Recent Posts Widget

Friend of Fiend

http://cerita-porno.blogspot.com/2015/07/friend-of-fiend.html

~** 1 **~





“Kamu bisa kerja yang bener gak sih? Dasar tolol....”
“M-maaf bos... s-saya....”


Di salah satu sudut dapur, terlihat seorang manager restoran sedang memaki seorang gadis pramusaji.
Pria yang mengenakan setelan jas panjang berwarna cokelat senada dengan celana panjangnya, nampak membetulkan letak kacamatanya yang sempat turun beberapa milimeter. Tubuh tambun dengan perut buncit serta kulit wajahnya yang memerah, membuat sang manager sangat pantas disebut babi yang sedang mengamuk.


‘Sstt... kenapa tuh dia?’
‘Enggak tahu gue.... sstt udah diem aja’


Bisik-bisik yang meluncur dari bibir mereka yang menyaksikan keributan itu, terdengar pelan namun bersahutan. Mereka mencoba menerka, apa sebenarnya yang menimpa si gadis malang.


Gadis itu menundukkan kepala, malu. Ia menyadari bahwa dirinya memang telah melakukan sebuah kesalahan yang mampu mencoreng nama baik restoran ternama sekelas RichTaste.


Sang manager menoleh sesaat ke jendela bundar yang merekat kuat pada bingkai metal pintu dapur. Dengan mata memerah karena menahan amarah, ia mengintip sedikit ke ruang makan tempat para konglomerat berdompet tebal menyantap makanan yang dihidangkan, lalu kembali menatap gadis pramusaji dengan tatapan tajam.


“Kamu tahu seperti apa reputasi restoran ini?” tanya sang manager dengan nada rendah yang berkesan mengintimidasi. Ia mendekatkan wajah dan menatap tajam ke arah sang pramusaji yang gugup diterpa berbagai pertanyaan.
“T-tahu bos...” sang pramusaji tak kuasa memandang wajah sang manager saat itu. Didera caci maki dan kata-kata kotor menusuk hati, ia hanya bisa diam meratapi nasib yang terlanjur terjadi sambil menundukkan wajah menahan tangis.


“Tahu apa? TAHU APA??” suara sang manager melengking tinggi, ia menggebrak meja hingga membuat seluruh jajaran helper dan koki serta pramusaji lain menoleh ke arahnya. “kamu jelas gak tahu apa-apa...”
“M-maaf bos...” sang gadis sempat terperanjat mendengar suara gebrakan meja yang begitu keras, tekanan psikologis yang saat ini ia alami benar-benar membunuh nyali dalam dirinya.


“MAAF...MAAF... heh, dengar ya... saya tidak akan mentolerir keteledoran KAMU, walaupun kamu menangis dan memohon belas kasihan. Mulai detik ini...” sang manager mengacungkan jari telunjuknya dengan tatapan angkuh “Kamu bukan lagi karyawan RichTaste”
“T-tapi bos.....” sang gadis kini mengangkat wajahnya, berusaha memohon sebuah pengampunan kepada sang manager.


“GAK ADA TAPI-TAPIANNN... KELUAR....” Pria itu menghardik seraya mengarahkan jari telunjuknya ke arah pintu keluar dapur yang mengarah pada sebuah lorong gelap, di mana sebuah tempat sampah besar berada. Pintu itu, adalah pintu keluar kedua dari sebuah dapur pengap yang menjadi mesin uang bagi restoran RIchTaste.
Teringat bahwa ia memiliki sejumlah uang di saku jasnya, manager itu merogohkan tangannya ke dalam jas dan meraih sebuah amplop.


“Bereskan barang-barang kamu..... ini upah untuk hasil tidak berguna yang telah kamu kerjakan selama tiga minggu ini...” ia meletakkan sebuah amplop cokelat dengan ekspresi wajah geram di atas meja yang bersebelahan dengan mereka. Puas melampiaskan amarahnya, pria itu melenggang pergi dengan langkah kaki yang sengaja ia hentak-hentakkan. Sebelum keluar dari ruangan dapur, ia merapikan jas yang ia kenakan, menghela napas sejenak, dan berusaha membuat senyum manis sebelum melangkah keluar.


Satu kesalahan.
Ya, hanya satu kesalahan namun fatal, yang telah mengirim nasibnya hingga berada di lembah keterpurukan, jurang kehancuran, dan belenggu nasib yang senantiasa mencabik siapa yang tidak mampu bertahan.


Mata sang gadis pramusaji terlihat berkaca-kaca.
Bibirnya bergetar, ia mencoba mengucapkan sebuah kalimat untuk meyakinkan sang manager. Namun, air mata yang sudah membasahi pipi membuat gadis itu terhenyak. Ia kembali menundukkan wajah, membiarkan air mata itu jatuh ke lantai. Hari ini, tepat tiga minggu sejak ia mulai bekerja, ia mengakhiri karir sebagai seorang pramusaji restoran berbintang.


Gundah
Mungkin perasaan itulah yang sedang merantai sebuah senyum hingga tak dapat menghiasi wajahnya.


Hidup memang tidak adil, terlebih untuknya.
Di saat ia benar-benar memerlukan sebuah pekerjaan untuk bertahan hidup, ia harus menelan pil pahit.


Pikiran sang gadis pramusaji kini dipenuhi dengan segala kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Diusir dari kamar kontrakan, dimaki karena tidak bisa melunasi hutang, dan kelaparan karena tidak mempunyai penghasilan.


Berbagai simpati yang ia dengar dari rekan-rekan seprofesi tak mampu menyeret kegundahan itu pergi. Ia melepaskan aprons hitam dengan logo RichTaste, melipatnya, dan meninggalkannya di dalam lemari loker bertuliskan sebuah nama, Naya Evaliani. Di dalam loker itu ia mengambil seluruh barang-barang miliknya. Sebuah tas berisi dompet dan handphone, baju ganti, dan sebuah foto yang tersemat di pintu allumunium yang di cat abu-abu.


Foto itu teramat berharga, hanya foto itulah yang mengobati sedikit kerinduannya pada sosok seorang ibu.


Tahu tidak, mengapa aku bisa menceritakan semua ini?
Aku bisa menceritakan semua ini, karena pramusaji itu adalah aku.


~***~


Mungkin memang salahku yang terlalu ceroboh.
Aku tak ingin menyalahkan siapa-siapa atas insiden yang kualami tadi sore.


Insiden itu berawal saat aku ditugaskan mengantar pesanan untuk meja bernomor 12A.
Saat itu, aku dengan percaya diri membawa sebuah nampan berwarna cokelat dengan dua buah piring datar berwarna putih mengkilap dan dua buah gelas berada di atasnya.


Dengan langkah santai, aku mendekati meja itu.
Di sana, aku melihat seorang pria muda bersama kekasihnya. Mereka duduk berhadapan dengan sebuah gelas lilin bercahaya temaram berada di antara tangan mereka yang saling bertaut mesra.


Ahh, sialnya pria itu sangat tampan.
Mungkin lelaki tertampan yang pernah bertatapan muka secara langsung denganku.
Maklumlah jika aku sedikit salah tingkah saat berhadapan dengan pria.
Mendiang ibuku selalu melarangku untuk berpacaran, ia begitu membatasi pergaulanku. Beliau yang selalu memegang teguh norma-norma agama dan kesopanan selalu berkata ’Lelaki itu semuanya brengsek, seperti ayah kamu. Ibu gak mau kalau kamu sampai disakiti sama mereka’.


Aku mulai gugup memandang wajahnya yang rupawan, senyumnya yang menawan, dan mendengar tutur katanya yang sopan. Tak salah jika pria setampan dia mendapatkan wanita yang nyaris sempurna.


Wajah kekasihnya sungguh cantik dengan kulit kuning langsat tanpa noda berbalut gaun putih panjang sebatas mata kaki. Wajahnya sangat bersahaja dengan lesung pipi menghiasi salah satu sisinya. Rambutnya yang dicat kecokelatan begitu menawan saat tergerai anggun dengan ujung yang sedikit melingkar. Di bagian bawah, sebuah stileto dengan hak runcing menjadi penghias kakinya yang jenjang.


“Mmh... akhirnya datang” sang pria menggumam saat aku berjalan mendekati mereka.
“Selamat malam bapak, silahkan....” sapaku pada mereka dan mulai menurunkan pesanan “dua blackpepper steak wagyu dan dua orange juice...”


Kutatap wajah pria itu dengan sorot mata lembut saat aku menurunkan gelas pertama. Ia membalas tatapanku sejenak dan tersenyum. Sang kekasih sepertinya cukup cemburu karena sang pria memalingkan wajah darinya, dan tiba-tiba...


