Recent Posts Widget

She's Know

http://cerita-porno.blogspot.com/2015/07/shes-know.html

Minggu Dini Hari-00.30 WITA

Cuaca malam itu cukup panas meski musim penghujan sudah mulai merangsek masuk. Langit saat itu cukup terang, hari itu hari sabtu dan malam itu adalah malam minggu. Namun bukanlah malam minggu yang biasa, bagi umat Islam, besok adalah Idul Adha atau yang biasa disebut hari raya kurban. Tapi bagi Mika, malam itu tak ada bedanya dengan malam lainnya.

Mika memainkan gitarnya membelah keheningan malam itu, jarum jam di tangannya sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam atau pukul setengah satu pagi waktu setempat. Ya, meskipun saat ini Mika sedang bekerja di Bali yang notabene menggunakan Waktu Indonesia bagian Tengah (WITA) dia enggan mengganti waktu di jam tangannya, Mika tetap menggunakan Waktu Indonesia bagian Barat (WIB). Malam itu Mika menginap di kost rekan kerjanya, Reizal yang meski baru beberapa bulan mereka berkenalan, Reizal dan Mika sudah terlihat sangat akrab.

“Belum tidur juga sob,” ujar Reizal sambil mennanggalkan headset-nya. Mika menghentikan petikan gitarnya, mengalihkan perhatiannya pada Reizal yang sibuk berkutat dengan blackberry-nya.

“biasalah... insomnia akut,” jawab Mika seraya meletakkan gitarnya. “kamu udahan nelponnya?”

Reizal tidak menjawab, hanya menguap pelan lalu mengutak-atik BBM-nya. “gak enak ya jomblo itu?” ledeknya. Mika membalas dengan cibiran. “ni aku kasih kenalan ya? Kayaknya cewek ini seleramu sob... kamu kan suka yang kecil-kecil,” Reizal melanjutkan kata-katanya. “biasanya dia insomnia nih... mau ga?” Reizal menunjukkan satu nomor kontak di Blackberry-nya.

Mulanya Mika enggan merespon, namun berhubung tidak ada tanda-tanda insomnianya mereda, Mika menekan tombol Blackberry-nya dan menghubungi nomor yang ditunjukkan Reizal.

“Siapa namanya zal?” tanya Mika sambil menunggu panggilan teleponnya tersambung.

“Priwi”, Reizal menjawab. “dulu dia masukkin lamaran kerja ke tempat kerjaku yang lama sob. Anaknya asik, sayangnya kecil dan bukan seleraku. Aku kan gak suka yang kecil,” Reizal menyempurnakan ceritanya.

Nada sambung mulai terdengar di ujung telepon, tidak lama kemudian suara cewek terdengar di balik telepon, suaranya parau dan serak, pertanda empunya telepon terbangun dari tidur cantiknya.

“Haloo..” jawab suara serak di seberang.

“Halo? Ini Priwi ya?” Mika memulai percakapan.

“hmm? Iiya... ini siapa?”

“Kenalin ya? Aku Mika.”

“Mika? Siapa?”

“Aku temannya Reizal... Sorry ya ganggu, kamu udah tidur ya?”

“Ng?... Iya... Reizal yang mana?”

Mika menutup mic ponselnya menggunakan tangan lalu berbisik. “Zal, Reizal yang mana?”

“Reizal yang kerja di Bali,” jawab Reizal yang langsung ditirukan oleh Mika.

“ng?.. ooh... Reizal yang itu.... ada apa?” suara serak Priwi terdengar lagi diikuti suara gemerisik, sepertinya Priwi sedang berpindah posisi tidur.

“Nggak apa-apa sih Wie... Cuma mau kenalan aja. Itupun kalau ga keberatan. Reizal bilang kamu biasanya insomnia, tapi ternyata udah tidur ya udahlah... lanjutin tidurnya. Sorry ya ganggu,” dari susunan kalimat yang terputus-putus, jelas sekali Mika sedang grogi dan mulai serba salah.

“Ng?... iya... gak apa-apa.”

“Salam kenal ya Wie?”

“he-em..” ucap Priwi pelan sebelum mengucapkan salam dan menutup telepon.

“udah tidur dia Sob,” kata Mika dengan nada sedikit kecewa. Reizal menunjukkan layar Blackberry-nya sekali lagi.

“Ini lho foto si Priwi,” katanya sambil menunjukkan foto profil salah satu kontak BBMnya. Mika melihatnya tanpa ekspresi.

“Invite aja BBM-nya,” saran Reizal.

“Nggak usah deh, thanks,” jawab Mika sambil berbaring mencoba untuk tidur. Keadaan hening selama beberapa saat, sebelum beberapa menit kemudian suara dengkuran Reizal mensukseskan insomnia yang dialami Mika.

*_*_*


Minggu Pagi – 05.00 WITA

Hari Minggunya, sekitar pukul lima pagi, hujan deras mengguyur Nusa Dua. Mika yang hanya sempat tidur selama dua jam terbangun dan mengintip ke luar jendela, dimana hujan mengguyur dengan sangat dahsyatnya. ‘Batal shalat Ied deh...’ gumam Mika dalam hati. Sejenak pandangannya teralih pada Blackberry-nya, iseng, Mika menekan tombol call menghubungi nomor yang terakhir dia hubungi; Priwie.

Mika menyimak nada panggil yang terdengar, namun tidak ada jawaban. Akhirnya Mika mematikan panggilan dan mengirimkan sms.

To : Priwi

Pagi Wie... maaf ya semalam ganggu tidurmu, shalat Ied kan hari ini? Met Idul Adha Wie... salam kenal ya.

Sent at 05:00

Mika menunggu beberapa menit, berharap SMS balasan akan segera datang sebelum akhirnya ketiduran karena cuaca yang benar-benar mendukung.

*_*_*

Minggu – 08.00 WITA

“Hey! Ayo bangun... udah ditungguin yang lain!!” Reizal membangunkan Mika yang masih setengah sadar. Mika mengerjapkan matanya beberapa menit sebelum menepuk keningnya.

“Asem!!” ujar Mika kesal, dia baru ingat bahwa hari ini dia dan rekan-rekan kerjanya punya agenda untuk jalan-jalan di seputar pulau Bali.

Dengan cepat Mika masuk ke kamar mandi, menyiram tubuhnya sekenanya, sikat gigi, cuci muka dan bergegas mengeringkan badan dengan handuk. Saat Mika selesai berpakaian, Reizal sudah siap diatas sepeda motornya, Mika segera meloncat naik ke motor itu dan bergegas ke tempat kumpul rombongan yang akan berlibur di akhir pekan itu.

“Kemana aja sih? Untung nggak telat,” Mr. Arie, koordinator lapangan yang sudah berumur namun masih tampak segar sedikit kesal melihat Reizal dan Mika yang datang di waktu ekstra mepet. Tiga mobil yang di sewa untuk touring kali ini sudah menunggu. Saat mereka hendak berangkat sebuah sms masuk ke Blackberry milik Mika. Mika membacanya.

From: Priwi
‘sorry tadi lagi shalat ied, makasih ya, salam kenal juga’.

Mika jadi semangat untuk membalas sms itu, sialnya, ternyata Blackberry-nya kehabisan baterai dan mati. Sedikit kesal, Mika menyimpan kembali Blackberry-nya ke tas pinggang kecil miliknya.

“To Kintamani!!!” sorak Mika mengagetkan rekan-rekan kerja yang duduk tepat di sebelahnya. Beberapa diantara mereka mengumpat karena terkejut.

*_*_*
“Kak Mika, jangan jauh-jauh dong,” Amel berseru manja. Staff admin berwajah imut ini memang terkenal centil. Sejak Mika mulai kerja di proyek Bali, Amel sudah berulang kali menggoda Mika dengan kecentilannya. Pernah suatu hari saat Mika tengah kerja overtime. Amel dengan sengaja ikut kerja overtime. Padahal siapapun tahu yang dilakukan Amel saat itu hanya bermain game. Setelah semua orang pulang kecuali Mika dan Amel, gadis itu mulai melepaskan blazernya dengan alasan gerah. Mika hanya bisa menggeleng-geleng saat mendengar alasan Amel. Sebuah alasan yang tidak logis saat keempat Air Conditioner dalam ruangan itu menyala. Benar saja, tidak sampai lima menit, Amel sudah mulai menggigil kedinginan.

Saat ini mereka ada di Kintamani, tempat pertama yang jadi tujuan one day tour mereka. Udara Kintamani saat itu sangat dingin, dengan pemandangan danau yang tampak indah. Sebuah pesona yang sulit ditemukan di kota-kota besar.

“Aduh,” terdengar suara Amel mengaduh saat gadis itu kesulitan melepas jaketnya.

Mika menoleh ke arah Amel yang tadi sempat mengaduh. Mika cukup terkejut melihat Amel telah melepas jaketnya. Melepas jaket mungkin sudah biasa, tapi jelas tidak biasa jika di balik jaket tersebut Amel hanya mengenakan tank-top berwarna biru tosca yang membalut ketat buah dadanya yang besar, padat dan berisi. Lebih tidak biasa lagi saat Mika menyadari adanya tonjolan puting di puncak bulatan buah dadanya. Bukti bahwa saat itu, Amel tidak mengenakan bra.

Tampaknya Mika bukan satu-satunya yang menyadari hal itu. Reizal, sahabatnya yang memiliki postur tinggi dan gagah ditambah dengan wajah yang tampan tampak menyadari tonjolan puting yang melekat di tanktop Amel. Berbeda dengan Mika yang hanya menikmati dari jauh. Reizal lebih berani mengambil umpan. Pemuda itu dengan santainya mendekat ke arah Amel dan membisikkan sesuatu di telinga Amel.

Mika melihat Amel tertawa kecil mendengar entah apa yang dibisikkan oleh Reizal. Senyum menggoda terkembang di wajah Reizal dan dia melancarkan bisikan selanjutnya. Sebuah bisikan yang entah mengapa membuat Amel tersipu malu. Gadis itu menatap ke arah Mika yang kini sibuk menerka-nerka apa yang terjadi diantara Reizal dan Amel. Untuk beberapa saat Amel memandang ke arah Ian, sebelum tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

Reizal menggandeng tangan Amel ke arah mobil yang mereka gunakan untuk one day tour ini. Dari jauh Mika dapat melihat Reizal sedang berbincang-bincang dengan supir yang mereka sewa bersamaan dengan mobil sewaannya. Cukup lama mereka berbincang sebelum akhirnya sang supir mengangguk lalu Reizal dan Amel tampak masuk ke dalam mobil.

Mika mengalihkan pandangannya, memutuskan untuk menikmati pemandangan. Rekan-rekan kerjanya yang senior sedang asyik berfoto-foto, beberapa diantaranya sibuk bernegoisasi dengan penjual kaos dan lukisan di dekat sana. Mika kembali menoleh ke arah mobil yang dimasuki oleh Reizal dan Amel, dari kejauhan terlihat seolah tidak apa-apa, namun jika diperhatikan dengan seksama, suspensi mobil itu tengah bergerak naik-turun dalam satu pompaan yang samar. Mika bisa menebak apa yang terjadi di dalam mobil tersebut. Pastilah Reizal dan Amel saat ini tengah melakukan quickie.

Membayangkan apa yang terjadi di dalam mobil membuat celana Mika menjadi sesak. Akhirnya pemuda jomblo itu melangkahkan kakinya ke arah pedagang asongan yang menjual camilan dan minuman.

“Air mineralnya satu Pak,” Mika menunjuk sebotol air mineral.

“Sepuluh ribu, pak,” jawab pedagang tersebut.

“Hah? Sepuluh ribu?, yang botol kecil itu lho pak.”

“Iya, itu sepuluh ribu,” pedagang itu tampak cuek.

Mika menggerutu dalam hati, mengutuk betapa mahalnya sebotol air mineral di tempat wisata ini. Namun ia tidak punya pilihan lain, Mika membayar dan segera meninggalkan pedagang asongan yang dengan caranya memberi harga seharusnya bisa naik haji dua kali dalam setahun itu.

Usai mengguyur tenggorokannya dengan air mineral, Mika melihat ke arah mobil. Mobil itu masih saja bergoyang samar, namun ada sesuatu yang aneh. Mika mendelik terkejut saat ia menemukan Reizal sedang berjalan sendirian ke arahnya. Jika Reizal sedang berjalan ke arahnya lalu siapa yang membuat mobil itu bergoyang??.

“Lho, yang di mobil siapa Zal?” tanya Mika keheranan.

“Supir, tadi kesepakatannya kan gantian jaga,” jawab Reizal enteng.

“Amel?”

“Kaget tadi dia waktu si supir masuk, tapi sepertinya udah pasrah dia, hehe.”

Mika menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir ia bisa berteman dengan gampangnya menyerahkan tubuh temannya ke orang yang tidak dikenal. “Gila kamu Zal,kita sewa dua mobil berarti ada dua supir kan?”

“Iya, tuh yang satunya nunggu giliran.”

“Kalo si Amel bunting gimana?”

Reizal terdiam untuk sesaat. “Iya, ya... ah urusan gua ntar deh.”

*_*_*

Minggu-19.30 WITA

Mika menjatuhkan diri ke kasur di kamar kostnya. Buru-buru dia mencari charger dan mengisi baterai BlackBerry-nya. Sambil melepaskan penat setelah one-day tour, dia membalas sms dari Priwi.

To: Priwi
‘sorry baru balas, tadi kehabisan baterai, aku abis tour de Bali ama temen2 kantor. Priwi nama lengkapnya siapa?’.
Sent at 19.32

Sms dikirim. Mika beranjak dari kasur untuk mandi. Seusai ‘konser’ sejenak di kamar mandi Mika melihat Blackberry-nya, betapa senangnya saat ia melihat ada balasan dari Priwi.

‘mau tau aja, emang kenapa dengan namaku?’ isi SMS balasan dari Priwi.

‘gpp sih biar akrab aja... btw lagi repot ga?’ Mika membalas SMS itu dengan kecepatan tingkat Dewa.

‘ga repot sih? Kenapa?’ Balasan dari priwi datang tidak kalah cepatnya.

‘hmm... boleh aku telpon ga?’ Mika membalasnya lagi.

Balasan berikutnya datang agak lama, mungkin si priwi sedang melakukan analisa perhitungan boleh-tidaknya Mika menelepon. Beberapa menit kemudian SMS balasan itu masuk.

‘yaa telpon aja gpp’.

Dengan senyum mengembang seperti adonan roti yang diberi baking soda, Mika menekan tombol panggil. Setelah nada panggil terdengar beberapa kali, terdengar suara Priwi.

“Halo..” suara Priwi terdengar beda dengan semalam. Kali ini tidak serak-serak parau.

“Halo Wie... salam kenal ya? Maaf nih minta nomormu ke Reizal nggak bilang-bilang dulu,” jawab Mika.

“Yee... dari tadi salam kenal mulu sih. Emang gimana ceritanya Reizal bisa kasih nomorku?”

Mika lantas menceritakan bagaimana kronologis terjadinya pemberian nomor telepon Priwi dari Reizal ke Mika. Di sela-sela cerita Mika menyisipkan humor-humor jayus yang jadi ciri khasnya.

“Kok bisa si Reizal bilang aku itu seleramu?” tanya Priwi.

“Yaah... itu sih aku nggak tahu... dia asal nebak kali.. yang jelas kamu bukan seleranya.. hehehe..” Mika tertawa garing.

“Yee... siapa juga yang mau sama dia...”

“Eh Wie... kalo seleramu itu yang seperti apa Wie?”

“Selera apa?”

“Cowok lah... cowok idamanmu itu yang kayak gimana? Masa iya aku nanya selera makan?” entah untuk ke berapa kalinya, Mika kembali ngegaring.

“Hmm... aku sih nggak pernah lihat dari fisik sih... at least gak malu-maluin dibawa ke kondangan lah... yang penting dia setia dan bisa ngerti aku,” jawab suara gadis di seberang sana.

“wah... kalo soal fisik... tinggi badan misalnya... aku pendek soalnya.. hehehe,” Mika mulai mempermalukan dirinya sendiri.

“Loh kenapa jadi dihubungkan ke kamu?”

“Yah...” Mika bingung akan mengatakan apa. “kan si Reizal bilang kamu seleraku... dan kayaknya sih emang benar... makanya aku pengen tahu apa aku juga masuk ke daftar menumu.. hehehe.”

Priwi tertawa sejenak. “emang restoran?” ujarnya.

Pembicaraan mereka berlangsung dengan tanya-jawab yang diselingi kelakar-kelakar garing dari Mika yang (akhirnya) bisa membuat Priwi tertawa (dengan sangat terpaksa). Pertanyaan yang dilontarkan Mika menjurus ke data-data pribadi Priwi, pertanyaan tanpa tedeng aling-aling yang menunjukkan minat Mika yang besar kepada Priwi. Priwi menjawab pertanyaan Mika dengan santai, sambil sesekali bertanya balik.

Tanpa terasa sudah dua jam mereka berbincang-bincang via telepon. Mika menanyakan kalau-kalau Priwi sudah mulai mengantuk, tapi Priwi menjawab belum. Sampai waktu menunjukkan jam dua pagi waktu setempat barulah Mika menyudahi teleponnya. Namun sebelumnya, mereka bertukar pin Blackberry Messenger.

Malam itu Mika tidak langsung tidur, mereka melanjutkan ngobrol mereka ke BBM selama beberapa menit sebelum akhirnya baterai memaksa Mika untuk menyudahi obrolan mereka malam itu. Malam itu Mika merasa senang, dia seolah menemukan impian lama yang sempat ia kesampingkan.

Dan Malam pun mulai berganti fajar.

*^*^*

Tahukah kalian ungkapan Cinta itu buta? Ya, cinta bahkan tak perlu melihat untuk bisa hadir. Karena cinta bukanlah semata-mata sebuah perasaan yang bisa lahir hanya dari mata yang memproyeksikan pantulan-pantulan cahaya. Cinta adalah sebuah rasa murni yang dihadirkan oleh suasana. Suasana yang menciptakan rasa nyaman, suasana yang memberikan rasa ingin bicara dengan orang tersebut. Dan rasa itu kini seakan merayap masuk ke benak tokoh utama kita.

Insiden perkenalan itu memberi perubahan pada diri Mika. Mika jadi sering senyum-senyum sendiri dan terlihat lebih bersemangat. Seperti anak kecil yang sedang bahagia karena dibelikan mainan yang sangat diinginkannya. Konsernya di kamar mandipun jadi lebih lama dari biasanya. Keluar dari kamar mandi dengan senyum lebar, ditambah dengan gerakan-gerakan dance yang energik. Bahkan saat mendapatkan pekerjaan yang banyak dan rumit pun dia menerima sembari bersenandung senang. Melihat gejala-gejala itu, siapapun bisa menyimpulkan bahwa manusia satu ini sedang terjangkit wabah ‘kasmaran’.

Priwi selalu menerima telepon dari Mika dengan baik, kalaupun Priwi sedang sibuk, dia yang nanti menelepon Mika kembali. Komunikasi mereka berjalan secara intens dari hari ke hari. Bahkan akhir-akhir ini Mika mendukung Gerakan Kabur Pulang yang dipelopori oleh Reizal dan satu rekan kerjanya yang lain; Setyawan. Mika mendukung GKP semata-mata hanya agar dapat santai saat menelepon Priwi.

Komunikasi intens itu berlangsung setiap malam setelah Mika pulang dari tempat kerjanya. Memang, jam kerja kantor Mika itu diatas rata-rata jam kerja pada umumnya. Tapi Mika juga memahami bahwa dalam bidang yang ia kerjakan, tuntutan overtime itu adalah sesuatu yang wajar demi mencapai hasil yang optimal.

Dalam telepon-teleponnya Mika menanyakan banyak hal dan juga menceritakan banyak hal pada Priwi. Mereka saling sharing, brainstorming, dan menceritakan kehidupan-kehidupan masing-masing. Bagi Priwi, Mika dapat membuatnya merasa sangat nyaman. Dan bagi Mika, Priwi telah merubah malamnya menjadi sebuah malam yang indah. Mereka terbuka satu sama lain, saat Mika sibuk dan tidak sempat menghubungi Priwi, Priwilah yang akan menghubunginya lebih dulu. Dan jika sempat, Mika selalu merasa tidak sabar untuk menghubungi Priwi.

Dan perlahan tapi pasti terjalin sebuah ikatan rasa diantara mereka. Suatu malam sepulang dari tempat kerjanya, seperti biasa Mika menghubungi Priwi. Setelah ngobrol kesana-kemari dengan asyiknya, akhirnya Mika memutuskan untuk melakukan gambling dengan mengungkapkan perasaannya.

“Wie..tau gak?” ucap Mika di telepon dengan nada yang terkesan serius.

“Gak tau lah...Apa?” Priwi menanggapi dengan setengah bercanda sembari menyiapkan dirinya untuk menerima lawakan garing dari Mika.

“Aku... kayaknya feeling something deh ke kamu?” tepat setelah mengatakan hal itu Mika memejamkan kedua matanya, dadanya terasa berdebar-debar menunggu reaksi dari sang pujaan hati.

“ha?... Jiakakakakak....” Suara tawa Priwi terdengar renyah dan mengejutkan. Mika mengelus dadanya melas.

“Kamu yakin?” ucap Priwi kemudian.

“Yakinlah... kalo nggak mungkin aku ngomong.”

“emang apa yang bikin kamu ngerasa kayak gitu?”

Mika diam sejenak, ini pertanyaan jebakan! Pikirnya, dia harus bisa menemukan jawaban yang tepat karena inilah salah satu gerbang ujian cinta yang harus dilewatinya.

“Kamu,” Jawab Mika singkat.

“Ha? Maksudnya?” Priwi kedengaran bingung dengan jawaban Mika.

“Ya, aku feeling something itu karena itu adalah kamu. Kalau orang lain mungkin aku nggak akan merasakan itu,” Mika memperjelas ucapannya, tanpa sadar nada suaranya sedikit bergetar. Saat ini bahkan ia tidak menyadari bahwa tangannya sedikit gemetar.

“Kita kan baru kenal? Ketemu aja belum, kamu juga belum tau aku aslinya kayak gimana kan?” Priwi mengutarakan sesuatu yang logis. Dan itulah lawan dari hati dan perasaan, logika.

“Siapa bilang aku belum tau? Kamu itu orangnya cerewet tapi perhatian, enerjik tapi kadang malas, moody banget, nggak suka yang ribet-ribet, dan keras pendirian,” Mika nyerocos begitu saja. Priwi terdiam sejenak, dia cukup terkejut karena apa yang baru saja disebutkan Mika, memanglah benar karakter yang ada dalam dirinya.

“Sotoy kamu ih... PeDe banget sih...” jawab Priwi meski dalam hati dia meng-iya-kan apa yang dikatakan Mika.

“Aku itu orang yang tertutup lho... sejak sebuah kejadian dengan mantan aku jadi benar-benar menutup hati pada lelaki. Bisa ngobrol sampai sejauh ini saja kamu sudah beruntung lho...” ujar Priwi pelan.

Mika terdiam sejenak, “Memangnya... ada apa dengan mantan Wi?” Mika lalu bertanya perihal apa yang terjadi antara Priwi dan mantannya di masa lalu.

Kali ini giliran Priwi yang terdiam. “Kamu beneran mau tahu?” tanya Priwi kemudian.

“Beritahu aku tentangmu agar aku bisa menerimamu satu paket, utuh!” Mika meyakinkan Priwi agar gadis itu mau menceritakan kejadian yang telah membuatnya merasa trauma.

“Jadi begini,” Priwi memulai ceritanya.

Priwi lantas menceritakan ceritanya dengan sang mantan. Seorang pria yang dikenalnya lewat program chatting di internet, perkenalan tersebut berlanjut ke saling tukar nomor ponsel hingga ngobrol sana-sini seperti yang sering mereka lakukan akhir-akhir ini.

Pria itu bernama Raka, suatu hari saat sedang mengobrol Raka menyatakan cintanya pada Priwi. Priwi yang saat itu sedang single dan juga merasa tertarik kepada Raka menerimanya. Maka meski mereka belum pernah bertatap muka, mereka resmi menjadi sepasang kekasih.

Sejak saat itu Raka mengajak Priwi untuk bertemu, Priwi menyanggupinya. Dan setelah pertemuan pertama, Raka rutin mengunjungi Priwi meski tidak setiap minggu karena dari kota tempat Raka tinggal memakan perjalanan beberapa jam untuk sampai ke tempat Priwi bekerja. Namun hubungan mereka berjalan baik, Priwi sangat mencintai Raka, hingga suatu badai memisahkan mereka. Raka berselingkuh, dan akhirnya memutuskan Priwi.

Priwi yang memang masih sangat mencintai Raka kontan tidak bisa menerima keputusan sepihak itu. Priwi tetap berusaha, mengunjungi Raka, mencoba untuk tetap bersikap baik. Namun tak ada tanggapan dari Raka. Hingga akhirnya ia tahu, hubungan mereka hanya tinggal harapan kosong.

Mika menyimak cerita itu dengan seksama, mencoba menyelami dan memahami apa yang dialami dan dirasakan Priwi saat itu. Mika sendiri sudah banyak mengalami pahitnya cinta, jadi dia cukup paham dengan hal-hal bodoh yang dilakukan Priwi untuk menarik sang kekasih kembali di pelukan. Dia sendiri pernah menempuh delapan jam perjalanan kaki hanya untuk mempertahankan hubungannya. Orang lain akan menyebut itu sebagai sebuah kebodohan, namun, Mika menyebutnya cinta.

“Trus? Bagaimana hubunganmu dengan Raka sekarang?” tanya Mika setelah Priwi selesai menceritakan kisahnya.

“Yaa...nggak gimana-gimana, kadang kalau aku menjauh dia masih suka menghubungiku tapi sudah nggak ada yang spesial,” Priwi menjawab datar.

Mika terdiam, dia tahu betul bahwa nada ucapan Priwi barusan bukanlah nada yang mengatakan “I’m Fine... its Okay now...”. Ada sesuatu di dalam ucapan Priwi barusan, sesuatu yang terasa mengganjal dalam benak Mika.

“Namun sejak saat itu aku ngerasa nggak bisa ngebuka hatiku untuk cowok lain. Mungkin kamu juga nanti bakalan sebel sendiri sama aku,” Priwi melanjutkan ucapannya.

“aku rasa nggak...” Mika berkata tegas. “aku bukan dia.”

