Recent Posts Widget

b-e-d-a

http://cerita-porno.blogspot.com/2015/07/b-e-d-a.html

B E D A

Beda yang mempertemukan kami, beda yang mendekatkan kami, beda pula yang meliukkan jalan kami bersatu. Mungkin beda pula yang akan memisahkan kami jika tiba waktunya kami terduduk lelah menatap jalan berliku di hadapan kami. Jika kami menyerah



Hutan Kecil di ujung Tenggara Sulawesi

'MATI KAU ANJIING!' teriakan cempreng yang ditujukan padaku itu memekakkan telinga. Tapi hatiku tak sempat lagi merasakan sakitnya dimaki. Kepalaku terlalu pening menahan sakit fisik dari tendangan telak yang mendarat di pipi kiriku barusan.

Tertatih aku mencoba meraih keseimbangan. Tangan kananku mencoba mengorek darah dari mata kiriku. Aku masih butuh mata ini karena saya tahu, pertarungan belum usai. Badai serangan punggawa tua ini akan datang dari arah titik lemahku.

Benar saja, kelebat hitam terlihat dari sebelah kiriku membuat saya menaikkan kedua tangan menutupi kepalaku, pancingan agar lawanku mau berbaik hati memasukkan serangan berikut ke arah perut. Saya sudah tidak sanggup menerima hantaman di kepala. Dan benar saja, kelebatan kakinya mengarah ke perut samping kiriku. Tapi saya sudah siap. menarik nafas mencoba memanggil sisa-sisa kekuatan yang ada, menghimpunnya di perut dan meledakkannya dengan hembusan nafas. Bertahan, hanya itu yang bisa kulakukan.

Saya pikir saya siap. Tidak begitu kenyataannya.

Olah tenaga dalamku hanya bisa mengurangi dampak serangan itu sampai ke titik mematikan, tapi tendangan itu melukai. Ujung kaki punggawa tua itu menyentuh di satu titik, memfokuskan tenaga dalamnya menembus perisaiku. Serasa ada peluru menembus perut kiriku, tetapi bukannya keluar dari sisi sebelah atau setidaknya berdiam dalam perutku, peluru ini dengan tidak sopannya memantul mantul dalam perutku mengocok isinya dan melemparkanku sejauh 1 meter.

'MATI KAU, HAHAHA! makian cempreng itu terdengar lagi. Tapi belum sempat dilanjutkan suara lain lebih dahulu mendiamkan pemilik suara itu.
'DIAM ANAK KURANG AJAR! TIDAK TAU SOPAN SANTUN!' Kali ini suara si punggawa yang menggema di hutan kecil ini. Dan suaranya sukses membuat diam si pemilik suara.

Saya cuma bisa berbaring telentang mencoba mengatur nafas. Pertahananku hancur. Tinggal usaha menjaga nyawa tetap di badan yang ada. Pandangan buramku menatapi langit yang biru kemerahan tertutup darah di mataku. Sekejap kutangkap bayangan sang punggawa tua melangkah mendekatiku untuk kemudian berjongkok dengan satu lutut di tanah.

'Maafkan cucuku. Dia tidak tahu sopan santun. Dunianya beda dari dunia kita.' Katanya setengah berbisik. Samar saya lihat senyuman di bibirnya.

'Siapa gurumu?' Tanya punggawa itu lagi.

'La Mattuada' jawabku bergetar. 'Almarhum' lanjutku pelan menutup mata. Bukan sakit yang membuat suaraku bergetar. Nama itu memang selalu membuatku kehilangan kata setiap kuucapkan.

'Bohong!' Bentakan Punggawa tua itu membuyarkan lamunanku. 'La Mattuada tidak punya murid! Siapa gurumu?' Bentaknya lagi, kali ini sambil mencekal bajuku.

'Saya tidak bohong Dato. Dia kakekku.' Jawabku lemah.

Lalu diam menyergap, jawabanku membuat punggawa tua itu menatap wajahku lebih seksama. Mungkin mencari kesamaan ciri di wajahku.

'Seandainya kita bertemu di kondisi yang berbeda, mungkin lain ceritanya nak.' Kata Punggawa tua memecah diam kami. Suaranya sedikit bergetar diikuti kebingunganku menatapnya. Dia kenal kakek?

Kemudian punggawa tua itu berdiri. Tubuhnya tegak menatap langit. Bersiap melancarkan serangan penutup rupanya.

Orang berkata pada saat-saat meregang nyawa, fragmen kehidupanmu akan berkelebat memperlihatkan perjalanan hidupmu, memberimu waktu berdamai dengan apa yang akan kau tinggalkan.

Dan hidup berkelebat di pikiranku lebih cepat dari cahaya. Ah, hidupku, hidup yang aneh, seaneh namaku.

Wisnu Angkara Surya. Nama pemberian dari kakek yang tercantum di akta kelahiranku disegel dengan darah dua ekor kambing yang saya yakin tidak tahu masalah tapi jadi korban.

Pemberian namaku bukan asal, kata ayah suatu hari. Itu doa dari kakek agar saya bisa tumbuh menjadi orang yang bijak, cerdas, dan berani berpendirian. Tapi jawaban ayah tidak masuk akal bagi otak kecilku.
Saya sengaja bertanya hari itu karena namaku kerap menjadi bahan olokan di TK tempat saya bersekolah. Wisnu memang bukan nama yang lumrah di tanah sulawesi tempat saya dilahirkan. Terdengar terlalu ke 'jawa-jawaan'.
Tapi tidak ada argumenku yang bisa merubah pendirian orang tuaku. Kompromi terakhir adalah menyingkat namaku menjadi wiwin, lebih bersahabat daripada Wisnu. Dan pada hari pertama saya bersekolah di kelas 1 SD, saya resmikan nama panggilanku pada saat memperkenalkan diri di depan kelas.

Tapi nama panggilan ternyata tidak bisa merubah makna asli sebuah nama. Hidupku seakan ditakdirkan untuk sekeras namaku.

Pada usia 7 tahun, saya pertama kali berhadapan dengan kerasnya hidup.

Pagi itu kami sedang belajar membaca ketika Pak Ramdan, kepala sekolah kami menngetuk pintu kelas dan berbicara kepada Bu Hasnah wali kelas kami. Pembicaraan mereka serius, ditandai dengan Bu Hasnah yang kerap beristigfar, diakhiri dengan elusan dada sambil berucap Inna Lillaah... sebelum berjalan ke arahku, merangkul saya berdiri dan mengantar saya keluar kelas menuju ruang kepala sekolah.

Dalam ruang kepala sekolah, terlihat sosok yang sudah kukenali. Kakekku, si biang masalah atas namaku duduk terpekur di sofa tamu, dan berbalik ketika salam Pak Kepala Sekolah memecahkan lamunannya.

Tidak perlu kejeniusan untuk tahu ada sesuatu yang salah ketika kakek berdiri menyongsongku dan memeluk tubuh kecilku sambil menangis.

Saya kurang suka pada kakek, karena dia orang yang keras. Salah bicara sedikit bisa berakibat bentakannya. Untung hanya sesekali Kakek datang ke rumah, tapi sesekali itu sudah cukup membangun antipatiku. Tapi hari itu sifat kerasnya hilang. Pelukan ini buktinya.

Barulah ketika cerita kakek mengalir saya paham mengapa. Ayah dan ibu meninggal sejam yang lalu karena tertabrak mobil ketika berangkat kerja. Motor mereka yang terlipat dua menjadi pertanda kerasnya tabrakan itu. Tangisanku merobek pagi itu. Rontaan tubuhku baru bisa berhenti ketika Kakek membacakan ayat suci ke telingaku.Tubuhku lunglai ketika kakek menggendong saya pulang ke rumah.

Penguburan dan takziah kujalani dengan perasaan hampa. Hampa karena ketiadaan orang tua, dan hampa karena pengetahuanku atas status ayah yang merupakan orang buangan keluarganya. Tak satupun keluarganya dari Jawa yang menghadiri pemakamannya kecuali seorang adiknyayang kupanggil dengan gelar Bu Lik.

Ayahku asli jawa. Itu saya tahu. Yang saya tidak tahu adalah kepergian ayah meninggalkan luka di keluarganya. Dia dibuang dari keluarganya karena menentang eyang. Dan kini, bahkan setelah tinggal jasad yang terbujur kaku, terbukti luka itu masih basah.

Ayah ibu memang meninggalkan rumah dan tabungan yang cukup untukku, tapi aku yang masih kecil tidak mungkin hidup sendiri. Kondisi ibu yang merupakan anak tunggal lah yang menempatkan kakekku sebagai satu-satunya keluarga yang bisa mengambilku.

Kakek tinggal di kampung kecil sebelah tenggara kotaku. Dia memilih hidup sendiri di kampung untuk bercocok tanam mengisi masa pensiunnya. Pilihan yang aneh bagi semua orang mengingat beliau adalah seorang akademisi yang cukup terkenal di masa mudanya, bahkan sempat terjun ke dunia politik sebelum akhirnya pensiun. Dan karena tak mungkin mengurus ladang dari jarak jauh, saya harus ikut dengannya ke kampung. Sekolahku akan dilanjutkan di sana.

Bayangan kakek yang sangar hilang setelah tinggal dengannya selama beberapa minggu. Begitu juga bayangan manjaku di mata kakek. Kakek seorang yang tegas, bukan kasar. Ketegasannya ditujukan untuk membentukku. Wajahnya yang tanpa senyum semasa orang tua saya masih hidup adalah bentuk protesnya terhadap ibu yang dianggapnya terlalu memanjakanku. Setelah saling mengenal dekat, tumbuh pemahaman karakter diantara kami.

Dukaku perlahan tergerus. Hidup menyapaku ramah di kampung kecil kami. Kami tidak hidup mewah, tapi berkecukupan. Fisikku juga menjadi tangguh ditempa kehidupan perkebunan jagung milik kakek. Siklus hidupku teratur baik. Pagi bangun, menimba air untuk mandi, sekolah, pulang menyiapkan makan dan mengantar ke kebun untuk makan siang bersama kakek, dan melanjutkan membantu pekerjaan di kebun. Sore ku akan diisi dengan bermain, sebelum malamnya belajar dan sholat bersama. Semua normal seperti anak-anak lain di kampungku. Kecuali 1 kegiatan.

Kegiatan yang lain dari yang lain ini terjadi setiap pukul 12 malam tiga kali seminggu di halaman belakang rumah kakek yang berpagar bambu tinggi. Pada malam-malam ganjil, ditemani sinar bulan jika ada, dan tanpa cahaya jika tak ada, kami akan berlatih silat.

Kakek sebenarnya tidak mau megajarkan silat padaku. Hanya kebetulan yang membangunkanku malam itu dan memperkenalkanku pada sisi lain hidup kakek.

Malam itu suara keras mengagetkanku, saya yang saat itu berusia 8 tahun cepat meloncat dari tempat tidur, dan berjalan keluar takut-takut mengintip dari celah pintu yang terbuka. Tapi malam itu bulan tidak menampakkan cahayanya tertutup awan. Di halaman belakang, kulihat sosok gelap sedang menunduk mengangkat sesosok tubuh lain yang terbaring di tanah. Sosok yang terbaring di tanah terlihat lunglai dan membuatku bergidik. Instingku mengatakan kakek sedang dalam bahaya, dan refleks kenangan kehilangan orang tua menyeruak kembali di kepalaku. Kenangan sedih itu menyayat dan saya tidak mau itu terulang. Saya tidak mau kehilangn kakekku.

Palang pintu yang tergeletak kuambil, dan setelah membulatkan tekad, pintu kudorong keras.
'Jangan ganggu kakeeeeek' teriakku menghambur keluar mengangkat palang pintu mengancam sosok yang berdiri tegak itu. Kalau tidak melukai, minimal menakutinya untuk memberiku kesempatan menolong kakek yang terbujur di tanah. Jarak 5 meter antara kami kutempuh hanya dalam 4 langkah. Palang pintu mengacung mengancam.
Tapi sosok itu diam tidak bergeming. Rencana menakuti sepertinya gagal, tinggal rencana melukai. Kuayun palang pintu itu dari atas sekuat tangan kecilku bisa, disambut sosok itu dengan hasta kirinya. Kraak kayu itu patah di hastanya. Patahan kayu melayang ke atas meluncur turun ke arahku. Selama kurang dari sedetik, segalanya melambat. Saya cuma sempat menjatuhkan diri ke belakang dan menutup mata menunggu patahan kayu itu jatuh mrnimpaku.

Tapi sosok di depanku lebih cepat. Sosok yang terkulai dilepaskan sebelum kakinya berputar cepat menyepak patahan kayu di udara, melemparkannya jauh ke arah kanan; menyelamatkan kepalaku.
Sekejap itu membuatku terperangah selama beberapa kejap. Kemudian Dalam remangnya cahaya bulan, sosok itu menarikku berdiri dengan sekali sentak.
'Jangan pernah tutup mata kalau bertarung Win' suara itu lembut tapi tegas. Suara Kakek.

Malam itu di ruang tamu, setelah urusan dengan polisi kampung kami beres kakek menceritakan apa yang terjadi. Sosok yang terkulai adalah perampok yang mencoba menyatroni rumah kami. Apes untuknya karena dia masuk lewat belakang tepat saat kakek sedang berada di sana. Sosok kakek yang sudah cukup renta di usia 60-an awal mungkin membuat perampok itu nekat menyerang. Pilihan yang salah.

'Kenapa dato tengah malam ada di belakang?' Tanyaku penasaran.
'Dato sedang olah raga nak' jawabnya malas-malas bisa mencium penasaranku.
'Olah raga tengah malam? Olah raga apa dato?' Tanyaku lagi.

Merasa tidak mungkin menyembunyikan lagi, kakek saya akhirnya mengakui bahwa dia berlatih silat. Dilanjutkan dengan cerita silsilah keluarga kakek.
Malam itu saya mengetahui bahwa kami berasal dari keluarga punggawa di kampung kami. Punggawa adalah istilah kami untuk jagoan kampung yang bertugas memimpin kampung. 'Memimpin' pada masa lampau juga berarti menjaga. Karena itulah gelar punggawa biasanya jatuh pada satu keluarga khusus yang punya kemampuan lebih; bela diri.
Kakek menyebutnya bela diri, tapi pengalamanku di masa depan membuktikan bahwa istilah tadi adalah penghalusan dari istilah yang lebih tepatnya, seni membunuh.
Saya sebut seni karena ada dua cara yang bisa digunakan membunuh; halus dan kasar. Seni halus lebih mengarah ke ilmu gaib sedangkan kasar lebih mengacu ke mancak alias silat.
Malam perampok itu datang kemampuan mancak yang dipakai oleh kakek. Lalu apa kakek bisa yang halus? Mari sama-sama bingung, karena kakek tidak pernah mau membicarakannya lebih lagi mengajarkannya.
Kalau kakek akhirnya setuju mengajariku mancak, mungkin karena sudah bosan mendengar rengekanku atau bosan harus menjitak kepalaku pagi-pagi karena semalam saya mengintip kakek latihan sampai subuh dan mencoba meniri gerakannya.

Hidup berjalan normal bagi kami selama 9 tahun. Saya tumbuh menjadi anak lelaki normal. Duduk di bangku SMU membuat saya harus bersekolah agak jauh dari kampung. Tapi jarak 8 km menjadi dekat bila dijalani setiap hari. Apalagi dengan menumpang angkot pak Bani tetangaku hehe.

Seperti apa hidupku? Normal saja. Jangan pikir kemampuan silat membuatku pongah. Pelajaran pertama dan syarat dari kakek dalah belajar menyembunyikan kemampuan. Pun ketika saya dipaksa keadaan untuk berkelahi. Jurus-jurus dikemas sesederhana mungkin sehingga terlihat seperti pukulan atau tendangan biasa. Efeknya yang sedikit lebih luar biasa. Itupun saya sembunyikan dari kakek untuk menghindari hukuman berupa latihan ekstra keras.

Kenakalan yang sedikit sulit dikontrol oleh kakek hanyalah kenakalanku soal perempuan. Pada masa hormon-hormonku menyeruak menampakkan taringnya, hilangnya figur ibu yang sulit digantikan oleh kakek membuat saya sedikit bebas. Dan untuk kenakalan yang satu ini saya memang sedikit pongah.

Tanpa saya sadari, latihan silat ditambah kerja fisik membuat stamina tubuhku jauh diatas rata-rata lelaki seusiaku. Stamina seks termasuk di dalamnya. Setidaknya begitu kata perempuan-perempuan yang pernah kutiduri - Perhatikan bentuk jamak kata 'perempuan' tadi (agak pongah kan, red.)

Lebih dari 6 wanita yang menjadi pasangan tidurku sampai usia itu. Umur beragam, begitu juga status sosial. Mulai dari Yuni pacarku yang satu SMA denganku, sampai Bu Hasnah mantan guru SDku yang pindah mengajar di SD dekat SMU ku pernah meregang menikmati rojokan kontolku. Tempatnya pun beragam, mulai dari hutan kecil di dekat sungai, rumah pasanganku sampai rumah kakek. Yang terakhir hanya sekali dan tidak pernah kuulangi karena malamnya kakek mengadakan 'latihan' tiba-tiba berakibat sobekan di kening kiriku.
Tapi luka kecilku tidak mengurangi minatku pada seks. Dan kakek, walaupun tahu akhirnya membiarkan selama tidak di depannya. Yang diajarkan hanya pemahaman mengenai tanggung jawab dan saya terima dengan hati lapang. Hidup cukup standar namun indah bagiku sampai masa SMU.

Sampai tiba masanya hidup mengajak saya duel dengan serangan kejamnya sekali lagi

Hari kelulusan tiba ditandai dengan euforia kami para siswa yang saling menyemprot pylox ke baju kami. Tapi hari itu ada yang terasa aneh untukku. Saat teman-teman lain ingin berjalan-jalan merayakan, saya memilih pulang.

Jika pada saat ayah ibu meninggal kakek yang menjemputku, pada saat kakek meninggal, tak ada yang menjemputku. Hanya insting yang memaksaku lari pulang dari sekolah. Ada yang tidak beres di rumah.

Jangan bayangkan perpisahan dramatis seperti di film, karena hidup tidak seramah itu untukku. Saya menyerbu masuk rumah dan langsung ke kamar kakek hanya untuk mendapati kakek terbujur di tempat tidur mengenakan sarung dan kaus oblong. Peci yang masih bertengger di kepalanya, sejadah yang masih menghampar di lantai dan senyum di wajahnya membuat seakan-akan kakek sedang tidur siang sejenak setelah shalat. Kakek memang tidur, tidak untuk bangun lagi. Selamanya.

Kepergian kakek meruntuhkan duniaku untuk kedua kalinya. Dan kali ini tak ada satupun yang bisa membantuku menatanya ulang.

Siang itu adalah persiapan untuk takziah hari ke 7 kakek berpulang. Saya sedang duduk terpekur di kamar ketika Pak Bani masuk ke kamarku bersama kepala kampung ditemani seorang asing yang mengenakan setelan jas. Pemandangan yang aneh untuk ukuran kampungku.

Pria berjas itu adalah seorang notaris bernama Muzakkir datang dari kota asalku segera setelah dia mendengar kabar meninggalnya kakek. Dia tahu karena kakek memang berpesan pada kepala Kampung untuk mengabari sang notaris jika sewaktu-waktu beliau meninggal.

Tangisku pecah saat tahu kakek sudah mengatur segalanya untuk masa depanku. Kakek mewariskan segala yang dimiliki olehnya kepadaku, termasuk simpanan deposito yang besar di bank yang bila dijumlahkan dengan peninggalan ibuku, membuat saya tidak perlu kuatir mengenai biaya sekolah sampai ke luar negeri sekalipun. Tapi tangisanku saat itu bukan tangisan senang atau terharu, melainkan tangisan sedih. Sedih karena saya rela menukar semua harta itu dengan kakek atau orang tua saya kembali.

Malam itu saat takziah sudah selesai, saya mulai menata rencana hidup. Tinggal di rumah kakek ataupun rumah orang tuaku yang kosong terlalu pahit untukku. Saya lebih memilih mencari kehidupan sendiri. Merantau merupakan pilihan yang tepat saat itu. Persetan! Jika hidup memang mengajakku tarung, saya tidak akan menutup mata sedikitpun menghadapinya.

Malam itu emosi kulampiaskan pada Bu Hasnah yang kutarik saat hendak pulang dari acara takziah. Setelah menyuruhnya bersantai di kamarku sambil menunggu tamu lain pulang, saya membereskan ransel menyiapkan bekal perjalananku.
Bu Hasnah sepertinya memang sedang hot karena saat pintu dan jendela telah saya kunci dan saya beranjak masuk ke kamar, dia sedang berbaring tanpa busana sambil memainkan vaginanya di ranjangku dalam keremangan kamar. Siluet tubuhnya yang berkulit putih mengangkang dengan dengan tangan kiri meremas dadanya sementara dua jari tangan kanannya mengocok pelan vaginanya membuatku melotot, membuka pakaian, dan sambil mengocok pelan kontolku berjalan ke arah tempat tidur.

'Tunggu dulu Win, biar dulu Ibu melihatmu mengocok' katanya dengan nada erotis.

'ibu nakal sekali malam ini' balasku tersenyum dan meluluskan permintaannya, berdiri tegak mengocok kontolku di hadapannya.

'Mungkin ini terakhir kali kita bertemu sayang, kita buat ini berkesan' katanya pelan diantara lenguhannya.

Tidak ada jawaban lagi dariku malam itu, hanya tindakan yang diliputi emosi duka diiringi lenguhan dan teriakam kami.

Perlahan saya berjalan mendekati Bu Hasnah dari sisi kanan ranjang sambil mengangsurkan kontolku yang tegang, disambut hangat oleh bibir basah dan tebalnya dengan lembut namun susah payah.
Dengan ritme pelan namun pasti, bibir dan lidah bu Hasnah bekrja di sekujur kontolku, menghisap, menjilat dan mengecup bergantian. Kukangkangkan kakiku di samping kiri kanan kepalanya sebelum merunduk membalas perlakuannya d perut, paha kemudian vaginanya yang basah. Teriakannya bergema di ruangan ketika saya memainkan klitorisnya dengan bibir dan lidahku.
Bu Hasnah sudah mendekati orgasme saat dia membalikkan tubuhku. Tidak mau membuang waktu, lutut kanannya baru menjejak kasur saat vaginanya sudah menelan kontolku. Lenguhan berganti desahan panjang saat dia mulai menggerakkan pinggulnya. Posisinya yang membelakangiku membuatku leluasa memeluk tubuh gempalnya dari belakang dan bermain di dada montoknya.
Desahan bergani teriakan saat orgasmenya tiba. Tapi malam itu saya bukan seorang cassanova. Saya ingin melampiaskan emosiku, dan dengan gerakan lincah seorang akrobatik, saya mengangkat tubuh dengan kedua tangan, mengatur posisi merangkak bagi Bu Hasnah sebelum memposisikan kontolku memasukinya dari belakang.
Tak kupedulikan keluhan Bu Hasnah yang minta waktu istirahat. Kocokanku cepat dan fokus. Kurang dari 20 tusukan kemudian, orgasmeku tiba. Malam itu kulampiaskan emosiku pada teriakanku, orgasme kali ini diliputi dukaku.

Dan teriakan itu adalah ucapan selamat tinggalku pada hidup di kampung kecil ini.

Sepeninggal Bu Hasnah, malam saya habiskan dalam diam tanpa tidur di kursi tamu ditemani ransel menunggu pagi. Menanti pergiku.

Pagi hari adalah waktu yang paling sibuk di kampungku. Langit masih jingga saat rumah-rumah sudah hidup dengan kesibukan penghuninya mempersiapkan hari. Dan untuk pertama kali sejak kakek meninggal, pagi ini rumah kakek juga menggeliat.

