Andini mengerang, badannya yang ramping itu berkali-kali mengeluarkan suara gemertuk persendiannya. Ia menggeliat hingga membuat dadanya membusung sesaat. Beberapa hari ini pekerjaannya sangat berat, terutama menjelang pelaporan produksi terakhir. Bulan depan akan ada pertemuan dengan para direksi. Hal itu tentu saja adalah agenda rutin yang setiap tahun selalu diberengi dengan pesta para bos.
Perusahaan PT EVOLUS PRODUTAMA, sebuah perusahaan textil yang telah berkiprah selama puluhan tahun dan merajai pemasaran produknya di kancah pertextilan di Indonesia ini tak bisa dianggap remeh. Selama berpuluh-puluh tahun telah dianggap sebagai pioner bagi perkembangan dunia textil. Hasil produksinya telah diekspor kemana-mana, hal itu tidak lain adalah berkat tangan dingin sang pimpinan yaitu Haris Surya Ramadhan.
Andini hari ini lebih memilih tinggal di ruangannya sambil membaca berkas-berkas yang ada di mejanya. Tumpukan berkas itu pun ditelitinya satu-satu sambil serasa sesekali mengerutkan dahinya. Dia lalu mengoreksi dan mengoreksi. Dia memang butuh orang, ya tentu saja untuk membantu dia menyelesaikan pekerjaannya ini. Dia pun mengambil gagang telpon dan menelpon sekretarisnya Rahma.
"Rahma, bagaimana? Ada kabar dari HRD?" tanyanya.
"Iya bu, HRD sudah ada dua kandidat yang melamar. Tapi yang satu gugur karena tidak sesuai harapan. Pada test masuk dia gagal," jawab Rahma sang Sekretaris.
"Trus kapan pelamar itu datang?" tanya Andini ketus.
"Hari ini seharusnya datang," jawab Rahma.
"Kalau sudah datang suruh langsung menemui saya. Dan tolong berkas-berkas yang ada di ruangan saya diberikan kepada Pak Wiguna bagian distributor, sekarang."
"Baik bu"
Tak berapa lama kemudian Rahma muncul di pintu. Andini menunjuk ke tumpukan berkas yang ada di mejanya. Rahma segera mengambilnya. Rahma tampak serasi dengan balutan blus warna coklat dan rok selutut. Rambutnya disanggul dengan anggun, serta cara berjalannya sangatlah mempesona. Ya, sekretaris dari Andini ini sangat anggun. Bahkan mungkin seandainya bosnya tidak lebih cantik dari dirinya mungkin ialah yang bakal jadi primadona di kantor ini. Sayangnya Andini tak kalah cantik. Walaupun usianya hampir masuk ke angka 30, tapi dia boleh dibilang sebagai wanita yang sangat cantik, seksi, anggun dan menawan. Semua karyawan di kantor ini amat memuja kecantikan Andini. Dan beredar desas-desus tak enak karena dengan usia yang sudah hampir berkepala tiga dia tak terlihat dengan pria manapun. Banyak bos-bos yang jalan dengannya, tapi tak pernah lama.
Kabar angin mengatakan bahwa Andini adalah seorang lesbian. Kabar yang lain, ia sudah tunangan, kabar yang lain pula mengatakan bahwa ia lebih memilih hidup membujang karena termasuk wanita yang workaholic. Namun itu semua tidak terbukti. Toh, sampai sekarang Andini masih easy going, enjoy, dan free available, sebut saja sesukanya.
TOK! TOK! TOK!
"Permisi," sapa seseorang di pintu.
Sesosok wajah pria ganteng dengan rambut ala harajuku nongol di pintu. Andini dan Rahma menoleh ke arah pintu dan mendapati seorang pemuda asing dengan baju putih berdasi biru bergaris putih melongok ke dalam.
"Ya? Cari siapa?" tanya Rahma.
"Eh...hhmmm...apa ini ruangan Direktur Produksi?" tanya pemuda itu.
"Ya, dengan saya sendiri di sini," jawab Andini. Namun Andini sedikit terhenyak ketika melihat wajah pemuda itu. Ia sepertinya mengenal sang pemuda.
"Oh, maaf. Saya disuruh oleh bagian HRD untuk langsung menemui ibu. Saya yang melamar lowongan di surat kabar," jawab sang pemuda.
"Oh, sudah datang rupanya. Baiklah masuk saja. Rahma tolong bawa berkasnya ya!" kata Andini.
"Baik bu." Rahma kemudian mengambil berkas-berkas yang kalau ditumpuk sampai sedagunya. Dia melirik ke arah pemuda yang masuk ke ruangan Andini. Pemuda itu memakai parfum yang maskulin, tubuhnya tegap, tinggi dan kulit sawo matang. Pemuda tampan ini ternyata bisa membuat Rahma berdebar-debar ketika melintas di hadapannya. Rahma kemudian keluar dari ruangan bosnya.
"Anjiiiirrrrr...cakep banget itu pegawai baru. Wah, wah, bakalan ramai nih kalau dia sampai keterima di kantor ini," ujarnya dalam hati. Ia buru-buru kembali ke meja Pak Wiguna.
"Duduk!" Andini menyuruh pemuda itu duduk.
Sang pemuda tampan ini pandangannya menyapu seluruh ruangan mulai dari lukisan, kaca jendela, hingga AC. Pandanganya pun terhenti di mata Andini. Calon bossnya ini menatap ke arahnya. Andini menoleh ke arah layar monitornya dan melihat email yang dikirim bagian HRD. Dia membaca berkas yang diberikan HRD di monitor laptopnya.
"Baiklah, nama?" tanya Andini.
"Arczre Vian Zainal," jawab sang pemuda.
"Panggilannya?"
"Arci," jawab sang pemuda.
"Kamu bisa panggil saya Bu Andini," kata Andini.
"Baik, bu. Bu Andini."
Andini tersenyum. Dalam hatinya ada perasaan rindu, tapi kenapa mereka harus bertemu dengan cara seperti ini. Dalam hati Andini tertawa. Tapi semuanya ditahan. Ia tak mau mengacaukan semuanya. Pandangan Andini kepada Arci penuh arti, semua itu karena satu peristiwa masa lalu yang dialaminya.
"Punya pengalaman kerja?" tanya Andini.
"Saya pernah beberapa kali bekerja di perusahaan kecil, setahun di percetakan, saya juga mengerjakan servis komputer di rumah, kebanyakan freelance," jawab Arci.
"Lulusan akuntansi dengan cumlaude, hebat," puji Andini.
"Alhamdulillah bu," kata Arci.
"Punya saudara?" tanya Andini.
"Ada ibu, adik dan kakak, semuanya wanita," jawab Arci.
"Kakak sudah berkeluarga?" tanya Andini.
Arci menggeleng, "Belum sedangkan adik, sekarang masih SMA."
Andini sebenarnya tak perlu bertanya tentang silsilah keluarga dari Arci, ia sudah tahu. Andai Arci tahu siapa dirinya pasti ia tak akan memaafkannya. Tapi inilah kehidupan, kadang sesuatu kita ada di atas, kadang juga ada di bawah. Sama seperti yang dilihat olehnya kali ini. Dulu Andini tidak seperti ini. Perjumpaannya dengan Arci mengubah segalanya.
Selama ini ia bertanya-tanya, di manakah pemuda itu selama ini. Pemuda yang membuat dia berubah. Pemuda yang telah memberikan menggetarkan hatinya, seorang pemuda tampan yang sangat sabar dalam mengarungi kehidupan. Dan mungkin saja karena jodoh akhirnya mereka dipertemukan oleh tuhan di sini.
Dalam hati Arci berkata, "Cantik sekali wanita yang berada di hadapannya ini. Rambutnya berombak, dewasa, kulitnya putih, dan sangat mempesona. Apakah dia sudah menikah? Kalau dilihat dari jari manisnya yang kosong, ia sepertinya belum menikah. Tapi bisa jadi sudah, jaman sekarang ini terkadang memang orang tak mementingkan cincin yang melingkar di jari manis."
"Baiklah, CV-mu sungguh baik. Aku suka sama kamu, eh,..maksudnya aku suka dengan profilemu. Kapan siap kerja?" tanya Andini agak gugup.
"Sekarang juga saya siap bu," kata Arci.
"Baiklah, sekarang kamu duduk di dekat Yusuf, meja kerjamu akan ditunjukkan oleh Rahma. Kamu bisa minta tolong ke dia. Oh ya, hari ini aku ingin kamu langsung melakukan rekap data produksi tahun ini. Bagaimana caranya kamu bisa tanya ke Yusuf," kata Andini.
"Siap bu," kata Arci. "Ada lagi?"
"Itu saja dulu," kata Andini.
"Baik bu, kalau begitu saya permisi," kata Arci.
"Silakan!"
Arci kemudian beranjak dan pergi dari ruangan Andini. Setelah yakin Arci pergi dari ruangannya dan dia sendirian, Andini menghela nafas. Ia mengelus-elus dadanya. Ia senyum-senyum sendiri.
"Aku tak menyangka kamu sekarang berhasil Ci, itu yang aku harapkan. Tapi kuharap kamu tak kaget nanti kalau tahu siapa aku. Arci, jangan kecewakan aku ya!" gumam Andini seorang diri.
* * *
"Mbak, mejanya Yusuf sebelah mana ya? Saya disuruh ibu Andini " tanya Arci membuat Rahma yang saat itu baru saja duduk setelah dari meja kerja Pak Wiguna terkejut.
"Oh, iya maaf. Masnya langsung kerja di sini?" tanya Rahma.
"Iya, nih," jawab Arci.
"Ikut saya deh, nama mas siapa?"
"Saya Arci."
"Ah, iya."
Arci pun mengikuti kemana Rahma pergi. Rahma mengantarnya ke sebuah meja yang tak jauh dari tempat Rahma bekerja. Di sana ada seorang pemuda berkaca mata tampak sedang menginput data. Di mejanya ada tumpukan file-file. Tampak sekat tempat mejanya telah dipenuhi berbagai tempelan.
"Mas Yusuf!?" sapa Rahma.
Yusuf langsung berbalik, "Eh, Rahma. Ada apa?"
"Ini pegawai baru bagian audit," kata Rahma.
"Arci," Arci mengulurkan tangannya langsung dijabat oleh Yusuf.
"Yusuf," kata Yusuf. "Duduk deh!"
Arci kemudian duduk di kursi kosong di meja sebelah Yusuf.
"Aku tinggal dulu ya?" kata Rahma.
Rahma kemudian pergi meninggalkan mereka berdua. Arci melihat ke layar monitor.
"Lulusan mana?" tanya Yusuf.
"UNAIR," jawabnya.
"Wah, keren dong," kata Yusuf sambil membuka file excel.
"Ah, nggak juga. Biasa aja koq mas. Lulus pas-pasan," kata Arci merendah.
"Hahaha, jangan merendah gitu. Dari penampilanmu sepertinya kamu ini bukan orang sembarangan."
"Masa' sih, mas?"
"Yah, dari penilaianku saja sih. Tadi disuruh apa sama Bu Dini?"
"Bu Dini? Oh, iya. Katanya untuk merekap data produksi tahun ini," jawab Arci sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Oh, gampang itu. Kita sekarang sudah punya aplikasinya, kamu tinggal mengambilnya via aplikasi yang disediakan seperti ini," Yusuf mengoperasikan sebuah aplikasi yang menampilkan data produksi. "Kemudian buka file excel lalu export saja ke excel, jadi deh. Kamu tinggal filter aja berdasarkan tanggal."
"Oh, begitu," Arci manggut-manggut.
"Datanya kamu filter juga berdasarkan kode produk, karena aku yakin Bu Dini pasti ingin menginginkannya berdasarkan kode produk," Yusuf menjelaskan pekerjaan yang harus ditangani Arci.
"Oh, OK. Gampang kalau gitu. Yang penting semuanya ada di aplikasi ini kan?" tanya Arci sambil menunjuk ke aplikasi yang dibuka oleh Yusuf.
"Iya," jawabnya.
"Consider it done!"
Yusuf mengangkat alisnya. "Sombong amat, bisa selesai cepet," ujarnya dalam hati.
"Ini sebelumnya mejanya siapa?" tanya Arci kemudian.
"Oh, dulu ini meja milik Farid, dia udah resign," jawab Yusuf.
Arci mulai menghidupkan komputer. Dia menaruh ransel yang ia bawa di meja dekat monitor lalu mulai mengeluarkan binder, pulpen, dan beberapa peralatan lainnya termasuk charger. Ia juga keluarkan ponselnya dan langsung memasukkan colokan charger ke tempatnya. Arci mulai bekerja, Yusuf cukup penasaran ketika Arci mulai mengetik dengan cepat. Ia tampak sangat cekatan.
"Boleh juga," kata Yusuf. Tapi Arci tak mendengar. Baginya hari ini ia harus memberikan first impression kepada atasannya.
Beberapa menit berlalu. Yusuf sibuk dengan pekerjaannya sambil sesekali melihat Arci bekerja. Disaat Yusuf sedang asyik bekerja itulah tiba-tiba Arci menghampirinya lagi.
"Trus dikirim lewat email atau diprint?" tanya Arci.
"Kirim lewat email saja," kata Yusuf. "Emailnya Bu Dini, andini[at]evolus.com"
Arci manggut-manggut. Segera ia kembali ke mejanya dan mengetikkan alamat email ke composer. Setelah itu dia mengklik send. Dia lalu duduk dengan merendahkan tubuhnya. Melihat itu Yusuf jadi heran.
"Sudah?" tanya Yusuf.
"Yup, kalau cuma mengumpulkan data dengan filternya saja sih sudah," jawab Arci.
"Coba, mana aku lihat!" Yusuf menggeser kursinya kini berada di sebelah Arci.
Arci kemudian memperlihatkan bagaimana cara dia menyusun data sebanyak itu dalam waktu cepat. Pertama dia membuat program sederhana dari bahasa pemrograman PHP, kemudian dia mengutak-atik kodingnya sehingga dengan cepat ia bisa mendapatkan segala yang ia perlukan.
"Cuma segini kan?" tanya Arci yang membuyarkan lamunan Yusuf yang melongo melihat hasil kerjaan Arci.
"Gile, kamu cepet juga ya ngerjain ini. Mana sempurna lagi," puji Yusuf.
Yusuf akhirnya mengerti kalau si Arci ini punya sesuatu yang lebih daripada karyawan biasa.
* * * I LOVE YOU HANDSOME * * *
Jam lima sore, waktunya pulang. Jalan Raya Mondoroko pada jam-jam pulang kantor seperti ini sangat padat, terlebih bagi mereka yang memakai kendaraan roda empat akan tua di jalan. Arci dengan sepeda motor Supra-X miliknya menyelip di sebelah kiri di antara mobil-mobil. Kemudian dia berhenti di pertigaan Karang Ploso ketika lampu telah berubah menjadi merah. Arci pun menarik rem sehingga sepeda motornya berhenti. Pikirannya menerawang jauh. Ya, menerawang jauh. Mumpung lampu merahnya dihitung 69 detik.
Bagaimana dia bisa terdampar di kota yang bernama Malang ini? Sebuah kesempatan yang harus dia lakukan demi menghidupi keluarganya. Setidaknya begitu. Ia harus ke kota ini untuk mencari pekerjaan, bukan hanya mencari pekerjaan tapi juga mencari tempat tinggal karena hidup dengan kondisinya sekarang ini cukup susah. Cukup susah.
Mungkin kebetulan, tapi ini adalah yang disebut takdir. Tepat di samping Arci, Andini sedang duduk di kursi kemudi melirik ke arahnya. Ia terkejut karena berpapasan dengan si pemuda tampan itu. Andini tersenyum sambil menatap Arci. Entah sampai kapan ia akan merahasiakan tentang dirinya kepada Arci. Yang jelas ia sangat berhutang budi kepada si pemuda tampan yang usianya jauh lebih muda dari dirinya itu.
"Ia mendesah, seandainya Arci tahu tentang rasa ini," kata dia dalam hati.
Ah, seandainya dia tahu.
Cukup lama Andini menatap Arci. Hingga lampu lalu lintas menjadi hijau dan kemudian Arci mulai melajukan sepeda motornya. Andini hanya melihat aksi ngebut Arci hingga menghilang dari pandangannya.
"Dasar, tak berubah," ujarnya. Ya, Arci suka naik sepeda motor dengan ngebut. Tak berubah sejak dulu.
Setelah berjibaku dengan macetnya jalan raya, akhirnya tibalah Andini di sebuah perumahan elit. Ya, sebuah perumahan elit. Dia termasuk keluarga berada. Ayahnya seorang diplomat, ibunya seorang pengacara ternama, semua kakaknya sudah menikah dan sekarang dia tinggal sendirian di sebuah rumah megah seharga 2 Milyar yang ia dapat dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Ya, begitulah. Keadaan Andini ini sangat berbeda sekarang. Dia hampir mendapatkan semuanya, terkecuali seorang kekasih. Dia sebenarnya sudah putus asa selama ini. Dan hanya ingin memasrahkan semuanya kepada Yang Kuasa. Hanya saja perjumpaannya dengan Arci hari ini membuat semangatnya itu kembali lagi. Sesuatu yang telah lama ia kubur akhirnya kembali lagi.
Mobilnya pun mulai masuk ke dalam setelah seorang pembantu yang usianya masih cukup muda membuka gerbangnya. Andini segera keluar dari mobil dan melihat sebuah mobil terparkir di halaman rumah. Ia agak terkejut.
"Lho, mama ada Sri?" tanya Andini.
"Iya, non. Tadi sore dateng," jawab sang pembantu.
Andini segera membawa map dan tas yang ada di dalam mobilnya kemudian menutup pintu mobil. Ia segera masuk ke dalam rumah.
"Pulang Din?" sapa mamanya. Mamanya bernama Susiati, seorang pengacara handal dan terkenal. Bukan rahasia lagi kalau klien-klien yang ditangani olehnya hampir semuanya memenangkan kasus. Mamanya tampak sedang duduk di sofa sambil menonton tv.
"Tumben mama ke sini," kata Andini. Dia langsung mencium tangan mamanya, lalu duduk di samping mamanya setelah meletakkan map dan tasnya di meja.
"Kebetulan ada kasus yang harus ditangani di kota ini," jawab mamanya.
"Hmm?? Kasus di kota ini?"
"Iya, salah seorang pengusaha terkena kasus tukar guling."
"Oh, kabar kakak bagaimana?"
"Sekarang sedang nunggu hari lahiran. Kamu kapan nyusul?"
"Entahlah ma," Andini malas kalau harus membahas soal jodoh. Ia sering kali ditanyai oleh mamanya tentang perjodohan. Tapi berkali-kali tawaran mamanya tentang seorang lelaki ditolaknya.
"Kamu ini, koq masih jual mahal aja. Ingat usia mama ini udah nggak muda lagi. Kamu juga."
"Mama, udah ah, nggak usah dibahas lagi. Dini masih menanti dia koq."
"Dia? Kamu masih ingat aja tentang dia. Sudahlah, dia sudah pergi."
"Nggak koq ma, dia nggak pergi jauh ternyata."
"Ha? Nggak pergi jauh?"
"Iya, dia ngelamar kerja di kantorku."
"Oh ya?"
Andini hanya mengangguk.
"Kali ini Dini yakin dia tak akan memaafkan Dini."
"Kenapa?"
"Mama tahu sendiri alasannya."
"Sudahlah, toh sekarang kamu sudah berubah bukan?"
"Moga dia maafin Dini ya mah."
Susiati pun memeluk Andini. "Duuhh...anak mama."
"Adududuh, ma. Jangan kenceng-kenceng!"
"Hehehe...iya mama lupa kalau kamu belum mandi. Mandi sana gih!" mamanya melepaskan pelukan.
"Iya, iya," Andini segera beranjak dari tempatnya duduknya dan mengambil map yang ditaruhnya tadi.
* * * I LOVE YOU HANDSOME * * *
Arci tiba di sebuah rumah kontrakan. Belum sempat Arci masuk ke rumahnya, keluarlah seorang laki-laki asing dari rumahnya. Arci menatap lelaki itu dengan tatapan tidak suka. Dia langsung masuk ke dalam rumah.
"Bu, itu tadi apa?" Arci langsung menghardik ibunya sendiri.
"Ibu kerja!" jawab ibunya singkat. Ia membenarkan bra yang barusan melorot. Dia juga melihat kakaknya membetulkan baju yang barusan terlepas ke mana-mana.
"Kak, bu! Ingat kita pindah ke kota ini untuk jadi orang bener. Menjauhi kehidupan kelam kita. Nggak seperti ini!" suara Arci makin meninggi.
"Emangnya ibumu bisa apa? Nih, berkat kerjaan ini ibu dapet duit. Gimana kamu?" tanya sang Ibu.
"Arci keterima kerja hari ini. Dan aku sekali lagi melarang kalian jual diri lagi. Cukup!"
"Sudahlah, berapa sih gajimu. Nggak akan cukup dik! Nih, kita dapat dua juta habis treesome tadi," jawab Safira. Kakak Arci.
"Mana Putri?" tanya Arci.
"Putri ke rumah temennya belajar kelompok," jawab ibunya.
"Jangan sampai Putri mengalami kejadian seperti aku. Kalau sampai kalian jual adikku satu-satunya itu, kalian nggak akan kumaafkan! Camkan itu!" kata Arci sambil menunjuk wajah ibu dan kakaknya.
"Putri masih kecil, gila apa kami jual?" kata Safira.
"Emangnya kalian tahu berapa usiaku ketika menjualku? Aku masih tiga belas!" kata Arci.
"Udahlah, yang penting kita ada uang tambahan. Lagipula yang punya kontrakan sudah nagih," kata sang ibu.
"Aku ingin kalian semua nggak ngelakuin itu lagi. Cari kerja yang halal, apa kek. Kemarin gimana kerja jadi salesnya?" tanya Arci ke Safira.
"Halah, Ci. Aku itu nggak bisa jualan. Yang ada cuma capek. Masih untung kemaren aku sepongin om-om di toilet agar mau beli produk yang aku jual," kata Safira.
"Anjrit! Rusaaak, keluarga rusak. Kalau sampai nanti terjadi sesuatu kepada kalian. Aku nggak akan tanggung jawab. Kalau aku nggak menganggap kalian sebagai keluarga, aku sudah pergi dari rumah ini," kata Arci.
Pemuda tampan itu pun segera pergi meninggalkan mereka berdua masuk ke kamarnya. Ya, tentu saja. Arci adalah anak seorang pelacur. Ibunya bernama Lian. Seorang pelacur high class yang terlilit hutang sehingga pergi dari Jakarta ke Malang untuk menghindar dari debt collector. Bahkan saking disebut high class bayarannya lebih dari lima juta sekali main. Arci sendiri anaknya siapa Lian nggak pernah tahu. Tapi dilihat dari perawakannya yang sedikit bule, Lian mengira salah satu kliennya yaitu seorang bule dari Republik Ceko yang pernah menyewa dia dulu yang membuahinya. Dia sudah lupa siapa nama bule itu. Yang jelas, itu kliennya yang sangat memuaskan. Dibayar mahal plus cum inside.
Sebagai anak haram, sebenarnya Arci juga gusar. Ia tak ingin dikatakan anak haram terus-terusan. Maka dari itulah dia selalu menghindar ketika ditanya apa pekerjaan orang tuanya. Arci juga tak akan pernah lupa kejadian beberapa tahun lalu di saat ia pertama kali melepas perjakanya. Bukan oleh orang lain, tapi oleh kakaknya sendiri dan itu disaksikan oleh sang ibu. Hanya karena satu hal. Dan ingatannya pun menerawang lagi peristiwa memilukan itu.
Arci yang berusia 13 tahun itu baru saja pulang dari sekolah. Saat itu dari rumah keluar beberapa orang bertampang garang. Karena ketakutan Arci segera masuk ke dalam rumah. Dia melihat kakak dan ibunya tampak menangis.
"Kenapa? Ada apa?" tanyanya. Mata abu-abu Arci yang menandakan ia bukan keturunan pribumi menatap tajam kepada kedua anggota keluarganya.
"Debt Colector, biasa," jawab Lian.
"Ibu, kakak, sudah berapa kali Arci bilang, jangan sembarangang ngutang! Apalagi kepada renternir!" kata Arci.
"Heh, kalau kita nggak ngutang bagaimana kita bisa biayain sekolah kamu?"
"Ya sudah, aku nggak usah sekolah saja!" kata Arci.
"Mana bisa begitu? Justru kamu adalah harapan kami Arci, kamu harus sekolah. Kakak sama ibu rela begini biar kalian bisa hidup, biar kamu dan adikmu bisa menyambung hidup," kata Safira.
"Emangnya berapa hutangnya?" tanya Arci ingin tahu.
"Ada seratus dua pulu juta," jawab sang Ibu.
"Sera...apa?? Kenapa kalian baru bilang? Kenapa?"
"Kamu masih kecil Ci, kenapa harus ikut urusan orang dewasa?" kata Lian.
"Ibu, ini serius! Dari mana kita bisa dapat uang sebanyak itu? Lagipula kenapa kalian bisa berhutang sebanyak itu?" tanya Arci.
"Lha? Mobil? Rumah ini, semua dari mana?"
"Astaga, tak kusangka. Aku sebenarnya mau punya keluarga yang punya pekerjaan seperti ini. Aku malu!" kata Arci.
"Hadapi saja dek, ini kenyataannya," kata Safira.
"Nggak, nggak mungkin! Bagaimana kita bisa dapetin uang segedhe itu??!"
Semuanya hening. Arci melemparkan topi SMP-nya. Ia serasa ikut berpikir dengan keadaan keluarganya yang begini kacau. Ia padahal sudah berusaha keras mati-matian belajar di sekolah, tapi ia makin pusing melihat kelakuan ibu dan kakaknya seperti ini.
"Dek, kamu mau nolong kita nggak?" tanya Safira.
"Apaan?"
"Tapi kamu harus setuju cara kita."
"Caranya?"
"Ada tante-tante yang kepengen brondong. Siapa tahu kita nanti bakal dibayar mahal."
"Brengsek! Apaan itu?"
"Ayolah dek, ini cara yang paling wajar buat kita."
"Wajar buat kakak, nggak buat aku."
"Safira, itu cara yang konyol!" bentak Lian.
"Nggak, aku nggak bakal mau melakukan itu. Gila apa!?" kata Arci.
"Tapi ini demi kita dek, demi kita! Bagaimana kita bisa membayar hutang-hutang itu? Kamu tahu debt collector itu bisa mematahkan kaki dan tangan kita gara-gara tak membayar uang! Itu anak buah Darsono. Kamu tahu bukan siapa itu Darsono?"
Darsono adalah salah seorang pejabat. Dia memang suka bekerja menjadi renternir, pemalak, penjudi, mucikari dan banyak pekerjaan gelap lainnya. Ia bahkan menjadi bosnya mafia. Arci tak menyangka keluarga mereka terlibat dengan orang dari dunia hitam itu. Arci lalu menangis.
"Kenapa? Kenapa hidup kita harus seperti ini?" Arci menutup wajahnya.
Melihat adiknya menangis Safira segera merangkulnya. "HUsshhh...sshhh... udah dek, maaf. Maafin kakak. Kalau adek nggak mau kakak nggak bakal memaksa."
Lian yang melihat kedua anaknya itu jadi trenyuh. Walaupun ia tak tahu siapa bapak dari ketiga anaknya ini. Tapi didikannya untuk saling mengasihi tampaknya berhasil. Terbukti dari keadaan kedua anaknya ini.
TOK! TOK! TOK!
Lamunan masa lalu Arci langsung buyar ketika pintu kamar diketuk oleh seseorang.
"Ada apa?" tanya Arci dari dalam.
"Kamu mau titip sesuatu nggak? Kakak mau beli nasi goreng," kata Safira.
"Nggak, nggak usah, nggak laper," jawab Arci.
Setelah itu tak ada suara lagi.
Kembali lagi Arci melamun, pikirannya menerawang kembali ke masa di mana dia pertama kali berciuman dengan Safira, kakanya sendiri. Hari itu ia diajari oleh kakaknya bercinta.
"Iya, bagus. Begitu caranya, ibu sebaiknya tinggalkan kalian. Safira, ajari adikmu dengan baik agar klien nggak kecewa," kata Lian.
Tapi hal itu tak dibalas oleh mereka berdua. Arci telah bergumul dengan Safira. Lidah mereka saling memagut, saling melumat, menyisakan kecupan panas dan lelehan air liur. Sebenarnya, Arci tak bernafsu, tapi mengingat mereka berdua baru saja nonton film porno, hal itu membuat keduanya horni. Ini adalah latihan Arci, ya, latihan pertamanya untuk menjadi gigolo di usia yang masih belia.
Arci sudah tak ingat lagi bahwa wanita yang kini dipeluk dan diremas payudaranya ini adalah kakaknya sendiri. Dia juga heran kenapa dia bisa sampai nafsu kepada kakaknya sendiri. Mungkin juga karena dorongan birahi tadi, mungkin juga yang lain. Arci dan Safira berguling-guling di atas kasur. Lalu Safira mendorong tubuh Arci.
"Dek, kamu di atas yah. Ayo entotin kakak!" katanya.
Arci hanya menurut saja, ia sudah terlalu konak. Terlebih lagi penisnya sudah mengacung menandakan siap untuk dimasukkan ke dalam sarangnya. Kemudian penis yang sudah tegang itu pun masuk.
"Aaahkk! Gile, kamu baru SMP kontol udah segedhe ini, gimana ntar kalau SMA?" tanya Safira yang menahan gesekan penis Arci.
"Emang bisa lebih lagi dari ini?" tanya Arci.
"Iyalah, kamu itu anaknya bule. Punya kontol ukuran luar biadab kamu nanti. Kalau gitu, ntar kalau kakak lagi sange kamu puasin yah?"
"Cieh, maunya. Ogah. Ini aja aku ngelakuin ini karena kepengen kakak ajarin buat ngelayanin tante-tante besok. Tapi buat lebih dari itu aku nggak mau. Ini pertama dan terakhir," kata Arci.
"Yee...gitu aja sewot."
"Dilanjut nggak nih?"
"Iya lanjutin..aahhkk..goyang Ci, yang cepet boleh, pelan boleh terserah kamu!" kata Safira.
Akhirnya Arci pun menggenjot tubuh kakaknya yang putih mulus itu. Kasur pun mulai berguncang tak kala hentakan demi hentakan pinggul Arci membuat kulit kemaluannya menggesek liang senggama sang kakak.
"Aaahhrrgghh...Anjing. Kak enak banget. Duh, udah gatel mau keluarr...aaahhkk!"
"Hihihi, dasar perjaka. Ayo semprotin kakak!" kata Safira.
CROOTT! CROOOTTT! CROOOTT!
Keluarlah sperma Arci ke dalam memek Safira. Rahim Safira yang terkena siraman air mani hangat itu membuat sensasi sendiri bagi tubuhnya. Memeknya berkedut-kedut dan menjepit erat kemaluan Arci hingga pemuda tanggung ini merasa ngilu dan nikmat sekaligus.
"Aduh, enak kak!" kata Arci.
"Tapi kalau kamu ngelayanin orang segini cepet, ya bakal nggak dapat apa-apa, Ci. Kurang lama!" kata Safira.
"Trus?"
"Aku ajarin deh, sini cium kakak!" Mereka berdua berciuman lagi seperti sepasang kekasih. Saling memagut, saling melumat.
Arci mengusap wajahnya. Mengingat kembali memori bercintanya pertama kali itu membuat dia merasa bersalah. Ia tak menyangka saja keperjakaan miliknya malah diberikan kepada sang kakak untuk mengajari apa yang disebut orang ngentot. Kalau saja kehidupannya tak seperti ini, tentu ia masih perjaka sampai sekarang dan tidak bakal ngentot ama kakak atau bahkan ama ibunya sendiri kalau lagi ada kesempatan. Terkadang ketika sepi order dan ibu serta kakaknya sedang horni Arcilah yang jadi pelampiasan. Tapi ketahuilah, hanya satu kali Arci menjadi gigolo, dan satu kali itu dia dibayar dengan sangat mahal.
Namun itu adalah siluet masa lalunya. Ia ingin mengubur itu dalam-dalam. Satu kali cukup menjadi gigolo. Dan cukuplah ia hanya melayani ibu dan kakaknya di saat mereka butuh. Itu semata-mata karena ia sayang kepada keluarganya, tidak lebih dari itu. Walaupun ini adalah dosa, tapi biarlah dosa ini dia simpan tanpa boleh ada satupun yang tahu.
==========================
Lian Larasati, seorang wanita yang rela menjual dirinya untuk sesuap nasi. Perjalanannya berliku-liku mulai dari gadis kampung, kesasar di jalanan ibu kota hingga akhirnya ketemu mucikari, kemudian jadilah dia melayani pria hidung belang. Dia juga bukan pelacur biasa yang bisa dibayar oleh sembarangan orang. Dan sebenarnya ia sangat protektif, kecuali ketika mabuk. Dia boleh dibilang orang yang tidak tahan minum minuman beralkohol. Karena itulah tiga anak yang dia hasilkan adalah karena mabuk. Ya, dia mabuk karena melayani sang klien, setelah itu jadilah. Sekalipun kehidupannya kelam. Tapi sebenarnya Lian punya sisi kemanusiaan. Dia tak ingin menggugurkan kandungannya. Baginya hidup itu harus dihargai, baik atau buruk, mulia atau hina. Dosa seorang ibu tak bisa diturunkan kepada sang anak. Ketika Safira dewasa, dia memberikan keputusan kepada Safira. Ingin mengikuti profesinya ataukah tidak. Dan Safira pun mengikuti sang ibu.
Ah, aku hanya seorang wanita yang lemah, pikir Safira.
Safira putus sekolah ketika SMA. Ia menghabiskan hidupnya tiap hari untuk membantu ibunya mengurus rumah, mengurus segala hal. Bahkan ketika Arci lahir. Hampir semua kesibukan rumah tangga Safira yang mengurus. Menerima fakta bahwa ibunya seorang pelacur awalnya membuat dirinya sakit, dicemooh oleh para tetangga, dihina oleh masyarakat. Bagi Safira menerima keadaan seperti ini sangat sulit pada awalnya.
Safira sangat cantik, dengan wajah manis, bibir tipis lembut, rambut lurus sebahu sudah jadi modal utama dia sebagai wanita panggilan. Dia pertama kali menjual keperawanannya kepada seorang pengusaha kaya raya yang mempunyai mobil lima, rumah gedong seharga 3 milyar dan dua pabrik makanan. Itulah pertama kali Safira merasakan yang namanya sex. Dan untungnya dia mendapatkan klien yang baik.
Safira tentu ingat, ketika ia menawarkan keperawanannya di internet. Awalnya orang-orang mengira itu bohongan. Siapa yang bisa menjamin kebenaran dari sebuah situs yang tidak jelas, tiba-tiba menampangkan wajah seorang ABG usia 17 tahun yang sama sekali tidak pernah terpikirkan untuk menjual keperawanannya? Dia melelang dirinya, ya melelang dirinya. Awalnya ada orang iseng membelinya seharga 500.000,-. Whaat? Keperawanan dijual dengan harga segitu? Yang benar saja.
Ya, yang benar saja.
Untunglah tidak lama kemudian penawaran naik. Dari 500.000,- menjadi 5.000.000,-. Hingga akhirnya orang kaya yang diketahui bernama Agus Trunojoyo membelinya seharga 125.000.000,-. 125 juta bukan angka yang kecil bagi orang seperti Safira. Seharusnya memang ia bisa mendapatkan lebih banyak. Tapi kalau hanya untuk mengeluarkan uang lebih dari 125 juta, mending nikah resmi saja nggak sampai mengeluarkan mengeluarkan uang segitu. Mungkin juga itu adalah keberuntungan bagi Agus mendapatkan keperawanan Safira waktu itu.
Agus bukan orang tampan. Ia orang Jawa, rumahnya di Cilacap. Punya pabrik di Sumedang dan Cirebon. Agus punya seorang istri yang bahenol. Siapapun pasti tergoda kalau melihat istrinya yang seksi, dengan pakaian ketat dan sering menebar pesona itu. Namun satu yang Agus tak pernah dapatkan dari istrinya. Keperawanan. Ya, dia menikah dengan istrinya dalam keadaan sang istri sudah jebol. Tapi memang ia sangat mencintai istrinya, dan mau menerima istrinya apa adanya. Awalnya ia mengatakan itu, tapi lama-lama juga nggak bisa.
Lumrah sebagai sisi kemunafikan manusia, mereka akan lebih memilih sesuatu yang indah. Dan Agus akhirnya mengakui dia kepengen merasakan memek seorang perawan. Istrinya sebenarnya orang yang sangat setia. Tapi boleh dibilang sang istri ini sedikit eksib. Mungkin Agus tak tahu kalau Nyonya Agus pernah main mata dengan satpam rumahnya, ataupun tukang kebun yang ada di rumahnya. Tapi itu semata-mata hanya kebutuhan seksual yang ingin dipuaskan. Apalagi sang suami tak bisa memberikan fantasy yang ia inginkan. Tetapi, Nyonya Agus ini sangat setia. Dan ia sangat mencintai suaminya walaupun dengan cara yang aneh.
"Bagaimana menurut mama?" tanya Agus ketika memperlihatkan Safira yang menjual keperawanannya di tabletnya.
"Maksudnya apa pa?" tanya Nyonya Agus.
"Maksudnya, papa ingin merasakan memek perawan," jawab Agus blak-blakan.
"Pa, papa gila ya?"
"Ayolah ma, mama masa' mau enak sendiri nyobain burung laki-laki lain selain papa? Papa juga kepengen ma merasakan perawan. Lagipula ketika kita nikah mama sudah nggak perawan kan?"
"Tapi pa, masa' harus dia sih? Kaya' bukan perempuan baik-baik."
"Emangnya harus? Mama sendiri apa yakin kalau Jono si tukang kebun kita itu orang baik-baik?"
Nyonya Agus merasa bersalah ketika kemarin kepergok main dengan Agus di ruang tamu. Tapi Agus hanya melengos sambil berkata, "Teruskan saja, habis ini kita bicara!"
Inilah pembicaraan itu. Dan Nyonya Agus menyesal ketika mengetahui keinginan suaminya ingin membeli keperawanan Safira. Nyonya Agus merasa tak ada yang kurang dari suaminya. Tapi ia sadar mengkhianati sang suami dengan cara seperti itu bagi dirinya suatu kesalahan yang tak bisa dimaafkan. Tapi nyatanya suaminya membiarkan dirinya.
"Baiklah, mama setuju."
"Nah, gitu. Tapi setelah ini, kalau mama kepengen ngentot ama orang lain, papa harus tahu. Nggak kaya' tadi! Sebab memek mama cuma buat papa."
"Iya deh, iya deh, mama minta maaf."
Agus kemudian mencium istrinya. Awal mulanya Agus ingin mencumbui sang istri, namun yang terjadi adalah lima menit kemudian mereka telanjang. Agus berdiri dan istrinya duduk di sofa sambil mengulum penis suaminya yang sudah keras mengacung. Agus meremas rambut istrinya yang berombak sambil menekan-nekan agar penisnya bisa masuk ke dalam mulut istrinya lebih dalam lagi.
Tubuh Nyonya Agus semok, bukan gendut. Bokong putih bahenol, kulit mulus terawat karena melakukan perawatan spa setiap minggu, tak lupa senam aerobik rutin. Agus tentu saja memuja istrinya itu, terlebih buah dada padat menggantung mengisyaratkan pemiliknya benar-benar orang yang beruntung. Lidah sang istri meliuk-liuk bagai lidah ular menggelitik titik-titik rangsangan sang suami. Dan tak usah ditanya bagaimana profesionalnya sang istri menyedot-nyedot pare berotot milik Agus.
Agus tentu saja puas. Kini giliran sang istri diberikan kepuasan. Memeknya sudah banjir. Agus tahu sudah berapa banyak penis yang masuk ke dalam memek istrinya. Apalagi istrinya mengatakan bukan kali ini ia melakukan hubungan itu dengan seorang lelaki. Sekalipun memek istrinya sudah dijebol oleh bermacam-macam bentuk pare, entah bengkok, panjang, kurus panjang, gemuk pendek, tetap saja kemampuan jurus kempot-kempot miliknya tak kalah dengan wanita panggilan yang terkadang juga ditiduri oleh Agus.
"Ah, iya pah. Aahhhkk! Papah emang hebaaatt....aaahhkk! Terus paaah...iya, itu itil mamah! Itil mamah aahhh....!"
Sekali pun Agus tak mampu memberikan fantasy seperti yang diinginkan tapi jujur, oral sex yang dilakukan sang suami lebih hebat dari seluruh selingkuhan yang pernah tidur dengannya. Nyonya Agus mengakui sendiri.
"Aahhkkk..! Papah edaaaann! AAhhkkk...paah...aduh paaa...hhmmhh.... jangan digigit...awww..Heegghh!"
Agus tak mempedulikan. Emang siapa peduli? Yang dia inginkan adalah agar istrinya bisa orgasme sebelum mereka bertempur dengan pertempuran yang sebenarnya. Tak perlu nunggu lama, Nyonya Agus sudah mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Dari kemaluannya muncratlah lendir-lendir kenikmatan.
"Aaaahhhkkk! Papah emang hebat oralnya. Mama pasti nyerah kalau dioral," ujar sang istri.
Agus tak butuh waktu lama untuk melakukan penetrasi. Dia sudah ada di atas tubuh sang istri dan mulai melesakkan pare berototnya ke dalam liang senggama. Agus menggenjot tubuh bahenol itu dengan kuat. Hentakan-hentakannya membuat Nyonya Agus keenakan. Tak perlu waktu lama bagi Agus untuk bisa menyudahi permainannya. Semburan maninya ke dalam memek istrinya benar-benar banyak. Nyonya Agus pun terkapar di atas sofa setelah di KO oleh suaminya.
* * * I LOVE YOU HANDSOME * * *
Safira duduk dengan wajah menunduk. Ia dan Agus janjian ketemu di sebuah hotel. Dan di dalam hotel itu ada dia, ibunya dan tentu saja Agus. Agus menyerahkan uang dalam amplop coklat kepada sang ibu. Safira menoleh kepada ibunya sesaat. Ia tahu ini salah, sangat salah. Bagaimana mungkin sang ibu mau menjualnya begitu saja kepada lelaki hidung belang ini? Tapi bukankah ini juga adalah keputusannya?
Awalnya ia ragu. Tapi setelah melihat wajah ibunya yang juga tidak tega, akhirnya ia pun tak ragu lagi. Siapa yang bakal rela menyerahkan sang anak kepada orang lain hanya untuk segepok uang. Tidak ada. Dan kalau pun ada mungkin orang itu sudah gila. Tapi kata-kata RELA agaknya harus dibuang jauh-jauh. Keahlian apa yang dimiliki sang ibu? Terlebih sekarang ini Arci sudah akan masuk sekolah. Lian menaruh harapan besar kepada anak laki-lakinya itu. Ia ingin agar anak laki-lakinya menjadi orang yang berguna, berbeda dengan dirinya kelak.
Safira kemudian berdiri mematung di kamar itu. Ibunya sudah pergi. Di hadapannya ada Agus, seorang lelaki yang usianya sudah menginjak kepala 4. Wajahnya pas-pasan. Kalau misalnya orang yang tampan seperti Brad Pitt itu punya wajah ganteng bahkan ada kembalian, kalau dia itu pas-pasan. Tahulah bedanya. Rambutnya sedikit ikal, kumisnya tipis. Tapi percayalah, Nyonya Agus menganggapnya sebagai lelaki paling tampan di dunia. Tapi itulah yang namanya cinta, orang bilang cinta itu buta.
Malam itu Safira memulai prosesi pecah perawannya. Untuk mengurangi rasa canggung, Agus mengajaknya mandi bersama. Safira berusaha menahan malu. Tapi memang dasar Agus yang sudah berfantasi sejak lama. Ia memperlakukan Safira dengan baik. Ciumannya di bibir sang gadis pun dibuat selembut mungkin. Di kamar mandi mereka saling menyabuni tubuh masing-masing. Dan Safira pun dibelai, tubuhnya digerayangi, diratakannyalah sabun itu diseluruh tubuhnya, buah dadanya, punggungnya, kakinya. Agus sungguh sangat terampil untuk bisa merangsang birahi gadis 17 tahun itu.
Pentil gadis itu mengacung bak bambu runcing. Agus pun memelintir-melintir puting kecil keras berwarna coklat muda. Buah dada Safira yang kenyal pun diremas-remasnya. Sementara itu Safira untuk pertama kali dalam hidupnya memegang pare berotot. Karena masih kaku maka Agus memakluminya. Safira mengocoknya tak beraturan, namun lambat laun ia dapatkan iramanya sendiri. Agus benar-benar menahan diri agar tak langsung to the point. Sebab, gadis ini masih segelan, masih belum tahu dunia esek-esek. Maka dia harus memberikan malam terbaik untuknya.
Safira mulai berbaring di ranjang. Dia hanya memakai handuk, bahkan bau wangi sabunnya masih terasa.
"Om, jujur aku takut," kata Safira.
"Nggak apa-apa rileks aja yah?" tanya Agus.
Safira kemudian memejamkan matanya. Agus sudah melepaskan handuk yang membelit pinggangnya. Dia mulai membuka handuk yang menutupi tubuh Safira. Dibelainya rambut di kening gadis yang akan diperawani itu. Lambat tapi pasti ciuman pun mendarat di bibir Safira. Safira sekali lagi merasakan bagaimana dengan begitu sabar dan telatennya Agus memperlakukan dirinya.
Buah dada Safira mulai jadi sasaran tangan jahil sang hidung belang. Safira membuka mulutnya dan lidah mereka saling menghisap. Safira dari sini mulai faham bagaimana rasanya french kiss, ia juga tahu bagaimana memperlakukan Agus dengan baik. Tangan kanannya sudah menangkap burung perkutut berbulu keriting lebat di selakangan Agus. Lelaki ini sudah tegang, siapa yang tidak tegang melihat tubuh mulus Safira. Mereka pun berpelukan. Agus mulai menciumi pipi, lalu leher Safira, beranjak ke bawah menuju ke bukit kembar yang kenyal. Mulutnya pun menangkap puting yang mengacung. Sungguh itu puting benar-benar mengajak berantem.
Safira menggeliat, dia mulai gelisah. Antara risih, geli dan birahi. Tiga kombinasi rasa yang pas. Tangan Agus mulai nakal, karena sudah menggelitiki klitoris cewek ini.
"Ahhhkk..! Omm...geli ommm!" kata Safira.
Agus tak mempedulikannya. Ia terus menyedoti kedua buah dada Safira. Ia bagaikan bayi yang baru lahir, menyusu kepada induknya. Walaupun tak keluar ASI tapi sungguh buah dada itu benar-benar sekal. Benar-benar mantab, lebih mantab dari kopi yang iklannya saja seolah-olah susunya paling mantab. Agus pun mulai mencolok-colok liang senggama Safira yang sudah mulai becek.
Safira sekarang mulai dikejar oleh sesuatu yang tak terlihat, kita menyebutnya nafsu. Nafsunya mulai terbakar. Baru kali ini ia merasakan bagaimana diperlakukan oleh seorang laki-laki. Lama-lama ia suka dengan perlakuan Om-om yang wajahnya yah, tak bisa disamakan dengan foto model atau coverboy. Biarpun begitu dia tajir, punya pabrik, mobil banyak, dan keperawanannya dibeli dengan uang 125 juta. Paling tidak uang itu bisa menyambung hidup. Agus sungguh bernafsu sekali dengan tubuh Safira. Ia pun kemudian mulai beranjak menindih Safira. Kepala penisnya sudah mulai menyentuh belahan memek Safira yang berlendir.
"Omm...pelan-pelan yah!" kata Safira.
"Tentu saja sayang, tentu," ujar Agus.
Kembali kedua mata mereka bertemu. Agus sudah menempatkan kepala penisnya di ujung lubang kemaluan Safira. Agus perlahan-lahan menempatkan penisnya agar pas. Safira menggigit bibir bawahnya. Ia memejamkan mata menunggu saat di mana penis lelaki ini menyeruak masuk. Safira tersentak ketika kepala penis yang keras itu mulai masuk.
"Omm...sakiiiitt!" Rintih Safira.
Agus menghentikan aksinya. Ia menciumi Safira. Bibir mereka berpagut lagi. Agus cukup sabar. Disaat Safira rileks ia mendorong sedikit. Ketika terjadi penolakan Agus bersabar. Sungguh sekarang ini kalau Agus tidak berusaha menahan dirinya, mungkin ia sudah keluar begitu masuk ke dalam memek Safira. Ia cukup sabar menahan rasa empot-empot yang dilakukan oleh memek Safira.
Agus lagi menekan, perlahan-lahan hingga tak terasa sudah penuh. Safira merasakan ngilu yang luar biasa. Ia pasrah. Kini keperawanannya telah dilepaskan. Agus merasakan telah merobek kemaluan Safira.
"Omm... itu masuk semua?" tanya Safira lirih.
"Iya, masuk semua. Enak banget memekmu," kata Agus. "Aku goyang yah?"
Safira mengangguk.
Akhirnya bergoyanglah pinggul lelaki ini naik turun. Agus benar-benar merasakan sensasi yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Memek Safira lebih legit, lebih nikmat dan lebih mencengkram daripada memek istrinya. Tentu saja.
"Ahhh...Fira, peret banget ahhh... Om jadi ketagihan kepengen genjot terus," rancau Agus.
Safira nggak tahu harus bicara apa. Di saat seperti ini memeknya lambat laun perihnya hilang. Hanya rasa geli campur nikmat yang terasa. Rasanya seluruh syarafnya membuat dia terbius, terbius akan enaknya hubungan persenggamaan ini. Luar biasa nikmat. Tiba-tiba saja sesuatu menjalar di pinggangnya, lalu dadanya, beranjak ke otaknya. Apa ini? Dia tak pernah merasakan ini sebelumnya. Nikmat sekali. Memeknya pun terasa geli. Apakah yang terjadi? Terlebih lagi memeknya serasa becek dan merasa ada sesuatu yang akan keluar.
"Omm.... Fiar ingin pipis.. pipiiiiissssssssss!" keluhnya. Pantat Safira terangkat.
"Ohh....om juga, udah nggak tahan. Ngecroooot! j*nc*k....enak temennnnnn, tempekmuuuuuu.... nyoooohhhh pejuhkuuuuu!"
"AAAHhhhhhhhkkkk! OOmmmm kontol ooomm.....gedheeeeeeeeee....! Anget om ANgeeeettt!"
"Cuuukkkk! Enaaaaaaaakk!....AAAHH!"
Semburan sperma akhirnya membasahi rahim Safira. Sungguh itu pengalaman yang tak akan mereka lupakan seumur hidupnya. Safira semenjak hari itu dia menjadi Wanita panggilan. Menekuni profesi yang sama dengan ibunya.
Karena Lian dan Safira bukan orang yang bisa menabung, kebanyakan uang mereka habis untuk foya-foya dan beli make-up. Maka secepat itu pula akhirnya mereka berhutang lagi. Hutang yang tidak sedikit. Hinga kemudian Arci pun harus menolong mereka ketika ada seorang tante-tante ingin memakai jasa gigolo. Tapi tante-tante ini ingin memilih gigolo yang masih muda, brondong muda yang belum berusia 17 tahun.
Usia 13 tahun menjadi seorang gigolo. Ini adalah kejahatan. Tapi Arci tak ada cara lain. Dia pun melakukannya. Menjual dirinya untuk seorang tante-tante.
* * * I LOVE YOU HANDSOME * * *
Arci berada di sebuah kamar hotel. Kamarnya mewah. Untuk anak remaja seusia dia masih ke kamar ini membuat semuanya canggung. Dia melihat seorang wanita muda gemuk sedang sibuk menerima telepon. Mungkin lebih tepatnya ia mengalami obesitas. Dia melihat ke arah Arci dengan malu-malu. Arci menelan ludah. Apakah wanita ini yang harus ia layani nanti?
"Tunggu sebentar yah, mama sedang pergi. Habis ini mau masuk kamar. Namamu siapa?" tanya wanita itu.
"Arci. Panggil saja Arci," jawab Arci sambil menelan ludah.
"Aku ... Iskha," jawabnya.
Iskha cukup tambun untuk cewek seusia dia. Sambil membetulkan kacamatanya ia lagi-lagi melihat ponselnya. Arci bingung, mau apa dia sekarang. Berdiri salah, duduk juga salah. Ia pun canggung. Hanya melihat sekeliling. Dinding kamar hotel ini dihiasi oleh wallpaper. Pasti gunanya untuk menyerap bunyi apalagi coba?
TOK! TOK! TOK! Pintu diketuk.
Seorang wanita paruh baya masuk melihat Arci. Apakah ini tante-tante yang dimaksud??
"Eh, sudah datang?" tanya tante-tante ini. "Kenalkan namaku Susiati, ini anakku..."
"Kami sudah kenalan," kata Iskha.
"Oh, ya sudah," kata Susiati.
"Maaf sebelumnya, maaf, beribu-ribu maaf." Arci menundukkan wajahnya.
"Lho, ada apa?"
"Kalau bisa, kalau bisa, tante jangan melakukan ini kepadaku. Aku masih 13 tahun dan...dan aku melakukan ini terpaksa karena lilitan hutang. Untuk biaya sekolah, kontrakan dan bayar hutang. Aku...aku dan keluargaku terpaksa melakukan ini," kata Arci. "Aku tak punya cara lain untuk bisa menolong mereka. Ketika debt collector itu datang, aku takut. Aku hanya ingin agar ibu dan kakakku sadar itu saja. Bahwa masih ada pekerjaan halal. Masih ada cara, masih ada jalan. Aku....aku...aku tak bisa melakuan ini."
Susiati dan Iskha terpana. Mereka tak menyangka remaja tampan ini bicara seperti itu.
"Kumohon, kalian boleh memukulku, atau apapun tapi aku tak ingin merusak diriku di sini. Aku tak mau mengikuti jejak ibu dan kakakku. Aku hanya butuh uang itu," kata Arci.
"Tapi kami bayar kamu mahal lho," kata Susiati. "Lagipula, ini bukan untuk tante tapi buat anak tante. Dia ingin mencoba. Daripada ngewe sembarangan sama temennya, lebih baik tante sewa kamu. Kamu tahu kan caranya?"
"Saya tahu tapi saya tak mau. Kumohon, kasianilah saya tante, saya tak bisa melakukannya. Saya hanya butuh uang itu."
"Wahh...ya susah."
"Saya akan pinjam. Saya akan pinjam uang tante. Nanti suatu saat nanti akan aku kembalikan. Aku akan sekolah setinggi-tingginya. Aku akan jadi orang sukses dan aku akan mencari tante. Kalau perlu aku akan nikahi anak tante ini. Aku janji, aku janji!"
Arci menatap serius ke arah Susiati. Melihat kesungguhan di mata Arci tampak hatinya luluh juga. Iskha tersenyum.
"Mama, kasih saja deh. Dia anak baik. Sudah seharusnya ia melakukan ini untuk keluarganya," kata Iskha.
"Tapi...ya nggak bisa begini juga kan?" kata Susiati.
"Arci, aku pegang janjimu. Kapan kamu akan kembalikan uang kami dan menikahiku?" tanya Iskha.
"Itu...itu...hmmm....aku tak bisa memberikan waktu pastinya," jawab Arci.
"Nah, bingung kan?" ejek Susiati.
"Tidak. Aku sungguh-sungguh. Bila nanti aku berusia 25 tahun, aku akan mencari kalian. Aku akan mengembalikan uangnya, dan aku janji akan menikahimu. Aku janji!" mata Arci berkaca-kaca. "Tapi aku tak mau melakukan pekerjaan ini."
"Hahahahaha," Susiati tertawa. "Anak yang unik. 25 tahun? Keburu tua nanti anakku"
"Kalau aku tidak bisa menempati janjiku. Aku akan bilang ke seluruh dunia bahwa aku adalah seorang gigolo. Dan aku akan bekerja seumur hidup kepada kalian," kata Arci.
Mendengar itu Susiati merasa tersentuh. "Baiklah. Pada usiamu ke-25 kamu harus memenuhi janjimu. Kalau tidak, aku akan mencarimu dan menyakiti keluargamu dan kalian akan tampil di surat kabar."
"Aku janji. Aku janji. Terima kasih. Terima kasih, tante memang baik. Mbak memang baik, aku janji aku akan melamar mbak suatu saat nanti, aku janji akan jadi suami yang baik," ujar Arci.
Begitulah, sebuah janji yang mengubah semuanya. Janji seorang Arci. Tapi apakah Arci masih ingat akan janjinya ini?
"Ci, dipanggil bos!" panggil Rahma.
Arci menoleh ke arah Rahma. "OK!" Ia segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian segera beranjak ke ruangan direktur Produksi. Sudah seminggu ini dia bekerja di perusahaan ini. Pekerjaannya cukup bagus, cukup rapi, cukup cepat untuk anak baru. Ternyata ijazah yang dibanggakannya sebagai mahasiswa cumlaude benar-benar nyata. Arci pun mengetuk pintu.
TOK! TOK! TOK!
Arci kemudian membuka pintu dan segera masuk. "Ada perlu dengan saya, bu?"
"Ah, iya. Sini sebentar!" kata Andini sambil memberikan isyarat agar Arci duduk. Pemuda itu pun segera mendekat kemudian duduk di hadapan atasannya. Arci mulai menduga-duga banyak hal.
"Ada apa, bu?"
"Begini, aku butuh kamu untuk menganalisa data tentang penjualan produk-produk yang tidak laku atau kurang diminati pasar. Aku ingin kamu cari cara bagaimana agar supaya barang-barang yang tidak laku itu bisa habis. Dalam arti stok kita habis, sehingga gudang itu bisa kosong dan kita bisa dapatkan laba dari barang-barang itu," kata Andini.
"Lho, bukannya itu tugas tim pemasaran bu?" kata Arci. Andini menatap tajam ke arah Arci. "Eh, maaf, teruskan!"
"Jadi, karena saat ini tim pemasaran stuck dan banyak kerjaan untuk produk-produk baru. Mereka memang diperlukan untuk itu. Aku ingin kamu cari cara bagaimana agar supaya gudang kita yang berisi barang-barang lama itu bisa laku terjual. Entah kamu pasarkan bagaimana kek caranya yang penting stok habis. Perusahaan ini lemah di bidang marketing online, kamu coba pasarkan lewat media online. Buat situs semenarik mungkin agar orang membeli ke kita. Kalau misalnya berhasil, aku ingin kamu yang menangani tim pemasaran dan sekaligus aku akan mengangkatmu menjadi manajer pemasaran yang sekarang ini kerjanya lamban kaya' siput."
Arci menelan ludah. Manajer?? Manajer???
"Tapi bu...," Arci ingin protes karena pekerjaan itu terlalu mendadak. Ia baru seminggu bekerja masa' harus dapat tugas begini berat.
"Aku beri waktu kamu dua minggu. Selesaikan! Kalau gagal kamu saya pecat," kata Andini.
"Heeh?? Jangan dong bu, masa' saya cuma seminggu langsung dipecat. Iya deh, iya deh."
"Nah, bagus. Kalau kamu butuh tentang data stok coba tanya-tanya Yusuf. Dia kan bagian Entry, pastinya hafal dengan semua barang-barang yang numpuk di gudang itu," kata Andini dengan nada ketus.
"Err...baik bu, saya coba," kata Arci.
"Kamu kerja apa main-main?"
"Kerja bu."
"Nggak usah pake coba-cobaan, langsung saja kerjakan!"
"Iya, bu. Maaf. Saya kerjakan sekarang?"
"Tahun depan!"
"Eh?"
"Ya sekaranglah! Udah sana!"
Arci agak keder juga melihat ketegasan Andini. Dia segera keluar dari ruangan bossnya. Rahma melirik ke arah Arci. Melihat Arci dengan mimik serius, pasti ada sesuatu.
"Ci!" panggil Rahma.
Arci menoleh ke arahnya. "Apa?"
"Ada apa tadi di dalem?" tanya Rahma.
"Ada kerjaan, berat kaya'nya," jawab Arci dengan sedikit nada datar.
"Oh, beneran? Emang apa kerjaannya?"
"Ngabisin stok barang lama di gudang."
"Heh? Itukan bukan tugasmu."
"Entahlah, yang nyuruh boss, mau gimana lagi?" Arci mengangkat bahunya.
Rahma hanya manggut-manggut. Arci segera kembali ke mejanya. Dia melonggarkan dasi yang dia pakai kemudian membuka satu kancing atas kemejanya. Lengan kemejanya pun dia gulung. Setelah itu ia menganyam jemarinya sampai berbunyi. Ia menepuk tangannya tepat di depan wajahnya. Hal itu membuat semua orang menoleh ke arahnya. Arci tak peduli. Ia langsung menggerakkan jemarinya dengan lincah di atas keyboard. Orang-orang yang kaget melihatnya tadi akhirnya kembali ke mejanya. Yusuf tambah lebih bingung dengan sikap Arci.
"Oh ya," Arci menghentikan aktivitasnya sejenak dan mendekat ke Yusuf yang meja kerjanya bersebalahan.
"Ada apa?" tanya Yusuf.
"Tadi Bu Dini ingin aku menganalisa data stok penjualan, aku butuh data barang yang saat ini ada di gudang. Terutama barang-barang lama," kata Arci.
Yusuf menegakkan alisnya, "Buat apa?"
"Aku ditugaskan untuk bisa menjual habis barang-barang itu."
"What?? Yang bener?? Itu tugas tim pemasaran."
"Entahlah, tapi sepertinya kata-kata Bu Dini tadi aku dengar sangat jelas di dalam sana."
"Hmm...sepertinya ada sesuatu nih," kata Yusuf sambil menggaruk-garuk dagunya.
"Apa?"
"Jadi gini ada isu yang mengatakan bahwa pihak marketing mau diganti jajaran manajemennya karena akhir-akhir ini penjualannya nggak segencar tahun lalu. Padahal sebentar lagi mau tutup tahun dan tentu saja kalau misalnya stok barang di gudang yang ada itu tidak habis bisa-bisa Bu Andini bakal dihabisi di rapat jajaran direksi."
"Kenapa barang-barang itu tak bisa dipasarkan oleh pihak marketing saat ini?"
"Masalahnya kita kekurangan tim di pihak marketing. Manajer pemasaran orangnya sedang sakit dan opname di rumah sakit. Namanya Pak Malik. Tapi sepertinya perusahaan tahu bahwa sakitnya Pak Malik nggak akan bisa ditolong lagi. Beliau kena komplikasi gula dan darah tinggi. Kita di tim marketing sudah kosong kepemimpinan selama dua minggu ini dan tak ada yang bisa menggantikan beliau. Kandidatnya nggak ada."
Arci manggut-manggut. "Baiklah, aku tahu sekarang permasalahannya."
"Trus, kamu punya ide bagaimana cara untuk memasarkannya?" tanya Yusuf.
Arci berdiri. Ia berjalan mondar-mandir, lalu menatap ke arah Rahma. Sebenarnya Arci menatap dengan tatapan kosong, karena ia tak benar-benar menatap Rahma. Tapi melihat Arci menatap ke arahnya Rahma jadi salah tingkah. Beberapa kali ia membenarkan rambut yang menutupi telinganya.
"Ini bocah ngapain ngelihatin aku?" kata Rahma dalam hati. "Nggak, nggak, nggak, dia emang cakep. Tapi aku udah punya cowok. Nggak deh, nggaak."
Arci kemudian berjalan ke tembok lalu melakukan handstand. Orang-orang heran melihatnya.
"Kon lapo rek, ngono iku?" tanya Yusuf.
"Mikir" jawab Arci.
"Wong edan," Yusuf melanjutkan pekerjaannya lagi.
Arci memang sering mendapatkan tekanan seperti ini. Dan melakukan handstand seperti ini adalah salah satu cara yang bisa membuatnya lebih bisa berpikir. Andini mengintip dari kaca jendela di kantornya. Ia ngikik melihat tingkah polah Arci.
"Dasar, anak aneh. Ayo, kamu pasti bisa. Buktikan kepadaku bahwa kuliahmu memang berhasil," kata Andini.
Tak sampai lima menit Arci menyudahinya. Setelah itu ia segera ke mejanya. Ia mengutak-atik komputernya. Entah apa yang dikerjakannya di sana. Yang jelas hari itu ia sampai lupa makan karena seharian berada di depan komputer.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Siang hari Andini pergi ke kantin. Mungkin memang sedikit aneh bos di perusahaan ini mau makan di kantin bersama anak buahnya. Tapi begitulah Andini tiap hari. Ia tak pernah merasa tinggi, ia menganggap dirinya sama seperti yang lain. Ada satu yang selalu aneh dari dirinya, setiap kali ia makan tak pernah ada yang mau nimbrung. Mungkin karena kewibawaannya, mungkin juga karena tak ada makhluk yang pantas bersanding dengan ibu bos yang cantik itu. Melihat Arci tidak di kantin, Andini bertanya-tanya ke mana dia.
Ruangan kantor sepi, hanya Arci sendirian sedang mengutak-atik komputer. Ponselnya berdering, tapi nadanya ia matikan, hanya getaran. Berkali-kali ponselnya bergetar. Tapi dia tak peduli.
Andini kesal karena ponsel Arci tak diangkat. Dia kemudian beranjak kembali ke ruangannya. Orang-orang heran karena tak biasanya Andini bertingkah seperti ini. Biasanya dia duduk manis sambil menikmati makan siangnya berupa menu sayur sehat tanpa kolesterol dan jus wortel, straweberry, dan jeruk yang dicampur jadi satu. Namun kali ini belum sempat ia memesan apapun sudah pergi. Dengan rok selututnya ia tampak berjalan anggun. Memang ia menarik perhatian semua lelaki selain paras cantik, cara berjalannya pun mengakibatkan seluruh jajaran karyawati yang ada di pabrik itu lewat semua. Andini juga tak ketinggalan dalam hal mode. Terlihat dari sepatunya yang mahal, bahkan baju kantornya pun sangat trendi.
Andini kembali ke ruangannya dan melihat Arci sedang sibuk di meja kerjanya. Wanita karir ini pun menghampirinya.
"Nggak makan siang?" tanya Andini.
"Eh, ibu. Bikin kaget saja," jawab Arci.
"Ayo, makan siang!" ajaknya.
"Saya kerjain ini dulu."
"Nggak ada tapi-tapian, kamu ikut makan siang sama saya atau saya pecat."
Mendengar kata pecat bikin telinga Arci sensi. "Eh...i..iya deh, sebentar." Arci buru-buru logout dari komputernya. Ia mengambil ponselnya yang ada di meja. Ternyata ada 10 kali misscall dari nomor Andini.
"Kerja itu juga butuh istirahat. Kalau kamu tewas karena workaholic, yang rugi juga perusahaan. Kamu adalah aset berharga bagi perusahaan, maka dari itu jaga kondisimu," Andini menasehatinya.
Arci mengangguk. "Iya bu."
Mereka berdua pun berjalan bersama. Saat perjalanan menuju kantin, mereka berdua jadi perhatian. Baru kali ini Ibu Direktur mau berjalan dengan seorang cowok, walaupun ini bukan pertama tapi kali ini agak lain. Adini yang mengajaknya. Arci hanya mengikutinya saja sambil menjaga jarak, karena ia tahu bahwa banyak pasang mata yang melirik ke arah mereka.
Rahma saat itu sedang ada di kantin tampak kaget melihat mereka berdua masuk ke kantin. Langsung beberapa teman wanitanya berbisik-bisik.
"Eh lihat itu, si boss tahu aja cowok cakep," kata Nita teman kerja Rahma.
"Hihihi, siapa namanya?" tanya Sonia juga teman kerja Rahma.
"Namanya Arczre Vian Zainal. Aneh yah. Mirip nama bule," jawab Rahma.
"Yah, potongannya kaya' orang blesteran gitu. Tapi tampang harajuku hahahaha," Nita ketawa.
"Dia kan udah kenalan beberapa hari lalu, masa' kalian nggak tahu sih?" tanya Rahma ketus.
"Yee... kenal nama doang, tapi selama seminggu ini dia jadi pembicaraan cewek-cewek kantor tahu!" ujar Sonia. "Cakep yah."
"Selain cakep, kerjanya juga bagus koq. Kerjaan yang biasanya dikerjain Yusuf seharian, sama dia cuma sepuluh menit," kata Rahma.
"Hah? Nggak salah?" Nita tak percaya.
"Dan kaya'nya tadi di ruangan Bu Dini, Arci ini mau ditempatkan bagian pemasaran. Gantiin Pak Malik. Nggak tahu deh."
"Heh? Pak Malik? Ora salah kon?" tanya Sonia.
"Menejer yang sekarang sakit itu?" Nita nggak percaya lagi.
"Beneran. Makanya dia dikasih tugas agak sulit ama Bu Dini tadi. Whew, koq aku naksir dia ya?" tanya Rahma ceplas-ceplos. Memang mereka bertiga seperti itu suka ceplas-ceplos kalau sedang bersama-sama. Maka jangan heran kalau misalnya segala persoalan mereka bicarakan, bahkan sampai habisnya tissue toilet mereka bicarakan.
"Ciee..cieee.... yang naksir. Tapi aku juga naksir lho. Kita saingan dong," kata Sonia.
"Aku ikut deh, ngantri urutan paling depan pokoknya," sela Nita.
Mereka ketawa-ketiwi di meja mereka sendiri. Tiga cewek jomblo yang sedang ngincer cowok ter-cool di kantor ini. Tapi mereka paling tidak sekarang harus gigit jari karena sekarang Arci sedang semeja dengan Andini.
Seorang pelayan datang ke meja Andini. Dia membawa nota untuk dicatat.
"Pesan apa?" tanya Andini.
Arci melihat daftar menu makanan yang ada di meja. "Ibu sendiri?"
"Saya sih biasanya pesan sup sehat dan jus sehat."
Arci ragu untuk memesan.
"Nggak usah dipikirkan, aku yang bayarin. Kamu tinggal pilih."
"Saya jadi nggak enak. Biasanya juga cowok yang bayarin."
"Kali ini aku yang traktir. Lain kali saja kamu nraktir aku, gajian saja belum."
"Hehehehe, saya pesen nasi rawon saja deh, sama teh anget."
"Nasi rawon satu, teh anget satu, sup sehat satu, jus sehat satu. Gitu ya bu?" tanya pelayan mengulangi.
Andini mengangguk. "Iya."
Sang pelayan segera berbalik menuju dapur. Andini kembali menatap ke arah Arci. Ia melonggarkan dasinya. Andini sedikit tersenyum. Melihat itu Arci jadi heran. Senyuman bosnya ini sungguh manis dan renyah. Kalau misalnya ada rempeyek, maka rasanya seperti rempeyek yang paling garing digigit. KRIYUUUKKK! Apalagi kacangnya itu dikunyah rasanya sangat sensional. Dalam hidupnya, Arci tak pernah sedekat ini dengan perempuan. Bukan berarti dia lebih suka dekat dengan keluarganya, bukan itu. Ia tahu tabu rasanya dengan hubungan incest dia, hanya saja sekarang ini bukan itu yang menjadi masalah. Tak pernah ada wanita yang datang dalam kehidupannya. Dia melakukan itu semata-mata karena peristiwa ketika dia menjadi gigolo. Selama ini ia kerja keras, kuliah tinggi, berjuang hingga dapat nilai cumlaude, mengorbankan seluruh masa mudanya untuk belajar, belajar dan belajar, hingga sekarang ia duduk di sini. Diterima di perusahaan textil terkemuka di Indonesia.
"Semua karyawan cowok di sini itu nggak pakai dasi, cuma kamu yang kaya'nya pakaiannya resmi. Tapi nggak apa-apa, aku suka," kata Andini.
"Eh, i..iya bu. Hehehe," Arci nyengir. Ia baru saja sadar kalau memang semua pegawai cowok tak ada yang pakai dasi.
"Tapi jangan kamu lepas itu, kamu kelihatan tampan kalau pakai dasi."
Lagi, senyumannya itu membuat dunia seakan runtuh. Tiba-tiba dengan melihat senyuman bosnya ini perut Arci sudah merasa kenyang. Efek apa ini? Sihir? Ah, jaman sekarang koq ya ada sihir. Ini dunia nyata pren. Dunia nyata. Apa wanita ini pake susuk? Sudah menikahkah dia?
"Cantik," gumam Arci.
"Hmm? Kamu bilang apa?" tanya Andini mengejutkan dia.
"Oh, nggak koq bu. Nggak bilang apa-apa. Itu lho, sekretaris ibu cantik juga orangnya."
"Kamu suka ama dia?"
"Eh, nggak koq. Nggak."
"Aku nggak cantik?"
"Kamu...eh, ibu, cantik juga."
"Hahahaha. Aneh kamu ini. Oh ya, ceritain dong tentang keluargamu."
"Keluargaku...hmmm, mereka baik-baik saja. Begitulah. Ibu sudah membacanya di file saya bukan?"
"Aku cuma kepengen denger langsung dari kamu. Cerita aja!"
"Yah, saya hidup bersama ibu, kakak dan adik. Saya paling ganteng di rumah. Karena kakak dan adik saya cewek semua. Adik saya masih SMP dan sekarang sedang berjuang untuk UJIAN NASIONAL."
"Kerja apa ibu dan kakakmu?"
"Oh, mereka... ibu nggak kerja, kakak kerja kecil-kecilan."
Kerlingan mata Andini mengisyaratkan bahwa ia sepertinya tahu segalanya, hanya saja itu tak difahami oleh Arci. Ia lebih tertarik kepada wajah Andini yang menawan. Parfumnya sungguh harum, wangi khas Paris dibalut dengan lembut aroma Barcelona. Pasti parfumnya sangat mahal.
Tak berapa lama kemudian pesanan mereka sampai. Arci dan Andini makan bersama. Dan tiga cewek yang agak jauh dari mereka mengamati dengan rasa dongkol.
"Duuhh... mereka koq bisa makan bersama kaya' gitu ya? Mana Bu Dini ketawa-ketiwi seperti itu. Kaya'nya akrab banget." Rahma menahan dagunya dengan kedua tangannya. Minuman es campur buah yang ada di depan mereka tak disentuh, hanya melihat bagaimana akrabnya Arci dan Andini di meja makan mereka.
Nita, Sonia dan Rahma hanya menatap Arci dari kejauhan sambil mengaduk-aduk gelas es campur mereka sampai esnya mencair.
"Cakepnyaaa..." itulah gumaman mereka berkali-kali.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Makasih bu, makan siangnya," kata Arci.
"Mulai sekarang, kamu makan siang tiap hari sama saya," kata Andini.
"Hah? Tapi bu, jadi nggak enak ntar dilihat orang-orang."
"Kenapa? Kamu sudah punya cewek?"
"Nggak, blom punya."
"Nah, saya juga nggak punya cowok, single. Nggak masalah kan? Lanjut juga nggak masalah."
"Hah? Maksudnya?"
"Hahahaha, bercanda. Gitu aja dianggap serius," lagi, ketawa renyahnya Andini membuat jantung Arci nggak menentu.
Arci nyengir. Dia nggak nyangka bosnya bisa seagresif ini. "Tapi saya keberatan kalau tiap hari harus makan siang sama ibu."
"Ya sudah, nggak masalah koq. Selanya kamu saja. Tapi aku ngasih peraturan khusus untuk kamu. Waktunya istirahat, kamu harus istirahat. Kecuali lembur. Ok?"
"Siap bu."
"Nah, begitu. Aku nggak suka bawahanku orangnya workaholic semua."
"Oh, begitu."
"Malam Minggu ada acara?"
"Hmm?? Maksudnya?"
"Kamu kosong nggak malam minggu?"
"Biasanya sih, nggak. Cuma jagain ibu sama saudara-saudara saya di rumah."
"Kepengen nonton film di 21. Ada film bagus. Temenin aku yah."
"Err...gimana yah."
"OK, jam 5 sore aku tunggu di Matos."
"Lho, bu, saya belum bilang mau."
Andini tidak menghiraukannya. Ia sudah masuk ke ruangan kerja. Arci hanya menghela nafas.
"Mateng aku"
Perasaannya sekarang ini campur aduk. Apalagi dideketi oleh bosnya seperti ini. Memang banyak cewek dulu yang mendekati dia. Tapi ia selalu bisa menolaknya dengan halus. Nah, bagaimana menolak bosnya sendiri seperti ini? Apakah ia harus move on dan melupakan janjinya dulu? Lagipula ia sudah pindah ke Malang, mana mungkin juga Ibu Susiati bakal tahu di mana dia berada. Tapi yang namanya orang kaya seperti Bu Susiati pasti bisa membayar orang untuk melacak dirinya dan keluarganya. Arci lagi-lagi menghela nafas. Ia tak tahu harus bagaimana. Tapi ini adalah janji, dan ia harus bisa menolak halus atasannya itu walau bagaimana pun juga. Tapi jujur sebagai seorang lelaki normal ia juga terpesona dengan kecantikan Andini.
Sementara itu tiga gelas es campur buah yang sudah meleleh dibiarkan begitu saja di meja kantin. Tiga gadis yang nimbrung di meja kantin tadi meninggalkannya dan kembali kepada aktivitasnya masing-masing. Perasaan mereka tentu saja kecut, tak semanis es yang tadi mereka pesan. Saingan mereka berat. Saingan mereka adalah bos mereka sendiri.
Es campur, es campur, mubadzir banget.Arci sudah berada di kamarnya sore ini. Besok hari sabtu dan minggu kantornya libur. Tapi besok juga adalah hari yang nggak ingin ia hadapi. Sebuah janji yang terpaksa diiyakan olehnya telah ia sanggupi. Arci tak habis pikir kenapa ia sampai mengiyakan. Tidak, sebenarnya ia tidak mengiyakan, hanya tidak menjawab. Kamarnya yang berukuran 2x3 meter ini serasa sempit untuk bisa membuat dia berpikir. Udara Malang cukup dingin malam ini, bahkan dengan jendela tertutup pun masih terasa.
Sejujurnya ia tak pernah cerita kepada ibu dan kakaknya tentang kejadian di hotel itu. Yang jelas, mereka tahu bahwa Arci bisa menghasilkan uang. Itu saja. Dan selama ini Arci bekerja mati-matian untuk mereka agar mereka tidak melacur lagi. Uang kontrakannya pun baru dibayar separuh, sisanya menyusul. Arci yakin gajinya nanti bisa untuk menutupi hutang-hutang ibu dan kakaknya. Dan Arci melarang kalau sampai mereka membayar hutang-hutang itu dengan tubuh mereka.
"Kalau kalian kepengen, aku bisa memberikan. Tapi aku mohon kalian jangan melakukannya lagi. Jangan menjual diri!" itu yang selalu dikatakan Arci kepada ibu dan kakaknya. Ya, dia tahu itu hal tabu. Bahkan di beberapa negara lain incest adalah perbuatan yang melanggar hukum dan pelakunya akan dipidana. Tapi di negara Indonesia, beda. Asal suka sama suka, hukum tak bisa menjerat. Emang negara ini agak sedikit kacau dalam soal ini. Penjeratan hukum hanya untuk mereka yang melakukan pelecehan seksual, bukan atas hubungan seperti ini.
Pemuda ini kemudian memejamkan matanya. Ia tak mau memikirkan dulu hal ini. Apa yang akan terjadi nanti, ia ingin mencoba untuk menikmatinya. Biarkan seperti air yang mengalir.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Matos, Malang Town Square. Sebuah mall yang megah di Malang. Mungkin termegah pertama kali waktu itu setelah Sarinah. Kali ini Malang dijejali dengan mall-mall yang tak hanya satu dua, tapi banyak mall-mall yang berdiri. Letak Matos cukup strategis. Selain di sebelah pemukiman elit, Matos juga dikerubuti oleh kampus dan lembaga pendidikan lainnya. Tak heran anak muda banyak yang mampir ke sini. Di sebelah utara ada makam pahlawan, di sebelahnya juga baru ada sebuah mall yang lebih megah, namanya MX Mall. Walaupun mall ini megah, tapi masih sedikit stand-stand yang ada di sini. Tapi yang menarik adalah ada sebuah stand yang sudah disewa oleh Apple. Hanya saja, kapan digunakan masih tidak ada kabar sampai sekarang.
Arci dan sepeda motor. Itu adalah pemandangan yang tidak pas sebenarnya. Mengganggu. Orang secakep itu naik sepeda motor bebek? Apa kata dunia. Tapi itulah yang terjadi. Hidup memang kejam, mungkin dengan kekejaman itulah akan muncul suatu rahmat yang entah dari mana. Arci sudah sampai duluan setelah masuk dan menerima karcis parkir. Andini duduk di food court menunggu dia. Food Court ada di lantai dua, satu lantai dengan play ground dan cineplex 21. Beberapa stand juga memenuhi tempat ini seperti stand toko boneka, batik, dan time zone yang letaknya tepat persis di sebelah teather.
Selama perjalanan ia terus saling kirim BBM ke atasannya ini. Begitu sampai di Food Court Arci menyapu pandangannya. Dia pun melihat Andini sedang duduk sendirian sambil fokus ke ponselnya. Dia begitu spesial, karena sekalipun dia duduk di meja, tapi tak ada orang yang mau mendekat, padahal wanita secantik itu bisa duduk dengan gaun berwarna biru yang menampakkan kulit halusnya. Kali ini Arci menelan ludah.
"Cantik banget ya bosku ini," gumam Arci.
Andini mendongak dan melihat-lihat ke semua arah. Begitu pandangan mereka bertemu, Arci segera melambai. Andini tersenyum. Semua mata lelaki melihat ke arah Andini. Mereka berandai-andai kalau bisa, jadi kursi yang diduduki oleh Andini. Andini kembali tersenyum, hal itu seolah-olah seperti ada cupid yang memanah langsung ke hati Arci.
"Oh tidak, jangan. Ini tak mungkin," ujar Arci dalam hati. "Jaimput, koq aku deg-degan gini!?"
Andini kemudian berdiri. Arci bisa melihat beberapa orang yang kepalanya ikut naik ketika Andini berdiri. Beberapa di antara mereka geleng-geleng saja. Andini memakai gaun panjang warna biru. Sepatunya high-heels bermerk. Dia menenteng sebuah tas kecil. Hal itu membuat ia semakin terlihat anggun. Kontras dengan Arci berpakaian kaos berkrah hitam, celana jeans dan memakai sandal.
Andini menghampirinya. "Jadi, kamu telat lima menit."
"Ayolah, di parkir tadi ngantri," Arci beralasan.
"No excuse, kamu telat. Harusnya datang lebih awal."
"Iya deh bu, iya."
"Jangan panggil ibu, kalau di luar kantor panggil saja Dini."
"OK, Din. Eh, nggak enah manggil Dini."
"Kenapa?"
"Mirip suara klakson."
Andini ketawa. Arci lagi-lagi mengumpat dalam hati, buset dah ini bosnya. Ketawanya bisa bikin hatinya rontok. Arci jadi nyengir.
"Nama lengkapku Andini Maharani. Terserah deh, mau panggil apa."
"Oke, Din. Dini aja. Biar selalu ingat kamu kalau aku nekan klakson," kata Arci. Hal itu membuat Andini ketawa.
"Udah ah, perutku sakit nanti kalau ketawa terus ama lelucon kamu," ujar Andini sambil megang perutnya.
"Trus, jadi nih?"
"Nggak usah pake boso resmi lapo? Biasa wae. Niatnya kan emang uklam-uklam." Andini mulai berjalan berdampingan dengan Arci.
"Habis itu nakam oskab? Tapi aku yang traktir kali ini," kata Arci.
"Yuk!"
Tak ada yang tahu bagaimana Arci bisa sedekat itu dengan Andini. Dalam hati Andini sangat senang sekali bisa bersama dengan Arci. Andai Arci tahu siapa dirinya apakah bisa seperti ini nantinya? Tapi itu semua tak bisa dipungkiri kalau Andini mulai menyukai Arci, bukan saja sekarang, tapi sejak dulu. Dan perjumpaan dengan Arci ini bukan yang pertama. Takdirlah yang akhirnya mempertemukan mereka lagi.
Mereka pun akhirnya melangkah ke teather bioskop. Setelah membeli tiket masuk dan beberapa snack, mereka pun akhirnya masuk ke studio. Untungnya mereka masih kedapatan kursi di deret D. Bisa jadi karena terbaawa suasana, akhirnya Andini pun merangkul lengan Arci, bahkan ketika mereka sudah duduk kepala Andini disandarkan ke bahu pemuda ini. Arci sendiri bingung bagaimana menolak Andini yang sudah sedekat ini dengan dirinya. Akhirnya tak ada yang bisa ia lakukan. Ya, tak ada yang bisa ia lakukan.
Film pun dimulai. Selama pemutaran film itu, kedua insan ini menikmatinya. Tertawa ketika lucu, dan tegang saat ada adegan actionnya. Arci agak canggung, tapi kecanggungannya hilang begitu saja. Semuanya mengalir begitu saja saat Arci menoleh ke arah Andini. Adegan di layar memperlihatkan bagaimana dua insan berciuman, saat itu seperti ditarik oleh magnet Arci dan Andini pun sudah berciuman. Keduanya saling mengecup. Arci bisa menghirup bau parfum Andini yang sangat wangi, bibirnya yang lembut itu seperti marshmallow. Kalau biasanya ia hanya melihat sekarang Arci bisa merasakannya.
"Din, rasanya ini terlalu cepat," bisik Arci.
"Tak ada yang terlalu cepat. Semuanya memang seperti ini," bisik Andini.
"Maaf, aku tak bisa melakukannya," kata Arci mulai menjauhkan wajahnya.
Tangan Andini memegang pipi Arci dan mengarahkan wajahnya agar menatap ke Andini, "Katakan kamu mencintaiku."
"Aku...," mulut Arci seperti tercekat. Ia takut untuk meneruskan hubungan ini. Ia sangat takut. "Aku tak bisa Din. Bukan berarti aku tidak suka, kamu cantik, anggung, semua pria pasti memimpikanmu, tapi.... aku tak pantas buatmu."
"Arci...," panggil Andini dengan nada manja. "Tak apa-apa, aku akan menerimanya."
"Tidak, kamu tak tahu siapa aku. Maaf, aku harus pergi. Kita tak boleh seperti ini!" kata Arci. Dia berdiri, lalu pergi dari tempat dia duduk.
Andini beranjak ia mengikutinya. Dengan terpaksa sekali mereka harus keluar padahal film belum usai. Arci berjalan pelan di depan. Sepatu hak Andini terdengar setiap kali Arci melangkah. Arci menghentikan langkahnya lalu berbalik melihat Andini. Tubuh semampai, cantik, memakai gaun biru. Siapa yang bakal menoal jalan dengannya? Andini tidak menampakkan ekspresinya. Hal itu makin membuat Arci bersalah.
"Maafkan aku," kata Arci.
"Tak apa, mungkin memang aku seperti wanita gatel menurutmu." Andini menghela nafas.
"Bukan, bukan begitu. Jujur aku akui kamu menarik, kamu cantik. Siapapun pasti terpesona kepadamu. Tapi, aku tak mau seperti ini. Kuharap kamu bisa maklum."
"Kamu gay?"
"Aku normal."
"Kenapa kamu tidak mau? Aku benar-benar ingin kita bisa jalan."
"Din, ada sesuatu yang aku tak ingin kamu mengetahuinya. Kumohon. Dua bulan lagi hari ulang tahunku. Dan aku harus kerja keras sampai waktu itu."
"Ada sesuatu kah?"
"Iya, ada sesuatu."
"Apa ada wanita lain?"
"Ya, aku sudah janji kepadanya."
"Oh, katanya kamu tidak punya cewek."
"Iya, aku memang tidak punya cewek, tapi aku sudah janji kepadanya untuk menikahinya diusiaku 25 tahun nanti. Dan aku punya banyak hutang kepadanya."
"Tapi Arci...," Andini ingin memberitahu siapa dirinya. Tapi Arci memotongnya.
"Kumohon, beri aku waktu sampai saat itu tiba. Aku tak ingin mengecewakanmu, tapi ini terlalu cepat dan aku tak bisa. Aku... ya aku akui aku suka sama kamu. Aku sangat bersyukur punya bos seperti dirimu, tapi kuharap kita tak terlalu cepat."
Andini menghela nafas. "Baiklah, tapi bukan berarti kita tak bisa bersahabat bukan?"
Arci tersenyum. "Tentu saja."
Andini mendekat ke Arci dan mengulurkan jari kelingkingnya. "We are still friends then. Until you findished you bussines."
"Yeah, friends." Arci mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Andini. Sebenarnya ingin sekali Arci merengkuh Andini tapi cukuplah mereka berciuman hari ini. Jangan lebih dari itu.
"Jadi nakamn oskab?" tanya Andini.
"Aku traktir."
"Siapa takut."
Mereka pun berjalan bersama untuk mencari bakso terenak di kota Malang. Ya, kota yang sangat terkenal dengan kuliner baksonya. Mulai dari bakso biasa, bakso bakar bahkan bakso berbagai isi ada di sini. Cara penyajiannya pun beragam. Hal ini membuat kota Malang memang terkenal dijuluki kota Bakso.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Sementara itu sebenarnya di dalam bioskop tadi Rahma, Nita dan Sonia melihat Arci dan Andini. Mereka terkejut ketika mendapati dua orang itu bisa ketawa-ketiwi sambil beli tiket. Mereka bertiga benar-benar kalah dalam hal pakaian. Pakaian Rahma, Nita dan Sonia cukup casual, berbeda jauh dengan Andini yang memakai gaun menawan. Seluruh mata lelaki tertuju ke Andini daripada ke mereka bertiga. Rasanya membandingkan antara putri raja dengan kacung.
"Eh, ternyata beneran Bu Dini sama Arci nonton bareng. Waduuuhhh.....remuk deh hatiku," kata Rahma.
"Eh, eh, mereka koq bisa gandengan seperti itu?! Nggak boleh, nggak boleh. Ini pelanggaran namanya. Gimana bisa. Woi, kalian jadian aja belum koq sudah pegang-pegang!" bisik Nita.
"Kalau kamu ngomong sebaiknya di depan mereka saja!" kata Sonia sewot.
Ketiga gadis ini melihat dua orang itu dari jauh. Mereka tak berani untuk mendekat atau sekedar menyapa. Tapi memang bagi mereka ini peristiwa langka. Orang seperti Andini yang selama ini tak mau dekat dengan cowok, bisa sedekat itu dengan Arci, mana Arci juga cowok paling tampan di kantor. Rasanya dunia serasa mau kiamat. Ketiga gadis ini seolah-olah tak ada lagi kesempatan buat mereka untuk menang.
Ketika pintu teather dibuka mereka pun masuk agak akhir setelah Arci dan Andini masuk. Ketiga gadis ini masih menjaga jarak agar tak ketahuan. Dan surprise, mereka duduk di atas Andini dan Arci.
"Gilak, koq ya pas ya duduknya di bawah kita," bisik Rahma.
"Apa menurutmu mereka berdua udah jadian?" tanya Nita.
Rahma dan Sonia mengangkat bahu mereka.
Selama menonton film mereka juga sibuk menonton kedekatan Andini dan Arci.
"Eh, eh, itu kepala kepala kepala!" bisik Sonia.
"Kenapa?" tanya Rahma.
"Kepalanya mereka koq nempel?" kata Sonia.
Saat itu Andini dan Arci sedang berciuman. Dan benar seperti dugaan mereka bertiga. Arci dan Andini berciuman saat itu. Tak berapa lama kemudian Arci beranjak meninggalkan Andini. Andini kemudian menyusul. Rahma pun berinisiatif menyusul mereka sambil menjaga jarak. Nita dan Sonia awalnya berpadangan tapi akhirnya mengikuti Rahma.
Ya, mereka bertiga mendengarkan semua percakapan Andini dan Arci. Itu artinya Rahma dan kawan-kawannya masih punya kesempatan untuk mendekati Arci.
"Syukurlah, mereka nggak jadian," kata Rahma setelah mendengarkan percakapan mereka di lorong EXIT dari teather.
"Iya, nggak jadian, tapi bikin penasaran. Janji Arci itu kepada siapa?" gumam Nita.
"Ada sesuatu nih. Kita selidik yuk!?" ajak Sonia.
"Eh, apa baik nyelidiki seperti itu? Takutnya itu urusan pribadi Arci. Nggak baik kalau kita bongkar-bongkar," kata Rahma.
"Yee, aku bukannya bongkar. Cuma penasaran saja. Pasti ada sesuatu dengan diri anak baru itu. Pesonanya memang luar biasa, tapi... ada yang aneh aja sih," lanjut Sonia.
"Oke deh, setuju," kata Nita.
"Girls..yang bener aja!" Rahma tak setuju.
"Ayolah non, kalau misalnya Arci itu orang baik-baik, kita nggak bakal rugi kan suka ama orang baik? Tapi kalau orang yang jahat, baru deh silakan kita kasih tahu ke Bu Dini," kata Sonia.
"Koq gitu?" tanya Rahma.
"Hello, Bu Dini itu atasan kita. Dia juga wanita. Masa' kita nggak ngasih tahu hal itu kalau memang itu baik buat Bu Dini. Kalau misalnya Arci bukan pemuda baik-baik, yang rugi bukan cuma Bu Dini, kita-kita juga," lanjut Sonia.
"Ah, kamu benar. Nggak ada salahnya juga kita selidiki siapa itu Arci," kata Nita.
Rahma menghela nafas. Ia tampaknya tak bisa mencegah teman-temannya ini. "Terserah kalian deh."
"Nah, gitu dong. Oke, kita gerak yuk!"
"Aku balik ah, mau nonton lagi," kata Rahma sedikit mendongkol karena cowok idamannya akan distalking oleh kedua sahabatnya.
"Ayolah nooon...jangan sewot begitu!" Sonia kepengen membujuk Rahma. Nita pun mengikuti.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Di sebelah MX Mall ada sebuah pujasera, dikenal sebagai Pujasera UB. Di sini banyak warung-warung yang menawarkan berbagai macam kuliner. Saat itu Andini dan Arci menikmati makan bakso di salah warung ini. Mereka mengobrol banyak hal. Tapi seperti biasa Arci merasa tertutup. Ia tetap tak mau membuka tabir tentang dirinya. Andini tak ingin memaksa Arci. Ia tahu beban yang dibawa oleh Arci sangat berat.
Setelah kenyang makan bakso, Andini berniat pulang. Arci pun mengantarkannya sampai ke tempat parkir. Adalah bodoh kalau membiarkan wanita secantik ini jalan sendirian menuju tempat parkir yang gelap. Sebagai seorang gentlemen, Arci tak sebodoh itu membiarkan wanita seperti Andini pergi sendirian.
"Baiklah, hari ini sangat menyenangkan," kata Andini saat mereka akan berpisah.
"Sorry atas ciuman tak terduga tadi," kata Arci.
"Halah, nggak usah dipikirin, anggap aja bonus."
"Bonus? Bonus yang kane ilakes"
Andini memukul bahu Arci. Arci tertawa.
"Kamu tak perlu tertutup kepadaku, katanya aku sahabatmu?"
"Yeah, aku belum siap. Aku tak mau ketika aku ceritakan siapa diriku, kamu akan berempati kepadaku. Aku tak mau. Aku cowok, aku kuat. Aku bisa menghadapi segalanya. Sekalipun aku seorang diri."
"Jangan sok kuat, terkadang kamu butuh seseorang untuk menumpahkannya."
"Sekarang aku masih sanggup."
Andini tersenyum. "OK, met malem. Sampai ketemu Senin?"
"Iya, sampai ketemu Senin. Have a sweet dream."
"You too."
Andini menghirup nafas dalam-dalam. Setelah menghela nafas ia kemudian beranjak meninggalkan Arci. Arci hanya bisa melihat Andini masuk ke mobilnya, kemudian ia melambai kepada wanita itu. Setelah mobil Andini pergi ia hanya bisa mengumpat ke dirinya sendiri.
"Fuuucckk! Apa itu tadi?" katanya. "Kenapa aku jadi suka ama dia. Bu Susiati, Iskha. Janjiku kepada kalian... apakah harus aku ingkari?"
Arci kemudian berjalan menuju ke tempat parkiran sepeda motor. Hari itu ia pulang dengan perasaan galau. Galau yang tak terkira.
Arci sampai di rumah malam itu dengan banyak pikiran. Selama perjalanan pulang ia teringat dengan berbagai hal dalam hidupnya yang sangat aneh. Seperti yang terjadi beberapa tahun setelah peristiwa ia menjual dirinya saat itu. Dia masuk ke bangku SMA. Bagi dirinya ada sebuah peristiwa yang tak pernah ia lupakan lagi, yaitu ketika sang kakak tidak pulang selama tiga hari. Kejadian ini terjadi beberapa waktu yang lalu.
Malam itu hujan, seperti biasa di bulan Desember saat menjelang akhir tahun, hujan turun lebih sering daripada hari-hari biasa. Arci di rumah setelah menjalani hari yang berat mengikuti UTS, sekarang saatnya ia bisa di rumah beristirahat. Sementara itu di ponselnya BBM dari teman-temannya bersahut-sahutan, satu pun tak dijawab. Hari ini rumah sepi, seperti biasa, ibunya "dinas". Kakaknya entah sudah dua hari belum pulang. Kabar terakhir mengatakan ia ada klien besar. Setidaknya bakal bawa uang banyak, katanya.
Pintu tiba-tiba terbuka dan ibunya langsung membanting pintu. Arci segera keluar dari kamarnya.
"Kenapa? Ada apa?" tanyanya.
"Brengsek, ada klien yang brengsek hari ini. Apes," jawab ibunya. Tak biasanya Lian datang dengan wajah seperti itu.
"Klien brengsek?"
"Iya brengsek. Aku ditipu. Katanya sudah transfer duitnya ke rekeningku, eh sudah diservis ternyata masih kosong rekeningnya, untung belum crot. Aku sempat lihat isi rekeningku belum nambah. Dia cuma ngasih SMS palsu, transfer ke rekening temennya. Brengsek. Sebel!"
"Oh, begitu." Arci menghela nafas. Bermaksud kembali ke kamarnya.
"Ci, tunggu!"
"Apa?"
"Ih, anak ibu ini tega banget ninggalin ibu. Sini doonngg!" Kalau ibunya sedang manja seperti ini berarti hanya ada satu hal. Lian, sang ibu sedang sange berat. Dan Arci mau tak mau harus bisa memberikan sesuatu kepadanya biar sangenya hilang.
Secara fisik, Lian ini boleh dibilang MILF kelas berat. Berat karena buah dadanya berukuran 36D serasa bisa membuat mabuk semua laki-laki yang bersamanya. Bahkan sekali pun terpaksa Arci juga bisa merasakan bagaimana mempesonanya sang ibu untuknya. Lian bukan wanita yang hyper, tapi dia memang terkadang merasa dicukupkan dengan kehadiran anak laki-lakinya itu. Arci pun kemudian mendekat kepadanya.
"Ibu sedang kepengen?" bisik Arci.
"Adikmu ada?" tanya Lian.
"Iya, ada di kamarnya," jawab Arci. "Sepertinya sudah tidur."
"Yakin sudah tidur?"
"Sepertinya begitu."
"Ke kamarmu aja ya?"
Arci mengangguk. Sang ibu yang sudah horni berat karena kentang akibat ulah kliennya tadi langsung saja mencium satunya anak laki-lakinya ini. Entah kenapa Arci punya sifat yang sangat berbeda dengan dia dan Safira. Sampai sekarang Lian menyimpan rapat-rapat tentang jati diri ayah Arci sebenarnya.
Kedua bibir ibu dan anak ini sudah bersentuhan. Arci menggeret Lian ke kamarnya, sambil berciuman tentu saja. Ketika sampai di kamar langsung pintu kamar di kunci dari dalam. Sang ibu yang sudah bernafsu sudah tak memikirkan lagi bahwa yang sedang ia pagut adalah anaknya sendiri. Hal ini sudah berlangsung lama. Dan selama ini ia cukup terpuaskan. Dia telah mengajarkan Arci bagaimana menaklukkan wanita.
Kaos Arci pun diangkatnya, lalu dilempar. Arci diam saja ketika Lian berlutut lalu menurunkan celananya. Penisnya masih tidur saat itu. Sebenarnya Arci tak terlalu bernafsu, tapi ia berusaha untuk bisa menghadirkan sendiri birahi itu ke dalam otaknya, sebab wanita yang ada di depannya ini butuh dipuaskan. Tapi sungguh ia sudah tak bisa lagi melakukan hal ini kepada ibunya sendiri. Ini sangat tabu, bagaimana mungkin dia bisa sebejat ini kepada ibunya. Akhirnya mau tak mau ia pun tak bisa melawan nafsu yang sudah berada diubun-ubun. Batasan antara ibu dan anak pun ia langgar. Ini semua karena ibunya, ya, karena ia merasa harus berbakti kepadanya. Mungkin ini cara berbakti yang salah, tapi apa yang bisa dilakukan oleh Arci?
"Ehmmm....mhhhmmm....ssluurrruppp!"
Lian sudah menggila, kepalanya maju mundur mengocok batang kemaluan yang sudah mengeras seperti wortel. Lidahnya berputar-putar menggelitik kepala jamur shitake, menelusuri sambil terus menerus menghisap, mengeluarkan ludah, dan menghisap. Sesekali dikocoknya batang itu hingga Arci bisa merasakan bahwa tangan lembut.
Arci membuka matanya, kini ia melihat ibunya tinggal memakai pakaian dalam saja. Ternyata selama diservis Lian telah melepaskan seluruh bajunya. Lian mulai liar. Kini Lidahnya menjilati pangkal si rudal berotot. Dua buah telur yang bisa lari-lari ketika disentuh itu kini dihisapnya. Sensasinya membuat lutut Arci gemetar hebat. Para lelaki manapun pasti akan merasa geli keenakan ketika lidah basah seorang wanita seksi, putih, dan menggiurkan seperti Lian dengan bibirnya menghisap buah peler mereka. Arci saja bisa merasakan sensasi ini. Arci hanya mengikuti permainan Lian, jadi ketika Lian ingin ia berbaring maka Arci pun menurut saja berbaring.
Sang ibu yang sudah horni ini pun memakai posisi 69. Dia mengarahkan pantatnya ke wajah Arci. Arci pun kemudian menjulurkan lidahnya untuk menjilati garis kemaluan Lian. Di sinilah ia dulu dilahirkan, di sini juga dulu ia ditunggu kelahirannya. Sebagai fakta bahwa ibunya melahirkan semua anaknya dengan normal. Namun dengan perawatan mahal ibunya juga mempunyai memek kelas dunia yang peretnya minta ampun. Jurus empot-empotnya tak kalah dengan wanita panggilan manapun. Bongkahan pantat Lian yang mulus tanpa cela itu diusap-usap oleh Arci. Ia menciumi bau pantat ibunya yang sebenarnya bagi siapapun tidak enak, tapi kali ini mungkin sedikit beda. Setiap kali ia merasakan lendir Lian, rasanya pasti gurih dan bikin bernafsu.
"Ahhh...kamu makin jago Ci," kata Lian.
Dia sudah tak ingat lagi dengan blowjobnya. Ia lebih sibuk untuk menikmati sensasi dari memeknya yang basah, banjir karena ulah Arci. Otomatis tangannya hanya menjadi alat kocok bagi batang Arci yang sudah mengeras maksimal.
"Terus...sayangku yaa...gitu...uhhh...ditusuk-tusuk...ooowww.....aaahhhhhh!" pantat Lian bergetar. Bersamaan dengan itu gelombang orgasme datang merambat ke kepala Lian, seperti ada tangan yang meremas-remas kepalanya. "Aaaahhh.....akhirnya keluar juga....aaahhhh...!"
Lian kemudian berguling ke kiri, lalu memutar tubuhnya. Ia kemudian merebahkan diri di sebelah Arci. Ia berbaring dengan posisi tangannya di atas. Arci lalu berguling hingga sekarang posisinya berada di atas ibunya. Penisnya sudah disiapkan menggesek-gesek bibir vagina perempuan malam ini. Satu hal yang berbeda ketika Lian bercinta. Ia memang selalu memakaikan kondom ke penis para pelanggannya, tapi untuk anaknya spesial, tak pernah pakai.
SLEBBB!
Dengan mudahnya sang rudal berotot masuk ke dalam rongga memek Lian. Pemuda ini pun segera menggerakkan maju mundur. Sebuah rasa sensasional, lebih sedap daripada segala rasa jenis bumbu masakan di dunia telah dirasakan oleh Arci. Sesuatu yang membuat ia mau memeluk ibunya dan berpagutan. Pinggulnya bergoyang membelah sebuah celah berlendir yang melahirkannya dulu. Dalam keadaan bercinta seperti ini, sebenarnya Lian merasa bersalah. Ada rasa di dalam lubuk hatinya menyesal. Apalagi Arci sangat mirip dengan "Dia". Ya, "si Dia" yang mengakibatkan ia harus mengandung Arci selama delapan bulan dua puluh lima hari tepatnya. Agaknya mungkin karena rasa sayangnya yang terlalu dalam, ditambah dengan kerinduan sang klien yang paling baik yang pernah dia layani, ia ingin mengobatinya dengan melakukan hal ini dengan Arci. Dia masih ingat bagaimana sodokan-sodokan lembut sang klien. Arci juga melakukan hal itu, semuanya serasa nostalgia.
Lesakan-lesakan lembut, hentakan-hentakan kenikmatan membuat dua insan ini terbuai dalam lautan birahi. Arci kembali menyusu kepada ibunya, tapi bukan dengan cara menyusu seperti bayi, melainkan memainkan puting dengan jilatan-jilatan maut, dengan usapan-usapan serta sapuan lidah yang bikin Lian mabuk kepayang. Karena hal inilah Lian sudah lupa siapa Arci. Ya, Arci jadi lebih terampil dan sangat berpengalaman dengan bercinta.
Pabrik sperma pun mulai bekerja untuk membentuk milyaran sel sperma di kantong menyan sang pemuda. Rasa gatal dan geli sudah mulai menyeruak di pucuk penis. Sebenarnya sayang sekali untuk segera menyudahi permainan ini, tapi Arci tahu ini tak boleh lama-lama, ingat dia ibunya. Namun Lian sudah terlalu jatuh cinta dengan permainan anaknya. Ya, ada rasa cinta. Bukan cinta sebagai seorang ibu. Tapi cinta sebagai kekasih. Wajarkah ini?
Ada rasa sesal ketika Lian merasakan Arci orgasme, ia juga tak mampu lagi menahan beban air kenikmatannya yang menyembur membasahi batang kemaluan Arci. Arci tak mencabutnya. Ia masih menikmati bagaimana remasan-remasan liang senggama Lian yang sekarang sudah terpuaskan oleh gesekan-gesekan lembut tadi. Terlebih Arci melakukannya dengan memeluk sang ibu. Untuk beberapa saat keduanya saling berpandangan.
"Arci, ibu mohon maaf kalau ibu sampai seperti ini. Ibu sangat menyesal telah merusakmu," kata Lian sambil mengusap wajah anaknya dengan lembut.
Arci menggeleng, "Tidak, semua ini aku lakukan demi ibuku. Bukan untuk diriku sendiri."
"Kamu sadarkan, yang kita lakukan ini adalah hubungan antara dua orang kekasih?"
"Iya"
"Lalu kenapa kamu masih menuruti ibu?"
"Sebab, kalau aku tak melakukannya ibu akan tersiksa, dan aku tak mau ibu menderita. Aku juga bersedia kalau misalnya ibu ingin melakukan ini selamanya asalkan ibu tidak lagi menjual diri."
"Kamu tahu ibu nggak bisa. Kalau ibu tidak melakukannya bagaimana kita bisa makan?"
"Suatu saat nanti, kalau aku jadi orang kaya. Ibu mau kan berhenti?"
"Hahahaha,...anak ibu ini. Ya, baiklah. Kapan kamu akan kaya?"
"Entahlah. Asalkan ibu dan kakak baik-baik saja, aku akan melakukan segala hal. Aku ingin bisa melihat kalian tersenyum."
Lian menggeleng-geleng. "Dasar, baiklah. Oh... anak ibu."
Keduanya berpelukan lagi. Kali ini berpelukan sebagai ibu dan anak. Setelah itu Lian dan Arci tidur bersama dalam satu selimut. Tidak. Mereka tidak bercinta lagi. Mereka sudah terlalu capek memikirkan kejadian hari itu.
* * * I LOVE YOU HANDSOME * * *
Keesokan paginya. Sang ibu sudah bangun terlebih dahulu dan meninggalkan Arci sendirian di kamar. Arci terbangun setelah matahari terbit. Ia merasa tak punya kerjaan di hari minggu ini. Apalagi UTS sudah selesai. Dia bangun kemudian keluar kamar.
"Hai mas," sapa Putri adiknya yang masih SD.
"Lho, Mbak belum pulang?" tanya Arci.
Putri menggeleng. Setelah itu dia keluar rumah.
"Mau kemana?" tanya ibunya.
"Dolin buk!" jawab Putri yang setelah itu pergi meninggalkan rumah.
"Safira belum pulang bagaimana ini?" tanya ibunya.
"Lah, ibu koq tanya aku? Emangnya katanya pergi ke mana?" tanya Arci.
"Entahlah, terakhir kali ibu terlibat diskusi hebat dengan dia."
"Diskusi? Diskusi apa?"
"Dia kepengen berhenti. Ibu sudah nasehati, mana bisa? Mau kerja apa? Trus dia bilang yang penting dapat duit."
Perasaan Arci mulai nggak enak. "Koq aku merasa nggak enak?"
Arci mengambil ponselnya kemudian menelpon Safira. Baru saja mau ditelpon orang yang dibicarakan sudah masuk dengan sempoyongan. Hampir saja Safira ambruk, kalau tidak ditolong oleh Arci.
"Heh, kamu kenapa?" tanya Arci.
"Nggak apa-apa, akhirnya aku dapat uang dengan cara halal, dek. Lihat!" Safira menyerahkan sebuah amplop coklat yang isinya sepertinya cukup tebal.
"Nggak mungkin, dari mana kamu dapet uang segini banyak?" tanya Arci menginterogasi.
"Aku jual ginjalku. Ada yang membutuhkan," katanya sambil tersenyum.
"GILA! Wong edan!" Arci membentaknya. "Jual ginjal? Sampeyan koq yo dadi edan mbak!? Lapooo??"
"Fira! Koq kamu ngelakuin ini!??"
Safira hanya tersenyum. Sungguh itu perjuangan yang tak pernah bisa diterima akal. Demi 70 juta Safira menjual ginjalnya. Arci tak habis pikir sampai sekarang, kenapa kakaknya melakukan itu semua. Sampai sekarang Safira kondisinya lemah. Ia tak kuat untuk melakukan pekerjaan berat. Alhasil ia masih menekuni profesinya sebagai wanita panggilan. Tapi Arci bersumpah dia akan jadi orang kaya dan tak akan mengijinkan ibu dan kakaknya melacur lagi. Tapi akankah ia bisa?
"Aku bersumpah aku akan berjuang hingga jadi orang berada agar kalian tidak melacur lagi. Aku akan sekolah hingga tinggi dan aku akan balas jasa kalian selama ini. Please mbak, jangan lagi jual organ. Kamu tahu aku sangat mencintai kalian. Aku tak mau kehilangan mbak!" kata Arci sambil menangis.
"Deek.. udah dong, iya... mbak janji. Mbak nggak bakal jual organ lagi," ujar Safira. "Mbak nggak kepengen adik mbak nangis. Wis, cup! Arek lanang ora oleh nangis!"
"Tapi aku nangis gara-gara mbak."
Akhirnya Safira memeluk Arci dan menenangkannya. "Shhh...udah, mbak janji. Mbak janji, nggak boleh Arci nangis lagi. Nggak boleh!"
Selama ini siapa yang bisa berbuat baik kepada Arci selain ibu dan kakaknya? Tak ada rasanya. Arci juga sangat sayang kepada adiknya. Putri ini termasuk anak yang cerdas juga. Arci bertekad sebagai kepala keluarga sekarang ia harus bisa menopang seluruh kebutuhan keluarganya. Maka dari itulah dia harus kerja keras. Kerja keras.
Di dalam kamarnya ia kemudian menghidupkan laptopnya. Pekerjaan kantornya yang sudah ia simpan di flashdisk sekarang mulai dikerjakan lagi. Arci tak tahu kalau besok akan ada kejutan baginya di kantor. Mungkin bukan kejutan biasa, karena gosip kedekatan dia dengan sang boss telah merambah di dunia maya tanpa ia sadari.
Saat jarak memisahkan aku dan kamu
Jika ku hidup dijaman mama papaku dulu
aku khawatir aku khawatir …
Berapa banyak kertas tinta amplop kuhabiskan
Berapa lama ku menunggu surat balasan kamu
aku khawatir aku khawatir …
Tapi untungya ku hidup dijaman sekarang
tak perlu khawatir lagi kan ada Skype invite tingkahmu
Instagram update foto indahmu
Line lagi dimana kamu
Twitter curhatmu ohh..
Skype invite tingkahmu
Instagram update foto indahmu
Line lagi dimana kamu
Twitter curhatmu saat ini
Suara alarm memutarkan musik di pagi hari. Andini terbangun dan menggeliat di atas kasurnya. Dia memegangi bibirnya, teringat dengan kejadian tadi malam yang membuat jantungnya berdebar hari itu. Entah bagaimana dia nanti akan menghadapi hari berhadapan dengan Arci, terus terang ciuman mereka berdua tadi malam menggetarkan sesuatu di dalam sanubarinya. Ada sesuatu yang salah, tapi sesuatu yang salah itu bukanlah sesuatu yang harus dianggap benar-benar salah. Karena memang ia telah mengakuinya, ia jatuh cinta.
"Arci, aku tak tahu apakah aku berani berhadapan denganmu hari ini," gumam Andini.
* * * I LOVE YOU HANDSOME * * *
Hari Senin, kabar Arci nonton bareng dengan Andini langsung menyebar. Mulai dari karyawan sekelas OB, sekuriti sampai karyawan sekelas manajer membicarakannya lewat dunia maya. Mereka berbisik-bisik ketika Arci datang seperti biasa ke kantor. Mereka juga membicarakan Andini. Yang tidak suka terhadap isu itu hanyalah Rahma dan dua temannya. Padahal ya mereka bertiga sendiri yang mulai pembicaraan itu. Kemudian di dengar teman sebelahnya, sebelahnya teman ternyata punya channel di bagian lain, kemudian disebarkan, dari disebarkan kemudian update status di facebook, dari update status di facebook kemudian update status di twitter hingga akhirnya jadi pembicaraan hangat.
Begitu Arci datang dan duduk di kursinya. Yusuf menegurnya, "Ci, kamu kemaren jalan ama Bu Dini?"
"Hah? Koq tahu?" tanya Arci.
"Yaah....sekantor juga tahu kale," kata Yusuf.
"Sumpaon?"
"Beneran."
Arci menepok jidatnya, "Wah, kalau seluruh kantor tahu gawat dong. Aku cuma nonton aja ama beliau, nggak ngapa-ngapain."
"Hehehehe, tahu nggak? Kalau Bu Dini itu nggak pernah jalan ama cowok lain lho. Cuma kamu doang."
"Halah wis, mbuhkah. Kerjo sing bener"
"Selamat pagi semua!?" Andini menyapa semua orang yang ada di dalam ruangan.
"Pa..gi...?" sahut Arci.
"Pagi bu," tampak Rahma berdiri dari tempat duduknya menyambut atasannya.
"Gimana Arci? Sudah selesai request saya minggu kemarin?" tanya Andini ke Arci langsung.
"Saya sedang membuat sebuah portal dan toko online. Semuanya sudah saya coding. Dan bisa kita langsung pasarkan melalui sosial media seperti facebook, twitter, dan lain-lain."
"Hmm?? Pasarkan melalui online?"
"Yang penting stock di gudang itu bisa habis bukan? Saya yakin dalam waktu kurang dari dua minggu ini stock itu bisa habis terjual. Kita tinggal melakukan pemasaran melalui media online, memberikan diskon, kemudian kita akan berikan semua yang diinginkan oleh customer. Dalam hal ini kita bisa memanfaatkan sosial media. Seperti yang kita tahu sosial media saat ini lebih digandrungi oleh orang-orang. Untuk online pun sekarang tidak terlalu sulit seperti dulu," jelas Arci.
"Sebentar, lalu bagaimana cara pembayarannya?"
"Saya kemarin telah berunding dengan bagian keuangan, untuk kasus ini saya bisa memakai rekening perusahaan untuk masalah ini dan katanya saya harus meminta persetujuan ibu. Enaknya bagaimana?"
"Oh, baiklah. Kita ada nomor akun untuk semua jenis pembayaran. Kamu saya ijinkan untuk memakainya sebagai tempat unuk pembayaran. Paypal, mastercard dan lain-lain, silakan tanya ke bendahara."
"OK, kalau begitu nggak ada masalah, besok kita sudah launching," kata Arci. "Situs pertama kita Evolus Textil, Untuk Evolusi gaya Anda."
"Hahahaha, kamu yang mikirin moto itu?"
"Iya."
"Baiklah, keren. OK, besok saya inginkan hasilnya."
"Beres."
Setelah itu Andini berbalik menuju ke ruangannya. Yusuf hanya tercengang melihat hal itu. Rahma juga sepertinya tak menyangka Arci melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh tim pemasaran. Membuat sebuah situs website? Hei, ini beneran?! Kurang dari satu minggu udah selesai?
Mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh kebanyakan orang bahwa Arci ini selain anaknya jenius juga tekun dalam mengerjakan sesuatu. Dia benar-benar menunjukkan siapa dirinya. Memang mungkin bisa dilihat tentang bagaimana dia mengerjakan apa yang diinginkan oleh atasannya dengan cepat dan sempurna. Hanya saja dibalik keseriusan dirinya, dia adalah orang yang lebih cenderung tertutup. Seperti hari itu, dia akhirnya mengikuti peraturan Andini istirahat siang.
Di kantin dia duduk di dekat jendela. Semangkuk pangsit yang sudah dia pesan belum disentuh sama sekali. Ia hanya memandangi keluar jendela, ia asyik dengan pikirannya sendiri sambil menopang dagunya.
"Hei!?" seseorang mengejutkannya.
Arci terkejut ketika Rahma sudah ada di hadapannya. "Hai juga," sapa Arci.
"Sendirian aja? Nggak ganggu kan? Atau lagi nunggu orang?" tanya Rahma.
"Sendirian, ada apa?"
"Hehehe, nggak. Cuma kepengen mau nemeni aja."
"Ada sesuatu? Pasti soal aku dan Bu Dini kemarin kan?"
"Hehehehe, tau aja. Kemarin kamu jalan ama beliau ya?" Rahma pura-pura nggak tahu.
"Iya"
"Kalian jadian?"
"Nggak"
"Yang bener?"
"Beneran"
"Oh"
"Sebenarnya gosipnya apa sih? Aku cuma nonton aja sama Bu Dini, nggak ada maksud lain koq."
Padahal kemarin Rahma sangat tahu kalau mereka berdua berciuman. Dia ingin menjelaskan ke Arci kalau dia dan teman-temannya duduk di belakang mereka tapi urung ia beritahu.
"Kamu punya cewek nggak?" tanya Rahma. "Kulihat kamu sendirian aja."
"Blom punya. Kamu sendiri?"
Rahma menghela nafas. "Kalau aku sih, dibilang punya nggak. Dibilang nggak punya, ada."
"Complicated?"
Rahma mengangguk.
"LDR?"
Rahma mengangguk.
"Udah lama?"
Rahma mengangguk lagi.
"Dia setia nggak?"
"Entahlah Ci, wong arek'e di luar nagrek"
"Tapi masih kontak-kontak 'kan?"
"Masih lah, tapi ya itu. Makin lama makin hambar saja. Godaannya di sini berat."
"Hahaha, mulai ada yang nyangkut di sini?"
"Sebenarnya juga sih kita belom resmi koq."
"Trus? Siapa cowok ini kalau boleh aku tahu?"
"Namanya Singgih. Sekarang sedang kuliah di Inggris."
"Hmmm...Inggris ya." Arci mulai menyantap pangsit mie ayamnya yang sudah dingin.
"Biarpun dikit pake ongkosnya juga ke sananya."
Rahma menoleh ke arah lain. Saat itu tampak Andini baru saja datang.
"Tuh, ibu suri datang. Aku menyingkir dulu," kata Rahma yang ingin beranjak.
"Ngapain? Nggak usah, sini aja!" Arci mencegah Rahma. Dia memegang lengan Rahma.
Andini mendekat ke meja Arci. Rahma yang tadi mau berdiri jadi enggan karena bossnya sudah ada di dekat mereka lalu duduk di kursi yang kosong.
"Keberatan aku ikut?" tanya Andini.
Arci menggeleng, "Nggak."
"Saya permisi dulu bu," kata Rahma.
"Nggak perlu sungkan. Duduk aja!" kata Andini.
Rahma nyengir. Ia jadi sedikit malu-malu kucing.
"Aku tahu kalian sedang ngomongin aku ya?" tanya Andini langsung to the point.
"Eh, nggak koq bu. Nggak," elak Rahma.
"Gosip sudah beredar, nggak perlu ditutupi. Kamu pasti minta klarifikasi ke Arci ya?"
Rahma menelan ludahnya. Ia pun mengangguk. Padahal dia tahu apa yang sebenarnya terjadi kemarin di bioskop.
"Nah, Arci. Kamu sudah berikan penjelasan ke dia soal kemarin?" tanya Andini.
"Ya, begitulah," kata Arci.
"Bagus."
"Kamu sudah pesen?" tanya Andini ke Rahma.
"B..belum bu," jawab Rahma.
Andini melambaikan tangan kemudian sang pelayan datang. Rahma jadi canggung setengah mati. Dalam hati Arci hanya ngikik saja. Tentu saja makan siang itu dilewatkan dengan canggung. Andini bertanya banyak hal kepada Rahma tentang pekerjaan. Arci sedikit lega karena tidak ditanyai lagi hal-hal yang aneh oleh Rahma.
Setelah makan siang yang canggung Arci sibuk lagi. Hingga akhirnya tak terasa sudah sampai jam pulang. Arci masih berada di meja kerjanya.
"Kamu lembur?" tanya Yusuf yang sudah memberesi mejanya.
"Yah, mau gimana lagi," jawab Arci.
"Oke, aku duluan yah," kata Yusuf.
"OK"
Rahma pun sudah beberes dan mengambil tasnya. "Pulang dulu ya Ci. Eh, iya. Boleh minta nomor telepon atau BBM?"
"Oh, silakan. Nomorku 0819221200***, pinku BG78***"
Rahma kemudian menambahkannya di ponselnya. "Makasih, dulu ya Ci."
"OK"
Arci kembali sibuk. Sampai setengah jam kemudian gantian Andini yang keluar dari ruangannya.
"Masih di sini?" tanya Andini.
"Iya bu, ini sudah mau selesai, tinggal dikit. Ini sedang mempersiapkan materi untuk besok sekalian," kata Arci.
"Besok bisa selesai?" tanya Andini.
"Mestinya begiu," jawab Arci.
"OK, besok kamu coba paparkan ke seluruh jajaran direksi," kata Andini.
"OK, siapa takut."
"Aku pulang dulu ya?"
Arci hanya ada di ruangan itu sendirian. Namun bagi orang yang sudah terbiasa dengan yang namanya sendiri. Maka kesunyian justru merupakan temannya. Ia tak pernah menyesali ketika sudah akrab dengan yang namanya sepi. Baginya dalam kesendiriannya ia bisa mendengar dengungan lebah. Ya, dengungan lebah-lebah yang sedang bekerja. Sesibuk dirinya dalam kesendirian.
* * * I LOVE YOU HANDSOME * * *
Rahma sudah sampai di rumahnya saat waktu petang sudah hampir habis. Dia tinggal di sebuah tempat kos di dekat Kampus Widiyagama. Di sini sebenarnya adalah rumah pamannya yang mana juga dibuat sebagai tempat kos. Sebagai keponakan, tentunya ia tak membayar. Hanya saja tak enak kalau tak membayar, akhirnya ia pun ikut andil bagian walaupun harus dengan harga diskon yang besar.
Teman-teman Rahma adalah para mahasiswi dari berbagai perguruan tinggi yang ada di sekitar Malang. Mereka cukup akrab satu sama lain. Begitu masuk kamar ia langsung ambruk di kasurnya. BRUK! Untuk beberapa saat lamanya dia membenamkan kepalanya di kasur. Lalu Rahma mengambil ponselnya dan menyapa seseorang di ponselnya. Sebuah nama. "Singgih"
Originally Posted by BBM RAHMA
Rahma: ping!
Koq nggak ngasih kabar??
Kamu ngapain?
Sehat nggak?
Menurutnya percuma saja memberi kabar ke Singgih. Toh BBM-nya nggak bakal dibalas. Sudah lebih dari sebulan ini tak ada kabar, hal ini tentu saja membuat Rahma khawatir. Dia lalu melihat nama. "Arczre". Iseng ia chatting dengan Arci.
Originally Posted by BBM RAHMA
Rahma: ping!
Masih di kantor aja?
Lama tak ada balasan. Rahma akhirnya menggeliat, lalu melepas seluruh pakaiannya, ganti baju dengan baju rumahan berupa kaos dan celana pendek sepaha. Ia sengaja tak memakai bra dan celana dalam karena ingin mandi. Peralatan mandi dibawanya, rambutnya diikat. Begitu ia mau keluar kamar untuk menuju ke kamar mandi, ada balasan dari BBM-nya.
Originally Posted by BBM RAHMA
Arczre: Barusan mau keluar.
Rahma tersenyum. Ia pun membalasnya lagi.
Originally Posted by BBM RAHMA
Rahma: Emang ngerjain apa sih?
Arczre: Ada deh.
Rahma: Ya udah, hati-hati pulangnya. Jangan ngebut!
Arczre: Nggak bisa non, laki-laki nggak ngebut itu namanya banci.
Rahma: yah, setidaknya hati-hati saja deh.
Arczre: Thx.
Rahma: Btw, tadi itu aku canggung banget tauk. Semeja ama Bu Dini.
Arczre: Lha, kamu kan sekretarisnya. Masa' canggung?
Rahma: Yeee... kamu ini gimana sih? Ya jelas canggung lah, tahu sendiri gosip di kantor seperti apa? Tapi aku senang kalau misalnya kamu ama Bu Dini bisa bersama.
Arczre: Apa sih? Kan udah aku bilang, kita nggak ada hubungan apa-apa.
Rahma: Nggak mungkin deh, Ci. Dari tatapan mata kalian saja aku tahu koq kalau kalian berdua deket.
Arczre: Dibilangin koq.
Rahma: Emangnya kamu udah punya cewek?
Arczre: Belum. Hmm....lebih tepatnya complicated.
Rahma: Ealah, melok-melok wae.
Arczre: Hahaha....Nanti disambung deh, ini aku mau nyetir motor.
Rahma: Oh, ok. Aku juga mau mandi. Udah bau acem.
Arczre: Wogh, boleh ikut?
Rahma: Enak aja.
Rahma senyum-senyum sendiri. Ia kemudian meletakkan ponselnya di atas kasur lalu pergi ke kamar mandi. Singgih, bagaimana Rahma bisa sesetia ini kepada Singgih? Padahal bisa jadi Singgih di luar sana tak setia. Entahlah, yang namanya cinta memang bikin orang jadi bodoh. Rahma tak habis pikir dengan kondisi dirinya sendiri. Dikata Jomblo, iya. Dikata udah punya pacar iya juga. Bingung. Semua ini hanya karena satu kesalahan ya ia lakukan. Ya, satu kesalahan.
Hari itu, tepatnya dua tahun yang lalu.....
----------------------------
Dua tahun lalu....
"Ooohhh...ahh...ahh...ahh...," jerit seorang perempuan yang sedang meliuk-liukkan pinggulnya di atas seorang lelaki.
"Ahhh...ahh...ahhh....ohh...fuck....enak banget," kata lelaki di bawahnya
"Jes, enak banget jes...! Manukmu nyucuk jeru!"
"Ahhh....goyanganmu jiaaaannn uuweeenaaaaakk!"
"Uuggghhh...aduh Jes, pentilku ojok dijiwit! Aduuuuuhh....aahhh....aduhh...gatelll itilku gatel Jess! Aaarrgghhh...manukmu gedhi, manukmu gedhii....!"
"Aku seneng karo susumu, duh...koq empuk banget!"
"Uwissss Jess...aku ora kuat maneh... Aku metu...ngentoooottttttt! Ngenttooooottt! Aku dikenthu Jesie! Jessieeeeee ngentoooooottt!"
"Ayo Naa...aku metu Naaaaaaa....ohhh...Pejuhku metu....ErnAAAAAA!"
BRAAKK!
Pintu kamar kos terbuka. Saat itu wajah Rahma memerah, ia masih terbalut baju Toga. Ia baru saja diwisuda, sengaja ia langsung pergi ke tempat kos pacarnya Jesie. Jesie yang saat itu berada di puncak orgasme benar-benar menembakkan pejuhnya ke liang senggama Erna, seorang wanita SPG yang baru saja ia kenal di Matos. Secara fisik Erna memang menarik, menggoda, rambutnya sedikit berombak, berwarna hitam dan merah ujungnya. Kedua wajah mereka melongo ketika di pintu tampak Rahma dan....seorang lelaki berkumis tebal dengan beberapa orang penghuni kos melihat mereka.
OK, ini saat yang sangat buruk bagi Jesie dan Erna. Ngentot di siang bolong, lupa ngunci pintu, digerebek oleh Pak RT. Dan itu sangat buruk karena mereka berdua sama-sama orgasme. Terlebih Jesie yang mendapati Rahma, pacarnya selama ini memergoki dia sedang indehoy. Setelah itu, nggak perlu diceritakan lagi. Jesie dan Erna langsung disidang.
"Woooooo...dasar mesum!" seru seseorang saat Jesie dan Erna berada di Balai RW.
Kedua tersangka kini tentu saja sudah pakai baju. Dan seseorang dari penggerebek, sengaja mengabadikan persenggamaan tadi. Ternyata mereka sudah mengintip dari sejak pertama kali Jesie mengajak Erna ke kamarnya. Dan akhirnya diabadikanlah persenggamaan mereka di sebuah lubang kamar kos, mungkin karena sudah terlalu nafsu Jesie dan Erna tidak waspada. Padahal di depan pintu kos sudah banyak orang yang siap menggerebek di saat mereka sedang berada di puncak. Dan penggerebekan berhasil.
"Jadi enaknya gimana? Telpon orang tua kalian untuk ke sini. Hari ini kita bakal menikahkan kalian!" kata Pak RT.
"Wah, pak jangan pak! Ampuun, saya bisa bayar deh asal jangan dibawa kedua orang tua kami," kata Jesie.
"Kenapa? Kalian kan udah enak tadi indehoy di kamar," kata Rahma.
"Rahma, maafkan aku Ma, maaaf," kata Jesie.
"Maaf? Dasar hidung belang, brengsek!" umpat Rahma.
"Tapi aku begini juga karena kamu, Ma."
"Koq karena aku?"
"Soalnya kamu nggak pernah mau aku ajak begituan!"
Seketika itu semua orang yang ada di balai RW tertawa semua.
"Woo dasar wong edan, emangnya memekku gratis buatmu ketika kamu jadi pacarku, sontoloyo!" ujar Rahma ketus. "Udah deh, pak RT. Sidang aja, nikahin saja dia di sini, kalau nggak mau kirim aja ke kantor polisi."
"Waduh, Rahma koq kamu tegaa?"
"Iya, kita emang berniat begitu." Pak RT makin berang dengan kelakuan Jesie.
Sementara itu Erna dari tadi menangis karena malu. Ia sebenarnya perempuan baik-baik. Entah bagaimana ia bisa dirayu oleh Jesie hingga akhirnya bisa menghabiskan waktu untuk melakukan icikiwir di kamar kosnya. Memang untuk ukuran cowok Jesie cowok yang cukup tampan, terlebih dengan Toyota Altis miliknya bisa membuat cewek bakal langsung naik saja tanpa pikir panjang. Apalagi sejak di dalam mobil Jesie memberikan jurus rayuan mautnya. Bagi cewek seperti Erna, dia tak perlu pikir panjang. Toh dengan pemuda tajir seperti Jesie, dia bisa punya harta yang bisa memuaskan Erna, tak hanya sekedar seks.
Itulah pengalaman buruk yang tak terlupakan bagi Rahma. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia bagi dirinya, sekarang malah menjadi hari terburuk yang tak akan pernah dia lupakan.
Sejak saat itu Rahma menjaga jarak dengan siapapun. Ia hampir pasti tidak pernah lagi berniat pacaran atau dekat dengan cowok. Baginya dikhianati dengan cara seperti itu sungguh sakit. Kabarnya Jesie sudah dinikahkan "paksa". Kabar terakhir mereka bahkan sudah punya anak. Rahma hanya tertutup, bukan berarti ia tak mau membuka hatinya untuk lelaki lain.
Rahma sedang sendiri di kamarnya sambil membaca-baca novel karangan Danielle Steel. Beberapa hari ini dia sudah memasukkan lowongan ke berbagai perusahaan. Entah mana yang bakalan nyantol. Total dia sudah membuat sepuluh aplikasi dan semuanya sudah dia kirim. Di kamarnya tiap malam dia habiskan untuk membaca novel-novel tebal itu hingga mengantuk. Namun hari itu ada yang berbeda, kalau saja ia tak mengangkat dering telepon itu mungkin hidupnya tak akan berubah.
Rahma segera mengangkat ponsel dari nomor yang tidak dikenal.
"Halo? Siapa ya?" tanya Rahma.
"Rahma ya?" tanya suara itu.
"Siapa ya?"
"Ini aku Singgih. Masih ingat?"
Ingatan Rahma mulai sedikit demi sedikit tertata. Ingatannya kembali kepada saat masa-masa kuliah. Singgih adalah seniornya di kampus dulu. Dan tentu saja Singgih sudah berkali-kali mendekatinya, hanya saja karena saat itu Rahma sudah punya pacar, maka ia pun menjauh dengan sikap jantan.
"Oh, kamu."
"Yah? Ekspresinya mana? Masa' hanya bisa bilang gitu? Histeris kek, menjerit kek, kaget kek."
Rahma tersenyum, "Dasar, kamu nggak berubah ya."
"Begitulah, sudah dari sononya."
"Hahahaha. Ada apa?"
"Nggak apa-apa, cuma say hai aja. Wah, nomorku kamu hapus ya? Koq sampai tanya segala?"
"Bukan begitu, ponselku hilang. Jadi nomor-nomor kontak terhapus."
"Oh, begitu."
"Tumben nyapa, biasanya juga diem."
"Hahaha, bukan begitu Ma. Terus terang aku selama ini mencoba menghindar."
"Menghindar? Kenapa menghindar?"
"Kamu tahu sendiri kenapa?"
Rahma dadanya serasa sesak ketika mengingat kembali bagaimana dulu perjuangan Singgih mendekatinya, tapi apa daya dia sudah punya Jesie waktu itu. "Hmm..."
"Aku sudah dengar semuanya tentang Jesie. Aku turut sedih."
"Nggak usah kamu kasihani aku, emang seharusnya aku nggak bersama ama dia. Jangan sebut-sebut lagi nama si brengsek itu."
"OK, OK. Btw, besok kosong nggak?"
"Ada apa?"
"Yah, kalau kosong kita jalan yuk?!"
"Hmm? Ini rencananya menggunakan kesempatan dalam kesempitan?"
"Hahaha, yahh...kamu tahu sendirilah. Aku juga namanya usaha. Apa tak boleh aku usaha?"
Rahma tersenyum. "Emang kamu nggak punya pacar?"
"Nggak, pacarku nanti cuma satu wanita. Cuma kamu aja. Dan kalau toh nggak bisa bersama dengan kamu aku akan membujang."
"Huuu...gombal."
"Namanya juga usaha. Jadi gimana?"
"Kamu mau ajak aku ke mana?"
"Ke Alun-alun Batu yuk!? Trus habis itu ke Museum Angkut"
"Ngapain ke sana? Itu tempat kencan yang nggak cocok. Rame banget."
"Oh, enaknya tempat kencan itu seperti apa?"
"Terserah deh."
"Lha?? Dasar cewek. Katanya ke sana nggak mau, trus bilangnya terserah."
"Hehehehe, terserah tapi jangan ke sana."
"Ke Selecta?"
"Ngapain ke sana?"
"Yah? Katanya kencan?"
"Emang siapa yang bilang kencan?"
"Kamu."
"Iyo a? Moso' seh?"
"Yo opo seh rek?"
"Hehehehe, ya udah ke alun-alun Batu ajah. Jemput yah?"
"Beneran?"
"Iya, beneran."
"Siippp!"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Rahma dijemput oleh Singgih jam tujuh malam. Ini bukan malam minggu. Hari Sabtu saja masih tiga hari lagi. Singgih bukan dari keluarga kaya. Dia orang biasa hanya saja nasibnya mujur, itu saja. Setelah lulus, dia diterima bekerja di sebuah perusahaan air mineral yang ada di kota Pandaan. Tapi di sana masih bekerja sebagai karyawan kontrak, belum tetap. Sebenarnya hari demi hari ia terus bertanya-tanya tentang kabar Rahma. Di dalam hidupnya hanya ada Rahma dan Rahma. Dia sudah cinta mati dengan Rahma semenjak kuliah. Tak sedikit usahanya untuk sekedar ngajak dia jalan, tapi sayang waktu itu Jesie sudah mengencani cewek itu duluan. Dia kalah cepat.
Rahma tinggal bersama orang tuanya. Orang tuanya Rahma cukup baik selama ini, selalu mendukung putrinya. Sebagai putri pertama maka Rahma punya beban. Ya, tentu saja. Dia harus bekerja untuk bisa membantu orang tuanya dalam merawat adik-adiknya. Dalam urusan asmara kedua orang tuanya selalu mewanti-wanti Rahma untuk memilih lelaki yang baik, serta ketika berpacaran tidak kelewat batas. Mungkin atas nasehat kedua orang tuanya inilah Rahma benar-benar tidak pernah menerima ajakan Jesie untuk bercinta. Boleh dibilang pengalaman Rahma dalam bercinta masih nol. Meskipun ia pernah berciuman, tapi itu hanya sekedar tempel bibir, belum sampai ke french kiss.
Singgih pun datang dengan motor kesayangannya. Jangan dikira itu motor berkelas. Cuma motor bebek bermerk Honda Astrea tahun 98. Lama memang, tapi boleh dibilang cukup tangguh menemani Singgih selama ini. Rahma bukan cewek matre, dia juga sudah kenal Singgih lama.
"Oh, masih ada aja ini motor," kata Rahma yang sudah menunggunya di teras.
Singgih turun dari motor dan menghampirinya. "Iya dong, sekalipun tuwir, tapi motor ini sangat berjasa. Tanpa dia aku bisa keteteran kuliah ama kerja."
"Ya ya ya, terserah deh," kata Rahma.
"Jadi jalan nggak?" tanya Singgih.
"Terserah."
"Yuk?!"
"Buukk...paaaakk!? Rahma pergi!"
"Ojok bengi-bengi!" sahut ibunya Rahma dari dalam rumah.
"Mboten buk!" sahut Rahma. "Yuk!?"
Singgih tak mau berlama-lama, segera ia membonceng Rahma setelah menyerahkan helm kepada cewek yang baru saja patah hati ini. Menggeber motor di atas aspal menuju Alun-alun Batu merupakan perjalanan yang cukup jauh, mengingat rumah Rahma ada di daerah Purwantoro. Yang mana masih ada di kota Malang. Untuk menuju Batu, maka mereka harus melewati jalan protokol, kampus-kampus seperti Kampus STMIK ASIA, STIMATA, Unbraw, Poltek UB, UNMUH dan lain-lain. Malang merupakan salah satu kota dengan perguruan tinggi terbanyak, maka dari itulah terkadang kota ini juga disebut sebagai kota pelajar. Dahulu Batu masih merupakan satu kawasan dengan Malang, namun semenjak adanya otonomi Daerah, maka Malang dan Batu berpisah. Batu akhirnya mengurus sendiri rumah tangganya. Bahkan yang katanya buah Apel Malang pun sebagian orang sudah menjulukinya Apel Batu. Namun sekalipun sudah berpisah, Batu tak bisa lepas dari Malang dalam masalah kultur. Mereka masih satu daerah yang mana punya kebiasaan yang sama, bahasa yang sama dan perilaku yang sama.
Setelah mereka melewati jalanan yang cukup panjang mendaki dan melelahkan di antara mobil-mobil roda empat akhirnya Honda Astrea itu sampai juga di alun-alun Batu. Tempat ini cukup menarik sekarang, setelah adanya renovasi di sana-sini oleh pemerintah kota Batu saat itu. Ada taman bermain, patung-patung dari lampion dan tak lupa sebuah bianglala ada di tengah alun-alun ini.
Selama perjalanan Rahma dan Singgih berbicara tentang banyak hal. Bahkan boleh dibilang malam ini adalah malam pelipur lara bagi Rahma. Setelah Jesie pergi, Singgih datang menawarkan cinta untuknya. Dan sepertinya Rahma pun berusaha untuk bisa menerima cinta Singgih. Mereka pun naik bianglala malam itu setelah jalan-jalan dan makan di sebuah warung bakso yang terkenal karena pentol raksasanya di dekat alun-alun ini.
"Jadi, bagaimana jalan-jalannya?" tanya Singgih.
"Yah, boleh juga. Makasih," jawab Rahma.
"Ma, kitakan sekarang ada di atas. Kalau misalnya aku nembak kamu di atas sini, kira-kira kamu terima nggak?"
Rahma sudah tahu sebenarnya Singgih akan nembak dia ketika naik bianglala. Rahma hanya tersenyum.
"Ayolah, jangan tersenyum aja. Bilang iya kek atau OK gitu," kata Singgih.
"Hahahaha, kamu ini. Nggak pernah menyerah ternyata."
"Yo opo seh, ono arek kodew ayu koq dianggurne?" Singgih nyengir.
Rahma menjulurkan lidahnya.
"Trus?" tanya Singgih lagi.
"Opone?"
"Laaahh?? Piye? Gelem ora dadi pacarku?"
"Mbuhkah"
"Lho?? Koq mbuh??"
Rahma tersenyum.
"Sorry kalau misalnya aku terlalu cepat, aku tahu kamu mungkin perasaannya campur aduk. Aku bukan bermaksud mengambil kesempatan, tapi kalau aku tidak mengambilnya sekarang kapan lagi?"
Rahma tertawa kecil, "Baiklah"
Betapa bahagianya Singgih waktu itu. Berciuman di atas bianglala, melihat seluruh kota Batu dari atas. Well, tak ada yang lebih romantis dari itu semua.
Hari-hari berikutnya Rahma benar-benar menemukan tambatan hati baru. Hubungannya dengan Singgih makin dekat dan kian mesra. Rahma mengerti bahwa Singgih sangat mencintainya. Singgih bukan seorang playboy. Mungkin memang ketulusan cinta Singgih yang membuat Rahma pun membalas cintanya dengan nilai yang sama. Singgih bukan orang yang menuntut, tapi dia lebih banyak menuntun. Rahma lebih melihat sosok Singgih sebagai lelaki dambaan, lelaki yang tidak ingin menang sendiri. Bahkan tak seperti Jesie, Singgih benar-benar tak menyentuhnya kecuali diijinkan oleh Rahma.
Ada kalanya perjumpaan, ada kalanya perpisahan. Sebagaimana kehidupan ini, tak ada yang abadi. Bukan, Rahma tidak berarti sudah tidak mencintai Singgih lagi. Juga Singgih, bukan berarti sudah tidak mencintai Rahma lagi. Hanya saja waktu yang memutuskan.
"Aku ingin bilang sesuatu kepadamu," kata Singgih ketika mereka sedang berada di teras rumah Rahma.
"Apaan?"
"Aku akan keluar negeri. Aku dapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di sana."
"Oh...trus?"
"Aku galau."
"Galau kenapa?"
"Itu artinya aku akan jauh darimu. Aku juga tak mungkin melepaskan kesempatan ini. Lagipula ini satu-satunya kesempatan karena aku dapat beasiswa. Ini juga adalah impian orang tuaku. Aku ingin bisa membahagiakan mereka."
Tatapan Rahma kosong. Berpisah dari Singgih? Itu hal yang mustahil.
"Kalau misalnya engkau tak mengijinkanku pergi tak apa. Aku mengerti. Seorang wanita yang jauh dari lelaki yang dicintainya pasti akan sangat sedih. Tapi kita bisa telponan, kita masih bisa chattingan. Aku akan kirim email kepadamu, aku akan selalu menelponmu."
Rahma mengangguk tanpa ekspresi.
"Ketika besok kalau aku sudah kembali aku tak ingin jauh lagi darimu. Kamu bisa menungguku?"
Rahma memejamkan mata. "Aku tak tahu."
"Rahma..?"
"Kamu mau pergi ke mana?"
"Ke Inggris"
"Jauhnya."
"Ya, jauh."
"Kamu tak perlu minta ijin aku. Aku akan melepaskanmu kalau kamu memang ingin."
"Rahma...?"
"Hiatusin saja hubungan kita."
"Hiatus?"
"Iya, ketika aku jauh darimu aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Engkau juga. Aku tak tahu apa yang terjadi disana. Siapa tahu engkau akan tertarik kepada cewek yang lebih cantik dariku. Kudengar nonik-nonik London cantik-cantik."
"Rahma, aku tak akan melupakanmu. Aku akan ingat terus."
"Aku tak bisa melakukan LDR, kamu tahu itu. Aku jauh darimu rasanya sedih. Aku ingin kamu selalu ada disampingku."
"Aku juga Ma, aku juga."
"Kita hiatus."
"Hiatus?"
"Iya, itu satu-satunya jalan. Aku tak tahu nanti ketika engkau jauh dariku bisa jadi ada yang mendekatiku. Kamu juga, aku tak ingin kecewa lagi."
Singgih tahu. Ia tak akan tahu masa depan nanti seperti apa. Apakah Hiatus adalah salah satu caranya? Mereka juga tak yakin. Dan Rahma tak pernah melakukan LDR. Singgih mengusap pipi Rahma kemudian dia mencium kekasihnya ini. Ciuman untuk mengungkapkan perasaan mereka saat ini.
"Jangan pergi....!" bisik Rahma.
"Kita jalani saja." Singgih mengusap rambut Rahma.
"Jangan pergi..."
"Aku akan kembali"
"Please...!"
Singgih kemudian berbalik. Meninggalkan Rahma sendirian di teras itu. Rahma memejamkan matanya. Air matanya mengalir. Bukan seperti ini yang ia harapkan. Tapi ia juga tak bisa egois memaksa Singgih untuk tetap tinggal. Jadi... bagaimana ia akan menjaga cintanya sampai Singgih pulang. Bagaimana?
Beberapa bulan kemudian Rahma pun diterima kerja di PT Evolus Produtama menjadi sekretaris Andini. Awalnya hanya dua bulan mereka intens berhubungan lewat telepon, email dan chatting. Namun setelah itu Singgih seperti menghilang. Tak ada kabar, tak pernah telepon, hampir seluruh kontaknya tak bisa dihubungi. Selama berbulan-bulan Rahma galau tak menentu. Kemana Singgih? Kenapa ia tak pernah menghubunginya? Ada apa sebenarnya? Rahma juga tak mungkin menyusul Singgih ke London.
Rahma tahu Singgih bukan orang yang mudah meninggalkannya. Namun ini sangat aneh. Apakah kekhawatirannya selama ini terbukti bahwa Singgih sudah tergoda dengan nonik-nonik Inggris? Kalau toh benar, maka ia sangat bersedih. Hatinya rindu, galau tak menentu. Akhirnya untuk melupakan kegalauannya ia pun lebih konsen bekerja. Hidup itu sangat singkat, kalau harus memikirkan Singgih selalu maka tak mungkin. Akhirnya Rahma hanya bisa pasrah terhadap mau dibawa kemana hubungan dia dan Singgih.
Tapi sekarang ada seorang lelaki yang mengetuk hatinya. Seorang lelaki yang selalu ia lihat punggungya tiap hari. Seorang lelaki yang membuat ia harus bersusah payah menyelidiki siapa sebenarnya dirinya. Hingga ada getar-getar rasa setelah lama ia tak merasakan getaran rasa itu. Getar-getar yang ia rasakan ketika ia bersama dengan Singgih. Apakah ia goyah? Apakah keyakinannya sekarang goyah?
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Aku harus pulang!" kata seorang lelaki.
"Kau yakin dia akan menerimamu dengan kondisi seperti ini?" tanya seorang wanita.
Sang lelaki pun diam. Ia menangis. Tubuhnya gemetar, terlihat tangan yang buntung berusaha menggapai wajahnya. Sang wanita pun kemudian mengusap air mata sang lelaki dengan tissue yang ada di tangannya. Wajah sang wanita juga tampak menunjukkan raut muka sedih. Melihat lelaki di hadapannya tak punya lengan dan kaki semakin membuat hatinya tersayat. Lelaki ini hampir setiap hari bersedih. Bersedih karena ia tak bisa apa-apa sekarang. Sebuah foto tampak berada di pigura yang ada di meja dekat tempat tidurnya. Foto itu adalah sebuah foto yang tak asing lagi. Seorang wanita dengan senyumannya yang manis menghiasi pigura itu.
Itu adalah foto Rahma.
Arci memakai seragam sekolahnya yang basah terkena hujan. Saat itulah dia melihat seorang cewek gemuk berkacamata duduk di halte. Hujan-hujan ternyata menjadi salah satu kebiasaan dari Arci akhir-akhir ini. Arci tentu kenal dengan cewek itu.
"Kamu kan???" Arci berhenti di depannya sambil menunjuk cewek gemuk berkaca mata.
"Hah? Aku??" tanyanya.
"Iya, kamu. Kamu Iskha bukan?" tanya Arci.
"Lho?? Koq tahu namaku?"
"Ya ampun, lupa ama aku?"
Cewek gemuk itu menggeleng.
"Ini aku Arci. Kita pernah ketemu di hotel waktu itu, sama mamamu!"
"Hotel?? Sama mama? Emangnya tahu siapa mamaku?"
"Mamamu Bu Susiati kan?"
"Iya. Emangnya aku dan mamamu kenapa?"
"Duh, masa' nggak ingat sih. Ya udahlah. Mau aku anter?"
"Hujan begini?"
"Dianter calon suami nggak mau?"
"Heh? Sejak kapan kamu jadi calon suamiku?"
"Sejak di hotel itu."
"Sembarangan."
"Aku sudah janji sama kalian dan aku tak akan mengingkari janjiku. Ayo aku anter, daripada membusuk di sini!?"
Iskha ragu-ragu. Akhirnya dia berdiri juga. Hujan masih belum reda, tapi mau tak mau akhirnya mereka berdua pun berboncengan. Sedikit beban buat sepeda motor Arci tipe Honda Supra-X ini menahan beban beratnya. Tapi itu tak jadi masalah. Arci tak ada niat buruk sama sekali. Mereka pun melaju di atas aspal yang basah.
**** I LOVE YOU HANDSOME ****
"Iskha, Iskha! Kamu harus kuat! Kamu harus kuat!" teriak Andini sambil mendampingi Iskha yang didorong di atas ranjang dorong. Tapi ketika masuk ke ruang ER Andini pun ditahan oleh para perawat. Ia tak menyangka bisa melihat tubuh Iskha bersimbah darah seperti itu. Ada luka robek di kepala, tangannya pun patah.
Tak berapa lama kemudian dari arah lain muncul juga pasien lain yang didorong oleh tiga orang perawat. Saat itulah ia terkejut melihat wajahnya. Dia kenal orang itu. "Arci?? Dia yang bersama adik saya?" Andini bertanya kepada salah seorang perawat.
"Iya, mereka boncengan. Menurut saksi mata karena jalan licin akhirnya sepeda motornya selip. Mungkin karena mereka ngebut. Setelah itu yang cowok menghantam pembatas jalan. Yang cewek terseret beberapa meter hingga hampir ditabrak mobil box," ujar sang perawat.
Andini terperangah. Bagaimana bisa Iskha ketemu dengan Arci? Bagaimana mereka berdua bisa bertemu? Ya, sejatinya walaupun bukan saudara kembar, tapi wajah Andini dan Iskha mirip. Iskha adalah adik satu-satunya. Dan sekarang ia pun bingung bagaimana bisa dua orang yang ada arti dalam hidupnya ada di rumah sakit yang sama?
Andini menunggu dan menunggu. Sementara para dokter dan asisten dokter sudah masuk ke ruang operasi dari tadi. Andini berharap cemas, menunggu dalam kegamangan, cemas. Hingga kemudian lampu kamar operasi telah mati. Andini berdebar-debar, sampai sang dokter dengan pakaian dokternya serta sarung tangan bersimbah darah keluar. Sang dokter menggeleng sambil menundukkan wajahnya.
"Tidak, tidak, tidak mungkin! Adek! Adek! Adekku! Iskhaaa!" jerit Andini. Terlebih ketika ia masuk ke ruang operasi untuk melihat adiknya untuk yang terakhir kali.
Tak berapa lama kemudian dari arah lain muncul ayah dan ibunya. Mereka pun shock. Anaknya Iskha telah tiada karena sebuah kecelakaan maut. Andini menangis sejadi-jadinya Bu Susiati berusaha menenangkan anaknya itu.
"Mama, ini salah kita ma. Salah kita," kata Andini.
"Salah kita? Kenapa?" tanya Bu Susiati.
"Arci ada di sini. Dia tadi membonceng Adek," kata Andini.
"Anak itu?? Bagaimana dia bisa bertemu dengan Iskha?"
"Siapa Arci?" tanya papa Andini.
"Ceritanya panjang pa, nanti akan mama jelaskan," jawab Bu Susiati.
"Arci, bagaimana dengan dia?" Andini tiba-tiba segera beranjak meninggalkan Iskha. Dia langsung menuju ke ruang operasi sebelah yang ternyata sudah selesai. Ia langsung bertanya kepada perawat.
"Di mana orangnya sus?" tanya Andini.
"Oh, pasiennya ada di ruang observasi. Kami belum bisa menghubungi keluarganya," katanya.
"Pindah dia ke VIP! Cepetan! Kami akan tanggung semua biayanya!" kata Andini tegas.
Setelah mengurusi segala administrasinya kemudian Arci yang sudah melakukan operasi itu dipindahkan ke kamar VIP. Ia mendapatkan cedera yang cukup parah ternyata. Kepalanya dibalut perban melingkar. Menurut dokter ia mendapatkan gegar otak ringan. Sebagian ingatannya mungkin akan kacau. Andini pun menemaninya setelah ia menguburkan Iskha. Di samping Arci ia terus berbisik.
"Kenapa kamu sampai bertemu dengan adikku? Kenapa kalian bisa bersama?" tanya Andini. "Apa yang kalian lakukan?"
Setelah seminggu kemudian Arci pun terbangun. Melihat dia diinfus dan seorang wanita ada di dekatnya Arci merasa ada yang aneh. Ia tak ingat apapun. Bahkan bagaimana ia bisa sampai di rumah sakit ia pun bingung.
"Lho, aku di mana?" tanya Arci.
"Kamu sudah bangun? Kamu tahu siapa namamu?" tanya Andini.
"Ya....sepertinya begitu. Kenapa aku bisa ada di sini? Dan kamu....?? Iskha?"
Andini terkejut karena Arci mengenali dirinya sebagai Iskha.
"Oh, maaf. Aku ingat sekarang, aku mengantarkanmu pulang trus kita jatuh.....dan...ah iya, itulah mengapa aku ada di rumah sakit ini," ujar Arci. "Syukurlah kamu tak apa-apa."
Andini memang mirip Iskha. Akan tetapi hal itu membuat Andini sakit.
"Kenapa kamu ada waktu itu?" tanya Andini.
"Entahlah, udah jodoh mungkin. Hehehehe. Sorry yah, kamu yang biayain semua ini?" tanya Arci.
Andini mengangguk.
"Kamu dan ibumu memang baik. Aku makin berhutang kepada kalian," kata Arci.
"Sudahlah, tak usah dipikirkan. Kamu istirahat yang cukup saja," kata Andini sambil mengusap wajah Arci. Andini sekuat mungkin menyembunyikan kematian adiknya kepada Arci dan membiarkan lelaki ini menganggap dirinya sebagai Iskha. Ini semua juga salah dia. Di hotel dulu dia mengaku sebagai Iskha, bukan sebagai Andini.
"Iskha, aku akan tetap memegang janjiku. Kamu tak perlu khawatir. Aku akan kembalikan uang kalian. Aku akan kembalikan," ujar Arci.
"Sudahlah tak usah dipikirkan. Kamu tak kembalikan juga tak apa-apa koq."
"Tapi aku sudah janji. Aku tak mau berpantang dari janjiku."
"Apa kamu mau menikah dengan wanita seperti aku ini? Aku jelek. Aku gendut."
"Tapi hatimu baik. Aku tak keberatan."
"Kamu anaknya ganteng, pasti akan banyak yang suka ama kamu di luar sana nanti. Aku jelek, nggak pantas ama kamu."
"Jangan berkata seperti itu. Siapa wanita yang mau menolong seorang anak yang sedang membutuhkan bantuan? Engkau. Dan aku tidak akan berpaling dari janjiku. Tunggulah aku sampai usia 25 tahun."
"Itu tak perlu."
"Bagiku itu perlu."
"Kamu memangnya mau dengan aku yang seperti ini?"
"Iya, aku tak keberatan."
"Apa kata orang kalau kamu nanti beristri wanita seperti aku?"
"Aku tak peduli kata orang. Asal kamu mau bersabar dengan keadaanku, aku tak keberatan."
Andini tak mampu lagi membendung tangisnya. Ia ingin mengatakan bahwa dia bukan Iskha. Tapi ia tak sanggup.
"Arci!?" tampak ibu dan kakaknya Arci datang. Andini menoleh ke arah mereka. Tentu saja Lian dan Safira terkejut. Tapi Andini memberi isyarat dengan mengangguk.
"Aku tinggal dulu. Kamu istirahat saja," kata Andini.
Seribu pertanyaan terlintas di benak Lian dan Safira. Mereka tahu bahwa wanita yang berada di satu ruangan dengan Arci ini adalah yang menyewa jasa gigolo Arci beberapa waktu yang lalu. Andini tangisnya makin menjadi.
"Maafkan aku Iskha, dia menganggap diriku sebagai dirimu. Aku tak menyangka ada seorang laki-laki seperti ini. Apakah aku pantas untuknya? Apakah aku pantas untuk orang sebaik dia? Dia dari keluarga orang-orang yang baik. Tapi...kenapa adek ikut dia, tidak. Dia tidak tahu kalau adek udah pergi. Dia tak boleh tahu. Belum saatnya, aku akan datang kepadanya suatu saat kelak. Aku akan datang, tapi dengan wajah berbeda. Aku ingin dia benar-benar menyukaiku. Bukan karena terpaksa, aku ingin dia benar-benar menyukaiku.....Apakah permintaanku terlalu muluk Yaa Tuhan??"
Andini menangis lagi. Ia sudah berada di luar rumah sakit. Hujan pun turun lagi membasahi bumi. Menyapu segala kesedihan kepada orang-orang yang sedang berduka. Andini melihat langit yang mendung. Wajahnya tersiram air hujan. Dia bertekad harus jadi orang yang berbeda. Orang yang berbeda. Ia tak mau Arci melihat dirinya sebagai Iskha. Dia adalah Andini. Andini Maharani.
"Dini?!" panggil seseorang sambil membawa payung.
"Papa?"
"Ngapain kamu hujan-hujanan?"
Andini langsung memeluk papanya. "Kenapa anak orang yang menyelamatkan hidup papa, sangat baik? Dan kenapa aku justru jahat kepadanya?"
"Sudahlah?! Kita harus melaksanakan wasiat Om Zenedin. Sampai dia nanti siap untuk menjadi pemimpin perusahaan," kata papanya Andini.
"Ada satu lagi pa. Andini mulai suka ama dia," kata Andini.
"Hmm?? Serius?"
"Nggak tau."
"Ya sudah, ayo kita pulang. Mamamu sudah menunggu di mobil."
Andini pun akhirnya berjalan meninggalkan Rumah Sakit bersama papanya. Mereka menuju ke sebuah mobil SUV warna putih. Di dalamnya ada Bu Susiati yang sudah menunggu mereka. Papanya Andini sebelum masuk ke mobil menoleh dulu ke rumah sakit.
"Semoga kita bisa bertemu lagi, Arci," gumamnya.
Andini terbangun di kamarnya. Mimpi buruk tentang masa lalunya kembali menghantui. Mimpi tentang Iskha, adik satu-satunya yang tewas karena kecelakaan. Sampai sekarang Arci tak mengetahui tentang hal tersebut. Andinilah yang menemuinya di hotel waktu itu dengan mengaku sebagai Iskha. Tapi ternyata Arci malah bertemu dengan Iskha yang asli. Mungkin memang sudah menjadi suratan takdir bahwa Iskha tewas dalam kecelakaan maut itu. Dan Arci juga kebetulan tak mencari tahu tentang kecelakaan yang menimpa dirinya.
Alarm di ponselnya berdering. Ia pun mengangkatnya dan melihat jadwal dia hari ini. Sebuah kalimat terukir di sana, "Presentasi Produk oleh Arcie". Andini mengangkat alisnya.
"Oh iya, hari ini," gumamnya.
Andini segera pergi ke kamar mandi. Dia sibukkan aktivitas pagi itu untuk membersihkan diri, dandan, kemudian memeriksa semua berkas-berkas yang harus ia bawa. Tak lupa ia membawa tablet dan laptopnya. Di meja makan sudah ada papa dan mamanya.
"Pa? Kapan pulang?" tanya Andini yang langsung mencium pipi papanya.
"Tadi malam. Papa sengaja nggak bangunin kamu," jawab papanya.
Andini tersenyum.
"Bagaimana kabar Arci? Kira-kira ia sudah siap menerima siapa dirinya?" tanya papanya.
"Entahlah, hari ini penentuannya. Sebab sebentar lagi ia ulang tahun ke-25," jawab Andini.
"Kamu sudah siap memberitahukan kepada dirinya siapa dirimu?" tanya papanya.
Andini menggeleng. "Nggak pa. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku ingin Arci bisa menyukaiku dengan siapa diriku sebenarnya. Bukan sebagai Iskha. Aku tak ingin ia mencintaiku karena balas budi."
Bu Susiati tersenyum. "Ingat lho ya, dulu mama sudah kasih banyak calon pendamping tapi kamu tolak semua. Ini yang terakhir. Dan jangan kecewakan mama. Usiamu sudah nyentuh kepala tiga!"
"Ma, ketika kita dulu di hotel kenapa skenarionya jadi begini ya?"
Bu Susiati tertawa kecil. "Entahlah. Padahal kita dulu di hotel cuma kepengen ngasih kejutan ama anak itu. Toh uang itu tetap akan kita kasih dia minta atau tidak. Koq malah jadi skenario balas budi gini?"
"Tapi dari situlah aku bisa tahu siapa Arci."
"Hei, sekarang fokus saja. Sebentar lagi PT Evolus akan berhadapan dengan PT Denim. Kamu yang menjadi kepala direksi akan bertarung bersama direksi lainnya. Sebentar lagi pimpinan perusahaannya akan diambil alih oleh pendatang baru yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya. Tentunya para pimpinan direksi akan mencari cara untuk menjatuhkannya. Kamu sendirian di sini, papa sangat khawatir," kata papanya.
Andini menghela nafas. "Aku tahu koq pa."
"Kalau kamu butuh bantuan kakakmu, kamu bisa telpon sekarang," sambung papanya.
"Nggak pa. Aku bisa sendiri koq."
"Hei, Dini. Kamu jangan berlagak kuat. Ingat perusahaan ini kalau 50 persen sahamnya bukan milik kita kamu sudah pasti akan didepak dari jajaran direksi," ujar Bu Susiati. "Ayah dari Pak Zenedin dulu membangun perusahaan ini dari memintal benang dengan alat sederhana, hingga sekarang sebesar ini. Kita tak boleh mengecewakannya. Apalagi, dia yang selama ini membantu papamu."
"Iya ma, tapi... aku masih penasaran, kenapa keluarganya tak mau menerima Lian bahkan mengusirnya?"
"Kamu tahu sendiri apa profesi Lian. Sebenarnya waktu itu niat Pak Zenedin berniat akan mengawininya tapi ia diancam tidak akan mendapatkan sepeser pun dari perusahaan itu kalau menikahi Lian. Akhirnya ia pun mengalah. Akhirnya Pak Zenedin tak punya satu pun keturunan dari istrinya. Bahkan sampai istrinya meninggal. Sekarang satu-satunya keturunan dia adalah Arci. Ada alasan mengapa Pak Zenedin tak bisa dekat dengan anaknya selama ini karena keluarganya menyembunyikan keberadaan Arci dan membuat sengsara kehidupan Lian. Itulah mengapa Pak Zenedin mengutus papa untuk melindungi keluarga mereka.
"Setelah beliau menguasai PT Evolus dan keluarganya tak bisa berbuat apa-apa lagi kepada dirinya akhirnya dia pun membuat surat wasiat yang sekarang dipegang oleh mamamu. Hanya mamamu yang diberikan wasiat tersebut. Tak ada satu pun yang tahu hingga tanggal 31 Mei nanti. Saat itulah semuanya akan mengubah hidup Arci. Tapi itu juga tergantung kepada dirinya apakah dia akan sekuat itu untuk bisa memimpin perusahaan sebesar PT Evolus Produtama," jelas papanya panjang lebar.
Andini menyantap roti isi dan meneguk segelas jus jeruk yang ada di meja makan. Andini berdiri. Ia siap berangkat. "Baiklah Dini berangkat dulu."
"Hati-hati jangan ngebut!" kata Bu Susiati.
"Siap ma," kata Andini.
Ia mencium pipi papa dan mamanya, lalu berangkat. Ia berhenti sebentar ke sebuah foto pigura kecil di pojok ruang tamu. Foto dua cewek berkacamata dengan pipi chuby yang sedang ceria. Itu adalah foto Andini dan Iskha yang tampak gembira sampai gigi mereka kelihatan. Itu sudah lama, beberapa tahun yang lalu sebelum Andini bertekad untuk melangsingkan tubuhnya, diet dengan berbagai cara, hingga ia seperti sekarang. Ia tak ingin seperti dulu, ia ingin menjadi dirinya sendiri. Dan ia sangat berharap Arci bisa menerima dirinya sekarang. Andini mengusap pigura itu.
"Do'ain aku ya dek," kata Andini sebelum berangkat.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Presentasi Arci begitu menawan. Ia memberikan banyak solusi bagi permasalahan gudang yang ada, terutama tentang stock lama. Bahkan ketika dia memberikan solusi beberapa applause untuknya dari seluruh peserta rapat. Dalam waktu singkat dia sudah bisa menghabiskan seluruh stock dengan menjualnya ke komunitas penggemar produk PT Evolus Produtama. Membuat toko online dan juga membuat promo-promo terbaru.
Arci terlihat sangat menguasai materi bahkan ia sama sekali tak melihat papan presentasi. Ia bahkan sudah hafal apa saja yang ada di layar tersebut. Ia cukup bicara dan mengarahkan audience untuk konsentrasi terhadap kata-katanya. Para direksi yang ada di ruang rapat terkesima, bahkan beberapa kali mulut mereka menganga karena heran atau takjub lebih tepatnya. Andini cukup puas. Tak salah ia menempatkan Arci pada posisi Manajer Marketing sekarang.
"Bagaimana presentasinya tadi?" tanya Arci.
"Well, cukup memuaskan," jawab Andini. "Kamu lihat sendiri tadi bagaimana applause para direksi melihat hasil kerjamu. Posisi itu emang cukup cocok buatmu."
"Sejujurnya aku nggak terbiasa dengan cara seperti ini. Ini terlalu mengejutkan."
"No excuse. Gimana kalau kita ngerayain ini?"
Arci menggeliatkan badannya. Agaknya di dalam ruang rapat tadi cukup membuatnya lelah. Dia melihat Rahma yang membawa berkas-berkas.
"Ajak Rahma juga nggak apa-apa kan?" tanya Arci.
Andini menoleh ke arah Rahma. Rahma yang mendengar namanya disebut kaget. Hampir saja berkas-berkas yang ia bawa jatuh.
"Iya, ajak semuanya," jawab Andini. "Kamu tak apa-apakan, Rahma?"
"Eh...ngg...nnggak koq bu. Anu, maksud saya...saya ada acara. Jadi sepertinya saya nggak bisa ikut."
"Acara apaan?" tanya Arci. "Udah deh, ayo ikut!"
"Ikut yuk!?"
Rahma agak kikuk. Tapi akhirnya ia mengangguk. Tidak enak juga kalau menolak ajakan Bu Andini, juga ajakan Arci. Paling tidak dia tidak sendirian. Ternyata beberapa orang juga ikut diajak. Mereka makan-makan di sebuah tempat yang sudah dipesan. Mejanya cukup besar hingga bisa untuk menampung sepuluh orang. Berbagai makanan pesanan dihidangkan sesuai dengan pesanan masing-masing. Arci duduk diapit oleh Andini dan Rahma.
Andini agaknya agak cemburu ketika Arci lebih banyak ngobrol kepada Rahma.
"Jadi, kamu anak tunggal?" tanya Arci.
"Iya, begitulah. Kamu sendiri punya saudara?" tanya Rahma.
"Ada kakak sama adik."
"Orang tua?"
"Ibu ada, ayah udah meninggal."
"Ooo... maaf"
"Ah, nggak apa-apa. Semua orang juga pasti tanya."
"Btw, selamat yah. Atas promosinya. Jarang ada karyawan baru masuk beberapa hari sudah dapat promosi."
"Mungkin aku cuma beruntung saja."
"Kamu itu bukan beruntung, tapi berprestasi!" sela Andini.
Arci cuma nyengir dan Rahma ketawa.
"Kalau perusahaan ini punya sepuluh orang seperti kamu, aku rasa kita tak perlu karyawan lainnya," gurau Andini. Kemudian yang lainnya ketawa.
"Wah, bisa ngambil jatah kita dong bu," protes Yusuf.
Pesta yang menyenangkan. Hari itu Arci bisa membaur dengan semuanya. Setelah makan-makan mereka tutup dengan karaokean. So pasti tambah kacau tingkah polah teman-teman kantor Arci. Dia hanya melihat saja dengan diapit oleh dua orang perempuan, Andini dan Rahma. Sang Ibu Direksi ini hanya melihat tingkah polah anak buahnya saja sambil sesekali melirik ke arah Arci. Rahma malah menatap semuanya dengan tatapan kosong.
"Aku mau pulang dulu," kata Andini beranjak dari tempat duduknya. "Kalian teruskan saja!"
Arci ikut berdiri. Rahma juga. Tapi Arci memberikan isyarat agar Rahma tetap duduk. Akhirnya ia pun duduk.
"Aku tak perlu diantar," kata Andini.
"Cuma sampai tempat parkir nggak apa-apa kan?" tanya Arci.
"Terserah deh. Rahma, duluan!?" kata Andini.
"Iya bu," sahut Rahma.
Arci akhirnya mengantarkan bosnya. Mereka menyusuri lorong hingga berbelok ke arah tempat parkir. Belum sampai membuka pintu Andini langsung memeluk dan mencium Arci. Sang pemuda ini tentu saja terkejut dengan perlakuan wanita ini. Tapi dia menerima ciuman sang bidadari. Setiap lembut bibirnya ia rasakan, terlebih Andini mengecupnya dengan kuat seakan-akan tak ingin melepaskan ciuman itu. Tapi hal itu ia rasakan cukup melelahkan, karena ia harus sedikit jinjit untuk menggapai wajah sang pemuda. Ia pun mengakhiri ciuman itu.
"Maaf, aku tak bisa menahan diri. Ini hadiah dariku, semoga kamu suka," kata Andini.
Arci tak menjawabnya. Hanya sedikit shock dengan tingkah polah Andini. Tapi ia mengerti bagaimana perasaan Andini kepadanya. Hanya saja ia tak bisa memberikan jawaban.
"Dini, aku... aku tak tahu harus bilang apa."
"Kamu tak perlu bilang apa-apa. Aku hanya melakukan apa yang aku harus lakukan." Andini kemudian membalikkan badan meninggalkan Arci.
"Aku tidak menolakmu, hanya saja aku belum bisa. Aku harap kamu mengerti."
"Aku sangat mengerti. Aku sangat mengerti!"
Arci hanya bisa menatap kepergian Andini yang masuk ke dalam mobilnya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Rahma masih berada di dalam ruangan, sementara teman-temannya yang lain sedang asyik berkaraoke ria. Entah kenapa dia tiba-tiba saja ingin ke toilet.
"Gaes, aku ke toilet dulu," kata Rahma. Dia segera beranjak.
Toilet tersebut sekalipun terpisah laki-laki dan perempuan. Tapi sebenarnya masih satu atap. Sehingga kalau ada pembicaraan yang terdengar di tempat cowok juga akan terdengar di tempat cewek. Rahma tanpa curiga masuk ke dalam toilet perempuan. Dia masuk ke WC dan buang hajat sebagaimana wanita pada umumnya. Saat itulah terdengar percakapan beberapa orang.
"Presentasinya anak baru itu cukup lumayan ya?"
"Iya, dia sangat berprestasi. Pantas saja dia langsung dapat promosi."
"Tapi bukankah itu artinya posisi Andini masih selamat?"
"Untuk saat ini iya, tapi kedepannya, dia tak akan bisa berbuat apa-apa."
"Bagaimana itu?"
"Sebentar lagi akan ada rapat di Vila Batu. Rapat rutin tahunan. Di sini nanti ia akan kita habisi. Kalau bisa dipecat, nggak cuma dihabisi saja. Selama dipimpin oleh dia perusahaan memang menguntungkan, tapi kalau dia selalu menimbun barang terus-menerus bagaimana bisa memangkas biaya produksi?"
"Setuju sekali. Memang harusnya ia dibungkus dari dulu."
"Ah, aku dapat ide. Ini sedikit nakal."
"Maksudnya?"
"Biarkan dia di sini."
"Lho, itu tidak bisa. Dia harus disingkirkan. Biar direksi dipimpin oleh orang-orang baru."
"Tidak, aku ada rencana. Kita buat dia mengemis untuk posisinya, tapi untuk itu dia harus menyerahkan tubuhnya. Hahahahaha, bagaimana?"
"Ahahaha, ide bagus itu. Gosipnya dia kan masih perawan. Udah lama nggak nyicip perawan!"
"Oke, minggu depan kita garap."
"Trus?"
"Oh ya, tentang merger Evolus dan Denim kita akan kaji ulang. Sepertinya menarik kerja samanya."
"Oke, hati-hati. Sampai nanti."
Rahma menutup mulutnya sedari tadi. Ia sangat shock. Siapa mereka? Kenapa mereka berniat jahat kepada Andini?? Arci harus tahu. Arci harus diberi tahu. Rahma segera buru-buru membersihkan dirinya, lalu bergegas keluar dari toilet. Ia ingin tahu siapa orang yang berbicara tadi. Tapi sepertinya toilet cowok sudah sepi. Ia segera mencari Arci. Diambil ponselya dan menelpon Arci.
Tapi sama sekali tak ada jawaban. Ponsel Arci tak diangkat. Rahma pun kemudian mengirimkan SMS.
Originally Posted by SMS Rahma Savithri
Ci, SMS aku yes. Puenting, guawat. Cepet!
"Duh, gimana ini. Gawat ini. Bisa kenapa-napa Bu Dini kalau begini," gumam Rahma cemas.
Disaat Rahma sedang berusaha menghubungi Arci itulah, sebuah tangan dengan sapu tangan berkloroform membekap Rahma. Rahma yang tak siap ia tak bisa melawan. Ia menghirup cairan Kloroform itu, hingga ia pun pusing dan pingsan.....
Sehari sebelumnya......
Safira mengamati Arci. Pergi pagi-pagi sekali, rapi. Pulang malam dan kucel. Hampir semua tugas rumah Arci yang melakukannya. Dan sudah sebulan ia tak "kerja". Ia memang tak mencari pelanggan lagi, terlebih setelah kemarahan Arci beberapa waktu lalu. Lucu juga, sebagai seorang kakak harusnya dia yang bisa marahi adiknya ini, tapi ternyata tidak. Dia mungkin terlalu sayang ama adiknya, atau bisa jadi ia sudah terlanjur cinta.
Hari Minggu, Arci tak pergi ke kantor. Di rumah ia sibuk mencuci dan bersih-bersih. Bahkan urusan memasak Arci pun jagonya. Hampir semua tugas rumah dia yang melakukan dibantu dengan sang adik yang masih SD. Terkadang sang ibu ikut membantu Arci dalam urusan dapur. Ibunya pernah bercerita kepada Safira tentang siapa ayahnya. Ayah Safira adalah seorang berondong yang menyewa jasa Lian waktu itu. Antara percaya dan tidak, Safira hanya bisa menerimanya. Dia bahkan pernah melihat siapa sang ayah. Hanya saja tak berani untuk menyapanya. Lian sendiri mengatakannya setelah dipaksa olehnya. Dan sebenarnya ginjal dia diberikan kepada ayahnya. Sekalipun dengan upah, hal itu semata-mata dilakukan Safira karena ingin menolong ayah biologisnya, sekalipun sang ayah tak mengakuinya. Pahit memang. Tapi hal itu tak pernah diketahui oleh Lian ataupun Arci. Mereka hanya tahu Safira menjual organ ginjalnya.
Lalu ayah Putri? Ayahnya adalah seorang tentara yang tewas beberapa waktu lalu ketika ditugaskan ke sebuah daerah konflik. Nahas memang. Disaat Lian mulai serius dengan seseorang, selalu saja sang lelakinya bernasib sial. Akhirnya Lian pun hanya bisa pasrah.
Dan entah kenapa sampai sekarang Lian tak pernah menceritakan kepada siapapun tentang siapa ayah Arci. Pasti ada sesuatu. Lian mengunci rapat-rapat identitas ayah Arci. Dia hanya bisa mengatakan bahwa ayah Arci sudah meninggal. Tapi itu tak cukup. Pastinya.
Safira hanya memakai kemeja putih lengan panjang. Tanpa bra, tanpa CD. Ia keluar dari kamarnya dan langsung nonton tv. Pagi itu ia melihat bagaimana Arci mondar-mandir kesana-kemari hingga akhirnya selesai masak di dapur bersama ibunya. Setelah itu ia duduk di sofa, bersebelahan dengan Safira. Direbutnya remote tv itu.
"Eh, rese'. Ngerebut remote sembarangan!" kata Safira yang berusaha merebut remote tv.
"Makanya jadi cewek itu belajar masak sonoh, nyuci kek, bersih-bersih kek, nggak di kamar aja. Trus bangun lihat tv," kata Arci.
Safira berusah merebut remote tv. Tapi tak sanggup. Akhirnya ia nyerah. Arci pun memindah-mindah saluran untuk mencari acara yang menurutnya bagus. Tiba-tiba Safira memeluk pinggangnya dan merapat ke adiknya itu.
Kini posisi tubuh Arci seperti di peluk oleh Safira. Ada perasaan nyaman pada diri Safira saat dia memeluk Arci seperti itu. Perasaan nyaman yang aneh.
"Ngapain sih kak? Lagi pengen?" pancing Arci.
"Jangan mancing, aku cuma kepengen meluk kamu aja. Masa' nggak boleh?"
"Yaaa...boleh aja sih. Tapi biasanya kalau manja begini Kakak lagi kepengen."
Arci dipukul dengan bantal. "Huuu dasar...kamu ngeres mulu pikirannya. Mentang-mentang ....."
"Mentang-mentang apaan?"
"Ah... nggak ah."
Arci dan Safira kembali membisu. Arci diam-diam mengamati kakaknya yang kini menindih tubuhnya. Arci mulai berbaring, Safira beringsut menempelkan dadanya di dada Arci.
"Kamu sudah punya pacar, dek?" tanya Safira.
Arci menggeleng. Ia menelan ludah saat tahu kakaknya tak memakai dalaman sama sekali. Diperhatikannya paha mulus Safira yang kini sudah menindih kemaluannya yang sudah menegang karena singgungan kontak yang tak bisa ditolak itu.
"Kenapa kak?" tanya Arci.
"Pengen tanya aja, Kakak bakal cemburu sepertinya kalau kamu nanti punya pacar."
"Kenapa bisa begitu?"
Saat itu Arci yang hanya memakai training pun diturunkan oleh kedua tangan Safira hingga celana dalamnya pun melorot sekalian. Safira mendekatkan bibirnya ke buah zakar Arci dan menciumnya. Batang Arci mulai mengeras. Arci tak heran. Ketika Safira sudah bernafsu biasanya dia lebih agresif.
"Telanjang aja yuk?!" ajak Safira.
Arci hanya menurut saja. Dalam hitungan detik, keduanya sudah tak memakai apa-apa lagi. Arci kemudian menarik tubuh Safira hingga sang kakak pun duduk di atas pangkuannya. Kembali hubungan sedarah terjadi lagi. Buah dada Safira mulai dikulum oleh sang adik.
"Ahhh....," desah Safira.
"Katanya nggak mau?" bisik Arci.
"Entalah, mungkin...karena aku selalu ingin kalau dekat ama kamu dek," jawab Safira.
Tubuh Safira sebenarnya mulus, tanpa cacat. Ia tak pernah madat, tak pernah mengukir tato. Dan ia selalu merawat tubuhnya ke spa. Hanya satu yang kurang. Di pinggang sebelah kanannya ada luka bekas operasi. Ya, operasi pengambilan ginjal beberapa tahun yang lalu.
"Dek, kalau kakak cinta beneran ama kamu gimana?" tanya Safira.
"Maksud kakak?"
"Cinta sebagai seorang kekasih?"
Safira mengecup bibir Arci.
"Kakak tahu bukan itu tak mungkin?" tanya Arci sambil memeluk Safira erat.
"Tapi kakak mulai menyukaimu, mulai mencintaimu. Aku tak mau pisah ama kamu dek."
"Kenapa?"
"Karena kamu terlalu banyak berkorban buat keluarga ini. Kamu rela jadi anak seorang PSK. Punya saudara juga PSK. Kamu mengurusi segala pekerjaan rumah, aku terlalu baik. Aku yakin ayah kamu pasti orang baik pula. Ahhh...Adekku."
"Kalau kakak mau, silakan saja. Aku akan melakukan apapun buat kakak, tapi....kalau suatu saat aku punya istri bagaimana? Bagaimana juga kalau misalnya aku punya anak, mereka akan manggil kamu apa? Apa yang harus aku katakan kepada istriku kelak?"
"Aku tak peduli. Aku akan menghormati istrimu, tapi aku ingin jadi istrimu dek. Aku tak sanggup lagi membendung perasaanku ini. Ketahuilah, sejak aku kecil aku sudah menyukaimu."
"Oh ya?"
Safira mengangguk. Ia mencari-cari batang penis adiknya, lalu menempatkannya di liang senggama miliknya. Mereka biasa bercinta tanpa kondom maupun dengan kondom. Mereka bisa menjaga diri, Safira sudah piawai agar penis pasangannya tak membuahi rahimnya. Tapi entah mengapa kali ini ia ingin hal yang lain. Kenikmatan mulai menjalar ketika batang itu melesak masuk ke dalam liang senggamanya, hingga mentok menyentuh rahimnya.
"Uuuhhhhh...," keluhnya.
Arci juga merasakan sensasi yang luar biasa saat penisnya masuk dengan sempurna.
"Dek, kamu mau kan mencintaiku?"
"Iya, aku bisa."
"Sungguh?"
"Iya. Apapun buat kakak."
"Aku tak akan mencampuri urusan cintamu. Tapi tolong berikan satu ruang di hatimu buat kakakmu ini ya? Kamu bisa?"
"Aku akan berusaha."
"Hari ini, tolong lakukan dengan sungguh-sungguh!"
"Maksudnya?"
"Anggap aku orang yang kamu cintai. Bukan orang yang kamu anggap sebagai kakakmu."
"Tapi engkau memang kakakku dan aku mencintaimu."
"Lebih dari itu. Pliisss... ohh..dek...aku sangat mencintaimu."
"Kaakk...aahhh!"
Sementara itu Lian yang tadinya berada di dapur dan akan ke ruang tengah terpaksa kembali lagi ke dapur karena melihat adegan persetubuhan Arci dan Safira. Lian tak ingin Putri melihat mereka berdua, walaupun Putri terkadang memergoki mereka, hanya saja Lian masih waras. Ia tak mau anak kecil ini bisa lebih dulu dewasa dengan menonton apa yang terjadi dengan Safira dan Arci. Dalam hati Lian, ia hanya bisa menerima kenyataan bahwa Safira terlanjur mencintai adiknya sendiri. Dan dia tahu sifat Safira, sekali ia mencintai seseorang ia tak akan pernah bisa melepaskannya begitu saja. Terlebih sekarang yang dicintainya adalah adiknya sendiri.
"Kenapa sih ma koq keluar lewat pintu belakang?" tanya Putri polos.
"Udah, mau ikut apa nggak?" tanya Lian.
"Ya udah deh."
Dalam hati Lian pun berkata, "Arci, Safira, berbahagialah kalian."
Di dalam rumah desahan demi desahan terus keluar dari kedua mulut kakak beradik ini. Arci dan Safira tak henti-hentinya berpagutan. Mereka sebenarnya sudah biasa bercinta tapi tak seperti ini. Ini lebih bergairah dari biasanya. Arci juga merasa demikian penisnya lebih keras daripada biasanya. Ia sekarang lebih melihat tubuh kakaknya ini sebagai seorang kekasih. Kalau biasanya ia bercinta hanya untuk mengimbangi Safira, kini ia juga ingin merasakan bercinta dengan orang yang dicintainya.
Dalam bercinta Arci mungkin merasakan tabularasa-nya hubungan sedarah. Tapi agaknya untuk hari ini tidak. Terbukti ia bisa bermanja-manjaan dengan Safira kalau sebelumnya ia dingin. Ia belai seluruh lekuk tubuh kakaknya. Mungkin kalau ada orang yang punya kakak seperti Safira hanya bisa bengong dan membayangkan Arci tidak. Ia sekarang secara nyata telah menyentuh Safira, kakaknya yang seksi.
Pantat Safira di remas-remas. Arci berusaha lebih dalam lagi untuk menusukkan kemaluannya, walaupun sebenarnya sudah mentok. Safira menggit bibir bawahnya saat Arci menghentak-hentakkan tubuhnya. Lama sekali keduanya saling menekan selakangan. Desisan dan desahan silih berganti bersahutan.
"Ci...sodok kakak dari belakang dong!" pinta Safira.
Arci tak menolak. Ia bangkit, kemudian berdiri di pinggir sofa. Safira menunggingkan pantatnya. Kepala penis Arci di arahkan ke liang surgawinya. Tak butuh waktu lama keduanya bergoyang lagi. Kini dengan gaya doggie style mereka mulai memacu birahi lagi. Dua buah payudara bergantungan seirama goyangan tubuh Safira. Arci berusaha menggapainya dan meremas-remasnya.
"Kamu suka toketku ya dek?" tanya Safira.
"He-eh," jawab Arci.
"OOhhh....sodok yang kenceng ya dek, jebolin memek kakakmu ini," kata Safira.
Arci makin menyodok sekencang-kencangnya seolah-olah memek Safira benar-benar muat untuk ditusuk sekencang itu. Hingga akhirnya sang kakak pun mengejang, pertanda orgasme pertamanya sampai. Arci masih belum puas, Safira tahu itu. Ia pun langsung berbalik dan mengulum penis adiknya yang sudah mengacung sempurna. Tak tahan rasanya ingin digigit saja benda bulat lonjong besar berotot itu oleh Safira. Ia sangat gemes dan berkali-kali menghisapnya dengan gemas. Arci hanya bisa menikmati perlakukan kakaknya itu.
Safira meludahi kepala penis adiknya. Dia lalu mengocok lembut sambil mengisap buah zakarnya. Arci terus bertahan atas perlakuan saudarinya itu.
"Dek, semprotin di dalem ya," kata Safira.
"Nggak apa-apa?" tanya Arci.
"Nggak apa-apa, kakak lagi kosong koq."
Arci lalu mulai menindih Safira. Safira kemudian membuka kedua pahanya lebar-lebar. Mempersilakan rudal berotot masuk ke dalam liang senggamanya. Dan dengan mudahnya Arci memasuki gua kenikmatan itu. Arci membuka mulutnya dan menghisap tetek Safira.
"Ahhh...aku yakin kalau adekku ini suka ama tetek kakaknya," kata Safira.
"Biarin," kata Arci sambil terus meremas dan mengisap dua bukit kembar itu bergantian.
"Ayo dek, memek kakak kepengen digesekin lagi nih," kata Safira.
"Kak, aku tak pernah tahu. Tapi...kalau kakak ingin kita hanya hidup bertiga saja aku rela koq," ujar Arci.
"Hush, nggak boleh begitu. Kita sebenarnya juga nggak boleh seperti ini," kata Safira.
"Kalau misalnya nanti kakak aku hamili bagaimana? Bisa repot kan nanti masyarakat, bahkan kita bisa diarak keliling kampung," kata Arci.
"Lihat ibu, ketika semua orang tahu ibu PSK dan hamil di luar nikah. Masyarakat sudah maklum, kenapa kamu tidak?"
"Kak, aaahhh...!" sesekali Arci mendesah keenakan saat menggenjot Safira. ".... tapi ini kita...ahhh...kalau...uhhh... kita ketahuan....aahh...bagaimanaaahhh...?"
"Aahh...aahh...aahh..uuhhh... nggak usah dipikirkan dek. Kakak ...ahh..uhhh.. udah rusak....biarin rusak sek...aahhh...kalian....uhhhh!"
"Aku tak mau begitu kak. Aku akan ahhh....cari cara untuk membahagiakan kakak...uhhh. Itu sudah tugasku, itu cita-citaku sejak dulu. Ahhh....Aku juga ingin membahagiakan ibu."
"Deekk...keras banget, mau nyampe?"
Arci mengangguk. Goyangannya makin cepat. "Sampe kak, sampe....aku tak ingin seperti itu kak. Kalau kakak mencintaiku, maka kakak pun harus diperlakukan dengan terhorrrmmmmmmaaaaaattttt!"
Arci dan Safira menjerit bersamaan saat mereka sampai kepada orgasme secara bersamaan. Arci memeluk Safira seolah-olah tak ingin melepaskannya lagi. Dekapan Arci erat sekali, ia menghentak beberapa kali ketika spermanya keluar, hal itu membuat Safira melayang. Ia juga memeluk adiknya dengan erat.
"Banyak banget kamu keluarnya," kata Safira.
"Aku tumpahin semuanya," ujar Arci.
"Emangnya udah berapa lama nggak gituan?" tanya Safira.
"Semenjak terakhir ama ibu, dua mingguan," jawab Arci.
"Aahhh...pantes, hihihihi," kata Safira sambil menunjukkan senyum manisnya.
"Kak, serius mau jadi kekasihku?" tanya Arci.
"Masih tanya aja, aku serius. Dan untuk keseriusanku, aku nggak akan jadi PSK lagi. Aku pensiun. Aku akan cari kerja yang halal," jawab Safira.
"Beneran?" Arci tampak senang sekali. Terlihat dari raut wajahnya berseri-seri.
"Serius, hari ini demi adikku dan juga kekasihku. Aku pensiun."
"I love you kak"
"I love you too"
Sebuah kisah cinta yang kompleks. Arci yang ingin kakaknya berhenti jadi pelacur pun bisa teratasi. Tapi imbasnya sang kakak jadi mencintai dia seperti seorang kekasih. Siapa yang patut disalahkan dalam hal ini? Yang benar atau salah pun terkadang samar untuk bisa dimengerti.
* * *
Safira hari itu bercinta dan bercinta bersama adiknya sampai malam. Bahkan kali ini ia tak malu-malu untuk tidur di kamar adiknya. Ada perasaan menyesal mencintai adiknya, namun perasaan itu pun akhirnya luluh dengan sendirinya. Ia berada di dalam persimpangan jalan sekarang. Tadi malam lagi dan lagi adiknya membuahi dia, ia merasa pasti bakal jadi. Apalagi Arci bercinta dengannya penuh perasaan. Setiap ciuman, setiap belaian, setiap hentakan adiknya ke dalam dirinya ia sangat menyukainya. Ia biarkan Arci membolak-balikkan tubuhnya, menikmati setiap jengkal tubuhnya. Ia sudah pasrahkan tubuhnya untuk sang adik.
Pagi sudah menjelang. Arci sudah memakai handuk dengan tubuh basah. Badan tegapnya membentuk sebuah siluet di tirai kamarnya ketika tirai jendela dibuka. Safira terbangun.
"Hari ini aku presentasi di kantor. Promosi," kata Arci.
Safira menggeliat. "Pagi sayang."
Arci tersenyum. Menghampiri Safira. "Kakak serius?"
"Serius apa?"
"Serius dengan hubungan ini?"
Safira mengangguk. "Aku sudah memutuskannya. Mulai hari ini dan seterusnya aku adalah kekasihmu."
"Tahu kamu kan kita tak bisa ....," jari telunjuk Safira menempel di bibir Arci.
"It's OK. Dek, you're my everything. I can't stop fallin love with you. I know it's wrong. Kalau nanti kamu bertemu dengan pujaan hatimu, aku tak akan cemburu. Memang sudah seharusnya seperti ini, asal jangan pergi dariku. I can't live without you," kata Safira.
Bibir mereka pun berdekatan. Kemudian menempel lagi. Wajah Safira yang cantik dengan mata sayunya benar-benar akan membius siapa saja. Tapi Arci tak bisa berlama-lama di kamarnya. Ia harus pergi ke kantor. Segera saja diambil baju-bajunya dan berdandan.
Saat membenarkan dasinya Safira melompat dari tempat tidur, ia membantu Arci. Dibantu pemuda itu membenarkan dasinya, lalu merapikan rambutnya. Arci melihat kakaknya tanpa baju sehelai pun. Kulit yang mulus tanpa cacat. Mungkin kalau nyamuk berjalan di atasnya pasti terpeleset. Sebuah kecupan hangat di pagi hari meninggalkan Safira seorang diri di kamar.
Di luar Arci langsung disambut ibunya.
"Jangan kecewakan Safira. Aku tahu ini salah, tapi....jangan pernah buat kakakmu bersedih!" kata Lian.
"Aku tidak akan. Kalian adalah orang-orang yang paling berharga buatku. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri," kata Arci.
Lian lalu memeluk anaknya. "Arci, maafin ibu ya."
"Kenapa?"
"Seharusnya tidak seperti ini. Pulanglah cepat hari ini, ibu ingin bicarakan sesuatu tentang ayahmu. Asal cepatlah pulang!"
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Arci penasaran. Dia menatap mata Lian. Terdapat raut kesungguhan di sana.
"Cepatlah pulang!" kata Lian.
"Baiklah, hari ini aku ada promosi. Mungkin agak lebih malem pulangnya," kata Arci.
"Lekas saja pulang," kata Lian.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Bego, kenapa dia kita sekap?"
"Heh, dia sudah mendengar apa yang kita bicarakan."
"Trus, kenapa nggak dihabisi saja?"
"Dihabisi? Aku tak mau jadi pembunuh, dodol!"
"Lha trus?"
"Kita tahan aja dulu dia, sampai target kita Si Andini takluk. Kita lalu kumpulin dia sama-sama. Lalu kita garap bareng. Kalau ia macam-macam kita sikat."
"Sikat gimana?"
"Ancam saja, kalau macam-macam kita perkosa rame-rame."
"Sekarang, dia kita sekap di mana?"
"Gampang, aku ada tempat. Nggak bakalan ada orang yang tahu."
"Oke, awas kalau sampai dia lolos dan ngebocorin rahasia kita."
"Tenang aja."
"Tapi kira-kira akan ada orang yang curiga nggak kalau dia hilang?"
"Ya jelas curiga, namanya juga orang hilang. Tapi hilang kenapa nggak bakal ada yang tahu. Itu sudah cukup."
"Oke. Sip!"
"Jangan lupa buang ponselnya!"
"Beres, sudah koq."
Setelah acara pesta makan-makan malam itu Arci segera pulang karena ibunya ingin bercerita tentang sesuatu. Tentang siapa jati diri ayahnya. Sebenarnya menurut Arci sendiri hal ini tentunya membuat dirinya lebih senang tapi ada sesuatu yang entah kenapa dia lebih takut dari pada sebelumnya. Ibaratnya ia lebih takut mengetahui siapa dirinya sekarang. Baginya tabir misteri itu lebih baik tetap tidak dibuka daripada ia mengetahui malah mengubah semuanya. Ia takut.
Setelah melihat Andini pergi Arci pun ikut pergi. Dia lumayan ngebut di atas aspal. Sama seperti sebelum-sebelumnya ia ngebut tapi masih dalam batas wajar, dalam arti tetap mematuhi rambu lalu lintas. Tak berapa lama kemudian ia sudah sampai di rumah.
Sesampainya di rumah ia sudah melihat ibunya duduk di ruang tamu sambil menyalakan rokok. Di meja tampak sebuah buku album tergeletak di sana.
