Diana, sebuah nama yang dipilih oleh orang tuanya dulu. Kini, ia menamani anaknya Dana, selain karena bunyinya hampir mirip, juga karena Diana berharap anaknya tidak akan kekurangan dana selama hidupnya. Namun ternyata, nasib berbicara lain. Kini, setelah beranjak gede, Dana ternyata sangat santai dalam menghadapi hidup ini. Alih – alih memikirkan universitas mana yang akan ditempuh, Dana malah telah memutuskan untuk bekerja sehabis lulus SMA. Tiap hari kerjanya hanya main gim saja. Entah apa yang salah, batin Diana.
Telah beberapa kali Diana memergoki anaknya yang sedang mengintip saat ia mandi. Bahkan terkadang, Dana mengintip roknya saat akan dan atau beranjak dari duduk. Sikap anaknya memang tak menyenangkan, namun kali ini Diana lebih mementingkan jalan hidup anaknya. Apalagi kalau melihat rapotnya, jarang ada nilai lebih dari delapan puluh.
Seharian Diana mencoba berpikir apa yang mesti dilakukan untuk mengubah nilai dan pandangan hidup anaknya. Bagaimana caranya untuk memotivasi anaknya yang kurang termotivasi? Ingin rasanya Diana mengundang motivator terkenal, namun apa daya tiada rupiah.
Malam hari, Diana makan seperti biasa bersama anaknya. Selesai makan, saat Dana akan kembali ke kamarnya, Diana menghentikan.
“Duduk dulu sini, ada yang mau mama bicarain.”
“Lah, Dana udah tau mama mau bicarain apa. Pasti itu lagi – itu lagi.”
“Iya, mama ngerti. Tapi mama inginnya meski kamu tak niat kuliah, nilaimu harus bagus semua. Apalagi mama ingin sehabis sekolah kamu tuh kuliah.”
“Tapi mah, Dana udah seneng kok hidup kayak gini. Apa lagi yang kurang?”
“Pasti ada yang kurang. Masa kamu puas hanya dengan seperti ini sih?”
“Kagak ada yang kurang mah. Kecuali…”
“Kecuali apa?”
“Kecuali cewek telanjang. Hehehe…”
“Hehe… Dasar kamu itu. Pantesan kamu doyan bener intipin mama mandi.”
Dana yang lagi tersenyum mendadak diam. Terkejut.
“Kamu kira mama gak menyadari kelakuanmu apa?”
“Iya mah, maaf. Abis Dana penasaran sih.”
“Iya mama ngerti. Seusia kamu memang penasaran sama segala hal. Malahan bagus kok, daripada mati penasaran.”
“Makasih mah.”
“Tapi mama ingin agar kamu tingkatin nilai kamu. Terus kuliah. Biar nanti bisa lebih daripada mama. Lebih sukses dan lebih kaya.”
“Gak perlu mah. Gini juga udah bahagia kok.”
“Meski tanpa gadis telanjang,” kata Diana sambil nyengir. “Ya udah, kalau kamu mau ke kamar. Mama mau beresin dulu.”
“Iya mah.”
Diana pun membersihkan sisa makanan dan mencuci piring. Telah delapan tahun Diana sendirian mengurus anaknya. Delapan tahun lalu David, ayahnya Dana, meninggal. Selama ini Diana berjuang mencari nafkah juga membesarkan. Tatapan mata anaknya saat mengintip membuat Diana kembali merasa ingin menjadi wanita seutuhnya, yang diinginkan oleh pria, dijamah oleh laki – laki, dicumbui lelaki.
“Mama boleh masuk nak?” tanya Diana setelah mengetuk pintu kamar anaknya.
Namun, tanpa menunggu jawaban, Diana langsung masuk dan mendapati anaknya sedang duduk di depan monitor. Diana lalu duduk di ranjang anaknya.
“Ada apa mah?”
“Nak, mama rasa keputusanmu untuk kerja sehabis sekolah bakal kamu sesali nanti,” kata Diana sambil mengusap kepala anaknya.
“Kalau begitu adanya, biarlah nanti Dana sesali apa yang Dana putuskan hari ini.”
“Mama ingin kamu kuliah. Namun meski begitu, mama takkan menghukum kamu dengan menjual komputermu dan atau melarangmu melakukan ini – itu.
“Jadi, daripada melarangmu, mama putuskan untuk memberimu hadiah jika dan hanya jika nilai rata – rata EBTANASmu lebih dari pada delapan puluh dan kamu lanjut kuliah.”
“Tapi mah, Dana kan udah bilang Dana gak perlu apa – apa lagi.”
Diana menghelan nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.
“JIka nanti pada saat EBTANAS nilaimu lebih dari delapan puluh dan kamu putuskan akan kuliah, mama akan hadiahi kamu wanita telanjang.”
“Apa?”
“Jika nilaimu bagus, mama tak akan lagi memakai pakaian di rumah hanya jika sedang berdua denganmu, alias tak ada tamu.”
“Hehehe… Mama emang pinter bercanda,” tawa Dana.
Wajah Diana yang terkesan dingin membuat Dana menghentikan tawanya.
“Jika tubuh usia empat puluh empat tahun masih menarik bagimu, maka peganglah janji mama ini. Tapi jika nilai rata – ratamu kurang dari delapan puluh, maka saat itu juga perjanjian ini mama batalkan. Setuju?”
“Mama gila,” kata Dana namun tangannya menyalami tangan mamanya tanda setuju.
Detik – detik berganti dengan menit. Menit pun silih berganti. Hari – hari pun terus berganti. Dana kini mulai rajin belajar. Suatu hari tiba – tiba ada surat community college setempat yang mengabari bahwa Dana diterima untuk meneruskan pendidikan di CC tersebut.
“Kok di CC sih, kenapa gak di universitas negri aja?”
“Biar hemat duit dong mah. Kan di perjanjiannya juga yang penting kuliah, gak mesti di sini atau di situ.”
“Wow, Dana yang dulu kemana yah?”
Mereka pun tertawa, namun Dana langsung belajar lagi. Diana semakin tegang menyadari nilai harian anaknya yang makin meningkat. Kadang Diana merasa malu sendiri mengingat janji kecilnya. Tapi di sisi lain Diana senang akan perubahan positif anaknya. Tentu bukan berarti Diana akan bersenggama dengan anaknya. Namun di relung hatinya Diana tahu, bukan hormone anaknya saja yang sedang terpacu. Diana menikmati perasaan yang akan datang saat Diana telanjang di depan mata anaknya. Lama rasanya Diana tak merasakan perasaan tak nyaman di perutnya. Diana sungguh senang.
Malamnya acara makan terasa sunyi, sesunyi nyanyian senyap. Di meja terletak dokumen. Dokumen yang tak hentinya dilirik oleh Diana. Diana berdiri dan akan melangkah saat anaknya menghentikannya.
“Mah, Dana tahu mama akan melaksanakan perjanjiannya, tapi Dana rasa tak perlu mah. Lagian mama lakuin itu untuk memotivasi Dana. Bagi Dana itu saja sudah cukup kok. Menjanjikan sesuatu yang akan memotivasi Dana memang menakjubkan. Tapi Dana kini sudah di jalur yang benar.”
Setelah itu Dana membersihkan meja makan lalu beranjak ke kamarnya meninggalkan Diana yang tersenyum sendiri sambil geleng – geleng. Perasaan tak nyaman di perut kembali datang.
Sabtu itu Dana bangun agak siang. Setelah mandi, Dana pun ke dapur ingin makan. Dana tahu setiap sabtu mama selalu belanja. Namun Dana melihat daster mama tergantung di pegangan pintu. Sambil melankah Dana menghanduki rambutnya. Namun saat di dapur Dana menjatuhkan handuknya.
Diana menoleh dan tersenyum saat melihat Dana, “baru bangun nak? Mau goreng telor apa roti bakar?”
Dana melongo melihat mamanya menawakan sarapan tanpa memakai pakaian. Matanya menjelajahi tubuh mama mulai dari payudaranya sampai jembut halus di selangkangan. Bahkan meski telah berkali – kali ngintip, namun tak sejelas sekarang.
Merasa ditelanjangi mata anaknya membuat Diana tertawa lalu kembali masak.
“Inilah tubuh empat puluh empat tahun yang mama janjikan,” kata Diana sambil menggoyangkan pantatnya.
“Mama ngapain sih?”
“Bikin sarapan, mau telur apa roti?”
“Telur ajalah. Kenapa mama gak dibaju?”
“Menurutmu kenapa? Mama bukan orang yang suka ingkar. Mama bangga sama kamu.” Diana melirik mendapati anaknya sedang menatap susu kirinya. “Duduk aja nunggu goreng telor nikmati pemandangan. Kamu berhak mendapatkannya.” Lalu Diana melanjutkan memasak.
Dana hanya mampu menuruti, duduk sambil menatapi tubuh mamanya. Puting mamanya terlihat seperti menunjuk tegak. Bukan karena udara, namun karena sensasi yang dirasakannya.
“Mama seksi sekali.”
“Makasih nak.”
Diana pun selesai memasak dan menaruh makanan di meja makan. Diana ikut duduk.
“Baiklah, biar ini bisa berjalan lancar, kita perlu membuat aturan. Setiap pulang, mama akan ke kamar mama lalu langsung melepas pakaian. Kalau ada tamu, kamu mesti membuka pintu sementara mama berpakaian.”
“Pasti seru liat mama lari - lari di rumah.”
“Pasti itu. Serius, kini kamu bisa menatap sampai bosan, seperti yang mama janjikan. Tapi tidak boleh menyentuh, apalagi menceritakan pada siapa pun. Jika nilaimu jatuh, drop out dan atau menyentuh, mama kembali berpakaian. Paham?”
“Paham. Tapi mama gak berharap ikut – ikutan telanjang juga kan?
“Tentu saja tidak. Aneh kau ini. Udah, nikmati saja keberuntunganmu.”
Sarapan pagi itu berlangsung dalam diam. Setelah makan, Dana membereskan meja sambil melihat susu dan selangkangan mama.
Perut Diana kembali mengeluarkan sensasi saat tubuhnya ditatap oleh anaknya.
Dana mencoba bertahan dari keinginan untuk menyentuh susu mama. Aturan main yang ditetapkan mamanya membuatnya patuh.
“Kayaknya mama adalah mama paling keren deh.”
Diana menatap mata anaknya, “makasih, tapi mama yakin kamu pasti bilang gitu ke setiap wanita, apalagi yang telanjang di hadapanmu.”
“Tentu saja Dana tak mungkin memanggil wanita lain ‘mama’ sambil berharap melihatnya telanjang.”
Diana tertawa lalu reflek memeluk anaknya. Dana tentu menikmati sentuhan tubuh telanjang mamanya.
“Selama kamu mematuhi aturan mainnya mama akan telanjang di hadapanmu. Sekarang, kamu mau mama ngapain?”
Dana melirik saat akan melangkah, “gak tau mah, mungkin kita main wii bareng.”
Diana kembali tertawa mendengar ajakan main gim dari anaknya.
Diana memencet klakson saat melihat anaknya.
“Hei, tumben kamu agak telat.”
Dana melemparkan tas ke jok belakang lalu duduk di samping mamanya.
“Hari ini mau ngapain nak?”
“Paling ngerjain pr mah di rumah temen.”
“Ntar mama sendirian dong.”
Mobil pun memasuki garasi lalu mereka pun masuk ke rumah.
“Mama lepas pakaian dulu, abis itu masak.”
“Tunggu mah. Mama tau kan Dana terangsang berat?”
Diana tertawa, “gimana tidak, matamu jelajatan terus kan.”
“Mama telanjang di rumah kan hadiah bagi Dana.”
“Ya.”
Diana kembali merasakan rasa mulas di perutnya mendengar pembicaraan anaknya.
“Boleh gak Dana lihat mama membuka pakaian?” kata Dana sambil menunduk.
Ternyata itu yang dikatakan anaknya. Diana pun merasa lega.
“Kamu mau mama melepas pakaian sambil menggodamu, kayak di film – film barat?”
“Bukan mah. Buka aja biasa, hanya sambil Dana lihat.”
“Menarik. Memang tak melanggar perjanjian sih. Baiklah. Ayo ikut mama.”
Diana lalu memegang tangan anaknya dan membimbingnya ke kamarnya.
“Kamu duduk aja di kasur, mama ke kamar mandi dulu.”
Dana duduk sambil melihat foto – foto di kamar. Ada foto dirinya sedari kecil, foto papa dan lainnya. Beberapa saat kemudian Diana keluar dari kamar mandi sambil memegang rambutnya.
“Baiklah, mama akan mulai pertunjukannya untuk anak mama seorang.”
“Kenapa mama gak cari pacar lagi setelah papa berpulang?” kata Dana sambil melihat foto keluarga yang ada di meja rias.
“Mama ingin kerja dulu sambil besarin kamu. Jadinya mama gak punya waktu luang deh,” kata Diana sambil duduk di sebelah anaknya.
“Apa mama nanti akan nikah lagi?”
“Entahlah nak. Mama masih muda, mama akui, telanjang di hadapanmu membangkitkan sesuatu dalam diri mama yang telah lama terkubur, entah apa lagi nanti yang akan bangkit lagi. Menurutmu gimana, apa kamu kecewa selama delapan tahun ini hidup berdua hanya dengan mama?”
“Mama udah jadi mama terbaik menurut Dana. Kemarin Dana memang sempet gak fokus, tapi kini Dana fokus lagi mah.”
“By the way bus way, mama kok langgar perjanjian sih? Mama buka dulu ah pakaiannya. Mama lapar nih.”
Tanpa bangkit, Diana membuka kancing blus lalu melepasnya. Diana menatap payudaranya yang terbungkus bh merah muda, lalu menatap anaknya melepas kaitan bh.
“Kamu pernah ngintip mama pas lagi hanya pake cd gak?”
“Pernah, tapi liat dari belakang doang,” kata Dana sambil tersipu malu.
“Kayaknya mama udah gak punya privasi lagi sedari dulu ya,” kata Diana sambil meninju tangan anaknya, dengan pelan tentu, lalu melepas bh nya. “Capek gak berusaha lihat ini?” kata Diana sambil memegang payudaranya.
“Apaan, Dana belum ngintip lagi kok,” kata Dana sambil menatap payudara mamanya.
“Dasar nakal.”
“Mah, Dana boleh nanya sesuatu gak?”
“Tentu saja sayang.”
“Setahu Dana, puting kan warnanya coklat, kok yang mama enggak sih?” kata Dana sambil menunjuk puting kiri mamanya.
“Hahaha… papamu dulu juga nanya gitu. Tapi mama suka kok, puting mama jadinya spesial, beda dari yang lain.”
Tanpa disadari jemari Diana mengelus putingnya sambil sesekali menariknya. Karena mata Diana menatap payudaranya sendiri, Diana tak menyadari gundukan di celana anaknya yang tiba – tiba muncul dan mata anaknya yang terus menatap jemarinya.
Diana lalu tersadar, “Kapan makannya kita?”
Diana lalu melepas rok lalu cdnya sendiri. Setelah telanjang, Diana kembali duduk sambil menekan kedua tangannya di belakan tubuh ke kasur.
“Mama lapar nih!”
Mata Dana terpaku ke jembut mamanya.
“Apa mama pernah mencukurnya sampai gundul?”
Diana lalu menatap jembutnya, “Tidak pernah. Selalu begini saja. Emang udah berapa kali liat wanita yang jembutnya gundul?”
“Wanita telanjang yang Dana liat cuma mama aja.”
“Serius? Kamu belum pernah ngapa – ngapain?”
“Tentu saja mah.”
“Terus kamu pernah ngapain aja?”
“Kok jadi Dana yang ditanyain sih. Siapa yang telanjangnya sih?”
“Mama jadi penasaran sih.”
“Hanya pernah ngeraba susu sama ciuman mah. Terus kalau mamah, kapan mama mulai nakal.”
“Mulai nakal? Sebelum sama papamu, mama dua kali pacaran.”
Diana lalu berbaring menjadikan tangannya sebagai bantal. Satu kakinya di tekuk dan kaki lainnya ditumpu ke kaki itu. Tanpa disadarinya Diana perlahan merangsang anaknya.
“Dana boleh tanya yang lain lagi gak?”
“Tanya aja. Udah terlanjur gini kok.”
“Katanya ada bagian tubuh yang kalau disentuh bisa membuat orgasme sambil menjerit. Benar gak tuh?”
Pertanyaan anaknya membuat Diana memikirkan vaginanya dan secara reflek melebarkan paha membuat anaknya dapat melihat vaginanya dengan jelas. Suara anaknya menelan ludah menyadarkan Diana.
“Mama gak tau kalau soal menjerit. Tapi yang pasti memang ada beberapa titik yang sangat sensitif. Ingat aturan main kita, boleh lihat sepuasnya tapi tidak boleh sentuh.”
“Tenang mah, Dana takkan melanggar aturannya. “
Diana lalu menyentuh selangkangannya. Diana melebarkan paha dan menyelipkan jemari ke vaginanya.
“Mama tunjukan ini karena kamu nurut sama mama.”
Diana lalu melebarkan vagina dengan jemarinya lalu jari tengah menyentuh daging kecil. Nafasnya memberat saat jari itu menekan. Dana mendekatkan kepala ke selangkangan yang terpampang di depannya.
“Ini yang disebut klitoris. Sangat sensitif. Nah, di dalamnya terdapa g-spot yang apabila tersentuh bisa membuat wanita orgasme. Tapi jangan berharap jeritan karena jarang yang sampai menjerit.”
Nafas Diana kembali memberat menyadari apa yang dilakukannya di hadapan anaknya sendiri. Tubuhnya sedikit kejang. Diana menggigit bibir mencoba menangan erangan. Diana juga menegangkan otot pahanya. Setelah tak lagi kejang, Diana melepas jemari dari selangkangannya.
“Udah ah pelajaran biologinya. Makan yuk.”
“Makasih mah. Mama bener – bener baik deh.”
Dana membungkuk lalu mencium bibir mamanya sekilas. Tak sengaja dada Dana menekan payudara mamanya. Sentuhan ini adalah sentuhan pertama sejak diberlakukannya aturan, namun Diana membiarkannya. Dana lalu bangkit berbalik dan keluar kamar. Dana merasa seperti anak yang paling beruntung.
Diana masih berbaring. Linglung. Perutnya kembali seperti mules. Diana masih terkesima. Lalu Diana teringat sebuah dildo hadiah dari suaminya yang di simpan di laci. Diana lalu bangkit ingin segera makan agar anaknya cepat keluar. Dana ingin orgasme lagi seperti tahun – tahun dulu, lepas tanpa ditahan - tahan.
Diana masih tak percaya dia orgasme di depan mata anaknya sendiri. Lupakan tujuh tahun tak terjamah, tahun ini mesti beda. Diana senang anaknya akan keluar main. Tak mengejutkan, semenjak Diana tak lagi berpakaian, anaknya selalu di dekatnya. Kini Diana lega anaknya akan keluar hingga bisa membuat Diana menghabiskan waktu sendiri.
Saat sedang mencuci piring, Diana mendengar suara pintu ditutup. Diana tak tahu kapan anaknya pulang maka dari itu Diana memutuskan untuk mengefektifkan waktu. Langsung Diana menyelesaikan pekerjaannya dan bergegas ke kamarnya.
Setelah menutup pintu kamar Diana mengambil dildo di laci. Dulu Diana beberapa kali memakainya saat bersama suaminya. Namun semenjak kematian suaminya, gairah seksualnya seolah ikut mati.
Diana merebahkan diri sambil memegang vibrator. Jempolnya pun menekan tombol saklar, namun tiada yang terjadi. Pasti batrenya mati, pikir Diana. Untungnya Diana selalu beli batre buat anaknya.
Diana mencoba membuka penutup batre sambil berjalan ke kamar anaknya. Diana pun memutar gagang pintu hingga pintu kamar anaknya terbuka.
Diana pun melangkah masuk mendapati anaknya sedang berbaring, celana ada di lututnya dan tangan ada di penisnya yang tegang.
Diana meminta maaf, berbalik lalu keluar dan menutup pintu kamar anaknya. Diana kembali ke kamarnya sendiri dengan jantung yang berdetak lebih kencang, seperti genderang mau perang. Diana tak bisa menyingkirkan penis anaknya dari pikirannya.
Kira – kira seperempat jam kemudian setelah hatinya tenang, Diana kembali kembali mengetuk kamar anaknya. Setelah suara anaknya berkata masuk, Diana pun masuk. Diana melihat anaknya sedang duduk di depan monitor. Diana pun duduk di kasur bersebelahan dengan kursi yang diduduki anaknya.
“Maafkan mama nak. Mama kira kamu keluar main.”
“Gak jadi mah. Tadi temen bilang ada urusan.”
“Mama gak tahu sih.”
“Iya. Lagian mama ada perlu apa sih?”
“Mama butuh batre.”
“Mama lagi megang apaan tadi?”
Diana merasa malu, “mainan dewasa yang kehabisan batre.”
Akhrinya Dana berbalik. Meski masih merasa malu namun Dana tersenyum jua.
"Mama bercanda ah."
“Gak juga. Mama buru – buru, karena, ingin cepet selesai, sebelum kamu pulang,” Diana bisa merasakan wajahnya memerah.
“Jadi mama mau ngelakuin, ehm, yang mama liat Dana lakuin?”
“Kira – kira.”
Ibu dan anak itu pun saling tatap, lalu keduanya tertawa.
“Maafin mama ya nak,” kata Diana sambil menyeka matanya.
“Iya mah, lagian mama gak salah kok.”
“Mama boleh nanya gak?”
“Ya.”
“Apa kamu sering ngelakuin itu?”