Selesai mandi saya masih duduk menghirup teh ditemani sebatang rokok. Selesai mencuci gelas, saya sedang bersiap-siap berangkat sambil menyandang ransel ketika pintuku diketuk. Sambil menghela nafas, saya menaruh ransel dan melangkah pelan membuka pintu.

Sesosok tubuh berdiri membelakangi pintu. Seorang wanita berumur sekitar 40-an berdiri di depan pintu. Kemunculanku mengagetkannya karena badannya tersentak mundur sedikit menatapku.
Sosok di depanku tersenyum manis menegaskan keayuan wajah pemiliknya. Kerudung abu-abunya disampirkan di leher sebelum berbicara.
'Ini rumah pak Matuada?' Tanyanya dengan suara dalam berlogat jawa sambil menatapku.
'Iya benar. Ibu siapa?' Tanyaku balik
'Boleh bertemu Bapak?' Tanyanya lagi kali ini lebih seksama menatapku.
Saya harus menghela nafas mengusir sedih sebelum bisa menjawab. 'Kakek baru meninggal minggu lalu. Ibu siapa?'
'Kamu Wisnu ya?' Bukannya menjawab malah bertanya balik. Tidak sopan.
'Ibu siapa?' Tanyaku kali ini dengan nada sedikit ketus dan alis berkerut.
'Saya Bu Lik mu nak. Adik ayahmu. Kamu lupa? Kita memang baru sekali bertemu di rumah ayah ibumu sewaktu...' kata-katanya terputus di tengah jalan berganti semburat sedih di matanya sebelum tersadar akan sesuatu.
'Lalu kakekmu juga sudah...' kembali dia terdiam mencari kebenaran kata-kataku di wajahku.
'Inna lillaahi....' katanya sebelum menubrukku, menarikku dalam pelukannya dan menangis.
Untuk pertama kalinya saya merasa punya tempat untuk saling berbagi. Saling berbagi karena saya tahu kami meratapi hal yang sama. Kesadaran ini membuat saya balik merangkulnya dan melepaskan kesedihanku.

Setelah tenang kami duduk di ruang tamu dan akhirnya Bu Likku membuka maksud kedatangannya ke rumah kami. Sebuah cerita mengalir dari mulutnya, cerita yang membuatku muak sekaligus rindu.

Eyang kakungku sedang sakit keras. Usianya yang lebih tua 3 tahun dari kakekku membuat seluruh keluarga ayah di Jakarta sudah ikhlas merelakan jika memang sudah waktunya. Namun kakek berkeras tidak ikhlas jika satu permintaannya tidak dipenuhi: bertemu dengan cucu laki-lakinya yang terdampar di tanah sulawesi bersama anak lelaki kesayangannya, yang diusir puluhan tahun lalu karena membangkang saat hendak dinikahkan dengan gadis pilihan Eyang Putri.
Dari cerita Bu Lik saya tahu betapa menyesalnya Eyang Kakung karena tindakannya dan betapa bertahun-tahun Eyang mencari kesempatan untuk memaafkan ayah. Namun ayah dengan keras kepala menampik setiap kesempatan yang ada.
Jangan bayangkan keluarga ayahku adalah keluarga besar yang harmonis. Bu Lik sendiri yang mengakuinya.
Lahir di keluarga aristokrat dari sisi eyang putri membuat anak-anak eyang tumbuh menjadi anak-anak yang manja, dan pada waktunya menjadi orang-orang dewasa yang gila harta. Eyang Kakung sendiri hanya bisa menatap perkembangan anak-anaknya dengan hati masygul dan tidak bisa berbuat apa-apa selain mengelus dada. Hanya ayah dan Bu Lik yang beda.
'Sifatnya keras kami mengikuti eyang kakung' kata Bu Lik sedikit tersenyum. Namun karena Bu Lik seorang wanita, hanya kepada ayahlah eyang kakung menaruh harapan. Jika yang lain tidak bisa tumbuh secara benar, yang satu ini harus bisa. Mungkin begitu pikir eyang. Namun keputusan eyang puteri yang berniat mengawinkan ayah dengan seorang wanita berdarah biru membuat ayah berang. Emosi meluap dan makian terluncur dari ayah membuat Eyang Kakung juga emosi. Hasilnya, keesokan harinya ayah menghilang. Tidak ada saudara ayah yang menyayangkan. Untuk mereka itu hanya berarti hilangnya 1 pesaing untuk masa depan mereka (baca: warisan). Hanya 2 orang yang berduka, Eyang Kakung dan Bu Lik. Jika Eyang hanya bisa larut dalam sedihnya, Bu Lik aktif mencari. Akhirnya setelah lebih 10 tahun kabar ayah yang akan menikah di tanah sulawesi sampai ke telinga Bu Lik lewat perantara: kakek.
Ya, kakeklah yang bertemu dengan Bu Lik untuk memberitahukan kabar itu dan kemudian berbaik hati mengantar Bu Lik ke Sulawesi setelah berkenalan dengan eyang kakung terlebih dahulu.
Tahun-tahun berlalu dalam kekeras kepalaan ayah untuk membuka hubungan dengan keluarganya. Hanya Bu Lik yang dibiarkan masuk dalam hidupnya. Itu pun hanya lewat surat dan telepon. Pernikahan Bu Lik pun tak mampu meluluhkan ayah. Hanya saat suami Bu Lik dan anak-anaknya meninggal karena kecelakaan, ayah sempat mengunjungi Bu Lik di Jawa. Itupun tanpa sepengetahuan keluarga lain.

Hidup sudah kehilangan daya tariknya bagiku sejak kakek menonggal. Tapi kini, ketika Bu Lik memintaku untuk bersedia menemui eyangku, saya tiba-tiba punya tujuan di hidupku yang saat ini kosong melompong. Toh, saya juga berniat untuk pergi. Dan saya penasaran bertemu dengan satu dari dua anggota keluargaku yang tersisa yang masih menyayangiku. Saat itu juga saya setujui permintaan Bu Lik.
'Tapi saya butuh beberapa hari untuk membereskan urusan di sini Bu Lik' kataku pada Bu Lik disambut senyumnya.
'Terserah Wis. Bu Lik akan bantu sebisanya supaya urusan cepat beres. Jangan lupa, kita juga mengejar waktu dengan kondisi eyang.' Balasnya.

Pagi itu Bu Lik saya antar ke kamarku untuk beristirahat. Saya sedang menimba air ke bak mandi saat Bu Lik berjalan ke kamar mandi mengenakan kimono mandi menenteng tas kecil berisi peralatan mandinya. Sinar matahari pagi yang mulai terik membuat kulit putihnya berkilauan memancarkan pesonanya yang membutakan mataku. Sejenak saya nikmati pemandangan indah itu sebelum menyapanya.
'Sebentar lagi Bu Lik, baknya belum penuh' kataku pendek.
'Biar Bu Lik isi sendiri Wis' balasnya cepat mencoba mengambil gayung ember dari tanganku. Tapi gerakannya yang terburu-buru membuat kakinya terpeleset di lantai sumur yang licin. Refleks saya menyambar tubuhnya yang terhuyung dengan tangan kananku yang kosong.
'Eeh, jatoh, jatoh, jatooh' katanya latah
Saya hanya tersenyum menanggapi latahnya. Tangan kananku yang memeluk pinggulnya dengan ketat saya longgarkan setelah Bu Lik berpegang pada pundak kananku dan menegakkan tubuh.
Mataku seakan mau meloncat saat sadar bahwa tali kimono Bu Lik terbuka akibat jatuhnya tadi menampakkan sepasang payudara berukuran cukup besar yang tidak berBH dan penampakan celana dalam putih transparannya.
'Bu Lik, tutup dulu' kataku jengah sambil berbalik.
'Eeh kebuka' balas bulik sambil cepat membenahi pakaiannya.
'Bu Lik duduk saja dulu di situ sambil saya nimba air' kataku menunjuk kursi kecil tempat kakek biasa duduk sambil melihatku latihan silat.
'Iya deh Wis. Bu Lik juga sebetulnya tidak bisa menimba sumur. Takutnya malah jatuh, hehe' jawab Bu Lik nyengir.
'Kamu nggak mau kuliah, Wis?' Tanya Bu Lik menemaniku menimba.
'Belum dulu Bu Lik' jawabku pendek.
'Kamu memang ada rencana pergi ke mana Wis? Bu Lik lihat ranselmu sudah siap waktu Bu Lik datang' tanya Bu Lik dengan nada menyelidik.
'Mau jalan Bu Lik' jawabku pendek, mulai merasa kurang nyaman. Bu Lik merasakan ini dan kemudian diam memperhatikanku menimba.
'Airnya sudah siap Bu Lik' kataku sambil menaruh gayung di binir sumur. Saya sudah hendak berjalan ke dalam rumah ketika Bu Lik memegang pergelangan tanganku.
'Jangan menyeraj dengan hidup Wis' katanya pendek tapi dalam membuatku menghela nafas.
'Mungkin sudah jalan dari yang di atas Bu Lik tiba pagi ini. Sabar ya Wis. Kalau kamu mau, tinggal dengan Bu Lik saja di Jawa. Supaya kamu tidak sendiri' sambung Bu Lik menatapku.
'Dilihat nanti deh Bu Lik' jawabku pelan melepaskan pegangannya di pergelanganku sambil melangkah ke dalam rumah.

Hanya butuh 3 hari mempersiapkan segalanya. Pak Bani saya percayakan mengurus kebun. Keluarganya akan membantu membersihkan rumah selama saya pergi dalam jangka waktu yang belum ditentukan. Urusan dengan Pak Muzakkir juga sudah beres. Semua uang dan surat berharga dibantu olehnya untuk didepositokan di bank, berganti kepemilikan, disertai buku tabungan dan kartu atm. Baju tak perlu saya susun lagi, ranselku masih setia menanti pemiliknya di kursi tamu.

Dan pagi itu, menumpang Pak Bani, kami berangkat ke bandara yang berada di kota asalku. Dengan perasaan tegang karena penasaran bercampur takut terbang, saya mantapkan langkah memasuki pesawat. Meninggalkan dukaku.

Jakarta menyambutku dengan tepukan keras di punggung. Tak ada yang lambat di kota ini. Semua orang bergerak didorong motivasi sukses. Dan ketika semua bergerak menuju 1 tujuan yang sama di tempat yang luasnya terbatas, gesekan pasti terjadi. Butuh mental yang fokus untuk bisa mendorong seseorang terus bergerak maju. Berhenti bergerak sama dengan mati; digilas massa yang bergerak maju dari belakang. Dan di barisan paling belakang saya tiba, belum memutuskan apakah akan ikut berdesakan atau tidak.

Kebingunganku pasti terbaca Bu Lik, karena dengan tenang dia memegang tanganku yang keringat dingin.
'Jangan kuatir Win. Bu Lik tidak akan pernah meninggalkanmu sendiri disini.' Katanya meyakinkanku.
Saya hanya tersenyum dalam diam menatap keluar jendela taksi yang kami tumpangi. Buatku kalimat Bu Lik barusan hanya basa basi. Sudah tiga orang yang membuktikan sebaliknya. Dan terlalu sakit untuk menaruh harapan ketiga kalinya. Tapi kuhargai usaha Bu Lik menghiburku.

Dalam diamku dan celoteh Bu Lik menjelaskan landmark kota Jakarta, kami akhirnya tiba di depan sebuah rumah raksasa. Rumah itu begitu tinggi menjulang bahkan jauh melebihi pagar batu setinggi 2 meter yang membatasinya dari dunia luar. Raksasa yang tinggal disini pasti tidak suka diganggu, pikirku dalam hati.

Setelah membayar taksi, Bu Lik berlari kecil menuju pos satpam di gerbang rumah sebelum akhirnya dua orang satpam tergopoh-gopoh berlari ke arahku untuk membantuku menurunkan bawaan kami dari taksi sebelum kemudian mengangkatkan hampir semuanya. Hanya ransel yang saya pertahankan untuk saya bawa sendiri.

Melangkah ke bagian dalam pagar membuatku ternganga. Halaman luas dan asri dengan kolam besar mengelilingi rumah itu. di tengah halaman luas berdiri sebuah rumah megah dengan dua pilar raksasa di depannya. Pintu depan rumah itu terlihat sangat kecil jika dibandingkan struktur bangunan lain. Dan pintu itu dibuka seorang wanita tua yang tersenyum ramah menyambutku. Pertahanan yang sudah saya siapkan menghadapi keluarga ayah runtuh seketika karena senyum itu. Namun terbangun lagi setelah wanita itu menawarkan mengangkatkan tas. Siapapun yang tega membuat orang tua sepertinya mengangkatkan tasnya pasti butuh perlakuan khusus. Sebuah tamparan dariku jika perlu. Bu Lik memperkenalkan wanita tua itu sebagai Mbok Ijah yang ternyata sudah mengabdi pada Eyangku sejak masih gadis.

Saya melangkah ke lantai dua rumah itu diantar oleh Mbok Ijah yang ngobrol dengan Bu Lik dan tidak henti-hentinya melihatiku, akhirnya di puncak tangga Mbok Ijah berbalik dan memelukku yang kebingungan sambil terisak. Bu Lik yang akhirnya menjelaskan bahwa Mbok Ijah ini dulunya yang membantu merawat ayah sejak kecil. Dan wajah saya yang mirip ayah membuatnya terharu mengingat ayah. Saya balas pelukannya dengan menggosok punggung mbok Ijah yang mulai bungkuk.

Pelukan kami diputus oleh sebuah bentakan.
'Mbok! Kerja yang bener!' Teriakan itu datang dari mulut seorang ibu gemuk seumuran Bu Lik. Tapi terbalik dari wajah Bu Lik yang ramah, wajah ini menyimpan ambisi dan dengki yang besar yang ditaruh di lehernya mengangkat paksa dagunya.
'Ke belakang sana! Bawa tasnya ke kamar!' Sosok itu memerintah lagi, diikuti gerakan mbok Ijah yang tergopoh-gopoh mencoba meraih ranselku. Hanya rasa kasihan pada Mbok Ijah yang membuatku melepas ransel itu, setelah tersenyum pada Mbok Ijah.
'Kamu anaknya Suryo ya?' Tanya sosok itu dengan otoriter kepadaku.
Mataku yang menyipit berkilat seakan siap menelannya bulat-bulat. Rahangku mengeras menahan amarah. Tidak ada kata yang keluar, tapi tatapanku cukup memberatkan dagunya dan membuat matanya terkejap.
'Iya Mbak ini anaknya Mas Suryo. Wisnu' suara lembut Bu Lik memecah konsentrasiku dan menyiram api amarahku.
'Bapak mana mbak?' Tanyanya lagi.
'Ee, di.. di kamar dik. Kalian sudah ditunggu.' Jawab wanita gemuk itu gugup.
'Ini Bude Sri. Istri Pak De Mawan, kakak ayahmu Wisnu.' Lanjut Bu Lik, kali ini kepadaku sambil menyentuh lenganku.
'Salam kenal Bu De.' Kataku pendek sambil menghela nafas mengulurkan tangan meminta jabatnya.
'Iya, salam kenal juga' Bu De ku membalas pendek sambil tersenyum kaku melihatku.
Namanya senyum, pasti akan menampakkan kecantikan, pun itu senyum kaku atau sinis.
Dan senyum Bu De membuktikan itu. Saya sedikit terpesona oleh senyum itu dan ikut tersenyum kaku membalasnya.
'Kami masuk dulu mbak' Bu Lik memecah hening kami dan menarik tanganku untuk berjalan ke arah pintu di sebelah kanan kami diikuti Bu De dari belakang.

Pintu membuka menampakkan ruangan luas berisi 12 orang manusia, sebelas berdiri mengelilingi 1 yang berbaring lemah. Yang berbaring membalikkan wajah ke arah pintu menatap dari celah-celah tubuh manusia yang berdiri dan matanya menatap fokus ke arahku. Tangannya bergerak mencoba menggeser penghalang pandangannya; yabg digeser patuh mencari tempat lain, meninggalkan ruang kosong selebar 2 meter antara posisiku dan tepi tempat tidur.

Mata itu perlahan menyipit diikuti gerakan mulutnya yang bergetar mengeluarkan suara lemah patah-patah. Tangannya menggapai ke arahku
'Sur...yo...' suaranya bergetar diikuti badannya yang mencoba duduk tapi tidak mampu.
'anak...kkuu' tangis meluncur dari mata tuanya mengiringi perkatannya. Dadanya naik turun menahan emosi dan lambaian tangannya menarikku mendekat ke arahnya untuk kemudian berlutut di sebelah kirinya.
Tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku, tapi pelukanku yang erat dengan rasa rindu pasti disadari Eyang Kakung. Kami berpelukan selama beberapa menit dalam tangisannya sebelum sebuah tangan meraih pundak Eyang mencoba memisahkan kami.
'Sudah pak, nanti jantungnya kumat' kata wanita itu lembut namun tegas. Tapi eyang rupanya belum rela.
'Tidak, kalian pasti mau mengusirnya lagi.' Kata eyang terpatah-patah.
'Itu bukan Suryo pak. Itu anaknya. Suryo sudah tidak ada.' Kali ini suara seorang lelaki yang menyahuti. Secepat kalimat itu keluar, secepat itu juga tangis Eyang Kakung berubah menjadi lebih kencang.
'Anakku... anakku....' hanya kata itu yang keluar dari mulut tuanya sembari tangannya memegang wajahku dengan mata liar.
Kuatir terjadi apa-apa saya memeluknya dan membaca ayat kursi di telinganya. Dan terbukti ini berhasil menenangkannya.
'Maafkan Eyang, nak' kalimat ini akhirnya meluncur dari mulut Eyang. Puncak dari segala emosinya. Hutang terakhir yang harus dibayarkannya, membuatku tergerak menggenapinya. Membayarkan hutang ayah.
Pelan saya bisikkan 'Nama saya Wisnu Angkara Surya, darah Suryo mengalir di tubuh saya. Dan saya tahu ayah juga sudah lama ingin minta maaf pada Eyang'.
Kalimatku kuakhiri dengan senyum dijawab pula dengan senyumnya. Lepas sudah beban kami. Tidak ada lagi dendam, hanya rasa rindu yang mundesak untuk diluapkan. Dan kami sama-sama tahu tidak banyak waktu yang tersisa untuk itu.

Malam itu juga eyang meminta sebuah kasur disediakan untukku di lantai. Saya diminta menemani Eyang di kamarnya. Lima hari ke depan kami isi dengan cerita ringan untuk mengisi kekosongan yang disebabkan kepergian ayah.
Dari eyanglah saya diperkenalkan kepada seluruh keluarga besarnya. Darinya pula sedikit demi sedikit tabir seorang Suryo dibukakan untukku membuatku makin rindu pada ayah dan ibu.
Eyang tertawa medengar ceritaku di kampung dan sedih mendengar kakekku yang baru meninggal.

Hari kelima adalah hari yang buruk, bukan saja karena kesehatan Eyang yang memburuk tapi juga karena kasak-kusuk yang terjadi di antara keluarga ayah. Kasak-kusuk mengenai harta warisan rupanya, jatah yang bakal berkurang karena kehadiranku.
'Keluarganya kan miskin. Kakeknya saja cuma petani. Wajar kalau dia juga ngincar jatah warisan' suara Bu De Sri dari dalam ruang makan membuat darahku mendidih. Bukan karena masalah miskin, tapi karena nama kakek juga diikutkan.
Saya sudah siap meledak ketika suara lain menghetikan langkahku.
'Mbak, bapak belum meninggal! Kenapa sudah bicara warisan!' Yang ini suara Bu Lik.
'Wisnu juga tidak mengincar warisan. Saya tahu pasti. Dia hanya mau bertemu Eyangnya. Itu saja' Suara Bu Lik masih lantang.
'Halah kita mana tahu hati orang. Yang logis saja Yen, kalau dikasih harta mana ada yang menolak' Bude Sri membela diri.
'Mbak tidak kenal keluarga mereka. Saya kenal. Dan Wisnu persis seperti ayahnya. Ada yang lebih penting daripada harta mbak' tukas Bu Lik diikuti langkahnya mendekati pintu ruang makan membuatku terkesiap.
Bu Lik terkesiap di pintu saat menatapku berdiri diam di ambang pintu.
'Saya haus Bu Lik' jawabku pendek melangkah ke ruang makan, mengacuhkan Bu Lik yang berusaha menahanku.
Kedatanganku membuat seisi ruangan terdiam. Saya menatapi seisi ruangan sebelum melangkah ke kulkas untuk mengambil sebotol air.
'Maaf saya haus. Airnya gratis kan?' Tanyaku tersenyum menatap mereka. Genderang perang kutabuh.
'Ah Wis masa minum di rumah sendiri bayar' pak De Mawan yang akhirnya menjawab sambil tersenyum.
Saya membalas senyumnya sopan sebelum melangkah meninggalkan ruang makan diikuti tatapam sinis Bude-Budeku. Jelas sudah siapa raja, dan siapa prajurit diantara musuh-musuhku.

Malam itu seluruh keluarga besar Eyang berkumpul di kamar Eyang mengiringi kepergian Eyang. Ya, malam itu saya sekali lagi dipaksa rela melepas satu lagi bagian hidupku yang baru saya temukan. Tidak saya perdulikan tatapan sinis Bude-Bude ketika kakek meminta kehadiran saya menghadapi ajalnya, berdamai dengan masa lalunya.