“semua cowok yang sebelumnya dekat sama aku juga awalnya bilang begitu, tapi kemudian mereka berubah. Kamu juga pasti begitu nantinya, dan lagi...”. Priwi menghentikan kalimatnya.

“Dan lagi?” Mika bertanya.

Tidak ada jawaban dari Priwi untuk beberapa saat.

“Dan lagi... tanggal lahirmu dan Raka sama...” ujar Priwi kemudian.

Mika terdiam tak tahu harus bicara apa. Sebuah perasaan yang terasa sangat aneh berkecamuk di hatinya, sebuah kombinasi antara rasa tersinggung, sedih dan kecewa. Untuk beberapa saat Mika tampak bingung.

“Aku bukan dia...” hanya itu kalimat yang terlepas dari mulut Mika.

“Aku tau kamu bukan dia... Dan semoga kamu tidak seperti dia. Jujur ya? Aku merasa nyaman dengan kamu, kalau kamu nggak BBM aku, aku pasti ngerasa ada yang kurang dan nyariin kamu. Tapi... saat ini cuma itu yang bisa aku katakan.”

Mika tersenyum mendengarnya, sebuah senyum yang tidak bisa dilihat oleh Priwi yang ada di seberang telepon. “Itu sudah cukup kok.”

“Seandainya aku nggak punya pengalaman buruk itu, mungkin aku sudah jadian ama kamu sekarang.”

Kalimat Priwi sekali lagi membuat Mika bingung, apakah itu artinya ada harapan? Atau Priwi hanya bercanda?. Namun Mika tersenyum dan memutuskan untuk tidak ambil pusing soal itu.

“Ya... gimana kalau kita ketemuan aja?” Mika mengalihkan pembicaraan.

“Gimana caranya coba?”

“Begini, Desember ini aku kan punya jatah cuti yang belum kuambil, gimana kalau aku ambil buat ke Jakarta dan nemuin kamu? Toh kerjaan disini juga udah mulai longgar,” Mika menawarkan sebuah cara agar terjadi sebuah pertemuan antara keduanya.

“Emang mau tanggal berapa?” Priwi menanyakan kepastian kapan Mika akan menemuinya.

“Jum’at Minggu kedua di Bulan Desember!. Tapi aku nggak tau Jakarta jadi kamu jemput aku di bandara ya?”

“Jemput sih gampang... emang kamu yakin? Jangan berharap terlalu banyak ke aku ya? Aku nggak bisa menjanjikan apapun lho,” Priwi mengingatkan.

“Kenapa harus ragu? Tapi kamu jangan pura-pura nggak kenal ya waktu ketemu?”.

“Pura-pura nggak kenal Aaah...” kelakar Priwi santai. Mika tertawa kecil, ketegangan yang sempat ada kini terasa lebih mencair, memberi kesempatan pada Mika untuk melontarkan gurauan-gurauan garingnya seperti biasa.

Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari waktu Bali saat mereka memutuskan untuk menyudahi telepon dan berpindah ke BBM sembari menunggu datangnya kantuk.
“Mulai besok batas waktu telepon cuman sampai jam sepuluh malam waktu Jakarta ya? Soalnya kalo terus-terusan begadang gini bisa sakit akunya,” Priwi mengajukan syarat.

“Oke... deal deh.. tapi kalau aku lembur sampai malam gimana?”

“Yah itu sih deritamu... boleh sampai begadang kalau weekend aja okay?”

“Oke deh, deal. Eh Wie...” kata Mika sebelum menutup teleponnya.

“Apa?”

“Aku sayang kamu...”

“Hmm.. udah tau, ” jawab Priwi sekenanya.

*_*_*

Kejadian malam itu, saat Mika melakukan gambling dengan mengungkapkan perasaannya kepada Priwi, komunikasi antara keduanya jadi semakin intens, Priwi membantu Mika membooking penerbangan yang akan digunakannya untuk menemui Priwi di Jakarta.

Setiap akan menutup telepon, Mika selalu mengucapkan ‘aku sayang kamu’ dan selalu dijawab Priwi dengan ‘udah tau’. Sampai rasanya Mika ingin mengajukan permohonan pada Kementerian Bahasa Indonesia agar mengganti kalimat ‘udah tau’ dengan kata ‘aku juga’.

Cinta memang selalu bisa meningkatkan daya kreativitas seseorang, dan itu juga terjadi pada diri Mika. Di sela-sela aktivitas dia menyempatkan membuat sebuah komik strip yang sedikit menceritakan apa yang dialami olehnya. Mika juga menciptakan sebuah lagu accoustic yang diberi judul ‘Dongeng’ . direkam menggunakan Blackberry dan nekat dikirimkan ke Priwi meskipun dia sebenarnya sadar separah apa suaranya. Namun Priwi selalu menyambut apa yang diberikan oleh Mika dengan baik.

Seperti saat salah satu mahabintang persepakbolaan dunia David Beckham datang ke Indonesia untuk latih-tanding dengan timnas garuda. Priwi yang memang penggemar beratnya tak henti-henti mengelukan nama Beckham... Beckham... sampai Mika merasa sedikit tersaingi (padahal jelas dia bukan saingan Beckham). Mika lantas membuat strip komik yang menceritakan bagaimana Beckham mencuri perhatian Priwi hingga Mika sempat bicara sendiri di telepon, padahal saat itu Mika sedang live concert menyanyikan lagu dongeng dengan gitar pinjaman.

Dan sampailah mereka pada hari-hari terakhir sebelum keberangkatan. Agar bisa cuti dengan tenang, Mika harus menyelesaikan beberapa deadline pekerjaannya. Diapun berusaha fokus agar deadline-deadline itu tercapai dan menyiapkan titik-titik aman untuk pekerjaannya. Untuk itu, Mika harus sedikit bekerja keras, waktu komunikasinya dengan Priwi juga jadi sedikit berkurang. Namun baik Priwi maupun Mika masih menyempatkan menelepon meski hanya satu atau dua jam saja.

Suatu malam, dua hari sebelum hari keberangkatan Mika ke Jakarta, Mika berusaha pulang secepat mungkin untuk menebus sedikitnya waktu telepon mereka di hari-hari sebelumnya. Pukul tujuh malam waktu setempat Mika sudah meninggalkan kantor. Begitu sampai di kost dia sengaja segera mandi agar bisa menelepon Priwi lebih awal.

Seusai ‘konser tunggal’nya di kamar mandi, Mika segera mengambil Blackberry-nya dan menghubungi nomor Priwi.

Tuuut...Tuut....Tuut...

Tak ada jawaban. Mika membiarkan sampai panggilan benar-benar tak terjawab. Lalu mengulangi panggilannya.

Tuuut....Tuuut...Tuuutt...

Masih tak ada jawaban. Mika mengulangi hal yang sama sampai lima kali dan hasilnya sama. Priwi tidak mengangkat teleponnya. “Mungkin lagi makan atau ngobrol sama teman kostnya dan nggak bawa HP,” Mika bicara sendiri, mencoba menenangkan hatinya. Namun dia tidak berhenti sampai situ saja, dia mengirim pesan via BBM ke Priwi.

‘ko ga diangkat tlponq... lagi sibuk ya?’

Tidak ada balasan BBM. Mika mengirim pesan lanjutan.

‘Jangan lupa makan lho ya? BBM aku kalo udh g sibuk ya? (hug)’

Melihat tidak ada reaksi, Mika berusaha menyibukkan diri dengan laptopnya, bermain game kesukaannya, menggambar ulang komik strip buatannya, sampai mendengarkan lagu-lagu ciptaannya sendiri. Saat itulah Mika makin mengakui bahwa suaranya luar biasa hancur dan lagu-lagu buatannya luar biasa parah. (Syukurlah akhirnya sadar juga).

Saat Mika sedang larut dalam pengakuannya itulah terdengar nada panggil dari Blackberry-nya. Nama Priwi terpampang di layar. Tentu saja, dengan semangat ’45 Mika menjawab panggilan itu.

“Halo sayang,” Mika membuka pembicaraan.

“Halo...” nada suara Priwi terdengar lirih diujung sana. Mika buru-buru memasang headset, berpikir mungkin sinyal sedang jelek jadi suara Priwi terdengar lemah.

“Kok aku telpon nggak diangkat-angkat tadi sayang?” Mika bertanya dengan nada yang lembut.

“Tadi lagi terima telepon,” jawab Priwi, nadanya masih terdengar lemah. Kali ini Mika yakin bukan sinyal yang membuat nada Priwi terdengar lirih. Mika yakin, pasti ada sesuatu yang terjadi dengan Priwi.

“Kok suaranya kecil gitu sih?. Telepon dari siapa sayang?”

Priwi tidak langsung menjawab.

“Dari temanku,” Priwi menjawab dengan nada yang terkesan ogah-ogahan.

“ya siapa sayang? Temanmu nggak punya nama emangnya?”

“Emang kenapa sih?! Nggak kenal juga kamu? Nggak ada hubungannya sama kamu!!!” Priwi tiba-tiba menaikkan nada bicaranya. Mika sedikit terkejut, namun berusaha untuk tetap tenang.

“Kok marah? Kamu kenapa sih?” Mika masih menahan nada suaranya selembut mungkin.

“Ya kamu nanya nggak penting gitu!! Nggak tau aku Bete apa?!!” Priwi meneruskan marahnya.

“Ya Maaf deh jangan marah gitu ntar cepat tua lho,” Mika berusaha mencairkan suasana dengan kegaringannya.

“Tau Ah!” Reaksi Priwi di luar perkiraan, dia dengan sepihak memutuskan telepon. Meninggalkan Mika dalam kebingungannya.

‘Ada apa sih?’ Mika bertanya-tanya dalam hati, Dia merasa sedikit kesal karena Priwi tiba-tiba saja memutuskan telepon. Padahal sedari tadi Mika sudah sengaja pulang cepat agar bisa berlama-lama dengan Priwi, namun apa yang dia dapat?!. Sedikit kesal Mika pergi ke minimart terdekat untuk membeli sebungkus rokok yang sudah ditinggalkannya sejak dua minggu lalu. Mika membuang kekesalannya lewat kepulan asap rokok yang keluar dari bibirnya. Beberapa menit kemudian, panggilan dari Priwi masuk.

“Halo sayang,” Mika mencoba menutupi kekesalannya yang tadi dengan sikap yang ramah, seolah tidak terjadi apa-apa.

Tidak ada suara yang terdengar di seberang, hanya terdengar suara sesenggukan. Siapapun yang mendengar suara itu bisa menyimpulkan kalau penelepon di seberang tengah menangis.

“Sayang? Kamu kenapa? Kok nangis sayang?” Mika bertanya lagi, suara sesenggukan Priwi semakin keras.

“Aku nggak.. hh...papa...” Suara Priwi di sela-sela tangisannya terdengar lirih. Mika menajamkan pendengarannya, mencoba menyimak apa yang dikatakan Priwi. Suara isak tangisnya semakin terdengar jelas. Mika tahu kalau Priwi tidak punya keinginan menceritakan apa yang jadi penyebabnya menangis. Mika hanya bisa berusaha menenangkan Priwi dengan kata-kata standar, selebihnya, dia dengan sabar membiarkan Priwi menghabiskan tangisannya.

Tidak ada yang jadi pembicaraan mereka malam itu selain isak tangis Priwi. Meski bingung dan tidak tahu penyebabnya, Mika tetap menemaninya dengan sabar. Bahkan hingga telepon mereka putus, Priwi masih tidak menceritakan apa yang membuat gadis itu menangis sesenggukan.

Esoknya, Mika berusaha untuk tidak membahas apa yang terjadi semalam, Mika tahu, Priwi adalah tipikal cewek yang harga dirinya tinggi. Menangis di depan cowok bukanlah hal yang biasa baginya. Mika mencoba menghormati Priwi dengan tidak lagi membahas hal itu, meskipun semalaman dia jadi insomnia karena memikirkan hal tersebut.

Malamnya mereka sudah seperti biasa lagi, bercanda di telepon, mengobrol kesana-kemari sambil membicarakan rencana kedatangan Mika esok hari. Ya! Waktu berjalan sangat cepat hingga tanpa sadar mereka sudah ada diambang pertemuan pertama mereka. Mika sangat bersemangat menantikan datangnya hari pertemuan. Apakah Priwi juga merasakan hal yang sama? Sebuah pembicaraan singkat di bawah ini mungkin dapat menjawab pertanyaan tersebut.

“Nggak sabar deh rasanya pengen ketemu kamu” Mika merajuk.

“Masa sih? Aku kok biasa aja ya?” ucap Priwi dingin.

Seandainya ini adegan dalam komik, pasti diikuti dengan suara jangkrik dan keheningan sesaat.

*_*_*

Hari yang ditunggu tiba, jadwal penerbangan Mika sore ini, sebelum itu Mika masih menyempatkan diri masuk ke kantor selama beberapa jam untuk memastikan semuanya baik-baik saja sebelum dia tinggalkan. Di lain tempat Priwi sedang masuk ke masa-masa sibuknya. Hari ini ada meeting besar yang cukup merepotkan. Namun di sela-sela kesibukan, mereka masih sempat bertukar kabar via BBM.

Jadwal penerbangan Mika pukul enam sore waktu setempat. Namun dari pukul empat sore Mika sudah menjejakkan kakinya di Bandara internasional Ngurah Rai. Sebuah terobosan yang aneh, mengingat Mika selalu terlambat datang saat kerja.

Setelah memastikan Mika tidak membatalkan keberangkatannya tepat setelah jam kerja usai, Priwi langsung meluncur ke Bandara Soekarno-Hatta untuk menjemput Mika. Karena menurut perkiraan, pesawat yang dinaiki Mika akan tiba di Jakarta pukul delapan waktu Indonesia bagian barat, yang artinya Priwi harus sesegera mungkin berangkat, mengingat jarak tempuh Cikarang-Jakarta yang biasanya memakan waktu hingga tiga jam.

Namun hingga pukul tujuh waktu Indonesia bagian tengah, belum ada tanda-tanda keberangkatan. Pihak maskapai penerbangan mengumumkan permohonan maaf kepada para penumpang atas keterlambatan dikarenakan traffic yang padat. Sambil iseng menunggu, Mika berkenalan dengan seorang pria yang kebetulan duduk di sebelahnya saat di ruang tunggu.

“Payah nih... delay udah satu jam. Harusnya berangkat jam enam sampai sekarang malah belum berangkat juga,” Keluh Mika. Pria yang di sebelahnya menoleh pada Mika.

“Memang sudah delay berapa jam?” Tanya pria itu.

“Satu jam lebih ini Pak... payah deh”.

“Ooh... sama saya juga delay satu jam lebih.”

“Bapak mau ke Jakarta juga?”

“Nggak... saya mau ke Surabaya, pesawat saya delay juga satu jam lebih.”

“lha? Emang harusnya berangkat jam berapa Pak?”

“Jam Empat sore tadi,” jawab pria itu dengan mimik tanpa dosa.

Mika melengos... itu sih bukan satu jam lebih lagi namanya... itu sudah EMPAT JAM!!!. Gerutu Mika dalam hati.

Untuk menghemat baterai, Mika sengaja mematikan BB-nya. Pesawatnya sendiri akhirnya berangkat pada pukul sembilan malam waktu setempat. Bisa dipastikan kali ini Priwi harus menunggu cukup lama.

Perjalanan udara kali ini rasanya lebih lama dari biasanya, pesawat sempat berputar-putar dulu karena cuaca buruk di Bandara Soetta. Walhasil pukul sepuluh malam waktu setempat Mika baru sampai ke bandara. Mencoba menyalakan BB-nya tapi tidak mendapatkan sinyal. Meski begitu Mika berusaha tetap optimis akan bertemu. Dia yakin akan dipertemukan dengan mudah.

*_*_*

Priwi berkali-kali melirik jam di BB-nya dengan kesal. Sudah hampir dua jam dia menunggu di bandara Soetta. Belum ada tanda kedatangan atau kabar apapun. Padahal dia adalah tipikal cewek yang sangat moody. Tentu saja menunggu lama tanpa kabar seperti ini membuat dia kesal. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, pada jam itu bus jurusan Airport-Cikarang sudah hampir tidak ada lagi.

Priwi mencoba menghubungi nomor Mika sekali lagi.

‘nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau di luar jangkauan...’.

“Huh! Kemana sih ini orang!” Priwi terihat semakin kesal, dia beranjak untuk pergi pulang ke kostnya. Namun Priwi memutuskan untuk ke toilet dulu sekali lagi. Di perjalanannya Priwi berhenti sebentar di depan papan info kedatangan. Disana ada dua penerbangan dari Denpasar, Bali. Yang satu sudah tercatat landing sedang yang satu masih belum mendarat.

Priwi masih sibuk memandangi papan itu sambil mengira-ngira yang mana kira-kira pesawat yang ditumpangi Mika. Sedikit menyesal kenapa tadi dia tidak melihat dulu nomor penerbangan yang digunakan Mika.

Saat Priwi asyik memandangi papan itu, tanpa sadar dia mulai melamun memikirkan kemungkinan datangnya Mika. Sejenak, dia tidak memperhatikan sekitarnya.

“Pesawat dari Denpasar belum datang ya?”

Sebuah suara membuyarkan lamunannya. Priwi merasa seperti pernah mengenal suara tersebut. Dia menoleh ke sumber suara dan menemukan Mika yang sudah berdiri tepat di sampingnya menghadap ke papan info sebelum menoleh dan tersenyum padanya.

Raut wajah Priwi saat itu terlihat lucu di mata Mika. Terlihat kaget, heran dan sebal menjadi satu. Priwi tidak banyak bicara, langsung memberi isyarat agar Mika mengikutinya.

“Eh... tunggu dulu...” Mika mencegah Priwi. Priwi menoleh ke arahnya. “Kenalan dulu..” lanjut Mika sambil cengengesan. Priwi melengos dan melenggang cuek, membuat Mika buru-buru mempercepat langkah mengikutinya.

“Lama banget sih... sampai malam gini,” Priwi protes.

“Jangan salahin aku... bukan salahku lho,” Mika mencoba membela diri.

“Terus salah siapa?”

“Salahin maskapai penerbangannya dong... Maaf ya? Kamu nunggu lama, memang dari jam berapa nunggu?”

“Jam delapan aku udah sampai bandara tau,” ujar Priwi kesal.

Mika tidak melepaskan senyum dan pandangannya dari sosok Priwi yang baru ditemuinya ini. Perawakan Priwi kecil namun sedikit tinggi, dalam hati Mika bersyukur karena dia ‘sedikit’ lebih tinggi dari Priwi.

Di mata Mika sekarang sosok Priwi yang tadinya hanya dapat ia lihat di foto kini dapat dilihatnya secara langsung. Meski memasang wajah jutek dan sedikit kusut karena memang Priwi belum sempat mandi, dia terlihat manis di mata Mika. Bagi Mika, Priwi adalah sosok yang sangat menawan.

Merasa diamati seperti itu Priwi jadi sedikit risih, entah risih karena Ge-eR atau yang lainnya. Yang jelas, detik berikutnya Priwi membalas pandangan dan senyuman Mika itu dengan cubitan kecil yang kencang di lengan Mika.

“Aduh!” Mika mengaduh. Cubitannya memang kecil, namun semakin kecil cubitan semakin sakit kan??!!.

“Tadinya sudah mau kutinggal balik aja kamu. Temen-temen udah nyuruh aku balik aja...pas mau ke toilet papan itu pas di depanku jadi aku sempatin baca dulu eh...”

“Ternyata sang ksatria sudah disamping ya?” Mika menimpali dan segera di balas dengan cibiran oleh Priwi. Mika tertawa melihatnya.

“By the way... itu ada bluetooth-nya ya?” Mika mengomentari kawat behel yang dikenakan Priwi. Priwi mencubitnya lagi.

Rintik gerimis yang mengguyur lembut kota Jakarta malam itu menjadi saksi pertemuan Mika dan Priwi. Dan gerimis itu dengan setia mengiring perjalanan mereka ke Cikarang. Mika beberapa kali mengajak Priwi mengobrol di sepanjang jalan, namun Mika dapat membaca kelelahan yang terpancar dari raut wajah Priwi. Mika pun diam, berpura-pura hendak tidur sebentar, dengan maksud agar Priwi bisa beristirahat. Dan akhirnya Priwi juga ikut terlelap dengan kepala bersandar ke kaca.

Mika memandangi ekspresi Priwi, gadis yang telah memberi warna di hidupnya dalam beberapa minggu terakhir ini. Akhirnya dia sampai juga pada masa pertemuan yang dinantikannya, dimana sosok Priwi bukan lagi hanya suara dan foto. Melihat wajah lelah Priwi yang sedang beristirahat, dia menggenggam tangan Priwi lembut, dam menarik kepala Priwi untuk bersandar di pundaknya.

Diiringi permainan cahaya lampu gedung di tepi-tepi jalan, Bus itu meluncur membelah gerimis malam

Tengah malam barulah mereka berdua sampai ke rumah kost Priwi. Hampir saja mereka harus memanjat pagar jika saja Rin, teman satu kost Priwi tidak bangun dan membukakan pintu pagar.

Kelelahan yang sangat sudah melanda Mika dan Priwi saat mereka berdua sampai di kamar kost. Tidak banyak kata yang terucap saat itu, Priwi menyuguhkan camilan-camilan untuk mengganjal perut.

“Itu simpanan makanan untuk masa hibernasi ya?” gurau Mika saat Priwi mulai membongkar lemari makanannya.

“Enak aja... memangnya aku beruang pake hibernasi segala? Udah sana makan kalau mau makan. Aku tidur dulu ya? Aku ngantuk banget. Kalau mau pakai kasur ada tuh di bawah kolong, kamu ambil aja ya?”

“Alah.. nggak usah, aku tidur disini aja,” Mika menepuk-nepuk karpet tebal yang menjadi tempat duduknya sekarang. “Tapi bagi bantalnya ya?”. Priwi menjawab dengan melemparkan boneka bantal ke arah Mika.

Mika melayangkan pandangannya ke seisi kamar Priwi. Kamar itu benar-benar rapi. Ada sebuah boneka monyet kecil, dua buah tokoh Shaun The Sheep. Dan sebuah boneka lain. Iseng, Mika mengabadikan isi kamar itu dengan BB-nya. Suara jepretan kamera membuat Priwi terbangun.

“Ngapain kamu?” Tanya Priwi dengan suara yang serak. Mika tidak menjawab, hanya nyengir sambil mengarahkan lensa kamera ponselnya ke arah Priwi. Kontan Priwi menutupi wajahnya dengan guling. “Apaan sih?” ujar Priwi sambil menghindar dari jepretan lensa.

Dan malam pun berlalu...

*_*_*

MY FRIEND GOT A GIRLFRIEND THAT HE HAS THAT BITCH! HE TELLS ME ON EVERYDAY!!....

Lantunan tembang Offspring yang berjudul Why You Dont Get a Job terdengar lantang dari BB milik Mika. Lagu itu yang dia gunakan sebagai penanda Alarm. Ironisnya, sang pemilik malah pulas dengan tidurnya. Malah Priwi yang terbangun karena terganggu. Dengan malas dia membangunkan Mika.

Mika yang terbangun lalu menyadari bahwa BB-nya sedang berkonser ria segera menekan tombol untuk mematikan alarm. Priwi melirik jam di BB-nya. Pukul lima pagi, Priwi pun kembali melenggang ke alam mimpi.

Setelah matahari mulai tinggi, Priwi baru beranjak bangun dari tempat tidurnya, kondisi kost waktu itu sepi, karena sebagian besar masih bekerja setengah hari di hari Sabtu. Hanya Priwi yang libur di hari Sabtu dan Minggu seperti pegawai negeri. Saat Priwi bangun, Mika sedang asyik menonton televisi.

“Kamu nggak mandi?” Tanya Priwi pada Mika.

“Mau mandi tapi tuan rumahnya aja masih tidur... gimana mau keluar kamar coba? Kan aku segan.”

“Hmm... Ya udah kamu mandi dulu sana gih... aku mau beres-beres, oh iya, kamu mau sarapan apa? Aku bikinin mie instant ya?”

“Wah mau dong... tapi double ya mie nya,” ujar Mika ngelunjak.

“Iya udah buruan sana mandi, kamar mandinya di ujung sana...” Priwi beranjak dan mengambil dua bungkus mie goreng dari lemarinya. Mika berdiri dan keluar kamar.

Beberapa detik kemudian Mika kembali ke kamar Priwi.

“kenapa lagi?” Tanya Priwi.

“Anterin dong ke kamar mandi... aku nggak enak nih,” Mika nyengir.

“Uh.. dasar..” Ucap Priwi sambil berjalan mengawal Mika ke kamar mandi.

Kamar yang sempat berantakan akibat ulah tidur Mika yang brutal itu sudah rapi kembali saat Mika selesai mandi. Priwi tampaknya sedang sibuk di bawah sebeum akhirnya kembali membawa sepiring mie goreng.

“Kamu nggak makan?” Tanya Mika sambil melahap mie goreng buatan Priwi.

“Tanggung, ntar aja sekalian makan siang” Jawab Priwi sambil sibuk dengan BB-nya. Pandangan Priwi tidak teralih sedikitpun. Mika melanjutkan makannya.

“Si Reizal sekarang pindah kerja di Jakarta lho, seminggu yang lalu dia resign. Dia ngajak kita keluar Double date tuh,” Mika menyampaikan ajakan dari Reizal yang memang sudah direncanakan dari jauh-jauh hari. Priwi mengalihkan perhatiannya sejenak, lalu tersenyum kecut.

“Aku lagi nggak mood” Jawabnya singkat, lalu kembali sibuk dengan BB-nya. Mika bingung harus bicara apa melihat sikap Priwi yang dingin itu. Akhirnya dia menghabiskan makanannya. Sebelum makanan itu habis, Priwi meletakkan BB-nya dan melenggang keluar kamar.

“Mau kemana sayang?”

“Mandi, terus cari makan siang. Piringnya taruh aja di depan pintu kalau udah selesai.”

Mika menghabiskan makanannya dan kini dia tinggal sendiri di kamarnya. Dia memeriksa BB-nya sebentar, namun entah mengapa BBM kali itu tidak semenarik biasanya. Mika pun menunggu Priwi selesai mandi sambil menonton tayangan berita di televisi. Beberapa menit kemudian Priwi kembali ke kamar dan mengeringkan rambutnya di depan kipas angin.