"Butuh waktu untuk ibu menyimpan ini semua," kata Lian sambil menunjuk ke album yang ada di hadapannya.
Arci yang tahu apa maksudnya langsung mengambil album itu dan membuka-buka isinya. Ada wajah seseorang di sana. Wajah seorang lelaki yang sangat asing. Tapi dari sekilas ada kemiripan antara wajah itu dengan dirinya. Terutama bagian mata dan rambutnya.
"Ini..??" gumam Arci.
"Dulu setelah dua tahun Safira lahir, ibu sempat bertobat. Tak mau lagi menekuni dunia seperti ini. Dan ibu kenal dengan seorang yang dia cukup tampan, berwibawa, pokoknya tak ada yang bisa menyamai dirinya. Dia adalah klien terakhir ibu waktu itu. Tipnya juga besar. Entah kenapa waktu itu ibu curhat kepadanya soal rumah tangga. Prinsip ibu adalah, tak mau curhat kepada pelanggan. Karena hal itu bisa menimbulkan ikatan batin yang tidak seharusnya. Alhasil, terjadilah.
"Namanya Archer Zenedine. Seorang berkebangsaan Ceko yang sudah lama menetap di negeri ini. Kamu tak bakal menyangka seperti apa kekayaannya. Selama menjalin hubungan dengan dirinya ibu pernah ke luar negeri beberapa kali. Bahkan ia melamar ibumu ketika mengajak ibu ke Moskow. Hanya saja sayang sekali keluarganya tidak setuju. Ibu diintimidasi, dia juga. Bahkan keluarganya mengurung dia agar tidak keluar rumah, sampai kemudian kabarnya ia dipaksa untuk menikah dengan wanita pilihan keluarga mereka. Tapi ibu sudah hamil dan melahirkan kamu. Ibu tak tahu lagi kabarnya. Intimidasi keluarganyalah yang menyebabkan kita seperti ini. Tinggal berpindah-pindah, kehidupan yang tak menentu bahkan memaksa ibu untuk menekuni profesi lama ibu lagi. Mereka jugalah yang memaksa kakakmu untuk melacur, dan ya ibu dendam kepada mereka. Kasihan ayahmu, ia sangat mencintai ibu tapi tak bisa berbuat banyak.
"Dia selalu mengirimkan surat kepada ibu di saat-saat terakhirnya. Setelah ayahnya meninggal dia yang mewarisi perusahaannya. Semuanya. Namun nasib juga sepertinya tak membuat ia beruntung. Ayahmu pun mengidap penyakit jantung. Sehingga tak lama kemudian ia juga menyusul ayahnya. Tapi dia telah mengembangkan perusahaan miliknya hingga sangat besar. Dia juga berhasil mengontak ibu lagi. Hanya sayang sekali itu sudah terlambat. Ia telah menulis sebuah surat wasiat yang akan dibaca pada tanggal 31 Mei. Di dalamnya ada namamu. Ibu sengaja merahasiakannya darimu, ini semua karena ibu tak mau kamu berbuat nekat dengan menemui keluarga mereka. Ibu tahu watakmu yang bertindak berdasarkan hatimu. Ibu tak ingin kamu kenapa-napa, maka dari itulah ibu simpan sampai ibu rasa kamu sudah siap mendengarnya."
Arci terus membolak-balikkan album kenangan yang berisi foto ibunya dan ayahnya. Dan ketika sampai di halaman terakhir ada sebuah amplop.
"Bukalah! Itu seharusnya kamu baca ketika usia tujuh belas tahun. Tapi ibu tak memberikannya kepadamu. Karena ibu takut kamu belum siap. Tapi sekarang, kamu harus membacanya. Itu pesan terakhir ayahmu!" kata Lian. Arci menatap ke ibunya sejenak. Lalu ia pun membuka amplop tersebut. Ada beberapa lembar surat. Arci mulai membacanya.
Anakku Arczre,
Aku tak tahu sampai kapan aku akan berjuang melawan penyakitku ini, tapi sebelum terlambat aku ingin menyapamu dulu. Apa kabarmu? Kamu sekarang pasti sudah remaja. Kamu sudah mulai mengenal cinta. Papa tahu, karena papa dulu pernah muda.
Maafkan papa. Papa sangat ingin sekali bisa menggendong dirimu waktu kamu masih bayi dulu. Papa sangat ingin sekali memeluk dan menciummu, tapi sampai sekarang papa tidak bisa berbuat apa-apa. Maafkan papamu. Tapi dalam setiap mimpi, dalam setiap tarikan nafas, engkau adalah putraku satu-satunya. Satu nama yang selalu membuatku bersemangat untuk tetap hidup. Andai posisi kita tidak seperti ini tentu aku akan lebih menyayangimu lagi nak, sayang kita tidak bisa saling melihat, tidak bisa saling menyapa.
Anakku.
Maafkanlah ibumu. Dia selama ini pasti sangat lelah menjagamu. Mungkin ada kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya, tapi itu semua karena ia sangat menyayangimu. Tolong jangan marah kepada ibumu. Marahlah kepada papamu yang tidak bisa berbuat banyak, bahkan ketika semua kekayaan ini ada di tangan tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Anakku.
Aku sebenarnya ingin marah. Tapi tak tahu harus marah kepada siapa? Aku marah karena aku tak berdaya. Tak bisa berbuat apa-apa. Padahal aku sangat ingin bisa melihatmu. Dalam beberapa tahun ini papa berusaha mencarimu hingga akhirnya bisa menghubungi ibumu lagi. Sungguh itu suatu hal yang sangat menyenangkan. Tapi sayang, kondisi papamu mulai drop. Bahkan sekarang makanan yang dulunya enak, terasa hambar di mulut. Hanya makanan halus yang boleh masuk ke dalam perut. Setiap hari papa hanya memandang dari tempat tidur, berbaring, sambil terkadang menulis beberapa paragraf untuk dikirim kepada ibumu. Baru kali ini papamu berani menuliskan wasiat ini kepadamu. Sebut saja wasiat, sebut saja salam perpisahan, karena hidup papa nggak lama lagi.
Anakku,
Aku sungguh sangat menyayangimu, aku juga sungguh merindukanmu. Aku ingin berpesan kepadamu jadilah anak yang baik. Jagalah ibu dan kakakmu. Dan kalau engkau sudah berusia dua puluh lima tahun. Papa ada kejutan buatmu. Kuharap engkau sudah siap waktu itu. Kuharap engkau sudah siap menerima kejutan dari papa. Tapi untuk itu kamu harus sekolah yang tinggi. Ambil semua ilmu yang ada. Perbaiki masa depanmu. Engkau adalah pewaris PT Evolus Produtama. Semuanya adalah milikmu dan satu-satunya manusia di planet ini yang berhak mendapatkannya. Sementara ini sebelum usiamu sampai 25 tahun papa menyerahkan perusahaan ini kepada orang yang paling papa percaya. Datanglah ke PT Evolus Produtama saat pembacaan wasiat, tapi kalau engkau berhalangan tak masalah. Pengacaraku sudah mempersiapkan semuanya.
Pesan papa. Berhati-hatilah. Papa sengaja merahasiakanmu dari semua orang. Hanya beberapa orang saja yang tahu mengenai dirimu. Bahkan namamu pun memang sengaja papa berikan bukan nama Zenedine, agar tidak ada orang yang tahu bahwa kamu adalah anakku. Ada orang yang sangat ingin kamu tiada. Papa dan ibumu berusaha melindungimu selama ini. Jadilah anak yang kuat.
Ini adalah kenang-kenangan dari papamu. Tak seberapa, tapi kalian memang berhak untuk mendapatkannya. Ini sebagai balasan karena papa tak bisa menjagamu selama ini. Kamu mau kan maafin papa?
Anakku.... Selamat Tinggal, jaga ibu dan kakakmu.
ttd
Archer Zenedine
Mata Arci basah. Ia meletakkan surat itu. Di belakang surat itu ada sebuah foto. Foto seorang lelaki yang banyak sekali alat-alat di tubuhnya. Wajahnya kurus kering. Itu adalah wajah Archer Zenedine di saat-saat terakhirnya. Arci menoleh ke arah ibunya. Ibunya sudah tak bisa membendung kesedihannya. Arci tahu sekarang kenapa ibunya tak memberi tahu siapa ayahnya sampai sekarang. Ia hanya tak percaya, dia adalah pewaris perusahaan tempat ia bekerja sekarang ini.
Safira muncul dari kamarnya. Ia ternyata sejak dari tadi sudah melihat semuanya. Ia lalu memeluk adiknya. Mungkin kisah ini seperti kisah si Bebek Buruk Rupa. Memang dilihat oleh semua orang ia seperti orang tak berguna, tapi ternyata ia lebih dari dugaan semua orang. Arci, pewaris sebuah kerajaan. Dan satu-satunya orang yang berhak atas PT Evolus.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci terbangun. Hari sudah pagi. Ia agak kaget mendapati Safira sudah ada di sampingnya. Ia baru ingat kalau tadi malam Safira memeluknya sampai ia tertidur. Arci menyunggingkan senyum. Agaknya ia akan terbiasa melihat Safira selalu ada di kamarnya tiap hari. Dia tadi malam mengisi batteray ponselnya, karena habis. Ia kini menghidupkan ponselnya. Langsung ada satu pesan masuk.
Originally Posted by FROM: SMS Rahma Savithri
Ci, SMS aku yes. Puenting, guawat. Cepet!
Arci mengerutkan dahi. "Apaan nih?" Ia segera menghubungi Rahma. Seketika itu langsung ada suara perempuan "Nomor yang Anda hubungi tidak aktif atau berada di luar service area"
"Aneh...?" gumam Arci.
Arci merasa tak ada yang aneh pagi itu. Mungkin Rahma ada suatu masalah kerjaan di kantor. Nanti di kantor juga bakalan tahu, pikirnya.
"Hmm...? Sudah bangun?" tanya Safira.
"Sudah, mandi sono gih!" Arci melemparkan bantal ke arah Safira.
"Aduh!"
Arci melepas bajunya dan mengambil handuk.
"Mandi bareng doong!?" Safira menggelayut manja.
"Duh, kakakku ini koq manja banget," Arci pun masuk ke kamar mandi.
Safira langsung melepas bajunya satu per satu, lalu beringsut membuka pintu kamar mandi. "Ikuuutt...!" Melihat Safira tanpa benang sehelai pun langsung membuat Arci "bangun".
"Dasar, ya udah," kata Arci.
Walaupun ada acara mandi. Tapi toh akhirnya diselingi juga dengan belaian dan cumbuan. Hingga akhirnya kedua tubuh polos tanpa busana itu pun sudah bersatu. Arci memeluk Safira sambil menyodok-nyodokkan kemaluannya ke dalam liang senggama kakaknya yang sempit. Mereka berdua sudah terbakar nafsu, shower yang mengguyur mereka pun rasanya sudah tak diperhatikan lagi yang ada hanya memburu kenikmatan di pagi hari. Kedua insan yang saling mencintai ini akhirnya mengakhiri perguluman dahsyatnya di kamar mandi dengan semburan berkali-kali dari kemaluan mereka. Arci dan Safira saling tertawa menyaksikan diri mereka sendiri.
"Kamu tak takut kalau hamil kak? Aku sering nyemprot di dalem," kata Arci.
"Kalo papanya seganteng kamu sih nggak masalah," kata Safira sambil ketawa sementara tangannya melingkar di leher Arci.
"Heh, serius ini."
"Lha kamu sendiri kenapa koq disemprotin di dalem?"
"Hmm...itu..yaa....kalau disemprotin di luar kurang nikmat aja."
"Huuu dasar, cowok maunya emang gitu. Aku nggak masalah kalau sampai jadi, aku ingin merawat anak kita nanti kalau emang jadi."
"Oh kak...hmmh," Arci memberikan satu ciuman. "Aku juga tak akan menyesal kalau sampai kakak hamil. Ibu sudah merestui kita koq."
"Iya, gara-gara kemarin kita seharian begituan. Aku bilang ama ibu kalau aku cinta ama kamu," kata Safira.
"Maafkan aku ya kak. Harusnya kakak mendapatkan lelaki yang lebih baik daripada aku."
Safira menggeleng. "Nggak, mana ada lelaki yang mau perempuan seperti aku? Yang ada aku malah akan disakiti. Aku tak mau seperti ibu. Biarlah aku mencintaimu dek. Kalau toh kamu tak mencintaiku aku tak apa-apa. Cinta tak harus menerima."
"Nggak kak, aku mencintai kakak."
"Ohh...Arci..adikku yang ganteng."
Arci dan Safira berpelukan dalam rasa birahi tabu. Mereka pun melanjutkan aktivitas mandi yang sebenarnya setelah itu. Walaupun begitu mereka masih belum puas sebenarnya untuk menuntaskan birahi. Tapi Arci tahu diri kalau ia harus berangkat kerja hari itu. Dan hari ini adalah hari yang baru baginya. Ia tahu siapa jati dirinya sekarang.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Aku di mana?" gumam Rahma.
Ia merasa sangat pusing. Ia baru menyadari kalau tubuhnya terikat, kaki dan tangannya terikat dengan tali yang sangat kuat, sementara mulutnya ada lakban tapi sudah terlepas. Disadari olehnya ia seperti berada di sebuah gudang. Ada barang-barang seperti sepeda, meja, kursi, bangku dan beberapa besi yang tertumpuk di dekatnya. Sementara dirinya ada di atas sebuah ranjang dengan kasur yang bau. Ranjang itu ranjang tua, sehingga ketika ia bergerak suaranya berderit. Satu-satunya penerangan adalah lampu pijar seukuran sepuluh watt yang ada di atasnya. Rahma berusaha menggeser tubuhnya. Bisa, ternyata tali itu hanya melilit tangan dan kakinya saja.
"Oh tidak, tidak, aku harus pulang, aku harus beritahu Arci, aku harus beritahu Bu Dini."
Rahma berguling-guling hingga ia akhirnya jatuh dari ranjang. Ia jatuh bahu kanannya dulu karena ia terikat ke belakang. Rasanya sakit bukan main. Rahma berusaha untuk berdiri, tapi dengan susah payah. Dia berusaha mengingat-ingat orang yang berusaha membekapnya. Semakin ia mengingat-ingat semakin kepalanya pusing.
Dengan penuh perjuangan ia akhirnya bisa bangkit. Tapi karena tangan dan kakinya terikat ia pun melompat-lompat seperti kanguru. Dia berusaha menuju ke pintu. Rahma melihat kaca jendela yang ada di sampingnya. Ia mempelajari di mana ia berada. Tak bisa diketahui, di luar ia hanya melihat rerumputan yang tak terawat serta beberapa benda seperti bangku dan kursi yang tergeletak bertumpuk di dekat pintu. Tidak, bahkan pintu itu diganjal dengan benda-benda rongsokan itu.
"TOloooong!?" teriak Rahma. "Tolooong!"
Rahma total hanya berteriak dua kata itu. Karena di pikirannya tiba-tiba timbul pikiran waras bisa jadi komplotan orang yang menyekapnya ada di sana. Maka dia pun berpikir lagi. Ia harus keluar, tapi bagaimana caranya. Lalu siapa orang yang melakukan ini semua?
Tiba-tiba di saat seperti ini ia teringat kembali kepada Singgih. Apa yang bisa dilakukannya sekarang? Andai Singgih berada di tempat ini. Apakah dia bisa menolongnya?
* * *
Di kantor, Arci tidak melihat Rahma. Mejanya sepi.
Andini langsung menyeletuk mengagetkan dirinya. "Nggak lihat Rahma?" tanya Andini.
Arci menggeleng.
"Kemana ya? Nggak biasanya," gumam Andini. "Coba deh hubungi rumahnya! Ada berkas yang harus aku periksa soalnya."
"Baik," kata Arci.
"Oh ya, karena Rahma nggak ada. Kamu jadi asistenku sementara yah?"
"Koq aku, Bu?"
"Apa kamu keberatan?"
"Ehhmm...nggak sih."
"Habis ini ke ruanganku!" kata Andini. Ia kemudian melangkah ke ruangannya.
Arci hanya menghela nafas. Padahal kerjaannya masih menumpuk. Ia kemudian mencari-cari nomor Rahma di data arsip karyawan. Setelah mendapatkan nomornya, ia lalu memutar nomor di telepon kantor.
"Halo? Ini rumah Rahma? Rahmanya ada pak?"
"..."
"Ini saya Arci teman sekantornya. Koq dia nggak masuk ya hari ini?"
"..."
"Hah? Belum pulang? Lho??"
"..."
"Saya nggak tahu juga."
"..."
"Baiklah kalau begitu, terima kasih."
Arci menutup teleponnya. Dia bergumam, "Aneh, Rahma belum pulang dari kemarin. Ada apa ini?"
"Ada apa Pak Menejer?" tanya Yusuf yang baru saja tiba.
"Rahma nggak masuk, dan katanya belum pulang dari kemarin," jawab Arci.
"Lho?? Koq aneh?" Yusuf menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Ada yang nggak beres nih kayaknya. Oke deh, ntar aku coba lacak ponselnya," kata Arci. "Soalnya kemarin dia cuman SMS suruh calling dia katanya penting. Sayang kemarin ponselku batteray-nya drop. Jadi dia pasti calling aku nggak bisa."
"Wah, wah, wah. Oke deh. Aku juga khawatir nih ama dia," kata Yusuf.
Arci segera masuk ke ruangan Andini dengan mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Masuk!" kata Andini yang bersamaan dengan itu Arci masuk. Arci menutup pintunya.
"Din, Rahma nggak pulang dari kemarin," kata Arci.
"Hah? Koq bisa?"
Arci mengangkat bahu. "Dan....dia ngirim SMS aneh ini ke aku kemarin."
Arci menyodorkan ponselnya untuk menunjukkan SMS dari Rahma. Andini mengerutkan dahinya.
"Ponselnya udah dihubungi?" tanya Andini.
"Nggak bisa. Mati. Dia sering onlinekan? Aku coba lacak terakhir kali dia ada di mana," kata Arci.
"Oke deh, hati-hati. Perasaanku jadi nggak enak. Oh iya. Besok ada rapat dewan direksi selama tiga hari di Villa Songgoriti. Aku ingin kamu ikut," ujar Andini.
"Aku?"
"Iya, menginap di sana."
"Trus Rahma?"
"Ini penting. Menyangkut hajat hidup orang banyak satu perusahaan."
Arci kembali teringat sesuatu. Bukankah dua hari lagi tanggal 31 Mei?
"Rapat ini akan menentukan arah kemana perusahaan kita. Kamu pokoknya harus hadir. Ada sesuatu yang ingin aku omongin juga, penting buat kamu," kata Andini.
"Penting buat aku?"
"Iya, penting. Tidak saja buat kamu, tapi juga seluruh perusahaan. Di rapat nanti akan ditentukan siapa orang yang kelak akan memimpin perusahaan ini. Jadi kuharap engkau hadir."
Melihat tatapan mata Andini Arci pun begidik. Ia hanya bisa menelan ludah. Bagaimana Rahma? Sesuai prosedur kalau ada seseorang hilang sampai 2x24 jam tak ada kabar maka berarti memang Rahma telah diculik.
Pimpinan direksi yang ada di PT Evolus Produtama ini ada lima pembesar. Andini salah satunya. Empat yang lainnya adalah Weny Widi Astuti, Tomi Rahardjo, Argha Federicus, dan Yuswan Andi. Keempatnya adalah orang-orang besar dan licik. Licik karena mereka semua ingin menguasai PT Evolus Produtama dan ingin menyingkirkan satu sama lain. Kecuali Andini, karena dia tahu harus memihak kepada siapa. Semuanya juga tahu satu sama lain sekalipun mereka berada dalam satu PT masing-masing berusaha membuat produk sendiri. Sepeninggal Zenedine PT Evolus dikuasai oleh orang-orang yang berambisi untuk bisa menguasainya. Hal ini tentunya sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup perusahaan.
Archer Zenedine mempercayakan perusahaan PT Evolus Produtama agar tetap berjalan seperti biasanya kepada seorang yang dipercaya. Tentu saja yang dimaksudkan adalah Andini. Karena Archer Zenedine sangat kenal dengan orang tuanya. Mereka telah menjalin persahabatan sejak lama. Bu Susiati dan suaminya selama ini berusaha melindungi Arci dari orang-orang yang tak bertanggung jawab yang hendak melenyapkan dirinya sejak Archer Zenedine meninggal.
Lalu siapakah ancaman terbesar dari keempat orang yang sekarang duduk di jajaran direksi? Selama ini Andini berusaha keras untuk bisa mengatur roda perusahaan, tapi karena sebentar lagi akan terjadi peralihan kekuasaan agaknya akan ada lobi-lobi dari direksi. Mereka kebanyakan sepakat untuk menyingkirkan Andini dari jajaran direksi kalau seluruh direksi mendukung langkah ini maka matilah langkah Andini untuk tetap bisa mengendalikan perusahaan ini. Andini kini berada di ujung tanduk. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan dia dan perusahaan ini adalah keputusan pengacara yang akan dibacakan pada tanggal 31 Mei saat rapat direksi berlangsung. Momen itu sangat pas untuk pengalihan kekuasaan.
Rahma kedinginan malam itu. Sudah tiga hari ia berada di ruangan dan disekap. Ia lemas karena belum makan dan minum. Bahkan sang penculik pun tidak memberikan apa-apa kepadanya. Hawa dinginnya sangat menusuk kulit, dari sini ia mengira bahwa saat ini ia berada di daerah pegunungan atau yang semisalnya. Sebab tak mungkin suhunya bisa sedingin ini kalau malam hari.
Rahma berjuang. Ia berusaha melepaskan ikatan yang membelenggunya. Seharian kemarin ia berhasil melepaskan ikatan tangan dan kakinya. Sekarang ia sedang berusaha untuk menyingkirkan seluruh perkakas, meja dan kursi yang ada di ruangan itu. Ia mencoba untuk menghantam kaca jendela dengan potongan kaki dari meja dan kursi.
Awalnya Rahma ketakutan. Tapi semakin ia takut ia semakin tak akan bisa berpikir jernih. Butuh waktu seharian bagi dirinya untuk yakin seyakin-yakinnya bahwa dia sendirian di tempat ini. Butuh waktu seharian pula untuknya agar bisa lepas dari ikatan yang cukup kuat ini. Kini ia ingin pergi ke toilet, sekaligus juga lapar dan haus. Komplit.
Ketika mengingat-ingat lagi siapa kira-kira orang yang tega melakukan ini semua. Pikirannya langsung tertuju ke orang-orang yang berniat jahat kepada Andini. Rahma bukan perempuan biasa. Ia sekalipun tak sekuat pria tapi tetap berjuang. Ia tak lemah.
JDAAARRRR!
Nyaring sekali suara kaca yang ia pukul. Tapi tenaganya kurang kuat. Apalagi kacanya juga tebal. Ternyata tidak seperti film-film yang menggunakan kaca dari bahan yang lunak sehingga bisa dengan mudah dihancurkan. Ini kaca beneran, bukan seperti di film-film.
Rahma pun akhirnya mengambil potongan meja yang agak keras, lalu dengan sekuat tenaga ia pukulkan ke kacanya.
JDAARRR!
Mulai muncul retakan. Ia pukulkan lagi. Lagi dan akhirnya.
PRAANGGG!
Untunglah kaca jendela ini bukan terbuat dari kaca anti peluru. Yang jelas sekarang pecahan-pecahan kaca itu berserakan di mana-mana. Rahma senang akhirnya bisa memecahkan kaca jendela itu. Dia melongok keluar. Hari sudah mulai pagi. Di ufuk timur tampak seberkas cahaya yang mulai memanjang. Sementara dari kejauhan terdengar suara surau dan masjid yang bersahut-sahutan. Hawa dingin kembali datang. Rahma menepis kuat-kuat perasaan takutnya. Ia harus lari!
Rahma melompat keluar dari ruangan tempat dia disekap. Ia kemudian berlari. Lari dan lari. Tiba-tiba ia berhenti, ia kebelet pipis. Dilihatnya sekeliling tempat itu masih banyak tanaman-tanaman, semak belukar dan pepohonan. Agaknya bangunan tempat ia menyekap seperti sebuah bangunan sekolah tua yang sudah tak terpakai. Rahma mencari tempat yang agak tersembunyi dan ia segera buang air kecil di sana. Rasanya sedikit lega walaupun diliputi rasa takut.
Ia agak terkejut ketika sebuah mobil datang dari kejauhan. Ia memekik tertahan ketika mobil itu menuju ke tempat di mana ia disekap. Ia ingin tahu siapa orang yang berada di mobil. Dari tempat ia bersembunyi sekarang kemungkinan ia tak akan terlihat.
Mobil BMW berwarna hitam itu bisa milik siapa saja. Apalagi plat nomornya, mungkin saja dipalsukan. Semua kemungkinan itu ada tapi Rahma sedikit ragu ia tak mengenali pemilik mobil BMW itu. Ia pernah melihat mobil itu terparkir di kantor tempat ia bekerja. Dan sudah pasti pemilik mobil itu ada hubungannya dengan perusahaan tempat dia bekerja.
Mobil berhenti. Sang sopir pun keluar. Beberapa orang juga keluar dari mobil. Rahma langsung mengenali siapa mereka. Setelah yakin seyakin-yakinnya siapa yang telah menculiknya, hanya ada satu hal yang harus Rahma lakukan. Lari!
"Lho, kabur orangnya!" seru salah satu orang yang memeriksa tempat tersebut.
"Brengsek! Cepat cari! Jangan sampai ia kabur! Bunuh saja kalau perlu!"
Rahma tidak melewati jalanan yang ada. Ia lebih memilih menghindari jalanan terbuka, sehingga para penculik tidak akan menemukan dia. Akibatnya ia harus berjibaku menuruni tebing yang curam dengan berpegangan pohon-pohon pinus yang sengaja tumbuh teratur. Ia beberapa kali harus menghantamkan tubuhnya di batang pohon itu, di bawah sana ia bisa melihat mobil lalu lalang. Apakah mungkin ia bisa minta tolong ke mobil yang lewat?
"Cari di sebelah sana!" seru seseorang di belakangnya.
Tiba-tiba lampu senter pun menyorot ke semua arah. Rahma langsung bersembunyi di balik pohon. Berusaha mengatur nafasnya. Ia tak boleh tertangkap, tak boleh tertangkap. Setelah lampu senter itu menyorot tempat lain dan terdengar suara langkah kaki menjauh Rahma kembali berlari.
Kejutan kecil, ia terpeleset. Ia sempat berguling-guling beberapa kali hingga ia berusaha menjaga keseimbangan lagi. Berlari menggunakan sepatu hak tinggi sungguh tak nyaman. Akhirnya ia pun membuang sepatunya. Ia kembali kepada pemahaman alam alias nyekerisme.
Rahma akhirnya sampai pula di atas aspal yang dingin. Tak mungkin kalau ia mencegat mobil sambil menunggu sedangkan nyawanya di ujung tanduk. Ia harus menghindari jalan raya karena para penculiknya membawa mobil. Siapa tahu mereka akan melewati jalan raya ini. Akhirnya, lagi-lagi Rahma berlari dan berusaha menghindar dari jalan raya.
Rahma tak bisa diremehkan. Dia selalu mendapatkan nilai bagus dalam olahraga. Ia sangat cepat larinya, dalam bidang atletik ia selalu juara satu. Untuk persoalan lari ia juga jagonya. Rahma berlari seperti orang kesetanan. Ia hanya butuh rumah penduduk untuk bisa minta tolong.
Tapi aneh sekali kenapa tak ada satupun rumah penduduk? Terlebih jalannya berkelok-kelok. Ia pun mengingat-ingat seluruh tempat yang pernah ia kunjungi apakah ia pernah melewati jalanan ini atau tidak. Akhirnya ia teringat sesuatu ketika melihat sungai.
"Ah, ini di Pujon!" serunya.
Pujon adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Malang yang terletak setelah melewati Batu. Letaknya di dataran tinggi sehingga hawanya sangat dingin dan sejuk. Rahma yang menyadari dirinya ada di sini akhirnya menjadi terang semuanya. Ia pun tahu siapa yang menculik dirinya dan berusaha berbuat jahat kepada Andini. Tapi kemana ia sekarang? Ia sendiri bingung.
Dari jauh ada lampu sorot mobil. Tapi tak begitu terang. Rahma langsung tahu bahwa itu adalah lampu mobil pickup. Segera ia melambai-lambai. Ternyata itu adalah mobil pengangkut sayuran. Sang sopir pun menghentikan mobilnya.
"Lho, ada apa mbak?" tanya sang sopir yang ternyata seorang wanita.
"Bu, tolong saya. Saya diculik. Saya kabur dan sekarang harus menghubungi seseorang. Saya bisa numpang?" tanya Rahma panik dan memelas.
Beberapa orang yang ada di dalam pickup saling berpandangan.
"Naik aja mbak, naik!" kata sopirnya.
Akhirnya Rahma pun ikut rombongan itu. Rahma sedikit lega. Dia pun akhirnya menceritakan tentang pengalaman dirinya yang tak mengenakan kepada rombongan tukang sayur itu. Rahma pun diberi makan nasi bungkus ala kadarnya. Ia sangat kelaparan. Bahkan makanan yang tak begitu mewah yang isinya hanya sambel goreng tempe dan mie goreng itu rasanya sangat nikmat.
Rahma pun kemudian meminjam ponsel salah satu dari mereka. Yang langsung dihubungi adalah Andini.
Tapi cukup lama ia menanti jawabannya, malah ponselnya direject. Ah ia baru ingat. Andini selalu mereject telepon dari orang yang tidak dikenal. Tipikal bosnya memang seperti itu. Ia lupa. Ponselnya telah dibuang oleh para penculik. Ia kehilangan semua kontaknya. Satu-satunya yang ia ingat hanya nomor telepon Andini. Ah tidak. Ada lagi. Arci! Entah kenapa ia bisa ingat nomor telepon cowok itu.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Lian duduk menikmati kopi yang ia bikin sendiri. Ia telah lega setelah kemarin menceritakan segalanya tentang ayah Arci. Bayangan wajah ayah Arci tak bisa ia tepis. Terlalu singkat memang perjumpaan dengannya, ia juga tak tahu apa yang akan terjadi kepada Arci setelah mengetahui tentang siapa jatidirinya. Agaknya ada rasa bersalah kepada dirinya sekarang. Rasa bersalah yang bisa jadi wajar karena dirinyalah anaknya bisa seperti Arci sekarang ini. Safira dan Arci terlalu dekat sehingga keadaannya seperti sekarang.
Hari sudah pagi dan ia tidak tidur semalaman. Besok adalah hari di mana Arci akan mendapatkan seluruh warisan ayahnya. Entah kemelut apa yang akan terjadi. Lian yang selama ini dikejar-kejar orang-orang yang ingin membunuhnya dan Arci dari pihak keluarga Zenedine, sekarang akan terbebas dari beban. Mereka yang mengincar harta Zenedine akan gigit jari kalau sampai Arci masih hidup pada hari ini.
Arci keluar dari kamarnya dan mendapati ibunya sedang memandangi keluar jendela.
"Arci? Sudah bangun?" tanya Lian.
"Sudah biasa Arci bangun jam segini," jawab cowok itu.
"Tak terasa, besok harinya. Kamu sudah siap?"
Arci menghela nafas. "Entahlah. Bagiku kekayaan itu tak penting. Yang paling penting adalah kalian. Asalkan kalian bahagia, aku tidak masalah."
"Safira masih tidur?"
Arci mengangguk.
"Kamu punya teman dekat? Ibu tak pernah lihat kamu punya teman dekat," tanya Lian.
Arci tersenyum. Wajar seorang ibu tanya seperti itu. Terlebih ia selama ini terlihat menjomblo. "Ada sih. Tapi, aku tak yakin."
"Siapa?"
"Bosku sendiri."
"Bosmu? Siapa namanya?"
"Andini Maharani."
"Ohh..., Andini. Sepertinya ibu kenal."
"Oh ya?"
"Ah, mungkin orangnya saja yang sama."
"Adakah yang ibu kenal dari masa lalu?"
"Bukan begitu, namanya tak asing. Ibu kenal dengan seseorang bernama Bu Susiati, punya anak namanya juga Andini Maharani. Dia yang selama ini menghubungkan ibu dengan ayahmu. Dan dia juga orang yang memegang surat wasiat ayahmu. Bu Susiati sang pengacara terkenal itu."
Arci terkejut. "Tunggu dulu, Bu Susiati? Yang punya anak namanya Iskha?"
"Iskha? Oh, anaknya yang itu sudah meninggal karena kecelakaan beberapa waktu lalu. Tunggu, koq kamu tahu?"
Arci segera kembali ke kamarnya dan mengambil ponselnya. Dicari nomor Andini. Ia langsung menelpon Andini saat itu juga.
"Arci, ada apa?" tanya ibunya.
"Sebentar, ada yang ingin aku tanyakan terlebih dahulu," jawab Arci.
Andini saat itu sedang tidur terbangun karena suara dering ponsel. Dari Arci, ia kaget. Segera ia angkat. "Ya? Halo?"
"Aku ingin bertanya, ibumu bernama Bu Susiati? Seorang pengacara?" tanya Arci.
Andini tentu saja terkejut. Dari mana Arci tahu??
"Jawablah!" kata Arci.
"I-iya... kenapa?" tanya Andini balik.
"Dan, Iskha itu meninggal karena kecelakaan?"
"Iya, kamu tahu sekarang?" terdengar suara Andini pelan.
"Kalau begitu yang di hotel itu??"
"Itu aku, bukan Iskha. Akulah yang mengaku sebagai adikku waktu itu. [tut] [tut] Aku sebenarnya ingin jujur kepadamu, tapi belum saatnya. Ternyata kamu sudah tahu lebih dulu [tut] [tut]....," kata Andini sepertinya diiringi ada nada telepon masuk.
"Jadi...waktu itu..."
"Iya,...itu aku..."
"Kamu berubah sekali," Arci sedikit tertawa.
"Hehehe[tut] [tut]..begitulah, jadi?? Kalau sudah tahu itu aku??"
"Berarti kamu tahu siapa aku selama ini?"
"Iya. Aku tahu semuanya, besok kamu akan jadi bosku. [tut] [tut]Kita bertukar posisi."
"Damn..., tak bisa begitu. Aku...aku hanya tak menyangka saja."
"Sekarang sudah [tut] [tut]jelas kan? Jadi? Lanjut?"
"Apanya?"
"Ah, kamu jadi cowok nggak [tut] [tut] sensitif!"
"Maaf, jujur aku shock. Kaget. Kalau tahu itu kamu aku sudah pasti akan menerimanya."
"Maksudnya?"
"Kamu mau jadi pacarku?"
Lian mengangkat alisnya. "Duh duh duh, subuh-subuh nembak orang. Dasar anak jaman sekarang." Ia pun menggeleng-geleng dan meninggalkan Arci sendirian.
"Pacar? Bukannya [tut] [tut] janjinya mau nikahin aku?"
"Hehehe...siapa takut."
"I Love You Handsome"
"I Love You too."
"Jangan lupa, nanti langsung ke tempat acara yah?"
"Siap boss."
Arci lalu menutup teleponnya tanpa mempedulikan nada sela di teleponnya tadi. Ia melonjak-lonjak kegirangan. Sampai tanpa sengaja ponselnya jatuh.
PRAAK!
"Waduh?!"
Safira terbangun. Ia melihat Arci memunguti ponselnya. Ia mencoba merangkai ponselnya yang layarnya retak.
"Yaah, pecah. Mana nggak bisa nyala lagi," gumam Arci. "Beli baru deh, untung kontaknya udah synchronize."
"Apaan sih? Seneng banget?" tanya Safira.
"Ada dehhh."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Aarrrgghh! Arciii, Arci bego bego bego bego bego bego bego bego bego bego bego bego bego bego! Kenapa malah ditutup???" umpat Rahma.
Ia mencoba menelpon balik. Tapi malah terdengar suara seorang wanita cantik yang mengatakan bahwa telepon tidak aktif. Rahma mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Sekarang malah mati lagi. Duuuuuhhhhhhh pusiiinngg!?" Rahma memijat-mijat kepalanya.
"Dianter kemana mbak?" tanya sopir.
Rahma tahu kalau hari ini akan ada jadwal rapat di salah satu Vila di daerah Songgoriti. Kalau ia pulang justru makin jauh. Kalau ia pergi ke polisi takutnya Andini nanti malah kenapa-napa. Akhirnya ia pun memutuskan, "Anter ke songgoriti bu!?"
Sedikit kembali ke masa lalu. Di mana semuanya berawal. Lebih tepatnya sedikit mengulas tentang hidup Archer Zenedine. Dia ini bukan orang biasa. Kisah cintanya sedikit pilu. Inilah awal dari semua petaka yang menimpa Arci.
Hari itu 27 tahun yang lalu di bulan Desember. Akhir tahun yang terasa hambar bagi seorang Archer Zenedine. Dia tak punya gairah hidup, bukan berarti ia adalah seorang pecandu obat terlarang, bukan. Bahkan dia mengharamkan dirinya menyentuh narkotika. Dia juga tidak merokok. Dia adalah lelaki baik-baik, yang tumbuh normal dalam didikan keluarga baik-baik.
Lian membuka pintu kafe. Ia meletakkan payung di tempat yang telah disediakan. Dia bosan, suntuk, dan serasa otak ingin pecah. Hari ini dia dapat klien sedikit brengsek. Tapi demi uang ia rela melakukan apapun sekalipun itu menjual dirinya. Inilah perjumpaan awal dia dengan Archer Zenedine.
Archer muda saat itu baru saja lulus kuliah. Dia tentu saja tak butuh pekerjaan. Masa depannya sudah cerah dengan menjadi satu-satunya pewaris yang bakal menggantikan posisi ayahnya di PT Evolus Produtama. Wajahnya seperti orang Kaukasia, bermata biru, berambut sedikit pirang. Tentu saja di kafe itu ia jadi perhatian karena satu-satunya bule yang mau duduk bersama orang pribumi.
Lian juga duduk sendiri. Perbedaannya dengan Archer adalah Lian yang jadi perhatian adalah tubuhnya yang memakai balutan baju seksi. Tanktop warna putih dengan celana pendek yang memperlihatkan kemulusan pahanya. Lian melirik ke arah Archer. Tapi bagi dia, seorang bule seperti Archer lebih terlihat seperti orang baik-baik. Ia tak mau mengganggu sang bule. Namun dugaannya salah. Sang bule tertarik dengan dirinya.
Archer beranjak dari tempatnya duduk dan mengambil tempat di depan Lian. Mereka pun semeja.
"Hai, apa kabar?" tanya Archer.
Lian agak terkejut dengan fasihnya bahasa Indonesia pemuda bule yang ada di hadapannya ini. "Wow, baik. Aku kira kamu tak bisa bahasa Indonesia."
"Hahahaha. Aku sudah lama di Indonesia, dan ... ayahku menikah dengan orang pribumi. Kenalkan Archer Zenedine. Kamu?"
"Lian, Lian Larasati," kata Lian sambil menjabat tangan Archer.
"Sendirian saja?"
"Yah, begitulah. Kamu dari mana?"
"Dari rumah."
"Maksudku, kebangsaanmu."
"Aku Ceko. Tapi boleh dibilang aku sudah lama di negara ini."
"Waw,keren. Apa yang menyebabkan kamu kerasan?"
"Yah, bisa dibilang salah satunya karena ada wanita secantik dirimu."
Lian tertawa.
"Hei, aku serius. Wanita Indonesia cantik-cantik semua. Dan aku yakin kamu juga orangnya cantik."
"Bagaimana kalau misalnya orang yang cantik itu adalah pelacur?"
"Aku menilai orang bukan dari profesinya. Aku yakin setiap wanita punya sisi keindahan, bahkan sisi keindahan itu hanya bisa difahami oleh mereka yang benar-benar faham."
"Sudahlah jangan goda aku. Kamu tidak tahu siapa aku."
"I don't care."
"Hhhh...Archer yang baik, tak perlu menggodaku."
"Maaf kalau aku menggodamu. Hanya saja aku sangat yakin kalau aku hari ini bisa dapatkan nomor teleponmu dan kita malam ini bisa saling menelpon," kata Archer.
Lian tertawa, "Hahahaha. Smooth, baiklah. Rayuanmu masuk akal."
"Sendirian saja, jomblo berarti?"
"Bisa jomblo, bisa tidak."
"Maksudnya?"
"Aku akan bilang siapa aku kalau kamu mau mengajakku pergi dari tempat ini."
"Sure"
Archer segera menarik Lian pergi dari kafe itu setelah menaruh beberapa lembar uang 50.000 di meja. Lian tak menyangka cowok bule yang dikenalnya ini cukup nekat. Ia segera mengajak Lian ke tempat parkir untuk masuk ke mobil Honda Accord warna hitam.
"So, mau ke mana kita?" tanya Archer.
"Terserah sih, tapi kalau bisa jangan malam-malam yah," jawab Lian.
"Kenapa?"
"Anakku sendirian di rumah."
"OK"
Akhirnya Archer mengajak Lian ke sebuah private house. Rumah itu sangat mewah. Halamannya cukup rindang, bahkan pagarnya saja dibuka dengan menggunakan remote. Selama perjalanan Lian lebih banyak diam. Baru kali ini dia diajak kencan seperti ini. Setelah mobil sedan masuk, Archer mengajak Lian langsung masuk ke rumahnya.
"Ini salah satu private House milik keluargaku, anggap seperti rumah sendiri," ujar Archer sambil menuju ke pub pribadinya. Rumahnya sangat nyaman, sofanya empuk, dan agak surprise agak jauh ke dalam ada jacuzi dan di halaman samping ada kolam renang. Archer mengambil minuman. "Mau bir? Wisky?"
"Aku nggak minum. Aku pasti mabuk kalau minum walaupun sedikit," kata Lian.
"OK, bagaimana kalau soda?"
"Baiklah"
Archer membuka kulkasnya lalu mengambil minuman bersoda. Ia menghampiri Lian yang masih berdiri mengagumi kemewahan rumah itu. Archer menyerahkan minuman berkaleng itu kepada Lian. Archer ikut berdiri di samping Lian. Mereka berdua lalu membuka penutup kalengnya kemudian langsung meneguk minuman tersebut.
Setelah itu agak lama mereka diam.
"Masih mengagumi rumahku? Nggak duduk?" tanya Archer.
"Sebentar, Archer. Aku tahu kamu baik, tapi kamu tahu siapa aku bukan?" tanya Lian.
"Who cares?"
"Bukan begitu. Aku ini bukan wanita baik-baik."
Archer tersenyum. Ia mengambil ponselnya, kemudian memperlihatkan sesuatu kepada Lian. "Check this out!"
Lian memegang ponsel Archer, dia melihat beberapa gambar. Di sana terlihat gambar dirinya. Dirinya? Ya, dirinya sedang berada di pasar, sedang membawa Safira yang masih kecil.
"Kamu???" Lian terkejut.
"Sebetulnya aku tahu siapa kamu. Dan ketahuilah, baru kali ini aku menyapamu. Aku tahu profesimu, dan aku ingin kamu berhenti. Aku tak mau kamu seperti ini," kata Archer. "Aku mencintaimu Lian, anggap saja love at the first sight"
"Oh my god," Lian menutup mulutnya. Archer mengambil ponselnya lagi. "Sejak kapan kamu mengikutiku?"
"Sejak lama. Kamu pasti heran ketika saat melakukan persalinan ada yang membiayaimu bukan? Itu aku. Aku tertegun kepada cerita perawat di rumah sakit yang mana ada seorang wanita PSK yang melahirkan bayi. Tapi tak punya uang. Ketika aku melihat dirimu, saat itulah aku langsung jatuh cinta kepadamu. Tapi saat itu aku masih muda, belum menjadi pemilik perusahaan. Sekarang aku sudah siap."
"Jadi itu kau?"
Lian langsung memeluk Archer. Ia tak pernah menyangka bahwa Archer selama ini adalah malaikatnya. Dan adegan berikutnya adalah Lian menyerahkan dirinya untuk Archer Zenedine.
Hari itu Archer dan Lian memadu kasih. Archer Zenedine merasa Lian adalah wanita yang dia cari selama ini. Mereka pun akhirnya berselimutkan asmara, berbalut birahi.
Setelah perjumpaan terakhir itu. Ada kedekatan antara Lian dan Archer. Siapa yang mau menolak cowok seperti Archer. Ganteng, blesteran, dan kaya. Siapapun pasti akan takluk kepadanya. Hanya saja tidak bagi keluarga Zenedine. Keluarga mereka lebih mementingkan kasta untuk orang yang ingin masuk ke dalam keluarganya.
Namanya Arthur Zenedine, seorang ambisius dia ayah Archer. Dia boleh dibilang diktator dalam keluarganya. Tapi memang berkat kediktatorannya PT Evolus Produtama menjadi besar. Sebesar ambisinya. Dan kini kandidat yang ia pilih untuk memimpin perusahaan adalah Archer Zenedine. Arthur orangnya sangat strict. Dia juga suka kepada details, selain itu dia tidak suka kalau ada yang tidak sempurna baik pada dirinya, pekerjaannya maupun kepada putranya. Dia hanya punya satu putra sebagai pewaris tunggal oleh karena itu ia berusaha mendidik putranya dengan sebaik-baiknya. Menyekolahkan setinggi-tingginya hingga akhirnya ia siap memimpin perusahaan.
Sebenarnya ada kandidat lain, namanya Tommy Zenedine. Tapi dia langsung keluar dari kandidat manakala Archer ada bahkan siap untuk memimpin perusahaan. Apalagi Tommy sama sekali tidak tertarik urusan bisnis textil. Ia lebih tertarik dengan seni, musik, dan berbagai macam yang berbau Indonesia. Tapi sekali pun begitu ia juga punya bisnis batik yang ia kelola sendiri sampai diekspor keluar negeri. Pertentangannya dengan Arthur Zenedine juga yang mengakibatkan dia harus didepak dari kandidat sang pewaris.
Ada seorang lagi yang jadi kandidat. Tapi jauh dari ekspetasi. Namanya Areline. Dia hanya menghabiskan hidupnya dengan berfoya-foya, clubing dan dugem. Bukan sebagai pewaris yang baik. Ia hanya akan menghabiskan uang keluarganya. Dia adalah sepupu Archer. Walaupun punya wajah rupawan, pendidikannya juga sama seperti Archer tapi dia jauh dari ekspetasi seorang Arthur Zenedine.
Total Hanya tiga kandidat. Dan hanya satu orang yang terpilih. Arthur Zenedine benar-benar mempersiapkan semua hal agar anaknya menjadi pewaris tahta. Dan ia pun yakin anaknya sanggup.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Paris, siapa yang tak kenal dengan negeri Menara Eifel ini? Lian dan Archer sering jalan-jalan ke luar negeri. Mereka memadu kasih dan Lian benar-benar yakin ia telah mendapatkan lelaki yang tepat. Yang tak peduli tentang masa lalunya, yang menerima dia apa adanya. Apa ada lelaki yang sanggup menerima cinta seorang pelacur? Itulah Archer. Bagi Archer dia telah menemukan bidadarinya. Lian sangat senang diperlakukan seperti putri raja. Liburan kali itu ia juga mengajak Safira yang masih kecil. Lebih tepatnya mereka seperti pasangan suami istri yang memang berlibur. Namun saat itu kejadian tak terduga terjadi.
Di saat Lian dan Archer sedang berada di hotel Archer dikejutkan dengan perjumpaannya dengan Tommy.
"What the hell are you doing in this place?" tanya Tommy yang langsung menyapa Archer.
"Kamu sendiri?" tanya Archer.
"Aku sedang ada bisnis proyek tentang pembuatan lukisan. Kamu... oh siapa wanita itu?" tanya Tommy antusias.
"Not your bussiness," Archer kemudian pergi meninggalkan Tommy di lobi.
"Hei Archer, aku bukannya mengurusi, tapi kamu tahu sendiri papa tidak suka kamu sembarangan memilih wanita. Kamu tahu sendiri keluarga kita seperti apa," kata Tommy.
"I don't care. Aku sudah siap apapun yang terjadi. Aku mencintai dia."
"Aku tahu, tapi apa dia siap? Kamu memang akan kuat menghadapi papa, tapi dia? Dia bukan siapa-siapa. Papa dan mama tak akan peduli dengan dia."
Archer berbalik dan menghampiri Tommy. "Aku tak peduli, kalau pun harus keluar dari silsilah keluarga Zenedine aku tak peduli."
"OK OK," Tommy mengangkat tangannya. "Aku tahu kamu keras kepala dari dulu."
Perjumpaan dengan Tommy di Paris itulah yang mengubah semua penilaian Archer terhadap keluarganya. Selama Archer dan Lian liburan di Paris dan menghabiskan waktu bersama-sama, saat itulah gambar-gambar tentang keadaan Archer dikirim oleh seseorang. Dan seluruh foto-fotonya sampai ke tangan Arthur Zenedine. Arthur pun mulai menyelidiki siapa Lian.
Dia memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki jatidiri Lian. Arthur sengaja membiarkan Archer berbuat semaunya, hingga kemudian tibalah saatnya ketika Archer harus menghadap ayahnya. Dia didudukkan sang ayah di sebuah kursi. Dia dikelilingi oleh hampir seluruh anggota keluarga Zenedine. Bahkan ada orang-orang yang belum dia kenal ada di sana. Semuanya menatap ke arah Archer.
"Kamu tahu kenapa kamu dipanggil di tempat ini?" tanya Arthur.
"Ya, aku tahu," jawab Archer.
"Baguslah kalau kamu tahu. Archer, aku ingin memberikan seluruh warisan keluarga kita kepadamu. Kamu akan memimpin seluruhnya, kamu akan memiliki semuanya, tak ada yang bisa mengganggu gugat dirimu. Kamu bisa melihat bagaimana kekayaan dan aset perusahaan kita, semuanya berasal dari jerih payahku. Ya, jerih payah yang kamu tak akan sanggup untuk bisa berpikir karena kamu hanya menikmatinya sekarang ini. Bukan hanya kamu saja, tapi semua orang yang ada di ruangan ini telah menikmatinya. Kamu adalah satu-satunya kandidat dan aku tetap memaksamu sekalipun kamu menolaknya.
"Dan aku tahu semuanya yang kamu lakukan. Aku tahu siapa wanita itu, dan apa profesinya. Kamu tahu secara tegas, aku menolak dirinya. Aku tak akan mengijinkan dia masuk ke dalam keluarga ini. Dan untuk kamu ketahui kamu tak punya hak untuk memilih siapa calon pendampingmu. Aku telah mempersiapkan segalanya, hal ini agar silsilah kita tidak musnah. Dan kita tetap sebagai keluarga terhormat. Sekarang yang harus kamu siapkan adalah konsentrasi untuk membangun perusahaan ini," kata Arthur.
"Kalau aku menolak?" tantang Archer.
"Kalau kamu menolak, akan ada banyak peristiwa yang menyedihkan terutama dengan wanita yang kamu cintai itu. Siapa namanya? Lian? Ya, kamu tahu tanganku tidak terbatas. Aku bisa melakukan hal yang tidak mungkin dilakukan oleh siapapun kepadanya dan jangan pernah mencoba untuk mengetesku!" ancam Arthur.
"Kau tak akan mungkin melakukannya!"
"Aku bisa melakukannya. Dan aku bisa lebih sadis dari yang kamu kira. Semua anggota keluarga kita telah menyetujuiku. Pelacur itu dilarang masuk ke dalam keluarga ini."
"Ini omong kosong, bagaimana mungkin kamu akan melukainya."
"Kamu mungkin masih ingat anak laki-laki yang dulu pernah menyakitimu ketika remaja?"
Memori Archer pun kembali ke masa dia masih remaja. Saat itu ia pernah terlibat perkelahian. Lebih tepatnya terlibat tawuran antar pelajar. Archer jadi korban waktu itu. Tapi tak ada orang yang tahu siapa yang memukulnya. Tangan Archer patah dan harus digips.
"Apa maksud papa?"
"Anak lelaki itu harus membayar mahal terhadap aset perusahaan ini. Namanya Bobi, anak orang biasa," Arthur menyerahkan selembar foto kepada Archer. Ada gambar seorang pemuda yang kehilangan lengannya, bajunya compang-camping. Ia tampak menyedihkan. "Setelah aku menyelidiki siapa yang membuat lenganmu patah, aku berhasil menangkapnya. Dia memang sampah. Dia aku tangkap saat sedang nyabu dengan teman-temannya. Sebagai balasannya, lengannya aku gilas di atas rel kereta api. Inilah akibat dari menyakiti dirimu."
Archer terkejut. Ia tak menyangka ayahnya akan berbuat sejauh itu.
"Satu lagi, kamu dulu pernah berusaha menembak seorang cewek dan dia menolakmu bukan? Ia menghinamu, mengatakan bahwa kamu adalah sampah, playboy, bule gila, orang sinting dan sebutlah yang kamu ingat. Bahkan karena dia kamu harus down selama beberapa minggu. Ketahuilah, penghinaan itu sudah aku balas dengan penghinaan pula. Kamu mungkin heran ketika tiba-tiba dia pindah sekolah dan tak ada kabarnya. Ya, tentu saja. Setelah tiga orang kepercayaanku memperkosa dia dan mencampakkannya seperti sampah. Kini ia tak ada harganya dan telah pergi keluar pulau entah kemana."
"Papa, itu keterlaluan! Papa tahu itu kejahatan?"
"Dan kalau kamu tidak ingin hal itu terjadi kepada Lian, patuhilah papa."
Tangan Archer mengepal. Ia sangat marah. Tapi ketika teringat lagi Lian dan anaknya, ia jadi tak tega. Hatinya berkecamuk. Orang yang ada di hadapannya ini adalah monster. Ya, monster. Akhirnya ia pun punya rencana. Ia akan pura-pura patuh, ini semua demi Lian. Tapi setiap saat ia akan berusaha melindungi Lian.
"Baiklah," kata Archer menyerah.
Inilah awal bagaimana Archer berjuang untuk bisa melindungi Lian. Ia pun mulai menyalahkan semua keluarganya karena tak ada satupun keluarganya yang membela dia saat itu. Tak ada satupun. Ia baru menyadari papanya seorang monster. Ia selalu berharap papanya segera mati agar ia bisa berbuat yang ia inginkan. Dia tidak tahu kabar tentang Lian setelah itu, ia hanya menghubungi seorang pengacara, temannya sendiri. Namanya Susiati.
Archer pun kemudian "dipaksa" menikah dengan seorang wanita pilihan papanya. Sekalipun menikah Archer tak bahagia sama sekali. Bahkan ketika malam pertama Archer sama sekali tak menyentuh sang wanita yang saat itu sudah menjadi Nyonya Archer. Namanya Elena. Elena sendiri sebenarnya wanita baik-baik. Ia juga tak suka sebenarnya dengan pernikahan "paksa". Ia bahkan tak mencintai Archer. Akhirnya mereka pun bersepakat untuk jadi teman saja, sekalipun statusnya suami istri.
Archer dan Susiati berteman baik. Segala sesuatu tentang masalah hukum dia selalu menghubungi Susiati. Bahkan ketika suaminya sakit Archer pun menolongnya. Sejak Archer kuliah mereka telah bersahabat. Di saat mereka susah maka Archer selalu menolong mereka. Maka dari itulah Susiati sangat berterima kasih kepada Archer.
Mungkin do'a Archer didengar selama ini, Arthur pun meninggal karena stroke. Otomatis semua usaha Arthur beralih ke tangan Archer. Archer pun mulai memimpin perusahaan dengan cara yang berbeda dari papanya. Ia lebih bersahabat, ia lebih banyak merangkul orang-orang, memberikan inovasi-inovasi baru. Karyawan disejahterakan sehingga boleh dibilang ia menjadi boss yang paling disukai dan dihormati di perusahaan tersebut. Namun kali ini sesuatu terjadi kepadanya. Ia mulai mengidap penyakit jantung. Di saat ia ingin menghubungi Lian lagi, ia seperti tak punya kesempatan. Akhirnya ia pun meminta bantuan kepada Susiati.
"Saat ini aku tak tahu apa yang terjadi dengan Lian. Kamu bisa mencari tahu?" tanya Archer.
Susiati dengan senang hati menolongnya. Setelah beberapa waktu akhirnya datanglah kabar itu. Dia menyampaikan di mana Susiati tinggal, bahkan secara mengejutkan tentu saja dia mengetahui bagaimana kabar Lian yang sudah melahirkan seorang bayi laki-laki. Archer kemudian menitipkan surat yang ia tulis sendiri kepada Susiati agar diserahkan kepada Lian.
Saat menerima surat dari Archer, Lian sangat bahagia sekaligus sedih. Sedih karena membaca kenyataan pahit yang diderita oleh Archer dan dirinya. Dirinya hanya bisa pasrah. Namun Archer punya rencana lain. Tepat pada usia anaknya yang bernama Arczre ke-25 dia akan mewariskan seluruh kekayaannya. Ia merasa berdosa tidak menepati janjinya kepada Lian saat melamarnya di Moskow. Sementara itu sakitnya makin parah. Bahkan demi perusahaannya tetap berjalan, kantornya pun berpindah. Ia menjalankan roda perusahaan dari dalam kamarnya. Archer berusaha merencanakan semuanya yaitu memberikan warisannya kepada putranya. Susiati pun membantunya. Setiap uang yang dikeluarkan oleh Archer diberikan kepada Lian. Puncaknya adalah ketika Arci sedang butuh biaya untuk sekolah.
Sengaja Susiati saat itu mengajak anaknya ke hotel. Dia benar-benar kaget ketika melihat iklan seorang lelaki remaja mau jadi gigolo. Dan ia tahu kalau itu Arci. Dia pun membuat skenario ingin membuat kejutan kepada Arci. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Ia dikejutkan dengan sikap Arci, sebuah janji pun terukir pada hari itu. Janji di mana Andini pertama kali melihat Arci, dan pemuda itu berjanji akan menikahinya. Sungguh sebuah janji yang konyol.
Sayang sekali, rencananya Archer untuk memberikan warisannya ke Arci terendus keluarga Zenedine. Akibatnya sekali lagi keluarga Zenedine berusaha untuk meyingkirkan Arci. Namun berkat Susiati semuanya bisa ditepis, sekalipun harus susah payah. Setelah Andini lulus kuliah, Archer langsung merekrutnya untuk berada di jajaran direksi. Dan itulah saat-saat terakhir Archer. Ironis memang. Tapi kalau memang Arci mendapatkan seluruh warisan itu, ia masih harus berjuang menghadapi orang-orang yang berniat jahat kepadanya. Ya, dia sendirian melawan seluruh keluarganya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci berdiri di depan sebuah batu nisan. Sengaja ia mampir dulu di pemakaman umum untuk mengetahui di mana kuburan ayahnya. Dia tak menyangka saja dirinya sebentar lagi akan jadi sang pewaris. Setelah seluruh liku-liku kehidupannya selama ini, sebentar lagi ia akan jadi orang nomor satu. Saat ia merenung ada seorang yang tiba-tiba berdiri di sampingnya.
"Arczre, ah susah sekali mengeja namamu," kata orang tak dikenal itu.
Arci menoleh ke arahnya, "Siapa?"
"Perkenalkan, namaku Letnan Yanuar. Aku bagian dari unit reserse," jawab orang itu yang ternyata adalah polisi.
"Ada apa ya pak?" tanya Arci.
"Kami butuh bantuan Anda, saudara Arci," jawab Letnan Yanuar.
"Bantuan?"
"Ya, bantuan. Kami butuh Anda untuk menyelidiki orang-orang yang berada di dalam keluarga Anda yang mana mereka telah melakukan sebuah kejahatan besar."
"Keluarga saya, maksudnya?"
"Kami telah menyelidiki siapa Anda. Anda anak dari Archer Zenedine bukan? Anda boleh dibilang terbebas dari silsilah keluarga Zenedine. Hanya saja, kami telah menyelidiki kemungkinan keluarga besar Anda telah melakukan tindak kejahatan yang luar biasa. Sebut saja mafia."
"Mafia? Pak, saya saja belum resmi jadi anggota keluarga mereka."
"Maka dari itu, dengan sangat kami meminta bantuanmu. Kamu sebentar lagi jadi anggota keluarga mereka bukan? Surat wasiat dari Bu Susiati akan dibacakan besok di rapat direksi. Mereka semua pasti terkejut. Bu Susiati bilang engkau bisa dipercaya untuk membekuk para penjahat di dalam keluarga besarmu. Ini kartu namaku. Kalau engkau ingin tahu detailnya kita bisa bicara," kata Letnan Yanuar sambil menyerahkan kartu nama.
Arci melihat kartu nama itu hanya bertuliskan nama Yanuar dan nomor telepon. Tak ada yang lain.
"Ini gila."
"Kamu pasti belum diceritakan semuanya bukan? Ketahuilah, Bu Susiati meminta bantuanku di saat nyawamu dan ibumu terancam. Kamu, ibumu dan kakakmu hampir tiap hari diburu oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Saat mereka tahu kamu dilindungi oleh pihak kepolisian, barulah mereka tak berani mendekat. Apa kamu tak ada perasaan ingin membalas dendam perlakuan mereka? Ingatlah ayahmu memberikanmu kekayaan ini bukan untuk hal yang sia-sia. Tolong bantu kami untuk memenjarakan orang yang telah menyakitimu dan ibumu. Bahkan mungkin juga ayahmu."
Arci memicingkan mata. Ia mencoba mencari kesungguhan dari wajah sang polisi. Dalam hati sebenarnya ia juga ingin membalas perlakuan mereka. Tapi bagaimana?
"Aku akan menghubungimu," kata Arci.
Letnan Yanuar menghela nafas. "Baiklah, aku akan tinggalkan kamu. Paling tidak pastikan engkau menghubungi aku."
"Kalau aku tidak menghubungimu?"
"Aku akan mencarimu. Ingatlah, keluarga Zenedine bukan orang biasa. Mereka semua orang yang berbahaya. Dan satu lagi, jangan percaya satupun seorang di antara mereka."
"Kalau Anda salah bagaimana?"
"Aku tak pernah salah."
"Kenapa demikian?"
"Karena ayahmu pernah memintaku untuk menangkap mereka semua, tapi kemudian ia keburu meninggal, sementara bukti-bukti tak bisa kami terima."
"Ayahku sendiri?"
"Ya, tepat sekali. Sampai nanti," Letnan Yanuar pun meninggalkan Arci sendirian di pemakaman itu.
Arci memandangi batu nisan yang ada di depannya. Ia pun bicara sendiri, "Ayah, apa yang sebenarnya ingin kau tunjukkan kepadaku?"
Rahma dengan kaki tak beralas diturunkan truk pengangkut sayur tak jauh dari vila. Sudah jam 7, pastinya sebentar lagi akan banyak yang datang. Ia pun berpikir harus bersembunyi, sampai Arci atau Andini muncul. Sebab hanya kedua orang itulah yang bisa menolongnya sekarang ini. Rahma kemudian bersembunyi di sebuah pohon pinus yang ada di pinggir jalan menanti mobil-mobil lewat. Ia berharap mobil Andini akan masuk ke dalam vila. Dan dugaannya tidak salah, mobil-mobil para petinggi direksi mulai berdatangan. Ia berdebar-debar karena semua orang yang ada di perusahaan ini tak bisa dipercaya. Ia hanya percaya kepada rekan kerja dan bosnya saja.
Rahma capek berdiri, ia pun duduk sambil tetap merapat ke pohon, bersembunyi dari orang yang lalu lalang lewat. Pikirannya lelah, ia capek, apalagi matanya mulai mengantuk. Kakinya sakit karena tak memakai alas kaki. Sepatunya ia buang ketika dikejar oleh orang-orang yang menculiknya akibatnya kakinya tertusuk batu dan duri beberapa kali. Ia merasa perih, tapi ia tahan. Rahma bukan wanita yang lemah, ia telah banyak mengalami yang lebih buruk daripada ini. Dan ia tipe wanita pejuang.
Angin semilir di Songgoriti yang sejuk membuat Rahma sedikit tak sadar. Ia terlelap beberapa menit, hingga suara klakson mobil membangunkannya. Rahma kaget, ia mengumpat dalam hatinya ketika menyadari bahwa ia tadi mengantuk dan tertidur beberapa saat. Ketika ia menoleh ke arah vila didapatinya mobil BMW orang-orang yang menculiknya ada di sana. Rahma segera bersembunyi. Ia mengintip dari balik pohon, hingga saat mobil itu sudah memasuki halaman vila ia pun menghela nafas lega.
Sesaat kemudian Rahma melihat seseorang mengendarai sepeda motor supra-X. Dia sangat kenal dengan orang itu. Dia Arci, segera Rahma muncul dan melambaikan tangannya. Arci yang mengendarai sepeda motor kaget melihat Rahma. Ia segera menghampiri Rahma, kemudian turun dari sepeda motornya.
"Rahma, kemana aja kamu?" tanyanya.
"Tak ada waktu, Bu Dini. Cepat hubungi Bu Dini!" kata Rahma panik.
"Ada apa?"
"Ada orang yang berniat jahat kepadanya. Aku diculik karena mengetahui apa yang mereka rencanakan. Aku baru saja kabur," kata Rahma sambil terengah-engah.
Arci melihat Rahma dari ujung rambut ke ujung kaki. Melihat Rahma yang kondisinya memprihatinkan itu ia langsung percaya. "OK, sebentar." Arci mengeluarkan ponselnya. Ia pun menelpon Andini.
"Din, kamu di mana?"
"---"
"OK, jangan ke Vila dulu. Aku ketemu ama Rahma, kita sebaiknya ketemuan di depan alun-alun Batu."
"---"
"Nanti aku jelaskan. Ini darurat! OK"
Rahma sekarang lebih melihat Arci sebagai dewa penolongnya. Perasaannya sangat lega hari itu.
"Mau naik?" Arci menawarkan diri.
Segera saja Rahma naik ke motornya Arci. "Mau ke mana kita?"
"Ke alun-alun Batu. Kita ketemuan ama Andini di sana," kata Arci.
Mungkin Rahma agak aneh karena Arci tidak menyebut Andini dengan sebutan Bu Andini. Tetapi langsung namanya. Hal ini membuat Rahma sedikit curiga, jangan-jangan ada sesuatu antara Arci dan Andini. Sepeda motor pun langsung digeber dengan kencang.
"Pegangan!" kata Arci.
Rahma pun akhirnya memeluk pinggang Arci dengan kuat sambil memejamkan mata. Motor Supra-X itu pun melaju seperti orang kesetanan membelah jalan. Rahma tak terasa menempelkan pipinya ke punggung Arci, ia jadi teringat tentang Singgih. Bagaimana kabar cowoknya itu sekarang? Sudah dua tahun tak ada kabar, ia bahkan sudah pesimis bisa bertemu lagi dengan lelaki itu.
Butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai di alun-alun Kota Batu. Di sana Arci bisa mengenali mobil Andini, segera ia menghampiri mobil itu. Andini segera keluar dari mobilnya begitu melihat Rahma. Rahma pun segera turun dari boncengan Arci. Andini memakai baju blouse abu-abu dengan rok warna hitam. Ia tampak terlihat anggun dengan baju itu.
"Rahma, Kamu tak apa-apa?" tanya Andini.
"I-iya Bu, ada yang gawat. Ada orang yang merencanakan ingin mencelakai ibu." Rahma mengatur nafasnya sejenak, kemudian ia mulai bercerita dari awal sampai akhir. Sampai nafasnya hampir habis. Andini kemudian memberikan sebotol air minum setelah Rahma bercerita panjang lebar.
Arci tampak menampakkan mimik wajah serius, "Kita bagaimana sekarang?"
Andini berpikir keras. Tak mungkin ia tidak menghadiri rapat tersebut walaupun nanti ia bakalan dibantai habis-habisan oleh direksi. Arci juga berpikir keras. Hingga tiba-tiba dia ada ide.
"Aku yang akan menghadapi mereka hari ini. Kamu dan Rahma sembunyi dulu, lebih baik antar Rahma pulang soalnya sudah beberapa hari nggak pulang tentunya orang tuanya khawatir. Besok kamu baru muncul, sekalian dengan ibumu. Kamu tahu apa yang aku maksudkan," kata Arci.
"Serius? Mereka pasti akan mencariku," kata Andini.
"Trust me! Untuk sementara memang seperti itu," kata Arci.
"Aku tak percaya kalau Yuswan Andi ingin melakukan hal seperti itu," ujar Andini. "Kamu tak salah orang kan?"
"Tidak, aku sangat kenal sekali dengan mobilnya. Hanya saja aku tak tahu dia di toilet itu bicara dengan siapa," kata Rahma.
"Baiklah, ayo kita berangkat," kata Arci.
Rahma semakin curiga dengan cara ngomong dua orang yang ada di depannya. Mereka tampak lebih akrab seperti orang yang sudah kenal lama. Dan adegan berikutnya bikin Rahma nyesek. Arci mengelus pipi Andini! Whaat??
"Hati-hati!" kata Andini.
"Kamu juga!" balas Arci.
Kedua orang ini lalu menoleh ke arah Rahma. Mereka nggak agaknya sesaat lupa kalau ada Rahma di sana. Langsung mereka salah tingkah. Arci menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Rahma hanya nyengir.
"OK, Rahma ikut aku!" kata Andini. Rahma lansung beringsut masuk ke dalam mobil.
Arci kemudian menggeber sepeda motornya kembali ke Vila. Rapat kali ini bakal jadi ajang politik. Arci akan berusaha berpikir dengan kepala dingin. Dia akan mencoba untuk bisa stay cool, sekalipun tahu keadaan yang sebenarnya.
Vila yang dipakai rapat itu cukup besar dan mewah. Ini memang vila yang tiap tahun dijadikan tempat untuk rapat. Dan oleh keluarga Zenedine vila ini disewakan dengan harga yang tinggi. Selain vilanya sangat nyaman dengan berbagai fasilitas, vila ini juga dikelilingi pemandangan yang cukup memanjakan mata. Di dalamnya ada sebuah kolam renang dan juga tempat pemandian. Ada pula para pekerja yang memang dipekerjakan secara khusus di sini. Sehingga lebih mirip seperti sebuah hotel. Kamarnya pun ada banyak, kalau dilihat dari atas, vila ini seperti membentuk huruf U. Dari kiri ke kanan secara berurutan adalah ruang aula, kemudian ruang makan dan kamar. Di tengah-tengahnya ada sebuah kolam renang. Agak jauh dari kolam renang ada sebuah pemandian yang disekat antara pemandian pria dan wanita. Sebuah taman yang ditumbuhi tanaman hias berjajar mengelilingi vila itu.
Arci melangkah masuk langsung menuju ke sebuah ruangan yang digunakan untuk meeting. Melihat dia sendirian tanpa Andini membuat jajaran direksi bertanya-tanya. Mata Arci mengawasi siapa saja yang ada di sana. Tampak Yuswan Andi ada di sana.
"Saya mohon maaf, Ibu Andini tidak bisa hadir karena beliau harus ke rumah sakit," kata Arci mengada-ada.
"Hah, ke rumah sakit?"
"Begitulah, beliau menyuruh saya untuk mewakilinya." Arci kemudian mengambil tempat duduk. Semua pimpinan direksi saling berpandangan.
"Baiklah, kita langsung saja kalau begitu," kata Weny yang sepertinya tidak sabaran. "Saudara Arci, sudah disiapkan semua materinya."
"Tentu saja," kata Arci dengan percaya diri.
Rapat pun hampir saja dimulai, ketika beberapa orang masuk ke dalam ruangan direksi. Arci tak mengenal mereka. Tapi ketika semua orang yang ada di ruangan rapat berdiri Arci pun ikut berdiri. Ada seseorang dengan memakai jas yang rapi, rambutnya putih, matanya hijau. Sedangkan tiga orang yang lainnya, tampaknya hanya mengawal saja. Ada seorang wanita yang membawa map dan dua orang berkacamata berjalan di belakangnya. Orang itu sedikit tersenyum dan ia terkejut ketika melihat Arci. Sepertinya ia kenal dengan Arci.
"Siapa?" tanyanya.
"Saya Arczre, manajer marketing yang baru," jawab Arci.
"Oh, kenapa hanya empat. Mana Andini?" tanyanya.
"Saya yang mewakili dia."
"Kamu bisa apa?"
"Saya telah mempelajari apa yang harus saya pelajari untuk bisa rapat hari ini."
"Baiklah tunjukkan kepadaku! Sebelumnya kalau kamu belum tahu siapa aku. Aku adalah Pieter Zenedine, aku termasuk salah satu orang yang memegang saham perusahaan ini, juga anggota keluarga Zenedine. Sekarang, mari kita mulai saja. Dimulai dengan kamu, laporkan apapun yang ingin kamu laporkan dalam meeting tahunan ini."
Arci mengangguk. Ia kemudian mengambil tablet dan ponselnya. Semua orang kecuali tiga orang yang bersama Pieter duduk semua. Arci kemudian berdiri, beringsut menuju ke imager dan langsung mencolokkan kabel USB tabletnya ke imager. Ia memilih-milih file lalu dalam sekejap di layar sudah ada presentasi.
"Perusahaan kita sedang sekarat," kata Arci memecah suasana ketika hening. Di layar sudah ada beberapa bagan yang menjelaskan maksud Arci. Semua orang mengerutkan dahi. "Anda tahu kenapa sekarat?"
"Sekarat? Bukankah kita selama ini terus beruntung?" tanya Pieter.
"Tidak, kalau Anda melihat angka laba yang stabil tiap bulannya itu adalah angka yang mengerikan, saya jamin tiga bulan lagi perusahaan ini bangkrut."
"Kamu jangan mengada-ada, ini data dari mana? Andini harus bisa memberikan alasan yang jelas!" kata Tomi Rahardjo.
"Data ini bukan dari Andini tapi dari saya sendiri. Selama 2 minggu saya telah mempelajari seluk beluk pemasukan perusahaan ini. Kebanyakan yang terjadi adalah perusahaan-perusahaan cabang yang dipimpin oleh Anda semua melakukan persaingan pasar terhadap teman sendiri. Akibatnya pembeli bingung. Anda bisa lihat. Laba tiap bulannya konstan. Bahkan selama dua tahun. Apakah Anda tahu ketika laba konstan maka ada sesuatu yang terjadi dengan perusahaan ini yaitu sebut saja tidak berkembang."
Arci kemudian menampilkan slide lainnya. Di situ menampakkan foto-foto tentang barang di gudang.
"Saya mendapatkan fakta bahwa di gudang ada produk-produk yang sebenarnya masih bagus tapi tak laku dijual? Karena apa? Karena tak ada pemasaran yang sesuai. Semuanya menumpuk dan perusahaan hanya terfokus kepada produk yang menjadi trend sedangkan produk-produk lama yang jauh dari trend dibiarkan menumpuk digudang. Padahal kalau dijual sebenarnya masih laku, terlebih karena PT Evolus adalah sebuah perusahaan yang barang-barangnya sudah dikenal oleh banyak masyarakat."
Semua orang tercengang. Mereka tak pernah mengetahui ada barang yang menumpuk.
"Tapi tak perlu khawatir, karena saya sudah menyelesaikan permasalahan ini. Anda tahu? Sebagian konsumen kita mereka sebenarnya punya ide-ide yang briliant, saya kemudian membuat sebuah kuis di internet yaitu sebuah kuis untuk mereka yang punya ide desain untuk mendesain produk kita. Dan sebagai hadiahnya kita akan berikan banyak voucher dan hadiah langsung dari produk-produk kita yang menumpuk di gudang. Alhasil, peminatnya banyak yang mendaftar lebih dari 500 orang. Strategi pasar yang saya gunakan adalah mengusung komunitas-komunitas lokal untuk bisa memasarkan produk ini. Saya telah membuat sebuah portal yang bisa menghubungkan konsumen dengan kita. Alhasil mereka suka dan situs ini hanya dalam waktu satu bulan telah dikunjungi sebanyak satu juta pengunjung."
Pieter manggut-manggut.
"Dan kemudian, saya tahu saingan terbesar kita adalah PT Denim. Ya, dengan produk-produk mereka yang terus berinovasi kita akan ketinggalan. Kita akan kalah. Dan kita akan bangkrut karena dari fakta lapangan beberapa pasar kita telah dikuasai mereka. Hanya saja mereka tidak melangkah ke tempat kita melangkah. Saya menyerang mereka dari segi yang mereka tidak sangka, yaitu komunitas online. Kaskus, Lazada, Tokopedia, semuanya akan membicarakan produk kita. Dan dengan begini saya akan pastikan tiga bulan lagi laba kita akan naik. Otomatis kita tak perlu memusingkan diri untuk bersaing dengan PT Denim."
"Tapi, bukankah PT Denim lebih baik dalam masalah inovasi? Setidaknya kenapa kita tidak mencoba untuk bisa bekerja sama dengan mereka?" sela Yuswan Andi.
Arci kemudian menampilkan sebuah gambar. "Anda lihat, ini ada sebuah baju. Bajunya sangat menarik. Dengan setelan lengan panjang berwarna biru dengan motif batik di bawah, sebuah desain yang keren kalau dibuat bekerja. Apalagi warnanya khas seperti jins. Menarik bukan? Coba tebak ini produknya siapa?"
Semuanya tampak terkesima dengan model baju kemeja yang ditunjukkan oleh Arci.
"Kita tak pernah membuat baju bermotif batik untuk baju kemeja seperti itu!" kata Argha.
"Ya, kita tak pernah membuat baju bermotif batik seperti itu," sambung Weny.
"Pak Pieter?" tanya Arci.
"Itu baju kita, produk kita," jawab Pieter.
"Pak Pieter benar, ini produk kita," jawab Arci.
Semua orang tercengang.
"Bagaimana mungkin??" tanya Yuswan Andi.
"Ini produk pertama yang dibuat oleh Archer Zenedine. Di jaman itu di saat beliau masih menggunakan mesin jahit manual, beliau merancang baju ini. Anda mungkin lupa, tapi ini adalah produk pertama beliau. Dan lihat gambar berikutnya!" Arci menggeser slide. Dan tampak sebuah baju yang bentuknya sama. "Ini produk PT Denim yang baru saja keluar. Anda bisa lihat logo di kerah bajunya."
BRAK!
Pieter menggebrak meja. "Bagaimana mereka bisa mendapatkan itu??"
"Saya tak tahu, tapi yang jelas sebagian besar inovasi yang dilakukan oleh PT Denim berasal dari kita. Rancangan-rancangan model lama kita diambil oleh mereka dan diklaim sebagai produk mereka. Saya kira ada orang dalam yang ingin membuat perusahaan ini bangkrut," jelas Arci. "Dan bukan hanya produk ini saja. Ada banyak. Saya akan tampilkan di layar semuanya."
Arci kemudian menggeser slide, menampilkan perbandingan kedua produk antara PT Evolus dan PT Denim.
"Oh My God. What the FUCK is THIS SHIT?!" Pieter tampaknya gusar. "Kalian, jelaskan kepadaku, apa-apaan ini?!"
"Pak Pieter, kami baru saja tahu," jelas Yuswan.
"Arczre, jelaskan kepadaku data ini sangat valid?" tanya Pieter.
"Sangat valid, saya bisa antar kepada Anda di mana baju-baju ini dipajang," jawab Arci.
"Baiklah, apakah engkau punya solusi dari ini semua?" tanya Pieter.
"Sejujurnya, saya punya tapi....,"
"Tapi apa?"
"Alangkah lebih baiknya saya meminta masukan juga kepada semua orang yang ada di sini, kalau misalnya ide saya tidak diterima silakan berikan saya masukan, kalau misalnya diterima maka saya ingin kita semua komitmen untuk bisa melaksanakannya," kata Arci.
Sekilas wajah Pieter tampak menampakkan rasa penasaran. Tentu saja ia penasaran. Ia adalah sepupu dari Archer Zenedine. Melihat Arci ia jadi teringat saudara sepupunya itu. Semuanya mirip, baik itu wajah, suara dan perawakannya. Ia jadi penasaran siapa sebenarnya Arci.
"Baiklah, berikan kami idemu!" kata Pieter.
Arci menarik nafas dalam-dalam. Memberikan ruang sejenak di dalam paru-parunya untuk bisa mengeluarkans semua kata-katanya.
"Ide saya, kita biarkan masyarakat, kita biarkan customer yang memberikan kita ide. Dari customer, untuk customer. Kita akan berikan apresiasi yang pantas bagi desain mereka yang bisa kita pakai, bisa kita jual. Bahkan ke depannya kita akan mencoba berikan sebuah terobosan, 'You can desain your suit'"
"Maksudnya?"
"Kita akan membuat customer yang secara langsung memesan produk sesuai dengan ide mereka. Mereka lebih senang mendesain sebuah kemeja untuk lelaki, maka kita akan berikan kepada mereka untuk mendesain model mereka sendiri."
"Itu ide gila!"
"Gila, tapi itu akan membuat kita di mata customer lebih naik. Saya bertaruh ide tidak masuk akal ini tidak akan dipakai oleh PT Denim. Dan sebaiknya kalau misalnya ada di antara kita yang berniat untuk bergabung dengan mereka, buang saja jauh-jauh hal itu."
Semua yang ada di ruangan itu tercengang. Harusnya hari itu akan menjadi pembantaian bagi Andini, tapi Arci membuat semuanya berbalik. Dia menguasai forum.
"Ide itu pernah diusulkan oleh Archer dulu, tapi sebelum terlaksana ia telah pergi terlebih dulu," kata Pieter.
Arci sedikit terkejut. Well, mungkin karena memang sifat bapak niru kepada anaknya. Ia punya pikiran yang sama dengan mendiang sang ayah. Itu suatu yang tak pernah ia duga sebelumnya. Arci hanya bisa menyunggingkan senyumnya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Setelah seharian mengikuti meeting, akhirnya rapat hari itu sukses. Besok akan ada pembacaan wasiat dari Archer Zenedine. Seluruh pimpinan direksi dan hampir semua keluarga Zenedine akan datang. Sebagian sudah tahu isi wasiat itu, sebagian tidak tahu. Beberapa keluarga Zenedine tahu tapi hanya sebagian kecil, mereka hanya penasaran siapa anak dari Archer yang akan menjadi pewaris tahta.
Arci tidak menginap di villa itu, sedangkan yang lainnya menginap di sana. Ia lebih memilih menuju hotel tempat Andini menginap. Rahma telah dipulangkan ke rumahnya, tentu saja kedua orang tuanya sangat khawatir. Akhirnya mereka bisa bernafas lega setelah mengetahui Rahma selamat. Arci segera menemui Andini setelah sampai di hotel itu. Ia pun mengetuk pintu kamar Andini.
Andini pun membuka pintu. Arci kemudian masuk.
"Bagaimana rapat tadi?" tanya Andini.
"Tenang saja, aku sudah menghandlenya. Aku mengatakan kalau kamu masuk rumah sakit," jawab Arci.
"Fiyuuh...trus?"
"Besok. Kita lihat saja apa yang terjadi besok."
Arci menghadap ke Andini. Arci lebih tinggi dari Andini, tapi perbedaan usia mereka tentu saja berbeda. Bagi Arci ia sangat takjub dengan Andini. Bagaimana ketika ia bertemu dengannya dulu, dalam keadaan yang sangat berbeda dengan hari ini.
Arci memegang pipi Andini, tangan itu terasa lembut di pipi Andini. Ia merasakan kesejukan ketika tangan lembut pemuda itu membelai pipinya. Andini memejamkan mata. Agaknya ia pasrah terhadap apa yang akan dilakukan pemuda itu. Di kamar hotel, berduaan. Arci bisa saja melakukan yang lebih jauh dari sekedar menciumnya. Tapi hari itu ia hanya mendaratkan sebuah ciuman ke bibir Andini dan memeluknya.
Dalam pelukannya Andini berkata, "Aku sangat merindukanmu. Kamu tahu itu?"
"Kamu beda sekali."
"So, Mr. Zenedine. I'm yours."
"No no no, not like this. Aku sudah berjanji akan menikahimu. Kamu bisa tunggu?"
Arci memegang bahu Andini. Wanita ini hanya tersenyum, senyum kebanggaan memiliki kekasih seperti Arci.
"Tapi bagaimana kita tidurnya? Just single bed," gumam Andini yang masih dipeluk.
"Hmm... it's OK. Aku bisa tidur sambil memelukmu."
"Yakin kuat?"
"Apanya?"
"Yakin nggak tergoda?"
"Coba aja."
Andini melepaskan pelukannya. Ia kemudian melepaskan kemejanya, lalu roknya hingga ia hanya memakai g-string dan bra. Arci menelan ludah dengan sangat susah. Andini memberi isyarat dengan jari telunjuknya agar Arci mendekat.
"Wah, dia goda aku nih," katanya dalam hati.
Tubuh Andini sangat mulus, kuning langsat, tanpa cacat. Tak ada bekas luka apapun, bulu-bulu halus tumbuh di sekitar lengannya, tampak urat-uratnya di payudaranya kelihatan pertanda dua buah bukit kembar itu tak pernah disuntik silikon. Buah dada berukuran 34 D ini seakan tak muat dibungkus oleh bra berwarna krem itu. Arci pun membuka kemejanya, sama seperti Andini, ia kini hanya memakai boxer. Sebagai laki-laki normal tentu saja senjatanya sudah mengeras.
"Hahahaha, sudah keras aja tuh," kata Andini.
"Yah, kalau nggak gini ya nggak normal. Hehehhe," kata Arci.
"Baiklah, aku mau tahu seberapa kuat kamu menahan diri. Hihihi."
Arci tanpa basa-basi langsung menerjang Andini. "Aw!"
Mereka pun saling bercumbu, seperti melepas kerinduan yang selama ini mereka pendam. Arci meremas buah dada atasannya itu tanpa ada rasa sungkan. Rasa cintanya makin besar, ia ingin melampiaskan semuanya malam itu. Tapi Arci tetap akan memegang janjinya, sebelum menikah ia tak akan menyentuh Andini lebih jauh.
"Boleh aku lihat dalamnya?" tanya Arci saat menyentuh buah dada Andini.
Wajah Andini bersemu merah. Ia baru pertama kali disentuh lelaki seperti itu. "Te..tetapi kamu janji kan nggak masukin?"
Arci mengangguk. "Aku janji"
Andini menaikkan punggungnya sehingga tangan Arci bisa menggapai kaitan bra di punggungnya. Dalam sekejap dua buah bukit kembar dengan puting yang sudah mengeras terpampang di hadapannya. Arci menatapnya tanpa berkedip. Tentu saja ia sesaat membandingkan dengan punya Safira. Jelas, punya Safira tak ada apa-apanya dibandingkan ini. Yang ini lebih besar, lebih kencang, dan putingnya mengeras.
"Jangan tatap gitu ah, malu!" kata Andini mengalihkan wajahnya.
"Kamu punya buah dada yang sangat mempesona," kata Arci.
"Cici, jahat!"
"Boleh aku hisap?"
Andini mengangguk.
Arci pun mulai bekerja. Bibirnya mulai mengecup puting susu Andini. Andini menggelinjang. "Aaahh...Ciii...!"
Arci menikmati setiap kelembutan yang hinggap di bibirnya. Andini pun merasakan sentuhan seorang lelaki yang kini mulai menikmati payudaranya. Ia memeluk Arci, meremas setiap sudut kepala pemuda ini hingga Arci tak bisa bernafas karena terbenam dalam dua buah bola yang empuk. Arci menghisap bergantian kedua puting tubuh wanita yang sempurna ini.
"Cii...geli..."
Puas dengan payudara Andini, Arci mulai menciumi semua tubuh wanita ini. Dari kening, kedua kelopak matanya, pipi, leher, lalu dada, ketiaknya--yang ini membuat Andini menggelinjang hebat, Arci sampai menjilati ketiak Andini yang bersih serta wangi ini--lalu pinggulnya, pahanya, betisnya hingga kemudian Arci mengemut jempol kaki Andini yang membuat wanita ini tubuhnya melengkung.
"Ciii...memekku gatel, masukin yuukk....plissss..!" Andini merengek. Arci melihat g-string milik Andini basah. Ia menyentuh daerah selakangan Andini, seketika itu gadis itu menggeliat dan menjerit. "Aawwww! Jangan disentuh Cii...!"
"Kenapa?"
"Aku keluarrrr...!"
"Lho, aku belum ngapa-ngapain lho." Arci pun dicubit pinggangnya. "Aduh!"
"Jahat! Cici jahat! Aku keluar banyak gini!"
"Lihat, siapa yang nggak kuat??"
"Ahhh....Cici jahaaat!"
Arci lalu berbaring memeluk Andini erat-erat sementara Andini bergeser berada di atas tubuh lelaki itu. Ia pun menggesek-gesekkan kemaluannya di tonjolan boxer Arci.
"Duuhh...Ciii, enak bangeetttss!"
"Aww.....aduh...iya Ni, enaaakk!"
Andini pun menggesek-gesekkan kemaluannya. Klitorisnya benar-benar seperti dikoyak oleh tonjolan kemaluan Arci. Tiba-tiba di saat bergoyang Andini pun menghentikan aktivitasnya. Ia berdiri lalu melepaskan G-Stringnya. Dan terlihat jelas sebuah tempat privat wanita yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Arci kaget melihat Andini telanjang tanpa sehelai benang pun. Dan lebih kaget lagi ketika Andini berusaha melepas boxer yang ia pakai.
"Lho, lho, Dini...kamu mau apa?"
"Udah deh, nikmatin aja!"
Tanpa disangka keduanya sekarang telanjang bulat. Rudal Arci mengacung ke atas dan Andini merangkak di atas tubuhnya. Dia pun kemudian menduduki batang monumen nasional itu. Arci menggelinjang geli ketika cairan Andini yang membasahi memeknya kini juga membelai batang penisnya. Andini mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur. Ini seperti batang Arci dikocok oleh jepitan memek Andini. Sensasinya cukup membuat ia terangsang dan benar-benar membakar birahi. Arci pun meremas kedua toket Andini.
"Dini...ohhhhhh.... kita kayak orang ngentot!" rancau Arci.
"Kita simpan pertemuannya nanti malam pertama yach yang? Sekarang, kita cukup begini aja," kata Andini.
"Aaahh...Diinnniii...!"
"Achh...Cii..enaaak...uuufffffhhh!"
Andini terus menggesek-gesekkan bibir kemaluannya dengan batang kemaluan Arci. Rasanya juga sudah cukup enak. Kemaluan Andini juga sudah gatel ingin segera mengeluarkan orgasmenya lagi. Sedangkan Arci pun juga merasakan sesuatu yang akan meledak.
"Diinn..aku kayaknya mau keluar," kata Arci.
"Keluarin yang, aku juga nih," kata Andini.
"Aaahhh....toketmu gedhe gilak!"
"Kamu suka?"
"Suka banget!"
"Oohhhh...Cinta....aku keluuuuaaaaaaaaaaarrrrrr!"
"Akhhhh!"
Jeritan keduanya mengakhiri pergumulan keduanya, semburan sperma hangat menyembur ke perut Arci dan Andini. Keduanya lantas langsung berpelukan erat. Andini memeluk Arci dengan erat, menindihnya, meluapkan semua perasaannya kepada orgasme keduanya. Walaupun tidak memasukkan kemaluannya ke liang senggama Andini, Arci sudah merasa cukup puas. Ia tak memaksa Andini, apalagi ia ingin hubungan ini terjalin dengan baik.
Keduanya berpelukan dalam sebuah selimut tebal. Andini merasa tentram dalam dekapan kekasihnya. Sang kekasih yang tetap memegang janjinya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Besoknya, saat yang ditunggu. Arci dan Andini hadir. Dalam sekejap vila tersebut dipenuhi mobil-mobil mewah, hampir semua keluarga Zenedine dan orang-orang yang dekat dengan Archer Zenedine hadir di sana. Dan tentu saja Bu Susiati sebagai seorang pengacara yang sangat disegani ada di sana.
Arci melihat dengan seksama seluruh keluarga Zenedine. Sebentar lagi semua orang akan tahu siapa dirinya. Ia tak tahu apa nanti yang akan terjadi. Tiba-tiba ia teringat dengan Letnan Yanuar. Tentang kelakuan keluarga Zenedine yang sebenarnya mereka semua adalah mafia. Arci tak tahu apa yang harus dilakukan, apakah ia akan menerima tawaran itu ataukah tidak. Mengumpulkan bukti-bukti untuk menghukum anggota keluarganya sendiri?
Bu Susiati mulai mengeluarkan sebuah CD. Ia kemudian memasukkannya ke sebuah player. Sebuah imager yang terpampang di tengah ruangan pun mulai menampilkan Video Player. Bu Susiati kemudian memutar video itu. Setelah itu muncul wajah Archer Zenedine. Arci mengetahuinya.
"Ini adalah wasiatku. Aku Archer Zenedine. Aku tahu kalian pasti akan bertanya-tanya kenapa harus hari ini, tanggal 31 Mei beberapa tahun setelah aku wafat. Jawabannya hanya satu. Karena hari ini adalah hari ulang tahun putraku. Putra semata wayangku. Dialah satu-satunya yang berhak atas semua kekayaanku, dan satu-satunya orang yang akan mengarahkan kemana perusahaan yang diwariskan oleh Arthur Zenedine kepadaku.
"Namanya adalah Arczre Vian Zainal. Dia adalah anak biologisku dengan seorang wanita yang sangat aku cintai, Lian. Semuanya telah sah aku tanda tangani dan mulai hari ini Arczre mewarisi semuanya. Dia berhak menjadi anggota keluarga Zenedine, dia berhak atas semuanya. Dan kepada anggota keluarga yang lain, semuanya telah aku bagikan yang mana akan diurus oleh pengacaraku. Sekian. Dan untuk Arci, aku pesan kepadamu follow your heart"
Berakhirlah rekaman video itu.
"Ini semua yang menjadi wasiat dari Archer Zenedine, dan ini sudah menjadi ketetapan hukum tidak bisa diganggu gugat," kata Bu Susiati.
"Ini gila, ini tidak mungkin. Siapa anak pamanku itu? Toh kita tak tahu dia masih hidup atau tidak," protes seorang pemuda. Ia sepertinya lebih muda sedikit dari Arci.
"Aku tak setuju, wasiat sampah. Akulah yang seharusnya menjadi pewaris resmi," ujar seorang lagi.
Lalu seluruh ruangan menjadi ricuh. Tapi Pieter yang saat itu juga ada di tempat itu mengangkat tangannya. Semua orang langsung terdiam. Ternyata Pieter punya pengaruh yang luar biasa di keluarga ini.
"Arczre Vian Zainal anak Archer Zenedine ada di sini, bukan begitu?" tanya Pieter sambil menoleh ke arah Arci. Tatapan Pieter itu seolah-olah dia sudah mengetahui semuanya.
"Ya, dia ada di sini," kata Bu Susiati.
"Mana?!" teriak salah satu anggota keluarga Zenedine.
"Saya orangnya," Arci melangkah maju.
Semua mata tertuju kepadanya.
Tiba-tiba dari kerumunan keluarga Zendine seorang wanita bergerak maju dan mengacungkan sepucuk pistol ke dahi Arci. Wanita itu tampak masih muda, cukup cantik, tatapan matanya tajam dan bulu matanya tebal. Pistol model glock itu sudah hampir ditarik pelatuknya dan Arci tentu saja kaget. Jantungnya hampir copot.
"Ghea!" bentak Pieter. "Kamu mau apa?"
"Aku akan menghabisi orang yang mengaku sebagai anak paman Archer ini, dia tak pantas menyandang nama keluarga Zenedine. Kalau dia dihabisi bukankah kekayaannya bisa dibagi ke kita?!" kata gadis yang sepertinya masih berusia 21 atau 22 tahun.
"BODOH!" bentak Pieter. "Kalau kamu membunuhnya maka tidak satupun dari kita akan mendapatkan warisan itu, bahkan semuanya akan disumbangkan ke yayasan sosial."
"Jadi aku harus menerima dia sebagai anggota keluarga kita?"
"Tentu saja, lagi pula dia tak sebodoh yang kamu kira," kata Pieter sambil terus bersuara lantang.
Semua orang membisu. Wanita yang dipanggil Ghea itu pun menurunkan pistolnya. Arci menarik nafas lega.
"Aku tak suka kepadamu, sepupu!" Ghea mendorong Arci. Arci mundur satu langkah. Setelah itu dia pergi meninggalkan Arci.
Hari itu tentu saja semua berubah. Semua orang mau tidak mau harus menerima Arci. Keadaan yang tidak menguntungkan bagi keluarga Zenedine. Tapi mereka harus menerima. Sebagian yang lain mulai merancang sesuatu, Arci tahu di antara mereka tidak akan ada yang bisa diajak bersahabat. Mereka hanya ingin hartanya.
"Arci, apa yang akan kamu lakukan sebagai pemimpin perusahaan ini?" tanya Pieter.
Arci menghirup nafas dalam-dalam.
"Jangan takut, keputusanmu adalah keputusan kami juga. Tapi, kalau kamu ingin menghancurkan apa yang dirintis oleh kakekmu, aku tidak akan tinggal diam," kata Pieter.
"Baiklah, kalian sudah mengetahui apa rencanaku ke depan dari rapat kemarin bukan?"
Semuanya mengangguk.
"Hal pertama yang ingin aku lakukan adalah memecat Yuswan Andi dari jajaran direksi."
Sontak hal itu membuat semuanya terkejut. Ruangan itu jadi ricuh.
"Hei, anak muda!? Apa yang kamu lakukan? Salahku apa?" Yuswan Andi protes.
"Kamulah orang yang telah membocorkan rancangan kita kepada PT Denim, kamu berusaha untuk bisa mempersatukan perusahaan ini dengan PT Denim dan rencanamu itu telah di dengar salah satu rekan kerjaku Rahma. Kamu juga berniat buruk kepada Andini, tapi sayangnya aku telah mengambil alih rapat kemarin," ujar Arci.
"Betulkah katamu itu?" tanya Pieter.
"Aku bisa mendatangkan Rahma menjadi saksi," jawab Arci.
"Jadi, dia yang membocorkan desain itu?" tanya Pieter.
"Aku bisa jelaskan semua," Yuswan Andi berusaha membela diri.
Pieter memberi isyarat. Tiba-tiba seorang berkaca mata hitam muncul dari belakang Yuswan Andi dan menodongkan pistolnya lalu....
DOR!
Sebuah peluru menembus kepalanya. Yuswan Andi belum sempat bicara. Ia sudah tewas di tempat. Andini kaget dan langsung memeluk ibunya. Semua orang tak tega melihat itu. Pembunuhan tepat di depan mata mereka. Arci benar-benar menyaksikannya secara langsung. Darah segar menggenangi lantai tepat di mana Yuswan terbujur kaku.
Pieter menghampiri tubuh Yuswan Andi, ia lalu berkata, "Aku tak suka pengkhianat. Aku sudah bilang aku tak suka pengkhianat. Kalian lihat? Aku sudah tegaskan kepada kalian. Kalau sampai ada yang berkhianat aku tak akan memaafkan orang itu. Dan kamu Arci, termasuk kamu. Kami rela kehilangan semua warisan dari Archer, kalau kamu berkianat kepada kami. Kamu mengerti?"
Arci menelan ludah. Pandangannya terpaku kepada Pieter. Pieter hanya tersenyum, ia lalu menepuk pundak keponakannya.
"Santai saja, selamat datang keponakanku. Kamu perlu berkenalan dengan kami semuanya nanti," kata Pieter. "Maaf, sambutanku yang tidak pantas ini."
Setelah itu Pieter dan keluarga Zenedine keluar semuanya dari ruangan. Arci masih begidik melihat Ghea yang tadi menodongkan pistolnya ke kepalanya. Ia masih terasa dinginya besi yang menempel di dahinya tadi. Ghea, hanya tersenyum simpul kepadanya.
"Bu Susiati, ini kejahatan bukan?" tanya Arci sambil berbisik. "Kenapa Anda diam saja?"
"Arci, ada kalanya uang dan pengaruh lebih berkuasa dari hukum. Kamu akan sering melihat seperti ini di keluarga ini. Aku hanya bisa menolongmu untuk mendapatkan kekuasaan di keluarga Zenedine. Selebihnya engkau harus berusaha sendiri," bisik Bu Susiati.
"Lalu??"
"Berusaha jangan mati," kata Bu Susiati.
Kepala Arci pusing. Ia baru kali ini melihat seseorang dieksekusi tepat di depan matanya. Agaknya ia harus melaporkan ini kepada Letnan Yanuar. Tapi ancaman dari Pieter tadi bukan main-main. Ia sekarang sedang berada di sebuah platform yang sangat berat untuk diduduki, seseorang yang dijuluki Inheritance. Keturunan. Dan dia menyesal mendapatkan semuanya sekarang.
Arczre mengambil alih perusahaan PT Evolus. PT Evolus mempunyai Presiden Direktur baru. Ya, itulah judul headline koran. Seorang yang tiba-tiba berada di puncak. Tapi inilah hasil dari harga yang harus dibayar mahal oleh Arci dan keluarganya. Hidup bertahun-tahun berpindah-pindah dikejar renternir, debt colector hingga orang-orang yang tak jelas yang ingin membunuh mereka. Sekarang Arci bisa berdiri di puncak. Namun tetap saja ada orang-orang yang tak suka ia berada di sana. Terlebih setelah ia mengetahui bagaimana sejatinya keluarga Zenedine. Mereka semua mengerikan.
Arci mau tak mau harus mengakui dirinya butuh sekutu. Ia sendirian di keluarga ini. Tak ada yang mendukungnya. Arci pun datang ke Letnan Yanuar setelah ia menelpon polisi itu. Mereka pun bertemu di sebuah kafe.
"Kau tak perlu takut, kita aman," kata Letnan Yanuar. "Siapapun tak akan ada yang curiga kamu ngobrol dengan siapa."
"Ini gila," kata Arci. "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Pieter membunuh orang, tepat di depanku!"
"Aku tahu, korbannya Yuswan Andi," kata Letan Yanuar.
"Lalu kenapa dia tidak ditangkap?"
Letnan Yanuar menggeleng. "Kamu kira menangkap dia semudah menangkap nyamuk? Siapa saksinya? Kamu?"
"Bukankah banyak yang melihat?"
"Banyak yang melihat? Kamu tahu seberapa takut mereka kalau melaporkan kejadian itu? Ini tidak terjadi pertama kali, tapi lebih dari itu, beberapa tahun yang lalu juga terjadi hal serupa, tidak didor, tapi dijatuhkan dari atas gedung. Otaknya berhamburan di bawah. Dan kamu tahu nasib orang yang melaporkannya? Sama. Jatuh dari atas gedung. Pieter bukan orang sembarangan. Kalau kamu mau mengalahkan dia, maka kamu harus mencabut satu demi satu gigi-giginya. Dia itu seperti macan yang gigi-giginya tajam. Untuk melumpuhkannya, tentu saja cakarnya harus dipotong, giginya dicabut baru kita bisa mengalahkannya."
Arci menggaruk-garuk kepalanya yang makin pusing.
"Kamu butuh sekutu di dalam keluarga itu, Arci!" Letnan Yanuar kemudian menyerahkan beberapa dokumen. "Ini data tentang keluarga Zenedine. Pelajarilah, hanya ini yang bisa aku bantu. Dan satu lagi, kalau kamu ingin disegani oleh mereka, dekati Pieter dan Ghea. Dua orang ini ayah dan anak. Pieter saudara jauh dari Archer, lebih tepatnya sepupunya. Sebenarnya kalau saat itu dia tidak terlibat kasus kriminal, maka dia akan memimpin perusahaan ini. Tapi sekalipun begitu dengan bisnisnya yang entah apa namanya ia berhasil mempunyai banyak uang dan sahamnya termasuk salah satu yang tinggi di perusahaan ini.
"Pieter terkenal sebagai orang yang menjalankan bisnis. Dia orang kepercayaan Arthur. Segala sesuatu yang berbau kotor, ia pasti pelakunya. Tapi setiap polisi akan menangkapnya, bukti-bukti itu selalu hilang. Tak berbekas. Ghea, dia cewek yang mengerikan. Kalau kamu bisa mendapatkan dia sebagai sekutumu, kamu tidak akan dianggap remeh oleh keluarga Zenedine. Sebab apapun yang dianggap baik oleh Ghea, maka banyak keluarga yang mendukung. Satu lagi, ia berdarah dingin. Tak segan-segan menembak orang yang tidak disukai."
Arci melihat dua buah foto. "Ini? Siapa mereka?"
"Yang laki-laki namanya Tommy Zenedine, dia pekerja seni. Ia tak mau terlibat panasnya intrik keluarga Zenedine, sekarang tinggal di Paris. Yang satunya Areline. Dia sekarang masuk rumah sakit jiwa karena terlalu banyak mengkonsumsi barang haram ketika muda hingga otaknya goyah. Kamu bisa tak perlu mencampuri urusan mereka."
"Yang lainnya?" tanya Arci.
Letnan Yanuar memberikan dokumen lainnya. Arci pun menerimanya.
"Pelajari semuanya. Mereka sangat berbahaya," kata Letnan Yanuar.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Arci.
"Kumpulkan bukti-bukti agar aku bisa menjerat mereka satu per satu. Di dokumen ini ayahmu memberikan catatan tentang siapa saja yang berbuat kriminal. Pelajari saja. Kamu akan mengerti nantinya. Dan satu lagi...," Letnan Yanuar merogoh sakunya dan menyerahkan sebuah flashdisk USB.
"Apa ini?" tanya Arci.
"Kalau kamu pernah melihat video tentang ayahmu, ini video yang lainnya. Dia menyerahkannya kepadaku sebelum pergi. Dan dia benar-benar menyuruhku agar jangan sampai benda ini jatuh ke tangan orang yang salah," jawab Letnan Yanuar. Ia menyeruput kopinya yang sudah dingin.
Arci membolak-balik dokumen-dokumen itu.
"Aku tinggal dulu," ujar Letnan Yanuar. "Kalau kamu ingin menghubungiku, kamu tahu harus ke mana." Ia pun beranjak dari tempat duduknya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Tinggal di rumah baru. Rumah peninggalan Archer Zenedine. Siapa yang tak suka? Baik Lian, Safira dan Putri sangat senang. Kehidupan mereka berubah sekarang. Mereka sudah tidak kekurangan lagi. Lian dan Safira pun akhirnya tidak lagi mendalami profesi mereka. Kini keduanya menjadi orang yang bebas. Menikmati apa yang telah disiapkan oleh Archer Zenedine. Safira lebih bahagia kini, ia bisa tinggal bersama Arci. Lebih tepatnya dia sekarang seperti istri yang melayani suaminya.
Agaknya sedikit bimbang bagi diri Arci. Bagaimana kalau Andini tahu hubungan dia dengan kakaknya sendiri? Sebuah hubungan tabu yang bisa membuat dia dan Andini berpisah. Aci menyukai Andini tentu saja. Ia sangat mencintainya. Tapi ia juga tak bisa menelantarkan cinta Safira. Apalagi mereka adalah kakak adik. Di rumah mereka sangat mesra. Bahkan mungkin Lian sedikit cemburu dengan tingkah anak-anaknya ini. Tapi di dalam diri Arci ada sebuah perasaan galau. Hingga suatu ketika saat mereka telah selesai bercinta, keduanya saling berpandangan.
"Aku takut," kata Arci.
"Takut kenapa dek?" tanya Safira.
"Kita sekarang berada di sarang singa. Semua anggota keluarga Zenedine memusuhi kita. Kakak mungkin tahu bagaimana kita dulu harus berpindah-pindah, semuanya salah satunya adalah karena ulah mereka. Tapi siapa aku masih belum tahu."
Safira tak berkata-kata. Ia makin merapatkan tubuh tanpa busananya ke tubuh Arci. Mereka pun berpelukan. Arci membelai rambut kakaknya.
"Aku sekarang ini sedang menjalin hubungan dengan seorang wanita," kata Arci.
"Oh ya? Siapa?"
"Kakak masih ingat saat aku menjadi gigolo dulu?"
"Ya?"
"Aku sekarang menjalin hubungan dengan dirinya."
"Oh.."
"Dan sebenarnya waktu itu aku tak melayani dia. Aku menolaknya dan ternyata mereka malah memberiku uang yang banyak. Mereka ternyata mendapatkan mandat dari ayahku untuk memberikan uang itu kepadaku."
"Yang benar?"
"Iya. Dan sekarang wanita yang saat itu ada di dalam kamar hotel saat itu,...sekarang aku telah menjalin hubungan dengan dia. Dan kita serius. Dia bosku sendiri di perusahaan ini."
Dada Safira terasa sesak. Ia tahu hal ini bakal terjadi. Arci mencintai wanita lain. Ia cemburu. Tapi sebagai seorang kakak ia tak ingin adiknya sakit hati. Ia ingin membiarkan Arci dengan cintanya. Hanya saja ia tak rela kalau adiknya direbut oleh orang lain. Tiba-tiba air matanya mengalir. Arci mengetahui hal itu.
"Kakak menangis?"
"Nggak koq dek. Nggak."
"Itu?" Arci menghapus air mata Safira.
"Aku kakakmu, aku akan mendukung apapun yang kamu lakukan. Tapi...sungguh, mendengar ceritamu aku tak tahu harus bahagia atau sedih."
Arci lalu mendekap Safira. "Kamu tetaplah Kak Safira sampai kapan pun."
"Kenapa aku bisa jadi kakakmu? Aku ingin jadi kekasihmu. Tak bisakah itu terjadi?"
"Kamu kakakku dan juga kekasihku."
"Tapi kamu mencintai dia bukan? Rasanya sakit dek...dadaku sakit."
"Maafkan aku."
Safira menangis dalam pelukan Arci. Kamar yang baru mereka tempati hari ini merupakan saksi bisu bagaimana Safira mengutarakan kecemburuannya kepada Andini. Tapi seharusnya ia tak boleh cemburu. Tapi cinta tak bisa dipaksakan. Cinta Arci kepada Andini adalah cinta yang tulus. Dan ia ingin menjaganya. Dan cintanya kepada Safira, adalah cinta seorang adik kepada kakaknya. Andainya bisa lebih, apa yang akan terjadi nanti?
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci membaca semua dokumen yang diberikan oleh Letnan Yanuar. Ternyata anggota keluarga Zenedine punya pengaruh yang luar biasa. Baik di dalam bisnis dan politik.
Tommy Zenedine
Usia 45 tahun. Adik dari Archer Zenedine. Sekarang menjadi seniman di Perancis. Sudah 10 tahun tidak pulang ke Indonesia.
Araline Zenedine
Usia 40 tahun. Adik dari Archer Zenedine. Sekarang tinggal di RSJ karena gila setelah terlalu banyak mengkonsumsi narkoba.
Pieter Zenedine
Usia 55 tahun. Sepupu Archer, orang yang lebih banyak berkecimpung di dunia hitam. Semua bisnis PT Evolus dia yang menjaga. Saat terjadi peralihan kekuasaan ke Archer ia tak masuk kandidat karena mendekam di penjara.
Ghea Zenedine
Anak dari Pieter. Pernah melakukan pelatihan di SAS. Namun dia dikeluarkan lantaran memotong salah satu kemaluan anggota SAS. Hanya dia satu-satunya wanita yang punya kemampuan militer. Bertempramen tinggi dan berbuat seenaknya.
Johan Sebastian
Suami dari Araline. Sekarang mengelola bisnis sendiri, bisnis yang ditekuninya adalah di bidang properti. Dia mendapatkan kekayaan dari istrinya dan digunakannya sebagai modal usaha.
Amanda Zenedine
Amanda Zenedine adalah istri dari Archer Zenedine. Tidak banyak yang diketahui darinya karena dia sangat tertutup. Darinya Archer tidak mendapatkan keturunan.
Alfred Zenedine
Alfred Zenedine adalah anak dari Tommy. Berbeda dari ayahnya, dia lebih banyak bekerja dalam bidang teknologi. Dia mempunyai toko elektronik yang cukup besar.
Jacques Kenedy
Jacques adalah tangan kanan Pieter Zenedine. Tak ada yang tahu identitas dan masa lalunya. Yang jelas dia tidak bisa diremehkan karena segala urusan kotor sekarang ini ditangani oleh Jacques.
Michael Hurtman
Salah satu menantu keluarga Zenedine. Dia orang yang berasal dari Amerika, seorang pengusaha real estate yang sekarang tinggal di Indonesia. Istrinya adalah Alexandra Zurky.
Alexandra Zurky
Kalau tidak jadi orang yang beruntung maka Alexandra tidak akan masuk ke keluarga Zenedine. Dia boleh dibilang beruntung karena dulu pernah dinikahi oleh Kevin Zenedine, sepupu Archer. Setelah suaminya meninggal, dia mewarisi semua hartanya. Kemudian dia menikah dengan Michael.
Arci kemudian memutar sebuah file video dari USB yang diberikan oleh Letnan Yanuar. Dia melihat wajah ayahnya lagi. Kemudian Archer mulai bicara.
"Arci, kalau kamu menerima file ini itu artinya kamu sudah masuk ke dalam keluarga Zenedine dan kamu mendapatkan warisan dariku. Selamat. Gunakan warisan itu sebaik-baiknya. Aku tak bisa menjagamu, andainya aku masih hidup saat melihatmu aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membelamu, melindungimu dan juga ibumu. Aku ingin kamu tahu, aku sangat mencintai kalian dan aku tak ingin kalian disakiti.
"Aku meminta tolong kepada Letnan Yanuar untuk bisa menolongku menyerahkan rekaman ini kepadamu. Sekali lagi, jangan percaya kepada siapapun. Setiap anggota keluarga Zenedine adalah singa-singa yang kelaparan. Kalau kamu sudah masuk ke sana berarti kamu telah masuk ke sarang singa. Saranku, jadilah singa. Kamu harus bisa menunjukkan kemampuanmu, jangan menyerah, wasiatku kepadamu yang terakhir adalah hancurkan keluarga Zenedine. Balaskan dendam ibumu, balaskan dendam orang-orang yang telah menghancurkan hidup ayah dan ibumu. Aku belum bisa mengumpulkan cukup bukti tapi kalau engkau masuk ke bagian produksi barang-barang yang diekspor kamu akan mendapati sesuatu yang tak pernah kamu duga.
"Dekatilah Pieter, dekatilah Ghea, dengan mendekati keduanya kamu akan tahu bisnis gelap apa yang mereka lakukan. Aku hanya punya satu teman di keluarga ini, yaitu istriku sendiri. Amanda. Aku tak pernah menyentuhnya, karena aku masih mencintai ibumu sampai sekarang. Dia satu-satunya yang bisa dipercaya di keluarga Zenedine, karena ia wanita yang entah bagaimana tersesat di sana. Hancurkan keluarga ini. Mereka tak berhak lagi untuk bisa menikmati kehidupan mereka. Dan kamu jangan khawatir. Kekayaanku sangat banyak bahkan kalau toh kamu menghancurkan setiap sendi dari mereka, kamu tak akan kehilangan satu sen pun dari kekayaanku.
"Arci, maafkan aku. Andai aku bisa hidup lebih lama lagi. Aku hanya bisa berkata 'Jangan percaya kepada siapapun'. Dan...jangan mati."
Video pesan dari ayahnya sudah selesai. Dan Arci hanya terbengong. Ia tak menyangka seperti ini. Isi flashdisk itu dibuka dan ada beberapa file tentang aliran dana, aliran uang perusahaan. Ternyata ayahnya mencatat semuanya, mencatat semua data keuangan yang tidak biasa. Arci tak percaya kalau tidak melihat sendiri.
Bicara tentang data keluarganya, maka data itu tidaklah lengkap. Arci tahu itu. Apakah mereka semua punya usaha di dunia hitam? Kalau misalnya dia membantu polisi itu, berarti dia sama saja ingin menghancurkan keluarganya. Apalagi ancaman Pieter, kalau misalnya dia berkhianat. Apa yang harus dia lakukan? Arci menumpuk dokumen-dokumen itu di atas mejanya. Hingga kemudian bel berbunyi.
TING TONG!
Agak aneh kalau sampai ada tamu sedangkan dia sendiri belum mengumumkan di mana alamat rumahnya yang baru. Arci segera menuju ke pintu. Ia melintasi ruang tamu kemudian mengintip dari lubang pintu. Dia melihat seorang wanita paruh baya, cukup cantik dengan baju warna hitam dan rambutnya yang berombak. Seorang wanita yang tidak dikenal sekarang sedang berada di luar pintu rumahnya. Kalau saja Arci tidak mengingat dokumen yang baru saja ia baca, maka ia pasti tak akan menghiraukan siapa wanita itu. Ya, dia adalah Amanda Zenedine.
Dibukalah pintu. Wajah sumringah seorang Amanda terlihat.
"Arci, apa kabar? Aku dengar cerita kamu sekarang dapatkan semua yang ayahmu punya. Boleh aku masuk?" tanya Amanda.
Kenyataan bahwa dia adalah istri sah ayahnya tak bisa ditepis. Ia sedikit ragu ketika mengucapkan kata "silakan" kepadanya. Wanita itu pun masuk. Lian yang juga penasaran siapa tamu yang datang agaknya terlihat sedikit terkejut melihat Amanda.
"Apa kabar, Lian?" sapa Amanda.
"Baik. Bagaimana kamu?" tanya Lian.
"Seperti biasa, kesepian," jawabnya.
Amanda lalu berjalan masuk ke ruang tamu, kemudian dia duduk di sofa. Arci dan Lian menemaninya.
"Maaf, kedatanganku mengagetkan kalian." Amanda menghela nafas. "Mungkin kamu kaget ketika pertama kali bertemu dengan kami disambut dengan sambutan yang tidak pantas." Amanda melihat Arci.
"Ya, aku shock," ujar Arci.
"Aku dan Archer, tidak pernah merasakan pernikahan yang sesungguhnya. Berada di dalam keluarga ini rasanya seperti neraka. Aku sangat terkejut ketika mendapatkan kabar bahwa Arci muncul. Kalau ada Arci berarti ada Lian, kamu yakin ingin masuk ke dalam keluarga ini?" tanya Amanda.
Arci menggeleng, "Aku tak yakin. Aku juga tak tahu apakah ini pilihan yang benar atau tidak."
"Aku akan membantumu," kata Amanda.
"Membantuku?"
"Ya, apapun yang kamu perlukan aku akan membantumu. Kalau kamu sudah pernah melihat pesan dari ayahmu, maka aku adalah satu-satunya orang yang bisa kamu percaya sekarang ini," jelas Amanda. "Tapi itu juga terserah kepadamu apakah kamu ingin berjuang sendiri ataukah membutuhkan bantuanku. Aku tahu tak ada yang dipercaya di keluarga ini, tapi aku berani bilang kalau aku adalah satu-satunya harapanmu di keluarga ini."
Arci tak yakin. Ia menoleh kepada ibunya. Lian hanya menghela nafas. Ia juga tak tahu apa yang harus dilakukan. Mungkin saja kehadiran Amanda bisa membantunya. Mungkin saja tidak.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Pieter berjalan-jalan di jalan Ijen saat Car Free Day. Dengan baju training lengan panjang. Ia terlihat santai sambil sesekali menggerak-gerakkan tubuhnya. Walaupun usianya lanjut ia masih energik. Ghea tampak mengawasinya dari jauh sambil terus berjalan di belakangnya. Rambutnya yang kemerahan dengan mata hijaunya, membuat banyak lelaki yang melirik ke arahnya. Mereka tak tahu saja kalau di pinggang cewek blesteran itu ada pistol yang siap ditembakkan kapan saja, serta beberapa pisau tajam yang siap memotong apapun.
"Ghea, Kenapa jauh-jauh? Kemarilah!" kata Pieter.
Ghe segera mendekat. Dia berjalan di sisi ayahnya sekarang.
"Aku ingin perintahkan kamu untuk mengawasi Arci. Kedatangannya di keluarga ini memang mengejutkan tapi... cobalah untuk mengawasi gerak-geriknya. Kalau ada yang mencurigakan segera lapor kepadaku!"
"Kenapa tidak dihabisi saja dia?"
"Jangan begitu, di dalam darahnya masih mengalir darah Zenedine. Hanya para pengkhianat yang wajib dihabisi. Selama ia tidak berkhianat, kita tak boleh berbuat gegabah. Dekati saja dia, korek keterangan tentang dirinya. Dan, jangan berbuat yang jauh. Aku tak mau dia tahu kalau engkau awasi."
"Baik ayah."
"Satu lagi, cari orang yang menerima bocoran desain dari Yuswan. Kalau ketemu habisi dia. Aku tak ingin kita dianggap remeh oleh PT Denim."
"Baik ayah."
Pieter melanjutkan acara olahraganya sementara Ghea sudah berbalik meninggalkan ayahnya sendirian.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Aku tak suka dengan orang itu. Siapa dia seenaknya masuk ke keluarga kita."
"AKu juga demikian. Tapi keputusan itu tak bisa dimentahkan oleh siapapun."
"Aku tahu, wasiat Archer tak bisa diubah, tak bisa dibatalkan. Tapi, apa bisa dia menggunakan warisan ayahnya itu dengan bijak?"
"Daripada itu, kita lebih baik menjaga diri. Sebab Yuswan telah mati tepat di hadapan kita. Aku tak mau kita juga ikut seperti Yuswan. Beruntung dia tidak memberitahukan siapa rekannya. Pieter pun memperingatkan kita semua, itu adalah balasan bagi para pengkhianat. Tentunya kepalamu tak mau berlubang bukan?"
"Ya, kita harus lebih hati-hati lain kali."
"Tapi kita cukup beruntung, gadis itu hanya memberitahukan tentang Yuswan. Artinya ia tak melihatku."
"Perlu kita bereskan dia?"
"Tidak, misi kita lain. Hancurkan PT Evolus, kita harus buat PT Evolus terpuruk dengan begitu anak Archer tak akan dapat dipercaya oleh keluarga mereka dan kita bisa menguasai PT Evolus dengan membelinya."
"Baiklah."
"Tapi ingat, harus tanpa ketahuan."
"Iya, tentu saja."
"Sebentar ada telepon masuk....ya?? Halo?"
"..."
"Teruskan, pengiriman harus selesai malam ini. Ya, tentu saja ke Vietnam."
"..."
"Apa katamu??"
"..."
"OK, aku akan urus sisanya."
"Ada apa?"
"Presiden direkturmu yang baru membuat langkah yang membahayakan bagi kita."
"Hah?"
"Sebaiknya aku ceritakan sambil jalan. Ayo!"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci memeriksa pembuatan produk dan dia pun membongkar beberapa baju yang sudah dipack di sebuah box kayu yang siap dikirimkan ekspor. Arci kemudian merobek salah satu baju. Dan dia tercengang mendapati sesuatu di sana. Sebuah bubuk putih berada di lipatan-lipatan jahitan. Kecurigaan ayahnya terbukti. Ada sesuatu di perusahaan ini. Jadi ada narkoba yang diseludupkan pada produk-produk yang diekspor.
Saat itu beberapa pekerja tampak menundukkan wajah.
"Apa ini?" tanya Arci. "Siapa yang bertanggung jawab terhadap ini?"
Tak ada satu pun yang menjawab. Wajah-wajah mereka tampak ketakutan.
"Kalau tak ada yang bilang kepadaku siapa yang bertanggung jawab atas ini semua. Aku akan memecat kalian semua," ancam Arci.
"Maaf pak, ini semua sudah lama," jawab salah seorang karyawan.
"Sudah lama?"
"Iya, sudah lama. Anda mungkin baru tahu itu bisa dimaklumi. Khusus untuk produk ekspor yang dipack, telah jadi rahasia perusahaan ini kalau diisi serbuk itu. Dan ini semua atas inisiatif dari mendiang Arthur. Dia yang merancang sistem ini, pengepakan ini, semuanya."
"Apakah ayahku tahu tentang hal ini?"
Karyawan itu menggeleng.
"Baiklah, aku ingin semua barang-barang ekspor ini di keluarkan. Setelah itu rusak seluruhnya, serbuk-serbuk itu segera disiram air. Musnahkan semuanya. Kalau ada yang bertanya ini ulah siapa, jawab saja aku!"
Arci kemudian meninggalkan bagian pengepakan barang. Semua karyawan saling berpandangan. Mereka antara takut dan was-was melakukan apa yang diperintahkan oleh Arci. Ia segera menuju ke ruangannya. Sudah seminggu ini ia menjadi presiden direktur, sungguh sebuah perjalanan hidup yang aneh. Dalam waktu singkat ia sudah melejit ke atas. Ia menuju ke ruangan Andini.
Arci melewati Yusuf, ia sapa pemuda itu, lalu Rahma. Rahma langsung berdiri, dan Arci menyuruhnya duduk. Pintu dibuka. Andini agak kaget melihat Arci.
"Ci? Eh, maaf Pak Direktur?!" sapa Andini. Ia langsung berdiri menyambut Arci.
"Panggil aku sesukamu nggak apa-apa koq," jawab Arci.
"Yah, kita bertukar posisi sekarang," kata Andini.
"Tidak, tidak, kamu masih bosku," kata Arci.
"Nggak bisa begitu dong!"
Andini meletakkan kedua telapak tangannya di pundak Arci.
"Hei, ingat ini kantor," kata Arci.
"Bodo amat." Andini kemudian melanjutkannya dengan ciuman.
"Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan kepadamu," kata Arci sambil membelai rambut Andini yang lurus.
"Apa itu sayang?"
"Kamu tahu produk ekspor kita? Aku tadi memeriksanya ada garam murahan di dalamnya."
"Garam murahan?"
"Kokain."
"Hah??"
Arci menghela nafas. "Kalau dari raut wajahmu yang heran itu artinya kamu baru tahu. Aku tak tahu bagaimana tapi barang itu ada di sana. Aku sudah menyuruh para karyawan untuk memusnahkan semua produk yang diekspor yang mengandung kokain."
"Jelas aku tak tahu, tak pernah tahu," ujar Andini sambil keheranan.
"Ada yang tidak beres dengan perusahaan ini. Aku akan coba memeriksa kemana barang-barang ekspor itu dikirim," kata Arci.
"Aku akan minta Yusuf untuk memeriksanya!"
Andini segera beringsut keluar dari ruangannya, Arci mengikutinya. Lagi-lagi Rahma keheranan melihat Arci dan Andini jalan bersama. Ia semakin yakin kalau kedua atasannya ini punya hubungan khusus. Yusuf sedikit kaget ketika Andini dan Rahma ada di samping tempat dia duduk.
"Yusuf, bisa minta tolong? Aku ingin tahu semua data barang kita yang diekspor. Kemana tujuannya dan diantarkan pakai apa?" tanyaku.
"Sertakan juga kapasitas boxnya, produknya apa saja," tanya Andini.
"Baik bu sebentar," kata Yusuf.
Dengan cekatan ia memeriksa database. Yusuf cukup terampil. Terima kasih kepada Arci yang telah membuatkan program khusus sehingga orang awam dengan sangat mudah bisa mengoperasikannya.
"Oke, kita sudah dapatkan. Kita mengekspornya ke Amerika, Inggris, Perancis, Venezuela, Kolombia, Malaysia, Thailand, Mexico dan Itali," kata Yusuf.
"Mana yang ekspornya paling kecil?" tanya Arci.
"Kolombia dan...Mexico??"
"Drug Cartel, kedua negara itu terkenal dengan kartel narkoba. Alasan inikah yang menyebabkan sampai diekspor ke sana?" gumam Arci.
"Ini ada apa ya?" tanya Yusuf.
"Berapa laba yang dihasilkan?" tanya Andini.
"Hmm...tak begitu banyak, konstan tiap tahun," jawab Yusuf.
"Itu dia, laba yang konstan. Biasanya perusahaan berusaha untuk menambah laba, tapi kenapa perusahaan ini seolah-olah mendiamkan begitu saja laba konstan? Apalagi begitu kecil?" tanya Arci. "Kamu tahu siapa yang bertanggung jawab atas ekspor ini?"
"Aku tahu, namanya Jatmiko. Dia bagian ekspor," jawab Andini.
"Kita segera menemuinya," kata Arci.
"Rahma, tolong telpon bagian ekspor. Sambungkan dengan Pak Jatmiko!" perintah Andini.
Rahma segera mengangkat gagang teleponnya. Lalu ia menekan beberapa tombol. Cukup lama ia menunggu respon lalu ia menggeleng.
"Aneh, tak ada yang mengangkat," kata Rahma.
Arci punya firasat buruk. Segera ia pergi meninggalkan Yusuf, Rahma dan Andini. Andini beringsut mengikutinya.
"Ada apa?" tanya Andini.
"Bagian ekspor ada di gedung sebelah bukan?" tanya Arci.
"Iya," jawab Andini.
Arci dan Andini segera bergegas menuju ke gedung sebelah. Beberapa staf dan karyawan yang melihat mereka tampak keheranan. Dan tak lama kemudian sampailah mereka ke ruangan manajer distributor dan ekspor. Tanpa ba-bi-bu Arci segera masuk ke ruangan. Begitu masuk ia langsung berbalik menahan Andini agar tidak masuk.
"Sebaiknya kita tak usah masuk," kata Arci.
"Kenapa? Ada apa?" tanya Andini.
"Aku takut kita hanya akan mendapatkan mayat Jatmiko," jawab Arci.
Kejadian di kantor PT Evolus sungguh menghebohkan. Jatmiko tewas dengan luka tembak di kepalanya. Dia seolah-olah seperti menembak kepalanya sendiri. Dari orang-orang hingga para polisi semuanya menyangka demikian, tapi tidak bagi Arci dan Andini yang tahu bagaimana keluarga Zenedine. Mereka bisa saja melakukan hal tersebut, tapi siapa?
Arci dan Andini berada di ruangannya. Mereka berdua tampak membisu. Antara cemas, takut dan khawatir. Semuanya bercampur jadi satu.
"Seharusnya tidak terjadi seperti ini bukan?" tanya Andini.
"Iya, seharusnya tidak begini. Aku takut Jatmiko dihabisi ketika sang pelaku takut ia akan membocorkan rahasia perusahaan ini. Tentang pengiriman barang ekspor itu, aku sungguh tak menduga sama sekali. Ini benar-benar gila," Arci menghirup nafas dalam-dalam.
"Aku jadi takut," kata Andini.
Arci segera beringsut mendekat ke Andini. "Tak perlu takut. Aku akan berusaha melindungimu."
"Tapi....aku khawatir kalau nanti terjadi sesuatu kepadamu," kata Andini.
"Aku tak akan apa-apa, sebaiknya siapkan saja dirimu. Bukankah kita sebentar lagi akan menikah. Aku akan datang ke rumahmu secepatnya untuk melamarmu."
Andini tersenyum. "Baiklah, secepatnya itu kapan?"
"Kamu bisanya kapan?"
"Kapan-kapan?"
"Besok?"
"Ayo aja!"
"OK, besok."
Arci menarik tangan Andini dan memeluknya. Tiba-tiba ia teringat dengan Safira. Apakah ia harus jujur kepada Andini tentang hubungannya dengan Safira yang melebihi saudara kandung?
"Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan, tapi aku tak tahu bagaimana menceritakannya," kata Arci.
"Ceritakan saja!?"
"Tidak, nanti saja. Aku belum siap, aku takut kalau aku cerita, maka aku akan kehilangan dirimu."
Andini mengerutkan dahi. "Apa? Kenapa koq bisa begitu?"
"Hmmm...ini rumit."
"Kamu punya pacar?"
Arci menggeleng.
"Punya istri?"
"Aku belum kawin non."
"Gay?"
"Aku normal."
"Hmm?? Pernah menghamili anak orang?"
Arci menggeleng.
"Trus apa dong?"
"Beri aku waktu. Tapi yang jelas aku butuh jaminan dulu."
"Apa?"
"Kalau aku cerita, kamu jangan tinggalin aku ya?"
"Kalau itu hal yang baik, kenapa aku harus takut?"
"Ini hal yang tidak baik."
"Oh"
"Bagaimana?"
Andini terdiam beberapa saat. "Apakah ini bisa mengganggu hubungan kita?"
"Tidak."
Wajah Andini menampakkan raut wajah heran. "Trus?"
"Nanti yah, aku ingin merangkai kata-kata yang pas dulu."
"Baiklah."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Ghea meletakkan pistol glocknya di meja. Lengan baju jaketnya terkena cipratan darah. Ya, dialah yang membunuh Jatmiko. Di depannya ada Pieter yang sedang menikmati cerutu. Melihat kedatangan Ghea di ruangannya dia pun tahu bahwa Ghea baru saja melakukan sesuatu.
"Jatmiko?" tanya Pieter.
"Iya, dia yang mengepak barang-barang haram itu ke dalam box untuk diekspor ke luar negeri. Sebenarnya ia ingin mengirim ke Vietnam," jawab Ghea.
"Brengsek. Kita tak pernah mengekspor itu ke Vietnam. Siapa yang memberi dia otoritas itu?"
"Aku masih belum tahu."
"Aku tak menyangka ada anggota keluarga kita yang berusaha keluar jalur. Bagaimana dengan Arci?"
"Aku telah menyelidiki tentang dirinya. Dia bersih. Tak pernah berbuat kriminal, masa lalunya cukup kelam, demikian juga keluarganya. Hanya saja, kemarin Amanda pergi ke rumahnya."
"Hmm?? Itu wajar. Dia ibu tirinya. Lalu?"
"Dia begitu mengetahui kokain itu ada di produk PT Evolus, dia marah besar. Dia memusnahkan semua produk yang ada kokainnya. Ternyata dia boleh juga."
"Dia terlalu lurus. Itu akan merusak beberapa usaha kita. Di dalam keluarga ini semuanya saling makan, aku tak ingin dia juga jadi korban."
"Kenapa ayah?"
Pieter tidak menjawab.
"Dia bukan siapa-siapa. Terus terang aku merasa ayah terlalu menganak emaskan dirinya."
"Tenanglah, bukan begitu maksudku. Aku ingin kamu bisa melindungi dia, sebab seperti sebelum-sebelumnya ada orang yang tak suka kepadanya di keluarga ini yang ingin menghabisi pemuda itu. Apalagi sekarang ia adalah sang pewaris tahta. Apa yang baru saja ia lakukan akan berdampak besar. Aku yakin sebentar lagi akan heboh berita di surat kabar tentang barang yang diseludupkan itu. Aku ingin kamu mencegah para wartawan itu untuk mencetak berita. PT Evolus harus bersih dari berita negatif."
"Baik ayah."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Besoknya Arci sekarang sedang galau. Galau karena ia ingin berterus terang tentang keadaan dirinya dan Safira kepad Andini. Safira tak bisa lepas dari Arci dan juga sebaliknya. Ia takut keadaan ini tak akan diterima oleh Andini. Malam itu Arci mengajak Andini ke taman Merbabu. Mungkin karena malam hari, maka malam itu taman Merbabu sepi. Arci duduk di salah satu ayunan dan Andini berada di ayunan di sebelahnya. Mereka memang belum pulang, setelah selesai dari kantor Arci mengajak Andini ke sini.
"Jadi mau bicara apa?" tanya Andini.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Arci memulai.
"Yah, kalau ditanya dari peristiwa akhir-akhir ini. Boleh dibilang pikiranku kacau. Aku shock ketika kejadian di vila itu, ditambah lagi dengan barang seludupan ini. Everything seems fucked up!"
"Yeah, I agree."
"Din..."
"Ya?"
"Aku cinta kamu"
Andini menoleh ke Arci. Dia tersenyum. "Aku juga."
Arci menoleh ke arahnya. Mereka berdua berpandangan. "Aku sangat sangat mencintaimu dan aku tak ingin kamu pergi."
"Aku juga."
Arci terdiam dan memandangi kakinya sendiri.
"Ada apa sih?" Andini penasaran.
"Kamu tahu, aku sangat mencintai keluargaku. Ibuku, kakakku dan adikku."
"Yeah, aku tahu."
"Dan terkadang aku melakukan apapun untuk mereka. Apapun."
"Aku mengerti."
"Tidak, engkau tidak mengerti!" Arci berdiri.
"Bagaimana maksudnya?"
"Sejujurnya, aku dan Safira saling mencintai. Maksudku...dia mencintaiku."
"Aku bisa tahu itu."
"Bukan itu. Dengarlah, engkau adalah wanita yang paling aku cintai. Aku sangat ingin menikahimu, kita membangun keluarga tapi aku tak bisa menafikan Safira. Karena aku dan Safira juga saling mencintai. Dia membutuhkanku, aku tak ingin dia menjadi pelacur lagi. Cukup sudah bagiku melihat dia disewa oleh pria-pria hidung belang dan aku tak sanggup melihat keluargaku hidup mengais rejeki dengan cara demikian."
"Maksudmu? Kamu dan Safira...??"
"Iya. Kami melakukan hal yang tabu bagi semua orang. Aku tahu kamu bakal terkejut, mungkin juga jijik, marah, entahlah."
Andini terdiam. Dia mengalihkan wajahnya.
"Maafkan aku. Tapi ketahuilah aku sangat mencintaimu."
Andini kemudian bangkit. Ia beranjak dari ayunan itu. Dadanya terasa sesak. Entah apa yang ia rasakan sekarang. Rasanya kejujuran itu sangat pahit. Tapi tidak seperti ini kan? Arci dan Andini terdiam. Tak tahu apa yang harus mereka katakan lagi. Semuanya serba gelap.
"Bicaralah!" kata Arci. "Aku harus bagaimana?"
Andini menarik nafas dalam-dalam, "Aku tak tahu"
"Setelah apa yang aku katakan apa kamu masih mencintaiku?"
"Aku tak tahu."
"Din..!?" Arci ingin meraih Andini tapi Andini mengelak.
"Maaf, biarkan aku berpikir," Andini pun pergi meninggalkan Arci.
"Din, tunggu! Jangan begitu, tolonglah aku. Apa yang harus aku lakukan?"
Andini tak menjawab. Air matanya keluar. Ia pergi meninggalkan Arci sendirian di taman itu. Kini suara dedaunan yang berguguran di musim kemarau pun membuat sebuah alunan nada yang sesuai dengan perasaan hatinya saat ini. Ah, andainya ia tak usah mengatakan hal ini kepada Andini. Tapi Andini harus tahu. Arci menghela nafas panjang. Ia tahu pasti akan ada imbas dari kejujurannya ini, tapi...ia masih mencintai Andini.
"Andini, aku sangat mencintaimu," gumam Arci, kemudian ia pun berbalik pergi meninggalkan taman tersebut.
Andini pulang ke rumahnya dengan mata sembab. Tak bisa disembunyikan, tentu saja. Ia menangis sepanjang jalan menuju rumahnya. "Arci sang pengkhianat" mungkin itulah yang ia tetapkan padanya. Arci sang pengkhianat. Kenapa dia melakukan hal itu kepada kakaknya sendiri?? Apapun alasannya seharusnya ia tak melakukannya. Andini marah, kesal, ia membanting pintu mobilnya dan segera masuk rumah.
Melihat putrinya seperti itu Susiati tampak keheranan. Ia segera bertanya, "Ada apa Din?"
Andini tak menjawabnya. Ia langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. Gadis itu pun ambruk di atas kasur dan membenamkan wajahnya ke bantal. Ia menangis lagi.
"Arci, kenapa? Padahal selama ini aku menantikan dirimu. Aku mencintaimu...."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Ahh...ahhh...ahhh," seorang wanita paruh baya tampak sedang menaiki tubuh seorang lelaki. Mereka berada di dalam kamar yang gelap. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari cahaya yang masuk ke jendela.
Sang wanita menggoyang pinggulnya dengan sangat hot. Sang pria tampak keenakan sambil meremas-remas buah dada wanita itu.
"Ahh...aku sudah lama tidak ngentot sama kamu," kata sang wanita.
"Argghh..iya...kamu tetap menggiurkan," kata sang pria.
"Kamu sudah siap kalau aku punya anak darimu?"
"Kamu memangnya masih bisa?"
"Aku masih mens. Bagaimana?"
"Baiklah, toh kamu sudah sendirian sekarang."
"Ahh...benar. Penismu masih perkasa saja sayang."
"Memekmu juga masih legit. Masih seperti saat aku memerawanimu dulu."
"Iyahh...nganggur lama ini. Uuuffhhh.."
Sang pria bangun dan menghisap puting sang wanita. Sang wanita pun menggelinjang keenakan. Mereka berpelukan dan sang pria pun mengubah posisinya. Kini ia berada di atas dengan gaya misionari. Dia melebarkan paha sang wanita dan mulai memompa penisnya keluar masuk.
"Aah...ahhh..ahhh...terus...terus!" ujar sang wanita.
Buah dadanya naik turun seirama goyangan sang pria. Keduanya kemudian saling memagut lidah. Menghisap setiap saliva yang keluar dari mulut mereka. Sang pria pun sepertinya ingin sampai ke puncak. Kantong menyannya sudah tak sanggup lagi untuk menampung sperma yang sudah siap untuk ditembakkan. Kepala penisnya yang berkali-kali menyentuh rahim sang wanita pun sudah mulai gatal.
"Aku mau keluar," kata sang lelaki.
"Iya sayang, semprot di dalam ya?!"
Akhirnya semburan sperma berkali-kali itu pun sampai pula membasahi rahim sang wanita. Sang pria menekan kuat-kuat penisnya hingga tenggelam sepenuhnya ke dalam liang senggama sang wanita. Ekspresi wajah mereka menampakkan kepuasan, sudah lama memang mereka tak bercinta seperti ini, terlebih ketika sang pria sudah tidak takut lagi untuk menghamilinya. Atau bahkan keadaan mereka sekarang sudah tidak bisa dianggap selingkuh. Keduanya janda dan duda.
Lampu pun dinyalakan, tampak wajah Amanda dan Pieter. Keduanya baru saja melakukan persetubuhan hebat. Sesuatu yang sudah mereka lakukan sejak lama. Kini Amanda menempelkan kepalanya ke dada Pieter.
"Bagaimana tanggapanmu tentang Arci?" tanya Pieter.
"Dia anak yang baik, seperti ayahnya," jawab Amanda. "Menurutmu ia akan bisa diterima di keluarga ini?"
"Tindakannya di kantor telah membuktikan ia sangat serius untuk mengurus perusahaan. Aku cukup bangga kepadanya. Hanya saja ia terlalu lurus. Aku takut dia akan menggapai apa yang menjadi lumbungku."
"Aku sudah menyuruhnya untuk bisa dekat denganmu."
"Oh, kenapa begitu?"
"Karena dia anakku di mata hukum, dan aku sebentar lagi akan kamu nikahi. Bukankah itu pantas?"
Pieter mencium kening Amanda. "Hanya saja, orang yang dulu berusaha membunuh Arci dan keluarganya masih belum aku temukan. Bahkan ketika Archer menyuruhku untuk menyelidikinya, malah aku masuk penjara."
"Menurutmu siapa?"
"Aku tak tahu. Tapi aku akan berusaha sekuat tenagaku menolong dia. Ghea sudah bergerak untuk menyelidiki."
"Semoga saja kita segera tahu siapa orang yang melakukan ini semua."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Pagi hari seperti biasa, suasana kantor sibuk. Hanya saja ada yang berbeda dengan Andini. Ia terlihat dingin. Bahkan ketika berpapasan dengan Arci ia tampak membuang muka. Arci pun tak tinggal diam. Ia segera masuk ke ruangan Andini.
"Dini?!" panggil Arci. Arci menutup pintu ruangan kerja Andini. "Din, aku...."
"Maaf pak,...kalau memang ada hal yang penting segera katakan saja aku sibuk," kata Andini dengan dingin.
"Dini, jangan begitu. Aku menemuimu karena aku mencintaimu. Maafkan aku."
"Keluar!?" perintah Andini.
"Din, mengertilah!"
"Kumohon keluar!" Andini memelas. Bulir-bulir air mata mulai keluar dari matanya.
"Din, apakah kamu tak mencintaiku lagi?"
Andini tak menjawab.
"Setelah apa yang kita lakukan? Aku tak bisa meninggalkan Safira. Aku ingin minta maaf, kalau kamu ingin kakakku pergi aku tak bisa. Dia butuh aku. Apalagi setelah ia tak diakui oleh ayahnya sendiri, kemana lagi ia harus pergi? Mengertilah. Ini tak seperti yang kamu pikirkan! Dan....aku butuh kamu."
"Pergi dari ruanganku, kumohon!...."
"Apakah hubungan kita berakhir begitu saja?"
Andini tak menjawab. Air matanya mulai jatuh.
"Kenapa? Karena satu kesalahan ini kamu tak memaafkanku? Dini, aku butuh kamu."
"Arci, pergilah."
"Aku ingin kamu dengar alasanku dulu."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan. Keluarlah, kumohon, atau aku yang akan pergi."
"Apakah hanya sampai di sini, Din?"
"Iya, sampai di sini."
"Kenapa? Bukankah selama ini aku berusaha untuk menepati janjiku? Dan kamu juga menungguku."
"Cukup Arci, cukup! Pergilah! Kumohon!"
"Baiklah, aku pergi. Kalau kamu memaafkanku dan ingin mendengarkan semua penjelasanku, aku akan menunggumu di taman Merbabu nanti. Aku akan semalaman menunggumu di sana. Aku pergi!"
Arci pun pergi meninggalkan ruangan Andini. Setelah Arci pergi, Andini pun mulai menangis. Entah ada rasa sesal ia berkata itu kepada Arci. Ia sendiri tak tahu perasaan hatinya saat ini.
Malam itu Arci menunggu Andini di taman Merbabu. Dari selepas maghrib sampai malam. Hingga ia harus tidur di bangku taman, dengan keadaan menggigil tentunya karena udara malam di Malang yang sangat dingin. Ia terbangun ketika matahari sudah mulai muncul. Andini tidak datang ke taman itu. Arci bersedih. Ternyata hanya sampai di sini saja hubungannya dengan Andini. Sang kekasih sepertinya masih belum menerima alasan dia. Masih tak memaafkan dia. Ia mencoba menelpon Andini tapi nomornya tak pernah diangkat bahkan direject. Arci hanya bisa menghela nafas panjang. Dia pun pergi meninggalkan taman itu dengan seribu penyesalan. Sekalipun Andini tak menerima alasannya, tapi ia terlanjur cinta.
Terkadang Kita tak tahu mana yang benar dan yang salah
Batas itu menjadi kabur
Ketika darah sudah menjadi santapan
Ketika kita seperti anjing-anjing kelaparan
Kebenaran hanya milik mereka yang berdiri paling akhir
Inggris. Negara yang sebenarnya tak ingin dikunjungi oleh Ghea. Tapi ia mengunjunginya hanya karena ingin mencoba pelatihan SAS. Semua juga tahu SAS tak akan menerima anggota tentara seorang wanita. Hanya saja dia memang sengaja melakukannya untuk membentuk mentalnya. Apalagi kenalan Pieter bukan orang biasa.
Selama sekolah Ghea selalu mendapatkan bullying. Hampir tiap hari. Ghea memang berbeda dengan teman-temannya. Ia lebih seperti orang asing di Indonesia. Bukan saja bullying sekedar mengerjai tapi juga dikucilkan dan ia dianggap eksklusif. Dihina sebagai seorang anak mafia, anak kriminal, karena memang ayahnya saat itu masuk penjara.
Saat itu Inggris sedang membuka bagi siapa saja yang ingin merasakan pelatihan SAS. Ghea pun ikut. Sebenarnya tak hanya SAS yang ia ikuti. Sebelumnya ia juga mengikuti bagaimana pelatihan di KOPASUS, Korea, hingga kemudian mengikuti pelatihan militer SAS. Hal itulah yang membuat Ghea menjadi seperti sekarang ini. Puncaknya kejadian tragis yang menimpanya ketika berada di camp pelatihan.
Saat itu ketika malam menjelang. Camp pelatihan itu sudah pasti sepi karena para pesertanya sedang istirahat. Tapi tidak kalau bagi sebagian orang yang ingin melakukan bullying terlebih kepada peserta wanita. Inilah saat-saat di mana Ghea mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh itu. Dia dalam kegelapan malam langsung dibekap. Ia tak bisa berteriak, tak bisa meronta saat kelelahan karena latihan pada siang harinya. Tubuhnya yang lemah itu pun tak berdaya ketika tangan-tangan kekar mencengkram tubuhnya.
Dia pun diseret. Para kadet itu pun menyeret tubuh tak berdaya Ghea. Mereka tertawa dalam kegelapan menggeranyangi tubuh Ghea. Apa yang bisa dilakukan oleh Ghea? Berteriak saja ia tak bisa. Hanya erangan, rontaan hingga akhirnya sebuah tamparan keras mengakhiri perjuangannya karena kepalanya pusing.
Malam itu jadi malam penyiksaan terpanjang bagi dirinya saat dia diperawani. Saat vaginanya dirobek, saat kemaluan para lelaki itu menggilir lubang kemaluannya seperti tak ada harganya. Ghea tak menangis. Ia tak merasakan sakit, ia juga tak merasakan nikmat. Malam itu ia hanya merasakan satu, balas dendam.
Setelah pria-pria itu puas. Ghea kemudian berkata, "Bunuh aku!"
"Hmm?? Hei lihat apa yang dikatakannya!" kata salah satu pria.
"Bunuh aku keparat! Atau aku akan balas perbuatan kalian semua," kata Ghea.
"Hahahahaha, we will wait bitch!"
PLAK! Sebuah tamparan membuat Ghea pingsan.
Tiga pria itu pun kemudian menggilir Ghea. Penis mereka bergantian keluar masuk kemaluan Ghea yang dipaksa. Darah mengalir dari kemaluan Ghea, bercampur dengan lendir putih milik dari tiga pria Kaukasia tersebut. Gadis itu pasrah, tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya dibalik, dilekukkan, disodok dari depan dan belakang. Gadis berambut merah ini diam saja, pasrah. Hingga ia kehilangan total kesadarannya.
Tak terasa Ghea pingsan selama beberapa jam. Tulangnya benar-benar seperti remuk. Dia terbangun ketika hujan mengguyur tubuhnya. Dia terbangun dan menyadari ia ada di sebuah hutan. Banyak tanaman-tanaman rambat, pepohonan, rerumputan dan semak belukar. Ghea berada di atas sebuah rumput yang hijau. Ghea tak memakai baju sehelai pun, bajunya sudah dirobeki oleh para pria hidung belang yang memperkosanya. Hanya sebuah kaos compang-camping yang tersisa kemudian ia kenakan.
Tubuhnya menggigil, darah masih mengalir dari kemaluannya bercampur lendiran sperma berwarna putih yang menggumpal. Dia berjalan tertatih-tatih merasakan perih di kemaluannya. Tujuannya satu, balas dendam.
Dia telah mengikuti pelatihan Kopasus. Mentalnya telah terlatih. Mengikuti pelatihan SAS karena ia ingin tantangan yang lebih. Dan balas dendam ini ia akan lakukan dengan cara yang mengerikan.
Ghea berhasil masuk ke camp tanpa diketahui. Ia pun berhasil masuk ke tenda orang-orang yang memperkosanya. Dia langsung membangunkan salah seorang lalu memukulnya dengan memakai siku lengannya hingga hidung lelaki itu patah. Hal itu membuat temannya yang tidur di sampingnya terbangun. Ghea tak berhenti segera ia melompat ke atas ranjang, lalu mengunci leher sang lelaki. Posisi kemaluannya tepat di wajah sang lelaki membuat lelaki itu tak bisa bernafas, kemudian ia memutar pinggangnya hingga terdengar bunyi "krak". Kemudian dia melihat pria ketiga yang memperkosanya baru terbangun, Ghea langsung mengambil sebuah pisau di meja kecil di dekat ranjangnya lalu dipukulnya kepala sang lelaki hingga lelaki itu ambruk.
"So, you rape me huh? How about I punish this punny cock with this?" kata Ghea sambil menimang-nimang pisaunya.
Pria itu menjerit ketika celananya dipelorotkan kemudian dengan cepat Ghea memotong kemaluannya.
Kejadian itu tentu saja membuat gempar. Terlebih Ghea ditangkap dalam kondisi tubuh setengah telanjang. Kejadian menghebohkan ini segera menghentikan acara pelatihan SAS saat itu juga. Ghea langsung divisum, dan ketiga pria yang memperkosanya dihukum.
Hal itu membentuk kepribadian Ghea jadi berbeda. Ia bersikap dingin. Dari semua pelatihan militer yang telah ia lakukan. Ia menjadi seorang wanita yang tangguh. Buas, mengerikan. Tanpa ekspresi, bahkan ia tak segan-segan menghabisi siapa saja yang berani kepadanya. Ghea tak pernah punya perasaan kepada lelaki, mungkin ia lebih membenci laki-laki. Ada yang mengisukan ia lesbi. Boleh dibilang bisa benar, karena dia beberapa kali menyewa wanita untuk memuaskan dirinya.
Di dalam hidupnya Ghea hanya patuh kepada seseorang yaitu ayahnya. Pieter telah mendidiknya sangat keras. Banyak luka-luka di tubuh Ghea, itu karena ayahnya yang memukulnya. Namun ketika Ghea berhasil, maka sang ayah akan sangat menghargainya. Semenjak kecil hidup dalam keluarga mafia membuat Ghea ingin memberikan sesuatu yang berarti bagi ayahnya, maka dari itulah ia mengikuti banyak kegiatan pelatihan militer. Tak hanya itu ia juga belajar beladiri kravmaga untuk melindungi dirinya, atau mungkin malah untuk menyakiti orang lain.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Pekerjaan Ghea kali ini sedikit membuat ia senewen. Pasalnya ia harus menjadi bodyguard Arci. Sebenarnya ketika Arci mengetahui produk-produk dari PT Evolus diseludupi oleh narkoba, Ghea sudah langsung menemui Jatmiko. Dia langsung masuk ke dalam ruangan Jatmiko dengan menodongkan pistol glock miliknya.
"Siapa orang yang menyuruhmu untuk berkhianat?" tanya Ghea waktu itu sambil menodongkan senjatanya.
"Fuck you, aku tak takut ancamanmu. Akan ada yang melindungiku," kata Jatmiko.
"Siapa? Katakan atau aku akan menembakmu!" perintah Ghea.
"Tembak saja!" tantang Jatmiko.
DOR!
Ghea memang tak pernah basa-basi. Ia benar-benar menembak Jatmiko saat itu juga sekalipun tidak diketahui siapa yang telah berkhianat. Begitulah.
Ia juga mengikuti kemana Arci pergi seperti hari itu. Menunggui Arci dan Andini di taman. Mengikuti Arci sampai ke rumahnya, kemudian mengikuti Arci ke tempat kerjanya, hingga Arci menginap di taman. Ghea terus mengamati Arci, ketika dia galau, ketika Arci sendirian.
Sudah seminggu ini dia terus mengikuti Arci. Melihat segala kegalauan Arci, sebenarnya juga Andini datang kepada Arci saat itu. Ketika malam telah larut dan Ghea melihat Arci dari jauh, tampak Andini datang. Arci yang ketiduran dibangku hampir saja dibangunkan oleh Andini. Andini ingin meraih wajah Arci tapi entah kenapa ia berhenti. Menarik tangannya lalu berbalik meninggalkan Arci sambil menangis. Ghea yang tak pernah mengerti apa arti cinta mulai belajar, kenapa Andini menangis? Kenapa Arci galau?
Arci sangat spesial dalam mempelakukan keluarganya. Memanjakan seluruh anggota keluarganya. Ketika mengajak Safira dan Putri jalan-jalan, mereka dibelikan apapun yang ingin dimiliki. Putri sampai dibelikan boneka yang lebih besar dari tubuhnya. Ghea tak pernah dibelikan boneka oleh ayahnya. Ayahnya hanya ingin dia jadi bodyguard yang bisa diandalkan. Menjadi pelindung bagi keluarga Zenedine. Ghea hanya bisa pasrah terhadap nasibnya. Nasib buruk, ataukah nasib yang baik? Ia tak peduli. Hatinya kosong terhadap perasaan.
Arci tersenyum melihat kegembiraan Putri yang sedang bermain di play ground sementara Safira mengawasinya. Ghea terus mengikuti mereka dari jauh bersembunyi di antara kerumunan manusia. Ghea juga melihat sekeliling dia melihat Andini, lagi-lagi. Kenapa Andini terus mengikuti Arci? Andini melihat Arci dari jauh. Entah kenapa Andini mengikuti Arci. Bukankah dia menginginkan Arci pergi? Lalu kenapa Andini masih mengikutinya? Ghea tak mau tahu urusan mereka berdua. Hanya saja keberadaan Andini di setiap kesempatan, membuat Ghea gerah juga. Ia ingin tahu alasan Andini mengikuti Arci.
Ghea pun menghampiri Andini. Baru saja Ghea akan menyapanya, Andini sudah pergi. Begitu dia melihat ke arah Arci, targetnya itu pun juga beranjak pergi. Perempuan itu menggaruk-garuk rambutnya bingung. Tapi agaknya mengikuti Arci lebih ia utamakan.
Arci menerima telepon. Ghea sebenarnya telah menyadap ponsel Arci tanpa diketahuinya. Ia telah menanamkan chip di ponsel Arci. Sehingga ia bisa mendengarkan percakapan Arci dengan ponselnya. Ghea pun memasang headset ke telinganya.
"Halo?" sapa Arci.
"Arci, bisa ketemu di tempat parkir lantai 3?" tanya seseorang.
"Siapa ya?"
"Penting, ini tentang keluarga Zenedine."
Ghea yang curiga segera ke lantai tiga yang dimaksud.
Arci berkata kepada Safira, "Kamu di sini dulu ya, sama Putri main kek apa kek. Aku ada urusan. Sebentar."
"OK," kata Safira. "Yuk Put, main ke sana!" Safira menunjuk ke Time Zone.
Arci segera menuju ke parkiran di lantai tiga. Di parkiran ini tampak mobil-mobil berderet, sepi tak ada orang, hingga tiba-tiba seseorang menjerat leher Arci ketika ia berbelok ke sebuah pilar. Arci meronta-ronta, lehernya dijerat dengan sebuah tali yang cukup kuat. Dia tak bisa melihat orangnya, tapi yang jelas orang itu memakai sarung tangan dan dengan kuat berusaha untuk mencekiknya.
Pemuda ini berusaha meraih kepala orang yang menyerangnya, begitu dapat ia memukuli orang itu. Tapi sama sekali tak bergeming. Ghea merasa Arci butuh bantuan, hampir saja ia mencabut pistolnya. Tapi ia tahu kalau terlalu ribut ia akan membuat heboh seluruh mall. Akhirnya dia memakai tangan kosong. Segera ia menerjang orang yang menyerang Arci. Orang itu pun terkejut. Terlebih Arci yang batuk-batuk sambil meludah. Ia mendongak dan melihat Ghea telah berkelahi dengan orang yang mencekiknya tadi.
Dia heran, bagaimana Ghea bisa ada di tempat ini?
Ghea dengan gerakan gesit sudah memukul tubuh assasin bertopeng ini. Kemudian dia putar pergelangan orang itu lalu membantingnya.
"Kau tak apa-apa?" tanya Ghea.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Arci. "Kamu membuntutiku?"
"Aku di sini untuk menolongmu. Jangan tanya," kata Ghea.
Ghea sedikit lengah sehingga kepalanya dipukul dari belakang membuat ia terhuyung ke depan dan ambruk. Arci yang tenaganya mulai puling kemudian bangkit dan mendorong orang yang ingin membunuhnya tadi hingga menghantam sebuah mobil.
BRAK!
Arci memukul wajah orang itu. Kiri dan kanan, kemudian dia menghadiahi lututnya. Sang Assasin terlalu kuat, ia sudah membalas Arci dengan pukulan telak ke pipinya. Arci agak terhuyung hingga kemudian tiba-tiba sebuah tendangan terbang mendarat ke dada sang Assasin. Ghea masih pusing, tapi ia berusaha keras untuk tetap bisa melindungi Arci. Sang Assasin berdiri dengan susah payah, kemudian Arci menerjangnya lagi hingga terkena sebuah besi pembatas. Arci mendorong sang Assasin hingga sang assasin pun terjatuh. Arci juga terjatuh tapi dengan sigap tangannya diraih oleh Ghea. Sang Assasin pun jatuh ke bawah menghantam sebuah mobil SUV.
BRAAKK!
Kaca mobil berhamburan ketika tubuh berat itu menghantam mobil. Alarm mobil pun berbunyi. Saat itulah Ghea menarik tubuh Arci agar tidak jatuh ke bawah, hingga kemudian Arci berusaha meraih pegangan pada besi pembatas, dan diraihnya sebuah pijakan sehingga ia melompat naik. Hampir saja ia menghantam tubuh Ghea, tidak. Ia telah menghantam tubuh Ghea. Sehingga Arci menubruk Ghea.
Untuk beberapa detik wajah Arci hanya berjarak 1 cm dari Ghea. Bahkan secara tak sengaja bibir mereka bersentuhan. Awkward moment. Sebuah momen yang biasanya akan menimbulkan bunga-bunga cinta, klasik seperti sinetron-sinetron ataupun film-film romance. Tapi bagi Ghea ini adalah kondisi yang sangat aneh. Bagaimana tidak, Arci menindihnya, bibir mereka bertemu, kaki Ghea terbuka dan selakangan Arci tepat berada di selakangannya. Posisi mereka persis seperti orang bercinta tapi dengan memakai baju.
Arci yang terkejut segera menarik diri. Ia pun meminta maaf.
"Maaf, maaf, maaf. Nggak sengaja!" kata Arci sambil menyatukan tangannya.
Ghea bangkit, "Tak apa-apa, aku kurang sigap tadi. Kamu tak apa-apa?"
"Ya, begitulah," kata Arci.
"Ayo kita pergi dari sini, kalau tak ingin terlibat dengan pihak keamanan."
Arci mengikuti Ghea. Mereka keluar dari tempat parkir, seola-olah tak terjadi sesuatu apapun.
"Kamu, mengikutiku?" tanya Arci.
"Lebih tepatnya mengawalmu," jawab Ghea.
"Kenapa? Siapa yang menyuruh?"
"Ayahku. Kenapa? Tak suka?"
"Bukan begitu. Ini keterlaluan. Tanpa keputusanku kamu sudah berbuat seenaknya sendiri, juga Pieter."
"Sudahlah, I've saved your ass. Jadi jangan protes. Kembalilah ke keluargamu!"
Arci menggeleng-geleng. Ia pun segera menuju ke keluarganya.
"Jangan takut, selama kamu berbuat yang tidak merugikan, kami akan mendukungmu."
Arci tak mengerti kata-kata Ghea. Tapi ia cukup mengingatnya. Ghea menarik nafas panjang. Dadanya berdebar-debar. "Apa ini?" gumamnya. "Pasti karena kelelahan setelah berkelahi tadi."
Ia menghirup nafas dalam-dalam. Aneh. Jantungnya masih berdebar-debar. Ia kemudian melihat Arci, jantungnya makin berdebar-debar. "Apa yang terjadi denganku?"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Mendapati kenyataan ada orang yang ingin membunuhnya berarti telah terjadi sesuatu yang membuat orang-orang tidak suka kepadanya. Apakah karena hal yang terjadi kemarin? Atau bagaimana? Arci tak habis pikir, tapi ia cukup bersyukur ketika Ghea secara diam-diam melindungi dirinya. Ia tak menyangka kalau Pieter menyuruhnya untuk melindungi dirinya. Tapi kejadian tubrukan dia dengan Ghea, sangat memalukan.
Apa yang harus dilakukan Arci sekarang? Dia pergi menemui Pieter.
Pieter tinggal di sebuah rumah yang cukup megah. Dengan gaya eropa halaman luas dan ada dua petugas security di sana. Saat Arci menemuinya Ghea sudah ada di pagar. Ghea kembali mengingat memory dia kemarin. Sungguh hal yang sangat memalukan bagi dia. Wajah Ghea bersemu merah.
"Hai?!" sapa Arci.
"Hai, a-ada perlu apa?" tanya Ghea dengan gugup.
"Pieter ada?" tanya Arci.
"Papa ada, m...masuklah!" kata Ghea.
Arci sedikit aneh dengan tingkah polah Ghea yang gugup. Dia lalu berjalan melewati Ghea. Ghea menahan lengannya.
"Kenapa?" tanya Arci.
"Kalau kamu ceritakan kejadian kemarin, aku akan membunuhmu," kata Ghea.
"Aku kesini ingin menceritakannya."
"APAAA??"
"Iya, aku ingin tahu siapa yang berusaha membunuhku kemarin."
"Mm...maksudku kejadian kita tubrukan itu," Ghea menunduk malu. Wajahnya bersemu merah. "Jangan ceritakan bagian itu."
Arci tersenyum. "Ya, itu tidak akan."
"Itu...pokoknya jangan. Awas kalau kamu ceritakan."
Arci mengangkat tangannya, "Nggak, nggak akan."
"Janji!?"
"Iya, you have my words."
Ghea menghela nafas lega.
"Sebenarnya kamu cantik juga kalau malu-malu seperti itu."
Ghea terkejut dan langsung mengeluarkan glock miliknya menodongkannya ke kepala Arci, "Apa kamu bilang?"
"Sorry, sorry, OK, aku masuk." Arci mundur teratur lalu menuju ke dalam rumah.
Dada Ghea berdebar-debar. Baru kali ini ia merasakan hal ini. Badannya panas dingin. Tidak, lebih parah. Mukanya memerah, tangannya dingin. Ini lebih parah dari sebelumnya.
"Aku sepertinya harus minum aspirin," gumam Ghea.
Arci berjalan menuju ke dalam. Ia tak pernah menyangka Ghea bisa bersikap seperti itu. Mungkin semenjak kejadian kemarin Ghea jadi sedikit lebih...feminim. Sedikit.
Di dalam tampak seseorang dengan rambut beruban sedang menyiram tanaman. Dia adalah Pieter. Pupil matanya yang hijau melirik ke arah Arci. Bibirnya menyunggingkan senyuman.
"Selamat datang di gubukku, Arci," sapa Pieter.
"Pagi, paman," jawab Arci.
"Hahahahaha, untuk pertama kalinya ada yang memanggilku paman. Ah, tentu saja. Semenjak Alfred tidak ada di sini. Aku rindu dengan panggilan paman."
Seseorang keluar dari rumah, seorang lelaki botak dengan badan yang lumayan tegap. Dia mendekat kepada Pieter membisikkan sesuatu. Dia adalah Jacques, tangan kanan Pieter. Semua pekerjaan kotor Pieter dialah yang menyelesaikan selain Ghea juga tentu saja. Jacques lebih bekerja untuk masalah yang mendetail serta dalam bidang-bidang yang berhubungan dengan hukum dan birokrasi. Untuk urusan kekerasan semua diurus oleh Ghea. Tapi meskipun begitu, Jacques tak bisa diremehkan begitu saja. Dia juga sangat ahli dalam mengatasi persoalan nyawa, sebut saja menghabisi seseorang.
"Baiklah, aku mengerti. Arci, ayo ikut denganku!" ajak Pieter.
"Kemana?" tanya Arci.
"Kamu akan tahu nanti."
Tak berapa lama kemudian Arci sudah berada di dalam mobil sedan Marcedes Benz SLK 250. Pieter yang mengemudikan mobil mewah berwarna putih itu. Di belakang mereka tampak Jacques dan Ghea membuntuti mereka. Mobil itu melewati jalanan protokol membuat semua mata memandang iri kepadanya. Arci hanya bisa menikmati pemandangan dari dalam mobil yang dikendarai pamannya itu, sambil sesekali merasa canggung.
"Kamu tak perlu canggung. Kalau soal mobil kamu sekarang bisa membeli mobil seperti ini. Kekayaan ayahmu tak akan habis," kata Pieter yang seolah-olah bisa membaca pikiran Arci.
"Ah, tidak. Saya lebih suka MPV. Bisa ngangkut banyak orang." Arci memang mempunyai mobil MPV yang baru saja dia beli. Dengan mobil itu ia bisa mengangkut banyak orang, termasuk Safira, Putri dan Lian. Ketika berbelanja pun mereka mengendarai mobil itu.
"Ayolah, kamu sesekali harus bersenang-senang. Katakan mobil apa yang kamu suka."
Arci sedikit berpikir. "Mungkin...Lexus."
"Pilihan yang bagus, tapi kalau soal prestige masih lebih tinggi Mercedes Benz. Lexus dengan Toyota Harrier itu masih saudara. Tapi dibandingin Mercedes Benz, masih tetap kalah."
"Entahlah, aku tak terlalu begitu mendalami tentang masalah mobil."
"Ya, setelah ini kamu akan mengerti kenapa aku bicara masalah mobil."
Arci tak begitu mengerti tapi perjalanan mereka cukup jauh hingga sampai ke sebuah perkampungan sepi dan makin jauh lagi, sampai Arci tak mengenal daerah tempat dia berada. Semuanya ditumbuhi rumput gajah yang tingginya melebihi tinggi manusia. Mobilnya berbelok ke sebuah tempat di mana di sana ada banyak mobil bekas yang terbengkalai. Mungkin lebih tepatnya di sini adalah kuburan mobil atau mungkin tempat rongsokan mobil.
Arci tiba-tiba teringat dengan film-film mafia di mana mereka selalu punya tempat eksekusi. Jantungnya pun berdebar-debar, mau apa Pieter membawanya ke tempat ini? Tak jauh di hadapan mereka tampak beberapa orang memakai jaket kulit berwarna hitam. Mobil pun berhenti, Pieter mengajak Arci keluar. Arci baru sadar kalau di hadapannya ada seseorang yang sedang berlutut dengan mata ditutup kain.
"Kamu telah melihat bukan bagaimana sikapku terhadap pengkhianat?"
Arci hanya berdiri saja sementara Pieter bersandar di mobil.
"Jangan takut, kamu adalah bagian dari keluarga ini. Maka aku harus jujur kepadamu. Kamu sudah dewasa, kamu berhak tahu seperti apa urusan di keluarga ini diselesaikan. Tenang saja. Jangan takut, aku dan ayahmu sangat dekat kalau saja aku tidak dipenjara. Aku dipenjara pun ada alasan khusus. Mau dengar?"
Arci mengangguk. Ia menoleh ke arah mobil yang mengikuti mereka. Ghea dan Jacques keluar. Jacques beringsut menuju orang yang berlutut. Dia sepertinya bersiap menunggu aba-aba dari Pieter.
"Dulu, aku dan Archer bermain bersama, belajar bersama. Dia sangat mengerti tentang keluarga ini. Tapi jalan hidupku dan hidupnya berbeda. Aku tidak tertarik dengan kekayaan keluarga ini. Aku lebih bisa disebut sebagai anjing penjaga keluarga ini. Keluarga Zenedine selalu bertarung dan bersaing dengan keluarga Trunojoyo. Dari dulu seperti itu. Keluarga Trunojoyo itulah pemilik PT Denim. Kita selalu bersaing dalam banyak hal, mulai dari yang legal sampai ilegal.
"Keluarga kita awalnya tidak seperti ini. Kita dulu hanya penjahit kecil, yang kemudian menjadi besar, hingga punya pabrik sendiri. Tapi lebih daripada itu kita semua adalah orang-orang yang berjuang untuk menjadikan perubahan. Persaingan antara kita dan keluarga Trunojoyo awalnya adalah karena persoalan siapa yang paling baik. Hingga sampai saling mencuri ide. PT Denim tak bisa dianggap remeh. Mereka melakukan segala cara untuk bisa mengalahkan atau paling tidak membuat kita bangkrut. Untuk itulah kami jadi gila, karena membuat banyak ide itu tidaklah gampang. Kami ingin menguasai pasar, untuk itu kami butuh uang, maka kami pun mengembangkan bisnis-bisnis yang lain.
"Kamu hanya melihat sebagian kecil bisnis kita. Tapi sekali pun kita berbisnis dalam dunia gelap, tapi kami tak pernah berbisnis narkoba. Aku tak pernah merasakan ataupun berbisnis narkoba. Lebih dari itu, bisnisku yang lain adalah dalam barang seludupan, mobil, dan barang elektronika. Selain itu sahamku di PT Evolus adalah satu-satunya hartaku yang berasal dari jalan yang halal. Segala hal yang berbau hitam di perusahaan ini aku tahu semua, dan agar perusahaan ini tetap berdiri, aku akan melakukan apa saja, bahkan kalau perlu sampai masuk penjara sekalipun. Ini semua demi keluarga ini. Demi bisnis turun temurun mereka.
"Aku saat itu harus melakukannya. Tak ada pilihan lain, tak ada cara lain. Pihak kepolisian menggunakan informan mereka untuk mengumpulkan bukti-bukti menjerat siapa saja orang yang menggunakan kekuasaan mereka di perusahaan ini di dunia hitam. Aku juga salah satunya. Informan itu hampir saja melaporkannya ke pihak yang berwajib. Ya, hampir saja kalau aku tidak membunuhnya terlebih dulu. Kalau saja aku tidak membayar mahal seorang pengacara, maka aku pasti akan dihukum mati karena membunuh seorang polisi.
"Awalnya aku mengira kamu adalah orang ingin menghancurkan perusahaan ini. Tapi melihatmu gigih memajukan perusahaan, menyingkirkan para pengkhianat seperti Yuswan, maka aku yakin kamu orang baik. Hanya saja di keluarga ini semua orang tak suka dengan orang yang terlalu lurus sepertimu, termasuk aku. Kamu bisa berbahaya bagi siapa saja, termasuk aku."
Pieter bicara panjang lebar. Arci hanya menjadi pendengarnya saja.
"Orang itu, dia pengkhianat. Anak buah dari Letnan Yanuar. Selama beberapa hari ini dia berusaha masuk ke dalam ruang arsip. Pura-pura mengisi lowongan dengan identitas palsu. Akhirnya ia masuk ke dalam ruang administrasi melaporkan setiap keluar masuk barang dan yang membuatku curiga adalah dia sampai mengobok-obok data barang seludupanku. Di PT Evolus aku bersih, tapi memang beberapa kendaraan yang menjadi harta perusahaan berasal dari bisnis kotorku, juga komputer-komputernya. Dia sudah membawa flashdisknya, dan kami memergoki dia. Jacques beruntung sekali menangkapnya. Aku ingin tahu apakah kamu ingin keluargamu dihancurkan oleh orang seperti dia? Ingatlah, ayahmu juga hidup dari cara seperti ini, suka atau tidak dia telah berada di dalamnya. Engkau berada di dalamnya, hidup dari jerih payahnya. Apakah sampai hati kamu tidak akan mencintai keluarga ini? Baik atau buruknya?"
Arci masih terdiam. Ia tak memberikan jawaban. Pieter memberikan isyarat. Ghea menghampirinya lalu menyerahkan pistolnya kepada ayahnya.
"Bisnisku yang lain adalah ini, jual beli senjata. Kebetulan aku kenal dengan orang tinggi di militer. Ia juga punya koneksi di berbagai negara, oleh karena itulah Ghea bisa ikut berlatih di beberapa pelatihan militer. Aku memang membuat dia menjadi mesin pembunuh. Semua pelatihan militer yang ia lakukan hingga pada puncaknya ia harus dilecehkan oleh orang Inggris, aku pun menganggap latihannya cukup. Padahal aku masih ingin dia berlatih bersama spetnatz tapi cukup. Ini peganglah!"
Pieter menangkap tangan Arci dan di tangan Arci kini ada pistol. Ia baru kali ini membawa pistol. Tangannya gemetar ketika memegangnya.
"Kamu belum pernah memegang senjata? Aku bisa mengerti. Ini adalah pertama kalinya. Bunuh orang itu. Informan itu. Kalau kamu tidak membunuhnya aku akan melepaskan dia. Tapi sebagai imbasnya, semua data, semua dokumen tentang kita, tentang kamu, tentang segala yang terjadi dengan perusahaan ini, termasuk narkoba yang engkau temukan akan masuk ke tangan kepolisian. Artinya kamu juga akan ikut imbasnya. Kalau kamu mau seperti itu silakan."
Arci sebenarnya marah. Karena Letnan Yanuar tak pernah bilang kalau dia akan menerjunkan tim lain. Dan memang ini jebakan. Kalau ia tak melakukannya maka polisi itu akan melaporkan segalanya. Jacques mencopot penutup wajah orang yang disebut informan itu. Arci pun melihatnya. Orang itu ketakutan.
"Paman Pieter, Ghea selalu mengikutiku atas perintahmu. Berarti kamu tahu kalau Letnan Yanuar menghubungiku?" tanya Arci.
"Ya, aku tahu," jawab Pieter. "Dia tetap menyuruh anak buahnya bukan? Itu artinya dia tak percaya kepadamu. Dia akan memangsamu juga."
Arci menarik hammer pistolnya. CKREK! Arci maju, mendekat ke arah informan yang ditangkap dan kini sedang berlutut itu. Tangan Arci masih bergoyang, ia tak siap ketika mengangkat dan menodongkannya ke kepala sang informan. Mata sang informan menatap tajam ke arah Arci. Arci menoleh ke arah Jacques yang sudah siap kalau sewaktu-waktu sang informan melarikan diri atau berbuat nekad. Arci menelan ludah.
"Kenapa Letnan Yanuar menyuruhmu kalau ia percaya kepadaku?" tanya Arci.
"Bagaimana mungkin kami mempercayakan urusan ini kepadamu?"
"Jadi benar kalian tak percaya kepadaku. Baiklah, aku akan menembakmu."
"Tembak saja, ayo tembak!"
Tangan Arci bergetar hebat. Ia tak pernah menembak orang sebelumnya. Tidak seperti ini. Betapa berat sekali ia menarik pelatuk itu, seolah-olah ia mengangkat beban yang sangat berat. Matanya terpejam.
"Buka matamu!" bentak Pieter.
DOR!
Mungkin karena kaget sehingga Arci membuka matanya dan langsung menarik pelatuknya. Timah panas pun akhirnya menembus kepala sang informan. Dia pun jatuh tersungkur. Arci terhuyung dan mundur ke belakang. Baru kali ini ia membunuh orang. Ya, baru kali ini. Tangannya gemetar.
Ghea menahan lengannya. Arci menoleh ke arah gadis itu. Ghea tersenyum, baru kali ini ia melihat gadis itu tersenyum. Perlahan-lahan Ghea mengambil pistol miliknya lagi.
"Welcome to our family," Ghea mengecup pipi Arci. Mungkin ia ingin membuat Arci kuat dengan itu. Ia tahu bagaimana perasaan seseorang yang baru saja membunuh seseorang.
Beberapa anak buah Pieter menyeret mayat sang informan. Pieter menghampiri Arci.
"Kita adalah keluarga. Mulai sekarang, kamu bagian dari kami," kata Pieter.
Arci masih tak percaya. Ia melihat telapak tangannya sendiri. Ini lebih mengerikan daripada yang ia kira. Sementara itu, Ghea menoleh ke arah Arci. Ia melihat sesuatu yang ada pada pemuda itu yang tak bisa dia jelaskan. Yang jelas, hanya satu. Ia mulai menyukai Arci, sekali pun ia tak bisa menunjukkan hal itu.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Andini akhir-akhir ini selalu menghindar dari Arci. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Dalam hati ia masih mencintai Arci. Mengamatinya dari jauh. Dia sebenarnya datang ke taman itu. Melihat Arci tertidur di bangku. Ingin sekali ia membelai wajah Arci. Tapi ..... entah kenapa hatinya seolah-olah menahannya. Ada sebuah perasaan yang tak bisa ia ungkapkan, dia juga tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Dia cemburu, cemburu melihat Arci bisa berjalan bersama Safira. Ya, ketika faktanya diketahui bahwa Safira dan Arci saling mencintai, apakah ia bisa berada di tengah mereka?
Andini beberapa hari ini tak konsen. Dia mengacak-acak rambutnya, membanting apa saja yang bisa dibanting. Dia sampai malas untuk pergi ke kantor. Perasaan wanita sungguh membingungkan, ia sebenarnya masih mencintai Arci, tapi....entah kenapa ia tak mau bertemu dengannya. Mungkin ia ingin sendiri dulu. Arci harus tahu kalau dia ingin sendiri dulu. Tapi bagaimana memberitahukannya? Tidak mungkin bisa, karena ia sendiri tak ingin bertemu dengan Arci.
Arci selalu berusaha menelponnya dan selalu dia reject. Bahkan ketika makan siang, Andini selalu menghindar. Dan beberapa hari ini Arci tak kelihatan. Andini merasa kehilangan. Sekali pun tak ingin menemui Arci, tapi ia selalu melihat Arci dari jauh dan itu sudah membuat dia lega. Aneh memang. Dia tak ingin bertemu, tapi sangat mengharapkan. Perasaan wanita memang seperti itu, sesuatu yang kontra selalu ada di dalamnya sehingga jalan tengahnya sangat sulit. Antara suka dan tidak, antara iya dan tidak, antara mau dan tidak. Tapi satu yang pasti, Andini masih mencintai dia. Hanya saja kondisi dia sekarang, sulit dikatakan.
Duhai yang dicinta
Sungguh aku sangat sulit melupakanmu
Cintamu sudah terlalu menusuk hatiku
Akankah aku bisa mencintaimu
"Rahma, pulang bareng yuk," ajak Nita.
"Eh, bentar girls, tunggu disit lhaa!" kata Rahma.
"Arep lemburan a?" tanya Sonia.
"Iyoi, wis tinggalen dhisit! Bu Dini belum ngijinin pulang, akeh garapan jes!"
"Ooo...yawes, tak tinggal yo!?" Nita melambai ke Rahma.
"Hati-hati! Ntar kesambet cowok ganteng," goda Rahma.
"Aamiin...klo gantengnya kayak bos baru kita ya... OK OK aja!" jawab Sonia.
"Rahma?!" Arci tiba-tiba ada di dekat Nita dan Sonia.
Nita dan Sonia langsung wajahnya memerah. Mereka jadi salah tingkah melihat Arci.
"Eh,...i..iya pak?" sahut Rahma gugup.
Nita dan Sonia buru-buru pergi.
"Lho, katanya kepengen kesambet cowok ganteng, koq kabur semua?" goda Arci.
Muka Nita dan Sonia memerah. Mereka malu setengah mati. "Nggak paaaak!?"
Arci ketawa. Rahma hanya tersenyum.
"Bu Dini ada?" tanya Arci.
"Ada, tapi....dia tak mau diganggu," kata Arci.
"Kamu ada waktu?" tanya Arci.
"Saya sedang ngurusi pembukuan pak," jawabnya.
"Halah, nggak usah bilang Pak. Kemarin saja bilang Arci. Biasa ajalah. OK, aku mau masuk."
"Tapi pak? Eh, Ci...!"
Arci tak menghiraukan Rahma. Ia mengetuk pintunya dan masuk. Andini kaget melihat kedatangan Arci.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Andini.
"Aku hanya ingin kejelasan. Apakah kamu masih mencintaiku?" tanya Arci.
Andini tidak menjawab. Mungkin terlalu keki bagi dia mengakui masih mencintai Arci. Dia teringat kemarin ketika Arci jalan dengan Safira. Betapa dadanya bergemuruh, terlebih Arci mengakui telah berhubungan dengan Safira. Andini meneteskan air mata.
"Keluarlah, kumohon. Jangan temui aku lagi," kata Andini.
Arci menghela nafas. Ia mendekati Andini. Andini memejamkan matanya. Arci mendekat dan kini tepat berada di hadapannya. Arci memegang wajah Andini lalu mencium orang yang sangat dicintainya itu. Andini tak bisa berbuat apa-apa. Ia ingin dicium, tapi ia tetap tak bisa menerimanya. Ia menerima ciuman Arci itu tapi ada sesuatu di dadanya yang tak ingin Arci ada di sini.
"Baiklah kalau kamu ingin seperti ini," kata Arci. "Aku akan buktikan kalau kamu masih mencintaiku. Dan ketahuilah, aku sangat mencintaimu. Aku tak bisa jauh darimu, tapi.... setelah ini kamu akan melihatku lain. Setelah aku keluar dari pintu ini aku tak akan lagi menemuimu. Aku tahu ini sulit. Menerima kenyataan bahwa aku mencintai kakakku sendiri memang sulit. Tapi aku jujur kepadamu, karena aku mencintaimu. Tak ada yang lebih baik bagiku selain kejujuran. Maafkan aku. Sekarang belum terlambat, aku masih disini. Katakanlah kalau kamu mencintaiku!?"
Andini masih memejamkan mata. Ia membisu. Arci melepaskan tangannya dari wajah Andini. Ia berbalik menuju pintu. Perlahan-lahan ia pegang gagang pintunya.
"Katakanlah kamu masih mencintaiku, kumohon!" kata Arci.
Andini terisak. Ia sangat mencintai Arci, dia ingin bicara, tapi mulutnya seperti tercekat.
"Aku sungguh mencintaimu. Kalau kamu tak menerimaku....baiklah, aku tak bisa memaksamu. Selamat tinggal...cinta," Arci membuka pintu dan keluar dari ruangan Andini.
Tangis Andini pecah. Ia langsung duduk di mejanya dan menangis sejadi-jadinya, "Arci.... aku mencintaimu.... hikkss.... maafkan aku, hikss... aku masih mencintaimu, huaaaaaaa...."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Seumur hidup, Arci tak pernah mabuk. Baru kali ini ia minum wisky sampai mabuk. Dia pun sampai tertidur di bangku taman. Ghea yang seharian itu membuntutinya hanya menggeleng-geleng. Dia sudah mengetahui hubungan Arci dengan Andini, tentu saja percakapan Arci di dalam ruangan Andini ia pun tahu.
"Ayolah, kamu itu lelaki. Kenapa hanya urusan seorang wanita saja sampai seperti ini?" kata Ghea di depan Arci yang sedang tertidur.
Ghea lalu berjongkok. Dia mengusap wajah sepupunya itu. Entah kenapa hatinya sekarang nyaman ketika bisa mengusap wajah pemuda ini. Ia tak pernah mengerti yang namanya cinta. Tapi, apakah kini ia telah terkena virus itu? Dia menampar-nampar pipi Arci, tapi pemuda itu tak bangun. Ghea menghela nafas.
"Kenapa aku harus jadi babysitter?" gumamnya.
Dilihatnya wajah pemuda itu. Wajah Arci sangat mirip dengan pamannya Archer. Ghea masih ingat pamannya itu. Pamannya orang yang baik. Archer selalu memperlakukanya dengan lembut. Beda dengan ayahnya yang keras. Archer seorang penyayang. Maka dari itulah mungkin ia bisa melihat sisi kasih sayang pada diri seorang pelacur seperti Lian. Entah kenapa Ghea saat itu teringat dengan insiden ciumannya dengan Arci. Tiba-tiba timbul sisi feminim di dalam dirinya. Jantungnya berdebar-debar lagi. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Arci. Dan dia pun akhirnya menempelkan bibirnya ke bibir pemuda ini. Walaupun bau alkohol tapi ia tak peduli.
Ghea tersentak dan menjauh, "Tidak, tidak, tidak. Apa yang aku lakukan?" Ia berdiri lalu berpaling. "Apa yang terjadi kepadaku?" Jantungnya makin keras berdetak. "Fuck! Apa yang terjadi? Oh God..." Ghea melihat Arci sekali lagi.
Ghea memukul-mukul dadanya sendiri, berusaha menenangkan detak jantungnya. Ia lalu mengambil pistolnya dan membidik Arci. Air matanya jatuh keluar membasahi pipinya. Baru kali ini ia merasakan rasa seperti ini.
"What's wrong with me?" katanya. "Kenapa aku tak bisa menembakmu?? Fuck!"
Ghea menyarungkan kembali pistolnya. Dia lalu menarik badan Arci, kemudian ia memapahnya. Ghea sukar mengungkapkan perasaannya saat itu. Dia tak pernah tahu yang namanya cinta. Jadi dia menganggap perasaan aneh di dalam dadanya sebagai penyakit. Penyakit yang sukar diungkapkan dengan kata-kata. Ia berencana akan pergi ke dokter untuk melihat kejiwaannya.
Arci pun sampai di rumahnya. Pintu diketuk. Yang menyambutnya adalah Safira.
"Arci??!" panggil Safira.
"Dia mabuk," kata Ghea.
"Mabuk? Nggak mungkin, Arci tak pernah minum.... bau alkohol?!"
"Dia sedang galau, cintanya baru saja ditolak. Dia jujur kepada pacarnya tentang dirimu. Betapa gentlemen dirinya," kata Ghea.
"Apa? Tak mungkin!" Safira menerima Arci yang sempoyongan.
"Baiklah, jaga dia. Dia sekarang udah jadi orang besar, bagian dari keluarga kami," kata Ghea.
"Kamu?"
"Aku Ghea Zenedine, sepupunya. Sebaiknya, kamu selesaikan urusanmu dengan Andini, mungkin kalian bisa saling mengerti. Ah, kenapa aku harus peduli dengan urusan kalian? Aku pergi," Ghea kemudian meninggalkan mereka.
Safira segera memapah Arci masuk. Lian yang terbangun pun melihat kondisi Arci yang mengenaskan membantu Safira. Mereka memapah Arci sampai ke kamarnya.
"Kenapa dia?" tanya Lian.
"Katanya sih soal cinta," jawab Safira. Dia menghela nafas. Tak menyangka semuanya akan seperti ini. Safira merasa bersalah. "Apa aku pergi saja ya...?"
"Apa maksudmu?" tanya Lian.
"Gara-gara aku adek seperti ini," jawab Safira. Mereka berdua duduk di tepi ranjang. Safira membantu melepas sepatu adiknya.
"Apa sebabnya?"
"Arci jujur kepada kekasihnya tentang diriku. Mungkin terjadi sesuatu kepada mereka. Itu semua gara-gara aku."
"Tidak, Safira tidak. Bukan karenamu!"
Safira memeluk ibunya. Air matanya meleleh.
"Andini...aku mencintaimu....," Arci mengigau. Safira menoleh ke arah adiknya. Ia makin bersedih.
"Malam ini temani adikmu!" kata Lian.
Safira mengangguk. Setelah itu Lian pergi meninggalkan Safira dan Arci. Malam kian larut. Safira pun kemudian merebahkan diri di samping adiknya. Seperti malam-malam sebelumnya. Tapi mungkin kali ini beda. Kali ini ia menemani Arci yang sedang galau. Akhirnya ia pun tertidur sambil memeluk adiknya.
* * *
Baru beberapa jam tertidur, Safira kaget ketika ada yang meraba-raba dirinya. Ia terbangun dan mendapati pakaiannya telah terlepas dan dia melihat Arci sudah telanjang dan menindih dirinya. Ia tak sadar ketika bajunya dilucuti. Bahkan sekarang Arci menciumi lehernya sambil meremas-remas buah dadanya.
"Dini...ohhh..," desah Arci. Ia menyangka Safira adalah Andini.
Safira terasa sakit hatinya. Ia tak menyangka adiknya sangat mencintai wanita itu sampai menganggap dirinya adalah Andini. Dia pun hanya pasrah ketika Arci kemudian memasukkan penisnya yang keras ke liang senggamanya.
"Aahhhkk!" pekik Safira. Matanya mulai berair.
Arci menggenjotnya tanpa pemanasan membuat liang senggamanya serasa agak perih. Tapi lama kelamaan lendirnya mulai membasahi liang senggamanya membuat ia juga keenakan. Safira berusaha melayani Arci yang sedang kesetanan. Mungkin pengaruh minuman keras yang membuat Arci kini beringas. Ia tak puas menggarap Safira dengan gaya misionari. Kemudin ia membalikkan tubuhnya sehingga tengkurap. Diangkat sedikit pantat Safira, kemudian Arci memasukkan penisnya.
Blesss...
"Aaahhkk! Deek...pelan-pelan!" kata Safira.
"Andiniii...oohh...memekmu enak sekali," rancau Arci sambil memejamkan mata.
"Anggap aku Andini dek, ayo! Lakukanlah! Obati rasa sakit hatimu!" kata Safira.
Arci menggenjot Safira lagi. Ia merasakan keenakan ketika pantat Safira yang seksi itu bertemu dengan selakangannya. Penisnya berusaha mengoyak vagina kakaknya, lendir Safir makin banjir, ia juga menikmati persenggamaan ini walaupun Arci menganggapnya sebagai Andini. Ya, Safira menikmatinya. Itu juga karena ia ingin berlaku seprofesional mungkin untuk melayani adiknya. Hatinya terkoyak, tapi dia terlalu cinta kepada adiknya. Seandainya dia adalah istri Arci, mungkin ia akan marah. Tapi dia terlalu cinta.
"Ohhh....Dini, aku keluar! Aaahhkk!" Arci menyudahi persenggamaannya ini dengan semburan sperma bertubi-tubi ke rahim Safira. Dia pun ambruk sambil memeluk Safira dari belakang. Penisnya masih tertanam di dalam rahim Safira, berkedut-kedut mengeluarkan sisa-sisa sperma.
Tak berapa lama kemudian Arci tertidur. Safira juga. Pelukan Arci sangat erat hingga membuatnya nyaman.
"Arci, aku bingung... aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sedang mengandung benihmu. Kamu mencintai Andini, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku cemburu, tapi... kau mencintai dia," kata Safira.
* * *
Pagi menjelang. Arci terbangun. Ia kaget ketika bangun mendapati Safira dipeluknya. Dia kemudian memeluk kakaknya lagi. Menciumi punggung kakaknya. Ia sama sekali tak ingat kenapa dan bagaimana ia bisa berada di kamarnya, dengan memeluk kakaknya. Terakhir kali yang diingat ia berada di taman menghabiskan wisky.
"Sudah bangun?" tanya Safira.
"I-iya," jawab Arci.
"Kamu sedang galau ya?" tanya Safira.
"Kenapa kak?"
"Kemarin kamu mabuk, kemudian kita bercinta dengan hebat. Tapi kamu menganggapku sebagai Andini."
"Benarkah?"
"Iya. Diakah wanita yang kamu cintai?"
"Iya."
"Kenapa kamu jujur tentang hubungan kita?"
"Jujur atau tidak, ia akan tahu."
"Arci, kalau aku menghalangi hubungan kalian. Aku ingin pergi saja."
"Jangan! Kenapa kakak punya pemikiran seperti itu?"
Safira kemudian membalikkan tubuhnya. Matanya tampak sembab. Arci mengetahuinya. "Karena, aku mencintaimu. Aku tak mau kamu tersiksa. Aku ingin melihatmu bahagia."
"Itu hal bodoh yang aku ketahui. Justru biarkan dia tahu tentang kita. Dia harus menerima kita, lagi pula aku tak bisa hidup kalau kakak pergi."
"Tapi kamu tak bisa hidup juga kalau dia pergi."
"Aku tak bisa hidup tanpa kalian."
Safira menatap ke mata Arci dalam-dalam. Ia tak sanggup. Arci mendaratkan ciuman ke bibir kakaknya. Safira menerimanya, bahkan saat lidah mereka berdua bertemu Safira bisa merasakan perasaan Arci yang terdalam. Penis Arci yang tegang, kini di arahkan ke belahan liang senggama Safira.
"Aku ingin menghamilimu," kata Arci.
"Hah? Kenapa?"
"Agar kau tak pergi dariku."
"Dek, kamu serius?"
Arci mengangguk. "Aku tak bisa hidup tanpa kalian. Andini tetap harus menerima kita semua. Biarkan aku jadi ayah dari anakmu kak."
"Tapi..."
"Ssshh...kumohon!"
Safira ingin mengatakan kalau dia sudah hamil. Tapi melihat Arci ia jadi bingung. Arci menggulingkan tubuhnya, hingga Safira ada di bawahnya. Dia kemudian menghisap puting kakaknya. Safira mendesah. Dia selalu begini kalau Arci sudah memulai memainkan puting susunya. Mungkin baginya Arci adalah penyedot susu terbaik di dunia. Klien-kliennya pernah mengerjai dirinya, tapi tak seperti Arci yang penuh perasaan.
Mereka memulai bercinta lagi. Kini Arci tak menganggap Safira sebagai Andini. Arci memperlakukan Safira dengan lembut. Dikecupnya seluruh tubuh Safira. Bahkan sampai luka bekas operasinya pun dikecup. Safira terangsang. Setiap sentuhan adiknya sangat menggetarkan dirinya. Mungkin disaat semua orang bermimpi ingin bisa bersetubuh dengan kakak seseksi Safira, Arci sudah mendapatkan dirinya. Mendapatkan tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Safira masih ingat bagaimana pengalaman pertama adiknya bercinta dengan dirinya. Ia juga ingat bagaimana Arci mengerjai dia ketika tidur. Semua dilakukan atas perasaan cinta. Tapi ini cinta yang salah. Berkali-kali Arci merangsangnya, hingga telapak kakinya dijilati Arci, ia menggelinjang.
"Dek, udah. Kakak nggak kuat!" kata Safira.
Arci kemudian menarik tubuh kakaknya. Dipeluknya tubuh sang kakak. Mereka berdua lalu berpagutan, kedua lidah memutar-mutar, mencari celah birahi, dan ketika didapatkan Arci mengangkat sedikit paha Safira lalu memasukkan penisnya.
Tubuh Safira melengkung. Ia mendapatkan orgasme, padahal hanya disodok sekali oleh adiknya. Tentu saja Arci merasakan orgasme dahsyat Safira.
"Kak, kamu sangat menggairahkan. Siap yah, aku mau menghamili kamu," kata Arci.
"Sudahlah dek, jangan yah!"
Arci tak peduli, kini ia menggenjot kakaknya tanpa ampun. Safira kewalahan dan kepalanya bergerak kiri kanan. Kenikmatan kembali menjalar. Dua kelamin kini saling bergesek, menimbulkan suara kecipak basah dan becek. Arci makin tegang, ia semakin memasukkan penisnya dalam-dalam. Safira antara keenakan dan terharu tak bisa diungkapkan. Ia menggigit bibir bawahnya. Arci lalu memeluknya dengan erat, menekan buah dadanya.