Penguburan Eyang berlangsung singkat namun megah. Menampakkan eksistensi, namun diakhiri dengan cepat dan tidak berlarut.
Malam itu acara takziah malam pertama dilakukan secara besar-besaran mengingat banyaknya tamu yang datang. Relasi bisnis, birokrat pemerintahan serta kawan lama Eyang memadati acara itu. Saya memilih duduk di bagian luar yang ditutup tenda terpojok di sudut sambil menghisap rokok menyusun rencana selanjutnya.
Tak ada lagi yang saya kejar di sini. Eyang sudah berpulang dalam damainya. Bisik-bisik warisan membuatku jengah dan makin tak betah disini. Barat sepertinya arah yang tepat. Sumatera.
Lamunanku dibuyarkan suara ribut di sebelah kiriku. Seorang wanita berusia 25an sedang berusaha berdiri dari duduknya tapi lengannya dicekal oleh lelaki di hadapannya membuat kerudung hitamnya lepas dan jatuh menampakkan wajah ayunya. Wajah yang sepertinya kukenal.
'Aduh sakit' wanita tadi menjerit. Tapi matanya tidak menunjukkan ketakutan, hanya amarah. Dan benar saja, sedetik kemudian tangan perempuan itu melayang menampar si lelaki.
Tamparan itu tidak cukup keras untuk membuat si lelaki sakit tapi rupanya cukup keras sampai ke hatinya menggugah amarahnya keluar.
Dengan gerakan cepat lelaki itu berdiri dan mendorong keras si wanita sampai jatuh terduduk di tanah. Rok hitam dibawah lututnya sobek karena jatuhnya.
'Dasar setan kau Ika, berani kau nampar saya? Saya ini suamimu!' si lelaki berteriak kepada wanita yang ternyata istrinya.
'Iya, kamu memang tau cara memperlakukan istri' balas si wanita menatap suaminya tajam sambil berusaha berdiri tegak. Bertumpu di kursi sebelah kiriku. Wanita ini berlidah tajam rupanya, dan melihat gelagat suaminya, saya tahu itu berarti perang berlanjut.
Benar saja suaminya merangsek maju mengangkat kaki kanannya siap menendang istrinya yang belum sempurna berdiri. Sang istri terlihat kaget dan memejamkan mata, saat secara refleks tangan kiriku menarik bahunya, menyentil rokok di tangan kanan dan menjatuhkan diri menerima tubuh si wanita yang limbung ke belakang.
Sentilan rokokku tepat kena sasaran; muka si lelaki. Tak urung serangan rokok membuatnya terpekik mundur membatalkan tendangannya.
'Maaf mas, maaf, saya jatuh' kataku setelah bangkit menarik si wanita berdiri. 'maaf juga mbak' sambungku kali ini pada si wanita sembari mendudukkannya di kursi.
Firasatku mengatakan si lelaki tidak akan terima. Cekalan tangannya di kerah belakang bajuku membuktikan firasatku. Kaki kananku saya mundurkan dan tepat mengenai tulang keringnya sebelum tumitku menjejak ujung sepatunya, membuat si lelaki terpekik lagi dan melonggarkan cekalannya memberi saya kesempatan menubrukkan tubuh ke belakang, mendorongnya mundur untuk kemudian berbalik.
'Maaf mas, tidak sengaja' kataku agak membungkuk mencari tangan kirinya berpura-pura menyalami dengan dua tangan. Tangan kanan bersalaman, tangan kiri mengunci pergelangannya.
Pukulan berikut yang dilancarkan tangan kirinya terhenti di udara saat rasa sakit menyerang pergelangan kanannya yang saya kunci.
'Sabar mas. Ini acara takziah. Ada yang berduka.' kataku pendek menatap tajam matanya menciutkan nyalinya.
Lelaki itu menoleh ke kiri kanan mencoba mencari bantuan, tapi tamu-tamu lain yang mulai ikut merubung meredam marahnya menggantikannya dengan malu.
'Alam, Ika! Apa-apaan kalian!' Suara itu membuat semua mata menoleh. Bude Sri berjalan tegap dalam kebaya biru gelapnya. Di belakangnya Pakde Mawan berjalan tergopoh-gopoh.
'Ika cuma mau pulang Ma' suara si wanita membuatku terkejut. Anak Bude Sri? Sepupuku?
'Acaranya belum selesai ka' kali ini Pakde Mawan yang menjawab.
'Ika malas bicara soal warisan Pa. Ini acara takziah kan? Bukan acara bagi-bagi harta' Lidah tajam Ika kembali menyambut. Alamat ribut lagi...
'Eh anak durhaka kamu. Bikin malu orang tua!' Tuh betul kan? Kali ini Bude Sri yang menyambar seperti bensin kesulut api.
'Pergi sana! Alam, kamu masuk!' Bude Sri sudah berteriak kalap kali ini. Pakde Mawan cepat menarik istrinya setengah menyeret ke dalam rumah diikuti suami ika yang masih menatapku dengan pandangan dendam meninggalkan istrinya yang berdiri menatap kosong sebelum menghempaskan pantat montoknya ke kursi di sebelahku. Hentakannya rupanya terlalu kuat membuat kaki kursi pelastik itu terpuntir membuatnya hampir terjengkang ke belakang. Refleks tanganku menangkap pergelangannya dan menariknya berdiri. Diam sejenak sebelum tawa kami pecah.
Tawa kami memjadi penanda bahwa tontonan sudah usai, dan kerumunan orang membubarkan diri dengan teratur kembali ke kesibukan masing-masing.
'Makasih ya' katanya dengan nada renyah setelah tawa kami reda.
'Sama-sama. Saya Wisnu' jawabku cepat menyambar kesempatan berkenalan, yang sayangnya disambut tatapan kagetnya.
'Kamu anaknya Om Suryo dari Sulawesi yaah' jawabnya dengan suara keras membuat penonton yang sudah tenang membalikkan kepala menunggu drama lokalan berikutnya.
'Ee maaf maaf' Ika menutup mulut sambil tertawa kecil. 'Suaraku memang kencang Wis' sambungnya kemudian.
'Iya sudah tau' jawabku pendek disambut tawanya lagi.
'Sori Wis, bukannya ngetawain kamu. Saya cuma senang punya teman untuk ketawa lagi.' Katanya lagi.
'Wis, temani saya jalan yok' kamu kan belum pernah lihat Jakarta.' Katanya dengan mata bulat penuh pengharapan. Tatapan mata kucing peliharaan Yuni pacarku di kampung juga kalah dari mata Ika. Dan saya luluh oleh tatapan itu. Jadilah malam itu saya duduk di kursi penumpang Vios Ika yang meluncur ke arah kafe di bilangan Kemang.
Malam itu kami habiskan dengan bercerita lepas. Dari Ika saya tahu cerita hidup keluarganya. Ibunya yang hanya berpikiran mengenai uang, ayahnya yang tidak punya power apa-apa di rumah dan berujung dengan perselingkuhan pakde yang malah dijadikan senjata Bude semakin kuat memeras suaminya. Kemudian mengenai pernikahannya yang bermotif bisnis dengan Alam yang masih terhitung sepupu Ika dari sisi Bude Sri. Tragis.
Ika terperangah mendengar ceritaku yang tidak kalah tragis dan kami tertawa bersama, menertawakan nasib kami. Persamaan tragedi yang mungkin membuat kami cepat akrab. Dan Ika adalah orang pertama yang saya biarkan memanggil saya dengan panggilan Wis, bukannya Wiwin.
'Makasih ya Wis. Mau menemani saya ngobrol.' Kata Ika tersenyum.
'Sama-sama. Ini pertama kali saya bisa santai di Jakarta' timpalku.
'Eh, minggu besok ajak saya ke ancol ya Ka. Saya penasaran cuma pernah lihat di TV.' Kataku
'Oke, siang saya jemput deh' katanya mantap.
'Loh, ke pantai siang-siang apa tidak panas Ka?' Tanyaku heran
'Pagi saya gereja dulu soalnya' jawab Ika pendek.
'Loh kamu gereja ya? Bukannya Pakde dan Bude muslim?' Tanyaku heran.
Dan meluncur lagi satu cerita Ika bahwa Bude Sri sebenarnya Kristen tapi masuk Islam sebelum menikah sebelum kemudian kembali ke gereja setelah menikah. Ini membuat saya heran karena Bude Sri juga ikut mengaji pada acara takziah.
'Selama itu menguntungkan bisnis, agama juga dijual oleh Mama' Ika menerangkan dengan sinis. Saya hanya bisa menghela nafas. Mungkin kemunafikan ini yang membuat ayah muak dan pergi.
Malam itu diakhiri dengan Ika yang mengantar saya kembali ke rumah Eyang. Waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam, acara sudah lama selesai. Rumah itu terlihat lengang ketika saya membuka pontu mobil Ika. Gerakan saya terhenti saat tangan saya dipegang lembut oleh Ika.
'Makasih ya Wis' kata Ika sambil menarik saya dalam pelukannya.
'Sama-sama. Saya senang akhirnya punya teman di sini' jawabku memeluknya balik.
Sejenak kami diam sebelum pelukan kami diakhiri dengan kecupan Ika di pipiku yang membuatku diam sejenak, menatap matanya dan bergerak mencium bibirnya yang merekah basah.
Ciuman kami berakhir setelah beberapa detik diikuti kekikukan kami.
'Saya masuk dulu Ka' kataku gugup.
'Minggu jadi kan ke Ancol?' Tanyanya berharap sambil menatapku dengan mata bulatnya.
'Jadi dong. Jemput ya' kataku tersenyum dibalas senyumannya.
'Bye Wis' katanya mengakhiri percakapan kami dengan kedipan kecil.

Malam iu saya melangkah masuk ke rumah dengan perasaan berbunga sekaligus bingung. Tatapan Bu Lik yang seakan menyelidik kuacuhkan, hanya kubalas dengan senyuman kecil. Saya tidak perduli lagi dengan semuanya. Petualanganku baru dimulai.Manusia jakarta rupanya sudah tidak punya kepekaan waktu. Jam masih menunjukkan pukul setengah 7 pagi saat mobil Bu Lik sudah harus berdesakan dengan mobil lain di seruas Jalan Tol Jakarta.
Rumah Eyang terlalu besar dan sepi untuk saya tinggali hanya dengan Mbok Ijah dan pekerja rumah lainnya. Belum lagi kasak-kusuk harta yang bisa timbul. Karena itu ketika Bu Lik mengatakan akan pulang ke rumahnya di Depok, ajakannya untuk ikut tinggal dengannya cepat saya iyakan.
Pukul 8 lebih kami sampai di rumah Bu Lik yang asri. Walaupun tidak terlalu besar, tapi rumah ini memancarkan cahayanya dengan halaman yang tertata dan secara keseluruhan bersih. Setelah menaruh barang di kamar, hal yang pertama terlintas adalah: mengabari Ika. Rencana kami jalan ke Ancol secara nonstop bergema di kepalaku.
'Bu Lik boleh pinjam telepon?' Tanyaku
Bu Lik tersenyum dan mengangsurkan HPnya padaku.'Mau telepon siapa Wis?'
'Ika Bu Lik' jawabku. 'Bu Lik tau nomornya?' Tanyaku lagi baru sadar saya tak punya nomor Ika.
Saya baru sadar ada yang aneh setelah beberapa detik tidak ada jawaban dari bulik. Senyum Bu Lik sudah hilang berganti kerutan di kening ketika HP diambilnya untuk memencet phonebook, memilih nama 'IkaMbak Sri' memencet dial dan menyerahkan hp kembali padaku.
'Pagi tantee' suara ceria terdengar dari ujung sebelah membuatku tersenyum simpul.
Diiringi tatapan penasaran Bu Lik, saya melangkah ke kamar. Singkat saja saya jelaskan pada Ika yang terpekik senang mendengar suaraku, bahwa saya tinggal di rumah Bu Lik sekarang dan jika rencana ke Ancol jadi, Ika saya minta tolog menjemput dari sini.
Pembicaraan diakhiri dengan senyumku yang pasti selebar senyum the Jokernya Batman karena kembali ditanggapi dengan kerutan di alis Bu Lik menatapku aneh saat HP Bu Lik saya kembalikan.
'Wis, kamu tahu kan Ika itu siapa?' Tanya Bu Lik pelan.
'Anaknya Bude Sri kan Bu Lik' jawabku acuh.
'Juga istri orang Wis. Dan sepupu kamu' sambung Bu Lik cepat.
Saya diam sejenak sebelum menanggapinya
'Ga apa-apa kan jalan dengan sepupu Bu Lik?' Jawabanku merupakan skak mat.
Bu Lik menghela nafas, memandang lantai sejenak sebelum tersenyum.
'Kamu keras kepala seperti ayahmu' kata Bu Lik mengulum tawanya.
'Iya seperti Bu Lik juga kaan?' Jawabku disambut tawa kai berdua.
Setelah tawa kami reda, Bu Lik melanjutkan
'Wis, Bu Lik hanya mengingatkan, keluarga Bude Sri itu punya pola pikir yang beda dari kita. Dan mmm...' Bu Lik terdiam sejenak seakan menimbang sebelum melanjutkan 'kamu tahu dia Beda kan?' Tanya Bu Lik kemudian sedikit hati-hati.
Saya juga menimbang jawabanku sebelum bisa menjawab
'Saya percaya agama adalah jalan masing-masing menuju kebajikan Bu Lik. Caranya beda, tujuan dan esensinya sama' jawabku.
'Ok Wis. Kamu sudah dewasa. Tempatkanlah diri dengan benar' petuah Bu Lik terakhir menutup pembicaraan kami pagi itu.

Tinggal dengan Bu Lik jauh beda dengan tinggal di kampung. Tidak ada kegiatan menimba dan menggarap ladang yang bisa saya lakukan, membuat 6 hari yang tersisa sebelum hari minggu terasa sangat panjang. Untunglah Bu Lik punya komputer dengan koneksi internet yang memang dipakai Bu Lik untuk bekerja. Bu Lik mengajari saya yang super gaptek cara membuat email dan menjalankan program komputer dan internet. Beruntung saya sudah punya sedikit dasar dari pelajaran komputer di SMU. Selama dua hari saya menjadi murid yang baik sebelum akhirnya saya dijadikan asisten Bu Lik membalas email dan membuat surat penawaran untuk usaha ekspornya.
Hari ke 4 rasa pegal menyerang badanku. Barulah saya sadar bahwa saya selama hampir sebulan ini kondisi membuat kegiatan fisikku jauh berkurang. Berhubung tidak ada ladang yang bisa digarap, pilihan jatuh pada latihan silat.
Jam menunjukkan pukul 1 malam saat saya mengendap-endap membuka pintu belakang melangkah ke halaman belakang rumah untuk memulai latihan.
Setelah meneliti letak barang-barang di halaman belakang agar tidak ada gerakan yang bisa merusak dan menimbulkan suara, latihan saya mulai dengan olah nafas. Kunikmati udara malam yang segar mengisi paru-paruku, memompa darah membawa aliran tenaga ke seluruh tubuh. Lalu gerakan mancak saya buka. Kakiku menekuk menjejak tanah sebelum gerakan jurus saya mulai. Pelan sebelum beranjak lebih cepat membelah udara menuju puncak jurusku meledakkan tenaga lewat satu hembusan nafas.
Tubuhku dipenuhi peluh tapi nafasku yang masih teratur membuatku puas akan hasil latihanku. Setelah satu helaan nafas panjang, saya melangkah masuk menuju dapur untuk mengambil minum. Sebuah suara samar mengalihkan perhatianku dari gelas kosong yang saya pegang mengalihkan perhatian saya ke arah asal suara: kamar Bu Lik.
Suara itu sontak membangkitkan gairahku. Suara yang sangat saya kenali. Asa yang bermain cinta di dalam kamar Bu Lik. Tapi dengan siapa? Saya melangkah ke ruang tamu untuk melihat apakah ada tamu yang datang menyisakan sandal atau sepatunya, tapi tidak ada yang berubah di kamar tamu. Hanya sepatuku yang asing diantara dereran sepatu wanita milik Bu Lik.
Suara di dalam berubah makin keras. Desahan berubah teriakan kecil.Tapi pikiran kotorkiu berubah kalut membayangkan jika di dalam terjadi pemerkosaan. Tidak ada sandal, tapi ada suara lelaki di dalam. Bukan urusanku, saya menepis desakan untuk mencari tahu. Tapi setelah teriakan mengaduh tanteku terdengar samar, saya putuskan untuk mencari tahu.
Pelan saya melangkah mendekati pintu bertepatan dengan suara tepukan disertai mengaduh lain. Cukup sudah. Pintu itu saya ketuk.
'Bu Lik, Saya Wisnu. Bu Lik tidak apa-apa?' Tanyaku sambil mengetuk pintu.
Hanya sedetik berlalu sebelum suara-suara di dalam berganti hening, membuatku makin panik menggedor pintu.
Derit rajang terdengar sebelum pintu membuka sedikit dan kepala Bu Lik muncul dari balik pintu.
'Mm, maaf Wis, Bu Lik ga apa-apa. Balik saja lagi tidur.' Kata Bu Lik tersenyum malu padaku. Tapi pemandangan di depanku membuat saya tak bisa menjawab.
Bu Lik berdiri dalam balutan selimut satin putih yang dililitkan asal dan hanya ditahan oleh kepitan ketiak kiri saat membuka pintu. Tapi lilitan asal itu membuat paha putihnya berkilau ditimpa cahaya temaram televisi. Siluet pinggulnya terlihat dari balik kain satinnya sejelas putingnya yang mencetak di bagian dada.
'Hus, liat apa sih Wis. Kaya orang bingung saja.' Katanya membuyarkan lamunanku. Wajahnya bersemu merah.
'Aa itu Bu Lik. Mm Maaf' hanya itu yang bisa kuucapkan sebelum menggeleng kecil mengusir kaget dan menelan ludah.
'Saya pikir ada orang jahat tadi. Soalnya Bibi mengaduh.' Kataku.

Jawabanku yang spontan menjelaskan 2 hal bagi Bu Lik. Satu, saya cukup dewasa untuk tahu apa yang terjadi di dalam dan kedua, saya mendengarkan sudah cukup lama. Bencana. Perutku mulas menyadari hal ini, menanti amarah Bu Lik. Tapi yang terdengar justru tawanya.
Setelah bingung sejenak, saya ikut tertawa dan baru diam saat Bu Lik menunjuk ke arah selangkanganku yang cuma ditutup celana longgar pendek.
Mataku melotot saat sadar ada yang muncul dari lubang kaki kiri celanaku. Sisa benda itu mencetak jelas di permukaan atas celanaku. Sial. Saya ngaceng berat.
'Ada yang kejepit tuh' tawa Bu Lik lagi diikuti garukan kepala dan cengengesan maluku sambil berusaha berbalik.
Akhirnya malam itu kami ngobrol banyak di sofa ruang tamu (setelah Bu Lik berpakaian dong, masa telanjang, dasar ngeres, red). Kami saling terbuka masalah seks. Bude bisa paham bahwa saya adalah remaja beranjak dewasa dan berjanji mengecilkan suara video yang ditonton kali berikut dia ingin swalayan. Lalu suara mengaduhnya? Bu Lik dengan malu-malu mengakui bahwa TVnya sedang memutarkan rekaman permainan cinta antara dia dan suaminya dulu.
'Wah PakLik ganas juga dong' kataku usil berbuah cubitan kecil di perutku dari Bu Lik.
'Boleh dong saya pinjam kalo giliran saya yang mau swalayan' kataku ngakak masih belum puas meledeknya, kali ini berbuah cibiran dan terkaman Bu Lik memiting leherku dan menjitak kepalaku gemas. Tapi tidak ada kemarahan diantara kami. Hanya tawa lepas yang mengiringi pergulatan itu.
Setelah berhasil lepas dari pitingannya, saya terduduk di sofa berselonjor.
'Huah Bu Lik lebih sadis dari Pak Lik kayanya ni' kataku menghela nafas pura-pura kehabisan nafas. Bulik hanya tertawa melempar bantal sebelum menempatkan kepalanya di pahaku, menaikkan kakinya ke sofa dan berbaring membelakangiku. Kemudian kami hening dalam lamunan masing-masing
Basah di pahaku membuyarkan lamunanku. Refleks saya berkata usil 'Bu Lik ileran ih' sambil tertawa kecil.
Tapi tak ada balasan usil dari bulik. Tangannya yang menyeka matanya membuat saya sadar basah itu bukan dari mulut tapi dari mata Bu Lik. Dengan lembut saya megelus rambut hitam Bu Lik sebelum tanganku bergerak ke pipinya menghapus air mata Bu Lik. Bayangan sepinya hidup Bu Lik selama ini membayang membangkitkan rasa kasihanku.
'Jangan nangis Bu Lik. Saya janji menemani Bu Lik mulai sekarang' kataku pelan.
Kepala Bu Lik membalik pelan ke kanan menatapku. 'Benar Wis, kamu mau tinggal bareng Bu Lik?' Tanyanya penuh harap. Anggukanku merekahkam senyum di wajah ayu Bu Lik sebelum dia berbalik lagi membelakangiku.
'Janji jangan tinggalkan Bu Lik ya?' Suara Bu Lik sedikit bergetar sambil mengecup pahaku yang terbuka persis di depan mulutnya.
'Janji' kataku singkat.
Lalu satu kecupan lagi ditambahkan, sebelum satu lagi dan satu lagi, semakin lama semakin naik ke arah pangkal pahaku sementara tangannya memindahkan posisi tanganku yang masih bertengger mengelus rambut Bu Lik ke arah: payudara montoknya.
Tangannya menekan tanganku memaksaku meremas payudaranya dari balik daster putih, berakibat lenguhannya.
Bulik membalikkan posisi tidurnya menghadapku, mengangkat kain celanaku menampakkan kepala kontolku yang sedang ngaceng dan melanjutkan kecupannya di sana. Kecupan berganti kuluman di ujung kontolku yang membuatku mendesah menyenderkan kepala sambil menikmati sensasinya.
Tanganku kembali diraih Bu Lik untuk kali ini diarahkan ke bawah dasternya. Tak mau kehilangan kesempatan, kali ini daster Bulik yang hanya sepaha saya naikkan lebih dahulu. Tidak ada celana dalam yang melapisi vagina Bu Likku, tanganku berhadapan langsung dengan basahnya, menguakkan bibirnya mencari klitorisnya dan bermain di situ.
Lenguhan Bu Lik menyertai hisapannya di kontolku yang kini sudah menyeruak dari kaki kanan celana pendek longgarku. Posisi kontolku yang menyamping membuatku kurang nyaman.
'Saya buka dulu Bu Lik' kataku pelan sebelum berdiri.
Proses buka baju kami lakukan dengan cepat dan kini kami berdiri berhadapan dalam kondisi telanjang bulat.
Bulik tersenyum nakal, menggigit bibir bawahnya sebelum melangkah mematikan lampu ruang tamu sebelum kembali ke hadapanku.
'Duduk Wis' katanya pendek tapi tegas. Dan saya manut seperti kerbau dicocok hidung.
'Sudah Bu Lik' jawabku setelah duduk di sofa.
Bu Lik tidak menjawab dengan kata. Mata nakalnya menatap tajam mataku saat Bu Lik menaiki pahaku memposisikan vaginanya diatas kontolku dan menggesek klitorisnya dengan gerakan maju mundur di sepanjang batang kontolku. Tangannya mencengkeram kuat bahuku dan memposisikan kepalaku sejajar dadanya yang mengacung bangga. Kuikuti kemauannya dan lidahku mulai bermain di putingnya membuat Bu Lik mendesah.
Emosi semakin intens dan badan Bu Lik menyentak mencoba mengurangi rangsangan dengan gelengan kecil kepalanya. Dengan menghela nafas, bu lik menatapku lagi dengan matanya yang menyala terbakar nafsu menyulut nafsuku.
Perlahan bulik mengangkat pinggulnya. Tangan kirinya masih bertumpu di bahu sementara tangan kanannya meraih ke bawah mengarahkan kontolku memasuki liangnya.
Saya mendesah keras merasakan sensasi basah di kontolku. 'Enak Bu Lik' kataku pelan diantara desahanku. Tapi kemudian gesekan itu berhenti setengah jalan, membuatku membuka mata menatap Bu Lik dengan pandangan bertanya.
Bu Lik tersenyum nakal menatapku sebelum bibirnya didaratkan di bibirku. Ciuman kami lama dan panjang diakhiri dengan kecipak ludah dan nafas terengah.
'Panggil saya Asri' pinta Bu Lik tegas.
Saya menatapnya dalam diam, paham bahwa Bu Lik tidak ingin merasa jengah dengan kondisi kami yang sebetulnya melarang hubungan ini.
Pelan saya naikkan pinggul, memasukkan kontolku penuh ke memeknya, membuat Bu Likku mengerang panjang.
Kudiamkan kontolku dalam posisi ini, membiarkan kami saling beradaptasi.
'Kita mulai Asri' kataku pendek sebelum mencium bibirnya.

Dan permainan kami dimulai subuh itu. Kemudian paginya, kemudian malamnya dan keesokan harinya. Dan untuk sejenak saya dipaksa melupakan pesona Ika. Paling tidak sampai hari minggu yang kutunggu.

