Pak Taryo sudah melumat bibirku tanpa menghentikan kocokannya.
“Oh shiit.. Bule edaan..my ass.. Ugh.. Ugh..” desah Ana kembali terdengar, rupanya Dion telah berhasil mem-perawani anus Ana, membayangkan penis yang besar itu keluar masuk lubang anusnya, birahiku kembali naik. Goyangan pinggulku semakin cepat, ingin segera kutuntaskan tugas berat ini dan aku yakin Pak Taryo tak bisa bertahan lebih lama lagi, apalagi dengan sedikit berpura pura mendesah nikmat.
Dugaanku benar, dari raut wajahnya tampak dia sudah dekat dengan puncaknya.
“Keluarin di luar aja” pintaku sambil pura pura mendesah, rasanya tak rela kalau vaginaku dikotori spermanya.
Tapi terlambat, belum sempat aku memperhatikannya lebih lanjut tiba tiba kurasakan tubuhnya menegang seiring denyutan kuat penisnya pada vaginaku, aku menjerit keras, bukannya nikmat tapi karena marah, sopir itu telah “mengotori” vaginaku dengan spermanya, sperma yang selama ini disemprotkan pada wanita murahan di Dolly atau tandes.
Aku tak sempat mendorongnya keluar karena tubuhnya sudah ditelungkupkan di atasku bersamaan semprotan hangatnya.
“Sialan.. Sialan.. Sialaan, dasar sopir tak tahu diuntung” gerutuku dalam hati sambil merasakan denyutan demi denyutan.
“Maaf non, habis tanggung sih, lagian non Lily membolehkan aku tanpa kondom, biasanya mereka selalu meminta pakai kondom” kata Pak Taryo setelah denyutan itu habis. Aku tertegun mendengar kalimat terakhirnya.
“Ya udah turun gih, berat nih nggak bisa napas aku” kataku menahan marah sambil mendorong tubuh Pak Taryo yang masih menindihku (saat menulis cerita ini, aku teringat kalau tubuh Pak Taryo mirip Mat Solar dalam sinetron Bajaj Bajuri itu).
Desah kenikmatan dari kamar mandi masih terdengar, segera aku beranjak menuju kamar mandi untuk melihat mereka. Kulihat mereka sedang melakukan dogie di lantai, tampak penis kemerahan itu keluar masuk lubang anus Ana yang tengah mendesah. Tampaknya Ana benar benar sedang melayang tinggi hingga tak menyadari kedatanganku, aku mendekat sambil berharap Dion mau menjamah dan berbagi gairah denganku.
Dion yang tengah mengocok anus Ana melihatku, dia menarik tubuh telanjangku dalam pelukannya, inilah pertama kali aku berpelukan dengan seorang bule, telanjang lagi. Maka akupun tak mampu menghindar saat bibir Dion mendarat ke bibirku dan bibir kamipun bertemu. Aku hanya tertegun tak membalas lumatannya, setelah tangan kekar Dion yang berbulu itu mulai menjamah dan meremas remas buah dadaku, barulah seakan tersadar.
Namun sebelum aku membalas kuluman itu, ternyata Ana menyadari keberadaanku, disela sela desahan kenikmatannya Ana masih sempat menghardik.
“Ly, stay away from him, don’t even think about it”
Spontan Dion melepaskan pelukannya dan akupun menjauh melihat mereka dari pintu kamar mandi, rasanya birahiku terbakar hebat tanpa bisa berbuat apa apa, tanpa malu kupermainkan sendiri klitorisku, Dion hanya tersenyum melihat tingkah lakuku.
Beberapa menit berlalu, mereka belum juga selesai, malahan berpindah ke ranjang tempat Pak Taryo tadi melampiaskan nafsunya padaku. Aku sengaja duduk menjauh dari Pak Taryo sambil melihat Dion dan Ana bercinta, berbagai posisi telah mereka lakukan, namun belum juga terlihat tanda tanda menuju puncak, tapi aku yakin sekali kalau Ana telah berkali kali menggapainya. Dalam hati aku mengagumi Dion yang begitu jantan, baik penampilan maupun gaya bercintanya, kembali aku Iri pada Ana.
Ketika Ana sedang bergoyang pinggul di atas Dion, dia melihatku.
“Ly, sini” ajaknya untuk ikut naik diatas ranjang, akupun dengan senang hati menurutinya, akhirnya kesampaian juga untuk merasakan kejantanan Dion, pikirku.
Namun aku harus menelan sekali lagi kekecewaan pada detik berikutnya.
“Pak Taryo, kenapa duduk saja, tuh Lily sudah nganggur dan telah siap” kata Ana lalu melanjutkan goyangan dan desahannya.
Pak Taryo yang merasa mendapat angin segera menuju ranjang dan langsung menubrukku, tubuh telanjang kami kembali menyatu.
Selanjutnya kamipun memacu nafsu di arena yang sama, ranjang. Berulang kali kulihat Ana menatapku dengan sorot penuh kemenangan, dibiarkannya Dion menyentuh dan menjamah tubuhku, tapi tak sekalipun aku diijinkan untuk menyentuh pasangannya, sepertinya dia benar benar menikmati kemenangannya.
Ana dan Dion bercinta seperti tak ada hari esok, mereka benar benar liar, mungkin aku juga melakukan hal yang sama kalau mendapatkan pasangan seperti Dion, tapi kini yang kudapat adalah Pak Taryo, sopirnya.
Hingga akhirnya akupun menyerah kalah atas permainan Ana dan terpaksa harus kurelakan sperma Pak Taryo mencemari vagina dan rahimku dua kali lagi.
“Neng boleh tahu nggak kalau sama non Lily itu berapa ya bayarnya” kata Pak Taryo saat hendak keluar kamar.
“Ha? Udah sana sana pergi, yang jelas kamu nggak akan mampu sampai kapanpun” hardik Ana lalu mengusir Pak Taryo keluar kamar.
Sepeninggal Pak Taryo aku masih bersama mereka, sebenarnya berharap untuk mendapatkan sepenggal kenikmatan dari Dion, tapi hingga batang rokok kedua kuhabiskan sepertinya Ana tidak akan memberi kesempatan itu.
Sesungguhnya aku bisa saja meninggalkan mereka karena taruhan sudah terbayar tapi seberkas harapan masih menahanku untuk lebih lama tinggal bersama mereka. Kalaupun aku tak bisa mendapatkannya paling tidak bisa mengulum penis kemerahan itu atau paling tidak memegang dan meremasnya.
“Ly, aku mau tinggal sampai besok, terserah kamu mau disini atau pergi, tapi jangan harap aku membagi Dion dengan kamu, karena pasti aku kalah kalau harus bersaing denganmu, seperti yang sudah sudah” kata Ana menggoda.
Daripada menjadi penonton pasif, maka kuputuskan untuk meninggalkan mereka. Lebih baik aku mencari tamu lagi, toh masih belum terlalu malam. Aku bertekad untuk melayani tamuku nanti dengan penuh gairah, beruntunglah tamuku malam ini karena akan mendapat bonus sampai pagi, akan lebih baik kalau bisa 2 in 1 atau bahkan 3 in 1, sekedar pelampiasan birahi, bila perlu bercinta sampai pagi.
Kutinggalkan mereka diiringi jeritan kenikmatan Ana saat penis Dion sudah kembali keluar masuk lubang anusnya.
Dalam 2 hari ini aku telah mengalami kejadian yang luar biasa, kemarin telah memecahkan rekor untuk melayani laki laki dalam sehari dan berbuat liar seperti pelacur jalanan. Hari ini aku harus melayani seorang sopir dan mulai membayangkan nikmatnya bermain dengan seorang bule seperti Dion.
Ketika aku melintasi area parkir, kulihat Pak Taryo duduk bergerombol dengan rekan sesama sopir di pojok, kupanggil dia.
“Kalau kamu ngomong macem macem pada siapa saja, awas!!” ancamku, dia hanya manggut manggut.
Sambil menyusuri jalanan malam kota Surabaya, kuhubungi beberapa GM untuk menanyakan orderan, ingin kulampiaskan birahiku segera dengan satu, dua atau bila perlu tiga laki laki sekaligus seperti yang sudah kualami sebelumnya.
====================================================
Sudah lama aku mengenal tamuku yang bernama sebut saja Dibyo, seorang chinese yang bekerja sebagai pemasaran di Maspion, dia merupakan salah satu tamu langgananku yang pada mulanya adalah teman biasa di bisnis jual beli mobil bekas, pekerjaan “sampingan” sekaligus kamuflase. Dia mengetahui profesiku yang lain secara kebetulan tak kala diajak teman temannya untuk “hunting”, dan ternyata salah satu gadis yang dibooking adalah aku, melalui seorang GM, jadi aku tidak menyangka sama sekali kalau “kepergok” seperti ini, begitu juga diapun tak menyangka bertemu aku dalam posisi seperti ini. Tentu saja kami berdua terkejut tapi sama-sama tak mungkin mengelak.
Aku kenal istri dan keluarganya, termasuk adik-adiknya karena kami memang sangat dekat. Sungguh suatu keadaan yang sama sekali lain dan tidak disangka sebelumnya, aku merasa begitu rikuh dan kulihat dia juga mengalami hal yang sama. Ingin rasanya aku lari keluar kembali ke mobilku, tapi tentu saja si GM akan kecewa dan mencoretku dari daftarnya, padahal GM itu banyak memberi orderan dan aku tak ingin hal itu terjadi. Harapan satu satunya adalah aku tidak melayaninya.
