Recent Posts Widget

Derita Ayu Sang Kupu-kupu Malam

http://cerita-porno.blogspot.com/2015/07/derita-ayu-sang-kupu-kupu-malam.html

"Tolong lepasin gue... Ini gak sesuai perjanjian!", teriakku ketika beberapa pria berkulit hitam mulai menggerayangiku. "Gue gak mau diginiin!", teriakku lagi sambil mendorong pria-pria itu. "Pak Aji!", teriak ku pada seorang bapak tua yang sebelumnya telah membokingku, namun dia diam saja lalu pergi dari ruangan ini. Ruangan ini bergoyang-goyang, kepalaku sedikit pusing, pakaianku mulai dipeloroti oleh para pria di sini, malam ini aku bakal menjadi pelampiasan nafsu birahi para tukang angkut ini.
Aku sekarang berada di dalam sebuah kapal, ini semacam ruang tamu, ada televisi yang sedang memutar video bokep melalui dvd player, ada meja dan kursi di ujung sana, dan kasur di tengah. Ruangan ini biasanya dipakai awak-awak dan nahkoda kapal untuk beristirahat. Pekerjaan mereka adalah mengirim barang hingga ke pelosok melalui perairan.
Nasibku cukup malang, pagi itu kuterima tawaran Bang Solihin untuk ikut bersama Pak Aji Saidi. Karena bayaran yang cukup besar, aku rasa aku bisa menerimanya, cuma menemaninya selama seminggu, perjalanan dari kota kami ke kampungnya butuh sekitar dua hari, sampai sana akan bongkar muat barang, lalu balik lagi ke kota ini dan pekerjaanku selesai.
Pagi itu aku diantar anak buahnya Bang Solihin ke dermaga yang lebih sering kami sebut seteher, di sana transaksi dilakukan. Aku mencari kapal kecil yang bernama Matahari Pagi, kapal yang lebih sering kita sebut motor air itu adalah milik Pak Aji Saidi. Katanya dia punya tiga buah kapal untuk mengangkut barang hingga ke hulu. Selain itu, di kampungnya Pak Aji Saidi terkenal sebagai juragan kaya, punya peternakan sapi dan kebun karet.
Awalnya aku tidak curiga, ku ikuti pria berbadan kurus kecil dan berkumil tebal itu hingga masuk ke kapalnya. Masuk ke dalam sana baru membuat pikiranku berubah, tatapan seperti serigala kelaparan yang nampak dari wajah-wajah anak buah Pak Aji membuatku sedikit curiga bahwa aku bukan saja akan dipakai Pak Aji melainkan juga anak buahnya.
Pengalaman pahit itu membuatku harus mengubah hidupku, aku harus kembali ke jalan yang benar. Teman-temanku bisa melakukannya, kenapa aku tidak? Namaku Ayu, sekian lama aku telah menggeluti profesi sebagai pekerja seks komersial, pekerjaan yang merusak masa depanku, juga menghancurkan hidup remaja dan masa gadisku. Setelah berpisah dari teman-temanku yang terdahulu, hanya aku, Widya dan Lisa yang masih menerima panggilan jika dirasa memerlukan uang. Herman sudah tidak menjalankan bisnis itu, dia sudah menjadi toke sekarang, dia gokus dengan usaha berasnya uang besar itu. Satorman beralih profesi, ku dengar dia menjadi cleaning service di sebuah mall besar. Fenny dan ibunya, tante Yully juga sudah berubah, mereka menyewa kios kecil untuk membuka warung sembako kecil-kecilan untuk membina hidup mereka yang lebih baik lagi. Beberapa lagi sudah tak terdengar informasinya. Aku ingin seperti mereka, bisa menjauhi bisnis haram ini.
***
"Pak Aji... Tolong, ini tidak sesuai perjanjian kita...", kataku. Pak Aji sudah tidak ada di ruangan ini, aku hanya bisa menangis. Tidak sesuai dengan perjanjian sebelumnya, Pak Aji sama sekali tidak menjamahku, malahan ia memberikan ku kepada anak buahnya. "Pak Aji tahu apa yang kita mau...", kata satu pria yang berusaha menarik pakaianku. "Iya... Kita butuh hiburan selama perjalanan ini...", jawab temannya yang satu lagi. Aku tidak bisa melawan, badan mereka sedikit kekar, karena kebiasaan mereka menjadi kuli angkut, otot terlihat di badan mereka yang hitam. Aku juga tak mungkin lari, kini kapal sudah di tengah perairan, bahkan aku tidak sempat tanya ke mana kapal ini akan berlabuh.
Tiga orang pria sedang mengerumuniku, dua lagi nonton bokep, duanya lagi sedang asyik meminum minuman keras. Disudut ruangan yang penuh dengan kotak-kotak yang akan dikirim, duduk sekitar lima orang yang sedang sibuk main gaplek. Aku juga tahu masih ada beberapa pria di luar ruangan, ada yang sedang mengemudikan kapal, ada yang berjaga, ada yang masih merapikan barang-barang bawaan di kabin, ada pula yang masih beristirahat di ruangan lain. Mungkin awak kapal ini ada sekitar belasan hingga dua puluhan, dan mungkin sepanjang perjalanan ini mereka semua akan menikmati tubuhku.
***
"Wah, pecun yang ini cantik ya, baik banget Pak Aji traktir kita yang macam ini...", olok satu pria yang sudah menelanjangiku. Kawannya pun segera menyaut, "Kata Pak Aji pecun ini mahal, wajarlah...". Beberapa pria yang lagi minum minuman keraspun memotong, "Oi oi oi, cepat, kita nanti juga mau!", kata mereka yang ternyata juga menunggu giliran. "Sabar cong, kita beresin dulu..", jawab pria yang sedang memelukku.
Ada tiga orang pria yang sedang menjamah tubuhku, tangan mereka kasar sekali, badan mereka juga bau, seperti canpuran antara keringat dan bau matahari. Aku sangat jijik, walaupun aku bekerja sebagai PSK namun tubuhku selalu terawat. "Susunya cam punya anak sma nih...", kata satu pria yang sedang meremas-remas payudaraku. Aku dibaringkan di kasur yang tergeletak di lantai, mereka bertiga mengerayangiku, menciumi bibirku, meremas-remas dadaku, dan juga meraba-raba bagian vaginaku.
Tidak banyak yang bisa aku lakukan, hanya bisa membiarkan mereka menikmati tubuhku, dan berharap semua segera usai. Dalam pikiranku setelah semua ini selesai, aku akan melangkah ke jalan yang benar, dengan hasil jerih payahku aku akan mencari usaha yang lebih halal.
"Cantik, sini abang cium...", kata satu pria langsung melumat bibirku, sambil memegangi ke dua tanganku, ia memaksa menciumi bibirku. Satu prianya berada di tengah dan sedang asyik menyedoti buah dadaku. Dan satunya lagi, sudah pasti ada di bawah perutku, terasa geli di daerah sana, pria itu sedang tepat mengarahkan kepalanya di antara pahaku, dia memainkan lidahnya di vagina ku hingga aku menggelinjang kegelian.
Sangat kasar sekali, aku tidak bisanya diperlakukan begini oleh langgananku, bahkan ini oleh banyak pria secara sekaligus. Mereka meraba semua bagian tubuhku. "Tak tahan gue...", kata seorang pria yang segera bangkit dan melepaskan pakaiannya. Pria itu membuka semuanya hingga tampak penisnya yang hitam besar mengacung kuat. "Sama boi", sambut kedua kawannya juga yang segera melepaskan pakaian mereka. Sama halnya dengan pria tadi, kedua pria itu juga menunjukkan penis mereka yang besar hitam itu.
"Cantik, sepongin dong...", pinta pria yang pertama kali membuka baju. Lalu disusul dua pria lagi yang sambil berkata, "Kita juga mau...". Lalu ke tiga pria itu mengarahkan penis mereka ke arah ku. Astaga, bau sekali, penis mereka bau pesing dan mengenai wajahku. "Cepat lah diemut...", kata satu pria lalu menjambak rambutku, dia memaksaku untuk membiarkan mulutku dimasuki penis bau nya itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, dengan perasaan jijik aku pun mulai menyepong ketiga penis bau busuk itu.
"Oh yesss....", seru pria itu merasakan nikmat seponganku. Bergantian dari satu penis ke penis yang lain, membuat rahangku sedikit lelah. "Asyik...", desah satu pria nya lagi. Belum selesai kusedoti penis tiga orang ini, kulihat beberapa pria sudah mendekat sambil membuka baju juga, mereka adalah yang tadinya sedang main gaplek. Wajah mereka sedikit kusut, kurasa permainan mereka membuat mereka sedikit kesal.
Dua pria yang sedang mabuk minuman keras bergabung dengan dua pria yang sedang nonton bokep. Mereka tidak perduli pergelutan kami di sini. Empat pria itu lebih tertarik menonton film bokep buatan Jepang itu, sambil mengelus-ngelus penis mereka.
Kini ada delapan pria yang minta aku bergiliran menyepongi penis mereka. Hampir sama semuanya, penis mereka hitam, besar, penuh urat, dan bau pesing. Sial, seharusnya aku tidak mengambil pekerjaan ini. Hampir muntah aku mencium bau penis mereka. Aku terpaksa sesikit menahan nafas ketika menyepongi penis mereka. "Ayo... Sampai keluar ya...", seru mereka. Satu persatu aku sepong bergiliran hingga mereka berejakulasi, dan mereka memaksaku untuk menelan peju mereka. Aku menuruti semua itu, tidak ada yang bisa kulakukan selain melayani mereka.
Delapan pria itu sudah puas dengan seponganku, mereka hanya membersihan penis mereka, lalu meraba-raba tubuhku kemudian mereka meninggalkanku terbaring di kasur ini. Mereka masih bugil, mereka mengambil botol bir dan mereka berpesta sambil nonton video porno. Dua pria masuk ke ruangan sambil membawa beberapa dus karton. "Malam ini pop mie dulu ya...", kata satu pria lalu membagi-bagikan mie instan yang ada dalam kardus yang ia bawa. "Mayan lah buat ganjel perut...", kata pria lain kemudian mereka menyeduh mie dalam gelas steroform itu dengan air panas dari dispenser.
