SMAN XX
Pukul 06:45 WIB
Seorang cowok Indo-Chinese bertubuh kurus dengan tinggi badan sekitar 184cm tampak berjalan melalui jalur parkir mobil yang lenggang karena belum banyak guru yang memarkirkan kendaraan di parkiran mobil.
Tanpa ia disadari, sebuah mobil SUV melaju dengan terburu-buru dibelakangnya.
Karena ketidak-tahuannya, maka cowok berambut lurus itu berjalan dengan santainya.
Namun sungguh sayang, sang supir SUV itu tidak membiarkan cowok didepannya menikmati perjalanannya dari parkiran menuju kelas. Segera si supir tadi mengklakson panjang tanda tidak sabar.
DIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINNNNNNN!!!
Klakson mobil itu meraung panjang memekakkan telinga, membuat tiap pasang mata menatap penasaran dan kesal kearah mobil itu.
Inilah awal dari hariku, Kamis, 5 Januari 2012...
Aku terlonjak kaget karena sudah disuguhi suara klakson yang sangat nyaring sepagi ini.
“Apaan sih?! Mentang-mentang bawa mobil yah sok-sokan?!” aku sedikit membentak ketika membiarkan mobil itu lewat lalu melanjutkan perjalanan menuju kelas dengan agak bersungut-sungut.
Di kelas aku bertemu dengan Enggar, Novi, dan Lia. Mereka semua adalah sahabat-sahabatku. Aku duduk dibelakang Enggar sementara Novi dan Lia duduk dibelakangku. Bel tanda jam pelajaran dimulai pun berbunyi. Kami semua bersiap menghadapi pelajaran paling membosankan seantero jagat pendidikan, BK.
“Cih…bu Endang nih ngajar…pasti boasting like shit…” aku mengeluh diiringi derai tawa teman-teman
Aku merasa malas, maka aku meletakkan kepalaku di meja dan menatap tembok. Menyusuri tiap-tiap kata yang tergores di tembok sekolahku, entah contekan, kata-kata cinta, sekadar iseng, puisi, atau bahkan curhat. Aku melamun.
“Ssst…Van, katanya mau ada murid baru yah?” Novi berbisik, membuyarkan lamunanku
Aku mengangkat kepala dengan malas, tidak tertarik, tetapi penasaran juga.
”Oh iya? Kata siapa? Cowok atau cewek?” pertanyaan terakhir aku paksakan
“Nggak tau sih…tapi katanya anaknya tajir!”
Aku termenung, pikiranku melayang-layang. Aku menerawang menatap awan yang berarak pelan di langit diterpa angin lembut di hari yang cerah dan hangat ini, aku merasa begitu tenang.
Tiba-tiba wali kelas kami melangkah masuk bersama bu Endang. Aku menatap mereka dengan ekspresi annoyed.
“Hari ini, kelas kita kedatangan siswa baru, pindahan dari Jakarta” pak Trisno tersenyum
Seluruh kelas langsung ribut berbisik-bisik sementara kedua guru tadi hanya tersenyum.
Aku tak peduli. Yang aku inginkan adalah segera mengakhiri pelajaran BK ini dan melanjutkan ke mata pelajaran berikutnya.
“Ayo, masuk sini Nak!” ucap pak Trisno lembut sambil melambaikan tangan keluar kelas
Sesaat setelah itu, seorang cewek masuk dengan langkah anggun.
Tiap pasang mata menatap takjub kearah cewek itu yang seumpama sebuah permata diantara onggokan sampah. Dia diantara kami semua.
Ia mengenakan seragam sekolah berwarna putih bersih dengan rok sekitar 3cm diatas lutut dengan motif kotak-kotak seperti kain yang dari Skotlandia tetapi dengan warna dasar ungu dan warna putih serta hitam menjadi garis-garisnya. Terlihat betul kalau itu adalah seragam identitas. Ia mengenakan sepatu dengan warna pink dan putih semakin memberikan kesan ‘cewek banget’ pada dirinya.
Wajahnya blasteran antara Eropa dengan Chinese, tetapi Chinese yang mendominasi sebagian besar menciptakan suatu karya seni agung ciptaan Tuhan dimana bahkan Leonardo da Vinci ataupun Michelangelo tidak akan pernah mampu melukiskan betapa cantiknya bidadari ini.
Rambutnya hitam agak kemerahan, panjang dan lurus diikat kuncir kuda dengan ikat rambut berwarna pink. Kulitnya putih menawan dan penampilannya begitu segar (dalam artian positif, bukan segar bikin konak gitu). Tingginya mungkin sekitar 178cm, sedikit lebih pendek dariku.
“Nah, ayo perkenalkan dirimu” ucap bu Endang kepada cewek itu
Cewek itu menatap bu Endang sebentar lalu menyapukan pandangan keseluruh kelas. Tatapan kami bertemu, sejenak kami saling pandang. Aku bingung dan agak salah tingkah, tapi syukurlah dia segera melanjutkan perkenalan.
“Selamat pagi teman-teman” ucapnya
Aku merasa suara cewek ini begitu merdu di telingaku, hingga tanpa sadar, aku menatapinya dengan melotot tanpa berkedip.
“Nama saya Caroline Valentina . Kalian bisa panggil saya Valen” nada bicaranya terkontrol dengan sangat baik dan senyumnya, yah, aku agak bisa membaca kalau senyuman itu adalah hasil latihan, bukan senyuman yang sebenarnya.
“Nah, kamu duduk sama….mmm…itu, disamping Evan yah!” pak Trisno memberi instruksi sambil menunjuk mejaku.
Cewek itu mengangguk kecil kearah pak Trisno dan melangkah anggun menuju bangku sebelahku yang kosong. Tatapan mata anak-anak sekelas tidak pernah lepas dari cewek itu. Bahkan anak yang duduk pada barisan paling depan sampai memutar tubuhnya demi melihat cewek yang satu ini, entah anak cowok atau anak cewek semuanya terkesima.
Grataaaaakk!
Bangku disampingku ditarik pelan. Valen duduk disampingku dengan tenang. Ia tidak menatapku sama sekali. Aku jadi agak salting, mau menyapa agak gimana gitu.
Bau bunga lavender tercium dengan jelas dari tubuhnya. Aroma yang manis dan menyenangkan. Ia meletakkan tasnya yang berwarna pink cerah di meja sementara tiap pasang mata masih terus memperhatikannya.
Setelah berbasa-basi sebentar, pak Trisno berjalan meninggalkan ruangan.
Bu Endang mulai mengabsen kami satu persatu.
“Silvanus Adi Prasetyo ada?” beliau menyapukan pandang keseluruh kelas
Aku mengangkat tanganku ketika mendengar namaku dipanggil.
Valen melirikku dengan malas.
“Silvanus...ada...” gumam guru itu sambil mencoretkan sesuatu dibuku absen.
Yup, sebelum melanjutkan, ada sedikit info. Nama lengkapku adalah Silvanus Adi Prasetyo, namun teman-teman lebih akrab memanggilku Evan, entah kenapa.
Setelah mummi itu selesai mengabsen, ia memulai saat-saat paling hina disekolah, ya, pelajaran BK.
“Oke, hari ini ibu akan menjelaskan mengenai KBM yang sehat, dan blablablablabla….” Bu Endang memulai acara boasting like shit andalannya.
Semua murid mendengarkan dengan sok tenang, padahal aku tahu pasti, mereka sama sekali tidak mendengarkan. Yeah, dasar guru sudah tua, apa saja pasti dikomentari.
Aku melirik kesamping, tempat si anak baru duduk. Aku agak terkejut, ternyata ia memperhatikan ocehan bu Endang dengan perhatian yang tidak dibuat-buat.
“Hmmph!” aku mendengus menahan tawa
”Coba kita liat aja hoi anak baru, tahan sampe kapan kamu dengerin ocehan si mummi”
Hanya Valen yang mendengar dengusanku. Seketika itu juga ia menoleh kearahku, tatapan kami kembali bertemu. Ia menatapku dengan pandangan bertanya-tanya.
Aku yang saat itu belum memiliki perasaan apa-apa hanya mengangkat bahu sambil tersenyum.
================================================== ==========
Jam istirahat…
“Halo! Namaku Lisa, salam kenal ya!” temanku mengulurkan tangannya kepada Valen
Hanya beberapa detik setelah bel istirahat berbunyi, meja tempatku dan Valen mendadak ramai, penuh sesak dengan siswa yang ingin mengajak kenalan.
Namun itu hanya beberapa saat, tak lama kemudian semua teman-temanku meninggalkan Valen dengan bersungut-sungut. Ya, Valen tidak ramah terhadap mereka, bahkan lebih terkesan arogan. Hari itu juga, teman-teman sekelasku menjauhi Valen.
Memang aku tidak memperhatikan detailnya karena saat itu aku sibuk mendengarkan musik, tidak tertarik pada anak baru disampingku ini. Namun, aku sempat mendengar desas-desus itu dari teman-temanku yang lain.
Aku bukanlah orang yang dengan mudah termakan desas-desus tanpa membuktikannya dulu. Maka aku bertekad akan membuktikannya sendiri.
Pelajaran bahasa Indonesia, pak Trisno memberi tugas membuat karangan bebas, dikerjakan dengan teman sebangku dan dipresentasikan esok harinya lalu beliau keluar kelas, menghadiri rapat dewan guru.
Anak-anak segera sibuk berdiskusi dengan teman sebangku mereka, sementara aku harus bekerja sama dengan Valen yang pada hari pertama masuk sudah dijauhi teman-temanku.
“Hei…kenalin…namaku Evan” aku mengulurkan tangan dan tersenyum
Valen hanya menatapku dingin, kemudian melanjutkan menulis karangan tanpa persetujuan dariku. Aku menurunkan tanganku yang terulur.
“Kamu pindahan dari Jakarta kan?” ucapku belum putus asa
“Ya” ia menjawab tanpa menoleh sedikitpun, masih menulis diatas kertas folio
“Kamu tinggal dimana?” aku masih saja berusaha
”BISA DIEM NGGAK SI LO?!” Valen membentakku keras sekali sembari membanting pulpen yang tengah dipakainya, membuat kaget seluruh siswa
Aku terpana melihat reaksinya yang benar-benar diluar dugaan. Sikapnya benar-benar bertolak belakang dengan penampilannya.
Kelas tiba-tiba sepi. Teman-teman menatapku dan Valen secara bergantian.
Suasana kelas menjadi tegang. Semua menunggu reaksi dariku.
Aku yang pada dasarnya muka tembok hanya garuk-garuk kepala dan nyengir.
“Idih…galak amat non? Lagi M yah?” aku nyengir kuda
PLAAAKK!!
Valen menampar pipi kiriku dengan telak. Semua anak kaget setengah mati.
”LO JAGA MULUT LO ITU!!” Valen kembali membentak
Tatapan terkejut para siswa segera berubah menjadi tatapan kebencian. Aku tengah mengelus pipiku yang memerah akibat tamparan tadi ketika Novi dan Lia menarikku menjauh.
”Sok banget sih jadi orang?! Mentang-mentang orang kaya gitu?!” Novi membenta Valen sementara Lia menarikku menjauhi sumber konflik.
“APA URUSAN LO HAH?!” balas Valen
“URUSANKU?! SOPAN DIKIT NAPA SIH?! BARU SEHARI DI SINI JUGA! NGGAK PERNAH DIAJARI SOPAN SANTUN YAH SAMA ORANG TUAMU?!!”
“Udah…udah Nov…cukup…” aku menarik tangan Novi
”CUKUP APANYA?! JELAS-JELAS DIA INI CEWEK NGGAK TAU DIRI!” Novi membentakku sambil menuding Valen yang hanya diam
Aku tidak menjawab, aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalaku. Novi terkejut bukan main.
”Udah Nov…ngerjain tugas lagi deh yuk!” aku mengajaknya menjauhi Valen.
Novi hanya menurut dengan wajah heran dan tidak terima. Aku, Novi dan Lia bergabung dengan Enggar dan Dani. Setelah kami duduk, aku dihujani pertanyaan oleh mereka.
“Kamu tadi ngapain sih Van?” tanya Dani
”Ngajak kenalan…yaa gitu deh” jawabku sekenanya
”Ngajak kenalan? Kok bisa sampe di tampar?” Enggar bertanya dengan heran
Aku hanya mengangkat bahu. Aku menoleh, kutatap Valen yang tengah mengambil pulpen yang jatuh, ia kemudian duduk. Kepalanya tertunduk, tangannya meremas pulpen dengan kuat. Hanya sepersekian detik, aku melihat suatu kesedihan diwajahnya yang segera sirna, lalu ia melanjutkan menulis dengan ekspresi biasa.Hari yang sama, pukul 14.39 WIB
Ada tugas TIK yang harus kukumpulkan besok namun aku belum tau detailnya pasti sehingga aku harus rela menunggu sampai sang guru selesai mengoreksi hasil ulangan kelas lain.
Jam segini, sekolah ku sudah sepi…well, sangat sepi
Sudah jauh dari waktu pulang yang harusnya pukul 13.30
Aku berjalan dengan langkah ringan kearah tempat parkir motor yang ternyata sudah sepi, hanya ada motorku dan beberapa motor siswa yang mengikuti ekskul
Ketika aku sampai di dekat gerbang sekolah, aku melihat Valen duduk sendirian di salah satu bangku panjang yang berada dibawah pohon, bangku itu posisinya membelakangi aku sehingga Valen tidak dapat melihatku datang.
Kuparkir motor agak jauh dan aku berjalan mendekatinya. Ia tidak menyadari kehadiranku.
TUK!
Aku mengetuk pelan kepalanya dengan sekaleng Nescafe Vanilla Latte yang aku bawa dari rumah yang belum sempat aku minum.
Valen terlonjak kaget, ia spontan meraba kepalanya dan membalikkan badan.
Ia lebih terkejut lagi setelah melihat bahwa itu aku.
“E-Evan?” Valen bertanya dengan tergagap
”Yo! Nunggu jemputan?” ucapku santai lalu duduk disampingnya
“Ngapain lo kesini?!” ujarnya sewot, sama seperti tadi pagi
“Aku? Haha…aku mau bicara sama Ibumu!”
Valen terbelalak
“Darimana lo tau kalo nyokap gue mau dateng?!”
“Feeling…maybe?” aku mengangkat bahu
“Feeling? Cowok macem apa lo?! Bisa-bisanya lo bilang—“
Kata-kata Valen terpotong ketika melihat aku membuka kaleng Nescafe yang kupegang, sepertinya dia haus.
“Kenapa? Haus?” kutatap matanya
“Apa? Eh- nggak kok!” ucap Valen sambil memalingkan wajah
“Jangan bohong deh...” aku terus menggodanya
“Apa apaan sih lo? Gue bilang nggak kok!” ia salah tingkah
“Yaudah nih, buat kamu aja” kusodorkan kopi kalengan itu
“Lo gimana?”
“Aku nggak haus”
Valen mengambil kaleng itu dari tanganku. Matanya menatapku lekat dengan ekspresi yang tidak dapat kumengerti.
“Ini…beneran buat gue?”
“He-eh…”
Valen menatap kaleng itu dan aku secara bergantian dengan tatapan curiga.
”Nggak! Nggak diracuni kok! Hahaha” aku tertawa sambil menggelengkan kepala
Wajah Valen menjadi agak rileks, ia tersenyum dan berkata,
“Thanks ya…”
Ia membuka kaleng kemudian meminum Vanilla Late itu.
Tiba-tiba angin yang cukup kencang berhembus, menyingkap rok ungu yang dikenakan Valen.
“Kyaaaa!” ia menjerit
Kedua tangannya spontan menutup rok pendek yang dikenakannya sehingga membuat kaleng Nescafe yang ia pegang jatuh dan tumpah ke seragamnya yang putih. Aku terkesima melihat pahanya yang putih mulus hingga ke dekat selangkangan, begitu menggairahkan. Saat itu, nafsu dan sisi liar dalam diriku bangkit.
“Liat apaan lo?!” bentakkan Valen menyadarkanku
“Ah? Euuh…nggak…nggak liatin apa-apa kok!” kilahku dengan panik
Ia menoleh kearah roknya yang kini basah oleh kopi.
“Aduh…rok gue basah semua…”
“Kalo nggak salah aku ada tissue” ucapku sambil mengaduk-aduk tas
Aku mengulurkan sebungkus tissue yang kuambil dari dalam tas.
“Oh…thanks…” ujar Valen singkat sambil mengambil tissue itu dari tanganku, tatapannya beralih ke seragamnya.
Ia memandangi seragam putihnya yang kini berwarna kecokelatan gara-gara kopi yang tertumpah diatasnya. Pelan-pelan ia membuka kancing seragamnya satu persatu.
Aku menelan ludah.
Kini kancing seragamnya sudah terbuka semua, memperlihatkan tubuhnya yang indah yang terbalut tank-top berwarna biru muda. Buah dadanya tercetak jelas, ternyata lumayan besar, mungkin faktor seragam mempengaruhi kenampakan dua bukit itu dari luar.
Aku kembali melongo. Otakku static, nge-hang.
“Aduh…dalemannya juga basah” Valen menghela nafas
“V-Valen????”
“Eh?” ia menoleh dan menatapku dengan sangat terkejut
Satu detik…dua detik…
”KYAAAAAAAAAA!!” jeritan Valen membahana, membelah udara yang hangat siang itu
Valen cepat-cepat menutupi tubuhnya dengan tas sementara tangan yang satunya berusaha mengancingkan seragamnya yang terbuka lebar. Aku terkesima, bingung harus melakukan apa.
“Eeeh! Ssssstt! Jangan jerit-jerit! Ntar dikira aku ngapa-ngapain kamu!” aku berkata panik, berusaha menenangkan Valen.
PLAAAKK!
Valen kembali menampar pipi kiriku, kedua kalinya dalam hari ini
“COWOK BEGO LO!!” jeritnya hampir menangis
“Lho? Aku?” tanyaku sambil menunjuk diri sendiri sementara tanganku yang satunya memegang pipi bekas tamparan
“IYA LO! COWOK NGGAK TAU DIRI!”
“Kenapa jadi aku yang disalahin?”
“KENAPA LO NGGAK NGADEP ARAH LAIN PAS GUE BUKA BAJU?!!”
Keheningan yang tidak nyaman melingkupi kami.
"A-aku salah ya?" tanyaku tolol kepada diriku sendiri
“Maafin gue Van…tapi lo juga sih…”
“Iya…aku juga salah kok…hahaha” jawabku singkat
Aku tersenyum kearahnya sementara ia menatapku dengan canggung, ada sebesit ketakutan dalam tatapannya walaupun begitu samar.
“Aduh…risih banget si pake baju basah…!” keluhnya sambil menatap seragamnya yang sudah terkancing dengan sempurna
Aku berpikir sejenak.
”Kalo aku pinjemin jaketku, ofensif nggak yah? Aku bakal ditampar lagi nggak yah?”
Setelah mempersiapkan konsekuensinya dan sudah bersiap menerima tamparan dari Valen, aku berkata,
“Mau pake jaketku dulu?”
Valen menatap lurus kearahku dengan tatapan bertanya-tanya.
“Heh bego, bilang aja lo mau liat gue ngelepas seragam gue di depan lo kan?” tanyanya dengan sinis
“Ya nggak lah!! Emang aku cowok apaan?” jawabku sewot
“Udah deh, lo ngaku aja! Semua cowok tu mesum! Hidung belang!”
“Ck! Kalo nggak percaya sama aku, sono ganti di toilet!”
Valen tampak berpikir kemudian mengangguk setuju, lalu kami berdua berjalan kearah toilet sekolah yang letaknya agak jauh di dalam kompleks utama.
Sesampainya di depan toilet…
“Kalo toilet cowok yang kanan, cewek yang kiri. Mau masuk yang mana tergantung jenis kelaminmu” ucapku sok sambil melepas dan menyerahkan jaket
“Gue juga bisa baca, bego! Lagian gue 100% cewek tulen!” sahutnya pedas
Valen melangkah masuk ke toilet cewek sambil celingukan, kemudian ia berhenti. Ia berbalik dan menatapku.
“Kalo lo ngintip, awas!! Gue colok mata lo!” ia melotot
“Nggaaaaaaaaaaakkk!!!” jawabku dengan malas
Valen masuk ke salah satu WC, lalu aku membalikkan badan.
Aku berdiri mematung, memunggungi toilet cewek. Mataku menerawang ke langit. Pikiranku melayang entah kemana.
“Kenapa? Dari ribuan cowok di kota ini, kenapa aku yang harus nemenin nih anak?”
Aku menghela nafas sambil menggelengkan kepala.
“Udah…ke depan lagi yuk! Nyokap udah nunggu, tadi gue di SMS” sebuah suara berkata dari belakangku
Aku berbalik, menatap Valen yang mengenakan jaketku yang rupanya kebesaran, memperlihatkan lehernya yang mulus tanpa cacat. Aku tertegun.
“LIATIN APA LO?!!” bentaknya galak sambil menutupi dadanya dengan tangan
“Nggak…ngeliatin jaketku…ternyata bagus yah?” kilahku sambil nyengir
“Jaket lo bau! Cuci kenapa?” ejek Valen
“Biaaaarrr….jaketku inih…kenapa kamu yang nggak terima?” aku terkekeh
“Cerewet!”
Kata-kata Valen mengakhiri percakapan kami. Sambil berjalan kembali ke taman depan sekolah, aku melihat Valen melipat dan memasukkan seragam beserta tank-top biru muda miliknya ke dalam tas. Berarti, saat ini, ia hanya mengenakan … …?!!
“Wah…kalo aku jadi jaketnya, pasti seneng banget” pikirku
Sebagai laki-laki normal, berbagai fantasi mesum sudah pasti bergelayut mesra di otakku.
Sepanjang perjalanan ke gerbang depan, aku berulang kali menyapukan pandang ke sekitar, mencoba menyelamatkan pikiranku dari fantasi mesum yang berusaha mendobrak akal sehat.
Ketika kami sampai di taman depan, sebuah mobil SUV sudah menunggu.
“Noh, gue udah dijemput nyokap” ucapnya ringan
Tiba-tiba pintu mobil terbuka, seorang ibu muda tampak turun dengan anggunnya. Wajahnya sepintas mirip dengan Valen, hanya saja tanpa wajah-wajah Eropa. Hanya Chinese dan Indonesia.
Ia berjalan mendekati kami dengan anggun namun tergesa-gesa
“Valen, mana seragammu?” tanyanya penuh selidik
“Seragam Valen ketumpahan kopi Ma” jawab Valen singkat sambi mengeluarkan seragamnya yang cokelat karena kopi namun tidak menunjukkan tank-top nya yang basah
Ibunya mengangguk-angguk lalu menoleh kearahku. Setelah berbasa-basi, akhirnya Ibu itu berpamitan. Ia dan Valen masuk kedalam mobil. Aku hanya memandangi mobil yang mereka naiki pelan-pelan menjauh.
Aku tersenyum kecil. Tiba-tiba mobil itu berhenti dan Valen keluar. Ia berlari kecil kearahku, aku tentu saja kebingungan.
“Eh Van, thanks ya…” ucapnya sambil tersenyum
Aku tertegun. Ia bukan tersenyum seperti tadi pagi, bukan senyum yang dibuat-buat, tapi memang senyumnya yang sesungguhnya.
“Hah? Oh…oke…no problem!”
“Gue balik duluan ya!” kata Valen sambil membalikkan badan dan berlari kembali ke mobil
Ketika ia membuka pintu mobil, aku berteriak
”Valeeeeenn!”
Cewek itu menoleh kearahku
“Jaketku jangan lupa dicuci sekalian yaaa?” candaku
Ia tersenyum dan mengangguk kecil seraya naik ke mobil. Pelan-pelan mobil itu berjalan keluar gerbang sekolah hingga akhirnya tidak terlihat lagi.
Aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Tiba-tiba saja aku seperti kehilangan sesuatu, dan aku mulai merindukan Valen walaupun kami baru beberapa menit berpisah.Esoknya, Valen berangkat sekolah dengan mengenakan jaket yang kupinjamkan. Otomatis seluruh anak kelas menatapnya dengan heran.
“Loh? Kok dipake?” tanyaku heran ketika Valen duduk disampingku
“Iya…emang harus gue buang?” ia nyengir
”Yaa bukan gitu…” ucapku sambil garuk-garuk kepala
“Eh, jaket lo gue pinjem dulu ya? Nyaman banget dipake”
“Iya silakan…pake aja”
“Gini aja, jaket lo buat gue, ntar gue beliin lo jaket baru, gimana?” ucapnya sambil tertawa
Aku speechless. Bingung harus berkata apa. Namun yang jelas, aku semakin tertarik kepada cewek ini. Kepribadiannya begitu unik bagiku.
Beberapa minggu kemudian…
Aku semakin dekat dengan Valen, ternyata dia bukanlah cewek dingin dan arogan seperti yang pertama kali kulihat. Malah kebalikannya, dia itu begitu menyenangkan dan menarik, serta lucu juga. Walaupun begitu, aku masih belum bisa memprediksi hal apa yang membuatnya menjadi cewek seperti itu, arogan dan dingin pada setiap anak di kelas.
Keadaan kelas masih sama seperti hari-hari sebelumnya, semua anak masih belum bisa menerima Valen sebagai bagian dari mereka karena sikap angkuhnya di hari pertama ia masuk sekolah.
Namun, Valen sudah banyak mengubah sikapnya terhadapku. Tak jarang teman-teman memandang sinis kearah kami berdua yang tengah bercanda dan tertawa-tawa bersama. Tetapi aku tidak peduli, selama hubunganku dengan Valen tidak merugikan mereka.
Ya memang beberapa siswa sempat memergoki aku menemani Valen menunggu jemputan. Setiap hari aku menemaninya dan setiap hari juga perasaanku tumbuh semakin kuat.
Kini aku sadar sepenuhnya. Aku telah jatuh cinta pada Valen. Rekorku sebagai cowok yang hatinya belum pernah tersentuh oleh cewek hancur. Aku memutuskan akan mengungkapkan perasaanku kepadanya karena kami sudah cukup dekat.
Istirahat pertama di hari yang agak mendung ini…
“Eh, eh…Valen…mmm…ntar sore ada acara nggak?” tanyaku gugup
“Gue? Nggak…kenapa?” ia menoleh dari tugas matematika yang tengah dikerjakannya
“Ntar…ntar kamu…eeh…ke café depan sekolah yuk?” tanganku dingin
“Mmm…iya boleh…sambil nunggu nyokap gue jemput aja” Valen tersenyum
Aku bersyukur karena ternyata Tuhan membukakan jalan bagiku untuk mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya terhadap Valen.
Dari saat itu, aku menjadi tidak konsen mengikuti pelajaran karena tegang dan wangi lavender yang tercium dari Valen yang duduk disampingku semakin membuatku gugup.
Akhirnya penantianku berakhir. Bel pulang berbunyi, anak-anak berhamburan keluar kelas sementara aku dan Valen berjalan pelan-pelan.
Selang beberapa waktu, sekolahan terlihat sepi, semua anak sudah pulang namun Valen belum juga dijemput. Kami sampai di café depan sekolah.
“Eh, Ibumu mau jemput jam berapa?” tanyaku membuka pembicaraan
Kami duduk disebuah gazebo kecil dibawah pohon kersen yang tengah menguning. Bekas-bekas hujan masih terlihat, tanah basah tertutupi daun-daun mati.
“Nggak tau…nyokap pulang kerja agak sore…” jawabnya sambil memainkan HP
“Mas, mbak mau pesan apa?” tanya seorang waiter yang ternyata sudah berdiri disampingku
Kami duduk berhadapan, aku tidak menyadari kehadiran waiter itu karena terlalu tegang memikirkan bagaimana caraku mengungkapkan perasaan pada Valen.
“Gue…mmm…gue pesen milkshake strawberry aja deh” ucap Valen setelah berpikir agak lama
“Saya orange float mas…” jawabku
Waiter itu kemudian meninggalkan kami. Tidak seperti biasanya, tanganku begitu dingin karena tegang. Udara yang lembab karena hujan yang turun tadi malam membuat suasana semakin tidak nyaman bagiku.
“Tumben lo ngajak gue ke café?” ia nyengir
“Nggak…nggak papa…takut ujan, kan di tempat kamu biasa nunggu nggak ada kanopi” aku beralasan
“Oooh…” jawabnya singkat
Sesaat kemudian, Valen senyum-senyum sendiri sambil menatap layar HP nya. Aku heran.
“Kayaknya kamu hari ini lagi bahagia banget?”
“Yaaa…begitulah…hehehe” ia asyik mengetik SMS
Aku agak jengkel juga dikacangi, namun apa daya? Akhirnya aku memutuskan untuk memperkuat mental. Kutarik nafas dalam-dalam berulang kali.
Valen heran melihat tingkahku, ia meletakkan HP nya dan menatapku.
Perasaanku semakin tidak karuan ketika kedua matanya menatapku dalam-dalam.
“Lo kenapa Van?” tatapnya penasaran dengan kepala yang sedikit dimiringkan
“Ng-nggak apa-apa…hehehe” jawabku gugup
“Lo jangan bohong…jelas-jelas lo keliatan aneh”
“Kalo lo lagi ada masalah, bilang aja…siapa tau gue bisa bantu” lanjutnya
Aku semakin gugup dibuatnya, apalagi kini tatapan mata Valen tertuju sepenuhnya kepadaku, ia tidak lagi memainkan handphonenya atau menyapukan pandangan ke sekitar kami, ia hanya menatap mataku dengan serius.
.
Setelah mengumpulkan segenap keberanian yang tercecer, aku berkata
“Val, sebenernya aku…” kata-kataku macet di tenggorokan
“Kenapa?” sepertinya ia tertarik
“Emh, Valen…aku sebenernya udah ada rasa ke kamu sejak pertama kita ketemu” kata-kata itu meluncur dari mulutku tanpa persetujuan
“….”
“Aku ngerasa nyaman di deket kamu dan aku ngerasa kalo kamu tuh unik, beda dari semua cewek yang pernah kutemui, baik dari fisik maupun kepribadian” aku tertunduk
Keheningan meliputi kami. Jantungku berdebar-debar menanti jawaban darinya.
Disatu sisi, aku merasa senang karena akhirnya aku bisa mengungkapkan perasaanku pada Valen, namun di sisi lain, aku sedih karena pengakuanku pasti akan berdampak pada pertemanan kami baik secara langsung maupun tidak.
Pipi Valen merona merah mendengar pengakuanku, ia salah tingkah. Ia menggeser posisi duduknya dan berulang kali menmbetulkan letak tas yang ada di pangkuannya.
“Ehm…Van, sebenernya gue…” ucapnya pelan, aku langsung menatapnya penuh harap
DIINN!! DIIIN!!
“Valen, ayo cepetan Val, Mama masih ada meeting habis ini!” suara ibu Valen terdengar dari kejauhan, merusak segalanya
Rupanya Valen sudah dijemput, mobil SUV itu berhenti tidak jauh dari kami. Kepala sang Ibu melongok dan menatap kami.
“Duh, maaf ya Van, gue harus cabut…maaf…ini duit buat bayar milkshake gue…bye!” ucapnya cepat sambil meletakkan selembar uang sepuluh ribuan
Valen berlari dengan terburu-buru meninggalkanku yang merasa kecewa. Ia belum merespon pengakuanku dan aku belum tahu bagaimana ia memandangku. Aku terus menatapnya hingga ia naik ke mobil.
Aku bangkit dengan gontai, berjalan kearah kasir dan membayar minuman kami berdua dan pulang kerumah.
Malam hari itu satu SMS masuk ke HP ku…
____________
22:02 30/01/12
From: Valen
Le, bsk pulang skul gw mo ngmg ma lo
____________
Ah…Valen…SMS nya tidak ku balas. Aku menyetel lagu keras-keras untuk menenggelamkan diriku. Untuk menghindari pikiran-pikiran tentang Valen. Lagu-lagu ber-beat cepat dari Evanescence mengantarku hingga ke alam mimpi
=========================
Esok paginya…
Aku berangkat lebih siang karena di jalan motorku sempat macet.
Ketika aku memasuki kelas, ternyata sudah banyak siswa yang datang, termasuk Valen.
Aku duduk di tempat seperti biasa, di samping Valen.
“Van, tugas bahasa Inggrisnya gimana nih?” tanya Valen kepadaku
Aku cukup kaget juga karena ia bersikap seperti biasa setelah aku mengutarakan perasaanku kemarin.
Dengan agak canggung aku menjawab,
”Ehm…udah beres si…mau nyontek?”
“Iya sini…gue nyalin punya lo aja…males gue ngerjain tadi malem…hehehe” senyumnya
Sedetik kemudian Valen asyik menyalin jawaban tanpa mempedulikanku yang tengah memandanginya menulis dengan jemarinya yang lentik.
==========================
Sore hari itu juga, di kantin sekolah yang sudah sepi….
“Kenapa Val? Katanya mau ngomong?” ucapku agak gugup
“Iya Van…ini masalah yang kemarin…bisa lo perjelas?” kata Valen pelan
DEG! DEG!
“Aku…sayang sama kamu…mau nggak kamu jadi pacarku?” tanyaku dengan canggung karena seumur hidup aku baru pernah nembak cewek
Ia terdiam sejenak dengan kepala tertunduk, sepertinya sedang berusaha merangkai kata-kata.
”Gue tau kita udah deket dari pertama kali gue napakin kaki di sekolah ini, gue sadar lo udah baik banget sama gue, cuma lo yang mau jadi temen gue. Lo orangnya asik, baik, pengertian. Jadi nggak ada alesan buat gue buat nolak lo…”
“Jadi, kamu—“
”Tapi…” ia memotong ucapanku
“Tapi maaf Van…gue baru aja jadian sama Steven kemarin sore…10 menit sebelum lo ngungkapin perasaan lo ke gue. Memang, dia nembak gue lewat SMS, tapi itu sama aja bagi gue. Steven nembak gue dan gue terima dia, itu faktanya…lo terlambat…” bisiknya lirih
Aku tertegun. Berusaha bertahan, berdiri dihadapan kenyataan pahit ini. Pertama kalinya aku begitu jatuh hati pada seorang cewek, pertama kalinya aku menyatakan cinta pada seorang cewek dan pertama kalinya juga aku ditolak. Hidup memang sungguh kejam.
“Jadi, gue mohon…lo jangan libatkan perasaan lo dalam pertemanan kita…gue nggak mau persahabatan kita ancur…cuma lo yang mau jadi temen gue dikelas…”
“Ah…hahaha…iya…nggak apa…itu hakmu sepenuhnya kok…” aku berusaha tertawa walaupun hatiku tersayat-sayat
“Lo nggak usah sandiwara Van…gue tau rasanya…tapi maaf banget…lo terlambat” Valen menatap mataku dalam-dalam
“Well, I guess I can’t pretend any longer. Aku cuma bisa doain kebahagiaanmu…maaf udah nyita waktumu Val....” aku tersenyum sedih dan melangkah pergi
“Van…lo nggak marah kan?” suara Valen terdengar dibelakangku
Aku hanya menghentikan langkah dan menggeleng tanpa menoleh kemudian berlalu. episode 4
“JADI SELAMA INI LO JALAN SAMA NIH CEWEK ?!”
Sebuah suara mengejutkanku, suara seorang cewek, terdengar dari salah satu ruang kelas yang sudah kosong. Aku bergegas berlari ke salah satu ruang, tempat suara tadi berasal. Pelan-pelan aku mengintip melalui jendela berdebu dan menyibak gorden berwarna hijau lusuh yang ditempeli debu tebal.
Suasana di kelas itu remang-remang, penerangannya begitu minim, hanya ada secercah cahaya matahari sore yang menembus ruangan tersebut.
Aku melihat 2 orang cewek dan seorang cowok. Salah satu cewek berdiri berhadapan dengan cowok tadi, sementara cewek yang satunya lagi tengah duduk di bangku, menatap kearah sepasang manusia tadi.
“Lo apa-apaan sih?! Gue kira lo tu cowok baik-baik!! Ternyata--” cewek yang berhadapan dengan si cowok tidak mampu melanjutkan perkataanya.
Tampak sangat jelas bahwa si cewek tadi begitu meradang marah sementara si cowok tampak annoyed.
“Hhaha! Udah gitu doang?” si cowok tertawa melecehkan
“Ma-maksud lo?” cewek tadi tergagap
“Udah gitu doang marahnya? Hah! Dasar cewek nggak berguna!”
“APA?! Dasar lo bajingan!”
Tangan si cewek terayun hendak menampar cowok tadi. Namun dengan sigap pergelangan tangannya ditangkap oleh sang cowok.
“KITA PUTUS!! GUE NGGAK MAU KENAL LO LAGI!!” jerit cewek itu, ia berusaha melepaskan tangannya
“Lo tau, kenapa gue selingkuh? Lo tau kesalahan lo apa? Kenapa gue sampe selingkuh?” si cowok bertanya dengan kalem.
“....” lawan bicaranya tidak mampu menjawab
“Karena gue kekurangan kasih sayang. Tiap kali gue ngajak lo ML, lo selalu ngeles, bahkan kissing aja lo nggak pernah mau kan? Lo juga nggak pernah ngijinin gue buat pegang tangan lo” cowok berbadan tinggi besar itu menerawang ke langit-langit lalu menatap sang cewek dengan tajam.
“Makanya gue selingkuh! Kalo diliat dari penyebabnya, ini jelas salah lo!” cowok tersebut membentak
“Nah, sekarang, nggak ada yang liat kan, gue bisa puas-puasin pake tubuh lo...udah lama gue nggak dapet cewek blasteran kayak lo...hehehe” makhluk biadab itu menyeringai
“Nggak!! Nggak!! Jangan! Lepasin gue atau gue teriak!!” sang cewek mencoba menggertak di sela-sela ketakutannya
“Lo mau teriak ke siapa?? Satpam? Ni sekolah gue yang punya!” bentak si cowok
“Si-sialan lo!! Lepasin gue!!” pegangan tangan cowok tadi bertambah kuat, membuat cewek cantik itu meringis kesakitan
Tepat ketika tangan cowok jahanam itu mulai menggerayangi tubuh si cewek, tiba-tiba...
CKREK! CKREK!
Beberapa kilatan putih menjilat dinding ruang kelas. Ketiga makhluk yang tengah berkonflik itu terkejut dan spontan menoleh kearah pintu.
“Woooow....ternyata aku bisa dapet foto bagus yah...nggak cuma foto, tapi juga video” ucapku enteng, aku memainkan handphone ditanganku.
“Si-siapa lo?!” cowok tersebut gentar ketika mengetahui perbuatan bejatnya terekam oleh kamera
Aku berjalan dengan santai kearah mereka berdua. Kutarik tangan si cewek dari genggaman sang cowok.
“I'll handle this from now on Val...you go first” kataku kepada cewek itu tanpa menoleh
“Jadi...ini toh watak aslimu, wahai Steven, kakak kelas teladan?” kubalas senyum melecehkan yang tadi dilemparkan Steven kepada Valen.
“Lo siapa?! Nggak usah ikut campur urusan orang!” Steven meradang marah
“Aku...? Aku cuma adik kelas yang biasa ajaa...” aku berbicara dengan nada meremehkan
“Bangsat!” satu pukulan mengayun kearahku
Dengan gerakan santai aku menghindari pukulan itu. Steven kembali mengayunkan tangannya. Ia berteriak marah, benar-benar marah.
TAP!
Kepalan tangannya kugenggam dengan telapak tangan. Steven tampak terkejut.
“Hoaaaaamm....” aku menguap, bosan.
“Now, it's my turn” sebuah senyum licik tersungging dibibirku
BUAAAAAKKK!!!
Satu bogem mentah telak menghantam hidung sang kakak kelas teladan hingga ia terjungkal kebelakang. Steven mendarat dengan punggung terlebih dulu membuat seragam putihnya kotor. Darah segar mengalir dari hidungnya.
“Udah? Udah gitu doang? Dasar cowok nggak berguna!” aku menirukan kata-katanya
“A-anjing lo!” ia mengelap hidungnya yang berdarah dan berusaha bangkit
“Awas lo! Liat aja, lo pasti bakal--”
“Bakal gue bales? Gitu kan lanjutannya?? Langka mundure! Maju sini!”
Sejenak ia tampak ragu, namun setelah mampu berdiri, ia melanjutkan|
“Masalah kita belum selesai! Awas lo!”
Steven berlari kearah pintu, kabur rupanya.
“Ah...dasar pengecut”
Ketika ia berlari melewatiku, kujulurkan kakiku dengan sengaja, menjegal Steven hingga ia jatuh tersungkur. Aku segera memasang wajah innocent, memasukkan kedua tanganku kedalam saku dan bersiul sambil menatap langit-langit kelas.
Steven tidak memperpanjang waktu. Ia segera berdiri dan berlari keluar kelas, dengan pakaian yang tampak seperti kain pel.
“Hahaha…dasar cemen…” aku tertawa sendiri
Ketika aku menoleh kearah cewek yang tengah duduk di pojokkan kelas, tampak Valen mendekatinya dengan langkah mantap.
Melihat Valen mendekatinya, cewek itu ketakutan, ia menggelengkan kepalanya
“Ma-maafin aku kak! Maafin aku…aku nggak ada maksud buat—“
”Sssst! Lo nggak apa-apa?? Gimana? Bisa pulang nggak lo?” Valen berkata lembut kepada cewek tadi.
Tidak hanya cewek itu yang tertegun, aku juga terkejutnya bukan main.
Namun, aku kagum kepada Valen ini. Dia memang benar-benar luar biasa.
================================================== ==========
Honda Accord Coupe Concept 2013 milikku meluncur dengan tenang membelah jalanan.
Valen duduk disampingku.
“Kasian dia…untung kita jelasin ke orang tuanya tadi, jadi dia nggak dimarahin...” Valen membuka percakapan. Ia memandang ke jalanan disampingnya.
“Menurut lo, cewek itu salah nggak? Kalo menurut gue, yang salah si Steven terkutuk itu...dia tuh sama kayak gue, korban kebiadaban cowok yang ngakunya murid teladan itu!” kalimat mengalir lancar dari bibir tipis nan sensual milik cewek incaran cowok-cowok di dalam maupun luar sekolah SMAN XX
Lamunan membuatku tidak merespon kalimatnya.
”Heh Van, lo kalo diajak ngomong jawab dong!” ia menatap kearahku dengan sebal
”Ehm…iya maaf…”
“Lo kenapa sih?”
“Nggak apa….”
“Serius nih! Lo lagi kenapa sebenernya?”
“Capek? Yaudah berhenti dulu…kita cari minimarket deh” lanjutnya
Aku menepikan Accord kesayanganku dan memarkirnya di depan sebuah minimarket.
Kami turun dan membeli beberapa botol minuman dan kembali ke mobil.
“Wah, udah jam 8 yah?” ucap Valen setelah ia melihat jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangannya
“He eh...” kuberikan anggukan kepala sebagai jawaban
“Iih! Sebel deh! Lo kenapa sih?!” ia mencubit lenganku, namun aku masih saja diam
================================================== ===========
Accord silver itu berhenti di depan sebuah rumah megah dan mewah bergaya khas Eropa.
Di dalamnya, seorang cowok dan seorang cewek tampak terlibat perbincangan serius.
“Sorry Van…setelah gue tau Steven itu kaya apa, gue pikir gue nggak akan memulai hubungan baru lagi….mungkin beberapa tahun kedepan” ucap cewek yang duduk di passenger seat di sebelah pengemudi.
Cowok disampingnya menatap ke jalanan di depannya yang lenggang, tatapannya menerawang. Sedari tadi ia hanya diam saja.
”Sorry…gue nggak mau tersakiti buat yang kedua kalinya…lo paham kan?” ucapnya diiringi anggukan lemah lawan bicaranya.
“Mungkin kita sebaiknya jadi sahabat aja...soalnya nggak mungkin gue bisa sama-sama lo terus”
Kedua insan berbeda gender itu terdiam merenung. Meresapi lagu “My Immortal” yang mengalun lembut dari music player mobil, menyelimuti malam yang dingin.
You used to captivate me
By your resonating light
Now I'm bound by the life you left behind
Your face it haunts
My once pleasant dreams
Your voice it chased away
All the sanity in me
These wounds won't seem to heal
This pain is just too real
There's just too much that time cannot erase
=====================
Bulan demi bulan berganti...
Valen sudah mendapat tempat di kelas...bahkan ia menjadi sahabat banyak anak cewek yang lain.
Memang, Valen benar-benar berubah, ia bukan lagi Valen yang dingin dan arogan, tetapi Valen yang ramah dan menyenangkan.
Ia benar-benar mengubah sikapnya sejak insiden dengan Steven.
Suatu sore di bulan Juni yang cerah...
Sekelompok anak tampak tengah bergembira disuatu ruangan yang terang, sebuah ruangan di cafe kelas atas.
Sofa-sofa besar berwarna agak gelap berjajar rapi, kontras dengan tembok yang berwarna kuning cerah menciptakan kolaborasi warna yang ceria.
Ada sebuah stage dengan lantai keramik berwarna hitam mengkilat, di atas stage terdapat beberapa alat musik, mic stand, dan sebuah tulisan dari styrofoam bewarna pink yang berbunyi “HAPPY SWEET SEVENTEEN VALEN”
Ruangan yang ramai itu semakin ramai ketika sekelompok anak cowok dan cewek mendorong-dorong seorang cowok tinggi kurus untuk maju ke stage. Yep, itulah aku.
Teman-temanku menyuruhku menyanyikan sebuah lagu, karena vokalku yang bisa dibilang tidak buruk. Dan saat ini, aku tengah berdiri sendirian di stage hitam itu dihadapan teman-temanku dan sang pemilik acara, Valen.
“Okee...pada mau request lagu apa niih?” tanyaku sambil nyengir kepada teman-teman yang memandangiku sambil tersenyum-senyum
“Terseraaaahhh! Yang penting, lagu buat yang punya acara aja deh!!” teriak Enggar, ia berdiri lalu menunjuk ke arah Valen
Valen tampak terkejut dan menunjuk dirinya sendiri dengan tatapan bingung.
Terlebih lagi aku. Ada sebersit kesedihan yang tiba-tiba kurasakan, entah kenapa.
“Hahaha....udaah...nggak apa-apa! Ayo Van, cus nyanyi!” seru Novi yang duduk disamping Valen
“Audiences, ni lagu kudu sesuai sama suasana apa terserah sekarep atiku ?” ucapku lalu menyetting gitar supaya tidak fals.
Tiba-tiba sebuah suara berkata, “Senyaman hati lo aja”
Aku terkejut, kutatap sumber suara itu dan aku melihat Valen tersenyum. Sebuah senyum yang dipaksakan. Sekali lagi, hatiku bagai tersambar petir.
Aku dihadapkan pada pilihan yang sulit. Saat ini, aku harus menyanyikan sebuah lagu untuk seseorang yang aku cintai namun tidak akan pernah sanggup kugapai, dan aku harus menyanyikan lagu itu benar-benar dari lubuk hati terdalam. I've decided it, though.
“Bisa minta tolong kepada seseorang? Lia, bisa aku minta tolong?” aku memanggil nama cewek yang selalu mendengar keluh-kesahku, menemaniku ber-galau ria karena Valen.
Lia menurut saja. Ia maju ke stage sambil clingak-clinguk dengan bingung.
Ketika ia sudah berdiri disampingku, aku membisikkan sesuatu kepadanya.
“Kamu serius Van?!” ia menatapku tidak percaya
“Jangan salahin aku ya kalo suasananya jadi nggak enak” ucapnya pelan
Aku tersenyum dan mengangguk. Lia hanya bisa mengangkat bahu.
“Pertama-tama, saya ucapkan terima kasih khususnya kepada Valen yang telah mengundang kami ke acara ini dan kepada kedua orang tua Valen yang telah menyambut kami, dan saya mohon maaf apabila lagu yang akan saya nyanyikan--”
“Laaah! Sok formal lah!” Enggar berteriak memotong kalimatku, lalu ia pun tertawa bersama teman-teman yang lain
Seketika itu juga, ruangan menjadi ramai. Aku tersenyum kepada teman-temanku yang selalu bisa membuatku tertawa.
“-- apabila lagu yang saya nyanyikan akan merubah atmosfer dan suasana disini. Selamat menikmati. Saya persembahkan sebuah lagu, khusus untuk Valen seorang.” kulanjutkan kata-kataku dan kuakhiri kalimat terakhir yang kutujukan kepada Valen dengan sebuah senyum, semanis yang aku bisa.
Valen melipat tangannya dan bersandar pada sofa berwarna merah maroon. Ia menatapku dengan gelisah.
Kupetik gitarku dengan syahdu. Jeritan lagu “October” karya Evanescence membelah keramaian acara ulang tahun itu. Semua teman-temanku terkesiap.
Tawa mereka terhenti dengan tiba-tiba.
Suasana berubah menjadi tidak nyaman. Bukan lagi sebuah pesta ulang tahun yang meriah dan ceria, tetapi berubah menjadi acara ulang tahun yang diliputi kesedihan dan bertemakan sorrow.
Semuanya memandangku dengan tatapan terkejut, tidak percaya. Sebagian menggeleng-geleng, beberapa menunduk, dan beberapa lainnya menatap Valen dengan sedih sementara cewek cantik bergaun mewah itu terbelalak memandangku.
I can't run anymore
I fall before you
Here I am
I have nothing left
Though I've tried to forget
You're all that I am
Take me home
I'm through fighting it
Broken
Lifeless
I give up
You're my only strength
Without you
I can't go on
Anymore
Ever again
My only hope
(All the times I've tried)
My only peace
(To walk away from you)
My only joy
My only strength
(I fall into your abounding grace)
My only power
My only life
(And love is where I am)
My only love
I can't run anymore
I give myself to you
I'm sorry
I'm sorry
In all my bitterness
I ignored all
That's real and true
All I need is you
When night falls on me
I'll not close my eyes
I'm too alive,
And you're too strong
I can't lie anymore
I fall down before you
I'm sorry
I'm sorry
My only hope
(All the times I've tried)
My only peace
(To walk away from you)
My only joy
My only strength
(I fall into your abounding grace)
My only power
My only life
(And love is where I am)
My only love
Selama aku dan Lia menyanyikan lagu tersebut, aku tidak mengalihkan pandangan dari petikan-petikan gitarku. Aku tidak mampu, aku tidak sanggup. Mungkin bagi beberapa orang, apa yang aku lakukan ini adalah suatu tindakan pengecut. Well, I have my own reasons.
Baru setelah bagian reff terakhir, aku berani mengangkat wajahku, kutatap mata Valen dengan terus menyanyikan bagian itu sepenuh hati. Ia tampak shock, Valen menutupi mulutnya dengan tissue, entah apa yang kulihat itu benar atau tidak, tapi sepertinya kedua mata indahnya berkaca-kaca. Namun aku tidak sempat mengkonfirmasi hal itu.
“Terima kasih buat kesediaan teman-teman mendengarkan lagu ini” ucapku sambil menunduk, “buat Valen, happy birthday. I wish for your happiness. Now, I gotta go”
Gitar akustik berwarna cokelat mahoni itu kuletakkan di sebelah bangku tempatku duduk. Aku berdiri dan menuruni stage dengan gontai, sementara tiap pasang mata memperhatikanku.
Aku pergi begitu saja keluar ruangan. Aku kembali ke mobil dan memacu Accord-ku secepat yang aku bisa setelah aku merusak acara yang seharusnya menjadi momen bahagia untuk Valen.
===================================
Kota X bagian selatan, perumahan elite “Paradise Residence”
Pukul 19.32 WIB
Sebuah rumah mewah dengan halaman luas tampak berdiri dengan angkuh. Lampu-lampu taman yang memancarkan cahaya kekuningan menambah megah rumah tersebut.
Aku duduk di bangku teras, meminum segelas wine merah sementara Enggar melaporkan kejadian tadi sore.
“Valen...dia--”
“Kenapa?” potongku cepat
“Valen, dia nangis tadi sore...” ucap Enggar bersungguh-sungguh
“Oh...so? Am I supposed to say 'wow' then?” jawabku sok tidak peduli
Kutawarkan segelas minuman kepadanya yang disambut gelengan kepala.
“Apa kamu nggak merasa bersalah gitu Van?” ia bertanya dengan hati-hati sembari memainkan jam tangan Swiss Army berharga ratusan ribu rupiah di pergelangan tangannya
“Nggak” kutatap bintang yang berkelap-kelip dilangit pada malam yang dingin ini
Dan berakhirlah percakapan antara aku dan sahabatku malam itu. Enggar pulang dengan wajah kecewa. Namun ia sempat berkata, “Tolong jangan rusak kebahagiaan Valen besok” yang tentu saja meninggalkan sejuta tanda tanya di pikiranku.
Hari-hari di sekolah kulalui dengan berat. Setiap hari aku harus bertatap muka dengan Valen. Maka, aku menganggap hari ini sama dengan hari-hari yang lalu dimana aku duduk di kelas dan terus menerus berada di dekat Valen walaupun aku sudah berusaha menjauh.
Aku melirik jam tanganku, pukul 09:55, sudah 2 jam pelajaran aku di kantin. Dengan langkah gontai aku masuk ke kelas. Aku sudah siap-siap dimarahi guru karena bolos jam pelajaran dan malah menghabiskan waktu di kantin tadi, menggalau. Dengan tatapan tertuju ke keramik putih, aku mengetok pintu kelas.
TOK TOK TOK!!
“Maaf pak, saya tadi habis dari UKS, kepala saya pusing…” aku beralasan
Tapi tak ada suara yang terdengar dari arah meja guru, hanya ada suara berbisik-bisik dan lambat laun terdengar suara langkah kaki yang ringan berjalan mendekat.
“Ah…kena omel nih…” batinku
Suara langkah kaki itu berhenti tepat di depanku.
“Van” sebuah suara lembut memanggilku
Dengan kaget aku mendongak dan menemukan Valen berdiri di hadapanku. Aku melirik ke balik bahunya, tidak ada guru di meja depan. Aku melirik ke papan tulis, ada tulisan spidol hitam yang isinya menyuruh murid-murid mengerjakan tugas.
“Van!” suara Valen agak meninggi
Aku terkejut dan buru-buru kutatap kembali matanya. Teman-teman sekelas menatap kami dengan penasaran. Beberapa anak tampak menggerombol dan berbisik-bisik sambil melirik kearah aku dan Valen yang berdiri di depan kelas.
“Van, ini masalah hubungan kita” ucapnya serius
“Shit! Kenapa dia ngungkit-ungkit masalah ini di depan kelas?!!” umpatku dalam hati
“Apa bener yang temen-temen omongin? Lo masih nunggu gue?” secercah harapan tampak di mata cewek cantik yang kini berada di hadapanku
“Gue...gue mau minta maaf...gue nggak ngeliat elo selama ini...” air menggenang di mata indahnya
“...”
“Gue nyesel udah nyia-nyiain elo......gue terus aja nipu diri gue sendiri...gue selalu bilang ke diri gue sendiri kalo gue nggak cinta sama elo...walaupun kenyataannya berbeda...” satu tetes, dua tetes, dan kemudian air mata mengalir membasahi pipi dan wajah cantik Valen
“...”
“Gue...saat ini juga gue pengen nyatain perasaan gue ke elo yang sebenernya, lagu yang elo nyanyiin buat gue kemarin bikin gue tersadar kalo ternyata gue juga cinta sama elo...gue berharap, elo masih nunggu gue hingga detik ini...gue cinta sama elo Van, mau nggak lo jadi cowok gue?” ucapnya dengan terbata-bata
Bila dilihat secara sosiologis, bisa dikatakan bahwa ini adalah suatu penyimpangan sosial positif, dimana penyimpangan yang terjadi tidak merugikan siapapun.
Kualihkan pandangan ke teman-temanku. Enggar, Dani, Novi dan Lia duduk menggerombol, dengan jahil mereka melantunkan satu bait dari lagu “Forgive Me”.
'Cause you were made for me
Somehow I'll make you see
How happy you make me
I can't live this life
Without you by my side
I need you to survive
So stay with me
You look in my eyes and I'm screaming inside that I'm sorry
Dan lagu itu menjadi backsound percakapan diantara aku dan Valen.
Aku merasa aneh. Setelah apa yang dia katakana dulu? Kemana perginya kalimat yang mengatakan kalau dia tidak ingin memulai hubungan baru dengan cowok?
Aku menatap tajam matanya, berusaha mencari kejujuran.
“Kamu serius? Aku nggak punya waktu buat main-main!” ucapku tegas karena merasa dipermainkan
“I..iya Van…se…serius…”
Aku menatap matanya sedalam mungkin, dan ternyata Valen memang serius dan ia tidak berbohong. Namun, setelah apa yang dia lakukan, sekarang tiba saatnya buatku untuk mempermainkan perasaan Valen walaupun hati kecilku memberontak berusaha menghalangi niatku itu.
“Nggak...” jawabku singkat, kutatap tajam matanya
Semua teman-temanku terkejut. Mereka tidak menyangka aku akan berkata seperti itu. Grup paduan suara tadi juga sampai berhenti bernyanyi. Menatapku dengan melotot, tidak terima.
“Gue...gue ngerti Van...inilah akibatnya karena gue udah mempermainkan perasaan lo...gue udah nolak lo yang mencintai gue sepenuh hati, dan kini tiba waktunya buat elo untuk nolak gue...gue sadar sepenuhnya kalo ini kesalahan gue...” ia menundukkan kepalanya, menangis tersedu-sedu
Kupegang kedua bahunya, menghela nafas dan berkata,
“Nggak...aku yang harusnya bilang 'Valen, mau nggak kamu jadi cewekku?' sekali lagi ke kamu” aku tersenyum nakal merasa senang berhasil mengerjai cewek ini
Entah kenapa, segala keraguanku menghilang setelah mengetahui bahwa Valen tidak main-main. Dan langsung saja aku mau menjalin hubungan dengannya, mungkin tidak rasional, tapi itulah cinta...aku sendiri tidak tahu mengapa aku begitu mudah berubah pikiran terhadapnya.
Valen mengangkat wajahnya dengan terkejut. Selama beberapa momen, ia tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya, namun setelah tersadar, ia segera mengangguk-angguk mantap. Sebuah senyum merekah dibibir tipisnya.
“Huuuuuuuuuuuuuuu!!!” spontan sekelas ber-koor ria meneriaki aku yang tersenyum bahagia. Ketegangan mencair dan suasana kelas berubah ceria.
"Goblok lo Vaan! Hahahaha!"
"Yaaaah! Ternyataaaa!"
Banyak lagi teriakkan teman-teman yang mengiringi
“Uuuh! Jahaaatt!” Valen menyeka air matanya dan berkata dengan manja
“Jadi, kita resmi pacaran nih?” tanyaku kepada bidadari yang tengah menghapus sisa-sisa air matanya dihadapanku ini
“Iya sayaaang...!” ia mencubit lenganku dengan gemas sambil tersenyum
Kelas pun bersorak sorai dengan heboh, kebanyakan dari anak-anak cowok yang jarang menyaksikan 'penembakan' terjadi. Karena begitu kerasnya, beberapa guru sampai datang mengecek ke kelas kami, membuat keramaian tiba-tiba surut. Aku dan Valen duduk berdampingan, dengan senyum tersungging di bibir masing-masing.
=================================================
Seolah-olah tidak ada kendala berarti dalam hubungan kami...