Dia ditemani kedua temannya begitu juga aku dengan 2 gadis lain yang dikirim oleh GM yang sama. Saat kami dikenalkan satu persatu, tertangkap sorot mata aneh menatapku tajam, aku tak bisa menerjamahkan sorot mata itu, dengan tersipu malu dan wajah bersemu merah aku memalingkan tatapanku dari sorotnya, tak sanggup melawannya.
Tanpa memberi kesempatan teman temannya, dia langsung memilih aku, membuatku semakin bertambah rikuh, rasanya tak mungkin melakukan dengan orang yang selama ini kukenal sebagai seorang teman dalam batas pertemanan, tak tega rasanya menghianati Wenny, istrinya yang kuanggap sebagai seorang teman.
Berenam kami menuju ke Stasium di Tunjungan Plaza, sepanjang jalan aku dan Dibyo terdiam tanpa bicara, sejuta kecamuk dalam pikiran kami masing masing, tak tahu harus mulai dari mana. Sungguh berbeda dengan kedua temannya yang banyak canda dan tawa dengan kedua gadisnya.
Aku tahu bahwa aku harus bertindak profesional, tapi dalam bisnis ini, emosi dan perasaan tetap memegang peranan yang besar, itu manusiawi.
Keadaan sedikit tertolong karena dia harus nyetir BMW-nya sehingga kekakuan kami tidak terlalu terbaca teman temannya, mereka pasti pikir si Dibyo diam karena konsentrasi pada setirannya, mereka tentu tidak memperhatikan bahwa tak sejengkalpun tubuhku disentuhnya, tidak seperti mereka yang dibelakang yang tangannya sudah menggerayang ke seluruh tubuh pasangannya masing masing.
Detak pekik House musik dan geliat birahi para pengunjung di lantai dance tak mampu mencairkan kekakuan di antara kami, bahkan saat lagu “Lemon Tree” kesukaanku berkumandang nyaring, tetap tak mampu menggerakkan kakiku menuju lantai dansa, begitu kaku, begitu juga Dibyo yang tak berani mengambil inisiatif mengajakku turun, kalau saja dia mengajakku pasti aku tak kuasa untuk menolak tapi hal itu tak terjadi. Padahal sudah sering kali aku turun sama dia saat bersama istrinya ke diskotik.
Butir butir extasi yang mereka bagikan, hanya kugenggam di tanganku. Kami sama sama terpaku membeku dalam panasnya alunan hentakan house music.
Pukul 01.00 kami meninggalkan diskotik menuju Hotel Tunjungan yang hanya bersebelahan dengan komplek pertokoan itu. Tiga jam yang panjang kualami penuh kebekuan, tak seujung rambutpun dia menyentuhku apalagi mencium atau meraba tubuhku, meskipun kesempatan itu sangat luas terbentang.
Ketika kami memasuki kamar masing masing, kekakuan diantara kami masih ada bahkan terasa semakin membeku. Aku tak tahu harus berbuat apa.
“Aku nggak nyangka kalau kita bisa bertemu dalam keadaan seperti ini” katanya setelah menyalakan Marlboronya, inilah kata pertama yang ditujukan padaku sejak ketemu 4 jam yang lalu.
“Aku juga” jawabku singkat sedikit bergetar, keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku, kebiasaan kalau aku dalam keadaan gugup.
“Selanjutnya gimana nih” tanyanya, entah pura pura atau memang karena rikuh.
“Terserah kamu saja, aku ikut” jawabku masih bergetar.
Dibyo beranjak dari tempat duduknya menghampiriku, dia duduk disampingku, jantungku berdetak kencang dan semakin kencang saat dia memelukku. Bukan pertama kali dia memelukku seperti ini, bahkan mencium pipiku pun sudah sering dia lakukan meskipun di depan istrinya, tapi semua itu tentu saja dalam konteks yang lain.
Aku hanya diam saja sambil meremas tanganku semakin erat ketika dia mulai mencium pipiku, sungguh terasa lain ciumannya dibandingkan sebelum sebelumnya, ada getaran aneh menyelimuti hatiku, kembali aku tak tahu harus berbuat apa.
Ciuman Dibyo sudah menyusur ke leharku, kurasakan tangannya gemetar saat mulai mengelus elus buah dadaku, jantungku semakin berdetak kencang saat tangan gemetar itu menyusup dibalik kaosku, terasa dingin ketika menyentuh kulit buah dadaku.
Sesaat aku hanya terdiam saat bibirnya mulai menyentuh bibirku, dilumatnya dengan lembut bibir merahku sembari menuntun tanganku ke selangkangannya, terasa menegang. Tanpa kusadari ternyata dia sudah membuka resliting celananya hingga tanganku langsung menyentuh kejantanannya yang masih terbungkus celana dalam.
Aku mulai membalas kulumannya ketika tanganku sudah menyusup dibalik celana dalamnya dan mulai meremas remas kejantanan sobatku ini.
Menit menit selanjutnya terlupakan sudah siapa Dibyo sebelumnya, terlupakan sudah si Wenny istrinya yang cantik, aku kembali berada dalam duniaku, seorang gadis panggilan yang sedang bekerja memuaskan tamunya, meskipun demikian aku masih tak tega memandang wajah gantengnya, setiap kali kulihat wajahnya aku selalu teringat akan istrinya, jadi aku selalu berusaha untuk memalingkan wajahku atau memejamkan mata saat wajah kami berhadapan.
Harus kuakui ternyata Dibyo seorang yang sabar dan romantis, kuluman pada bibir dan putingku serasa begitu nikmat dan penuh perasaan, akupun tanpa malu mulai mendesah nikmat dalam buaian sobatku.
Perlu hampir 1 jam bagi kami untuk saling menelanjangi, tubuh bugil kami sudah beralih ke atas ranjang, Dibyo melanjutkan ciumannya pada sekujur tubuhku tapi tampaknya masih ada keraguan untuk menjilati selangkanganku, begitu juga aku, seakan ada penghalang yang mencegahku mengulum penisnya.
Ketika tubuh telanjangnya hendak menindihku, tiba tiba terdengar bunyi telepon. Dengan agak malas dia mengangkat telepon, rupanya teman temannya telah lama menyelesaikan satu babak, padahal kami baru akan mulai. Mereka menanyakan apakah akan melanjutkan hingga pagi, dia menanyaiku dan kujawab terserah. Akhirnya diputuskan untuk nginap.
Sebelum kembali ke pelukanku, Dibyo mengambil HP dan menghubungi istrinya untuk memberitahu kalau dia pulang pagi dengan alasan menemaniku di diskotik, entah apa dalam benak Wenny karena tidak ada iringan musik pada backgroundnya. Kami memang sering ke diskotik sama sama hingga menjelang pagi jadi bukan sekali ini Dibyo pulang pagi. Dia memberikan HP-nya kepadaku.
“Hai Wen, sorry malam ini aku pinjam suamimu tanpa permisi” kataku.
“Ya udah, tolong jaga dia jangan sampai lupa pulang, yang penting pulang dengan selamat biar dengan botol kosong” katanya ditutup dengan ketawa ciri khasnya, kami memang sudah biasa bergurau bebas, aku jadi semakin merasa bersalah melihat begitu percayanya dia padaku. Tapi ini adalah bisnis bukan aku berselingkuh dengan suaminya tapi dia yang mem-bookingku, hiburku dalam hati.
Dibyo kembali menghampiriku yang masih telentang telanjang di atas ranjang, kami harus mulai lagi dari awal. Kali ini tiada lagi keraguan diantara kami meski aku tetap tak bisa menatap wajahnya. Dengan memejamkan mata, kusambut lumatan bibirnya sembari meremas remas kejantantannya yang sudah lemas. Dia mulai berani mendesah, akupun demikian saat bibirnya mendarat di puncak bukitku.
Kujepit pinggangnya dengan kakiku saat sedotannya semakin kuat sambil menyapukan kepala penisnya ke bibir vaginaku, kubuka sedikit mataku menatapnya, ternyata dia menatapku dengan penuh perasaan, tak sanggup aku menatapnya lebih lama, kututup kembali mataku rapat rapat dan semakin rapat saat penisnya mulai menerobos memasuki liang vaginaku.
Entahlah, tidak seperti pada tamuku lainnya, kali ini kurasakan getaran getaran aneh menyelimuti diriku, semakin dalam penis itu melesak masuk, semakin keras getaran itu seiring kerasnya degup jantungku yang berdetak kencang. Aku telah menodai persahabatan yang selama ini kubangun, aku telah menghianati Wenny yang begitu percaya padaku. Tapi perasaan nikmat dan semakin nikmat perlahan mengusir rasa bersalah dan segala keseganan antara aku dan Dibyo.
Kejantanan Dibyo perlahan penuh perasaan mengocokku diiringi cumbuan dan lumatan pada bibirku yang kubalas dengan tak kalah gairahnya, dan akupun semakin kelojotan dalam dekapan hangat suami sahabatku ini takkala ciumannya menyusuri leherku.
Berdua kami mengayuh biduk birahi menyeberangi lautan nafsu, lenguh dan desah kenikmatan mengiringi perjalanan kami. Beberapa menit kemudian kamipun telah sampai ke seberang kenikmatan, hanya berselang beberapa detik setelah Dibyo menumpahkan semua cairan birahinya ke rahimku, aku menyusulnya menggapai puncak kenikmatan dari suami sobatku.