“PRAAAANKKKK..........”


Satu gelas orange juice yang masih berada di atas nampanku jatuh secara tidak sengaja dan mengenai piring yang baru saja kuletakkan.
Jus jeruk kental itu memercik, dan menodai gaun putih yang dikenakan oleh kekasih pria itu. Sang wanita sempat tertegun sejenak, ia terdiam hanyut dalam insiden yang membuat seluruh pengunjung menoleh ke arah kami.


“PLAAAKK.......” sebuah tamparan keras melayang mengenai pipiku.
Wanita dengan gaun putih itu berdiri dan segera berteriak.


“HEH.... PELAYAN TOLOL, LIAT-LIAT DONG......” hardiknya.


Wajahku pucat pasi dengan rona merah berbentuk telapak tangan di pipi. Sebuah bando yang kukenakan untuk menjaga tatanan rambutku terlepas dan jatuh di lantai ruangan.
Saat itu, aku bisa melihat dengan jelas wajah managerku yang duduk di sebuah meja yang berada di pojok ruangan bersama sang pemilik resto. Wajahnya merah padam, sorot matanya tajam seakan ingin mengoyak tubuhku.


Managerku bangkit, berjalan ke arahku, dan menyeretku ke dalam dapur setelah mengucapkan beribu maaf pada pasangan di meja nomor 12A.
Sisanya? Kalian sudah tahu apa yang terjadi.


~***~


Kini, aku duduk di dalam bus dengan tatapan kosong. Meresapi kenangan pahit yang telah terukir di catatan hidupku. Masih terbayang betapa pedih saat telapak tangan itu meluncur ke wajahku. Aku mengusap pipiku sejenak dan menemukan sebuah guratan kecil di sana. Mungkin luka ini disebabkan karena cincin yang dikenakan wanita itu.


Biasanya aku sangat menyukai momen saat bus yang kutumpangi berjalan sehingga aku bisa memandang keluar jendela. Menyaksikan hiruk-pikuk orang pulang kantor, dan kilauan lampu jalan yang temaram menenangkan. Mereka sama lelahnya denganku, berjalan dengan langkah gontai sehabis memeras tetesan keringat. Kau tahu? Itu sangat menenangkanku. Aku bersyukur bahwa bukan hanya aku yang mengalami sesaknya tercekik dalam belenggu kebutuhan hidup.


Namun, hari ini aku benar-benar tidak berselera memandang apapun. Sudah cukup masalah yang ditimbulkan karena aku memandang sesuatu. Terlebih, belakangan ini aku merasakan sebuah perasaan aneh ketika sedang berjalan di kegelapan. Seperti ada seseorang yang mengikuti.


“Tringgg...” handphoneku berbunyi di dalam tas yang kupeluk erat.


Aku meraih harta satu-satunya milikku dari dalam tas, membuka handphone dengan desain clamshell dengan motif hati berwarna pink dan mengecek notifikasi yang muncul. Sebuah SMS.


‘Hai Naya... sedang apa?’ bunyi SMS itu


Ternyata SMS itu dari Tomi. Seorang pria asing yang kukenal dari SMS nyasar.
Aku belum pernah bertemu dengannya, bahkan mengetahui tampangnya saja belum pernah. Aku seperti menjalani sebuah blind date saat ini, walaupun hubungan kami tak lebih dari teman ngobrol semata.


“Aku lagi stress Tom, maaf” jawabku.
Setelah aku menekan tombol hijau yang tersemat di antara keypad, sebuah gambar amplop putih terlihat di layar handphone, menandakan SMS balasan telah kukirim padanya.


Sudah hampir satu bulan aku mengenal nama Tomi.
Kami hanya berkomunikasi melalui SMS tanpa pernah menelepon atau mengajak bertemu. Kumatikan profil suara pada handphoneku yang agaknya sudah ketinggalan jaman, menyisakan profil silent tanpa getaran agar menjaga SMS tetap masuk tanpa harus mengganggu lamunanku.


‘Oh tuhan.... aku harus apa’ batinku. Air mata mulai membuat pandanganku membias. Aku mencoba menarik napas panjang untuk menenangkan diri, namun dadaku justru sesak oleh segala kegundahan yang ingin kutumpahkan dalam tangis.


Entah cobaan apa lagi yang diberikan Tuhan. Aku kini terkurung bersama orang-orang yang sama lelahnya denganku. Semua itu membuatku mengurungkan niat untuk menangis, aku tak tega bila membuat mereka menerka ’ada apa gerangan?’.


Setelah dua bulan berselang sejak ibuku meninggal dunia, hidupku kini terlunta-lunta. Sementara ayahku? Dia mungkin sedang bersenang-senang bersama wanita jalang entah di mana. Pria brengsek itu meninggalkanku bersama ibu saat usiaku baru menginjak lima tahun. Alasannya sederhana, menurut cerita ibu, ayah meninggalkan dirinya karena vagina ibu dirasa sudah tidak nikmat lagi setelah melahirkan aku.


Apakah semua pria selalu berpikir layaknya bajingan itu? Mungkin ibu benar.
Andai kata kenyataan berkata seperti itu, maka aku akan memilih menjadi lesbian atau lajang seumur hidup. Tapi aku bukan ibuku. Kendati ia begitu mengekang pergaulanku, aku tetap berprinsip untuk membuka hati bagi para pria. Berharap naif, bahwa seorang pangeran tampan dengan kuda putih akan menjemputku suatu hari nanti.


Kini tinggallah aku sendiri, meratapi nasib di tengah ibukota Jakarta yang kejam.
Pergantian bulan hanya tinggal menghitung hari, sementara restoran tempatku bekerja tidak memberikan pesangon sepeser-pun dengan alasan masa kerjaku yang belum genap satu bulan. Hanya amplop cokelat berisi uang satu juta rupiah yang kudapat sebagai imbalan kerja kerasku selama tiga minggu ini.


Beban uang sewa kontrakan sudah di depan mata. Demikian juga dengan hutangku pada seorang teman sebesar tiga ratus ribu rupiah, di mana aku berjanji akan kulunasi saat awal bulan nanti. Memikirkan semua itu, setitik air mata meluncur tanpa bisa kucegah.


Aku mulai berpikir.
Haruskah aku mengubah pendirianku untuk tetap suci?


Seorang sahabat pernah menawariku untuk menjual keperawanan beberapa hari setelah ibuku tiada. Saat itu ada seorang pria kenalannya yang sangat tertarik dengan kemolekan tubuhku. Sahabatku memang akrab dengan dunia malam, atau mungkin lebih tepat dikatakan bahwa ia menggantungkan hidup di sana.


Tapi, aku menolak tawaran itu dengan halus.
“Sory, gue belom siap untuk itu...” jawabku padanya.


‘Sory Nay... gue gak bermaksud menilai lu sebagai cewek murahan kayak gue’ ucapnya melalui telepon kala itu. Suaranya sedikit gundah. Aku mengerti maksudnya dengan baik, ia hanya ingin menolong. Tapi mahkota berkilau ini tak mungkin kuberikan begitu saja. Ini adalah kado spesial yang akan kupersembahkan bagi seorang pria yang kelak akan mendampingiku seumur hidup.


Itu adalah telepon terakhir yang kuterima darinya, sejak saat itu ia tak lagi menghubungiku.
Mungkinkah ia marah? Aku tak tahu pasti. Yang jelas, sahabatku itu bukanlah orang yang gampang tersinggung. Hubunganku dengannya sangatlah dekat, kami sudah seperti saudara kandung.


Ya... aku tahu seperti apa gemerlap dunia malam. Dibandingkan sahabatku itu, aku tidak kalah cantik.
Jika hanya nominal beberapa juta, mungkin aku akan mendapatkannya dengan mudah dalam satu malam. Tapi inilah aku. Saat itu aku hanya seorang remaja naif yang menjunjung tinggi sebuah kesucian. Bermimpi dan berangan, bahwa kehidupan akan selalu berjalan baik.


Biar saja orang berkata apa... Mereka tidak tahu aku siapa...
Karena memang hanya batin ini yang tahu mengapa...


Walau langkah ini tidak tahu harus kemana...
Setidaknya aku percaya, takdir akan memberitahuku harus bagaimana...


~***~


“Ehh nak Naya sudah pulang... Tumben pulangnya cepat?” sapa seorang wanita paruh baya yang kala itu terlihat sedang membawa beberapa bungkus mie instan. Wanita itu bernama Bu Shinta, tetangga yang bersebelahan kamar kontrakan denganku.


“Iya bu... hari ini aku gak enak badan...” aku berusaha berbohong.
Betapa menyedihkan keadaanku saat ini, tak mempunyai pekerjaan, tak mempunyai uang tabungan, segalanya seperti hancur hingga tak bersisa bahkan serpihannya sekalipun.