"Ohhh...kaaaakk....ini, udah mau keluar. Aku keluarrrr....! Oohhhkk!" Arci pun menembakkan semua spermanya ke dalam rahim kakaknya. Berbeda, tentu saja. Kalau biasanya ia hanya mengeluarkan setengah, kini ia benamkan seluruh penisnya ke dalam liang senggama kakaknya. Safira menggigit pundak Arci.
Arci tak mencopot penisnya. Membiarkan terbenam di sana hingga setiap tetes spermanya habis keluar. Perlahan-lahan ia cabut. Nafasnya terengah-engah, Safira juga. Agak lama mereka terdiam.
"Kamu nggak ke kantor?" tanya Safira.
"Nggak, hari ini aku akan menghamili kakak biar kakak nggak pergi," jawab Arci.
"Dek, jangan kekanakan gitu ah, udah pergilah!" kata Safira.
Arci menggeleng.
"Sejujurnya....,"
"Aku tetap akan di rumah, kakak harus aku hamili!" Arci memotong kata-kata Safira.
Safira menghela nafas, "Kakak nggak bakal kemana-mana. Kamu hamili atau tidak, aku akan tetap di sini."
"Benarkah?"
"Iya, sekarang...pergilah. Kalau kamu memang ingin jadi ayah dari anak-anakku, kamu harus pergi bekerja. Nggak indehoy melulu!"
Arci tersenyum. "Makasih kak, untuk semuanya."
"Tak perlu berterima kasih, aku kakakmu," kata Safira.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Rahma, ada waktu?" tanya Arci.
"Hmm? Errr...nggak tahu pak, eh Ci!" jawab Rahma.
"Aku ingin ngobrol sebentar, bisa? Nanti makan siang?" tanya Arci.
"B-bisa," jawab Rahma.
Arci pun menunggu Rahma keluar dari ruangannya. Begitu Rahma keluar, Arci langsung menggandengnya.
"Eh, ada apa Ci?" tanya Rahma.
"Bantuin aku ya," jawab Arci.
"Bantuin??"
"Aku akan cerita, kita di mobil aja. Makan yang jauh dari tempat ini."
Arci membawa Rahma pergi. Mereka cukup jauh untuk mencari tempat makan, hingga akhirnya mereka menemukan sebuah tempat makan lesehan yang agaknya cukup nyaman untuk dibuat ngobrol. Dan akhirnya mereka pun mengobrol. Arci merapikan rambutnya yang sedikit kucel dan berantakan. Rasanya tidak enak sekali kepalanya, mungkin pengaruh alkohol kemarin masih terasa.
"Ada masalah apa?" tanya Rahma.
"Aku ingin melakukan satu hal, tapi kamu mau atau nggak. Sebenarnya ini persoalan pribadiku. Tapi kalau kamu bersedia, oke deh kita lanjut."
"Apa sih?"
"Aku dan Andini sudah menjalin hubungan...."
"Haaaah??"
"Sssshh...jangan dipotong dulu!"
"OK, OK, jadi bener ya gosip itu?"
"Yeah whatever. Ketahuilah, sekarang ini situasinya sedikit kritis. Ia tak mau menerima aku karena satu kesalahan. Tapi jujur aku tak bisa untuk melepaskannya. Aku ingin dia kembali kepadaku. Aku ingin memancing emosinya agar ia mengakui kalau dia mencintaiku," ujar Arci.
"Gimana caranya?"
"Kamu mau jadi pacarku?"
"Hah??"
"Pura-pura saja. Kita jalan bareng, bermesraan gitu, bahkan kalau perlu aku bisa menyiapkan pernikahan asal-asalan."
"Ci, kamu gila!"
"Please, aku hanya ingin dia bilang kalau mencintaiku, setelah itu selesai."
"Ini nggak masuk akal Ci! Aku nggak mau!"
"Rahma please, siapa lagi yang bisa aku mintai tolong?? Justru aku memilihmu karena kamu dekat dengan Andini. Biar dia benci kamu dan dia akan memperjuangkan cintanya. Aku ingin dia kembali. Aku tak bisa hidup tanpa dia."
Rahma menghela nafas.
"Kamu bisa kan? Please, tolonglah. Kamu minta apa aja aku akan turuti. Termasuk mencari kekasihmu yang ada di London itu aku akan lakukan. Kumohon tolonglah aku!"
Rahma sedikit kaget. Ya, dengan kekayaan Arci sekarang, ia bisa saja menemukan Singgih. Rahma memang membutuhkan Singgih sekarang ini. Setelah hubungan yang tak jelas dengan Singgih ia bingung dengan statusnya. Singgle atau tidak. Rahma berpikir sejenak.
"Rahma, tolonglah!" kata Arci.
"Baiklah, aku mau. Tapi kamu bisa mencari Singgih untukku?"
"Bisa."
"Ini pura-pura saja kan?"
"Iya, pura-pura. Sampai Andini kembali kepadaku."
"Kalau dia tak kembali?"
"Dia pasti kembali."
Rahma dalam hati berkata, "Iya, ini pura-pura, tapi kalau aku sampai jatuh hati beneran kepadamu bagaimana?"
"Baiklah, tapi aku hanya membantumu kali ini," sambung Rahma.
"Terima kasih, terima kasih. Aku berterima kasih kepadamu."
Kesepakatan Rahma dan Arci telah dimulai. Mereka melakukannya dengan berbagai cara. Pertama menyebarkan gosip di kantor, kedua unggah status di facebook, ketiga sering jalan berdua. Rahma sering dijemput dan di antar pulang oleh Arci. Tujuan mereka hanya satu yaitu agar Andini bisa kembali kepada Arci. Andini pun mendengar gosip itu. Hatinya seperti tercabik-cabik. Hingga pada suatu pagi, dia menyapa Rahma.
"Pagi!?" sapa Andini.
"Pagi bu," jawab Rahma.
"Kudengar kamu jalan sama Arci?" tanya Andini.
"I-iya."
"Selamat yah," kata Andini. Setelah itu dia pergi meninggalkan Rahma yang bengong.
Di dalam ruangannya Andini menangis. Ia lemas dan tertunduk di lantai. "Kenapa? Kenapa jadi begini? Apakah kamu ingin menyakitiku?"
Hari itu kantor penuh berita heboh. Bahkan sampai-sampai orang seperti Nita dan Sonia yang suka bergosip tambah lebih heboh lagi. Mereka pun chatting.
Nita: Eh cuy, dirimu jadian ama big bos?
Rahma: He-eh.
Sonia: Waaaaaa... kita telaaattt. Beruntung banget kamu.
Nita: Iyo i.
Rahma; Hehehehe.
Nita: Piye si big boss? Wis diapakne wae karo uwonge?
Rahma: Ngomong apa sih? Nggak ngapa-ngapain. Baru juga jadian.
Sonia: Halaaah... diapa-apain juga nggak apa-apa koq Ma, aku juga senang temenku dapat cowok ganteng. Hihihihi.
Nita: Tapi kita butuh ditraktir nih.
Sonia: Iya, butuh ditraktir.
Rahma: Eh, koq malah nodong sih? Lagi bokek.
Nita: Halah, ayo ma'em oskab aja. Kuane Lop!
Sonia: Oyi, nakam oskab. Pentol gedhe.
Rahma: Yaelah, dibilang bokek.
Nita: Peliiiiiittt
Sonia: Oyi, peliiiit...
Rahma: Eh, beneran aku lagi bokek. Dibilangin koq.
"Ajak aja mereka, aku yang bayarin!" kata Arci.
Rahma terkejut dan buru-buru menutup desktopnya. "Eh,...pak Arci...?"
"Dibilang jangan panggil pak. Nggak di kantor nggak dimanapun aku melarangmu manggil pak," kata Arci.
"Tapii..."
"Udah, ajak aja nanti makan siang Nita ama Sonia, makan bakso," ujar Arci.
Rahma menghela nafas. Arci menoleh ke pintu ruangan Andini yang tertutup. Rahma melihat wajah Arci yang tampaknya merasa khawatir. Pemuda ini sangat mencintai Andini.
"Dia sudah tahu?" tanya Arci.
"Sudah," jawab Rahma.
"Baiklah, aku ke sini mau memberikan ini," kata Arci sambil memberikan beberapa tangkai bunga mawar merah, sekaligus vas bunganya.
"Ehhh?? Apaan ini? Nanti dilihat orang!"
"Bukankah semua orang harus tahu?"
"Hmm... i-iya juga sih, tapi aku malu."
"Sudahlah, terima saja!"
Andini tiba-tiba keluar dari ruangannya. Dia terkejut melihat Arci berada di meja Rahma. Jantung Andini serasa copot melihat Arci memberikan bunga mawar kepada Rahma. Arci yang mengetahui Andini melihatnya kemudian membelai wajah Rahma, setelah itu mengangguk kepada Andini. Dia kemudian pergi. Rahma tak tahu kalau Andini keluar dari ruangannya dan hendak menuju ke mejanya.
Setelah Arci menghilangdari balik pintu barulah ia bernafas lega. Andini menghampirinya.
"Bunga ya? Romantis banget," sindir Andini.
"Eh, ibu," Rahma tampak gugup.
"Tolong laporan minggu kemarin berikan ke mejaku ya, aku ingin keluar sebentar," kata Andini.
"B-baik bu," Rahma agak gugup.
Andini berusaha mengejar Arci. Dia mempercepat langkahnya. Begitu dia melihat Arci masuk lift ia juga mengejar Arci sampai masuk ke dalam lift. Mereka berdua pun berada di dalam lift. Nafas Andini memburu. Ia seperti tak terima Arci sudah punya gebetan lagi.
"Kamu, .... cepat sekali berpindah ke lain hati," kata Andini.
"Kenapa? Inikan hidupku, bukan hidupmu," kata Arci. "Apa aku tak boleh mengencani Rahma."
"Rahma itu anak buahku, sekretarisku. Kamu tak bisa seenaknya seperti itu!"
"Apakah ada peraturan kantor yang melarang atasannya mengencani bawahannya?"
"Ada, itu aturanku."
"Kamu cemburu?"
"Tidak. Si-siapa bilang?"
"Berarti kamu masih mencintaiku?"
"Hah??" Andini agak gugup. "Tidak, katamu hubungan kita telah berakhir bukan? Sudahlah. Nggak usah dibahas. Terserah kamu mau menjalin hubungan dengan siapapun."
"OK, lalu kenapa kamu sewot?"
"Kenapa terlalu cepat? Kenapa kamu terlalu cepat memutuskan?"
"Din, aku single, aku cukup ganteng, aku punya kekayaan, aku punya semuanya. Wajar kalau aku ingin punya pacar bukan? Kamu mau kembali kepadaku lagi?"
"Tidak! Kamu bodoh! Tidak sensitif!"
"Akuilah kalau kamu masih mencintaiku."
Andini terdiam.
Untuk dua menit yang panjang mereka diam. Andini tak menjawab. Dia ingin berteriak saat itu. "Aku mencitaimu" tapi mulutnya seperti terkunci. Terlebih ketika mengingat Arci bersama Safira. Mata Andini berkaca-kaca.
"Aku akan menikahi Rahma seminggu lagi!" pancing Arci.
JDERR! Tentu saja kata-kata itu membuat Andini terkejut.
"Bohong!"
"Kamu akan menerima undangannya besok. Setidaknya masih ada waktu, apakah kamu masih mencintaiku ataukah tidak. Kalau kamu masih mencintaiku, aku akan batalkan pernikahan ini. Kalau tidak kamu akan mendapatiku berada di pelaminan."
Lift terbuka. Arci pun keluar. Andini hanya melihat punggung Arci menjauh, kemudian disusul pintu lift yang menutup. Tangis Andini pecah. Ia menekan tombol STOP di lift agar lift tak bergerak. Entah antara penyesalan dan cinta, ia bingung.
"Kenapa kamu memaksaku? Aku mencintaimu, kamu harusnya tahu. Arci...please jangan pergi....," Andini terisak.
DRRRRRTT! Ponsel Andini berdering. Dia tadi sengaja menggunakan nada getar. Sebuah nama terpampang di sana My Cici. Arci menelponnya. Ia galau antara menerima dan tidak. Dan akhirnya jemarinya pun menggerakkan slide untuk menerima teleponnya.
"Ya?!" sapa Andini singkat.
"Andini?" tanya sebuah suara wanita. Andini sedikit terkejut.
"Si...siapa?" tanya Andini.
"Ponselnya adikku ketinggalan. Kalau itu kamu, aku ingin bicara. Bisa kita ketemuan?"
Dada Andini berdebar-debar. Kenapa Safira ingin menelponnya? Ada perlu apa?
"Please, ini penting. Bisa kita ngobrol? Aku tunggu di Kopi Tiam di Jalan Bondowoso, nanti sore," kata Safira.
"B-baiklah," ujar Andini.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Kafe NIKI Kopi Tiam malam itu tak begitu ramai. Mungkin karena para mahasiswa sedang sibuk dengan ospek dan liburan semester, sehingga kafe yang biasaya tidak sepi pengunjung itu pun kini hanya terlihat beberapa pengunjung saja. Safira mengenakan baju putih lengan panjang, dengan bawahan jeans dan sepatu boot. Dia membawa sebuah tas kecil yang ia taruh di sebelah tempat dia duduk. Sebuah cangkir kopi yang masih mengeluarkan uap panas berada di mejanya. Beberapa orang lelaki matanya tertuju kepada Safira. Mungkin karena dia satu-satunya wanita cantik yang ada di kafe itu. Parfumnya pun bisa tercium ke segala sudut ruangan membuat pesona Safira tak bisa ditolak.
Andini tak lama kemudian datang. Begitu melihatnya Safira sangat senang sekali. Dia menganggap Andini cantik, anggun, dengan balutan baju atasan hitam putih dan rok warna abu-abu. Rambut Andini diikat. Sepatu high heelsnya yang bermerk terkenal tampak makin serasi saja dia pakai. Begitu Andini masuk, ia langsung mengenali Safira. Para lelaki yang berada di kafe kini mendapatkan pemandangan indah yang lainnya. Dua bidadari ada di dalam ruangan.
Safira segera menyambut Andini, menyalaminya dan cipika-cipiki. Andini tak menyangka Safira bisa selembut ini dan seakrab ini.
"Apa kabar?" sapa Safira.
"Baik," jawab Andini.
Mereka berdua duduk berhadapan. Andini sangat canggung, apalagi Safira tersenyum. Dia mengira Safira ini cantik. Pantas saja Arci menyukai kakaknya sendiri. Andini merasa kalah.
"Aku ingin bicara mengenai adikku. Kalau kamu tak keberatan," kata Safira.
Andini menghela nafas. "Masalah apa?"
"Kamu tahu, apa yang dikatakan adikku bukan? Ketahuilah, dia sangat mencintaimu. Aku tak ingin merusak hubungan kalian, aku sangat berharap ia bisa bersama denganmu. Arci telah menganggap engkau adalah hidupnya."
"Aku tak mengerti."
"Andini," Safira menggenggam tangan Andini. "Kamu mencintai Arci, bukan?"
Andini menarik nafas dalam-dalam. Entah kenapa, dia saat itu bisa berkata, "Iya"
"Aku akan pergi, kamu tak akan melihatku lagi. Aku tak ingin kebahagiaan kalian terganggu olehku. Aku sadari aku salah. Dari dulu aku adalah perempuan hina, sering diusir, sering diintimidasi, itulah aku. Tapi aku sangat menyayangi Arci, lebih daripada yang engkau ketahui. Aku tak ingin mengganggu cinta kalian. Aku hanyalah duri yang mengganggu kisah cinta kalian."
Andini tiba-tiba menangis. "Jangan, engkau adalah orang yang dia cintai. Aku tak bisa. Aku sudah kalah sebelum bertarung. Aku tak bisa."
"Dini, kenapa kamu menangis?"
"Aku tak tahu."
"Kamu takut kehilangan dia bukan?"
"Iya,... aku takut...takut sekali. Tapi, dia hari ini katanya telah berhubungan dengan wanita lain. Katanya dia akan menikahinya seminggu lagi."
"Tidak, Arci tidak akan berbuat seperti itu. Ia hanya ingin memancing amarahmu saja. Dia hanya ingin agar engkau mengakui bahwa engkau masih mencintai dia. Hanya itu. Katakan kepadaku, kamu mencintai dia bukan?"
Air mata Andini makin deras. "Aku sangat mencintainya. Sangat mencintainya."
Safira menggeser kursinya, kemudian dia memeluk Andini. Keduanya sama-sama menangis. Mencintai seorang yang sama, tapi dengan status berbeda.
"Kamu jangan pergi!" kata Andini. "Arci tak akan bisa hidup tanpa kamu."
"Dia harus bisa," kata Safira.
"Tidak, jangan!"
"Aku menyayangimu, sama seperti aku menyayangi adikku. Aku akan mengalah. Arci harus bisa hidup tanpa diriku."
"Safira.....hiks..."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Besoknya Arci membawa surat undangan. Surat undangan berwarna coklat itu ada sebuah pita kecil yang berada di salah satu halaman undangannya. Di sana tertulis nama Arci dan Rahma. Semuanya dibagikan. Ini surat undangan pernikahan. Sepertinya Arci sangat serius. Arci sudah pergi ke rumah orang tua Rahma dan melamarnya. Dan Arci juga serius mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk pernikahan hingga Rahma tak tahu apakah ini bercanda atau serius. Dia berkali-kali bertanya kepada Arci.
"Ini seriusan?" tanya Rahma berkali-kali.
Arci menjawab, "Seriusan."
Rahma terkejut. "Ci, bukannya katanya kita cuma main-main saja sampai Andini mengakui cintanya."
Arci tersenyum. "Turuti saja apa kemauanku. Aku sekarang jadi calon suamimu, baik kamu suka maupun tidak."
"Hei!? Tidak bisa begini. Bukan begini perjanjiannya!"
"Tenanglah, aku yakin dia akan berkata jujur bahwa dia mencintaiku."
"ARCI!" suara Rahma meninggi.
Arci langsung mencium bibir Rahma. Rahma yang mendapatkan serangan mendadak itu pun kaget. Andini keluar dari ruangannya, ia kaget melihat Rahma dan Arci berciuman di depan mata mereka. Ini sama sekali tidak pernah dikira. Sama sekali tak pernah dikira. Rahma pun tak bisa melawan, hingga akhirnya ia pasrah dan menerima perlakuan Arci. Andini sangat sakit, sangat sakit hatinya. Ia kembali masuk ke ruangannya.
"Terserah apa yang ingin kamu lakukan. Aku tak peduli. Mau kamu pergi, mau kamu kawin ama Rahma terserah!" rutuk Andini. Dia kemudian mendorong seluruh barang yang ada di atas mejanya. Setelah itu ia menjerit. Hatinya sangat sakit. "Arci, aku mencintaimu...."
Saat Andini sudah masuk ke ruangannya Rahma mengetahui kalau Andini tadi melihat. Ia mendorong Arci kuat-kuat.
"Apaan sih?" gerutunya.
"Aku ingin dia cemburu," kata Arci.
"Gila apa?! Ini bukan kesepakatan kita. Ngapain pake acara cium segala? Batalin nggak itu pernikahannya?"
"Tidak. Ini sudah keputusanku."
"Tapi apa yang akan terjadi nanti? Kalau misalnya emang beneran Andini ingin kembali kepadamu, bukankah semua undangan sudah disebar?"
"Kamu tak akan menyesal, pada hari itu kamu tetap akan menikah. Aku tetap akan menikah."
"Ci, ini gila!"
"Bukankah kita sudah bersepakat kalau kamu mau mengikuti caraku?"
Rahma menghela nafas. Ia masih ingat bagaimana dua hari yang lalu Arci datang ke rumahnya. Terang-terangan "melamar" Rahma. Antara pura-pura dan tidak, sepertinya tak bisa diketahui. Bahkan Arci menjadwalkan acaranya dua minggu lagi. Dia sudah mengatur tempat, sudah menyewa gedung. Semuanya sudah dia persiapkan. Orang tuanya Rahma, tentu saja setuju. Tapi Arci bilang itu keputusan Rahma, ingin setuju atau tidak. Dan Rahma setuju. Saat itu juga Arci berkata, "Sekalipun dengan menikah nanti kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dariku?"
Rahma tak mungkin bilang "tidak". Dia hanya berkata, "Iya"
Ini adalah hal tergila dalam hidupnya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Aku akan kembali," kata seseorang. Dia memainkan cerutu yang ada di tangannya, sementara tangan satunya sedang memegang ponsel di telinganya.
"..."
"Tak perlu takut. Keluarga ini memang begitu. Tak akan memberikan toleransi kepada para pengkhianat. Itu memang bakalan terjadi. Hanya saja, kalau bisnisku diganggu. Aku juga tidak suka."
"...."
"Aku tahu kematian Jatmiko, harusnya kamu tidak ceroboh!"
"...."
"Biarkan Alfred yang mengurus."
"..."
"Anak Archer, biar aku urus. Bantuan sudah datang?"
"...."
"Tentu saja. Apa? Dia mau menikah? Kapan?"
"...."
"Perjanjian kita tak akan batal. Aku sudah berjanji bukan? Kita akan merger, kalian akan tetap dapat bagian. Sudah saatnya PT Evolus dipimpin oleh orang yang tepat."
"...."
"Segera, kita akan lakukan pembersihan. Semuanya, tanpa ampun!"
"...."
"Ya, semuanya."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Seseorang lelaki berusia 40-an masuk ke sebuah rumah sakit jiwa. Dia adalah Johan Sebastian. Dia mengunjungi istrinya Araline Zenedine. Sebenarnya ini kunjungan rutinnya, karena hampir pasti kalau tidak ada halangan dua minggu sekali ia menjenguk istrinya. Sang istri keadaannya mulai membaik. Mulai tenang. Walaupun tidak sepenuhnya dan bisa kambuh sewaktu-waktu.
"Araline?!" sapa Johan.
"Hmm??" jawab Araline. Dia memakai baju putih, rambutnya disisir rapi, tapi kantung matanya tampak menonjol. Araline punya kebiasaan kurang tidur. Bahkan lebih banyak mengigau. Semenjak narkoba mempengaruhi jalan pikirannya ia dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Ini adalah cobaan bagi Johan.
"Kamu tahu, ini kesekian kalinya aku menjengukmu. Dokter bilang sudah ada kemajuan dari terapimu. Hanya saja masih perlu observasi," kata Johan.
Araline masih membisu.
"Kamu masih mikirin kejadian masa lalu? Sudahlah, udah berapa tahun? Sebentar lagi kalau kamu tidak kambuh lagi, kita akan pulang."
"Katakan bagaimana kabar Archer?" tanya Araline.
Johan capek sebenarnya dia menanyakan kabar Archer. Johan tak pernah tahu apa yang terjadi antara dia dengan Archer yang notabenenya adalah kakaknya sendiri. Araline selalu bertanya tentang kabar Archer.
"Dia .... sekarang sudah meninggal. Kamu harus tahu, dia sudah lama meninggal!" ujar Johan.
Araline tersenyum. "Kamu bohong. Archer menungguku, dia pasti menungguku."
"Dia sudah meninggal, sekarang ada anaknya yang menggantikan dia," kata Johan.
"Anaknya? Siapa?"
"Namanya Arczre, panggilannya Arci. Ia pewaris dari PT Evolus. Harusnya kamu relakan dia."
"Semua keluarga ini memang sampah. Mereka tak pernah punya perasaan. Archer yang tidak bersalah saja bisa mereka siksa seperti itu. Siapa dia? Arci? Aku ingin bertemu dengan dia. Kamu bisa antarkan dia ke sini?"
"Kenapa?"
"Aku ingin berikan dia sebuah rahasia."
"Apa?"
"Biar Arci yang tahu, aku sudah berjanji kepada Archer untuk menceritakan hal ini kepadanya. Tapi kalau kamu bilang ada anaknya maka boleh saja kan? Aku ingin ceritakan sesuatu kepada Arci. Dan juga tentang alasanku berada di sini."
"Araline, kamu ini kenapa?"
"CEPAAAT!" Suara Araline meninggi.
"Iya, OK, OK. Aku akan ajak anak itu ke sini."
Araline tersenyum. "Jangan sampai tidak."
Johan mengerutkan dahinya. Ia tak habis pikir. Rahasia apa yang akan dibeberkan oleh Araline? Dia berdiri, kemudian meninggalkan Araline seorang diri. Tujuannya sekarang adalah mencari Arci.
Untuk mencari Arci tidak terlalu sulit. Johan langsung menemui Arci di ruang kerjanya. Sebagai salah satu keluarga Zenedine, akses untuk dia amatlah mudah. Arci saat itu sedang menandatangani beberapa berkas. Agaknya hari itu ia menyibukkan diri di dalam kantornya. Kantor seorang presiden direktur cukup luas, juga merupakan tempat yang paling atas di gedung. Di mejanya ada sebuah bingkai foto. Dan foto itu adalah foto Andini. Ketika Arci mengusap-usap bingkai foto itu, Johan mengetuk pintu.
Arci yang terkejut segera menutup bingkai foto itu. Dia lalu berkata, "Silakan masuk!"
Johan pun masuk.
"Johan?" Arci cukup terkejut.
"Apa kabar ponakan?" sapa Johan.
"Ada perlu apa?" tanya Arci.
"Aku ingin kamu ikut denganku."
"Kemana?"
"Ke Rumah Sakit Jiwa, tempat istriku berada. Dia ingin memberitahukan sesuatu kepadamu. Percayalah kepadaku. Kamu akan mengerti apa yang terjadi sebenarnya di keluarga ini."
Hari itu Lian sedang berbelanja di supermarket, hingga dengan sengaja troli belanjaya ditabrak oleh troli belanja seseorang. Lian menatap ke orang itu. Dia mengenal siapa orang itu, seorang wanita yang menjadi menantu keluarga Zenedine. Sebenarnya tidak resmi sebagai menantu. Dia menikahi duda dari seorang keluarga Zenedine. Sebenarnya juga sang duda bukan keluarga Zenedine, ia beruntung karena menikahi anak keluarga Zenedine. Wanita ini adalah Alexandra, suami dari Michael.
"Alexandra?!" sapa Lian.
"Hai pelacur? Masih exists? Selamat atas warisannya," kata Alexandra ketus.
"Apa kamu menyapaku hanya untuk menghinaku saja?"
"Kamu memang pantas untuk dihina, dasar pelacur. Anaknya juga pelacur. Kamu tak pantas berada di keluarga kami."
"Aku juga sebenarnya tak sudi berada di keluarga ini, tapi... Archer telah memilihku. Kita sama-sama orang yang beruntung masuk ke dalam keluarga Zenedine. Aku yakin kalau kamu dicerai suamimu, kamu juga akan melacur sama sepertiku."
"Brengsek! Kamu mau menghinaku?"
"Kenapa? Benar bukan? Jangan-jangan suamimu mati karena kamu bunuh hanya untuk mendapatkan harta warisannya, atau mungkin kamu dan Michael sudah selingkuh lama sehingga kalian menghabisi pasangan kalian masing-masing?"
Alexandra kepancing emosinya, tapi ia mengurungkan niatnya yang ingin menghajar Lian saat melihat petugas security lewat.
"Ini belum selesai. Aku akan merobek mulutmu," kata Alexandra.
"Aku tak takut,"
Alexandra kemudian pergi meninggalkan Lian. Lian jadi teringat bagaimana masa lalunya ketika pertama kali bertemu dengan Alexandra. Dia pernah dilecehkan habis-habisan oleh Alexandra. Bukan, tetapi oleh Michael suaminya. Lian tahu hubungan perselingkuhan Alexandra dan Michael saat pasangan mereka masih hidup. Alexandra yang menikah dengan Robert Zenedine dan Michael yang menikah dengan Rachel Zenedine. Mungkin dugaannya selama ini memang benar kalau Robert dan Rachel dibunuh oleh pasangan mereka. Robert, dia tewas dalam sebuah insiden. Jatuh dari jurang saat melakukan hiking. Rachel, dia tewas dalam sebuah kecelakaan.
Dia teringat ketika hari itu Archer mengantar dia pulang. Setelah Archer pulang Lian dibekap. Dia disekap oleh Michael. Dan Alexandra juga ada di sana. Lian disiksa dengan cambukan, dikencingi oleh Michael dan juga diperkosa. Lian tak akan melupakan kejadian itu. Hal itu membuat Archer marah dan mengancam mengusir Alexandra dan Michael kalau tidak berlaku baik kepada Lian. Tapi cobaan tidak berakhir. Setelah Archer mewarisi kekayaan Arthur, dia tak bisa berbuat banyak. Sementara Alexandra dan Michael terus memburunya. Ini adalah salah satu alasan Lian dan anak-anaknya lari dari satu kota ke kota yang lain, selain tentu saja kejaran debt collector, karena Archer tak meninggalkan apapun buat mereka. Namun setelah Archer meninggal, gangguan itu mulai reda. Mungkin sebagian besar tahu bahwa Lian yang telah mengandung anak Archer, dan akan berakibat buruk kalau sampai terjadi apa-apa kepada Lian.
Lian menghela nafas. Ia tahu beban ini masih berat. Keluarga yang tidak menyukai keberadaannya. Tapi yang lebih berat adalah Arci. Dia harus menanggung banyak hal. Apakah anaknya akan kuat?
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci baru saja dari Rumah Sakit Jiwa menemui Araline. Dia mengetahui hal-hal yang tidak pernah ia ketahui sebenarnya. Ia ingin menyimpannya sendiri. Ternyata apa yang dikatakan oleh ayahnya benar, "Jangan percaya kepada siapapun". Entah apa yang akan dilakukannya. Ia sendiri tak tahu harus percaya kepada siapa saja. Araline tidak berbohong. Ia telah menjelaskan semuanya, kenapa ayahnya lebih memilih Lian sebagai pasangannya hingga melahirkan dirinya. Dan alasan Araline masuk ke dalam rumah sakit jiwa, juga mencengangkan dirinya. Johan hanya berpesan satu hal, "Kali ini, kamu sendiri. Kalau kamu ingin teman, satu-satunya yang bisa menjadi temanmu di keluarga ini hanyalah Ghea. Dia masih polos, dia hanya patuh kepada ayahnya. Tapi kalau engkau mencoba mendekati dia, kamu akan bisa mengendalikannya. Aku tak bisa menolongmu, kamu tahu sendiri bagaimana keadaan Araline. Sekarang kamu mengerti bukan?"
Arci mengangguk. Selama dua jam dia ada di Rumah Sakit Jiwa mendengarkan cerita Araline. Seluruh seluk beluk keluarga Zenedine malah didapatnya dari cerita seorang yang sedang ada gangguan jiwa. Arci pun punya rencana. Dan kali ini ia yakin rencananya tak akan gagal. Hanya saja mungkin apa yang akan dilakukannya ini akan membuat jalan hidupnya makin gelap. Selama ini ternyata ayahnya lebih banyak curhat kepada Araline. Mungkin karena disangka Araline gila karena itulah ia bicara semaunya, membicarakan segala hal tentang keluarga Zenedine, bahkan sampai ke perselingkuhan Amanda dengan Pieter pun diceritakannya. Arci sudah masuk ke dalam lembah hitam, kalau ia lebih masuk lagi maka tak ada pilihan.Hidup memang keras dan ia harus kuat. Ia selama ini telah berjuang dalam kesusahan, dan ia akan terus memperjuangkannya.
Mobilnya melaju di atas aspal kering melewati jalanan raya, sampai sebuah mobil SUV memepet dirinya dan mengklakson. Arci melihat ke jendela dan mendapati wajah Letnan Yanuar. Mau apa Letnan Yanuar? Arci pun menepi dan mobil SUV yang dinaiki reserse itu pun menepi. Arci segera keluar dari mobilnya. Letnan Yanuar tampak bersama anak buahnya juga keluar.
"Ada apa?" tanya Arci.
"Kenapa belum ada laporan? Bukankah kita sudah bersepakat?" tanya Letnan Yanuar.
"Bersepakat? Sepertinya Anda salah, saya tidak bilang iya. Anda cuma ingin agar saya membantu Anda untuk menghancurkan keluarga saya berdasarkan rekaman video ayah saya bukan?" tanya Arci.
"Ya, memang seperti itu."
"Tapi saya tidak mengatakan iya. Dan saya juga bukan orang yang suka ada orang yang mencampuri urusan saya. Jelaskan kepada saya kenapa Anda menerjunka tim lain?"
"Oh itu, aku tentu saja tidak percaya dengan kinerjamu. Kamu bukan reserse!"
"Kalau Anda memang ingin percaya kepada saya, suruh anak buahmu pergi semua. Daripada mereka mati konyol."
"Sersan Danu memang aku tugaskan untuk membackup-mu, bukan untuk mencampuri urusanmu."
"Sama saja. Dengar Let, aku akan lakukan dengan caraku sendiri."
"Maksudnya?"
"Aku akan lakukan dengan caraku sendiri."
"Arci, mereka orang-orang berbahaya."
"Kalian juga orang-orang yang berbahaya."
"Apa maksudnya?"
"Kalian memang penegak hukum, tapi rela melakukan apapun."
"Hei, jangan mulutmu itu!"
"Mau apa, memukulku? Memenjarakan aku? Ayo, silakan! Toh, aku sudah seharusnya dari dulu tidak pernah ada. Kalian yang katanya melindungiku saat aku diburu oleh keluargaku sendiri, tapi kalian membiarkan ibu dan kakakku melacur. Itukah yang kalian sebut melindungi? Ketika aku menjual diriku untuk menjadi gigolo lalu kalian diam saja, itukah yang kalian sebut melindungi? Polisi macam apa kalian?"
Letnan Yanuar membisu.
"Sudahlah, aku capek. Aku perlu mempersiapkan acara pernikahanku," Arci berbalik menuju mobilnya lagi.
"Pernikahan?"
"Ya, aku akan kirimkan undangannya ke kantor kalian," Arci membanting pintu dan menstarter mobilnya. Dengan cepat mesin mobilnya menyala dan meninggalkan Letnan Yanuar.
Kedua polisi yang ada di pinggir jalan itu tampaknya kecewa. Sementara itu dari jauh sebuah sedan Mercedes Benz SLK 250 melihat mereka semua. Di dalamnya Ghea hanya tersenyum simpul menyaksikan kelakuan Arci terhadap kedua polisi yang ada di pinggir jalan itu. Saat sedan mewah itu mendekat ke Letnan Yanuar, sang polisi tampak terkejut. Ia tahu siapa pemilik mobil itu.
"Arci diikuti oleh mereka. Itu mobil milik Pieter. Jangan khawatir ia tadi mungkin cuma pura-pura karena tahu dia diikuti," kata Letnan Yanuar.
"Siap Ndan!" jawab anak buahnya.
"Lain kali kita harus hati-hati," ujar Letnan Yanuar.
Arci hari itu langsung kembali ke rumahnya. Kondisi rumahnya sepi. Ia hanya mendapati adiknya saja yang berada di rumah.
"Lho, kak Safira dan Ibu kemana?" tanya Arci.
"Ibu belanja, kak Safira nggak tau dari tadi nggak nongol," jawab Putri.
Arci kemudian mengambil ponselnya dan mengirim SMS.
Originally Posted by Arci to Safira
Kak, ada di mana? bales GPL
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Safira hari itu meninggalkan rumahnya tanpa ada yang tahu sama sekali. Ia sebenarnya berat. Tapi itu semua dilakukannya agar Andini kembali kepada Arci. Andini sudah melarangnya, tapi Safira mengirimkan pesan pagi itu dengan BBM.
Safira: Andini, aku hari ini pergi dari rumah, tanpa sepengetahuan Arci. Kuharap kamu bisa kembali.
Andini: Lho, kenapa kamu harus pergi? Jangan!
Safira: Aku tak bisa berada di sini terus. Kembalilah kepada Arci. Ya?
Andini: Safira, jangan. Kamu berada di mana sekarang?
Safira: Aku masih berada di jalan.
Andini: Aku akan menyusulmu. Please jangan lakukan ini!
Safira: Dini, aku akan pergi. Jagalah Arci.
Andini: Nggak. Kalau kamu pergi aku tak akan kembali kepadanya.
Safira: Sungguh??
Andini: Ya, sungguh. Iya, aku akan kembali ke Arci. Tapi kamu jangan pergi. Please. Aku akan terima semuanya. Aku akan menerima kalian sebagai keluargaku.
Safira: Boleh aku bertemu denganmu?
Andini: Aku akan menjemputmu.
Safira sudah berada di jalan saat itu. Melihat keputusan Andini yang akan kembali kepada Arci, ia pun akhirnya lega. Tak berapa lama kemudian mobil Andini menyusulnya. Andini langsung keluar dari mobil dan memeluk Safira.
"Kamu kenapa bertindak bodoh seperti ini?" tanya Andini.
"Apa aku punya pilihan lain?"
"Sudahlah, aku akan menerima kalian sebagai keluargaku. Ya, itu keputusanku. Mungkin ini berat bagiku, tapi... aku tak mau melihat orang yang dicintainya seperti ini. Safira,.."
Safira tersenyum. Ia membelai rambut Andini. Ia jadi tahu kenapa Arci sangat mencintai Andini. Bukan karena harta, bukan karena semata-mata kecantikannya, tapi terhadap kepribadian yang ada pada Andini. Andini mungkin tak ingin cintanya diduakan. Tapi dia lebih sakit ketika keluarganya sendiri mendapatkan cobaan. Andini sadar, ia hanya belum siap. Dia sadar alasan Safira bersama Arci bukan karena didasari alasan nafsu semata, itu karena masa lalu Safira yang kelam. Ia mengetahuinya. Safira, seorang pelacur, bagaimana ia bisa diterima di masyarakat. Siapa laki-laki yang mau mencintai dirinya selain adiknya sendiri? Selain keluarganya sendiri?
Andini juga baru mengetahui, bahwa ayah Safira tak mengakui dirinya. Lalu kemana lagi ia harus pergi? Kemana ia akan pergi kalau semuanya tidak menerimanya? Andini tak bisa mengusir Safira dari kehidupan Arci. Itu terlalu jahat. Dan dia akan jadi orang jahat kalau sampai memisahkan Safira dan Andini. Andini menganggap dia terlalu egois, tapi satu hal yang tak bisa ia bohongi kepada dirinya sendiri. Ia cinta mati ama Arci.
"Boleh aku tinggal di rumahmu untuk beberapa hari?" tanya Safira.
"Kenapa?" tanya Andini.
"Nggak apa-apa. Aku ingin dekat dengan kamu saja," jawab Safira.
Andini mengangguk. "Ayo"
Safira mendapatkan SMS. Dari adiknya.
Originally Posted by from Arci
Kak, ada di mana? bales GPL
Safira pun membalas.
Originally Posted by to Arci
Ke rumah teman. Tak usah dicari. Oh ya, aku nginap beberapa hari di rumahnya.
Arci yang saat itu menerima balasan mengerutkan dahi. Agak aneh, bukankah Safira tak pernah punya teman. Arci pun makin penasaran.
Originally Posted by to Safira
Teman? Siapa?
Safira tersenyum.
Originally Posted by to Arci
Sudah deh. Jangan khawatir. Aku tak akan pergi koq. Aku yakin adikku akan mendapatkan cintanya.
Arci makin nggak ngerti. Tapi kalau Safira bilang tidak akan pergi maka perasaannya pun lega. Hanya saja ketidak beradaan Safira itu hal yang baru. Ponsel Arci berdering. Dari Ghea. Arci segera mengangkatnya.
"Halo?!" sapa Arci.
"Arci, aku dengar semuanya," kata Ghea.
"Maksudnya?"
"Semua yang dikatakan Araline, aku mendengar semuanya."
"Engkau menyadapku?"
"Ya."
Arci meraba-raba tubuhnya.
"Tak perlu diraba-raba, yang penting aku tahu. Itu untuk keamananmu saja."
"Jadi sekarang?"
"Ya, kita sekarang tahu siapa orangnya. Aku khawatir ia telah menguasai semua yang ada di dalam keluarga Zenedine. Bahkan mungkin semua orang-orang kita. Aku takut terjadi sesuatu kepada ayahku, dan kamu tentu saja."
Ghea entah kenapa sedikit mellow hari itu. Dia merasa manja kepada Arci, sesuatu yang aneh. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Beberapa hari pernikahanmu bukan?" tanya Ghea.
"Itu setingan, aku sudah mempersiapkan sesuatu."
"Jadi? Itu bohongan?"
"Iya, aku ingin Andini kembali kepadaku. Sengaja aku bentuk seperti itu."
"Kamu sewa gedung, catering, baju pengantin, itu semua buat apa?"
"Aku sudah merencanakan ini semua. Kamu ikuti saja."
Ghea sama sekali tak mengerti.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Bagaimana baju pengantinnya?" tanya Arci kepada Rahma.
Mereka berdua sedang melakukan fiting baju pengantin. Arci telah memakai sebuah kemeja dan jas tuxedo. Rahma memakai sebuah gaun yang sangat angun dengan untaian mutiara. Baju pengantin yang mahal tentu saja. Rahma tak tahu apa yang bakal terjadi nanti, tapi kalau memang Arci berkata ini hanya pura-pura tapi kenapa seperti sungguhan? Ia merasa seperti dijadikan alat.
Rahma menatap dirinya di cermin. "Arci, ini terlalu berlebihan. Kamu sampai sewa penghulu segala, ini berlebihan! Kita bukannya cuma pura-pura saja?"
"Kamu ikuti saja permainanku, nanti engkau akan tahu sendiri. Seperti yang aku tanyakan kemarin. Kalau misalnya aku tak memberikan apa-apa kepadamu apakah kamu tetap mau?"
"Entahlah, sebenarnya apakah kamu mencintaiku?"
Arci tersenyum mendengar pertanyaan Rahma, "Kamu pikir bagaimana?"
"Entahlah. Aku tak tahu."
Arci memegang bahu Rahma. Jarak mereka sangat dekat, "Dengarlah, aku masih mencintai Andini. Tapi pernikahan ini sungguhan. Kamu akan menikah, aku juga."
"Tapi... apa maksudnya aku tak mengerti!"
Arci masih tersenyum, "Dan aku mohon maaf kemarin sudah menciummu. Aku tak bermaksud seperti itu. Aku hanya ingin Andini cemburu. Engkau akan tahu pada hari pernikahan besok." Arci melepaskan pegangannya dan berkaca di cermin.
"Arci, aku masih tak mengerti," kata Rahma.
Sikap Arci ini penuh dengan tanda tanya. Dia sudah punya rencana sendiri. Rencana yang tidak semua orang tahu. Bahkan ketika pada malam sebelum hari H. Arci tetap membisu. Dia tidak menceritakan apa yang ada di dalam pikirannya. Rahma kebingungan atas sikap Arci. Dia ingin protes, tapi bingung apa yang bisa dilakukannya. Semuanya sudah diset, gedung, penghulu, catering, undangan telah disebar. Kalau misalnya dibatalkan begitu saja, dia yang akan malu.
****
Safira tinggal di rumah Andini beberapa hari ini. Cukup ajaib, mereka sekarang bisa akrab. Andini mendapatkan undangan dari Arci. Safira yang melihat undangan itu hanya tersenyum.
"Kenapa kamu tersenyum?" tanya Andini.
"Kamu yakin Arci bakal menikahi Rahma?" tanya Safira.
"Trus? Undangan ini? Bukannya ini sebagai bukti bahwa ia tak main-main?"
"Arci punya kejutan. Katakan saja kamu mencintainya, ia pasti akan memberikanmu kejutan!"
"Omong kosong, tidak mungkin. Dia sudah menyewa gedung, menyewa macam-macam, udangan sudah disebar. Mana mungkin ini cuma bohongan?"
"Andini, aku tahu siapa adikku. Dia sangat mencintaimu. Ketika kamu datang nanti ke sana, pasti akan ada sesuatu yang terjadi. Dan itu baik bagimu. Kalau toh tidak, ah...itu tidak mungkin. Datang saja!"
Andini menutup wajahnya. Ia mengusap-usap wajahnya rasanya tak percaya melihat undangan Arci dan Rahma. Mustahil seperti mimpi.
"Mau ke sana bareng?" tanya Safira.
Andini menghela nafas, "Boleh. Aku ingin buktikan sendiri kalau ini cuma bohongan."
Safira mengacak-acak rambut Andini, "Naah, gitu. Sekalian jaga-jaga kamu kalau pingsan."
"Ihhh! Nggaklah."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Siang sepupu," sapa seseorang lelaki kepada Pieter.
"Tommy?" Pieter keheranan. "Kapan datang? Koq tidak ngasih kabar?"
"Hahahaha, ingin memberi kejutan saja. Katanya anaknya Archer muncul ya?"
"Begitulah," ujar Pieter.
Pieter masih sibuk memotongi dedaunan tanaman hiasnya. Ia menoleh lagi kepada Tommy, diperhatikannya Tommy yang memakai baju casual. Selama di Perancis sepertinya selera fashion Tommy lebih baik. Tommy melihat-lihat tanaman hias Pieter.
"Kenapa? Ada urusan penting kah?" tanya Pieter.
"Sebenarnya tidak ada, aku hanya ingin mengunjungimu saja. Sekaligus tanya-tanya tentang siapa namanya? Arczre?"
"Dia anak yang baik. Dia telah menjadi bagian dari keluarga kita. Kamu tak datang ketika pembacaan wasiat itu, seharusnya kamu datang."
"Hahaha, buat apa. Aku toh tidak tertarik."
"Orang seperti kamu tidak tertarik? Mustahil."
"Kenapa bisa begitu?"
"Hahahaha, Tommy Tommy... aku tahu kamu benci kakakmu itu sejak lama. Bahkan kamu kan yang melaporkan kepada ayahmu ketika Archer pergi ke Paris bersama Lian? Aku tahu hal itu. Walaupun aku di penjara, tapi aku punya banyak telinga."
Tommy tersenyum tipis. "Itu masa lalu, saat aku emang iri dengannya."
"Apa kamu bisa menjamin sekarang tidak? Aku tidak percaya kepadamu Tom!"
"Lalu kamu sendiri? Apa tidak ingin kekayaan itu juga?"
"Hahahaha, bagi orang seperti aku, bisnis gelapku lebih aku sukai daripada harus mengemis kekayaan keluarga Zenedine! Sedangkan kamu, hidupmu tidak jelas. Penghasilan dari melukis? Hahahaha, kamu bikin aku tertawa. Sejak dulu kamu rival Archer, aku tak yakin kamu tak punya hasrat."
"Bisa saja kau ini. Sudahlah, aku tak mau membahas itu. Sepi sekali, mana Ghea? Biasanya ia selalu bersamamu"
"Dia ada tugas."
"Oh, baiklah."
Tommy melihat arloji di tangannya. Ia menghirup nafas dalam-dalam. "Udara Malang sejuk. Aku suka tinggal di sini. Ah, ngomong-ngomong aku ada perlu, selamat tinggal paman."
Pieter hanya tersenyum mendengar ucapan Tommy. Tommy melambai, kemudian ia keluar dari gerbang. Pieter wajahnya langsung berubah datar. Segera ia berlari masuk ke dalam rumahnya. Dia langsung menuju ke mejanya mengeluarkan dua buah pistol dan mengambil beberapa magazine.
Ucapan Tommy bukan ucapan biasa. Umumnya orang-orang akan berkata, "Sampai nanti" atau "Sampai jumpa" tapi ketika seseorang bilang "selamat tinggal" itu persoalan lain. Dan benar. Beberapa orang, mungkin puluhan masuk ke rumah Pieter. Pieter mengambil ponselnya dan menghubungi Ghea dengan loud speaker.
"Papa?" sapa Ghea.
"Lindungi Arci!" kata Pieter.
"Iya, Ada apa?"
"Mungkin aku tak bisa melihatmu hari ini."
"Papa, jangan katakan kalau Tommy menemuimu?"
"Begitulah. Kamu sudah tahu ternyata."
"Aku sudah tahu beberapa hari yang lalu ketika Arci menemui Araline di Rumah Sakit Jiwa. Tapi aku tak percaya begitu saja, aku mengumpulkan bukti-bukti dulu sebelum memberikannya kepada ayah. Sebagaimana ayah bilang, aku tak boleh gegabah. Dan aku sudah mendapatkannya. Semua obat-obat terlarang itu, narkoba dan sejenisnya, Alfred yang mengatur. Araline mengatakan bahwa dia bisa terlibat narkoba karena pengaruh dari Tommy, dan yang lebih mengejutkan adalah dia sangat bernafsu ingin menguasai harta Zenedine. Dialah yang menjadi pengkhianat, aku telah mendapatkan kesepakatan dia dengan Agus Trunojoyo untuk menguasai PT Evolus."
"Oh, jadi begitu."
"Papa, apa yang terjadi di sana?"
"Ada perusuh masuk. Jangan khawatirkan aku, khawatirkan Arci! Lindungi dia. Lagipula ini hari yang spesial bukan?"
"Papaaa! Kalau papa tidak ada aku harus bagaimana?"
"Pergilah bersama Arci, selamatkan apa yang ada."
"Tapi papa!? Aku akan kesana, tunggulah!"
"PERGI KATAKU!"
Ghea takut mendengar suara ayahnya sendiri.
"Baiklah."
"Ghea, aku sangat menyayangimu. Bertahanlah hidup!"
Telepon pun ditutup. Pieter kini memegang dua pistol glock. Rumahnya telah di kepung, semuanya membawa senapan mesin, mereka semua sudah bersiap untuk memuntahkan isi peluru mereka. Dan jadilah hari itu hari berdarah bagi keluarga Zenedine. Sang anjing penjaga berjuang sendirian menghadapi para cecunguk suruhan Tommy Zenedine. Pieter berjuang hingga pelurunya habis. Pieter berhasil menembak beberapa orang, bukan beberapa puluhan orang. Peluru-peluru yang dia tembakkan tidak sia-sia hingga akhirnya habis. Setelah pelurunya habis dia mengambil parang yang ada di bawah mejanya, dia kemudian menyerang orang-orang yang mengepung rumahnya. Benar-benar pejuang yang tangguh, hingga Pieter yang kalah senjata itu akhirnya harus mengakui tubuhnya tak mampu lagi menahan luka. Peluru-peluru menembus tubuhnya hingga ia akhirnya berlutut dengan berpegangan kepada parang yang ada di tubuhnya.
Tommy Zenedine kembali masuk ke dalam rumah Pieter. Dia menendang anak buahnya yang tewas oleh peluru Pieter. Pieter menatap Tommy tanpa berkedip. Darah mengalir dari lubang-lubang peluru di tubuhnya.
"Kamu selalu mengajariku kalau ingin perang, selalu memakai rompi anti peluru. Ternyata engkau sendiri yang lupa," ujar Tommy.
Pieter tersenyum. "Aku juga mengajarimu, kalau masuk rumah orang kamu harus tahu ada apa saja di dalamnya bukan?"
Tommy mengerutan dahi. Dia melihat Pieter mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Sebuah remote.
"FUUUCKK!" umpat Tommy. Ia segera berbalik dan pergi. Anak buahnya pun mengikutinya. Mereka semua mengambil langkah seribu dan tak lama kemudian rumah Pieter meledak. Ledakannya benar-benar mengguncang dan menimbulkan suara yang keras. Getarannya hingga membuat mobil-mobil yang berada di dekat rumahnya pun ikut terangkat, bahkan sebagian alarm mobil berbunyi.
Tommy selamat, dia sangat beruntung. Beberapa anak buahnya tewas karena ledakan. "Brengsek! Tua bangka, mau mati saja nyusahin orang. Keparat! MATI KAU!"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Andini masih tak percaya ia datang di pernikahan Arci. Ya, pernikahan itu berada di sebuah gedung mewah. Semua undangan telah disebar. Tapi mana pengantennya?
Andini memakai gaun warna putih keperakan. Safira memakai gaun warna merah maroon. Dan dibandingkan tamu undangan yang lain, mereka berdua sepertinya bakal menjadi bintangnya karena sangat cantik. Dua bidadari ini begitu masuk gedung langsung disambut oleh banyak orang. Pelaminan masih kosong, pengantinnya belum kelihatan. Para tamu sudah menunggu dan sebagian menyantap hidangan yang ada.
Saat itulah dari arah pintu masuk Arci datang. Dia menggandeng Rahma. Tentu saja Andini rasanya mendidih melihat mereka berdua, Safira mencoba menenangkan Andini. Arci menyapu semua tamu yang hadir dan dia melihat Andini dan Safira. Wajahnya tampak berseri-seri, bukan karena acara hari ini, tapi karena melihat seorang yang sangat dicintainya ada di tempat ini.
Setelah itu Arci buru-buru naik ke panggung yang ada di sebelah kanan tempat pelaminan. Di sana sudah disiapkan alat-alat musik dan beberapa anggota band. Begitu Arci meraih mic tanpa kabel ia segera turun. Dia mengetuk mic, membuat semua tamu undangan melihat ke arahnya.
"Terima kasih semuanya telah datang. Hari ini, bisa jadi hari bahagia bagi kita semua. Namun bisa jadi hari yang paling mengharukan bagi sebagian orang. Saya berterima kasih kepada kalian yang telah hadir. Rekan-rekan kerja, teman-teman yang sudah memberikan waktunya untuk bisa hadir pada acara hari ini," kata Arci.
"Sebelumnya saya hanya ingin kalian semua menjadi saksi," lanjut Arci. "Saksi atas apa yang terjadi pada hari ini. Yang pertama, saya menyuruh kalian untuk membawa undangan bukan? Sudah kalian bawa? Kalau kalian bawa coba angkat ke atas!"
Semua tamu undangan yang membawa undangan itu mengangkat undangan itu keatas begitu Arci memberi aba-aba. Mereka tak mengerti apa yang Arci inginkan. Rahma juga gagal faham. Andini yang membawa undangan itu ikut mengangkatnya. Ia merasa konyol dengan kelakuan Arci.
"Setelah itu, lihat ada pita bukan di tengah halamannya? Pita ini coba ditarik, maka akan ada halaman baru di dalamnya!" kata Arci.
Andini mengerutkan dahi. Ia tak percaya, maka ia menarik pita itu dan kata-kata sebelumnya adalah
ARCZRE dan RAHMA
berubah menjadi
ANDINI dan ARCZRE
RAHMA dan SINGGIH
Andini mulutnya menganga. Safira tertawa puas.
"Apa-apaan ini?" kata Andini.
Rahma juga heran ketika ia baru menyadari ada halaman baru di dalamnya, sebuah nama yang ia tak akan pernah lupa. Arci kemudian menunjuk ke sebuah arah. Di pintu masuk, tampak seseorang berada di atas kursi roda, ia tak mempunyai lengan dan kaki. Tapi wajahnya sangat dikenal Rahma.
"Singgih??" kata Rahma.
Arci kemudian berjalan menuju ke arah Andini. Seluruh tamu undangan tercengang. Mereka gagal faham terhadap apa yang terjadi, tapi mereka mencoba mencerna. Beberapa orang mulai faham.
"Andini, kamu masih ingat janjiku ketika kamu menjadi Iskha?" tanya Arci yang kini sudah ada di hadapannya sambil mic masih ada di dekat bibirnya.
Mata Andini berkaca-kaca. "Kau jahat! Tentu aku ingat."
"Hari ini, pak penghulu sudah menunggu. Kamu tak mau jadi istriku?" tanya Arci.
Andini masih tak percaya. Beberapa saat lalu hatinya hancur diaduk-aduk, sekarang berubah 180 derajat. Dia menoleh ke arah Safira. Safira mengacungi jempol. Andini menangis, ia tak peduli make-upnya luntur. Ia lalu memukul-mukul Arci.
"Brengsek! Kamu pria terbrengsek yang pernah aku kenal," kata Andini. Ia lalu memeluk Arci, "Tapi aku cinta ama kamu."
Rahma tak menghiraukan apa yang terjadi dengan Arci. Di hadapannya sekarang ada Singgih yang didorong oleh seorang wanita. Wanita inilah yang selama ini merawat Singgih. Singgih tampak memakai baju yang sangat rapi, khusus di hari spesial ini. Arci telah mencarinya selama beberapa waktu, tak sulit mencarinya. Dia tinggal menghubungi kedutaan besar Indonesia di Inggris kemudian mencari Singgih dengan orang suruhannya. Lalu membuat acara kejutan yang telah ia siapkan.
Sekarang Rahma mengerti maksud dari Arci bahwa hari ini Arci menikah, dia juga akan menikah. Dan ia juga mengerti maksud dari ia tak akan mendapatkan apa-apa. Singgih dengan kondisi seperti sekarang, artinya ia tak akan bisa memberikan Rahma apa-apa.
"Hai...apa kabar?" sapa Rahma.
"Beginilah kabarku. Kamu sangat cantik hari ini," kata Singgih. "Aku tak bisa menghubungimu, keadaanku seperti ini. Aku ingin pulang tapi aku tak bisa."
Rahma meneteskan air mata. Ia tak kuasa melihat Singgih.
"Aku telah diminta Arci. Dia yang merancang semua ini. Ia bilang, kamu masih mencintaiku. Aku tidak percaya diri melihat keadaanku seperti sekarang ini. Aku merasa kamu lebih pantas menerima orang yang lebih baik daripada aku, tapi...dia memaksa. Katanya kalau engkau mencintaiku, maka kau akan menerimaku apa adanya," Singgih tak kuasa menahan haru. "Kenalkan dia Catherine. Dia yang menabrakku, dia merasa bersalah dan merawatku hingga sekarang."
Catherine tersenyum kepada Rahma, "So it was you, Singgih bercerita banyak tentang dirimu. Dia sangat mencintaimu."
Rahma tak bisa bicara lagi, ia langsung memeluk Singgih. "Sudah cukup, sudah cukup, aku sudah bilang jangan pergi. Aku sudah bilang jangan pergi! Lihat bukan akibatnya?"
"Maafkan aku!"
Keduanya tenggelam dalam tangis. Catherine pun tak mampu lagi membendung kesedihannya, ia juga larut dalam tangis. So...ini happy ending? Yeah, sepertinya. Tapi cerita belum berakhir. Kegelapan, mulai mendekat kepada mereka semua. Seperti semut yang merambat di atas batu hitam di kegelapan malam.
Beberapa Hari Sebelumnya.....
Arci masuk ke sebuah ruangan khusus. Ruangan itu adalah ruangan kamar tempat di mana Araline berada. Johan menunggu di luar. Arci melihat seorang wanita paruh baya, wajahnya sudah ada keriput, rambutnya tergerai tak terawat. Matanya mirip sekali dengan mata Archer.
"Archer?" sapa Araline.
"Aku Arczre, anaknya," jawab Arci.
"Ah, bagaimana kabar ayahmu?" tanya Araline.
"Dia sudah meninggal."
Mata Araline berkaca-kaca. Tangannya gemetar. Ia memberi aba-aba agar Arci mendekat. Arci pun mendekat. Tubuh tua Araline gemetar ketika meraba wajah pemuda itu. Araline meraba seolah-olah ia tak bisa melihat. Wajah Arci diusapnya hingga seluruh panca indera perabanya bisa merasakan wajahnya.
"Penglihatanku sudah tak berfungsi," ujar Araline. "Aku terlalu banyak menangis. Aku selama ini menghancurkan hati Johan yang selalu setia mendampingiku."
"Apa yang ingin kamu sampaikan?"
"Aku ingin menceritakan semuanya. Sudah saatnya aku bicara banyak. Semua yang kamu harus ketahui tentang keluarga Zenedine. Kalau ada orang yang ingin menguasai harta kekayaan ayahmu, maka cuma satu orang. Dia adalah Tommy Zenedine."
"Kenapa bisa begitu?"
"Ceritanya cukup panjang. Tapi aku akan ceritakan dengan detail, agar kamu paham seberapa bencinya Tommy kepada ayahmu. Dan agar kamu tahu, apa yang Archer perjuangkan untuk keluarga ini. Kamu mau tak mau harus menerimanya, kamu bisa mengubah semuanya, kamu bisa dan kamu satu-satunya yang bisa. Aku berada di sini, karena takut. Aku pura-pura gila, agar aku tak mau dihancurkan oleh Tommy. Dia orang yang sangat berbahaya."
"Bukankah dia tidak tertarik dengan harta keluarga ini?"
"Siapa bilang? Dia berkata hanya akan mencintai seni, itu bohong semuanya. Dia yang pertama kali memperkenalkanku kepada narkoba. Dia yang pertama kali. Dia juga yang menyeludupkan narkoba ke luar negeri dengan perantara perusahaan ini. Kamu tahu pengaruhnya di keluarga ini melebihi pengaruh Archer. Hampir semua tukang pukul, bodyguard, pembunuh bayaran, semuanya dikuasai oleh dia dan anaknya, Alfred. Alfred adalah kepanjangan tangan Tommy. Mereka ayah dan anak sama saja.
"Sejak kecil Tommy selalu bersaing dengan Archer. Dalam banyak hal. Tapi Tommy selalu kalah. Dia selalu iri dengan semua yang selalu diraih Archer. Archer selalu sempurna, Archer sederhana, Archer membuat semua orang suka kepadanya. Aku juga suka kepada Archer. Dia selalu melindungiku, tapi aku melakukan kesalahan terbesar. Kesalahan terbesarku adalah karena aku mencintai dia.
"Aku ingat ketika kami masih sekolah, dia sangat berbeda dari yang lain. Sangat mempesona. Sikapnya yang dewasa membuat setiap cewek ingin mendekatinya. Aku sangat protektif. Dan selalu aku manja kepadanya. Dia tetap menganggap aku sebagai adiknya, tapi aku tidak. Aku merasa ingin memilikinya, aku merasa akulah yang lebih tahu Archer, aku ingin menjadikan dia sebagai kekasihku, dan akhirnya aku bisa mendapatkannya. Ya, aku bisa mendapatkannya. Suatu malam di saat ulang tahunku aku meminta hadiah berupa kecupan di bibir. Dan aku mendapatkannya dari Archer. Ah, indahnya saat itu. Itu ciuman pertamaku.
"Namun, Archer tidak pernah menganggap aku sebagai kekasihnya. Tidak, kami tidak pernah melakukan seks. Aku mencintainya tulus, mengorbankan apapun untuk dia. Aku menyayangi dia sebagai keluarga, juga sebagai kekasih. Hanya saja kecintaanku kepada Archer mengakibatkan aku selalu sakit hati. Ya, sakit hati. Dia bisa bebas memiliki kekasih, ia gonta-ganti pacar, tapi aku? Aku hanya menelan pil pahit.
"Tommy menyadari bahwa aku sedang galau. Dia pun menawariku serbuk jahanam itu. Untuk pertama kalinya aku memakai kokain. Dan makin lama aku ketagihan. Archer marah kepadaku, dan ketika marah itulah aku bisa jujur kepadanya kalau aku sangat mencintainya. Tapi, kami kakak beradik, aku tak bisa mencintai dia dan dia juga tak bisa mencintaiku. Akhirnya, aku pun mengurung diri di kamar karenanya, sebulan, dua bulan, tiga bulan. Selama itu, aku selalu diberi narkoba oleh Tommy. Darinyalah aku bisa mengerti ambisi Tommy yang sebenarnya. Darinya aku tahu masa lalunya bagaimana dia sangat membenci Archer. Darinya aku bisa tahu berbagai bisnis yang dia kelola, dari narkoba hingga jual beli barang antik curian. Aku pura-pura fly ketika ia bicara.
"Suatu hari, aku lagi-lagi pura-pura fly ketika dia datang. Tapi dia bersimbah darah. Dia bercerita bahwa baru saja menggorok leher orang. Dan ia ingin bisa menggorok ayahnya sendiri suatu saat nanti karena tidak berniat memberikan perusahaan itu kepada dirinya. Akhirnya Archer bertemu dengan Lian, mereka makin dekat, dan Archer mengunjungiku lagi. Ia bilang kalau dia dekat dan sangat sayang kepada Lian. Ah, aku tak tahu bagaimana wajahnya. Tapi aku tak peduli, bagiku kalau Archer bahagia aku juga ikut bahagia. Walaupun sakit sebenarnya.
"Setelah ayahku mengancamnya dan menghancurkan hidup Lian, aku tak tahu lagi kabar Lian. Archer menjadi dingin. Dia tak peduli lagi kepadaku, bahkan terhadap keluarganya juga. Suatu saat entah bagaimana aku histeris, aku sedang kolaps, aku gila, aku tak ingat bagaimana dan apa yang terjadi. Antara aku sedang sakaw, gila atau aku begitu karena Archer. Setelah itu aku direhabilitasi. Di sini aku bertemu dengan Johan. Mungkin karena sering bertemu akhirnya aku dan Johan menikah. Pernikahan kami sederhana, berada di bawah pohon beringin, pondok rehabilitasi memberikan kami kamar khusus untuk itu. Ah, itu hari terindah. Aku mendapatkan cinta Johan. Kamu pasti masih melihat sorot matanya yang mencintaiku bukan?
"Berita mengejutkan terjadi setelah itu. Archer meninggal karena sakit jantung. Tapi aku tak percaya. Memang Archer punya kelainan pada jantungnya, tapi aku tak percaya dia mati begitu saja. Ketika telah lama berita kematiannya kudengar aku mendapatkan sepucuk surat. AKu bisa membaca surat itu,tentu saja. Itu adalah tulisan Archer, katanya aku harus menunggu. Menunggu siapa? Ketika aku tahu kamu datang aku yakin sekarang yang dimaksud menunggu itu adalah menunggumu.
"Aku kemudian masuk rumah sakit jiwa. Johan selalu mensupportku, bahkan semua berita tentang keluarga ini aku tahu dari dia. Aku mendengar bagaimana Tommy mulai menyuruh Alfred untuk berbuat bodoh, ia ingin menggabungkan perusahaan kita dengan perusahaan milik Trunojoyo.
"Agus Trunojoyo, pemilik PT Denim sangat berambisi untuk bisa menguasai PT Evolus. Dan kesepakatan antara Tommy dan Agus adalah Tommy akan menjadi presiden direkturnya apabila PT Denim bisa merger dengan PT Evolus. Kenapa ia tak lakukan saja sejak awal? Itu karena pengaruh Pieter masih sangat kuat. Di penjara Pieter banyak rekanan, banyak kenalan sehingga mengusik keluarga Zenedine sama saja dengan cari mati. Tommy mungkin masih mencari waktu yang tepat dengan sedikit demi sedikit menguasai orang-orang di keluarga Zenedine.
"Arci, tahukah kamu kalau sebenarnya Archer banyak curhat kepadaku tentang ibumu. Ya, ibu yang penuh kasih sayang. Aku tak pernah menyangka Archer akan bertemu dengan ibumu dan rasanya aku tahu kenapa Archer memilih ibumu. Semenjak aku berada di rumah sakit, aku jadi berfikir kalau toh aku bukan adiknya tetap saja aku tak akan bisa mengalahkan Lian. Aku juga tak mungkin bisa menjadi ibu yang baik, ibu baik mana yang kecanduan narkoba? Archer juga menceritakan kepadaku ia tak mencintai Amanda. Selama ini ia menikah hanya berdasarkan status saja, tak pernah ia sentuh Amanda. Mereka menjadi sahabat. Sedangkan Amanda lebih mencintai Pieter. Ya, mereka berdua adalah sepasang kekasih, tapi harus bertemu dalam keadaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ketika Pieter berada di penjara karena membunuh seorang polisi, Amanda selalu menjenguknya. Ah, banyak sekali affair dalam keluarga ini. Tapi aku salut kepada Amanda yang menyimpan cintanya sampai sekarang.
"Arci..., boleh aku meminta satu hal kepadamu nak?"
"Ya, apa itu?"
"Maukah kamu menjadi anakku? Anggaplah aku ibumu."
Arci sedari tadi menahan haru. Ia mengetahui semua rahasia keluarga Zenedine dari wanita ini.
"Ya, kamu boleh menganggapku sebagai anakmu," kata Arci.
"Sini anakku, peluk ibumu!"
Arci pun maju memeluk Araline. Araline meneteskan air mata. Ia sangat rindu Archer, walaupun sekarang yang ada di hadapannya adalah anak kandungnya. Itu sudah cukup. Itu sudah cukup rasanya.
Selama dua jam Arci berada di Rumah Sakit Jiwa. Ia pun sampai menyuapi Araline, layaknya seorang anak kepada ibunya. Araline sangat senang, Arci tak tega sebenarnya meninggalkan Araline sendirian. Johan yang melihat itu pun tak bisa menahan haru. Tapi, akhirnya setelah sekian lamanya Araline bertemu dengan kebahagiaan. Senyum bisa terukir di wajahnya.
"Baru kali ini aku melihat Araline tersenyum. Terima kasih Arci, terima kasih."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Akhirnya hari itu Arci menikah. Kejutan tentu saja ketika Bu Susiati juga hadir bersama suaminya. Andini makin bingung bagaimana ibunya bisa hadir.
"Mama koq tahu?" tanya Andini.
"Ini semua idenya Arci, dia menghubungi mama jauh hari. Maaf ya, nggak ngasih tahu," kata Bu Susiati.
"Arciii! Aku rasanya jadi orang bego gini. Mana aku nggak pake baju penganten lagi, disuruh duduk di depan penghulu. Malu tahu!" Andini protes sambil mukul-mukul bahu Arci.
"Halah, peduli amat ama baju penganten. Yang penting saaah!" Arci nyengir.
Setelah status Arci dan Andini disahkan menjadi suami istri, juga Rahma dan Singgih, semuanya larut dalam kegembiraan. Arci menyalami siapa saja yang datang. Yah, takdir tak dapat disangka. Rahma bisa bertemu dengan Singgih. Ia sangat senang, ia tak peduli Singgih punya kaki atau tidak, punya tangan atau tidak. Yang penting Singgih kembali.
Hari itu perasaan Andini antara mendongkol dan bahagia jadi satu. Semua kejutan-kejutan dari kekasihnya itu tak pernah ia sangka. Perasaannya senang, gembira, gemes, jutek jadi satu. Ia menganggap Arci pria terbrengsek, terganteng dan tersayang yang paling ia kenal. Arci menggenggam tangan Andini erat-erat, seolah-olah ia berkata, "Jangan pergi, tempatmu di sini."
Akhirnya untuk pertama kalinya Andini tersenyum. Mata Arci dan Andini bertemu. Ada debar rasa tersendiri di dada mereka. Ya, apalagi kalau bukan hari ini mereka telah sah jadi suami istri. Sebuah janji yang dulu diucapkan sekarang telah ditepati. Rasanya seperti mimpi.
Ponsel Arci berbunyi. Dia melihat siapa yang menelpon. Sebuah nama Ghea Zenedine terpampang di sana.
"Ghea?" gumam Arci.
"Ghea? Ghea Zenedine? Yang nodong kamu waktu itu?" tanya Andini.
"Iya," kata Arci. Ia kemudian mengangkat ponselnya. "Halo?"
"Arci! Pergi dari tempat itu, sekarang!" kata Ghea.
"Kenapa suaramu seperti menangis? Ada apa?" tanya Arci.
"Papa tewas. Rumah kami meledak. Anak buah Tommy sedang menuju ke tempatmu!" kata Ghea.
"Apa?"
"Aku sekarang menuju ke tempatmu. Bubarkan semua orang yang ada di sana. Aku khawatir sebentar lagi terjadi perang di sana. Aku sudah mengirim orang-orang yang aku percaya untuk melidungimu. Tapi sepertinya kita kalah jumlah," kata Ghea.
"Baiklah!" Arci menutup teleponnya. Raut wajahnya berubah.
"Ada apa?" tanya Andini.
Arci memegang bahunya, "Dengar, segera lari dari sini!"
"Ada apa? Kenapa?" Andini heran. Arci segera memberikan ciuman terdalam kepadanya. Andini langsung hanyut dalam kecupan sang kekasih. Arci seolah-olah ingin menghirup seluruh rasa bibir yang Andini punyai.
Setelah mencium Andini, Arci menoleh kiri-kanan mencari Safira. Tak ada. Kemana Safira pergi? Arci tak pikir panjang, segera ia berlari ke sebuah alarm kebakaran. Dan ia pun memukul alarm itu.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Letnan Yanuar pagi itu menghabiskan waktunya di sebuah kafe setelah jogging pagi. Dia memang sering nongkrong di sana. Pagi yang cerah, menikmati secangkir kopi dan biskuit sambil membaca koran. Beberapa kali ia sibuk dengan smartphonenya, melihat berita-berita terbaru. Pikirannya sibuk akhir-akhir ini dengan kasus-kasus yang ia tangani, terlebih ketika salah satu anak buahnya harus tewas di tangan Pieter. Arci tak bisa diandalkan pikirnya.
Berapa yang harus dibayar atas kasus ini? Keluarga Zenedine telah terbukti berbuat jahat, menyeludupkan narkoba, membunuh orang, tapi barang bukti-barang buktinya seolah-olah lenyap begitu saja. Dan baru saja ia akan mendapatkannya anak buahnya sudah tewas duluan. Letnan Yanuar melipat koran dan memandang sekeliling. Sunyi, sepi. Ia menghirup udara pagi yang sejuk, kemudian ia memandang sekelilingnya. Terlalu sepi.
"Sialan," gumamnya ketika ada orang-orang yang tidak ia kenal berdatangan. Dan mereka membawa macam-macam senjata, parang, pipa, pisau.
Letnan Yanuar meraba pinggangnya. Ia lupa tak membawa senjata. Padahal ia seharusnya membawa benda itu kemana-mana. Oh, dia lupa. Kenapa jogging harus membawa pistol? Bodoh memang. Tapi, akhirnya dia mengerti. Dia terkepung.
"Jadi begini ya? Main keroyokan. Baiklah," Letnan Yanuar berdiri. Kemudian dia mengambil kursi yang dia jadikan tempat duduk tadi. Ia angkat lalu ia banting hingga hancur berkeping-keping. Kemudian dia mengambil sebilah kayu yang kemudian dia ayun-ayunkan. "Ayo! Kalian mau mengeroyokku? Ayo sini!"
Kemudian orang-orang itu pun mulai maju satu persatu mengayunkan apa yang ada di tangan mereka. Letnan Yanuar terus bertahan, bacokan demi bacokan parang, pisau dan hantaman pipa mengenai tubuhnya. Ia berhasil melukai beberapa orang. Sekalipun kalah jumlah ia benar-benar garang, tapi apa daya ia memang kalah jumlah. Setelah polisi itu terkapar tak berdaya dengan luka penuh bacokan, tusukan dan kepalanya remuk, ia pun ditinggalkan begitu saja seperti sampah, hingga nafasnya pun berhenti.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Amanda menikmati suasana rumahnya yang sepi. Tak ada suara seindah suara burung dan dedaunan yang gemersik tertiup angin. Apa yang ia inginkan sekarang? Mungkin yang ia inginkan adalah bisa bersama Pieter. Sendirian di rumah tanpa ada yang menemani hidupnya agaknya sudah membuatnya bosan. Ia ingin sekali dibelai oleh Pieter. Ingin di akhir hidupnya ia bisa mencintai lelaki itu. Ah, sungguh bukan sesuatu yang muluk bukan apabila bermimpi seperti itu? Dia sangat menginginkan kedamaian dan cinta. Dia boleh dibilang tidak menyesal berkenalan dengan keluarga Zenedine.
Setelah ia melihat Arci, ia jadi teringat Archer. Ya, teringat saat dia menjadi sahabatnya. Archer selalu baik kepadanya. Status mereka memang suami istri tapi Archer sama sekali tak menyentuhnya. Ah, andaikan Archer menjadi suaminya sepenuhnya tentu keadaannya akan lain. Tapi dia mendapatkan cinta yang bernama Pieter. Itu sudah cukup. Sekalipun setelah lama dipenjara, tapi cinta mereka makin besar.
Amanda memandang jauh ke depan. Ke pepohonan yang daun-daunnya bergoyang. Suasana di teras halaman belakang rumahnya sangat teduh. Tak begitu panas dan tak begitu dingin. Suasana kota Batu tempat tinggalnya ini pun sangat mendukung. Ia tak perlu pusing tentang masalah ekonomi, semuanya sudah ada. Tapi sekalipun begitu hati Amanda kesepian. Ia bisa saja tiap hari berada di rumah Pieter, tapi mereka belum resmi. Kegalauan lainnya dia tidak enak dengan Ghea. Rencananya dengan Pieter adalah bulan depan mereka menikah. Ya, tak ada yang bisa tahan dengan hubungan tidak jelas ini. Amanda sudah tak peduli lagi terhadap semuanya, yang ia inginkan hanya Pieter.
Ia mengambil tehnya yang udah dingin. Hampir saja ia minum tiba-tiba sebuah tangan kekar membekap mulutnya. Ia mencoba melepaskan diri tapi tangan itu terlalu kuat. Dengan satu gerakan kepala Amanda diputar. KRAAAK! Seketika itu juga Amanda sudah tak bernyawa. Amanda melemah, tubuhnya sekarang kaku dengan kepala terputar ke belakang. Lehernya dipatahkan oleh seorang assasin.
Teras belakang rumah, sebuah saksi bisu di mana perempuan yang sudah lama menunggu cintanya, akhirnya harus mati di tangan orang suruhan Tommy Zenedine. Tommy sudah berniat ingin menghabisi seluruh keluarga Zenedine.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Jacques, hari itu bangun tidur. Ia cukup capek dengan banyak urusan beberapa hari ini. Maka dari itulah ia kali ini bangun lebih siang. Dia mendapatkan SMS dari Ghea agar segera menemuinya. Jacques hanya membalas OK. Setelah itu ia ganti baju, memakai kemeja, dan juga jas. Sebagai tangan kanan Pieter, Jacques yang bekas anggota Delta Force itu cukup peka terhadap banyak hal. Terutama terhadap sesuatu yang mengancam nyawanya. Seperti pagi ini. Ia merasakan sesuatu yang aneh ketika keluar dari rumahnya.
Di halaman rumahnya biasa saja. Tak ada tanda-tanda yang aneh. Jalanan juga sepi. Bahkan mungkin terlalu sepi bagi dia. Dia punya kebiasaan ketika pagi tiba selalu mendapati sebuah koran tergeletak di teras rumahnya. Ada anak kecil yang menjadi loper koran langganannya yang selalu melemparkan koran. Tapi ini tidak ada. Dan tidak biasanya. Lebih aneh lagi adalah pagar rumahnya bergeser sedikit.
Dia segera menghubungi Ghea tapi Ghea tidak mengangkat hanya voice mail, "Ghea, ada yang tidak beres. Coba cek Pieter!"
Jacques tidak masuk ke mobilnya. Dia keluar dari pagar rumahnya dan melihat sekeliling. Dan perasaannya pun tidak salah. Sudah ada puluhan orang menodongkan senjata semi otomatis ke arahnya. Ia hanya tersenyum sinis.
"Jadi ini yang kalian lakukan. Baiklah...."
Jacques tak ada pilihan, tak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang yang mengepungnya itu pun sudah memberondong dia dengan peluru. Peluru-peluru dari senjata semi otomatis itu pun menembus tubuhnya. Tubuh Jacques pun terkapar di pinggir jalan. Orang-orang yang menembaknya pun pergi.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Agaknya Safira yang sebenarnya tak kuat berada di dalam gedung. Melihat Arci dan Andini bisa bersatu membuat dia cemburu. Ah, hidup memang kejam. Tapi ini adalah pilihannya. Ia sangat mencintai adiknya melebihi apapun, dan ia harus bisa bahagia dengan itu. Safira melangkahkan kakinya menuju keluar gedung. Dan ia terkejut ketika tangannya disentuh oleh seseorang. Safira mengenal orang itu.
"Anda??"
"Ini aku, Agus. Masih ingat?" sapa orang itu.
Tentu saja Safira masih ingat Agus Trunojoyo, client pertamanya. Yang mendapatkan keperawanannya kala itu.
"I-iya, aku masih ingat. Apa kabar om?" tanya Safira.
"Kamu sudah dewasa ya sekarang," kata Agus melihat Safira dari atas sampai ke bawah.
Safira tersenyum. "Iyalah om, sudah berapa tahun juga."
"Maaf, kamu masih menekuni profesimu? Kalau masih boleh tuh om pakai lagi. Tadi om terkejut melihat kamu disini," kata Agus.
"Oh, udah nggak om. Maaf, om diundang juga? Kenal ama adikku berarti?"
"Aku pemilik PT. Denim, tentu saja diundang. Adikmu pemilik PT. Evolus kan? Aku tak menyangka saja dia adalah adikmu."
"Iya, kehidupan kami cukup berubah."
"Mau ikut ama om? Tenang aja, kita ngobrol. Nggak ngapa-ngapain."
Safira menghela nafasnya. Boleh juga pikirnya. Lagipula ia tak tahu apa yang harus ia lakukan di tempat itu. Ia pun mengangguk. Agus kemudian menggandeng Safira meninggalkan gedung itu. Safira menganggap Agus tak akan berbuat jahat. Sebab dulu Agus memperlakukan dia dengan baik, apalagi membayarnya dengan sangat mahal. Mungkin saja tak akan macam-macam.
Alarm berbunyi dan membuat semua orang panik. Semuanya langsung pergi keluar dari gedung acara pernikahan. Andini kebingungan terhadap apa yang dilakukan oleh suaminya.
"Ada apa?" tanya Andini.
Arci segera menggandengnya menemui Bu Susiati dan Suaminya yang kebingungan.
"Ada apa nak Arci?" tanya Bu Susiati.
"Bawa Andini pergi, ada sesuatu yang tidak beres," kata Arci.
Andini yang sepertinya mengerti maksudnya segera dibawa oleh orang tuanya pergi. Arci mengambil ponselnya kemudian menghubungi Safira. Safira pun mengangkat teleponnya.
"Kak, ada di mana?" tanya Arci.
"Aku sedang jalan ama teman," jawab Safira.
"Siapa?" tanya Arci.
"Ada deh," jawab Safira.
"Aku seriusan ini! Sama siapa?!"
Mendengar Arci berkata dengan nada tinggi membuat Safira terhenyak. "Sama Pak Agus."
"Siapa?"
"Klien aku dulu. Aku pernah cerita bukan? Kamu mengundangnya juga. Masa' nggak ingat? Kalau nggak ingat kenapa dia bisa datang?"
Arci mengingat-ingat nama Agus. Dan dia pun teringat dengan nama yang dimaksud Agus Trunojoyo. Mendengar nama Trunojoyo ia terkejut.
"Kak, pergi dari orang itu! Aku tak mengundangnya. Lari! Dia pemilik PT Denim. PT Evolus dan PT Denim musuhan kak, bukan sahabat. Aku hanya mengundang rekan-rekan kerjaku saja dari PT. Evolus! Kamu ada di mana?"
Mendengar itu Safira yang saat itu ada di dalam mobil tersentak. Tapi terlambat. Agus sudah membekap dia dengan sapu tangan berkloroform. Safira kemudian pingsan. Agus tersenyum penuh kemenangan. Dia kemudian menelpon seseorang.
"Kakaknya udah aku dapatkan!" kata Agus.
"...."
"Baiklah, sopir. Kita ke tempatku!" kata Agus.
Arci yang saat itu panik segera berlari keluar. Namun dari arah pintu masuk, tampak beberapa orang masuk dengan membawa clurit, parang, pipa dan berbagai senjata lainnya. Kini Arci sedang dihadang oleh segerombolan tukang pukul. Kemudian dari ujung gerombolan itu tampak seseorang tersenyum sinis sambil memukul-mukulkan tangan kanannya ke telapak tangan kirinya. Rambutnya cepak seperti seorang tentara, dia tegap memakai jas berwarna abu-abu.
"Alfred....," gumam Arci yang mengenali dia.
Orang-orang pun kemudian panik, mereka semua berlari keluar gedung. Mereka mengira akan terjadi pertumpahan darah di tempat ini. Arci melihat sekeliling ruangan, ia sudah tak melihat lagi teman-temannya termasuk Rahma juga Andini. Andini yang melihat orang-orang tukang pukul dari keluarga Zenedine masuk menjadi panik.
"Ma, lepasin ma. Arci masih di dalem!" kata Andini.
"Nggak, kita harus pergi. Suamimu bisa jaga dirinya," kata Bu Susiati.
"Tapi...dia sendirian Maa!" kata Andini.
"Dini, dengar Arci menyerahkanmu kepadaku. Itu artinya ia percaya kepadaku dan dia bisa menjaga dirinya. Ayo. Kita harus pergi!" kata Bu Susiati.
"Ayo Dini!" ayahnya pun menarik tangan anak perempuannya.
Andini bersedih. Seharusnya ini menjadi hari bahagia, ia telah menjadi istri dari orang yang dicintainya tapi, kenapa harus terjadi hal seperti ini. Tapi ia punya keyakinan, Arci pasti baik-baik saja. Dia segera berlari mengikuti ibu dan ayahnya.
Sementara itu Arci diam. Baru kali ini ia berhadapan dengan banyak orang apalagi dirinya tanpa senjata. Alfred memang benar-benar ingin membunuhnya. Tommy Zenedine ingin menguasai seluruh harta Zenedine bahkan harus menyingkirkan dirinya.
"Jadi, seperti inikah yang kalian inginkan?" tanya Arci.
"Hahahaha, tak usah dianggap serius. Ini sudah biasa terjadi di dalam keluarga kami. Yang tidak disuka akan kami sikat. Saling menghabisi satu sama lain itu sudah biasa," ujar Alfred.
"Aku sudah tahu apa yang kalian rencanakan. Tapi aku tak pernah menyangka kalian akan merusak acara pernikahanku," kata Arci.
"Bagus bukan? Memang itu yang kami inginkan," kata Alfred.
Arci mundur. Ia tak punya senjata, untuk bisa mengalahkan puluhan orang seperti ini, ia harus punya senjata. Dia juga teringat dengan kakaknya. Kakaknya dalam bahaya. Ia harus nekat. Dia mundur sampai ke meja makan. Makanan yang ada di pesta itu adalah prasmanan. Jadi ada sebuah kompor kecil berbahan bakar spirtus yang biasanya nyala di bawah wadahnya. Satu yang akan ia buat, kerusuhan. Dia pun akhirnya mengambil kompor kecil itu menuangkan spirtusnya ke taplak meja, kemudian api kecil dari kompor itu langsung membakar taplak meja. Jadilah meja makan itu terbakar. Tak cukup di situ, ia mengambil kompor lagi dan menuangkannya di atas karpet, membanting kompor itu sehingga api langsung membakar karpet yang digelar di gedung itu.
Alfred cukup panik melihat api, terlebih apinya entah kenapa bisa merambatcepat. Arci segera berlari ke panggung, dia melihat tongkat mic yang panjang. Diambil gagang itu kemudian ia lempar micnya. Kini ia punya senjata. Tujuannya satu, ia harus mengejar Safira.
Arci nekat menuju ke gerombolan tukang pukul yang mengepungnya. Mereka pun mulai menyerangnya. Arci pun mulai mengayun-ayunkan tongkat mic itu. Sebagian tukang pukul terkena, Arci memukul-mukul mereka tanpa ampun. Dia sudah membunuh orang, apa salahnya untuk membunuh lagi, terlebih ia sudah berada di dalam keluarga ini. Jadi penjahat atau tidak, tak ada nilainya di keluarga Zenedine. Beberapa sabetan parang mengenai punggungnya. Ia pun memutar-mutar tongkat mic itu hingga terkena beberapa orang. Arci terus mendesak mereka semua, sementara ayunan parang, tongkat dan macam-macam yang dibawa oleh tukang pukul itu terus menerjangnya. Alfred tiba-tiba berlari dan melompat kemudian menendang dadanya hingga Arci terpental. Arci mengenai sound system yang ada di pinggir ruangan. Langsung terdengar suara melengking yang membuat telinga semua orang serasa mau pecah.
Arci susah payah berdiri. Tapi kengeriannya tak berhenti di situ saja. Orang-orang Alfred kembali mengejar dia. Arci melihat di dekatnya ada jendela kaca. Kesempatan, ia kemudian memukulkan tongkat mic ke arah jendela itu sekeras-kerasnya. Kacanya pecah. Segera ia melompat keluar.
Arci kemudian berlari sekencang-kencangnya. Tidak, ia tidak ke tempat parkir. Ia menuju jalan raya. Dia dikejar orang-orang dengan senjata-senjata mereka. Tubuh Arci yang bersimbah darah karena luka sabetan tak dia hiraukan. Hal itu menjadi pemandangan aneh bagi orang-orang. Arci lalu mencoba mengubungi Safira lagi. Kali ini ponselnya diangkat.
"Halo?!" kata Arci.
"Halo," saat itu Agus yang menjawab teleponnya.
"Brengsek, di mana kamu? Lepaskan Safira!" kata Arci.
"Melepaskannya itu mudah, tapi aku harus punya jaminan dulu engkau menyerahkan seluruh aset perusahaanmu kepada PT. Denim," kata Agus.
"Baiklah, di mana kita ketemuan?" kata Arci tanpa berpikir.
"Oh, cepat sekali. Sudah kamu pikirkan baik-baik?" tanya Agus.
"Anjing! Katakan kamu dimana?!"
"Baiklah, aku tunggu di atas jembatan Sulfat"
Arci melihat seorang pengendara motor yang jalannya santai. Ia kemudian menendang pengendara motor itu. Tentu saja yang punya kaget dan karena tak bisa menghindar akhirnya terjatuh. Arci kemudian merebut motornya.
"Maaf, aku pinjam dulu!" katanya.
Segera Arci menggeber sepeda motor itu dan meninggalkan sang empunya yang ling-lung.
***
Butuh waktu beberapa menit untuknya sampai di jembatan Sulfat. Arci melihat Safira yang berdiri di pinggir jembatan bersama seorang lelaki. Sementara itu beberapa meter di depannya ada beberapa orang yang menghadang. Arci segera turun dari sepeda motornya dan berjalan mendekat.
"Lepaskan Safira!" kata Arci.
"Lepaskan? Sesuai dengan perjanjianmu. Aku sudah membawa surat-surat pengesahan agar semua aset PT. Evolus menjadi milik PT. Denim!" kata Agus.
"Brengsek," Arci mendekat.
Anak buah Agus dengan sigap memeriksa Arci kalau-kalau membawa senjata. Setelah yakin bersih ia mengijinkan Arci berjalan maju mendekat. Safira yang ketakutan ia menggeleng-geleng. Punggungnya sedang ditodong dengan sebuah pistol oleh Agus. Salah seorang anak buah Agus mendekat dengan membawa sebuah surat-surat yang telah disiapkan. Ternyata semuanya sudah disiapkan oleh Agus.
"Jadi, kamu bekerja sama dengan Tommy?" tanya Arci.
"Ah, kamu tahu juga rupanya," jawab Agus.
Arci tersenyum sinis. Anak buah Agus yang membawa surat-surat tadi mendekat ke Arci dan memberikan pena. Arci melihat tulisan-tulisan yang ada di kertas tersebut. Dia tak membacanya, tapi ia membaca situasi bagaimana cara menyelamatkan kakaknya. Arci kemudian mencorat-coret sebuah tempat untuk tanda tangan. Hingga menyentuh materai. Setelah itu Agus tersenyum penuh kemenangan.
"Hahahahaha, akhirnya PT. Evolus menjadi milikku. Selamat tinggal, cantik!" kata Agus.
DOR!
Arci terkejut. "Kak Safira!"
Safira ditembak oleh Agus. Wajah perempuan itu seperti terhenyak. Ia mencoba menggapai Arci. Arci pun menangkap kakaknya itu.
"Nggak, nggak, nggak, jangan! Kamu tak boleh pergi. Kakak nggak boleh pergi!" Arci menangis.
Safira tak bisa berkata-kata. Rasa sakit di punggungnya tembus ke perutnya membuat ia tak bisa bicara dengan lancar. Sementara itu Agus dan anak buahnya mulai pergi.
Safira menangis, tubuhnya lunglai. Kini Arci mendekapnya. Ia sangat bahagia di saat terakhir dalam hidupnya bisa melihat Arci. Lelaki yang dicintainya ini hancur sekarang. Arci sekarang lebih membutuhkan kakaknya dari siapapun.
"Terima .... kasih sudah .... memberikan cintamu kepada...ku, maaf...Ci... aku ....ttak...bi...sa... menj..jadi...ibu ... d..dari an..nak...kkhi...taa," Safira memegang perutnya.
"Jangan bilang kamu hamil!?"
Safira mengangguk.
"Tidak kak, kamu harus hidup, jangan! Tidak seperti ini!" Arci berkata sambil sesenggukan.
Safira tersenyum, kemudian tubuhnya kaku dan lemas. Ia menghembuskan nafas terakhirnya.
"Kaaaaaakkk.... Kak Safira jangan pergi! Kaaaakk!" Arci menjerit. Di pingir jalan dia memeluk kakaknya dengan bersimbah darah. Ia tak tahu kalau kakaknya sudah mengandung anaknya. Kini ia benar-benar membenci semuanya, membenci orang-orang yang telah mencelakai keluarganya. Dia akan mengejar Agus. Ia harus menuntut balas. Digesernya tubuh kakaknya hingga bersandar di pinggir jembatan.
Arci kemudian mengambil sepeda motornya tadi. Dengan segera ia geber sepeda motornya dan langsung mengejar Agus. Mobilnya masih terlihat. Dengan kesetanan Arci pun segera mengejar mobil orang yang telah membunuh Safira. Air matanya mengalir, kesedihan akan kehilangan orang yang sangat dia cintai itu tak bisa dibendung lagi.
"Terkutuk kalian, aku akan membunuhmu Tommy, aku akan membunuhmu Agus, aku akan minum darah kalian, aku akan jadi vampir yang tidak akan puas sebelum aku menghabiskan darah kalian," kata Arci sambil menarik gas penuh.
Dia pun sampai juga mengejar Agus. Mereka mulai melewati jalanan yang curam. Mereka sekarang melewati jalanan curam dan sempit di daerah Industri. Jalanan di sini memang curam, menanjak dan menikung, plus ada sebuah jembatan kecil di daerah itu. Arci menendang-nendang pintu mobil Agus. Melihat itu Agus jadi geli.
"Pepet saja, di depan ada jembatan lagi bukan?" perintah Agus.
Mobilnya kemudian memepet Arci hingga motornya Arci minggir. Kemudian tanpa disangka Arci tak melihat ke depan, sehingga ia menabrak sebuah pembatas jembatan. Dan ia pun terpelanting jatuh di atas jembatan. Mobil Agus segera berhenti. Agus kemudian keluar dari mobilnya dan menodongkan senjatanya ke arah Arci yang masih terkapar di atas jalan. Ia membiarkan Arci perlahan-lahan bangun. Dan setelah itu.
DOR! DOR! DOR! DOR! DOR! DOR!
Beberapa peluru menembus tubuh pemuda itu. Ia meraba tubuhnya yang tertembus peluru. Dia tersenyum. Mungkin Arci mengira akan bisa bertemu dengan Safira kalau dia mati. Tapi dia ingat Andini. Dia harus hidup. Arci terhuyung dan ia pun jatuh ke sungai.
BYURRR!
Agus kemudian masuk lagi ke mobilnya. Ia menginstruksikan sopirnya untuk jalan lagi. Tiba-tiba dari depan sebuah mobil Marcedes Benz SLK 250 menghantam mobilnya.
BRAAKK!
Sebuah air bag langsung terkembang ketika mobil milik Agus dihantam mobil itu. Dari dalam mobil Marcedes Benz itu, muncullah Ghea. Beberapa anak buah agus yang berada di mobil lainnya keluar. Kemudian Ghea menyambutnya dengan tembakan di pistol glock miliknya.
DOR! DOR! DOR! DOR!
Terjadi perang sengit di jalanan. Tapi Ghea tahu prioritasnya. Menyelamatkan Arci. Dia segera berlari ke arah jembatan dan menceburkan dirinya ke sungai. Arus sungai yang deras itu pun menyeretnya jauh. Sementara anak buah Agus berusaha menembaki dia dari atas jembatan.
Agus kehilangan sopirnya. Sopirnya kaget terkena hantaman mobil mewah itu, hal itu mengakibatkan sampai-sampai lehernya patah. Agus yang duduk di belakang selamat, ia keluar dari mobilnya.
"Sudah, sudah, biarkan. Ayo kita segera pergi!" katanya. Mereka semua pun akhirnya pergi dan meninggalkan mobil Agus ada di situ. Sementara itu Agus menumpang mobil anak buahnya.
Sementara itu di sungai Ghea berhasil menangkap Arci. Dia pun segera menyeret Arci ke pinggir. Dengan sisa-sisa tenaganya ia segera membawa Arci pergi, berjalan menembus semak belukar. Tubuh Arci bersimbah darah, terdapat banyak luka di tubuhnya. Ghea harus membawa Arci untuk diobati, tapi ke mana? Dia akhirnya menggendong Arci tanpa tujuan.
Ghea terus menggendongnya hingga ia melihat sebuah klinik kecil. Dia segera berlari ke klinik itu. Klinik itu kecil, belum ada pasien sepertinya. Segera saja Ghea masuk ke klinik itu. Ya, langsung masuk tentu saja, tanpa babibu. Di dalamnya ada seorang perawat yang kaget. Terlebih melihat Arci yang penuh luka sampai darahnya menetes di lantai.
Ghea menodongkan senjatanya, "Kalau kamu tak obati dia, aku akan menembakkan pistol ini ke kepalamu!"
Perawat itu gemetaran, ia panik dan segera mengambil peralatannya. Arci kemudian diletakkan di atas sebuah ranjang. Dokter jaga klink itu pun datang datang dan terkejut melihat Ghea yang menodong perawat kemudian dirinya. Sang dokter pun melihat Arci di ranjang. Ia menelan ludah.
"Selamatkan dia, cepat!" kata Ghea.
"OK, kami akan selamatkan dia tapi jangan ditodong. Turunkan senjatanya!" kata dokter.
"Kamu berani memerintah aku?" tanya Ghea.
"Ti...tidak, baiklah," sang dokter pun mulai bekerja.
"Arci, bangun!" Andini menggoyangkan tubuhnya.
Arci pun bangun. Ia membuka matanya. Dilihatnya Safira memakai baju piyama. Wajahnya sungguh cantik. "Kamu cantik sekali hari ini."
"Gombal"
"Beneran. Kamu seperti bidadari."
"Ayo bangun!"
"Aku rasanya tak ingin bangun. Kalau memang ini mimpi aku ingin di sini terus."
Safira mendekat dan memberikan kecupan di keningnya. "Kalau kamu tidak bangun, bagaimana kamu akan menyongsong hari ini? Banyak yang menunggumu."
"Temani aku sebentar! Aku rindu kamu, aku sangat kehilangan kamu."
Safira menggeleng-geleng. Ia pun berbaring di sebelah kekasihnya. Kedua mata mereka bertatapan, mata Arci menyiratkan kerinduan yang sangat. Arci lalu merangkul Safira, lalu menciumnya. Ia memejamkan mata. Arci bersedih, ia ingin memeluk kakaknya lebih lama. Ia sangat kehilangan.
"Jangan pergi kak! Jangan pergi! Aku akan berikan apa saja, tapi jangan pergi. Aku tak mau separuh nafasku pergi meninggalkanku."
"Ada banyak perjumpaan, ada pula kepergian. Aku tak bisa di sini terus."
Arci berderai air mata. "Kumohon jangan pergi. Kamu sudah berjanji akan jadi ibu dari anak-anakku, jangan pergi! Aku mohon!"
"Aku akan selalu bersamamu. Aku selalu melihatmu. Adek. Kamu sudah ada Andini, jangan lepaskan dia!"
"Hiks...aku butuh kamu, aku rela membuang semua kekayaan ini untuk kamu! Jangan pergi! Aku janji aku akan mengajakmu liburan, aku janji aku akan buatkan rumah untuk kita. Aku janji!"
Safira mengusap wajah adiknya, ia lalu bangun. Ia mendorong pelan agar pelukan Arci terlepas.
"Dunia ini cuma sementara adikku. Di mana tempat untuk orang seperti aku? Tak ada yang menerimaku, engkau satu-satunya orang yang mau menerimaku. Engkau satu-satunya orang yang memelukku erat saat tak ada siapapun yang mau peduli kepadaku. Engkau satu-satunya lelaki yang menghiburku saat yang lain merendahkanku. Aku sudah punya tempat tinggal di hatimu, aku akan selamanya di sana. Kamu harus berjuang untuk hidup. Karena Andini juga tinggal di sana. Aku dan dia ada di hatimu. Selamanya..."
"Kaak...! Maafkan aku...!"
Safira tersenyum. Senyumnya tak akan pernah dilupakan oleh Arci. Perlahan-lahan tubuhnya bercahaya, kemudian menghilang.
"Kaaaakk! Kak Safiraaa!"
* * *
Ghea melihat jalannya operasi. Tubuh Arci penuh luka, bacokan di punggung, sayatan di lengan, pelipisnya berdarah, enam peluru menembus dada dan perutnya. Beruntung tidak mengenai jantung. Arci kehilangan banyak darah, bahkan detak jantungnya sempat berhenti beberapa kali. Tapi kondisi kritis itu sudah lewat. Ada sesuatu yang membuat Arci berjuang hidup. Ghea keluar dari kamar bedah lalu duduk di kursi tunggu.
Dokter lalu keluar dari kamar operasi. Ia melihat Ghea yang sepertinya kelelahan. Bajunya masih basah akibat terjun ke sungai. Tangan Ghea gemetar sambil membawa pistol glocknya.
"Kamu perlu baju ganti?" tanya sang dokter.
Ghea menatap ke arahnya.
"Jangan berpikir buruk, aku cuma mau menolong. Aku tak peduli apa yang sedang terjadi dengan kalian. Aku hanya ingin menolong. Itu sudah jadi tugasku," ujar sang dokter.
Ghea tersenyum tipis. "Baiklah, ada baju?"
"Ada, asistenku bisa menyediakannya. Aku tak tahu ukurannya pas atau tidak."
"Ada mobil?"
"Kalau soal itu..."
"Heh, jangan khawatir. Aku akan mengembalikannya!"
Singkat cerita setelah Ghea mendapatkan baju ganti, ia segera membawa Arci pergi dengan mobil milik sang dokter. Satu hal yang dijanjikan oleh Ghea kepada sang dokter. "Aku akan mengembalikannya nanti, berikut uang untuk biaya operasi."
Mobil Hyundai Avega milik sang dokter itu melaju. Ghea menuju ke sebuah tempat yang sering ia jadikan latihan. Tempat itu tak banyak orang yang tahu, termasuk Tommy. Jadi menurutnya itu tempat teraman bagi dia sekarang. Hari itu ia juga membaca banyak berita tentang kerusuhan kemarin. Letnan Yanuar tewas, Jacques, Pieter, Amanda, dan Safira. Mata Ghea berkaca-kaca saat mengetahui kematian ayahnya. Semua orang kehilangan. Arci kehilangan, dia juga. Agaknya kedua orang ini punya satu tujuan yang sama, balas dendam.
Ghea melajukan mobilnya sampai ke daerah perbukitan, jalanan berliku, berkelok. Setelah mengisi bahan bakar di SPBU, dia masih terus menyetir hingga dua jam. Jauh sekali. Mereka berhenti di sebuah pondok. Halamannya cukup luas, dan pemandangannya di depannya ada sebuah gunung dan jurang. Dari jauh terlihat sebuah Waduk. Ghea tiba di sana hari sudah malam. Segera ia menggendong Arci menuju ke dalam pondok. Ghea mengambil kunci yang dia simpan di sebuah pot, lalu dibukalah pintunya. Cewek berambut merah ini menuju ke kamar dan meletakkan Arci di sana. Ghea juga ambruk di samping Arci.
"Aku juga capek. Kamu harus hidup! Aku tak bisa menghadapi mereka sendirian. Kamu harus hidup!..."
Ghea menatap wajah Arci. Ada perasaan tertentu ketika dia menatap wajah pemuda itu. Ia mulai ada rasa tertarik kepada pemuda yang dulu ia todong. Sang pemuda ini berani menghadapi semuanya sendirian. Ia juga tak takut terhadap ancaman pistol. Baru kali ini ia bertemu pemuda seperti ini, berbeda dengan cowok-cowok pengecut yang pernah ia temui. Ghea kemudian mengecup bibir Arci.
"Ini hadiah buat kamu. Kamu harus hidup. Aku tak tahu apa yang terjadi kepadaku, aku jadi mellow kalau dekat kamu. Jadi malu, jadi tersipu-sipu, dadaku berdebar-debar. Aku tak mengerti apa yang terjadi kepadaku. Tapi kalau perasaanku ini bisa membuatmu hidup, maka hiduplah! Aku tak tahu... tapi aku sepertinya menyukaimu, cinta? Entahlah....jangan mati! Jangan mati!"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Suara ayam jago berkokok membangunkan sang mentari. Arci yang sudah tiga hari pingsan pun akhirnya bangun. Tubuhnya rasanya sakit semua. Di kamar yang berukuran 3x3 meter itu ia kebingungan kenapa bisa ada di sana. Padahal ia tadinya berharap mati saja. Rasa kehilangannya sangat dalam, kehilangan Safira membuat ia benar-benar tak punya semangat hidup. Arci membuka matanya, menatap langit-langit, merasakan hawa dingin yang menusuk. Selimut tebal yang menutupinya rasanya tak bisa menghalau hawa dingin itu.
Arci pun menyingkapkan selimut itu. Ia kebingungan melihat tubuhnya telanjang. Dan yang pertama kali dirasakannya adalah "panggilan alam". Dia segera menuju ke sebuah pintu yang dia kira kamar mandi. Dan benar, itu pintu kamar mandi. Dia mengeluarkan hajat yang ada di dalam tubuhnya. Setelah itu berkaca di cermin yang ada di kamar mandi. Ada banyak luka yang diperban. Ia masih ingat peluru-peluru itu menembus tubuhnya. Sayatan-sayatan parang, pukulan pipa, ia ingat bagaimana rasanya itu semua. Kehidupannya belum berubah. Masih kelam. Tapi ia merasa ini lebih gelap. Kekayaan tak menjamin ia bisa hidup dengan tenang sebagaimana yang ia inginkan. Setelah selesai urusannya di kamar mandi, Arci mengambil handuk yang ada di gantungan kamar mandi. Ia keluar.
Agak terkejut ketika mendapati Ghea ada di sana. Ghea memakai tanktop warna merah dan celana pendek jeans. Hal menampakkan kemulusan tubuhnya. Arci tak bisa menyembunyikan ketertarikannya pada tubuh Ghea yang terpampang di hadapannya. Apalagi Ghea sedang duduk di tepi ranjang, dengan tangan bersedekap, dan kakinya disilangkan.
"Kamu sudah siuman?" tanya Ghea.
"Kalau sudah begini ya sudah siuman," jawab Arci.
"Hahahaha, aku pikir kamu tak akan selamat kemarin. Tiga hari pingsan. Engkau sekarang sudah merasakan bagaimana peluru menembus tubuhmu kan?"
"Iya"
"Sekarang, apa yang ada di pikiranmu?"
Arci tak menjawab. Dia masih bingung. Dia teringat lagi tentang Safira.
"Apa yang sudah terjadi?"
"Kamu harus berterima kasih kepadaku, aku mengumpulkan berita selama tiga hari engkau berada di rumah pribadiku."
"Ini? Di mana?"
"Ini di daerah Nongko Jajar. Di atas gunung. Aku memang memilih tempat ini untuk menyepi. Tak akan ada orang yang mengganggu. Bahkan para cecunguk Tommy tak akan menemukan kita. Tak ada sinyal telepon, tapi kalau kamu mau akses internet, kita ada sambungan satelit."
"Nongko Jajar?"
"Iya, daerah ini dari Malang terus ke timur melewati Pakis, kemudian ke Utara. Kalau kamu mau terus ke Utara, kamu akan mendapati hutan belantara yang belum tersentuh."
"Aku baru tahu daerah yang belum tersentuh."
"Jadi, apa yang ada di pikiranmu sekarang?"
"Aku mau balas dendam."
"Sama sepertiku."
Arci mengangkat alisnya.
"Tapi, dengan kondisimu yang sekarang kamu belum siap. Aku akan melatihmu hingga kamu siap."
"Melatihku?"
"Kita masih ada waktu. Kamu jangan khawatir, istrimu, ibumu, adikmu semuanya selamat. Aku yang mengabari mereka."
Arci baru ingat kalau ponselnya tak ada. Ghea berdiri menuju ke lemari, di sana ada beberapa baju. Ia mengambilnya kemudian menyerahkannya ke Arci.
"Pakailah, ini baju ayahku. Kuharap pas, kalau toh tidak, kamu bakalan tiap hari pakai handuk itu!" kata Ghea sambil tersenyum.
Arci nyengir melihat kondisi tubuhnya yang hanya memakai handuk. Ghea setelah itu keluar dari kamarnya. Segera Arci memakai baju yang ada. Dia kemudian melangkah keluar. Dia melihat suasana rumah yang kecil, nyaman, hampir semuanya terbuat dari kayu. Sampai ubinnya juga terbuat dari kayu. Beberapa foto ada di sana. Foto-foto pamannya, juga Ghea. Ada foto Ghea merangkul senapan laras panjang, seperti sniper rifle. Ada juga senapan yang di pajang, itu senapan asli.
Ada tiga sofa di ruang tengah dan sebuah meja. Di tengahnya ada vas bunga yang isinya kosong. Arci melihat keluar rumah, di sana ada Ghea yang sedang mengelap pistolnya. Di sana ada meja dan Ghea berdiri di depan meja. Ada beberapa senjata api yang digelarnya. Arci menghampirinya.
"Hidup ini memang keras, aku yakin kamu tahu itu. Terkadang kita tak bisa lari, terkadang kita harus melawan balik." Ghea menggenggam pistolnya, lalu membidik Arci.
KLIK!
Arci sedikit kaget. Ia sangka Ghea beneran menembaknya.
"Itu yang aku suka, kamu tak berkedip ketika pistol ini aku tarik pelatuknya. Orang biasa pasti akan memejamkan mata. Kamu tidak, kamu sudah tahu rasanya menembakkan senjata, kamu juga sudah tahu rasanya ditembus peluru. Itu akan jadi nilai plus. Aku tahu kamu kehilangan, sangat kehilangan. Dan aku ingin rasa kehilanganmu itu kamu fokuskan untuk membalas perbuatan mereka. Jadikan itu sebagai semangatmu. Nih, tangkap!"
Arci menangkap pistol glock yang dilemparkan oleh Ghea. Rasanya sedikit ringan daripada yang ia pegang dulu. Mungkin karena tak ada pelurunya. Mungkin juga ia pernah memegang pistol sebelumnya. Dia menatap Ghea. Di mata gadis ini, terpancar hawa balas dendam. Dan dia sedang butuh bantuan.
"Aku ingin menghubungi Andini," kata Arci.
"Kamu nanti bisa menggunakan laptop di kamarku," kata Ghea. Dia segera menghampiri Arci dipegang tangan pemuda ini, "Aku ingin bertanya kepadamu lagi. Kamu sudah masuk di keluarga ini. Suka atau tidak kamu akan berkubang lumpur di keluarga ini. Dan kamu harus siap. Sebelum lebih jauh melangkah aku tanya lagi. Kamu siap?"
Arci menatap mata Ghea. Ia tak mampu menjelaskan apa yang ada di dalam dirinya sekarang ini. Ketika ingat Safira, ia pun langsung berkata, "Aku siap."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Andini bersedih. Ya, dia bersedih. Dia berdiri di hadapan kuburan Safira. Ia tak bisa membendung tangisnya. Padahal mereka baru saja dekat, tapi semuanya berlalu begitu cepat. Hanya sang ibu yang bisa mengelus-elus punggungnya untuk menenangkan putrinya. Saat sedang bersedih itulah Ghea tiba-tiba muncul.
"Andini?!" sapa Ghea.
Andini menoleh ke arah Ghea. Bu Susiati juga tak menyadari kalau Ghea ada di dekat mereka.
"Arci selamat. Aku ingin kamu, ibunya Arci, adiknya dan kalian semua sembunyi dulu. Kalian tak aman berada di sini," kata Ghea.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Andini. "Kenapa mereka melakukan ini?"
"Ada orang yang gila harta ingin menghabisi Arci dan yang lainnya. Papaku juga telah dibunuh oleh mereka. Bukan kamu saja yang kehilangan," kata Ghea.
"Maaf, aku turut berduka," kata Andini.
Ghea tersenyum simpul. Dia melangkah mendekat ke Andini lalu memberikan dia pelukan. Bukan seperti Ghea pada umumnya. Ghea juga heran kenapa dia bisa berbuat demikian, semenjak mengenal Arci dan tenggelam dalam kehidupan sepupunya itu, ia banyak berubah. Dan kali ini ia melakukannya secara spontanitas.
"Aku akan menjaga Arci, kamu jangan khawatir. Sementara ini, kamu ganti nomor telepon. Mereka bisa melacakmu kalau kamu pakai nomor yang lama," kata Ghea.
"Kenapa kamu melakukan ini?"
"Karena kita keluarga, Arci sudah menjadi keluargaku, dan engkau juga. Kalian juga," kata Ghea sambil menepuk-nepuk punggung Andini.
Ghea melepaskan pelukannya. Andini tampak masih bersedih. Ia tak percaya terhadap apa yang baru saja terjadi.
"Kalian punya tempat untuk sembunyi bukan?" tanya Ghea.
Bu Susiati menghela nafas, "Ada, kami akan mengajak Lian dan anaknya. Kamu jangan khawatir. Bagaimana keadaan Arci?"
"Dia masih pingsan, belum siuman sampai sekarang. Tapi dia telah melewati masa kritis. Maaf, merusak acara bulan madu kalian," Ghea menggenggam tangan Andini yang dingin.
Wajah Andini datar. Ia terlalu sedih untuk dihibur.
"Jaga diri kalian, aku akan menyuruh Arci untuk menghubungimu lewat email kalau nanti dia sudah sadar, untuk sementara kalian jangan bertemu dulu dengan dia. Dia sendiri nanti yang akan menemui kalian," kata Ghea.
"Ghea...."
"Ada apa?"
"Bilang kepada Arci, balaskan setiap tetes darah Safira yang ditumpahkan oleh mereka. Balaskan sakit hatiku, sakit hati kita semua."
"Ya, aku akan menyampaikannya," ujar Ghea sambil tersenyum kepada Andini.
Setelah itu ia meninggalkan Andini dan ibunya. Andini kemudian merangkul ibunya. Seharusnya ini menjadi hari bahagia karena Andini sudah bisa bersama Arci. Entah apalagi yang akan terjadi ke depannya. Ghea dan Arci pasti punya rencana sendiri pikir Andini. Dan ia akan menunggu kedatangan Arci suatu saat nanti.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Tommy tampak puas. Dia telah melaksanakan apa yang dia inginkan. Kini ia duduk di kursi presiden direktur. Dia melihat sebuah foto yang terpampang di pigura. Foto Andini.
"Tch, aku lupa kalau mereka sudah menikah," gumam Tommy. "Ah, whatever. Tak penting. Sekarang tak akan ada lagi yang bisa merebut kekayaan ini."
Alfred masuk ke ruangannya. "Papa?"
"Hai Alfred, kerja bagus. Kamu sudah melacak keberadaan mereka?" tanya Tommy.
"Mereka sepertinya menghilang."
"Apa kita sandera saja istrinya biar dia bisa muncul?"
"Itu ide bagus. Aku juga sudah berpikir ke arah sana, tapi mereka juga menghilang tanpa jejak."
"What?"
"Ah, tapi aku tak peduli. Mereka tak akan mungkin merebut ini. Apa mereka mau cari mati? Hahahaha, kerja bagus. Sekarang tinggal kita satukan perusahaan ini dengan PT Denim."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Andini menerima email Arci.
From: arci
To: andini
Subject: I'm Sorry
Maaf sayangku, sepertinya aku harus menunda bulan madu kita. Tapi secepatnya aku akan kembali.
I love you.
Arci.
"Arci, aku merindukanmu," desah Andini. Dia bersama dengan ibu, ayahnya, Lian dan Putri mengendarai mobil pergi ke tempat yang dirasa mereka aman. Andini tak membalas email dari Arci. Tapi ia yakin Arci sekarang pasti sangat merindukannya. Tiba-tiba saja pikirannya mengatakan bagaimana kalau Ghea jadi lebih dekat ke Arci? Ah, itu hanya perasaannya. Tapi sebagai istrinya ia juga punya rasa cemburu.
"Arci, aku merindukanmu," lagi-lagi Andini mendesah.
Dan Arci saat itu sedang memandang langit yang penuh bintang. Dia bergumam, "Andini, tunggulah aku...." DOR! DOR! DOR!
Arci menembak tiga target dan semuanya kena. Sudah hampir satu bulan Arci berlatih. Kini dia sudah mulai bisa menggunakan pisau, pistol dan beberapa gerakan kravmaga. Hampir tiap hari dia berlatih dengan Ghea. Sekalipun tubuhnya sakit semua, tapi Arci memaksa untuk berlatih. Pagi hari turun gunung, kemudian naik lagi lagi. Begitu terus hampir tiap hari. Kini otot-ototnya sudah terbentuk. Refleknya pun sudah terbentuk. Di bulan kedua Arci mulai mahir, menggunakan semua senjata yang ia punya, bahkan menggunakan apapun sebagai senjata. Ghea benar-benar keras melatihnya.
Mungkin karena sering bersama Arci, melihat tingkah Arci, mempelajari sifatnya, Ghea makin terusik hatinya. Dia tak tahu apa maknanya. Hatinya merasa kehilangan ketika Arci belum naik gunung sampai hari hampir siang. Tapi perasaannya lega ketika melihat Arci tiba. Ketika Arci membuka perbannya ia sangat kesakitan dan entah mengapa Ghea reflek langsung menolongnya. Awalnya mereka diam-diam saja, tak bicara satu sama lain. Kemudian seminggu setelahnya mereka mulai bicara satu sama lain walaupun masih canggung. Minggu kedua, barulah mereka bisa bicara akrab satu sama lain.
Awalnya Ghea tertutup. Tapi dia kemudian mulai bicara. Dia menceritakan masa lalunya, dia menceritakan bagaimana dia berlatih militer, dididik keras oleh ayahnya hingga seperti sekarang. Arci pun mulai menyadari Ghea tak pernah diajarkan tentang cinta.
"Kamu pernah tahu ayahku bukan? Ceritakan tentangnya! Orangnya seperti apa?" tanya Arci.
"Ah, paman Archer. Dari seluruh keluarga Zenedine. Kukira dia yang paling baik. Dia sangat lembut kepadaku, berbeda dengan ayahku. Aku suka setiap dia memperlakukanku. Aku rindu saat dia menganggapku sebagai orang yang paling dia sayangi. Aku tak pernah mendapatkan perlakuan sayang dari seorang lelaki manapun kecuali dari dia. Sebagai keponakannya ia sangat memanjakanku, ayahku sempat marah ketika aku bermain boneka hadiah ulang tahunku yang diberikan oleh paman Archer. Ayahku marah dan merusak boneka itu."
"Itu kejam sekali!"
Ghea tersenyum. "Apa yang bisa kamu harapkan dari ayahku?"
"Ah, aku kira dia orang yang baik."
"Dia sangat baik sebenarnya, hanya saja ia menempatkanku kepada fungsinya."
"Fungsi?"
"Fungsiku di keluarga ini adalah sebagai tangan kanan ayahku. Dia adalah anjing penjaga Zenedine, aku harus mensupport dia. Agaknya setelah ayahku tidak ada semua sekutu-sekutunya pun tidak punya kekuatan untuk mengalahkan Tommy."
Malam mulai larut. Mereka berdua duduk di dekat perapian. Sementara itu hawa dingin mulai datang, kabut sudah menyapa menyelimuti sekeliling rumah. Ada rasa debar tak menentu di dalam diri Ghea. Baru kali ini dia bertemu dengan lelaki seperti Arci, biasanya kalau seorang lelaki di dekatnya bakal langsung menggoda dirinya. Tapi Arci tidak. Karena itulah ia merasa nyaman dekat dengan Arci, tak hanya itu, ada sesuatu yang lain.
"Kamu pernah jatuh cinta sebelumnya?" tanya Arci.
Ghea bingung menjawabnya, "Aku...jujur tak tahu apa itu cinta."
"Sungguhkah?"
"Iya."
"Ah, I see."
"Anehkah orang yang belum mengenal cinta?"
"Tidak juga, hanya saja. Seseorang paling tidak harus mengenal cinta sekalipun sekali. Ketahuilah, kamu pernah mengenalnya."
"Kamu sok tahu."
"Ketika ayahku memperlakukanmu, itu adalah cinta."
"Cinta?"
"Ya, cinta seorang paman kepada keponakannya."
"Ayahku juga mencintaiku, dia senang ketika aku menyelesaikan tugas yang diberikan olehnya."
"Bukan seperti itu. Cinta itu tak butuh balasan. Cinta tak membutuhkan imbalan. Ketika seseorang mencintai orang lain, maka yang ia lakukan adalah memberikan cinta itu tanpa mengharapkan balasan."
"Apakah orang sepertiku bisa memberikan cinta kepada orang lain?"
"Bisa, tentu saja bisa."
"Bagaimana caranya?"
Arci juga bingung menjawabnya. "Ah, soal itu. Banyak cara sih. Seperti memberikan kecupan, atau memberikan hadiah seperti yang ayahku lakukan. Atau mungkin selalu memperlakukan dia dengan baik."
"Kamu mencintai kakakmu?"
"Ya, sangat mencintainya."
"Apakah bercinta dengannya juga salah satu wujud cinta?"
"Ah, soal itu....beda."
"Beda? Kenapa beda? Bukankah kalian saling mencintai?"
"Iya, tapi seharusnya itu tak terjadi."
"Kenapa?"
"Ah, aku tak tahu. Ada hal-hal kompleks yang tak bisa aku jelaskan dengan bahasaku sendiri."
Ghea merangkak mendekat ke Arci. "Aku tak tahu apa itu cinta, tapi... saat ini dadaku berdebar-debar ketika bersamamu."
"Hah?"
Ghea mengangguk. "Dan semenjak aku melakukan ini...". Ghea tiba-tiba mencium bibir Arci. Arci kaget. Wajah Ghea makin tersipu-sipu, "Rasanya aneh, perasaan itu makin kuat."
Arci tak menyangka Ghea menyukai dia.
"Apakah itu cinta?"
"M-mungkin."
"Tak mungkin, aku jatuh cinta kepadamu? Tapi, saat aku mengatakannya aku menjadi lega. Ya, lega. Arci, aku sepertinya jatuh cinta kepadamu."
Arci mengerutkan dahi. Ia tak tahu harus bilang apa. Ghea makin mendekat kepadanya. Bibir mereka bertemu lagi. Ingat Arci lelaki normal. Berduaan dengan wanita seksi, berambut merah, cantik dan kulitnya mulus, siapa yang tak tergoda, tapi, dia tahu diri. Apakah kalau dia melakukannya dengan Ghea berarti ia telah mengkhianati Andini? Ia pun bingung, haruskah ini terjadi lagi?
"Ghea, kamu tahu aku sudah beristri," kata Arci.
"Ya, aku tahu. Apa salahnya? Bukankah kamu juga melakukan hal itu kepada kakakmu? Bukankah papaku dan ibu tirimu juga melakukannya? Salahkah hal itu?"
"Itu...," Arci tak bisa menjawabnya.
Ghea yang hanya memakai kaos dan celana pendek itu mulai menggoda Arci dengan menempelkan tubuhnya ke tubuh Arci. Kini kedua selakangan mereka bertemu lagi. Ghea teringat akan peristiwa memalukan antara dirinya dan Arci saat itu. Posisi kemaluan mereka bertemu seperti sekarang. Perlahan-lahan Arci menerima tubuh Ghea yang bersandar di tubuhnya.
Arci tahu ini salah. Tapi mungkin karena situasi dan kondisi, godaan ini terlalu kuat. Dia juga manusia biasa, tak mungkin ia bisa menolak ini. Apalagi Ghea masih polos, kalau ia menolaknya takut Ghea salah mempresepsikan tentang arti cinta yang sebenarnya. Mungkin dengan perlahan ia akan mencoba untuk mengajarinya. Arci agak ragu ketika ingin menjamah rambut Ghea yang tergerai panjang. Akhirnya dia pun memeluknya.
"Andini, maafkan aku," rutuknya pada dirinya sendiri. Mungkin pria manapun tak akan sanggup menerima cobaan berat seperti ini. Seorang cewek, cantik, dan sedang ingin dibelai berada di depannya menggoda dirinya. Siapapun lelaki itu pasti akan takluk. Sebenarnya bisa saja Arci saat itu mendorong Ghea dan Ghea tak akan marah, tapi perasaannya melampaui itu semua. Terlebih Arci juga sudah lama tak bercinta, rasa itu pun datang, sebuah rasa yang disebut sebagai nafsu. Ya, nafsunya sudah melebihi apapun.
"Kamu mau bercinta denganku?" tanya Arci.
"Sejujurnya berhubungan badan aku hanya sekali, dan itu pun ketika aku diperkosa dulu," jawab Ghea.
"Kamu mau merasakan make love yang sesungguhnya?"
Ghea mengangguk.
"Tapi aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu, cinta itu tak bisa dipaksa. Dan aku sudah mencintai wanita lain. Kamu tahu?"
Ghea mengangguk. Ia memalingkan wajahnya, "Maafkan aku..." Ghea meneteskan air mata. Baru kali ini Arci melihat gadis ini meneteskan air mata. Baru kali ini. Ghea yang terkenal keras, kejam, beringas, bisa melow seperti ini. Arci memegang wajahnya agar menatap dirinya. Mata Ghea masih berkaca-kaca. Arci tak tega dan kemudian menciumnya. Mereka pun berpagutan. Arci bernafsu menciumnya. Tak ada yang bisa mencegah mereka berdua bercinta malam itu. Di depan perapian, dengan hawa dingin yang makin menusuk, serta birahi yang telah memuncak. Akhirnya Arci harus melakukannya. Ia akan melakukannya dengan lembut.
Perlahan-lahan Ghea menarik kaos Arci, kini tubuh Arci bagian atas terbuka. Ada perban di bagian luka tempat dia dijahit. Sementara bekas luka tembak yang ada di tubuhnya sudah mengering. Ada enam, Ghea berkaca-kaca melihat luka itu. Baginya itu luka terindah yang pernah ada pada seorang cowok, luka yang macho menurut Ghea. Dia pun menciumi luka itu. Setelah satu per satu luka itu dicium, barulah Arci melepaskan baju Ghea. Kini mereka berdua sama-sama atasannya tanpa baju alias topless.
Buah dada Ghea tak terlalu besar. Mungkin cukup di tangan Arci, dia pun mencoba untuk memegangnya. Ghea menangkap tangannya dan menuntun tangan Arci untuk meremasnya.
"Aaahhkk..!" erang Ghea. "Arci...remas yach?!"
Arci meremasnya, terus dan terus. Ia memberikan rangsangan di buah dada Ghea yang putingnya terlihat kemerahan itu. Mata Ghea menatapnya sayu. Sementara itu pinggul Ghea terus bergerak-gerak, belahan vaginanya menggesek kemaluan Arci membuatnya sedikit ngilu dan sakit.
Ghea sepertinya tahu Arci kesakitan, dia pun melepaskan celana pendeknya. Kini tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Dia beringsut melepaskan celana lawan mainnya. Arci membantu Ghea melepaskan semua baju yang melekat di tubuhnya, kini keduanya tanpa busana, Ghea langsung memeluk Arci. Kedua tubuh mereka bertemu memberikan kehangatan satu sama lainnya.
"Arci, aku ingin jadi kekasihmu," kata Ghea.
"Kamu tahu, cinta tak bisa dipaksa," kata Arci.
"Jadilah kekasihku hanya untuk malam ini, please!"
"I can't"
"Ohhh... please suck my nipple!"
Arci menurut, ia pun langsung menghisap puting susu Ghea. Ghea menggelinjang hebat. Dia meremas kepala Arci kuat-kuat, mengacak-acak rambutnya, baru kali ini ia merasakan geli seperti ini. Geli dan nikmat yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Dia baru sadar, tak pernah ada lelaki yang menghisap putingnya seperti ini. Tidak juga wanita-wanita yang pernah memuaskan dirinya. Arci menghisapnya dengan penuh perasaan. Arci menghirup aroma tubuhnya. Ghea merasa malu. Dia khawatir bau tubuhnya menyengat, tidak enak. Tapi Arci terus menghirupnya. Bahkan setelah puas menghisap pentil susunya, Arci menuju ke ketiaknya. Ketiaknya memang ada bulu-bulu halus, tidak panjang, sangat pendek, bukan tidak berbulu. Bahkan memang mungkin terlihat tidak berbulu, tapi bulu-bulu halus itu akan terlihat kalau mata mendekat seperti Arci sekarang yang mengunyah ketiaknya. Ghea makin menggelinjang. Kemaluannya makin banjir.
"Tidaaakk....Arrgghh...! Arci...aku...tak tahan lagi!"
Arci tak menghiraukannya, ia terus menikmati ketiak gadis blesteran ini. Dia meronta, tapi rasanya tak ingin Arci mengakhirinya. Arci menjilatnya, menghirupnya, menghisapnya. Ghea pun mengejang. Memeluk Arci erat-erat.
"Akh...aku nyampee....!" keluhnya.
Arci menyudahi aksinya. Ghea duduk di pangkuannya sekarang sambil nafasnya terengah-engah. Arci membelai rambut gadis ini. Gadis yang belum pernah merasakan nikmatnya bercinta. Mereka berpandangan, kemudian berpagutan lagi. Kini Ghea, menjilati tubuh Arci. Dia terus mengelamuti tubuh pemuda ini hingga Ghea turun dari pangkuan Arci. Kemudian dia mulai menciumi perut Arci dan sebuah tongkat tegang mulai menyentuh dagunya. Ghea memegang batang Arci yang sudah keras. Membelainya, lalu bibirnya mengecup topi bajanya.
Arci merinding. Lidah Ghea meliuk-liuk, menjilati batangnya, lalu menyapu kedua telurnya. Ghea agaknya berlama-lama di sana sambil menghirup aroma yang keluar dari tubuh Arci. Dia suka. Dia suka aroma penisnya. Dia mengemut dua bola yang lari-lari itu. Arci lemas, ia tak berdaya dengan perlakuan Ghea itu. Ghea mengocok lembut batang itu sambil ia hisap pangkalnya. Telurnya lagi-lagi dijilati, hingga hampir menyentuh anusnya. Ghea teruskan dengan mengulum batang penis Arci yang makin mengeras. Setetes lendir bening mulai keluar sedikit di lubang kencingnya. Ghea tak sia-siakan dihisapnya lendir itu. Kini penisnya benar-benar basah oleh air liur gadis ini.
"Gheaa...aahhkk!" Arci tak tahan.
"Bercintalah denganku Ci!?" katanya.
Arci tak tahan lagi. Ia pun segera menubruk Ghea. Ia memeluk Ghea sekarang, mereka berpagutan. Arci meremas buah dada Ghea lagi, Ghea menggelinjang hingga tak sengaja kepala penis Arci menyentuh bibir kemaluannya yang berbulu.
"Ufffhh!" keluh Ghea.
Dan Arci pun mulai mendorongnya. SLEEBB...karena becek mudah sekali untuk bisa masuk. Dan tak disangka kemaluannya dicengkram kuat oleh liang senggama Ghea. Ghea mendongak dan menatap Arci lekat-lekat.
"Inikah rasanya?" tanya Ghea. "Aku tak pernah bercinta seperti ini."
Wajar bagi Ghea baru merasakannya. Selama ini ia hanya merasakan lewat perkosaan. Dia dipaksa waktu itu, juga disiksa. Tapi kali ini Arci melakukannya dengan kasih sayang, dengan perasaan yang kuat. Membuat Ghea merasakan hubungan intim ini melebihi apapun yang diinginkannya.
Arci mendiamkan penisnya tertanam di dalam. Ia juga menikmati bagaimana liang senggama Ghea mencengkeram kuat. Kedutan demi kedutan, makin lama membuat ia keenakan. Ghea terus memandang Arci. Pemuda ini merasa ditantang oleh Ghea, "Ayo goyang!"
Arci pun mulai menarik dan memajukan pinggulnya. Maju mundur, maju mundur. Gesekan demi gesekan kini membuat rangsangan demi rangsangan menjalar ke seluruh tubuh Ghea. Rasanya sangat nikmat, geli, nikmat, entahlah ia tak bisa menjelaskannya. Dia menggigit bibir bawahnya dan matanya mulai terpejam.
"Arci...nikmat sekali, aku tak pernah merasakan senikmat ini," kata Ghea.
Arci tak bicara, hanya terus bekerja, memompa penisnya keluar masuk liang senggama Ghea yang sudah banjir. Rasanya nikmat sekali. Dia makin erat memeluk Ghea dan tubuh Ghea makin melengkung merasakan gesekan demi gesekan. Setelah beberapa menit Arci kemudian menghentikan gerakannya. Ghea sedikit terkejut. Arci mencabutnya perlahan. Ghea penasaran ketika Arci membalikkan tubuhnya. Ternyata dia disuruh untuk menungging. Ghea tak tahu gaya ini, tapi ketika Arci melesakkan lagi rudalnya ke dalam kemaluannya ia merasakan nikmat yang tak terkira.
Arci mulai menusuk-nusuk liang senggama Ghea dari belakang. Ghea baru kali ini merasakan gaya seperti ini yang rasanya tak kalah nikmat. Buah dadanya jadi terjuntai bebas. Sementara tangannya menekuk, dan kepalanya bersandar di karpet. Arci melihat pantat Ghea yang bahenol, sesekali ia meremasnya, membuat penisnya seperti diremas-rema. Arci kemudian menggapai buah dada Ghea dan mengajak Ghea untuk mendudukinya sementara Arci kemudian berbaring telentang. Ghea yang mengerti keinginan Arci pun mulai menggoyangkan pinggulnya naik turun, sambil sesekali memutar-mutarnya. Tapi makin lama goyangan Ghea makin cepat, ternyata ia ingi orgasme lagi.
Dan ambruklah Ghea ke atas tubuh Arci ketika orgasme yang panjang. Ghea mencari-cari bibir Arci keduanya berciuman lagi. Arci membalikkan tubuh Ghea kini kembali dalam posisi misionari. Arci sepertinya sudah tak tahan lagi ingin menyemburkan spermanya. Dia pun menggoyang pinggulnya menyodok selakangan Ghea bertubi-tubi sambil melihat wajah Ghea yang kini keenakan sambil memejamkan mata. Ia tak pernah mengira putri Pieter ini sekarang jadi feminim, manja dan menggairahkan. Arci makin cepat menggoyang, kepala Ghea menoleh kiri dan kanan. Ia tak kuasa lagi menahan ledakan orgasme dahsyat yang ketiga kalinya.
"Aku keluarrr....ohhh...Gheaaa...aaakhhh!"
Spermanya sangat banyak. Berkali-kali Arci menyemprot ke dalam kemaluan Ghea. Ghea baru kali ini merasakan nikmat yang luar biasa. Ledakan demi ledakan sperma menyiram rahimnya. Hangat, puas...
Keduanya berciuman lagi. Menikmati momen-momen yang tak akan mereka lupakan seumur hidup. Ghea menatap mata Arci dengan sayu. Arci membelai rambut Ghea, menciumnya lagi.
"Aku tak pernah merasakan bercinta seperti ini. Kamu luar biasa," kata Ghea.
Arci kemudian perlahan-lahan mencabut kemaluannya. Liang senggama Ghea becek sekali, bercampur sperma dan cairan lendirnya. Rasanya baru kali ini Ghea merasa kelelahan seperti ini. Ia cukup puas. Arci pun memeluknya dan mereka berdua mengambil sebuah selimut di dekat mereka. Arci mendekapnya kemudian keduanya terlelap. Wajah Ghea tampak menunjukkan kepuasan.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Pagi datang. Ghea terbangun dalam pelukan Arci. Ia bingung sekarang. Apa yang harus dia lakukan dalam keadaan seperti ini. Ia merasa dirinya hina. Takluk kepada seorang lelaki, terlebih, lelaki ini sudah beristri. Bahkan lelaki ini saja belum merasakan malam pengantinnya. Ia merasa bersalah. Namun ketika mengingat kembali malam sebelumnya ia tak menyesal. Ada sebuah perasaan aneh, yang kemudian ia pun mengetahui ini namanya cinta.
Arci terbangun. Ketika menyadari dia mendekap Ghea, ia segera melepaskannya. Ghea tahu Arci teringat dengan Andini, maka dari itu ia memakluminya. Sebenarnya Ghea terbangun beberapa kali ketika Arci memanggil-manggil nama istrinya. Ironis memang, orang yang dipeluknya ini bukanlah istrinya. Ghea pun menyadari siapa dirinya. Ada rasa sakit, sakit sekali di dadanya.
Arci berdiri memakai celananya lagi. Pemuda ini melangkah menuju kaca jendela dan melihat matahari terbit. Ghea baru menyadari bahwa pemuda ini sangat gagah. Bahunya mulai kekar, lengannya mulai berotot, hasil latihan yang dia tempa selama ini.
"Ini adalah pertama dan terakhir aku melakukannya denganmu. Kuharap kamu mengerti," kata Arci.
"Aku mengerti, cinta tak bisa dipaksa," kata Ghea.
"Tapi, apakah aku bisa merasakan cinta darimu Arci?" kata Ghea dalam hati. "Entah kenapa dadaku rasanya sakit sekali. Apakah ini namanya cemburu?"
Inilah untuk pertama kalinya Ghea merasakan cemburu. Rasanya sakit, bukan sakit secara fisik, tapi secara batin hatinya serasa dicabik-cabik. Dia baru kali ini mengenal cinta, ia juga baru kali ini mengenal sakit karena mengenal cinta. Tapi ia tahu, Arci bukan miliknya. Dia tak bisa memaksa Arci untuk menjadi miliknya, Arci milik Andini dan ia harus menerimanya walaupun rasanya sakit. Entah kenapa ia sangat menyesal bercinta dengan Arci tadi malam. Ia sangat menyesal. Ia menyadari seandainya ia berada di posisi Andini, ia akan sangat marah kepada apa yang telah dia lakukan. Dia menggoda Arci, dia sudah menjadi wanita jalang yang menggoda seorang lelaki yang sudah beristri. Apalagi ia belum pernah menyentuh istrinya sama sekali. Betapa rendahnya dia. Ingin sekali saat itu Ghea menarik pelatuknya dan menembakkan saja dikepalanya. Tapi hal itu akan menyakiti hati Arci, ia tak ingin seperti itu. Gadis ini terlalu cinta kepada Arci, mungkin sekarang cintanya sangat dalam.
Arci menoleh kepada Ghea. Arci baru sadar Ghea menangis. Pemuda ini pun berbalik dan menghampirinya. Setelah itu Arci menelukupkan selimut yang tadi ia pakai ke Ghea seluruhnya hingga gadis yang sedang menangis ini badannya tertutupi selimut dengan sempurna.
"Aku yakin suatu saat nanti kamu akan bertemu dengan lelaki yang tepat, yang penting kamu sudah mengerti bukan apa arti cinta?"
Ghea mengangguk, "Tapi rasanya sakit."
Arci mengusap-usap kepala Ghea. "Aku tahu rasanya, aku juga pernah merasakannya. Tapi jangan jadikan rasa cinta itu berubah jadi kebencian, jadikan itu sebagai semangat untuk hidupmu"
Kata-kata Arci itu seperti sebuah embun yang membasahi hatinya yang gersang. Ghea baru sadar, selama ini ia tak pernah punya alasan membenci sesuatu. Ia juga tak pernah punya alasan menyukai sesuatu. Apapun itu asalkan sesuai yang diinginkan ayahnya maka itulah dirinya. Bersama dengan Arci mengubah dia, dari singa betina menjadi seekor kucing yang lucu, mungkin. Tapi itu sekarang dirasakannya. Ia telah takluk kepada pemuda ini tanpa dia sadari.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Agus Trunojoyo menggebrak meja. "Apa??!"
Pengacaranya mengangguk. "Benar, ini yang terjadi."
"Maksudnya? Tanda tangannya tidak sah?" tanya Agus.
"Iya, tanda tangan Arci tidak sah, karena itu bukan tanda tangannya. Berdasarkan tanda tangan yang pernah ia lakukan pada beberapa berkas dan surat-menyurat tanda tangannya tidak seperti itu," kata sang pengacara.
"Apa tidak bisa dipalsu?" tanya Agus.
"Tidak mungkin, tanda tanganya terlalu rumit. Kalau pun kita menirunya butuh orang yang benar-benar ahli dalam melakukannya. Bisa jadi Arci kemarin sebenarnya kidal, makanya untuk agar seolah-olah dia menandatangani surat perjanjian itu, dia menggunakan tangan kanan. Terlebih tanda tangannya Arci seperti condong ke kiri, hal ini biasanya dimiliki oleh orang-orang yang punya kebiasaan menulis dengan tangan kiri."
Agus segera mengambil ponselnya. Ia pun menelpon Tommy. Tommy pun langsung mengangkatnya. Saat itu ia berada di kolam dengan ditemani oleh beberapa wanita panggilan. Pemandangan di kolam itu sungguh erotis di mana dua perempuan seksi dengan hanya memakai lingerie sedang berebutan menjilati batang kemaluannya.
"Ada apa Gus?" tanya Tommy.
"Ada masalah Tom!" kata Agus.
"Masalah apa?"
"Keponakanmu itu memalsukan tanda tangannya! Kita dibodohi!"
"Apa?!"
"Kita harus mencari Arci!"
Tommy agaknya sedikit gusar. Ia mendorong kedua perempuan yang sedang berebut penisnya itu agar menyingkir. Kedua perempuan itu pun pergi. "Jadi begitu ya, baiklah. Aku akan memaksa dia keluar. Aku akan lacak keberadaan istrinya. Ia pasti akan muncul kalau aku berhasil mendapatkan Andini. Kamu jangan khawatir. Sekarang tak ada yang bisa menghalangiku, keluarga Zenedine sudah aku taklukkan, semuanya sudah aku kuasai."
Tak ada manisnya yang namanya balas dendam
Rasanya pahit dan getir
Namun bagi siapapun yang telah melakukannya
kepuasan hati tak bisa mengembalikan apa yang sudah hilang
Arci memakai kemeja, jas, kemudian sepatu. Ghea memberikan baju ayahnya untuk Arci. Dia seperti melihat sosok Pieter dalam diri Arci. Bahkan melebihi semuanya. Kenyataan bahwa dia mencintai pemuda ini adalah sebuah kenyataan yang tak bisa diubah. Mencintai Arci, pikiran itu membuatnya geli, terlebih perjumpaan mereka pertama kali di mana dia menodong Arci. Ia malu sekali sekarang kalau mengingat peristiwa itu. Mereka sudah siap untuk merencanakan pembalasan. Dua bulan bukan waktu yang lama bagi Tommy dan kawan-kawannya, tapi waktu itu cukup untuk Arci membangun kekuatannya. Selama dua bulan, dendam di dalam dadanya bergemuruh. Ia akan menghabisi semuanya yang terlibat.
"Kamu mirip seperti papa," kata Ghea.
"Aku tak menyangka ukuran bajuku dan bajunya sama, padahal kelihatannya papamu lebih besar dari aku," ujar Arci.
"Benar, tapi kamulah sekarang yang berubah. Kamu tak sadar?"
Arci meraba tubuhnya. Benar. Ia berubah. Di punggungnya ada luka jahitan, di dada dan perutnya ada luka tembak. Tubuh penuh bekas luka, seperti bos mafia yang telah merasakan banyak kekerasan di dalam hidupnya. Arci tiba-tiba memeluk Ghea, lalu menciumnya. Ghea tentu saja terkejut. Tapi ia tak menyia-nyiakan kesempatan ini, Ghea seperti orang yang kehausan ingin terus mengecup bibir pemuda yang dicintainya ini. Tapi Arci hanya memberikannya beberapa detik saja.
"Itu untuk apa?" tanya Ghea.
"Ucapan terima kasihku atas yang kamu lakukan selama ini. Aku tak tahu apakah aku bisa bertemu lagi denganmu setelah ini, tapi kuharap....kita tetap hidup," jawab Arci.
Ghea tersenyum. Sekalipun ucapan terima kasih. Itu sudah cukup baginya. Ia memang tak bisa berharap banyak dari seorang lelaki yang sudah beristri. Ia hanya bisa berharap, walaupun tanpa pernah akan mendapatkan keinginanya yang sesungguhnya. Tapi sebagaimana yang Arci ajarkan kepadanya, cinta tak harus memiliki, cinta adalah memberi, sekalipun orang yang diberikan tak akan membalas, tapi dengan cinta maka kedamaian akan merata. Sekalipun karena rasa cemburu membuatnya sakit, tapi ia yakin suatu saat akan berbuah manis. Benar kata Arci, ia hanya harus mencari pria yang tepat. Dan ia bersungguh-sungguh untuk mencari sesosok pria seperti Arci. Atau mungkin yang lebih baik darinya. Ia berjanji dalam hatinya dan ia bersungguh-sungguh.
Arci melangkah keluar rumah. Dia membuka bagasi mobil. Di dalamnya terdapat banyak senjata, dari senapan MP-90, pistol glock, shotgun, PSG-2, M-16, Bullpup, dan berbagai amunisi. Serta sebuah senjata yang Arci tak habis pikir bagaimana Ghea bisa mendapatkannya. Sebuah senjata yang biasanya digunakan para gereliyawan, RPG.
"Aku tak habis pikir bagaimana kamu bisa mendapatkan ini semua?" tanya Arci.
"Kamu jangan meremehkan aku, sayangnya stok AK-47 habis. Jadinya minus senjata itu," ujar Ghea dengan santai. "Untuk menghancurkan Tommy, kamu tak akan bisa menyerbunya langsung. Kalau menyerbu langsung itu sama saja cari mati. Usaha gelap Tommy sangat banyak. Kita hancurkan semua usaha mereka."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Seorang berambut gondrong diikat tampak sedang menimang-nimang sebuah bungkusan kecil, lalu ia menyimpannya. Lelaki ini memakai baju lengan panjang berwarna coklat. Kainnya tampak lusuh. Dia menghampiri seorang penjual gorengan.
"Bang, aku ambil dua ya?" kata lelaki itu langsung mengambil dua gorengan.
Sang penjual hanya geleng-geleng. Sore itu sedikit ramai jalan raya. Terlihat beberapa polisi sibuk mengatur lalu lintas. Lelaki ini mengeluarkan ponselnya ketika dia menerima SMS, kemudian ia balas SMSnya. Tak berapa lama kemudian dia menuju ke sebuah jembatan penyeberangan di atas jembatan ini ia berpapasan dengan seorang pelajar. Mereka tampaknya sudah ada kesepakatan sebelumnya.
Sang pelajar mengeluarkan uang beberapa lembar lima puluh ribuan. Lelaki ini pun mengeluarkan bungkusan kecil dan pelajar tadi menerimanya, setelah itu mereka pun berpisah.
Ini adalah transaksi narkoba yang biasanya dilakukan oleh lelaki ini. Dia adalah pengedar yang biasanya mengedarkan narkoba kepada anak-anak pelajar. Julukannya adalah Jack Gondronk, sedangkan sebenarnya nama aslinya adalah Sutopo. Sutopo tak punya profesi yang jelas. Dia terkadang jadi juru parkir liar, di lain waktu ia jadi tukang ojek, tapi pekerjaan tetapnya adalah sebagai pengedar narkoba.
Sebenarnya juga sudah selama sepuluh tahun ini dia menekuni profesi ini dan belum terendus oleh petugas. Namun dengan segepok uang, ia selalu lolos, ia selalu bisa pergi di saat ada polisi yang ingin menggeberebek dirinya. Di terkenal di dalam dunia narkoba, namanya Jarmo sang pengedar. Dia mengedarkan narkoba dengan banyak cara, salah satunya adalah dengan cara seperti tadi. Caranya juga macam-macam, seperti ketika menjadi juru parkir liar, dia bisa mendapatkan uang dari situ dengan betransaksi dari orang-orang yang pura-pura parkir di tempat dia mangkal. Atau sebagai tukang ojek di mana dia pura-pura mengantar orang yang membeli narkoba dari dia, lalu ketika membayar ia pun menyerahkan bungkusan itu.
Jarmo bukan orang yang berpendidikan tinggi. Dia pun mendapatkan pekerjaan ini juga awalnya kepepet. Walaupun dia pengedar, sama sekali dia bukan pengguna. Selama ini uang yang diterima sebagai pengedar tidaklah sedikit. Yang penting bisa menghidupi keluarganya yang mana punya seorang istri dan empat orang anak yang kesemuanya masih kecil. Jarmo orangnya cukup berhemat. Ia tak pernah menghabiskan uangnya untuk hal yang aneh-aneh. Semuanya untuk istri dan anaknya. Dan istrinya sendiri orangnya tak peduli dari mana Jarmo mendapatkan uang, yang penting hidup mereka berkecukupan. Sang istri tak peduli suaminya jadi preman atau jadi apapun yang penting pulang dengan uang dan uang, sehingga setiap minggu ia bisa pergi ke salon, bersolek dan mensekolahkan anak-anak mereka.
Siapa sangka mereka dari keluarga kriminal tapi begitulah keadaannya. Keadaan sekarang sedang sulit. Perekonomian tak menentu, mereka menempuh cara ini karena mungkin tak ada cara lain yang bisa mereka peroleh dari seorang yang pendidikan rendah seperti Jarmo. Istrinya walaupun pendidikannya lebih tinggi, tapi ia hanya bisa menghabiskan uang daripada mendapatkannya.
Selepas transaksi super kilat di jembatan penyeberangan itu, Jarmo naik angkot. Para sopir angkot tahu dia ini preman, jadi untuk soal ongkos dia tak pernah bayar. Semua sopir angkot sudah hafal siapa dia. Begitu masuk angkot yang memang sudah penuh sesak dengan penumpang, angkot pun jalan. Satu per satu penumpang turun sesuai dengan tujuannya, Jarmo akan berhenti di pemberhentian terakhir. Di sana dia menjadi juru parkir liar.
Menjadi juru parkir liar sebuah pekerjaan yang gampang, tinggal mengatur dan mengaba-aba saja. Gitu sudah dapat pemasukan. Pemasukannya kemudian dibagi dengan rekan-rekannya, juru parkir liar tidak pernah setor ke pemda atau pemkot. Oleh karena itulah kalau mobil sehari saja ada 500 yang parkir, maka tinggal dikali Rp. 5.000,-. Hasilnya Rp. 2.500.000,- dalam sehari. Belum sepeda motor yang parkir berkali-kali.
Tapi modus yang dipakai oleh Jarmo ini sedikit beda. Dia membawa sebuah tas pinggang. Tas pinggang ini berisi narkoba pesanan-pesanan kliennya. Bahkan dia membawa beberapa kantong plastik kecil untuk mengenalkan narkoba kepada orang-orang yang depresi, atau yang ingin dia ajak sebagai pelanggan amatir yang ingin coba-coba.
Seharian ini satu per satu pelanggannya datang. Beberapa mobil memberikan dia beberapa lembar uang seratus ribu. Dia langsung merogoh kantong plastik kecil dari dalam tas pinggangnya. Itulah narkoba yang ia punya.
Ketika hari sudah mulai menjelang maghrib, Jarmo pun ingin pulang. Saat itulah sebuah mobil city car menghampirinya. Jarmo agak heran kenapa mobil itu menghampirinya. Yang mengemudikan seorang cewek setengah bule, bermata merah, bermata hijau. Dari belakang ada seseorang yang memegang kepalanya, lalu dengan kuat menghantamkan kepalanya hingga membentur ke mobil.
BRAK! Jarmo tak sadarkan diri setelah itu.
* * *
Jarmo duduk di sebuah tempat gelap. Matanya juga tertutup. Ia tak bisa merasakan apapun terkecuali tangan dan kakinya terikat di atas sebuah kursi. Ada sesuatu yang ia rasakan. Ia tak memakai celana. Ia hanya memakai baju tapi tak pakai celana? Dan tiba-tiba ada yang mengguyur tubuh bagian bawahnya menggunakan air dingin. Sontak Jarmo menggigil kedinginan.
"Di-dimana aku? Siapa kalian?" tanya Jarmo.
"Kamu di tempat yang aman. Mungkin sekarang ini istri dan anakmu sedang mencarimu. Kamu tentunya tak ingin itu terjadi bukan?"
"Keparat! Bangsat! Aku akan mengulitimu! Bajingan! J**c*K!"
"Woi, woi, woi, nggak perlu bicara kotor. Lakukan!"
Tiba-tiba sebuah tangan memegang batang penis Jarmo. Jarmo terkejut. "Mau apa kau?"
"Batangmu sekarang ini sedang dipegang oleh seorang wanita. Tangannya lembut bukan? Bahkan ia akan memberikanmu hadiah."
Jarmo pun kemudian merasakan sesuatu yang basah, hangat, berputar-putar di kemaluannya. Dia ingat ini, sesuatu yang hangat yang pernah ia rasakan, lidah. Lidah manusia. Dia sedang disepong oleh seorang wanita. Apa maksudnya ini?
"Aku bisa menyuruh wanita itu untuk menggigit penismu hingga putus. Kalau kamu tidak menjawab pertanyaanku!"
"Brengsek! Ahhhh..!" desah Jarmo. Tentu saja, sebagai seorang lelaki normal, dihisap oleh seorang wanita seperti itu tentu saja ia bakal merasakan keenakan. Penisnya pun menegang.
"Katakan dari mana kamu mendapatkan narkoba itu?"
"Aku tidak akan katakan!" kata Jarmo.
"Jadi kamu mau penismu putus? Baiklah!"
"Tu-tunggu! Bukan begitu....apakah kamu bisa menjamin kalau aku tidak akan celaka kalau mengatakannya?" Jarmo sekarang ketakutan.
"Gampang, kalau kamu tidak berbohong. Maka aku akan melepaskanmu."
"B-baiklah. Aku mendapatkannya dari orang yang bernama Rafa," jawab Jarmo antara takut dan keenakan disepong.
"Siapa Rafa? Bagaimana aku menemuinya?"
"Dia orang yang sering mangkal di diskotik dan karaoke, aku mendapatkannya dari dia."
"Bagaimana caranya kamu mendapatkannya?"
"Aku memintanya langsung."
"Di diskotik mana aku bisa menemuinya?"
"Diskotik Ultra." Penis Jarmo serasa dililit dan ia keenakan. Ia meringis menahan enak.
"Kalau kamu sampai bohong, aku akan meledakkan kepalamu."
"Aku bicara jujur."
"Kalau begitu, antar kami. Sebelum itu biar kamu dituntaskan dulu."
Jarmo merasakan penisnya digelitik memakai lidah dan dihisap kuat. Ia pun tak tahan lagi, apalagi sepongan itu makin kuat. Dia pun meledak. Spermanya menyembur kuat. Ia pun lemas dan jatungnya berdebar-debar. Penutup kepalanya pun dilepas, ia mengejap-kejapkan mata. Di depannya ada dua orang sedang berdiri. Mereka adalah Arci dan Ghea. Dan seseorang di selakangannya, seseorang yang cukup cantik, kulitnya mulus, di mulutnya belepotan sperma, itu pasti spermanya.
"Pejuhnya enak om!" suara wanita itu berat. Bukan itu bukan wanita, tapi waria. Jarmo terbelalak, ia kira yang menyepongnya seorang wanita, ternyata seorang waria. Penisnya langsung mengkeret. Ia tak pernah dicoba oleh waria, baru kali ini ada waria yang mengerjainya. Tiba-tiba kepalanya jadi pusing.
Arci melepaskan ikatan Jarmo dan memaksanya berdiri sambil menodongkan senjatanya. Jarmo tak berkutik. Setelah ia memakai celananya ia pun digelandang Arci keluar dari sebuah rumah. Setelah Ghea membayar waria itu dengan beberapa lembar uang ia pun pergi. Mereka kemudian segera menuju ke sebuah diskotik yang dimaksud. Tak susah mencari diskotik itu karena diskotik itu terlalu mencolok dengan mobil-mobil yang banyak serta suara musik yang mendebum-debum.
"Kita masuk, kalau kamu melakukan tindakan aneh aku akan meledakkan kepalamu!" kata Arci. "Ghea, kamu backup aku!"
"OK!" kata Ghea.
Arci dan Jarmo pun keluar mobil menuju ke dalam. Arci menyembunyikan pistolnya di pinggangnya. Ia memakai jas agar sedikit terlihat parlente. Begitu masuk tampak semuanya mengenal Jarmo. Arci dan Jarmo langsung masuk setelah mereka dikenali. Diskotik itu penuh dengan orang-orang yang sedang nongkrong, joget, dan sebagian sedang bercumbu. Ada juga yang sedang menikmati sabu di sudut ruangan. Bau alkohol langsung menyengat di hidung ketika Arci masuk ke tempat itu. Dia hanya mengikuti Jarmo hingga naik ke sebuah tangga menuju lantai dua. Kemudian mereka melewati lorong menuju ke sebuah pintu yang ada tulisan VVIP.
Ketika masuk, Arci menyaksikan anak tangga turun. Jarmo turun ke sana. Mereka berpapasan dengan beberapa orang berbadan gempal. Arci membuang muka agar tidak dikenali, karena ia tahu itu anak buah keluarga Zenedine yang sekarang sudah dikuasai oleh Tommy.
Setelah itu mereka ternyata berada di sebuah ruangan lain. Ruangan yang penuh dengan kolam dan Jacuzzy. Jarmo menunjuk ke seseorang yang sedang berendam di Jacuzzy air hangat di temani tiga orang wanita tanpa busana. Rafa ini orangnya cukup tampan, usianya kira-kira 35 tahun. Badannya atletis, menurut perkiraan Arci orang ini cukup terlatih. Begitu Rafa melihat Jarmo dia mengangguk.
"Ada apa?" tanya Rafa yang saat itu sedang diciumi dan dijilati oleh ketiga wanita.
"Barang habis, ada lagi?" tanya Jarmo.
"Cepet amat, perasaan baru dua hari lalu kamu minta. Siapa itu?" Rafa menunjuk ke Arci.
"Dia temen."
"Temen? Perasaan kamu nggak punya temen."
"Kamu dapat barang itu dari mana?" sela Arci.
"Siapa kamu? Polisi?" tanya Rafa.
Arci mengambil pistol glock di pinggangnya dan meletakkannya di pelipis Jarmo. DOR! Tanpa basa-basi Arci menembak Jarmo. Rafa hanya terbelalak sambil melihat tubuh Jarmo yang tertembus peluru tergeletak ambruk ke dalam Jacuzzy-nya. Ketiga wanita telanjang itu langsung menjerit dan kabur. Arci menodongkan pistol glock-nya ke arah Rafa.
"Katakan kepadaku, di mana pabriknya!" ancam Arci.
Mendengar suara tembakan beberapa sekuriti segera menuju ke dalam. Arci langsung mencengkram leher Rafa dan dia mengacungkan pistolnya ke arah sekuriti yang baru datang.
DOR! DOR!
Dua sekuriti tumbang.
"Brengsek! Siapa kamu? Kamu tahu kalau kamu lakukan ini, maka kamu akan menyesal seumur hidupmu!" ancam Rafa.
"Oh ya? Siapa yang akan menyesal kalau peluru ini menghabisimu?" ancam Arci balik. "Katakan di mana pabriknya, atau aku akan meledakkan kepalamu!"
Pistol glocknya sudah berada di kepala Rafa. Rafa sedikit merinding melihat pistol glock yang kini jaraknya dengan matanya hanya beberapa cm saja. Arci menarik hammernya.
"Sebentar, OK, OK! Aku akan katakan," kata Rafa menyerah.
"Bagus, sekarang ikut aku!" Arci kemudian menyeretnya keluar dari bak jacuzzy. Rafa tertatih-tatih. Ia hanya mengenakan celana dalam dan diseret keluar dengan keadaan seperti itu. Arci menyeretnya sampai keluar ke pintu darurat. Setelah itu mereka menuju tempat parkir. Beberapa sekuriti mencoba menghalangi tapi melihat Arci membawa pistol dan menodong Rafa, mereka tak bisa apa-apa. Sebuah sedan menghampiri mereka, di dalamnya sudah ada Ghea. Segera Arci membuka pintu dan mendorong Rafa masuk. Kemudian mobil itu pun melaju kencang.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Andini tampak sedang membersihkan rumah. Ia menyapu halaman sambil sesekali melihat ke arah Putri yang mengamatinya sedari tadi. Putri mungkin sedikit bingung dengan keadaannya sekarang. Adiknya Arci itu masih belum mengetahui kalau kakaknya telah meninggal. Dia hanya tahu kalau Kakaknya Arci telah menikah dengan Andini.
"Ada apa ngelihatin terus?" tanya Andini.
"Jadi, kamu sudah menikah dengan Kak Arci?" tanya Putri balik.
Andini mengangguk.
"Jadi aku manggil kamu kakak dong?" tanya Putri.
"Iya gadis manis."
"Hhh..," tampak Putri menghela nafas.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa, aku cuma iri saja. Kak Arci pasti suka ama kamu, kamu cantik, putih, dadanya besar....Kapan kalian mau punya anak?
"Eh??" Andini wajahnya memerah. "Kami belum membicarakannya."
"Sampai kapan sih Kak Arci pergi? Jadi kangen ama dia. Kamu tahu di mana dia?"
Andini mengangkat bahunya, "Entahlah, dia ada satu urusan yang harus diselesaikan."
Sudah selama dua bulan ini Andini, tinggal bersama Lian dan Putri. Mereka tinggal di sebuah rumah di daerah perkampungan yang jauh dari kota. Agaknya tempat mereka bersembunyi sekarang ini tidak terendus oleh anak buah Tommy. Hal itu sengaja mereka lakukan karena selama Tommy masih hidup, maka mereka tidak aman. Andini mengetahui bahwa kantornya sekarang terjadi kemelut. Semua staf yang berada di bawahnya dipecat semua, termasuk Rahma dan Yusuf. Tak ada yang tahu kabar mereka sekarang. Andini juga masih menunggu email dari Arci. Tak ada email sama sekali, membuat ia was-was. Tapi ia tetap berharap bahwa Arci baik-baik saja di luar sana.
"Kalau nanti Kak Andini punya anak, boleh ya aku gendong," celetuk Putri.
"Boleh, siapa yang ngelarang?"
"Beneran?"
"Iya," kata Andini.
"Cowok apa cewek ntar?"
"Nggak tau deh, ntar lihat aja. Hihihihi."
"Kalau cowok, aku kepengen yang beri nama!"
"Emang mau namain siapa?"
"Ada deh."
"Kalau namanya jelek aku nggak setuju."
"Nggak koq, beneran. Kakak pasti suka."
"Udah ah, do'ain aja."
"Hihihihi," Putri tampak tersenyum lucu.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Jadi, ini pabriknya?" tanya Arci.
"Iya," jawab Rafa.
Ghea melemparkan sebuah masker ke arah Arci. Arci menerimanya. Mereka berdua memakai masker itu sekarang.
"Kalian mau apa?" tanya Rafa.
"Omset pabrik kokain ini pasti milyaran. Tapi, aku akan menghancurkannya," jawab Arci.
"Kalian gila!"
BUK! Arci memukul kepala Rafa, hingga ia tak sadarkan diri.
"Cerewet!" Arci segera keluar dari mobil. Sebelumnya ia melakban mulut Rafa, kaki dan tangan lelaki ini pun diikat.
"Kamu tahu siapa Rafa ini?" tanya Ghea.
Arci menggeleng. "Peduli amat."
"Dia ini anaknya walikota," kata Ghea sambil tersenyum.
"Kamu tahu?"
"Ya jelaslah, hanya saja kenakalannya jarang terekspos. Pabrik narkoba ini tetap beroperasi salah satunya menggunakan kekuasaan ayahnya."
"Kita akan telanjangi dia besok, sekarang kita akan hancurkan pabrik mereka."
Arci membuka bagasi mobilnya. Dia mengambil RPG. Ghea sudah bersiap dengan senjata pistol glock dan beberapa magazine yang ia simpan di saku bajunya. Arci juga mengambil beberapa magazine, dua buah pisau dan sebilah kapak. Dia membidik pintu pabrik dengan RPG miliknya. Tanpa diberi aba-aba dia langsung menembakkan RPG itu dan WWUUUUSSSHH.....BLAAAARRR!
Pintu pabrik narkoba itu didobrak dengan menggunakan peluncur roket. Arci dan Ghea segera masuk. Orang-orang yang terdiri dari para pekerja dan penjaga panik. Mereka mengira digerebek oleh polisi. Arci segera menembaki semua objek yang bergerak. Ghea juga beraksi demikian. Mereka memuntahkan peluru-peluru dari pistol mereka menembus daging-daging, menghancurkan tulang-belulang, total semuanya berantakan, hancur, mayat-mayat bergelimpangan. Arci menyerbu ke atas, Ghea ke bawah. Mereka berpencar untuk membunuh semua orang yang ada di pabrik itu. Baik wanita maupun laki-laki tak ada yang dibiarkan hidup. Arci tak peduli lagi apa yang ia lakukan. Di dalam dirinya hanya ada satu hal "balas dendam". Sebagaimana yang dikatakan oleh Ghea, ia tak akan bisa kembali lagi. Inilah yang dilakukannya.
Di sebuah ruangan tempat mandor berada. Ia tampak keheranan dengan keributan yang terjadi. Dua orang lainnya yang ada di ruangan itu pun bingung. Mereka berdua sedang bermain catur dan tampaknya terganggu. Kemudian muncullah seseorang dari arah pintu. Ia tampak panik dan tergesa-gesa.
"Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya sang mandor.
"Ada yang menyerang!" jawab salah seorang anak buahnya yang panik dan menghambur masuk ruangan.
"Polisi?"
"Bukan!"
DOR!
Orang itu pun tergeletak dengan kepala telah berlubang. Arci masuk ke ruangan itu. Sang mandor berusaha mengambil sebuah senapan Shotgun yang ada di tembok, sebelum ia beraksi Arci melemparkan sebilah pisau dan menancap di tangan sang mandor.
"Aaaarrgghhh!" jerit mandor itu.
Dua orang yang ada di ruangan itu menyerang Arci, tapi dengan cekatan Arci menusukkan lima jari tangan kanannya ke leher salah seoran dari mereka. Orang itu langsung mundur sambil memegangi lehernya. Tenggorokannya tiba-tiba tertutup sehingga ia tak bisa bernafas. Seorang lagi mengambil parang dan mengayunkannya ke arah Arci. Arci mengambil pisau di pinggangnya dengan tangan kiri, lalu menahan tebasan parang itu. Pisau dan parang beradu, orang yang menyerangnya pun kaget karena pisau itu bukan pisau biasa, tapi pisau yang biasa dipakai oleh militer yang terbuat dari baja murni. Tangan kanan Arci naik dan membidik kepala orang itu. Orang yang menyerangnya gentar dan melotot melihat moncong pistol glock yang hangat.
DOR!
Tanpa basa-basi Arci menembaknya. Arci berjalan dengan santai mendekat ke arah sang mandor. Sang mandor memegangi tangannya yang tertancap pisau. Arci menyarungkan pisaunya dan mengambil pisau yang ada di tangan sang mandor. Mandor itu pun menjerit saat pisau itu dicabut.
"Ingin hidup? Katakan pabrik lainnya ada di mana?" ancam Arci.
"Iya, iya, aku akan katakan!" jawab mandor.
Singkat cerita sisa-sisa orang yang hidup menyerah. Arci dan Ghea mengikat mereka semua di dalam sebuah ruangan yang dipenuhi oleh bubuk putih.
"Kalian tahu yang kalian lakukan?" tanya Arci.
"Iya," jawab sang mandor.
"Kalian tahu, kalau pabrik ini menghasilkan narkoba yang bisa merusak para pemuda?"
"Iya," jawab yang lain.
"Jadi kalian sudah tahu konsekuensinya?" tanya Arci.
"Hah? Jangan! Jangan! Jangan! Kumohon jangaaan!" mereka menjerit.
Arci tersenyum sinis. "Aku bisa membunuh kalian semua sekarang, tapi aku tidak akan melakukannya. Aku akan biarkan kalian seperti ini, sementara pihak yang berwajib akan datang kemari. Kalau kalian bersaksi palsu, aku akan merobek mulut kalian dan kalian akan menyesal karena telah melihat dunia ini."
"Tidak akan, tidak akan!" mereka semua ketakutan.
"Kalau kalian ingin tahu siapa aku, namaku adalah Arci... anak dari Archer Zenedine. Kalau polisi bertanya siapa yang melakukannya katakan saja Sang Archer yang melakukannya."
Setelah itu Arci meninggalkan mereka semua. Tak berapa lama kemudian polisi datang dan tentu saja mereka mendapatkan jackpot pabrik narkoba. Pasti akan terjadi skandal besar setelah ini, karena pabrik ini dilindungi oleh Walikota. Sedangkan Arci melangkah ke pabrik-pabrik berikutnya.
Kantor polisi itu tampak temaram. Setelah kemarin malam terjadi penggerebekan terhadap pabrik narkoba dengan dibumbui mayat-mayat bergelimpangan membuat pengganti Letnan Yanuar yaitu Komisaris Polisi Letnan Basuki semakin tenggelam mempelajari file-file yang dipunyai oleh Letnan Yanuar. Letnan Yanuar di situ memiliki catatan tentang sejarah kelam keluarga Zenedine. Berbagai usaha penggelapan pajak, narkoba dan barang seludupan semuanya ada. Satu-satunya usaha yang murni--tapi mungkin juga ada haramnya--adalah perusahaan tekstil PT Evolus. Letnan Basuki tertarik dengan seorang pewaris keluarga Zenedine, Arczre.
Semenjak Letnan Yanuar terbunuh akibat dikeroyok oleh anggota gangster beberapa waktu lalu, Letnan Basuki menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Bagaimana anggota gangster itu bisa menarget seorang polisi kalau tidak dikomandoi? Dan juga bagaimana mereka bisa mengeroyok polisi reserse itu di saat tak membawa senjatanya? Itu berarti selama ini gerak-gerik Letnan Yanuar telah diketahui.
Hal menarik lainnya adalah Letnan Basuki menanyai semua orang yang ditangkap di pabrik narkoba itu. Semuanya mengaku bahwa Sang Archer yang telah melakukannya, Sang Archer telah kembali. Dan hal yang menakjubkan lainnya beberapa pabrik narkoba dihancurkan oleh Arci. Apa maksud dari semua ini? Kalau memang pabrik narkoba itu adalah salah satu usaha dari keluarga Zenedine, kenapa Arci yang sebagai pewaris tunggal malah menghancurkannya sendiri? Sepertinya ada yang tidak beres dengan ini semua.
Letnan Basuki mengumpulkan semua file yang ada. Dia mengumpulkan orang-orang yang tewas dengan cara yang tidak wajar. Pieter Zenedine, Jacques, Amanda dan juga Safira. Mereka semua mati dengan tidak wajar. Apalagi Safira yang matinya ditembak punggungnya hingga tembus perutnya. Dia punya hubungan dengan Arci, yaitu kakaknya. Apakah semua ini ada hubungannya dengan keluarga Zenedine? Berarti ada perang dingin di dalam keluarga Zenedine. Dan kalau melihat peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, maka perang ini belum berakhir. Dari catatan Letnan Yanuar berusaha menghubungi Arci untuk minta bantuan kepadanya. Letnan Basuki pun akhirnya mengambil kesimpulan Arci berada di pihak yang seharusnya bisa membantu pihak kepolisian. Tapi bagaimana cara untuk menghubungi Arci? Itu yang jadi masalah.
Polisi ini menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kantor yang ia tempati sekarang adalah tempat di mana ia biasa menyapa Letnan Yanuar. Setelah Letnan Yanuar meninggal ia menempatinya. Ia agak canggung sebenarnya. Tapi lambat laun rasa canggung itu akan berubah menjadi rasa kerasan sebagaimana tempat-tempat sebelumnya. Letnan Basuki berbeda dengan Letnan Yanuar tentunya, Letnan Basuki tidak selembut dirinya. Ia keras terhadap penjahat dan tanpa tedeng aling-aling akan menghajar para penjahat.
Letnan Basuki benar-benar ingin menemui Arci, hingga akhirnya ia pun punya satu cara. Dia akan menginterogasi para tersangka. Segera ia beranjak, dia tampak terburu-buru. Dia mengajak dua ajudannya untuk pergi ke rumah tahanan. Di sana ia akan bertemu dengan para tersangka.
Singkat cerita mereka pun akhirnya sampai di rumah tahanan. Letnan Basuki segera masuk ke ruang interogasi. Di sana dia membawa beberapa tahanan ke ruang interogasi. Salah seorang yang ada di sana adalah sang mandor yang dibiarkan hidup oleh Arci.
Letnan Basuki segera duduk di kursi yang disediakan. Tatapannya tertuju ke enam orang tahanan yang berada di ruang interogasi. Mereka tampak kaki dan tangannya diborgol. Melihat tatapan mata Letnan Basuki mereka tak berani.
"Ceritakan kepadaku tentang Arci, siapa dia?" tanya Letnan Basuki.
Mereka semua berpandangan. Hanya satu yang bisa menjawab.
"Kami tak kenal pak, yang jelas ia orangnya gila. Berdarah dingin yang bergerak di tembak oleh dia," jawab sang mandor.
"Nama kamu?" tanya Letnan Basuki.
"Wawan, pak," jawab sang Mandor.
"Baiklah Wawan, kamu tahu di mana pabrik yang belum diserang oleh Arci?" tanya Letnan Basuki.
"Saya tak tahu pabrik mana saja yang sudah diserang oleh dia," jawab Wawan. "Maklum pak, saya di dalam penjara. Tak ada alat komunikasi."
"Yang sudah dihancurkan Arci dalam empat hari ini ada lima pabrik. Cukup cepat bagi orang seperti dia. Di Wagir, Batu, Kepanjen, Dieng dan di Singosari. Di mana lagi ia akan beraksi?"
"Ada satu pabrik yang belum dia serang, lokasinya ada di Pasuruan."
"Kamu tahu lokasinya?"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Tommy menendang-nendang seseorang yang sedang terkapar di lantai berkali-kali. Dia tampak marah sekali hari itu. Semua orang tak berani menatapnya.
"Brengsek! Bodoh! Bodoh! Bodoh!" terus menerus kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Sedangkan orang yang dia tendangi di lantai sekarang sudah pingsan. Mungkin sekarang perutnya sudah hancur. Wajah orang itu sudah pucat.
Tommy kemudian melampiaskan kemarahannya ke sebuah meja. Dia tendang meja itu hingga bergeser beberapa meter.
"Kenapa belum ada yang memberiku laporan di mana keberadaan Andini? Sekarang pabrik-pabrikku dihancurkan oleh anak Archer. Kemana kalian semuaa??!"
Di ruangan itu ada lima orang yang sepertinya mempunyai kedudukan tinggi. Seseorang pria dengan rambut cepak, berbadan tegap, memakai baju hitam. Dialah assasin yang membunuh Amanda. Di sebelahnya ada Alfred. Di sebelahnya lagi ada seorang wanita yang sedang bermain-main dengan sebuah pisau yang berada di tangannya. Lainnya ada seorang lelaki berkulit hitam dengan kacamata hitamnya tubuhnya gempal dan sesekali menggaruk-garuk hidungnya. Seorang lagi seorang anak muda kemungkinan berusia 17 tahun. Dia hanya tersenyum saja melihat orang yang disakiti oleh Tommy. Lima orang kecuali Alfred adalah para pembunuh kelas kakap. Mereka punya reputasi tinggi di dunia hitam. Dan kemampuan mereka tak bisa diremehkan.
"Kenapa hanya karena satu orang saja semuanya jadi berantakan? Alfred, kamu tahu Arci itu hanya seekor semut kecil. Kenapa susah sekali? Kenapa hanya karena dia rusak semua rencana kita. Brengsek bener. Kita harus bergerak cepat. Temukan Andini! Kalian semua temukan Andini! Dan jangan kembali sebelum kalian menemukannya! Kecuali kamu Alfred, kamu pergi ke pabrik. Periksa pabriknya! Aku takut Arci sedang mengincarnya juga," suara Tommy meninggi.
Tommy makin marah. Dia sudah berada di ambang batas kesabarannya. Arci telah mengacaukan segalanya, segalanya yang telah ia lakukan selama ini. Dia berada di Perancis menikmati kekayaan dari apa yang dilakukan oleh anaknya Alfred, ada satu hal yang dia inginkan sejak dulu, yaitu menjadi penguasa keluarga Zenedine. Kini dia telah mendapatkan semuanya, PT. Evolus menjadi miliknya, tapi semuanya tertunda gara-gara Arci.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci mendapatkan informasi tentang cara pengedaran obat-obatan terlarang yang terakhir. Pabrik yang ini benar-benar tidak bisa dilacak begitu saja. Memang benar ada di Pasuruan, tapi untuk bisa melacak keberadaan pabrik ini maka tidak diberitahukan oleh siapapun kecuali oleh orang-orang dekat Tommy. Dalam hal ini tentu saja ini adalah pusat dari semua pabrik yang pernah ada. Alfred-lah yang mengurus ini semua. Untuk melacaknya Arci diberi petunjuk untuk membuntuti seorang anak jalanan yang biasanya mangkal di sebuah perempatan lampu merah. Mereka menjajakan kacang atau mente, atau terkadang menjajakan stiker dan terkadang ada yang mengamen.
"Ikutilah seorang anak pengamen bertopi abu-abu, ikuti dan lihat bagaimana cara dia bertransaksi!" ujar seorang mandor di pabrik terakhir yang telah ia hancurkan.
Arci terus mengikuti anak kecil yang usianya kira-kira sebelas tahun itu melewati gang, pertokoan pasar, hingga kemudian berhenti di sebuah taman bermain. Dia melihat kiri-kanan, sementara itu Arci bersembunyi di balik pohon sambil mengawasi bocah itu. Di taman itu ada sebuah kotak pos. Sang anak kecil memasukkan sebuah amplop ke dalamnya, tapi tak sekedar memasukkan. Entah bagaimana anak itu menekan sesuatu di dekat lubang suratnya sebelum memasukkan amplop, setelah itu anak itu pergi.
Arci berhenti mengikuti anak itu dan menunggu, siapa kira-kira yang bakal mengambil amplop yang ada di kotak pos. Cukup bosan dia menunggu, hingga hari hampir sore ketika seorang memakai baju jaket jeans, kaos dan celana jeans bersepatu kets warna putih membuka kotak pos itu. Bagaimana dia bisa membuka kotak pos itu? Oh, ternyata ia memegang kuncinya. Bukankah seharusnya hanya petugas pos saja yang bisa melakukannya? Arci melihat dari jauh bagaimana orang itu mengambil sesuatu seperti kantong plastik. Ternyata di dalam kotak pos itu ada sebuah kantong plastik. Di sanalah sebenarnya amplop yang entah isinya apa tadi masuk ke dalamnya. Anak kecil tadi melakukan hal itu untuk menyimpan amplopnya ke kantong tersebut agar tak tercampur dengan surat yang sebenarnya.
Arci kemudian bergegas mengikuti orang itu dari jauh. Sesaat kemudian orang itu naik angkot. Arci memberi aba-aba, segera sebuah mobil sedan mendekat ke arahnya. Arci segera membuka pintu dan masuk.
"Aku tak tahu kalau Tommy memanfaatkan anak kecil untuk jual beli narkoba ini," kata Arci.
"Aku juga baru tahu," kata Ghea.
Angkot itu terus diikuti hingga sampai ke sebuah tempat. Orang yang diikuti Arci tadi pun turun dari angkot, kemudian dia berjalan menuju ke sebuah belokan gang.
"Kita ikuti!" kata Arci. Dia mengambil pistolnya, juga Ghea. Mereka berdua memarkir mobilnya dan kemudian berlari mengejar orang tadi.
Mereka melewati sebah persawahan yang tumbuh banyak tanaman tebu. Orang itu berhenti di sebuah gudang. Bukan ini bukan gudang sembarangan. Walaupun bentuknya seperti lumbung padi dan gudang, tapi di dalamnya ada banyak bangunan lagi. Menyembunyikan jati diri pabrik narkoba dengan cara menyamar sebagai lumbung padi? Arci dan Ghea saling pandang.
Mereka kemudian memilih memutar dan memepet ke tembok. Di sana Arci menolong Ghea untuk memanjat pagar tembok. Setelah keduanya naik mereka pun turun dan bersembunyi di balik sisa-sisa padi yang sekarang berserakan dan ditumpuk. Mereka melihat orang yang mereka buntuti masuk ke sebuah bangunan lagi. Tapi bangunan itu tampak ada tulisan RESTRICTED. Gudang itu sepi, mungkin para pekerjanya sudah pulang.
Arci mengamati keadaan sekitar, kalau-kalau ada kamera CCTV. Setelah yakin tidak ada segera ia mengendap-endap menyelinap ke gudang yang dimasuki tadi. Mereka mencoba mengintip melalui jendela. Dan tampaklah pemandangan yang tidak asing bagi mereka. Berplastik-plastik bubuk putih tampak sedang dipacking. Orang yang mereka buntuti tadi sedang mengobrol dengan seseorang. Arci tahu siapa dia. Dia adalah Alfred. Alfred yang ditugaskan oleh Tommy ternyata sudah berada di tempat ini.
"Kita tidak salah, ini pabrik terakhirnya," kata Arci.
"Betul. Trus?" tanya Ghea. "Rasanya kalau kita serbu boleh juga."
"Itu memang ideku. Aku tak menyangka lumbung padi ini digunakan kedok untuk menyembunyikan usaha mereka."
"Yeah, they're worst than I thought"
"Sebaiknya kita pergi dulu mempersiapkan segalanya. Lagi pula tujuan kita adalah menghacurkan pabriknya bukan?" usul Arci.
"Yeah, lagi pula untuk menggempurnya kita butuh sesuatu," Ghea setuju.
Setelah melihat bagaimana keadaan di dalam, mereka pun mengendap-endap pergi. Menyelinap di antara tumpukan jerami, hingga kemudian naik ke tembok. Setelah itu mereka menuju ke mobil mereka. Sebenarnya ketika mereka kembali keadaan tak ada yang mencurigakan, hingga Arci mendapati seseorang sudah bersandar di mobil mereka. Arci dan Ghea berpandangan. Mereka tak kenal siapa orang ini. Tapi orang itu sepertinya tahu siapa Arci.
"Maafkan aku sedikit mengganggu," kata orang itu yang tak lain adalah Letnan Basuki.
Arci dan Ghea mengeluarkan pistol glock mereka dan menodongnya ke arah Letnan Basuki. Melihat Arci menodongnya Letnan Basuki tidak panik dan terkejut. Arci dan Ghea saling berpandangan lagi.
"Kita terkepung," kata Ghea.
"Pengamatanmu bagus sekali, tak bisa dipungkiri orang yang telah mengikuti pelatihan KOPASUS dan berbagai pasukan elit, aku sangat takjub. Tak perlu khawatir, aku tak ingin menangkap kalian karena menodongku atau menghancurkan pabrik-pabrik narkoba mereka. Aku adalah Letnan Basuki pengganti Letnan Yanuar yang telah meninggal. Aku telah memeriksa filemu Arci dan kamu pernah bekerja sama dengan Letnan Yanuar. Aku ingin bekerja sama denganmu," kata Letnan Basuki.
"Aku bekerja sendiri," kata Arci.
"Ada banyak hal yang tidak bisa dikerjakan sendiri seperti bagaimana kamu bisa mengalahkan Tommy seorang diri? Menghancurkan kerajaan mereka adalah hal yang tidak mudah, aku menawarkan bantuan," kata Letnan Basuki.
"Kami tidak butuh bantuanmu," Arci menolak.
"Aku tahu kamu bukan seperti mereka. Kamu hanya orang yang terjebak dalam dunia ini. Aku bisa menawarkan pengampunan atas apa yang telah engkau lakukan," kata Letnan Basuki.
"Aku tidak butuh itu. Aku akan mencincang mereka semua," kata Arci. "Setelah itu, kamu mau tangkap aku terserah. Mereka telah membunuh kakakku dan aku tak akan memaafkannya."
Arci kemudian menuju ke pintu mobil begitu juga dengan Ghea. Kemudian Letnan Basuki perlahan-lahan menyingkir.
"Kalau engkau menyalahkanku karena menghancurkan pabrik narkoba itu, maka aku ingin tanya kemana hukum selama ini? Kalau engkau ingin menangkapku karena mengacaukan pekerjaan kalian, maka lakukan sekarang sebelum aku melakukannya. Kalau kamu tidak ingin, maka menyingkirlah!"
"Arci, kalau kamu sampai berbuat sesuatu yang nekat aku akan menangkapmu," kata Letnan Basuki.
"Coba saja!" kata Arci. "Aku akan tunggu saat borgolmu membelengguku Letnan."
Mobil Arci melaju kencang dikendarai oleh Ghea. Arci segera ke jok belakang dan mengambil sesuatu. Dia mengambil beberapa senapan mesin dan juga beberapa granat. Letnan Basuki hanya menyaksikan mobil itu menjauh dari dirinya. Sementara itu beberapa anak buahnya yang sebenarnya dari tadi sudah bersedia dengan membidik Arci dan Ghea mulai keluar dari tempat persembunyian mereka.
"Let, apa yang harus kita lakukan?" tanya salah satu anak buahnya.
"Biarkan mereka," kata Letnan Basuki.
"Tapi mereka akan menghancurkan pabrik itu!" katanya.
"Tenang, justru dengan begitu pekerjaan kita akan lebih ringan. Ingat, Arci di pihak kita. Dia akan mengirim kita ke jackpot!" kata Letnan Basuki.
BLARRRR!
Gerbang lumbung padi itu dihancurkan oleh granat. Semua orang yang berada di pabrik narkoba terkejut. Beberapa di antaranya segera keluar dengan memanggul senjata seperti Uzi. Arci dan mobilnya menyerbu dengan senapan mesin. Terjadi perang di sini. Alfred yang mengetahuinya segera mengambil senjatanya untuk ikut berperang. Mobil yang dikemudikan Ghea berhenti. Ia segera keluar sambil melempar granat ke pintu gudang. Ledakan demi ledakan tidak berhenti. Arci menembaki semua orang yang keluar dari gudang. Para pekerja yang berada di dalamnya kalang kabut dan mencoba melarikan diri. Arci lagi-lagi melemparkan granatnya. Ledakan demi ledakan kembali terdengar. Dalam sekejap api menjalar di mana-mana.
Ketika senapan otomatisnya habis peluru Arci kemudian mengeluarkan pistolnya dan menembaki para penjaga yang melakukan perlawanan. Ghea dengan gesit menembak beberapa orang hingga terjatuh. Dia melihat Alfred berlari, segera ia susul sepupunya itu. Melihat Ghea mengejar Alfred Arci pun menyusulnya sembari meninggalkan beberapa granat ke sebuah mesin pembentuk kokain.
Alfred lari ke belakang, Ghea dan Arci segera mengejarnya.
Ponsel Alfred berbunyi. Ia segera mengangkat teleponnya, "Halo?"
"Andini ketemu," kata orang di telepon itu.
"Bagus. Aku masih sibuk, hubungi aku nanti," kata Alfred.
Alfred lari sekarang menuju ke sawah tebu. Hari mulai gelap ketika mereka saling kejar mengejar. Kini ketiganya saling kejar mengejar dalam kegelapan. Arci hanya mengandalkan pendengarannya saja ketika mengejar Alfred dan Ghea.
DOR! DOR!
Dua kali Alfred menembak ke arah ngawur. Hal itu malah menyebabkan Ghea dan Arci tahu di mana posisinya sekarang berada. Suara gesekan daun-daun tebu saling bersahutan. Alfred terus berlari hingga ia terjatuh. Tak jauh dari posisinya terjatuh tampak Arci sudah ada di belakangnya. Ghea juga sudah ada di belakangnya dan hampir saja ia menembak Alfred, tapi Alfred berbalik menyerang dan menendang tangan Ghea yang ada pistolnya. Arci mengacukan pistolnya, tapi Ghea dan Alfred terlibat perkelahian sehingga ia tak bisa membidik. Arci kemudian menyimpan pistolnya lalu menerjang Alfred.
Ghea berhasil memukul Alfred, kemudian Arci menangkap leher lelaki ini. Alfred bisa berontak dan memukul perutnya. Ghea langsung menerjang dengan mendaratkan lututnya di wajah Alfred. Seketika itu hidung Alfred patah. Darah mengalir di hidungnya. Arci kemudian menarik jas yang dikenakan oleh Alfred, kemudian tubuh Alfred di putar dan dibekap wajahnya dengan menggunakan jas tersebut. Alfred tak bisa melihat. Ghea kemudian menghantam perut Alfred hingga sepupunya ini pun tumbang.
Alfred tak berdaya. Jasnya yang menutupi wajahnya pun ditarik hingga robek oleh Arci. Dia menodongkan pistolnya ke arah Alfred.
Alfred tak bisa bergerak. Badannya sakit semua. Ia bergerak pun percuma pasti Arci akan menembaknya. Ia bahkan untuk memukul nyamuk pun tak berdaya.
"Kamu mau apa?" tanya Alfred.
"Aku ingin tahu di mana lagi tempat usaha Tommy," kata Arci.
"Hahahahahaha, kamu kira dengan menghancurkan usahanya itu akan membuat dia gentar?"
"Setidaknya demikian bukan?" kata Ghea sambil menurunkan lututnya ke leher Alfred.
"Aku hanya tertawa saja melihat kalian seperti ini. Yang satu kehilangan ayahnya, yang satu kehilangan kakaknya. Bahkan mungkin sebentar lagi wanita yang sudah engkau nikahi itu akan mati," kata Alfred.
"Apa?" Arci menempelkan pistolnya ke kepala Alfred.
"Arci, dia cuma berbohong!" kata Ghea.
"Kamu kira aku berbohong? Hahahaha, ketahuilah seorang pembunuh nomor wahid sedang berusaha untuk membunuh Andini. Mungkin sekarang kamu sudah terlambat. Perang gerilya yang kalian lakukan hanya sia-sia saja," kata Alfred.
Arci pun menarik pelatuknya tepat di kepala Alfred.
DOR!DOR!DOR!DOR!DOR!DOR!DOR!
Dia menghabiskan seluruh isi magazinenya. Ghea langsung berdiri. Ia tak pernah melihat Arci semarah ini sebelumnya.
"Andini, Ghea, kamu tahu di mana dia?" tanya Arci.
Ghea menggeleng. "Aku tak tahu."
Arci kemudian merogoh saku Alfred. Dia melihat siapa yang baru saja menghubungi Alfred. Kemudian dia menelpon nomor tersebut. Nomor itu pun diangkat.
"Halo?" sapa Arci. "Kalian di mana?"
"Kami ada di daerah Lawang," kata orang di telepon itu.
"Andini ada di mana?" tanya Arci.
"Ada di perkampungan di daerah Lawang. Ikuti saja perumahan yang ada di Argobimo, terus naik. Kami mendapati Lian ada di sana. Kalau ada Lian berarti pasti ada Andini."
"Baiklah, bagus," kata Arci.
"Oke, bos," kata orang itu tanpa sadar kalau yang sedang diajak bicara adalah Arci.
"Kita ke Lawang. Menyelamatkan Andini!" kata Arci.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Kani, dikenal sebagai seorang pembunuh bayaran. Dia tak banyak bicara. Kebiasaannya ia selalu membawa coklat ke mana-mana. Dan kalau stoknya habis ia akan beli berbungkus-bungkus coklat. Ia memang suka coklat sejak kecil. Hidup Kani sejak kecil sangat keras. Dia hidup di jalanan, makan terkadang harus mengais sampah. Orang tuanya? Orang tuanya sudah tiada. Ia anak yatim piatu yang kabur dari panti asuhan. Ketika hidup di jalanan dan menggelandang itulah dia belajar kerasnya kehidupan. Hingga suatu ketika Kani terlibat perkelahian. Ia cukup beruntung ketika itu perkelahiannya dilihat oleh Tommy. Tommy saat itu sedang mencari orang-orang yang bisa ia jadikan tukang pukul. Melihat Kani sedang terlibat perkelahian Tommy tertarik untuk melihat.
Kani berusaha keras untuk tetap berdiri sekalipun lawannya banyak. Perkelahian mereka sebenarnya sepele, masalah lapak. Kani dikeroyok oleh beberapa orang anak remaja, tapi dia melawan balik. Saling pukul, saling tendang. Kerasnya hidup sudah ia rasakan sejak lama. Kani berhasil menghajar mereka semua hingga terkapar. Dia melawan mereka semua seorang diri dan masih hidup.
"Hahahaha, bagus. Siapa namamu nak?" tanya Tommy yang mengejutkannya.
Kani yang babak belur itu pun menjawab, "Aku Kani."
"Kau mau aku latih biar menjadi lebih kuat?" ajak Tommy.
Kani tak mengerti apa-apa. Tapi mendengar kata lebih kuat ia pun tertarik.
"Tak usah khawatir aku akan berikan apapun yang kamu mau. Asalkan kamu mau menjadi bawahanku," kata Tommy.
Mengingat-ingat masa lalu, itulah yang dilakukan Kani sekarang. Ia menjadi orang yang sangat loyal kepada Tommy. Semua telah diberikan oleh Tommy kepadanya. Semuanya. Dia juga diajarkan cara untuk membunuh orang dan sekarang menjadi seorang assasin. Dia bersama tiga orang rekannya yaitu Baek, Tina dan Ungi mereka menjadi tukang pukul yang sangat berbahaya.
Beberapa orang anak buahnya sekarang sedang berada di dekatnya. Mereka melihat sebuah rumah yang menyendiri. Kani masih melihat-lihat keadaan.
"Alfred barusan menelpon bertanya di mana kita berada," kata salah seorang anak buahnya.
"Baguslah kalau begitu. Kita tangkap mereka lalu kita tanya kepada Alfred enaknya diapain mereka," kata Kani. "Bergerak!"
Anak buah Kani yang jumlahnya belasan itu mulai mengepung rumah. Kani pun ikut serta. Sementara itu Andini yang berada di dalam rumah sedang membaca-baca buku. Dia menemani Putri yang saat itu sedang belajar.
"Tadi ibu pergi ke pasar beli apa aja?" tanya Andini.
"Nggak tahu, pokoknya banyak banget belanjanya," jawab Putri. "Kenapa kak?"
"Perasaanku tak enak malam ini," jawab Andini.
Lian dari dapur membawa makanan kecil kemudian ikut nimbrung. "Tak enak bagaimana Din?"
"Entahlah, rasanya ada sesuatu yang akan terjadi," jawab Andini.
"Kamu masih kangen sama Arci? Kita semua kangen," kata Lian.
"Bukan itu...," Andini tersenyum. "Lainnya."
TOK! TOK! TOK!
Terdengar suara pintu diketuk. Andini dan Lian saling berpandangan.
"Siapa malam-malam begini?" gumam Lian, ia beranjak.
"Tunggu!" kata Andini. "Ibu sudah kunci pintu?"
"Sudah, ibu mau lihat dulu," kata Lian.
"Andini, kau di dalam? Keluarlah! Ada yang ingin bertemu!" kata orang itu.
Lian dan Andini pun merinding.
"Mereka tahu di mana kita!" kata Andini.
"Jangan-jangan mereka membuntuti ibu ketika belanja tadi," ujar Lian.
"Aduh, mana mama dan papa sedang pergi. Gimana ini?" tanya Andini.
Putri tampak ketakutan. Lian segera memeluknya dan mencoba menenangkan gadis kecil itu. Andini segera menyeret sofa dan meja.
"Ibu, bantu saya. Kita tahan mereka agar tidak masuk," ujar Andini.
Lian pun segera membantu Andini menggeser meja untuk membuat barikade. Terdengar suara ribut-ribut di dalam membuat Kani yang saat itu sedang mengetuk pintu menjadi gusar. Ia pun menendang pintu tersebut. Tapi seperti ada yang menghalangi. Andini dan Lian menahannya. Kani menendang lagi lagi dan lagi.
"Brengsek! Lempari kaca jendelanya!" kata Kani.
PRANG!
Bebatuan pun dilempar ke arah kaca jendela rumah itu. Putri menjerit histeris. Andini dan Lian harus berjuang sendiri sekarang. Untunglah jendela mereka berteralis, bisa dipastikan tak akan ada orang yang bakal bisa masuk. Tapi itu juga mengakibatkan mereka juga tak bisa keluar.
"Pintu belakang!" seru Andini.
Lian dan Andini segera berlari ke dapur. Di sana mereka pun berusaha menyeret meja makan untuk mengganjal pintu. Mereka benar-benar diterror. Dan puncaknya, salah seorang anak buah Kani melemparkan bom molotov ke atap rumah.
"Kalau kamu tidak keluar, maka bersiaplah untuk terbakar!" kata Kani.
Api mulai membakar merembet kemana-mana. Putri mulai menangis. Lian berusaha menenangkan anaknya itu. Andini berjalan ke arah sekering listrik kemudian mematikannya. Seketika itu semua lampu mati. Andini bukan seorang gadis yang bodoh, penakut ataupun lemah. Dia pintar, pemberani dan kuat. Maka dari itulah Andini kemudian mondar-mandir mencari sesuatu. Dan ia pun akhirnya menemukan sebuah linggis, tapi linggis terlalu berat. Akhirnya ia menemukan sebuah pemukul kasur. Sekalipun terbuat dari rotan, tapi kalau buat gebukin orang akan sangat terasa.