Tubuh lemasnya langsung terkulai menindihku, napas kami menyatu mengiringi denyut jantung yang berdetak kencang, hembusan napasnya menerpa telingaku, aku kembali terbuai akan kehangatannya meski perlahan gairah kami mulai menurun.
Beberapa saat suasana hening, entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya, apakah menyesal telah meniduri temannya ataukah puas telah menikmati tubuhku, hanya dia yang tahu. Bagiku tugas melayani seorang tamu telah kulaksanakan, kebetulan dia adalah teman dan suami sobatku, itu adalah diluar kehendak kami masing masing.
Mungkin karena sama sama segan, permainan kami biasa biasa saja, bahkan relatif singkat, tak ada pergantian posisi seperti umumnya, baik dari dia maupun dari aku sendiri.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi ketika telepon berbunyi, dengan segan Dibyo menerima, yang pasti dari temannya di kamar sebelah.
“Hei, kamu yang ke sini atau aku yang ke sana, si kampret satu itu sudah pulang soalnya” kata suara dari seberang sayup sayup kudengar, aku tak tahu maksudnya.
“Kali ini nggak bisa Jon, kita sendiri sendiri aja deh” jawabnya.
“Kok kamu gitu sih, mentang mentang dapat yang si cantik Lily terus nggak mau berbagi, kawan macam apa itu” dari seberang terdengar dengan nada tinggi, aku masih nggak tahu maksudnya.
Dibyo diam sejenak, menatapku dalam dalam seakan hendak mengatakan sesuatu.
“Dia mau ke sini” katanya pelan.
“Emang sudah selesai? Mau check out? Malam malam begini? Tanggung amat” tanyaku nggak ngerti.
“Enggak, mau pindah bergabung ke sini sama ceweknya”
“Pindah? Bergabung? Trus?” tanyaku semakin tak mengerti.
Dia diam sejenak.
“Trus.. Trus.. Ya disini.. Ber.. Berempat” jawabnya terpatah patah, kulihat mimik muka bersalah di wajahnya.
“Sorry ya, aku telah membawamu ke situasi seperti ini, sudah kebiasaan untuk bertukar pasangan atau bersamaan pada akhirnya” lanjutnya sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya, sepertinya untuk menutupi rasa bersalahnya.
Sebenarnya aku tidak keberatan melakukan hal itu, toh sudah sering kulakukan, tapi ini di depan Dibyo, ada keengganan tersendiri yang menjadi penghalang, entahlah perasaan jaga image masih kuat kurasakan. Disamping itu, aku agak kaget mendapati kenyataan bahwa Dibyo yang kukenal cukup pendiam, meski aku cukup yakin sebelumnya dia bukan tipe suami yang setia, ternyata menjalani petualangan seperti ini dengan teman temannya, sungguh jauh dari penampilan keseharian yang terkesan pendiam.
“Terserah kamu saja lah, toh kamu boss-nya” jawabku lirih berusaha memberi kesan terpaksa, takut kalau dia tahu kalau aku sudah sering melakukan permainan seperti ini.
“Ly, kamu boleh menolak, bebas kok, paling resikonya aku dijauhi teman teman dan dibilang egois”
“Janganlah kalau sampai ditinggal teman teman hanya masalah beginian, malu kan” aku menghibur.
“Sebenarnya aku nggak rela kalau kamu harus melayani orang lain, apalagi dihadapanku, tapi semua terserah kamu deh”
Aku diam sejenak memikirkan kalimat yang “innocent” untuk menjawab kata IYA, tak tega rasanya mengatakan kalau selama ini akupun selalu melayani orang lain, apa bedanya dengan sekarang.
“Okelah kalau itu maumu” jawabku sembari mengambil rokok yang ada di jarinya, kulihat sorot mata aneh dari matanya.
“Jon, kamu ke sini aja deh” akhirnya dia meminta temannya untuk datang.
Sambil menunggu kedatangan si Josua, aku mandi membersihkan tubuh terutama vaginaku dari sisa sisa keringat maupun sperma Dibyo.
Tak lebih 10 menit kemudian, teman Dibyo sudah berada di kamar, ternyata gadis yang datang bersamanya adalah Lenny, bukan Cindy yang tadi bersamanya, rupanya dia telah melakukan pertukaran dengan sebelumnya.
“Len, bukannya dia tadi sama Cindy, kok sekarang sama kamu, sudah tukeran rupanya ya” bisikku ketika aku dan Lenny berada di kamar mandi berdua.
“Gila tuh si Josua, kuat banget, dan malam ini dia bakal dapat 3 cewek berurutan” bisiknya pelan.
Kamipun tertawa cekikan di kamar mandi.
Dengan berbalut handuk di dada, aku dan Lenny keluar kamar mandi, Dibyo duduk di sofa sementara Josua sudah telentang di ranjang, keduanya sudah dalam keadaan telanjang.
Lenny langsung mengambil posisi di antara kaki Dibyo, aku mau tak mau harus langsung menuju ranjang melayani Josua. Kejantanan Josua yang sudah tegang memang mengagumkan, meski tidak terlalu panjang tapi cukup besar diameternya dengan hiasan otot melingkar terlihat semakin kokoh.
Josua langsung menarik tubuhku dalam pelukannya, dilemparkannya handuk penutup tubuhku dan tubuh telanjang kami saling berangkulan.
Kubalas lumatan bibirnya dengan tak kalah gairah, desahankupun terlepas bebas tatkala bibir dan lidahnya mempermainkan kedua putingku bergantian. Sesaat kulirik Dibyo sudah merem melek menikmati sapuan bibir mungil Lenny pada penisnya sambil meremas remas kedua buah dadanya yang sedikit lebih besar dari punyaku. Sudah sering kudengar kemahiran Lenny dalam ber-oral, kini kulihat sendiri bagaimana bibirnya menyusuri penis Dibyo dengan bergairah.
Perhatianku kembali beralih ke Josua saat dia membalik tubuhku dibawahnya, lidahnya dengan lincah menari nari dikedua putingku, menyusur turun hingga selangkangan dan kembali bergerak liar saat mendapati klitorisku. Kombinasi antara jilatan dan kocokan jari jari tangannya di vagina membuatku menggeliat dan mendesah dalam nikmat sambil meremas remas kepala Josua yang berada di selangkanganku.
Tiba tiba aku dikagetkan teriakan Lenny, rupanya aku terlalu asik melayang layang hingga tak memperhatikan mereka telah berganti posisi, kepala Dibyo sudah berada di antara paha Lenny sedang asik menjilati vaginanya, ternyata itu yang membuat Lenny menjerit nikmat.
Meskipun cumbuan permainan oral Josua begitu nikmat, aku banyak membagi perhatianku pada Dibyo dan Lenny, sekedar ingin tahu bagaimana permainan Dibyo bila dengan gadis lain setelah aku mengalami dengannya biasa biasa saja. Baru sekarang aku tahu ternyata Dibyo juga seorang great fucker, dengan telaten dia menyusuri seluruh lekuk tubuh Lenny dengan lidahnya, bahkan hingga jari jari kaki tak luput dari sapuan lidahnya, terang saja membuat Lenny kelojotan tak karuan. Andai saja dia tadi melakukannya padaku. Beruntunglah Wenny bisa mendapatkan cumbuan seperti itu setiap saat.
Perhatianku terganggu saat tubuh Josua sudah mekangkang di atas dadaku, menyodorkan kejantanannya ke mukaku, segera kuraih, kukocok sejenak dengan tanganku lalu kujilati kepala penisnya, terasa asin akan cairan yang sudah menetes keluar. Beberapa detik kemudian penis Josua sudah lancar mengisi mulutku, keluar masuk mengocoknya.
Puas mengocokkan penisnya ke mulutku, Josua bergeser ke bawah, mengatur posisinya diantara kakiku, aku membuka lebih lebar saat kepala penisnya menyapu bibir vagina dan perlahan menyeruak membelah celah celah sempit liang kenikmatanku. Perlahan tapi pasti penis itu melesak semakin dalam, namun gerakan penetrasi terganggu ketika Dibyo dan Lenny berpindah ke ranjang di samping kami sehingga mengharuskan kami sedikit bergeser memberi tempat pada mereka. Terpaksa Josua menarik keluar penisnya yang sudah setengah jalan menyusuri liang kenikmatanku.
Aku dan Lenny telentang berdampingan dengan kedua laki laki sudah siap diantara selangkangan kami masing masing. Namun sebelum Josua melesakkan kembali penisnya, Dibyo bergeser ke kepalaku, menyodorkan penisnya tepat di atas mulutku. Segera kuraih dan kumasukkan ke mulutku, hal yang tadi tidak kami lakukan, bersamaan dengan penis Josua mulai meluncur masuk liang vaginaku. Sesaat kuhentikan kulumanku ketika Josua sudah melesakkan seluruh batang kejantanannya, terasa penuh dibandingkan dengan Dibyo sebelumnya. Akupun melanjutkan kulumanku pada Dibyo ketika Josua memulai kocokannya. Hanya beberapa menit Dibyo mengocok mulutku kemudian beralih ke mulut Lenny, rupanya dia hendak membandingkan antara kulumanku dengan Lenny.
Tubuh Josua sudah menindihku, sodokan penisnya semakin cepat dan keras penuh nafsu gairah, akupun mengimbangi dengan jeritan dan desahan nikmat sembari menjepitkan kakiku di pinggangnya. Bibir Josua tak pernah lepas dari tubuhku, menyusur leher, pipi, bibir lalu kembali ke leher.