Diana merasa malu melihat anaknya yang terlihat malu.
“Sekarang sih jadi sering setelah mama telanjang terus.”
“Serius dong. Mama tau mama gak jelek – jelek amat tapi, mama kan udah tua. Terus mama juga ibumu.”
“Dana serius kok mah, mama masih cantik.”
“Gombal. Tiap lelaki pasti ngomongnya gitu. Tapi mama seneng masih bisa meng’inspirasi’ anak muda kayak kamu.”
Gambaran Dana memegang kemaluannya muncul lagi di kepala Diana.
Diana pun bangkit, “sekali lagi maafin mama yah.” Setelah itu Diana berbalik menuju pintu.
“Tunggu mah!”
Diana kembali berbalik melihat anaknya membuka laci meja.
“Mama butuh batre apa?”
“Dua batre remot.”
Dana pun menyerahkan batre ke mamanya.
“Mama jangan marah ya, tapi apa boleh kapan – kapan Dana nonton mama?”
Diana menatap anaknya sambil memainkan batre di tangannya. Diana mulai sedikit khawatir akan hal ini.
“Gak tahu. Mama mesti pikirkan dulu, tapi tenang saja mama gak marah kok. Asal kamu jujur dan terbuka sama mama.”
Diana menghampiri anaknya lalu mencium pipi anaknya. Setelah itu Diana keluar kamar namun saat akan menutup pintu anaknya bilang agar biarkan saja terbuka.
Diana melangkah ke kamarnya lalu masuk dan membiarkan pintu terbuka. Diana pun duduk di kasur lalu memasang batre dildo.
Kini, rasanya masturbasi membuat Diana gugup. Padahal ini bukanlah kali yang pertama. Diana juga merasa bangga bisa menahan diri untuk tidak masturbasi hingga sekarang padahal cukup lama dia telanjang di depan lelaki. Mungkin jika dia dan anaknya menahan diri untuk tak masturbasi keadaan akan baik – baik saja.
Namun, tanpa mereka sadari, kejadian ini merupakan awal dari kaburnya batas – batasan yang telah disepakati. Entah sampai kapan hingga salah satunya mulai tak bisa menahan diri.
Sejauh ini tak ada kejadian yang menkhawatirkan. Bahkan kebiasaan buruk Dana mulai menghilang, Dana mulai belajar bertanggung – jawab.
Diana mulai menyalakan vibrator dan melihatnya sebentar. Setelah itu Diana mematikan vibrator dan meletakkan di pangkuannya. Diana tiba – tiba teringat permintaan anaknya.
"Dana, sini nak!" suara Diana agak keras.
Dana memasuki kamar mamanya, “ada apa mah?”
“Gini aja. Tadi mama gak sengaja liat kamu, biar adil mama izinin sekarang kamu liat mama.” Diana mengangkat vibratornya lalu menunjukkannya ke anaknya, “tapi ingat, jangan sentuh apa – apa.”
“Kok mama punya yang gituan sih?”
“Oh, dulu saat mama lagi liat film sama papamu, ada adegan satu wanita main dengan dua pria. Mama iseng bilang ingin nyobain kayak gitu, eh esoknya papamu kasih mama hadian ini.”
“Kayaknya mama dan papa harmonis bener yah?”
“Udahlah nak, jangan bicarain papamu lagi. Sekarang mending kamu duduk aja.”
Dana pun duduk di sisi kasur sedang mamanya berbaring di tengah.
“Papamu beberapa kali nonton mama gini kayak kamu, dulu.”
Diana menatap anaknya yang sedang membasahi bibir dengan lidahnya. Diana menarik nafas dalam – dalam, santai lalu melebarkan kakinya. Diana mendekatkan dildo ke mulutnya. Anaknya mengamati dengan seksama.
“Jangan pernah gunain ini jika masih kering, harus dibasahi dulu.”
Dana mengangguk saat melihat mamanya menempatkan dildo di mulutnya. Dana merasakan kedutan di celananya.
Diana mulai mengulum dildo di mulutnya dengan pelan. Setelah dirasa agak basah, Diana melepas dan mulai menyalakan vibrator. Dana dapat mendengar dengungannya. Diana mulai menyentuhkan vibrator melingkari payudaranya hingga puting. Sedangkan tangan satunya lagi mengelus selangkangannya sendiri.
Erangan Diana mulai terdengar disertai turunnya vibrator dari payudara ke perut, lalu ke sekitar jembutnya. Sementara tangan yang satunya sibuk keluar masuk di selangkangannya. Diana lalu mencabut jemarinya yang kini basah dan menghisap dengan mulutnya.
Diana menoleh melihat anaknya yang menatap dildo. Diana tetap melihat anaknya saat tangannya yang satu mulai memainkan payudaranya. Kini Diana berusaha memasukan dildo ke memeknya yang makin basah. Nafasnya mulai terengah – engah.
Diana mengangkat dadanya dan melepaskan tangan dari payudaranya. Kini tangan yang bebas mulai menyentuh pinggulnya dari belakang. Kini jempol Diana menekan anusnya sendiri. Rupanya jempol itu berusaha memasuki anus. Erangan Diana makin terdengar keras.
Diana berusaha menekan dildonya sedalam mungkin seiring dengan usaha jempol di anusnya.
“Oh, nak….!”
Diana pun mengejang membuat kasurnya gemetas untuk sesaat. Perlahan, Diana kembali bergerak lalu mengeluarkan dildo dan jempol dari selangkangannya. Diana pun berbaring sambil terengah – engah. Anaknya melihat tubuhnya yang penuh peluh.
Diana menyeka dahi dengan tangannya. Rambutnya penuh keringat hingga lengket. Sementara dildo lepas dari tangnnya meski masih bergetar.
“Oh tuhan,” Diana tersenyum sambil menatap anaknya. “Bagaimana?”
“Luar biasa mah!”
“Itu yang kamu inginkan kan?”
“Ya, tapi kayaknya mama ingin pantat mama juga dijamah yah?”
Diana memerah memikirkan apa yang baru saja anaknya saksikan.
“Harus dilakukan dengan benar nak, karena sangat sensitif. Papamu kadang melakukannya, tapi dia bisa berhati – hati.”
Diana lalu berbaring menghadap anaknya.
“Udah impas kan?”
“Iya. Tapi tetep Dana ingin mama ketuk dulu kalau mau masuk kamar.”
Dana mulai tak nyaman dengan rasa sesak di celananya. Dana lalu bangkit.
“Kalau kamu mau, mama bisa sangat menginspirasi. Tinggal ngomong saja sama mama.”
Diana tersenyum mendengar erangan anaknya sambil menutup pintu kamarnya. Diana lalu melangkah ke kamar mandi sambil melihat vibrator basah menggeliat di kasurnya. Diana berpikir dia harus mulai menyetok batre di kamarnya sendiri. Tapi mungkin lebih baik mengambilnya dari kamar anaknya saja.
“Apa kabarnya anak mama yang selalu terangsang ini?”
Diana muncul lalu menempelkan tubuh ke punggung anaknya karena mau mengambil makanan di lemari. Putingnya serasa menggelitiki punggung.
“Ya makin terangsang karena mama nih.”
Diana menatap payudaranya yang menekan punggung anaknya.
“Maaf, abisnya mau ambil makanan sih.”
Diana mundur membuat tubuhnya tak lagi menempel. Dana berbalik dan matanya menatap puting mamanya yang keras.
“Masih pagi gini kok udah keras sih mah?”
“Abis pake handuk sih, jadi gini nih,” kata Diana sambil mengelus puting dengan telapak tangannya.
“Ceria bener pagi ini mah.”
“Iya dong. Kan biar semangat.”
“Mau ngapain aja mah hari ini?”
“Gak tau. Kamu maunya mama ngapain aja?” tanya Diana sambil menggoyangkan bahunya. Otomatis payudaranya pun ikut bergoyang.
“Gimana bisa mikir kalau perut kosong mah.”
“Ya udah. Mama bikin panekuk aja ah. Biar bikinnya sambil goyang.”
Dana duduk lalu tertawa, “goyang sambil bugil.”
Diana lalu membungkuk untuk mengambil wajan dari bawah lemari sambil menggoyangkan pantatnya, “goyang wajan nih.”
Bebepara saat kemudian setelah panekuk matang, keduanya pun sarapan.
“Apa anak perkasa ini mau menolong mamanya yang udah tua dan telanjang?”
“Siap. Mama kan tau caranya memotivasi tanpa busana.”
Dana tersenyum melihat mamanya tertawa.
“Apa mama juga suka telanjang di depan papa?”
“Gak juga. Tapi sehabis ngelakuin sesuatu, kayak ngebikin kamu, kadang mama telanjang sampai sore atau malam.”
“Mama dan papa aneh juga ya?”
“Mama saling mencintai. Jadi mama dan papa hanya bersenang – senang saja. Lagian meski tua, namun tak mesti berpikiran kolot.”
“Jadi menurut mama, anal seks, masturbasi dan bicarain trisom, normal gitu?”
Diana menunjuk ke anaknya, “Hei, trisom hanyalah fantasi. Lagian bukan salah mama kalau papamu suka pantat. Urusan ranjang mama juga gak perlu jadi urusanmu. Wew,” Diana lalu menjulurkan lidah ke anaknya.
Dana mengangkat alis mendengar pengakuan baru mamanya.
"Dana tahu cara ngabisin waktu hari ini mah."
"Oh ya, ngapain tuh."
“Tapi, mama jangan marah ya…”
Diana memotong ucapan anaknya, “akhir – akhir ini kamu doyan bener bener bilang gitu?”
“Abisnya, mama telanjang sih. Bukan salah Dana kalau terangsang.”
“Iya. Jadi apa yang mau kamu katakan?”
“Yah. Pokoknya gak kan melewati batas kok.”
“Baik. Kalau gak ngelanggar aturan sih mama gak keberatan kok.
“Janji ya mama takkan marah. Meski Dana selalu terangsang, tapi Dana selalu nurut. Hanya saja kini Dana makin penasaran.”
“Terus.”
“Dana,” mata Dana kini menatap meja, “ingin lihat seperti apa sih anal seks itu.”
“Apa? Kamu ingin mama bawa pulang pria lalu memberi pantat mama cuma – cuma demi memenuhi rasa ingin tahu kamu?”
“Bukan begitu mah. Tapi pake mainan mama.”
“Pake itu? Sambil ditonton kamu? Kenapa gak cari tahu di internet saja?”
“Internet? Itu sih palsu mah.”
“Mama tak percaya kamu ingin nonton mama pake dildo di pantat mama sendiri.”
“Juga sambil Dana fotoin yah mah.”
Diana terkejut mendengarnya.
“Mama kan udah pernah sama papa. Lagian Dana gak bakal pegang – pegang kok, jadi jangan marahi Dana dong.”
Diana menggeleng, “Mama kayaknya ngelahirin maniak. Biar mama pikirkan dulu. Memang itu tak melanggar aturan kita, namun kayaknya terlalu jauh melangkah. Kalau mama menolak apa kamu jadi gak mau bantuin mama?”
Dana memutuskan saatnya untuk pergi dari dapur. “Tentu tidak mah. Meski mama menolak Dana tetap akan membantu kok. Panggil saja kalau ada yang harus dikerjain mah. Cuma tadinya Dana takut mama marah.”
Dana pun bangkit lalu menuju ke kamarnya untuk main komputer.
Di dapur, Diana beres – beres. Lagi, perutnya kembali dilanda mules. Setelah beres, Diana ke kamarnya lalu duduk di kasur sambil berpikir. Memainkan dildo ke pantat tak bisa disebut normal jika dilakukan di depan anak sendiri. Apalagi sambil di foto. Diana tak terlalu mengkhawatirkan hasil fotonya. Setelah melihat betapa anaknya menjadi termotivasi dan penurut membuat Diana percaya padanya. Permintaan anaknya sangatlah liar meski tanpa sentuhan.
Diana tak ingin membuat anaknya marah. Jadi sepertinya tak berbahaya asal masih dalam aturan. Apalagi dia telah masturbasi dua kali. Bahkan menyentuhkan jemari di anus. Tak heran anaknya jadi penasaran soal anal seks. Diana kembali teringat saat mengambil wajan sambil menggoyangkan pantat. Diana berpikir mungkin anaknya seperti suaminya.
Diana teringat per – anal – an dengan suaminya. Diana juga ingat betapa nikmatnya orgasme yang dirasakan saat masturbasi sambil ditonton anaknya. Diana jadi merasa bersalah menyebut anaknya saat orgasme, bukan menyebut suaminya.
Tak pernah terpikirkan oleh Diana untuk menggantikan suaminya dengan anaknya. Namun, Diana akui ketegangan seksual di rumahnya makin meningkat setelah Diana memutuskan telanjang. Diana kembali memikirkan saat – saat bahagia dengan suaminya. Begitu indah, liar dan nikmat. Kini, semuanya telah hilang.
Suaminya kurang suka diajak belanja. Jadi, untuk memotivasi suaminya, Diana membuat sebuah permainan kecil. Jika sedang belanja, suaminya menantang dia untuk melakukan lima hal, jika ada satu yang tak dipenuhi maka Diana kalah. Pun sebaliknya. Hadiahnya, ya seks.
“Dingin bener nih kulkasnya. Biar agak angetan dikit, taruh bh mama di kulkas,” suaminya menyeringai sambil menunjuk kulkas yang ada di supermarket. Diana pun melepas kaitan bh, menarik tali dari lubang lengan bajunya hingga lepas. Kemudian menaruh bhnya ke kulkas.
“Papa hutang bh baru,” Diana pun berbalik dan melangkah.
“Di bagian roti kok gerah bener yah. Buka aja cdnya di sini mah.”
Diana berhenti lalu menoleh ke suaminya, “Itu ngomong doang atau tantangan pah?”
“Kamu takut ada yang liat? Itu tantangan mah.”
Diana menatap suaminya sambil menyeringai. Diana melangkah ke sudut bagian roti, mengangkat roknya, menggoyangkan pantat, menurunkan cd lalu mengangkat kaki untuk melepasnya.
David menoleh mendengar suara wanita tua yang menggerutu kepada pria tua yang menatap Diana. David ingin Diana menyadari kehadiran pasangan tua itu, maka David menunjuknya. Diana tertawa menyadari apa yang David tunjuk.
Diana tersenyum sambil mengelus seprai. Delapan tahun tanpa belaian lelaki membuatnya gila. Diana tak pernah menyadari perubahan yang terjadi sepeninggal suaminya.
Meski menyukai pantat, namun David bisa dibilang wajar; munkin anaknya pun demikian. Kematian suami membuatnya sadar betapa kita tak tahu kapan kehidupan ini akan berakhir. Pikiran erotis itu membuat Diana sadar sekaligus menggelengkan kepala.
Diana pun melangkah mengambil hand body, kamera saku digital dan dildonya. Setelah terkumpul Diana pun duduk.
“Sini nak!” teriak Diana lantang.
“Tunggu mah,” jawab Dana sambil bergegas ke kamar mamanya.
Diana merasakan jantungnya berdetak lebih kencang mendengar suara anaknya mendekat.
“Mau ngapain dulu kita mah?”
“Nih,” Diana melemparkan kamera ke anaknya.
“Kamu ingin mama ngapain dulu?” Diana menunjukan bodylotion dan dildo ke anaknya.
“Maksudnya apa mah?”
“Misalnya berbaring dulu, terlentang atau berlutut.”
“Maksud mama ada banyak cara?”
“Duh, kayaknya bakal jadi masalah kalau mama kasih tahu semua yang mama tahu. Mau telungkup,” Diana lalu telungkup, melebarkan pahanya. “Atau sambil berlutut,” Diana berguling lalu bangkit berlutut. Diana menoleh ke anaknya.
“Gitu bagus mah.” Dana menatap kamera di tangannya. Merasa sangat beruntung. “Setelah selesai boleh dipindahin ke komputer kan mah?”
Diana menatap anaknya sambil memuntahkan hand body ke tangannya. “Apa mama perlu menambah aturan soal foto juga?”
“Tenang mah. Tak akan ada yang tahu kok.”
Dildonya kini dilumasi hand body. “Ingat, yang kayak gini mesti dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai. Wanita bukanlah daging yang bisa diolah seenaknya untuk kesenanganmu sendiri. Wanita juga punya perasaan dan emosi. Hormatilah selalu itu!”
“Gini aja mah. Kalau mama memang tak nyaman, mending gak usah diteruskan deh. Lagian Dana juga gak kan marah kok.”
“Makasih nak. Tapi mama rasa gak apa – apa kok. Kamu memang kayak papamu.”
Dana bisa melihat wajah mamanya yang penuh semangat.
“Biasanya pria membantu melumasi. Namun dalam kasus kita tentu tidak. Jadi mama memakai jari sendiri untuk melumasi pantat mama.”
“Makasih mah.”
Diana mendengus tertawa kecil.
Dana melihat jemari mamanya perlahan masuk ke anus. Lalu tangan yang lain menyemprotkan hand body ke anus. Setelah itu jemari lainnya mencoba masuk. Kini telunjuk dan jari tengahnya sedang berusaha memasuki anus mamanya. Kedua jemari itu bergerak berputar di dalam anus. Hand body kembali disemprotkan dan kini tiga jari yang menari. Kembali dilumasi, empat jari pun keluar masuk membuat suara yang terdengar erotis di telinganya.
Diana melepas jemarinya lalu meraih dildo. Jempolnya berada di tombol.
Dana melihat lubang anus mamanya membuka lebar.
Diana menyentuhkan ujung dildo ke anus. Diana menatap anaknya yang berdiri menganga, “Halo nak, mama udah siap nih!”
“Apa mah?”
“Pake kameranya dong!”
Setelah kamera itu berada di depan wajah Dana, Diana mulai memasukan dildonya.
“Uh… Kalau kamu ngelakuin ini sama cewek, mesti pelan – pelan karena awalnya sangat tak nyaman,” kata Diana sambil menggerakan bibirnya. “Jangan pernah lakuin tanpa pelumas!”
Diana berhenti sejenak saat setengah dildo sudah masuk. Dia bisa mendengar suara tombol kamera ditekan. Setelah itu Diana melanjutkan aksinya.
“Kita biarkan dulu sejenak.”
Diana menggoyangkan pantatnya sambil mengawasi anaknya yang sibuk memakai kamera.
Akhirnya, tangan Diana mulai menarik kemudian mendorong lagi dildo itu. Dana mulai semakin sibuk dengan kameranya.
“Kamu menikmati pertunjukannya? Dasar anak sesat!”
“Bercanda terus ah mah.”
“Dulu papamu bahkan memakai video, bukan kamera kecil kayak gitu.” Tangan Diana mulai bergerak cepat.
“Apa? Di film mah?”
Diana tertawa melihat anaknya sibuk mengutak – atik kamera. Diana menunduk dan mulai mendorong dildo di anusnya lagi. Nafasnya mulai memburu.
“Oh, oh, oh.” Diana menjerit lalu lunglai jatuh ke kasur saat tubuhnya gemetar. Tangannya kini berada di sisi kepalanya. Saat berbaring otot anusnya membuat dildo itu perlahan keluar dan jatuh ke kasur.
Dana melihat anus mamanya membuka – tutup berulang – ulang.
"Keren," kata Dana sambil memainkan zoomnya.
Diana mendengar jelas kata – kata anaknya. Tapi kesenangannya membuat Diana mengangkat pantat dan melebarkan paha ke arah anaknya.
“Goyang pinggul goyang pinggul oh asiknya,” suara Diana terdengar serak.
Setelah bergoyang Diana pun lemas dan tergolai di kasurnya. Wajahnya penuh keringat.
“Kamu mesti bantu – bantu mama abis ini.”
“Iya mah, abis mindahin ke komputer.”
Dana bangkit lalu menghilang keluar. Diana meraih dildo di sampingnya lalu menatapnya. Memang tak sama seperti saat bersama suaminya dulu. Tapi untuk sekarang rasanya cukup. Tiba – tiba Diana tersenyum lalu memasukan dildo itu ke mulutnya. Diana tetap mengulum dildo sambil melangkah ke kamar mandi. Sayang anaknya tak melihat ini, batin Diana.
"Oh Tuhan, menjijikkan" Diana terhenti menatap ke kamar anaknya.
Di monitor terlihat film Diana sedang mendorong dildo ke pantatnya. Diana lalu masuk dan duduk di kasur anaknya.
“Sampe diperbesar gitu? Tunggu, mama punya tanda di sana?” Diana lalu berputar menatap pantatnya sendiri.
Ibu dan anak itu menonton video dalam diam. Hingga dildo keluar dan sang ibu menjatuhkan diri di kasur.
“Menjijikan yah,” kata Diana sambil menutup wajah dengan tangan, namun matanya mengintip dari sela – sela jemari.
Dana tertawa, “Hahaha, kalau liat film horror juga mama bilang takut, tapi sambil ngintip.”
“Orang – orang mestinya jangan liat orang lain terbunuh; apalagi melihat mama mainin anus mama pake dildo,” kata Diana sambil melempar bantal ke anaknya. “Pokoknya, kalau sampai ada yang melihat rekaman ini, mama bersumpah akan membunuhmu.”
“Baiklah Nona Cerewet. Akan saya matikan,” kata Dana lalu menutup media playernya.
“Ya tuhan, gambar mama lagi telanjang kok dijadiin latar belakang sih? Gimana kalau temanmu melihat? Udahlah, gak akan ada yang lihat rekaman mama karena sekarang kamu akan mama bunuh.”
“Tenang mah. Kan ada dua akun. Yang pertama kalau yang log innya Dana. Sedangkan kalau temen pake akun umum.”