Aku capek sekali setelah harus menyepong beberapa penis para pria itu. Satu pria datang menghampiriku, "Ini mau Popmie?", ia menawarkan segelas mie cup yang memang lebih karena untuk ku. Aku memang sedikit lapar, sehingga aku langsung menerimanya dan melahapnya. Malam yang cukup dingin, aku yang bugil terasa hangat oleh mie instan yang aku makan ini. Beberapa pria sudah menyelesaikan makanannya, mereka kemudian berpakaian kembali. Sambil menggerutu mereka pun meninggalkan ruangan ini menyisakan beberapa pria yang mulai tidur, dan aku sendiri di sini.
Lalu pintu mulai terbuka lagi, beberapa pria masuk ke ruangan, wajah baru, sepertinya mereka dari luar sana. "Wuih, bete jaga luar teeus...", kata orang-orang itu kemudian memandangku. Mungkin mereka bergiliran bertugas menjaga kapal dan mengendarainya. "Pengen hiburan dulu...", kata seseorang lalu melepaskan pakaiannya, disusul teman-temannya yang sekitar lima orang. Mereka lalu menghampiriku,;aku yakin mereka mau meminta jatah. Aku masih tidak bisa berbuat apa-apa, bisnis jahat ini terlanjut aku jalani. Ku simpan cup sisa makanan tadi di pinggir lalu aku rebahkan badan lagi ke kasur, dengan rela aku membiarkan mereka menggilirku.
Satu pria sudah mulai menindihku, sama seperti pria-pria sebelumnya, mereka hitam, dan bau campuran antara keringat dan bau matahari. Pria itu mulai menciumi bibirku. Pria lain memegangi tanganku dan mengarahkan ke penis mereka. Pria-pria lainnya lagi mencoba meremas-remas buah dadaku. Aku sebenarnya risih harus bercinta seramai ini. Pria yang menindihku sudah mulai mengarahkan penisnya ke vaginaku, tanpa pelindung, atau biasa kita sebut kondom. Aku takut mereka tidak bersih, namun apa boleh buat, ini jalan yang harus aku ambil. Teringat aku dengan almarhum Tono, teman kami yang mempunyai sifat hyperseks, dia harus meninggalkan dunia ini karena mengidap penyakit AIDS. Aku berharap aku tidak sepertinya, semoga setelah ini aku bisa menjalani kehidupan yang lebih baik.
Pria itu mulai menggoyangkan pinggangnya ketika penisnya berhasil masuk ke vaginaku. Aku tidak bisa melawan. Dia juga menyedoti susu ku sesekali, bergantian kiri dan kanan. Teman-temannya sedang asyik menahan tanganku di penis mereka, sambil digenjot, aku harus mengocok penis teman-temannya dengan tanganku. Perjalananku masih panjang, ini baru malam pertama perjalanan, sedangkan aku sudah sepakat untuk menemani mereka selama seminggu hingga kapal berbalik ke kota ku lagi. Memang derita bekerja seperti ini sangat besar, aku harua sanggup sampai waktunya tiba.
"Aaahhhh.....", desah pria itu ketika lima belas menit berlalu, ia mempercepat irama genjotannya, dan berhasil berejakulasi di dalam vaginaku. "Cepat gantian, ga tahan nih...", seru temannya sambil menarik pria itu sehingga penisnya tercabut keluar dari vaginaku. Pria lain segera mengambil posisi, ia membalikkan aku, sehingga ia akan menggagahiku dari belakang. Dengab gaya doggie, ia langsung menancapkan penisnya dari belakang, teman-temannya pun mengambil ke sempatan dengan berlutut di depanku dan mengarahkan penisnya untuk ku sepong. "Ah...", desah temannya itu ketika aku menjilati ujung penisnya.
Beberapa menit berlalu, pria itu menggerakkan tubuhnya kencang sekali hingga aku bergetar tak karuan ke depan dan ke belakang. "Yes! Pecun asyikkk...", serunya menyodok lebih dalam sambil meremas susuku dari bawah. "Gue mau keluar...", deaahnya mempercepat irama. "Ah ah ah...", aku sedikit kesakitan ketika ia meremas lebih kuat buah dadaku, terus hingga ia berejakulasi. "Nyaman...", katanya sambil mulai lelah dan menarik penisnya keluar.
Pria selanjutnya masih memilih gaya yang sama, ia langsung saja menyodok vaginaku dari belakang. Aku bagaikan piala bergilir bagi mereka. Yang lainnya masih dengan gaya yang sama, mereka meraba buah dadaku, memegangi tanganku untuk mengocokkan penis mereka, dan satu berdiri di depan memintaku untuk mengulum penisnya.
Setengah jam berlalu, pria itu mulai berejakulasi di vaginaku, ia mengejang dengan kuat dan mendeaah kenikmatan. Segera digantikan pria lain yang sudah tidak sabar. Mereka mulai mengangkatku, kali ini satu pria berbaring, sedangkan pria yang lain mengangkat tubuhku agar berjengkok tepat di atas selangkangan pria yang berbaring itu. Mereka ingin aku bergaya Women In Top, dengan mudahnya vaginaku dimasuki penis yang sudah mengeras itu, 'BLEPS..'. Para pria yang tadi menarikku naik mulai mendorong ringan tubuhku, dan diangkat, sehingga penis pria yang terbaring itu bergoyang di vaginaku.
Aku mengikuti gerakannya, kubantu dengan goyangan pinggulku, maju mundur, kiri kanan, dan naik turun. Pria lain mengambil posisi di samping, kiri dan kanan, memintaku sambil menyepongi penis mereka. Dalam satu aksi, aku melayani beberapa pria secara sekaligus. Bibirku mulai tak terasa, bagai terbius, gesekan-gesekan penis mereka membuatku terbiasa menyepong penis besar hitam dan bau itu. Aku merasa nikmat juga menggoyangkan bokongku, berputar-putar hingga seperti penis pria itu bergejolak di dalam liang vaginaku. "Ah....", desahku merasakan hasrat tiada tara. Ingin sekali aku hanya berkonsen di vaginaku, namun pria-pria yang memintaku menyepong memaksaku untuk terus melanjutkan sepongan. Aku terpaksa menjilati dengan cepat, kusedot-sedot terus hingga salah satu pria mulai berejakulasi, ia menahan wajahku dan berkata, "Ditelan dong...". Ia menyemprotkan spermanya di dalam mulutku dan memaksaku untuk menelan semua sperma yang ada di dalam mulutku itu.
Memang sedikit jijik, namun inilah pekerjaanku. Aku kemudian melanjutkan sepongan terhadap pria yang lainnya. Ku kerahkan kemampuanku agar mereka segera berejakulasi, ini sedikit membantu agar mereka tidak berlama-lama mengerjaiku. Satu persatu pria jatuh, mereka mulai berejakulasi karena seponganku. Hanya pria yang berbaring di bawah ini yang belum sekali pun mengejang, nampak ia masih penuh semangat. Ia bahkan meremas dadaku dengan kuat.
Aku masih menggerakkan pinggulku, enak terasa, bahkan nikmatnya hingga ke ubun-ubun. Para pria yang tadi ku sepong sudah mundur setelah aku menelan semua sperma mereka, mereka pun akhirnya lelah dan beristirahat. Aku rasa tinggal pria di bawah ini, setelah ia terpuasi, mungkin aku bisa beristirahat sejenak. Pinggulku sedikit capek, aku memaksanya bergoyang agar segera selesai. "Ah ah ah...", desahku merasakan penis pria ini mengobok-ngobok liang vaginaku. Oh yes, rasanya seperti aku yang merasakan nikmat tak terkira. Pria itu membantu dengan memegangi bagian paha ku. Ku lihat wajahnya juga penuh nikmat, ia tersenyum hingga nampak giginya yang sedikit kuning. "Dikit lagi sayang...", katanya memintaku mempercepat irama. "Oooooooo......", desahnya pertanda ia telah berejakulasi, wajahnya terlihat bangga telah menyemprotkan spermanya di vaginaku. Ia mulai lelah dan menutup matanya. Demikian juga aku, aku segera bangkit, dan tentu saja, cairan kental mengguyur keluar dari vaginaku seiring aku menarik vaginaku lepas dari tusukan penisnya. Aku mencari bidang untuk merebahkan badanku sebentar, pinggulku terasa lemas, aku butuh istirahat sejenak.
Sial, belum sempat aku merenggangkan pinggangku untuk beristirahat, aku kembali di dekati beberapa pria. Pria ini yang tadinya sedang menonton bokep, mereka mulai membuka baju dan ingin menggagahiku. Bukan cuma mereka, masuk lagi dua pria dari arah luar, mereka pun langsung berjalan ke arah ku. Aku tidak kuat lagi, aku coba memohon, "Tolong, aku capek... Aku butuh istirahat...", namun tidak ada gunanya. Mereka sudah membugili diri sendiri dan siap memperkosaku bergiliran.
Para pria itu saling berbagi tugas, dua memegangi tanganku hingga badanku terbuka lebar, duanya lagi memegangi kakiku hingga selangkanganku terbuka, satu prianya mengkobel vaginaku, dan satunya lagi sedang berjongkok mengarahkan penisnya ke mulutku. Sakit, vaginaku perih gara-gara tadi sudah melayani banyak pria, kini harus dikobel secara kasar oleh pria ini. Aku tidak bisa memohon lagi, mulutku tersumpal sebuah penis besar, jembutnya lebat hingga nampak seperti kribo, dan mengenai hidungku.
Ku lihat jam dinding yang berada di atas televisi itu menunjukkan jam 00:37, aku belum bisa beristirahat, entah sampai besok pagi aku harus melayani mereka. Tubuhku terasa lemas, hanya bisa mengikuti irama genjotan pria yang menusukkan penisnya di vaginaku. Pria lain memegangi tanganku dan diarahkan ke penis mereka, seperti tadi, mereka ingin aku mengocokkan penis mereka. Lelah, aku tidak mampu mengikuti kemampuan mereka hingga pandanganku gelap, aku rasa aku terlelap.Terbangun karena sinar matahari masuk dari celah pintu ruangan yang tidak tertutup rapat, ku lihat jam dinding menunjukkan pukul 08:55. Tubuhku masih bugil, dan vaginaku sangat sakit, entah berapa kali mereka memperkosaku hingga pagi hari. Kulihat sekitar tidak ada satu pun pria semalam, aku coba bangkit dengan sedikit tenagaku, coba berjalan menuju pintu.
Aku tidak tahu aku ada di mana, ku lihat sekitar hanya hutan-hutan, kapal kami melalui sungai yang cukup besar, seperti film-film yang menceritakan buaya pemangsa manusia. Kapal kami berjalan pelan, aku khawatir sekali, aku tidak mungkin terjun ke air. Ku coba keluar ruangan, dan ku temukan semua pria sedang di luar, mereka berjaga-jaga barang bawaan sambil ada yang beberapa menunggu dengan pancingan mereka. Ini kah perjalanan mereka selama ini? Mengantar barang-barang hingga ke tujuan, dalam tempo itu mereka hanya bersantai di siangnya dan berpesta di malamnya.