Kulihat Dibyo masih mengocok bibir Lenny sambil memperhatikan expresi kenikmatan yang terpancar di wajahku, expresi yang tidak aku tunjukkan saat bersamanya dan aku yakin dia mengetahui itu, sesekali jari tangannya dimasukkan ke mulutku yang tengah menengadah mendesah, akupun membalas dengan kuluman dan mempermainkan lidahku pada jari jarinya.
Berulangkali tubuhku terhentak terkaget tapi nikmat merasakan hentakan keras dari Josua, kudekap tubuhnya semakin rapat seakan tubuh telanjang kami menyatu dalam nikmatnya birahi.
Josua mengangkat tubuhnya, masih tetap mengocokku dengan tubuh setengah jongkok, justru kurasakan penisnya semakin dalam tertanam. Bersamaan dengan itu, Dibyo sudah berada di antara kaki Lenny bersiap melesakkan penisnya tapi dia tidak langsung memasukkannya, justru lebih suka melihat wajahku yang tengah mendesah sambil mengamati bagaimana penis temannya keluar masuk menyodok vagina sobat istrinya ini.
Aku sudah tak memperhatikan lebih jauh lagi karena sodokan Josua semakin liar dan nikmat, namun kemudian kudengar desah dan jerit kenikmatan dari Lenny mengiringi desahanku. Dengan irama goyangan yang berbeda, kedua laki laki itu mengocok kami berdua, simfony desah kenikmatan memenuhi kamar yang penuh aroma birahi. Kutatap wajah ganteng Josua yang penuh expresi nikmat birahi. Berulang kali tatapan mataku beradu pandang dengan Dibyo, rupanya meskipun sedang mengocok Lenny yang cantik, tapi tatapan matanya lebih sering tertuju pada wajahku yang tengah mendesah nikmat merasakan kocokan temannya, apalagi Josua mengocokku dengan gerakan yang liar dan tak beraturan diselingi dengan hentakan keras yang membuatku menjerit jerit nikmat.
Josua membalik tubuhku disusul kocokan dari belakang, posisi dogie, Dibyo mengikutinya. Begitu juga ketika kami berganti lagi posisi, aku di atas, diapun meminta Lenny untuk di atas.
Kami bercinta seolah berlomba ketahanan, entah sudah berapa lama dan berapa kali ganti posisi telah kami lakukan. Diluar dugaanku, ternyata Dibyo bisa bertahan lebih lama, ketika kami di posisi dogie, Josua tak bisa bertahan lebih lama lagi, tanpa bisa dicegah lagi, diapun memuntahkan spermanya di vaginaku diiringi teriakan kenikmatan, kurasakan denyutan denyutan nikmat menerpa dinding dinding vaginaku meski tidak terlalu kuat.
Beberapa saat kemudian Josua menarik keluar penisnya, akupun menggelosor tengkurap dengan napas yang menderu setelah permainan panjang. Belum sempat aku mengatur napasku, Dibyo menarik pantatku, memintaku kembali nungging, meskipun capek tapi aku tak tega menolaknya, sepertinya sedari tadi dia sudah memendam keinginan untuk kembali menikmati tubuhku.
Aku hendak mencegahnya saat penisnya sudah di ambang pintu vaginaku, nggak enak rasanya kalau dia harus menyetubuhiku sementara sperma Josua masin di dalam, aku ingin membersihkan dulu, tapi terlambat, sepertinya dia tak peduli, dengan sekali dorongan keras, penis Dibyo kembali memasuki liang vaginaku, terasa masih ada celah kosong saat penisnya melesak semuanya.
Berbeda dengan sebelumnya, tanpa membuang waktu lagi, kali ini Dibyo mengocokku dengan penuh nafsu, begitu keras dan cepat sambil menghentakkan tubuhnya pada pantatku, diiringi tarikan pada rambutku, sungguh liar permainannya kali ini, sangat berlawanan dengan yang tadi. Akupun tak mau kalah, kuimbangi dengan menggoyangkan pantatnya melawan gerakannya, desahan kami berdua saling bersahutan, kecipuk suara cairan vagina bercampur sperma tak kami hiraukan, terlupakan sudah bahwa Dibyo adalah suami dari sobat karibku, yang ada hanyalah nafsu dan birahi diantara kami.
Aku minta mengubah posisi, kali ini aku di atas, ingin kutunjukkan bagaimana goyangan pinggulku membobol pertahanan terakhirnya. Dengan sisa sisa tenaga karena aku sudah beberapa kali orgasme saat dengan Josua tadi, akupun bergoyang liar di atasnya, ingin kuberikan apa yang kuyakin belum pernah dia alami bersama Wenny, istrinya, entah kenapa aku jadi ingin membuktikan bahwa aku tak kalah dengan si istri yang sobatku itu.
Kami bercinta dengan penuh gairah, jauh melebihi apa yang telah kami lakukan tadi, sepertinya kami sudah mengeluarkan watak asli permainan kami yang cenderung liar.
Keringat sudah membasahi tubuh kami berdua, aku begitu bersemangat, begitu juga dia, tak kuhiraukan ternyata justru aku yang mencapai orgasme lebih dulu, sungguh luar biasa stamina Dibyo, jauh dari perkiraanku, kalau aku tak mengalami sendiri tentu sulit untuk percaya bahwa dia begitu perkasa di ranjang.
Menit demi menit berlalu hingga aku tak kuasa lagi menahan orgasme yang kesekian kali, sementara dia masih belum terlihat tanda tanda ke arah sana, dan akhirnya akupun menyerah dalam dekapannya.
“Sudah.. sudah.. Ah.. Ampun, aku menyerah”, dan akupun terkulai lemas di atasnya, tak mampu lagi menggoyangkan pinggulku.
“Ya sudah, istirahat sana” katanya seraya mendorong tubuhku turun dari atasnya, dan akupun menggelepar di sampingnya.
Permainan Dibyo tidak berhenti sampai disitu, dia menghampiri Lenny yang dari tadi mengamati kami bercinta sambil berbaring di atas ranjang sembari mempermainkan klitorisnya. Begitu Dibyo menghampirinya, Lenny langsung mengambil posisi telentang dengan kaki terbuka lebar, tapi Dibyo justru memintanya nungging. Dengan irama kocokan yang liar dia mengocok Lenny dengan posisi dogie.
Aku meninggalkan mereka, membersihkan sperma lalu menyusul Josua duduk di sofa mengamati permainan Dibyo dan Lenny, terus terang aku terkagum dengan keperkasaan sobatku ini, entah bagaimana Wenny bisa melayani suaminya itu sendirian kalau di rumah.
“Gila itu orang, kuat banget mainnya” komentarku sembari berbagi Marlboro dengan Josua.
“Dia sih paling kuat diantara kelompok kami berlima, hampir tak pernah dia booking cewek sendirian, biasanya langsung 2 orang, kalau nggak gitu kasihan ceweknya” jawab Josua mengagetkanku, sungguh jauh dari penampilan biasanya yang terlihat pendiam.
Cukup lama mereka bercinta di atas ranjang, sudah beberapa kali berganti posisi sebelum akhirnya mereka menggapai orgasme hampir bersamaan ketika posisi Dibyo sedang di atas.
Mereka berpelukan beberapa saat sebelum Dibyo turun dari tubuh Lenny, tampak wajah kepuasan bercampur kelelahan dari mereka.
Beberapa menit mereka sama sama menggelepar di atas ranjang sambil mengatur napas yang menderu. Dibyo berdiri menghampiriku, duduk menjepit aku dan Josua, diambilnya Marlboro yang ada di tanganku dan menghisapnya kuat kuat.
“Sorry Ly, aku harus segera pulang, ntar istriku curiga dan aku nggak boleh ke diskotik lagi” katanya sambil mengepulkan asap rokoknya.
“Kamu tinggal aja disini nemenin Josua dan Lenny besok siang aku telepon lagi, oke?” lanjutnya.
Aku hanya diam saja tak tahu harus ngomong apa, tanpa menunggu jawaban dariku, dia beranjak mengenakan pakaiannya tanpa membersihkan tubuh terlebih dahulu.
Dibyo memanggilku ke kamar mandi.
“Sebenarnya aku tak tega melakukan ini, tapi harus kulakukan, apa yang kita lakukan barusan hanyalah sekedar bisnis, nothing personal, dan tidak ada yang berubah di antara kita termasuk dengan Wenny maupun Reno adikku, kamu ngerti kan” katanya sembari memberikan segebok uang 50 ribuan. Aku hanya mengangguk tanpa kata, 100 persen setuju apa yang dia katakan.
“Boleh aku minta satu hal?” tanyaku.
“Apa itu?” jawabnya, tanpa menunggu lagi reaksinya aku jongkok di depannya, kubuka resliting celananya dan kukeluarkan penisnya yang lemas.
“Sekedar tip, memberi apa yang belum aku berikan” jawabku sambil memasukkan penis itu ke mulutku.
Dibyo diam saja, penisnya kupermainkan dengan lidahku, kususuri sekujur batang hingga pangkalnya, perlahan mulai menegang dalam genggaman dan mulutku, selanjutnya penis tegangnya sudah meluncur cepat keluar masuk mengisi rongga mulut diiringi desah kenikmatan.