Diana melihat pantatnya memenuhi hampir seluruh layar dengan dildo menancap dan
Diana sembur. Dia melihat gambar pantatnya mengisi sebagian besar layar dengan setengah penis karet mencuat dari anusnya dengan kepala hanya terlihat di bahu di latar belakang.
“Kok pake gambar yang itu sih? Pantat mama jadi terlihat super besar.”
“Kan gambarnya juga cuma sedikit mah. Tapi Dana siap fotoin lagi kok.”
“Tidak. Yang terakhir aja bisa jadi masalah.”
“Tapi mah, hasil kamera ini adalah hasil terindah yang pernah Dana lihat.”
“Bercanda aja. Mama sih lihatnya kayak lihat film porno tua. Hanya saja tanpa musik latar.”
“Kalau mama mau Dana bisa tambahin musik kok mah.”
“Bukan gitu maksud mama,” Diana menatap monitor lagi lalu bergidik. “Jorok bener gambarnya, kamu kok bisa tahan melihatnya sih?”
“Mah, Dana tahu mama sudah empat puluh tahun lebih, tapi mama masih cantik. Ditambah susu dan pantat mama yang montok.”
“Dasar kamu aneh,” Diana tertawa, “pokoknya gambar itu mesti dihapus!”
Dana melambaikan tangan tanda tidak sambil menyeringai pada webcam.
“Tidak, tidak, tidak. Kamu udah bikin mama gak pake baju. Kamu udah liat mama sepuasnya, bahkan kamu udah jadiin mama bintang film porno…”
“Kamera kan ide mama.”
“Jangan ngeles.”
“Iya. Kayaknya nyonya terlalu banyak protes.”
“Pokoknya hapus.”
“Enggak”
“Dana dapet apa kalau ngehapus ini?”
“Apa? Kamu mau sesuatu? Dasar mesum!”
“Bukankah mama yang pertama ngajarin tawar – menawar!”
“Mama sungguh tak percaya ini. Baiklah, kamu mau apa?”
“Foto lain lagi.”
“Iya, tapi sedikit.”
“Tapi Dana suka gambar latar ini mah. Banyak dong.”
“Gak adil itu. Masa satu gambar ditukar banyak gambar,” Diana memainkan suaranya agar terdengar seperti lebih simpati.
“Suaranya gak usah dibuat – buat mah.”
“Oke, terus mama dapet apa dong?”
“Hah?”
“Kok malah bengong sih? Kamu kan pintar negosiasi.”
“Emang apa yang bisa Dana kasih?”
Diana ingat saat memergoki anaknya yang sedang memegang kelaminnya. Diana lalu menyeringai ke anaknya.
“Wajah mama kok aneh gitu sih?”
“Inilah mamamu, hehehe…”
Dana menyeringai, namun Diana menunjukkan telunjuk ke wajah anaknya.
“Kamu ingin ngambil banyak foto mama demi menghapus foto yang gak mama suka dan …”
Diana menghentikan sebentar suaranya, Dana menatap cemas.
“… kamu masturbasi hingga keluar sambil diliat mama.”
“Apa?!? Tidak mungkin!”
“Bener nih gak setuju?”
“Tapi, Dana ambil banyak foto mama dan juga film baru.”
“Film apa?”
“Seperti yang pertama, cuma kali ini sambil nungging.”
“Kamu memang aneh. Doyan bener sama pantat.”
“Kan gara – gara mama juga. Siapa suruh liatin pantat montok mama.”
“Dasar aneh.”
“Jadi, Dana masturbasi di depan mama, terus mama yang nentuin latar belakang monitor. Mama beri Dana film baru dan foto baru yang banyak.”
“Maksud banyak?”
“Sampai Dana bosan.”
“Emangnya kamu bisa bosan?”
“Dana kan masih muda mah.”
“Baiklah. Mama akan obok – obok pantat mama sementara kamu filmkan dan fotoin. Tapi sebelumnya kamu masturbasi dulu, telanjang tentunya.”
“Tapi Dana pasti butuh rangsangan dulu dong mah. Mama bikin film aja dulu lalu Dana mulai lepas pakaian.”
“Baik, bikin film dulu tapi harus telanjang.”
“Baik. Tapi kalau libur kita pergi liburan mah.”
“Apa? Banyak bener keinginanmu. Kenapa gak kamu pikirkan dulu sebelum mama mulai melepas pakaian mama?”
“Kan mama yang bilang ‘lihat pantat mama agar Dana bisa berubah.”
“Ya, tapi kini pantat mama yang terus dilihat, malah diobok – obok.”
Dana mulai menghitung memakai jemari, “Ayo kita hitung, telanjang, masturbasi, gambar latar, film anal baru, banyak foto, liburan dan bersedia difilm lagi nanti.”
“Kamu pasti cocok kalau kerja jadi politisi.”
“Enggak deh. Jadi gimana, Telanjang, masturbasi, gambar latar, film, foto, liburan, setidaknya dua film lagi.”
“Menyebalkan.”
“Bener gak mau?”
“Mama muak sama per – pantat – an.”
Dana lalu memutar kepalanya dari yang tadinya menghadap monitor menjadi menghadap mamanya.
Diana melihat lagi gambar pantatnya yang dijadikan gambar latar, lalu bergidik.
"Baiklah, setuju."
Ibu dan anak itu saling tatap. Dana mengangkat alisnya, Diana menggeleng. Keduanya lalu berdiri. Dana melingkarkan tangan ke bahu mamanya sambil berjalan ke luar.
“Lebih baik bikin filmnya di ruang tv aja. Biar pencahayaannya lebih jelas dan latarnya sofa hitam.”
“Maksudnya?”
“Biar Dana lebih mudah beresin sofanya mah.”
“Mama benci kamu,” kata Diana sambil memukul lengan anaknya.
“Bukankah anak – anak kebanyakan dibenci mamamnya. Dana kan cuma kasih kesempatan mama main film berkualitas.”
Diana menghentikan langkahnya lalu menatap anaknya.
“Apalagi?”
“Berkualitas?”
“Mama masih punya handycam kan?”
“Handycam? Jangan!”
“Jadi mama mau film mama terlihat seperti film porno jadul? Sekalian aja tambah musik latar murahan.”
“Mama makin benci kamu.”
“Terserah mama, mau terlihat kuno atau cantik?”
“Sekalian aja mama pake make-up, minyak zaitun dan high heel.”
“Ide bagus tuh mah!”
“Ya, tapi mama hanya bercanda. Dasar anak aneh.”
“Gak bosan mah bilang gitu?”
“Anak aneh!” kata Diana sambil menunjukkan telunjuk ke dada anaknya.
“Mama makin galak sih? Lagian, kalau pake make-up, minyak zaitun dan high heel kan Dana jadi bisa nyeting kameranya dulu. Ntar jadinya pasti bagus mah. Kalau tidak, mungkin gambar latarnya takkan berubah mah.”
“Baik, make-up, minyak zaitun dan highheel. Biar sekalian filmnya menang kontes film.”
Diana pun melangkah menuju kamarnya sementara Dana diam berpikir kapan terakhir kali memakai handycam.
“Hei nak.”
Dana melihat arah suara yang ternyata di pintu. Mamanya sedang berdiri membelakangi, lalu rukuk dan menggoyangkan pantatnya sambil berkata goyang pinggul, goyang pinggul. Setelah itu mamanya tertawa lalu menutup pintu.
“Malah mama yang bilang Dana aneh.”
Dana tersenyum. Pasti akan menyenangkan nanti, batinnya.
####
Setelah mandi, Diana duduk di kasur sambil mengeringkan rambut. Diana merasa senang dengan apa yang akan terjadi namun Diana juga merasa tak senang akan sikap anaknya yang mulai arogan. Diana merasa sudah waktunya mengajarkan anaknya bahwa kalau bermain api bisa berakibat kebakaran.
++++
Setengah jam kemudian Dana hampir selesai menyiapkan tempat. Di sisi sofa telah dipasangi lampu yang mirip di studio foto hingga membuat pencahayaan pada sofa sangat terang. Sedang hampir satu meter di depan sofa terdapat tripod yang dipasangi handycam. Saat mengecek handycam, Dana mendengar langkah mamanya datang.
“Cantiknya!”
Rambut Diana masih basah. Wajahnya memakai make-up yang bahkan belum pernah terlihat secantik ini oleh Dana. Tubuhnya berkilau dan mengeluarkan aroma baby oil. Tangan kanan Diana memegang dildo. Tak lupa kakinya memakai highheel.
Diana melihat ruangan yang telah disiapkan anaknya dengan takjub, “Kamu siapkan ini sendiri?”
Untuk kali pertama Diana melihat betapa anaknya sangat terpesona hingga tak bisa berkata – kata. Diana berjalan sambil mengelus dadanya, lalu elusannya turun ke pantat hingga pantat itu duduk menyentuh sofa hitam.
Pantat Diana yang berminyak kini duduk di sofa. Satu kaki dibuka lebar hingga tumitnya mengenai sisi sofa. Sedangkan kaki satunya dipanjangkan ke bawah.
Nafas Dana tercekat melihat memek mamanya yang telah bersih tiada rambut sehelai pun. Jelas terlihat lipatan memeknya. Apalagi dengan olesan baby oil membuatnya memantulkan cahaya.
Melihat anaknya terpesona, Diana mengambil dildo dan memposisikan di vaginanya, namun tanpa melakukan penetrasi.
“Jangan salahkan mama kalau kamu sampai lupa ngerekamnya. Serangan di Pantat Tua Mama jilid Dua.”
Begitu Diana selesai berbicara maka dildo itu langsung berusaha memasuki pantat Diana. Beberapa bagian sofa kini telah dipenuhi minyak yang menetes dari tubuh Diana.
Dana langsung memainkan kameranya sambil terus membasahi bibir dengan lidahnya. Tangannya begitu sibuk memainkan tombol yang ada di handycam.
Diana mencoba tersenyum di sela – sela erangan yang terus keluar dari mulutnya.
“Kamu tuh jangan cepat – cepat matiin kameranya terus pergi. Siapa tahu kali ini bisa ngerekam saat mama bersihin dildo pake mulut mama seperti yang terakhir.”
Mulut Dana ternganga mendapati adegan yang dilewatinya.
Diana perlahan menarik dildo dari pantat lalu mendekatkan ke wajahnya.
“Kayak gini nih.”
Diana lalu memasukan dildo ke mulut dan memainkannya. Tak lupa juga menjilatinya.
Dana merasa penisnya makin keras dan cairan pelumasnya pun keluar membasahi celananya.
“Aduh,” kata dana sambil mengelus celananya.
Diana melepas dildo di mulutnya lalu tertawa. Dildo itu kembali ditempatkan di pantatnya. Diana terus memainkan dildo sambil berbicara.
“Dasar anak muda.”
Setelah beberapa menit, Diana mengangkat lututnya hingga mendekati dada membuat pantatnya makin terlihat jelas. Kini kedua tangan Diana sibuk memainkan dildo di anusnya.
“Unh, unh, unh, unh AHHHHHHH.”
Diana menjerit sambil berusaha memasukan dildo sampai mentok. Kakinya bergoyang, tubuhnya kejang hingga beberapa detik kemudian tubuh Diana pun berhenti gemetaran. Kakinya terjatung lunglai ke bawah.
Setelah beberapa detik, Diana mencabut dildo dari pantat lalu mendekatkannya ke wajah. Dildo itu dijilati Diana lalu dimasukan ke mulutnya. Beberapa saat kemudian Diana asik memainkan dildo di mulut hingga merasa cukup.
“Jadi berantakan gini yah.”
“Iya, mama sih nakal.”
Diana tertawa, “yang penting tugasmu tuh ntar bersihin ini.”
Diana melihat keadaanya lalu bangkit berjalan mendekati anaknya.
“Nah, anak aneh, perjanjian pertama kita telah mama laksanakan.”
Dana langsung mengangguk.
“Sayang sekali. Padahal mama udah siap ronde berikutnya. Nih deh mama kasih sedikit inspirasi buat kamu.”
Diana lalu memeluk anaknya membuat pakaian anaknya kini basah oleh baby oil. Paha Diana juga diangkat untuk membasahi sekitar pinggang dan celananya.
“Kayaknya bajumu perlu dicuci tuh.”
Dana mengerang. Diana menepukkan tangannya.
“Baiklah pejantan muda. Mama beri kamu sepuluh menit untuk siap – siap menghibur mama.”
Dana pun melangkah menjauh menuju kamarnya. Namun saat baru setengah jalan, terdengar suara mamanya.
“Mama taruh baby oil di lemarimu nak.”
Diana menyeringai. Pasti malam ini bakalan seru, pikirnya.
Dana duduk di kasur dengan hanya memakai celana pendek sambil gemetaran. Dana memang jadi terbiasa melihat mamanya telanjang, namun Dana merasa tak nyaman jika harus ikutan telanjang juga. Dana menyadari memang tak adil jika dirinya tetap berpakaian, namun toh bukan salahnya. Dana tak pernah melihat mamanya seliar ini, senakal ini. Terus terang saja kini Dana merasa takut. Dana menduga dia telah mendorong sisi gelap mamanya keluar dan mulai merubah mamanya.
Dana merasa hubungannya dengan mama tak pernah sedekat ini. Dana memang mencintai mamanya, sebagai anak, juga menghirmatinya. Dana sungguh merasa beruntung dengan perjanjian ini, tapi kebenaran yang disampaikan sendiri oleh mama merupakan hadiah tersendiri. Telah terlalu jauh sejak kali pertama Dana melihat mamanya telanjang di dapur.
Dana tersenyum sendiri saat berdiri lalu melepas pakaian terakhirnya, celana pendek. Setelah itu Dana meraih baby oil yang ada di lemarinya.
Diana duduk di sofa menunggu. Keheningan yang ia rasakan sedari tadi membuatnya sampai pada kesimpulan bahwa anaknya mungkin merasa takut dan atau tidak berani. Satu kosong untuk mama, pikirnya. Tiba – tiba terdengar dentuman suara musik yang kemungkinan berasal dari kamar anaknya. Cahaya tiba – tiba menghilang menjadikan kegelapan yang muncul menyelimuti. Diana menyeringai. Ya tuhan, dia benar – benar akan melakukannya, batin Diana.
Tiba – tiba ada sinar. Setelah ditelisik oleh mata Diana, sinar itu mengarah ke kepala kontol. Ternyata anaknya memegang dua senter yang kini diarahkan ke kontolnya sambil berjalan mendekat. Dana pun sampai di depan sofa yang diduduki mamanya lalu menggoyangkan pinggulnya. Puas bergoyang, tangan kanannya melempar senter lalu memegang kontolnya.
“Mah, kok Dana jadi gini sih?”
“Jangan berhenti nak. Lagian gak apa – apa kok jadi gini juga.”
“Ini dia mah. Siap membuat mama terangsang.”
"Whoo hoo, goyang nak!” Diana tertawa.
Dana memaju mundurkan pinggul sambil tangannya mengocok kontol. Mata Diana berbinar melihat anaknya mengocok kontolnya sendiri. Tak butuh waktu lama Dana pun mengejang seiring dengan menyemburnya sperma yang mendarat di kaki Diana, sofa dan di lantai. Setelah orgasme tubuh Dana berhenti mengejang namun saat akan bergerak kakinya tersandung membuat Dana jatuh terduduk di sofa di sebelah mamanya. Kakinya menyentuh kaki mamanya. Keringat bercucuran di dahi Dana. Nafas Dana terengah – engah.
Diana bertepuk "Hebat, luar dari pada biasa!"
Dana melambaikan tangannya, “santai mah.”
Diana dan Dana saling memangang, lalu keduanya menyeringai.
“Mah, maafin Dana yah udah ngedorong mama terlalu jauh hingga jadi gini. Dana bener – bener menyesal mah.”
“Ya, kamu memang nakal. Tapi mama seneng kamu berani mengakuinya. Lagian mama juga tak terlalu suka per – anal – an.”
“Ya gak apa – apa kok mah asal perjanjian kita yang lain tetap berjalan Dana gak keberatan kok.”
“Mama gak keberatan dengan hal baru, asal tak menyakitkan bagi kita.”
Diana melingkarkan tangan ke bahu anaknya lalu memeluknya dari samping membuat tubuh ibu dan anak itu menempel ketat.
“Sial mah, Dana menyentuh mama.” Dana terlihat panik.
“Ini sih sikap ibu dan anak yang saling mencintai, meski tanpa pakaian.”
Mereka pun menatap tubuh mereka yang penuh baby oil.
“Kok jembut mama dibabat habis sih?”
“Mama hanya ingin memberikan yang terbaik bagi kamu. Lagian kamu tuh bener – bener maksa mama sih.”
Diana dan Dana menatap selangkangan Diana. Seperti berjanji, keduanya sama – sama berbicara “kayaknya jelek deh.” Menyadari kesamaan kata yang terucap, keduanya saling pandang lalu tertawa.
“Untungnya ntar tumbuh lagi. Sekarang kamu tahu kan mama juga bisa mencoba hal – hal baru. Kalau kamu gimana? Mau mulai telanjang di rumah gak?”
“Gak tahu mah. Kayaknya aneh deh.”
Diana memegang payudara lalu mengangkat susunya.
“Mama tak bisa mengatakan bagaimana rasanya hidup dengan selalu menunjukan ini padamu. Mama juga senang kalau kamu gak mau ikut – ikutan. Tapi mama tak akan keberatan kok kalau kamu berubah pikiran.”
Diana dan Dana menatap kontol Dana. Mereka berdua melihat betapa kontol itu kini mulai kembali mengembang.
Begitu muda begitu jantan, pikir Diana.
Diana lalu mendorong anaknya bangkit.
“Kamu bersih – bersihnya ntar mama bantu deh.”
“Setuju,” seringai Dana.
Suasana di foodcourt sebuah pusat perbelanjaan terbilang ramai. Meskipun tidak ber-suasanaseger, namun banyaknya abg yang berlalu – lalang membuat mata serasa segar bagi yang memandangnya.
“Woi, Diana, sini!”
Diana melangkah diantara deretan meja mencoba mencari sumber bunyi tersebut. Di arah kiri depannya ada sebuah meja yang ditempati tiga orang perempuan yang tidak berkalung sorban, usianya kira – kira setengah baya. Salah – seorang dari ketiga wanita itu melambaikan tangannya ke arah Diana. Diana pun bergegas mendekati meja lalu duduk di kursi yang telah disediakan.
“Gimana kabarnya?”
“Iya nih sombong bener.”
“Kok lu keliatan seger sih?”
Tiga suara yang keluar dari tiga mulut yang berbeda langsung menyambut begitu Diana duduk. Diana pun tersenyum sebelum menjawabnya.
“Lah kayak gak tau aja lu lu pada juga kan sibuk – sibuk.” Diana mengambil gehu yang ada di meja lalu makan sambil meneruskan pembicaraan. “Gila lu ya, di tempat kayak gini malah beli gehu.”
“Kan dari tadi kita mau pesen juga nungguin lu dulu. Dari pada bengong yang pesen gehu dulu. Lagian lu juga doyan kan.”
“Kok lu keliatan beda sih?”
“Iya, gw mau ajak anak liburan entar. Biar gak jenuh.”
“Kok badanlu agak beda sih.”
“Iya dong. Gw sering diajakin maen wii sama anak sih.”
“Apaan tuh wii?”
“Itu gim yang pake remot, terus kita maininnya sambil gerak – gerak.”
“O ya. Anak lu kan tukang maen gim.”
“Terus, lu keliatan lebih semangat, gak kayak dulu murung terus sih?”
“Iya dong. Gw kan kini jadi lebih deket sama anak. Apalagi kini tuh anak mau nerusin kuliah.”
Ketiga teman Diana saling pandang mendengar penjelasannya.
“Lah, kayak kita bloon aja.”
“Eh, sumpah deh, gw lagi gak deket sama siapa – siapa.”
“Lu liburan gak mau ngajak kita nih?”
“Enggaklah. Kan sama anak gw. Sebelum lu pade nanya, gw gak seranjang ntar sama anak.”
“Iya lah. Siapa tahu ntar ada laki biar lu bisa bebas.”
“Gak gitu juga kali.”
“Lu beli apaan tuh?”
“Biasa, buat ntar di pantai.”
“Pake aja trus tunjukin ke anaklu biar dia seneng.”
“Apaan sih? Yang ada juga dia malah lari ketakutan,” kata Diana sambil mengambil belanjaannya lalu bangkit.
“Eh, lu mau ikut gak ntar malam sabtu. Biasa kumpul di tempatnya Dewi.”
“Iya. Ntar gw cek dulu kalau anak gw gak keberatan sih,” kata Diana sambil melangkah pergi menjauh.
$$$$$
Diana merenung di rumahnya sambil memikirkan ide yang didapat dari percakapan dengan temannya tadi. Diana jadi ingin mencoba menjadi model pakaian di depan anaknya sendiri. Saat sedang asik merenung, tiba – tiba terdengar suara seperti pintu yang diketuk. Diana pun meraih daster, memakainya lalu membuka pintu.
“Eh, elu Wi, masuk.”
Diana mundur agar temannya, Dewi, bisa masuk. Dewi masuk, melihat Diana yang hanya memakai daster lalu mengelus tangannya.
“Lu pake ginian doang?”
“Iya, kan nyobain yang baru.”
“Gimana kalau anaklu ngeliat?”
“Kan ntar juga pasti ngeliat kalau jadi liburan.”
“Bagus.”
“Mau minum apa? Bikin aja sendiri.”
Diana dan Dewi pun melangkah menuju dapur. Dewi memilih membuat kopi. Dapur pun langsung dipenuhi aroma biji kopi pilihan.
“Gimana Dana di tempatlu?”