Dering HP Bu Lik membangunkanku pagi itu. Malas-malas kutegokkan kepala ke meja kecil di sisi tempat tidur, meraih HP sialan itu untuk kemudian menyerahkannya kepada Bulik yang tertidur di sebelah kananku.
'Telpon mbak Asri' kataku sambil mengecup pipinya.
'Mmm' jawabnya manja tersenyum tanpa membuka mata, mengacuhkan bunyi telepon.
Paha kirinya yang menyembul dari balik selimut bergerak perlahan seiring Bulik yang membalikkan posisi tubuhnya dari terlentang menjadi menyamping memelukku. Paha kirinya ditimpakan di atas paha kiriku sementara kepalanya mencari lengan kiriku untuk dijadikan bantal. Tangan kirinya bergerak merabai perutku turun dan mencari kontolku yang sedang tertidur. Ini satu kebiasaan Bulik yang kudapati 2 hari terakhir setiap kami tidur bersama (tidur beneran maksudnya); Bulik senang meremas kontolku sambil tidur. Ngelindur mungkin. Kubiarkan saja, mengingan mungkin baru 2 hari terakhir ini Bulik bisa kembali melakukan kebiasaannya setelah tahunan hidup sendiri. Enak ini kok. HP kutaruh kembali di sebelah bantal menikmati elusan Bulik. Deringnya sudah berhenti.
Tapi si penelepon rupanya orang yang persisten. Setelah sekali mencoba dan tidak diangkat, dia mencoba lagi. Kali ini berhasil menarik perhatian Bulik.
'Siapa sih nelpon minggu pagi begini' keluh bulik melepas elusannya di kontolku dan meraih HPnya di sebelah bantalku. Karena agak jauh, Bulik dengan mata nakal mengambil kesempatan dan naik mengangkangi pinggulku, menempatkan kontolku yang setengah tegang di belahan vaginanya sebelum meraih HPnya.
Air mukanya berubah mengernyit melihat caller ID di HP dan memencet tombol accept dengan malas-malas.
'Haloo, pagi mbak' Bulik menyapa dengan nada malas.
''Iya, baru bangun ni. Apa kabar mbak?' Katanya kemudian sambil menatapku. Telunjuk kirinya ditaruh di depan bibirnya mengerucut memberi kode agar jangan ribut. Gesekan vaginanya terhenti walaupun kontolku masih berada diantara kedua bibir bawahnya yang basah.
Wajahku yang tampak kecewa membuat Bulik merasa perlu menjelaskan, dan memperlihatkan layar HPnya di depan wajahku. Tulisan 'Mbak Sri' di layar membuatku paham sekaligus geram. Si penyihir tua yang menelepon. Tau saja dia cara yang pas untuk nyusahin orang.
'Masih tidur juga mungkin mbak. Ada apa nih pagi-pagi telepon?' Bulik menyambung lagi pembicaraannya di HP.
Bude sedang menanyakan saya rupanya. Mau apa dia mencari saya? Ah, persetan! Batinku berteriak
Emosiku menggeliat bangun tak rela kesenangan kami diganggu si penyihir tua, membuatku mengangkat pinggulku, menarik turun punggung Bulik dan perlahan menurunkan pinggul memposisikan kontolki tegak untuk memasuki gerbang vaginanya.
Bulik yang menahan tubuh dengan lengan kiri tertekuk di dadaku akhirnya hanya bisa pasrah dengan mata mengernyit dan mulut ternganga menatap cengiranku saat kirasakan kontolku berhasil mentok dalam vaginanya.
Kudiamkan dulu kontolku membiarkan Bulik menyesuaikan diri dan bernafas.
'Iya saya dengar gitu mbak. Mau jalan-jalan mungkin' kata Bulik dengan suara kikuk. Kontolku mulai kugerakkan pelan. Bulik menyesuaikan gerakan pinggulnya dengan gerakanku. Kemudian gerakan Bulik terhenti sama sekali di pangkal kontolku.
'Masa sih mbak? Kok segitunya?' Air muka Bulik terlihat agak serius. 'Mereka kan saudara. Gak harus curiga gitu kan mbak?' Bu lik menyambung lagi.
Kali ini perhatianku mulai teralihkan ke pembicaraan Bulik. Ini pasti soal saya mau jalan dengan Ika ke ancol siang ini. Lalu Bude tahu? Melarang rupanya.
'Ya sudah mbak. Nanti saya coba kasih tahu.' Kata Bulik
'Iya iya mbak. Cuma mbak juga harus paham, keputusannya ada di mereka kan. Saya cuma bisa ngasih tahu' jawab Bulik dengan wajah masih berkerut seakan berpikir.
'Iya mbak. Saya ngerti' jawaban bulik singkat sebelum memutus hubungan telepon, melempar HP ke ranjang kemudian menatapku dengan pandangan tajam.
'Kenapa Bude mb...' pertanyaanku putus di tengah jalan karena mulutku disumpal bibir Bulik yang sibuk mengenyot bibirku.
Setelah ciuman berakhir, saya tidak diberi kesempatan lagi bertanya atau mendapat penjelasan apapun lagi. Fokus saya dipaksa beralih pada pinggul Bulik yang tiba-tiba menjadi cepat dan ganas bergerak ke atas bawah dan kiri kanan. Mbak Asriku sayang sedang mencari nikmat rupanya.
Gerakanku yang mencoba bangkit duduk ditahan Bulik dan dorongan kecilnya memaksaku kembali berbaring. Hanya tangan yang dibolehkan bermain di payudaranya.
Putingnya sudah tegang saat bulik menjatuhkan tubuhnya ke dadaku memeluk erat bahuku dengan kedua tangannya masuk dari bawah lenganku. Pinggulnya menekan keras pinggulku memaksa kontolku masuk jauh lebih dalam daripada yang kusangka bisa. Jika selama ini masih ada sisa 1 jari antara batang kontolku dengan bibir memeknya saat kurasakan kontolku sudah mentok, kali ini bisa kurasakan seluruh kontolku terhisap masuk dalam vaginanya.
Erangan Bulik menyertai orgasmenya yang panjang, diakhiri dengan lenguhan putus-putus mengikuti denyutan vagina dan pahanya.
Tapi permainan belum usai. Getaran di vagina Bulik masih terasa samar saat Bulik sudah mengangkat tubuhnya dan menurunkan posisinya diantara kedua pahaku, bersimpuh, mengocok kontolku dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya mencoba membuka pahaku selebar mungkin dan menjilati zakarku dengan rakus ditandai geraman kecilnya.
Saya hanya bisa berbaring melotot menatap langit-langit sambil mendesah pelan menikmati sensasi ini.
Desahan berubah eranganku saat Bulik mengganti kocokannya di kontolku dengan hisapan kuatnya. Tangannya bermain nakal di daerah sekitar anusku. Dan tepat ketika kurasa orgasme dan ejakulasiku akan tiba, Bulik bangkit berdiri, kembali menaiki pinggulku, memasukkan kontolku dalam vaginanya sampai mentok dalam satu gerakan mulus dan bergoyang lincah maju mundur.
Orgasme kami tiba bersamaan pagi itu. Kedua bagi Bulik dan membuatnya menyemprotkan cairan cintanya bersamaan dengan cairanku membasahi rongga vaginanya diiringi lenguhan kami berdua. Spektakuler!
Butuh sekitar 2 menit bagi kami untuk meredakan sensasi orgasme kami dan mengatur nafas sebelum Bulik menarik tubuhnya berdiri, menarik bantal, memisahkan sarung bantal dari isinya dan menggunakannya sebagai lap melapisi vaginanya.
Setelah bersih, tidak kudapati Bulik berbaring mesra di sampingku seperti biasa saat kami selesai bermain. Bulik malah berdiri, mengikat rambut, melihat jam di dinding kemudian berbalik padaku dengan senyum kecil.
'Cepat mandi dan pakaian Wis, Ika akan sampai 20 menit lagi' katanya singkat.
Wajahku yang melongo disambut cengiran manis Bulik melihat kebingunganku. Pantas semuanya serba buru-buru tadi.
'Bude juga ikut datang Wis' kali ini senyum di wajah Bulik sudah sirna berganti kekhawatiran.
Cepat pikiranku fokus. Ada badai menuju rumah Bulik. Badai gendut manis namun berapi-api.
Dan saya cepat bangkit mengikuti Bulik ke kamar mandi. Kami harus mempersiapkan diri menghadapi badai ini.

Saya sedang menaruh gelas kopi di meja ruang tamu ketika angin sepoi-sepoi menyentuh wajahku, membiusku membuat saya melupakan badai yang akan tiba di belakangnya.

Ika terlihat sangat manis dalam balutan kaus oblong dan jins biru longgarnya. Rambut sebahunya diikat ekor kuda ikut berkibas pada setiap gerakannya. Kacamata hitam disampirkan di ubun-ubunnya melengkapi penampilan modern girlnya hari itu. Senyum manis di bibirnya yang merah alami tanpa lipstik melengkapi indahnya pagiku.
'Pagi Wis. Pagi-pagi udah ganteng ni' kata Ika dengan nada renyah. 'Bagi kopi dong' cerocos Ika sambil duduk bersila di sofa tepat di sebelah kiriku dan menyambar gelas kopiku. Sandal jepitnya digeletakkan begitu saja di lantai.
'Pueeh, pahit gini Wis' katanya setelah menenggak kopi pahitku sampai setengah gelas.
'Pahit kok habis setengah gelas' kataku mengambil gelasku dari tangannya melihat isinya yang -serius- tinggal setengah sambil geleng-geleng kepala dan memasang muka manyun.
Tawa ika adalah jenis tawa yang menular, membuatku ikut tertawa bersamanya pagi itu.
'Sori, sori deeh' kata ika. 'Besok-besok saya janji deh...' kalimat ika dibiarkannya mengambang menatapku dengan mata nakal
'Janji ngga minum kopi saya lagi?' Tanyaku menggenapi kalimatnya.
'Janji nambahin gula dulu sebelum nyamber kopi kamu' jawabnya kembali diikuti tawanya.
Bu Lik yang baru masuk ruangan membawa gelas teh dan sepiring kue ikut tertawa melihat kami bercanda, ikut tertular tawa Ika rupanya.
'Eh Ika, apa kabar nii? Pagi-pagi udah cakep' kata Bulikku pada ika membalas sapa ika padaku tadi.
'Baik Tante Emang cakep dari sananya kok' jawab ika asal sambil merebut lagi gelas kopi dari tanganku dan kali ini menyeruput saja isinya.
'Huu Ge er tuh.' Balas bulik dengan logat jawa dan senyum dikulum. Memang ayu Mbak Asriku ini.
Bu Lik akhirnya duduk bersama kami di sofa ujung. Teh dan kue sudah tersaji. Tawaran Bulik untuk membuatka Ika teh ditolak sambik mengangkat kopiku yang sudah berpindah kepemilikan.
'Ga gereja Ik? Katanya pagi mau gereja dulu' tanyaku sambil menyulut rokok.
'Ga tau deh Wis, lagi malas saja' kata Ika acuh.
'Ka, mama kamu telpon tadi, katanya mau kesini juga' kata Bulik pelan berhati-hati.
Wajah Ika yang sontak tegang membuatku tersadar akan badai yang akan mengikuti angin sepoi-sepoi yang melenakan ini.
'Apa maunya sih Mama?' Ika menyambar dengan emosi tinggi.
'Saya cuman mau jalan saja dengan Wisnu, itu saja kok salah' sambung Ika kemudian.
'Ka, suami kamu katanya gak ngijinin' kata Bulik kembali. 'Ya, namanya suami kan punya hak melarang' Bulik menyambung hati-hati, kali ini penekanannya di kata 'suami' sambil melirikku tajam.
'Ah dia ga punya hak Tante. Saya gak pernah bisa ngelarang dia jalan dengan sekertarisnya, atau staf lainnya yang cewek' kata Ika masih emosi.
'Ya itu kan untuk kerjaan Ka' kata Bulik pelan.
'Tante, masa Tante senaif itu sih. Tante tahu Alam seperti apa kan. Tante juga tahu bahwa itu lebih dari soal kerjaan. Saya pernah kok menangkap basah dia dan sekertarisnya di kantor' Ika menjelaskan panjang sebelum kami semua terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca
'Bahkan dengan mama juga saya pernah menangkap basah' kali ini air mata Ika meleleh di pipinya. Tangisannya yang tanpa suara membuat pemandangan ini sangat menyayat.
Kami terdiam mendengar penjelasan Ika menyadari satu fakta yang baru terbuka. Fakta yang harusnya sangat berat untuk diakui Ika karena sangat memalukan.
'Apa lagi yang bisa saya pertahankan Tante' kata Ika terbata dalam tangis diamnya.
'Ini bisnis, bukan perkawinan' sambung ika lagi. Kali ini emosinya mulai tersulut lagi.
'Lagipula kan saya cuma mau ngajak Wisnu jalan' kata Ika pelan. 'Liat-liat Jakarta tante. Itu saja' katanya lirih sambil mengusap pipinya.
'Ka, kita sudah sama-sama dewasa. Kita sama-sama tahu bagaimana sebenarnya perasaan kalian' kata Bulik pelan tapi dengan pandangan menusuk. Menusukku lebih tepatnya.
'Ika sayang, tante juga pernah muda. Mata kalian tidak bisa bohong' kata Bulik membuat kami terpekur diam.
'Sekarang begini, tante tidak mau ikut campur deh masalah perasaan' kata Bulik, 'tapi tante harus tahu bahwa kalian sadar apa yang kalian lakukan, sadar kondisi, posisi dan resikonya. Kalian yang harus menentukan jalan hidup kalian.' Bulik menutup pembicaraan dengan tegas, melempar keputusan pada kami

Dan saat itu juga saya mengambil keputusan.

'Kita jalan yok Ik' kataku menggenggam tangan Ika dan tersenyum santun pada Bulik yang menyandarkan punggungnya ke sofa dan menghela nafas.
Ika berbalik menatap mataku. Dan saat itu juga keteguhanku terbaca merekahkan senyumnya.
Kami sama-sama tahu kondisi kami, dan kami tahu resiko yang akan kami hadapi. Dan tatapan kami sama-sama setuju menjalaninya. Bersama.
Ika hanya mengangguk kemudian menundukkan kepalanya sedikit dengan wajah bersemu merah.
Senyum kecil tante tersungging. Senyum lemah. Senyum itu mengiringi kami berangkat. Persetan dengan Bude Sri yang belum tiba, batin kami senada. Kami tidak perduli semuanya. Yang ada hanya saya dan Ika.

Kami saling menatap dan tersenyum lega dalam kebahagiaan kami. Tangan kami tak lepas saling menggenggam. Kecupan kecil sudah berganti ciuman mesra. Bunga-bunga menghiasi hati kami menutupi pemandangan masa depan kami yang sebetulnya buram. Kami sama-sama bisa merasakan ganjalan kecil di hati, tapi kami sepakat mengacuhkannya.

Tidak terlintas sedikit pun bahwa ganjalan kecil tadi akan menghilangkan senyum lemah yang kutinggalkan di rumah, kubiarkan menghadapi badai seorang diri.

Euforia menurunkan naluri bertarungku, membuatku menutup mata, tak sadar bahwa pertarunganku dengan hidup masih berlangsung. Melupakan petuah silat pertama dari kakek. Salah Besar karena hidup bersiap melancarkan lagi satu jurus untukku.

Malam temaram tanpa cahaya bulan. Bayangan hitam berkelebat dari kiri dan kanan pada waktu bersamaan. Ketegangan di wajahku membuat siapapun yang melihat tahu saya berkonsentrasi penuh pada serangan yang akan datang entah dari kiri atau kanan; salah satunya.
Ini gerakan tipu standar dari kakek. Menipu mata lawan dengan gerakan cepat untuk mengira sedang dikepung. Lawan yang panik akan melangkah mundur, tidak menyangka serangan akan muncul dari belakang. Lawan yang tenang akan mencoba menyerang salah satunya. Tapi tipuan ini tidak sesederhana itu. Satu bayangan akan menyerang lebih cepat memaksa refleks lawan yang tenang menyerang bayangan itu, namun akan menyambar angin. Bayangan yang lebih lambat akan menyelesaikan serangannya.
Jadi kuncinya adalah tidak bergantung pada mata. Setiap serangan akan memancarkan kehausan membunuh penyerangnya. Ini yang harus dibaca. Tidak dengan mata tapi dengan hati yang berkonsentrasi penuh.
Tapi malam itu saya terperangah merasakan hawa membunuh datang dari kiri dan kanan. Tak sempat menghindar ataupun menyerang ke dua arah. Saya memutuskan menyerang ke arah belakang dengan kekuatan penuh dan mendobrak mencari jalan keluar.
Dengan pijakan kaki kiri saya memutar tubuh ke kanan melompat menerkam dengan tapak tangan kanan menjulur mencari kepala lawanku, hanya untuk merasakan satu hawa pembunuh lagi; dari atas kepala.
Hanya refleks yang membuat saya menjatuhkan badan ke kanan dan mengayunkan kaki kiri ke atas. Kaki kiriku seperti menghantam besi saat bertemu dengan lengan kakek. Tidak bisa melukainya tapi cukup untuk membuatnya mengurungkan serangan berikutnya dan mendarat mulus di hadapanku.
Belum selesai! Pikirku dan dengan cepat saya mengendap ke kiri dan berdiri dalam kuda-kuda penih saat menyadari hawa pembunuh lain dari belakang menyerang. Tendangannya masih sempat menyibak ujung rambutku, membuatku bersyukur masih lebih cepat daripada sosok di belakangku.
Berdiri dalam kuda-kuda, saya panik saat tersadar bahwa penyerangku kini ada 3 orang. Tapi bagaimana mungkin? Gerakan tipu hanya membuat seakan-akan ada banyak serangan, bukan betul-betul banyak yang menyerang.
Lalu pemahaman berikut membuatku bergidik. Ketiga sosok di hadapanku bukan kakek. Walaupun berwujud manusia, ketiga sosok ini tidak memiliki wajah seperti manusia. Hanya gelap buram yang ada dimana seharusnya mata, hidung dan mulut berada.
Ketiga sosok dihadapanku sudah mengambil kuda-kuda menyerang saat sebuah suara memecah hening malam.
'Cukup!'
Suara kakek dari belakang membuatku lega. Hawa pembunuh sontak sirna dari area bertarung membuatku mengedarkan pandangan pada sekelilingku dan mengenali tempat ini; halaman belakang rumah kakek.
Berikutnya hanya rasa rindu yang membubung keluar dari mataku. Encer dan asin. Saya menghambur ke belakang mendekati sosok kakek yang sedang duduk memangku kaki sambil merokok santai di kursi kecil seperti sesi-sesi latihan kami biasanya. Senyum kecil menghiasi wajahnya. Matanya menatapku dengan kerinduan yang sama beratnya membuat pipinya juga sama basahnya dengan pipiku. Kedua tangan kakek membuka memanggilku.
Pelukan kami erat diikat kerinduan. Pelan saya cari tangan kakek dan menciumnya dengan takzim.
'Maafkan saya tidak ada sewaktu kakek...' kalimatku putus.
'Tiap manusia pasti meninggal sendiri Win.' Jawab kakek pelan.
'Yang harus kamu pastikan, tidak ada penyesalan saat waktumu tiba' kakek melanjutkan sambil membelai kepalaku yang masih sungkem di pahanya.
Lalu saya tersadar. Kakek sudah meninggal, arwah kakek ada di tempat yang berbeda. Ini bukan Kakek.
Seperti bisa membaca pikiranku, sosok kakek di depanku berubah menampakkan sosok aslinya yang hanya memendarkan cahaya.
Tapi cahaya ini hangat dan bersahabat tidak mengancam. Siapapun sosok ini, dia tidak mengancam.
'Sampaikan salam saya pada kakek' bisikku lirih sambil menatap sosok itu.
'Saya tidak bisa' suara sosok itu langsung masuk ke dalam pikiranku tanpa melalui perantara telinga.
'Sampaikan sendiri. Kamu tahu caranya' sosok itu melanjutkan telepatinya.
'Doa' pikirku yang sama dengan jawabku disambut anggukan sosok itu.
Hawa pembunuh menyadarkanku dari lamunan dan sontak memalingkan mata ke arah belakangku.
Tiga sosok hitam berdiri mengancam. Satu sosok mencoba mendekat tapi terpukul mundur oleh cahaya sosok putih yang kukira kakekku. Sosok putih itu berdiri merengkuh diriku. Cahaya putihnya menyelubungi seluruh tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Saat pelukannya usai, cahaya itu tetap tinggal menyelimuti tubuhku. Sosok itu kembali duduk di kursi kakek. mempersilahkanku bertarung rupanya.
Tapi tak ada pertarungan yang perlu kulakukan. Cukup satu langkah yang perlu kuambil ketika ketiga sosok itu sudah berbalik dan menghilang membuatku terperangah menatapi cahaya yang meliputi tubuhku.
'Mereka...' pikirku belum berani melanjutkan kalimat
'...adalah hal yang selama ini tak pernah dijawab oleh kakekmu' sosok itu kembali menggenapi pikiranku.
'Lalu cahaya ini imanku?' Tanyaku tak berjawab. Sosok itu berdiri.
'Kalau kau tidak bisa ditembus, mereka akan mencari sasaran lain, orang yang terdekat darimu. Tidak ada yang membatasi tindakan mereka. Hati-hati dengan hidup. Salah langkah, kau menjadi mereka' kata sosok putih ini menutup percakapan. Akan pergi rupanya.
'Tunggu. Saya tidak tahu cara menghadapi ini. Ajarkan dulu' pintaku cepat mencoba menahannya dari meninggalkanku.
Sosok di depanku merubah wujudnya lagi menjadi kakek.
'Kau tahu caranya Win, berat tapi bisa.' Kali ini sosok putih menggerakkan mulut kakek tergerak mengucapkan jawabannya.
'Tapi saya punya banyak kesalahan. Saya tidak tahu apa masih ada maaf untuk saya' jawabku tertunduk lesu.
'Selalu ada maaf. Kau tinggal meminta' jawab sosok itu. 'Jaga kemurnian cahayamu. Jangan lupa, cinta juga anugrah dari Tuhan' sosok kakek tersenyum padaku.
Saya tahu yang ada di depanku bukan kakek, tapi rasa rindu itu membubung kembali membuatku memeluknya lagi.
'Satu waktu kita semua akan bertemu kembali' kata sosok putih kembali menampakkan wujudnya.
'Tapi belum sekarang. Banyak yang harus kau jaga saat ini' suara sosok putih terdengar menjauh.
'Sekarang saatnya bangun' kalimat terakhir sosok putih itu menggema. Membuatku membuka mata.

Langit-langit cottage membuatku sadar dimana saya berada. Dan BH merah berenda yang tersampir di ujung kanan bawah ranjang membuat saya sadar apa yang terjadi.

Pantai ancol ramai dengan pengunjung. Kendaraan yang terparkir dan gerusukan para pedagang menjadi penanda bahwa ada urusan perut yang terlibat dalam keindahan yang difabrikasi. Pemandangan ini membuatku rindu kampung halaman dengan segala keindahan alamiahnya, tersentuh manusia karena kodratnya sebagai sumber nafkah, namun cukup halus untuk tidak merubah bentuk aslinya.

Untungnya Ancol hanya persinggahan sejenak sebelum Ika memutuskan secara spontan untuk merubah destinasi kami ke kepulauan seribu. Pulau Bidadari menjadi tujuan kami.

Dan pagi itu, matahari sudah menyeruak dari celah tirai jendela saat saya tersadar dari mimpiku. Mimpi yang aneh namun membuat kerinduanku membuncah. Kerinduan pada kakek, kerinduan pada kesederhanaan hidup kami. Rasa jengah atas hidup yang saat ini saya jalani, dan... Rasa takut.

Pelan saya menoleh ke kanan, mendapati wajah ayu Ika yang nyenyak tertidur di sebelahku. Selimut menutupi kami menghalangi dinginnya AC menusuk tulang, tapi tubuh Ika yang telanjang di bawah selimut tergetar kecil seakan kedinginan.
Pelan saya merangkulkan tangan dari bawah tubuh Ika menariknya dalam pelukanku dan mengecup kecil keningnya yang berkerut.
Gemetar di tubuh Ika semakin menjadi, berubah menjadi kejang kecil.
Dan segalanya menjadi jelas bagiku saat itu. Mimpiku; apa yang sedang terjadi; dan rasa takut ini.
Perlahan saya mendekatkan mulut ke telinga Ika, membacakan ayat kursi. Kejang ika berkurang kembali menjadi gemetar. Tapi belum cukup untuk menenangkan rupanya. Ada yang kurang.
Kemudian saya tersadar. Petuah Kakek terngiang.
'Tidak akan diterima amalan seseorang jika ada setitik saja kesombongan dalam hatinya...'
Petuah favorit kakek yang dalam ini menjadi favoritku juga seiring berjalannya waktu.
Pelan, ketenangan menyebarkan rasa hangat di tubuhku. Ketenangan yang muncul dari penyerahan diri atas ketidak mampuan, dan kesadaran bahwa ada yang lebih mampu diayas segalanya. Dan saya berdoa.
Belum selesai ayat kursi saya bacakan kedua kali saat mata Ika membelalak menatapku. Pandangannya masih liar sebelum bertemu dengan mataku dan berubah menjadi tangisan.
'Saya mimpi Wis' katanya di sela isaknya. 'Saya takut' tambahnya kemudian.
Tak mudah untuk menjelaskan apa yang terjadi. Butuh waktu dan pemahaman hati yang terbuka untuk percaya mengenai hal gaib. Dan untuk pertama kali saya kuatir mengenai perbedaan kami. Perbedaan mendasar yang disodorkan oleh keadaan sejak kami lahir. Tidak satu pun yang salah, saya tahu itu. Tapi berhadapan dengan yang gaib membuat setiap manusia harus menghadapinya sendiri untuk bisa menang. Ketidaktahuan akan cara mengajarkannya yang membuatku takut. Ketidak berdayaan ini membuatku takut akan keselamatan Ika.