“Eh sayang,” panggil Mika. Priwi menoleh sambil tetap sibuk meluruskan rambutnya dengan tangan. “Kita kan udah ketemu nih? Jadi sekali lagi aku bilang ke kamu... aku sayang kamu, dan rasa itu benar adanya.”

“Hmm... Terus kenapa?” Priwi masih bersikap cuek.

“Yah... aku mau tahu, setelah bertemu, gimana perasaanmu setelah bertemu aku.. apakah bertambah atau justru berkurang.”

Priwi tidak langsung menjawab. Dia memainkan BB-nya selama beberapa menit. Mika mengulangi lagi pertanyannya.

“Nggak tahu,” hanya itu jawaban yang bisa diberikan oleh Priwi.

“Nggak tahu gimana?”

“Yah... aku nggak tahu ama perasaanku sekarang. Yang jelas aku masih belum merasakan apa-apa. Jadi jangan paksa aku ya? Sebab cinta itu nggak bisa dipaksain.”

Mika tidak menimpali kata-katanya. Namun jelas terlihat perubahan di raut wajah Mika. Mika memandang kosong ke luar beranda.

“Aku sebelumnya kan sudah bilang jangan berharap terlalu banyak ke aku soal...”

“iya aku tahu,” Mika memotong pelan ucapan Priwi, ekspresinya masih kosong tanpa reaksi. “Aku udah siap kok kalau memang kamu nolak aku,” ujarnya kemudian.

“Aku nggak nolak kamu kok,” Priwi berpindah duduk di sebelah Mika dan menggenggam tangannya. “Tapi jujur, aku belum tau sama perasaanku yang sebenarnya. Aku nggak mau memaksakan diri dengan mengambil keputusan yang akhirnya aku malah nyakitin kamu,” Priwi menarik dagu Mika hingga wajah keduanya saling berhadapan. Mika mengalihkan pandangan matanya agar tidak memandang Priwi, pria itu diam tanpa bicara satu patah katapun. Bagi Mika, jelas jawaban yang diberikan Priwi itu sangat tidak memuaskan. Priwi melepaskan genggamannya dan beranjak duduk ke tepi tempat tidur.

“Kalau kamu ngerasa nggak kuat dan pengen berhenti. Kamu boleh kok pergi dan melupakan aku,” Priwi melanjutkan.

Bagi Mika, kata-kata yang baru saja diucapkan Priwi itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa keberadaan Mika tidaklah penting baginya. Mika boleh pergi kapan saja ia mau dan tidak akan ada pengaruhnya ke kehidupan Priwi. Sebuah kalimat yang akan membuat laki-laki manapun kecewa. Mika tidak menjawab, kembali memalingkan wajahnya ke luar kamar. Dia berusaha untuk tidak mendengar apa yang baru saja dikatakan Priwi. Meski itu benar adanya, dia tidak harus mengucapkannya kan?. Mika berujar dalam hati.

Beberapa menit kemudian Mika mengubah ekspresinya secara ajaib. Kembali tersenyum dan mengalihkan topik pembicaraan tentang kehidupannya dan kehidupan Priwi. Mengobrol hal-hal ringan untuk membuat suasana kembali akrab. Karena bagaimanapun, kedatangan Mika kemari bukan untuk merusak suasana diantara mereka berdua.

*_*_*

Malam minggu bersama dengan Priwi adalah salah satu yang diharapkan oleh Mika. Dia sudah membayangkan sebuah malam yang asyik untuk dilalui karena mereka akan banyak mengobrol, bercanda dan sebagainya.

Tapi yang didapatkan sedikit berbeda dengan yang dibayangkan oleh Mika. Dengan alasan tidak mood, Priwi memutuskan untuk bermalam minggu di kost saja. Mika pun setuju, dan hasilnya, kini Mika berada sendiri di kamar Priwi.

Kemana Priwi? Dia tidak kemana-mana, hanya sedang mengobrol bersama teman-teman kostnya di salah satu kamar di lantai bawah. Mika tidak mungkin ikut bergabung begitu saja, jadi dia lebih memilih tinggal diam di kamar dan menonton televisi.

Beberapa menit kemudian Priwi kembali ke atas membawakan makanan. Mika yang memang sudah kelaparan langsung melahap makanan itu tanpa tedeng aling-aling. Setelah itu, tanpa bicara sepatah katapun, Priwi kembali turun ke bawah untuk makan malam bersama teman-temannya.

Priwi baru kembali ke atas saat menjelang malam, dan langsung naik ke atas tempat tidur. Sempat mengobrol sebentar dengan Mika sebelum akhirnya dia pamit tidur lebih awal.

Mika memasang headset dan mulai memutar lagu Naff, band favoritnya, berharap segera mengantuk dan bisa ikut tidur. Tapi ternyata dia tetap tidak mengantuk. Mika pun memutuskan keluar kamar ke beranda. Disana dia bertemu dengan Diny yang kost tepat di sebelah kamar Priwi. Sebelumnya Mika sempat mengobrol singkat dengan Diny di telepon ketika dia menelepon Priwi.

“Belum tidur mas?” sapa Diny.

“Belum nih Din. Nggak bisa tidur,” Mika melepaskan headset di telinganya.

“Mbak Priwi nya mana?”

“Tuh... dah tidur... ngantuk katanya,” Mika menunjuk ke arah Priwi yang tampak terlelap.

Mika dan Diny pun mulai terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan singkat. Mika menyampaikan bahwa ia ingin kenal dengan semua anggota kost Chantique-sebutan kost mereka. Dan yang dilakukan Diny sangat tidak diduga sebelumnya, dia memanggil penghuni kost lain yang akrab dengannya dan Priwi. Naiklah empat orang gadis penghuni kamar bawah.

Sedikit kikuk sebenarnya dikelilingi oleh lima cewek seperti saat itu, tapi Mika berusaha tetap cool dan berkenalan dengan lima penghuni lain selain Diny. Mika berkenalan dengan Rin yang sebelumnya membukakan pintu pagar, Puspy yang terlihat pendiam dan lemah lembut, Helga yang paling tua diantara mereka, sosok lugas yang terlihat banyak pertimbangan dalam segala hal dan Nova yang paling muda diantara mereka, namun terlihat lebih agresif dibanding yang lainnya. Mereka berenam mengobrol dan banyak bercanda hingga tanpa sadar ramainya mereka membangunkan Priwi, yang pada akhirnya ikut bergabung dalam obrolan santai itu.

*_*_*

“Mbak Priwi belum bangun mas?” tanya Diny di sela-sela perjalanan mereka mencari sarapan di Minggu pagi yang sedikit berawan.

“Belum bangun dia tuh, tadi sih sudah bangun terus tidur lagi. Ngantuk katanya,” Mika menjawab sambil tersenyum ke arah Diny.

Minggu pagi itu, Mika, Diny, Nova dan Rin memutuskan untuk mencari sarapan bersama-sama, meninggalkan Priwi yang baru saja masuk ke babak perpanjangan mimpi. Mereka makan berempat dengan menu yang berbeda-beda.

“Mas? Kata mbak Priwi, dia mau lontong sayur tuh,” Diny menyampaikan pesanan Priwi.

“Oke,” jawab Mika sambil bergegas ke penjual lontong sayur. “Bang, lontong sayurnya bungkus satu dong!”. Ujar Mika begitu dia sampai ke sebuah stand makanan.

Sang penjual diam sejenak menatap Mika. “Maaf bang? Pesan apa ya?” tanyanya.

“Lontong sayurnya tolong dibungkus satu,” Mika mengulangi ucapannya pelan-pelan. Mungkin sang penjual terganggu pendengarannya, pikir Mika dalam hati.

Si penjual malah menatap Mika dengan bingung, diam dulu sebelum akhirnya berkata, ”Maaf mas, saya jual gorengan, yang jual lontong sayur sebelah sana” ujarnya kalem sambil menunjuk gerobak penjual lontong sayur.

Tanpa berkata sepatah katapun Mika ngeloyor pergi ke arah gerobak penjual lontong sayur...

Sedang asyik-asyiknya melahap sarapan, tiba-tiba Nova berbicara. “Mas kamu tuh suka ke Mbak Priwi ya?”

Mika yang tiba-tiba di skak-mat seperti itu tidak bisa mengelak. “Hehehe...”. Mika nyengir.

“Ya... kalau nggak suka ngapain dibela-belain dari Nusa Dua ke Jakarta tanpa tujuan kan Nov? Gitu aja kok masih ditanya,” Rin menimpali, Diny yang khusyuk dengan makanannya mengangguk-angguk seperti orang nge-rap.

“Iya sih... tapi kok kayaknya Mbak Priwi biasa aja ya ke mas?” Nova melanjutkan.

JLEBB!!
Rasanya sebuah sendok baru saja masuk ke tenggorokan Mika.

“Kayak nggak ada yang spesial tuh sikap Mbak Priwi ke mas,” tambah Nova.

JLEBB!! JLEBB!!
Kali ini Piring dan meja makan serasa masuk ke tenggorokan Mika.

“Huss... kita kan nggak tahu isi hatinya orang Nov.. siapa tahu aja Mbak Priwi malu nunjukinnya di depan kita,” Timpal Rin. Kata-kata Rin barusan bagaikan air yang menyiram sendok, piring dan meja makan yang tadi nyangkut di tenggorokan Mika.

“Mungkin memang nggak ada yang spesial,” Mika tersenyum, sebuah senyuman yang menunjukkan kepasrahan. “Menurut kamu gimana Din?”

“MMhhh engujjhh.. mmmhh,” Jawab Diny sambil manggut-manggut khusyuk dengan sarapannya.

*_*_*

“Sayang... jadi karaoke bareng Reizal nggak? Ditanyain nih,” Tanya Mika saat sudah kembali ke kost Priwi.

“Hmm.. aku malas kemana-mana nih beneran,” Jawab Priwi.

Mika pun diam dan kembali asyik menonton televisi, lama-lama rasa bosan mulai menghinggapinya. Dia pun menoleh ke Priwi yang asyik dengan BB-nya.

“Sayang...” panggil Mika.

“Apa siih?!” Jawab Priwi tanpa mengalihkan pandangan ke BB-nya.

“Keluar yuk! Jalan-jalan, nggak bosan apa di kamar terus?”

Priwi tidak langsung menjawab, masih tidak mengalihkan perhatiannya.

“Sayaaang....” Mika memanggilnya sekali lagi. Priwi menoleh.

“Kan udah kubilang? Aku lagi malas keluar. Kamu kalau mau keluar sendiri nggak apa-apa keluar aja,” Jawabnya kemudian.

Mika diam dan kembali menatap layar TV. Meski tidak ada acara televisi yang menarik baginya, hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini. Setelah berkali-kali mengganti channel dan merasa benar-benar jenuh dia mengambil headset dan menyalakan musik di BB-nya. Lagu Naff bertajuk Sampai Kapan menjadi pilihannya.

“Kamu masih belum bisa jawab?” tanya Mika tanpa ekspresi. Priwi menatapnya sebentar dan merubah posisi duduknya.

“Memang kenapa?” Priwi bertanya balik.

“Just ask,” jawab Mika sambil tetap mendengarkan musiknya.

“Kan sudah kubilang... hati nggak bisa dipaksakan, jangan paksa aku un...”

Mika tidak mau mendengarkan kelanjutan jawaban yang tak menjawab apapun itu, diam-diam dia menekan tombol pengeras suara dan mengeraskan musik di telinganya sampai suara Priwi tidak terdengar lagi.

Tak bisakah diriku menyentuh kekasihku hanya bisa di dalam anganku..

sesungguhnya diriku perih menahan rindu.

Entah kapan... Sampai kapan....


Lantunan lagu melengkapi kebosanan di hati Mika.

*_*_*

Mika menghabiskan empat hari di tempat Priwi untuk mencari sebuah jawaban yang belum juga didapatkannya. Meski ada sedikit rasa kecewa, Mika mencoba mengambil nilai-nilai positif atas pengalamannya kali ini. Setidaknya, dia dan Priwi sudah berhasil bertemu, saling mengenal satu sama lain, dan meskipun tidak ada penerimaan, setidaknya tidak ada penolakan dari Priwi itu sendiri.

Dan sampailah Mika di malam terakhirnya menginap di tempat Priwi. Tidak ada hal spesial yang terjadi malam itu. Mika hanya di kamar, menghabiskan waktu dengan menonton apapun yang disajikan oleh stasiun televisi selagi Priwi asyik berkumpul dan mengobrol bareng teman-teman satu kostnya di lantai bawah. Tiba-tiba Priwi datang ke kamar membawa sebungkus sate ayam dan lontong.

“Nih... kamu makan ya?” kata Priwi lembut. Mika menyambutnya dengan senyum.

Mika pikir Priwi akan menemaninya makan, namun ternyata Priwi langsung kembali ke bawah berkumpul dengan teman-temannya.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat Priwi kembali ke kamarnya dan menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Mika memandangnya dalam diam.

“Sayang? Udah ngantuk?” panggil Mika.

“ya,” Jawab Priwi pelan.

Suasana hening sejenak.

“Sayang...”. panggil Mika lagi. Tidak ada jawaban dari Priwi. Priwi malah sibuk dengan BB-nya sambil tersenyum-senyum sendiri.

“Sayaaang...” Mika memanggil sekali lagi.

“Apa sih??” jawab Priwi ketus, matanya masih tidak lepas dari BB.

“Nggak, nggak apa-apa. Kamu met tidur ya?” Mika membatalkan keinginannya untuk mengobrol. Beberapa menit kemudian Priwi meletakkan Bbnya dan menarik selimutnya lalu berbalik memunggungi Mika.

“Sayang..” Mika berucap tanpa melepaskan pandangannya ke arah televisi. “Seandainya kita nggak bisa bersama, lalu kamu dekat sama cowok lain dan dia main kesini, tolong perlakukan dia lebih baik dari aku ya?”

Mika menghentikan ucapannya. Tidak ada reaksi dari Priwi.

“Jangan suka sinis ke dia, jangan suruh dia jalan-jalan sendiri, jangan kamu biarkan dia sendiri di kamar sedang kamu berkumpul dengan teman-teman, jangan kamu biarkan dia makan sendirian, karena itu sama saja kamu tidak menganggap dia ada,” Mika melanjutkan ucapannya.

Mika menoleh ke arah Priwi yang masih berbaring memunggunginya tanpa reaksi.

“Kalau aku sih nggak apa-apa kamu gituin,” Mika melanjutkan lagi. “Tapi belum tentu cowok lain, takutnya di depan kamu mereka bilang nggak apa-apa tapi akhirnya mereka nyakitin kamu nantinya...”

Seketika hening, Mika mematikan televisi, mematikan lampu dan mulai berbaring beralaskan karpet.

“Mimpi indah sayang...” ucap Mika lembut sebelum memejamkan mata.

Priwi masih diam tanpa reaksi, namun dia tidak tidur, matanya masih terbuka memandang dinding yang berada tepat di hadapannya. Dia jelas mendengar apa yang tadi dikatakan Mika. Pandangannya kosong tanpa ekspresi sebelum akhirnya dia memejamkan matanya.

“Maaf...” ucapnya lirih.

*_*_*

Akhirnya hari dimana Mika harus kembali ke Nusa Dua pun tiba. Priwi sengaja ijin libur hari ini untuk mengantar Mika ke bandara. Tapi berhubung pesawat yang digunakan Mika cukup malam, Mika meminta Priwi untuk mengantarnya ke tempat mangkal Bus menuju Airport. Sedari pagi hingga sore Mika mengobrol banyak hal ke Priwi. Hingga waktu keberangkatan tiba.

Mika sibuk mengemasi barangnya, sedang Priwi merapikan kamarnya.

“Yupz! Sudah siap!!” seru Mika sambil menutup ranselnya dan berdiri menghadap Priwi.

“Yang semangat kerjanya dan jangan gampang BeTe ya?” ujar Mika sambil mengelus kepala Priwi.

Priwi tidak menjawabnya, namun sebuah pelukan erat seolah menggantikan kata-kata yang diucapkan Priwi. Priwi memeluk Mika erat-erat.

“Aku bakal kangen sama kamu,” bisik Priwi pelan.

“Aku juga,” Jawab Mika.

Priwi melepas pelukannya, mata keduanya saling bertatapan untuk sejenak, seolah berusaha untuk menangkap wujud masing-masing dalam ingatan mereka. Entah bagaimana semuanya terjadi, namun beberapa detik kemudian bibir mereka telah bertemu dalam sebuah kecupan dan balasan yang hangat.

*_*_*

Pukul empat sore Bus yang ditumpangi Mika berangkat dari Cikarang, sebelum naik ke atas Bus Mika menjabat tangan Priwi, Priwi mencium tangan Mika, dan Mika membalas dengan mengacak-acak rambutnya. Mika tersenyum saat Bus itu mulai bergerak menuju Airport. Pesawat Mika dijadwalkan terbang pukul delapan waktu indonesia bagian barat. Namun delay selama dua jam membuat Mika baru sampai ke Bali pada pukul setengah tiga pagi waktu setempat.

Dan mereka harus kembali ke keadaan dimana alat komunikasi adalah satu-satunya pilihan untuk tetap berhubungan. Meski Mika tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan, dia bersyukur karena dia telah memastikan sesuatu. Dia telah memastikan keberadaan cintanya pada Priwi.

“Sayang ada yang ketinggalan nih,” Mika bicara kepada Priwi via telepon ketika masih di bandara.

“Aduh... apa yang ketinggalan?” Priwi bertanya balik.

“Sebelah hatiku tertinggal di kamarmu,” Mika ngegombal, Pak Arie yang saat itu duduk di sebelah sambil menonton televisi mendadak muntah.

*_*_*

Hidup kadang lebih menyenangkan dari yang kita bayangkan, kadang lebih menyedihkan dari yang kita inginkan. Hidup mengajarkan kita banyak hal, membawa kita mengikuti alur yang penuh twist dan godaan. Kadang kita berusaha untuk melawannya, berusaha untuk mengendalikan. Begitu juga dengan kalian, bukan? Setiap dari kalian pasti memiliki kisah cinta yang mengejutkan. Dan begitulah dengan tokoh utama kita kali ini.

Siang itu Mika sedang beristirahat, dia mengambil ijin satu hari untuk memulihkan kondisi fisik dan konsentrasinya setelah empat hari terlena dalam liburan penuh cintanya. Iseng, dia menghubungi Diny dan Puspy via BBM.

Mika : ‘Lagi apa Din?’

Diny Gendut :‘Kerja lah mas. Km ga krja?’

Mika    :‘nggak... lagi istirahat dulu sehari’

Diny Gendut    :‘huuu bolos terus ya???’

Mika    :‘hahaha.... eh Din tanya sesuatu donk!’

Diny Gendut    :‘Ap?’

Mika    :‘menurutmu Priwi ada hati nggak ke aq?’

Mika tersenyum sendiri harap-harap cemas nggak jelas menanti jawaban dari Diny. Dan sebuah jawaban yang diberikan Diny jauh di luar perkiraan Mika.

Diny Gendut :‘Ya... kalo aja Mbak Priwi blum punya cwok mungkin dia mau mas pacaran ma km’.

Mika tercengang sejenak dan menggaris-bawahi kata ‘punya cwok’ dalam pikirannya. Is there any something I dont know??, pikir Mika dalam hati.

Mika :‘Lo? Emg Priwi dah punya cwok? Ko ke aq dy blg blum punya cwok?’.

Diny Gendut    :‘masa sih mas?’

Mika    :‘iya. Dia punya mantan namanya Raka. Tapi dia nggak bilang dy punya cwok’

Diny Gendut    :‘ya itu Raka cwoknya kan Mas?’

Mika :‘katanya mantan’

Diny Gendut    :‘wah aku jadi membocorkan rahasia....’

Mika :‘udah gpp sante aja Din’

‘Kasih tau aja ap yg km tau’

Diny Gendut    :’tapi jangan ngadu y mas? Setauq Raka ma Mbak Priwi emg prnah putus tapi dah balikn lg’

Mika    :’ooh gitu, mereka masih sering telepon?’

Diny Gendut    :’stauq sih masih’

Mika    :’Ok! Thx Din...’

Diny Gendut    :’Yg sbr y mas?’

Mika    :’tnang az... aq gpp kok’

‘malah kalo aq g tau bahaya...’

Meski menulis seperti itu di BBM, laki-laki normal mana yang tidak shock mendapat berita seperti itu?. Beberapa kemungkinan melintas ke dalam pikiran Mika, sempat Mika menyangkut-pautkan antara apa yang dikatakan Diny dengan jawaban yang tidak dia dapatkan. Mika bingung beberapa saat, menghabiskan beberapa batang rokok sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk pura-pura tidak pernah mendengar hal tersebut.

Hubungan antara Mika dan Priwi masih terjaga baik lewat komunikasi, meski tidak ada kata jadian atau sebuah hubungan khusus diantara mereka. Kadang perasaan ingin diakui memenuhi pikiran Mika, dan kadangkala Mika sebal dengan semua itu. Namun Mika sudah memutuskan untuk bersabar dalam menghadapi sikap Priwi yang kadang-kadang kelewat selfish itu.

Namun pembicaraan dengan Diny via BBM tentang 'a person from the past' itu bukannya tidak menjadi ganjalan di hati Mika. Rasa kepo memenuhi diri Mika, dan tanpa seorangpun yang tahu Mika berusaha untuk mengorek data-data tentang ‘a person from the past’ tersebut. Sejauh ini perkembangan penyelidikan Mika belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Dia hanya mendapatkan nama lengkap Raka dari salah seorang teman dekat Priwi. Namun selebihnya, Mika berhadapan dengan jalan buntu.

Dan facebook sangat membantunya kali ini. Dari situs jejaring sosial dia berhasil melacak keberadaan facebook account milik Raka. Mika meng-add Raka, namun hingga dua minggu lamanya tidak di-confirm juga. Apalagi aktivitas di wall Raka tidak berubah sama sekali. Seolah-olah akun itu sudah tidak digunakan lagi.

Mika tidak menyerah sampai disitu saja, ia mengajukan permintaan pertemanan kepada beberapa teman facebook Raka. Namun dari beberapa yang diterima, Mika tidak mendapatkan hasil tentang siapa dan dimana si Raka tersebut. Sepertinya teman-teman facebook Raka hanyalah teman dunia maya semata. Yang jelas, dari teman bersamanya itu Mika mendapat informasi bahwa komunikasi terakhir via FB antara Roxy (teman Raka) dan Raka terjadi sekitar dua tahun yang lalu. Artinya Akun yang didapatkan Mika itu bukanlah Akun yang sering diakses oleh Raka lagi. Kemungkinan besar Raka telah mengganti akunnya.

Dari facebook, Mika mendapatkan data bahwa Raka dulu kuliah di Universitas Trilogi Jaya Jakarta Jurusan Hukum angkatan tahun ‘99. Berbekal informasi yang minim itu, Mika langsung menghubungi teman-temannya. Memang pada jaman kuliah dulu, Mika aktif dalam kegiatan organisasi kampus hingga ke tingkat nasional, tak ayal, kenalan Mika di bidang pendidikan cukup luas. Dan akhirnya dia menemukan Alvin, teman lamanya yang bekerja di Universitas tempat Raka kuliah dulu.

“Buat apa sih Mik? Kok kayaknya penting banget?” Tanya Alvin.

“Ada deh... bukan buat sesuatu yang buruk deh pokoknya. Masa kamu nggak percaya sama aku Vin?”.

“Percaya sih percaya... tapi database tahun 99 itu susah nyarinya sob..”

“Kamu download aja semua data tahun 99 jurusan hukum. Nanti aku breakdown sendiri.”

“Oke deh... ntar siang kukirim via e-mail.”

“Thanks Sob..”.

“Lain kali kalo ke Jakarta mampirlah.. Oke?”

“Siap Brodda!!”.

Beberapa jam kemudian sebuah file masuk ke e-mail Mika. Mika men-download dan mulai berusaha memecahkan source code dari database kecil tersebut.

“I’ll found you before I beat you... a person from the past!!” gumam Mika dalam hati.

*_*_*

“Kepada penumpang Maskapai Singa-Masuk-Angin dengan penerbangan nomor JT 666 jurusan Antar kota antar propinsi silahkan masuk lewat gerbang sembilan belas, terima kasih.”

Suara gadis penyiar mengumumkan berita keberangkatan. Mika beranjak dari kursinya di ruang tunggu dan menuju gerbang yang disebutkan tadi.

Dua bulan yang lalu Mika menempuh perjalanan yang sama menuju Jakarta, tapi kali ini tujuannya berbeda, jika dulu Mika sengaja ke Jakarta untuk menemui Priwi, gadis yang dicintainya. Kali ini Mika pergi ke Jakarta untuk menemukan 'a person from the past', yang dua bulan terakhir menjadi ganjalan hatinya. Tujuannya mencari Raka hanya satu; memastikan seperti apa wujud Raka dan apakah Raka bisa menjadi yang terbaik untuk Priwi.

Selama ini komunikasinya dengan Priwi terjaga dengan baik, Mika memang sengaja menyembunyikan semua yang diketahuinya sampai benar-benar pasti.

“Hai Sob!” Alvin melambai ketika melihat Mika sampai, mereka berjabat tangan dan mengobrol. Saat melewati sebuah papan info kedatangan Mika terhenti sejenak dan memandang papan itu dalam-dalam. Dua bulan lalu, di depan papan itulah pertama kalinya dia bertemu dengan Priwi, gadis yang saat ini mengisi hatinya.

“Kok malah ngelamun? Ayo..” Alvin mengajak Mika berjalan ke tempat parkir, tempat mobilnya diparkir.

“Kirain loe ke Jakarta buat nyari seorang cewek, ternyata loe malah nyari cowok... gua jadi curiga..” ucap Alvin sambil mengemudikan mobilnya. Mika tertawa mendengarnya.

“Nggak lah Sob... justru ini ada hubungannya sama cewek yang aku taksir.”

“Weitz! Ada apa ni? Jangan bilang kalo loe jauh-jauh ke Jakarta cuman buat ngajak tuh cowok berantem.”

Mika tertawa lebih keras.

“Kayak baru kenal aku aja kamu tuh... mana pernah aku berantem? Badan kecil gini disenggol juga terbang hahaha....”

“Jadi siapa cowok yang namanya Raka ini?. Kalo soal berantem gua siap bantu Sob.... Sante aja,” Alvin mengeluarkan sifat premanisme-nya.

“Hajar-hajar aja pikiranmu...” ujar Mika sambil meninju pelan bahu sobatnya ini. “Dia ini pacar cewek yang aku taksir, aku Cuma penasaran aja seperti apa sih orangnya.”