“Biasa aja. Maen sama anak gue.”
“Gw udah lama kenal lu sama david. Tapi gw perhatiin sekarang kayaknya lu sama anaklu berubah deh. Padahal dah lama David meninggal. Ada apa sih?”
“Lho, emangnya kenapa?”
“Udahlah, gak usah bohong.”
“Iya deh. Kan sebentar lagi ada rencana mau liburan.”
“Dari dulu anak gw males kalo disuruh belajar. Cuma akhir – akhir ini semenjak anaklu sering ngajarin anak gw, kayaknya anak gw jadi agak pintar dah. Lu apain tuh anaklu?”
“Ya biasa. Gw ingetin mau jadi apa ntar kalau males terus.”
“Bohong lu. Gw aja bilang kayak gitu malah gak ngefek.”
“Ya mau bagaimana lagi. Mungkin apa gw juga gak tau.”
“Ya elah, malah maen rahasia – rahasiaan. Tapi terserah dah, yang penting gw seneng liat lu kembali ceria kayak gini. Semenjak laki lu meninggal, kayaknya lu ikutan meninggal. Tapi kini, lu kembali lagi gila seperti dulu. Kok bisa gitu sih setelah sekian lama?”
“Gila lu ya. Ya gw kagak ikut suami gw lah. Gw cuma fokusin jadi emak yang baik bagi anak gw.”
“Bener nih. Dulu lu berubah jadi pendiam.”
“Ya mungkin waktulah yang ngerubah gw. Ntar deh liat aja jumat nanti.”
“Mah!” suara Dana menggelegar.
“Di sini nak. Lagi sama mamanya Dewo,” teriak Diana.
“Mah, ntar liburannya yang lama yah. Eh, Bu Dewi.”
“Eh Dana.”
“Sekalian aja pindah kerja dan kuliah di sana,” canda Diana.
“Siap mah. Ntar Dana cari infonya di internet,” Dana terdengar serius.
“Mama bercanda sayang.”
Dana tak menjawab namun malah bergegas ke kamarnya. Diana melihat wajah Dewi yang menunjukan ekspresi aneh.
“Apa lu?”
“Kalau gw pake baju kayak lu, pasti anak gw melototin terus. Tapi si Dana malah gak tertarik tuh. Lu apain dia?”
“Biasa aja lah. Lagian cuma baju gini kok. Ntar juga kalo jadi liburan mungkin liat lebih dari ini.”
“Apa lu mau telanjang?”
“Gak gitunya juga kali.”
“Lu kembali gila. Pasti ada yang lu tutupin dari gw.”
“Lah, lu malah curiga sih?”
Beberapa saat kemudian Dewi berusaha menanyakan kepenasarannya. Namun yang Dewi dapat hanya kekecewaan. Akhirnya Dewi memutuskan untuk pulang.
#####
Dana muncul tepat saat telepon berbunyi.
“Bu Dewi ngapain mah?”
“Biasa,” kata Diana lalu mengangkat telepon. “Halo.”
“Na, ini Yanti. Seneng liat kamu kembali ceria.”
“Ya, kayak dulu lagi.” Diana menyadari anaknya sedang menatap dirinya dari atas ke bawah sambil mengangkat alisnya. Diana lalu menjepit telepon dengan bahu, lalu mulai melepas pakaiannya. Pakaian itu lalu dilemparkan ke sofa.
“Gini, gw seneng lu mau ikut ngumpul ntar. Tapi …”
“Tapi apa?”
“Si Chip jadi ngamuk nih denger anaklu mau liburan. Jadi kalau lu gak keberatan, tolong ajak anak gue dong. Kalau lu setuju, ntar gue bayarin akomodasinya.”
Diana melihat Dana meninggalkan ruangan.
“Gue sih gak keberatan, tapi mesti tanya si Dana dulu. Ntar gw kabarin lagi keputusannya.”
“Oke, makasih ya Na.”
Diana menutup telepon berbarengan dengan munculnya Dana sambil membawa kamera digital dan kemeja putihnya.
“Mau diapain tuh baju?”
“Mah, makannya mau pesan gak, sekalian mama jadi model kamera Dana?”
“Iya deh terserah kamu. Tapi mau apain tuh baju?”
“Jadi ntar pas tukang makanannya datang, mama ambilnya sambil pake ini saja.”
“Apa?”
“Iya mah. Sekarang kan lagi dingin. Kasian tuh tukang anter makanan. Biar jadi anget dikit. Biar hot gitu loh.”
“Kenapa kamu dulu gak negosiasikan tentang nilai? Biar mama gak kena masalah kayak gini.”
“Lho, kan mama yang pertama mulai. Dana hanya belajar dari yang terbaik dong mah.”
“Gak usah muji deh.”
“Lah mama. Jadi gimana mah?”
“Tapi dikancingin ya, setuju?”
“Hanya tiga kancing dari paling bawah, setuju.”
Diana menatap kemeja, “Mama tinggal membungkuk lalu orang – orang pada ngedeketin dah.”
“Jangan membungkuk dong mah.”
“Iya deh. Tapi kalau yang nganternya cewek, yang bayarnya kamu. Tapi hanya pake celana pendek.”
“Kalau gitu, Dana setuju asal mama cuma kancingin dua kancing saja.”
“Baiklah. Dua kancing, tapi kalau yang ngirimnya cewek, kamu yang mesti ngambil sambil goyangin pantat kamu.”
“Kalau gitu sih, mama jangan kancingin baju mama ntar kalau cewek Dana yang ambil sambil goyang.”
“Baiklah. Asal adik kecilmu mesti keliatan… Plus kamu ajak mama ntar main keluar.”
“Setuju.”
“Gak usah banyak senyum. Dulu juga papamu pernah bikin mama kayak gini, sampai handuk mama lepas saat bayar.”
Diana lalu memikirkan menu yang akan dipesannya. Setelah yakin Diana menyambar kemejanya.
“Kamu punya niat busuk apa lagi sama mama?”
“Gak ada niat busuk, cuma apa mama gak kepanasan pake kemeja di dapur?”
“Dasar kamu. Mama mandi dulu ah… biar nanti seger pas liat kamu show.”
Diana mandi namun tak berlama – lama. Diana menuju kamar anaknya lalu mendorong pintu dengan kakinya hingga terbuka. Terpampanglah Diana yang sedang berdiri, memakai kemeja namun tiada satupun yang dikancingkannya.
Dana langsung menyambar kamera lantas memotret.
“Mama makin hari makin cantik aja.”
“Ngegombal aja kamu nak.” Namun Diana malah terlihat berseri – seri. Diana lalu memutar tubuhnya membuat kemeja itu seolah melayang.
“Apa wanita diajari cara khusus agar bikin pria gila mah?”
“Tentu tidak sayang. Mungkin memang sudah insting,” kata Diana sambil berbalik membelakangi anaknya. Diana lantas menarik ujung kemejanya ke atas hingga memperlihatkan pantat, lalu menggoyangkannya. Diana menyeringai saat mendengar bunyi klik. Diana malah berharap agar pengantar makanan adalah pria.
Setelah beberapa menit berlalu ibu dan anak itu pun ke dapur.
“Nah, tukang foto, kamu mau mama gimana?”
“Coba mama duduk dikursi sambil menyilangkan kaki. Terus tangan mama taruh di lutut.”
Diana menuruti. Klik.
“Sekarang coba mama rebahan di meja sambil tangan mama ke depanin.”
Diana menuruti. Klik. Saat Diana bangkit, satu payudaranya terbuka membuat Dana menyesal tak mengambil gambar pas momen itu.
“Sekarang coba mama berdiri dekat kompor, tarik baju mama ke bawah dan tatap kamera.”
Diana menuruti. Klik.
“Sekarang …” suara Dana terpotong oleh ketukan di pintu.
Diana berbalik memperlihatkan seluruh tubuh bagian depan karena kemejanya hanya tergantung di lengan. Dana menyadari putting mamanya agak mengeras. Dana dan mamanya pun saling tatap. Dana lalu mengabadikan momen itu sebelum ketukan berbunyi lagi. Mereka lalu bergegas ke ruang depan. Dana mengintip sementara Diana menunggu.
“Yes. Yang nganternya cowok mah.”
Diana menyeringai, membetulkan kemeja dan mengancingin dua kancing terbawah.
“Dasar kamu hoki. Siapin uangnya!”
Dana mundur lalu mengeluarkan uang dari dompetnya sambil melihat mamanya mendekati pintu. Sebagian susu mamanya terlihat namun tetap tak menunjukan areolanya.
“Maaf ya tante baru aja keluar dari kamar mandi.”
“Ng… Ng… Man… Tat… eh… Nggggaakkk apa… tanttte.”
Pintu lalu dibuka dan makanannya langsung disambar oleh Diana. Saat Dana mendengar suara orang terkesiap, Dana tahu pasti ada yang terlihat. Diana lalu mundur dan menyerahkan makanan ke anaknya. Entah kenapa Dana malah melihat wajah mamanya seperti senang. Dana menyerahkan uang ke mamanya yang langsung diraihnya sambil berseringai. Tangan kanan Diana meraih uang sementara tangan kirinya menarik paksa dua kancing hingga terlepas dan berjatuhan yang tentu saja terlihat oleh pengantar makanan betapa ada kancing yang jatuh.
“Ntar mama benerin,” bisik Diana ke anaknya. “Sekarang waktunya kamu pergi. Sembunyi!”
Diana melangkah mundur lalu berbalik sambil mencoba menutup kemeja dengan tangannya. “Makasih ya. Nih uangnya,” kata Diana yang langsung diambil oleh pengantar makanan. Pintu pun ditutup. Diana lalu berbalik dan bersandar ke pintu. Kemejanya naik turun seirama dengan dadanya yang naik turun. Lalu Diana menatap anaknya.
“Mama jadi bening.”
“Huh?”
“Udahlah, ikutin mama.”
Diana melangkahkan kakinya ke dapur. Lalu Diana mengambil panci kecil untuk merebus mie yang memiliki pegangan, menduduki meja terus melebarkan pahanya. Panci itu lalu diposisikan agar menutupi selangkangannya.
“Mama tegang bener..”
Panci itu menyentuh sebagian kecil lipatan daging antara dua kakinya membuat seluruh tubuh Diana menegang. Panci itu pun terlepas dan jatuh ke lantai. Satu tangan Diana meraih dan menyentuh rambutnya mengiringi getaran tubuhnya.
“Ooooooooooooohhhh.”
Diana terus bergetar hingga beberapa saat. Kemudian diam. Perlahan – lahan Diana turun dari meja dan berdiri. Diana menatap anaknya. Seluruh tubuh Diana dipenuhi keringat. Diana lalu mendekati anaknya, melebarkan tangan dan memeluknya. Tiadanya kancing yang terpasang membuat payudara Diana menekan dada anaknya. Diana lalu menyandarkan kepala ke bahu anaknya.
“Nikmat sekali orgasme mama barusan. Kamu gak lupa memilmkannya kan?|
“Oh iya. Aduh sial.”
Diana tertawa tanpa melepas pelukannya. “Udahlah, besok kita pesen apa lagi?”
"Yes, yang nganternya cewek” kata Diana sambil berjingkrak.
Dana melepas baju dan melemparkannya ke sofa. Dana lalu melepas ikat pinggang sambil melihat mamanya berjoget.
“Kamu kayak gak semangat gitu sih?”
“Lho, kan awalnya cuma nebak laki atau bukan.”
“Ingat, sampai tiga kali ya.”
“Iya. Yang kemarin Dana sampai telanjang.”
“Kan handuk itu idenya kamu.”
Kini Dana berdiri di hadapan mamanya dengan hanya mengenakan celana pendek. Dana menatap celana pendek anaknya.
“Temen kecil mama mana?”
“Gak usah ditambahin kata ‘kecil’!”
“Sini, mama bantu.”
Diana mengangkat ujung belakang kemeja sehingga pantatnya telanjang. Setelah itu Diana berbalik membelakangi anaknya dan mundur hingga pantat itu menyentuh celana anaknya. Setelah menyentuh, Diana lalu menggesek – gesekkan pantatnya hingga terdapat benjolan yang dirasa cukup besar oleh Diana.
“Ayo goyang duyu…”
“Mama kok kejam gitu sih?”
“Biar kejam, tapi efektif kan.”
Setelah benjolan itu tak lagi membesar, Diana menghentikan aksinya. Diana kembali berbalik lalu menepuk pelan benjolan yang tiba – tiba muncul di celana anaknya. Setelah itu Diana memegang bahu anaknya dan memutar tubuh anaknya lalu mendorongnya.
“Ayo cepet buka, kasian udah nunggu tuh.”
Dana membuka pintu.
“Pak ini pesanannya,” kata pengantar makanan sambil melihat tubuh Dana, dari atas hingga ke bawah.
“Oh ya, jadi berapa?”
“Jadi sekian.”
Dana mengambil makanan yang lalu tangannya menerima uang yang diserahkan oleh mamanya yang sedang sembunyi di belakang pintu. Setelah uang itu diterima oleh Dana, tangan mamanya cepat langsung menarik ujung celana Dana hingga melorot sampai ke bawah. Dana langsung memberikan uang ke pengantar makanan sambil meminta maaf. Setelah itu Dana langsung menutup pintunya.
Terdengar suara tertawa dari luar rumah.
Saat akan melangkah, Dana terjatuh dengan celananya masih melorot.
“Sini mah, Dana mau bunuh mama!”
Diana pura – pura menjerit takut sambil tertawa. Lalu Diana melesat ke dapur yang tentu saja sambil dikejar Dana.
“Kalau mama mati, kita gakkan liburan dong.”
Dana kini ada di sisi meja sedangkan Diana di sisi sebrangnya. Mereka saling melotot. Saat Dana berjalan ke arah kanannya, Diana pun melangkah ke kanannya sehingga posisi mereka tetap sama bersebrangan.
“Ayo, tangkap mama. Pasti kamu bingung setelah tangkap mama!”
“Enggak dong, pemburu selalu punya rencana.”
“Tuh liat, temen kecil mama melambaikan tangan!”
Dana menunduk menatap kontolnya yang terlihat jelas. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Diana untuk berlari ke kamarnya lalu mengunci pintunya.
“Kuat berapa lama di dalam mah?”
“Sampai ada kesepakatan.”
“Kesepakatan apa lagi?”
“Kesepakatan yang bakal menjauhkan masalah dari mama.”
“Oh ya semoga beruntung.”
“Lho, mama juga kan udah tiga kali ngasih pertunjukan ke pengantar makanan. Jadi adil dong”
“Iya. Mama pasti keliatan seksi. Nah Dana, pasti kelihatan bodoh.”
“Mama yakin cewek barusan gak setuju sama kata - katamu.”
“Kenapa mama gak keluar dan tanyakan aja sendiri?”
“Keluar sementara ada pembunuh liar berkeliaran di rumah? Tentu tidak.”
“Meski gak ada makanan?”
“Mama emang berencana diet kok. Ayolah, akui saja kamu juga menikmati aksimu. Temen kecil mama yang bilang kok.”
“Sekarang siapa yang ngawur? Ingat, nyonya sedang terpuruk dalam lubang.”
“Udahlah, ngaku aja kamu juga menikmatinya kan. Bahkan mama yakin kamu masih keras.”
“Terus kenapa?”
Percakapan mendadak berhenti. Kedua pihak seakan sepakat untuk berdiam diri sejenak.
“Mama bakal buat semuanya terserah kamu aja.”
“Caranya?”
“Percaya saja.”
“Enggak ah.”
“Serius nih. Mama nawarin gencatan senjata.”
“Jangan main – main lagi.”
Terdengar suara kunci dibuka. Pintu lalu terbuka perlahan hingga terbuka seutuhnya. Diana menatap anaknya yang masih berdiri.
“Tuh kan, kamu masih keras.”
“Jangan ganti topik, gimana ide mama tadi?”
“Sabar, kamu duduk dulu tuh di kasur”
Dana melangkahkan kakinya ke kasur sambil menatap curiga mamanya yang mendekati meja rias.
“Ingat gak aturannya?” kata Diana sambil mengeluarkan celana dalam hijau dan memakainya. celana dalam itu terlihat sangat pas sehingga lekukaknya sempurna.
Dana terlihat bingung melihat mamanya mendekat. Setelah dekat, Diana berbalik hingga membelakangi anaknya lalu seolah duduk di pangkuan anaknya, namun bukan untuk duduk melaikan untuk menggesek – gesekkan pantatnya. Tangan Diana meraih tangan Dana dan meletakkannya di pahanya.
“Kamu hanya boleh sentuh paha,” kata Dana sambil mencoba menekankan pantatnya lebih dalam.
“Oh tuhan,” kata Dana sambil menarik nafas.
Diana bisa merasakan kontol anaknya yang makin tegang. Diana meletakan tangan di lututnya sambil bergoyang. Mendengar nafas anaknya yang makin tak teratur, Diana bangkit berdiri, menurunkan celana dalam hingga pantatnya kembali telanjang lalu kembali menekan kontol anaknya sambil bergoyang.
“Oh…”
Tubuh Diana tersentak dan tersentak saat kontol anaknya menyemburkan lahar panas ke pantat mulusnya. Setelah lahar itu tak lagi menyembur, kepala Diana berbalik menatap anaknya.
“Nah ingat yang barusan takkan terulang lagi.”
Dana hanya bisa mengangguk menikmati sisa – sisa sensasinya.
“Mama udah lapar nih.”
Diana lalu bangkit berdiri yang segera disusul anaknya. Dari selangkangan keduanya menetes caiar putih kental membasahi lantai. celana dalam Diana pun dilepas.
“Kamu mandi sana. Biar mama bersihin ini. Ntar kita makan di luar aja yuk.”
Diana dan anaknya sedang duduk di meja menunggu pelayan.
“Selamat datang, mau pesan apa?”
Suara pelayan terdengar familiar di telinga Dana. Dana menoleh untuk melihatnya, saat kedua pasang mata itu bertatapan, keduanya terkejut. Ternyata pelayan itu adalah pengantar makanan yang tadi. Namun, tak seperti pelayan dan anaknya, Diana malah tertawa – tawa.”
“Eh, masih lapar ya? Memang lebih enak makan di sini.”
“IYa, kami bosan makan di rumah.”
“Mau pesan apa?” kata pelayan sambil menyerahkan daftar menu.
“Kami pesan teh manis dulu, dua. Iya kan?”
Dana hanya mengangguk tanpa berkata. Dana malu, celakanya wajahnya menunjukan itu.
“Segera.”
Setelah pelayan itu pergi, Diana menatap anaknya. “Apa pun yang terjadi, kamu jangan panggil mama. Panggil aja Diana. Jangan ada yang tau aku mamamu, Paham!”
“Dari semua tempat makan di kota ini, kenapa malah dilayani dia sih?”
“Itulah yang disebut takdir. Meski sebelum pergi kita bisa memutuskan untuk makan di restoran manapun tanpa ada yang memaksa harus ke mana, namun pertemuan ini sepertinya tidak bisa dihindari. Mama ke toilet dulu. Tunggu di sini.”
Diana berjalan menuju toilet, di tengah jalan, Diana berpapasan dengan pelayan tadi. Diana hanya tersenyum namun Dana terlihat semakin gugup dan atau malu.
Diana kembali ke meja. Di meja telah tersedia minuman yang tadi dipesan. Saat Dana menyedot minumannya, Diana lalu menaruh sesuatu di meja yang membuat Dana tersedak. Dana melihat mamanya menaruh celana dalam hijau.
“Biarkan itu terus di meja, berani gak?”
“Mama mau ngapain?”
“Senang - senang dong. Biar jadi kenangan indah buat kamu.”
Namun Dana malah mengambil celana dalam mamanya dan memasukkannya ke saku. Diana hanya menyeringai melihat tingkah anaknya.
“Dasar mama gila.”
“Hehehe.”
Keduanya lalu diam saat pelayan kembali datang.
“Maaf, sudah siap pesan?”
“Saya pesan lasagna aja. Sedangkan wanita cantik ini sepertinya akan memesan chicken parmesan, benarkan Di?”
Diana tertawa, “bolehlah.”
“Tuan memang pintar memilih pasangan. Mau sekalian saladnya?”
“Boleh.”
“Ada yang lain lagi?”
“Tidak.”
“Terimakasih. Mohon tunggu pesanannya,” kata pelayan itu sambil berjalan pergi, namun tetap berusaha menatap Dana.
Setelah pelayan itu pergi, Diana membungkuk hingga kepalanya agak mendekati anaknya, “dia masing ingat saat kamu telanjang lalu membayangkan gimana kamu menyentuh wanita seusia mama.”
Dana menyemburkan minuman dari mulutnya.
“Mama benar – benar gila. Bagaimana dulu tingkah laku papa sama mama sih?”
“Papa dan mamamu pasangan serasi. Tau gak?”
“Pantes saja.”
“Mama dan papa saling mencintai. Pokoknya akan melakukan segalanya demi pasangan. Mama sangat setia, bahkan tak pernah selingkuh. Sepertinya papamu juga begitu. Pokoknya mama dan papa sangat terbuka bagi hal – hal baru. Intinya adalah komunikasi.”
Percakapan terhenti saat pelayan datang membawa salad. Mata pelayan itu tak henti – hentinya mencuri pandang ke Dana.
“Jadi, ‘Diana’ ini biasa seperti ini dulu sama papa?”
“Mama rela melakukan apa saja demi papamu hingga separuh jiwa mama moksa seiring dengan moksanya papamu. Bertahun – tahun mama merasa hidup ini hambar, begitu hambarnya hingga bagaikan tiada lagi yang bisa lebih hambar lagi. Sampai akhir – akhir ini.”