Seolah-olah kami memang ditakdirkan untuk bahagia sekarang dan seterusnya...
Itu tiga bulan yang lalu....this is just the beginning of my 'true' life...
PRESENT DAY....
21:57
Suara jeritan...
“Kyaaaaaaaaaaaa!!”
Suara tamparan...
PLAK! PLAAAKK!!
Bunyi kain disobek....
Brreeeeeettt!
Secarik kain yang tadinya merupakan t-shirt Valen kubuang seenaknya ke lantai.
Hotpants Valen tergeletak di lantai lengkap dengan celana dalamnya, sementara sang pemilik tengah meronta-ronta diatas kasur bersama seseorang, aku.
Valen merangkak berusaha menjauhiku. Mataku gelap, nafsuku sudah jauh melampaui batas normal.
"Kyaaaa!!" Valen menjerit ketika pergelangan kaki kanannya kutangkap
Dengan sangat kasar kutarik tubuhnya mendekat. Valen menangis, menggapai gapai berusaha mencari pegangan.
"Berhenti Van, gue mohon! Please--iyaaaaaaahh!" jeritnya ketika lidahku kembali menyusuri vaginanya dari belakang
Valen hanya bisa menangis pasrah ketika tubuhnya kubalikkan. Lepasnya lidahku memberinya waktu untuk bernafas sebelum akhirnya Valen harus kembali merasakan sesuatu yang kasar dan hangat menjelajahi bagian tubuhnya yang sangat sensitif.
Nafasku cepat dan pendek bak kuda pacu yang dikebut habis-habisan.
Valen melenguh dan mengerang merasakan paha dan betisnya digerayangi oleh tanganku, menciptakan suatu kenikmatan yang tak terelakkan meskipun hatinya memberontak, tidak sudi diperlakukan seperti ini.
"Aaakh....aaaakh...!!" sesekali ia merintih ketika lidahku mencucuk daging segar berwarna pink dan menyentil klitoris miliknya
Rangsangan yang diterimanya semakin hebat tatkala jariku menjamah payudara dan memilin-milin putingnya yang berwarna pink
Selangkangannya menerima rangsangan bertubi-tubi membuat tubuh cewek blasteran ini gemetar menahan nikmat. Air matanya mengalir deras. Ia merasa dilecehkan dengan pemerkosaan yang dijalaninya saat ini.
"S...stop Van...gue mohon" erangan cewek yang sekarang berstatus pacarku itu tidak kuhiraukan
Matanya yang sayu menatapku dengan berlinang air mata, tidak sanggup bertahan dengan pejantan yang haus akan birahi di hadapannya ini.
'Sluruup...sluuuurp...sluuurp!!'
Hanya suara jilatan pada vagina Valen yang terdengar mengiringi desahan-desahan seksinya
Sesekali ia menatap nanar kearah selangkangannya, menatap kepala yang sibuk menikmati liang surgawi kepunyaanya.
Walaupun sebenarnya ia tidak mau, namun pahanya menjepit kepalaku seolah tidak rela melepaskan lidah hangat yang tengah memberi dirinya kenikmatan. Jilatan demi jilatan diterima oleh vaginanya, tubuhnya mengejang tiap kali lidahku menyentuh klitorisnya.
Naluriku mengambil alih, kujilat hanya pada bagian klitorisnya, kujilat dan kuhisap dengan ganas. Tubuh mudanya tidak mampu menahan nikmat yang dihasilkan oleh stimulasi pada klitorisnya, tubuh Valen tergoncang-goncang dengan hebat.
"Kyaaaaaaa!! Aaaaaaakkhh....aaakkhh...aaaaaaahh...!!!!" jerit kenikmatan meluncur dari bibir tipisnya.
Valen mendongak, menatap langit-langit dengan mata sayu, lidahnya terjulur menandakan tubuhnya sedang dilanda kenikmatan tiada tara sementara mulut di selangkangannya tak henti-hentinya menjilat, menghisap dan menggigit vaginanya yang tercukur bersih.
"Aaagh!! Uuaaah!! Argh!"
Valen telah sampai di depan gerbang kenikmatan duniawi
Sesaat kemudian tubuhnya melengkung dan mengejang. Seluruh otot di tubuh seksinya menegang, merasakan deru kenikmatan melanda setiap sudut vaginanya.
"AAAAAAHHHH!!" Valen menjerit ketika ia meraih orgasme pertamanya malam ini walau dengan cara yang tidak menyenangkan
Namun malang baginya. Ia yang menabur, maka ia sendiri yang menuai hasilnya.
Valen benar-benar sudah di ambang batas kesadarannya. Ia tunduk, menyerah kepada lidah yang menyetubuhinya bahkan saat ia tengah orgasme.
Tubuhnya serasa tanpa tulang karena kelelahan yang amat sangat. Peluh membasahi tubuhnya, membuat ia tampak semakin menggairahkan, namun, naluri hewaniku kembali mengambil alih kendali.
Nafas Valen berat, megap-megap seperti ikan yang diangkat dari air. Ia mengambil posisi menelungkup, berharap itu bisa membuatnya merasa lebih baik. Kesadarannya semakin menjauh, semuanya berangsur gelap ketika tiba-tiba sebuah benda tumpul hangat menempel pada bibir vaginanya. Pikirannya tidak cukup jernih untuk menerka benda apakah yang berusaha memasuki vaginanya yang masih rapat.
Ukuran benda itu besar dan masih meliuk-liuk berusaha memasuki tubuhnya menciptakan sensasi geli sekaligus membuatnya merinding memikirkan apa jadinya kalau benda itu berhasil memasuki vaginanya.
Detik berikutnya, yang ia rasakan adalah perih, perih dan perih yang amat sangat, Valen ingin mengeluarkan benda apapun itu, namun tangannya tidak dapat digerakkan begitu pula kakinya.
“Aaaaaaaaaaaaahhhhh!!!!!"
Maka ia hanya dapat menjerit putus asa, merasakan bagaimana benda asing yang seperti belut berukuran besar itu memasuki tubuhnya, membuat vaginanya terasa seperti sobek dan terasa mengganjal.
"Uuuuuuh!" aku melenguh ketika penisku berhasil menerobos masuk vagina milik Valen, memberikan kenikmatan.
Darah mengalir dari antara bibir vaginanya yang kini berwarna kemerahan.
Valen berbaring telungkup, membenamkan wajahnya pada bantal, tangannya meremas sprei dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
Ia hanya mampu menangis dan menangis merasakan 'hewan' yang tengah menikmati kehangatan tubuhnya. Aku menggerakkan penisku maju mundur dengan liar tak teratur.
Tubuh mulus Valen terpental-pental ketika aku menyodok vaginanya dari belakang. Kedua bukit kembarnya juga tak luput dari tanganku, kuremas-remas dengan gemas.
"Aaaakh...aaaakh....iyaaaah!!" Valen menjerit kecil setiap kali penisku menghunjam dalam-dalam.
Beberapa lama kemudian Valen sudah berhenti menangis, tampak rona merah di wajah cantiknya itu menandakan kalau dia juga horny, menikmati persetubuhan yang kami lakukan.
Rambutnya yang diikat ekor kuda menjuntai kebawah, basah oleh peluh.
Sprei kasurnya yang berwarna pink basah oleh peluh, air mata, cairan orgasme, lendir vagina, darah dan cairan pre-cum milikku.
Tubuhnya kembali bergetar, tangannya menggapai-gapai.
"Aaaaahh!!" ia menjerit seksi ketika berhasil meraih orgasme ketiganya. Vaginanya meremas-remas benda-asing-tumpul yang tak lain adalah penisku dengan lembut.
"Oookh!! Aaahh...cukup Van! U...udah...cukup!! Gue bi...bilang...aaakh....cu....aaah...cukup Van, CUKUP!!" ia menjerit sejadi-jadinya dengan tenaga yang masih tersisa, berharap aku akan menghentikan persetubuhan ini
Valen benar-benar tak berdaya, penisku menyodok bahkan ketika ia orgasme. Ia terbaring telungkup dengan lemas, matanya sudah sangat sayu, nafasnya tersendat-sendat.
"Gu...gue...ca..capeek...aaaakh...gue...gue nggak...aaahhh...kuat..." kesadaran Valen berangsur menghilang.
Ia kembali menangis
"Si...sialan lo...aaaahh...bu...bunuh aja gue sekalianhhh..." geramnya kepadaku.
Sorry dear, the drug you gave me, it make me lost control of my own body. You're on your own.
Sudah 40 menit ritual biadab ini berlangsung. Akupun sudah hampir sampai klimaksnya.
Penisku menggesek dinding vagina milik Valen dengan gagah tanpa ampun.
"Aaaaakhhh...aaaahhhh!! Ooooh...I'm cum...cumming!! Iyaaaaaahh!!" jeritnya putus asa, tubuh Valen bergoncang menyambut orgasme
Dalam kondisi fisik yang terus melemah akibat multi orgasme, kelelahan baik fisik maupun mental, Valen berusaha bertahan.
"Nnnggh!" aku menggeram. Penisku sudah siap menembakkan sperma, tidak tahan dengan jepitan vagina milik Valen
Aku menyodokkan penisku dalam-dalam.
Crott! Crooott croott!!
"Kyaaaa!!" Valen menjerit kecil ketika merasakan cairan kental yang hangat tiba-tiba dituangkan kedalam vagina nya
Plooopph!
“Aaaaakkh...” ia mengerang sewaktu penisku kucabut dengan sekali tarik
Tangan kanannya bergerak menuju selangkangan dengan gemetar.
Jemari lentiknya dimasukkan kedalam vagina, mengambil sampel cairan yang disemprotkan olehku kedalam tubuhnya.
Setelah ia melihat jemarinya yang lengket dilumuri oleh cairan putih, kental, hangat dan berbau tajam itu, Valen mendesah dan memejamkan mata.
Ia menyerah kepada rasa lelah dan jatuh tertidur.
Tak lama kemudian, aku pun menyusul. Tergeletak kelelahan disampingnya dan tertidur.
Aku terbangun ketika mendengar isak tangis seorang cewek...
Pelan-pelan kubuka mataku yang harus bekerja keras untuk beradaptasi dengan cahaya lampu yang terang.
Kulihat Valen tengah duduk di kasur, tangannya memegangi selimut untuk menutupi tubuhnya yang telanjang, persis di film-film pemerkosaan. Aku kaget dan heran, setelah melihat tubuhku sendiri yang telanjang, aku bertambah kaget. Aku bangun dan duduk.
“Astaga...apa yang udah aku lakuin?!” teriakku panik
Valen masih terisak-isak, ia hanya menatapku dari sudut matanya. Pipinya basah dan matanya merah.
“Lo pasti udah tau...apa yang lo lakuin ke gue malem ini...lo puas Van?” tanya Valen dengan nada kecewa
“A...aku? Aku? Ngapain?”
“Lo liat sendiri! Lo sendiri yang ngelakuin! Lo udah perkosa gue!!”
Valen menjerit histeris sambil memukul-mukul lenganku
“Gue nggak keberatan kesucian gue lo renggut! Tapi nggak sekasar tadi!! Lo tuh nyiksa gue tau nggak?!”
“Apa?! What the hell...what have I done?” aku mengusap wajahku, bingung
Memang, itulah kenyataannya....antara sadar dan tidak, aku mengingat semua yang aku lakukan terhadap Valen. Aku begitu menyesal sudah membiarkan nafsu menguasaiku.
Pikiranku benar-benar keruh, perasaan menyesal, rasa bersalah dan kecewa bertumbukan menjadi satu.
Kusapukan pandang kesegala arah. Tatapanku tertuju kepada botol kecil di meja kecil disebelah tempat tidur Valen. Sepertinya, aku pernah melihat botol itu disuatu tempat... akan tetapi bukan di tempat baik-baik.
Aku membaca label yang terpasang pada botol kosong itu.
“O...obat perangsang??!!” tanyaku histeris, aku menoleh kearah Valen
Valen mengangguk pelan, air mata masih mengalir dari mata hijaunya yang indah.
“Tunggu...jangan bilang kamu masuki obat perangsang ini ke minumanku tadi”
Kalimatku disambut dengan anggukan lemah lagi
“Kenapaaaaaaaaa?!!” aku mengerang
“Karena gue pengen ngebuktiin ke elo kalo gue bener-bener sayang sama lo!”
“Gue tau, lo nggak akan berani macem-macem ke gue dalam keadaan normal, tapi kalo gitu caranya, gimana gue bisa ngebuktiin rasa sayang gue?! Gue nggak mau lo jadi kayak Steven! Dia bilang dia jadi kayak gitu gara-gara kekurangan kasih sayang dari gue!! Gue nggak mau lo kekurangan kasih sayang gue!”
Tangisnya bertambah. Semakin banyak air mata mengalir.
“Makanya...makanya gue...gue ngasi obat perangsang ke lo, biar lo nggak nolak...gue pengen lo tau kalo gue tu sayang sama lo sepenuhnya...”
“Tapi” tatapan matanya berubah tajam
“Tapi dengan kejadian tadi, gue jadi tau kalo lo tu nggak sayang sama gue, yah walaupun dengan tebusan gue harus kehilangan kesucian gue cuma buat mengetahui fakta yang pahit”
Aku tidak habis pikir. Apa yang Valen jelaskan benar-benar tidak masuk akal.
Otakku tidak mampu berpikir jernih.
“Nggak gitu sayang...aku tuh sayang banget sama kamu tau nggak?” aku kembali duduk disampingnya, membelai lembut rambutnya. Valen tidak menolak maupun menghindar.
“Lo? Sayang sama gue?” matanya menerawang menatap sprei kasur
“Iya...percaya deh....” ucapku berusaha meyakinkannya
“Kalo lo SAYANG sama gue, lo nggak akan tega ngelakuin hal kayak tadi. Lo nampar gue cuma supaya gue ngelayanin nafsu lo pake tubuh gue. Lo tuh binatang, nafsu sama tubuh gue doang, lo nggak pake perasaan lo, lo nggak nunjukkin sedikitpun kalo lo cinta sama gue” ia tersenyum, senyum melecehkan
“Ternyata semua cowok sama aja....lo juga nggak ada bedanya...” bisik Valen
Aku terdiam. Kata-katanya ada benarnya juga. Tapi apakah mungkin aku bakal setega itu terhadapnya?? Apa aku akan tega menampar Valen?! Tidak, aku mengenal diriku sendiri. Aku tidak akan pernah berlaku kasar pada seorang cewek, apalagi dia pacarku. Ada yang tidak beres.
Aku memainkan botol kosong itu dengan tangan, ketika tiba-tiba suatu pencerahan muncul di kepalaku.
“Tunggu...kamu masukin semua ini ke minumanku?? Satu botol penuh?”
“Iya....satu botol penuh...” jawab Valen lirih
“Pantessss!!” seruku setelah mengerti penyebab semua tragedi ini
Valen menoleh, menatapku dengan pandangan tak mengerti.
Aku menunjukkan tulisan “...1/4 botol setiap pakai...” yang tertera pada label botol
“Kamu ngasih ni obat, overdosis! Di petunjuk kan bilang, cukup ¼ botol tiap pake...tapi kamu malah masukin semuanya....ya jelas aku jadi kayak tadi!”
Valen membacanya dan tampak merenung...
“Kamu ngasih aku minum pas aku lagi bener-bener haus, sementara satu botol cairan laknat ini ada di minumanku yang kutenggak sampai habis. Yaa otomatis aku sama aja minum ni obat satu botol...makanya nafsuku mbleduk nggak wajar kaya tadi” jelasku panjang lebar kepada Valen
Ia manggut-manggut dengan wajah bloon. Ia berhenti manggut-manggut dan menoleh kearahku lalu berkata “Berarti, lo beneran sayang sama gue? Bukan karena tubuh gue?”
“Ya iyalah, sayang...kalo nggak, buat apa aku rela nungguin kamu berbulan-bulan?” aku tersenyum dan membelai kepalanya
“Sekarang gue yang minta bukti dari lo...” ucapnya serius
"Gue minta lo ngasih bukti ke gue kalo lo--mmmpppffffttt!!" kalimatnya terpotong ketika kukecup bibirnya dengan lembut
Valen agak meronta dan melawan sebentar, tetapi kemudian hanyut terbawa suasana. Ia dapat merasakan 'bukti' yang kuberikan, bukan berupa kata-kata gombal penuh kebohongan, bukan dengan harta dan materi yang berlimpah ruah, akan tetapi hanya dengan sebuah kecupan sederhana.
Ia melepaskan pelukanku dan meletakkan jari telunjuknya di bibirku lalu tersenyum. Senyuman yang penuh arti. Aku pun tersenyum.
Hari itu aku telah merenggut kesucian Valen...dengan cara yang memalukan...sampai-sampai aku masih tidak dapat memaafkan diriku sendiri.========================================== ==================================
Awal liburan yang sangat panjang....
Suatu siang, Valen sedang bermain di rumahku. Kami tengah asyik berbincang-bicang di tepi kolam renang . Cuaca yang lumayan panas hari itu memaksa kami untuk berteduh bibawah naungan pohon pinus yang menjulang tinggi.
Aku tengah menikmati suara tawa Valen yang merdu, senyumnya yang memikat siapapun dan wajahnya yang menawan. Rambut panjang kemerahannya melambai ditiup angin sepoi-sepoi. Kami berdua duduk di tepi kolam sembari mencelupkan kaki kedalam air yang jernih.
Ketenanganku tiba-tiba terusik oleh bel pintu rumah yang dibunyikan berkali-kali, sang tamu pasti sudah benar-benar tidak sabar. Dengan setengah hati aku berlari masuk rumah, melewati ruang tamu dan menuju pintu.
Aku tergesa-gesa berlari kearah pintu depan. Kuputar handle pintu dan pintu kayu jati coklat itu mengayun terbuka.
Bukan wajah yang aku lihat, melainkan punggung. Punggung seseorang yang tingginya kira-kira hampir sama denganku, ia mengenakan jaket kulit berwarna putih gading yang kelihatannya mahal.
“Ada yang bisa saya bantu mas?” tanyaku hati-hati. Orang itu tampaknya mencurigakan.
Perasaanku was-was dan tidak enak. Apalagi sekarang aku sedang dalam keadaan unarmed karena sedang bersantai. Pembantuku ibu-ibu semua, bisa apa mereka? Aku terus menatapnya dengan curiga, berharap tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Cowok itu mendengarku dan ia membalikkan tubuhnya, kini menghadap kearahku. Ia mengenakan kacamata hitam Oakley yang sporty. Di luar pagar, terparkir sebuah Honda All New Civic berwarna hitam mengkilap dan sangat jelas terlihat bahwa pemiliknya pasti merawatnya dengan sangat baik. Di belakang cowok itu berdiri seorang cewek, sepertinya blasteran juga, sama seperti Valen. Cewek itu cantik. Ehm...sangat cantik.
Ia mengenakan kaos putih bertuliskan “What are you looking at?” sementara dibaliknya dua bongkah buah dada membusung dengan indah, wajahnya ramah didukung dengan rambut hitam panjang yang tergerai indah, sama seperti cowok tadi, ia juga mengenakan jaket berwarna cokelat gading, jaket couple sepertinya.
“HEI!!” bentak cowok itu ketika menyadari aku tengah 'menelanjangi' cewek yang kutebak adalah pacarnya
“Ah! Iya...iya mas! Kenapa? Gimana? Ada yang bisa saya bantu?” aku tergagap, panik karena busted tengah mengamati si cewek
“Benar ini rumah mas Evan?” tanya si cowok dengan tegas tanpa senyum
“I..iya...benar...ada apa yah?” perasaanku was-was, namun melihat si cewek yang tengah tersenyum-senyum, aku menjadi agak rileks
“Kamu tau siapa saya?!” ucap si cowok dengan tegas dan agak membentak
Diajak bicara dengan nada begitu, emosiku naik
“Siapa?! Ini rumahku! Sopan dikit napa?!”
Ia melepas kacamata hitamnya. Aku tersentak kaget, tidak percaya dengan apa yang aku lihat.
“K-kamu...k-kamu kan...” aku tergagap menatap wajahnya, kepalaku menggeleng keras
“Van, siapa sih? Kok lama amat? Emang siapa yang-” Valen ternyata menyusulku, seperti aku, ia pun terpana menatap cowok yang tersenyum ramah di hadapan kami
“Cousin!” seruku dengan suara dan logat menirukan Stitch
Aku menubruknya keras sekali. Kami berpelukan bak sahabat yang baru bertemu setelah beberapa tahun berpisah.
“Woah...woah...sabar Van...ahahaha” cowok itu tertawa sambil melepaskan pelukanku
“Siapa si dia Van?” tanya Valen tanpa mengalihkan tatapannya dari si cowok
“Ini Arif, sepupuku!” aku dengan bangga memperkenalkannya
Dia adalah Arif, sepupu dekatku. Kami memang jarang bertemu karena berbeda kota dan kami sibuk, okay, DIA yang sibuk dan aku tidak, aku nggak malu mengakui itu.
Tingginya hampir sama denganku, wajahnya mirip dengan Lee Min Ho, begitu juga dengan model rambut ketika si Lee Min Ho bermain di serial K-Drama City Hunter. Usia kami terpaut beberapa bulan, ia lahir di tahun yang sama denganku namun beberapa bulan lebih tua. Ia adalah anak dari kakak kedua ayahku.
“Sepupu?” tatapan Valen masih tertuju pada sepupuku itu, takjub
Si cewek yang datang bersama Arif melangkah maju, ia melambaikan tangannya di depan wajah Valen sambil tersenyum.
“Udah...jangan diliatin terus, ntar naksir loh! Hehehe” cewek itu terkekeh
Valen segera tersadar, pipinya merona merah karena malu.
“Ma...maaf...” ucap Valen lirih
Aku jadi merasa tidak enak kepada si cewek karena perbuatan Valen.
Untung Arif segera mencairkan suasana
“Hahaha...jangan gitu...” Arif melingkarkan tangannya di pinggang si cewek
“Evan, ini pacarku...namanya Ira...” ucapnya kepadaku
“Hai...namaku Ira...Ira Selva Divina” cewek itu menjulurkan tangannya kepadaku dan kepada Valen, sementara Valen menyambut tangannya dengan agak ragu-ragu
“Kenapa?” Ira bertanya dengan heran kepada Valen yang sedari tadi menunduk
“Gue...gue udah lancang...maafin gue....” Valen berkata lirih
Arif menatapku dan mengangkat sebelah alis, seolah bertanya “Kenapa sih cewek itu?”
Aku menjawab dengan senyum yang bermakna “Nggak apa...itulah Valen”
Ira tertawa kecil lalu berkata
“Aduuuh...cuma masalah kaya gitu juga...nggak apa kali...serius amat”
“Diliatin sepanjang hari juga nggak apa-apa...mau buat kamu, dibungkus, dibawa pulang juga nggak apa-apa. Hehehe” Ira menambahkan sambil tersenyum menatap Arif dan menjulurkan lidahnya
“Heeeii! Jangan gitu...kalo nggak ada aku ntar kamu kangen” Arif memeluk pacarnya dari belakang, lalu mereka berdua tertawa. Mesra sekali.
Kami juga tertawa melihat tingkah mereka berdua.
“Nama kamu siapa?” Ira bertanya kepada Valen
“Caroline Valentina. Panggil aja Valen” jawab Valen ceria
Kami berempat ngobrol-ngobrol agak lama di teras depan.
Ternyata Arif dan Ira akan tinggal di kota ini cukup lama, namun aku tidak bertanya lebih jauh kenapa. Awalnya mereka bingung akan menginap dimana, aku mengusulkan Arif menginap dirumahku dan Valen mengusulkan Ira menginap dirumahnya. Sesaat kemudian, sepasang kekasih itu mengangguk setuju.
Setelah beristirahat sejenak, kami berempat menuju kerumah Valen, tempat Ira akan menginap.
=============
Several days later....
Point of view : Ira
Mall Green Clover, sebuah mall bertingkat 7 yang selalu dipadati pengunjung setiap hari. Fashion level, lantai 4.
"PULANG SEKARANG!" Evan membentak
"IYA! TAPI NGGAK USAH TERIAK-TERIAK GITU BISA NGGAK SI LO?!" Valen menjerit, berusaha melepaskan cengkeraman Evan pada lengannya
"DIAM!!"
"LO YANG DIEM!! INI TEMPAT UMUM TAU NGGAK?!!"
"OH YA?! APA AKU PEDULI?!!"
"DASAR COWOK BEBAL!" Valen memaki Evan dengan marah
"APA?! BILANG SEKALI LAGI!"
"COWOK BEBAL! LO ITU COWOK BEBAL!!"
"CUKUP! PULANG SEKARANG!!" Evan menyeret Valen untuk pergi, namun Valen masih meronta-ronta
Kami melakukan suatu hal bodoh. Yup, ribut-ribut masalah pribadi ditempat umum seperti ini bukanlah ide yang bagus. Para pengunjung mall berhenti dan mengerumuni kami, menjadikan kami bahan tontonan.
"Arif! Lakuin sesuatu dong!" aku berbisik sambil menyikut lengan pacarku yang tampak tidak peduli
Ia malah sibuk melihat-lihat kaos yang terpampang rapi. Aku bingung kenapa ia bisa setenang ini.
Orang-orang semakin banyak mengerubungi kami.
"Udah tenang aja sayang...hehe...serahkan pada mereka" Arif melingkarkan kedua lengannya di pinggangku, mau tidak mau membuatku merasa agak tenang
Bapak-bapak, ibu-ibu, anak kecil, cowok cewek semuanya menyaksikan kedua temanku itu berseteru. Anehnya tidak ada satpam yang melerai. Tiba-tiba seorang cowok maju dari kerumunan.
"Bro, lo jangan kasar-kasar sama cewek dong..." ucapnya sok cool
"Widih...pahlawan tuh sayang. Mau minta tanda tangan nggak?" kata Arif kepadaku, mengejek si cowok. Ia menyandarkan dagunya pada bahuku
"BUKAN URUSANMU!" bentak Evan menanggapi tantangan cowok tadi
"Oh ya? Kalo gitu, lepasin cewek itu" ia tersenyum sinis
"Fuck yourself!" Evan hendak beranjak pergi dengan menarik lengan Valen
"Hoi anjing. Gue ngomong sama lo!" bentak cowok itu
TEK!! Evan berhenti dan mematung.
Aku menatap Arif dengan tidak terima. Ia hanya menjawab dengan senyum lalu berkata,
"Uups...saklarnya putus nih..." ia kembali menatap Evan
"Apa kamu bilang?" Evan berbalik menatap si cowok dengan marah
"Anjing. Lo denger? A-N-J-I-N-G. Budeg apa lo?"
"..."
"Mending lo lepasin tuh cewek sebelum gue..." ia mengepalkan tangan di depan wajah Evan
"Sebelum apa?!" tantang Evan
JBUUUUGGG!!
Evan terjungkal kebelakang, mengantam beberapa trolley berisi pakaian. Cowok itu menarik lengan Valen kearahnya sementara sang cewek terkejut bukan main melihat pacarnya dipukul orang asing.
"Sebelum gue kepret lo bego..."
"Tenang, lo aman sekarang" ia melemparkan senyum pada Valen yang membuatku jijik
Evan bangkit dengan sempoyongan, menyeka sudut bibirnya yang mengucurkan darah. Ia menghela nafas dengan berat, siap bertempur. Aku benar-benar cemas kali ini, kutatap Arif dan aku begitu kaget melihat kini ada kekhawatiran dimatanya.
"Aduh...malah gini jadinya....Evan, sabar Van...jangan....aku mohon jangan ngamuk disini..." Arif bergumam gelisah
Valen kini meradang marah menatap Evan yang tampak sibuk mengusap-usap pipi kirinya yang membiru.
"Kenapa? Lo nggak terima hah?" tantang si cowok sok pahlawan itu lagi ketika melihat Evan bangkit
Dengan kecepatan yang mengagumkan, Evan menerjang balik cowok tadi dengan tangan mengepal.
"Wah...mati tuh cowok..." kudengar Arif bergumam pelan
Kini Evan sudah berada di hadapan cowok itu, gerakannya seolah tidak dapat dihentikan dan cowok itu pun tampak kaget melihat musuh barunya. Aku memejamkan mata, tidak sanggup melihat apa yang akan terjadi.
PLAAAAAKKK!!!
"Plaak? Suara apa tuh? Suara tamparan kan? Kok Evan nampar sih bukannya nonjok??"
Aku membuka mata pelan-pelan.
Valen berdiri diantara kedua cowok itu.
"Valen? Nampar Evan?????"
"LO PIKIR LO KEREN HAH?! LO PIKIR LO KELIATAN COOL GITU?!" jeritan Valen melengking tinggi
"LO PIKIR LO SIAPA?! BIKIN RIBUT-RIBUT DI TEMPAT KAYAK GINI!! LO SIAPA GUE SIH? DAN YANG TERPENTING, APA HAK LO BUAT MUKUL COWOK GUE?! GUE NGGAK INGET PERNAH MINTA BANTUAN LO ATAU SIAPAPUN!! LO DENGER? NGGAK PERNAH!!!"
Cowok tolol itu mundur, kembali ke kerumunan dengan perasaan yang pastinya sangat malu. Niatnya jadi pahlawan, eh malah dimaki-maki.
"Tuh kan, aku bilang apa? Serahkan saja pada mereka...hehehe" Arif terkekeh sambil menatap Valen yang tengah memeriksa memar di pipi Evan
"Woow..." aku hanya mampu berkata demikian
Melihat drama sudah selesai, kerumunan itu berangsur menipis. Sekelompok cewek yang berpakaian seksi diseberangku tampak berbisik-bisik sambil menatap Arif yang berdiri disisiku. Aku mengrenyitkan alis menatap mereka. Kualihkan tatapanku pada Arif, tampaknya ia menyadari sekelompok cewek itu tengah memperhatikannya dan ia tersenyum pada mereka.
"Apa? Arif senyum sama cewek-cewek ganjen yang sok seksi itu?" aku terbakar rasa cemburu
Sekelompok cewek itu terkikik ketika melihat Arif memberi respon. Bahkan beberapa mulai berani mendekati Arif. Aku menatap mereka dengan sebal. Tiba-tiba ada yang mencolek bahuku. Aku menoleh dan aku melihat Arif sedang tersenyum kepadaku. Tiba-tiba ia mencium bibirku dengan lembut, jelas saja aku kaget, apalagi di tempat umum seperti ini.
Setelah mencium bibirku, ia menatap sekelompok cewek tadi, mereka melongo. Arif melemparkan senyum sinis pada mereka dan menggandeng tanganku ketempat Valen dan Evan. Aku hanya bisa mengikutinya dengan syok.
Point of view : Ira
Rumah Valen...
Valen dan Evan duduk berhadapan di sofa ruang keluarga.
Mereka saling membisu, tidak ada yang berbicara. Aku menatap mereka dengan prihatin.
"Sayang, kamu bikin makanan buat kita yah?" Arif tiba-tiba sudah berdiri disampingku
"Mie instan?" tanyaku
"Iya...aku mau mandi dulu...biar Evan sama Valen bicara berdua aja...oke??"
Arif berjalan ke kamarku. Saat berada dibelakang Evan, ia menepuk bahu sepupunya itu.
"Stay frosty bro..." kemudian ia beranjak pergi
Aku sendiri bangkit dan menuju dapur untuk membuatkan mie instant. Sekitar 20 menit aku menyiapkan makan siang. Setelah semua siap, aku berjalan keruang tamu hendak memberitahu mereka, namun baik Valen maupun Evan tidak ada.
"Valen, Evan...mie nya udah jadi tuh!" aku berteriak memanggil mereka
Karena tak ada jawaban, aku mencoba mencari di kamar Valen.
Dan benar saja, aku menemukan Valen tengah berdiri bersama Evan, mereka terlihat sedang bercakap-cakap.
Aku tidak tahan untuk tidak mengintip mereka melalui celah pintu yang terbuka sedikit. Dari sini aku bisa mendengar dan melihat semuanya...
"Apa lo anggep gue sebagai peliharaan lo? Apa gue harus selalu bilang ke lo kemana gue pergi? Apa...apa lo cuma nggak mau kehilangan pemuas nafsu lo ini?? Nggak mau kehilangan tubuh gue yang sering lo pake?" Valen bertanya sambil terisak
Evan hanya terdiam mendengarkan. Di wajahnya sudah tidak tampak tanda tanda kemarahan seperti yang ditunjukkannya tadi.
"Lo anggep gue apa Van?! Jawab!!" air matanya mengalir, Valen menatap menantang Evan
"Aku, aku anggap kamu sebagai orang paling berharga buat aku" Evan berkata kalem seraya membelai rambut Valen
"Terus kenapa lo overprotect ke gue?! Kalo lo sayang sama gue, seharusnya lo ngga nuntut gue buat bilang kemana gue pergi tiap waktu!! Lo tuh egois tau nggak?!" Valen sedikit menjerit
Evan tidak menjawab. Aku dag-dig-dug juga menerka reaksi Evan selanjutnya.
Apakah dia akan terbakar emosi juga atau tidak, aku tidak tahu.
Namun Evan membimbing Valen dan mengajaknya duduk di tepi ranjang. Valen masih menangis.
"Maaf kalo misal aku terlalu overprotect ke kamu...tapi aku kayak gitu karena aku sayang banget sama kamu Val..." ucap Evan sambil memegang tangan Valen
"Maksudku, kalo ada apa-apa sama kamu, aku jadi tau kamu tuh lagi dimana, jadi aku bisa langsung cuss ke TKP gitu..." lanjutnya
"Dan kalo mau pergi, bilang-bilang...walaupun sama Ira atau siapapun...bukannya nggak percaya, tapi seenggaknya aku tau kamu ada dimana...tau nggak, Ira tadi pergi sama kamu juga udah ijin sama Arif, makanya Arif sama sekali nggak marah sama Ira..." jelas cowok itu panjang lebar
"Aku kayak gini, jujur, karena aku sayang banget sama kamu, aku takut kehilangan kamu Valen sayang...dan, aku minta maaf kalo aku udah overprotect ke kamu, aku janji, aku bakal berubah dan bikin kamu senyaman mungkin...I'm sorry, okay?" Evan tersenyum
Wah...dia mengingatkanku akan Arif...yah walaupun Arif agak lebih cemburuan, it's okay, at least I know that he loves me. Aku tersenyum melihat adegan dihadapanku.
"Dan aku tau aku salah. Aku janji nggak akan pernah marah dan bentak-bentak kamu lagi Val. Aku nggak mau nyakitin hatimu.." Evan menunduk
Valen terdiam, meresapi kata-kata Evan. Sepertinya kini ia mengerti alasan cowoknya itu begitu overprotect terhadapnya, sama seperti yang terjadi padaku dulu, ketika aku belum memahami maksud Arif ketika ia begitu overprotect kepadaku.
"Ternyata gitu...gue yang harusnya minta maaf Van, gue nggak mikir kedepannya...gue kira lo cowok yang sekedar otoriter dan egois, tapi ternyata lo perhatian banget ke gue...gue minta maaf" Valen tertunduk, jemarinya memainkan bathrobe yang dipakainya, aku menebak, ia pasti malu sudah membentak Evan
"Gue yang harusnya minta maaf!" ucap Evan menirukan aksen Jakarta Valen, kemudian melengos sok kesal
"Iih, apaan si lo?" ujar Valen, dicubitnya lengan Evan dengan gemas
"Hehehe...ayo dong senyum, kamu kalo senyum jadi tambah cantik tau!" goda Evan
"Iiih...apaan si ah!" Valen tersenyum, pipinya merona merah karena malu
Sejenak mereka terlibat cubit-cubitan diiringi tawa. Aku kembali tersenyum.
Ketika Valen hendak mencubit, Evan menangkap tangannya.
"We're good ya? Jangan marah-marah lagi..." ucap cowok itu lembut
"We're good" Valen membalas dengan senyuman
Mereka berdua saling pandang cukup lama, lambat laun bibir mereka saling mendekat dan kemudian bertautan.
Mereka berciuman dengan mesra hingga akhirnya ciuman Evan turun ke leher Valen, mencumbu sang empunya leher mulus tanpa cela.
"Aaanghh...aaah...aahhh...ja..jangan Van" Valen berusaha menolak namun tidak melakukan apa-apa selain menikmati cumbuan sang kekasih
"Ah...bikin aku horny ni anak dua" batinku
Bathrobe yang dikenakan Valen telah dibuka oleh jari-jari nakal Evan yang tangannya tengah meremas lembut buah dada cewek cantik itu.
"Mmmmhhh....eemmmh..." erang Valen karena buah dadanya diremas
Ciuman Evan langsung turun ke bagian selangkangan. Vagina yang mulus tanpa bulu itu terpampang indah, siap disantap. Desahan Valen semakin hebat ketika lidah yang kasar dan hangat menyapu bagian dalam vagina miliknya.
"Aaaaakkkhhh....aaaaahhhh!! Y-yes!! Oooohh...!" Valen mengerang, matanya terpejam dan kedua tangannya menjambak rambut cowok yang tengah membenamkan mulut di vaginanya.
Beberapa menit berlalu, tubuh Valen masih kelojotan menerima rangsangan. Kedua paha mulusnya menjepit kepala Evan, melarang cowok itu menghentikan jilatan-jilatannya.
Aku jadi teringat bagaimana Arif memperlakukanku, bagaimana hangat lidahnya menelusuri tiap sudut vaginaku. Semua ingatan tentang itu membuatku horny, sangat horny. Kukepalkan tanganku kuat-kuat, berharap itu bisa membantuku menahan nafsu yang kini menyala dalam tubuhku.
Valen memalingkan wajahnya kearah pintu tempat aku mengintip, matanya masih terpejam.
Aku pikir, ini saat yang tepat untuk pergi, sebelum Valen membuka matanya dan melihat aku tengah asyik menonton vaginanya dijilati Evan.
Baru saja aku hendak memutar tubuh untuk pergi, Valen membuka matanya. Ia melihatku!
Matanya menatapku dengan sayu, mulutnya mengeluarkan desahan-desahan yang sangat sexy.
"Aaaahh....aaaaaahhh....I-Ira? Aaaaghh..." pandangan kami bertemu
Anehnya, aku yakin Evan mendengar desahan Valen, namun ia tidak menghentikan jilatan-jilatannya.
Entah dia memang benar-benar tidak mendengar atau sengaja membiarkan Valen ditonton olehku.
Valen kembali mengerang saat tatapan kami masih bertautan. Matanya benar-benar sayu, penuh dengan kenikmatan.
Sebelum semuanya menjadi lebih buruk, aku memutuskan untuk segera pergi. Aku mengambil langkah cepat, kedua lututku gemetaran hebat.
Aku hanya berharap Arif tidak melihatku dalam keadaan seperti ini.
Point of view : Arif
Aku duduk di ruang tengah rumah Evan.
Sebenarnya aku penasaran dengan perkembangan hubungan kedua makhluk yang tadi sempat saling membentak di mall, tapi daripada aku memperkeruh suasana, lebih baik menyerahkan masalah itu kepada mereka untuk diselesaikan sendiri.
Ketika halaman pertama majalah otomotif milik Evan kubuka, Ira melesat dengan cepat didepanku.
Tidak biasanya dia seperti itu, maka aku memutuskan mengikutinya menuju dapur.
"Sayang? Kamu darimana? Aku kira tadi kamu di dapur terus loh..."
Ira membalikkan tubuhnya dengan cepat.
Kedua tangannya menggenggam gelas kosong dengan erat.
"Oooh...Arif...eh, aku dari...dari kamar mandi...a-apa iya? Ng-nggak kok...hehehe" ia tergagap
"Ooh...yaudah...makan dulu yuk?"
"Emm...nggak deh, aku...aku...eh....capek...mau tidur....hehe...kamu makan aja dulu"
Dengan terburu-buru ia pergi meninggalkan dapur dengan sempoyongan.
Benar-benar aneh...pasti ada sesuatu yang terjadi, aku harap Ira tidak jatuh sakit atau semacamnya.
Setelah meminum 2 gelas air dingin, aku menuju kamar menyusul Ira. Pintu kamarnya kubuka dengan cepat.
Ira tengah duduk di kasur, ia bersandar pada dinding.
Celana jeans pendek dan celana dalamnya tampak berserakan di kasur.
Ia duduk mengangkang dengan kedua tangannya berada di selangkangannya.
"A-arif?!" pekiknya ketika melihat aku masuk tiba-tiba, ia buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut
Aku mendengus menahan tawa.
"Katanya mau tidur?" aku nyengir
"I-iya...capek nih..." kilahnya
Aku duduk disampingnya.
Ira tampak gugup dan salah tingkah.
"Tidur apa tidur? Kok nggak pake celana? Hayoh..." godaku sambil memainkan celana dalamnya yang berwarna putih dengan tangan
"I-itu..." dia benar-benar terpojok
Dengan nakal tanganku menyelinap ke balik selimut dan mencari sebuah lubang yang basah dan lembab.
Ira menggigit bibir bawahnya menatap tanganku yang masuk ke dalam selimut dan menggesek-gesek vaginanya. Tampak sekali dia menikmatinya.
"Kamu horny ya Ra?" aku tersenyum menggoda
"Emmh..." ia memalingkan wajahnya, menghindari kontak mata denganku
"Liat apaan sih kok horny?"
Sebelum Ira sempat menjawab, aku mendengar desahan dari kamar sebelah, kamar Valen.
Itu lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaanku.
Ia kelihatan sangat menderita menahan gejolak birahi yang mendidih.
Ira menatap kosong sementara kedua tangannya mencengkeram pergelangan tanganku yang tengah menstimulasi vaginanya.
"Kenapa? Nggak mau ya?? Lagi bad mood kamu?" aku bertanya iba melihat Ira tidak merespon
Namun ia tidak menjawab. Tatapannya masih kosong, menerawang menembus langit-langit kamar.
"Kayaknya kamu capek deh sayang, udah gih, buruan 'itu' nya terus abis itu tidur ya?" kukecup keningnya dengan penuh kasih sayang
Kasihan dong kalau Ira capek-capek harus memuaskan nafsuku.
Itu namanya egois, walaupun sama-sama mau, tapi yang terkena imbas paling banyak adalah Ira.
Maka itu aku memutuskan untuk membiarkannya melanjutkan bermasturbasi, agar begitu dia 'sampai' maka semuanya selesai.
Supaya Ira bisa langsung tidur tanpa harus merasa bertanggung jawab untuk membuatku menuntaskan nafsu.
"Arif...." bisik Ira tepat ketika aku berdiri hendak meninggalkannya
"Hmmm?"
Ira mendesah, kesulitan untuk mengatakan bahwa ia ingin bersetubuh, karena dari dulu aku yang selalu mengajaknya duluan.
Aku tersenyum maklum. Aku duduk di tepian kasur dan memeluk tubuhnya.
"Kenapa sayang?" kubelai rambutnya
"Rif...emm...anu..."
"Opo?"
"Huufh...gituan yuk Rif..." bisiknya memelas, matanya berkaca-kaca
Aku kaget karena ternyata Ira berani mengatakannya kepadaku, namun aku tersenyum.
"At your service...aku harus ngapain kamu nih?" tanyaku
"Ji-jilatin dong Rif..." jawabnya takut-takut
Ira menyingkap selimut yang menutupi pinggang hingga kakinya sementara kaos distro berwarna putih tetap dikenakannya.
Ia merentangkan bibir vaginanya, menunjukkan liang surgawi miliknya yang berwarna pink basah.
Kuangkat sebelah alis mendengar permintaannya.
"Ma-maaf...k-kalo kamu nggak mau juga nggak apa-apa kok..." ucapnya terbata-bata, menutup lagi bibir vagina yang sempat direntangkannya.
Aku hanya menggeser posisi dudukku sedikit. Betisnya yang putih bersih kucengkeram.
"Kyaaa!" Ira menjerit kecil ketika kutarik kedua kakinya dengan tiba-tiba hingga ia telentang di kasur
Sebuah senyum mesum tersungging di bibirku. Ira menyadari maksudku.
Baru setengah nafas ia tarik, kubenamkan lidahku dalam-dalam ke dalam vaginanya yang bersih tanpa bulu dan wangi, melumat dan menjilat surga dunia itu.
"Iyaaaaaaah!!" Ira memekik keras, kedua tanganya menjambak dan menekan kepalaku, berusaha menjejalkan lidahku lebih dalam.
"Aaaaah! Aaah! That's right! Y-yes! Oooh.....!" racaunya tak jelas
Ia mengganjal pantatnya dengan guling supaya aku bisa lebih leluasa menikmati vaginanya yang sudah tampak becek.
Tangannya kembali menjambak rambutku dengan liar. Mulutnya menganga dan lidahnya terjulur mengeluarkan rintihan tanpa suara, menikmati lidah yang tengah mengobok-obok vaginanya.
"Geli...enaaakh..!! Aaaah...enaakh Riffh...ooohh...enaaaaak! Terush...teruuuush Rif...!!" ucapnya tak jelas karena terengah-engah
Setitik air tampak menggenangi sudut matanya, kenikmatan ini terlalu dahsyat bagi gadis seusianya, ditambah lagi karena Ira adalah cewek yang sangat sensitif terhadap rangsangan.
Risetku membuktikan, apabila di lakukan dengan benar dan tepat, bahkan ciuman dan gigitan kecil pada leher jenjangnya dapat membuat Ira meraih orgasme. Wow, aku tidak tahu apakah itu sebuah kelebihan atau kekurangan.
"I'm cumming Rif..!! Aaaakh! I'm cumming!! Aaaaaah!!" jeritnya seksi
Tubuhnya mengejang beberapa saat disusul keluarnya cairan hangat dari vaginanya yang segar.
"Hhaah...hahh...emmh...ti-time out Rif...istirahat dulu...c-capek..." ucap Ira tersengal-sengal
Tangannya terkulai lemas, titik-titik peluh tampak membasahi tubuhnya, membuat ia tampak semakin seksi.
Ira menatapku memelas dengan mata yang sangat sayu.
"Bentar ya? Aku istirahat bentar aja. Oke? Nanti--aaaaaaarrghh!" belum selesai Ira berbicara, kembali kusapukan lidah yang telah berhasil membuatnya orgasme di vagina miliknya
Sudah 3 menit berlalu sejak Ira orgasme dan kini tubuhnya menggeliat karena klitorisnya tengah dibelit oleh sesuatu yang panjang, kasar dan hangat.
Walaupun lelah, tampak sekali bahwa nafsunya kembali naik dengan cepat.
"Shit! Shiiit! Shiiiiiitt!" pekik Ira tak berdaya diiringi derai orgasme yang berkepanjangan
Ia terkulai lemas diatas kasur dengan nafas seperti orang yang habis berlari.
Aku sungguh sangat beruntung mendapat kehormatan untuk memuaskan cewek blasteran Chinese-Indo berbodi seksi yang menjadi incaran banyak cowok di kotaku ini. Dan yang membuatku lebih bersyukur adalah cewek ini sangat mencintaiku sama seperti aku mencintainya.
"Udaah ya Riiif? Kalo sekarang kamu masukin 'itu' mu, aku nggak bakal kuat...capek banget sungguh" desahnya
Aku mengangkat bahu dan tersenyum sebagai jawaban. Walau penisku sudah sangat tegang dan (kalau bisa) akan meledak.
Cinta dan rasa sayang harus lebih diutamakan daripada nafsu, itulah prinsip kami dalam berpacaran.
"Gimana yah? Tanganku lemes banget...sebenernya aku pengen banget ngocokin kamu..." tidak ada kebohongan dalam sorot matanya
"Bisa kok" aku menjulurkan lidah
"Mulut" jawabnya singkat lalu tersenyum
Aku terkekeh dihadapan cewek terpintar di SMA nya ini. Ira, selalu cerdas seperti biasanya.
"Huuuw! Tau aja caranya buat ngecrot! Hahaha...kesiniin tuh Arif Jr." ia tertawa merdu
"Ntar aja deh..." jawabku enteng sambil melucuti kaos putihnya yang ketat
"Halah...dasar...sukanya remes-remes punya orang nih!" ejeknya diiringi senyum
"Yeee! Aku kan nggak punya!" balasku ketika bra nya yang berwarna biru muda kuletakkan ditepi kasur
Dihadapanku kini terpampang 2 buah gunung kembar yang tidak pernah membuat bosan aku untuk selalu 'mendaki'nya.
Buah dada Ira yang kencang padat berisi itu terpampang indah, bersih tak bercela dilengkapi puting yang berwarna pink.
"Eh, eh, situ ngeliatinnya biasa aja dong! Hehehe" tawa Ira renyah
"Aku kan udah bilang, aku nggak punya, sayaaaang!" tatapanku masih terpaku pada buah dada cewek yang telah mematahkan hati puluhan cowok yang menyatakan cinta padanya ini
"Suntik dong! Kan banyak sekarang! Hahahaha"
"Hiiih! Kok godain aku melulu sih!?" tanganku menuju kedua gunung itu
Dengan gemas kuremas lembut buah dadanya.
"Aakh!" Ira tercekat, matanya terbelalak
Responnya tidak wajar. Aku langsung menghentikan remasanku.
"Kenapa Ra? Sakit ya?" tanyaku panik
Nafasnya kembali tidak teratur
"A-anu... J-jadi sensitif banget..." jawabnya gelisah
"Eh? Mana? Ini??" aku memilin putingnya
"Aaaaah...." Ira menjawab dengan desahan
"Udah, udah Rif...jangan ngapa-ngapain lagi ya? Cukup remes-remes aja...plis...jangan dijilat..." lanjutnya mengiba
Ira sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa memang tubuhnya minta disetubuhi. Walaupun ia berusaha menutupinya, tapi aku tahu, tubuhnya pasti akan menyambut hangat penetrasi penisku di vaginanya.
Aku memiringkan kepala seperti seekor anjing yang menatap mainan barunya, dan aku tersenyum...
"Oh tidak...." desah Ira putus asa melihat reaksiku
CUUUUPH!!
Kukulum puting kanannya dengan tiba-tiba sementara tanganku meremas buah dadanya yang satu lagi.
"Aaah...Ariff" desisnya
Aku melepas kaos dan celana yang kukenakan hingga kami berdua telanjang bulat.
"Pi-pintu Rif" Ira berkata lirih, tatapannya tertuju pada pintu yang masih agak terbuka
Aku mengerti. Aku berjalan dengan cepat kearah pintu itu lalu menutup dan menguncinya.
Ketika aku berbalik, kulihat Ira tengah bersusah payah mengenakan kaosnya.
Aku melompat dengan ganas dan mendarat dengan lutut dan siku bertumpu pada kasur, tepat diatas tubuhnya dan menyeringai.
"Ah...ketauan deh..." Ira tersenyum pasrah, matanya sayu
Tanpa berkata apa-apa ia melucuti pakaiannya kembali dan membuangnya ke lantai.
Keramik hijau muda menyambut pakaian yang jatuh itu dengan dingin.
"Aku...nggak bisa lama-lama Rif..." ucapnya lembut
Ia membelai rambutku dan mengecup bibirku.
"Kenapa kamu ngomong gitu? Kok kayak mau pisah aja??" tanyaku curiga
Ira tertawa dan melingkarkan tangannya di leherku.
"Bukan lah!! Maksudnya, aku nggak bisa tahan lama soalnya tadi udah nyampe 2 kali"
"Lagian...." ia terdiam sebentar
"Buat apa aku pergi dari kamu?? You're my everything Rif...kamu tau? Aku bahagia banget bisa jadi pacarmu..." Ira menatap mataku dalam-dalam
Aku speechless.
Benar-benar speechless.
Kutatap kekasihku ini...
Seorang cewek berpostur tinggi, wajah cantik khas cewek blasteran, rambut panjang lurus sebahu, berkulit putih mulus...tidak ada cacat sedikitpun.
Ira cewek yang baik, jujur, perhatian, pintar, mau mengerti orang lain dan banyak lagi...
How could it be? Someone as perfect as her could be with me? That's almost impossible, but that's the fact...
"Hoi...kok ngelamun? Udah nggak sabar pengen ngobok-obok memek yah??" tanya Ira dengan bibir manyun
"Hush! Ngawur! Dasar kamu itu...bikin gemes tau nggak?" aku mencubit kedua pipinya
"Cium dong! Hehehe" pintanya dengan manja
Aku mencium kedua pipi dan keningnya.
"Udah?? Ada yang kurang Riff" Ira merengut
Kucium bibirnya selembut mungkin.
Ira tersenyum, senyum yang sangat manis.
Kami terdiam beberapa saat, saling menatap.
Sayup-sayup terdengar suara dari sebelah.
"Aaaah...!! Evaaan...!! Aaaaargh!"
Suara Valen terdengar dari balik tembok tempat Ira kini menyandarkan tubuhnya
Kami nyengir satu sama lain.
***
10 menit kemudian
"Val...Valeenh! Aaaah! Enak banget Vaaal! Aaaakh!!" jerit Ira
"I-iyaaah Raa! Aaaah! Enak! Uuuhh! L-lo gaya ap-apa?" erang sebuah suara dari balik tembok
"D-d-doggy style...aah...ahh! Dalem bangeth! Aaaah!"
"Damn! G-gue mau keluar! Arrggh! Ra! Gue mau keluar! Aaaakh! Fuuuuck!! Ooh my god! Aaaaah!!" erangan Valen sayup-sayup terdengar
Aku tengah asyik men-doggy Ira dari belakang. Penisku tengah menikmati pijatan-pijatan lembut dari vaginanya sementara kedua tanganku sibuk meremas, menyentuh dan membelai dua bongkahan yang terpental seksi di dadanya.
Erangan demi erangan keluar dari mulut bidadari ini, membiarkan kenikmatan menjalari tubuh belianya.
Di bawah sana, lendir-lendir vagina milik Ira sampai menetes membasahi kasur.
Tubuhnya terpental-pental liar, tangannya meremas tepi kasur dengan kuat.
Ira tidak mampu menyembunyikan kenikmatan yang melanda dirinya. Punggungnya basah oleh peluh.
"Ariif...aku mau keluar...aaah...yaaah!!" Ira mendesah berat
"Gue sampe! Gue-aaaaaaaaaahhh!!" jeritan Valen melengking menembus dinding
Tiba-tiba tubuh Ira menegang. Tangannya mencakar permukaan kasur dengan buas.
"Sa-sampe....yah...yeah...yeaah! Aaaaaah!" Ira memekik
Vaginanya meremas penisku dengan kuat, membuatku merasa ngilu.
Dengan nafas yang putus-putus Ira berbaring telungkup kelelahan.
Kedua kakinya gemetaran. Ia tampak putus asa melayani penisku yang sedari tadi masih angkuh berdiri.
"Udah Rif...udah laah...udah lah...udaah...aku capek..." pintanya setengah sadar
Jemarinya yang lentik mencengkeram batang penisku, mencoba menahannya supaya tidak terus menghunjam vaginanya.
Namun usahanya tak membuahkan hasil. Penisku yang sudah licin oleh cairan orgasme tidak mampu dipegangnya, seperti belut.
Akhirnya tubuh Ira sama sekali tidak merespon, hanya vaginanya yang mati-matian berusaha mengulum penisku.
"Ra? Udah KO kamu?" tanyaku
Tidak ada jawaban.
"Waduh...pingsan yah? Yaudah, nggak baik kalo kulanjutin terus" aku tersenyum
Kucabut penisku yang sudah berwarna kemerahan.
Padahal kalau Ira bisa bertahan beberapa menit lagi, aku bisa 'cum inside'. Sangat disayangkan.
Setelah berhasil memuntahkan cairan putih pekat di punggung mulus Ira dengan bantuan tangan, aku berseru ke kamar sebelah.
"Yo! How's it goin' eh cousin!?"
"Mission accomplished! Hahaha!" Evan menyahut
"Woi, renang yuk?? Kayaknya asik!" tantangku
"Nantang ni?"
"Hoho, jangan remehkan aku!"
Tidak ada jawaban. Namun tak lama kemudian Evan berseru
"Valen ketiduran nih! Tinggal aja atau gimana? Ira gimana?"
"Ira? Pingsan nih! Hahaha"
Samar-samar aku mendengar Evan bergumam "Wow...pingsan?"
Namun ia melanjutkan, "Oke. Meet me in 5 minutes bro!"
"Got it!" aku menyeringai
Setelah mengelap punggung Ira yang bercipratan sperma, aku menyelimutinya.
Kurapikan pakaian dalam, celana dan kaosnya yang berserakan di lantai dan kulipat lalu kuletakkan di bangku dekat tempat tidur.
Dengan agak berjinjit, aku meninggalkan cewekku yang tertidur lelap dengan gurat kelelahan pada wajah cantiknya.
"All set?" tanya Evan yang telah menungguku di gerbang.
Kuacungkan jempol sebagai jawaban.
"Let's roll, cousin! Yiihaa!!" teriaknya bersemangat
Kami melompat masuk kedalam Accord milik Evan. Accord yang kami naiki melaju membelah jalan perumahan elite tempat Valen tinggal dengan tenang. Kaca jendela kami buka lebar-lebar, menikmati udara sore hari dikawasan yang hijau ini.
Beberapa kali kami melihat segerombol cewek-cewek yang berjalan-jalan hanya dengan mengenakan pakaian minim. Banyak diantara mereka melongo menatap kami dengan takjub.
"Interested?" tanyaku agak berteriak karena tertutup suara angin yang kencang
Evan menatapku dengan pandangan lucu dan mengangkat sebelah alisnya. Kami berdua tertawa lepas bersama.
Selama perjalanan, kami bercerita banyak hal hingga tanpa sadar kami sudah tiba di depan rumah Evan yang letaknya tidak jauh dari perumahan Valen.
=====================
Back to Evan
BYUUUUURR!!
"Wuaahahahahaha!! Pahlawan bertopeng!!" aku tertawa histeris menirukan pahlawan pujaan Shinchan di tepi kolam
"Gila ya?? Hahahaha" Arif berenang dengan gaya punggung, tertawa akan tingkahku
"Laser penghancuuurr!! Bipbip--"
"EVAN!!"
Sebuah suara melengking tinggi, memotong aksi laser penghancur yang kuarahkan pada Arif. Kami berdua spontan menengok kearah sumber suara.
Ira berdiri sedang memapah Valen yang berjalan pincang. Kami berdua sangat terkejut.
"Ke-kenapa?"
"Dasar! Kamu ngapain Valen sih kok sampe nggak bisa jalan?!" tanya Ira
"Valen?! Kamu kenapa?!" aku bergegas berlari kearahnya
Ira mengoperkan Valen untuk dipapah olehku.
Aku menuju ke bangku yang ada di tepi kolam dan menyandarkannya disitu.
"Gue...kaki gue nggak bisa gerak Van...lemes banget...." rintihnya
Sejuta pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku.
"Kenapa Val? Kamu jatuh tadi?" tanyaku khawatir
"Ini gara-gara lo tau!" ia menjitak kepalaku
Ira berjalan ketepi kolam lalu duduk dan mencelupkan kakinya kedalam air. Arif langsung berenang mendekatinya.
"Kasian Valen tau! Belepotan semua kan 'itu'nya! Tadi dia sampe nggak bisa gerak..." Ira memulai percakapan
"Bener-bener deh...mau nggak mau tadi aku bantu bersihin punya Valen. Habisnya berdiri aja nggak bisa!" lanjutnya
Arif menatap pacarnya dengan heran.