“Dapat alamatnya?”

“Kalo nggak dapat bukan Mika namanya,” sesumbar Mika.

Pembicaraan singkat itu rupanya membuat Alvin jadi ikut penasaran, dia membelokkan mobilnya ke arah alamat yang ditunjukkan Mika. Tidak lama kemudian, mereka sampai di sebuah rumah bertingkat dua yang cukup megah.

“Saingan loe orang kaya sob...” komentar Alvin.

“Bokapnya kali yang kaya...” jawab Mika sambil hendak menekan bel.

“Whoa!! Weitz!! Mau ngapain loe??!” Alvin mencegah Mika menekan bel.

“Lha? Ya jelas ketemu si Raka lah! Ngapain sudah jauh-jauh gini kalau nggak ketemu?”

“Terus? Loe mau ngomong apa ke si Raka? Loe mau bilang, ‘halo gua cowok yang naksir ama cewek loe...’ gitu?”

Mika diam sejenak. “Bener juga ya?” ujarnya Bego.

Namun rupanya takdir menuntun Mika, saat hendak berbalik kakinya tersandung dan jatuh terbalik. Mika meregangkan tangannya berpegangan pada pagar rumah supaya tidak jatuh.

TINGG TONGG!! TINGG TONGG!!.

Bel rumah itu tertekan. Alvin sudah mengambil ancang-ancang untuk kabur. Mika menahan lengannya. Pintu pagar terbuka dan seorang wanita setengah baya keluar dari balik pagar.

“Maaf? Cari siapa ya?” Tanya wanita itu.

“Raka ada Bu?” Jawab Mika sambil tersenyum. Seolah-olah Mika sudah lama mengenal makhluk yang namanya Raka ini.

Wanita itu terdiam sebentar, menatap bergantian kepada Mika dan Alvin. Raka...” gumamnya pelan “Kalian temannya Raka?”

“Iya Bu... teman lama sih... sudah lama nggak ketemu dia,” Mika berbohong lagi, kebohongan selalu melahirkan kebohongan yang lain, kan?

“Ayo masuk dulu ke dalam,” Wanita itu tersenyum ramah sebelum membuka pagar dan mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah.

“Ngapain sih loe nahan gua tadi?” Bisik Alvin sebal kepada Mika.

“Udah... temenin aku bentarlah,” jawab Mika.

Wanita yang tadi mempersilahkan mereka masuk kembali dengan membawa dua gelas minuman sirup.

“Waduh! Nggak usah repot-repot Bu,” Mika berbasa-basi. Mencoba untuk bersikap sopan kepada tuan rumah.

“Wah kalian ini sopan sekali, Cuma minuman biasa kok... nggak repot juga,” ujar sang Wanita sambil duduk di kursi di hadapan mereka.

“Kalian teman apanya Raka?” tanya sang wanita itu. Alvin segera mencubit Mika. Mika meringis karena cubitan Alvin. Detik berikutnya, Mika mulai tersenyum.

“Saya dari Surabaya bu... dulu kami ketemu waktu ada acara di kampusnya. Tapi itu sudah lama sekali. Nah mumpung saya di Jakarta saya ingin mampir dan bertemmu Raka. Memang Rakanya sedang keluar ya Bu?”. Ucap Mika dengan Akting dan kebohongan yang mendekati sempurna.

Wanita itu tidak menjawab, kepalanya tertunduk dan seketika itu air mata menetes dari pelupuk matanya. Mika dan Alvin yang menyadari itu jadi terkejut.

“Maaf, makasih kalian sudah jadi teman yang baik... tapi Raka, anak saya sudah meninggal dua tahun yang lalu,” Lanjut wanita itu sambil menyeka air mata yang megalir pelan di pipi wanita tersebut.

Mika dan Alvin kontan kaget mendengar hal itu, dengan lembut Mika meminta maaf atas ketidak tahuannya dan berusaha menenangkan wanita itu. Butuh waktu sekitar tiga puluh menit bagi Mika dan Alvin untuk menenangkan dan mendengarkan cerita-cerita sang Ibu tentang anaknya, Raka Mahardhika. Usai mendengar kisah tersebut, Alvin dan Mika mohon diri.

“Bro loe gila ya??” protes Alvin di sela-sela perjalanan mereka menuju tempat pemakaman Raka. “Ngapain juga kita harus ke kuburannya Sob?? Loe mau gali kuburannya biar loe bisa lihat wajahnya??”

“Udah deh jangan cerewet Sob... paling nggak aku mau memastikan aku nggak salah orang.”

“Kan sudah ketemu Ibunya? Masih kurang yakin?”

“Yakin sih... tapi nggak tahu kenapa aku ngerasa harus kesana. Lagipula kita juga udah janji ke Ibunya untuk mengunjungi makamnya kan?”

“Yaelah Sob... Kalau gua kenal ama yang dikubur disitu sih mending,” Alvin terus saja menggerutu.

Protes dan gerutu Alvin tidak berhenti di sepanjang perjalanan hingga mereka sampai di tempat pemakaman. Keduanya turun dari mobil, Mika menghentikan langkahnya saat mengetahui Alvin tidak mengikutinya.

“Hey! Ayo ikut!” panggil Mika.

“Gila ah! Nggak! Gua disini aja,” Alvin bersikeras menolak ajakan Mika.

“Aduh ni anak, ayo buruan!” Mika tidak sabar, mendatangi Alvin dan menarik lengan temannya itu.

“Eh, Mik, please deh... please banget, gua bisa jantungan kalo ada di pemakaman, please deh... ampun,” Alvin mengiba-iba minta dilepaskan, Mika mengabaikannya, tetap menarik lengan Alvin hingga akhirnya Alvin terpaksa menuruti kemauan Mika. Setelah menelusuri pemakaman, akhirnya mereka berhenti di hadapan sebuah nisan bertuliskan :

RAKA MAHARDHIKA
10 MARET 1983-20 SEPTEMBER 2010

Mika meletakkan rangkaian bunga yang tadi dibelinya di pintu masuk pemakaman ke atas makam tersebut.

“Loe udah puas kan Sob? Ayo balik sebelum malam... gua merinding nih,” Alvin mendesak Mika untuk segera meninggalkan tempat itu.

“Aneh...” gumam Mika.

“Hah? Apa yang aneh??!! Loe jangan nakut-nakutin gua doong!”.

“Lihat bunga mawar di bawah nisan ini,” Mika berkata sambil mengambil setangkai mawar yang ada di bawah nisan Raka.

“Kenapa dengan mawar itu?” Tanya Alvin tidak mengerti.

“Mawar ini belum layu Sob... padahal lihat tumpukan tangkai mawar kering di bawahnya, warna keringnya berbeda antara satu dengan yang lain.”

“Artinya?? Loe jangan nakut-nakutin ya?” wajah Alvin sudah terlihat aneh, perpaduan antara rasa takut dengan rasa penasaran.

“Ada seseorang yang rutin mendatangi makam ini, dan meletakkan setangkai mawar merah itu disini,” Mika mengambil kesimpulan. Yang membawa mawar itu... apakah Priwi??.

Dalam perjalanan kembali ke bandara, Mika tidak banyak bicara. Alvin juga diam, berusaha memberi waktu pada sahabatnya itu. Mika memandang kosong ke jalanan di depannya, pikirannya masih teringat pada apa yang baru saja diceritakan oleh satpam yang bertugas di areal makam itu.

“Jadi memang ada cewek yang rutin ke makam itu sambil membawa mawar?” Tanya Mika pada satpam yang berjaga di areal makam itu.

“Iya Pak. Saya beberapa kali melihat cewek itu, sudah setahun lebih cewek itu melakukan itu. Kalau nggak salah setiap dua minggu sekali cewek itu kesini dan membawa setangkai mawar.”

“Bapak ingat wajahnya? Apa ini orangnya?” ujar Mika sambil menunjukkan foto Priwi.

Si satpam memandangi foto itu dengan seksama. “Iya Pak... benar.. nggak salah lagi ini orangnya!” Seru satpam tersebut.

“Oh... makasih ya Pak?” ujar Mika sambil beranjak pergi.

Yang ada di pikiran Mika sekarang adalah kesimpulan bahwa Priwi masih menyimpan rasa untuk Raka, karena itulah dia berbohong di hadapan teman-temannya, membuat Diny dan semua temannya beranggapan kalau Raka masih hidup dan masih menjadi pacarnya. Mawar yang rutin dibawa Priwi ke makam itu adalah bukti nyata betapa Priwi masih menyimpan rasa yang luar biasa pada Raka.

Kini Mika tahu, untuk memenangkan hati Priwi, ia harus bersaing dengan sosok pria yang sudah mati. Dia harus mengalahkan masa lalu yang ada di hati Priwi. Dan Mika tahu benar bahwa tidak ada senjata yang lebih baik untuk mengalahkan masa lalu selain waktu.

Mika terbang kembali ke Nusa Dua hari itu juga. Dengan membawa sebuah kesimpulan dan langkah-langkah yang direncanakannya untuk merebut hati Priwi.Cupid adalah tokoh mitos yang digambarkan sebagai bayi yang membawa panah cinta. Dengan sepasang anak panah yang dapat membuat sepasang anak manusia terserang cinta dan asmara. Apa yang terjadi jika sang Cupid salah sasaran? Hanya dia yang dapat menjawabnya.

Desir ombak terdengar menderu-deru, pandangan yang luas, langit biru, dan beberapa binatang laut yang berenang. Beberapa perahu nelayan yang sedan mencari ikan terlihat di beberapa titik. Diny berdiri di ujung perahu dan mengangkat kedua tangannya, meniru salah satu adegan romantis di film Titanic.

“Hey! Lihat!! Kayak di film Titanic!!” serunya sambil memasang ekspresi menikmati hembusan angin.

“Kalau kamu bintangnya sih nggak jadi film Titanic Din... tapi Tetanus!” kelakar Mika disusul gelak tawa yang lainnya.

Dua tanggal merah di hari Senin dan Selasa menjadi alasan yang tepat untuk berlibur ke sebuah tempat yang menarik. Berkat salah satu jaringannya, Mika bisa mendapatkan voucher di sebuah resort kecil di pulau Karimun Jawa. Jadilah Mika pergi bersama Priwi, Rin, Nova, Helga, Puspy dan ikut juga bersama mereka Almond, kekasih Puspy. Mereka memutuskan menghabiskan long weekend kali ini di Karimun Jawa yang tidak begitu jauh dari pulau Jawa.

“Kayaknya pasti rame deh disana... kan pada liburan?” Ucap Nova sambil membuka-buka brosur tentang tempat-tempat menarik di Karimun Jawa.

“Kalau mau sepi ke kuburan kali Nov” Timpal Rin sekenanya.

“Nova kan penjaga kuburan?” Ledek Helga yang disambut dengan cibiran bibir oleh Nova.

“Makasih ya Mika? Udah ngasih kita voucher...” Rin berkata pada Mika yang tengah asyik meledek Diny yang masih berpose Titanus...eh! Titanic.

“Kebetulan aja dapat Rin, Mending kita siap-siap deh kayaknya bentar lagi sampai.”

“Sotoy, tau darimana coba? Ini kan pertama kalinya kamu kemari,” Priwi menimpali sambil tidak melepaskan jemarinya dari BB.

Hari sudah menjelang sore ketika perahu mereka sampai ke dermaga resort yang dimaksud, disambut dengan beberapa penerima tamu yang berseragam biru laut ala pelaut. Senyum manis dan sapaan ramah menyambut kedatangan mereka.

Dari dermaga mereka melewati sebuah pantai putih yang bersih dengan air yang biru jernih dan dangkal, mereka berdecak kagum mengamati indahnya pantai yang merupakan bagian dari wilayah resort tersebut.

Selepas dari pantai mereka menaiki tangga pualam kecil berwarna abu-abu dan melewati taman yang ditata begitu apik, di atas rerumputan hijau terdapat bangku dan meja serta sebuah panggung di ujung taman.

“Ini restoran outdoor, Wah ada Live Music-nya juga mbak!” Nova berseru sambil membaca brosur tentang resort yang dari tadi dibawanya. “Nanti malam kita kesini yuk mbak?”

“Aku mau ke pemandian air panas dulu... katanya ada Salonnya juga kan?” Helga menjawab.

“Aku ikut Mbak Hel,” sahut Rin.

“Ke pantai yuk?” Ajak Priwi. Nova, Diny, Puspy dan Almond mengangguk setuju.

Malam itu keadaan pantai cukup lengang, deburan ombak malam, diselingi tawa canda para pengunjung yang menginap di resort itu. Lantunan musik terdengar samar di restoran terbuka di taman yang lokasinya tidak terlalu jauh dari lokasi pantai. Diny dan Nova sedang asyik saling foto saat Priwi datang dengan kaos santai dan hot pants yang ditutupi kain pantai.

“Lho mbak Priwi... mas Mika mana?” tanya Diny heran ketika melihat Priwi datang sendirian.

“Nggak tahu, bukannya sama-sama kalian? Dari tadi BBM ku nggak dibalas tuh, Si Puspy ma Kang Almond mana?” Priwi menjawab sambil membenarkan kain pantainya yang tertiup angin.

“Biasalah... mojok berdua.. tuh deket batu-batu itu,” jawab Nova sambil menunjuk bebatuan yang agak menjorok dari pantai.

“Ya udah! Ayo kita mulai sesi pemotretan kita!” Sorak Diny sambil mengeluarkan kamera digitalnya.

Tiga dara single bertemu pantai yang indah dilengkapi dengan kamera. Dapat dibayangkan betapa narsisnya mereka bertiga. Sisanya mereka melanjutkan dengan jalan-jalan sendiri.

“Mbak... perutku sakit niih..” keluh Nova tiba-tiba.

“Kamu sih pemakan segala,” Komentar Diny.

“Nggak kebalik Din? Bukannya kamu yang pemakan segala?” Priwi meluruskan masalah. Diny mencibirnya.

“Ayo mbak... temani aku balik...” Nova mulai merajuk sambil menarik-narik tangan Diny.

“Lah Mbak Priwi gimana? Ayo Mbak,” Ajak Diny.

“Kalian dulu aja deh... aku masih mau menikmati pantai,” Ucap Priwi. Diny dan Nova pun meninggalkan Priwi sendirian di pantai.

Priwi duduk di sebuah kursi malas di tepi pantai, mendengarkan musik sambil melepaskan pandangan ke laut lepas. Sedang enak-enaknya melamun tiba-tiba dia merasa bahunya dicolek seseorang. Priwi segera menoleh, ternyata Puspy dan Almond.

“Nggak balik Mbak? Udah mulai malam lho,” Ajak Puspy.

“Duluan lah, aku balik nanti aja,” Jawab Priwi.

“Ooh janjian ama Mas Mika ya??” Goda Puspy.

“Sotoy kalian berdua nih,” Priwi menjawab sambil mencibir. Almond dan Puspy pun beranjak pergi.

Baru sebentar menikmati musik, bahu Priwi dicolek lagi.

“Ada apa sih?” Priwi bicara sambil berbalik, namun selanjutnya dia terkejut, bukan Puspy dan Almond yang ditemuinya, namun seorang cowok Bule yang tidak dikenalnya.

“Sorry for bothering you, do you speak english?” tanya cowok bule itu.

“Indeed I am, do I know you?” Tanya Priwi.

Cowok bule itu langsung duduk di sebelah Priwi tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Priwi memasang wajah cuek tak peduli.

“My name James,” ujar cowok bule itu sambil mengulurkan tangan. Priwi memandangnya sejenak sebelum menjabat tangan James.

“I’m Priwi... Sorry but I need to be alone.”

“What a night isn't it?”. James pura-pura tidak mendengar ucapan Priwi barusan. “I just walking in the beach and meet some angel,” rayunya.

Priwi agak risih dengan rayuan gombal James, tapi dia juga penasaran, seberapa hebatnya si Bule dalam merayu? Maka Priwi diam.

“Are You here with your boyfriend?” tanya James.

“No, I’m here with my friends.”

“Oh, I see, enjoying your long weekend with your friends, where your boyfriends?”.

Priwi tersenyum dan berfikir untuk mengerjai bule nyasar ini. “Nope, I dont have one”.

“Whoa.. I think I have a chance then?” James mulai terang-terangan menggoda. Priwi tertawa kecil sambil menyeka rambutnya.

“Well.. you can try,” Priwi menggoda balik.

Awalnya Priwi menganggap itu hanyalah sebagai pengisi waktu luang saja. Namun James ternyata bersikap sangat gentleman dan berbeda dengan cowok-cowok Indonesia pada umumnya yang terlihat lebay dan dibuat-buat. James bisa membawa suasana dengan baik sehingga Priwi lambat laun mulai menikmati obrolan santai tersebut. Priwi terlihat dapat tertawa lepas menanggapi joke-joke James.

James sedang dalam bussiness trip ke Indonesia, dia menghandle beberapa investor di bidang oil and gas di German yang bekerja sama dengan beberapa pihak di Indonesia. Dan ditengah-tengah bisnisnya dia menyempatkan vacation di Karimun Jawa. James menceritakan tentang beberapa tempat eksotis dan menarik yang pernah dia datangi di seluruh dunia. Ceritanya membuat Priwi yang punya jiwa petualang tertarik untuk menyimaknya. Sampai sebuah panggilan masuk ke nomor Priwi, nama “Mika” tertera di layar handphone-nya.

“Halo?” Priwi mengangkat telepon dari Mika.

“Dimana sayang? Kok belum balik ke kamar? Udah malam lho,” tanya Mika lembut.

“Masih di pantai. Iya ini mau balik ke kamar kok.”

“Pantai sebelah mana? Aku susul ya?”

“Ih ngapain? Nggak usah aku bisa sendiri kok,” Nada Priwi terdengar sedikit ketus.

“Oh ya sudah... jangan malam-malam ya? Aku khawatir.”

“Iya udah ah jangan bawel.”

Priwi menutup telepon dan kembali mengobrol dengan James.

“I heard a male voice? Is that your Boyfriend?” Tanya James.

“I already told you... i dont have any boyfriend. That just my friend.”

Mereka melanjutkan obrolan mereka Priwi dan James sudah terlihat akrab sekarang, Priwi bahkan sudah mulai memukul-mukul bahu James saat James melontarkan sebuah joke yang membuat Priwi tertawa lepas. Priwi lalu melihat ke BB-nya. Dua panggilan tak terjawab, satu dari Diny dan satu lagi dari Rin. Merasa sudah cukup malam, Priwi berpamitan kembali ke kamar.

“May I escort you, My lady?” James menawarkan diri untuk mengantarkan Priwi kembali ke kamar.

“Don’t need to, My friends waiting for me at that cafe,” Priwi sedikit berbohong.

“Okey... So We meet here tommorow?”

“We’ll see bout that,” jawab Priwi sambil beranjak pergi kembali ke kamar.

Priwi menempati kamar bersama dengan Rin dan Diny, Helga satu kamar dengan Nova dan Puspy, sedang para cowok tinggal di kamar yang lain. Saat masuk ke kamar, mereka semua termasuk Almond dan Mika sedang bermain kartu di kamar.

“Dari mana aja sayang?” Tanya Mika saat melihat Priwi masuk. Priwi tidak menjawabnya, dia menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur.

“Mbak Priwi? Ayo ikut main,” Ajak Nova.

“Nggak deh Nov, ngantuk nih mau tidur,” Jawabnya dingin sambil mengutak-atik BB. Mika hanya memandang Priwi yang mulai asyik dengan BB-nya. Mika lantas melanjutkan permainan kartunya.

Saat permainan kartu berakhir, saat itu Priwi sudah tertidur lelap. Sebelum meninggalkan kamar Mika menaikkan selimut untuk menutupi badan Priwi agar dia tidak kedinginan. Rin, Diny dan Puspy diam-diam memperhatikan apa yang dilakukan Mika. “So sweet” ucap Puspy lirih, Rin dan Diny tidak berkomentar.

*_*_*

Esok paginya sesusai sarapan mereka tour keliling pulau, memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh resort tempat mereka menginap. Mereka mengunjungi tempat-tempat menarik, bernarsis-narsis ria dan pergi diving, snorkeling, dan aktivitas menarik lainnya. Banyak hal menggelikan yang terjadi, seperti Diny yang hampir tenggelam, Nova yang menjerit karena mengira rumput laut yang menempel di kakinya sebagai gurita yang menariknya paksa, atau Mika yang hampir tersesat karena gen buta arahnya.

Malamnya mereka nongkrong di restoran terbuka di resort tersebut dan menikmati suguhan live musik dari grup band lokal yang bermain cukup bagus. Namun Priwi kemudian merasa bosan dan beranjak jalan-jalan ke pantai.

Setiba di pantai, Priwi menemukan James sedang duduk sendirian di kursi pantai tempat mereka mengobrol kemarin malam. Keadaan pantai kali ini cukup ramai dengan pasangan-pasangan yang menikmati keindahan malam. Kontras dengan James yang duduk sendiri ditemani sekaleng bir.

“Hey,” Sapa Priwi. James menoleh dan tersenyum padanya.

“I know you will be coming,” ujar James sambil mencium tangan Priwi dengan gentleman, membuat Priwi tersenyum geli.

“Well.. I get boring so I decide to get so fresh air,” ujar Priwi sambil duduk di samping James.

“So can I be your fresh air?”. Goda James. Priwi tertawa sambil memukul bahu James.

Mereka melanjutkan obrolan mereka dengan saling bercerita tentang apa saja yang mereka kerjakan sepanjang hari ini. Kali ini Priwi lebih interaktif dengan balas bercerita. Saat membahas soal snorkeling, James bercerita bahwa dia adalah penyelam unggul dan sempat menjadi instruktur di salah satu sekolah renang di Australia.

“But that just my hobby,” James menyelesaikan ceritanya.

“Im not good at diving.. actually, I can’t swimming,” Jawab Priwi.

“I can teach you! How about tommorrow?”

“I go with my friends at day.”

“How about night?”

“Diving at Night? Are you nuts? I’ll get cold.”

“Not at all, that won’t happen if you take shower after diving. So? Are you interesting? Bring your swimming suit and I’m gonna teach you.”

“Hmm...” Priwi berpikir sejenak. “I dont have swimming suit.”

“Bikini will be okay, thats not much different about swimming suit, bikini, underwear or if you diving naked,” Kelakar James. Priwi ikut tertawa.

“Okey I will wear my underwear tommorow night,” Priwi menanggapi gurauan James dengan gurauan.

“Oh that awesome! It will make me want to undress you ASAP,” James tertawa cukup keras. “Last night i found some unique spot in this beach... but you wont get the unique tonight, maybe tommorow night you can come with me to that spot.”

“You not talking about something dirty weren’t you?”

James mengangkat kedua tangannya “I’m pure as a baby,” guraunya.

Sudah hampir jam dua belas malam saat Priwi baru kembali ke kamarnya, di sebuah bangku di restoran terbuka, Priwi melihat Mika yang sedang duduk sendiri sambil merokok. Mereka bertatap mata sejenak.

“Habis dari mana sayang?” Sapa Mika tanpa ekspresi. Priwi hanya menjawab dengan menunjuk ke arah pantai. “Mau temani aku dulu sebentar? Akhir-akhir ini kita jarang ngobrol,” ajak Mika.

“Nggak ah, aku ngantuk,” jawab Priwi datar sambil meneruskan langkahnya ke kamar.

Pandangan Mika mengikuti Priwi hingga ia tak terlihat lagi, meninggalkan Mika diantara kepulan asap rokoknya.

*_*_*

Hari ini rombongan chantiquerz (sebutan untuk cewek-cewek yang kost di tempat Priwi kost) melanjutkan liburan mereka dengan tour ke tempat menarik yang kemarin belum di datangi, bedanya kali ini Almond adalah satu-satunya cowok di rombongan itu. Mika tidak ikut dalam rombongan itu karena mendadak diare.

“Malam ini malam selasa kan?” tanya Nova pada yang lainnya. “Nanti malam katanya ada spesial live performance di restoran, Mas Mika udah nyiapkan tempat VIP buat kita semua nih.”

“Wah boleh tuh... semalam aja menurutku sudah asyik suasana di restoran terbuka itu, kalau nanti malam ada apa sih?” Rin bertanya cukup antusias.

“Live performance Ka-Ja Band. Band lokal Karimun Jawa yang sudah terkenal sampai Hongkong loh,” Nova menjawab, menirukan apa yang tertulis di brosur yang dibawanya sepanjang liburan ini.

Di hari terakhir liburan mereka ini banyak diisi oleh permainan outbond yang seru seperti bungee jumping, hiking kecil-kecilan, dan arum jeram yang cukup menantang. Saking menantangnya Nova sampai menangis ketakutan membuat Diny tertawa terbahak-bahak dan harus menelan beberapa serangga yang terbang di atas sungai. Priwi harus membawa tongkat karena kakinya gemetar. Dan yang paling berkesan adalah Helga yang saking ngerinya membasahi celananya sendiri dengan air seninya. Untung saja mereka membawa baju dan celana ganti.

Sore itu mereka kembali ke resort dengan puluhan canda tawa dan pengalaman seru yang masih membuat mereka terpingkal-pingkal sendiri. Sesampainya di resort mereka mampir ke kamar Mika untuk menjenguk keadaannya. Mika sudah terlihat segar saat mereka datang.

“Gimana jalan-jalannya? Sorry aku tadi nggak enak badan, ternyata masuk angin,” Kata Mika. “Kok nggak beli oleh-oleh?”

“Besok pagi kan masih bisa?” Jawab Diny sambil membuka tirai jendela.

Mereka mengobrol dan saling menceritakan pengalaman lucu dan seru yang mereka alami hari ini, sambil berkali-kali terpingkal saat bercerita. Mika ikut tertawa dan dengan asyik menyimak cerita-cerita mereka. Bahkan Almond yang biasanya diam ikut berkomentar dan berekspresi.

“Aku udah siapin tempat buat ntar malam di restoran terbuka. All You Can Eat I pay!” ujar Mika disambut dengan acungan jempol dari sang ratu makan; Diny!!.

“Aku nggak ikutan ntar malam,” Priwi menjawab sambil beranjak. “Aku mau maen ke pantai aja.”

“Yah ngapain sih di pantai mulu Mbak Priwi?” tanya Nova.

“Iya Wi... Mumpung sekalian liburan kita kumpul lah,” tambah Helga.

“Iya nih si Priwi nggak asyik,” Rin ikut menimpali.