"Kita harus bertahan, tak ada jalan lain," ujar Andini.
Lian pun ke dapur mengambil pisau. Mereka benar-benar tak tahu harus apa kecuali satu hal yang ada di benak mereka. Bertahan.
WROOOOOMMM! CKIIIITTT! BRAAAKK! DOR! DOR! DOR!
Terdengar suara yang heboh di luar sana. Andini dan Lian saling berpandangan. Saat itu Arci menabrak mobil Kani yang terparkir tak jauh dari tempat itu. Melihat api yang tersulut dari kejauhan membuat Arci segera mengambil kesimpulan di sanalah tempat Andini berada. Ghea segera melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju ke arah itu. Ketika melihat banyak orang mengepung rumah sambil melemparkan bom molotov Arci menyuruh Ghea menabrak sebuah mobil, lalu mereka berdua menembaki orang-orang Kani.
Kani dan anak buahnya yang diserang seperti itu tentu saja kaget. Mereka segera berhamburan dan membalas. Terjadi tembak-menembak. Beberapa anak buahnya tumbang karena keahlian Ghea lebih baik ketika menembak. Kani dan Arci saling menembak, mereka pun kemudian kehabisan peluru, langsung saja keduanya saling menerjang dan bergelut. Mereka berguling-guling di tanah yang berumput serta masih ada beberapa tanaman liar. Arci dan Kani mereka berdua saling memukul, menangkis, menendang, menghindar dan mencoba menangkap tangan lawannya. Gaya bertarung Arci benar-benar menggunakan segala kesempatan untuk menyerang dengan cara mematikan.
Kejutan mungkin bagi Arci karena mereka berdua memiliki gaya bertarung yang sama.
"Terkejut? Kita sama-sama diajari oleh keluarga Zenedine, kita punya gaya bertarung yang sama," kata Kani.
Kani memukul Arci, Arci menangkis ia dengan cepat segera menyerang leher Kani. Tapi kani mengetahui cara Arci menyerang maka dia menangkap tangan Arci. Pemuda ini kemudian memakai kakinya untuk menendang betis Kani. Arci lalu menangkap tangan kanan Kani dan membantingnya. Ia kemudian mencekik leher Kani. Kani mendorong Arci dengan kakinya.
Arci mengambil pisau yang ada di pinggangnya. Kani juga mengambil pisau. Keduanya kini saling bertarung dengan pisau. Sementara itu Ghea berhasil melumpuhkan semua anak buah Kani. Dia lalu berteriak, "Andini, keluarlah! Ada Arci di sini! Kalian aman!"
Mendengar teriakan Ghea Andini sangat senang sekali. Ia akan keluar tapi api sudah membakar rumah bagian depannya. Akhirnya mereka keluar lewat pintu belakang. Ghea melihat mereka keluar dari kobaran api. Segera ia menolong Andini, Lian dan Putri. Ghea melihat wajah Andini, ada rasa cemburu di dadanya ketika melihat Andini saat itu. Ia jadi tahu sekarang bahwa dia akan sangat kalah kalau harus berjuang untuk mendapatkan cinta dari seorang Arci. Andini lebih cantik dari dia, Andini lebih feminim dari dia. Entah kenapa ia berkaca-kaca saat itu, ia membuang mukanya agar tak diketahui oleh Andini bahwa dia hampir saja menangis.
Ghea kemudian menunjuk ke sebuah arah di mana Arci dan Kani sedang bergelut. Kani menyayatkan pisaunya ke lengan Arci. Arci pun membalasnya. Mereka saling menyabetkan pisau, kadang kena kadang tidak. Hingga kemudian sebuah kesempatan Kani tidak melihat tempat ia berpijak sehingga ia jatuh, Arci kemudian menuburuknya dan menangkap tangan kanan Kani. Dipukul-pukulkan tangan itu hingga pisaunya terlepas setelah itu Arci menghunuskan pisaunya ke dada Kani. Kani menahannya. Ia berusaha agar Arci tidak menusukkan pisau itu ke dadanya. Tapi Arci menggigit tangan Kani. Sang Assasin itu sekarang menjerit dan di saat ia merasakan sakit yang amat sangat saat itulah pisau itu pun menembus dadanya. Paru-parunya robek darah masuk ke sana kemudian keluar dari mulutnya. Tatapan mata Kani tampak membelalak seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan. Arci kemudian berguling ke samping. Nafasnya terengah-engah. Saat itulah Andini, Lian, Ghea dan Putri menghampirinya.
"Sayangku, Cici...kamu tak apa-apa?" Andini langsung menghampiri Arci yang sedang kelelahan.
Arci langsung bangkit dan memeluknya. Air mata Andini tak bisa dibendung lagi. Sementara itu Ghea memalingkan wajahnya. Ia tak kuat melihat pemandangan ini.
"Aku datang sayangku, aku datang," kata Arci.
"Iya, aku tahu kamu pasti datang, aku tahu," ujar Andini.
Malam yang mulai larut. Rumah tempat persembunyian mereka terbakar. Api yang makin membesar itu pun menjadi sebuah saksi bisu bagaimana kedua kekasih akhirnya bisa bertemu lagi.
* * *
"Kamu bisa tinggal di sini," kata Rahma.
Rahma menerima rombongan Arci dan yang lainnya. Usulan ke tempat Rahma sebenarnya datang dari Arci. Karena Andini dan yang lainnya sudah berpindah-pindah selama dua bulan ini. Rahma tahu apa yang terjadi dengan mereka semua. Maka dari itulah ia mau menolong mereka semua.
"Makasih ya Ma?" kata Andini.
"Nggak apa-apa bu," jawab Rahma.
"Nggak usah panggil bu, kamu sudah bukan sekretarisku lagi," kata Andini.
"Arci," sapa Singgih di kursi rodanya.
"Apa kabar?" tanya Arci sambil memeluk Singgih.
"Baik, makasih atas yang telah kamu lakukan. Mungkin sudah saatnya aku membalasnya," ujar Singgih.
"Aku tak tahu kalau kamu masih ingat saja ama nomorku," kata Rahma.
"Hahahaha, siapa lagi kalau bukan kamu yang bisa aku mintai tolong. Sekarang adik dan ibuku butuh istirahat, kalau boleh ada kamar kosong?" tanya Arci.
"Tentu saja. Ada satu kamar kosong di sini, maaf ya cuma satu," jawab Rahma.
"Nggak apa-apa, yang penting ibu dan Putri bisa istirahat," ucap Arci.
"Trus kalian?" tanya Rahma.
Andini dan Arci saling berpandangan. "Kami gampang, Andini bisa tidur bersama ibu dan Putri, aku di sofa saja nggak apa-apa."
"Kalau kamu nggak keberatan sih," kata Rahma.
"Aku biar nemani suamiku saja deh," kata Andini. "Ibu sama Putri segera ke kamar saja, istirahat. Lagian ini sebentar lagi subuh."
"Wah, kalau gitu aku ambilin kasur deh, ada satu kasur yang nganggur. Juga selimut," ujar Rahma.
"Ya sudah, ayo Put!" ajak Lian.
Mereka akhirnya istirahat di rumahnya Rahma. Rumahnya sederhana. Setelah menikah Rahma tinggal pisah dengan orang tuanya. Diberhentikan dari perusahaan PT Evolus sebenarnya juga berat. Tapi Rahma cukup lega, karena ia sekarang bisa usaha sendiri dengan menjahit dan bekerja seadanya. Ia cukup bahagia karena bersama Singgih, lelaki yang dicintainya. Melihat keadaan Arci yang sekarang ia merasa ironis sekali. Seseorang yang seharusnya mendapatkan kebahagiaan yaitu kekayaan dari ayahnya, malah sekarang harus berjibaku dengan maut.
Andini dengan telaten merawat Arci malam itu.
"Untung cuma tergores saja," ujar Andini.
Arci membelai pipi istrinya, "Aku sangat merindukanmu."
"Aku juga," jawab Andini. "Dibuka bajunya!"
Arci kemudian membuka kemejanya. Andini tampak terkejut. Ia melihat banyak luka di tubuh suaminya. Ia pun mengusap bekas-bekas luka itu. Ia pun menutup mulutnya.
"Ini...., oh sayangku apa yang terjadi denganmu? Kenapa semua bisa terjadi seperti ini?" tanya Andini.
"Ceritanya panjang... aku tahu siapa yang telah melakukan ini semua. Aku pun melihat Safira tewas di depan mataku. Dan luka-luka ini adalah ulah mereka. Sungguh aku merasa akan kehilangan kamu, aku tak mau kehilangan orang yang aku cintai lagi," kata Arci.
"Ceritakanlah kepadaku semuanya, aku istrimu. Aku akan lakukan apapun untukmu. Aku juga merasa kehilangan kamu... Sayangku...jangan pergi lagi ya?"
"Aku tak bisa janji."
"Kamu harus bisa!"
"Boleh aku minta satu ciuman? Karena aku belum menciummu semenjak terakhir kali aku bertemu."
"Kamu minta ribuan ciuman pun aku akan berikan."
Andini langsung mendaratkan bibirnya. Arci dan Andini pun berciuman hangat. Arci seolah-olah tak pernah merasakan ciuman seperti ini sebelumnya. Semua perasaan cinta dan kerinduannya pun akhirnya tercurah di sini.
Mungkin hanya seseorang saja yang menangis dalam kesedihan malam itu. Ghea. Dia masih berada di mobil. Menangisi dirinya sendiri.
"Cinta itu rasanya sakit..." jerit Ghea di dalam hatinya. Pukul tiga pagi. Tak ada yang istimewa sebenarnya pada waktu itu. Kecuali malam mulai gelap, hawa mulai dingin. Ghea sudah tertidur di luar sana dengan jaketnya. Ia lebih memilih tidur di mobil untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada yang datang. Lian dan Putri sudah tertidur karena kelelahan. Arci dan Andini berbaring di atas kasur yang ada di ruang tengah. Lampu sudah dimatikan, tapi cahaya samar-samar yang masuk dari jendela masuk bisa digunakan mereka untuk melihat. Apalagi di depan rumah ada lampu jalan dan teras yang cukup terang.
Andini menciumi Arci, tampaknya ia tak ingin melepaskan bibirnya itu dari bibir suaminya. Arci sedikit mendorongnya.
"Ciuman terus? Nggak pegel itu bibir?" kata Arci dengan suara rendah.
Andini tersenyum. "Biarin."
Mereka pun terlelap dalam keheningan lagi. Arci tak bisa tidur, mungkin karena ditemani Andini.
"Kita boleh nggak sih begituan di sini?" tanya Andini.
"Hmm?? Begituan?"
"Ih, kaya' nggak tahu aja."
"Hehehe, terserah sih. Tapi kalau sampai ribut malu juga kan?"
"Kamu nggak tahu ya? Tadi yang matiin lampunya kan Rahma, dia juga pasti ngerti dong kita kepengen gimana."
"Sok tahu kamu."
"Tapi yang aku beneran, lakuin itu yuk," ajak Andini.
"Serius?"
"Pliiss, perawanin aku sekarang. Aku ingin memberikan semuanya untukmu malam ini."
Arci tahu kerisauan Andini. Keinginan Andini sebenarnya juga sama sepertinya. Ia belum memberikan nafkah batin kepada istrinya, apalagi setelah menikah malah diributkan dengan persoalan ini. Tapi ia juga merasa nggak enak kepada Rahma. Apalagi mereka melakukannya di ruang tengah. Takut saja kalau-kalau ada yang lihat. Tapi melihat Andini yang memelas Arci pun tahu, bahwa kerinduan Andini sudah tak tertahankan lagi. Tidak banyak orang yang akan kuat ketika setelah menikah harus ditinggal oleh kekasih hatinya.
Malam ini Arci masih membelai rambut Andini, dengan cahaya remang-remang ini, di dalam selimut tebal yang mereka rasakan, tanpa merasakan mewahnya tempat tidur, mewahnya kekayaan. Inilah yang sebenarnya ingin dirasakan oleh Arci. Ia tak ingin Andini melihatnya sebagai orang kaya yang punya segalanya. Andini ingin melihatnya sebagai seorang Arci, manusia biasa yang punya kelemahan. Kelemahan Arci adalah orang-orang yang dicintainya, juga dirinya. Andini kemudian melepas baju Arci hingga ia bertelanjang dada.
"Oh sayangku, sakit ya ketika kamu ditembus peluru-peluru itu?" tanya Andini sambil menciumi bekas lukanya.
"Sekarang sudah tidak," jawab Arci.
"Oh, sayangku. Biarkanlah aku menjadi obat penawarmu hari ini. Malam ini biarkan engkau menikmatinya," bisik Andini sambil terus menciumi bekas luka itu. Arci perlahan-lahan menarik baju kaos yang dipakai oleh Andini. Istrinya itu pun membantunya untuk melepaskan kaos itu. Arci tak perlu susah payah membuka bra Andini. Karena Andini membantunya.
"Kamu pasti haus sayang, nyusu dulu ya?" tanya Andini sambil melepas branya kemudian mengarahkan buah dadanya yang besar ke wajah suaminya.
Arci langsung menghisap pentil istrinya. Andini mendesis. Arci menghisapnya kuat sambil memainkan lidahnya. Tak hanya itu, buah dadanya diremas-remas membuat birahinya kini terbakar.
"Cici suka?"
"He-eh."
Slluuurrrpp....smooccchh.... Suara lidah Arci menggema, dia benar-benar sangat rindu buah dada ini. Dan kini semuanya ia miliki.
"Ayo sayangku, puaskan dirimu!" ujar Andini.
Arci terus menjilati dan menghisap buah dada yang ada di depannya itu. Andini bertumpu dengan tangannya sambil tangan satunya memeluk kepala suaminya. Buah dadanya sekarang mengkilat karena luda Arci, apalagi putingnya makin mengacung dan keras setelah dirangsang oleh lidah pemuda itu. Arci kemudian berguling sehingga kini Andini ada di bawah. Ia memeluk Andini sambil menciumnya. Kini mereka berdua melakukan french kiss yang hot. Lidah keduanya meliuk-liuk, saling menghisap mencari titik-titik sensitif. Arci baru tahu kalau Andini sangat suka berciuman. Bahkan mungkin cewek yang paling tahan berciuman lama. Ludah mereka bertemu dan saling berpindah mulut.
"Aku rindu kamu," bisik Arci.
"Aku juga sayangku."
Arci mulai menciumi belakang telinga Andini, membuat darah Andini berdesir, kemudian ciumannya turun ke leher dan menghisapnya gemas. Hingga terbentuk cupangan di sana.
"Ahhh...sayangku, aku basah," ujar Andini.
Arci belum puas, ia turun lagi ke buah dada Andini, seolah-olah tak puas dengan buah dada itu. Buah dada itu membusung seolah-olah memang sengaja Andini memberikannya. Arci bagai berada di surga dengan disuguhi buah dada yang selalu ia idam-idamkan itu. Terasa batangnya sudah mengeras. Andini dengan nakal mengelus-elus batang kejantanannya.
"Udah keras," bisik Andini.
"Iya"
Arci kemudian meraba pinggang Andini. Hah? Nggak pake CD? Dia langsung merasakan bulu-bulu halus ketika meraba selakangan Andini, daerah paling privat. Andini telaten menurunkan celana suaminya hingga kini batang perkasa berotot itu bebas.
"Boleh aku lihat?" tanya Andini.
Arci kemudian duduk dan Andini beringsut menuju ke tempat batang itu mengacung. Digenggamnya batang perkasa itu. Andini tanpa jijik mulai menciuminya sembari mengocok lembut.
"Ahhkk beib!..." desah Arci.
Perlahan-lahan mulut Andini mulai dimasuki oleh kepala penis itu. Lidahnya pun memutar-mutar memberikan rangsangan di belahan penisnya. Arci merasakan kenikmatan yang tak pernah disangka. Andini juga mengurut penis itu, memberikan sensasi yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Apalagi hisapannya sangat kuat, membuat lututnya lemas.
"Enak beib..." kata Arci.
Urutan dan felatio yang dilakukan Andini membuat penis perkasa itu makin keras sempurna. Ditambah lagi Andini mencoba memasukkan batang itu lebih dalam lagi, lagi dan lagi hingga mulutnya penuh sampai ke kerongkongannya. Ludahnya juga makin banyak menyelimuti kejantanan suaminya.
Adiknya Safira itu meringis nikmat saat Andini melakukannya. Setelah aksi deep throat itu, kini Andini mengejar bola-bola naganya. Telur-telur naga itu dijilat dan disedot hingga membuat penisnya ngilu. Rasa geli dan nikmat tercampur rasa seperti jus buah mix. Dan kini Arci mendorong istrinya agar berbaring. Kalau terus diperlakukan seperti itu Arci takut main course-nya nanti bisa berantakan.
Arci menciumi buah dada Andini lagi. Kali ini ia menghisap puting Andini kuat-kuat. Hal itu membuat Andini menutup mulutnya karena menjerit. Dia sekarang terbakar birahi. Vaginanya sangat basah sekarang, rangsangan-rangsangan itu membuat dia makin seperti bendungan yang jebol karena menahan air bah. Suaminya kini sudah mengelamuti garis di kemaluannya, menjilati garis itu dan memasukkan lidahnya di dalamnya. Andini mengerang.
Daging tonjolan berwarna merah didapat oleh Arci, ia kemudian segera menghisapnya. Andini makin menjerit dan ditahan dengan mulutnya. Arci sekali lagi menjilat lalu menghisap seluruh cairannya hingga sampai ke klitorisnya. Andini tidak tahan dan dia langsung bangun badannya melengkung dan keluarlah cairan dari kemaluannya. Ia tak menyangka bakal orgasme seperti ini.
"Aaahhhh... Cici...ahhhh, aku keluarrr!"
Arci memeluknya lagi. Kedua dada mereka bertemu. Entah kenapa Arci sekarang sangat terpesona dengan buah dada istrinya itu. Kencang, padat, sekal, dan putingnya ngajak berantem.
Tanpa dikomando kepala penisnya sudah tepat di depan kemaluan Andini. Andini menatap mata Arci dalam-dalam. Ia tahu Arci tidak pertama kali ini melakukannya, tapi ia telah menjadi suaminya. Bukankah sebagai seorang istri dia harus memberikan segalanya kepada suaminya. Andini mengangguk tanda bahwa ia mengijinkan Arci melepaskan keperawanannya malam itu.
Kepala penis yang sudah keras itu mencoba masuk. Seret, susah, walaupun cairan kewanitaan Andini sudah memberikan pelumas, tapi tetap membuat susahnya batang itu masuk. Arci tak perlu diberitahu di mana letak lubang istrinya, ia sudah mengerti. Ia sudah terlatih, apalagi batangnya kini sudah meluncur sedikit demi sedikit. Tekanan demi tekanan dilakukan hingga kepala penisnya masuk semua. Andini menggigit bibirnya sambil memejamkan mata. Arci tak pernah memerawani seorang wanita, ini adalah pertama kali dia merasakannya. Penisnya rasanya sedikit ngilu ketika belahan vagina itu meremas-remas batangnya. Dan sekali lagi Arci menekan.
SLLEEEEBB! SREEETTTT! SLAASSTTH!
"AAHH!" pekik Andini. Ia bahkan tak peduli kalau seisi rumah terbangun. Penis Arci meluncur dalam merobek sesuatu yang ia jaga selama ini. Sesuatu yang telah ia siapkan untuk suaminya, yang telah ia jaga dengan penuh perjuangan. Janjinya kini telah dipenuhi. "Cici...kamu telah memerawaniku...."
"Iya sayang," kata Arci.
Andini memeluk punggung suaminya erat-erat. Kini pinggul Arci naik turun menarik dan menekan penisnya yang kini sudah licin, bercampur dengan darah dan cairan kewanitaan.
Hentakan naik turun itu makin membuat penisnya masuk makin dalam hingga mentok ke rahim Andini. Pantat Arci naik turun, menggesek-gesekkan dua kulit kemaluan. Menerobos liang kenikmatan, menyeruak ribuan birahi yang selama ini terpendam. Penisnya sekarang benar-benar mendapatkan jodohnya.
Lenguhan mulai terdengar walau suaranya berbisik. Lenguhan menahan rasa sakit dan nyeri, serta lenguhan kenikmatan. Andini menahan rasa sakit itu, ia tak ingin merusak kenikmatan suaminya. Ia rela melakukannya, namun lambat laun ia pun menikmatinya, rasa sakit itu berubah jadi rasa nikmat, terlebih ia berusaha mencengkram batang kemaluan suaminya. Hal itu membuat Arci menghentikan sejenak gerakan pistonnya. Kedua kelamin itu berkedut-kedut, seolah-olah mengerti bahwa mereka ditakdirkan bersama.
"Rengkuhlah kenikmatan ini sayangku!" ujar Andini.
Arci kemudian menciumi bibir Andini. Lalu berbisik, "Menungging dong sayangku."
Andini mengerti. Arci perlahan-lahan mencabut penisnya. Rasanya geli sekali bagi Andini saat penis itu bergeser lepas dari liang senggamanya. Ia kemudian menungging. Arci memijat-mijat bongkahan pantat Andini yang bahenol itu. Diremasnya dan dikuaknya jalan ke arah vagina yang kini ada bercak darah. Arci tak menunggu lama-lama, ia langsung menempatkan penisnya ke tempat semula.
SLEEBBBHH!
"AAAHH!" Andini menjerit lagi.
Arci kini bergoyang lagi dengan gaya doggy style. Penisnya makin enak dan serasa menyodok penuh sampai ke rahim Andini. Andini pasrah saat Arci meremas-remas buah dadanya. Ia juga menyadari suaminya kini benar-benar suka dengan buah dadanya. Siapa sangka ia juga takluk oleh ketampanan Arci. Ahh....ia menyesal kenapa tidak sejak dari dulu saja bercinta dengan Arci. Tapi ia sadari inilah yang diinginkannya. Ia tak mau cintanya hanya sebatas nafsu saja. Tapi ia ingin cintanya adalah take and give...
PLOK! PLOK! PLOK!
Suara pantat beradu dengan perut membuat ruang tengah itu jadi lebih bergairah. Dua insan yang dimabuk cinta kini sedang melepaskan rindu dengan kegiatan "membuat anak". Arci makin nikmat ketika Andini berinisiatif memutar-mutar bokongnya. Hal itu membuat penisnya makin ngilu-ngilu enak. Tapi ia terus bergoyang kemudian meraih kedua tangan Andini sehingga kedua tangannya kini dipegang membuat tubuh Andini terangkat dengan buah dada menggantung, mengayun ke depan dan ke belakang. Gaya grafitasi itu mungkin juga membuat buah dada itu makin terlihat besar.
Sesuatu datang menggelitik perut Andini, bukan karena tangan. Tapi ia mau orgasme. Sekujur tubuhnya terasa nikmat, melebihi apa yang ia sangka. Makin lama rasa nikmat itu menjalar ke satu titik. Aliran darah kini memompa antara otak dan kemaluannya.
"Cici, aku keluaaarrr!" bisik Andini.
Arci makin cepat memompanya. Hal itu membuat Andini menggeleng-geleng. Dan saat kemaluannya mencengkram batang kejantanan itu kuat-kuat, barulah Arci menghentikannya. Beberapa semprotan cairan keluar dari kemaluan Andini. Batang kemaluan Arci seperti tersiram air hangat, berlendir, malah membuat dia makin nikmat. Andini kemudian berbaring lemah.
Arci mencabut kejantanannya. Membiarkan Andini berbaring. Kini Andini berbaring ke kanan. Arci kemudian berbaring miring di belakangnya. Dia mengangkat kaki kiri istrinya, kemudian menyodokkan batang kemaluannya yang masih tegang. Seolah tak ingin memberikan kesempatan Andini istirahat, kembali Arci menyodokkan penisnya.
"Aahhh...Cii...teruuss... puaskan dirimu!" kata Andini.
Arci menusuk-nusukkan penisnya yang tegang itu ke dalam liang senggama istrinya. Makin lama makin kencang. Ia juga menikmati punggung istrinya. Ia menghisap, menjilat dan menciuminya, sedangkan tangan kirinya meremas-remas buah dada istrinya. Suara becek antara gesekan dua kemaluan itu makin membuat Andini bergairah lagi. Meskipun ia sudah dua kali orgasme, tapi ia tak boleh menyerah karena suaminya belum dapat apa-apa.
"Beeibbh...ahh...nikmat sekali," bisik Arci.
Seakan tak ada habisnya, Arci terus-menerus menggenjot istrinya. Begitu Andini orgasme lagi, maka ia pun berhenti. Tiga kali orgasme dan Andini pun lemas.
"Sayangku...kamu kuat sekali," bisik Andini. "Keluarin di dalam yah, aku ingin punya anak darimu."
"Aku akan selalu mengeluarkannya di dalam. Ini adalah tempatku bukan?"
Andini mengangguk.
Akhirnya Arci berada di atas Andini. Penisnya benar-benar mengkilat terkena cairan kewanitaan Andini yang keluar berkali-kali plus sebercak darah perawan. Andini membuka lebar pahanya, mengijinkan suaminya untuk masuk. Dan, akhirnya Arci menggenjot Andini lagi. Kali ini cukup cepat, sehingga membuat Andini kewalahan. Arci juga sudah tak tahan lagi ingin mengakhiri persengamaan ini.
Penisnya sudah berkedut-kedut, sepertinya ingin menyudahi saja kegiatan ini dengan semburan sperma yang mungkin saja sangat banyak. Andini sudah mulai orgasme yang keempat. Detik-detik orgasme mulai datang sepertinya hanya menunggu hitungan waktu. Penis Arci masih terus keluar masuk, menggesek rongga kemaluan Andini. Dan kini sepertinya sudah pada waktunya.
Jepitan vagina Andini makin rapat. Seiring itu Arci juga makin cepat menggoyang, nafasnya juga memburu.
"Beibbhhh....oohhkkk....nyampe ssshh...!" bisik Arci.
"Aku juga sayangku."
CROOOTTTTT.....CROOOTTT....CROOTT!
Milyaran sel sperma pun akhirnya keluar, menembak langsung ke rahim Andini. Arci menekan sedalam-dalamnya. Kenikmatan yang akhirnya datang itu pun membuat Andini merasakan orgasme keempat, tidak bahkan kelima setelah sperma itu meledak berkali-kali di dalam rahimnya. Arci membuat dia merasakan multiple orgasme.
Kedua insan ini pun berpelukan. Rasa nikmat menjalar di tubuh Arci dan Andini.
"Sebentar ya Din, sekali lagi," kata Arci.
Andini terkejut ketika Arci bilang demikian. Tapi ia hanya bisa menerima saja, saat Arci mengulang lagi untuk kedua kalinya goyangannya. Arci menggoyang lagi seolah-olah ia masih ingin terus dan terus bercinta dengannya. Dan keluarlah spermanya sekali lagi, kali ini hanya lima menit. Andini tak pernah menyangka suaminya bisa seperti ini. Entah berapa banyak sperma di dalam rahimnya sekarang. Apalagi Andini yakin bahwa hari ini adalah masa suburnya. Ia sangat bahagia dan memagut Arci berkali-kali.
"Aku bahagia sayangku, akhirnya kamu melakukannya," kata Andini.
"Aku juga bahagia," kata Arci.
Mereka masih berpagutan mesra. Setelah itu buru-buru mereka memakai baju lagi. Takut kalau nanti bangun seluruh isi rumah kaget melihat mereka berdua telanjang. Hari sudah masuk subuh ketika mereka tertidur sambil berpelukan dan Andini menyunggingkan senyuman dalam pelukan suaminya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Rumah Rahma ini jadi makin ramai dengan kehadiran Arci sekeluarga. Ghea masih sibuk dengan mobil dan persenjataannya di luar. Ia tak ingin memperlihatkan perasaan cemburunya. Dia lebih memilih di luar. Lian dan Putri akhirnya bisa tidur malam itu. Arci dan Andini sangat berterima kasih kepada Rahma dan Singgih.
"Sekarang apa yang akan kita lakukan?" tanya Andini.
"Aku tetap harus menghancurkan mereka," jawab Arci.
Andini menghela nafas. Ia ada rasa khawatir sebenarnya. Perasaan khawatir akan kehilangan suaminya. Terlebih urusan dengan mafia bukan urusan yang enteng.
"Aku khawatir," kata Andini.
"Khawatir kenapa?"
"Kamu tahu aku sangat mencintaimu, aku tak mau kehilangan kamu. Tak bisakah urusan balas dendam ini selesai begitu saja?"
"Aku tak bisa. Aku sudah melangkah terlalu jauh. Aku tak ingin kehilangan dirimu, karena mereka sekarang sedang mengincarmu."
"Kenapa kita tidak lari saja, pergi jauh dari mereka dan menyembunyikan diri. Tak akan ada orang yang mengetahui, kita hidup bahagia selamanya?"
Arci menoleh ke arah Andini. Wajahnya yang cantik itu tampak lebih manis dengan senyumannya. Arci menghela nafas, "Andai aku bisa."
"Cici, Safira sudah pergi, kamu tak akan bisa mengembalikan dia apapun yang kau lakukan nanti."
"Aku tahu. Tapi, aku tak bisa. Aku harap kamu mengerti."
"Aku tidak mengerti."
Arci menempelkan keningnya ke kening Andini, "Percayalah, ini tak akan lama."
Arci meninggalkan Andini sendirian yang saat itu berada di halaman rumah. Ia menghampiri Ghea yang tampak sedang merawat senjata-senjatanya yang ada di bagasi. Andini sudah bertemu dengan suaminya, ia sangat takut kehilangan sekarang. Terlebih Arci saat ini lebih dekat dengan Ghea. Andini serasa cemburu.
Sementara itu dari jendela kamar tampak Rahma mengamati Arci dan Andini. Ada sesuatu yang ia simpan sendiri. Melihat Singgih yang sekarang sedang tidur di atas ranjangnya ia pun menjadi gundah sekarang. "Maafkan aku suamiku. Walaupun kamu sudah datang, tapi...aku merasa kehilangan Arci sekarang. Aku mencintainya...." Rahma meneteskan air mata.
Dalam hati rasa kerinduannya telah sirna bukan dengan kedatangan Singgih, tapi kedatangan Arci. Dialah yang sangat khawatir semenjak peristiwa pernikahannya itu. Dia memang masih mencintai Singgih, tetapi ada perasaan lain yang tak dapat ia ucapkan. Sesuatu itu adalah mencintai seorang yang sudah beristri. Hatinya pun resah.
"Tommy sudah mengerahkan tukang pukulnya, artinya ia tidak main-main sekarang ini. Ia akan terus memburu kamu dan Andini. Terlebih Alfred sudah kamu bunuh, Kani juga sudah kamu bunuh," ujar Ghea.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Arci.
"Kita tak punya pasukan. Menghantam mereka sama saja kita cari mati. Kita hanya berdua," ujar Ghea.
"Kamu benar. Lalu rencananya?"
"Kamu harus cari pasukan dan aku tahu kemana tempatnya."
"Di mana?"
"Ke tempat Yuswo, dia orang yang netral. Tapi kalau kamu bisa mendapatkan deal yang tepat dengan dirinya, maka aku yakin dia akan menolong kita."
"Siapa Yuswo?"
"Yuswono Glegoh Bariono, seorang preman dulunya. Kemudian dia menguasai beberapa pasar dan kemudian menjadi raja pengemis. Tak hanya itu, ia punya pengikut yang loyal. Yang jelas para pengikutnya tak bisa disamakan dengan orang-orang yang dimiliki oleh keluarga Zendine."
"Baiklah, kapan kita ke sana?"
"Not so fast, Kamu yakinkan dulu keluargamu bahwa mereka benar-benar aman. Tempat ini terlalu terbuka. Aku takut mereka akan dengan mudah menemukan kita."
"Kamu benar," ujar Arci sambil menghela nafas.
"Ada masalah apa kamu dengan istrimu?" selidik Ghea ingin tahu.
"Tak ada apa-apa," jawab Arci.
"Pasti kamu senang sekarang sudah melampiaskan kerinduanmu."
"Ya, tentu saja."
Ghea tersenyum. "Syukurlah kalau begitu."
"Kenapa?"
"It's OKAY, I'm fine."
"Maafkan aku."
"Kenapa minta maaf?" Ghea bingung
"Setelah urusan ini selesai, aku ingin pergi. Agar hatimu tak sakit lagi."
"Tidak, aku tak apa-apa. Akulah yang seharusnya minta maaf. Aku hanya bisa berharap, bukan begitu?"
Arci tak bisa berkata apa-apa. Ia pun pergi meninggalkan Ghea. Terkadang cinta itu susah diungkapkan dengan kata-kata. Dan Ghea mempelajarinya sekarang. Rasa sakitnya tak bisa dilukiksan dengan kata-kata. Mungkin memang benar kata Arci, ia harus mencari sosok lelaki yang tepat agar bisa melupakan dirinya. Tapi siapa?
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci sendirian. Ya, dia sendirian dan ingin bertemu dengan Yuswo. Sungguh sesuatu yang tak diduga Arci harus berhadapan dengan salah seorang Raja Preman. Dia tinggal di wilayah pinggiran sungai kali Brantas. Bukan orang biasa. Karena begitu Arci bertanya kepada salah seorang yang ada di sana mereka semua mengenalnya.
"Kalau jam segini, dia lagi mancing sam. Samperin aja dia," kata salah seorang yang ia temui.
Arci masuk ke gang-gang sempit, melewati jalan bertangga dan landai. Dia melewati beberapa rumah yang sangat penuh dengan penghuni. Agaknya untuk mencapai pinggiran sungai tak sesulit yang dikira. Sesaat sebelum turun Arci melihat sebuah rumah yang sangat sederhana, terbuat dari kayu. Ia kira itu adalah kandang kambing, ternyata setelah dilihat kandang kambing dan rumah jadi satu. Miris. Betapa ternyata masih saja ada rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Agaknya ia bersyukur tidak menikmati hidup seperti itu walaupun ia selalu dikejar-kejar oleh renternir dulu.
Arci melihat seseorang tua yang sedang memancing. Orang tua ini berjenggot putih, bajunya lusuh, dan dia memakai topi. Pemuda ini mulai mendekat. Arci kemudian duduk di sebelahnya.
"Kamu sudah tahu kedatanganku," ujar Arci.
"Ya, ada anak buahku yang memberitahuku kalau ada orang yang mencariku. Ketika dia memberitahukan ciri-cirimu maka aku sudah tahu bahwa kau dari keluarga Zenedine. Sebab dalam hidupku hanya tiga orang dari keluarga mereka yang menemuiku. Pertama Arthur, kedua adalah Archer, ketiga Tommy. Kamu adalah orang yang keempat. Dan semua keperluannya aneh-aneh. Ada yang ingin jadi sekutuku, ada yang ingin agar aku ikut mereka, dan yang paling lucu adalah Tommy. Dia ingin merekrutku. Bodoh semuanya. Sedangkan kau mau apa?"
Arci memeriksa box yang digunakan untuk menampung ikan. Tak ada apa-apa di sana. Yuswo mengelus-elus jenggot putihnya. Arci mengetahui bahwa tangan orang ini sangat kekar. Bukan orang biasa. Tampak dari sempilan baju di lehernya ada sebuah tatto.
"Aku punya sebuah tawaran yang menarik," kata Arci.
"Katakan!"
"Kamu bantu aku untuk menghancurkan bisnis keluarga Zenedine dan orang-orang yang melindungi bisnis mereka. Terutama orang-orang yang bersama Tommy dan mendukung Tommy."
"Lalu aku dapat apa?"
"Kamu dapatkan semua harta yang kamu inginkan di keluarga Zenedine."
Yuswo menoleh ke arah Arci. "Kamu mengigau."
"Tidak mengigau, lagipula aku tidak butuh kekayaan mereka. Hidupku telah berhenti semenjak mereka membunuh kakakku."
"Kamu siapa namamu?"
"Arczre aku anak dari Archer."
"Hahahahaha, Archer. Aku ingat sekarang. Bagaimana dia culun waktu itu. Memintaku agar bisa menjadi sekutu mereka. Bodoh sekali. Banyak orang-orang yang mengincar posisiku, mereka meminta bantuanku karena aku yang punya banyak pasukan, banyak pengikut loyal. Dan kami memang tak mau ikut campur dengan urusan keluarga Zenedine. Kami netral."
"Aku tahu kamu netral, tapi apakah semua orang akan menolak apabila diberi kekuasaan? Aku rasa tidak. Aku berjanji engkau akan mendapatkan semuanya."
Yuswo tersenyum, "Apalah artinya kekayaan bagiku. Aku sudah tua, aku sudah bau tanah."
"Baiklah, bagaimana bila aku menawarkan diri untuk menggantikanmu?"
"Maksudmu?"
"Aku tahu kamu tidak mau kekayaan, tidak ingin apapun. Tapi sudah pasti kamu ingin seorang penerus bukan? Aku menawarkan diriku."
Unik, pikir Yuswo. Kalau saja Arci ini orang biasa sudah pasti dia akan ditempeleng. Tapi pemuda ini seorang negosiator yang baik. Menggantikan dirinya?
"Kamu bisa apa?" tanya Yuswo. "Bahkan mungkin kamu mengenal daerahku saja tidak bisa."
"Kalau begitu ajari aku. Aku hanya ingin bisa menghabisi orang-orang yang telah mencelakai keluargaku. Itu saja," kata Arci. "Setelah itu dengan segala apapun yang aku punya, aku menawarkan diri menjadi penerusmu."
Yuswo tertawa. "Hahahahahaha, baru kali ini ada yang menawarkan diri jadi penerusku. Boleh, boleh, tapi sini kemarikan tanganmu!"
Arci mengulurkan tangannya. Yuswo memegang tangan pemuda itu dan merasakan telapak tangannya. Setelah itu dia mengangguk-angguk. Yuswo menghela nafas dan melepaskan tangan Arci. Pemuda ini tak memahami apa yang dilakukan oleh orang tua itu.
"Aku ingin memberikan sesuatu kepadamu, aku akan melatihmu selama dua minggu. Itu kalau kamu tak keberatan. Karena urusan ini lebih rumit dari biasanya. Kalau kamu ingin menjadi raja preman, bos dari para mafia kamu harus kuat. Yang ada sekarang kamu lemah. Seorang bos, dia harus bisa melawan banyak orang sendirian. Kamu belum sampai ke tahap ini. Kamu masih menggunakan senjata api, sesekali menggunakan pisau dan kapak. Aku bisa merasakannya dari guratan-guratan di telapak tangan dan jemarimu."
Arci sungguh takjub, ia tak pernah bertemu dengan orang seperti ini. Dia bisa mengerti apa yang pernah dipegangnya. Yuswo kini menatapnya dengan tatapan serius.
"Dua minggu? Lalu bagaimana keluargaku?"
"Kamu jangan khawatir, orang-orangku akan melindungi kalian! Keluargamu tak akan berani menyentuh mereka," ujar Yuswo.
"Tapi aku dengar mereka mempunyai pembunuh bayaran nomor satu," ujar Arci.
"Yakinlah, selama ada aku, mereka tak akan berani mendekat."
"Baiklah, aku terima."
Arci dan Yuswo berjabat tangan. Sebuah kesepakatan yang menandai awal sebuah kehidupan kelam tanpa batas. Arci makin masuk ke dalam dunia hitam. Dia tak bisa keluar lagi sekarang. Tak bisa semudah itu.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Hooeeek! Hooeek!" Andini muntah-muntah hari itu. Sudah seminggu Arci meninggalkannya. Dan tepat sekali, dia hamil.
"Waduh, kamu tak apa-apa?" tanya Lian.
Andini menggeleng. "Kayaknya sebentar lagi ibu bakal jadi nenek."
"Oh ya?"
"Aku bisa merasakannya, ada yang aneh ama tubuhku. Mencium masakannya Rahma saja sampai mual," ujar Andini.
"Waaaahhh...nggak nyangka secepat itu hihihihi. Kalian ngelakuinnya di mana? Jangan bilang di ruang tengah!"
"Emang di situ koq. Emang kita punya kamar?"
"Hahahaha, pantesan koq malem-malem seperti ada suara orang mendesah. Itu kalian toh. Hihihihi."
"Ah, ibu jadi malu," muka Andini memerah.
"Arci kemana? Ia harus diberitahu," kata Lian.
"Dia sedang ada urusan selama beberapa minggu," kata Andini. "Dia tadi omong ke aku."
"Yah, mau gimana lagi. Tapi kamu harus menjaganya lho," ucap Lian sambil mengusap-usap perut Andini. Andini sangat bahagia hari itu, melebihi apapun di dunia ini.
"Nanti kalau dia sudah datang aku akan memberitahu," kata Andini.
Ghea yang dari tadi berdiri di pintu dapur hanya menghela nafas. Ia memakai tanktop dan kombor berwarna coklat. "Rasanya kita akan sedikit kesulitan kali ini."
Andini mendengarkan gumaman Ghea, "Kesulitan?"
"Iya, Arci tak akan mungkin membawamu yang sedang mengandung kalau kita harus lari lagi nanti," kata Ghea kemudian menoleh ke arah Andini.
"Benar juga," kata Lian. "Kalau kamu sampai kelelahan takutnya bakal kenapa-napa sama janinnya."
"Aku punya ide, itu kalau kamu terima. Kalau tidak ya...sudahlah, bagiamana?"
"Apa itu?"
Ghea tersenyum sambil menegakkan alisnya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Sementara itu Tommy tampak sedang berada di depan sebuah peti mati. Peti mati anaknya, Alfred. Dia makin geram. Banyak orang yang tewas hanya karena mengejar Arci. Dia kini mulai tak lagi meremehkan Arci. Orang-orang tampak berkabung, mereka semua dari keluarga dan kerabatnya.
"Bos, ada kabar dari Arci," ujar salah seorang anak buahnya yang mendekat kepadanya sambil berbisik.
"Apa?" tanya Tommy.
"Raja Preman menyatakan mendukung Arci."
"Apa kau bilang? Bukannya ia netral?"
"Sepertinya Arci melakukan deal dengannya."
"Brengsek!"
"Tapi katanya begini, 'Jika ada yang berani mengganggu keluarga Arci, dia akan berurusan denganku'"
"Dia bilang begitu?"
"Iya."
"Ini tidak baik. Aku ingin bertemu dengan orang-orang Trunojoyo. Kalau mereka ingin perang, kita akan berikan perang. Aku tidak takut. Kita buat Malang banjir darah."
"Siap!"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Dua minggu, waktu yang cukup untuk melatihmu. Dari perkiraanku kamu telah dilatih sebelumnya. Tapi aku hanya akan mengajarimu tiga macam hal. Pertama aku akan mengajarimu cara untuk bertarung menghadapi masa keroyokan. Kedua aku akan mengajarimu cara untuk menaklukkan orang-orang. Ketiga aku akan mengajarimu cara untuk menjadi seorang pemimpin. Tiga hal ini akan aku ajarkan dalam waktu cepat."
Arci pun mulai belajar. Tak ada yang mengetahui bagaimana cara Yuswo mengajar Arci. Yang jelas. Tak terasa dua minggu pun berlalu dengan sangat cepat. Tommy mulai mengumpulkan kekuatan. Mereka benar-benar ingin agar Arci dan keluarganya binasa. Latihan Arci memang tidak biasa. Di pagi hari ia sudah harus berada di pasar, berkerumun dengan orang banyak. Dia diperkenalkan oleh Yuswo sebagai penerusnya. Dan semua orang harus patuh kepadanya. Dari sini Arci punya kekuasaan sekarang. Hampir separuh dari kota Malang ini mengetahui siapa dia. Rumor pun tersebar. Bergabungnya Arci dengan sang Raja Preman sampai terdengar ke telinga Letnan Basuki.
Ia menganggap ini kejutan karena Arci tak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Dia pun berpesan kepada anak buahnya untuk tetap waspada karena sebentar lagi pasti akan terjadi perang besar antara dua kekuatan.
Siangnya Arci berlatih. Dia berlatih dengan latihan yang tidak biasa. Dia wajib mengangkat lengannya dan tak boleh diturunkan. Dan dia harus masuk ke dalam sebuah barisan pedang kayu. Barisan pedang kayu itu harus ia lawan dengan apapun dan jangan sampai ia terkena satu pun. Hasilnya adalah ia babak belur ketika barisan pedang kayu yang digantung dengan menggunakan tali itu mengenainya. Kepalanya benjol-benjol terkena hantaman itu.
Malam harinya Arci diberikan arahan dari mana penghasilan sang Raja Preman dan bagaimana menarik simpati masyarakat. Selama tiga hari awal Arci benar-benar merasakan tubuhnya sakit semua. Tapi ia tahan. Seminggu kemudian tubuhnya mulai terbiasa. Dia mulai bisa beradaptasi dengan latihan yang diberikan oleh Yuswo. Bahkan ketika ia berlatih keroyokan pun, sekarang ia sudah tak lagi babak belur. Kemajuan yang sangat pesat.
Sementara itu group Trunojoyo telah bergerak. Mereka juga mengumpulkan preman-preman untuk bergabung dengan keluarga Zenedine. Bahkan mereka juga merekrut orang-orang baru. Letnan Basuki sebenarnya mencium adanya pergerakan aneh, beberapa truk berisi parang, clurit dan senjata-senjata tajam maupun senjata lainnya dipasok ke sebuah tempat. Beberapa amunisi dan senjata api dari Pindad dicuri. Hal ini semakin kuat mengindikasikan akan terjadi perang. Letnan Basuki secara sembunyi-sembunyi telah menempatkan anak buahnya ke sudut-sudut kota. Mereka semua menyamar, bahkan sebagian menjaga rumah Rahma yang sekarang ditinggali oleh Andini dan yang lainnya.
Anak buah Letnan Basuki bercerita, "Let, ada tiga kelompok yang mengawasi rumah itu. Kita, dan dua kelompok. Satu dari orang-orangnya Tommy, satunya lagi dari orang-orangnya Yuswo."
"Tetap awasi. Kita tak tahu apa yang akan terjadi nanti!" ujar Letnan Basuki.
"Anda yakin?"
"Yakin, kita tak boleh gegabah. Salah sedikit orang-orang yang tak bersalah bisa celaka."
"Siap Let!"
Tommy dan Agus pun bertemu akhirnya. Mereka berada di gedung PT Evolus. Keduanya mengumpulkan semua orang yang telah direkrutnya. Sudah hampir dimulai ternyata. Dengan bersatunya Arci dengan sang Raja Preman, apalagi grup Zenedine bergabung dengan grup Trunojoyo, maka ini semua mengindikasikan perang besar akan terjadi.
"Semua sudah siap?" tanya Tommy.
"Sudah!" jawab salah seorang anak buahnya.
Tommy menatap ke arah Baek, Tina dan Ungi. Baek sudah siap menerima perintah, Tina juga, dan Ungi anggota yang paling muda sibuk mengaca pada katana yang ia bawa.
"Kalian semua segera tangkap semua keluarga Arci, siapapun yang menghalang bunuh. Jangan beri ampun. Baek, Tina kalian pergi. Ungi kamu tetap di sini!" ujar Tommy.
Cowok dengan rambut acak-acakan bernama Ungi tersebut hanya diam sambil terseyum kecut. Wajahnya menunjukkan kebosanan yang amat sangat. Baek dan Tina kemudian menyingkir, semua orang pun mengikuti dia. Tommy dan Agus tersenyum melihat semua anak buah mereka pergi keluar. Mereka semua berpakaian necis, berkemeja putih, berdasi hitam dan berjas hitam. Mereka membawa senjata apapun, parang, pisau, kapak, tongkat baseball bahkan ada yang membawa senjata api.
Salah seorang informan polisi yang sedang berada di jalan dengan menyamar sebagai penjual nasi goreng tampaknya terkejut karena mendapati banyak lautan manusia keluar dari dalam halaman PT Evolus dan mereka membawa senjata semuanya. Dia langsung menghubungi Letnan Basuki.
"Let, perang akan dimulai, mereka bersiap!" kata penjual nasi goreng itu.
Letnan Basuki yang mendapati info ini segera beranjak dari tempat duduknya dan mengumpulkan semua anak buahnya. Seluruh anak buahnya dari pasukan khusus dan pasukan elit mulai bergerak. Mereka berbaris di halaman Polres Malang. Jumlahnya ratusan. Tidak cukup pasukan anti huru-hara saja yang akan bergerak, dari tim Gegana juga diturunkan.
Letnan Basuki mulai mengambil TOA. "Kalian semua, saya ingin menyampaikan sesuatu. Malam ini akan terjadi perang besar antar mafia. Mereka semua akan saling bunuh. Kita sebagai para penegak hukum wajib menghentikannya agar tak terjadi pertumpahan darah yang besar. Aku ingin kalian melindungi orang-orang yang tida bersalah. Mereka berbahaya, mereka adalah preman, pembunuh dan kriminal. Saya juga tak tahu apakah tindakan persuasif dibutuhkan. Tetapi kita sudah mendapatkan ijin dari Mahkamah Agung dan Kejaksaan bahwa kita boleh menggunakan peluru timah kalau sampai mereka berbuat nekat. Dan ingat jangan sampai peluru kalian nyasar ke rakyat sipil yang tidak bersalah. Kita harus menghentikan mereka semua sebelum terjadi bentrok. Apa kalian semua mengerti?"
"Siap mengerti!" seru semuanya.
Yuswo pun mendapatkan laporan tentang bergeraknya orang-orang Zenedine dan Trunojoyo. Maka dia pun menginstruksikan hal yang serupa. Karena ia tahu kemana mereka akan bergerak. Ke tempat keluarga Arci. Arci yang sudah menerima pelatihan terakhirnya sekarang sedang menunggu. Dua minggu lebih ia dilatih. Plus sebuah latihan khusus yang tidak pernah diajarkan oleh siapapun. Dia sudah mengira akan adanya penyerbuan. Makanya Arci seharian itu istirahat untuk mengumpulkan kekuatannya. Ia menghubungi Ghea untuk waspada karena malam ini akan terjadi peperangan besar.
"Kamu sudah saatnya bergerak. Mereka akan datang sebentar lagi," kata Yuswo.
Arci mengangguk. Ia pun berdiri. Mereka berada di teras rumah Yuswo.
"Anda tak ikut?" tanya Arci.
"Hahahahaha, sam, sam, kenapa aku harus ikut? Aku sudah tua. Energiku tak sekuat dulu ketika muda. Tapi itu, ambillah pedang itu!" Yuswo menunjuk ke sebilah katana yang masih tertutup sarung pedangnya.
"Katana?"
"Itu bukan katana biasa. Kamu pasti akan membutuhkannya. Kamu butuh persenjataan lain?"
"Mungkin."
"Darmo! Darmo!" suara Yuswo melengking.
Dari dalam rumah muncul seorang pembantu. "Iya mbah."
"Ambil kotak besar!" ujarnya.
Darmo sang pembantu yang awalnya terkejut, tapi melihat kesungguhan mata sang majikan ia pun pergi ke dalam. Tak berapa lama kemudian dia menggeret sebuah kotak besar yang digembok. Kotak yang mempunyai roda di keempat sudutnya itu pun sekarang berada di samping Yuswo duduk. Arci menebak-nebak isi dari kotak itu. Yuswo memberi aba-aba agar pembantunya itu membuka kotak tersebut. Darmo mengambil kunci dan membuka gemboknya. Dibukalah kotak itu.
Arci menelan ludah, ia tak menyangka Yuswo mempunyai ini semua. Dia melihat segala jenis senjata tertumpuk di kotak itu. Makanya sepertinya sangat berat tadi ketika Darmo menggeret kotak itu.
"Semua senjata dan amunisinya ada di kotak itu. Ambil sepuasnya," ujar Yuswo. "Ingat yah, aku hanya bisa membantumu sampai di sini. Semua anak buahku sudah siap menunggu instruksimu. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan."
Arci mengambil dua buah pistol yang cukup berat. Pistol yang dia ambil adalah Desert Eagle .50 AE Snakeskin atau disingkat DE50DS. Dia juga mengambil beberapa magazine. Dia mahir menggunakan pisau, maka dia ambil beberapa pisau baja hitam. Kemudian dia mengambil sebilah karimbit, dua buah granat dan sebilah kapak kecil. Arci kemudian mengambil katana yang ditunjuk oleh Yuswo.
"Ingat, gunakan sebaik-baiknya!" kata Yuswo.
"Iya, aku akan menggunakan dengan sebaik-baiknya," kata Arci.
"Aku telah memberitahukan kepada semua orang yang ada di luar gang sana. Hari ini, kau adalah raja preman. Pimpin pasukanku dengan bijak. Karena setelah ini aku tidak akan memimpinnya lagi, kaulah yang memimpinnya."
Arci menjabat tangan Yuswo, tidak hanya itu ia mencium tangannya sebagai bentuk hormat kepada orang tua sekaligus gurunya. Setelah itu Arci pergi.
"Mbah, nggak apa-apa membiarkan dia?" tanya Darmo. "Perang ini pasti sudah tercium oleh polisi kan? Bisa timbul banyak korban."
"Kamu tak akan ngerti. Dia sudah bosan hidup. Aku tak melihat pancaran kehidupan di matanya. Ia sudah ingin mati. Dan orang yang ingin mati, bakal sulit dikalahkan. Di dalam dirinya hanya ada dendam. Kamu sendiri lihat, dia berani korbankan apapun demi hari ini. Ah, dasar kunyuk!"
"Kenapa mbah?"
"Dia ngambil senjata kesukaanku."
"Maksud mbah? Yang mana?"
"Desert Eagle itu satu harganya dua puluh juta. Satu-satunya senjata resmi yang aku beli. Ah, persetan. Nasi sudah jadi bubur."
Arci berjalan menyusuri gang di rumah Yuswo. Sepatunya melangkah mantab. Ia tahu hari ini akan terjadi. Penentuan di mana ia akan menagih darah yang telah ditumpahkan oleh Tommy Zenedine dan Agus Trunojoyo. Arci melihat di depan gang. Orang-orang berpakaian preman tampak sudah menunggu. Mereka jumlahnya ribuan dan tentu saja mereka menyambut sang raja preman yang baru.
"Kalian siap?" tanya Arci.
"Ya bos, kami siap!" seru semuanya.
"Hari ini, mungkin kita akan mati. Jadi kalau ada yang takut mati silakan pergi! Kalau ada yang ingin lari dari perang nanti, aku tidak akan mengampuninya. Hari ini kita serbu PT Evolus!"
Semua orang bersorak. Arci melangkah maju sambil menenteng pistolnya. Dia yang memimpin ribuan pasukan preman ini. Jalanan malam itu menjadi mencekam. Para polisi sudah bersiaga di tempat di mana kedua kekuatan akan bertemu. Mereka menerjunkan panser-panser dan dengan cekatan memasang kawat berduri. Malam itu Malang menjadi mencekam, melebihi suasana ketika terjadi kerusuhan Mei tahun 98.
Kabar tentang akan adanya peperangan ini tampaknya membuat jalanan protokol sepi. Mereka sangat ketakutan. Bahkan beberapa arus lalu lintas di belokkan agar tak terlibat. Polisi mulai bersiaga saat pasukan gabungan dari Zenedine dan Trunojoyo terlihat. Begitu pula ketika pasukan yang dipimpin oleh Arci terlihat, mereka sudah bersiaga.
Di tengah jalan yang akan dilalui Arci Letnan Basuki tampak berdiri di sana. Dia berkacak pinggang tak ada penjaga, apalagi ia tak membawa senjata apapun. Arci terus berjalan menghampirinya hingga berhenti di depannya.
"Arci, kau tak perlu melakukan ini. Kau tahu, kalau kamu melakukan ini kau bisa dihukum berat," ujar Letnan Basuki. "Ayolah, kamu orang baik. Aku yakin itu, sudahi balas dendam ini. Kembalilah ke keluargamu!"
Arci menatap mata Letnan Basuki tanpa berkedip, "Letnan, jaga keluargaku!" Hanya itu yang disampaikan oleh Arci. Dia melewati Letnan Basuki begitu saja. Kemudian orang-orang yang ada di belakangnya juga melewati sang polisi.
"Brengsek!" umpat sang polisi itu. Segera ia berlari ke arah lain menuju ke mobilnya. Dia menginstruksikan anak buahnya untuk bersiaga melalui radio, "Cegah mereka, mereka akan bertemu di jalan Ahmad Yani, di flyover! Cegah mereka. Tembakkan apa saja, gas air mata kek, peluru beneran kek. Cepat!" Pasukan Tommy terbagi menjadi dua, mereka yang menuju ke rumah Rahma dan satunya yang ingin menggempur pasukan Yuswo. Arci juga membagi pasukan menjadi beberapa bagian. Satu melindungi keluarganya, yang lainnya ikut dia. Dan satu lagi untuk mencegah agar pasukan Tommy lari. Malam itu preman-preman tidak tidur. Sorenya mereka sudah galau. Mereka sebenarnya khawatir dirinya akan mati malam itu. Tapi itu tak menjadi masalah, hidup sebagai preman, mati sebagai preman apa bedanya? Daripada mati di tangan timah panas polisi, mereka lebih baik mati berkelahi dengan orang lain. Para preman stasiun yang biasanya mangkal sebagai tukang parkir, sebagai penjual gorengan, sebagai polisi cepek dan berbagai profesi yang mereka tekuni malam itu bangun. Mereka mengejutkan istri-istri dan anak-anak mereka. Dan pesan mereka kepada keluarganya adalah "Kalau pagi aku tidak pulang, tolong jangan cari aku. Mungkin aku sudah pergi." Kurang lebih semua suami yang berpesan kepada istrinya seperti itu.
Ghea, Andini, Lian dan Rahma tampak bersiap. Sedari siang mereka tak bisa keluar rumah karena ratusan orang berpakaian preman sudah berjaga-jaga di sana. Mereka semua adalah para preman yang ditugaskan oleh Yuswo. Ditambah lagi para polisi yang juga sudah bersiaga dari kemarin-kemarin kini mulai bersiap. Mereka memakai rompi anti peluru dan berbagai persenjataan.
Semua toko tiba-tiba tutup lebih awal. Beberapa orang swadaya masyarakat tampak berjaga-jaga sebagai keamanan. Mereka juga takut kalau-kalau terjadi sesuatu. Para polisi sudah menyebar pasukannya di mana-mana. Bahkan pasukan anti huru-hara sudah bersiap dengan tameng dan tongkat pemukulnya di sepanjang jalan Ahmad Yani. Mobil ambulance dan pemadam kebakaran di kerahkan. Malam itu keadaan benar-benar mencekam.
Arci menelpon istrinya.
"Halo?!" sapa Arci.
"Sayang, kamu di mana? Aku tak bisa keluar ada orang-orang yang mencegah kami keluar. Katanya kami harus tinggal di dalam rumah!" ujar Andini.
"Iya, mereka orang-orangku. Bertahanlah! Aku akan membuat perhitungan dengan mereka semua," ujar Arci.
Andini membalas, "Tidak! Hentikan semua ini. Kamu suamiku, aku tak mau terjadi apa-apa denganmu! Ayo kita pergi sayang, kita sudahi semua ini. Hentikan balas dendam ini."
"Aku tak bisa."
"Kenapa?"
"Aku hidup lebih lama bersama kakakku. Dia berkorban banyak buat kami. Bahkan demi agar diakui keluarganya dia rela menyumbangkan ginjalnya untuk ayahnya tapi itu tidak diakui. Akhirnya hanya aku yang bisa mengakui dirinya. Hanya aku yang bisa memberikan kehidupan untuknya. Ada alasan kenapa dia mencintaiku, ada alasan kenapa aku juga mencintai dia. Dia bukan sekedar kakak buatku. Kau juga tahu itu. Itulah alasannya kenapa aku tak bisa berhenti. Apalagi ketika dia harus tewas di depan mataku sendiri, terlebih dia juga mengandung anakku."
"Apa?"
"Ya, dia tewas saat mengandung anakku. Karena itulah aku tak akan memaafkan mereka. Aku sudah bersumpah akan menjadi vampir malam ini. Aku akan hirup darah mereka. Aku akan habisi mereka semua sampai mereka menyesal telah hidup."
"Sayangku....aku tak tahu...."
"Sabarlah, aku akan pulang. Kalau toh aku tidak pulang, kamu jangan khawatir. Aku akan pergi ke tempat di mana orang yang aku cintai berada."
"Ajaklah aku!"
"Aku tidak ingin mengajakmu. Kamu harus hidup."
"Aku juga tidak akan bisa hidup, aku hamil...."
DEGG!
Tangan Arci gemetar. "Apa tadi yang kamu bilang?"
"Aku hamil," kata Andini sambil terisak.
"Katakan sekali lagi?!"
"Aku hamil."
"Kenapa kamu tak bilang?"
"Aku akan bilang kepadamu."
Arci entah bahagia atau bersedih. Ia tak tahu yang mana yang benar dan yang salah sekarang. Di hadapannya sudah ada barikade polisi. Polisi benar-benar sekarang berada di tengah dua kekuatan.
"Sekarang belum terlambat. Sudahi ini semua sayangku, pulanglah! Ayo kita hidup menyendiri, menjauh dari semua. Kita hidup di sebuah gubuk kecil, dengan anak-anak kita. Jauhi ini semua."
Tangan Arci gemetar. Dia tak pernah menyangka akan seperti ini. Air matanya meleleh.
"Demi anak kita suamiku, jangan lakukan ini!"
Pasukan Arci berhenti menunggu aba-aba Arci. Arci memejamkan mata. Apa yang harus dia lakukan? Apa yang harus dia lakukan? Ia sudah berjalan jauh. Dan ini di depannya. Sudah ada pihak kepolisian menantang dirinya. Dan di seberang sana ada pasukan dari Tommy.
"Mundur! Kalau tidak kami akan menembak! Kalian harus membubarkan diri secepatnya!" tampak suara keras dari salah satu polisi terdengar jelas. "Kami hitung sampai sepuluh hitungan!"
"Cici, itu apa? Suara apa itu?" tanya Andini.
"Polisi. Mereka akan membubarkan kami," jawab Arci.
"Tidak mungkin! Sudahilah, kumohon aku sangat khawatir. Pulanglah!"
"Aku tidak bisa. Belum bisa," Arci segera menutup teleponnya.
Andini menjerit histeris. Ghea yang menyadari hal itu hanya bisa menghela nafas. Berat bagi Arci, berat bagi Andini. Lian berusaha menenangkan Andini. Rahma pun ikut menenangkannya.
"Sudahlah, kita hanya bisa berharap Arci pulang dengan selamat," kata Lian.
"Dini, yang tabah ya?!" kata Rahma.
"Kalian tak perlu khawatir. Arci bukan orang yang akan jatuh begitu saja. Dia pernah melewati masa-masa kritis, dia telah melewati banyak cobaan. Dia lelaki tampan yang paling kuat yang pernah aku kenal," kata Ghea.
"Ghea?" gumam Andini.
"Perlu kalian ketahui, aku juga berharap ia selamat. Tapi aku tak pernah menyerah akan berharap kepadanya. Kamu adalah orang yang paling ia cintai. Kamu harusnya yakin!" kata Ghea sambil memegang bahu Andini. "Ini!" Ghea memberikan sebuah senjata kepada Andini. "Pakai pistol ini, kamu harus kuat. Sebagai istri seorang bos mafia kamu harus kuat. Tembak siapapun yang ingin mendekat kepadamu. Malam ini kita akan mati. Jadi jangan berharap untuk bisa hidup esok hari."
Andini berkaca-kaca, air matanya meleleh. "Ghea, terima kasih..."
"Kalian adalah keluargaku juga. Aku tak akan membiarkan siapapun mendekati kalian," kata Ghea.
Sementara itu Arci menyimpan ponselnya. Dia menatap ke arah para polisi yang sudah bersiaga. Dia memberi aba-aba.
"Ingat, kita tak bisa kembali lagi. Maju atau mati!" teriak Arci.
HIIYYEEEE! teriak semua orang.
"Tujuh, Enam, Lima, Empat, Tiga, Dua, Satu! Waktu habis!" seru suara polisi di TOA.
Tak berapa lama kemudian pasukan anti huru-hara mulai maju menuju ke arah Arci. Tapi Arci belum memberi aba-aba menyerang. Sementara gas air mata sudah dilontarkan. Beberapa orang langsung mengoleskan pasta gigi di bahwa mata mereka dan memakai masker. Arci mengeluarkan topeng gas dan memakainya. Beberapa orang yang membawa topeng gas pun langsung memakainya. Di tempat lain, di mana pasukan Tommy sekarang juga memakai topeng gas. Mereka kemudian langsung bentrok dengan polisi.
Arci memberi aba-aba untuk maju. Tapi bukan maju secara fisik, para preman melemparkan sesuatu.
BANG! BANG! DOR! RATATATATATA!
Ternyata mereka melemparkan petasan. Hal itu membuat para polisi kalang kabut. Pasukan anti huru-hara kocar-kacir karena lemparan petasan itu. Arci pun langsung berlari menuju ke arah para polisi yang kalang kabut itu. Akhirnya terjadilah bentrok. Tiga pasukan pun bertemu, mereka saling serang, saling pukul,s saling bantai. Keadaan kacau sekali. Arci tak segan-segan membalas serangan para polisi. Mereka juga bertahan ketika dua kekuatan saling bertemu, tapi karena kekuatan pasukan anti huru-hara ini sedikit akhirnya mereka pun terdesak. Pasukan Gegana yang diterjunkan pun tak bisa berbuat banyak terlebih salah satu preman membawa RPG dan menembakkan RPG itu ke arah salah satu mobil panser hingga mobil panser itu bersalto di udara.
Tembakan pistol dan ledakan granat membahana. Malam itu Malang terjadi perang. Listrik di sepanjang jalan Ahmad Yani dipadamkan. Beberapa di antaranya takut dan lari terus dikejar. Para polisi makin terdesak, hingga akhirnya pasukan Tommy dan pasukan Arci bertemu. Mereka pun bertarung satu sama lain. Para polisi tak bisa berbuat banyak dan mereka meminta bantuan.
Arci mempraktekan apa yang telah ia pelajari bertarung keroyokan. Dia mengambil senjata polisi yaitu tongkat pemukul dan menghajar siapapun yang ada di depannya. Semua yang terkena pukulannya pasti tumbang. Setiap orang mendapatkan paling sedikit dua pukulan, perut dan kepala, perut dan kepala, kaki dan kepala. Arci terus mengalahkan setiap orang yang dilewatinya sekalipun mereka bersenjatakan parang dan pipa besi.
"Pergi ke sana, dapatkan wanita itu! Mereka butuh bantuan" seru seseorang.
Arci mendengarkannya. "Wanita itu" mungkinkah Andini? pikirnya. Ia segera melihat banyak sekali pasukan dari Tommy berbelok ke sebuah gang. Arci pun segera mengejarnya. Tak salah lagi mereka ingin menangkap keluarganya. Arci segera menelpon Ghea.
"Ghea!?" sapa Arci.
"Ya?!" jawab Ghea.
"Bagaimana keadaan di sana?" tanya Arci.
"Kacau, di sini terjadi perang! Kami bertahan di rumah!" jawabnya.
DOR! DOR! DOR! DOR! Terdengar suara tembakan.
"Apa itu?" tanya Arci.
"Mereka menyerang dengan banyak senjata, pertahanan terakhir kita hanya menggunakan pistol in...auhh!" suara Ghea terputus.
"GHEA! GHEA!" teriak Arci. Arci pun segera berlari menuju rumah Rahma yang letaknya memang tak begitu jauh dari tempat pertempuran ini. "Tidak, tidak, tidak, aku tak mau kehilangan kalian. Aku tak mau. Aku tak mau!"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Rusuh, itulah yang terjadi. Terlebih ketika dua orang assasins suruhan Tommy tiba di tempat Andini dan yang lainnya berada. Baek dan Tina. Para polisi dan preman-preman yang berjaga melindungi rumah Rahma tak ada yang diberi ampun. Mereka semua dibantai. Ghea baru menyadari siapa lawan mereka.
"Ini tidak baik," kata Ghea.
"Ada apa?" tanya Andini.
"Mereka bukan orang biasa, mereka pembunuh bayaran nomor satu. Kalian segera pergi tak ada yang bisa melawan mereka!" kata Ghea.
Telepon Ghea berbunyi. Ghea segera mengangkatnya.
"Ghea!?" sapa Arci.
"Ya?!" jawab Ghea.
"Bagaimana keadaan di sana?" tanya Arci.
"Kacau, di sini terjadi perang! Kami bertahan di rumah!" jawabnya.
Ghea menembakkan senjatanya DOR! DOR! DOR! DOR!
"Apa itu?" tanya Arci.
"Mereka menyerang dengan banyak senjata, pertahanan terakhir kita hanya menggunakan pistol in...auhh!" Ghea memekik ketika sebuah pisau kecil menancap di punggung tangannya. Tampak Tina yang dari kejauhan memainkan pisaunya mulai merangsek masuk.
"Lari!" seru Ghea. Andini yang memegang pistol pun tak punya pilihan lain. Dia sama sekali belum menembakkan satu peluru pun. Andini dan yang lainnya segera keluar lewat pintu belakang. Singgih dengan kursi rodanya didorong oleh Rahma. Andini, Lian dan Putri segera berlari keluar rumah, tapi ketika Singgih dan Rahma keluar sebuah tendangan menghantam tubuh Singgih hingga dia yang tak mempunyai kaki dan tangan langsung mendarat seperti bantal ke tanah. Rahma pun terhantam hingga mental ke dalam rumah lagi. Andini berbalik dan melihat keadaan. Dia membidik Baek.
"Pergi dari dia, kamu mengincar aku bukan?! Sini kamu! Aku akan menembakmu!" kata Andini.
Baek menginjak-injak tubuh Singgih. Singgih hanya bisa mengerang kesakitan. Ia tak bisa berbuat banyak dengan tubuhnya yang cacat. Ia hanya berteriak, "Rahmaaa! Rahmaaa!"
Melihat Andini menantangnya, Baek segera menghampiri Andini. Andini berusaha menarik pelatuknya tapi susah. Apa yang terjadi? Bahkan sekarang Baek sudah mendekat persis di depannya hingga moncong pistolnya tepat berada di dada Baek. Baek tersenyum geli.
"Bagaimana kamu bisa menembak kalau masih kau kunci?" tanya Baek. Andini terkejut. Baek memberikan hantaman ke perut Andini hingga Andini tak bisa bernafas. Lian yang melihatnya segera menolong Andini tapi dia terkena tamparan Baek hingga ambruk ke tanah. Rahma yang baru bangun segera mengambil sapu dan menerjang Baek, lalu ia memukulkan sapu itu ke kepala Baek. Kayunya patah tapi Baek masih baik-baik saja. Baek berbalik.
Dia kemudian mengapit leher Rahma dengan siku lengan bagian dalam lalu memelintir leher Rahma hingga berbunyi KRAAK! lalu tubuh Rahma dilempar begitu saja ke tanah. Mata Rahma melotot, ia sudah tak bernyawa dengan gerakan Baek tadi.
Singgih histeris, "Rahmaaa! TIDAAK! Rahmaaaa!" Dia berusaha menggapai tubuh Rahma dengan kekuatan seadanya. Ia berjalan seperti penyu, merayap.
Baek meninggalkan Singgih yang histeris. Dia kemudian menggelandang tangan Andini dan Lian. Dia menyeret tubuh kedua wanita yang pingsan itu. Tapi di tengah jalan, tampak Putri dengan membawa tongkat menghalangi Baek.
"Lepaskan ibuku! Lepaskan!" kata Putri. Dia segera memukul-mukul Baek. Baek tak merasa sakit, bahkan dengan tendangan keras ia menendang perut Putri hingga ia terpental dan menghantam sebuah kotak kayu yang di atasnya ada tumpukan kasur busa yang memang dijemur oleh para tetangga. Putri pun pingsan.
Sementara itu Ghea terlibat perkelahian sengit dengan Tina. Tina mahir memakai pisau. Tidak, bahkan keduanya mahir. Bedanya adalah Tina mahir menggunakan pisau terbang berukuran kecil, sedangkan Ghea mahir menggunakan pisau yang lebih besar. Terjadilah adegan melempar pisau yang dilakukan oleh Tina. Tapi karena ini pertarungan jarak dekat, akhirnya Tina dan Ghea saling membenturkan pisau mereka. Pisau Tina adalah pisau baja sepanjang dua puluh senti yang biasanya digunakan di bayonet. Sedangkan Ghea lebih ke pisau belati yang biasanya digunakan oleh tentara seperti satuan elit.
TRANG! TRANG! TRANG!
Suara pisau mereka sangat nyaring. Sekilas Ghea menoleh ke arah Baek yang telah berhasil menyeret Andini dan Lian. Ia pun makin frustasi. Tina berhasil menyabet perutnya. Ghea mulai meliuk-liukkan pisaunya, dia terus mendesak Tina. Tina tak tinggal diam, ia juga sesekali melemparkan senjata rahasianya, satu pisau menancap di bahu Ghea. Ghea mencabutnya dan melempar balik, Tina menangkisnya, itu membuat Tina hilang konsentrasi sehingga sebuah tendangan tanggung menghantam dada Tina hingga ia terpental ke meja kaca yang ada di dalam rumah. Kaca pun berhamburan karenanya.
Tina berguling, tampak pinggangnya tertancap kaca. Ia pun mencabutnya lalu dibuang. Darah mengalir dari lukanya. Demikian juga Ghea. Perempuan berambut merah ini sudah bersiap dengan kuda-kudanya walaupun tangannya berkedut karena sakit akibat tertancap pisau tadi.
"Kita tak bisa keluar hidup-hidup dari tempat ini," kata Ghea.
"Hehehehe, aku tak peduli. Ternyata aku tak salah memilih lawan. Kamu hebat!" kata Tina.
Ghea kemudian menerjang Tina. Tina pun menangkap Ghea, keduanya masih menghunuskan pisau mereka dan saling mendorong dengan pisau masing-masing. Tiba-tiba tubuh Ghea meloncat ke atas. Tina sedikit kaget, belum sempat kekagetannya hilang tiba-tiba sebuah lutut langsung mengarah ke dadanya dua kali. Hal itu seketika membuat kantong paru-parunya kosong. Tina kehilangan nafas. Ia langsung mundur.
Ghea, belum selesai sekali lagi dia menekuk lengan sikunya, kakinya juga ditekuk, ini adalah kuda-kuda Muay Boran. Dia mendekat dengan kaki merendah ke arah Tina. Dan tanpa Tina sadari Ghea melompat lagi, kini lututnya tiba-tiba sudah berada di telinganya, menghantam kepala bagian kiri. Tina terhuyung ke kanan. Bagai slow motion, Tina berusaha bertahan agar tak jatuh, belum sempat ia menahan keseimbangannya, Ghea sudah menendang ulu hatinya, membuat cewek assasin ini terhempas ke tembok.
Tina memijat-mijat dadanya yang sakit. "Muay Boran?"
"Kamu kira aku hanya belajar satu ilmu beladiri? Kamu salah!" ujar Ghea. Dia pun melemparkan pisaunya, saat bersamaan dengan sisa-sisa tenaganya Tina juga melemparkan pisaunya hingga kedua pisau itu saling menghantam dan tersebar ke arah yang berbeda.
Tina mendorong tubuhnya dari tembok hingga seakan-akan ia melesat terbang ke arah Ghea. Ghea sudah siap, ia memantapkan kuda-kudanya kemudian merendahkan tubuhnya lalu menerima tendangan Tina dengan tangkisan siku di kaki dan lengannya. Hantaman kaki Tina membuat Ghea mundur beberapa langkah. Tak butuh waktu lama, ia segera melakukan counter attack, kemudian menyapu kaki Tina dan dengan tendangan memutar lagi kepala Tina dijadikan sasaran empuk tendangan Ghea yang ternyata adalah spinning kick. Tina terhempas ke kiri.
Cewek Assasins ini segera berdiri, belum sempurna ia berdiri Ghea sudah melompat ke arahnya dan mendaratkan sikunya tepat ke arah kepala Tina. Jurus ini sungguh telak, Kepala Tina langsung robek bersamaan itu tulang tengkoraknya retak. Tina terhuyung-huyung, Ghea mendarat di depannya dan mengambil sebuah pisau kecil yang disimpan Tina di kakinya. Ghea lalu menusukkan pisau itu tepat ke dagu cewek Assasins ini dan merobeknya. Terakhir ia mencengkeram kepala Tina dan menghadiahi lututnya hingga cewek ini terhempas ke lantai.
Pertarungan ini dimenangkan oleh Ghea. Tina tewas di tempat dengan leher robek dan wajah bonyok. Ghea teringat dengan Andini segera ia mengejar ke mana Baek tadi membawa Andini dan Lian. Ghea terus berlari mengejar Baek yang sudah tak kelihatan lagi. Kemana ia harus mengejar?
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci telah sampai di muka gang. Di sana mayat-mayat bergelimpangan, dari mulai polisi sampai para preman. Dan yang lebih mengejutkan lagi ia melihat Andini dan Lian diseret oleh Baek dari kejauhan. Baek menuju ke sebuah mobil SUV. Dengan kasar ia melempar Andni ke dalam mobil juga dengan Lian.
Melihat itu Arci segera berlari. "Berhenti! Berhenti kataku!"
Ghea berjumpa dengan Arci. Arci melihat Ghea terluka bahu dan perutnya. Darah mengalir dari kedua luka itu. Tapi Ghea merasa tak apa-apa. Keduanya berlari mengejar mobil itu sambil menyerang orang-orang yang berusaha menghalangi langkah mereka.
"Aku tahu kemana mereka pergi," kata Arci.
"Kemana?" tanya Ghea.
"PT Evolus!"
Dan mereka berdua pun membajak sebuah mobil, kemudian segera menuju ke perusahaan textil milik keluarga Zenedine.
* * *
Letnan Basuki yang melihat kekacauan ini mendapati Arci yang tampak masuk ke sebuah mobil bersama Ghea. Dia pun segera mengambil sebuah motor milik kepolisian. Dia pun mengejar Arci. Letnan Basuki benar-benar tak habis pikir akan terjadi seperti ini. Semuanya kacau, rusuh, dan ini semua hanya sebuah perebutan harta.
"Kamu terluka?" tanya Arci yang khawatir kepada Ghea.
"Aku tak apa-apa," jawab Ghea.
"Yakin?"
"Sudah kemudikan saja!"
Arci mengemudikan mobilnya dengan kesetanan. Bahkan lampu merah pun ia terobos. Baek sudah masuk ke dalam halaman perkantoran PT Evolus. Tak berapa lama kemudian Arci pun menyusul. Melihat Baek menyeret Andini dan ibunya Arci tampak sangat marah, ia pun menghantamkan mobil yang ia kendarai ke mobil SUV yang dikendarai oleh Baek.
BRRAAAKKK!
Suara hantaman keras itu mengejutkan Baek. Segera para penjaga yang ada di tempat itu menuju ke arah Arci. Arci menyerahkan salah satu pistol Desert Eagle-nya kepada Ghea dan dua magazinenya. Arci dan Ghea segera keluar dan menembaki para penjaga. Arci dan sepupunya segera masuk ke dalam kantor. Terjadi baku tembak. Beberapa orang petugas keamanan menjadi korban. Sekarang ini Arci lebih prioritas untuk menyelamatkan Andini. Ia tak mempedulikan apa yang ia lakukan.
Saat Arci dan Andini sampai di depan lift mereka terlambat karena Baek sudah naik ke atas sambil melambai kepada Arci. Dan di hadapan Arci sekarang ada puluhan orang yang menghadang keduanya.
"Brengsek, kenapa mereka banyak sekali?" gumam Arci.
"Sepertinya tak ada gunanya kita memakai senjata api di sini," kata Ghea.
"Kau benar," kata Arci. Ia menyimpan lagi senjata mahal itu. Sebagaimana janji dia kepada Yuswo untuk mengembalikannya. Dia memberikan katana yang ia bawa kepada Ghea. "Gunakan ini!"
Ghea menerimanya. Arci mengeluarkan kapak yang ia bawa sejak tadi. Ghea melepaskan jaketnya, dia kemudian membalut luka di perutnya dengan jaket itu agar rasa nyerinya reda. Ia sekarang terlihat memakai kaos singlet You-can-see berwarna hijau dengan bra yang tercetak jelas. Punggung Ghea dan Arci saling bersandar. Mereka kini dikepung oleh puluhan orang dengan senjata tajam mereka.
"Katakan kepadaku!" kata Ghea. "Apa kamu menyesal mengenal keluargaku?"
Arci menggeleng, "Tidak. Tapi kehidupan seperti ini jauh lebih menarik."
"Maafkan aku yang telah membawamu jauh ke tempat ini, rasanya aku makin berdosa," kata Ghea.
"Tak perlu merasa bersalah! Aku sudah terlalu jauh masuk, aku akan menikmatinya. Setidaknya statusku sekarang tak bisa dianggap remeh sebagai raja preman."
"Kau sinting!"
"Kita bukankah pasangan yang sinting?"
Mendengar kata "pasangan" membuat wajah Ghea memerah. Tapi rasanya adrenalinnya lebih terpacu untuk bertarung daripada merasakan debar-debar cinta yang dirasakannya sekarang. Ghea tersenyum. Ia sudah siap dengan katana di tangannya.
"Arci, boleh minta satu hal?" tanya Ghea.
"Apa?"
"Kalau kita berdua masih hidup setelah ini, jadikanlah aku istrimu!"
"What? Apa yang kau katakan?"
"Dengarlah, di dunia ini tak ada lelaki yang cocok denganku. Tak ada sama sekali yang bisa menerima Ghea. Tak masalah, kamu sudah beristri atau tidak. Kabulkanlah permintaan terakhirku ini. Aku siap menjadi nyonya Arczre!"
"Kau sinting. Aku sudah katakan kalau..."
"Cukup! Aku tahu, cinta tak bisa dipaksa. Dan aku tak ingin hidup terus dengan sakit hati karena kamu menolak cintaku. Bullshit semua itu. Kita deal?"
"Ini nggak mudah."
"Deal?"
"Arghh...whatever, deal!"
"I love you, Handsome!" bisik Ghea.
Puluhan orang yang mengepung Arci dan Ghea langsung serentak menyerang mereka. Arci pun mempraktekkan apa yang telah ia pelajari bersama Yuswo, bertarung dalam keroyokan. Arci menganggap semua orang yang menyerang dia adalah pedang-pedang kayu yang menjadi latihannya, ia bisa menangkis dan menyabetkan kapaknya. Ia memutar-mutar kapak itu seperti baling-baling hingga tak ada satu pun orang yang bisa menghindar dari sabetan kapak itu. Begitu juga Ghea, ia dengan lihai memainkan katana yang ia pegang sekarang. Akibat dari sabetannya banyak orang yang kehilangan lengan dan jarinya. Perutnya robek, badannya robek, tertusuk. Bukan, karena Ghea expert dalam memainkan pedang, tapi ada sebuah kekuatan baru di dalam dirinya yang bangkit. Kamu bisa menyebutnya kekuatan cinta kalau mau.
Singkat cerita puluhan orang itu pun akhirnya bisa ditaklukkan dengan sisanya lari tunggang langgang setelah melihat teman-temannya terkapar oleh aksi dua monster ini. Tubuh Arci bertambah lukanya karena beberapa sabetan parang mengenai punggungnya dan dadanya, tapi lukanya tak begitu dalam. Agaknya Ghea tidak demikian. Pahanya berdarah, tampaknya lukanya cukup dalam.
"Kamu tak apa-apa?" tanya Arci memberikan perhatian kepada Ghea dengan memegang bahunya.
"Fuck off!" jawab Ghea.
"Kondisimu seperti ini, sebaiknya aku sendirian saja yang berangkat ke atas," kata Arci.
"Kamu tak akan sanggup. Kita sama-sama," kata Ghea.
"Tidak, kamu di sini. Dengan luka seperti ini kau tak akan sanggup!" kata Arci.
"Kamu juga terluka."
"Ini tak seberapa, lukamu dalam!"
"Luka hati lebih sakit daripada luka ini."
Arci menghela nafas. "Terserah deh. Ayo!"
Kedua saudara sepupu ini pun berjalan menuju ke lift. Arci masih memegang kapaknya yang sekarang berlumuran darah. Ghea juga memegang katananya yang berlumuran darah. Mereka berdua menuju lantai teratas, tempat di mana Tommy dan Agus Trunojoyo berada.
Aku adalah cintamu
Selamanya.....
Andini tersenyum pagi itu. Kicauan burung dan matahari masuk melalui jendela ruang tengah rumah Rahma. Tadi malam sungguh luar biasa. Ini kedua kalinya mereka berhubungan badan. Teringat dalam benak Andini, bagaimana Arci bermain penuh nafsu tadi malam. Dia diguling-gulingkan seperti bantal, Arci benar-benar membuat ia KO. Walaupun tidur di ruang tengah dengan kasur tipis, tapi mereka berdua cukup bahagia.
"Sayang, bangun!" bisik Andini.
"Hmm....," jawab Arci.
"Kamu capek?" tanya Andini. "Aku buatin teh hangat yah?"
"Hmmm..."
Begitu Andini beranjak Arci menahan tangannya. "Ntar dulu, temeni aku lagi!"
"Ihh...udah pagi ini, matahari udah terbit. Mau bangun jam berapa?"
"Oh ya? Ah jam enam yah?"
"Tadi Rahma ngajak jalan-jalan suaminya, Ibu ama Putri belanja."
Arci menarik tangan Andini hingga istrinya itu ke pelukannya lagi. "Lagi yuk?"
"Udah dong say, ntar kalau mereka datang gimana?"
"Peduli amat."
"Udah aaaahh!"
Arci kemudian mengecup bibir Andini. Keduanya berpagutan. Andini menjauh dari wajah Arci.
"Kenapa?" tanya Arci.
"Bau acem," jawab Andini.
Arci tertawa geli. Ia segera memeluk istrinya. "Kalau gitu mandi bareng yuk?"
"Hmm?? Mandi apa mandiii?"
"Mandi sambil ehm-ehm...."
"Hihihihi, dasar. Bener berarti yah kata orang. Suami itu ibarat anak kecil berbadan gedhe."
"Bodo amat, aku kangen susumu."
"Kamu mau nyusu?"
Arci mengangguk.
"Sambil mandi?"
Arci mengangguk lagi.
"Yuk, tapi cepet yah, takut kalau yang lain dateng."
Mereka berdua pun beranjak. Tapi sebagai pengantin baru, maklum saja kalau mereka berdua sedang di masa gairah. Gairah sex-nya meluap-luap. Arci tak sabar. Ia pun mencium Andini, mereka terus berpagutan sambil berjalan menuju kamar mandi. Kegiatan mereka sebenarnya ada yang melihat, siapa lagi kalau bukan Ghea. Dia ada di teras dan mengintip apa yang dilakukan oleh sepupunya itu. Dan ia sangat cemburu. Ia memejamkan mata dan menahan seluruh gejolak yang ada di dadanya.
"Arci, aku tak bisa mencari lelaki lain. Aku mencintaimu selamanya....," bisik Ghea. "Dan maafkan aku Andini, aku tak bisa menghilangkan perasaan cintaku kepada suamimu."
Sementara itu Arci dan Andini sudah berada di kamar mandi, pakaian mereka pun sudah dilepas. Arci tak henti-hentinya mengenyot puting Andini. Wanita ini kini pasrah apapun yang dilakukan suaminya. Ia juga menikmatinya. Bahkan sekarang dia ingin agar Arci terus melakukan itu. Perlahan-lahan keran shower dinyalakan, keduanya pun diguyur air. Sensasi berpagutan di bawah pancuran air memang berbeda.
Andini membasuh tubuh Arci, seluruh otot-otot Arci dibasuh dari kepala, telinga, leher, dada, perut hingga di daerah vital bagian bawah di mana batangnya sudah mengacung keras. Ereksinya sampai menyentuh perut Andini. Arci merasakan nikmat ketika batang itu diurut. Kocokan lembut Andini membuat dia merasakan nikmat yang luar biasa.
"Enak sayangku?" tanya Andini.
"Iya"
Arci juga kini membilas tubuh istrinya, mulai dari lehernya yang jenjang ada bekas cupangan di sana, akibat ulahnya. Kemudian buah dadanya yang juga ada bekas cupang di sana. Andini benar-benar terangsang dengan usapan lembut Arci, hingga jari telunjuk Arci sekarang juga mengobok-obok belahan vaginanya. Keduanya sama-sama merangsang saling memberikan setruman-setruman di setiap sentuhannya.
Andini menggigit bibir bawahnya, hal itu membuat Arci lebih gemas lagi karena gigi Andini yang tampak seperti kelinci itu sangat menggairahkan untuk dijilat. Akhirnya bibirnya pun memagut. Tangan Arci satunya meremas-remas bongkahan pantat Andini.
"Ci, aku udah kepengen banget," bisik Andini.
Akhirnya Arci membalikkan tubuh Andini. Pantat Andini menungging dan ia menyandarkan tangannya ke dinding kamar mandi. Mudah bagi Arci untuk masuk karena pelumasnya sudah banyak. Ia pun menggoyang tubuh seksi istrinya. Kepala penisnya menggesek liang senggama Andini. Andini pun menjerit keenakan ketika gesekan demi gesekan menghantarkan kenikmatan surgawi yang tak bisa ia lukiskan dengan kata-kata. Arci meremas-remas toket Andini yang sangat ia sukai itu. Andini pun makin membusung, Ia menoleh ke belakang, Arci pun menciumi bibirnya dan lidah mereka saling menjilat.
Sungguh mungkin kalau ada orang yang menyaksikan pergumulan panas mereka pasti juga akan merasakan gelora birahi. Suara kecipak pertemuan pantat dan selakangan itu benar-benar menggairahkan, terlebih banjir lendir dari kemaluan Andini menandakan wanita ini benar-benar sudah terangsang sekali. Arci mengusap-usap tubuh Andini yang lain, yaitu pinggang dan perut sambil terus ia pompa batangnya keluar masuk. Kepalanya pun menyusup ke ketiak Andini dan menghisapnya kuat. Andini mengelinjang kegelian. Ia makin basah dan makin gatal. Tidak bahkan ia makin geli. Pantatnya pun ikut bergoyang mengimbangi gesekan batang kejantanan Arci.
"Ehhmm...ohhh....sayangku, enak sekali..." racau Andini.
"Peret banget memekmu sayangku!" ujar Arci.
Sementara itu Ghea masuk ke dalam rumah dan menguping apa yang dilakukan oleh Arci dan Andini. Ia pun memasukkan tangannya ke dalam celananya dan menggosok-gosok belahan kemaluannya. Tampaknya ia sangat rindu dimasuki lagi oleh Arci. Dan dia pun sekarang membayangkan dirinya sedang disetubuhi oleh Arci. Ghea berusaha agar tak bersuara ketika ia mastrubasi. Mendengarkan suara desahan suami istri itu saja membuat ia terangsang. Apalagi lelaki itu adalah orang yang ia cintai.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Apa yang akan kita lakukan kepadanya?" tanya Michael.
Lian pun tersadar. Tapi tangan dan kakinya sudah terikat. Ia melihat Alexandra ada di hadapannya.
"Hai pelacur, kita ketemu lagi!" kata Alexandra.
PLAK! Tamparan keras mengena ke pipi Lian.
"Brengsek! Bajingan, lepaskan Andini! Kalau kalian menginginkan aku sakiti aku saja, tapi lepaskan dia!" kata Lian.
"Melepaskannya? Kau gila? Justru dia ada di sini karena kita akan bersenang-senang. Arci sudah membohongi kami dengan memalsukan tanda tangan di surat pengesahan. Ia pantas mendapatkan sesuatu yang pantas. Menghancurkan hidupnya," kata Alexandra. "Sayangku, lakukan saja!"
Michael tertawa. Tommy dan Agus tampak ada di ruangan itu juga tertawa.
"Mau apa kalian?!" tanya Lian.
"Ini biar bagianku!" kata Agus. "Aku tidak pernah merasakan binor."
"Hahahaha, terserah. Aku akan tinggalkan kalian di luar," kata Tommy meninggalkan mereka semua.
"Brengsek! Lepaskan Andini! Lepaskan dia!" Lian histeris, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena terikat. Sementara itu, Michael melepaskan pakaiannya satu per satu hingga telanjang bulat, begitu pula dengan Agus. Sementara itu Andini masih pingsan tak berdaya.
Michael mulai menelanjangi istri Arci itu, Agus pun telaten membantunya. Lian menjerit, "JANGAAAAN!"
"Lihatlah pelacur, aku akan buat menantumu mengikuti jejakmu menjadi pelacur. Hahahahahahaha!" Alexandra menduduki tubuh Lian.
"Shit! Boobsnya gedhe! Mulus lagi!" kata Michael.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci terus menggenjot Andini. Dan Andini sudah mulai orgasme lagi. Wanita ini makin kesetanan meliuk-liukkan pantatnya membuat penis Arci seperti diurut-urut. Dan akhirnya Andini orgasme. Arci menghentikan gerakannya dan mencumbui Andini. Dia mencabut batangnya, dengan mata sayu keduanya berpagutan lagi. Sungguh sebuah hubungan yang penuh gairah.
"Kamu ingin berapa anak sayangku?" tanya Andini.
"Sebanyak-banyaknya," jawab Arci.
"Hihihihi, dasar, enak di kamu rempong di aku," jawab Andini.
Arci mengangkat paha kanan Andini ke atas. Batang kemaluannya sudah meluncur lagi ke dalam liang senggama Andini yang basah. Licin sekali tapi peret hingga membuat keduanya melenguh lagi. Pergumulan panas pun terjadi lagi. Arci memagut istrinya itu sambil memepetnya ke dinding kamar mandi bermarmer. Andini merasa geli sekali ketika otot-otot batang kemaluan Arci menelusuri setiap rongga kemaluannya. Arci kembali menyusu kepadanya.
"Buah dadamu sayangku, sungguh memabukkanku. Aku rasanya tak puas-puas menikmatinya."
"Ahh...sayangku, nikmatilah sepuasnya. Aku ada untukmu."
Arci menghisap kuat puting Andini sambil terus menyodok Andini dengan ritme sedang. Andini melenguh lagi. Ia menggigit pundak Arci karena tak tahan kenikmatan yang terus menderanya. Sementara sodokan Arci yang seperti memompa piston itu makin kencang, sungguh batangnya serasa tak tahan lagi ingin menyemburkan lahar hangat.
"Sayangku, mau keluar?" tanya Andini.
"Iya," jawab Arci.
"Aaahhkk... Cici, aku juga mau keluar."
"Aarrghhh!"
Keduanya pun menjerit saat gelombang orgasme keluar. Semburan air mani kental pun kembali membasahi rahim Andini. Arci menekan kuat-kuat kemaluannya di rahim Andini. Kenikmatan yang luar biasa saat orgasme itu datang membuat mereka kelelahan. Keduanya berpelukan erat, tubuh Andini lemas.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Jangaaan! Kumohon jangaaaan! Hentikan! Dia sedang hamil, jangaaann!" Lian memohon kepada Michael dan Agus. Tapi terlambat.
Tubuh Andini sudah ditelanjangi dan kini sedang dihisap puting susunya oleh Agus dan Michael. Mereka berbagi susu Andini, kiri dan kanan. Lian meronta, terus meronta, ia tak ingin Andini dilukai. Sebab dia adalah nyawa anaknya. Arci pasti akan sangat bersedih melihat kondisi Andini sekarang.
Tangan Andini mulai dijilati oleh dua pria hidung belang ini. Bahkan sekarang Agus mulai menjilati kemaluan Andini. Ya, lidahnya menari-nari di sepanjang garis kemaluan Andini. Andini masih tak sadar. Pukulan Baek tadi terlalu keras, mungkin saja bisa menghancurkan janin yang ada di dalam kandungannya.
Sementara itu Arci dan Ghea sudah bersiap. Mereka sampai ke lantai paling atas. Di sini sepi. Hanya ada seseorang yang berdiri di sana, yaitu Baek. Dia tampak sombong, berkacak pinggang sambil memberi isyarat menantang Arci.
"Kau tenang saja, ia bagianku," ujar Arci. "Istirahatlah!"
Baek tertawa, "Kamu kira sendirian bisa mengalahkanku? Baiklah, ayo!"
Kaki Baek mulai bergerak-gerak. Arci mengetahui gaya ini. Ini gaya Tae Kwondo. Arci memasang kuda-kuda bebas. Ia gayanya seperti petinju sekarang. Baek menendang ke udara, lalu melakukan spinning kick. Dia memerkan tendangannya kepada Arci. Arci tetap tenang, sekalipun sebenarnya lukanya nyut-nyutan.
Baek mulai menyerang, ia menggunakan kaki kirinya sebagai tumpuan sedangkan kaki kanannya maju menendang wajah Arci. Arci bisa menangkis dengan tangannya, kaki Baek bergantian menendang dan Arci menangkis semuanya. Gantian Arci menyerang, kiri kanan. Kemudian ditutup dengan low kick. Dia mengenai lutut Baek. Baek sedikit meringis. Tendangan Arci tepat mengenai tempurung lututnya.
Baek melompat lagi dengan tendangan, tubuhnya seperti terbang ketika dua tendangan mengarah ke Arci. Arci sekali lagi bisa menangkis. Baek menaikkan kakinya tinggi-tinggi dan menurunkannya dengan cepat, tapi Arci berputar dan masuk ke pertahanan Baek yang kosong. Baek tentu saja kaget, tapi Arci memberikan uppercut. Baek bisa menghindar, tapi ternyata serangan Arci bukan sekedar uppercut, tapi sebuah pukulan smash yang tiba-tiba berubah arah. Dan pukulan itu telah mengenai wajah Baek.
Baek tersungkur.
"Beladiri apa itu, pukulan apa itu?" tanya Baek.
"Who knows? Siapa tahu aku sekarang sedang menggunakan street fighter," jawab Arci.
Baek kembali bangkit dan menyerang Arci, kini dia memakai pukulan sesekali menendang, Arci bisa membaca semua serangannya. Baek makin gusar. Terlebih semua serangannya bisa dibaca oleh Arci. Dan Arci sekali lagi begitu ada kesempatan langsung menyerang dengan pukulan ataupun dengan tedangan dan semuanya mengena. Baek kemudian menghentikan serangannya dan berpikir, kenapa setiap serangannya bisa diketahui?
Arci kini berbalik menyerang. Kini pukulan-pukulan Arci seperti seorang petinju. Tentu saja pertahannya sangat kokoh. Ketika Arci memukul, dia terkadang melepaskan jab cepat, kemudian dengan pukulan satu dua, seperti petinju dia mendaratkan pukulan ke wajah Baek. Belum selesai, Arci memukul Baek dengan kedua tangannya lagi, kiri kanan. Kemudian ia daratkan sebuah tendangan tepat ke dada assasin itu. Tapi kaki Arci ditangkap oleh Baek. Arci tak tinggal diam, ia segera melompat ke udara berputar dan tendangannya menghantam pipi Baek hingga lelaki itu pun tumbang. Menangkap kaki Arci itu adalah hal bodoh, pikir Baek.
Dia bersusah payah bangkit sambil meludah. Darah segar keluar dari mulutnya. Baek kini mengganti kuda-kudanya. Arci mulai mengerutkan dahi. Dari kuda-kuda itu ia sangat tahu sekali apa yang sedang ada di depannya, Baek tidak hanya belajar tae-kwondo, tapi juga Cappoeira. Tangannya menari-nari dan kakinya menyapu-nyapu. Dan yang terjadi selanjutnya, dengan gerakan memutar, Baek menerjang Arci dengan tendangan. Arci menurunkan badannya, sehingga hampir saja kaki Baek menyapu wajahnya. Tapi Baek tak cukup satu serangan, dengan gerakan gesit tangannya sebagai tumpuan dia sudah memutar kakinya seperti baling-baling lalu menghantam dada Arci. Arci terhempas. Baek belum berhenti, di saat Arci jatuh ke lantai, Baek sudah terbang salto untuk menghempaskan dua kakinya ke tubuh Arci, segera Arci berguling untuk menghindar.
Hampir saja Arci terkena injakan Baek.
Mereka berdua kini sama-sama berdiri lagi, semuanya memasang kuda-kuda. Semuanya bersiap untuk menyerang. Tapi siapa yang akan maju terlebih dahulu?
Arci melepaskan jasnya. Ia melucuti semua senjata yang ia bawa. Pistol, pisau, kapak. Ia singkirkan dengan kakinya. Baek mengernyitkan dahi.
"Maaf, tadi gerakanku terhalang oleh beban, sekarang ayo!" ujar Arci.
Baek merasa diremehkan, dia kembali maju dengan bertumpu kepada telapak tangannya, kemudian kakinya berputar seperti baling-baling. Arci menghindar. Saat Baek berguling ke depan Arci dengan cepat menghantam punggung tangan Baek. Seketika itu Baek meringis. Kenapa punggung tangan yang Arci jadikan sasaran? Baek mengaduh.
"Aarrghh!" berkali-kali Baek mengibas-kibaskan tangannya.
Arci mundur. Baek sekali lagi memainkan kakinya sambil bertumpu kepada tangannya tapi ia terpeleset. Arci memahami, kelemahan Cappoeira adalah tumpuan yang dipakai untuk bisa menggerakkan kakinya seperti baling-baling ada pada tangannya, apabila tangannya bisa dilumpuhkan, ia hanya bisa mengandalkan kakinya.
"Jenius!" puji Baek.
Sekarang giliran Arci, dia berlari ke arah Baek. Melihat Arci berlari ke arahnya, Baek segera bersiaga. Tapi begitu mendekat Arci melompat ke udara dan mendaratkan sebuah tendangan ke wajah Baek. Ini baru, Arci tak pernah melakukan ini sebelumnya, bukan ini bukan hanya sebuah tendagan. Gerakan berikutnya kakinya ditekuk sehingga kedua lututnya mencengkram kepala Baek sekarang. Lalu Arci mengarahkan kedua sikunya ke kepala Baek. Seketika itu Baek seperti dihantam sebuah pipa linggis. Dan Arci menghantamnya berkali-kali.
Setelah itu Baek ambruk dengan kepala bocor. Dan terakhir Arci melompat ke udara kemudian menuntaskannya dengan lutut terjun ke punggung Baek, mengakibatkan tulang punggung pendekar Tae Kwondo itu remuk.
KRRRAAAKK!
Sebuah akhir yang mengenaskan bagi Baek. Arci jadi mengerti kenapa dia diajari Ghea beberapa ilmu beladiri, terlebih ketika ia juga diajari oleh Yuswo beladiri yang aneh. Tapi hal itu membuat gerakannya jadi tak terdeteksi. Inilah yang disebut cara preman, mereka memang tak pernah belajar di sebuah padepokan, mereka juga tak pernah diajarkan bagaimana membangun sebuah aturan dalam menyerang maupun bertahan diri. Mereka hanya punya satu tujuan, yaitu mengalahkan lawan. Boleh jadi inilah yang disebut petarung jalanan.
Setelah menghabisi Baek, Arci menoleh ke sebuah pintu. Tiba-tiba saja perasaannya tidak enak. Ghea berjalan tertatih-tatih mendekat ke sepupunya. Arci mengambil kembali kapak dan pisaunya. Dan mereka berdua mendekat ke arah pintu di mana Tommy dan yang lainnya ada di dalam. Dan mereka pun masuk.
"Jangaaan!" terdengar suara Lian. "Kumohon jangan!"
Arci langsung naik darah mencari arah suaranya. Tampak dia dihalangi oleh seorang pemuda berambut cepak dan sebuah katana. Sang pemuda itu sesekali menggerak-gerakkan kepalanya seperti orang terkena ayan. Ia menggedek-gedek. Ghea menahan Arci.
"Dia bagianku, kamu pergilah!" kata Ghea.
"Hati-hati!" ujar Arci.
Arci menjauh dari Ungi yang sekarang ini berhadapan dengan Ghea. Ghea menghunuskan katananya. Ungi pun kemudian mengeluarkan katana dari sarung pedangnya. Ghea dan Ungi sekarang bersiap untuk bertarung. Sementara Arci meninggalkan mereka menuju ke sebuah pintu seperti kamar.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Cici, aku tak ingin pergi darimu," kata Andini.
"Aku juga," kata Arci.
"Rasanya perjumpaan kita terlalu singkat ya, aku ingin seumur hidup bersamamu menikmati hari. Kita bersama selamanya."
"Bukankah kita sudah seperti itu sekarang?"
Andini menggeleng, "Tidak, sepertinya kamu jauh."
"Andini, perasaanku kepadamu kepadamu tak akan pernah berubah. Engkau adalah nyawaku sekarang. Kalau kau pergi maka separuh jiwaku akan hilang. Aku selalu memikirkanmu, bayang-bayangmu tak akan pernah lepas dari benakku. Aku telah menyerahkan separuh nyawaku untukmu."
"Cici, aku cinta kamu selamanya."
"Selamanya aku juga mencintaimu."
"Sayangku, aku sangat menyesal sekali sebenarnya."
"Menyesal kenapa?"
"Andai waktu itu aku jujur kepadamu aku bukan Iskha, andai perjumpaan pertama kali itu kita sudah langsung bersama, apakah engkau akan bisa bersamaku seperti sekarang ini?"
"Entahlah, yang jelas bukankah perjumpaan kita sekarang sudah ditakdirkan dan kita sudah bersama?"
"Tapi aku merasa sebentar lagi kita akan berpisah lagi."
"Tidak akan, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan tetap berjuang untuk hidup."
"Kalau misalnya nanti kita berpisah..."
"Jangan ucapkan itu. Aku tak mau lagi kehilangan orang-orang yang aku cintai."
Andini memeluk Arci. "Aku cinta selamanya."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Selamat datang, keponakan!" kata Tommy.
Tiba-tiba tubuh Arci dipegangi oleh beberapa orang. Lututnya ditendang sehingga ia kini berlutut. Ia tak bisa bergerak ketika punggungnya kemudian diinjak hingga ia tiarap. Kemudian kepalanya ditahan hingga mendongak dan dia menyaksikan sesuatu di depan matanya. Sesuatu yang membuat hatinya hancur berkeping-keping. Sesuatu yang membuat darahnya mendidih.
"ANDINIIIIII! LEPASKAAAN! LEPASKAN DIAAAA! BAJINGAN! BRENGSEK! BEDEBAH KALIAN! LEPASKAN DIA!" Arci menjerit histeris.
Di depannya terpampang sebuah scene di mana Michael menggenjot Andini sementara Agus menggenjot Andini dari bawah. Dia mencengkram buah dada Andini. Andini tak berdaya, ia tak sadar bahwa sekarang ia sedang digagahi dengan double penetration. Lian menangis sejadi-jadinya. Dengan tubuh terikat dan diduduki oleh Alexandra. Ia tak bisa berbuat banyak. Melihat Arci datang ia juga tambah bersedih. Ia tahu bagaimana putranya itu sangat mencintai Andini.
"Ini adalah akibat kalau kamu main-main dengan kami. Kamu berani-beraninya memalsukan tanda tanganmu, kamu kira kamu siapa? Kamu hanya anak seorang pelacur. Kamu hanya anak seorang pelacur, kamu tak pantas menyandang nama Zenedine. Sekarang, kamu lihat kamu tak berdaya di hadapanku, semua orang-orang yang kamu cintai aku rampas. Hahahahaha, menangislah, marahlah! Sekarang kamu tak bisa berbuat apa-apa."
Air mata Arci keluar, ia berusaha meronta untuk bisa terbebas dari cengkraman orang-orang Tommy. Matanya dipaksa untuk menyaksikan bagaimana istrinya diperkosa oleh Michael dan Agus.
Apakah kalian pernah melihat istri yang kalian sayangi dizinahi? Semua orang apabila melihat istrinya selingkuh pasti sakit. Ya, sangat sakit. Apalagi apabila seorang suami sangat mencintai istrinya. Tapi itu semua berakhir dan akan disadari bahwa sang istri tidak baik bagi dirinya. Tapi berbeda, apabila sang istri yang sangat mencintainya, diperkosa di hadapannya, sedangkan ia tak bisa berbuat apa-apa. Arci sangat mencintai Andini. Ia menangis, histeris, air matanya tak tertahan lagi. Ia meronta, memanggil-manggil nama istrinya.
"HENTIKAAAANN! AKU MOHONNN! HENTIKAN! DIA SEDANG HAMIL! HENTIKAAAANN!" jerit Arci.
"Peret banget istrimu, aku tak bosan ngentotin dia, betul nggak Gus?" tanya Michael yang nafsunya sudah diubun-ubun.
"Uhh, enak banget ini dubur istrimu, belum pernah dipake kan? Aahahh...ahahh...aaaahhh..aku keluar Mike!"
"Uuufffhh...gila, enak banget, aku jugaaaa....!"
"BANGSAAAATTT! AKU BERSUMPAH! AKU TAK AKAN MATI SAMPAI MENGHABISI KALIAN SEMUA! AKU AKAN BERIKAN KALIAN MIMPI BURUK YANG TAK AKAN PERNAH KALIAN LUPAKAN, BAHKAN KALIAN AKAN MEMINTA SENDIRI KEMATIAN!"
"Hahahahaha....kamu bisa apa? Kamu tak bisa apa-apa sekarang. Nikmati saja suguhan ini!" kata Tommy.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Apa yang terjadi denganku?
Siapa dia? Kenapa dia ada di atasku? Tubuhku sakit semua. Apa yang terjadi?
Arci, kenapa dia ada di sana? Oh, suamiku ada di sana. Tubuhku sakit semua. Kenapa dia ada di sini? Aku di mana?
Ada seorang lelaki yang menindihku?
Sakit sekali, sakiiitt.... Apakah aku akan mati?
"Aku puaas...akhirnya keluar juga...ohhh!"
Suara siapa itu?
"Aku juga Mike, ternyata dia benar-benar peret."
"Lepaskan dia!"
"Heeii, darah apa ini?"
"Shit! Kenapa dia mengeluarkan banyak darah?"
"Darah apa ini?"
"Dia keguguran!"
"BAJINGAAANN! AKU BUNUH KALIAN SEMUAA!"
Arci, apa yang terjadi?
Tiba-tiba tubuhku di dekap. Arci, itu dia. Suamiku datang. Akhirnya.... oh, aku merindukanmu sayangku. Tapi tubuhku sakit semua. Apa yang sedang terjadi? Kenapa dia menangis? Jangan menangis. Jangan bersedih. Aku ingin menghiburmu sayangku, jangan bersedih. Kumohon!...Ciciku jangan bersedih. Kenapa kamu menangis.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Andini....Andini, maafkan aku, maafkan aku!" Arci menangis. Dia terisak. Dia berhasil meronta dari cengkraman anak buah Tommy dan berlari menuju Andini. Ia segera menyelimuti Andini yang sudah tanpa busana. Darah keluar dari kemaluan Andini dan terus keluar tanpa henti.
Tommy, Michael dan Agus tertawa. Alexandra tampak puas melihat itu semua.
"Ciciku...kamu datang?" bisik Andini.
"Ya, aku datang," jawab Arci.
"Tubuhku sakit semua...apa yang terjadi?"
"Tak apa-apa, tak apa-apa sayangku. Tidurlah! Tidurlah! Aku akan memelukmu dengan erat."
"Aku tahu...tapi entah kenapa...rasanya engkau akan pergi jauh."
"Jangan katakan itu kumohon, jangan katakan itu...."
"Aku bahkan tak bisa menggerakkan badanku, perutku seperti dililit, aku bahkan tak bisa menggerakkan badanku. Sayangku...kita pulang saja yuk!?"
"Iya, kita pulang. Kita pulang! Kita pulang. Kita akan bangun gubuk, kita akan hidup sendiri. Aku akan turuti keinginanmu. Kita akan bersama, kita akan punya banyak anak. Kumohon jangan tinggalkan aku. Kumohon! Kamu adalah nyawaku, bagaimana aku bisa hidup tanpamu?"
"Apakah aku akan mati?"
"Tidak, kamu tidak boleh mati."
"Tapi aku merasa ada sesuatu yang lepas dari diriku. Cici, semuanya gelap."
"TIDAAAAKKK! Jangan pergi aku mohooonn! Jangaaaan! Aku akan melakukan apapun asal kamu jangan pergi. Andiniii... aku mencintaimu....aku mencintaimu..."
Lian menangis melihat itu semua. Hatinya hancur melihat putranya rapuh sekarang ini.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Ungi dan Ghea saling beradu pedang, gerakan Ungi sangat lincah seperti samurai sesungguhnya. Sabetan-sabetan pedangnya benar-benar akurat dan cepat. Ghea dengan kaki pincang tentu saja kewalahan melawan Ungi. Tapi ia terus bertahan.
"Hebat, hebat, hebat! Kamu wanita pertama yang sanggup mengimbangiku," kata Ungi sambil bergedek.
Luka-luka di tubuh Ghea mulai bereaksi. Tapi dia harus hidup. Dan yang dilakukan olehnya sekarang adalah berpikir bagaimana agar bisa mengalahkan Ungi. Ghea menahan rasa sakit di pahanya yang robek. Darah membuat celananya makin berat. Bahkan sepatunya pun sekarang sudah berisi darahnya sendiri sehingga meninggalkan jejak di lantai. Terlebih luka sabetan pisau di perutnya membuat rasa sendiri. Ghea menyadari gerakannya mulai melambat. Ia banyak kehilangan darah. Terlebih luka di pahanya cukup dalam.
Ghea bertahan. Dia memegang gagang katananya dengan kedua tangan. Dia kemudian menarik nafas dalam-dalam. Posisi kuda-kudanya sekarang seperti seseorang atlit kendo. Kedua tangan ke depan, katananya memanjang seolah-olah mengukur jarak antara dia dengan Ungi.
Ungi tersenyum sinis. Tubuhnya tiba-tiba berputar cepat sambil mengayunkan katananya ke arah Ghea. Ungi sekarang seperti angin topan. Ghea hanya bisa berdiri mematung menanti saat yang tepat untuk menyerang. Ketika Ungi menyerangnya Ghea menghindar. Gerakan Ungi sangat cepat. Untunglah terlambat sedikit saja, badan Ghea bakal terpotong menjadi dua. Bertarung menggunakan pedang bukan keahliannya, tapi kalau tidak memakai katana bagaimana cara mengalahkan Ungi?
Ungi yang merasa Ghea bisa menghindari serangannya, tampaknya tak heran. Dia kemudian melakukan lagi gerakan memutarnya, kali ini lebih cepat dari sebelumnya. Gadis berambut merah ini pun bertahan. Kakinya tiba-tiba terasa lagi nyut-nyut. Ghea mengumpat kepada dirinya sendiri kenapa di saat seperti ini malah merasa sakit. Akhirnya dengan tenaga seadanya ia bertahan dan menangkis serangan itu.
TRANG!TRANG!TRANG!TRANG!
Gerakan berputar itu ternyata datang bertubi-tubi. Ghea tak bisa bertahan lebih lama karena serangannya cepat dan beruntun. Ghea pun terdesak dan dengan benturan beruntun itulah tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah tendangan yang menghantam kepalanya.
BUAAKK!
Tubuh Ghea terhempas dan membentur sebuah meja yang ada di ruangan itu. Ghea tersungkur. Rasa lelah mulai merambat di tubuhnya. Mungkin dikarenakan ia merasakan sakit. Tapi ia pernah merasakan sakit seperti ini sebelumnya bukan? Dengan sisa-sisa tenaganya ia bertumpu kepada katananya untuk berdiri.
"Ayo, aku masih belum kalah!" kata Ghea.
Ungi pun datang secepat kilat kemudian menebaskan katananya ke tubuh Ghea. Ghea kemudian ambruk ke lantai. Melihat Ghea sudah tak berdaya, Ungi pun meninggalkannya sambil sesekali kepalanya bergedek.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"See You Again"
(feat. Charlie Puth)
[Charlie Puth:]
It's been a long day without you, my friend
And I'll tell you all about it when I see you again
We've come a long way from where we began
Oh, I'll tell you all about it when I see you again
When I see you again
(Hey)
[Wiz Khalifa:]
Damn, who knew?
All the planes we flew
Good things we've been through
That I'll be standing right here talking to you
'Bout another path
I know we loved to hit the road and laugh
But something told me that it wouldn't last
Had to switch up
Look at things different, see the bigger picture
Those were the days
Hard work forever pays
Now I see you win the better place (see you win the better place)
Uh
How can we not talk about family when family's all that we got?
Everything I went through you were standing there by my side
And now you gon' be with me for the last ride
[Charlie Puth:]
It's been a long day without you, my friend
And I'll tell you all about it when I see you again (I see you again)
We've come a long way (yeah, we came a long way) from where we began (you know we started)
Oh, I'll tell you all about it when I'll see you again (let me tell you)
When I'll see you again
(Aah oh, aah oh
Wooooh-oh-oh-oh-oh-oh)
[Wiz Khalifa:]
{Yeah}
First you both go out your way
And the vibe is feeling strong
And what's small turn to a friendship
A friendship turn to a bond
And that bond will never be broken
The love will never get lost (and the love will never get lost)
And when brotherhood come first
Then the line will never be crossed
Established it on our own
When that line had to be drawn
And that line is what we reach
So remember me when I'm gone (remember me when I'm gone)
How can we not talk about family when family's all that we got?
Everything I went through you were standing there by my side
And now you gon' be with me for the last ride
[Charlie Puth:]
So let the light guide your way, yeah
Hold every memory as you go
And every road you take, will always lead you home, ooh ooo oh
It's been a long day without you, my friend
And I'll tell you all about it when I see you again
We've come a long way from where we began
Oh, I'll tell you all about it when I see you again
When I see you again
(Aah oh)
{Uh}
(Aah oh)
{Yeah}
(Wooooh-oh-oh-oh-oh-oh)
{Ya, ya}
When I see you again
{Uh}
See you again
(Wooooh-oh-oh-oh-oh-oh)
{Yeah, yeah, uh-huh}
When I see you again
"Terima kasih atas cintamu sayangku. Aku tahu kalau kamu sangat mencintaiku. Aku adalah bagian terindah dari hidupmu. Tapi kalau kita tidak ditakdirkan bersama apakah yang bisa kita lakukan?"
"Pasti ada. Pasti ada yang bisa aku lakukan. Kalau kamu pergi... siapa yang akan menjadi nyawaku sekarang? Safira telah pergi, lalu kamu??"
"Ada seorang wanita yang sangat mencintaimu."
"Siapa?"
"Kamu tidak tahu?"
"Aku tahu, tapi kenapa dia?"
"Dia sangat mencintaimu."
"Tapi aku mencintaimu."
"Ya, kau memang mencintaiku. Tapi aku tak bisa bersanding denganmu."
"Setelah apa yang selama ini telah kita lakukan? Kita perjuangkan? Kamu harus pergi? Ini terlalu sakit bagiku."
"Dia juga telah merasakan sakit. Sakit karena cintanya tak dibalas."
"Jangan lakukan ini Andini, jangan!"
"Aku tak bisa berbuat apa-apa."
"Biarkan aku pergi denganmu."
"Tidak bisa, jangan! Kamu harus hidup! Cintailah dia!"
"Tak akan ada yang bisa mengisi hatiku lagi selain dirimu."
"Bisa, kamu bisa mencintainya. Dia bisa memberikanmu kehangatan seperti yang kuberikan. Dia bisa memberikanmu kesejukan seperti yang kuberikan. Kau hanya perlu mengajarinya."
"Andini....aku rapuh."
"Kuatlah suamiku, kamu harus kuat."
"Engkau adalah kekuatanku. Engkau adalah cintaku."
"Kalau kau mencintaiku, kamu harus tegar."
"Kenapa perjumpaan kita begitu cepat?"
"Semuanya telah digariskan. Sebagaimana Safira bilang, semua yang ada awal pasti ada akhir. Hiduplah untuk cintamu. Masih ada ibumu, masih ada Putri dan Ghea."
"Andini...."
"Terima kasih, cinta..."
"Aku mencintaimu selamanya Andini."
"Aku juga mencintaimu....selamanya, suamiku. Lelaki yang paling tampan."
"Biarkan aku memelukmu. Biarkan aku memelukmu untuk terakhir kali."
"Selamat tinggal cinta...."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci membisu. Nafas Andini berhenti. Jantungnya berhenti. Arci memeluk tubuh istrinya untuk terakhir kali. Ia menempelkan bibirnya ke bibir istrinya. Menciumnya untuk yang terakhir kali. Matanya memerah. Ia mencopot kemejanya. Terlihat kemejanya bersimbah darah karena luka-lukanya. Arci menutupkan kemejanya ke tubuh istrinya. Ia menciumi wajah yang terlihat damai itu sekarang. Ya, Andini telah pergi dengan menyunggingkan senyuman. Terlihatlah luka-luka di tubuh Arci. Bahkan Lian pun tak sanggup untuk melihat luka-luka di tubuh itu. Di punggungnya ada banyak luka sabetan, terlebih ketika Arci berbalik memperlihatkan dadanya. Ada beberapa bekas luka tertembus peluru di sana.
"Hajar dia!" kata Tommy kepada anak buahnya.
Empat anak buah Tommy yang memegangi Arci tadi langsung menuju ke arah Arci. Mereka memukul Arci, menendang, tapi Arci tak bergeming. Ia seperti mati rasa. Matanya masih menatap tajam. Pukulan demi pukulan ia terima tapi sekali lagi tak ada rasa sakit. Rasa sakit yang ia rasakan sekarang lebih sakit daripada sebuah pukulan ataupun tendangan. Bahkan kalau saja dia mati hari ini, mungkin tak ada rasanya sama sekali.
Arci dengan satu tangan menangkap leher salah seorang anak buah Tommy. Kemudian menangkap tenggorokannya dan mematahkannya. KLEEK! Orang itu pun langsung ambruk. Melihat rekannya tewas begitu saja, yang lainnya berusaha menghajar Arci lagi, tapi Arci menangkap tangan salah seorang dari mereka, kemudian menekuknya ke arah berlawanan. KRAAK! Orang itu langsung menjerit. Tommy heran melihat Arci seperti itu. Dua orang lainnya berasa ketakutan. Arci mengeluarkan kapak yang ia bawa. Kapak kecil itu digenggamnya rapat-rapat setelah itu ia ayunkan ke salah seorang anak buah Tommy, tepat mengenai kepalanya. Setela itu ia cabut dan ayunkan lagi ke perut temannya.
"Aku sudah katakan, aku akan menjadi vampir malam ini. Aku akan hisap darah kalian!" kata Arci. "Aku tak akan memaafkan kalian. Aku akan hisap sampai kalian bahkan ingin menginginkan kematian!"
Tommy jadi merinding. Alexandra jadi ketakutan melihat Arci sekarang ini. Tiba-tiba Arci bergerak cepat ke arah Alexandra dan rambutnya dijambak. Gerakan cepat itu tak pernah disadari oleh siapapun, atau lebih tepatnya semuanya takut sekarang. Arci sudah tidak bisa berfikir tentang logika. Yang ada di dalam otaknya adalah membunuh semua orang.
"AAARRGHH!" jerit Alexandra. "Kamu mau menyakiti wanita?"
Arci tak peduli, ia segera membenturkan Alexandra ke lantai. Michael yang melihat istrinya diperlakukan seperti itu segera berlari ke arah Arci sambil membawa sebuah tongkat basebal. Arci dipukul-pukul kepalanya. Tapi tongkat itu berhasil ditangkap oleh Arci dengan tangan kirinya. Alexandra menggeliat di lantai. Arci mengayunkan kapaknya, kalau saja Michael tidak melepaskan tongkat baseball itu mungkin ia sudah terkena sabetan kapak Arci. Alexandra yang sekarang berada di bawah kaki Arci tampak ketakutan. Entah bagaimana Arci punya kekuatan seperti ini sekarang. Tongkat baseball itu pun diayunkan ke kepalanya. Arci dengan membabi buta terus-menerus memukul-mukul kepala Alexandra hingga remuk. Istri Michael itu pun tewas dengan kepala remuk karena tongkat baseball.
Semua orang yang ada di tempat itu merinding. Tommy mencari-cari pistolnya. Tak ada di pinggangnya, padahal harusnya ia selalu bawa. Michael menatap ngeri tubuh istrinya yang sudah tak bernyawa itu. Arci membuang tongkat baseball tersebut. Ia berjalan ke arah Michael.
"Tu..tunggu dulu!" kata Michael memohon. Tommy dan Agus mundur menghindar. Arci sudah tidak bisa diajak bicara lagi. Michael ketakutan, sangat ketakutan. Ia pun berlutut. "Maafkan aku, tolong jangan bunuh aku. Tom! Tommy lakukan sesuatu!"
Tommy dan Agus akan keluar ke pintu tapi Arci melemparkan kapaknya hingga menancap di pintu. Tommy dan Agus terkejut tentu saja. Arci segera menendang kemaluan Michael. Michael langsung mengerang ketika kedua telurnya dengan keras ditendang oleh Arci. Mungkin ia tak pernah menyangka dalam hidupnya bahwa kantong testisnya akan hancur hari itu dengan sekali tendang. Dan Arci menggigit lehernya. KRRAASSSHH!
"AAAAAAARRRGGGHHH!" Michael meronta-ronta agar Arci melepaskannya. Tapi gigitan Arci lebih kuat seperti serigala. Michael berusaha sekuat tenaga mendorong tubuh Arci tapi semakin dia mendorong gigitan itu semakin kuat. Arci menggigit Michael tepat di pembuluh nadinya. Dia menggigit sekeras-kerasnya sambil menghisap setiap darah yang keluar dari luka Michael.
Tommy begidik melihat itu semua. Terlebih Agus. Lian sungguh tak tega melihat itu ia memejamkan mata. Melihat tubuh Andini yang sudah tergolek tak bernyawa itu ia pun merasa bersalah. Bersalah dan menyesal atas dosa-dosanya selama ini. Seharusnya ia tolak cinta dari Archer. Cinta yang membawa petaka, cinta yang hanya membawa derita. Ia sendiri tampaknya tak tega melihat kondisi Arci seperti sekarang ini. Arci sekarang seperti binatang buas. Ia tak akan berhenti sampai tujuannya terpenuhi.
Michael mengerang dan meronta. Tapi tenaga Arci sangat kuat, entah dari mana tenaga itu berasal. Hingga akhirnya Michael pun lemas. Darahnya banyak yang keluar. Apalagi Arci berhasil memutuskan pembuluh nadinya. Ia pun menggigit dan menarik daging yang ia dapatkan dari leher Michael dan meludahkannya. Kini mulutnya penuh darah.
Tommy dan Agus sangat ketakutan, apa yang mereka hadapi sekarang ini bukan manusia. Ternyata mereka telah bertemu dengan binatang yang sesungguhnya. Mereka selama ini bersifat seperti binatang. Menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan mereka. Namun ketika mereka bertemu dengan keadaan yang sekarang ini, di mana manusia yang menjadi binatang sesungguhnya mereka pun takut.
Dari pintu muncullah Ungi.
"Ungi, bagus. Bunuh dia! Cepat!" suruh Tommy.
Ungi yang melihat Arci segera menerjang ke arah Arci. Dan dengan satu gerakan tusukan ke perutnya hingga katana Ungi menembus perut Arci hingga ke punggungnya. Ungi tersenyum sambil bergedek. Tapi kali ini Arci menengklengkan kepalanya. Dia menggenggam erat katana Ungi. Ungi berusaha mencabut lagi katananya. Tapi katana itu seakan-akan dijepit dengan kuat oleh Arci sehingga tak bisa dia cabut lagi.
"Brengsek! Apa yang kau lakukan?" tanya Ungi.
Arci mengayunkan kapaknya ke pundak Ungi. JLEB! KRESSS! Ungi menjerit keras. Arci mendaratkan kapak kecilnya berkali-kali ke tubuh Ungi hingga pundaknya tampak terbelah seperti sepotong kayu. Ungi melepaskan katananya dan mengerang merasakan sakit di pundaknya yang sekarang menganga dengan kucuran darah segar yang keluar dari lukanya. Ungi merayap meninggalkan Arci. Arci kemudian perlahan-lahan menarik katana itu keluar dari tubuhnya. Setelah berhasil ia keluarkan. Dengan darah yang makin banyak mengucur ia pun berjalan mengejar Ungi. Ungi ketakutan. Ia tak pernah merasakan akan dijemput oleh kematian secepat ini. Tidak di usia mudanya. Arci menginjak tubuhnya dan menancapkan katana itu persis ke wajahnya. Ungi tak pernah menyangka ia mati dengan katana miliknya sendiri.
Tommy mendorong tubuh Agus hingga Agus yang tidak siap langsung tersungkur ke depan Arci. Sementara itu Tommy keluar dari ruangan itu dan lari.
"Arci, Arci maaf, kita bisa bicarakan baik-baik. Kau bisa dapatkan lagi perusahaanmu. Anggap semua tidak terjadi OK, ampuni aku," kata Agus.
Arci melemparkan kapaknya ke lantai. Agus menghela nafas lega. Berarti kata-katanya tadi seolah-olah telah didengarkan oleh Arci. Namun tidak, Arci langsung menggigit lehernya. KRESSS! Sama seperti yang dilakukan Arci terhadap Michael.
Agus menjerit. Ia tak pernah menyangka dalam hidupnya ia akan mati oleh pemuda seperti Arci. Pembuluh nadinya langsung putus ketika gigi Arci yang entah bagaimana bisa tajam itu mengoyak lehernya dan menghisap darahnya. Cukup lama Arci menghisap darah Agus.
"Arci, sudah! Hentikan!" kata Lian. "Hentikan nak! Kamu harus berhenti! Sudah cukup!"
Dari pintu muncullah Letnan Basuki. Melihat Arci menggigit Agus, dia langsung berteriak, "Arci, hentikan!"
DOR!
Letnan Basuki melepaskan tembakannya. Arci pun melepaskan gigitannya ke Agus lalu dia ambruk.
"Sidang ini memutuskan bahwa Arci telah bersalah, menggerakkan masa, membuat kekacauan ini adalah kejahatan yang serius bahkan sampai membunuh orang lain," kata seorang Jaksa. "Dengan ini sesuai pasal pidana menuntut dia dihukum seumur hidup."
"Keberatan, Pak Hakim," kata seorang pengacara dia adalah Bu Susiati. "Klien saya terkena gangguan jiwa. Saya ada rekam medisnya, silakan dilihat!"
Bu Susiati datang menuju ke hakim dan menunjukkan rekam medis dari sebuah rumah sakit jiwa. Sang hakim membacanya dengan teliti.
"Jadi, dia tidak melakukan pembunuhan itu atas kesadaran. Dia melihat istrinya dibunuh, siapa yang akan membiarkan itu terjadi? Sekarang pengadilan ini harus memberikan keadilan kepada dia. Lihatlah dia! Lahir tanpa ayah, tapi setelah mendapatkan kekayaan dari ayahnya ia malah disiksa tak diberi keadilan, kemudian istri dan kakaknya dibunuh apakah dengan memberikan dia hukuman itu bisa disebut keadilan. Ketika istrinya tewas ia telah kehilangan kesadaran, tak tahu siapa dirinya. Maka dari itu pengadilan tak akan bisa seenaknya mengadili orang yang kehilangan akalnya," kata Bu Susiati.
Jaksa penuntut yang membacakan dakwaan tadi menggerutu, "Dari mana dia bisa dapatkan rekam medis itu?"
Setelah beberapa saat hening. Akhirnya sang hakim pun memutuskan sesuatu.
"Pengadilan ini tak bisa mendakwa bahwa Arci telah membunuh dikarenakan ia mengalami depresi berat setelah istrinya dibunuh dengan cara diperkosa sampai mati. Namun oleh karena itu, pengadilan memutuskan Arci bersalah karena telah menggerakkan massa, membuat kekacauan dan keributan, merusak prasarana umum, maka dengan ini ia mendapatkan hukuman 7 tahun penjara dikurangi masa hukuman dan denda sebesar 30 Milyar atas kerusakan yang terjadi. Dan dia dihukum setelah mendapatkan kejelasan akan kesembuhan mentalnya." Hakim mengetuk palu.
Enam bulan setelah kejadian itu. Arci seperti orang linglung. MALANG RIOT AND CHAOS itulah yang menjadi judul Headline di surat kabar. Nama Arci menjadi besar karena itu. Dia dianggap sebagai raja preman, menggerakkan seluruh preman yang ada di kota ini. Namanya dieluk-elukkan oleh dunia hitam. Tapi sekali pun begitu ia tak bahagia. Kehilangan Andini membuat dirinya rapuh. Dia melihat saat-saat terakhir istrinya dimakamkan dan menjerit histeris. Sampai setelah tiga kali suntikan obat penenang dia baru tenang.
Arci selama tiga bulan lamanya mendekam di dalam rumah sakit jiwa. Letnan Basuki mengerti perasaan Arci. Dia tak menduga saja seperti ini kejadiannya. Kejadian hari itu memberikan banyak luka. Banyak orang yang tewas, baik dari para preman, juga dari pihak kepolisian. Untunglah Lian dan Putri selamat. Mereka berdua sering mengunjungi Arci, tapi yang lebih sering lagi Ghea. Ghea masih hidup. Setelah sembuh dari luka-lukanya ia sering menjenguk Arci, menyuapinya makan, membersihkan tempat tidurnya, membantunya untuk mandi.
Melihat Arci rapuh, Ghea jadi melankolis lagi. Dia tak pernah menyangka Arci akan seperti ini. Orang yang dicintainya sekarang telah kehilangan segala-galanya. Dia tahu perasaan Arci, kehilangan orang yang dicintai, ia tahu. Arci selama sebulan pertama menatap dengan tatapan kosong. Tangan dan kakinya dirantai, karena ia sering mengamuk sendiri. Kalau sudah mengamuk tak ada yang bisa menghentikannya kecuali dengan penenang yang bisa membius gajah.
Namun semenjak Ghea sembuh dan sering datang. Arci mulai melunak. Dokter menyuruh Ghea untuk sering datang.
"Kapan kamu begini terus?" tanya Ghea.
Arci tak menjawab.
"Aku tahu perasaanmu, aku tahu rasanya kehilangan. Tapi tak harus seperti ini. Kamu menyiksa dirimu sendiri. Arci, aku bisa jadi nyawamu, aku menawarkan diriku. Ayolah, kamu harus sembuh, sampai kapan kamu rapuh?"
Arci tak menjawab. Pandangannya tetap kosong. Ghea menangis dan memeluk orang yang sangat dicintainya itu.
"Aku akan tetap mencintaimu apapun keadaanmu. Aku tak akan bisa menjadi Safira ataupun Andini, tapi aku akan berusaha memberikan semua cintaku kepadamu. Engkaulah yang mengajariku tentang cinta, engkaulah yang memberikan oase di dalam gersangnya hatiku. Aku akan terus mencintaimu, tak ada lelaki lain yang pantas untukku. Hanya engkau...,"
"Ghea...?" bisik Arci.
"Arci?? Ya, ini aku Ghea," Ghea tersenyum mendengar Arci memanggilnya.
"Biarkan aku menikmati masa rapuhku ini...," kata Arci.
"Kenapa?"
"Aku lebih tenang di sini...aku tahu alasan kenapa Araline mau tinggal di rumah sakit jiwa seperti ini. Ia tak ingin orang lain melihat dirinya rapuh. Di sini aku bisa tenang. Setiap aku lepas kendali dengan obat penenang itu aku jadi bisa tidur nyenyak. Aku tak ingin keluar dari sini."
"Kamu... kamu tidak gila?"
"Aku selama ini tidak gila, aku memang seperti orang gila. Aku rapuh. Kehilangan orang yang aku cintai. Mereka semua pergi. Aku tak mau hidup lagi, setiap hari aku berusaha membunuh diriku dengan membentur-benturkan kepalaku ke tembok, hingga mereka kemudian memborgolku. Aku rapuh Ghea, aku rapuh...."
"Kamu tak boleh begitu. Ada aku di sini. Ada aku...kamu tak boleh seperti itu! Dengarlah, lihatlah aku! Lihatlah!"
Ghea memegang kedua pipi Arci. Arci menatap mata Ghea yang berwarna hijau. Arci tak tahu kalau Ghea ternyata punya sepasang mata yang indah. Dan mata itu sembab. Sedih.
"Aku akan memberikan separuh nyawaku untukmu. Aku rela, aku akan melakukannya. Kumohon terimalah! Aku akan memberikannya."
"Aku tak tahu apakah aku akan menerimanya atau tidak."
"Arci, kamu harus keluar dari sini. Aku menawarkan diriku, aku memang bukan wanita pertamamu, aku bukan wanita yang baik menurutmu, aku bukan wanita yang engkau cintai. Setidaknya ijinkanlah aku jadi wanita terakhir dalam hidupmu. Aku akan lakukan apapun, kamu membuatku bersedih. Kalau kamu rapuh, aku juga rapuh, ibumu juga, adikmu. Siapa yang akan menjaga mereka kalau kamu di sini terus?"
"Ghea..."
"Arci..."
Keduanya kemudian berciuman. Untuk pertama kali dalam hidupnya Arci mencium Ghea dengan deep kiss. Lama mereka berciuman. Ghea memeluk Arci dengan hangat. Kehangatan yang tak ingin ia lepaskan.
"Terima kasih, Ghea."
"Kamu harus keluar dari sini. Tommy belum binasa. Ia masih berkeliaran bebas di luar sana. Aku akan membantumu untuk membalaskan dendam."
"Tidak Ghea, jangan! Aku tak mau kamu pergi lagi."
"Aku bukan wanita yang lemah. Aku bukan Safira, aku bukan Andini, aku adalah Ghea. Aku telah merasakan tebasan pedang, parang dan peluru. Aku kuat. Kamu tahu juga itu bukan?"
Arci tersenyum. Ghea tiba-tiba menangis lagi.
"Kenapa kamu menangis??"
"Baru kali ini aku melihatmu tersenyum lagi."
"Ya, baiklah. Demi kalian. Aku akan keluar."
Wajah Ghea memancarkan kebahagiaan. Inilah awal mula Ghea mendapatkan cintanya. Dan untuk pertama kalinya Arci menerima cinta Ghea. Walaupun memang, ia tak akan pernah bisa melupakan Safira dan Andini. Keduanya tak akan bisa terhapus dari ingatannya. Karena ia mencintai mereka selamanya.
* * *
Arci dibebaskan dari rumah sakit jiwa setelah dokter memutuskan kesehatannya. Sesuai keputusan pengadilan, setelah mendapatkan pengobatan dan terapi di rumah sakit jiwa, Arci masuk ke dalam penjara. Di LAPAS ia tidak saja menjadi orang yang disegani tapi dikenal sebagai big boss, sebagai raja preman. Semua penghuni LAPAS menghormatinya seperti raja. Kalau biasanya setiap orang baru masuk ada orientasinya, tapi tidak bagi Arci. Semua orang berebut untuk bisa melayaninya. Ya, nama Arci menjadi tenar sekarang. Dia tinggal di dalam penjara di sel khusus.
Hari demi hari ia habiskan untuk melatih tubuhnya yang kaku. Hari demi hari ia juga menulis dan membaca buku. Ia tak pernah menghitung hari kapan ia akan keluar dari penjara. Setiap hari Ghea selalu mengunjunginya kalau ada waktu. Ghea sekarang yang mengelola usaha keluarga Zenedine. Seluruh kekayaan Arci sekarang diserahkan kepada Yuswo, tapi Yuswo menolak, baginya mendapatkan penerus seperti Arci lebih dari cukup. Dan ia bersungguh-sungguh.
Selama di penjara Arci mengenal banyak orang, terutama ketika seluruh penghuni LAPAS dikumpulkan. Dia termasuk narapidana yang paling baik kelakuannya. Tak neko-neko. Tapi dihormati oleh semua orang. Berkat kelakuan baiknya itu hanya dalam waktu lima tahun dia pun keluar setelah mendapatkan grasi dari presiden.
Ketika akan keluar, seluruh penghuni LAPAS berebut mencium tangannya. Arci hanya diam saja dan sedikit geli mendapatkan perlakuan seperti itu. Setelah berpamitan dengan sipir dan menandatangani sesuatu, ia pun keluar. Di luar LAPAS telah menunggu tiga yang sangat ia kenal. Lian, Ghea dan Putri yang sekarang udah besar.
Putri langsung berlari ke arah kakaknya, "Kakaaaaaak!" Dia langsung memeluk kakaknya. "Aku rindu sekali."
"Kau tambah besar," ujar Arci sambil menguyel-uyel rambut Putri.
Arci berjalan mendekat ke arah Ghea dan Lian. Ia mencium pipi keduanya.
"Terima kasih, sudah menjemput."
"Tak apa, ayo!" ajak Ghea.
Mereka bertiga segera masuk ke dalam mobil. Mobil melaju pelan meninggalkan tempat di mana Arci menghabiskan masa hukumannya. Ghea yang menjadi sopirnya hari itu. Arci tak pernah menyangka bebas juga akhirnya. Dia kemudian teringat sesuatu.
"Kita ke pemakaman dulu yuk?!" ajak Arci.
Ghea mengerti. Segera ia menuju ke pemakaman tempat di mana Safira dan Andini di kuburkan.
Ternyata Kedua orang yang dicintai Arci itu dikuburkan bersebelahan. Ini adalah inisiatif dari Ghea sendiri. Bu Susiati menyetujuinya. Tak hanya Arci yang terpukul, keluarganya juga merasa kehilangan.
Arci memandangi batu nisan bertuliskan Safira dan Andini secara bergantian. Ghea ingin meninggalkan Arci sendiri tapi Arci mencegahnya.
"Jangan pergi!" kata Arci.
"Baiklah!" kata Ghea.
Dari jauh Lian dan Putri memandangi dua orang yang sedang berdiri di depan makam kerabatnya itu.
"Andini, Safira, maafkan aku. Aku tak bisa menjaga kalian. Seharusnya aku bisa. Seharusnya aku menuruti nasehatmu Din. Seharusnya aku bisa. Tapi aku akan menuruti wasiatmu, di sebelahku ada Ghea. Dia orang yang sangat mencintaiku. Aku akan mencintainya juga. Aku meminta restumu Kak Safira, Andini... aku mencintai kalian selamanya. Dan aku sekarang akan mencintai Ghea selamanya. Dia yang selama ini merawatku memberikan aku kehidupan. Kalian tidak marah kan?"
Ghea terharu. Air matanya tak bisa dibendung.
"Aku bersyukur kalian hadir di dalam kehidupanku, kalian adalah hal terindah yang pernah ada dalam hidupku. Aku tak akan melupakan kalian."
Ghea tak kuat lagi dan dia pun memeluk Arci sambil menangis. Arci balas memeluk Ghea.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Pernikahan yang sederhana. Ya, pernikahan yang sederhana. Itulah yang diinginkan oleh Ghea. Keduanya sudah menikah sekarang. Ghea untuk pertama kalinya memakai baju wanita. Tapi pernikahan yang sederhana itu menjadi spesial, kenapa? Karena sang Raja Preman sekarang terjalin ikatan yang sangat erat dengan keluarga Zenedine. Arci sang Godfather, itu yang dikatakan oleh semua orang.
Letnan Basuki sendiri tak menyangka hal itu akan terjadi. Setelah ia berhasil memberangus kejahatan Tommy dan menangkap Arci, sekarang Arci di dunia hitam dikenal sebagai seorang pemimpin. Paling tidak jangan sampai Arci berbuat kriminal. Itu yang ditekankan dirinya sendiri, kalau sampai dia mencium gelagat yang tidak baik dari pemuda yang sudah berusia 30-an tahun itu, maka dia akan menangkap Arci.
Di kamarnya, Arci memandang tubuhnya sendiri. Seluruh badannya tampak bekas luka. Satu per satu ia memegangnya, dari mulai luka bekas tertembus peluru hingga terkena sayatan pedang, pisau, golok, parang dan lainnya. Beberapa dijahit. Ia tidak mentatto dirinya, dengan luka itu saja ia sudah dikenal. Raja dunia hitam yang banyak mempuyai luka di tubuhnya. Itu sebagai ciri khasnya. Sebenarnya secara tak langsung file Arci sudah masuk ke dalam target polisi, tapi polisi tak bisa bertindak ceroboh, terlebih orang yang membantu Arci adalah seorang pengacara terkenal Susiati.
Ghea mendekati Arci dan berdiri di sampingnya sambil memeluk lengan suaminya itu.
"Apa yang kamu lihat?" tanya Arci.
"Seorang big boss. Orang yang telah merajai seluruh preman di kota ini. Dan juga pewaris tunggal dari Zenedine," jawab Ghea.
"Bukan, aku lebih kepada seorang lelaki yang hopeless. Aku seperti melihat zombie. Kamu tahu, aku sudah menjadi zombie sekarang ini. Lihatlah, aku sudah tak merasakan sakit lagi," ujar Arci.
"Tidak sayangku, tidak begitu," Ghea mendekap Arci lebih erat.
"Bagiku kau adalah lelaki yang paling baik, paling kuat, dan paling tampan. Kamu bukan zombie. Kamu adalah dirimu sendiri."
"Aku sudah terlalu jauh masuk ke dunia ini. Dunia yang harusnya aku hindari. Dunia yang telah merenggut orang-orang yang aku cintai. Memang di mana-mana aku dihormati, tapi aku merasa hampa."
"Kamu masih teringat dengan Safira dan Andini?"
"Setiap waktu aku ingat mereka. Dan setiap aku melihat diriku, aku marah kepada bayanganku sendiri. Marah karena aku tak bisa melindungi mereka. Bahkan sampai tanganku bersimbah darah sekalipun aku tak bisa melindungi mereka. Gege, apa yang harus aku lakukan."
"Lepaskanlah beban itu. Bebanmu terlalu berat. Kamu tidak sendiri sekarang ini. Ada aku, aku akan sekuat tenaga mensupportmu." Ghea memutar tubuh Arci agar melihatnya. "Lihat aku!"
Arci menatap mata hijau Ghea. Hari ini seharusnya hari yang paling bahagia bagi Ghea dan Arci, tapi tampaknya rasa bersalah di pundak Arci belum hilang.
"Kita bisa bersama menghadapi ini semua. Kamulah yang mengajarkan cinta kepadaku, tentang arti cinta yang sebenarnya. Tak ada yang bisa mengajariku sebaik dirimu. Kamulah alasanku berubah, kamulah alasanku tetap tegar menjagamu. Sebagai istrimu aku rela menjadi sarung pedangmu, menjadi tamengmu bahkan kalau kamu gunakan aku untuk umpan musuh pun aku rela!"
Arci memeluk Ghea, "Jangan ucapkan itu! Kumohon! Sudah cukup. Aku tak mau kehilangan anggota keluargaku lagi."
"Cici...boleh kupanggil engkau dengan panggilan sayang istrimu?" tanya Ghea yang menangis dalam pelukan Arci.
"Ya, panggil saja."
"Aku hari ini mendapatkan pelajaran berharga."
"Apa itu?"
"Bahwa cinta sejati itu tak akan pernah mati, walaupun aku bukan cinta sejatimu, setidaknya biarkan engkau yang menjadi cinta sejatiku. Biarlah saat-saat akhir hidupmu aku yang akan mengisinya. Kamu mau kan?"
Arci mengangguk. "Iya, demi kamu."
"Cici..."
"Gege."
Keduanya kini berpandangan. Kedua mata mereka memancarkan sebuah aura yang tak akan bisa difahami oleh siapapun. Rasa kesedihan Arci mulai perlahan hilang. Jiwanya yang rapuh mulai perlahan-lahan dibangun lagi. Semuanya karena perjuangan seorang wanita bernama Ghea. Ghea berjuang sendiri untuk itu, Arci tak akan mungkin melupakan Ghea begitu saja. Melihat kesungguhan Ghea merawat dirinya, Arci akhirnya memberikan keputusan yang membuat hati Ghea bergetar hebat.
Saat itu setelah beberapa minggu Arci keluar dari LAPAS. Dia mengajak Ghea ke sebuah tempat. Tempat di mana dia pernah menunggu Andini sampai ketiduran. Di taman Merbabu. Apa yang dilakukan oleh Arci tengah malam mengajak Ghea ke tempat ini? Arci hanya berkata, "Ikutlah aku!"
Ghea tak pernah diberitahu kenapa Arci mengajaknya ke taman itu. Dia selalu mematuhi Arci, apapun yang Arci inginkan. Bahkan kalau Arci ingin dia terjun dari jurang pun akan dia lakukan. Tapi Arci bukan seperti itu, sebagai seorang big boss ia berhati lembut. Semua para preman teratur bahkan status Arci sekarang melebihi status seorang pimpinan daerah sekali pun. Di mana-mana dia dihormati, ingin pergi ke restoran manapun, tempat nongkrong mana pun tak pernah ada yang berani membantahnya. Bahkan jika ia mau ingin membooking satu gedung bioskop sendirian pun dia bisa. Sayangnya sang Godfather ini berhati lembut, walau pun dia bisa marah.
Untuk beberapa menit lamanya Arci dan Ghea hanya berdiri di taman itu. Rambut Arci mulai memanjang, ia tak pernah mencukurnya selama di penjara. Malam semakin larut dan hawa dingin kota ini mulai menusuk membuat beberapa kali Ghea mengusap-usap lengannya.
"Aku tahu di sini tempatnya bukan?" tanya Arci.
"Maksudnya?"
"Tempat untuk pertama kalinya kamu jatuh cinta kepadaku, pertama kalinya kamu menciumku."
Pipi Ghea memerah. "Apaan sih?"
"Aku tahu karena waktu itu aku terjaga."
"Hah??"
"Hahahaha, maaf. Aku tak ingin menghancurkan harga dirimu waktu itu. Aku terpaksa pura-pura tidur, kalau aku terbangun kamu pasti akan sangat malu. Bahkan akan mungkin menembakku dengan pistol glock kesayanganmu."
"Kamu...," Ghea gemas dengan Arci.
"Aku ingin menikahimu."
"A..apa?"
"Aku ingin menikahimu."
Wajah Ghea makin memerah. Mungkin wajahnya sekarang sekarang seperti cabe merah. Jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Lelaki yang dicintainya ini benar-benar berkata seperti itu kepadanya.
"Kamu...yakin?" tanya Ghea.
"Aku butuh orang untuk menenangkan diriku. Dan kamu selama ini yang sanggup melakukannya. Mungkin big boss memang membutuhkan seorang pendamping sekuat dirimu. Dan aku memilihmu, maukah kamu?"
"Kalau saja hari ini aku membawa pistolku, aku ingin menembak kepalaku sendiri. Tentu saja aku mau."
Arci pun memeluk Ghea, sama seperti hari ini. Ketika mereka telah resmi menjadi suami istri. Arci membelai punggung Ghea. Ghea malam itu hanya memakai gaun tidur saja tanpa pakaian dalam. Ia telah mempersiapkan segalanya. Malam itu ia merelakan dirinya untuk orang yang sangat ia cintai. Arci mulai menurunkan tali baju Ghea, kulit putih mulusnya pun terpampang dari pundak, lalu turun ke buah dadanya hingga ke bawah. Ghea sudah telanjang. Dan Ghea mengambil inisiatif, ia membuka celana Arci dan menurunkannya, keduanya lalu maju mendekatkan diri saling memagut. Kedua bibir dan lidah bertemu, memilin, memutar dan saling menghisap.
Arci memegangi kepala Ghea agar tak pergi dari pagutannya. Keduanya kini terlena dalam luapan asmara. Ghea sudah menyerahkan semuanya kepada Arci, bahkan sekarang hidupnya pun diserahkan kepada lelaki ini. Mungkin inilah untuk pertama kalinya Ghea akan bercinta dengan rasa yang sesungguhnya. Arci perlahan-lahan mengubah ciumannya ke leher, leher wanita ini dihisapnya kuat, sehingga membekas sebuah cupangan cinta. Darah Ghea mulai mengalir ke ubun-ubun ketika batang kemaluan Arci menyentuh perutnya. Batang itu tetap keras dan perkasa dengan otot-ototnya berurat yang pernah memuaskan dirinya. Arci menuntun Ghea hingga berbaring di ranjang.
Ghea terlena dengan perlakuan pria yang sekarang menjadi suaminya ini. Sangat lembut. Siapa bilang singa betina harus ditaklukkan dengan cara kasar? Buktinya lelaki ini telah menaklukkan dirinya dengan cara yang sangat lembut. Entah mengapa Ghea sudah merasa basah padahal ia baru berpagutan dengan Arci. Kali ini ketika puting susunya yang kencang itu di hisap badannya melengkung, seolah-olah ia berkata, "Hisaplah, nikmatilah ini!"
Puting Ghea yang berwarna pink ini terus dimainkan dan dikenyot oleh Arci. Lidah Arci dengan lembut memutar-mutari puting yang sekarang sudah mengeras itu. Ghea pun melenguh. "Ohhh...sayangku, aku suka kau gituin."
Arci meremas-remas dua buah payudara sekal itu. Walaupun tak sebesar milik istrinya dulu, tapi buah dada mulus dan sekal itu tak akan mungkin bisa dinikmati. Bau parfum Ghea wangi sekali, bahkan membuat Arci mabuk kepayang. Lidah Arci kembali menelusuri belahan toket itu, dengan lembut mengenyot lagi putingnya kalau tadi yang kanan sekarang yang kiri. Ghea pasrah, benar-benar pasrah. Bahkan kalau saja ada pembunuh bayaran yang sekarang menembak kepalanya pun pasti akan berhasil. Ghea melayang, jiwanya seperti terbang ke langit ke tujuh. Arci memberikan cupangan-cupangan cinta di buah dadanya, sambil sesekali ia menatap mata Ghea yang terpejam menikmati setiap sentuhan dirinya.
Arci menaikkan tangan Ghea. Pemandangan ketiak putih tanpa bulu terpampan di hadapannya. Arci pun menghisapnya, menjilati setiap inchi, lidahnya pun sampai mengkilat berada di ketiak Ghea.
"Aaahhh....kamu buat aku geli....Cici...aku mau nyampe!" jerit Ghea.
Dia berusaha melepaskan diri dari cengkraman Arci hingga tubuhnya lagi-lagi melengkung dan kedua pahanya mengapit. Ya, hanya perlakuan seperti itu saja Ghea orgasme, ia sendiri tak percaya terhadap apa yang terjadi dengan dirinya. Dia bisa menikmati hubungan intim ini. Arci ternyata masih belum puas, ketiak Ghea tetap dia hisap dan jilat walaupun Ghea sudah meminta agar jangan dilakukan dan dia meronta, hingga ia orgasme lagi. Ghea membelalakkan matanya dan melihat Arci tersenyum.
"Aku dua kali keluar hanya kamu gitukan? Ohh...sayangku...entah apa yang terjadi denganku. Mungkinkah sekarang ini aku sangat bahagia?"
"Bisa jadi."
Arci bekerja lagi. Ia kini menciumi setiap lekukan tubuh Ghea, hingga ke pusar, perutnya lalu menyasar di sebuah daging belah berwarna pink dan tembem. Ia mencium belahan kemaluan Ghea. Tubuh Ghea gemetar hebat, makin banyak cairan yang keluar melalui liang senggamanya, makin melayang pula dirinya. Arci menghirup cairan itu, apapun yang ada di tempat itu ia hisap semuanya. Lidahnya pun menelusuri garis merah yang membelah vagina Ghea. Ketika bertemu klitoris Ghea, Arci menghisap kuat.
"AAaahhhkk!" pekik Ghea. Gelombang orgasmenya mulai datang lagi. Arci menari-narikan lidahnya di sepanjang belahan vaginanya dan setelah menyentuh klitorisnya ia menggigit kecil.
"Sudah Cii...aku tak tahan lagi...!" Ghea meminta-minta.
Arci menyudahi aksinya, hal itu membuat Ghea bisa bernafas lega. Ia benar-benar sudah banjir. Arci tiba-tiba saja memutar tubuhnya, hingga sekarang ia mengarahkan batang kemaluannya ke mulut Ghea. Ghea menghirup aroma batang kejantanan Arci. Ia rindu sekali aromanya, bibirnya mulai mengecup batang itu.
"Batang ini keras, panjang, dan sempurna. Ohhh...aku rindu sekali!" kata Ghea.
Ghea merindukannya, tentu saja karena ia hanya sekali merasakan batang itu. Kini ia puas-puaskan menikmati batang itu. Ia pun menjilati seluruh permukaan batang kemaluan itu. Batang itu ibarat es krim yang tak bisa meleleh, tangan Ghea menggelitik buah peler Arci, sengatan-sengatan listrik mulai dirasakan Arci, terlebih ia seperti menyerahkan batang itu kepada Ghea untuk dikulum. Seorang cewek berambut merah dengan mata hijau seksi tanpa busana sekarang sedang mengulumnya. Lelaki manapun pasti ingin membayar berapapun untuk bisa menikmati bibir seksi Ghea. Terlebih Ghea mengulum penis itu seperti lolipop. Terkadang ia masukkan penuh terkadang ia buat mainan. Ghea makin kelonjotan ketika Arci kembali memainkan vaginanya. Dengan gaya 69 ini, Ghea kalah lagi. Dia orgasme lagi.
"Sayang, sudah dong. Aku tak kuat lagi," kata Ghea. Ia sekarang seperti cacing kepanasan yang menggelapar-gelepar di atas aspal yang panas.
Arci kemudian melepaskan Ghea. Dia sekarang berada di atas Ghea dan memeluknya. Ditindihnya tubuh sintal wanita Kaukasia itu. Arci tak sulit untuk menemukan lubang sarang senjatanya. Begitu menancap ia pun mendorong.
"Oouuhhhfff...!" lenguh Ghea.
Batang itu meluncur pelan. Keras dan mantab. Menyeruak ruang-ruang yang belum terjamah. Arci masuk lagi ke lubang ini. Tapi kali ini batangnya lebih keras, mungkin karena ia ingin bersungguh-sungguh bercinta dengan Ghea. Kini ia akan mencintai Ghea, toh dia sudah jadi suaminya bukan? Arci seperti memberikan tenaga ke dalam liang senggama Ghea. Membuat Ghea lagi-lagi merasakan kemaluannya penuh seperti tak ada ruang lagi di dalam sana.
"Besar...mantab...sempurna!" bisik Ghea.
"I love you," bisik Arci.
Perasaan Ghea melayang sekarang ini, "I Love You too Handsome!"
Arci mulai menggenjot Ghea. Awalnya pelan sambil berpanggutan, lama-lama makin cepat, lama-lama makin bernafsu. Pinggul Arci naik turun, seirama kocokan pada batangnya, suara kecipak lendir liang senggama Ghea membuat suasana kamar mereka makin panas. Arci sesekali melirik ke cermin yang ada di kamarnya. Ia melihat tubuhnya sendiri, Ghea mengakang di bawahnya, dan ia bisa melihat jelas bagaimana tubuhnya menusuk-nusuk kemaluan Ghea. Melihat itu Arci makin bergairah dan makin cepat menggenjot istrinya.
Ghea merasakan penis Arci makin keras, berkedut-kedut, menusuk-nusuk rahimnya. Agaknya pertahanan Arci akan bobol.
"Kamu ingin keluar?" tanya Ghea.
"Iya"
"Cum inside me please!"
"Oyeah...here we go.... I'm Cumming...awwwww!"
"Aaahhhkk!"
Mulut Ghea membentuk huruf O. Tubuhnya mendekap Arci erat seperti tak ingin melepaskan dia. Ia meliuk-liukkan pinggangnya, ingin agar vaginanya penuh. Tapi sudah mentok. Dan benar saja Aci menembakkan spermanya dalam-dalam. Batang kemaluannya berkedut-kedut. Semburan milyaran sel sperma kembali lagi masuk ke dalam liang senggama Ghea. Kali ini Ghea tak takut lagi dia dibuahi oleh Arci. Dia ingin spermanya, ia ingin sperma kental lelaki ini masuk ke dalam rahimnya membuahi telurnya. Ghea bisa merasakan rahimnya tersiram semburan sperma itu. Ia menggelinjang dan orgasme lagi.
Kedua insan ini untuk semenit lamanya terengah-engah. Peluh mulai bercucuran dari keduanya. Arci tak pernah membayangkan akan bercinta seperti ini dengan Ghea. Bercinta dengan penuh perasaan. Ia sepertinya ingin menumpahkan seluruh perasaan yang pernah ia miliki kepada Safira dan Andini untuk Ghea. Dan ia telah tumpahkan semuanya sekarang. Ghea menerima cinta Arci, menerimanya dengan tangan terbuka. Dan semburan cintanya benar-benar telah bersarang di rahimnya.
Keduanya berpagutan hangat. Lembutnya bibir Arci membuat Ghea mabuk kepayang. Arci mencabut penisnya perlahan-lahan. Dia melihat hasil kerja kerasnya. Sebuah lelehan cairan kental berwarna putih meleleh dari lubang kenikmatan milik Ghea. Ghea pun tertidur karena kelelahan. Sungguh sebuah hubungan intim yang hebat. Arci mengakhirinya dengan kecupan lembut di kening istrinya, lalu menyelimuti istrinya. Dia bangun.
Dia lalu duduk sambil merenung. Kembali siluet masa lalunya datang. Dia memang sudah terlalu jauh melangkah. Dia tak pernah merasa bahagia. Selama ini dia hanya bersama ibu dan saudara-saudaranya saja. Sebenarnya hidup bersama mereka sudah cukup bahagia. Ia tak perlu ini semua. Entah kenapa ia waktu itu menyetujui begitu saja menjadi pewaris Archer. Ia sebenarnya bisa saja menolak. Hanya karena harta orang-orang yang dicintainya pergi. Dia menoleh ke wajah Ghea yang kini pulas tertidur karena kelelahan. Mungkin inilah saatnya ia akan mendapatkan kebahagiaan. Apakah memang Ghea adalah cinta sejatinya sekarang?
Arci menghela nafas. Sekali lagi ia teringat dengan Safira. Ia masih ingat bagaimana kakaknya itu menyentuhnya. Ia juga masih ingat bagaimana Andini menyentuhnya. Kedua orang ini adalah cinta pertamanya. Dan ia tak akan bisa melupakannya begitu saja. Arci sudah bertekad agar dia bisa membahagiakan Ghea. Semoga saja bisa.
* * *
Pagi telah datang. Ghea terbangun. Matanya terbuka dan menyapu sekitar. Tak ada Arci di sampingnya. Tubuhnya serasa sakit semua. Tadi malam adalah sex yang paling hebat dalam hidupnya. Ia tak pernah bercinta seperti itu. Dan ia merasa puas, sebuah kelelahan yang tidak pernah ia sesali. Dengan langkah gontai ia beranjak dari ranjangnya.
Arci saat itu sudah memakai baju rapi, kemeja lengan panjang warna putih dan sebuah jas hitam. Dia akan menemui seseorang hari ini. Ghea mendengar suara mobil di luar rumah. Ia mengintip dari jendela dan tampak suaminya sudah berpakaian rapi melajukan mobilnya. Dia penasaran kenapa pagi-pagi sekali Arci sudah pergi?
Setelah beberapa waktu melaju dan berputar-putar, bergelut dengan padatnya lalu lintas, Arci pun tiba di sebuah rumah. Ini adalah rumah kontrakannya dulu. Ia menghabiskan waktu di sini bersama Safira. Kenangan itu tak akan pernah hilang. Untuk beberapa waktu lamanya ia hanya termenung di tempat itu, kemudian ia melanjutkan lagi perjalanannya hingga menemui sebuah rumah yang berada di pinggiran kota. Rumahnya teduh dan tampak ditanami tanaman hias.
Ketika Arci tiba, seseorang dari dalam rumah keluar. Dia adalah Araline. Dia membawa tongkat sambil dipapah oleh suaminya. Johan membisikkan sesuatu ke telinga wanita buta itu.
"Ibu?!" sapa Arci.
"Arci?"
Arci segera memeluk Araline dan Johan.
"Kamu tak apa-apa, nak? Kamu baik-baik saja?" Araline berkali-kali mengusap wajah Arci.
"Iya. Kabar kalian?"
"Kami mulai menata hidup. Kurasa, semuanya akan baik bila bersamamu," kata Johan.
"Aku berterima kasih kepada kalian. Aku tetap akan menatap masa depanku. Mungkin peristiwa kemarin membuatku lebih kuat lagi. Aku berterima kasih karena kalian baik kepadaku. Dan aku minta maaf karena tidak mengundang kalian kemarin."
"Mengundang?" Araline heran.
"Aku dan Ghea kemarin menikah."
"Ghea? Ya ampun, betulkah itu? Aku tak menyangka Ghea bisa juga takluk ama lelaki. Hahahaha," Araline tersenyum.
"Ibu, untuk itu aku ingin mengajak kalian makan siang di restoran yang kalian inginkan."
Araline dan Johan tertawa. Paling tidak Arci ingin memberikan kebahagiaan juga kepada mereka. Siang itu pun mereka makan bersama, bercanda dan tertawa. Tak ada lagi raut kesedihan pada wajah Araline. Makan siang itu terasa nikmat, terasa hangat. Hingga sebuah panggilan telepon diterima Arci. Dari Ghea.
"Ada di mana?" tanya Ghea.
"Ada di tempat Araline," jawab Arci.
"Ahh...kita belum mengundang mereka," kata Ghea cemas.
"Kamu mau ngobrol dengan mereka?"
"Kasihkan! Kasihkan!" kata Ghea.
Arci menyerahkan ponselnya ke Araline. "Dari Ghea."
Araline menerimanya, "Ghea?"
"Tante? Maaf ya, kemarin tak diundang. Soalnya memang kami tidak bikin pesta yang meriah."
"Tak apa-apa. Tante mengerti, selamat yah. Kamu sekarang dipilih oleh Arci, tetaplah di sampingnya. Dia butuh seorang wanita yang kuat sepertimu. Agar di saat dia rapuh akan ada yang selalu menjaganya. Ah, bagaimana kamu bisa ditaklukkan oleh dia?"
Arci nyengir mendengar Araline bicara seperti itu. Johan tertawa keras.
"Ah, tante ini entahlah," Ghea tersipu-sipu.
* * *
Setelah acara makan siang itu Arci menemui seseorang lagi. Siapa lagi kalau bukan Yuswo. Yuswo dirawat di rumah sakit karena kanker paru-paru. Ternyata kebiasaannya merokok membuat paru-parunya sekarang berlubang. Melihat Arci datang semua orang yang ada di luar kamar langsung menyambutnya. Mereka semua tentunya tahu siapa Arci, sang pewaris kekuatan Yuswo. Begitu masuk ke dalam kamarnya, Arci langsung bertemu dengan Yuswo yang sedang diapit oleh istri dan anaknya. Melihat Arci masuk, Yuswo memberi isyarat agar mereka semua pergi kecuali Arci. Setelah ruangan itu hanya ada dua orang saja, Arci duduk di kursi.
"Merokok bisa membunuhmu, agaknya benar kata-kata itu," kata Arci.
"Ironis kan? Selama puluhan tahun jadi preman, rokok malah membuatku seperti ini. Hahahaha uhuk...uhuk...uhuk..!" kata Yuswo terbatuk-batuk, ia mengambil masker oksigennya lalu menghirupnya.
"Aku berterima kasih," kata Arci.
"Kenapa berterima kasih kepadaku? Aku yang harusnya berterima kasih kepadamu. Karena kalau bukan kamu yang membiayai rumah sakit ini lalu siapa? Hehehehe, lagi pula aku senang sudah punya penerus hebat sepertimu. Kota ini sudah kamu kuasai. Kamu punya segala-galanya sekarang. Kemanapun kamu pergi akan dihormati. Aku memang sudah waktunya pensiun, kamu masih muda. Jalanmu masih panjang."
"Aku belum menemukan Tommy. Polisi juga mencarinya. Selama lima tahun ini entah ia bersembunyi di mana," kata Arci sambil memberikan wajah penyesalan.
"Tak usah khawatir. Tak perlu kau khawatirkan dia. Hidupnya sekarang pasti menyedihkan karena ia tak lagi bisa kembali ke kota ini. Kota ini seperti tak akan bisa menerima dia lagi. Setiap sudut kota punya mata yang akan membuat dia merasa diawasi dan setiap hembusan angin di kota ini akan membuat ia terasa sesak."
"Aku kemari hanya ingin mengucapkan terima kasih"
"Sudah kubilang, tak perlu berterima kasih."
"Justru, kalau aku tidak berterima kasih, aku sama saja seperti murid durhaka kepada gurunya."
Senyum tergurat di bibir Yuswo sang preman pensiun. Ia pun menghela nafas. "Sudah, sudah, sekarang pergilah. Engkau mengganggu istirahatku saja."
Arci tertawa, "Aku akan menunggumu di luar. Kudengar baru dibuka kolam pemancingan baru, kuharap kita bisa mancing di sana bersama."
"Mancing itu bikin tua, kamu tak pantas."
Sekali lagi Arci tertawa.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Sorenya Arci tiba di rumah Lian. Ibunya tampak sedang menulis sesuatu. Dia sekarang menekuni bidang fashion. Ternyata semenjak Arci di penjara dirinya banyak berubah. Pensiun dari dunia perlendiran dan mengantarkannya ke dunia yang sangat baru. Setidaknya kalau anaknya mempunyai sebuah perusahaan textil dia juga harus bisa juga di bidang ini. Selama tiga tahun ia menekuni mode. Mendesain busana dan membuatnya. Pekerjaannya ini menghabiskan waktu juga. Putri sekarang sedang sibuk-sibuknya karena akan masuk kuliah. Rumah terlihat sepi. Begitu Arci masuk, Lian langsung menyambutnya.
"Dari mana?" tanya Lian.
"Dari berkeliling-keliling," jawab Arci.
Rumah yang ditempati oleh Lian adalah rumah Archer. Sengaja Lian memilih rumah ini agar kenangannya bersama Archer bisa kembali lagi. Mungkin berbeda dengan semua yang pernah ia rasakan tentang kenangan pahit maupun manis, tapi bagi Lian kenangan dengan Archer adalah kenangan yang paling manis. Dia sampai sekarang masih bisa merasakan bagaimana bibir Archer menciumnya untuk pertama kali.
"Bagaimana kabar Putri?" tanya Arci sambil menuju ke dapur mengambil air minum.
"Yah, kamu tahu sendiri, sibuk dengan kuliahnya," jawab ibunya.
"Kudengar dia ngekos, kenapa nggak tinggal di sini saja?"
"Yah, kamu tahu sendiri. Dia tak mau dimanjakan oleh kakaknya. Lagipula, kalau misalnya kamu ada terus di dekat dia, mana dia laku? Cowok-cowok di sekolahannya dulu saja sampai nggak mau dekat karena takut ama dirimu."
Arci tertawa. Ia membuka penutup makanan di meja dapur. Ada tongseng cumi dan semangkuk sup.
"Makan saja, kalau lapar," kata Lian.
"Sebenarnya aku tadi sudah makan, aku ambil cuminya saja deh," kata Arci sambil mengambil beberapa sendok tongseng cumi.
Lian pun ikut nimbrung di meja makan. Mereka pun kemudian bercerita banyak hal. Sudah lama Arci tidak bicara seperti ini dengan ibunya. Ia jadi merindukan kehadiran Safira. Biasanya di saat seperti ini Safira pasti menggodanya dengan mengambil makanan yang ada di piringnya.
"Aku jadi teringat Safira," Arci memulai lagi. Ia menyudahi makannya. Lian pun beranjak dan memeluk kepala anaknya. Air mata Arci meleleh. Ia sangat rindu kakaknya itu.
"Ssshh...sudah, nggak usah difikirkan," kata Lian. "Kamu sekarang tabah saja, lupakan hal yang sudah lalu. Ibu juga kehilangan, karena Safira lahir dari rahim ibu."
Ponsel Arci berbunyi. Dari istrinya.
"Halo?!" sapa Arci.
"Di mana sayang?"
"Di rumah ibuku...srrk..," Arci mencoba menghapus air matanya.
"Apa yang terjadi? Kamu menangis?" tanya Ghea.
"Iya, tapi nggak apa-apa koq. Hanya teringat kenangan lama," jawab Arci.
"Oh, aku mengerti. Ya sudah, nginap saja di sana kalau itu bisa membuat hatimu jadi lebih baik," kata Ghea.
"Baiklah, mungkin seperti itu. Lagipula ibu sendirian di sini, aku ingin menemani beliau dulu hari ini," kata Arci.
"Dari Ghea? Boleh ibu bicara?" tanya Lian.
Arci menyerahkan ponselnya.
"Ghea??" Lian pun mulai bicara.
Arci tak mempedulikan apa yang dibicarakan oleh ibu dan istrinya. Mereka ngobrol soal rumah, kadang soal pekerjaan, cukup lama berteleponan. Arci menghapus air matanya. Hidupnya sudah berubah, walaupun kedua orang yang dicintainya sudah pergi, tapi ia masih tak bisa melupakan mereka berdua. Mungkin karena ia sangat mencintai keduanya. Dan ibunya? Ya, mereka pernah bercinta. Tapi semenjak Arci dan Safira lebih sering bersama ia tak pernah lagi berhubungan intim dengan Lian. Lian sekarang sudah lima puluhan tahun, tapi badannya masih bagus. Arci bisa melihat kulitnya hanya sedikit yang keriput, tapi masih mulus. Badannya masih segar, buah dadanya masih montok. Arci mengambil air minum dan meneguk gelas yang sudah terisi air putih sampai habis.
Lian menyerahkan ponsel Arci dan meletakkannya di meja makan. "Kamu nginap di sini saja, temani ibu."
Arci berdiri dari kursi tempat ia duduk. Keduanya saling bertemu muka. Lian jadi teringat dengan wajah Archer. Archer tak hanya mewariskan hartanya kepada Arci, tapi juga wajah dan sifatnya. Mungkin karena asupan protein dan rasa rindunya kepada Safira membuat Arci sedikit horni, terlebih kalau ia teringat dulu ia juga pernah menjamah tubuh ibunya sendiri. Hal itu terjadi karena Lian yang menginginkannya, di saat ia sangat horni. Tapi entah kenapa sudah lama mereka tidak melakukannya lagi dia pun terasa rindu. Dia tak pernah melakukan sex lagi setelah terakhir kali bercinta bersama Arci. Pernah sekali dua kali ia mastrubasi sendiri saat mendengar Safira dan Arci bercinta di kamarnya. Tapi Lian masih butuh yang namanya seks.
"Malam ini, kamu mau melakukannya dengan ibu?" tanya Lian.
"Tapi aku sudah beristri, aku tak bisa melakukan itu lagi," jawab Arci.
"Sekali dan terakhir. Tolonglah, sekali saja. Aku tak akan pernah meminta kepadamu lagi. Kamu boleh minta ibu apa saja, lakukanlah. Semenjak ibu tahu hubunganmu makin dekat dengan Safira, ibu sebenarnya juga ingin. Tapi ibu selalu menahan. Dan selama itu pula ibu tak kuasa menahan hasrat ingin bercinta. Kamu bisa menolongku? Kali ini saja, malam ini. Hajar ibumu ini sampai lemas, please...!"
Arci menghela nafas. Dia tahu tak mungkin menolak. Ghea juga tahu hubungannya dengan Lian, tak sekedar hubungan ibu dan anak. Walau Ghea tak mempermasalahkan hal itu, tapi Arci merasa berdosa. Arci kemudian memeluk ibunya. Lian pun tenggelam dalam dekapan anaknya yang memakai parfum khas prianya itu. Parfum yang membuat birahinya hadir.
Arci kemudian perlahan-lahan menggelitik tubuh Lian. Lian tertawa geli. Wanita paruh baya ini berjalan menjauh. Arci mengejarnya hingga mereka berada di kamar Lian. Wanita ini tentu ingat ini kamarnya, kamar penuh kenangan di mana selama tiga hari tiga malam Archer menggenjot dia tanpa ampun. Mereka hanya istirahat untuk makan dan mandi, tapi setelah itu kembali mereka lakukan lagi dan lagi. Hingga mungkin karena itulah Arci bisa lahir.
Di dalam kamar, Arci membantu Lian melepaskan bajunya. Lian saat itu hanya memakai kemeja dan celana pendek. Pakaian sehari-hari di rumahnya tentu saja. Walaupun usia Lian sudah berkepala lima, tapi bodynya masih sekel. Tak perlu menunggu waktu lama ketika keduanya sudah telanjang. Lian segera berlutut di depan Arci. Dia tersenyum kepada Arci ketika batang kejantanan anaknya sudah menyentuh mulutnya. Arci minta dipuaskan. Segera mulut Lian yang lembut mengemut batang itu.
Ia akan kerahkan seluruh kemampuannya sebagai pelacur high-class. Arci harus merasakan bagaimana dia menservis para pelanggannya hingga klepek-klepek. Kepala penis pemuda ini pun dipelintir dengan lidah Lian, membuat Arci mendesis sambil memejamkan matanya. Arci memegangi kepala Lian, kemudian pinggulnya bergerak maju mundur. Batang berurat itu keluar masuk di mulut Lian, bahkan masuk hingga dalam. Membuat Lian sedikit terbatuk-batuk. Tapi ternyata Arci tak mau menghentikan itu, ketika Lian tersedak, ia diam sebentar, kemudian Arci menggenjot kepalanya. Lian pasrah ketika anaknya berusaha memuaskan diri dengan mulutnya, ia hanya membantu Arci meremas-remas buah pelernya saja.
Setelah puas, Arci menarik tubuh Lian agar berdiri. Mereka pun berpagutan. Saling melumat, memberikan esensi rasa birahi. Arci mendorong ibunya hingga berbaring di atas ranjang. Ia tarik tubuh ibunya sehingga bibir kemaluan ibunya berada di pinggir ranjang, segera ia tempatkan kepala penisnya tepat di liang senggama wanita itu. Tak terasa ibunya sangat basah.
Arci pun menusukkan kemaluannya yang sudah keras itu masuk, meluncur dengan mudahnya menyeruak dinding yang sudah bertahun-tahun tak dimasuki. Lian memekik.
"Aaahh...anak ibu masuk lagi...Ahhh...luar biasa...hmmmhhh...!" jerit Lian.
"Aku ngentotin kamu lagi, ...Lian!" bisik Arci. Ya, Arci tak memanggilnya dengan ibu.
Dia menggenjot tubuh wanita paruh baya itu. Tubuh Lian menerima respon yang tidak biasa. Ia sepertinya menginginkan lebih dan lebih. Bukan sekedar pemuas nafsu saja. Ia ingin bisa mencintai Arci sebagai seorang kekasih, tapi apakah bisa? Apakah Arci akan menolaknya? Tidak. Harus.
"Kamu...mmau...khan... mencintai ibu .... seperti kamu ... mencintai ....Safi...ra...danhh....Andini?" tanya ibunya yang ngos-ngosan karena digenjot anaknya.
"Kamu spesial Lian, kamu spesial," Arci menghentikan sodokannya. "Andai tak ada Safira dan Andini, aku pasti akan mempunyai anak darimu."
"Aku sudah menopause, kalau aku bisa beri anak, aku akan berikan anak," kata Lian.
"Boleh kupanggil kamu dengan namamu saat bercinta?"
"Iya. Lakukanlah, malam ini aku milikmu."
Arci tersenyum mendengar hal itu. Kemudian ia cabut penisnya dan membalikkan tubuh Lian, dan kini ia sodok memek Lian dari belakang. Lian menjerit, penis Arci serasa penuh di dalam sana. Membuat matanya merem melek ketika Arci menyodoknya dengan gaya doggie.
Berbagai gaya mereka lakukan, sodokan-demi-sodokan membuat Lian belingsatan. Arci tumpahkan seluruh spermanya di mulut dan vagina ibunya. Malam itu mereka bercinta hingga benar-benar kantong menyan Arci kering. Vagina Lian bahkan sampai menggumpal putih karena penuh dengan sperma anaknya.
* * *
Pagi harinya Arci sudah bangun. Ia mandi kemudian memakai bajunya. Siap untuk pergi. Sebelum pergi ia cium kening ibunya yang sekarang tertidur, karena kelelahan terhadap aktivitas tadi malam. Tampak bekas lelehan sperma di wajah, dada dan vagina ibunya sudah mengering. Ya, tadi malam mereka bercinta dengan sangat hebat. Lian sekali lagi jadi teringat saat-saat dia menggunakan tubuhnya dulu. Ia tak pernah menyangka sekarang jadi membutuhkan anaknya. Mungkin setelah ini Arci harus memberikan menjatah lagi kepada seorang wanita selain Ghea.
Tahun demi tahun berlalu.
Mungkin yang disebut dengan masa kejayaan adalah seperti sekarang ini. Di mana Arci menjadi penguasa. Walaupun ada struktur pemerintahan, tapi dia lebih bisa disebut sebagai penguasa sejati. Dia menguasai kota yang ia tinggali, mengawasi setiap bisnis-bisnis gelap di kota ini, dan juga mengeksekusi orang-orang yang tidak mengikuti perintahnya. Semenjak Yuswo meninggal dia lebih banyak menghabiskan diri di tempat di mana Yuswo selama hidupnya di sana. Banyak orang yang loyal kepadanya. Tapi juga ada yang mengkhianatinya.
Dari Ghea, Arci mempunyai anak. Sekalipun menjadi ibu, bukan berarti kemampuan Ghea menurun. Dia tetap sebagai seorang wanita yang mahir dalam melakukan sesuatu yang tidak lazim. Bahkan ada sebuah kejadian di mana dia harus membacok orang di depan umum dengan katana yang ia miliki karena berani menggoda dia.
Ceritanya adalah ketika dia sedang berbelanja di pasar. Semua orang juga tahu siapa Ghea di pasar tradisional itu. Kebetulan saat itu Ghea mendampingi Arci dan Arci meninggalkannya sebentar karena ada suatu urusan. Datanglah orang yang tidak dikenal menggoda Ghea. Awalnya ia menepuk pantat Ghea. Semua orang langsung menyingkir saat itu, ya mereka takut. Tapi dengan sombong orang itu malah tertawa.
"Kalian kenapa?" tanya orang itu heran. "Maaf nona, punya nomor telepon?"
"Masnya orang baru di sini?" tanya Ghea.
"Oh, iya. Kenalkan namaku Karebet," jawab lelaki yang bertatto itu. Dia memang baru tiba di Malang. Hari ini harusnya ia bekerja sebagai salah satu anak buah Arci, mengawasi pasar. Tapi agaknya hanya diberi kekuasaan sedikit lelaki ini sombong.
Ghea tersenyum mendengarnya, ia berbalik hendak meninggalkan orang itu. Tentu saja ia tak ingin berurusan panjang dengan lelaki itu. Mata hijaunya ternyata telah menggoda lelaki itu. Segera lelaki itu menghadang jalannya.
"Ayolah nona, siapa tahu kita bisa kenal lebih dekat. Nona tahu siapa saya? Saya orang yang menguasai pasar ini. Nggak akan ada yang berani sama saya," kata orang itu.
Ghea tersenyum. Dia memberikan aba-aba. Tiba-tiba seseorang berkacamata memakai jas dan dasi hitam berkemeja putih mendekat kepadanya sambil membawakan dia sebilah katana. Tentu saja lelaki yang menggodanya terkejut bukan main.
"Lho, lho, lho?"
Ghea segera mengayunkan katana itu hingga menebas leher si lelaki hidung belang itu. Baru diberi sedikit kekuasaan dia sudah berlagak. Darah langsung mengucur dari leher yang tertebas. Ajudan Ghea segera membuka payung agar darah lelak itu tidak mengotorinya. Ghea lalu pergi meninggalkan tubuh yang sudah tak bernyawa itu ambruk.
Arci buru-buru datang ketika diberi kamar bahwa anak buahnya dibunuh oleh Ghea. Ia tiba di tempat kejadian perkara dan melihat orang-orang berkerumun. Ghea tampak berada di mobil menunggu sambil bermain bersama anaknya. Arci hanya menggeleng-geleng.
"Ahh...dasar preman, susah diatur," gumam Arci sambil melihat mayat orang yang tidak beruntung itu. Sepuluh tahun kemudian......
Arci berdiri di sebuah makam. Batu nisan itu bertuliskan Rahma. Di sebelahnya tampak Singgih dengan kursi rodanya. Mereka berdua menatap batu nisan itu.
"Sungguh aku iri kepadamu," ujar Singgih.
"Iri kenapa? Kehidupan yang kelam sepertiku tidak pantas engkau iri."
"Bukan, bukan itu. Aku iri, karena engkau seharusnya bisa bersama Rahma."
"Apa maksudmu?"
"Aku membaca buku harianya."
Arci menoleh ke arah Singgih.
"Dia memang masih mencintaiku, tapi semenjak ia mendekatimu, semenjak kau pura-pura dekat dengan dia, ia mulai suka kepadamu. Hanya saja ketika tahu kamu membawaku kembali ke sini, ia jadi bimbang. Ia merasa tak enak. Ia selama ini sebenarnya menahan rasa sakit, terhadap seorang rekan kerja yang ia cintai, tapi harus menerima kenyataan pahit bahwa lelaki yang disukainya bersama wanita lain."
Arci tak bisa bicara apa-apa. Hanya diam.
"Tapi tak mengapa, aku sadar dengan kekurangan yang ada pada diriku. Rahma lebih tertarik kepadamu. LDR memang membuat hidupku hancur. Seharusnya kamu tak membawaku pulang. Aku baru tahu kalau hatinya sesakit itu. Tapi ia berusaha baik kepadaku dan belajar mencintaiku dengan segala keterbasan ini. Dia wanita yang paling baik."
"Ya, dia wanita yang baik."
"Kamu sudah punya anak?"
"Ya, anakku laki-laki. Mungkin sekarang sedang bermain bersama ibunya."
"Ah,..dari dulu Rahma dan aku ingin punya anak laki-laki juga. Selamat buat kamu dan Ghea."
"Aku akan meninggalkanmu sendiri. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Aku habis ini menjemput istri dan anakku."
"Hahaha, aku tak tahu wanita seperti Ghea bisa sefeminim itu sekarang. Padahal aku lihat dia seorang wanita yang tangguh."
"Percayalah ia tetap seperti itu."
Arci menyerahkan sebuah kotak remote kecil kepada Singgih. Ia letakkan di pahanya. Setelah itu Arci menepuk pundak Singgih dan pergi meninggalkan Singgih sendirian di depan kuburan istrinya. Singgih menghela nafas. Bebannya sedikit berkurang setelah ia menceritakan bagaimana perasaan Rahma kepada Arci. Dia menoleh ke sebuah arah. Tak jauh dari tempat dia duduk di atas kursi rodanya, ada seseorang dengan mulut dilakban dan tangan beserta kakinya terikat kuat. Seorang lelaki dengan mata yang nanar, pelipisnya berdarah dan bajunya robek di sana-sini.
Orang itu sudah berubah penampilan. Sangat berbeda dengan wajahnya beberapa tahun yang lalu. Ternyata operasi plastik telah mengubah wajahnya menjadi orang lain. Sayangnya hal itu tak akan bisa menyembunyikan sidik jari yang ia punyai. Wajah boleh berubah, tapi sidik jari tetaplah sidik jari. Kalau saja waktu itu Arci tidak tertarik kepada sebuah lukisan maka ia tak akan bisa menemukan orang ini. Ya, Tommy ditemukan dengan profesinya sebagai pelukis. Wajahnya memang berubah, tapi ketika Arci menyelidiki sidik jarinya, ia yakin bahwa pelukis itu adalah Tommy.
Arci sudah tak lagi dendam kepada Tommy. Ia tahu dendam hanya akan membuat penyesalan seumur hidupnya. Maka ia serahkan hidup Tommy kepada Singgih yang sangat kehilangan Rahma. Di tempat Tommy duduk ada sebuah bom tertanam di sana. Singgih hanya menekan tombol itu dan meledaklah Tommy.
"Seharusnya tak kamu lakukan itu," kata Singgih.
Tommy menggeleng-geleng. Mulutnya tak bisa bicara ia hanya melotot. Terlebih setelah Singgih menekan tombol remotenya.
DUAAARRR!
Tubuh Tommy hancur berkeping-keping. Setelah itu Singgih menyingkirkan remote kecil itu dengan sikunya. Seseorang datang kepadanya dan membantu dia untuk mendorong kursi rodanya. Dia adalah Catherine. Perasaan Singgih sekarang lega. Akhirnya Tommy sudah mati dengan tubuh berhamburan di sana-sini.
"Kita pergi," kata Singgih.
"Sekarang, kemana lagi?" tanya Catherine.
"Kembali ke London?"
"Boleh, siapa takut?"
* * *
Letnan Basuki sekarang bukan lagi letnan tapi komisaris diundang Arci ke kantornya. Bagi polisi yang diundang oleh Big Boss, tentu saja hal ini merupakan hal teraneh. Terlebih polisi sekarang sedang mencari-cari kesalahan yang bisa menjerat Arci. Sekarang hampir semuanya dikuasai oleh Arci, mulai dari mall, toko-toko, jalan-jalan, semua kota dikuasai olehnya. Kalau dulu ada keluarga Trunojoyo sekarang mereka tak ada apa-apanya setelah perusahaannya tumbang dan dibeli oleh Arci dengan harga murah.
Komisaris Basuki memakai baju biasa. Kemeja berwarna coklat dengan celana kain warna hitam. Sikapnya yang formal membuat ia dikenali sebagai polisi. Kantor tempat Arci berada sekarang dirombak. Gedungnya ketambahan lantai lagi, bahkan fasilitasnya sangat mewah. Arci sedang menanti dua orang tepatnya, seorang yang melamar kerja dan seorang tamu.
TOK! TOK! TOK! pintu diketuk.
Arci berkata, "Masuk!?"
Seorang lelaki berkumis berbadan tegap masuk ke dalam ruangannya. Dia adalah Komisaris Basuki. Arci mengangguk-angguk. Dia berdiri menyambut polisi itu. Ini perjumpaan kesekian kalinya. Setelah beberapa tahun lalu ia berseteru dengan sang polisi.
"Selamat datang, Komisaris," sapa Arci.
Komisaris Basuki mendekat dan menjabat tangan Arci. "Sudahlah, tak usah basa-basi lagi. Katakan apa yang ingin kamu katakan!"
"Aku hanya ingin kita bersahabat itu saja. Aku kemari dengan niat baik. Kita sudahi permusuhan ini, lagipula aku tak punya dendam kepadamu."
"Kamu memang tak punya dendam kepadaku, tapi jangan lupa kamu yang menggerakkan masa enam belas tahun yang lalu! Kamu membuat kekacauan di Malang, nyawa anak buahku tak terhitung yang tewas. Dalam sehari kamu buat kota Malang mencekam. Tapi aku cukup takjub kamu bisa punya mertua seorang pengacara handal. Tak kusangka kamu bisa memanfaatkan semua orang."
"Aku tak memanfaatkan siapapun. Bu Susiati sudah menganggapku sebagai anaknya. Aku juga mencintai putrinya."
"Agaknya aku sia-sia saja kamu panggil ke sini, aku tak akan bersahabat dengan kriminal sepertimu."
"Pak, aku berterima kasih."
Komisaris Basuki agak terkejut. "Berterima kasih, buat apa?"
"Berterima kasih karena telah menjagaku selama ini."
"Cih. Menjaga?"
"Ya, aku tahu apa yang dilakukan Letnan Yanuar. Aku tahu yang kalian inginkan. Sekarang ini aku memang telah menguasai kota ini, tapi dulu sebelum aku seperti ini kalian yang telah melindungiku. Melindungiku ketika para pembunuh itu ingin menghabisi seluruh keluargaku. Itulah sebabnya aku tidak pernah menyakitimu ataupun Letnan Yanuar."
Komisaris Basuki tertawa. "Kamu merasa begitu?"
"Begitulah."
"Sungguh bodoh," ujar Komisaris Basuki. "Aku tak ada urusan lagi denganmu. AKu cuma ingatkan kamu, usaha ilegalmu akan aku dapatkan dan kamu bisa mendekam lagi di penjara dalam waktu yang lama."
"Ini artinya Anda ingin menangkap orang yang telah menjadi penguasa kota ini, sedangkan semuanya yang ada di kota ini adalah rumah dan tempatku hidup? Itu artinya anda ingin menyalahkanku terhadap apa yang aku lakukan di dalam rumahku sendiri sedangkan anda sendiri adalah oang yang sekedar menumpang?"
Komisaris Basuki tak bicara. Ia terdiam tanpa menjawab.
"Well,... good luck!"
Komisaris Basuki mendengus, ia segera berbalik dan sebelum membuka pintu ia berkata, "Dulu, Letnan Yanuar sangat berharap engkau membuang semua kesempatan untuk bergabung dengan keluarga Zenedine. Tapi tampaknya hal itu tidak akan mungkin. Mungkin itu sebabnya kau kehilangan orang-orang yang kamu cintai."
"Ya, aku tahu. Ini adalah karma yang aku peroleh," ujar Arci.
Komisaris Basuki pun keluar. Arci menoleh ke dinding. Di dinding itu ada pigura-pigura yang berisi foto-foto. Ada dua pigura besar. Satu berisi foto Andini dan satunya adalah foto Safira. Keduanya tersenyum manis, Arci sengaja memajangnya ia merasa mereka berdua sekarang masih hidup, berdiri di sampingnya. Setiap hari ia merasa demikian. Terkadang juga bisikan-bisikan Andini masih terdengar di telinganya.
TOK! TOK! TOK! pintu diketuk.
"Masuk!" perintah Arci. Lamunannya pun buyar.
Seorang wanita masuk ke dalam. Dia seorang gadis yang cantik dengan baju atasan kemeja putih dan bawahan hitam. Ia pasti datang untuk interview. Ya, Arci sedang menunggu gadis ini.
"Maaf, tadi saya disuruh HRD langsung ke sini saja untuk interview," ujar gadis itu.
"Silakan duduk!" kata Arci. "Anda memang sudah ditunggu."
"Terima kasih pak," kata gadis itu.
Arci membuka sebuah stopmap folio. Di dalamnya ada data gadis itu. Ia memeriksa latar belakang pendidikan dan lain-lain. Arci tertarik ketika ternyata gadis cantik yang ada di depannya ini kuliah di Unbraw dengan IPK 3,9. Jurusan Tehnik Informatika, tapi melamar sebagai seorang sekretaris.
"OK, sepertinya saya tak perlu panjang-panjang bicara. Saya memang membutuhkan seorang sekretaris," kata Arci.
* * *
Komisaris Basuki keluar dari ruangan Presiden Direktur. Dia berpapasan dengan gadis dengan kemeja putih dan celana hitam tadi. Dia sepertinya agak-agak ingat dengan gadis itu. Namun ia pun mengangkat bahunya. Banyak ia temui gadis-gadis bahkan mungkin terlalu banyak sehingga ia pasti pernah melihatnya di suatu tempat.
Polisi ini serasa dilecehkan di kantor ini. Mungkin kalau Arci tak punya banyak beking, bisa jadi ia akan menghajar lelaki itu. Dia melihat kantor Arci yang sangat besar ini, semuanya berbeda sekarang. Para pekerjanya tampak sibuk, namun sebagian santai. Sebagian lain berdiskusi, sebagian lain sedang merancang sesuatu, apalagi kalau bukan produk fashion terbaru mereka. Komisaris Basuki berada di depan lift, hingga ia teringat dengan satu hal.
"Sebentar, .... gadis tadi....oh tidak, celaka!" segera Komisaris Basuki berbalik.
* * *
Di depan Arci gadis itu sekarang sedang menodongkan senjatanya ke arah Arci. Sebuah pistol Desert Eagle mengarah tepat ke kepalanya. Arci dengan santai tersenyum kepadanya.
"Siapa kamu ini?" tanya Arci.
"Kamu tak tahu aku? Tentu saja. Aku adalah anak Agus Trunojoyo. Kau dapat salam dari dia!"
Arci menghela nafas. Apakah ini yang namanya karma? Akhirnya setelah lama menunggu, akan ada orang yang senekad ini. Menodongkan pistolnya tepat dihadapannya. Arci tak akan bisa menghindar kalau dia menarik pelatuknya. Jaraknya terlalu dekat. Terdengar di telinga Arci suara gemetar. Gadis itu gemetar memegang pistolnya.
"Apakah kamu masih ingin hidup?" Arci bertanya kepada dirinya sendiri. "Aku sudah tak ingin hidup sejak lama. Nyawaku sudah pergi. Tembaklah kalau kamu ingin menembakku, jangan pernah ragu. Jangan gemetar seperti itu."
Gadis itu menatap tajam Arci, matanya berair. Entah kenapa keberaniannya berhenti ketika Arci memang berniat untuk mati.
"TEMBAK AKU! JANGAN PERNAH RAGU!" bentak Arci.
"AAAAAAARRRGGGHHH!" gadis itu berteriak histeris.
Komisaris Basuki teringat, ketika saat ia datang ke pemakaman Agus Trunojoyo. Dia ingat gadis itu, gadis kecil yang menangis meraung-raung di depan makam ayahnya. Dia teringat bagaimana gadis itu histeris sambil berteriak, "Aku akan bunuh dia, aku akan bunuh orang itu!"
"Brengsek! Kenapa dia bisa ada di sini!?" ujar Komisaris Basuki sambil mengumpat. Dia mengeluarkan revolvernya berlari kencang menuju pintu tempat di mana Arci berada. Semua orang terkejut karena suaranya larinya yang ribut sambil mengangkat senjata.
Sang polisi reserse itu pun menubruk pintu ruangan Arci.
BRRAKK!