"Kamu? Bantuin Valen buat bersihin ehem...ehem??" tanya Arif, tangannya menunjukkan isyarat 'vagina'
"Iya. Aku yang bersihin punya Valen, terus baru bersihin punyaku sendiri"
Aku dan Arif bengong, saling bertatapan.
"Satu kamar mandi gitu?" Arif
"He eh, satu kamar mandi" Ira menjawab pasti
"Berdua?"
"Yep. Berdua."
"Bugil?"
"He eh. Bug......il" ekspresi Ira berubah, salah tingkah
Aku dan Arif melongo. Berjuta-juta pikiran mesum bergantungan di otak kami. Dua cewek berbodi seksi dan berwajah cantik ini....berdua...di kamar mandi...bugil...yang satunya membersihkan vagina cewek yang lain...oke oke. Cukup.
"Beneran nih Val?" tanyaku kepada Valen
Ia mengangguk pelan, wajahnya merona merah.
"Kenapa lo cerita Ra?" desah Valen
"Ups! Sori...keceplosan! Maaf Val...." Ira meminta maaf, ia tersenyum tidak enak
Valen mendadak ceria
"Eh, lo juga masih utang..." ia memperagakan blow-job lalu menunjuk Arif
"Lo kira kita nggak denger?" lanjut Valen sambil tersenyum nakal
Aku dan Valen tertawa terkikik melihat ekspresi Arif dan Ira yang salah tingkah, malu karena rahasianya ketahuan.
"Mau minum nggak sayang? Masih lemes?" kubelai rambut hitam kemerahannya
"Iya deh boleh...udah nggak begitu sih" ia tersenyum
Dengan bersemangat aku bangkit dan berlari ke dapur untuk membuatkan minuman untuk Valen. Aku membutuhkan sekitar 10 menit untuk menyeduh teh hangat, setelah mencicipinya, aku tersenyum puas dan segera keluar dapur. Aku berlari kecil menyusuri tepi kolam dengan segelas teh manis hangat ditangan. Karena terlalu bersemangat, aku lupa bahwa keramik yang aku pijak licin jika basah.
SLIP!
"Gyaaaaaaaaaaaa!!!"
GEDEBUUUK!!
Kepala dan punggungku membentur lantai keras sekali. Separuh teh yang ada di gelas tumpah.
"Adaw...adaw...sakit!" aku mengerang, kuusap-usap kepalaku yang terbentur lantai
"Eh yah! Tumpah deh!" tatapku kecewa pada gelas yang kini setengah kosong itu
Aku menoleh menatap Valen, ternyata ia sedang tertawa hingga suaranya tidak keluar, kedua tangannya memegangi perutnya.
"Ja-jangan ketawa dong" ujarku malu
Aku berjalan kearah Valen kemudian duduk disisinya.
"Hahahaha! Oke! Oke! Stop...pffft...hahahaha! Aduh! Sakit perut! Hahaha! Oke...oke...pffft...udah...huffh. I'm done!" ia menghela nafas setelah berhasil menguasai diri
"Udah...minum dulu nih tuan putri" aku menyodorkan gelas yang hampir kosong
"Thanks" Valen tersenyum simpul menatap gelas yang kini ada ditangannya
Ia meminum seteguk lalu bertanya
"Enak! Tapi kenapa harus repot-repot bikinin gue teh?"
"Karena aku sayang sama kamu" jawabku kalem, sok cool
Valen terdiam, ia menatap mataku.
Pandangan kami bertemu. Suasana berubah romantis hingga tiba-tiba...
"Pfffft! Huahahaha...muka...muka lo pas lo jatuh! Hahahahahaha!!" tawa Valen kembali meledak, sepertinya dia teringat ekspresi tololku saat jatuh tadi
"Ah dasar!" aku berjalan meninggalkannya, mencari Arif kedalam rumah
Arif dan Ira tidak ada dimanapun.
Para pembantuku pun hanya menggeleng ketika kutanya.
Where the hell are they??
"Val, liat Arif nggak?" aku bertanya pada Valen ketika aku sudah kembali ke kolam renang
Valen tengah berbaring di bangku tempat aku meninggalkannya tadi. Ia ternyata sudah berganti pakaian. Kini ia hanya mengenakan bikini dan celana dalam berwarna biru laut. Dengan pakaian seminim itu, tiap lekuk tubuh indahnya terlihat dengan jelas. Kacamata hitam bertengger dengan manis di hidungnya yang mancung.
Cewek itu menatap langit yang mulai merona jingga dibelai sinar matahari sore dari balik kacamata hitamnya.
"Weh Val! Ditanyain kok diem aja?" aku duduk disisinya
"Oh iya. Kenapa tadi?" ia menurunkan kacamata hitam yang dikenakannya sedikit
"Dasar. Ni cewek cantik-cantik kok budeg!" aku menowel buah dadanya yang kiri dengan gemas
Valen bereaksi cepat, ia langsung memukul punggung tanganku dengan keras dan melotot marah.
"Lo kira gue cewek apaan Van?!" Valen mendesis
"Idiih...kok marah si?" kuusap lembut pipinya
"Tau ah!" ia melengos, memalingkan wajahnya
"Nggak suka ya kalo dibeginiin? Hehehe" aku meremas buah dadanya dengan lembut
"Eeekh..." Valen mendesah kecil, mulutnya yang dihiasi sepasang bibir tipis sedikit terbuka
Ketika aku berusaha menyelipkan telapak tanganku kebalik pakaian tipisnya, Valen mencengkeram pergelangan tanganku dengan kedua tangannya.
"Jangan bikin gue horny lagi! Tau nggak lo, tadi gue sampe kena paralysis (tubuh tidak dapat digerakkan) gara-gara lo!" ia mendesis
"Hehehe...kamu siy ngerangsang banget"
"Lo aja yang nafsuan banget!" ia mencibir
Kubelai rambut panjangnya dengan lembut lalu kucium bibir tipisnya yang dibalur lip-gloss pink. Pelan dan lembut.
Beberapa detik kemudian aku melepaskan tautan bibir kami.
“Eh, Arif mana??" aku mengalihkan pembicaraan
Valen menatapku heran, lalu ia menunjuk sudut kolam yang berseberangan dengan kami.
Di sana, Arif berdiri dalam air yang setinggi perutnya, ia tampak meringis-meringis seperti keledai.
"Blow-job..." ucap Valen santai, menerangkan kepadaku bahkan sebelum aku sempat bertanya.
Aku nyengir menatap Valen, berharap ia mau memberiku service seperti itu.
Tapi Valen hanya memalingkan wajah, seolah-olah tidak melihat apapun.
Waktu terus berlalu. Kami sering bermain jauh-jauh bersama.
Kadang ke pantai, kadang ke gunung, sungai dan segala tempat yang asik.
Kami selalu berbagi cerita, di tempat-tempat penuh memori itu.
Akhir-akhir ini katanya Valen mendapat seorang teman baru yang bernama Nindi, seorang cewek anak orang kaya juga, satu perumahan dengan Valen, hanya berbeda blok.
Awalnya aku biasa-biasa saja, Valen selalu ijin kepadaku saat akan hang-out bersama teman barunya ini.
Tetapi lama-kelamaan dia tidak pernah membalas SMS atau mengangkat teleponku saat berpergian dengan Nindi.
Maka suatu sore aku memutuskan untuk menelepon Valen
Tuuuut....tuuuuutt.....cklek!
"Halo?" suara Valen diseberang sana
"Halo Val? Ntar kamu mau pergi sama Nindi lagi?"
"Iya kayaknya...kenapa?"
"Sekitar jam berapa?"
"Mungkin jam 8 ntar...why?"
"Kamu sebenernya pergi kemana sih? Tiap malem loh..." aku bertanya dengan cemas
"Yaa gue hang-out gitu sama Nindi...kadang juga gue kerumahnya...."
"Kenapa nggak ngangkat dan bales kalo aku hubungin? Apa segitu sibuknya kamu sayang?" tanyaku sabar
"Eh...gue lagi ada acara nih...gue tutup dulu ya? Ntar 1 jam lagi gue telepon balik. Bye!"
Cklek....tuuuut...tuuuut...
"What is going on?"
===============
Aku duduk tenang di dalam taksi yang berada di persimpangan antar-blok di perumahan Valen.
Walaupun agak jauh namun dari sini aku bisa melihat bagian depan rumah kekasihku itu.
Kulirik jam tangan ku
"Jam delapan kurang sepuluh menit..."
Tiba-tiba sebuah Jazz RS pink tampak berhenti di depan rumah Valen.
Dan Valen tampak masuk kedalam mobil itu dengan terburu-buru. Yang membuatku tertegun adalah pakaian yang dikenakan Valen.
Ia mengenakan mini dress tanpa lengan berwara hitam yang menampilkan tubuh SMA nya secara terbuka.
"Pak, ikutin Jazz pink itu, tapi jangan terlalu deket ya pak" ucapku kepada supir taksi
Supir taksi itu mengangguk dan mobil pun mulai berjalan pelan.
Kubuka kontak handphone ku dan aku menelepon Valen.
Tuuuuutt...tuuuuutt....cklek!
"Halo...kenapa Van?" tanya Valen
"Nggak apa-apa...aku kangen...pengen denger suaramu...hehehe" aku ber-alibi
"Yaa kan udah denger suara gue di telepon juga...hehe"
"Kamu dirumah sayang?" aku memulai penyelidikanku
"Iya...ni gue lagi nonton TV...kenapa?"
"Kok suaramu agak berdengung gitu? Kamu lagi di mobil?"
"Oh...itu? Itu...itu suara TV kok...gue lagi dirumah..." jawabnya, aku mendengar ada sedikit kepanikan dalam suaranya
"Ooh..yaudah...baik-baik yaa...jangan tidur kemalaman...oke? Bye!"
"Oke...bye!"
Aku memutuskan telepon. Jutaan pikiran buruk masuk kedalam pikiranku.
Aku berusaha meyakinkan diri bahwa Valen pasti berbohong karena suatu alasan.
Mungkin saja dia pergi ke wedding party temannya? Tetapi kenapa harus berbohong? Kenapa tidak bicara terus terang?
Jazz pink itu melaju membelah jalanan kota yang ramai, tanpa disadari si pengemudi, sebuah taksi biru bernomor 085 mengikutinya.
Mobil yang dinaiki Valen mengarah ke downtown. Aku berusaha berpikir positif, sekali lagi.
Mungkin dia mau shopping sama temennya atau cari makan di food court? Tetapi kenapa mengenakan mini dress?
Akhirnya Jazz itu masuk kesuatu komplek bangunan yang tampak mewah dan meriah.
Aku memutuskan untuk turun di pinggir jalan agar tidak mencolok.
Setelah memberi supir taksi itu selembar uang lima puluh ribuan, aku melesat ke area parkir dan memantau Jazz pink itu dari balik sederet tanaman pagar.
Valen turun bersama dua orang cewek yang berdandan seksi.
Mereka tampak tertawa-tawa dan berjalan dengan penuh gaya, sesekali menggoda cowok-cowok yang tengah berkumpul di dekat areal parkir.
Mataku tidak lepas dari mereka.
Aku kehilangan Valen ketika akhirnya ia dan kedua temannya memasuki sebuah bangunan yang tampak mewah.
Kutengadahkan kepalaku dan tertegun dengan apa yang aku lihat, kepalaku seolah berputar dan pijakanku limbung...
Eps 11
Tulisan Night Fireflies menyala terang diatas bangunan itu.
Aku hanya melongo...diskotik Night Fireflies, sebuah diskotik paling bergengsi dikota ini serta tempat prostitusi kelas atas dan yang lebih parah, kalau aku tidak salah dengar pengunjung bebas melakukan apa saja didalamnya. Bahkan kalau ada yang ingin gang-bang pun diperbolehkan, itu kalau mereka tidak malu.
“APA YANG DILAKUKAN VALEN DISINI?!!” pertanyaan itu menimbulkan tanda tanya besar—sangat besar—dalam kepalaku
Ketika aku hendak mengikuti mereka masuk, aku melihat para pengunjung menunjukkan sebuah kartu sebelum mereka memasuki sebuah pintu yang dijaga oleh dua orang berbadan besar dan berkacamata hitam. Maka aku memutuskan untuk menggunakan otak.
Dengan berbagai usaha akhirnya aku berhasil masuk kedalam diskotik itu. It took me about 45 minutes to get through
Lampu berkelip-kelip di tengah ruangan, menyirami ratusan orang yang tengah hanyut dalam hentakan-hentakan musik.
Aku berusaha sekeras yang aku bisa mencari Valen ditengah lautan manusia ini.
Tidak jauh dari tempatku berdiri, aku menyaksikan suatu pemandangan yang sangat menyakitkan hati.
Valen tengah duduk dihimpit dua cowok yang kelihatan keren, masing-masing tengah menciumi leher Valen dari kedua sisi dan meremas-remas buah dadanya.
Mini dress nya berantakan sementara cewek itu hanya menengadahkan kepala dan mendesah menikmati remasan dan ciuman lembut di tubuhnya.
Kondisi yang sama juga dialami kedua cewek yang datang bersamanya tadi.
Dengan hati hancur aku berjalan kearahnya.
Valen terkejut melihatku datang, ia mendorong dua cowok yang tengah mencoba untuk merangsangnya.
Ia segera berdiri dan berjalan mendekatiku.
"Van? Lo ngapain kesini?" ia berteriak mencoba mengalahkan suara musik yang membahana
Valen agak jengkel karena suaranya tertutup oleh music yang menghentak-hentak.
Dengan kesal ia menatap temannya, sepertinya Nindi.
Nindi yang melihat Valen spontan menatap kearah DJ yang sedang memainkan musik, ia mengangkat sebelah tangannya, dan dengan patuh sang DJ itu menghentikan music dengan tiba-tiba. Surutnya keramaian yang tiba-tiba itu membuat semua orang kecewa.
"Kamu...kamu ngapain Val disini?" aku setengah berbisik karena emosi yang menguasaiku
"Gue? Gue lagi seneng-seneng disini...lo tau? Have fun!" jawabnya santai
"Please Val...pulang sekarang...please..aku mohon..." aku memohon kepadanya
Tidak tersisa ruang dihatiku untuk marah-marah, lagipula aku sadar aku masih terikat janjiku untuk tidak akan membentak Valen lagi.
"Eh, eh! Lo siapa? Seenaknya aja main bawa temen gue pergi!" cewek yang tengah menghisap sebatang rokok A Mild tampak tidak terima
Aku tidak mempedulikan cewek itu.
Tatapan dan perhatianku tertuju sepenuhnya kepada Valen.
"Ayolah Val...pulang sama aku...sebelum semuanya terlambat...please..aku mohon..." pintaku memelas kepada Valen
"Lagi-lagi lo overprotect kan?! Kenapa sih lo nggak pernah bisa liat gue seneng?!" suara Valen meninggi
"Ini bukan masalah overprotect Val...please...kamu udah di...di...di....argh!" aku kehabisan kata-kata, tanganku menunjuk kearah dua cowok yang tadi meremas-remas buah dada Valen
"Emang kenapa?! Gue udah nggak virgin kok! Nggak ada yang perlu dijaga kan? Nothing to lose!" ia mengangkat bahunya
"Tapi...tapi...Val, ini nggak bener..."
"Nggak bener? Apanya yang nggak bener? Ngentot? Lo tuh yang pertama ngentotin gue! Lo yang ambil virginitas gue! Nggak usah munafik!" ia membentakku
"Val, please...please..." aku menggenggam tangannya
Valen berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku.
"Nin! Tolongin gue!" ia berteriak kepada temannya yang tadi
“EH! LO KALO MAU BIKIN RIBUT JANGAN DI DISKOTIK GUE!!” bentak Nindi
“Tolong…tolong…diam…ini masalahku dan Valen…aku nggak ada niat buat ngerusak acara kalian…” aku memohon dengan sangat
Cewek itu mengangguk, ia memanggil seseorang dan tiba-tiba dari kerumunan muncullah dua penjaga pintu yang tadi berada di depan.
Mereka menyeretku dengan paksa menjauhi Valen. Semua mata tertuju kepadaku, seorang cowok yang membuat kerusuhan di diskotik kelas atas, yang kini diseret oleh ‘security’ tempat itu. Aku melihat Nindi menjetikkan jarinya dan DJ mulai memainkan music lagi.
“GUE BUKAN ANAK KECIL LAGI DASAR COWOK TOLOL!!” teriak Valen
"Val! Please Val! Belum terlambat!" aku masih berusaha namun suaraku tertutup musik yang kini mulai dimainkan lagi.
Aku melihat Valen duduk lagi di sofa dan kedua cowok itu kembali menggerayangi tubuhnya, bahkan aku melihat seorang cowok duduk di lantai dan membenamkan wajahnya diantara kedua paha Valen yang mulus sementara sang cewek tampak menyesap segelas kecil minuman beralkohol yang tampak mahal.
Mereka menyeretku hingga pintu depan dan melemparkanku ke aspal yang dingin.
Aku tidak melawan, aku tidak meronta karena pikiranku begitu kalut. Aku benar-benar shock.
Pintu berkaca hitam itu tertutup, meninggalkan aku sendirian di areal parkir Night Fireflies.
Terduduk, sendirian, pikiranku kusut. Aku putus asa. Apa yang membuat Valen berubah seratus delapan puluh derajat seperti ini??
Mata dan pipiku panas, perilaku Valen membuatku ingin menangis karena marah, karena sedih dan karena kecewa.
Aku membaringkan tubuhku di aspal yang hitam, kutatap langit yang mendung.
Kenapa? Kenapa ini harus terjadi?? Kenapa harus Valen yang jatuh ke dunia seperti itu?
Kenapa bukan cewek lain yang lebih bejat daripada dia diluar sana?
Aku ingat, di dalam sana, aku bahkan tidak mampu membentak Valen.
Yang kulakukan adalah memohon dan memohon seperti seekor sapi yang akan dijagal memohon dirinya dilepaskan. Memalukan.
Aku bangkit berdiri.
Pelan-pelan, sedikit demi sedikit ku endapkan perasaan kecewa, sedih dan malu yang kurasakan menjadi amarah. Amarah yang membara.
Kulangkahkan kakiku menuju gang-gang pemukiman kumuh, pemukiman masyarakat lapisan bawah, berharap aku bisa menemukan sesuatu untuk melampiaskan amarahku ini.
"KEPARAT!!" aku meninju sebuah tong sampah dari seng hingga penyok
Kutatap punggung tanganku yang kini mengucurkan darah. Belum...belum cukup...
Tiba-tiba sebuah jeritan terdengar membelah malam. Suara itu berasal dari salah satu gang di pemukiman ini. Aku berlari menyusuri koridor yang seperti labirin ini. Lorong-lorong hitam itu kususuri satu persatu.
Ketika aku sampai pada satu persimpangan, suara itu lenyap.
Aku mengepalkan tangan, geram. Semoga saja aku tidak terlambat. Baru saja aku melangkah, terdengar suara dari arah kananku.
"Jangaaan! Jangaan! Lepasin saya!!" suara seorang cewek
Sekelompok anak punk tampak mengerubungi sesuatu. 5...6...7 orang.
Mereka tertawa-tawa bejad sementara beberapa dari mereka sedang membuka ritsleting celana.
Aku menyipitkan mata, tampaklah seorang cewek tengah meronta-ronta ketika tubuhnya ditindih oleh salah satu anak punk itu sementara kedua tangannya dipegangi.
"HEI!! Kalian pikir kalian ngapain hah?!" aku berteriak dari ujung gang
Mereka berhenti tertawa dan menatapku dengan marah.
Aku pikir, ini saat yang tepat buatku untuk mengamuk.
Aku berlari secepat yang aku bisa mendekati mereka.
"Kenapa? Nggak te-"
BUUUUAAAAAGH!!
Satu uppercut tajam menumbangkannya. Ke enam orang yang lainnya terkejut.
Aku memang terkenal sembrono jika marah. Kuakui, aku tidak pernah memakai otak saat marah, dan itulah aku sekarang, sebuah mesin yang hanya diprogram untuk menghajar lawan. Apalagi, setelah perlakuan Valen terhadapku di dalam diskotik.
Ini merupakan ajang pelampiasan amarah yang baik.
Namun secara rasional dan logika, menantang 7 orang anak punk yang umurnya mungkin kisaran 25-30an yang sedang ‘kelaparan’ adalah tindakan bunuh diri.
Mereka balas menghajarku dan kami terus berkelahi hingga akhirnya tersisa dua orang yang masih berdiri sementara kondisiku juga tidak kalah buruk, pelipisku mengucurkan darah dan wajahku memar di berbagai tempat.
Ternyata mereka lebih tangguh daripada yang kukira.
Walaupun semrawut, serangan mereka cukup terkoordinir membuatku tersudut beberapa kali.
Lama kelamaan situasi semakin tidak menguntungkanku, aku sudah kelelahan.
"Mati kamu bangsat!" seorang dari mereka mengayunkan kepalan tangannya kearah wajahku
Aku mampu menghindar di saat yang kritis. Terlambat sedetik saja mungkin aku sudah terkapar di jalanan, tak bernyawa.
Aku merenggut bajunya dan menghatamnya tepat di hidung beberapa kali sekeras yang aku bisa lalu kulemparkan ia ke tanah.
Mataku berkunang-kunang dan kepalaku serasa berputar karena kelelahan.
Aku berlutut, mencoba menenangkan diri. Tiba-tiba seseorang di belakangku berteriak penuh amarah. Aku lengah.
Salah satu dari mereka yang luput dari penglihatanku saat menghabisi orang terakhir ternyata menyerangku dari belakang dengan sebatang pipa besi yang diambilnya dari tong sampah di dekat sini.
Ia mengangkat pipa itu tinggi-tinggi hendak menghantamkannya ke tengkukku.
Aku terlambat menghindar. Tidak ada yang dapat aku lakukan selain memejamkan mata dan menunggu pukulan itu mendarat di tengkorakku.
Aku bergumam pelan
"Val...maafin aku nggak bisa me-"
KLAAAAAAAAAAANNGGGG!!!
Suara besi yang menghantam benda keras itu terdengar memekakkan seolah dijejalkan ke telingaku.
"Jiaaah! Main curang...nggak asik ah, nggak asik!"
Arif berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke saku jaketnya, seperti yang biasa dilakukan Ira.
Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap anak punk yang kini terkapar ditanah itu.
Ternyata suara nyaring itu berasal dari pipa besi yang jatuh dan menghantam lantai batu gang kumuh ini.
"Need a lift?" Arif nyengir dan mengulurkan tangannya membantuku berdiri
"GPS. Aku telepon kamu ga diangkat, aku pikir pasti terjadi sesuatu" ia menunjukkan handphone nya dan tersenyum
Ia menatap cewek yang nyaris di gang-bang anak punk tadi. Mulutnya membentuk huruf o dan mengangguk-angguk.
"Tunggu disini oke?" perintahnya lalu berlari pergi
Selesai. Aku menoleh, menatap cewek itu.
Aku terkejut bukan main mendapati cewek itu masih mengenakan seragam SMP.
Bocah SMP di tempat seperti ini dan selarut ini? What the hell?
Kepalaku pening, maka aku duduk di lantai gang yang kotor.
Cewek itu menatapku dari balik rambutnya yang berantakan gara-gara ulah anak-anak punk tadi. Ia beringsut berdiri.
"Kakak berdarah..." ia mengulurkan sebungkus tissue yang isinya tinggal selembar
Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih.
Ia tampak mengamatiku.
"Terima kasih ya kak..." ia membungkuk sopan lalu berjalan pergi
"Hei, kamu mau kemana? Kok pergi seenaknya gitu?!" tanyaku agak kasar karena masih diliputi kekecewaan pada Valen
Anak itu menghentikan langkahnya dan mematung ketakutan.
Ia membalikkan tubuhnya pelan-pelan, kepalanya tertunduk.
Ia merogoh saku rok SMP nya dan mengeluarkan selembar uang 10 ribu an yang tampak kumal dan kotor.
"Ma-maaf kak...sa-saya cu-cuma punya ini...sungguh kak, saya nggak bo-bohong...to-tolong jangan apa-apain saya..." dengan gemetaran ia mengulurkan selembar uang itu
Saat itu juga aku menyadari kesalahan nadaku dalam bertanya. Aku jadi malu pada diriku sendiri.
Punggungku kusandarkan pada dinding gang yang kotor. Dia kira aku ingin meminta bayaran setelah aksi 'penyelamatan' yang kulakukan.
Haha, bayaran? Yang benar saja!
"Kesini kamu..." aku melambaikan tanganku
Jelas sekali anak itu sekarang semakin ketakutan, tetapi ia tetap maju mendekat menuruti kata-kataku.
Ia berhenti pada jarak 1 meter dihadapanku.
"A-ampun kak...saya nggak bohong, sungguh...ampun kak..." cewek itu mulai menangis
"Kamu mau kemana??" aku tidak mempedulikan kata-katanya
"Nggak tau kak..." ia menggeleng pelan
"Hah? Emang kamu nggak punya rumah?"
Ia kembali menggeleng.
Aku tidak percaya, maka aku memutuskan untuk kembali menekannya agar berkata jujur.
"Nggak usah main-main sama aku de. Kamu mau kemana?" rasa penasaran tiba-tiba meledak dalam pikiranku
"Nggak tau kak...sa-saya bener-bener nggak tau mau kemana..." ia memelas
Aku memandanginya dari ujung kaki hingga ujung rambut.
Keadaan cewek ini benar-benar memprihatinkan.
Seragam sekolahnya lusuh dan kotor, tas nya sudah hampir tidak berbentuk, sepatu putihnya kini cokelat karena lumpur yang mengering.
Tangannya memar-memar dan siku serta lututnya mengucurkan darah.
"Kamu, ikut aku" ucapku tegas
"Ke-kemana kak?"
"Pokoknya ikut aku!"
Ia tampak ingin melarikan diri tetapi diurungkannya ketika melihat Arif datang dari arah berlawanan dan kini ia menjadi agak rileks saat melihat Ira berlari kecil menyusul Arif. Sepertinya ia merasa lebih tenang setelah melihat ada cewek lain selain dirinya. Arif berjalan kearahku sementara Ira langsung menghampiri cewek itu.
"Aduh...kamu nggak apa-apa kan de? Syukur deh lukanya nggak seberapa parah" ucap Ira khawatir. Dirangkulnya cewek itu dan dibimbingnya ke jalan raya.
Arif memapahku di belakang mereka.
"Mau gimana ini Van?" Ira berhenti dan bertanya padaku
"Bawa kerumahku aja" jawabku singkat
Arif dan Ira saling pandang dengan bingung, tetapi akhirnya memilih untuk menuruti kemauanku.
Kami sampai di tepi jalan raya. Ditepi jalan, Civic hitam milik Arif menunggu dengan anggun.
Kudengar cewek itu bertanya dengan gelisah pada Ira, "Kakak, saya mau dibawa kemana??"
"Kita obatin dulu luka kamu ya?" jawab Ira lembut
Aku tersenyum, mataku terasa berat dan semuanya berangsur memudar hingga akhirnya gelap total.
****
Saat siuman, aku sudah terbaring di kamarku.
Ada Arif dan Ira, mereka tengah sibuk mengompres memar dan membalut luka ditubuhku.
Aku melihat sekeliling namun tidak ada tanda-tanda kehadiran cewek yang tadi. Hal ini membuatku bertanya-tanya.
"Anak yang tadi mana Rif?" aku menoleh sedikit kearahnya
"Itu lagi mandi Van, kamu tenang aja" Ira menyahut, ia tampak telaten mengurusi luka di punggung tanganku
Arif sendiri sibuk mengolesi memar dan lebam di wajahku dengan salep khusus.
Aku menghela nafas, setidaknya cewek itu aman sekarang.
"Maaf kak, itu handuknya harus saya taruh dimana?" sebuah suara lembut terdengar
Kami semua menoleh kearah pintu kamar mandi yang memang terletak di dalam kamarku.
Sesosok cewek tengah berdiri disana. Ternyata ia cantik, dan ada bakat dia akan melebihi kecantikan Valen.
Dengan tubuh yang tinggi untuk ukuran anak SMP, rambut hitam panjang sepunggung, kulit kuning layaknya cewek Chinese pada umumnya dan wajah cantik yang dimilikinya membuat ia tidak tampak seperti bocah SMP. Ia mengenakan kaos berwarna pink dan celana jeans pendek selutut milik Ira.
"Di gantung di kamar mandi aja. Kalo udah, kesini deh. Kita obatin lukamu. Oke?" Ira tersenyum
Anak itu mengangguk dengan canggung karena baru pertama kali bertemu kami.
Ketika anak itu mendekat, aku bangun dan duduk. Ia duduk di dekat Ira, tampak menjaga jarak denganku.
"Jadi? Gimana ceritanya kok kamu bisa kayak gini?" tanyaku penasaran
Ia meringis kesakitan saat kapas yang dibasahi alkohol menyentuh luka di siku nya, ia tampak mengingat-ingat lalu menceritakan semuanya.
Ternyata ia adalah korban kecelakaan tunggal. Bus yang ditumpanginya selip dan masuk jurang.
Ia selamat semata-mata karena ia terpental keluar saat bus menabrak pembatas jalan.
Karena tidak mampu melakukan apa-apa dan jalan sangatlah sepi, ia memutuskan berjalan kaki hingga akhirnya sampai disini, di kota yang benar-benar baru baginya.
Ia meminta tolong pada orang lain tetapi hanya ditertawakan dan dianggap gila. Sialnya lagi, sekelompok anak punk yang melihatnya tengah tidur di emperan toko berniat tidak baik, maka ia lari dan semuanya dimulai dari situ.
Cewek itu juga berkata bahwa tas kecilnya yang berisi dompet dan handphone nya turut jatuh ke jurang.
Kami bertiga mendengarkan dengan serius.
Setelah ia selesai bercerita, kami terdiam untuk meredakan suasana yang terasa sangat emosional.
Setelah beberapa saat, ia menghela nafas dan tersenyum.
"Kak, terima kasih pertolongannya, mungkin baru besok pagi saya bisa pergi. Kalau kakak tidak keberatan, malam ini saya tidur di taman saja" ucap cewek itu padaku
"Apa? Taman?? Kamu udah gila ya??" nada suaraku meninggi
Cewek itu menciut menghadapiku.
Dengan gerakan pelan ia bersembunyi di belakang Ira.
"Evan!" desis Ira
"Udah, kamu tenang aja. Kamu aman kok disini" lanjutnya kepada si cewek
"Hoi, nama kamu siapa?" Arif bertanya dengan ramah
"Sa-saya? Nama saya Sherry Gracia kak" jawabnya malu-malu
"Kenalin, aku Ira, ini Arif dan itu-"
"Evan" ucapku memotong kalimatnya
Akhirnya Ira dan Arif berpamitan akan pulang karena masih ada hal yang harus dikerjakan oleh mereka.
Ketika aku dan Arif keluar kamar, aku mendengar Sherry bercakap-cakap dengan Ira.
"Kakak mau kemana?"
"Pulang. Aku masih ada keperluan"
"Sherry jangan di tinggal kak"
"Loh?"
"Sherry takut sama kakak yang tadi..."
"Oh, Evan? Nggak apa-apa...dia orangnya baik kok"
"Tapi serem kak"
Aku buru-buru ke halaman depan menemui Arif.
Selang beberapa menit kemudian Sherry dan Ira keluar dari dalam dan melangkah kearah aku dan Arif yang tengah berdiri di dekat mobil.
Setelah berpamitan, sepasang kekasih itu pun pergi.
Aku menatap Civic mereka menjauh dan menghilang di tikungan.
Sherry berada di sampingku, tampak bingung.
"Kak, mereka siapa?" tanya Sherry polos
"Ooh, Arif itu sepupuku dan Ira itu pacarnya. Udah yuk masuk..." suasana hatiku membaik
Aku sudah berdiri di depan pintu, tetapi cewek itu masih mematung. Kutatap ia dengan heran.
"Lho? Udah ayo masuk...udah jam berapa ni...jam 2 pagi coba...nggak baik cewek di luar rumah malem-malem"
"Sherry tidur diluar aja..." ucapnya lirih
"Halah, udah ayo masuk!"
"Eeh, saya mau dibawa kemana kak?" ia menjerit kecil saat tangannya kutarik
Aku membawanya ke kamar tamu.
Sherry patuh saja saat ia kutarik masuk kamar.
"Ini kamarmu. Malem ini kamu tidur disini ya. Ini remote AC nya, ini remote TV, ini remote MP3 player, ini selimutnya" ucapku sambil menumpuk berbagai macam barang di hadapannya
Ia tampak bengong. Namun aku tidak peduli.
"Oh iya, pintu kamar dikunci dari dalem ya kalo kamu tidur. Oh, satu lagi, kalo butuh apa-apa, bilang aja sama aku. Pintu kamarku nggak dikunci. Oke?"
"I-iya kak...terima kasih ya kak..."
"Oke. Met tidur" ucapku sambil tersenyum
Aku meninggalkan Sherry sendiri dan masuk ke kamarku.
Setelah berganti pakaian, aku berbaring di kasur yang empuk. Hanya 5 menit kemudian aku jatuh tertidur.
TOK TOK TOK!
"Hngh?? Masuk..." ketukan di pintu membangunkanku
Pintu kamarku terbuka.
Sherry berdiri di ambang pintu. Tangannya memeluk guling.
"Kenapa?" tanyaku sambil mengucek-ucek mata
"Kak, Sherry takut kak...boleh nggak Sherry tidur disini?" pintanya memelas
Karena mengantuk, aku tidak bisa mencerna apa yang terjadi.
Maka dengan tololnya aku berkata "Iya iya...boleh kok..." dan kembali tertidur.
Dengan canggung ia menyapukan pandang ke lantai. Tidak ada karpet maupun bantal lantai. Sejenak ia kebingungan.
Karena merasa tidak ada perubahan (kasur tentu bergoyang ketika ada orang yang naik ke atasnya) aku kembali membuka mata.
"Udah...sini tidur sini aja..." ucapku dengan mata terpejam kemudian menggeser tubuhku, menyediakan tempat untuk Sherry.
Sherry naik ke kasur dan mengambil tempat disisiku. Dalam keadaan sadar, aku tentu menolak untuk tidur satu kasur dengannya.
Aku lebih memilih menggelar kasur lantai atau tikar, biarlah Sherry yang tidur di kasur, tapi mungkin karena aku sudah sangat mengantuk maka
aku membiarkannya tidur disisiku. Aku biasa tidur dengan AC di set pada suhu 18 derajat, hal itu memaksa Sherry untuk meringkuk dibalik selimut.
Pagi harinya...
"Bujug!! Kamu ngapain tidur disini Sher?!" aku panik
Sherry terbangun dan mengusap-usap kedua matanya.
Ia menatap sekeliling dengan mata menyipit karena belum terbiasa.
Setelah sadar sepenuhnya ia bangun dan duduk.
"Ma-maaf kak...soalnya Sherry takut tadi malem...makanya Sherry pindah kesini...kakak juga bilang katanya Sherry boleh tidur disini" ia terbata-bata
"Kenapa kamu berani?" tanyaku agak curiga, jangan-jangan anak ini memancingku untuk berbuat hal yang tidak-tidak
"Sa...saya...saya pikir...kakak orang baik...jadi...saya...mengesampingkan pikiran negatif...jadi...jadi..." Sherry tergagap, tangannya meremas sprei
"Aduh...maaf ya Sher..."
"Eh? Kenapa kak?"
"Maaf, tadi malem...untung nggak terjadi..." ingatan saat aku memperkosa Valen berkelebat dalam pikiranku.
Walaupun dibawah pengaruh obat, tapi tetap saja aku menjadi binatang waktu itu.
Dan apa bedanya jika aku menyelamatkan cewek yang tengah melongo dihadapanku ini hanya untuk ku nodai?
Eps 13
Waktu berlalu dan terus berlalu. Sherry sudah cukup lama tinggal bersamaku.
Waktu kami habiskan dengan jalan-jalan ke mall, toko buku dan lain-lain.
Ternyata Sherry adalah anak yang menyenangkan. Ia jujur, baik, cerdas dan yang paling kukagumi adalah kesopanannya.
Dan kini liburan sudah usai...
Aku menyuruh Sherry tinggal sementara dirumahku setelah aku membujuknya dan memberi penerangan dengan alasan-alasan logis yang tidak dapat di bantah olehnya.
Atas perintah ayahku, Sherry disekolahkan disini sambil menunggu hasil dari usaha menghubungi kedua orang tuanya yang ada di luar negeri..
Hanya dalam 2 hari, urusan administrasi dan surat pindah sekolah Sherry sudah selesai ditangani.
Dengan pengaruh yang dimiliki ayahku, hal seperti ini tentu ibarat mengangkat sebutir kacang dengan tangan Sherry hanya bisa pasrah menerima, walaupun aku tahu, dia merasa sangat merepotkan kami dan merasa tidak enak hati dengan apa yang telah dilakukan oleh ayahku.
Aku dan Valen lost contact selama berminggu-minggu.
Kupatahkan SIM card-ku dan kubuang.
Aku tidak mau dan tidak akan menghubungi dia duluan setelah apa yang terjadi.
Biar saja dia berusaha sendiri, itu pun kalau dia mau. Aku berusaha untuk tidak peduli walaupun sebenarnya hatiku menjerit-jerit.
Satu-satunya yang menjadi penghiburku kini adalah Sherry.
Sikapnya yang ceria dan begitu hidup selalu meringankan beban yang menggelayuti pikiranku.
Ia anak yang cerdas dan lucu. Namun ada hal yang aneh padanya.
Sherry sangat manja padaku, kadang manja seperti adik namun juga kadang manja seperti seorang pacar. Hal ini tentu membingungkan aku dalam menempatkan diri.
Ini hari pertama kami masuk sekolah setelah libur selama beberapa minggu.
Aku berangkat mengantarkan Sherry yang kini bersekolah di Red Square Junior High School, SMP super elite pilihan ayahku.
Ia duduk manis di sebelahku sementara aku menyetir Accord kesayanganku menuju sekolah Sherry.
"Kakak, aku penasaran loh" Sherry tersenyum
Kini dia tidak lagi menggunakan kata 'saya' namun 'aku'. Walau begitu ia berlaku sangat sopan kepada siapapun yang ditemuinya, terutama aku.
Bahkan ayahku yang sempat pulang dari Swiss dan bertemu dengannya sampai terkagum-kagum.
"Oh? Penasaran kenapa Sher?" aku tidak melepaskan pandanganku dari jalan raya
"Teman-teman baru Sherry nanti seperti apa yah?" wajahnya jelas-jelas excited
"Hehehe...kita liat aja deh. Udah sampe nih, sana belajar yang pinter yak? Ntar kalo udah pulang SMS aja, pasti langsung ku jemput. Hati-hati ya Sher!" aku tersenyum saat Accordku berhenti di gerbang sebuah gedung sekolah yang sangat megah.
"Iya deh...aku berangkat dulu ya kak!" ia tersenyum manis lalu keluar dari mobil
Ia melambaikan tangan saat Accordku keluar dari kompleks SMP orang-orang kaya ini dan melaju di jalan raya.
Kini aku akan menuju sekolahku sendiri...dan bertemu Valen.
Sepanjang jalan aku merasa deg-degan. Entahlah, perasaanku begitu kacau.
Setelah memarkir mobil, aku berjalan memasuki kelas. Sekolah sudah lumayan ramai saat itu.
Di kelas, aku tidak menemukan Valen dimanapun. Teman-temanku pun menanyakan sosok cewek yang menjadi idola kelas itu kepadaku.
Aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban karena aku memang tidak tahu dimana Valen.
Dari jam pertama hingga jam terakhir tidak tampak tanda-tanda kehadiran Valen.
Guru yang mengajar pun sampai bertanya-tanya karena memang Valen yang biasanya mampu menjawab semua pertanyaan mereka.
Pelajaran kulalui dengan berat karena pikiranku tertuju pada Valen.
Saat pulang sekolah, teman-temanku berkumpul.
Mereka berencana pergi ke rumah Valen.
"Evan, ke rumah Valen yuk? Nggak biasanya dia bolos. Mungkin dia kenapa-kenapa" ajak Lia
Hampir saja aku langsung menjawab 'iya' ketika tiba-tiba ingatan akan malam dimana Valen mengusirku datang. Segera saja aku tersadar.
"Emm....aku ada acara...maaf ya..." aku tersenyum sungkan dan langsung ngeloyor pergi
Aku menghampiri Accord silver ku yang terparkir diantara mobil-mobil para guru dan beberapa siswa lainnya.
Setelah duduk di dalam mobil, aku menyalakan AC dan mengetik SMS. Karena handphone Sherry hilang saat kecelakaan, kini ia memakai handphone ku yang satunya lagi.
----------------------
14:03
9/05/2012
To : Sherry
Sher, pulang jam berapa? Aku udah balik nih...
-----------------------
Beberapa detik kemudian sebuah SMS balasan masuk
-----------------------
14:04
9/05/2012
From : Sherry
Mungkin jam setengah 3 nanti kak...
Ada pengarahan nih... (-_-")
Bete...hehehe
------------------------
Kuketik SMS untuk membalas dengan cepat
------------------------
14:06
9/05/2012
To : Sherry
Yaudah...bentar ya...aku pulang dulu kalo gitu. Hehehe
-------------------------
Aku memacu mobilku menuju rumah. Rencananya, aku akan berganti baju dan langsung menjemput Sherry karena timingnya cukup pas.
Ke rumah sekitar 10 menit, ganti baju 5 menit dan jalan ke SMP Sherry sekitar 15 menit. Jadi kira-kira aku akan sampai di tempat Sherry sekitar pukul 14:36.
Lho? Kelebihan 6 menit ya? Ya sudahlah tidak apa-apa.
Iseng-iseng aku mengganti Accord-ku dengan Lamborghini Aventador hadiah dari ayahku.
Memang sangat berlebihan, tapi siapa yang akan menolak jika diberi mobil semewah itu? Hehehe...
Kusibakkan terpal berwarna hijau tua dan melipatnya. Aku memandang Aventador dengan matte finish Nero Nemesis itu dengan sangat bangga.
Aventador itu juga merupakan sebuah simbol bagiku, sebuah benda yang mengingatkanku bahwa orang tuaku sangat memanjakanku dengan materi sebagai ganti waktu mereka karena mereka sangat-sangat sibuk. Setelah beberapa menit memanasi mobil, aku pun berangkat.
Aku sampai tepat pada waktu Sherry pulang sekolah. Ia tampak berdiri dengan anggun di taman depan sekolah, menungguku.
Sesekali ia tampak bercakap-cakap dengan akrab dengan beberapa anak cewek lain yang juga sama-sama menunggu jemputan, dan sesekali juga ia tampak melongok kearah jalan raya.
Aventador-ku kuhentikan tepat didepan Sherry yang posisinya berada di sebelah kiri mobil.
Kutekan klakson satu kali, ia menatap kedalam mobil dengan malas dan kembali melongok ke jalan raya sementara teman-temannya berdecak kagum melihat mobilku.
Aku kembali membunyikan klakson
“Sher, kayaknya manggil kamu deh” salah satu temannya menyikut Sherry
“Ah masa sih…” jawab cewek itu tidak tertarik
“Iya…bener…” temannya kembali melirik kaca mobil yang gelap
Sherry menjadi gelisah, ia berulang kali melirik jam tangannya dan bolak-balik melihat layar handphonenya.
Aku geli, dia pikir aku akan menjemputnya dengan Accord. Merasa sudah cukup bermain-main, aku turun dari mobil.
Seluruh mata tertuju kearahku, awalnya Sherry menatapku dengan sebal, tetapi begitu tahu bahwa itu aku, seulas senyum terkembang di bibirnya.
“Kakak? Aku kira siapa!” ia mendatangiku dengan tersenyum
“Mau pulang?” tanyaku santai
Sherry mengangguk cepat.
Setelah berpamitan dengan sopan kepada teman-temannya, ia naik ke mobil bersamaku dan pulang.
Kami bercanda ria sepanjang jalan. Sherry bercerita tentang teman-teman barunya dengan berapi-api sementara aku mendengarkan dengan penuh minat.
Karena perutku lapar, aku mengusulkan untuk makan. Usulku disambut baik oleh Sherry yang ternyata juga kelaparan.
Kami menuju ke taman kota, tempat nongkrong anak-anak muda dari SMP hingga kuliah.
Kuparkir mobilku dijalan paving block dan mengambil tempat di sebuah meja dekat kios hamburger.
Aku dan Sherry duduk berhadapan, kami membeli beberapa jenis makanan kecil pengganjal perut.
Sherry meminum segelas soda yang tadi dibelinya sementara aku memakan french fries sedikit-sedikit.
Bukannya mulai makan, Sherry malah menatapku lekat-lekat.
"Kenapa Sher?" aku risih juga ditatap olehnya seperti itu
"Nggak apa-apa kak..." ia tersenyum
"Dimakan tuh burgernyaa..."
"Nanti aja deh" ia kembali tersenyum
"Loh?"
"Aku ngeliatin kakak makan aja ah" Sherry menggeser sodanya menjauh dan berpangku tangan menontonku makan.
"Mau disuapin?" aku menggodanya
"Mau dong!" jawabnya manja
"Yee! Makan sendiri dong...udah gede juga..." aku menjulurkan lidah
"Aah...kakak mah gitu sama Sherry..." ia memanyunkan bibirnya
BRAAAAKK!!
Sebuah telapak tangan menggebrak meja dengan kasar.
Aku dan Sherry terperanjat dan menatap si pelaku. Dia adalah Caroline Valentina.
"JADI GINI YA LO DI BELAKANG GUE?! TERNYATA LO JALAN SAMA CEWEK LAIN! ANAK SMP PULA! TAU MALU NGGAK SI LO?!!" ia berteriak marah
Lagi-lagi kami membuat rusuh ditempat umum.
Aku tidak berminat mendebatnya karena dia tidak tahu siapa Sherry.
"GUE PIKIR GUE YANG SALAH, SAAT GUE MAU MINTA MAAF SAMA LO, TERNYATA LO NUSUK GUE DARI BELAKANG GINI! LO ANGGEP GUE INI APA SIH VAN? BONEKA YANG BISA LO MAININ SEENAKNYA?!" Valen benar-benar marah
Aku hanya diam dan memainkan french fries ditanganku, mencelupkannya kedalam saos dan mengoles-oleskannya ke piring.
Sherry tertegun menatap cewek yang tidak dikenalnya tiba-tiba mengamuk dan memarahi aku.
"GUE SMS, LO NGGAK PERNAH BALES! GUE TELEPON LO, NOMER LO NGGAK PERNAH AKTIF!! SIBUK PACARAN SAMA DIA YA TERNYATA?!"
"Sebentar Val, aku jelasin dulu...ini bukan seper--" aku memutuskan untuk angkat bicara
"ALAAH! JELASIN APA LAGI?! KATANYA LO CINTA SAMA GUE! KATANYA LO SETIA! TAPI MANA? MANA BUKTINYA HAH?!"
"Nih, dengerin dulu penjelasanku Val...dia ini sebener--"
"GUE NGGAK BUTA VAN! GUE LIHAT LO AKRAB BANGET SAMA CEWEK INI! LO SEBENERNYA CUMA MAU BIKIN GUE SAKIT HATI KAN VAN? IYA?!!"
Aku menatap Sherry dan berkata kepadanya "Ini cewek nyebelin banget sumpah!" dalam hati.
Sherry paham apa yang aku katakan, ia mengangkat sebelah alisnya sebagai jawaban.
"HEH! LO PUNYA TELINGA NGGAK SIH?! JAWAB PERTANYAAN GUE VAN!"
JEBRAAAAAKK!!
Aku sangat kaget hingga terlonjak dari tempat dudukku, begitu juga Valen, ia tampak sangat terkejut.
Sherry menggebrak meja, ia melotot menatap Valen.
Sebelum Valen sempat berkata apapun, Sherry menggeram,
"Kenalin kak! Nama saya Sherry dan saya ini adiknya, kakak denger? ADIKNYA kak Evan!"
"A-adik? Adik?" Valen tergagap, ia tertegun, merasa sulit mencerna apa yang barusan dikatakan Sherry
Valen menunjuk aku kemudian Sherry bergantian selama beberapa saat. Rasa terkejut tergores jelas diwajahnya yang cantik itu.
"IYA! SAYA ADIKNYA!" Sherry menekankan kalimatnya lagi
"Udah kak! Ayo kita pulang! Sherry jadi males makan disini!" ia menarik tanganku dan berjalan ke mobil
"Udah? Puas Val?" aku berkata sinis pada Valen lalu berbalik pergi dan masuk kedalam mobil
Dalam situasi normal, aku tentu akan menjelaskan masalah ini baik-baik.
Tetapi ingatan saat Valen mengecewakanku di diskotik tidak mengijinkanku untuk berbuat demikian.
"Vaaaan...Evaaan...tunggu dulu Vaan..." pintanya memelas, matanya berkaca-kaca
Aventador yang membawa aku dan Sherry seakan tersenyum melecehkan Valen yang kini berdiri mematung berlinangan air mata menatap kepergian kami.
==============
20:07 WIB
Suasana kamarku yang nyaman tidak mampu meredam kegelisahan yang membuncah dari hati dan pikiranku.
Valen...dia benar-benar berubah...
"Kak...itu tadi siapa kak? Pacar kakak ya?" Sherry duduk disampingku yang tengah termenung
Aku tenggelam dalam pikiran-pikiranku sendiri sejak sekitar 20 menit yang lalu.
Sherry baru saja selesai mengeringkan rambut panjangnya dengan hairdryer.
"Iya...itu pacarku Sher, namanya Valen...kita lagi ada masalah..." jawabku lesu
"Kakak nggak pernah cerita kalo kakak punya pacar" ucapnya pelan
Aku menoleh, menatapnya dan tersenyum. Kubelai rambut hitam yang menjuntai indah ke punggungnya.
Sherry mengenakan tank top berwarna ungu dan hotpants yang hanya menutupi paha beberapa cm dari selangkangannya, menampilkan kulit tubuhnya yang mulus dengan tidak malu-malu.
Ia tidak tampak seperti seorang bocah SMP.
Ia lebih menyerupai seorang siswi SMA yang sangat cantik.
"Karena...aku kecewa banget Sher..."
Kuceritakan kejadian yang aku alami sesaat sebelum aku bertemu Sherry, saat Valen mengusirku dari diskotik.
Sherry termenung mendengar ceritaku. Ia menggeser posisi duduknya sehingga kini ia berhadapan denganku.
“Valen….Valen…namanya bagus banget…” Sherry bergumam
“Oh ya?” aku tersenyum
"Tenang aja kak...aku yakin kakak pasti mampu melewati masalah ini" dia meletakkan masing-masing tangannya di kedua bahuku
Aku tersenyum berterima kasih kepada Sherry yang kedua tangannya masih dalam posisi tadi.
Tetapi itu tidak lama, saat pandanganku turun kebawah, kulihat tubuh Sherry yang ternyata seksi terbalut tanktop memperlihatkan ketiaknya yang bersih dan juga buah dadanya yang -secara mengejutkan- lebih besar dari milik Valen.
Senyumku memudar. Dan sebagai cowok normal, aku memandang belahan dada Sherry yang terekspos dengan tatapan lapar.
Penisku menggeliat bangun setelah sekian lama ber-hibernasi.
Aku terus menatap dua bongkah daging yang hanya ditutupi sehelai tanktop dengan ekspresi amazed, ingin merasakan kehangatan dan kekenyalannya.
"Kak? Kakak ngeliatin apa?" bisik Sherry ketakutan, ia menarik tangannya untuk menutupi belahan dadanya yang indah
Wajahnya kini berubah. Ia menggeser duduknya menjauhi aku yang sedang dalam kondisi nge-hang.
Memang benar Sherry menutupi dadanya tetapi ia duduk mengangkang ketika beringsut mundur, menunjukkan pahanya yang kuning langsat layaknya cewek-cewek Chinese yang sangat menggiurkan. Kedua tungkai dan betisnya memantulkan cahaya lampu kamarku dengan sangat lembut.
Dan pangkal pahanya, aku tidak sanggup membayangkannya. Terlalu indah.
"Kak...jangan bikin Sherry takut dong..." desahnya
Aku masih terpaku pada tempat tidur dan masih melongo menatap tubuh indah Sherry yang baru kusadari sekarang.
"Kakak, yang bener dong kak...Sherry takut nih..." ia turun dari tempat tidur dan berjalan mundur menuju pintu kamar
TEK!!
Aku tersadar dari pikiran-pikiran bejadku.
Aku menggeleng-gelengkan kepala sebentar lalu bangkit dan berlari ke kamar mandi untuk mencuci muka dan membasuh juniorku agar tertidur kembali.
Ketika aku keluar kamar mandi, Sherry sudah tidak ada.
Ah, pasti dia sangat ketakutan tadi. Aku sangat malu karena tidak mampu mengendalikan diri.
TOK TOK TOK!!
"Sher? Kamu di dalem?" aku mengetuk pintu kamarnya dengan pelan
Tidak ada jawaban, terang saja Sherry pasti marah karena sikapku yang sangat tidak sopan tadi. Apalagi sampai membuat dia ketakutan.
Aku adalah orang yang bertanggung jawab atas Sherry, atas keamanannya dan keselamatannya, setidaknya sampai orang tuanya dapat dihubungi.
Tentu saja hal itu membuatku merasa amat bersalah.
Aku masih mengetuk pintu kamar Sherry tapi tidak ada respon. Mungkin dia takut aku macam-macam kepadanya.
Karena tidak mau membuatnya takut lebih lama, aku beranjak meninggalkan kamar cewek itu tepat ketika sebuah kepala menyembul dari sela-sela pintu yang terbuka.
"Kenapa kak?" tanya Sherry dengan sopan tapi tampak ada secercah kecemasan di matanya
"Ng...anu...eemm...maaf yang tadi ya....aku udah...yaa...itu...eehh..." aku menggaruk kepala untuk menghilangkan nervous
"Oh...iya nggak apa-apa kak" nada bicaranya sama seperti tadi
Kami berdua sama-sama terdiam, bingung akan melanjutkan percakapan.
"Boleh aku masuk?" tanyaku keceplosan karena bingung
Ah sial. Lagi-lagi aku bersikap tidak sopan.
Aku hanya berharap Sherry tidak berpikir negatif tentang pertanyaanku barusan.
Ia menatapku sebentar, lalu pintu kamarnya kembali terayun menutup.
CKLEK!
Pintu itu tertutup rapat, meninggalkan aku yang masih tersenyum salah tingkah dalam kegelapan ruang tengah.
"Tuh kan...bego! Marah lagi dia...goblok banget sih kamu Van!" aku memaki ketololanku sendiri
Aku berbalik dan berjalan dengan gontai hendak kembali ke kamarku sendiri.
Baru saja aku berhasil meminta maaf, sedetik kemudian aku melakukan kesalahan yang sama. Benar-benar bodoh...
"Loh? Nggak jadi masuk kak?"
Aku berbalik dengan cepat.
Sherry berdiri di depan pintu kamarnya yang kini terbuka lebar. Ia menatapku dengan heran.
Eps 14
Previously on My Immortal
"Loh? Nggak jadi masuk kak?"
Aku berbalik dengan cepat. Sherry berdiri di depan pintu kamarnya yang kini terbuka lebar. Ia menatapku dengan heran.
***
"Sher, kamu marah ya?" tanyaku dengan canggung
Ia berbaring di kasur empuk bergambar Spongebob, matanya menerawang menatap langit-langit.
"Nggak kok kak..." jawabnya singkat
"Yang bener?"
"Iya...beneran. Oh iya, malem ini Sherry mau tidur disini aja kak"
Selama ini, sejak kedatangannya yang pertama kali di rumahku, Sherry selalu tidur dengan aku di kamarku.
Biasanya aku akan menggelar tikar dan tidur di lantai sementara Sherry tidur di kasur.
"Oh? Mau tidur disini? Oke deh..." jawabku kecewa
Bukan karena alasan-alasan yang lain, tetapi aku kecewa karena ternyata Sherry pasti sangat marah padaku hingga ia memutuskan untuk tidur sendiri.
Aku kecewa pada diriku sendiri.
Aku berdiri dan membuka pintu, kuputuskan untuk kembali ke habitat asalku.
"Loh? Mau kemana kak?" tanya Sherry, ia duduk di kasur dan menatapku dengan bertanya-tanya
"Katanya kamu mau tidur disini?" aku menjadi bingung
"Iya...tapi kakak temenin aku tidur disini dong!" ia tersenyum manja
"Dasar!" aku berjalan menghampiri Sherry dan menjitak pelan kepalanya
Ia tertawa kemudian berbaring di sampingku.
Sherry menatap mataku dengan cara yang sama seperti saat Valen menatapku.
"Sherry tidur duluan...kakak jangan ngapa-ngapain Sherry ya. Sherry percaya sama kakak" ucapnya pelan
Aku mengangguk mantap. Sejenak kemudian ia tertidur.
Aku berbaring disebelahnya, namun aku tetap terjaga sepanjang malam.
Valen masih menghantui pikiranku.
"Valen..." aku mendesah
Jam menunjukkan pukul 12 malam, itu berarti 3 jam sudah berlalu sejak cewek disampingku ini tertidur.
"Kak? Kenapa? Nggak bisa tidur?"
Sherry ternyata terbangun dengan mata yang masih setengah terpejam, wajahnya lucu saat itu sehingga mau tidak mau aku tertawa.
Ia buru-buru menyeka kedua sudut bibirnya, takut ada liur yang menetes.
"Ke..kenapa ketawa?" tanyanya dengan bingung
Tanpa menunggu jawaban dariku buru-buru ia berlari ke kamar mandi, entah apa yang dilakukannya disana.
Setelah keluar, wajahnya tampak basah.
"Ngapain kamu?"
"Cuci muka sama gosok gigi...ehehehe"
"Tengah malem?"
"Hehehehe"
Ia duduk lagi disampingku, bersandar pada tembok.
Sherry menatapku dengan seksama.
"Ci Valen ya kak?" ia mendesah
"Iya Sher...aku bener-bener nggak tau harus gimana...dia bener-bener berubah, menyimpang sepenuhnya dari Valen yang dulu. Dia mabok-mabokan, ke diskotik, ngerokok...padahal aku benci cewek yang kaya gitu...tapi...aku bener-bener sayang sama dia" aku mengungkapkan semuanya
Ia tampak merenung dan melipat tangannya.
Sepertinya Sherry sedang berpikir keras.
"Kenapa kakak nggak cari cewek lain aja kalo gitu?" keningnya berkerut saat menanyakan hal itu
"Sulit banget ngelupain dia Sher...she's my first love after all..." jawabku sedih
"Emang kriteria cewek yang bisa bikin kakak jatuh cinta yang kayak gimana?" Sherry tampak penasaran
"Loh? Emang kenapa?"
"Yaa....cara gampangnya kakak cari cewek lain dong kalau kakak pengen ngelupain Ci Valen.." jelasnya
"Terus kenapa kamu tanya-tanya?"
"Yaa mungkin temen Sherry ada yang masuk kriteria kakak kan lumayan..." ucapnya sambil nyengir
"Yang aku suka tuh cewek yang baik, jujur, nggak matre, pinter...." kataku sembari mengacungkan empat jari tangan
"Itu dari segi sifat kan kak...kalo dari fisik gimana?" Sherry tampak mengingat semua teman yang dikenalnya
"Tinggi, putih, cantik, rambutnya panjang...." terangku, aku menjulurkan lidah saat selesai mengatakannya
Ia tampak kesulitan menemukan orang yang cocok.