Dan Bu Lik!

Secepat kesadaran mimpiku hadir dan membuat rasa takutku membuncah atas keselamatan Bu Lik, secepat itu saya tersuduk tegak. Tubuh Ika yang telanjang terangkat naik terpekik mengeratkan pelukannya.

Sentuhan kulit kami terasa begitu sempurna. Dada Ika yang naik turun dalam ketakutannya tampak indah di mataku. Dada itu, yang kukenyot dan kuremas dalam permainan cinta kami, dengan putingnya yang tegak saat orgasmenya tiba.

Kuenyahkan dulu bayangan indah itu, tersenyum pada ika dan mengecup bibirnya menenangkan. Kecupan berganti ciuman mesra. Ciuman yang menandai kepemilikan. Dan ini berhasil menenangkan Ika yang tersenyum balik padaku.
'Pinjam HP Ka, telepon ke rumah dulu' kataku kemudian.
Ika mengangguk, dan bergerak bangkit dari ranjang, mengambil HP di meja dan duduk kembali di ranjang. Rasa takut muncul saat melihat ketelanjangan Ika, dan saya bergerak menutupinya dengan selimut, kemudian menarik Ika dalam pelukanku duduk di kepala ranjang.
'Nyalakan dulu yaa' kata ika tersenyum simpul. Sudah 2 hari HP ika dimatikan, menolak paksa gangguan atas petualangan cinta kami. Dan belum sedetik dinyalakan, dering pesan dan messenger yang bertubi-tubi menandakan gangguan itu hanya menunggu waktu sebelum harus kami hadapi.
Kami tertawa-tawa membaca pesan-pesan dari Bude Sri dan Alam suami Ika. Omelan mereka bertubi-tubi mengisi setiap pesan. Mulai pesan ke 5 omelan berganti ancaman. Dari Alam.
Dan setiap ancaman menjadi semakin membuat keningku berkerut membacanya. Ika mungkin tidak mengerti, namun pesan terakhir jelas bagiku. Menjelaskan mimpiku dan Ika.

'Bilang sama Wisnu, saya tau siapa dia. Bilang kalau saya tau persis cara yang tepat untuk mengatsi dia. Dan semua yang dia sayangi.'


Pesan itu masih terngiang di kepalaku saat pekik ika membuyarkan lamunanku. Tangan kirinya menutup bibirnya sementara tangan kanannya menyerahkan HP padaku.

Pendar layar menampakkan tampilan messenger yang dibuka Ika. Foto BuLik membuatku miris tahu siapa pengirimnya. Tiga pesan pertama berisi pertanyaan standar dan ajakan pulang. Dua pesan terakhir yang membuat Ika terpekik.

'Wis, Bulik punya firasat tidak enak. Dari kemarin badan sakit semua. Bulik ngantuk terus. Dan setiap tidur pasti mimpi buruk. Pulang ya nak'-
Pesan ini pukul 3 tadi malam.

'Wis, ada suara di atap dan belakang. Bulik mau telpon polisi. Pulang ya Nak'
Pesan ini pukul 3.30 tadi malam.

Kami berpakaian secepat kami bisa. Telepon ke HP Bulik yang tidak diangkat membuat kepanikan kami menjadi.
Perahu baru merapat di dermaga saat kami sudah berlari menuju tempat parkir mecari lokasi Ika parkir hanya untuk mendapati dua ban sebelah kiri Vios ika gembos.

Dengan panik kami mencari taksi dan setelah menyebut tujuan, Ika memberi si sopir uang seratus ribuan untuk memastikan si sopir ngebut.

Pikiranku dan Ika pasti sama walaupun kami hanya diam dalam duduk dengan tangan menggenggam, menatap keluar jendela. Pikiran yang kami coba tepis jauh tapi dengan bandelnya bertahan di ujung otak kami.

Semua sudah terlambat.Perasaanku bercampur aduk saat saya dan Ika sampai di rumah Bulik. Kerumunan orang yang kupikir akan ramai mengerumuni rumah Bu Lik tidak ada. Bahkan bekas tapak kaki di teras depan tidak ada. Rumah itu lengang. Tapi ini bukan berita baik bagiku. Lampu di teras dan garasi masih menyala. Dan tidak biasanya pintu rumah masih tertutup pada siang hari sementara ada orang di rumah. Biasanya hanya pintu kasa kawat yang dikunci sementara daun pintu kayu di dalamnya terbuka.

Dengan terburu-buru saya meraih gagang pintu depan. Perutku serasa dikocok-kocok saat pintu itu terayun dengan mudah menampakkan bekas dobrakan. Cepat saya melangkah masuk sambil mengucap salam yang tidak berjawab.
Ika membuka tirai ruang tamu membiarkan cahaya matahari menyinari ruangan yang gelap karena lampu-lampu dimatikan. Di depan kamar Bulik kami berhenti. Kamar itu terkunci dari dalam. Teriakan kami memanggil nama Bulik tidak dijawab. Tak mau membuang waktu, dengan satu tendangan yang membuat Ika terpekik, kamar Bulik saya buka paksa.

Rasa bersalah dan ketidakberdayaan adalah senjata yang ampuh mematahkan semangat lelaki terkuat sekalipun. Pepatah ini saya buktikan siang itu. Pemandangan di dalam membuat lutut saya kehilangan tenaga. Saya harus berpegang ke kisen pintu sejenak sebelum akhirnya mampu bergerak. Ika bergerak lebih cepat menghambur ke dalam mendekati Bulik.

Bulikku, orang yang telah berbaik hati mengisi kekosongan hidupku sepeninggal Kakek. Bulikku yang bahkan rela menyerahkan tubuhnya padaku untuk menghindarkanku dari masalah yang sebenarnya sudah tergambar jelas di mataku saat pulang dari kencan pertamaku dengan Ika. Bulikku yang hanya bisa tersenyum lemah mencoba mengerti kekeras kepalaanku saat meninggalkan rumahnya dengan Ika di hari minggu terkutuk itu; mengacuhkan apa yang sebenarnya jelas di kepalaku.

Berlutut di ranjang dalam keadaan telanjang bulat, tubuh Bulik lunglai dengan kepala terkulai. Pisau di tangan kanannya masih tergenggam dengan mata pisau bersimbah darah. Darah yang menggenangi ranjang dan masih encer berasal dari pergelangan tangan kirinya yang tersayat.
'HP Wis. Cepat!' Teriakan Ika membuyarkan tatapan kosongku mencari fokus hanya untuk diam tidak bergerak memicingkan mata saat harus sekali lagi melihat pemandangan miris Bulik yang kini berada di pangkuan Ika.
Mata Bulik sayu menatap kosong ke arahku dan... berkedip!
Secepat kedipan mata Bulik saya terlonjak berdiri.
'Wis! Cepat! Belum terlambat!' Teriakan Ika membuatku meraih tas Ika yang dijatuhkannya di depan pintu dan menumpahkan isinya ke lantai, mengambil HP dan menyerahkannya pada Ika.
'Pegang Bulik! Jaga tangannya ke atas, tutup lukanya!' Perintah Ika tegas padaku, memaksa fokusku kembali dan bergerak mengikuti perintah.
Bersila di belakang Bulik, saya membebat lukanya dengan sapu tanganku sebelum mengambil Bulik dari pelukan Ika yang beranjak menelepon ke luar kamar.
Perasaan bersalah yang membuatku menarik selimut di sebelah kananki dan menutupi ketelanjangan Bulik.
Air mataku pasti jatuh ke wajah Bulik karena mata Bulik kini fokus menatapku walaupun lemah.
'Sudah pulang Wis' tanya Bulik dengan suara bergetar
'Maafkan saya' hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
'Jangan dendam Wis' jawaban Bulik sebelum menutup matanya membuatku terperangah dan detik itu juga emosiku tersulut membakar mataku yang pasti berubah merah.
Bahkan genggaman tangan Ika di pundakku tak bisa meredam emosiku. Mataku nyalang menatap mata Ika yang terkejap menatapku sebelum terpekik dan melangkah maju dengan tangan terjulur ke arah... Bulik.
Gerakan Ika mengejutkanku. Baru ketika rasa dingin menyerang dada kananku saya sadar apa yang terjadi.
Tangan kanan Bulik masih menggenggam pisau. Pisau yang kini ujungnya tertancap di dadaku. Hanya genggaman tangan Ika di lengan Bulik yang menahan pisau itu tertancap lebih jauh ke dalam. Matanya nyalang dengan nafsu membunuh. Senyum sinis merekah di bibir kecilnya.
Cepat saya raih lengan Bulik dan menekan urat di pergelangannya memaksa Bulik melepaskan genggamannya di pisau.
Saya meringis kecil menahan sakit pisau jatuh dari dadaku ke ranjang. Secara refleks tangan kiriku yang memeluk Bulik menekan urat di lehernya memaksanya menghentikan gerakan liarnya.
Mata Bulik masih liar selama beberapa saat sebelum mata hitamnya naik ke atas dan matanya dipejamkan dengan bola mata masih bergerak-gerak di dalamnya.
Tidak memeperdulikan sakit saya lakukan satu-satunya hal yang bisa saya lakukan. Saya berdoa di telinga Bulik. Dan cukup berhasil karena sontak gerakan liar Bulik mereda berganti erangannya.
'Kepalaku sakiiit!' Teriakan Bulik menggema keras membuat saya dan Ika terperangah menatap bingung tak tahu harus melakukan apa.
Saat itu decit ban terdengar dari luar, dan beberapa saat kemudian petugas paramedis memasuki ruangan mengambil Bulik dari pelukanku.
Saya hanya bisa duduk terdiam di ruang tamu saat Ika duduk di sebelahku tidak berani menyentuh, hanya menatapku dengan mata bulatnya yang berair memancarkan ketakutan. Ketakutan?
Saya baru sadar bahwa terakhir Ika menyentuhku, saya masih dalam kondisi terbakar emosi. Sekarang emosi itu sirna berganti kebingungan.
Pelan saya berbalik dan meligkarkan tangan di bahu Ika menariknya dalam pelukanku. Kami diam berpelukan dalam diamku dan tangis Ika saat seorang paramedis memberitahu bahwa mereka siap berangkat. Kami melepaskan pelukan dan beranjak keluar. Hanya diam yang menemani kami mengendarai mobil Bulik ke rumah sakit.

Setelah dirawat di rumah sakit, kondisi Bulik secara fisik memang berangsur pulih, tapi tidak dengan mentalnya. Laporan polisi menyebut insiden ini sebagai usaha bunuh diri. Hal ini didukung oleh laporan psikologis dari rumah sakit dan background Bulik yang memang punya pengalaman kehilangan keluarga dan hidup sendiri. Tidak adanya tuntutan dari satu-satunya korban luar dalam insiden ini (baca:saya) membuat polisi menutup kasus ini. Ini adalah masalah medis yang harus diselesaikan keluarga. Kesimpulannya: Bulik memiliki kondisi mental tidak stabil mengarah ke gila.

Saya dan Ika sama-sama tahu apa yang terjadi. Dan tidak ada yang bisa kami lakukan untuk membuktikan tuduhan kami yang saat ini mengarah ke Bude Sri dan Alam yang sampai saat ini belum pernah membesuk. Kembali rasa bersalah dan ketidakberdayaan terbukti sebagai senjata paling ampuh untuk melumpuhkan seseorang. Dan siapapun yang melakukan ini pada kami tahu persis itu.

Malam kedua perawatan Bulik, saya dan Ika memutuskan pulang dulu ke rumah Bulik dan beristirahat. Tatapan para pembesuk pada hari kedua Bulik dirawat di rumah sakit mewah ini membuat saya dan Ika sadar betapa berantakannya penampilanku. Tidur dan mandi bukan sahabat kami selama dua hari kami menemani Bulik di rumah sakit. Saya berkeras menolak beranjak dari sisi tempat tidur Bulik, pun untuk ke kamar mandi atau makan tanpa ada Ika yang menggantikan. Ika juga dengan patuh mengikuti kemauanku.

Tidak banyak kata yang kami ucapkan mengiringi kami membersihkan rumah Bulik. Seprei sudah dicuci Ika, dan dilnjutkan dengan menyapu dan mengepel rumah. Saya belum selesai menyikat kasur Bulik di halaman belakang saat isak tangis memecahkan lamunanku membuatku berlari ke arah ruang tamu.
Pemandangan Ika yang terduduk lusuh di ruang tamu menutup wajah sambil menangis dengan pel masih tergeletak di lantai membuatku sadar betapa kompleksnya serangan lawanku kali ini.

'Jangan dendam Wis' kata-kata Bulik terngiang kembali. Bulik sudah tahu dan mencoba mengingatkanku saat terakhir dia sadar, saya yang terlalu bodoh untuk mengerti maksudnya.

Ada satu lago senjata rahasi lawanku yaitu dendam. Dan saya dengan kepala panasku yang dititipi menggunakan senjata itu, membuatku harus berdecak dalam hati mengacungkan jempol atas kepiawaian lawanku. Tapi tidak ada waktu untuk itu. Saatnya melucuti senjata ini.
Saya berlutut di hadapan Ika, merengkuh bahunya dengan kedua tangan, mengecup ubun-ubunnya sebelum memeluknya.
'Maaf' kata itu keluar dari mulut kami bersamaan. Dan hanya satu kata itu yang diperlukan. Kami saling menggenapi maaf, menyatukan kembali hati kami yang sempat hancur.
Wajah Ika perlahan terangkat dan bibir kami menyegel penuatuan pikiran kami. Apapun masalahnya, dan sejauh manapun, kami akan hadapi bersama. Sampai selesai.

Malam itu percintaan kami tidak seperti malam di cottage. Tidak ada emosi cinta monyet yang menyertai ciuman kami. Tidak ada rasa nekat yang menyertai kami saling membuka pakaian. Hanya ada rasa memiliki dan cinta yang mengiringi kami berjalan pelan sambil berciuman ke kamarku.
Ketelanjangan Ika kucoba tutupi dengan ketelanjanganku atas dasar perlindungan bukan nafsu semata.
Malam itu ranjangku berderit seirama dengan desahan Ika yang mengangkangkan pahanya lebar, menerimaku secara utuh memompa di atasnya. Tangannya menggelayut di bahuku saat saya mencium bibirnya, menjilati lehernya dan berakhir dengan kuluman di putingnya yang mengeras.
Orgasme Ika begitu indah kulihat. Erangan kerasnya saat punggungnya dilengkungkan ke atas membusungkan dada montoknya. Putingnya yang tegang mengkilat oleh lidahku memantulkan cahaya temaram kamar. Kunikmati pemandangan indah ini sebelum menutupnya dengan ciuman di bibir ranum Ika. Tapi saya tidak mau terburu menyelesaikan permainan kami.
Setelah orgasme Ika reda, mata sayunya berubah nakal saat dia mendorong dadaku memaksaku berbaring terlentang.
Dengan penuh perasaan Ika mengecup bibirku, turun ke leher, bermain sebentar di putingku sebelum melanjutkan ke arah perut. Tangan lembut Ika sudah bermain di kontolku saat dengan lincahnya dia membalik tubuh langsingnya menempatkan vaginanya di atas wajahku, dan bermain di atas wajahku, menggodaku untuk meraihnya dengan mulutku.
Dan saat benda basah itu akhirnya tiba di mulutku, hanya erangan yang mampu saya keluarkan, tidak mampu menahan sensasi permainan mulut ika di kontolku. Hisapannya yang diselingi jilatan berubah-ubah antara keras dan lembut. Baru setelah menguasai diri saya mulai bermain di vaginanya, menyibakan rambut tipis hitamnya, mencari lawan mainku, klitorisnya.
Ganti Ika yang melenguh menanggapi permainanku di vagina sampai anusnya. Pantatnya bergetar dalam genggaman tanganku seirama dengan getaran di perut rampingnya dan kocokandi kontolku mengiringi orgasme kami yang mendekat.
Dan saat orgasme kami tiba, Ika cepat berdiri, berbaring terlentang menungguku.
Dengan ciuman mesra, kujatuhkan tubuhku ke atasnya dan ke dalamnya. Hanya tiga kali kontolku kuat menahan gesekan vaginanya saat pemandangan mata Ika yang terpejam kuat bersama teriakannya membuatku menyerah melepaskan hasratku yang dari tadi kutahan. Tubuh kami terkejat-kejat dalam pelukan erat mencoba menjadi satu.

Malam sepi saat saya masih terjaga memperhatikan Ika yang tertidur menyamping menghadapku. Ketelanjangan kami sudah kututup dengan selimut, tak rela membagi keindahan ini bahkan dengan cicak sekalipun. Senyum membayang di bibir Ika ku menambah pesona tidurnya, melenakanku.

'Kaak... kaak' suara burung itu terdengar begitu dekat, dan membangunkanku dalam keadaan terkejut melotot. Refleks tanganku mencari ke kanan membuatku terlonjak mendapai ranjang kosong di sebelah kanan. Ika tidak ada.

Rasa kuatirku membuncah, dan dengan hanya sempat memakai kolor saya berlari keluar kamar kemudian ke depan mencari Ika. Tapi dia tidak ada disana. Tinggal satu tempat yang belum kuperiksa: halaman belakang.

Langkah pelan berubah lompatan saat saya membuka halaman belakang dan melihat pemandangan di sana.

Berdiri telanjang di depan kasur Bulik yang belum selesai kusikat, ika merundukkan badan, menjilati darah yang masih melekat di kasur. Tapi bukan pemandangan ini yang membuatku melompat, melainkan karena tangan kanan ika menggenggam sebuah pisau.

Terkamanku cepat dan fokus mengarah ke lengan ika yang memegang pisau. Bayangkan keterkejutanku saat ika berbalik dan melangkah mundur dan menyerangku dengan tendangannya yang tidak sempat lagi kuelakkan.

Tendangan itu mengejutkanku karena itu bukan tendangan biasa melainkan jurus yang kukenal baik. Tendangan dengan memfokuskan tenaga ke satu titik, terlihat biasa, tetapi efeknya yang luar biasa. Tendanganku. Tendangan kakek juga.

Tapi untungnya tendangan itu masih terlampau lemah dan tidak mampu merubuhkanku.

Ika melangkah mundur memperhatikanku sambil memasang kuda-kuda. Apalagi ini? Kuda-kuda itu kembali kukenali karena sama persis dengan kuda-kuda yang akan kupasang.

Dan kuda-kudaku sanggup mengusir senyum binatang di wajah Ika. Matanya nyalang menatapku.

'Siapa gurumu?' Suara Ika serak seakan dipaksa keluar oleh orang lain yang ingin bertanya padaku.

'Bukan urusanmu. Lepaskan dia' jawabku pelan. 'Kita selesaikan sendiri kalau kau laki-laki!' sambungku melihat kesempatan memprovokasi.

Sosok Ika tersenyum lagi saat dengan satu gerakan cepat dia merangsek maju menghunuskan pisaunya.
Tapi gerakannya tidak cukup cepat untuk mataku. Hanya butuh menggeser tubuh ke kiri, menjegal kakinya dan tangan kananku sudah bisa merebut pisau itu, melemparkannya jauh, sekaligus memeluk tubuh ika dari bawah lengan kiri dan mengunci pergerakannya di leher.

'Tidak akan bisa kau bunuh saya lewat dia, bodoh' komentar memprovoksiku kembali terluncur diikuti geraman Ika.

'Kalau kau laki-laki, lepaskan dia, kita duel langsung' kataku lagi.

Gerakan liar Ika terhenti. Perlahan kuncinku saya buka. Tubuh telanjang Ika saya rengkuh berbalas ludahannya tepat di wajahku. Provokasiku cukup mengena rupanya.

'Kutunggu kau di Romang Polong e.' kalimat berikut dari Ika menegaskan curigaku. Sihir ini berasal dari tempat yang kukenal baik.

'Saya kasih kau waktu tiga hari untuk selesaikan urusanmu. Setelah itu kau urusan denganku anak muda' kata sosok Ika kemudian.
'Oya, satu lagi oleh-olehku.' Kalimat terkhir ini diikuti tawa seraknya.
Tawa serak itu kemudian reda seiring perubahan raut wajah ika dan tatapannya yang kembali melembut sebelum berubah menyipit disertai seringai Ika menyambut rasa sakit yang saya tahu akan tiba. Oleh-oleh dari lawanku.

Malam itu saya habiskan dengan doa dan urutan di kepala dan perut Ika. Barulah setelah sakitnya reda say bisa beranjak mengambil air dan menyeka tubuh Ika yang kotor. Setelah membantu Ika berpakaian dan menemaninya tidur, saya beranjak mandi, berpakaian dan menarik keluar sejadah, sarung dan peci kakek dari ransel dan sholat hajat.

Saya memang punya hajatan penting yaitu membebaskan Ika dan Bulik dari pengaruh sihir ini. Dan saya tahu tidak mampu melakukannya sendiri.

Jalanku sudah jelas kini. Yang pertama adalah membereskan urusanku dengan Bude Sri dan Alam. Saya yakin merekalah yang menginginkan saya mati. Setelah urusan itu beres baru saya bisa mencari akar masalahnya. Orang yang dibayar untuk menjalankan niat mereka. Tantangannya semalam jelas, masalah ini hanya bisa diselesikan dengan duel.
Ini bukan duel pertamaku. Bukan duel yang bisa membuatku gugup, tempat duelnya yang membuatku harus sedikit menghela nafas.

Tempat yang susah payah kuhindari hampir sebulan lalu. Tempat yang menyimpan kenangan pahit. Kampung kakek menarikku pulang. Sialan.

Matahari masih malu-malu menampakkan sinar saat saya sudah berkendara dengan mobil Bulik menuju rumah sakit bersama Ika. Wajahnya yang kuyu menampakkan staminanya yang menurun jauh sejak insiden di rumah Bulik semalam.
'Kamu mainnya terlalu semangat sih sayang' kataku usil mencoba memancing tawanya, sebuah hal yang langka kami dapatkan tiga hari terakhir.
Dan benar saja, tawa kecil Ika ikut membangkitkan semangatku. Perjalanan kami menjadi lebih ceria dengan Ika menyenderkan kepalanya ke bahuku.
'Aduuuh, kepalakuu' ringis Ika memegang keningnya.
'Bernafas ka, fokuskan pikiran ke hal lain, terus berdoa' kataku singkat mengingatkan kembali hal yang sudah saya ajarkan sebelum kami berangkat.
Ika menegakkan tubuhnya. Wajahnya yang serius menandakan fokusnya. Sejenak kemudian Ika membuka matanya menatapku dengan mata terpicing. Sakit itu belum hilang rupanya.
'Yakin dan berserah Ka. Fokus ke hal yang bisa buat kamu tenang' kataku sebelum mulutnya membuka.
Ika memasang wajah manyun sebelum kembali menutup mata dan kali ini dengan wajah tenang menggenggamkan kedua telapaknya di dada.
Hanya butuh beberapa detik sebelum mata Ika terbuka dan wajah cerianya kembali ditandai dengan senyum leganya.
'Syukurlah kalau sudah bisa sendiri sayang' kataku tersenyum lega. Lega karena perbedaan kami berhasil kujembatani.
'Ah ngga juga. Barusan kamu bantu kok' jawab Ika pendek.
'Bantu gimana, lah kamu yang berdoa kok' jawabku bingung.
'Iya, tapi saya fokus mikirin kamu dan aku Wis. Sumpah, itu bikin tenang' jawab Ika malu-malu.
'Gombal ih' jawabku usil diikuti pukulan kecilnya di lenganku dan wajah merah Ika yang kembali bersandar di bahuku.
'Tapi kok kamu bisa tahu banyak sih yang seperti ini?' Tanya Ika kemudian membuatku tersadar ada satu bagian hidupku dengan kakek yang belum pernah kuceritakan pada Ika. Dan di titik ini, penting untuk Ika tahu apa yang akan terjadi. Sudah waktunya.