"Loh, sudah bangun?", tanya Pak Saidi yang mempergokiku sedang melihat mereka. Aku langsung malu dan menutup susu dan vaginaku dengan tanganku. "Kata mereka, semalam kamu pingsan, aku cukup khawatir...", katanya. Aku coba mundur dan ingin masuk kembali ke dalam ruangan, namun Pak Saidi kembali memanggilku, "Sini nak, makan dulu...", serunya. Aku memang sedikit lapar, namun aku tidak bisa bergabung dengan mereka di dek sana dengan tubuhku yang bugil. "Ayo lah, tak usah malu, cuma kita-kita saja yang ada di sini...", Pak Saidi memaksa sambil melambaikan tangannya. Aku terpaksa berjalan ke arah mereka, dengan perlahan.
"Bau...", singgung salah satu pria ketika aku mendekati mereka. "Lah itu kan bekas sperma kamu juga coi...", balas satu pria lagi, lalu disambut ketawa oleh pria-pria lainnya. "Mandi duli deh sebelum makan...", kata Pak Saidi. Ku lihat dia lagi sibuk membakar ikan, ada banyak ikan di atas dek, mungkin hasil pancingan para awak kapal ini. "Biar saya bantu...", kata satu pria yang langsung mendekatiku. "Hei apa-apaan ini!", aku kaget ketika pria itu langsung menggendongku. "Lepaskan!", teriakku. Pria itu tak peduli, aku memukul-mukulkan tanganku, namun dia langsung melemparku ke sungai. 'BYUUURRRRR!' Aku pun terjatuh ke sungai. Pria-pria itu terlihat senang melihatku jatuh. Mereka mungkin ingin membunuhku dengan membuangku ke sungai. Aku gelagapan, aku takut jika ada buaya di sungai ini yang akan memangsaku. "Tolong! Tolong aku!", teriakku. Aku coba berenang mendekati kapal, untung saja Pak Saidi lalu melemparkan seutas tali tambang ke bawah. "Ayo naik...", memintaku memanjati kapal itu dengan menggunakan tali tersebut. Tidak tinggi, karena kapal penuh muatan sehingga kapal nampak sedikit tenggelam.
"Bersihkan dia!", perintah Pak Saidi kepada anak buahnya. Satu pria langsung mendekatiku, ia langsung meraba-raba tubuhku dan muncullah gelembung-gelembung busa, ternyata ia membawa sabun untuk memandikanku. Satu pria datang lagi sambil membawa ember untuk menimba air sungai. Pria itu membilas tubuhku. Air sungai yang berwarna coklat sedikit kehitaman itu sangat dingin dan bau. Pria itu bukan saja memakaikan sabun, sambil meraba-raba, ia pun memakaikan shampoo. Pria satunya pun membilas sambil meraba-raba semua lekuk tubuhku.
Aku sudah selesai mandi, mereka hanya memberiku handuk untuk menutup tubuh sementara bajuku sedang dicuci. Katanya aku harus bugil sepanjang hari, dan baju akan dikembalikan ketika kami kembali ke kota. Aku terpaksa menuruti kemauan mereka. Pak Saidi menyiapkan makan untukku, walaupun mereka kasar terhadapku, namun ku lihat mereka sudah cukup akrab, memberiku makan, minum, dan mengajakku bicara. Aku juga diajari memancing, walaupun tangan mereka masih saja nakal di saat aku memancing. Dengan pura-pura mengajariku, pria itu meraba-raba tubuhku.
***
Mentari mulai terik, semua kembali masuk ke ruangan untuk berteduh. Aku duduk diujung sambil memperhatikan mereka sibuk sendiri, ada yang nonton televisi, ada yang sedang menyusun barang-barang yang terjatuh karena ombak, beberapa mondar-mandir keluar masuk, entah apa kesibukan mereka. Namun aku sedikit bete, tidak ada yang bisa ku perbuat, dengan tubuh bugil yang hanya berbalut handuk ini, aku juga sedikit risih.
"Tenanglah, besok kita dah sampai di tujuan kok, paling-paling di sana dua hari saja untuk menurunkan isi kapal dan kembali mencari muatan", kata Pak Saidi yang berjalan mendekatiku. Aku heran, dia sama sekali belum menyentuhku, ia hanya membayarku untuk memuaskan karyawan-karyawannya itu. Lalu ia pergi meninggalkanku, ke luar ruangan. Satu pria mulai bosan dengan rutinitasnya, ia pun datang menghampiriku sambil membuka resleting celananya. Ia mengeluarkan penisnya dan sambil berkata, "Pengen hiburan nih...". Ia memintaku untuk menyepongnya di siang bolong itu. Dan apa yang bisa ku lakukan? Aku hanya bisa menuruti kemauannya. Bukan hanya dia, di siang hari ini ada beberapa pria yang datang memintaku untuk menyepong penis mereka. Bergiliran, datang dan pergi begitu saja, seolah aku ini hanya seperti mesin pemuas nafsu.
Hanya beberapa yang mengantri untuk ku sepong, karena beberapanya sedang sibuk dengan kerjaan mereka. Namun mereka bukan tidak mau disepong, melainkan mereka hanya tidak mau mengantri. Setelah lima orang yang mengantri telah ku sepong, datang lagi satu pria yang tadinya sedang memancing. Mulutku terasa jontor, dari semalam sudah menyepongkan mereka semua, dan siang ini aku masih harus meneruskannya.
"Dek, abang mancing pakek peler di lubang mulut kamu ya dek...", kata pria itu membuka resleting celananya, ia menyodorkan penisnya langsung ke arahku. Aku kemudian menurutinya, ku pegangi penisnya itu lalu ku jilat perlahan. Ku sedot sedikit dengan perlahan, kujilati lekukannya, pria itu terlihat menikmatinya. "Adek hebat... Gak kayak pecun yang dulu disewa Pak Saidi... Semua sudah kadaluarsa punya...", sebutnya. Aku tidak menghiraukan perkataannya, aku hanya berkonsentrasi agar pria ini cepat berejakulasi.
Beberapa menit kemudian, pria ini pun berejakulasi, ia memintaku menelan habis spermanya dan membersihkan batang kemaluannya. "Abang lanjut mancing dulu ya...", kata pria itu lalu meninggalkanku. Tidak sempat istirahat, baru saja menarik nafas panjang, tiba-tiba datang lagi pria lain, awak kapal ini tadinya sedang menyusun barang, ia terlihat capek. "Dek Ayu, mau minum?", tanyanya sambil membawa dua gelas teh es. Ia berjalan mendekat dan memberikanku satu gelas teh es. Kemudian duduk di sampingku sambil berkata, "Istirahat dulu ah sambil dilayani dek Ayu...". Pria itu membuka resleting celananya dan mengeluarkan penisnya, aku tahu apa yang dia inginkan. Sambil meminum teh es yang ia berikan, aku melayaninya dengan mengocok penisnya dengan tanganku. Pria itu tidak menatapku sama sekali, ia meminun es nya juga seperti orang sedang beristirahat, tanpa terganggu penisnya dikocok oleh tanganku.
"Dek Ayu kerja di mana?", tanya pria itu. Aku masih mengocok penisnya, lalu ku jawab, "Ga tetap sih, kalau ada bayaran gede, Ayu pindah lagi...". Pria itu lalu melihatku, "Tunggu balik ke kota, abang mau sewa adek lagi, jangan hitung mahal-mahal dong...", katanya. Aku hanya tersenyum, lalu ku percepat irama kocokan tanganku hingga pria itu mulai kenikmatan. "Sini!", pria itu merebut gelas es ku dan diletakkannya di dekat penisnya. Sial, pria itu menadah spermanya yang keluar ketika berejakulasi. Gelas teh es ku kini bercampur dengan spermanya. "Habisin ya dek...", pria itu kembali menyerahkan gelas itu lagi padaku.
Pria itu membetulkan resleting celananya lalu bangkit dan beranjak menjauh dariku. Aku menyingkirkan gelas teh es itu, aku tidak mungkin meminum teh es itu lagi. Ketika pria itu keluar dari ruangan, masuk lagi beberapa pria lainnya, dan sama seperti teman-temannya, mereka meminta jatah disepong. Aku heran mereka tidak meniduriku, mereka hanya minta aku mengocok dan mengulum penis mereka, mungkin karena cuaca terlalu panas, tepat siang itu di tengah sungai, sinar matahari cukup terik, ruangan ini sudah bagaikan sauna.
Bergantian para pria itu keluar masuk meminta jatah untuk dusepong, hingga pria terakhir berkata, "Jatah ngentot biar malam hari saja...", itu yang kudengar pembicaraannya dengan teman-temannya. Aku masih harus bertahan cukup lama di sini.

Sore tiba, waktunya makan, kembali Pak Saidi memintaku bergabung di dek kapal, memandangi senja itu sambil menikmati santapan. Cuacanya asyik, aku tidak pernah menikmatinya, di tengah sungai melihat matahari yang hampir terbenam, dengan angin sepoi-sepoi menerpa handukku. "Makan dulu...", kata seorang pria memberiku piring dan memintaku mengambil sendiri hidangan yang mereka taruh lesehan di lantai. Bagai saling mengenal, kamipun mulai makan bersama-sama. Mereka terlihat akur, ada yang sambil bercanda, dan ada pula yang sedang curhat.
Setelah makan, mereka pun membereskan hidangan, aku coba duduk menikmati pemandangan indah ini. Beberapa pria menyeduh kopi sambil duduk juga melihat langit yang mulai gelap. Ada beberapa yang melanjutkan memancing, mungkin itu memang hobi mereka. Pak Saidi datang dan duduk di sampingku. Iseng ku tawari dia, "Nanti malam, Ayu pengen sama Pak Saidi...", kataku. Pak Saidi hanya tersenyum memandangiku lalu menenggak kopi yang ia bawa. "Indahkan pemandangan di sini?", katanya sambil memandangi sekitar, hutan di ujung sungai dengan mentari yang nampak sedikit saja, warna orange senja mulai menghitam.