Alisnya mengrenyit tidak setuju.
"Aduh berat banget...terlalu perfect kak..." ia menggaruk kepalanya
"Iya...perfect kayak kamu Sher" aku mencubit pipinya
Ia tampak terkejut.
Seluruh otot di tubuhnya menegang dan matanya terbelalak memandangku.
"Atau...Sherry aja yang jadi pacar kakak ya?" aku menggodanya
"I-itu...itu...." Sherry terbata, ia memeluk tubuhnya sendiri
"Kenapa? Sherry nggak mau sama kakak ya?" aku membelai rambut panjangnya
"Bukan!" sergahnya cepat-cepat membuatku kaget
Sejenak kemudian pandangannya terpaku pada kasur, Sherry tampak merenung.
Pelan-pelan ia mengangkat wajahnya dan menatap mataku.
"Ci Valen gimana?" ia bertanya dengan suara lirih
"Ah...Valen udah jadi cewek nggak bener...main malem terus...aku mau putusin dia begitu aku mulai bisa ngelupain dia..." tatapanku menerawang ke langit-langit
"Kalau gitu..." tangannya meremas bantal yang ada di pangkuannya
"Sherry...sebenernya....udah lama suka sama kakak...tapi..."
JTAAARR!! *background petir menyambar-nyambar
Aku tentu sangat terkejut mendengar pengakuannya, tetapi disisi lain aku senang mendengarnya, memang benar hanya Sherry yang mampu mengalihkan aku dari Valen...hanya dia yang sanggup menceriakan hari-hari penuh sorrow karena Valen yang kini benar-benar berubah
"Ah...aku ngomong apa sih? Eh iya kak, aku punya lagu bagus buat kakak loh...kakak suka Evanescence kan?" ia berdiri dan mengambil tas sekolahnya
Dasar Sherry, bisa saja mengalihkan pembicaraan pada saat yang tepat seperti ini.
Aku memperhatikannya mengobok-obok tas dan mencomot sebuah flashdisk bergambar Hello-Kitty.
Ia menancapkan flashdisk pada MP3 player yang diletakkan dimeja dan sibuk memencet-mencet remote.
Tak lama kemudian suatu lagu melantun.
Aku tersenyum, ternyata Sherry menyetelkan lagu Going Under untukku.
"Heeeii! Nyindir nih ya?!" aku melempar bantal kecil kepadanya
"Kan cocok sama keadaan kakak" Sherry tertawa dan menangkap bantal itu
I'm going under
Drowning in you
I'm falling forever
I've got to break through
Amy Lee yang menyanyikan bagian reff dengan bersemangat secara tidak langsung membangkitkan semangatku juga.
Sherry melipat kedua tangannya dan tersenyum kepadaku, ia tampak puas karena berhasil membuatku tersenyum.
"Ayo kak...you've got to break through!" ia memberiku semangat
"Hahaha. Iya iya. Sini kamu!" aku menyuruhnya mendekat
Sherry melangkah kearahku sambil tertawa membuatnya tidak hati-hati.
Kakinya terantuk. Ia jatuh menindih tubuhku, buah dadanya menekan dadaku.
"Ah! Maaf kak! Maaf!" ucapnya panik
Ketika hendak bangkit, kupegangi pinggangnya, mencegah ia berdiri.
"K-kak?" matanya menatapku gelisah
"Sher, thanks ya..." aku mengecup bibirnya dengan lembut
Pipinya merona merah, ia melepaskan tautan bibir kami.
"Sama-sama kak..." lalu tanpa kuduga, ia balas mengecup bibirku.
Aku mengubah posisi sehingga kini Sherry berada dibawahku.
Ciumanku turun ke lehernya yang lembut, aroma shampoo Clear Complete Soft Care menguar lembut dari rambutnya yang hitam terawat.
"Kaaaak...geli kaaak...jangan disitu....aaah..." Sherry mendesah seksi
Aku merentangkan kedua tangan Sherry keatas dan menahan pergelangan tangannya sehingga dua bongkah buah dadanya yang menggiurkan itu seolah menantang langit.
Aku melepaskan pergelangan tangannya dan menangkup bukit kenyal itu membuat sang pemilik mendesah-desah.
"Aaaah...pelan-pelan kak...geli..." rintihnya
Tanpa membuang-buang waktu, kulepas tanktop Sherry. Ia sama sekali tidak melawan, hanya berbaring pasrah dengan mata terpejam dan bibir yang mengeluarkan rintihan serta desahan seksi. Hal pertama yang ada di pikiranku adalah aku akan membuatnya orgasme.
Penglihatanku tidak salah. Segera setelah tanktopnya terlepas, buah dadanya yang membusung ditutupi sehelai bra tipis berwarna putih memang sama lembutnya dan sama-sama dihiasi puting berwarna pink namun buah dadanya lebih besar dari milik Valen.
Aku menelusuri permukaan buah dadanya yang lembut itu dengan lidah setelah melepaskan bra putih itu dengan bantuan Sherry.
Sepelan mungkin membuat Sherry mengejang beberapa kali.
"Kakak lagi ngapain siihh? Geli kaaak....aaahh....mmmhh...." kedua tangannya membelai kepalaku
"Kak! Geli banget sungguh kak! Aaaaah....ge...geli...aaaaahh....aaaaggh..." Sherry mengerang ketika putingnya kubelit dengan lidah
Kuangkat kepalaku dari daging kenyal dan hangat itu. Kutatap mata Sherry yang kini tampak sayu.
Rupanya dia sama saja seperti cewek lain yang bisa terangsang juga wajah polosnya merona merah karena horny
"Sher, lepas celananya" ucapku
"Apa? Celana? Nggak mau ah kak...malu..." tolak Sherry
"Nggak apa-apa...kenapa harus malu? Lepas yaa?" aku masih membujuknya
"Kakak mau ngapain sih?" ia bertanya dengan suara lemas
"Aku mau ngasih kamu sesuatu...nggak apa-apa, percaya deh..."
Ia tampak berpikir sebentar lalu berkata,
"Oke...cuma celananya aja ya?"
Dengan berat hati ia membiarkan aku membuka kancing hotpantsnya dan menelanjangi tubuhnya yang elok.
Sherry dengan malu-malu menutupi vaginanya yang terbungkus celana dalam putih dengan kedua tangannya. Kini dia hanya mengenakan celana dalam saja.
"Celana dalemnya sekalian ya Sher"
"Nggak mau! Kan katanya cuma celana doang!" tolaknya tegas
"Tanggung Sher...nggak apa-apa yah?"
Usahaku membuahkan hasil, pelan-pelan Sherry mengangkat pinggulnya, memberikan lampu hijau padaku untuk melepas rintangan terakhir yang berada diantara aku dan liang surgawi miliknya.
"Wooow..." gumamku takjub
Vagina Sherry mungil. Dan seperti yang kuduga, vaginanya dicukur bersih hingga mulus dan licin.
Selain itu, Sherry pasti merawatnya dengan telaten karena vaginanya wangi.
"Jangan diliatin kak..." Sherry menutupi vagina mungilnya
Pelan-pelan kurentangkan kedua kakinya hingga Sherry mengangkang lebar.
Lubang vaginanya yang berwarna pink segar membuatku penasaran seperti apakah rintihan cewek ini ketika nanti kusapukan lidahku pada daerah sensitifnya.
"Kak? Kakak sebenernya mau ngapain Sherry sih?" ia bertanya penasaran
Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan polosnya.
Sherry memang sama sekali belum tercemar hal-hal yang berbau seks.
Saat kudekatkan mulutku ke bibir vaginanya, Sherry memekik,
"Stop kak!! Jangan!"
Aku merasakan bulu kuduk dipahanya meremang
Aku menengadah menatapnya dengan pandangan tidak mengerti
"Kenapa?"
"Daerah situ kan kotor kak! Apapun yang mau kakak lakuin, Sherry mohon jangan" pintanya
Lagi-lagi ia membuatku tersenyum.
Aku tidak menghiraukan kata-katanya dan melanjutkan persiapanku untuk mencumbu vaginanya.
"Kakak! Sherry bilang jangan! Disitu kan ko-AAAAAAAAAAAAHHHHH!!!!"
Satu jilatan menguas dengan telak di vagina Sherry yang bahkan belum pernah berciuman dengan cowok, sebuah fakta yang kuketahui belakangan.
Suaranya melengking tinggi.
Sherry mendorong kepalaku menjauh dengan kuat sehingga mau tak mau aku harus berhenti menjilati vaginanya.
"Kaaak....hahhh....hhhahh....stop kak....haahh...geli banget...Sherry nggak kuat" nafasnya memburu dengan liar
"Oh ya? Wah...padahal belum sampe klitoris nih..." aku bergumam
"Kli...kli apa??”
"Nggak...nggak apa-apa...tapi enak kan?" aku tersenyum menggodanya
Ia tampak ragu-ragu.
Sherry menatap mataku dengan gelisah.
"E..enak sih kak..." jawabnya dengan berat hati
"Mau lagi nggak?"
Sherry tampak berpikir keras menjawab antara ya dan tidak.
Jika dia menjawab 'iya' maka sama saja ia merendahkan harga dirinya, tetapi jika dijawabnya 'tidak' itu berarti dia munafik dan berbohong padahal jawabannya sudah terlihat jelas dari respon yang diberikan tubuh belianya.
"Mmm...mau kak...lagi..." ucapnya lemas dengan kepala tertunduk, tidak berani menatapku
Aku membelai rambut Sherry dan mengecup bibirnya.
Matanya tidak lepas dariku bahkan saat aku kembali mendekatkan wajah ke vaginanya.
"Kak, pelan-pelan ya kak...Sherry taku-iyaaaaaahh!!" lagi-lagi kupotong kalimatnya yang belum selesai dengan sebuah jilatan manis pada vagina mungilnya
Kurasakan setiap jengkal otot di tubuhnya mengejang dan kedua tangannya menjambak rambutku.
Sherry bersusah payah bertahan dari derai kenikmatan yang melanda vaginanya yang belum pernah terjamah benda asing, apalagi lidah seorang cowok.
Perut ratanya kembang kempis tidak teratur.
Sepertinya Sherry terlalu tegang sehingga tidak bisa benar-benar menikmati.
"Sher, jangan tegang, santai aja" komandoku
Ia mengangguk cepat. Beberapa butir keringat menetes di pelipisnya, mungkin karena nervous.
Beberapa saat kemudian aku merasakan tubuhnya berangsur-angsur rileks, namun nafasnya masih memburu.
Aku melanjutkan menjilati daging segar itu. Sherry kembali menggelinjang.
"Kakaaaak....aaaahh....aaaahhh...." rintihnya begitu seksi
Ia menuntun tanganku untuk memegangi pinggangnya. Sherry ternyata lebih sensitif daripada Valen untuk urusan jilat-menjilat.
Matanya menatap kosong langit dan lidahnya terjulur, ia merintih tanpa suara.
"Kaak...hhaahh...hhaah...pelan...pelan kak...aaahhh...!" nafasnya ngos-ngosan
Vaginanya sudah benar-benar basah oleh lendirnya dan air liurku hingga menetes membasahi kasur.
Tiba saatnya untuk menstimulasi klitorisnya. Dengan bantuan jari aku merentangkan bibir vagina mungilnya dan mencari sebuah tonjolan kecil yang segera kutemukan.
"Siap-siap Sher...hehehe"
"Apa kak? Haahh...hhah..." tanyanya dengan nafas masih tersengal-sengal
Aku menjilat klitorisnya dengan ujung lidah sepelan mungkin.
"AKH!!" Sherry tercekat, matanya terbelalak dan kedua tangannya menjambak rambutku
Klitorisnya terus kujilati dan kuselingi dengan gigitan kecil, kadang-kadang kuhisap pelan-pelan sementara bibirku tek henti-hentinya tersenyum.
"Aakh! Aaaaahhh! Aaaaah!!" ia mengerang pendek-pendek dengan mata yang masih terbelalak seperti orang melihat hantu
3 menit sudah kulalui bersama klitoris cewek Chinese ini. Sherry sudah diambang orgasme.
Untuk mempercepat, kupilin kedua putingnya. Benar saja sedetik kemudian tubuhnya melengkung.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaggghh!!" Sherry menjerit dengan memejamkan matanya rapat-rapat
Seluruh tubuhnya menjadi tegang lalu segera kembali rileks.
Aku berhenti dan hendak mewawancarainya tentang orgasme pertama yang dialaminya.
"Gimana Sher?" tanyaku sambil mengelap bibirku yang basah
Sherry menatapku dengan sayu. Mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu tetapi tidak ada suara yang keluar.
Ia tampak berusaha mengumpulkan tenaga sebisa mungkin.
"A...apa itu tadi kak?" tanyanya setelah berhasil mengontrol diri
"Itu namanya orgasme Sher...yang pertama kamu alami yaa? Hehehe" aku terkekeh
"Ya ampuun...enak banget...iya kak...pertama kali..." ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan
Ia mengatur nafasnya yang memburu.
"Berarti kalau orang begituan tuh kayak tadi kak?" tanya Sherry polos
"Nggak...itu namanya foreplay..." jawabku enteng
Sherry tampak berpikir lalu mengalihkan tatapannya kearahku. Ia menatap mataku dalam-dalam.
"Kakak...mau ngelakuin 'itu' sekarang?" tanyanya lirih
Aku berpikir sejenak dan tersenyum nakal.
"Sherry mau?"
"Ka..kalo kakak mau...Sherry siap..." jawabnya terbata-bata
Setelah mengucapkan hal itu, rahang Sherry tampak menegang, sepertinya ia menyesal sudah menjawab seperti itu.
Gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia tengah berusaha menerima konsekuensi atas jawaban yang baru saja diberikannya padaku.
Matanya jelas-jelas gelisah. Aku bisa membaca pikirannya, ia tahu kalau ia baru saja memberikan jawaban yang tidak tepat.
Sherry sebenarnya takut sekali kalau aku sampai merenggut kesuciannya, ia takut sekali karena saat ini ia berada di kasur dalam keadaan telanjang bersama seorang cowok. Ia tampak tegang menanti jawabanku, namun semua pikirannya sudah terbaca olehku dan aku tidak sampai hati.
Aku menundukkan tubuh ku dan meraih dagunya.
Ketika wajahku mendekat, aku melihat mata Sherry yang indah itu berkaca-kaca. Ia benar-benar ketakutan dan menyesal.
"Nggak deh...makasih..." aku mengecup bibirnya dengan cepat lalu berbaring disisinya dan memejamkan mata.
Aku terpaksa tidur dengan Evan Jr. yang menangis minta jatah.
Tapi apa boleh buat? Entah kenapa ada hal yang menghalangiku merenggut kesucian Sherry. Mungkinkah ini yang disebut nurani??
Samar-samar sebelum aku tertidur, aku mendengar Sherry berbisik
"Terima kasih ya kak..."
Eps 15
Few days later...
13.58 WIB
Sudah beberapa hari sejak masuk sekolah, Valen tidak pernah berangkat.
Aku khawatir? Tentu saja iya, tetapi mungkin ini yang disebut orang dengan ‘gengsi’ ?
Namun yang jelas, aku masih sakit hati dengan perbuatannya. I’m trying to live my life…
Siang ini memang benar-benar panas membuatku dan Sherry yang tengah duduk di dalam Aventador hitam serasa terpanggang walaupun AC sudah kunyalakan.
"Sher, main yuk?? Hehehe" aku membuka percakapan
"Aduh kak, Sherry besok ulangan...maaf ya" wajahnya terlihat kecewa
Aku mengangguk maklum karena aku tahu bahwa Sherry adalah anak yang sangat rajin.
Iseng-iseng kuturunkan suhu AC pada saat mobil berhenti sewaktu lampu merah menyala.
Sherry tampak celingukan menatap keluar kaca di sekitarnya.
"Kenapa Sher?" tanyaku heran
"Kaca mobilnya kak. Orang ga bisa liat ke dalem kan?" Sherry menatapku penuh harap
Aku mengangguk sebagai jawaban. Ia tersenyum dan cepat-cepat membuka 3 kancing teratas seragam SMP nya menampakan dobelan tank top kuning cerah.
Sudah pasti aku kaget.
"Ngapain kamu hei?" aku bertanya gugup
"Panas kak. Ah kakak juga udah pernah liat Sherry telanjang" ucapnya simpel
Mataku terpaku pada belahan dada Sherry yang berkulit lembut itu.
Sherry menyadari aku tengah menatap belahan dadanya yang terbuka.
"Kakak mau?" ia tersenyum menggoda sambil menurunkan tank top pada bagian dadanya, menunjukkan separuh buah dadanya yang kenyal dan hangat
Aku hanya bisa menelan ludah melihat polahnya yang bitchy itu.
Namun aku tahu bahwa Sherry murni bercanda, dia bukan tipe cewek exhibisionis yang suka memamerkan tubuhnya pada orang lain.
"Kak! Hijau kak!" ia menepuk bahu kananku
Aku segera tersadar dan melihat ke arah traffic light yang menyala hijau sementara mobil-mobil di belakangku membunyikan klakson dengan frustasi.
Buru-buru aku menancap gas dan ngacir dari tempat ini.
Sherry tertawa dan menekankan jarinya ke tombol 'play' pada music player.
Komposisi musik yang ada di player terdiri dari lagu-lagu Evanescence favoritku dan lagu-lagu K-Pop kesukaan Sherry.
Sebuah lagu dimainkan. Aku mengerutkan alis.
Kami saling diam sepanjang jalan hingga sampai di rumah.
Aku diam karena konak sementara Sherry diam karena menikmati lagu.
==================================
Sesampainya dirumah, aku dan Sherry langsung berganti pakaian dan masuk ke kamar.
Aku memilih untuk tidur sementara Sherry asik belajar dibawah belaian lembut dinginnya AC.
Aku terbangun sekitar pukul 15.30 dan mendapati Sherry masih dengan tekun berkutat dengan buku-buku Biologi-nya yang tebal.
Ia duduk dilantai dan menulis di buku tulis yang tampak penuh catatan pada sebuah meja rendah.
Aku yang pada dasarnya membenci pelajaran IPA melihat cover buku-buku Sherry saja sudah mual.
Yah, daripada mual-mual aku memutuskan untuk mandi.
Setelah selesai mandi aku berjalan ke dapur karena ingin minum sekaligus membuatkan sirup dingin untuk Sherry.
Aku kembali ke kamar bersama segelas sirup anggur dingin.
"Sherry....ini minum dulu..." aku meletakkan segelas sirup itu dimeja
"Loh? Kakak? Udah bangun toh?" ia menatapku dan tersenyum
"Udah dari tadi kalee..." aku mencium pipinya
Ya. Aku rasa aku sudah bisa melupakan Valen, sedikit.
Dan semua itu karena jasa Sherry. Setelah berhasil melupakan Valen, aku akan berpaling kepada Sherry, walaupun aku tahu bahwa itu tidak benar.
Cinta bagiku tidak boleh direncanakan, tapi...do I have another choice?
Aku menutup buku yang tengah dibaca Sherry dan tersenyum.
"Sini kakak ajarin praktek Biologi" aku cengengesan tidak jelas (memalukan)
"Ah! Kakak ini!" ia tampak protes tetapi tidak melawan
Tubuhnya yang lebih kecil daripada tubuhku kurebahkan pada lantai marmer yang dingin.
Sherry meletakkan kedua tangannya dipipiku dan tersenyum, sebuah senyum yang menggoda.
Aku mencium bibirnya dengan lembut dan aku mulai menggunakan lidah.
Diluar dugaan, Sherry merespon lidahku membuat lidah kami saling bertautan.
Aku menyelipkan tangan ke balik kaos putih yang dikenakannya, mencari daging yang kenyal.
"Kakak...geli kak..." ia mendesah pelan sambil tersenyum
"Sher, thanks banget ya..." aku mengecup bibirnya
Belum sempat ia menjawab, tanganku sudah merayap ke balik hotpants yang dipakainya.
Terus dan terus ke balik celana dalamnya dan membelah bibir vaginanya dengan jari tengah. Ia merem melek menerima seranganku.
Jariku bergerak naik turun menggosok vaginanya menyebabkan ia mengejang karena geli.
Desis pelan keluar dari sela-sela bibir tipisnya kedua matanya yang elok beberapa kali terpejam ditelan kenikmatan. Namun aku tidak mampu bertahan lebih lama.
"Ah ribet! Jilat aja yah Sher?" ucapku sambil membuka kancing dan ritsleting celananya
Sherry yang sudah mulai terangsang hanya mengangguk saja dan mengangkat pinggulnya mempermudah aku untuk melucuti celananya.
Ia berdiri dan mengambil posisi menungging dengan tangan dan kepala yang bersandar pada tempat tidur.
Pantat bulatnya yang putih dan kenyal begitu indah dipadu vagina yang tampak basah.
"Pelan-pelan kak...." ucapnya
Aku mulai membenamkan lidahku dalam-dalam ke vaginanya membuat Sherry mengerang nikmat.
Baru sekali dua kali lidahku menjilat, ia sudah kehilangan tenaga dan jatuh berlutut, tubuhnya terbaring telungkup di kasur sementara kakinya berlutut di lantai.
"Aaaahh...kakak...lidahnya panas banget siih....geli..." rintihnya
Jemari lentiknya meremas kasur dengan kuat. Sherry terus mengerang dan merintih tanpa mampu memberikan perlawanan.
Lidahku sengaja kumainkan hanya pada bagian klitoris membuatnya mengejang.
"Sampeee...aahh...aahhh....aaaahh!!" Sherry mengerang di orgasme sore hari ini
Rambut hitam panjangnya terjuntai indah ditambah wajah cantiknya membuat penisku benar-benar ngamuk minta jatah.
Walaupun nafsu sudah begitu besar, tetap saja berdiri sebuah tembok kokoh yang menghalangiku untuk menjejalkan penisku ke vagina mungilnya.
Dengan bibir bergetar karena baru saja orgasme, Sherry berkata
"Kakak...makasih ya...enak banget..."
Aku tersenyum.
Selang beberapa waktu kemudian Sherry mandi dan kami berdua keluar untuk mencari jajan di sekitar downtown.
Accordku dengan setia menemani kami berdua mencari udara segar.
Jam menunjukkan pukul 23.45 saat aku dan Sherry pulang ke rumah. Sepertinya dia juga lupa bahwa besok ada ulangan.
Kami cukup tertawa-tawa, bercanda, bercerita dan saling menumpahkan segala uneg-uneg kami di downtown tadi.
Tanpa sadar aku mengarahkan mobilku kearah Night Fireflies.
Kenangan-kenangan berkelebat cepat, mengingatkanku saat aku mengikuti Valen ke diskotik dan saat aku pertama kali bertemu Sherry
Sherry yang melihat nama diskotik itu bertanya,
"Night Fireflies?"
"Iya tempat yang...yaah..." ucapku malas
"Ci Valen?"
"Iya...Valen..." jawabku tanpa mengalihkan tatapan dari jalan
"Bukan kak! Itu Ci Valen!" ia menunjuk ke trotoar
Aku buru-buru menatap kearah jari Sherry menunjuk.
Seorang cewek berjalan pincang sambil mencari pegangan pada tembok yang mengelilingi diskotik.
Pakaiannya berantakan dan rambutnya acak-acakan.
Tanpa berpikir dua kali, Accord kutepikan lalu aku dan Sherry melompat turun menghampiri cewek tadi.
"Val? Kamu kenapa?" aku memegangi bahunya
"Siapa lo?! Lo mau ngentotin gue lagi?!! Pergi lo! Pergi!!" ia menepis tanganku dengan kasar
"Valen! Ini aku Evan!" tubuhnya yang lemas kuguncang-guncang
Valen merapikan rambutnya yang menutupi wajah.
Sepertinya Valen mabuk berat, matanya merah dan bau alkohol menguar dari mulutnya.
Sherry sampai membekap mulutnya sendiri karena tidak tahan bau alkohol.
"Oooh...lo Van...hahaha...gue pikir orang yang minta ngentot lagi...hahaha" ia tertawa lepas
"Ci Valen bener-bener mabok..." Sherry bergumam pelan
Aku dan Sherry memapah Valen masuk ke mobil setelah cewek itu muntah di trotoar.
Aku menidurkannya di bangku belakang. Begitu menyentuh tempat duduk, Valen langsung terlelap.
FYI : Accord Coupe Concept 2013 milik Evan adalah versi 4-door, bukan yang 2 door (special order, maklum, orang kaya…hehehe) *ceritanyaa gan, ceritanyaaa kayak begitu!
"Mau gimana nih kak?" tanya Sherry begitu ia duduk di mobil
"Kita anter Valen pulang dulu ya" jawabku lesu
Sepanjang perjalanan aku diam. Valen ternyata benar-benar terperosok dalam dunia malam.
Satu sisi dalam diriku jadi membencinya dan satu sisi yang lain merasa iba. Tangan Sherry bergerak menuju music player dan menyetel sebuah lagu.
My Immortal...
Lagu itu mengalun lembut membuatku merinding...mengingatkanku saat Valen menolakku untuk yang kedua kalinya.
Ketika tanganku terjulur untuk memencet tombol 'next', Sherry mencegahku dan tersenyum.
"Let it out..." ia menatap mataku
I'm so tired of being here, suppressed by all my childish fears
And if you have to leave, I wish that you would just leave
Your presence still lingers here and it won't leave me alone
You used to captivate me by your resonating light
Now, I'm bound by the life you left behind
Your face it haunts my once pleasant dreams
Your voice it chased away all the sanity in me
These wounds won't seem to heal, this pain is just too real
There's just too much that time cannot erase
When you cried, I'd wipe away all of your tears
When you'd scream, I'd fight away all of your fears
And I held your hand through all of these years
But you still have all of me
"Evaan...lo dimana Van? Maafin gue...maafin gue..." Valen mengerang di belakang
Aku menoleh kearah Valen, begitu juga Sherry.
Valen tengah mengigau, tetapi air mata mengalir dari kedua sudut matanya. Ia berkali-kali memanggil namaku.
"Evan...please...maafin gue Van...." ucapnya terisak-isak
Tak lama kemudian Valen terbangun dari tidurnya.
Ia tampak kebingungan menatap sekitar.
"Adududuh...kepala gue..." ia memegangi kepalanya dan memejamkan mata erat-erat
Melihat Valen sudah siuman, aku segera mencari mini market terdekat sementara Sherry pindah ke belakang untuk melihat keadaan Valen.
Segera setelah membeli beberapa botol minuman, aku kembali ke mobil hanya untuk melihat hal yang sangat mengejutkan.
"Ci...jangan...aaahh...ja...jangan" Sherry merintih
Valen tengah menahan kedua pergelangan tangan Sherry dan menempelkannya di kaca mobil sementara lidahnya menari-nari di leher Sherry layaknya seorang kekasih yang mencumbui pasangannya. Tanpa diduga Sherry, Valen meninggalkan bekas-bekas cupangan yang terlihat jelas di kulit Sherry yang putih.
"Enak kan? Lo nggak usah munafik" ucap Valen lalu menggigit leher Sherry
Dengan ganas Valen mencumbui Sherry.
Valen melepaskan tangan Sherry yang satunya dan mengangkat kaos putih yang dikenakan Sherry,
menampilkan dua bukit menawan yang ditutupi bra yang juga berwarna putih.
“Woow…toket lo gede juga yaa…” ucap Valen, dan dalam satu tarikan kasar, bra Sherry terputus ditarik oleh Valen
“Jangaaaan!!” pekik Sherry berusaha menutupi kedua buah dadanya yang kini terpampang menggunakan satu tangannya yang bebas
Setelah mencampakkan secarik kain putih yang direnggutnya dengan kasar tadi, Valen menepis tangan Sherry dengan kasar dan membenturkannya ke kaca mobil.
Lalu dengan satu tangan, Valen mengunci kedua pergelangan tangan Sherry.
Memang mereka sama-sama cewek, tetapi Sherry bukanlah tandingan Valen yang sedang mabuk.
Lidah Valen menjilati buah dada Sherry dengan sangat bernafsu. Membuat sang pemilik merintih-rintih penuh kenikmatan.
Pelan tetapi pasti, tangan Valen yang bebas melata di perut Sherry yang rata dan menyelinap ke balik celana jeans yang kancingnya sudah dilepas oleh Valen.
Jemari Valen sepertinya dibenamkan kedalam vagina Sherry.
“Ci…sakiit…sakiitt…jangan…!” erang Sherry sambil meringis kesakitan
“Ohoho!! Lo masih virgin?! Hahahahaha” tawa Valen meledak
Pipi Sherry merona merah ketika Valen mengatakan itu padanya.
Ia masih berusaha melepaskan tangannya yang dikunci Valen.
Untung baginya, Valen tidak memutuskan untuk membobol keperawanannya dengan jari.
“Kasian banget sih lo…tubuh lo pasti kedinginan ya….” bisiknya ditelinga Sherry
“Nggak…nggak…! Aaahh…aaahh….kak Evan…tolong…” Sherry menatapku tak berdaya ketika buah dadanya kembali menjadi obyek mainan Valen
“Gue tau lo juga suka kan diginiin sama gue?” Valen menjilat telinga Sherry, membuat tubuh cewek SMP itu mengejang
"Aaaaggh! Ta...tapi...tapi..." lagi-lagi Sherry merintih
Dulu Sherry hampir diperkosa anak punk, sekarang dia malah diperkosa seseorang yang statusnya adalah pacarku.
Aku menghela nafas.
"Valen" panggilku dengan suara rendah
Ia menoleh kearahku. Saat ia melakukan itu, pegangannya di kedua tangan Sherry mengendur dan itu dimanfaatkan Sherry untuk melepaskan diri melalui side-door, ia kembali ke front seat disampingku.
"Ah...dateng juga lo...lo bawa kondom kan? Punya gue abis tadi malem...hahaha" ucap Valen yang ternyata masih mabuk
"Nggak. Aku nggak bawa kondom"
Ia tampak berpikir.
Setelah beberapa lama, ia menelengkan kepala dan menunjukkan telapak tangannya.
"Tambah 500 ribu. Gue ga mau ambil resiko. Take it or leave it. Hahahaha" ia kembali tertawa
“Nggak ada kondom, nggak ada 500 ribu” ucapku tegas
“Heeeeii! Maksud lo apa?! Lo mau enaknya aja? Kagak mau bayar gituu?! Haaaah??” ucap Valen dengan tidak jelas
Kalimat-kalimatnya tidak kuperhatikan.
Dengan segera aku duduk disampingnya dan menutup pintu mobil.
"Sher, kamu yang nyetir ya? Ke perumahan Paradise Town, tau kan?" aku berkata kepada Sherry dan memberi instruksi rinci letak rumah Valen
Ia tampak shock dan sedari tadi terus menerus memegangi lehernya, menutupi bekas-bekas ciuman Valen yang memerah.
"Sher?"
"Ah, iya kak! Maaf..." Sherry segera pindah ke driver seat
Aku masuk dan duduk disamping Valen yang berkata
"Hei! Lo mau ngentotin gue? Gue bilang, bawa kondom!"
Mobil melaju pelan dikemudikan oleh Sherry.
Aku bersyukur aku telah mengajarinya menyetir mobil.
Kulirik wajahnya, tampak resah dan tangannya berulang kali meremas setir mobil.
"Val, kamu kenapa?" aku menyodorkan sebotol air mineral dingin yang sudah kubuka tutupnya
Valen menyambar botol itu dan langsung menenggak separuh isinya.
Setelah selesai minum, wajahnya tampak lebih serius.
"Gue...gue di entotin rame-rame tadi di diskotik..." ia menunduk
Aku terkejutnya bukan main. Antara sedih dan sakit hati, aku benar-benar kehabisan akal, haruskah aku memaki cewek ini? Atau aku harus bersimpati?
Entahlah, aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Valen sudah benar-benar berubah, pikiran kami sudah tidak sejalan.
Tapi...mengapa melupakan cewek yang merupakan cinta pertamaku ini begitu sulit, padahal ada Sherry yang tidak kalah baik dengan Valen yang dulu...
"Mereka bikin gue mabok dan memperlakukan gue semaunya...dan...gue masih harus nelen peju mereka...ga sedikit yang ngeluarin di dalem..." wajahnya tampak sangat lelah
Lagi-lagi aku hanya mampu menghela nafas. Valen membaringkan kepalanya di pangkuanku sementara aku sendiri diliputi perasaan yang campur aduk, sepanjang jalan aku berpikir keras apa yang harus aku lakukan hingga akhirnya kami sampai di rumah Valen.
Sesampainya disana, aku menggendong Valen turun dari mobil dan Sherry yang memencet bel pintu rumah.
Pintu besar itu terbuka dan dihadapanku berdiri kedua orang tua Valen.
Mereka menatapku dengan dingin.
"Val...Valen...kamu udah sampe dirumah...bangun..." aku menepuk pipinya pelan
Pelan-pelan ia membuka matanya, ia turun dan berdiri walau masih sempoyongan.
Begitu melihat ayah dan ibunya ia segera menghambur ke arah mereka.
"Papa...Mama...anakmu ini pulaang...haahahahaha" ia memeluk mereka berdua
"Ma, Mama bawa Valen ke kamar. Biar Papa yang mengurus bajingan ini!"
Aku menoleh ke belakang, mungkin ayahnya sedang menyebut orang lain?
Ah...sepertinya tidak...
Ibunya memapah Valen masuk rumah yang megah itu.
"KAMU! KENAPA KAMU BUAT ANAK SAYA SEPERTI ITU HAH?!" bentak pria setengah abad itu kepadaku
"SEJAK KENAL SAMA KAMU, VALEN JADI URAKAN!!! KERJAANNYA TIAP HARI HANYA MABUK-MABUKAN DAN KE DISKOTIK!! DIA JUGA TIDAK PERNAH BERANGKAT SEKOLAH SEJAK LIBURAN SELESAI!!! APA-APAAN ITU HAH?!" dia kembali membentak
Sherry maju dan berdiri disampingku.
Tangannya menggenggam tanganku, seolah menguatkan.
"Oom...Valen jadi begini bukan karena saya oom..." aku mencoba menjelaskan
"TERUS KARENA SIAPA LAGI COBA?! KAMU TAHU, IBUNYA JARANG DIRUMAH, SAYA JARANG PULANG DARI LUAR KOTA, EH BEGITU KELUARGA KAMI BERKUMPUL, VALEN MALAH JADI BEJAT SEPERTI ITU!! KAMU MAU BERTANGGUNG JAWAB?!" ayah Valen membentakku hingga nafasnya ngos-ngosan
"Oom...sebentar...mungkin ini gara-gara oom dan tante jarang ada di sisinya Valen, sehingga dia jadi seperti itu..." aku mencoba menjelaskan dengan prinsip interelasi
"KAMU!! KAMUU!!! KAMU MAU MENGAJARI SAYA?!! HAH?! IYAA?!!" matanya merah dan mulutnya berbusa, sepertinya sebentar lagi akan ada ambulans yang datang kerumah ini.
"Bukan oom...mungkin...kan mungkin ka--"
"SAYA MINTA, KAMU JANGAN PERNAH, DENGAR, JANGAN PERNAH DEKATI ANAK SAYA LAGI!!" ucapnya geram
"Sebentar oom...biar saya je--"
"Sebaiknya sekarang kamu pergi dari sini" matanya menyala karena amarah
"Oom, denger dulu...sa-"
"PERGI ATAU SAYA PANGGIL POLISI!! PERGI DAN JANGAN PERNAH KEMBALI LAGI!!" ia mengusir aku dan Sherry
Pria bertubuh gendut dan berkumis tebal itu membanting pintu dengan kasar saat aku dan Sherry masuk kedalam mobil.
Dan malam ini, semuanya bertambah buruk...
"Sabar ya kak?" Sherry tersenyum iba
Sherry, Sherry...dia begitu baik kepadaku.
Setiap ada masalah, dia pasti ikut-ikutan repot, apalagi dia begitu perhatian, seolah-olah setiap masalahku adalah masalahnya juga.
Aku balas tersenyum kepada cewek yang selalu berusaha mati-matian menceriakan hidupku yang suram ini.
What will happen next? Who knows?
Stay tuned with My Immortal!Sherry menekan layar touchscreen handphonenya dengan cepat dan ketika jemarinya berhenti, dia tersenyum puas.
"Kak, aku nyalain radionya yah?"
"Iya silakan...tumben Sher?" jawabku dengan tatapan tidak lepas dari jalan
"Aku request lagu kak...hehehe" ucapnya polos
Ia lalu sibuk mencari siaran radio.
Awalnya radio itu berderak-derak namun berangsur-angsur menjadi jernih.
"Iyaa...oke...kita dapet request lagu nih...dari...Sherry...wah, nggak ada pesannya nih, cuma request lagu aja...yaudah, ini lagu yang kamu request Sher, judulnya Step dari A-Pink, selamat menikmati..."
Lagu favorit Sherry itu mengalun, ia tampak sangat menikmatinya.
Berulang kali senyum tersungging dibibirnya yang tipis, membuatnya semakin cantik.
Aku saja sampai berulang kali menengok kesamping hanya untuk melihat wajahnya yang tampak begitu bahagia.
Setelah lagu itu selesai, Sherry tampak menghela nafas dengan puas.
"Udah? Aku ganti channel ya coba?" tanganku terjulur kearah radio itu
"Tunggu kak! Coba dengerin!" ia menangkap tanganku
"Request selanjutnya dari...ohh...dia nggak mau disebut namanya...okeey...ada pesannya, akan saya bacakan 'gue minta maaf...gue bener-bener minta maaf...gue tau gue salah...please...semoga lo denger lagu yang gue tujukan ke lo ini...' waaw...sepertinya lagi ada masalah berat ya mbak? Yaudah, saya doakan semoga cepat selesai...ini dia lagu requestnya, Forgive Me dari Evanescence"
Aku merinding mendengar lagu yang melantun pelan itu.
Benar-benar tidak sesuai dengan suasana sekarang dimana jalan raya padat dan matahari begitu terik.
"Ci Valen kak..."
"Eh?"
"Itu Ci Valen yang request...pasti...feelingku bilang gitu..."
"Kayaknya dia bener-bener menyesal loh kak..." kata Sherry pelan
Valen! Lagi-lagi Valen!! Kenapa sih dia selalu bisa membuatku ingat kepadanya?
Pikiranku buyar ketika handphone-ku bergetar.
Ketika kutatap layar handphone, sebuah panggilan masuk, Arif. Buru-buru kuangkat panggilan masuk itu.
"Yap? Kenapa Rif?"
"Valen...dia...emmm...."
"Valen kenapa Rif?" rasa cemas membludak dari hatiku
Baru saja aku mendengar nama itu, sekarang ada lagi kabar mengenai Valen...dia benar-benar bisa mendapatkan perhatianku.
Sherry menatapku dengan penasaran saat mendengar kata 'Valen' disebut.
"Valen masuk rumah sakit...dia nyoba bunuh diri..." suara Arif diseberang sana terdengar berat
"Apa?!!" aku berteriak marah
"Hei, nggak ada gunanya marah-marah sama aku...lebih baik kamu ke RCIH sekarang, ruang Orchid, lantai 5...aku sama Ira disini...oke? Bye" dan telepon pun ditutup oleh Arif
"Sher, maaf ya, jalan-jalan ke mall nya kita tunda dulu...Valen masuk rumah sakit" ucapku sambil membanting setir untuk berbalik arah, untung jalanan sedang lenggang.
"I..iya kak..nggak apa-apa..." suara Sherry bergetar
“Kamu nggak apa-apa Sher?” tanyaku khawatir
“Agak…nggak enak…aja kak…” jawabnya terbata-bata
==========================================
Aku berlari secepat yang aku bisa disusul Sherry di belakangku.
Kami baru saja pulang dan masih mengenakan seragam sekolah.
Mataku menyusuri lorong-lorong putih Red Cross International Hospital, mencari ruang Orchid tempat Valen dirawat.
Kedua orang tua Valen tampak duduk di bangku di depan sebuah ruangan yang bertuliskan Orchid.
Melihat kedatanganku, mereka segera bangkit berdiri dan menghampiriku.
"Kalau mau marah nanti saja oom, tante. Saya mau lihat keadaan Valen dulu!" aku menerobos mereka dan masuk kedalam ruang itu
Valen terbujur kaku di tempat tidur. Terdapat jarum infus menancap di tangan kanannya sementara selang oksigen dipasang pada hidungnya yang mancung.
Wajahnya pucat pasi. Suasana di ruangan itu membuat perasaanku tidak enak, apalagi suara heart beat monitor yang monoton seakan menjadi satu-satunya suara yang ada.
"Valen koma Van...dokter bilang, paling cepat dia sadar sekitar 2 bulan lagi...itu pun kalau terjadi keajaiban..." ucap sebuah suara dari sampingku
Buru-buru aku menoleh dan mendapati Arif serta Ira sedang duduk di sofa yang ada.
Kini muncul tanda tanya besar dalam pikiranku, kenapa mereka selalu ada di saat-saat genting seperti ini??
"Kenapa bisa gini?! Kamu bilang Valen coba bunuh diri?!" aku agak emosi
"Ssst...pelan-pelan...iya, Valen mencoba bunuh diri, dia minum satu botol obat tidur dan overdosis...untung dia segera dibawa ke rumah sakit...entah kenapa dia sekarang koma…dokter yang tugas juga nggak tau penyebab pastinya…" Arif menepuk bahuku untuk menenangkan
“Tunggu! Bukannya ini ruang isolasi?! Kenapa kalian disini? Kenapa kalian boleh masuk?!” tanyaku setelah tersadar dengan kejanggalan di ruang ini
“Kami yang memintanya seperti ini…memang prosedurnya bilang kalau pasien harus di isolasi dan tidak boleh dikunjungi, tapi kami bersikeras” tiba-tiba ibu Valen masuk diikuti sang ayah
"Biar kami yang menjelaskan...Arif, sebaiknya kamu dan Ira pulang dulu, kalian sudah disini sejak tadi kan?" suara si Ibu tampak cemas dan khawatir
Arif dan Ira mengangguk kemudian berpamitan pada kami. Ayah dan Ibu Valen menjelaskan semuanya, bagaimana Valen marah-marah kepada mereka berdua tadi malam.
Kata mereka, dia sangat marah begitu tahu bahwa aku yang mengantarkannya pulang tetapi malah diusir oleh sang ayah, setelah itu dia mengunci diri di kamar.
Saat pagi, ayahnya mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban, karena khawatir, ia mendobrak pintu kamar Valen hanya untuk menemukan putrinya tergeletak tak sadarkan diri di lantai sambil menggenggam botol obat tidur yang sudah kosong.
“Sebelum dia mengunci diri, Valen menceritakan semuanya…sebab-sebab dia menjadi cewek seperti ini…dia menyalahkan kami yang sangat jarang berada dirumah…” mata sang ibu berkaca-kaca, berulang kali ia menyeka matanya dengan sapu tangan putih
"Ternyata ini semua memang salah kami nak...kami selalu sibuk dengan urusan kami masing-masing sehingga Valen kekurangan perhatian kami...kami minta maaf sudah berlaku tidak sopan kepada kalian...kami malu sekali..." ayah Valen menunduk malu
"Whatever lah oom...itu nggak penting!" aku sedikit membentak
Mereka berdua menatapku dengan terkejut, begitu pula Sherry yang tampak agak kurang setuju dengan jawabanku.
"Masalah ini kita selesaikan nanti saja! Yang penting gimana caranya supaya Valen bisa sadar dari koma sialan ini..." aku mengusap-usap wajahku
"Ternyata kamu perhatian sekali sama Valen ya nak?" si ibu angkat bicara
Aku mengangguk, tatapanku terpaku pada Valen.
Baru tadi malam dia ada dalam pelukanku, mabuk.
Sekarang dia tengah terbujur kaku di rumah sakit ini gara-gara mencoba bunuh diri...apa sih maunya dia?!
“Oom dan tante mau keluar sebentar…ada…ehm…keperluan…” pria paruh baya yang tampak terpukul itu berkata seraya keluar ruangan bersama istrinya
“Sherry mau beli makan siang. Kakak mau apa?” Sherry menepuk bahuku
Karena tidak lapar dan tidak nafsu makan, aku menggelengkan kepala menolak tawaran Sherry.
Ia mengerti dan mengangguk paham lalu keluar ruangan, meninggalkan aku dan Valen yang terbaring tidak sadarkan diri berdua.
Aku mengambil sebuah bangku plastic dan meletakkannya disamping Valen lalu duduk disitu.
Kondisinya sungguh memprihatinkan, wajahnya pucat pasi, bibirnya yang dulu selalu berwarna kemerahan kini kering dan pucat.
Dia benar-benar berbeda dengan Valen yang dulu dan hal itu membuatku ingin menangis. Dengan lembut kugenggam tangan kirinya.
Kenangan-kenangan kami dulu berkelebat di kepalaku.
Semua berawal dari perkenalan kami di bangku taman sekolah, berlanjut kepada pernyataan cintaku, terus dan terus berjalan hingga terjadi kejadian tidak terduga dimana Valen jatuh ke kehidupan malam, dunia yang tidak semestinya dia jalani.
Aku menangis.
Hatiku terasa seperti dirajam batu-batu tajam.
Kuletakkan tangan Valen di pipiku dan kutumpahkan segenap kesedihanku.
“Evan…” sebuah suara memanggil lembut
Karena terkejut, aku buru-buru membalikkan tubuh dan menatap kearah pintu, namun tidak ada siapa-siapa.
“Evan…” panggil suara itu lagi
Dengan penasaran dan gugup kusapukan pandangan keseluruh ruangan, mungkin ada orang lain yang tidak aku sadari.
“Ini Valen….”
Aku menoleh kearah cewek itu dengan cepat dan mendapatinya tengah menatapku.
Tatapan Valen membuatku tertegun.
“Evan…lo disini? Gue nggak mimpi kan?” bisiknya lemah, ia tersenyum
“Valen? Valen sayang! Kamu udah sadar?!” dengan bahagia kuelus pipnya yang pucat
“Sebentar ya? Aku panggilin dokter dulu!”
Tangan Valen mengenggam tanganku, mencegahku berdiri.
Ia menggeleng lemah.
“Waktu gue nggak banyak Van…gue mau ngomong sama lo…” ia menatap langsung ke mataku walau dengan lemah
“Hei…hei…jangan gitu! Kita bicara lagi kalo kamu udah sembuh ya? Kita bakal ngomong sepuasnya di café kesukaan kita berdua sambil minum cokelat, seperti yang biasa kita lakuin ya sayang…” entah mengapa air mataku tidak terbendung, hati kecilku berkata bahwa Valen serius
“Nggak Van…gue takut kita udah nggak bisa kayak dulu lagi…” Valen tersenyum lemah
Tidak ada yang bisa kulakukan selain tenggelam dalam kesedihan dan ketakutan.
Kata-kata yang diucapkan Valen benar-benar menghancurkan keberanianku.
Niat untuk memanggil dokter sirna sudah, yang ada di pikiranku kini hanyalah berada di samping Valen.
“Gue…mau ngomong…sama lo…Van…” ia agak kesulitan berbicara
“Iya…iya sayang…jangan maksain diri…aku disini…” kudekatkan tubuhku
“Gue…mau…minta maaf…”
“Apa…yang udah…gue lakuin...pasti lo marah banget…ya…Van?” matanya menunjukkan penyesalan yang mendalam
“…”
“Gue sadar…itu salah…maafin gue…maafin gue Van…” air menetes dari matanya
Aku tidak dapat menahan apapun lagi.
Kukeluarkan semua emosiku dalam air mata.
“Nggak Val…nggak…aku nggak marah sama kamu…aku…aku—“
“Gue minta 2 hal dari lo Van…bisakah lo memenuhinya buat gue?”
“Apapun sayang…apapun! Selama aku bisa, pasti aku akan berusaha!” jawabku mantap, kugenggam erat tangannya
“Pertama…maukah lo maafin gue Van? Dengan segala kesalahan yang udah pernah gue lakukan?” isak Valen menambah perih hatiku
Aku mengangguk mengiyakan.
“Kedua…gue minta…lo keluarin semua uneg-uneg lo tentang gue…ungkapin perasaan kecewa lo, perasaan marah dan perasaan sedih lo ke gue sekarang…”
Telingaku berdiri mendengar permintaan kedua Valen yang aneh.
Rasanya tidak masuk akal, saat ini aku harus menumpahkan segala perasaan sedih, kecewa, dan marah kepada pacarku yang terbaring tidak berdaya dengan selang infuse dan oksigen terpasang pada tubuhnya?
“Van…please…waktu gue nggak banyak…lo mau bentak-bentak gue, lo mau maki-maki gue, lo mau pukul gue, LO MAU BUNUH GUE JUGA NGGAK APA-APA! Gue sadar kok kalau ini kesalahan gue!” ia mengerang dengan susah payah
Aku menyeka air mataku dan menarik nafas dalam-dalam, siap mencurahkan segalanya.
Saat ini juga. Aku berdiri dari kursi diiringi tatapan was-was Valen.
Kutatap tajam matanya dengan segala kepedihan yang kubawa. Ia gentar menghadapiku.
Mata Valen terpejam ketika kuangkat tanganku tinggi-tinggi.
“Ternyata…lo selama ini udah nahan diri banget ya Van…gue pantes mendapatkan ini…” ucapnya dengan mata terpejam, siap menerima tamparanku
Ketika jemariku menyentuh rambutnya yang hitam itu, perlahan-lahan Valen membuka matanya.
“Ke…kenapa Van…?” ia kembali menangis saat aku mengelus rambutnya
“Aku…nggak bisa…aku sayang banget sama kamu Val…aku nggak sanggup…” air mata yang sempat kuseka kembali membasahi pipiku
Kami berdua larut dalam tangis masing-masing.
Mata kami saling menatap penuh kasih sayang, kesedihan, ketakutan, dan segala emosi yang kami rasakan kami bagi bersama.
Aku mendekatkan bibirku ke bibir Valen, hendak mengecupnya namun Valen menolak.
Ia mengangkat wajahnya dan lebih memilih mengecup keningku.
“Gue masih pengen sama-sama lo Van…”
“Kita bakal terus bersama, Valen sayang…kita bakal lakuin hal-hal yang menyenangkan! Kita bakal ke Diamond Hills lagi, kita bakal habisin waktu kita buat duduk-duduk di gazebo di tengah kebun teh seperti dulu. Kita bakal ngeliatin awan, kita bakal ngeliatin hujan, kita bakal berduaan di pantai kayak dulu Val!!” tangisku semakin deras
“Atau ngeliatin sunrise dari villa lo di Diamond Hills?” ia menambahkan
“Atau ngeliatin sunrise dari villaku di Diamond Hills, iya…itu semua bakal kita lakuin”
“Gue bener-bener nyesel udah nyia-nyiain lo Van…seandainya waktu gue masih banyak…” nafasnya yang putus-putus membuatku sangat khawatir
“Nggak! Kamu pasti sembuh Val! Valen! Kamu pasti sembuh! Kamu denger aku kan?!” dengan panik aku menggenggam tangan kirinya
“Hei…hei…it’s okay Van…senyum dong…” ia mengusap pipiku dengan tangannya yang gemetaran
Mau tidak mau aku tersenyum untuk memenuhi keinginannya walau hatiku sangat khawatir dan takut.
Ia masih mengusap lembut pipiku, membuat jemarinya yang pucat basah oleh air mataku yang sedari tadi tidak berhenti mengalir.
“Nah…gitu dong Van…” Valen turut tersenyum
Tiba-tiba Sherry masuk dengan membawa sekantong plastik makanan dan minuman, ia tampak begitu ceria, terlihat dari senyum yang ada di wajah cantiknya.
Namun begitu dia melihat Valen dan aku, senyumnya segera sirna.
Ketika Sherry yang sedang terkejut itu ditatap oleh Valen, anak itu tertegun.
Tatapan Valen bukan tatapan permusuhan seperti saat mereka pertama bertemu, tetapi lebih seperti tatapan pasrah.
“Sherry…kamu…bukan adiknya Evan kan?” Valen tersenyum lemah
Aku menatap Valen dengan terkejut. Darimana dia tahu kalau Sherry bukanlah adikku?
Namun cepat-cepat kuhapus ekspresi terkejut yang tadi tergambar diwajahku.
“Sa…saya? Saya adiknya kok Ci” jawab Sherry berusaha mengelak
“Jangan bohong…”
“Be…bener kok…sa…saya—“
“Hei…Sherry…gue minta tolong…jagain Evan ya? Jangan sampe dia tidur malem-malem, jangan sampe dia telat makan…pokoknya jagain dia oke?” ucap Valen lirih kepada Sherry
Sherry yang tidak tahu apa-apa hanya mengangguk bingung.
Tatapan Valen kembali beralih kepadaku.
Ia tersenyum sekali lagi. Matanya yang biru masih berkilau.
“Nggak Val! Jangan ngomong gitu! Kamu sendiri yang bakal jagain aku! Valen!! Kamu yang bakal marah-marah kalo aku tidur kemaleman! Kamu yang bakal ngomel-ngomel kalo aku belum makan! Please Val…kita bakal jadi seperti dulu lagi…” tangisku
“Sori Van…waktu gue udah hampir abis…”
“Kenapa Val..? Kenapaa?” aku terisak
“Apanya Evan sayang?” ia kembali membelai pipiku dengan lemah
“Kenapa kamu ke Night Fireflies? Kenapa kamu berubah?” tenggorokanku terasa kering
“Gue…muak…sama orang tua gue…mereka selalu sibuk…dan kalau ada masalah, selalu gue yang disalah-salahin…” Valen tersenyum lemah
“Kenapa nggak cerita aku?! Kamu nggak percaya sama aku?! Aku ini pacarmu Val!!”
“Justru itu…gue nggak ingin ngerepotin lo…tapi ternyata jalan yang gue pilih salah dan gue udah nggak bisa mundur lagi…” ucap Valen, ia tampak sangat menyesal
“Terus…terus…terus kenapa…” aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku
“Kenapa gue coba bunuh diri?”
Aku hanya mampu mengangguk.
“Lo tau, gue bener-bener menyesal…gue ngerasa ga pantes hidup lagi…”
“Kamu bukan Valen yang dulu…kamu berubah…” aku berbisik lemah
“Hei Van, semua orang berubah…termasuk gue juga…” ia berkata lembut
“Tapi kenapa harus bunuh diri coba?!” emosiku membuncah
“You know? It hurt so much to hurt you…gue udah putus asa…gue udah kecewain lo Van…dengan telak…gue ngerasa kalo mati cuma jalan satu-satunya buat gue supaya lo nggak tersakiti lagi…”
Air mataku mengalir bertambah deras hingga membasahi punggung tangan Valen yang pucat.
Ia tampak sedih melihatku menangis namun ia tersenyum.
“Lo harus…move…on…setelah gue pergi Van…” sorot mata Valen berangsur suram
“Jangan bilang gitu Val! Jangan bilang gitu…aku mohon….” aku menggenggam erat tangannya, air mataku tercurah tak henti-hentinya
“Van…gue minta satu hal lagi…” bisiknya lirih
Aku mengangguk mengiyakan.
Apapun yang diminta Valen, akan aku lakukan, bahkan jika aku harus menukarkan nyawaku.
“Gue pengen liat lo senyum…sekali lagi…buat yang terakhit kalinya” di bibirnya merekah sebuah senyum tipis
Aku benar-benar tidak sanggup melakukan apapun. Pikiranku begitu kacau dan aku begitu takut.
Tanpa aku sadari aku tersenyum. Bukan karena senang, tetapi aku ingin menyenangkan dan memenuhi permintaan Valen.
Aku menangis di dalam senyuman.
“Liat lo senyum adalah kebahagiaan terakhir buat gue…thanks Van…thanks banget buat segalanya, buat semua yang udah lo berikan ke gue…sekarang…gue harus pergi…gue…sayang…ba…nget…sa…ma…lo…”
Bersamaan dengan kalimat terakhir itu, nafas Valen meninggalkan tubuhnya. Ia memejamkan mata untuk yang terakhir kalinya.
Tangannya jatuh terkulai lemas. Dadanya yang semula naik-turun berirama kini diam.
Heart-beat monitor berbunyi nyaring menandakan hilangnya detak jantung sang pasien.
“VALEEEEEENN!! JANGAN PERGI!! VAAAAALLL!!!” aku meraung sekeras mungkin
Sherry menangis dan berlari kearah Valen.
“CI VALEN!! CI VALEEEEN!! Huhhuhuhu….” Sherry menangis, ia berlutut disebelahku
Walaupun baru dua kali bertemu, Sherry sudah menyayangi Valen seperti kakaknya sendiri.
Entah kenapa, dia merasa begitu kehilangan Valen, hal itu diceritakan olehnya beberapa waktu kemudian.
Kami berdua menangis seperti orang kesurupan.
Dokter dan beberapa suster berlarian dari luar, berebut masuk ke kamar Valen diikuti kedua orang tuanya.
Ibu Valen tampak menangis menjerit-jerit histeris sementara suaminya tampak shock.
Dua orang suster mengusir kami keluar namun aku sudah seperti orang gila. Aku meraung-raung dan menjambak krah sang dokter.
“DOKTER!! TOLONG, DOKTER!! TOLONGIN VALEEN!!” jeritku dengan air mata membasahi pipi
Beberapa suster sampai berusaha melepaskan tanganku dari sang dokter, namun sayang, mereka cewek dan aku cowok.
Dengan susah payah mereka memegangi tanganku, berusaha menyeretku keluar. Sherry yang melihat hal itu maju dan berdiri di hadapanku.
Kami berdua sama-sama berlinangan air mata, sedih kehilangan Valen. Sherry menggeleng pelan dan mendorong dadaku lembut.
Spontan aku melepaskan peganganku pada krah baju sang dokter dan mundur keluar ruangan.
Aku dan Sherry duduk berdampingan. Sudah beberapa menit para petugas medis itu berada di ruangan Valen, namun mereka belum juga keluar.
Ayah dan Ibu Valen menangis di bangku panjang tidak jauh dari tempat kami duduk.
“Sher…Sherry….Valen…dia…dia…” aku masih menangis
“Udah kak…udah…sabar ya kak…” ucapnya terisak-isak
Ia memeluk tubuhku. Secara naluri, aku menyandarkan kepalaku di dadanya.
Disitu, aku menangis sepuasnya hingga aku tertidur. Ketika bangun, aku menatap Sherry, air mataku sudah berhenti mengalir.
“Sherry…Valen…?” tanyaku lirih walaupun aku sudah tahu jawabannya
Sherry menggeleng pelan sebagai jawaban. Kulihat, kedua orang tua Valen sudah pergi dan kamar Valen sudah kosong.
Saat itu juga, aku merasa semuanya menjadi tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, aku kehilangan semangat hidupku.
Arif dan Ira berdiri disampingku dan Sherry. Mereka berdua bergandengan tangan, air mata tampak membasahi pipi mereka berdua.
Bahkan Arif, cowok yang sepengetahuanku selalu ceria dan tabah pun kini menangis. Hal itu membuat mentalku semakin down.
“Kakak…sabar ya kak…” Sherry mengelus-elus rambutku, matanya berkaca-kaca
Namun satu hal akan kuketahui belakangan, kehadiran Sherry disisiku memberiku kekuatan.
Ia yang akan membantuku untuk keluar dari jurang keputusasaan tempat aku meringkuk di dasarnya.