Lima menit sudah aku melakukan oral, tanpa kusadari tanganku ikutan mempermainkan klitorisku sendiri seiring dengan kocokan pada mulutku. Aku tak kuasa menolaknya ketika dia menarik tubuhku berdiri dan memutar menghadap cermin di kamar mandi, dengan sedikit membungkuk, dari belakang Dibyo melesakkan penisnya ke vaginaku.
“Kita quickie saja yaa” bisiknya seraya mendorong masuk penisnya, segera kurasakan sodokan demi sodokan yang semakin keras dari belakang menghantamku diiringi dekapan dan remasan dikedua buah dadaku, sesekali ciuman pada tengkukku yang membuatku semakin menggeliat dalam dekapannya.
Pantulan bayangan kami di cermin membuat suasana semakin bergairah, apalagi belaian lembut pada rambutku yang kurasakan begitu penuh perasaan meski kocokannya makin menjadi jadi.
“Aku mau keluar” bisiknya beberapa menit kemudian, segera kudorong tubuhnya mundur hingga penisnya terlepas dan akupun langsung jongkok di depannya.
“Keluarin di mulut” kataku, tanpa menunggu reaksinya, kumasukkan kejantanannya kembali ke mulutku, entah kenapa rasanya aku ingin memberikan apa yang kuyakin belum pernah dia dapatkan dari istrinya. Dan tak lama kemudian diapun menyemprotkan sisa sisa spermanya di mulutku, kujilati batang kejantanannya hingga bersih lalu kumasukkan ke celananya.
“Salam untuk Wenny” kataku saat menutup reslitingnya, dia hanya tersenyum mencubit pipiku.
Aku membersihkan tubuhku dengan air hangat ketika Dibyo pamit pulang, ketika aku kembali ke kamar, ternyata Lenny sedang bergoyang pinggul di pangkuan Josua, mereka melakukannya di sofa. Kuhampiri mereka dan duduk di samping Josua, dia meraih tubuhku dan mencium bibirku, sembari tangannya meremas remas buah dadaku bergantian.
Sisa malam kami habiskan dengan penuh birahi, bergantian Josua menyetubuhi aku dan Lenny, dilayani 2 gadis cantik dan sexy seperti aku dan Lenny, tentu membuat laki laki bertambah gairah dan ada tambahan energi tersendiri untuk menunjukkan ego keperkasaannya. Akhirnya kondisi fisik jualah yang menjadi pembatas antara keinginan dan kenyataan, kamipun istirahat dan terlelap dalam kelelahan tak kala sang mentari sudah menampakkan sedikit berkas sinarnya di ufuk timur, entah jam berapa itu.
Aku terbangun saat kudengar HP-ku berbunyi, Lenny dan Josua masih terlelap disampingku, matahari sudah tinggi, terang menampakkan sinarnya. Ternyata salah seorang tamu langganan lain yang ingin kutemani makan siang nanti, orderan baru.
Jarum jam menunjukkan hampir ke angka 11, cukup lama kami tertidur tadi.
Perlahan kutinggalkan Josua dan Lenny, aku mandi untuk bersiap menemui tamuku berikutnya di Hotel Westin (sekarang JW Marriot) di Embong Malang. Josua dan Lenny baru bangun ketika aku sudah rapi berpakaian dan ber-make up.
“Sorry, aku ada janji siang ini, aku tinggal dulu ya” sapaku.
“Kamu tetap sexy meski sudah berpakaian, bahkan semakin membuat penasaran yang melihatnya” jawab Josua sambil menghampiriku, dipeluknya tubuhku dari belakang dan diremasnya buah dadaku.
“Wah banyak orderan nih” celetuk Lenny.
“Selamat bekerja sayang” bisik Josua tanpa melepaskan tangannya dari dadaku.
“sudah ah, ntar kusut pakaianku ini, aku nggak bawa ganti nih” jawabku sambil menggelinjang karena bibirnya sudah menempel di telingaku, akupun menghindar menjauh.
Setelah menerima pembayaan dari Josua, akupun meninggalkan mereka yang masih telanjang menuju ranjang lain dengan permainan yang lain pula.
Sejak kejadian itu, sengaja atau tidak, aku jarang bertemu berdua dengan Dibyo seperti sebelumnya, begitupun dengan istrinya, rasanya nggak ada muka untuk ketemu Wendy, kalaupun mereka ngajak jalan bareng, aku pastikan harus ada istrinya, selebihnya semua berjalan seperti biasa.
Akibatnya, aku justru lebih dekat dengan si Reno, adiknya yang terkenal Playboy itu, dengan wajah yang imut tak susah baginya untuk mendapatkan cewek dan aku yakin sudah tak terhitung cewek yang jatuh ke pelukannya dan berhasil dia bawa ke ranjang.
Lebih 2 bulan setelah kejadian itu, aku makan siang berdua dengan Reno di Bon Cafe, sungguh sial ternyata ketemu sama Josua yang menggandeng seorang gadis, atas ajakan Reno mereka akhirnya bergabung dengan table kami.
Kamipun makan sambil ngobrol berempat, entah keceplosan atau disengaja, Josua bercerita betapa hebat permainanku di ranjang, terutama permainan oral, dia kira aku sudah pernah melakukan dengan Reno. Reno yang selama ini mengenalku sebagai teman menatapku seakan tak percaya, aku menghindari tatapannya sambil mengumpat kelancangan Josua, tentu saja dalam hati.
“Selamat bersenang senang, sorry aku nggak bisa gabung dengan kalian, ada acara sama dia” kata Josua sambil menunjuk gadis disebelahnya.
“Dia senang rame rame lho, tanya Dibyo kalo kamu nggak percaya” bisiknya lagi sebelum meninggalkan kami.
Aku terdiam dengan muka memerah, malu karena kedokku dibongkar dihadapan temanku sendiri.
Sepeninggal Josua kami terdiam, entah apa yang terlintas dalam benaknya, kulirik sesaat, ternyata Reno melototi tubuhku, seakan berusaha menembus dibalik pakaianku.
“Kita pulang yuk” ajakku melihat suasana sudah nggak enak lagi.
“Lho, katanya mau shopping di Galaxy”
“Nggak jadi ah, lain kali aja” tolakku, dan kamipun beranjak pergi.
Sepanjang jalan kami sama sama terdiam hingga tiba didepan tempat kos, aku langsung turun tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Beberapa hari kemudian setelah aku selesai melayani tamu di Hotel Sheraton, kulihat missed call di HP-ku, dari Dibyo, entah kenapa aku kok ingin meneleponnya, padahal biasanya aku cuekin saja missed call dari dia.
“Ly, ketemu yuk, kangen nih” katanya dengan suara memelas tak seperti biasanya, pasti dia lagi ada maunya, dan aku yakin maunya tak jauh dari urusan ranjang.
Meski aku berusaha menghindari hal seperti ini, tapi tak dapat dipungkiri akupun merindukan keperkasaannya di atas ranjang, apalagi tamuku barusan tidak bisa memuaskanku, jadi sebenarnya ini hanyalah masalah timing yang tepat. Setelah berpura pura menolak dan dia terus merajuk, akhirnya aku sanggupi permintaannya.
“Oke Hotel Sheraton kamar 816″ kataku karena tamuku tadi sudah pulang dan aku belum check out, sekalian saja kumanfaatkan sisa waktu yang ada, daripada terbuang sia sia, check in mahal mahal cuma dipakai 2 jam.
Baru saja HP kututup, dia telepon lagi.
“Ly, boleh nggak bawa teman”
Aku yang sudah tergadai nafsu karena birahi yang tak tertuntaskan barusan hanya mengiyakan tanpa tanya lebih lanjut siapa temannya.
Sambil menunggu kedatangannya, aku segarkan tubuhku dengan air hangat, berendam sejenak untuk menghilangkan rasa capek setelah hari ini melayani 3 tamu sejak pagi tadi. Belum setengah jam aku berendam, bel pintu berbunyi, pasti Dibyo sudah datang, pikirku.
Masih dengan telanjang, kubuka pintu dan aku langsung kembali masuk bathtub.
“Tunggu ya, aku mandi dulu biar segar dan wangi, santai saja anggap rumah sendiri” jawabku meneruskan acara berendam tanpa buru buru menyelesaikan, kalau dia nggak sabar pasti menyusulku ke kamar mandi. Ternyata dia tidak menyusulku hingga kuselesaikan mandiku. Tanpa mengenakan penutup, dengan telanjang aku ke kamar, bersiap untuk menumpahkan segala birahi dengan keperkasaan Dibyo.
“Aku sudah siaap” teriakku sambil melompat ke ranjang, dan baru kusadari ternyata yang duduk di sofa bukanlah Dibyo melainkan si Reno, adiknya.
Begitu tersadar, aku berusaha menutupi tubuhku dengan apa yang ada disekitarku, tapi terlambat, Reno sudah menubruk tubuh telanjangku dan menindihnya.
“Ly, nggak usah sok alim, aku selalu membayangkan sejak diceritakan Josua tempo hari, kebetulan saat kutanya Dibyo dia malah ngajak membuktikan” bisiknya sambil menindih tubuhku, akupun tak bisa berontak.
Didekap tubuh Reno yang atletis ditambah wajah imut yang menempel dekat wajahku, akupun takluk akan kekuatannya, disamping itu akupun tak sunggu sungguh untuk berontak, hanya reaksi spontan melihat laki laki yang tidak diharapkan melihat tubuh telanjangku.
“Oke.. Oke, mana Dibyo” tanyaku.