***
Malam itu berlanjut, para awak kapal kembali meminta jatah, kali ini mereka tidak mengijinkanku masuk ke ruangan, mereka ingin melakukannya di dek kapal ini. Pak Saidi sudah pergi, seperti biasa, bukan saja tidak mau menjamahku, melihat saja dia ogah. Banyak pria mulai mengerumuniku, tangan mereka dengan cepat menarik handukku lepas. Aku bugil, aku dibaringkan ke lantai, dan mereka telah siap menggagahiku dengan menelanjangi diri. Aku sudah pasrah, semua pria ini tentu saja ingin mendapatkan giliran. Aku hanya mencoba berpikir positif, ku pandangi langit di atas yang hitam, indah dengan bintang-bintang yang berkedip.
Tubuhku mulai bergoyang karena satu pria sudah menusukkan penisnya di vaginaku. Pandanganku sulit fokus karena genjotan ini, bintang-bintang terlihat buyar gara-gara goyangan ini. Tak sadar aku pun meneteskan air mata karena terbawa perasaan menikmati pemandangan langit. Aku mulai menyesali semuanya. Langit hitam sangat mengagumkan, bintang-bintang di langit berkilauan, betapa besar dunia ini. Aku mulai berdoa, meminta maaf, kenapa tidak menghargai hidup ini, aku telah menyia-nyiakan karunia Sang Pencipta. Tak henti-hentinya aku menangis. Aku menyesal menjalankan pekerjaan seperti ini. Aku penuh dosa, aku bagai manusia terjijik di dunia ini.
Tubuhku kotor, kini sudah beberapa lelaki yang mendapatkan giliran, aku tak mampu memikirkannya lagi. Aku menutup mataku dan membiarkan semua terjadi, terasa sakit sekali, bukan hanya di vaginaku maupun payudaraku, melainkan juga di hatiku.
"Hiks hiks hiks..", aku terus menangis, air mata ku tidak ada habisnya bercucuran. Aku sedikit menyesali dengan jalan yang kupilih ini. Vaginaku sakit, para pria itu masih terus bergantian menggenjotiku. Vaginaku menjadi milik sejuta umat, semua penis pria di sini sudah pernah masuk menusuk liang vaginaku. Begitu pula payudaraku, sudah entah bagai apa, mereka meremasnya semau mereka.
Pria yang kini menggenjotiku ini cukup bringas, ia menggigit-gigit putingku, hingga aku merasakan perih di sana. Gerakannya juga cukup kasar, ia menusuk dengan kuat hingga seluruh batangnya terhunus masuk ke dalam. Selangkanganku sakit, genjotannya keras sekali. Vaginaku pun terasa perih karena gesekan beberapa penis sedari tadi. "Ah.. dikit lagi...", katanya kemudian mempercepat alur gerakannya, itu membuatku semakin sakit karena kuat sekali ia menghantam selangkanganku. Aku hanya menggigit bibirku untuk menahan rasa sakit itu.
Pria itu berhasil berejakulasi di dalam vaginaku. Aku merasakan banyak sperma yang mengalir di dalam liang vaginaku. Sakit ketika ia mencabut penis besarnya itu, ia bangkit dan kemudian digantikan temannya. Kali ini lebih parah, di bawah sinar rembulan dan kedap-kedip bintang, aku diangkat, aku diletakkan menimpak seorang pria. Pria itu menusukku dari arah bawah. "Argggghh.... sakitttttt!", rintihku karena bukan pria yang di bawah saja yang menggagahiku, namun ada satu pria dari belakang yang mengincar anusku. Dua lubang sekaligus dipakai mereka. Tidak cuma itu, satu pria berdiri di depan dan meminta jatah lubang dari mulutku. Serempak aku melayani tiga pria sekaligus. Tubuhku lelah, kini bukan mulut, susu dan vaginaku saja yang sakit, melainkan anusku juga sakit. Air mata ku menetes hingga aku coba menahan semua sakit itu.
Penyesalan selalu datang terlambat, aku tidak biaa berbuat apa-apa, coba menerima kenyataan bahwa inilah kesalahanku. Aku harus melayani mereka semua dengan menahan rasa sakitku.
***
Malam itu aku digagahi semua awak kapal secara bergiliran, cuma Pak Saidi yang tidak ikut. Hingga pagi mereka terus mengerjaiku, bukan hanya satu kali, ada yang dua kali bahkan ada yang mengambil giliran tiga hingga empat kali. Tubuhku sakit sekali, terasa lemas, aku ingat mereka semua menikmatiku hingga pagi, lalu mereka membopongku masuk kembali ke ruangan untuk beristirahat.
Pak Saidi kembali masuk. Ia mendekatiku dan merapikan handuk agar menutupi semua tubuhku. "Tetap di sini dan jangan bergerak, kita sudah hampir sampai...", katanya menyuruhku tetap diam di sudut ruangan. Aku hanya ingin beristirahat, aku tak mungkin kabur, tubuhku benar-benar tidak ada tenaga, lagian tujuan kapal ini berlabuh di mana aku tidak lah tahu, sebaiknya aku mengistirahatkan tubuhku.Aku terbangun ketika suara ribut terdengat jelas. Ternyata banyak pria yang masuk ke ruangan, mereka bukan awak kapal, mereka kuli angkut yang sedang mengangkut barang bawaan keluar kapal, hanya satu awak kapal yang memantau. Ini artinya kami sudah sampai di tujuan. Beberapa pria memperhatikanku ketika mereka mengangkut, bahkan sambil mengejek awak kapal yang bertugas, "Tumben dapat perek cantik dan muda?". Awak kapal hanya tertawa terbahak-bahak.
Isi ruangan hampir bersih, hanya sisa televisi dan kursi-kursi milik kapal ini, di luar juga sama, barang-barang kiriman sudah diambil pemiliknya, kami tinggal menunggu isian barang-barang yang akan dibawa ke kota, dan aku akan bebas ketika kembali ke kota. Harapanku untuk hidup ke jalan yang benat semakin dekat.
***
Satu awak kapal masuk ke ruangan, awak yang lain tidak kelihatan, entah ke mana mereka, bahkan aku juga tidak melihat Pak Saidi, biasanya dia mengecek di sini. "Nih cong buat lu...", kata seorang pria masuk ruangan sambil memberikan uang kepada awak kapal itu. Pria itu adalah buruh angkut yang tadi di sini, yang tadinya dia mengejekku. Entah apa yang dia lakukan, namun ia berjalan ke arahku. Aku ketakutan, pria ini sangat menakutkan. "Layani dia! Pak Saidi memintaku menggantikannya sementara!", kata awak kapal itu. Aku shock, ternyata awak kapal itu menjualku ke pria kuli angkut ini. "Ayo ikut...", kata pria itu sambil memegangi tangaku, ia lalu menyeretku hingga menuju toilet kapal, mungkin di sana lebih aman dia menggagahiku.
Aku kembali menangis di dalam toilet ini, pria itu mulai membuka pakaiannya, lalu menarik lepas handukku. "Hehehe, lumayan buat harga lima puluh ribu...", katanya semakin membuatku sedih. Awak kapal itu hanya menjualku senilai lima puluh ribu, betapa hancur hatiku. "Biasanya perek cantik dan semuda kamu harganya lima ratus ribu, beruntung gue dapat yang diskon, hahaha", ejeknya lalu mengangkat kakiku. Tanpa basa basi ia pun langsung saja menyodokkan penisnya ke vaginaku dengan sebelah kakiku yang terangkat. "Ah....", desahku kesakitan karena dinding vaginaku masih perih.
Kuli buruh angkut ini sangat kasar, dia menyodokku begitu keras, pikiranku serasa melayang-layang, pusing sekali. Tubuhku bergoyang kuat, dengan vagina yang terasa sakit, aku terua membiarkan pria ini menyiksaku. Aroma bau toilet ini pun meracuniku, aku merasakan mual, aku sangat tidak tahan berada di sini. Namun aku tak mungkin meminta pria ini menggagahiku di luar sana, akan banyak pria yang berlalu lalang di sana sehingga kami akan menjadi tontonan. Pria ini juga meremas buah dadaku dengan keras dan kasar, sakit sekali, ia memaksanya seolah-olah ingin memecahkan buah dadaku layaknya balon.
Beberapa menit kemudian pria itu mempercepat gerakannya, aku rasa dia sudah tidak tahan untuk menyemprotkan spermanya. "Maknyoooossssss....", desah pria itu kenikmatan ketika berejakulasi. "Benar-benar nikmat...", pujinya lalu memukul pantatku. Aku terkulai lemas, menahan tubuhku agar tidak jatuh, aku memegangi gentong air dengan kuat. Pria itu mulai membetulkan celananya dan keluar dari toilet ini.
Belum sempat mengambil nafas, tiba-tiba ada yang masuk lagi ke toilet. Aku kira dia hendak buang air, mungkin dia tidak tahu ada orang di dalam sini, namun perkiraanku itu meleset, dia menyengir melihatku sambil berkata, "Masih ada tujuh orang mengantri di luar...". Mendengar kata itu aku spontan kaget, awak kapal itu menjualku kepada para kuli angkut pelabuhan di sini. Menyeramkan, semua pria di sini berwajah garang, dengan perawakan mirip preman, tubuh mereka sedikit kekar, namun hitam dan bau keringat.
Pria kedua mulai menyetubuhiku, aku disandarkan di dinding, dan pria itu menusukkan penisnya dengan mengangkat satu kaki ku. Pria-pria lain mengantri di luar sana, aku tak mampu lagi harus bekerja seharian full seperti ini. "Bang, tolong, aku lelah...", rintihku memohon kepada pria itu untuk melepasku. "Tenang dek, abang main halus kok...", jawabnya sambil membelai rambutku. Aku tidak bisa lagi berkata apa-apa, dengan bercucuran air mata, aku membuarkan dia menggenjotiku, meremas dadaku, menciumi bibirku, hingga ia puas dan kemudian berejakulasi di liang vaginaku.
Hari yang lelah, nasibku malang sekali, di siang itu aku harus melayani banyak kuli angkut, bukan cuma beberapa orang, mereka bahkan hampir dua puluh orang, semakin bertambah seiring waktu. Awak kapal itu menjualku dengan harga murah, sehingga para kuli angkut itu sangat tertarik. Aku terbaring di ruangan kapal, dengan berselimut handuk, tadinya aku sempat tak sadarkan diri sehingga beberapa awak mengangkatku keluar dari toilet. Aku masih merasakan sakit di vaginaku. Para awak bukan prihatin terhadapku, mereka malah berpesta miras, semua dari hasil menjual diriku kepada kuli angkut itu.