'Kita harus bicara Ka' kataku sambil menghela nafas.

Kami berhenti di sebuah restoran cepat saji dan memesan sarapan. Ceritaku akan sulit dicerna dalam kondisi bingung dan perut lapar. Dan memang saya tahu kami lapar berat sejak semalam.

Ceritaku mengalir lancar menjelaskan latar belakang ilmu silat kakek, hubungan guru-murid kami, dan ditutup dengan percakapanku dengan punggawa gaib yang mengontrol Ika semalam. Tidak ada selaan sama sekali dari Ika. Keningnya yang berkerut menandakan Ika berusaha mencerna semua yang saya ceritakan. Tidak masuk akal, tapi begitulah faktanya.
Wajah Ika baru baru berubah pucat saat sadar bahwa yang tersisa hanyalah rencanaku selanjutnya yang sudah jelas dari ceritaku barusan.
'Kamu... jadi kamu mau ke Sulawesi lagi?' Tanya Ika tergagap kubalas dengan anggukanku.
'Jangan Wis! Saya... kamu...' jawabannya putus-putus dihambat air matanya.
'Pasti ada cara lain' katanya lirih diantara isaknya menatapku penuh harap, yang sayangnya harus kujawab dengan gelengan lemahku.
'Bagaimana kalau Alam kita paksa untuk menghentikan ini' kata Ika kemudian.
'Ini tidak akan berhenti sayang. Bahkan jika yang memerintahkan punggawa itu memintanya berhenti.' Jawabku menerawang menghela nafas. Akhirnya kartu terakhir masa laluku harus kubuka. Saya menceritakan satu-satunya percakapanku dengan kakek mengenai seni gaib di halaman belakang rumah pada suatu subuh selesai kami latihan.

Saat itu kampung sebelah digegerkan oleh seorang janda bernama Halimah yang bunuh diri di rumahnya. Tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa dia bunuh diri. Hanya faktanya: dia bunuh diri. Tidak adanya motif rupanya menarik perhatian kakek untuk membicarakannya.
'Ada satu sihir gaib daerah sini yang agak beda Win' kata kakekku menjelaskan sambil duduk di kursi kesayangannya.
'Sihir ini bisa mengontrol tubuh korbannya secara keseluruhan seakan akan tubuh itu miliknya sendiri.' Sambung Dato
'Wah, bisa dipakai untuk mencuri dan mengkambing hitamkan korbannya ya Dato?' Tanyaku mencoba memahami.
'Sayangnya tidak Win. Syarat ilmu ini adalah darah. Harus ada yang mati. Biasanya bukan untuk uang ilmu ini dijalankan' timpal kakek. Senyum getir tergambar di wajah kakek.
'Biasanya karena apa dato?' Tanyaku bingung.
'Dendam' kata kakek pendek.
'Penawarnya apa?' Tanyaku kemudian dijawab dengan diam sebelum dijawab.
'Nyawa Win. Salah satu harus mati. Entah itu korban atau si pengirim. Dan bukan orang yang menyuruh mengirim yang mati, melainkan si empunya ilmu' kata kakek dengan nada datar.
Saya hanya bisa terdiam menunggu penjelasan kakek selanjutnya.
'Tapi tidak mudah menjalankan ilmu hitam seperti itu. Syarat ilmu ini darah. Sifat ilmunya begitu. Untuk bisa mulai mengontrol seseorang, harus ada sesuatu dari tubuh si pemilik ilmu yang dimakan atau diminum korban dan beredar dalam darah si korban. Tahu apa yang paling ampuh Win?' Tanya kakek dengan nada nakal padaku.
'Darah pemilik ilmu? Jawabku diikuti kerdik bahuku.
'Sperma' jawab kakek pendek sambil menjitakkan jarinya di kepalaku mengingatkanku pada kenakalanku dengan perempuan.
'Sperma adalah cikal kehidupan. Cukup satu tetes kepunyaan punggawa untuk bisa memulai ilmunya. Jika berulang-ulang akan menyatu dengan daging. Transfusi darah juga sudah percuma' Kakek melanjutkan.
'Tapi mana ada orang yang mau minum sperma orang lain secara paksa Dato' imbuhku tak percaya.
'Masa tidak ada?' senyum nakal kakek kembali mengembang melihatku. Alis matanya terangkat menungguku salah bicara. Saya hanya bisa diam dalam cengiran kuda memikirkan tanggapan yang tepat yanh tidak membuat benjol.
'Tapi tetap sulit dato. Bu Halimah orang yang alim. Tidak mungkin dia mau macam-macam dengan laki-laki. Saya tahu persis' kataku. Kemudian tersadar akan kalimat terakhirku yang bisa berakibat benjol.
'Dato tahu. Saya tidak heran jika almarhumah diperkosa sebelum kejadian dia bunuh diri. Pasti ada bekas masuk paksa di rumahnya' kata kakek menyandarkan punggungnya di kursi dan menghisap rokok selesai menjitakku.
'Siapa kira-kira pelakunya Kek?' Tanyaku selanjutnya
'Tidak akan pernah kau bisa melihat dia, kecuali untuk duel. Kutukan ilmu hitam adalah kesendirian' jawab kakek
'Lantas untuk apa belajar ilmu hitam?' Tanyaku tak paham.
'Nasib nak. Dan keterpaksaan.Terkadang itu pendorongnya. Tapi sekali kau masuk, tidak akan bisa kau keluar. Bahkan maut pun malas menjemputmu. Paham?'
Saat itu sambil menggosok benjol kepalaku saya paham keengganan kakek berurusan dengan ilmu gaib. Bertolak belakang dengan konsep 'bela diri' yang dianut mancak kakek
'Ayo subuh dulu' kakek menutup percakapan kami saat suara adzan dari surau terdengar berkumandang memecah hening subuh.

Perkataan Kakek malam itu masih belum bisa kupercaya sampai tiba saatnya saya melihat sendiri bukti perkataan Kakek tiga hari lalu. Pintu rumah Bulik yang didobrak, dan ketelanjangan Bulik.
Hening itu kini menyergap saya dan Ika saat ceritaku selesai. Pemahaman kami sudah sejalan. Tidak ada jalan lain selain duel.

Tidak ada kata lagi yang menyertai kami saat melangkah ke mobil Bulik setelah makan. Suara Ika baru terdengar saat kami melangkah memasuki rumah sakit dan saya tersadar Ika tidak berada di sampingku.
Berdiri di ambang pintu otomatis rumah sakit, Ika berdiri menatapku dengan mata berlinang. Saya berjalan mendekatinya dan memeluknya erat. Tidak perlu kata untuk bisa menjelaskan apa yang hendak dikatakan Ika.
'Saya pasti kembali Ka' kataku pelan.
'Janji?' Tanya Ika mengangkat kepala menatapku penuh harap.
'Janji' jawabku tersenyum. Dan untuk pertama kalinya saya berbohong.

Jika ada yang melegakanku dalam rentetan peristiwa ini adalah Bulik memilih bunuh diri dengan potong urat. Harapanku, transfusi darah bisa membersihkan pengaruh gaibnya. Dan sepertinya harapanku terkabul.
Bulik tampak segar pagi itu. Senyumnya sudah bisa tersungging walaupun wajahnya masih pucat. Kami bertiga berpelukan erat. Tidak ada cerita berat yang kami sampaikan, hanya tetek bengek kecil mengenai rumah. Panggilan Bulik padaku dan Ika yang menandai keseriusan cerita Bulik berikutnya.
'Ceritakan pada Bulik apa yang terjadi' pinta Bulik pendek membuatku menghela nafas. Terpojok, kami akhirnya menceritakan semua kejadian sejak kami pergi sampai semalam.
Wajah Bulik memancarkan bercampur aduknya perasaannya sebelum ditutup helaan nafasnya. Kami hanya bisa tertunduk.
'Paling tidak, Bulik tidak salah memilih pihak' ucapan Bulik membuat kami mengangkat kepala dan tersipu saat menatap Bulik yang tersenyum menatap kami duduk bersebelahan dengan saling menggenggam tangan.
'Kalian cocok berdua' goda bulik pada Ika disambut semburat merah di wajah Ika.
'Kalau begitu, Bulik harus bicara dulu sebentar dengan kamu Ika.' Kalimat Bulik membuatku curiga.
'Ada yang harus Bulik akui mengenai hubungan saya dan wisnu' dan kalimat berikut sukses membuatku terbelalak. Bulik mau mengakui percintaan kami? Kiamaat.
'Keluar dulu Wis' kata Bulik pendek sambil tersenyum padaku. Tatapan Bulik meyakinkanku. Membuatku paham apa maksud Bulik.
Lawanku bermain catur dengan kami. Dan terbukti selama ini langkahnya selalu memanfaatkan kelemahanku. Hubunganku dengan Bulik merupakan satu lagi kelemahan yang bisa dimanfaatkan lawanku jika tidak ditutupi lebih dahulu.
Sambil menghela nafas saya mencium kening Ika yang kebingungan.
'Fransiska Sucipto, saya cinta kamu. Kamu harus tahu itu' hanya itu yang bisa kukatakan sebelum melangkah keluar kamar.
10 menit saya menunggu Ika dan Bulik bicara adalah 10 menit terlama dalam hidupku. Teriakan 'apa!' Dari Ika sudah terdengar 5 menit yang lalu, tapi belum ada pergerakan apapun dari dalam sejak itu.
Dering ringtone Ika memecah lamunanku, dan 1 menit kemudian pintu kamar Bulik terbuka. Ika keluar dengan wajah cemas. HP masih bertengger di telinganya
'Saya pulang sekarang' Ika memutus sambungan telepon dan menatapku dengan wajah kuatir.
Saya juga menatap dengan wajah kuatir, menunggu tamparan atau makian, tapi malah pelukan yang diberikan Ika.
'Ika saya minta maaf' kataku pendek.
'Nanti saja Wis. Kita harus ke rumahku. Mama...sakit' jawab Ika lirih menatapku.
Tidak perlu jawaban dariku, kami melangkah masuk ke ruangan Bulik untuk pamit.
Pelukanku dengan Bulik yang erat menandai perpisahanku.
'Saya pergi Bulik' kataku singkat.
'Pulang ya Wis' jawaban Bulik hanya kubalas senyuman kaku. Karena saya belum tahu apakah janji pulang itu bisa kutepati kali ini. Dan kami melangkah keluar.

Kemegahan rumah Bude Sri dan Pakde Mawan tidak kalah dari rumah Eyang. Kehampaannya pun tak kalah. Ada yang membuatku miris melihat ketiadaan unsur penggenap paling penting dari kemegahan, yaitu manusianya. Rumah ini pun tidak terkecuali. Megah dalam keabsenan lima penghuninya yang jarang ada di rumah bersamaan. Adik bungsu Ika saat ini sedang sekolah di Amerika, sementara adik keduanya memilih menghilang di Jepang, larut dalam profesinya sebagai fotografer. Hanya tinggal Ika dan mama papanya yang bermain kucing-kucingan, menolak bertemu. Oh ya dan satu lagi penghuni tambahan. Alam

Mengingat namanya membuat emosiku tersulut lagi. Tidak ada yang lain yang ingin kulakukan saat menyusul Ika yang berlari ke arah pintu depannya selain memberinya oleh-oleh dariku, membalas oleh-oleh dari punggawa suruhannya. Namun teriakan dari dalam rumah yang baru terdengar saat Ika membuka pintu membuatku menepis dulu pikiran itu.

Kami berlari ke belakang kemudian naik ke lantai dua. Pintu pertama di kanan kami buka menampakkan pemandangan di dalamnya dan menyadarkanku betapa keras teriakan tadi.

Pakde Mawan terduduk di lantai dengan bibir berdarah. Seorang berseragam satpam tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Pentungan karet yang terletak tak jauh dari kepalanya menjelaskan proses pingsannya.
Dan berdiri dalam balutan daster tipis di depan jendela, Bude Sri membalikkan wajahnya ke arah kami. Raut wajahnya sangat akrab bagi saya dan Ika dua hari terakhir, membuat kami serentak paham apa yang terjadi.
'Kita akan selesaikan ini dengan duel. Kau sudah janji' kataku datar pada punggawa gaib yang saat ini menunggangi tubuh Bude Sri.
'Saya pegang janjiku anak muda. Tapi ini pun adalah janjiku pada tuanku' JawabBude Sri dengan suara serak yang kukenali sejak semalam.
'Mana tuanmu? Saya mau menyelesaikan urusanku dengannya' kataku kemudian.
'Dia tidak sebodoh itu untuk tetap ada disini' sosok Bude menjawab sambil tergelak kencang menggetarkan dadanya yang polos di balik daster.
'Dia aman dalam perlindunganku' lanjutnya.
'Tapi dia cukup bodoh untuk merusak mertuanya. Dia tidak akan bisa pulang lagi' jawabku memprovokasi.
'Kau harus bicarakan itu dengan dia. Tugasku hanya memberimu oleh-oleh sebelum kau berangkat. Dan percayalah, doa tidak cukup untuk yang satu ini. Saya terlalu kuat menguasainya. Terimalah' sosok itu menutup percakapan dengan tawanya lagi.
Dan kembali tawa itu sirna perlahan mengembalikan raut asli Bude Sri yang menatap dengan tatapan bingung sebelum mengernyit saat sakit menerpanya membuatnya berteriak.

Baru setelah satpam diangkat keluar dan ruangan dikosongkan, kami bisa mulai merawat Bude Sri. Pakde Mawan dan Ika berdiri di kiri kanan ranjang memperhatikanku mengurut Bude sambil membaca doa. Tubuh Bude polos hanya ditutupi sarung pemberian Pakde. Tubuhnya berkilat diterpa lampu kamar.

Punggawa itu tidak bercanda rupanya. Kalau sakit Ika masih bisa kuatasi dengan urutan dan doa, sakit Bude beda. Urutanku hanya bisa memusatkan sakit Bude ke satu titik dan mengurangi intensitas sakitnya. Lega tiga menit, sakit bukan main selama lima menit. Dan dalam jeda itulah percakapan antara Ika dan mamanya terjadi.

'Kita ke dokter ma. Ika telepon rumah sakit sekarang' kata Ika cemas melihat mamanya yang terbaring lemah di tempat tidur.
'Wis, bilang ke mama.' Kata Ika menatapku meminta dukungan.
'Iya Bude. Minimal dicoba' kataku menatap Bude. Tapi tatapan balik Bude menyadarkanku bahwa dia juga paham pertolongan medis sulit membantunya pada titik ini. Ketidakberdayaan membuat tangis Bude pecah.
'Maafkan mama Ka' kata Bude lirih sambil mencoba meraih tangan Ika. Ika menyambut tangan mamanya, dan untuk pertama kalinya saya menyaksikan dua manusia ini berinteraksi tidak dalam kondisi bermusuhan. Pelukan mereka erat diiringi tangisan.
'Ika juga minta maaf sudah menyakiti perasaan mama' jawab Ika terisak.
'Ini semua perbuatan mama dan Alam Ka' pengakuan itu akhirnya keluar dari mulut Bude membuatku terdiam dan Ika menarik diri dari pelukan mamanya.
'Kenapa mama tega? Mama tahu Ika dan Bulik Asri hampir mati karena mama?' Emosi Ika tersulut mendengar pengakuan mamanya.
'Mama tidak mau menyakiti siapa-siapa. Alam yang memaksakan. Maafkan mama Ka. Maafkan Bude Wis' kali ini tangis Bude makin kencang menatap bolak balik antara saya dan Ika yang cuma bisa diam. Ika dalam marahnya dan saya yang bersiaga.
Tiba-tiba tangis Bude berganti geraman serak saat tangannya bergerak cepat mencari leher Ika. Ika terpekik tak sempat bererak. Tapi tangan kiriku bergerak lebih cepat sudah memeperkirakan serangan ini, meraih lengan Bude, memuntirnya ke arah jempol sebelum bergerak menekan pundak bulik dengan jempol kanan, memaksakan tubuhnya kembali berbaring lemas, menatapku dengan mata liar. Sejenak saya kaget betapa mudahnya melumpuhkan sosok ini. Saya bahkan bisa membenarkan posisi sarung Bude yang melorot menampakkan isinya yang besar tanpa perlawanan.
'Sudahlah, kita selesaikan nanti. Saya musuhmu, bukan Ika' kataku pada sosok yang menguasai Bude.
'Kalau saya tidak bisa mendapatkan dia. Lebih baik dia mati' kata sosok itu padaku. Jawabannya menjelaskan jati dirinya. Saya tidak berbicara dengan sang punggawa, melainkan dengan: Alam kampret.
'Kau rupanya. Saya pikir kamu tidak punya nyali untuk muncul' kataku tertawa kecil.
'Kenalkan, ini Alam' kataku berpaling pada Pakde dan Ika yang sontak membelalakkan mata.
'Kurang ajar!' Pakde refleks melompat, mendorong Ika dan menampar Bude.
'Sabar Pakde! Badannya masih badan Bude!' Saya harus berteriak dan melepaskan totokanku di tubuh Bude dan menahan Pakde menyakiti istrinya. Pakde akhirnya tenang dengan nafas tersengal. Saya sedikit kuatir melihat tubuh Bude yang kini bebas. Dan benar saja, sosok itu mengambil kesempatan dan mencoba menerkam ke arah Ika. Saya refleks menubruk tubuh Bude dan menekannya untuk kembali berbaring dan menekan titik di pundaknya lagi. Kembali sosok itu melemas dan berteriak untuk melampiaskan amarahnya.
Setelah sosok itu tenang, wajahnya berpaling pada wajah kami yang mengelilinginya. Matanya menampakkan ketidakberdayaan fisiknya.
'Akan kubunuh kalian semua. Walaupun tidak dengan tanganku. Saya bersumpah. Mulai dari pelacur ini' kata penutupnya membuatku terbelalak menyaksikan darah keluar dari mulut Bude. Bude menggigit lidahnya sendiri.
Sontak tangan kananku bergerak ke tengkuk Bude menekan uratnya, mematikan gerakannya keseluruham. Sosok Alam kembali berteriak. Menggeram lebih tepatnya karena bibirnya tidak bisa digerakkan.
'Kau tidak bisa melindungi dia terus. Saya terlalu kuat menguasai dia' kata sosok Bude dengan nada mengancam.
'Lepaskan dia. Saya bertarung dengan gurumu. Kalau kalian menang silahkan lanjutkan.' Kataku dengan nada mengancam.
Sosok itu terdiam sejenak sebelum matanya memancarkan sinar pencerahan dan mengangkat alisnya.
'Saya akan lepaskan pengaruhku. Tapi ada syaratnya' gumam sosok itu menatapku dan Ika.
'Apa syaratnya?' Kataku bertanya.
'Kalahkan pengaruhku di tubuh ibunya' katanya padaku, membuatku tersadar akan ada satu lagi senjata perang mental yang akan dilancarkan lawanku. Dan tujuan serangan ini jelas. Sejelas matanya yang beralih menatap Ika sambil berkata dalam tawa kecilnya

'Tiduri ibunya' tawa sosok itu kembali menatapku.

Dan sudah saya tebak, kembali saya yang dipercayakan memegang senjata itu.

Penerbangan terakhir malam ini cukup ramai penumpang menandakan banyak yang bergelut dengan waktu dan uang dalam menjalani hidup. Tapi tidak untukku. Waktu dan uang sedikit mengambil peranan dalam kondisiku saat ini. Saya masih punya waktu satu hari sebelum jatah tiga hariku sebelum duel habis. Dan uang, huft... memikirkan hidup yang dikontrol uang pun saya jengah. Bukankah uang motivator awal bencana ini?

Pikiranku berkecamuk kencang. Temaram lampu kabin pesawat tetap tidak mampu melenakanku dalam tidur. Pikiran mengenai kondisi Bude dan Bulik yang belum stabil, dan Ika manisku yang melepasku dalam tangis tersembunyinya, menolak untuk menatapku pergi dalam pertaruhan terakhirku. Pertaruhan kami dengan ragu.

'Apa jaminannya bahwa duel dengan punggawa itu bisa menyelesaikan masalah Wis?' Bisik Ika padaku sebelum saya berangkat.

'Apa jaminannya kamu menang?' Sebenarnya itu yang ingin ditanyakan Ika. Juga 'Setelah kamu menang apakah kamu akan pulang?' Pertanyaan terakhir ini yang berat untuk ditanyakan, takut akan jawabannya.
Sama seperti pertanyaan 'apakah meniduri Bude pasti akan membuat pengaruh gaibnya hilang?' Pertanyaan yang sulit dijawab, karena tidak ada yang bisa diraba atau dilihat dalam hal gaib.

Tapi bisa dirasakan. Dan intuisiku mengatakan inilah jalan yang tepat. Tapi intuisiku beda dengan Ika yang mengandalkan emosi dan perasaan. Membuatnya diam dalam tangis menutup pintu kamar Ibunya tak mau menatap pergiku. Memilih larut dalam kecewa dan ragu. Membuatku ragu apakah rencana yang telah disusun dapat dijalankan.

Tidak salah jika permainan lawanku disebut perjudian. Dan Ragu adalah pertaruhan kami. Dan saya belajar bahwa tidur dalam ragu adalah pengalaman tidur yang paling tidak menyenangkan.

Subuh di bandara kotaku jauh dari subuh di kampungku yang tenang damai. Ramai pengunjung bandara membuatku jengah. Shalat subuh pun harus antri. Dengan hati masygul, saya melangkah mencari taksi. Tujuanku berbelok sedikit dari tujuan awalku.

Derit pintu tua rumahku terdengar tidak asing, dan pemandangan di dalamnya membawa kenangan indah saat ayah ibu masih hidup, walaupun meja makan yang kosong mengingatkanku pada ketiadaan mereka.
'Tiga kali seminggu, rumah ini masih dibersihkan nak' suara itu membuatku menoleh dan tersenyum memandang pak Muzakkir yang berdiri di belakangku. Setelan jas masih melengkapi penampilannya, walaupun jasnya dibuka dan disampirkan di lengan kirinya.
'Terima kasih pak' ucapku takzim padanya.
'Jangan bilang begitu nak. Kalau bukan karena Pak Mat, Bapak juga tidak akan bisa begini' balas Pak Muzakkir mengingatkanku pada hubungan murid-gurunya dalam bidang keilmuan dengan Kakek.
Dan kesadaran itu pula yang membawaku melangkah ke rak buku Ayah yang tersusun rapi menurut konten buku. Setelah mencari sejenak di bagian agama, saya tersenyum girang menemukan yang kucari.
'Pak Mat memang menyuruh saya menaruh buku itu di sana. Katanya mungkin satu waktu kau akan datang mencari.' Kata Pak Muzakkir terkekeh.
Saya hanya tersenyum kecil mendengarnya. Kakek mungkin sudah tahu. Dan itu pula sebabnya buku tanpa judul ini oleh kakek diminta agar ditaruh di bagian agama, bukan bagian lain.
'Kalau begitu saya pamit dulu nak' kalimat pak Muzakkir memecah lamunanku. Langkah pak Muzakkir terhenti sebentar di pintu, dan setelah merogoh saku jasnya, mengeluarkan isinya.
'Hampir lupa, Pak Mat menitipkan ini untukmu.' Katanya memberikan sebuah amplop.
'Hanya boleh diberikan pada saat kau mengambil buku itu' sambung Pak Muzakkir sebelum tersenyum dan pamit pulang.