“Aku nggak suka live musik kayak gitu,” Jawab Priwi enteng sambil meninggalkan kamar.

Malam itu Priwi tampil sdikit berhias, dengan tanktop coklat muda dipadu dengan hotpants yang ditutupi kain pantai membuatnya tampil lebih manis dari biasanya. Dia berjalan menuju pantai, sempat melambaikan tangan ke chantiquerz lain yang saat itu duduk di sebuah kursi khusus dekat panggung di Restoran terbuka. Chantiquerz balas melambai. Namun Priwi tidak melihat adanya Mika diantara mereka. Priwi tidak ambil pusing masalah itu. Dia melanjutkan langkahnya ke pantai. Malam itu pantai lebih sepi karena rupanya perhatian para pengunjung resort itu teralihkan ke live performance di restoran terbuka malam ini. Priwi duduk di kursi pantai, sambil mendengarkan alunan musik yang sudah dimulai di Restoran terbuka itu.

Sedang asyik-asyiknya melamun tiba-tiba seseorang membekap mulut Priwi. Priwi terkejut dan berusaha meronta. Tapi tangan yang membekapnya sangat kuat, Priwi masih meronta saat sang pembekap menggunakan tangan yang satunya untuk memeluk Perut Priwi lembut. Lalu dia melepaskan bekapannya.

“James!!”. Seru Priwi saat tahu ternyata James yang iseng membekap dan memeluknya dari belakang.

“Waiting for me?”. Tanya James sambil menjulurkan lidahnya.

“Like Hell I am!”. Jawab Priwi pura-pura. James tertawa.

“Come with me!” ucap James tiba-tiba. Tanpa menunggu jawaban Priwi James menarik tangan Priwi hingga Priwi sedikit terseret mengikutinya. Genggaman tangan James di pergelangan tangan Priwi memang tidak kencang namun lembut dan bertenaga.

James membantu Priwi naik ke atas beberapa karang tidak jauh dari tempat mereka. Hingga akhirnya berhenti di sebuah batu karang cukup menjorok ke laut. Dari tempat mereka sekarang, lantunan musik sudah tidak terdengar lagi. Tempat itu gelap dan sepi, Priwi yakin orang-orang yang di pantai takkan dapat melihat mereka berdua sekarang.

“Here we are... this is the spot!”. Ucap James. “No one from the beach can see us whatever we do in this spot.”

“That the unique? This spot was invicible?,” tanya Priwi setengah kecewa.

“Hahaha...” James tertawa keras. “The invicibility just a bonus, the unique of this spot is what you can see in the water in front of us,” Ucap James sambil memeluk pinggang Priwi untuk membantunya melihat ke laut di bawah mereka.

Di bawah sana, di laut yang hitam karena gelap, Priwi tidak menemukan apapun kecuali air yang gelap.

“What the unique?” Priwi mulai yakin kalau James hanya membual.

“Wait...”. Ujar James sambil menjatuhkan sebuah kerikil ke dalam air.

PLUNG... Suara percikan air saat batu itu masuk dan mulai tenggelam.

Apa yang terjadi dari dalam air setelah itu adalah sesuatu yang tidak disangka sebelumnya oleh Priwi. Seberkas sinar muncul dari dalam air... diikuti beberapa titik-titik sinar lainnya dan menjadi semakin bertambah banyak dan terang.

Titik-titik terang itu lalu bergerak ke arah-arah yang berbeda, dan jumlahnya semakin banyak. Seperti bintang di langit yang menari, namun ini di dalam air. Priwi terkesima terpesona melihat permainan cahaya yang ditampilkan oleh ubur-ubur di dalam air dihadapannya.

“Thats so beautiful...” gumam Priwi.

"I know.... So do you...”. Jawab James sambil memeluk Priwi dari belakang dan menggenggam tangannya. James menatap mata Priwi dalam-dalam, Priwi melakukan hal yang sama.

Detik berikutnya tanpa sadar Priwi memejamkan matanya saat James mengangkat dagunya dan mendekatkan bibirnya. Bibir Priwi membuka sedikit saat pelukan James makin turun dari punggung ke pinggangnya dan bibir James mulai menyentuh bibirnya. Priwi pasrah, dia terlena.

KRIIIIINGGGG!!!!! KRIIIINGGGG!!!.

Dering handphone Priwi menggagalkan ciuman mereka, Priwi dan James sama-sama terkejut, pelukannya terlepas, Priwi segera melihat ke layar handphonenya dan menemukan nama “Puspy” di layar handphone-nya.

“Ya halo Pus?” Priwi mengangkat teleponnya setengah kesal. Di seberang sana suara Puspy sedikit tenggelam dengan hiruk pikuk tepukan penonton.

Raut wajah Priwi berubah seketika begitu mendengar apa yang disampaikan Puspy lewat telepon. Wajahnya tegang sejenak, lalu dia beranjak pergi tanpa memutuskan telepon, bersusah payah menuruni karang, meninggalkan James yang memanggil-manggilnya. Priwi terus berlari.

*_*_*

Kadang hidup itu seolah berputar. Seringkali tak seperti yang kita inginkan, seringkali harus berputar, berbelok-belok sebelum mengantarkan apa yang kita inginkan. Jalan hidup adalah sesuatu yang bisa diprediksi namun tak bisa dipastikan sebelum itu semua terjadi. Hidup adalah pertunjukan yang terbaik.

==Night #1==

“Kalau kamu bintangnya sih nggak jadi film Titanic Din... tapi Tetanus!” Kelakar Mika mengomentari Diny yang sedang berpose mirip adegan dalam film Titanic. Diny langsung mencibir, Priwi, Nova, Rin dan Helga menyambut kelakar Mika dengan satu tawa keras.

Long weekend kali ini Mika telah menyiapkan acara khusus untuk mereka dengan berlibur di sebuah resort di Karimun Jawa. Ini bukan acara mendadak yang tanpa persiapan, meski di depan yang lainnya Mika berbohong dengan mengatakan ini adalah kunjungan pertamanya di Karimun Jawa, jelas ini bukan kunjungan pertamanya.

Sejak Dua bulan lalu Mika sudah dua kali menginap di resort tersebut. Kebetulan Mika punya kenalan di resort itu jadi dia bisa menyiapkan segala sesuatu sekaligus survey lokasi. Sebulan yang lalu dia menghubungi Chantiquerz dan menawarkan menghabiskan long weekend kali ini di Kepulauan Karimun Jawa. Meski tadinya mereka beranggapan ide Mika hanya ide kosong belaka, Mika membuktikannya dengan mengirimkan foto bukti bahwa ia telah mem-booking tempat di resort tersebut. Akhirnya jadilah mereka menghabiskan long weekend mereka di Karimun Jawa.

“Kamar cewek kalian bagi sendiri ya? Ni kuncinya kamar 311 dan 312. Aku ama Almond di kamar 321,” ujar Mika sekembalinya dia dari meja resepsionis. Diny dan Puspy memegang kunci kamar masing-masing. Mereka sibuk sendiri mengatur agenda yang akan mereka kerjakan malam nanti. Diny, Nova dan Priwi sudah tidak sabar untuk ke pantai sedangkan Rin dan Helga lebih memilih memanfaatkan fasilitas body treatment yang disediakan oleh resort.

“Nggak ikut ke pantai Bro?” Tanya Almond ketika bersiap untuk menjemput Puspy ke pantai.

“Mau ngapain coba malam-malam ke pantai?” canda Mika. “Nantilah aku menyusul kalau sempat, aku masih ada urusan bentar,” ujar Mika mempersilahkan Almond untuk pergi lebih dulu. Almond mengacungkan jempolnya tanda setuju lalu meninggalkan Mika di kamar.

“Al... bentar..” Mika menahan Almond. “Kamu sama Puspy ke pantai?”

“Iya kenapa?”

“Daripada nggak ada tujuan mending sini deh aku kasih tau tempat bagus.”

Almond mendekat dan Mika menggambarkan sebuah peta.

“Sesampai disana lihat ke bawah, jatuhkan batu kecil atau apapun ke air dan tunggu saja, kamu akan melihat Star at the Sea,” Jelas Mika sambil memberikan gambar peta buatannya pada Almond. Almond mengangguk paham dan mohon diri.

Usai membereskan barang, Mika menghubungi resepsionis lewat telepon hotel.

“Maaf bisa disambungkan ke kamar 502?” Pinta Mika. Resepsionis segera menghubungkan panggilan Mika. Tidak lama kemudia terdengar suara pria di seberang telepon.

“Sudah sampai Mik?” Tanya suara di seberang.

“Sudahlah, mau ke dapur sekarang?”

“Boleh, anak-anak juga sudah nggak sabar mau ngulangin sukses bulan kemarin.”

“Hahaha... sukses dari mana coba?? Kayak nggak pernah dapat tepukan aja mereka tuh.”

“Memang jarang dapat tepukan sebanyak kemarin.”

“Ya okelah, meluncur ke dapur sekarang,” ujar Mika sambil menutup telepon.

Mika beranjak menuju lift dan menekan tombol naik ke lantai lima. Di sana dia bertemu dengan Oky, pria yang tadi diteleponnya. Pemuda dengan potongan rambut spike itu tampak senang melihat kedatangan Mika. Mereka berjalan masuk ke sebuah pintu bertuliskan Staff Only.

“Sound-nya terlalu kaku ya?” Tanya Bima, drummer yang sering tampil di restoran terbuka di resort itu.

“Asal kamu nggak telat masuknya aman kok Sob,” Jawab Oky seraya membereskan guitar bass yang tadi dimainkannya.

“Sayang nggak boleh test-drive dulu,” Iman sang lead guitar berkomentar. “Di atas panggung dan di ruang tertutup seperti ini kan beda jauh.”

“Better than before kok,” Jawab Mika sambil tersenyum. “By the way, gimana soal pesananku Bos?” Tanya Mika ke Oky.

“Tepat seperti yang dipesan,” Oky berjawab sambil tersenyum.

“Jangan kuatir Mik,” Bima menepuk pundak Mika dengan drum-stick. “Kita akan membuat dia tidak bisa melupakan malam itu.”

“Hahaha... pokoknya kalau sampai yang kamu lakukan ini nggak ngefek juga berarti harus mempertimbangkan solusi untuk operasi plastik!!” Iman tertawa diikuti yang lainnya. Mereka berempat saling bercanda sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke kamar masing-masing.

*_*_*

Mika mengetuk pintu kamar tempat Priwi, Rin dan Diny menginap. Cukup lama sebelum akhirnya Rin membuka pintu sambil mengucek matanya.

“Wah, Sorry udah pada tidur?” Tanya Mika sedikit merasa bersalah.

Dari dalam kamar terdengar suara dengkuran, Mika melongokkan kepalanya dan melihat Diny yang tidur sambil ‘bernyanyi’.

“Cari Priwi ya? Dia belum kembali ke kamar tuh.... asli Body Treatment disini enak banget, aku langsung tidur dengan sukses,” Rin menceritakan pengalamannya sambil membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan Mika masuk.

“Jadi dia belum balik?” tanya Mika sambil menghubungi nomor Priwi. “Dimana sayang? Kok belum balik ke kamar? Udah malam lho,” tanya Mika lembut.

“Masih di pantai. Iya ini mau balik ke kamar kok,” jawab Priwi dari seberang telepon.

“Pantai sebelah mana? Aku susul ya?”

“Ih ngapain? Nggak usah aku bisa sendiri kok,” Nada Priwi terdengar sedikit ketus.

“Oh ya sudah... jangan malam-malam ya? Aku khawatir.”

“Iya udah ah jangan bawel,” Lantas Priwi menutup telepon. Mika bergegas menuju lift.

Saat pintu lift terbuka Mika berpapasan dengan Almond dan Puspy yang baru dari pantai.

“Nih dia nih sumber infonya,” seru Almond sambil menjabat tangan Mika.

“He?” Mika bingung. “Apa maksudnya?”

“Makasih ya Mas?” Ucap Puspy sambil mennggandeng tangan Almond mesra.

“Jangan manas-manasin dong...” ujar Mika. Puspy dan Almond tertawa.

“Sea-star nya bagus Mas,” ucap Puspy.

“Iya Bro... aku sampe bengong sendiri lihatnya,” Timpal Almond polos, Puspy tertawa lepas mengingat reaksi Almond kala melihat Sea-Star.

“Mas janjian sama Mbak Priwi ya? Tadi dia nungguin di pantai tuh,” ujar Puspy.

“Oh dia di pantai... oke deh aku susul kesana,” Mika pun bergegas masuk ke dalam lift.

Lantunan musik di restoran terbuka terdengar pelan. Mika menuruni tangga kecil terbuat dari batu pualam menuju ke arah pantai untuk memastikan Priwi baik-baik saja. Namun langkah Mika terhenti saat melihat di sebuah kursi pantai Priwi tampak mengobrol asyik dengan seorang cowok bule. Rasa cemburu perlahan membakar dada Mika melihat dengan akrabnya Priwi tertawa sambil memukul bahu cowok bule tersebut. Mika membatalkan keinginannya menyusul Priwi. Sambil menahan rasa cemburu yang mulai bergejolak, Mika bergegas naik ke atas.

Helga dan Nova baru saja keluar dari kamar mereka saat Mika sampai di lantai tempat kamar mereka menginap.

“Wah habis darimana Mik?” Tanya Helga.

“Cari angin,” jawab Mika sekenanya. “Lah kalian berdua mau kemana?”

“Ke sebelah, tadi Mbak Rin ngajak main kartu. Puspy ma Almond malah sudah lebih dulu disana,” Nova menjelaskan situasi.

“Ayo ikut?” Ajak Helga sambil tersenyum manis. Mika pun mengangguk setuju.

“Loh Mas? Kok cepet? Mana Mbak Priwinya?” Tanya Puspy saat mengetahui Mika tidak kembali bersama Priwi.

“Ada di pantai, mungkin bentar lagi juga balik. Bukannya tadi kamu udah tidur Rin?” tanya Mika kepada Rin.

“Nggak bisa tidur lagi gara-gara Diny ngorok,” Rin bicara sekenanya.

“Enak aja! Di pantai? Tadi aku telepon nggak diangkat,” Diny angkat bicara.

“Iya, aku juga nelpon Priwi nggak diangkat. BBM nggak dibalas juga,” Rin menimpali.

“Biasalah, orang kota, nggak pernah ketemu pantai bagus. Kamu kenapa kok bangun Din?”

“Kebangun gara-gara suara ngorok-ku sendiri,” Jawabnya malu-malu. Sikap Diny kontan mengundang tawa dari yang lainnya. Mika mengambil posisi duduk tepat disamping Rin.

“Ayo!! Aku ikut main!!” Seru Mika kemudian.

Cukup lama mereka bermain kartu ketika Priwi akhirnya kembali.

“Dari mana aja sayang?” Tanya Mika saat melihat Priwi masuk. Priwi tidak menjawabnya, dia menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur.

“Mbak Priwi? Ayo ikut main,” ajak Nova.

“Nggak deh Nov, ngantuk nih mau tidur,” jawabnya dingin sambil mengutak-atik BB. Mika hanya memandang Priwi yang mulai asyik dengan BB-nya. Mika lantas melanjutkan permainan kartunya.

“Aah masa aku kalah mulu....” Nova protes. “Udahan ah... ngantuk nih,” Rengeknya manja.

“Besok kamu yang bawa barang lho Nov..” Goda Almond disambut tawa yang lainnya.

Mereka pun akhirnya memutuskan untuk menyudahi permainan itu, Mika berdiri dan mengangkat kedua tangannya untuk meluruskan punggung. Tiba-tiba pandangannya teralih pada sosok Priwi yang menggerakkan kakinya karena kedinginan. Dengan lembut Mika mengangkat kaki Priwi, menarik selimut dan menyelimuti tubuh Priwi. Semua dilakukannya dengan sangat hati-hati.

*_*_*

==Night #2==

Air laut malam itu pasang cukup tinggi meski tidak sampai menutup pantai. Mika duduk di salah satu bangku di Restoran terbuka sambil meluruskan kakinya yang cukup pegal gara-gara sempat tersesat pada saat mereka jalan-jalan tadi siang. Lantunan musik jazz lembut melantun dari live music di panggung restoran tersebut. Mereka berkumpul dan asyik mengobrol kesana-kemari sambil membahas kelucuan-kelucuan yang terjadi siang tadi. Priwi sibuk dengan BBM-nya sebelum tiba-tiba berdiri dari kursinya.

“Boring nih”, ujarnya sambil melihat ke sekeliling. “Aku mau jalan-jalan ke pantai aja deh,” ujar Priwi sambil melenggang pergi. Mika hanya menatapnya.

“Nggak disusul mas?” Tanya Diny pada Mika. Mika menggeleng.

“Biar dia nikmati pantai sepuasnya,” jawab Mika.

“Ntar Mbak Priwi diculik lhoo,” goda Nova.

“Eh aku lihat lho ukiran nama Mika+Priwi buatannya Mas di batu karang itu,” Puspy tiba-tiba bicara.

“Oh ya? Dimana Pus?” Helga menyambut gosip ini dengan antusias.

“Di karang dekat tempat liat Sea-star,” Almond menimpali. Kemudian Almond dan Puspy menceritakan tentang Sea-star yang mereka lihat malam sebelumnya.

“Waahhhh So Sweeet... Mau lihat...” Rengek Nova.

“Iya Mas Mika... ayo tunjukin tempatnya,” Rin juga tampak tertarik.

“Nggak bisa sekarang, air sedang pasang, nggak akan ada Sea Star kalo airnya pasang,” Mika menjelaskan disusul dengan lenguhan kecewa dari Diny, Nova, Rin dan Helga.

Mereka bertahan cukup lama di restoran itu sebelum akhirnya Diny mengajak bermain kartu lagi. Mika menolak saat Rin mengajaknya. Jadilah Mika sendiri di restoran tersebut.

Mika beranjak pergi dari restoran dan menyusul ke pantai namun sekali lagi dia membatalkan niatnya setelah melihat Priwi sedang berduaan dengan cowok bule yang kemarin malam. Mika meredakan rasa cemburunya dengan segelas Lemon Tea.

“Kusut banget Bos,” Sapa Iman yang datang entah dari mana. Iman duduk di bangku seberang Mika. “Ada yang lagi galau nih.”

Mika tertawa mendengar kata-kata Iman. “Nggak galau, cuman lagi nunggu seseorang aja,” Jawab Mika kemudian.

“Wah, kalau sampai ngebela-belain ditungguin sendirian disini berarti someone special dong.”

Mika tertawa lagi. “Ya gitu deh,” jawabnya sambil meminum minumannya.

“By the way, soal lagu yang kamu pilih, itu suara hati sendiri ya?”

Mika tersenyum dan menggeleng. “Bukan... itu memang dari suara hati seseorang, tapi bukan suara hatiku. Aku hanya mencoba melukiskannya agar dia tahu bahwa ada orang lain yang mengerti dirinya,” jawabnya sambil tersenyum. Iman manggut-manggut bingung. Tidak lama kemudian Iman mohon diri.

“Habis dari mana sayang?” Sapa Mika saat melihat Priwi berjalan hendak kembali ke kamar. Priwi hanya menjawab dengan menunjuk ke arah pantai. “Mau temani aku dulu sebentar? Akhir-akhir ini kita jarang ngobrol,” ajak Mika.

“Nggak ah, aku ngantuk,” jawab Priwi datar sambil meneruskan langkahnya ke kamar.

Pandangan Mika mengikuti Priwi hingga ia tak terlihat lagi, meninggalkan Mika diantara kepulan asap rokoknya.

*_*_*

==Night #3==

“Yakin nggak mau diantar ke dokter?”. Tanya Rin saat melihat Mika bersembunyi di balik selimutnya. Mika keluar dari balik selimutnya.

“Udah... nggak apa-apa. Kalian berangkat aja sana, maaf aku nggak bisa ikut, beneran nggak enak badan nih,” Mika mencoba meyakinkan Rin dan yang lainnya.

“Ya udah kita berangkat dulu ya? Kamu istirahat yang cukup,” Ujar Rin sambil meninggalkan Mika.

Sebenarnya Mika tidak sakit, dia sama sekali tidak sakit. Hanya saja dia perlu waktu untuk mempersiapkan kejutan untuk Priwi malam ini. Dia mengorbankan waktunya bersenang-senang demi sebuah kejutan besar yang sudah disiapkannya dari dua bulan yang lalu. Sebuah kejutan yang membuatnya harus dua kali mengunjungi resort ini. Setelah memastikan rombongan Chantiquerz berangkat, Mika turun dari tempat tidurnya, mandi, mengganti pakaian dan turun ke lobby hotel. Disana, Oky sudah menunggunya.

“Sorry lama, harus akting dulu,” Mika meminta maaf karena telah membuat Oky menunggu cukup lama.

“Santai saja. Aku sudah memastikan untuk malam ini. Semuanya nggak ada masalah. Kamu mau lihat kesana?”.

“Nggak usahlah, aku percaya ke Bos Oky aja. Soal fireworks-nya?”

“Itu yang harus kita ambil langsung ke pelabuhan. Tapi aku sudah pesan, hanya mereka memang nggak bisa delivery hari ini. Aku udah siapin mobil box resort kok.”

“Waduh makasih banyak lho Bos... sorry banget aku udah ngerepotin kalian.”

“Asal malam ini buat lebih baik dari dua bulan lalu, anggap aja kita impas,” Jawab Oky sambil tersenyum lebar.

Mika bersama Oky pergi ke pelabuhan untuk mengambil barang untuk persiapan kejutan malam ini. Setelah memastikan semua barang OK. Mereka membawa barang itu ke Resort.

“Untuk pemasangannya biar diurus anak buahku,” Ujar Oky memastikan. Mika mengangguk setuju.

Hari sudah menjelang gelap ketika Mika dan Oky selesai dengan persiapan-persiapan itu. Sebentar lagi rombongan Chantiquerz akan kembali. Ianpun kembali ke kamar setelah mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya ke Oky.

Mika sudah selesai mandi saat rombongan Chantiquerz masuk kedalam kamarnya.

“Gimana jalan-jalannya? Sorry aku tadi nggak enak badan, ternyata masuk angin,” Kata Mika. “Kok nggak beli oleh-oleh?”

“Besok pagi kan masih bisa?” jawab Diny sambil membuka tirai jendela.

Mereka mengobrol dan saling menceritakan pengalaman lucu dan seru yang mereka alami hari ini, sambil berkali-kali terpingkal saat bercerita. Mika ikut tertawa dan dengan asyik menyimak cerita-cerita mereka. Bahkan Almond yang biasanya diam ikut berkomentar dan berekspresi.

“Aku udah siapin tempat buat ntar malam di restoran terbuka. All You Can Eat I pay!” ujar Mika disambut dengan acungan jempol dari sang ratu makan; Diny.

“Aku nggak ikutan ntar malam,” Priwi menjawab sambil beranjak. “Aku mau maen ke pantai aja.”

“Yah ngapain sih di pantai mulu Mbak Priwi?” Tanya Nova.

“Iya Wi... Mumpung sekalian liburan kita kumpul lah...” Tambah Helga.

“Iya nih si Priwi nggak asyik” Rin ikut menimpali.

“Aku nggak suka live musik kayak gitu,” jawab Priwi enteng sambil meninggalkan kamar.

Priwi tidak ikut bersama dengan mereka malam ini. Mika sempat melihat Priwi bergegas ke pantai dengan dandanan yang lebih cantik dari biasanya. Mika tahu, kemungkinan besar Priwi akan bertemu dengan cowok bule yang dua malam ini menemaninya di pantai. Dan Mika juga tahu bahwa kejutan yang dipersiapkannya tidak akan ada artinya tanpa kehadiran Priwi, namun dia hanya diam. Tidak ada yang bisa dilakukannya, kalau dia berusaha mati-matian membujuk Priwi, yang ada mood Priwi akan rusak dan hasilnya malah jadi lebih buruk dari apa yang terjadi sekarang.

Sebenarnya Mika sudah menyiapkan bangku khusus untuknya dan Priwi, hanya berdua, meski tidak jauh dari tempat duduk teman-temannya. Namun karena Priwi menolak hadir, bangku cantik dengan vas bunga kristal berisi setangkai mawar merah dan candle-light dari bahan perak di atasnya kini digunakan oleh satu-satunya pasangan yang tersisa di Chantiquerz, Almond dan Puspy.

“Aku ikut sedih mas,” Ucap Diny menenangkan Mika. “Yang sabar ya? Mbak Priwi memang sering nggak peka,” tambahnya. Mika hanya tersenyum.

“Halah! Sudahlah Din!... kita disini tuh liburan, jadi bebas menikmati! Bebas mau kemana saja sesuka kita... Nikmati aja semuanya,” Mika tersenyum dan mencoba bersikap biasa-biasa saja. Meskipun semua disitu tahu Mika hanya menghibur diri sendiri dengan kata-katanya barusan.

Oky, Iman dan Bima yang tergabung dalam band lokal Ka-Ja adalah pemilik panggung malam ini. Mereka menggebrak panggung dengan lantunan lagu-lagu lembut khas mereka. Restoran itu tampak penuh, musik-musik yang dibawakan Ka-Ja memang sungguh menarik hati. Sambil menikmati live performance, Rombongan Chantiquerz mengobrol kesana kemari.

“Dan berikutnya adalah sesuatu spesial, tembang yang akan dibawakan oleh seorang hadirin diantara kalian. Dua bulan yang lalu untuk pertama kalinya ia bernyanyi di sini, di tempat ini. Dan ia akan mengulanginya lagi malam ini...”. Oky memberi sebuah pengumuman. “Dengan penuh harap kami memanggil saudara kami Mika!!” Serunya kemudian.

Para Chantiquerz sontak terkejut, ini adalah sesuatu yang tidak disangka oleh mereka. Mika tersenyum membalas tatapan aneh mereka semua. Mika beranjak dari kursinya dan menuju ke panggung, dia mengacungkan jempolnya pada Puspy dan Almond yang menatapnya heran.

“Selamat malam semua,” Ucap Mika di depan microphone, langsung dibalas dengan salam yang sama dari para pengunjung Restoran terbuka malam itu.

“Sebelumnya saya menyiapkan momen ini untuk seseorang, dia sedang berulang tahun malam ini... Meski dia saat ini tidak ada disini...”

Rin, Puspy, Diny, Nova dan Helga saling berpandangan.

“Ohh iyaaa,” ujar Rin sambil menepuk keningnya sendiri. “Hari ini kan Ultahnya Priwi!!”.