Aku terbangun sekitar pukul 18:45, ku lihat Pak Saidi ada di depanku, ia memberiku sebungkus nasi, "Makanlah...", katanya. Aku memandanginya sambil menangis, "Pak, aku mau pulang...", kataku padanya. Pak Saidi hanya mengelus kepalaku, lalu ia berkata, "Mungkin besok kapal kita sudah bisa penuh, dan kita akan kembali ke kotamu...". Aku mungkin tak akan mampu untuk bekerja lagi, aku terus menangis. "Sudah, makan saja dulu...", lanjutnya.
Aku kelaparan, aku lalu segera makan agar perutku terisi. Pak Saidi tersenyum lalu bangkit ingin pergi. Aku segera menghentikannya, "Pak... Jangan tinggalkan aku...", kataku. Aku ingin sekali memintanya agar malam ini aku tidak melayani anak buahnya. Aku sudah sangat capek, aku tak mampu lagi harus melayani mereka semua. "Aku harus pulang ke rumah, besok pagi saya ke sini lagi...", kata Pak Saidi. "Aku boleh ikut?", tanyaku. "Hmm, aku tidak bisa membawamu...", jawabnya lalu memalingkan wajah. Sepertinya dia takut bila aku bertemu dengan keluarganya, ada perasaan malu baginya. "Cong, entar bawa Ayu jalan-jalan ya, ajak lihat pasar di kampung kita...", perintah Pak Saidi kepada anak buahnya, lalu ia pun meninggalkanku.
Baguslah, paling tidak malam ini aku akan keluar dari kapal ini, setidaknya aku bisa beristirahat sambil menikmati pasar di kampung ini. Aku segera melahap nasi bungkus yang diberikan Pak Saidi padaku.
Seorang pria yang tadi disuruh Pak Saidi pun kemudian menghampiriku, ia melemparkan bajuku dan memintaku untuk memakainya, "Emang lu mau jalan-jalan cuma pakek handuk?", tanyanya. Ia sedikit keberatan untuk membawaku jalan, terlihat dari raut wajahnya yang penuh kesal. "Loh mana bra dan celana dalam ku?", tanyaku ketika mencari pakaian yang ia berikan padaku. "Gue tahan, daripada entar lu kabur, malah gue disalahkan Pak Saidi...", ujarnya. "Tapi...", belum selesai bicara, pria itu lalu melototiku, ia menggertakku dengan berkata, "Kalau ga mau, ya udah! Gue tinggalkan lu di sini!". Aku pun terpaksa memakai pakaianku tanpa dalaman.
Pria itu berpakaian rapi dan mengantarku dengan motor RX King bututnya yang penuh asap tebal dari knalpot. Suasana malam, kami menyusuri jalan yang aspalnya sudah rusak, kiri kanan hanya hutan setelah meninggalkan steher tempat kapal bersandar. "Di pasar ada apa saja bang?", tanyaku. "Sini mah kampung dek, sebenarnya jam segini dah sepi, tak ada yang buka lagi, heran Pak Saidi suruh gue bawa pula...", katanya. Tidak apalah kalau cuma sekedar keliling, daripada aku harus di kapal, lagian aku bisa coba mengulur waktu di sepanjang perjalanan.
Kami sudah memasuki kampung, sepanjang jalan kulihat rumah mereka jarang-jarang, letaknya jauh-jauh, halaman mereka luas, sehingga rumah nampak seperti di ujung. Penerangan mereka juga kurang, rata-rata masih menggunakan lampu pijar, bahkan beberapa rumah belum dialiri listrik sehingga mereka hanya menggunakan penerangan seadanya dari lilin. Beberapa lama kami sampai di daerah yang sudah agak ramai, rumah sudah tertata berdempet, beberapa rumah tertutup rapat, sepertinya mereka buka warung di siangnya. "Ini lah pasar di kampung dek...", kata pria yang memboncengku.
Kami turun dari motor kemudian berjalan kaki melihat-lihat, beberapa orang saja yang berlalu lalang memperhatikan kami. Banyak toko sudah tutup. "Tuh di sana ada warung, singgah yuk...", ajakku untuk mengulur waktu. "Adek lapar? Bukannya sudah makan?", tanya pria itu. "Haus bang.. Sekalian Ayu traktir abang minum kopi saja...", alasanku.
Kami pun masuk ke warung itu, kecil, dinding pun hanya terbuat dari kayu. Meja panjang ada di dalamnya untuk pelanggan. "Mas, kopi hitam satu ya... Ayu mau pesan apa?", pesab pria itu kepada pemilik toko, lalu ia bertanya kepadaku. "Teh hangat saja ya...", jawabku. Pemilik warung yang sudah tua itu pun berkata, "Tunggu ya...", dia adalah wanita yang sudah tua dan cukup lusuh, ia lalu menyajikan pesanan kami. Sepi, suasana kampung ini bagaikan di hutan, walaupun beberapa warung ada di kiri kanan, namun semuanya sudah tutup. Tidak ada orang yang lalu lalang dengan suara ribut-ribut. Maklum, masih jarang ada kendaraan bermotor di sini. Bahkan suara jangkrik masih terdengar jelas di sini.
Kami mulai mengobrol, sengaja aku membuang waktu agar tidak kembali ke kapal. "Di sini mah jam lima aja sudah pada sepi nak...", kata nenek pemilik warung yang tua renta itu ketika ku bertanya keadaan di sini. Pria yang membawaku pun ikut nimbrung, kami membahas banyak tentang kampung ini. "Di sini masih asyik ya, suasana masih nampak asri...", kataku. Sambil meminum kopinya, pria itu pun mengeluarkan rokoknya.
Tak lama dari itu ada pelanggan datang, seorang pria dari kampung. "Pesen kopi bi...", sebutnya lalu duduk di samping pria yang tadi membawaku. "Eh elu cong.. ", pria itu ternyata mengenal awak kapal itu. "Buat apa kau di sini?", tanya nya. "Ga, lama aja gak nyicip kopi nya Bi Sumri", jawab pria yang dipanggil Cong itu. Awak-awak kapal milik Pak Saidi rata-rata dipanggil dengan sebutan Cong, entah mengapa, aku juga tidak mengerti. "Eh, lu bawa cewek cong? Pacar lu ya?", ejek pria itu. "Bukan, ini orang kota mau lihat-lihat kampung kita.. ", jawab awak kapal. "Cewek kota cantik-cantik ya...", kata pria itu sambil memandangiku. "Hehehe, jadi lu mau bilang istri lu ga cantik?", ejek awak kapal. Dia pun diam dengan senyuman sambil kembali memandangiku. Aku tidak berani menatapnya, aku hanya meminum minumanku lalu berbicara dengan pemilik warung.
Kedua sahabat itu kemudian membahas masa lalu mereka, aku tidak peduli pembicaraannya. Bahkan itu bagus, waktu akan banyak terbuang jika mereka mengobrol. Aku pun memesan minum lagi ketika teh panasku habis. Jam sudah menunjukkan pukul 22:45, sudah larut malam, pemilik toko pun sudah kemas-kemas, dengan wajah cemberut dia menyindir kami, "Biasanya warung tutup jam sepuluh... Itu pun kalau ramai...". Pria kawan sang awak kapal lalu bangkit, "Wah sudah diusir nih, saya cabut dulu lah...", katanya lalu membayar minumannya, "Semuanya berapa bi?", maksud hati dia ingin mentraktir kami. "Eh, ga usah", jawabku, "Biar Ayu saja...", aku lalu memberikan uang lima puluh ribu kepada pemilik warung. "Wah terima kasih nih...", kata pria itu.
"Kalian mau ke mana lagi?", tanya pria itu. "Palingan balik ke kapal...", jawab sang awak kapal. Aku lalu bertanya, "Apa ada hiburan di sini?". "Wah, malam gini mana ada tempat buat hiburan lagi", kata pria itu. Aku sedikit malas kalau harus balik ke kapal, bisa-bisa aku jadi piala bergilir lagi. "Oh ya cong, coba aja ke tempat lama tuh, siapa tau masih buka", saran pria itu. Awak kapal yang tadi membawaku pun menjawab, "Hmm, betul juga ya...", mendengar itu aku menjadi lebih senang, "Ayo ke sana", ajakku.
Pria itu berkendara di samping kami menuju tempat yang mereka sebutkan itu. Jauh dari pasar, melewati jalan kecil yang dikelilingi semak belukar. "Loh tempat apa ini?", tanyaku karena jalanan gelap, sedikit curiga karena tempatnya semakin sepi. "Tuh depan sana biasanya jadi tempat hiburan...", sebut pria yang memboncengku. Kami sampai, pria itu mematikan mesin motornya. "Inikan pemakaman, ngapain kita ke sini?", tanyaku.
Banyak kuburan di sini, aku terheran-heran apa yang menjadi hiburan di sini. "Tempat uji nyali...", jawab pria awak kapal. "Hahaha, nyali elu yang diuji.. ", ketawa temannya yang tadi menuntun jalan. Sial, mereka bermaksud lain, entah apa yang mereka akan lakukan, yang jelas, di sini cukup menyeramkan. Dua pria itu memaksa ku mengikuti mereka masuk ke area pemakaman, semakin dalam. Astaga, sepanjang jalan setapak pemakaman, aku mendengar suara desahan, ternyata banyak pasangan berbuat mesum di belakang kuburan. Pemakaman ini menjadi tempat pelampiasan nafsu. "Mau apa kalian?", tanyaku. "Diam saja lu...", kata pria awak kapal memaksaku berjalan lebih ke dalam.
"Oi cong, bawa cewek baru nih?", ejek satu pria yang berada di balik kuburan. Pria itu mengenal awak kapal, kulihat ia sedang menyetubuhi seorang wanita. "Hahaha, dari kota nih...", ejek sang awak kapal. "Ikutan ga? Cuma lima puluh ribu jak", kata sang awak kapal. Rupanya dia bermaksud menjualku. "Gue selesaikan ini dulu...", jawab pria yang remang-remang di kegelapan. Dua pria yang membawaku kini menyeretku ke sebuah kuburan. "Tolong lepasin gue...", pintaku. Mereka tidak menghiraukanku. Sang awak kapal malah menamparku, "Diam lu!", lalu ia mendorongku hingga jatuh.
Temannya yang tadi mulai melepaskan pakaiannya. Sang awak kapal menangkapku, ia menahan tanganku, sedangkan kawannya sudah mulai merabaku. "Please... lepasin gue...", pintaku. Ini belum pernah terjadi sebelumnya, aku akan bercinta di pemakaman, sungguh tragis. "Arggghhh!", sakit sekali, pria itu memukul perutku hingga aku hampir muntah. "Diam aja lu, gak usah banyak bacot!", pria yang sudah bugil itu kemudian mulai membuka pakaianku juga.