"Gladis Trunojoyo! Hentikan!" Komisaris Basuki berada di pintu sambil menodongkan senjatanya.
Arci hanya tersenyum, ia memejamkan matanya. "Andini, Safira, aku datang......"
DOR!
(The End)
Perusahaan PT EVOLUS PRODUTAMA, sebuah perusahaan textil yang telah berkiprah selama puluhan tahun dan merajai pemasaran produknya di kancah pertextilan di Indonesia ini tak bisa dianggap remeh. Selama berpuluh-puluh tahun telah dianggap sebagai pioner bagi perkembangan dunia textil. Hasil produksinya telah diekspor kemana-mana, hal itu tidak lain adalah berkat tangan dingin sang pimpinan yaitu Haris Surya Ramadhan.
Andini hari ini lebih memilih tinggal di ruangannya sambil membaca berkas-berkas yang ada di mejanya. Tumpukan berkas itu pun ditelitinya satu-satu sambil serasa sesekali mengerutkan dahinya. Dia lalu mengoreksi dan mengoreksi. Dia memang butuh orang, ya tentu saja untuk membantu dia menyelesaikan pekerjaannya ini. Dia pun mengambil gagang telpon dan menelpon sekretarisnya Rahma.
"Rahma, bagaimana? Ada kabar dari HRD?" tanyanya.
"Iya bu, HRD sudah ada dua kandidat yang melamar. Tapi yang satu gugur karena tidak sesuai harapan. Pada test masuk dia gagal," jawab Rahma sang Sekretaris.
"Trus kapan pelamar itu datang?" tanya Andini ketus.
"Hari ini seharusnya datang," jawab Rahma.
"Kalau sudah datang suruh langsung menemui saya. Dan tolong berkas-berkas yang ada di ruangan saya diberikan kepada Pak Wiguna bagian distributor, sekarang."
"Baik bu"
Tak berapa lama kemudian Rahma muncul di pintu. Andini menunjuk ke tumpukan berkas yang ada di mejanya. Rahma segera mengambilnya. Rahma tampak serasi dengan balutan blus warna coklat dan rok selutut. Rambutnya disanggul dengan anggun, serta cara berjalannya sangatlah mempesona. Ya, sekretaris dari Andini ini sangat anggun. Bahkan mungkin seandainya bosnya tidak lebih cantik dari dirinya mungkin ialah yang bakal jadi primadona di kantor ini. Sayangnya Andini tak kalah cantik. Walaupun usianya hampir masuk ke angka 30, tapi dia boleh dibilang sebagai wanita yang sangat cantik, seksi, anggun dan menawan. Semua karyawan di kantor ini amat memuja kecantikan Andini. Dan beredar desas-desus tak enak karena dengan usia yang sudah hampir berkepala tiga dia tak terlihat dengan pria manapun. Banyak bos-bos yang jalan dengannya, tapi tak pernah lama.
Kabar angin mengatakan bahwa Andini adalah seorang lesbian. Kabar yang lain, ia sudah tunangan, kabar yang lain pula mengatakan bahwa ia lebih memilih hidup membujang karena termasuk wanita yang workaholic. Namun itu semua tidak terbukti. Toh, sampai sekarang Andini masih easy going, enjoy, dan free available, sebut saja sesukanya.
TOK! TOK! TOK!
"Permisi," sapa seseorang di pintu.
Sesosok wajah pria ganteng dengan rambut ala harajuku nongol di pintu. Andini dan Rahma menoleh ke arah pintu dan mendapati seorang pemuda asing dengan baju putih berdasi biru bergaris putih melongok ke dalam.
"Ya? Cari siapa?" tanya Rahma.
"Eh...hhmmm...apa ini ruangan Direktur Produksi?" tanya pemuda itu.
"Ya, dengan saya sendiri di sini," jawab Andini. Namun Andini sedikit terhenyak ketika melihat wajah pemuda itu. Ia sepertinya mengenal sang pemuda.
"Oh, maaf. Saya disuruh oleh bagian HRD untuk langsung menemui ibu. Saya yang melamar lowongan di surat kabar," jawab sang pemuda.
"Oh, sudah datang rupanya. Baiklah masuk saja. Rahma tolong bawa berkasnya ya!" kata Andini.
"Baik bu." Rahma kemudian mengambil berkas-berkas yang kalau ditumpuk sampai sedagunya. Dia melirik ke arah pemuda yang masuk ke ruangan Andini. Pemuda itu memakai parfum yang maskulin, tubuhnya tegap, tinggi dan kulit sawo matang. Pemuda tampan ini ternyata bisa membuat Rahma berdebar-debar ketika melintas di hadapannya. Rahma kemudian keluar dari ruangan bosnya.
"Anjiiiirrrrr...cakep banget itu pegawai baru. Wah, wah, bakalan ramai nih kalau dia sampai keterima di kantor ini," ujarnya dalam hati. Ia buru-buru kembali ke meja Pak Wiguna.
"Duduk!" Andini menyuruh pemuda itu duduk.
Sang pemuda tampan ini pandangannya menyapu seluruh ruangan mulai dari lukisan, kaca jendela, hingga AC. Pandanganya pun terhenti di mata Andini. Calon bossnya ini menatap ke arahnya. Andini menoleh ke arah layar monitornya dan melihat email yang dikirim bagian HRD. Dia membaca berkas yang diberikan HRD di monitor laptopnya.
"Baiklah, nama?" tanya Andini.
"Arczre Vian Zainal," jawab sang pemuda.
"Panggilannya?"
"Arci," jawab sang pemuda.
"Kamu bisa panggil saya Bu Andini," kata Andini.
"Baik, bu. Bu Andini."
Andini tersenyum. Dalam hatinya ada perasaan rindu, tapi kenapa mereka harus bertemu dengan cara seperti ini. Dalam hati Andini tertawa. Tapi semuanya ditahan. Ia tak mau mengacaukan semuanya. Pandangan Andini kepada Arci penuh arti, semua itu karena satu peristiwa masa lalu yang dialaminya.
"Punya pengalaman kerja?" tanya Andini.
"Saya pernah beberapa kali bekerja di perusahaan kecil, setahun di percetakan, saya juga mengerjakan servis komputer di rumah, kebanyakan freelance," jawab Arci.
"Lulusan akuntansi dengan cumlaude, hebat," puji Andini.
"Alhamdulillah bu," kata Arci.
"Punya saudara?" tanya Andini.
"Ada ibu, adik dan kakak, semuanya wanita," jawab Arci.
"Kakak sudah berkeluarga?" tanya Andini.
Arci menggeleng, "Belum sedangkan adik, sekarang masih SMA."
Andini sebenarnya tak perlu bertanya tentang silsilah keluarga dari Arci, ia sudah tahu. Andai Arci tahu siapa dirinya pasti ia tak akan memaafkannya. Tapi inilah kehidupan, kadang sesuatu kita ada di atas, kadang juga ada di bawah. Sama seperti yang dilihat olehnya kali ini. Dulu Andini tidak seperti ini. Perjumpaannya dengan Arci mengubah segalanya.
Selama ini ia bertanya-tanya, di manakah pemuda itu selama ini. Pemuda yang membuat dia berubah. Pemuda yang telah memberikan menggetarkan hatinya, seorang pemuda tampan yang sangat sabar dalam mengarungi kehidupan. Dan mungkin saja karena jodoh akhirnya mereka dipertemukan oleh tuhan di sini.
Dalam hati Arci berkata, "Cantik sekali wanita yang berada di hadapannya ini. Rambutnya berombak, dewasa, kulitnya putih, dan sangat mempesona. Apakah dia sudah menikah? Kalau dilihat dari jari manisnya yang kosong, ia sepertinya belum menikah. Tapi bisa jadi sudah, jaman sekarang ini terkadang memang orang tak mementingkan cincin yang melingkar di jari manis."
"Baiklah, CV-mu sungguh baik. Aku suka sama kamu, eh,..maksudnya aku suka dengan profilemu. Kapan siap kerja?" tanya Andini agak gugup.
"Sekarang juga saya siap bu," kata Arci.
"Baiklah, sekarang kamu duduk di dekat Yusuf, meja kerjamu akan ditunjukkan oleh Rahma. Kamu bisa minta tolong ke dia. Oh ya, hari ini aku ingin kamu langsung melakukan rekap data produksi tahun ini. Bagaimana caranya kamu bisa tanya ke Yusuf," kata Andini.
"Siap bu," kata Arci. "Ada lagi?"
"Itu saja dulu," kata Andini.
"Baik bu, kalau begitu saya permisi," kata Arci.
"Silakan!"
Arci kemudian beranjak dan pergi dari ruangan Andini. Setelah yakin Arci pergi dari ruangannya dan dia sendirian, Andini menghela nafas. Ia mengelus-elus dadanya. Ia senyum-senyum sendiri.
"Aku tak menyangka kamu sekarang berhasil Ci, itu yang aku harapkan. Tapi kuharap kamu tak kaget nanti kalau tahu siapa aku. Arci, jangan kecewakan aku ya!" gumam Andini seorang diri.
* * *
"Mbak, mejanya Yusuf sebelah mana ya? Saya disuruh ibu Andini " tanya Arci membuat Rahma yang saat itu baru saja duduk setelah dari meja kerja Pak Wiguna terkejut.
"Oh, iya maaf. Masnya langsung kerja di sini?" tanya Rahma.
"Iya, nih," jawab Arci.
"Ikut saya deh, nama mas siapa?"
"Saya Arci."
"Ah, iya."
Arci pun mengikuti kemana Rahma pergi. Rahma mengantarnya ke sebuah meja yang tak jauh dari tempat Rahma bekerja. Di sana ada seorang pemuda berkaca mata tampak sedang menginput data. Di mejanya ada tumpukan file-file. Tampak sekat tempat mejanya telah dipenuhi berbagai tempelan.
"Mas Yusuf!?" sapa Rahma.
Yusuf langsung berbalik, "Eh, Rahma. Ada apa?"
"Ini pegawai baru bagian audit," kata Rahma.
"Arci," Arci mengulurkan tangannya langsung dijabat oleh Yusuf.
"Yusuf," kata Yusuf. "Duduk deh!"
Arci kemudian duduk di kursi kosong di meja sebelah Yusuf.
"Aku tinggal dulu ya?" kata Rahma.
Rahma kemudian pergi meninggalkan mereka berdua. Arci melihat ke layar monitor.
"Lulusan mana?" tanya Yusuf.
"UNAIR," jawabnya.
"Wah, keren dong," kata Yusuf sambil membuka file excel.
"Ah, nggak juga. Biasa aja koq mas. Lulus pas-pasan," kata Arci merendah.
"Hahaha, jangan merendah gitu. Dari penampilanmu sepertinya kamu ini bukan orang sembarangan."
"Masa' sih, mas?"
"Yah, dari penilaianku saja sih. Tadi disuruh apa sama Bu Dini?"
"Bu Dini? Oh, iya. Katanya untuk merekap data produksi tahun ini," jawab Arci sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Oh, gampang itu. Kita sekarang sudah punya aplikasinya, kamu tinggal mengambilnya via aplikasi yang disediakan seperti ini," Yusuf mengoperasikan sebuah aplikasi yang menampilkan data produksi. "Kemudian buka file excel lalu export saja ke excel, jadi deh. Kamu tinggal filter aja berdasarkan tanggal."
"Oh, begitu," Arci manggut-manggut.
"Datanya kamu filter juga berdasarkan kode produk, karena aku yakin Bu Dini pasti ingin menginginkannya berdasarkan kode produk," Yusuf menjelaskan pekerjaan yang harus ditangani Arci.
"Oh, OK. Gampang kalau gitu. Yang penting semuanya ada di aplikasi ini kan?" tanya Arci sambil menunjuk ke aplikasi yang dibuka oleh Yusuf.
"Iya," jawabnya.
"Consider it done!"
Yusuf mengangkat alisnya. "Sombong amat, bisa selesai cepet," ujarnya dalam hati.
"Ini sebelumnya mejanya siapa?" tanya Arci kemudian.
"Oh, dulu ini meja milik Farid, dia udah resign," jawab Yusuf.
Arci mulai menghidupkan komputer. Dia menaruh ransel yang ia bawa di meja dekat monitor lalu mulai mengeluarkan binder, pulpen, dan beberapa peralatan lainnya termasuk charger. Ia juga keluarkan ponselnya dan langsung memasukkan colokan charger ke tempatnya. Arci mulai bekerja, Yusuf cukup penasaran ketika Arci mulai mengetik dengan cepat. Ia tampak sangat cekatan.
"Boleh juga," kata Yusuf. Tapi Arci tak mendengar. Baginya hari ini ia harus memberikan first impression kepada atasannya.
Beberapa menit berlalu. Yusuf sibuk dengan pekerjaannya sambil sesekali melihat Arci bekerja. Disaat Yusuf sedang asyik bekerja itulah tiba-tiba Arci menghampirinya lagi.
"Trus dikirim lewat email atau diprint?" tanya Arci.
"Kirim lewat email saja," kata Yusuf. "Emailnya Bu Dini, andini[at]evolus.com"
Arci manggut-manggut. Segera ia kembali ke mejanya dan mengetikkan alamat email ke composer. Setelah itu dia mengklik send. Dia lalu duduk dengan merendahkan tubuhnya. Melihat itu Yusuf jadi heran.
"Sudah?" tanya Yusuf.
"Yup, kalau cuma mengumpulkan data dengan filternya saja sih sudah," jawab Arci.
"Coba, mana aku lihat!" Yusuf menggeser kursinya kini berada di sebelah Arci.
Arci kemudian memperlihatkan bagaimana cara dia menyusun data sebanyak itu dalam waktu cepat. Pertama dia membuat program sederhana dari bahasa pemrograman PHP, kemudian dia mengutak-atik kodingnya sehingga dengan cepat ia bisa mendapatkan segala yang ia perlukan.
"Cuma segini kan?" tanya Arci yang membuyarkan lamunan Yusuf yang melongo melihat hasil kerjaan Arci.
"Gile, kamu cepet juga ya ngerjain ini. Mana sempurna lagi," puji Yusuf.
Yusuf akhirnya mengerti kalau si Arci ini punya sesuatu yang lebih daripada karyawan biasa.
* * * I LOVE YOU HANDSOME * * *
Jam lima sore, waktunya pulang. Jalan Raya Mondoroko pada jam-jam pulang kantor seperti ini sangat padat, terlebih bagi mereka yang memakai kendaraan roda empat akan tua di jalan. Arci dengan sepeda motor Supra-X miliknya menyelip di sebelah kiri di antara mobil-mobil. Kemudian dia berhenti di pertigaan Karang Ploso ketika lampu telah berubah menjadi merah. Arci pun menarik rem sehingga sepeda motornya berhenti. Pikirannya menerawang jauh. Ya, menerawang jauh. Mumpung lampu merahnya dihitung 69 detik.
Bagaimana dia bisa terdampar di kota yang bernama Malang ini? Sebuah kesempatan yang harus dia lakukan demi menghidupi keluarganya. Setidaknya begitu. Ia harus ke kota ini untuk mencari pekerjaan, bukan hanya mencari pekerjaan tapi juga mencari tempat tinggal karena hidup dengan kondisinya sekarang ini cukup susah. Cukup susah.
Mungkin kebetulan, tapi ini adalah yang disebut takdir. Tepat di samping Arci, Andini sedang duduk di kursi kemudi melirik ke arahnya. Ia terkejut karena berpapasan dengan si pemuda tampan itu. Andini tersenyum sambil menatap Arci. Entah sampai kapan ia akan merahasiakan tentang dirinya kepada Arci. Yang jelas ia sangat berhutang budi kepada si pemuda tampan yang usianya jauh lebih muda dari dirinya itu.
"Ia mendesah, seandainya Arci tahu tentang rasa ini," kata dia dalam hati.
Ah, seandainya dia tahu.
Cukup lama Andini menatap Arci. Hingga lampu lalu lintas menjadi hijau dan kemudian Arci mulai melajukan sepeda motornya. Andini hanya melihat aksi ngebut Arci hingga menghilang dari pandangannya.
"Dasar, tak berubah," ujarnya. Ya, Arci suka naik sepeda motor dengan ngebut. Tak berubah sejak dulu.
Setelah berjibaku dengan macetnya jalan raya, akhirnya tibalah Andini di sebuah perumahan elit. Ya, sebuah perumahan elit. Dia termasuk keluarga berada. Ayahnya seorang diplomat, ibunya seorang pengacara ternama, semua kakaknya sudah menikah dan sekarang dia tinggal sendirian di sebuah rumah megah seharga 2 Milyar yang ia dapat dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Ya, begitulah. Keadaan Andini ini sangat berbeda sekarang. Dia hampir mendapatkan semuanya, terkecuali seorang kekasih. Dia sebenarnya sudah putus asa selama ini. Dan hanya ingin memasrahkan semuanya kepada Yang Kuasa. Hanya saja perjumpaannya dengan Arci hari ini membuat semangatnya itu kembali lagi. Sesuatu yang telah lama ia kubur akhirnya kembali lagi.
Mobilnya pun mulai masuk ke dalam setelah seorang pembantu yang usianya masih cukup muda membuka gerbangnya. Andini segera keluar dari mobil dan melihat sebuah mobil terparkir di halaman rumah. Ia agak terkejut.
"Lho, mama ada Sri?" tanya Andini.
"Iya, non. Tadi sore dateng," jawab sang pembantu.
Andini segera membawa map dan tas yang ada di dalam mobilnya kemudian menutup pintu mobil. Ia segera masuk ke dalam rumah.
"Pulang Din?" sapa mamanya. Mamanya bernama Susiati, seorang pengacara handal dan terkenal. Bukan rahasia lagi kalau klien-klien yang ditangani olehnya hampir semuanya memenangkan kasus. Mamanya tampak sedang duduk di sofa sambil menonton tv.
"Tumben mama ke sini," kata Andini. Dia langsung mencium tangan mamanya, lalu duduk di samping mamanya setelah meletakkan map dan tasnya di meja.
"Kebetulan ada kasus yang harus ditangani di kota ini," jawab mamanya.
"Hmm?? Kasus di kota ini?"
"Iya, salah seorang pengusaha terkena kasus tukar guling."
"Oh, kabar kakak bagaimana?"
"Sekarang sedang nunggu hari lahiran. Kamu kapan nyusul?"
"Entahlah ma," Andini malas kalau harus membahas soal jodoh. Ia sering kali ditanyai oleh mamanya tentang perjodohan. Tapi berkali-kali tawaran mamanya tentang seorang lelaki ditolaknya.
"Kamu ini, koq masih jual mahal aja. Ingat usia mama ini udah nggak muda lagi. Kamu juga."
"Mama, udah ah, nggak usah dibahas lagi. Dini masih menanti dia koq."
"Dia? Kamu masih ingat aja tentang dia. Sudahlah, dia sudah pergi."
"Nggak koq ma, dia nggak pergi jauh ternyata."
"Ha? Nggak pergi jauh?"
"Iya, dia ngelamar kerja di kantorku."
"Oh ya?"
Andini hanya mengangguk.
"Kali ini Dini yakin dia tak akan memaafkan Dini."
"Kenapa?"
"Mama tahu sendiri alasannya."
"Sudahlah, toh sekarang kamu sudah berubah bukan?"
"Moga dia maafin Dini ya mah."
Susiati pun memeluk Andini. "Duuhh...anak mama."
"Adududuh, ma. Jangan kenceng-kenceng!"
"Hehehe...iya mama lupa kalau kamu belum mandi. Mandi sana gih!" mamanya melepaskan pelukan.
"Iya, iya," Andini segera beranjak dari tempatnya duduknya dan mengambil map yang ditaruhnya tadi.
* * * I LOVE YOU HANDSOME * * *
Arci tiba di sebuah rumah kontrakan. Belum sempat Arci masuk ke rumahnya, keluarlah seorang laki-laki asing dari rumahnya. Arci menatap lelaki itu dengan tatapan tidak suka. Dia langsung masuk ke dalam rumah.
"Bu, itu tadi apa?" Arci langsung menghardik ibunya sendiri.
"Ibu kerja!" jawab ibunya singkat. Ia membenarkan bra yang barusan melorot. Dia juga melihat kakaknya membetulkan baju yang barusan terlepas ke mana-mana.
"Kak, bu! Ingat kita pindah ke kota ini untuk jadi orang bener. Menjauhi kehidupan kelam kita. Nggak seperti ini!" suara Arci makin meninggi.
"Emangnya ibumu bisa apa? Nih, berkat kerjaan ini ibu dapet duit. Gimana kamu?" tanya sang Ibu.
"Arci keterima kerja hari ini. Dan aku sekali lagi melarang kalian jual diri lagi. Cukup!"
"Sudahlah, berapa sih gajimu. Nggak akan cukup dik! Nih, kita dapat dua juta habis treesome tadi," jawab Safira. Kakak Arci.
"Mana Putri?" tanya Arci.
"Putri ke rumah temennya belajar kelompok," jawab ibunya.
"Jangan sampai Putri mengalami kejadian seperti aku. Kalau sampai kalian jual adikku satu-satunya itu, kalian nggak akan kumaafkan! Camkan itu!" kata Arci sambil menunjuk wajah ibu dan kakaknya.
"Putri masih kecil, gila apa kami jual?" kata Safira.
"Emangnya kalian tahu berapa usiaku ketika menjualku? Aku masih tiga belas!" kata Arci.
"Udahlah, yang penting kita ada uang tambahan. Lagipula yang punya kontrakan sudah nagih," kata sang ibu.
"Aku ingin kalian semua nggak ngelakuin itu lagi. Cari kerja yang halal, apa kek. Kemarin gimana kerja jadi salesnya?" tanya Arci ke Safira.
"Halah, Ci. Aku itu nggak bisa jualan. Yang ada cuma capek. Masih untung kemaren aku sepongin om-om di toilet agar mau beli produk yang aku jual," kata Safira.
"Anjrit! Rusaaak, keluarga rusak. Kalau sampai nanti terjadi sesuatu kepada kalian. Aku nggak akan tanggung jawab. Kalau aku nggak menganggap kalian sebagai keluarga, aku sudah pergi dari rumah ini," kata Arci.
Pemuda tampan itu pun segera pergi meninggalkan mereka berdua masuk ke kamarnya. Ya, tentu saja. Arci adalah anak seorang pelacur. Ibunya bernama Lian. Seorang pelacur high class yang terlilit hutang sehingga pergi dari Jakarta ke Malang untuk menghindar dari debt collector. Bahkan saking disebut high class bayarannya lebih dari lima juta sekali main. Arci sendiri anaknya siapa Lian nggak pernah tahu. Tapi dilihat dari perawakannya yang sedikit bule, Lian mengira salah satu kliennya yaitu seorang bule dari Republik Ceko yang pernah menyewa dia dulu yang membuahinya. Dia sudah lupa siapa nama bule itu. Yang jelas, itu kliennya yang sangat memuaskan. Dibayar mahal plus cum inside.
Sebagai anak haram, sebenarnya Arci juga gusar. Ia tak ingin dikatakan anak haram terus-terusan. Maka dari itulah dia selalu menghindar ketika ditanya apa pekerjaan orang tuanya. Arci juga tak akan pernah lupa kejadian beberapa tahun lalu di saat ia pertama kali melepas perjakanya. Bukan oleh orang lain, tapi oleh kakaknya sendiri dan itu disaksikan oleh sang ibu. Hanya karena satu hal. Dan ingatannya pun menerawang lagi peristiwa memilukan itu.
Arci yang berusia 13 tahun itu baru saja pulang dari sekolah. Saat itu dari rumah keluar beberapa orang bertampang garang. Karena ketakutan Arci segera masuk ke dalam rumah. Dia melihat kakak dan ibunya tampak menangis.
"Kenapa? Ada apa?" tanyanya. Mata abu-abu Arci yang menandakan ia bukan keturunan pribumi menatap tajam kepada kedua anggota keluarganya.
"Debt Colector, biasa," jawab Lian.
"Ibu, kakak, sudah berapa kali Arci bilang, jangan sembarangang ngutang! Apalagi kepada renternir!" kata Arci.
"Heh, kalau kita nggak ngutang bagaimana kita bisa biayain sekolah kamu?"
"Ya sudah, aku nggak usah sekolah saja!" kata Arci.
"Mana bisa begitu? Justru kamu adalah harapan kami Arci, kamu harus sekolah. Kakak sama ibu rela begini biar kalian bisa hidup, biar kamu dan adikmu bisa menyambung hidup," kata Safira.
"Emangnya berapa hutangnya?" tanya Arci ingin tahu.
"Ada seratus dua pulu juta," jawab sang Ibu.
"Sera...apa?? Kenapa kalian baru bilang? Kenapa?"
"Kamu masih kecil Ci, kenapa harus ikut urusan orang dewasa?" kata Lian.
"Ibu, ini serius! Dari mana kita bisa dapat uang sebanyak itu? Lagipula kenapa kalian bisa berhutang sebanyak itu?" tanya Arci.
"Lha? Mobil? Rumah ini, semua dari mana?"
"Astaga, tak kusangka. Aku sebenarnya mau punya keluarga yang punya pekerjaan seperti ini. Aku malu!" kata Arci.
"Hadapi saja dek, ini kenyataannya," kata Safira.
"Nggak, nggak mungkin! Bagaimana kita bisa dapetin uang segedhe itu??!"
Semuanya hening. Arci melemparkan topi SMP-nya. Ia serasa ikut berpikir dengan keadaan keluarganya yang begini kacau. Ia padahal sudah berusaha keras mati-matian belajar di sekolah, tapi ia makin pusing melihat kelakuan ibu dan kakaknya seperti ini.
"Dek, kamu mau nolong kita nggak?" tanya Safira.
"Apaan?"
"Tapi kamu harus setuju cara kita."
"Caranya?"
"Ada tante-tante yang kepengen brondong. Siapa tahu kita nanti bakal dibayar mahal."
"Brengsek! Apaan itu?"
"Ayolah dek, ini cara yang paling wajar buat kita."
"Wajar buat kakak, nggak buat aku."
"Safira, itu cara yang konyol!" bentak Lian.
"Nggak, aku nggak bakal mau melakukan itu. Gila apa!?" kata Arci.
"Tapi ini demi kita dek, demi kita! Bagaimana kita bisa membayar hutang-hutang itu? Kamu tahu debt collector itu bisa mematahkan kaki dan tangan kita gara-gara tak membayar uang! Itu anak buah Darsono. Kamu tahu bukan siapa itu Darsono?"
Darsono adalah salah seorang pejabat. Dia memang suka bekerja menjadi renternir, pemalak, penjudi, mucikari dan banyak pekerjaan gelap lainnya. Ia bahkan menjadi bosnya mafia. Arci tak menyangka keluarga mereka terlibat dengan orang dari dunia hitam itu. Arci lalu menangis.
"Kenapa? Kenapa hidup kita harus seperti ini?" Arci menutup wajahnya.
Melihat adiknya menangis Safira segera merangkulnya. "HUsshhh...sshhh... udah dek, maaf. Maafin kakak. Kalau adek nggak mau kakak nggak bakal memaksa."
Lian yang melihat kedua anaknya itu jadi trenyuh. Walaupun ia tak tahu siapa bapak dari ketiga anaknya ini. Tapi didikannya untuk saling mengasihi tampaknya berhasil. Terbukti dari keadaan kedua anaknya ini.
TOK! TOK! TOK!
Lamunan masa lalu Arci langsung buyar ketika pintu kamar diketuk oleh seseorang.
"Ada apa?" tanya Arci dari dalam.
"Kamu mau titip sesuatu nggak? Kakak mau beli nasi goreng," kata Safira.
"Nggak, nggak usah, nggak laper," jawab Arci.
Setelah itu tak ada suara lagi.
Kembali lagi Arci melamun, pikirannya menerawang kembali ke masa di mana dia pertama kali berciuman dengan Safira, kakanya sendiri. Hari itu ia diajari oleh kakaknya bercinta.
"Iya, bagus. Begitu caranya, ibu sebaiknya tinggalkan kalian. Safira, ajari adikmu dengan baik agar klien nggak kecewa," kata Lian.
Tapi hal itu tak dibalas oleh mereka berdua. Arci telah bergumul dengan Safira. Lidah mereka saling memagut, saling melumat, menyisakan kecupan panas dan lelehan air liur. Sebenarnya, Arci tak bernafsu, tapi mengingat mereka berdua baru saja nonton film porno, hal itu membuat keduanya horni. Ini adalah latihan Arci, ya, latihan pertamanya untuk menjadi gigolo di usia yang masih belia.
Arci sudah tak ingat lagi bahwa wanita yang kini dipeluk dan diremas payudaranya ini adalah kakaknya sendiri. Dia juga heran kenapa dia bisa sampai nafsu kepada kakaknya sendiri. Mungkin juga karena dorongan birahi tadi, mungkin juga yang lain. Arci dan Safira berguling-guling di atas kasur. Lalu Safira mendorong tubuh Arci.
"Dek, kamu di atas yah. Ayo entotin kakak!" katanya.
Arci hanya menurut saja, ia sudah terlalu konak. Terlebih lagi penisnya sudah mengacung menandakan siap untuk dimasukkan ke dalam sarangnya. Kemudian penis yang sudah tegang itu pun masuk.
"Aaahkk! Gile, kamu baru SMP kontol udah segedhe ini, gimana ntar kalau SMA?" tanya Safira yang menahan gesekan penis Arci.
"Emang bisa lebih lagi dari ini?" tanya Arci.
"Iyalah, kamu itu anaknya bule. Punya kontol ukuran luar biadab kamu nanti. Kalau gitu, ntar kalau kakak lagi sange kamu puasin yah?"
"Cieh, maunya. Ogah. Ini aja aku ngelakuin ini karena kepengen kakak ajarin buat ngelayanin tante-tante besok. Tapi buat lebih dari itu aku nggak mau. Ini pertama dan terakhir," kata Arci.
"Yee...gitu aja sewot."
"Dilanjut nggak nih?"
"Iya lanjutin..aahhkk..goyang Ci, yang cepet boleh, pelan boleh terserah kamu!" kata Safira.
Akhirnya Arci pun menggenjot tubuh kakaknya yang putih mulus itu. Kasur pun mulai berguncang tak kala hentakan demi hentakan pinggul Arci membuat kulit kemaluannya menggesek liang senggama sang kakak.
"Aaahhrrgghh...Anjing. Kak enak banget. Duh, udah gatel mau keluarr...aaahhkk!"
"Hihihi, dasar perjaka. Ayo semprotin kakak!" kata Safira.
CROOTT! CROOOTTT! CROOOTT!
Keluarlah sperma Arci ke dalam memek Safira. Rahim Safira yang terkena siraman air mani hangat itu membuat sensasi sendiri bagi tubuhnya. Memeknya berkedut-kedut dan menjepit erat kemaluan Arci hingga pemuda tanggung ini merasa ngilu dan nikmat sekaligus.
"Aduh, enak kak!" kata Arci.
"Tapi kalau kamu ngelayanin orang segini cepet, ya bakal nggak dapat apa-apa, Ci. Kurang lama!" kata Safira.
"Trus?"
"Aku ajarin deh, sini cium kakak!" Mereka berdua berciuman lagi seperti sepasang kekasih. Saling memagut, saling melumat.
Arci mengusap wajahnya. Mengingat kembali memori bercintanya pertama kali itu membuat dia merasa bersalah. Ia tak menyangka saja keperjakaan miliknya malah diberikan kepada sang kakak untuk mengajari apa yang disebut orang ngentot. Kalau saja kehidupannya tak seperti ini, tentu ia masih perjaka sampai sekarang dan tidak bakal ngentot ama kakak atau bahkan ama ibunya sendiri kalau lagi ada kesempatan. Terkadang ketika sepi order dan ibu serta kakaknya sedang horni Arcilah yang jadi pelampiasan. Tapi ketahuilah, hanya satu kali Arci menjadi gigolo, dan satu kali itu dia dibayar dengan sangat mahal.
Namun itu adalah siluet masa lalunya. Ia ingin mengubur itu dalam-dalam. Satu kali cukup menjadi gigolo. Dan cukuplah ia hanya melayani ibu dan kakaknya di saat mereka butuh. Itu semata-mata karena ia sayang kepada keluarganya, tidak lebih dari itu. Walaupun ini adalah dosa, tapi biarlah dosa ini dia simpan tanpa boleh ada satupun yang tahu.
==========================
Lian Larasati, seorang wanita yang rela menjual dirinya untuk sesuap nasi. Perjalanannya berliku-liku mulai dari gadis kampung, kesasar di jalanan ibu kota hingga akhirnya ketemu mucikari, kemudian jadilah dia melayani pria hidung belang. Dia juga bukan pelacur biasa yang bisa dibayar oleh sembarangan orang. Dan sebenarnya ia sangat protektif, kecuali ketika mabuk. Dia boleh dibilang orang yang tidak tahan minum minuman beralkohol. Karena itulah tiga anak yang dia hasilkan adalah karena mabuk. Ya, dia mabuk karena melayani sang klien, setelah itu jadilah. Sekalipun kehidupannya kelam. Tapi sebenarnya Lian punya sisi kemanusiaan. Dia tak ingin menggugurkan kandungannya. Baginya hidup itu harus dihargai, baik atau buruk, mulia atau hina. Dosa seorang ibu tak bisa diturunkan kepada sang anak. Ketika Safira dewasa, dia memberikan keputusan kepada Safira. Ingin mengikuti profesinya ataukah tidak. Dan Safira pun mengikuti sang ibu.
Ah, aku hanya seorang wanita yang lemah, pikir Safira.
Safira putus sekolah ketika SMA. Ia menghabiskan hidupnya tiap hari untuk membantu ibunya mengurus rumah, mengurus segala hal. Bahkan ketika Arci lahir. Hampir semua kesibukan rumah tangga Safira yang mengurus. Menerima fakta bahwa ibunya seorang pelacur awalnya membuat dirinya sakit, dicemooh oleh para tetangga, dihina oleh masyarakat. Bagi Safira menerima keadaan seperti ini sangat sulit pada awalnya.
Safira sangat cantik, dengan wajah manis, bibir tipis lembut, rambut lurus sebahu sudah jadi modal utama dia sebagai wanita panggilan. Dia pertama kali menjual keperawanannya kepada seorang pengusaha kaya raya yang mempunyai mobil lima, rumah gedong seharga 3 milyar dan dua pabrik makanan. Itulah pertama kali Safira merasakan yang namanya sex. Dan untungnya dia mendapatkan klien yang baik.
Safira tentu ingat, ketika ia menawarkan keperawanannya di internet. Awalnya orang-orang mengira itu bohongan. Siapa yang bisa menjamin kebenaran dari sebuah situs yang tidak jelas, tiba-tiba menampangkan wajah seorang ABG usia 17 tahun yang sama sekali tidak pernah terpikirkan untuk menjual keperawanannya? Dia melelang dirinya, ya melelang dirinya. Awalnya ada orang iseng membelinya seharga 500.000,-. Whaat? Keperawanan dijual dengan harga segitu? Yang benar saja.
Ya, yang benar saja.
Untunglah tidak lama kemudian penawaran naik. Dari 500.000,- menjadi 5.000.000,-. Hingga akhirnya orang kaya yang diketahui bernama Agus Trunojoyo membelinya seharga 125.000.000,-. 125 juta bukan angka yang kecil bagi orang seperti Safira. Seharusnya memang ia bisa mendapatkan lebih banyak. Tapi kalau hanya untuk mengeluarkan uang lebih dari 125 juta, mending nikah resmi saja nggak sampai mengeluarkan mengeluarkan uang segitu. Mungkin juga itu adalah keberuntungan bagi Agus mendapatkan keperawanan Safira waktu itu.
Agus bukan orang tampan. Ia orang Jawa, rumahnya di Cilacap. Punya pabrik di Sumedang dan Cirebon. Agus punya seorang istri yang bahenol. Siapapun pasti tergoda kalau melihat istrinya yang seksi, dengan pakaian ketat dan sering menebar pesona itu. Namun satu yang Agus tak pernah dapatkan dari istrinya. Keperawanan. Ya, dia menikah dengan istrinya dalam keadaan sang istri sudah jebol. Tapi memang ia sangat mencintai istrinya, dan mau menerima istrinya apa adanya. Awalnya ia mengatakan itu, tapi lama-lama juga nggak bisa.
Lumrah sebagai sisi kemunafikan manusia, mereka akan lebih memilih sesuatu yang indah. Dan Agus akhirnya mengakui dia kepengen merasakan memek seorang perawan. Istrinya sebenarnya orang yang sangat setia. Tapi boleh dibilang sang istri ini sedikit eksib. Mungkin Agus tak tahu kalau Nyonya Agus pernah main mata dengan satpam rumahnya, ataupun tukang kebun yang ada di rumahnya. Tapi itu semata-mata hanya kebutuhan seksual yang ingin dipuaskan. Apalagi sang suami tak bisa memberikan fantasy yang ia inginkan. Tetapi, Nyonya Agus ini sangat setia. Dan ia sangat mencintai suaminya walaupun dengan cara yang aneh.
"Bagaimana menurut mama?" tanya Agus ketika memperlihatkan Safira yang menjual keperawanannya di tabletnya.
"Maksudnya apa pa?" tanya Nyonya Agus.
"Maksudnya, papa ingin merasakan memek perawan," jawab Agus blak-blakan.
"Pa, papa gila ya?"
"Ayolah ma, mama masa' mau enak sendiri nyobain burung laki-laki lain selain papa? Papa juga kepengen ma merasakan perawan. Lagipula ketika kita nikah mama sudah nggak perawan kan?"
"Tapi pa, masa' harus dia sih? Kaya' bukan perempuan baik-baik."
"Emangnya harus? Mama sendiri apa yakin kalau Jono si tukang kebun kita itu orang baik-baik?"
Nyonya Agus merasa bersalah ketika kemarin kepergok main dengan Agus di ruang tamu. Tapi Agus hanya melengos sambil berkata, "Teruskan saja, habis ini kita bicara!"
Inilah pembicaraan itu. Dan Nyonya Agus menyesal ketika mengetahui keinginan suaminya ingin membeli keperawanan Safira. Nyonya Agus merasa tak ada yang kurang dari suaminya. Tapi ia sadar mengkhianati sang suami dengan cara seperti itu bagi dirinya suatu kesalahan yang tak bisa dimaafkan. Tapi nyatanya suaminya membiarkan dirinya.
"Baiklah, mama setuju."
"Nah, gitu. Tapi setelah ini, kalau mama kepengen ngentot ama orang lain, papa harus tahu. Nggak kaya' tadi! Sebab memek mama cuma buat papa."
"Iya deh, iya deh, mama minta maaf."
Agus kemudian mencium istrinya. Awal mulanya Agus ingin mencumbui sang istri, namun yang terjadi adalah lima menit kemudian mereka telanjang. Agus berdiri dan istrinya duduk di sofa sambil mengulum penis suaminya yang sudah keras mengacung. Agus meremas rambut istrinya yang berombak sambil menekan-nekan agar penisnya bisa masuk ke dalam mulut istrinya lebih dalam lagi.
Tubuh Nyonya Agus semok, bukan gendut. Bokong putih bahenol, kulit mulus terawat karena melakukan perawatan spa setiap minggu, tak lupa senam aerobik rutin. Agus tentu saja memuja istrinya itu, terlebih buah dada padat menggantung mengisyaratkan pemiliknya benar-benar orang yang beruntung. Lidah sang istri meliuk-liuk bagai lidah ular menggelitik titik-titik rangsangan sang suami. Dan tak usah ditanya bagaimana profesionalnya sang istri menyedot-nyedot pare berotot milik Agus.
Agus tentu saja puas. Kini giliran sang istri diberikan kepuasan. Memeknya sudah banjir. Agus tahu sudah berapa banyak penis yang masuk ke dalam memek istrinya. Apalagi istrinya mengatakan bukan kali ini ia melakukan hubungan itu dengan seorang lelaki. Sekalipun memek istrinya sudah dijebol oleh bermacam-macam bentuk pare, entah bengkok, panjang, kurus panjang, gemuk pendek, tetap saja kemampuan jurus kempot-kempot miliknya tak kalah dengan wanita panggilan yang terkadang juga ditiduri oleh Agus.
"Ah, iya pah. Aahhhkk! Papah emang hebaaatt....aaahhkk! Terus paaah...iya, itu itil mamah! Itil mamah aahhh....!"
Sekali pun Agus tak mampu memberikan fantasy seperti yang diinginkan tapi jujur, oral sex yang dilakukan sang suami lebih hebat dari seluruh selingkuhan yang pernah tidur dengannya. Nyonya Agus mengakui sendiri.
"Aahhkkk..! Papah edaaaann! AAhhkkk...paah...aduh paaa...hhmmhh.... jangan digigit...awww..Heegghh!"
Agus tak mempedulikan. Emang siapa peduli? Yang dia inginkan adalah agar istrinya bisa orgasme sebelum mereka bertempur dengan pertempuran yang sebenarnya. Tak perlu nunggu lama, Nyonya Agus sudah mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Dari kemaluannya muncratlah lendir-lendir kenikmatan.
"Aaaahhhkkk! Papah emang hebat oralnya. Mama pasti nyerah kalau dioral," ujar sang istri.
Agus tak butuh waktu lama untuk melakukan penetrasi. Dia sudah ada di atas tubuh sang istri dan mulai melesakkan pare berototnya ke dalam liang senggama. Agus menggenjot tubuh bahenol itu dengan kuat. Hentakan-hentakannya membuat Nyonya Agus keenakan. Tak perlu waktu lama bagi Agus untuk bisa menyudahi permainannya. Semburan maninya ke dalam memek istrinya benar-benar banyak. Nyonya Agus pun terkapar di atas sofa setelah di KO oleh suaminya.
* * * I LOVE YOU HANDSOME * * *
Safira duduk dengan wajah menunduk. Ia dan Agus janjian ketemu di sebuah hotel. Dan di dalam hotel itu ada dia, ibunya dan tentu saja Agus. Agus menyerahkan uang dalam amplop coklat kepada sang ibu. Safira menoleh kepada ibunya sesaat. Ia tahu ini salah, sangat salah. Bagaimana mungkin sang ibu mau menjualnya begitu saja kepada lelaki hidung belang ini? Tapi bukankah ini juga adalah keputusannya?
Awalnya ia ragu. Tapi setelah melihat wajah ibunya yang juga tidak tega, akhirnya ia pun tak ragu lagi. Siapa yang bakal rela menyerahkan sang anak kepada orang lain hanya untuk segepok uang. Tidak ada. Dan kalau pun ada mungkin orang itu sudah gila. Tapi kata-kata RELA agaknya harus dibuang jauh-jauh. Keahlian apa yang dimiliki sang ibu? Terlebih sekarang ini Arci sudah akan masuk sekolah. Lian menaruh harapan besar kepada anak laki-lakinya itu. Ia ingin agar anak laki-lakinya menjadi orang yang berguna, berbeda dengan dirinya kelak.
Safira kemudian berdiri mematung di kamar itu. Ibunya sudah pergi. Di hadapannya ada Agus, seorang lelaki yang usianya sudah menginjak kepala 4. Wajahnya pas-pasan. Kalau misalnya orang yang tampan seperti Brad Pitt itu punya wajah ganteng bahkan ada kembalian, kalau dia itu pas-pasan. Tahulah bedanya. Rambutnya sedikit ikal, kumisnya tipis. Tapi percayalah, Nyonya Agus menganggapnya sebagai lelaki paling tampan di dunia. Tapi itulah yang namanya cinta, orang bilang cinta itu buta.
Malam itu Safira memulai prosesi pecah perawannya. Untuk mengurangi rasa canggung, Agus mengajaknya mandi bersama. Safira berusaha menahan malu. Tapi memang dasar Agus yang sudah berfantasi sejak lama. Ia memperlakukan Safira dengan baik. Ciumannya di bibir sang gadis pun dibuat selembut mungkin. Di kamar mandi mereka saling menyabuni tubuh masing-masing. Dan Safira pun dibelai, tubuhnya digerayangi, diratakannyalah sabun itu diseluruh tubuhnya, buah dadanya, punggungnya, kakinya. Agus sungguh sangat terampil untuk bisa merangsang birahi gadis 17 tahun itu.
Pentil gadis itu mengacung bak bambu runcing. Agus pun memelintir-melintir puting kecil keras berwarna coklat muda. Buah dada Safira yang kenyal pun diremas-remasnya. Sementara itu Safira untuk pertama kali dalam hidupnya memegang pare berotot. Karena masih kaku maka Agus memakluminya. Safira mengocoknya tak beraturan, namun lambat laun ia dapatkan iramanya sendiri. Agus benar-benar menahan diri agar tak langsung to the point. Sebab, gadis ini masih segelan, masih belum tahu dunia esek-esek. Maka dia harus memberikan malam terbaik untuknya.
Safira mulai berbaring di ranjang. Dia hanya memakai handuk, bahkan bau wangi sabunnya masih terasa.
"Om, jujur aku takut," kata Safira.
"Nggak apa-apa rileks aja yah?" tanya Agus.
Safira kemudian memejamkan matanya. Agus sudah melepaskan handuk yang membelit pinggangnya. Dia mulai membuka handuk yang menutupi tubuh Safira. Dibelainya rambut di kening gadis yang akan diperawani itu. Lambat tapi pasti ciuman pun mendarat di bibir Safira. Safira sekali lagi merasakan bagaimana dengan begitu sabar dan telatennya Agus memperlakukan dirinya.
Buah dada Safira mulai jadi sasaran tangan jahil sang hidung belang. Safira membuka mulutnya dan lidah mereka saling menghisap. Safira dari sini mulai faham bagaimana rasanya french kiss, ia juga tahu bagaimana memperlakukan Agus dengan baik. Tangan kanannya sudah menangkap burung perkutut berbulu keriting lebat di selakangan Agus. Lelaki ini sudah tegang, siapa yang tidak tegang melihat tubuh mulus Safira. Mereka pun berpelukan. Agus mulai menciumi pipi, lalu leher Safira, beranjak ke bawah menuju ke bukit kembar yang kenyal. Mulutnya pun menangkap puting yang mengacung. Sungguh itu puting benar-benar mengajak berantem.
Safira menggeliat, dia mulai gelisah. Antara risih, geli dan birahi. Tiga kombinasi rasa yang pas. Tangan Agus mulai nakal, karena sudah menggelitiki klitoris cewek ini.
"Ahhhkk..! Omm...geli ommm!" kata Safira.
Agus tak mempedulikannya. Ia terus menyedoti kedua buah dada Safira. Ia bagaikan bayi yang baru lahir, menyusu kepada induknya. Walaupun tak keluar ASI tapi sungguh buah dada itu benar-benar sekal. Benar-benar mantab, lebih mantab dari kopi yang iklannya saja seolah-olah susunya paling mantab. Agus pun mulai mencolok-colok liang senggama Safira yang sudah mulai becek.
Safira sekarang mulai dikejar oleh sesuatu yang tak terlihat, kita menyebutnya nafsu. Nafsunya mulai terbakar. Baru kali ini ia merasakan bagaimana diperlakukan oleh seorang laki-laki. Lama-lama ia suka dengan perlakuan Om-om yang wajahnya yah, tak bisa disamakan dengan foto model atau coverboy. Biarpun begitu dia tajir, punya pabrik, mobil banyak, dan keperawanannya dibeli dengan uang 125 juta. Paling tidak uang itu bisa menyambung hidup. Agus sungguh bernafsu sekali dengan tubuh Safira. Ia pun kemudian mulai beranjak menindih Safira. Kepala penisnya sudah mulai menyentuh belahan memek Safira yang berlendir.
"Omm...pelan-pelan yah!" kata Safira.
"Tentu saja sayang, tentu," ujar Agus.
Kembali kedua mata mereka bertemu. Agus sudah menempatkan kepala penisnya di ujung lubang kemaluan Safira. Agus perlahan-lahan menempatkan penisnya agar pas. Safira menggigit bibir bawahnya. Ia memejamkan mata menunggu saat di mana penis lelaki ini menyeruak masuk. Safira tersentak ketika kepala penis yang keras itu mulai masuk.
"Omm...sakiiiitt!" Rintih Safira.
Agus menghentikan aksinya. Ia menciumi Safira. Bibir mereka berpagut lagi. Agus cukup sabar. Disaat Safira rileks ia mendorong sedikit. Ketika terjadi penolakan Agus bersabar. Sungguh sekarang ini kalau Agus tidak berusaha menahan dirinya, mungkin ia sudah keluar begitu masuk ke dalam memek Safira. Ia cukup sabar menahan rasa empot-empot yang dilakukan oleh memek Safira.
Agus lagi menekan, perlahan-lahan hingga tak terasa sudah penuh. Safira merasakan ngilu yang luar biasa. Ia pasrah. Kini keperawanannya telah dilepaskan. Agus merasakan telah merobek kemaluan Safira.
"Omm... itu masuk semua?" tanya Safira lirih.
"Iya, masuk semua. Enak banget memekmu," kata Agus. "Aku goyang yah?"
Safira mengangguk.
Akhirnya bergoyanglah pinggul lelaki ini naik turun. Agus benar-benar merasakan sensasi yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Memek Safira lebih legit, lebih nikmat dan lebih mencengkram daripada memek istrinya. Tentu saja.
"Ahhh...Fira, peret banget ahhh... Om jadi ketagihan kepengen genjot terus," rancau Agus.
Safira nggak tahu harus bicara apa. Di saat seperti ini memeknya lambat laun perihnya hilang. Hanya rasa geli campur nikmat yang terasa. Rasanya seluruh syarafnya membuat dia terbius, terbius akan enaknya hubungan persenggamaan ini. Luar biasa nikmat. Tiba-tiba saja sesuatu menjalar di pinggangnya, lalu dadanya, beranjak ke otaknya. Apa ini? Dia tak pernah merasakan ini sebelumnya. Nikmat sekali. Memeknya pun terasa geli. Apakah yang terjadi? Terlebih lagi memeknya serasa becek dan merasa ada sesuatu yang akan keluar.
"Omm.... Fiar ingin pipis.. pipiiiiissssssssss!" keluhnya. Pantat Safira terangkat.
"Ohh....om juga, udah nggak tahan. Ngecroooot! j*nc*k....enak temennnnnn, tempekmuuuuuu.... nyoooohhhh pejuhkuuuuu!"
"AAAHhhhhhhhkkkk! OOmmmm kontol ooomm.....gedheeeeeeeeee....! Anget om ANgeeeettt!"
"Cuuukkkk! Enaaaaaaaakk!....AAAHH!"
Semburan sperma akhirnya membasahi rahim Safira. Sungguh itu pengalaman yang tak akan mereka lupakan seumur hidupnya. Safira semenjak hari itu dia menjadi Wanita panggilan. Menekuni profesi yang sama dengan ibunya.
Karena Lian dan Safira bukan orang yang bisa menabung, kebanyakan uang mereka habis untuk foya-foya dan beli make-up. Maka secepat itu pula akhirnya mereka berhutang lagi. Hutang yang tidak sedikit. Hinga kemudian Arci pun harus menolong mereka ketika ada seorang tante-tante ingin memakai jasa gigolo. Tapi tante-tante ini ingin memilih gigolo yang masih muda, brondong muda yang belum berusia 17 tahun.
Usia 13 tahun menjadi seorang gigolo. Ini adalah kejahatan. Tapi Arci tak ada cara lain. Dia pun melakukannya. Menjual dirinya untuk seorang tante-tante.
* * * I LOVE YOU HANDSOME * * *
Arci berada di sebuah kamar hotel. Kamarnya mewah. Untuk anak remaja seusia dia masih ke kamar ini membuat semuanya canggung. Dia melihat seorang wanita muda gemuk sedang sibuk menerima telepon. Mungkin lebih tepatnya ia mengalami obesitas. Dia melihat ke arah Arci dengan malu-malu. Arci menelan ludah. Apakah wanita ini yang harus ia layani nanti?
"Tunggu sebentar yah, mama sedang pergi. Habis ini mau masuk kamar. Namamu siapa?" tanya wanita itu.
"Arci. Panggil saja Arci," jawab Arci sambil menelan ludah.
"Aku ... Iskha," jawabnya.
Iskha cukup tambun untuk cewek seusia dia. Sambil membetulkan kacamatanya ia lagi-lagi melihat ponselnya. Arci bingung, mau apa dia sekarang. Berdiri salah, duduk juga salah. Ia pun canggung. Hanya melihat sekeliling. Dinding kamar hotel ini dihiasi oleh wallpaper. Pasti gunanya untuk menyerap bunyi apalagi coba?
TOK! TOK! TOK! Pintu diketuk.
Seorang wanita paruh baya masuk melihat Arci. Apakah ini tante-tante yang dimaksud??
"Eh, sudah datang?" tanya tante-tante ini. "Kenalkan namaku Susiati, ini anakku..."
"Kami sudah kenalan," kata Iskha.
"Oh, ya sudah," kata Susiati.
"Maaf sebelumnya, maaf, beribu-ribu maaf." Arci menundukkan wajahnya.
"Lho, ada apa?"
"Kalau bisa, kalau bisa, tante jangan melakukan ini kepadaku. Aku masih 13 tahun dan...dan aku melakukan ini terpaksa karena lilitan hutang. Untuk biaya sekolah, kontrakan dan bayar hutang. Aku...aku dan keluargaku terpaksa melakukan ini," kata Arci. "Aku tak punya cara lain untuk bisa menolong mereka. Ketika debt collector itu datang, aku takut. Aku hanya ingin agar ibu dan kakakku sadar itu saja. Bahwa masih ada pekerjaan halal. Masih ada cara, masih ada jalan. Aku....aku...aku tak bisa melakuan ini."
Susiati dan Iskha terpana. Mereka tak menyangka remaja tampan ini bicara seperti itu.
"Kumohon, kalian boleh memukulku, atau apapun tapi aku tak ingin merusak diriku di sini. Aku tak mau mengikuti jejak ibu dan kakakku. Aku hanya butuh uang itu," kata Arci.
"Tapi kami bayar kamu mahal lho," kata Susiati. "Lagipula, ini bukan untuk tante tapi buat anak tante. Dia ingin mencoba. Daripada ngewe sembarangan sama temennya, lebih baik tante sewa kamu. Kamu tahu kan caranya?"
"Saya tahu tapi saya tak mau. Kumohon, kasianilah saya tante, saya tak bisa melakukannya. Saya hanya butuh uang itu."
"Wahh...ya susah."
"Saya akan pinjam. Saya akan pinjam uang tante. Nanti suatu saat nanti akan aku kembalikan. Aku akan sekolah setinggi-tingginya. Aku akan jadi orang sukses dan aku akan mencari tante. Kalau perlu aku akan nikahi anak tante ini. Aku janji, aku janji!"
Arci menatap serius ke arah Susiati. Melihat kesungguhan di mata Arci tampak hatinya luluh juga. Iskha tersenyum.
"Mama, kasih saja deh. Dia anak baik. Sudah seharusnya ia melakukan ini untuk keluarganya," kata Iskha.
"Tapi...ya nggak bisa begini juga kan?" kata Susiati.
"Arci, aku pegang janjimu. Kapan kamu akan kembalikan uang kami dan menikahiku?" tanya Iskha.
"Itu...itu...hmmm....aku tak bisa memberikan waktu pastinya," jawab Arci.
"Nah, bingung kan?" ejek Susiati.
"Tidak. Aku sungguh-sungguh. Bila nanti aku berusia 25 tahun, aku akan mencari kalian. Aku akan mengembalikan uangnya, dan aku janji akan menikahimu. Aku janji!" mata Arci berkaca-kaca. "Tapi aku tak mau melakukan pekerjaan ini."
"Hahahahaha," Susiati tertawa. "Anak yang unik. 25 tahun? Keburu tua nanti anakku"
"Kalau aku tidak bisa menempati janjiku. Aku akan bilang ke seluruh dunia bahwa aku adalah seorang gigolo. Dan aku akan bekerja seumur hidup kepada kalian," kata Arci.
Mendengar itu Susiati merasa tersentuh. "Baiklah. Pada usiamu ke-25 kamu harus memenuhi janjimu. Kalau tidak, aku akan mencarimu dan menyakiti keluargamu dan kalian akan tampil di surat kabar."
"Aku janji. Aku janji. Terima kasih. Terima kasih, tante memang baik. Mbak memang baik, aku janji aku akan melamar mbak suatu saat nanti, aku janji akan jadi suami yang baik," ujar Arci.
Begitulah, sebuah janji yang mengubah semuanya. Janji seorang Arci. Tapi apakah Arci masih ingat akan janjinya ini?
"Ci, dipanggil bos!" panggil Rahma.
Arci menoleh ke arah Rahma. "OK!" Ia segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian segera beranjak ke ruangan direktur Produksi. Sudah seminggu ini dia bekerja di perusahaan ini. Pekerjaannya cukup bagus, cukup rapi, cukup cepat untuk anak baru. Ternyata ijazah yang dibanggakannya sebagai mahasiswa cumlaude benar-benar nyata. Arci pun mengetuk pintu.
TOK! TOK! TOK!
Arci kemudian membuka pintu dan segera masuk. "Ada perlu dengan saya, bu?"
"Ah, iya. Sini sebentar!" kata Andini sambil memberikan isyarat agar Arci duduk. Pemuda itu pun segera mendekat kemudian duduk di hadapan atasannya. Arci mulai menduga-duga banyak hal.
"Ada apa, bu?"
"Begini, aku butuh kamu untuk menganalisa data tentang penjualan produk-produk yang tidak laku atau kurang diminati pasar. Aku ingin kamu cari cara bagaimana agar supaya barang-barang yang tidak laku itu bisa habis. Dalam arti stok kita habis, sehingga gudang itu bisa kosong dan kita bisa dapatkan laba dari barang-barang itu," kata Andini.
"Lho, bukannya itu tugas tim pemasaran bu?" kata Arci. Andini menatap tajam ke arah Arci. "Eh, maaf, teruskan!"
"Jadi, karena saat ini tim pemasaran stuck dan banyak kerjaan untuk produk-produk baru. Mereka memang diperlukan untuk itu. Aku ingin kamu cari cara bagaimana agar supaya gudang kita yang berisi barang-barang lama itu bisa laku terjual. Entah kamu pasarkan bagaimana kek caranya yang penting stok habis. Perusahaan ini lemah di bidang marketing online, kamu coba pasarkan lewat media online. Buat situs semenarik mungkin agar orang membeli ke kita. Kalau misalnya berhasil, aku ingin kamu yang menangani tim pemasaran dan sekaligus aku akan mengangkatmu menjadi manajer pemasaran yang sekarang ini kerjanya lamban kaya' siput."
Arci menelan ludah. Manajer?? Manajer???
"Tapi bu...," Arci ingin protes karena pekerjaan itu terlalu mendadak. Ia baru seminggu bekerja masa' harus dapat tugas begini berat.
"Aku beri waktu kamu dua minggu. Selesaikan! Kalau gagal kamu saya pecat," kata Andini.
"Heeh?? Jangan dong bu, masa' saya cuma seminggu langsung dipecat. Iya deh, iya deh."
"Nah, bagus. Kalau kamu butuh tentang data stok coba tanya-tanya Yusuf. Dia kan bagian Entry, pastinya hafal dengan semua barang-barang yang numpuk di gudang itu," kata Andini dengan nada ketus.
"Err...baik bu, saya coba," kata Arci.
"Kamu kerja apa main-main?"
"Kerja bu."
"Nggak usah pake coba-cobaan, langsung saja kerjakan!"
"Iya, bu. Maaf. Saya kerjakan sekarang?"
"Tahun depan!"
"Eh?"
"Ya sekaranglah! Udah sana!"
Arci agak keder juga melihat ketegasan Andini. Dia segera keluar dari ruangan bossnya. Rahma melirik ke arah Arci. Melihat Arci dengan mimik serius, pasti ada sesuatu.
"Ci!" panggil Rahma.
Arci menoleh ke arahnya. "Apa?"
"Ada apa tadi di dalem?" tanya Rahma.
"Ada kerjaan, berat kaya'nya," jawab Arci dengan sedikit nada datar.
"Oh, beneran? Emang apa kerjaannya?"
"Ngabisin stok barang lama di gudang."
"Heh? Itukan bukan tugasmu."
"Entahlah, yang nyuruh boss, mau gimana lagi?" Arci mengangkat bahunya.
Rahma hanya manggut-manggut. Arci segera kembali ke mejanya. Dia melonggarkan dasi yang dia pakai kemudian membuka satu kancing atas kemejanya. Lengan kemejanya pun dia gulung. Setelah itu ia menganyam jemarinya sampai berbunyi. Ia menepuk tangannya tepat di depan wajahnya. Hal itu membuat semua orang menoleh ke arahnya. Arci tak peduli. Ia langsung menggerakkan jemarinya dengan lincah di atas keyboard. Orang-orang yang kaget melihatnya tadi akhirnya kembali ke mejanya. Yusuf tambah lebih bingung dengan sikap Arci.
"Oh ya," Arci menghentikan aktivitasnya sejenak dan mendekat ke Yusuf yang meja kerjanya bersebalahan.
"Ada apa?" tanya Yusuf.
"Tadi Bu Dini ingin aku menganalisa data stok penjualan, aku butuh data barang yang saat ini ada di gudang. Terutama barang-barang lama," kata Arci.
Yusuf menegakkan alisnya, "Buat apa?"
"Aku ditugaskan untuk bisa menjual habis barang-barang itu."
"What?? Yang bener?? Itu tugas tim pemasaran."
"Entahlah, tapi sepertinya kata-kata Bu Dini tadi aku dengar sangat jelas di dalam sana."
"Hmm...sepertinya ada sesuatu nih," kata Yusuf sambil menggaruk-garuk dagunya.
"Apa?"
"Jadi gini ada isu yang mengatakan bahwa pihak marketing mau diganti jajaran manajemennya karena akhir-akhir ini penjualannya nggak segencar tahun lalu. Padahal sebentar lagi mau tutup tahun dan tentu saja kalau misalnya stok barang di gudang yang ada itu tidak habis bisa-bisa Bu Andini bakal dihabisi di rapat jajaran direksi."
"Kenapa barang-barang itu tak bisa dipasarkan oleh pihak marketing saat ini?"
"Masalahnya kita kekurangan tim di pihak marketing. Manajer pemasaran orangnya sedang sakit dan opname di rumah sakit. Namanya Pak Malik. Tapi sepertinya perusahaan tahu bahwa sakitnya Pak Malik nggak akan bisa ditolong lagi. Beliau kena komplikasi gula dan darah tinggi. Kita di tim marketing sudah kosong kepemimpinan selama dua minggu ini dan tak ada yang bisa menggantikan beliau. Kandidatnya nggak ada."
Arci manggut-manggut. "Baiklah, aku tahu sekarang permasalahannya."
"Trus, kamu punya ide bagaimana cara untuk memasarkannya?" tanya Yusuf.
Arci berdiri. Ia berjalan mondar-mandir, lalu menatap ke arah Rahma. Sebenarnya Arci menatap dengan tatapan kosong, karena ia tak benar-benar menatap Rahma. Tapi melihat Arci menatap ke arahnya Rahma jadi salah tingkah. Beberapa kali ia membenarkan rambut yang menutupi telinganya.
"Ini bocah ngapain ngelihatin aku?" kata Rahma dalam hati. "Nggak, nggak, nggak, dia emang cakep. Tapi aku udah punya cowok. Nggak deh, nggaak."
Arci kemudian berjalan ke tembok lalu melakukan handstand. Orang-orang heran melihatnya.
"Kon lapo rek, ngono iku?" tanya Yusuf.
"Mikir" jawab Arci.
"Wong edan," Yusuf melanjutkan pekerjaannya lagi.
Arci memang sering mendapatkan tekanan seperti ini. Dan melakukan handstand seperti ini adalah salah satu cara yang bisa membuatnya lebih bisa berpikir. Andini mengintip dari kaca jendela di kantornya. Ia ngikik melihat tingkah polah Arci.
"Dasar, anak aneh. Ayo, kamu pasti bisa. Buktikan kepadaku bahwa kuliahmu memang berhasil," kata Andini.
Tak sampai lima menit Arci menyudahinya. Setelah itu ia segera ke mejanya. Ia mengutak-atik komputernya. Entah apa yang dikerjakannya di sana. Yang jelas hari itu ia sampai lupa makan karena seharian berada di depan komputer.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Siang hari Andini pergi ke kantin. Mungkin memang sedikit aneh bos di perusahaan ini mau makan di kantin bersama anak buahnya. Tapi begitulah Andini tiap hari. Ia tak pernah merasa tinggi, ia menganggap dirinya sama seperti yang lain. Ada satu yang selalu aneh dari dirinya, setiap kali ia makan tak pernah ada yang mau nimbrung. Mungkin karena kewibawaannya, mungkin juga karena tak ada makhluk yang pantas bersanding dengan ibu bos yang cantik itu. Melihat Arci tidak di kantin, Andini bertanya-tanya ke mana dia.
Ruangan kantor sepi, hanya Arci sendirian sedang mengutak-atik komputer. Ponselnya berdering, tapi nadanya ia matikan, hanya getaran. Berkali-kali ponselnya bergetar. Tapi dia tak peduli.
Andini kesal karena ponsel Arci tak diangkat. Dia kemudian beranjak kembali ke ruangannya. Orang-orang heran karena tak biasanya Andini bertingkah seperti ini. Biasanya dia duduk manis sambil menikmati makan siangnya berupa menu sayur sehat tanpa kolesterol dan jus wortel, straweberry, dan jeruk yang dicampur jadi satu. Namun kali ini belum sempat ia memesan apapun sudah pergi. Dengan rok selututnya ia tampak berjalan anggun. Memang ia menarik perhatian semua lelaki selain paras cantik, cara berjalannya pun mengakibatkan seluruh jajaran karyawati yang ada di pabrik itu lewat semua. Andini juga tak ketinggalan dalam hal mode. Terlihat dari sepatunya yang mahal, bahkan baju kantornya pun sangat trendi.
Andini kembali ke ruangannya dan melihat Arci sedang sibuk di meja kerjanya. Wanita karir ini pun menghampirinya.
"Nggak makan siang?" tanya Andini.
"Eh, ibu. Bikin kaget saja," jawab Arci.
"Ayo, makan siang!" ajaknya.
"Saya kerjain ini dulu."
"Nggak ada tapi-tapian, kamu ikut makan siang sama saya atau saya pecat."
Mendengar kata pecat bikin telinga Arci sensi. "Eh...i..iya deh, sebentar." Arci buru-buru logout dari komputernya. Ia mengambil ponselnya yang ada di meja. Ternyata ada 10 kali misscall dari nomor Andini.
"Kerja itu juga butuh istirahat. Kalau kamu tewas karena workaholic, yang rugi juga perusahaan. Kamu adalah aset berharga bagi perusahaan, maka dari itu jaga kondisimu," Andini menasehatinya.
Arci mengangguk. "Iya bu."
Mereka berdua pun berjalan bersama. Saat perjalanan menuju kantin, mereka berdua jadi perhatian. Baru kali ini Ibu Direktur mau berjalan dengan seorang cowok, walaupun ini bukan pertama tapi kali ini agak lain. Adini yang mengajaknya. Arci hanya mengikutinya saja sambil menjaga jarak, karena ia tahu bahwa banyak pasang mata yang melirik ke arah mereka.
Rahma saat itu sedang ada di kantin tampak kaget melihat mereka berdua masuk ke kantin. Langsung beberapa teman wanitanya berbisik-bisik.
"Eh lihat itu, si boss tahu aja cowok cakep," kata Nita teman kerja Rahma.
"Hihihi, siapa namanya?" tanya Sonia juga teman kerja Rahma.
"Namanya Arczre Vian Zainal. Aneh yah. Mirip nama bule," jawab Rahma.
"Yah, potongannya kaya' orang blesteran gitu. Tapi tampang harajuku hahahaha," Nita ketawa.
"Dia kan udah kenalan beberapa hari lalu, masa' kalian nggak tahu sih?" tanya Rahma ketus.
"Yee... kenal nama doang, tapi selama seminggu ini dia jadi pembicaraan cewek-cewek kantor tahu!" ujar Sonia. "Cakep yah."
"Selain cakep, kerjanya juga bagus koq. Kerjaan yang biasanya dikerjain Yusuf seharian, sama dia cuma sepuluh menit," kata Rahma.
"Hah? Nggak salah?" Nita tak percaya.
"Dan kaya'nya tadi di ruangan Bu Dini, Arci ini mau ditempatkan bagian pemasaran. Gantiin Pak Malik. Nggak tahu deh."
"Heh? Pak Malik? Ora salah kon?" tanya Sonia.
"Menejer yang sekarang sakit itu?" Nita nggak percaya lagi.
"Beneran. Makanya dia dikasih tugas agak sulit ama Bu Dini tadi. Whew, koq aku naksir dia ya?" tanya Rahma ceplas-ceplos. Memang mereka bertiga seperti itu suka ceplas-ceplos kalau sedang bersama-sama. Maka jangan heran kalau misalnya segala persoalan mereka bicarakan, bahkan sampai habisnya tissue toilet mereka bicarakan.
"Ciee..cieee.... yang naksir. Tapi aku juga naksir lho. Kita saingan dong," kata Sonia.
"Aku ikut deh, ngantri urutan paling depan pokoknya," sela Nita.
Mereka ketawa-ketiwi di meja mereka sendiri. Tiga cewek jomblo yang sedang ngincer cowok ter-cool di kantor ini. Tapi mereka paling tidak sekarang harus gigit jari karena sekarang Arci sedang semeja dengan Andini.
Seorang pelayan datang ke meja Andini. Dia membawa nota untuk dicatat.
"Pesan apa?" tanya Andini.
Arci melihat daftar menu makanan yang ada di meja. "Ibu sendiri?"
"Saya sih biasanya pesan sup sehat dan jus sehat."
Arci ragu untuk memesan.
"Nggak usah dipikirkan, aku yang bayarin. Kamu tinggal pilih."
"Saya jadi nggak enak. Biasanya juga cowok yang bayarin."
"Kali ini aku yang traktir. Lain kali saja kamu nraktir aku, gajian saja belum."
"Hehehehe, saya pesen nasi rawon saja deh, sama teh anget."
"Nasi rawon satu, teh anget satu, sup sehat satu, jus sehat satu. Gitu ya bu?" tanya pelayan mengulangi.
Andini mengangguk. "Iya."
Sang pelayan segera berbalik menuju dapur. Andini kembali menatap ke arah Arci. Ia melonggarkan dasinya. Andini sedikit tersenyum. Melihat itu Arci jadi heran. Senyuman bosnya ini sungguh manis dan renyah. Kalau misalnya ada rempeyek, maka rasanya seperti rempeyek yang paling garing digigit. KRIYUUUKKK! Apalagi kacangnya itu dikunyah rasanya sangat sensional. Dalam hidupnya, Arci tak pernah sedekat ini dengan perempuan. Bukan berarti dia lebih suka dekat dengan keluarganya, bukan itu. Ia tahu tabu rasanya dengan hubungan incest dia, hanya saja sekarang ini bukan itu yang menjadi masalah. Tak pernah ada wanita yang datang dalam kehidupannya. Dia melakukan itu semata-mata karena peristiwa ketika dia menjadi gigolo. Selama ini ia kerja keras, kuliah tinggi, berjuang hingga dapat nilai cumlaude, mengorbankan seluruh masa mudanya untuk belajar, belajar dan belajar, hingga sekarang ia duduk di sini. Diterima di perusahaan textil terkemuka di Indonesia.
"Semua karyawan cowok di sini itu nggak pakai dasi, cuma kamu yang kaya'nya pakaiannya resmi. Tapi nggak apa-apa, aku suka," kata Andini.
"Eh, i..iya bu. Hehehe," Arci nyengir. Ia baru saja sadar kalau memang semua pegawai cowok tak ada yang pakai dasi.
"Tapi jangan kamu lepas itu, kamu kelihatan tampan kalau pakai dasi."
Lagi, senyumannya itu membuat dunia seakan runtuh. Tiba-tiba dengan melihat senyuman bosnya ini perut Arci sudah merasa kenyang. Efek apa ini? Sihir? Ah, jaman sekarang koq ya ada sihir. Ini dunia nyata pren. Dunia nyata. Apa wanita ini pake susuk? Sudah menikahkah dia?
"Cantik," gumam Arci.
"Hmm? Kamu bilang apa?" tanya Andini mengejutkan dia.
"Oh, nggak koq bu. Nggak bilang apa-apa. Itu lho, sekretaris ibu cantik juga orangnya."
"Kamu suka ama dia?"
"Eh, nggak koq. Nggak."
"Aku nggak cantik?"
"Kamu...eh, ibu, cantik juga."
"Hahahaha. Aneh kamu ini. Oh ya, ceritain dong tentang keluargamu."
"Keluargaku...hmmm, mereka baik-baik saja. Begitulah. Ibu sudah membacanya di file saya bukan?"
"Aku cuma kepengen denger langsung dari kamu. Cerita aja!"
"Yah, saya hidup bersama ibu, kakak dan adik. Saya paling ganteng di rumah. Karena kakak dan adik saya cewek semua. Adik saya masih SMP dan sekarang sedang berjuang untuk UJIAN NASIONAL."
"Kerja apa ibu dan kakakmu?"
"Oh, mereka... ibu nggak kerja, kakak kerja kecil-kecilan."
Kerlingan mata Andini mengisyaratkan bahwa ia sepertinya tahu segalanya, hanya saja itu tak difahami oleh Arci. Ia lebih tertarik kepada wajah Andini yang menawan. Parfumnya sungguh harum, wangi khas Paris dibalut dengan lembut aroma Barcelona. Pasti parfumnya sangat mahal.
Tak berapa lama kemudian pesanan mereka sampai. Arci dan Andini makan bersama. Dan tiga cewek yang agak jauh dari mereka mengamati dengan rasa dongkol.
"Duuhh... mereka koq bisa makan bersama kaya' gitu ya? Mana Bu Dini ketawa-ketiwi seperti itu. Kaya'nya akrab banget." Rahma menahan dagunya dengan kedua tangannya. Minuman es campur buah yang ada di depan mereka tak disentuh, hanya melihat bagaimana akrabnya Arci dan Andini di meja makan mereka.
Nita, Sonia dan Rahma hanya menatap Arci dari kejauhan sambil mengaduk-aduk gelas es campur mereka sampai esnya mencair.
"Cakepnyaaa..." itulah gumaman mereka berkali-kali.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Makasih bu, makan siangnya," kata Arci.
"Mulai sekarang, kamu makan siang tiap hari sama saya," kata Andini.
"Hah? Tapi bu, jadi nggak enak ntar dilihat orang-orang."
"Kenapa? Kamu sudah punya cewek?"
"Nggak, blom punya."
"Nah, saya juga nggak punya cowok, single. Nggak masalah kan? Lanjut juga nggak masalah."
"Hah? Maksudnya?"
"Hahahaha, bercanda. Gitu aja dianggap serius," lagi, ketawa renyahnya Andini membuat jantung Arci nggak menentu.
Arci nyengir. Dia nggak nyangka bosnya bisa seagresif ini. "Tapi saya keberatan kalau tiap hari harus makan siang sama ibu."
"Ya sudah, nggak masalah koq. Selanya kamu saja. Tapi aku ngasih peraturan khusus untuk kamu. Waktunya istirahat, kamu harus istirahat. Kecuali lembur. Ok?"
"Siap bu."
"Nah, begitu. Aku nggak suka bawahanku orangnya workaholic semua."
"Oh, begitu."
"Malam Minggu ada acara?"
"Hmm?? Maksudnya?"
"Kamu kosong nggak malam minggu?"
"Biasanya sih, nggak. Cuma jagain ibu sama saudara-saudara saya di rumah."
"Kepengen nonton film di 21. Ada film bagus. Temenin aku yah."
"Err...gimana yah."
"OK, jam 5 sore aku tunggu di Matos."
"Lho, bu, saya belum bilang mau."
Andini tidak menghiraukannya. Ia sudah masuk ke ruangan kerja. Arci hanya menghela nafas.
"Mateng aku"
Perasaannya sekarang ini campur aduk. Apalagi dideketi oleh bosnya seperti ini. Memang banyak cewek dulu yang mendekati dia. Tapi ia selalu bisa menolaknya dengan halus. Nah, bagaimana menolak bosnya sendiri seperti ini? Apakah ia harus move on dan melupakan janjinya dulu? Lagipula ia sudah pindah ke Malang, mana mungkin juga Ibu Susiati bakal tahu di mana dia berada. Tapi yang namanya orang kaya seperti Bu Susiati pasti bisa membayar orang untuk melacak dirinya dan keluarganya. Arci lagi-lagi menghela nafas. Ia tak tahu harus bagaimana. Tapi ini adalah janji, dan ia harus bisa menolak halus atasannya itu walau bagaimana pun juga. Tapi jujur sebagai seorang lelaki normal ia juga terpesona dengan kecantikan Andini.
Sementara itu tiga gelas es campur buah yang sudah meleleh dibiarkan begitu saja di meja kantin. Tiga gadis yang nimbrung di meja kantin tadi meninggalkannya dan kembali kepada aktivitasnya masing-masing. Perasaan mereka tentu saja kecut, tak semanis es yang tadi mereka pesan. Saingan mereka berat. Saingan mereka adalah bos mereka sendiri.
Es campur, es campur, mubadzir banget.Arci sudah berada di kamarnya sore ini. Besok hari sabtu dan minggu kantornya libur. Tapi besok juga adalah hari yang nggak ingin ia hadapi. Sebuah janji yang terpaksa diiyakan olehnya telah ia sanggupi. Arci tak habis pikir kenapa ia sampai mengiyakan. Tidak, sebenarnya ia tidak mengiyakan, hanya tidak menjawab. Kamarnya yang berukuran 2x3 meter ini serasa sempit untuk bisa membuat dia berpikir. Udara Malang cukup dingin malam ini, bahkan dengan jendela tertutup pun masih terasa.
Sejujurnya ia tak pernah cerita kepada ibu dan kakaknya tentang kejadian di hotel itu. Yang jelas, mereka tahu bahwa Arci bisa menghasilkan uang. Itu saja. Dan selama ini Arci bekerja mati-matian untuk mereka agar mereka tidak melacur lagi. Uang kontrakannya pun baru dibayar separuh, sisanya menyusul. Arci yakin gajinya nanti bisa untuk menutupi hutang-hutang ibu dan kakaknya. Dan Arci melarang kalau sampai mereka membayar hutang-hutang itu dengan tubuh mereka.
"Kalau kalian kepengen, aku bisa memberikan. Tapi aku mohon kalian jangan melakukannya lagi. Jangan menjual diri!" itu yang selalu dikatakan Arci kepada ibu dan kakaknya. Ya, dia tahu itu hal tabu. Bahkan di beberapa negara lain incest adalah perbuatan yang melanggar hukum dan pelakunya akan dipidana. Tapi di negara Indonesia, beda. Asal suka sama suka, hukum tak bisa menjerat. Emang negara ini agak sedikit kacau dalam soal ini. Penjeratan hukum hanya untuk mereka yang melakukan pelecehan seksual, bukan atas hubungan seperti ini.
Pemuda ini kemudian memejamkan matanya. Ia tak mau memikirkan dulu hal ini. Apa yang akan terjadi nanti, ia ingin mencoba untuk menikmatinya. Biarkan seperti air yang mengalir.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Matos, Malang Town Square. Sebuah mall yang megah di Malang. Mungkin termegah pertama kali waktu itu setelah Sarinah. Kali ini Malang dijejali dengan mall-mall yang tak hanya satu dua, tapi banyak mall-mall yang berdiri. Letak Matos cukup strategis. Selain di sebelah pemukiman elit, Matos juga dikerubuti oleh kampus dan lembaga pendidikan lainnya. Tak heran anak muda banyak yang mampir ke sini. Di sebelah utara ada makam pahlawan, di sebelahnya juga baru ada sebuah mall yang lebih megah, namanya MX Mall. Walaupun mall ini megah, tapi masih sedikit stand-stand yang ada di sini. Tapi yang menarik adalah ada sebuah stand yang sudah disewa oleh Apple. Hanya saja, kapan digunakan masih tidak ada kabar sampai sekarang.
Arci dan sepeda motor. Itu adalah pemandangan yang tidak pas sebenarnya. Mengganggu. Orang secakep itu naik sepeda motor bebek? Apa kata dunia. Tapi itulah yang terjadi. Hidup memang kejam, mungkin dengan kekejaman itulah akan muncul suatu rahmat yang entah dari mana. Arci sudah sampai duluan setelah masuk dan menerima karcis parkir. Andini duduk di food court menunggu dia. Food Court ada di lantai dua, satu lantai dengan play ground dan cineplex 21. Beberapa stand juga memenuhi tempat ini seperti stand toko boneka, batik, dan time zone yang letaknya tepat persis di sebelah teather.
Selama perjalanan ia terus saling kirim BBM ke atasannya ini. Begitu sampai di Food Court Arci menyapu pandangannya. Dia pun melihat Andini sedang duduk sendirian sambil fokus ke ponselnya. Dia begitu spesial, karena sekalipun dia duduk di meja, tapi tak ada orang yang mau mendekat, padahal wanita secantik itu bisa duduk dengan gaun berwarna biru yang menampakkan kulit halusnya. Kali ini Arci menelan ludah.
"Cantik banget ya bosku ini," gumam Arci.
Andini mendongak dan melihat-lihat ke semua arah. Begitu pandangan mereka bertemu, Arci segera melambai. Andini tersenyum. Semua mata lelaki melihat ke arah Andini. Mereka berandai-andai kalau bisa, jadi kursi yang diduduki oleh Andini. Andini kembali tersenyum, hal itu seolah-olah seperti ada cupid yang memanah langsung ke hati Arci.
"Oh tidak, jangan. Ini tak mungkin," ujar Arci dalam hati. "Jaimput, koq aku deg-degan gini!?"
Andini kemudian berdiri. Arci bisa melihat beberapa orang yang kepalanya ikut naik ketika Andini berdiri. Beberapa di antara mereka geleng-geleng saja. Andini memakai gaun panjang warna biru. Sepatunya high-heels bermerk. Dia menenteng sebuah tas kecil. Hal itu membuat ia semakin terlihat anggun. Kontras dengan Arci berpakaian kaos berkrah hitam, celana jeans dan memakai sandal.
Andini menghampirinya. "Jadi, kamu telat lima menit."
"Ayolah, di parkir tadi ngantri," Arci beralasan.
"No excuse, kamu telat. Harusnya datang lebih awal."
"Iya deh bu, iya."
"Jangan panggil ibu, kalau di luar kantor panggil saja Dini."
"OK, Din. Eh, nggak enah manggil Dini."
"Kenapa?"
"Mirip suara klakson."
Andini ketawa. Arci lagi-lagi mengumpat dalam hati, buset dah ini bosnya. Ketawanya bisa bikin hatinya rontok. Arci jadi nyengir.
"Nama lengkapku Andini Maharani. Terserah deh, mau panggil apa."
"Oke, Din. Dini aja. Biar selalu ingat kamu kalau aku nekan klakson," kata Arci. Hal itu membuat Andini ketawa.
"Udah ah, perutku sakit nanti kalau ketawa terus ama lelucon kamu," ujar Andini sambil megang perutnya.
"Trus, jadi nih?"
"Nggak usah pake boso resmi lapo? Biasa wae. Niatnya kan emang uklam-uklam." Andini mulai berjalan berdampingan dengan Arci.
"Habis itu nakam oskab? Tapi aku yang traktir kali ini," kata Arci.
"Yuk!"
Tak ada yang tahu bagaimana Arci bisa sedekat itu dengan Andini. Dalam hati Andini sangat senang sekali bisa bersama dengan Arci. Andai Arci tahu siapa dirinya apakah bisa seperti ini nantinya? Tapi itu semua tak bisa dipungkiri kalau Andini mulai menyukai Arci, bukan saja sekarang, tapi sejak dulu. Dan perjumpaan dengan Arci ini bukan yang pertama. Takdirlah yang akhirnya mempertemukan mereka lagi.
Mereka pun akhirnya melangkah ke teather bioskop. Setelah membeli tiket masuk dan beberapa snack, mereka pun akhirnya masuk ke studio. Untungnya mereka masih kedapatan kursi di deret D. Bisa jadi karena terbaawa suasana, akhirnya Andini pun merangkul lengan Arci, bahkan ketika mereka sudah duduk kepala Andini disandarkan ke bahu pemuda ini. Arci sendiri bingung bagaimana menolak Andini yang sudah sedekat ini dengan dirinya. Akhirnya tak ada yang bisa ia lakukan. Ya, tak ada yang bisa ia lakukan.
Film pun dimulai. Selama pemutaran film itu, kedua insan ini menikmatinya. Tertawa ketika lucu, dan tegang saat ada adegan actionnya. Arci agak canggung, tapi kecanggungannya hilang begitu saja. Semuanya mengalir begitu saja saat Arci menoleh ke arah Andini. Adegan di layar memperlihatkan bagaimana dua insan berciuman, saat itu seperti ditarik oleh magnet Arci dan Andini pun sudah berciuman. Keduanya saling mengecup. Arci bisa menghirup bau parfum Andini yang sangat wangi, bibirnya yang lembut itu seperti marshmallow. Kalau biasanya ia hanya melihat sekarang Arci bisa merasakannya.
"Din, rasanya ini terlalu cepat," bisik Arci.
"Tak ada yang terlalu cepat. Semuanya memang seperti ini," bisik Andini.
"Maaf, aku tak bisa melakukannya," kata Arci mulai menjauhkan wajahnya.
Tangan Andini memegang pipi Arci dan mengarahkan wajahnya agar menatap ke Andini, "Katakan kamu mencintaiku."
"Aku...," mulut Arci seperti tercekat. Ia takut untuk meneruskan hubungan ini. Ia sangat takut. "Aku tak bisa Din. Bukan berarti aku tidak suka, kamu cantik, anggung, semua pria pasti memimpikanmu, tapi.... aku tak pantas buatmu."
"Arci...," panggil Andini dengan nada manja. "Tak apa-apa, aku akan menerimanya."
"Tidak, kamu tak tahu siapa aku. Maaf, aku harus pergi. Kita tak boleh seperti ini!" kata Arci. Dia berdiri, lalu pergi dari tempat dia duduk.
Andini beranjak ia mengikutinya. Dengan terpaksa sekali mereka harus keluar padahal film belum usai. Arci berjalan pelan di depan. Sepatu hak Andini terdengar setiap kali Arci melangkah. Arci menghentikan langkahnya lalu berbalik melihat Andini. Tubuh semampai, cantik, memakai gaun biru. Siapa yang bakal menoal jalan dengannya? Andini tidak menampakkan ekspresinya. Hal itu makin membuat Arci bersalah.
"Maafkan aku," kata Arci.
"Tak apa, mungkin memang aku seperti wanita gatel menurutmu." Andini menghela nafas.
"Bukan, bukan begitu. Jujur aku akui kamu menarik, kamu cantik. Siapapun pasti terpesona kepadamu. Tapi, aku tak mau seperti ini. Kuharap kamu bisa maklum."
"Kamu gay?"
"Aku normal."
"Kenapa kamu tidak mau? Aku benar-benar ingin kita bisa jalan."
"Din, ada sesuatu yang aku tak ingin kamu mengetahuinya. Kumohon. Dua bulan lagi hari ulang tahunku. Dan aku harus kerja keras sampai waktu itu."
"Ada sesuatu kah?"
"Iya, ada sesuatu."
"Apa ada wanita lain?"
"Ya, aku sudah janji kepadanya."
"Oh, katanya kamu tidak punya cewek."
"Iya, aku memang tidak punya cewek, tapi aku sudah janji kepadanya untuk menikahinya diusiaku 25 tahun nanti. Dan aku punya banyak hutang kepadanya."
"Tapi Arci...," Andini ingin memberitahu siapa dirinya. Tapi Arci memotongnya.
"Kumohon, beri aku waktu sampai saat itu tiba. Aku tak ingin mengecewakanmu, tapi ini terlalu cepat dan aku tak bisa. Aku... ya aku akui aku suka sama kamu. Aku sangat bersyukur punya bos seperti dirimu, tapi kuharap kita tak terlalu cepat."
Andini menghela nafas. "Baiklah, tapi bukan berarti kita tak bisa bersahabat bukan?"
Arci tersenyum. "Tentu saja."
Andini mendekat ke Arci dan mengulurkan jari kelingkingnya. "We are still friends then. Until you findished you bussines."
"Yeah, friends." Arci mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Andini. Sebenarnya ingin sekali Arci merengkuh Andini tapi cukuplah mereka berciuman hari ini. Jangan lebih dari itu.
"Jadi nakamn oskab?" tanya Andini.
"Aku traktir."
"Siapa takut."
Mereka pun berjalan bersama untuk mencari bakso terenak di kota Malang. Ya, kota yang sangat terkenal dengan kuliner baksonya. Mulai dari bakso biasa, bakso bakar bahkan bakso berbagai isi ada di sini. Cara penyajiannya pun beragam. Hal ini membuat kota Malang memang terkenal dijuluki kota Bakso.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Sementara itu sebenarnya di dalam bioskop tadi Rahma, Nita dan Sonia melihat Arci dan Andini. Mereka terkejut ketika mendapati dua orang itu bisa ketawa-ketiwi sambil beli tiket. Mereka bertiga benar-benar kalah dalam hal pakaian. Pakaian Rahma, Nita dan Sonia cukup casual, berbeda jauh dengan Andini yang memakai gaun menawan. Seluruh mata lelaki tertuju ke Andini daripada ke mereka bertiga. Rasanya membandingkan antara putri raja dengan kacung.
"Eh, ternyata beneran Bu Dini sama Arci nonton bareng. Waduuuhhh.....remuk deh hatiku," kata Rahma.
"Eh, eh, mereka koq bisa gandengan seperti itu?! Nggak boleh, nggak boleh. Ini pelanggaran namanya. Gimana bisa. Woi, kalian jadian aja belum koq sudah pegang-pegang!" bisik Nita.
"Kalau kamu ngomong sebaiknya di depan mereka saja!" kata Sonia sewot.
Ketiga gadis ini melihat dua orang itu dari jauh. Mereka tak berani untuk mendekat atau sekedar menyapa. Tapi memang bagi mereka ini peristiwa langka. Orang seperti Andini yang selama ini tak mau dekat dengan cowok, bisa sedekat itu dengan Arci, mana Arci juga cowok paling tampan di kantor. Rasanya dunia serasa mau kiamat. Ketiga gadis ini seolah-olah tak ada lagi kesempatan buat mereka untuk menang.
Ketika pintu teather dibuka mereka pun masuk agak akhir setelah Arci dan Andini masuk. Ketiga gadis ini masih menjaga jarak agar tak ketahuan. Dan surprise, mereka duduk di atas Andini dan Arci.
"Gilak, koq ya pas ya duduknya di bawah kita," bisik Rahma.
"Apa menurutmu mereka berdua udah jadian?" tanya Nita.
Rahma dan Sonia mengangkat bahu mereka.
Selama menonton film mereka juga sibuk menonton kedekatan Andini dan Arci.
"Eh, eh, itu kepala kepala kepala!" bisik Sonia.
"Kenapa?" tanya Rahma.
"Kepalanya mereka koq nempel?" kata Sonia.
Saat itu Andini dan Arci sedang berciuman. Dan benar seperti dugaan mereka bertiga. Arci dan Andini berciuman saat itu. Tak berapa lama kemudian Arci beranjak meninggalkan Andini. Andini kemudian menyusul. Rahma pun berinisiatif menyusul mereka sambil menjaga jarak. Nita dan Sonia awalnya berpadangan tapi akhirnya mengikuti Rahma.
Ya, mereka bertiga mendengarkan semua percakapan Andini dan Arci. Itu artinya Rahma dan kawan-kawannya masih punya kesempatan untuk mendekati Arci.
"Syukurlah, mereka nggak jadian," kata Rahma setelah mendengarkan percakapan mereka di lorong EXIT dari teather.
"Iya, nggak jadian, tapi bikin penasaran. Janji Arci itu kepada siapa?" gumam Nita.
"Ada sesuatu nih. Kita selidik yuk!?" ajak Sonia.
"Eh, apa baik nyelidiki seperti itu? Takutnya itu urusan pribadi Arci. Nggak baik kalau kita bongkar-bongkar," kata Rahma.
"Yee, aku bukannya bongkar. Cuma penasaran saja. Pasti ada sesuatu dengan diri anak baru itu. Pesonanya memang luar biasa, tapi... ada yang aneh aja sih," lanjut Sonia.
"Oke deh, setuju," kata Nita.
"Girls..yang bener aja!" Rahma tak setuju.
"Ayolah non, kalau misalnya Arci itu orang baik-baik, kita nggak bakal rugi kan suka ama orang baik? Tapi kalau orang yang jahat, baru deh silakan kita kasih tahu ke Bu Dini," kata Sonia.
"Koq gitu?" tanya Rahma.
"Hello, Bu Dini itu atasan kita. Dia juga wanita. Masa' kita nggak ngasih tahu hal itu kalau memang itu baik buat Bu Dini. Kalau misalnya Arci bukan pemuda baik-baik, yang rugi bukan cuma Bu Dini, kita-kita juga," lanjut Sonia.
"Ah, kamu benar. Nggak ada salahnya juga kita selidiki siapa itu Arci," kata Nita.
Rahma menghela nafas. Ia tampaknya tak bisa mencegah teman-temannya ini. "Terserah kalian deh."
"Nah, gitu dong. Oke, kita gerak yuk!"
"Aku balik ah, mau nonton lagi," kata Rahma sedikit mendongkol karena cowok idamannya akan distalking oleh kedua sahabatnya.
"Ayolah nooon...jangan sewot begitu!" Sonia kepengen membujuk Rahma. Nita pun mengikuti.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Di sebelah MX Mall ada sebuah pujasera, dikenal sebagai Pujasera UB. Di sini banyak warung-warung yang menawarkan berbagai macam kuliner. Saat itu Andini dan Arci menikmati makan bakso di salah warung ini. Mereka mengobrol banyak hal. Tapi seperti biasa Arci merasa tertutup. Ia tetap tak mau membuka tabir tentang dirinya. Andini tak ingin memaksa Arci. Ia tahu beban yang dibawa oleh Arci sangat berat.
Setelah kenyang makan bakso, Andini berniat pulang. Arci pun mengantarkannya sampai ke tempat parkir. Adalah bodoh kalau membiarkan wanita secantik ini jalan sendirian menuju tempat parkir yang gelap. Sebagai seorang gentlemen, Arci tak sebodoh itu membiarkan wanita seperti Andini pergi sendirian.
"Baiklah, hari ini sangat menyenangkan," kata Andini saat mereka akan berpisah.
"Sorry atas ciuman tak terduga tadi," kata Arci.
"Halah, nggak usah dipikirin, anggap aja bonus."
"Bonus? Bonus yang kane ilakes"
Andini memukul bahu Arci. Arci tertawa.
"Kamu tak perlu tertutup kepadaku, katanya aku sahabatmu?"
"Yeah, aku belum siap. Aku tak mau ketika aku ceritakan siapa diriku, kamu akan berempati kepadaku. Aku tak mau. Aku cowok, aku kuat. Aku bisa menghadapi segalanya. Sekalipun aku seorang diri."
"Jangan sok kuat, terkadang kamu butuh seseorang untuk menumpahkannya."
"Sekarang aku masih sanggup."
Andini tersenyum. "OK, met malem. Sampai ketemu Senin?"
"Iya, sampai ketemu Senin. Have a sweet dream."
"You too."
Andini menghirup nafas dalam-dalam. Setelah menghela nafas ia kemudian beranjak meninggalkan Arci. Arci hanya bisa melihat Andini masuk ke mobilnya, kemudian ia melambai kepada wanita itu. Setelah mobil Andini pergi ia hanya bisa mengumpat ke dirinya sendiri.
"Fuuucckk! Apa itu tadi?" katanya. "Kenapa aku jadi suka ama dia. Bu Susiati, Iskha. Janjiku kepada kalian... apakah harus aku ingkari?"
Arci kemudian berjalan menuju ke tempat parkiran sepeda motor. Hari itu ia pulang dengan perasaan galau. Galau yang tak terkira.
Arci sampai di rumah malam itu dengan banyak pikiran. Selama perjalanan pulang ia teringat dengan berbagai hal dalam hidupnya yang sangat aneh. Seperti yang terjadi beberapa tahun setelah peristiwa ia menjual dirinya saat itu. Dia masuk ke bangku SMA. Bagi dirinya ada sebuah peristiwa yang tak pernah ia lupakan lagi, yaitu ketika sang kakak tidak pulang selama tiga hari. Kejadian ini terjadi beberapa waktu yang lalu.
Malam itu hujan, seperti biasa di bulan Desember saat menjelang akhir tahun, hujan turun lebih sering daripada hari-hari biasa. Arci di rumah setelah menjalani hari yang berat mengikuti UTS, sekarang saatnya ia bisa di rumah beristirahat. Sementara itu di ponselnya BBM dari teman-temannya bersahut-sahutan, satu pun tak dijawab. Hari ini rumah sepi, seperti biasa, ibunya "dinas". Kakaknya entah sudah dua hari belum pulang. Kabar terakhir mengatakan ia ada klien besar. Setidaknya bakal bawa uang banyak, katanya.
Pintu tiba-tiba terbuka dan ibunya langsung membanting pintu. Arci segera keluar dari kamarnya.
"Kenapa? Ada apa?" tanyanya.
"Brengsek, ada klien yang brengsek hari ini. Apes," jawab ibunya. Tak biasanya Lian datang dengan wajah seperti itu.
"Klien brengsek?"
"Iya brengsek. Aku ditipu. Katanya sudah transfer duitnya ke rekeningku, eh sudah diservis ternyata masih kosong rekeningnya, untung belum crot. Aku sempat lihat isi rekeningku belum nambah. Dia cuma ngasih SMS palsu, transfer ke rekening temennya. Brengsek. Sebel!"
"Oh, begitu." Arci menghela nafas. Bermaksud kembali ke kamarnya.
"Ci, tunggu!"
"Apa?"
"Ih, anak ibu ini tega banget ninggalin ibu. Sini doonngg!" Kalau ibunya sedang manja seperti ini berarti hanya ada satu hal. Lian, sang ibu sedang sange berat. Dan Arci mau tak mau harus bisa memberikan sesuatu kepadanya biar sangenya hilang.
Secara fisik, Lian ini boleh dibilang MILF kelas berat. Berat karena buah dadanya berukuran 36D serasa bisa membuat mabuk semua laki-laki yang bersamanya. Bahkan sekali pun terpaksa Arci juga bisa merasakan bagaimana mempesonanya sang ibu untuknya. Lian bukan wanita yang hyper, tapi dia memang terkadang merasa dicukupkan dengan kehadiran anak laki-lakinya itu. Arci pun kemudian mendekat kepadanya.
"Ibu sedang kepengen?" bisik Arci.
"Adikmu ada?" tanya Lian.
"Iya, ada di kamarnya," jawab Arci. "Sepertinya sudah tidur."
"Yakin sudah tidur?"
"Sepertinya begitu."
"Ke kamarmu aja ya?"
Arci mengangguk. Sang ibu yang sudah horni berat karena kentang akibat ulah kliennya tadi langsung saja mencium satunya anak laki-lakinya ini. Entah kenapa Arci punya sifat yang sangat berbeda dengan dia dan Safira. Sampai sekarang Lian menyimpan rapat-rapat tentang jati diri ayah Arci sebenarnya.
Kedua bibir ibu dan anak ini sudah bersentuhan. Arci menggeret Lian ke kamarnya, sambil berciuman tentu saja. Ketika sampai di kamar langsung pintu kamar di kunci dari dalam. Sang ibu yang sudah bernafsu sudah tak memikirkan lagi bahwa yang sedang ia pagut adalah anaknya sendiri. Hal ini sudah berlangsung lama. Dan selama ini ia cukup terpuaskan. Dia telah mengajarkan Arci bagaimana menaklukkan wanita.
Kaos Arci pun diangkatnya, lalu dilempar. Arci diam saja ketika Lian berlutut lalu menurunkan celananya. Penisnya masih tidur saat itu. Sebenarnya Arci tak terlalu bernafsu, tapi ia berusaha untuk bisa menghadirkan sendiri birahi itu ke dalam otaknya, sebab wanita yang ada di depannya ini butuh dipuaskan. Tapi sungguh ia sudah tak bisa lagi melakukan hal ini kepada ibunya sendiri. Ini sangat tabu, bagaimana mungkin dia bisa sebejat ini kepada ibunya. Akhirnya mau tak mau ia pun tak bisa melawan nafsu yang sudah berada diubun-ubun. Batasan antara ibu dan anak pun ia langgar. Ini semua karena ibunya, ya, karena ia merasa harus berbakti kepadanya. Mungkin ini cara berbakti yang salah, tapi apa yang bisa dilakukan oleh Arci?
"Ehmmm....mhhhmmm....ssluurrruppp!"
Lian sudah menggila, kepalanya maju mundur mengocok batang kemaluan yang sudah mengeras seperti wortel. Lidahnya berputar-putar menggelitik kepala jamur shitake, menelusuri sambil terus menerus menghisap, mengeluarkan ludah, dan menghisap. Sesekali dikocoknya batang itu hingga Arci bisa merasakan bahwa tangan lembut.
Arci membuka matanya, kini ia melihat ibunya tinggal memakai pakaian dalam saja. Ternyata selama diservis Lian telah melepaskan seluruh bajunya. Lian mulai liar. Kini Lidahnya menjilati pangkal si rudal berotot. Dua buah telur yang bisa lari-lari ketika disentuh itu kini dihisapnya. Sensasinya membuat lutut Arci gemetar hebat. Para lelaki manapun pasti akan merasa geli keenakan ketika lidah basah seorang wanita seksi, putih, dan menggiurkan seperti Lian dengan bibirnya menghisap buah peler mereka. Arci saja bisa merasakan sensasi ini. Arci hanya mengikuti permainan Lian, jadi ketika Lian ingin ia berbaring maka Arci pun menurut saja berbaring.
Sang ibu yang sudah horni ini pun memakai posisi 69. Dia mengarahkan pantatnya ke wajah Arci. Arci pun kemudian menjulurkan lidahnya untuk menjilati garis kemaluan Lian. Di sinilah ia dulu dilahirkan, di sini juga dulu ia ditunggu kelahirannya. Sebagai fakta bahwa ibunya melahirkan semua anaknya dengan normal. Namun dengan perawatan mahal ibunya juga mempunyai memek kelas dunia yang peretnya minta ampun. Jurus empot-empotnya tak kalah dengan wanita panggilan manapun. Bongkahan pantat Lian yang mulus tanpa cela itu diusap-usap oleh Arci. Ia menciumi bau pantat ibunya yang sebenarnya bagi siapapun tidak enak, tapi kali ini mungkin sedikit beda. Setiap kali ia merasakan lendir Lian, rasanya pasti gurih dan bikin bernafsu.
"Ahhh...kamu makin jago Ci," kata Lian.
Dia sudah tak ingat lagi dengan blowjobnya. Ia lebih sibuk untuk menikmati sensasi dari memeknya yang basah, banjir karena ulah Arci. Otomatis tangannya hanya menjadi alat kocok bagi batang Arci yang sudah mengeras maksimal.
"Terus...sayangku yaa...gitu...uhhh...ditusuk-tusuk...ooowww.....aaahhhhhh!" pantat Lian bergetar. Bersamaan dengan itu gelombang orgasme datang merambat ke kepala Lian, seperti ada tangan yang meremas-remas kepalanya. "Aaaahhh.....akhirnya keluar juga....aaahhhh...!"
Lian kemudian berguling ke kiri, lalu memutar tubuhnya. Ia kemudian merebahkan diri di sebelah Arci. Ia berbaring dengan posisi tangannya di atas. Arci lalu berguling hingga sekarang posisinya berada di atas ibunya. Penisnya sudah disiapkan menggesek-gesek bibir vagina perempuan malam ini. Satu hal yang berbeda ketika Lian bercinta. Ia memang selalu memakaikan kondom ke penis para pelanggannya, tapi untuk anaknya spesial, tak pernah pakai.
SLEBBB!
Dengan mudahnya sang rudal berotot masuk ke dalam rongga memek Lian. Pemuda ini pun segera menggerakkan maju mundur. Sebuah rasa sensasional, lebih sedap daripada segala rasa jenis bumbu masakan di dunia telah dirasakan oleh Arci. Sesuatu yang membuat ia mau memeluk ibunya dan berpagutan. Pinggulnya bergoyang membelah sebuah celah berlendir yang melahirkannya dulu. Dalam keadaan bercinta seperti ini, sebenarnya Lian merasa bersalah. Ada rasa di dalam lubuk hatinya menyesal. Apalagi Arci sangat mirip dengan "Dia". Ya, "si Dia" yang mengakibatkan ia harus mengandung Arci selama delapan bulan dua puluh lima hari tepatnya. Agaknya mungkin karena rasa sayangnya yang terlalu dalam, ditambah dengan kerinduan sang klien yang paling baik yang pernah dia layani, ia ingin mengobatinya dengan melakukan hal ini dengan Arci. Dia masih ingat bagaimana sodokan-sodokan lembut sang klien. Arci juga melakukan hal itu, semuanya serasa nostalgia.
Lesakan-lesakan lembut, hentakan-hentakan kenikmatan membuat dua insan ini terbuai dalam lautan birahi. Arci kembali menyusu kepada ibunya, tapi bukan dengan cara menyusu seperti bayi, melainkan memainkan puting dengan jilatan-jilatan maut, dengan usapan-usapan serta sapuan lidah yang bikin Lian mabuk kepayang. Karena hal inilah Lian sudah lupa siapa Arci. Ya, Arci jadi lebih terampil dan sangat berpengalaman dengan bercinta.
Pabrik sperma pun mulai bekerja untuk membentuk milyaran sel sperma di kantong menyan sang pemuda. Rasa gatal dan geli sudah mulai menyeruak di pucuk penis. Sebenarnya sayang sekali untuk segera menyudahi permainan ini, tapi Arci tahu ini tak boleh lama-lama, ingat dia ibunya. Namun Lian sudah terlalu jatuh cinta dengan permainan anaknya. Ya, ada rasa cinta. Bukan cinta sebagai seorang ibu. Tapi cinta sebagai kekasih. Wajarkah ini?
Ada rasa sesal ketika Lian merasakan Arci orgasme, ia juga tak mampu lagi menahan beban air kenikmatannya yang menyembur membasahi batang kemaluan Arci. Arci tak mencabutnya. Ia masih menikmati bagaimana remasan-remasan liang senggama Lian yang sekarang sudah terpuaskan oleh gesekan-gesekan lembut tadi. Terlebih Arci melakukannya dengan memeluk sang ibu. Untuk beberapa saat keduanya saling berpandangan.
"Arci, ibu mohon maaf kalau ibu sampai seperti ini. Ibu sangat menyesal telah merusakmu," kata Lian sambil mengusap wajah anaknya dengan lembut.
Arci menggeleng, "Tidak, semua ini aku lakukan demi ibuku. Bukan untuk diriku sendiri."
"Kamu sadarkan, yang kita lakukan ini adalah hubungan antara dua orang kekasih?"
"Iya"
"Lalu kenapa kamu masih menuruti ibu?"
"Sebab, kalau aku tak melakukannya ibu akan tersiksa, dan aku tak mau ibu menderita. Aku juga bersedia kalau misalnya ibu ingin melakukan ini selamanya asalkan ibu tidak lagi menjual diri."
"Kamu tahu ibu nggak bisa. Kalau ibu tidak melakukannya bagaimana kita bisa makan?"
"Suatu saat nanti, kalau aku jadi orang kaya. Ibu mau kan berhenti?"
"Hahahaha,...anak ibu ini. Ya, baiklah. Kapan kamu akan kaya?"
"Entahlah. Asalkan ibu dan kakak baik-baik saja, aku akan melakukan segala hal. Aku ingin bisa melihat kalian tersenyum."
Lian menggeleng-geleng. "Dasar, baiklah. Oh... anak ibu."
Keduanya berpelukan lagi. Kali ini berpelukan sebagai ibu dan anak. Setelah itu Lian dan Arci tidur bersama dalam satu selimut. Tidak. Mereka tidak bercinta lagi. Mereka sudah terlalu capek memikirkan kejadian hari itu.
* * * I LOVE YOU HANDSOME * * *
Keesokan paginya. Sang ibu sudah bangun terlebih dahulu dan meninggalkan Arci sendirian di kamar. Arci terbangun setelah matahari terbit. Ia merasa tak punya kerjaan di hari minggu ini. Apalagi UTS sudah selesai. Dia bangun kemudian keluar kamar.
"Hai mas," sapa Putri adiknya yang masih SD.
"Lho, Mbak belum pulang?" tanya Arci.
Putri menggeleng. Setelah itu dia keluar rumah.
"Mau kemana?" tanya ibunya.
"Dolin buk!" jawab Putri yang setelah itu pergi meninggalkan rumah.
"Safira belum pulang bagaimana ini?" tanya ibunya.
"Lah, ibu koq tanya aku? Emangnya katanya pergi ke mana?" tanya Arci.
"Entahlah, terakhir kali ibu terlibat diskusi hebat dengan dia."
"Diskusi? Diskusi apa?"
"Dia kepengen berhenti. Ibu sudah nasehati, mana bisa? Mau kerja apa? Trus dia bilang yang penting dapat duit."
Perasaan Arci mulai nggak enak. "Koq aku merasa nggak enak?"
Arci mengambil ponselnya kemudian menelpon Safira. Baru saja mau ditelpon orang yang dibicarakan sudah masuk dengan sempoyongan. Hampir saja Safira ambruk, kalau tidak ditolong oleh Arci.
"Heh, kamu kenapa?" tanya Arci.
"Nggak apa-apa, akhirnya aku dapat uang dengan cara halal, dek. Lihat!" Safira menyerahkan sebuah amplop coklat yang isinya sepertinya cukup tebal.
"Nggak mungkin, dari mana kamu dapet uang segini banyak?" tanya Arci menginterogasi.
"Aku jual ginjalku. Ada yang membutuhkan," katanya sambil tersenyum.
"GILA! Wong edan!" Arci membentaknya. "Jual ginjal? Sampeyan koq yo dadi edan mbak!? Lapooo??"
"Fira! Koq kamu ngelakuin ini!??"
Safira hanya tersenyum. Sungguh itu perjuangan yang tak pernah bisa diterima akal. Demi 70 juta Safira menjual ginjalnya. Arci tak habis pikir sampai sekarang, kenapa kakaknya melakukan itu semua. Sampai sekarang Safira kondisinya lemah. Ia tak kuat untuk melakukan pekerjaan berat. Alhasil ia masih menekuni profesinya sebagai wanita panggilan. Tapi Arci bersumpah dia akan jadi orang kaya dan tak akan mengijinkan ibu dan kakaknya melacur lagi. Tapi akankah ia bisa?
"Aku bersumpah aku akan berjuang hingga jadi orang berada agar kalian tidak melacur lagi. Aku akan sekolah hingga tinggi dan aku akan balas jasa kalian selama ini. Please mbak, jangan lagi jual organ. Kamu tahu aku sangat mencintai kalian. Aku tak mau kehilangan mbak!" kata Arci sambil menangis.
"Deek.. udah dong, iya... mbak janji. Mbak nggak bakal jual organ lagi," ujar Safira. "Mbak nggak kepengen adik mbak nangis. Wis, cup! Arek lanang ora oleh nangis!"
"Tapi aku nangis gara-gara mbak."
Akhirnya Safira memeluk Arci dan menenangkannya. "Shhh...udah, mbak janji. Mbak janji, nggak boleh Arci nangis lagi. Nggak boleh!"
Selama ini siapa yang bisa berbuat baik kepada Arci selain ibu dan kakaknya? Tak ada rasanya. Arci juga sangat sayang kepada adiknya. Putri ini termasuk anak yang cerdas juga. Arci bertekad sebagai kepala keluarga sekarang ia harus bisa menopang seluruh kebutuhan keluarganya. Maka dari itulah dia harus kerja keras. Kerja keras.
Di dalam kamarnya ia kemudian menghidupkan laptopnya. Pekerjaan kantornya yang sudah ia simpan di flashdisk sekarang mulai dikerjakan lagi. Arci tak tahu kalau besok akan ada kejutan baginya di kantor. Mungkin bukan kejutan biasa, karena gosip kedekatan dia dengan sang boss telah merambah di dunia maya tanpa ia sadari.
Saat jarak memisahkan aku dan kamu
Jika ku hidup dijaman mama papaku dulu
aku khawatir aku khawatir …
Berapa banyak kertas tinta amplop kuhabiskan
Berapa lama ku menunggu surat balasan kamu
aku khawatir aku khawatir …
Tapi untungya ku hidup dijaman sekarang
tak perlu khawatir lagi kan ada Skype invite tingkahmu
Instagram update foto indahmu
Line lagi dimana kamu
Twitter curhatmu ohh..
Skype invite tingkahmu
Instagram update foto indahmu
Line lagi dimana kamu
Twitter curhatmu saat ini
Suara alarm memutarkan musik di pagi hari. Andini terbangun dan menggeliat di atas kasurnya. Dia memegangi bibirnya, teringat dengan kejadian tadi malam yang membuat jantungnya berdebar hari itu. Entah bagaimana dia nanti akan menghadapi hari berhadapan dengan Arci, terus terang ciuman mereka berdua tadi malam menggetarkan sesuatu di dalam sanubarinya. Ada sesuatu yang salah, tapi sesuatu yang salah itu bukanlah sesuatu yang harus dianggap benar-benar salah. Karena memang ia telah mengakuinya, ia jatuh cinta.
"Arci, aku tak tahu apakah aku berani berhadapan denganmu hari ini," gumam Andini.
* * * I LOVE YOU HANDSOME * * *
Hari Senin, kabar Arci nonton bareng dengan Andini langsung menyebar. Mulai dari karyawan sekelas OB, sekuriti sampai karyawan sekelas manajer membicarakannya lewat dunia maya. Mereka berbisik-bisik ketika Arci datang seperti biasa ke kantor. Mereka juga membicarakan Andini. Yang tidak suka terhadap isu itu hanyalah Rahma dan dua temannya. Padahal ya mereka bertiga sendiri yang mulai pembicaraan itu. Kemudian di dengar teman sebelahnya, sebelahnya teman ternyata punya channel di bagian lain, kemudian disebarkan, dari disebarkan kemudian update status di facebook, dari update status di facebook kemudian update status di twitter hingga akhirnya jadi pembicaraan hangat.
Begitu Arci datang dan duduk di kursinya. Yusuf menegurnya, "Ci, kamu kemaren jalan ama Bu Dini?"
"Hah? Koq tahu?" tanya Arci.
"Yaah....sekantor juga tahu kale," kata Yusuf.
"Sumpaon?"
"Beneran."
Arci menepok jidatnya, "Wah, kalau seluruh kantor tahu gawat dong. Aku cuma nonton aja ama beliau, nggak ngapa-ngapain."
"Hehehehe, tahu nggak? Kalau Bu Dini itu nggak pernah jalan ama cowok lain lho. Cuma kamu doang."
"Halah wis, mbuhkah. Kerjo sing bener"
"Selamat pagi semua!?" Andini menyapa semua orang yang ada di dalam ruangan.
"Pa..gi...?" sahut Arci.
"Pagi bu," tampak Rahma berdiri dari tempat duduknya menyambut atasannya.
"Gimana Arci? Sudah selesai request saya minggu kemarin?" tanya Andini ke Arci langsung.
"Saya sedang membuat sebuah portal dan toko online. Semuanya sudah saya coding. Dan bisa kita langsung pasarkan melalui sosial media seperti facebook, twitter, dan lain-lain."
"Hmm?? Pasarkan melalui online?"
"Yang penting stock di gudang itu bisa habis bukan? Saya yakin dalam waktu kurang dari dua minggu ini stock itu bisa habis terjual. Kita tinggal melakukan pemasaran melalui media online, memberikan diskon, kemudian kita akan berikan semua yang diinginkan oleh customer. Dalam hal ini kita bisa memanfaatkan sosial media. Seperti yang kita tahu sosial media saat ini lebih digandrungi oleh orang-orang. Untuk online pun sekarang tidak terlalu sulit seperti dulu," jelas Arci.
"Sebentar, lalu bagaimana cara pembayarannya?"
"Saya kemarin telah berunding dengan bagian keuangan, untuk kasus ini saya bisa memakai rekening perusahaan untuk masalah ini dan katanya saya harus meminta persetujuan ibu. Enaknya bagaimana?"
"Oh, baiklah. Kita ada nomor akun untuk semua jenis pembayaran. Kamu saya ijinkan untuk memakainya sebagai tempat unuk pembayaran. Paypal, mastercard dan lain-lain, silakan tanya ke bendahara."
"OK, kalau begitu nggak ada masalah, besok kita sudah launching," kata Arci. "Situs pertama kita Evolus Textil, Untuk Evolusi gaya Anda."
"Hahahaha, kamu yang mikirin moto itu?"
"Iya."
"Baiklah, keren. OK, besok saya inginkan hasilnya."
"Beres."
Setelah itu Andini berbalik menuju ke ruangannya. Yusuf hanya tercengang melihat hal itu. Rahma juga sepertinya tak menyangka Arci melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh tim pemasaran. Membuat sebuah situs website? Hei, ini beneran?! Kurang dari satu minggu udah selesai?
Mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh kebanyakan orang bahwa Arci ini selain anaknya jenius juga tekun dalam mengerjakan sesuatu. Dia benar-benar menunjukkan siapa dirinya. Memang mungkin bisa dilihat tentang bagaimana dia mengerjakan apa yang diinginkan oleh atasannya dengan cepat dan sempurna. Hanya saja dibalik keseriusan dirinya, dia adalah orang yang lebih cenderung tertutup. Seperti hari itu, dia akhirnya mengikuti peraturan Andini istirahat siang.
Di kantin dia duduk di dekat jendela. Semangkuk pangsit yang sudah dia pesan belum disentuh sama sekali. Ia hanya memandangi keluar jendela, ia asyik dengan pikirannya sendiri sambil menopang dagunya.
"Hei!?" seseorang mengejutkannya.
Arci terkejut ketika Rahma sudah ada di hadapannya. "Hai juga," sapa Arci.
"Sendirian aja? Nggak ganggu kan? Atau lagi nunggu orang?" tanya Rahma.
"Sendirian, ada apa?"
"Hehehe, nggak. Cuma kepengen mau nemeni aja."
"Ada sesuatu? Pasti soal aku dan Bu Dini kemarin kan?"
"Hehehehe, tau aja. Kemarin kamu jalan ama beliau ya?" Rahma pura-pura nggak tahu.
"Iya"
"Kalian jadian?"
"Nggak"
"Yang bener?"
"Beneran"
"Oh"
"Sebenarnya gosipnya apa sih? Aku cuma nonton aja sama Bu Dini, nggak ada maksud lain koq."
Padahal kemarin Rahma sangat tahu kalau mereka berdua berciuman. Dia ingin menjelaskan ke Arci kalau dia dan teman-temannya duduk di belakang mereka tapi urung ia beritahu.
"Kamu punya cewek nggak?" tanya Rahma. "Kulihat kamu sendirian aja."
"Blom punya. Kamu sendiri?"
Rahma menghela nafas. "Kalau aku sih, dibilang punya nggak. Dibilang nggak punya, ada."
"Complicated?"
Rahma mengangguk.
"LDR?"
Rahma mengangguk.
"Udah lama?"
Rahma mengangguk lagi.
"Dia setia nggak?"
"Entahlah Ci, wong arek'e di luar nagrek"
"Tapi masih kontak-kontak 'kan?"
"Masih lah, tapi ya itu. Makin lama makin hambar saja. Godaannya di sini berat."
"Hahaha, mulai ada yang nyangkut di sini?"
"Sebenarnya juga sih kita belom resmi koq."
"Trus? Siapa cowok ini kalau boleh aku tahu?"
"Namanya Singgih. Sekarang sedang kuliah di Inggris."
"Hmmm...Inggris ya." Arci mulai menyantap pangsit mie ayamnya yang sudah dingin.
"Biarpun dikit pake ongkosnya juga ke sananya."
Rahma menoleh ke arah lain. Saat itu tampak Andini baru saja datang.
"Tuh, ibu suri datang. Aku menyingkir dulu," kata Rahma yang ingin beranjak.
"Ngapain? Nggak usah, sini aja!" Arci mencegah Rahma. Dia memegang lengan Rahma.
Andini mendekat ke meja Arci. Rahma yang tadi mau berdiri jadi enggan karena bossnya sudah ada di dekat mereka lalu duduk di kursi yang kosong.
"Keberatan aku ikut?" tanya Andini.
Arci menggeleng, "Nggak."
"Saya permisi dulu bu," kata Rahma.
"Nggak perlu sungkan. Duduk aja!" kata Andini.
Rahma nyengir. Ia jadi sedikit malu-malu kucing.
"Aku tahu kalian sedang ngomongin aku ya?" tanya Andini langsung to the point.
"Eh, nggak koq bu. Nggak," elak Rahma.
"Gosip sudah beredar, nggak perlu ditutupi. Kamu pasti minta klarifikasi ke Arci ya?"
Rahma menelan ludahnya. Ia pun mengangguk. Padahal dia tahu apa yang sebenarnya terjadi kemarin di bioskop.
"Nah, Arci. Kamu sudah berikan penjelasan ke dia soal kemarin?" tanya Andini.
"Ya, begitulah," kata Arci.
"Bagus."
"Kamu sudah pesen?" tanya Andini ke Rahma.
"B..belum bu," jawab Rahma.
Andini melambaikan tangan kemudian sang pelayan datang. Rahma jadi canggung setengah mati. Dalam hati Arci hanya ngikik saja. Tentu saja makan siang itu dilewatkan dengan canggung. Andini bertanya banyak hal kepada Rahma tentang pekerjaan. Arci sedikit lega karena tidak ditanyai lagi hal-hal yang aneh oleh Rahma.
Setelah makan siang yang canggung Arci sibuk lagi. Hingga akhirnya tak terasa sudah sampai jam pulang. Arci masih berada di meja kerjanya.
"Kamu lembur?" tanya Yusuf yang sudah memberesi mejanya.
"Yah, mau gimana lagi," jawab Arci.
"Oke, aku duluan yah," kata Yusuf.
"OK"
Rahma pun sudah beberes dan mengambil tasnya. "Pulang dulu ya Ci. Eh, iya. Boleh minta nomor telepon atau BBM?"
"Oh, silakan. Nomorku 0819221200***, pinku BG78***"
Rahma kemudian menambahkannya di ponselnya. "Makasih, dulu ya Ci."
"OK"
Arci kembali sibuk. Sampai setengah jam kemudian gantian Andini yang keluar dari ruangannya.
"Masih di sini?" tanya Andini.
"Iya bu, ini sudah mau selesai, tinggal dikit. Ini sedang mempersiapkan materi untuk besok sekalian," kata Arci.
"Besok bisa selesai?" tanya Andini.
"Mestinya begiu," jawab Arci.
"OK, besok kamu coba paparkan ke seluruh jajaran direksi," kata Andini.
"OK, siapa takut."
"Aku pulang dulu ya?"
Arci hanya ada di ruangan itu sendirian. Namun bagi orang yang sudah terbiasa dengan yang namanya sendiri. Maka kesunyian justru merupakan temannya. Ia tak pernah menyesali ketika sudah akrab dengan yang namanya sepi. Baginya dalam kesendiriannya ia bisa mendengar dengungan lebah. Ya, dengungan lebah-lebah yang sedang bekerja. Sesibuk dirinya dalam kesendirian.
* * * I LOVE YOU HANDSOME * * *
Rahma sudah sampai di rumahnya saat waktu petang sudah hampir habis. Dia tinggal di sebuah tempat kos di dekat Kampus Widiyagama. Di sini sebenarnya adalah rumah pamannya yang mana juga dibuat sebagai tempat kos. Sebagai keponakan, tentunya ia tak membayar. Hanya saja tak enak kalau tak membayar, akhirnya ia pun ikut andil bagian walaupun harus dengan harga diskon yang besar.
Teman-teman Rahma adalah para mahasiswi dari berbagai perguruan tinggi yang ada di sekitar Malang. Mereka cukup akrab satu sama lain. Begitu masuk kamar ia langsung ambruk di kasurnya. BRUK! Untuk beberapa saat lamanya dia membenamkan kepalanya di kasur. Lalu Rahma mengambil ponselnya dan menyapa seseorang di ponselnya. Sebuah nama. "Singgih"
Originally Posted by BBM RAHMA
Rahma: ping!
Koq nggak ngasih kabar??
Kamu ngapain?
Sehat nggak?
Menurutnya percuma saja memberi kabar ke Singgih. Toh BBM-nya nggak bakal dibalas. Sudah lebih dari sebulan ini tak ada kabar, hal ini tentu saja membuat Rahma khawatir. Dia lalu melihat nama. "Arczre". Iseng ia chatting dengan Arci.
Originally Posted by BBM RAHMA
Rahma: ping!
Masih di kantor aja?
Lama tak ada balasan. Rahma akhirnya menggeliat, lalu melepas seluruh pakaiannya, ganti baju dengan baju rumahan berupa kaos dan celana pendek sepaha. Ia sengaja tak memakai bra dan celana dalam karena ingin mandi. Peralatan mandi dibawanya, rambutnya diikat. Begitu ia mau keluar kamar untuk menuju ke kamar mandi, ada balasan dari BBM-nya.
Originally Posted by BBM RAHMA
Arczre: Barusan mau keluar.
Rahma tersenyum. Ia pun membalasnya lagi.
Originally Posted by BBM RAHMA
Rahma: Emang ngerjain apa sih?
Arczre: Ada deh.
Rahma: Ya udah, hati-hati pulangnya. Jangan ngebut!
Arczre: Nggak bisa non, laki-laki nggak ngebut itu namanya banci.
Rahma: yah, setidaknya hati-hati saja deh.
Arczre: Thx.
Rahma: Btw, tadi itu aku canggung banget tauk. Semeja ama Bu Dini.
Arczre: Lha, kamu kan sekretarisnya. Masa' canggung?
Rahma: Yeee... kamu ini gimana sih? Ya jelas canggung lah, tahu sendiri gosip di kantor seperti apa? Tapi aku senang kalau misalnya kamu ama Bu Dini bisa bersama.
Arczre: Apa sih? Kan udah aku bilang, kita nggak ada hubungan apa-apa.
Rahma: Nggak mungkin deh, Ci. Dari tatapan mata kalian saja aku tahu koq kalau kalian berdua deket.
Arczre: Dibilangin koq.
Rahma: Emangnya kamu udah punya cewek?
Arczre: Belum. Hmm....lebih tepatnya complicated.
Rahma: Ealah, melok-melok wae.
Arczre: Hahaha....Nanti disambung deh, ini aku mau nyetir motor.
Rahma: Oh, ok. Aku juga mau mandi. Udah bau acem.
Arczre: Wogh, boleh ikut?
Rahma: Enak aja.
Rahma senyum-senyum sendiri. Ia kemudian meletakkan ponselnya di atas kasur lalu pergi ke kamar mandi. Singgih, bagaimana Rahma bisa sesetia ini kepada Singgih? Padahal bisa jadi Singgih di luar sana tak setia. Entahlah, yang namanya cinta memang bikin orang jadi bodoh. Rahma tak habis pikir dengan kondisi dirinya sendiri. Dikata Jomblo, iya. Dikata udah punya pacar iya juga. Bingung. Semua ini hanya karena satu kesalahan ya ia lakukan. Ya, satu kesalahan.
Hari itu, tepatnya dua tahun yang lalu.....
----------------------------
Dua tahun lalu....
"Ooohhh...ahh...ahh...ahh...," jerit seorang perempuan yang sedang meliuk-liukkan pinggulnya di atas seorang lelaki.
"Ahhh...ahh...ahhh....ohh...fuck....enak banget," kata lelaki di bawahnya
"Jes, enak banget jes...! Manukmu nyucuk jeru!"
"Ahhh....goyanganmu jiaaaannn uuweeenaaaaakk!"
"Uuggghhh...aduh Jes, pentilku ojok dijiwit! Aduuuuuhh....aahhh....aduhh...gatelll itilku gatel Jess! Aaarrgghhh...manukmu gedhi, manukmu gedhii....!"
"Aku seneng karo susumu, duh...koq empuk banget!"
"Uwissss Jess...aku ora kuat maneh... Aku metu...ngentoooottttttt! Ngenttooooottt! Aku dikenthu Jesie! Jessieeeeee ngentoooooottt!"
"Ayo Naa...aku metu Naaaaaaa....ohhh...Pejuhku metu....ErnAAAAAA!"
BRAAKK!
Pintu kamar kos terbuka. Saat itu wajah Rahma memerah, ia masih terbalut baju Toga. Ia baru saja diwisuda, sengaja ia langsung pergi ke tempat kos pacarnya Jesie. Jesie yang saat itu berada di puncak orgasme benar-benar menembakkan pejuhnya ke liang senggama Erna, seorang wanita SPG yang baru saja ia kenal di Matos. Secara fisik Erna memang menarik, menggoda, rambutnya sedikit berombak, berwarna hitam dan merah ujungnya. Kedua wajah mereka melongo ketika di pintu tampak Rahma dan....seorang lelaki berkumis tebal dengan beberapa orang penghuni kos melihat mereka.
OK, ini saat yang sangat buruk bagi Jesie dan Erna. Ngentot di siang bolong, lupa ngunci pintu, digerebek oleh Pak RT. Dan itu sangat buruk karena mereka berdua sama-sama orgasme. Terlebih Jesie yang mendapati Rahma, pacarnya selama ini memergoki dia sedang indehoy. Setelah itu, nggak perlu diceritakan lagi. Jesie dan Erna langsung disidang.
"Woooooo...dasar mesum!" seru seseorang saat Jesie dan Erna berada di Balai RW.
Kedua tersangka kini tentu saja sudah pakai baju. Dan seseorang dari penggerebek, sengaja mengabadikan persenggamaan tadi. Ternyata mereka sudah mengintip dari sejak pertama kali Jesie mengajak Erna ke kamarnya. Dan akhirnya diabadikanlah persenggamaan mereka di sebuah lubang kamar kos, mungkin karena sudah terlalu nafsu Jesie dan Erna tidak waspada. Padahal di depan pintu kos sudah banyak orang yang siap menggerebek di saat mereka sedang berada di puncak. Dan penggerebekan berhasil.
"Jadi enaknya gimana? Telpon orang tua kalian untuk ke sini. Hari ini kita bakal menikahkan kalian!" kata Pak RT.
"Wah, pak jangan pak! Ampuun, saya bisa bayar deh asal jangan dibawa kedua orang tua kami," kata Jesie.
"Kenapa? Kalian kan udah enak tadi indehoy di kamar," kata Rahma.
"Rahma, maafkan aku Ma, maaaf," kata Jesie.
"Maaf? Dasar hidung belang, brengsek!" umpat Rahma.
"Tapi aku begini juga karena kamu, Ma."
"Koq karena aku?"
"Soalnya kamu nggak pernah mau aku ajak begituan!"
Seketika itu semua orang yang ada di balai RW tertawa semua.
"Woo dasar wong edan, emangnya memekku gratis buatmu ketika kamu jadi pacarku, sontoloyo!" ujar Rahma ketus. "Udah deh, pak RT. Sidang aja, nikahin saja dia di sini, kalau nggak mau kirim aja ke kantor polisi."
"Waduh, Rahma koq kamu tegaa?"
"Iya, kita emang berniat begitu." Pak RT makin berang dengan kelakuan Jesie.
Sementara itu Erna dari tadi menangis karena malu. Ia sebenarnya perempuan baik-baik. Entah bagaimana ia bisa dirayu oleh Jesie hingga akhirnya bisa menghabiskan waktu untuk melakukan icikiwir di kamar kosnya. Memang untuk ukuran cowok Jesie cowok yang cukup tampan, terlebih dengan Toyota Altis miliknya bisa membuat cewek bakal langsung naik saja tanpa pikir panjang. Apalagi sejak di dalam mobil Jesie memberikan jurus rayuan mautnya. Bagi cewek seperti Erna, dia tak perlu pikir panjang. Toh dengan pemuda tajir seperti Jesie, dia bisa punya harta yang bisa memuaskan Erna, tak hanya sekedar seks.
Itulah pengalaman buruk yang tak terlupakan bagi Rahma. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia bagi dirinya, sekarang malah menjadi hari terburuk yang tak akan pernah dia lupakan.
Sejak saat itu Rahma menjaga jarak dengan siapapun. Ia hampir pasti tidak pernah lagi berniat pacaran atau dekat dengan cowok. Baginya dikhianati dengan cara seperti itu sungguh sakit. Kabarnya Jesie sudah dinikahkan "paksa". Kabar terakhir mereka bahkan sudah punya anak. Rahma hanya tertutup, bukan berarti ia tak mau membuka hatinya untuk lelaki lain.
Rahma sedang sendiri di kamarnya sambil membaca-baca novel karangan Danielle Steel. Beberapa hari ini dia sudah memasukkan lowongan ke berbagai perusahaan. Entah mana yang bakalan nyantol. Total dia sudah membuat sepuluh aplikasi dan semuanya sudah dia kirim. Di kamarnya tiap malam dia habiskan untuk membaca novel-novel tebal itu hingga mengantuk. Namun hari itu ada yang berbeda, kalau saja ia tak mengangkat dering telepon itu mungkin hidupnya tak akan berubah.
Rahma segera mengangkat ponsel dari nomor yang tidak dikenal.
"Halo? Siapa ya?" tanya Rahma.
"Rahma ya?" tanya suara itu.
"Siapa ya?"
"Ini aku Singgih. Masih ingat?"
Ingatan Rahma mulai sedikit demi sedikit tertata. Ingatannya kembali kepada saat masa-masa kuliah. Singgih adalah seniornya di kampus dulu. Dan tentu saja Singgih sudah berkali-kali mendekatinya, hanya saja karena saat itu Rahma sudah punya pacar, maka ia pun menjauh dengan sikap jantan.
"Oh, kamu."
"Yah? Ekspresinya mana? Masa' hanya bisa bilang gitu? Histeris kek, menjerit kek, kaget kek."
Rahma tersenyum, "Dasar, kamu nggak berubah ya."
"Begitulah, sudah dari sononya."
"Hahahaha. Ada apa?"
"Nggak apa-apa, cuma say hai aja. Wah, nomorku kamu hapus ya? Koq sampai tanya segala?"
"Bukan begitu, ponselku hilang. Jadi nomor-nomor kontak terhapus."
"Oh, begitu."
"Tumben nyapa, biasanya juga diem."
"Hahaha, bukan begitu Ma. Terus terang aku selama ini mencoba menghindar."
"Menghindar? Kenapa menghindar?"
"Kamu tahu sendiri kenapa?"
Rahma dadanya serasa sesak ketika mengingat kembali bagaimana dulu perjuangan Singgih mendekatinya, tapi apa daya dia sudah punya Jesie waktu itu. "Hmm..."
"Aku sudah dengar semuanya tentang Jesie. Aku turut sedih."
"Nggak usah kamu kasihani aku, emang seharusnya aku nggak bersama ama dia. Jangan sebut-sebut lagi nama si brengsek itu."
"OK, OK. Btw, besok kosong nggak?"
"Ada apa?"
"Yah, kalau kosong kita jalan yuk?!"
"Hmm? Ini rencananya menggunakan kesempatan dalam kesempitan?"
"Hahaha, yahh...kamu tahu sendirilah. Aku juga namanya usaha. Apa tak boleh aku usaha?"
Rahma tersenyum. "Emang kamu nggak punya pacar?"
"Nggak, pacarku nanti cuma satu wanita. Cuma kamu aja. Dan kalau toh nggak bisa bersama dengan kamu aku akan membujang."
"Huuu...gombal."
"Namanya juga usaha. Jadi gimana?"
"Kamu mau ajak aku ke mana?"
"Ke Alun-alun Batu yuk!? Trus habis itu ke Museum Angkut"
"Ngapain ke sana? Itu tempat kencan yang nggak cocok. Rame banget."
"Oh, enaknya tempat kencan itu seperti apa?"
"Terserah deh."
"Lha?? Dasar cewek. Katanya ke sana nggak mau, trus bilangnya terserah."
"Hehehehe, terserah tapi jangan ke sana."
"Ke Selecta?"
"Ngapain ke sana?"
"Yah? Katanya kencan?"
"Emang siapa yang bilang kencan?"
"Kamu."
"Iyo a? Moso' seh?"
"Yo opo seh rek?"
"Hehehehe, ya udah ke alun-alun Batu ajah. Jemput yah?"
"Beneran?"
"Iya, beneran."
"Siippp!"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Rahma dijemput oleh Singgih jam tujuh malam. Ini bukan malam minggu. Hari Sabtu saja masih tiga hari lagi. Singgih bukan dari keluarga kaya. Dia orang biasa hanya saja nasibnya mujur, itu saja. Setelah lulus, dia diterima bekerja di sebuah perusahaan air mineral yang ada di kota Pandaan. Tapi di sana masih bekerja sebagai karyawan kontrak, belum tetap. Sebenarnya hari demi hari ia terus bertanya-tanya tentang kabar Rahma. Di dalam hidupnya hanya ada Rahma dan Rahma. Dia sudah cinta mati dengan Rahma semenjak kuliah. Tak sedikit usahanya untuk sekedar ngajak dia jalan, tapi sayang waktu itu Jesie sudah mengencani cewek itu duluan. Dia kalah cepat.
Rahma tinggal bersama orang tuanya. Orang tuanya Rahma cukup baik selama ini, selalu mendukung putrinya. Sebagai putri pertama maka Rahma punya beban. Ya, tentu saja. Dia harus bekerja untuk bisa membantu orang tuanya dalam merawat adik-adiknya. Dalam urusan asmara kedua orang tuanya selalu mewanti-wanti Rahma untuk memilih lelaki yang baik, serta ketika berpacaran tidak kelewat batas. Mungkin atas nasehat kedua orang tuanya inilah Rahma benar-benar tidak pernah menerima ajakan Jesie untuk bercinta. Boleh dibilang pengalaman Rahma dalam bercinta masih nol. Meskipun ia pernah berciuman, tapi itu hanya sekedar tempel bibir, belum sampai ke french kiss.
Singgih pun datang dengan motor kesayangannya. Jangan dikira itu motor berkelas. Cuma motor bebek bermerk Honda Astrea tahun 98. Lama memang, tapi boleh dibilang cukup tangguh menemani Singgih selama ini. Rahma bukan cewek matre, dia juga sudah kenal Singgih lama.
"Oh, masih ada aja ini motor," kata Rahma yang sudah menunggunya di teras.
Singgih turun dari motor dan menghampirinya. "Iya dong, sekalipun tuwir, tapi motor ini sangat berjasa. Tanpa dia aku bisa keteteran kuliah ama kerja."
"Ya ya ya, terserah deh," kata Rahma.
"Jadi jalan nggak?" tanya Singgih.
"Terserah."
"Yuk?!"
"Buukk...paaaakk!? Rahma pergi!"
"Ojok bengi-bengi!" sahut ibunya Rahma dari dalam rumah.
"Mboten buk!" sahut Rahma. "Yuk!?"
Singgih tak mau berlama-lama, segera ia membonceng Rahma setelah menyerahkan helm kepada cewek yang baru saja patah hati ini. Menggeber motor di atas aspal menuju Alun-alun Batu merupakan perjalanan yang cukup jauh, mengingat rumah Rahma ada di daerah Purwantoro. Yang mana masih ada di kota Malang. Untuk menuju Batu, maka mereka harus melewati jalan protokol, kampus-kampus seperti Kampus STMIK ASIA, STIMATA, Unbraw, Poltek UB, UNMUH dan lain-lain. Malang merupakan salah satu kota dengan perguruan tinggi terbanyak, maka dari itulah terkadang kota ini juga disebut sebagai kota pelajar. Dahulu Batu masih merupakan satu kawasan dengan Malang, namun semenjak adanya otonomi Daerah, maka Malang dan Batu berpisah. Batu akhirnya mengurus sendiri rumah tangganya. Bahkan yang katanya buah Apel Malang pun sebagian orang sudah menjulukinya Apel Batu. Namun sekalipun sudah berpisah, Batu tak bisa lepas dari Malang dalam masalah kultur. Mereka masih satu daerah yang mana punya kebiasaan yang sama, bahasa yang sama dan perilaku yang sama.
Setelah mereka melewati jalanan yang cukup panjang mendaki dan melelahkan di antara mobil-mobil roda empat akhirnya Honda Astrea itu sampai juga di alun-alun Batu. Tempat ini cukup menarik sekarang, setelah adanya renovasi di sana-sini oleh pemerintah kota Batu saat itu. Ada taman bermain, patung-patung dari lampion dan tak lupa sebuah bianglala ada di tengah alun-alun ini.
Selama perjalanan Rahma dan Singgih berbicara tentang banyak hal. Bahkan boleh dibilang malam ini adalah malam pelipur lara bagi Rahma. Setelah Jesie pergi, Singgih datang menawarkan cinta untuknya. Dan sepertinya Rahma pun berusaha untuk bisa menerima cinta Singgih. Mereka pun naik bianglala malam itu setelah jalan-jalan dan makan di sebuah warung bakso yang terkenal karena pentol raksasanya di dekat alun-alun ini.
"Jadi, bagaimana jalan-jalannya?" tanya Singgih.
"Yah, boleh juga. Makasih," jawab Rahma.
"Ma, kitakan sekarang ada di atas. Kalau misalnya aku nembak kamu di atas sini, kira-kira kamu terima nggak?"
Rahma sudah tahu sebenarnya Singgih akan nembak dia ketika naik bianglala. Rahma hanya tersenyum.
"Ayolah, jangan tersenyum aja. Bilang iya kek atau OK gitu," kata Singgih.
"Hahahaha, kamu ini. Nggak pernah menyerah ternyata."
"Yo opo seh, ono arek kodew ayu koq dianggurne?" Singgih nyengir.
Rahma menjulurkan lidahnya.
"Trus?" tanya Singgih lagi.
"Opone?"
"Laaahh?? Piye? Gelem ora dadi pacarku?"
"Mbuhkah"
"Lho?? Koq mbuh??"
Rahma tersenyum.
"Sorry kalau misalnya aku terlalu cepat, aku tahu kamu mungkin perasaannya campur aduk. Aku bukan bermaksud mengambil kesempatan, tapi kalau aku tidak mengambilnya sekarang kapan lagi?"
Rahma tertawa kecil, "Baiklah"
Betapa bahagianya Singgih waktu itu. Berciuman di atas bianglala, melihat seluruh kota Batu dari atas. Well, tak ada yang lebih romantis dari itu semua.
Hari-hari berikutnya Rahma benar-benar menemukan tambatan hati baru. Hubungannya dengan Singgih makin dekat dan kian mesra. Rahma mengerti bahwa Singgih sangat mencintainya. Singgih bukan seorang playboy. Mungkin memang ketulusan cinta Singgih yang membuat Rahma pun membalas cintanya dengan nilai yang sama. Singgih bukan orang yang menuntut, tapi dia lebih banyak menuntun. Rahma lebih melihat sosok Singgih sebagai lelaki dambaan, lelaki yang tidak ingin menang sendiri. Bahkan tak seperti Jesie, Singgih benar-benar tak menyentuhnya kecuali diijinkan oleh Rahma.
Ada kalanya perjumpaan, ada kalanya perpisahan. Sebagaimana kehidupan ini, tak ada yang abadi. Bukan, Rahma tidak berarti sudah tidak mencintai Singgih lagi. Juga Singgih, bukan berarti sudah tidak mencintai Rahma lagi. Hanya saja waktu yang memutuskan.
"Aku ingin bilang sesuatu kepadamu," kata Singgih ketika mereka sedang berada di teras rumah Rahma.
"Apaan?"
"Aku akan keluar negeri. Aku dapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di sana."
"Oh...trus?"
"Aku galau."
"Galau kenapa?"
"Itu artinya aku akan jauh darimu. Aku juga tak mungkin melepaskan kesempatan ini. Lagipula ini satu-satunya kesempatan karena aku dapat beasiswa. Ini juga adalah impian orang tuaku. Aku ingin bisa membahagiakan mereka."
Tatapan Rahma kosong. Berpisah dari Singgih? Itu hal yang mustahil.
"Kalau misalnya engkau tak mengijinkanku pergi tak apa. Aku mengerti. Seorang wanita yang jauh dari lelaki yang dicintainya pasti akan sangat sedih. Tapi kita bisa telponan, kita masih bisa chattingan. Aku akan kirim email kepadamu, aku akan selalu menelponmu."
Rahma mengangguk tanpa ekspresi.
"Ketika besok kalau aku sudah kembali aku tak ingin jauh lagi darimu. Kamu bisa menungguku?"
Rahma memejamkan mata. "Aku tak tahu."
"Rahma..?"
"Kamu mau pergi ke mana?"
"Ke Inggris"
"Jauhnya."
"Ya, jauh."
"Kamu tak perlu minta ijin aku. Aku akan melepaskanmu kalau kamu memang ingin."
"Rahma...?"
"Hiatusin saja hubungan kita."
"Hiatus?"
"Iya, ketika aku jauh darimu aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Engkau juga. Aku tak tahu apa yang terjadi disana. Siapa tahu engkau akan tertarik kepada cewek yang lebih cantik dariku. Kudengar nonik-nonik London cantik-cantik."
"Rahma, aku tak akan melupakanmu. Aku akan ingat terus."
"Aku tak bisa melakukan LDR, kamu tahu itu. Aku jauh darimu rasanya sedih. Aku ingin kamu selalu ada disampingku."
"Aku juga Ma, aku juga."
"Kita hiatus."
"Hiatus?"
"Iya, itu satu-satunya jalan. Aku tak tahu nanti ketika engkau jauh dariku bisa jadi ada yang mendekatiku. Kamu juga, aku tak ingin kecewa lagi."
Singgih tahu. Ia tak akan tahu masa depan nanti seperti apa. Apakah Hiatus adalah salah satu caranya? Mereka juga tak yakin. Dan Rahma tak pernah melakukan LDR. Singgih mengusap pipi Rahma kemudian dia mencium kekasihnya ini. Ciuman untuk mengungkapkan perasaan mereka saat ini.
"Jangan pergi....!" bisik Rahma.
"Kita jalani saja." Singgih mengusap rambut Rahma.
"Jangan pergi..."
"Aku akan kembali"
"Please...!"
Singgih kemudian berbalik. Meninggalkan Rahma sendirian di teras itu. Rahma memejamkan matanya. Air matanya mengalir. Bukan seperti ini yang ia harapkan. Tapi ia juga tak bisa egois memaksa Singgih untuk tetap tinggal. Jadi... bagaimana ia akan menjaga cintanya sampai Singgih pulang. Bagaimana?
Beberapa bulan kemudian Rahma pun diterima kerja di PT Evolus Produtama menjadi sekretaris Andini. Awalnya hanya dua bulan mereka intens berhubungan lewat telepon, email dan chatting. Namun setelah itu Singgih seperti menghilang. Tak ada kabar, tak pernah telepon, hampir seluruh kontaknya tak bisa dihubungi. Selama berbulan-bulan Rahma galau tak menentu. Kemana Singgih? Kenapa ia tak pernah menghubunginya? Ada apa sebenarnya? Rahma juga tak mungkin menyusul Singgih ke London.
Rahma tahu Singgih bukan orang yang mudah meninggalkannya. Namun ini sangat aneh. Apakah kekhawatirannya selama ini terbukti bahwa Singgih sudah tergoda dengan nonik-nonik Inggris? Kalau toh benar, maka ia sangat bersedih. Hatinya rindu, galau tak menentu. Akhirnya untuk melupakan kegalauannya ia pun lebih konsen bekerja. Hidup itu sangat singkat, kalau harus memikirkan Singgih selalu maka tak mungkin. Akhirnya Rahma hanya bisa pasrah terhadap mau dibawa kemana hubungan dia dan Singgih.
Tapi sekarang ada seorang lelaki yang mengetuk hatinya. Seorang lelaki yang selalu ia lihat punggungya tiap hari. Seorang lelaki yang membuat ia harus bersusah payah menyelidiki siapa sebenarnya dirinya. Hingga ada getar-getar rasa setelah lama ia tak merasakan getaran rasa itu. Getar-getar yang ia rasakan ketika ia bersama dengan Singgih. Apakah ia goyah? Apakah keyakinannya sekarang goyah?
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Aku harus pulang!" kata seorang lelaki.
"Kau yakin dia akan menerimamu dengan kondisi seperti ini?" tanya seorang wanita.
Sang lelaki pun diam. Ia menangis. Tubuhnya gemetar, terlihat tangan yang buntung berusaha menggapai wajahnya. Sang wanita pun kemudian mengusap air mata sang lelaki dengan tissue yang ada di tangannya. Wajah sang wanita juga tampak menunjukkan raut muka sedih. Melihat lelaki di hadapannya tak punya lengan dan kaki semakin membuat hatinya tersayat. Lelaki ini hampir setiap hari bersedih. Bersedih karena ia tak bisa apa-apa sekarang. Sebuah foto tampak berada di pigura yang ada di meja dekat tempat tidurnya. Foto itu adalah sebuah foto yang tak asing lagi. Seorang wanita dengan senyumannya yang manis menghiasi pigura itu.
Itu adalah foto Rahma.
Arci memakai seragam sekolahnya yang basah terkena hujan. Saat itulah dia melihat seorang cewek gemuk berkacamata duduk di halte. Hujan-hujan ternyata menjadi salah satu kebiasaan dari Arci akhir-akhir ini. Arci tentu kenal dengan cewek itu.
"Kamu kan???" Arci berhenti di depannya sambil menunjuk cewek gemuk berkaca mata.
"Hah? Aku??" tanyanya.
"Iya, kamu. Kamu Iskha bukan?" tanya Arci.
"Lho?? Koq tahu namaku?"
"Ya ampun, lupa ama aku?"
Cewek gemuk itu menggeleng.
"Ini aku Arci. Kita pernah ketemu di hotel waktu itu, sama mamamu!"
"Hotel?? Sama mama? Emangnya tahu siapa mamaku?"
"Mamamu Bu Susiati kan?"
"Iya. Emangnya aku dan mamamu kenapa?"
"Duh, masa' nggak ingat sih. Ya udahlah. Mau aku anter?"
"Hujan begini?"
"Dianter calon suami nggak mau?"
"Heh? Sejak kapan kamu jadi calon suamiku?"
"Sejak di hotel itu."
"Sembarangan."
"Aku sudah janji sama kalian dan aku tak akan mengingkari janjiku. Ayo aku anter, daripada membusuk di sini!?"
Iskha ragu-ragu. Akhirnya dia berdiri juga. Hujan masih belum reda, tapi mau tak mau akhirnya mereka berdua pun berboncengan. Sedikit beban buat sepeda motor Arci tipe Honda Supra-X ini menahan beban beratnya. Tapi itu tak jadi masalah. Arci tak ada niat buruk sama sekali. Mereka pun melaju di atas aspal yang basah.
**** I LOVE YOU HANDSOME ****
"Iskha, Iskha! Kamu harus kuat! Kamu harus kuat!" teriak Andini sambil mendampingi Iskha yang didorong di atas ranjang dorong. Tapi ketika masuk ke ruang ER Andini pun ditahan oleh para perawat. Ia tak menyangka bisa melihat tubuh Iskha bersimbah darah seperti itu. Ada luka robek di kepala, tangannya pun patah.
Tak berapa lama kemudian dari arah lain muncul juga pasien lain yang didorong oleh tiga orang perawat. Saat itulah ia terkejut melihat wajahnya. Dia kenal orang itu. "Arci?? Dia yang bersama adik saya?" Andini bertanya kepada salah seorang perawat.
"Iya, mereka boncengan. Menurut saksi mata karena jalan licin akhirnya sepeda motornya selip. Mungkin karena mereka ngebut. Setelah itu yang cowok menghantam pembatas jalan. Yang cewek terseret beberapa meter hingga hampir ditabrak mobil box," ujar sang perawat.
Andini terperangah. Bagaimana bisa Iskha ketemu dengan Arci? Bagaimana mereka berdua bisa bertemu? Ya, sejatinya walaupun bukan saudara kembar, tapi wajah Andini dan Iskha mirip. Iskha adalah adik satu-satunya. Dan sekarang ia pun bingung bagaimana bisa dua orang yang ada arti dalam hidupnya ada di rumah sakit yang sama?
Andini menunggu dan menunggu. Sementara para dokter dan asisten dokter sudah masuk ke ruang operasi dari tadi. Andini berharap cemas, menunggu dalam kegamangan, cemas. Hingga kemudian lampu kamar operasi telah mati. Andini berdebar-debar, sampai sang dokter dengan pakaian dokternya serta sarung tangan bersimbah darah keluar. Sang dokter menggeleng sambil menundukkan wajahnya.
"Tidak, tidak, tidak mungkin! Adek! Adek! Adekku! Iskhaaa!" jerit Andini. Terlebih ketika ia masuk ke ruang operasi untuk melihat adiknya untuk yang terakhir kali.
Tak berapa lama kemudian dari arah lain muncul ayah dan ibunya. Mereka pun shock. Anaknya Iskha telah tiada karena sebuah kecelakaan maut. Andini menangis sejadi-jadinya Bu Susiati berusaha menenangkan anaknya itu.
"Mama, ini salah kita ma. Salah kita," kata Andini.
"Salah kita? Kenapa?" tanya Bu Susiati.
"Arci ada di sini. Dia tadi membonceng Adek," kata Andini.
"Anak itu?? Bagaimana dia bisa bertemu dengan Iskha?"
"Siapa Arci?" tanya papa Andini.
"Ceritanya panjang pa, nanti akan mama jelaskan," jawab Bu Susiati.
"Arci, bagaimana dengan dia?" Andini tiba-tiba segera beranjak meninggalkan Iskha. Dia langsung menuju ke ruang operasi sebelah yang ternyata sudah selesai. Ia langsung bertanya kepada perawat.
"Di mana orangnya sus?" tanya Andini.
"Oh, pasiennya ada di ruang observasi. Kami belum bisa menghubungi keluarganya," katanya.
"Pindah dia ke VIP! Cepetan! Kami akan tanggung semua biayanya!" kata Andini tegas.
Setelah mengurusi segala administrasinya kemudian Arci yang sudah melakukan operasi itu dipindahkan ke kamar VIP. Ia mendapatkan cedera yang cukup parah ternyata. Kepalanya dibalut perban melingkar. Menurut dokter ia mendapatkan gegar otak ringan. Sebagian ingatannya mungkin akan kacau. Andini pun menemaninya setelah ia menguburkan Iskha. Di samping Arci ia terus berbisik.
"Kenapa kamu sampai bertemu dengan adikku? Kenapa kalian bisa bersama?" tanya Andini. "Apa yang kalian lakukan?"
Setelah seminggu kemudian Arci pun terbangun. Melihat dia diinfus dan seorang wanita ada di dekatnya Arci merasa ada yang aneh. Ia tak ingat apapun. Bahkan bagaimana ia bisa sampai di rumah sakit ia pun bingung.
"Lho, aku di mana?" tanya Arci.
"Kamu sudah bangun? Kamu tahu siapa namamu?" tanya Andini.
"Ya....sepertinya begitu. Kenapa aku bisa ada di sini? Dan kamu....?? Iskha?"
Andini terkejut karena Arci mengenali dirinya sebagai Iskha.
"Oh, maaf. Aku ingat sekarang, aku mengantarkanmu pulang trus kita jatuh.....dan...ah iya, itulah mengapa aku ada di rumah sakit ini," ujar Arci. "Syukurlah kamu tak apa-apa."
Andini memang mirip Iskha. Akan tetapi hal itu membuat Andini sakit.
"Kenapa kamu ada waktu itu?" tanya Andini.
"Entahlah, udah jodoh mungkin. Hehehehe. Sorry yah, kamu yang biayain semua ini?" tanya Arci.
Andini mengangguk.
"Kamu dan ibumu memang baik. Aku makin berhutang kepada kalian," kata Arci.
"Sudahlah, tak usah dipikirkan. Kamu istirahat yang cukup saja," kata Andini sambil mengusap wajah Arci. Andini sekuat mungkin menyembunyikan kematian adiknya kepada Arci dan membiarkan lelaki ini menganggap dirinya sebagai Iskha. Ini semua juga salah dia. Di hotel dulu dia mengaku sebagai Iskha, bukan sebagai Andini.
"Iskha, aku akan tetap memegang janjiku. Kamu tak perlu khawatir. Aku akan kembalikan uang kalian. Aku akan kembalikan," ujar Arci.
"Sudahlah tak usah dipikirkan. Kamu tak kembalikan juga tak apa-apa koq."
"Tapi aku sudah janji. Aku tak mau berpantang dari janjiku."
"Apa kamu mau menikah dengan wanita seperti aku ini? Aku jelek. Aku gendut."
"Tapi hatimu baik. Aku tak keberatan."
"Kamu anaknya ganteng, pasti akan banyak yang suka ama kamu di luar sana nanti. Aku jelek, nggak pantas ama kamu."
"Jangan berkata seperti itu. Siapa wanita yang mau menolong seorang anak yang sedang membutuhkan bantuan? Engkau. Dan aku tidak akan berpaling dari janjiku. Tunggulah aku sampai usia 25 tahun."
"Itu tak perlu."
"Bagiku itu perlu."
"Kamu memangnya mau dengan aku yang seperti ini?"
"Iya, aku tak keberatan."
"Apa kata orang kalau kamu nanti beristri wanita seperti aku?"
"Aku tak peduli kata orang. Asal kamu mau bersabar dengan keadaanku, aku tak keberatan."
Andini tak mampu lagi membendung tangisnya. Ia ingin mengatakan bahwa dia bukan Iskha. Tapi ia tak sanggup.
"Arci!?" tampak ibu dan kakaknya Arci datang. Andini menoleh ke arah mereka. Tentu saja Lian dan Safira terkejut. Tapi Andini memberi isyarat dengan mengangguk.
"Aku tinggal dulu. Kamu istirahat saja," kata Andini.
Seribu pertanyaan terlintas di benak Lian dan Safira. Mereka tahu bahwa wanita yang berada di satu ruangan dengan Arci ini adalah yang menyewa jasa gigolo Arci beberapa waktu yang lalu. Andini tangisnya makin menjadi.
"Maafkan aku Iskha, dia menganggap diriku sebagai dirimu. Aku tak menyangka ada seorang laki-laki seperti ini. Apakah aku pantas untuknya? Apakah aku pantas untuk orang sebaik dia? Dia dari keluarga orang-orang yang baik. Tapi...kenapa adek ikut dia, tidak. Dia tidak tahu kalau adek udah pergi. Dia tak boleh tahu. Belum saatnya, aku akan datang kepadanya suatu saat kelak. Aku akan datang, tapi dengan wajah berbeda. Aku ingin dia benar-benar menyukaiku. Bukan karena terpaksa, aku ingin dia benar-benar menyukaiku.....Apakah permintaanku terlalu muluk Yaa Tuhan??"
Andini menangis lagi. Ia sudah berada di luar rumah sakit. Hujan pun turun lagi membasahi bumi. Menyapu segala kesedihan kepada orang-orang yang sedang berduka. Andini melihat langit yang mendung. Wajahnya tersiram air hujan. Dia bertekad harus jadi orang yang berbeda. Orang yang berbeda. Ia tak mau Arci melihat dirinya sebagai Iskha. Dia adalah Andini. Andini Maharani.
"Dini?!" panggil seseorang sambil membawa payung.
"Papa?"
"Ngapain kamu hujan-hujanan?"
Andini langsung memeluk papanya. "Kenapa anak orang yang menyelamatkan hidup papa, sangat baik? Dan kenapa aku justru jahat kepadanya?"
"Sudahlah?! Kita harus melaksanakan wasiat Om Zenedin. Sampai dia nanti siap untuk menjadi pemimpin perusahaan," kata papanya Andini.
"Ada satu lagi pa. Andini mulai suka ama dia," kata Andini.
"Hmm?? Serius?"
"Nggak tau."
"Ya sudah, ayo kita pulang. Mamamu sudah menunggu di mobil."
Andini pun akhirnya berjalan meninggalkan Rumah Sakit bersama papanya. Mereka menuju ke sebuah mobil SUV warna putih. Di dalamnya ada Bu Susiati yang sudah menunggu mereka. Papanya Andini sebelum masuk ke mobil menoleh dulu ke rumah sakit.
"Semoga kita bisa bertemu lagi, Arci," gumamnya.
Andini terbangun di kamarnya. Mimpi buruk tentang masa lalunya kembali menghantui. Mimpi tentang Iskha, adik satu-satunya yang tewas karena kecelakaan. Sampai sekarang Arci tak mengetahui tentang hal tersebut. Andinilah yang menemuinya di hotel waktu itu dengan mengaku sebagai Iskha. Tapi ternyata Arci malah bertemu dengan Iskha yang asli. Mungkin memang sudah menjadi suratan takdir bahwa Iskha tewas dalam kecelakaan maut itu. Dan Arci juga kebetulan tak mencari tahu tentang kecelakaan yang menimpa dirinya.
Alarm di ponselnya berdering. Ia pun mengangkatnya dan melihat jadwal dia hari ini. Sebuah kalimat terukir di sana, "Presentasi Produk oleh Arcie". Andini mengangkat alisnya.
"Oh iya, hari ini," gumamnya.
Andini segera pergi ke kamar mandi. Dia sibukkan aktivitas pagi itu untuk membersihkan diri, dandan, kemudian memeriksa semua berkas-berkas yang harus ia bawa. Tak lupa ia membawa tablet dan laptopnya. Di meja makan sudah ada papa dan mamanya.
"Pa? Kapan pulang?" tanya Andini yang langsung mencium pipi papanya.
"Tadi malam. Papa sengaja nggak bangunin kamu," jawab papanya.
Andini tersenyum.
"Bagaimana kabar Arci? Kira-kira ia sudah siap menerima siapa dirinya?" tanya papanya.
"Entahlah, hari ini penentuannya. Sebab sebentar lagi ia ulang tahun ke-25," jawab Andini.
"Kamu sudah siap memberitahukan kepada dirinya siapa dirimu?" tanya papanya.
Andini menggeleng. "Nggak pa. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku ingin Arci bisa menyukaiku dengan siapa diriku sebenarnya. Bukan sebagai Iskha. Aku tak ingin ia mencintaiku karena balas budi."
Bu Susiati tersenyum. "Ingat lho ya, dulu mama sudah kasih banyak calon pendamping tapi kamu tolak semua. Ini yang terakhir. Dan jangan kecewakan mama. Usiamu sudah nyentuh kepala tiga!"
"Ma, ketika kita dulu di hotel kenapa skenarionya jadi begini ya?"
Bu Susiati tertawa kecil. "Entahlah. Padahal kita dulu di hotel cuma kepengen ngasih kejutan ama anak itu. Toh uang itu tetap akan kita kasih dia minta atau tidak. Koq malah jadi skenario balas budi gini?"
"Tapi dari situlah aku bisa tahu siapa Arci."
"Hei, sekarang fokus saja. Sebentar lagi PT Evolus akan berhadapan dengan PT Denim. Kamu yang menjadi kepala direksi akan bertarung bersama direksi lainnya. Sebentar lagi pimpinan perusahaannya akan diambil alih oleh pendatang baru yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya. Tentunya para pimpinan direksi akan mencari cara untuk menjatuhkannya. Kamu sendirian di sini, papa sangat khawatir," kata papanya.
Andini menghela nafas. "Aku tahu koq pa."
"Kalau kamu butuh bantuan kakakmu, kamu bisa telpon sekarang," sambung papanya.
"Nggak pa. Aku bisa sendiri koq."
"Hei, Dini. Kamu jangan berlagak kuat. Ingat perusahaan ini kalau 50 persen sahamnya bukan milik kita kamu sudah pasti akan didepak dari jajaran direksi," ujar Bu Susiati. "Ayah dari Pak Zenedin dulu membangun perusahaan ini dari memintal benang dengan alat sederhana, hingga sekarang sebesar ini. Kita tak boleh mengecewakannya. Apalagi, dia yang selama ini membantu papamu."
"Iya ma, tapi... aku masih penasaran, kenapa keluarganya tak mau menerima Lian bahkan mengusirnya?"
"Kamu tahu sendiri apa profesi Lian. Sebenarnya waktu itu niat Pak Zenedin berniat akan mengawininya tapi ia diancam tidak akan mendapatkan sepeser pun dari perusahaan itu kalau menikahi Lian. Akhirnya ia pun mengalah. Akhirnya Pak Zenedin tak punya satu pun keturunan dari istrinya. Bahkan sampai istrinya meninggal. Sekarang satu-satunya keturunan dia adalah Arci. Ada alasan mengapa Pak Zenedin tak bisa dekat dengan anaknya selama ini karena keluarganya menyembunyikan keberadaan Arci dan membuat sengsara kehidupan Lian. Itulah mengapa Pak Zenedin mengutus papa untuk melindungi keluarga mereka.
"Setelah beliau menguasai PT Evolus dan keluarganya tak bisa berbuat apa-apa lagi kepada dirinya akhirnya dia pun membuat surat wasiat yang sekarang dipegang oleh mamamu. Hanya mamamu yang diberikan wasiat tersebut. Tak ada satu pun yang tahu hingga tanggal 31 Mei nanti. Saat itulah semuanya akan mengubah hidup Arci. Tapi itu juga tergantung kepada dirinya apakah dia akan sekuat itu untuk bisa memimpin perusahaan sebesar PT Evolus Produtama," jelas papanya panjang lebar.
Andini menyantap roti isi dan meneguk segelas jus jeruk yang ada di meja makan. Andini berdiri. Ia siap berangkat. "Baiklah Dini berangkat dulu."
"Hati-hati jangan ngebut!" kata Bu Susiati.
"Siap ma," kata Andini.
Ia mencium pipi papa dan mamanya, lalu berangkat. Ia berhenti sebentar ke sebuah foto pigura kecil di pojok ruang tamu. Foto dua cewek berkacamata dengan pipi chuby yang sedang ceria. Itu adalah foto Andini dan Iskha yang tampak gembira sampai gigi mereka kelihatan. Itu sudah lama, beberapa tahun yang lalu sebelum Andini bertekad untuk melangsingkan tubuhnya, diet dengan berbagai cara, hingga ia seperti sekarang. Ia tak ingin seperti dulu, ia ingin menjadi dirinya sendiri. Dan ia sangat berharap Arci bisa menerima dirinya sekarang. Andini mengusap pigura itu.
"Do'ain aku ya dek," kata Andini sebelum berangkat.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Presentasi Arci begitu menawan. Ia memberikan banyak solusi bagi permasalahan gudang yang ada, terutama tentang stock lama. Bahkan ketika dia memberikan solusi beberapa applause untuknya dari seluruh peserta rapat. Dalam waktu singkat dia sudah bisa menghabiskan seluruh stock dengan menjualnya ke komunitas penggemar produk PT Evolus Produtama. Membuat toko online dan juga membuat promo-promo terbaru.
Arci terlihat sangat menguasai materi bahkan ia sama sekali tak melihat papan presentasi. Ia bahkan sudah hafal apa saja yang ada di layar tersebut. Ia cukup bicara dan mengarahkan audience untuk konsentrasi terhadap kata-katanya. Para direksi yang ada di ruang rapat terkesima, bahkan beberapa kali mulut mereka menganga karena heran atau takjub lebih tepatnya. Andini cukup puas. Tak salah ia menempatkan Arci pada posisi Manajer Marketing sekarang.
"Bagaimana presentasinya tadi?" tanya Arci.
"Well, cukup memuaskan," jawab Andini. "Kamu lihat sendiri tadi bagaimana applause para direksi melihat hasil kerjamu. Posisi itu emang cukup cocok buatmu."
"Sejujurnya aku nggak terbiasa dengan cara seperti ini. Ini terlalu mengejutkan."
"No excuse. Gimana kalau kita ngerayain ini?"
Arci menggeliatkan badannya. Agaknya di dalam ruang rapat tadi cukup membuatnya lelah. Dia melihat Rahma yang membawa berkas-berkas.
"Ajak Rahma juga nggak apa-apa kan?" tanya Arci.
Andini menoleh ke arah Rahma. Rahma yang mendengar namanya disebut kaget. Hampir saja berkas-berkas yang ia bawa jatuh.
"Iya, ajak semuanya," jawab Andini. "Kamu tak apa-apakan, Rahma?"
"Eh...ngg...nnggak koq bu. Anu, maksud saya...saya ada acara. Jadi sepertinya saya nggak bisa ikut."
"Acara apaan?" tanya Arci. "Udah deh, ayo ikut!"
"Ikut yuk!?"
Rahma agak kikuk. Tapi akhirnya ia mengangguk. Tidak enak juga kalau menolak ajakan Bu Andini, juga ajakan Arci. Paling tidak dia tidak sendirian. Ternyata beberapa orang juga ikut diajak. Mereka makan-makan di sebuah tempat yang sudah dipesan. Mejanya cukup besar hingga bisa untuk menampung sepuluh orang. Berbagai makanan pesanan dihidangkan sesuai dengan pesanan masing-masing. Arci duduk diapit oleh Andini dan Rahma.
Andini agaknya agak cemburu ketika Arci lebih banyak ngobrol kepada Rahma.
"Jadi, kamu anak tunggal?" tanya Arci.
"Iya, begitulah. Kamu sendiri punya saudara?" tanya Rahma.
"Ada kakak sama adik."
"Orang tua?"
"Ibu ada, ayah udah meninggal."
"Ooo... maaf"
"Ah, nggak apa-apa. Semua orang juga pasti tanya."
"Btw, selamat yah. Atas promosinya. Jarang ada karyawan baru masuk beberapa hari sudah dapat promosi."
"Mungkin aku cuma beruntung saja."
"Kamu itu bukan beruntung, tapi berprestasi!" sela Andini.
Arci cuma nyengir dan Rahma ketawa.
"Kalau perusahaan ini punya sepuluh orang seperti kamu, aku rasa kita tak perlu karyawan lainnya," gurau Andini. Kemudian yang lainnya ketawa.
"Wah, bisa ngambil jatah kita dong bu," protes Yusuf.
Pesta yang menyenangkan. Hari itu Arci bisa membaur dengan semuanya. Setelah makan-makan mereka tutup dengan karaokean. So pasti tambah kacau tingkah polah teman-teman kantor Arci. Dia hanya melihat saja dengan diapit oleh dua orang perempuan, Andini dan Rahma. Sang Ibu Direksi ini hanya melihat tingkah polah anak buahnya saja sambil sesekali melirik ke arah Arci. Rahma malah menatap semuanya dengan tatapan kosong.
"Aku mau pulang dulu," kata Andini beranjak dari tempat duduknya. "Kalian teruskan saja!"
Arci ikut berdiri. Rahma juga. Tapi Arci memberikan isyarat agar Rahma tetap duduk. Akhirnya ia pun duduk.
"Aku tak perlu diantar," kata Andini.
"Cuma sampai tempat parkir nggak apa-apa kan?" tanya Arci.
"Terserah deh. Rahma, duluan!?" kata Andini.
"Iya bu," sahut Rahma.
Arci akhirnya mengantarkan bosnya. Mereka menyusuri lorong hingga berbelok ke arah tempat parkir. Belum sampai membuka pintu Andini langsung memeluk dan mencium Arci. Sang pemuda ini tentu saja terkejut dengan perlakuan wanita ini. Tapi dia menerima ciuman sang bidadari. Setiap lembut bibirnya ia rasakan, terlebih Andini mengecupnya dengan kuat seakan-akan tak ingin melepaskan ciuman itu. Tapi hal itu ia rasakan cukup melelahkan, karena ia harus sedikit jinjit untuk menggapai wajah sang pemuda. Ia pun mengakhiri ciuman itu.
"Maaf, aku tak bisa menahan diri. Ini hadiah dariku, semoga kamu suka," kata Andini.
Arci tak menjawabnya. Hanya sedikit shock dengan tingkah polah Andini. Tapi ia mengerti bagaimana perasaan Andini kepadanya. Hanya saja ia tak bisa memberikan jawaban.
"Dini, aku... aku tak tahu harus bilang apa."
"Kamu tak perlu bilang apa-apa. Aku hanya melakukan apa yang aku harus lakukan." Andini kemudian membalikkan badan meninggalkan Arci.
"Aku tidak menolakmu, hanya saja aku belum bisa. Aku harap kamu mengerti."
"Aku sangat mengerti. Aku sangat mengerti!"
Arci hanya bisa menatap kepergian Andini yang masuk ke dalam mobilnya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Rahma masih berada di dalam ruangan, sementara teman-temannya yang lain sedang asyik berkaraoke ria. Entah kenapa dia tiba-tiba saja ingin ke toilet.
"Gaes, aku ke toilet dulu," kata Rahma. Dia segera beranjak.
Toilet tersebut sekalipun terpisah laki-laki dan perempuan. Tapi sebenarnya masih satu atap. Sehingga kalau ada pembicaraan yang terdengar di tempat cowok juga akan terdengar di tempat cewek. Rahma tanpa curiga masuk ke dalam toilet perempuan. Dia masuk ke WC dan buang hajat sebagaimana wanita pada umumnya. Saat itulah terdengar percakapan beberapa orang.
"Presentasinya anak baru itu cukup lumayan ya?"
"Iya, dia sangat berprestasi. Pantas saja dia langsung dapat promosi."
"Tapi bukankah itu artinya posisi Andini masih selamat?"
"Untuk saat ini iya, tapi kedepannya, dia tak akan bisa berbuat apa-apa."
"Bagaimana itu?"
"Sebentar lagi akan ada rapat di Vila Batu. Rapat rutin tahunan. Di sini nanti ia akan kita habisi. Kalau bisa dipecat, nggak cuma dihabisi saja. Selama dipimpin oleh dia perusahaan memang menguntungkan, tapi kalau dia selalu menimbun barang terus-menerus bagaimana bisa memangkas biaya produksi?"
"Setuju sekali. Memang harusnya ia dibungkus dari dulu."
"Ah, aku dapat ide. Ini sedikit nakal."
"Maksudnya?"
"Biarkan dia di sini."
"Lho, itu tidak bisa. Dia harus disingkirkan. Biar direksi dipimpin oleh orang-orang baru."
"Tidak, aku ada rencana. Kita buat dia mengemis untuk posisinya, tapi untuk itu dia harus menyerahkan tubuhnya. Hahahahaha, bagaimana?"
"Ahahaha, ide bagus itu. Gosipnya dia kan masih perawan. Udah lama nggak nyicip perawan!"
"Oke, minggu depan kita garap."
"Trus?"
"Oh ya, tentang merger Evolus dan Denim kita akan kaji ulang. Sepertinya menarik kerja samanya."
"Oke, hati-hati. Sampai nanti."
Rahma menutup mulutnya sedari tadi. Ia sangat shock. Siapa mereka? Kenapa mereka berniat jahat kepada Andini?? Arci harus tahu. Arci harus diberi tahu. Rahma segera buru-buru membersihkan dirinya, lalu bergegas keluar dari toilet. Ia ingin tahu siapa orang yang berbicara tadi. Tapi sepertinya toilet cowok sudah sepi. Ia segera mencari Arci. Diambil ponselya dan menelpon Arci.
Tapi sama sekali tak ada jawaban. Ponsel Arci tak diangkat. Rahma pun kemudian mengirimkan SMS.
Originally Posted by SMS Rahma Savithri
Ci, SMS aku yes. Puenting, guawat. Cepet!
"Duh, gimana ini. Gawat ini. Bisa kenapa-napa Bu Dini kalau begini," gumam Rahma cemas.
Disaat Rahma sedang berusaha menghubungi Arci itulah, sebuah tangan dengan sapu tangan berkloroform membekap Rahma. Rahma yang tak siap ia tak bisa melawan. Ia menghirup cairan Kloroform itu, hingga ia pun pusing dan pingsan.....
Sehari sebelumnya......
Safira mengamati Arci. Pergi pagi-pagi sekali, rapi. Pulang malam dan kucel. Hampir semua tugas rumah Arci yang melakukannya. Dan sudah sebulan ia tak "kerja". Ia memang tak mencari pelanggan lagi, terlebih setelah kemarahan Arci beberapa waktu lalu. Lucu juga, sebagai seorang kakak harusnya dia yang bisa marahi adiknya ini, tapi ternyata tidak. Dia mungkin terlalu sayang ama adiknya, atau bisa jadi ia sudah terlanjur cinta.
Hari Minggu, Arci tak pergi ke kantor. Di rumah ia sibuk mencuci dan bersih-bersih. Bahkan urusan memasak Arci pun jagonya. Hampir semua tugas rumah dia yang melakukan dibantu dengan sang adik yang masih SD. Terkadang sang ibu ikut membantu Arci dalam urusan dapur. Ibunya pernah bercerita kepada Safira tentang siapa ayahnya. Ayah Safira adalah seorang berondong yang menyewa jasa Lian waktu itu. Antara percaya dan tidak, Safira hanya bisa menerimanya. Dia bahkan pernah melihat siapa sang ayah. Hanya saja tak berani untuk menyapanya. Lian sendiri mengatakannya setelah dipaksa olehnya. Dan sebenarnya ginjal dia diberikan kepada ayahnya. Sekalipun dengan upah, hal itu semata-mata dilakukan Safira karena ingin menolong ayah biologisnya, sekalipun sang ayah tak mengakuinya. Pahit memang. Tapi hal itu tak pernah diketahui oleh Lian ataupun Arci. Mereka hanya tahu Safira menjual organ ginjalnya.
Lalu ayah Putri? Ayahnya adalah seorang tentara yang tewas beberapa waktu lalu ketika ditugaskan ke sebuah daerah konflik. Nahas memang. Disaat Lian mulai serius dengan seseorang, selalu saja sang lelakinya bernasib sial. Akhirnya Lian pun hanya bisa pasrah.
Dan entah kenapa sampai sekarang Lian tak pernah menceritakan kepada siapapun tentang siapa ayah Arci. Pasti ada sesuatu. Lian mengunci rapat-rapat identitas ayah Arci. Dia hanya bisa mengatakan bahwa ayah Arci sudah meninggal. Tapi itu tak cukup. Pastinya.
Safira hanya memakai kemeja putih lengan panjang. Tanpa bra, tanpa CD. Ia keluar dari kamarnya dan langsung nonton tv. Pagi itu ia melihat bagaimana Arci mondar-mandir kesana-kemari hingga akhirnya selesai masak di dapur bersama ibunya. Setelah itu ia duduk di sofa, bersebelahan dengan Safira. Direbutnya remote tv itu.
"Eh, rese'. Ngerebut remote sembarangan!" kata Safira yang berusaha merebut remote tv.
"Makanya jadi cewek itu belajar masak sonoh, nyuci kek, bersih-bersih kek, nggak di kamar aja. Trus bangun lihat tv," kata Arci.
Safira berusah merebut remote tv. Tapi tak sanggup. Akhirnya ia nyerah. Arci pun memindah-mindah saluran untuk mencari acara yang menurutnya bagus. Tiba-tiba Safira memeluk pinggangnya dan merapat ke adiknya itu.
Kini posisi tubuh Arci seperti di peluk oleh Safira. Ada perasaan nyaman pada diri Safira saat dia memeluk Arci seperti itu. Perasaan nyaman yang aneh.
"Ngapain sih kak? Lagi pengen?" pancing Arci.
"Jangan mancing, aku cuma kepengen meluk kamu aja. Masa' nggak boleh?"
"Yaaa...boleh aja sih. Tapi biasanya kalau manja begini Kakak lagi kepengen."
Arci dipukul dengan bantal. "Huuu dasar...kamu ngeres mulu pikirannya. Mentang-mentang ....."
"Mentang-mentang apaan?"
"Ah... nggak ah."
Arci dan Safira kembali membisu. Arci diam-diam mengamati kakaknya yang kini menindih tubuhnya. Arci mulai berbaring, Safira beringsut menempelkan dadanya di dada Arci.
"Kamu sudah punya pacar, dek?" tanya Safira.
Arci menggeleng. Ia menelan ludah saat tahu kakaknya tak memakai dalaman sama sekali. Diperhatikannya paha mulus Safira yang kini sudah menindih kemaluannya yang sudah menegang karena singgungan kontak yang tak bisa ditolak itu.
"Kenapa kak?" tanya Arci.
"Pengen tanya aja, Kakak bakal cemburu sepertinya kalau kamu nanti punya pacar."
"Kenapa bisa begitu?"
Saat itu Arci yang hanya memakai training pun diturunkan oleh kedua tangan Safira hingga celana dalamnya pun melorot sekalian. Safira mendekatkan bibirnya ke buah zakar Arci dan menciumnya. Batang Arci mulai mengeras. Arci tak heran. Ketika Safira sudah bernafsu biasanya dia lebih agresif.
"Telanjang aja yuk?!" ajak Safira.
Arci hanya menurut saja. Dalam hitungan detik, keduanya sudah tak memakai apa-apa lagi. Arci kemudian menarik tubuh Safira hingga sang kakak pun duduk di atas pangkuannya. Kembali hubungan sedarah terjadi lagi. Buah dada Safira mulai dikulum oleh sang adik.
"Ahhh....," desah Safira.
"Katanya nggak mau?" bisik Arci.
"Entalah, mungkin...karena aku selalu ingin kalau dekat ama kamu dek," jawab Safira.
Tubuh Safira sebenarnya mulus, tanpa cacat. Ia tak pernah madat, tak pernah mengukir tato. Dan ia selalu merawat tubuhnya ke spa. Hanya satu yang kurang. Di pinggang sebelah kanannya ada luka bekas operasi. Ya, operasi pengambilan ginjal beberapa tahun yang lalu.
"Dek, kalau kakak cinta beneran ama kamu gimana?" tanya Safira.
"Maksud kakak?"
"Cinta sebagai seorang kekasih?"
Safira mengecup bibir Arci.
"Kakak tahu bukan itu tak mungkin?" tanya Arci sambil memeluk Safira erat.
"Tapi kakak mulai menyukaimu, mulai mencintaimu. Aku tak mau pisah ama kamu dek."
"Kenapa?"
"Karena kamu terlalu banyak berkorban buat keluarga ini. Kamu rela jadi anak seorang PSK. Punya saudara juga PSK. Kamu mengurusi segala pekerjaan rumah, aku terlalu baik. Aku yakin ayah kamu pasti orang baik pula. Ahhh...Adekku."
"Kalau kakak mau, silakan saja. Aku akan melakukan apapun buat kakak, tapi....kalau suatu saat aku punya istri bagaimana? Bagaimana juga kalau misalnya aku punya anak, mereka akan manggil kamu apa? Apa yang harus aku katakan kepada istriku kelak?"
"Aku tak peduli. Aku akan menghormati istrimu, tapi aku ingin jadi istrimu dek. Aku tak sanggup lagi membendung perasaanku ini. Ketahuilah, sejak aku kecil aku sudah menyukaimu."
"Oh ya?"
Safira mengangguk. Ia mencari-cari batang penis adiknya, lalu menempatkannya di liang senggama miliknya. Mereka biasa bercinta tanpa kondom maupun dengan kondom. Mereka bisa menjaga diri, Safira sudah piawai agar penis pasangannya tak membuahi rahimnya. Tapi entah mengapa kali ini ia ingin hal yang lain. Kenikmatan mulai menjalar ketika batang itu melesak masuk ke dalam liang senggamanya, hingga mentok menyentuh rahimnya.
"Uuuhhhhh...," keluhnya.
Arci juga merasakan sensasi yang luar biasa saat penisnya masuk dengan sempurna.
"Dek, kamu mau kan mencintaiku?"
"Iya, aku bisa."
"Sungguh?"
"Iya. Apapun buat kakak."
"Aku tak akan mencampuri urusan cintamu. Tapi tolong berikan satu ruang di hatimu buat kakakmu ini ya? Kamu bisa?"
"Aku akan berusaha."
"Hari ini, tolong lakukan dengan sungguh-sungguh!"
"Maksudnya?"
"Anggap aku orang yang kamu cintai. Bukan orang yang kamu anggap sebagai kakakmu."
"Tapi engkau memang kakakku dan aku mencintaimu."
"Lebih dari itu. Pliisss... ohh..dek...aku sangat mencintaimu."
"Kaakk...aahhh!"
Sementara itu Lian yang tadinya berada di dapur dan akan ke ruang tengah terpaksa kembali lagi ke dapur karena melihat adegan persetubuhan Arci dan Safira. Lian tak ingin Putri melihat mereka berdua, walaupun Putri terkadang memergoki mereka, hanya saja Lian masih waras. Ia tak mau anak kecil ini bisa lebih dulu dewasa dengan menonton apa yang terjadi dengan Safira dan Arci. Dalam hati Lian, ia hanya bisa menerima kenyataan bahwa Safira terlanjur mencintai adiknya sendiri. Dan dia tahu sifat Safira, sekali ia mencintai seseorang ia tak akan pernah bisa melepaskannya begitu saja. Terlebih sekarang yang dicintainya adalah adiknya sendiri.
"Kenapa sih ma koq keluar lewat pintu belakang?" tanya Putri polos.
"Udah, mau ikut apa nggak?" tanya Lian.
"Ya udah deh."
Dalam hati Lian pun berkata, "Arci, Safira, berbahagialah kalian."
Di dalam rumah desahan demi desahan terus keluar dari kedua mulut kakak beradik ini. Arci dan Safira tak henti-hentinya berpagutan. Mereka sebenarnya sudah biasa bercinta tapi tak seperti ini. Ini lebih bergairah dari biasanya. Arci juga merasa demikian penisnya lebih keras daripada biasanya. Ia sekarang lebih melihat tubuh kakaknya ini sebagai seorang kekasih. Kalau biasanya ia bercinta hanya untuk mengimbangi Safira, kini ia juga ingin merasakan bercinta dengan orang yang dicintainya.
Dalam bercinta Arci mungkin merasakan tabularasa-nya hubungan sedarah. Tapi agaknya untuk hari ini tidak. Terbukti ia bisa bermanja-manjaan dengan Safira kalau sebelumnya ia dingin. Ia belai seluruh lekuk tubuh kakaknya. Mungkin kalau ada orang yang punya kakak seperti Safira hanya bisa bengong dan membayangkan Arci tidak. Ia sekarang secara nyata telah menyentuh Safira, kakaknya yang seksi.
Pantat Safira di remas-remas. Arci berusaha lebih dalam lagi untuk menusukkan kemaluannya, walaupun sebenarnya sudah mentok. Safira menggit bibir bawahnya saat Arci menghentak-hentakkan tubuhnya. Lama sekali keduanya saling menekan selakangan. Desisan dan desahan silih berganti bersahutan.
"Ci...sodok kakak dari belakang dong!" pinta Safira.
Arci tak menolak. Ia bangkit, kemudian berdiri di pinggir sofa. Safira menunggingkan pantatnya. Kepala penis Arci di arahkan ke liang surgawinya. Tak butuh waktu lama keduanya bergoyang lagi. Kini dengan gaya doggie style mereka mulai memacu birahi lagi. Dua buah payudara bergantungan seirama goyangan tubuh Safira. Arci berusaha menggapainya dan meremas-remasnya.
"Kamu suka toketku ya dek?" tanya Safira.
"He-eh," jawab Arci.
"OOhhh....sodok yang kenceng ya dek, jebolin memek kakakmu ini," kata Safira.
Arci makin menyodok sekencang-kencangnya seolah-olah memek Safira benar-benar muat untuk ditusuk sekencang itu. Hingga akhirnya sang kakak pun mengejang, pertanda orgasme pertamanya sampai. Arci masih belum puas, Safira tahu itu. Ia pun langsung berbalik dan mengulum penis adiknya yang sudah mengacung sempurna. Tak tahan rasanya ingin digigit saja benda bulat lonjong besar berotot itu oleh Safira. Ia sangat gemes dan berkali-kali menghisapnya dengan gemas. Arci hanya bisa menikmati perlakukan kakaknya itu.
Safira meludahi kepala penis adiknya. Dia lalu mengocok lembut sambil mengisap buah zakarnya. Arci terus bertahan atas perlakuan saudarinya itu.
"Dek, semprotin di dalem ya," kata Safira.
"Nggak apa-apa?" tanya Arci.
"Nggak apa-apa, kakak lagi kosong koq."
Arci lalu mulai menindih Safira. Safira kemudian membuka kedua pahanya lebar-lebar. Mempersilakan rudal berotot masuk ke dalam liang senggamanya. Dan dengan mudahnya Arci memasuki gua kenikmatan itu. Arci membuka mulutnya dan menghisap tetek Safira.
"Ahhh...aku yakin kalau adekku ini suka ama tetek kakaknya," kata Safira.
"Biarin," kata Arci sambil terus meremas dan mengisap dua bukit kembar itu bergantian.
"Ayo dek, memek kakak kepengen digesekin lagi nih," kata Safira.
"Kak, aku tak pernah tahu. Tapi...kalau kakak ingin kita hanya hidup bertiga saja aku rela koq," ujar Arci.
"Hush, nggak boleh begitu. Kita sebenarnya juga nggak boleh seperti ini," kata Safira.
"Kalau misalnya nanti kakak aku hamili bagaimana? Bisa repot kan nanti masyarakat, bahkan kita bisa diarak keliling kampung," kata Arci.
"Lihat ibu, ketika semua orang tahu ibu PSK dan hamil di luar nikah. Masyarakat sudah maklum, kenapa kamu tidak?"
"Kak, aaahhh...!" sesekali Arci mendesah keenakan saat menggenjot Safira. ".... tapi ini kita...ahhh...kalau...uhhh... kita ketahuan....aahh...bagaimanaaahhh...?"
"Aahh...aahh...aahh..uuhhh... nggak usah dipikirkan dek. Kakak ...ahh..uhhh.. udah rusak....biarin rusak sek...aahhh...kalian....uhhhh!"
"Aku tak mau begitu kak. Aku akan ahhh....cari cara untuk membahagiakan kakak...uhhh. Itu sudah tugasku, itu cita-citaku sejak dulu. Ahhh....Aku juga ingin membahagiakan ibu."
"Deekk...keras banget, mau nyampe?"
Arci mengangguk. Goyangannya makin cepat. "Sampe kak, sampe....aku tak ingin seperti itu kak. Kalau kakak mencintaiku, maka kakak pun harus diperlakukan dengan terhorrrmmmmmmaaaaaattttt!"
Arci dan Safira menjerit bersamaan saat mereka sampai kepada orgasme secara bersamaan. Arci memeluk Safira seolah-olah tak ingin melepaskannya lagi. Dekapan Arci erat sekali, ia menghentak beberapa kali ketika spermanya keluar, hal itu membuat Safira melayang. Ia juga memeluk adiknya dengan erat.
"Banyak banget kamu keluarnya," kata Safira.
"Aku tumpahin semuanya," ujar Arci.
"Emangnya udah berapa lama nggak gituan?" tanya Safira.
"Semenjak terakhir ama ibu, dua mingguan," jawab Arci.
"Aahhh...pantes, hihihihi," kata Safira sambil menunjukkan senyum manisnya.
"Kak, serius mau jadi kekasihku?" tanya Arci.
"Masih tanya aja, aku serius. Dan untuk keseriusanku, aku nggak akan jadi PSK lagi. Aku pensiun. Aku akan cari kerja yang halal," jawab Safira.
"Beneran?" Arci tampak senang sekali. Terlihat dari raut wajahnya berseri-seri.
"Serius, hari ini demi adikku dan juga kekasihku. Aku pensiun."
"I love you kak"
"I love you too"
Sebuah kisah cinta yang kompleks. Arci yang ingin kakaknya berhenti jadi pelacur pun bisa teratasi. Tapi imbasnya sang kakak jadi mencintai dia seperti seorang kekasih. Siapa yang patut disalahkan dalam hal ini? Yang benar atau salah pun terkadang samar untuk bisa dimengerti.
* * *
Safira hari itu bercinta dan bercinta bersama adiknya sampai malam. Bahkan kali ini ia tak malu-malu untuk tidur di kamar adiknya. Ada perasaan menyesal mencintai adiknya, namun perasaan itu pun akhirnya luluh dengan sendirinya. Ia berada di dalam persimpangan jalan sekarang. Tadi malam lagi dan lagi adiknya membuahi dia, ia merasa pasti bakal jadi. Apalagi Arci bercinta dengannya penuh perasaan. Setiap ciuman, setiap belaian, setiap hentakan adiknya ke dalam dirinya ia sangat menyukainya. Ia biarkan Arci membolak-balikkan tubuhnya, menikmati setiap jengkal tubuhnya. Ia sudah pasrahkan tubuhnya untuk sang adik.
Pagi sudah menjelang. Arci sudah memakai handuk dengan tubuh basah. Badan tegapnya membentuk sebuah siluet di tirai kamarnya ketika tirai jendela dibuka. Safira terbangun.
"Hari ini aku presentasi di kantor. Promosi," kata Arci.
Safira menggeliat. "Pagi sayang."
Arci tersenyum. Menghampiri Safira. "Kakak serius?"
"Serius apa?"
"Serius dengan hubungan ini?"
Safira mengangguk. "Aku sudah memutuskannya. Mulai hari ini dan seterusnya aku adalah kekasihmu."
"Tahu kamu kan kita tak bisa ....," jari telunjuk Safira menempel di bibir Arci.
"It's OK. Dek, you're my everything. I can't stop fallin love with you. I know it's wrong. Kalau nanti kamu bertemu dengan pujaan hatimu, aku tak akan cemburu. Memang sudah seharusnya seperti ini, asal jangan pergi dariku. I can't live without you," kata Safira.
Bibir mereka pun berdekatan. Kemudian menempel lagi. Wajah Safira yang cantik dengan mata sayunya benar-benar akan membius siapa saja. Tapi Arci tak bisa berlama-lama di kamarnya. Ia harus pergi ke kantor. Segera saja diambil baju-bajunya dan berdandan.
Saat membenarkan dasinya Safira melompat dari tempat tidur, ia membantu Arci. Dibantu pemuda itu membenarkan dasinya, lalu merapikan rambutnya. Arci melihat kakaknya tanpa baju sehelai pun. Kulit yang mulus tanpa cacat. Mungkin kalau nyamuk berjalan di atasnya pasti terpeleset. Sebuah kecupan hangat di pagi hari meninggalkan Safira seorang diri di kamar.
Di luar Arci langsung disambut ibunya.
"Jangan kecewakan Safira. Aku tahu ini salah, tapi....jangan pernah buat kakakmu bersedih!" kata Lian.
"Aku tidak akan. Kalian adalah orang-orang yang paling berharga buatku. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri," kata Arci.
Lian lalu memeluk anaknya. "Arci, maafin ibu ya."
"Kenapa?"
"Seharusnya tidak seperti ini. Pulanglah cepat hari ini, ibu ingin bicarakan sesuatu tentang ayahmu. Asal cepatlah pulang!"
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Arci penasaran. Dia menatap mata Lian. Terdapat raut kesungguhan di sana.
"Cepatlah pulang!" kata Lian.
"Baiklah, hari ini aku ada promosi. Mungkin agak lebih malem pulangnya," kata Arci.
"Lekas saja pulang," kata Lian.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Bego, kenapa dia kita sekap?"
"Heh, dia sudah mendengar apa yang kita bicarakan."
"Trus, kenapa nggak dihabisi saja?"
"Dihabisi? Aku tak mau jadi pembunuh, dodol!"
"Lha trus?"
"Kita tahan aja dulu dia, sampai target kita Si Andini takluk. Kita lalu kumpulin dia sama-sama. Lalu kita garap bareng. Kalau ia macam-macam kita sikat."
"Sikat gimana?"
"Ancam saja, kalau macam-macam kita perkosa rame-rame."
"Sekarang, dia kita sekap di mana?"
"Gampang, aku ada tempat. Nggak bakalan ada orang yang tahu."
"Oke, awas kalau sampai dia lolos dan ngebocorin rahasia kita."
"Tenang aja."
"Tapi kira-kira akan ada orang yang curiga nggak kalau dia hilang?"
"Ya jelas curiga, namanya juga orang hilang. Tapi hilang kenapa nggak bakal ada yang tahu. Itu sudah cukup."
"Oke. Sip!"
"Jangan lupa buang ponselnya!"
"Beres, sudah koq."
Setelah acara pesta makan-makan malam itu Arci segera pulang karena ibunya ingin bercerita tentang sesuatu. Tentang siapa jati diri ayahnya. Sebenarnya menurut Arci sendiri hal ini tentunya membuat dirinya lebih senang tapi ada sesuatu yang entah kenapa dia lebih takut dari pada sebelumnya. Ibaratnya ia lebih takut mengetahui siapa dirinya sekarang. Baginya tabir misteri itu lebih baik tetap tidak dibuka daripada ia mengetahui malah mengubah semuanya. Ia takut.
Setelah melihat Andini pergi Arci pun ikut pergi. Dia lumayan ngebut di atas aspal. Sama seperti sebelum-sebelumnya ia ngebut tapi masih dalam batas wajar, dalam arti tetap mematuhi rambu lalu lintas. Tak berapa lama kemudian ia sudah sampai di rumah.
Sesampainya di rumah ia sudah melihat ibunya duduk di ruang tamu sambil menyalakan rokok. Di meja tampak sebuah buku album tergeletak di sana.
"Butuh waktu untuk ibu menyimpan ini semua," kata Lian sambil menunjuk ke album yang ada di hadapannya.
Arci yang tahu apa maksudnya langsung mengambil album itu dan membuka-buka isinya. Ada wajah seseorang di sana. Wajah seorang lelaki yang sangat asing. Tapi dari sekilas ada kemiripan antara wajah itu dengan dirinya. Terutama bagian mata dan rambutnya.