“Telpon Priwi sekarang!” Almond berkata tegas ke Puspy, Almond seolah mengerti kesedihan yang disembunyikan Mika saat dia mempersiapkan sesuatu untuk orang yang dicintai, namun yang dicintai tak pernah tahu. Sedikit panik Puspy menghubungi nomor Priwi.

“Ya halo Pus?” Priwi mengangkat teleponnya setengah kesal, musik sudah mulai dimainkan, tepukan penonton membuat Puspy harus bicara sedikit lebih keras.

“Mbak Priwi ke sini sekarang!! Mas Mika bawain lagu untuk Mbak Priwi! Mbak Priwi ulang tahun hari ini kan?!”.

Tidak ada suara jawaban dari Priwi, hanya terdengar beberapa gemerisik. Almond memberi isyarat agar Puspy meletakkan handphone di meja agar Priwi bisa mendengarkan lagu yang dibawakan Mika.

Diatas panggung Mika sudah mulai membawakan lagunya...

Karamnya cinta ini...

Tenggelamkanku di duka yang terdalam...

Hampa hati terasa

Kau tinggalkanku meski ku tak rela

Salahkah diriku hingga saat ini

Ku masih berharap kau tuk kembali

Mungkin suatu saat nanti

Kau temukan bahagia meski tak bersamaku

Bila nanti kau tak kembali...

Kenanglah Aku sepanjang hidupmu...


Naff-Kenanglah Aku

Riuh tepukan penonton terdengar ramai ketika lagu itu selesai dinyanyikan. Mika menyapu sekitar dan pandangannya terhenti di sosok Priwi yang berlari melewati tangga batu pualam. Nafas Priwi masih tersengal-sengal ketika suara desingan bising terdengar dari arah laut, diikuti beberapa ledakan kembang api menghias angkasa dan menyisakan tulisan

‘Happy Birthday.. Priwi’

Priwi tidak bisa lagi menahan air matanya saat mendengar kata-kata terakhir Mika sebelum turun dari panggung.

#06
Our Story - Height Surprise


Tahukah kalian bagaimana sesaknya kala kita berusaha memenangkan hati seseorang dengan menyiapkan sebuah kejutan yang indah untuk orang tersebut, namun orang itu tak menyadarinya? Bahkan mencoba untuk mengabaikanmu? Ya, mungkin itulah yang sempat ada dalam benak dan lubuk hati tokoh utama kita. Bisa saja ia menghentikan kejutan-kejutannya dan melarutkan diri dalam kesedihan, atau mengalihkan perhatian dan tenaga ke hal lain yang lebih bermanfaat. Namun tokoh utama kita tidak melakukan itu, tak sedikitpun ia lari dari rasa sesak itu. Ia tetap bernyanyi, menghidangkan kejutan indah yang mungkin saja tak pernah disadari oleh sang pujaan hati. Tahukah kalian kenapa ia lakukan hal itu? Karena ia tahu, rasa sesak yang ada di benaknya saat ini takkan lebih besar dibandingkan rasa sesak yang dialami oleh Priwi saat ia mengetahui kejutan yang disiapkan. Sebuah sesak yang dilahirkan dari rangkaian rasa bersalah dan rasa bahagia.

Mika turun dari panggungnya setelah menyanyikan lagu itu dan mendekati Priwi. Mika dapat merasa semua mata mengikuti arah langkahnya. Sambil berjalan ke arah Priwi, dengan tangkas ia menyambar tissue di meja yang ia lewati, dan juga dengan tangkas memetik sebuah mawar di salah satu pot yang ia lewati seperti orang yang menderita kleptomania.

“Jangan nangis doong... kan udah gede. Met Ultah ya?” ucap Mika sambil menyeka air mata Priwi dengan tissue dan menyerahkan setangkai bunga hasil curiannya barusan.

Priwi hanya diam, membiarkan Mika menyeka air matanya dan kemudian menggenggam tangan Mika. Priwi menatap mata Mika dalam-dalam dengan matanya yang masih berkaca-kaca. Priwi sendiri lupa kalau hari itu adalah hari ulang tahunnya, tidak ada yang mengingatkannya. Namun Mika yang selalu dia jutekkin bisa mengingat dan mempersiapkan sebuah kejutan yang luar biasa seperti ini. Dia mengenggam tangan Mika erat-erat.

Mika membalas tatapan sayu Priwi dengan senyum dan tatapan penuh kasih. Sebelum dengan tidak diduga Priwi memeluk Mika erat-erat. Dada Priwi bergetar dan dia dapat merasakan bagaimana detak jantung Mika berdetak kencang.

“Oooohhhhh....” pengunjung restoran itu terenyuh melihat adegan itu. Mika melepaskan pelukannya dan tersenyum menatap Priwi.

PLAKK!!.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Mika. Semua pengunjung tersentak kaget dengan reaksi yang diberikan Priwi. Mika memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan Priwi tanpa reaksi. Segala pertanyaan berputar di kepala Mika.

“Aku kan udah bilang aku nggak suka kayak gini di depan umum!” hardik Priwi sambil menengadahkan wajah Mika ke arahnya.

“Maaf, aku kelepasan,” Ucap Mika sambil tersenyum, masih memegangi pipinya.

Priwi lalu meninggalkan Mika bergabung dengan teman-temannya yang lain, Mika mengikutinya dari belakang sambil senyum-senyum aneh.

Begitu Priwi duduk di antara teman-temannya, mereka satu persatu langsung menyalami Priwi, memberi selamat. Dan tak lama kemudian, lagu ulang tahun dibawakan oleh Ka-Ja. Diikuti dengan munculnya seorang koki yang membawa sebuah cake pesanan Mika.

Cake itu berbentuk miniatur Pulau Karimun jawa. Dengan lilin berbentuk ‘Priwi’ diatasnya. Priwi meniup padam lilin itu diikuti tepukan para pengunjung dan dia memotong cake tersebut. Semua mata disitu bertanya-tanya, pada siapa Priwi akan memberikan potongan pertamanya.

Priwi meletakkan potongan pertama cake tersebut diatas sebuah piring kertas dan memberikannya kepada Diny yang sedari tadi memandang cake tersebut dengan pandangan ‘lapar’.

Semuanya tertawa dan makin tertawa saat Diny dengan khusyuknya melahap cake itu. Mika juga ikut tertawa.

“Mas kok yang ini susah dikunyah ya?” Diny bertanya polos sambil mengeluarkan sesuatu berwarna hijau yang tadinya jadi hiasan cake. Mika memperhatikan benda yang disebut Diny.

“Itu kan kawat yang buat hiasan Din,” jawab Mika diikuti tawa para Chantiquerz.

*_*_*

Setelah pesta kejutan malam itu usai, mereka kembali ke kamar. Mika masih bertahan di restoran itu untuk bantu-bantu membereskan peralatan. Yaah, hitung-hitung sebagai tanda terima kasih karena telah diberi kesempatan menghadirkan sebuah kejutan yang indah.

“Jadi apa yang akan terjadi setelah ini?” Iman bertanya pada Mika sambil menghabiskan kaleng minuman terakhirnya. Kondisi di restoran sudah sepi, hanya tinggal mereka berdua yang ada disana.

“Who knows?” jawab Mika sambil membereskan kabel. “Kamu tahu kan seberapa sulitnya membaca hati seorang wanita?”

Iman mengangkat bahunya. “Aku sudah dijodohkan jadi mana kutahu,” jawabnya enteng.

Tiba-tiba pandangan mereka teralihkan oleh sosok Priwi yang menuruni tangga pualam dan mendekati mereka.

“Yap! Sudah malam... sepertinya aku harus tidur... bye Sob,” ujar Iman sambil berpura-pura menguap dan meninggalkan tempat itu.

Priwi duduk di samping Mika tanpa mengucapkan banyak suara. Hanya senyum tipis yang tergambar samar di wajahnya.

“Belum tidur sayang?” ucap Mika lembut. Priwi membenarkan rambut panjangnya yang menutupi telinganya.

“Belum,” jawab Priwi, kali ini nada suaranya terdengar begitu lembut.

Mika yang jelas menyadari adanya perubahan nada Priwi yang biasanya dinginnya amit-amit. Sekarang jadi ekstra lembut. Badan Mika sedikit tersentak kaget saat tiba-tiba Priwi menyentuh tangannya. Priwi jadi ikut terkejut dan menarik tangannya.

“Apaan sih!!” Priwi terkejut dengan gerakan tiba-tiba yang dilakukan Mika.

“Eng... Nggak... cuman takut ditampar lagi aja... hehe,” Mika nyengir. Priwi tertawa.

“Lihat pantai yuk?” Ajak Priwi.

“Nggak bosan apa lihat pantai terus?ikut aku aja deh.”

“Kemana?”

Mika tidak menjawab pertanyaan Priwi. Dia menarik tangan Priwi dan menggandengnya ke halaman belakang resort dan berhenti di sebuah tower tandon air yang cukup besar.

“Ladies first,” ujar Mika dengan gentleman, mempersilahkan Priwi untuk memanjat tangga.

“Naik maksudnya?, capek ah! Ogah!” Priwi menolak tapi Mika tidak peduli dan tetap mendorong pantat Priwi untuk memanjat. Akhirnya dengan terpaksa Priwi pun memanjat sampai ke atas tower baja tersebut. Mika menyusul tepat di belakangnya.

“Ngapain sih sampai ke tempat ini?” tanya Priwi. Wajah manis gadis pujaan hati Mika itu terlihat lucu karena cemberut. Belum jelas Priwi kesal karena dipaksa memanjat naik atau karena Mika yang telah mendorong-dorong pantatnya.

“Lihat ke sana deh,” Mika menjawab sambil menunjuk ke arah laut yang gelap di hadapan mereka. Priwi mengikuti arah tunjuk Mika dan memicingkan matanya memandang hamparan laut gelap di hadapan mereka.

“Apaan sih?” Tanya Priwi tak mengerti.

“Sebentar yah?” Mika meraih flash-light kecil yang ada di dalam sakunya, menyalakannya lalu mengarahkannya ke arah kegelapan laut dan bergerak membentuk gerakan memutar berlawanan arah jarum jam.

Priwi bingung dengan apa yang dilakukan Mika, namun saat dia kembali memandang ke arah laut, beberapa berkas sinar muncul dari kegelapan laut. Sinar-sinar itu muncul satu demi satu hingga membentuk huruf-huruf.

‘Priwi’. Itulah yang terbaca dari rangkaian cahaya itu.

“Mereka semua kenalanku... hehe ini rencana cadangan yang mendadak kusiapkan saat aku tahu kamu nggak hadir di restoran,” ucap Mika sambil memandangi nyala obor dari kapal-kapal nelayan kenalannya yang merangkai kata itu.

Priwi terdiam menyaksikan satu kejutan yang sekali lagi tak diduganya itu.

“Makasih ya?” Priwi berucap. “Maaf tadi aku nampar kamu.”

Priwi mengusap lembut pipi Mika yang masih tampak kemerahan akibat tamparannya tadi. Untuk sesaat mata keduanya bertemu. Untuk sekali lagi, Mika melihat sesuatu di dalam mata indah gadis pujaannya ini, sesuatu yang tampak begitu berkilau, sesuatu yang memberikan debar kuat di dalam hatinya. Sesuatu yang membuatnya memejamkan kedua matanya kala wajah mereka mendekat dan bibir keduanya beradu lembut.

Hal itu adalah ciuman kedua mereka, ciuman yang lebih lama dan terasa lebih dalam. Bibir mereka beradu lembut, Priwi mengalungkan kedua tangannya ke leher Mika, membuat keduanya semakin larut dan ciuman mereka semakin ganas. Lidah keduanya menari, saling menghisap, saling membelai di dalam satu lumatan, kecupan hisapan yang tak pernah terjadi sebelumnya. Setelah larut dalam deep wild kiss yang cukup lama, barulah Mika menghentikan ciumannya. Memandang ke arah Priwi yang tersenyum dengan wajah bersemu merah.

Mika mengelus pipinya yang memang masih merah. “lain kali ingat ya ini pipi bukan beton,” Guraunya.

Priwi tidak tertawa, gadis itu tersipu malu seraya mencubit pinggang Mika. Sikap Priwi saat ini benar-benar bertolak belakang dengan sikap dingin dan cuek yang sebelumnya ia tunjukkan. Mika tersenyum, dalam hati ia bersyukur karena usahanya tidak sia-sia.

“Oh iya... ini kadomu,” Mika memberikan sebuah bungkusan yang sangat kecil pada Priwi. Priwi terlihat bersemangat saat menerimanya.

“Boleh kubuka?”

“Kalo nggak boleh nggak akan kubungkus,” Mika menjawab dengan kegaringannya.

Priwi membuka kado kecil dari Mika itu. Isinya sebuah gantungan kunci kecil berbentuk mangkuk bubur kacang hijau. Priwi menatap Mika dengan bingung.

“Biar kamu rajin makan sayur dan serat... kamu kan kurang serat. Aku aja ngeliat gantungan kunci itu langsung lapar,” kelakar Mika.

Mereka bertatapan sejenak sebelum saling mendekatkan wajah mereka dan kembali berciuman bibir. Sebuah ciuman yang sangat berarti bagi keduanya.

“By the way, tinggi juga tempat ini. Gimana cara turunnya nih? Aku kan rada phobia ketinggian,” Ujar Priwi.

“aku juga...”. Jawab Mika polos.

*_*_*

Mika menerima kunci kamar yang baru dipesannya dari resepsionis. Malam ini, ia tidak akan tidur sekamar dengan Almond seperti dua malam sebelumnya. Priwi yang memintanya untuk memesan satu kamar baru dengan alasan tidak enak membangunkan teman-temannya yang sudah terlelap. Sebuah alasan yang tidak masuk akal mengingat dua malam sebelumnya, Priwi selalu kembali ke kamarnya menjelang tengah malam.

Priwi dan Mika memasuki kamar baru mereka. Sebuah kamar dengan satu ranjang empuk berukuran Queen Size. Tadinya Mika meminta kamar dengan dua ranjang, namun ternyata hanya kamar ini yang tersisa. Priwi sendiri tampaknya tidak keberatan berbagi ranjang dengan Mika malam ini.

“Jangan kuatir, aku bisa tidur di lantai seperti saat di kost...” ucapan Mika terhenti saat ia melihat Priwi melepaskan tanktop-nya. Buah dada gadis itu masih terbalut bra berwarna coklat muda.

“Hayo, ngelihatin apa?” goda Priwi sambil tersenyum dan menyambar handuk. Gadis itu dengan sengaja menyenggolkan pundaknya saat melewati Mika yang terdiam bengong saat Priwi melenggang menuju kamar mandi.

Mika terdiam saat ia mendengat shower dinyalakan. Sedikit perang batin terjadi dalam dirinya. Mika memang bukan perjaka, ia pernah melakukan hubungan seks dengan gadis-gadis yang kini menghiasi daftar mantannya. Namun, entah kenapa saat ini terasa jauh berbeda, ada debar-debar tidak jelas di dadanya.

Pintu kamar mandi terbuka, Mika semakin terperangah, wajahnya saat ini benar-benar terlihat seperti orang bodoh. Priwi tertawa geli melihat ekspresi yang tergambar dari wajah Mika. Gadis itu tersenyum centil, namun ia tahu bukan senyumnya yang membuat Mika terperangah, melainkan tubuhnya yang ia biarkan telanjang bebas. Dengan sedikit bulir-bulir air mengalir di lekuk-lekuk tubuhnya.

“Biasa aja dong lihatnya,” Priwi bicara seolah tidak ada yang istimewa dari ketelanjangannya, gadis itu menghanduki beberapa bagian tubuhnya yang masih terkena bulir-bulir air. Mengangkat sebelah kakinya ke arah kursi, menghadap ke arah Mika. Dari tempatnya berada saat ini, Mika dapat melihat jelas belahan kewanitaan Priwi yang tampak segaris dan bersih, dengan rambut-rambut kemaluan yang tipis dan jarang. Sebuah pemandangan yang membuatnya isi dalam celananya mengeras seketika.

“Mandi gih!” ujar Priwi kemudian. “Atau perlu dimandiin?” Priwi tertawa geli setelah menggoda Mika. Dengan sengaja gadis itu memperlambat usapan handuknya di paha dan selangkangannya.

Mika menggeleng-gelengkan kepalanya, mengembalikan kesadaran ke dalam dirinya dan bergegas menyambar handuk sebelum setengah berlari ke arah kamar mandi. Priwi tertawa geli melihat Mika yang hampir saja melakukan gerakan sliding tackle saat menginjak lantai yang cukup licin.

*_*_*

Dan disinilah Mika berada sekarang, seusai membersihkan tubuhnya. Pria itu kini berbaring terlentang di ranjang kamar. Selimut menutupi tubuh pria itu hingga ke dada, sesekali mata pria itu terpejam dan mulutnya terbuka, menikmati rasa yang dihantarkan oleh kepala penisnya saat Priwi memainkan lidahnya dari balik selimut. Ya, kini Priwi sedang ada di balik selimut yang tampak bergerak-gerak, gadis itu tengah memberikan fellatio kepada Mika.

“Ouuhh,” Mika tidak sanggup menahan erangannya kala Priwi memasukkan batang kejantanannya ke dalam mulutnya dan mulai menggerakkan kepalanya naik turun, membuat batang penis itu keluar-masuk dalam mulutnya. Mika memandang ke selimut yang kini bergerak naik-turun seiring gerakan kepala gadis itu.

Mimpipun tidak pernah, namun apa yang terjadi saat ini adalah nyata. Priwi, gadis pujaannya tengah menghisap kemaluannya, memberikan rasa nikmat pada batang penisnya. Ada perasaan nikmat, takut dan bangga yang bercampur dalam diri Mika saat ini. Diikuti dengan rasa syukur karena apa yang saat ini Priwi berikan padanya, adalah wujud nyata dari jawaban akan pertanyaan hatinya selama ini.

Mika sedikit blingsatan kala Priwi menghisap penisnya kuat-kuat, memasukkan seluruh batang kejantanannya ke dalam mulut hingga sedikit menyentuh tenggorokan gadis itu, memainkan lidahnya di kepala penis Mika, bahkan Priwi menghisap dan memainkan lidahnya di dua butir buah zakar pria tersebut. Jelas, ini bukan pertama kalinya Priwi memberikan oral sex. Mika sendiri tahu, Priwi pernah bercerita bahwa ia pernah melakukannya dengan beberapa pria, yang pertama kali, jelas dengan Raka. Tapi sampai saat ini Raka bukan satu-satunya, Priwi sempat menghisap penis beberapa rekan kerjanya saat berlibur ke sebuah villa, saat itu Priwi sedang dalam keadaan mabuk hingga ia sendiri tanpa sadar menikmati kala empat dari lima rekan kerjanya menyetubuhinya bergantian, satu diantaranya adalah pria dengan selisih umur hampir dua puluh tahun darinya.

Mika tahu semua itu dan ia tidak mempermasalahkannya. Masa lalu adalah sesuatu yang tidak dapat dirubah, dan masa lalu tidak berhak menghalangi datangnya masa depan. Itu adalah salah satu prinsip yang dipegang teguh oleh Mika sebagai salah satu caranya menerima kekasihnya dalam satu paket, utuh.

Setelah dirasa cukup, Priwi keluar dari balik selimut dan segera menyambar bibir Mika dengan satu ciuman yang ganas dan liar. Keduanya sekali lagi terlibat dalam percumbuan yang panas, kali ini Mika tidak hanya diam, tangannya meremas lembut buah dada Priwi, menjepit dan memainkan puting gadis pujaannya itu, membuat tubuh gadis itu bergerak-gerak nikmat.

“Ahhh...” Sebuah desahan keluar, kali ini dari bibir tipis Priwi yang mendesah saat jari-jemari Mika bergerak membelai lipatan bibir kewanitaannya, desahan itu berubah menjadi lenguhan saat jari tengah Mika bergerak masuk membelah lipatan tersebut. Tidak sulit memang, mengingat Priwi yang sudah sangat terangsang sehingga kewanitaannya menjadi sangat basah. Mika mengocok jarinya pelan, setiap kocokan jari Mika di vagina sang gadis membuat ciuman dan lenguhan Priwi semakin kencang.

Tidak adil rasanya jika Mika berhenti di sana. Baru saja pria itu ingin masuk ke balik selimut untuk memberikan oral sex kepada Priwi, gadis itu menahannya, menatap dalam-dalam ke arah Mika dengan pandangan sayu yang memohon.

“Masukin...” bisik gadis itu manja. Suaranya terdengar setengah mendesah dan sungguh merangsang.

“Apa sayang?” Mika bertanya.

“Masukin, aku udah pengen dientot kontol kamu,” kata-kata yang keluar dari bibir Priwi kini terdengar cabul dan ekstrim. Pertanda bahwa birahi gadis itu kini sudah sepenuhnya menguasai tubuh dan pikirannya.

Mika tersenyum lembut dan mencium bibir Priwi, mengangkat tubuhnya hingga kini berada di atas tubuh telanjang gadis pujaannya itu. Priwi membuka lebar kedua kakinya saat ia merasakan batang penis Mika yang keras, hangat dan gemuk menggesek gerbang kewanitaannya. Mika menggesek-gesekkan penisnya naik-turun hingga kepala penisnya dilumuri oleh cairan kewanitaan Priwi. Gesekan-gesekan tersebut membuat Priwi makin blingsatan. Setelah dirasa cukup, Mika meletakkan kepala penisnya tepat di depan lubang kewanitaan Priwi dan mendorongnya masuk dengan lembut namun pasti.

“Uuuhhh...” lenguh Priwi saat merasakan batang kejantanan Mika memasuki tubuhnya. Dalam satu dorongan lembut, batang itu membelah lipatan bibir kewanitaannya dan menggesek dinding-dinding vagina gadis itu. Membuat Priwi tak kuasa melenguh, merasakan kenikmatan yang menjalari tubuh telanjangnya.

Mika meredam lenguhan Priwi dengan ciumannya sembari mendorong masuk seluruh batangnya, sesekali Mika meringis merasakan ketat dan hangatnya jepitan dinding vagina gadis pujaannya. Setelah membenamkan seluruh penisnya, barulah Mika bergerak, memompa tubuh telanjang sang gadis, membuat Priwi memandangnya sayu dan mulai mendesah.

“Sshh.. ohhh,” desah Priwi setiap Mika menggenjot kewanitaannya. “Aahh, ennak sshh...”

Mika menumpu tubuhnya dengan kedua tangannya, memandang Priwi yang kini disetubuhinya. Pinggul pria itu bergerak dalam tempo yang teratur, persetubuhan ini sungguh nikmat, ia dapat merasakan dinding kewanitaan Priwi meremas-remas penisnya, memanjakan batang kejantanannya.

Tangan Mika bergerak meremas dada kanan Priwi, sembari penisnya merojok liang kewanitaan gadis cantik itu. Priwi menggeliat dan mendesah keenakan menikmati apa yang dilakukan oleh Mika. Tangan gadis itu kini bergerak menekan-nekan pantat Mika, Priwi kini ikut menggerakkan pinggulnya, menyambut selaras dengan genjotan Mika di vaginanya.

“Aahh... cepetin sshh... “ Priwi berbisik di sela lenguhannya, meminta Mika untuk mempercepat genjotannya.

Mika menyambutnya dengan antusias, pria itu menegakkan badannya, melemparkan selimut yang tadinya menutupi bagian bawah tubuh mereka. Kedua kaki Priwi diangkat dan ditumpukan ke bahunya, dengan semangat Mika menusukkan penisnya, lebih kencang dan lebih dalam lagi.

Hal itu membuat Priwi semakin tidak karuan, gadis itu merintih-rintih keenakan, payudara gadis itu berayun-ayun, tubuhnyapun ikut berayun mengikuti dorongan dan pompaan Mika yang kini cepat, kasar dan brutal. Kedua tangan Priwi meremas sprei ranjang, mencoba menahan kenikmatan yang kini siap meledak.

“Ah!!” Priwi menjerit lepas saat tubuhnya mengejan hebat karena orgasme. Gadis itu dapat merasakan aliran listrik di seluruh tubuhnya, diikuti dengan sebuah cairan yang menyembur dari dalam tubuhnya, kenikmatan yang ia rasakan sangat maksimal. Setingkat lebih hebat dari kenikmatan yang diberikan Bapak Sanyoto, pria dengan selisih usia hampir dua puluh tahun yang satu setengah tahun lalu menggagahinya beramai-ramai dengan tiga rekan kerjanya yang lain.

Mika menghentikan pompaannya untuk sesaat, memberi kesempatan kepada Priwi untuk menikmati orgasme pertamanya malam itu.

“Aku lanjut ya?” tanya Mika sambil tersenyum.

“Terserah, keluarin ya?” jawab Priwi sambil tersenyum.

Sekali lagi Mika mendaratkan ciumannya ke bibir Priwi sebelum pria itu mencabut penisnya dan membalik tubuh telanjang Priwi, rupanya Mika ingin menggenjot tubuh gadis pujaannya itu dengan posisi doggy style. Priwi mengerti keinginan Mika dan memposisikan tubuhnya sedikit mengangkat pinggulnya, tanda bahwa ia mempersilahkan Mika untuk menungganginya dari belakang.

“Ouuhhh..” Lenguhan kembali keluar dari bibir Priwi saat batang kejantanan Mika kembali memasuki tubuhnya, kali ini dari arah yang berlawanan. Mika menempatkan kedua tangannya ke pinggul Priwi, menjadikannya tumpuan sebelum menggenjot vagina gadis itu. Priwi mengangkat kepalanya, tubuhnya yang merangkak terdorong ke depan setiap Mika melesakkan penisnya masuk. Desahan Priwi lebih keras dari sebelumnya, pertanda bahwa Priwi merasakan kenikmatan yang lebih dari yang ia rasakan dalam posisi misionaris.

Tidak hanya Priwi, Mika pun melenguh keenakan saat dengan cepat pria itu menggenjot tubuh sang gadis. Tidak butuh waktu lama bagi Mika untuk merasakan kenikmatan yang memuncak. Pria itu mengubah posisinya kembali ke posisi misionaris, namun kali ini Mika menindihkan tubuhnya rapat-rapat ke tubuh telanjang Priwi. Genjotan Mika semakin dalam dan kencang, Priwi melingkarkan kakinya ke pantat Mika sembari memeluk erat tubuh Pria yang tengah menggagahinya.