“Sampai akhirnya aku mau jadi mahasiswa.”
Sekarang Diana yang tertawa dibuatnya pun hingga saat pelayan datang.
“Ini makanannya, silakan.” Pelayan mulai meletakkan makanan, namun mulutnya tak berhenti bicara. “Mohon maaf, apabila boleh tahu, berapakan usia tuan dan puan yang sungguh sangat serasi ini?”
“Baru tujuh belas.” Kata Dana.
“Saya sih cukup tua. Bahkan layak untuk menjadi ibu dari anak ini,” jawab Diana sambil tersenyum.
Pelayan itu menggeleng, “Luar biasa. Tuan dan puan sungguh terlihat sangat bahagia.” Pelayan itu masih tetap menggelengkan kepala sambil pergi menjauh.
“Mama ternyata suka mengambil resiko.”
“Mama dan papamu justru pemburu sensasi. Apa lagi yang sangat membuat mendebarkan. Mama jadi kangen masa – masa dulu. Apa kamu sekarang merasa berdebar – debar?”
“Bukan hanya itu, tapi juga takut setengah mati.”
“Itulah sensasinya. Pokoknya ingat, asal jangan sampai ada yang terluka dan harus saling menghormati.”
Aroma makanan membuat pembicaraan berhenti. Berganti dengan acara santap. Makanan pun habis. Diana berdiri melihat pelayan mendekat. Saat pelayan itu menghampiri meja, Diana menyapanya.
“Terimakasih untuk pelayanannya sayang.”
Setelah itu mereka pun keluar dari restoran. Namun sebelum masuk ke mobil, Dana menatap mamanya.
“Berani gak mama lepas rok itu dan nyopir sambil gak pake bawahan?”
Diana tersentak. Diana menatap anaknya lalu melihat keadaan di parkiran itu. Setelah melihat keadaan, Diana kembali menatap anaknya sambil menyeringai. Diana lalu melepas rok dan memberikan ke anaknya.
Angin dingin langsung menyentuh tubuhnya.
Diana langsung duduk di belakang kemudi. Diana lalu menurunkan jendela di pintu kiri.
“Mama gakkan nyetir sampai dapet celanamu.”
Dana menyeringai dan mulai melepas celana panjangnya. Kini di jok belakang terdapat rok, celana panjang dan sepatu.
“Lepas juga dong celana pendekmu?”
“Siap,tapi ada syaratnya.”
“Apa?”
“Dana ingat belum punya video mama lagi make mainan karet mama itu. Gimana, setuju?”
Dana sedang melepas celana pendeknya saat mamanya tertawa sambil berkata setuju. Keduanya kini tidak memakai bawahan sama sekali hingga sampai di rumah.
Sampai di depan rumah, keduanya belum keluar dari mobil. Jalanan tampak sepi sehingga meski mobil mereka melintang agak tengah, tak ada yang memprotes. Pagar masih tertutup. Diana menatap anaknya.
“Berani gak kamu buka tuh pagar tanpa pake celana dulu?”
“Asal mama isep dildo itu di akhir pertunjukan?”
Diana tertawa, “bener – bener cabul.”
“Kan belajar dari ahlinya,”kata Dana sambil keluar dari mobil dan bergegas membuka pagar.
“Sialan mama. Dasar eksibisionis.”
“Ya ya ya … kata orang yang tak bercelana,” kata Diana, tertawa sambil keluar dari mobil.
“Ya ya sekarang waktunya tampil. Dana ingin pantat itu siap.”
“Saatnya anakku kerja,” kata Diana berjalan sambil melepas pakaiannya.
Dana mengikuti mamanya dari belakang, “Mah, daripada telanjang, apa mama punya lingerie?”
“Wow, mungkin masih ada. Gini aja, kamu siapin aja kameranya biar mama juga siap – siap.”
“Oh iya.” Seringai Dana.
Diana beranjak ke kamar mandi di kamarnya untuk mulai menyiapkan diri sementara anaknya memasang tripod. Selesai memasang tripod, Dana duduk di kasur menunggu mamanya muncul.
“Oh, mama cantik sekali.”
“Makasih.”
Diana terlihat cantik memakai lingerie hitam.
“Kamu suka?”
“Iya mah.”
Diana lalu berjalan menuju laci mengambil keluar dildonya. Saat melewati anaknya, Diana menepuk kontol anaknya dengan dildo sambil tersenyum.
“Temen kecil bertemu temen palsu.”
Setelah itu Diana naik ke kasur dan terlentang.
“Cdnya dilepas apa dipake, pak sutradara?”
“Dilepas aja mah.”
“Ya udah sini bukain dong.”
Dana tertegun. Dana mendekat dan menjulurkan tangannya saat mamanya mengangkat pantatnya. Sentuhan tangan Dana pada pinggul mamanya membuat mereka merasakan getaran nafsu yang tak tertahankan. Tangan Dana lalu menarik cd itu. Saat cd itu mencapai lutut, pantat Diana kembali diturunkan dan kini kakinya yang diangkat membuat cd itu akhirnya terlepas seluruhnya. Dana menaruh cd itu di kasur.
“Makasih.”
Setelah itu Diana mengambil dildo dan mulai mendekatkannya ke selangkangan yang dirasanya sudah mulai basah. Diana lalu diam, menatap anaknya.
Dana tertawa seolah disadarkan, “Oh iya, kamera. Duh.”
Dana lalu memainkan kamera yang ditaruh di tripod. “Oke, action.”
Diana kini mulai mengelus – elus dildo itu ke memeknya sambil mengerang. Tak butuh waktu lama bagi Diana untuk mencapai orgasme hingga erangan Diana makin keras namun tertahan, dan tubuhnya pun mengejang. Akhirnya Diana berbaring sambil terengah – engah.
Diana lalu mendekatkan dildo itu ke wajahnya.
“Mama tantang kamu jilatin ini.”
“Apa?”
“Kamu dengar tadi, jilatin aja, gak usah yang lain. Inget aja ini barusan dari mana, jangan bayangin bentuknya.”
Dana terlihat ragu. Namun akhirnya Dana mengambil dildo itu dari tangan mamanya. Dana mulai mendekatkan dildo itu ke mulutnya.
“Papamu dulu suka banget rasanya.”
Meski masih terlihat ragu, namun Dana menjulurkan lidah sambil menutup matanya.
“Okelah.”
Dana lalu duduk di kasur, tangan kanannya memegang dildo sambil menjilatinya sementara tangan kirinya kini menyentuh kontol dan mulai mengocoknya. Hanya sebentar, namun kocokan itu mampu membuat lahar panas menyembur dari kontolnya. Lahar itu membasahi perut Dana sendiri. Dana pun merebahkan dirinya di kasur.
Melihat anaknya berbaring di sebelah dengan perut penuh pejunya membuat Diana membungkuk dan mencolek peju anaknya dengan tangannya. Tangan berpeju itu lalu dihisapnya hingga bersih.
“Mmmhhh… rasanya beda sama rasa papamu.”
Mereka berdua lalu menapa kamera yang masih merekam. Diana menyeringai sambil menatap anaknya.
“Mau buat salinannya untuk pelayan kita gak?”
Diana tertawa menyadari anaknya terkejut. Diana lalu bangkit menuju kamar mandi.
“Pingin tau selanjutnya? Mainkan aja imajinasimu.” Kata Diana sambil menutup kamar mandinya.
Dana hanya berbaring sambil menyeringai. Mencoba berimajinasi.
Dana sedang duduk di dapur sambil memperhatikan mamanya mencuci piring. Pantat mamanya terbungkus celana dalam hijau. Dana bertanya – tanya, mengapa mama memakai cd? Namun setelah kira – kira sepenanak nasi, Dana baru menyadarinya. Ternyata mamanya sedang datang bulan.
“Gimana ini mah? Kalau lagi datang bulan trus kita mau ngapain?”
“Kamu sih enak gak terganggu masalah kayak gini.”
Tok … tok …
“Kamu pesen makanan lagi?”
“Enggak mah. Gak pesen apa – apa kok.”
Diana bergegas ke kamarnya untuk memakai pakaian sementara anaknya menuju pintu untuk membukanya.
Tak lama kemudian, Dana muncul di dapur bersana Dewi dan Yanti. Di dapur sudah ada Diana yang hanya berkaos saja. Dengan celana dalam tentu.
Dana tersenyum melihat mamanya, “Dana pergi dulu mah.”
Dewi dan Yanti lalu duduk di kursi sambil memperhatikan penampilan Diana yang bersender ke wastafel.
“Lu liat kan, Anaklu bahkan gak merhatiin lu.”
“Emang kenapa?”
“Kalag gw pake baju kayak gitu di rumah, udah dipelototin terus sama anak gw.”
“Lho, emang gw telanjang. Lagian gak bakalan ada yang tau gw pake cd apa.”
“Ijo,” kata Dewi dan Yanti berbarengan.
Diana hanya menggelengkan kepala mendengarnya.
“Seenggaknya gw pake baju. Lu kira gw telanjang sambil joget – joget depan anak gw.”
“Tiap anak laki pasti ngintipin emaknya. Tapi anaklu malah cuek aja. Gak normal tau.”
“Lo kira anak kita homo apa?”
“Gw pernah nemuin film porno di komputernya si cipto.”
“Iya bener, anak gw juga gitu.”
“Udahlah, kok malah ngomong yang aneh – aneh sih. Mau ngapain sih lu lu pada ke sini?”
“Oh iya, kok jadi ngelantur gini. Kita – kita mo minta maaf kemarin kemarin udah agak neken lu.”
“Gak apa apa lagi. Gw udah biasa.”
“Hehe…”
“Trus gw udah maksa lu ngajak si cipto liburan juga.”
“Gak apa – apa. Biar si Dana seneng ada temennya. Daripada cuma sama gw, emaknya, mana udah tua lagi.”
“Eh, bay de wey baswey, keberatan gak kalo sekalian ajak si dewo. Dia denger si cipto diajak makanya dia pingin ikut.”
“Duh, ngasuh tiga anak cowok saat liburan. Setua gini masih ngasuh juga,” kata Diana sambil menggosokkan kedua telapak tangannya. Namun Diana berhenti saat melihat wajah Dewi yang terlihat gugup.
“Lu kira gw mau ngapain?”
“Ya, biasa. Kayak lu yang dulu.”
“Emangnya gw pernah nyelingkuhi David?”
“David udah al – marhum sayang.”
“Nah, sebelum gw nemuin yang baru, gw gak kan buka toko dulu.”
“Tapi, apa lu gak terpesona liburan sambil ditemenin tiga pemuda?”
“Anak – anak. Bukan pria yang bakal gw temenin hingga akhir hayat. Lagian mereka kan anak kita.”
“Anak laki. Bukannya laki. Lagian, kalau lu kira bakal kayak gitu, mending kagak usah libur aja sekalian…”
“Segila apapun kita dulu, dan atau sekarang, gw tau lu gak pernah main sama laki kita bertiga. Gw tau gw bisa mercayain anak gw ke lu. Tapi, delapan tahun gak ngapa – ngapain; hormon lu pasti berontak. Gw cuman cemas lu akhirnya memuntahkan semua lahar yang terpendam selama bertahun – tahun itu, dengan sengaja maupun tidak.”
“Gak usah khawatir. Delapan tahun gw bisa nahan, delapan tahun lagi gw juga bakal mampu nahan.”
“Maaf deh gw malah ngomong yang aneh – aneh. Gw percaya, bahkan gw sayang sama lu. Hanya saja, setelah delapan tahun lu kembali normal lagi. Maafin gw ya.”
“Iya, gw ngerti. Gw paham kalau lu khawatir sama anak lu. Tapi kalau lu gak yakin gak usah izinin anaklu ikut aja.”
“Bisa – bisa dia puasa ngomong sama gw.”
“Lu yakin?”
“Apa, gak mau ngomong sama gw?”
Para wanita lalu tertawa meski pertanyaan yang dilontarkan tidak mendapat jawaban.
“Jadi gw tinggal siapin agar dewo bisa ikut?”
“Ya udah, gw cabut dulu ya.” Yanti pun bangkit, pamit lalu meninggalkan rumah sahabatnya itu.
Diana akan melangkah saat dihentikan oleh Dewi.
“Tunggu Na.” Dewi menelan ludah.
Diana duduk di kursi sambil menatap Dewi, curiga.
“Gw gak jadi enak sama lu. Akhirnya lu kembali kayak dulu lagi. Setelah kemarin – kemarin lu kayak mayat hidup. Tapi, gw merasa lu jadi tertutup. Padahal ini gw, temen deket lu selama ini. Ada apa sih?”
Diana tak segera berujar, namun terus menatap Dewi. Dewi merasakan kegugupan yang coba disembunyikan oleh Diana.
“Terus, selama delapan tahun ini, apa lu ga berubah?”
“Gw merasa bosan. Begitu bosannya hingga kadang terlintas di benak untuk ngerjain si dewo dengan ngajak dia maen kartu.”
“Terus, kenapa lu gak ajak?”
“Apa?”
“Dewi yang dulu pasti bakal merasa tertantang.”
“Tapi, dia anak gw.”
“Berkelamin lelaki. Udah gede. Lagian ngajakin maen kartu gak berarti berujung pada seks. Sekali lagi, Dewi yang dulu pasti udah tertantang. Sejauh mana sih perubahan lu?”
“Emang si Dana lu apain?”
“Selama delapan tahun gw gak ngapa – ngapain anak gw.” Diana menghentikan ucapan lalu menatap mata Dewi dalam diam. “Tapi kini, hanya dalam sekejap.”
“Serius lu?”
“Apa lu yakin mau kembali jadi Dewi yang dulu lagi?”
“Maksud lu?”
“Ada sesuatu yang mesti gw katakan. Gw paham jika sehabis lu dengerin cerita gw, mungkin lu bakal jijik, bahkan lu bakal gak mau lagi kenal gw. Keluarga gw. Mungkin juga lu bakalan ngelarang Dewo agar tak berhubungan lagi dengan keluarga gw.”
“Gak mungkin.”
Diana kembali menatap Dewi sebelum melanjutkan percakapan. “ Menjelang senja nih. Lu ada kegiatan ntar sampai malem?”
“Gak juga sih. Laki sama anak gw gak ngomong apa – apa. Emang mau sampe jam berapa?”
“Kira – kira jam sepuluhan lah…”
Dewi lalu memiankan hp untuk memberitahu keluarganya. Diana menghilang dari pandangan Dewi untuk muncul lagi beberapa saat kemudian, lalu duduk di meja dapur.
“Kenapa lu mau kembali jadi Dewi yang dulu lagi. Apa lu gak bahagia sama hidup lu yang sekarang?”
Dewi berpikir sejenak. “Gw masih cinta ama laki gw. Ama keluarga gw. Gw gak pernah lupa hubungan gw dulu sama laki gw, tapi kini serasa hambar. Apalagi laki makin sibuk sama kerjaannya.”
Tiba – tiba muncul Dana menghampiri mereka. “He bu Dewi, bu Yantinya ke mana? Udah sepuluh menit nih mah, ada apa sih?”
“Duduk nak. Bu Yanti udah pulang. Tinggal kita aja. Bu Dewi sangat suka main kartu. Tapi mama ragu apa Bu Dewi mau main malam ini. Jadi kalau Bu Dewi gak mau main, mama bisa ngajakin kamu main, berdua aja.” Selesai berbicara lalu Diana meletakan satu pak kartu di meja.
“Apa?” teriak Dewi terjekut.
“Hah?” Dana tak kalah terkejut.
“Lu mau kembali kayak dulu? Inilah caranya.” Kata Diana sambil mendekatkan kartu ke arah Dewi.
Dewi memandang Diana. Memandang Dana. Memandang kartu. Diana hanya menyeringai saat dipandang sahabatnya itu.
“Dijamin lu gakkan merasa bosan.”
“Main kartu trus ngapain mah?”
“Biasa. Tapi kalau ada yang kalah, mesti lepas pakaian satu – satu hingga habis.”
“Tapi mama kan cuma pake daster doang.”
“Iya, kalau daster mama lepas, yang menang boleh nanya apa saja.”
“Siaplah. Dana ikut main deh.”
“Lu penasaran sama perubahan gw kan Wi, nah lu punya kesempatan.”
“Kalian pernah main gini sebelumnya?” Dewi bertanya sambil menatap Diana dan Dana bolak – balik.
“Main kartu sih iya. Tapi main kartu. UDah, ntar aja lagi gw jawab kalo lu menang.”
“Jangan sampai Dewo tau tentang ini,” kata Dewi sambil meraih kartu.
“Terserah lu itu mah, karena gw sama anak gw gak kan pernah bilang.”
“Lu yakin Dana gak kan ngomong?”
“Gw percaya anak gw. Apalagi anak gw udah bisa megang rahasia selama ini.”
“Maksudlu?”
“Lu mau tau jawabnya?”
“Kamu udah gede kan?” Tanya Dewi kepada Dana.
“Baiknya saya bawa ktp dulu.” Dana mulai bangkit dari kursinya.
“Jangan sampai dia ke kamar, bisa – bisa pake jaket tiga lapis.”
“Kan belajar dari ahlinya.”
“Apa, kamu belajar dari ibumu? Benar – benar sial.”
“Tenang aja. Bisa jadi kita yang kalah.”
“Jangan banyak ngobrol, Dana mesti sekolah besok.”
Kartu pun dikocok, lalu dibagikan. Ternyata Diana menang, Dana yang kalah. Dana melepas kaosnya.
Putaran selanjutnya Dewi yang kalah. Dewi melirik Diana, lalu melirik Dana. Setelah itu Dewi melepas kaosnya. Terlihatlah bh hitamnya, meski tidak seperti bh hitam tante denok, namun terlihat menantang bagi Dana.
“Sip…” Diana bertepuk tangan.
“Ya… ya…” Kata Dewi sambil mengambil lalu mengocok kartu. “Fokus nak. Mamamu mesti dikalahkan.” Kata Dana sambil menatap Dewi.
“Iya bu.”
Ternyata Dana kalah. Dia pun melepas singletnya. Dewi menatap dada Dana yang telanjang.
“Jangan – jangan kartunya sudah diatur nih,” celoteh Dana.
“Tentu tidak. Ini bukti kalau perempuan lebih pintar.” Kata Dewi sambil memperbaiki posisi bhnya.
Diana kalah juga. “Kita lihat apakah ada perubahan setelah delapan tahun,” kata Dewi.
Diana melepas kaos lalu melemparnya ke lantai.
“Agak gemukan kayaknya,” kata Dewi sambil melihat Dana. Dana sedang menyeringai ke mamanya. “Gw tahu. Dana udah melihat tubuh itu. Matanya gak begitu terkejut.”
“Baik, Dana udah melihat wanita telanjang. Besok Dana mesti sekolah, jadi selamat malam.”
“Kalau kamu pergi berarti liburan pun gak jadi.”
“Bener, jika masih mau main sama Dewo. Lagian, tante udah sering liat mamamu telanjang. Jadi biasa aja tuh.”
Dana terpaksa duduk lagi.
Putaran berikutnya Dewi menang, Diana kalah. Karena Diana tak bisa melepas cd, jadi Dewi berhak bertanya dan Diana mesti menjawab. “Kapan Dana pertama kali liat tubuhlu?”
“Hehe… kita kadang mandi bareng. Ya… setelah tiga kali mungkin…”
“Oh tuhan, Omong kosong.”
“Kan lu yang nanya.”
“Parah…”
Berikutnya Dana menang, yang kalah masih Diana.
“Benar kata bu Dewi, omong kosong. Jawab aja yang jujur mah!”
“Baiklah. Dia liat kira – kira satu setengah atau dua bulan ke belakang.”
“Nah, lebih masuk akal jawabannya. Gimana awalnya?”
“Itu jawaban buat pemenang berikutnya…”
Putaran berikutnya kembali Diana kalah.
“Sampai mana tadi, oh ya, gimana awalnya?”
“Lu inget gak saat lu nanya kenapa anak gw jadi pinter. Nah, waktu itu jawabannya ngarang. Kamu mau jelasin Nak?” kata Diana sambil menatap anaknya.
“Saat itu Dana gak mau kuliah. Namun mama janji kalau Dana mau kuliah dan nilai Dana membaik, mama bakalan telanjang di rumah jika hanya berdua .”
“Gak mungkin. Gila…”
“Dia lupa bilang, selain gak boleh cerita sama siapa pun juga gak boleh sentuh.”
“Bercanda ah. Eh, tapi, itu kelakuanlu delapan tahun silam. Liar dan nakal.” Dewi bolak – balik menatap Diana dan Dana. “Benar - benar liar, nakal. Kasihan anak lu, bisa liat gak bisa nyentuh. Terus – terus …”
“Ya kasihan juga. Tapi dia berhasil bikin gw lakuin hal – hal gila lainnya. Bener – bener persis bapaknya…”
“Ceritain dong.”
“Ntar kalau lu menang lagi.”
Namun putaran berikutnya Dewi kalah, hingga terpaksa melepas celananya.
“Liat nak, apa cdnya selaras dengan bhnya?” kata Diana menatap anaknya.
“Iya mah.”
“Kalian ibu dan anak sama – sama gila.”
“Bentar, gw ke kamar mandi dulu.” Kata Diana lalu bangkit.
“Jadi kamu liat mamamu telanjang selama dua bulan ini nak?” Dewi menatap Dana penasaran.
“Iya.”
“Mamamu seksi sih.”
“Ah, bu Dewi juga seksi lho,” Dana mulai mencoba peruntungan, sambil belajar SSI.
“Makasih nak. Tante tau kamu bilang gitu agar bisa liat tante telajang, seperti mamamu.”
“Gak gitu. Ini rahasia tante, tapi kami, Dewo dan Cipto, sering ngobrolin siapa mama paling seksi.”