Saya terduduk di meja makan menatap dua benda di depanku. Sebuah amplop dan sebuah buku usang. Keduanya dari Kakek, salah satunya harus saya buka lebih dahulu sebelum yang lainnya.

'Kakek tahu waktu ini akan tiba' batinku.

Keterbatasan waktu yang akhirnya memutuskan saya meraih benda kedua.

Buku usang itu adalah satu-satunya peninggalan Kakek yang aneh pada daftar inventaris barang peninggalan kakek yang diserahkan Pak Muzakkir pada takziah hari ke 7 meninggalnya Kakek. Terselip diantara daftar barang-barang dan harta kakek, tidak digabung dengan item buku. Dan inilah tujuan persinggahanku walaupun saya hanya bisa secara samar menebak apa isinya dari daftar inventaris itu.

12. Buku kumpulan doa karangan Pak Mat.

Membalik-balik buku itu, membaca huruf arab gundul isinya. saya mencari satu bagian yang saya harap ada. Buku ini hanya kumpulan doa untuk orang awam, tapi merupakan pelajaran ilmu gaib bagi yang tahu. Dan saya tahu.

Kemudian... bingo.

Selesai membaca, saya beralih ke kamar mandi, berwudhu dan shalt hajat sebelum bersila di lantai beralas sajadah dan meraih buku itu, merapalkan isinya dalam konsentrasi penuh dan hati pasrah.

Lalu ruangan makan rumahku berubah gelap, dan saya terkesiap berdiri siaga, sadar bahwa usahaku berhasil. Pertaruhanku dimulai.

Alam kampret yang membuka ide ini padaku dalam emosinya.

'Kalahkan pengaruhku di tubuh ibunya.'

Tapi meniduri ibu Ika hanya pancingan untuk merusak hubunganku dengan Ika. Saya tahu itu, dan menolak mentah-mentah ide itu walaupun Pakde dan Ika sudah pasrah. Racun yang sudah mendarah daging tidak mungkin dilawan dengan racun lain. Yang lebih masuk akal adalah memutus koneksi antara yang mengontrol dengan yang dikontrol. Secara gaib. Dan ketidak tahuanku mengenai hal gaib yang mengingatkanku pada buku ini. Buku yang bertahun-tahun selalu tersembunyi rapih, lepas dari pengamatanku, tapi muncul di daftar inventaris.

Lamunanku dipecahkan oleh sosok hitam yang melangkah mendekati dari arah depan. Sesosok lelaki tua berpakaian hitam-hitam dan bermata merah berhenti dua langkah dari hadapanku.
'Assalamu alaikum' sapaku takzim pada sosok itu.
'Untuk apa kau datang kesini anak muda' suara serak itu kukenali.
'Saya harus dato. Untuk menyelesaikan urusanku sebelum kita bertemu' jawabku.
Diam menyambut kami sejenak. Hanya desau angin yang terdengar.
'Siapa gurumu?' Sosok itu menanyakan lagi pertanyaan yang dua hari lalu ditanyakan lewat Ika.
'Saya akan sampaikan setelah kita bertarung Dato. Tak perduli siapapun yang akhirnya menang' jawabku.
'Bertarung. Sudah lama saya tidak dengar kata itu diucapkan kepadaku.' Senyuman menakutkan terkembang di wajahnya.
'Tidak pernah ada yang hidup setelah bertarung dengan saya anak muda' sosok itu menambahkan.
'Saya tidak mencari menang atau kalah Dato. Saya cuma mau menyelesaikan hutang piutang kita.'
'Dan membebaskan perempuanmu' katanya disambut anggukanku.
'Saya mohon Dato mau berjanji untuk yang itu' pintaku sedikit membungkuk.
Tawanya memecah malam.
'Kenapa kau mau percaya janjiku?' kata sosok itu sambil tertawa.
'Karena dunia kita sama Dato. Dan bagi kita, janji adalah hutang. Begitu kata guruku' jawabku tenang. Dan jawabanku meredam tawanya menggantikannya dengan senyum tipis.
'Kau tahu sopan santun anak muda' sosok itu berkata setelah diam sejenak, dan melangkah ke samping membuka jalan bagiku. Tangannya terentang ke samping menunjuk arah cahaya kecil di kegelapan yang tadinya tak nampak olehku.
'Selesaikanlah urusanmu anak muda. Setelah itu temui aku di Romang Polong e' kata sosok itu.
Tapi saya masih diam menatap wajahnya menunggu satu kalimat lagi.
'Saya bersumpah akan melepaskan semua pengaruhku pada keluargamu dan keluarga perempuanmu setelah duel kita selesai dan kau mati' kata sosok itu.
Senyumku merekah dan dengan merendahkan tubuh meminta jalan saya berjalan ke arah tangannya menunjuk.
'Oh ya' seruan sosok itu menghentikan langkahku.
'Kau harus berhadapan dengan cucuku di sana' kata sosok itu menegaskan dugaanku.
'Hati-hatilah. Sifatnya beda dariku. Ilmunya dangkal, tapi culasnya dalam' Sambung sosok itu.
'Terimakasih Dato' kataku takzim.
'Jangan berterimakasih. Pastikan saja kau tidak mati sebelum kita bertarung, atau perjanjian kita batal' sosok itu melambai sebelum menghilang dalam kegelapan.

Dalam sepi saya melangkah menuju sumber cahaya. Semakin saya mendekat semakin mataku bisa menangkap dua sosok di atas hamparan permadani. Cahaya lentera yang tergantung di pohon menerangi sosok lelaki yang bertelanjang memompa kontolnya di atas wanita bertubuh gemuk. Kulit putih mereka yang berkeringat berkilat ditimpa cahaya.

'Hoi kampret' panggilku lantang malas membuang doa dalam salam. Sosok ini tidak pantas didoakan.

'Aaargh' teriak sosok itu dan berbalik. Wajahnya buram dengan mata merah, tapi saya tahu siapa dia: Alam kampret.

'Kenapa kau bisa melewati kakekku' sosok Alam berteriak geram. Kekagetan terpancar dari suaranya, namun tidak menghentikan kegiatannya memompa kontolnya di vagina wanita di bawahnya.

'Kami punya perjanjian sendiri' jawabku tenang.

'Orang tua setan' Alam berteriak lagi.

Sasar bahwa tidak ada lagi yang bisa membantunya membuat Alam bangkit berdiri. Sontak tubuh di bawahnya mendengus mencoba menahan gerakan Alam berdiri. Saat itu saya terkesiap melihat wajah si wanita.
Wajah itu wajah Bude, namun tidak memancarkan cahaya manusia. Matanya merah, hampir sewarna dengan rona wajahnya yang dibakar birahi.
Tangan sosok Bude menggapai mencoba meraih kontol Alam yang sudah berdiri dan membalikkan tubuhnya menghadapku. Gapaiannya disambut tendangan Alam tepat ke wajah Bude membuatnya terjengkang untuk kemudian meringkuk ketakutan.

'Kau menghancurkan semua rencanaku' kata sosok Alam sambil berjalan meraih kain di sebelah permadani dan menutupi ketelanjangannya. Tunggu dulu, apa iya dia malu sampai harus menutup aurat?

'Ilmunya dangkal, culasnya dalam' kalimat punggawa tadi membuatku sadar apa yang akan terjadi

Pisau itu mendesis saat dilemparkan ke arahku. Hanya refleks yang membuatku melempar tubuh ke kanan menyelamatkan jantungku. Tak urung pisau itu melukai bahuku.

Hanya sejenak serangan itu berlangsung, tapi itu sudah cukup untuk sosok Alam kabur. Ilmu mancaknya boleh cetek, terbukti larinya kencang.

Barulah saat bagkit saya tersadar ada yang salah dengan tanganku. Luka sayat pisau itu tidak biasa. Darah mengucur deras di bekas luka itu, membuatku harus menotok aliran darah ke lenganku. Bajuku harus kubuka dan kujadikan perban membebat lukaku.

Suara geraman terdengar dari belakangku membuatku refleks berbalik bersiap menerima serangan Alam. Tapi pemandangan di depanku tak urung membuatku terbeliak tak tahu harus berbuat apa.

Berjalan ke arahku dalam ketelajangannya, Bude menatapku dengan mata jalang. Payudaranya yang besar bergerak seirama dengan langkahnya. Cairan yang merembes dari selangkangnnya menandakan dia sedang birahi.

Dengan satu loncatan, Bude menerkamku jatuh ke tanah, meindihku dengan tubuh montoknya. Saya masih sempat mengangkat tangan kiri menahan wajahnya dari menciumku saat tangannya sudah menjalar di dadaku. Pantatnya yang menduduki selangkanganku bergerak liar menggesek kontolku yang masih tertutup celana.

'Bude sadar, saya Wisnu' teriakku panik. Tapi sosok Bude tidak bereaksi dengan teriakanku dan melanjutkan aksinya menggesek.

Dorongan kerasku yang akhirnya bisa menghentikan aksi Bude, membuatnya terjengkang jatuh dan duduk mengangkang di tanah memadangku liar. Dan melolong panjang.

Teriakan itu penuh nafsu. Nafsu yang tidak tersalurkan. Dan saat itu saya sadar, tidak mungkin berkomunikasi dengan Bude sebelum birahinya tuntas.

Bayangan Ika yang terlintas harus saya tepis saat saya berjalan mendekati tubuh Bude di tanah. Tangan kananku yang terluka akan sedikit menyulitkan, namun harus saya pakskan.

Perlahan saya berlutut sambil menguakkan kedua pahaBude yang montok sebelum jempol kiriku menyibak rambut kemaluannya dan bermain di klitorisnya.
Desahan Bulik panjang dan dalam mengiringi permainanku.

Tapi gesekan belum cukup rupanya. Tangannya menggapai gapai ke arah selangkanganku meminta pemuasan dengan wajah berharap. Saya hanya bisa menggeleng kecil, membuatnya meraung lagi. Raungan memohon.

Dengan menghela nafas, saya mengambil posisi menjauh sebelum memasukkan jari tengah dan manis kiri ke vaginanya diikuti desahan nikmat Bude yang merebahkan diri ke tanah menikmati rojokan dua jariku. Namun matanya masih menatapku iba, membuatku paham dan memasukkan jari telunjuk dan merendahkan wajahku bermain di klitorisnya.
Langkahku terbukti tepat karena rontaan sudah hilang berganti gerakan ritmis pinggul Bude mengikuti ritme jariku keluar masuk vaginanya.

Perlahan geraman Bude berganti erangan nikmat, dan saat erangan itu berganti lenguhan puas ditandai semprotan cairan cintanya, saya mengangkat wajahku dan twrsenyum melihat wajah Bude sudah terlihat normal. Wajah ayunya terlihat lega dengan mata sayu.
Sontak kegiatanku saya hentikan. Kami sudah sampai di tahap bisa berkomunikasi.
'Bude, sekarang Bude harus sadar' kataku lirih.
'Berdoa Bude. Pasti bisa' sambungku lagi.
'Maafkan Bude Wis' katanya pelan. Saya hanya diam.
'Kenapa sampai begini Bude?' Pertanyaanku membuat tangis Bude pecah.

Dan cerita Bude mengalir. Cerita yang bersaput dendam.

Bude berasal dari keluarga ningrat yang setara dengan keluarga pakde. Dan seperti keluarga ningrat lain, perjodohan diatur. Foto yang diperlihatkan pada Bude lah biang masalahnya. Foto itu menampakkan Pakde Mawan yang merupakan anak tertua yang rencananya akan dinikahkan dengan Bude. Tapi dalam foto itu Pakde Mawan tidak sendiri. Ada lelaki lain yang berfoto bersamanya. Lelaki yang menarik perhatian Bude. Yang membuat hatinya luluh.
Saat tahu bahwa perjodohannya adalah dengan Pakde, Bude menolak keras bahkan sampai mogok makan. Akhirnya orang tua Bude menyerah dan meluluskan permintaannya. Perjodohan dengan Pakde dibatalkan, berganti calon dengan sosok lelaki di foto tadi.
Walupun dengan protes keras dari Pakde, keluarga Pakde akhirnya setuju dan perjodohan dilanjutkan. Bayangkan betapa malunya kedua keluarga ketika lelaki itu ternyata juga menolak bahkan kabur dari rumah meninggalkan calonnya yang kebingungan. Akhirnya pernikahan dilanjutkan dan Pakde kembali dimajukan menjadi calon.
Tapi hati Bude tak pernah beralih dari lelaki yang kabur tadi. Cinta berubah menjadi dendam saat tahu sang lelaki telah menikah jauh di seberang lautan. Tapi dendam itu hanya dipendam dan hidup berlanjut, sampai saya masuk le hidup Bude. Saya yang berwajah mirip ayah, saya yang mendekati anaknya dan bersambut.

Dan dendam kembali menyeruak di dada Bude. Kebahagiannya direnggut lelaki itu tanpa ada kesempatan mempertahankan. Kini gilirannya menarik kebahagiaan itu dariku. Anak si lelaki.

Lalu Alam? Dia hanya prospektor yang jeli melihat kesempatan. Keluarga Bude yang kaya raya adalah jalan memperpanjang jatah kayanya yang mulai tergerus saudara-saudaranya. Ika adalah jalan masuknya. Tapi melihat keengganan Ika terhadap harta, dia beralih pada pemegang kunci, Bude. Dengan bujuk rayu Bude berhasil dikuasai. Latar belakang Alam yang berasal dari daerahku dimanfaatkan dengan baik oleh Alam. Dicarinya orang yang bisa membantunya memuluskan jalannya, dan jalan gaib dipilihnya.

'Maafkan Bude Wis. Bude hanya ingin diberi kesempatan oleh ayahmu' kata Bude lirih.

Saya hanya bisa menghela nafas menyadari eratnya belitan hidup keluarga kami.

'Sudahlah Bude. Kita perbaiki ke depannya' kataku singkat diikuti anggukan Bude.

'Sekarang kita harus keluar Bude. Tapi saya harus membereskan dulu racun di tubuh Bude. Bude berbaring sekarang.' Pintaku

Bude menurut dan setelah berbaring saya mulai mengurut tubuh Bude mulai dari bahu ke arah perut, kemudian dari paha ke arah perut. Doa menyertai setiap gerakanku, dan perlahan usahaku mulai menunjukkan hasil ditandai Bude yang mengaduh panjang.

Tidak mungkin menghilangkan racun yang sudah menyatu dengan daging. Yang bisa hanya memusatkan sakit itu ke satu area yang harus rela disingkirkan. Dan satu-satunya kandidat area yang mungkin adalah rahim Bude.

Dengan peluh menetes urutan saya akhiri. Bude mengerang memegang perut bawahnya.

'Sekarang berdoa dan pasrah Bude' kataku pendek mengangkat kepalanya di pangkuanku dan membelai rambutnya.
Bude menurut dan menangkupkan kedua tangannya di dada. Perlahan seringai sakit di wajah Bude sirna berganti damai.

Dan temaram di sekelilingku berubah terang seiring doaku. Mataku terkejap menyesuaikan dengan cahaya rumahku.

Dering rigtone mengagetkanku, membuatku bangkit dari duduk bersilaku. Wajahku mengernyit menahan sakit di bahu kanan saat meraih ranselku dan mengambil HP baruku, pemberian dari Ika.

IKA SAYANG - Caller ID yang tampak disertai foto wajah Ika yang manyun alai membuatku tertawa. Tawa pertamaku sejak tiba di kotaku, mengingatkan ruang kosong yang ditinggalkan Ika di hatiku.

'Hallo sayang' kataku dengan suara ditenang-tenangkan menutupi sakitku.

'Wis, mama sudah sadar' kalimat pertama Ika membuatku tersenyum kecil.
'Tapi perutnya sakit Wis. Ini juga ada darah keluar. Saya sudah boleh bawa ke dokter?' Tanya Ika, membuatku lega, Ika masih mengikuti rencana yang kami susun.

'Iya Ka, bawa saja. Sudah selesai kok' jawabku sambil menghela nafas lega saat sadar semuanya berakhir baik sejauh ini. Pertaruhan pertamaku berhasil.

Lalu diam menyergap kami, lega dan takut menyerang bersamaan. Sadar bahwa yang tersisa hanya duelku.

'Wisnu Angkara Surya, saya cinta kamu. Kamu harus tahu itu' Ika berbisik lemah di ujung sana.

'Ciee membalas ni yee' candaku usil dijawab diam.
'Saya cinta kamu Ika' lanjutku kemudian masih dijawab diamnya.

'See you at home, Honey' Ika akhirnya memutus panggilannya sepihak mebuatku menghela nafas.

Ika tidak berani mendengarku berbohong dengan jawaban 'iya'ku.
Dan kami sudah berjanji saling menguatkan.

Perlahan saya menggulung lengan baju melihat bahuku yang hitam legam. Ini bakal menyulitkan pikirku tak berani membayangkan duelku besok.

'Sekarang, istirahat saja dulu Wis' Ika dalam benakku berkata dalam senyum sekulumnya mengecup keningku menghantar tidurku. Dan dengan senyum saya menutup mata.

KAAK...KAAAAK!

Suara burung gagak kembali menarikku paksa dari tidur singkatku, membuatku terjaga dengan tubuh bersimbah peluh dalam ketakutan.

Badanku terasa kaku dan pegal saat kugerakkan dan sakit di bahuku semakin membakar tubuhku dalam demam menyulitkanku bahkan untuk bangkit duduk. Perjalanan gaib pertamaku mulai menarik retribusinya, membuatku makin paham mengapa Kakek memilih menjauhi ilmu ini.

'Nasib nak. Dan keterpaksaan. Terkadang itu pendorongnya' kata-kata kakek bergema dalam pikiranku. Ya nasib yang membawaku sampai sejauh ini.Saya hanya berharap ilmu gaib yang kujalankan belum sampai menyeberang ke dunia hitam. Tapi tidak ada Kakek yang bisa menjitakku memberitahukan saat saya salah. Kali ini saya sendiri.

Sofa tamu berderit ditimpa gerakanku. Derit yang lama tidak kudengar. Terdengar bersahabat bagaikan kawan lama yang baru dikunjungi lagi. Dan untuk sejenak pemandangan rumah membuat memori lama masa kecilku yang indah dengan adanya ayah dan ibu melintas, menenangkan diriku.

Hanya sejenak sebelum memori itu kutepis lagi. Belum saatnya mengingat itu semua. Akan kusimpan sampai waktu yang tepat. Sekarang saatnya fokus pada rencanaku. Pertaruhanku.

Sambil menyalakan rokok, saya mengangkat kaki di meja tamu dan menghayal. Ya, pertaruhanku dengan keraguan yang menyelimuti dunia gaib.

Sejauh ini saya masih menang dalam pertaruhanku. Bahwa koneksi antara Bude dan dunia gaib bisa diputus melalui media gaib, bahwa kakek masih menyimpan satu rahasia mengenai ilmu gaib, dan yang paling besar; saya bisa meminta punggawa bersumpah melepaskan semua orang yang saya sayangi dari pengaruh gaib dengan jaminan yang tak mungkin ditolaknya: nyawaku.

Apakah saya tidak ingin menang? Pertanyaan itu sudah pasti jawabnya. Kerinduanku pada Ika yang meluap-luap adalah jawabannya. Tapi apakah saya bisa menang? Tanpa luka di bahuku pun saya tidak bisa dengan tegas menjawab iya, walaupun enggan menjawab tidak.

Saya hanya bisa menghela nafas meniupkan asap rokok memandang langit-langit rumah memasrahkan hasil duelku. Menang atau kalah tidak penting lagi untukku sekarang. Pengaruh gaib akan hilang setelah duel kami, siapapun pemenangnya.

Dan ini menyisakan satu pertanyaan besar.

Satu hal yang harus saya akui, saya hanyalah remaja yang tidak punya pengalaman hidup. Saya dengan segala kemampuan mancakku akan bertekuk lutut di hadapan hidup yang angkuh dengan segala kompleksitasnya. Mencari uang, menghidupi keluarga. Ah bayangan keluarga membuatku tersenyum kecil membayangkan. Tapi secepat itu juga bayangan itu sirna dimakan kesadaranku. Saya tidak tahu cara mengimbangi gaya hidup keluarga ayah yang berbalik dengan gaya hidupku.

Dan bingung berganti iri saat membayangkan Alam yang lebih mampu menjalani hidup. Terbukti dari kesuksesannya dalam bidang finansial selama ini.

Alam, inilah pertanyaan besar terakhirku.

Apa yang akan dia lakukan jika saya kalah nanti? Pengaruh gaib dengan Kakeknya akan putus oleh sumpah kakeknya. Tapi apa yang menghalanginya membayar dukun gaib lainnya? Saya tidak mungkin bersaing dengan Alam soal finansial.

Dan menang pun masih menyisakan satu pertanyaan. Mampukah saya membunuh Alam? Karena itu satu-satunya tindakan yang logis untuk menghentikannya. Lalu konsekwensi membunuhnya bagaimana? Ini bukan jaman pendekar dimana duel masih dibenarkan. Dan sekali lagi ketidakberdayaan menyerangku.

Jam dinding menunjukkan pukul 2 saat saya akhirnya beranjak dari duduk untuk shalat tahajjud. Jika memang tidak bisa kujawab, biarlah waktu yang menjawabnya nanti.

Selesai shalat, dengan tubuh limbung saya beranjak membereskan ransel, menaruhnya di kursi sebelum menaruh sepucuk surat yang saya tulis dalam pesawat di atasnya. Tiga huruf kapital menghiasi amplopnya. Surat perpisahanku.

'Assalamu alaikum' salamku kuhantar lirih pada semua yang kusayangi saat pintu rumahku kututup dan melangkah ke arah jalan besar, mencari mobil angkutan subuh ke arah Tenggara.

Waktu 3 jam setengah perjalanan ke kampung kakek saya manfaatkan dengan olah nafas dan urutan. Efeknya mulai terasa saat saya menapakkan kaki turun di gerbang kampung. Langkahku lebih ringan dan fokusku bertambah menatap jalan pengerasan di depanku. Sakit di bahu juga berkurang jauh membuatku bisa memutar-mutarnya.
Langkah saya arahkan ke ujung tenggara kampung menuju tempat pertemuan kami tanpa singgah dulu ke rumah kakek, menghindari kenangan pahit muncul melemahkanku. Kakek menemani langkahku tapi dalam bentuk buku usang yang kuselipkan di balik baju dan sepucuk surat yang belum pernah saya buka di kantung kiri.

Romang Polong e. Tempat ini segarang namanya. Hutan tempat pemotongan. Nama itu diambil dari kejadian pembantaian penghuni kampung dekat hutan ini saat masa penjajahan Jepang. Peristiwa itu membuat hutan ini dianggap angker dan dijauhi oleh masyarakat kampung. Hanya sesekali kudengar kabar perampok yang bersembunyi di sini. Itupun tak pernah terdengar lagi kabarnya bahkan aparat polisi yang pernah mencoba mencari ke dalam hutan lari tunggang langgang tak mau menceritakan apa yang terjadi.

Ketiadaan campur tangan manusia terbaca jelas dari tumbuhan yang meranggas liar. Butuh usaha keras menyibak tanaman sejauh hampir 20 meter sebelum mataku tertumbuk pada bukaan di sebelah kiriku. Ada jalan setapak yang terbuka membelah hutan ini, menarikku menjalaninya.

Hanya perlu berjalan sekitar 10 meter sebelum saya tahu saya berada di jalan yang tepat. Sosok tua berpakaian hitam-hitam menghadang jalanku, membuatku berhenti beberapa langkah di depannya.
Kami saling menatap dalam diam sebelum sosok itu tersenyum.