Aku mengeluarkan kunci kamar dengan gantungan berbentuk figur hello kitty dari kantung jaketku. Kumasukkan anak kunci itu ke dalam lubang sempit yang terbuat dari logam, dan kuputar beberapa kali hingga pintu dapat kubuka.


Hal pertama yang terpikirkan olehku adalah mandi. Ya, dengan membersihkan diri kuharap bisa membasuh kesialan yang hinggap hari ini.


Aku berjalan menuju bilik kamar mandi di sudut ruangan.
Bak mandi di sana telah kosong. Kebocoran pada lubang pembuangan telah menguras air di dalamnya perlahan hingga habis. Kuputar keran air plastik berwarna hijau yang berada di sisi atas bak mandi untuk mengisi kembali air yang akan kugunakan.


“Cuuurrrr...........” suara air mengucur bergema di dalam kamar mandi berlumut yang berada di dalam bilik kamar kontrakanku. Keringat dan peluh sudah memaksaku untuk segera melepas busana yang kukenakan.


‘Apa iya aku cantik?’ tanyaku pada diri sendiri.
Satu persatu, busana yang membalut tubuhku mulai kutanggalkan. Kaus berwarna krem kulemparkan ke atas ranjang bersama dengan celana Jeans belel yang kurobek di bagian lutut dan paha sejak aku membelinya.


Aku memutar badanku sejenak, sambil melirik ke arah cermin.
Bayangan tubuh semampai dengan tinggi 168 sentimeter terpantul di sana. Memperlihatkan pada mataku betapa indah lekuk tubuh ini. Kulitku yang kuning langsat kini tertimpa cahaya lampu neon yang setia bertengger di bawah plafon kamar itu. Jika boleh sedikit narsis, aku akan dengan percaya diri mengatakan bahwa wajahku cukup cantik dengan rambut hitam lurus tergerai sebatas bahu


‘Mmhh... iya juga ya. tubuhku ideal ternyata’ komentarku pada bayangan tubuh tanpa lemak yang terpantul di cermin.


Aku meraih kedua payudaraku dengan tangan, mengangkatnya sejenak sebelum meremas dua gundukan daging lembut berbalut bra 36C yang kukenakan. Dengan cekatan aku melepas dan melemparkan bra berwarna putih yang menyangga payudaraku ke atas ranjang.


Kenyal namun padat. Itulah kesan yang tertangkap pada indera peraba saat aku meremas pelan bukit kembar yang menghiasi dadaku.
Aku memandang sejenak, mencoba meresapi keindahan lekuk tubuhku, perutku yang rata, ukuran payudaraku, dan warna puting susuku yang kemerahan.


Tanpa kusadari puting susuku mulai mengeras.
Aku meraih keduanya dengan jari, lalu memilinnya perlahan.
Lecutan rangsangan pada syarafku membuat kelopak mata ini terpejam.


‘Mmmhh..... Mereka di luar sana pasti ingin mengecup dan menghisapnya’ fantasiku mulai terbang entah kemana.


Aku semakin larut dalam khayalanku sendiri.
Membayangkan betapa mudahnya aku menuai lembaran rupiah dengan menjajakan tubuh suci ini.


‘Ummmmhhh..... nikmati tubuhku wahai para pria...’ gumamku dalam hati.


Kini perhatianku teralih pada celana dalam berenda sedikit transparan yang masih kukenakan. Menerawang sejenak, dapat kulihat siluet hitam dibaliknya.


Aku membungkukkan badan, meraih kedua sisi celana dalam yang melekat pada pinggangku, dan menariknya ke bawah hingga mata sebatas lutut. Tenunan yang membalut segitiga erotis itu jatuh hingga mata kaki. Dengan menginjak celana dalam itu menggunakan sebelah telapak kaki, aku melepaskan lalu membiarkannya berada di lantai.


Bulu kemaluanku yang tipis kini bercengkerama bebas dengan udara kamar yang pengap.
Sedikit keringat yang menempel di sana sama sekali tak mengubah aroma daerah kewanitaanku menjadi tidak sedap.


Seraya tetap memandang ke arah cermin, aku menyibak lipatan vaginaku dengan dua jari, lalu mulai menggigit bibirku sendiri seraya menikmati sensasi yang kurasakan.
Di sana, sebuah liang surgawi seorang gadis masih tersegel oleh selaput dara yang menjadi bukti bahwa aku masih seorang wanita suci.
‘Kalian menginginkan ini? Mmmhhhh?’ batinku.


“Craaazzz....crakk...crakkk...”
Suara itu membuatku menoleh.
Khayalan yang melayang di sekitar kepalaku buyar saat aku mendengar suara air yang meluap keluar dari bak mandi. Rupanya, bak mandi di dalam sana sudah penuh.


Aku segera meraih handuk berwarna biru yang menggantung para seutas tali yang kuikatkan pada tembok dan berjalan melenggak-lenggok bak seorang model menuju kamar mandi dengan tubuh yang tak berbusana. Kamar mandi memang tempat paling pribadi yang kuketahui. Di sana aku bebas melakukan hal-hal yang hanya terbayang dalam khayalanku.


“Byuurrr....... byurr.........”
Air dingin yang membasahi tubuhku sedikit meredakan gundah. Membawa segala kepedihan mengalir menuju sebuah lubang yang tersemat di lantai kamar mandi.
Kuputar keran air itu ke arah kanan untuk menghentikan aliran airnya, setelah itu aku menyibukkan diri dengan sebatang sabun beraroma mawar.


Selagi bersenandung dalam gundah, aku mengusapkan sabun itu ke seluruh tubuh.
Aroma mawar kini merebak pada ruangan kecil berlumut yang berukuran 1.5 x 1.5 meter.


Tubuhku yang licin membuat jemariku meluncur dengan mudah saat mengusapnya.
‘Mmmhhhhh......’ aku menggumam dalam hati saat sentuhan-sentuhan tanganku merayap di atas kedua payudara ini. Putingku yang mengeras semakin menantang jemari ini untuk memilinnya.


“Sssshhhh..mmmhh....” aku mendesis nikmat. Dalam khayalku, aku membayangkan ada seorang pria yang sedang mengulum kedua putingku.
Pikiranku yang teramat gundah semakin mendorong niatku untuk bermasturbasi.
Dengan sebelah telapak tangan yang kurentangkan, aku menyentuh kedua putingku dengan jari tengah dan ibu jari lalu mulai menggetarkan kedua puting susuku.


Sementara itu, tanganku yang lain mulai meraba daerah selangkangan, menyibak lipatan vagina dan memainkan klitorisku dengan jari tengah. Badai rangsangan yang kulancarkan membuat mataku memejam erat. Seluruh otot yang merekatkan tubuh ini bergetar, bagai diterpa gelombang maha dahsyat yang datang bertubi-tubi.


“Mmmhh.... aahh.....”
Dalam pandangan mata terpejam, bayangan pria tampan di restoran sore tadi kembali hinggap dalam khayalan.
‘Kau suka ini sayang.....mmmhhhhhhh.............’ aku kembali meracau dalam hati.
Jari tengahku yang bercengkerama dengan klitoris di bawah sana kugerakkan dengan cepat.


Pikiran jahat mulai merasuki kepalaku. Ingin sekali aku membalaskan dendam kepada kekasihnya yang telah meninggalkan rona merah di pipiku. Kupikir tak akan sulit, pria itu laksana seekor kucing yang selalu mendelikkan mata saat ia melihat seekor ikan. Terlebih jika sang ikan menggodanya dengan berkata ’aku lezat...’.


“Mmh...ahh..ahh....”
Melakukan masturbasi sungguh nikmat, setelah bertahun-tahun melakukan hal ini, aku mulai terobsesi untuk melepaskan keperawananku. Aku ingin merasakan penis menancap di sana, mengisi rongga kenikmatan ini hingga penuh sesak oleh batang kejantanan pria tampan itu.


“Aaahhhh....aahhh......” racauanku semakin menjadi-jadi. “Kau lihat wanita tak tahu diri..... kekasihmu sedang menikmati tubuhku....aaaakkkhhh”
Nikmat sekali sensasi yang kurasakan saat ini, untuk pertama kalinya kuberanikan diri untuk menusuk liang vaginaku dengan jari.


“Aauuuww....” aku memekik tertahan. Mataku yang terpejam erat seketika terbelalak.
Sepertinya jemariku menyentuh selaput dara saat masuk beberapa sentimeter ke dalam.
Aku segera menariknya kembali. Aku tak ingin kehilangan keperawanan tanpa mendapatkan apa-apa selain kepuasan. Pada saatnya nanti, aku akan menjual keperawananku dengan harga tinggi.