“Sebentar lagi dia datang, aku disuruh tunggu di lobby tapi kupikir lebih baik langsung aja aku bisa ngobrol sambil nunggu kedatangannya, ternyata aku mendapatkan lebih dari yang kuharapkan” jawabnya sambil mengendorkan dekapannya.
Begitu dekapannya longgar, kudorong tubuhnya hingga terjengkang telentang, ganti aku menindihnya.
“Kalian bersaudara memang nakal, ini namanya jebakan pada teman sendiri” kataku setelah menguasai emosiku.
“Tapi nggak marah kan?” jawab Reno, aku hanya menjawab dengan ciuman pada bibir Reno dan dia membalas dengan bergairah, sedetik kemudian tangannya sudah berada di dadaku, menjelajah dan meremas remas.
“Ih nakal ya” bisikku disela lumatan bibirnya.
“Tapi suka kan” balasnya, kulumat bibirnya sambil mempermainkan lidahku hingga bertaut lidah dengan lidah.
Reno kembali membalik dan menindih tubuhku, bibirnya beranjak menyusuri pipi dan leherku, berhenti pada kedua puncak bukitku.
“Bagus.. Kencang dan padat.. Indah” pujinya sambil mengulum dan menyedot putingku.
Aku mendesah geli meskipun cumbuannya tak sepintar kakaknya tapi cukup membuatku mendesah melayang. Bibir dan lidahnya sudah sampai ke perut dan terus turun hingga ke selangkangan, aku menjerit ketika lidahnya menyentuh klitorisku, tapi dia justru semakin memperlincah gerakan lidahnya, dan akupun semakin menggeliat dalam kenikmatan.
Aku tak tahu mana yang lebih lihai bermain oral apakah dia atau kakaknya karena Dibyo belum pernah melakukannya padaku, siapapun yang lebih pintar yang jelas Reno telah membuatku melayang karena jilatannya pada vaginaku.
“Eh, kamu kok masih pake pakaian gitu, curang deh, sini aku lepasin” kataku ketika sadar bahwa dia belum melepas pakaiannya.
Kudorong tubuh Reno hingga telentang lalu aku melucuti pakaiannya satu persatu hingga menyisakan celana dalamnya yang tampak menonjol pada bagian selangkangan, ketika kuraba dan kuremas tonjolan itu, begitu keras menegang. Segera kulorot celana dalamnya dan aku terkaget melihat ukuran kejantanannya, tidak terlalu panjang bahkan relativ lebih pendek dari umumnya tapi diameternya begitu besar, tak cukup tanganku melingkarinya.
Membayangkan penis besar itu akan memasuki vaginaku, tiba tiba otot vaginaku terasa berdenyut denyut dengan sendirinya. Ini bukanlah penis terbesar yang pernah kupegang, tapi dengan panjang yang tidak terlalu maka penis itu kelihatan begitu gede di genggamanku, dan otot vaginaku semakin berdenyut keras melihat postur tubuhnya yang berotot, ramping dan sexy, jauh lebih menggairahkan tubuhnya dibandingkan kakaknya, apalagi rambut kemaluannya dicukur habis, pentesan banyak gadis yang tergila gila padanya.
Kukocok dan kuremas remas sebentar penis tegang di genggamanku, lalu kususuri lidahku pada seluruh batang dari ujung hingga pangkal, dia mulai mendesis kenikmatan.
Agak susah aku memasukkan penis itu ke mulutku tapi dengan segala usaha akhirnya penis itupun bisa meluncur keluar masuk membelah bibir mungilku. Sembari mendesah, tangannya tak henti menekankan kepalaku pada selangkangannya, seakan memaksaku untuk memasukkan penisnya lebih dalam ke mulutku.
Kami berganti posisi 69, aku di atas, tidak seperti saat pertama kali bercinta dengan Dibyo yang penuh kecanggungan dan kekakuan, kali ini aku bebas lepas mencurahkan segala expresiku untuk menikmati bercinta dengan Reno.
Gerakan lidah Reno yang liar kubalas dengan sapuan liar pula pada penisnya, aku lebih sering menjilati dari pada mengulum batang gede itu.
Puas saling bermain oral, Reno kembali menelentangkan tubuhku, posisi tubuhnya sudah siap untuk segera melesakkan penisnya. Jantungku tiba tiba berdetak kencang seiring otot vaginaku berdenyut ketika kepala penis yang besar itu mulai menyapu bibir vagina.
Aku memejamkan mata sambil membuka kakiku lebar lebar menunggu apa yang akan terjadi, entah sakit entah nikmat. Rasa pedih mulai terasa ketika penis itu perlahan mulai melesak masuk padahal vaginaku sudah basah, dan semakin nyeri tak kala tertanam semua. Aku tak berani menggerakkan kakiku, penis itu terasa begitu mengganjal gerakanku di selangkangan. Perlahan Reno memulai gerakan memompa namun kuberi isyarat untuk menghentikan dulu.
“Sebentar, penuh nih” bisikku bercampur desah.
Namun dia hanya menurut beberapa detik, selanjutnya dia mulai gerakannya tanpa memperhatikan isyaratku. Gerakan memompa yang perlahan semakin lama semakin terasa nikmat, rasa nyeri berangsur menjadi nikmat dan semakin nikmat ketika dia mulai mempercepat gerakannya, aku sangat berharap dia bisa seperkasa kakaknya.
Begitu rasa nyeri hilang, jeritan kesakitankupun berubah menjadi jeritan kenikmatan, tubuh atletis Reno menempel erat di dadaku, ada rasa geli saat dada yang berbulu itu menyentuh putingku, tapi justru semakin menambah rangsangan, apalagi perutnya yang rata tak terasa mengganjal di perut. Kamipun semakin erat berpelukan saling mentransfer kenikmatan.
Sebenarnya aku agak keberatan ketika dia minta posisi dogie, aku masih ingin merasakan lebih lama dekapan tubuh atletisnya, jarang sekali mendapatkan cumbuan dan belaian laki laki seperti dia, apalagi dengan penis yang gede meskipun relatif pendek.
Begitu tubuhku nungging, segera Reno melesakkan kembali penisnya, kali ini tanpa rasa nyeri saat mulai menerobos menguak liang sempit vagina. Gerakan memompa Reno terasa begitu penuh perasaan meskipun terkadang diiringi sodokan sodokan keras, aku merasa dia begitu romantis saat menyetubuhiku. Rabaan dan ciuman di tengkuk mengiringi gerakan kami, akupun semakin menggeliat tak karuan.
“Sshh.. Aduuh.. Ennaak.. Truss.. Truss.. Yang keraass” tanpa malu aku mendesah memintanya lebih keras menyodokku, rasanya penis besar itu masih kurang masuk ke vaginaku, ada bagian lain di dalam yang belum tersentuh.
“Enak mana sama Dibyo” katanya tanpa memperlambat kocokannya.
“Enak.. Inii, lebih keraass” jawabku sejujurnya dan mulai meracu.
Tak lama kemudian aku sudah berada di atasnya, kutekankan pinggulku lebih dalam sekan hendak melesakkan penis yang tidak panjang itu lebih dalam lagi, alangkah enaknya kalau penis yang gede itu lebih panjang lagi, paling tidak sama dengan punya kakaknya, tapi itulah kenyataannya, gede tapi pendek tapi tetap saja enaak.
Kugerakkan tubuhku di atasnya dengan liar, antara turun naik dan berputar seperti hula hop, Reno merem melek sambil meremas remas buah dadaku. Kutatap wajahnya yang sedang mengerang kenikmatan, rasanya tak bosan menatap wajah imut dan dadanya yang bidang. Dan ternyata itu membawaku lebih cepat menuju puncak kenikmatan, tanpa bisa menahan lebih lama lagi, akupun menjerit dalam nikmatnya orgasme.
Sebenarnya aku nggak mau orgasme duluan, perjalanan masih panjang, masih ada Dibyo yang sebentar lagi datang, kalau sampai orgasme tentu energiku akan banyak terkuras dan akan kelelahan sebelum perjalanan berakhir. Tapi itu hanyalah keinginan, kenikmatan yang kudapat dari Reno terlalu sayang untuk ditahan tahan, dan terpaksa aku menyerah dalam pelukan dan kegagahan Reno.
Aku terkulai lemas dalam pelukan Reno, terbalaskan sudah kekecewaan pada tamuku sebelumnya, bahkan melebihi apa yang aku harapkan, begitu puas rasanya. Tapi ternyata Reno tak berhenti sampai disini, tanpa mempedulikan aku yang sedang lemas dalam dekapannya, dia membalik tubuhku dan langsung menindihnya.
Kembali tubuh kekar itu menghimpit nikmat tubuhku, kocokan Reno mulai cepat dan liar namun masih saja kurasakan penuh perasaan. Hanya beberapa kocokan kemudian, gairahku kembali naik dengan cepatnya, apalagi bibir Reno tak pernah lepas dari leher, dada dan bibirku.
Kedua kakiku naik di pundaknya, terasa kejantanannya semakin dalam melesak di vagina, lebih nikmat rasanya. Kuimbangi gerakannya dengan sebisa mungkin menggoyang pinggulku, tentu lebih susah dengan kaki di atas pundaknya. Kami berdua benar benar terhanyut dalam buaian birahi, terlupakan sudah Dibyo yang belum juga datang.
Akhirnya akupun untuk kedua kalinya tak bisa bertahan, kuraih orgasme kedua darinya, namun kali ini diapun menyusulku ke puncak birahi, hampir bersamaan kami saling memberikan denyutan. Sperma Reno terasa begitu banyak membanjiri liang vaginaku, kudekap erat tubuh Reno hingga kurasakan hembusan napasnya menerpa telingaku.