“Begitu ya? Tapi mamamu belum tua – tua amat.”
“Gak juga. Sebelum perjanjian, mama terlihat tanpa gairah. Pucat dan terlihat tua. Namun beberapa hari ini, mama terlihat bersemangat.”
“Tante percaya. Tapi apa kalian senang menjalaninya?”
“Memang godaan untuk menyentuh, bahkan merengkuh tubuh mama selalu datang melanda. Tapi Dana berusaha patuh.”
“Jadi bener – bener tanpa kontak fisik? Wow.”
“Tentu. Lagian ini kan mama Dana. Dana juga menyayangi mama.”
Diana kembali, lalu menatap mereka. “Masih pada berpakaian, bagus.”
“Dana juga mau ke kamar mandi.” Katanya sambil bangkit.
“Jadi, gimana meunurut lu?”
“Gw gak tau mesti mikir apa. Tapi udah lama rasanya gak ngerasain nih perut berkenyut – kenyut seperti sekarang ini.”
“Nah, itu. Beberapa hari terakhir denang Dana membuat perut gw seakan kembali diaduk. Luar dari pada biasa,” kata Diana sambil memutar jemari di perutnya.
“Kenapa gak ngelangkah lebih lagi?”
“Ya jelas dia anak gw. Tentu gak bisa jadi suami gw. Dana mesti nikmatin hidupnya, raih pengalaman sebanyak mungkin. Biar bisa jadi laki fearless… Tentu semua itu gak bisa dia raih jika sama gw. Lagian, dia belum cukup pengalaman buat bisa nafkahin gw, terutama nafkah lahir.”
“Lu ngomong apa sih? Maksud gw seks, ngewe. Bukan yang lainnya.”
“Bagi gw, seks bukan sekedar ngewe. Mesti spesial.”
“Bener – bener Diana yang dulu. Liar, nakal, brutal membuat semua orang menjadi gempar. Anehnya gak mau ngewe selain sama laki lu dulu.”
“Nah, itu maksud gw, mesti liar, tapi apa lu sanggup ngewe siapa aja? Mesti banyak pertimbangan. Jangan sampai pada akhirnya cukup bilang ‘saya prihatin.’”
“Nyindir gw lu yah? Itu sih udah lama banget.”
“Meski gitu, si Yanti gak pernah berubah. Malah gw rasa jadi agak ada jarak dia sekarang ini.”
“Dia bener – bener rindu lu yang dulu. Gw akuin itu.”
“Ya mau gimana lagi.”
“Gimana rasanya telanjang di hadapan anaklu?”
“Rasanya gw dulu terlalu sibuk di dapur, hingga akhirnya begitu.”
“Begitu gimana mah?” kata Dana sambil melangkah masuk.
“Kamu ada di sini?” tatap Dewi ke Dana.
“Jangan dibiasakan menguping percakapan orang, gak baik.” Kata Diana sambil memukul tangan anaknya.
Dewi menatap Dana, “Kamu benar – benar anak mamamu.” Lalu menatap Diana, “Tapi gw cemburu, kalian jadi begitu dekat. Gak ada jarak.”
Diana menarik anaknya lalu memeluknya. “Ya, gimana lagi. Gw cinta banget anak gw. Meski nakalnya bukan main.”
“Duh, sekali lagi. Pelukan ini malah membuat tersiksa.”
Diana melepas anaknya, lalu melihat dadanya. “Mau gimana lagi …” Kini Diana menatap Dewi, “Kamu tau nak, malam ini bukan hanya mama yang bisa membuatmu tersiksa.”
“Benar mah, bentar lagi bu Dewi pasti telanjang.”
“Sebelum tante juga pasti kamu duluan.” Kata Dewi sambil mengocok botol, ngocok kartu.
“Kok pada ngobrol cabul di tempat gw.”
Mereka memainkan kartu. Berkonsentrasi agar tidak kalah. Namun akhirnya celana Dana yang lepas. Otomatis Dana hanya tinggal memakai cd nya.
“Nah, bentar lagi ketemu sama temen kecil mama.”
“Udah Dana bilang gak perlu pake temen kecil segala. Kayaknya Dana mesti terapi atau apalah – apalah.”
“Gak usah sok ngomongin harga diri. Coba ingat, berapa orang temanmu sekarang yang lagi sama wanita telanjang.”
“Jadi inget, lu pernah liat anaklu telanjang gak?”
“Kalahin gw dulu dong.”
“Udah, sini kartunya.” Kata Dana sambil mengambil kartu lalu mengocoknya.
Kali ini Dewi kalah.
“Hahaha… lepas lagi nih.” Diana bertepuk tangan.
“Haha… lu mesti malu sama diri lu.” Kata Dewi sambil meraih punggungnya sendiri. Dewi tersipu malu melihat mata Dana yang menapat tubuhnya. Dewi melepas bh dan melemparkanya ke dekat Diana yang sedang berseringai. “Gw muak liat seringai lu.”
“Hati – hati, kalau lu banyak gerak, bakal bikin susulu naik turun. Kasiah si Dana.”
Namun, Dewi malah meletakan tangan di bawah susunya, lalu mengguncang – guncang susunya dengan tangannya sendiri, “nih, biar makin tersiksa.”
Dana hanya bisa melihat sambil menelan ludah. Diana dan Dewi hanya tertawa. Pada putaran berikutnya, Dana kalah.
Dana berdiri, “jangan sampai Dewo dengar tentang ini.” Dana melepas cdnya. DI wajahnya terlihat betapa ia malu. Kontolnya sudah agak tegang. Setelah telanjang, Dana kembali duduk.
“Salut tante, kamu udah Dewasa,” kata Dewi menatap Dana sambil tersenyum.
“Iya makasih.”
Tiba – tiba telepon berbunyi. Diana bangkit dan meraihnya. “Wi, ini dari Widia nih.”
Dewi pun bangkit. Saat berjalan, susunya memantul bergerak liar.
“Duh, gw inget baju basket si Widia belum di cuci.”
“Lu sengaja ya rencanain bilang gitu.”
“Sengaja? Gw malah pingin tanding ulang lagi minggu depan. Juga, Dana…”
Dana telah membawa pakaiannya dan akan ke kamarnya saat dia dipanggil. Dana lalu berbalik.
Dewi meraih cdnya, lalu menurukan hingga lepas. “Jangan dengarkan kata – kata mamamu.” Dewi berdiri dengan tangan di pinggulnya.
Dana melongo melihat sahabat mamanya berdiri telanjang di hadapannya. “Makasih tante, tenang saja, Dana takkan dengar ucapan mama kok.” Setelah itu Dana melihat Dewi mulai memungut pakaiannya dan memakainya kembali.
Diana kembali memakai pakaian, lalu ke pintu mengantar Dewi. Dewi lalu berbalik dan memeluk Diana.
“Makasih. Abis gw cuci baju Widia, si Jefri gak bakalan tau apa yang ntar terjadi.”
Diana tertawa hingga Dewi hilang dari pandangannya.
“Yes” Diana berteriak sambil bergoyang. Di tangannya tergenggam remot wii. Goyangan tubuhnya membuat kedua susunya yang basah dipenuhi peluh berguncang tak mau diam.
Dana menjatuhkan diri ke sofa hitam di belakang mereka. Kepalanya menunduk sambil duduk.
Diana membungkuk menyentuh jemari kaki sambil melemaskan perut dan ototnya. Sedang di belakangnya, anaknya sedang disuguhi pemandangan indah, berupa pantat montoknya yang ditutupi celana biru muda. Namun, dari sela kakinya Diana melihat anaknya hanya melempar remot wii dan menyandarkan kepala ke sofa.
Pun Diana mendekati anaknya lalu ikut bersandar di sebelahnya.
“Ada apa sih? Tumben cuekin pantat mama.”
“Entahlah mah. Rasanya kesal banget nih.?”
“Kesal kenapa?”
“Bener mama mau tau?”
“Iya dong sayang,” kata Diana sambil melingkarkan lengannya di bahu anaknya.
“Dana seneng mau liburan sama mama, juga sambil ngajakin temen. Tapi di sisi lain, Dana merasa gak seneng juga temen Dana ikut.”
Semakin hari Diana merasa anaknya semakin Dewasa, semakin berpandangan terbuka. Kesepakatan ini sepertinya hal yang sangat disukuri Diana.
“Kok gitu?”
“Mama kan mama kandung Dana. Akhir – akhir ini Dana bener – bener seneng main sama mama. Tapi, tentu ini gakkan selamanya. Apa pun yang terjadi, Dana tetap anak mama, gak akan pernah jadi pria, atau bahkan suami mama. Tapi tentu teman Dana gak akan seperti Dana. Apalagi saat kita liburan nanti.”
“Emang kamu mau mulai ngerayu mama ntar pas liburan?”
“Ya enggak dong. Dana juga kan tau batas. Meski kadang tak kenal kompromi, keras hati dan setegar besi. Cuma, Dana akui, dan juga meski sama – sama kita akui, rasanya sangat berat dilarang menyentuh apalagi membicarakannya kepada seseorang. Meski kini bu Dewi tahu, tapi itu kan temen mama.”
“Memang kenapa? Hanya karena mama bisa dengan mudah hidup tanpa sehelai benang di sini, bukan berarti di tempat lain juga sama. Lagian, tubuh ini telah mengalami pelbagai macam cobaan hidup. Tubuh mama kini tak seindah tubuh mama yang dulu.”
“Omong kosong. Justru mama sangat seksi. Coba perhatikan. Tiap kali kita jalan, pasti banyak mata lelaki menatap mama. Apalagi temen Dana pasti juga suka.”
“Kamu mau mama batalin ngajak temenmu gak?”
“Entahlah. Kalau batal ngajak mereka, mungkin Dana jadi bakal terlihat brengsek di mata mereka. Tapi kalau jadi, mungkin bisa memulai ke hal – hal lain.”
Hening. Keduanya menghela nafas berbarengan meski tak pernah membuat janji. Menyadari itu keduanya pun saling menatap.
“Gimana semalam, kamu seneng kan liat dua wanita telanjang?”
“Yang satu sih gak telanjang. Apa bu Dewi bener – bener pingin ngulang lagi?”
Diana memukul anaknya, “Kamu gak pernah puas ya?”
“Dana hanya gak enak sama Dewo,” kata Dana sambil menunduk.
“Tinggal kamu pikir aja sama Dewi. Memang gak enak nutupin sesuatu dari seseorang. Bahkan pada titik tertentu, bisa membuat seseorang kecewa dan atau marah. Meski kamu tak bisa disebut curang. Mending kamu biarkan bu Dewi menanganginya. Lagian, dia lebih paham hal ginian disbanding kamu. Mama yakin kalau memang sudah pada waktunya, dia bakal memberi tahu Dewo. Tinggal kamu siapin aja mentalmu setelah Dewo tahu. Siapa tahu dia malah bersyukur.”
“Main kartu lagi, cuma ditambah Dewo. Dana sih seneng, kecuali liat Dewo telanjang. Najis tralala…”
“Mama yakin bu Dewi juga bakalan kembali seperti dulu. Kayak mamamu ini.”
“Maksud bu Dewi tentang ganti pasangan tuh apaan sih mah?”
“Ya beberapa pasangan bersetubuh bersama, kadang saling berbagi pasangan. Namanya swinger.”
“Emang di sekitaran kita ada mah?”
“Iya dong. Kami kadang melakukannya. Anggap saja hiburan orang dewasa.”
“Trus kira – kira ke depan bakal ngelakuin kayak gitu lagi gak?”
“Mama ragu. Kita gak semuda kayak dulu lagi. Sekarang udah pada sibuk sama keluarga masing – masing. Mama kira kamu hanya akan melihat hal kayak semalam aja, serta yang kita sering lakuin.”
“Kalau bu Yanti gimana mah?”
“Haha… Kamu gak puas ya cuma liat dua wanita…”
“Gaya hidup dia udah bikin dia bahagia. Mama ragu dia mau ngikuti mama sama Dewi. Dewi sama Jefri mungkin saja bisa diajak tukar pasangan. Kalau sampai terjadi, emang kamu mau?”
“Apa? Dana sama bu Dewi? Entahlah mah, bisa – bisa Dana dimutilasi Dewo. Tapi tak mungkin, ku tak berdaya, hanya mampu menunggu jawabnya.”
“Mari berandai – andai. Kita anggap tiada yang namanya Dewo. Setau mama, Dewi bahkan kemungkinan besar gak keberatan.”
“Entahlah mah, aneh juga kalau Dana pikir. Terlalu ganjil. Bu Dewi memang masih menarik, tapi rasanya pasti aneh. Mungkin juga mama bakalan marah, iya kan?”
“Pertanyaan yang bagus. Yang pasti mama gakkan cemburu. Mama masih menunggu seseorang yang tepat untuk mengisi hidup mama. Mumpung kamu masih perjaka, sebaiknya wanita yang bakal jadi istrimulah yang jadi yang pertama dan satu –satunya bagimu. Biar lebih intim. Itulah alasannya mama sama ayahmu tak pernah berbagi pasangan. Meski ayahmu bukanlah yang pertama, tapi dialah satu – satunya lelaki mama. Tapi kalau kamu memang mau sama bu Dewi, mama takkan melarang kamu. Bukan juga berarti mama menyuruh kamu. Mesti kamu ingat, dia itu masih punya suami juga ibu dari temenmu. Meski kamu pikirkan Dewo jika kamu ingin pertemanan abadi.”
“Itulah yang bikin Dana bingung.”
“Mama bangga sama kamu nak. Apa yang telah kita lalui kamu lakukan tanpa melanggar aturan awal kita.”
Tangan Diana kini bergerak membuat anaknya kini berada dalam pelukannya. Namun setelah beberapa saat, anaknya berontak hingga pelukan itu pun lepas.
Diana menatapnya.
“Dana juga normal mah. Dana gak bisa lama – lama bersentuhan sama susu kembar mama tanpa didinginkan dulu. Mandi misalnya.”
Dana tertawa mendengar penjelasan anaknya lalu menatap payudaranya sendiri. Meski tidak besar, namun terlihat pas proporsional. Sambil melihat putingnya, Diana melirik benjolan di celana anaknya yang baru saja disadarinya kini muncul.
“Nih special buat kamu lihat,’ kata Diana sambil mengangkat susu dengan tangannya lalu mengarahkannya ke anaknya. “Emang kamu rela berbagi pemandangan ini ntar?”
“Udah ah. Mending maen lagi yuk.”
Keduanya bangkit lalu mengambil remot wii masing – masing. Keduanya kembali bermain voli sambil jingkrak – jingkrak.
Namun Dana terus kehilangan point karena matanya tak bisa berkonsentrasi. Mata muda itu terpecah perhatiannya antara boli voli di monitor dengan bola daging di dada mamanya yang berkilauan karena penuh peluh bercucuran. Diana tahu anaknya sedang memperhatikannya. Namun, bukannya risih, Diana malah sengaja bergerak kian kemari supaya susunya ikut bergerak – gerak.
Pertandingan menjelang detik – detik terakhir. Saat Dana akan melakukan upaya terakhir, tiba – tiba mamanya memanggil membuat Dana menoleh. Saat Dana menoleh, terlihat mamanya sedang nungging dimana celana dalamnya melorot sebatas lutut sehingga nampaklah pantat mamanya yang basah oleh keringat itu bergerak – gerak ke kiri kanan sambil bergoyang. Disuguhi pemandangan seperti itu maka buyarlah sudah konstentrasi Dana.
“Yes, mama menang lagi,” teriak Diana kegirangan sambil menggoyangkan pantatnya.
“Mama doyan bener nampilin asset mama. Bikin Dana mesti kerja keras nih di kamar,” kata Dana sambil melangkah meninggalkan mamanya.
“Tunggu nak.”
Dana menghentikan langkah lalu berbalik menatap mamanya.
“Mama paham betapa kerasnya,” kata Diana sambil menatap gundukan yang tiba – tiba muncul di celana anaknya, “kamu mencoba menahan diri. Mama tahu kamu gak mau melewati batas perjanjian ini, baik itu perjanjian lama maupun perjanjian baru, apalagi melewati batas cakrawala. Tapi mama justru bangga dengan sikapmu yang tak kenal kompromi, keras hati dan setegar besi.”
Diana menghentikan dulu ocehannya sebentar, nampak berhati – hati sebelum memulai lagi.
“Maka, atas dasar keteguhanmu itu membuat mama ingin memberi hadiah. Suatu hadiah yang secara teknis tidak melanggar atau bahkan menembus batas – batas yang telah kita sepakati bersama. Kalau kamu mau, kamu boleh mengolah ragakan tanganmu di sini sambil melihat mama yang mencoba memberi inspirasi.”
Setelah berkata – kata, Diana lalu membalikan badan hingga membelakangi anaknya. Setelah itu tangannya mengelus – elus pantat dan sesekali meremasnya.
Mata Dana membesar dan tangannya reflek mengelus selangkangannya yang masih terbungkus celana.
“Udah gak usah malu, lepas aja tuh celananya. Kayak mama gak pernah lihat aja,” kata Diana sambil terus meremas pantat. Namun kini tangan kanan Diana mulai bergerak ke arah susunya dan terus bermain di situ sementara tangan kirinya tetap di pantatnya.
Dana menggeleng sambil melepas celananya hingga nampaklah teman kecil mamanya itu.
Diana menatap kontol anaknya lalu berlutut di depannya. Dana terlihat sekali ingin menyentuh tubuh mamanya namun berusaha semaksimal mungkin untuk tidak melakukannya.
“Dasar kamu nakal. Sekarang hadiah yang tadi mama janjikan. Ingat gak kesepakatan kita. Kamu sama sekali gak boleh menyentuh. Tapi gak ada poin yang melarang mama. Jadi dengan kata lain, kamu gak boleh menyentuh sedang mama boleh. Paham?”
“Enggak mah, Dana gak paham. Tapi terserah mama dah.”
“Dasar kamu kalau udah nafsu otaknya mendadak buntu. Nih liat, tangan mama gak menyentuh kamu.”
Diana lalu memengan susu kanan dengan tangan kanannya. Serta susu kiri dengan tangan kirinya. Lalu belahan susunya itu dimajukan hingga kini menempel ke kontol anaknya. Tak hanya itu, kini ditekannya susu itu hingga kontol anaknya berada di antara susunya. Setelah berada di antara susu itu, tangan Diana bergerak – gerak seolah menekan membuat kontol itu seperti diremas – remas oleh susunya.
Gosokan serta remasan susu mama pada kontolnya membuat Dana serasa melayang. Meski Dana sadari dia tak pernah melayang. Ingin tangan Dana mengelus dan meremas rambut mamanya, namun Dana tak ingin menembus batas. Alhasil, tangan itu kini meremas rambutnya sendiri menahan kenikmatan tak tertahankan yang dihadiahkan mama kepadanya.
Diana terlihat bersemangat saat memainkan kontol anaknya dengan susunya. Suara anaknya makin tak jelas namun nalurinya sebagai seorang ibu membuat Diana paham bahwa anaknya akan segera orgasme. Begitu muda, begitu penuh semangat, batin Diana. Diana merasakan kontol anaknya mengejang, lalu sekejap kemudian menyemburlah lahar panas dari kontol anaknya yang langsung mendarat di rambut serta pipinya. Namun di saat – saat akhir lahar itu mengalir pelan dari kontol hingga membasahi susunya.
Diana mundur sedikit hingga lepaslah kontol anaknya dari susunya. Diana menyentuh peju anaknya lalu meratakannya hingga seluruh susunya terolesi. Diana agak lama mengusap – usap putingnya. Diana lalu menyeka peju yang ada di pipi dan rambutnya dengan jemari. Setelah jemari itu dipenuhi peju, jemari itu lantas dijilatinya hingga bersih.
“Mama suka banget ya peju Dana?”
Diana menatap kontol anaknya yang masih bergetar. Diana lalu kembali membungkuk mendekatkan kepalanya ke kontol anaknya. Diana lalu menjilat kontol anaknya sebentar lalu menatap anaknya.
“Yah, kamu orang ketiga yang pernah mama cicipi rasanya tapi, mama ya suka aja.”
Kontol Dana tekejut hingga kembali tegang dibuatnya setelah mendapat kejutan jilatan meski hanya sekejut saja.
Akhirnya Diana menyenderkan tubuh ke sofa sambil melihat kontol anaknya yang kembali tegang dan berkedut – kedut. Diana lalu memberi ciuman lembut di bibir anaknya. Setelah itu Diana bangkit menuju kamarnya.
“Udah ah mama mau mandi dulu. Ntar mau ngumpul sama temen mama. Kalau kamu belum puas, lanjutin aja sendiri.”
Mamanya pun hilang dari pandangan. Kini pandangan itu beralih ke kontolnya sendiri. Dana langsung duduk di sofa.
Hm… Meski hanya berdua dengan mama, namun sepertinya takkan sampai bosan hidup.
***
“Gimana penampilan mama?” kata Diana sambil berdiri di pintu kamar anaknya.
“Tergantung. Kalau mama ingin menggaet lelaki, pasti banyak yang tertarik sama penampilan mama. Tapi kalau mau ngumpul sama temen, mungkin ya biasa aja.”
“Tapi kan mama hanya pake blus dan jin,” kata Diana sambil melihat tubuhnya yang berbalut blus dan celana jin.
“Kalau pake jaket tambah cantik deh.”
“Dasar kamu. Eh, lagi liat apa tuh?”
Dana menggeser tubuhnya sehingga mamanya bisa melihat dirinya sendiri di monitor sedang masturbasi.
“Kok kamu gak bosen sih nonton gituan terus?”