Pukul 06:45 WIB
Seorang cowok Indo-Chinese bertubuh kurus dengan tinggi badan sekitar 184cm tampak berjalan melalui jalur parkir mobil yang lenggang karena belum banyak guru yang memarkirkan kendaraan di parkiran mobil.
Tanpa ia disadari, sebuah mobil SUV melaju dengan terburu-buru dibelakangnya.
Karena ketidak-tahuannya, maka cowok berambut lurus itu berjalan dengan santainya.
Namun sungguh sayang, sang supir SUV itu tidak membiarkan cowok didepannya menikmati perjalanannya dari parkiran menuju kelas. Segera si supir tadi mengklakson panjang tanda tidak sabar.
DIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINNNNNNN!!!
Klakson mobil itu meraung panjang memekakkan telinga, membuat tiap pasang mata menatap penasaran dan kesal kearah mobil itu.
Inilah awal dari hariku, Kamis, 5 Januari 2012...
Aku terlonjak kaget karena sudah disuguhi suara klakson yang sangat nyaring sepagi ini.
“Apaan sih?! Mentang-mentang bawa mobil yah sok-sokan?!” aku sedikit membentak ketika membiarkan mobil itu lewat lalu melanjutkan perjalanan menuju kelas dengan agak bersungut-sungut.
Di kelas aku bertemu dengan Enggar, Novi, dan Lia. Mereka semua adalah sahabat-sahabatku. Aku duduk dibelakang Enggar sementara Novi dan Lia duduk dibelakangku. Bel tanda jam pelajaran dimulai pun berbunyi. Kami semua bersiap menghadapi pelajaran paling membosankan seantero jagat pendidikan, BK.
“Cih…bu Endang nih ngajar…pasti boasting like shit…” aku mengeluh diiringi derai tawa teman-teman
Aku merasa malas, maka aku meletakkan kepalaku di meja dan menatap tembok. Menyusuri tiap-tiap kata yang tergores di tembok sekolahku, entah contekan, kata-kata cinta, sekadar iseng, puisi, atau bahkan curhat. Aku melamun.
“Ssst…Van, katanya mau ada murid baru yah?” Novi berbisik, membuyarkan lamunanku
Aku mengangkat kepala dengan malas, tidak tertarik, tetapi penasaran juga.
”Oh iya? Kata siapa? Cowok atau cewek?” pertanyaan terakhir aku paksakan
“Nggak tau sih…tapi katanya anaknya tajir!”
Aku termenung, pikiranku melayang-layang. Aku menerawang menatap awan yang berarak pelan di langit diterpa angin lembut di hari yang cerah dan hangat ini, aku merasa begitu tenang.
Tiba-tiba wali kelas kami melangkah masuk bersama bu Endang. Aku menatap mereka dengan ekspresi annoyed.
“Hari ini, kelas kita kedatangan siswa baru, pindahan dari Jakarta” pak Trisno tersenyum
Seluruh kelas langsung ribut berbisik-bisik sementara kedua guru tadi hanya tersenyum.
Aku tak peduli. Yang aku inginkan adalah segera mengakhiri pelajaran BK ini dan melanjutkan ke mata pelajaran berikutnya.
“Ayo, masuk sini Nak!” ucap pak Trisno lembut sambil melambaikan tangan keluar kelas
Sesaat setelah itu, seorang cewek masuk dengan langkah anggun.
Tiap pasang mata menatap takjub kearah cewek itu yang seumpama sebuah permata diantara onggokan sampah. Dia diantara kami semua.
Ia mengenakan seragam sekolah berwarna putih bersih dengan rok sekitar 3cm diatas lutut dengan motif kotak-kotak seperti kain yang dari Skotlandia tetapi dengan warna dasar ungu dan warna putih serta hitam menjadi garis-garisnya. Terlihat betul kalau itu adalah seragam identitas. Ia mengenakan sepatu dengan warna pink dan putih semakin memberikan kesan ‘cewek banget’ pada dirinya.
Wajahnya blasteran antara Eropa dengan Chinese, tetapi Chinese yang mendominasi sebagian besar menciptakan suatu karya seni agung ciptaan Tuhan dimana bahkan Leonardo da Vinci ataupun Michelangelo tidak akan pernah mampu melukiskan betapa cantiknya bidadari ini.
Rambutnya hitam agak kemerahan, panjang dan lurus diikat kuncir kuda dengan ikat rambut berwarna pink. Kulitnya putih menawan dan penampilannya begitu segar (dalam artian positif, bukan segar bikin konak gitu). Tingginya mungkin sekitar 178cm, sedikit lebih pendek dariku.
“Nah, ayo perkenalkan dirimu” ucap bu Endang kepada cewek itu
Cewek itu menatap bu Endang sebentar lalu menyapukan pandangan keseluruh kelas. Tatapan kami bertemu, sejenak kami saling pandang. Aku bingung dan agak salah tingkah, tapi syukurlah dia segera melanjutkan perkenalan.
“Selamat pagi teman-teman” ucapnya
Aku merasa suara cewek ini begitu merdu di telingaku, hingga tanpa sadar, aku menatapinya dengan melotot tanpa berkedip.
“Nama saya Caroline Valentina . Kalian bisa panggil saya Valen” nada bicaranya terkontrol dengan sangat baik dan senyumnya, yah, aku agak bisa membaca kalau senyuman itu adalah hasil latihan, bukan senyuman yang sebenarnya.
“Nah, kamu duduk sama….mmm…itu, disamping Evan yah!” pak Trisno memberi instruksi sambil menunjuk mejaku.
Cewek itu mengangguk kecil kearah pak Trisno dan melangkah anggun menuju bangku sebelahku yang kosong. Tatapan mata anak-anak sekelas tidak pernah lepas dari cewek itu. Bahkan anak yang duduk pada barisan paling depan sampai memutar tubuhnya demi melihat cewek yang satu ini, entah anak cowok atau anak cewek semuanya terkesima.
Grataaaaakk!
Bangku disampingku ditarik pelan. Valen duduk disampingku dengan tenang. Ia tidak menatapku sama sekali. Aku jadi agak salting, mau menyapa agak gimana gitu.
Bau bunga lavender tercium dengan jelas dari tubuhnya. Aroma yang manis dan menyenangkan. Ia meletakkan tasnya yang berwarna pink cerah di meja sementara tiap pasang mata masih terus memperhatikannya.
Setelah berbasa-basi sebentar, pak Trisno berjalan meninggalkan ruangan.
Bu Endang mulai mengabsen kami satu persatu.
“Silvanus Adi Prasetyo ada?” beliau menyapukan pandang keseluruh kelas
Aku mengangkat tanganku ketika mendengar namaku dipanggil.
Valen melirikku dengan malas.
“Silvanus...ada...” gumam guru itu sambil mencoretkan sesuatu dibuku absen.
Yup, sebelum melanjutkan, ada sedikit info. Nama lengkapku adalah Silvanus Adi Prasetyo, namun teman-teman lebih akrab memanggilku Evan, entah kenapa.
Setelah mummi itu selesai mengabsen, ia memulai saat-saat paling hina disekolah, ya, pelajaran BK.
“Oke, hari ini ibu akan menjelaskan mengenai KBM yang sehat, dan blablablablabla….” Bu Endang memulai acara boasting like shit andalannya.
Semua murid mendengarkan dengan sok tenang, padahal aku tahu pasti, mereka sama sekali tidak mendengarkan. Yeah, dasar guru sudah tua, apa saja pasti dikomentari.
Aku melirik kesamping, tempat si anak baru duduk. Aku agak terkejut, ternyata ia memperhatikan ocehan bu Endang dengan perhatian yang tidak dibuat-buat.
“Hmmph!” aku mendengus menahan tawa
”Coba kita liat aja hoi anak baru, tahan sampe kapan kamu dengerin ocehan si mummi”
Hanya Valen yang mendengar dengusanku. Seketika itu juga ia menoleh kearahku, tatapan kami kembali bertemu. Ia menatapku dengan pandangan bertanya-tanya.
Aku yang saat itu belum memiliki perasaan apa-apa hanya mengangkat bahu sambil tersenyum.
================================================== ==========
Jam istirahat…
“Halo! Namaku Lisa, salam kenal ya!” temanku mengulurkan tangannya kepada Valen
Hanya beberapa detik setelah bel istirahat berbunyi, meja tempatku dan Valen mendadak ramai, penuh sesak dengan siswa yang ingin mengajak kenalan.
Namun itu hanya beberapa saat, tak lama kemudian semua teman-temanku meninggalkan Valen dengan bersungut-sungut. Ya, Valen tidak ramah terhadap mereka, bahkan lebih terkesan arogan. Hari itu juga, teman-teman sekelasku menjauhi Valen.
Memang aku tidak memperhatikan detailnya karena saat itu aku sibuk mendengarkan musik, tidak tertarik pada anak baru disampingku ini. Namun, aku sempat mendengar desas-desus itu dari teman-temanku yang lain.
Aku bukanlah orang yang dengan mudah termakan desas-desus tanpa membuktikannya dulu. Maka aku bertekad akan membuktikannya sendiri.
Pelajaran bahasa Indonesia, pak Trisno memberi tugas membuat karangan bebas, dikerjakan dengan teman sebangku dan dipresentasikan esok harinya lalu beliau keluar kelas, menghadiri rapat dewan guru.
Anak-anak segera sibuk berdiskusi dengan teman sebangku mereka, sementara aku harus bekerja sama dengan Valen yang pada hari pertama masuk sudah dijauhi teman-temanku.
“Hei…kenalin…namaku Evan” aku mengulurkan tangan dan tersenyum
Valen hanya menatapku dingin, kemudian melanjutkan menulis karangan tanpa persetujuan dariku. Aku menurunkan tanganku yang terulur.
“Kamu pindahan dari Jakarta kan?” ucapku belum putus asa
“Ya” ia menjawab tanpa menoleh sedikitpun, masih menulis diatas kertas folio
“Kamu tinggal dimana?” aku masih saja berusaha
”BISA DIEM NGGAK SI LO?!” Valen membentakku keras sekali sembari membanting pulpen yang tengah dipakainya, membuat kaget seluruh siswa
Aku terpana melihat reaksinya yang benar-benar diluar dugaan. Sikapnya benar-benar bertolak belakang dengan penampilannya.
Kelas tiba-tiba sepi. Teman-teman menatapku dan Valen secara bergantian.
Suasana kelas menjadi tegang. Semua menunggu reaksi dariku.
Aku yang pada dasarnya muka tembok hanya garuk-garuk kepala dan nyengir.
“Idih…galak amat non? Lagi M yah?” aku nyengir kuda
PLAAAKK!!
Valen menampar pipi kiriku dengan telak. Semua anak kaget setengah mati.
”LO JAGA MULUT LO ITU!!” Valen kembali membentak
Tatapan terkejut para siswa segera berubah menjadi tatapan kebencian. Aku tengah mengelus pipiku yang memerah akibat tamparan tadi ketika Novi dan Lia menarikku menjauh.
”Sok banget sih jadi orang?! Mentang-mentang orang kaya gitu?!” Novi membenta Valen sementara Lia menarikku menjauhi sumber konflik.
“APA URUSAN LO HAH?!” balas Valen
“URUSANKU?! SOPAN DIKIT NAPA SIH?! BARU SEHARI DI SINI JUGA! NGGAK PERNAH DIAJARI SOPAN SANTUN YAH SAMA ORANG TUAMU?!!”
“Udah…udah Nov…cukup…” aku menarik tangan Novi
”CUKUP APANYA?! JELAS-JELAS DIA INI CEWEK NGGAK TAU DIRI!” Novi membentakku sambil menuding Valen yang hanya diam
Aku tidak menjawab, aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalaku. Novi terkejut bukan main.
”Udah Nov…ngerjain tugas lagi deh yuk!” aku mengajaknya menjauhi Valen.
Novi hanya menurut dengan wajah heran dan tidak terima. Aku, Novi dan Lia bergabung dengan Enggar dan Dani. Setelah kami duduk, aku dihujani pertanyaan oleh mereka.
“Kamu tadi ngapain sih Van?” tanya Dani
”Ngajak kenalan…yaa gitu deh” jawabku sekenanya
”Ngajak kenalan? Kok bisa sampe di tampar?” Enggar bertanya dengan heran
Aku hanya mengangkat bahu. Aku menoleh, kutatap Valen yang tengah mengambil pulpen yang jatuh, ia kemudian duduk. Kepalanya tertunduk, tangannya meremas pulpen dengan kuat. Hanya sepersekian detik, aku melihat suatu kesedihan diwajahnya yang segera sirna, lalu ia melanjutkan menulis dengan ekspresi biasa.Hari yang sama, pukul 14.39 WIB
Ada tugas TIK yang harus kukumpulkan besok namun aku belum tau detailnya pasti sehingga aku harus rela menunggu sampai sang guru selesai mengoreksi hasil ulangan kelas lain.
Jam segini, sekolah ku sudah sepi…well, sangat sepi
Sudah jauh dari waktu pulang yang harusnya pukul 13.30
Aku berjalan dengan langkah ringan kearah tempat parkir motor yang ternyata sudah sepi, hanya ada motorku dan beberapa motor siswa yang mengikuti ekskul
Ketika aku sampai di dekat gerbang sekolah, aku melihat Valen duduk sendirian di salah satu bangku panjang yang berada dibawah pohon, bangku itu posisinya membelakangi aku sehingga Valen tidak dapat melihatku datang.
Kuparkir motor agak jauh dan aku berjalan mendekatinya. Ia tidak menyadari kehadiranku.
TUK!
Aku mengetuk pelan kepalanya dengan sekaleng Nescafe Vanilla Latte yang aku bawa dari rumah yang belum sempat aku minum.
Valen terlonjak kaget, ia spontan meraba kepalanya dan membalikkan badan.
Ia lebih terkejut lagi setelah melihat bahwa itu aku.
“E-Evan?” Valen bertanya dengan tergagap
”Yo! Nunggu jemputan?” ucapku santai lalu duduk disampingnya
“Ngapain lo kesini?!” ujarnya sewot, sama seperti tadi pagi
“Aku? Haha…aku mau bicara sama Ibumu!”
Valen terbelalak
“Darimana lo tau kalo nyokap gue mau dateng?!”
“Feeling…maybe?” aku mengangkat bahu
“Feeling? Cowok macem apa lo?! Bisa-bisanya lo bilang—“
Kata-kata Valen terpotong ketika melihat aku membuka kaleng Nescafe yang kupegang, sepertinya dia haus.
“Kenapa? Haus?” kutatap matanya
“Apa? Eh- nggak kok!” ucap Valen sambil memalingkan wajah
“Jangan bohong deh...” aku terus menggodanya
“Apa apaan sih lo? Gue bilang nggak kok!” ia salah tingkah
“Yaudah nih, buat kamu aja” kusodorkan kopi kalengan itu
“Lo gimana?”
“Aku nggak haus”
Valen mengambil kaleng itu dari tanganku. Matanya menatapku lekat dengan ekspresi yang tidak dapat kumengerti.
“Ini…beneran buat gue?”
“He-eh…”
Valen menatap kaleng itu dan aku secara bergantian dengan tatapan curiga.
”Nggak! Nggak diracuni kok! Hahaha” aku tertawa sambil menggelengkan kepala
Wajah Valen menjadi agak rileks, ia tersenyum dan berkata,
“Thanks ya…”
Ia membuka kaleng kemudian meminum Vanilla Late itu.
Tiba-tiba angin yang cukup kencang berhembus, menyingkap rok ungu yang dikenakan Valen.
“Kyaaaa!” ia menjerit
Kedua tangannya spontan menutup rok pendek yang dikenakannya sehingga membuat kaleng Nescafe yang ia pegang jatuh dan tumpah ke seragamnya yang putih. Aku terkesima melihat pahanya yang putih mulus hingga ke dekat selangkangan, begitu menggairahkan. Saat itu, nafsu dan sisi liar dalam diriku bangkit.
“Liat apaan lo?!” bentakkan Valen menyadarkanku
“Ah? Euuh…nggak…nggak liatin apa-apa kok!” kilahku dengan panik
Ia menoleh kearah roknya yang kini basah oleh kopi.
“Aduh…rok gue basah semua…”
“Kalo nggak salah aku ada tissue” ucapku sambil mengaduk-aduk tas
Aku mengulurkan sebungkus tissue yang kuambil dari dalam tas.
“Oh…thanks…” ujar Valen singkat sambil mengambil tissue itu dari tanganku, tatapannya beralih ke seragamnya.
Ia memandangi seragam putihnya yang kini berwarna kecokelatan gara-gara kopi yang tertumpah diatasnya. Pelan-pelan ia membuka kancing seragamnya satu persatu.
Aku menelan ludah.
Kini kancing seragamnya sudah terbuka semua, memperlihatkan tubuhnya yang indah yang terbalut tank-top berwarna biru muda. Buah dadanya tercetak jelas, ternyata lumayan besar, mungkin faktor seragam mempengaruhi kenampakan dua bukit itu dari luar.
Aku kembali melongo. Otakku static, nge-hang.
“Aduh…dalemannya juga basah” Valen menghela nafas
“V-Valen????”
“Eh?” ia menoleh dan menatapku dengan sangat terkejut
Satu detik…dua detik…
”KYAAAAAAAAAA!!” jeritan Valen membahana, membelah udara yang hangat siang itu
Valen cepat-cepat menutupi tubuhnya dengan tas sementara tangan yang satunya berusaha mengancingkan seragamnya yang terbuka lebar. Aku terkesima, bingung harus melakukan apa.
“Eeeh! Ssssstt! Jangan jerit-jerit! Ntar dikira aku ngapa-ngapain kamu!” aku berkata panik, berusaha menenangkan Valen.
PLAAAKK!
Valen kembali menampar pipi kiriku, kedua kalinya dalam hari ini
“COWOK BEGO LO!!” jeritnya hampir menangis
“Lho? Aku?” tanyaku sambil menunjuk diri sendiri sementara tanganku yang satunya memegang pipi bekas tamparan
“IYA LO! COWOK NGGAK TAU DIRI!”
“Kenapa jadi aku yang disalahin?”
“KENAPA LO NGGAK NGADEP ARAH LAIN PAS GUE BUKA BAJU?!!”
Keheningan yang tidak nyaman melingkupi kami.
"A-aku salah ya?" tanyaku tolol kepada diriku sendiri
“Maafin gue Van…tapi lo juga sih…”
“Iya…aku juga salah kok…hahaha” jawabku singkat
Aku tersenyum kearahnya sementara ia menatapku dengan canggung, ada sebesit ketakutan dalam tatapannya walaupun begitu samar.
“Aduh…risih banget si pake baju basah…!” keluhnya sambil menatap seragamnya yang sudah terkancing dengan sempurna
Aku berpikir sejenak.
”Kalo aku pinjemin jaketku, ofensif nggak yah? Aku bakal ditampar lagi nggak yah?”
Setelah mempersiapkan konsekuensinya dan sudah bersiap menerima tamparan dari Valen, aku berkata,
“Mau pake jaketku dulu?”
Valen menatap lurus kearahku dengan tatapan bertanya-tanya.
“Heh bego, bilang aja lo mau liat gue ngelepas seragam gue di depan lo kan?” tanyanya dengan sinis
“Ya nggak lah!! Emang aku cowok apaan?” jawabku sewot
“Udah deh, lo ngaku aja! Semua cowok tu mesum! Hidung belang!”
“Ck! Kalo nggak percaya sama aku, sono ganti di toilet!”
Valen tampak berpikir kemudian mengangguk setuju, lalu kami berdua berjalan kearah toilet sekolah yang letaknya agak jauh di dalam kompleks utama.
Sesampainya di depan toilet…
“Kalo toilet cowok yang kanan, cewek yang kiri. Mau masuk yang mana tergantung jenis kelaminmu” ucapku sok sambil melepas dan menyerahkan jaket
“Gue juga bisa baca, bego! Lagian gue 100% cewek tulen!” sahutnya pedas
Valen melangkah masuk ke toilet cewek sambil celingukan, kemudian ia berhenti. Ia berbalik dan menatapku.
“Kalo lo ngintip, awas!! Gue colok mata lo!” ia melotot
“Nggaaaaaaaaaaakkk!!!” jawabku dengan malas
Valen masuk ke salah satu WC, lalu aku membalikkan badan.
Aku berdiri mematung, memunggungi toilet cewek. Mataku menerawang ke langit. Pikiranku melayang entah kemana.
“Kenapa? Dari ribuan cowok di kota ini, kenapa aku yang harus nemenin nih anak?”
Aku menghela nafas sambil menggelengkan kepala.
“Udah…ke depan lagi yuk! Nyokap udah nunggu, tadi gue di SMS” sebuah suara berkata dari belakangku
Aku berbalik, menatap Valen yang mengenakan jaketku yang rupanya kebesaran, memperlihatkan lehernya yang mulus tanpa cacat. Aku tertegun.
“LIATIN APA LO?!!” bentaknya galak sambil menutupi dadanya dengan tangan
“Nggak…ngeliatin jaketku…ternyata bagus yah?” kilahku sambil nyengir
“Jaket lo bau! Cuci kenapa?” ejek Valen
“Biaaaarrr….jaketku inih…kenapa kamu yang nggak terima?” aku terkekeh
“Cerewet!”
Kata-kata Valen mengakhiri percakapan kami. Sambil berjalan kembali ke taman depan sekolah, aku melihat Valen melipat dan memasukkan seragam beserta tank-top biru muda miliknya ke dalam tas. Berarti, saat ini, ia hanya mengenakan … …?!!
“Wah…kalo aku jadi jaketnya, pasti seneng banget” pikirku
Sebagai laki-laki normal, berbagai fantasi mesum sudah pasti bergelayut mesra di otakku.
Sepanjang perjalanan ke gerbang depan, aku berulang kali menyapukan pandang ke sekitar, mencoba menyelamatkan pikiranku dari fantasi mesum yang berusaha mendobrak akal sehat.
Ketika kami sampai di taman depan, sebuah mobil SUV sudah menunggu.
“Noh, gue udah dijemput nyokap” ucapnya ringan
Tiba-tiba pintu mobil terbuka, seorang ibu muda tampak turun dengan anggunnya. Wajahnya sepintas mirip dengan Valen, hanya saja tanpa wajah-wajah Eropa. Hanya Chinese dan Indonesia.
Ia berjalan mendekati kami dengan anggun namun tergesa-gesa
“Valen, mana seragammu?” tanyanya penuh selidik
“Seragam Valen ketumpahan kopi Ma” jawab Valen singkat sambi mengeluarkan seragamnya yang cokelat karena kopi namun tidak menunjukkan tank-top nya yang basah
Ibunya mengangguk-angguk lalu menoleh kearahku. Setelah berbasa-basi, akhirnya Ibu itu berpamitan. Ia dan Valen masuk kedalam mobil. Aku hanya memandangi mobil yang mereka naiki pelan-pelan menjauh.
Aku tersenyum kecil. Tiba-tiba mobil itu berhenti dan Valen keluar. Ia berlari kecil kearahku, aku tentu saja kebingungan.
“Eh Van, thanks ya…” ucapnya sambil tersenyum
Aku tertegun. Ia bukan tersenyum seperti tadi pagi, bukan senyum yang dibuat-buat, tapi memang senyumnya yang sesungguhnya.
“Hah? Oh…oke…no problem!”
“Gue balik duluan ya!” kata Valen sambil membalikkan badan dan berlari kembali ke mobil
Ketika ia membuka pintu mobil, aku berteriak
”Valeeeeenn!”
Cewek itu menoleh kearahku
“Jaketku jangan lupa dicuci sekalian yaaa?” candaku
Ia tersenyum dan mengangguk kecil seraya naik ke mobil. Pelan-pelan mobil itu berjalan keluar gerbang sekolah hingga akhirnya tidak terlihat lagi.
Aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Tiba-tiba saja aku seperti kehilangan sesuatu, dan aku mulai merindukan Valen walaupun kami baru beberapa menit berpisah.Esoknya, Valen berangkat sekolah dengan mengenakan jaket yang kupinjamkan. Otomatis seluruh anak kelas menatapnya dengan heran.
“Loh? Kok dipake?” tanyaku heran ketika Valen duduk disampingku
“Iya…emang harus gue buang?” ia nyengir
”Yaa bukan gitu…” ucapku sambil garuk-garuk kepala
“Eh, jaket lo gue pinjem dulu ya? Nyaman banget dipake”
“Iya silakan…pake aja”
“Gini aja, jaket lo buat gue, ntar gue beliin lo jaket baru, gimana?” ucapnya sambil tertawa
Aku speechless. Bingung harus berkata apa. Namun yang jelas, aku semakin tertarik kepada cewek ini. Kepribadiannya begitu unik bagiku.
Beberapa minggu kemudian…
Aku semakin dekat dengan Valen, ternyata dia bukanlah cewek dingin dan arogan seperti yang pertama kali kulihat. Malah kebalikannya, dia itu begitu menyenangkan dan menarik, serta lucu juga. Walaupun begitu, aku masih belum bisa memprediksi hal apa yang membuatnya menjadi cewek seperti itu, arogan dan dingin pada setiap anak di kelas.
Keadaan kelas masih sama seperti hari-hari sebelumnya, semua anak masih belum bisa menerima Valen sebagai bagian dari mereka karena sikap angkuhnya di hari pertama ia masuk sekolah.
Namun, Valen sudah banyak mengubah sikapnya terhadapku. Tak jarang teman-teman memandang sinis kearah kami berdua yang tengah bercanda dan tertawa-tawa bersama. Tetapi aku tidak peduli, selama hubunganku dengan Valen tidak merugikan mereka.
Ya memang beberapa siswa sempat memergoki aku menemani Valen menunggu jemputan. Setiap hari aku menemaninya dan setiap hari juga perasaanku tumbuh semakin kuat.
Kini aku sadar sepenuhnya. Aku telah jatuh cinta pada Valen. Rekorku sebagai cowok yang hatinya belum pernah tersentuh oleh cewek hancur. Aku memutuskan akan mengungkapkan perasaanku kepadanya karena kami sudah cukup dekat.
Istirahat pertama di hari yang agak mendung ini…
“Eh, eh…Valen…mmm…ntar sore ada acara nggak?” tanyaku gugup
“Gue? Nggak…kenapa?” ia menoleh dari tugas matematika yang tengah dikerjakannya
“Ntar…ntar kamu…eeh…ke café depan sekolah yuk?” tanganku dingin
“Mmm…iya boleh…sambil nunggu nyokap gue jemput aja” Valen tersenyum
Aku bersyukur karena ternyata Tuhan membukakan jalan bagiku untuk mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya terhadap Valen.
Dari saat itu, aku menjadi tidak konsen mengikuti pelajaran karena tegang dan wangi lavender yang tercium dari Valen yang duduk disampingku semakin membuatku gugup.
Akhirnya penantianku berakhir. Bel pulang berbunyi, anak-anak berhamburan keluar kelas sementara aku dan Valen berjalan pelan-pelan.
Selang beberapa waktu, sekolahan terlihat sepi, semua anak sudah pulang namun Valen belum juga dijemput. Kami sampai di café depan sekolah.
“Eh, Ibumu mau jemput jam berapa?” tanyaku membuka pembicaraan
Kami duduk disebuah gazebo kecil dibawah pohon kersen yang tengah menguning. Bekas-bekas hujan masih terlihat, tanah basah tertutupi daun-daun mati.
“Nggak tau…nyokap pulang kerja agak sore…” jawabnya sambil memainkan HP
“Mas, mbak mau pesan apa?” tanya seorang waiter yang ternyata sudah berdiri disampingku
Kami duduk berhadapan, aku tidak menyadari kehadiran waiter itu karena terlalu tegang memikirkan bagaimana caraku mengungkapkan perasaan pada Valen.
“Gue…mmm…gue pesen milkshake strawberry aja deh” ucap Valen setelah berpikir agak lama
“Saya orange float mas…” jawabku
Waiter itu kemudian meninggalkan kami. Tidak seperti biasanya, tanganku begitu dingin karena tegang. Udara yang lembab karena hujan yang turun tadi malam membuat suasana semakin tidak nyaman bagiku.
“Tumben lo ngajak gue ke café?” ia nyengir
“Nggak…nggak papa…takut ujan, kan di tempat kamu biasa nunggu nggak ada kanopi” aku beralasan
“Oooh…” jawabnya singkat
Sesaat kemudian, Valen senyum-senyum sendiri sambil menatap layar HP nya. Aku heran.
“Kayaknya kamu hari ini lagi bahagia banget?”
“Yaaa…begitulah…hehehe” ia asyik mengetik SMS
Aku agak jengkel juga dikacangi, namun apa daya? Akhirnya aku memutuskan untuk memperkuat mental. Kutarik nafas dalam-dalam berulang kali.
Valen heran melihat tingkahku, ia meletakkan HP nya dan menatapku.
Perasaanku semakin tidak karuan ketika kedua matanya menatapku dalam-dalam.
“Lo kenapa Van?” tatapnya penasaran dengan kepala yang sedikit dimiringkan
“Ng-nggak apa-apa…hehehe” jawabku gugup
“Lo jangan bohong…jelas-jelas lo keliatan aneh”
“Kalo lo lagi ada masalah, bilang aja…siapa tau gue bisa bantu” lanjutnya
Aku semakin gugup dibuatnya, apalagi kini tatapan mata Valen tertuju sepenuhnya kepadaku, ia tidak lagi memainkan handphonenya atau menyapukan pandangan ke sekitar kami, ia hanya menatap mataku dengan serius.
.
Setelah mengumpulkan segenap keberanian yang tercecer, aku berkata
“Val, sebenernya aku…” kata-kataku macet di tenggorokan
“Kenapa?” sepertinya ia tertarik
“Emh, Valen…aku sebenernya udah ada rasa ke kamu sejak pertama kita ketemu” kata-kata itu meluncur dari mulutku tanpa persetujuan
“….”
“Aku ngerasa nyaman di deket kamu dan aku ngerasa kalo kamu tuh unik, beda dari semua cewek yang pernah kutemui, baik dari fisik maupun kepribadian” aku tertunduk
Keheningan meliputi kami. Jantungku berdebar-debar menanti jawaban darinya.
Disatu sisi, aku merasa senang karena akhirnya aku bisa mengungkapkan perasaanku pada Valen, namun di sisi lain, aku sedih karena pengakuanku pasti akan berdampak pada pertemanan kami baik secara langsung maupun tidak.
Pipi Valen merona merah mendengar pengakuanku, ia salah tingkah. Ia menggeser posisi duduknya dan berulang kali menmbetulkan letak tas yang ada di pangkuannya.
“Ehm…Van, sebenernya gue…” ucapnya pelan, aku langsung menatapnya penuh harap
DIINN!! DIIIN!!
“Valen, ayo cepetan Val, Mama masih ada meeting habis ini!” suara ibu Valen terdengar dari kejauhan, merusak segalanya
Rupanya Valen sudah dijemput, mobil SUV itu berhenti tidak jauh dari kami. Kepala sang Ibu melongok dan menatap kami.
“Duh, maaf ya Van, gue harus cabut…maaf…ini duit buat bayar milkshake gue…bye!” ucapnya cepat sambil meletakkan selembar uang sepuluh ribuan
Valen berlari dengan terburu-buru meninggalkanku yang merasa kecewa. Ia belum merespon pengakuanku dan aku belum tahu bagaimana ia memandangku. Aku terus menatapnya hingga ia naik ke mobil.
Aku bangkit dengan gontai, berjalan kearah kasir dan membayar minuman kami berdua dan pulang kerumah.
Malam hari itu satu SMS masuk ke HP ku…
____________
22:02 30/01/12
From: Valen
Le, bsk pulang skul gw mo ngmg ma lo
____________
Ah…Valen…SMS nya tidak ku balas. Aku menyetel lagu keras-keras untuk menenggelamkan diriku. Untuk menghindari pikiran-pikiran tentang Valen. Lagu-lagu ber-beat cepat dari Evanescence mengantarku hingga ke alam mimpi
=========================
Esok paginya…
Aku berangkat lebih siang karena di jalan motorku sempat macet.
Ketika aku memasuki kelas, ternyata sudah banyak siswa yang datang, termasuk Valen.
Aku duduk di tempat seperti biasa, di samping Valen.
“Van, tugas bahasa Inggrisnya gimana nih?” tanya Valen kepadaku
Aku cukup kaget juga karena ia bersikap seperti biasa setelah aku mengutarakan perasaanku kemarin.
Dengan agak canggung aku menjawab,
”Ehm…udah beres si…mau nyontek?”
“Iya sini…gue nyalin punya lo aja…males gue ngerjain tadi malem…hehehe” senyumnya
Sedetik kemudian Valen asyik menyalin jawaban tanpa mempedulikanku yang tengah memandanginya menulis dengan jemarinya yang lentik.
==========================
Sore hari itu juga, di kantin sekolah yang sudah sepi….
“Kenapa Val? Katanya mau ngomong?” ucapku agak gugup
“Iya Van…ini masalah yang kemarin…bisa lo perjelas?” kata Valen pelan
DEG! DEG!
“Aku…sayang sama kamu…mau nggak kamu jadi pacarku?” tanyaku dengan canggung karena seumur hidup aku baru pernah nembak cewek
Ia terdiam sejenak dengan kepala tertunduk, sepertinya sedang berusaha merangkai kata-kata.
”Gue tau kita udah deket dari pertama kali gue napakin kaki di sekolah ini, gue sadar lo udah baik banget sama gue, cuma lo yang mau jadi temen gue. Lo orangnya asik, baik, pengertian. Jadi nggak ada alesan buat gue buat nolak lo…”
“Jadi, kamu—“
”Tapi…” ia memotong ucapanku
“Tapi maaf Van…gue baru aja jadian sama Steven kemarin sore…10 menit sebelum lo ngungkapin perasaan lo ke gue. Memang, dia nembak gue lewat SMS, tapi itu sama aja bagi gue. Steven nembak gue dan gue terima dia, itu faktanya…lo terlambat…” bisiknya lirih
Aku tertegun. Berusaha bertahan, berdiri dihadapan kenyataan pahit ini. Pertama kalinya aku begitu jatuh hati pada seorang cewek, pertama kalinya aku menyatakan cinta pada seorang cewek dan pertama kalinya juga aku ditolak. Hidup memang sungguh kejam.
“Jadi, gue mohon…lo jangan libatkan perasaan lo dalam pertemanan kita…gue nggak mau persahabatan kita ancur…cuma lo yang mau jadi temen gue dikelas…”
“Ah…hahaha…iya…nggak apa…itu hakmu sepenuhnya kok…” aku berusaha tertawa walaupun hatiku tersayat-sayat
“Lo nggak usah sandiwara Van…gue tau rasanya…tapi maaf banget…lo terlambat” Valen menatap mataku dalam-dalam
“Well, I guess I can’t pretend any longer. Aku cuma bisa doain kebahagiaanmu…maaf udah nyita waktumu Val....” aku tersenyum sedih dan melangkah pergi
“Van…lo nggak marah kan?” suara Valen terdengar dibelakangku
Aku hanya menghentikan langkah dan menggeleng tanpa menoleh kemudian berlalu. episode 4
“JADI SELAMA INI LO JALAN SAMA NIH CEWEK ?!”
Sebuah suara mengejutkanku, suara seorang cewek, terdengar dari salah satu ruang kelas yang sudah kosong. Aku bergegas berlari ke salah satu ruang, tempat suara tadi berasal. Pelan-pelan aku mengintip melalui jendela berdebu dan menyibak gorden berwarna hijau lusuh yang ditempeli debu tebal.
Suasana di kelas itu remang-remang, penerangannya begitu minim, hanya ada secercah cahaya matahari sore yang menembus ruangan tersebut.
Aku melihat 2 orang cewek dan seorang cowok. Salah satu cewek berdiri berhadapan dengan cowok tadi, sementara cewek yang satunya lagi tengah duduk di bangku, menatap kearah sepasang manusia tadi.
“Lo apa-apaan sih?! Gue kira lo tu cowok baik-baik!! Ternyata--” cewek yang berhadapan dengan si cowok tidak mampu melanjutkan perkataanya.
Tampak sangat jelas bahwa si cewek tadi begitu meradang marah sementara si cowok tampak annoyed.
“Hhaha! Udah gitu doang?” si cowok tertawa melecehkan
“Ma-maksud lo?” cewek tadi tergagap
“Udah gitu doang marahnya? Hah! Dasar cewek nggak berguna!”
“APA?! Dasar lo bajingan!”
Tangan si cewek terayun hendak menampar cowok tadi. Namun dengan sigap pergelangan tangannya ditangkap oleh sang cowok.
“KITA PUTUS!! GUE NGGAK MAU KENAL LO LAGI!!” jerit cewek itu, ia berusaha melepaskan tangannya
“Lo tau, kenapa gue selingkuh? Lo tau kesalahan lo apa? Kenapa gue sampe selingkuh?” si cowok bertanya dengan kalem.
“....” lawan bicaranya tidak mampu menjawab
“Karena gue kekurangan kasih sayang. Tiap kali gue ngajak lo ML, lo selalu ngeles, bahkan kissing aja lo nggak pernah mau kan? Lo juga nggak pernah ngijinin gue buat pegang tangan lo” cowok berbadan tinggi besar itu menerawang ke langit-langit lalu menatap sang cewek dengan tajam.
“Makanya gue selingkuh! Kalo diliat dari penyebabnya, ini jelas salah lo!” cowok tersebut membentak
“Nah, sekarang, nggak ada yang liat kan, gue bisa puas-puasin pake tubuh lo...udah lama gue nggak dapet cewek blasteran kayak lo...hehehe” makhluk biadab itu menyeringai
“Nggak!! Nggak!! Jangan! Lepasin gue atau gue teriak!!” sang cewek mencoba menggertak di sela-sela ketakutannya
“Lo mau teriak ke siapa?? Satpam? Ni sekolah gue yang punya!” bentak si cowok
“Si-sialan lo!! Lepasin gue!!” pegangan tangan cowok tadi bertambah kuat, membuat cewek cantik itu meringis kesakitan
Tepat ketika tangan cowok jahanam itu mulai menggerayangi tubuh si cewek, tiba-tiba...
CKREK! CKREK!
Beberapa kilatan putih menjilat dinding ruang kelas. Ketiga makhluk yang tengah berkonflik itu terkejut dan spontan menoleh kearah pintu.
“Woooow....ternyata aku bisa dapet foto bagus yah...nggak cuma foto, tapi juga video” ucapku enteng, aku memainkan handphone ditanganku.
“Si-siapa lo?!” cowok tersebut gentar ketika mengetahui perbuatan bejatnya terekam oleh kamera
Aku berjalan dengan santai kearah mereka berdua. Kutarik tangan si cewek dari genggaman sang cowok.
“I'll handle this from now on Val...you go first” kataku kepada cewek itu tanpa menoleh
“Jadi...ini toh watak aslimu, wahai Steven, kakak kelas teladan?” kubalas senyum melecehkan yang tadi dilemparkan Steven kepada Valen.
“Lo siapa?! Nggak usah ikut campur urusan orang!” Steven meradang marah
“Aku...? Aku cuma adik kelas yang biasa ajaa...” aku berbicara dengan nada meremehkan
“Bangsat!” satu pukulan mengayun kearahku
Dengan gerakan santai aku menghindari pukulan itu. Steven kembali mengayunkan tangannya. Ia berteriak marah, benar-benar marah.
TAP!
Kepalan tangannya kugenggam dengan telapak tangan. Steven tampak terkejut.
“Hoaaaaamm....” aku menguap, bosan.
“Now, it's my turn” sebuah senyum licik tersungging dibibirku
BUAAAAAKKK!!!
Satu bogem mentah telak menghantam hidung sang kakak kelas teladan hingga ia terjungkal kebelakang. Steven mendarat dengan punggung terlebih dulu membuat seragam putihnya kotor. Darah segar mengalir dari hidungnya.
“Udah? Udah gitu doang? Dasar cowok nggak berguna!” aku menirukan kata-katanya
“A-anjing lo!” ia mengelap hidungnya yang berdarah dan berusaha bangkit
“Awas lo! Liat aja, lo pasti bakal--”
“Bakal gue bales? Gitu kan lanjutannya?? Langka mundure! Maju sini!”
Sejenak ia tampak ragu, namun setelah mampu berdiri, ia melanjutkan|
“Masalah kita belum selesai! Awas lo!”
Steven berlari kearah pintu, kabur rupanya.
“Ah...dasar pengecut”
Ketika ia berlari melewatiku, kujulurkan kakiku dengan sengaja, menjegal Steven hingga ia jatuh tersungkur. Aku segera memasang wajah innocent, memasukkan kedua tanganku kedalam saku dan bersiul sambil menatap langit-langit kelas.
Steven tidak memperpanjang waktu. Ia segera berdiri dan berlari keluar kelas, dengan pakaian yang tampak seperti kain pel.
“Hahaha…dasar cemen…” aku tertawa sendiri
Ketika aku menoleh kearah cewek yang tengah duduk di pojokkan kelas, tampak Valen mendekatinya dengan langkah mantap.
Melihat Valen mendekatinya, cewek itu ketakutan, ia menggelengkan kepalanya
“Ma-maafin aku kak! Maafin aku…aku nggak ada maksud buat—“
”Sssst! Lo nggak apa-apa?? Gimana? Bisa pulang nggak lo?” Valen berkata lembut kepada cewek tadi.
Tidak hanya cewek itu yang tertegun, aku juga terkejutnya bukan main.
Namun, aku kagum kepada Valen ini. Dia memang benar-benar luar biasa.
================================================== ==========
Honda Accord Coupe Concept 2013 milikku meluncur dengan tenang membelah jalanan.
Valen duduk disampingku.
“Kasian dia…untung kita jelasin ke orang tuanya tadi, jadi dia nggak dimarahin...” Valen membuka percakapan. Ia memandang ke jalanan disampingnya.
“Menurut lo, cewek itu salah nggak? Kalo menurut gue, yang salah si Steven terkutuk itu...dia tuh sama kayak gue, korban kebiadaban cowok yang ngakunya murid teladan itu!” kalimat mengalir lancar dari bibir tipis nan sensual milik cewek incaran cowok-cowok di dalam maupun luar sekolah SMAN XX
Lamunan membuatku tidak merespon kalimatnya.
”Heh Van, lo kalo diajak ngomong jawab dong!” ia menatap kearahku dengan sebal
”Ehm…iya maaf…”
“Lo kenapa sih?”
“Nggak apa….”
“Serius nih! Lo lagi kenapa sebenernya?”
“Capek? Yaudah berhenti dulu…kita cari minimarket deh” lanjutnya
Aku menepikan Accord kesayanganku dan memarkirnya di depan sebuah minimarket.
Kami turun dan membeli beberapa botol minuman dan kembali ke mobil.
“Wah, udah jam 8 yah?” ucap Valen setelah ia melihat jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangannya
“He eh...” kuberikan anggukan kepala sebagai jawaban
“Iih! Sebel deh! Lo kenapa sih?!” ia mencubit lenganku, namun aku masih saja diam
================================================== ===========
Accord silver itu berhenti di depan sebuah rumah megah dan mewah bergaya khas Eropa.
Di dalamnya, seorang cowok dan seorang cewek tampak terlibat perbincangan serius.
“Sorry Van…setelah gue tau Steven itu kaya apa, gue pikir gue nggak akan memulai hubungan baru lagi….mungkin beberapa tahun kedepan” ucap cewek yang duduk di passenger seat di sebelah pengemudi.
Cowok disampingnya menatap ke jalanan di depannya yang lenggang, tatapannya menerawang. Sedari tadi ia hanya diam saja.
”Sorry…gue nggak mau tersakiti buat yang kedua kalinya…lo paham kan?” ucapnya diiringi anggukan lemah lawan bicaranya.
“Mungkin kita sebaiknya jadi sahabat aja...soalnya nggak mungkin gue bisa sama-sama lo terus”
Kedua insan berbeda gender itu terdiam merenung. Meresapi lagu “My Immortal” yang mengalun lembut dari music player mobil, menyelimuti malam yang dingin.
You used to captivate me
By your resonating light
Now I'm bound by the life you left behind
Your face it haunts
My once pleasant dreams
Your voice it chased away
All the sanity in me
These wounds won't seem to heal
This pain is just too real
There's just too much that time cannot erase
=====================
Bulan demi bulan berganti...
Valen sudah mendapat tempat di kelas...bahkan ia menjadi sahabat banyak anak cewek yang lain.
Memang, Valen benar-benar berubah, ia bukan lagi Valen yang dingin dan arogan, tetapi Valen yang ramah dan menyenangkan.
Ia benar-benar mengubah sikapnya sejak insiden dengan Steven.
Suatu sore di bulan Juni yang cerah...
Sekelompok anak tampak tengah bergembira disuatu ruangan yang terang, sebuah ruangan di cafe kelas atas.
Sofa-sofa besar berwarna agak gelap berjajar rapi, kontras dengan tembok yang berwarna kuning cerah menciptakan kolaborasi warna yang ceria.
Ada sebuah stage dengan lantai keramik berwarna hitam mengkilat, di atas stage terdapat beberapa alat musik, mic stand, dan sebuah tulisan dari styrofoam bewarna pink yang berbunyi “HAPPY SWEET SEVENTEEN VALEN”
Ruangan yang ramai itu semakin ramai ketika sekelompok anak cowok dan cewek mendorong-dorong seorang cowok tinggi kurus untuk maju ke stage. Yep, itulah aku.
Teman-temanku menyuruhku menyanyikan sebuah lagu, karena vokalku yang bisa dibilang tidak buruk. Dan saat ini, aku tengah berdiri sendirian di stage hitam itu dihadapan teman-temanku dan sang pemilik acara, Valen.
“Okee...pada mau request lagu apa niih?” tanyaku sambil nyengir kepada teman-teman yang memandangiku sambil tersenyum-senyum
“Terseraaaahhh! Yang penting, lagu buat yang punya acara aja deh!!” teriak Enggar, ia berdiri lalu menunjuk ke arah Valen
Valen tampak terkejut dan menunjuk dirinya sendiri dengan tatapan bingung.
Terlebih lagi aku. Ada sebersit kesedihan yang tiba-tiba kurasakan, entah kenapa.
“Hahaha....udaah...nggak apa-apa! Ayo Van, cus nyanyi!” seru Novi yang duduk disamping Valen
“Audiences, ni lagu kudu sesuai sama suasana apa terserah sekarep atiku ?” ucapku lalu menyetting gitar supaya tidak fals.
Tiba-tiba sebuah suara berkata, “Senyaman hati lo aja”
Aku terkejut, kutatap sumber suara itu dan aku melihat Valen tersenyum. Sebuah senyum yang dipaksakan. Sekali lagi, hatiku bagai tersambar petir.
Aku dihadapkan pada pilihan yang sulit. Saat ini, aku harus menyanyikan sebuah lagu untuk seseorang yang aku cintai namun tidak akan pernah sanggup kugapai, dan aku harus menyanyikan lagu itu benar-benar dari lubuk hati terdalam. I've decided it, though.
“Bisa minta tolong kepada seseorang? Lia, bisa aku minta tolong?” aku memanggil nama cewek yang selalu mendengar keluh-kesahku, menemaniku ber-galau ria karena Valen.
Lia menurut saja. Ia maju ke stage sambil clingak-clinguk dengan bingung.
Ketika ia sudah berdiri disampingku, aku membisikkan sesuatu kepadanya.
“Kamu serius Van?!” ia menatapku tidak percaya
“Jangan salahin aku ya kalo suasananya jadi nggak enak” ucapnya pelan
Aku tersenyum dan mengangguk. Lia hanya bisa mengangkat bahu.
“Pertama-tama, saya ucapkan terima kasih khususnya kepada Valen yang telah mengundang kami ke acara ini dan kepada kedua orang tua Valen yang telah menyambut kami, dan saya mohon maaf apabila lagu yang akan saya nyanyikan--”
“Laaah! Sok formal lah!” Enggar berteriak memotong kalimatku, lalu ia pun tertawa bersama teman-teman yang lain
Seketika itu juga, ruangan menjadi ramai. Aku tersenyum kepada teman-temanku yang selalu bisa membuatku tertawa.
“-- apabila lagu yang saya nyanyikan akan merubah atmosfer dan suasana disini. Selamat menikmati. Saya persembahkan sebuah lagu, khusus untuk Valen seorang.” kulanjutkan kata-kataku dan kuakhiri kalimat terakhir yang kutujukan kepada Valen dengan sebuah senyum, semanis yang aku bisa.
Valen melipat tangannya dan bersandar pada sofa berwarna merah maroon. Ia menatapku dengan gelisah.
Kupetik gitarku dengan syahdu. Jeritan lagu “October” karya Evanescence membelah keramaian acara ulang tahun itu. Semua teman-temanku terkesiap.
Tawa mereka terhenti dengan tiba-tiba.
Suasana berubah menjadi tidak nyaman. Bukan lagi sebuah pesta ulang tahun yang meriah dan ceria, tetapi berubah menjadi acara ulang tahun yang diliputi kesedihan dan bertemakan sorrow.
Semuanya memandangku dengan tatapan terkejut, tidak percaya. Sebagian menggeleng-geleng, beberapa menunduk, dan beberapa lainnya menatap Valen dengan sedih sementara cewek cantik bergaun mewah itu terbelalak memandangku.
I can't run anymore
I fall before you
Here I am
I have nothing left
Though I've tried to forget
You're all that I am
Take me home
I'm through fighting it
Broken
Lifeless
I give up
You're my only strength
Without you
I can't go on
Anymore
Ever again
My only hope
(All the times I've tried)
My only peace
(To walk away from you)
My only joy
My only strength
(I fall into your abounding grace)
My only power
My only life
(And love is where I am)
My only love
I can't run anymore
I give myself to you
I'm sorry
I'm sorry
In all my bitterness
I ignored all
That's real and true
All I need is you
When night falls on me
I'll not close my eyes
I'm too alive,
And you're too strong
I can't lie anymore
I fall down before you
I'm sorry
I'm sorry
My only hope
(All the times I've tried)
My only peace
(To walk away from you)
My only joy
My only strength
(I fall into your abounding grace)
My only power
My only life
(And love is where I am)
My only love
Selama aku dan Lia menyanyikan lagu tersebut, aku tidak mengalihkan pandangan dari petikan-petikan gitarku. Aku tidak mampu, aku tidak sanggup. Mungkin bagi beberapa orang, apa yang aku lakukan ini adalah suatu tindakan pengecut. Well, I have my own reasons.
Baru setelah bagian reff terakhir, aku berani mengangkat wajahku, kutatap mata Valen dengan terus menyanyikan bagian itu sepenuh hati. Ia tampak shock, Valen menutupi mulutnya dengan tissue, entah apa yang kulihat itu benar atau tidak, tapi sepertinya kedua mata indahnya berkaca-kaca. Namun aku tidak sempat mengkonfirmasi hal itu.
“Terima kasih buat kesediaan teman-teman mendengarkan lagu ini” ucapku sambil menunduk, “buat Valen, happy birthday. I wish for your happiness. Now, I gotta go”
Gitar akustik berwarna cokelat mahoni itu kuletakkan di sebelah bangku tempatku duduk. Aku berdiri dan menuruni stage dengan gontai, sementara tiap pasang mata memperhatikanku.
Aku pergi begitu saja keluar ruangan. Aku kembali ke mobil dan memacu Accord-ku secepat yang aku bisa setelah aku merusak acara yang seharusnya menjadi momen bahagia untuk Valen.
===================================
Kota X bagian selatan, perumahan elite “Paradise Residence”
Pukul 19.32 WIB
Sebuah rumah mewah dengan halaman luas tampak berdiri dengan angkuh. Lampu-lampu taman yang memancarkan cahaya kekuningan menambah megah rumah tersebut.
Aku duduk di bangku teras, meminum segelas wine merah sementara Enggar melaporkan kejadian tadi sore.
“Valen...dia--”
“Kenapa?” potongku cepat
“Valen, dia nangis tadi sore...” ucap Enggar bersungguh-sungguh
“Oh...so? Am I supposed to say 'wow' then?” jawabku sok tidak peduli
Kutawarkan segelas minuman kepadanya yang disambut gelengan kepala.
“Apa kamu nggak merasa bersalah gitu Van?” ia bertanya dengan hati-hati sembari memainkan jam tangan Swiss Army berharga ratusan ribu rupiah di pergelangan tangannya
“Nggak” kutatap bintang yang berkelap-kelip dilangit pada malam yang dingin ini
Dan berakhirlah percakapan antara aku dan sahabatku malam itu. Enggar pulang dengan wajah kecewa. Namun ia sempat berkata, “Tolong jangan rusak kebahagiaan Valen besok” yang tentu saja meninggalkan sejuta tanda tanya di pikiranku.
Hari-hari di sekolah kulalui dengan berat. Setiap hari aku harus bertatap muka dengan Valen. Maka, aku menganggap hari ini sama dengan hari-hari yang lalu dimana aku duduk di kelas dan terus menerus berada di dekat Valen walaupun aku sudah berusaha menjauh.
Aku melirik jam tanganku, pukul 09:55, sudah 2 jam pelajaran aku di kantin. Dengan langkah gontai aku masuk ke kelas. Aku sudah siap-siap dimarahi guru karena bolos jam pelajaran dan malah menghabiskan waktu di kantin tadi, menggalau. Dengan tatapan tertuju ke keramik putih, aku mengetok pintu kelas.
TOK TOK TOK!!
“Maaf pak, saya tadi habis dari UKS, kepala saya pusing…” aku beralasan
Tapi tak ada suara yang terdengar dari arah meja guru, hanya ada suara berbisik-bisik dan lambat laun terdengar suara langkah kaki yang ringan berjalan mendekat.
“Ah…kena omel nih…” batinku
Suara langkah kaki itu berhenti tepat di depanku.
“Van” sebuah suara lembut memanggilku
Dengan kaget aku mendongak dan menemukan Valen berdiri di hadapanku. Aku melirik ke balik bahunya, tidak ada guru di meja depan. Aku melirik ke papan tulis, ada tulisan spidol hitam yang isinya menyuruh murid-murid mengerjakan tugas.
“Van!” suara Valen agak meninggi
Aku terkejut dan buru-buru kutatap kembali matanya. Teman-teman sekelas menatap kami dengan penasaran. Beberapa anak tampak menggerombol dan berbisik-bisik sambil melirik kearah aku dan Valen yang berdiri di depan kelas.
“Van, ini masalah hubungan kita” ucapnya serius
“Shit! Kenapa dia ngungkit-ungkit masalah ini di depan kelas?!!” umpatku dalam hati
“Apa bener yang temen-temen omongin? Lo masih nunggu gue?” secercah harapan tampak di mata cewek cantik yang kini berada di hadapanku
“Gue...gue mau minta maaf...gue nggak ngeliat elo selama ini...” air menggenang di mata indahnya
“...”
“Gue nyesel udah nyia-nyiain elo......gue terus aja nipu diri gue sendiri...gue selalu bilang ke diri gue sendiri kalo gue nggak cinta sama elo...walaupun kenyataannya berbeda...” satu tetes, dua tetes, dan kemudian air mata mengalir membasahi pipi dan wajah cantik Valen
“...”
“Gue...saat ini juga gue pengen nyatain perasaan gue ke elo yang sebenernya, lagu yang elo nyanyiin buat gue kemarin bikin gue tersadar kalo ternyata gue juga cinta sama elo...gue berharap, elo masih nunggu gue hingga detik ini...gue cinta sama elo Van, mau nggak lo jadi cowok gue?” ucapnya dengan terbata-bata
Bila dilihat secara sosiologis, bisa dikatakan bahwa ini adalah suatu penyimpangan sosial positif, dimana penyimpangan yang terjadi tidak merugikan siapapun.
Kualihkan pandangan ke teman-temanku. Enggar, Dani, Novi dan Lia duduk menggerombol, dengan jahil mereka melantunkan satu bait dari lagu “Forgive Me”.
'Cause you were made for me
Somehow I'll make you see
How happy you make me
I can't live this life
Without you by my side
I need you to survive
So stay with me
You look in my eyes and I'm screaming inside that I'm sorry
Dan lagu itu menjadi backsound percakapan diantara aku dan Valen.
Aku merasa aneh. Setelah apa yang dia katakana dulu? Kemana perginya kalimat yang mengatakan kalau dia tidak ingin memulai hubungan baru dengan cowok?
Aku menatap tajam matanya, berusaha mencari kejujuran.
“Kamu serius? Aku nggak punya waktu buat main-main!” ucapku tegas karena merasa dipermainkan
“I..iya Van…se…serius…”
Aku menatap matanya sedalam mungkin, dan ternyata Valen memang serius dan ia tidak berbohong. Namun, setelah apa yang dia lakukan, sekarang tiba saatnya buatku untuk mempermainkan perasaan Valen walaupun hati kecilku memberontak berusaha menghalangi niatku itu.
“Nggak...” jawabku singkat, kutatap tajam matanya
Semua teman-temanku terkejut. Mereka tidak menyangka aku akan berkata seperti itu. Grup paduan suara tadi juga sampai berhenti bernyanyi. Menatapku dengan melotot, tidak terima.
“Gue...gue ngerti Van...inilah akibatnya karena gue udah mempermainkan perasaan lo...gue udah nolak lo yang mencintai gue sepenuh hati, dan kini tiba waktunya buat elo untuk nolak gue...gue sadar sepenuhnya kalo ini kesalahan gue...” ia menundukkan kepalanya, menangis tersedu-sedu
Kupegang kedua bahunya, menghela nafas dan berkata,
“Nggak...aku yang harusnya bilang 'Valen, mau nggak kamu jadi cewekku?' sekali lagi ke kamu” aku tersenyum nakal merasa senang berhasil mengerjai cewek ini
Entah kenapa, segala keraguanku menghilang setelah mengetahui bahwa Valen tidak main-main. Dan langsung saja aku mau menjalin hubungan dengannya, mungkin tidak rasional, tapi itulah cinta...aku sendiri tidak tahu mengapa aku begitu mudah berubah pikiran terhadapnya.
Valen mengangkat wajahnya dengan terkejut. Selama beberapa momen, ia tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya, namun setelah tersadar, ia segera mengangguk-angguk mantap. Sebuah senyum merekah dibibir tipisnya.
“Huuuuuuuuuuuuuuu!!!” spontan sekelas ber-koor ria meneriaki aku yang tersenyum bahagia. Ketegangan mencair dan suasana kelas berubah ceria.
"Goblok lo Vaan! Hahahaha!"
"Yaaaah! Ternyataaaa!"
Banyak lagi teriakkan teman-teman yang mengiringi
“Uuuh! Jahaaatt!” Valen menyeka air matanya dan berkata dengan manja
“Jadi, kita resmi pacaran nih?” tanyaku kepada bidadari yang tengah menghapus sisa-sisa air matanya dihadapanku ini
“Iya sayaaang...!” ia mencubit lenganku dengan gemas sambil tersenyum
Kelas pun bersorak sorai dengan heboh, kebanyakan dari anak-anak cowok yang jarang menyaksikan 'penembakan' terjadi. Karena begitu kerasnya, beberapa guru sampai datang mengecek ke kelas kami, membuat keramaian tiba-tiba surut. Aku dan Valen duduk berdampingan, dengan senyum tersungging di bibir masing-masing.
=================================================
Seolah-olah tidak ada kendala berarti dalam hubungan kami...
Seolah-olah kami memang ditakdirkan untuk bahagia sekarang dan seterusnya...