“Aaaaakkkkhhhhh......” aku melenguh panjang.
Harus kuterima kenyataan, bahwa aku harus puas mendapat orgasme ringan dengan mencumbui klitorisku sendiri.


Malam semakin larut, aku tak ingin berlama-lama kedinginan di sini.
Segera kubasuh sisa-sisa sabun yang hampir mengering, lalu melilitkan handuk dan keluar dari kamar mandi.



~** 2 **~






“Tch…. Dasar cewek tolol... bikin masalah aja bisanya” seorang pria dengan perawakan tambun sedang menghisap rokok berwarna putih di ruangannya sendiri.
Kacamata berbingkai kotak yang bertengger di hidung peseknya kembali turun beberapa milimeter.
Ia kini gusar. Kendati sebuah senyum palsu telah dibuatnya untuk mencairkan suasana, namun atasannya tetap saja menyalahkan dirinya terkait dengan kelalaian seorang pramusaji yang telah mencoreng nama baik RichTaste. Ia adalah sang manager restoran.


“Huuuff.....” asap putih kini mengepul dari lubang kecil yang dibuat bibirnya, begitu juga dengan dua lubang yang entah bagaimana bisa tetap ada di hidungnya yang bulat pesek seperti hidung badut.
Dua buah kaki gempal seukuran gelondongan kayu ia naikkan ke atas meja kerjanya.


”Tok....tok....tok....”
Sang pria tambun yang terhanyut dalam lamunannya sendiri, mengerling ke arah pintu masuk ruangan, di mana suara ketukan berasal.


“Yak.... masookk....”
Entah apakah nada bicara itu sudah terlalu mendarah daging, ia mempersilahkan orang di balik pintu untuk masuk dengan angkuh. Rokok putih yang tersemat di bibirnya kini ia selipkan pada bibir asbak.


”Kriieekk......”
Pintu itu terbuka.
Seorang gadis berperawakan tinggi langsing baru saja masuk dengan sebuah map berisi lembaran-lembaran kertas tergenggam di tangannya. Ia adalah sekertaris si-pria-tambun.


“Malam bos...” sapa gadis itu.
“Ya... ada apa lagi Mel?” Si-pria-tambun kini menurunkan kakinya dari atas meja. Ia sadar, sikap seperti itu tidak selayaknya ia tunjukkan jika ada orang lain bersamanya.


“Nnngg... ini Bos, berkas-berkas keluhan dan pembukuan hari ini...” jawab sang gadis.
“Oh iya... hampir saya lupa. Ini semua gara-gara kelakuan si cewek tolol itu.... berantakan semua kerjaan saya” si-pria-tambun melambaikan tangan, memerintah sang sekertaris untuk mendekat.


”Srekk....Srek.....”
Perlahan, ia membuka lembaran-lembaran itu.
Ya, hari ini reputasi RichTaste benar-benar tercoreng. Berkas keluhan yang sedang dibacanya sungguh membuat kulit wajahnya kembali memerah.


“Fuck………”
Si-pria-tambun melemparkan berkas-berkas itu ke udara.
Satu persatu, lembaran demi lembaran kertas itu jatuh dengan gemulai hingga lantai menyapanya. Sang sekertaris, Melly, nampak tak peduli dengan kelakuan bosnya. Ia sudah sangat terbiasa memandang kelakuannya yang seperti itu.


“Kalau sudah gak ada apa-apa lagi, saya permisi pulang bos… udah malem” ucap Melly.
“ya…ya…ya… pergi sana, hari ini saya lagi gak napsu naikin kamu”


Sang sekertaris hanya bisa mendengus sebal dalam hati.
’Dasar babi tidak tahu diri’ umpatnya.
Bisa-bisanya dia memanfaatkan Melly yang harus menopang hidup ketiga adiknya. Hampir tiap ada kesempatan, Melly tidak akan pulang cepat. Celah sempit dibalik rok mini yang ia kenakan secara teratur akan dijejali sebuah tonjolan daging sepanjang tujuh sentimeter milik si-pria-tambun.


Perempuan binal manapun, tetap saja tidak akan tahan menerima kata-kata yang begitu merendahkan. Terlebih bagi perempuan baik-baik seperti Melly. Dengan berat hati, ia harus merelakan liang vaginanya untuk dinikmati sang manager, yang bahkan belum pernah membuat puting susunya mengeras tegak. Apalagi orgasme.


’Siapa juga yang demen di naekin sama lo… dasar babi’ umpatnya dalam hati.


Tanpa berpamitan, Melly segera melangkahkan kaki dari ruangan yang menjadi saksi bisu bahwa tubuh gemulainya telah dinikmati oleh si-pria-tambun, minimal tiga kali seminggu.
Setidaknya, hari ini ia akan menggapai puncak kenikmatan yang sesungguhnya bersama Sam, sang kekasih. Tak ada baginya hal yang lebih membahagiakan dibanding membayangkan penis kekasihnya menyeruak masuk, mengisi relung kenikmatan miliknya hingga penuh sesak.
’Mmmhh…. Sampai ketemu sayang’


Kembali ke dalam ruangan.
Pria tambun itu memandang jijik ke arah lembaran-lembaran kertas yang tercecer di lantai.
Ia meraih jas berwarna hitam yang ia letakkan pada sandaran kursi, lalu segera mengenakannya. Tak lupa, kunci mobil berlambang lingkaran warna biru-putih dengan tiga buah huruf ia raih.


Malam ini, restoran sudah sepi.
Tak ada lagi gumam-gumam tak jelas yang riuh rendah bersahutan, tak ada lagi binar mata para pasangan yang menghamburkan uang. Ia kini sendirian, berjalan melewati ruang kosong di antara meja bundar yang tertata apik di bawah naungan lampu kristal yang setia menggantung di langit-langit.


“Malam Boss.....” seorang satpam yang masih berjaga di pintu masuk terlihat membungkukkan badan saat si-tambun melangkah tanpa menoleh atau membalas sapaan itu.


’Dasar babi...’
Ya itulah julukan yang diberikan oleh segenap karyawan yang pernah merasakan pahitnya kata-kata si-pria-tambun. Begitu juga dengan si-satpam. Kalimat umpatan yang sesungguhnya terdengar sangat kasar itu terus terucap dalam hatinya.


’Huh.... siapa lu? lu pikir, karyawan rendahan pantas nyapa gua?’ batin si-pria-tambun.
Ia menekan sebuah tombol pada kunci mobil yang sedang digenggamnya.


”tuitt...tutitt...”
Mobil sedan hitam yang terparkir dibalik sebuah plang bertuliskan ’Manager Only’ berbunyi. Lampu sign yang tersemat di keempat sudutnya ikut berkedip sebanyak dua kali.


Mungkin bagi orang yang belum pernah bertemu dengan sang manager, mereka akan takjub ketika memandang si-pria-tambun melangkah masuk ke dalam melewati pintu mobil sedan mewah itu.
’kok muat??’


Tapi begitulah, kenyataan.
Mau tidak mau, batin yang baru saja berucap harus menjilat ludahnya sendiri. Nyata-nyatanya tubuh si-pria-tambun bisa masuk ke dalam mobil walaupun harus bersusah payah menekuk kaki dan memundurkan posisi kursi pengemudi untuk sementara.


”Wuuuunnngg....Wuuunnnggg....”
Mesin mobil itu meraung halus. Untung saja mobil itu memiliki kapasitas mesin dan kualitas rangka yang mumpuni.
Siapa pun tidak akan bisa membayangkan jika ada sebuah taksi mengangkut si-pria-tambun.
Mereka hanya dapat menduga, beberapa bagian mobil taksi itu harus rela menerima beberapa guratan saat melewati polisi tidur karena strukturnya yang semakin ceper.


Mobil itu mulai melaju.
Pelan namun pasti, si-pria-tambun meninggalkan kawasan parkir gedung RichTaste. Tujuannya saat ini bukanlah pulang untuk sekedar memandang raut wajah anak-anaknya yang masih balita, atau mengecup kening sang istri yang setia menanti. Tujuannya saat ini adalah sebuah hotel, di mana tiga orang wanita panggilan telah bersiap menanggalkan seluruh busana untuknya demi beberapa lembar rupiah.


Malam ini begitu sunyi, dengan awan berarak yang membuat cahaya bulan harus mengintip.
Beberapa kali, si-pria-tambun melirik ke arah spion tengah. Ia merasa sedang diikuti sejak meninggalkan pelataran parkir RichTaste. Tapi siapa? Tidak ada satu mobil atau motor pun yang beriringan dengannya. Kendati ia terus berusaha menenangkan diri, perasaan was-was yang tiba-tiba menyelimuti tetap tak mau pergi.