Berhasil, ia berhasil membugiliku hingga tidak tersisa sehelai benang pun menutupi tubuhku. "Cakep cong, perek kota memang cakep...", pujinya lalu langsung melahap bibirku. Aku tidak bisa melawan, awak kapal memegangi tanganku dengan kuat. Aku tidak menyangka akan begini. Puas menciumi bibirku, pria itu pun kemudian menyedoti susuku. Aku tidak bisa menahannya, kupandangi ke samping, air mataku bercucuran, ku lihat di balik sana juga ada sepasang muda mudi yang sedang bercinta. Sungguh tempat yang mengerikan, makam di sini menjadi tempat prostitusi bagi warga kampung.
Ilalang tinggi menutupi mereka, suara-suara jangkrik terdengar hingga desahan mereka tidak begitu jelas. Mereka tidak ada rasa seram atau jijik sedikitpun. Pria itu puas menyedoti kedua belah susuku. Kini ia siap untuk menusukkan penisnya ke vaginaku. Entah sudah berapa penis yang masuk ke vaginaku, sejak diboking oleh Pak Saidi, aku menjadi bahan gangbang banyak pria. "Ah...", pria itu mulai menggenjotiku. Aku tidak mau melihatnya, aku hanya bisa pasrah dan menyesali kehidupanku.
"Kalau kayak gini sih ampe pagi, mau gue...", kata pria itu terus menggenjotku. "Lima puluh ribu coi, lu cari di mana agik perek cantik murah gini?", jawab awak kapal yang memegangi tanganku. "Kalau sampai pagi, lu berani bayar berapa?", tanya awak kapal. "Hahahaha, gue cuma bawa segitu cong", jawab pria itu cengar cengir dengan terus menggenjotku. "Makanya lu cepetan selesaikan, habis itu lu cari kawan-kawan yang mau, entar gue kasih lu komisi...", kata awak kapal. Sungguh malang, aku menjadu barang perdagangan mereka. Aku dijual mereka dengan harga murah. Aku tidak bisa menerimanya, aku coba melawan namub apa daya, semua sia-sia saja.
Pria itu menghantamkan penisnya kuat ke vaginaku, keluar masuk, hingga tubuhku bergoyang kuat. Belum selesai ia menggenjotiku, datang seorang pria, "Nih cong...", kata pria itu sambil memberikan uang lima puluh ribu Rupiah kepada awak kapal. Sepertinya pria itu adalah pria yang tadi kami jumpai, pria yang tadinya sedang bercinta di balik kuburan. "Sabar ye...", jawab awak kapal meminta pria itu menunggu giliran. Aku semakin terpukul, hatiku hancur, sakit sekali, aku bagai perek murahan yang dipakai di kuburan. Aku terus menangis, membiarkan pria itu terus menggenjoti vaginaku yang masih terasa sakit akibat perlakuan para awak kapal dan kuli angkut sebelumnya.
Beberapa menit kemudian, pria itu mulai mengejang, ia sepertinya sudah berejakulasi dan menyemprotkan spermanya di dalam liang vaginaku. "Ah... Nikmat...", katanya lalu menarik penisnya dari vaginaku. Ia bangkit dan memakai kembali pakaiannya. Pria yang tadi mengantri segera mengambil posisi, ia langsung saja menindihku. Pria sebelumnya memberikan uang lima puluh ribu kepada awak kapal sambil berkata, "Tunggu cong, gue cari duit lok", ia lalu meninggalkan kami.
Kembali aku harus digagahi di bawah sinar rembulan, di ruangan terbuka, bahkan kali ini lebih parah, aku harus melayani pria hidung belang ini di pemakaman, tepatnya di balik kuburan. "Hiks hiks hiks...", tangisku dengan air mata yang terus mengalir. Pria itu tidak peduli, sambil menggenjotku, ia meremas buah dadaku dengan kencang, hingga susuku terasa sakit.
Pria ini sangat kasar, bukan hanya meremas susuku dengan kuat, ia juga menampar-namparnya serta mempelintir puting susuku hingga aku benar-benar kesakitan. Tak lama dari itu muncul dua pria di balik kegelapan, mereka memberikan uang masing-masing lima puluh ribu kepada awak kapal yang memegangiku. "Hahaha, bisa jadi germo lu cong sekarang...", ejek dua pria itu. "Huss, bukan barang gue nih, punya boss", jawabnya. "Wah, berani banget lu embat punya Pak Saidi?", tanya salah satu pria itu. "Biasa bro, demu sesuap nasi...", jawab pria itu seakan tidak berdosa.
Dua pria itu duduk sambil memandangi aku diperkosa. Awak kapal mulai melonggarkan cengkramannya, sepertinya ia sudah tau aku tidak mungkin bisa kabur. Mereka mulai menyalakan rokok sambil menunggu giliran. Namun belum selesau pria ini menggenjotku, dan dua pria itu mendapatkan giliran mereka, tiba-tiba datang lagi dua pria dari balik semak ilalang. "Cong, dengar-dengar kau bawa cewek kota...", seru mereka sambil mendekati kami. "Hahaha, ternyata benar.. ", mereka melihat ke arahku yang sedang digagahi tanpa perlawanan. Dua pria itu pun memberikan uangnya pada awak kapal, seperti tadinya, mereka mulai duduk sabar menunggu sambil menghisap rokok.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menangis dan membiarkan beberapa pria ini menggilirku bergantian. Terdengar percakapan mereka dengan menggunakan bahasa kampung mereka, di sisi lain aku juga mendengar suara desahan nikmat dari balik kuburan yang lain, serta krik krik suara jangkrik kecil menemani malam yang kelam ini. Pria yang tadi menggenjotku sudah menghabiskan spermanya di dalam liang vaginaku, kini giliran pria lain yang sedang duduk bersama awak kapal, dia berdiri dan segera mendekatiku. Pria itu sedikit buncit, namun kulitnya sama dengan pria lainnya, hitam, aku menutup mataku agar tidak melihat kesuramanku. Aku hanya merasakan benda tumpul masuk ke vaginaku dan bergerak di sana, keluar masuk.
Jantungku berdegup kencang ketika mendengar suara yang lebih gaduh. Ku buka mataku dan menemukan pria yang berkumpul tadi telah bertambah jumlahnya, mereka semakin ramai, mungkin sudah belasan pria di sana. Aku hanya menggeleng-geleng tanpa tenaga, aku menangis, entah berapa pria lagi yang akan kembali datang. Awak kapal tersenyum sambil menghitung uang hasil menjual diriku. Aku kembali menutup mataku, mencoba menahan semua, namun apa daya, semua terasa sangat menyakitkan.
Beberapa lama, tampaknya semua sudah tak sabar, mereka tidak mau lagi menunggu giliran, beberapa pria menggerayangiku dengan ganas. Tengah malam dan hampir dini hari, mereka ramai sekali, tampaknya mereka tak sanggup menunggu hingga pagi hari. Sekujur tubuhku sudah sakit sekali. Mereka membalikkan badanku di atas seorang pria, pria itu menusukkan penisnya ke vaginaku dari arah bawah, lalu seseorang pria menyodokkan sebatang lagi melalui anusku. "Arg!...", sakit sekali, aku tidak mampu menahannya. Vagina dan anusku terasa seperti terbakar, dinding-dindingnya mungkin sudah tergores. Satu pria maju menghadap ke wajahku dan dia menjulurkan penisnya ke mulutku, aku tidak mau, aku terlalu lelah untuk melayani semua orang di sini.
"Ayolah cantik...", pinta pria itu. Aku terus menutup mulutku agar pria itu tidak bisa menusukkan penisnya di mulutku. Pria itu membelai-belaikan penisnya di bibirku, bau sekali, penisnya seperti tidak pernah dicuci, bau pesing sangat menyengat. Pria itu sedikit emosi, "Lu uda gue bayar!", katanya sambil memukul-mukulkan penisnya di pipi ku. 'PLAK!', ia mengamuk dan menampar pipiku dengan keras. "Wanita jalang!", teriaknya sambil kembali menamparku.
Mataku berkunang-kunang, badanku bergetar kuat, bergoyang maju mundur. Samar-samar aku hanya mendengar pertikaian para pria itu, "Woi, lu jangan emosi gitu!", "Bisa pingsan dia", "Sorry...", "Gue ga suka ngentot cewek pingsan!", "Woi fokus! Gue dah lama nunggu nih!", mereka saling bertengkar, hingga aku benar-benar tidak tahu apalagi yang terjadi. Pandanganku gelap, aku yakib aku telah pingsan dan tak sadarkan diri hingga pagi tiba.Suara ribut-ribut membangunkan ku, sangat kaget, aku terbangun dengan keadaan tanpa busana, dan di tengah pemakaman, kiri kanan ada kuburan. Badanku sakit, seakan remuk, aku baru mengingat semalam aku digilir oleh banyak pria. Kulihat sekitar, beberapa orang menggerumuniku. Ramai sekali, sepertinya mereka adalah warga sekitar, ada seorang pria berpakaiab dinas, beberapanya adalah ibu-ibu, dan dibelakang sana seperti pakaian hansip sedang menangkap seorang pria.
"Dasar pelacur!", teriak ibu-ibu yang berada dikerumunan, mereka melemparkan sesuatu ke arahku, ada sandal, sepatu, bahkan batu. "Sudah! Sudah! Biar hukum yang tindak!", teriak pria berpakaian dinas menenangkan para kaum ibu-ibu itu. Kulihat dua hansip sedang mengikat pria di belakang kerumunan, setelah itu satu hansip datang ke arahku dan melemparkan handuk sambil berkata, "Ayo ikut kita ke kantor!".
Pria yang diikat itu adalah awak kapal yang semalam membawaku ke sini, ia tertunduk malu, sambil dicaci maki seorang wanita yang mungkin adalah istrinya. Kulihat wanita itu menampar awak kapal itu. Aku lalu memakai handukku dan kemudian terpaksa mengikuti mereka ke kantor. Wanita yang menampar awak kapal itu pun mendekatiku sambil marah-marah, caci makinya tak terdengar jelas karena ribut-ribut pada ibu-ibu. Sedikit yang hanya jelas sepert, "Pelacur!", "Wanita Jalang!", entah sebutan apalagi yang mereka teriakkan kepadaku. Aku malu, aku tertunduk sambil berjalan, di sampingku sang awak kapal pun ikut digiring.