“Sshh... di dalam atau di luar?” Mika menanyakan di mana ia harus menumpahkan benihnya.

“Ak..ku subur.. ahh, di dalam saja! Bareng!” Priwi menjawab sambil ikut mempercepat gerakan pinggulnya.

Priwi dapat merasakan batang penis Mika berkedut, sedang di lain pihak, Mika dapat merasakan dinding-dinding vagina Priwi meremas-remas penisnya. Dalam beberapa pompaan, Mika membenamkan penisnya dalam-dalam dan melenguh, beberapa detik setelah ia merasakan tubuh Priwi mengejan dan sebuah cairan menyiram kepala penisnya.

“Uuuhh,” Priwi melenguh merasakan cairan hangat menyembur ke dalam rahimnya.

Dua tubuh itu mengejan hebat, melukiskan kenikmatan yang baru saja dicapai oleh keduanya, sebelum tubuh Mika ambruk memeluk tubuh telanjang Priwi dengan nafas berat keluar dari keduanya.

Dua bulan sejak long weekend mereka di Karimun Jawa tidak ada perubahan yang berarti dalam hubungan Mika dan Priwi. Mereka memang makin dekat, Priwi tidak bersikap sedingin dulu seperti awal-awal mereka bertemu, namun hati Priwi rupanya lebih rumit daripada puzzle. Hingga sampai detik ini, belum ada kepastian antara hubungan mereka berdua. Mereka lebih dari teman, tapi bukan kekasih.

Menjalani hubungan tanpa status jelas bukan hal yang mudah bagi Mika, dia bukan tipikal laki-laki yang bisa bergerak tanpa arah yang pasti. Namun Mika telah mengambil sebuah pilihan, dan pilihan itu adalah ‘bersabar’.

“Halo kamu dimana?” Suara Priwi terdengar jelas di telepon.

“Lagi kerjalah, aku lagi di kantor. Kenapa sayang?” Mika menjawab kalem.

“Oh ya udah, ntar malam kamu ada waktu kan? Ada yang mau aku ceritakan.”

“Oke... nanti aku hubungi kalau sudah pulang,” ucap Mika, mereka pun saling mengucap salam dan menutup telepon.

Namun apa yang terjadi tidak seperti yang diharapkan sebelumnya, hujan deras turun membuat pekerjaan di lapangan terhambat. Karena dikejar deadline yang ketat, Mika pun harus turun ke lapangan untuk membantu dan memastikan pekerjaan baik-baik saja. Kendala di lapangan sangat sukar, sehingga pekerjaan tidak bisa diselesaikan dengan cepat. Mau tidak mau, Mika harus pulang terlambat malam ini.

“Belum datang juga?” Teriak Mika di sela hujan lebat kepada salah satu rekan kerjanya.

“Belum, sudah dihubungi katanya batching plant sedang macet total,” jawab rekan kerjanya itu.

“Pompa stand-by terus ya? Kita mulai dari yang terdekat. Gimana dengan produksi kita sendiri?” Mika memberi instruksi pada salah satu rekan kerjanya yang saat itu bertugas untuk mengoperasikan concrete pump, kendaraan yang berfungsi sebagai selang penyalur beton untuk posisi pekerjaan yang berada di ketinggian atau pada lokasi-lokasi yang sulit dijangkau secara manual.

“Sedang meluncur lima kubik,” ujar rekan yang memantau produksi beton mereka sendiri.

Kriiing...Kriing....

Dering telepon Mika terdengar lirih di tengah hujan angit lebat yang sedang mereka alami. Mika mengambil HP-nya dan melihat nama Priwi terpampang di layar.

“Halo sayang?” jawab Mika sambil setengah berteriak. Mencoba mengalahkan kebisingan akibat bunyi alat dan hujan deras yang mengguyur.

“Kamu dimana?” tanya Priwi.

“Masih di Proyek, disini lagi ada masalah di lapangan.”

“Hah? Gimana sih? Pulang jam berapa? Tadi kan udah janji telepon,” Nada Priwi terdengar ketus dan tidak sabar.

“Iya aku tahu, disini aku selesaikan secepatnya deh... nanti aku hubungi kalau sudah di kost.”

Priwi menjawab kata-kata Mika, namun Mika tidak bisa mendengarnya karena bersamaan dengan itu, suara bising mesin pompa penyedot air yang baru saja dinyalakan.

“Halo sayang?” Teriak Mika mencoba mengalahkan bisingnya suara mesin.

“Ah sudahlah! Kamu emang slalu nggak ada saat aku butuh!!” Bentak Priwi kesal sambil menutup telepon.

Mika terkejut karena telepon yang diputus sepihak, namun tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang selain fokus ke pekerjaan agar bisa selesai secepat mungkin dan bisa segera pulang untuk menelepon Priwi sesuai janjinya. Tidak lama setelah telepon itu, sebuah SMS masuk ke HP Mika.

‘udh g ush hub aq lgi... aq pling bnci cwok pmbohong!!’. Mika membaca SMS dari Priwi.

Mika tidak punya waktu untuk bimbang dan berpikir macam-macam, yang bisa ia lakukan saat ini adalah tetap berusaha fokus hingga pekerjaan sudah mencapai titik aman.

“Dari sini kalian lanjutkan saja ya? Aku pulang dulu ya?” ucap Mika begitu dia merasa pekerjaan telah mencapai titik aman untuk ditinggalkan. Hujan angin masih sangat lebat saat itu.

“Oke Bos... pake motorku aja nih,” ujar rekan Mika sambil melemparkan sebuah kunci motor. Mika menangkapnya dengan tangkas, mengucapkan terima kasih dan segera bergegas.

Sebelum menyalakan mesin motor, Mika menghubungi nomor Priwi. Nada tunggu terdengar namun tidak ada jawaban. Mika tidak menunggu, sambil terus berusaha menghubungi Priwi, dia memacu motor kencang-kencang melewati Hujan dan angin yang tidak kalah kencangnya.

“Sayaang angkat doong,” gumamnya, tangan kirinya sibuk dengan handphone, mencoba mengetik sebuah SMS untuk Priwi.

Dan detik berikutnya sorot lampu dari sebuah truk adalah hal terakhir yang dilihatnya malam itu.

*_*_*

Wajah Priwi terlihat masam, jelas dia sedang Bad Mood. Dia memandang bosan ke arah acara komedi yang ditayangkan di televisi. Berkali-kali panggilan masuk dari Mika di HP-nya, namun dengan sengaja diacuhkannya. Dia sedang sebal dan malas menerima telepon dari Mika.

Setelah entah panggilan keberapa barulah HP itu tak berdering lagi. Priwi memandang HP itu dengan kesal, mematikan televisi dan lampunya sebelum berguling tidur.

*_*_*

Esok paginya tak ada BBM dari Mika yang biasanya membangunkan dengan ucapan selamat pagi. Priwi tidak begitu peduli, dia bangun dan memulai aktivitasnya seperti biasa. Rasa kesal rupanya masih ada dalam dirinya, membuatnya enggan mencari tahu apa yang terjadi pada Mika sekarang.

Hari itu berjalan seperti biasa tanpa ada satu kabarpun dari Mika. Priwi juga tidak begitu tertarik atau berpikir macam-macam. ‘paling dia balas jengkel’. Pikir Priwi dalam hati.

Dua hari kemudian Priwi bangun pagi-pagi sekali. Dia mengambil HP dan membuka BBM. Saat itulah dia baru sadar bahwa tidak ada aktifitas yang terlihat sama sekali di BBM Mika. Tidak ada update status, tidak ada pergantian foto profil, tidak ada kabar, padahal sebelumnya dia sedikit risih karena Mika termasuk orang yang aktif mengganti status dan foto profilnya.

“Eh, ada yang di BBM sama Mika nggak akhir-akhir ini?” Priwi bertanya pada Chantiquerz saat mereka berkumpul bersama. Rin mengangkat bahu, Puspy menggeleng diikuti Helga dan Nova, Diny tidak menjawab karena sibuk membuka bungkusan makanan.

“Emang dia nggak ngubungin sama sekali?” Tanya Helga. Kali ini giliran Priwi yang menggeleng.

“Kok tumben ya? Biasanya kan tuh orang yang nggak bisa diam?” Rin ikut menimpali.

“Yah, aku sempat sebel sih ama dia kemarin,” Priwi lantas menceritakan komunikasi terakhir antara dia dan Mika.

“Mungkin dia sakit hati dan memutuskan mundur?” Nova berkomentar.

“Ya... bagus deh kalo gitu!” Priwi menjawab sekenanya. “Jadi dia nggak harus ngerasa sakit lagi,” tambah gadis itu cuek.

“Eh Mbak Priwi....” Diny memanggil Priwi dan memandangnya tajam dengan pandangan yang tanpa ekspresi. Semua di ruangan itu berpikir bahwa Diny hendak menyampaikan sesuatu yang penting.

“Ini bukanya gimana???”. Ujar Diny sambil menyodorkan sebungkus snack.

Setelah selama ini bersabar, Mika memutuskan mundur?. Priwi berpikir sendiri di dalam kamarnya malam itu. Di satu sisi dia merasa bersyukur karena itu artinya dia lepas dari rasa bersalah atas sikapnya yang sinis ke Mika selama ini. Namun di sisi yang lain ada kesedihan dan kekhawatiran, ‘dapatkah aku menemukan pria sesabar dan sebaik Mika nantinya?’.

Priwi membuka BBM-nya, memandangi profil Mika. Statusnya tidak berubah, tidak ada aktivitas. Tanpa sadar Priwi tertidur, tangannya menindih HP nya.

Saat tidur, Priwi tidak sengaja menindih HP hingga memanggil nomor Mika.

*_*_*

Priwi terbangun lebih pagi dari biasanya dan dia sedikit terkejut saat menemukan satu panggilan tak terjawab dari Mika di HP-nya. Priwi diam sejenak sebelum menghubungi nomor Mika.

“Halo?” Suara perempuan terdengar di seberang. Priwi diam sejenak, dia melihat nomor yang dia baru saja panggil, memastikan dia tidak salah menghubungi nomor.

“Haloo?”. Suara cewek itu kembali terdengar.

“Iya Halo, maaf ini nomornya Mika kan?” Priwi bicara setelah memastikan ia tidak salah nomor.

“Iya benar, ini siapa ya?” Tanya suara di seberang.

“Loh? Ini siapa? Aku temennya Mika.”

“Oh aku Anggi, sepupunya Mika.”

“Oh, Mikanya keluar? Kok Hape-nya dibawa Anggi?”

“Mika kan masih belum sadar,” jawab Anggi mengejutkan.

“Maksudnya?!!” Priwi beranjak duduk sambil mencoba menangkap apa yang disampaikan Anggi.

“Sudah tiga hari Mika belum sadar, setelah dia kecelakaan saat pulang dari kantornya.”

“HAH?!” Priwi tersentak kaget. Bermacam-macam hal memenuhi pikirannya. ‘Kapan? Dimana? Bagaimana bisa?’ pertanyaan itu berputar di kepalanya.

“Mau jenguk Mika? Siapa tahu dia bisa sadar, ini keadaannya aneh, dokter bilang dia tidak ada cedera apa-apa. Dia seperti tidur tapi nggak bangun-bangun,” Anggi menjelaskan keadaan Mika saat ini.

“Nggak deh, saya jauh di Jakarta,” Jawab Priwi.

“Ooh.. kirain dekat sini, ini di RS Nusa Dua.”

Pagi itu Priwi berangkat kerja dengan pikiran galau tak menentu. Entah mengapa meski dia tak begitu perhatian terhadap Mika, dia merasa ada sesuatu yang membuatnya terus terpikir mengenai apa yang terjadi pada Mika. Konsentrasinya kacau hari itu. Dan saat dia tanpa sengaja melihat iklan tiket pesawat, saat itu juga dia memutuskan untuk mengambil ijin dan membeli tiket penerbangan menuju Denpasar, Bali.

Pesawat Priwi mendarat di Bali sore itu, Anggi, sepupu Mika yang sempat dihubungi kembali tampak sudah menanti kedatangan Priwi. Priwi mudah ditemukan karena memberi foto dan ciri-ciri baju yang ia kenakan pada Anggi.

“Kejadiannya malam hari, itu menurut warga yang menolong Mika,” Anggi mulai bercerita tentang kronologis kecelakaan yang dialami Mika sambil menyetir mobilnya.

“Malam itu hujan deras, sepertinya Mika mengejar sesuatu jadi dia tidak fokus dan menabrak truk yang datang dari arah berlawanan.”

‘pasti itu malam saat aku ngambek’ Pikir Priwi dalam hati.

“Anehnya, tidak ada satu tulangpun yang patah akibat tabrakan itu,” Anggi melanjutkan. “Hanya saja sampai saat ini dia masih belum sadar. Dokter yang memeriksanya bilang semuanya normal, saat ini hasil scan otak menunjukkan Mika sedang dalam keadaan tidur, tapi entah kenapa tidak bangun-bangun juga.”

“Koma?” Tanya Priwi.

“Seperti itulah, jika dia tidak bangun dalam seminggu tentu saja bisa berakibat fatal, karena fungsi tubuhnya tidak digunakan,” jawab Anggi. “Mbak Priwi pacarnya Mika?”.

Mendapat pertanyaan seperti itu membuat Priwi sedikit terkejut.

“Bukan,” Jawabnya. “Cuma teman saja.”

“Berarti teman yang begitu spesial ya?” Jawab Anggi. “Karena saat kecelakaan, handphone Mika masih menyala. Handphone itu menunjukkan bahwa saat itu ia sedang mengetik SMS buat mbak Priwi.”

Priwi terdiam, Anggi membelokkan mobilnya memasuki halaman parkir sebuah Rumah Sakit.

Saat Priwi masuk ke sebuah kamar tempat Mika terbaring dengan Infus dan berbagai macam peralatan kedokteran, ia bertemu dengan Ibunda Mika. Tanpa diduga Priwi, Ibunda Mika segera memeluk Priwi dan mulai menangis. Priwi menepuk punggung sang Ibu sambil mencoba menenangkannya. Priwi memandang Mika yang tampak terbaring tidur tanpa ekspresi. Raut wajah Mika tampak sangat damai.

“Dia sedang tidur,” ucap sang Ibunda, bekas air mata tampak di wajah Ibunda Mika yang masih terlihat cantik. “Dia sedang bermimpi... mimpi yang sangat indah. Raut wajahnya itu... raut wajah yang biasa dia tunjukkan saat tidur dan bermimpi indah,” Sang Ibunda kembali bicara, sebulir air mata tampak mengalir pelan dari matanya. Anggi merangkul bahu sang Ibu dan membawanya keluar ruangan. Meninggalkan Priwi dan Mika berdua saja.

Priwi duduk disamping Mika, mengelus keningnya, wajah Mika benar-benar tampak damai. Priwi menggenggam tangan Mika lembut.

“Maaf...”. Butir-butir air mata Priwi mulai jatuh saat dia mulai bicara. “Maafin aku yang nggak bisa mencintaimu, meski aku sudah berusaha... apapun yang kamu alami sekarang... aku mohon. Bangunlah...”

Air mata Priwi bergulir semakin deras, menggenggam tangan Mika, satu sosok yang telah mencintainya dengan sepenuh hati.

*_*_*

Mika memandang cemas melihat keluar pesawat, tidak tampak apa-apa disana selain hamparan langit gelap dan awan mendung yang sesekali membuat pesawat sedikit berguncang. Jarum jam di arlojinya menunjukkan pukul sepuluh malam waktu Indonesia bagian barat. Seharusnya pesawat ini sudah mendarat di Jakarta tiga puluh menit yang lalu.

Mika bernafas lega saat terdengar suara pramugari yang mengumumkan bahwa mereka akan segera mendarat di Bandara Soekarno-Hatta dan menganjurkan penumpang untuk memasang sabuk pengamannya. Dengan sigap Mika memasang sabuknya saat lampu kabin pesawat mulai dipadamkan.

Mika mempercepat langkahnya sambil sibuk melihat Blackberry-nya yang belum juga mendapatkan sinyal. Tidak ada yang bisa dilakukan Mika selain mempercepat langkahnya keluar dari terminal kedatangan.

Suasana bandara internasional Soekarno-Hatta cukup ramai dengan kerumunan penjemput yang menunggu kedatangan. Mika menyapu sekilas wajah-wajah orang itu tanpa berhenti melangkah. Sesaat matanya tertambat pada sosok gadis yang tengah khusyuk memandangi papan info keberangkatan. Dada Mika seketika berdetak begitu mengetahui bahwa itulah gadis yang dicarinya. Sambil mencoba tenang Mika mendekati dan berdiri di sebelah sang gadis.

“Pesawat dari Denpasar belum datang ya?” Ucapnya pelan. Sang gadis terkejut dan menoleh ke arahnya. Mika memberikan senyum hangat. “Priwi kan?”

Priwi yang sedari tadi menunggu kedatangan Mika segera memeluknya. Mika terkejut, dan dia balas memeluk gadis yang jadi pujaan hatinya itu.

“Sudah menunggu lama ya?” tanya Mika sambil melepaskan pelukannya. Diangkatnya wajah Priwi dan saat itulah dia baru sadar Priwi sedang menangis.

“Kenapa nangis?” Tanya Mika sambil mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan menyeka air mata Priwi.

“lama…” nada suara Priwi terdengar manja, wajahnya nampak seperti merajuk.

“Maaf sudah buat kamu lama menunggu, maukah jadi pacarku?” kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Mika saat Mika menyeka butir demi butir air mata Priwi.

Priwi tersenyum, gadis itu menundukkan wajahnya, tampak malu dan sungguh menggemaskan. “Aku…” Priwi menghentikan kalimatnya, membuat jantung Mika seakan berhenti. “Aku mau,” jawabnya sambil tersenyum malu.

Tak ada kata yang bisa menggambarkan apa yang dirasakan oleh Mika saat itu, sebuah rasa yang mengalirkan semangat ke seluruh penjuru tubuh. Betapa bahagia terpancar dari wajah pria yang seolah hidup kembali. Saking bahagianya, Mika melakukan sujud syukur. Dan beberapa menit kemudian Priwi tertawa karena Mika tidak menghadap kiblat.

Dua kekasih yang baru bertemu muka dan baru saja meresmikan hubungan mereka itu berjalan bergandengan tangan ke arah shelter Bus yang akan mereka gunakan untuk menuju ke Cikarang. Baru saja Mika hendak naik ke atas Bus, jemari lembut Priwi menggenggam tangannya dan menahan pria itu untuk menaiki Bus.

“Kamu sayang kan sama aku?” tanya Priwi tiba-tiba. Mika menoleh ke arahnya.

“Iya,” ujarnya seraya tersenyum lembut. “Aku sayang sama kamu. Kenapa gitu?”

“Boleh aku minta sesuatu?” Priwi bertanya lagi. Mata gadis itu lekat memandang ke arah Mika, sebuah pandangan yang menyiratkan kesedihan.

“Boleh selama aku bisa dan mau akan aku penuhi,” jawab Mika tanpa menghiraukan pandangan sedih yang dipancarkan Priwi.

“Ini hidup yang indah, seperti yang kamu inginkan...” Priwi berhenti, mata indahnya kini tampak berkaca-kaca. “Namun itu hanyalah impianmu, aku mohon jika kamu memang sayang padaku. Bukalah kedua matamu.”

Belum sempat Mika bereaksi, sebuah tekanan kencang menekan dadanya, mendadak ia merasa lemah, seluruh pandangannya memutih, samar tapi pasti dia mendengar sesuatu berdesing di telinganya.

*_*_*

“Dokter!!” Priwi berteriak terkejut saat tangan Mika di genggamannya bergerak. Gerakan jemari itu makin lama makin kuat. Anggi dan Ibunda Mika yang mendengar teriakan Priwi merangsek masuk ke dalam ruangan. Dengan sigap Anggi menghubungi suster jaga yang tidak lama kemudian datang bersama dengan seorang dokter. Priwi melepaskan genggamannya dari tangan Mika sebelum beranjak menjauh.

Paramedis dan dokter dengan sigap melakukan check-up pada kondisi Mika. Dokter menyalakan senter kecilnya untuk mengecek gerakan bola mata Mika. Hal itu dilakukannya berulang-ulang. Sampai Mika membuka matanya.

“Selamat datang kembali Pak Mika,” ucap dokter itu sambil tersenyum. Mika mengerjap-kerjapkan matanya dan memandang sekitar, melayangkan pandangan pada dokter, paramedis, langit-langit kamar, Anggi dan Ibundanya.

“Mami?” tanya Mika. Suaranya masih terdengar sangat lemah. “Ada apa ini?” tanyanya lagi sambil beranjak bangun tapi dokter menahannya.
“Pak Mika berbaring saja dulu, jangan memaksa untuk bangun,” kata sang dokter.

Priwi memandang semua yang terjadi dari balik kaca kecil di pintu ruangan. Air matanya masih mengalir saat ia memutuskan untuk berbalik dan meninggalkan Rumah sakit tempat Mika dirawat.

*_*_*

'Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, atau berada di luar jangkauan'.

Mika menutup panggilannya dan memandang kosong ke laptop di depannya. Sudah tiga hari sejak sadarnya Mika. Dan proses pemulihan kondisi Mika juga terjadi dengan sangat menakjubkan. Tidak ada apa-apa yang dia ingat tentang kejadian itu, yang dia ingat justru sebuah mimpi indah yang telah dialaminya saat tidak sadar. Ibundanya dan Anggi memberitahunya bahwa Priwi sempat datang dan menjenguknya, namun entah mengapa saat Mika sadar, Priwi sudah tidak ada.

Mika sudah berkali-kali mencoba menghubungi Priwi namun nomornya tidak bisa dihubungi. Dia lantas menghubungi Chantiquerz dan dari mereka Mika mendapat info bahwa sudah seminggu ini Priwi tidak kembali ke kost. Mika pun makin khawatir, kalau saja dia tidak dikejar tanggung jawab terhadap pekerjaan yang ditinggalkannya selama dia dirawat, mungkin dia sudah menyusul ke Jakarta untuk mencari Priwi.

Priwi benar-benar menghilang. Seperti sosok yang tidak pernah ada di dunia. Sampai suatu sore, saat Mika baru pulang dari kerjanya. Sebuah panggilan masuk ke HP-nya, sebuah nomor asing terpampang di layarnya.

“Halo?” Mika mengangkat teleponnya.

“Mas Mika! Ini aku... Puspy,” suara Puspy terdengar dari balik telepon.

“Oh! Hey Pus, ada kabar apa nih?”

“Tadi pas aku baru pulang kantor, kamar Mbak Priwi sudah kosong!!”

“Apa? Kosong?”

“Iya, sepertinya siang tadi Mbak Priwi mengangkut semua barang-barangnya. Dia meninggalkan satu surat buat kita semua”

Mika terdiam saat Puspy mulai membaca surat yang ditulis oleh Priwi.

Dear all...

Maaf ya sebelumnya aku ganti nomor nggak bilang-bilang ama kalian, aku juga pindah nggak pamit dulu ke kalian. Tapi jujur aku nggak ingin membuat siapapun khawatir dengan keadaanku yang sekarang ini. Mulai sekarang, aku akan pindah dan mencoba menjalani sebuah kehidupan baru yang benar-benar baru tanpa adanya orang lama dalam kehidupanku. Untuk itu aku mohon maaf karena tidak bisa memberitahu kalian cara untuk menghubungiku.

@Mbak Helga : Mohon maaf kalau selama ini aku ngerepotin dan ada kata atau sikap yang mungkin kurang berkenan.

@Mbak Rin : Sukses ya untuk rencana pernikahan kalian, maaf aku nggak bisa datang.

@Nova : Jangan suka ngeyel dan emosian lagi ya? Berpikirlah lebih dalam.

@Puspy : Moga langgeng selalu dengan Bang Almond dan kegiatan cuci-mencucimu ^_^

@Diny : Yang tabah... aku bakal kangen sama smua candaanmu, sikap konyolmu, masakanmu, ngorokmu, dan kegigihanmu dalam membuka bungkus snack. Hehehe... kamu pasti akan dapatkan pangeran 'jambu'mu.

Jangan cari aku, aku nggak apa-apa kok aku akan baik-baik saja.

Ttd.

Priwi Zulfianty

Nb. @Mika... maafin aku, semoga kamu dapat yang lebih baik dari aku. Makasih buat semua ketulusan dan kesabaranmu ngadepin aku selama ini. Makasih udah mencintaiku dgn cinta yang luar biasa. Yang mungkin tak pernah pantas untuk aku dapatkan.
Mika tak bisa membendung perih dan sedih yang seketika itu menyergap dirinya. Sesak di dadanya membuatnya lemas seketika.

“Makasih Pus... udah dulu ya?” ujar Mika sambil memutuskan pembicaraan tanpa menunggu jawaban dari Puspy.

Mika membuka pintu kamarnya, hujan baru saja turun membasahi langit yang gelap tanpa bintang. Dibukanya laci meja yang jarang sekali dibukanya. Diambilnya sebungkus rokok, dibakar, dihisap dan bersama dengan satu kepulan asap rokok pertamanya, dia bergerak menerjang hujan. Membiarkan hujan mengguyur basah tubuhnya.

Aku akan membiarkan hujan mengguyur tubuhku

Dan aku akan terus berjalan

Namun sesak dan panas dalam dada ini

Selalu membuat bulir-bulir itu menguap


*_*_*

Hak manusia untuk berencana, bermain dengan impian dan waktu, bersajak lewat sikap dan untaian kata. Tak sedikit kisah yang dituangkan manusia lewat tulisan-tulisan singkat mereka, sebagai buah pikiran mereka dalam menyikapi kehidupan. Tidak peduli seberapa kerasnya hidup yang kita lalui, kita dapat membuatnya jadi lebih indah lewat karya-karya kita. Namun sehebat apapun kisah yang diciptakan manusia, takkan pernah lebih hebat dari apa yang direncanakan oleh Tuhan. Sebab rencana dan usaha manusia hanyalah sebuah hak, sedang rencana Tuhan adalah kewajiban.

2 Tahun setelah kepergian Priwi

Suasana di dalam gedung itu cukup ramai. Para undangan memenuhi ruangan dan asyik mengobrol antara satu sama lain. Lantunan lagu klasik memenuhi setiap sudut ruangan.

“Ma!! Aku mau itu!” rengek seorang anak kecil sambil menunjuk sebuah mangkuk besar berisi puding coklat.

“Iya sayang... Mama ambilkan sebentar lagi,” jawab Rin pada putra pertamanya.