Ketika Reno turun dari tubuhku, penisnya tercabut keluar, vaginaku serasa kosong dan tetesan sperma sepertinya meleleh keluar membasahi sprei. Kamipun telentang berdampingan dengan napas yang masih senin kamis.
“Kamu hebat, 2 kali aku dibikin orgasme” kataku setelah beberapa saat terdiam sambil menumpangkan kepalaku di dadanya yang bidang.
“Kamu juga hebat, kalau cewek lain sudah terkapar minta berhenti” jawabnya ringan sambil membelai rambutku.
“Andai saja aku tahu kamu seperti ini, sudah sejak dulu aku melakukannya” lanjutnya.
“Tapi belum terlambat kan”
“Iya sih, tapi terlalu lama penantiannya”
“Penantian?”
“Iya, laki laki normal mana sih bisa tahan melihat penampilanmu yang selalu sexy dan ceria, pasti mereka punya fantasi terhadapmu kalau di ranjang, bahkan aku pernah berfantasi bercinta denganmu sambil main sama cewek lain”
“Ah yang benar!!” tanyaku terkejut.
“Sungguh dan aku yakin Dibyo juga sudah lama memendam keinginan mengajakmu ke ranjang tapi nggak ada keberanian saja”
“Dan sekarang?” tanyaku penasaran.
“Ternyata apa yang menjadi fantasiku, tidak ada apa apanya dibandingkan kenyataan barusan, jauh melebihi angan dan harapanku”
Sambil berbincang, kurasakan sperma Reno deras mengalir keluar tapi aku biarkan saja.
“Sekarang aku tak perlu lagi memimpikan kehangatan kamu, kalau aku pingin bisa booking kapan saja, dan kita masih tetap berteman, itulah enaknya setelah ini” lanjutnya.
Dibyo datang tak lama kemudian, setelah aku membersihkan tubuhku, Reno membuka pintu menyambut kakaknya, aku cuek saja telanjang di atas ranjang.
“Sorry aku telat” sapanya sambil mencium pipiku.
“Ah nggak apa kok” jawabku, malah kebetulan aku ada kesempatan bersama Reno lebih lama, lanjutku dalam hati.
Tanpa diminta lagi, Dibyo segera melepas pakaiannya hingga telanjang, terlihat kejantanannya yang setengah menegang, tampak kecil dan memanjang sungguh berbeda dengan adiknya.
“Belum terlalu terlambat kan” tanyanya sembari menghampiri dan mencium bibirku dan kubalas dengan lumatan pula, kali ini aku biasa saja melayani ciuman Dibyo, tak ada kecanggungan seperti saat pertama kali dulu.
Tubuhnya langsung menindihku, kamipun berpelukan sambil berciuman bertautan lidah, seolah saling menumpahkan rasa rindu yang hebat. Bibir Dibyo dengan cepatnya menyusuri tubuhku, turun terus, tak dihiraukan puting buah dadaku, hanya sedikit jilatan lalu terus turun ke perut namun kembali lagi ke atas.
Ketika bibirnya mencapai kedua putingku, kudorong kepalanya ke bawah, ke arah selangkangan. Aku mau merasakan jilatan Dibyo di vagina, dia belum melakukannya, ingin kubandingkan kemahirannya dengan si adik.
Ternyata permainan lidahnya tidak kalah hebat, bahkan lebih mahir dibandingkan adiknya, aku menggeliat kelojotan merasakan lidahnya menari nari dengan lincahnya diantara klitoris dan bibir vaginaku. Cukup lama kepalanya terjepit di antara kakiku, dan kalau tak segera kuhentikan bisa bisa aku mengalami orgasme hanya dengan permainan lidahnya, ini sungguh memalukan.
Dibyo tersenyum penuh kemanangan ketika aku minta dia segera memasukkan penisnya, namun bukannya segera memenuhi kemauanku, tapi malah telentang disampingku dan memintaku gantian mengulum kejantanannya.
Aku yang sudah terbakar birahi terpaksa memenuhi keinginannya, ketika aku tengah jongkok diantar kakinya, Reno yang sedari tadi duduk di sofa mengamati kami, sudah berada di sampingku, dia ikutan telentang di samping kakaknya dengan kejantanan yang sudah tegak menantang.
Sembari mengulum penis Dibyo, kuremas dan kukocok kejantanan adiknya, dua penis yang berbeda bentuk dan ukuran berada dalam genggaman kekuasaanku. Meskipun menyolok perbedaannya, tapi keduanya seakan saling melengkapi, yang satu besar dan pendek sedangkan lainnya kecil tapi panjang, kalau digabungkan tentu akan menimbulkan kenikmatan tersendiri.
Bergantian penis kakak beradik itu mengisi dan mengocok mulutku, mereka mendesis nikmat bergairah, akupun melayani dengan tak kalah gairahnya, perbedaan yang menyolok itu semakin menambah sensasi dan erotika pada diriku, bisa dibayangkan betapa nikmatnya kalau penis itu bergantian mengocok vaginaku, membayangkan saja aku sudah semakin terbakar nafsu.
“Siapa duluan” tantangku setelah aku telentang diantara kedua bersaudara itu, sengaja kubuat suasana lebih liar meskipun aku tahu pasti bahwa sekarang giliran Dibyo. Kalau disuruh pilih, aku lebih suka Dibyo duluan supaya masih bisa merasakan “kebesaran” kejantanan adiknya setelahnya. Harapanku terkabul ketika Dibyo sudah berada di antara kakiku.
“Jangan posisi gini dong, aku susah nih” kata Reno lalu dia minta kami untuk ber-dogie.
Reno duduk di atasku saat kakaknya berada di belakang, penisnya tepat berada di wajahku. Ketika kakaknya mulai mendorong masuk kejantanannya, masuk pula penis adiknya di mulutku, dua penis bersaudara yang berbeda itu mengisi kedua lubang kenikmatan tubuhku bersamaan dari arah yang berbeda. Dengan posisi seperti ini, aku lebih suka penis Dibyo yang dimulut dan adiknya di vagina, tapi itu tinggal tunggu waktu saja.
Sodokan Dibyo dari belakang semakin lama semakin cepat dan keras, berkali kali penis Reno terpental dari mulutku saat kakaknya menghentak tubuhku. Cukup kewalahan aku menghadapi sodokan liar dari belakang sambil mengulum penis gede yang ada digenggamanku, justru aku lebih banyak memainkan lidahku menyusuri sekujur daerah kejantanannya.
“Bang gantian dong” pinta adiknya, meskipun mereka chinese, tapi Reno lebih sering memanggil kakaknya hanya nama atau Abang, mungkin karena mereka Chinese Medan.
“Sebentar lagi” balas kakaknya.
Beberapa saat berlalu, Dibyo masih belum ada tanda memberi giliran pada adiknya, tak mau menunggu lebih lama lagi, Reno bergeser ke bawah dan berlutut disamping kakaknya, menunggu giliran dan ternyata si kakak mengalah, dicabutnya penisnya dan dia bergeser sedikit memberi ruang adiknya untuk menyetubuhiku dari belakang. Dibyo tetap berada disamping adiknya yang tengah mengocokku sambil mengelu elus punggungku.
Beberapa menit berlalu, apa yang tidak kubayangkan sebelumnya terjadi, ternyata mereka bergantian mengocokku dari belakang. Beberapa menit Reno mengocokku lalu diberikannya kesempatan berikutnya pada kakaknya, begitu sebaliknya.
Aku yang mendapat kocokan berurutan dari dua penis yang berbeda dan saling melengkapi, tak ayal lagi menggeliat dan menjerit histeris dalam nikmat yang tak terhingga, apa lagi saat pergantian yang begitu cepat, hanya dalam hitungan detik penis yang mengisi dan mengocok vaginaku berganti, tentu saja otot vaginaku tak sempat berkontraksi menyesuaikan diri, tapi kedua penis itu saling melengkapi, menggesek daerah yang tidak tersentuh lainnya, sungguh pengalaman baru bagiku.
Desahan dan jeritan tak henti hentinya keluar dari mulutku, aku meracu dalam kenikmatan yang teramat sangat hingga tak dapat kubendung lagi ketika dorongan kuat dari dalam tubuhku menimbulkan denyutan denyutan hebat pada vagina, akupun orgasme tak lama kemudian, tak lebih dari 15 menit setelah mereka mengocok bergantian. Jeritan histeris orgasmeku hanya ditanggapi dengan senyum kemenangan, mereka meneruskan kocokannya tanpa menurunkan tempo permainan, entah sudah berapa kali bergantian.
“Kalau capek bilang aja, kita istirahat dulu” kata Reno sambil mengocokku, tentu saja aku tak mau, disamping tak ingin kehilangan kenikmatan yang sangat hebat ini, akupun gengsi untuk mengakuinya.
“Kalian memang kakak beradi gila” teriakku disela sela desahan.
Setelah berlangsung beberapa lama, kami berganti posisi. Kali ini aku diatas memegang peranan, kuminta mereka berjejer telentang, segera kunaiki tubuh Dibyo. Sedetik setelah penisnya melesak dalam vagina, aku langsung bergoyang pinggul dengan cepatnya, kami sama sama mendesis, tangan Dibyo meremas remas buah dadaku dengan kerasnya.