Semakin ketakutan ketika ibu-ibu itu menarim handuk ku lepas, mereka ingin aku diarak tanpa busana. Jantingku dag dig dug berdebar kencang. Aku bugil berjalan di keramaian, begitu pula sang awak kapal, dia juga diperlakukan sama. Kami dibawa mengelilingi kampung. Ribuan mata menatap ke arah kami. Beberapa pria memandang dengan nafsu, sedangkan para ibu-ibu memandang kesal, beberapa melempari kami batu. Bahkan ada anak-anak nakal yang berlarian sambil memukulku, beberapa menyentuh bagian kemaluanku. Aku sungguh malu, rasanya seperti ingin mati saja.
Cukup lama kami berjalan, kakiku sudah lelah, akhirnya kami sampai di sebuah kantor. Ini adalah kantor desa, pria yang berseragam dinas tadi tidak lain adalah kepala desa. Kami berdua diamankan di sini, sang kepala desa berjanji akan memproses hukum kami, sehingga para ibu-ibu tenang dan membubarkan diri.
Aku dan awak kapal hanya bisa berjongkok di sudut ruangan, dengan keadaan bugil. Pria-pria yang bekerja di dalam kantor malah sesekali memanfaatkan kesempatan untuk melirikku. Kepala desa berkata bahwa kami harus menunggu sampai petugas keamanan datang. Aku menangis, ini sungguh memalukan. Awak kapal meminta ijin untuk menelepon pengacara, "Ini salah paham, aku bisa jelaskan!", namun kepala desa tidak memberikan kesempatan, "Kamu bisa jelaskan nanti kalau di kantor polisi...", kata kepala desa.
Tidak ada pegawai wanita di sini, semua yang mondar mandir hanya pegawai pria, tatapan mereka mengerikan. Mereka sengaja lewat hanya untuk melihatku, sambil tersenyum cengar-cengir, bahkan beberapa terdiam di depanku, sambil bercakap-cakap mengejekku mereka meminum kopi. "Nih pecun sepertinya bukan orang sini..", kata seseorang pegawai kepada temannya. "Woi cong, lu bawa dari mana?", kata pegawai yang mengenal awak kapal. "Semua ini salah paham bro...", katanya. "Gue perlu pengacara buat bersihkan nama baik gue", alasannya seolah-olah dia tidak bersalah.
Tak lama kemudian kepala desa mendekat dan meminta pegawainya memisahkan kami, "Biar mereka tidak bisa bekerja sama dan mentusun alibi palsu!", kata kepala desa. Dua pria menangkapku dan membawaku masuk ke sebuah ruangan lagi, sedangkan sang awak kapal dibiarkan di luar. Sesaat kulihat kepala desa berbicara dengan sang awak kapal, namun selanjutnya aku tidak tahu, aku diikat di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja yang bertumpuk berkas dan mesin ketik. Ruangan yang penuh dengan lemari berkas, pintunya kemudian ditutup, para pegawai itu meninggalkanku dalam ruangan ini sendirian.
***
Beberapa menit kemudian pintu terbuka, beberapa pria berpakaian dinas masuk, mereka adalah pegawai di sini. Sambil cengar cengir mereka membawa lakban, dan langsung saja menutup mulutku, aku tak sempat berteriak karena mereka cukup cepat. "Hehehe, rupanya pecun dari kota...", ejek mereka. "Kapan lagi kita bisa pake pecun kota secara gratis...", kembali mereka mengejekku. Entah apa yang terjadi sebelumnya, tak nampak sang kepala desa, entah dia mengetahui kejadian ini atau tidak, bahkan mungkin saja dia yang memerintahkannya. Mereka ada berlima, masing-masing melepaskan seragam mereka dan kemudian berjalan mendekatiku. "Cantik bener nih pecun...", kata seorang pria yang sudah bugil, ia berjalan mendekatiku sambil meremas-remas penisnya. Begitu pula dengan seorang pria lagi, sambil mengocok penisnya, ia mendekatiku, lalu menciumi aroma tubuhku tepat dileher, ia berkata, "Hmmm, masih muda, tapi sudah jadi pecun...".
"Hmmm... hmmm...", aku tidak bisa berteriak. Aku ingin sekali meminta pertolongan, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Para pegawai ini sudah kesetanan, mereka malah menyakitiku, mereka memukul dan menamparku sambil berkata, "Lu jangan munafik, lu kan pecun...", kata mereka. Aku menangis, mereka melepaskan ikatanku dari kursi, lalu membaringkanku di meja. Meja itu sudah bersih ketika beberapa pria dengan bringas melempar semua barang yang di atas meja. Mereka sudah tidak sabar untuk memperkosaku. Aku diikat di meja, dengan pantat berada di ujung meja, hingga mereka akan leluasa membuka selangkanganku dan menusukkan penis mereka.
Aku hanya bisa meronta-ronta, ingin sekali berteriak namun mulutku tertutup lakban. Mereka juga terus memukuliku dan mengancam akan kembali menggiringku keliling kampung dengan tubuh bugil. "Sudah lah...", kata mereka, "Lu kan perek...", lanjut mereka, "Apa susahnya layani kami?", kata mereka lalu tertawa-tawa, "Palingan bedanya cuma kita minta gratisan, hahahaha...", terbahak-bahak mereka mengerjaiku.
"Hiks hiks hiks...", tangisku yang hampir tak terdengar karena mulutku dibekap lakban. Tangisan tak berdayaku hanya membuat pipiku basah karena air mata. Mereka mulai menjamah tubuhku. "Nah begitu dong, tidak perlu melawan...", kata seorang pria yang mengambil giliran pertama.
Dengan tubuh yang sudah bugil itu, pria tersebut mulai mengarahkan penisnya ke vaginaku. Pria lain mengambil peluang lain, mereka menyedoti ke dua belah susuku. "Mantap susu cewek kota", kata seorang pria. "Hahaha, iya dong, wajah artis ga kayak gadis desa kita yang muka kampungan...", balas pria lainnya. "Tapi memeknya ga begitu rapet lagi nih...", kata pria yang sedang menggenjotiku. "Hahaha, peler lu kali cong yang kekecilan, hahaha", ejek mereka. Pria itu ikut tertawa-tawa sambil membalas mereka, "Ini perek coi, bukan pacar kalian, hahaha".
Tanpa belas kasihan, mereka terus mengerjaiku, entah setan apa yang telah merusak otak mereka, para pegawai ini berani melakukan hal ini di dalam kantor mereka sendiri. Pria pertama cukup kuat, sudah hampir dua puluh menit dia masih terus menggenjotku, tanpa mau memberikan giliran kepada teman-temannya. "Cepetan cong", kata mereka yang hanya menunggu sambil menciumi pipi, leher dan susuku. "Sabar ye...", pria itu mempercepat irama genjotannya yang membuat dinding vaginaku semakin perih. Air mataku bercucuran, hingga aku merasakan limpahan cairan sperma memenuhi vaginaku, pria tersebut berhasil menyemprotkan semuanya. "Ahhhh....", desahnya panjang kemudian menarik keluar penisnya. Aku merasakan cairan tersebut meleleh keluar dari pinggir vaginaku. Baru saja pria itu mundur, pria lainnya segera mengambil posisi tersebut. Sakit di vaginaku tak kunjung berhenti, pria satu ini tanpa basa-basi langsung menusukkan penisnya secara kuat hingga ke ujung. Aku tidak bisa berteriak karena mulutku yang tertutup, namun rasa sakit ini membuat tubuhku tersentak.
Pria yang tadi memperkosaku menarik rambutku untuk mengelap penisnya yang masih sedikit basah, lalu ia beranjak untuk mengenakan kembali seragamnya. "Jangan lama ye, kamek jaga luar lok", katanya. Pria lain tidak menghiraukannya, mereka terus mengerjaiku. Pria kedua yang memperkosaku ini menggunakan irama cepat, sesekaki ia meremas kuat kedua belah susuku. Genjotannya sangat kasar, kurasakan penisnya menembus hingga habis. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya, dan entah berapa lama aku akan diperlakukan begini.
Beberapa menit kemudian, pria kedua ini berhasil menyemprotkan spermanya di dalam, ia memandang ke atas sambil mendesag kenikmatan. Seperti halnya tadi, ia segera menarik penisnya dan membersihkannya dengan rambutku. Lalu pria lain menggantikan lagi posisinya. Mataku terus bergelinang air mata. Aku bahkan sulit mengambil nafas karena mereka terus menggenjotku tanpa henti.
Sudah satu jam berlalu, sekitar lima orang pegawai di sini menggagahiku tanpa ampun. Pintu terbuka dan kulihat pria pertama yang memperkosaku masuk. "Sepertinya harus sampai di sini...", katanya. Pria yang sedang menggenjotku langsung memandang pria itu, ia terlihat kecewa sambil berkata, "Bentar lah, belum keluar nih...". Pria yang mendapatkan giliran lebih kesal lagi, tanpa mau bicara, ia meremas susuku dengan kuat lalu pergi ketika mengenakan bajunya kembali. "Cepet!", perintah pria yang tadi kembali masuk. Pria yang sedang menggenjotku pun segera mempercepat iramanya, "Dikit lagi...".
Pria itu akhirnya berhasil melepaskan nafsu birahinya, air spermanya memenuhi liang vaginaku. Aku sangat hina, vaginaku sudah hancur entah seperti apa. Pria itu kemudian memakai kembali bajunya, lalu pria yang pertamapun melepaskanku. Kulihat awak kapal masuk dari pintu dan memberiku pakaian. Entah kesepakatan apa yang sudah diambil, namun sempat kudengar bahwa Pak Aji Saidi telah menebusku. Samar-samar ku dengar sang awak kapal berbicara kepada para pegawai, "Kalau ada yang tahu, bisa berabe...", para pegawai mencari alasan agar tidak diketahui warga, sehingga mereka telah menyusun kasus ini menjadi kasus yang dapat membebaskan mereka dan juga aku.
Aku berpakaian kembali, sang awak kapal memintaku untuk mengikutinya pulang ke kapal karena sebentar lagi kapal itu akan berangkat pulang. Syukurlah, aku bisa pulang ke kotaku lagi, mungkin sekitar dua hari aku akan sampai di sana.