Dinginnya udara yang disemburkan oleh celah AC tak mampu menghalau butir-butir keringat yang terus berjatuhan di dahinya. Merasa keadaan jalan sudah cukup lengang, ia menoleh ke samping untuk mencari tisu guna menyeka keringat dinginnya.


”BRAAAAAAKK.......” sebuah suara memekakkan terdengar dari bagian depan mobil.


Mobil si-pria-tambun bergoyang hebat, noda merah pekat kini terlihat menutupi hampir dua pertiga kaca mobilnya bagian depan. Ia segera menginjak pedal rem hingga ban mobil itu berdecit memekakkan.
“Bangsat.... apaan tu tadi.....”umpatnya.


Deg...Deg...Deg...


Degup jantungnya mulai terpacu.
Warna merah pekat yang menyelimuti kaca depan mobil itu tak lain adalah darah. Ia menabrak sesuatu.
’G-gawat.... gua harus kabur....harus....’ si-pria-tambun membatin. Ia meraih kunci mobil untuk menyalakan kembali mobilnya yang mati mendadak karena kesalahan kontrol saat menginjak pedal kopling.


”nnnnnggggtt...nggggtttt...nnnggtttt....”
Mobil itu tak kunjung menyala. Si-pria-tambun semakin panik. Ia tak mau tertangkap basah karena menabrak seseorang hingga kehilangan nyawa.
’Anjingggg...... kenapa sih ini mobil... bangsat’ umpatnya.


Merasa tak mempunyai pilihan, si-pria-tambun terpaksa turun dari mobilnya dengan susah payah.
Dilihatnya tutup kap mesin mobil itu berlumuran dengan darah jauh lebih banyak dibanding yang ia perkirakan.


”Glek......” ia menelan ludah.
Si-pria-tambun menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada seorang pun yang menyaksikan kejadian itu. Ya, ia sendirian.


Merasa cukup aman, ia kini berjalan mengitari mobilnya mencari sesosok tubuh yang sudah ditabraknya.
Bercak darah terlihat di mana-mana. Ia semakin panik, degup jantungnya semakin terpacu saat bau anyir merebak memenuhi udara malam.


’Pasti mati..... pasti mati....’ gumamnya dalam hati.
Pendapat itu sangat beralasan mengingat jumlah darah yang memenuhi seluruh bagian depan mobilnya. Tapi bagaimana bisa? Mungkinkah tubuh seseorang hancur seketika? Mungkinkah darah segera memancar saat tubuh itu hancur?


’Gak.... ini gak mungkin.... pasti bukan orang. Ya... pasti bukan....’ pikirnya.
Lagi pula, setelah mengitari mobilnya, si-pria-tambun tak juga menemui sesosok tubuh tanpa nyawa.
Tapi jika bukan makhluk hidup, lantas cairan kental berwarna merah pekat ini apa? Jus?


Teringat akan sebuah kelalaian, si-pria-tambun kini mencoba melihat ke salah satu tempat yang belum ia periksa. Kolong mobil...


Nyali besar yang ia tunjukkan saat menghardik sang gadis pramusaji, kini menguap entah kemana.
Kakinya mulai gemetar. Khawatir jika kenyataan telah membawa seonggok tubuh tak bernyawa ke dalam bayang-bayang badan mobil. Ia kembali menelan ludah, butir-butir keringat yang menghiasi wajahnya kini sudah tak terhitung. Perlahan, ia menekuk sebelah kaki dan menundukkan badan. Kedua tangan gempal dengan cincin berbatu besar kini menyentuh aspal hitam. Ia menundukkan tubuh semakin rendah, sampai akhirnya menoleh dan memandang ke bagian bawah mobil.


Matanya yang membulat, kini nyaris melompat.
Benar saja, di bagian bawah mobil itu tergeletak seonggok tubuh bersimbah darah. Lehernya patah, dan sebelah tangan telah terlepas dari bahunya.


“UUUAAAAHHHHH..........” si-pria-tambun memekik.
Tubuh gempalnya yang seperti gelondongan sapi tanpa kaki, sontak tersungkur ke belakang.
Dengan susah payah, ia mengeluarkan tenaga ekstra yang dihasilkan oleh luapan adrenalin di dalam aliran darahnya untuk merangkak mundur.


Si-pria-tambun nampak tak bisa berkata-kata selama beberapa detik.
Bibirnya gemetar, sedangkan tatapan matanya menyiratkan kecemasan yang teramat sangat.
“Gimana nih??? Gimana nih????” ia mulai meracau.


“A-aa-aaaa-rrrrkkk.......” sebuah suara parau terdengar.
Suara itu berasal dari bibir jenazah yang teronggok di bagian bawah mobil.


Mata si-pria-tambun semakin terbelalak ngeri. Terlebih saat mata jenazah yang memandang kosong ke arah atas kini meliriknya. Entah kekuatan apa, yang pasti kekuatan yang entah dari mana datangnya telah merantai seluruh daya dalam diri si-pria-tambun.


Ia sangat ingin merangkak mundur beberapa meter lagi.
Namun menggerakkan ujung jarinya saja ia tak mampu. Sementara itu, seonggok mayat yang masih terbaring di bagian bawah mobil mulai menggeliat. Bagai seekor belatung, jenazah dengan sebuah lengan yang terpisah kini merangkak keluar.


“P-pergiiiii........pergiiiiiiii........” si-pria-tambun menghardik.
Entah apa yang sedang bersemayam di dalam raga yang seharusnya mati, jenazah berlumuran darah itu menyeringai kejam. Seringai itu perlahan melebar hingga ujung bibirnya terlihat bersentuhan dengan cuping telinga.


“A-a-a-aaaaa-rrkkkkk” suara parau itu kembali terdengar saat si-jenazah mulai membuka bibirnya yang menyeringai lebar. Bagian dalam mulutnya begitu hitam menakutkan.
Setelah berhasil keluar dari himpitan badan mobil, jenazah itu merangkak dengan cepat seperti laba-laba.


“AAAAAAAAHHHHH.......” si-pria-tambun kembali memekik.
Kali ini, ketakutan sungguh menguasai raganya. Tak henti-hentinya ia bergidik gemetar saat jenazah itu memeluk tubuhnya hingga wajah mereka berhadapan.


”TEEEEEEEEEETTTTTTT............ TEEEEEEEEEEETTTT............”
Sebuah suara memekakkan terdengar, dibarengi dengan kilauan cahaya kuning menyilaukan yang datang dari sisi kiri si-pria-tambun. Tanpa menoleh pun, si-pria-tambun pastilah menyadari. Dari suara klakson yang terdengar, sebuah truk besar sedang melesat ke arahnya.


“Ma-aaa.....ttttiiiiiiii..........”


”ZRAAAAAAAAAAAAKKKKKKKKKKK...............”
Sang pengemudi truk yang sudah menginjak pedal rem dengan sekuat tenaga, nampak tak mampu menghentikan badan truk yang terus melaju. Dari kursi pengemudi, sang sopir truk dapat melihat sosok pria tambun yang sedang berjongkok di tengah jalan raya itu menghilang, masuk ke dalam bagian bawah truk.


Tanpa basa-basi, sang sopir truk segera turun untuk memastikan kondisi sosok yang ditabraknya.
Di sana ia melihat noda darah tercecer di bagian bawah truk. Potongan-potongan daging semakin meyakinkan dirinya bahwa bentuk tubuh sosok yang ditabraknya pastilah tidak utuh lagi.


Ia terus menyusuri jejak-jejak cipratan darah, dan akhirnya ia menemukannya.
Sesosok buntalan daging berbalut jas hitam nampak terjepit pada roda paling belakang.





~***~


Naya...


Di atas meja kayu yang bersebelahan dengan ranjangku, lampu indikator handphone sudah berkedip merah. Sepertinya ada SMS yang masuk. Dengan tubuh masih agak basah, aku berjalan mendekati handphone itu. Aku meraihnya, dan membaringkan diriku yang hanya terbalut handuk lembab ke atas ranjang.


Kamar kontrakan ini tidaklah mewah. Cat putih yang menghiasi dinding warnanya sudah berubah kekuningan dengan beberapa tempat yang catnya mengelupas. Plafon yang menghiasi pandanganku saat berbaring juga mengalami nasib serupa, hanya saja sedikit lebih mengenaskan. Warna putih di atas sana sudah mulai menghitam diselimuti oleh lumut dan jamur yang merebak saat musim hujan tiba.


Kontrakanku ini bukanlah satu-satunya yang mengalami nasib seperti itu.
Ada lebih dari lima puluh pintu lain yang menyembunyikan ruangan sejenis di kawasan rumah susun sangat sederhana yang kutempati, dan kamar bernomor 21 yang berada di lantai tiga ini hanyalah salah satunya.