“Masih lama Ma?” Arizky, suami Rin bertanya.

“Bentar lagi deh Pa, masih kurang satu orang lagi nih Chantiquerz,” jawab Rin sambil memandang ke sekelilingnya.

“Mbak Rin! Itu dia!” Nova berseru kecil sambil berjalan mendekati Rin. Di belakangnya, Helga yang sedang hamil lima bulan mendekat pelan sembari memegangi perutnya yang membesar.

Rin mengikuti arah pandang Nova, seorang gadis mengenakan jilbab yang dipadu cantik dengan gaun longgar yang didesain begitu anggun dan berkelas terlihat sedang membubuhkan tanda tangan ke meja penerima tamu. Tepat setelah itu, matanya tertuju pada Nova, Rin dan Helga yang tengah melambai ke arahnya. Wanita modis itu datang mendekati mereka diikuti seorang pria berkebangsaan Korea dibelakangnya.

“Haduuh Diny!!” Panggil Rin sambil memeluk Diny. “Wah nggak nyangka, desainer terkenal ini bisa datang juga,” tambahnya. Diny tersenyum lembut.

“Kalo buat Chantiquerz apa sih yang enggak Mbak Rin?” kata Diny pelan. “Oh iya kenalin nih! Kim-Dong-Hae, suamiku,” lanjutnya sambil memperkenalkan pria korea tampan yang datang bersamanya. Dengan sopan dan ramah Hae menjabat tangan semuanya.

“Sekarang udah beda ya? Kamu nikah di Korea sih... bikin kita-kita nggak bisa datang,” ujar Helga sambil mengelus perutnya yang tengah hamil.

“Hehehe... nggak sengaja kok Mbak,” Diny cengar-cengir sendiri. “Cowokmu mana Nov?”

“Nggak bisa ikut dia masih tugas di Dubai,” jawab Nova singkat.

“Oh iya! Buruan kasih salam ke pengantin gih! Terus kita foto bareng!” Rin mengingatkan Diny dan Hae yang belum menyalami pengantin sejak mereka datang.

Diny memandang sejenak ke sebuah undangan berwarna emas yang berinisial A&P di sampulnya. Diny mengajak Hae naik ke panggung pelaminan.

Di atas pelaminan, duduk dengan manis lengkap dengan baju pengantinnya, Puspy dan Almond. Mereka tampak tersenyum meski sedikit kelelahan. Hari ini adalah hari pernikahan mereka. Diny bersalaman dan mereka sempat heboh sendiri akibat reaksi yang berlebihan dari Diny dan Puspy, teman lama yang sudah cukup lama tidak saling bertemu.

“Mbak Priwi gimana kabarnya ya?” Nova membuka topik baru di sela-sela pembicaraan mereka.

“Nggak tahu Nov. Udah lama juga ya? Nggak kerasa sudah dua tahun kita nggak dengar kabar sama sekali dari dia,” Jawab Helga sambil menyendoki segelas ice cream.

“Jangan banyak-banyak, nggak baik buat bayi Mbak,” Rin mengingatkan. “Priwi... bikin kangen juga ya dia? Si Mika juga udah nggak ada kabarnya lagi sejak...” Rin menghentikan ucapannya saat dia mendengar sebuah lagu dinyanyikan. Dia merasa tidak asing dengan suara sang penyanyi.

“Ini bukannya suara Mas Mika?” Novy mengalihkan pandangannya ke arah panggung, diikuti oleh Chantiquerz lainnya. Di atas panggung, Mika tampak rapi dengan kemeja putihnya yang digulung selengan, dipadu rapi dengan Jeans Casual berwarna cokat gelap. Mika mengedipkan matanya ke arah para Chantiquerz yang memandang ke arahnya.

Setelah menyanyikan satu lagu dari Kahitna berjudul tak sebebas merpati untuk mempelai, Mika turun dari panggung dan menghampiri Chantiquerz yang menyambutnya dengan tepukan meriah. Tepukan dari mereka sukses memancing tepukan dari para undangan lainnya. Mika sempat hampir tergelincir karena tepukan yang membuat rasa grogi yang tiba-tiba menyerangnya.

“Wooo... tambah keren si Pemakan-Segala,” Sahut Mika saat melihat penampilan Diny.

“Ih enak aja!!” Diny langsung sewot.

“Hahaha... ini suamimu? Hey Hae! I’m Mika,” Sapa Mika akrab sambil menjabat tangan Hae. “eotteohge jinaeseyo?,” tanya Mika dalam bahasa Korea yang kurang lebih berarti ‘Bagaimana kabarmu?’.

“nan gwaenchanh-a,” Hae menjawab ‘I’m Fine’ sambil tersenyum ramah.

Hae dan Mika memang bukan baru kenal meski ini adalah pertemuan pertama mereka. Hae dan Mika adalah teman yang saling bertukar ide dan pikiran di internet. Hae bertemu dengan Diny di acara fashion show di Korea dan Mika sering meledek mereka sebagai pasangan yang saling jatuh cinta pada pandangan ke sembilan ratus tujuh puluh dua koma lima.

“Belum ada kabar juga dari Mbak Priwi?” tiba-tiba saja Diny melontarkan pertanyaan tentang Priwi kepada Mika. Spontan para Chantiquerz memandang ke arah Mika, menunggu reaksi yang diberikan Mika atas pertanyaan Diny yang straight to the point. Mika hanya tersenyum sebelum menggeleng dan meminum segelas minuman bersoda yang ada di tangannya.

“Kalau dipikir-pikir, hampir tiga tahun kita tinggal satu atap bersama Priwi tapi kita tidak tahu apa-apa soal di mana rumah orang tua Priwi atau koleganya,” Rin menimpali. “Teman macam apa kita ini?”

“Seharusnya ada di data pribadi Priwi yang tercatat di perusahaan tempatnya bekerja dulu kan?” Helga ikut menimpali.

“Alamat yang ada di data perusahaan, itu semua alamat lama. Aku sudah mencoba mendatangi alamat tersebut dan itu jalan buntu,” Mika tersenyum seraya meletakkan gelas minuman yang sudah kosong ke atas meja di dekat mereka berdiri. “Mungkin aku nggak akan bertemu dengannya lagi selamanya,” lanjut Mika kemudian. Nada ucapannya terdengar datar dan mengambang.

“Kalo begitu artinya kamu sudah memutuskan untuk move on?” pertanyaan lanjutan terlontar, kali ini dari Rin.

“Seharusnya,” kata Mika sambil menyapa putra pertama Rin. “Itu sudah isi lagi?” Mika mengalihkan topik pembicaraan sambil menunjuk ke perut Rin.

“Kok dia bisa tau sih?” Tanya Arizky, suami Rin heran. Rin dan suaminya baru kemarin memeriksakan diri ke Dokter yang menyatakan bahwa Rin positif hamil. Mereka belum memberitahu siapapun tentang kehamilan Rin.

“Dia kan peramal,” Jawab Helga sambil mengelus perutnya. Helga menghindar saat Mika mencoba mengelus perutnya. “Aku nggak mau tau jenis kelamin anakku sebelum dia lahir,” ujar Helga. Mika tertawa mendengarnya.

Suasana pesta pernikahan masuk pada acara dimana para undangan diberi kesempatan berdansa bersama sang pengantin. Mika menggandeng tangan Puspy dan menariknya ke lantai dansa.

“Aku pinjam dulu Bro,” goda Mika sambil mengedipkan matanya kepada Almond. Almond hanya tertawa dan menerima permintaan dansa dari Nova.

Mika dan Puspy berdansa ringan mengikuti alunan musik klasik. Di sela-sela dansa, Puspy melihat pandangan kosong Mika.

“Mikirin mbak Priwi ya Mas?” bisik Puspy.

Mika tersenyum dan mempercepat langkah dansa mereka. Sebelum akhirnya mencium tangan sang pengantin dan mengembalikannya kepada Almond, pengantinnya.

“Yang rukun ya? Kalian berdua,” ucap Mika sebelum berpamitan untuk meninggalkan pesta pernikahan Almond dan Puspy tersebut.

*_*_*


Cuaca cerah melengkapi panasnya kota Jakarta saat itu. Cuaca panas itu terasa sampai ke pinggiran-pinggiran kota Jakarta, termasuk juga di bandara internasional Soekarno-Hatta. Seorang gadis baru saja keluar dari terminal kedatangan internasional, tidak ada barang bawaan yang dia bawa selain sebuah tas tangan kecil. Sebuah kacamata Sun screen bersandar modis diantara helai-helai rambut hitam panjangnya.

Gadis itu menghentikan sebuah taksi kosong dan naik ke dalamnya.

“Ke alamat ini ya Bang,” ucap gadis itu sambil menyerahkan sebuah kertas. Sopir taksi itu menerima dan mengangguk mengerti. Detik berikutnya, taksi itu sudah meluncur meninggalkan bandara.

“Masih panas juga ternyata Jakarta,” gadis itu membuka pembicaraan. “Macetnya juga nggak beda dengan tiga tahun yang lalu.”

“Sudah lama nggak ke Jakarta ya Bu?” tanya sang sopir menimpali ucapan sang gadis.

“Tiga tahun yang lalu saya bekerja di Cikarang Pak. Tapi setelah itu dapat pekerjaan baru diluar negeri.”

Gadis itu tak lain adalah Priwi, setelah tiga tahun meninggalkan Indonesia, kini dia kembali ke negara kelahirannya. Bukan atas alasan apapun, dia hanya ingin mengunjungi keluarganya saja dan seperti biasa, dia pergi kemanapun dia suka. Priwi sudah tidak memiliki nomor teman-temannya, bahkan juga nomor para Chantiquerz. Sesuai yang telah ia tulis dalam surat yang ia tinggalkan di kamar kostnya, Priwi ingin menjalani sebuah hidup baru, hidup tanpa adanya nama-nama lama di dalamnya. Satu hal yang tidak bisa ia singkirkan, adalah nama Raka dan Mika, dua pria yang mengukirkan kisah tak terlupakan dalam hidupnya. Saat ini, Priwi menyempatkan diri untuk mengunjungi makam Raka sebelum pulang ke rumah orang tuanya.

Taksi itu meluncur masuk ke areal pemakaman yang tertulis di catatan kecil yang tadi diserahkan Priwi. Gadis itu keluar dari taksi dan berjalan ke arah makam Raka. Dulu, setiap dua minggu sekali dia rutin mengunjungi makam itu sambil membawa setangkai bunga mawar. Kali ini, setelah tiga tahun lamanya, dia kembali ke makam ini lagi. Kali ini tanpa setangkai bunga mawar.

Kondisi nisan di makam Raka masih tetap sama seperti tiga tahun yang lalu. Tidak ada perbedaan yang mencolok. Priwi berjongkok dan mengusap debu yang ada di atas ukiran nama pada batu nisan Raka menggunakan tangannya. Saat itulah sesuatu membuatnya terkejut.

Di bawah nisan Raka, terdapat setangkai mawar yang masih belum layu. Priwi terkejut karena setahu Priwi, jarang ada keluarganya yang mendatangi makam Raka. Priwi mengambil dan mengamati setangkai bunga mawar itu.

“Maaf Mbak, permisi,” suara seorang laki-laki mengejutkan Priwi.

Seorang pria setengah baya tersenyum melihat Priwi. “Permisi mbak, saya mau menanam bunga di makam yang sedang Mbak lihat itu,” Ujar Pria itu.

“Oh,” seru Priwi sambil menyingkir. Pria itu lantas memberi aba-aba kepada tiga orang dibelakangnya yang membawa sebuah gerobak penuh bunga mawar.

Priwi berpikir mungkin pria ini saudara jauhnya Raka meski dia yakin betul tidak pernah melihat orang ini sebelumnya. Pria itu lantas seperti sadar kalau Priwi sedang memperhatikannya. Pria setengah baya itu tersenyum dan mendekatinya.

“Jangan-jangan anda yang namanya Priwi ya?”. Tanya pria itu tiba-tiba.

“Eh?.. ng.. i.iya,” jawab Priwi terbata-bata. Keheranan karena pria itu mengetahui namanya.

“Mari kita bicara di tempat yang lebih nyaman,” Ajak pria tersebut.

Mereka berdua berjalan sampai ke sebuah taman tidak jauh dari areal pemakaman. Pria itu memulai pembicaraan.

“Maaf saya lupa sopan santun. Nama saya Jaja, sejak kira-kira setahun yang lalu saya rutin mengunjungi makam ini karena putri saya dimakamkan tepat disamping makam yang tadi Mbak Priwi kunjungi”. Ucap Pria itu memperkenalkan diri.

“Nggak apa-apa Pak. Tapi kenapa Bapak menanam bunga di makam Raka? Terus bagaimana Bapak bisa tahu nama saya?” tanya Priwi penasaran.

“Saya sering bertemu dengan seorang cowok seumuran Mbak Priwi, dia secara rutin mengunjungi makam ini sambil membawa setangkai mawar merah,” Pak Jaja menghentikan ceritanya untuk sejenak memastikan para pekerja melaksanakan tugasnya dengan baik, setelah dipastikan semua berjalan dengan baik, dia melanjutkan ceritanya.

*_*_*

Jakarta, sehari sebelum kedatangan Priwi.

Pak Jaja sedang memanjatkan doa di depan nisan putrinya saat seorang pria datang membawa setangkai mawar merah seperti yang rutin ia lakukan. Pak Jaja menatap pandangan kosong pria itu ke arah nisan bernama RAKA MAHARDHIKA tanpa suara sebelum berjongkok dan meletakkan setangkai mawar yang dibawanya. Kemudian pria itu beranjak pergi.

Tidak lama setelah kepergian pria itu Pak Jaja ikut beranjak keluar dari areal makam tersebut. Karena perutnya sedikit lapar, Pak Jaja memutuskan untuk mampir dulu ke sebuah warung makan yang ada di seberang areal makam tersebut.

“Bang? Soto Ayamnya satu!” Pak Jaja memesan makanannya.

Pak Jaja cukup kaget saat menyadari pria yang sedang duduk di depannya ternyata adalah pria yang tadi membawa setangkai bunga mawar. Pria itu sadar dengan tatapan mata pak Jaja dan memberinya senyum.

“Mari Pak,” ujar pria itu dengan penuh sopan santun.

“Iya Mas,” jawab Pak Jaja mempersilahkan.

Mereka sempat terdiam sebelum akhirnya Pak Jaja angkat bicara.

“Mas yang biasa bawa bunga mawar ke makam itu kan?”

“Iya Pak, kenalkan nama saya Mika,” ucap Mika sambil mengajak Pak Jaja berjabat tangan.

“Saya Jaja Mas,” Pak Jaja menerima jabatan tangan Mika.

“Itu makam istri Pak?” kali ini Mika yang bertanya.

“Bukan Mas, itu putri saya, setahun yang lalu dia meninggal akibat sakit,” jawab Pak Jaja.

Pak Jaja lantas menceritakan kisah sedihnya saat harus kehilangan putrinya, padahal anggota keluarganya hanya tinggal putrinya tersebut. Mika menyimak cerita Pak Jaja dengan seksama.

“Kalau Mas? Itu makam siapa? Saudara? Sahabat? Atau kekasih?” tanya Pak Jaja kemudian.

Mika tidak segera menjawab. Pandangannya kembali kosong, sebuah pandangan yang seringkali dilihat oleh Pak Jaja saat Mika baru sampai ke depan nisan tersebut. Mika lalu tersenyum.

“Saya tidak mengenal siapa yang terbaring di bawah makam itu Pak,” Mika tersenyum. Pak Jaja menatapnya heran.

“Saya bahkan tidak pernah melihat sosoknya ketika dia masih hidup,” kata Mika lagi. Pak Jaja tampak semakin bingung. “Hanya saja... jika mawar di nisan itu sampai kering, akan ada hati yang bersedih... dan saya tidak pernah mau melihatnya bersedih.”

Pak Jaja mulai dapat menangkap benang merah dari semua cerita ini. Mika lantas menceritakan kisahnya dengan Priwi.

“Saya sudah mencarinya hampir ke seluruh nusantara tapi tidak ada jejak keberadaannya,” nada kalimat Mika terkesan getir saat ia menutup ceritanya.

“Mas ini benar-benar tangguh ya?” komentar Pak Jaja seusai mendengar cerita Mika. Mika membalasnya dengan tersenyum.

“Itu tadi mawar terakhir yang saya antar,” ujar Mika kemudian. “Saya boleh minta tolong Bapak untuk mencari tukang kebun yang bisa menanam mawar disekitar makam Raka? Maksud saya agar tidak perlu lagi khawatir akan ada mawar yang layu nantinya.”

“Lho? Mas Mika mau berhenti mengirimkan mawar?”

Mika tersenyum. “Saya dipindah tugaskan ke luar negeri Pak. Besok malam pesawat saya berangkat. Mungkin juga ini kesempatan saya untuk mencari Priwi keluar negeri.”

“Ooh... ya bisa-bisa! Biar saya yang urus soal penanaman mawarnya.”

“Ini kartu nama saya,” ujar Mika sambil menyerahkan kartu namanya. “Saya tunggu kabar dari Bapak malam ini, sebutkan nominalnya, saat itu juga saya transfer biayanya ke Bapak,” lanjutnya. Pak Jaja menerima kartu nama yang disodorkan oleh Mika dan memasukkannya ke dompet.

Mereka mengobrol sebentar sebelum akhirnya Mika mohon diri.

*_*_*

Priwi termenung mendengar apa yang diceritakan Pak Jaja. Hatinya berdebar kencang, ingatannya seolah berputar kembali pada perkenalan pertama dia dan Mika, pertemuan pertama, kejutan demi kejutan di Karimun Jawa, hingga wajah damai Mika saat dia terbaring di rumah sakit.

“Pesawatnya malam ini Mbak... mungkin masih sempat,” ujar Pak Jaja sambil menyerahkan kartu nama Mika.

Priwi setengah berlari mencari taksi, begitu naik dia mengarahkan taksinya ke bandara. Di dalam perjalanan Priwi mengambil ponselnya mencoba menghubungi nomor yang tertera di kartu nama Mika namun hanya dijawab oleh mailbox. Berkali-kali Priwi melakukannya hingga akhirnya dia tahu itu percuma. Semua tentang Mika yang sudah dikuburnya selama tiga tahun hinggap kembali di pikirannya seperti sebuah rekaman yang diputar kembali. Semua kata-kata Mika saat berusaha menenangkannya, semua ungkapan sayang Mika, pemikiran yang kadang berseberangan dengannya tergambar jelas di ingatan Priwi. Hingga Priwi tak mampu lagi menahan derai air matanya di sepanjang perjalanan.


Berapa banyak tangan yang mau menggenggam lembut tanganmu

Setelah kau menamparnya berkali-kali hingga jatuh

Berapa banyak bibir yang tersenyum padamu

Setelah berkali-kali kau mencibirnya

Berapa banyak lidah yang mencoba menenangkanmu

Setelah kau menyakitinya dengan cerobohnya lidahmu

Berapa banyak hati yang masih menerimamu

Setelah kau membenci mereka
Taksi yang ditumpangi Priwi sampai di bandara malam itu, Priwi segera berlari tanpa arah, menyusur terminal demi terminal namun tetap tidak menemukan sosok Mika. Akhirnya ia mencoba menghubungi pihak informasi.

“Perhatian, kepada Bapak Mika dari PT. 96 Publisher, sekali lagi Bapak Mika dari PT. 96 Publisher, anda ditunggu oleh istri anda di ruang Informasi. Sekali lagi...”

Suara dari petugas pengumuman disuarakan berulang-ulang. Priwi menunggu dalam cemas, namun tetap tidak ada seorangpun yang muncul. Priwi kehilangan kesabaran, dia keluar dari ruang informasi dan kembali menyusuri tiap terminal keberangkatan.

Nafas Priwi tersengal-sengal, tanpa sadar pandangannya tertuju pada sosok pria yang sedang mematung di depan papan informasi kedatangan, tempat pertama kalinya Mika dan Priwi bertemu.

“Mika...” Priwi berseru pelan. Dia berlari kecil mendekati pria itu dan memegang pundaknya. “Mika!”

Pria itu menoleh dan memandangnya dengan pandangan aneh. Pria berkumis tebal itu mengernyitkan dahinya.

“Maaf? Anda siapa?” tanya Pria itu.

“Oh Maaf saya salah orang,” ujar Priwi sambil memandang kosong ke papan info kedatangan yang penuh kenangan itu. Pria berkumis itu memandang aneh ke arah Priwi sebelum bergegas pergi.

Rasa sesak dan sesal kini memenuhi dada Priwi. Dia mematung memandang papan info itu tanpa bergerak sedikitpun. Dia tidak bisa lagi menahan emosinya, air matanya jatuh bergulir di pipinya.

“Pesawat dari Denpasar belum datang ya?” sebuah suara memecah lamunannya.

Priwi terkejut menoleh ke sumber suara, Mika berdiri tepat disampingnya dengan senyum lembutnya yang mengembang diatas kumis-kumis tipisnya. Sebelum sempat bereaksi Mika sudah mengeluarkan sebuah sapu tangan dan menyeka air mata di pipi Priwi. Mika menggenggam tangan Priwi dengan lembut.

“Aku sayang kamu,” ucap Mika setengah berbisik.

“Sudah tau,” Balas Priwi sebelum memeluknya erat.

*_*_*
--------------------------------------------------------------------TAMAT

Sea Star


“Sudah siap?” Almond memandang mata kekasihnya dalam-dalam, mata yang selalu membuat darahnya berdesir setiap Almond menatapnya. Wajah manis Puspy selalu membuat senyum Almond mengembang, menghiasi wajah orientalnya.

“Bentar ya Hunz? Aku lagi bantuin Mbak Priwi pilih baju nih,” jawab Puspy yang tengah sibuk membanding-bandingkan beberapa pasang pakaian yang terjajar rapi di atas ranjang hotel.

“Hadeh... kayak mau ke Mall aja,” timpal Almond sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Ya, udah aku tunggu di luar ya?” ujarnya sambil bergegas keluar kamar.

Sekitar Lima belas menit kemudian Puspy keluar dari kamar dan tersenyum pada Almond.

“Sorry... kebiasaan cewek,” ujar Puspy manja.

“Kayaknya itu kebiasaan Priwi deh, bukan kebiasaan cewek,” timpal Almond setengah bercanda.

“Yuk, keburu gelap nanti,” Puspy menggandeng tangan Almond dan berjalan ke arah elevator.

“Mbak Pus! Bentar... foto dulu,” Ajak Nova ketika melihat Puspy dan Almond tiba di pantai. Puspy dan Almond segera memasang senyum hangat pada wajah mereka masing-masing.

“Apa-apaan sih foto kayak gitu!!. Mesra dikit dong!” Diny mencoba memanas-manasi dua sejoli itu.

Dengan malu-malu Puspy menggamit lengan Almond. Mereka tampak kaku, maklum saja, pasangan muda ini tidak biasa menunjukkan kemesraan mereka di depan publik. Diny yang tadinya memanas-manasi mendadak menyesal karena dia memang belum punya pasangan.

Dengan gaya amatirnya, Nova mengambil beberapa foto dari camdig barunya. Setelah puas, Nova kembali mengarahkan bidikannya ke Diny yang sedang asyik menulis ‘kapan ku punya pacar’ di atas pasir pantai.

Malam itu tidak begitu dingin, namun hembusan angin laut cukup kencang. Puspy mengikuti langkah Almond mendaki bebatuan karang di tepi pantai.

“Kita mau kemana si Hunz?” Puspy mengambil tangan Almond yang membantunya naik ke atas karang.

“Aku juga belum tahu,” jawab Almond dengan wajah lugunya.

“Lah? Gimana sih? Udah balik aja ke pantai yuk? Serem nih, gelap.”

“Udah tenang aja, ikutin aku.”

Almond meraih saku celananya dan mengeluarkan secarik kertas berisi peta yang tadi digambarkan Mika, memperhatikan sebentar, lalu melihat ke sekelilingnya.

“Harusnya disini tempatnya,” Gumam Almond seraya beranjak mendekati ujung karang. Dia lalu melambai ke arah Puspy. Puspy mendekat.

“Ada apa?” tanya Puspy sambil ikut melongok ke laut di bawah karang.

PLUNG!!!.....

Almond menjatuhkan sebutir batu terdekat yang dapat diambilnya ke dalam air. Tanpa diduga, detik berikutnya satu persatu sinar muncul ke permukaan air laut yang gelap, semakin banyak dan mulai bergerak, seperti hamparan bintang yang menari di bawah permukaan laut.

Puspy menatapnya takjub, matanya tak lepas dari cahaya demi cahaya yang bergerak seirama. Sejenak, Puspy merasa terbius dengan keindahan yang dilihatnya saat ini.

“Cantik banget Hunz,” Puspy terperangah menatap pemandangan di depannya. Tangan Puspy menggamit lengan kekasihnya dan menyandarkan kepalanya ke bahu Almond.

“...”. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Almond. Puspy menoleh ke arah Almond lalu seketika tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Almond yang saat itu bengong sambil ngiler.

“Huss,” Almond mencoba meredakan tawa lepas Puspy sambil menyeka air liur di ujung bibirnya.

“Mika yang memberitahuku tempat ini. Mungkin ini salah satu tempat paling romantis di sepanjang pantai ini.”

“Mungkin dia ingin melihatnya bersama Mbak Priwi,” Puspy menimpali.

Almond melepaskan tangan Puspy yang menggamit lengannya, sebagai gantinya, Almond merangkul Puspy, menggenggam tangannya dan menatap matanya dalam-dalam. Puspy memejamkan matanya saat wajah Almond mendekat. Detik berikutnya, kedua insan yang memadu kasih itu larut dalam satu ciuman yang mesra dan penuh kehangatan.

“Maukah bersamaku kembali kemari dan melihat ini lagi?” ucap Almond sambil menatap mata Puspy. “Nanti…”

“Nanti? Kapan?”

“Nanti... mari kita kembali lagi ke tempat ini dan melihat Sea Star ini lagi bersama nanti... Saat bulan madu kita nanti.”

Pipi Puspy kontan bersemu merah, bibirnya tersenyum malu, tidak ada satu katapun yang terucap dari bibir Puspy. Hanya satu ciuman lembut pada bibir Almond, sebagai jawaban atas semua pertanyaan.

*_*_*
She's Know, Pada: Rabu, Juli 29, 2015
Copyright © 2015 CERITA DEWASA Design by bokep - All Rights Reserved