"Ini..??" gumam Arci.
"Dulu setelah dua tahun Safira lahir, ibu sempat bertobat. Tak mau lagi menekuni dunia seperti ini. Dan ibu kenal dengan seorang yang dia cukup tampan, berwibawa, pokoknya tak ada yang bisa menyamai dirinya. Dia adalah klien terakhir ibu waktu itu. Tipnya juga besar. Entah kenapa waktu itu ibu curhat kepadanya soal rumah tangga. Prinsip ibu adalah, tak mau curhat kepada pelanggan. Karena hal itu bisa menimbulkan ikatan batin yang tidak seharusnya. Alhasil, terjadilah.
"Namanya Archer Zenedine. Seorang berkebangsaan Ceko yang sudah lama menetap di negeri ini. Kamu tak bakal menyangka seperti apa kekayaannya. Selama menjalin hubungan dengan dirinya ibu pernah ke luar negeri beberapa kali. Bahkan ia melamar ibumu ketika mengajak ibu ke Moskow. Hanya saja sayang sekali keluarganya tidak setuju. Ibu diintimidasi, dia juga. Bahkan keluarganya mengurung dia agar tidak keluar rumah, sampai kemudian kabarnya ia dipaksa untuk menikah dengan wanita pilihan keluarga mereka. Tapi ibu sudah hamil dan melahirkan kamu. Ibu tak tahu lagi kabarnya. Intimidasi keluarganyalah yang menyebabkan kita seperti ini. Tinggal berpindah-pindah, kehidupan yang tak menentu bahkan memaksa ibu untuk menekuni profesi lama ibu lagi. Mereka jugalah yang memaksa kakakmu untuk melacur, dan ya ibu dendam kepada mereka. Kasihan ayahmu, ia sangat mencintai ibu tapi tak bisa berbuat banyak.
"Dia selalu mengirimkan surat kepada ibu di saat-saat terakhirnya. Setelah ayahnya meninggal dia yang mewarisi perusahaannya. Semuanya. Namun nasib juga sepertinya tak membuat ia beruntung. Ayahmu pun mengidap penyakit jantung. Sehingga tak lama kemudian ia juga menyusul ayahnya. Tapi dia telah mengembangkan perusahaan miliknya hingga sangat besar. Dia juga berhasil mengontak ibu lagi. Hanya sayang sekali itu sudah terlambat. Ia telah menulis sebuah surat wasiat yang akan dibaca pada tanggal 31 Mei. Di dalamnya ada namamu. Ibu sengaja merahasiakannya darimu, ini semua karena ibu tak mau kamu berbuat nekat dengan menemui keluarga mereka. Ibu tahu watakmu yang bertindak berdasarkan hatimu. Ibu tak ingin kamu kenapa-napa, maka dari itulah ibu simpan sampai ibu rasa kamu sudah siap mendengarnya."
Arci terus membolak-balikkan album kenangan yang berisi foto ibunya dan ayahnya. Dan ketika sampai di halaman terakhir ada sebuah amplop.
"Bukalah! Itu seharusnya kamu baca ketika usia tujuh belas tahun. Tapi ibu tak memberikannya kepadamu. Karena ibu takut kamu belum siap. Tapi sekarang, kamu harus membacanya. Itu pesan terakhir ayahmu!" kata Lian. Arci menatap ke ibunya sejenak. Lalu ia pun membuka amplop tersebut. Ada beberapa lembar surat. Arci mulai membacanya.
Anakku Arczre,
Aku tak tahu sampai kapan aku akan berjuang melawan penyakitku ini, tapi sebelum terlambat aku ingin menyapamu dulu. Apa kabarmu? Kamu sekarang pasti sudah remaja. Kamu sudah mulai mengenal cinta. Papa tahu, karena papa dulu pernah muda.
Maafkan papa. Papa sangat ingin sekali bisa menggendong dirimu waktu kamu masih bayi dulu. Papa sangat ingin sekali memeluk dan menciummu, tapi sampai sekarang papa tidak bisa berbuat apa-apa. Maafkan papamu. Tapi dalam setiap mimpi, dalam setiap tarikan nafas, engkau adalah putraku satu-satunya. Satu nama yang selalu membuatku bersemangat untuk tetap hidup. Andai posisi kita tidak seperti ini tentu aku akan lebih menyayangimu lagi nak, sayang kita tidak bisa saling melihat, tidak bisa saling menyapa.
Anakku.
Maafkanlah ibumu. Dia selama ini pasti sangat lelah menjagamu. Mungkin ada kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya, tapi itu semua karena ia sangat menyayangimu. Tolong jangan marah kepada ibumu. Marahlah kepada papamu yang tidak bisa berbuat banyak, bahkan ketika semua kekayaan ini ada di tangan tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Anakku.
Aku sebenarnya ingin marah. Tapi tak tahu harus marah kepada siapa? Aku marah karena aku tak berdaya. Tak bisa berbuat apa-apa. Padahal aku sangat ingin bisa melihatmu. Dalam beberapa tahun ini papa berusaha mencarimu hingga akhirnya bisa menghubungi ibumu lagi. Sungguh itu suatu hal yang sangat menyenangkan. Tapi sayang, kondisi papamu mulai drop. Bahkan sekarang makanan yang dulunya enak, terasa hambar di mulut. Hanya makanan halus yang boleh masuk ke dalam perut. Setiap hari papa hanya memandang dari tempat tidur, berbaring, sambil terkadang menulis beberapa paragraf untuk dikirim kepada ibumu. Baru kali ini papamu berani menuliskan wasiat ini kepadamu. Sebut saja wasiat, sebut saja salam perpisahan, karena hidup papa nggak lama lagi.
Anakku,
Aku sungguh sangat menyayangimu, aku juga sungguh merindukanmu. Aku ingin berpesan kepadamu jadilah anak yang baik. Jagalah ibu dan kakakmu. Dan kalau engkau sudah berusia dua puluh lima tahun. Papa ada kejutan buatmu. Kuharap engkau sudah siap waktu itu. Kuharap engkau sudah siap menerima kejutan dari papa. Tapi untuk itu kamu harus sekolah yang tinggi. Ambil semua ilmu yang ada. Perbaiki masa depanmu. Engkau adalah pewaris PT Evolus Produtama. Semuanya adalah milikmu dan satu-satunya manusia di planet ini yang berhak mendapatkannya. Sementara ini sebelum usiamu sampai 25 tahun papa menyerahkan perusahaan ini kepada orang yang paling papa percaya. Datanglah ke PT Evolus Produtama saat pembacaan wasiat, tapi kalau engkau berhalangan tak masalah. Pengacaraku sudah mempersiapkan semuanya.
Pesan papa. Berhati-hatilah. Papa sengaja merahasiakanmu dari semua orang. Hanya beberapa orang saja yang tahu mengenai dirimu. Bahkan namamu pun memang sengaja papa berikan bukan nama Zenedine, agar tidak ada orang yang tahu bahwa kamu adalah anakku. Ada orang yang sangat ingin kamu tiada. Papa dan ibumu berusaha melindungimu selama ini. Jadilah anak yang kuat.
Ini adalah kenang-kenangan dari papamu. Tak seberapa, tapi kalian memang berhak untuk mendapatkannya. Ini sebagai balasan karena papa tak bisa menjagamu selama ini. Kamu mau kan maafin papa?
Anakku.... Selamat Tinggal, jaga ibu dan kakakmu.
ttd
Archer Zenedine
Mata Arci basah. Ia meletakkan surat itu. Di belakang surat itu ada sebuah foto. Foto seorang lelaki yang banyak sekali alat-alat di tubuhnya. Wajahnya kurus kering. Itu adalah wajah Archer Zenedine di saat-saat terakhirnya. Arci menoleh ke arah ibunya. Ibunya sudah tak bisa membendung kesedihannya. Arci tahu sekarang kenapa ibunya tak memberi tahu siapa ayahnya sampai sekarang. Ia hanya tak percaya, dia adalah pewaris perusahaan tempat ia bekerja sekarang ini.
Safira muncul dari kamarnya. Ia ternyata sejak dari tadi sudah melihat semuanya. Ia lalu memeluk adiknya. Mungkin kisah ini seperti kisah si Bebek Buruk Rupa. Memang dilihat oleh semua orang ia seperti orang tak berguna, tapi ternyata ia lebih dari dugaan semua orang. Arci, pewaris sebuah kerajaan. Dan satu-satunya orang yang berhak atas PT Evolus.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci terbangun. Hari sudah pagi. Ia agak kaget mendapati Safira sudah ada di sampingnya. Ia baru ingat kalau tadi malam Safira memeluknya sampai ia tertidur. Arci menyunggingkan senyum. Agaknya ia akan terbiasa melihat Safira selalu ada di kamarnya tiap hari. Dia tadi malam mengisi batteray ponselnya, karena habis. Ia kini menghidupkan ponselnya. Langsung ada satu pesan masuk.
Originally Posted by FROM: SMS Rahma Savithri
Ci, SMS aku yes. Puenting, guawat. Cepet!
Arci mengerutkan dahi. "Apaan nih?" Ia segera menghubungi Rahma. Seketika itu langsung ada suara perempuan "Nomor yang Anda hubungi tidak aktif atau berada di luar service area"
"Aneh...?" gumam Arci.
Arci merasa tak ada yang aneh pagi itu. Mungkin Rahma ada suatu masalah kerjaan di kantor. Nanti di kantor juga bakalan tahu, pikirnya.
"Hmm...? Sudah bangun?" tanya Safira.
"Sudah, mandi sono gih!" Arci melemparkan bantal ke arah Safira.
"Aduh!"
Arci melepas bajunya dan mengambil handuk.
"Mandi bareng doong!?" Safira menggelayut manja.
"Duh, kakakku ini koq manja banget," Arci pun masuk ke kamar mandi.
Safira langsung melepas bajunya satu per satu, lalu beringsut membuka pintu kamar mandi. "Ikuuutt...!" Melihat Safira tanpa benang sehelai pun langsung membuat Arci "bangun".
"Dasar, ya udah," kata Arci.
Walaupun ada acara mandi. Tapi toh akhirnya diselingi juga dengan belaian dan cumbuan. Hingga akhirnya kedua tubuh polos tanpa busana itu pun sudah bersatu. Arci memeluk Safira sambil menyodok-nyodokkan kemaluannya ke dalam liang senggama kakaknya yang sempit. Mereka berdua sudah terbakar nafsu, shower yang mengguyur mereka pun rasanya sudah tak diperhatikan lagi yang ada hanya memburu kenikmatan di pagi hari. Kedua insan yang saling mencintai ini akhirnya mengakhiri perguluman dahsyatnya di kamar mandi dengan semburan berkali-kali dari kemaluan mereka. Arci dan Safira saling tertawa menyaksikan diri mereka sendiri.
"Kamu tak takut kalau hamil kak? Aku sering nyemprot di dalem," kata Arci.
"Kalo papanya seganteng kamu sih nggak masalah," kata Safira sambil ketawa sementara tangannya melingkar di leher Arci.
"Heh, serius ini."
"Lha kamu sendiri kenapa koq disemprotin di dalem?"
"Hmm...itu..yaa....kalau disemprotin di luar kurang nikmat aja."
"Huuu dasar, cowok maunya emang gitu. Aku nggak masalah kalau sampai jadi, aku ingin merawat anak kita nanti kalau emang jadi."
"Oh kak...hmmh," Arci memberikan satu ciuman. "Aku juga tak akan menyesal kalau sampai kakak hamil. Ibu sudah merestui kita koq."
"Iya, gara-gara kemarin kita seharian begituan. Aku bilang ama ibu kalau aku cinta ama kamu," kata Safira.
"Maafkan aku ya kak. Harusnya kakak mendapatkan lelaki yang lebih baik daripada aku."
Safira menggeleng. "Nggak, mana ada lelaki yang mau perempuan seperti aku? Yang ada aku malah akan disakiti. Aku tak mau seperti ibu. Biarlah aku mencintaimu dek. Kalau toh kamu tak mencintaiku aku tak apa-apa. Cinta tak harus menerima."
"Nggak kak, aku mencintai kakak."
"Ohh...Arci..adikku yang ganteng."
Arci dan Safira berpelukan dalam rasa birahi tabu. Mereka pun melanjutkan aktivitas mandi yang sebenarnya setelah itu. Walaupun begitu mereka masih belum puas sebenarnya untuk menuntaskan birahi. Tapi Arci tahu diri kalau ia harus berangkat kerja hari itu. Dan hari ini adalah hari yang baru baginya. Ia tahu siapa jati dirinya sekarang.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Aku di mana?" gumam Rahma.
Ia merasa sangat pusing. Ia baru menyadari kalau tubuhnya terikat, kaki dan tangannya terikat dengan tali yang sangat kuat, sementara mulutnya ada lakban tapi sudah terlepas. Disadari olehnya ia seperti berada di sebuah gudang. Ada barang-barang seperti sepeda, meja, kursi, bangku dan beberapa besi yang tertumpuk di dekatnya. Sementara dirinya ada di atas sebuah ranjang dengan kasur yang bau. Ranjang itu ranjang tua, sehingga ketika ia bergerak suaranya berderit. Satu-satunya penerangan adalah lampu pijar seukuran sepuluh watt yang ada di atasnya. Rahma berusaha menggeser tubuhnya. Bisa, ternyata tali itu hanya melilit tangan dan kakinya saja.
"Oh tidak, tidak, aku harus pulang, aku harus beritahu Arci, aku harus beritahu Bu Dini."
Rahma berguling-guling hingga ia akhirnya jatuh dari ranjang. Ia jatuh bahu kanannya dulu karena ia terikat ke belakang. Rasanya sakit bukan main. Rahma berusaha untuk berdiri, tapi dengan susah payah. Dia berusaha mengingat-ingat orang yang berusaha membekapnya. Semakin ia mengingat-ingat semakin kepalanya pusing.
Dengan penuh perjuangan ia akhirnya bisa bangkit. Tapi karena tangan dan kakinya terikat ia pun melompat-lompat seperti kanguru. Dia berusaha menuju ke pintu. Rahma melihat kaca jendela yang ada di sampingnya. Ia mempelajari di mana ia berada. Tak bisa diketahui, di luar ia hanya melihat rerumputan yang tak terawat serta beberapa benda seperti bangku dan kursi yang tergeletak bertumpuk di dekat pintu. Tidak, bahkan pintu itu diganjal dengan benda-benda rongsokan itu.
"TOloooong!?" teriak Rahma. "Tolooong!"
Rahma total hanya berteriak dua kata itu. Karena di pikirannya tiba-tiba timbul pikiran waras bisa jadi komplotan orang yang menyekapnya ada di sana. Maka dia pun berpikir lagi. Ia harus keluar, tapi bagaimana caranya. Lalu siapa orang yang melakukan ini semua?
Tiba-tiba di saat seperti ini ia teringat kembali kepada Singgih. Apa yang bisa dilakukannya sekarang? Andai Singgih berada di tempat ini. Apakah dia bisa menolongnya?
* * *
Di kantor, Arci tidak melihat Rahma. Mejanya sepi.
Andini langsung menyeletuk mengagetkan dirinya. "Nggak lihat Rahma?" tanya Andini.
Arci menggeleng.
"Kemana ya? Nggak biasanya," gumam Andini. "Coba deh hubungi rumahnya! Ada berkas yang harus aku periksa soalnya."
"Baik," kata Arci.
"Oh ya, karena Rahma nggak ada. Kamu jadi asistenku sementara yah?"
"Koq aku, Bu?"
"Apa kamu keberatan?"
"Ehhmm...nggak sih."
"Habis ini ke ruanganku!" kata Andini. Ia kemudian melangkah ke ruangannya.
Arci hanya menghela nafas. Padahal kerjaannya masih menumpuk. Ia kemudian mencari-cari nomor Rahma di data arsip karyawan. Setelah mendapatkan nomornya, ia lalu memutar nomor di telepon kantor.
"Halo? Ini rumah Rahma? Rahmanya ada pak?"
"..."
"Ini saya Arci teman sekantornya. Koq dia nggak masuk ya hari ini?"
"..."
"Hah? Belum pulang? Lho??"
"..."
"Saya nggak tahu juga."
"..."
"Baiklah kalau begitu, terima kasih."
Arci menutup teleponnya. Dia bergumam, "Aneh, Rahma belum pulang dari kemarin. Ada apa ini?"
"Ada apa Pak Menejer?" tanya Yusuf yang baru saja tiba.
"Rahma nggak masuk, dan katanya belum pulang dari kemarin," jawab Arci.
"Lho?? Koq aneh?" Yusuf menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Ada yang nggak beres nih kayaknya. Oke deh, ntar aku coba lacak ponselnya," kata Arci. "Soalnya kemarin dia cuman SMS suruh calling dia katanya penting. Sayang kemarin ponselku batteray-nya drop. Jadi dia pasti calling aku nggak bisa."
"Wah, wah, wah. Oke deh. Aku juga khawatir nih ama dia," kata Yusuf.
Arci segera masuk ke ruangan Andini dengan mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Masuk!" kata Andini yang bersamaan dengan itu Arci masuk. Arci menutup pintunya.
"Din, Rahma nggak pulang dari kemarin," kata Arci.
"Hah? Koq bisa?"
Arci mengangkat bahu. "Dan....dia ngirim SMS aneh ini ke aku kemarin."
Arci menyodorkan ponselnya untuk menunjukkan SMS dari Rahma. Andini mengerutkan dahinya.
"Ponselnya udah dihubungi?" tanya Andini.
"Nggak bisa. Mati. Dia sering onlinekan? Aku coba lacak terakhir kali dia ada di mana," kata Arci.
"Oke deh, hati-hati. Perasaanku jadi nggak enak. Oh iya. Besok ada rapat dewan direksi selama tiga hari di Villa Songgoriti. Aku ingin kamu ikut," ujar Andini.
"Aku?"
"Iya, menginap di sana."
"Trus Rahma?"
"Ini penting. Menyangkut hajat hidup orang banyak satu perusahaan."
Arci kembali teringat sesuatu. Bukankah dua hari lagi tanggal 31 Mei?
"Rapat ini akan menentukan arah kemana perusahaan kita. Kamu pokoknya harus hadir. Ada sesuatu yang ingin aku omongin juga, penting buat kamu," kata Andini.
"Penting buat aku?"
"Iya, penting. Tidak saja buat kamu, tapi juga seluruh perusahaan. Di rapat nanti akan ditentukan siapa orang yang kelak akan memimpin perusahaan ini. Jadi kuharap engkau hadir."
Melihat tatapan mata Andini Arci pun begidik. Ia hanya bisa menelan ludah. Bagaimana Rahma? Sesuai prosedur kalau ada seseorang hilang sampai 2x24 jam tak ada kabar maka berarti memang Rahma telah diculik.
Pimpinan direksi yang ada di PT Evolus Produtama ini ada lima pembesar. Andini salah satunya. Empat yang lainnya adalah Weny Widi Astuti, Tomi Rahardjo, Argha Federicus, dan Yuswan Andi. Keempatnya adalah orang-orang besar dan licik. Licik karena mereka semua ingin menguasai PT Evolus Produtama dan ingin menyingkirkan satu sama lain. Kecuali Andini, karena dia tahu harus memihak kepada siapa. Semuanya juga tahu satu sama lain sekalipun mereka berada dalam satu PT masing-masing berusaha membuat produk sendiri. Sepeninggal Zenedine PT Evolus dikuasai oleh orang-orang yang berambisi untuk bisa menguasainya. Hal ini tentunya sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup perusahaan.
Archer Zenedine mempercayakan perusahaan PT Evolus Produtama agar tetap berjalan seperti biasanya kepada seorang yang dipercaya. Tentu saja yang dimaksudkan adalah Andini. Karena Archer Zenedine sangat kenal dengan orang tuanya. Mereka telah menjalin persahabatan sejak lama. Bu Susiati dan suaminya selama ini berusaha melindungi Arci dari orang-orang yang tak bertanggung jawab yang hendak melenyapkan dirinya sejak Archer Zenedine meninggal.
Lalu siapakah ancaman terbesar dari keempat orang yang sekarang duduk di jajaran direksi? Selama ini Andini berusaha keras untuk bisa mengatur roda perusahaan, tapi karena sebentar lagi akan terjadi peralihan kekuasaan agaknya akan ada lobi-lobi dari direksi. Mereka kebanyakan sepakat untuk menyingkirkan Andini dari jajaran direksi kalau seluruh direksi mendukung langkah ini maka matilah langkah Andini untuk tetap bisa mengendalikan perusahaan ini. Andini kini berada di ujung tanduk. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan dia dan perusahaan ini adalah keputusan pengacara yang akan dibacakan pada tanggal 31 Mei saat rapat direksi berlangsung. Momen itu sangat pas untuk pengalihan kekuasaan.
Rahma kedinginan malam itu. Sudah tiga hari ia berada di ruangan dan disekap. Ia lemas karena belum makan dan minum. Bahkan sang penculik pun tidak memberikan apa-apa kepadanya. Hawa dinginnya sangat menusuk kulit, dari sini ia mengira bahwa saat ini ia berada di daerah pegunungan atau yang semisalnya. Sebab tak mungkin suhunya bisa sedingin ini kalau malam hari.
Rahma berjuang. Ia berusaha melepaskan ikatan yang membelenggunya. Seharian kemarin ia berhasil melepaskan ikatan tangan dan kakinya. Sekarang ia sedang berusaha untuk menyingkirkan seluruh perkakas, meja dan kursi yang ada di ruangan itu. Ia mencoba untuk menghantam kaca jendela dengan potongan kaki dari meja dan kursi.
Awalnya Rahma ketakutan. Tapi semakin ia takut ia semakin tak akan bisa berpikir jernih. Butuh waktu seharian bagi dirinya untuk yakin seyakin-yakinnya bahwa dia sendirian di tempat ini. Butuh waktu seharian pula untuknya agar bisa lepas dari ikatan yang cukup kuat ini. Kini ia ingin pergi ke toilet, sekaligus juga lapar dan haus. Komplit.
Ketika mengingat-ingat lagi siapa kira-kira orang yang tega melakukan ini semua. Pikirannya langsung tertuju ke orang-orang yang berniat jahat kepada Andini. Rahma bukan perempuan biasa. Ia sekalipun tak sekuat pria tapi tetap berjuang. Ia tak lemah.
JDAAARRRR!
Nyaring sekali suara kaca yang ia pukul. Tapi tenaganya kurang kuat. Apalagi kacanya juga tebal. Ternyata tidak seperti film-film yang menggunakan kaca dari bahan yang lunak sehingga bisa dengan mudah dihancurkan. Ini kaca beneran, bukan seperti di film-film.
Rahma pun akhirnya mengambil potongan meja yang agak keras, lalu dengan sekuat tenaga ia pukulkan ke kacanya.
JDAARRR!
Mulai muncul retakan. Ia pukulkan lagi. Lagi dan akhirnya.
PRAANGGG!
Untunglah kaca jendela ini bukan terbuat dari kaca anti peluru. Yang jelas sekarang pecahan-pecahan kaca itu berserakan di mana-mana. Rahma senang akhirnya bisa memecahkan kaca jendela itu. Dia melongok keluar. Hari sudah mulai pagi. Di ufuk timur tampak seberkas cahaya yang mulai memanjang. Sementara dari kejauhan terdengar suara surau dan masjid yang bersahut-sahutan. Hawa dingin kembali datang. Rahma menepis kuat-kuat perasaan takutnya. Ia harus lari!
Rahma melompat keluar dari ruangan tempat dia disekap. Ia kemudian berlari. Lari dan lari. Tiba-tiba ia berhenti, ia kebelet pipis. Dilihatnya sekeliling tempat itu masih banyak tanaman-tanaman, semak belukar dan pepohonan. Agaknya bangunan tempat ia menyekap seperti sebuah bangunan sekolah tua yang sudah tak terpakai. Rahma mencari tempat yang agak tersembunyi dan ia segera buang air kecil di sana. Rasanya sedikit lega walaupun diliputi rasa takut.
Ia agak terkejut ketika sebuah mobil datang dari kejauhan. Ia memekik tertahan ketika mobil itu menuju ke tempat di mana ia disekap. Ia ingin tahu siapa orang yang berada di mobil. Dari tempat ia bersembunyi sekarang kemungkinan ia tak akan terlihat.
Mobil BMW berwarna hitam itu bisa milik siapa saja. Apalagi plat nomornya, mungkin saja dipalsukan. Semua kemungkinan itu ada tapi Rahma sedikit ragu ia tak mengenali pemilik mobil BMW itu. Ia pernah melihat mobil itu terparkir di kantor tempat ia bekerja. Dan sudah pasti pemilik mobil itu ada hubungannya dengan perusahaan tempat dia bekerja.
Mobil berhenti. Sang sopir pun keluar. Beberapa orang juga keluar dari mobil. Rahma langsung mengenali siapa mereka. Setelah yakin seyakin-yakinnya siapa yang telah menculiknya, hanya ada satu hal yang harus Rahma lakukan. Lari!
"Lho, kabur orangnya!" seru salah satu orang yang memeriksa tempat tersebut.
"Brengsek! Cepat cari! Jangan sampai ia kabur! Bunuh saja kalau perlu!"
Rahma tidak melewati jalanan yang ada. Ia lebih memilih menghindari jalanan terbuka, sehingga para penculik tidak akan menemukan dia. Akibatnya ia harus berjibaku menuruni tebing yang curam dengan berpegangan pohon-pohon pinus yang sengaja tumbuh teratur. Ia beberapa kali harus menghantamkan tubuhnya di batang pohon itu, di bawah sana ia bisa melihat mobil lalu lalang. Apakah mungkin ia bisa minta tolong ke mobil yang lewat?
"Cari di sebelah sana!" seru seseorang di belakangnya.
Tiba-tiba lampu senter pun menyorot ke semua arah. Rahma langsung bersembunyi di balik pohon. Berusaha mengatur nafasnya. Ia tak boleh tertangkap, tak boleh tertangkap. Setelah lampu senter itu menyorot tempat lain dan terdengar suara langkah kaki menjauh Rahma kembali berlari.
Kejutan kecil, ia terpeleset. Ia sempat berguling-guling beberapa kali hingga ia berusaha menjaga keseimbangan lagi. Berlari menggunakan sepatu hak tinggi sungguh tak nyaman. Akhirnya ia pun membuang sepatunya. Ia kembali kepada pemahaman alam alias nyekerisme.
Rahma akhirnya sampai pula di atas aspal yang dingin. Tak mungkin kalau ia mencegat mobil sambil menunggu sedangkan nyawanya di ujung tanduk. Ia harus menghindari jalan raya karena para penculiknya membawa mobil. Siapa tahu mereka akan melewati jalan raya ini. Akhirnya, lagi-lagi Rahma berlari dan berusaha menghindar dari jalan raya.
Rahma tak bisa diremehkan. Dia selalu mendapatkan nilai bagus dalam olahraga. Ia sangat cepat larinya, dalam bidang atletik ia selalu juara satu. Untuk persoalan lari ia juga jagonya. Rahma berlari seperti orang kesetanan. Ia hanya butuh rumah penduduk untuk bisa minta tolong.
Tapi aneh sekali kenapa tak ada satupun rumah penduduk? Terlebih jalannya berkelok-kelok. Ia pun mengingat-ingat seluruh tempat yang pernah ia kunjungi apakah ia pernah melewati jalanan ini atau tidak. Akhirnya ia teringat sesuatu ketika melihat sungai.
"Ah, ini di Pujon!" serunya.
Pujon adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Malang yang terletak setelah melewati Batu. Letaknya di dataran tinggi sehingga hawanya sangat dingin dan sejuk. Rahma yang menyadari dirinya ada di sini akhirnya menjadi terang semuanya. Ia pun tahu siapa yang menculik dirinya dan berusaha berbuat jahat kepada Andini. Tapi kemana ia sekarang? Ia sendiri bingung.
Dari jauh ada lampu sorot mobil. Tapi tak begitu terang. Rahma langsung tahu bahwa itu adalah lampu mobil pickup. Segera ia melambai-lambai. Ternyata itu adalah mobil pengangkut sayuran. Sang sopir pun menghentikan mobilnya.
"Lho, ada apa mbak?" tanya sang sopir yang ternyata seorang wanita.
"Bu, tolong saya. Saya diculik. Saya kabur dan sekarang harus menghubungi seseorang. Saya bisa numpang?" tanya Rahma panik dan memelas.
Beberapa orang yang ada di dalam pickup saling berpandangan.
"Naik aja mbak, naik!" kata sopirnya.
Akhirnya Rahma pun ikut rombongan itu. Rahma sedikit lega. Dia pun akhirnya menceritakan tentang pengalaman dirinya yang tak mengenakan kepada rombongan tukang sayur itu. Rahma pun diberi makan nasi bungkus ala kadarnya. Ia sangat kelaparan. Bahkan makanan yang tak begitu mewah yang isinya hanya sambel goreng tempe dan mie goreng itu rasanya sangat nikmat.
Rahma pun kemudian meminjam ponsel salah satu dari mereka. Yang langsung dihubungi adalah Andini.
Tapi cukup lama ia menanti jawabannya, malah ponselnya direject. Ah ia baru ingat. Andini selalu mereject telepon dari orang yang tidak dikenal. Tipikal bosnya memang seperti itu. Ia lupa. Ponselnya telah dibuang oleh para penculik. Ia kehilangan semua kontaknya. Satu-satunya yang ia ingat hanya nomor telepon Andini. Ah tidak. Ada lagi. Arci! Entah kenapa ia bisa ingat nomor telepon cowok itu.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Lian duduk menikmati kopi yang ia bikin sendiri. Ia telah lega setelah kemarin menceritakan segalanya tentang ayah Arci. Bayangan wajah ayah Arci tak bisa ia tepis. Terlalu singkat memang perjumpaan dengannya, ia juga tak tahu apa yang akan terjadi kepada Arci setelah mengetahui tentang siapa jatidirinya. Agaknya ada rasa bersalah kepada dirinya sekarang. Rasa bersalah yang bisa jadi wajar karena dirinyalah anaknya bisa seperti Arci sekarang ini. Safira dan Arci terlalu dekat sehingga keadaannya seperti sekarang.
Hari sudah pagi dan ia tidak tidur semalaman. Besok adalah hari di mana Arci akan mendapatkan seluruh warisan ayahnya. Entah kemelut apa yang akan terjadi. Lian yang selama ini dikejar-kejar orang-orang yang ingin membunuhnya dan Arci dari pihak keluarga Zenedine, sekarang akan terbebas dari beban. Mereka yang mengincar harta Zenedine akan gigit jari kalau sampai Arci masih hidup pada hari ini.
Arci keluar dari kamarnya dan mendapati ibunya sedang memandangi keluar jendela.
"Arci? Sudah bangun?" tanya Lian.
"Sudah biasa Arci bangun jam segini," jawab cowok itu.
"Tak terasa, besok harinya. Kamu sudah siap?"
Arci menghela nafas. "Entahlah. Bagiku kekayaan itu tak penting. Yang paling penting adalah kalian. Asalkan kalian bahagia, aku tidak masalah."
"Safira masih tidur?"
Arci mengangguk.
"Kamu punya teman dekat? Ibu tak pernah lihat kamu punya teman dekat," tanya Lian.
Arci tersenyum. Wajar seorang ibu tanya seperti itu. Terlebih ia selama ini terlihat menjomblo. "Ada sih. Tapi, aku tak yakin."
"Siapa?"
"Bosku sendiri."
"Bosmu? Siapa namanya?"
"Andini Maharani."
"Ohh..., Andini. Sepertinya ibu kenal."
"Oh ya?"
"Ah, mungkin orangnya saja yang sama."
"Adakah yang ibu kenal dari masa lalu?"
"Bukan begitu, namanya tak asing. Ibu kenal dengan seseorang bernama Bu Susiati, punya anak namanya juga Andini Maharani. Dia yang selama ini menghubungkan ibu dengan ayahmu. Dan dia juga orang yang memegang surat wasiat ayahmu. Bu Susiati sang pengacara terkenal itu."
Arci terkejut. "Tunggu dulu, Bu Susiati? Yang punya anak namanya Iskha?"
"Iskha? Oh, anaknya yang itu sudah meninggal karena kecelakaan beberapa waktu lalu. Tunggu, koq kamu tahu?"
Arci segera kembali ke kamarnya dan mengambil ponselnya. Dicari nomor Andini. Ia langsung menelpon Andini saat itu juga.
"Arci, ada apa?" tanya ibunya.
"Sebentar, ada yang ingin aku tanyakan terlebih dahulu," jawab Arci.
Andini saat itu sedang tidur terbangun karena suara dering ponsel. Dari Arci, ia kaget. Segera ia angkat. "Ya? Halo?"
"Aku ingin bertanya, ibumu bernama Bu Susiati? Seorang pengacara?" tanya Arci.
Andini tentu saja terkejut. Dari mana Arci tahu??
"Jawablah!" kata Arci.
"I-iya... kenapa?" tanya Andini balik.
"Dan, Iskha itu meninggal karena kecelakaan?"
"Iya, kamu tahu sekarang?" terdengar suara Andini pelan.
"Kalau begitu yang di hotel itu??"
"Itu aku, bukan Iskha. Akulah yang mengaku sebagai adikku waktu itu. [tut] [tut] Aku sebenarnya ingin jujur kepadamu, tapi belum saatnya. Ternyata kamu sudah tahu lebih dulu [tut] [tut]....," kata Andini sepertinya diiringi ada nada telepon masuk.
"Jadi...waktu itu..."
"Iya,...itu aku..."
"Kamu berubah sekali," Arci sedikit tertawa.
"Hehehe[tut] [tut]..begitulah, jadi?? Kalau sudah tahu itu aku??"
"Berarti kamu tahu siapa aku selama ini?"
"Iya. Aku tahu semuanya, besok kamu akan jadi bosku. [tut] [tut]Kita bertukar posisi."
"Damn..., tak bisa begitu. Aku...aku hanya tak menyangka saja."
"Sekarang sudah [tut] [tut]jelas kan? Jadi? Lanjut?"
"Apanya?"
"Ah, kamu jadi cowok nggak [tut] [tut] sensitif!"
"Maaf, jujur aku shock. Kaget. Kalau tahu itu kamu aku sudah pasti akan menerimanya."
"Maksudnya?"
"Kamu mau jadi pacarku?"
Lian mengangkat alisnya. "Duh duh duh, subuh-subuh nembak orang. Dasar anak jaman sekarang." Ia pun menggeleng-geleng dan meninggalkan Arci sendirian.
"Pacar? Bukannya [tut] [tut] janjinya mau nikahin aku?"
"Hehehe...siapa takut."
"I Love You Handsome"
"I Love You too."
"Jangan lupa, nanti langsung ke tempat acara yah?"
"Siap boss."
Arci lalu menutup teleponnya tanpa mempedulikan nada sela di teleponnya tadi. Ia melonjak-lonjak kegirangan. Sampai tanpa sengaja ponselnya jatuh.
PRAAK!
"Waduh?!"
Safira terbangun. Ia melihat Arci memunguti ponselnya. Ia mencoba merangkai ponselnya yang layarnya retak.
"Yaah, pecah. Mana nggak bisa nyala lagi," gumam Arci. "Beli baru deh, untung kontaknya udah synchronize."
"Apaan sih? Seneng banget?" tanya Safira.
"Ada dehhh."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Aarrrgghh! Arciii, Arci bego bego bego bego bego bego bego bego bego bego bego bego bego bego! Kenapa malah ditutup???" umpat Rahma.
Ia mencoba menelpon balik. Tapi malah terdengar suara seorang wanita cantik yang mengatakan bahwa telepon tidak aktif. Rahma mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Sekarang malah mati lagi. Duuuuuhhhhhhh pusiiinngg!?" Rahma memijat-mijat kepalanya.
"Dianter kemana mbak?" tanya sopir.
Rahma tahu kalau hari ini akan ada jadwal rapat di salah satu Vila di daerah Songgoriti. Kalau ia pulang justru makin jauh. Kalau ia pergi ke polisi takutnya Andini nanti malah kenapa-napa. Akhirnya ia pun memutuskan, "Anter ke songgoriti bu!?"
Sedikit kembali ke masa lalu. Di mana semuanya berawal. Lebih tepatnya sedikit mengulas tentang hidup Archer Zenedine. Dia ini bukan orang biasa. Kisah cintanya sedikit pilu. Inilah awal dari semua petaka yang menimpa Arci.
Hari itu 27 tahun yang lalu di bulan Desember. Akhir tahun yang terasa hambar bagi seorang Archer Zenedine. Dia tak punya gairah hidup, bukan berarti ia adalah seorang pecandu obat terlarang, bukan. Bahkan dia mengharamkan dirinya menyentuh narkotika. Dia juga tidak merokok. Dia adalah lelaki baik-baik, yang tumbuh normal dalam didikan keluarga baik-baik.
Lian membuka pintu kafe. Ia meletakkan payung di tempat yang telah disediakan. Dia bosan, suntuk, dan serasa otak ingin pecah. Hari ini dia dapat klien sedikit brengsek. Tapi demi uang ia rela melakukan apapun sekalipun itu menjual dirinya. Inilah perjumpaan awal dia dengan Archer Zenedine.
Archer muda saat itu baru saja lulus kuliah. Dia tentu saja tak butuh pekerjaan. Masa depannya sudah cerah dengan menjadi satu-satunya pewaris yang bakal menggantikan posisi ayahnya di PT Evolus Produtama. Wajahnya seperti orang Kaukasia, bermata biru, berambut sedikit pirang. Tentu saja di kafe itu ia jadi perhatian karena satu-satunya bule yang mau duduk bersama orang pribumi.
Lian juga duduk sendiri. Perbedaannya dengan Archer adalah Lian yang jadi perhatian adalah tubuhnya yang memakai balutan baju seksi. Tanktop warna putih dengan celana pendek yang memperlihatkan kemulusan pahanya. Lian melirik ke arah Archer. Tapi bagi dia, seorang bule seperti Archer lebih terlihat seperti orang baik-baik. Ia tak mau mengganggu sang bule. Namun dugaannya salah. Sang bule tertarik dengan dirinya.
Archer beranjak dari tempatnya duduk dan mengambil tempat di depan Lian. Mereka pun semeja.
"Hai, apa kabar?" tanya Archer.
Lian agak terkejut dengan fasihnya bahasa Indonesia pemuda bule yang ada di hadapannya ini. "Wow, baik. Aku kira kamu tak bisa bahasa Indonesia."
"Hahahaha. Aku sudah lama di Indonesia, dan ... ayahku menikah dengan orang pribumi. Kenalkan Archer Zenedine. Kamu?"
"Lian, Lian Larasati," kata Lian sambil menjabat tangan Archer.
"Sendirian saja?"
"Yah, begitulah. Kamu dari mana?"
"Dari rumah."
"Maksudku, kebangsaanmu."
"Aku Ceko. Tapi boleh dibilang aku sudah lama di negara ini."
"Waw,keren. Apa yang menyebabkan kamu kerasan?"
"Yah, bisa dibilang salah satunya karena ada wanita secantik dirimu."
Lian tertawa.
"Hei, aku serius. Wanita Indonesia cantik-cantik semua. Dan aku yakin kamu juga orangnya cantik."
"Bagaimana kalau misalnya orang yang cantik itu adalah pelacur?"
"Aku menilai orang bukan dari profesinya. Aku yakin setiap wanita punya sisi keindahan, bahkan sisi keindahan itu hanya bisa difahami oleh mereka yang benar-benar faham."
"Sudahlah jangan goda aku. Kamu tidak tahu siapa aku."
"I don't care."
"Hhhh...Archer yang baik, tak perlu menggodaku."
"Maaf kalau aku menggodamu. Hanya saja aku sangat yakin kalau aku hari ini bisa dapatkan nomor teleponmu dan kita malam ini bisa saling menelpon," kata Archer.
Lian tertawa, "Hahahaha. Smooth, baiklah. Rayuanmu masuk akal."
"Sendirian saja, jomblo berarti?"
"Bisa jomblo, bisa tidak."
"Maksudnya?"
"Aku akan bilang siapa aku kalau kamu mau mengajakku pergi dari tempat ini."
"Sure"
Archer segera menarik Lian pergi dari kafe itu setelah menaruh beberapa lembar uang 50.000 di meja. Lian tak menyangka cowok bule yang dikenalnya ini cukup nekat. Ia segera mengajak Lian ke tempat parkir untuk masuk ke mobil Honda Accord warna hitam.
"So, mau ke mana kita?" tanya Archer.
"Terserah sih, tapi kalau bisa jangan malam-malam yah," jawab Lian.
"Kenapa?"
"Anakku sendirian di rumah."
"OK"
Akhirnya Archer mengajak Lian ke sebuah private house. Rumah itu sangat mewah. Halamannya cukup rindang, bahkan pagarnya saja dibuka dengan menggunakan remote. Selama perjalanan Lian lebih banyak diam. Baru kali ini dia diajak kencan seperti ini. Setelah mobil sedan masuk, Archer mengajak Lian langsung masuk ke rumahnya.
"Ini salah satu private House milik keluargaku, anggap seperti rumah sendiri," ujar Archer sambil menuju ke pub pribadinya. Rumahnya sangat nyaman, sofanya empuk, dan agak surprise agak jauh ke dalam ada jacuzi dan di halaman samping ada kolam renang. Archer mengambil minuman. "Mau bir? Wisky?"
"Aku nggak minum. Aku pasti mabuk kalau minum walaupun sedikit," kata Lian.
"OK, bagaimana kalau soda?"
"Baiklah"
Archer membuka kulkasnya lalu mengambil minuman bersoda. Ia menghampiri Lian yang masih berdiri mengagumi kemewahan rumah itu. Archer menyerahkan minuman berkaleng itu kepada Lian. Archer ikut berdiri di samping Lian. Mereka berdua lalu membuka penutup kalengnya kemudian langsung meneguk minuman tersebut.
Setelah itu agak lama mereka diam.
"Masih mengagumi rumahku? Nggak duduk?" tanya Archer.
"Sebentar, Archer. Aku tahu kamu baik, tapi kamu tahu siapa aku bukan?" tanya Lian.
"Who cares?"
"Bukan begitu. Aku ini bukan wanita baik-baik."
Archer tersenyum. Ia mengambil ponselnya, kemudian memperlihatkan sesuatu kepada Lian. "Check this out!"
Lian memegang ponsel Archer, dia melihat beberapa gambar. Di sana terlihat gambar dirinya. Dirinya? Ya, dirinya sedang berada di pasar, sedang membawa Safira yang masih kecil.
"Kamu???" Lian terkejut.
"Sebetulnya aku tahu siapa kamu. Dan ketahuilah, baru kali ini aku menyapamu. Aku tahu profesimu, dan aku ingin kamu berhenti. Aku tak mau kamu seperti ini," kata Archer. "Aku mencintaimu Lian, anggap saja love at the first sight"
"Oh my god," Lian menutup mulutnya. Archer mengambil ponselnya lagi. "Sejak kapan kamu mengikutiku?"
"Sejak lama. Kamu pasti heran ketika saat melakukan persalinan ada yang membiayaimu bukan? Itu aku. Aku tertegun kepada cerita perawat di rumah sakit yang mana ada seorang wanita PSK yang melahirkan bayi. Tapi tak punya uang. Ketika aku melihat dirimu, saat itulah aku langsung jatuh cinta kepadamu. Tapi saat itu aku masih muda, belum menjadi pemilik perusahaan. Sekarang aku sudah siap."
"Jadi itu kau?"
Lian langsung memeluk Archer. Ia tak pernah menyangka bahwa Archer selama ini adalah malaikatnya. Dan adegan berikutnya adalah Lian menyerahkan dirinya untuk Archer Zenedine.
Hari itu Archer dan Lian memadu kasih. Archer Zenedine merasa Lian adalah wanita yang dia cari selama ini. Mereka pun akhirnya berselimutkan asmara, berbalut birahi.
Setelah perjumpaan terakhir itu. Ada kedekatan antara Lian dan Archer. Siapa yang mau menolak cowok seperti Archer. Ganteng, blesteran, dan kaya. Siapapun pasti akan takluk kepadanya. Hanya saja tidak bagi keluarga Zenedine. Keluarga mereka lebih mementingkan kasta untuk orang yang ingin masuk ke dalam keluarganya.
Namanya Arthur Zenedine, seorang ambisius dia ayah Archer. Dia boleh dibilang diktator dalam keluarganya. Tapi memang berkat kediktatorannya PT Evolus Produtama menjadi besar. Sebesar ambisinya. Dan kini kandidat yang ia pilih untuk memimpin perusahaan adalah Archer Zenedine. Arthur orangnya sangat strict. Dia juga suka kepada details, selain itu dia tidak suka kalau ada yang tidak sempurna baik pada dirinya, pekerjaannya maupun kepada putranya. Dia hanya punya satu putra sebagai pewaris tunggal oleh karena itu ia berusaha mendidik putranya dengan sebaik-baiknya. Menyekolahkan setinggi-tingginya hingga akhirnya ia siap memimpin perusahaan.
Sebenarnya ada kandidat lain, namanya Tommy Zenedine. Tapi dia langsung keluar dari kandidat manakala Archer ada bahkan siap untuk memimpin perusahaan. Apalagi Tommy sama sekali tidak tertarik urusan bisnis textil. Ia lebih tertarik dengan seni, musik, dan berbagai macam yang berbau Indonesia. Tapi sekali pun begitu ia juga punya bisnis batik yang ia kelola sendiri sampai diekspor keluar negeri. Pertentangannya dengan Arthur Zenedine juga yang mengakibatkan dia harus didepak dari kandidat sang pewaris.
Ada seorang lagi yang jadi kandidat. Tapi jauh dari ekspetasi. Namanya Areline. Dia hanya menghabiskan hidupnya dengan berfoya-foya, clubing dan dugem. Bukan sebagai pewaris yang baik. Ia hanya akan menghabiskan uang keluarganya. Dia adalah sepupu Archer. Walaupun punya wajah rupawan, pendidikannya juga sama seperti Archer tapi dia jauh dari ekspetasi seorang Arthur Zenedine.
Total Hanya tiga kandidat. Dan hanya satu orang yang terpilih. Arthur Zenedine benar-benar mempersiapkan semua hal agar anaknya menjadi pewaris tahta. Dan ia pun yakin anaknya sanggup.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Paris, siapa yang tak kenal dengan negeri Menara Eifel ini? Lian dan Archer sering jalan-jalan ke luar negeri. Mereka memadu kasih dan Lian benar-benar yakin ia telah mendapatkan lelaki yang tepat. Yang tak peduli tentang masa lalunya, yang menerima dia apa adanya. Apa ada lelaki yang sanggup menerima cinta seorang pelacur? Itulah Archer. Bagi Archer dia telah menemukan bidadarinya. Lian sangat senang diperlakukan seperti putri raja. Liburan kali itu ia juga mengajak Safira yang masih kecil. Lebih tepatnya mereka seperti pasangan suami istri yang memang berlibur. Namun saat itu kejadian tak terduga terjadi.
Di saat Lian dan Archer sedang berada di hotel Archer dikejutkan dengan perjumpaannya dengan Tommy.
"What the hell are you doing in this place?" tanya Tommy yang langsung menyapa Archer.
"Kamu sendiri?" tanya Archer.
"Aku sedang ada bisnis proyek tentang pembuatan lukisan. Kamu... oh siapa wanita itu?" tanya Tommy antusias.
"Not your bussiness," Archer kemudian pergi meninggalkan Tommy di lobi.
"Hei Archer, aku bukannya mengurusi, tapi kamu tahu sendiri papa tidak suka kamu sembarangan memilih wanita. Kamu tahu sendiri keluarga kita seperti apa," kata Tommy.
"I don't care. Aku sudah siap apapun yang terjadi. Aku mencintai dia."
"Aku tahu, tapi apa dia siap? Kamu memang akan kuat menghadapi papa, tapi dia? Dia bukan siapa-siapa. Papa dan mama tak akan peduli dengan dia."
Archer berbalik dan menghampiri Tommy. "Aku tak peduli, kalau pun harus keluar dari silsilah keluarga Zenedine aku tak peduli."
"OK OK," Tommy mengangkat tangannya. "Aku tahu kamu keras kepala dari dulu."
Perjumpaan dengan Tommy di Paris itulah yang mengubah semua penilaian Archer terhadap keluarganya. Selama Archer dan Lian liburan di Paris dan menghabiskan waktu bersama-sama, saat itulah gambar-gambar tentang keadaan Archer dikirim oleh seseorang. Dan seluruh foto-fotonya sampai ke tangan Arthur Zenedine. Arthur pun mulai menyelidiki siapa Lian.
Dia memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki jatidiri Lian. Arthur sengaja membiarkan Archer berbuat semaunya, hingga kemudian tibalah saatnya ketika Archer harus menghadap ayahnya. Dia didudukkan sang ayah di sebuah kursi. Dia dikelilingi oleh hampir seluruh anggota keluarga Zenedine. Bahkan ada orang-orang yang belum dia kenal ada di sana. Semuanya menatap ke arah Archer.
"Kamu tahu kenapa kamu dipanggil di tempat ini?" tanya Arthur.
"Ya, aku tahu," jawab Archer.
"Baguslah kalau kamu tahu. Archer, aku ingin memberikan seluruh warisan keluarga kita kepadamu. Kamu akan memimpin seluruhnya, kamu akan memiliki semuanya, tak ada yang bisa mengganggu gugat dirimu. Kamu bisa melihat bagaimana kekayaan dan aset perusahaan kita, semuanya berasal dari jerih payahku. Ya, jerih payah yang kamu tak akan sanggup untuk bisa berpikir karena kamu hanya menikmatinya sekarang ini. Bukan hanya kamu saja, tapi semua orang yang ada di ruangan ini telah menikmatinya. Kamu adalah satu-satunya kandidat dan aku tetap memaksamu sekalipun kamu menolaknya.
"Dan aku tahu semuanya yang kamu lakukan. Aku tahu siapa wanita itu, dan apa profesinya. Kamu tahu secara tegas, aku menolak dirinya. Aku tak akan mengijinkan dia masuk ke dalam keluarga ini. Dan untuk kamu ketahui kamu tak punya hak untuk memilih siapa calon pendampingmu. Aku telah mempersiapkan segalanya, hal ini agar silsilah kita tidak musnah. Dan kita tetap sebagai keluarga terhormat. Sekarang yang harus kamu siapkan adalah konsentrasi untuk membangun perusahaan ini," kata Arthur.
"Kalau aku menolak?" tantang Archer.
"Kalau kamu menolak, akan ada banyak peristiwa yang menyedihkan terutama dengan wanita yang kamu cintai itu. Siapa namanya? Lian? Ya, kamu tahu tanganku tidak terbatas. Aku bisa melakukan hal yang tidak mungkin dilakukan oleh siapapun kepadanya dan jangan pernah mencoba untuk mengetesku!" ancam Arthur.
"Kau tak akan mungkin melakukannya!"
"Aku bisa melakukannya. Dan aku bisa lebih sadis dari yang kamu kira. Semua anggota keluarga kita telah menyetujuiku. Pelacur itu dilarang masuk ke dalam keluarga ini."
"Ini omong kosong, bagaimana mungkin kamu akan melukainya."
"Kamu mungkin masih ingat anak laki-laki yang dulu pernah menyakitimu ketika remaja?"
Memori Archer pun kembali ke masa dia masih remaja. Saat itu ia pernah terlibat perkelahian. Lebih tepatnya terlibat tawuran antar pelajar. Archer jadi korban waktu itu. Tapi tak ada orang yang tahu siapa yang memukulnya. Tangan Archer patah dan harus digips.
"Apa maksud papa?"
"Anak lelaki itu harus membayar mahal terhadap aset perusahaan ini. Namanya Bobi, anak orang biasa," Arthur menyerahkan selembar foto kepada Archer. Ada gambar seorang pemuda yang kehilangan lengannya, bajunya compang-camping. Ia tampak menyedihkan. "Setelah aku menyelidiki siapa yang membuat lenganmu patah, aku berhasil menangkapnya. Dia memang sampah. Dia aku tangkap saat sedang nyabu dengan teman-temannya. Sebagai balasannya, lengannya aku gilas di atas rel kereta api. Inilah akibat dari menyakiti dirimu."
Archer terkejut. Ia tak menyangka ayahnya akan berbuat sejauh itu.
"Satu lagi, kamu dulu pernah berusaha menembak seorang cewek dan dia menolakmu bukan? Ia menghinamu, mengatakan bahwa kamu adalah sampah, playboy, bule gila, orang sinting dan sebutlah yang kamu ingat. Bahkan karena dia kamu harus down selama beberapa minggu. Ketahuilah, penghinaan itu sudah aku balas dengan penghinaan pula. Kamu mungkin heran ketika tiba-tiba dia pindah sekolah dan tak ada kabarnya. Ya, tentu saja. Setelah tiga orang kepercayaanku memperkosa dia dan mencampakkannya seperti sampah. Kini ia tak ada harganya dan telah pergi keluar pulau entah kemana."
"Papa, itu keterlaluan! Papa tahu itu kejahatan?"
"Dan kalau kamu tidak ingin hal itu terjadi kepada Lian, patuhilah papa."
Tangan Archer mengepal. Ia sangat marah. Tapi ketika teringat lagi Lian dan anaknya, ia jadi tak tega. Hatinya berkecamuk. Orang yang ada di hadapannya ini adalah monster. Ya, monster. Akhirnya ia pun punya rencana. Ia akan pura-pura patuh, ini semua demi Lian. Tapi setiap saat ia akan berusaha melindungi Lian.
"Baiklah," kata Archer menyerah.
Inilah awal bagaimana Archer berjuang untuk bisa melindungi Lian. Ia pun mulai menyalahkan semua keluarganya karena tak ada satupun keluarganya yang membela dia saat itu. Tak ada satupun. Ia baru menyadari papanya seorang monster. Ia selalu berharap papanya segera mati agar ia bisa berbuat yang ia inginkan. Dia tidak tahu kabar tentang Lian setelah itu, ia hanya menghubungi seorang pengacara, temannya sendiri. Namanya Susiati.
Archer pun kemudian "dipaksa" menikah dengan seorang wanita pilihan papanya. Sekalipun menikah Archer tak bahagia sama sekali. Bahkan ketika malam pertama Archer sama sekali tak menyentuh sang wanita yang saat itu sudah menjadi Nyonya Archer. Namanya Elena. Elena sendiri sebenarnya wanita baik-baik. Ia juga tak suka sebenarnya dengan pernikahan "paksa". Ia bahkan tak mencintai Archer. Akhirnya mereka pun bersepakat untuk jadi teman saja, sekalipun statusnya suami istri.
Archer dan Susiati berteman baik. Segala sesuatu tentang masalah hukum dia selalu menghubungi Susiati. Bahkan ketika suaminya sakit Archer pun menolongnya. Sejak Archer kuliah mereka telah bersahabat. Di saat mereka susah maka Archer selalu menolong mereka. Maka dari itulah Susiati sangat berterima kasih kepada Archer.
Mungkin do'a Archer didengar selama ini, Arthur pun meninggal karena stroke. Otomatis semua usaha Arthur beralih ke tangan Archer. Archer pun mulai memimpin perusahaan dengan cara yang berbeda dari papanya. Ia lebih bersahabat, ia lebih banyak merangkul orang-orang, memberikan inovasi-inovasi baru. Karyawan disejahterakan sehingga boleh dibilang ia menjadi boss yang paling disukai dan dihormati di perusahaan tersebut. Namun kali ini sesuatu terjadi kepadanya. Ia mulai mengidap penyakit jantung. Di saat ia ingin menghubungi Lian lagi, ia seperti tak punya kesempatan. Akhirnya ia pun meminta bantuan kepada Susiati.
"Saat ini aku tak tahu apa yang terjadi dengan Lian. Kamu bisa mencari tahu?" tanya Archer.
Susiati dengan senang hati menolongnya. Setelah beberapa waktu akhirnya datanglah kabar itu. Dia menyampaikan di mana Susiati tinggal, bahkan secara mengejutkan tentu saja dia mengetahui bagaimana kabar Lian yang sudah melahirkan seorang bayi laki-laki. Archer kemudian menitipkan surat yang ia tulis sendiri kepada Susiati agar diserahkan kepada Lian.
Saat menerima surat dari Archer, Lian sangat bahagia sekaligus sedih. Sedih karena membaca kenyataan pahit yang diderita oleh Archer dan dirinya. Dirinya hanya bisa pasrah. Namun Archer punya rencana lain. Tepat pada usia anaknya yang bernama Arczre ke-25 dia akan mewariskan seluruh kekayaannya. Ia merasa berdosa tidak menepati janjinya kepada Lian saat melamarnya di Moskow. Sementara itu sakitnya makin parah. Bahkan demi perusahaannya tetap berjalan, kantornya pun berpindah. Ia menjalankan roda perusahaan dari dalam kamarnya. Archer berusaha merencanakan semuanya yaitu memberikan warisannya kepada putranya. Susiati pun membantunya. Setiap uang yang dikeluarkan oleh Archer diberikan kepada Lian. Puncaknya adalah ketika Arci sedang butuh biaya untuk sekolah.
Sengaja Susiati saat itu mengajak anaknya ke hotel. Dia benar-benar kaget ketika melihat iklan seorang lelaki remaja mau jadi gigolo. Dan ia tahu kalau itu Arci. Dia pun membuat skenario ingin membuat kejutan kepada Arci. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Ia dikejutkan dengan sikap Arci, sebuah janji pun terukir pada hari itu. Janji di mana Andini pertama kali melihat Arci, dan pemuda itu berjanji akan menikahinya. Sungguh sebuah janji yang konyol.
Sayang sekali, rencananya Archer untuk memberikan warisannya ke Arci terendus keluarga Zenedine. Akibatnya sekali lagi keluarga Zenedine berusaha untuk meyingkirkan Arci. Namun berkat Susiati semuanya bisa ditepis, sekalipun harus susah payah. Setelah Andini lulus kuliah, Archer langsung merekrutnya untuk berada di jajaran direksi. Dan itulah saat-saat terakhir Archer. Ironis memang. Tapi kalau memang Arci mendapatkan seluruh warisan itu, ia masih harus berjuang menghadapi orang-orang yang berniat jahat kepadanya. Ya, dia sendirian melawan seluruh keluarganya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci berdiri di depan sebuah batu nisan. Sengaja ia mampir dulu di pemakaman umum untuk mengetahui di mana kuburan ayahnya. Dia tak menyangka saja dirinya sebentar lagi akan jadi sang pewaris. Setelah seluruh liku-liku kehidupannya selama ini, sebentar lagi ia akan jadi orang nomor satu. Saat ia merenung ada seorang yang tiba-tiba berdiri di sampingnya.
"Arczre, ah susah sekali mengeja namamu," kata orang tak dikenal itu.
Arci menoleh ke arahnya, "Siapa?"
"Perkenalkan, namaku Letnan Yanuar. Aku bagian dari unit reserse," jawab orang itu yang ternyata adalah polisi.
"Ada apa ya pak?" tanya Arci.
"Kami butuh bantuan Anda, saudara Arci," jawab Letnan Yanuar.
"Bantuan?"
"Ya, bantuan. Kami butuh Anda untuk menyelidiki orang-orang yang berada di dalam keluarga Anda yang mana mereka telah melakukan sebuah kejahatan besar."
"Keluarga saya, maksudnya?"
"Kami telah menyelidiki siapa Anda. Anda anak dari Archer Zenedine bukan? Anda boleh dibilang terbebas dari silsilah keluarga Zenedine. Hanya saja, kami telah menyelidiki kemungkinan keluarga besar Anda telah melakukan tindak kejahatan yang luar biasa. Sebut saja mafia."
"Mafia? Pak, saya saja belum resmi jadi anggota keluarga mereka."
"Maka dari itu, dengan sangat kami meminta bantuanmu. Kamu sebentar lagi jadi anggota keluarga mereka bukan? Surat wasiat dari Bu Susiati akan dibacakan besok di rapat direksi. Mereka semua pasti terkejut. Bu Susiati bilang engkau bisa dipercaya untuk membekuk para penjahat di dalam keluarga besarmu. Ini kartu namaku. Kalau engkau ingin tahu detailnya kita bisa bicara," kata Letnan Yanuar sambil menyerahkan kartu nama.
Arci melihat kartu nama itu hanya bertuliskan nama Yanuar dan nomor telepon. Tak ada yang lain.
"Ini gila."
"Kamu pasti belum diceritakan semuanya bukan? Ketahuilah, Bu Susiati meminta bantuanku di saat nyawamu dan ibumu terancam. Kamu, ibumu dan kakakmu hampir tiap hari diburu oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Saat mereka tahu kamu dilindungi oleh pihak kepolisian, barulah mereka tak berani mendekat. Apa kamu tak ada perasaan ingin membalas dendam perlakuan mereka? Ingatlah ayahmu memberikanmu kekayaan ini bukan untuk hal yang sia-sia. Tolong bantu kami untuk memenjarakan orang yang telah menyakitimu dan ibumu. Bahkan mungkin juga ayahmu."
Arci memicingkan mata. Ia mencoba mencari kesungguhan dari wajah sang polisi. Dalam hati sebenarnya ia juga ingin membalas perlakuan mereka. Tapi bagaimana?
"Aku akan menghubungimu," kata Arci.
Letnan Yanuar menghela nafas. "Baiklah, aku akan tinggalkan kamu. Paling tidak pastikan engkau menghubungi aku."
"Kalau aku tidak menghubungimu?"
"Aku akan mencarimu. Ingatlah, keluarga Zenedine bukan orang biasa. Mereka semua orang yang berbahaya. Dan satu lagi, jangan percaya satupun seorang di antara mereka."
"Kalau Anda salah bagaimana?"
"Aku tak pernah salah."
"Kenapa demikian?"
"Karena ayahmu pernah memintaku untuk menangkap mereka semua, tapi kemudian ia keburu meninggal, sementara bukti-bukti tak bisa kami terima."
"Ayahku sendiri?"
"Ya, tepat sekali. Sampai nanti," Letnan Yanuar pun meninggalkan Arci sendirian di pemakaman itu.
Arci memandangi batu nisan yang ada di depannya. Ia pun bicara sendiri, "Ayah, apa yang sebenarnya ingin kau tunjukkan kepadaku?"
Rahma dengan kaki tak beralas diturunkan truk pengangkut sayur tak jauh dari vila. Sudah jam 7, pastinya sebentar lagi akan banyak yang datang. Ia pun berpikir harus bersembunyi, sampai Arci atau Andini muncul. Sebab hanya kedua orang itulah yang bisa menolongnya sekarang ini. Rahma kemudian bersembunyi di sebuah pohon pinus yang ada di pinggir jalan menanti mobil-mobil lewat. Ia berharap mobil Andini akan masuk ke dalam vila. Dan dugaannya tidak salah, mobil-mobil para petinggi direksi mulai berdatangan. Ia berdebar-debar karena semua orang yang ada di perusahaan ini tak bisa dipercaya. Ia hanya percaya kepada rekan kerja dan bosnya saja.
Rahma capek berdiri, ia pun duduk sambil tetap merapat ke pohon, bersembunyi dari orang yang lalu lalang lewat. Pikirannya lelah, ia capek, apalagi matanya mulai mengantuk. Kakinya sakit karena tak memakai alas kaki. Sepatunya ia buang ketika dikejar oleh orang-orang yang menculiknya akibatnya kakinya tertusuk batu dan duri beberapa kali. Ia merasa perih, tapi ia tahan. Rahma bukan wanita yang lemah, ia telah banyak mengalami yang lebih buruk daripada ini. Dan ia tipe wanita pejuang.
Angin semilir di Songgoriti yang sejuk membuat Rahma sedikit tak sadar. Ia terlelap beberapa menit, hingga suara klakson mobil membangunkannya. Rahma kaget, ia mengumpat dalam hatinya ketika menyadari bahwa ia tadi mengantuk dan tertidur beberapa saat. Ketika ia menoleh ke arah vila didapatinya mobil BMW orang-orang yang menculiknya ada di sana. Rahma segera bersembunyi. Ia mengintip dari balik pohon, hingga saat mobil itu sudah memasuki halaman vila ia pun menghela nafas lega.
Sesaat kemudian Rahma melihat seseorang mengendarai sepeda motor supra-X. Dia sangat kenal dengan orang itu. Dia Arci, segera Rahma muncul dan melambaikan tangannya. Arci yang mengendarai sepeda motor kaget melihat Rahma. Ia segera menghampiri Rahma, kemudian turun dari sepeda motornya.
"Rahma, kemana aja kamu?" tanyanya.
"Tak ada waktu, Bu Dini. Cepat hubungi Bu Dini!" kata Rahma panik.
"Ada apa?"
"Ada orang yang berniat jahat kepadanya. Aku diculik karena mengetahui apa yang mereka rencanakan. Aku baru saja kabur," kata Rahma sambil terengah-engah.
Arci melihat Rahma dari ujung rambut ke ujung kaki. Melihat Rahma yang kondisinya memprihatinkan itu ia langsung percaya. "OK, sebentar." Arci mengeluarkan ponselnya. Ia pun menelpon Andini.
"Din, kamu di mana?"
"---"
"OK, jangan ke Vila dulu. Aku ketemu ama Rahma, kita sebaiknya ketemuan di depan alun-alun Batu."
"---"
"Nanti aku jelaskan. Ini darurat! OK"
Rahma sekarang lebih melihat Arci sebagai dewa penolongnya. Perasaannya sangat lega hari itu.
"Mau naik?" Arci menawarkan diri.
Segera saja Rahma naik ke motornya Arci. "Mau ke mana kita?"
"Ke alun-alun Batu. Kita ketemuan ama Andini di sana," kata Arci.
Mungkin Rahma agak aneh karena Arci tidak menyebut Andini dengan sebutan Bu Andini. Tetapi langsung namanya. Hal ini membuat Rahma sedikit curiga, jangan-jangan ada sesuatu antara Arci dan Andini. Sepeda motor pun langsung digeber dengan kencang.
"Pegangan!" kata Arci.
Rahma pun akhirnya memeluk pinggang Arci dengan kuat sambil memejamkan mata. Motor Supra-X itu pun melaju seperti orang kesetanan membelah jalan. Rahma tak terasa menempelkan pipinya ke punggung Arci, ia jadi teringat tentang Singgih. Bagaimana kabar cowoknya itu sekarang? Sudah dua tahun tak ada kabar, ia bahkan sudah pesimis bisa bertemu lagi dengan lelaki itu.
Butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai di alun-alun Kota Batu. Di sana Arci bisa mengenali mobil Andini, segera ia menghampiri mobil itu. Andini segera keluar dari mobilnya begitu melihat Rahma. Rahma pun segera turun dari boncengan Arci. Andini memakai baju blouse abu-abu dengan rok warna hitam. Ia tampak terlihat anggun dengan baju itu.
"Rahma, Kamu tak apa-apa?" tanya Andini.
"I-iya Bu, ada yang gawat. Ada orang yang merencanakan ingin mencelakai ibu." Rahma mengatur nafasnya sejenak, kemudian ia mulai bercerita dari awal sampai akhir. Sampai nafasnya hampir habis. Andini kemudian memberikan sebotol air minum setelah Rahma bercerita panjang lebar.
Arci tampak menampakkan mimik wajah serius, "Kita bagaimana sekarang?"
Andini berpikir keras. Tak mungkin ia tidak menghadiri rapat tersebut walaupun nanti ia bakalan dibantai habis-habisan oleh direksi. Arci juga berpikir keras. Hingga tiba-tiba dia ada ide.
"Aku yang akan menghadapi mereka hari ini. Kamu dan Rahma sembunyi dulu, lebih baik antar Rahma pulang soalnya sudah beberapa hari nggak pulang tentunya orang tuanya khawatir. Besok kamu baru muncul, sekalian dengan ibumu. Kamu tahu apa yang aku maksudkan," kata Arci.
"Serius? Mereka pasti akan mencariku," kata Andini.
"Trust me! Untuk sementara memang seperti itu," kata Arci.
"Aku tak percaya kalau Yuswan Andi ingin melakukan hal seperti itu," ujar Andini. "Kamu tak salah orang kan?"
"Tidak, aku sangat kenal sekali dengan mobilnya. Hanya saja aku tak tahu dia di toilet itu bicara dengan siapa," kata Rahma.
"Baiklah, ayo kita berangkat," kata Arci.
Rahma semakin curiga dengan cara ngomong dua orang yang ada di depannya. Mereka tampak lebih akrab seperti orang yang sudah kenal lama. Dan adegan berikutnya bikin Rahma nyesek. Arci mengelus pipi Andini! Whaat??
"Hati-hati!" kata Andini.
"Kamu juga!" balas Arci.
Kedua orang ini lalu menoleh ke arah Rahma. Mereka nggak agaknya sesaat lupa kalau ada Rahma di sana. Langsung mereka salah tingkah. Arci menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Rahma hanya nyengir.
"OK, Rahma ikut aku!" kata Andini. Rahma lansung beringsut masuk ke dalam mobil.
Arci kemudian menggeber sepeda motornya kembali ke Vila. Rapat kali ini bakal jadi ajang politik. Arci akan berusaha berpikir dengan kepala dingin. Dia akan mencoba untuk bisa stay cool, sekalipun tahu keadaan yang sebenarnya.
Vila yang dipakai rapat itu cukup besar dan mewah. Ini memang vila yang tiap tahun dijadikan tempat untuk rapat. Dan oleh keluarga Zenedine vila ini disewakan dengan harga yang tinggi. Selain vilanya sangat nyaman dengan berbagai fasilitas, vila ini juga dikelilingi pemandangan yang cukup memanjakan mata. Di dalamnya ada sebuah kolam renang dan juga tempat pemandian. Ada pula para pekerja yang memang dipekerjakan secara khusus di sini. Sehingga lebih mirip seperti sebuah hotel. Kamarnya pun ada banyak, kalau dilihat dari atas, vila ini seperti membentuk huruf U. Dari kiri ke kanan secara berurutan adalah ruang aula, kemudian ruang makan dan kamar. Di tengah-tengahnya ada sebuah kolam renang. Agak jauh dari kolam renang ada sebuah pemandian yang disekat antara pemandian pria dan wanita. Sebuah taman yang ditumbuhi tanaman hias berjajar mengelilingi vila itu.
Arci melangkah masuk langsung menuju ke sebuah ruangan yang digunakan untuk meeting. Melihat dia sendirian tanpa Andini membuat jajaran direksi bertanya-tanya. Mata Arci mengawasi siapa saja yang ada di sana. Tampak Yuswan Andi ada di sana.
"Saya mohon maaf, Ibu Andini tidak bisa hadir karena beliau harus ke rumah sakit," kata Arci mengada-ada.
"Hah, ke rumah sakit?"
"Begitulah, beliau menyuruh saya untuk mewakilinya." Arci kemudian mengambil tempat duduk. Semua pimpinan direksi saling berpandangan.
"Baiklah, kita langsung saja kalau begitu," kata Weny yang sepertinya tidak sabaran. "Saudara Arci, sudah disiapkan semua materinya."
"Tentu saja," kata Arci dengan percaya diri.
Rapat pun hampir saja dimulai, ketika beberapa orang masuk ke dalam ruangan direksi. Arci tak mengenal mereka. Tapi ketika semua orang yang ada di ruangan rapat berdiri Arci pun ikut berdiri. Ada seseorang dengan memakai jas yang rapi, rambutnya putih, matanya hijau. Sedangkan tiga orang yang lainnya, tampaknya hanya mengawal saja. Ada seorang wanita yang membawa map dan dua orang berkacamata berjalan di belakangnya. Orang itu sedikit tersenyum dan ia terkejut ketika melihat Arci. Sepertinya ia kenal dengan Arci.
"Siapa?" tanyanya.
"Saya Arczre, manajer marketing yang baru," jawab Arci.
"Oh, kenapa hanya empat. Mana Andini?" tanyanya.
"Saya yang mewakili dia."
"Kamu bisa apa?"
"Saya telah mempelajari apa yang harus saya pelajari untuk bisa rapat hari ini."
"Baiklah tunjukkan kepadaku! Sebelumnya kalau kamu belum tahu siapa aku. Aku adalah Pieter Zenedine, aku termasuk salah satu orang yang memegang saham perusahaan ini, juga anggota keluarga Zenedine. Sekarang, mari kita mulai saja. Dimulai dengan kamu, laporkan apapun yang ingin kamu laporkan dalam meeting tahunan ini."
Arci mengangguk. Ia kemudian mengambil tablet dan ponselnya. Semua orang kecuali tiga orang yang bersama Pieter duduk semua. Arci kemudian berdiri, beringsut menuju ke imager dan langsung mencolokkan kabel USB tabletnya ke imager. Ia memilih-milih file lalu dalam sekejap di layar sudah ada presentasi.
"Perusahaan kita sedang sekarat," kata Arci memecah suasana ketika hening. Di layar sudah ada beberapa bagan yang menjelaskan maksud Arci. Semua orang mengerutkan dahi. "Anda tahu kenapa sekarat?"
"Sekarat? Bukankah kita selama ini terus beruntung?" tanya Pieter.
"Tidak, kalau Anda melihat angka laba yang stabil tiap bulannya itu adalah angka yang mengerikan, saya jamin tiga bulan lagi perusahaan ini bangkrut."
"Kamu jangan mengada-ada, ini data dari mana? Andini harus bisa memberikan alasan yang jelas!" kata Tomi Rahardjo.
"Data ini bukan dari Andini tapi dari saya sendiri. Selama 2 minggu saya telah mempelajari seluk beluk pemasukan perusahaan ini. Kebanyakan yang terjadi adalah perusahaan-perusahaan cabang yang dipimpin oleh Anda semua melakukan persaingan pasar terhadap teman sendiri. Akibatnya pembeli bingung. Anda bisa lihat. Laba tiap bulannya konstan. Bahkan selama dua tahun. Apakah Anda tahu ketika laba konstan maka ada sesuatu yang terjadi dengan perusahaan ini yaitu sebut saja tidak berkembang."
Arci kemudian menampilkan slide lainnya. Di situ menampakkan foto-foto tentang barang di gudang.
"Saya mendapatkan fakta bahwa di gudang ada produk-produk yang sebenarnya masih bagus tapi tak laku dijual? Karena apa? Karena tak ada pemasaran yang sesuai. Semuanya menumpuk dan perusahaan hanya terfokus kepada produk yang menjadi trend sedangkan produk-produk lama yang jauh dari trend dibiarkan menumpuk digudang. Padahal kalau dijual sebenarnya masih laku, terlebih karena PT Evolus adalah sebuah perusahaan yang barang-barangnya sudah dikenal oleh banyak masyarakat."
Semua orang tercengang. Mereka tak pernah mengetahui ada barang yang menumpuk.
"Tapi tak perlu khawatir, karena saya sudah menyelesaikan permasalahan ini. Anda tahu? Sebagian konsumen kita mereka sebenarnya punya ide-ide yang briliant, saya kemudian membuat sebuah kuis di internet yaitu sebuah kuis untuk mereka yang punya ide desain untuk mendesain produk kita. Dan sebagai hadiahnya kita akan berikan banyak voucher dan hadiah langsung dari produk-produk kita yang menumpuk di gudang. Alhasil, peminatnya banyak yang mendaftar lebih dari 500 orang. Strategi pasar yang saya gunakan adalah mengusung komunitas-komunitas lokal untuk bisa memasarkan produk ini. Saya telah membuat sebuah portal yang bisa menghubungkan konsumen dengan kita. Alhasil mereka suka dan situs ini hanya dalam waktu satu bulan telah dikunjungi sebanyak satu juta pengunjung."
Pieter manggut-manggut.
"Dan kemudian, saya tahu saingan terbesar kita adalah PT Denim. Ya, dengan produk-produk mereka yang terus berinovasi kita akan ketinggalan. Kita akan kalah. Dan kita akan bangkrut karena dari fakta lapangan beberapa pasar kita telah dikuasai mereka. Hanya saja mereka tidak melangkah ke tempat kita melangkah. Saya menyerang mereka dari segi yang mereka tidak sangka, yaitu komunitas online. Kaskus, Lazada, Tokopedia, semuanya akan membicarakan produk kita. Dan dengan begini saya akan pastikan tiga bulan lagi laba kita akan naik. Otomatis kita tak perlu memusingkan diri untuk bersaing dengan PT Denim."
"Tapi, bukankah PT Denim lebih baik dalam masalah inovasi? Setidaknya kenapa kita tidak mencoba untuk bisa bekerja sama dengan mereka?" sela Yuswan Andi.
Arci kemudian menampilkan sebuah gambar. "Anda lihat, ini ada sebuah baju. Bajunya sangat menarik. Dengan setelan lengan panjang berwarna biru dengan motif batik di bawah, sebuah desain yang keren kalau dibuat bekerja. Apalagi warnanya khas seperti jins. Menarik bukan? Coba tebak ini produknya siapa?"
Semuanya tampak terkesima dengan model baju kemeja yang ditunjukkan oleh Arci.
"Kita tak pernah membuat baju bermotif batik untuk baju kemeja seperti itu!" kata Argha.
"Ya, kita tak pernah membuat baju bermotif batik seperti itu," sambung Weny.
"Pak Pieter?" tanya Arci.
"Itu baju kita, produk kita," jawab Pieter.
"Pak Pieter benar, ini produk kita," jawab Arci.
Semua orang tercengang.
"Bagaimana mungkin??" tanya Yuswan Andi.
"Ini produk pertama yang dibuat oleh Archer Zenedine. Di jaman itu di saat beliau masih menggunakan mesin jahit manual, beliau merancang baju ini. Anda mungkin lupa, tapi ini adalah produk pertama beliau. Dan lihat gambar berikutnya!" Arci menggeser slide. Dan tampak sebuah baju yang bentuknya sama. "Ini produk PT Denim yang baru saja keluar. Anda bisa lihat logo di kerah bajunya."
BRAK!
Pieter menggebrak meja. "Bagaimana mereka bisa mendapatkan itu??"
"Saya tak tahu, tapi yang jelas sebagian besar inovasi yang dilakukan oleh PT Denim berasal dari kita. Rancangan-rancangan model lama kita diambil oleh mereka dan diklaim sebagai produk mereka. Saya kira ada orang dalam yang ingin membuat perusahaan ini bangkrut," jelas Arci. "Dan bukan hanya produk ini saja. Ada banyak. Saya akan tampilkan di layar semuanya."
Arci kemudian menggeser slide, menampilkan perbandingan kedua produk antara PT Evolus dan PT Denim.
"Oh My God. What the FUCK is THIS SHIT?!" Pieter tampaknya gusar. "Kalian, jelaskan kepadaku, apa-apaan ini?!"
"Pak Pieter, kami baru saja tahu," jelas Yuswan.
"Arczre, jelaskan kepadaku data ini sangat valid?" tanya Pieter.
"Sangat valid, saya bisa antar kepada Anda di mana baju-baju ini dipajang," jawab Arci.
"Baiklah, apakah engkau punya solusi dari ini semua?" tanya Pieter.
"Sejujurnya, saya punya tapi....,"
"Tapi apa?"
"Alangkah lebih baiknya saya meminta masukan juga kepada semua orang yang ada di sini, kalau misalnya ide saya tidak diterima silakan berikan saya masukan, kalau misalnya diterima maka saya ingin kita semua komitmen untuk bisa melaksanakannya," kata Arci.
Sekilas wajah Pieter tampak menampakkan rasa penasaran. Tentu saja ia penasaran. Ia adalah sepupu dari Archer Zenedine. Melihat Arci ia jadi teringat saudara sepupunya itu. Semuanya mirip, baik itu wajah, suara dan perawakannya. Ia jadi penasaran siapa sebenarnya Arci.
"Baiklah, berikan kami idemu!" kata Pieter.
Arci menarik nafas dalam-dalam. Memberikan ruang sejenak di dalam paru-parunya untuk bisa mengeluarkans semua kata-katanya.
"Ide saya, kita biarkan masyarakat, kita biarkan customer yang memberikan kita ide. Dari customer, untuk customer. Kita akan berikan apresiasi yang pantas bagi desain mereka yang bisa kita pakai, bisa kita jual. Bahkan ke depannya kita akan mencoba berikan sebuah terobosan, 'You can desain your suit'"
"Maksudnya?"
"Kita akan membuat customer yang secara langsung memesan produk sesuai dengan ide mereka. Mereka lebih senang mendesain sebuah kemeja untuk lelaki, maka kita akan berikan kepada mereka untuk mendesain model mereka sendiri."
"Itu ide gila!"
"Gila, tapi itu akan membuat kita di mata customer lebih naik. Saya bertaruh ide tidak masuk akal ini tidak akan dipakai oleh PT Denim. Dan sebaiknya kalau misalnya ada di antara kita yang berniat untuk bergabung dengan mereka, buang saja jauh-jauh hal itu."
Semua yang ada di ruangan itu tercengang. Harusnya hari itu akan menjadi pembantaian bagi Andini, tapi Arci membuat semuanya berbalik. Dia menguasai forum.
"Ide itu pernah diusulkan oleh Archer dulu, tapi sebelum terlaksana ia telah pergi terlebih dulu," kata Pieter.
Arci sedikit terkejut. Well, mungkin karena memang sifat bapak niru kepada anaknya. Ia punya pikiran yang sama dengan mendiang sang ayah. Itu suatu yang tak pernah ia duga sebelumnya. Arci hanya bisa menyunggingkan senyumnya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Setelah seharian mengikuti meeting, akhirnya rapat hari itu sukses. Besok akan ada pembacaan wasiat dari Archer Zenedine. Seluruh pimpinan direksi dan hampir semua keluarga Zenedine akan datang. Sebagian sudah tahu isi wasiat itu, sebagian tidak tahu. Beberapa keluarga Zenedine tahu tapi hanya sebagian kecil, mereka hanya penasaran siapa anak dari Archer yang akan menjadi pewaris tahta.
Arci tidak menginap di villa itu, sedangkan yang lainnya menginap di sana. Ia lebih memilih menuju hotel tempat Andini menginap. Rahma telah dipulangkan ke rumahnya, tentu saja kedua orang tuanya sangat khawatir. Akhirnya mereka bisa bernafas lega setelah mengetahui Rahma selamat. Arci segera menemui Andini setelah sampai di hotel itu. Ia pun mengetuk pintu kamar Andini.
Andini pun membuka pintu. Arci kemudian masuk.
"Bagaimana rapat tadi?" tanya Andini.
"Tenang saja, aku sudah menghandlenya. Aku mengatakan kalau kamu masuk rumah sakit," jawab Arci.
"Fiyuuh...trus?"
"Besok. Kita lihat saja apa yang terjadi besok."
Arci menghadap ke Andini. Arci lebih tinggi dari Andini, tapi perbedaan usia mereka tentu saja berbeda. Bagi Arci ia sangat takjub dengan Andini. Bagaimana ketika ia bertemu dengannya dulu, dalam keadaan yang sangat berbeda dengan hari ini.
Arci memegang pipi Andini, tangan itu terasa lembut di pipi Andini. Ia merasakan kesejukan ketika tangan lembut pemuda itu membelai pipinya. Andini memejamkan mata. Agaknya ia pasrah terhadap apa yang akan dilakukan pemuda itu. Di kamar hotel, berduaan. Arci bisa saja melakukan yang lebih jauh dari sekedar menciumnya. Tapi hari itu ia hanya mendaratkan sebuah ciuman ke bibir Andini dan memeluknya.
Dalam pelukannya Andini berkata, "Aku sangat merindukanmu. Kamu tahu itu?"
"Kamu beda sekali."
"So, Mr. Zenedine. I'm yours."
"No no no, not like this. Aku sudah berjanji akan menikahimu. Kamu bisa tunggu?"
Arci memegang bahu Andini. Wanita ini hanya tersenyum, senyum kebanggaan memiliki kekasih seperti Arci.
"Tapi bagaimana kita tidurnya? Just single bed," gumam Andini yang masih dipeluk.
"Hmm... it's OK. Aku bisa tidur sambil memelukmu."
"Yakin kuat?"
"Apanya?"
"Yakin nggak tergoda?"
"Coba aja."
Andini melepaskan pelukannya. Ia kemudian melepaskan kemejanya, lalu roknya hingga ia hanya memakai g-string dan bra. Arci menelan ludah dengan sangat susah. Andini memberi isyarat dengan jari telunjuknya agar Arci mendekat.
"Wah, dia goda aku nih," katanya dalam hati.
Tubuh Andini sangat mulus, kuning langsat, tanpa cacat. Tak ada bekas luka apapun, bulu-bulu halus tumbuh di sekitar lengannya, tampak urat-uratnya di payudaranya kelihatan pertanda dua buah bukit kembar itu tak pernah disuntik silikon. Buah dada berukuran 34 D ini seakan tak muat dibungkus oleh bra berwarna krem itu. Arci pun membuka kemejanya, sama seperti Andini, ia kini hanya memakai boxer. Sebagai laki-laki normal tentu saja senjatanya sudah mengeras.
"Hahahaha, sudah keras aja tuh," kata Andini.
"Yah, kalau nggak gini ya nggak normal. Hehehhe," kata Arci.
"Baiklah, aku mau tahu seberapa kuat kamu menahan diri. Hihihi."
Arci tanpa basa-basi langsung menerjang Andini. "Aw!"
Mereka pun saling bercumbu, seperti melepas kerinduan yang selama ini mereka pendam. Arci meremas buah dada atasannya itu tanpa ada rasa sungkan. Rasa cintanya makin besar, ia ingin melampiaskan semuanya malam itu. Tapi Arci tetap akan memegang janjinya, sebelum menikah ia tak akan menyentuh Andini lebih jauh.
"Boleh aku lihat dalamnya?" tanya Arci saat menyentuh buah dada Andini.
Wajah Andini bersemu merah. Ia baru pertama kali disentuh lelaki seperti itu. "Te..tetapi kamu janji kan nggak masukin?"
Arci mengangguk. "Aku janji"
Andini menaikkan punggungnya sehingga tangan Arci bisa menggapai kaitan bra di punggungnya. Dalam sekejap dua buah bukit kembar dengan puting yang sudah mengeras terpampang di hadapannya. Arci menatapnya tanpa berkedip. Tentu saja ia sesaat membandingkan dengan punya Safira. Jelas, punya Safira tak ada apa-apanya dibandingkan ini. Yang ini lebih besar, lebih kencang, dan putingnya mengeras.
"Jangan tatap gitu ah, malu!" kata Andini mengalihkan wajahnya.
"Kamu punya buah dada yang sangat mempesona," kata Arci.
"Cici, jahat!"
"Boleh aku hisap?"
Andini mengangguk.
Arci pun mulai bekerja. Bibirnya mulai mengecup puting susu Andini. Andini menggelinjang. "Aaahh...Ciii...!"
Arci menikmati setiap kelembutan yang hinggap di bibirnya. Andini pun merasakan sentuhan seorang lelaki yang kini mulai menikmati payudaranya. Ia memeluk Arci, meremas setiap sudut kepala pemuda ini hingga Arci tak bisa bernafas karena terbenam dalam dua buah bola yang empuk. Arci menghisap bergantian kedua puting tubuh wanita yang sempurna ini.
"Cii...geli..."
Puas dengan payudara Andini, Arci mulai menciumi semua tubuh wanita ini. Dari kening, kedua kelopak matanya, pipi, leher, lalu dada, ketiaknya--yang ini membuat Andini menggelinjang hebat, Arci sampai menjilati ketiak Andini yang bersih serta wangi ini--lalu pinggulnya, pahanya, betisnya hingga kemudian Arci mengemut jempol kaki Andini yang membuat wanita ini tubuhnya melengkung.
"Ciii...memekku gatel, masukin yuukk....plissss..!" Andini merengek. Arci melihat g-string milik Andini basah. Ia menyentuh daerah selakangan Andini, seketika itu gadis itu menggeliat dan menjerit. "Aawwww! Jangan disentuh Cii...!"
"Kenapa?"
"Aku keluarrrr...!"
"Lho, aku belum ngapa-ngapain lho." Arci pun dicubit pinggangnya. "Aduh!"
"Jahat! Cici jahat! Aku keluar banyak gini!"
"Lihat, siapa yang nggak kuat??"
"Ahhh....Cici jahaaat!"
Arci lalu berbaring memeluk Andini erat-erat sementara Andini bergeser berada di atas tubuh lelaki itu. Ia pun menggesek-gesekkan kemaluannya di tonjolan boxer Arci.
"Duuhh...Ciii, enak bangeetttss!"
"Aww.....aduh...iya Ni, enaaakk!"
Andini pun menggesek-gesekkan kemaluannya. Klitorisnya benar-benar seperti dikoyak oleh tonjolan kemaluan Arci. Tiba-tiba di saat bergoyang Andini pun menghentikan aktivitasnya. Ia berdiri lalu melepaskan G-Stringnya. Dan terlihat jelas sebuah tempat privat wanita yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Arci kaget melihat Andini telanjang tanpa sehelai benang pun. Dan lebih kaget lagi ketika Andini berusaha melepas boxer yang ia pakai.
"Lho, lho, Dini...kamu mau apa?"
"Udah deh, nikmatin aja!"
Tanpa disangka keduanya sekarang telanjang bulat. Rudal Arci mengacung ke atas dan Andini merangkak di atas tubuhnya. Dia pun kemudian menduduki batang monumen nasional itu. Arci menggelinjang geli ketika cairan Andini yang membasahi memeknya kini juga membelai batang penisnya. Andini mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur. Ini seperti batang Arci dikocok oleh jepitan memek Andini. Sensasinya cukup membuat ia terangsang dan benar-benar membakar birahi. Arci pun meremas kedua toket Andini.
"Dini...ohhhhhh.... kita kayak orang ngentot!" rancau Arci.
"Kita simpan pertemuannya nanti malam pertama yach yang? Sekarang, kita cukup begini aja," kata Andini.
"Aaahh...Diinnniii...!"
"Achh...Cii..enaaak...uuufffffhhh!"
Andini terus menggesek-gesekkan bibir kemaluannya dengan batang kemaluan Arci. Rasanya juga sudah cukup enak. Kemaluan Andini juga sudah gatel ingin segera mengeluarkan orgasmenya lagi. Sedangkan Arci pun juga merasakan sesuatu yang akan meledak.
"Diinn..aku kayaknya mau keluar," kata Arci.
"Keluarin yang, aku juga nih," kata Andini.
"Aaahhh....toketmu gedhe gilak!"
"Kamu suka?"
"Suka banget!"
"Oohhhh...Cinta....aku keluuuuaaaaaaaaaaarrrrrr!"
"Akhhhh!"
Jeritan keduanya mengakhiri pergumulan keduanya, semburan sperma hangat menyembur ke perut Arci dan Andini. Keduanya lantas langsung berpelukan erat. Andini memeluk Arci dengan erat, menindihnya, meluapkan semua perasaannya kepada orgasme keduanya. Walaupun tidak memasukkan kemaluannya ke liang senggama Andini, Arci sudah merasa cukup puas. Ia tak memaksa Andini, apalagi ia ingin hubungan ini terjalin dengan baik.
Keduanya berpelukan dalam sebuah selimut tebal. Andini merasa tentram dalam dekapan kekasihnya. Sang kekasih yang tetap memegang janjinya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Besoknya, saat yang ditunggu. Arci dan Andini hadir. Dalam sekejap vila tersebut dipenuhi mobil-mobil mewah, hampir semua keluarga Zenedine dan orang-orang yang dekat dengan Archer Zenedine hadir di sana. Dan tentu saja Bu Susiati sebagai seorang pengacara yang sangat disegani ada di sana.
Arci melihat dengan seksama seluruh keluarga Zenedine. Sebentar lagi semua orang akan tahu siapa dirinya. Ia tak tahu apa nanti yang akan terjadi. Tiba-tiba ia teringat dengan Letnan Yanuar. Tentang kelakuan keluarga Zenedine yang sebenarnya mereka semua adalah mafia. Arci tak tahu apa yang harus dilakukan, apakah ia akan menerima tawaran itu ataukah tidak. Mengumpulkan bukti-bukti untuk menghukum anggota keluarganya sendiri?
Bu Susiati mulai mengeluarkan sebuah CD. Ia kemudian memasukkannya ke sebuah player. Sebuah imager yang terpampang di tengah ruangan pun mulai menampilkan Video Player. Bu Susiati kemudian memutar video itu. Setelah itu muncul wajah Archer Zenedine. Arci mengetahuinya.
"Ini adalah wasiatku. Aku Archer Zenedine. Aku tahu kalian pasti akan bertanya-tanya kenapa harus hari ini, tanggal 31 Mei beberapa tahun setelah aku wafat. Jawabannya hanya satu. Karena hari ini adalah hari ulang tahun putraku. Putra semata wayangku. Dialah satu-satunya yang berhak atas semua kekayaanku, dan satu-satunya orang yang akan mengarahkan kemana perusahaan yang diwariskan oleh Arthur Zenedine kepadaku.
"Namanya adalah Arczre Vian Zainal. Dia adalah anak biologisku dengan seorang wanita yang sangat aku cintai, Lian. Semuanya telah sah aku tanda tangani dan mulai hari ini Arczre mewarisi semuanya. Dia berhak menjadi anggota keluarga Zenedine, dia berhak atas semuanya. Dan kepada anggota keluarga yang lain, semuanya telah aku bagikan yang mana akan diurus oleh pengacaraku. Sekian. Dan untuk Arci, aku pesan kepadamu follow your heart"
Berakhirlah rekaman video itu.
"Ini semua yang menjadi wasiat dari Archer Zenedine, dan ini sudah menjadi ketetapan hukum tidak bisa diganggu gugat," kata Bu Susiati.
"Ini gila, ini tidak mungkin. Siapa anak pamanku itu? Toh kita tak tahu dia masih hidup atau tidak," protes seorang pemuda. Ia sepertinya lebih muda sedikit dari Arci.
"Aku tak setuju, wasiat sampah. Akulah yang seharusnya menjadi pewaris resmi," ujar seorang lagi.
Lalu seluruh ruangan menjadi ricuh. Tapi Pieter yang saat itu juga ada di tempat itu mengangkat tangannya. Semua orang langsung terdiam. Ternyata Pieter punya pengaruh yang luar biasa di keluarga ini.
"Arczre Vian Zainal anak Archer Zenedine ada di sini, bukan begitu?" tanya Pieter sambil menoleh ke arah Arci. Tatapan Pieter itu seolah-olah dia sudah mengetahui semuanya.
"Ya, dia ada di sini," kata Bu Susiati.
"Mana?!" teriak salah satu anggota keluarga Zenedine.
"Saya orangnya," Arci melangkah maju.
Semua mata tertuju kepadanya.
Tiba-tiba dari kerumunan keluarga Zendine seorang wanita bergerak maju dan mengacungkan sepucuk pistol ke dahi Arci. Wanita itu tampak masih muda, cukup cantik, tatapan matanya tajam dan bulu matanya tebal. Pistol model glock itu sudah hampir ditarik pelatuknya dan Arci tentu saja kaget. Jantungnya hampir copot.
"Ghea!" bentak Pieter. "Kamu mau apa?"
"Aku akan menghabisi orang yang mengaku sebagai anak paman Archer ini, dia tak pantas menyandang nama keluarga Zenedine. Kalau dia dihabisi bukankah kekayaannya bisa dibagi ke kita?!" kata gadis yang sepertinya masih berusia 21 atau 22 tahun.
"BODOH!" bentak Pieter. "Kalau kamu membunuhnya maka tidak satupun dari kita akan mendapatkan warisan itu, bahkan semuanya akan disumbangkan ke yayasan sosial."
"Jadi aku harus menerima dia sebagai anggota keluarga kita?"
"Tentu saja, lagi pula dia tak sebodoh yang kamu kira," kata Pieter sambil terus bersuara lantang.
Semua orang membisu. Wanita yang dipanggil Ghea itu pun menurunkan pistolnya. Arci menarik nafas lega.
"Aku tak suka kepadamu, sepupu!" Ghea mendorong Arci. Arci mundur satu langkah. Setelah itu dia pergi meninggalkan Arci.
Hari itu tentu saja semua berubah. Semua orang mau tidak mau harus menerima Arci. Keadaan yang tidak menguntungkan bagi keluarga Zenedine. Tapi mereka harus menerima. Sebagian yang lain mulai merancang sesuatu, Arci tahu di antara mereka tidak akan ada yang bisa diajak bersahabat. Mereka hanya ingin hartanya.
"Arci, apa yang akan kamu lakukan sebagai pemimpin perusahaan ini?" tanya Pieter.
Arci menghirup nafas dalam-dalam.
"Jangan takut, keputusanmu adalah keputusan kami juga. Tapi, kalau kamu ingin menghancurkan apa yang dirintis oleh kakekmu, aku tidak akan tinggal diam," kata Pieter.
"Baiklah, kalian sudah mengetahui apa rencanaku ke depan dari rapat kemarin bukan?"
Semuanya mengangguk.
"Hal pertama yang ingin aku lakukan adalah memecat Yuswan Andi dari jajaran direksi."
Sontak hal itu membuat semuanya terkejut. Ruangan itu jadi ricuh.
"Hei, anak muda!? Apa yang kamu lakukan? Salahku apa?" Yuswan Andi protes.
"Kamulah orang yang telah membocorkan rancangan kita kepada PT Denim, kamu berusaha untuk bisa mempersatukan perusahaan ini dengan PT Denim dan rencanamu itu telah di dengar salah satu rekan kerjaku Rahma. Kamu juga berniat buruk kepada Andini, tapi sayangnya aku telah mengambil alih rapat kemarin," ujar Arci.
"Betulkah katamu itu?" tanya Pieter.
"Aku bisa mendatangkan Rahma menjadi saksi," jawab Arci.
"Jadi, dia yang membocorkan desain itu?" tanya Pieter.
"Aku bisa jelaskan semua," Yuswan Andi berusaha membela diri.
Pieter memberi isyarat. Tiba-tiba seorang berkaca mata hitam muncul dari belakang Yuswan Andi dan menodongkan pistolnya lalu....
DOR!
Sebuah peluru menembus kepalanya. Yuswan Andi belum sempat bicara. Ia sudah tewas di tempat. Andini kaget dan langsung memeluk ibunya. Semua orang tak tega melihat itu. Pembunuhan tepat di depan mata mereka. Arci benar-benar menyaksikannya secara langsung. Darah segar menggenangi lantai tepat di mana Yuswan terbujur kaku.
Pieter menghampiri tubuh Yuswan Andi, ia lalu berkata, "Aku tak suka pengkhianat. Aku sudah bilang aku tak suka pengkhianat. Kalian lihat? Aku sudah tegaskan kepada kalian. Kalau sampai ada yang berkhianat aku tak akan memaafkan orang itu. Dan kamu Arci, termasuk kamu. Kami rela kehilangan semua warisan dari Archer, kalau kamu berkianat kepada kami. Kamu mengerti?"
Arci menelan ludah. Pandangannya terpaku kepada Pieter. Pieter hanya tersenyum, ia lalu menepuk pundak keponakannya.
"Santai saja, selamat datang keponakanku. Kamu perlu berkenalan dengan kami semuanya nanti," kata Pieter. "Maaf, sambutanku yang tidak pantas ini."
Setelah itu Pieter dan keluarga Zenedine keluar semuanya dari ruangan. Arci masih begidik melihat Ghea yang tadi menodongkan pistolnya ke kepalanya. Ia masih terasa dinginya besi yang menempel di dahinya tadi. Ghea, hanya tersenyum simpul kepadanya.
"Bu Susiati, ini kejahatan bukan?" tanya Arci sambil berbisik. "Kenapa Anda diam saja?"
"Arci, ada kalanya uang dan pengaruh lebih berkuasa dari hukum. Kamu akan sering melihat seperti ini di keluarga ini. Aku hanya bisa menolongmu untuk mendapatkan kekuasaan di keluarga Zenedine. Selebihnya engkau harus berusaha sendiri," bisik Bu Susiati.
"Lalu??"
"Berusaha jangan mati," kata Bu Susiati.
Kepala Arci pusing. Ia baru kali ini melihat seseorang dieksekusi tepat di depan matanya. Agaknya ia harus melaporkan ini kepada Letnan Yanuar. Tapi ancaman dari Pieter tadi bukan main-main. Ia sekarang sedang berada di sebuah platform yang sangat berat untuk diduduki, seseorang yang dijuluki Inheritance. Keturunan. Dan dia menyesal mendapatkan semuanya sekarang.
Arczre mengambil alih perusahaan PT Evolus. PT Evolus mempunyai Presiden Direktur baru. Ya, itulah judul headline koran. Seorang yang tiba-tiba berada di puncak. Tapi inilah hasil dari harga yang harus dibayar mahal oleh Arci dan keluarganya. Hidup bertahun-tahun berpindah-pindah dikejar renternir, debt colector hingga orang-orang yang tak jelas yang ingin membunuh mereka. Sekarang Arci bisa berdiri di puncak. Namun tetap saja ada orang-orang yang tak suka ia berada di sana. Terlebih setelah ia mengetahui bagaimana sejatinya keluarga Zenedine. Mereka semua mengerikan.
Arci mau tak mau harus mengakui dirinya butuh sekutu. Ia sendirian di keluarga ini. Tak ada yang mendukungnya. Arci pun datang ke Letnan Yanuar setelah ia menelpon polisi itu. Mereka pun bertemu di sebuah kafe.
"Kau tak perlu takut, kita aman," kata Letnan Yanuar. "Siapapun tak akan ada yang curiga kamu ngobrol dengan siapa."
"Ini gila," kata Arci. "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Pieter membunuh orang, tepat di depanku!"
"Aku tahu, korbannya Yuswan Andi," kata Letan Yanuar.
"Lalu kenapa dia tidak ditangkap?"
Letnan Yanuar menggeleng. "Kamu kira menangkap dia semudah menangkap nyamuk? Siapa saksinya? Kamu?"
"Bukankah banyak yang melihat?"
"Banyak yang melihat? Kamu tahu seberapa takut mereka kalau melaporkan kejadian itu? Ini tidak terjadi pertama kali, tapi lebih dari itu, beberapa tahun yang lalu juga terjadi hal serupa, tidak didor, tapi dijatuhkan dari atas gedung. Otaknya berhamburan di bawah. Dan kamu tahu nasib orang yang melaporkannya? Sama. Jatuh dari atas gedung. Pieter bukan orang sembarangan. Kalau kamu mau mengalahkan dia, maka kamu harus mencabut satu demi satu gigi-giginya. Dia itu seperti macan yang gigi-giginya tajam. Untuk melumpuhkannya, tentu saja cakarnya harus dipotong, giginya dicabut baru kita bisa mengalahkannya."
Arci menggaruk-garuk kepalanya yang makin pusing.
"Kamu butuh sekutu di dalam keluarga itu, Arci!" Letnan Yanuar kemudian menyerahkan beberapa dokumen. "Ini data tentang keluarga Zenedine. Pelajarilah, hanya ini yang bisa aku bantu. Dan satu lagi, kalau kamu ingin disegani oleh mereka, dekati Pieter dan Ghea. Dua orang ini ayah dan anak. Pieter saudara jauh dari Archer, lebih tepatnya sepupunya. Sebenarnya kalau saat itu dia tidak terlibat kasus kriminal, maka dia akan memimpin perusahaan ini. Tapi sekalipun begitu dengan bisnisnya yang entah apa namanya ia berhasil mempunyai banyak uang dan sahamnya termasuk salah satu yang tinggi di perusahaan ini.
"Pieter terkenal sebagai orang yang menjalankan bisnis. Dia orang kepercayaan Arthur. Segala sesuatu yang berbau kotor, ia pasti pelakunya. Tapi setiap polisi akan menangkapnya, bukti-bukti itu selalu hilang. Tak berbekas. Ghea, dia cewek yang mengerikan. Kalau kamu bisa mendapatkan dia sebagai sekutumu, kamu tidak akan dianggap remeh oleh keluarga Zenedine. Sebab apapun yang dianggap baik oleh Ghea, maka banyak keluarga yang mendukung. Satu lagi, ia berdarah dingin. Tak segan-segan menembak orang yang tidak disukai."
Arci melihat dua buah foto. "Ini? Siapa mereka?"
"Yang laki-laki namanya Tommy Zenedine, dia pekerja seni. Ia tak mau terlibat panasnya intrik keluarga Zenedine, sekarang tinggal di Paris. Yang satunya Areline. Dia sekarang masuk rumah sakit jiwa karena terlalu banyak mengkonsumsi barang haram ketika muda hingga otaknya goyah. Kamu bisa tak perlu mencampuri urusan mereka."
"Yang lainnya?" tanya Arci.
Letnan Yanuar memberikan dokumen lainnya. Arci pun menerimanya.
"Pelajari semuanya. Mereka sangat berbahaya," kata Letnan Yanuar.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Arci.
"Kumpulkan bukti-bukti agar aku bisa menjerat mereka satu per satu. Di dokumen ini ayahmu memberikan catatan tentang siapa saja yang berbuat kriminal. Pelajari saja. Kamu akan mengerti nantinya. Dan satu lagi...," Letnan Yanuar merogoh sakunya dan menyerahkan sebuah flashdisk USB.
"Apa ini?" tanya Arci.
"Kalau kamu pernah melihat video tentang ayahmu, ini video yang lainnya. Dia menyerahkannya kepadaku sebelum pergi. Dan dia benar-benar menyuruhku agar jangan sampai benda ini jatuh ke tangan orang yang salah," jawab Letnan Yanuar. Ia menyeruput kopinya yang sudah dingin.
Arci membolak-balik dokumen-dokumen itu.
"Aku tinggal dulu," ujar Letnan Yanuar. "Kalau kamu ingin menghubungiku, kamu tahu harus ke mana." Ia pun beranjak dari tempat duduknya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Tinggal di rumah baru. Rumah peninggalan Archer Zenedine. Siapa yang tak suka? Baik Lian, Safira dan Putri sangat senang. Kehidupan mereka berubah sekarang. Mereka sudah tidak kekurangan lagi. Lian dan Safira pun akhirnya tidak lagi mendalami profesi mereka. Kini keduanya menjadi orang yang bebas. Menikmati apa yang telah disiapkan oleh Archer Zenedine. Safira lebih bahagia kini, ia bisa tinggal bersama Arci. Lebih tepatnya dia sekarang seperti istri yang melayani suaminya.
Agaknya sedikit bimbang bagi diri Arci. Bagaimana kalau Andini tahu hubungan dia dengan kakaknya sendiri? Sebuah hubungan tabu yang bisa membuat dia dan Andini berpisah. Aci menyukai Andini tentu saja. Ia sangat mencintainya. Tapi ia juga tak bisa menelantarkan cinta Safira. Apalagi mereka adalah kakak adik. Di rumah mereka sangat mesra. Bahkan mungkin Lian sedikit cemburu dengan tingkah anak-anaknya ini. Tapi di dalam diri Arci ada sebuah perasaan galau. Hingga suatu ketika saat mereka telah selesai bercinta, keduanya saling berpandangan.
"Aku takut," kata Arci.
"Takut kenapa dek?" tanya Safira.
"Kita sekarang berada di sarang singa. Semua anggota keluarga Zenedine memusuhi kita. Kakak mungkin tahu bagaimana kita dulu harus berpindah-pindah, semuanya salah satunya adalah karena ulah mereka. Tapi siapa aku masih belum tahu."
Safira tak berkata-kata. Ia makin merapatkan tubuh tanpa busananya ke tubuh Arci. Mereka pun berpelukan. Arci membelai rambut kakaknya.
"Aku sekarang ini sedang menjalin hubungan dengan seorang wanita," kata Arci.
"Oh ya? Siapa?"
"Kakak masih ingat saat aku menjadi gigolo dulu?"
"Ya?"
"Aku sekarang menjalin hubungan dengan dirinya."
"Oh.."
"Dan sebenarnya waktu itu aku tak melayani dia. Aku menolaknya dan ternyata mereka malah memberiku uang yang banyak. Mereka ternyata mendapatkan mandat dari ayahku untuk memberikan uang itu kepadaku."
"Yang benar?"
"Iya. Dan sekarang wanita yang saat itu ada di dalam kamar hotel saat itu,...sekarang aku telah menjalin hubungan dengan dia. Dan kita serius. Dia bosku sendiri di perusahaan ini."
Dada Safira terasa sesak. Ia tahu hal ini bakal terjadi. Arci mencintai wanita lain. Ia cemburu. Tapi sebagai seorang kakak ia tak ingin adiknya sakit hati. Ia ingin membiarkan Arci dengan cintanya. Hanya saja ia tak rela kalau adiknya direbut oleh orang lain. Tiba-tiba air matanya mengalir. Arci mengetahui hal itu.
"Kakak menangis?"
"Nggak koq dek. Nggak."
"Itu?" Arci menghapus air mata Safira.
"Aku kakakmu, aku akan mendukung apapun yang kamu lakukan. Tapi...sungguh, mendengar ceritamu aku tak tahu harus bahagia atau sedih."
Arci lalu mendekap Safira. "Kamu tetaplah Kak Safira sampai kapan pun."
"Kenapa aku bisa jadi kakakmu? Aku ingin jadi kekasihmu. Tak bisakah itu terjadi?"
"Kamu kakakku dan juga kekasihku."
"Tapi kamu mencintai dia bukan? Rasanya sakit dek...dadaku sakit."
"Maafkan aku."
Safira menangis dalam pelukan Arci. Kamar yang baru mereka tempati hari ini merupakan saksi bisu bagaimana Safira mengutarakan kecemburuannya kepada Andini. Tapi seharusnya ia tak boleh cemburu. Tapi cinta tak bisa dipaksakan. Cinta Arci kepada Andini adalah cinta yang tulus. Dan ia ingin menjaganya. Dan cintanya kepada Safira, adalah cinta seorang adik kepada kakaknya. Andainya bisa lebih, apa yang akan terjadi nanti?
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci membaca semua dokumen yang diberikan oleh Letnan Yanuar. Ternyata anggota keluarga Zenedine punya pengaruh yang luar biasa. Baik di dalam bisnis dan politik.
Tommy Zenedine
Usia 45 tahun. Adik dari Archer Zenedine. Sekarang menjadi seniman di Perancis. Sudah 10 tahun tidak pulang ke Indonesia.
Araline Zenedine
Usia 40 tahun. Adik dari Archer Zenedine. Sekarang tinggal di RSJ karena gila setelah terlalu banyak mengkonsumsi narkoba.
Pieter Zenedine
Usia 55 tahun. Sepupu Archer, orang yang lebih banyak berkecimpung di dunia hitam. Semua bisnis PT Evolus dia yang menjaga. Saat terjadi peralihan kekuasaan ke Archer ia tak masuk kandidat karena mendekam di penjara.
Ghea Zenedine
Anak dari Pieter. Pernah melakukan pelatihan di SAS. Namun dia dikeluarkan lantaran memotong salah satu kemaluan anggota SAS. Hanya dia satu-satunya wanita yang punya kemampuan militer. Bertempramen tinggi dan berbuat seenaknya.
Johan Sebastian
Suami dari Araline. Sekarang mengelola bisnis sendiri, bisnis yang ditekuninya adalah di bidang properti. Dia mendapatkan kekayaan dari istrinya dan digunakannya sebagai modal usaha.
Amanda Zenedine
Amanda Zenedine adalah istri dari Archer Zenedine. Tidak banyak yang diketahui darinya karena dia sangat tertutup. Darinya Archer tidak mendapatkan keturunan.
Alfred Zenedine
Alfred Zenedine adalah anak dari Tommy. Berbeda dari ayahnya, dia lebih banyak bekerja dalam bidang teknologi. Dia mempunyai toko elektronik yang cukup besar.
Jacques Kenedy
Jacques adalah tangan kanan Pieter Zenedine. Tak ada yang tahu identitas dan masa lalunya. Yang jelas dia tidak bisa diremehkan karena segala urusan kotor sekarang ini ditangani oleh Jacques.
Michael Hurtman
Salah satu menantu keluarga Zenedine. Dia orang yang berasal dari Amerika, seorang pengusaha real estate yang sekarang tinggal di Indonesia. Istrinya adalah Alexandra Zurky.
Alexandra Zurky
Kalau tidak jadi orang yang beruntung maka Alexandra tidak akan masuk ke keluarga Zenedine. Dia boleh dibilang beruntung karena dulu pernah dinikahi oleh Kevin Zenedine, sepupu Archer. Setelah suaminya meninggal, dia mewarisi semua hartanya. Kemudian dia menikah dengan Michael.
Arci kemudian memutar sebuah file video dari USB yang diberikan oleh Letnan Yanuar. Dia melihat wajah ayahnya lagi. Kemudian Archer mulai bicara.
"Arci, kalau kamu menerima file ini itu artinya kamu sudah masuk ke dalam keluarga Zenedine dan kamu mendapatkan warisan dariku. Selamat. Gunakan warisan itu sebaik-baiknya. Aku tak bisa menjagamu, andainya aku masih hidup saat melihatmu aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membelamu, melindungimu dan juga ibumu. Aku ingin kamu tahu, aku sangat mencintai kalian dan aku tak ingin kalian disakiti.
"Aku meminta tolong kepada Letnan Yanuar untuk bisa menolongku menyerahkan rekaman ini kepadamu. Sekali lagi, jangan percaya kepada siapapun. Setiap anggota keluarga Zenedine adalah singa-singa yang kelaparan. Kalau kamu sudah masuk ke sana berarti kamu telah masuk ke sarang singa. Saranku, jadilah singa. Kamu harus bisa menunjukkan kemampuanmu, jangan menyerah, wasiatku kepadamu yang terakhir adalah hancurkan keluarga Zenedine. Balaskan dendam ibumu, balaskan dendam orang-orang yang telah menghancurkan hidup ayah dan ibumu. Aku belum bisa mengumpulkan cukup bukti tapi kalau engkau masuk ke bagian produksi barang-barang yang diekspor kamu akan mendapati sesuatu yang tak pernah kamu duga.
"Dekatilah Pieter, dekatilah Ghea, dengan mendekati keduanya kamu akan tahu bisnis gelap apa yang mereka lakukan. Aku hanya punya satu teman di keluarga ini, yaitu istriku sendiri. Amanda. Aku tak pernah menyentuhnya, karena aku masih mencintai ibumu sampai sekarang. Dia satu-satunya yang bisa dipercaya di keluarga Zenedine, karena ia wanita yang entah bagaimana tersesat di sana. Hancurkan keluarga ini. Mereka tak berhak lagi untuk bisa menikmati kehidupan mereka. Dan kamu jangan khawatir. Kekayaanku sangat banyak bahkan kalau toh kamu menghancurkan setiap sendi dari mereka, kamu tak akan kehilangan satu sen pun dari kekayaanku.
"Arci, maafkan aku. Andai aku bisa hidup lebih lama lagi. Aku hanya bisa berkata 'Jangan percaya kepada siapapun'. Dan...jangan mati."
Video pesan dari ayahnya sudah selesai. Dan Arci hanya terbengong. Ia tak menyangka seperti ini. Isi flashdisk itu dibuka dan ada beberapa file tentang aliran dana, aliran uang perusahaan. Ternyata ayahnya mencatat semuanya, mencatat semua data keuangan yang tidak biasa. Arci tak percaya kalau tidak melihat sendiri.
Bicara tentang data keluarganya, maka data itu tidaklah lengkap. Arci tahu itu. Apakah mereka semua punya usaha di dunia hitam? Kalau misalnya dia membantu polisi itu, berarti dia sama saja ingin menghancurkan keluarganya. Apalagi ancaman Pieter, kalau misalnya dia berkhianat. Apa yang harus dia lakukan? Arci menumpuk dokumen-dokumen itu di atas mejanya. Hingga kemudian bel berbunyi.
TING TONG!
Agak aneh kalau sampai ada tamu sedangkan dia sendiri belum mengumumkan di mana alamat rumahnya yang baru. Arci segera menuju ke pintu. Ia melintasi ruang tamu kemudian mengintip dari lubang pintu. Dia melihat seorang wanita paruh baya, cukup cantik dengan baju warna hitam dan rambutnya yang berombak. Seorang wanita yang tidak dikenal sekarang sedang berada di luar pintu rumahnya. Kalau saja Arci tidak mengingat dokumen yang baru saja ia baca, maka ia pasti tak akan menghiraukan siapa wanita itu. Ya, dia adalah Amanda Zenedine.
Dibukalah pintu. Wajah sumringah seorang Amanda terlihat.
"Arci, apa kabar? Aku dengar cerita kamu sekarang dapatkan semua yang ayahmu punya. Boleh aku masuk?" tanya Amanda.
Kenyataan bahwa dia adalah istri sah ayahnya tak bisa ditepis. Ia sedikit ragu ketika mengucapkan kata "silakan" kepadanya. Wanita itu pun masuk. Lian yang juga penasaran siapa tamu yang datang agaknya terlihat sedikit terkejut melihat Amanda.
"Apa kabar, Lian?" sapa Amanda.
"Baik. Bagaimana kamu?" tanya Lian.
"Seperti biasa, kesepian," jawabnya.
Amanda lalu berjalan masuk ke ruang tamu, kemudian dia duduk di sofa. Arci dan Lian menemaninya.
"Maaf, kedatanganku mengagetkan kalian." Amanda menghela nafas. "Mungkin kamu kaget ketika pertama kali bertemu dengan kami disambut dengan sambutan yang tidak pantas." Amanda melihat Arci.
"Ya, aku shock," ujar Arci.
"Aku dan Archer, tidak pernah merasakan pernikahan yang sesungguhnya. Berada di dalam keluarga ini rasanya seperti neraka. Aku sangat terkejut ketika mendapatkan kabar bahwa Arci muncul. Kalau ada Arci berarti ada Lian, kamu yakin ingin masuk ke dalam keluarga ini?" tanya Amanda.
Arci menggeleng, "Aku tak yakin. Aku juga tak tahu apakah ini pilihan yang benar atau tidak."
"Aku akan membantumu," kata Amanda.
"Membantuku?"
"Ya, apapun yang kamu perlukan aku akan membantumu. Kalau kamu sudah pernah melihat pesan dari ayahmu, maka aku adalah satu-satunya orang yang bisa kamu percaya sekarang ini," jelas Amanda. "Tapi itu juga terserah kepadamu apakah kamu ingin berjuang sendiri ataukah membutuhkan bantuanku. Aku tahu tak ada yang dipercaya di keluarga ini, tapi aku berani bilang kalau aku adalah satu-satunya harapanmu di keluarga ini."
Arci tak yakin. Ia menoleh kepada ibunya. Lian hanya menghela nafas. Ia juga tak tahu apa yang harus dilakukan. Mungkin saja kehadiran Amanda bisa membantunya. Mungkin saja tidak.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Pieter berjalan-jalan di jalan Ijen saat Car Free Day. Dengan baju training lengan panjang. Ia terlihat santai sambil sesekali menggerak-gerakkan tubuhnya. Walaupun usianya lanjut ia masih energik. Ghea tampak mengawasinya dari jauh sambil terus berjalan di belakangnya. Rambutnya yang kemerahan dengan mata hijaunya, membuat banyak lelaki yang melirik ke arahnya. Mereka tak tahu saja kalau di pinggang cewek blesteran itu ada pistol yang siap ditembakkan kapan saja, serta beberapa pisau tajam yang siap memotong apapun.
"Ghea, Kenapa jauh-jauh? Kemarilah!" kata Pieter.
Ghe segera mendekat. Dia berjalan di sisi ayahnya sekarang.
"Aku ingin perintahkan kamu untuk mengawasi Arci. Kedatangannya di keluarga ini memang mengejutkan tapi... cobalah untuk mengawasi gerak-geriknya. Kalau ada yang mencurigakan segera lapor kepadaku!"
"Kenapa tidak dihabisi saja dia?"
"Jangan begitu, di dalam darahnya masih mengalir darah Zenedine. Hanya para pengkhianat yang wajib dihabisi. Selama ia tidak berkhianat, kita tak boleh berbuat gegabah. Dekati saja dia, korek keterangan tentang dirinya. Dan, jangan berbuat yang jauh. Aku tak mau dia tahu kalau engkau awasi."
"Baik ayah."
"Satu lagi, cari orang yang menerima bocoran desain dari Yuswan. Kalau ketemu habisi dia. Aku tak ingin kita dianggap remeh oleh PT Denim."
"Baik ayah."
Pieter melanjutkan acara olahraganya sementara Ghea sudah berbalik meninggalkan ayahnya sendirian.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Aku tak suka dengan orang itu. Siapa dia seenaknya masuk ke keluarga kita."
"AKu juga demikian. Tapi keputusan itu tak bisa dimentahkan oleh siapapun."
"Aku tahu, wasiat Archer tak bisa diubah, tak bisa dibatalkan. Tapi, apa bisa dia menggunakan warisan ayahnya itu dengan bijak?"
"Daripada itu, kita lebih baik menjaga diri. Sebab Yuswan telah mati tepat di hadapan kita. Aku tak mau kita juga ikut seperti Yuswan. Beruntung dia tidak memberitahukan siapa rekannya. Pieter pun memperingatkan kita semua, itu adalah balasan bagi para pengkhianat. Tentunya kepalamu tak mau berlubang bukan?"
"Ya, kita harus lebih hati-hati lain kali."
"Tapi kita cukup beruntung, gadis itu hanya memberitahukan tentang Yuswan. Artinya ia tak melihatku."
"Perlu kita bereskan dia?"
"Tidak, misi kita lain. Hancurkan PT Evolus, kita harus buat PT Evolus terpuruk dengan begitu anak Archer tak akan dapat dipercaya oleh keluarga mereka dan kita bisa menguasai PT Evolus dengan membelinya."
"Baiklah."
"Tapi ingat, harus tanpa ketahuan."
"Iya, tentu saja."
"Sebentar ada telepon masuk....ya?? Halo?"
"..."
"Teruskan, pengiriman harus selesai malam ini. Ya, tentu saja ke Vietnam."
"..."
"Apa katamu??"
"..."
"OK, aku akan urus sisanya."
"Ada apa?"
"Presiden direkturmu yang baru membuat langkah yang membahayakan bagi kita."
"Hah?"
"Sebaiknya aku ceritakan sambil jalan. Ayo!"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci memeriksa pembuatan produk dan dia pun membongkar beberapa baju yang sudah dipack di sebuah box kayu yang siap dikirimkan ekspor. Arci kemudian merobek salah satu baju. Dan dia tercengang mendapati sesuatu di sana. Sebuah bubuk putih berada di lipatan-lipatan jahitan. Kecurigaan ayahnya terbukti. Ada sesuatu di perusahaan ini. Jadi ada narkoba yang diseludupkan pada produk-produk yang diekspor.
Saat itu beberapa pekerja tampak menundukkan wajah.
"Apa ini?" tanya Arci. "Siapa yang bertanggung jawab terhadap ini?"
Tak ada satu pun yang menjawab. Wajah-wajah mereka tampak ketakutan.
"Kalau tak ada yang bilang kepadaku siapa yang bertanggung jawab atas ini semua. Aku akan memecat kalian semua," ancam Arci.
"Maaf pak, ini semua sudah lama," jawab salah seorang karyawan.
"Sudah lama?"
"Iya, sudah lama. Anda mungkin baru tahu itu bisa dimaklumi. Khusus untuk produk ekspor yang dipack, telah jadi rahasia perusahaan ini kalau diisi serbuk itu. Dan ini semua atas inisiatif dari mendiang Arthur. Dia yang merancang sistem ini, pengepakan ini, semuanya."
"Apakah ayahku tahu tentang hal ini?"
Karyawan itu menggeleng.
"Baiklah, aku ingin semua barang-barang ekspor ini di keluarkan. Setelah itu rusak seluruhnya, serbuk-serbuk itu segera disiram air. Musnahkan semuanya. Kalau ada yang bertanya ini ulah siapa, jawab saja aku!"
Arci kemudian meninggalkan bagian pengepakan barang. Semua karyawan saling berpandangan. Mereka antara takut dan was-was melakukan apa yang diperintahkan oleh Arci. Ia segera menuju ke ruangannya. Sudah seminggu ini ia menjadi presiden direktur, sungguh sebuah perjalanan hidup yang aneh. Dalam waktu singkat ia sudah melejit ke atas. Ia menuju ke ruangan Andini.
Arci melewati Yusuf, ia sapa pemuda itu, lalu Rahma. Rahma langsung berdiri, dan Arci menyuruhnya duduk. Pintu dibuka. Andini agak kaget melihat Arci.
"Ci? Eh, maaf Pak Direktur?!" sapa Andini. Ia langsung berdiri menyambut Arci.
"Panggil aku sesukamu nggak apa-apa koq," jawab Arci.
"Yah, kita bertukar posisi sekarang," kata Andini.
"Tidak, tidak, kamu masih bosku," kata Arci.
"Nggak bisa begitu dong!"
Andini meletakkan kedua telapak tangannya di pundak Arci.
"Hei, ingat ini kantor," kata Arci.
"Bodo amat." Andini kemudian melanjutkannya dengan ciuman.
"Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan kepadamu," kata Arci sambil membelai rambut Andini yang lurus.
"Apa itu sayang?"
"Kamu tahu produk ekspor kita? Aku tadi memeriksanya ada garam murahan di dalamnya."
"Garam murahan?"
"Kokain."
"Hah??"
Arci menghela nafas. "Kalau dari raut wajahmu yang heran itu artinya kamu baru tahu. Aku tak tahu bagaimana tapi barang itu ada di sana. Aku sudah menyuruh para karyawan untuk memusnahkan semua produk yang diekspor yang mengandung kokain."
"Jelas aku tak tahu, tak pernah tahu," ujar Andini sambil keheranan.
"Ada yang tidak beres dengan perusahaan ini. Aku akan coba memeriksa kemana barang-barang ekspor itu dikirim," kata Arci.
"Aku akan minta Yusuf untuk memeriksanya!"
Andini segera beringsut keluar dari ruangannya, Arci mengikutinya. Lagi-lagi Rahma keheranan melihat Arci dan Andini jalan bersama. Ia semakin yakin kalau kedua atasannya ini punya hubungan khusus. Yusuf sedikit kaget ketika Andini dan Rahma ada di samping tempat dia duduk.
"Yusuf, bisa minta tolong? Aku ingin tahu semua data barang kita yang diekspor. Kemana tujuannya dan diantarkan pakai apa?" tanyaku.
"Sertakan juga kapasitas boxnya, produknya apa saja," tanya Andini.
"Baik bu sebentar," kata Yusuf.
Dengan cekatan ia memeriksa database. Yusuf cukup terampil. Terima kasih kepada Arci yang telah membuatkan program khusus sehingga orang awam dengan sangat mudah bisa mengoperasikannya.
"Oke, kita sudah dapatkan. Kita mengekspornya ke Amerika, Inggris, Perancis, Venezuela, Kolombia, Malaysia, Thailand, Mexico dan Itali," kata Yusuf.
"Mana yang ekspornya paling kecil?" tanya Arci.
"Kolombia dan...Mexico??"
"Drug Cartel, kedua negara itu terkenal dengan kartel narkoba. Alasan inikah yang menyebabkan sampai diekspor ke sana?" gumam Arci.
"Ini ada apa ya?" tanya Yusuf.
"Berapa laba yang dihasilkan?" tanya Andini.
"Hmm...tak begitu banyak, konstan tiap tahun," jawab Yusuf.
"Itu dia, laba yang konstan. Biasanya perusahaan berusaha untuk menambah laba, tapi kenapa perusahaan ini seolah-olah mendiamkan begitu saja laba konstan? Apalagi begitu kecil?" tanya Arci. "Kamu tahu siapa yang bertanggung jawab atas ekspor ini?"
"Aku tahu, namanya Jatmiko. Dia bagian ekspor," jawab Andini.
"Kita segera menemuinya," kata Arci.
"Rahma, tolong telpon bagian ekspor. Sambungkan dengan Pak Jatmiko!" perintah Andini.
Rahma segera mengangkat gagang teleponnya. Lalu ia menekan beberapa tombol. Cukup lama ia menunggu respon lalu ia menggeleng.
"Aneh, tak ada yang mengangkat," kata Rahma.
Arci punya firasat buruk. Segera ia pergi meninggalkan Yusuf, Rahma dan Andini. Andini beringsut mengikutinya.
"Ada apa?" tanya Andini.
"Bagian ekspor ada di gedung sebelah bukan?" tanya Arci.
"Iya," jawab Andini.
Arci dan Andini segera bergegas menuju ke gedung sebelah. Beberapa staf dan karyawan yang melihat mereka tampak keheranan. Dan tak lama kemudian sampailah mereka ke ruangan manajer distributor dan ekspor. Tanpa ba-bi-bu Arci segera masuk ke ruangan. Begitu masuk ia langsung berbalik menahan Andini agar tidak masuk.
"Sebaiknya kita tak usah masuk," kata Arci.
"Kenapa? Ada apa?" tanya Andini.
"Aku takut kita hanya akan mendapatkan mayat Jatmiko," jawab Arci.
Kejadian di kantor PT Evolus sungguh menghebohkan. Jatmiko tewas dengan luka tembak di kepalanya. Dia seolah-olah seperti menembak kepalanya sendiri. Dari orang-orang hingga para polisi semuanya menyangka demikian, tapi tidak bagi Arci dan Andini yang tahu bagaimana keluarga Zenedine. Mereka bisa saja melakukan hal tersebut, tapi siapa?
Arci dan Andini berada di ruangannya. Mereka berdua tampak membisu. Antara cemas, takut dan khawatir. Semuanya bercampur jadi satu.
"Seharusnya tidak terjadi seperti ini bukan?" tanya Andini.
"Iya, seharusnya tidak begini. Aku takut Jatmiko dihabisi ketika sang pelaku takut ia akan membocorkan rahasia perusahaan ini. Tentang pengiriman barang ekspor itu, aku sungguh tak menduga sama sekali. Ini benar-benar gila," Arci menghirup nafas dalam-dalam.
"Aku jadi takut," kata Andini.
Arci segera beringsut mendekat ke Andini. "Tak perlu takut. Aku akan berusaha melindungimu."
"Tapi....aku khawatir kalau nanti terjadi sesuatu kepadamu," kata Andini.
"Aku tak akan apa-apa, sebaiknya siapkan saja dirimu. Bukankah kita sebentar lagi akan menikah. Aku akan datang ke rumahmu secepatnya untuk melamarmu."
Andini tersenyum. "Baiklah, secepatnya itu kapan?"
"Kamu bisanya kapan?"
"Kapan-kapan?"
"Besok?"
"Ayo aja!"
"OK, besok."
Arci menarik tangan Andini dan memeluknya. Tiba-tiba ia teringat dengan Safira. Apakah ia harus jujur kepada Andini tentang hubungannya dengan Safira yang melebihi saudara kandung?
"Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan, tapi aku tak tahu bagaimana menceritakannya," kata Arci.
"Ceritakan saja!?"
"Tidak, nanti saja. Aku belum siap, aku takut kalau aku cerita, maka aku akan kehilangan dirimu."
Andini mengerutkan dahi. "Apa? Kenapa koq bisa begitu?"
"Hmmm...ini rumit."
"Kamu punya pacar?"
Arci menggeleng.
"Punya istri?"
"Aku belum kawin non."
"Gay?"
"Aku normal."
"Hmm?? Pernah menghamili anak orang?"
Arci menggeleng.
"Trus apa dong?"
"Beri aku waktu. Tapi yang jelas aku butuh jaminan dulu."
"Apa?"
"Kalau aku cerita, kamu jangan tinggalin aku ya?"
"Kalau itu hal yang baik, kenapa aku harus takut?"
"Ini hal yang tidak baik."
"Oh"
"Bagaimana?"
Andini terdiam beberapa saat. "Apakah ini bisa mengganggu hubungan kita?"
"Tidak."
Wajah Andini menampakkan raut wajah heran. "Trus?"
"Nanti yah, aku ingin merangkai kata-kata yang pas dulu."
"Baiklah."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Ghea meletakkan pistol glocknya di meja. Lengan baju jaketnya terkena cipratan darah. Ya, dialah yang membunuh Jatmiko. Di depannya ada Pieter yang sedang menikmati cerutu. Melihat kedatangan Ghea di ruangannya dia pun tahu bahwa Ghea baru saja melakukan sesuatu.
"Jatmiko?" tanya Pieter.
"Iya, dia yang mengepak barang-barang haram itu ke dalam box untuk diekspor ke luar negeri. Sebenarnya ia ingin mengirim ke Vietnam," jawab Ghea.
"Brengsek. Kita tak pernah mengekspor itu ke Vietnam. Siapa yang memberi dia otoritas itu?"
"Aku masih belum tahu."
"Aku tak menyangka ada anggota keluarga kita yang berusaha keluar jalur. Bagaimana dengan Arci?"
"Aku telah menyelidiki tentang dirinya. Dia bersih. Tak pernah berbuat kriminal, masa lalunya cukup kelam, demikian juga keluarganya. Hanya saja, kemarin Amanda pergi ke rumahnya."
"Hmm?? Itu wajar. Dia ibu tirinya. Lalu?"
"Dia begitu mengetahui kokain itu ada di produk PT Evolus, dia marah besar. Dia memusnahkan semua produk yang ada kokainnya. Ternyata dia boleh juga."
"Dia terlalu lurus. Itu akan merusak beberapa usaha kita. Di dalam keluarga ini semuanya saling makan, aku tak ingin dia juga jadi korban."
"Kenapa ayah?"
Pieter tidak menjawab.
"Dia bukan siapa-siapa. Terus terang aku merasa ayah terlalu menganak emaskan dirinya."
"Tenanglah, bukan begitu maksudku. Aku ingin kamu bisa melindungi dia, sebab seperti sebelum-sebelumnya ada orang yang tak suka kepadanya di keluarga ini yang ingin menghabisi pemuda itu. Apalagi sekarang ia adalah sang pewaris tahta. Apa yang baru saja ia lakukan akan berdampak besar. Aku yakin sebentar lagi akan heboh berita di surat kabar tentang barang yang diseludupkan itu. Aku ingin kamu mencegah para wartawan itu untuk mencetak berita. PT Evolus harus bersih dari berita negatif."
"Baik ayah."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Besoknya Arci sekarang sedang galau. Galau karena ia ingin berterus terang tentang keadaan dirinya dan Safira kepad Andini. Safira tak bisa lepas dari Arci dan juga sebaliknya. Ia takut keadaan ini tak akan diterima oleh Andini. Malam itu Arci mengajak Andini ke taman Merbabu. Mungkin karena malam hari, maka malam itu taman Merbabu sepi. Arci duduk di salah satu ayunan dan Andini berada di ayunan di sebelahnya. Mereka memang belum pulang, setelah selesai dari kantor Arci mengajak Andini ke sini.
"Jadi mau bicara apa?" tanya Andini.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Arci memulai.
"Yah, kalau ditanya dari peristiwa akhir-akhir ini. Boleh dibilang pikiranku kacau. Aku shock ketika kejadian di vila itu, ditambah lagi dengan barang seludupan ini. Everything seems fucked up!"
"Yeah, I agree."
"Din..."
"Ya?"
"Aku cinta kamu"
Andini menoleh ke Arci. Dia tersenyum. "Aku juga."
Arci menoleh ke arahnya. Mereka berdua berpandangan. "Aku sangat sangat mencintaimu dan aku tak ingin kamu pergi."
"Aku juga."
Arci terdiam dan memandangi kakinya sendiri.
"Ada apa sih?" Andini penasaran.
"Kamu tahu, aku sangat mencintai keluargaku. Ibuku, kakakku dan adikku."
"Yeah, aku tahu."
"Dan terkadang aku melakukan apapun untuk mereka. Apapun."
"Aku mengerti."
"Tidak, engkau tidak mengerti!" Arci berdiri.
"Bagaimana maksudnya?"
"Sejujurnya, aku dan Safira saling mencintai. Maksudku...dia mencintaiku."
"Aku bisa tahu itu."
"Bukan itu. Dengarlah, engkau adalah wanita yang paling aku cintai. Aku sangat ingin menikahimu, kita membangun keluarga tapi aku tak bisa menafikan Safira. Karena aku dan Safira juga saling mencintai. Dia membutuhkanku, aku tak ingin dia menjadi pelacur lagi. Cukup sudah bagiku melihat dia disewa oleh pria-pria hidung belang dan aku tak sanggup melihat keluargaku hidup mengais rejeki dengan cara demikian."
"Maksudmu? Kamu dan Safira...??"
"Iya. Kami melakukan hal yang tabu bagi semua orang. Aku tahu kamu bakal terkejut, mungkin juga jijik, marah, entahlah."
Andini terdiam. Dia mengalihkan wajahnya.
"Maafkan aku. Tapi ketahuilah aku sangat mencintaimu."
Andini kemudian bangkit. Ia beranjak dari ayunan itu. Dadanya terasa sesak. Entah apa yang ia rasakan sekarang. Rasanya kejujuran itu sangat pahit. Tapi tidak seperti ini kan? Arci dan Andini terdiam. Tak tahu apa yang harus mereka katakan lagi. Semuanya serba gelap.
"Bicaralah!" kata Arci. "Aku harus bagaimana?"
Andini menarik nafas dalam-dalam, "Aku tak tahu"
"Setelah apa yang aku katakan apa kamu masih mencintaiku?"
"Aku tak tahu."
"Din..!?" Arci ingin meraih Andini tapi Andini mengelak.
"Maaf, biarkan aku berpikir," Andini pun pergi meninggalkan Arci.
"Din, tunggu! Jangan begitu, tolonglah aku. Apa yang harus aku lakukan?"
Andini tak menjawab. Air matanya keluar. Ia pergi meninggalkan Arci sendirian di taman itu. Kini suara dedaunan yang berguguran di musim kemarau pun membuat sebuah alunan nada yang sesuai dengan perasaan hatinya saat ini. Ah, andainya ia tak usah mengatakan hal ini kepada Andini. Tapi Andini harus tahu. Arci menghela nafas panjang. Ia tahu pasti akan ada imbas dari kejujurannya ini, tapi...ia masih mencintai Andini.
"Andini, aku sangat mencintaimu," gumam Arci, kemudian ia pun berbalik pergi meninggalkan taman tersebut.
Andini pulang ke rumahnya dengan mata sembab. Tak bisa disembunyikan, tentu saja. Ia menangis sepanjang jalan menuju rumahnya. "Arci sang pengkhianat" mungkin itulah yang ia tetapkan padanya. Arci sang pengkhianat. Kenapa dia melakukan hal itu kepada kakaknya sendiri?? Apapun alasannya seharusnya ia tak melakukannya. Andini marah, kesal, ia membanting pintu mobilnya dan segera masuk rumah.
Melihat putrinya seperti itu Susiati tampak keheranan. Ia segera bertanya, "Ada apa Din?"
Andini tak menjawabnya. Ia langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. Gadis itu pun ambruk di atas kasur dan membenamkan wajahnya ke bantal. Ia menangis lagi.
"Arci, kenapa? Padahal selama ini aku menantikan dirimu. Aku mencintaimu...."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Ahh...ahhh...ahhh," seorang wanita paruh baya tampak sedang menaiki tubuh seorang lelaki. Mereka berada di dalam kamar yang gelap. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari cahaya yang masuk ke jendela.
Sang wanita menggoyang pinggulnya dengan sangat hot. Sang pria tampak keenakan sambil meremas-remas buah dada wanita itu.
"Ahh...aku sudah lama tidak ngentot sama kamu," kata sang wanita.
"Argghh..iya...kamu tetap menggiurkan," kata sang pria.
"Kamu sudah siap kalau aku punya anak darimu?"
"Kamu memangnya masih bisa?"
"Aku masih mens. Bagaimana?"
"Baiklah, toh kamu sudah sendirian sekarang."
"Ahh...benar. Penismu masih perkasa saja sayang."
"Memekmu juga masih legit. Masih seperti saat aku memerawanimu dulu."
"Iyahh...nganggur lama ini. Uuuffhhh.."
Sang pria bangun dan menghisap puting sang wanita. Sang wanita pun menggelinjang keenakan. Mereka berpelukan dan sang pria pun mengubah posisinya. Kini ia berada di atas dengan gaya misionari. Dia melebarkan paha sang wanita dan mulai memompa penisnya keluar masuk.
"Aah...ahhh..ahhh...terus...terus!" ujar sang wanita.
Buah dadanya naik turun seirama goyangan sang pria. Keduanya kemudian saling memagut lidah. Menghisap setiap saliva yang keluar dari mulut mereka. Sang pria pun sepertinya ingin sampai ke puncak. Kantong menyannya sudah tak sanggup lagi untuk menampung sperma yang sudah siap untuk ditembakkan. Kepala penisnya yang berkali-kali menyentuh rahim sang wanita pun sudah mulai gatal.
"Aku mau keluar," kata sang lelaki.
"Iya sayang, semprot di dalam ya?!"
Akhirnya semburan sperma berkali-kali itu pun sampai pula membasahi rahim sang wanita. Sang pria menekan kuat-kuat penisnya hingga tenggelam sepenuhnya ke dalam liang senggama sang wanita. Ekspresi wajah mereka menampakkan kepuasan, sudah lama memang mereka tak bercinta seperti ini, terlebih ketika sang pria sudah tidak takut lagi untuk menghamilinya. Atau bahkan keadaan mereka sekarang sudah tidak bisa dianggap selingkuh. Keduanya janda dan duda.
Lampu pun dinyalakan, tampak wajah Amanda dan Pieter. Keduanya baru saja melakukan persetubuhan hebat. Sesuatu yang sudah mereka lakukan sejak lama. Kini Amanda menempelkan kepalanya ke dada Pieter.
"Bagaimana tanggapanmu tentang Arci?" tanya Pieter.
"Dia anak yang baik, seperti ayahnya," jawab Amanda. "Menurutmu ia akan bisa diterima di keluarga ini?"
"Tindakannya di kantor telah membuktikan ia sangat serius untuk mengurus perusahaan. Aku cukup bangga kepadanya. Hanya saja ia terlalu lurus. Aku takut dia akan menggapai apa yang menjadi lumbungku."
"Aku sudah menyuruhnya untuk bisa dekat denganmu."
"Oh, kenapa begitu?"
"Karena dia anakku di mata hukum, dan aku sebentar lagi akan kamu nikahi. Bukankah itu pantas?"
Pieter mencium kening Amanda. "Hanya saja, orang yang dulu berusaha membunuh Arci dan keluarganya masih belum aku temukan. Bahkan ketika Archer menyuruhku untuk menyelidikinya, malah aku masuk penjara."
"Menurutmu siapa?"
"Aku tak tahu. Tapi aku akan berusaha sekuat tenagaku menolong dia. Ghea sudah bergerak untuk menyelidiki."
"Semoga saja kita segera tahu siapa orang yang melakukan ini semua."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Pagi hari seperti biasa, suasana kantor sibuk. Hanya saja ada yang berbeda dengan Andini. Ia terlihat dingin. Bahkan ketika berpapasan dengan Arci ia tampak membuang muka. Arci pun tak tinggal diam. Ia segera masuk ke ruangan Andini.
"Dini?!" panggil Arci. Arci menutup pintu ruangan kerja Andini. "Din, aku...."
"Maaf pak,...kalau memang ada hal yang penting segera katakan saja aku sibuk," kata Andini dengan dingin.
"Dini, jangan begitu. Aku menemuimu karena aku mencintaimu. Maafkan aku."
"Keluar!?" perintah Andini.
"Din, mengertilah!"
"Kumohon keluar!" Andini memelas. Bulir-bulir air mata mulai keluar dari matanya.
"Din, apakah kamu tak mencintaiku lagi?"
Andini tak menjawab.
"Setelah apa yang kita lakukan? Aku tak bisa meninggalkan Safira. Aku ingin minta maaf, kalau kamu ingin kakakku pergi aku tak bisa. Dia butuh aku. Apalagi setelah ia tak diakui oleh ayahnya sendiri, kemana lagi ia harus pergi? Mengertilah. Ini tak seperti yang kamu pikirkan! Dan....aku butuh kamu."
"Pergi dari ruanganku, kumohon!...."
"Apakah hubungan kita berakhir begitu saja?"
Andini tak menjawab. Air matanya mulai jatuh.
"Kenapa? Karena satu kesalahan ini kamu tak memaafkanku? Dini, aku butuh kamu."
"Arci, pergilah."
"Aku ingin kamu dengar alasanku dulu."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan. Keluarlah, kumohon, atau aku yang akan pergi."
"Apakah hanya sampai di sini, Din?"
"Iya, sampai di sini."
"Kenapa? Bukankah selama ini aku berusaha untuk menepati janjiku? Dan kamu juga menungguku."
"Cukup Arci, cukup! Pergilah! Kumohon!"
"Baiklah, aku pergi. Kalau kamu memaafkanku dan ingin mendengarkan semua penjelasanku, aku akan menunggumu di taman Merbabu nanti. Aku akan semalaman menunggumu di sana. Aku pergi!"
Arci pun pergi meninggalkan ruangan Andini. Setelah Arci pergi, Andini pun mulai menangis. Entah ada rasa sesal ia berkata itu kepada Arci. Ia sendiri tak tahu perasaan hatinya saat ini.
Malam itu Arci menunggu Andini di taman Merbabu. Dari selepas maghrib sampai malam. Hingga ia harus tidur di bangku taman, dengan keadaan menggigil tentunya karena udara malam di Malang yang sangat dingin. Ia terbangun ketika matahari sudah mulai muncul. Andini tidak datang ke taman itu. Arci bersedih. Ternyata hanya sampai di sini saja hubungannya dengan Andini. Sang kekasih sepertinya masih belum menerima alasan dia. Masih tak memaafkan dia. Ia mencoba menelpon Andini tapi nomornya tak pernah diangkat bahkan direject. Arci hanya bisa menghela nafas panjang. Dia pun pergi meninggalkan taman itu dengan seribu penyesalan. Sekalipun Andini tak menerima alasannya, tapi ia terlanjur cinta.
Terkadang Kita tak tahu mana yang benar dan yang salah
Batas itu menjadi kabur
Ketika darah sudah menjadi santapan
Ketika kita seperti anjing-anjing kelaparan
Kebenaran hanya milik mereka yang berdiri paling akhir
Inggris. Negara yang sebenarnya tak ingin dikunjungi oleh Ghea. Tapi ia mengunjunginya hanya karena ingin mencoba pelatihan SAS. Semua juga tahu SAS tak akan menerima anggota tentara seorang wanita. Hanya saja dia memang sengaja melakukannya untuk membentuk mentalnya. Apalagi kenalan Pieter bukan orang biasa.
Selama sekolah Ghea selalu mendapatkan bullying. Hampir tiap hari. Ghea memang berbeda dengan teman-temannya. Ia lebih seperti orang asing di Indonesia. Bukan saja bullying sekedar mengerjai tapi juga dikucilkan dan ia dianggap eksklusif. Dihina sebagai seorang anak mafia, anak kriminal, karena memang ayahnya saat itu masuk penjara.
Saat itu Inggris sedang membuka bagi siapa saja yang ingin merasakan pelatihan SAS. Ghea pun ikut. Sebenarnya tak hanya SAS yang ia ikuti. Sebelumnya ia juga mengikuti bagaimana pelatihan di KOPASUS, Korea, hingga kemudian mengikuti pelatihan militer SAS. Hal itulah yang membuat Ghea menjadi seperti sekarang ini. Puncaknya kejadian tragis yang menimpanya ketika berada di camp pelatihan.
Saat itu ketika malam menjelang. Camp pelatihan itu sudah pasti sepi karena para pesertanya sedang istirahat. Tapi tidak kalau bagi sebagian orang yang ingin melakukan bullying terlebih kepada peserta wanita. Inilah saat-saat di mana Ghea mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh itu. Dia dalam kegelapan malam langsung dibekap. Ia tak bisa berteriak, tak bisa meronta saat kelelahan karena latihan pada siang harinya. Tubuhnya yang lemah itu pun tak berdaya ketika tangan-tangan kekar mencengkram tubuhnya.
Dia pun diseret. Para kadet itu pun menyeret tubuh tak berdaya Ghea. Mereka tertawa dalam kegelapan menggeranyangi tubuh Ghea. Apa yang bisa dilakukan oleh Ghea? Berteriak saja ia tak bisa. Hanya erangan, rontaan hingga akhirnya sebuah tamparan keras mengakhiri perjuangannya karena kepalanya pusing.
Malam itu jadi malam penyiksaan terpanjang bagi dirinya saat dia diperawani. Saat vaginanya dirobek, saat kemaluan para lelaki itu menggilir lubang kemaluannya seperti tak ada harganya. Ghea tak menangis. Ia tak merasakan sakit, ia juga tak merasakan nikmat. Malam itu ia hanya merasakan satu, balas dendam.
Setelah pria-pria itu puas. Ghea kemudian berkata, "Bunuh aku!"
"Hmm?? Hei lihat apa yang dikatakannya!" kata salah satu pria.
"Bunuh aku keparat! Atau aku akan balas perbuatan kalian semua," kata Ghea.
"Hahahahaha, we will wait bitch!"
PLAK! Sebuah tamparan membuat Ghea pingsan.
Tiga pria itu pun kemudian menggilir Ghea. Penis mereka bergantian keluar masuk kemaluan Ghea yang dipaksa. Darah mengalir dari kemaluan Ghea, bercampur dengan lendir putih milik dari tiga pria Kaukasia tersebut. Gadis itu pasrah, tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya dibalik, dilekukkan, disodok dari depan dan belakang. Gadis berambut merah ini diam saja, pasrah. Hingga ia kehilangan total kesadarannya.
Tak terasa Ghea pingsan selama beberapa jam. Tulangnya benar-benar seperti remuk. Dia terbangun ketika hujan mengguyur tubuhnya. Dia terbangun dan menyadari ia ada di sebuah hutan. Banyak tanaman-tanaman rambat, pepohonan, rerumputan dan semak belukar. Ghea berada di atas sebuah rumput yang hijau. Ghea tak memakai baju sehelai pun, bajunya sudah dirobeki oleh para pria hidung belang yang memperkosanya. Hanya sebuah kaos compang-camping yang tersisa kemudian ia kenakan.
Tubuhnya menggigil, darah masih mengalir dari kemaluannya bercampur lendiran sperma berwarna putih yang menggumpal. Dia berjalan tertatih-tatih merasakan perih di kemaluannya. Tujuannya satu, balas dendam.
Dia telah mengikuti pelatihan Kopasus. Mentalnya telah terlatih. Mengikuti pelatihan SAS karena ia ingin tantangan yang lebih. Dan balas dendam ini ia akan lakukan dengan cara yang mengerikan.
Ghea berhasil masuk ke camp tanpa diketahui. Ia pun berhasil masuk ke tenda orang-orang yang memperkosanya. Dia langsung membangunkan salah seorang lalu memukulnya dengan memakai siku lengannya hingga hidung lelaki itu patah. Hal itu membuat temannya yang tidur di sampingnya terbangun. Ghea tak berhenti segera ia melompat ke atas ranjang, lalu mengunci leher sang lelaki. Posisi kemaluannya tepat di wajah sang lelaki membuat lelaki itu tak bisa bernafas, kemudian ia memutar pinggangnya hingga terdengar bunyi "krak". Kemudian dia melihat pria ketiga yang memperkosanya baru terbangun, Ghea langsung mengambil sebuah pisau di meja kecil di dekat ranjangnya lalu dipukulnya kepala sang lelaki hingga lelaki itu ambruk.
"So, you rape me huh? How about I punish this punny cock with this?" kata Ghea sambil menimang-nimang pisaunya.
Pria itu menjerit ketika celananya dipelorotkan kemudian dengan cepat Ghea memotong kemaluannya.
Kejadian itu tentu saja membuat gempar. Terlebih Ghea ditangkap dalam kondisi tubuh setengah telanjang. Kejadian menghebohkan ini segera menghentikan acara pelatihan SAS saat itu juga. Ghea langsung divisum, dan ketiga pria yang memperkosanya dihukum.
Hal itu membentuk kepribadian Ghea jadi berbeda. Ia bersikap dingin. Dari semua pelatihan militer yang telah ia lakukan. Ia menjadi seorang wanita yang tangguh. Buas, mengerikan. Tanpa ekspresi, bahkan ia tak segan-segan menghabisi siapa saja yang berani kepadanya. Ghea tak pernah punya perasaan kepada lelaki, mungkin ia lebih membenci laki-laki. Ada yang mengisukan ia lesbi. Boleh dibilang bisa benar, karena dia beberapa kali menyewa wanita untuk memuaskan dirinya.
Di dalam hidupnya Ghea hanya patuh kepada seseorang yaitu ayahnya. Pieter telah mendidiknya sangat keras. Banyak luka-luka di tubuh Ghea, itu karena ayahnya yang memukulnya. Namun ketika Ghea berhasil, maka sang ayah akan sangat menghargainya. Semenjak kecil hidup dalam keluarga mafia membuat Ghea ingin memberikan sesuatu yang berarti bagi ayahnya, maka dari itulah ia mengikuti banyak kegiatan pelatihan militer. Tak hanya itu ia juga belajar beladiri kravmaga untuk melindungi dirinya, atau mungkin malah untuk menyakiti orang lain.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Pekerjaan Ghea kali ini sedikit membuat ia senewen. Pasalnya ia harus menjadi bodyguard Arci. Sebenarnya ketika Arci mengetahui produk-produk dari PT Evolus diseludupi oleh narkoba, Ghea sudah langsung menemui Jatmiko. Dia langsung masuk ke dalam ruangan Jatmiko dengan menodongkan pistol glock miliknya.
"Siapa orang yang menyuruhmu untuk berkhianat?" tanya Ghea waktu itu sambil menodongkan senjatanya.
"Fuck you, aku tak takut ancamanmu. Akan ada yang melindungiku," kata Jatmiko.
"Siapa? Katakan atau aku akan menembakmu!" perintah Ghea.
"Tembak saja!" tantang Jatmiko.
DOR!
Ghea memang tak pernah basa-basi. Ia benar-benar menembak Jatmiko saat itu juga sekalipun tidak diketahui siapa yang telah berkhianat. Begitulah.
Ia juga mengikuti kemana Arci pergi seperti hari itu. Menunggui Arci dan Andini di taman. Mengikuti Arci sampai ke rumahnya, kemudian mengikuti Arci ke tempat kerjanya, hingga Arci menginap di taman. Ghea terus mengamati Arci, ketika dia galau, ketika Arci sendirian.
Sudah seminggu ini dia terus mengikuti Arci. Melihat segala kegalauan Arci, sebenarnya juga Andini datang kepada Arci saat itu. Ketika malam telah larut dan Ghea melihat Arci dari jauh, tampak Andini datang. Arci yang ketiduran dibangku hampir saja dibangunkan oleh Andini. Andini ingin meraih wajah Arci tapi entah kenapa ia berhenti. Menarik tangannya lalu berbalik meninggalkan Arci sambil menangis. Ghea yang tak pernah mengerti apa arti cinta mulai belajar, kenapa Andini menangis? Kenapa Arci galau?
Arci sangat spesial dalam mempelakukan keluarganya. Memanjakan seluruh anggota keluarganya. Ketika mengajak Safira dan Putri jalan-jalan, mereka dibelikan apapun yang ingin dimiliki. Putri sampai dibelikan boneka yang lebih besar dari tubuhnya. Ghea tak pernah dibelikan boneka oleh ayahnya. Ayahnya hanya ingin dia jadi bodyguard yang bisa diandalkan. Menjadi pelindung bagi keluarga Zenedine. Ghea hanya bisa pasrah terhadap nasibnya. Nasib buruk, ataukah nasib yang baik? Ia tak peduli. Hatinya kosong terhadap perasaan.
Arci tersenyum melihat kegembiraan Putri yang sedang bermain di play ground sementara Safira mengawasinya. Ghea terus mengikuti mereka dari jauh bersembunyi di antara kerumunan manusia. Ghea juga melihat sekeliling dia melihat Andini, lagi-lagi. Kenapa Andini terus mengikuti Arci? Andini melihat Arci dari jauh. Entah kenapa Andini mengikuti Arci. Bukankah dia menginginkan Arci pergi? Lalu kenapa Andini masih mengikutinya? Ghea tak mau tahu urusan mereka berdua. Hanya saja keberadaan Andini di setiap kesempatan, membuat Ghea gerah juga. Ia ingin tahu alasan Andini mengikuti Arci.
Ghea pun menghampiri Andini. Baru saja Ghea akan menyapanya, Andini sudah pergi. Begitu dia melihat ke arah Arci, targetnya itu pun juga beranjak pergi. Perempuan itu menggaruk-garuk rambutnya bingung. Tapi agaknya mengikuti Arci lebih ia utamakan.
Arci menerima telepon. Ghea sebenarnya telah menyadap ponsel Arci tanpa diketahuinya. Ia telah menanamkan chip di ponsel Arci. Sehingga ia bisa mendengarkan percakapan Arci dengan ponselnya. Ghea pun memasang headset ke telinganya.
"Halo?" sapa Arci.
"Arci, bisa ketemu di tempat parkir lantai 3?" tanya seseorang.
"Siapa ya?"
"Penting, ini tentang keluarga Zenedine."
Ghea yang curiga segera ke lantai tiga yang dimaksud.
Arci berkata kepada Safira, "Kamu di sini dulu ya, sama Putri main kek apa kek. Aku ada urusan. Sebentar."
"OK," kata Safira. "Yuk Put, main ke sana!" Safira menunjuk ke Time Zone.
Arci segera menuju ke parkiran di lantai tiga. Di parkiran ini tampak mobil-mobil berderet, sepi tak ada orang, hingga tiba-tiba seseorang menjerat leher Arci ketika ia berbelok ke sebuah pilar. Arci meronta-ronta, lehernya dijerat dengan sebuah tali yang cukup kuat. Dia tak bisa melihat orangnya, tapi yang jelas orang itu memakai sarung tangan dan dengan kuat berusaha untuk mencekiknya.
Pemuda ini berusaha meraih kepala orang yang menyerangnya, begitu dapat ia memukuli orang itu. Tapi sama sekali tak bergeming. Ghea merasa Arci butuh bantuan, hampir saja ia mencabut pistolnya. Tapi ia tahu kalau terlalu ribut ia akan membuat heboh seluruh mall. Akhirnya dia memakai tangan kosong. Segera ia menerjang orang yang menyerang Arci. Orang itu pun terkejut. Terlebih Arci yang batuk-batuk sambil meludah. Ia mendongak dan melihat Ghea telah berkelahi dengan orang yang mencekiknya tadi.
Dia heran, bagaimana Ghea bisa ada di tempat ini?
Ghea dengan gerakan gesit sudah memukul tubuh assasin bertopeng ini. Kemudian dia putar pergelangan orang itu lalu membantingnya.
"Kau tak apa-apa?" tanya Ghea.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Arci. "Kamu membuntutiku?"
"Aku di sini untuk menolongmu. Jangan tanya," kata Ghea.
Ghea sedikit lengah sehingga kepalanya dipukul dari belakang membuat ia terhuyung ke depan dan ambruk. Arci yang tenaganya mulai puling kemudian bangkit dan mendorong orang yang ingin membunuhnya tadi hingga menghantam sebuah mobil.
BRAK!
Arci memukul wajah orang itu. Kiri dan kanan, kemudian dia menghadiahi lututnya. Sang Assasin terlalu kuat, ia sudah membalas Arci dengan pukulan telak ke pipinya. Arci agak terhuyung hingga kemudian tiba-tiba sebuah tendangan terbang mendarat ke dada sang Assasin. Ghea masih pusing, tapi ia berusaha keras untuk tetap bisa melindungi Arci. Sang Assasin berdiri dengan susah payah, kemudian Arci menerjangnya lagi hingga terkena sebuah besi pembatas. Arci mendorong sang Assasin hingga sang assasin pun terjatuh. Arci juga terjatuh tapi dengan sigap tangannya diraih oleh Ghea. Sang Assasin pun jatuh ke bawah menghantam sebuah mobil SUV.
BRAAKK!
Kaca mobil berhamburan ketika tubuh berat itu menghantam mobil. Alarm mobil pun berbunyi. Saat itulah Ghea menarik tubuh Arci agar tidak jatuh ke bawah, hingga kemudian Arci berusaha meraih pegangan pada besi pembatas, dan diraihnya sebuah pijakan sehingga ia melompat naik. Hampir saja ia menghantam tubuh Ghea, tidak. Ia telah menghantam tubuh Ghea. Sehingga Arci menubruk Ghea.
Untuk beberapa detik wajah Arci hanya berjarak 1 cm dari Ghea. Bahkan secara tak sengaja bibir mereka bersentuhan. Awkward moment. Sebuah momen yang biasanya akan menimbulkan bunga-bunga cinta, klasik seperti sinetron-sinetron ataupun film-film romance. Tapi bagi Ghea ini adalah kondisi yang sangat aneh. Bagaimana tidak, Arci menindihnya, bibir mereka bertemu, kaki Ghea terbuka dan selakangan Arci tepat berada di selakangannya. Posisi mereka persis seperti orang bercinta tapi dengan memakai baju.
Arci yang terkejut segera menarik diri. Ia pun meminta maaf.
"Maaf, maaf, maaf. Nggak sengaja!" kata Arci sambil menyatukan tangannya.
Ghea bangkit, "Tak apa-apa, aku kurang sigap tadi. Kamu tak apa-apa?"
"Ya, begitulah," kata Arci.
"Ayo kita pergi dari sini, kalau tak ingin terlibat dengan pihak keamanan."
Arci mengikuti Ghea. Mereka keluar dari tempat parkir, seola-olah tak terjadi sesuatu apapun.
"Kamu, mengikutiku?" tanya Arci.
"Lebih tepatnya mengawalmu," jawab Ghea.
"Kenapa? Siapa yang menyuruh?"
"Ayahku. Kenapa? Tak suka?"
"Bukan begitu. Ini keterlaluan. Tanpa keputusanku kamu sudah berbuat seenaknya sendiri, juga Pieter."
"Sudahlah, I've saved your ass. Jadi jangan protes. Kembalilah ke keluargamu!"
Arci menggeleng-geleng. Ia pun segera menuju ke keluarganya.
"Jangan takut, selama kamu berbuat yang tidak merugikan, kami akan mendukungmu."
Arci tak mengerti kata-kata Ghea. Tapi ia cukup mengingatnya. Ghea menarik nafas panjang. Dadanya berdebar-debar. "Apa ini?" gumamnya. "Pasti karena kelelahan setelah berkelahi tadi."
Ia menghirup nafas dalam-dalam. Aneh. Jantungnya masih berdebar-debar. Ia kemudian melihat Arci, jantungnya makin berdebar-debar. "Apa yang terjadi denganku?"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Mendapati kenyataan ada orang yang ingin membunuhnya berarti telah terjadi sesuatu yang membuat orang-orang tidak suka kepadanya. Apakah karena hal yang terjadi kemarin? Atau bagaimana? Arci tak habis pikir, tapi ia cukup bersyukur ketika Ghea secara diam-diam melindungi dirinya. Ia tak menyangka kalau Pieter menyuruhnya untuk melindungi dirinya. Tapi kejadian tubrukan dia dengan Ghea, sangat memalukan.
Apa yang harus dilakukan Arci sekarang? Dia pergi menemui Pieter.
Pieter tinggal di sebuah rumah yang cukup megah. Dengan gaya eropa halaman luas dan ada dua petugas security di sana. Saat Arci menemuinya Ghea sudah ada di pagar. Ghea kembali mengingat memory dia kemarin. Sungguh hal yang sangat memalukan bagi dia. Wajah Ghea bersemu merah.
"Hai?!" sapa Arci.
"Hai, a-ada perlu apa?" tanya Ghea dengan gugup.
"Pieter ada?" tanya Arci.
"Papa ada, m...masuklah!" kata Ghea.
Arci sedikit aneh dengan tingkah polah Ghea yang gugup. Dia lalu berjalan melewati Ghea. Ghea menahan lengannya.
"Kenapa?" tanya Arci.
"Kalau kamu ceritakan kejadian kemarin, aku akan membunuhmu," kata Ghea.
"Aku kesini ingin menceritakannya."
"APAAA??"
"Iya, aku ingin tahu siapa yang berusaha membunuhku kemarin."
"Mm...maksudku kejadian kita tubrukan itu," Ghea menunduk malu. Wajahnya bersemu merah. "Jangan ceritakan bagian itu."
Arci tersenyum. "Ya, itu tidak akan."
"Itu...pokoknya jangan. Awas kalau kamu ceritakan."
Arci mengangkat tangannya, "Nggak, nggak akan."
"Janji!?"
"Iya, you have my words."
Ghea menghela nafas lega.
"Sebenarnya kamu cantik juga kalau malu-malu seperti itu."
Ghea terkejut dan langsung mengeluarkan glock miliknya menodongkannya ke kepala Arci, "Apa kamu bilang?"
"Sorry, sorry, OK, aku masuk." Arci mundur teratur lalu menuju ke dalam rumah.
Dada Ghea berdebar-debar. Baru kali ini ia merasakan hal ini. Badannya panas dingin. Tidak, lebih parah. Mukanya memerah, tangannya dingin. Ini lebih parah dari sebelumnya.
"Aku sepertinya harus minum aspirin," gumam Ghea.
Arci berjalan menuju ke dalam. Ia tak pernah menyangka Ghea bisa bersikap seperti itu. Mungkin semenjak kejadian kemarin Ghea jadi sedikit lebih...feminim. Sedikit.
Di dalam tampak seseorang dengan rambut beruban sedang menyiram tanaman. Dia adalah Pieter. Pupil matanya yang hijau melirik ke arah Arci. Bibirnya menyunggingkan senyuman.
"Selamat datang di gubukku, Arci," sapa Pieter.
"Pagi, paman," jawab Arci.
"Hahahahaha, untuk pertama kalinya ada yang memanggilku paman. Ah, tentu saja. Semenjak Alfred tidak ada di sini. Aku rindu dengan panggilan paman."
Seseorang keluar dari rumah, seorang lelaki botak dengan badan yang lumayan tegap. Dia mendekat kepada Pieter membisikkan sesuatu. Dia adalah Jacques, tangan kanan Pieter. Semua pekerjaan kotor Pieter dialah yang menyelesaikan selain Ghea juga tentu saja. Jacques lebih bekerja untuk masalah yang mendetail serta dalam bidang-bidang yang berhubungan dengan hukum dan birokrasi. Untuk urusan kekerasan semua diurus oleh Ghea. Tapi meskipun begitu, Jacques tak bisa diremehkan begitu saja. Dia juga sangat ahli dalam mengatasi persoalan nyawa, sebut saja menghabisi seseorang.
"Baiklah, aku mengerti. Arci, ayo ikut denganku!" ajak Pieter.
"Kemana?" tanya Arci.
"Kamu akan tahu nanti."
Tak berapa lama kemudian Arci sudah berada di dalam mobil sedan Marcedes Benz SLK 250. Pieter yang mengemudikan mobil mewah berwarna putih itu. Di belakang mereka tampak Jacques dan Ghea membuntuti mereka. Mobil itu melewati jalanan protokol membuat semua mata memandang iri kepadanya. Arci hanya bisa menikmati pemandangan dari dalam mobil yang dikendarai pamannya itu, sambil sesekali merasa canggung.
"Kamu tak perlu canggung. Kalau soal mobil kamu sekarang bisa membeli mobil seperti ini. Kekayaan ayahmu tak akan habis," kata Pieter yang seolah-olah bisa membaca pikiran Arci.
"Ah, tidak. Saya lebih suka MPV. Bisa ngangkut banyak orang." Arci memang mempunyai mobil MPV yang baru saja dia beli. Dengan mobil itu ia bisa mengangkut banyak orang, termasuk Safira, Putri dan Lian. Ketika berbelanja pun mereka mengendarai mobil itu.
"Ayolah, kamu sesekali harus bersenang-senang. Katakan mobil apa yang kamu suka."
Arci sedikit berpikir. "Mungkin...Lexus."
"Pilihan yang bagus, tapi kalau soal prestige masih lebih tinggi Mercedes Benz. Lexus dengan Toyota Harrier itu masih saudara. Tapi dibandingin Mercedes Benz, masih tetap kalah."
"Entahlah, aku tak terlalu begitu mendalami tentang masalah mobil."
"Ya, setelah ini kamu akan mengerti kenapa aku bicara masalah mobil."
Arci tak begitu mengerti tapi perjalanan mereka cukup jauh hingga sampai ke sebuah perkampungan sepi dan makin jauh lagi, sampai Arci tak mengenal daerah tempat dia berada. Semuanya ditumbuhi rumput gajah yang tingginya melebihi tinggi manusia. Mobilnya berbelok ke sebuah tempat di mana di sana ada banyak mobil bekas yang terbengkalai. Mungkin lebih tepatnya di sini adalah kuburan mobil atau mungkin tempat rongsokan mobil.
Arci tiba-tiba teringat dengan film-film mafia di mana mereka selalu punya tempat eksekusi. Jantungnya pun berdebar-debar, mau apa Pieter membawanya ke tempat ini? Tak jauh di hadapan mereka tampak beberapa orang memakai jaket kulit berwarna hitam. Mobil pun berhenti, Pieter mengajak Arci keluar. Arci baru sadar kalau di hadapannya ada seseorang yang sedang berlutut dengan mata ditutup kain.
"Kamu telah melihat bukan bagaimana sikapku terhadap pengkhianat?"
Arci hanya berdiri saja sementara Pieter bersandar di mobil.
"Jangan takut, kamu adalah bagian dari keluarga ini. Maka aku harus jujur kepadamu. Kamu sudah dewasa, kamu berhak tahu seperti apa urusan di keluarga ini diselesaikan. Tenang saja. Jangan takut, aku dan ayahmu sangat dekat kalau saja aku tidak dipenjara. Aku dipenjara pun ada alasan khusus. Mau dengar?"
Arci mengangguk. Ia menoleh ke arah mobil yang mengikuti mereka. Ghea dan Jacques keluar. Jacques beringsut menuju orang yang berlutut. Dia sepertinya bersiap menunggu aba-aba dari Pieter.
"Dulu, aku dan Archer bermain bersama, belajar bersama. Dia sangat mengerti tentang keluarga ini. Tapi jalan hidupku dan hidupnya berbeda. Aku tidak tertarik dengan kekayaan keluarga ini. Aku lebih bisa disebut sebagai anjing penjaga keluarga ini. Keluarga Zenedine selalu bertarung dan bersaing dengan keluarga Trunojoyo. Dari dulu seperti itu. Keluarga Trunojoyo itulah pemilik PT Denim. Kita selalu bersaing dalam banyak hal, mulai dari yang legal sampai ilegal.
"Keluarga kita awalnya tidak seperti ini. Kita dulu hanya penjahit kecil, yang kemudian menjadi besar, hingga punya pabrik sendiri. Tapi lebih daripada itu kita semua adalah orang-orang yang berjuang untuk menjadikan perubahan. Persaingan antara kita dan keluarga Trunojoyo awalnya adalah karena persoalan siapa yang paling baik. Hingga sampai saling mencuri ide. PT Denim tak bisa dianggap remeh. Mereka melakukan segala cara untuk bisa mengalahkan atau paling tidak membuat kita bangkrut. Untuk itulah kami jadi gila, karena membuat banyak ide itu tidaklah gampang. Kami ingin menguasai pasar, untuk itu kami butuh uang, maka kami pun mengembangkan bisnis-bisnis yang lain.
"Kamu hanya melihat sebagian kecil bisnis kita. Tapi sekali pun kita berbisnis dalam dunia gelap, tapi kami tak pernah berbisnis narkoba. Aku tak pernah merasakan ataupun berbisnis narkoba. Lebih dari itu, bisnisku yang lain adalah dalam barang seludupan, mobil, dan barang elektronika. Selain itu sahamku di PT Evolus adalah satu-satunya hartaku yang berasal dari jalan yang halal. Segala hal yang berbau hitam di perusahaan ini aku tahu semua, dan agar perusahaan ini tetap berdiri, aku akan melakukan apa saja, bahkan kalau perlu sampai masuk penjara sekalipun. Ini semua demi keluarga ini. Demi bisnis turun temurun mereka.
"Aku saat itu harus melakukannya. Tak ada pilihan lain, tak ada cara lain. Pihak kepolisian menggunakan informan mereka untuk mengumpulkan bukti-bukti menjerat siapa saja orang yang menggunakan kekuasaan mereka di perusahaan ini di dunia hitam. Aku juga salah satunya. Informan itu hampir saja melaporkannya ke pihak yang berwajib. Ya, hampir saja kalau aku tidak membunuhnya terlebih dulu. Kalau saja aku tidak membayar mahal seorang pengacara, maka aku pasti akan dihukum mati karena membunuh seorang polisi.
"Awalnya aku mengira kamu adalah orang ingin menghancurkan perusahaan ini. Tapi melihatmu gigih memajukan perusahaan, menyingkirkan para pengkhianat seperti Yuswan, maka aku yakin kamu orang baik. Hanya saja di keluarga ini semua orang tak suka dengan orang yang terlalu lurus sepertimu, termasuk aku. Kamu bisa berbahaya bagi siapa saja, termasuk aku."
Pieter bicara panjang lebar. Arci hanya menjadi pendengarnya saja.
"Orang itu, dia pengkhianat. Anak buah dari Letnan Yanuar. Selama beberapa hari ini dia berusaha masuk ke dalam ruang arsip. Pura-pura mengisi lowongan dengan identitas palsu. Akhirnya ia masuk ke dalam ruang administrasi melaporkan setiap keluar masuk barang dan yang membuatku curiga adalah dia sampai mengobok-obok data barang seludupanku. Di PT Evolus aku bersih, tapi memang beberapa kendaraan yang menjadi harta perusahaan berasal dari bisnis kotorku, juga komputer-komputernya. Dia sudah membawa flashdisknya, dan kami memergoki dia. Jacques beruntung sekali menangkapnya. Aku ingin tahu apakah kamu ingin keluargamu dihancurkan oleh orang seperti dia? Ingatlah, ayahmu juga hidup dari cara seperti ini, suka atau tidak dia telah berada di dalamnya. Engkau berada di dalamnya, hidup dari jerih payahnya. Apakah sampai hati kamu tidak akan mencintai keluarga ini? Baik atau buruknya?"
Arci masih terdiam. Ia tak memberikan jawaban. Pieter memberikan isyarat. Ghea menghampirinya lalu menyerahkan pistolnya kepada ayahnya.
"Bisnisku yang lain adalah ini, jual beli senjata. Kebetulan aku kenal dengan orang tinggi di militer. Ia juga punya koneksi di berbagai negara, oleh karena itulah Ghea bisa ikut berlatih di beberapa pelatihan militer. Aku memang membuat dia menjadi mesin pembunuh. Semua pelatihan militer yang ia lakukan hingga pada puncaknya ia harus dilecehkan oleh orang Inggris, aku pun menganggap latihannya cukup. Padahal aku masih ingin dia berlatih bersama spetnatz tapi cukup. Ini peganglah!"
Pieter menangkap tangan Arci dan di tangan Arci kini ada pistol. Ia baru kali ini membawa pistol. Tangannya gemetar ketika memegangnya.
"Kamu belum pernah memegang senjata? Aku bisa mengerti. Ini adalah pertama kalinya. Bunuh orang itu. Informan itu. Kalau kamu tidak membunuhnya aku akan melepaskan dia. Tapi sebagai imbasnya, semua data, semua dokumen tentang kita, tentang kamu, tentang segala yang terjadi dengan perusahaan ini, termasuk narkoba yang engkau temukan akan masuk ke tangan kepolisian. Artinya kamu juga akan ikut imbasnya. Kalau kamu mau seperti itu silakan."
Arci sebenarnya marah. Karena Letnan Yanuar tak pernah bilang kalau dia akan menerjunkan tim lain. Dan memang ini jebakan. Kalau ia tak melakukannya maka polisi itu akan melaporkan segalanya. Jacques mencopot penutup wajah orang yang disebut informan itu. Arci pun melihatnya. Orang itu ketakutan.
"Paman Pieter, Ghea selalu mengikutiku atas perintahmu. Berarti kamu tahu kalau Letnan Yanuar menghubungiku?" tanya Arci.
"Ya, aku tahu," jawab Pieter. "Dia tetap menyuruh anak buahnya bukan? Itu artinya dia tak percaya kepadamu. Dia akan memangsamu juga."
Arci menarik hammer pistolnya. CKREK! Arci maju, mendekat ke arah informan yang ditangkap dan kini sedang berlutut itu. Tangan Arci masih bergoyang, ia tak siap ketika mengangkat dan menodongkannya ke kepala sang informan. Mata sang informan menatap tajam ke arah Arci. Arci menoleh ke arah Jacques yang sudah siap kalau sewaktu-waktu sang informan melarikan diri atau berbuat nekad. Arci menelan ludah.
"Kenapa Letnan Yanuar menyuruhmu kalau ia percaya kepadaku?" tanya Arci.
"Bagaimana mungkin kami mempercayakan urusan ini kepadamu?"
"Jadi benar kalian tak percaya kepadaku. Baiklah, aku akan menembakmu."
"Tembak saja, ayo tembak!"
Tangan Arci bergetar hebat. Ia tak pernah menembak orang sebelumnya. Tidak seperti ini. Betapa berat sekali ia menarik pelatuk itu, seolah-olah ia mengangkat beban yang sangat berat. Matanya terpejam.
"Buka matamu!" bentak Pieter.
DOR!
Mungkin karena kaget sehingga Arci membuka matanya dan langsung menarik pelatuknya. Timah panas pun akhirnya menembus kepala sang informan. Dia pun jatuh tersungkur. Arci terhuyung dan mundur ke belakang. Baru kali ini ia membunuh orang. Ya, baru kali ini. Tangannya gemetar.
Ghea menahan lengannya. Arci menoleh ke arah gadis itu. Ghea tersenyum, baru kali ini ia melihat gadis itu tersenyum. Perlahan-lahan Ghea mengambil pistol miliknya lagi.
"Welcome to our family," Ghea mengecup pipi Arci. Mungkin ia ingin membuat Arci kuat dengan itu. Ia tahu bagaimana perasaan seseorang yang baru saja membunuh seseorang.
Beberapa anak buah Pieter menyeret mayat sang informan. Pieter menghampiri Arci.
"Kita adalah keluarga. Mulai sekarang, kamu bagian dari kami," kata Pieter.
Arci masih tak percaya. Ia melihat telapak tangannya sendiri. Ini lebih mengerikan daripada yang ia kira. Sementara itu, Ghea menoleh ke arah Arci. Ia melihat sesuatu yang ada pada pemuda itu yang tak bisa dia jelaskan. Yang jelas, hanya satu. Ia mulai menyukai Arci, sekali pun ia tak bisa menunjukkan hal itu.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Andini akhir-akhir ini selalu menghindar dari Arci. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Dalam hati ia masih mencintai Arci. Mengamatinya dari jauh. Dia sebenarnya datang ke taman itu. Melihat Arci tertidur di bangku. Ingin sekali ia membelai wajah Arci. Tapi ..... entah kenapa hatinya seolah-olah menahannya. Ada sebuah perasaan yang tak bisa ia ungkapkan, dia juga tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Dia cemburu, cemburu melihat Arci bisa berjalan bersama Safira. Ya, ketika faktanya diketahui bahwa Safira dan Arci saling mencintai, apakah ia bisa berada di tengah mereka?
Andini beberapa hari ini tak konsen. Dia mengacak-acak rambutnya, membanting apa saja yang bisa dibanting. Dia sampai malas untuk pergi ke kantor. Perasaan wanita sungguh membingungkan, ia sebenarnya masih mencintai Arci, tapi....entah kenapa ia tak mau bertemu dengannya. Mungkin ia ingin sendiri dulu. Arci harus tahu kalau dia ingin sendiri dulu. Tapi bagaimana memberitahukannya? Tidak mungkin bisa, karena ia sendiri tak ingin bertemu dengan Arci.
Arci selalu berusaha menelponnya dan selalu dia reject. Bahkan ketika makan siang, Andini selalu menghindar. Dan beberapa hari ini Arci tak kelihatan. Andini merasa kehilangan. Sekali pun tak ingin menemui Arci, tapi ia selalu melihat Arci dari jauh dan itu sudah membuat dia lega. Aneh memang. Dia tak ingin bertemu, tapi sangat mengharapkan. Perasaan wanita memang seperti itu, sesuatu yang kontra selalu ada di dalamnya sehingga jalan tengahnya sangat sulit. Antara suka dan tidak, antara iya dan tidak, antara mau dan tidak. Tapi satu yang pasti, Andini masih mencintai dia. Hanya saja kondisi dia sekarang, sulit dikatakan.
Duhai yang dicinta
Sungguh aku sangat sulit melupakanmu
Cintamu sudah terlalu menusuk hatiku
Akankah aku bisa mencintaimu
"Rahma, pulang bareng yuk," ajak Nita.
"Eh, bentar girls, tunggu disit lhaa!" kata Rahma.
"Arep lemburan a?" tanya Sonia.
"Iyoi, wis tinggalen dhisit! Bu Dini belum ngijinin pulang, akeh garapan jes!"
"Ooo...yawes, tak tinggal yo!?" Nita melambai ke Rahma.
"Hati-hati! Ntar kesambet cowok ganteng," goda Rahma.
"Aamiin...klo gantengnya kayak bos baru kita ya... OK OK aja!" jawab Sonia.
"Rahma?!" Arci tiba-tiba ada di dekat Nita dan Sonia.
Nita dan Sonia langsung wajahnya memerah. Mereka jadi salah tingkah melihat Arci.
"Eh,...i..iya pak?" sahut Rahma gugup.
Nita dan Sonia buru-buru pergi.
"Lho, katanya kepengen kesambet cowok ganteng, koq kabur semua?" goda Arci.
Muka Nita dan Sonia memerah. Mereka malu setengah mati. "Nggak paaaak!?"
Arci ketawa. Rahma hanya tersenyum.
"Bu Dini ada?" tanya Arci.
"Ada, tapi....dia tak mau diganggu," kata Arci.
"Kamu ada waktu?" tanya Arci.
"Saya sedang ngurusi pembukuan pak," jawabnya.
"Halah, nggak usah bilang Pak. Kemarin saja bilang Arci. Biasa ajalah. OK, aku mau masuk."
"Tapi pak? Eh, Ci...!"
Arci tak menghiraukan Rahma. Ia mengetuk pintunya dan masuk. Andini kaget melihat kedatangan Arci.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Andini.
"Aku hanya ingin kejelasan. Apakah kamu masih mencintaiku?" tanya Arci.
Andini tidak menjawab. Mungkin terlalu keki bagi dia mengakui masih mencintai Arci. Dia teringat kemarin ketika Arci jalan dengan Safira. Betapa dadanya bergemuruh, terlebih Arci mengakui telah berhubungan dengan Safira. Andini meneteskan air mata.
"Keluarlah, kumohon. Jangan temui aku lagi," kata Andini.
Arci menghela nafas. Ia mendekati Andini. Andini memejamkan matanya. Arci mendekat dan kini tepat berada di hadapannya. Arci memegang wajah Andini lalu mencium orang yang sangat dicintainya itu. Andini tak bisa berbuat apa-apa. Ia ingin dicium, tapi ia tetap tak bisa menerimanya. Ia menerima ciuman Arci itu tapi ada sesuatu di dadanya yang tak ingin Arci ada di sini.
"Baiklah kalau kamu ingin seperti ini," kata Arci. "Aku akan buktikan kalau kamu masih mencintaiku. Dan ketahuilah, aku sangat mencintaimu. Aku tak bisa jauh darimu, tapi.... setelah ini kamu akan melihatku lain. Setelah aku keluar dari pintu ini aku tak akan lagi menemuimu. Aku tahu ini sulit. Menerima kenyataan bahwa aku mencintai kakakku sendiri memang sulit. Tapi aku jujur kepadamu, karena aku mencintaimu. Tak ada yang lebih baik bagiku selain kejujuran. Maafkan aku. Sekarang belum terlambat, aku masih disini. Katakanlah kalau kamu mencintaiku!?"
Andini masih memejamkan mata. Ia membisu. Arci melepaskan tangannya dari wajah Andini. Ia berbalik menuju pintu. Perlahan-lahan ia pegang gagang pintunya.
"Katakanlah kamu masih mencintaiku, kumohon!" kata Arci.
Andini terisak. Ia sangat mencintai Arci, dia ingin bicara, tapi mulutnya seperti tercekat.
"Aku sungguh mencintaimu. Kalau kamu tak menerimaku....baiklah, aku tak bisa memaksamu. Selamat tinggal...cinta," Arci membuka pintu dan keluar dari ruangan Andini.
Tangis Andini pecah. Ia langsung duduk di mejanya dan menangis sejadi-jadinya, "Arci.... aku mencintaimu.... hikkss.... maafkan aku, hikss... aku masih mencintaimu, huaaaaaaa...."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Seumur hidup, Arci tak pernah mabuk. Baru kali ini ia minum wisky sampai mabuk. Dia pun sampai tertidur di bangku taman. Ghea yang seharian itu membuntutinya hanya menggeleng-geleng. Dia sudah mengetahui hubungan Arci dengan Andini, tentu saja percakapan Arci di dalam ruangan Andini ia pun tahu.
"Ayolah, kamu itu lelaki. Kenapa hanya urusan seorang wanita saja sampai seperti ini?" kata Ghea di depan Arci yang sedang tertidur.
Ghea lalu berjongkok. Dia mengusap wajah sepupunya itu. Entah kenapa hatinya sekarang nyaman ketika bisa mengusap wajah pemuda ini. Ia tak pernah mengerti yang namanya cinta. Tapi, apakah kini ia telah terkena virus itu? Dia menampar-nampar pipi Arci, tapi pemuda itu tak bangun. Ghea menghela nafas.
"Kenapa aku harus jadi babysitter?" gumamnya.
Dilihatnya wajah pemuda itu. Wajah Arci sangat mirip dengan pamannya Archer. Ghea masih ingat pamannya itu. Pamannya orang yang baik. Archer selalu memperlakukanya dengan lembut. Beda dengan ayahnya yang keras. Archer seorang penyayang. Maka dari itulah mungkin ia bisa melihat sisi kasih sayang pada diri seorang pelacur seperti Lian. Entah kenapa Ghea saat itu teringat dengan insiden ciumannya dengan Arci. Tiba-tiba timbul sisi feminim di dalam dirinya. Jantungnya berdebar-debar lagi. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Arci. Dan dia pun akhirnya menempelkan bibirnya ke bibir pemuda ini. Walaupun bau alkohol tapi ia tak peduli.
Ghea tersentak dan menjauh, "Tidak, tidak, tidak. Apa yang aku lakukan?" Ia berdiri lalu berpaling. "Apa yang terjadi kepadaku?" Jantungnya makin keras berdetak. "Fuck! Apa yang terjadi? Oh God..." Ghea melihat Arci sekali lagi.
Ghea memukul-mukul dadanya sendiri, berusaha menenangkan detak jantungnya. Ia lalu mengambil pistolnya dan membidik Arci. Air matanya jatuh keluar membasahi pipinya. Baru kali ini ia merasakan rasa seperti ini.
"What's wrong with me?" katanya. "Kenapa aku tak bisa menembakmu?? Fuck!"
Ghea menyarungkan kembali pistolnya. Dia lalu menarik badan Arci, kemudian ia memapahnya. Ghea sukar mengungkapkan perasaannya saat itu. Dia tak pernah tahu yang namanya cinta. Jadi dia menganggap perasaan aneh di dalam dadanya sebagai penyakit. Penyakit yang sukar diungkapkan dengan kata-kata. Ia berencana akan pergi ke dokter untuk melihat kejiwaannya.
Arci pun sampai di rumahnya. Pintu diketuk. Yang menyambutnya adalah Safira.
"Arci??!" panggil Safira.
"Dia mabuk," kata Ghea.
"Mabuk? Nggak mungkin, Arci tak pernah minum.... bau alkohol?!"
"Dia sedang galau, cintanya baru saja ditolak. Dia jujur kepada pacarnya tentang dirimu. Betapa gentlemen dirinya," kata Ghea.
"Apa? Tak mungkin!" Safira menerima Arci yang sempoyongan.
"Baiklah, jaga dia. Dia sekarang udah jadi orang besar, bagian dari keluarga kami," kata Ghea.
"Kamu?"
"Aku Ghea Zenedine, sepupunya. Sebaiknya, kamu selesaikan urusanmu dengan Andini, mungkin kalian bisa saling mengerti. Ah, kenapa aku harus peduli dengan urusan kalian? Aku pergi," Ghea kemudian meninggalkan mereka.
Safira segera memapah Arci masuk. Lian yang terbangun pun melihat kondisi Arci yang mengenaskan membantu Safira. Mereka memapah Arci sampai ke kamarnya.
"Kenapa dia?" tanya Lian.
"Katanya sih soal cinta," jawab Safira. Dia menghela nafas. Tak menyangka semuanya akan seperti ini. Safira merasa bersalah. "Apa aku pergi saja ya...?"
"Apa maksudmu?" tanya Lian.
"Gara-gara aku adek seperti ini," jawab Safira. Mereka berdua duduk di tepi ranjang. Safira membantu melepas sepatu adiknya.
"Apa sebabnya?"
"Arci jujur kepada kekasihnya tentang diriku. Mungkin terjadi sesuatu kepada mereka. Itu semua gara-gara aku."
"Tidak, Safira tidak. Bukan karenamu!"
Safira memeluk ibunya. Air matanya meleleh.
"Andini...aku mencintaimu....," Arci mengigau. Safira menoleh ke arah adiknya. Ia makin bersedih.
"Malam ini temani adikmu!" kata Lian.
Safira mengangguk. Setelah itu Lian pergi meninggalkan Safira dan Arci. Malam kian larut. Safira pun kemudian merebahkan diri di samping adiknya. Seperti malam-malam sebelumnya. Tapi mungkin kali ini beda. Kali ini ia menemani Arci yang sedang galau. Akhirnya ia pun tertidur sambil memeluk adiknya.
* * *
Baru beberapa jam tertidur, Safira kaget ketika ada yang meraba-raba dirinya. Ia terbangun dan mendapati pakaiannya telah terlepas dan dia melihat Arci sudah telanjang dan menindih dirinya. Ia tak sadar ketika bajunya dilucuti. Bahkan sekarang Arci menciumi lehernya sambil meremas-remas buah dadanya.
"Dini...ohhh..," desah Arci. Ia menyangka Safira adalah Andini.
Safira terasa sakit hatinya. Ia tak menyangka adiknya sangat mencintai wanita itu sampai menganggap dirinya adalah Andini. Dia pun hanya pasrah ketika Arci kemudian memasukkan penisnya yang keras ke liang senggamanya.
"Aahhhkk!" pekik Safira. Matanya mulai berair.
Arci menggenjotnya tanpa pemanasan membuat liang senggamanya serasa agak perih. Tapi lama kelamaan lendirnya mulai membasahi liang senggamanya membuat ia juga keenakan. Safira berusaha melayani Arci yang sedang kesetanan. Mungkin pengaruh minuman keras yang membuat Arci kini beringas. Ia tak puas menggarap Safira dengan gaya misionari. Kemudin ia membalikkan tubuhnya sehingga tengkurap. Diangkat sedikit pantat Safira, kemudian Arci memasukkan penisnya.
Blesss...
"Aaahhkk! Deek...pelan-pelan!" kata Safira.
"Andiniii...oohh...memekmu enak sekali," rancau Arci sambil memejamkan mata.
"Anggap aku Andini dek, ayo! Lakukanlah! Obati rasa sakit hatimu!" kata Safira.
Arci menggenjot Safira lagi. Ia merasakan keenakan ketika pantat Safira yang seksi itu bertemu dengan selakangannya. Penisnya berusaha mengoyak vagina kakaknya, lendir Safir makin banjir, ia juga menikmati persenggamaan ini walaupun Arci menganggapnya sebagai Andini. Ya, Safira menikmatinya. Itu juga karena ia ingin berlaku seprofesional mungkin untuk melayani adiknya. Hatinya terkoyak, tapi dia terlalu cinta kepada adiknya. Seandainya dia adalah istri Arci, mungkin ia akan marah. Tapi dia terlalu cinta.
"Ohhh....Dini, aku keluar! Aaahhkk!" Arci menyudahi persenggamaannya ini dengan semburan sperma bertubi-tubi ke rahim Safira. Dia pun ambruk sambil memeluk Safira dari belakang. Penisnya masih tertanam di dalam rahim Safira, berkedut-kedut mengeluarkan sisa-sisa sperma.
Tak berapa lama kemudian Arci tertidur. Safira juga. Pelukan Arci sangat erat hingga membuatnya nyaman.
"Arci, aku bingung... aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sedang mengandung benihmu. Kamu mencintai Andini, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku cemburu, tapi... kau mencintai dia," kata Safira.
* * *
Pagi menjelang. Arci terbangun. Ia kaget ketika bangun mendapati Safira dipeluknya. Dia kemudian memeluk kakaknya lagi. Menciumi punggung kakaknya. Ia sama sekali tak ingat kenapa dan bagaimana ia bisa berada di kamarnya, dengan memeluk kakaknya. Terakhir kali yang diingat ia berada di taman menghabiskan wisky.
"Sudah bangun?" tanya Safira.
"I-iya," jawab Arci.
"Kamu sedang galau ya?" tanya Safira.
"Kenapa kak?"
"Kemarin kamu mabuk, kemudian kita bercinta dengan hebat. Tapi kamu menganggapku sebagai Andini."
"Benarkah?"
"Iya. Diakah wanita yang kamu cintai?"
"Iya."
"Kenapa kamu jujur tentang hubungan kita?"
"Jujur atau tidak, ia akan tahu."
"Arci, kalau aku menghalangi hubungan kalian. Aku ingin pergi saja."
"Jangan! Kenapa kakak punya pemikiran seperti itu?"
Safira kemudian membalikkan tubuhnya. Matanya tampak sembab. Arci mengetahuinya. "Karena, aku mencintaimu. Aku tak mau kamu tersiksa. Aku ingin melihatmu bahagia."
"Itu hal bodoh yang aku ketahui. Justru biarkan dia tahu tentang kita. Dia harus menerima kita, lagi pula aku tak bisa hidup kalau kakak pergi."
"Tapi kamu tak bisa hidup juga kalau dia pergi."
"Aku tak bisa hidup tanpa kalian."
Safira menatap ke mata Arci dalam-dalam. Ia tak sanggup. Arci mendaratkan ciuman ke bibir kakaknya. Safira menerimanya, bahkan saat lidah mereka berdua bertemu Safira bisa merasakan perasaan Arci yang terdalam. Penis Arci yang tegang, kini di arahkan ke belahan liang senggama Safira.
"Aku ingin menghamilimu," kata Arci.
"Hah? Kenapa?"
"Agar kau tak pergi dariku."
"Dek, kamu serius?"
Arci mengangguk. "Aku tak bisa hidup tanpa kalian. Andini tetap harus menerima kita semua. Biarkan aku jadi ayah dari anakmu kak."
"Tapi..."
"Ssshh...kumohon!"
Safira ingin mengatakan kalau dia sudah hamil. Tapi melihat Arci ia jadi bingung. Arci menggulingkan tubuhnya, hingga Safira ada di bawahnya. Dia kemudian menghisap puting kakaknya. Safira mendesah. Dia selalu begini kalau Arci sudah memulai memainkan puting susunya. Mungkin baginya Arci adalah penyedot susu terbaik di dunia. Klien-kliennya pernah mengerjai dirinya, tapi tak seperti Arci yang penuh perasaan.
Mereka memulai bercinta lagi. Kini Arci tak menganggap Safira sebagai Andini. Arci memperlakukan Safira dengan lembut. Dikecupnya seluruh tubuh Safira. Bahkan sampai luka bekas operasinya pun dikecup. Safira terangsang. Setiap sentuhan adiknya sangat menggetarkan dirinya. Mungkin disaat semua orang bermimpi ingin bisa bersetubuh dengan kakak seseksi Safira, Arci sudah mendapatkan dirinya. Mendapatkan tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Safira masih ingat bagaimana pengalaman pertama adiknya bercinta dengan dirinya. Ia juga ingat bagaimana Arci mengerjai dia ketika tidur. Semua dilakukan atas perasaan cinta. Tapi ini cinta yang salah. Berkali-kali Arci merangsangnya, hingga telapak kakinya dijilati Arci, ia menggelinjang.
"Dek, udah. Kakak nggak kuat!" kata Safira.
Arci kemudian menarik tubuh kakaknya. Dipeluknya tubuh sang kakak. Mereka berdua lalu berpagutan, kedua lidah memutar-mutar, mencari celah birahi, dan ketika didapatkan Arci mengangkat sedikit paha Safira lalu memasukkan penisnya.
Tubuh Safira melengkung. Ia mendapatkan orgasme, padahal hanya disodok sekali oleh adiknya. Tentu saja Arci merasakan orgasme dahsyat Safira.
"Kak, kamu sangat menggairahkan. Siap yah, aku mau menghamili kamu," kata Arci.
"Sudahlah dek, jangan yah!"
Arci tak peduli, kini ia menggenjot kakaknya tanpa ampun. Safira kewalahan dan kepalanya bergerak kiri kanan. Kenikmatan kembali menjalar. Dua kelamin kini saling bergesek, menimbulkan suara kecipak basah dan becek. Arci makin tegang, ia semakin memasukkan penisnya dalam-dalam. Safira antara keenakan dan terharu tak bisa diungkapkan. Ia menggigit bibir bawahnya. Arci lalu memeluknya dengan erat, menekan buah dadanya.