Cerita lainnya yang mereka susun adalah bahwa aku merupakan seorang mahasiswi yang sedang meneliti perkampungan ini, aku ikut kapal Pak Aji Saidi hingga ke sini, lalu awak kapal yang sering dipanggil Kacong itulah yang membawaku keliling untuk survey tempat ini. Hal buruk terjadi ketika aku bertemu preman-preman yang sedang mabuk di pemakaman, aku dan Kacong dikerjai di sana. Warga menemukan kami dengan sebuah kesalahpahaman, sehingga aku dan Kacong akhirnya bisa dibebaskan. Ya, semuanya bebas, Pak Aji bebas, Kacong bebas, teman-temannya bebas, para pegawai bebas, hanya aku yang menderita sekarang ini. Tapi syukurlah, aku tidak diproses lebih lanjut, paling tidak si Kacong tidak akan mengalami pertengkaran lagi dengan istrinya, mereka semua akan kembali seperti semula. Dan aku terus berdoa, aku juga harus mengakhiri ini semua.Aku akhirnya memutuskan keluar dari lingkaran setan ini. "Ayu mohon pamit...", ucapku kepada Bang Solihin. Aku sudah membulatkan tekadku untuk tidak terjerumus lagi di dunia ini. "Memangnya Ayu mau ke mana?", tanya Bang Solihin. Aku pun segera beralasan, "Ayu mau balik kampung bang...". Bang Solihin pun tidak banyak bicara untuk tetap menahanku di sini.
Aku pulang ke kost-an ku dan beristirahat, badanku benar-benar terasa mau patah. Tidak sempat istirahat karena tadi pagi ketika sampai di kota ini, aku langsung diantar anak buah Pak Aji Saidi langsung ke markas Bang Solihin. Sambil merebahkan badan, ku buka amplop yang diberikan Bang Solihin, amplop putih panjang yang ia berikan sebagai tanda perpisahan kami, kubuka dan kulihat ternyata berisi uang pecahan seratus ribu. Cukup banyak dan kuhitung-hitung senilai sepuluh juta. Syukurlah, aku bisa menambah modalku untuk membangun usaha kecil-kecilan.
Vaginaku masih sakit, pinggangku terasa mau patah. Ku elus bagian susu ku pun sudah sangat perih. Mungkin Bang Solihin juga tahu penderitaanku ketika ikut dengan Pak Aji Saidi. Mengingat hari kemarin yang sangat tragis. Setelah selseai menemani mereka hingga ke kampung halaman mereka, aku pun belum bisa melepaskan derita itu. Dua hari perjalanan pulang aku masih terus dikerjai.
Setelah kasus penangkapan di kuburan, akhirnya aku dipulangkan ke kapal. Ku temukan di sana cukup mengerikan, Pak Aji Saidi bukan saja membawa anak buahnya, tetapi juga belasan pria dari kampung yang menumpang karena ingin merantau ke kota. Pikiranku sudah curiga dari awal, jika para awak kapal mengerjaiku di sini, aku yakin para pria pencari kerja tersebut juga akan ikut nimbrung, karena mereka saling mengenal, mereka pasti akan saling berbagi kenikmatan.
Malam itu setelah kami menyelesaikan makan malam, aku hanya dibiarkan untuk beristirahat sejenak, tidak sampai tiga puluh menit. Para pria berbadan kekar dengan kulit yang hitam mengerumuniku, mereka adalah pekerja di kapal ini, tubuh mereka gelap, hanya mengenakan celana dalam mereka kemudian mengerayangiku. Ada sekitar lima belas orang ketika itu, di belakang mereka masih ramai dengan beberapa pria yang ikut Pak Saidi untuk merantau ke kota. Seperti biasanya, Pak Saidi tidak di sini, seakan dia tidak berminat menjamahku bahkan memandangku sama sekali.
Aku dibugili mereka secara paksa, seharusnya mereka tahu bahwa aku tidak mungkin melawan, namun mereka masih menggunakan sedikit kekerasan untuk menyalurkan nafsu bejad mereka. "Kita pesta lagi manis...", kata seorang pria yang langsung mencumbui bibirku. Beberapa pria memegangi tangan dan kaki ku. Ada yang menjambak-jambak rambutku. Ada yang sedang kesetanan menyedoti puting susuku. Yang membuatku merasa geli adalah pria yang sedang menempelkan wajahnya di selangkanganku. Aku bisa rasakan hembusan nafasnya di sana mengenai vaginaku, pria itu menjilati tepian vaginaku sambil ia membelai jembut-jembut halusku.
Pria yang memegangi tanganku tidak tinggal diam, dia menyentuhkan tangannya ke penisnya yang besar, ia memaksaku untuk mengocokkan penianya dengan tanganku. Dalam seketika aku diharuskan melayani beberapa pria ini sekaligus. Pria lainnua sudah berjongkok di wajahku dan ia mengarahkan penisnya masuk ke dalam mulutku. Aku pun merasakan sebatang benda tumpul besar menghantam ke dalam vaginaku. Aku mulai dikerjai mereka. Dua tanganku mengocok penis pria, masing-masing kiri dan kanan. Kaki ku pun tak luput menjadi mainan mereka, mereka menggosok-gosokkan penis mereka di kakiku. Bahkan rambutku pun mereka lilikan ke penis mereka untuk dikocok.
Aku sungguh tak mampu membayangkan lagi nantinya. Mereka semua seperti kesetanan, menghabiskan malam di atas perairan ini dengan mengerjaiku. Mungkin ini sudah menjadi kebiasaan mereka untuk sekedar menghabiskan waktu dalam perjalanan. Aku sebenarnya sudah tidak tahan diperlakukan begini, namun apa daya, aku harus bertahan hingga sampai ke kota ku. Aku tidak mungkin kabur, kami di tengah-tengah sungai besar yang sepanjang jalan di kiri kanan hanya nampak pepohonan. Paling tidak sisa dua hari aku harus bertahan di sini, mencoba tegar mwnghadapi para manusia laknat di kapal ini. Resiko sebagai pekerja panggilan yang sudah seharusnya ku tanggung.
Pria yang menggenjoti vaginaku telah berejakulasi setelah beberapa menit dia beetahan dengan genjotan kasarnya. Pria lain segera menggantikan posisinya. Disusul ejakulasi dari pria yang menusukkan penisnya ke mulutku tadi, ia menyemprotkan spermanya dalam mulutku, ia terus menusukkan penisnya hingga spermanya dengan terpaksa masuk dalam hingga kekerongkonganku. Sangat brutal, beberapa pria yang mencumbu susuku sudah sangat seperti orang gila, mereka meremas kuat buah dadaki dan mencubit kuat putingku. Aku hanya bisa menangis sambil menutup mataku, air mata berlinang membasahi pipiku.
Beberapa menit kemudian pria ke dua sudah mulai berejakulasi juga di dalam vaginaku, terasa hangat semprotan spermanya di dalam sana, dan lelehannya bisa aku rasakan dengan seksama. Pria lain segera menggantikannya setelah pria itu mencabut penisnya dan menjauh. Seperti halnya tadi, dia juga tak merasa iba terhadap keadaanku, dia bergerak dengan kasar.
Tiga puluh menit berlalu, vaginaku perih, entah berapa liter sperma yang sudah masuk di dalam vaginaku, dan sudah hampir semua awak kapal ku layani secara bergantian. Pria-pria pencari kerja sudah tidak sabaran, mereka juga segera ikut masuk ke dalam gerombolan ini untuk mengerjaiku bersama-sama. Mereka mengerumuniku dengan tubuh mereka yang sudah bugil. Aku bagai piala bergilir, mereka bergantian meniduriku.
Vaginaku benar-benar perih sekali, entah sudah terluka atau sudah bengkak. Aku akhirnya tak sadarkan diri karena kelelahan, dengan pipi yang masih dibasahi air mata, aku pingsan dan hingga pagi menjadi mainan mereka tanpa dapat berkutik sedikit pun.
Masih ada satu malam, itu adalah malam terakhir, aku harus bisa bertahan karena swtelah itu perjalanan kami tidak jauh lagi dan aku bisa segera pulang ke rumahku. Namun malam terakhir itulah yang menjadi kenangan paling buruk. Aku tidak dapat melupakan saat-saat itu yang sangat kejam.
Saat itu tepat jam 18:30 setelah selesai kami makan malam, para pria yang berada dalam kapal sudah tak tahan untuk menyalurkan nafsu mereka, kali ini lebih awal. Aku ditelanjangi di atas kapal, aku disuruh menyepongkan puluhan penis pria di ruangan terbuka. Semua berbaris rapi di atas kapal, mengantri untuk mendapatkan layananku. Dari awak kapal hingga para pria pencari tenaga kerja, mereka semua bugil dan mengarahkan penis mereka ke wajahku. Entah berapa jam aku melayani mereka, yang jelas cukup lama dan membuatku lelah. Bukan hanya itu, merka mulai kasar, kali ini mereka menggunakan perlengkapan, awalnya mereka mengikatku di tiang kapal, dengan tangan terikat ke belakang, lalu kakiku di biarkan tidak terikat, sehingga dengan mudah dapat dibuka. Aku dikerjai semua pria di sana, mereka menyedoti susuku dan menusukkan penis mereka di vaginaku, hingga beberapa jam. Vaginaku bahkan sudah mati rasa karena perbuatan mereka. Beberapa bagian tubuhku muncul luka memar karena mereka sedikit melakukan kekerasan seperti menamparku, memukul dan menendangku.
Setelah semua melampiaskan nafsu mereka, aku masih belum bisa beristirahat tenang, beberapa pria yang belum lelah masih tidak mau membiarkanku diam begitu saja, mereka mengerjaiku dengan membawa beberapa peralatan seperti tongkat dan jepitan pakaian. Mereka tertawa-tawa sambil memandangiku yang tak berdaya terikat di tiang kapal ini. Mereka menjepitkan jepitan baju itu di puting susuku, lalu mereka juga menyodokkan tongkat ke dalam vaginaku dan dibiarkannya tertancap di sana. Mereka tertawa-tawa lalu mengambil sebotol bir dan memaksaku menenggak habis bir itu.
Letih dan terhina, ini lah resiko ku bekerja sebagai kupu-kupu malam. Hingga pagi aku menjadi mainan mereka, aku merasa kedinginan karena harus bugil di tempat terbuka, dengan angin yang bertiup di tengah malam hingga subuhnya. Mereka melanjutkan gangbang mereka hingga pagi, di mana di subuh harinya mereka menyeretku kembali masuk ke kapal. Aku tak mampu lagi merasakan kesakitan, semua seperti sudah kaku, aku hanya bisa pasrah menunggu besok tiba.

TAMAT
Derita Ayu Sang Kupu-kupu Malam, Pada: Rabu, Juli 29, 2015
Copyright © 2015 CERITA DEWASA Design by bokep - All Rights Reserved