'Ikuti saya' katanya pendek sambil berbalik melangkahkan kaki mendahuluiku.

Tapi punggawa tua ini bukan berbaik hati menjemputku. Ini adalah tes kecil akan kemampuanku. Kecepatanku yang ingin dijajal.

Langkah punggawa tua berubah menjadi loncatan saat dengan gesitnya dia melangkahi medan yang menanjak membuatku harus menarik nafas dan melentingkan tubuhku mencoba mengimbanginya, menahan sakit di bahuku.

Setelah berputar-putar sejenak, punggawa tua mengarahkan larinya ke kanan menembus semak-semak. Refleks saya mengikuti gerakannya dan terkejut saat semak terakhir kukebas kakiku mendarat di sebuah lapangan kecil di tengah hutan. Punggawa tua tersenyum melihatku berhasil sampai dan membalikkan tubuh berjalan ke arah gubuk di tengah lapangan itu.

'Kau luka anak muda' kata punggawa tua menanggapi nafasku yang mulai memburu.
'Oleh-oleh cucumu Dato' jawabku pendek pada Punggawa tua diikuti tawanya saat berbalik dan duduk di atas sebuah batu besar.
'Dunia gaib baru untukmu. Kau bisa keluar saja sudah hebat. Cucuku tidak akan bisa keluar sendiri' katanya menggaruk dagu.
'Mana cucumu Dato?' Tanyaku pada punggawa tua.
'Alam, keluar. Jangan sembunyi!' Punggawa tua itu berteriak keras.
'Cepat!' Bentak punggawa tua itu lagi diikuti gerakan kecil dari balik gubuk saat Alam akhirnya menampakkan batang hidungnya, berjalan lemah ke arah kami membuatku bersiaga penuh.
Tapi siagaku sia-sia karena Alam memilih bersembunyi di belakang kakeknya menatapku benci.
'Kau merusak rencanaku' kata Alam dengan nada menggeram.
'Maaf' jawabku pendek mengangkat bahu.
'Tapi sudah terlambat. Hampir semua harta Bude Sri atas namaku. Tinggal rumah itu yang belum.' Sambung Alam tersenyum.
'Kalau begitu ambil saja semua, tinggalkan kami' pintaku.
'Dan membiarkanmu mendapatkan Ika?' Alam berteriak kini.
'Ayo kita duel untuk mendapatkan Ika' kali ini saya yang berteriak.
Dan saya terkesiap saat punggawa tua berdiri... dan melangkah ke samping membuka jalan bagiku.
Wajah Alam pucat pasi menatap jarak kosong antara kami saat saya melompat ringan mengayunkan kaki mencari dada Alam.
Tendanganku telak membuat Alam terlempar jauh ke belakang terguling, sebelum meringkuk memegang dadanya.
Tapi sebelum saya bisa melompat melancarkan serangan kedua, kelebat kaki lebih dulu menghampiri dadaku membuatku harus menekuk hasta menangkis serangan itu.
Tak urung tendangan itu melemparkanku beberapa meter ke belakang sebelum mendarat dalam kuda-kuda penuh.
'Siapa gurumu?' tanya punggawa tua itu
'Dato ijinkan saya bertarung dulu dengan dia' kataku emosi menunjuk ke arah Alam yang tergeletak.
'Dia tidak tahu cara bertarung, dan hatimu terlalu lemah untuk membunuh' kata punggawa tua itu.
'Saya punya penawaran' kata punggawa tua itu tenang sebelum duduk di batu besar lagi.
Saya terdiam menunggu menatap punggawa tua itu menarik bungkusan dari sakunya, melinting rokok, menyalakannya dan menghembuskan asapnya.
'Sudah lama saya mencari murid untuk menerima ilmuku. Kalau kau bersedia menerima, saya yang akan menyelesaikan masalahmu dengan anak tidak berguna itu' kata punggawa sambil menunjuk enteng ke arah Alam yang masih meringkuk tidak mampu bergerak.
'Saya yang akan membunuhnya' kalimat punggawa tua itu menyunggingkan seringai binatang di wajahnya.

'Nasib. Dan keterpaksaan. Itu pendorongnya' kata-kata kakek kembali terngiang.

Dan saat itu bayangan kakek pulalah yang menaikkan emosiku dan tegas berkata TIDAK!

Saya tidak sudi masuk ke dalam lilitan ilmu hitam. Tidak selama saya masih sadar dan mampu menolak.

'Kalau begitu kupaksa kau. Atau matilah menolak' punggawa tua itu berkata pelan, menjentikkan rokoknya dan melompat tinggi di udara dengan cakar elang menerkam kepalaku.

Refleks saya tersenyum melompat ke kanan sambil mengayunkan kaki kanan menjegal kaki punggawa di udara.

'Pilihan bodoh untuk menyerang dari atas saat lawanmu siaga, kecuali kau bisa terbang' kalimat kakek ini sering bersambut tawaku dan diam kakek. Manusia mana yang bisa terbang. Begitu pikirku.

Senyum saya sontak hilang berganti keterkejutan saat punggawa tua itu berbelok ke kanan di udara. Dia... terbang!

Dan tidak ada yang bisa kulakukan saat tendangannya mendarat telak di wajahku melemparkanku ke belakang terguling.

Beruntung saya masih siaga dan menarik tangan ke atas menutupi kepalaku dari tendangan kedua punggawa itu. Tapi tak urung serangannya mendorongku terjungkal sebelum berguling dan kembali berdiri memasang kuda-kuda.

Tapi tak ada serangan lanjutan. Punggawa tua itu menatapku dengan kepala dimiringkan.

'Siapa gurumu?' Tanya punggawa itu lagi menatap kuda-kudaku.

'Saya jawab setelah duel selesai Dato' jawabku terengah dijawab senyum punggawa tua itu.

'Sudahlah. Kau tidak bisa menang. Terima saja ilmuku. Masalahmu selesai' kata punggawa itu.

Kata-kata punggawa itu menusuk jantungku. Dia benar. Saya tidak mungkin menang. Terlalu jauh jarak kemampuan kami. Dan menerima ilmunya berarti masalah selesai. Tapi resikonya yang membuatke bergidik.

'Kakek, turunkan saja padaku' suara cempreng terdengar dari sebelah kanan. Suara Alam yang sudah bisa duduk walaupun terlihat masih gemetar.

'Kau tidak mampu' jawab punggawa tua malas-malas. 'Mancak pun kau tak bisa' sambungnya menggeleng membuatku tertawa kecil.

'Kalau dia mati, kakek tidak punya pilihan!' Ceracau Alam terdengar lagi; kali ini sambil menunjukku.

Punggawa itu menatapku berharap.

'Kutukan ilmu hitam adalah kesendirian. Bahkan maut pun malas menjemput' kalimat kakek membuatku jengah.

Lebih baik mati! Pikirku sambil melompat maju mengangsurkan cakar harimau ke wajah punggawa. Melancarkan gerakan tipu kakek, membagi dua gerakan dari kiri dan kanan.

Tipuanku berhasil! Batinku girang saat kulihat punggawa tua melangkah mundur. Cakarku melayang deras dari belakang hanya untuk menggapai angin. Punggawa tua itu menghilang. Panas menyertai telapak kaki punggawa tua itu saat tendangannya telak masuk menghantam pipi kiriku memuncratkan darah dari pelipisku melemparkanku tertatih dalam pening.

*****

Kelebatan masa laluku harus berakhir saat telapak panas punggawa tua mendarat di dada kiriku mengirimkan sentakan tenaga dari tangannya memeras jantungku.

Saat itu wajah ayah, Ibu dan kakek berkelebat di hadapanku, tersenyum. Hanya wajah terakhir yang sedih. Wajah Ika.

Maafkan saya, tapi hanya sampai di sini saya bisa berusaha.

Fransiska Sucipto, saya cinta kamu, kamu harus tahu itu. Bisikku pada bayangan Ika meminta senyum terakhirnya.

Kemudian segalanya gelap...

*****

Derik kayu yang terbakar melenakanku. Kalau bukan karena sakit di sekujur tubuhku saya pasti sudah duduk bersila melamunkan Ika ku sambil menatap api unggun itu.

Saya sudah mati ya? Batinku. Tapi rasa sakit yang menyeruak membuatku sadar. Sakit hanya karunia makhluk hidup. Berarti pertarunganku... punggawa tua itu... Alam...

Tapi akhirnya rasa sakit juga yang memaksaku kembali membaringkan tubuh dan menutup mata. Mataku hanya bisa terpicing saat suara orang berbicara mengagetkanku.

'Saya bisa kakek' Alam berjalan di belakang kakeknya yang berjalan ke arahku. Nada suaranya mengingatkanku pada anak kecil yang minta menggantikan ayahnya menyetir motor.

'Bodoh. Kau akan mati dimakan ilmu ini. Tubuhmu tidak akan sanggup' punggawa tua itu berjongkok di sebelahku sambil meraih punggungku mendudukkanku.

'Lalu dia sanggup? Berdiri saja dia tidak bisa' suara Alam meninggi dalam nada anak manjanya.

'Bukan fisik yanh saya bicarakan. Kau juga tidak akan paham dengan kepala tololmu itu' jawaban punggawa tua itu membuatku sedikit tersenyum.

Gerakan Alam selanjutnya mengejutkanku. Tendangannya telak masuk di rusuk kiriku membuatku harus mengernyit menahan sakit. Tapi Alam belum selesai. Dia sudah bersiap menendang lagi ketika kibasan tangan punggawa tua membuatnya terjengkang jatuh terduduk.

'Kakek lebih memilih dia daripasa saya cucumu?' Kali ini teriakan Alam disertai sakit hatinya.

'Pergi kau sebelum kubunuh' jawaban Punggawa tua terdengar seperti desisan ular. Tatapannya nyalang ke arah Alam membuat yang ditatap terkesiap berdiri dan berbalik sebelum berlari kencang menembus semak di sebelah kiriku.

'Kalau bukan cucuku sudah lama kubunuh dia' ucap punggawa tua mengomel. 'dia manja seperti ibunya' punggawa tua itu melanjutkan sambil membantuku duduk kemudian beralih mengambil air yang dimasak dalam panci kecil di atas api unggun dan menuangkan isinya ke dalam gelas kaleng di sebelahnya.

Kutatap punggawa tua itu memasukkan serbuk ke dalam gelas dalam diam. Kemudian punggawa tua itu meniup cairan dalam gelas yang langsung berubah dingin ditandai titik-titik embun di sisinya.
'Minum' kata punggawa itu menyodorkan gelas ke mulutku memaksakan isinya tumpah dalam mulutku. Dalam ketidakberdayaan saya pasrah menenggak isi gelas itu.

Rasa pahit membutku mengernyit namun efek cairan itu sontak kurasakan saat panas dan dingin menyeruak silih berganti dalam tubuhku menghilangkan rasa sakit dari dalam. Beberap menit kemudian tubuhku kurasa cukup segar untuk bisa menegakkan sendiri punggungku, dan melakukan olah nafas membangun kembali tenagaku.

Punggawa tua hanya diam menatapku sambil tersenyum kecil. Barulah setelah olah nafasku selesai dan tubuhki disaput keringat percakapan bisa kami lakukan.

'Kakekmu mengajarimu dengan baik.' Punggawa tua berkata sambil terkekeh.
'Dato kenal kakekku?' Tanyaku penasaran dijawab seringainya.
'Dia muridku' kata punggawa tua itu pendek. 'Artinya kau juga muridku' katanya sambil menunjukku.

Saya tidak mampu menjawab selama beberapa menit mencoba mencerna. Kuda-kuda kami yang sama, jurus-jurus kami yang mirip walaupun punggawa ini berpuluh-puluh tingkatan soal kekuatan. Perlahan kesadaran itu tumbuh. Dia tidak bohong.

'Assalamualaikum dato guru' sapaku takzim.

Punggawa tua itu tergelak mendengar sapaanku.

'Tak usah repot mendokanku. Surga sudah menolakku' kata punggawa tua. Neraka juga begitu' jawaban terakhirnya membuat kami terdiam.

'Saya capek nak.' Ucap punggawa tua ini pelan.

'Maut pun malas menjemput' ucapak kakek menyadarkanku akan makna kalimat terakhir punggawa tua.
Dia hanya ingin semuanya berakhir. Jika Kakekku tutup usia di usia 70an entah berapa usia guru kakekku. Dia hanya ingin beristirahat, muak dengan hidup kesendiriannya. Kutukannya. Dsn satu-satunya cara adalah mewariskan kutukan itu pada orang yang tepat. Orang yang punya dasar mancak. Orang yang dipaksa nasib untuk harus mau menerima.

Dan hidup menyerangku dengan serangan mematikan terakhirnya.

'Saya siap dato' kataku pendek membuat punggawa tua itu mengangkat wajahnya. Sinar harapan terpancar di wajahnya.
'Tapi cucu kakek..' sambungku menggantung
'Dialah korban pertamamu' jawaban punggawa tegas.

Jalnku tergambar jelas. Terima ilmunya, bunuh Alam kemudian menghilang dalam kutukanku.

Anggukan berikutku membuat punggawa tua tersenyum senang.

*****

Malam semakin larut saat semua persiapan selesai. Dengan dibatu punggawa tua, saya diposisikan duduk bersila di hadapannya. Sebuah buku usang tergeletak di sebelahku. Pemberian dari kakek Guruku yang akan mentransfer ilmunya.

Lalu ritual dimulai.

Punggawa tua berkonsentrasi dalam rapalan mantranya ketika tubuhnya bergetar kencang. Matanya nyalang dengan raut muka menahan sakit.

Dan sakit itu memuncak saat mulutnya membuka diiringi batuknya dan sebuah badik kecil berukuran jempol orang dewasa keluar menampakkan ujung tajamnya yang berselaput darahnya.

Refleks mulutku membuka karena berikutnya tangan kakek guru bergerak menotok aliran darahku di dada dalam kondisi mulut membuka.

Saya menutup mata menunggu rasa sakit yang akan tiba saat badik itu meluncur masuk ke mulutku.

'Sakitnya akan melebihi semua sakit yang pernah ku rasakan' begitu peringatan Kakek Guru di gubuknya saat menjelaskan proses ritual yang akan kami jalani. Itu sebabnya tidak semua orang bisa menerimanya.

Dalam kepasrahan saya menunggu detik-detik sakit itu tiba. Tapi kejadian berikutnya membuatku terpukau.

Teriakan kencang membuatku membuka mata menyaksikan pemandangan horor di depan mataku.

Alam berdiri dengan mata nyalang menggenggam pisau yang berlumuran darah. Darah Kakek guru yang saat ini terbaring di tanah menahan sakit. Entah dari tusukan di punggung atau dari badik yang baru muncul sebagian dari mulutnya.
'Orang tua bangsat. Saya cucumu. Saya. Bukan dia' Alam berteriak keras sambil menunjukku sebelum menendang tubuh kakeknya.

Batuk keras mengiringi punggawa itu mengakhiri ritualnya dan terbatuk mengeluarkan badik itu secara sempurna. Badik itu kini berdiri tegak dengan ujung menunjuk tanah.

'Kau tak sanggup' kata punggawa tua itu patah-patah hanya bisa terbaring lemah di tanah.

'Saya sanggup!' Alam menyentak keras saat berteriak dan kembali menendang perut kakeknya.

Air mata mengalir di wajah punggawa tua saat dengan kebasan tangannya dia memerintahkan badik itu bergerak... ke arah Alam.

'Hanya kau cucuku. Maafkan kakek. Ambillah kalau kau ingin' kata punggawa tua itu sebelum pisau itu meluncur ke arah mulut Alam yang membuka.

Teriakan keras Alam memecah hening malam saat pisau itu menancap masuk dan menggeliat memaksakan jalan masuk ke dalam tubuh Alam. Tak mampu menahan sakit, alam jatuh terduduk sebelum akhirnya berbaring di tanah.

Seperempat jam berlalu dalam penderitaan Alam dan saya yang hanya bisa menatap diam masih belum bisa membuka totokan punggawa tua yang kini terbaring tak bernyawa.

Ketika akhirnya saya berhasil membebaskan diri, alam juga telah bangkit dari sakitnya.

Segala kepanikan berkecamuk dalam pikiranku. Saya tak berani membayangkan kalau Alam berhasil menundukkan ilmu hitam itu.

Kami jatuh kembali bersamaan dipaksa rasa sakit masing-masing. Mataku hanya bisa menatap pasrah ketika bayangan Alam kulihat meraih buku kakeknya dan merangkak tertatih membuang diri ke arah semak sebelum menghilang.
'Saya belum selesai. Tunggu saya!' Kalimat terakhirnya menggantung menghantuiku.

Butuh setengah jam sebelum saya bisa mengumpulkan tenaga dan berjalan mengikuti jejak Alam masuk ke semak-semak.

Bayangan Ika mengiringi langkahku. Ini tidak akan selesai sebelum Alam juga selesai. Langkahku tertatih menyusuri setapak menuju bibir hutan. Dan disana saya berdiri terpekur menatap cahaya lampu kampung di kejauhan, kemudian tertunduk karena suatu kesadaran.

Tidak ada pulang bagiku. Bahkan setelah menghabisi Alam.

Dengan sakit di hati saya melangkah menembus kegelapan malam meninggalkan cahaya di belakangku dan bayangan Ika yang memudar ke arah jejak darah yang ditinggalkan Alam.

******

EPILOGUE
Kota Kecil di Utara Sulawesi
10 tahun kemudian


KAAAK.... KAAAK!

Bunyi burung gagak membuatku tegak di tempat tidurku. Sudah empat hari ini suara burung gagak sialan itu membangunkanku di tengah malam.

Tapi malam ini saya cukup bersyukur karena kaokan burung itu membuatku tersadar dari mimpi burukku. Mimpi buruk yang sudah hampir 9 tahun tidak pernah hadir, tapi rajin menyambangiku setahun terakhir.

Tanganku refleks menepuk sisi kanan tempat tidurku yang kosong. Tapi saya sudah terlalu jauh melewati tahapan terkejut mendapati kekosongannya.

Setelah mengumpulkan fokusku saya berjalan keluar kamar menuju kamar mandi, mengambil wudhu dan kembali ke kamar untuk shalat tahajjud.

Selesai shalat, saya bangkir membereskan peralatan shalat dan berjalan ke arah dapur. Mataku mengernyit melihat buku, kertas dan peralatan menulis berserakan di atas meja. Perlahan saya mendekati buku yang terbuka lebar tersenyum melihat tiga kata yang ditulis berulang-ulang dalam tulisan cakar ayam.

Bayu Wisnu Pratama

Nama adalah doa. Dan doaku jelas dalam namanya walau diikuti protes ibunya. Kenapa Pratama? Karena saya ingin punya sampai catur alias ke empat. Komentar usilku berbuah cubitan kecil di perutku.

Mataku tertumbuk pada sebuah surat yang sudah keluar dari amplopnya. Namaku yang tertera di atasnya membuatku tersenyum melihatnya. Hampir setiap malam surat itu dibaca oleh istriku untuk mengenang penulisnya. Surat dari kakek yang diberikan bersamaan dengan buku kumpulan doanya. Surat yang akhirnya membalikkan langkahku setelah hampir tiga bulan berkelana dalam dendam dan ketidakpastian. Surat yang mempertemukanku dengan...

Lamunanku terpotong oleh sepasang tangan yang memiting leherku dari belakang!

Saya terkesiap dan refleks menarik tubuhku ke depan, menggunakan sandaran kursi untuk menahan tubuh penyerangku, memaksanya melepaskan pitingannya.

Kemudian dengan satu gerakan saya mengangkat tangan itu dengan lengan kiri, mengendap ke kanan sebelum berbalik menangkap pinggang lawanku dari depan, memepetnya ke tembok dan...menciumnya.

Istriku mendesah pelan menanggapi ciumanku, tangannya dirangkulkan ke leherku sementara payudara montoknya bergesek erotis di dadaku.

'Ih kamu genit ah' katanya saat ciuman kami usai. 'Lawanmu dicium juga ya?' Tanyanya dengan mata melotot sambil berkacak pinggang.

Saya hanya tertawa kecil dan mengecup bibir ranumnya.

'Ih ayah dan ibu geniit' teriakan kecil di belakang mengagetkan kami.

'Hush, ayah kan cuma lagi bisik-bisik sama ibu' jawab istriku melepaskan pelukan kami.

'Bisik-bisik apa?' Tanya si kecil.

'Bisik-bisik bahwa kamu tidak jadi sekolah karena belum bisa baca tulis' jawabku berkacak pinggang mengangkat alis.

'Bisa kok yah. Nih liat' katany memperlihatkan tulisan di bukunya.
'Membaca gimana?' Tanyaku.
Si kecil mencari-cari sebelum meraih surat kakek.
'Dengar yah' katanya sok

Wisnu cucuku

Saat surat ini kau baca, kita sudah berpisah jauh. Buku yang ku pegang itu adalah kumpulan doa dan wirid. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaanmu selama ini.

Maafkan kakek merahasiakannya darimu, tapi beginilah sifat ilmu kita. Hadir hanya saat dibutuhkan. Dan sekarang saatnya kau butuh.

Jalani hidupmu dengan baik Nak. Hidup kita mungkin sudah ditakdirkan untuk berhadapan dengan kekerasan, Tapi bukan berarti hanya itu yang ada dalam hidup. Kakek sudah membuktikan ini. Hadirnya ibumu dan kau membuktikan bahwa sangat mungkin menyelaraskan dua dunia ini.

Yang harus kau jaga hanyalah kemurnian cintamu pada Tuhan dan sesama manusia. Hidup terlalu berharga untuk disia-siakan terbakar dendam.

Kita harus berpisah tapi yakinlah kita akan bertemu lagi suatu saat. Pesan kakek, pastikan tidak ada penyesalan saat waktumu tiba.

Wassalam

La Mattuada
Kakekmu

Akhirnya bocah kecil itu berhasil menyelesaikan bacaannya walau patah-patah dan penuh susah payah. Disambut pelukan ibunya.

'Ini surat dari siapa yah?' tanyanya padaku.

'Kakek ayah' jawabku dengan suara tersendat.
'Yang sudah meninggal ya yah?' Tanyanya lagi kujawab dengan anggukan.

'Eh ayo sana. Mau selesai jam berapa?' Tanya istriku mengingatkan jam sudah menunjukkan pukul setengah satu.

'Oke bu' bocah itu melangkah ke halaman belakang melakukan gerakan pemanasan, meninggalkanku berdiri menatap istriku.

Pelan saya berjalan ke arahnya kemudian mencium keningnya.

'Yah, jangan terlalu lelah. Pengeeen' bisik istriku menahan langkahku, merekahkan senyumku.

'Fransiska Sucipto, saya cinta kamu' kalimatku ditutup dengan kecupan di bibirnya yang menyambut hangat merubah kecupan itu menjadi ciuman hangat yanh harus diakhiri dengan helaan nafas.

'Ayo yah' teriakan anakku mengagetkan kami. Dan saya melangkah ke halaman belakang, berdiri berhadapan dengannya.

*****

Namaku Wisnu Angkara Surya, Fransiska Sucipto istriku. Kami hidup tenang di sebuah kota kecil di ujung utara pulau Sulawesi bersama anakku Bayu Wisnu Pratama.

Hidup kami normal sebagaimana hidup keluarga petani cengkeh lainnya di sini. Kecuali 1 hal.

Sejak setahun lalu, mimpi-mimpiku membawa firasat buruk, membuat saya harus mempersiapkan diriku dan anakku.

Untuk itu, tiga kali seminggu, setiap malam-malam ganjil, ditemani istriku yang terkantuk-kantuk, diterangi sinar bulan jika ada, atau gelap jika tak ada... kami akan berlatih silat!
b-e-d-a, Pada: Rabu, Juli 29, 2015
Copyright © 2015 CERITA DEWASA Design by bokep - All Rights Reserved