Kamarku berada di deret paling pojok, jauh dari tangga yang membawaku naik ke atas.
Tinggallah aku meratapi nasib di kamar berukuran lima belas meter persegi yang di dalamnya tidak ada perabotan apa-apa selain sebuah kompor, meja, ranjang, dan dispenser dengan galon air bertengger di atasnya.


Handphone itu kubuka dengan sebelah tangan, dan kudapati beberapa notifikasi pesan masuk di layarnya. Semuanya dari Tomi.


‘Stress kenapa nona?’
‘Kok gak dibalas?’
‘Sedang ingin sendiri ya?’
‘Oke, aku ngerti. Selamat tidur ya Naya’
Begitulah isi keempat SMS yang dikirimkan Tomi.


“Iya... sorry Tom, aku baru dipecat dari pekerjaan” balasku saat itu.
Dengan wajah lesu karena teringat kembali tentang kejadian itu, aku menekan tombol untuk mengirimkan SMS balasan.


“Tringgg...”
Belum sempat aku meletakkan kembali handphone itu, SMS balasan sudah kuterima.
‘Lho? Belum tidur? Maaf ya kalau aku ngeganggu’


“Cepet amat balasnya Tom... iya, enggak apa-apa” jawabku.
Dalam suasana hati gundah seperti ini, biasanya aku tidak suka jika ada yang mengajakku berbicara. Tapi untuk kali ini, aku justru senang dengan SMS yang ia kirimkan. Seolah ada seseorang yang menemaniku dalam sepi, dan meminjamkan pundaknya untuk aku bersandar.


“Tringgg...”
Kali ini, aku sudah menduga ia akan segera membalas sehingga handphone itu tetap kugenggam seraya merebahkan diri dan meletakkan lenganku di dahi.
‘Semoga cepat dapat kerjaan baru ya Nay... memang kamu lagi butuh uang?’


Aku heran. Mengapa Tomi tiba-tiba bertanya seperti itu. Seperti ia sedang membaca pikiranku.
Tapi itu sangat tidak mungkin, walaupun Tomi adalah seorang ahli psikologis sekalipun. Masih banyak kemungkinan lain yang membuatku gundah, bisa karena bentakan sang manager yang terlalu keras, atau karena sebuah tamparan telak yang meninggalkan rona merah di pipi. Yah, tak bisa dipungkiri, dugaan Tomi yang benar-benar tepat seakan menjadi anak panah yang melesat menuju jantungku.


“Yah... namanya juga hidup, pasti butuh uang. Aku gak mau jadi orang munafik” SMS balasan segera kukirim pada Tomi.


“Tringgg...”
‘Aku punya uang... kamu boleh pakai, gak perlu mikirin kembaliinnya kapan’


Aku sampai bangkit dari ranjangku ketika membaca SMS balasan itu. Mataku terbelalak saat mengamati dengan seksama kata demi kata dalam SMS yang Tomi kirimkan.
Sebenarnya siapa dia? Apakah ia seorang eksekutif muda? Atau anak orang kaya?


Batinku kini mulai diisi rasa penasaran tentang siapa sebenarnya Tomi.
Aku memang tidak pernah menanyakan tentang asal usulnya, atau bagaimana kehidupannya. Aku hanya menganggap Tomi sebagai teman ngobrol semata, tidak lebih.


“Gak usah repot... makasih udah nawarin, tapi aku fine... aku gak mau nyusahin siapa-siapa”
Setelah mengirimkan SMS itu, aku mendekap erat hanphoneku di dada. Begitu hinakah hidup ini, sampai-sampai aku harus menyusahkan orang lain karena masalah yang kuciptakan. Hembusan napas ini semakin sesak terasa, sungguh. Aku benar-benar ingin menangis sejadi-jadinya.


“Tringgg...”
‘Ndak usah sungkan kok, aku senang kok bisa bantu... Bukannya sebentar lagi awal bulan dan kamu harus bayar kontrakan?’ tanya Tomi dalam SMS balasannya.


“Aduhhh.....” gumamku.
Pikiranku yang semakin gundah memaksaku untuk menekan handphone itu ke dahiku. Aku menghela napas sejenak. Yah, bukan salah Tomi jika ia mengetahui betapa sulitnya kehidupanku. Aku telah bercerita tentang bagaimana aku kehilangan sosok seorang ibu, tentang kehidupanku bekerja di restoran sebagai pelayan, dan tentang betapa berat hidup seorang diri di kamar kontrakan.


Selama hampir satu bulan ini, Tomi selalu menempatkan diri sebagai pendengar yang baik.
Mendengarkan keluh kesah dan cerita hidupku yang penuh liku-liku, dan memberi nasihat untuk segala masalahku. Dalam bayanganku, Tomi adalah sosok pria yang baik.


“Jangan Tom... aku gak enak, kita kan belum kenal lama. Kalau ternyata aku enggak bayar hutangku gimana?” balasku.


“Tringgg...”
‘Gak apa-apa... kamu pasti bayar kok, aku percaya... sekarang kirimin nomor rekening kamu’ Tomi kembali membalas.


Hatiku kini semakin berdebar-debar. Ingin aku tersenyum mendengar penawaran Tomi, namun harga diri ini mencegahku.
Akankah masalah keuangan ini selesai begitu saja saat aku mengirimkan nomor rekening pada Tomi.
Ahh... aku terlalu naif, mungkin saja Tomi hanya akan mentransfer beberapa ratus ribu. Setelah berpikir sejenak tentang bagaimana aku akan mengembalikan uangnya, aku mengirimkan nomor rekeningku pada Tomi.


“1234.567.890 bank ABC... Maaf Tom, aku sebenarnya gak mau nyusahin atau berperan jadi pengemis” balasku.


Sepuluh menit berselang, handphoneku kembali berbunyi.
“Tringgg...”
‘Jangan bilang begitu, aku senang membantu... sekarang kamu pergi ke ATM’ balasnya


“Hah??” aku terperanjat.
Mungkinkah ia telah mentransfer uang ke rekeningku? Dadaku semakin sesak oleh detak jantung yang menggebu. Aku semakin penasaran, aku segera mengenakan pakaian, menguncir rambutku, dan bergegas keluar mencari mesin ATM.


“Tom... kamu enggak bercanda kan?” balasku seraya berjalan menyusuri lorong dan menuruni tangga. Angin malam yang dingin menandakan malam telah larut. Tak terdengar lagi celotehan pria-pria yang biasa menghabiskan waktu bermain catur di lantai satu.


“Tringgg...”
‘Aku lebih baik mati daripada menipu’ balasnya.


‘Oh Tuhan... mungkinkah pria bernama Tomi ini malaikat penolong utusanmu’
Langkah kakiku yang semakin bersemangat terus berjalan seiring dengan debar jantung. Meski malam telah larut dan jam di handphoneku menunjukkan pukul 22:00, aku tetap berjalan menuju sebuah minimarket yang berjarak 300 meter dari rumah susun ini. Disana, ada sebuah ATM yang biasa kugunakan untuk menarik saldo rekeningku.


“Selamat datang di NewMart....” sapa seorang pramuniaga saat aku membuka pintu kaca minimarket itu. Aku membalasnya dengan sebuah senyuman tanpa kata-kata. Tidak enak juga rasanya jika aku datang ke minimarket ini tanpa membeli sesuatu, namun jika Tomi berbohong maka aku harus menyiapkan muka tebal untuk menahan malu karena berjalan keluar pintu kaca dengan tangan hampa.


“pip..pip..pip..pip..pip..pip”
Kutekan enam digit angka kombinasi, lalu menekan tombol untuk memulai pengecekan saldo. Beberapa detik berlalu dengan kalimat yang memintaku untuk sabar menunggu terpampang di layar ATM berwarna biru.


Mataku benar-benar hampir melompat ketika melihat deretan angka yang seluruhnya berjumlah delapan digit. Kakiku gemetar, aku sungguh sangat rapuh saat ini.
‘Tomi pasti bercanda’ pikirku.


Bagaimana mungkin ada orang yang berani meminjamkan uang lima puluh juta rupiah kepada orang yang bahkan belum pernah ia temui. Kecuali ia seorang konglomerat kelas atas tentunya, yang memiliki aset puluhan miliar, dan uang yang terus mengalir tanpa bisa dibendung.


“Tom.... kamu bercanda ya? Bagaimana bisa aku ngembaliin uang lima puluh juta” balasku pada Tomi.


“Tringgg...”
‘Kalau aku bercanda, pasti aku kirim lima puluh ribu ke rekening kamu Nay’ balasnya.