Itu tiga bulan yang lalu....this is just the beginning of my 'true' life...
PRESENT DAY....
21:57
Suara jeritan...
“Kyaaaaaaaaaaaa!!”
Suara tamparan...
PLAK! PLAAAKK!!
Bunyi kain disobek....
Brreeeeeettt!
Secarik kain yang tadinya merupakan t-shirt Valen kubuang seenaknya ke lantai.
Hotpants Valen tergeletak di lantai lengkap dengan celana dalamnya, sementara sang pemilik tengah meronta-ronta diatas kasur bersama seseorang, aku.
Valen merangkak berusaha menjauhiku. Mataku gelap, nafsuku sudah jauh melampaui batas normal.
"Kyaaaa!!" Valen menjerit ketika pergelangan kaki kanannya kutangkap
Dengan sangat kasar kutarik tubuhnya mendekat. Valen menangis, menggapai gapai berusaha mencari pegangan.
"Berhenti Van, gue mohon! Please--iyaaaaaaahh!" jeritnya ketika lidahku kembali menyusuri vaginanya dari belakang
Valen hanya bisa menangis pasrah ketika tubuhnya kubalikkan. Lepasnya lidahku memberinya waktu untuk bernafas sebelum akhirnya Valen harus kembali merasakan sesuatu yang kasar dan hangat menjelajahi bagian tubuhnya yang sangat sensitif.
Nafasku cepat dan pendek bak kuda pacu yang dikebut habis-habisan.
Valen melenguh dan mengerang merasakan paha dan betisnya digerayangi oleh tanganku, menciptakan suatu kenikmatan yang tak terelakkan meskipun hatinya memberontak, tidak sudi diperlakukan seperti ini.
"Aaakh....aaaakh...!!" sesekali ia merintih ketika lidahku mencucuk daging segar berwarna pink dan menyentil klitoris miliknya
Rangsangan yang diterimanya semakin hebat tatkala jariku menjamah payudara dan memilin-milin putingnya yang berwarna pink
Selangkangannya menerima rangsangan bertubi-tubi membuat tubuh cewek blasteran ini gemetar menahan nikmat. Air matanya mengalir deras. Ia merasa dilecehkan dengan pemerkosaan yang dijalaninya saat ini.
"S...stop Van...gue mohon" erangan cewek yang sekarang berstatus pacarku itu tidak kuhiraukan
Matanya yang sayu menatapku dengan berlinang air mata, tidak sanggup bertahan dengan pejantan yang haus akan birahi di hadapannya ini.
'Sluruup...sluuuurp...sluuurp!!'
Hanya suara jilatan pada vagina Valen yang terdengar mengiringi desahan-desahan seksinya
Sesekali ia menatap nanar kearah selangkangannya, menatap kepala yang sibuk menikmati liang surgawi kepunyaanya.
Walaupun sebenarnya ia tidak mau, namun pahanya menjepit kepalaku seolah tidak rela melepaskan lidah hangat yang tengah memberi dirinya kenikmatan. Jilatan demi jilatan diterima oleh vaginanya, tubuhnya mengejang tiap kali lidahku menyentuh klitorisnya.
Naluriku mengambil alih, kujilat hanya pada bagian klitorisnya, kujilat dan kuhisap dengan ganas. Tubuh mudanya tidak mampu menahan nikmat yang dihasilkan oleh stimulasi pada klitorisnya, tubuh Valen tergoncang-goncang dengan hebat.
"Kyaaaaaaa!! Aaaaaaakkhh....aaakkhh...aaaaaaahh...!!!!" jerit kenikmatan meluncur dari bibir tipisnya.
Valen mendongak, menatap langit-langit dengan mata sayu, lidahnya terjulur menandakan tubuhnya sedang dilanda kenikmatan tiada tara sementara mulut di selangkangannya tak henti-hentinya menjilat, menghisap dan menggigit vaginanya yang tercukur bersih.
"Aaagh!! Uuaaah!! Argh!"
Valen telah sampai di depan gerbang kenikmatan duniawi
Sesaat kemudian tubuhnya melengkung dan mengejang. Seluruh otot di tubuh seksinya menegang, merasakan deru kenikmatan melanda setiap sudut vaginanya.
"AAAAAAHHHH!!" Valen menjerit ketika ia meraih orgasme pertamanya malam ini walau dengan cara yang tidak menyenangkan
Namun malang baginya. Ia yang menabur, maka ia sendiri yang menuai hasilnya.
Valen benar-benar sudah di ambang batas kesadarannya. Ia tunduk, menyerah kepada lidah yang menyetubuhinya bahkan saat ia tengah orgasme.
Tubuhnya serasa tanpa tulang karena kelelahan yang amat sangat. Peluh membasahi tubuhnya, membuat ia tampak semakin menggairahkan, namun, naluri hewaniku kembali mengambil alih kendali.
Nafas Valen berat, megap-megap seperti ikan yang diangkat dari air. Ia mengambil posisi menelungkup, berharap itu bisa membuatnya merasa lebih baik. Kesadarannya semakin menjauh, semuanya berangsur gelap ketika tiba-tiba sebuah benda tumpul hangat menempel pada bibir vaginanya. Pikirannya tidak cukup jernih untuk menerka benda apakah yang berusaha memasuki vaginanya yang masih rapat.
Ukuran benda itu besar dan masih meliuk-liuk berusaha memasuki tubuhnya menciptakan sensasi geli sekaligus membuatnya merinding memikirkan apa jadinya kalau benda itu berhasil memasuki vaginanya.
Detik berikutnya, yang ia rasakan adalah perih, perih dan perih yang amat sangat, Valen ingin mengeluarkan benda apapun itu, namun tangannya tidak dapat digerakkan begitu pula kakinya.
“Aaaaaaaaaaaaahhhhh!!!!!"
Maka ia hanya dapat menjerit putus asa, merasakan bagaimana benda asing yang seperti belut berukuran besar itu memasuki tubuhnya, membuat vaginanya terasa seperti sobek dan terasa mengganjal.
"Uuuuuuh!" aku melenguh ketika penisku berhasil menerobos masuk vagina milik Valen, memberikan kenikmatan.
Darah mengalir dari antara bibir vaginanya yang kini berwarna kemerahan.
Valen berbaring telungkup, membenamkan wajahnya pada bantal, tangannya meremas sprei dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
Ia hanya mampu menangis dan menangis merasakan 'hewan' yang tengah menikmati kehangatan tubuhnya. Aku menggerakkan penisku maju mundur dengan liar tak teratur.
Tubuh mulus Valen terpental-pental ketika aku menyodok vaginanya dari belakang. Kedua bukit kembarnya juga tak luput dari tanganku, kuremas-remas dengan gemas.
"Aaaakh...aaaakh....iyaaaah!!" Valen menjerit kecil setiap kali penisku menghunjam dalam-dalam.
Beberapa lama kemudian Valen sudah berhenti menangis, tampak rona merah di wajah cantiknya itu menandakan kalau dia juga horny, menikmati persetubuhan yang kami lakukan.
Rambutnya yang diikat ekor kuda menjuntai kebawah, basah oleh peluh.
Sprei kasurnya yang berwarna pink basah oleh peluh, air mata, cairan orgasme, lendir vagina, darah dan cairan pre-cum milikku.
Tubuhnya kembali bergetar, tangannya menggapai-gapai.
"Aaaaahh!!" ia menjerit seksi ketika berhasil meraih orgasme ketiganya. Vaginanya meremas-remas benda-asing-tumpul yang tak lain adalah penisku dengan lembut.
"Oookh!! Aaahh...cukup Van! U...udah...cukup!! Gue bi...bilang...aaakh....cu....aaah...cukup Van, CUKUP!!" ia menjerit sejadi-jadinya dengan tenaga yang masih tersisa, berharap aku akan menghentikan persetubuhan ini
Valen benar-benar tak berdaya, penisku menyodok bahkan ketika ia orgasme. Ia terbaring telungkup dengan lemas, matanya sudah sangat sayu, nafasnya tersendat-sendat.
"Gu...gue...ca..capeek...aaaakh...gue...gue nggak...aaahhh...kuat..." kesadaran Valen berangsur menghilang.
Ia kembali menangis
"Si...sialan lo...aaaahh...bu...bunuh aja gue sekalianhhh..." geramnya kepadaku.
Sorry dear, the drug you gave me, it make me lost control of my own body. You're on your own.
Sudah 40 menit ritual biadab ini berlangsung. Akupun sudah hampir sampai klimaksnya.
Penisku menggesek dinding vagina milik Valen dengan gagah tanpa ampun.
"Aaaaakhhh...aaaahhhh!! Ooooh...I'm cum...cumming!! Iyaaaaaahh!!" jeritnya putus asa, tubuh Valen bergoncang menyambut orgasme
Dalam kondisi fisik yang terus melemah akibat multi orgasme, kelelahan baik fisik maupun mental, Valen berusaha bertahan.
"Nnnggh!" aku menggeram. Penisku sudah siap menembakkan sperma, tidak tahan dengan jepitan vagina milik Valen
Aku menyodokkan penisku dalam-dalam.
Crott! Crooott croott!!
"Kyaaaa!!" Valen menjerit kecil ketika merasakan cairan kental yang hangat tiba-tiba dituangkan kedalam vagina nya
Plooopph!
“Aaaaakkh...” ia mengerang sewaktu penisku kucabut dengan sekali tarik
Tangan kanannya bergerak menuju selangkangan dengan gemetar.
Jemari lentiknya dimasukkan kedalam vagina, mengambil sampel cairan yang disemprotkan olehku kedalam tubuhnya.
Setelah ia melihat jemarinya yang lengket dilumuri oleh cairan putih, kental, hangat dan berbau tajam itu, Valen mendesah dan memejamkan mata.
Ia menyerah kepada rasa lelah dan jatuh tertidur.
Tak lama kemudian, aku pun menyusul. Tergeletak kelelahan disampingnya dan tertidur.
Aku terbangun ketika mendengar isak tangis seorang cewek...
Pelan-pelan kubuka mataku yang harus bekerja keras untuk beradaptasi dengan cahaya lampu yang terang.
Kulihat Valen tengah duduk di kasur, tangannya memegangi selimut untuk menutupi tubuhnya yang telanjang, persis di film-film pemerkosaan. Aku kaget dan heran, setelah melihat tubuhku sendiri yang telanjang, aku bertambah kaget. Aku bangun dan duduk.
“Astaga...apa yang udah aku lakuin?!” teriakku panik
Valen masih terisak-isak, ia hanya menatapku dari sudut matanya. Pipinya basah dan matanya merah.
“Lo pasti udah tau...apa yang lo lakuin ke gue malem ini...lo puas Van?” tanya Valen dengan nada kecewa
“A...aku? Aku? Ngapain?”
“Lo liat sendiri! Lo sendiri yang ngelakuin! Lo udah perkosa gue!!”
Valen menjerit histeris sambil memukul-mukul lenganku
“Gue nggak keberatan kesucian gue lo renggut! Tapi nggak sekasar tadi!! Lo tuh nyiksa gue tau nggak?!”
“Apa?! What the hell...what have I done?” aku mengusap wajahku, bingung
Memang, itulah kenyataannya....antara sadar dan tidak, aku mengingat semua yang aku lakukan terhadap Valen. Aku begitu menyesal sudah membiarkan nafsu menguasaiku.
Pikiranku benar-benar keruh, perasaan menyesal, rasa bersalah dan kecewa bertumbukan menjadi satu.
Kusapukan pandang kesegala arah. Tatapanku tertuju kepada botol kecil di meja kecil disebelah tempat tidur Valen. Sepertinya, aku pernah melihat botol itu disuatu tempat... akan tetapi bukan di tempat baik-baik.
Aku membaca label yang terpasang pada botol kosong itu.
“O...obat perangsang??!!” tanyaku histeris, aku menoleh kearah Valen
Valen mengangguk pelan, air mata masih mengalir dari mata hijaunya yang indah.
“Tunggu...jangan bilang kamu masuki obat perangsang ini ke minumanku tadi”
Kalimatku disambut dengan anggukan lemah lagi
“Kenapaaaaaaaaa?!!” aku mengerang
“Karena gue pengen ngebuktiin ke elo kalo gue bener-bener sayang sama lo!”
“Gue tau, lo nggak akan berani macem-macem ke gue dalam keadaan normal, tapi kalo gitu caranya, gimana gue bisa ngebuktiin rasa sayang gue?! Gue nggak mau lo jadi kayak Steven! Dia bilang dia jadi kayak gitu gara-gara kekurangan kasih sayang dari gue!! Gue nggak mau lo kekurangan kasih sayang gue!”
Tangisnya bertambah. Semakin banyak air mata mengalir.
“Makanya...makanya gue...gue ngasi obat perangsang ke lo, biar lo nggak nolak...gue pengen lo tau kalo gue tu sayang sama lo sepenuhnya...”
“Tapi” tatapan matanya berubah tajam
“Tapi dengan kejadian tadi, gue jadi tau kalo lo tu nggak sayang sama gue, yah walaupun dengan tebusan gue harus kehilangan kesucian gue cuma buat mengetahui fakta yang pahit”
Aku tidak habis pikir. Apa yang Valen jelaskan benar-benar tidak masuk akal.
Otakku tidak mampu berpikir jernih.
“Nggak gitu sayang...aku tuh sayang banget sama kamu tau nggak?” aku kembali duduk disampingnya, membelai lembut rambutnya. Valen tidak menolak maupun menghindar.
“Lo? Sayang sama gue?” matanya menerawang menatap sprei kasur
“Iya...percaya deh....” ucapku berusaha meyakinkannya
“Kalo lo SAYANG sama gue, lo nggak akan tega ngelakuin hal kayak tadi. Lo nampar gue cuma supaya gue ngelayanin nafsu lo pake tubuh gue. Lo tuh binatang, nafsu sama tubuh gue doang, lo nggak pake perasaan lo, lo nggak nunjukkin sedikitpun kalo lo cinta sama gue” ia tersenyum, senyum melecehkan
“Ternyata semua cowok sama aja....lo juga nggak ada bedanya...” bisik Valen
Aku terdiam. Kata-katanya ada benarnya juga. Tapi apakah mungkin aku bakal setega itu terhadapnya?? Apa aku akan tega menampar Valen?! Tidak, aku mengenal diriku sendiri. Aku tidak akan pernah berlaku kasar pada seorang cewek, apalagi dia pacarku. Ada yang tidak beres.
Aku memainkan botol kosong itu dengan tangan, ketika tiba-tiba suatu pencerahan muncul di kepalaku.
“Tunggu...kamu masukin semua ini ke minumanku?? Satu botol penuh?”
“Iya....satu botol penuh...” jawab Valen lirih
“Pantessss!!” seruku setelah mengerti penyebab semua tragedi ini
Valen menoleh, menatapku dengan pandangan tak mengerti.
Aku menunjukkan tulisan “...1/4 botol setiap pakai...” yang tertera pada label botol
“Kamu ngasih ni obat, overdosis! Di petunjuk kan bilang, cukup ¼ botol tiap pake...tapi kamu malah masukin semuanya....ya jelas aku jadi kayak tadi!”
Valen membacanya dan tampak merenung...
“Kamu ngasih aku minum pas aku lagi bener-bener haus, sementara satu botol cairan laknat ini ada di minumanku yang kutenggak sampai habis. Yaa otomatis aku sama aja minum ni obat satu botol...makanya nafsuku mbleduk nggak wajar kaya tadi” jelasku panjang lebar kepada Valen
Ia manggut-manggut dengan wajah bloon. Ia berhenti manggut-manggut dan menoleh kearahku lalu berkata “Berarti, lo beneran sayang sama gue? Bukan karena tubuh gue?”
“Ya iyalah, sayang...kalo nggak, buat apa aku rela nungguin kamu berbulan-bulan?” aku tersenyum dan membelai kepalanya
“Sekarang gue yang minta bukti dari lo...” ucapnya serius
"Gue minta lo ngasih bukti ke gue kalo lo--mmmpppffffttt!!" kalimatnya terpotong ketika kukecup bibirnya dengan lembut
Valen agak meronta dan melawan sebentar, tetapi kemudian hanyut terbawa suasana. Ia dapat merasakan 'bukti' yang kuberikan, bukan berupa kata-kata gombal penuh kebohongan, bukan dengan harta dan materi yang berlimpah ruah, akan tetapi hanya dengan sebuah kecupan sederhana.
Ia melepaskan pelukanku dan meletakkan jari telunjuknya di bibirku lalu tersenyum. Senyuman yang penuh arti. Aku pun tersenyum.
Hari itu aku telah merenggut kesucian Valen...dengan cara yang memalukan...sampai-sampai aku masih tidak dapat memaafkan diriku sendiri.========================================== ==================================
Awal liburan yang sangat panjang....
Suatu siang, Valen sedang bermain di rumahku. Kami tengah asyik berbincang-bicang di tepi kolam renang . Cuaca yang lumayan panas hari itu memaksa kami untuk berteduh bibawah naungan pohon pinus yang menjulang tinggi.
Aku tengah menikmati suara tawa Valen yang merdu, senyumnya yang memikat siapapun dan wajahnya yang menawan. Rambut panjang kemerahannya melambai ditiup angin sepoi-sepoi. Kami berdua duduk di tepi kolam sembari mencelupkan kaki kedalam air yang jernih.
Ketenanganku tiba-tiba terusik oleh bel pintu rumah yang dibunyikan berkali-kali, sang tamu pasti sudah benar-benar tidak sabar. Dengan setengah hati aku berlari masuk rumah, melewati ruang tamu dan menuju pintu.
Aku tergesa-gesa berlari kearah pintu depan. Kuputar handle pintu dan pintu kayu jati coklat itu mengayun terbuka.
Bukan wajah yang aku lihat, melainkan punggung. Punggung seseorang yang tingginya kira-kira hampir sama denganku, ia mengenakan jaket kulit berwarna putih gading yang kelihatannya mahal.
“Ada yang bisa saya bantu mas?” tanyaku hati-hati. Orang itu tampaknya mencurigakan.
Perasaanku was-was dan tidak enak. Apalagi sekarang aku sedang dalam keadaan unarmed karena sedang bersantai. Pembantuku ibu-ibu semua, bisa apa mereka? Aku terus menatapnya dengan curiga, berharap tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Cowok itu mendengarku dan ia membalikkan tubuhnya, kini menghadap kearahku. Ia mengenakan kacamata hitam Oakley yang sporty. Di luar pagar, terparkir sebuah Honda All New Civic berwarna hitam mengkilap dan sangat jelas terlihat bahwa pemiliknya pasti merawatnya dengan sangat baik. Di belakang cowok itu berdiri seorang cewek, sepertinya blasteran juga, sama seperti Valen. Cewek itu cantik. Ehm...sangat cantik.
Ia mengenakan kaos putih bertuliskan “What are you looking at?” sementara dibaliknya dua bongkah buah dada membusung dengan indah, wajahnya ramah didukung dengan rambut hitam panjang yang tergerai indah, sama seperti cowok tadi, ia juga mengenakan jaket berwarna cokelat gading, jaket couple sepertinya.
“HEI!!” bentak cowok itu ketika menyadari aku tengah 'menelanjangi' cewek yang kutebak adalah pacarnya
“Ah! Iya...iya mas! Kenapa? Gimana? Ada yang bisa saya bantu?” aku tergagap, panik karena busted tengah mengamati si cewek
“Benar ini rumah mas Evan?” tanya si cowok dengan tegas tanpa senyum
“I..iya...benar...ada apa yah?” perasaanku was-was, namun melihat si cewek yang tengah tersenyum-senyum, aku menjadi agak rileks
“Kamu tau siapa saya?!” ucap si cowok dengan tegas dan agak membentak
Diajak bicara dengan nada begitu, emosiku naik
“Siapa?! Ini rumahku! Sopan dikit napa?!”
Ia melepas kacamata hitamnya. Aku tersentak kaget, tidak percaya dengan apa yang aku lihat.
“K-kamu...k-kamu kan...” aku tergagap menatap wajahnya, kepalaku menggeleng keras
“Van, siapa sih? Kok lama amat? Emang siapa yang-” Valen ternyata menyusulku, seperti aku, ia pun terpana menatap cowok yang tersenyum ramah di hadapan kami
“Cousin!” seruku dengan suara dan logat menirukan Stitch
Aku menubruknya keras sekali. Kami berpelukan bak sahabat yang baru bertemu setelah beberapa tahun berpisah.
“Woah...woah...sabar Van...ahahaha” cowok itu tertawa sambil melepaskan pelukanku
“Siapa si dia Van?” tanya Valen tanpa mengalihkan tatapannya dari si cowok
“Ini Arif, sepupuku!” aku dengan bangga memperkenalkannya
Dia adalah Arif, sepupu dekatku. Kami memang jarang bertemu karena berbeda kota dan kami sibuk, okay, DIA yang sibuk dan aku tidak, aku nggak malu mengakui itu.
Tingginya hampir sama denganku, wajahnya mirip dengan Lee Min Ho, begitu juga dengan model rambut ketika si Lee Min Ho bermain di serial K-Drama City Hunter. Usia kami terpaut beberapa bulan, ia lahir di tahun yang sama denganku namun beberapa bulan lebih tua. Ia adalah anak dari kakak kedua ayahku.
“Sepupu?” tatapan Valen masih tertuju pada sepupuku itu, takjub
Si cewek yang datang bersama Arif melangkah maju, ia melambaikan tangannya di depan wajah Valen sambil tersenyum.
“Udah...jangan diliatin terus, ntar naksir loh! Hehehe” cewek itu terkekeh
Valen segera tersadar, pipinya merona merah karena malu.
“Ma...maaf...” ucap Valen lirih
Aku jadi merasa tidak enak kepada si cewek karena perbuatan Valen.
Untung Arif segera mencairkan suasana
“Hahaha...jangan gitu...” Arif melingkarkan tangannya di pinggang si cewek
“Evan, ini pacarku...namanya Ira...” ucapnya kepadaku
“Hai...namaku Ira...Ira Selva Divina” cewek itu menjulurkan tangannya kepadaku dan kepada Valen, sementara Valen menyambut tangannya dengan agak ragu-ragu
“Kenapa?” Ira bertanya dengan heran kepada Valen yang sedari tadi menunduk
“Gue...gue udah lancang...maafin gue....” Valen berkata lirih
Arif menatapku dan mengangkat sebelah alis, seolah bertanya “Kenapa sih cewek itu?”
Aku menjawab dengan senyum yang bermakna “Nggak apa...itulah Valen”
Ira tertawa kecil lalu berkata
“Aduuuh...cuma masalah kaya gitu juga...nggak apa kali...serius amat”
“Diliatin sepanjang hari juga nggak apa-apa...mau buat kamu, dibungkus, dibawa pulang juga nggak apa-apa. Hehehe” Ira menambahkan sambil tersenyum menatap Arif dan menjulurkan lidahnya
“Heeeii! Jangan gitu...kalo nggak ada aku ntar kamu kangen” Arif memeluk pacarnya dari belakang, lalu mereka berdua tertawa. Mesra sekali.
Kami juga tertawa melihat tingkah mereka berdua.
“Nama kamu siapa?” Ira bertanya kepada Valen
“Caroline Valentina. Panggil aja Valen” jawab Valen ceria
Kami berempat ngobrol-ngobrol agak lama di teras depan.
Ternyata Arif dan Ira akan tinggal di kota ini cukup lama, namun aku tidak bertanya lebih jauh kenapa. Awalnya mereka bingung akan menginap dimana, aku mengusulkan Arif menginap dirumahku dan Valen mengusulkan Ira menginap dirumahnya. Sesaat kemudian, sepasang kekasih itu mengangguk setuju.
Setelah beristirahat sejenak, kami berempat menuju kerumah Valen, tempat Ira akan menginap.
=============
Several days later....
Point of view : Ira
Mall Green Clover, sebuah mall bertingkat 7 yang selalu dipadati pengunjung setiap hari. Fashion level, lantai 4.
"PULANG SEKARANG!" Evan membentak
"IYA! TAPI NGGAK USAH TERIAK-TERIAK GITU BISA NGGAK SI LO?!" Valen menjerit, berusaha melepaskan cengkeraman Evan pada lengannya
"DIAM!!"
"LO YANG DIEM!! INI TEMPAT UMUM TAU NGGAK?!!"
"OH YA?! APA AKU PEDULI?!!"
"DASAR COWOK BEBAL!" Valen memaki Evan dengan marah
"APA?! BILANG SEKALI LAGI!"
"COWOK BEBAL! LO ITU COWOK BEBAL!!"
"CUKUP! PULANG SEKARANG!!" Evan menyeret Valen untuk pergi, namun Valen masih meronta-ronta
Kami melakukan suatu hal bodoh. Yup, ribut-ribut masalah pribadi ditempat umum seperti ini bukanlah ide yang bagus. Para pengunjung mall berhenti dan mengerumuni kami, menjadikan kami bahan tontonan.
"Arif! Lakuin sesuatu dong!" aku berbisik sambil menyikut lengan pacarku yang tampak tidak peduli
Ia malah sibuk melihat-lihat kaos yang terpampang rapi. Aku bingung kenapa ia bisa setenang ini.
Orang-orang semakin banyak mengerubungi kami.
"Udah tenang aja sayang...hehe...serahkan pada mereka" Arif melingkarkan kedua lengannya di pinggangku, mau tidak mau membuatku merasa agak tenang
Bapak-bapak, ibu-ibu, anak kecil, cowok cewek semuanya menyaksikan kedua temanku itu berseteru. Anehnya tidak ada satpam yang melerai. Tiba-tiba seorang cowok maju dari kerumunan.
"Bro, lo jangan kasar-kasar sama cewek dong..." ucapnya sok cool
"Widih...pahlawan tuh sayang. Mau minta tanda tangan nggak?" kata Arif kepadaku, mengejek si cowok. Ia menyandarkan dagunya pada bahuku
"BUKAN URUSANMU!" bentak Evan menanggapi tantangan cowok tadi
"Oh ya? Kalo gitu, lepasin cewek itu" ia tersenyum sinis
"Fuck yourself!" Evan hendak beranjak pergi dengan menarik lengan Valen
"Hoi anjing. Gue ngomong sama lo!" bentak cowok itu
TEK!! Evan berhenti dan mematung.
Aku menatap Arif dengan tidak terima. Ia hanya menjawab dengan senyum lalu berkata,
"Uups...saklarnya putus nih..." ia kembali menatap Evan
"Apa kamu bilang?" Evan berbalik menatap si cowok dengan marah
"Anjing. Lo denger? A-N-J-I-N-G. Budeg apa lo?"
"..."
"Mending lo lepasin tuh cewek sebelum gue..." ia mengepalkan tangan di depan wajah Evan
"Sebelum apa?!" tantang Evan
JBUUUUGGG!!
Evan terjungkal kebelakang, mengantam beberapa trolley berisi pakaian. Cowok itu menarik lengan Valen kearahnya sementara sang cewek terkejut bukan main melihat pacarnya dipukul orang asing.
"Sebelum gue kepret lo bego..."
"Tenang, lo aman sekarang" ia melemparkan senyum pada Valen yang membuatku jijik
Evan bangkit dengan sempoyongan, menyeka sudut bibirnya yang mengucurkan darah. Ia menghela nafas dengan berat, siap bertempur. Aku benar-benar cemas kali ini, kutatap Arif dan aku begitu kaget melihat kini ada kekhawatiran dimatanya.
"Aduh...malah gini jadinya....Evan, sabar Van...jangan....aku mohon jangan ngamuk disini..." Arif bergumam gelisah
Valen kini meradang marah menatap Evan yang tampak sibuk mengusap-usap pipi kirinya yang membiru.
"Kenapa? Lo nggak terima hah?" tantang si cowok sok pahlawan itu lagi ketika melihat Evan bangkit
Dengan kecepatan yang mengagumkan, Evan menerjang balik cowok tadi dengan tangan mengepal.
"Wah...mati tuh cowok..." kudengar Arif bergumam pelan
Kini Evan sudah berada di hadapan cowok itu, gerakannya seolah tidak dapat dihentikan dan cowok itu pun tampak kaget melihat musuh barunya. Aku memejamkan mata, tidak sanggup melihat apa yang akan terjadi.
PLAAAAAKKK!!!
"Plaak? Suara apa tuh? Suara tamparan kan? Kok Evan nampar sih bukannya nonjok??"
Aku membuka mata pelan-pelan.
Valen berdiri diantara kedua cowok itu.
"Valen? Nampar Evan?????"
"LO PIKIR LO KEREN HAH?! LO PIKIR LO KELIATAN COOL GITU?!" jeritan Valen melengking tinggi
"LO PIKIR LO SIAPA?! BIKIN RIBUT-RIBUT DI TEMPAT KAYAK GINI!! LO SIAPA GUE SIH? DAN YANG TERPENTING, APA HAK LO BUAT MUKUL COWOK GUE?! GUE NGGAK INGET PERNAH MINTA BANTUAN LO ATAU SIAPAPUN!! LO DENGER? NGGAK PERNAH!!!"
Cowok tolol itu mundur, kembali ke kerumunan dengan perasaan yang pastinya sangat malu. Niatnya jadi pahlawan, eh malah dimaki-maki.
"Tuh kan, aku bilang apa? Serahkan saja pada mereka...hehehe" Arif terkekeh sambil menatap Valen yang tengah memeriksa memar di pipi Evan
"Woow..." aku hanya mampu berkata demikian
Melihat drama sudah selesai, kerumunan itu berangsur menipis. Sekelompok cewek yang berpakaian seksi diseberangku tampak berbisik-bisik sambil menatap Arif yang berdiri disisiku. Aku mengrenyitkan alis menatap mereka. Kualihkan tatapanku pada Arif, tampaknya ia menyadari sekelompok cewek itu tengah memperhatikannya dan ia tersenyum pada mereka.
"Apa? Arif senyum sama cewek-cewek ganjen yang sok seksi itu?" aku terbakar rasa cemburu
Sekelompok cewek itu terkikik ketika melihat Arif memberi respon. Bahkan beberapa mulai berani mendekati Arif. Aku menatap mereka dengan sebal. Tiba-tiba ada yang mencolek bahuku. Aku menoleh dan aku melihat Arif sedang tersenyum kepadaku. Tiba-tiba ia mencium bibirku dengan lembut, jelas saja aku kaget, apalagi di tempat umum seperti ini.
Setelah mencium bibirku, ia menatap sekelompok cewek tadi, mereka melongo. Arif melemparkan senyum sinis pada mereka dan menggandeng tanganku ketempat Valen dan Evan. Aku hanya bisa mengikutinya dengan syok.
Point of view : Ira
Rumah Valen...
Valen dan Evan duduk berhadapan di sofa ruang keluarga.
Mereka saling membisu, tidak ada yang berbicara. Aku menatap mereka dengan prihatin.
"Sayang, kamu bikin makanan buat kita yah?" Arif tiba-tiba sudah berdiri disampingku
"Mie instan?" tanyaku
"Iya...aku mau mandi dulu...biar Evan sama Valen bicara berdua aja...oke??"
Arif berjalan ke kamarku. Saat berada dibelakang Evan, ia menepuk bahu sepupunya itu.
"Stay frosty bro..." kemudian ia beranjak pergi
Aku sendiri bangkit dan menuju dapur untuk membuatkan mie instant. Sekitar 20 menit aku menyiapkan makan siang. Setelah semua siap, aku berjalan keruang tamu hendak memberitahu mereka, namun baik Valen maupun Evan tidak ada.
"Valen, Evan...mie nya udah jadi tuh!" aku berteriak memanggil mereka
Karena tak ada jawaban, aku mencoba mencari di kamar Valen.
Dan benar saja, aku menemukan Valen tengah berdiri bersama Evan, mereka terlihat sedang bercakap-cakap.
Aku tidak tahan untuk tidak mengintip mereka melalui celah pintu yang terbuka sedikit. Dari sini aku bisa mendengar dan melihat semuanya...
"Apa lo anggep gue sebagai peliharaan lo? Apa gue harus selalu bilang ke lo kemana gue pergi? Apa...apa lo cuma nggak mau kehilangan pemuas nafsu lo ini?? Nggak mau kehilangan tubuh gue yang sering lo pake?" Valen bertanya sambil terisak
Evan hanya terdiam mendengarkan. Di wajahnya sudah tidak tampak tanda tanda kemarahan seperti yang ditunjukkannya tadi.
"Lo anggep gue apa Van?! Jawab!!" air matanya mengalir, Valen menatap menantang Evan
"Aku, aku anggap kamu sebagai orang paling berharga buat aku" Evan berkata kalem seraya membelai rambut Valen
"Terus kenapa lo overprotect ke gue?! Kalo lo sayang sama gue, seharusnya lo ngga nuntut gue buat bilang kemana gue pergi tiap waktu!! Lo tuh egois tau nggak?!" Valen sedikit menjerit
Evan tidak menjawab. Aku dag-dig-dug juga menerka reaksi Evan selanjutnya.
Apakah dia akan terbakar emosi juga atau tidak, aku tidak tahu.
Namun Evan membimbing Valen dan mengajaknya duduk di tepi ranjang. Valen masih menangis.
"Maaf kalo misal aku terlalu overprotect ke kamu...tapi aku kayak gitu karena aku sayang banget sama kamu Val..." ucap Evan sambil memegang tangan Valen
"Maksudku, kalo ada apa-apa sama kamu, aku jadi tau kamu tuh lagi dimana, jadi aku bisa langsung cuss ke TKP gitu..." lanjutnya
"Dan kalo mau pergi, bilang-bilang...walaupun sama Ira atau siapapun...bukannya nggak percaya, tapi seenggaknya aku tau kamu ada dimana...tau nggak, Ira tadi pergi sama kamu juga udah ijin sama Arif, makanya Arif sama sekali nggak marah sama Ira..." jelas cowok itu panjang lebar
"Aku kayak gini, jujur, karena aku sayang banget sama kamu, aku takut kehilangan kamu Valen sayang...dan, aku minta maaf kalo aku udah overprotect ke kamu, aku janji, aku bakal berubah dan bikin kamu senyaman mungkin...I'm sorry, okay?" Evan tersenyum
Wah...dia mengingatkanku akan Arif...yah walaupun Arif agak lebih cemburuan, it's okay, at least I know that he loves me. Aku tersenyum melihat adegan dihadapanku.
"Dan aku tau aku salah. Aku janji nggak akan pernah marah dan bentak-bentak kamu lagi Val. Aku nggak mau nyakitin hatimu.." Evan menunduk
Valen terdiam, meresapi kata-kata Evan. Sepertinya kini ia mengerti alasan cowoknya itu begitu overprotect terhadapnya, sama seperti yang terjadi padaku dulu, ketika aku belum memahami maksud Arif ketika ia begitu overprotect kepadaku.
"Ternyata gitu...gue yang harusnya minta maaf Van, gue nggak mikir kedepannya...gue kira lo cowok yang sekedar otoriter dan egois, tapi ternyata lo perhatian banget ke gue...gue minta maaf" Valen tertunduk, jemarinya memainkan bathrobe yang dipakainya, aku menebak, ia pasti malu sudah membentak Evan
"Gue yang harusnya minta maaf!" ucap Evan menirukan aksen Jakarta Valen, kemudian melengos sok kesal
"Iih, apaan si lo?" ujar Valen, dicubitnya lengan Evan dengan gemas
"Hehehe...ayo dong senyum, kamu kalo senyum jadi tambah cantik tau!" goda Evan
"Iiih...apaan si ah!" Valen tersenyum, pipinya merona merah karena malu
Sejenak mereka terlibat cubit-cubitan diiringi tawa. Aku kembali tersenyum.
Ketika Valen hendak mencubit, Evan menangkap tangannya.
"We're good ya? Jangan marah-marah lagi..." ucap cowok itu lembut
"We're good" Valen membalas dengan senyuman
Mereka berdua saling pandang cukup lama, lambat laun bibir mereka saling mendekat dan kemudian bertautan.
Mereka berciuman dengan mesra hingga akhirnya ciuman Evan turun ke leher Valen, mencumbu sang empunya leher mulus tanpa cela.
"Aaanghh...aaah...aahhh...ja..jangan Van" Valen berusaha menolak namun tidak melakukan apa-apa selain menikmati cumbuan sang kekasih
"Ah...bikin aku horny ni anak dua" batinku
Bathrobe yang dikenakan Valen telah dibuka oleh jari-jari nakal Evan yang tangannya tengah meremas lembut buah dada cewek cantik itu.
"Mmmmhhh....eemmmh..." erang Valen karena buah dadanya diremas
Ciuman Evan langsung turun ke bagian selangkangan. Vagina yang mulus tanpa bulu itu terpampang indah, siap disantap. Desahan Valen semakin hebat ketika lidah yang kasar dan hangat menyapu bagian dalam vagina miliknya.
"Aaaaakkkhhh....aaaaahhhh!! Y-yes!! Oooohh...!" Valen mengerang, matanya terpejam dan kedua tangannya menjambak rambut cowok yang tengah membenamkan mulut di vaginanya.
Beberapa menit berlalu, tubuh Valen masih kelojotan menerima rangsangan. Kedua paha mulusnya menjepit kepala Evan, melarang cowok itu menghentikan jilatan-jilatannya.
Aku jadi teringat bagaimana Arif memperlakukanku, bagaimana hangat lidahnya menelusuri tiap sudut vaginaku. Semua ingatan tentang itu membuatku horny, sangat horny. Kukepalkan tanganku kuat-kuat, berharap itu bisa membantuku menahan nafsu yang kini menyala dalam tubuhku.
Valen memalingkan wajahnya kearah pintu tempat aku mengintip, matanya masih terpejam.
Aku pikir, ini saat yang tepat untuk pergi, sebelum Valen membuka matanya dan melihat aku tengah asyik menonton vaginanya dijilati Evan.
Baru saja aku hendak memutar tubuh untuk pergi, Valen membuka matanya. Ia melihatku!
Matanya menatapku dengan sayu, mulutnya mengeluarkan desahan-desahan yang sangat sexy.
"Aaaahh....aaaaaahhh....I-Ira? Aaaaghh..." pandangan kami bertemu
Anehnya, aku yakin Evan mendengar desahan Valen, namun ia tidak menghentikan jilatan-jilatannya.
Entah dia memang benar-benar tidak mendengar atau sengaja membiarkan Valen ditonton olehku.
Valen kembali mengerang saat tatapan kami masih bertautan. Matanya benar-benar sayu, penuh dengan kenikmatan.
Sebelum semuanya menjadi lebih buruk, aku memutuskan untuk segera pergi. Aku mengambil langkah cepat, kedua lututku gemetaran hebat.
Aku hanya berharap Arif tidak melihatku dalam keadaan seperti ini.
Point of view : Arif
Aku duduk di ruang tengah rumah Evan.
Sebenarnya aku penasaran dengan perkembangan hubungan kedua makhluk yang tadi sempat saling membentak di mall, tapi daripada aku memperkeruh suasana, lebih baik menyerahkan masalah itu kepada mereka untuk diselesaikan sendiri.
Ketika halaman pertama majalah otomotif milik Evan kubuka, Ira melesat dengan cepat didepanku.
Tidak biasanya dia seperti itu, maka aku memutuskan mengikutinya menuju dapur.
"Sayang? Kamu darimana? Aku kira tadi kamu di dapur terus loh..."
Ira membalikkan tubuhnya dengan cepat.
Kedua tangannya menggenggam gelas kosong dengan erat.
"Oooh...Arif...eh, aku dari...dari kamar mandi...a-apa iya? Ng-nggak kok...hehehe" ia tergagap
"Ooh...yaudah...makan dulu yuk?"
"Emm...nggak deh, aku...aku...eh....capek...mau tidur....hehe...kamu makan aja dulu"
Dengan terburu-buru ia pergi meninggalkan dapur dengan sempoyongan.
Benar-benar aneh...pasti ada sesuatu yang terjadi, aku harap Ira tidak jatuh sakit atau semacamnya.
Setelah meminum 2 gelas air dingin, aku menuju kamar menyusul Ira. Pintu kamarnya kubuka dengan cepat.
Ira tengah duduk di kasur, ia bersandar pada dinding.
Celana jeans pendek dan celana dalamnya tampak berserakan di kasur.
Ia duduk mengangkang dengan kedua tangannya berada di selangkangannya.
"A-arif?!" pekiknya ketika melihat aku masuk tiba-tiba, ia buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut
Aku mendengus menahan tawa.
"Katanya mau tidur?" aku nyengir
"I-iya...capek nih..." kilahnya
Aku duduk disampingnya.
Ira tampak gugup dan salah tingkah.
"Tidur apa tidur? Kok nggak pake celana? Hayoh..." godaku sambil memainkan celana dalamnya yang berwarna putih dengan tangan
"I-itu..." dia benar-benar terpojok
Dengan nakal tanganku menyelinap ke balik selimut dan mencari sebuah lubang yang basah dan lembab.
Ira menggigit bibir bawahnya menatap tanganku yang masuk ke dalam selimut dan menggesek-gesek vaginanya. Tampak sekali dia menikmatinya.
"Kamu horny ya Ra?" aku tersenyum menggoda
"Emmh..." ia memalingkan wajahnya, menghindari kontak mata denganku
"Liat apaan sih kok horny?"
Sebelum Ira sempat menjawab, aku mendengar desahan dari kamar sebelah, kamar Valen.
Itu lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaanku.
Ia kelihatan sangat menderita menahan gejolak birahi yang mendidih.
Ira menatap kosong sementara kedua tangannya mencengkeram pergelangan tanganku yang tengah menstimulasi vaginanya.
"Kenapa? Nggak mau ya?? Lagi bad mood kamu?" aku bertanya iba melihat Ira tidak merespon
Namun ia tidak menjawab. Tatapannya masih kosong, menerawang menembus langit-langit kamar.
"Kayaknya kamu capek deh sayang, udah gih, buruan 'itu' nya terus abis itu tidur ya?" kukecup keningnya dengan penuh kasih sayang
Kasihan dong kalau Ira capek-capek harus memuaskan nafsuku.
Itu namanya egois, walaupun sama-sama mau, tapi yang terkena imbas paling banyak adalah Ira.
Maka itu aku memutuskan untuk membiarkannya melanjutkan bermasturbasi, agar begitu dia 'sampai' maka semuanya selesai.
Supaya Ira bisa langsung tidur tanpa harus merasa bertanggung jawab untuk membuatku menuntaskan nafsu.
"Arif...." bisik Ira tepat ketika aku berdiri hendak meninggalkannya
"Hmmm?"
Ira mendesah, kesulitan untuk mengatakan bahwa ia ingin bersetubuh, karena dari dulu aku yang selalu mengajaknya duluan.
Aku tersenyum maklum. Aku duduk di tepian kasur dan memeluk tubuhnya.
"Kenapa sayang?" kubelai rambutnya
"Rif...emm...anu..."
"Opo?"
"Huufh...gituan yuk Rif..." bisiknya memelas, matanya berkaca-kaca
Aku kaget karena ternyata Ira berani mengatakannya kepadaku, namun aku tersenyum.
"At your service...aku harus ngapain kamu nih?" tanyaku
"Ji-jilatin dong Rif..." jawabnya takut-takut
Ira menyingkap selimut yang menutupi pinggang hingga kakinya sementara kaos distro berwarna putih tetap dikenakannya.
Ia merentangkan bibir vaginanya, menunjukkan liang surgawi miliknya yang berwarna pink basah.
Kuangkat sebelah alis mendengar permintaannya.
"Ma-maaf...k-kalo kamu nggak mau juga nggak apa-apa kok..." ucapnya terbata-bata, menutup lagi bibir vagina yang sempat direntangkannya.
Aku hanya menggeser posisi dudukku sedikit. Betisnya yang putih bersih kucengkeram.
"Kyaaa!" Ira menjerit kecil ketika kutarik kedua kakinya dengan tiba-tiba hingga ia telentang di kasur
Sebuah senyum mesum tersungging di bibirku. Ira menyadari maksudku.
Baru setengah nafas ia tarik, kubenamkan lidahku dalam-dalam ke dalam vaginanya yang bersih tanpa bulu dan wangi, melumat dan menjilat surga dunia itu.
"Iyaaaaaaah!!" Ira memekik keras, kedua tanganya menjambak dan menekan kepalaku, berusaha menjejalkan lidahku lebih dalam.
"Aaaaah! Aaah! That's right! Y-yes! Oooh.....!" racaunya tak jelas
Ia mengganjal pantatnya dengan guling supaya aku bisa lebih leluasa menikmati vaginanya yang sudah tampak becek.
Tangannya kembali menjambak rambutku dengan liar. Mulutnya menganga dan lidahnya terjulur mengeluarkan rintihan tanpa suara, menikmati lidah yang tengah mengobok-obok vaginanya.
"Geli...enaaakh..!! Aaaah...enaakh Riffh...ooohh...enaaaaak! Terush...teruuuush Rif...!!" ucapnya tak jelas karena terengah-engah
Setitik air tampak menggenangi sudut matanya, kenikmatan ini terlalu dahsyat bagi gadis seusianya, ditambah lagi karena Ira adalah cewek yang sangat sensitif terhadap rangsangan.
Risetku membuktikan, apabila di lakukan dengan benar dan tepat, bahkan ciuman dan gigitan kecil pada leher jenjangnya dapat membuat Ira meraih orgasme. Wow, aku tidak tahu apakah itu sebuah kelebihan atau kekurangan.
"I'm cumming Rif..!! Aaaakh! I'm cumming!! Aaaaaah!!" jeritnya seksi
Tubuhnya mengejang beberapa saat disusul keluarnya cairan hangat dari vaginanya yang segar.
"Hhaah...hahh...emmh...ti-time out Rif...istirahat dulu...c-capek..." ucap Ira tersengal-sengal
Tangannya terkulai lemas, titik-titik peluh tampak membasahi tubuhnya, membuat ia tampak semakin seksi.
Ira menatapku memelas dengan mata yang sangat sayu.
"Bentar ya? Aku istirahat bentar aja. Oke? Nanti--aaaaaaarrghh!" belum selesai Ira berbicara, kembali kusapukan lidah yang telah berhasil membuatnya orgasme di vagina miliknya
Sudah 3 menit berlalu sejak Ira orgasme dan kini tubuhnya menggeliat karena klitorisnya tengah dibelit oleh sesuatu yang panjang, kasar dan hangat.
Walaupun lelah, tampak sekali bahwa nafsunya kembali naik dengan cepat.
"Shit! Shiiit! Shiiiiiitt!" pekik Ira tak berdaya diiringi derai orgasme yang berkepanjangan
Ia terkulai lemas diatas kasur dengan nafas seperti orang yang habis berlari.
Aku sungguh sangat beruntung mendapat kehormatan untuk memuaskan cewek blasteran Chinese-Indo berbodi seksi yang menjadi incaran banyak cowok di kotaku ini. Dan yang membuatku lebih bersyukur adalah cewek ini sangat mencintaiku sama seperti aku mencintainya.
"Udaah ya Riiif? Kalo sekarang kamu masukin 'itu' mu, aku nggak bakal kuat...capek banget sungguh" desahnya
Aku mengangkat bahu dan tersenyum sebagai jawaban. Walau penisku sudah sangat tegang dan (kalau bisa) akan meledak.
Cinta dan rasa sayang harus lebih diutamakan daripada nafsu, itulah prinsip kami dalam berpacaran.
"Gimana yah? Tanganku lemes banget...sebenernya aku pengen banget ngocokin kamu..." tidak ada kebohongan dalam sorot matanya
"Bisa kok" aku menjulurkan lidah
"Mulut" jawabnya singkat lalu tersenyum
Aku terkekeh dihadapan cewek terpintar di SMA nya ini. Ira, selalu cerdas seperti biasanya.
"Huuuw! Tau aja caranya buat ngecrot! Hahaha...kesiniin tuh Arif Jr." ia tertawa merdu
"Ntar aja deh..." jawabku enteng sambil melucuti kaos putihnya yang ketat
"Halah...dasar...sukanya remes-remes punya orang nih!" ejeknya diiringi senyum
"Yeee! Aku kan nggak punya!" balasku ketika bra nya yang berwarna biru muda kuletakkan ditepi kasur
Dihadapanku kini terpampang 2 buah gunung kembar yang tidak pernah membuat bosan aku untuk selalu 'mendaki'nya.
Buah dada Ira yang kencang padat berisi itu terpampang indah, bersih tak bercela dilengkapi puting yang berwarna pink.
"Eh, eh, situ ngeliatinnya biasa aja dong! Hehehe" tawa Ira renyah
"Aku kan udah bilang, aku nggak punya, sayaaaang!" tatapanku masih terpaku pada buah dada cewek yang telah mematahkan hati puluhan cowok yang menyatakan cinta padanya ini
"Suntik dong! Kan banyak sekarang! Hahahaha"
"Hiiih! Kok godain aku melulu sih!?" tanganku menuju kedua gunung itu
Dengan gemas kuremas lembut buah dadanya.
"Aakh!" Ira tercekat, matanya terbelalak
Responnya tidak wajar. Aku langsung menghentikan remasanku.
"Kenapa Ra? Sakit ya?" tanyaku panik
Nafasnya kembali tidak teratur
"A-anu... J-jadi sensitif banget..." jawabnya gelisah
"Eh? Mana? Ini??" aku memilin putingnya
"Aaaaah...." Ira menjawab dengan desahan
"Udah, udah Rif...jangan ngapa-ngapain lagi ya? Cukup remes-remes aja...plis...jangan dijilat..." lanjutnya mengiba
Ira sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa memang tubuhnya minta disetubuhi. Walaupun ia berusaha menutupinya, tapi aku tahu, tubuhnya pasti akan menyambut hangat penetrasi penisku di vaginanya.
Aku memiringkan kepala seperti seekor anjing yang menatap mainan barunya, dan aku tersenyum...
"Oh tidak...." desah Ira putus asa melihat reaksiku
CUUUUPH!!
Kukulum puting kanannya dengan tiba-tiba sementara tanganku meremas buah dadanya yang satu lagi.
"Aaah...Ariff" desisnya
Aku melepas kaos dan celana yang kukenakan hingga kami berdua telanjang bulat.
"Pi-pintu Rif" Ira berkata lirih, tatapannya tertuju pada pintu yang masih agak terbuka
Aku mengerti. Aku berjalan dengan cepat kearah pintu itu lalu menutup dan menguncinya.
Ketika aku berbalik, kulihat Ira tengah bersusah payah mengenakan kaosnya.
Aku melompat dengan ganas dan mendarat dengan lutut dan siku bertumpu pada kasur, tepat diatas tubuhnya dan menyeringai.
"Ah...ketauan deh..." Ira tersenyum pasrah, matanya sayu
Tanpa berkata apa-apa ia melucuti pakaiannya kembali dan membuangnya ke lantai.
Keramik hijau muda menyambut pakaian yang jatuh itu dengan dingin.
"Aku...nggak bisa lama-lama Rif..." ucapnya lembut
Ia membelai rambutku dan mengecup bibirku.
"Kenapa kamu ngomong gitu? Kok kayak mau pisah aja??" tanyaku curiga
Ira tertawa dan melingkarkan tangannya di leherku.
"Bukan lah!! Maksudnya, aku nggak bisa tahan lama soalnya tadi udah nyampe 2 kali"
"Lagian...." ia terdiam sebentar
"Buat apa aku pergi dari kamu?? You're my everything Rif...kamu tau? Aku bahagia banget bisa jadi pacarmu..." Ira menatap mataku dalam-dalam
Aku speechless.
Benar-benar speechless.
Kutatap kekasihku ini...
Seorang cewek berpostur tinggi, wajah cantik khas cewek blasteran, rambut panjang lurus sebahu, berkulit putih mulus...tidak ada cacat sedikitpun.
Ira cewek yang baik, jujur, perhatian, pintar, mau mengerti orang lain dan banyak lagi...
How could it be? Someone as perfect as her could be with me? That's almost impossible, but that's the fact...
"Hoi...kok ngelamun? Udah nggak sabar pengen ngobok-obok memek yah??" tanya Ira dengan bibir manyun
"Hush! Ngawur! Dasar kamu itu...bikin gemes tau nggak?" aku mencubit kedua pipinya
"Cium dong! Hehehe" pintanya dengan manja
Aku mencium kedua pipi dan keningnya.
"Udah?? Ada yang kurang Riff" Ira merengut
Kucium bibirnya selembut mungkin.
Ira tersenyum, senyum yang sangat manis.
Kami terdiam beberapa saat, saling menatap.
Sayup-sayup terdengar suara dari sebelah.
"Aaaah...!! Evaaan...!! Aaaaargh!"
Suara Valen terdengar dari balik tembok tempat Ira kini menyandarkan tubuhnya
Kami nyengir satu sama lain.
***
10 menit kemudian
"Val...Valeenh! Aaaah! Enak banget Vaaal! Aaaakh!!" jerit Ira
"I-iyaaah Raa! Aaaah! Enak! Uuuhh! L-lo gaya ap-apa?" erang sebuah suara dari balik tembok
"D-d-doggy style...aah...ahh! Dalem bangeth! Aaaah!"
"Damn! G-gue mau keluar! Arrggh! Ra! Gue mau keluar! Aaaakh! Fuuuuck!! Ooh my god! Aaaaah!!" erangan Valen sayup-sayup terdengar
Aku tengah asyik men-doggy Ira dari belakang. Penisku tengah menikmati pijatan-pijatan lembut dari vaginanya sementara kedua tanganku sibuk meremas, menyentuh dan membelai dua bongkahan yang terpental seksi di dadanya.
Erangan demi erangan keluar dari mulut bidadari ini, membiarkan kenikmatan menjalari tubuh belianya.
Di bawah sana, lendir-lendir vagina milik Ira sampai menetes membasahi kasur.
Tubuhnya terpental-pental liar, tangannya meremas tepi kasur dengan kuat.
Ira tidak mampu menyembunyikan kenikmatan yang melanda dirinya. Punggungnya basah oleh peluh.
"Ariif...aku mau keluar...aaah...yaaah!!" Ira mendesah berat
"Gue sampe! Gue-aaaaaaaaaahhh!!" jeritan Valen melengking menembus dinding
Tiba-tiba tubuh Ira menegang. Tangannya mencakar permukaan kasur dengan buas.
"Sa-sampe....yah...yeah...yeaah! Aaaaaah!" Ira memekik
Vaginanya meremas penisku dengan kuat, membuatku merasa ngilu.
Dengan nafas yang putus-putus Ira berbaring telungkup kelelahan.
Kedua kakinya gemetaran. Ia tampak putus asa melayani penisku yang sedari tadi masih angkuh berdiri.
"Udah Rif...udah laah...udah lah...udaah...aku capek..." pintanya setengah sadar
Jemarinya yang lentik mencengkeram batang penisku, mencoba menahannya supaya tidak terus menghunjam vaginanya.
Namun usahanya tak membuahkan hasil. Penisku yang sudah licin oleh cairan orgasme tidak mampu dipegangnya, seperti belut.
Akhirnya tubuh Ira sama sekali tidak merespon, hanya vaginanya yang mati-matian berusaha mengulum penisku.
"Ra? Udah KO kamu?" tanyaku
Tidak ada jawaban.
"Waduh...pingsan yah? Yaudah, nggak baik kalo kulanjutin terus" aku tersenyum
Kucabut penisku yang sudah berwarna kemerahan.
Padahal kalau Ira bisa bertahan beberapa menit lagi, aku bisa 'cum inside'. Sangat disayangkan.
Setelah berhasil memuntahkan cairan putih pekat di punggung mulus Ira dengan bantuan tangan, aku berseru ke kamar sebelah.
"Yo! How's it goin' eh cousin!?"
"Mission accomplished! Hahaha!" Evan menyahut
"Woi, renang yuk?? Kayaknya asik!" tantangku
"Nantang ni?"
"Hoho, jangan remehkan aku!"
Tidak ada jawaban. Namun tak lama kemudian Evan berseru
"Valen ketiduran nih! Tinggal aja atau gimana? Ira gimana?"
"Ira? Pingsan nih! Hahaha"
Samar-samar aku mendengar Evan bergumam "Wow...pingsan?"
Namun ia melanjutkan, "Oke. Meet me in 5 minutes bro!"
"Got it!" aku menyeringai
Setelah mengelap punggung Ira yang bercipratan sperma, aku menyelimutinya.
Kurapikan pakaian dalam, celana dan kaosnya yang berserakan di lantai dan kulipat lalu kuletakkan di bangku dekat tempat tidur.
Dengan agak berjinjit, aku meninggalkan cewekku yang tertidur lelap dengan gurat kelelahan pada wajah cantiknya.
"All set?" tanya Evan yang telah menungguku di gerbang.
Kuacungkan jempol sebagai jawaban.
"Let's roll, cousin! Yiihaa!!" teriaknya bersemangat
Kami melompat masuk kedalam Accord milik Evan. Accord yang kami naiki melaju membelah jalan perumahan elite tempat Valen tinggal dengan tenang. Kaca jendela kami buka lebar-lebar, menikmati udara sore hari dikawasan yang hijau ini.
Beberapa kali kami melihat segerombol cewek-cewek yang berjalan-jalan hanya dengan mengenakan pakaian minim. Banyak diantara mereka melongo menatap kami dengan takjub.
"Interested?" tanyaku agak berteriak karena tertutup suara angin yang kencang
Evan menatapku dengan pandangan lucu dan mengangkat sebelah alisnya. Kami berdua tertawa lepas bersama.
Selama perjalanan, kami bercerita banyak hal hingga tanpa sadar kami sudah tiba di depan rumah Evan yang letaknya tidak jauh dari perumahan Valen.
=====================
Back to Evan
BYUUUUURR!!
"Wuaahahahahaha!! Pahlawan bertopeng!!" aku tertawa histeris menirukan pahlawan pujaan Shinchan di tepi kolam
"Gila ya?? Hahahaha" Arif berenang dengan gaya punggung, tertawa akan tingkahku
"Laser penghancuuurr!! Bipbip--"
"EVAN!!"
Sebuah suara melengking tinggi, memotong aksi laser penghancur yang kuarahkan pada Arif. Kami berdua spontan menengok kearah sumber suara.
Ira berdiri sedang memapah Valen yang berjalan pincang. Kami berdua sangat terkejut.
"Ke-kenapa?"
"Dasar! Kamu ngapain Valen sih kok sampe nggak bisa jalan?!" tanya Ira
"Valen?! Kamu kenapa?!" aku bergegas berlari kearahnya
Ira mengoperkan Valen untuk dipapah olehku.
Aku menuju ke bangku yang ada di tepi kolam dan menyandarkannya disitu.
"Gue...kaki gue nggak bisa gerak Van...lemes banget...." rintihnya
Sejuta pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku.
"Kenapa Val? Kamu jatuh tadi?" tanyaku khawatir
"Ini gara-gara lo tau!" ia menjitak kepalaku
Ira berjalan ketepi kolam lalu duduk dan mencelupkan kakinya kedalam air. Arif langsung berenang mendekatinya.
"Kasian Valen tau! Belepotan semua kan 'itu'nya! Tadi dia sampe nggak bisa gerak..." Ira memulai percakapan
"Bener-bener deh...mau nggak mau tadi aku bantu bersihin punya Valen. Habisnya berdiri aja nggak bisa!" lanjutnya
Arif menatap pacarnya dengan heran.