"Ohhh...kaaaakk....ini, udah mau keluar. Aku keluarrrr....! Oohhhkk!" Arci pun menembakkan semua spermanya ke dalam rahim kakaknya. Berbeda, tentu saja. Kalau biasanya ia hanya mengeluarkan setengah, kini ia benamkan seluruh penisnya ke dalam liang senggama kakaknya. Safira menggigit pundak Arci.
Arci tak mencopot penisnya. Membiarkan terbenam di sana hingga setiap tetes spermanya habis keluar. Perlahan-lahan ia cabut. Nafasnya terengah-engah, Safira juga. Agak lama mereka terdiam.
"Kamu nggak ke kantor?" tanya Safira.
"Nggak, hari ini aku akan menghamili kakak biar kakak nggak pergi," jawab Arci.
"Dek, jangan kekanakan gitu ah, udah pergilah!" kata Safira.
Arci menggeleng.
"Sejujurnya....,"
"Aku tetap akan di rumah, kakak harus aku hamili!" Arci memotong kata-kata Safira.
Safira menghela nafas, "Kakak nggak bakal kemana-mana. Kamu hamili atau tidak, aku akan tetap di sini."
"Benarkah?"
"Iya, sekarang...pergilah. Kalau kamu memang ingin jadi ayah dari anak-anakku, kamu harus pergi bekerja. Nggak indehoy melulu!"
Arci tersenyum. "Makasih kak, untuk semuanya."
"Tak perlu berterima kasih, aku kakakmu," kata Safira.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Rahma, ada waktu?" tanya Arci.
"Hmm? Errr...nggak tahu pak, eh Ci!" jawab Rahma.
"Aku ingin ngobrol sebentar, bisa? Nanti makan siang?" tanya Arci.
"B-bisa," jawab Rahma.
Arci pun menunggu Rahma keluar dari ruangannya. Begitu Rahma keluar, Arci langsung menggandengnya.
"Eh, ada apa Ci?" tanya Rahma.
"Bantuin aku ya," jawab Arci.
"Bantuin??"
"Aku akan cerita, kita di mobil aja. Makan yang jauh dari tempat ini."
Arci membawa Rahma pergi. Mereka cukup jauh untuk mencari tempat makan, hingga akhirnya mereka menemukan sebuah tempat makan lesehan yang agaknya cukup nyaman untuk dibuat ngobrol. Dan akhirnya mereka pun mengobrol. Arci merapikan rambutnya yang sedikit kucel dan berantakan. Rasanya tidak enak sekali kepalanya, mungkin pengaruh alkohol kemarin masih terasa.
"Ada masalah apa?" tanya Rahma.
"Aku ingin melakukan satu hal, tapi kamu mau atau nggak. Sebenarnya ini persoalan pribadiku. Tapi kalau kamu bersedia, oke deh kita lanjut."
"Apa sih?"
"Aku dan Andini sudah menjalin hubungan...."
"Haaaah??"
"Sssshh...jangan dipotong dulu!"
"OK, OK, jadi bener ya gosip itu?"
"Yeah whatever. Ketahuilah, sekarang ini situasinya sedikit kritis. Ia tak mau menerima aku karena satu kesalahan. Tapi jujur aku tak bisa untuk melepaskannya. Aku ingin dia kembali kepadaku. Aku ingin memancing emosinya agar ia mengakui kalau dia mencintaiku," ujar Arci.
"Gimana caranya?"
"Kamu mau jadi pacarku?"
"Hah??"
"Pura-pura saja. Kita jalan bareng, bermesraan gitu, bahkan kalau perlu aku bisa menyiapkan pernikahan asal-asalan."
"Ci, kamu gila!"
"Please, aku hanya ingin dia bilang kalau mencintaiku, setelah itu selesai."
"Ini nggak masuk akal Ci! Aku nggak mau!"
"Rahma please, siapa lagi yang bisa aku mintai tolong?? Justru aku memilihmu karena kamu dekat dengan Andini. Biar dia benci kamu dan dia akan memperjuangkan cintanya. Aku ingin dia kembali. Aku tak bisa hidup tanpa dia."
Rahma menghela nafas.
"Kamu bisa kan? Please, tolonglah. Kamu minta apa aja aku akan turuti. Termasuk mencari kekasihmu yang ada di London itu aku akan lakukan. Kumohon tolonglah aku!"
Rahma sedikit kaget. Ya, dengan kekayaan Arci sekarang, ia bisa saja menemukan Singgih. Rahma memang membutuhkan Singgih sekarang ini. Setelah hubungan yang tak jelas dengan Singgih ia bingung dengan statusnya. Singgle atau tidak. Rahma berpikir sejenak.
"Rahma, tolonglah!" kata Arci.
"Baiklah, aku mau. Tapi kamu bisa mencari Singgih untukku?"
"Bisa."
"Ini pura-pura saja kan?"
"Iya, pura-pura. Sampai Andini kembali kepadaku."
"Kalau dia tak kembali?"
"Dia pasti kembali."
Rahma dalam hati berkata, "Iya, ini pura-pura, tapi kalau aku sampai jatuh hati beneran kepadamu bagaimana?"
"Baiklah, tapi aku hanya membantumu kali ini," sambung Rahma.
"Terima kasih, terima kasih. Aku berterima kasih kepadamu."
Kesepakatan Rahma dan Arci telah dimulai. Mereka melakukannya dengan berbagai cara. Pertama menyebarkan gosip di kantor, kedua unggah status di facebook, ketiga sering jalan berdua. Rahma sering dijemput dan di antar pulang oleh Arci. Tujuan mereka hanya satu yaitu agar Andini bisa kembali kepada Arci. Andini pun mendengar gosip itu. Hatinya seperti tercabik-cabik. Hingga pada suatu pagi, dia menyapa Rahma.
"Pagi!?" sapa Andini.
"Pagi bu," jawab Rahma.
"Kudengar kamu jalan sama Arci?" tanya Andini.
"I-iya."
"Selamat yah," kata Andini. Setelah itu dia pergi meninggalkan Rahma yang bengong.
Di dalam ruangannya Andini menangis. Ia lemas dan tertunduk di lantai. "Kenapa? Kenapa jadi begini? Apakah kamu ingin menyakitiku?"
Hari itu kantor penuh berita heboh. Bahkan sampai-sampai orang seperti Nita dan Sonia yang suka bergosip tambah lebih heboh lagi. Mereka pun chatting.
Nita: Eh cuy, dirimu jadian ama big bos?
Rahma: He-eh.
Sonia: Waaaaaa... kita telaaattt. Beruntung banget kamu.
Nita: Iyo i.
Rahma; Hehehehe.
Nita: Piye si big boss? Wis diapakne wae karo uwonge?
Rahma: Ngomong apa sih? Nggak ngapa-ngapain. Baru juga jadian.
Sonia: Halaaah... diapa-apain juga nggak apa-apa koq Ma, aku juga senang temenku dapat cowok ganteng. Hihihihi.
Nita: Tapi kita butuh ditraktir nih.
Sonia: Iya, butuh ditraktir.
Rahma: Eh, koq malah nodong sih? Lagi bokek.
Nita: Halah, ayo ma'em oskab aja. Kuane Lop!
Sonia: Oyi, nakam oskab. Pentol gedhe.
Rahma: Yaelah, dibilang bokek.
Nita: Peliiiiiittt
Sonia: Oyi, peliiiit...
Rahma: Eh, beneran aku lagi bokek. Dibilangin koq.
"Ajak aja mereka, aku yang bayarin!" kata Arci.
Rahma terkejut dan buru-buru menutup desktopnya. "Eh,...pak Arci...?"
"Dibilang jangan panggil pak. Nggak di kantor nggak dimanapun aku melarangmu manggil pak," kata Arci.
"Tapii..."
"Udah, ajak aja nanti makan siang Nita ama Sonia, makan bakso," ujar Arci.
Rahma menghela nafas. Arci menoleh ke pintu ruangan Andini yang tertutup. Rahma melihat wajah Arci yang tampaknya merasa khawatir. Pemuda ini sangat mencintai Andini.
"Dia sudah tahu?" tanya Arci.
"Sudah," jawab Rahma.
"Baiklah, aku ke sini mau memberikan ini," kata Arci sambil memberikan beberapa tangkai bunga mawar merah, sekaligus vas bunganya.
"Ehhh?? Apaan ini? Nanti dilihat orang!"
"Bukankah semua orang harus tahu?"
"Hmm... i-iya juga sih, tapi aku malu."
"Sudahlah, terima saja!"
Andini tiba-tiba keluar dari ruangannya. Dia terkejut melihat Arci berada di meja Rahma. Jantung Andini serasa copot melihat Arci memberikan bunga mawar kepada Rahma. Arci yang mengetahui Andini melihatnya kemudian membelai wajah Rahma, setelah itu mengangguk kepada Andini. Dia kemudian pergi. Rahma tak tahu kalau Andini keluar dari ruangannya dan hendak menuju ke mejanya.
Setelah Arci menghilangdari balik pintu barulah ia bernafas lega. Andini menghampirinya.
"Bunga ya? Romantis banget," sindir Andini.
"Eh, ibu," Rahma tampak gugup.
"Tolong laporan minggu kemarin berikan ke mejaku ya, aku ingin keluar sebentar," kata Andini.
"B-baik bu," Rahma agak gugup.
Andini berusaha mengejar Arci. Dia mempercepat langkahnya. Begitu dia melihat Arci masuk lift ia juga mengejar Arci sampai masuk ke dalam lift. Mereka berdua pun berada di dalam lift. Nafas Andini memburu. Ia seperti tak terima Arci sudah punya gebetan lagi.
"Kamu, .... cepat sekali berpindah ke lain hati," kata Andini.
"Kenapa? Inikan hidupku, bukan hidupmu," kata Arci. "Apa aku tak boleh mengencani Rahma."
"Rahma itu anak buahku, sekretarisku. Kamu tak bisa seenaknya seperti itu!"
"Apakah ada peraturan kantor yang melarang atasannya mengencani bawahannya?"
"Ada, itu aturanku."
"Kamu cemburu?"
"Tidak. Si-siapa bilang?"
"Berarti kamu masih mencintaiku?"
"Hah??" Andini agak gugup. "Tidak, katamu hubungan kita telah berakhir bukan? Sudahlah. Nggak usah dibahas. Terserah kamu mau menjalin hubungan dengan siapapun."
"OK, lalu kenapa kamu sewot?"
"Kenapa terlalu cepat? Kenapa kamu terlalu cepat memutuskan?"
"Din, aku single, aku cukup ganteng, aku punya kekayaan, aku punya semuanya. Wajar kalau aku ingin punya pacar bukan? Kamu mau kembali kepadaku lagi?"
"Tidak! Kamu bodoh! Tidak sensitif!"
"Akuilah kalau kamu masih mencintaiku."
Andini terdiam.
Untuk dua menit yang panjang mereka diam. Andini tak menjawab. Dia ingin berteriak saat itu. "Aku mencitaimu" tapi mulutnya seperti terkunci. Terlebih ketika mengingat Arci bersama Safira. Mata Andini berkaca-kaca.
"Aku akan menikahi Rahma seminggu lagi!" pancing Arci.
JDERR! Tentu saja kata-kata itu membuat Andini terkejut.
"Bohong!"
"Kamu akan menerima undangannya besok. Setidaknya masih ada waktu, apakah kamu masih mencintaiku ataukah tidak. Kalau kamu masih mencintaiku, aku akan batalkan pernikahan ini. Kalau tidak kamu akan mendapatiku berada di pelaminan."
Lift terbuka. Arci pun keluar. Andini hanya melihat punggung Arci menjauh, kemudian disusul pintu lift yang menutup. Tangis Andini pecah. Ia menekan tombol STOP di lift agar lift tak bergerak. Entah antara penyesalan dan cinta, ia bingung.
"Kenapa kamu memaksaku? Aku mencintaimu, kamu harusnya tahu. Arci...please jangan pergi....," Andini terisak.
DRRRRRTT! Ponsel Andini berdering. Dia tadi sengaja menggunakan nada getar. Sebuah nama terpampang di sana My Cici. Arci menelponnya. Ia galau antara menerima dan tidak. Dan akhirnya jemarinya pun menggerakkan slide untuk menerima teleponnya.
"Ya?!" sapa Andini singkat.
"Andini?" tanya sebuah suara wanita. Andini sedikit terkejut.
"Si...siapa?" tanya Andini.
"Ponselnya adikku ketinggalan. Kalau itu kamu, aku ingin bicara. Bisa kita ketemuan?"
Dada Andini berdebar-debar. Kenapa Safira ingin menelponnya? Ada perlu apa?
"Please, ini penting. Bisa kita ngobrol? Aku tunggu di Kopi Tiam di Jalan Bondowoso, nanti sore," kata Safira.
"B-baiklah," ujar Andini.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Kafe NIKI Kopi Tiam malam itu tak begitu ramai. Mungkin karena para mahasiswa sedang sibuk dengan ospek dan liburan semester, sehingga kafe yang biasaya tidak sepi pengunjung itu pun kini hanya terlihat beberapa pengunjung saja. Safira mengenakan baju putih lengan panjang, dengan bawahan jeans dan sepatu boot. Dia membawa sebuah tas kecil yang ia taruh di sebelah tempat dia duduk. Sebuah cangkir kopi yang masih mengeluarkan uap panas berada di mejanya. Beberapa orang lelaki matanya tertuju kepada Safira. Mungkin karena dia satu-satunya wanita cantik yang ada di kafe itu. Parfumnya pun bisa tercium ke segala sudut ruangan membuat pesona Safira tak bisa ditolak.
Andini tak lama kemudian datang. Begitu melihatnya Safira sangat senang sekali. Dia menganggap Andini cantik, anggun, dengan balutan baju atasan hitam putih dan rok warna abu-abu. Rambut Andini diikat. Sepatu high heelsnya yang bermerk terkenal tampak makin serasi saja dia pakai. Begitu Andini masuk, ia langsung mengenali Safira. Para lelaki yang berada di kafe kini mendapatkan pemandangan indah yang lainnya. Dua bidadari ada di dalam ruangan.
Safira segera menyambut Andini, menyalaminya dan cipika-cipiki. Andini tak menyangka Safira bisa selembut ini dan seakrab ini.
"Apa kabar?" sapa Safira.
"Baik," jawab Andini.
Mereka berdua duduk berhadapan. Andini sangat canggung, apalagi Safira tersenyum. Dia mengira Safira ini cantik. Pantas saja Arci menyukai kakaknya sendiri. Andini merasa kalah.
"Aku ingin bicara mengenai adikku. Kalau kamu tak keberatan," kata Safira.
Andini menghela nafas. "Masalah apa?"
"Kamu tahu, apa yang dikatakan adikku bukan? Ketahuilah, dia sangat mencintaimu. Aku tak ingin merusak hubungan kalian, aku sangat berharap ia bisa bersama denganmu. Arci telah menganggap engkau adalah hidupnya."
"Aku tak mengerti."
"Andini," Safira menggenggam tangan Andini. "Kamu mencintai Arci, bukan?"
Andini menarik nafas dalam-dalam. Entah kenapa, dia saat itu bisa berkata, "Iya"
"Aku akan pergi, kamu tak akan melihatku lagi. Aku tak ingin kebahagiaan kalian terganggu olehku. Aku sadari aku salah. Dari dulu aku adalah perempuan hina, sering diusir, sering diintimidasi, itulah aku. Tapi aku sangat menyayangi Arci, lebih daripada yang engkau ketahui. Aku tak ingin mengganggu cinta kalian. Aku hanyalah duri yang mengganggu kisah cinta kalian."
Andini tiba-tiba menangis. "Jangan, engkau adalah orang yang dia cintai. Aku tak bisa. Aku sudah kalah sebelum bertarung. Aku tak bisa."
"Dini, kenapa kamu menangis?"
"Aku tak tahu."
"Kamu takut kehilangan dia bukan?"
"Iya,... aku takut...takut sekali. Tapi, dia hari ini katanya telah berhubungan dengan wanita lain. Katanya dia akan menikahinya seminggu lagi."
"Tidak, Arci tidak akan berbuat seperti itu. Ia hanya ingin memancing amarahmu saja. Dia hanya ingin agar engkau mengakui bahwa engkau masih mencintai dia. Hanya itu. Katakan kepadaku, kamu mencintai dia bukan?"
Air mata Andini makin deras. "Aku sangat mencintainya. Sangat mencintainya."
Safira menggeser kursinya, kemudian dia memeluk Andini. Keduanya sama-sama menangis. Mencintai seorang yang sama, tapi dengan status berbeda.
"Kamu jangan pergi!" kata Andini. "Arci tak akan bisa hidup tanpa kamu."
"Dia harus bisa," kata Safira.
"Tidak, jangan!"
"Aku menyayangimu, sama seperti aku menyayangi adikku. Aku akan mengalah. Arci harus bisa hidup tanpa diriku."
"Safira.....hiks..."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Besoknya Arci membawa surat undangan. Surat undangan berwarna coklat itu ada sebuah pita kecil yang berada di salah satu halaman undangannya. Di sana tertulis nama Arci dan Rahma. Semuanya dibagikan. Ini surat undangan pernikahan. Sepertinya Arci sangat serius. Arci sudah pergi ke rumah orang tua Rahma dan melamarnya. Dan Arci juga serius mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk pernikahan hingga Rahma tak tahu apakah ini bercanda atau serius. Dia berkali-kali bertanya kepada Arci.
"Ini seriusan?" tanya Rahma berkali-kali.
Arci menjawab, "Seriusan."
Rahma terkejut. "Ci, bukannya katanya kita cuma main-main saja sampai Andini mengakui cintanya."
Arci tersenyum. "Turuti saja apa kemauanku. Aku sekarang jadi calon suamimu, baik kamu suka maupun tidak."
"Hei!? Tidak bisa begini. Bukan begini perjanjiannya!"
"Tenanglah, aku yakin dia akan berkata jujur bahwa dia mencintaiku."
"ARCI!" suara Rahma meninggi.
Arci langsung mencium bibir Rahma. Rahma yang mendapatkan serangan mendadak itu pun kaget. Andini keluar dari ruangannya, ia kaget melihat Rahma dan Arci berciuman di depan mata mereka. Ini sama sekali tidak pernah dikira. Sama sekali tak pernah dikira. Rahma pun tak bisa melawan, hingga akhirnya ia pasrah dan menerima perlakuan Arci. Andini sangat sakit, sangat sakit hatinya. Ia kembali masuk ke ruangannya.
"Terserah apa yang ingin kamu lakukan. Aku tak peduli. Mau kamu pergi, mau kamu kawin ama Rahma terserah!" rutuk Andini. Dia kemudian mendorong seluruh barang yang ada di atas mejanya. Setelah itu ia menjerit. Hatinya sangat sakit. "Arci, aku mencintaimu...."
Saat Andini sudah masuk ke ruangannya Rahma mengetahui kalau Andini tadi melihat. Ia mendorong Arci kuat-kuat.
"Apaan sih?" gerutunya.
"Aku ingin dia cemburu," kata Arci.
"Gila apa?! Ini bukan kesepakatan kita. Ngapain pake acara cium segala? Batalin nggak itu pernikahannya?"
"Tidak. Ini sudah keputusanku."
"Tapi apa yang akan terjadi nanti? Kalau misalnya emang beneran Andini ingin kembali kepadamu, bukankah semua undangan sudah disebar?"
"Kamu tak akan menyesal, pada hari itu kamu tetap akan menikah. Aku tetap akan menikah."
"Ci, ini gila!"
"Bukankah kita sudah bersepakat kalau kamu mau mengikuti caraku?"
Rahma menghela nafas. Ia masih ingat bagaimana dua hari yang lalu Arci datang ke rumahnya. Terang-terangan "melamar" Rahma. Antara pura-pura dan tidak, sepertinya tak bisa diketahui. Bahkan Arci menjadwalkan acaranya dua minggu lagi. Dia sudah mengatur tempat, sudah menyewa gedung. Semuanya sudah dia persiapkan. Orang tuanya Rahma, tentu saja setuju. Tapi Arci bilang itu keputusan Rahma, ingin setuju atau tidak. Dan Rahma setuju. Saat itu juga Arci berkata, "Sekalipun dengan menikah nanti kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dariku?"
Rahma tak mungkin bilang "tidak". Dia hanya berkata, "Iya"
Ini adalah hal tergila dalam hidupnya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Aku akan kembali," kata seseorang. Dia memainkan cerutu yang ada di tangannya, sementara tangan satunya sedang memegang ponsel di telinganya.
"..."
"Tak perlu takut. Keluarga ini memang begitu. Tak akan memberikan toleransi kepada para pengkhianat. Itu memang bakalan terjadi. Hanya saja, kalau bisnisku diganggu. Aku juga tidak suka."
"...."
"Aku tahu kematian Jatmiko, harusnya kamu tidak ceroboh!"
"...."
"Biarkan Alfred yang mengurus."
"..."
"Anak Archer, biar aku urus. Bantuan sudah datang?"
"...."
"Tentu saja. Apa? Dia mau menikah? Kapan?"
"...."
"Perjanjian kita tak akan batal. Aku sudah berjanji bukan? Kita akan merger, kalian akan tetap dapat bagian. Sudah saatnya PT Evolus dipimpin oleh orang yang tepat."
"...."
"Segera, kita akan lakukan pembersihan. Semuanya, tanpa ampun!"
"...."
"Ya, semuanya."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Seseorang lelaki berusia 40-an masuk ke sebuah rumah sakit jiwa. Dia adalah Johan Sebastian. Dia mengunjungi istrinya Araline Zenedine. Sebenarnya ini kunjungan rutinnya, karena hampir pasti kalau tidak ada halangan dua minggu sekali ia menjenguk istrinya. Sang istri keadaannya mulai membaik. Mulai tenang. Walaupun tidak sepenuhnya dan bisa kambuh sewaktu-waktu.
"Araline?!" sapa Johan.
"Hmm??" jawab Araline. Dia memakai baju putih, rambutnya disisir rapi, tapi kantung matanya tampak menonjol. Araline punya kebiasaan kurang tidur. Bahkan lebih banyak mengigau. Semenjak narkoba mempengaruhi jalan pikirannya ia dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Ini adalah cobaan bagi Johan.
"Kamu tahu, ini kesekian kalinya aku menjengukmu. Dokter bilang sudah ada kemajuan dari terapimu. Hanya saja masih perlu observasi," kata Johan.
Araline masih membisu.
"Kamu masih mikirin kejadian masa lalu? Sudahlah, udah berapa tahun? Sebentar lagi kalau kamu tidak kambuh lagi, kita akan pulang."
"Katakan bagaimana kabar Archer?" tanya Araline.
Johan capek sebenarnya dia menanyakan kabar Archer. Johan tak pernah tahu apa yang terjadi antara dia dengan Archer yang notabenenya adalah kakaknya sendiri. Araline selalu bertanya tentang kabar Archer.
"Dia .... sekarang sudah meninggal. Kamu harus tahu, dia sudah lama meninggal!" ujar Johan.
Araline tersenyum. "Kamu bohong. Archer menungguku, dia pasti menungguku."
"Dia sudah meninggal, sekarang ada anaknya yang menggantikan dia," kata Johan.
"Anaknya? Siapa?"
"Namanya Arczre, panggilannya Arci. Ia pewaris dari PT Evolus. Harusnya kamu relakan dia."
"Semua keluarga ini memang sampah. Mereka tak pernah punya perasaan. Archer yang tidak bersalah saja bisa mereka siksa seperti itu. Siapa dia? Arci? Aku ingin bertemu dengan dia. Kamu bisa antarkan dia ke sini?"
"Kenapa?"
"Aku ingin berikan dia sebuah rahasia."
"Apa?"
"Biar Arci yang tahu, aku sudah berjanji kepada Archer untuk menceritakan hal ini kepadanya. Tapi kalau kamu bilang ada anaknya maka boleh saja kan? Aku ingin ceritakan sesuatu kepada Arci. Dan juga tentang alasanku berada di sini."
"Araline, kamu ini kenapa?"
"CEPAAAT!" Suara Araline meninggi.
"Iya, OK, OK. Aku akan ajak anak itu ke sini."
Araline tersenyum. "Jangan sampai tidak."
Johan mengerutkan dahinya. Ia tak habis pikir. Rahasia apa yang akan dibeberkan oleh Araline? Dia berdiri, kemudian meninggalkan Araline seorang diri. Tujuannya sekarang adalah mencari Arci.
Untuk mencari Arci tidak terlalu sulit. Johan langsung menemui Arci di ruang kerjanya. Sebagai salah satu keluarga Zenedine, akses untuk dia amatlah mudah. Arci saat itu sedang menandatangani beberapa berkas. Agaknya hari itu ia menyibukkan diri di dalam kantornya. Kantor seorang presiden direktur cukup luas, juga merupakan tempat yang paling atas di gedung. Di mejanya ada sebuah bingkai foto. Dan foto itu adalah foto Andini. Ketika Arci mengusap-usap bingkai foto itu, Johan mengetuk pintu.
Arci yang terkejut segera menutup bingkai foto itu. Dia lalu berkata, "Silakan masuk!"
Johan pun masuk.
"Johan?" Arci cukup terkejut.
"Apa kabar ponakan?" sapa Johan.
"Ada perlu apa?" tanya Arci.
"Aku ingin kamu ikut denganku."
"Kemana?"
"Ke Rumah Sakit Jiwa, tempat istriku berada. Dia ingin memberitahukan sesuatu kepadamu. Percayalah kepadaku. Kamu akan mengerti apa yang terjadi sebenarnya di keluarga ini."
Hari itu Lian sedang berbelanja di supermarket, hingga dengan sengaja troli belanjaya ditabrak oleh troli belanja seseorang. Lian menatap ke orang itu. Dia mengenal siapa orang itu, seorang wanita yang menjadi menantu keluarga Zenedine. Sebenarnya tidak resmi sebagai menantu. Dia menikahi duda dari seorang keluarga Zenedine. Sebenarnya juga sang duda bukan keluarga Zenedine, ia beruntung karena menikahi anak keluarga Zenedine. Wanita ini adalah Alexandra, suami dari Michael.
"Alexandra?!" sapa Lian.
"Hai pelacur? Masih exists? Selamat atas warisannya," kata Alexandra ketus.
"Apa kamu menyapaku hanya untuk menghinaku saja?"
"Kamu memang pantas untuk dihina, dasar pelacur. Anaknya juga pelacur. Kamu tak pantas berada di keluarga kami."
"Aku juga sebenarnya tak sudi berada di keluarga ini, tapi... Archer telah memilihku. Kita sama-sama orang yang beruntung masuk ke dalam keluarga Zenedine. Aku yakin kalau kamu dicerai suamimu, kamu juga akan melacur sama sepertiku."
"Brengsek! Kamu mau menghinaku?"
"Kenapa? Benar bukan? Jangan-jangan suamimu mati karena kamu bunuh hanya untuk mendapatkan harta warisannya, atau mungkin kamu dan Michael sudah selingkuh lama sehingga kalian menghabisi pasangan kalian masing-masing?"
Alexandra kepancing emosinya, tapi ia mengurungkan niatnya yang ingin menghajar Lian saat melihat petugas security lewat.
"Ini belum selesai. Aku akan merobek mulutmu," kata Alexandra.
"Aku tak takut,"
Alexandra kemudian pergi meninggalkan Lian. Lian jadi teringat bagaimana masa lalunya ketika pertama kali bertemu dengan Alexandra. Dia pernah dilecehkan habis-habisan oleh Alexandra. Bukan, tetapi oleh Michael suaminya. Lian tahu hubungan perselingkuhan Alexandra dan Michael saat pasangan mereka masih hidup. Alexandra yang menikah dengan Robert Zenedine dan Michael yang menikah dengan Rachel Zenedine. Mungkin dugaannya selama ini memang benar kalau Robert dan Rachel dibunuh oleh pasangan mereka. Robert, dia tewas dalam sebuah insiden. Jatuh dari jurang saat melakukan hiking. Rachel, dia tewas dalam sebuah kecelakaan.
Dia teringat ketika hari itu Archer mengantar dia pulang. Setelah Archer pulang Lian dibekap. Dia disekap oleh Michael. Dan Alexandra juga ada di sana. Lian disiksa dengan cambukan, dikencingi oleh Michael dan juga diperkosa. Lian tak akan melupakan kejadian itu. Hal itu membuat Archer marah dan mengancam mengusir Alexandra dan Michael kalau tidak berlaku baik kepada Lian. Tapi cobaan tidak berakhir. Setelah Archer mewarisi kekayaan Arthur, dia tak bisa berbuat banyak. Sementara Alexandra dan Michael terus memburunya. Ini adalah salah satu alasan Lian dan anak-anaknya lari dari satu kota ke kota yang lain, selain tentu saja kejaran debt collector, karena Archer tak meninggalkan apapun buat mereka. Namun setelah Archer meninggal, gangguan itu mulai reda. Mungkin sebagian besar tahu bahwa Lian yang telah mengandung anak Archer, dan akan berakibat buruk kalau sampai terjadi apa-apa kepada Lian.
Lian menghela nafas. Ia tahu beban ini masih berat. Keluarga yang tidak menyukai keberadaannya. Tapi yang lebih berat adalah Arci. Dia harus menanggung banyak hal. Apakah anaknya akan kuat?
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci baru saja dari Rumah Sakit Jiwa menemui Araline. Dia mengetahui hal-hal yang tidak pernah ia ketahui sebenarnya. Ia ingin menyimpannya sendiri. Ternyata apa yang dikatakan oleh ayahnya benar, "Jangan percaya kepada siapapun". Entah apa yang akan dilakukannya. Ia sendiri tak tahu harus percaya kepada siapa saja. Araline tidak berbohong. Ia telah menjelaskan semuanya, kenapa ayahnya lebih memilih Lian sebagai pasangannya hingga melahirkan dirinya. Dan alasan Araline masuk ke dalam rumah sakit jiwa, juga mencengangkan dirinya. Johan hanya berpesan satu hal, "Kali ini, kamu sendiri. Kalau kamu ingin teman, satu-satunya yang bisa menjadi temanmu di keluarga ini hanyalah Ghea. Dia masih polos, dia hanya patuh kepada ayahnya. Tapi kalau engkau mencoba mendekati dia, kamu akan bisa mengendalikannya. Aku tak bisa menolongmu, kamu tahu sendiri bagaimana keadaan Araline. Sekarang kamu mengerti bukan?"
Arci mengangguk. Selama dua jam dia ada di Rumah Sakit Jiwa mendengarkan cerita Araline. Seluruh seluk beluk keluarga Zenedine malah didapatnya dari cerita seorang yang sedang ada gangguan jiwa. Arci pun punya rencana. Dan kali ini ia yakin rencananya tak akan gagal. Hanya saja mungkin apa yang akan dilakukannya ini akan membuat jalan hidupnya makin gelap. Selama ini ternyata ayahnya lebih banyak curhat kepada Araline. Mungkin karena disangka Araline gila karena itulah ia bicara semaunya, membicarakan segala hal tentang keluarga Zenedine, bahkan sampai ke perselingkuhan Amanda dengan Pieter pun diceritakannya. Arci sudah masuk ke dalam lembah hitam, kalau ia lebih masuk lagi maka tak ada pilihan.Hidup memang keras dan ia harus kuat. Ia selama ini telah berjuang dalam kesusahan, dan ia akan terus memperjuangkannya.
Mobilnya melaju di atas aspal kering melewati jalanan raya, sampai sebuah mobil SUV memepet dirinya dan mengklakson. Arci melihat ke jendela dan mendapati wajah Letnan Yanuar. Mau apa Letnan Yanuar? Arci pun menepi dan mobil SUV yang dinaiki reserse itu pun menepi. Arci segera keluar dari mobilnya. Letnan Yanuar tampak bersama anak buahnya juga keluar.
"Ada apa?" tanya Arci.
"Kenapa belum ada laporan? Bukankah kita sudah bersepakat?" tanya Letnan Yanuar.
"Bersepakat? Sepertinya Anda salah, saya tidak bilang iya. Anda cuma ingin agar saya membantu Anda untuk menghancurkan keluarga saya berdasarkan rekaman video ayah saya bukan?" tanya Arci.
"Ya, memang seperti itu."
"Tapi saya tidak mengatakan iya. Dan saya juga bukan orang yang suka ada orang yang mencampuri urusan saya. Jelaskan kepada saya kenapa Anda menerjunka tim lain?"
"Oh itu, aku tentu saja tidak percaya dengan kinerjamu. Kamu bukan reserse!"
"Kalau Anda memang ingin percaya kepada saya, suruh anak buahmu pergi semua. Daripada mereka mati konyol."
"Sersan Danu memang aku tugaskan untuk membackup-mu, bukan untuk mencampuri urusanmu."
"Sama saja. Dengar Let, aku akan lakukan dengan caraku sendiri."
"Maksudnya?"
"Aku akan lakukan dengan caraku sendiri."
"Arci, mereka orang-orang berbahaya."
"Kalian juga orang-orang yang berbahaya."
"Apa maksudnya?"
"Kalian memang penegak hukum, tapi rela melakukan apapun."
"Hei, jangan mulutmu itu!"
"Mau apa, memukulku? Memenjarakan aku? Ayo, silakan! Toh, aku sudah seharusnya dari dulu tidak pernah ada. Kalian yang katanya melindungiku saat aku diburu oleh keluargaku sendiri, tapi kalian membiarkan ibu dan kakakku melacur. Itukah yang kalian sebut melindungi? Ketika aku menjual diriku untuk menjadi gigolo lalu kalian diam saja, itukah yang kalian sebut melindungi? Polisi macam apa kalian?"
Letnan Yanuar membisu.
"Sudahlah, aku capek. Aku perlu mempersiapkan acara pernikahanku," Arci berbalik menuju mobilnya lagi.
"Pernikahan?"
"Ya, aku akan kirimkan undangannya ke kantor kalian," Arci membanting pintu dan menstarter mobilnya. Dengan cepat mesin mobilnya menyala dan meninggalkan Letnan Yanuar.
Kedua polisi yang ada di pinggir jalan itu tampaknya kecewa. Sementara itu dari jauh sebuah sedan Mercedes Benz SLK 250 melihat mereka semua. Di dalamnya Ghea hanya tersenyum simpul menyaksikan kelakuan Arci terhadap kedua polisi yang ada di pinggir jalan itu. Saat sedan mewah itu mendekat ke Letnan Yanuar, sang polisi tampak terkejut. Ia tahu siapa pemilik mobil itu.
"Arci diikuti oleh mereka. Itu mobil milik Pieter. Jangan khawatir ia tadi mungkin cuma pura-pura karena tahu dia diikuti," kata Letnan Yanuar.
"Siap Ndan!" jawab anak buahnya.
"Lain kali kita harus hati-hati," ujar Letnan Yanuar.
Arci hari itu langsung kembali ke rumahnya. Kondisi rumahnya sepi. Ia hanya mendapati adiknya saja yang berada di rumah.
"Lho, kak Safira dan Ibu kemana?" tanya Arci.
"Ibu belanja, kak Safira nggak tau dari tadi nggak nongol," jawab Putri.
Arci kemudian mengambil ponselnya dan mengirim SMS.
Originally Posted by Arci to Safira
Kak, ada di mana? bales GPL
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Safira hari itu meninggalkan rumahnya tanpa ada yang tahu sama sekali. Ia sebenarnya berat. Tapi itu semua dilakukannya agar Andini kembali kepada Arci. Andini sudah melarangnya, tapi Safira mengirimkan pesan pagi itu dengan BBM.
Safira: Andini, aku hari ini pergi dari rumah, tanpa sepengetahuan Arci. Kuharap kamu bisa kembali.
Andini: Lho, kenapa kamu harus pergi? Jangan!
Safira: Aku tak bisa berada di sini terus. Kembalilah kepada Arci. Ya?
Andini: Safira, jangan. Kamu berada di mana sekarang?
Safira: Aku masih berada di jalan.
Andini: Aku akan menyusulmu. Please jangan lakukan ini!
Safira: Dini, aku akan pergi. Jagalah Arci.
Andini: Nggak. Kalau kamu pergi aku tak akan kembali kepadanya.
Safira: Sungguh??
Andini: Ya, sungguh. Iya, aku akan kembali ke Arci. Tapi kamu jangan pergi. Please. Aku akan terima semuanya. Aku akan menerima kalian sebagai keluargaku.
Safira: Boleh aku bertemu denganmu?
Andini: Aku akan menjemputmu.
Safira sudah berada di jalan saat itu. Melihat keputusan Andini yang akan kembali kepada Arci, ia pun akhirnya lega. Tak berapa lama kemudian mobil Andini menyusulnya. Andini langsung keluar dari mobil dan memeluk Safira.
"Kamu kenapa bertindak bodoh seperti ini?" tanya Andini.
"Apa aku punya pilihan lain?"
"Sudahlah, aku akan menerima kalian sebagai keluargaku. Ya, itu keputusanku. Mungkin ini berat bagiku, tapi... aku tak mau melihat orang yang dicintainya seperti ini. Safira,.."
Safira tersenyum. Ia membelai rambut Andini. Ia jadi tahu kenapa Arci sangat mencintai Andini. Bukan karena harta, bukan karena semata-mata kecantikannya, tapi terhadap kepribadian yang ada pada Andini. Andini mungkin tak ingin cintanya diduakan. Tapi dia lebih sakit ketika keluarganya sendiri mendapatkan cobaan. Andini sadar, ia hanya belum siap. Dia sadar alasan Safira bersama Arci bukan karena didasari alasan nafsu semata, itu karena masa lalu Safira yang kelam. Ia mengetahuinya. Safira, seorang pelacur, bagaimana ia bisa diterima di masyarakat. Siapa laki-laki yang mau mencintai dirinya selain adiknya sendiri? Selain keluarganya sendiri?
Andini juga baru mengetahui, bahwa ayah Safira tak mengakui dirinya. Lalu kemana lagi ia harus pergi? Kemana ia akan pergi kalau semuanya tidak menerimanya? Andini tak bisa mengusir Safira dari kehidupan Arci. Itu terlalu jahat. Dan dia akan jadi orang jahat kalau sampai memisahkan Safira dan Andini. Andini menganggap dia terlalu egois, tapi satu hal yang tak bisa ia bohongi kepada dirinya sendiri. Ia cinta mati ama Arci.
"Boleh aku tinggal di rumahmu untuk beberapa hari?" tanya Safira.
"Kenapa?" tanya Andini.
"Nggak apa-apa. Aku ingin dekat dengan kamu saja," jawab Safira.
Andini mengangguk. "Ayo"
Safira mendapatkan SMS. Dari adiknya.
Originally Posted by from Arci
Kak, ada di mana? bales GPL
Safira pun membalas.
Originally Posted by to Arci
Ke rumah teman. Tak usah dicari. Oh ya, aku nginap beberapa hari di rumahnya.
Arci yang saat itu menerima balasan mengerutkan dahi. Agak aneh, bukankah Safira tak pernah punya teman. Arci pun makin penasaran.
Originally Posted by to Safira
Teman? Siapa?
Safira tersenyum.
Originally Posted by to Arci
Sudah deh. Jangan khawatir. Aku tak akan pergi koq. Aku yakin adikku akan mendapatkan cintanya.
Arci makin nggak ngerti. Tapi kalau Safira bilang tidak akan pergi maka perasaannya pun lega. Hanya saja ketidak beradaan Safira itu hal yang baru. Ponsel Arci berdering. Dari Ghea. Arci segera mengangkatnya.
"Halo?!" sapa Arci.
"Arci, aku dengar semuanya," kata Ghea.
"Maksudnya?"
"Semua yang dikatakan Araline, aku mendengar semuanya."
"Engkau menyadapku?"
"Ya."
Arci meraba-raba tubuhnya.
"Tak perlu diraba-raba, yang penting aku tahu. Itu untuk keamananmu saja."
"Jadi sekarang?"
"Ya, kita sekarang tahu siapa orangnya. Aku khawatir ia telah menguasai semua yang ada di dalam keluarga Zenedine. Bahkan mungkin semua orang-orang kita. Aku takut terjadi sesuatu kepada ayahku, dan kamu tentu saja."
Ghea entah kenapa sedikit mellow hari itu. Dia merasa manja kepada Arci, sesuatu yang aneh. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Beberapa hari pernikahanmu bukan?" tanya Ghea.
"Itu setingan, aku sudah mempersiapkan sesuatu."
"Jadi? Itu bohongan?"
"Iya, aku ingin Andini kembali kepadaku. Sengaja aku bentuk seperti itu."
"Kamu sewa gedung, catering, baju pengantin, itu semua buat apa?"
"Aku sudah merencanakan ini semua. Kamu ikuti saja."
Ghea sama sekali tak mengerti.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Bagaimana baju pengantinnya?" tanya Arci kepada Rahma.
Mereka berdua sedang melakukan fiting baju pengantin. Arci telah memakai sebuah kemeja dan jas tuxedo. Rahma memakai sebuah gaun yang sangat angun dengan untaian mutiara. Baju pengantin yang mahal tentu saja. Rahma tak tahu apa yang bakal terjadi nanti, tapi kalau memang Arci berkata ini hanya pura-pura tapi kenapa seperti sungguhan? Ia merasa seperti dijadikan alat.
Rahma menatap dirinya di cermin. "Arci, ini terlalu berlebihan. Kamu sampai sewa penghulu segala, ini berlebihan! Kita bukannya cuma pura-pura saja?"
"Kamu ikuti saja permainanku, nanti engkau akan tahu sendiri. Seperti yang aku tanyakan kemarin. Kalau misalnya aku tak memberikan apa-apa kepadamu apakah kamu tetap mau?"
"Entahlah, sebenarnya apakah kamu mencintaiku?"
Arci tersenyum mendengar pertanyaan Rahma, "Kamu pikir bagaimana?"
"Entahlah. Aku tak tahu."
Arci memegang bahu Rahma. Jarak mereka sangat dekat, "Dengarlah, aku masih mencintai Andini. Tapi pernikahan ini sungguhan. Kamu akan menikah, aku juga."
"Tapi... apa maksudnya aku tak mengerti!"
Arci masih tersenyum, "Dan aku mohon maaf kemarin sudah menciummu. Aku tak bermaksud seperti itu. Aku hanya ingin Andini cemburu. Engkau akan tahu pada hari pernikahan besok." Arci melepaskan pegangannya dan berkaca di cermin.
"Arci, aku masih tak mengerti," kata Rahma.
Sikap Arci ini penuh dengan tanda tanya. Dia sudah punya rencana sendiri. Rencana yang tidak semua orang tahu. Bahkan ketika pada malam sebelum hari H. Arci tetap membisu. Dia tidak menceritakan apa yang ada di dalam pikirannya. Rahma kebingungan atas sikap Arci. Dia ingin protes, tapi bingung apa yang bisa dilakukannya. Semuanya sudah diset, gedung, penghulu, catering, undangan telah disebar. Kalau misalnya dibatalkan begitu saja, dia yang akan malu.
****
Safira tinggal di rumah Andini beberapa hari ini. Cukup ajaib, mereka sekarang bisa akrab. Andini mendapatkan undangan dari Arci. Safira yang melihat undangan itu hanya tersenyum.
"Kenapa kamu tersenyum?" tanya Andini.
"Kamu yakin Arci bakal menikahi Rahma?" tanya Safira.
"Trus? Undangan ini? Bukannya ini sebagai bukti bahwa ia tak main-main?"
"Arci punya kejutan. Katakan saja kamu mencintainya, ia pasti akan memberikanmu kejutan!"
"Omong kosong, tidak mungkin. Dia sudah menyewa gedung, menyewa macam-macam, udangan sudah disebar. Mana mungkin ini cuma bohongan?"
"Andini, aku tahu siapa adikku. Dia sangat mencintaimu. Ketika kamu datang nanti ke sana, pasti akan ada sesuatu yang terjadi. Dan itu baik bagimu. Kalau toh tidak, ah...itu tidak mungkin. Datang saja!"
Andini menutup wajahnya. Ia mengusap-usap wajahnya rasanya tak percaya melihat undangan Arci dan Rahma. Mustahil seperti mimpi.
"Mau ke sana bareng?" tanya Safira.
Andini menghela nafas, "Boleh. Aku ingin buktikan sendiri kalau ini cuma bohongan."
Safira mengacak-acak rambut Andini, "Naah, gitu. Sekalian jaga-jaga kamu kalau pingsan."
"Ihhh! Nggaklah."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Siang sepupu," sapa seseorang lelaki kepada Pieter.
"Tommy?" Pieter keheranan. "Kapan datang? Koq tidak ngasih kabar?"
"Hahahaha, ingin memberi kejutan saja. Katanya anaknya Archer muncul ya?"
"Begitulah," ujar Pieter.
Pieter masih sibuk memotongi dedaunan tanaman hiasnya. Ia menoleh lagi kepada Tommy, diperhatikannya Tommy yang memakai baju casual. Selama di Perancis sepertinya selera fashion Tommy lebih baik. Tommy melihat-lihat tanaman hias Pieter.
"Kenapa? Ada urusan penting kah?" tanya Pieter.
"Sebenarnya tidak ada, aku hanya ingin mengunjungimu saja. Sekaligus tanya-tanya tentang siapa namanya? Arczre?"
"Dia anak yang baik. Dia telah menjadi bagian dari keluarga kita. Kamu tak datang ketika pembacaan wasiat itu, seharusnya kamu datang."
"Hahaha, buat apa. Aku toh tidak tertarik."
"Orang seperti kamu tidak tertarik? Mustahil."
"Kenapa bisa begitu?"
"Hahahaha, Tommy Tommy... aku tahu kamu benci kakakmu itu sejak lama. Bahkan kamu kan yang melaporkan kepada ayahmu ketika Archer pergi ke Paris bersama Lian? Aku tahu hal itu. Walaupun aku di penjara, tapi aku punya banyak telinga."
Tommy tersenyum tipis. "Itu masa lalu, saat aku emang iri dengannya."
"Apa kamu bisa menjamin sekarang tidak? Aku tidak percaya kepadamu Tom!"
"Lalu kamu sendiri? Apa tidak ingin kekayaan itu juga?"
"Hahahaha, bagi orang seperti aku, bisnis gelapku lebih aku sukai daripada harus mengemis kekayaan keluarga Zenedine! Sedangkan kamu, hidupmu tidak jelas. Penghasilan dari melukis? Hahahaha, kamu bikin aku tertawa. Sejak dulu kamu rival Archer, aku tak yakin kamu tak punya hasrat."
"Bisa saja kau ini. Sudahlah, aku tak mau membahas itu. Sepi sekali, mana Ghea? Biasanya ia selalu bersamamu"
"Dia ada tugas."
"Oh, baiklah."
Tommy melihat arloji di tangannya. Ia menghirup nafas dalam-dalam. "Udara Malang sejuk. Aku suka tinggal di sini. Ah, ngomong-ngomong aku ada perlu, selamat tinggal paman."
Pieter hanya tersenyum mendengar ucapan Tommy. Tommy melambai, kemudian ia keluar dari gerbang. Pieter wajahnya langsung berubah datar. Segera ia berlari masuk ke dalam rumahnya. Dia langsung menuju ke mejanya mengeluarkan dua buah pistol dan mengambil beberapa magazine.
Ucapan Tommy bukan ucapan biasa. Umumnya orang-orang akan berkata, "Sampai nanti" atau "Sampai jumpa" tapi ketika seseorang bilang "selamat tinggal" itu persoalan lain. Dan benar. Beberapa orang, mungkin puluhan masuk ke rumah Pieter. Pieter mengambil ponselnya dan menghubungi Ghea dengan loud speaker.
"Papa?" sapa Ghea.
"Lindungi Arci!" kata Pieter.
"Iya, Ada apa?"
"Mungkin aku tak bisa melihatmu hari ini."
"Papa, jangan katakan kalau Tommy menemuimu?"
"Begitulah. Kamu sudah tahu ternyata."
"Aku sudah tahu beberapa hari yang lalu ketika Arci menemui Araline di Rumah Sakit Jiwa. Tapi aku tak percaya begitu saja, aku mengumpulkan bukti-bukti dulu sebelum memberikannya kepada ayah. Sebagaimana ayah bilang, aku tak boleh gegabah. Dan aku sudah mendapatkannya. Semua obat-obat terlarang itu, narkoba dan sejenisnya, Alfred yang mengatur. Araline mengatakan bahwa dia bisa terlibat narkoba karena pengaruh dari Tommy, dan yang lebih mengejutkan adalah dia sangat bernafsu ingin menguasai harta Zenedine. Dialah yang menjadi pengkhianat, aku telah mendapatkan kesepakatan dia dengan Agus Trunojoyo untuk menguasai PT Evolus."
"Oh, jadi begitu."
"Papa, apa yang terjadi di sana?"
"Ada perusuh masuk. Jangan khawatirkan aku, khawatirkan Arci! Lindungi dia. Lagipula ini hari yang spesial bukan?"
"Papaaa! Kalau papa tidak ada aku harus bagaimana?"
"Pergilah bersama Arci, selamatkan apa yang ada."
"Tapi papa!? Aku akan kesana, tunggulah!"
"PERGI KATAKU!"
Ghea takut mendengar suara ayahnya sendiri.
"Baiklah."
"Ghea, aku sangat menyayangimu. Bertahanlah hidup!"
Telepon pun ditutup. Pieter kini memegang dua pistol glock. Rumahnya telah di kepung, semuanya membawa senapan mesin, mereka semua sudah bersiap untuk memuntahkan isi peluru mereka. Dan jadilah hari itu hari berdarah bagi keluarga Zenedine. Sang anjing penjaga berjuang sendirian menghadapi para cecunguk suruhan Tommy Zenedine. Pieter berjuang hingga pelurunya habis. Pieter berhasil menembak beberapa orang, bukan beberapa puluhan orang. Peluru-peluru yang dia tembakkan tidak sia-sia hingga akhirnya habis. Setelah pelurunya habis dia mengambil parang yang ada di bawah mejanya, dia kemudian menyerang orang-orang yang mengepung rumahnya. Benar-benar pejuang yang tangguh, hingga Pieter yang kalah senjata itu akhirnya harus mengakui tubuhnya tak mampu lagi menahan luka. Peluru-peluru menembus tubuhnya hingga ia akhirnya berlutut dengan berpegangan kepada parang yang ada di tubuhnya.
Tommy Zenedine kembali masuk ke dalam rumah Pieter. Dia menendang anak buahnya yang tewas oleh peluru Pieter. Pieter menatap Tommy tanpa berkedip. Darah mengalir dari lubang-lubang peluru di tubuhnya.
"Kamu selalu mengajariku kalau ingin perang, selalu memakai rompi anti peluru. Ternyata engkau sendiri yang lupa," ujar Tommy.
Pieter tersenyum. "Aku juga mengajarimu, kalau masuk rumah orang kamu harus tahu ada apa saja di dalamnya bukan?"
Tommy mengerutan dahi. Dia melihat Pieter mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Sebuah remote.
"FUUUCKK!" umpat Tommy. Ia segera berbalik dan pergi. Anak buahnya pun mengikutinya. Mereka semua mengambil langkah seribu dan tak lama kemudian rumah Pieter meledak. Ledakannya benar-benar mengguncang dan menimbulkan suara yang keras. Getarannya hingga membuat mobil-mobil yang berada di dekat rumahnya pun ikut terangkat, bahkan sebagian alarm mobil berbunyi.
Tommy selamat, dia sangat beruntung. Beberapa anak buahnya tewas karena ledakan. "Brengsek! Tua bangka, mau mati saja nyusahin orang. Keparat! MATI KAU!"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Andini masih tak percaya ia datang di pernikahan Arci. Ya, pernikahan itu berada di sebuah gedung mewah. Semua undangan telah disebar. Tapi mana pengantennya?
Andini memakai gaun warna putih keperakan. Safira memakai gaun warna merah maroon. Dan dibandingkan tamu undangan yang lain, mereka berdua sepertinya bakal menjadi bintangnya karena sangat cantik. Dua bidadari ini begitu masuk gedung langsung disambut oleh banyak orang. Pelaminan masih kosong, pengantinnya belum kelihatan. Para tamu sudah menunggu dan sebagian menyantap hidangan yang ada.
Saat itulah dari arah pintu masuk Arci datang. Dia menggandeng Rahma. Tentu saja Andini rasanya mendidih melihat mereka berdua, Safira mencoba menenangkan Andini. Arci menyapu semua tamu yang hadir dan dia melihat Andini dan Safira. Wajahnya tampak berseri-seri, bukan karena acara hari ini, tapi karena melihat seorang yang sangat dicintainya ada di tempat ini.
Setelah itu Arci buru-buru naik ke panggung yang ada di sebelah kanan tempat pelaminan. Di sana sudah disiapkan alat-alat musik dan beberapa anggota band. Begitu Arci meraih mic tanpa kabel ia segera turun. Dia mengetuk mic, membuat semua tamu undangan melihat ke arahnya.
"Terima kasih semuanya telah datang. Hari ini, bisa jadi hari bahagia bagi kita semua. Namun bisa jadi hari yang paling mengharukan bagi sebagian orang. Saya berterima kasih kepada kalian yang telah hadir. Rekan-rekan kerja, teman-teman yang sudah memberikan waktunya untuk bisa hadir pada acara hari ini," kata Arci.
"Sebelumnya saya hanya ingin kalian semua menjadi saksi," lanjut Arci. "Saksi atas apa yang terjadi pada hari ini. Yang pertama, saya menyuruh kalian untuk membawa undangan bukan? Sudah kalian bawa? Kalau kalian bawa coba angkat ke atas!"
Semua tamu undangan yang membawa undangan itu mengangkat undangan itu keatas begitu Arci memberi aba-aba. Mereka tak mengerti apa yang Arci inginkan. Rahma juga gagal faham. Andini yang membawa undangan itu ikut mengangkatnya. Ia merasa konyol dengan kelakuan Arci.
"Setelah itu, lihat ada pita bukan di tengah halamannya? Pita ini coba ditarik, maka akan ada halaman baru di dalamnya!" kata Arci.
Andini mengerutkan dahi. Ia tak percaya, maka ia menarik pita itu dan kata-kata sebelumnya adalah
ARCZRE dan RAHMA
berubah menjadi
ANDINI dan ARCZRE
RAHMA dan SINGGIH
Andini mulutnya menganga. Safira tertawa puas.
"Apa-apaan ini?" kata Andini.
Rahma juga heran ketika ia baru menyadari ada halaman baru di dalamnya, sebuah nama yang ia tak akan pernah lupa. Arci kemudian menunjuk ke sebuah arah. Di pintu masuk, tampak seseorang berada di atas kursi roda, ia tak mempunyai lengan dan kaki. Tapi wajahnya sangat dikenal Rahma.
"Singgih??" kata Rahma.
Arci kemudian berjalan menuju ke arah Andini. Seluruh tamu undangan tercengang. Mereka gagal faham terhadap apa yang terjadi, tapi mereka mencoba mencerna. Beberapa orang mulai faham.
"Andini, kamu masih ingat janjiku ketika kamu menjadi Iskha?" tanya Arci yang kini sudah ada di hadapannya sambil mic masih ada di dekat bibirnya.
Mata Andini berkaca-kaca. "Kau jahat! Tentu aku ingat."
"Hari ini, pak penghulu sudah menunggu. Kamu tak mau jadi istriku?" tanya Arci.
Andini masih tak percaya. Beberapa saat lalu hatinya hancur diaduk-aduk, sekarang berubah 180 derajat. Dia menoleh ke arah Safira. Safira mengacungi jempol. Andini menangis, ia tak peduli make-upnya luntur. Ia lalu memukul-mukul Arci.
"Brengsek! Kamu pria terbrengsek yang pernah aku kenal," kata Andini. Ia lalu memeluk Arci, "Tapi aku cinta ama kamu."
Rahma tak menghiraukan apa yang terjadi dengan Arci. Di hadapannya sekarang ada Singgih yang didorong oleh seorang wanita. Wanita inilah yang selama ini merawat Singgih. Singgih tampak memakai baju yang sangat rapi, khusus di hari spesial ini. Arci telah mencarinya selama beberapa waktu, tak sulit mencarinya. Dia tinggal menghubungi kedutaan besar Indonesia di Inggris kemudian mencari Singgih dengan orang suruhannya. Lalu membuat acara kejutan yang telah ia siapkan.
Sekarang Rahma mengerti maksud dari Arci bahwa hari ini Arci menikah, dia juga akan menikah. Dan ia juga mengerti maksud dari ia tak akan mendapatkan apa-apa. Singgih dengan kondisi seperti sekarang, artinya ia tak akan bisa memberikan Rahma apa-apa.
"Hai...apa kabar?" sapa Rahma.
"Beginilah kabarku. Kamu sangat cantik hari ini," kata Singgih. "Aku tak bisa menghubungimu, keadaanku seperti ini. Aku ingin pulang tapi aku tak bisa."
Rahma meneteskan air mata. Ia tak kuasa melihat Singgih.
"Aku telah diminta Arci. Dia yang merancang semua ini. Ia bilang, kamu masih mencintaiku. Aku tidak percaya diri melihat keadaanku seperti sekarang ini. Aku merasa kamu lebih pantas menerima orang yang lebih baik daripada aku, tapi...dia memaksa. Katanya kalau engkau mencintaiku, maka kau akan menerimaku apa adanya," Singgih tak kuasa menahan haru. "Kenalkan dia Catherine. Dia yang menabrakku, dia merasa bersalah dan merawatku hingga sekarang."
Catherine tersenyum kepada Rahma, "So it was you, Singgih bercerita banyak tentang dirimu. Dia sangat mencintaimu."
Rahma tak bisa bicara lagi, ia langsung memeluk Singgih. "Sudah cukup, sudah cukup, aku sudah bilang jangan pergi. Aku sudah bilang jangan pergi! Lihat bukan akibatnya?"
"Maafkan aku!"
Keduanya tenggelam dalam tangis. Catherine pun tak mampu lagi membendung kesedihannya, ia juga larut dalam tangis. So...ini happy ending? Yeah, sepertinya. Tapi cerita belum berakhir. Kegelapan, mulai mendekat kepada mereka semua. Seperti semut yang merambat di atas batu hitam di kegelapan malam.
Beberapa Hari Sebelumnya.....
Arci masuk ke sebuah ruangan khusus. Ruangan itu adalah ruangan kamar tempat di mana Araline berada. Johan menunggu di luar. Arci melihat seorang wanita paruh baya, wajahnya sudah ada keriput, rambutnya tergerai tak terawat. Matanya mirip sekali dengan mata Archer.
"Archer?" sapa Araline.
"Aku Arczre, anaknya," jawab Arci.
"Ah, bagaimana kabar ayahmu?" tanya Araline.
"Dia sudah meninggal."
Mata Araline berkaca-kaca. Tangannya gemetar. Ia memberi aba-aba agar Arci mendekat. Arci pun mendekat. Tubuh tua Araline gemetar ketika meraba wajah pemuda itu. Araline meraba seolah-olah ia tak bisa melihat. Wajah Arci diusapnya hingga seluruh panca indera perabanya bisa merasakan wajahnya.
"Penglihatanku sudah tak berfungsi," ujar Araline. "Aku terlalu banyak menangis. Aku selama ini menghancurkan hati Johan yang selalu setia mendampingiku."
"Apa yang ingin kamu sampaikan?"
"Aku ingin menceritakan semuanya. Sudah saatnya aku bicara banyak. Semua yang kamu harus ketahui tentang keluarga Zenedine. Kalau ada orang yang ingin menguasai harta kekayaan ayahmu, maka cuma satu orang. Dia adalah Tommy Zenedine."
"Kenapa bisa begitu?"
"Ceritanya cukup panjang. Tapi aku akan ceritakan dengan detail, agar kamu paham seberapa bencinya Tommy kepada ayahmu. Dan agar kamu tahu, apa yang Archer perjuangkan untuk keluarga ini. Kamu mau tak mau harus menerimanya, kamu bisa mengubah semuanya, kamu bisa dan kamu satu-satunya yang bisa. Aku berada di sini, karena takut. Aku pura-pura gila, agar aku tak mau dihancurkan oleh Tommy. Dia orang yang sangat berbahaya."
"Bukankah dia tidak tertarik dengan harta keluarga ini?"
"Siapa bilang? Dia berkata hanya akan mencintai seni, itu bohong semuanya. Dia yang pertama kali memperkenalkanku kepada narkoba. Dia yang pertama kali. Dia juga yang menyeludupkan narkoba ke luar negeri dengan perantara perusahaan ini. Kamu tahu pengaruhnya di keluarga ini melebihi pengaruh Archer. Hampir semua tukang pukul, bodyguard, pembunuh bayaran, semuanya dikuasai oleh dia dan anaknya, Alfred. Alfred adalah kepanjangan tangan Tommy. Mereka ayah dan anak sama saja.
"Sejak kecil Tommy selalu bersaing dengan Archer. Dalam banyak hal. Tapi Tommy selalu kalah. Dia selalu iri dengan semua yang selalu diraih Archer. Archer selalu sempurna, Archer sederhana, Archer membuat semua orang suka kepadanya. Aku juga suka kepada Archer. Dia selalu melindungiku, tapi aku melakukan kesalahan terbesar. Kesalahan terbesarku adalah karena aku mencintai dia.
"Aku ingat ketika kami masih sekolah, dia sangat berbeda dari yang lain. Sangat mempesona. Sikapnya yang dewasa membuat setiap cewek ingin mendekatinya. Aku sangat protektif. Dan selalu aku manja kepadanya. Dia tetap menganggap aku sebagai adiknya, tapi aku tidak. Aku merasa ingin memilikinya, aku merasa akulah yang lebih tahu Archer, aku ingin menjadikan dia sebagai kekasihku, dan akhirnya aku bisa mendapatkannya. Ya, aku bisa mendapatkannya. Suatu malam di saat ulang tahunku aku meminta hadiah berupa kecupan di bibir. Dan aku mendapatkannya dari Archer. Ah, indahnya saat itu. Itu ciuman pertamaku.
"Namun, Archer tidak pernah menganggap aku sebagai kekasihnya. Tidak, kami tidak pernah melakukan seks. Aku mencintainya tulus, mengorbankan apapun untuk dia. Aku menyayangi dia sebagai keluarga, juga sebagai kekasih. Hanya saja kecintaanku kepada Archer mengakibatkan aku selalu sakit hati. Ya, sakit hati. Dia bisa bebas memiliki kekasih, ia gonta-ganti pacar, tapi aku? Aku hanya menelan pil pahit.
"Tommy menyadari bahwa aku sedang galau. Dia pun menawariku serbuk jahanam itu. Untuk pertama kalinya aku memakai kokain. Dan makin lama aku ketagihan. Archer marah kepadaku, dan ketika marah itulah aku bisa jujur kepadanya kalau aku sangat mencintainya. Tapi, kami kakak beradik, aku tak bisa mencintai dia dan dia juga tak bisa mencintaiku. Akhirnya, aku pun mengurung diri di kamar karenanya, sebulan, dua bulan, tiga bulan. Selama itu, aku selalu diberi narkoba oleh Tommy. Darinyalah aku bisa mengerti ambisi Tommy yang sebenarnya. Darinya aku tahu masa lalunya bagaimana dia sangat membenci Archer. Darinya aku bisa tahu berbagai bisnis yang dia kelola, dari narkoba hingga jual beli barang antik curian. Aku pura-pura fly ketika ia bicara.
"Suatu hari, aku lagi-lagi pura-pura fly ketika dia datang. Tapi dia bersimbah darah. Dia bercerita bahwa baru saja menggorok leher orang. Dan ia ingin bisa menggorok ayahnya sendiri suatu saat nanti karena tidak berniat memberikan perusahaan itu kepada dirinya. Akhirnya Archer bertemu dengan Lian, mereka makin dekat, dan Archer mengunjungiku lagi. Ia bilang kalau dia dekat dan sangat sayang kepada Lian. Ah, aku tak tahu bagaimana wajahnya. Tapi aku tak peduli, bagiku kalau Archer bahagia aku juga ikut bahagia. Walaupun sakit sebenarnya.
"Setelah ayahku mengancamnya dan menghancurkan hidup Lian, aku tak tahu lagi kabar Lian. Archer menjadi dingin. Dia tak peduli lagi kepadaku, bahkan terhadap keluarganya juga. Suatu saat entah bagaimana aku histeris, aku sedang kolaps, aku gila, aku tak ingat bagaimana dan apa yang terjadi. Antara aku sedang sakaw, gila atau aku begitu karena Archer. Setelah itu aku direhabilitasi. Di sini aku bertemu dengan Johan. Mungkin karena sering bertemu akhirnya aku dan Johan menikah. Pernikahan kami sederhana, berada di bawah pohon beringin, pondok rehabilitasi memberikan kami kamar khusus untuk itu. Ah, itu hari terindah. Aku mendapatkan cinta Johan. Kamu pasti masih melihat sorot matanya yang mencintaiku bukan?
"Berita mengejutkan terjadi setelah itu. Archer meninggal karena sakit jantung. Tapi aku tak percaya. Memang Archer punya kelainan pada jantungnya, tapi aku tak percaya dia mati begitu saja. Ketika telah lama berita kematiannya kudengar aku mendapatkan sepucuk surat. AKu bisa membaca surat itu,tentu saja. Itu adalah tulisan Archer, katanya aku harus menunggu. Menunggu siapa? Ketika aku tahu kamu datang aku yakin sekarang yang dimaksud menunggu itu adalah menunggumu.
"Aku kemudian masuk rumah sakit jiwa. Johan selalu mensupportku, bahkan semua berita tentang keluarga ini aku tahu dari dia. Aku mendengar bagaimana Tommy mulai menyuruh Alfred untuk berbuat bodoh, ia ingin menggabungkan perusahaan kita dengan perusahaan milik Trunojoyo.
"Agus Trunojoyo, pemilik PT Denim sangat berambisi untuk bisa menguasai PT Evolus. Dan kesepakatan antara Tommy dan Agus adalah Tommy akan menjadi presiden direkturnya apabila PT Denim bisa merger dengan PT Evolus. Kenapa ia tak lakukan saja sejak awal? Itu karena pengaruh Pieter masih sangat kuat. Di penjara Pieter banyak rekanan, banyak kenalan sehingga mengusik keluarga Zenedine sama saja dengan cari mati. Tommy mungkin masih mencari waktu yang tepat dengan sedikit demi sedikit menguasai orang-orang di keluarga Zenedine.
"Arci, tahukah kamu kalau sebenarnya Archer banyak curhat kepadaku tentang ibumu. Ya, ibu yang penuh kasih sayang. Aku tak pernah menyangka Archer akan bertemu dengan ibumu dan rasanya aku tahu kenapa Archer memilih ibumu. Semenjak aku berada di rumah sakit, aku jadi berfikir kalau toh aku bukan adiknya tetap saja aku tak akan bisa mengalahkan Lian. Aku juga tak mungkin bisa menjadi ibu yang baik, ibu baik mana yang kecanduan narkoba? Archer juga menceritakan kepadaku ia tak mencintai Amanda. Selama ini ia menikah hanya berdasarkan status saja, tak pernah ia sentuh Amanda. Mereka menjadi sahabat. Sedangkan Amanda lebih mencintai Pieter. Ya, mereka berdua adalah sepasang kekasih, tapi harus bertemu dalam keadaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ketika Pieter berada di penjara karena membunuh seorang polisi, Amanda selalu menjenguknya. Ah, banyak sekali affair dalam keluarga ini. Tapi aku salut kepada Amanda yang menyimpan cintanya sampai sekarang.
"Arci..., boleh aku meminta satu hal kepadamu nak?"
"Ya, apa itu?"
"Maukah kamu menjadi anakku? Anggaplah aku ibumu."
Arci sedari tadi menahan haru. Ia mengetahui semua rahasia keluarga Zenedine dari wanita ini.
"Ya, kamu boleh menganggapku sebagai anakmu," kata Arci.
"Sini anakku, peluk ibumu!"
Arci pun maju memeluk Araline. Araline meneteskan air mata. Ia sangat rindu Archer, walaupun sekarang yang ada di hadapannya adalah anak kandungnya. Itu sudah cukup. Itu sudah cukup rasanya.
Selama dua jam Arci berada di Rumah Sakit Jiwa. Ia pun sampai menyuapi Araline, layaknya seorang anak kepada ibunya. Araline sangat senang, Arci tak tega sebenarnya meninggalkan Araline sendirian. Johan yang melihat itu pun tak bisa menahan haru. Tapi, akhirnya setelah sekian lamanya Araline bertemu dengan kebahagiaan. Senyum bisa terukir di wajahnya.
"Baru kali ini aku melihat Araline tersenyum. Terima kasih Arci, terima kasih."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Akhirnya hari itu Arci menikah. Kejutan tentu saja ketika Bu Susiati juga hadir bersama suaminya. Andini makin bingung bagaimana ibunya bisa hadir.
"Mama koq tahu?" tanya Andini.
"Ini semua idenya Arci, dia menghubungi mama jauh hari. Maaf ya, nggak ngasih tahu," kata Bu Susiati.
"Arciii! Aku rasanya jadi orang bego gini. Mana aku nggak pake baju penganten lagi, disuruh duduk di depan penghulu. Malu tahu!" Andini protes sambil mukul-mukul bahu Arci.
"Halah, peduli amat ama baju penganten. Yang penting saaah!" Arci nyengir.
Setelah status Arci dan Andini disahkan menjadi suami istri, juga Rahma dan Singgih, semuanya larut dalam kegembiraan. Arci menyalami siapa saja yang datang. Yah, takdir tak dapat disangka. Rahma bisa bertemu dengan Singgih. Ia sangat senang, ia tak peduli Singgih punya kaki atau tidak, punya tangan atau tidak. Yang penting Singgih kembali.
Hari itu perasaan Andini antara mendongkol dan bahagia jadi satu. Semua kejutan-kejutan dari kekasihnya itu tak pernah ia sangka. Perasaannya senang, gembira, gemes, jutek jadi satu. Ia menganggap Arci pria terbrengsek, terganteng dan tersayang yang paling ia kenal. Arci menggenggam tangan Andini erat-erat, seolah-olah ia berkata, "Jangan pergi, tempatmu di sini."
Akhirnya untuk pertama kalinya Andini tersenyum. Mata Arci dan Andini bertemu. Ada debar rasa tersendiri di dada mereka. Ya, apalagi kalau bukan hari ini mereka telah sah jadi suami istri. Sebuah janji yang dulu diucapkan sekarang telah ditepati. Rasanya seperti mimpi.
Ponsel Arci berbunyi. Dia melihat siapa yang menelpon. Sebuah nama Ghea Zenedine terpampang di sana.
"Ghea?" gumam Arci.
"Ghea? Ghea Zenedine? Yang nodong kamu waktu itu?" tanya Andini.
"Iya," kata Arci. Ia kemudian mengangkat ponselnya. "Halo?"
"Arci! Pergi dari tempat itu, sekarang!" kata Ghea.
"Kenapa suaramu seperti menangis? Ada apa?" tanya Arci.
"Papa tewas. Rumah kami meledak. Anak buah Tommy sedang menuju ke tempatmu!" kata Ghea.
"Apa?"
"Aku sekarang menuju ke tempatmu. Bubarkan semua orang yang ada di sana. Aku khawatir sebentar lagi terjadi perang di sana. Aku sudah mengirim orang-orang yang aku percaya untuk melidungimu. Tapi sepertinya kita kalah jumlah," kata Ghea.
"Baiklah!" Arci menutup teleponnya. Raut wajahnya berubah.
"Ada apa?" tanya Andini.
Arci memegang bahunya, "Dengar, segera lari dari sini!"
"Ada apa? Kenapa?" Andini heran. Arci segera memberikan ciuman terdalam kepadanya. Andini langsung hanyut dalam kecupan sang kekasih. Arci seolah-olah ingin menghirup seluruh rasa bibir yang Andini punyai.
Setelah mencium Andini, Arci menoleh kiri-kanan mencari Safira. Tak ada. Kemana Safira pergi? Arci tak pikir panjang, segera ia berlari ke sebuah alarm kebakaran. Dan ia pun memukul alarm itu.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Letnan Yanuar pagi itu menghabiskan waktunya di sebuah kafe setelah jogging pagi. Dia memang sering nongkrong di sana. Pagi yang cerah, menikmati secangkir kopi dan biskuit sambil membaca koran. Beberapa kali ia sibuk dengan smartphonenya, melihat berita-berita terbaru. Pikirannya sibuk akhir-akhir ini dengan kasus-kasus yang ia tangani, terlebih ketika salah satu anak buahnya harus tewas di tangan Pieter. Arci tak bisa diandalkan pikirnya.
Berapa yang harus dibayar atas kasus ini? Keluarga Zenedine telah terbukti berbuat jahat, menyeludupkan narkoba, membunuh orang, tapi barang bukti-barang buktinya seolah-olah lenyap begitu saja. Dan baru saja ia akan mendapatkannya anak buahnya sudah tewas duluan. Letnan Yanuar melipat koran dan memandang sekeliling. Sunyi, sepi. Ia menghirup udara pagi yang sejuk, kemudian ia memandang sekelilingnya. Terlalu sepi.
"Sialan," gumamnya ketika ada orang-orang yang tidak ia kenal berdatangan. Dan mereka membawa macam-macam senjata, parang, pipa, pisau.
Letnan Yanuar meraba pinggangnya. Ia lupa tak membawa senjata. Padahal ia seharusnya membawa benda itu kemana-mana. Oh, dia lupa. Kenapa jogging harus membawa pistol? Bodoh memang. Tapi, akhirnya dia mengerti. Dia terkepung.
"Jadi begini ya? Main keroyokan. Baiklah," Letnan Yanuar berdiri. Kemudian dia mengambil kursi yang dia jadikan tempat duduk tadi. Ia angkat lalu ia banting hingga hancur berkeping-keping. Kemudian dia mengambil sebilah kayu yang kemudian dia ayun-ayunkan. "Ayo! Kalian mau mengeroyokku? Ayo sini!"
Kemudian orang-orang itu pun mulai maju satu persatu mengayunkan apa yang ada di tangan mereka. Letnan Yanuar terus bertahan, bacokan demi bacokan parang, pisau dan hantaman pipa mengenai tubuhnya. Ia berhasil melukai beberapa orang. Sekalipun kalah jumlah ia benar-benar garang, tapi apa daya ia memang kalah jumlah. Setelah polisi itu terkapar tak berdaya dengan luka penuh bacokan, tusukan dan kepalanya remuk, ia pun ditinggalkan begitu saja seperti sampah, hingga nafasnya pun berhenti.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Amanda menikmati suasana rumahnya yang sepi. Tak ada suara seindah suara burung dan dedaunan yang gemersik tertiup angin. Apa yang ia inginkan sekarang? Mungkin yang ia inginkan adalah bisa bersama Pieter. Sendirian di rumah tanpa ada yang menemani hidupnya agaknya sudah membuatnya bosan. Ia ingin sekali dibelai oleh Pieter. Ingin di akhir hidupnya ia bisa mencintai lelaki itu. Ah, sungguh bukan sesuatu yang muluk bukan apabila bermimpi seperti itu? Dia sangat menginginkan kedamaian dan cinta. Dia boleh dibilang tidak menyesal berkenalan dengan keluarga Zenedine.
Setelah ia melihat Arci, ia jadi teringat Archer. Ya, teringat saat dia menjadi sahabatnya. Archer selalu baik kepadanya. Status mereka memang suami istri tapi Archer sama sekali tak menyentuhnya. Ah, andaikan Archer menjadi suaminya sepenuhnya tentu keadaannya akan lain. Tapi dia mendapatkan cinta yang bernama Pieter. Itu sudah cukup. Sekalipun setelah lama dipenjara, tapi cinta mereka makin besar.
Amanda memandang jauh ke depan. Ke pepohonan yang daun-daunnya bergoyang. Suasana di teras halaman belakang rumahnya sangat teduh. Tak begitu panas dan tak begitu dingin. Suasana kota Batu tempat tinggalnya ini pun sangat mendukung. Ia tak perlu pusing tentang masalah ekonomi, semuanya sudah ada. Tapi sekalipun begitu hati Amanda kesepian. Ia bisa saja tiap hari berada di rumah Pieter, tapi mereka belum resmi. Kegalauan lainnya dia tidak enak dengan Ghea. Rencananya dengan Pieter adalah bulan depan mereka menikah. Ya, tak ada yang bisa tahan dengan hubungan tidak jelas ini. Amanda sudah tak peduli lagi terhadap semuanya, yang ia inginkan hanya Pieter.
Ia mengambil tehnya yang udah dingin. Hampir saja ia minum tiba-tiba sebuah tangan kekar membekap mulutnya. Ia mencoba melepaskan diri tapi tangan itu terlalu kuat. Dengan satu gerakan kepala Amanda diputar. KRAAAK! Seketika itu juga Amanda sudah tak bernyawa. Amanda melemah, tubuhnya sekarang kaku dengan kepala terputar ke belakang. Lehernya dipatahkan oleh seorang assasin.
Teras belakang rumah, sebuah saksi bisu di mana perempuan yang sudah lama menunggu cintanya, akhirnya harus mati di tangan orang suruhan Tommy Zenedine. Tommy sudah berniat ingin menghabisi seluruh keluarga Zenedine.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Jacques, hari itu bangun tidur. Ia cukup capek dengan banyak urusan beberapa hari ini. Maka dari itulah ia kali ini bangun lebih siang. Dia mendapatkan SMS dari Ghea agar segera menemuinya. Jacques hanya membalas OK. Setelah itu ia ganti baju, memakai kemeja, dan juga jas. Sebagai tangan kanan Pieter, Jacques yang bekas anggota Delta Force itu cukup peka terhadap banyak hal. Terutama terhadap sesuatu yang mengancam nyawanya. Seperti pagi ini. Ia merasakan sesuatu yang aneh ketika keluar dari rumahnya.
Di halaman rumahnya biasa saja. Tak ada tanda-tanda yang aneh. Jalanan juga sepi. Bahkan mungkin terlalu sepi bagi dia. Dia punya kebiasaan ketika pagi tiba selalu mendapati sebuah koran tergeletak di teras rumahnya. Ada anak kecil yang menjadi loper koran langganannya yang selalu melemparkan koran. Tapi ini tidak ada. Dan tidak biasanya. Lebih aneh lagi adalah pagar rumahnya bergeser sedikit.
Dia segera menghubungi Ghea tapi Ghea tidak mengangkat hanya voice mail, "Ghea, ada yang tidak beres. Coba cek Pieter!"
Jacques tidak masuk ke mobilnya. Dia keluar dari pagar rumahnya dan melihat sekeliling. Dan perasaannya pun tidak salah. Sudah ada puluhan orang menodongkan senjata semi otomatis ke arahnya. Ia hanya tersenyum sinis.
"Jadi ini yang kalian lakukan. Baiklah...."
Jacques tak ada pilihan, tak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang yang mengepungnya itu pun sudah memberondong dia dengan peluru. Peluru-peluru dari senjata semi otomatis itu pun menembus tubuhnya. Tubuh Jacques pun terkapar di pinggir jalan. Orang-orang yang menembaknya pun pergi.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Agaknya Safira yang sebenarnya tak kuat berada di dalam gedung. Melihat Arci dan Andini bisa bersatu membuat dia cemburu. Ah, hidup memang kejam. Tapi ini adalah pilihannya. Ia sangat mencintai adiknya melebihi apapun, dan ia harus bisa bahagia dengan itu. Safira melangkahkan kakinya menuju keluar gedung. Dan ia terkejut ketika tangannya disentuh oleh seseorang. Safira mengenal orang itu.
"Anda??"
"Ini aku, Agus. Masih ingat?" sapa orang itu.
Tentu saja Safira masih ingat Agus Trunojoyo, client pertamanya. Yang mendapatkan keperawanannya kala itu.
"I-iya, aku masih ingat. Apa kabar om?" tanya Safira.
"Kamu sudah dewasa ya sekarang," kata Agus melihat Safira dari atas sampai ke bawah.
Safira tersenyum. "Iyalah om, sudah berapa tahun juga."
"Maaf, kamu masih menekuni profesimu? Kalau masih boleh tuh om pakai lagi. Tadi om terkejut melihat kamu disini," kata Agus.
"Oh, udah nggak om. Maaf, om diundang juga? Kenal ama adikku berarti?"
"Aku pemilik PT. Denim, tentu saja diundang. Adikmu pemilik PT. Evolus kan? Aku tak menyangka saja dia adalah adikmu."
"Iya, kehidupan kami cukup berubah."
"Mau ikut ama om? Tenang aja, kita ngobrol. Nggak ngapa-ngapain."
Safira menghela nafasnya. Boleh juga pikirnya. Lagipula ia tak tahu apa yang harus ia lakukan di tempat itu. Ia pun mengangguk. Agus kemudian menggandeng Safira meninggalkan gedung itu. Safira menganggap Agus tak akan berbuat jahat. Sebab dulu Agus memperlakukan dia dengan baik, apalagi membayarnya dengan sangat mahal. Mungkin saja tak akan macam-macam.
Alarm berbunyi dan membuat semua orang panik. Semuanya langsung pergi keluar dari gedung acara pernikahan. Andini kebingungan terhadap apa yang dilakukan oleh suaminya.
"Ada apa?" tanya Andini.
Arci segera menggandengnya menemui Bu Susiati dan Suaminya yang kebingungan.
"Ada apa nak Arci?" tanya Bu Susiati.
"Bawa Andini pergi, ada sesuatu yang tidak beres," kata Arci.
Andini yang sepertinya mengerti maksudnya segera dibawa oleh orang tuanya pergi. Arci mengambil ponselnya kemudian menghubungi Safira. Safira pun mengangkat teleponnya.
"Kak, ada di mana?" tanya Arci.
"Aku sedang jalan ama teman," jawab Safira.
"Siapa?" tanya Arci.
"Ada deh," jawab Safira.
"Aku seriusan ini! Sama siapa?!"
Mendengar Arci berkata dengan nada tinggi membuat Safira terhenyak. "Sama Pak Agus."
"Siapa?"
"Klien aku dulu. Aku pernah cerita bukan? Kamu mengundangnya juga. Masa' nggak ingat? Kalau nggak ingat kenapa dia bisa datang?"
Arci mengingat-ingat nama Agus. Dan dia pun teringat dengan nama yang dimaksud Agus Trunojoyo. Mendengar nama Trunojoyo ia terkejut.
"Kak, pergi dari orang itu! Aku tak mengundangnya. Lari! Dia pemilik PT Denim. PT Evolus dan PT Denim musuhan kak, bukan sahabat. Aku hanya mengundang rekan-rekan kerjaku saja dari PT. Evolus! Kamu ada di mana?"
Mendengar itu Safira yang saat itu ada di dalam mobil tersentak. Tapi terlambat. Agus sudah membekap dia dengan sapu tangan berkloroform. Safira kemudian pingsan. Agus tersenyum penuh kemenangan. Dia kemudian menelpon seseorang.
"Kakaknya udah aku dapatkan!" kata Agus.
"...."
"Baiklah, sopir. Kita ke tempatku!" kata Agus.
Arci yang saat itu panik segera berlari keluar. Namun dari arah pintu masuk, tampak beberapa orang masuk dengan membawa clurit, parang, pipa dan berbagai senjata lainnya. Kini Arci sedang dihadang oleh segerombolan tukang pukul. Kemudian dari ujung gerombolan itu tampak seseorang tersenyum sinis sambil memukul-mukulkan tangan kanannya ke telapak tangan kirinya. Rambutnya cepak seperti seorang tentara, dia tegap memakai jas berwarna abu-abu.
"Alfred....," gumam Arci yang mengenali dia.
Orang-orang pun kemudian panik, mereka semua berlari keluar gedung. Mereka mengira akan terjadi pertumpahan darah di tempat ini. Arci melihat sekeliling ruangan, ia sudah tak melihat lagi teman-temannya termasuk Rahma juga Andini. Andini yang melihat orang-orang tukang pukul dari keluarga Zenedine masuk menjadi panik.
"Ma, lepasin ma. Arci masih di dalem!" kata Andini.
"Nggak, kita harus pergi. Suamimu bisa jaga dirinya," kata Bu Susiati.
"Tapi...dia sendirian Maa!" kata Andini.
"Dini, dengar Arci menyerahkanmu kepadaku. Itu artinya ia percaya kepadaku dan dia bisa menjaga dirinya. Ayo. Kita harus pergi!" kata Bu Susiati.
"Ayo Dini!" ayahnya pun menarik tangan anak perempuannya.
Andini bersedih. Seharusnya ini menjadi hari bahagia, ia telah menjadi istri dari orang yang dicintainya tapi, kenapa harus terjadi hal seperti ini. Tapi ia punya keyakinan, Arci pasti baik-baik saja. Dia segera berlari mengikuti ibu dan ayahnya.
Sementara itu Arci diam. Baru kali ini ia berhadapan dengan banyak orang apalagi dirinya tanpa senjata. Alfred memang benar-benar ingin membunuhnya. Tommy Zenedine ingin menguasai seluruh harta Zenedine bahkan harus menyingkirkan dirinya.
"Jadi, seperti inikah yang kalian inginkan?" tanya Arci.
"Hahahaha, tak usah dianggap serius. Ini sudah biasa terjadi di dalam keluarga kami. Yang tidak disuka akan kami sikat. Saling menghabisi satu sama lain itu sudah biasa," ujar Alfred.
"Aku sudah tahu apa yang kalian rencanakan. Tapi aku tak pernah menyangka kalian akan merusak acara pernikahanku," kata Arci.
"Bagus bukan? Memang itu yang kami inginkan," kata Alfred.
Arci mundur. Ia tak punya senjata, untuk bisa mengalahkan puluhan orang seperti ini, ia harus punya senjata. Dia juga teringat dengan kakaknya. Kakaknya dalam bahaya. Ia harus nekat. Dia mundur sampai ke meja makan. Makanan yang ada di pesta itu adalah prasmanan. Jadi ada sebuah kompor kecil berbahan bakar spirtus yang biasanya nyala di bawah wadahnya. Satu yang akan ia buat, kerusuhan. Dia pun akhirnya mengambil kompor kecil itu menuangkan spirtusnya ke taplak meja, kemudian api kecil dari kompor itu langsung membakar taplak meja. Jadilah meja makan itu terbakar. Tak cukup di situ, ia mengambil kompor lagi dan menuangkannya di atas karpet, membanting kompor itu sehingga api langsung membakar karpet yang digelar di gedung itu.
Alfred cukup panik melihat api, terlebih apinya entah kenapa bisa merambatcepat. Arci segera berlari ke panggung, dia melihat tongkat mic yang panjang. Diambil gagang itu kemudian ia lempar micnya. Kini ia punya senjata. Tujuannya satu, ia harus mengejar Safira.
Arci nekat menuju ke gerombolan tukang pukul yang mengepungnya. Mereka pun mulai menyerangnya. Arci pun mulai mengayun-ayunkan tongkat mic itu. Sebagian tukang pukul terkena, Arci memukul-mukul mereka tanpa ampun. Dia sudah membunuh orang, apa salahnya untuk membunuh lagi, terlebih ia sudah berada di dalam keluarga ini. Jadi penjahat atau tidak, tak ada nilainya di keluarga Zenedine. Beberapa sabetan parang mengenai punggungnya. Ia pun memutar-mutar tongkat mic itu hingga terkena beberapa orang. Arci terus mendesak mereka semua, sementara ayunan parang, tongkat dan macam-macam yang dibawa oleh tukang pukul itu terus menerjangnya. Alfred tiba-tiba berlari dan melompat kemudian menendang dadanya hingga Arci terpental. Arci mengenai sound system yang ada di pinggir ruangan. Langsung terdengar suara melengking yang membuat telinga semua orang serasa mau pecah.
Arci susah payah berdiri. Tapi kengeriannya tak berhenti di situ saja. Orang-orang Alfred kembali mengejar dia. Arci melihat di dekatnya ada jendela kaca. Kesempatan, ia kemudian memukulkan tongkat mic ke arah jendela itu sekeras-kerasnya. Kacanya pecah. Segera ia melompat keluar.
Arci kemudian berlari sekencang-kencangnya. Tidak, ia tidak ke tempat parkir. Ia menuju jalan raya. Dia dikejar orang-orang dengan senjata-senjata mereka. Tubuh Arci yang bersimbah darah karena luka sabetan tak dia hiraukan. Hal itu menjadi pemandangan aneh bagi orang-orang. Arci lalu mencoba mengubungi Safira lagi. Kali ini ponselnya diangkat.
"Halo?!" kata Arci.
"Halo," saat itu Agus yang menjawab teleponnya.
"Brengsek, di mana kamu? Lepaskan Safira!" kata Arci.
"Melepaskannya itu mudah, tapi aku harus punya jaminan dulu engkau menyerahkan seluruh aset perusahaanmu kepada PT. Denim," kata Agus.
"Baiklah, di mana kita ketemuan?" kata Arci tanpa berpikir.
"Oh, cepat sekali. Sudah kamu pikirkan baik-baik?" tanya Agus.
"Anjing! Katakan kamu dimana?!"
"Baiklah, aku tunggu di atas jembatan Sulfat"
Arci melihat seorang pengendara motor yang jalannya santai. Ia kemudian menendang pengendara motor itu. Tentu saja yang punya kaget dan karena tak bisa menghindar akhirnya terjatuh. Arci kemudian merebut motornya.
"Maaf, aku pinjam dulu!" katanya.
Segera Arci menggeber sepeda motor itu dan meninggalkan sang empunya yang ling-lung.
***
Butuh waktu beberapa menit untuknya sampai di jembatan Sulfat. Arci melihat Safira yang berdiri di pinggir jembatan bersama seorang lelaki. Sementara itu beberapa meter di depannya ada beberapa orang yang menghadang. Arci segera turun dari sepeda motornya dan berjalan mendekat.
"Lepaskan Safira!" kata Arci.
"Lepaskan? Sesuai dengan perjanjianmu. Aku sudah membawa surat-surat pengesahan agar semua aset PT. Evolus menjadi milik PT. Denim!" kata Agus.
"Brengsek," Arci mendekat.
Anak buah Agus dengan sigap memeriksa Arci kalau-kalau membawa senjata. Setelah yakin bersih ia mengijinkan Arci berjalan maju mendekat. Safira yang ketakutan ia menggeleng-geleng. Punggungnya sedang ditodong dengan sebuah pistol oleh Agus. Salah seorang anak buah Agus mendekat dengan membawa sebuah surat-surat yang telah disiapkan. Ternyata semuanya sudah disiapkan oleh Agus.
"Jadi, kamu bekerja sama dengan Tommy?" tanya Arci.
"Ah, kamu tahu juga rupanya," jawab Agus.
Arci tersenyum sinis. Anak buah Agus yang membawa surat-surat tadi mendekat ke Arci dan memberikan pena. Arci melihat tulisan-tulisan yang ada di kertas tersebut. Dia tak membacanya, tapi ia membaca situasi bagaimana cara menyelamatkan kakaknya. Arci kemudian mencorat-coret sebuah tempat untuk tanda tangan. Hingga menyentuh materai. Setelah itu Agus tersenyum penuh kemenangan.
"Hahahahaha, akhirnya PT. Evolus menjadi milikku. Selamat tinggal, cantik!" kata Agus.
DOR!
Arci terkejut. "Kak Safira!"
Safira ditembak oleh Agus. Wajah perempuan itu seperti terhenyak. Ia mencoba menggapai Arci. Arci pun menangkap kakaknya itu.
"Nggak, nggak, nggak, jangan! Kamu tak boleh pergi. Kakak nggak boleh pergi!" Arci menangis.
Safira tak bisa berkata-kata. Rasa sakit di punggungnya tembus ke perutnya membuat ia tak bisa bicara dengan lancar. Sementara itu Agus dan anak buahnya mulai pergi.
Safira menangis, tubuhnya lunglai. Kini Arci mendekapnya. Ia sangat bahagia di saat terakhir dalam hidupnya bisa melihat Arci. Lelaki yang dicintainya ini hancur sekarang. Arci sekarang lebih membutuhkan kakaknya dari siapapun.
"Terima .... kasih sudah .... memberikan cintamu kepada...ku, maaf...Ci... aku ....ttak...bi...sa... menj..jadi...ibu ... d..dari an..nak...kkhi...taa," Safira memegang perutnya.
"Jangan bilang kamu hamil!?"
Safira mengangguk.
"Tidak kak, kamu harus hidup, jangan! Tidak seperti ini!" Arci berkata sambil sesenggukan.
Safira tersenyum, kemudian tubuhnya kaku dan lemas. Ia menghembuskan nafas terakhirnya.
"Kaaaaaakkk.... Kak Safira jangan pergi! Kaaaakk!" Arci menjerit. Di pingir jalan dia memeluk kakaknya dengan bersimbah darah. Ia tak tahu kalau kakaknya sudah mengandung anaknya. Kini ia benar-benar membenci semuanya, membenci orang-orang yang telah mencelakai keluarganya. Dia akan mengejar Agus. Ia harus menuntut balas. Digesernya tubuh kakaknya hingga bersandar di pinggir jembatan.
Arci kemudian mengambil sepeda motornya tadi. Dengan segera ia geber sepeda motornya dan langsung mengejar Agus. Mobilnya masih terlihat. Dengan kesetanan Arci pun segera mengejar mobil orang yang telah membunuh Safira. Air matanya mengalir, kesedihan akan kehilangan orang yang sangat dia cintai itu tak bisa dibendung lagi.
"Terkutuk kalian, aku akan membunuhmu Tommy, aku akan membunuhmu Agus, aku akan minum darah kalian, aku akan jadi vampir yang tidak akan puas sebelum aku menghabiskan darah kalian," kata Arci sambil menarik gas penuh.
Dia pun sampai juga mengejar Agus. Mereka mulai melewati jalanan yang curam. Mereka sekarang melewati jalanan curam dan sempit di daerah Industri. Jalanan di sini memang curam, menanjak dan menikung, plus ada sebuah jembatan kecil di daerah itu. Arci menendang-nendang pintu mobil Agus. Melihat itu Agus jadi geli.
"Pepet saja, di depan ada jembatan lagi bukan?" perintah Agus.
Mobilnya kemudian memepet Arci hingga motornya Arci minggir. Kemudian tanpa disangka Arci tak melihat ke depan, sehingga ia menabrak sebuah pembatas jembatan. Dan ia pun terpelanting jatuh di atas jembatan. Mobil Agus segera berhenti. Agus kemudian keluar dari mobilnya dan menodongkan senjatanya ke arah Arci yang masih terkapar di atas jalan. Ia membiarkan Arci perlahan-lahan bangun. Dan setelah itu.
DOR! DOR! DOR! DOR! DOR! DOR!
Beberapa peluru menembus tubuh pemuda itu. Ia meraba tubuhnya yang tertembus peluru. Dia tersenyum. Mungkin Arci mengira akan bisa bertemu dengan Safira kalau dia mati. Tapi dia ingat Andini. Dia harus hidup. Arci terhuyung dan ia pun jatuh ke sungai.
BYURRR!
Agus kemudian masuk lagi ke mobilnya. Ia menginstruksikan sopirnya untuk jalan lagi. Tiba-tiba dari depan sebuah mobil Marcedes Benz SLK 250 menghantam mobilnya.
BRAAKK!
Sebuah air bag langsung terkembang ketika mobil milik Agus dihantam mobil itu. Dari dalam mobil Marcedes Benz itu, muncullah Ghea. Beberapa anak buah agus yang berada di mobil lainnya keluar. Kemudian Ghea menyambutnya dengan tembakan di pistol glock miliknya.
DOR! DOR! DOR! DOR!
Terjadi perang sengit di jalanan. Tapi Ghea tahu prioritasnya. Menyelamatkan Arci. Dia segera berlari ke arah jembatan dan menceburkan dirinya ke sungai. Arus sungai yang deras itu pun menyeretnya jauh. Sementara anak buah Agus berusaha menembaki dia dari atas jembatan.
Agus kehilangan sopirnya. Sopirnya kaget terkena hantaman mobil mewah itu, hal itu mengakibatkan sampai-sampai lehernya patah. Agus yang duduk di belakang selamat, ia keluar dari mobilnya.
"Sudah, sudah, biarkan. Ayo kita segera pergi!" katanya. Mereka semua pun akhirnya pergi dan meninggalkan mobil Agus ada di situ. Sementara itu Agus menumpang mobil anak buahnya.
Sementara itu di sungai Ghea berhasil menangkap Arci. Dia pun segera menyeret Arci ke pinggir. Dengan sisa-sisa tenaganya ia segera membawa Arci pergi, berjalan menembus semak belukar. Tubuh Arci bersimbah darah, terdapat banyak luka di tubuhnya. Ghea harus membawa Arci untuk diobati, tapi ke mana? Dia akhirnya menggendong Arci tanpa tujuan.
Ghea terus menggendongnya hingga ia melihat sebuah klinik kecil. Dia segera berlari ke klinik itu. Klinik itu kecil, belum ada pasien sepertinya. Segera saja Ghea masuk ke klinik itu. Ya, langsung masuk tentu saja, tanpa babibu. Di dalamnya ada seorang perawat yang kaget. Terlebih melihat Arci yang penuh luka sampai darahnya menetes di lantai.
Ghea menodongkan senjatanya, "Kalau kamu tak obati dia, aku akan menembakkan pistol ini ke kepalamu!"
Perawat itu gemetaran, ia panik dan segera mengambil peralatannya. Arci kemudian diletakkan di atas sebuah ranjang. Dokter jaga klink itu pun datang datang dan terkejut melihat Ghea yang menodong perawat kemudian dirinya. Sang dokter pun melihat Arci di ranjang. Ia menelan ludah.
"Selamatkan dia, cepat!" kata Ghea.
"OK, kami akan selamatkan dia tapi jangan ditodong. Turunkan senjatanya!" kata dokter.
"Kamu berani memerintah aku?" tanya Ghea.
"Ti...tidak, baiklah," sang dokter pun mulai bekerja.
"Arci, bangun!" Andini menggoyangkan tubuhnya.
Arci pun bangun. Ia membuka matanya. Dilihatnya Safira memakai baju piyama. Wajahnya sungguh cantik. "Kamu cantik sekali hari ini."
"Gombal"
"Beneran. Kamu seperti bidadari."
"Ayo bangun!"
"Aku rasanya tak ingin bangun. Kalau memang ini mimpi aku ingin di sini terus."
Safira mendekat dan memberikan kecupan di keningnya. "Kalau kamu tidak bangun, bagaimana kamu akan menyongsong hari ini? Banyak yang menunggumu."
"Temani aku sebentar! Aku rindu kamu, aku sangat kehilangan kamu."
Safira menggeleng-geleng. Ia pun berbaring di sebelah kekasihnya. Kedua mata mereka bertatapan, mata Arci menyiratkan kerinduan yang sangat. Arci lalu merangkul Safira, lalu menciumnya. Ia memejamkan mata. Arci bersedih, ia ingin memeluk kakaknya lebih lama. Ia sangat kehilangan.
"Jangan pergi kak! Jangan pergi! Aku akan berikan apa saja, tapi jangan pergi. Aku tak mau separuh nafasku pergi meninggalkanku."
"Ada banyak perjumpaan, ada pula kepergian. Aku tak bisa di sini terus."
Arci berderai air mata. "Kumohon jangan pergi. Kamu sudah berjanji akan jadi ibu dari anak-anakku, jangan pergi! Aku mohon!"
"Aku akan selalu bersamamu. Aku selalu melihatmu. Adek. Kamu sudah ada Andini, jangan lepaskan dia!"
"Hiks...aku butuh kamu, aku rela membuang semua kekayaan ini untuk kamu! Jangan pergi! Aku janji aku akan mengajakmu liburan, aku janji aku akan buatkan rumah untuk kita. Aku janji!"
Safira mengusap wajah adiknya, ia lalu bangun. Ia mendorong pelan agar pelukan Arci terlepas.
"Dunia ini cuma sementara adikku. Di mana tempat untuk orang seperti aku? Tak ada yang menerimaku, engkau satu-satunya orang yang mau menerimaku. Engkau satu-satunya orang yang memelukku erat saat tak ada siapapun yang mau peduli kepadaku. Engkau satu-satunya lelaki yang menghiburku saat yang lain merendahkanku. Aku sudah punya tempat tinggal di hatimu, aku akan selamanya di sana. Kamu harus berjuang untuk hidup. Karena Andini juga tinggal di sana. Aku dan dia ada di hatimu. Selamanya..."
"Kaak...! Maafkan aku...!"
Safira tersenyum. Senyumnya tak akan pernah dilupakan oleh Arci. Perlahan-lahan tubuhnya bercahaya, kemudian menghilang.
"Kaaaakk! Kak Safiraaa!"
* * *
Ghea melihat jalannya operasi. Tubuh Arci penuh luka, bacokan di punggung, sayatan di lengan, pelipisnya berdarah, enam peluru menembus dada dan perutnya. Beruntung tidak mengenai jantung. Arci kehilangan banyak darah, bahkan detak jantungnya sempat berhenti beberapa kali. Tapi kondisi kritis itu sudah lewat. Ada sesuatu yang membuat Arci berjuang hidup. Ghea keluar dari kamar bedah lalu duduk di kursi tunggu.
Dokter lalu keluar dari kamar operasi. Ia melihat Ghea yang sepertinya kelelahan. Bajunya masih basah akibat terjun ke sungai. Tangan Ghea gemetar sambil membawa pistol glocknya.
"Kamu perlu baju ganti?" tanya sang dokter.
Ghea menatap ke arahnya.
"Jangan berpikir buruk, aku cuma mau menolong. Aku tak peduli apa yang sedang terjadi dengan kalian. Aku hanya ingin menolong. Itu sudah jadi tugasku," ujar sang dokter.
Ghea tersenyum tipis. "Baiklah, ada baju?"
"Ada, asistenku bisa menyediakannya. Aku tak tahu ukurannya pas atau tidak."
"Ada mobil?"
"Kalau soal itu..."
"Heh, jangan khawatir. Aku akan mengembalikannya!"
Singkat cerita setelah Ghea mendapatkan baju ganti, ia segera membawa Arci pergi dengan mobil milik sang dokter. Satu hal yang dijanjikan oleh Ghea kepada sang dokter. "Aku akan mengembalikannya nanti, berikut uang untuk biaya operasi."
Mobil Hyundai Avega milik sang dokter itu melaju. Ghea menuju ke sebuah tempat yang sering ia jadikan latihan. Tempat itu tak banyak orang yang tahu, termasuk Tommy. Jadi menurutnya itu tempat teraman bagi dia sekarang. Hari itu ia juga membaca banyak berita tentang kerusuhan kemarin. Letnan Yanuar tewas, Jacques, Pieter, Amanda, dan Safira. Mata Ghea berkaca-kaca saat mengetahui kematian ayahnya. Semua orang kehilangan. Arci kehilangan, dia juga. Agaknya kedua orang ini punya satu tujuan yang sama, balas dendam.
Ghea melajukan mobilnya sampai ke daerah perbukitan, jalanan berliku, berkelok. Setelah mengisi bahan bakar di SPBU, dia masih terus menyetir hingga dua jam. Jauh sekali. Mereka berhenti di sebuah pondok. Halamannya cukup luas, dan pemandangannya di depannya ada sebuah gunung dan jurang. Dari jauh terlihat sebuah Waduk. Ghea tiba di sana hari sudah malam. Segera ia menggendong Arci menuju ke dalam pondok. Ghea mengambil kunci yang dia simpan di sebuah pot, lalu dibukalah pintunya. Cewek berambut merah ini menuju ke kamar dan meletakkan Arci di sana. Ghea juga ambruk di samping Arci.
"Aku juga capek. Kamu harus hidup! Aku tak bisa menghadapi mereka sendirian. Kamu harus hidup!..."
Ghea menatap wajah Arci. Ada perasaan tertentu ketika dia menatap wajah pemuda itu. Ia mulai ada rasa tertarik kepada pemuda yang dulu ia todong. Sang pemuda ini berani menghadapi semuanya sendirian. Ia juga tak takut terhadap ancaman pistol. Baru kali ini ia bertemu pemuda seperti ini, berbeda dengan cowok-cowok pengecut yang pernah ia temui. Ghea kemudian mengecup bibir Arci.
"Ini hadiah buat kamu. Kamu harus hidup. Aku tak tahu apa yang terjadi kepadaku, aku jadi mellow kalau dekat kamu. Jadi malu, jadi tersipu-sipu, dadaku berdebar-debar. Aku tak mengerti apa yang terjadi kepadaku. Tapi kalau perasaanku ini bisa membuatmu hidup, maka hiduplah! Aku tak tahu... tapi aku sepertinya menyukaimu, cinta? Entahlah....jangan mati! Jangan mati!"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Suara ayam jago berkokok membangunkan sang mentari. Arci yang sudah tiga hari pingsan pun akhirnya bangun. Tubuhnya rasanya sakit semua. Di kamar yang berukuran 3x3 meter itu ia kebingungan kenapa bisa ada di sana. Padahal ia tadinya berharap mati saja. Rasa kehilangannya sangat dalam, kehilangan Safira membuat ia benar-benar tak punya semangat hidup. Arci membuka matanya, menatap langit-langit, merasakan hawa dingin yang menusuk. Selimut tebal yang menutupinya rasanya tak bisa menghalau hawa dingin itu.
Arci pun menyingkapkan selimut itu. Ia kebingungan melihat tubuhnya telanjang. Dan yang pertama kali dirasakannya adalah "panggilan alam". Dia segera menuju ke sebuah pintu yang dia kira kamar mandi. Dan benar, itu pintu kamar mandi. Dia mengeluarkan hajat yang ada di dalam tubuhnya. Setelah itu berkaca di cermin yang ada di kamar mandi. Ada banyak luka yang diperban. Ia masih ingat peluru-peluru itu menembus tubuhnya. Sayatan-sayatan parang, pukulan pipa, ia ingat bagaimana rasanya itu semua. Kehidupannya belum berubah. Masih kelam. Tapi ia merasa ini lebih gelap. Kekayaan tak menjamin ia bisa hidup dengan tenang sebagaimana yang ia inginkan. Setelah selesai urusannya di kamar mandi, Arci mengambil handuk yang ada di gantungan kamar mandi. Ia keluar.
Agak terkejut ketika mendapati Ghea ada di sana. Ghea memakai tanktop warna merah dan celana pendek jeans. Hal menampakkan kemulusan tubuhnya. Arci tak bisa menyembunyikan ketertarikannya pada tubuh Ghea yang terpampang di hadapannya. Apalagi Ghea sedang duduk di tepi ranjang, dengan tangan bersedekap, dan kakinya disilangkan.
"Kamu sudah siuman?" tanya Ghea.
"Kalau sudah begini ya sudah siuman," jawab Arci.
"Hahahaha, aku pikir kamu tak akan selamat kemarin. Tiga hari pingsan. Engkau sekarang sudah merasakan bagaimana peluru menembus tubuhmu kan?"
"Iya"
"Sekarang, apa yang ada di pikiranmu?"
Arci tak menjawab. Dia masih bingung. Dia teringat lagi tentang Safira.
"Apa yang sudah terjadi?"
"Kamu harus berterima kasih kepadaku, aku mengumpulkan berita selama tiga hari engkau berada di rumah pribadiku."
"Ini? Di mana?"
"Ini di daerah Nongko Jajar. Di atas gunung. Aku memang memilih tempat ini untuk menyepi. Tak akan ada orang yang mengganggu. Bahkan para cecunguk Tommy tak akan menemukan kita. Tak ada sinyal telepon, tapi kalau kamu mau akses internet, kita ada sambungan satelit."
"Nongko Jajar?"
"Iya, daerah ini dari Malang terus ke timur melewati Pakis, kemudian ke Utara. Kalau kamu mau terus ke Utara, kamu akan mendapati hutan belantara yang belum tersentuh."
"Aku baru tahu daerah yang belum tersentuh."
"Jadi, apa yang ada di pikiranmu sekarang?"
"Aku mau balas dendam."
"Sama sepertiku."
Arci mengangkat alisnya.
"Tapi, dengan kondisimu yang sekarang kamu belum siap. Aku akan melatihmu hingga kamu siap."
"Melatihku?"
"Kita masih ada waktu. Kamu jangan khawatir, istrimu, ibumu, adikmu semuanya selamat. Aku yang mengabari mereka."
Arci baru ingat kalau ponselnya tak ada. Ghea berdiri menuju ke lemari, di sana ada beberapa baju. Ia mengambilnya kemudian menyerahkannya ke Arci.
"Pakailah, ini baju ayahku. Kuharap pas, kalau toh tidak, kamu bakalan tiap hari pakai handuk itu!" kata Ghea sambil tersenyum.
Arci nyengir melihat kondisi tubuhnya yang hanya memakai handuk. Ghea setelah itu keluar dari kamarnya. Segera Arci memakai baju yang ada. Dia kemudian melangkah keluar. Dia melihat suasana rumah yang kecil, nyaman, hampir semuanya terbuat dari kayu. Sampai ubinnya juga terbuat dari kayu. Beberapa foto ada di sana. Foto-foto pamannya, juga Ghea. Ada foto Ghea merangkul senapan laras panjang, seperti sniper rifle. Ada juga senapan yang di pajang, itu senapan asli.
Ada tiga sofa di ruang tengah dan sebuah meja. Di tengahnya ada vas bunga yang isinya kosong. Arci melihat keluar rumah, di sana ada Ghea yang sedang mengelap pistolnya. Di sana ada meja dan Ghea berdiri di depan meja. Ada beberapa senjata api yang digelarnya. Arci menghampirinya.
"Hidup ini memang keras, aku yakin kamu tahu itu. Terkadang kita tak bisa lari, terkadang kita harus melawan balik." Ghea menggenggam pistolnya, lalu membidik Arci.
KLIK!
Arci sedikit kaget. Ia sangka Ghea beneran menembaknya.
"Itu yang aku suka, kamu tak berkedip ketika pistol ini aku tarik pelatuknya. Orang biasa pasti akan memejamkan mata. Kamu tidak, kamu sudah tahu rasanya menembakkan senjata, kamu juga sudah tahu rasanya ditembus peluru. Itu akan jadi nilai plus. Aku tahu kamu kehilangan, sangat kehilangan. Dan aku ingin rasa kehilanganmu itu kamu fokuskan untuk membalas perbuatan mereka. Jadikan itu sebagai semangatmu. Nih, tangkap!"
Arci menangkap pistol glock yang dilemparkan oleh Ghea. Rasanya sedikit ringan daripada yang ia pegang dulu. Mungkin karena tak ada pelurunya. Mungkin juga ia pernah memegang pistol sebelumnya. Dia menatap Ghea. Di mata gadis ini, terpancar hawa balas dendam. Dan dia sedang butuh bantuan.
"Aku ingin menghubungi Andini," kata Arci.
"Kamu nanti bisa menggunakan laptop di kamarku," kata Ghea. Dia segera menghampiri Arci dipegang tangan pemuda ini, "Aku ingin bertanya kepadamu lagi. Kamu sudah masuk di keluarga ini. Suka atau tidak kamu akan berkubang lumpur di keluarga ini. Dan kamu harus siap. Sebelum lebih jauh melangkah aku tanya lagi. Kamu siap?"
Arci menatap mata Ghea. Ia tak mampu menjelaskan apa yang ada di dalam dirinya sekarang ini. Ketika ingat Safira, ia pun langsung berkata, "Aku siap."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Andini bersedih. Ya, dia bersedih. Dia berdiri di hadapan kuburan Safira. Ia tak bisa membendung tangisnya. Padahal mereka baru saja dekat, tapi semuanya berlalu begitu cepat. Hanya sang ibu yang bisa mengelus-elus punggungnya untuk menenangkan putrinya. Saat sedang bersedih itulah Ghea tiba-tiba muncul.
"Andini?!" sapa Ghea.
Andini menoleh ke arah Ghea. Bu Susiati juga tak menyadari kalau Ghea ada di dekat mereka.
"Arci selamat. Aku ingin kamu, ibunya Arci, adiknya dan kalian semua sembunyi dulu. Kalian tak aman berada di sini," kata Ghea.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Andini. "Kenapa mereka melakukan ini?"
"Ada orang yang gila harta ingin menghabisi Arci dan yang lainnya. Papaku juga telah dibunuh oleh mereka. Bukan kamu saja yang kehilangan," kata Ghea.
"Maaf, aku turut berduka," kata Andini.
Ghea tersenyum simpul. Dia melangkah mendekat ke Andini lalu memberikan dia pelukan. Bukan seperti Ghea pada umumnya. Ghea juga heran kenapa dia bisa berbuat demikian, semenjak mengenal Arci dan tenggelam dalam kehidupan sepupunya itu, ia banyak berubah. Dan kali ini ia melakukannya secara spontanitas.
"Aku akan menjaga Arci, kamu jangan khawatir. Sementara ini, kamu ganti nomor telepon. Mereka bisa melacakmu kalau kamu pakai nomor yang lama," kata Ghea.
"Kenapa kamu melakukan ini?"
"Karena kita keluarga, Arci sudah menjadi keluargaku, dan engkau juga. Kalian juga," kata Ghea sambil menepuk-nepuk punggung Andini.
Ghea melepaskan pelukannya. Andini tampak masih bersedih. Ia tak percaya terhadap apa yang baru saja terjadi.
"Kalian punya tempat untuk sembunyi bukan?" tanya Ghea.
Bu Susiati menghela nafas, "Ada, kami akan mengajak Lian dan anaknya. Kamu jangan khawatir. Bagaimana keadaan Arci?"
"Dia masih pingsan, belum siuman sampai sekarang. Tapi dia telah melewati masa kritis. Maaf, merusak acara bulan madu kalian," Ghea menggenggam tangan Andini yang dingin.
Wajah Andini datar. Ia terlalu sedih untuk dihibur.
"Jaga diri kalian, aku akan menyuruh Arci untuk menghubungimu lewat email kalau nanti dia sudah sadar, untuk sementara kalian jangan bertemu dulu dengan dia. Dia sendiri nanti yang akan menemui kalian," kata Ghea.
"Ghea...."
"Ada apa?"
"Bilang kepada Arci, balaskan setiap tetes darah Safira yang ditumpahkan oleh mereka. Balaskan sakit hatiku, sakit hati kita semua."
"Ya, aku akan menyampaikannya," ujar Ghea sambil tersenyum kepada Andini.
Setelah itu ia meninggalkan Andini dan ibunya. Andini kemudian merangkul ibunya. Seharusnya ini menjadi hari bahagia karena Andini sudah bisa bersama Arci. Entah apalagi yang akan terjadi ke depannya. Ghea dan Arci pasti punya rencana sendiri pikir Andini. Dan ia akan menunggu kedatangan Arci suatu saat nanti.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Tommy tampak puas. Dia telah melaksanakan apa yang dia inginkan. Kini ia duduk di kursi presiden direktur. Dia melihat sebuah foto yang terpampang di pigura. Foto Andini.
"Tch, aku lupa kalau mereka sudah menikah," gumam Tommy. "Ah, whatever. Tak penting. Sekarang tak akan ada lagi yang bisa merebut kekayaan ini."
Alfred masuk ke ruangannya. "Papa?"
"Hai Alfred, kerja bagus. Kamu sudah melacak keberadaan mereka?" tanya Tommy.
"Mereka sepertinya menghilang."
"Apa kita sandera saja istrinya biar dia bisa muncul?"
"Itu ide bagus. Aku juga sudah berpikir ke arah sana, tapi mereka juga menghilang tanpa jejak."
"What?"
"Ah, tapi aku tak peduli. Mereka tak akan mungkin merebut ini. Apa mereka mau cari mati? Hahahaha, kerja bagus. Sekarang tinggal kita satukan perusahaan ini dengan PT Denim."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Andini menerima email Arci.
From: arci
To: andini
Subject: I'm Sorry
Maaf sayangku, sepertinya aku harus menunda bulan madu kita. Tapi secepatnya aku akan kembali.
I love you.
Arci.
"Arci, aku merindukanmu," desah Andini. Dia bersama dengan ibu, ayahnya, Lian dan Putri mengendarai mobil pergi ke tempat yang dirasa mereka aman. Andini tak membalas email dari Arci. Tapi ia yakin Arci sekarang pasti sangat merindukannya. Tiba-tiba saja pikirannya mengatakan bagaimana kalau Ghea jadi lebih dekat ke Arci? Ah, itu hanya perasaannya. Tapi sebagai istrinya ia juga punya rasa cemburu.
"Arci, aku merindukanmu," lagi-lagi Andini mendesah.
Dan Arci saat itu sedang memandang langit yang penuh bintang. Dia bergumam, "Andini, tunggulah aku...." DOR! DOR! DOR!
Arci menembak tiga target dan semuanya kena. Sudah hampir satu bulan Arci berlatih. Kini dia sudah mulai bisa menggunakan pisau, pistol dan beberapa gerakan kravmaga. Hampir tiap hari dia berlatih dengan Ghea. Sekalipun tubuhnya sakit semua, tapi Arci memaksa untuk berlatih. Pagi hari turun gunung, kemudian naik lagi lagi. Begitu terus hampir tiap hari. Kini otot-ototnya sudah terbentuk. Refleknya pun sudah terbentuk. Di bulan kedua Arci mulai mahir, menggunakan semua senjata yang ia punya, bahkan menggunakan apapun sebagai senjata. Ghea benar-benar keras melatihnya.
Mungkin karena sering bersama Arci, melihat tingkah Arci, mempelajari sifatnya, Ghea makin terusik hatinya. Dia tak tahu apa maknanya. Hatinya merasa kehilangan ketika Arci belum naik gunung sampai hari hampir siang. Tapi perasaannya lega ketika melihat Arci tiba. Ketika Arci membuka perbannya ia sangat kesakitan dan entah mengapa Ghea reflek langsung menolongnya. Awalnya mereka diam-diam saja, tak bicara satu sama lain. Kemudian seminggu setelahnya mereka mulai bicara satu sama lain walaupun masih canggung. Minggu kedua, barulah mereka bisa bicara akrab satu sama lain.
Awalnya Ghea tertutup. Tapi dia kemudian mulai bicara. Dia menceritakan masa lalunya, dia menceritakan bagaimana dia berlatih militer, dididik keras oleh ayahnya hingga seperti sekarang. Arci pun mulai menyadari Ghea tak pernah diajarkan tentang cinta.
"Kamu pernah tahu ayahku bukan? Ceritakan tentangnya! Orangnya seperti apa?" tanya Arci.
"Ah, paman Archer. Dari seluruh keluarga Zenedine. Kukira dia yang paling baik. Dia sangat lembut kepadaku, berbeda dengan ayahku. Aku suka setiap dia memperlakukanku. Aku rindu saat dia menganggapku sebagai orang yang paling dia sayangi. Aku tak pernah mendapatkan perlakuan sayang dari seorang lelaki manapun kecuali dari dia. Sebagai keponakannya ia sangat memanjakanku, ayahku sempat marah ketika aku bermain boneka hadiah ulang tahunku yang diberikan oleh paman Archer. Ayahku marah dan merusak boneka itu."
"Itu kejam sekali!"
Ghea tersenyum. "Apa yang bisa kamu harapkan dari ayahku?"
"Ah, aku kira dia orang yang baik."
"Dia sangat baik sebenarnya, hanya saja ia menempatkanku kepada fungsinya."
"Fungsi?"
"Fungsiku di keluarga ini adalah sebagai tangan kanan ayahku. Dia adalah anjing penjaga Zenedine, aku harus mensupport dia. Agaknya setelah ayahku tidak ada semua sekutu-sekutunya pun tidak punya kekuatan untuk mengalahkan Tommy."
Malam mulai larut. Mereka berdua duduk di dekat perapian. Sementara itu hawa dingin mulai datang, kabut sudah menyapa menyelimuti sekeliling rumah. Ada rasa debar tak menentu di dalam diri Ghea. Baru kali ini dia bertemu dengan lelaki seperti Arci, biasanya kalau seorang lelaki di dekatnya bakal langsung menggoda dirinya. Tapi Arci tidak. Karena itulah ia merasa nyaman dekat dengan Arci, tak hanya itu, ada sesuatu yang lain.
"Kamu pernah jatuh cinta sebelumnya?" tanya Arci.
Ghea bingung menjawabnya, "Aku...jujur tak tahu apa itu cinta."
"Sungguhkah?"
"Iya."
"Ah, I see."
"Anehkah orang yang belum mengenal cinta?"
"Tidak juga, hanya saja. Seseorang paling tidak harus mengenal cinta sekalipun sekali. Ketahuilah, kamu pernah mengenalnya."
"Kamu sok tahu."
"Ketika ayahku memperlakukanmu, itu adalah cinta."
"Cinta?"
"Ya, cinta seorang paman kepada keponakannya."
"Ayahku juga mencintaiku, dia senang ketika aku menyelesaikan tugas yang diberikan olehnya."
"Bukan seperti itu. Cinta itu tak butuh balasan. Cinta tak membutuhkan imbalan. Ketika seseorang mencintai orang lain, maka yang ia lakukan adalah memberikan cinta itu tanpa mengharapkan balasan."
"Apakah orang sepertiku bisa memberikan cinta kepada orang lain?"
"Bisa, tentu saja bisa."
"Bagaimana caranya?"
Arci juga bingung menjawabnya. "Ah, soal itu. Banyak cara sih. Seperti memberikan kecupan, atau memberikan hadiah seperti yang ayahku lakukan. Atau mungkin selalu memperlakukan dia dengan baik."
"Kamu mencintai kakakmu?"
"Ya, sangat mencintainya."
"Apakah bercinta dengannya juga salah satu wujud cinta?"
"Ah, soal itu....beda."
"Beda? Kenapa beda? Bukankah kalian saling mencintai?"
"Iya, tapi seharusnya itu tak terjadi."
"Kenapa?"
"Ah, aku tak tahu. Ada hal-hal kompleks yang tak bisa aku jelaskan dengan bahasaku sendiri."
Ghea merangkak mendekat ke Arci. "Aku tak tahu apa itu cinta, tapi... saat ini dadaku berdebar-debar ketika bersamamu."
"Hah?"
Ghea mengangguk. "Dan semenjak aku melakukan ini...". Ghea tiba-tiba mencium bibir Arci. Arci kaget. Wajah Ghea makin tersipu-sipu, "Rasanya aneh, perasaan itu makin kuat."
Arci tak menyangka Ghea menyukai dia.
"Apakah itu cinta?"
"M-mungkin."
"Tak mungkin, aku jatuh cinta kepadamu? Tapi, saat aku mengatakannya aku menjadi lega. Ya, lega. Arci, aku sepertinya jatuh cinta kepadamu."
Arci mengerutkan dahi. Ia tak tahu harus bilang apa. Ghea makin mendekat kepadanya. Bibir mereka bertemu lagi. Ingat Arci lelaki normal. Berduaan dengan wanita seksi, berambut merah, cantik dan kulitnya mulus, siapa yang tak tergoda, tapi, dia tahu diri. Apakah kalau dia melakukannya dengan Ghea berarti ia telah mengkhianati Andini? Ia pun bingung, haruskah ini terjadi lagi?
"Ghea, kamu tahu aku sudah beristri," kata Arci.
"Ya, aku tahu. Apa salahnya? Bukankah kamu juga melakukan hal itu kepada kakakmu? Bukankah papaku dan ibu tirimu juga melakukannya? Salahkah hal itu?"
"Itu...," Arci tak bisa menjawabnya.
Ghea yang hanya memakai kaos dan celana pendek itu mulai menggoda Arci dengan menempelkan tubuhnya ke tubuh Arci. Kini kedua selakangan mereka bertemu lagi. Ghea teringat akan peristiwa memalukan antara dirinya dan Arci saat itu. Posisi kemaluan mereka bertemu seperti sekarang. Perlahan-lahan Arci menerima tubuh Ghea yang bersandar di tubuhnya.
Arci tahu ini salah. Tapi mungkin karena situasi dan kondisi, godaan ini terlalu kuat. Dia juga manusia biasa, tak mungkin ia bisa menolak ini. Apalagi Ghea masih polos, kalau ia menolaknya takut Ghea salah mempresepsikan tentang arti cinta yang sebenarnya. Mungkin dengan perlahan ia akan mencoba untuk mengajarinya. Arci agak ragu ketika ingin menjamah rambut Ghea yang tergerai panjang. Akhirnya dia pun memeluknya.
"Andini, maafkan aku," rutuknya pada dirinya sendiri. Mungkin pria manapun tak akan sanggup menerima cobaan berat seperti ini. Seorang cewek, cantik, dan sedang ingin dibelai berada di depannya menggoda dirinya. Siapapun lelaki itu pasti akan takluk. Sebenarnya bisa saja Arci saat itu mendorong Ghea dan Ghea tak akan marah, tapi perasaannya melampaui itu semua. Terlebih Arci juga sudah lama tak bercinta, rasa itu pun datang, sebuah rasa yang disebut sebagai nafsu. Ya, nafsunya sudah melebihi apapun.
"Kamu mau bercinta denganku?" tanya Arci.
"Sejujurnya berhubungan badan aku hanya sekali, dan itu pun ketika aku diperkosa dulu," jawab Ghea.
"Kamu mau merasakan make love yang sesungguhnya?"
Ghea mengangguk.
"Tapi aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu, cinta itu tak bisa dipaksa. Dan aku sudah mencintai wanita lain. Kamu tahu?"
Ghea mengangguk. Ia memalingkan wajahnya, "Maafkan aku..." Ghea meneteskan air mata. Baru kali ini Arci melihat gadis ini meneteskan air mata. Baru kali ini. Ghea yang terkenal keras, kejam, beringas, bisa melow seperti ini. Arci memegang wajahnya agar menatap dirinya. Mata Ghea masih berkaca-kaca. Arci tak tega dan kemudian menciumnya. Mereka pun berpagutan. Arci bernafsu menciumnya. Tak ada yang bisa mencegah mereka berdua bercinta malam itu. Di depan perapian, dengan hawa dingin yang makin menusuk, serta birahi yang telah memuncak. Akhirnya Arci harus melakukannya. Ia akan melakukannya dengan lembut.
Perlahan-lahan Ghea menarik kaos Arci, kini tubuh Arci bagian atas terbuka. Ada perban di bagian luka tempat dia dijahit. Sementara bekas luka tembak yang ada di tubuhnya sudah mengering. Ada enam, Ghea berkaca-kaca melihat luka itu. Baginya itu luka terindah yang pernah ada pada seorang cowok, luka yang macho menurut Ghea. Dia pun menciumi luka itu. Setelah satu per satu luka itu dicium, barulah Arci melepaskan baju Ghea. Kini mereka berdua sama-sama atasannya tanpa baju alias topless.
Buah dada Ghea tak terlalu besar. Mungkin cukup di tangan Arci, dia pun mencoba untuk memegangnya. Ghea menangkap tangannya dan menuntun tangan Arci untuk meremasnya.
"Aaahhkk..!" erang Ghea. "Arci...remas yach?!"
Arci meremasnya, terus dan terus. Ia memberikan rangsangan di buah dada Ghea yang putingnya terlihat kemerahan itu. Mata Ghea menatapnya sayu. Sementara itu pinggul Ghea terus bergerak-gerak, belahan vaginanya menggesek kemaluan Arci membuatnya sedikit ngilu dan sakit.
Ghea sepertinya tahu Arci kesakitan, dia pun melepaskan celana pendeknya. Kini tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Dia beringsut melepaskan celana lawan mainnya. Arci membantu Ghea melepaskan semua baju yang melekat di tubuhnya, kini keduanya tanpa busana, Ghea langsung memeluk Arci. Kedua tubuh mereka bertemu memberikan kehangatan satu sama lainnya.
"Arci, aku ingin jadi kekasihmu," kata Ghea.
"Kamu tahu, cinta tak bisa dipaksa," kata Arci.
"Jadilah kekasihku hanya untuk malam ini, please!"
"I can't"
"Ohhh... please suck my nipple!"
Arci menurut, ia pun langsung menghisap puting susu Ghea. Ghea menggelinjang hebat. Dia meremas kepala Arci kuat-kuat, mengacak-acak rambutnya, baru kali ini ia merasakan geli seperti ini. Geli dan nikmat yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Dia baru sadar, tak pernah ada lelaki yang menghisap putingnya seperti ini. Tidak juga wanita-wanita yang pernah memuaskan dirinya. Arci menghisapnya dengan penuh perasaan. Arci menghirup aroma tubuhnya. Ghea merasa malu. Dia khawatir bau tubuhnya menyengat, tidak enak. Tapi Arci terus menghirupnya. Bahkan setelah puas menghisap pentil susunya, Arci menuju ke ketiaknya. Ketiaknya memang ada bulu-bulu halus, tidak panjang, sangat pendek, bukan tidak berbulu. Bahkan memang mungkin terlihat tidak berbulu, tapi bulu-bulu halus itu akan terlihat kalau mata mendekat seperti Arci sekarang yang mengunyah ketiaknya. Ghea makin menggelinjang. Kemaluannya makin banjir.
"Tidaaakk....Arrgghh...! Arci...aku...tak tahan lagi!"
Arci tak menghiraukannya, ia terus menikmati ketiak gadis blesteran ini. Dia meronta, tapi rasanya tak ingin Arci mengakhirinya. Arci menjilatnya, menghirupnya, menghisapnya. Ghea pun mengejang. Memeluk Arci erat-erat.
"Akh...aku nyampee....!" keluhnya.
Arci menyudahi aksinya. Ghea duduk di pangkuannya sekarang sambil nafasnya terengah-engah. Arci membelai rambut gadis ini. Gadis yang belum pernah merasakan nikmatnya bercinta. Mereka berpandangan, kemudian berpagutan lagi. Kini Ghea, menjilati tubuh Arci. Dia terus mengelamuti tubuh pemuda ini hingga Ghea turun dari pangkuan Arci. Kemudian dia mulai menciumi perut Arci dan sebuah tongkat tegang mulai menyentuh dagunya. Ghea memegang batang Arci yang sudah keras. Membelainya, lalu bibirnya mengecup topi bajanya.
Arci merinding. Lidah Ghea meliuk-liuk, menjilati batangnya, lalu menyapu kedua telurnya. Ghea agaknya berlama-lama di sana sambil menghirup aroma yang keluar dari tubuh Arci. Dia suka. Dia suka aroma penisnya. Dia mengemut dua bola yang lari-lari itu. Arci lemas, ia tak berdaya dengan perlakuan Ghea itu. Ghea mengocok lembut batang itu sambil ia hisap pangkalnya. Telurnya lagi-lagi dijilati, hingga hampir menyentuh anusnya. Ghea teruskan dengan mengulum batang penis Arci yang makin mengeras. Setetes lendir bening mulai keluar sedikit di lubang kencingnya. Ghea tak sia-siakan dihisapnya lendir itu. Kini penisnya benar-benar basah oleh air liur gadis ini.
"Gheaa...aahhkk!" Arci tak tahan.
"Bercintalah denganku Ci!?" katanya.
Arci tak tahan lagi. Ia pun segera menubruk Ghea. Ia memeluk Ghea sekarang, mereka berpagutan. Arci meremas buah dada Ghea lagi, Ghea menggelinjang hingga tak sengaja kepala penis Arci menyentuh bibir kemaluannya yang berbulu.
"Ufffhh!" keluh Ghea.
Dan Arci pun mulai mendorongnya. SLEEBB...karena becek mudah sekali untuk bisa masuk. Dan tak disangka kemaluannya dicengkram kuat oleh liang senggama Ghea. Ghea mendongak dan menatap Arci lekat-lekat.
"Inikah rasanya?" tanya Ghea. "Aku tak pernah bercinta seperti ini."
Wajar bagi Ghea baru merasakannya. Selama ini ia hanya merasakan lewat perkosaan. Dia dipaksa waktu itu, juga disiksa. Tapi kali ini Arci melakukannya dengan kasih sayang, dengan perasaan yang kuat. Membuat Ghea merasakan hubungan intim ini melebihi apapun yang diinginkannya.
Arci mendiamkan penisnya tertanam di dalam. Ia juga menikmati bagaimana liang senggama Ghea mencengkeram kuat. Kedutan demi kedutan, makin lama membuat ia keenakan. Ghea terus memandang Arci. Pemuda ini merasa ditantang oleh Ghea, "Ayo goyang!"
Arci pun mulai menarik dan memajukan pinggulnya. Maju mundur, maju mundur. Gesekan demi gesekan kini membuat rangsangan demi rangsangan menjalar ke seluruh tubuh Ghea. Rasanya sangat nikmat, geli, nikmat, entahlah ia tak bisa menjelaskannya. Dia menggigit bibir bawahnya dan matanya mulai terpejam.
"Arci...nikmat sekali, aku tak pernah merasakan senikmat ini," kata Ghea.
Arci tak bicara, hanya terus bekerja, memompa penisnya keluar masuk liang senggama Ghea yang sudah banjir. Rasanya nikmat sekali. Dia makin erat memeluk Ghea dan tubuh Ghea makin melengkung merasakan gesekan demi gesekan. Setelah beberapa menit Arci kemudian menghentikan gerakannya. Ghea sedikit terkejut. Arci mencabutnya perlahan. Ghea penasaran ketika Arci membalikkan tubuhnya. Ternyata dia disuruh untuk menungging. Ghea tak tahu gaya ini, tapi ketika Arci melesakkan lagi rudalnya ke dalam kemaluannya ia merasakan nikmat yang tak terkira.
Arci mulai menusuk-nusuk liang senggama Ghea dari belakang. Ghea baru kali ini merasakan gaya seperti ini yang rasanya tak kalah nikmat. Buah dadanya jadi terjuntai bebas. Sementara tangannya menekuk, dan kepalanya bersandar di karpet. Arci melihat pantat Ghea yang bahenol, sesekali ia meremasnya, membuat penisnya seperti diremas-rema. Arci kemudian menggapai buah dada Ghea dan mengajak Ghea untuk mendudukinya sementara Arci kemudian berbaring telentang. Ghea yang mengerti keinginan Arci pun mulai menggoyangkan pinggulnya naik turun, sambil sesekali memutar-mutarnya. Tapi makin lama goyangan Ghea makin cepat, ternyata ia ingi orgasme lagi.
Dan ambruklah Ghea ke atas tubuh Arci ketika orgasme yang panjang. Ghea mencari-cari bibir Arci keduanya berciuman lagi. Arci membalikkan tubuh Ghea kini kembali dalam posisi misionari. Arci sepertinya sudah tak tahan lagi ingin menyemburkan spermanya. Dia pun menggoyang pinggulnya menyodok selakangan Ghea bertubi-tubi sambil melihat wajah Ghea yang kini keenakan sambil memejamkan mata. Ia tak pernah mengira putri Pieter ini sekarang jadi feminim, manja dan menggairahkan. Arci makin cepat menggoyang, kepala Ghea menoleh kiri dan kanan. Ia tak kuasa lagi menahan ledakan orgasme dahsyat yang ketiga kalinya.
"Aku keluarrr....ohhh...Gheaaa...aaakhhh!"
Spermanya sangat banyak. Berkali-kali Arci menyemprot ke dalam kemaluan Ghea. Ghea baru kali ini merasakan nikmat yang luar biasa. Ledakan demi ledakan sperma menyiram rahimnya. Hangat, puas...
Keduanya berciuman lagi. Menikmati momen-momen yang tak akan mereka lupakan seumur hidup. Ghea menatap mata Arci dengan sayu. Arci membelai rambut Ghea, menciumnya lagi.
"Aku tak pernah merasakan bercinta seperti ini. Kamu luar biasa," kata Ghea.
Arci kemudian perlahan-lahan mencabut kemaluannya. Liang senggama Ghea becek sekali, bercampur sperma dan cairan lendirnya. Rasanya baru kali ini Ghea merasa kelelahan seperti ini. Ia cukup puas. Arci pun memeluknya dan mereka berdua mengambil sebuah selimut di dekat mereka. Arci mendekapnya kemudian keduanya terlelap. Wajah Ghea tampak menunjukkan kepuasan.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Pagi datang. Ghea terbangun dalam pelukan Arci. Ia bingung sekarang. Apa yang harus dia lakukan dalam keadaan seperti ini. Ia merasa dirinya hina. Takluk kepada seorang lelaki, terlebih, lelaki ini sudah beristri. Bahkan lelaki ini saja belum merasakan malam pengantinnya. Ia merasa bersalah. Namun ketika mengingat kembali malam sebelumnya ia tak menyesal. Ada sebuah perasaan aneh, yang kemudian ia pun mengetahui ini namanya cinta.
Arci terbangun. Ketika menyadari dia mendekap Ghea, ia segera melepaskannya. Ghea tahu Arci teringat dengan Andini, maka dari itu ia memakluminya. Sebenarnya Ghea terbangun beberapa kali ketika Arci memanggil-manggil nama istrinya. Ironis memang, orang yang dipeluknya ini bukanlah istrinya. Ghea pun menyadari siapa dirinya. Ada rasa sakit, sakit sekali di dadanya.
Arci berdiri memakai celananya lagi. Pemuda ini melangkah menuju kaca jendela dan melihat matahari terbit. Ghea baru menyadari bahwa pemuda ini sangat gagah. Bahunya mulai kekar, lengannya mulai berotot, hasil latihan yang dia tempa selama ini.
"Ini adalah pertama dan terakhir aku melakukannya denganmu. Kuharap kamu mengerti," kata Arci.
"Aku mengerti, cinta tak bisa dipaksa," kata Ghea.
"Tapi, apakah aku bisa merasakan cinta darimu Arci?" kata Ghea dalam hati. "Entah kenapa dadaku rasanya sakit sekali. Apakah ini namanya cemburu?"
Inilah untuk pertama kalinya Ghea merasakan cemburu. Rasanya sakit, bukan sakit secara fisik, tapi secara batin hatinya serasa dicabik-cabik. Dia baru kali ini mengenal cinta, ia juga baru kali ini mengenal sakit karena mengenal cinta. Tapi ia tahu, Arci bukan miliknya. Dia tak bisa memaksa Arci untuk menjadi miliknya, Arci milik Andini dan ia harus menerimanya walaupun rasanya sakit. Entah kenapa ia sangat menyesal bercinta dengan Arci tadi malam. Ia sangat menyesal. Ia menyadari seandainya ia berada di posisi Andini, ia akan sangat marah kepada apa yang telah dia lakukan. Dia menggoda Arci, dia sudah menjadi wanita jalang yang menggoda seorang lelaki yang sudah beristri. Apalagi ia belum pernah menyentuh istrinya sama sekali. Betapa rendahnya dia. Ingin sekali saat itu Ghea menarik pelatuknya dan menembakkan saja dikepalanya. Tapi hal itu akan menyakiti hati Arci, ia tak ingin seperti itu. Gadis ini terlalu cinta kepada Arci, mungkin sekarang cintanya sangat dalam.
Arci menoleh kepada Ghea. Arci baru sadar Ghea menangis. Pemuda ini pun berbalik dan menghampirinya. Setelah itu Arci menelukupkan selimut yang tadi ia pakai ke Ghea seluruhnya hingga gadis yang sedang menangis ini badannya tertutupi selimut dengan sempurna.
"Aku yakin suatu saat nanti kamu akan bertemu dengan lelaki yang tepat, yang penting kamu sudah mengerti bukan apa arti cinta?"
Ghea mengangguk, "Tapi rasanya sakit."
Arci mengusap-usap kepala Ghea. "Aku tahu rasanya, aku juga pernah merasakannya. Tapi jangan jadikan rasa cinta itu berubah jadi kebencian, jadikan itu sebagai semangat untuk hidupmu"
Kata-kata Arci itu seperti sebuah embun yang membasahi hatinya yang gersang. Ghea baru sadar, selama ini ia tak pernah punya alasan membenci sesuatu. Ia juga tak pernah punya alasan menyukai sesuatu. Apapun itu asalkan sesuai yang diinginkan ayahnya maka itulah dirinya. Bersama dengan Arci mengubah dia, dari singa betina menjadi seekor kucing yang lucu, mungkin. Tapi itu sekarang dirasakannya. Ia telah takluk kepada pemuda ini tanpa dia sadari.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Agus Trunojoyo menggebrak meja. "Apa??!"
Pengacaranya mengangguk. "Benar, ini yang terjadi."
"Maksudnya? Tanda tangannya tidak sah?" tanya Agus.
"Iya, tanda tangan Arci tidak sah, karena itu bukan tanda tangannya. Berdasarkan tanda tangan yang pernah ia lakukan pada beberapa berkas dan surat-menyurat tanda tangannya tidak seperti itu," kata sang pengacara.
"Apa tidak bisa dipalsu?" tanya Agus.
"Tidak mungkin, tanda tanganya terlalu rumit. Kalau pun kita menirunya butuh orang yang benar-benar ahli dalam melakukannya. Bisa jadi Arci kemarin sebenarnya kidal, makanya untuk agar seolah-olah dia menandatangani surat perjanjian itu, dia menggunakan tangan kanan. Terlebih tanda tangannya Arci seperti condong ke kiri, hal ini biasanya dimiliki oleh orang-orang yang punya kebiasaan menulis dengan tangan kiri."
Agus segera mengambil ponselnya. Ia pun menelpon Tommy. Tommy pun langsung mengangkatnya. Saat itu ia berada di kolam dengan ditemani oleh beberapa wanita panggilan. Pemandangan di kolam itu sungguh erotis di mana dua perempuan seksi dengan hanya memakai lingerie sedang berebutan menjilati batang kemaluannya.
"Ada apa Gus?" tanya Tommy.
"Ada masalah Tom!" kata Agus.
"Masalah apa?"
"Keponakanmu itu memalsukan tanda tangannya! Kita dibodohi!"
"Apa?!"
"Kita harus mencari Arci!"
Tommy agaknya sedikit gusar. Ia mendorong kedua perempuan yang sedang berebut penisnya itu agar menyingkir. Kedua perempuan itu pun pergi. "Jadi begitu ya, baiklah. Aku akan memaksa dia keluar. Aku akan lacak keberadaan istrinya. Ia pasti akan muncul kalau aku berhasil mendapatkan Andini. Kamu jangan khawatir. Sekarang tak ada yang bisa menghalangiku, keluarga Zenedine sudah aku taklukkan, semuanya sudah aku kuasai."
Tak ada manisnya yang namanya balas dendam
Rasanya pahit dan getir
Namun bagi siapapun yang telah melakukannya
kepuasan hati tak bisa mengembalikan apa yang sudah hilang
Arci memakai kemeja, jas, kemudian sepatu. Ghea memberikan baju ayahnya untuk Arci. Dia seperti melihat sosok Pieter dalam diri Arci. Bahkan melebihi semuanya. Kenyataan bahwa dia mencintai pemuda ini adalah sebuah kenyataan yang tak bisa diubah. Mencintai Arci, pikiran itu membuatnya geli, terlebih perjumpaan mereka pertama kali di mana dia menodong Arci. Ia malu sekali sekarang kalau mengingat peristiwa itu. Mereka sudah siap untuk merencanakan pembalasan. Dua bulan bukan waktu yang lama bagi Tommy dan kawan-kawannya, tapi waktu itu cukup untuk Arci membangun kekuatannya. Selama dua bulan, dendam di dalam dadanya bergemuruh. Ia akan menghabisi semuanya yang terlibat.
"Kamu mirip seperti papa," kata Ghea.
"Aku tak menyangka ukuran bajuku dan bajunya sama, padahal kelihatannya papamu lebih besar dari aku," ujar Arci.
"Benar, tapi kamulah sekarang yang berubah. Kamu tak sadar?"
Arci meraba tubuhnya. Benar. Ia berubah. Di punggungnya ada luka jahitan, di dada dan perutnya ada luka tembak. Tubuh penuh bekas luka, seperti bos mafia yang telah merasakan banyak kekerasan di dalam hidupnya. Arci tiba-tiba memeluk Ghea, lalu menciumnya. Ghea tentu saja terkejut. Tapi ia tak menyia-nyiakan kesempatan ini, Ghea seperti orang yang kehausan ingin terus mengecup bibir pemuda yang dicintainya ini. Tapi Arci hanya memberikannya beberapa detik saja.
"Itu untuk apa?" tanya Ghea.
"Ucapan terima kasihku atas yang kamu lakukan selama ini. Aku tak tahu apakah aku bisa bertemu lagi denganmu setelah ini, tapi kuharap....kita tetap hidup," jawab Arci.
Ghea tersenyum. Sekalipun ucapan terima kasih. Itu sudah cukup baginya. Ia memang tak bisa berharap banyak dari seorang lelaki yang sudah beristri. Ia hanya bisa berharap, walaupun tanpa pernah akan mendapatkan keinginanya yang sesungguhnya. Tapi sebagaimana yang Arci ajarkan kepadanya, cinta tak harus memiliki, cinta adalah memberi, sekalipun orang yang diberikan tak akan membalas, tapi dengan cinta maka kedamaian akan merata. Sekalipun karena rasa cemburu membuatnya sakit, tapi ia yakin suatu saat akan berbuah manis. Benar kata Arci, ia hanya harus mencari pria yang tepat. Dan ia bersungguh-sungguh untuk mencari sesosok pria seperti Arci. Atau mungkin yang lebih baik darinya. Ia berjanji dalam hatinya dan ia bersungguh-sungguh.
Arci melangkah keluar rumah. Dia membuka bagasi mobil. Di dalamnya terdapat banyak senjata, dari senapan MP-90, pistol glock, shotgun, PSG-2, M-16, Bullpup, dan berbagai amunisi. Serta sebuah senjata yang Arci tak habis pikir bagaimana Ghea bisa mendapatkannya. Sebuah senjata yang biasanya digunakan para gereliyawan, RPG.
"Aku tak habis pikir bagaimana kamu bisa mendapatkan ini semua?" tanya Arci.
"Kamu jangan meremehkan aku, sayangnya stok AK-47 habis. Jadinya minus senjata itu," ujar Ghea dengan santai. "Untuk menghancurkan Tommy, kamu tak akan bisa menyerbunya langsung. Kalau menyerbu langsung itu sama saja cari mati. Usaha gelap Tommy sangat banyak. Kita hancurkan semua usaha mereka."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Seorang berambut gondrong diikat tampak sedang menimang-nimang sebuah bungkusan kecil, lalu ia menyimpannya. Lelaki ini memakai baju lengan panjang berwarna coklat. Kainnya tampak lusuh. Dia menghampiri seorang penjual gorengan.
"Bang, aku ambil dua ya?" kata lelaki itu langsung mengambil dua gorengan.
Sang penjual hanya geleng-geleng. Sore itu sedikit ramai jalan raya. Terlihat beberapa polisi sibuk mengatur lalu lintas. Lelaki ini mengeluarkan ponselnya ketika dia menerima SMS, kemudian ia balas SMSnya. Tak berapa lama kemudian dia menuju ke sebuah jembatan penyeberangan di atas jembatan ini ia berpapasan dengan seorang pelajar. Mereka tampaknya sudah ada kesepakatan sebelumnya.
Sang pelajar mengeluarkan uang beberapa lembar lima puluh ribuan. Lelaki ini pun mengeluarkan bungkusan kecil dan pelajar tadi menerimanya, setelah itu mereka pun berpisah.
Ini adalah transaksi narkoba yang biasanya dilakukan oleh lelaki ini. Dia adalah pengedar yang biasanya mengedarkan narkoba kepada anak-anak pelajar. Julukannya adalah Jack Gondronk, sedangkan sebenarnya nama aslinya adalah Sutopo. Sutopo tak punya profesi yang jelas. Dia terkadang jadi juru parkir liar, di lain waktu ia jadi tukang ojek, tapi pekerjaan tetapnya adalah sebagai pengedar narkoba.
Sebenarnya juga sudah selama sepuluh tahun ini dia menekuni profesi ini dan belum terendus oleh petugas. Namun dengan segepok uang, ia selalu lolos, ia selalu bisa pergi di saat ada polisi yang ingin menggeberebek dirinya. Di terkenal di dalam dunia narkoba, namanya Jarmo sang pengedar. Dia mengedarkan narkoba dengan banyak cara, salah satunya adalah dengan cara seperti tadi. Caranya juga macam-macam, seperti ketika menjadi juru parkir liar, dia bisa mendapatkan uang dari situ dengan betransaksi dari orang-orang yang pura-pura parkir di tempat dia mangkal. Atau sebagai tukang ojek di mana dia pura-pura mengantar orang yang membeli narkoba dari dia, lalu ketika membayar ia pun menyerahkan bungkusan itu.
Jarmo bukan orang yang berpendidikan tinggi. Dia pun mendapatkan pekerjaan ini juga awalnya kepepet. Walaupun dia pengedar, sama sekali dia bukan pengguna. Selama ini uang yang diterima sebagai pengedar tidaklah sedikit. Yang penting bisa menghidupi keluarganya yang mana punya seorang istri dan empat orang anak yang kesemuanya masih kecil. Jarmo orangnya cukup berhemat. Ia tak pernah menghabiskan uangnya untuk hal yang aneh-aneh. Semuanya untuk istri dan anaknya. Dan istrinya sendiri orangnya tak peduli dari mana Jarmo mendapatkan uang, yang penting hidup mereka berkecukupan. Sang istri tak peduli suaminya jadi preman atau jadi apapun yang penting pulang dengan uang dan uang, sehingga setiap minggu ia bisa pergi ke salon, bersolek dan mensekolahkan anak-anak mereka.
Siapa sangka mereka dari keluarga kriminal tapi begitulah keadaannya. Keadaan sekarang sedang sulit. Perekonomian tak menentu, mereka menempuh cara ini karena mungkin tak ada cara lain yang bisa mereka peroleh dari seorang yang pendidikan rendah seperti Jarmo. Istrinya walaupun pendidikannya lebih tinggi, tapi ia hanya bisa menghabiskan uang daripada mendapatkannya.
Selepas transaksi super kilat di jembatan penyeberangan itu, Jarmo naik angkot. Para sopir angkot tahu dia ini preman, jadi untuk soal ongkos dia tak pernah bayar. Semua sopir angkot sudah hafal siapa dia. Begitu masuk angkot yang memang sudah penuh sesak dengan penumpang, angkot pun jalan. Satu per satu penumpang turun sesuai dengan tujuannya, Jarmo akan berhenti di pemberhentian terakhir. Di sana dia menjadi juru parkir liar.
Menjadi juru parkir liar sebuah pekerjaan yang gampang, tinggal mengatur dan mengaba-aba saja. Gitu sudah dapat pemasukan. Pemasukannya kemudian dibagi dengan rekan-rekannya, juru parkir liar tidak pernah setor ke pemda atau pemkot. Oleh karena itulah kalau mobil sehari saja ada 500 yang parkir, maka tinggal dikali Rp. 5.000,-. Hasilnya Rp. 2.500.000,- dalam sehari. Belum sepeda motor yang parkir berkali-kali.
Tapi modus yang dipakai oleh Jarmo ini sedikit beda. Dia membawa sebuah tas pinggang. Tas pinggang ini berisi narkoba pesanan-pesanan kliennya. Bahkan dia membawa beberapa kantong plastik kecil untuk mengenalkan narkoba kepada orang-orang yang depresi, atau yang ingin dia ajak sebagai pelanggan amatir yang ingin coba-coba.
Seharian ini satu per satu pelanggannya datang. Beberapa mobil memberikan dia beberapa lembar uang seratus ribu. Dia langsung merogoh kantong plastik kecil dari dalam tas pinggangnya. Itulah narkoba yang ia punya.
Ketika hari sudah mulai menjelang maghrib, Jarmo pun ingin pulang. Saat itulah sebuah mobil city car menghampirinya. Jarmo agak heran kenapa mobil itu menghampirinya. Yang mengemudikan seorang cewek setengah bule, bermata merah, bermata hijau. Dari belakang ada seseorang yang memegang kepalanya, lalu dengan kuat menghantamkan kepalanya hingga membentur ke mobil.
BRAK! Jarmo tak sadarkan diri setelah itu.
* * *
Jarmo duduk di sebuah tempat gelap. Matanya juga tertutup. Ia tak bisa merasakan apapun terkecuali tangan dan kakinya terikat di atas sebuah kursi. Ada sesuatu yang ia rasakan. Ia tak memakai celana. Ia hanya memakai baju tapi tak pakai celana? Dan tiba-tiba ada yang mengguyur tubuh bagian bawahnya menggunakan air dingin. Sontak Jarmo menggigil kedinginan.
"Di-dimana aku? Siapa kalian?" tanya Jarmo.
"Kamu di tempat yang aman. Mungkin sekarang ini istri dan anakmu sedang mencarimu. Kamu tentunya tak ingin itu terjadi bukan?"
"Keparat! Bangsat! Aku akan mengulitimu! Bajingan! J**c*K!"
"Woi, woi, woi, nggak perlu bicara kotor. Lakukan!"
Tiba-tiba sebuah tangan memegang batang penis Jarmo. Jarmo terkejut. "Mau apa kau?"
"Batangmu sekarang ini sedang dipegang oleh seorang wanita. Tangannya lembut bukan? Bahkan ia akan memberikanmu hadiah."
Jarmo pun kemudian merasakan sesuatu yang basah, hangat, berputar-putar di kemaluannya. Dia ingat ini, sesuatu yang hangat yang pernah ia rasakan, lidah. Lidah manusia. Dia sedang disepong oleh seorang wanita. Apa maksudnya ini?
"Aku bisa menyuruh wanita itu untuk menggigit penismu hingga putus. Kalau kamu tidak menjawab pertanyaanku!"
"Brengsek! Ahhhh..!" desah Jarmo. Tentu saja, sebagai seorang lelaki normal, dihisap oleh seorang wanita seperti itu tentu saja ia bakal merasakan keenakan. Penisnya pun menegang.
"Katakan dari mana kamu mendapatkan narkoba itu?"
"Aku tidak akan katakan!" kata Jarmo.
"Jadi kamu mau penismu putus? Baiklah!"
"Tu-tunggu! Bukan begitu....apakah kamu bisa menjamin kalau aku tidak akan celaka kalau mengatakannya?" Jarmo sekarang ketakutan.
"Gampang, kalau kamu tidak berbohong. Maka aku akan melepaskanmu."
"B-baiklah. Aku mendapatkannya dari orang yang bernama Rafa," jawab Jarmo antara takut dan keenakan disepong.
"Siapa Rafa? Bagaimana aku menemuinya?"
"Dia orang yang sering mangkal di diskotik dan karaoke, aku mendapatkannya dari dia."
"Bagaimana caranya kamu mendapatkannya?"
"Aku memintanya langsung."
"Di diskotik mana aku bisa menemuinya?"
"Diskotik Ultra." Penis Jarmo serasa dililit dan ia keenakan. Ia meringis menahan enak.
"Kalau kamu sampai bohong, aku akan meledakkan kepalamu."
"Aku bicara jujur."
"Kalau begitu, antar kami. Sebelum itu biar kamu dituntaskan dulu."
Jarmo merasakan penisnya digelitik memakai lidah dan dihisap kuat. Ia pun tak tahan lagi, apalagi sepongan itu makin kuat. Dia pun meledak. Spermanya menyembur kuat. Ia pun lemas dan jatungnya berdebar-debar. Penutup kepalanya pun dilepas, ia mengejap-kejapkan mata. Di depannya ada dua orang sedang berdiri. Mereka adalah Arci dan Ghea. Dan seseorang di selakangannya, seseorang yang cukup cantik, kulitnya mulus, di mulutnya belepotan sperma, itu pasti spermanya.
"Pejuhnya enak om!" suara wanita itu berat. Bukan itu bukan wanita, tapi waria. Jarmo terbelalak, ia kira yang menyepongnya seorang wanita, ternyata seorang waria. Penisnya langsung mengkeret. Ia tak pernah dicoba oleh waria, baru kali ini ada waria yang mengerjainya. Tiba-tiba kepalanya jadi pusing.
Arci melepaskan ikatan Jarmo dan memaksanya berdiri sambil menodongkan senjatanya. Jarmo tak berkutik. Setelah ia memakai celananya ia pun digelandang Arci keluar dari sebuah rumah. Setelah Ghea membayar waria itu dengan beberapa lembar uang ia pun pergi. Mereka kemudian segera menuju ke sebuah diskotik yang dimaksud. Tak susah mencari diskotik itu karena diskotik itu terlalu mencolok dengan mobil-mobil yang banyak serta suara musik yang mendebum-debum.
"Kita masuk, kalau kamu melakukan tindakan aneh aku akan meledakkan kepalamu!" kata Arci. "Ghea, kamu backup aku!"
"OK!" kata Ghea.
Arci dan Jarmo pun keluar mobil menuju ke dalam. Arci menyembunyikan pistolnya di pinggangnya. Ia memakai jas agar sedikit terlihat parlente. Begitu masuk tampak semuanya mengenal Jarmo. Arci dan Jarmo langsung masuk setelah mereka dikenali. Diskotik itu penuh dengan orang-orang yang sedang nongkrong, joget, dan sebagian sedang bercumbu. Ada juga yang sedang menikmati sabu di sudut ruangan. Bau alkohol langsung menyengat di hidung ketika Arci masuk ke tempat itu. Dia hanya mengikuti Jarmo hingga naik ke sebuah tangga menuju lantai dua. Kemudian mereka melewati lorong menuju ke sebuah pintu yang ada tulisan VVIP.
Ketika masuk, Arci menyaksikan anak tangga turun. Jarmo turun ke sana. Mereka berpapasan dengan beberapa orang berbadan gempal. Arci membuang muka agar tidak dikenali, karena ia tahu itu anak buah keluarga Zenedine yang sekarang sudah dikuasai oleh Tommy.
Setelah itu mereka ternyata berada di sebuah ruangan lain. Ruangan yang penuh dengan kolam dan Jacuzzy. Jarmo menunjuk ke seseorang yang sedang berendam di Jacuzzy air hangat di temani tiga orang wanita tanpa busana. Rafa ini orangnya cukup tampan, usianya kira-kira 35 tahun. Badannya atletis, menurut perkiraan Arci orang ini cukup terlatih. Begitu Rafa melihat Jarmo dia mengangguk.
"Ada apa?" tanya Rafa yang saat itu sedang diciumi dan dijilati oleh ketiga wanita.
"Barang habis, ada lagi?" tanya Jarmo.
"Cepet amat, perasaan baru dua hari lalu kamu minta. Siapa itu?" Rafa menunjuk ke Arci.
"Dia temen."
"Temen? Perasaan kamu nggak punya temen."
"Kamu dapat barang itu dari mana?" sela Arci.
"Siapa kamu? Polisi?" tanya Rafa.
Arci mengambil pistol glock di pinggangnya dan meletakkannya di pelipis Jarmo. DOR! Tanpa basa-basi Arci menembak Jarmo. Rafa hanya terbelalak sambil melihat tubuh Jarmo yang tertembus peluru tergeletak ambruk ke dalam Jacuzzy-nya. Ketiga wanita telanjang itu langsung menjerit dan kabur. Arci menodongkan pistol glock-nya ke arah Rafa.
"Katakan kepadaku, di mana pabriknya!" ancam Arci.
Mendengar suara tembakan beberapa sekuriti segera menuju ke dalam. Arci langsung mencengkram leher Rafa dan dia mengacungkan pistolnya ke arah sekuriti yang baru datang.
DOR! DOR!
Dua sekuriti tumbang.
"Brengsek! Siapa kamu? Kamu tahu kalau kamu lakukan ini, maka kamu akan menyesal seumur hidupmu!" ancam Rafa.
"Oh ya? Siapa yang akan menyesal kalau peluru ini menghabisimu?" ancam Arci balik. "Katakan di mana pabriknya, atau aku akan meledakkan kepalamu!"
Pistol glocknya sudah berada di kepala Rafa. Rafa sedikit merinding melihat pistol glock yang kini jaraknya dengan matanya hanya beberapa cm saja. Arci menarik hammernya.
"Sebentar, OK, OK! Aku akan katakan," kata Rafa menyerah.
"Bagus, sekarang ikut aku!" Arci kemudian menyeretnya keluar dari bak jacuzzy. Rafa tertatih-tatih. Ia hanya mengenakan celana dalam dan diseret keluar dengan keadaan seperti itu. Arci menyeretnya sampai keluar ke pintu darurat. Setelah itu mereka menuju tempat parkir. Beberapa sekuriti mencoba menghalangi tapi melihat Arci membawa pistol dan menodong Rafa, mereka tak bisa apa-apa. Sebuah sedan menghampiri mereka, di dalamnya sudah ada Ghea. Segera Arci membuka pintu dan mendorong Rafa masuk. Kemudian mobil itu pun melaju kencang.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Andini tampak sedang membersihkan rumah. Ia menyapu halaman sambil sesekali melihat ke arah Putri yang mengamatinya sedari tadi. Putri mungkin sedikit bingung dengan keadaannya sekarang. Adiknya Arci itu masih belum mengetahui kalau kakaknya telah meninggal. Dia hanya tahu kalau Kakaknya Arci telah menikah dengan Andini.
"Ada apa ngelihatin terus?" tanya Andini.
"Jadi, kamu sudah menikah dengan Kak Arci?" tanya Putri balik.
Andini mengangguk.
"Jadi aku manggil kamu kakak dong?" tanya Putri.
"Iya gadis manis."
"Hhh..," tampak Putri menghela nafas.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa, aku cuma iri saja. Kak Arci pasti suka ama kamu, kamu cantik, putih, dadanya besar....Kapan kalian mau punya anak?
"Eh??" Andini wajahnya memerah. "Kami belum membicarakannya."
"Sampai kapan sih Kak Arci pergi? Jadi kangen ama dia. Kamu tahu di mana dia?"
Andini mengangkat bahunya, "Entahlah, dia ada satu urusan yang harus diselesaikan."
Sudah selama dua bulan ini Andini, tinggal bersama Lian dan Putri. Mereka tinggal di sebuah rumah di daerah perkampungan yang jauh dari kota. Agaknya tempat mereka bersembunyi sekarang ini tidak terendus oleh anak buah Tommy. Hal itu sengaja mereka lakukan karena selama Tommy masih hidup, maka mereka tidak aman. Andini mengetahui bahwa kantornya sekarang terjadi kemelut. Semua staf yang berada di bawahnya dipecat semua, termasuk Rahma dan Yusuf. Tak ada yang tahu kabar mereka sekarang. Andini juga masih menunggu email dari Arci. Tak ada email sama sekali, membuat ia was-was. Tapi ia tetap berharap bahwa Arci baik-baik saja di luar sana.
"Kalau nanti Kak Andini punya anak, boleh ya aku gendong," celetuk Putri.
"Boleh, siapa yang ngelarang?"
"Beneran?"
"Iya," kata Andini.
"Cowok apa cewek ntar?"
"Nggak tau deh, ntar lihat aja. Hihihihi."
"Kalau cowok, aku kepengen yang beri nama!"
"Emang mau namain siapa?"
"Ada deh."
"Kalau namanya jelek aku nggak setuju."
"Nggak koq, beneran. Kakak pasti suka."
"Udah ah, do'ain aja."
"Hihihihi," Putri tampak tersenyum lucu.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Jadi, ini pabriknya?" tanya Arci.
"Iya," jawab Rafa.
Ghea melemparkan sebuah masker ke arah Arci. Arci menerimanya. Mereka berdua memakai masker itu sekarang.
"Kalian mau apa?" tanya Rafa.
"Omset pabrik kokain ini pasti milyaran. Tapi, aku akan menghancurkannya," jawab Arci.
"Kalian gila!"
BUK! Arci memukul kepala Rafa, hingga ia tak sadarkan diri.
"Cerewet!" Arci segera keluar dari mobil. Sebelumnya ia melakban mulut Rafa, kaki dan tangan lelaki ini pun diikat.
"Kamu tahu siapa Rafa ini?" tanya Ghea.
Arci menggeleng. "Peduli amat."
"Dia ini anaknya walikota," kata Ghea sambil tersenyum.
"Kamu tahu?"
"Ya jelaslah, hanya saja kenakalannya jarang terekspos. Pabrik narkoba ini tetap beroperasi salah satunya menggunakan kekuasaan ayahnya."
"Kita akan telanjangi dia besok, sekarang kita akan hancurkan pabrik mereka."
Arci membuka bagasi mobilnya. Dia mengambil RPG. Ghea sudah bersiap dengan senjata pistol glock dan beberapa magazine yang ia simpan di saku bajunya. Arci juga mengambil beberapa magazine, dua buah pisau dan sebilah kapak. Dia membidik pintu pabrik dengan RPG miliknya. Tanpa diberi aba-aba dia langsung menembakkan RPG itu dan WWUUUUSSSHH.....BLAAAARRR!
Pintu pabrik narkoba itu didobrak dengan menggunakan peluncur roket. Arci dan Ghea segera masuk. Orang-orang yang terdiri dari para pekerja dan penjaga panik. Mereka mengira digerebek oleh polisi. Arci segera menembaki semua objek yang bergerak. Ghea juga beraksi demikian. Mereka memuntahkan peluru-peluru dari pistol mereka menembus daging-daging, menghancurkan tulang-belulang, total semuanya berantakan, hancur, mayat-mayat bergelimpangan. Arci menyerbu ke atas, Ghea ke bawah. Mereka berpencar untuk membunuh semua orang yang ada di pabrik itu. Baik wanita maupun laki-laki tak ada yang dibiarkan hidup. Arci tak peduli lagi apa yang ia lakukan. Di dalam dirinya hanya ada satu hal "balas dendam". Sebagaimana yang dikatakan oleh Ghea, ia tak akan bisa kembali lagi. Inilah yang dilakukannya.
Di sebuah ruangan tempat mandor berada. Ia tampak keheranan dengan keributan yang terjadi. Dua orang lainnya yang ada di ruangan itu pun bingung. Mereka berdua sedang bermain catur dan tampaknya terganggu. Kemudian muncullah seseorang dari arah pintu. Ia tampak panik dan tergesa-gesa.
"Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya sang mandor.
"Ada yang menyerang!" jawab salah seorang anak buahnya yang panik dan menghambur masuk ruangan.
"Polisi?"
"Bukan!"
DOR!
Orang itu pun tergeletak dengan kepala telah berlubang. Arci masuk ke ruangan itu. Sang mandor berusaha mengambil sebuah senapan Shotgun yang ada di tembok, sebelum ia beraksi Arci melemparkan sebilah pisau dan menancap di tangan sang mandor.
"Aaaarrgghhh!" jerit mandor itu.
Dua orang yang ada di ruangan itu menyerang Arci, tapi dengan cekatan Arci menusukkan lima jari tangan kanannya ke leher salah seoran dari mereka. Orang itu langsung mundur sambil memegangi lehernya. Tenggorokannya tiba-tiba tertutup sehingga ia tak bisa bernafas. Seorang lagi mengambil parang dan mengayunkannya ke arah Arci. Arci mengambil pisau di pinggangnya dengan tangan kiri, lalu menahan tebasan parang itu. Pisau dan parang beradu, orang yang menyerangnya pun kaget karena pisau itu bukan pisau biasa, tapi pisau yang biasa dipakai oleh militer yang terbuat dari baja murni. Tangan kanan Arci naik dan membidik kepala orang itu. Orang yang menyerangnya gentar dan melotot melihat moncong pistol glock yang hangat.
DOR!
Tanpa basa-basi Arci menembaknya. Arci berjalan dengan santai mendekat ke arah sang mandor. Sang mandor memegangi tangannya yang tertancap pisau. Arci menyarungkan pisaunya dan mengambil pisau yang ada di tangan sang mandor. Mandor itu pun menjerit saat pisau itu dicabut.
"Ingin hidup? Katakan pabrik lainnya ada di mana?" ancam Arci.
"Iya, iya, aku akan katakan!" jawab mandor.
Singkat cerita sisa-sisa orang yang hidup menyerah. Arci dan Ghea mengikat mereka semua di dalam sebuah ruangan yang dipenuhi oleh bubuk putih.
"Kalian tahu yang kalian lakukan?" tanya Arci.
"Iya," jawab sang mandor.
"Kalian tahu, kalau pabrik ini menghasilkan narkoba yang bisa merusak para pemuda?"
"Iya," jawab yang lain.
"Jadi kalian sudah tahu konsekuensinya?" tanya Arci.
"Hah? Jangan! Jangan! Jangan! Kumohon jangaaan!" mereka menjerit.
Arci tersenyum sinis. "Aku bisa membunuh kalian semua sekarang, tapi aku tidak akan melakukannya. Aku akan biarkan kalian seperti ini, sementara pihak yang berwajib akan datang kemari. Kalau kalian bersaksi palsu, aku akan merobek mulut kalian dan kalian akan menyesal karena telah melihat dunia ini."
"Tidak akan, tidak akan!" mereka semua ketakutan.
"Kalau kalian ingin tahu siapa aku, namaku adalah Arci... anak dari Archer Zenedine. Kalau polisi bertanya siapa yang melakukannya katakan saja Sang Archer yang melakukannya."
Setelah itu Arci meninggalkan mereka semua. Tak berapa lama kemudian polisi datang dan tentu saja mereka mendapatkan jackpot pabrik narkoba. Pasti akan terjadi skandal besar setelah ini, karena pabrik ini dilindungi oleh Walikota. Sedangkan Arci melangkah ke pabrik-pabrik berikutnya.
Kantor polisi itu tampak temaram. Setelah kemarin malam terjadi penggerebekan terhadap pabrik narkoba dengan dibumbui mayat-mayat bergelimpangan membuat pengganti Letnan Yanuar yaitu Komisaris Polisi Letnan Basuki semakin tenggelam mempelajari file-file yang dipunyai oleh Letnan Yanuar. Letnan Yanuar di situ memiliki catatan tentang sejarah kelam keluarga Zenedine. Berbagai usaha penggelapan pajak, narkoba dan barang seludupan semuanya ada. Satu-satunya usaha yang murni--tapi mungkin juga ada haramnya--adalah perusahaan tekstil PT Evolus. Letnan Basuki tertarik dengan seorang pewaris keluarga Zenedine, Arczre.
Semenjak Letnan Yanuar terbunuh akibat dikeroyok oleh anggota gangster beberapa waktu lalu, Letnan Basuki menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Bagaimana anggota gangster itu bisa menarget seorang polisi kalau tidak dikomandoi? Dan juga bagaimana mereka bisa mengeroyok polisi reserse itu di saat tak membawa senjatanya? Itu berarti selama ini gerak-gerik Letnan Yanuar telah diketahui.
Hal menarik lainnya adalah Letnan Basuki menanyai semua orang yang ditangkap di pabrik narkoba itu. Semuanya mengaku bahwa Sang Archer yang telah melakukannya, Sang Archer telah kembali. Dan hal yang menakjubkan lainnya beberapa pabrik narkoba dihancurkan oleh Arci. Apa maksud dari semua ini? Kalau memang pabrik narkoba itu adalah salah satu usaha dari keluarga Zenedine, kenapa Arci yang sebagai pewaris tunggal malah menghancurkannya sendiri? Sepertinya ada yang tidak beres dengan ini semua.
Letnan Basuki mengumpulkan semua file yang ada. Dia mengumpulkan orang-orang yang tewas dengan cara yang tidak wajar. Pieter Zenedine, Jacques, Amanda dan juga Safira. Mereka semua mati dengan tidak wajar. Apalagi Safira yang matinya ditembak punggungnya hingga tembus perutnya. Dia punya hubungan dengan Arci, yaitu kakaknya. Apakah semua ini ada hubungannya dengan keluarga Zenedine? Berarti ada perang dingin di dalam keluarga Zenedine. Dan kalau melihat peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, maka perang ini belum berakhir. Dari catatan Letnan Yanuar berusaha menghubungi Arci untuk minta bantuan kepadanya. Letnan Basuki pun akhirnya mengambil kesimpulan Arci berada di pihak yang seharusnya bisa membantu pihak kepolisian. Tapi bagaimana cara untuk menghubungi Arci? Itu yang jadi masalah.
Polisi ini menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kantor yang ia tempati sekarang adalah tempat di mana ia biasa menyapa Letnan Yanuar. Setelah Letnan Yanuar meninggal ia menempatinya. Ia agak canggung sebenarnya. Tapi lambat laun rasa canggung itu akan berubah menjadi rasa kerasan sebagaimana tempat-tempat sebelumnya. Letnan Basuki berbeda dengan Letnan Yanuar tentunya, Letnan Basuki tidak selembut dirinya. Ia keras terhadap penjahat dan tanpa tedeng aling-aling akan menghajar para penjahat.
Letnan Basuki benar-benar ingin menemui Arci, hingga akhirnya ia pun punya satu cara. Dia akan menginterogasi para tersangka. Segera ia beranjak, dia tampak terburu-buru. Dia mengajak dua ajudannya untuk pergi ke rumah tahanan. Di sana ia akan bertemu dengan para tersangka.
Singkat cerita mereka pun akhirnya sampai di rumah tahanan. Letnan Basuki segera masuk ke ruang interogasi. Di sana dia membawa beberapa tahanan ke ruang interogasi. Salah seorang yang ada di sana adalah sang mandor yang dibiarkan hidup oleh Arci.
Letnan Basuki segera duduk di kursi yang disediakan. Tatapannya tertuju ke enam orang tahanan yang berada di ruang interogasi. Mereka tampak kaki dan tangannya diborgol. Melihat tatapan mata Letnan Basuki mereka tak berani.
"Ceritakan kepadaku tentang Arci, siapa dia?" tanya Letnan Basuki.
Mereka semua berpandangan. Hanya satu yang bisa menjawab.
"Kami tak kenal pak, yang jelas ia orangnya gila. Berdarah dingin yang bergerak di tembak oleh dia," jawab sang mandor.
"Nama kamu?" tanya Letnan Basuki.
"Wawan, pak," jawab sang Mandor.
"Baiklah Wawan, kamu tahu di mana pabrik yang belum diserang oleh Arci?" tanya Letnan Basuki.
"Saya tak tahu pabrik mana saja yang sudah diserang oleh dia," jawab Wawan. "Maklum pak, saya di dalam penjara. Tak ada alat komunikasi."
"Yang sudah dihancurkan Arci dalam empat hari ini ada lima pabrik. Cukup cepat bagi orang seperti dia. Di Wagir, Batu, Kepanjen, Dieng dan di Singosari. Di mana lagi ia akan beraksi?"
"Ada satu pabrik yang belum dia serang, lokasinya ada di Pasuruan."
"Kamu tahu lokasinya?"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Tommy menendang-nendang seseorang yang sedang terkapar di lantai berkali-kali. Dia tampak marah sekali hari itu. Semua orang tak berani menatapnya.
"Brengsek! Bodoh! Bodoh! Bodoh!" terus menerus kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Sedangkan orang yang dia tendangi di lantai sekarang sudah pingsan. Mungkin sekarang perutnya sudah hancur. Wajah orang itu sudah pucat.
Tommy kemudian melampiaskan kemarahannya ke sebuah meja. Dia tendang meja itu hingga bergeser beberapa meter.
"Kenapa belum ada yang memberiku laporan di mana keberadaan Andini? Sekarang pabrik-pabrikku dihancurkan oleh anak Archer. Kemana kalian semuaa??!"
Di ruangan itu ada lima orang yang sepertinya mempunyai kedudukan tinggi. Seseorang pria dengan rambut cepak, berbadan tegap, memakai baju hitam. Dialah assasin yang membunuh Amanda. Di sebelahnya ada Alfred. Di sebelahnya lagi ada seorang wanita yang sedang bermain-main dengan sebuah pisau yang berada di tangannya. Lainnya ada seorang lelaki berkulit hitam dengan kacamata hitamnya tubuhnya gempal dan sesekali menggaruk-garuk hidungnya. Seorang lagi seorang anak muda kemungkinan berusia 17 tahun. Dia hanya tersenyum saja melihat orang yang disakiti oleh Tommy. Lima orang kecuali Alfred adalah para pembunuh kelas kakap. Mereka punya reputasi tinggi di dunia hitam. Dan kemampuan mereka tak bisa diremehkan.
"Kenapa hanya karena satu orang saja semuanya jadi berantakan? Alfred, kamu tahu Arci itu hanya seekor semut kecil. Kenapa susah sekali? Kenapa hanya karena dia rusak semua rencana kita. Brengsek bener. Kita harus bergerak cepat. Temukan Andini! Kalian semua temukan Andini! Dan jangan kembali sebelum kalian menemukannya! Kecuali kamu Alfred, kamu pergi ke pabrik. Periksa pabriknya! Aku takut Arci sedang mengincarnya juga," suara Tommy meninggi.
Tommy makin marah. Dia sudah berada di ambang batas kesabarannya. Arci telah mengacaukan segalanya, segalanya yang telah ia lakukan selama ini. Dia berada di Perancis menikmati kekayaan dari apa yang dilakukan oleh anaknya Alfred, ada satu hal yang dia inginkan sejak dulu, yaitu menjadi penguasa keluarga Zenedine. Kini dia telah mendapatkan semuanya, PT. Evolus menjadi miliknya, tapi semuanya tertunda gara-gara Arci.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci mendapatkan informasi tentang cara pengedaran obat-obatan terlarang yang terakhir. Pabrik yang ini benar-benar tidak bisa dilacak begitu saja. Memang benar ada di Pasuruan, tapi untuk bisa melacak keberadaan pabrik ini maka tidak diberitahukan oleh siapapun kecuali oleh orang-orang dekat Tommy. Dalam hal ini tentu saja ini adalah pusat dari semua pabrik yang pernah ada. Alfred-lah yang mengurus ini semua. Untuk melacaknya Arci diberi petunjuk untuk membuntuti seorang anak jalanan yang biasanya mangkal di sebuah perempatan lampu merah. Mereka menjajakan kacang atau mente, atau terkadang menjajakan stiker dan terkadang ada yang mengamen.
"Ikutilah seorang anak pengamen bertopi abu-abu, ikuti dan lihat bagaimana cara dia bertransaksi!" ujar seorang mandor di pabrik terakhir yang telah ia hancurkan.
Arci terus mengikuti anak kecil yang usianya kira-kira sebelas tahun itu melewati gang, pertokoan pasar, hingga kemudian berhenti di sebuah taman bermain. Dia melihat kiri-kanan, sementara itu Arci bersembunyi di balik pohon sambil mengawasi bocah itu. Di taman itu ada sebuah kotak pos. Sang anak kecil memasukkan sebuah amplop ke dalamnya, tapi tak sekedar memasukkan. Entah bagaimana anak itu menekan sesuatu di dekat lubang suratnya sebelum memasukkan amplop, setelah itu anak itu pergi.
Arci berhenti mengikuti anak itu dan menunggu, siapa kira-kira yang bakal mengambil amplop yang ada di kotak pos. Cukup bosan dia menunggu, hingga hari hampir sore ketika seorang memakai baju jaket jeans, kaos dan celana jeans bersepatu kets warna putih membuka kotak pos itu. Bagaimana dia bisa membuka kotak pos itu? Oh, ternyata ia memegang kuncinya. Bukankah seharusnya hanya petugas pos saja yang bisa melakukannya? Arci melihat dari jauh bagaimana orang itu mengambil sesuatu seperti kantong plastik. Ternyata di dalam kotak pos itu ada sebuah kantong plastik. Di sanalah sebenarnya amplop yang entah isinya apa tadi masuk ke dalamnya. Anak kecil tadi melakukan hal itu untuk menyimpan amplopnya ke kantong tersebut agar tak tercampur dengan surat yang sebenarnya.
Arci kemudian bergegas mengikuti orang itu dari jauh. Sesaat kemudian orang itu naik angkot. Arci memberi aba-aba, segera sebuah mobil sedan mendekat ke arahnya. Arci segera membuka pintu dan masuk.
"Aku tak tahu kalau Tommy memanfaatkan anak kecil untuk jual beli narkoba ini," kata Arci.
"Aku juga baru tahu," kata Ghea.
Angkot itu terus diikuti hingga sampai ke sebuah tempat. Orang yang diikuti Arci tadi pun turun dari angkot, kemudian dia berjalan menuju ke sebuah belokan gang.
"Kita ikuti!" kata Arci. Dia mengambil pistolnya, juga Ghea. Mereka berdua memarkir mobilnya dan kemudian berlari mengejar orang tadi.
Mereka melewati sebah persawahan yang tumbuh banyak tanaman tebu. Orang itu berhenti di sebuah gudang. Bukan ini bukan gudang sembarangan. Walaupun bentuknya seperti lumbung padi dan gudang, tapi di dalamnya ada banyak bangunan lagi. Menyembunyikan jati diri pabrik narkoba dengan cara menyamar sebagai lumbung padi? Arci dan Ghea saling pandang.
Mereka kemudian memilih memutar dan memepet ke tembok. Di sana Arci menolong Ghea untuk memanjat pagar tembok. Setelah keduanya naik mereka pun turun dan bersembunyi di balik sisa-sisa padi yang sekarang berserakan dan ditumpuk. Mereka melihat orang yang mereka buntuti masuk ke sebuah bangunan lagi. Tapi bangunan itu tampak ada tulisan RESTRICTED. Gudang itu sepi, mungkin para pekerjanya sudah pulang.
Arci mengamati keadaan sekitar, kalau-kalau ada kamera CCTV. Setelah yakin tidak ada segera ia mengendap-endap menyelinap ke gudang yang dimasuki tadi. Mereka mencoba mengintip melalui jendela. Dan tampaklah pemandangan yang tidak asing bagi mereka. Berplastik-plastik bubuk putih tampak sedang dipacking. Orang yang mereka buntuti tadi sedang mengobrol dengan seseorang. Arci tahu siapa dia. Dia adalah Alfred. Alfred yang ditugaskan oleh Tommy ternyata sudah berada di tempat ini.
"Kita tidak salah, ini pabrik terakhirnya," kata Arci.
"Betul. Trus?" tanya Ghea. "Rasanya kalau kita serbu boleh juga."
"Itu memang ideku. Aku tak menyangka lumbung padi ini digunakan kedok untuk menyembunyikan usaha mereka."
"Yeah, they're worst than I thought"
"Sebaiknya kita pergi dulu mempersiapkan segalanya. Lagi pula tujuan kita adalah menghacurkan pabriknya bukan?" usul Arci.
"Yeah, lagi pula untuk menggempurnya kita butuh sesuatu," Ghea setuju.
Setelah melihat bagaimana keadaan di dalam, mereka pun mengendap-endap pergi. Menyelinap di antara tumpukan jerami, hingga kemudian naik ke tembok. Setelah itu mereka menuju ke mobil mereka. Sebenarnya ketika mereka kembali keadaan tak ada yang mencurigakan, hingga Arci mendapati seseorang sudah bersandar di mobil mereka. Arci dan Ghea berpandangan. Mereka tak kenal siapa orang ini. Tapi orang itu sepertinya tahu siapa Arci.
"Maafkan aku sedikit mengganggu," kata orang itu yang tak lain adalah Letnan Basuki.
Arci dan Ghea mengeluarkan pistol glock mereka dan menodongnya ke arah Letnan Basuki. Melihat Arci menodongnya Letnan Basuki tidak panik dan terkejut. Arci dan Ghea saling berpandangan lagi.
"Kita terkepung," kata Ghea.
"Pengamatanmu bagus sekali, tak bisa dipungkiri orang yang telah mengikuti pelatihan KOPASUS dan berbagai pasukan elit, aku sangat takjub. Tak perlu khawatir, aku tak ingin menangkap kalian karena menodongku atau menghancurkan pabrik-pabrik narkoba mereka. Aku adalah Letnan Basuki pengganti Letnan Yanuar yang telah meninggal. Aku telah memeriksa filemu Arci dan kamu pernah bekerja sama dengan Letnan Yanuar. Aku ingin bekerja sama denganmu," kata Letnan Basuki.
"Aku bekerja sendiri," kata Arci.
"Ada banyak hal yang tidak bisa dikerjakan sendiri seperti bagaimana kamu bisa mengalahkan Tommy seorang diri? Menghancurkan kerajaan mereka adalah hal yang tidak mudah, aku menawarkan bantuan," kata Letnan Basuki.
"Kami tidak butuh bantuanmu," Arci menolak.
"Aku tahu kamu bukan seperti mereka. Kamu hanya orang yang terjebak dalam dunia ini. Aku bisa menawarkan pengampunan atas apa yang telah engkau lakukan," kata Letnan Basuki.
"Aku tidak butuh itu. Aku akan mencincang mereka semua," kata Arci. "Setelah itu, kamu mau tangkap aku terserah. Mereka telah membunuh kakakku dan aku tak akan memaafkannya."
Arci kemudian menuju ke pintu mobil begitu juga dengan Ghea. Kemudian Letnan Basuki perlahan-lahan menyingkir.
"Kalau engkau menyalahkanku karena menghancurkan pabrik narkoba itu, maka aku ingin tanya kemana hukum selama ini? Kalau engkau ingin menangkapku karena mengacaukan pekerjaan kalian, maka lakukan sekarang sebelum aku melakukannya. Kalau kamu tidak ingin, maka menyingkirlah!"
"Arci, kalau kamu sampai berbuat sesuatu yang nekat aku akan menangkapmu," kata Letnan Basuki.
"Coba saja!" kata Arci. "Aku akan tunggu saat borgolmu membelengguku Letnan."
Mobil Arci melaju kencang dikendarai oleh Ghea. Arci segera ke jok belakang dan mengambil sesuatu. Dia mengambil beberapa senapan mesin dan juga beberapa granat. Letnan Basuki hanya menyaksikan mobil itu menjauh dari dirinya. Sementara itu beberapa anak buahnya yang sebenarnya dari tadi sudah bersedia dengan membidik Arci dan Ghea mulai keluar dari tempat persembunyian mereka.
"Let, apa yang harus kita lakukan?" tanya salah satu anak buahnya.
"Biarkan mereka," kata Letnan Basuki.
"Tapi mereka akan menghancurkan pabrik itu!" katanya.
"Tenang, justru dengan begitu pekerjaan kita akan lebih ringan. Ingat, Arci di pihak kita. Dia akan mengirim kita ke jackpot!" kata Letnan Basuki.
BLARRRR!
Gerbang lumbung padi itu dihancurkan oleh granat. Semua orang yang berada di pabrik narkoba terkejut. Beberapa di antaranya segera keluar dengan memanggul senjata seperti Uzi. Arci dan mobilnya menyerbu dengan senapan mesin. Terjadi perang di sini. Alfred yang mengetahuinya segera mengambil senjatanya untuk ikut berperang. Mobil yang dikemudikan Ghea berhenti. Ia segera keluar sambil melempar granat ke pintu gudang. Ledakan demi ledakan tidak berhenti. Arci menembaki semua orang yang keluar dari gudang. Para pekerja yang berada di dalamnya kalang kabut dan mencoba melarikan diri. Arci lagi-lagi melemparkan granatnya. Ledakan demi ledakan kembali terdengar. Dalam sekejap api menjalar di mana-mana.
Ketika senapan otomatisnya habis peluru Arci kemudian mengeluarkan pistolnya dan menembaki para penjaga yang melakukan perlawanan. Ghea dengan gesit menembak beberapa orang hingga terjatuh. Dia melihat Alfred berlari, segera ia susul sepupunya itu. Melihat Ghea mengejar Alfred Arci pun menyusulnya sembari meninggalkan beberapa granat ke sebuah mesin pembentuk kokain.
Alfred lari ke belakang, Ghea dan Arci segera mengejarnya.
Ponsel Alfred berbunyi. Ia segera mengangkat teleponnya, "Halo?"
"Andini ketemu," kata orang di telepon itu.
"Bagus. Aku masih sibuk, hubungi aku nanti," kata Alfred.
Alfred lari sekarang menuju ke sawah tebu. Hari mulai gelap ketika mereka saling kejar mengejar. Kini ketiganya saling kejar mengejar dalam kegelapan. Arci hanya mengandalkan pendengarannya saja ketika mengejar Alfred dan Ghea.
DOR! DOR!
Dua kali Alfred menembak ke arah ngawur. Hal itu malah menyebabkan Ghea dan Arci tahu di mana posisinya sekarang berada. Suara gesekan daun-daun tebu saling bersahutan. Alfred terus berlari hingga ia terjatuh. Tak jauh dari posisinya terjatuh tampak Arci sudah ada di belakangnya. Ghea juga sudah ada di belakangnya dan hampir saja ia menembak Alfred, tapi Alfred berbalik menyerang dan menendang tangan Ghea yang ada pistolnya. Arci mengacukan pistolnya, tapi Ghea dan Alfred terlibat perkelahian sehingga ia tak bisa membidik. Arci kemudian menyimpan pistolnya lalu menerjang Alfred.
Ghea berhasil memukul Alfred, kemudian Arci menangkap leher lelaki ini. Alfred bisa berontak dan memukul perutnya. Ghea langsung menerjang dengan mendaratkan lututnya di wajah Alfred. Seketika itu hidung Alfred patah. Darah mengalir di hidungnya. Arci kemudian menarik jas yang dikenakan oleh Alfred, kemudian tubuh Alfred di putar dan dibekap wajahnya dengan menggunakan jas tersebut. Alfred tak bisa melihat. Ghea kemudian menghantam perut Alfred hingga sepupunya ini pun tumbang.
Alfred tak berdaya. Jasnya yang menutupi wajahnya pun ditarik hingga robek oleh Arci. Dia menodongkan pistolnya ke arah Alfred.
Alfred tak bisa bergerak. Badannya sakit semua. Ia bergerak pun percuma pasti Arci akan menembaknya. Ia bahkan untuk memukul nyamuk pun tak berdaya.
"Kamu mau apa?" tanya Alfred.
"Aku ingin tahu di mana lagi tempat usaha Tommy," kata Arci.
"Hahahahahaha, kamu kira dengan menghancurkan usahanya itu akan membuat dia gentar?"
"Setidaknya demikian bukan?" kata Ghea sambil menurunkan lututnya ke leher Alfred.
"Aku hanya tertawa saja melihat kalian seperti ini. Yang satu kehilangan ayahnya, yang satu kehilangan kakaknya. Bahkan mungkin sebentar lagi wanita yang sudah engkau nikahi itu akan mati," kata Alfred.
"Apa?" Arci menempelkan pistolnya ke kepala Alfred.
"Arci, dia cuma berbohong!" kata Ghea.
"Kamu kira aku berbohong? Hahahaha, ketahuilah seorang pembunuh nomor wahid sedang berusaha untuk membunuh Andini. Mungkin sekarang kamu sudah terlambat. Perang gerilya yang kalian lakukan hanya sia-sia saja," kata Alfred.
Arci pun menarik pelatuknya tepat di kepala Alfred.
DOR!DOR!DOR!DOR!DOR!DOR!DOR!
Dia menghabiskan seluruh isi magazinenya. Ghea langsung berdiri. Ia tak pernah melihat Arci semarah ini sebelumnya.
"Andini, Ghea, kamu tahu di mana dia?" tanya Arci.
Ghea menggeleng. "Aku tak tahu."
Arci kemudian merogoh saku Alfred. Dia melihat siapa yang baru saja menghubungi Alfred. Kemudian dia menelpon nomor tersebut. Nomor itu pun diangkat.
"Halo?" sapa Arci. "Kalian di mana?"
"Kami ada di daerah Lawang," kata orang di telepon itu.
"Andini ada di mana?" tanya Arci.
"Ada di perkampungan di daerah Lawang. Ikuti saja perumahan yang ada di Argobimo, terus naik. Kami mendapati Lian ada di sana. Kalau ada Lian berarti pasti ada Andini."
"Baiklah, bagus," kata Arci.
"Oke, bos," kata orang itu tanpa sadar kalau yang sedang diajak bicara adalah Arci.
"Kita ke Lawang. Menyelamatkan Andini!" kata Arci.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Kani, dikenal sebagai seorang pembunuh bayaran. Dia tak banyak bicara. Kebiasaannya ia selalu membawa coklat ke mana-mana. Dan kalau stoknya habis ia akan beli berbungkus-bungkus coklat. Ia memang suka coklat sejak kecil. Hidup Kani sejak kecil sangat keras. Dia hidup di jalanan, makan terkadang harus mengais sampah. Orang tuanya? Orang tuanya sudah tiada. Ia anak yatim piatu yang kabur dari panti asuhan. Ketika hidup di jalanan dan menggelandang itulah dia belajar kerasnya kehidupan. Hingga suatu ketika Kani terlibat perkelahian. Ia cukup beruntung ketika itu perkelahiannya dilihat oleh Tommy. Tommy saat itu sedang mencari orang-orang yang bisa ia jadikan tukang pukul. Melihat Kani sedang terlibat perkelahian Tommy tertarik untuk melihat.
Kani berusaha keras untuk tetap berdiri sekalipun lawannya banyak. Perkelahian mereka sebenarnya sepele, masalah lapak. Kani dikeroyok oleh beberapa orang anak remaja, tapi dia melawan balik. Saling pukul, saling tendang. Kerasnya hidup sudah ia rasakan sejak lama. Kani berhasil menghajar mereka semua hingga terkapar. Dia melawan mereka semua seorang diri dan masih hidup.
"Hahahaha, bagus. Siapa namamu nak?" tanya Tommy yang mengejutkannya.
Kani yang babak belur itu pun menjawab, "Aku Kani."
"Kau mau aku latih biar menjadi lebih kuat?" ajak Tommy.
Kani tak mengerti apa-apa. Tapi mendengar kata lebih kuat ia pun tertarik.
"Tak usah khawatir aku akan berikan apapun yang kamu mau. Asalkan kamu mau menjadi bawahanku," kata Tommy.
Mengingat-ingat masa lalu, itulah yang dilakukan Kani sekarang. Ia menjadi orang yang sangat loyal kepada Tommy. Semua telah diberikan oleh Tommy kepadanya. Semuanya. Dia juga diajarkan cara untuk membunuh orang dan sekarang menjadi seorang assasin. Dia bersama tiga orang rekannya yaitu Baek, Tina dan Ungi mereka menjadi tukang pukul yang sangat berbahaya.
Beberapa orang anak buahnya sekarang sedang berada di dekatnya. Mereka melihat sebuah rumah yang menyendiri. Kani masih melihat-lihat keadaan.
"Alfred barusan menelpon bertanya di mana kita berada," kata salah seorang anak buahnya.
"Baguslah kalau begitu. Kita tangkap mereka lalu kita tanya kepada Alfred enaknya diapain mereka," kata Kani. "Bergerak!"
Anak buah Kani yang jumlahnya belasan itu mulai mengepung rumah. Kani pun ikut serta. Sementara itu Andini yang berada di dalam rumah sedang membaca-baca buku. Dia menemani Putri yang saat itu sedang belajar.
"Tadi ibu pergi ke pasar beli apa aja?" tanya Andini.
"Nggak tahu, pokoknya banyak banget belanjanya," jawab Putri. "Kenapa kak?"
"Perasaanku tak enak malam ini," jawab Andini.
Lian dari dapur membawa makanan kecil kemudian ikut nimbrung. "Tak enak bagaimana Din?"
"Entahlah, rasanya ada sesuatu yang akan terjadi," jawab Andini.
"Kamu masih kangen sama Arci? Kita semua kangen," kata Lian.
"Bukan itu...," Andini tersenyum. "Lainnya."
TOK! TOK! TOK!
Terdengar suara pintu diketuk. Andini dan Lian saling berpandangan.
"Siapa malam-malam begini?" gumam Lian, ia beranjak.
"Tunggu!" kata Andini. "Ibu sudah kunci pintu?"
"Sudah, ibu mau lihat dulu," kata Lian.
"Andini, kau di dalam? Keluarlah! Ada yang ingin bertemu!" kata orang itu.
Lian dan Andini pun merinding.
"Mereka tahu di mana kita!" kata Andini.
"Jangan-jangan mereka membuntuti ibu ketika belanja tadi," ujar Lian.
"Aduh, mana mama dan papa sedang pergi. Gimana ini?" tanya Andini.
Putri tampak ketakutan. Lian segera memeluknya dan mencoba menenangkan gadis kecil itu. Andini segera menyeret sofa dan meja.
"Ibu, bantu saya. Kita tahan mereka agar tidak masuk," ujar Andini.
Lian pun segera membantu Andini menggeser meja untuk membuat barikade. Terdengar suara ribut-ribut di dalam membuat Kani yang saat itu sedang mengetuk pintu menjadi gusar. Ia pun menendang pintu tersebut. Tapi seperti ada yang menghalangi. Andini dan Lian menahannya. Kani menendang lagi lagi dan lagi.
"Brengsek! Lempari kaca jendelanya!" kata Kani.
PRANG!
Bebatuan pun dilempar ke arah kaca jendela rumah itu. Putri menjerit histeris. Andini dan Lian harus berjuang sendiri sekarang. Untunglah jendela mereka berteralis, bisa dipastikan tak akan ada orang yang bakal bisa masuk. Tapi itu juga mengakibatkan mereka juga tak bisa keluar.
"Pintu belakang!" seru Andini.
Lian dan Andini segera berlari ke dapur. Di sana mereka pun berusaha menyeret meja makan untuk mengganjal pintu. Mereka benar-benar diterror. Dan puncaknya, salah seorang anak buah Kani melemparkan bom molotov ke atap rumah.
"Kalau kamu tidak keluar, maka bersiaplah untuk terbakar!" kata Kani.
Api mulai membakar merembet kemana-mana. Putri mulai menangis. Lian berusaha menenangkan anaknya itu. Andini berjalan ke arah sekering listrik kemudian mematikannya. Seketika itu semua lampu mati. Andini bukan seorang gadis yang bodoh, penakut ataupun lemah. Dia pintar, pemberani dan kuat. Maka dari itulah Andini kemudian mondar-mandir mencari sesuatu. Dan ia pun akhirnya menemukan sebuah linggis, tapi linggis terlalu berat. Akhirnya ia menemukan sebuah pemukul kasur. Sekalipun terbuat dari rotan, tapi kalau buat gebukin orang akan sangat terasa.
"Kita harus bertahan, tak ada jalan lain," ujar Andini.