’Ya tuhan….. apa sebenarnya rencanamu untuk diriku?’
Aku semakin tak habis pikir. Untuk apa Tomi mempermainkan perasaanku seperti ini.
Di lain sisi, hatiku kini bersorak karena masalah keuanganku telah terselesaikan. Tapi bagaimana bisa? Apakah semudah ini? Mengapa kenyataan selalu berjalan dengan cara yang tidak masuk akal?


Beberapa detik berlalu, dengan aku yang masih menatap layar ATM dengan pandangan kosong.
Berkali-kali aku mencubit pipi dan tangan sendiri, hanya untuk meyakinkan bahwa semua ini nyata.
Sekali lagi, aku meragukan diri sendiri. Aku mencubit begitu keras hingga meninggalkan rona merah di punggung lenganku.


’Oke…. Ini nyata’
Tanpa banyak berpikir, aku segera menarik uang sebanyak dua ratus ribu dari mesin ATM.
Aku sadar, semakin banyak uang yang kugunakan, maka akan semakin sulit pula aku mengembalikannya.


Aku kemudian berjalan menuju deretan rak yang tertata rapi, mengambil sebuah surat kabar, roti sobek dan sebotol teh rasa buah, lalu berjalan menuju kasir untuk membayar belanjaanku.


Surat kabar??


Rasanya aneh juga, mengapa aku tiba-tiba tertarik membaca surat kabar. Padahal sebelumnya aku tidak pernah peduli dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat. Beberapa saat aku berpikir untuk mengembalikan surat kabar itu ke tempat semula. Sayangnya, sang kasir sudah terlanjur memindai barcode yang ditempelkan pada plastik pembungkusnya.


“Semuanya 19.700 rupiah, ada lagi mbak?” tanya sang kasir.
“Sudah, itu saja...” jawabku.


Kuserahkan selembar uang kertas berwarna biru untuk membayar. Setelah mencetak struk, kasir itu memberikan kantung plastik putih berlogo minimarket dengan belanjaanku berada di dalamnya, dan uang kembalian yang diletakkan di atas struk.


“Terima kasih sudah berkunjung, selamat datang kembali” kasir itu mengucapkan terima kasih dengan kedua tangan ia tangkupkan di depan dadanya.
“Sama-sama” jawabku.


~***~


Aku kini sudah kembali berada di dalam kamar. Menikmati roti sobek untuk mengganjal perutku yang mulai lapar. Sebelumnya rasa lapar itu seakan bersembunyi ditelan tekanan batin yang kualami. Namun begitu masalahku terselesaikan, rasa lapar itu meraung keras.


“Tom... kamu baik, terima kasih banyak bantuannya” kukirim sebuah SMS sebagai ucapan terima kasih atas bantuan Tomi.


“Tringgg...”
‘Sama-sama Nay... aku senang kalau apa yang aku punya bisa bermanfaat untuk sahabatku’


Sahabat??


Aku tersenyum-senyum sendiri di dalam kamar saat membaca pesan balasan dari Tomi. Benarkah ia menganggapku sebagai sahabatnya? Seingatku aku tidak pernah mendengar keluh kesahnya, atau pun membantu Tomi dalam sesuatu apapun. Ahh, masa bodoh. Mungkin baginya, sahabat hanyalah teman ngobrol semata untuk menghilangkan rasa bosan.


Dua jam aku bercengkerama dengannya setelah itu. Membahas hal-hal tidak penting seperti, apa makanan kesukaannya, dan juga hobi. Entah apa yang terjadi pada perasaanku saat ini, aku begitu nyaman dengan kehadiran SMS yang dikirimkan Tomi sebagai balasan percakapan kami.


“Tringgg...”
‘ngomong-ngomong... Kita belum pernah saling pandang, boleh gak aku minta foto kamu? Kalau kamu nggak keberatan tentunya...’


Wah…wah... Tomi semakin agresif.
Aku tersenyum lebar, geli karena membayangkan ekspresi Tomi saat mengirimkan SMS itu. Kendati aku belum pernah menjalin sebuah hubungan, namun aku tahu pasti seperti apa raut wajah pria saat otak mereka dipenuhi dengan pikiran kotor.
Aku lalu berpikir foto seperti apa yang akan kukirimkan padanya.


“Aku ini jelek loh... nanti kamu menyesal?” balasku.


“Tringgg...”
‘Gak ada kata menyesal buatku. Cowo itu nggak boleh menarik kembali ucapannya’.


‘Hmm...okay.... anggap ini sebagai ucapan terima kasih’ batinku.
Aku mulai berpikir nakal, mungkin aku bisa memberikan sebuah foto yang sedikit sexy sebagai balasan untuk bantuan yang telah ia berikan. Senyum lebar mengembang di bibirku.


Aku menggerai rambutku yang sebelumnya kuikat kuncir kuda.
Rambut hitam berkilau kini menjadi mahkota indah yang tergerai menutupi bahuku.
Dua buah kancing kemeja paling atas sudah kubuka lalu kusibakkan kemeja itu ke samping agar memperlihatkan sedikit belahan dadaku.
’Kurasa cukup’


Kamera handphone sudah mengarah kepadaku.
Aku mencoba menyuguhkan senyum paling manis yang bisa kubuat sebelum menekan tombol untuk mengambil gambar.


“BRAK.............”
Aku tersentak kaget sehingga tanganku berguncang. Sebuah suara memekakkan terdengar dari balik tembok. Di sana adalah kamar Bu Shinta dan anak-anaknya.


‘ada apa ya?’ tanyaku dalam hati. Sesaat, kurasakan jantungku berdegup kencang.
Aku tak berpikir yang macam-macam. Mungkin hanya sebuah benda yang jatuh karena tersenggol.


Aku mengecek hasil foto itu.
Hasil fotonya buram, mungkin karena guncangan pada tanganku. Hasil foto yang buram dan tidak fokus memaksaku untuk berpose ulang.


Kembali kuarahkan kamera handphone itu, lalu menekan tombol bundar di bawah layar.
“Cekreek..” handphoneku berbunyi. Tanda bahwa pengambilan gambar telah sukses.


Aku memandang sejenak ke arah foto itu, foto yang memperlihatkan seorang gadis dengan senyuman indah di dalam sebuah kamar sumpek dan suram. Kali ini gambarnya sudah cukup jelas memperlihatkan siapa aku, lengkap dengan belahan dada menggoda yang sengaja kuperlihatkan.
Tanpa menunggu berlama-lama kukirimkan foto itu pada Tomi melalui MMS.


“Tringgg...”
‘Wah... kamu cantik banget Nay... serius ini foto kamu? Bukan ngambil di google kan?’ tanya Tomi.


“Ihhh jahat, itu beneran foto aku... Sekarang, kirimin foto kamu dong supaya kita saling kenal” balasku.
Aku jadi semakin penasaran, kira-kira seperti apa ya wajah Tomi.


“Tringgg...”
Isi MMS itu seharusnya adalah foto Tomi. Aku membuka MMS itu dan mendapati foto seorang pria tampan dengan senyum tipis disana. Ia mengenakan sebuah kemeja bergaya santai yang sangat cocok jika dipadukan dengan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan namun menawan.


Namun, saat aku mengamati foto itu dengan seksama, aku mengerutkan dahi.
Tomi sedang berada di dalam sebuah kamar yang cukup suram dengan cat dinding yang mengelupas dan hanya sedikit perabotan yang terlihat di sana.


Beberapa detik berlalu, aku masih tidak menyadari apa-apa. Namun begitu memandang ke balik punggungku, rasa dingin tiba-tiba menjalar di pundakku. Kamar tempat Tomi berfoto, sangat mirip dengan kamarku.


“Tom jangan main-main ahh... itu kan kamarku?” balasku pada Tomi. Aku mengerutkan dahi sejenak, mencoba menerka apa maksud Tomi mempermainkan aku. Oke, kamar seperti ini mungkin banyak yang menyamai. Sejenak aku berpikir, mungkinkah Tomi juga tinggal di rumah susun ini sama seperti aku.


“Tringgg...”
‘Masa sih kamu gak sadar? Aku ada di samping kamu...’


Deg....Deg....Deg....
Darah di nadiku berdesir cepat, membuat tubuhku seakan tersedot dalam pusaran halusinasi. Setelah aku mengamati kembali foto yang dikirimkan Tomi padaku, aku baru menyadari bahwa tempat itu memang kamarku. Retakan di dinding, letak cat yang mengelupas, semuanya sama persis.


Wajahku pucat pasi.
Tanganku bergidik gemetar memegang handphone ini hingga aku tak sanggup berkata-kata.
’Please, jangan bilang bahwa Tomi serius mengirim sms ini.’