"Kamu? Bantuin Valen buat bersihin ehem...ehem??" tanya Arif, tangannya menunjukkan isyarat 'vagina'
"Iya. Aku yang bersihin punya Valen, terus baru bersihin punyaku sendiri"
Aku dan Arif bengong, saling bertatapan.
"Satu kamar mandi gitu?" Arif
"He eh, satu kamar mandi" Ira menjawab pasti
"Berdua?"
"Yep. Berdua."
"Bugil?"
"He eh. Bug......il" ekspresi Ira berubah, salah tingkah
Aku dan Arif melongo. Berjuta-juta pikiran mesum bergantungan di otak kami. Dua cewek berbodi seksi dan berwajah cantik ini....berdua...di kamar mandi...bugil...yang satunya membersihkan vagina cewek yang lain...oke oke. Cukup.
"Beneran nih Val?" tanyaku kepada Valen
Ia mengangguk pelan, wajahnya merona merah.
"Kenapa lo cerita Ra?" desah Valen
"Ups! Sori...keceplosan! Maaf Val...." Ira meminta maaf, ia tersenyum tidak enak
Valen mendadak ceria
"Eh, lo juga masih utang..." ia memperagakan blow-job lalu menunjuk Arif
"Lo kira kita nggak denger?" lanjut Valen sambil tersenyum nakal
Aku dan Valen tertawa terkikik melihat ekspresi Arif dan Ira yang salah tingkah, malu karena rahasianya ketahuan.
"Mau minum nggak sayang? Masih lemes?" kubelai rambut hitam kemerahannya
"Iya deh boleh...udah nggak begitu sih" ia tersenyum
Dengan bersemangat aku bangkit dan berlari ke dapur untuk membuatkan minuman untuk Valen. Aku membutuhkan sekitar 10 menit untuk menyeduh teh hangat, setelah mencicipinya, aku tersenyum puas dan segera keluar dapur. Aku berlari kecil menyusuri tepi kolam dengan segelas teh manis hangat ditangan. Karena terlalu bersemangat, aku lupa bahwa keramik yang aku pijak licin jika basah.
SLIP!
"Gyaaaaaaaaaaaa!!!"
GEDEBUUUK!!
Kepala dan punggungku membentur lantai keras sekali. Separuh teh yang ada di gelas tumpah.
"Adaw...adaw...sakit!" aku mengerang, kuusap-usap kepalaku yang terbentur lantai
"Eh yah! Tumpah deh!" tatapku kecewa pada gelas yang kini setengah kosong itu
Aku menoleh menatap Valen, ternyata ia sedang tertawa hingga suaranya tidak keluar, kedua tangannya memegangi perutnya.
"Ja-jangan ketawa dong" ujarku malu
Aku berjalan kearah Valen kemudian duduk disisinya.
"Hahahaha! Oke! Oke! Stop...pffft...hahahaha! Aduh! Sakit perut! Hahaha! Oke...oke...pffft...udah...huffh. I'm done!" ia menghela nafas setelah berhasil menguasai diri
"Udah...minum dulu nih tuan putri" aku menyodorkan gelas yang hampir kosong
"Thanks" Valen tersenyum simpul menatap gelas yang kini ada ditangannya
Ia meminum seteguk lalu bertanya
"Enak! Tapi kenapa harus repot-repot bikinin gue teh?"
"Karena aku sayang sama kamu" jawabku kalem, sok cool
Valen terdiam, ia menatap mataku.
Pandangan kami bertemu. Suasana berubah romantis hingga tiba-tiba...
"Pfffft! Huahahaha...muka...muka lo pas lo jatuh! Hahahahahaha!!" tawa Valen kembali meledak, sepertinya dia teringat ekspresi tololku saat jatuh tadi
"Ah dasar!" aku berjalan meninggalkannya, mencari Arif kedalam rumah
Arif dan Ira tidak ada dimanapun.
Para pembantuku pun hanya menggeleng ketika kutanya.
Where the hell are they??
"Val, liat Arif nggak?" aku bertanya pada Valen ketika aku sudah kembali ke kolam renang
Valen tengah berbaring di bangku tempat aku meninggalkannya tadi. Ia ternyata sudah berganti pakaian. Kini ia hanya mengenakan bikini dan celana dalam berwarna biru laut. Dengan pakaian seminim itu, tiap lekuk tubuh indahnya terlihat dengan jelas. Kacamata hitam bertengger dengan manis di hidungnya yang mancung.
Cewek itu menatap langit yang mulai merona jingga dibelai sinar matahari sore dari balik kacamata hitamnya.
"Weh Val! Ditanyain kok diem aja?" aku duduk disisinya
"Oh iya. Kenapa tadi?" ia menurunkan kacamata hitam yang dikenakannya sedikit
"Dasar. Ni cewek cantik-cantik kok budeg!" aku menowel buah dadanya yang kiri dengan gemas
Valen bereaksi cepat, ia langsung memukul punggung tanganku dengan keras dan melotot marah.
"Lo kira gue cewek apaan Van?!" Valen mendesis
"Idiih...kok marah si?" kuusap lembut pipinya
"Tau ah!" ia melengos, memalingkan wajahnya
"Nggak suka ya kalo dibeginiin? Hehehe" aku meremas buah dadanya dengan lembut
"Eeekh..." Valen mendesah kecil, mulutnya yang dihiasi sepasang bibir tipis sedikit terbuka
Ketika aku berusaha menyelipkan telapak tanganku kebalik pakaian tipisnya, Valen mencengkeram pergelangan tanganku dengan kedua tangannya.
"Jangan bikin gue horny lagi! Tau nggak lo, tadi gue sampe kena paralysis (tubuh tidak dapat digerakkan) gara-gara lo!" ia mendesis
"Hehehe...kamu siy ngerangsang banget"
"Lo aja yang nafsuan banget!" ia mencibir
Kubelai rambut panjangnya dengan lembut lalu kucium bibir tipisnya yang dibalur lip-gloss pink. Pelan dan lembut.
Beberapa detik kemudian aku melepaskan tautan bibir kami.
“Eh, Arif mana??" aku mengalihkan pembicaraan
Valen menatapku heran, lalu ia menunjuk sudut kolam yang berseberangan dengan kami.
Di sana, Arif berdiri dalam air yang setinggi perutnya, ia tampak meringis-meringis seperti keledai.
"Blow-job..." ucap Valen santai, menerangkan kepadaku bahkan sebelum aku sempat bertanya.
Aku nyengir menatap Valen, berharap ia mau memberiku service seperti itu.
Tapi Valen hanya memalingkan wajah, seolah-olah tidak melihat apapun.
Waktu terus berlalu. Kami sering bermain jauh-jauh bersama.
Kadang ke pantai, kadang ke gunung, sungai dan segala tempat yang asik.
Kami selalu berbagi cerita, di tempat-tempat penuh memori itu.
Akhir-akhir ini katanya Valen mendapat seorang teman baru yang bernama Nindi, seorang cewek anak orang kaya juga, satu perumahan dengan Valen, hanya berbeda blok.
Awalnya aku biasa-biasa saja, Valen selalu ijin kepadaku saat akan hang-out bersama teman barunya ini.
Tetapi lama-kelamaan dia tidak pernah membalas SMS atau mengangkat teleponku saat berpergian dengan Nindi.
Maka suatu sore aku memutuskan untuk menelepon Valen
Tuuuut....tuuuuutt.....cklek!
"Halo?" suara Valen diseberang sana
"Halo Val? Ntar kamu mau pergi sama Nindi lagi?"
"Iya kayaknya...kenapa?"
"Sekitar jam berapa?"
"Mungkin jam 8 ntar...why?"
"Kamu sebenernya pergi kemana sih? Tiap malem loh..." aku bertanya dengan cemas
"Yaa gue hang-out gitu sama Nindi...kadang juga gue kerumahnya...."
"Kenapa nggak ngangkat dan bales kalo aku hubungin? Apa segitu sibuknya kamu sayang?" tanyaku sabar
"Eh...gue lagi ada acara nih...gue tutup dulu ya? Ntar 1 jam lagi gue telepon balik. Bye!"
Cklek....tuuuut...tuuuut...
"What is going on?"
===============
Aku duduk tenang di dalam taksi yang berada di persimpangan antar-blok di perumahan Valen.
Walaupun agak jauh namun dari sini aku bisa melihat bagian depan rumah kekasihku itu.
Kulirik jam tangan ku
"Jam delapan kurang sepuluh menit..."
Tiba-tiba sebuah Jazz RS pink tampak berhenti di depan rumah Valen.
Dan Valen tampak masuk kedalam mobil itu dengan terburu-buru. Yang membuatku tertegun adalah pakaian yang dikenakan Valen.
Ia mengenakan mini dress tanpa lengan berwara hitam yang menampilkan tubuh SMA nya secara terbuka.
"Pak, ikutin Jazz pink itu, tapi jangan terlalu deket ya pak" ucapku kepada supir taksi
Supir taksi itu mengangguk dan mobil pun mulai berjalan pelan.
Kubuka kontak handphone ku dan aku menelepon Valen.
Tuuuuutt...tuuuuutt....cklek!
"Halo...kenapa Van?" tanya Valen
"Nggak apa-apa...aku kangen...pengen denger suaramu...hehehe" aku ber-alibi
"Yaa kan udah denger suara gue di telepon juga...hehe"
"Kamu dirumah sayang?" aku memulai penyelidikanku
"Iya...ni gue lagi nonton TV...kenapa?"
"Kok suaramu agak berdengung gitu? Kamu lagi di mobil?"
"Oh...itu? Itu...itu suara TV kok...gue lagi dirumah..." jawabnya, aku mendengar ada sedikit kepanikan dalam suaranya
"Ooh..yaudah...baik-baik yaa...jangan tidur kemalaman...oke? Bye!"
"Oke...bye!"
Aku memutuskan telepon. Jutaan pikiran buruk masuk kedalam pikiranku.
Aku berusaha meyakinkan diri bahwa Valen pasti berbohong karena suatu alasan.
Mungkin saja dia pergi ke wedding party temannya? Tetapi kenapa harus berbohong? Kenapa tidak bicara terus terang?
Jazz pink itu melaju membelah jalanan kota yang ramai, tanpa disadari si pengemudi, sebuah taksi biru bernomor 085 mengikutinya.
Mobil yang dinaiki Valen mengarah ke downtown. Aku berusaha berpikir positif, sekali lagi.
Mungkin dia mau shopping sama temennya atau cari makan di food court? Tetapi kenapa mengenakan mini dress?
Akhirnya Jazz itu masuk kesuatu komplek bangunan yang tampak mewah dan meriah.
Aku memutuskan untuk turun di pinggir jalan agar tidak mencolok.
Setelah memberi supir taksi itu selembar uang lima puluh ribuan, aku melesat ke area parkir dan memantau Jazz pink itu dari balik sederet tanaman pagar.
Valen turun bersama dua orang cewek yang berdandan seksi.
Mereka tampak tertawa-tawa dan berjalan dengan penuh gaya, sesekali menggoda cowok-cowok yang tengah berkumpul di dekat areal parkir.
Mataku tidak lepas dari mereka.
Aku kehilangan Valen ketika akhirnya ia dan kedua temannya memasuki sebuah bangunan yang tampak mewah.
Kutengadahkan kepalaku dan tertegun dengan apa yang aku lihat, kepalaku seolah berputar dan pijakanku limbung...
Eps 11
Tulisan Night Fireflies menyala terang diatas bangunan itu.
Aku hanya melongo...diskotik Night Fireflies, sebuah diskotik paling bergengsi dikota ini serta tempat prostitusi kelas atas dan yang lebih parah, kalau aku tidak salah dengar pengunjung bebas melakukan apa saja didalamnya. Bahkan kalau ada yang ingin gang-bang pun diperbolehkan, itu kalau mereka tidak malu.
“APA YANG DILAKUKAN VALEN DISINI?!!” pertanyaan itu menimbulkan tanda tanya besar—sangat besar—dalam kepalaku
Ketika aku hendak mengikuti mereka masuk, aku melihat para pengunjung menunjukkan sebuah kartu sebelum mereka memasuki sebuah pintu yang dijaga oleh dua orang berbadan besar dan berkacamata hitam. Maka aku memutuskan untuk menggunakan otak.
Dengan berbagai usaha akhirnya aku berhasil masuk kedalam diskotik itu. It took me about 45 minutes to get through
Lampu berkelip-kelip di tengah ruangan, menyirami ratusan orang yang tengah hanyut dalam hentakan-hentakan musik.
Aku berusaha sekeras yang aku bisa mencari Valen ditengah lautan manusia ini.
Tidak jauh dari tempatku berdiri, aku menyaksikan suatu pemandangan yang sangat menyakitkan hati.
Valen tengah duduk dihimpit dua cowok yang kelihatan keren, masing-masing tengah menciumi leher Valen dari kedua sisi dan meremas-remas buah dadanya.
Mini dress nya berantakan sementara cewek itu hanya menengadahkan kepala dan mendesah menikmati remasan dan ciuman lembut di tubuhnya.
Kondisi yang sama juga dialami kedua cewek yang datang bersamanya tadi.
Dengan hati hancur aku berjalan kearahnya.
Valen terkejut melihatku datang, ia mendorong dua cowok yang tengah mencoba untuk merangsangnya.
Ia segera berdiri dan berjalan mendekatiku.
"Van? Lo ngapain kesini?" ia berteriak mencoba mengalahkan suara musik yang membahana
Valen agak jengkel karena suaranya tertutup oleh music yang menghentak-hentak.
Dengan kesal ia menatap temannya, sepertinya Nindi.
Nindi yang melihat Valen spontan menatap kearah DJ yang sedang memainkan musik, ia mengangkat sebelah tangannya, dan dengan patuh sang DJ itu menghentikan music dengan tiba-tiba. Surutnya keramaian yang tiba-tiba itu membuat semua orang kecewa.
"Kamu...kamu ngapain Val disini?" aku setengah berbisik karena emosi yang menguasaiku
"Gue? Gue lagi seneng-seneng disini...lo tau? Have fun!" jawabnya santai
"Please Val...pulang sekarang...please..aku mohon..." aku memohon kepadanya
Tidak tersisa ruang dihatiku untuk marah-marah, lagipula aku sadar aku masih terikat janjiku untuk tidak akan membentak Valen lagi.
"Eh, eh! Lo siapa? Seenaknya aja main bawa temen gue pergi!" cewek yang tengah menghisap sebatang rokok A Mild tampak tidak terima
Aku tidak mempedulikan cewek itu.
Tatapan dan perhatianku tertuju sepenuhnya kepada Valen.
"Ayolah Val...pulang sama aku...sebelum semuanya terlambat...please..aku mohon..." pintaku memelas kepada Valen
"Lagi-lagi lo overprotect kan?! Kenapa sih lo nggak pernah bisa liat gue seneng?!" suara Valen meninggi
"Ini bukan masalah overprotect Val...please...kamu udah di...di...di....argh!" aku kehabisan kata-kata, tanganku menunjuk kearah dua cowok yang tadi meremas-remas buah dada Valen
"Emang kenapa?! Gue udah nggak virgin kok! Nggak ada yang perlu dijaga kan? Nothing to lose!" ia mengangkat bahunya
"Tapi...tapi...Val, ini nggak bener..."
"Nggak bener? Apanya yang nggak bener? Ngentot? Lo tuh yang pertama ngentotin gue! Lo yang ambil virginitas gue! Nggak usah munafik!" ia membentakku
"Val, please...please..." aku menggenggam tangannya
Valen berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku.
"Nin! Tolongin gue!" ia berteriak kepada temannya yang tadi
“EH! LO KALO MAU BIKIN RIBUT JANGAN DI DISKOTIK GUE!!” bentak Nindi
“Tolong…tolong…diam…ini masalahku dan Valen…aku nggak ada niat buat ngerusak acara kalian…” aku memohon dengan sangat
Cewek itu mengangguk, ia memanggil seseorang dan tiba-tiba dari kerumunan muncullah dua penjaga pintu yang tadi berada di depan.
Mereka menyeretku dengan paksa menjauhi Valen. Semua mata tertuju kepadaku, seorang cowok yang membuat kerusuhan di diskotik kelas atas, yang kini diseret oleh ‘security’ tempat itu. Aku melihat Nindi menjetikkan jarinya dan DJ mulai memainkan music lagi.
“GUE BUKAN ANAK KECIL LAGI DASAR COWOK TOLOL!!” teriak Valen
"Val! Please Val! Belum terlambat!" aku masih berusaha namun suaraku tertutup musik yang kini mulai dimainkan lagi.
Aku melihat Valen duduk lagi di sofa dan kedua cowok itu kembali menggerayangi tubuhnya, bahkan aku melihat seorang cowok duduk di lantai dan membenamkan wajahnya diantara kedua paha Valen yang mulus sementara sang cewek tampak menyesap segelas kecil minuman beralkohol yang tampak mahal.
Mereka menyeretku hingga pintu depan dan melemparkanku ke aspal yang dingin.
Aku tidak melawan, aku tidak meronta karena pikiranku begitu kalut. Aku benar-benar shock.
Pintu berkaca hitam itu tertutup, meninggalkan aku sendirian di areal parkir Night Fireflies.
Terduduk, sendirian, pikiranku kusut. Aku putus asa. Apa yang membuat Valen berubah seratus delapan puluh derajat seperti ini??
Mata dan pipiku panas, perilaku Valen membuatku ingin menangis karena marah, karena sedih dan karena kecewa.
Aku membaringkan tubuhku di aspal yang hitam, kutatap langit yang mendung.
Kenapa? Kenapa ini harus terjadi?? Kenapa harus Valen yang jatuh ke dunia seperti itu?
Kenapa bukan cewek lain yang lebih bejat daripada dia diluar sana?
Aku ingat, di dalam sana, aku bahkan tidak mampu membentak Valen.
Yang kulakukan adalah memohon dan memohon seperti seekor sapi yang akan dijagal memohon dirinya dilepaskan. Memalukan.
Aku bangkit berdiri.
Pelan-pelan, sedikit demi sedikit ku endapkan perasaan kecewa, sedih dan malu yang kurasakan menjadi amarah. Amarah yang membara.
Kulangkahkan kakiku menuju gang-gang pemukiman kumuh, pemukiman masyarakat lapisan bawah, berharap aku bisa menemukan sesuatu untuk melampiaskan amarahku ini.
"KEPARAT!!" aku meninju sebuah tong sampah dari seng hingga penyok
Kutatap punggung tanganku yang kini mengucurkan darah. Belum...belum cukup...
Tiba-tiba sebuah jeritan terdengar membelah malam. Suara itu berasal dari salah satu gang di pemukiman ini. Aku berlari menyusuri koridor yang seperti labirin ini. Lorong-lorong hitam itu kususuri satu persatu.
Ketika aku sampai pada satu persimpangan, suara itu lenyap.
Aku mengepalkan tangan, geram. Semoga saja aku tidak terlambat. Baru saja aku melangkah, terdengar suara dari arah kananku.
"Jangaaan! Jangaan! Lepasin saya!!" suara seorang cewek
Sekelompok anak punk tampak mengerubungi sesuatu. 5...6...7 orang.
Mereka tertawa-tawa bejad sementara beberapa dari mereka sedang membuka ritsleting celana.
Aku menyipitkan mata, tampaklah seorang cewek tengah meronta-ronta ketika tubuhnya ditindih oleh salah satu anak punk itu sementara kedua tangannya dipegangi.
"HEI!! Kalian pikir kalian ngapain hah?!" aku berteriak dari ujung gang
Mereka berhenti tertawa dan menatapku dengan marah.
Aku pikir, ini saat yang tepat buatku untuk mengamuk.
Aku berlari secepat yang aku bisa mendekati mereka.
"Kenapa? Nggak te-"
BUUUUAAAAAGH!!
Satu uppercut tajam menumbangkannya. Ke enam orang yang lainnya terkejut.
Aku memang terkenal sembrono jika marah. Kuakui, aku tidak pernah memakai otak saat marah, dan itulah aku sekarang, sebuah mesin yang hanya diprogram untuk menghajar lawan. Apalagi, setelah perlakuan Valen terhadapku di dalam diskotik.
Ini merupakan ajang pelampiasan amarah yang baik.
Namun secara rasional dan logika, menantang 7 orang anak punk yang umurnya mungkin kisaran 25-30an yang sedang ‘kelaparan’ adalah tindakan bunuh diri.
Mereka balas menghajarku dan kami terus berkelahi hingga akhirnya tersisa dua orang yang masih berdiri sementara kondisiku juga tidak kalah buruk, pelipisku mengucurkan darah dan wajahku memar di berbagai tempat.
Ternyata mereka lebih tangguh daripada yang kukira.
Walaupun semrawut, serangan mereka cukup terkoordinir membuatku tersudut beberapa kali.
Lama kelamaan situasi semakin tidak menguntungkanku, aku sudah kelelahan.
"Mati kamu bangsat!" seorang dari mereka mengayunkan kepalan tangannya kearah wajahku
Aku mampu menghindar di saat yang kritis. Terlambat sedetik saja mungkin aku sudah terkapar di jalanan, tak bernyawa.
Aku merenggut bajunya dan menghatamnya tepat di hidung beberapa kali sekeras yang aku bisa lalu kulemparkan ia ke tanah.
Mataku berkunang-kunang dan kepalaku serasa berputar karena kelelahan.
Aku berlutut, mencoba menenangkan diri. Tiba-tiba seseorang di belakangku berteriak penuh amarah. Aku lengah.
Salah satu dari mereka yang luput dari penglihatanku saat menghabisi orang terakhir ternyata menyerangku dari belakang dengan sebatang pipa besi yang diambilnya dari tong sampah di dekat sini.
Ia mengangkat pipa itu tinggi-tinggi hendak menghantamkannya ke tengkukku.
Aku terlambat menghindar. Tidak ada yang dapat aku lakukan selain memejamkan mata dan menunggu pukulan itu mendarat di tengkorakku.
Aku bergumam pelan
"Val...maafin aku nggak bisa me-"
KLAAAAAAAAAAANNGGGG!!!
Suara besi yang menghantam benda keras itu terdengar memekakkan seolah dijejalkan ke telingaku.
"Jiaaah! Main curang...nggak asik ah, nggak asik!"
Arif berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke saku jaketnya, seperti yang biasa dilakukan Ira.
Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap anak punk yang kini terkapar ditanah itu.
Ternyata suara nyaring itu berasal dari pipa besi yang jatuh dan menghantam lantai batu gang kumuh ini.
"Need a lift?" Arif nyengir dan mengulurkan tangannya membantuku berdiri
"GPS. Aku telepon kamu ga diangkat, aku pikir pasti terjadi sesuatu" ia menunjukkan handphone nya dan tersenyum
Ia menatap cewek yang nyaris di gang-bang anak punk tadi. Mulutnya membentuk huruf o dan mengangguk-angguk.
"Tunggu disini oke?" perintahnya lalu berlari pergi
Selesai. Aku menoleh, menatap cewek itu.
Aku terkejut bukan main mendapati cewek itu masih mengenakan seragam SMP.
Bocah SMP di tempat seperti ini dan selarut ini? What the hell?
Kepalaku pening, maka aku duduk di lantai gang yang kotor.
Cewek itu menatapku dari balik rambutnya yang berantakan gara-gara ulah anak-anak punk tadi. Ia beringsut berdiri.
"Kakak berdarah..." ia mengulurkan sebungkus tissue yang isinya tinggal selembar
Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih.
Ia tampak mengamatiku.
"Terima kasih ya kak..." ia membungkuk sopan lalu berjalan pergi
"Hei, kamu mau kemana? Kok pergi seenaknya gitu?!" tanyaku agak kasar karena masih diliputi kekecewaan pada Valen
Anak itu menghentikan langkahnya dan mematung ketakutan.
Ia membalikkan tubuhnya pelan-pelan, kepalanya tertunduk.
Ia merogoh saku rok SMP nya dan mengeluarkan selembar uang 10 ribu an yang tampak kumal dan kotor.
"Ma-maaf kak...sa-saya cu-cuma punya ini...sungguh kak, saya nggak bo-bohong...to-tolong jangan apa-apain saya..." dengan gemetaran ia mengulurkan selembar uang itu
Saat itu juga aku menyadari kesalahan nadaku dalam bertanya. Aku jadi malu pada diriku sendiri.
Punggungku kusandarkan pada dinding gang yang kotor. Dia kira aku ingin meminta bayaran setelah aksi 'penyelamatan' yang kulakukan.
Haha, bayaran? Yang benar saja!
"Kesini kamu..." aku melambaikan tanganku
Jelas sekali anak itu sekarang semakin ketakutan, tetapi ia tetap maju mendekat menuruti kata-kataku.
Ia berhenti pada jarak 1 meter dihadapanku.
"A-ampun kak...saya nggak bohong, sungguh...ampun kak..." cewek itu mulai menangis
"Kamu mau kemana??" aku tidak mempedulikan kata-katanya
"Nggak tau kak..." ia menggeleng pelan
"Hah? Emang kamu nggak punya rumah?"
Ia kembali menggeleng.
Aku tidak percaya, maka aku memutuskan untuk kembali menekannya agar berkata jujur.
"Nggak usah main-main sama aku de. Kamu mau kemana?" rasa penasaran tiba-tiba meledak dalam pikiranku
"Nggak tau kak...sa-saya bener-bener nggak tau mau kemana..." ia memelas
Aku memandanginya dari ujung kaki hingga ujung rambut.
Keadaan cewek ini benar-benar memprihatinkan.
Seragam sekolahnya lusuh dan kotor, tas nya sudah hampir tidak berbentuk, sepatu putihnya kini cokelat karena lumpur yang mengering.
Tangannya memar-memar dan siku serta lututnya mengucurkan darah.
"Kamu, ikut aku" ucapku tegas
"Ke-kemana kak?"
"Pokoknya ikut aku!"
Ia tampak ingin melarikan diri tetapi diurungkannya ketika melihat Arif datang dari arah berlawanan dan kini ia menjadi agak rileks saat melihat Ira berlari kecil menyusul Arif. Sepertinya ia merasa lebih tenang setelah melihat ada cewek lain selain dirinya. Arif berjalan kearahku sementara Ira langsung menghampiri cewek itu.
"Aduh...kamu nggak apa-apa kan de? Syukur deh lukanya nggak seberapa parah" ucap Ira khawatir. Dirangkulnya cewek itu dan dibimbingnya ke jalan raya.
Arif memapahku di belakang mereka.
"Mau gimana ini Van?" Ira berhenti dan bertanya padaku
"Bawa kerumahku aja" jawabku singkat
Arif dan Ira saling pandang dengan bingung, tetapi akhirnya memilih untuk menuruti kemauanku.
Kami sampai di tepi jalan raya. Ditepi jalan, Civic hitam milik Arif menunggu dengan anggun.
Kudengar cewek itu bertanya dengan gelisah pada Ira, "Kakak, saya mau dibawa kemana??"
"Kita obatin dulu luka kamu ya?" jawab Ira lembut
Aku tersenyum, mataku terasa berat dan semuanya berangsur memudar hingga akhirnya gelap total.
****
Saat siuman, aku sudah terbaring di kamarku.
Ada Arif dan Ira, mereka tengah sibuk mengompres memar dan membalut luka ditubuhku.
Aku melihat sekeliling namun tidak ada tanda-tanda kehadiran cewek yang tadi. Hal ini membuatku bertanya-tanya.
"Anak yang tadi mana Rif?" aku menoleh sedikit kearahnya
"Itu lagi mandi Van, kamu tenang aja" Ira menyahut, ia tampak telaten mengurusi luka di punggung tanganku
Arif sendiri sibuk mengolesi memar dan lebam di wajahku dengan salep khusus.
Aku menghela nafas, setidaknya cewek itu aman sekarang.
"Maaf kak, itu handuknya harus saya taruh dimana?" sebuah suara lembut terdengar
Kami semua menoleh kearah pintu kamar mandi yang memang terletak di dalam kamarku.
Sesosok cewek tengah berdiri disana. Ternyata ia cantik, dan ada bakat dia akan melebihi kecantikan Valen.
Dengan tubuh yang tinggi untuk ukuran anak SMP, rambut hitam panjang sepunggung, kulit kuning layaknya cewek Chinese pada umumnya dan wajah cantik yang dimilikinya membuat ia tidak tampak seperti bocah SMP. Ia mengenakan kaos berwarna pink dan celana jeans pendek selutut milik Ira.
"Di gantung di kamar mandi aja. Kalo udah, kesini deh. Kita obatin lukamu. Oke?" Ira tersenyum
Anak itu mengangguk dengan canggung karena baru pertama kali bertemu kami.
Ketika anak itu mendekat, aku bangun dan duduk. Ia duduk di dekat Ira, tampak menjaga jarak denganku.
"Jadi? Gimana ceritanya kok kamu bisa kayak gini?" tanyaku penasaran
Ia meringis kesakitan saat kapas yang dibasahi alkohol menyentuh luka di siku nya, ia tampak mengingat-ingat lalu menceritakan semuanya.
Ternyata ia adalah korban kecelakaan tunggal. Bus yang ditumpanginya selip dan masuk jurang.
Ia selamat semata-mata karena ia terpental keluar saat bus menabrak pembatas jalan.
Karena tidak mampu melakukan apa-apa dan jalan sangatlah sepi, ia memutuskan berjalan kaki hingga akhirnya sampai disini, di kota yang benar-benar baru baginya.
Ia meminta tolong pada orang lain tetapi hanya ditertawakan dan dianggap gila. Sialnya lagi, sekelompok anak punk yang melihatnya tengah tidur di emperan toko berniat tidak baik, maka ia lari dan semuanya dimulai dari situ.
Cewek itu juga berkata bahwa tas kecilnya yang berisi dompet dan handphone nya turut jatuh ke jurang.
Kami bertiga mendengarkan dengan serius.
Setelah ia selesai bercerita, kami terdiam untuk meredakan suasana yang terasa sangat emosional.
Setelah beberapa saat, ia menghela nafas dan tersenyum.
"Kak, terima kasih pertolongannya, mungkin baru besok pagi saya bisa pergi. Kalau kakak tidak keberatan, malam ini saya tidur di taman saja" ucap cewek itu padaku
"Apa? Taman?? Kamu udah gila ya??" nada suaraku meninggi
Cewek itu menciut menghadapiku.
Dengan gerakan pelan ia bersembunyi di belakang Ira.
"Evan!" desis Ira
"Udah, kamu tenang aja. Kamu aman kok disini" lanjutnya kepada si cewek
"Hoi, nama kamu siapa?" Arif bertanya dengan ramah
"Sa-saya? Nama saya Sherry Gracia kak" jawabnya malu-malu
"Kenalin, aku Ira, ini Arif dan itu-"
"Evan" ucapku memotong kalimatnya
Akhirnya Ira dan Arif berpamitan akan pulang karena masih ada hal yang harus dikerjakan oleh mereka.
Ketika aku dan Arif keluar kamar, aku mendengar Sherry bercakap-cakap dengan Ira.
"Kakak mau kemana?"
"Pulang. Aku masih ada keperluan"
"Sherry jangan di tinggal kak"
"Loh?"
"Sherry takut sama kakak yang tadi..."
"Oh, Evan? Nggak apa-apa...dia orangnya baik kok"
"Tapi serem kak"
Aku buru-buru ke halaman depan menemui Arif.
Selang beberapa menit kemudian Sherry dan Ira keluar dari dalam dan melangkah kearah aku dan Arif yang tengah berdiri di dekat mobil.
Setelah berpamitan, sepasang kekasih itu pun pergi.
Aku menatap Civic mereka menjauh dan menghilang di tikungan.
Sherry berada di sampingku, tampak bingung.
"Kak, mereka siapa?" tanya Sherry polos
"Ooh, Arif itu sepupuku dan Ira itu pacarnya. Udah yuk masuk..." suasana hatiku membaik
Aku sudah berdiri di depan pintu, tetapi cewek itu masih mematung. Kutatap ia dengan heran.
"Lho? Udah ayo masuk...udah jam berapa ni...jam 2 pagi coba...nggak baik cewek di luar rumah malem-malem"
"Sherry tidur diluar aja..." ucapnya lirih
"Halah, udah ayo masuk!"
"Eeh, saya mau dibawa kemana kak?" ia menjerit kecil saat tangannya kutarik
Aku membawanya ke kamar tamu.
Sherry patuh saja saat ia kutarik masuk kamar.
"Ini kamarmu. Malem ini kamu tidur disini ya. Ini remote AC nya, ini remote TV, ini remote MP3 player, ini selimutnya" ucapku sambil menumpuk berbagai macam barang di hadapannya
Ia tampak bengong. Namun aku tidak peduli.
"Oh iya, pintu kamar dikunci dari dalem ya kalo kamu tidur. Oh, satu lagi, kalo butuh apa-apa, bilang aja sama aku. Pintu kamarku nggak dikunci. Oke?"
"I-iya kak...terima kasih ya kak..."
"Oke. Met tidur" ucapku sambil tersenyum
Aku meninggalkan Sherry sendiri dan masuk ke kamarku.
Setelah berganti pakaian, aku berbaring di kasur yang empuk. Hanya 5 menit kemudian aku jatuh tertidur.
TOK TOK TOK!
"Hngh?? Masuk..." ketukan di pintu membangunkanku
Pintu kamarku terbuka.
Sherry berdiri di ambang pintu. Tangannya memeluk guling.
"Kenapa?" tanyaku sambil mengucek-ucek mata
"Kak, Sherry takut kak...boleh nggak Sherry tidur disini?" pintanya memelas
Karena mengantuk, aku tidak bisa mencerna apa yang terjadi.
Maka dengan tololnya aku berkata "Iya iya...boleh kok..." dan kembali tertidur.
Dengan canggung ia menyapukan pandang ke lantai. Tidak ada karpet maupun bantal lantai. Sejenak ia kebingungan.
Karena merasa tidak ada perubahan (kasur tentu bergoyang ketika ada orang yang naik ke atasnya) aku kembali membuka mata.
"Udah...sini tidur sini aja..." ucapku dengan mata terpejam kemudian menggeser tubuhku, menyediakan tempat untuk Sherry.
Sherry naik ke kasur dan mengambil tempat disisiku. Dalam keadaan sadar, aku tentu menolak untuk tidur satu kasur dengannya.
Aku lebih memilih menggelar kasur lantai atau tikar, biarlah Sherry yang tidur di kasur, tapi mungkin karena aku sudah sangat mengantuk maka
aku membiarkannya tidur disisiku. Aku biasa tidur dengan AC di set pada suhu 18 derajat, hal itu memaksa Sherry untuk meringkuk dibalik selimut.
Pagi harinya...
"Bujug!! Kamu ngapain tidur disini Sher?!" aku panik
Sherry terbangun dan mengusap-usap kedua matanya.
Ia menatap sekeliling dengan mata menyipit karena belum terbiasa.
Setelah sadar sepenuhnya ia bangun dan duduk.
"Ma-maaf kak...soalnya Sherry takut tadi malem...makanya Sherry pindah kesini...kakak juga bilang katanya Sherry boleh tidur disini" ia terbata-bata
"Kenapa kamu berani?" tanyaku agak curiga, jangan-jangan anak ini memancingku untuk berbuat hal yang tidak-tidak
"Sa...saya...saya pikir...kakak orang baik...jadi...saya...mengesampingkan pikiran negatif...jadi...jadi..." Sherry tergagap, tangannya meremas sprei
"Aduh...maaf ya Sher..."
"Eh? Kenapa kak?"
"Maaf, tadi malem...untung nggak terjadi..." ingatan saat aku memperkosa Valen berkelebat dalam pikiranku.
Walaupun dibawah pengaruh obat, tapi tetap saja aku menjadi binatang waktu itu.
Dan apa bedanya jika aku menyelamatkan cewek yang tengah melongo dihadapanku ini hanya untuk ku nodai?
Eps 13
Waktu berlalu dan terus berlalu. Sherry sudah cukup lama tinggal bersamaku.
Waktu kami habiskan dengan jalan-jalan ke mall, toko buku dan lain-lain.
Ternyata Sherry adalah anak yang menyenangkan. Ia jujur, baik, cerdas dan yang paling kukagumi adalah kesopanannya.
Dan kini liburan sudah usai...
Aku menyuruh Sherry tinggal sementara dirumahku setelah aku membujuknya dan memberi penerangan dengan alasan-alasan logis yang tidak dapat di bantah olehnya.
Atas perintah ayahku, Sherry disekolahkan disini sambil menunggu hasil dari usaha menghubungi kedua orang tuanya yang ada di luar negeri..
Hanya dalam 2 hari, urusan administrasi dan surat pindah sekolah Sherry sudah selesai ditangani.
Dengan pengaruh yang dimiliki ayahku, hal seperti ini tentu ibarat mengangkat sebutir kacang dengan tangan Sherry hanya bisa pasrah menerima, walaupun aku tahu, dia merasa sangat merepotkan kami dan merasa tidak enak hati dengan apa yang telah dilakukan oleh ayahku.
Aku dan Valen lost contact selama berminggu-minggu.
Kupatahkan SIM card-ku dan kubuang.
Aku tidak mau dan tidak akan menghubungi dia duluan setelah apa yang terjadi.
Biar saja dia berusaha sendiri, itu pun kalau dia mau. Aku berusaha untuk tidak peduli walaupun sebenarnya hatiku menjerit-jerit.
Satu-satunya yang menjadi penghiburku kini adalah Sherry.
Sikapnya yang ceria dan begitu hidup selalu meringankan beban yang menggelayuti pikiranku.
Ia anak yang cerdas dan lucu. Namun ada hal yang aneh padanya.
Sherry sangat manja padaku, kadang manja seperti adik namun juga kadang manja seperti seorang pacar. Hal ini tentu membingungkan aku dalam menempatkan diri.
Ini hari pertama kami masuk sekolah setelah libur selama beberapa minggu.
Aku berangkat mengantarkan Sherry yang kini bersekolah di Red Square Junior High School, SMP super elite pilihan ayahku.
Ia duduk manis di sebelahku sementara aku menyetir Accord kesayanganku menuju sekolah Sherry.
"Kakak, aku penasaran loh" Sherry tersenyum
Kini dia tidak lagi menggunakan kata 'saya' namun 'aku'. Walau begitu ia berlaku sangat sopan kepada siapapun yang ditemuinya, terutama aku.
Bahkan ayahku yang sempat pulang dari Swiss dan bertemu dengannya sampai terkagum-kagum.
"Oh? Penasaran kenapa Sher?" aku tidak melepaskan pandanganku dari jalan raya
"Teman-teman baru Sherry nanti seperti apa yah?" wajahnya jelas-jelas excited
"Hehehe...kita liat aja deh. Udah sampe nih, sana belajar yang pinter yak? Ntar kalo udah pulang SMS aja, pasti langsung ku jemput. Hati-hati ya Sher!" aku tersenyum saat Accordku berhenti di gerbang sebuah gedung sekolah yang sangat megah.
"Iya deh...aku berangkat dulu ya kak!" ia tersenyum manis lalu keluar dari mobil
Ia melambaikan tangan saat Accordku keluar dari kompleks SMP orang-orang kaya ini dan melaju di jalan raya.
Kini aku akan menuju sekolahku sendiri...dan bertemu Valen.
Sepanjang jalan aku merasa deg-degan. Entahlah, perasaanku begitu kacau.
Setelah memarkir mobil, aku berjalan memasuki kelas. Sekolah sudah lumayan ramai saat itu.
Di kelas, aku tidak menemukan Valen dimanapun. Teman-temanku pun menanyakan sosok cewek yang menjadi idola kelas itu kepadaku.
Aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban karena aku memang tidak tahu dimana Valen.
Dari jam pertama hingga jam terakhir tidak tampak tanda-tanda kehadiran Valen.
Guru yang mengajar pun sampai bertanya-tanya karena memang Valen yang biasanya mampu menjawab semua pertanyaan mereka.
Pelajaran kulalui dengan berat karena pikiranku tertuju pada Valen.
Saat pulang sekolah, teman-temanku berkumpul.
Mereka berencana pergi ke rumah Valen.
"Evan, ke rumah Valen yuk? Nggak biasanya dia bolos. Mungkin dia kenapa-kenapa" ajak Lia
Hampir saja aku langsung menjawab 'iya' ketika tiba-tiba ingatan akan malam dimana Valen mengusirku datang. Segera saja aku tersadar.
"Emm....aku ada acara...maaf ya..." aku tersenyum sungkan dan langsung ngeloyor pergi
Aku menghampiri Accord silver ku yang terparkir diantara mobil-mobil para guru dan beberapa siswa lainnya.
Setelah duduk di dalam mobil, aku menyalakan AC dan mengetik SMS. Karena handphone Sherry hilang saat kecelakaan, kini ia memakai handphone ku yang satunya lagi.
----------------------
14:03
9/05/2012
To : Sherry
Sher, pulang jam berapa? Aku udah balik nih...
-----------------------
Beberapa detik kemudian sebuah SMS balasan masuk
-----------------------
14:04
9/05/2012
From : Sherry
Mungkin jam setengah 3 nanti kak...
Ada pengarahan nih... (-_-")
Bete...hehehe
------------------------
Kuketik SMS untuk membalas dengan cepat
------------------------
14:06
9/05/2012
To : Sherry
Yaudah...bentar ya...aku pulang dulu kalo gitu. Hehehe
-------------------------
Aku memacu mobilku menuju rumah. Rencananya, aku akan berganti baju dan langsung menjemput Sherry karena timingnya cukup pas.
Ke rumah sekitar 10 menit, ganti baju 5 menit dan jalan ke SMP Sherry sekitar 15 menit. Jadi kira-kira aku akan sampai di tempat Sherry sekitar pukul 14:36.
Lho? Kelebihan 6 menit ya? Ya sudahlah tidak apa-apa.
Iseng-iseng aku mengganti Accord-ku dengan Lamborghini Aventador hadiah dari ayahku.
Memang sangat berlebihan, tapi siapa yang akan menolak jika diberi mobil semewah itu? Hehehe...
Kusibakkan terpal berwarna hijau tua dan melipatnya. Aku memandang Aventador dengan matte finish Nero Nemesis itu dengan sangat bangga.
Aventador itu juga merupakan sebuah simbol bagiku, sebuah benda yang mengingatkanku bahwa orang tuaku sangat memanjakanku dengan materi sebagai ganti waktu mereka karena mereka sangat-sangat sibuk. Setelah beberapa menit memanasi mobil, aku pun berangkat.
Aku sampai tepat pada waktu Sherry pulang sekolah. Ia tampak berdiri dengan anggun di taman depan sekolah, menungguku.
Sesekali ia tampak bercakap-cakap dengan akrab dengan beberapa anak cewek lain yang juga sama-sama menunggu jemputan, dan sesekali juga ia tampak melongok kearah jalan raya.
Aventador-ku kuhentikan tepat didepan Sherry yang posisinya berada di sebelah kiri mobil.
Kutekan klakson satu kali, ia menatap kedalam mobil dengan malas dan kembali melongok ke jalan raya sementara teman-temannya berdecak kagum melihat mobilku.
Aku kembali membunyikan klakson
“Sher, kayaknya manggil kamu deh” salah satu temannya menyikut Sherry
“Ah masa sih…” jawab cewek itu tidak tertarik
“Iya…bener…” temannya kembali melirik kaca mobil yang gelap
Sherry menjadi gelisah, ia berulang kali melirik jam tangannya dan bolak-balik melihat layar handphonenya.
Aku geli, dia pikir aku akan menjemputnya dengan Accord. Merasa sudah cukup bermain-main, aku turun dari mobil.
Seluruh mata tertuju kearahku, awalnya Sherry menatapku dengan sebal, tetapi begitu tahu bahwa itu aku, seulas senyum terkembang di bibirnya.
“Kakak? Aku kira siapa!” ia mendatangiku dengan tersenyum
“Mau pulang?” tanyaku santai
Sherry mengangguk cepat.
Setelah berpamitan dengan sopan kepada teman-temannya, ia naik ke mobil bersamaku dan pulang.
Kami bercanda ria sepanjang jalan. Sherry bercerita tentang teman-teman barunya dengan berapi-api sementara aku mendengarkan dengan penuh minat.
Karena perutku lapar, aku mengusulkan untuk makan. Usulku disambut baik oleh Sherry yang ternyata juga kelaparan.
Kami menuju ke taman kota, tempat nongkrong anak-anak muda dari SMP hingga kuliah.
Kuparkir mobilku dijalan paving block dan mengambil tempat di sebuah meja dekat kios hamburger.
Aku dan Sherry duduk berhadapan, kami membeli beberapa jenis makanan kecil pengganjal perut.
Sherry meminum segelas soda yang tadi dibelinya sementara aku memakan french fries sedikit-sedikit.
Bukannya mulai makan, Sherry malah menatapku lekat-lekat.
"Kenapa Sher?" aku risih juga ditatap olehnya seperti itu
"Nggak apa-apa kak..." ia tersenyum
"Dimakan tuh burgernyaa..."
"Nanti aja deh" ia kembali tersenyum
"Loh?"
"Aku ngeliatin kakak makan aja ah" Sherry menggeser sodanya menjauh dan berpangku tangan menontonku makan.
"Mau disuapin?" aku menggodanya
"Mau dong!" jawabnya manja
"Yee! Makan sendiri dong...udah gede juga..." aku menjulurkan lidah
"Aah...kakak mah gitu sama Sherry..." ia memanyunkan bibirnya
BRAAAAKK!!
Sebuah telapak tangan menggebrak meja dengan kasar.
Aku dan Sherry terperanjat dan menatap si pelaku. Dia adalah Caroline Valentina.
"JADI GINI YA LO DI BELAKANG GUE?! TERNYATA LO JALAN SAMA CEWEK LAIN! ANAK SMP PULA! TAU MALU NGGAK SI LO?!!" ia berteriak marah
Lagi-lagi kami membuat rusuh ditempat umum.
Aku tidak berminat mendebatnya karena dia tidak tahu siapa Sherry.
"GUE PIKIR GUE YANG SALAH, SAAT GUE MAU MINTA MAAF SAMA LO, TERNYATA LO NUSUK GUE DARI BELAKANG GINI! LO ANGGEP GUE INI APA SIH VAN? BONEKA YANG BISA LO MAININ SEENAKNYA?!" Valen benar-benar marah
Aku hanya diam dan memainkan french fries ditanganku, mencelupkannya kedalam saos dan mengoles-oleskannya ke piring.
Sherry tertegun menatap cewek yang tidak dikenalnya tiba-tiba mengamuk dan memarahi aku.
"GUE SMS, LO NGGAK PERNAH BALES! GUE TELEPON LO, NOMER LO NGGAK PERNAH AKTIF!! SIBUK PACARAN SAMA DIA YA TERNYATA?!"
"Sebentar Val, aku jelasin dulu...ini bukan seper--" aku memutuskan untuk angkat bicara
"ALAAH! JELASIN APA LAGI?! KATANYA LO CINTA SAMA GUE! KATANYA LO SETIA! TAPI MANA? MANA BUKTINYA HAH?!"
"Nih, dengerin dulu penjelasanku Val...dia ini sebener--"
"GUE NGGAK BUTA VAN! GUE LIHAT LO AKRAB BANGET SAMA CEWEK INI! LO SEBENERNYA CUMA MAU BIKIN GUE SAKIT HATI KAN VAN? IYA?!!"
Aku menatap Sherry dan berkata kepadanya "Ini cewek nyebelin banget sumpah!" dalam hati.
Sherry paham apa yang aku katakan, ia mengangkat sebelah alisnya sebagai jawaban.
"HEH! LO PUNYA TELINGA NGGAK SIH?! JAWAB PERTANYAAN GUE VAN!"
JEBRAAAAAKK!!
Aku sangat kaget hingga terlonjak dari tempat dudukku, begitu juga Valen, ia tampak sangat terkejut.
Sherry menggebrak meja, ia melotot menatap Valen.
Sebelum Valen sempat berkata apapun, Sherry menggeram,
"Kenalin kak! Nama saya Sherry dan saya ini adiknya, kakak denger? ADIKNYA kak Evan!"
"A-adik? Adik?" Valen tergagap, ia tertegun, merasa sulit mencerna apa yang barusan dikatakan Sherry
Valen menunjuk aku kemudian Sherry bergantian selama beberapa saat. Rasa terkejut tergores jelas diwajahnya yang cantik itu.
"IYA! SAYA ADIKNYA!" Sherry menekankan kalimatnya lagi
"Udah kak! Ayo kita pulang! Sherry jadi males makan disini!" ia menarik tanganku dan berjalan ke mobil
"Udah? Puas Val?" aku berkata sinis pada Valen lalu berbalik pergi dan masuk kedalam mobil
Dalam situasi normal, aku tentu akan menjelaskan masalah ini baik-baik.
Tetapi ingatan saat Valen mengecewakanku di diskotik tidak mengijinkanku untuk berbuat demikian.
"Vaaaan...Evaaan...tunggu dulu Vaan..." pintanya memelas, matanya berkaca-kaca
Aventador yang membawa aku dan Sherry seakan tersenyum melecehkan Valen yang kini berdiri mematung berlinangan air mata menatap kepergian kami.
==============
20:07 WIB
Suasana kamarku yang nyaman tidak mampu meredam kegelisahan yang membuncah dari hati dan pikiranku.
Valen...dia benar-benar berubah...
"Kak...itu tadi siapa kak? Pacar kakak ya?" Sherry duduk disampingku yang tengah termenung
Aku tenggelam dalam pikiran-pikiranku sendiri sejak sekitar 20 menit yang lalu.
Sherry baru saja selesai mengeringkan rambut panjangnya dengan hairdryer.
"Iya...itu pacarku Sher, namanya Valen...kita lagi ada masalah..." jawabku lesu
"Kakak nggak pernah cerita kalo kakak punya pacar" ucapnya pelan
Aku menoleh, menatapnya dan tersenyum. Kubelai rambut hitam yang menjuntai indah ke punggungnya.
Sherry mengenakan tank top berwarna ungu dan hotpants yang hanya menutupi paha beberapa cm dari selangkangannya, menampilkan kulit tubuhnya yang mulus dengan tidak malu-malu.
Ia tidak tampak seperti seorang bocah SMP.
Ia lebih menyerupai seorang siswi SMA yang sangat cantik.
"Karena...aku kecewa banget Sher..."
Kuceritakan kejadian yang aku alami sesaat sebelum aku bertemu Sherry, saat Valen mengusirku dari diskotik.
Sherry termenung mendengar ceritaku. Ia menggeser posisi duduknya sehingga kini ia berhadapan denganku.
“Valen….Valen…namanya bagus banget…” Sherry bergumam
“Oh ya?” aku tersenyum
"Tenang aja kak...aku yakin kakak pasti mampu melewati masalah ini" dia meletakkan masing-masing tangannya di kedua bahuku
Aku tersenyum berterima kasih kepada Sherry yang kedua tangannya masih dalam posisi tadi.
Tetapi itu tidak lama, saat pandanganku turun kebawah, kulihat tubuh Sherry yang ternyata seksi terbalut tanktop memperlihatkan ketiaknya yang bersih dan juga buah dadanya yang -secara mengejutkan- lebih besar dari milik Valen.
Senyumku memudar. Dan sebagai cowok normal, aku memandang belahan dada Sherry yang terekspos dengan tatapan lapar.
Penisku menggeliat bangun setelah sekian lama ber-hibernasi.
Aku terus menatap dua bongkah daging yang hanya ditutupi sehelai tanktop dengan ekspresi amazed, ingin merasakan kehangatan dan kekenyalannya.
"Kak? Kakak ngeliatin apa?" bisik Sherry ketakutan, ia menarik tangannya untuk menutupi belahan dadanya yang indah
Wajahnya kini berubah. Ia menggeser duduknya menjauhi aku yang sedang dalam kondisi nge-hang.
Memang benar Sherry menutupi dadanya tetapi ia duduk mengangkang ketika beringsut mundur, menunjukkan pahanya yang kuning langsat layaknya cewek-cewek Chinese yang sangat menggiurkan. Kedua tungkai dan betisnya memantulkan cahaya lampu kamarku dengan sangat lembut.
Dan pangkal pahanya, aku tidak sanggup membayangkannya. Terlalu indah.
"Kak...jangan bikin Sherry takut dong..." desahnya
Aku masih terpaku pada tempat tidur dan masih melongo menatap tubuh indah Sherry yang baru kusadari sekarang.
"Kakak, yang bener dong kak...Sherry takut nih..." ia turun dari tempat tidur dan berjalan mundur menuju pintu kamar
TEK!!
Aku tersadar dari pikiran-pikiran bejadku.
Aku menggeleng-gelengkan kepala sebentar lalu bangkit dan berlari ke kamar mandi untuk mencuci muka dan membasuh juniorku agar tertidur kembali.
Ketika aku keluar kamar mandi, Sherry sudah tidak ada.
Ah, pasti dia sangat ketakutan tadi. Aku sangat malu karena tidak mampu mengendalikan diri.
TOK TOK TOK!!
"Sher? Kamu di dalem?" aku mengetuk pintu kamarnya dengan pelan
Tidak ada jawaban, terang saja Sherry pasti marah karena sikapku yang sangat tidak sopan tadi. Apalagi sampai membuat dia ketakutan.
Aku adalah orang yang bertanggung jawab atas Sherry, atas keamanannya dan keselamatannya, setidaknya sampai orang tuanya dapat dihubungi.
Tentu saja hal itu membuatku merasa amat bersalah.
Aku masih mengetuk pintu kamar Sherry tapi tidak ada respon. Mungkin dia takut aku macam-macam kepadanya.
Karena tidak mau membuatnya takut lebih lama, aku beranjak meninggalkan kamar cewek itu tepat ketika sebuah kepala menyembul dari sela-sela pintu yang terbuka.
"Kenapa kak?" tanya Sherry dengan sopan tapi tampak ada secercah kecemasan di matanya
"Ng...anu...eemm...maaf yang tadi ya....aku udah...yaa...itu...eehh..." aku menggaruk kepala untuk menghilangkan nervous
"Oh...iya nggak apa-apa kak" nada bicaranya sama seperti tadi
Kami berdua sama-sama terdiam, bingung akan melanjutkan percakapan.
"Boleh aku masuk?" tanyaku keceplosan karena bingung
Ah sial. Lagi-lagi aku bersikap tidak sopan.
Aku hanya berharap Sherry tidak berpikir negatif tentang pertanyaanku barusan.
Ia menatapku sebentar, lalu pintu kamarnya kembali terayun menutup.
CKLEK!
Pintu itu tertutup rapat, meninggalkan aku yang masih tersenyum salah tingkah dalam kegelapan ruang tengah.
"Tuh kan...bego! Marah lagi dia...goblok banget sih kamu Van!" aku memaki ketololanku sendiri
Aku berbalik dan berjalan dengan gontai hendak kembali ke kamarku sendiri.
Baru saja aku berhasil meminta maaf, sedetik kemudian aku melakukan kesalahan yang sama. Benar-benar bodoh...
"Loh? Nggak jadi masuk kak?"
Aku berbalik dengan cepat.
Sherry berdiri di depan pintu kamarnya yang kini terbuka lebar. Ia menatapku dengan heran.
Eps 14
Previously on My Immortal
"Loh? Nggak jadi masuk kak?"
Aku berbalik dengan cepat. Sherry berdiri di depan pintu kamarnya yang kini terbuka lebar. Ia menatapku dengan heran.
***
"Sher, kamu marah ya?" tanyaku dengan canggung
Ia berbaring di kasur empuk bergambar Spongebob, matanya menerawang menatap langit-langit.
"Nggak kok kak..." jawabnya singkat
"Yang bener?"
"Iya...beneran. Oh iya, malem ini Sherry mau tidur disini aja kak"
Selama ini, sejak kedatangannya yang pertama kali di rumahku, Sherry selalu tidur dengan aku di kamarku.
Biasanya aku akan menggelar tikar dan tidur di lantai sementara Sherry tidur di kasur.
"Oh? Mau tidur disini? Oke deh..." jawabku kecewa
Bukan karena alasan-alasan yang lain, tetapi aku kecewa karena ternyata Sherry pasti sangat marah padaku hingga ia memutuskan untuk tidur sendiri.
Aku kecewa pada diriku sendiri.
Aku berdiri dan membuka pintu, kuputuskan untuk kembali ke habitat asalku.
"Loh? Mau kemana kak?" tanya Sherry, ia duduk di kasur dan menatapku dengan bertanya-tanya
"Katanya kamu mau tidur disini?" aku menjadi bingung
"Iya...tapi kakak temenin aku tidur disini dong!" ia tersenyum manja
"Dasar!" aku berjalan menghampiri Sherry dan menjitak pelan kepalanya
Ia tertawa kemudian berbaring di sampingku.
Sherry menatap mataku dengan cara yang sama seperti saat Valen menatapku.
"Sherry tidur duluan...kakak jangan ngapa-ngapain Sherry ya. Sherry percaya sama kakak" ucapnya pelan
Aku mengangguk mantap. Sejenak kemudian ia tertidur.
Aku berbaring disebelahnya, namun aku tetap terjaga sepanjang malam.
Valen masih menghantui pikiranku.
"Valen..." aku mendesah
Jam menunjukkan pukul 12 malam, itu berarti 3 jam sudah berlalu sejak cewek disampingku ini tertidur.
"Kak? Kenapa? Nggak bisa tidur?"
Sherry ternyata terbangun dengan mata yang masih setengah terpejam, wajahnya lucu saat itu sehingga mau tidak mau aku tertawa.
Ia buru-buru menyeka kedua sudut bibirnya, takut ada liur yang menetes.
"Ke..kenapa ketawa?" tanyanya dengan bingung
Tanpa menunggu jawaban dariku buru-buru ia berlari ke kamar mandi, entah apa yang dilakukannya disana.
Setelah keluar, wajahnya tampak basah.
"Ngapain kamu?"
"Cuci muka sama gosok gigi...ehehehe"
"Tengah malem?"
"Hehehehe"
Ia duduk lagi disampingku, bersandar pada tembok.
Sherry menatapku dengan seksama.
"Ci Valen ya kak?" ia mendesah
"Iya Sher...aku bener-bener nggak tau harus gimana...dia bener-bener berubah, menyimpang sepenuhnya dari Valen yang dulu. Dia mabok-mabokan, ke diskotik, ngerokok...padahal aku benci cewek yang kaya gitu...tapi...aku bener-bener sayang sama dia" aku mengungkapkan semuanya
Ia tampak merenung dan melipat tangannya.
Sepertinya Sherry sedang berpikir keras.
"Kenapa kakak nggak cari cewek lain aja kalo gitu?" keningnya berkerut saat menanyakan hal itu
"Sulit banget ngelupain dia Sher...she's my first love after all..." jawabku sedih
"Emang kriteria cewek yang bisa bikin kakak jatuh cinta yang kayak gimana?" Sherry tampak penasaran
"Loh? Emang kenapa?"
"Yaa....cara gampangnya kakak cari cewek lain dong kalau kakak pengen ngelupain Ci Valen.." jelasnya
"Terus kenapa kamu tanya-tanya?"
"Yaa mungkin temen Sherry ada yang masuk kriteria kakak kan lumayan..." ucapnya sambil nyengir
"Yang aku suka tuh cewek yang baik, jujur, nggak matre, pinter...." kataku sembari mengacungkan empat jari tangan
"Itu dari segi sifat kan kak...kalo dari fisik gimana?" Sherry tampak mengingat semua teman yang dikenalnya
"Tinggi, putih, cantik, rambutnya panjang...." terangku, aku menjulurkan lidah saat selesai mengatakannya
Ia tampak kesulitan menemukan orang yang cocok.