“Bosan? Liat mama kayak gini? Tentu tidak.”
“Ntar malam kamu mau ngapain?” Diana berjalan dan duduk di kasur.
“Munkin maen sama temen mah, kan mama juga mau ngumpul sama temen mama. Makan mungkin, kan Dana gak bisa masak. ”
“Kayaknya kamu mesti nikah sama yang pintar masak dan suka beres – beres.” Diana diam saat menatap adegan kursinya penuh dengan baby oil di monitor. “Bahkan gak keberatan sering beres – beres.”
“Lho, itu kan ulah mama, bukan Dana.”
“Ya selama kamu mau bantu beres – beres, mama gak keberatan bikin ulah lagi.”
“Besok Dana gak ada acara mah.”
Diana tertawa mendengarnya.
“Ya udah. Selamat bersenang – senang mah,” kata Dana sambil menepuk pantat mamanya.
#####
Beberapa saat kemudian, Dana sedang berada di jalan, di luar sebuat restoran. “Cari yang lain aja yuk!”
“Yang lain gimana? DI sini enak makanannya.”
“Lagian, pelayannya bening – bening di sini.”
Akhirnya mereka memutuskan duduk di sudut. Pelayan datang membawa menu. Ternyata yang melayani merupakan pelayan yang dulu melayani Dana dan mamanya.
“Tuan celana. Pacarnya mana?” kata pelayan kepada Dana.
Dana menatap pelayan itu, melotot sambil menggeleng.
“Eh, maaf. Saya kira teman saya.” Rupanya pelayan itu paham arti tatapan Dana. “Mau pesan apa?”
“Mau pesan no hp anda boleh?” kata Cipto bersemangat.
“Tidak boleh, maaf. Silakan dipilih, menunya ada di daftar, bukan di dada saya.” Kata pelayan sambil menatap Cipto. Setelah itu pelayan itu pergi.
“Pantes lu gak pernah punya pacar,” kata Dewo pada Cipto.
“Lu bikin masalah aja. Ntar gw ngomong dulu sama dia minta maaf.” Kata Dana sambil berdiri, lalu pergi.
Agak jauh dari mejanya, Dana mendapati pelayan itu dekat dapur.
“Makasih tadi udah bilang gitu.”
“Jadi, yang dulu binor ya? Bahaya…”
“Binor, apaan tuh?”
“Bini orang.”
“Oh, enggak dong. Dia janda.”
“Oh, kamu punya pacar, jadi kamu gak mau temenmu kasih tau ini ke pacarmu ya.”
“Gak juga. Saya masih lajang kok.”
“Trus, wanita yang kemarin?”
“Dia itu spesial. Hubungan kami memang rumit. Lagian dia gak mau mereka tahu.” Kata Dana sambil menunjuk ke mejanya.
“Jadi, biar gak ada kesalah pahaman diantara kita. Kamu punya hubungan dengan wanita cantik berumur, namun kamu gak mau temanmu tahu. Jujur saya akui saya terkesan. Biasanya cowok suka koar – koar omong kosong sama temennya. Tenang saja, saya gak akan buka mulut.
***
Cipto dan Dewo menatap Dana saat kembali.
“Gimana?”
“Gw udah minta maaf. Gw takut dia nambahi sesuatu ke makanan kita kalau gak minta maaf.”
***
Sementara itu, Diana sedang bersenang – senang di sebuah tempat hiburan malam bersama teman – temannya.
“Lu kok keliatan seneng sih, kayak Diana?” Tanya Yanti ke Dewi.
“Ya seneng dong. Kita kumpul lagi kayak dulu.”
“Hanya saja, sekarang kayaknya gakkan ada yang sampai teler,” kata Lisa.
***
“Lu ngerti gak maksudnya celana kata si pelayan?”
“Mungkin dia kira petinju.”
“Gak bakal ada yang percaya lu bisa tinju,” kata Cipto tertawa.
Dewo menunjuk pintu, menatap Dana, “Lu mau gw bawa dia keluar, biar kita tentuin siapa yang lebih jago kelahi?”
“Ntar, kalau dia ngomong aneh lagi ke cewek saat liburan ntar.”
“Bahkan, gw bisa bantuin pegangin dia nanti.”
“Gw masih gak percaya kita bakal liburan bareng. Apalagi sama mamanya Dana. Seksi bro.”
“Kayak mama lu pada jelek aja.”
“Serius, ruginya kita.” Dewo tertawa. “Lagian lu pikir, mamamu bakal bebasin kita gak?”
“Maksudlu?”
“Ya, misalnya cewek, minum. Kan lagi liburan.”
“Kayak bakal dikasih aja.”
“Gw gak tau gimana mama. Tapi kayaknya mama gakkan larang selama kita gak bikin kacau.”
Pelayan tadi mendekat dan memberi bill. Anak – anak itu mengumpulkan uang, lalu Dana pergi ke kasir. Dewo dan Cipto keluar. Setelah membayar, pelayan tadi sedang berdiri diam. Dana menghampiri. Dia melihat tag nama bertuliskan Sendi di dada pelayan itu.
“Makasih ya atas pelayanannya. Sendi ya.”
Sendi tersenyum. “Iya, sama – sama.” Sendi lalu menarik bon dari tangan Dana. Mengambil pulpen dari sakunya dan menuliskan sesuatu di bon itu.
“Jangan sampai temenmu dapat nomor ini. Kalau kapan – kapan bosen main sendirian, hubungi aja nomer ini.”
***
“Dah malem nih. Gw mesti pulang dulu.” Kata Dewi.
“Iya, setuju. Kalian sih enak gak punya laki.” Yanti menimpali.
“Ya udah, sekali lagi aja.” Kata Lisa lalu bangkit.
Rupanya Lisa memesan minuman lagi. Namun saat minuman siap, dia mengambil sesuatu dari tasnya dan memasukan ke minuman. Lisa kembali, memberikan minuman itu ke Dana. Dana langsung menelannya.
“Gw juga mau cabut ah.” Kata Diana.
Lisa panik. Lisa gak menyangkan Diana bakal langsung pulang. “Jangan dulu don Na, temenin gw dulu.”
“Lain kali aja.”
Yanti mulai membenahi pakaiannya, Dewi menatap Lisa yang kebingungan. Sedang Diana sudah mulai melangkah keluar.
“Sialan.”
“Lu kenapa sih?” tatap Dewi ke Lisa.
Lisa mengabil botol yang sudah setengah isi dari tasnya, lalu menyerahkan ke Dewi. “Gw udah kasih Diana ini. Biar dia bisa agak relaks. Eh malah pulang duluan.”
“Lu bener – bener sial ya. Sengaja lu bawa ginian? Pantes aja lu sendirian terus. Lu bener – bener butuh bantuan. Gw cabut dulu.”
Dewi ingat, Diana akan pulang. Dewi tahu kesepakatan mereka. Kini Dewi juga tahu Diana sedang dibawah pengaruh sesuatu. “Sial. Kacau.” Bisiknya.
***
Dana menutup telepon saat mendengar pintu dibuka.
“Gimana acaramu nak?” kata Diana berseri – seri.
“Dana dapet cewek mah. Barusan abis telepon – telponan.” Dana berhenti bicara saat melihat mamanya berjalan sempoyongan. “Mama kenapa nih? Mama mabuk ya?”
“Enggak. Mama cuma minum tiga sloki. Tapi mama merasa aneh, melayang bagaikan terbang ke awan.”
“Apa mama ditraktir minum pria?” Dana menghampiri mama dan memegangnya.
“Gak ada yang nyamperin mama. Mereka pecundang, gak kayak kamu. Mungkin mama cuma capek. Anter mama ke kamar sayang.”
Diana dibimbing anaknya ke kamar. “Makasih nak.”
Dana duduk di kasur mengamati mamanya. Diana menatap dan tersenyum. “Kamu cemas ya? Jangan khawatir, mama gak apa – apa kok.” Kata Diana sambil berputar.
“Mama bener – bener cantik.”
“Makasih sayang,” kata Diana sambil melepas pakaiannya. Kini bhnya pun dilepas. “Para wanita pasti seneng liat kamu.” Diana terus tersenyum hingga telanjang.
Diana menghampiri anaknya lalu mendorongnya hingga terlentang di kasur. Diana lalu menaiki tubuh anaknya. Lengan Dana bergetar menahan hasrat untuk menyentuh mamanya. Diana merasakan getaran tubuh anaknya.
Ibu dan anak itu tak mendengar suara pintu terbuka dan tertutup.
Dana melingkarkan tangan untuk memeluk mamanya. Dapat Dana rasakn sisa – sisa al – qohol di bibir mamanya. Dana berguling sambil tetap mencium mamanya.
“Dana sangat mencintai mama. Tapi Dana gak bisa gini. Gak sekarang.”
“Gak apa – apa nak. Mama gak teler. Mama ingin ini.” Tangan Diana mengelus tubuh anaknya yang penuh peluh.
Dana melepas pelukan dan berguling hingga berbaring di samping mamanya. Tangan Dana memegang pundak mama, lalu turun hingga mengelus – elus susu mama. Dana mendekatkan mulut lalu mencium mamanya, “sebaiknya kita bicara mah.”
“Kenapa nak?” kata Diana sambil tetap mengelus – elus tubuh anaknya.
“Apa yang kita lakukan merupakan sebuat langkah besar mah. Sebaiknya kita nikmati dulu momen ini. Mama juga dulu gak langsung gini dengan papa kan?”
Tangan Diana berhenti mengelus, “Tentu tidak. Butuh waktu lama bagi kami.” Diana tersenyum. “Mama kasih tahu rahasia ini, sebenarnya papamu bersikeras agar mama menunggu hingga kami menikah.”
Dana melihat mama mulai menangi, “Mama bener – bener rindu papamu nak.”
Dana merangkul mama hingga kepala mama berada di bahunya. Air mata mama menghangatakn bahu Dana seiring dengan isak tangisnya. Dana hanya memeluk mamanya. Saat Dana menggerakan kepala, Dana melihat Dewi sedang berdiri di ambang pintu menatap mereka.
Dewi melihat mereka dengan keprihatinan yang mendalam. Namun Dewi memutuksan untuk tidak berkata “Saya prihatin.” Dewi hanya menggeleng sambil mengacungkan jempol ke arah Dana. Setelah itu Dewi tersenyum, mundur lalu menutup pintu kamar.
Sebelum Dewi keluar dari rumah itu, Dewi menulis catatan untuk Dana. Dia menjelaskan apa yang terjadi serta merasa bangga akan sikap Dana.
Dana diam di kasur hingga mama berhenti menangis dan tertidur. Setelah itu Dana bangkit dan keluar kamar. Namun, hingga Dana ke kamarnya sendiri, Dana tak menemukan catatan yang dibuat Dewi.
***
Dana terbangung esok paginya. Beberapa saat kemudian, mama datang sambil tersenyum. “Mama baik – baik saja?”
Diana mendekati Dana. Diana memakai daster pendek sambil memegang kertas. Tangan satunya membelai rambut anaknya. Diana menatap anaknya yang khawatir akan dirinya. “Mama gak apa – apa kok. Makasih kamu udah peduli sama mama.”
Diana memutuskan untuk duduk di kasur anaknya, “kamu baca catatan bu Dewi?”
“Catatan apa? Enggak tuh mah.”
“Sepertinya semalam mama dalam pengaruh sesuatu.”
“Sebaiknya kita segera ke dokter mah.”
“Gak perlu. Dewi udah nanya Lisa. Katanya tanpa efek samping. Tidak seperti efek rumah kaca.
“Kenapa bu Lisa ngelakuin itu mah?”
“Maksudnya biar mama relaks dan bersenang – senang. Mama jadi kecewa dibuatnya.”
“Maafin Dana mah.”
“Kamu hebat nak, gak perlu minta maaf. Kamu benar – benar dewasa, lebih dewasa daripada mama. Mama bangga padamu.”
Dana melihat daster mamanya. “Tau gak mah. Mama mending pake baju kok. Kita sebaiknya gak ngelakuini ini. Liat akibatnya ke mama. Apa yang hampir mama lakuin. Memang menyenangkan, tapi harus kita hentikan sebelum menembus batas.”
Diana berdiri dan tersenyum ke anaknya. “Mama senang dengan pikiranmu. Tapi mama pake baju bukan karena itu. Mama takut Dewi masih di sini.”
Diana melepas daster hingga telanjang, lalu naik ke kasur.
“Mah?”
Diana tertawa. “Liat ekspresimu. Mama serius kok, mama udah gak dibawah pengaruh lagi. Lagian ini hampir siang. Kamu aja yang suka malem bangun.”
“Iya deh. Tapi, mama ngapain sih?”
“Kamu benar – benar luar biasa, selain papamu. Kamu selametin mama dari kemungkinan rasa bersalah. Kini mama benar – benar bisa mempercayai kamu. Kita tak lagi butuh aturan dan kesepakatan. Apa pun yang terjadi, mama yakin kamu bisa mengatasinya. Apalagi yang kita lakukan ini penuh cinta dan kepercayaan.”
Diana menatap mata anaknya dalam – dalam. “Maka dari itu, gak usah lagi ada kesepakatan.” Setelah itu Diana menindih tubuh anaknya lalu menciumnya.
Dana balas mencium. Namun kira – kira satu menit kemudian, Dana menghentikan ciumannya. “Udah dulu mah. Mama jangan marah ya, tapi Dana rasa Dana belum siap untuk seks mah. Kayaknya terlalu cepet.”
Diana menatap anaknya sambil tersenyum, “udah mama duga kamu bakal ngomong gitu. Kamu bener – bener mirip papamu. Bukan berarti kamu mesti jadi penggantinya. Kamu harus jadi diri sendiri.
Diana merebahkan kepalanya di dada Dana sambil mengusap tubuh anaknya. “Banyak hal yang bisa kita lakukan nak.”
Dana meletakan kepala di bantal sambil menikmati sensasi berbaringnya mama ditubuhnya. Dana sangat menikmati elusan tangan mama.
Pelan saja, Diana berbisik, “mama suka elusan tanganmu semalam nak.”
Dana terkejut, tangannya langsung bergerilya mencari susu mama. Setelah dapat, dieluslah susu mamanya itu. Sambil mengelus, Dana menggerakan kepala hingga kembali mencium mamanya. Kali ini lidahnya disambut lidah mama. Sedang kontolnya dielus tangan mama.
Diana merasakan anaknya mulai bergetar, maka dia hentikan ciumannya. Diana lalu menatap anaknya, “ini caranya biar kita gak mesti beres – beres lagi.” Setelah itu Diana mengangkat kepalanya hingga mendekat ke selangkangan anaknya.
Diana langsung memasukan kontol ke mulutnya sambil mengelus peler anaknya. Saat itu juga Diana merasakan semburan peju di mulut yang langsung dia telan.
Setelah itu, Diana kembali berbaring di tubuh anaknya. Kepalanya di dada hingga bisa merasakan detak jantung anaknya. “Jadi, hari ini kamu mau ngapain?”
“Gak tau mah. Tapi Dana udah gak sabar nih.”
Dana memasuki dapur. Dana melihat mamanya sedang mencuci piring dengan telanjang. Dana merasakan tubuhnya seperti dijalari perasaan hangat. Sudah sering Dana melihat mama telanjang, tapi kali ini beda. Dana melihat mama dengan peraasaan yang lain. Dengan penuh cinta.
Dana kemudian berpikir tentang pelayan dan malam penuh percakapan telepon. Dana benar – benar ingin mengenal Sendi lebih jauh lagi. Tapi kenyataan ini tak menghilangkan perasaan cinta kepada mamanya. Dana memang cinta mama, tapi Sendi, Sendi merupakan hal lain.
Dana mulai membayangkan seandainya Sendi melalukan semua yang mama lakukan. Tapi pertama – tama Dana ingin kenal dahulu.
Dana kembali memperhatikan mama. Mama bahkan bersenandung. Dana sungguh beruntung pagi ini, bahkan mama tak minta apa – apa setelah itu. Tapi Dana merasa berutang nikmat, dan ingin membalasnya. Pelan – pelan Dana mendekati mama dari belakang, lalu langsung memegang susunya.
“Aw..” Diana terkejut hingga membuat piring yang dipegangnya terjatuh.
Tangan Dana mengelus susu mama. Jemarinya pun tak lupa memainkan pentilnya. “Mmm.. Geli nak…” Kata Diana sambil memutar kepalanya lalu mencium leher anaknya. Dana lalu mengangkat tangan untuk meraih dan mengelus rambut anaknya.
Lembutnya sentuhan anaknya membuat Diana tak tahan untuk menggigit kecil leher anaknya sambil mengerang. Diana mulai menggesekkan pantatnya yang menempel pada kontol anaknya. Akhirnya Diana melepas tangan anaknya lalu berbalik menghadapnya. Diana menatap mata anaknya.
“Oh… Sudah sangat lama mama menanti. Kamu udah bikin mama kayak gini.”
Dana menyeringai. “Duduk mah di meja.”
Diana lalu duduk di meja. Dana berada diantara dua kaki mama yang terjuntai. Dana meraih kepala mama lalu menciumnya sambil meremas rambut mama. Tangan Diana pun meremas rambut anaknya. Elusan tangan Dana bermain di susu mama, lalu beranjak turun ke perutnya. Diana mengerang di sela – sela ciumannya. Hembusan nafas mama makin terasa saat Dana mulai menyentuh jembut mama. Dana merasakan kaki mama bergetar saat ia angkat dan meletakkan di bahunya. Tangan Dana kini berada di tempat yang lembab dan hangat.
“Oh.. Oh…” Nafas mama mengenai bibir Dana. Ciumanya makin liar. Tubuh merespon kenikmatan yang ia terima. Tubuh Diana bergetar saat jari anaknya mencoba memasuki memeknya. Dana merasakan kaki dan tubuh mama bergerak seirama gerakan jari di memek mama. Dana menambah satu jari lagi, hingga kini dua jari sedang bermain di memek mama. Jari – jari itu kini ditekuk ke atas. Dana juga membuka dan menutup jari – jarinya bergantian mencoba melebarkan memek mama.
“Aaaahhhh,” teriakan Diana teredam oleh mulut anaknya. Diana mengangkat tubuh hingga membuat Dana jatuh. Keduanya lalu terduduk di lantai, Diana gemetar. Kepalanya kini disandarkan di bahu anaknya.
“Dimana kamu belajar itu nak?” Diana mencium bahu anaknya.
“Dari imaji nasi dong mah.”
“Cewek yang nanti kamu ajak tidur pasti gak kan biarin kamu lepas. Makasih nak.” Diana menoleh menatap anaknya.
“Mama berhak menerimanya kok.” Dana kembali menggerakan tangan membelai punggung mama. “Gimana rasanya mah setelah bertahun – tahun?”
“Kayak disurga. Mama gak mau pindah lagi.”
Dana memeluk mama erat, “Dana gakkan kemana – mana mah.”
Diana kembali menjilati leher anaknya, “Mama sangat mencintaimu.”
Ibu dan anak itu tetap pada posisi untuk waktu yang cukup lama. Setelah itu, keduanya tertawa, merasa canggung lalu berdiri.
Telepon tiba – tiba berbunyi. Diana menyadari mata anaknya menyipit, “Semalam kamu ngomong sesuatu tentang cewek ya?” Kata Diana sambil melihat anaknya yang berlari menuju telepon.
Dana lari lalu mengangkat telepon, “Iya bu, mama gak apa – apa kok. Mah, telepon dari bu Dewi.”
Diana menatap anaknya kecewa, “Jangan kabur dulu. Mama mau dengar ceritamu.” Lalu mengambil telepon dari anaknya. “Halo… Gw normal kok. Udah gak ngefek lagi… Gak, gw gak marah… cuma kecewa… Gw jadi males liat dia… Dana… Ya dia luar biasa… Apa, lu liat? Hehehe… Gw kasih tau, perjanjian gw sama anak gw udah tamat. Gw udah yakin ama anak gw, jadi gak perlu aturan lagi. Lagian tadi gw dibikin lemes ama dia. Apa? Gak, pake jari doang. Lu mesti liat wajah dia sekarang. Apa, lu juga mau? Ah gak percaya gw. Inget Wi, gw udah kasih tau lu. Lu juga mesti cerita abisnya. Si Dana mesti cerita, kayaknya ada cewek baru nih. Ya udah, met senang – senang aja. Yu…”
Diana menutup telepon sambil tersenyum ke arah Dana. “Ada kabar baru nih. Kamu mau yang mana dulu, kabar aladin atau kabar aladin?”
Dana mengernyitkan alisnya, “kabar aladin?” Dana lalu tertawa, “kabar aladin dulu deh.” Dana kembali mengernyitkan alisnya, seperti bingung. “Kabar aladin dulu.”
“Ternyata, bukan kamu saja yang aladin beruntung.”
“Mama ngomong apaan sih mah? Aladin siapa sih?”
“Ntar sore, Dewi sama lakinya, Jefri, bakalan ngajak si Dewo main kartu, kayak kita semalam.”
Dana tertawa, “Aladin,” katanya sambil mengacungkan jempolnya.
“Kayaknya virus kita mulai menyebar.” Diana mendekati anaknya lalu memeluknya. “Sekarang cerita atau mama paksa kamu.”
“Iya deh, Dana nyerah.” Kata Dana sambil mengajak mamanya duduk di sofa.
“Wo, sini Wo.”
Dewo sedang duduk di depan monitornya. Namun bukannya senang, Dewo malah merasa jenuh. Tak ada lagi yang dapat diperbuatnya selain bengong, gak ada kerjaan. Bingung apa yang harus dia lakukan. “Beri aku uang… Beri aku uang…” Pikirnya saat suara mamanya memanggil. “Daripada terbunuh sepi…” Pikirnya sambil melangkah.