Lian pun ke dapur mengambil pisau. Mereka benar-benar tak tahu harus apa kecuali satu hal yang ada di benak mereka. Bertahan.
WROOOOOMMM! CKIIIITTT! BRAAAKK! DOR! DOR! DOR!
Terdengar suara yang heboh di luar sana. Andini dan Lian saling berpandangan. Saat itu Arci menabrak mobil Kani yang terparkir tak jauh dari tempat itu. Melihat api yang tersulut dari kejauhan membuat Arci segera mengambil kesimpulan di sanalah tempat Andini berada. Ghea segera melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju ke arah itu. Ketika melihat banyak orang mengepung rumah sambil melemparkan bom molotov Arci menyuruh Ghea menabrak sebuah mobil, lalu mereka berdua menembaki orang-orang Kani.
Kani dan anak buahnya yang diserang seperti itu tentu saja kaget. Mereka segera berhamburan dan membalas. Terjadi tembak-menembak. Beberapa anak buahnya tumbang karena keahlian Ghea lebih baik ketika menembak. Kani dan Arci saling menembak, mereka pun kemudian kehabisan peluru, langsung saja keduanya saling menerjang dan bergelut. Mereka berguling-guling di tanah yang berumput serta masih ada beberapa tanaman liar. Arci dan Kani mereka berdua saling memukul, menangkis, menendang, menghindar dan mencoba menangkap tangan lawannya. Gaya bertarung Arci benar-benar menggunakan segala kesempatan untuk menyerang dengan cara mematikan.
Kejutan mungkin bagi Arci karena mereka berdua memiliki gaya bertarung yang sama.
"Terkejut? Kita sama-sama diajari oleh keluarga Zenedine, kita punya gaya bertarung yang sama," kata Kani.
Kani memukul Arci, Arci menangkis ia dengan cepat segera menyerang leher Kani. Tapi kani mengetahui cara Arci menyerang maka dia menangkap tangan Arci. Pemuda ini kemudian memakai kakinya untuk menendang betis Kani. Arci lalu menangkap tangan kanan Kani dan membantingnya. Ia kemudian mencekik leher Kani. Kani mendorong Arci dengan kakinya.
Arci mengambil pisau yang ada di pinggangnya. Kani juga mengambil pisau. Keduanya kini saling bertarung dengan pisau. Sementara itu Ghea berhasil melumpuhkan semua anak buah Kani. Dia lalu berteriak, "Andini, keluarlah! Ada Arci di sini! Kalian aman!"
Mendengar teriakan Ghea Andini sangat senang sekali. Ia akan keluar tapi api sudah membakar rumah bagian depannya. Akhirnya mereka keluar lewat pintu belakang. Ghea melihat mereka keluar dari kobaran api. Segera ia menolong Andini, Lian dan Putri. Ghea melihat wajah Andini, ada rasa cemburu di dadanya ketika melihat Andini saat itu. Ia jadi tahu sekarang bahwa dia akan sangat kalah kalau harus berjuang untuk mendapatkan cinta dari seorang Arci. Andini lebih cantik dari dia, Andini lebih feminim dari dia. Entah kenapa ia berkaca-kaca saat itu, ia membuang mukanya agar tak diketahui oleh Andini bahwa dia hampir saja menangis.
Ghea kemudian menunjuk ke sebuah arah di mana Arci dan Kani sedang bergelut. Kani menyayatkan pisaunya ke lengan Arci. Arci pun membalasnya. Mereka saling menyabetkan pisau, kadang kena kadang tidak. Hingga kemudian sebuah kesempatan Kani tidak melihat tempat ia berpijak sehingga ia jatuh, Arci kemudian menuburuknya dan menangkap tangan kanan Kani. Dipukul-pukulkan tangan itu hingga pisaunya terlepas setelah itu Arci menghunuskan pisaunya ke dada Kani. Kani menahannya. Ia berusaha agar Arci tidak menusukkan pisau itu ke dadanya. Tapi Arci menggigit tangan Kani. Sang Assasin itu sekarang menjerit dan di saat ia merasakan sakit yang amat sangat saat itulah pisau itu pun menembus dadanya. Paru-parunya robek darah masuk ke sana kemudian keluar dari mulutnya. Tatapan mata Kani tampak membelalak seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan. Arci kemudian berguling ke samping. Nafasnya terengah-engah. Saat itulah Andini, Lian, Ghea dan Putri menghampirinya.
"Sayangku, Cici...kamu tak apa-apa?" Andini langsung menghampiri Arci yang sedang kelelahan.
Arci langsung bangkit dan memeluknya. Air mata Andini tak bisa dibendung lagi. Sementara itu Ghea memalingkan wajahnya. Ia tak kuat melihat pemandangan ini.
"Aku datang sayangku, aku datang," kata Arci.
"Iya, aku tahu kamu pasti datang, aku tahu," ujar Andini.
Malam yang mulai larut. Rumah tempat persembunyian mereka terbakar. Api yang makin membesar itu pun menjadi sebuah saksi bisu bagaimana kedua kekasih akhirnya bisa bertemu lagi.
* * *
"Kamu bisa tinggal di sini," kata Rahma.
Rahma menerima rombongan Arci dan yang lainnya. Usulan ke tempat Rahma sebenarnya datang dari Arci. Karena Andini dan yang lainnya sudah berpindah-pindah selama dua bulan ini. Rahma tahu apa yang terjadi dengan mereka semua. Maka dari itulah ia mau menolong mereka semua.
"Makasih ya Ma?" kata Andini.
"Nggak apa-apa bu," jawab Rahma.
"Nggak usah panggil bu, kamu sudah bukan sekretarisku lagi," kata Andini.
"Arci," sapa Singgih di kursi rodanya.
"Apa kabar?" tanya Arci sambil memeluk Singgih.
"Baik, makasih atas yang telah kamu lakukan. Mungkin sudah saatnya aku membalasnya," ujar Singgih.
"Aku tak tahu kalau kamu masih ingat saja ama nomorku," kata Rahma.
"Hahahaha, siapa lagi kalau bukan kamu yang bisa aku mintai tolong. Sekarang adik dan ibuku butuh istirahat, kalau boleh ada kamar kosong?" tanya Arci.
"Tentu saja. Ada satu kamar kosong di sini, maaf ya cuma satu," jawab Rahma.
"Nggak apa-apa, yang penting ibu dan Putri bisa istirahat," ucap Arci.
"Trus kalian?" tanya Rahma.
Andini dan Arci saling berpandangan. "Kami gampang, Andini bisa tidur bersama ibu dan Putri, aku di sofa saja nggak apa-apa."
"Kalau kamu nggak keberatan sih," kata Rahma.
"Aku biar nemani suamiku saja deh," kata Andini. "Ibu sama Putri segera ke kamar saja, istirahat. Lagian ini sebentar lagi subuh."
"Wah, kalau gitu aku ambilin kasur deh, ada satu kasur yang nganggur. Juga selimut," ujar Rahma.
"Ya sudah, ayo Put!" ajak Lian.
Mereka akhirnya istirahat di rumahnya Rahma. Rumahnya sederhana. Setelah menikah Rahma tinggal pisah dengan orang tuanya. Diberhentikan dari perusahaan PT Evolus sebenarnya juga berat. Tapi Rahma cukup lega, karena ia sekarang bisa usaha sendiri dengan menjahit dan bekerja seadanya. Ia cukup bahagia karena bersama Singgih, lelaki yang dicintainya. Melihat keadaan Arci yang sekarang ia merasa ironis sekali. Seseorang yang seharusnya mendapatkan kebahagiaan yaitu kekayaan dari ayahnya, malah sekarang harus berjibaku dengan maut.
Andini dengan telaten merawat Arci malam itu.
"Untung cuma tergores saja," ujar Andini.
Arci membelai pipi istrinya, "Aku sangat merindukanmu."
"Aku juga," jawab Andini. "Dibuka bajunya!"
Arci kemudian membuka kemejanya. Andini tampak terkejut. Ia melihat banyak luka di tubuh suaminya. Ia pun mengusap bekas-bekas luka itu. Ia pun menutup mulutnya.
"Ini...., oh sayangku apa yang terjadi denganmu? Kenapa semua bisa terjadi seperti ini?" tanya Andini.
"Ceritanya panjang... aku tahu siapa yang telah melakukan ini semua. Aku pun melihat Safira tewas di depan mataku. Dan luka-luka ini adalah ulah mereka. Sungguh aku merasa akan kehilangan kamu, aku tak mau kehilangan orang yang aku cintai lagi," kata Arci.
"Ceritakanlah kepadaku semuanya, aku istrimu. Aku akan lakukan apapun untukmu. Aku juga merasa kehilangan kamu... Sayangku...jangan pergi lagi ya?"
"Aku tak bisa janji."
"Kamu harus bisa!"
"Boleh aku minta satu ciuman? Karena aku belum menciummu semenjak terakhir kali aku bertemu."
"Kamu minta ribuan ciuman pun aku akan berikan."
Andini langsung mendaratkan bibirnya. Arci dan Andini pun berciuman hangat. Arci seolah-olah tak pernah merasakan ciuman seperti ini sebelumnya. Semua perasaan cinta dan kerinduannya pun akhirnya tercurah di sini.
Mungkin hanya seseorang saja yang menangis dalam kesedihan malam itu. Ghea. Dia masih berada di mobil. Menangisi dirinya sendiri.
"Cinta itu rasanya sakit..." jerit Ghea di dalam hatinya. Pukul tiga pagi. Tak ada yang istimewa sebenarnya pada waktu itu. Kecuali malam mulai gelap, hawa mulai dingin. Ghea sudah tertidur di luar sana dengan jaketnya. Ia lebih memilih tidur di mobil untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada yang datang. Lian dan Putri sudah tertidur karena kelelahan. Arci dan Andini berbaring di atas kasur yang ada di ruang tengah. Lampu sudah dimatikan, tapi cahaya samar-samar yang masuk dari jendela masuk bisa digunakan mereka untuk melihat. Apalagi di depan rumah ada lampu jalan dan teras yang cukup terang.
Andini menciumi Arci, tampaknya ia tak ingin melepaskan bibirnya itu dari bibir suaminya. Arci sedikit mendorongnya.
"Ciuman terus? Nggak pegel itu bibir?" kata Arci dengan suara rendah.
Andini tersenyum. "Biarin."
Mereka pun terlelap dalam keheningan lagi. Arci tak bisa tidur, mungkin karena ditemani Andini.
"Kita boleh nggak sih begituan di sini?" tanya Andini.
"Hmm?? Begituan?"
"Ih, kaya' nggak tahu aja."
"Hehehe, terserah sih. Tapi kalau sampai ribut malu juga kan?"
"Kamu nggak tahu ya? Tadi yang matiin lampunya kan Rahma, dia juga pasti ngerti dong kita kepengen gimana."
"Sok tahu kamu."
"Tapi yang aku beneran, lakuin itu yuk," ajak Andini.
"Serius?"
"Pliiss, perawanin aku sekarang. Aku ingin memberikan semuanya untukmu malam ini."
Arci tahu kerisauan Andini. Keinginan Andini sebenarnya juga sama sepertinya. Ia belum memberikan nafkah batin kepada istrinya, apalagi setelah menikah malah diributkan dengan persoalan ini. Tapi ia juga merasa nggak enak kepada Rahma. Apalagi mereka melakukannya di ruang tengah. Takut saja kalau-kalau ada yang lihat. Tapi melihat Andini yang memelas Arci pun tahu, bahwa kerinduan Andini sudah tak tertahankan lagi. Tidak banyak orang yang akan kuat ketika setelah menikah harus ditinggal oleh kekasih hatinya.
Malam ini Arci masih membelai rambut Andini, dengan cahaya remang-remang ini, di dalam selimut tebal yang mereka rasakan, tanpa merasakan mewahnya tempat tidur, mewahnya kekayaan. Inilah yang sebenarnya ingin dirasakan oleh Arci. Ia tak ingin Andini melihatnya sebagai orang kaya yang punya segalanya. Andini ingin melihatnya sebagai seorang Arci, manusia biasa yang punya kelemahan. Kelemahan Arci adalah orang-orang yang dicintainya, juga dirinya. Andini kemudian melepas baju Arci hingga ia bertelanjang dada.
"Oh sayangku, sakit ya ketika kamu ditembus peluru-peluru itu?" tanya Andini sambil menciumi bekas lukanya.
"Sekarang sudah tidak," jawab Arci.
"Oh, sayangku. Biarkanlah aku menjadi obat penawarmu hari ini. Malam ini biarkan engkau menikmatinya," bisik Andini sambil terus menciumi bekas luka itu. Arci perlahan-lahan menarik baju kaos yang dipakai oleh Andini. Istrinya itu pun membantunya untuk melepaskan kaos itu. Arci tak perlu susah payah membuka bra Andini. Karena Andini membantunya.
"Kamu pasti haus sayang, nyusu dulu ya?" tanya Andini sambil melepas branya kemudian mengarahkan buah dadanya yang besar ke wajah suaminya.
Arci langsung menghisap pentil istrinya. Andini mendesis. Arci menghisapnya kuat sambil memainkan lidahnya. Tak hanya itu, buah dadanya diremas-remas membuat birahinya kini terbakar.
"Cici suka?"
"He-eh."
Slluuurrrpp....smooccchh.... Suara lidah Arci menggema, dia benar-benar sangat rindu buah dada ini. Dan kini semuanya ia miliki.
"Ayo sayangku, puaskan dirimu!" ujar Andini.
Arci terus menjilati dan menghisap buah dada yang ada di depannya itu. Andini bertumpu dengan tangannya sambil tangan satunya memeluk kepala suaminya. Buah dadanya sekarang mengkilat karena luda Arci, apalagi putingnya makin mengacung dan keras setelah dirangsang oleh lidah pemuda itu. Arci kemudian berguling sehingga kini Andini ada di bawah. Ia memeluk Andini sambil menciumnya. Kini mereka berdua melakukan french kiss yang hot. Lidah keduanya meliuk-liuk, saling menghisap mencari titik-titik sensitif. Arci baru tahu kalau Andini sangat suka berciuman. Bahkan mungkin cewek yang paling tahan berciuman lama. Ludah mereka bertemu dan saling berpindah mulut.
"Aku rindu kamu," bisik Arci.
"Aku juga sayangku."
Arci mulai menciumi belakang telinga Andini, membuat darah Andini berdesir, kemudian ciumannya turun ke leher dan menghisapnya gemas. Hingga terbentuk cupangan di sana.
"Ahhh...sayangku, aku basah," ujar Andini.
Arci belum puas, ia turun lagi ke buah dada Andini, seolah-olah tak puas dengan buah dada itu. Buah dada itu membusung seolah-olah memang sengaja Andini memberikannya. Arci bagai berada di surga dengan disuguhi buah dada yang selalu ia idam-idamkan itu. Terasa batangnya sudah mengeras. Andini dengan nakal mengelus-elus batang kejantanannya.
"Udah keras," bisik Andini.
"Iya"
Arci kemudian meraba pinggang Andini. Hah? Nggak pake CD? Dia langsung merasakan bulu-bulu halus ketika meraba selakangan Andini, daerah paling privat. Andini telaten menurunkan celana suaminya hingga kini batang perkasa berotot itu bebas.
"Boleh aku lihat?" tanya Andini.
Arci kemudian duduk dan Andini beringsut menuju ke tempat batang itu mengacung. Digenggamnya batang perkasa itu. Andini tanpa jijik mulai menciuminya sembari mengocok lembut.
"Ahhkk beib!..." desah Arci.
Perlahan-lahan mulut Andini mulai dimasuki oleh kepala penis itu. Lidahnya pun memutar-mutar memberikan rangsangan di belahan penisnya. Arci merasakan kenikmatan yang tak pernah disangka. Andini juga mengurut penis itu, memberikan sensasi yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Apalagi hisapannya sangat kuat, membuat lututnya lemas.
"Enak beib..." kata Arci.
Urutan dan felatio yang dilakukan Andini membuat penis perkasa itu makin keras sempurna. Ditambah lagi Andini mencoba memasukkan batang itu lebih dalam lagi, lagi dan lagi hingga mulutnya penuh sampai ke kerongkongannya. Ludahnya juga makin banyak menyelimuti kejantanan suaminya.
Adiknya Safira itu meringis nikmat saat Andini melakukannya. Setelah aksi deep throat itu, kini Andini mengejar bola-bola naganya. Telur-telur naga itu dijilat dan disedot hingga membuat penisnya ngilu. Rasa geli dan nikmat tercampur rasa seperti jus buah mix. Dan kini Arci mendorong istrinya agar berbaring. Kalau terus diperlakukan seperti itu Arci takut main course-nya nanti bisa berantakan.
Arci menciumi buah dada Andini lagi. Kali ini ia menghisap puting Andini kuat-kuat. Hal itu membuat Andini menutup mulutnya karena menjerit. Dia sekarang terbakar birahi. Vaginanya sangat basah sekarang, rangsangan-rangsangan itu membuat dia makin seperti bendungan yang jebol karena menahan air bah. Suaminya kini sudah mengelamuti garis di kemaluannya, menjilati garis itu dan memasukkan lidahnya di dalamnya. Andini mengerang.
Daging tonjolan berwarna merah didapat oleh Arci, ia kemudian segera menghisapnya. Andini makin menjerit dan ditahan dengan mulutnya. Arci sekali lagi menjilat lalu menghisap seluruh cairannya hingga sampai ke klitorisnya. Andini tidak tahan dan dia langsung bangun badannya melengkung dan keluarlah cairan dari kemaluannya. Ia tak menyangka bakal orgasme seperti ini.
"Aaahhhh... Cici...ahhhh, aku keluarrr!"
Arci memeluknya lagi. Kedua dada mereka bertemu. Entah kenapa Arci sekarang sangat terpesona dengan buah dada istrinya itu. Kencang, padat, sekal, dan putingnya ngajak berantem.
Tanpa dikomando kepala penisnya sudah tepat di depan kemaluan Andini. Andini menatap mata Arci dalam-dalam. Ia tahu Arci tidak pertama kali ini melakukannya, tapi ia telah menjadi suaminya. Bukankah sebagai seorang istri dia harus memberikan segalanya kepada suaminya. Andini mengangguk tanda bahwa ia mengijinkan Arci melepaskan keperawanannya malam itu.
Kepala penis yang sudah keras itu mencoba masuk. Seret, susah, walaupun cairan kewanitaan Andini sudah memberikan pelumas, tapi tetap membuat susahnya batang itu masuk. Arci tak perlu diberitahu di mana letak lubang istrinya, ia sudah mengerti. Ia sudah terlatih, apalagi batangnya kini sudah meluncur sedikit demi sedikit. Tekanan demi tekanan dilakukan hingga kepala penisnya masuk semua. Andini menggigit bibirnya sambil memejamkan mata. Arci tak pernah memerawani seorang wanita, ini adalah pertama kali dia merasakannya. Penisnya rasanya sedikit ngilu ketika belahan vagina itu meremas-remas batangnya. Dan sekali lagi Arci menekan.
SLLEEEEBB! SREEETTTT! SLAASSTTH!
"AAHH!" pekik Andini. Ia bahkan tak peduli kalau seisi rumah terbangun. Penis Arci meluncur dalam merobek sesuatu yang ia jaga selama ini. Sesuatu yang telah ia siapkan untuk suaminya, yang telah ia jaga dengan penuh perjuangan. Janjinya kini telah dipenuhi. "Cici...kamu telah memerawaniku...."
"Iya sayang," kata Arci.
Andini memeluk punggung suaminya erat-erat. Kini pinggul Arci naik turun menarik dan menekan penisnya yang kini sudah licin, bercampur dengan darah dan cairan kewanitaan.
Hentakan naik turun itu makin membuat penisnya masuk makin dalam hingga mentok ke rahim Andini. Pantat Arci naik turun, menggesek-gesekkan dua kulit kemaluan. Menerobos liang kenikmatan, menyeruak ribuan birahi yang selama ini terpendam. Penisnya sekarang benar-benar mendapatkan jodohnya.
Lenguhan mulai terdengar walau suaranya berbisik. Lenguhan menahan rasa sakit dan nyeri, serta lenguhan kenikmatan. Andini menahan rasa sakit itu, ia tak ingin merusak kenikmatan suaminya. Ia rela melakukannya, namun lambat laun ia pun menikmatinya, rasa sakit itu berubah jadi rasa nikmat, terlebih ia berusaha mencengkram batang kemaluan suaminya. Hal itu membuat Arci menghentikan sejenak gerakan pistonnya. Kedua kelamin itu berkedut-kedut, seolah-olah mengerti bahwa mereka ditakdirkan bersama.
"Rengkuhlah kenikmatan ini sayangku!" ujar Andini.
Arci kemudian menciumi bibir Andini. Lalu berbisik, "Menungging dong sayangku."
Andini mengerti. Arci perlahan-lahan mencabut penisnya. Rasanya geli sekali bagi Andini saat penis itu bergeser lepas dari liang senggamanya. Ia kemudian menungging. Arci memijat-mijat bongkahan pantat Andini yang bahenol itu. Diremasnya dan dikuaknya jalan ke arah vagina yang kini ada bercak darah. Arci tak menunggu lama-lama, ia langsung menempatkan penisnya ke tempat semula.
SLEEBBBHH!
"AAAHH!" Andini menjerit lagi.
Arci kini bergoyang lagi dengan gaya doggy style. Penisnya makin enak dan serasa menyodok penuh sampai ke rahim Andini. Andini pasrah saat Arci meremas-remas buah dadanya. Ia juga menyadari suaminya kini benar-benar suka dengan buah dadanya. Siapa sangka ia juga takluk oleh ketampanan Arci. Ahh....ia menyesal kenapa tidak sejak dari dulu saja bercinta dengan Arci. Tapi ia sadari inilah yang diinginkannya. Ia tak mau cintanya hanya sebatas nafsu saja. Tapi ia ingin cintanya adalah take and give...
PLOK! PLOK! PLOK!
Suara pantat beradu dengan perut membuat ruang tengah itu jadi lebih bergairah. Dua insan yang dimabuk cinta kini sedang melepaskan rindu dengan kegiatan "membuat anak". Arci makin nikmat ketika Andini berinisiatif memutar-mutar bokongnya. Hal itu membuat penisnya makin ngilu-ngilu enak. Tapi ia terus bergoyang kemudian meraih kedua tangan Andini sehingga kedua tangannya kini dipegang membuat tubuh Andini terangkat dengan buah dada menggantung, mengayun ke depan dan ke belakang. Gaya grafitasi itu mungkin juga membuat buah dada itu makin terlihat besar.
Sesuatu datang menggelitik perut Andini, bukan karena tangan. Tapi ia mau orgasme. Sekujur tubuhnya terasa nikmat, melebihi apa yang ia sangka. Makin lama rasa nikmat itu menjalar ke satu titik. Aliran darah kini memompa antara otak dan kemaluannya.
"Cici, aku keluaaarrr!" bisik Andini.
Arci makin cepat memompanya. Hal itu membuat Andini menggeleng-geleng. Dan saat kemaluannya mencengkram batang kejantanan itu kuat-kuat, barulah Arci menghentikannya. Beberapa semprotan cairan keluar dari kemaluan Andini. Batang kemaluan Arci seperti tersiram air hangat, berlendir, malah membuat dia makin nikmat. Andini kemudian berbaring lemah.
Arci mencabut kejantanannya. Membiarkan Andini berbaring. Kini Andini berbaring ke kanan. Arci kemudian berbaring miring di belakangnya. Dia mengangkat kaki kiri istrinya, kemudian menyodokkan batang kemaluannya yang masih tegang. Seolah tak ingin memberikan kesempatan Andini istirahat, kembali Arci menyodokkan penisnya.
"Aahhh...Cii...teruuss... puaskan dirimu!" kata Andini.
Arci menusuk-nusukkan penisnya yang tegang itu ke dalam liang senggama istrinya. Makin lama makin kencang. Ia juga menikmati punggung istrinya. Ia menghisap, menjilat dan menciuminya, sedangkan tangan kirinya meremas-remas buah dada istrinya. Suara becek antara gesekan dua kemaluan itu makin membuat Andini bergairah lagi. Meskipun ia sudah dua kali orgasme, tapi ia tak boleh menyerah karena suaminya belum dapat apa-apa.
"Beeibbh...ahh...nikmat sekali," bisik Arci.
Seakan tak ada habisnya, Arci terus-menerus menggenjot istrinya. Begitu Andini orgasme lagi, maka ia pun berhenti. Tiga kali orgasme dan Andini pun lemas.
"Sayangku...kamu kuat sekali," bisik Andini. "Keluarin di dalam yah, aku ingin punya anak darimu."
"Aku akan selalu mengeluarkannya di dalam. Ini adalah tempatku bukan?"
Andini mengangguk.
Akhirnya Arci berada di atas Andini. Penisnya benar-benar mengkilat terkena cairan kewanitaan Andini yang keluar berkali-kali plus sebercak darah perawan. Andini membuka lebar pahanya, mengijinkan suaminya untuk masuk. Dan, akhirnya Arci menggenjot Andini lagi. Kali ini cukup cepat, sehingga membuat Andini kewalahan. Arci juga sudah tak tahan lagi ingin mengakhiri persengamaan ini.
Penisnya sudah berkedut-kedut, sepertinya ingin menyudahi saja kegiatan ini dengan semburan sperma yang mungkin saja sangat banyak. Andini sudah mulai orgasme yang keempat. Detik-detik orgasme mulai datang sepertinya hanya menunggu hitungan waktu. Penis Arci masih terus keluar masuk, menggesek rongga kemaluan Andini. Dan kini sepertinya sudah pada waktunya.
Jepitan vagina Andini makin rapat. Seiring itu Arci juga makin cepat menggoyang, nafasnya juga memburu.
"Beibbhhh....oohhkkk....nyampe ssshh...!" bisik Arci.
"Aku juga sayangku."
CROOOTTTTT.....CROOOTTT....CROOTT!
Milyaran sel sperma pun akhirnya keluar, menembak langsung ke rahim Andini. Arci menekan sedalam-dalamnya. Kenikmatan yang akhirnya datang itu pun membuat Andini merasakan orgasme keempat, tidak bahkan kelima setelah sperma itu meledak berkali-kali di dalam rahimnya. Arci membuat dia merasakan multiple orgasme.
Kedua insan ini pun berpelukan. Rasa nikmat menjalar di tubuh Arci dan Andini.
"Sebentar ya Din, sekali lagi," kata Arci.
Andini terkejut ketika Arci bilang demikian. Tapi ia hanya bisa menerima saja, saat Arci mengulang lagi untuk kedua kalinya goyangannya. Arci menggoyang lagi seolah-olah ia masih ingin terus dan terus bercinta dengannya. Dan keluarlah spermanya sekali lagi, kali ini hanya lima menit. Andini tak pernah menyangka suaminya bisa seperti ini. Entah berapa banyak sperma di dalam rahimnya sekarang. Apalagi Andini yakin bahwa hari ini adalah masa suburnya. Ia sangat bahagia dan memagut Arci berkali-kali.
"Aku bahagia sayangku, akhirnya kamu melakukannya," kata Andini.
"Aku juga bahagia," kata Arci.
Mereka masih berpagutan mesra. Setelah itu buru-buru mereka memakai baju lagi. Takut kalau nanti bangun seluruh isi rumah kaget melihat mereka berdua telanjang. Hari sudah masuk subuh ketika mereka tertidur sambil berpelukan dan Andini menyunggingkan senyuman dalam pelukan suaminya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Rumah Rahma ini jadi makin ramai dengan kehadiran Arci sekeluarga. Ghea masih sibuk dengan mobil dan persenjataannya di luar. Ia tak ingin memperlihatkan perasaan cemburunya. Dia lebih memilih di luar. Lian dan Putri akhirnya bisa tidur malam itu. Arci dan Andini sangat berterima kasih kepada Rahma dan Singgih.
"Sekarang apa yang akan kita lakukan?" tanya Andini.
"Aku tetap harus menghancurkan mereka," jawab Arci.
Andini menghela nafas. Ia ada rasa khawatir sebenarnya. Perasaan khawatir akan kehilangan suaminya. Terlebih urusan dengan mafia bukan urusan yang enteng.
"Aku khawatir," kata Andini.
"Khawatir kenapa?"
"Kamu tahu aku sangat mencintaimu, aku tak mau kehilangan kamu. Tak bisakah urusan balas dendam ini selesai begitu saja?"
"Aku tak bisa. Aku sudah melangkah terlalu jauh. Aku tak ingin kehilangan dirimu, karena mereka sekarang sedang mengincarmu."
"Kenapa kita tidak lari saja, pergi jauh dari mereka dan menyembunyikan diri. Tak akan ada orang yang mengetahui, kita hidup bahagia selamanya?"
Arci menoleh ke arah Andini. Wajahnya yang cantik itu tampak lebih manis dengan senyumannya. Arci menghela nafas, "Andai aku bisa."
"Cici, Safira sudah pergi, kamu tak akan bisa mengembalikan dia apapun yang kau lakukan nanti."
"Aku tahu. Tapi, aku tak bisa. Aku harap kamu mengerti."
"Aku tidak mengerti."
Arci menempelkan keningnya ke kening Andini, "Percayalah, ini tak akan lama."
Arci meninggalkan Andini sendirian yang saat itu berada di halaman rumah. Ia menghampiri Ghea yang tampak sedang merawat senjata-senjatanya yang ada di bagasi. Andini sudah bertemu dengan suaminya, ia sangat takut kehilangan sekarang. Terlebih Arci saat ini lebih dekat dengan Ghea. Andini serasa cemburu.
Sementara itu dari jendela kamar tampak Rahma mengamati Arci dan Andini. Ada sesuatu yang ia simpan sendiri. Melihat Singgih yang sekarang sedang tidur di atas ranjangnya ia pun menjadi gundah sekarang. "Maafkan aku suamiku. Walaupun kamu sudah datang, tapi...aku merasa kehilangan Arci sekarang. Aku mencintainya...." Rahma meneteskan air mata.
Dalam hati rasa kerinduannya telah sirna bukan dengan kedatangan Singgih, tapi kedatangan Arci. Dialah yang sangat khawatir semenjak peristiwa pernikahannya itu. Dia memang masih mencintai Singgih, tetapi ada perasaan lain yang tak dapat ia ucapkan. Sesuatu itu adalah mencintai seorang yang sudah beristri. Hatinya pun resah.
"Tommy sudah mengerahkan tukang pukulnya, artinya ia tidak main-main sekarang ini. Ia akan terus memburu kamu dan Andini. Terlebih Alfred sudah kamu bunuh, Kani juga sudah kamu bunuh," ujar Ghea.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Arci.
"Kita tak punya pasukan. Menghantam mereka sama saja kita cari mati. Kita hanya berdua," ujar Ghea.
"Kamu benar. Lalu rencananya?"
"Kamu harus cari pasukan dan aku tahu kemana tempatnya."
"Di mana?"
"Ke tempat Yuswo, dia orang yang netral. Tapi kalau kamu bisa mendapatkan deal yang tepat dengan dirinya, maka aku yakin dia akan menolong kita."
"Siapa Yuswo?"
"Yuswono Glegoh Bariono, seorang preman dulunya. Kemudian dia menguasai beberapa pasar dan kemudian menjadi raja pengemis. Tak hanya itu, ia punya pengikut yang loyal. Yang jelas para pengikutnya tak bisa disamakan dengan orang-orang yang dimiliki oleh keluarga Zendine."
"Baiklah, kapan kita ke sana?"
"Not so fast, Kamu yakinkan dulu keluargamu bahwa mereka benar-benar aman. Tempat ini terlalu terbuka. Aku takut mereka akan dengan mudah menemukan kita."
"Kamu benar," ujar Arci sambil menghela nafas.
"Ada masalah apa kamu dengan istrimu?" selidik Ghea ingin tahu.
"Tak ada apa-apa," jawab Arci.
"Pasti kamu senang sekarang sudah melampiaskan kerinduanmu."
"Ya, tentu saja."
Ghea tersenyum. "Syukurlah kalau begitu."
"Kenapa?"
"It's OKAY, I'm fine."
"Maafkan aku."
"Kenapa minta maaf?" Ghea bingung
"Setelah urusan ini selesai, aku ingin pergi. Agar hatimu tak sakit lagi."
"Tidak, aku tak apa-apa. Akulah yang seharusnya minta maaf. Aku hanya bisa berharap, bukan begitu?"
Arci tak bisa berkata apa-apa. Ia pun pergi meninggalkan Ghea. Terkadang cinta itu susah diungkapkan dengan kata-kata. Dan Ghea mempelajarinya sekarang. Rasa sakitnya tak bisa dilukiksan dengan kata-kata. Mungkin memang benar kata Arci, ia harus mencari sosok lelaki yang tepat agar bisa melupakan dirinya. Tapi siapa?
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci sendirian. Ya, dia sendirian dan ingin bertemu dengan Yuswo. Sungguh sesuatu yang tak diduga Arci harus berhadapan dengan salah seorang Raja Preman. Dia tinggal di wilayah pinggiran sungai kali Brantas. Bukan orang biasa. Karena begitu Arci bertanya kepada salah seorang yang ada di sana mereka semua mengenalnya.
"Kalau jam segini, dia lagi mancing sam. Samperin aja dia," kata salah seorang yang ia temui.
Arci masuk ke gang-gang sempit, melewati jalan bertangga dan landai. Dia melewati beberapa rumah yang sangat penuh dengan penghuni. Agaknya untuk mencapai pinggiran sungai tak sesulit yang dikira. Sesaat sebelum turun Arci melihat sebuah rumah yang sangat sederhana, terbuat dari kayu. Ia kira itu adalah kandang kambing, ternyata setelah dilihat kandang kambing dan rumah jadi satu. Miris. Betapa ternyata masih saja ada rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Agaknya ia bersyukur tidak menikmati hidup seperti itu walaupun ia selalu dikejar-kejar oleh renternir dulu.
Arci melihat seseorang tua yang sedang memancing. Orang tua ini berjenggot putih, bajunya lusuh, dan dia memakai topi. Pemuda ini mulai mendekat. Arci kemudian duduk di sebelahnya.
"Kamu sudah tahu kedatanganku," ujar Arci.
"Ya, ada anak buahku yang memberitahuku kalau ada orang yang mencariku. Ketika dia memberitahukan ciri-cirimu maka aku sudah tahu bahwa kau dari keluarga Zenedine. Sebab dalam hidupku hanya tiga orang dari keluarga mereka yang menemuiku. Pertama Arthur, kedua adalah Archer, ketiga Tommy. Kamu adalah orang yang keempat. Dan semua keperluannya aneh-aneh. Ada yang ingin jadi sekutuku, ada yang ingin agar aku ikut mereka, dan yang paling lucu adalah Tommy. Dia ingin merekrutku. Bodoh semuanya. Sedangkan kau mau apa?"
Arci memeriksa box yang digunakan untuk menampung ikan. Tak ada apa-apa di sana. Yuswo mengelus-elus jenggot putihnya. Arci mengetahui bahwa tangan orang ini sangat kekar. Bukan orang biasa. Tampak dari sempilan baju di lehernya ada sebuah tatto.
"Aku punya sebuah tawaran yang menarik," kata Arci.
"Katakan!"
"Kamu bantu aku untuk menghancurkan bisnis keluarga Zenedine dan orang-orang yang melindungi bisnis mereka. Terutama orang-orang yang bersama Tommy dan mendukung Tommy."
"Lalu aku dapat apa?"
"Kamu dapatkan semua harta yang kamu inginkan di keluarga Zenedine."
Yuswo menoleh ke arah Arci. "Kamu mengigau."
"Tidak mengigau, lagipula aku tidak butuh kekayaan mereka. Hidupku telah berhenti semenjak mereka membunuh kakakku."
"Kamu siapa namamu?"
"Arczre aku anak dari Archer."
"Hahahahaha, Archer. Aku ingat sekarang. Bagaimana dia culun waktu itu. Memintaku agar bisa menjadi sekutu mereka. Bodoh sekali. Banyak orang-orang yang mengincar posisiku, mereka meminta bantuanku karena aku yang punya banyak pasukan, banyak pengikut loyal. Dan kami memang tak mau ikut campur dengan urusan keluarga Zenedine. Kami netral."
"Aku tahu kamu netral, tapi apakah semua orang akan menolak apabila diberi kekuasaan? Aku rasa tidak. Aku berjanji engkau akan mendapatkan semuanya."
Yuswo tersenyum, "Apalah artinya kekayaan bagiku. Aku sudah tua, aku sudah bau tanah."
"Baiklah, bagaimana bila aku menawarkan diri untuk menggantikanmu?"
"Maksudmu?"
"Aku tahu kamu tidak mau kekayaan, tidak ingin apapun. Tapi sudah pasti kamu ingin seorang penerus bukan? Aku menawarkan diriku."
Unik, pikir Yuswo. Kalau saja Arci ini orang biasa sudah pasti dia akan ditempeleng. Tapi pemuda ini seorang negosiator yang baik. Menggantikan dirinya?
"Kamu bisa apa?" tanya Yuswo. "Bahkan mungkin kamu mengenal daerahku saja tidak bisa."
"Kalau begitu ajari aku. Aku hanya ingin bisa menghabisi orang-orang yang telah mencelakai keluargaku. Itu saja," kata Arci. "Setelah itu dengan segala apapun yang aku punya, aku menawarkan diri menjadi penerusmu."
Yuswo tertawa. "Hahahahahaha, baru kali ini ada yang menawarkan diri jadi penerusku. Boleh, boleh, tapi sini kemarikan tanganmu!"
Arci mengulurkan tangannya. Yuswo memegang tangan pemuda itu dan merasakan telapak tangannya. Setelah itu dia mengangguk-angguk. Yuswo menghela nafas dan melepaskan tangan Arci. Pemuda ini tak memahami apa yang dilakukan oleh orang tua itu.
"Aku ingin memberikan sesuatu kepadamu, aku akan melatihmu selama dua minggu. Itu kalau kamu tak keberatan. Karena urusan ini lebih rumit dari biasanya. Kalau kamu ingin menjadi raja preman, bos dari para mafia kamu harus kuat. Yang ada sekarang kamu lemah. Seorang bos, dia harus bisa melawan banyak orang sendirian. Kamu belum sampai ke tahap ini. Kamu masih menggunakan senjata api, sesekali menggunakan pisau dan kapak. Aku bisa merasakannya dari guratan-guratan di telapak tangan dan jemarimu."
Arci sungguh takjub, ia tak pernah bertemu dengan orang seperti ini. Dia bisa mengerti apa yang pernah dipegangnya. Yuswo kini menatapnya dengan tatapan serius.
"Dua minggu? Lalu bagaimana keluargaku?"
"Kamu jangan khawatir, orang-orangku akan melindungi kalian! Keluargamu tak akan berani menyentuh mereka," ujar Yuswo.
"Tapi aku dengar mereka mempunyai pembunuh bayaran nomor satu," ujar Arci.
"Yakinlah, selama ada aku, mereka tak akan berani mendekat."
"Baiklah, aku terima."
Arci dan Yuswo berjabat tangan. Sebuah kesepakatan yang menandai awal sebuah kehidupan kelam tanpa batas. Arci makin masuk ke dalam dunia hitam. Dia tak bisa keluar lagi sekarang. Tak bisa semudah itu.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Hooeeek! Hooeek!" Andini muntah-muntah hari itu. Sudah seminggu Arci meninggalkannya. Dan tepat sekali, dia hamil.
"Waduh, kamu tak apa-apa?" tanya Lian.
Andini menggeleng. "Kayaknya sebentar lagi ibu bakal jadi nenek."
"Oh ya?"
"Aku bisa merasakannya, ada yang aneh ama tubuhku. Mencium masakannya Rahma saja sampai mual," ujar Andini.
"Waaaahhh...nggak nyangka secepat itu hihihihi. Kalian ngelakuinnya di mana? Jangan bilang di ruang tengah!"
"Emang di situ koq. Emang kita punya kamar?"
"Hahahaha, pantesan koq malem-malem seperti ada suara orang mendesah. Itu kalian toh. Hihihihi."
"Ah, ibu jadi malu," muka Andini memerah.
"Arci kemana? Ia harus diberitahu," kata Lian.
"Dia sedang ada urusan selama beberapa minggu," kata Andini. "Dia tadi omong ke aku."
"Yah, mau gimana lagi. Tapi kamu harus menjaganya lho," ucap Lian sambil mengusap-usap perut Andini. Andini sangat bahagia hari itu, melebihi apapun di dunia ini.
"Nanti kalau dia sudah datang aku akan memberitahu," kata Andini.
Ghea yang dari tadi berdiri di pintu dapur hanya menghela nafas. Ia memakai tanktop dan kombor berwarna coklat. "Rasanya kita akan sedikit kesulitan kali ini."
Andini mendengarkan gumaman Ghea, "Kesulitan?"
"Iya, Arci tak akan mungkin membawamu yang sedang mengandung kalau kita harus lari lagi nanti," kata Ghea kemudian menoleh ke arah Andini.
"Benar juga," kata Lian. "Kalau kamu sampai kelelahan takutnya bakal kenapa-napa sama janinnya."
"Aku punya ide, itu kalau kamu terima. Kalau tidak ya...sudahlah, bagiamana?"
"Apa itu?"
Ghea tersenyum sambil menegakkan alisnya.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Sementara itu Tommy tampak sedang berada di depan sebuah peti mati. Peti mati anaknya, Alfred. Dia makin geram. Banyak orang yang tewas hanya karena mengejar Arci. Dia kini mulai tak lagi meremehkan Arci. Orang-orang tampak berkabung, mereka semua dari keluarga dan kerabatnya.
"Bos, ada kabar dari Arci," ujar salah seorang anak buahnya yang mendekat kepadanya sambil berbisik.
"Apa?" tanya Tommy.
"Raja Preman menyatakan mendukung Arci."
"Apa kau bilang? Bukannya ia netral?"
"Sepertinya Arci melakukan deal dengannya."
"Brengsek!"
"Tapi katanya begini, 'Jika ada yang berani mengganggu keluarga Arci, dia akan berurusan denganku'"
"Dia bilang begitu?"
"Iya."
"Ini tidak baik. Aku ingin bertemu dengan orang-orang Trunojoyo. Kalau mereka ingin perang, kita akan berikan perang. Aku tidak takut. Kita buat Malang banjir darah."
"Siap!"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Dua minggu, waktu yang cukup untuk melatihmu. Dari perkiraanku kamu telah dilatih sebelumnya. Tapi aku hanya akan mengajarimu tiga macam hal. Pertama aku akan mengajarimu cara untuk bertarung menghadapi masa keroyokan. Kedua aku akan mengajarimu cara untuk menaklukkan orang-orang. Ketiga aku akan mengajarimu cara untuk menjadi seorang pemimpin. Tiga hal ini akan aku ajarkan dalam waktu cepat."
Arci pun mulai belajar. Tak ada yang mengetahui bagaimana cara Yuswo mengajar Arci. Yang jelas. Tak terasa dua minggu pun berlalu dengan sangat cepat. Tommy mulai mengumpulkan kekuatan. Mereka benar-benar ingin agar Arci dan keluarganya binasa. Latihan Arci memang tidak biasa. Di pagi hari ia sudah harus berada di pasar, berkerumun dengan orang banyak. Dia diperkenalkan oleh Yuswo sebagai penerusnya. Dan semua orang harus patuh kepadanya. Dari sini Arci punya kekuasaan sekarang. Hampir separuh dari kota Malang ini mengetahui siapa dia. Rumor pun tersebar. Bergabungnya Arci dengan sang Raja Preman sampai terdengar ke telinga Letnan Basuki.
Ia menganggap ini kejutan karena Arci tak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Dia pun berpesan kepada anak buahnya untuk tetap waspada karena sebentar lagi pasti akan terjadi perang besar antara dua kekuatan.
Siangnya Arci berlatih. Dia berlatih dengan latihan yang tidak biasa. Dia wajib mengangkat lengannya dan tak boleh diturunkan. Dan dia harus masuk ke dalam sebuah barisan pedang kayu. Barisan pedang kayu itu harus ia lawan dengan apapun dan jangan sampai ia terkena satu pun. Hasilnya adalah ia babak belur ketika barisan pedang kayu yang digantung dengan menggunakan tali itu mengenainya. Kepalanya benjol-benjol terkena hantaman itu.
Malam harinya Arci diberikan arahan dari mana penghasilan sang Raja Preman dan bagaimana menarik simpati masyarakat. Selama tiga hari awal Arci benar-benar merasakan tubuhnya sakit semua. Tapi ia tahan. Seminggu kemudian tubuhnya mulai terbiasa. Dia mulai bisa beradaptasi dengan latihan yang diberikan oleh Yuswo. Bahkan ketika ia berlatih keroyokan pun, sekarang ia sudah tak lagi babak belur. Kemajuan yang sangat pesat.
Sementara itu group Trunojoyo telah bergerak. Mereka juga mengumpulkan preman-preman untuk bergabung dengan keluarga Zenedine. Bahkan mereka juga merekrut orang-orang baru. Letnan Basuki sebenarnya mencium adanya pergerakan aneh, beberapa truk berisi parang, clurit dan senjata-senjata tajam maupun senjata lainnya dipasok ke sebuah tempat. Beberapa amunisi dan senjata api dari Pindad dicuri. Hal ini semakin kuat mengindikasikan akan terjadi perang. Letnan Basuki secara sembunyi-sembunyi telah menempatkan anak buahnya ke sudut-sudut kota. Mereka semua menyamar, bahkan sebagian menjaga rumah Rahma yang sekarang ditinggali oleh Andini dan yang lainnya.
Anak buah Letnan Basuki bercerita, "Let, ada tiga kelompok yang mengawasi rumah itu. Kita, dan dua kelompok. Satu dari orang-orangnya Tommy, satunya lagi dari orang-orangnya Yuswo."
"Tetap awasi. Kita tak tahu apa yang akan terjadi nanti!" ujar Letnan Basuki.
"Anda yakin?"
"Yakin, kita tak boleh gegabah. Salah sedikit orang-orang yang tak bersalah bisa celaka."
"Siap Let!"
Tommy dan Agus pun bertemu akhirnya. Mereka berada di gedung PT Evolus. Keduanya mengumpulkan semua orang yang telah direkrutnya. Sudah hampir dimulai ternyata. Dengan bersatunya Arci dengan sang Raja Preman, apalagi grup Zenedine bergabung dengan grup Trunojoyo, maka ini semua mengindikasikan perang besar akan terjadi.
"Semua sudah siap?" tanya Tommy.
"Sudah!" jawab salah seorang anak buahnya.
Tommy menatap ke arah Baek, Tina dan Ungi. Baek sudah siap menerima perintah, Tina juga, dan Ungi anggota yang paling muda sibuk mengaca pada katana yang ia bawa.
"Kalian semua segera tangkap semua keluarga Arci, siapapun yang menghalang bunuh. Jangan beri ampun. Baek, Tina kalian pergi. Ungi kamu tetap di sini!" ujar Tommy.
Cowok dengan rambut acak-acakan bernama Ungi tersebut hanya diam sambil terseyum kecut. Wajahnya menunjukkan kebosanan yang amat sangat. Baek dan Tina kemudian menyingkir, semua orang pun mengikuti dia. Tommy dan Agus tersenyum melihat semua anak buah mereka pergi keluar. Mereka semua berpakaian necis, berkemeja putih, berdasi hitam dan berjas hitam. Mereka membawa senjata apapun, parang, pisau, kapak, tongkat baseball bahkan ada yang membawa senjata api.
Salah seorang informan polisi yang sedang berada di jalan dengan menyamar sebagai penjual nasi goreng tampaknya terkejut karena mendapati banyak lautan manusia keluar dari dalam halaman PT Evolus dan mereka membawa senjata semuanya. Dia langsung menghubungi Letnan Basuki.
"Let, perang akan dimulai, mereka bersiap!" kata penjual nasi goreng itu.
Letnan Basuki yang mendapati info ini segera beranjak dari tempat duduknya dan mengumpulkan semua anak buahnya. Seluruh anak buahnya dari pasukan khusus dan pasukan elit mulai bergerak. Mereka berbaris di halaman Polres Malang. Jumlahnya ratusan. Tidak cukup pasukan anti huru-hara saja yang akan bergerak, dari tim Gegana juga diturunkan.
Letnan Basuki mulai mengambil TOA. "Kalian semua, saya ingin menyampaikan sesuatu. Malam ini akan terjadi perang besar antar mafia. Mereka semua akan saling bunuh. Kita sebagai para penegak hukum wajib menghentikannya agar tak terjadi pertumpahan darah yang besar. Aku ingin kalian melindungi orang-orang yang tida bersalah. Mereka berbahaya, mereka adalah preman, pembunuh dan kriminal. Saya juga tak tahu apakah tindakan persuasif dibutuhkan. Tetapi kita sudah mendapatkan ijin dari Mahkamah Agung dan Kejaksaan bahwa kita boleh menggunakan peluru timah kalau sampai mereka berbuat nekat. Dan ingat jangan sampai peluru kalian nyasar ke rakyat sipil yang tidak bersalah. Kita harus menghentikan mereka semua sebelum terjadi bentrok. Apa kalian semua mengerti?"
"Siap mengerti!" seru semuanya.
Yuswo pun mendapatkan laporan tentang bergeraknya orang-orang Zenedine dan Trunojoyo. Maka dia pun menginstruksikan hal yang serupa. Karena ia tahu kemana mereka akan bergerak. Ke tempat keluarga Arci. Arci yang sudah menerima pelatihan terakhirnya sekarang sedang menunggu. Dua minggu lebih ia dilatih. Plus sebuah latihan khusus yang tidak pernah diajarkan oleh siapapun. Dia sudah mengira akan adanya penyerbuan. Makanya Arci seharian itu istirahat untuk mengumpulkan kekuatannya. Ia menghubungi Ghea untuk waspada karena malam ini akan terjadi peperangan besar.
"Kamu sudah saatnya bergerak. Mereka akan datang sebentar lagi," kata Yuswo.
Arci mengangguk. Ia pun berdiri. Mereka berada di teras rumah Yuswo.
"Anda tak ikut?" tanya Arci.
"Hahahahaha, sam, sam, kenapa aku harus ikut? Aku sudah tua. Energiku tak sekuat dulu ketika muda. Tapi itu, ambillah pedang itu!" Yuswo menunjuk ke sebilah katana yang masih tertutup sarung pedangnya.
"Katana?"
"Itu bukan katana biasa. Kamu pasti akan membutuhkannya. Kamu butuh persenjataan lain?"
"Mungkin."
"Darmo! Darmo!" suara Yuswo melengking.
Dari dalam rumah muncul seorang pembantu. "Iya mbah."
"Ambil kotak besar!" ujarnya.
Darmo sang pembantu yang awalnya terkejut, tapi melihat kesungguhan mata sang majikan ia pun pergi ke dalam. Tak berapa lama kemudian dia menggeret sebuah kotak besar yang digembok. Kotak yang mempunyai roda di keempat sudutnya itu pun sekarang berada di samping Yuswo duduk. Arci menebak-nebak isi dari kotak itu. Yuswo memberi aba-aba agar pembantunya itu membuka kotak tersebut. Darmo mengambil kunci dan membuka gemboknya. Dibukalah kotak itu.
Arci menelan ludah, ia tak menyangka Yuswo mempunyai ini semua. Dia melihat segala jenis senjata tertumpuk di kotak itu. Makanya sepertinya sangat berat tadi ketika Darmo menggeret kotak itu.
"Semua senjata dan amunisinya ada di kotak itu. Ambil sepuasnya," ujar Yuswo. "Ingat yah, aku hanya bisa membantumu sampai di sini. Semua anak buahku sudah siap menunggu instruksimu. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan."
Arci mengambil dua buah pistol yang cukup berat. Pistol yang dia ambil adalah Desert Eagle .50 AE Snakeskin atau disingkat DE50DS. Dia juga mengambil beberapa magazine. Dia mahir menggunakan pisau, maka dia ambil beberapa pisau baja hitam. Kemudian dia mengambil sebilah karimbit, dua buah granat dan sebilah kapak kecil. Arci kemudian mengambil katana yang ditunjuk oleh Yuswo.
"Ingat, gunakan sebaik-baiknya!" kata Yuswo.
"Iya, aku akan menggunakan dengan sebaik-baiknya," kata Arci.
"Aku telah memberitahukan kepada semua orang yang ada di luar gang sana. Hari ini, kau adalah raja preman. Pimpin pasukanku dengan bijak. Karena setelah ini aku tidak akan memimpinnya lagi, kaulah yang memimpinnya."
Arci menjabat tangan Yuswo, tidak hanya itu ia mencium tangannya sebagai bentuk hormat kepada orang tua sekaligus gurunya. Setelah itu Arci pergi.
"Mbah, nggak apa-apa membiarkan dia?" tanya Darmo. "Perang ini pasti sudah tercium oleh polisi kan? Bisa timbul banyak korban."
"Kamu tak akan ngerti. Dia sudah bosan hidup. Aku tak melihat pancaran kehidupan di matanya. Ia sudah ingin mati. Dan orang yang ingin mati, bakal sulit dikalahkan. Di dalam dirinya hanya ada dendam. Kamu sendiri lihat, dia berani korbankan apapun demi hari ini. Ah, dasar kunyuk!"
"Kenapa mbah?"
"Dia ngambil senjata kesukaanku."
"Maksud mbah? Yang mana?"
"Desert Eagle itu satu harganya dua puluh juta. Satu-satunya senjata resmi yang aku beli. Ah, persetan. Nasi sudah jadi bubur."
Arci berjalan menyusuri gang di rumah Yuswo. Sepatunya melangkah mantab. Ia tahu hari ini akan terjadi. Penentuan di mana ia akan menagih darah yang telah ditumpahkan oleh Tommy Zenedine dan Agus Trunojoyo. Arci melihat di depan gang. Orang-orang berpakaian preman tampak sudah menunggu. Mereka jumlahnya ribuan dan tentu saja mereka menyambut sang raja preman yang baru.
"Kalian siap?" tanya Arci.
"Ya bos, kami siap!" seru semuanya.
"Hari ini, mungkin kita akan mati. Jadi kalau ada yang takut mati silakan pergi! Kalau ada yang ingin lari dari perang nanti, aku tidak akan mengampuninya. Hari ini kita serbu PT Evolus!"
Semua orang bersorak. Arci melangkah maju sambil menenteng pistolnya. Dia yang memimpin ribuan pasukan preman ini. Jalanan malam itu menjadi mencekam. Para polisi sudah bersiaga di tempat di mana kedua kekuatan akan bertemu. Mereka menerjunkan panser-panser dan dengan cekatan memasang kawat berduri. Malam itu Malang menjadi mencekam, melebihi suasana ketika terjadi kerusuhan Mei tahun 98.
Kabar tentang akan adanya peperangan ini tampaknya membuat jalanan protokol sepi. Mereka sangat ketakutan. Bahkan beberapa arus lalu lintas di belokkan agar tak terlibat. Polisi mulai bersiaga saat pasukan gabungan dari Zenedine dan Trunojoyo terlihat. Begitu pula ketika pasukan yang dipimpin oleh Arci terlihat, mereka sudah bersiaga.
Di tengah jalan yang akan dilalui Arci Letnan Basuki tampak berdiri di sana. Dia berkacak pinggang tak ada penjaga, apalagi ia tak membawa senjata apapun. Arci terus berjalan menghampirinya hingga berhenti di depannya.
"Arci, kau tak perlu melakukan ini. Kau tahu, kalau kamu melakukan ini kau bisa dihukum berat," ujar Letnan Basuki. "Ayolah, kamu orang baik. Aku yakin itu, sudahi balas dendam ini. Kembalilah ke keluargamu!"
Arci menatap mata Letnan Basuki tanpa berkedip, "Letnan, jaga keluargaku!" Hanya itu yang disampaikan oleh Arci. Dia melewati Letnan Basuki begitu saja. Kemudian orang-orang yang ada di belakangnya juga melewati sang polisi.
"Brengsek!" umpat sang polisi itu. Segera ia berlari ke arah lain menuju ke mobilnya. Dia menginstruksikan anak buahnya untuk bersiaga melalui radio, "Cegah mereka, mereka akan bertemu di jalan Ahmad Yani, di flyover! Cegah mereka. Tembakkan apa saja, gas air mata kek, peluru beneran kek. Cepat!" Pasukan Tommy terbagi menjadi dua, mereka yang menuju ke rumah Rahma dan satunya yang ingin menggempur pasukan Yuswo. Arci juga membagi pasukan menjadi beberapa bagian. Satu melindungi keluarganya, yang lainnya ikut dia. Dan satu lagi untuk mencegah agar pasukan Tommy lari. Malam itu preman-preman tidak tidur. Sorenya mereka sudah galau. Mereka sebenarnya khawatir dirinya akan mati malam itu. Tapi itu tak menjadi masalah, hidup sebagai preman, mati sebagai preman apa bedanya? Daripada mati di tangan timah panas polisi, mereka lebih baik mati berkelahi dengan orang lain. Para preman stasiun yang biasanya mangkal sebagai tukang parkir, sebagai penjual gorengan, sebagai polisi cepek dan berbagai profesi yang mereka tekuni malam itu bangun. Mereka mengejutkan istri-istri dan anak-anak mereka. Dan pesan mereka kepada keluarganya adalah "Kalau pagi aku tidak pulang, tolong jangan cari aku. Mungkin aku sudah pergi." Kurang lebih semua suami yang berpesan kepada istrinya seperti itu.
Ghea, Andini, Lian dan Rahma tampak bersiap. Sedari siang mereka tak bisa keluar rumah karena ratusan orang berpakaian preman sudah berjaga-jaga di sana. Mereka semua adalah para preman yang ditugaskan oleh Yuswo. Ditambah lagi para polisi yang juga sudah bersiaga dari kemarin-kemarin kini mulai bersiap. Mereka memakai rompi anti peluru dan berbagai persenjataan.
Semua toko tiba-tiba tutup lebih awal. Beberapa orang swadaya masyarakat tampak berjaga-jaga sebagai keamanan. Mereka juga takut kalau-kalau terjadi sesuatu. Para polisi sudah menyebar pasukannya di mana-mana. Bahkan pasukan anti huru-hara sudah bersiap dengan tameng dan tongkat pemukulnya di sepanjang jalan Ahmad Yani. Mobil ambulance dan pemadam kebakaran di kerahkan. Malam itu keadaan benar-benar mencekam.
Arci menelpon istrinya.
"Halo?!" sapa Arci.
"Sayang, kamu di mana? Aku tak bisa keluar ada orang-orang yang mencegah kami keluar. Katanya kami harus tinggal di dalam rumah!" ujar Andini.
"Iya, mereka orang-orangku. Bertahanlah! Aku akan membuat perhitungan dengan mereka semua," ujar Arci.
Andini membalas, "Tidak! Hentikan semua ini. Kamu suamiku, aku tak mau terjadi apa-apa denganmu! Ayo kita pergi sayang, kita sudahi semua ini. Hentikan balas dendam ini."
"Aku tak bisa."
"Kenapa?"
"Aku hidup lebih lama bersama kakakku. Dia berkorban banyak buat kami. Bahkan demi agar diakui keluarganya dia rela menyumbangkan ginjalnya untuk ayahnya tapi itu tidak diakui. Akhirnya hanya aku yang bisa mengakui dirinya. Hanya aku yang bisa memberikan kehidupan untuknya. Ada alasan kenapa dia mencintaiku, ada alasan kenapa aku juga mencintai dia. Dia bukan sekedar kakak buatku. Kau juga tahu itu. Itulah alasannya kenapa aku tak bisa berhenti. Apalagi ketika dia harus tewas di depan mataku sendiri, terlebih dia juga mengandung anakku."
"Apa?"
"Ya, dia tewas saat mengandung anakku. Karena itulah aku tak akan memaafkan mereka. Aku sudah bersumpah akan menjadi vampir malam ini. Aku akan hirup darah mereka. Aku akan habisi mereka semua sampai mereka menyesal telah hidup."
"Sayangku....aku tak tahu...."
"Sabarlah, aku akan pulang. Kalau toh aku tidak pulang, kamu jangan khawatir. Aku akan pergi ke tempat di mana orang yang aku cintai berada."
"Ajaklah aku!"
"Aku tidak ingin mengajakmu. Kamu harus hidup."
"Aku juga tidak akan bisa hidup, aku hamil...."
DEGG!
Tangan Arci gemetar. "Apa tadi yang kamu bilang?"
"Aku hamil," kata Andini sambil terisak.
"Katakan sekali lagi?!"
"Aku hamil."
"Kenapa kamu tak bilang?"
"Aku akan bilang kepadamu."
Arci entah bahagia atau bersedih. Ia tak tahu yang mana yang benar dan yang salah sekarang. Di hadapannya sudah ada barikade polisi. Polisi benar-benar sekarang berada di tengah dua kekuatan.
"Sekarang belum terlambat. Sudahi ini semua sayangku, pulanglah! Ayo kita hidup menyendiri, menjauh dari semua. Kita hidup di sebuah gubuk kecil, dengan anak-anak kita. Jauhi ini semua."
Tangan Arci gemetar. Dia tak pernah menyangka akan seperti ini. Air matanya meleleh.
"Demi anak kita suamiku, jangan lakukan ini!"
Pasukan Arci berhenti menunggu aba-aba Arci. Arci memejamkan mata. Apa yang harus dia lakukan? Apa yang harus dia lakukan? Ia sudah berjalan jauh. Dan ini di depannya. Sudah ada pihak kepolisian menantang dirinya. Dan di seberang sana ada pasukan dari Tommy.
"Mundur! Kalau tidak kami akan menembak! Kalian harus membubarkan diri secepatnya!" tampak suara keras dari salah satu polisi terdengar jelas. "Kami hitung sampai sepuluh hitungan!"
"Cici, itu apa? Suara apa itu?" tanya Andini.
"Polisi. Mereka akan membubarkan kami," jawab Arci.
"Tidak mungkin! Sudahilah, kumohon aku sangat khawatir. Pulanglah!"
"Aku tidak bisa. Belum bisa," Arci segera menutup teleponnya.
Andini menjerit histeris. Ghea yang menyadari hal itu hanya bisa menghela nafas. Berat bagi Arci, berat bagi Andini. Lian berusaha menenangkan Andini. Rahma pun ikut menenangkannya.
"Sudahlah, kita hanya bisa berharap Arci pulang dengan selamat," kata Lian.
"Dini, yang tabah ya?!" kata Rahma.
"Kalian tak perlu khawatir. Arci bukan orang yang akan jatuh begitu saja. Dia pernah melewati masa-masa kritis, dia telah melewati banyak cobaan. Dia lelaki tampan yang paling kuat yang pernah aku kenal," kata Ghea.
"Ghea?" gumam Andini.
"Perlu kalian ketahui, aku juga berharap ia selamat. Tapi aku tak pernah menyerah akan berharap kepadanya. Kamu adalah orang yang paling ia cintai. Kamu harusnya yakin!" kata Ghea sambil memegang bahu Andini. "Ini!" Ghea memberikan sebuah senjata kepada Andini. "Pakai pistol ini, kamu harus kuat. Sebagai istri seorang bos mafia kamu harus kuat. Tembak siapapun yang ingin mendekat kepadamu. Malam ini kita akan mati. Jadi jangan berharap untuk bisa hidup esok hari."
Andini berkaca-kaca, air matanya meleleh. "Ghea, terima kasih..."
"Kalian adalah keluargaku juga. Aku tak akan membiarkan siapapun mendekati kalian," kata Ghea.
Sementara itu Arci menyimpan ponselnya. Dia menatap ke arah para polisi yang sudah bersiaga. Dia memberi aba-aba.
"Ingat, kita tak bisa kembali lagi. Maju atau mati!" teriak Arci.
HIIYYEEEE! teriak semua orang.
"Tujuh, Enam, Lima, Empat, Tiga, Dua, Satu! Waktu habis!" seru suara polisi di TOA.
Tak berapa lama kemudian pasukan anti huru-hara mulai maju menuju ke arah Arci. Tapi Arci belum memberi aba-aba menyerang. Sementara gas air mata sudah dilontarkan. Beberapa orang langsung mengoleskan pasta gigi di bahwa mata mereka dan memakai masker. Arci mengeluarkan topeng gas dan memakainya. Beberapa orang yang membawa topeng gas pun langsung memakainya. Di tempat lain, di mana pasukan Tommy sekarang juga memakai topeng gas. Mereka kemudian langsung bentrok dengan polisi.
Arci memberi aba-aba untuk maju. Tapi bukan maju secara fisik, para preman melemparkan sesuatu.
BANG! BANG! DOR! RATATATATATA!
Ternyata mereka melemparkan petasan. Hal itu membuat para polisi kalang kabut. Pasukan anti huru-hara kocar-kacir karena lemparan petasan itu. Arci pun langsung berlari menuju ke arah para polisi yang kalang kabut itu. Akhirnya terjadilah bentrok. Tiga pasukan pun bertemu, mereka saling serang, saling pukul,s saling bantai. Keadaan kacau sekali. Arci tak segan-segan membalas serangan para polisi. Mereka juga bertahan ketika dua kekuatan saling bertemu, tapi karena kekuatan pasukan anti huru-hara ini sedikit akhirnya mereka pun terdesak. Pasukan Gegana yang diterjunkan pun tak bisa berbuat banyak terlebih salah satu preman membawa RPG dan menembakkan RPG itu ke arah salah satu mobil panser hingga mobil panser itu bersalto di udara.
Tembakan pistol dan ledakan granat membahana. Malam itu Malang terjadi perang. Listrik di sepanjang jalan Ahmad Yani dipadamkan. Beberapa di antaranya takut dan lari terus dikejar. Para polisi makin terdesak, hingga akhirnya pasukan Tommy dan pasukan Arci bertemu. Mereka pun bertarung satu sama lain. Para polisi tak bisa berbuat banyak dan mereka meminta bantuan.
Arci mempraktekan apa yang telah ia pelajari bertarung keroyokan. Dia mengambil senjata polisi yaitu tongkat pemukul dan menghajar siapapun yang ada di depannya. Semua yang terkena pukulannya pasti tumbang. Setiap orang mendapatkan paling sedikit dua pukulan, perut dan kepala, perut dan kepala, kaki dan kepala. Arci terus mengalahkan setiap orang yang dilewatinya sekalipun mereka bersenjatakan parang dan pipa besi.
"Pergi ke sana, dapatkan wanita itu! Mereka butuh bantuan" seru seseorang.
Arci mendengarkannya. "Wanita itu" mungkinkah Andini? pikirnya. Ia segera melihat banyak sekali pasukan dari Tommy berbelok ke sebuah gang. Arci pun segera mengejarnya. Tak salah lagi mereka ingin menangkap keluarganya. Arci segera menelpon Ghea.
"Ghea!?" sapa Arci.
"Ya?!" jawab Ghea.
"Bagaimana keadaan di sana?" tanya Arci.
"Kacau, di sini terjadi perang! Kami bertahan di rumah!" jawabnya.
DOR! DOR! DOR! DOR! Terdengar suara tembakan.
"Apa itu?" tanya Arci.
"Mereka menyerang dengan banyak senjata, pertahanan terakhir kita hanya menggunakan pistol in...auhh!" suara Ghea terputus.
"GHEA! GHEA!" teriak Arci. Arci pun segera berlari menuju rumah Rahma yang letaknya memang tak begitu jauh dari tempat pertempuran ini. "Tidak, tidak, tidak, aku tak mau kehilangan kalian. Aku tak mau. Aku tak mau!"
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Rusuh, itulah yang terjadi. Terlebih ketika dua orang assasins suruhan Tommy tiba di tempat Andini dan yang lainnya berada. Baek dan Tina. Para polisi dan preman-preman yang berjaga melindungi rumah Rahma tak ada yang diberi ampun. Mereka semua dibantai. Ghea baru menyadari siapa lawan mereka.
"Ini tidak baik," kata Ghea.
"Ada apa?" tanya Andini.
"Mereka bukan orang biasa, mereka pembunuh bayaran nomor satu. Kalian segera pergi tak ada yang bisa melawan mereka!" kata Ghea.
Telepon Ghea berbunyi. Ghea segera mengangkatnya.
"Ghea!?" sapa Arci.
"Ya?!" jawab Ghea.
"Bagaimana keadaan di sana?" tanya Arci.
"Kacau, di sini terjadi perang! Kami bertahan di rumah!" jawabnya.
Ghea menembakkan senjatanya DOR! DOR! DOR! DOR!
"Apa itu?" tanya Arci.
"Mereka menyerang dengan banyak senjata, pertahanan terakhir kita hanya menggunakan pistol in...auhh!" Ghea memekik ketika sebuah pisau kecil menancap di punggung tangannya. Tampak Tina yang dari kejauhan memainkan pisaunya mulai merangsek masuk.
"Lari!" seru Ghea. Andini yang memegang pistol pun tak punya pilihan lain. Dia sama sekali belum menembakkan satu peluru pun. Andini dan yang lainnya segera keluar lewat pintu belakang. Singgih dengan kursi rodanya didorong oleh Rahma. Andini, Lian dan Putri segera berlari keluar rumah, tapi ketika Singgih dan Rahma keluar sebuah tendangan menghantam tubuh Singgih hingga dia yang tak mempunyai kaki dan tangan langsung mendarat seperti bantal ke tanah. Rahma pun terhantam hingga mental ke dalam rumah lagi. Andini berbalik dan melihat keadaan. Dia membidik Baek.
"Pergi dari dia, kamu mengincar aku bukan?! Sini kamu! Aku akan menembakmu!" kata Andini.
Baek menginjak-injak tubuh Singgih. Singgih hanya bisa mengerang kesakitan. Ia tak bisa berbuat banyak dengan tubuhnya yang cacat. Ia hanya berteriak, "Rahmaaa! Rahmaaa!"
Melihat Andini menantangnya, Baek segera menghampiri Andini. Andini berusaha menarik pelatuknya tapi susah. Apa yang terjadi? Bahkan sekarang Baek sudah mendekat persis di depannya hingga moncong pistolnya tepat berada di dada Baek. Baek tersenyum geli.
"Bagaimana kamu bisa menembak kalau masih kau kunci?" tanya Baek. Andini terkejut. Baek memberikan hantaman ke perut Andini hingga Andini tak bisa bernafas. Lian yang melihatnya segera menolong Andini tapi dia terkena tamparan Baek hingga ambruk ke tanah. Rahma yang baru bangun segera mengambil sapu dan menerjang Baek, lalu ia memukulkan sapu itu ke kepala Baek. Kayunya patah tapi Baek masih baik-baik saja. Baek berbalik.
Dia kemudian mengapit leher Rahma dengan siku lengan bagian dalam lalu memelintir leher Rahma hingga berbunyi KRAAK! lalu tubuh Rahma dilempar begitu saja ke tanah. Mata Rahma melotot, ia sudah tak bernyawa dengan gerakan Baek tadi.
Singgih histeris, "Rahmaaa! TIDAAK! Rahmaaaa!" Dia berusaha menggapai tubuh Rahma dengan kekuatan seadanya. Ia berjalan seperti penyu, merayap.
Baek meninggalkan Singgih yang histeris. Dia kemudian menggelandang tangan Andini dan Lian. Dia menyeret tubuh kedua wanita yang pingsan itu. Tapi di tengah jalan, tampak Putri dengan membawa tongkat menghalangi Baek.
"Lepaskan ibuku! Lepaskan!" kata Putri. Dia segera memukul-mukul Baek. Baek tak merasa sakit, bahkan dengan tendangan keras ia menendang perut Putri hingga ia terpental dan menghantam sebuah kotak kayu yang di atasnya ada tumpukan kasur busa yang memang dijemur oleh para tetangga. Putri pun pingsan.
Sementara itu Ghea terlibat perkelahian sengit dengan Tina. Tina mahir memakai pisau. Tidak, bahkan keduanya mahir. Bedanya adalah Tina mahir menggunakan pisau terbang berukuran kecil, sedangkan Ghea mahir menggunakan pisau yang lebih besar. Terjadilah adegan melempar pisau yang dilakukan oleh Tina. Tapi karena ini pertarungan jarak dekat, akhirnya Tina dan Ghea saling membenturkan pisau mereka. Pisau Tina adalah pisau baja sepanjang dua puluh senti yang biasanya digunakan di bayonet. Sedangkan Ghea lebih ke pisau belati yang biasanya digunakan oleh tentara seperti satuan elit.
TRANG! TRANG! TRANG!
Suara pisau mereka sangat nyaring. Sekilas Ghea menoleh ke arah Baek yang telah berhasil menyeret Andini dan Lian. Ia pun makin frustasi. Tina berhasil menyabet perutnya. Ghea mulai meliuk-liukkan pisaunya, dia terus mendesak Tina. Tina tak tinggal diam, ia juga sesekali melemparkan senjata rahasianya, satu pisau menancap di bahu Ghea. Ghea mencabutnya dan melempar balik, Tina menangkisnya, itu membuat Tina hilang konsentrasi sehingga sebuah tendangan tanggung menghantam dada Tina hingga ia terpental ke meja kaca yang ada di dalam rumah. Kaca pun berhamburan karenanya.
Tina berguling, tampak pinggangnya tertancap kaca. Ia pun mencabutnya lalu dibuang. Darah mengalir dari lukanya. Demikian juga Ghea. Perempuan berambut merah ini sudah bersiap dengan kuda-kudanya walaupun tangannya berkedut karena sakit akibat tertancap pisau tadi.
"Kita tak bisa keluar hidup-hidup dari tempat ini," kata Ghea.
"Hehehehe, aku tak peduli. Ternyata aku tak salah memilih lawan. Kamu hebat!" kata Tina.
Ghea kemudian menerjang Tina. Tina pun menangkap Ghea, keduanya masih menghunuskan pisau mereka dan saling mendorong dengan pisau masing-masing. Tiba-tiba tubuh Ghea meloncat ke atas. Tina sedikit kaget, belum sempat kekagetannya hilang tiba-tiba sebuah lutut langsung mengarah ke dadanya dua kali. Hal itu seketika membuat kantong paru-parunya kosong. Tina kehilangan nafas. Ia langsung mundur.
Ghea, belum selesai sekali lagi dia menekuk lengan sikunya, kakinya juga ditekuk, ini adalah kuda-kuda Muay Boran. Dia mendekat dengan kaki merendah ke arah Tina. Dan tanpa Tina sadari Ghea melompat lagi, kini lututnya tiba-tiba sudah berada di telinganya, menghantam kepala bagian kiri. Tina terhuyung ke kanan. Bagai slow motion, Tina berusaha bertahan agar tak jatuh, belum sempat ia menahan keseimbangannya, Ghea sudah menendang ulu hatinya, membuat cewek assasin ini terhempas ke tembok.
Tina memijat-mijat dadanya yang sakit. "Muay Boran?"
"Kamu kira aku hanya belajar satu ilmu beladiri? Kamu salah!" ujar Ghea. Dia pun melemparkan pisaunya, saat bersamaan dengan sisa-sisa tenaganya Tina juga melemparkan pisaunya hingga kedua pisau itu saling menghantam dan tersebar ke arah yang berbeda.
Tina mendorong tubuhnya dari tembok hingga seakan-akan ia melesat terbang ke arah Ghea. Ghea sudah siap, ia memantapkan kuda-kudanya kemudian merendahkan tubuhnya lalu menerima tendangan Tina dengan tangkisan siku di kaki dan lengannya. Hantaman kaki Tina membuat Ghea mundur beberapa langkah. Tak butuh waktu lama, ia segera melakukan counter attack, kemudian menyapu kaki Tina dan dengan tendangan memutar lagi kepala Tina dijadikan sasaran empuk tendangan Ghea yang ternyata adalah spinning kick. Tina terhempas ke kiri.
Cewek Assasins ini segera berdiri, belum sempurna ia berdiri Ghea sudah melompat ke arahnya dan mendaratkan sikunya tepat ke arah kepala Tina. Jurus ini sungguh telak, Kepala Tina langsung robek bersamaan itu tulang tengkoraknya retak. Tina terhuyung-huyung, Ghea mendarat di depannya dan mengambil sebuah pisau kecil yang disimpan Tina di kakinya. Ghea lalu menusukkan pisau itu tepat ke dagu cewek Assasins ini dan merobeknya. Terakhir ia mencengkeram kepala Tina dan menghadiahi lututnya hingga cewek ini terhempas ke lantai.
Pertarungan ini dimenangkan oleh Ghea. Tina tewas di tempat dengan leher robek dan wajah bonyok. Ghea teringat dengan Andini segera ia mengejar ke mana Baek tadi membawa Andini dan Lian. Ghea terus berlari mengejar Baek yang sudah tak kelihatan lagi. Kemana ia harus mengejar?
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci telah sampai di muka gang. Di sana mayat-mayat bergelimpangan, dari mulai polisi sampai para preman. Dan yang lebih mengejutkan lagi ia melihat Andini dan Lian diseret oleh Baek dari kejauhan. Baek menuju ke sebuah mobil SUV. Dengan kasar ia melempar Andni ke dalam mobil juga dengan Lian.
Melihat itu Arci segera berlari. "Berhenti! Berhenti kataku!"
Ghea berjumpa dengan Arci. Arci melihat Ghea terluka bahu dan perutnya. Darah mengalir dari kedua luka itu. Tapi Ghea merasa tak apa-apa. Keduanya berlari mengejar mobil itu sambil menyerang orang-orang yang berusaha menghalangi langkah mereka.
"Aku tahu kemana mereka pergi," kata Arci.
"Kemana?" tanya Ghea.
"PT Evolus!"
Dan mereka berdua pun membajak sebuah mobil, kemudian segera menuju ke perusahaan textil milik keluarga Zenedine.
* * *
Letnan Basuki yang melihat kekacauan ini mendapati Arci yang tampak masuk ke sebuah mobil bersama Ghea. Dia pun segera mengambil sebuah motor milik kepolisian. Dia pun mengejar Arci. Letnan Basuki benar-benar tak habis pikir akan terjadi seperti ini. Semuanya kacau, rusuh, dan ini semua hanya sebuah perebutan harta.
"Kamu terluka?" tanya Arci yang khawatir kepada Ghea.
"Aku tak apa-apa," jawab Ghea.
"Yakin?"
"Sudah kemudikan saja!"
Arci mengemudikan mobilnya dengan kesetanan. Bahkan lampu merah pun ia terobos. Baek sudah masuk ke dalam halaman perkantoran PT Evolus. Tak berapa lama kemudian Arci pun menyusul. Melihat Baek menyeret Andini dan ibunya Arci tampak sangat marah, ia pun menghantamkan mobil yang ia kendarai ke mobil SUV yang dikendarai oleh Baek.
BRRAAAKKK!
Suara hantaman keras itu mengejutkan Baek. Segera para penjaga yang ada di tempat itu menuju ke arah Arci. Arci menyerahkan salah satu pistol Desert Eagle-nya kepada Ghea dan dua magazinenya. Arci dan Ghea segera keluar dan menembaki para penjaga. Arci dan sepupunya segera masuk ke dalam kantor. Terjadi baku tembak. Beberapa orang petugas keamanan menjadi korban. Sekarang ini Arci lebih prioritas untuk menyelamatkan Andini. Ia tak mempedulikan apa yang ia lakukan.
Saat Arci dan Andini sampai di depan lift mereka terlambat karena Baek sudah naik ke atas sambil melambai kepada Arci. Dan di hadapan Arci sekarang ada puluhan orang yang menghadang keduanya.
"Brengsek, kenapa mereka banyak sekali?" gumam Arci.
"Sepertinya tak ada gunanya kita memakai senjata api di sini," kata Ghea.
"Kau benar," kata Arci. Ia menyimpan lagi senjata mahal itu. Sebagaimana janji dia kepada Yuswo untuk mengembalikannya. Dia memberikan katana yang ia bawa kepada Ghea. "Gunakan ini!"
Ghea menerimanya. Arci mengeluarkan kapak yang ia bawa sejak tadi. Ghea melepaskan jaketnya, dia kemudian membalut luka di perutnya dengan jaket itu agar rasa nyerinya reda. Ia sekarang terlihat memakai kaos singlet You-can-see berwarna hijau dengan bra yang tercetak jelas. Punggung Ghea dan Arci saling bersandar. Mereka kini dikepung oleh puluhan orang dengan senjata tajam mereka.
"Katakan kepadaku!" kata Ghea. "Apa kamu menyesal mengenal keluargaku?"
Arci menggeleng, "Tidak. Tapi kehidupan seperti ini jauh lebih menarik."
"Maafkan aku yang telah membawamu jauh ke tempat ini, rasanya aku makin berdosa," kata Ghea.
"Tak perlu merasa bersalah! Aku sudah terlalu jauh masuk, aku akan menikmatinya. Setidaknya statusku sekarang tak bisa dianggap remeh sebagai raja preman."
"Kau sinting!"
"Kita bukankah pasangan yang sinting?"
Mendengar kata "pasangan" membuat wajah Ghea memerah. Tapi rasanya adrenalinnya lebih terpacu untuk bertarung daripada merasakan debar-debar cinta yang dirasakannya sekarang. Ghea tersenyum. Ia sudah siap dengan katana di tangannya.
"Arci, boleh minta satu hal?" tanya Ghea.
"Apa?"
"Kalau kita berdua masih hidup setelah ini, jadikanlah aku istrimu!"
"What? Apa yang kau katakan?"
"Dengarlah, di dunia ini tak ada lelaki yang cocok denganku. Tak ada sama sekali yang bisa menerima Ghea. Tak masalah, kamu sudah beristri atau tidak. Kabulkanlah permintaan terakhirku ini. Aku siap menjadi nyonya Arczre!"
"Kau sinting. Aku sudah katakan kalau..."
"Cukup! Aku tahu, cinta tak bisa dipaksa. Dan aku tak ingin hidup terus dengan sakit hati karena kamu menolak cintaku. Bullshit semua itu. Kita deal?"
"Ini nggak mudah."
"Deal?"
"Arghh...whatever, deal!"
"I love you, Handsome!" bisik Ghea.
Puluhan orang yang mengepung Arci dan Ghea langsung serentak menyerang mereka. Arci pun mempraktekkan apa yang telah ia pelajari bersama Yuswo, bertarung dalam keroyokan. Arci menganggap semua orang yang menyerang dia adalah pedang-pedang kayu yang menjadi latihannya, ia bisa menangkis dan menyabetkan kapaknya. Ia memutar-mutar kapak itu seperti baling-baling hingga tak ada satu pun orang yang bisa menghindar dari sabetan kapak itu. Begitu juga Ghea, ia dengan lihai memainkan katana yang ia pegang sekarang. Akibat dari sabetannya banyak orang yang kehilangan lengan dan jarinya. Perutnya robek, badannya robek, tertusuk. Bukan, karena Ghea expert dalam memainkan pedang, tapi ada sebuah kekuatan baru di dalam dirinya yang bangkit. Kamu bisa menyebutnya kekuatan cinta kalau mau.
Singkat cerita puluhan orang itu pun akhirnya bisa ditaklukkan dengan sisanya lari tunggang langgang setelah melihat teman-temannya terkapar oleh aksi dua monster ini. Tubuh Arci bertambah lukanya karena beberapa sabetan parang mengenai punggungnya dan dadanya, tapi lukanya tak begitu dalam. Agaknya Ghea tidak demikian. Pahanya berdarah, tampaknya lukanya cukup dalam.
"Kamu tak apa-apa?" tanya Arci memberikan perhatian kepada Ghea dengan memegang bahunya.
"Fuck off!" jawab Ghea.
"Kondisimu seperti ini, sebaiknya aku sendirian saja yang berangkat ke atas," kata Arci.
"Kamu tak akan sanggup. Kita sama-sama," kata Ghea.
"Tidak, kamu di sini. Dengan luka seperti ini kau tak akan sanggup!" kata Arci.
"Kamu juga terluka."
"Ini tak seberapa, lukamu dalam!"
"Luka hati lebih sakit daripada luka ini."
Arci menghela nafas. "Terserah deh. Ayo!"
Kedua saudara sepupu ini pun berjalan menuju ke lift. Arci masih memegang kapaknya yang sekarang berlumuran darah. Ghea juga memegang katananya yang berlumuran darah. Mereka berdua menuju lantai teratas, tempat di mana Tommy dan Agus Trunojoyo berada.
Aku adalah cintamu
Selamanya.....
Andini tersenyum pagi itu. Kicauan burung dan matahari masuk melalui jendela ruang tengah rumah Rahma. Tadi malam sungguh luar biasa. Ini kedua kalinya mereka berhubungan badan. Teringat dalam benak Andini, bagaimana Arci bermain penuh nafsu tadi malam. Dia diguling-gulingkan seperti bantal, Arci benar-benar membuat ia KO. Walaupun tidur di ruang tengah dengan kasur tipis, tapi mereka berdua cukup bahagia.
"Sayang, bangun!" bisik Andini.
"Hmm....," jawab Arci.
"Kamu capek?" tanya Andini. "Aku buatin teh hangat yah?"
"Hmmm..."
Begitu Andini beranjak Arci menahan tangannya. "Ntar dulu, temeni aku lagi!"
"Ihh...udah pagi ini, matahari udah terbit. Mau bangun jam berapa?"
"Oh ya? Ah jam enam yah?"
"Tadi Rahma ngajak jalan-jalan suaminya, Ibu ama Putri belanja."
Arci menarik tangan Andini hingga istrinya itu ke pelukannya lagi. "Lagi yuk?"
"Udah dong say, ntar kalau mereka datang gimana?"
"Peduli amat."
"Udah aaaahh!"
Arci kemudian mengecup bibir Andini. Keduanya berpagutan. Andini menjauh dari wajah Arci.
"Kenapa?" tanya Arci.
"Bau acem," jawab Andini.
Arci tertawa geli. Ia segera memeluk istrinya. "Kalau gitu mandi bareng yuk?"
"Hmm?? Mandi apa mandiii?"
"Mandi sambil ehm-ehm...."
"Hihihihi, dasar. Bener berarti yah kata orang. Suami itu ibarat anak kecil berbadan gedhe."
"Bodo amat, aku kangen susumu."
"Kamu mau nyusu?"
Arci mengangguk.
"Sambil mandi?"
Arci mengangguk lagi.
"Yuk, tapi cepet yah, takut kalau yang lain dateng."
Mereka berdua pun beranjak. Tapi sebagai pengantin baru, maklum saja kalau mereka berdua sedang di masa gairah. Gairah sex-nya meluap-luap. Arci tak sabar. Ia pun mencium Andini, mereka terus berpagutan sambil berjalan menuju kamar mandi. Kegiatan mereka sebenarnya ada yang melihat, siapa lagi kalau bukan Ghea. Dia ada di teras dan mengintip apa yang dilakukan oleh sepupunya itu. Dan ia sangat cemburu. Ia memejamkan mata dan menahan seluruh gejolak yang ada di dadanya.
"Arci, aku tak bisa mencari lelaki lain. Aku mencintaimu selamanya....," bisik Ghea. "Dan maafkan aku Andini, aku tak bisa menghilangkan perasaan cintaku kepada suamimu."
Sementara itu Arci dan Andini sudah berada di kamar mandi, pakaian mereka pun sudah dilepas. Arci tak henti-hentinya mengenyot puting Andini. Wanita ini kini pasrah apapun yang dilakukan suaminya. Ia juga menikmatinya. Bahkan sekarang dia ingin agar Arci terus melakukan itu. Perlahan-lahan keran shower dinyalakan, keduanya pun diguyur air. Sensasi berpagutan di bawah pancuran air memang berbeda.
Andini membasuh tubuh Arci, seluruh otot-otot Arci dibasuh dari kepala, telinga, leher, dada, perut hingga di daerah vital bagian bawah di mana batangnya sudah mengacung keras. Ereksinya sampai menyentuh perut Andini. Arci merasakan nikmat ketika batang itu diurut. Kocokan lembut Andini membuat dia merasakan nikmat yang luar biasa.
"Enak sayangku?" tanya Andini.
"Iya"
Arci juga kini membilas tubuh istrinya, mulai dari lehernya yang jenjang ada bekas cupangan di sana, akibat ulahnya. Kemudian buah dadanya yang juga ada bekas cupang di sana. Andini benar-benar terangsang dengan usapan lembut Arci, hingga jari telunjuk Arci sekarang juga mengobok-obok belahan vaginanya. Keduanya sama-sama merangsang saling memberikan setruman-setruman di setiap sentuhannya.
Andini menggigit bibir bawahnya, hal itu membuat Arci lebih gemas lagi karena gigi Andini yang tampak seperti kelinci itu sangat menggairahkan untuk dijilat. Akhirnya bibirnya pun memagut. Tangan Arci satunya meremas-remas bongkahan pantat Andini.
"Ci, aku udah kepengen banget," bisik Andini.
Akhirnya Arci membalikkan tubuh Andini. Pantat Andini menungging dan ia menyandarkan tangannya ke dinding kamar mandi. Mudah bagi Arci untuk masuk karena pelumasnya sudah banyak. Ia pun menggoyang tubuh seksi istrinya. Kepala penisnya menggesek liang senggama Andini. Andini pun menjerit keenakan ketika gesekan demi gesekan menghantarkan kenikmatan surgawi yang tak bisa ia lukiskan dengan kata-kata. Arci meremas-remas toket Andini yang sangat ia sukai itu. Andini pun makin membusung, Ia menoleh ke belakang, Arci pun menciumi bibirnya dan lidah mereka saling menjilat.
Sungguh mungkin kalau ada orang yang menyaksikan pergumulan panas mereka pasti juga akan merasakan gelora birahi. Suara kecipak pertemuan pantat dan selakangan itu benar-benar menggairahkan, terlebih banjir lendir dari kemaluan Andini menandakan wanita ini benar-benar sudah terangsang sekali. Arci mengusap-usap tubuh Andini yang lain, yaitu pinggang dan perut sambil terus ia pompa batangnya keluar masuk. Kepalanya pun menyusup ke ketiak Andini dan menghisapnya kuat. Andini mengelinjang kegelian. Ia makin basah dan makin gatal. Tidak bahkan ia makin geli. Pantatnya pun ikut bergoyang mengimbangi gesekan batang kejantanan Arci.
"Ehhmm...ohhh....sayangku, enak sekali..." racau Andini.
"Peret banget memekmu sayangku!" ujar Arci.
Sementara itu Ghea masuk ke dalam rumah dan menguping apa yang dilakukan oleh Arci dan Andini. Ia pun memasukkan tangannya ke dalam celananya dan menggosok-gosok belahan kemaluannya. Tampaknya ia sangat rindu dimasuki lagi oleh Arci. Dan dia pun sekarang membayangkan dirinya sedang disetubuhi oleh Arci. Ghea berusaha agar tak bersuara ketika ia mastrubasi. Mendengarkan suara desahan suami istri itu saja membuat ia terangsang. Apalagi lelaki itu adalah orang yang ia cintai.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Apa yang akan kita lakukan kepadanya?" tanya Michael.
Lian pun tersadar. Tapi tangan dan kakinya sudah terikat. Ia melihat Alexandra ada di hadapannya.
"Hai pelacur, kita ketemu lagi!" kata Alexandra.
PLAK! Tamparan keras mengena ke pipi Lian.
"Brengsek! Bajingan, lepaskan Andini! Kalau kalian menginginkan aku sakiti aku saja, tapi lepaskan dia!" kata Lian.
"Melepaskannya? Kau gila? Justru dia ada di sini karena kita akan bersenang-senang. Arci sudah membohongi kami dengan memalsukan tanda tangan di surat pengesahan. Ia pantas mendapatkan sesuatu yang pantas. Menghancurkan hidupnya," kata Alexandra. "Sayangku, lakukan saja!"
Michael tertawa. Tommy dan Agus tampak ada di ruangan itu juga tertawa.
"Mau apa kalian?!" tanya Lian.
"Ini biar bagianku!" kata Agus. "Aku tidak pernah merasakan binor."
"Hahahaha, terserah. Aku akan tinggalkan kalian di luar," kata Tommy meninggalkan mereka semua.
"Brengsek! Lepaskan Andini! Lepaskan dia!" Lian histeris, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena terikat. Sementara itu, Michael melepaskan pakaiannya satu per satu hingga telanjang bulat, begitu pula dengan Agus. Sementara itu Andini masih pingsan tak berdaya.
Michael mulai menelanjangi istri Arci itu, Agus pun telaten membantunya. Lian menjerit, "JANGAAAAN!"
"Lihatlah pelacur, aku akan buat menantumu mengikuti jejakmu menjadi pelacur. Hahahahahahaha!" Alexandra menduduki tubuh Lian.
"Shit! Boobsnya gedhe! Mulus lagi!" kata Michael.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci terus menggenjot Andini. Dan Andini sudah mulai orgasme lagi. Wanita ini makin kesetanan meliuk-liukkan pantatnya membuat penis Arci seperti diurut-urut. Dan akhirnya Andini orgasme. Arci menghentikan gerakannya dan mencumbui Andini. Dia mencabut batangnya, dengan mata sayu keduanya berpagutan lagi. Sungguh sebuah hubungan yang penuh gairah.
"Kamu ingin berapa anak sayangku?" tanya Andini.
"Sebanyak-banyaknya," jawab Arci.
"Hihihihi, dasar, enak di kamu rempong di aku," jawab Andini.
Arci mengangkat paha kanan Andini ke atas. Batang kemaluannya sudah meluncur lagi ke dalam liang senggama Andini yang basah. Licin sekali tapi peret hingga membuat keduanya melenguh lagi. Pergumulan panas pun terjadi lagi. Arci memagut istrinya itu sambil memepetnya ke dinding kamar mandi bermarmer. Andini merasa geli sekali ketika otot-otot batang kemaluan Arci menelusuri setiap rongga kemaluannya. Arci kembali menyusu kepadanya.
"Buah dadamu sayangku, sungguh memabukkanku. Aku rasanya tak puas-puas menikmatinya."
"Ahh...sayangku, nikmatilah sepuasnya. Aku ada untukmu."
Arci menghisap kuat puting Andini sambil terus menyodok Andini dengan ritme sedang. Andini melenguh lagi. Ia menggigit pundak Arci karena tak tahan kenikmatan yang terus menderanya. Sementara sodokan Arci yang seperti memompa piston itu makin kencang, sungguh batangnya serasa tak tahan lagi ingin menyemburkan lahar hangat.
"Sayangku, mau keluar?" tanya Andini.
"Iya," jawab Arci.
"Aaahhkk... Cici, aku juga mau keluar."
"Aarrghhh!"
Keduanya pun menjerit saat gelombang orgasme keluar. Semburan air mani kental pun kembali membasahi rahim Andini. Arci menekan kuat-kuat kemaluannya di rahim Andini. Kenikmatan yang luar biasa saat orgasme itu datang membuat mereka kelelahan. Keduanya berpelukan erat, tubuh Andini lemas.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Jangaaan! Kumohon jangaaaan! Hentikan! Dia sedang hamil, jangaaann!" Lian memohon kepada Michael dan Agus. Tapi terlambat.
Tubuh Andini sudah ditelanjangi dan kini sedang dihisap puting susunya oleh Agus dan Michael. Mereka berbagi susu Andini, kiri dan kanan. Lian meronta, terus meronta, ia tak ingin Andini dilukai. Sebab dia adalah nyawa anaknya. Arci pasti akan sangat bersedih melihat kondisi Andini sekarang.
Tangan Andini mulai dijilati oleh dua pria hidung belang ini. Bahkan sekarang Agus mulai menjilati kemaluan Andini. Ya, lidahnya menari-nari di sepanjang garis kemaluan Andini. Andini masih tak sadar. Pukulan Baek tadi terlalu keras, mungkin saja bisa menghancurkan janin yang ada di dalam kandungannya.
Sementara itu Arci dan Ghea sudah bersiap. Mereka sampai ke lantai paling atas. Di sini sepi. Hanya ada seseorang yang berdiri di sana, yaitu Baek. Dia tampak sombong, berkacak pinggang sambil memberi isyarat menantang Arci.
"Kau tenang saja, ia bagianku," ujar Arci. "Istirahatlah!"
Baek tertawa, "Kamu kira sendirian bisa mengalahkanku? Baiklah, ayo!"
Kaki Baek mulai bergerak-gerak. Arci mengetahui gaya ini. Ini gaya Tae Kwondo. Arci memasang kuda-kuda bebas. Ia gayanya seperti petinju sekarang. Baek menendang ke udara, lalu melakukan spinning kick. Dia memerkan tendangannya kepada Arci. Arci tetap tenang, sekalipun sebenarnya lukanya nyut-nyutan.
Baek mulai menyerang, ia menggunakan kaki kirinya sebagai tumpuan sedangkan kaki kanannya maju menendang wajah Arci. Arci bisa menangkis dengan tangannya, kaki Baek bergantian menendang dan Arci menangkis semuanya. Gantian Arci menyerang, kiri kanan. Kemudian ditutup dengan low kick. Dia mengenai lutut Baek. Baek sedikit meringis. Tendangan Arci tepat mengenai tempurung lututnya.
Baek melompat lagi dengan tendangan, tubuhnya seperti terbang ketika dua tendangan mengarah ke Arci. Arci sekali lagi bisa menangkis. Baek menaikkan kakinya tinggi-tinggi dan menurunkannya dengan cepat, tapi Arci berputar dan masuk ke pertahanan Baek yang kosong. Baek tentu saja kaget, tapi Arci memberikan uppercut. Baek bisa menghindar, tapi ternyata serangan Arci bukan sekedar uppercut, tapi sebuah pukulan smash yang tiba-tiba berubah arah. Dan pukulan itu telah mengenai wajah Baek.
Baek tersungkur.
"Beladiri apa itu, pukulan apa itu?" tanya Baek.
"Who knows? Siapa tahu aku sekarang sedang menggunakan street fighter," jawab Arci.
Baek kembali bangkit dan menyerang Arci, kini dia memakai pukulan sesekali menendang, Arci bisa membaca semua serangannya. Baek makin gusar. Terlebih semua serangannya bisa dibaca oleh Arci. Dan Arci sekali lagi begitu ada kesempatan langsung menyerang dengan pukulan ataupun dengan tedangan dan semuanya mengena. Baek kemudian menghentikan serangannya dan berpikir, kenapa setiap serangannya bisa diketahui?
Arci kini berbalik menyerang. Kini pukulan-pukulan Arci seperti seorang petinju. Tentu saja pertahannya sangat kokoh. Ketika Arci memukul, dia terkadang melepaskan jab cepat, kemudian dengan pukulan satu dua, seperti petinju dia mendaratkan pukulan ke wajah Baek. Belum selesai, Arci memukul Baek dengan kedua tangannya lagi, kiri kanan. Kemudian ia daratkan sebuah tendangan tepat ke dada assasin itu. Tapi kaki Arci ditangkap oleh Baek. Arci tak tinggal diam, ia segera melompat ke udara berputar dan tendangannya menghantam pipi Baek hingga lelaki itu pun tumbang. Menangkap kaki Arci itu adalah hal bodoh, pikir Baek.
Dia bersusah payah bangkit sambil meludah. Darah segar keluar dari mulutnya. Baek kini mengganti kuda-kudanya. Arci mulai mengerutkan dahi. Dari kuda-kuda itu ia sangat tahu sekali apa yang sedang ada di depannya, Baek tidak hanya belajar tae-kwondo, tapi juga Cappoeira. Tangannya menari-nari dan kakinya menyapu-nyapu. Dan yang terjadi selanjutnya, dengan gerakan memutar, Baek menerjang Arci dengan tendangan. Arci menurunkan badannya, sehingga hampir saja kaki Baek menyapu wajahnya. Tapi Baek tak cukup satu serangan, dengan gerakan gesit tangannya sebagai tumpuan dia sudah memutar kakinya seperti baling-baling lalu menghantam dada Arci. Arci terhempas. Baek belum berhenti, di saat Arci jatuh ke lantai, Baek sudah terbang salto untuk menghempaskan dua kakinya ke tubuh Arci, segera Arci berguling untuk menghindar.
Hampir saja Arci terkena injakan Baek.
Mereka berdua kini sama-sama berdiri lagi, semuanya memasang kuda-kuda. Semuanya bersiap untuk menyerang. Tapi siapa yang akan maju terlebih dahulu?
Arci melepaskan jasnya. Ia melucuti semua senjata yang ia bawa. Pistol, pisau, kapak. Ia singkirkan dengan kakinya. Baek mengernyitkan dahi.
"Maaf, tadi gerakanku terhalang oleh beban, sekarang ayo!" ujar Arci.
Baek merasa diremehkan, dia kembali maju dengan bertumpu kepada telapak tangannya, kemudian kakinya berputar seperti baling-baling. Arci menghindar. Saat Baek berguling ke depan Arci dengan cepat menghantam punggung tangan Baek. Seketika itu Baek meringis. Kenapa punggung tangan yang Arci jadikan sasaran? Baek mengaduh.
"Aarrghh!" berkali-kali Baek mengibas-kibaskan tangannya.
Arci mundur. Baek sekali lagi memainkan kakinya sambil bertumpu kepada tangannya tapi ia terpeleset. Arci memahami, kelemahan Cappoeira adalah tumpuan yang dipakai untuk bisa menggerakkan kakinya seperti baling-baling ada pada tangannya, apabila tangannya bisa dilumpuhkan, ia hanya bisa mengandalkan kakinya.
"Jenius!" puji Baek.
Sekarang giliran Arci, dia berlari ke arah Baek. Melihat Arci berlari ke arahnya, Baek segera bersiaga. Tapi begitu mendekat Arci melompat ke udara dan mendaratkan sebuah tendangan ke wajah Baek. Ini baru, Arci tak pernah melakukan ini sebelumnya, bukan ini bukan hanya sebuah tendagan. Gerakan berikutnya kakinya ditekuk sehingga kedua lututnya mencengkram kepala Baek sekarang. Lalu Arci mengarahkan kedua sikunya ke kepala Baek. Seketika itu Baek seperti dihantam sebuah pipa linggis. Dan Arci menghantamnya berkali-kali.
Setelah itu Baek ambruk dengan kepala bocor. Dan terakhir Arci melompat ke udara kemudian menuntaskannya dengan lutut terjun ke punggung Baek, mengakibatkan tulang punggung pendekar Tae Kwondo itu remuk.
KRRRAAAKK!
Sebuah akhir yang mengenaskan bagi Baek. Arci jadi mengerti kenapa dia diajari Ghea beberapa ilmu beladiri, terlebih ketika ia juga diajari oleh Yuswo beladiri yang aneh. Tapi hal itu membuat gerakannya jadi tak terdeteksi. Inilah yang disebut cara preman, mereka memang tak pernah belajar di sebuah padepokan, mereka juga tak pernah diajarkan bagaimana membangun sebuah aturan dalam menyerang maupun bertahan diri. Mereka hanya punya satu tujuan, yaitu mengalahkan lawan. Boleh jadi inilah yang disebut petarung jalanan.
Setelah menghabisi Baek, Arci menoleh ke sebuah pintu. Tiba-tiba saja perasaannya tidak enak. Ghea berjalan tertatih-tatih mendekat ke sepupunya. Arci mengambil kembali kapak dan pisaunya. Dan mereka berdua mendekat ke arah pintu di mana Tommy dan yang lainnya ada di dalam. Dan mereka pun masuk.
"Jangaaan!" terdengar suara Lian. "Kumohon jangan!"
Arci langsung naik darah mencari arah suaranya. Tampak dia dihalangi oleh seorang pemuda berambut cepak dan sebuah katana. Sang pemuda itu sesekali menggerak-gerakkan kepalanya seperti orang terkena ayan. Ia menggedek-gedek. Ghea menahan Arci.
"Dia bagianku, kamu pergilah!" kata Ghea.
"Hati-hati!" ujar Arci.
Arci menjauh dari Ungi yang sekarang ini berhadapan dengan Ghea. Ghea menghunuskan katananya. Ungi pun kemudian mengeluarkan katana dari sarung pedangnya. Ghea dan Ungi sekarang bersiap untuk bertarung. Sementara Arci meninggalkan mereka menuju ke sebuah pintu seperti kamar.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Cici, aku tak ingin pergi darimu," kata Andini.
"Aku juga," kata Arci.
"Rasanya perjumpaan kita terlalu singkat ya, aku ingin seumur hidup bersamamu menikmati hari. Kita bersama selamanya."
"Bukankah kita sudah seperti itu sekarang?"
Andini menggeleng, "Tidak, sepertinya kamu jauh."
"Andini, perasaanku kepadamu kepadamu tak akan pernah berubah. Engkau adalah nyawaku sekarang. Kalau kau pergi maka separuh jiwaku akan hilang. Aku selalu memikirkanmu, bayang-bayangmu tak akan pernah lepas dari benakku. Aku telah menyerahkan separuh nyawaku untukmu."
"Cici, aku cinta kamu selamanya."
"Selamanya aku juga mencintaimu."
"Sayangku, aku sangat menyesal sekali sebenarnya."
"Menyesal kenapa?"
"Andai waktu itu aku jujur kepadamu aku bukan Iskha, andai perjumpaan pertama kali itu kita sudah langsung bersama, apakah engkau akan bisa bersamaku seperti sekarang ini?"
"Entahlah, yang jelas bukankah perjumpaan kita sekarang sudah ditakdirkan dan kita sudah bersama?"
"Tapi aku merasa sebentar lagi kita akan berpisah lagi."
"Tidak akan, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan tetap berjuang untuk hidup."
"Kalau misalnya nanti kita berpisah..."
"Jangan ucapkan itu. Aku tak mau lagi kehilangan orang-orang yang aku cintai."
Andini memeluk Arci. "Aku cinta selamanya."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Selamat datang, keponakan!" kata Tommy.
Tiba-tiba tubuh Arci dipegangi oleh beberapa orang. Lututnya ditendang sehingga ia kini berlutut. Ia tak bisa bergerak ketika punggungnya kemudian diinjak hingga ia tiarap. Kemudian kepalanya ditahan hingga mendongak dan dia menyaksikan sesuatu di depan matanya. Sesuatu yang membuat hatinya hancur berkeping-keping. Sesuatu yang membuat darahnya mendidih.
"ANDINIIIIII! LEPASKAAAN! LEPASKAN DIAAAA! BAJINGAN! BRENGSEK! BEDEBAH KALIAN! LEPASKAN DIA!" Arci menjerit histeris.
Di depannya terpampang sebuah scene di mana Michael menggenjot Andini sementara Agus menggenjot Andini dari bawah. Dia mencengkram buah dada Andini. Andini tak berdaya, ia tak sadar bahwa sekarang ia sedang digagahi dengan double penetration. Lian menangis sejadi-jadinya. Dengan tubuh terikat dan diduduki oleh Alexandra. Ia tak bisa berbuat banyak. Melihat Arci datang ia juga tambah bersedih. Ia tahu bagaimana putranya itu sangat mencintai Andini.
"Ini adalah akibat kalau kamu main-main dengan kami. Kamu berani-beraninya memalsukan tanda tanganmu, kamu kira kamu siapa? Kamu hanya anak seorang pelacur. Kamu hanya anak seorang pelacur, kamu tak pantas menyandang nama Zenedine. Sekarang, kamu lihat kamu tak berdaya di hadapanku, semua orang-orang yang kamu cintai aku rampas. Hahahahaha, menangislah, marahlah! Sekarang kamu tak bisa berbuat apa-apa."
Air mata Arci keluar, ia berusaha meronta untuk bisa terbebas dari cengkraman orang-orang Tommy. Matanya dipaksa untuk menyaksikan bagaimana istrinya diperkosa oleh Michael dan Agus.
Apakah kalian pernah melihat istri yang kalian sayangi dizinahi? Semua orang apabila melihat istrinya selingkuh pasti sakit. Ya, sangat sakit. Apalagi apabila seorang suami sangat mencintai istrinya. Tapi itu semua berakhir dan akan disadari bahwa sang istri tidak baik bagi dirinya. Tapi berbeda, apabila sang istri yang sangat mencintainya, diperkosa di hadapannya, sedangkan ia tak bisa berbuat apa-apa. Arci sangat mencintai Andini. Ia menangis, histeris, air matanya tak tertahan lagi. Ia meronta, memanggil-manggil nama istrinya.
"HENTIKAAAANN! AKU MOHONNN! HENTIKAN! DIA SEDANG HAMIL! HENTIKAAAANN!" jerit Arci.
"Peret banget istrimu, aku tak bosan ngentotin dia, betul nggak Gus?" tanya Michael yang nafsunya sudah diubun-ubun.
"Uhh, enak banget ini dubur istrimu, belum pernah dipake kan? Aahahh...ahahh...aaaahhh..aku keluar Mike!"
"Uuufffhh...gila, enak banget, aku jugaaaa....!"
"BANGSAAAATTT! AKU BERSUMPAH! AKU TAK AKAN MATI SAMPAI MENGHABISI KALIAN SEMUA! AKU AKAN BERIKAN KALIAN MIMPI BURUK YANG TAK AKAN PERNAH KALIAN LUPAKAN, BAHKAN KALIAN AKAN MEMINTA SENDIRI KEMATIAN!"
"Hahahahaha....kamu bisa apa? Kamu tak bisa apa-apa sekarang. Nikmati saja suguhan ini!" kata Tommy.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Apa yang terjadi denganku?
Siapa dia? Kenapa dia ada di atasku? Tubuhku sakit semua. Apa yang terjadi?
Arci, kenapa dia ada di sana? Oh, suamiku ada di sana. Tubuhku sakit semua. Kenapa dia ada di sini? Aku di mana?
Ada seorang lelaki yang menindihku?
Sakit sekali, sakiiitt.... Apakah aku akan mati?
"Aku puaas...akhirnya keluar juga...ohhh!"
Suara siapa itu?
"Aku juga Mike, ternyata dia benar-benar peret."
"Lepaskan dia!"
"Heeii, darah apa ini?"
"Shit! Kenapa dia mengeluarkan banyak darah?"
"Darah apa ini?"
"Dia keguguran!"
"BAJINGAAANN! AKU BUNUH KALIAN SEMUAA!"
Arci, apa yang terjadi?
Tiba-tiba tubuhku di dekap. Arci, itu dia. Suamiku datang. Akhirnya.... oh, aku merindukanmu sayangku. Tapi tubuhku sakit semua. Apa yang sedang terjadi? Kenapa dia menangis? Jangan menangis. Jangan bersedih. Aku ingin menghiburmu sayangku, jangan bersedih. Kumohon!...Ciciku jangan bersedih. Kenapa kamu menangis.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"Andini....Andini, maafkan aku, maafkan aku!" Arci menangis. Dia terisak. Dia berhasil meronta dari cengkraman anak buah Tommy dan berlari menuju Andini. Ia segera menyelimuti Andini yang sudah tanpa busana. Darah keluar dari kemaluan Andini dan terus keluar tanpa henti.
Tommy, Michael dan Agus tertawa. Alexandra tampak puas melihat itu semua.
"Ciciku...kamu datang?" bisik Andini.
"Ya, aku datang," jawab Arci.
"Tubuhku sakit semua...apa yang terjadi?"
"Tak apa-apa, tak apa-apa sayangku. Tidurlah! Tidurlah! Aku akan memelukmu dengan erat."
"Aku tahu...tapi entah kenapa...rasanya engkau akan pergi jauh."
"Jangan katakan itu kumohon, jangan katakan itu...."
"Aku bahkan tak bisa menggerakkan badanku, perutku seperti dililit, aku bahkan tak bisa menggerakkan badanku. Sayangku...kita pulang saja yuk!?"
"Iya, kita pulang. Kita pulang! Kita pulang. Kita akan bangun gubuk, kita akan hidup sendiri. Aku akan turuti keinginanmu. Kita akan bersama, kita akan punya banyak anak. Kumohon jangan tinggalkan aku. Kumohon! Kamu adalah nyawaku, bagaimana aku bisa hidup tanpamu?"
"Apakah aku akan mati?"
"Tidak, kamu tidak boleh mati."
"Tapi aku merasa ada sesuatu yang lepas dari diriku. Cici, semuanya gelap."
"TIDAAAAKKK! Jangan pergi aku mohooonn! Jangaaaan! Aku akan melakukan apapun asal kamu jangan pergi. Andiniii... aku mencintaimu....aku mencintaimu..."
Lian menangis melihat itu semua. Hatinya hancur melihat putranya rapuh sekarang ini.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Ungi dan Ghea saling beradu pedang, gerakan Ungi sangat lincah seperti samurai sesungguhnya. Sabetan-sabetan pedangnya benar-benar akurat dan cepat. Ghea dengan kaki pincang tentu saja kewalahan melawan Ungi. Tapi ia terus bertahan.
"Hebat, hebat, hebat! Kamu wanita pertama yang sanggup mengimbangiku," kata Ungi sambil bergedek.
Luka-luka di tubuh Ghea mulai bereaksi. Tapi dia harus hidup. Dan yang dilakukan olehnya sekarang adalah berpikir bagaimana agar bisa mengalahkan Ungi. Ghea menahan rasa sakit di pahanya yang robek. Darah membuat celananya makin berat. Bahkan sepatunya pun sekarang sudah berisi darahnya sendiri sehingga meninggalkan jejak di lantai. Terlebih luka sabetan pisau di perutnya membuat rasa sendiri. Ghea menyadari gerakannya mulai melambat. Ia banyak kehilangan darah. Terlebih luka di pahanya cukup dalam.
Ghea bertahan. Dia memegang gagang katananya dengan kedua tangan. Dia kemudian menarik nafas dalam-dalam. Posisi kuda-kudanya sekarang seperti seseorang atlit kendo. Kedua tangan ke depan, katananya memanjang seolah-olah mengukur jarak antara dia dengan Ungi.
Ungi tersenyum sinis. Tubuhnya tiba-tiba berputar cepat sambil mengayunkan katananya ke arah Ghea. Ungi sekarang seperti angin topan. Ghea hanya bisa berdiri mematung menanti saat yang tepat untuk menyerang. Ketika Ungi menyerangnya Ghea menghindar. Gerakan Ungi sangat cepat. Untunglah terlambat sedikit saja, badan Ghea bakal terpotong menjadi dua. Bertarung menggunakan pedang bukan keahliannya, tapi kalau tidak memakai katana bagaimana cara mengalahkan Ungi?
Ungi yang merasa Ghea bisa menghindari serangannya, tampaknya tak heran. Dia kemudian melakukan lagi gerakan memutarnya, kali ini lebih cepat dari sebelumnya. Gadis berambut merah ini pun bertahan. Kakinya tiba-tiba terasa lagi nyut-nyut. Ghea mengumpat kepada dirinya sendiri kenapa di saat seperti ini malah merasa sakit. Akhirnya dengan tenaga seadanya ia bertahan dan menangkis serangan itu.
TRANG!TRANG!TRANG!TRANG!
Gerakan berputar itu ternyata datang bertubi-tubi. Ghea tak bisa bertahan lebih lama karena serangannya cepat dan beruntun. Ghea pun terdesak dan dengan benturan beruntun itulah tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah tendangan yang menghantam kepalanya.
BUAAKK!
Tubuh Ghea terhempas dan membentur sebuah meja yang ada di ruangan itu. Ghea tersungkur. Rasa lelah mulai merambat di tubuhnya. Mungkin dikarenakan ia merasakan sakit. Tapi ia pernah merasakan sakit seperti ini sebelumnya bukan? Dengan sisa-sisa tenaganya ia bertumpu kepada katananya untuk berdiri.
"Ayo, aku masih belum kalah!" kata Ghea.
Ungi pun datang secepat kilat kemudian menebaskan katananya ke tubuh Ghea. Ghea kemudian ambruk ke lantai. Melihat Ghea sudah tak berdaya, Ungi pun meninggalkannya sambil sesekali kepalanya bergedek.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
"See You Again"
(feat. Charlie Puth)
[Charlie Puth:]
It's been a long day without you, my friend
And I'll tell you all about it when I see you again
We've come a long way from where we began
Oh, I'll tell you all about it when I see you again
When I see you again
(Hey)
[Wiz Khalifa:]
Damn, who knew?
All the planes we flew
Good things we've been through
That I'll be standing right here talking to you
'Bout another path
I know we loved to hit the road and laugh
But something told me that it wouldn't last
Had to switch up
Look at things different, see the bigger picture
Those were the days
Hard work forever pays
Now I see you win the better place (see you win the better place)
Uh
How can we not talk about family when family's all that we got?
Everything I went through you were standing there by my side
And now you gon' be with me for the last ride
[Charlie Puth:]
It's been a long day without you, my friend
And I'll tell you all about it when I see you again (I see you again)
We've come a long way (yeah, we came a long way) from where we began (you know we started)
Oh, I'll tell you all about it when I'll see you again (let me tell you)
When I'll see you again
(Aah oh, aah oh
Wooooh-oh-oh-oh-oh-oh)
[Wiz Khalifa:]
{Yeah}
First you both go out your way
And the vibe is feeling strong
And what's small turn to a friendship
A friendship turn to a bond
And that bond will never be broken
The love will never get lost (and the love will never get lost)
And when brotherhood come first
Then the line will never be crossed
Established it on our own
When that line had to be drawn
And that line is what we reach
So remember me when I'm gone (remember me when I'm gone)
How can we not talk about family when family's all that we got?
Everything I went through you were standing there by my side
And now you gon' be with me for the last ride
[Charlie Puth:]
So let the light guide your way, yeah
Hold every memory as you go
And every road you take, will always lead you home, ooh ooo oh
It's been a long day without you, my friend
And I'll tell you all about it when I see you again
We've come a long way from where we began
Oh, I'll tell you all about it when I see you again
When I see you again
(Aah oh)
{Uh}
(Aah oh)
{Yeah}
(Wooooh-oh-oh-oh-oh-oh)
{Ya, ya}
When I see you again
{Uh}
See you again
(Wooooh-oh-oh-oh-oh-oh)
{Yeah, yeah, uh-huh}
When I see you again
"Terima kasih atas cintamu sayangku. Aku tahu kalau kamu sangat mencintaiku. Aku adalah bagian terindah dari hidupmu. Tapi kalau kita tidak ditakdirkan bersama apakah yang bisa kita lakukan?"
"Pasti ada. Pasti ada yang bisa aku lakukan. Kalau kamu pergi... siapa yang akan menjadi nyawaku sekarang? Safira telah pergi, lalu kamu??"
"Ada seorang wanita yang sangat mencintaimu."
"Siapa?"
"Kamu tidak tahu?"
"Aku tahu, tapi kenapa dia?"
"Dia sangat mencintaimu."
"Tapi aku mencintaimu."
"Ya, kau memang mencintaiku. Tapi aku tak bisa bersanding denganmu."
"Setelah apa yang selama ini telah kita lakukan? Kita perjuangkan? Kamu harus pergi? Ini terlalu sakit bagiku."
"Dia juga telah merasakan sakit. Sakit karena cintanya tak dibalas."
"Jangan lakukan ini Andini, jangan!"
"Aku tak bisa berbuat apa-apa."
"Biarkan aku pergi denganmu."
"Tidak bisa, jangan! Kamu harus hidup! Cintailah dia!"
"Tak akan ada yang bisa mengisi hatiku lagi selain dirimu."
"Bisa, kamu bisa mencintainya. Dia bisa memberikanmu kehangatan seperti yang kuberikan. Dia bisa memberikanmu kesejukan seperti yang kuberikan. Kau hanya perlu mengajarinya."
"Andini....aku rapuh."
"Kuatlah suamiku, kamu harus kuat."
"Engkau adalah kekuatanku. Engkau adalah cintaku."
"Kalau kau mencintaiku, kamu harus tegar."
"Kenapa perjumpaan kita begitu cepat?"
"Semuanya telah digariskan. Sebagaimana Safira bilang, semua yang ada awal pasti ada akhir. Hiduplah untuk cintamu. Masih ada ibumu, masih ada Putri dan Ghea."
"Andini...."
"Terima kasih, cinta..."
"Aku mencintaimu selamanya Andini."
"Aku juga mencintaimu....selamanya, suamiku. Lelaki yang paling tampan."
"Biarkan aku memelukmu. Biarkan aku memelukmu untuk terakhir kali."
"Selamat tinggal cinta...."
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Arci membisu. Nafas Andini berhenti. Jantungnya berhenti. Arci memeluk tubuh istrinya untuk terakhir kali. Ia menempelkan bibirnya ke bibir istrinya. Menciumnya untuk yang terakhir kali. Matanya memerah. Ia mencopot kemejanya. Terlihat kemejanya bersimbah darah karena luka-lukanya. Arci menutupkan kemejanya ke tubuh istrinya. Ia menciumi wajah yang terlihat damai itu sekarang. Ya, Andini telah pergi dengan menyunggingkan senyuman. Terlihatlah luka-luka di tubuh Arci. Bahkan Lian pun tak sanggup untuk melihat luka-luka di tubuh itu. Di punggungnya ada banyak luka sabetan, terlebih ketika Arci berbalik memperlihatkan dadanya. Ada beberapa bekas luka tertembus peluru di sana.
"Hajar dia!" kata Tommy kepada anak buahnya.
Empat anak buah Tommy yang memegangi Arci tadi langsung menuju ke arah Arci. Mereka memukul Arci, menendang, tapi Arci tak bergeming. Ia seperti mati rasa. Matanya masih menatap tajam. Pukulan demi pukulan ia terima tapi sekali lagi tak ada rasa sakit. Rasa sakit yang ia rasakan sekarang lebih sakit daripada sebuah pukulan ataupun tendangan. Bahkan kalau saja dia mati hari ini, mungkin tak ada rasanya sama sekali.
Arci dengan satu tangan menangkap leher salah seorang anak buah Tommy. Kemudian menangkap tenggorokannya dan mematahkannya. KLEEK! Orang itu pun langsung ambruk. Melihat rekannya tewas begitu saja, yang lainnya berusaha menghajar Arci lagi, tapi Arci menangkap tangan salah seorang dari mereka, kemudian menekuknya ke arah berlawanan. KRAAK! Orang itu langsung menjerit. Tommy heran melihat Arci seperti itu. Dua orang lainnya berasa ketakutan. Arci mengeluarkan kapak yang ia bawa. Kapak kecil itu digenggamnya rapat-rapat setelah itu ia ayunkan ke salah seorang anak buah Tommy, tepat mengenai kepalanya. Setela itu ia cabut dan ayunkan lagi ke perut temannya.
"Aku sudah katakan, aku akan menjadi vampir malam ini. Aku akan hisap darah kalian!" kata Arci. "Aku tak akan memaafkan kalian. Aku akan hisap sampai kalian bahkan ingin menginginkan kematian!"
Tommy jadi merinding. Alexandra jadi ketakutan melihat Arci sekarang ini. Tiba-tiba Arci bergerak cepat ke arah Alexandra dan rambutnya dijambak. Gerakan cepat itu tak pernah disadari oleh siapapun, atau lebih tepatnya semuanya takut sekarang. Arci sudah tidak bisa berfikir tentang logika. Yang ada di dalam otaknya adalah membunuh semua orang.
"AAARRGHH!" jerit Alexandra. "Kamu mau menyakiti wanita?"
Arci tak peduli, ia segera membenturkan Alexandra ke lantai. Michael yang melihat istrinya diperlakukan seperti itu segera berlari ke arah Arci sambil membawa sebuah tongkat basebal. Arci dipukul-pukul kepalanya. Tapi tongkat itu berhasil ditangkap oleh Arci dengan tangan kirinya. Alexandra menggeliat di lantai. Arci mengayunkan kapaknya, kalau saja Michael tidak melepaskan tongkat baseball itu mungkin ia sudah terkena sabetan kapak Arci. Alexandra yang sekarang berada di bawah kaki Arci tampak ketakutan. Entah bagaimana Arci punya kekuatan seperti ini sekarang. Tongkat baseball itu pun diayunkan ke kepalanya. Arci dengan membabi buta terus-menerus memukul-mukul kepala Alexandra hingga remuk. Istri Michael itu pun tewas dengan kepala remuk karena tongkat baseball.
Semua orang yang ada di tempat itu merinding. Tommy mencari-cari pistolnya. Tak ada di pinggangnya, padahal harusnya ia selalu bawa. Michael menatap ngeri tubuh istrinya yang sudah tak bernyawa itu. Arci membuang tongkat baseball tersebut. Ia berjalan ke arah Michael.
"Tu..tunggu dulu!" kata Michael memohon. Tommy dan Agus mundur menghindar. Arci sudah tidak bisa diajak bicara lagi. Michael ketakutan, sangat ketakutan. Ia pun berlutut. "Maafkan aku, tolong jangan bunuh aku. Tom! Tommy lakukan sesuatu!"
Tommy dan Agus akan keluar ke pintu tapi Arci melemparkan kapaknya hingga menancap di pintu. Tommy dan Agus terkejut tentu saja. Arci segera menendang kemaluan Michael. Michael langsung mengerang ketika kedua telurnya dengan keras ditendang oleh Arci. Mungkin ia tak pernah menyangka dalam hidupnya bahwa kantong testisnya akan hancur hari itu dengan sekali tendang. Dan Arci menggigit lehernya. KRRAASSSHH!
"AAAAAAARRRGGGHHH!" Michael meronta-ronta agar Arci melepaskannya. Tapi gigitan Arci lebih kuat seperti serigala. Michael berusaha sekuat tenaga mendorong tubuh Arci tapi semakin dia mendorong gigitan itu semakin kuat. Arci menggigit Michael tepat di pembuluh nadinya. Dia menggigit sekeras-kerasnya sambil menghisap setiap darah yang keluar dari luka Michael.
Tommy begidik melihat itu semua. Terlebih Agus. Lian sungguh tak tega melihat itu ia memejamkan mata. Melihat tubuh Andini yang sudah tergolek tak bernyawa itu ia pun merasa bersalah. Bersalah dan menyesal atas dosa-dosanya selama ini. Seharusnya ia tolak cinta dari Archer. Cinta yang membawa petaka, cinta yang hanya membawa derita. Ia sendiri tampaknya tak tega melihat kondisi Arci seperti sekarang ini. Arci sekarang seperti binatang buas. Ia tak akan berhenti sampai tujuannya terpenuhi.
Michael mengerang dan meronta. Tapi tenaga Arci sangat kuat, entah dari mana tenaga itu berasal. Hingga akhirnya Michael pun lemas. Darahnya banyak yang keluar. Apalagi Arci berhasil memutuskan pembuluh nadinya. Ia pun menggigit dan menarik daging yang ia dapatkan dari leher Michael dan meludahkannya. Kini mulutnya penuh darah.
Tommy dan Agus sangat ketakutan, apa yang mereka hadapi sekarang ini bukan manusia. Ternyata mereka telah bertemu dengan binatang yang sesungguhnya. Mereka selama ini bersifat seperti binatang. Menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan mereka. Namun ketika mereka bertemu dengan keadaan yang sekarang ini, di mana manusia yang menjadi binatang sesungguhnya mereka pun takut.
Dari pintu muncullah Ungi.
"Ungi, bagus. Bunuh dia! Cepat!" suruh Tommy.
Ungi yang melihat Arci segera menerjang ke arah Arci. Dan dengan satu gerakan tusukan ke perutnya hingga katana Ungi menembus perut Arci hingga ke punggungnya. Ungi tersenyum sambil bergedek. Tapi kali ini Arci menengklengkan kepalanya. Dia menggenggam erat katana Ungi. Ungi berusaha mencabut lagi katananya. Tapi katana itu seakan-akan dijepit dengan kuat oleh Arci sehingga tak bisa dia cabut lagi.
"Brengsek! Apa yang kau lakukan?" tanya Ungi.
Arci mengayunkan kapaknya ke pundak Ungi. JLEB! KRESSS! Ungi menjerit keras. Arci mendaratkan kapak kecilnya berkali-kali ke tubuh Ungi hingga pundaknya tampak terbelah seperti sepotong kayu. Ungi melepaskan katananya dan mengerang merasakan sakit di pundaknya yang sekarang menganga dengan kucuran darah segar yang keluar dari lukanya. Ungi merayap meninggalkan Arci. Arci kemudian perlahan-lahan menarik katana itu keluar dari tubuhnya. Setelah berhasil ia keluarkan. Dengan darah yang makin banyak mengucur ia pun berjalan mengejar Ungi. Ungi ketakutan. Ia tak pernah merasakan akan dijemput oleh kematian secepat ini. Tidak di usia mudanya. Arci menginjak tubuhnya dan menancapkan katana itu persis ke wajahnya. Ungi tak pernah menyangka ia mati dengan katana miliknya sendiri.
Tommy mendorong tubuh Agus hingga Agus yang tidak siap langsung tersungkur ke depan Arci. Sementara itu Tommy keluar dari ruangan itu dan lari.
"Arci, Arci maaf, kita bisa bicarakan baik-baik. Kau bisa dapatkan lagi perusahaanmu. Anggap semua tidak terjadi OK, ampuni aku," kata Agus.
Arci melemparkan kapaknya ke lantai. Agus menghela nafas lega. Berarti kata-katanya tadi seolah-olah telah didengarkan oleh Arci. Namun tidak, Arci langsung menggigit lehernya. KRESSS! Sama seperti yang dilakukan Arci terhadap Michael.
Agus menjerit. Ia tak pernah menyangka dalam hidupnya ia akan mati oleh pemuda seperti Arci. Pembuluh nadinya langsung putus ketika gigi Arci yang entah bagaimana bisa tajam itu mengoyak lehernya dan menghisap darahnya. Cukup lama Arci menghisap darah Agus.
"Arci, sudah! Hentikan!" kata Lian. "Hentikan nak! Kamu harus berhenti! Sudah cukup!"
Dari pintu muncullah Letnan Basuki. Melihat Arci menggigit Agus, dia langsung berteriak, "Arci, hentikan!"
DOR!
Letnan Basuki melepaskan tembakannya. Arci pun melepaskan gigitannya ke Agus lalu dia ambruk.
"Sidang ini memutuskan bahwa Arci telah bersalah, menggerakkan masa, membuat kekacauan ini adalah kejahatan yang serius bahkan sampai membunuh orang lain," kata seorang Jaksa. "Dengan ini sesuai pasal pidana menuntut dia dihukum seumur hidup."
"Keberatan, Pak Hakim," kata seorang pengacara dia adalah Bu Susiati. "Klien saya terkena gangguan jiwa. Saya ada rekam medisnya, silakan dilihat!"
Bu Susiati datang menuju ke hakim dan menunjukkan rekam medis dari sebuah rumah sakit jiwa. Sang hakim membacanya dengan teliti.
"Jadi, dia tidak melakukan pembunuhan itu atas kesadaran. Dia melihat istrinya dibunuh, siapa yang akan membiarkan itu terjadi? Sekarang pengadilan ini harus memberikan keadilan kepada dia. Lihatlah dia! Lahir tanpa ayah, tapi setelah mendapatkan kekayaan dari ayahnya ia malah disiksa tak diberi keadilan, kemudian istri dan kakaknya dibunuh apakah dengan memberikan dia hukuman itu bisa disebut keadilan. Ketika istrinya tewas ia telah kehilangan kesadaran, tak tahu siapa dirinya. Maka dari itu pengadilan tak akan bisa seenaknya mengadili orang yang kehilangan akalnya," kata Bu Susiati.
Jaksa penuntut yang membacakan dakwaan tadi menggerutu, "Dari mana dia bisa dapatkan rekam medis itu?"
Setelah beberapa saat hening. Akhirnya sang hakim pun memutuskan sesuatu.
"Pengadilan ini tak bisa mendakwa bahwa Arci telah membunuh dikarenakan ia mengalami depresi berat setelah istrinya dibunuh dengan cara diperkosa sampai mati. Namun oleh karena itu, pengadilan memutuskan Arci bersalah karena telah menggerakkan massa, membuat kekacauan dan keributan, merusak prasarana umum, maka dengan ini ia mendapatkan hukuman 7 tahun penjara dikurangi masa hukuman dan denda sebesar 30 Milyar atas kerusakan yang terjadi. Dan dia dihukum setelah mendapatkan kejelasan akan kesembuhan mentalnya." Hakim mengetuk palu.
Enam bulan setelah kejadian itu. Arci seperti orang linglung. MALANG RIOT AND CHAOS itulah yang menjadi judul Headline di surat kabar. Nama Arci menjadi besar karena itu. Dia dianggap sebagai raja preman, menggerakkan seluruh preman yang ada di kota ini. Namanya dieluk-elukkan oleh dunia hitam. Tapi sekali pun begitu ia tak bahagia. Kehilangan Andini membuat dirinya rapuh. Dia melihat saat-saat terakhir istrinya dimakamkan dan menjerit histeris. Sampai setelah tiga kali suntikan obat penenang dia baru tenang.
Arci selama tiga bulan lamanya mendekam di dalam rumah sakit jiwa. Letnan Basuki mengerti perasaan Arci. Dia tak menduga saja seperti ini kejadiannya. Kejadian hari itu memberikan banyak luka. Banyak orang yang tewas, baik dari para preman, juga dari pihak kepolisian. Untunglah Lian dan Putri selamat. Mereka berdua sering mengunjungi Arci, tapi yang lebih sering lagi Ghea. Ghea masih hidup. Setelah sembuh dari luka-lukanya ia sering menjenguk Arci, menyuapinya makan, membersihkan tempat tidurnya, membantunya untuk mandi.
Melihat Arci rapuh, Ghea jadi melankolis lagi. Dia tak pernah menyangka Arci akan seperti ini. Orang yang dicintainya sekarang telah kehilangan segala-galanya. Dia tahu perasaan Arci, kehilangan orang yang dicintai, ia tahu. Arci selama sebulan pertama menatap dengan tatapan kosong. Tangan dan kakinya dirantai, karena ia sering mengamuk sendiri. Kalau sudah mengamuk tak ada yang bisa menghentikannya kecuali dengan penenang yang bisa membius gajah.
Namun semenjak Ghea sembuh dan sering datang. Arci mulai melunak. Dokter menyuruh Ghea untuk sering datang.
"Kapan kamu begini terus?" tanya Ghea.
Arci tak menjawab.
"Aku tahu perasaanmu, aku tahu rasanya kehilangan. Tapi tak harus seperti ini. Kamu menyiksa dirimu sendiri. Arci, aku bisa jadi nyawamu, aku menawarkan diriku. Ayolah, kamu harus sembuh, sampai kapan kamu rapuh?"
Arci tak menjawab. Pandangannya tetap kosong. Ghea menangis dan memeluk orang yang sangat dicintainya itu.
"Aku akan tetap mencintaimu apapun keadaanmu. Aku tak akan bisa menjadi Safira ataupun Andini, tapi aku akan berusaha memberikan semua cintaku kepadamu. Engkaulah yang mengajariku tentang cinta, engkaulah yang memberikan oase di dalam gersangnya hatiku. Aku akan terus mencintaimu, tak ada lelaki lain yang pantas untukku. Hanya engkau...,"
"Ghea...?" bisik Arci.
"Arci?? Ya, ini aku Ghea," Ghea tersenyum mendengar Arci memanggilnya.
"Biarkan aku menikmati masa rapuhku ini...," kata Arci.
"Kenapa?"
"Aku lebih tenang di sini...aku tahu alasan kenapa Araline mau tinggal di rumah sakit jiwa seperti ini. Ia tak ingin orang lain melihat dirinya rapuh. Di sini aku bisa tenang. Setiap aku lepas kendali dengan obat penenang itu aku jadi bisa tidur nyenyak. Aku tak ingin keluar dari sini."
"Kamu... kamu tidak gila?"
"Aku selama ini tidak gila, aku memang seperti orang gila. Aku rapuh. Kehilangan orang yang aku cintai. Mereka semua pergi. Aku tak mau hidup lagi, setiap hari aku berusaha membunuh diriku dengan membentur-benturkan kepalaku ke tembok, hingga mereka kemudian memborgolku. Aku rapuh Ghea, aku rapuh...."
"Kamu tak boleh begitu. Ada aku di sini. Ada aku...kamu tak boleh seperti itu! Dengarlah, lihatlah aku! Lihatlah!"
Ghea memegang kedua pipi Arci. Arci menatap mata Ghea yang berwarna hijau. Arci tak tahu kalau Ghea ternyata punya sepasang mata yang indah. Dan mata itu sembab. Sedih.
"Aku akan memberikan separuh nyawaku untukmu. Aku rela, aku akan melakukannya. Kumohon terimalah! Aku akan memberikannya."
"Aku tak tahu apakah aku akan menerimanya atau tidak."
"Arci, kamu harus keluar dari sini. Aku menawarkan diriku, aku memang bukan wanita pertamamu, aku bukan wanita yang baik menurutmu, aku bukan wanita yang engkau cintai. Setidaknya ijinkanlah aku jadi wanita terakhir dalam hidupmu. Aku akan lakukan apapun, kamu membuatku bersedih. Kalau kamu rapuh, aku juga rapuh, ibumu juga, adikmu. Siapa yang akan menjaga mereka kalau kamu di sini terus?"
"Ghea..."
"Arci..."
Keduanya kemudian berciuman. Untuk pertama kali dalam hidupnya Arci mencium Ghea dengan deep kiss. Lama mereka berciuman. Ghea memeluk Arci dengan hangat. Kehangatan yang tak ingin ia lepaskan.
"Terima kasih, Ghea."
"Kamu harus keluar dari sini. Tommy belum binasa. Ia masih berkeliaran bebas di luar sana. Aku akan membantumu untuk membalaskan dendam."
"Tidak Ghea, jangan! Aku tak mau kamu pergi lagi."
"Aku bukan wanita yang lemah. Aku bukan Safira, aku bukan Andini, aku adalah Ghea. Aku telah merasakan tebasan pedang, parang dan peluru. Aku kuat. Kamu tahu juga itu bukan?"
Arci tersenyum. Ghea tiba-tiba menangis lagi.
"Kenapa kamu menangis??"
"Baru kali ini aku melihatmu tersenyum lagi."
"Ya, baiklah. Demi kalian. Aku akan keluar."
Wajah Ghea memancarkan kebahagiaan. Inilah awal mula Ghea mendapatkan cintanya. Dan untuk pertama kalinya Arci menerima cinta Ghea. Walaupun memang, ia tak akan pernah bisa melupakan Safira dan Andini. Keduanya tak akan bisa terhapus dari ingatannya. Karena ia mencintai mereka selamanya.
* * *
Arci dibebaskan dari rumah sakit jiwa setelah dokter memutuskan kesehatannya. Sesuai keputusan pengadilan, setelah mendapatkan pengobatan dan terapi di rumah sakit jiwa, Arci masuk ke dalam penjara. Di LAPAS ia tidak saja menjadi orang yang disegani tapi dikenal sebagai big boss, sebagai raja preman. Semua penghuni LAPAS menghormatinya seperti raja. Kalau biasanya setiap orang baru masuk ada orientasinya, tapi tidak bagi Arci. Semua orang berebut untuk bisa melayaninya. Ya, nama Arci menjadi tenar sekarang. Dia tinggal di dalam penjara di sel khusus.
Hari demi hari ia habiskan untuk melatih tubuhnya yang kaku. Hari demi hari ia juga menulis dan membaca buku. Ia tak pernah menghitung hari kapan ia akan keluar dari penjara. Setiap hari Ghea selalu mengunjunginya kalau ada waktu. Ghea sekarang yang mengelola usaha keluarga Zenedine. Seluruh kekayaan Arci sekarang diserahkan kepada Yuswo, tapi Yuswo menolak, baginya mendapatkan penerus seperti Arci lebih dari cukup. Dan ia bersungguh-sungguh.
Selama di penjara Arci mengenal banyak orang, terutama ketika seluruh penghuni LAPAS dikumpulkan. Dia termasuk narapidana yang paling baik kelakuannya. Tak neko-neko. Tapi dihormati oleh semua orang. Berkat kelakuan baiknya itu hanya dalam waktu lima tahun dia pun keluar setelah mendapatkan grasi dari presiden.
Ketika akan keluar, seluruh penghuni LAPAS berebut mencium tangannya. Arci hanya diam saja dan sedikit geli mendapatkan perlakuan seperti itu. Setelah berpamitan dengan sipir dan menandatangani sesuatu, ia pun keluar. Di luar LAPAS telah menunggu tiga yang sangat ia kenal. Lian, Ghea dan Putri yang sekarang udah besar.
Putri langsung berlari ke arah kakaknya, "Kakaaaaaak!" Dia langsung memeluk kakaknya. "Aku rindu sekali."
"Kau tambah besar," ujar Arci sambil menguyel-uyel rambut Putri.
Arci berjalan mendekat ke arah Ghea dan Lian. Ia mencium pipi keduanya.
"Terima kasih, sudah menjemput."
"Tak apa, ayo!" ajak Ghea.
Mereka bertiga segera masuk ke dalam mobil. Mobil melaju pelan meninggalkan tempat di mana Arci menghabiskan masa hukumannya. Ghea yang menjadi sopirnya hari itu. Arci tak pernah menyangka bebas juga akhirnya. Dia kemudian teringat sesuatu.
"Kita ke pemakaman dulu yuk?!" ajak Arci.
Ghea mengerti. Segera ia menuju ke pemakaman tempat di mana Safira dan Andini di kuburkan.
Ternyata Kedua orang yang dicintai Arci itu dikuburkan bersebelahan. Ini adalah inisiatif dari Ghea sendiri. Bu Susiati menyetujuinya. Tak hanya Arci yang terpukul, keluarganya juga merasa kehilangan.
Arci memandangi batu nisan bertuliskan Safira dan Andini secara bergantian. Ghea ingin meninggalkan Arci sendiri tapi Arci mencegahnya.
"Jangan pergi!" kata Arci.
"Baiklah!" kata Ghea.
Dari jauh Lian dan Putri memandangi dua orang yang sedang berdiri di depan makam kerabatnya itu.
"Andini, Safira, maafkan aku. Aku tak bisa menjaga kalian. Seharusnya aku bisa. Seharusnya aku menuruti nasehatmu Din. Seharusnya aku bisa. Tapi aku akan menuruti wasiatmu, di sebelahku ada Ghea. Dia orang yang sangat mencintaiku. Aku akan mencintainya juga. Aku meminta restumu Kak Safira, Andini... aku mencintai kalian selamanya. Dan aku sekarang akan mencintai Ghea selamanya. Dia yang selama ini merawatku memberikan aku kehidupan. Kalian tidak marah kan?"
Ghea terharu. Air matanya tak bisa dibendung.
"Aku bersyukur kalian hadir di dalam kehidupanku, kalian adalah hal terindah yang pernah ada dalam hidupku. Aku tak akan melupakan kalian."
Ghea tak kuat lagi dan dia pun memeluk Arci sambil menangis. Arci balas memeluk Ghea.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Pernikahan yang sederhana. Ya, pernikahan yang sederhana. Itulah yang diinginkan oleh Ghea. Keduanya sudah menikah sekarang. Ghea untuk pertama kalinya memakai baju wanita. Tapi pernikahan yang sederhana itu menjadi spesial, kenapa? Karena sang Raja Preman sekarang terjalin ikatan yang sangat erat dengan keluarga Zenedine. Arci sang Godfather, itu yang dikatakan oleh semua orang.
Letnan Basuki sendiri tak menyangka hal itu akan terjadi. Setelah ia berhasil memberangus kejahatan Tommy dan menangkap Arci, sekarang Arci di dunia hitam dikenal sebagai seorang pemimpin. Paling tidak jangan sampai Arci berbuat kriminal. Itu yang ditekankan dirinya sendiri, kalau sampai dia mencium gelagat yang tidak baik dari pemuda yang sudah berusia 30-an tahun itu, maka dia akan menangkap Arci.
Di kamarnya, Arci memandang tubuhnya sendiri. Seluruh badannya tampak bekas luka. Satu per satu ia memegangnya, dari mulai luka bekas tertembus peluru hingga terkena sayatan pedang, pisau, golok, parang dan lainnya. Beberapa dijahit. Ia tidak mentatto dirinya, dengan luka itu saja ia sudah dikenal. Raja dunia hitam yang banyak mempuyai luka di tubuhnya. Itu sebagai ciri khasnya. Sebenarnya secara tak langsung file Arci sudah masuk ke dalam target polisi, tapi polisi tak bisa bertindak ceroboh, terlebih orang yang membantu Arci adalah seorang pengacara terkenal Susiati.
Ghea mendekati Arci dan berdiri di sampingnya sambil memeluk lengan suaminya itu.
"Apa yang kamu lihat?" tanya Arci.
"Seorang big boss. Orang yang telah merajai seluruh preman di kota ini. Dan juga pewaris tunggal dari Zenedine," jawab Ghea.
"Bukan, aku lebih kepada seorang lelaki yang hopeless. Aku seperti melihat zombie. Kamu tahu, aku sudah menjadi zombie sekarang ini. Lihatlah, aku sudah tak merasakan sakit lagi," ujar Arci.
"Tidak sayangku, tidak begitu," Ghea mendekap Arci lebih erat.
"Bagiku kau adalah lelaki yang paling baik, paling kuat, dan paling tampan. Kamu bukan zombie. Kamu adalah dirimu sendiri."
"Aku sudah terlalu jauh masuk ke dunia ini. Dunia yang harusnya aku hindari. Dunia yang telah merenggut orang-orang yang aku cintai. Memang di mana-mana aku dihormati, tapi aku merasa hampa."
"Kamu masih teringat dengan Safira dan Andini?"
"Setiap waktu aku ingat mereka. Dan setiap aku melihat diriku, aku marah kepada bayanganku sendiri. Marah karena aku tak bisa melindungi mereka. Bahkan sampai tanganku bersimbah darah sekalipun aku tak bisa melindungi mereka. Gege, apa yang harus aku lakukan."
"Lepaskanlah beban itu. Bebanmu terlalu berat. Kamu tidak sendiri sekarang ini. Ada aku, aku akan sekuat tenaga mensupportmu." Ghea memutar tubuh Arci agar melihatnya. "Lihat aku!"
Arci menatap mata hijau Ghea. Hari ini seharusnya hari yang paling bahagia bagi Ghea dan Arci, tapi tampaknya rasa bersalah di pundak Arci belum hilang.
"Kita bisa bersama menghadapi ini semua. Kamulah yang mengajarkan cinta kepadaku, tentang arti cinta yang sebenarnya. Tak ada yang bisa mengajariku sebaik dirimu. Kamulah alasanku berubah, kamulah alasanku tetap tegar menjagamu. Sebagai istrimu aku rela menjadi sarung pedangmu, menjadi tamengmu bahkan kalau kamu gunakan aku untuk umpan musuh pun aku rela!"
Arci memeluk Ghea, "Jangan ucapkan itu! Kumohon! Sudah cukup. Aku tak mau kehilangan anggota keluargaku lagi."
"Cici...boleh kupanggil engkau dengan panggilan sayang istrimu?" tanya Ghea yang menangis dalam pelukan Arci.
"Ya, panggil saja."
"Aku hari ini mendapatkan pelajaran berharga."
"Apa itu?"
"Bahwa cinta sejati itu tak akan pernah mati, walaupun aku bukan cinta sejatimu, setidaknya biarkan engkau yang menjadi cinta sejatiku. Biarlah saat-saat akhir hidupmu aku yang akan mengisinya. Kamu mau kan?"
Arci mengangguk. "Iya, demi kamu."
"Cici..."
"Gege."
Keduanya kini berpandangan. Kedua mata mereka memancarkan sebuah aura yang tak akan bisa difahami oleh siapapun. Rasa kesedihan Arci mulai perlahan hilang. Jiwanya yang rapuh mulai perlahan-lahan dibangun lagi. Semuanya karena perjuangan seorang wanita bernama Ghea. Ghea berjuang sendiri untuk itu, Arci tak akan mungkin melupakan Ghea begitu saja. Melihat kesungguhan Ghea merawat dirinya, Arci akhirnya memberikan keputusan yang membuat hati Ghea bergetar hebat.
Saat itu setelah beberapa minggu Arci keluar dari LAPAS. Dia mengajak Ghea ke sebuah tempat. Tempat di mana dia pernah menunggu Andini sampai ketiduran. Di taman Merbabu. Apa yang dilakukan oleh Arci tengah malam mengajak Ghea ke tempat ini? Arci hanya berkata, "Ikutlah aku!"
Ghea tak pernah diberitahu kenapa Arci mengajaknya ke taman itu. Dia selalu mematuhi Arci, apapun yang Arci inginkan. Bahkan kalau Arci ingin dia terjun dari jurang pun akan dia lakukan. Tapi Arci bukan seperti itu, sebagai seorang big boss ia berhati lembut. Semua para preman teratur bahkan status Arci sekarang melebihi status seorang pimpinan daerah sekali pun. Di mana-mana dia dihormati, ingin pergi ke restoran manapun, tempat nongkrong mana pun tak pernah ada yang berani membantahnya. Bahkan jika ia mau ingin membooking satu gedung bioskop sendirian pun dia bisa. Sayangnya sang Godfather ini berhati lembut, walau pun dia bisa marah.
Untuk beberapa menit lamanya Arci dan Ghea hanya berdiri di taman itu. Rambut Arci mulai memanjang, ia tak pernah mencukurnya selama di penjara. Malam semakin larut dan hawa dingin kota ini mulai menusuk membuat beberapa kali Ghea mengusap-usap lengannya.
"Aku tahu di sini tempatnya bukan?" tanya Arci.
"Maksudnya?"
"Tempat untuk pertama kalinya kamu jatuh cinta kepadaku, pertama kalinya kamu menciumku."
Pipi Ghea memerah. "Apaan sih?"
"Aku tahu karena waktu itu aku terjaga."
"Hah??"
"Hahahaha, maaf. Aku tak ingin menghancurkan harga dirimu waktu itu. Aku terpaksa pura-pura tidur, kalau aku terbangun kamu pasti akan sangat malu. Bahkan akan mungkin menembakku dengan pistol glock kesayanganmu."
"Kamu...," Ghea gemas dengan Arci.
"Aku ingin menikahimu."
"A..apa?"
"Aku ingin menikahimu."
Wajah Ghea makin memerah. Mungkin wajahnya sekarang sekarang seperti cabe merah. Jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Lelaki yang dicintainya ini benar-benar berkata seperti itu kepadanya.
"Kamu...yakin?" tanya Ghea.
"Aku butuh orang untuk menenangkan diriku. Dan kamu selama ini yang sanggup melakukannya. Mungkin big boss memang membutuhkan seorang pendamping sekuat dirimu. Dan aku memilihmu, maukah kamu?"
"Kalau saja hari ini aku membawa pistolku, aku ingin menembak kepalaku sendiri. Tentu saja aku mau."
Arci pun memeluk Ghea, sama seperti hari ini. Ketika mereka telah resmi menjadi suami istri. Arci membelai punggung Ghea. Ghea malam itu hanya memakai gaun tidur saja tanpa pakaian dalam. Ia telah mempersiapkan segalanya. Malam itu ia merelakan dirinya untuk orang yang sangat ia cintai. Arci mulai menurunkan tali baju Ghea, kulit putih mulusnya pun terpampang dari pundak, lalu turun ke buah dadanya hingga ke bawah. Ghea sudah telanjang. Dan Ghea mengambil inisiatif, ia membuka celana Arci dan menurunkannya, keduanya lalu maju mendekatkan diri saling memagut. Kedua bibir dan lidah bertemu, memilin, memutar dan saling menghisap.
Arci memegangi kepala Ghea agar tak pergi dari pagutannya. Keduanya kini terlena dalam luapan asmara. Ghea sudah menyerahkan semuanya kepada Arci, bahkan sekarang hidupnya pun diserahkan kepada lelaki ini. Mungkin inilah untuk pertama kalinya Ghea akan bercinta dengan rasa yang sesungguhnya. Arci perlahan-lahan mengubah ciumannya ke leher, leher wanita ini dihisapnya kuat, sehingga membekas sebuah cupangan cinta. Darah Ghea mulai mengalir ke ubun-ubun ketika batang kemaluan Arci menyentuh perutnya. Batang itu tetap keras dan perkasa dengan otot-ototnya berurat yang pernah memuaskan dirinya. Arci menuntun Ghea hingga berbaring di ranjang.
Ghea terlena dengan perlakuan pria yang sekarang menjadi suaminya ini. Sangat lembut. Siapa bilang singa betina harus ditaklukkan dengan cara kasar? Buktinya lelaki ini telah menaklukkan dirinya dengan cara yang sangat lembut. Entah mengapa Ghea sudah merasa basah padahal ia baru berpagutan dengan Arci. Kali ini ketika puting susunya yang kencang itu di hisap badannya melengkung, seolah-olah ia berkata, "Hisaplah, nikmatilah ini!"
Puting Ghea yang berwarna pink ini terus dimainkan dan dikenyot oleh Arci. Lidah Arci dengan lembut memutar-mutari puting yang sekarang sudah mengeras itu. Ghea pun melenguh. "Ohhh...sayangku, aku suka kau gituin."
Arci meremas-remas dua buah payudara sekal itu. Walaupun tak sebesar milik istrinya dulu, tapi buah dada mulus dan sekal itu tak akan mungkin bisa dinikmati. Bau parfum Ghea wangi sekali, bahkan membuat Arci mabuk kepayang. Lidah Arci kembali menelusuri belahan toket itu, dengan lembut mengenyot lagi putingnya kalau tadi yang kanan sekarang yang kiri. Ghea pasrah, benar-benar pasrah. Bahkan kalau saja ada pembunuh bayaran yang sekarang menembak kepalanya pun pasti akan berhasil. Ghea melayang, jiwanya seperti terbang ke langit ke tujuh. Arci memberikan cupangan-cupangan cinta di buah dadanya, sambil sesekali ia menatap mata Ghea yang terpejam menikmati setiap sentuhan dirinya.
Arci menaikkan tangan Ghea. Pemandangan ketiak putih tanpa bulu terpampan di hadapannya. Arci pun menghisapnya, menjilati setiap inchi, lidahnya pun sampai mengkilat berada di ketiak Ghea.
"Aaahhh....kamu buat aku geli....Cici...aku mau nyampe!" jerit Ghea.
Dia berusaha melepaskan diri dari cengkraman Arci hingga tubuhnya lagi-lagi melengkung dan kedua pahanya mengapit. Ya, hanya perlakuan seperti itu saja Ghea orgasme, ia sendiri tak percaya terhadap apa yang terjadi dengan dirinya. Dia bisa menikmati hubungan intim ini. Arci ternyata masih belum puas, ketiak Ghea tetap dia hisap dan jilat walaupun Ghea sudah meminta agar jangan dilakukan dan dia meronta, hingga ia orgasme lagi. Ghea membelalakkan matanya dan melihat Arci tersenyum.
"Aku dua kali keluar hanya kamu gitukan? Ohh...sayangku...entah apa yang terjadi denganku. Mungkinkah sekarang ini aku sangat bahagia?"
"Bisa jadi."
Arci bekerja lagi. Ia kini menciumi setiap lekukan tubuh Ghea, hingga ke pusar, perutnya lalu menyasar di sebuah daging belah berwarna pink dan tembem. Ia mencium belahan kemaluan Ghea. Tubuh Ghea gemetar hebat, makin banyak cairan yang keluar melalui liang senggamanya, makin melayang pula dirinya. Arci menghirup cairan itu, apapun yang ada di tempat itu ia hisap semuanya. Lidahnya pun menelusuri garis merah yang membelah vagina Ghea. Ketika bertemu klitoris Ghea, Arci menghisap kuat.
"AAaahhhkk!" pekik Ghea. Gelombang orgasmenya mulai datang lagi. Arci menari-narikan lidahnya di sepanjang belahan vaginanya dan setelah menyentuh klitorisnya ia menggigit kecil.
"Sudah Cii...aku tak tahan lagi...!" Ghea meminta-minta.
Arci menyudahi aksinya, hal itu membuat Ghea bisa bernafas lega. Ia benar-benar sudah banjir. Arci tiba-tiba saja memutar tubuhnya, hingga sekarang ia mengarahkan batang kemaluannya ke mulut Ghea. Ghea menghirup aroma batang kejantanan Arci. Ia rindu sekali aromanya, bibirnya mulai mengecup batang itu.
"Batang ini keras, panjang, dan sempurna. Ohhh...aku rindu sekali!" kata Ghea.
Ghea merindukannya, tentu saja karena ia hanya sekali merasakan batang itu. Kini ia puas-puaskan menikmati batang itu. Ia pun menjilati seluruh permukaan batang kemaluan itu. Batang itu ibarat es krim yang tak bisa meleleh, tangan Ghea menggelitik buah peler Arci, sengatan-sengatan listrik mulai dirasakan Arci, terlebih ia seperti menyerahkan batang itu kepada Ghea untuk dikulum. Seorang cewek berambut merah dengan mata hijau seksi tanpa busana sekarang sedang mengulumnya. Lelaki manapun pasti ingin membayar berapapun untuk bisa menikmati bibir seksi Ghea. Terlebih Ghea mengulum penis itu seperti lolipop. Terkadang ia masukkan penuh terkadang ia buat mainan. Ghea makin kelonjotan ketika Arci kembali memainkan vaginanya. Dengan gaya 69 ini, Ghea kalah lagi. Dia orgasme lagi.
"Sayang, sudah dong. Aku tak kuat lagi," kata Ghea. Ia sekarang seperti cacing kepanasan yang menggelapar-gelepar di atas aspal yang panas.
Arci kemudian melepaskan Ghea. Dia sekarang berada di atas Ghea dan memeluknya. Ditindihnya tubuh sintal wanita Kaukasia itu. Arci tak sulit untuk menemukan lubang sarang senjatanya. Begitu menancap ia pun mendorong.
"Oouuhhhfff...!" lenguh Ghea.
Batang itu meluncur pelan. Keras dan mantab. Menyeruak ruang-ruang yang belum terjamah. Arci masuk lagi ke lubang ini. Tapi kali ini batangnya lebih keras, mungkin karena ia ingin bersungguh-sungguh bercinta dengan Ghea. Kini ia akan mencintai Ghea, toh dia sudah jadi suaminya bukan? Arci seperti memberikan tenaga ke dalam liang senggama Ghea. Membuat Ghea lagi-lagi merasakan kemaluannya penuh seperti tak ada ruang lagi di dalam sana.
"Besar...mantab...sempurna!" bisik Ghea.
"I love you," bisik Arci.
Perasaan Ghea melayang sekarang ini, "I Love You too Handsome!"
Arci mulai menggenjot Ghea. Awalnya pelan sambil berpanggutan, lama-lama makin cepat, lama-lama makin bernafsu. Pinggul Arci naik turun, seirama kocokan pada batangnya, suara kecipak lendir liang senggama Ghea membuat suasana kamar mereka makin panas. Arci sesekali melirik ke cermin yang ada di kamarnya. Ia melihat tubuhnya sendiri, Ghea mengakang di bawahnya, dan ia bisa melihat jelas bagaimana tubuhnya menusuk-nusuk kemaluan Ghea. Melihat itu Arci makin bergairah dan makin cepat menggenjot istrinya.
Ghea merasakan penis Arci makin keras, berkedut-kedut, menusuk-nusuk rahimnya. Agaknya pertahanan Arci akan bobol.
"Kamu ingin keluar?" tanya Ghea.
"Iya"
"Cum inside me please!"
"Oyeah...here we go.... I'm Cumming...awwwww!"
"Aaahhhkk!"
Mulut Ghea membentuk huruf O. Tubuhnya mendekap Arci erat seperti tak ingin melepaskan dia. Ia meliuk-liukkan pinggangnya, ingin agar vaginanya penuh. Tapi sudah mentok. Dan benar saja Aci menembakkan spermanya dalam-dalam. Batang kemaluannya berkedut-kedut. Semburan milyaran sel sperma kembali lagi masuk ke dalam liang senggama Ghea. Kali ini Ghea tak takut lagi dia dibuahi oleh Arci. Dia ingin spermanya, ia ingin sperma kental lelaki ini masuk ke dalam rahimnya membuahi telurnya. Ghea bisa merasakan rahimnya tersiram semburan sperma itu. Ia menggelinjang dan orgasme lagi.
Kedua insan ini untuk semenit lamanya terengah-engah. Peluh mulai bercucuran dari keduanya. Arci tak pernah membayangkan akan bercinta seperti ini dengan Ghea. Bercinta dengan penuh perasaan. Ia sepertinya ingin menumpahkan seluruh perasaan yang pernah ia miliki kepada Safira dan Andini untuk Ghea. Dan ia telah tumpahkan semuanya sekarang. Ghea menerima cinta Arci, menerimanya dengan tangan terbuka. Dan semburan cintanya benar-benar telah bersarang di rahimnya.
Keduanya berpagutan hangat. Lembutnya bibir Arci membuat Ghea mabuk kepayang. Arci mencabut penisnya perlahan-lahan. Dia melihat hasil kerja kerasnya. Sebuah lelehan cairan kental berwarna putih meleleh dari lubang kenikmatan milik Ghea. Ghea pun tertidur karena kelelahan. Sungguh sebuah hubungan intim yang hebat. Arci mengakhirinya dengan kecupan lembut di kening istrinya, lalu menyelimuti istrinya. Dia bangun.
Dia lalu duduk sambil merenung. Kembali siluet masa lalunya datang. Dia memang sudah terlalu jauh melangkah. Dia tak pernah merasa bahagia. Selama ini dia hanya bersama ibu dan saudara-saudaranya saja. Sebenarnya hidup bersama mereka sudah cukup bahagia. Ia tak perlu ini semua. Entah kenapa ia waktu itu menyetujui begitu saja menjadi pewaris Archer. Ia sebenarnya bisa saja menolak. Hanya karena harta orang-orang yang dicintainya pergi. Dia menoleh ke wajah Ghea yang kini pulas tertidur karena kelelahan. Mungkin inilah saatnya ia akan mendapatkan kebahagiaan. Apakah memang Ghea adalah cinta sejatinya sekarang?
Arci menghela nafas. Sekali lagi ia teringat dengan Safira. Ia masih ingat bagaimana kakaknya itu menyentuhnya. Ia juga masih ingat bagaimana Andini menyentuhnya. Kedua orang ini adalah cinta pertamanya. Dan ia tak akan bisa melupakannya begitu saja. Arci sudah bertekad agar dia bisa membahagiakan Ghea. Semoga saja bisa.
* * *
Pagi telah datang. Ghea terbangun. Matanya terbuka dan menyapu sekitar. Tak ada Arci di sampingnya. Tubuhnya serasa sakit semua. Tadi malam adalah sex yang paling hebat dalam hidupnya. Ia tak pernah bercinta seperti itu. Dan ia merasa puas, sebuah kelelahan yang tidak pernah ia sesali. Dengan langkah gontai ia beranjak dari ranjangnya.
Arci saat itu sudah memakai baju rapi, kemeja lengan panjang warna putih dan sebuah jas hitam. Dia akan menemui seseorang hari ini. Ghea mendengar suara mobil di luar rumah. Ia mengintip dari jendela dan tampak suaminya sudah berpakaian rapi melajukan mobilnya. Dia penasaran kenapa pagi-pagi sekali Arci sudah pergi?
Setelah beberapa waktu melaju dan berputar-putar, bergelut dengan padatnya lalu lintas, Arci pun tiba di sebuah rumah. Ini adalah rumah kontrakannya dulu. Ia menghabiskan waktu di sini bersama Safira. Kenangan itu tak akan pernah hilang. Untuk beberapa waktu lamanya ia hanya termenung di tempat itu, kemudian ia melanjutkan lagi perjalanannya hingga menemui sebuah rumah yang berada di pinggiran kota. Rumahnya teduh dan tampak ditanami tanaman hias.
Ketika Arci tiba, seseorang dari dalam rumah keluar. Dia adalah Araline. Dia membawa tongkat sambil dipapah oleh suaminya. Johan membisikkan sesuatu ke telinga wanita buta itu.
"Ibu?!" sapa Arci.
"Arci?"
Arci segera memeluk Araline dan Johan.
"Kamu tak apa-apa, nak? Kamu baik-baik saja?" Araline berkali-kali mengusap wajah Arci.
"Iya. Kabar kalian?"
"Kami mulai menata hidup. Kurasa, semuanya akan baik bila bersamamu," kata Johan.
"Aku berterima kasih kepada kalian. Aku tetap akan menatap masa depanku. Mungkin peristiwa kemarin membuatku lebih kuat lagi. Aku berterima kasih karena kalian baik kepadaku. Dan aku minta maaf karena tidak mengundang kalian kemarin."
"Mengundang?" Araline heran.
"Aku dan Ghea kemarin menikah."
"Ghea? Ya ampun, betulkah itu? Aku tak menyangka Ghea bisa juga takluk ama lelaki. Hahahaha," Araline tersenyum.
"Ibu, untuk itu aku ingin mengajak kalian makan siang di restoran yang kalian inginkan."
Araline dan Johan tertawa. Paling tidak Arci ingin memberikan kebahagiaan juga kepada mereka. Siang itu pun mereka makan bersama, bercanda dan tertawa. Tak ada lagi raut kesedihan pada wajah Araline. Makan siang itu terasa nikmat, terasa hangat. Hingga sebuah panggilan telepon diterima Arci. Dari Ghea.
"Ada di mana?" tanya Ghea.
"Ada di tempat Araline," jawab Arci.
"Ahh...kita belum mengundang mereka," kata Ghea cemas.
"Kamu mau ngobrol dengan mereka?"
"Kasihkan! Kasihkan!" kata Ghea.
Arci menyerahkan ponselnya ke Araline. "Dari Ghea."
Araline menerimanya, "Ghea?"
"Tante? Maaf ya, kemarin tak diundang. Soalnya memang kami tidak bikin pesta yang meriah."
"Tak apa-apa. Tante mengerti, selamat yah. Kamu sekarang dipilih oleh Arci, tetaplah di sampingnya. Dia butuh seorang wanita yang kuat sepertimu. Agar di saat dia rapuh akan ada yang selalu menjaganya. Ah, bagaimana kamu bisa ditaklukkan oleh dia?"
Arci nyengir mendengar Araline bicara seperti itu. Johan tertawa keras.
"Ah, tante ini entahlah," Ghea tersipu-sipu.
* * *
Setelah acara makan siang itu Arci menemui seseorang lagi. Siapa lagi kalau bukan Yuswo. Yuswo dirawat di rumah sakit karena kanker paru-paru. Ternyata kebiasaannya merokok membuat paru-parunya sekarang berlubang. Melihat Arci datang semua orang yang ada di luar kamar langsung menyambutnya. Mereka semua tentunya tahu siapa Arci, sang pewaris kekuatan Yuswo. Begitu masuk ke dalam kamarnya, Arci langsung bertemu dengan Yuswo yang sedang diapit oleh istri dan anaknya. Melihat Arci masuk, Yuswo memberi isyarat agar mereka semua pergi kecuali Arci. Setelah ruangan itu hanya ada dua orang saja, Arci duduk di kursi.
"Merokok bisa membunuhmu, agaknya benar kata-kata itu," kata Arci.
"Ironis kan? Selama puluhan tahun jadi preman, rokok malah membuatku seperti ini. Hahahaha uhuk...uhuk...uhuk..!" kata Yuswo terbatuk-batuk, ia mengambil masker oksigennya lalu menghirupnya.
"Aku berterima kasih," kata Arci.
"Kenapa berterima kasih kepadaku? Aku yang harusnya berterima kasih kepadamu. Karena kalau bukan kamu yang membiayai rumah sakit ini lalu siapa? Hehehehe, lagi pula aku senang sudah punya penerus hebat sepertimu. Kota ini sudah kamu kuasai. Kamu punya segala-galanya sekarang. Kemanapun kamu pergi akan dihormati. Aku memang sudah waktunya pensiun, kamu masih muda. Jalanmu masih panjang."
"Aku belum menemukan Tommy. Polisi juga mencarinya. Selama lima tahun ini entah ia bersembunyi di mana," kata Arci sambil memberikan wajah penyesalan.
"Tak usah khawatir. Tak perlu kau khawatirkan dia. Hidupnya sekarang pasti menyedihkan karena ia tak lagi bisa kembali ke kota ini. Kota ini seperti tak akan bisa menerima dia lagi. Setiap sudut kota punya mata yang akan membuat dia merasa diawasi dan setiap hembusan angin di kota ini akan membuat ia terasa sesak."
"Aku kemari hanya ingin mengucapkan terima kasih"
"Sudah kubilang, tak perlu berterima kasih."
"Justru, kalau aku tidak berterima kasih, aku sama saja seperti murid durhaka kepada gurunya."
Senyum tergurat di bibir Yuswo sang preman pensiun. Ia pun menghela nafas. "Sudah, sudah, sekarang pergilah. Engkau mengganggu istirahatku saja."
Arci tertawa, "Aku akan menunggumu di luar. Kudengar baru dibuka kolam pemancingan baru, kuharap kita bisa mancing di sana bersama."
"Mancing itu bikin tua, kamu tak pantas."
Sekali lagi Arci tertawa.
* * * * I LOVE YOU HANDSOME * * * *
Sorenya Arci tiba di rumah Lian. Ibunya tampak sedang menulis sesuatu. Dia sekarang menekuni bidang fashion. Ternyata semenjak Arci di penjara dirinya banyak berubah. Pensiun dari dunia perlendiran dan mengantarkannya ke dunia yang sangat baru. Setidaknya kalau anaknya mempunyai sebuah perusahaan textil dia juga harus bisa juga di bidang ini. Selama tiga tahun ia menekuni mode. Mendesain busana dan membuatnya. Pekerjaannya ini menghabiskan waktu juga. Putri sekarang sedang sibuk-sibuknya karena akan masuk kuliah. Rumah terlihat sepi. Begitu Arci masuk, Lian langsung menyambutnya.
"Dari mana?" tanya Lian.
"Dari berkeliling-keliling," jawab Arci.
Rumah yang ditempati oleh Lian adalah rumah Archer. Sengaja Lian memilih rumah ini agar kenangannya bersama Archer bisa kembali lagi. Mungkin berbeda dengan semua yang pernah ia rasakan tentang kenangan pahit maupun manis, tapi bagi Lian kenangan dengan Archer adalah kenangan yang paling manis. Dia sampai sekarang masih bisa merasakan bagaimana bibir Archer menciumnya untuk pertama kali.
"Bagaimana kabar Putri?" tanya Arci sambil menuju ke dapur mengambil air minum.
"Yah, kamu tahu sendiri, sibuk dengan kuliahnya," jawab ibunya.
"Kudengar dia ngekos, kenapa nggak tinggal di sini saja?"
"Yah, kamu tahu sendiri. Dia tak mau dimanjakan oleh kakaknya. Lagipula, kalau misalnya kamu ada terus di dekat dia, mana dia laku? Cowok-cowok di sekolahannya dulu saja sampai nggak mau dekat karena takut ama dirimu."
Arci tertawa. Ia membuka penutup makanan di meja dapur. Ada tongseng cumi dan semangkuk sup.
"Makan saja, kalau lapar," kata Lian.
"Sebenarnya aku tadi sudah makan, aku ambil cuminya saja deh," kata Arci sambil mengambil beberapa sendok tongseng cumi.
Lian pun ikut nimbrung di meja makan. Mereka pun kemudian bercerita banyak hal. Sudah lama Arci tidak bicara seperti ini dengan ibunya. Ia jadi merindukan kehadiran Safira. Biasanya di saat seperti ini Safira pasti menggodanya dengan mengambil makanan yang ada di piringnya.
"Aku jadi teringat Safira," Arci memulai lagi. Ia menyudahi makannya. Lian pun beranjak dan memeluk kepala anaknya. Air mata Arci meleleh. Ia sangat rindu kakaknya itu.
"Ssshh...sudah, nggak usah difikirkan," kata Lian. "Kamu sekarang tabah saja, lupakan hal yang sudah lalu. Ibu juga kehilangan, karena Safira lahir dari rahim ibu."
Ponsel Arci berbunyi. Dari istrinya.
"Halo?!" sapa Arci.
"Di mana sayang?"
"Di rumah ibuku...srrk..," Arci mencoba menghapus air matanya.
"Apa yang terjadi? Kamu menangis?" tanya Ghea.
"Iya, tapi nggak apa-apa koq. Hanya teringat kenangan lama," jawab Arci.
"Oh, aku mengerti. Ya sudah, nginap saja di sana kalau itu bisa membuat hatimu jadi lebih baik," kata Ghea.
"Baiklah, mungkin seperti itu. Lagipula ibu sendirian di sini, aku ingin menemani beliau dulu hari ini," kata Arci.
"Dari Ghea? Boleh ibu bicara?" tanya Lian.
Arci menyerahkan ponselnya.
"Ghea??" Lian pun mulai bicara.
Arci tak mempedulikan apa yang dibicarakan oleh ibu dan istrinya. Mereka ngobrol soal rumah, kadang soal pekerjaan, cukup lama berteleponan. Arci menghapus air matanya. Hidupnya sudah berubah, walaupun kedua orang yang dicintainya sudah pergi, tapi ia masih tak bisa melupakan mereka berdua. Mungkin karena ia sangat mencintai keduanya. Dan ibunya? Ya, mereka pernah bercinta. Tapi semenjak Arci dan Safira lebih sering bersama ia tak pernah lagi berhubungan intim dengan Lian. Lian sekarang sudah lima puluhan tahun, tapi badannya masih bagus. Arci bisa melihat kulitnya hanya sedikit yang keriput, tapi masih mulus. Badannya masih segar, buah dadanya masih montok. Arci mengambil air minum dan meneguk gelas yang sudah terisi air putih sampai habis.
Lian menyerahkan ponsel Arci dan meletakkannya di meja makan. "Kamu nginap di sini saja, temani ibu."
Arci berdiri dari kursi tempat ia duduk. Keduanya saling bertemu muka. Lian jadi teringat dengan wajah Archer. Archer tak hanya mewariskan hartanya kepada Arci, tapi juga wajah dan sifatnya. Mungkin karena asupan protein dan rasa rindunya kepada Safira membuat Arci sedikit horni, terlebih kalau ia teringat dulu ia juga pernah menjamah tubuh ibunya sendiri. Hal itu terjadi karena Lian yang menginginkannya, di saat ia sangat horni. Tapi entah kenapa sudah lama mereka tidak melakukannya lagi dia pun terasa rindu. Dia tak pernah melakukan sex lagi setelah terakhir kali bercinta bersama Arci. Pernah sekali dua kali ia mastrubasi sendiri saat mendengar Safira dan Arci bercinta di kamarnya. Tapi Lian masih butuh yang namanya seks.
"Malam ini, kamu mau melakukannya dengan ibu?" tanya Lian.
"Tapi aku sudah beristri, aku tak bisa melakukan itu lagi," jawab Arci.
"Sekali dan terakhir. Tolonglah, sekali saja. Aku tak akan pernah meminta kepadamu lagi. Kamu boleh minta ibu apa saja, lakukanlah. Semenjak ibu tahu hubunganmu makin dekat dengan Safira, ibu sebenarnya juga ingin. Tapi ibu selalu menahan. Dan selama itu pula ibu tak kuasa menahan hasrat ingin bercinta. Kamu bisa menolongku? Kali ini saja, malam ini. Hajar ibumu ini sampai lemas, please...!"
Arci menghela nafas. Dia tahu tak mungkin menolak. Ghea juga tahu hubungannya dengan Lian, tak sekedar hubungan ibu dan anak. Walau Ghea tak mempermasalahkan hal itu, tapi Arci merasa berdosa. Arci kemudian memeluk ibunya. Lian pun tenggelam dalam dekapan anaknya yang memakai parfum khas prianya itu. Parfum yang membuat birahinya hadir.
Arci kemudian perlahan-lahan menggelitik tubuh Lian. Lian tertawa geli. Wanita paruh baya ini berjalan menjauh. Arci mengejarnya hingga mereka berada di kamar Lian. Wanita ini tentu ingat ini kamarnya, kamar penuh kenangan di mana selama tiga hari tiga malam Archer menggenjot dia tanpa ampun. Mereka hanya istirahat untuk makan dan mandi, tapi setelah itu kembali mereka lakukan lagi dan lagi. Hingga mungkin karena itulah Arci bisa lahir.
Di dalam kamar, Arci membantu Lian melepaskan bajunya. Lian saat itu hanya memakai kemeja dan celana pendek. Pakaian sehari-hari di rumahnya tentu saja. Walaupun usia Lian sudah berkepala lima, tapi bodynya masih sekel. Tak perlu menunggu waktu lama ketika keduanya sudah telanjang. Lian segera berlutut di depan Arci. Dia tersenyum kepada Arci ketika batang kejantanan anaknya sudah menyentuh mulutnya. Arci minta dipuaskan. Segera mulut Lian yang lembut mengemut batang itu.
Ia akan kerahkan seluruh kemampuannya sebagai pelacur high-class. Arci harus merasakan bagaimana dia menservis para pelanggannya hingga klepek-klepek. Kepala penis pemuda ini pun dipelintir dengan lidah Lian, membuat Arci mendesis sambil memejamkan matanya. Arci memegangi kepala Lian, kemudian pinggulnya bergerak maju mundur. Batang berurat itu keluar masuk di mulut Lian, bahkan masuk hingga dalam. Membuat Lian sedikit terbatuk-batuk. Tapi ternyata Arci tak mau menghentikan itu, ketika Lian tersedak, ia diam sebentar, kemudian Arci menggenjot kepalanya. Lian pasrah ketika anaknya berusaha memuaskan diri dengan mulutnya, ia hanya membantu Arci meremas-remas buah pelernya saja.
Setelah puas, Arci menarik tubuh Lian agar berdiri. Mereka pun berpagutan. Saling melumat, memberikan esensi rasa birahi. Arci mendorong ibunya hingga berbaring di atas ranjang. Ia tarik tubuh ibunya sehingga bibir kemaluan ibunya berada di pinggir ranjang, segera ia tempatkan kepala penisnya tepat di liang senggama wanita itu. Tak terasa ibunya sangat basah.
Arci pun menusukkan kemaluannya yang sudah keras itu masuk, meluncur dengan mudahnya menyeruak dinding yang sudah bertahun-tahun tak dimasuki. Lian memekik.
"Aaahh...anak ibu masuk lagi...Ahhh...luar biasa...hmmmhhh...!" jerit Lian.
"Aku ngentotin kamu lagi, ...Lian!" bisik Arci. Ya, Arci tak memanggilnya dengan ibu.
Dia menggenjot tubuh wanita paruh baya itu. Tubuh Lian menerima respon yang tidak biasa. Ia sepertinya menginginkan lebih dan lebih. Bukan sekedar pemuas nafsu saja. Ia ingin bisa mencintai Arci sebagai seorang kekasih, tapi apakah bisa? Apakah Arci akan menolaknya? Tidak. Harus.
"Kamu...mmau...khan... mencintai ibu .... seperti kamu ... mencintai ....Safi...ra...danhh....Andini?" tanya ibunya yang ngos-ngosan karena digenjot anaknya.
"Kamu spesial Lian, kamu spesial," Arci menghentikan sodokannya. "Andai tak ada Safira dan Andini, aku pasti akan mempunyai anak darimu."
"Aku sudah menopause, kalau aku bisa beri anak, aku akan berikan anak," kata Lian.
"Boleh kupanggil kamu dengan namamu saat bercinta?"
"Iya. Lakukanlah, malam ini aku milikmu."
Arci tersenyum mendengar hal itu. Kemudian ia cabut penisnya dan membalikkan tubuh Lian, dan kini ia sodok memek Lian dari belakang. Lian menjerit, penis Arci serasa penuh di dalam sana. Membuat matanya merem melek ketika Arci menyodoknya dengan gaya doggie.
Berbagai gaya mereka lakukan, sodokan-demi-sodokan membuat Lian belingsatan. Arci tumpahkan seluruh spermanya di mulut dan vagina ibunya. Malam itu mereka bercinta hingga benar-benar kantong menyan Arci kering. Vagina Lian bahkan sampai menggumpal putih karena penuh dengan sperma anaknya.
* * *
Pagi harinya Arci sudah bangun. Ia mandi kemudian memakai bajunya. Siap untuk pergi. Sebelum pergi ia cium kening ibunya yang sekarang tertidur, karena kelelahan terhadap aktivitas tadi malam. Tampak bekas lelehan sperma di wajah, dada dan vagina ibunya sudah mengering. Ya, tadi malam mereka bercinta dengan sangat hebat. Lian sekali lagi jadi teringat saat-saat dia menggunakan tubuhnya dulu. Ia tak pernah menyangka sekarang jadi membutuhkan anaknya. Mungkin setelah ini Arci harus memberikan menjatah lagi kepada seorang wanita selain Ghea.
Tahun demi tahun berlalu.
Mungkin yang disebut dengan masa kejayaan adalah seperti sekarang ini. Di mana Arci menjadi penguasa. Walaupun ada struktur pemerintahan, tapi dia lebih bisa disebut sebagai penguasa sejati. Dia menguasai kota yang ia tinggali, mengawasi setiap bisnis-bisnis gelap di kota ini, dan juga mengeksekusi orang-orang yang tidak mengikuti perintahnya. Semenjak Yuswo meninggal dia lebih banyak menghabiskan diri di tempat di mana Yuswo selama hidupnya di sana. Banyak orang yang loyal kepadanya. Tapi juga ada yang mengkhianatinya.
Dari Ghea, Arci mempunyai anak. Sekalipun menjadi ibu, bukan berarti kemampuan Ghea menurun. Dia tetap sebagai seorang wanita yang mahir dalam melakukan sesuatu yang tidak lazim. Bahkan ada sebuah kejadian di mana dia harus membacok orang di depan umum dengan katana yang ia miliki karena berani menggoda dia.
Ceritanya adalah ketika dia sedang berbelanja di pasar. Semua orang juga tahu siapa Ghea di pasar tradisional itu. Kebetulan saat itu Ghea mendampingi Arci dan Arci meninggalkannya sebentar karena ada suatu urusan. Datanglah orang yang tidak dikenal menggoda Ghea. Awalnya ia menepuk pantat Ghea. Semua orang langsung menyingkir saat itu, ya mereka takut. Tapi dengan sombong orang itu malah tertawa.
"Kalian kenapa?" tanya orang itu heran. "Maaf nona, punya nomor telepon?"
"Masnya orang baru di sini?" tanya Ghea.
"Oh, iya. Kenalkan namaku Karebet," jawab lelaki yang bertatto itu. Dia memang baru tiba di Malang. Hari ini harusnya ia bekerja sebagai salah satu anak buah Arci, mengawasi pasar. Tapi agaknya hanya diberi kekuasaan sedikit lelaki ini sombong.
Ghea tersenyum mendengarnya, ia berbalik hendak meninggalkan orang itu. Tentu saja ia tak ingin berurusan panjang dengan lelaki itu. Mata hijaunya ternyata telah menggoda lelaki itu. Segera lelaki itu menghadang jalannya.
"Ayolah nona, siapa tahu kita bisa kenal lebih dekat. Nona tahu siapa saya? Saya orang yang menguasai pasar ini. Nggak akan ada yang berani sama saya," kata orang itu.
Ghea tersenyum. Dia memberikan aba-aba. Tiba-tiba seseorang berkacamata memakai jas dan dasi hitam berkemeja putih mendekat kepadanya sambil membawakan dia sebilah katana. Tentu saja lelaki yang menggodanya terkejut bukan main.
"Lho, lho, lho?"
Ghea segera mengayunkan katana itu hingga menebas leher si lelaki hidung belang itu. Baru diberi sedikit kekuasaan dia sudah berlagak. Darah langsung mengucur dari leher yang tertebas. Ajudan Ghea segera membuka payung agar darah lelak itu tidak mengotorinya. Ghea lalu pergi meninggalkan tubuh yang sudah tak bernyawa itu ambruk.
Arci buru-buru datang ketika diberi kamar bahwa anak buahnya dibunuh oleh Ghea. Ia tiba di tempat kejadian perkara dan melihat orang-orang berkerumun. Ghea tampak berada di mobil menunggu sambil bermain bersama anaknya. Arci hanya menggeleng-geleng.
"Ahh...dasar preman, susah diatur," gumam Arci sambil melihat mayat orang yang tidak beruntung itu. Sepuluh tahun kemudian......
Arci berdiri di sebuah makam. Batu nisan itu bertuliskan Rahma. Di sebelahnya tampak Singgih dengan kursi rodanya. Mereka berdua menatap batu nisan itu.
"Sungguh aku iri kepadamu," ujar Singgih.
"Iri kenapa? Kehidupan yang kelam sepertiku tidak pantas engkau iri."
"Bukan, bukan itu. Aku iri, karena engkau seharusnya bisa bersama Rahma."
"Apa maksudmu?"
"Aku membaca buku harianya."
Arci menoleh ke arah Singgih.
"Dia memang masih mencintaiku, tapi semenjak ia mendekatimu, semenjak kau pura-pura dekat dengan dia, ia mulai suka kepadamu. Hanya saja ketika tahu kamu membawaku kembali ke sini, ia jadi bimbang. Ia merasa tak enak. Ia selama ini sebenarnya menahan rasa sakit, terhadap seorang rekan kerja yang ia cintai, tapi harus menerima kenyataan pahit bahwa lelaki yang disukainya bersama wanita lain."
Arci tak bisa bicara apa-apa. Hanya diam.
"Tapi tak mengapa, aku sadar dengan kekurangan yang ada pada diriku. Rahma lebih tertarik kepadamu. LDR memang membuat hidupku hancur. Seharusnya kamu tak membawaku pulang. Aku baru tahu kalau hatinya sesakit itu. Tapi ia berusaha baik kepadaku dan belajar mencintaiku dengan segala keterbasan ini. Dia wanita yang paling baik."
"Ya, dia wanita yang baik."
"Kamu sudah punya anak?"
"Ya, anakku laki-laki. Mungkin sekarang sedang bermain bersama ibunya."
"Ah,..dari dulu Rahma dan aku ingin punya anak laki-laki juga. Selamat buat kamu dan Ghea."
"Aku akan meninggalkanmu sendiri. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Aku habis ini menjemput istri dan anakku."
"Hahaha, aku tak tahu wanita seperti Ghea bisa sefeminim itu sekarang. Padahal aku lihat dia seorang wanita yang tangguh."
"Percayalah ia tetap seperti itu."
Arci menyerahkan sebuah kotak remote kecil kepada Singgih. Ia letakkan di pahanya. Setelah itu Arci menepuk pundak Singgih dan pergi meninggalkan Singgih sendirian di depan kuburan istrinya. Singgih menghela nafas. Bebannya sedikit berkurang setelah ia menceritakan bagaimana perasaan Rahma kepada Arci. Dia menoleh ke sebuah arah. Tak jauh dari tempat dia duduk di atas kursi rodanya, ada seseorang dengan mulut dilakban dan tangan beserta kakinya terikat kuat. Seorang lelaki dengan mata yang nanar, pelipisnya berdarah dan bajunya robek di sana-sini.
Orang itu sudah berubah penampilan. Sangat berbeda dengan wajahnya beberapa tahun yang lalu. Ternyata operasi plastik telah mengubah wajahnya menjadi orang lain. Sayangnya hal itu tak akan bisa menyembunyikan sidik jari yang ia punyai. Wajah boleh berubah, tapi sidik jari tetaplah sidik jari. Kalau saja waktu itu Arci tidak tertarik kepada sebuah lukisan maka ia tak akan bisa menemukan orang ini. Ya, Tommy ditemukan dengan profesinya sebagai pelukis. Wajahnya memang berubah, tapi ketika Arci menyelidiki sidik jarinya, ia yakin bahwa pelukis itu adalah Tommy.
Arci sudah tak lagi dendam kepada Tommy. Ia tahu dendam hanya akan membuat penyesalan seumur hidupnya. Maka ia serahkan hidup Tommy kepada Singgih yang sangat kehilangan Rahma. Di tempat Tommy duduk ada sebuah bom tertanam di sana. Singgih hanya menekan tombol itu dan meledaklah Tommy.
"Seharusnya tak kamu lakukan itu," kata Singgih.
Tommy menggeleng-geleng. Mulutnya tak bisa bicara ia hanya melotot. Terlebih setelah Singgih menekan tombol remotenya.
DUAAARRR!
Tubuh Tommy hancur berkeping-keping. Setelah itu Singgih menyingkirkan remote kecil itu dengan sikunya. Seseorang datang kepadanya dan membantu dia untuk mendorong kursi rodanya. Dia adalah Catherine. Perasaan Singgih sekarang lega. Akhirnya Tommy sudah mati dengan tubuh berhamburan di sana-sini.
"Kita pergi," kata Singgih.
"Sekarang, kemana lagi?" tanya Catherine.
"Kembali ke London?"
"Boleh, siapa takut?"
* * *
Letnan Basuki sekarang bukan lagi letnan tapi komisaris diundang Arci ke kantornya. Bagi polisi yang diundang oleh Big Boss, tentu saja hal ini merupakan hal teraneh. Terlebih polisi sekarang sedang mencari-cari kesalahan yang bisa menjerat Arci. Sekarang hampir semuanya dikuasai oleh Arci, mulai dari mall, toko-toko, jalan-jalan, semua kota dikuasai olehnya. Kalau dulu ada keluarga Trunojoyo sekarang mereka tak ada apa-apanya setelah perusahaannya tumbang dan dibeli oleh Arci dengan harga murah.
Komisaris Basuki memakai baju biasa. Kemeja berwarna coklat dengan celana kain warna hitam. Sikapnya yang formal membuat ia dikenali sebagai polisi. Kantor tempat Arci berada sekarang dirombak. Gedungnya ketambahan lantai lagi, bahkan fasilitasnya sangat mewah. Arci sedang menanti dua orang tepatnya, seorang yang melamar kerja dan seorang tamu.
TOK! TOK! TOK! pintu diketuk.
Arci berkata, "Masuk!?"
Seorang lelaki berkumis berbadan tegap masuk ke dalam ruangannya. Dia adalah Komisaris Basuki. Arci mengangguk-angguk. Dia berdiri menyambut polisi itu. Ini perjumpaan kesekian kalinya. Setelah beberapa tahun lalu ia berseteru dengan sang polisi.
"Selamat datang, Komisaris," sapa Arci.
Komisaris Basuki mendekat dan menjabat tangan Arci. "Sudahlah, tak usah basa-basi lagi. Katakan apa yang ingin kamu katakan!"
"Aku hanya ingin kita bersahabat itu saja. Aku kemari dengan niat baik. Kita sudahi permusuhan ini, lagipula aku tak punya dendam kepadamu."
"Kamu memang tak punya dendam kepadaku, tapi jangan lupa kamu yang menggerakkan masa enam belas tahun yang lalu! Kamu membuat kekacauan di Malang, nyawa anak buahku tak terhitung yang tewas. Dalam sehari kamu buat kota Malang mencekam. Tapi aku cukup takjub kamu bisa punya mertua seorang pengacara handal. Tak kusangka kamu bisa memanfaatkan semua orang."
"Aku tak memanfaatkan siapapun. Bu Susiati sudah menganggapku sebagai anaknya. Aku juga mencintai putrinya."
"Agaknya aku sia-sia saja kamu panggil ke sini, aku tak akan bersahabat dengan kriminal sepertimu."
"Pak, aku berterima kasih."
Komisaris Basuki agak terkejut. "Berterima kasih, buat apa?"
"Berterima kasih karena telah menjagaku selama ini."
"Cih. Menjaga?"
"Ya, aku tahu apa yang dilakukan Letnan Yanuar. Aku tahu yang kalian inginkan. Sekarang ini aku memang telah menguasai kota ini, tapi dulu sebelum aku seperti ini kalian yang telah melindungiku. Melindungiku ketika para pembunuh itu ingin menghabisi seluruh keluargaku. Itulah sebabnya aku tidak pernah menyakitimu ataupun Letnan Yanuar."
Komisaris Basuki tertawa. "Kamu merasa begitu?"
"Begitulah."
"Sungguh bodoh," ujar Komisaris Basuki. "Aku tak ada urusan lagi denganmu. AKu cuma ingatkan kamu, usaha ilegalmu akan aku dapatkan dan kamu bisa mendekam lagi di penjara dalam waktu yang lama."
"Ini artinya Anda ingin menangkap orang yang telah menjadi penguasa kota ini, sedangkan semuanya yang ada di kota ini adalah rumah dan tempatku hidup? Itu artinya anda ingin menyalahkanku terhadap apa yang aku lakukan di dalam rumahku sendiri sedangkan anda sendiri adalah oang yang sekedar menumpang?"
Komisaris Basuki tak bicara. Ia terdiam tanpa menjawab.
"Well,... good luck!"
Komisaris Basuki mendengus, ia segera berbalik dan sebelum membuka pintu ia berkata, "Dulu, Letnan Yanuar sangat berharap engkau membuang semua kesempatan untuk bergabung dengan keluarga Zenedine. Tapi tampaknya hal itu tidak akan mungkin. Mungkin itu sebabnya kau kehilangan orang-orang yang kamu cintai."
"Ya, aku tahu. Ini adalah karma yang aku peroleh," ujar Arci.
Komisaris Basuki pun keluar. Arci menoleh ke dinding. Di dinding itu ada pigura-pigura yang berisi foto-foto. Ada dua pigura besar. Satu berisi foto Andini dan satunya adalah foto Safira. Keduanya tersenyum manis, Arci sengaja memajangnya ia merasa mereka berdua sekarang masih hidup, berdiri di sampingnya. Setiap hari ia merasa demikian. Terkadang juga bisikan-bisikan Andini masih terdengar di telinganya.
TOK! TOK! TOK! pintu diketuk.
"Masuk!" perintah Arci. Lamunannya pun buyar.
Seorang wanita masuk ke dalam. Dia seorang gadis yang cantik dengan baju atasan kemeja putih dan bawahan hitam. Ia pasti datang untuk interview. Ya, Arci sedang menunggu gadis ini.
"Maaf, tadi saya disuruh HRD langsung ke sini saja untuk interview," ujar gadis itu.
"Silakan duduk!" kata Arci. "Anda memang sudah ditunggu."
"Terima kasih pak," kata gadis itu.
Arci membuka sebuah stopmap folio. Di dalamnya ada data gadis itu. Ia memeriksa latar belakang pendidikan dan lain-lain. Arci tertarik ketika ternyata gadis cantik yang ada di depannya ini kuliah di Unbraw dengan IPK 3,9. Jurusan Tehnik Informatika, tapi melamar sebagai seorang sekretaris.
"OK, sepertinya saya tak perlu panjang-panjang bicara. Saya memang membutuhkan seorang sekretaris," kata Arci.
* * *
Komisaris Basuki keluar dari ruangan Presiden Direktur. Dia berpapasan dengan gadis dengan kemeja putih dan celana hitam tadi. Dia sepertinya agak-agak ingat dengan gadis itu. Namun ia pun mengangkat bahunya. Banyak ia temui gadis-gadis bahkan mungkin terlalu banyak sehingga ia pasti pernah melihatnya di suatu tempat.
Polisi ini serasa dilecehkan di kantor ini. Mungkin kalau Arci tak punya banyak beking, bisa jadi ia akan menghajar lelaki itu. Dia melihat kantor Arci yang sangat besar ini, semuanya berbeda sekarang. Para pekerjanya tampak sibuk, namun sebagian santai. Sebagian lain berdiskusi, sebagian lain sedang merancang sesuatu, apalagi kalau bukan produk fashion terbaru mereka. Komisaris Basuki berada di depan lift, hingga ia teringat dengan satu hal.
"Sebentar, .... gadis tadi....oh tidak, celaka!" segera Komisaris Basuki berbalik.
* * *
Di depan Arci gadis itu sekarang sedang menodongkan senjatanya ke arah Arci. Sebuah pistol Desert Eagle mengarah tepat ke kepalanya. Arci dengan santai tersenyum kepadanya.
"Siapa kamu ini?" tanya Arci.
"Kamu tak tahu aku? Tentu saja. Aku adalah anak Agus Trunojoyo. Kau dapat salam dari dia!"
Arci menghela nafas. Apakah ini yang namanya karma? Akhirnya setelah lama menunggu, akan ada orang yang senekad ini. Menodongkan pistolnya tepat dihadapannya. Arci tak akan bisa menghindar kalau dia menarik pelatuknya. Jaraknya terlalu dekat. Terdengar di telinga Arci suara gemetar. Gadis itu gemetar memegang pistolnya.
"Apakah kamu masih ingin hidup?" Arci bertanya kepada dirinya sendiri. "Aku sudah tak ingin hidup sejak lama. Nyawaku sudah pergi. Tembaklah kalau kamu ingin menembakku, jangan pernah ragu. Jangan gemetar seperti itu."
Gadis itu menatap tajam Arci, matanya berair. Entah kenapa keberaniannya berhenti ketika Arci memang berniat untuk mati.
"TEMBAK AKU! JANGAN PERNAH RAGU!" bentak Arci.
"AAAAAAARRRGGGHHH!" gadis itu berteriak histeris.
Komisaris Basuki teringat, ketika saat ia datang ke pemakaman Agus Trunojoyo. Dia ingat gadis itu, gadis kecil yang menangis meraung-raung di depan makam ayahnya. Dia teringat bagaimana gadis itu histeris sambil berteriak, "Aku akan bunuh dia, aku akan bunuh orang itu!"
"Brengsek! Kenapa dia bisa ada di sini!?" ujar Komisaris Basuki sambil mengumpat. Dia mengeluarkan revolvernya berlari kencang menuju pintu tempat di mana Arci berada. Semua orang terkejut karena suaranya larinya yang ribut sambil mengangkat senjata.
Sang polisi reserse itu pun menubruk pintu ruangan Arci.
BRRAKK!
"Gladis Trunojoyo! Hentikan!" Komisaris Basuki berada di pintu sambil menodongkan senjatanya.
Arci hanya tersenyum, ia memejamkan matanya. "Andini, Safira, aku datang......"
DOR!
(The End)