Alisnya mengrenyit tidak setuju.
"Aduh berat banget...terlalu perfect kak..." ia menggaruk kepalanya
"Iya...perfect kayak kamu Sher" aku mencubit pipinya
Ia tampak terkejut.
Seluruh otot di tubuhnya menegang dan matanya terbelalak memandangku.
"Atau...Sherry aja yang jadi pacar kakak ya?" aku menggodanya
"I-itu...itu...." Sherry terbata, ia memeluk tubuhnya sendiri
"Kenapa? Sherry nggak mau sama kakak ya?" aku membelai rambut panjangnya
"Bukan!" sergahnya cepat-cepat membuatku kaget
Sejenak kemudian pandangannya terpaku pada kasur, Sherry tampak merenung.
Pelan-pelan ia mengangkat wajahnya dan menatap mataku.
"Ci Valen gimana?" ia bertanya dengan suara lirih
"Ah...Valen udah jadi cewek nggak bener...main malem terus...aku mau putusin dia begitu aku mulai bisa ngelupain dia..." tatapanku menerawang ke langit-langit
"Kalau gitu..." tangannya meremas bantal yang ada di pangkuannya
"Sherry...sebenernya....udah lama suka sama kakak...tapi..."
JTAAARR!! *background petir menyambar-nyambar
Aku tentu sangat terkejut mendengar pengakuannya, tetapi disisi lain aku senang mendengarnya, memang benar hanya Sherry yang mampu mengalihkan aku dari Valen...hanya dia yang sanggup menceriakan hari-hari penuh sorrow karena Valen yang kini benar-benar berubah
"Ah...aku ngomong apa sih? Eh iya kak, aku punya lagu bagus buat kakak loh...kakak suka Evanescence kan?" ia berdiri dan mengambil tas sekolahnya
Dasar Sherry, bisa saja mengalihkan pembicaraan pada saat yang tepat seperti ini.
Aku memperhatikannya mengobok-obok tas dan mencomot sebuah flashdisk bergambar Hello-Kitty.
Ia menancapkan flashdisk pada MP3 player yang diletakkan dimeja dan sibuk memencet-mencet remote.
Tak lama kemudian suatu lagu melantun.
Aku tersenyum, ternyata Sherry menyetelkan lagu Going Under untukku.
"Heeeii! Nyindir nih ya?!" aku melempar bantal kecil kepadanya
"Kan cocok sama keadaan kakak" Sherry tertawa dan menangkap bantal itu
I'm going under
Drowning in you
I'm falling forever
I've got to break through
Amy Lee yang menyanyikan bagian reff dengan bersemangat secara tidak langsung membangkitkan semangatku juga.
Sherry melipat kedua tangannya dan tersenyum kepadaku, ia tampak puas karena berhasil membuatku tersenyum.
"Ayo kak...you've got to break through!" ia memberiku semangat
"Hahaha. Iya iya. Sini kamu!" aku menyuruhnya mendekat
Sherry melangkah kearahku sambil tertawa membuatnya tidak hati-hati.
Kakinya terantuk. Ia jatuh menindih tubuhku, buah dadanya menekan dadaku.
"Ah! Maaf kak! Maaf!" ucapnya panik
Ketika hendak bangkit, kupegangi pinggangnya, mencegah ia berdiri.
"K-kak?" matanya menatapku gelisah
"Sher, thanks ya..." aku mengecup bibirnya dengan lembut
Pipinya merona merah, ia melepaskan tautan bibir kami.
"Sama-sama kak..." lalu tanpa kuduga, ia balas mengecup bibirku.
Aku mengubah posisi sehingga kini Sherry berada dibawahku.
Ciumanku turun ke lehernya yang lembut, aroma shampoo Clear Complete Soft Care menguar lembut dari rambutnya yang hitam terawat.
"Kaaaak...geli kaaak...jangan disitu....aaah..." Sherry mendesah seksi
Aku merentangkan kedua tangan Sherry keatas dan menahan pergelangan tangannya sehingga dua bongkah buah dadanya yang menggiurkan itu seolah menantang langit.
Aku melepaskan pergelangan tangannya dan menangkup bukit kenyal itu membuat sang pemilik mendesah-desah.
"Aaaah...pelan-pelan kak...geli..." rintihnya
Tanpa membuang-buang waktu, kulepas tanktop Sherry. Ia sama sekali tidak melawan, hanya berbaring pasrah dengan mata terpejam dan bibir yang mengeluarkan rintihan serta desahan seksi. Hal pertama yang ada di pikiranku adalah aku akan membuatnya orgasme.
Penglihatanku tidak salah. Segera setelah tanktopnya terlepas, buah dadanya yang membusung ditutupi sehelai bra tipis berwarna putih memang sama lembutnya dan sama-sama dihiasi puting berwarna pink namun buah dadanya lebih besar dari milik Valen.
Aku menelusuri permukaan buah dadanya yang lembut itu dengan lidah setelah melepaskan bra putih itu dengan bantuan Sherry.
Sepelan mungkin membuat Sherry mengejang beberapa kali.
"Kakak lagi ngapain siihh? Geli kaaak....aaahh....mmmhh...." kedua tangannya membelai kepalaku
"Kak! Geli banget sungguh kak! Aaaaah....ge...geli...aaaaahh....aaaaggh..." Sherry mengerang ketika putingnya kubelit dengan lidah
Kuangkat kepalaku dari daging kenyal dan hangat itu. Kutatap mata Sherry yang kini tampak sayu.
Rupanya dia sama saja seperti cewek lain yang bisa terangsang juga wajah polosnya merona merah karena horny
"Sher, lepas celananya" ucapku
"Apa? Celana? Nggak mau ah kak...malu..." tolak Sherry
"Nggak apa-apa...kenapa harus malu? Lepas yaa?" aku masih membujuknya
"Kakak mau ngapain sih?" ia bertanya dengan suara lemas
"Aku mau ngasih kamu sesuatu...nggak apa-apa, percaya deh..."
Ia tampak berpikir sebentar lalu berkata,
"Oke...cuma celananya aja ya?"
Dengan berat hati ia membiarkan aku membuka kancing hotpantsnya dan menelanjangi tubuhnya yang elok.
Sherry dengan malu-malu menutupi vaginanya yang terbungkus celana dalam putih dengan kedua tangannya. Kini dia hanya mengenakan celana dalam saja.
"Celana dalemnya sekalian ya Sher"
"Nggak mau! Kan katanya cuma celana doang!" tolaknya tegas
"Tanggung Sher...nggak apa-apa yah?"
Usahaku membuahkan hasil, pelan-pelan Sherry mengangkat pinggulnya, memberikan lampu hijau padaku untuk melepas rintangan terakhir yang berada diantara aku dan liang surgawi miliknya.
"Wooow..." gumamku takjub
Vagina Sherry mungil. Dan seperti yang kuduga, vaginanya dicukur bersih hingga mulus dan licin.
Selain itu, Sherry pasti merawatnya dengan telaten karena vaginanya wangi.
"Jangan diliatin kak..." Sherry menutupi vagina mungilnya
Pelan-pelan kurentangkan kedua kakinya hingga Sherry mengangkang lebar.
Lubang vaginanya yang berwarna pink segar membuatku penasaran seperti apakah rintihan cewek ini ketika nanti kusapukan lidahku pada daerah sensitifnya.
"Kak? Kakak sebenernya mau ngapain Sherry sih?" ia bertanya penasaran
Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan polosnya.
Sherry memang sama sekali belum tercemar hal-hal yang berbau seks.
Saat kudekatkan mulutku ke bibir vaginanya, Sherry memekik,
"Stop kak!! Jangan!"
Aku merasakan bulu kuduk dipahanya meremang
Aku menengadah menatapnya dengan pandangan tidak mengerti
"Kenapa?"
"Daerah situ kan kotor kak! Apapun yang mau kakak lakuin, Sherry mohon jangan" pintanya
Lagi-lagi ia membuatku tersenyum.
Aku tidak menghiraukan kata-katanya dan melanjutkan persiapanku untuk mencumbu vaginanya.
"Kakak! Sherry bilang jangan! Disitu kan ko-AAAAAAAAAAAAHHHHH!!!!"
Satu jilatan menguas dengan telak di vagina Sherry yang bahkan belum pernah berciuman dengan cowok, sebuah fakta yang kuketahui belakangan.
Suaranya melengking tinggi.
Sherry mendorong kepalaku menjauh dengan kuat sehingga mau tak mau aku harus berhenti menjilati vaginanya.
"Kaaak....hahhh....hhhahh....stop kak....haahh...geli banget...Sherry nggak kuat" nafasnya memburu dengan liar
"Oh ya? Wah...padahal belum sampe klitoris nih..." aku bergumam
"Kli...kli apa??”
"Nggak...nggak apa-apa...tapi enak kan?" aku tersenyum menggodanya
Ia tampak ragu-ragu.
Sherry menatap mataku dengan gelisah.
"E..enak sih kak..." jawabnya dengan berat hati
"Mau lagi nggak?"
Sherry tampak berpikir keras menjawab antara ya dan tidak.
Jika dia menjawab 'iya' maka sama saja ia merendahkan harga dirinya, tetapi jika dijawabnya 'tidak' itu berarti dia munafik dan berbohong padahal jawabannya sudah terlihat jelas dari respon yang diberikan tubuh belianya.
"Mmm...mau kak...lagi..." ucapnya lemas dengan kepala tertunduk, tidak berani menatapku
Aku membelai rambut Sherry dan mengecup bibirnya.
Matanya tidak lepas dariku bahkan saat aku kembali mendekatkan wajah ke vaginanya.
"Kak, pelan-pelan ya kak...Sherry taku-iyaaaaaahh!!" lagi-lagi kupotong kalimatnya yang belum selesai dengan sebuah jilatan manis pada vagina mungilnya
Kurasakan setiap jengkal otot di tubuhnya mengejang dan kedua tangannya menjambak rambutku.
Sherry bersusah payah bertahan dari derai kenikmatan yang melanda vaginanya yang belum pernah terjamah benda asing, apalagi lidah seorang cowok.
Perut ratanya kembang kempis tidak teratur.
Sepertinya Sherry terlalu tegang sehingga tidak bisa benar-benar menikmati.
"Sher, jangan tegang, santai aja" komandoku
Ia mengangguk cepat. Beberapa butir keringat menetes di pelipisnya, mungkin karena nervous.
Beberapa saat kemudian aku merasakan tubuhnya berangsur-angsur rileks, namun nafasnya masih memburu.
Aku melanjutkan menjilati daging segar itu. Sherry kembali menggelinjang.
"Kakaaaak....aaaahh....aaaahhh...." rintihnya begitu seksi
Ia menuntun tanganku untuk memegangi pinggangnya. Sherry ternyata lebih sensitif daripada Valen untuk urusan jilat-menjilat.
Matanya menatap kosong langit dan lidahnya terjulur, ia merintih tanpa suara.
"Kaak...hhaahh...hhaah...pelan...pelan kak...aaahhh...!" nafasnya ngos-ngosan
Vaginanya sudah benar-benar basah oleh lendirnya dan air liurku hingga menetes membasahi kasur.
Tiba saatnya untuk menstimulasi klitorisnya. Dengan bantuan jari aku merentangkan bibir vagina mungilnya dan mencari sebuah tonjolan kecil yang segera kutemukan.
"Siap-siap Sher...hehehe"
"Apa kak? Haahh...hhah..." tanyanya dengan nafas masih tersengal-sengal
Aku menjilat klitorisnya dengan ujung lidah sepelan mungkin.
"AKH!!" Sherry tercekat, matanya terbelalak dan kedua tangannya menjambak rambutku
Klitorisnya terus kujilati dan kuselingi dengan gigitan kecil, kadang-kadang kuhisap pelan-pelan sementara bibirku tek henti-hentinya tersenyum.
"Aakh! Aaaaahhh! Aaaaah!!" ia mengerang pendek-pendek dengan mata yang masih terbelalak seperti orang melihat hantu
3 menit sudah kulalui bersama klitoris cewek Chinese ini. Sherry sudah diambang orgasme.
Untuk mempercepat, kupilin kedua putingnya. Benar saja sedetik kemudian tubuhnya melengkung.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaggghh!!" Sherry menjerit dengan memejamkan matanya rapat-rapat
Seluruh tubuhnya menjadi tegang lalu segera kembali rileks.
Aku berhenti dan hendak mewawancarainya tentang orgasme pertama yang dialaminya.
"Gimana Sher?" tanyaku sambil mengelap bibirku yang basah
Sherry menatapku dengan sayu. Mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu tetapi tidak ada suara yang keluar.
Ia tampak berusaha mengumpulkan tenaga sebisa mungkin.
"A...apa itu tadi kak?" tanyanya setelah berhasil mengontrol diri
"Itu namanya orgasme Sher...yang pertama kamu alami yaa? Hehehe" aku terkekeh
"Ya ampuun...enak banget...iya kak...pertama kali..." ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan
Ia mengatur nafasnya yang memburu.
"Berarti kalau orang begituan tuh kayak tadi kak?" tanya Sherry polos
"Nggak...itu namanya foreplay..." jawabku enteng
Sherry tampak berpikir lalu mengalihkan tatapannya kearahku. Ia menatap mataku dalam-dalam.
"Kakak...mau ngelakuin 'itu' sekarang?" tanyanya lirih
Aku berpikir sejenak dan tersenyum nakal.
"Sherry mau?"
"Ka..kalo kakak mau...Sherry siap..." jawabnya terbata-bata
Setelah mengucapkan hal itu, rahang Sherry tampak menegang, sepertinya ia menyesal sudah menjawab seperti itu.
Gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia tengah berusaha menerima konsekuensi atas jawaban yang baru saja diberikannya padaku.
Matanya jelas-jelas gelisah. Aku bisa membaca pikirannya, ia tahu kalau ia baru saja memberikan jawaban yang tidak tepat.
Sherry sebenarnya takut sekali kalau aku sampai merenggut kesuciannya, ia takut sekali karena saat ini ia berada di kasur dalam keadaan telanjang bersama seorang cowok. Ia tampak tegang menanti jawabanku, namun semua pikirannya sudah terbaca olehku dan aku tidak sampai hati.
Aku menundukkan tubuh ku dan meraih dagunya.
Ketika wajahku mendekat, aku melihat mata Sherry yang indah itu berkaca-kaca. Ia benar-benar ketakutan dan menyesal.
"Nggak deh...makasih..." aku mengecup bibirnya dengan cepat lalu berbaring disisinya dan memejamkan mata.
Aku terpaksa tidur dengan Evan Jr. yang menangis minta jatah.
Tapi apa boleh buat? Entah kenapa ada hal yang menghalangiku merenggut kesucian Sherry. Mungkinkah ini yang disebut nurani??
Samar-samar sebelum aku tertidur, aku mendengar Sherry berbisik
"Terima kasih ya kak..."
Eps 15
Few days later...
13.58 WIB
Sudah beberapa hari sejak masuk sekolah, Valen tidak pernah berangkat.
Aku khawatir? Tentu saja iya, tetapi mungkin ini yang disebut orang dengan ‘gengsi’ ?
Namun yang jelas, aku masih sakit hati dengan perbuatannya. I’m trying to live my life…
Siang ini memang benar-benar panas membuatku dan Sherry yang tengah duduk di dalam Aventador hitam serasa terpanggang walaupun AC sudah kunyalakan.
"Sher, main yuk?? Hehehe" aku membuka percakapan
"Aduh kak, Sherry besok ulangan...maaf ya" wajahnya terlihat kecewa
Aku mengangguk maklum karena aku tahu bahwa Sherry adalah anak yang sangat rajin.
Iseng-iseng kuturunkan suhu AC pada saat mobil berhenti sewaktu lampu merah menyala.
Sherry tampak celingukan menatap keluar kaca di sekitarnya.
"Kenapa Sher?" tanyaku heran
"Kaca mobilnya kak. Orang ga bisa liat ke dalem kan?" Sherry menatapku penuh harap
Aku mengangguk sebagai jawaban. Ia tersenyum dan cepat-cepat membuka 3 kancing teratas seragam SMP nya menampakan dobelan tank top kuning cerah.
Sudah pasti aku kaget.
"Ngapain kamu hei?" aku bertanya gugup
"Panas kak. Ah kakak juga udah pernah liat Sherry telanjang" ucapnya simpel
Mataku terpaku pada belahan dada Sherry yang berkulit lembut itu.
Sherry menyadari aku tengah menatap belahan dadanya yang terbuka.
"Kakak mau?" ia tersenyum menggoda sambil menurunkan tank top pada bagian dadanya, menunjukkan separuh buah dadanya yang kenyal dan hangat
Aku hanya bisa menelan ludah melihat polahnya yang bitchy itu.
Namun aku tahu bahwa Sherry murni bercanda, dia bukan tipe cewek exhibisionis yang suka memamerkan tubuhnya pada orang lain.
"Kak! Hijau kak!" ia menepuk bahu kananku
Aku segera tersadar dan melihat ke arah traffic light yang menyala hijau sementara mobil-mobil di belakangku membunyikan klakson dengan frustasi.
Buru-buru aku menancap gas dan ngacir dari tempat ini.
Sherry tertawa dan menekankan jarinya ke tombol 'play' pada music player.
Komposisi musik yang ada di player terdiri dari lagu-lagu Evanescence favoritku dan lagu-lagu K-Pop kesukaan Sherry.
Sebuah lagu dimainkan. Aku mengerutkan alis.
Kami saling diam sepanjang jalan hingga sampai di rumah.
Aku diam karena konak sementara Sherry diam karena menikmati lagu.
==================================
Sesampainya dirumah, aku dan Sherry langsung berganti pakaian dan masuk ke kamar.
Aku memilih untuk tidur sementara Sherry asik belajar dibawah belaian lembut dinginnya AC.
Aku terbangun sekitar pukul 15.30 dan mendapati Sherry masih dengan tekun berkutat dengan buku-buku Biologi-nya yang tebal.
Ia duduk dilantai dan menulis di buku tulis yang tampak penuh catatan pada sebuah meja rendah.
Aku yang pada dasarnya membenci pelajaran IPA melihat cover buku-buku Sherry saja sudah mual.
Yah, daripada mual-mual aku memutuskan untuk mandi.
Setelah selesai mandi aku berjalan ke dapur karena ingin minum sekaligus membuatkan sirup dingin untuk Sherry.
Aku kembali ke kamar bersama segelas sirup anggur dingin.
"Sherry....ini minum dulu..." aku meletakkan segelas sirup itu dimeja
"Loh? Kakak? Udah bangun toh?" ia menatapku dan tersenyum
"Udah dari tadi kalee..." aku mencium pipinya
Ya. Aku rasa aku sudah bisa melupakan Valen, sedikit.
Dan semua itu karena jasa Sherry. Setelah berhasil melupakan Valen, aku akan berpaling kepada Sherry, walaupun aku tahu bahwa itu tidak benar.
Cinta bagiku tidak boleh direncanakan, tapi...do I have another choice?
Aku menutup buku yang tengah dibaca Sherry dan tersenyum.
"Sini kakak ajarin praktek Biologi" aku cengengesan tidak jelas (memalukan)
"Ah! Kakak ini!" ia tampak protes tetapi tidak melawan
Tubuhnya yang lebih kecil daripada tubuhku kurebahkan pada lantai marmer yang dingin.
Sherry meletakkan kedua tangannya dipipiku dan tersenyum, sebuah senyum yang menggoda.
Aku mencium bibirnya dengan lembut dan aku mulai menggunakan lidah.
Diluar dugaan, Sherry merespon lidahku membuat lidah kami saling bertautan.
Aku menyelipkan tangan ke balik kaos putih yang dikenakannya, mencari daging yang kenyal.
"Kakak...geli kak..." ia mendesah pelan sambil tersenyum
"Sher, thanks banget ya..." aku mengecup bibirnya
Belum sempat ia menjawab, tanganku sudah merayap ke balik hotpants yang dipakainya.
Terus dan terus ke balik celana dalamnya dan membelah bibir vaginanya dengan jari tengah. Ia merem melek menerima seranganku.
Jariku bergerak naik turun menggosok vaginanya menyebabkan ia mengejang karena geli.
Desis pelan keluar dari sela-sela bibir tipisnya kedua matanya yang elok beberapa kali terpejam ditelan kenikmatan. Namun aku tidak mampu bertahan lebih lama.
"Ah ribet! Jilat aja yah Sher?" ucapku sambil membuka kancing dan ritsleting celananya
Sherry yang sudah mulai terangsang hanya mengangguk saja dan mengangkat pinggulnya mempermudah aku untuk melucuti celananya.
Ia berdiri dan mengambil posisi menungging dengan tangan dan kepala yang bersandar pada tempat tidur.
Pantat bulatnya yang putih dan kenyal begitu indah dipadu vagina yang tampak basah.
"Pelan-pelan kak...." ucapnya
Aku mulai membenamkan lidahku dalam-dalam ke vaginanya membuat Sherry mengerang nikmat.
Baru sekali dua kali lidahku menjilat, ia sudah kehilangan tenaga dan jatuh berlutut, tubuhnya terbaring telungkup di kasur sementara kakinya berlutut di lantai.
"Aaaahh...kakak...lidahnya panas banget siih....geli..." rintihnya
Jemari lentiknya meremas kasur dengan kuat. Sherry terus mengerang dan merintih tanpa mampu memberikan perlawanan.
Lidahku sengaja kumainkan hanya pada bagian klitoris membuatnya mengejang.
"Sampeee...aahh...aahhh....aaaahh!!" Sherry mengerang di orgasme sore hari ini
Rambut hitam panjangnya terjuntai indah ditambah wajah cantiknya membuat penisku benar-benar ngamuk minta jatah.
Walaupun nafsu sudah begitu besar, tetap saja berdiri sebuah tembok kokoh yang menghalangiku untuk menjejalkan penisku ke vagina mungilnya.
Dengan bibir bergetar karena baru saja orgasme, Sherry berkata
"Kakak...makasih ya...enak banget..."
Aku tersenyum.
Selang beberapa waktu kemudian Sherry mandi dan kami berdua keluar untuk mencari jajan di sekitar downtown.
Accordku dengan setia menemani kami berdua mencari udara segar.
Jam menunjukkan pukul 23.45 saat aku dan Sherry pulang ke rumah. Sepertinya dia juga lupa bahwa besok ada ulangan.
Kami cukup tertawa-tawa, bercanda, bercerita dan saling menumpahkan segala uneg-uneg kami di downtown tadi.
Tanpa sadar aku mengarahkan mobilku kearah Night Fireflies.
Kenangan-kenangan berkelebat cepat, mengingatkanku saat aku mengikuti Valen ke diskotik dan saat aku pertama kali bertemu Sherry
Sherry yang melihat nama diskotik itu bertanya,
"Night Fireflies?"
"Iya tempat yang...yaah..." ucapku malas
"Ci Valen?"
"Iya...Valen..." jawabku tanpa mengalihkan tatapan dari jalan
"Bukan kak! Itu Ci Valen!" ia menunjuk ke trotoar
Aku buru-buru menatap kearah jari Sherry menunjuk.
Seorang cewek berjalan pincang sambil mencari pegangan pada tembok yang mengelilingi diskotik.
Pakaiannya berantakan dan rambutnya acak-acakan.
Tanpa berpikir dua kali, Accord kutepikan lalu aku dan Sherry melompat turun menghampiri cewek tadi.
"Val? Kamu kenapa?" aku memegangi bahunya
"Siapa lo?! Lo mau ngentotin gue lagi?!! Pergi lo! Pergi!!" ia menepis tanganku dengan kasar
"Valen! Ini aku Evan!" tubuhnya yang lemas kuguncang-guncang
Valen merapikan rambutnya yang menutupi wajah.
Sepertinya Valen mabuk berat, matanya merah dan bau alkohol menguar dari mulutnya.
Sherry sampai membekap mulutnya sendiri karena tidak tahan bau alkohol.
"Oooh...lo Van...hahaha...gue pikir orang yang minta ngentot lagi...hahaha" ia tertawa lepas
"Ci Valen bener-bener mabok..." Sherry bergumam pelan
Aku dan Sherry memapah Valen masuk ke mobil setelah cewek itu muntah di trotoar.
Aku menidurkannya di bangku belakang. Begitu menyentuh tempat duduk, Valen langsung terlelap.
FYI : Accord Coupe Concept 2013 milik Evan adalah versi 4-door, bukan yang 2 door (special order, maklum, orang kaya…hehehe) *ceritanyaa gan, ceritanyaaa kayak begitu!
"Mau gimana nih kak?" tanya Sherry begitu ia duduk di mobil
"Kita anter Valen pulang dulu ya" jawabku lesu
Sepanjang perjalanan aku diam. Valen ternyata benar-benar terperosok dalam dunia malam.
Satu sisi dalam diriku jadi membencinya dan satu sisi yang lain merasa iba. Tangan Sherry bergerak menuju music player dan menyetel sebuah lagu.
My Immortal...
Lagu itu mengalun lembut membuatku merinding...mengingatkanku saat Valen menolakku untuk yang kedua kalinya.
Ketika tanganku terjulur untuk memencet tombol 'next', Sherry mencegahku dan tersenyum.
"Let it out..." ia menatap mataku
I'm so tired of being here, suppressed by all my childish fears
And if you have to leave, I wish that you would just leave
Your presence still lingers here and it won't leave me alone
You used to captivate me by your resonating light
Now, I'm bound by the life you left behind
Your face it haunts my once pleasant dreams
Your voice it chased away all the sanity in me
These wounds won't seem to heal, this pain is just too real
There's just too much that time cannot erase
When you cried, I'd wipe away all of your tears
When you'd scream, I'd fight away all of your fears
And I held your hand through all of these years
But you still have all of me
"Evaan...lo dimana Van? Maafin gue...maafin gue..." Valen mengerang di belakang
Aku menoleh kearah Valen, begitu juga Sherry.
Valen tengah mengigau, tetapi air mata mengalir dari kedua sudut matanya. Ia berkali-kali memanggil namaku.
"Evan...please...maafin gue Van...." ucapnya terisak-isak
Tak lama kemudian Valen terbangun dari tidurnya.
Ia tampak kebingungan menatap sekitar.
"Adududuh...kepala gue..." ia memegangi kepalanya dan memejamkan mata erat-erat
Melihat Valen sudah siuman, aku segera mencari mini market terdekat sementara Sherry pindah ke belakang untuk melihat keadaan Valen.
Segera setelah membeli beberapa botol minuman, aku kembali ke mobil hanya untuk melihat hal yang sangat mengejutkan.
"Ci...jangan...aaahh...ja...jangan" Sherry merintih
Valen tengah menahan kedua pergelangan tangan Sherry dan menempelkannya di kaca mobil sementara lidahnya menari-nari di leher Sherry layaknya seorang kekasih yang mencumbui pasangannya. Tanpa diduga Sherry, Valen meninggalkan bekas-bekas cupangan yang terlihat jelas di kulit Sherry yang putih.
"Enak kan? Lo nggak usah munafik" ucap Valen lalu menggigit leher Sherry
Dengan ganas Valen mencumbui Sherry.
Valen melepaskan tangan Sherry yang satunya dan mengangkat kaos putih yang dikenakan Sherry,
menampilkan dua bukit menawan yang ditutupi bra yang juga berwarna putih.
“Woow…toket lo gede juga yaa…” ucap Valen, dan dalam satu tarikan kasar, bra Sherry terputus ditarik oleh Valen
“Jangaaaan!!” pekik Sherry berusaha menutupi kedua buah dadanya yang kini terpampang menggunakan satu tangannya yang bebas
Setelah mencampakkan secarik kain putih yang direnggutnya dengan kasar tadi, Valen menepis tangan Sherry dengan kasar dan membenturkannya ke kaca mobil.
Lalu dengan satu tangan, Valen mengunci kedua pergelangan tangan Sherry.
Memang mereka sama-sama cewek, tetapi Sherry bukanlah tandingan Valen yang sedang mabuk.
Lidah Valen menjilati buah dada Sherry dengan sangat bernafsu. Membuat sang pemilik merintih-rintih penuh kenikmatan.
Pelan tetapi pasti, tangan Valen yang bebas melata di perut Sherry yang rata dan menyelinap ke balik celana jeans yang kancingnya sudah dilepas oleh Valen.
Jemari Valen sepertinya dibenamkan kedalam vagina Sherry.
“Ci…sakiit…sakiitt…jangan…!” erang Sherry sambil meringis kesakitan
“Ohoho!! Lo masih virgin?! Hahahahaha” tawa Valen meledak
Pipi Sherry merona merah ketika Valen mengatakan itu padanya.
Ia masih berusaha melepaskan tangannya yang dikunci Valen.
Untung baginya, Valen tidak memutuskan untuk membobol keperawanannya dengan jari.
“Kasian banget sih lo…tubuh lo pasti kedinginan ya….” bisiknya ditelinga Sherry
“Nggak…nggak…! Aaahh…aaahh….kak Evan…tolong…” Sherry menatapku tak berdaya ketika buah dadanya kembali menjadi obyek mainan Valen
“Gue tau lo juga suka kan diginiin sama gue?” Valen menjilat telinga Sherry, membuat tubuh cewek SMP itu mengejang
"Aaaaggh! Ta...tapi...tapi..." lagi-lagi Sherry merintih
Dulu Sherry hampir diperkosa anak punk, sekarang dia malah diperkosa seseorang yang statusnya adalah pacarku.
Aku menghela nafas.
"Valen" panggilku dengan suara rendah
Ia menoleh kearahku. Saat ia melakukan itu, pegangannya di kedua tangan Sherry mengendur dan itu dimanfaatkan Sherry untuk melepaskan diri melalui side-door, ia kembali ke front seat disampingku.
"Ah...dateng juga lo...lo bawa kondom kan? Punya gue abis tadi malem...hahaha" ucap Valen yang ternyata masih mabuk
"Nggak. Aku nggak bawa kondom"
Ia tampak berpikir.
Setelah beberapa lama, ia menelengkan kepala dan menunjukkan telapak tangannya.
"Tambah 500 ribu. Gue ga mau ambil resiko. Take it or leave it. Hahahaha" ia kembali tertawa
“Nggak ada kondom, nggak ada 500 ribu” ucapku tegas
“Heeeeii! Maksud lo apa?! Lo mau enaknya aja? Kagak mau bayar gituu?! Haaaah??” ucap Valen dengan tidak jelas
Kalimat-kalimatnya tidak kuperhatikan.
Dengan segera aku duduk disampingnya dan menutup pintu mobil.
"Sher, kamu yang nyetir ya? Ke perumahan Paradise Town, tau kan?" aku berkata kepada Sherry dan memberi instruksi rinci letak rumah Valen
Ia tampak shock dan sedari tadi terus menerus memegangi lehernya, menutupi bekas-bekas ciuman Valen yang memerah.
"Sher?"
"Ah, iya kak! Maaf..." Sherry segera pindah ke driver seat
Aku masuk dan duduk disamping Valen yang berkata
"Hei! Lo mau ngentotin gue? Gue bilang, bawa kondom!"
Mobil melaju pelan dikemudikan oleh Sherry.
Aku bersyukur aku telah mengajarinya menyetir mobil.
Kulirik wajahnya, tampak resah dan tangannya berulang kali meremas setir mobil.
"Val, kamu kenapa?" aku menyodorkan sebotol air mineral dingin yang sudah kubuka tutupnya
Valen menyambar botol itu dan langsung menenggak separuh isinya.
Setelah selesai minum, wajahnya tampak lebih serius.
"Gue...gue di entotin rame-rame tadi di diskotik..." ia menunduk
Aku terkejutnya bukan main. Antara sedih dan sakit hati, aku benar-benar kehabisan akal, haruskah aku memaki cewek ini? Atau aku harus bersimpati?
Entahlah, aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Valen sudah benar-benar berubah, pikiran kami sudah tidak sejalan.
Tapi...mengapa melupakan cewek yang merupakan cinta pertamaku ini begitu sulit, padahal ada Sherry yang tidak kalah baik dengan Valen yang dulu...
"Mereka bikin gue mabok dan memperlakukan gue semaunya...dan...gue masih harus nelen peju mereka...ga sedikit yang ngeluarin di dalem..." wajahnya tampak sangat lelah
Lagi-lagi aku hanya mampu menghela nafas. Valen membaringkan kepalanya di pangkuanku sementara aku sendiri diliputi perasaan yang campur aduk, sepanjang jalan aku berpikir keras apa yang harus aku lakukan hingga akhirnya kami sampai di rumah Valen.
Sesampainya disana, aku menggendong Valen turun dari mobil dan Sherry yang memencet bel pintu rumah.
Pintu besar itu terbuka dan dihadapanku berdiri kedua orang tua Valen.
Mereka menatapku dengan dingin.
"Val...Valen...kamu udah sampe dirumah...bangun..." aku menepuk pipinya pelan
Pelan-pelan ia membuka matanya, ia turun dan berdiri walau masih sempoyongan.
Begitu melihat ayah dan ibunya ia segera menghambur ke arah mereka.
"Papa...Mama...anakmu ini pulaang...haahahahaha" ia memeluk mereka berdua
"Ma, Mama bawa Valen ke kamar. Biar Papa yang mengurus bajingan ini!"
Aku menoleh ke belakang, mungkin ayahnya sedang menyebut orang lain?
Ah...sepertinya tidak...
Ibunya memapah Valen masuk rumah yang megah itu.
"KAMU! KENAPA KAMU BUAT ANAK SAYA SEPERTI ITU HAH?!" bentak pria setengah abad itu kepadaku
"SEJAK KENAL SAMA KAMU, VALEN JADI URAKAN!!! KERJAANNYA TIAP HARI HANYA MABUK-MABUKAN DAN KE DISKOTIK!! DIA JUGA TIDAK PERNAH BERANGKAT SEKOLAH SEJAK LIBURAN SELESAI!!! APA-APAAN ITU HAH?!" dia kembali membentak
Sherry maju dan berdiri disampingku.
Tangannya menggenggam tanganku, seolah menguatkan.
"Oom...Valen jadi begini bukan karena saya oom..." aku mencoba menjelaskan
"TERUS KARENA SIAPA LAGI COBA?! KAMU TAHU, IBUNYA JARANG DIRUMAH, SAYA JARANG PULANG DARI LUAR KOTA, EH BEGITU KELUARGA KAMI BERKUMPUL, VALEN MALAH JADI BEJAT SEPERTI ITU!! KAMU MAU BERTANGGUNG JAWAB?!" ayah Valen membentakku hingga nafasnya ngos-ngosan
"Oom...sebentar...mungkin ini gara-gara oom dan tante jarang ada di sisinya Valen, sehingga dia jadi seperti itu..." aku mencoba menjelaskan dengan prinsip interelasi
"KAMU!! KAMUU!!! KAMU MAU MENGAJARI SAYA?!! HAH?! IYAA?!!" matanya merah dan mulutnya berbusa, sepertinya sebentar lagi akan ada ambulans yang datang kerumah ini.
"Bukan oom...mungkin...kan mungkin ka--"
"SAYA MINTA, KAMU JANGAN PERNAH, DENGAR, JANGAN PERNAH DEKATI ANAK SAYA LAGI!!" ucapnya geram
"Sebentar oom...biar saya je--"
"Sebaiknya sekarang kamu pergi dari sini" matanya menyala karena amarah
"Oom, denger dulu...sa-"
"PERGI ATAU SAYA PANGGIL POLISI!! PERGI DAN JANGAN PERNAH KEMBALI LAGI!!" ia mengusir aku dan Sherry
Pria bertubuh gendut dan berkumis tebal itu membanting pintu dengan kasar saat aku dan Sherry masuk kedalam mobil.
Dan malam ini, semuanya bertambah buruk...
"Sabar ya kak?" Sherry tersenyum iba
Sherry, Sherry...dia begitu baik kepadaku.
Setiap ada masalah, dia pasti ikut-ikutan repot, apalagi dia begitu perhatian, seolah-olah setiap masalahku adalah masalahnya juga.
Aku balas tersenyum kepada cewek yang selalu berusaha mati-matian menceriakan hidupku yang suram ini.
What will happen next? Who knows?
Stay tuned with My Immortal!Sherry menekan layar touchscreen handphonenya dengan cepat dan ketika jemarinya berhenti, dia tersenyum puas.
"Kak, aku nyalain radionya yah?"
"Iya silakan...tumben Sher?" jawabku dengan tatapan tidak lepas dari jalan
"Aku request lagu kak...hehehe" ucapnya polos
Ia lalu sibuk mencari siaran radio.
Awalnya radio itu berderak-derak namun berangsur-angsur menjadi jernih.
"Iyaa...oke...kita dapet request lagu nih...dari...Sherry...wah, nggak ada pesannya nih, cuma request lagu aja...yaudah, ini lagu yang kamu request Sher, judulnya Step dari A-Pink, selamat menikmati..."
Lagu favorit Sherry itu mengalun, ia tampak sangat menikmatinya.
Berulang kali senyum tersungging dibibirnya yang tipis, membuatnya semakin cantik.
Aku saja sampai berulang kali menengok kesamping hanya untuk melihat wajahnya yang tampak begitu bahagia.
Setelah lagu itu selesai, Sherry tampak menghela nafas dengan puas.
"Udah? Aku ganti channel ya coba?" tanganku terjulur kearah radio itu
"Tunggu kak! Coba dengerin!" ia menangkap tanganku
"Request selanjutnya dari...ohh...dia nggak mau disebut namanya...okeey...ada pesannya, akan saya bacakan 'gue minta maaf...gue bener-bener minta maaf...gue tau gue salah...please...semoga lo denger lagu yang gue tujukan ke lo ini...' waaw...sepertinya lagi ada masalah berat ya mbak? Yaudah, saya doakan semoga cepat selesai...ini dia lagu requestnya, Forgive Me dari Evanescence"
Aku merinding mendengar lagu yang melantun pelan itu.
Benar-benar tidak sesuai dengan suasana sekarang dimana jalan raya padat dan matahari begitu terik.
"Ci Valen kak..."
"Eh?"
"Itu Ci Valen yang request...pasti...feelingku bilang gitu..."
"Kayaknya dia bener-bener menyesal loh kak..." kata Sherry pelan
Valen! Lagi-lagi Valen!! Kenapa sih dia selalu bisa membuatku ingat kepadanya?
Pikiranku buyar ketika handphone-ku bergetar.
Ketika kutatap layar handphone, sebuah panggilan masuk, Arif. Buru-buru kuangkat panggilan masuk itu.
"Yap? Kenapa Rif?"
"Valen...dia...emmm...."
"Valen kenapa Rif?" rasa cemas membludak dari hatiku
Baru saja aku mendengar nama itu, sekarang ada lagi kabar mengenai Valen...dia benar-benar bisa mendapatkan perhatianku.
Sherry menatapku dengan penasaran saat mendengar kata 'Valen' disebut.
"Valen masuk rumah sakit...dia nyoba bunuh diri..." suara Arif diseberang sana terdengar berat
"Apa?!!" aku berteriak marah
"Hei, nggak ada gunanya marah-marah sama aku...lebih baik kamu ke RCIH sekarang, ruang Orchid, lantai 5...aku sama Ira disini...oke? Bye" dan telepon pun ditutup oleh Arif
"Sher, maaf ya, jalan-jalan ke mall nya kita tunda dulu...Valen masuk rumah sakit" ucapku sambil membanting setir untuk berbalik arah, untung jalanan sedang lenggang.
"I..iya kak..nggak apa-apa..." suara Sherry bergetar
“Kamu nggak apa-apa Sher?” tanyaku khawatir
“Agak…nggak enak…aja kak…” jawabnya terbata-bata
==========================================
Aku berlari secepat yang aku bisa disusul Sherry di belakangku.
Kami baru saja pulang dan masih mengenakan seragam sekolah.
Mataku menyusuri lorong-lorong putih Red Cross International Hospital, mencari ruang Orchid tempat Valen dirawat.
Kedua orang tua Valen tampak duduk di bangku di depan sebuah ruangan yang bertuliskan Orchid.
Melihat kedatanganku, mereka segera bangkit berdiri dan menghampiriku.
"Kalau mau marah nanti saja oom, tante. Saya mau lihat keadaan Valen dulu!" aku menerobos mereka dan masuk kedalam ruang itu
Valen terbujur kaku di tempat tidur. Terdapat jarum infus menancap di tangan kanannya sementara selang oksigen dipasang pada hidungnya yang mancung.
Wajahnya pucat pasi. Suasana di ruangan itu membuat perasaanku tidak enak, apalagi suara heart beat monitor yang monoton seakan menjadi satu-satunya suara yang ada.
"Valen koma Van...dokter bilang, paling cepat dia sadar sekitar 2 bulan lagi...itu pun kalau terjadi keajaiban..." ucap sebuah suara dari sampingku
Buru-buru aku menoleh dan mendapati Arif serta Ira sedang duduk di sofa yang ada.
Kini muncul tanda tanya besar dalam pikiranku, kenapa mereka selalu ada di saat-saat genting seperti ini??
"Kenapa bisa gini?! Kamu bilang Valen coba bunuh diri?!" aku agak emosi
"Ssst...pelan-pelan...iya, Valen mencoba bunuh diri, dia minum satu botol obat tidur dan overdosis...untung dia segera dibawa ke rumah sakit...entah kenapa dia sekarang koma…dokter yang tugas juga nggak tau penyebab pastinya…" Arif menepuk bahuku untuk menenangkan
“Tunggu! Bukannya ini ruang isolasi?! Kenapa kalian disini? Kenapa kalian boleh masuk?!” tanyaku setelah tersadar dengan kejanggalan di ruang ini
“Kami yang memintanya seperti ini…memang prosedurnya bilang kalau pasien harus di isolasi dan tidak boleh dikunjungi, tapi kami bersikeras” tiba-tiba ibu Valen masuk diikuti sang ayah
"Biar kami yang menjelaskan...Arif, sebaiknya kamu dan Ira pulang dulu, kalian sudah disini sejak tadi kan?" suara si Ibu tampak cemas dan khawatir
Arif dan Ira mengangguk kemudian berpamitan pada kami. Ayah dan Ibu Valen menjelaskan semuanya, bagaimana Valen marah-marah kepada mereka berdua tadi malam.
Kata mereka, dia sangat marah begitu tahu bahwa aku yang mengantarkannya pulang tetapi malah diusir oleh sang ayah, setelah itu dia mengunci diri di kamar.
Saat pagi, ayahnya mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban, karena khawatir, ia mendobrak pintu kamar Valen hanya untuk menemukan putrinya tergeletak tak sadarkan diri di lantai sambil menggenggam botol obat tidur yang sudah kosong.
“Sebelum dia mengunci diri, Valen menceritakan semuanya…sebab-sebab dia menjadi cewek seperti ini…dia menyalahkan kami yang sangat jarang berada dirumah…” mata sang ibu berkaca-kaca, berulang kali ia menyeka matanya dengan sapu tangan putih
"Ternyata ini semua memang salah kami nak...kami selalu sibuk dengan urusan kami masing-masing sehingga Valen kekurangan perhatian kami...kami minta maaf sudah berlaku tidak sopan kepada kalian...kami malu sekali..." ayah Valen menunduk malu
"Whatever lah oom...itu nggak penting!" aku sedikit membentak
Mereka berdua menatapku dengan terkejut, begitu pula Sherry yang tampak agak kurang setuju dengan jawabanku.
"Masalah ini kita selesaikan nanti saja! Yang penting gimana caranya supaya Valen bisa sadar dari koma sialan ini..." aku mengusap-usap wajahku
"Ternyata kamu perhatian sekali sama Valen ya nak?" si ibu angkat bicara
Aku mengangguk, tatapanku terpaku pada Valen.
Baru tadi malam dia ada dalam pelukanku, mabuk.
Sekarang dia tengah terbujur kaku di rumah sakit ini gara-gara mencoba bunuh diri...apa sih maunya dia?!
“Oom dan tante mau keluar sebentar…ada…ehm…keperluan…” pria paruh baya yang tampak terpukul itu berkata seraya keluar ruangan bersama istrinya
“Sherry mau beli makan siang. Kakak mau apa?” Sherry menepuk bahuku
Karena tidak lapar dan tidak nafsu makan, aku menggelengkan kepala menolak tawaran Sherry.
Ia mengerti dan mengangguk paham lalu keluar ruangan, meninggalkan aku dan Valen yang terbaring tidak sadarkan diri berdua.
Aku mengambil sebuah bangku plastic dan meletakkannya disamping Valen lalu duduk disitu.
Kondisinya sungguh memprihatinkan, wajahnya pucat pasi, bibirnya yang dulu selalu berwarna kemerahan kini kering dan pucat.
Dia benar-benar berbeda dengan Valen yang dulu dan hal itu membuatku ingin menangis. Dengan lembut kugenggam tangan kirinya.
Kenangan-kenangan kami dulu berkelebat di kepalaku.
Semua berawal dari perkenalan kami di bangku taman sekolah, berlanjut kepada pernyataan cintaku, terus dan terus berjalan hingga terjadi kejadian tidak terduga dimana Valen jatuh ke kehidupan malam, dunia yang tidak semestinya dia jalani.
Aku menangis.
Hatiku terasa seperti dirajam batu-batu tajam.
Kuletakkan tangan Valen di pipiku dan kutumpahkan segenap kesedihanku.
“Evan…” sebuah suara memanggil lembut
Karena terkejut, aku buru-buru membalikkan tubuh dan menatap kearah pintu, namun tidak ada siapa-siapa.
“Evan…” panggil suara itu lagi
Dengan penasaran dan gugup kusapukan pandangan keseluruh ruangan, mungkin ada orang lain yang tidak aku sadari.
“Ini Valen….”
Aku menoleh kearah cewek itu dengan cepat dan mendapatinya tengah menatapku.
Tatapan Valen membuatku tertegun.
“Evan…lo disini? Gue nggak mimpi kan?” bisiknya lemah, ia tersenyum
“Valen? Valen sayang! Kamu udah sadar?!” dengan bahagia kuelus pipnya yang pucat
“Sebentar ya? Aku panggilin dokter dulu!”
Tangan Valen mengenggam tanganku, mencegahku berdiri.
Ia menggeleng lemah.
“Waktu gue nggak banyak Van…gue mau ngomong sama lo…” ia menatap langsung ke mataku walau dengan lemah
“Hei…hei…jangan gitu! Kita bicara lagi kalo kamu udah sembuh ya? Kita bakal ngomong sepuasnya di café kesukaan kita berdua sambil minum cokelat, seperti yang biasa kita lakuin ya sayang…” entah mengapa air mataku tidak terbendung, hati kecilku berkata bahwa Valen serius
“Nggak Van…gue takut kita udah nggak bisa kayak dulu lagi…” Valen tersenyum lemah
Tidak ada yang bisa kulakukan selain tenggelam dalam kesedihan dan ketakutan.
Kata-kata yang diucapkan Valen benar-benar menghancurkan keberanianku.
Niat untuk memanggil dokter sirna sudah, yang ada di pikiranku kini hanyalah berada di samping Valen.
“Gue…mau ngomong…sama lo…Van…” ia agak kesulitan berbicara
“Iya…iya sayang…jangan maksain diri…aku disini…” kudekatkan tubuhku
“Gue…mau…minta maaf…”
“Apa…yang udah…gue lakuin...pasti lo marah banget…ya…Van?” matanya menunjukkan penyesalan yang mendalam
“…”
“Gue sadar…itu salah…maafin gue…maafin gue Van…” air menetes dari matanya
Aku tidak dapat menahan apapun lagi.
Kukeluarkan semua emosiku dalam air mata.
“Nggak Val…nggak…aku nggak marah sama kamu…aku…aku—“
“Gue minta 2 hal dari lo Van…bisakah lo memenuhinya buat gue?”
“Apapun sayang…apapun! Selama aku bisa, pasti aku akan berusaha!” jawabku mantap, kugenggam erat tangannya
“Pertama…maukah lo maafin gue Van? Dengan segala kesalahan yang udah pernah gue lakukan?” isak Valen menambah perih hatiku
Aku mengangguk mengiyakan.
“Kedua…gue minta…lo keluarin semua uneg-uneg lo tentang gue…ungkapin perasaan kecewa lo, perasaan marah dan perasaan sedih lo ke gue sekarang…”
Telingaku berdiri mendengar permintaan kedua Valen yang aneh.
Rasanya tidak masuk akal, saat ini aku harus menumpahkan segala perasaan sedih, kecewa, dan marah kepada pacarku yang terbaring tidak berdaya dengan selang infuse dan oksigen terpasang pada tubuhnya?
“Van…please…waktu gue nggak banyak…lo mau bentak-bentak gue, lo mau maki-maki gue, lo mau pukul gue, LO MAU BUNUH GUE JUGA NGGAK APA-APA! Gue sadar kok kalau ini kesalahan gue!” ia mengerang dengan susah payah
Aku menyeka air mataku dan menarik nafas dalam-dalam, siap mencurahkan segalanya.
Saat ini juga. Aku berdiri dari kursi diiringi tatapan was-was Valen.
Kutatap tajam matanya dengan segala kepedihan yang kubawa. Ia gentar menghadapiku.
Mata Valen terpejam ketika kuangkat tanganku tinggi-tinggi.
“Ternyata…lo selama ini udah nahan diri banget ya Van…gue pantes mendapatkan ini…” ucapnya dengan mata terpejam, siap menerima tamparanku
Ketika jemariku menyentuh rambutnya yang hitam itu, perlahan-lahan Valen membuka matanya.
“Ke…kenapa Van…?” ia kembali menangis saat aku mengelus rambutnya
“Aku…nggak bisa…aku sayang banget sama kamu Val…aku nggak sanggup…” air mata yang sempat kuseka kembali membasahi pipiku
Kami berdua larut dalam tangis masing-masing.
Mata kami saling menatap penuh kasih sayang, kesedihan, ketakutan, dan segala emosi yang kami rasakan kami bagi bersama.
Aku mendekatkan bibirku ke bibir Valen, hendak mengecupnya namun Valen menolak.
Ia mengangkat wajahnya dan lebih memilih mengecup keningku.
“Gue masih pengen sama-sama lo Van…”
“Kita bakal terus bersama, Valen sayang…kita bakal lakuin hal-hal yang menyenangkan! Kita bakal ke Diamond Hills lagi, kita bakal habisin waktu kita buat duduk-duduk di gazebo di tengah kebun teh seperti dulu. Kita bakal ngeliatin awan, kita bakal ngeliatin hujan, kita bakal berduaan di pantai kayak dulu Val!!” tangisku semakin deras
“Atau ngeliatin sunrise dari villa lo di Diamond Hills?” ia menambahkan
“Atau ngeliatin sunrise dari villaku di Diamond Hills, iya…itu semua bakal kita lakuin”
“Gue bener-bener nyesel udah nyia-nyiain lo Van…seandainya waktu gue masih banyak…” nafasnya yang putus-putus membuatku sangat khawatir
“Nggak! Kamu pasti sembuh Val! Valen! Kamu pasti sembuh! Kamu denger aku kan?!” dengan panik aku menggenggam tangan kirinya
“Hei…hei…it’s okay Van…senyum dong…” ia mengusap pipiku dengan tangannya yang gemetaran
Mau tidak mau aku tersenyum untuk memenuhi keinginannya walau hatiku sangat khawatir dan takut.
Ia masih mengusap lembut pipiku, membuat jemarinya yang pucat basah oleh air mataku yang sedari tadi tidak berhenti mengalir.
“Nah…gitu dong Van…” Valen turut tersenyum
Tiba-tiba Sherry masuk dengan membawa sekantong plastik makanan dan minuman, ia tampak begitu ceria, terlihat dari senyum yang ada di wajah cantiknya.
Namun begitu dia melihat Valen dan aku, senyumnya segera sirna.
Ketika Sherry yang sedang terkejut itu ditatap oleh Valen, anak itu tertegun.
Tatapan Valen bukan tatapan permusuhan seperti saat mereka pertama bertemu, tetapi lebih seperti tatapan pasrah.
“Sherry…kamu…bukan adiknya Evan kan?” Valen tersenyum lemah
Aku menatap Valen dengan terkejut. Darimana dia tahu kalau Sherry bukanlah adikku?
Namun cepat-cepat kuhapus ekspresi terkejut yang tadi tergambar diwajahku.
“Sa…saya? Saya adiknya kok Ci” jawab Sherry berusaha mengelak
“Jangan bohong…”
“Be…bener kok…sa…saya—“
“Hei…Sherry…gue minta tolong…jagain Evan ya? Jangan sampe dia tidur malem-malem, jangan sampe dia telat makan…pokoknya jagain dia oke?” ucap Valen lirih kepada Sherry
Sherry yang tidak tahu apa-apa hanya mengangguk bingung.
Tatapan Valen kembali beralih kepadaku.
Ia tersenyum sekali lagi. Matanya yang biru masih berkilau.
“Nggak Val! Jangan ngomong gitu! Kamu sendiri yang bakal jagain aku! Valen!! Kamu yang bakal marah-marah kalo aku tidur kemaleman! Kamu yang bakal ngomel-ngomel kalo aku belum makan! Please Val…kita bakal jadi seperti dulu lagi…” tangisku
“Sori Van…waktu gue udah hampir abis…”
“Kenapa Val..? Kenapaa?” aku terisak
“Apanya Evan sayang?” ia kembali membelai pipiku dengan lemah
“Kenapa kamu ke Night Fireflies? Kenapa kamu berubah?” tenggorokanku terasa kering
“Gue…muak…sama orang tua gue…mereka selalu sibuk…dan kalau ada masalah, selalu gue yang disalah-salahin…” Valen tersenyum lemah
“Kenapa nggak cerita aku?! Kamu nggak percaya sama aku?! Aku ini pacarmu Val!!”
“Justru itu…gue nggak ingin ngerepotin lo…tapi ternyata jalan yang gue pilih salah dan gue udah nggak bisa mundur lagi…” ucap Valen, ia tampak sangat menyesal
“Terus…terus…terus kenapa…” aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku
“Kenapa gue coba bunuh diri?”
Aku hanya mampu mengangguk.
“Lo tau, gue bener-bener menyesal…gue ngerasa ga pantes hidup lagi…”
“Kamu bukan Valen yang dulu…kamu berubah…” aku berbisik lemah
“Hei Van, semua orang berubah…termasuk gue juga…” ia berkata lembut
“Tapi kenapa harus bunuh diri coba?!” emosiku membuncah
“You know? It hurt so much to hurt you…gue udah putus asa…gue udah kecewain lo Van…dengan telak…gue ngerasa kalo mati cuma jalan satu-satunya buat gue supaya lo nggak tersakiti lagi…”
Air mataku mengalir bertambah deras hingga membasahi punggung tangan Valen yang pucat.
Ia tampak sedih melihatku menangis namun ia tersenyum.
“Lo harus…move…on…setelah gue pergi Van…” sorot mata Valen berangsur suram
“Jangan bilang gitu Val! Jangan bilang gitu…aku mohon….” aku menggenggam erat tangannya, air mataku tercurah tak henti-hentinya
“Van…gue minta satu hal lagi…” bisiknya lirih
Aku mengangguk mengiyakan.
Apapun yang diminta Valen, akan aku lakukan, bahkan jika aku harus menukarkan nyawaku.
“Gue pengen liat lo senyum…sekali lagi…buat yang terakhit kalinya” di bibirnya merekah sebuah senyum tipis
Aku benar-benar tidak sanggup melakukan apapun. Pikiranku begitu kacau dan aku begitu takut.
Tanpa aku sadari aku tersenyum. Bukan karena senang, tetapi aku ingin menyenangkan dan memenuhi permintaan Valen.
Aku menangis di dalam senyuman.
“Liat lo senyum adalah kebahagiaan terakhir buat gue…thanks Van…thanks banget buat segalanya, buat semua yang udah lo berikan ke gue…sekarang…gue harus pergi…gue…sayang…ba…nget…sa…ma…lo…”
Bersamaan dengan kalimat terakhir itu, nafas Valen meninggalkan tubuhnya. Ia memejamkan mata untuk yang terakhir kalinya.
Tangannya jatuh terkulai lemas. Dadanya yang semula naik-turun berirama kini diam.
Heart-beat monitor berbunyi nyaring menandakan hilangnya detak jantung sang pasien.
“VALEEEEEENN!! JANGAN PERGI!! VAAAAALLL!!!” aku meraung sekeras mungkin
Sherry menangis dan berlari kearah Valen.
“CI VALEN!! CI VALEEEEN!! Huhhuhuhu….” Sherry menangis, ia berlutut disebelahku
Walaupun baru dua kali bertemu, Sherry sudah menyayangi Valen seperti kakaknya sendiri.
Entah kenapa, dia merasa begitu kehilangan Valen, hal itu diceritakan olehnya beberapa waktu kemudian.
Kami berdua menangis seperti orang kesurupan.
Dokter dan beberapa suster berlarian dari luar, berebut masuk ke kamar Valen diikuti kedua orang tuanya.
Ibu Valen tampak menangis menjerit-jerit histeris sementara suaminya tampak shock.
Dua orang suster mengusir kami keluar namun aku sudah seperti orang gila. Aku meraung-raung dan menjambak krah sang dokter.
“DOKTER!! TOLONG, DOKTER!! TOLONGIN VALEEN!!” jeritku dengan air mata membasahi pipi
Beberapa suster sampai berusaha melepaskan tanganku dari sang dokter, namun sayang, mereka cewek dan aku cowok.
Dengan susah payah mereka memegangi tanganku, berusaha menyeretku keluar. Sherry yang melihat hal itu maju dan berdiri di hadapanku.
Kami berdua sama-sama berlinangan air mata, sedih kehilangan Valen. Sherry menggeleng pelan dan mendorong dadaku lembut.
Spontan aku melepaskan peganganku pada krah baju sang dokter dan mundur keluar ruangan.
Aku dan Sherry duduk berdampingan. Sudah beberapa menit para petugas medis itu berada di ruangan Valen, namun mereka belum juga keluar.
Ayah dan Ibu Valen menangis di bangku panjang tidak jauh dari tempat kami duduk.
“Sher…Sherry….Valen…dia…dia…” aku masih menangis
“Udah kak…udah…sabar ya kak…” ucapnya terisak-isak
Ia memeluk tubuhku. Secara naluri, aku menyandarkan kepalaku di dadanya.
Disitu, aku menangis sepuasnya hingga aku tertidur. Ketika bangun, aku menatap Sherry, air mataku sudah berhenti mengalir.
“Sherry…Valen…?” tanyaku lirih walaupun aku sudah tahu jawabannya
Sherry menggeleng pelan sebagai jawaban. Kulihat, kedua orang tua Valen sudah pergi dan kamar Valen sudah kosong.
Saat itu juga, aku merasa semuanya menjadi tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, aku kehilangan semangat hidupku.
Arif dan Ira berdiri disampingku dan Sherry. Mereka berdua bergandengan tangan, air mata tampak membasahi pipi mereka berdua.
Bahkan Arif, cowok yang sepengetahuanku selalu ceria dan tabah pun kini menangis. Hal itu membuat mentalku semakin down.
“Kakak…sabar ya kak…” Sherry mengelus-elus rambutku, matanya berkaca-kaca
Namun satu hal akan kuketahui belakangan, kehadiran Sherry disisiku memberiku kekuatan.
Ia yang akan membantuku untuk keluar dari jurang keputusasaan tempat aku meringkuk di dasarnya.