Dewo mencari sumber suara itu. Ternyata mama sedang sama ayah di meja. “Apa mah?”
“Lagi sibuk gak ?”
“Emang kenapa mah? Gak sibuk sih.” Kata Dewo sambil duduk di kursi.
“Kamu bosan gak?” mama mengedipkan sebelah mata pada ayah.
“Iya.”
“Mau main gim gak?”
Dewo menatap ayahnya. Heran karena dia tertawa.
“Widia lagi pergi, mama juga bosan sama kayak ayah. Kamu mau ikut maen kartu gak? Yang kalah mesti buka pakaian?”
Dewo terkejut, “apa?” Dewo menatap ayah dan mama bolak – balik.
“Kamu kan udah besar,” ayah akhirnya angkat suara. “Ayah denger kamu dan temenmu suka bicarain mamamu dan mama temenmu. Nah, sekarang kamu punya kesempatan. Tapi, kalau gak mau ya gak apa – apa.”
“Pasti bercanda nih.” Dewo mulai senyum.
“Mama yakin kamu bakal telanjang duluan sebelum bisa liat mama,” kata Dewi sambil mengambil kartu. Lalu mulai mengocok.
“Jangan gitu. Meski ayah seneng liat anak kita dipermalukan, tapi ayah ingin liat mama telanjang lebih dulu.” Kata ayah sambil menepuk bahu Dewo.
“Silakan berharap. Ingat aja yang, mama bisa nelanjangin si Diana sama anaknya sebelum akhirnya mama telanjang.”
“Apa?” Dewo lemas hingga menggelosor ke lantai dari kursinya. Ayah tertawa melihatnya.
“Mama lagi ngobrolin kamu. Terus Diana malah nantangin main sama anaknya.”
“Bajingan itu malah gak kasih tahu Dewo.” Dewo memukul meja.
“Jangan marah sama dia. Dia gak salah, mamanya otak dari semua ini.”
“Kacau… Bener – bener kacau…”
Ayah kembali bicara, “Bukan kacau Wo, tapi menikmati hidup. Kayak ayah dan mamamu dulu, sebelum pada punya anak.”
“Gak usah terjebak masa lalu Yah. Pasti ntar Diana sama Dana juga kebagian lawan ayah.”
“Yakin?”
“Iya dong. Mama yakin kalian akan segera telanjang asal kamu bisa tutup mulut,” Dewi menatap Dewo. “Jadi cepat ambil kartu dan mainkan.”
Ketiganya lalu bemain hingga Dewo dan Jefri hanya tinggal bercd saja. Sedang Dewi hanya memakai cd dan bh.
Putaran berikutnya Dewi kalah. “Sial,” katanya sambil tangannya menjangkau punggung untuk melepas bh. Akhirnya susu Dewi terlihat oleh anaknya untuk kali pertama.
Dewo hanya bisa melongo melihatnya.
Dewi meraih pentil susu dan menariknya, “kamu ingat dulu gak?” katanya sambil menatap anaknya.
“Ayah gak inget terakhir anak kita gak bisa bicara gitu. Hehehe.”
Dewo geleng – geleng sambil meraih lalu mengocok kartu. Setelah pertarungan yang cukup sengit, Dewi kalah. Jefri tertawa senang. Dewi lalu berdiri, melepas cd, menggoyang – goyangkan pantatnya ke arah anaknya. Setelah itu kembali duduk.
“Ee… Sekarang apa?” bengong Dewo.
“Karena mulut mamamu gak ada gunanya lagi, gimana kalau mama kalah mesti nyepong dia yang menang. Setuju sayang?” jefri menatap Dewi.
Dewi menatap anaknya, “semoga aja Dewo menang,” lalu menatap suaminya, “karena kalau ayah menang, mama pake gigi mama.”
Dewo kembali terjatuh dari kursi akibat lemas. Ayah dan mama hanya tertawa.
Kartu kembali dibagikan. Namun yang menang adalah Jefri. Jefri lalu berdiri dan menatap anaknya, “perhatikan nak. Liat bagaimana ahlinya mamamu!” Jefri berharap soal gigi tadi hanyalah candaan.
Dewo melihat pantat mama bergoyang – goyang saat mulut mama sibuk di selangkangan ayah. Dewo mendekati mama biar bisa lebih jelas melihat.
Mama melepas kulumannya lalu menoleh ke anaknya, “pantat bergoyang artinya undangan. Kamu gak homo kan?”
“Tentu tidak.”
Jefri tersenyum pada anaknya, “lepas celanamu nak. Ayo lakukan.”
Dewo langsung melepas celana hingga telanjang lalu berlutut di belakang mama. Dewo memasukan kontol ke memek mamanya.
“Oh…” kata Dewi di sela sepongannya.
Dewo merasakan betapa nikmatnya memek mama hingga mulutnya mengerang dengan sendirinya. Pompaan kontol Dewo semakin lama semakin cepat. Tangan ayah memegang kepala mama saat ayah orgasme di mulut mama. Aku pun orgasme dibarengi mama yang bergetar. Rupanya mama ikut orgasme.
Dewo mencabut kontol lalu duduk dikursi sambil memperhatikan lepasnya kontol dari mulut mama. Mama lalu menatap ayah, “gimana, senikmat imajinasimu?”
“Iya sayang.”
Dewi duduk lalu menatap anaknya. “Setelah mama main sama Diana dan Dana, mama langsung pulang dan bergumul sama ayahmu. Abis itu mama ceritain semua. Terus ayahmu malah punya ide ini.”
Jefri menatap anaknya, “jadi, kira – kira setelah ini kamu bakal sering bosan gak?”
“Tidak komandan!” jawaban Dewo membuat ayah dan mama tertawa.
***
“Maksudmu, gadis yang dulu nganter makanan ke rumah kita trus ngelayanin kita di restoran?”
“Iya.”
“Gila, terus gimana caranya kamu mau nerangin kalau saat itu kamu sama mama?”
“Entahlah. Biar waktu yang menjawabnya.” Mata Dana menerawang sambil mengelus meja
“Gimana kalau mama kembali berpakaian aja dan kita kembali normal seperti dulu?” Perut Diana bereaksi melihat anaknya yang jelas sedang jatuh cinta.
“Tentu tidak.”
Diana tertawa, “Terserah kamu. Kita tunggu saja, jika hubungan ini makin serius, maka kamu mesti memikirkan cara untuk memberitahukannya. Gak boleh ada rahasia jika mau berhubungan, bisa ricuh.”
“Dana tahu. Ntar Dana pikirkan suatu cara.”
Diana bangkit lalu mendekati anaknya. Diana duduk di pangkuan anaknya lalu menciumnya. Beberapa saat kemudian Diana melepas ciuman lalu menatap anaknya. “Mama sangat cinta sama kamu. Tapi suatu saat jika kamu sudah menemukan belahan jiwamu, mama akan merelakanmu. Gak perlu kamu khawatirkan perasaan mama.”
Tangan Dana mengelus bahu mama, sedangkan tangan lainnya memainkan jemari di susu mama. Mata Mama mulai terpejam. Erangan kecil mulai keluar dari mulut mama.
“Dana sangat bersyukur punya mama seperti mama.” Dana lalu mencium leher mama.
Diana menjerit saat Dana merangkulnya lalu mengangkatnya hingga ke atas meja. Dana lalu melebarkan kaki mama, “kamu mau lagi ya?” kata mama.
“Tentu.”
Kring… Kring…
“Biarkan saja mah.”
“Kalau dari sendi gimana?”
“Oh iya,” Dana bergegas meraih telepon.
“Halo, Cip,” mata Dana menatap betis mama. Meski betis mama tak bercahaya seperti ibu para raja zaman dahulu, namun sungguh terlihat seksi. “Gak, gw udah siapin semua. Tinggal lu aja sama Dewo. Telpon aja sama lu. Gw kira cewek. Ya cewek asli lah. Gak, gw gak bakalan cerita sekarang. Yo.”
Tubuh mama masih tergeletak di meja, menatap jalang pada anaknya. Dana menghampiri dengan antusias. Tangan Dana mulai mendekati kaki mama…
Kring… Kring…
“Sial… Sial…” Dana kembali meraih telepon.
“Halo. Oh, kamu Sen. Iya, aku juga seneng semalem ngobrol sama kamu. Apa? Iya sip. Jadi besok, jam tiga. Sampai jumpa.”
“Wah.. wah… Ada yang janjian nih?” tawa Diana menggoda anaknya saat anaknya mendekat.
Dana tersenyum, “hehe…”
Masih berbaring di meja, Diana melorotkan celana pendek anaknya, “berarti kamu milik mama malam ini.” Diana menjulurkan lidah perlahan untuk mengenai kontol anaknya.
Kring… Kring…
Diana melepas kontol dari tangan dan menjatuhkan kepalanya saat Dana memukul meja. “Hehehe…” Diana cengengesan.
“Apa lagi? Eh, halo bu Dewi. Tidak, sedang santai kok. Mau ngomong sama mama? Kata mama ibu lagi main kartu? Sudah? Siapa yang menang? Maksudnya, semua? Mantap. Tentu, ada rencana sih. Ya seperti itu. Ibu kan temen mama, rasanya obrolan ini agak janggal. Ibu yakin? Tentu Dana percaya. Siap bu. Iya.”
Dana kembali menghampiri mama. Tangan mama disilangkan di meja, dan dagu mama bersandar di tangan itu. “Katanya bu Dewi sekeluarga mau ke sini ntar malem.”
Diana langsung duduk, kakinya menjulur dari meja. “Mau ngajak keluar?”
“Enggak, katanya mau makan di sini.”
“Apa kamu yakin gak keberatan kita kedatangan tamu?”
“Gak, bu Dewi kedengeran semangat. Katanya bakal tak terlupakan bagi kita.”
“Bisa jadi malam yang sangat menarik. Kamu siap?”
“Mungkin saja, kita lihat nanti.”
***
Saat yang dinanti para pembaca pun tiba, pintu diketuk. Dana membuka pintu. Munculah bu Dewi dan suaminya, paman Jefri. Dana menyalami mereka. Diana lalu datang. Jefri memandang Diana yang memakai kaos penuh keringat.
“Ku akui, aku mesti berterimakasih atas bantuanmu,” senyum Jefri saat menyalami Diana.
“Pantesan kamu senyum terus…” balas Diana.
“Jadi, tumben – tumbenan nih maen ke sini…”
“Iya, gw inget lu tanya apa gw pingin balik lagi kayak dulu. Nah gw omongin dah ke laki gw. Kalau lu oke, setidaknya gw dan laki mau ngucapin makasih udah nyalain lagi api yang pernah pudar.”
Diana menatap anaknya, “Dana baru dalah hal ini. Jadi kalau lu setuju, kita pelan – pelan saja. Gw juga gak mau sampai main kecuali sama anak gw. Gw baru sadar, rasanya gw sengaja nunggu. Duh.”
Ketiga orang paruh baya tertawa, sementara Dana celingukan sendiri bingung.
“Dari dulu juga gw tau lu orangnya punya komitmen. Gimana anak lu, apa dia udah punya inceran buat masa depannya? Kalau anak gw sih, tadi sore gak kesulitan.” Dewi tertawa menatap Dana yang makin merah karena malu.
Jefri tertawa, “Jangan biarkan mereka melahapmu nak. Udah tugas wanita buat bikin kita senang – senang, setidaknya salah satu wanita ini udah melakukannya. Si Dewo mulai beruntung sama mamanya, Paman jadi khawatir.”
“Dewo sih gak pernah susah kalau soal cewek, tapi jangan bilang kalau saya kasih tahu,” kata Dana terlihat kikuk.
“Jadi, mau di mana nih?”
“Di dapur aja, sambil duduk. Kita ngobrol normal – normal dulu. Pelan – pelan untuk remaja kita.” Dewi sambil menggandeng bahu Dana.
“Mana makanannya, katanya lu mau bawa?” Diana meyiapkan piring ke meja.
“Udah gw pesen.” Tok.. Tok… “Nah, itu datang pesenannya.” Jefri menarik uang dari dompet sambil berjalan menuju pintu
“Tunggu, pesan dari mana paman?” Dana meraih tangan Jefri hingga
“Tempat rekomendasi Dewo, kenapa emang?” Jefri menatap Dana heran.
“Oh, pacarnya kerja di sana. Suka nganterin juga,” Diana menimpali sambil tersenyum.
Jefri menyerahkan uang ke Dana, “kalau gitu, kamu ambil saja.”
Saat pintu dibuka, Dana dan Sindi sama – sama tersenyum.
“Hay, aku ingat alamat ini, jadi sengaja aku antar.”
“Ya, setidaknya kali ini aku sengaja berpakaian kumplit.”
Sindi tertawa. Dana melirik ke samping melihat mamanya pun tertawa.
“Bener – bener gak ada privasi di sini ya?”
Diana mengangkat tangannya, “cuma ngecek, kali aja butuh bantuan bawain makanan.”
“Ya… ya… percaya deh…”
Sindi memandang ke dalam, “bilang padanya agar jaga tangannya di tempat yang terlihat,” tawa Sindi.
Diana lalu muncul di pintu, antara Dana dan Sindi. “Halo, kamu pasti Sindi ya.”
“Ya, kalau anda?”
“Diana, tenang saja cantik. Saya bukan sainganmu dalam remaja ini.”
“Udahlah Na, mending sana deh.”
Bukannya menghilang, Diana malah membuka pintu lalu meraih makanan dari Sindi. “Tante tau tante gak diharap ada di sini. Tapi jangan ngambek kalau nanti kamu kembali makanan udah gak bersisa.” Diana lalu masuk sambil tertawa.
Dana memperhatikan mama hingga berada di dapur, lalu kembali ke Sindi.
“Dia makan sebanyak itu, tapi masih kelihatan cantik?”tatap Sindi ke Dana.
“Oh, tentu tidak. Di dalam ada teman kami.”
“Kami? Aku tak sabar dengar ceritanya. Dia tampak menawan.”
“Ya, dia hanya senang saat tahu aku lagi dekat sama wanita. Tapi dia juga enak orangnya. Eh, ntar mau nonton apa?”
“Gak tahu, kita liat aja nanti apa yang sedang diputar. Terus kita putuskan bareng, biar sama – sama menikmati.”
“Bagus. Oh iya, nih uangnya. Mumpung ingat.” Dana mengeluarkan uang lalu memberinya ke Sindi.
“Makasih. Aku mesti kembali, biar tetap kerja. Hehehe…”
Tanpa berpikir, Dana mendekati Sindi lalu mencium pipinya. Setelah itu Dana melihat Sindi berbalik dan menjauh, langkah Sindi seperti langkah mama saat mama senang. Saat akan masuk, Dana melihat sesuatu di jendela.
“Tukang intip di mana – mana.” Teriak Dana, Dewi dan Diana hanya tertawa.
“Paman udah bilang ke mereka jangan ngintip,” kata Jefri dari dapur.
“Iya, makasih udah ngelarang mereka paman.”
“Jangan marah dong, lagian siapa yang tahan liat anak lucu…” kata Dewi sambil memeluk Dana.
“Makanan udah mulai dingin nih,” teriak Jefri sambil mengunyah.
Ketiganya lalu menuju dapur. Makanan sudah tersaji di meja. Ada satu botol kosong dan satu botol penuh.
“Lu minum sendirian?” tanya Diana ke Jefri yang sudah agak mabuk.
“Kan mau ngajarin anak ini. Pelan – pelan saja kan.”
Diana tertawa, “putar botol?”
Dewi tersenyum pada Diana, “pelan – pelan saja.” Lalu menatap Dana, “Gimana nak, tertarik?”
“Boleh bu, tapi jangan harap Dana mau menyetuh paman Jefri, najis tralala…”
“Tenang, ini versi pasangan. Makanya kami gak bawa Dewo.”
“Entahlah… Dana masih merasa gak enak sama Dewo.”
“Gak usah khawatir, sore tadi Dewo udah bahagia. Apalagi esok lusa. Siapa tahu kapan – kapan kita main gim ibu dan anak bareng.”
Dana menggeleng, “Kacau… bener – bener kacau…”
“Ngeluh? Kayak yang iya aja,” Diana tertawa.
Keempat insan itu makan, minum dan tertawa. Setelah makan selesai, meja dikosongkan hingga hanya terdapat satu botol. Dewi memutar dan botol itu berhenti tepat menunjuk Dana.
“Cium sang gadis,” teriak Dewi.
Diana tersenyum lalu mencium anaknya.
Jefri menyeringai, “setelah bertaun – tahun, lu gak lupa caranya kan?”
Setelah beberapa saat, Diana dan Dana kembali duduk di kursi masing – masing. Dana memutar botol. Botol menunjuk ke mama temannya.
“Gantian,” tawa Diana.
Jefri dan Dewi berciuman. Terkadang lidahnya menjulur keluar.
“Babak pertama usai. Selanjutnya yang kalah mesti lepas pakaian. Jika kembali kalah, maka lanjut ke tes jujur.” Cukup bicara, Dewi lantas memutar botol. Ironisnya botol itu mengenai dirinya sendiri.
“Sial, gw mesti pertama telanjang lagi .” Dewi lalu melepas kaosnya. Tangan Dewi meraih ke punggung lalu melepas bh. Setelah itu Dewi berdiri dan melepas celana jins, akhirnya Dewi melepas cdnya. Dana dengan antusias melihatnya.
Botol kembali diputar, berhenti menunjuk Diana. Diana berdiri lalu melepas bajunya. Kedua pria bertepuk tangan.
Jefri tertawa, “masih seperti dulu, liar dan cantik.”
Berikutnya Dana yang harus melepas pakaian.
“Sejauh ini masih aja pemalu?” jefri geleng – geleng melihat Dana yang terlihat malu. Para wanita hanya cekikikan.
Akhirnya giliran Jefri yang melepas pakaian. “Kali ini yang tertunjuk mesti ngocok atau ngelus pasangan dengan tangannya. Katanya kamu pintar Dan.” Dewi merujuk kepada Dana sambil memutar botol. Botol menunjuk Dana.
Diana berdiri dan jalan mendekati meja lain, “kita ulangi saja yang tadi.” Diana lalu duduk di meja dan melebarkan kaki, sementara Dana kini berdiri diantara kaki Diana.
Diana lalu membungkuk untuk mencium anaknya. Tangan anaknya mengelus susu Diana, serta punggungnya.
Dewi menggeser kursi hingga di sebelah suaminya. Tangan Dewi lalu mengelus kontol suami, sementara tangan Jefri memainkan pentil istrinya.
Perlahan tangan Dana menuruni tulang rusuk hingga berputar di perut mama. Sementara tangan satunya membelai pantat mama.
Dewi bisa mendengar erangan Diana, “Enak nak.”
Diana mengejang kembali saat jemari anaknya mengelus memek sambil tetap berciuman. Diana lantas membuka mata melihat Dewi sedang memainkan kontol suaminya, “Woy, sabar dong tunggu giliran.”
“Gak usah didengar, terus sayang hhh,” rintih Jefri. Dewi memajukan kepala untuk mencium suaminya.
Diana merebahkan kepala di bahu anaknya sambil menonton temannya. Kini Diana memeluk erat anaknya sambil gemetaran dan menggigit bahu anaknya saat Diana akhirnya keluar.
Perlahan Diana turun dari meja dan kembali mencium anaknya. Kini semua orang kembali duduk. Karena terkena guncangan oleh salah – satu tubuh, botol menggelinding. Sebelum jatuh, Diana menangkap botol.
“Rehat dulu, gw mau ke kamar mandi. Ntar gw ada ide buat ronde akhir.”
Semuanya kembali ke meja. Diana berdiri lalu menunjuk Jefri, “lu hutang muasin bini lu, tapi sebelumnya gw mau lanjutin apa yang tadi dipotong sama telepon.”
Diana lalu naik meja dan berbaring. Tangannya lalu meraih kontol anaknya dan menariknya hingga masuk ke mulutnya. Kontan saja Dana terkejut atas aksi mama. Tangan Dana memegang pinggir meja. Sementara matanya melihat kepala mama yang maju mundur. Tangan mama sepertinya memegang dan mengelus pantat Dana.
Dewi bangkit, mendekati Diana lalu membungkuk untuk melihat temannya sedang nyepong anaknya sendiri. Jefri bangkit dan berlutut di belakang istrinya. Tangan jefri lalu mulai mengelus pantat istrinya.
Dewi mengerang saat lidah suaminya mulai bergerilya. Erangan Dewi menyebabkan Diana berhenti, mencabut kontol anaknya lalu mencium Dewi. Kontol yang masih dalam pegangan Diana diarahkan ke mulut Dewi. Dewi menghirup kontol teman anaknya, lalu menoleh ke belakang, “masukin ke anus yang.” Setelah itu, Dewi memasukan kontol teman anaknya ke mulutnya.
Jefri berdiri, melebarkan pantat istrinya lalu mulai menusuk kontol ke pantatnya. Dewi melepas kontol dari mulut, bangkit berdiri lalu mencium mulut teman anaknya sendiri. Sementara kontol Dana kembali bersarang di mulut mamanya.
Dana mengerang di sela ciumannya saat kontolnya menyemburkan peju di mulut mama. Dewi meracau tak jelas saat keluar. Jefri makin cepat memompa hingga menyemburkan peju di anus istrinya.
Mereka lalu berbaring di lantai. Diana kembali mencium Dana, Jefri mencium punggung Diana. Dana lalu melepas ciuman dan memandang ketiga orang itu, “Dana jadi penasaran, pelan – pelan saja sudah gini. Gimana kalau yang ekstrim?”
Ketiganya tertawa mendengar pertanyaan remaja itu.