Tak lebih 3 menit saat Dibyo mulai mendaki menuju puncak kenikmatan, dengan gerakan spontan kucabut penisnya dan langsung duduk di atas adiknya, tak kuhiraukan teriakan protes darinya.
“Emang enaak” godaku sembari melakukan goyangan yang sama pada Reno, dan hal yang sama pula kulakukan padanya untuk berpindah lagi ke kakaknya. Memang nikmat tapi bagiku lebih capek karena harus berpindah dari satu ke lainnya, tapi sensasinya mengalahkan segalanya.
Setelah beberapa kali berpindah, Dibyo bangkit, berdiri dan menyodorkan penisnya di mulutku disaat aku tengah mendaki puncak kenikmatan bersama adiknya.
Inilah yang kutunggu sedari tadi, penis gede di vagina dan penis panjang di mulut, keduanya mengocokku bersamaan. Penis gede yang tertanam di vagina terasa agak menghalangi gerakanku tapi tak kuhiraukan, justru semakin nikmat rasanya, apalagi kocokan di mulut tak pernah berhenti sambil sesekali disapukan ke wajahku.
Dengan posisi ini ternyata aku juga tak bisa bertahan lebih lama, kenikmatannya terlalu sayang untuk ditahan tahan, dan jebollah pertahananku untuk kedua kalinya. Kulepas penis Dibyo dari genggamanku dan kutelungkupkan tubuhku di atas dada bidang Reno, ingin kunikmati denyutan orgasmeku dalam dekapannya. Seiring dengan habisnya denyutan di vaginaku, habis pula tenagaku, akupun terkulai lemas telentang disamping Reno.
Tanpa memberiku istirahat, Dibyo sudah ambil posisi bersiap melanjutkan gilirannya, tak dipedulikan isyarat kelelahanku, penisnya dengan mudah kembali mengisi relung relung vagina yang habis berdenyut hebat, dengan sisa sisa tenaga yang ada, kucoba mengimbangi kocokannya yang langsung keras dan tak beraturan.
Episode babak awal terulang lagi, bergantian kedua bersaudara itu mengocokku, akupun dengan cepatnya melambung setinggi awan kenikmatan, terlupakan sudah rasa capek yang menyelimutiku, rasanya ada tambahan energi yang timbul dari dalam didorong sensasi yang teramat hebat.
Jerit dan desahku kembali terdengar dengan keras lepas, antara besar pendek dan kecil panjang berurutan mengisi dan keluar masuk vaginaku, tak ayal lagi orgasmeku pun datang dengan cepatnya, entah untuk keberapa kali aku tak bisa menghitungnya lagi, apalagi mereka tak mempedulikan teriakan teriakan kenikmatan orgasmeku.
“Udah udah.. Istirahat dulu.. Ampun deh” desahku akhirnya harus mengakui kehebatan kedua bersaudara itu.
Dibyo yang sedang mengocokku menghentikan kocokannya dan mencabut keluar, tapi adiknya tak mau melihat liang vagina yang kosong, segera digantikannya posisi kakakknya. Dibyo bergeser ke atas, menyapukan penisnya yang penuh lendir vagina ke wajah sembari mengocok dengan tangannya. Tak lama kemudian, menyemburlah sperma mengenai wajah dan rambutku, dipaksakannya penis yang sedang berdenyut itu masuk ke mulutku, rasanya tak ada dayaku untuk menolaknya setelah apa yang telah kudapatkan darinya, dan masuklah penis dengan spermanya kedalam mulutku, sisa sisa sperma masih mengalir deras membasahi tenggorokanku, tertelan masuk.
Reno menghentikan gerakannya saat melihat bagaimana kakaknya mengeluarkan spermanya di wajah dan mulutku, namun dilanjutkan dengan sodokan yang semakin cepat. Tiba tiba dia menarik penisnya dan segera mengangkangkan kakinya di atas mukaku, meniru kakaknya, disapukan penis yang basah ke mukaku yang masih belepotan sperma Dibyo.
Ketika kumasukkan penis itu ke mulutku, langsung menyemprotkan sperma, tak ayal lagi hampir semua sperma yang disemprotkan tertelan ke masuk. Dibyo dan adiknya bersama sama menyapukan penis mereka yang mulai melemas ke wajahku dengan senyum kemenangan.
“Tak kusangka ternyata Lily yang kukenal selama ini begitu hebat di ranjang” komentar Reno sambil menyapukan penisnya.
Aku diam saja sambil menjilati sisa sisa sperma yang masih ada di batang penis mereka. Akhirnya kami bertiga terkulai lemas telentang berjejer di atas ranjang.
Berkali kali Reno memuji kehebatan permainan ranjangku dan berkali kali pula dia menyatakan ketakjuban dan kekagetannya melihat permainan yang aku suguhkan, hampir tak percaya dia melakukannya denganku, yang selama ini dianggap seorang yang cukup dewasa dan terkesan seperti orang rumahan, seperti dalam mimpi.
Tak mungkin percaya kalau tak mengalaminya sendiri, Dibyo hanya mengiyakan celotehan adiknya yang Play Boy itu, seperti anak mendapat mainan baru yang hebat.
Setelah beristirahat cukup lama, kami melakukannya lagi di sofa, hampir dengan pola permainan yang sama, bergantian berurutan, meski dengan posisi yang berbeda beda.
Kami melakukan 2 babak lagi sebelum Dibyo pulang meninggalkan aku dan adiknya bermalam di hotel, aku sangat tak keberatan menemani Reno hingga pagi dan kami memang menghabiskan sisa malam dengan segala nafsu birahi penuh gairah, seperti tidak bercinta dengan tamu melainkan dengan seorang pacar, apalagi postur tubuh Reno yang memang menggugah naluri birahi wanita normal.
Tak terhitung lagi babak demi babak yang kami lewati hingga kelelahan menjelang pagi bersamanya. Nafsu Reno sangatlah besar, sepertinya tak mau membuang kesempatan yang datang sekali seumur hidup, tak pernah dibiarkan aku sedetik menganggur, selalu saja dia minta lagi dan lagi, kalau aku menolak dia yang melakukan oral pada vagina, tentu saja gairahku segera timbul lagi untuk melayaninya.
Keesokan harinya setelah menjalani 1 babak saat bangun tidur, kami check out, dia mengajakku mampir ke rumahnya di kawasan Darmo Satelit yang juga rumah Dibyo karena dia memang masih tinggal bersama kakaknya itu, sebenarnya aku agak segan ke rumahnya, rasanya nggak ada muka untuk ketemu Wenny tapi Reno memaksaku dan berhasil meyakinkan kalau jam segini Wenny tidak ada dirumah.
Ternyata Wenny menyambut kedatanganku, rupanya dia sedang di rumah sehabis dari salon, dengan sumringah wajah cantik nan ceria itu mempersilahkan aku masuk setelah kami berciuman pipi, padahal semalam pipi itu berlumur sperma suaminya dan juga adik iparnya.
“Kudengar kalian bertiga semalam ada pesta di Sheraton, pestanya siapa sih?” tanyanya sambil lalu seraya membikinkan aku makan siang, dia tahu pasti aku menyukai Kwe Tiaw bikinannya.
Dibyo datang tak lama kemudian ketika kami tengah makan bersama, diapun ikutan makan siang, berempat kami mengelilingi meja yang penuh masakan bikinan Wenny, pasti dia tak pernah menyangka bahwa dua laki laki dirumahnya yang kini duduk dihadapannya telah meniduriku semalam, bersamaan malah.
Sehabis makan, Dibyo dan Wenny kembali pergi lagi meninggalkan aku dan Reno, sekali lagi kami melakukannya 1 babak di kamar Reno sebelum dia mengantarku pulang.
“Nanti aku transfer saja, bisnis is bisnis” kata Reno sebelum meninggalkanku.
Di kamar kos, aku ingin merenung tentang apa yang telah kuperbuat dengan kedua sobatku, tapi tak pernah terjadi renungan itu karena bookingan lain telah menunggu.
Itulah kedekatanku dengan keluarga Dibyo, suatu persahabatan yang diawali ketulusan tapi kini telah ternoda oleh bisnisku, aku merasa bersalah setiap kali melihat wajah innocent Wenny yang cantik. Tapi itu bukan salahku, tapi salah suami dan adik iparnya, aku toh hanya seorang call girl yang bersedia diajak ke ranjang oleh siapa saja yang bisa membayarku, hibur hatiku setiap kali perasaan bersalah menggelayut dihatiku. Dan prinsip itu semakin menyeretku semakin dalam ke pusaran persahabatan yang ternoda.
Tak terhitung lagi aku “berbisnis” dengan Dibyo maupun Reno ataupun keduanya, bahkan Reno dengan bangganya memperkenalkanku pada teman temannya, tentu saja menambah jaringan tamu langgananku.
Tak dapat kuhindari kalau kemudian Reno seperti ketagihan akan pelayananku, terutama dia sangat menyukai saat mengeluarkan spermanya di mulut dan wajahku, paling tidak seminggu sekali dia mem-booking-ku.
Hingga saat aku tinggal di Jakarta kini, kami sering berhubungan lewat telepon, terutama dengan Wenny, seakan dia tidak pernah tahu apa yang telah kuperbuat dengan kedua laki lakinya. Entahlah.
E N D
KISAH WANITA CALL SERVICE : XXX STORY, Pada: Minggu, Juli 15, 2012
Copyright © 2015 CERITA DEWASA Design by bokep - All Rights Reserved