Seketika, insting membuat kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri.
Aku mulai gugup. Aku tidak ingin mempercayai perkataan Tomi, tapi ketakutan yang sudah menyelimutiku semakin kuat. Aku meringkuk dan memeluk lutut di atas ranjang.


“Tom... janhan berbanda deh, aku rendirian nih... Jangan buav aku takut” balasku padanya. Jemari yang bergetar hebat membuat beberapa kesalahan saat aku mengetik di papan keypad dengan dua belas tombol yang tersemat di bawah layar handphoneku.


“tok....tok....tok.....”


Suara pintu masuk yang diketuk benar-benar membuatku kehabisan napas seketika.
Nyaris saja aku terjerembab ke lantai karena terperanjat, namun dengan sigap aku menemukan keseimbangan sehingga tubuhku jatuh dengan perlahan. Tangan kiriku yang mendekap dada, kini merasakan dengan jelas debar jantungku yang terpacu. Hormon adrenalin yang mengalir melewati pembuluh darahku kini membuatku tak dapat menghalau kesadaran yang tetap terjaga.


“Tringgg...”
Handphone yang kugenggam dengan tangan kananku tiba-tiba berbunyi dan bergetar.
Sontak aku segera melemparkannya ke ranjang dan bersimpuh seraya merangkak mundur di lantai.


Deg...Deg...Deg...
Kutatap lampu LED berwarna merah yang berkedip di sudut handphone. Menandakan sebuah SMS baru saja masuk ke dalam list unread message.


“Glek....” aku menelan ludah.
Kukepalkan sejenak jemari tanganku untuk menghilangkan rasa gentar dan gemetar.
Perlahan, kuraih handphone itu dan kubuka layar model clamshellnya.


SMS dari Tomi. Wajahku kembali memucat.
Aku masih belum berani untuk membaca isi SMS itu. aku tak ingin lagi dirundung sebuah ketakutan tak mendasar hanya karena sebuah foto yang sesungguhnya jauh dari kata menakutkan.


“tok...tok...tok...” pintu kamarku kembali diketuk.
Bibirku gemetar, ingin sekali aku meraung dalam tangis. Mataku berkaca-kaca, air mata itu mulai mengalir di pipiku.


Dingin, lantai berdebu ini sungguh bersekongkol untuk menyiksaku.
Aku kini kembali terdiam bersimpuh sambil memandang ke arah pintu masuk. Pandanganku buram, bayangan di sana mulai dibiaskan oleh air mata yang berlinang.


“Tringgg...”
Handphone yang kugenggam kembali berbunyi.


Aku sudah tidak sabar lagi, baru berjalan dua menit namun aku sudah muak dengan semua ini.
Kulempar handphoneku dengan kasar ke arah ranjang. Ia terpental sejenak dari kasur, menabrak tas punggung hitam milikku, dan jatuh di atas bantal.



~** 3 **~





“tok....tok....tok....”
Pintu kembali diketuk dari sisi luar. Aku melirik sesaat ke arah jam dinding. Jarum jam di sana menunjukkan pukul 00:13.


Deg...deg...deg...
Jantungku semakin terpacu saat mengingat bahwa saat ini sudah lewat tengah malam.
Air mataku terus bercucuran, namun kali ini jauh lebih deras dibandingkan tangis yang kualami seumur hidup. Mungkin yang bisa menyamai tangis itu, hanyalah air mataku yang mengalir saat ibu dimasukkan ke liang lahat.


Aku duduk bersimpuh, tanganku mengepal erat aku masih memandang penuh ketakutan ke arah pintu kontrakanku. Di bawah celah pintu, aku dapat melihat bayangan kaki seseorang sedang berdiri di sana. Hingga tiba-tiba aku mendengarkan suara dari luar memanggil namaku.
“Naya....”


‘Ehh?? Suara itu....’


Rasa takutku perlahan memudar.
Kendati aku belum pernah mendengar suara Tomi, namun aku yakin bahwa yang sedang memanggil namaku bukanlah dia. Suara di balik pintu itu sangat familiar di telingaku.


“Nay...... lo udah tidur ya?” suara itu kembali memanggil.
“I-iya...sebentar...” jawabku seraya menyeka air mata dan bangkit berjalan menuju pintu.
Kuraih anak kunci yang menancap di sana lalu kuputar untuk membuka kuncinya.
“crekkk....crekkkk....” dua kali kunci pintu itu berbunyi, menandakan bahwa pintu sudah dapat dibuka.


“cekrek....” kuraih handle pintu itu, kutekan ke bawah, lalu kubukakan pintu kamarku untuk orang di luar sana.


“Lohh.... Nay? Lo kenapa? Kok nangis sih??” sesosok perempuan berambut panjang berdiri di ambang pintu. Handle travelbag yang ia genggam, seketika terlepas hingga tas itu jatuh ke lantai.
Yang berbicara itu adalah Reni, teman sebangku denganku saat SMA. Dan dia lah yang menawariku menjual keperawanan. Reni berperawakan tinggi semampai, kira-kira postur tubuhnya mirip denganku. Hanya saja wajah kami berbeda.


“Ng-nggak kok Ren... Gue gak apa-apa” jawabku sekenanya.
Reni segera merangkulkan tangan ke leherku dan mendekap tubuhku erat-erat.
Aku tahu, mataku yang masih memerah dengan napas senggukan tidak akan mampu membohonginya.


Kendati Reni adalah gadis yang cukup bisa dikatakan “nakal”. Namun itu semua tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa Reni adalah arti sesungguhnya dari kata sahabat. Ia hampir selalu ada di saat aku dirundung masalah, seperti saat ini.


“Nggak apa-apa gimana? Jelas-jelas lo habis nangis...” ucapnya lagi.
Ia meraih pipiku dengan kedua tangannya, lalu menyeka air mata di sana dengan ibu jarinya.
Mata Reni yang berwarna cokelat sungguh membuat pikiranku tenang. Kami berpandangan sejenak sebelum memutuskan untuk duduk di ranjang.
“Iya... gue ada sedikit masalah Ren, gue baru dipecat sore ini...” jawabku
Saat itu Reni sedang menarik travelbag yang berisi pakaian miliknya ke dalam kamarku.


Beberapa menit setelah itu, aku menghabiskan waktu dengan bercerita pada Reni.
Tentang bagaimana aku menjalani pekerjaan, tentang keluhanku terhadap manager yang sok berkuasa, dan lain-lain. Reni adalah pendengar yang baik seperti halnya Tomi.


Tomi???


Aku teringat kembali tentang dua SMS yang dikirimkan Tomi. Dua SMS itu belum sempat kubaca.
Kuraih handphone yang tergeletak di atas bantal. Dalam hati aku bersyukur, jika saja aku melemparkan handphone ini ke dinding, pastilah handphone ini sudah hancur tak berbentuk.


Kubuka handphone itu dan mendapati dua unread message di sana.
‘HAHAHAHA..... Seru udah ngerjain kamu Nay... Iya aku cuma becanda kok... tapi itu beneran fotoku’
‘Nay... kamu marah ya? Maaf udah bikin kamu takut pake foto editan itu’


‘Brengsek... apa-apaan dia?’ batinku.
Seandainya ia ada disini, maka akan kujambak rambutnya.
Bisa-bisanya pria ini mempermainkan aku seperti itu.


Oke, memang salahku tak berani membaca SMS yang dikirimkan Tomi sejak awal. Jika saja aku segera membacanya, mungkin aku tidak perlu ketakutan setengah mati seperti tadi. Tapi mau bagaimana lagi? Aku memang pada dasarnya penakut. Tidak perlu di takut-takuti seperti itu saja aku sudah was-was jika berjalan di keremangan cahaya.
“Jahat kamu.....” balasku pada Tomi.


“Tringgg...”
‘yailah…. Becanda kok…becanda… Maaf ya Nay, aku gak bermaksud nakut-nakutin. Aku cuma mau menghibur...’


“Siapa itu Nay? Cieee, berapa bulan gak ketemu udah punya pacar ternyata nih?” Reni memasang raut wajah curiga dengan senyum simpul yang terkesan meledek.
“Ihh... apa si, cuma kenalan doang gak lebih” jawabku.


“Kenalan apa kenalan?” tanya Reni lagi. Kali ini, tatapannya semakin menusuk tajam.
“S-Suwer deh, cuma kenalan gak lebih” ucapku lagi. Tapi…. teringat dengan uang lima puluh juta yang ada di dalam rekening, aku berkata “Sebenernya sih ada lebihnya...”


Reni bangkit dan berjalan menuju travelbag besar yang ia bawa ke kontrakanku.
Ketika membuka resleting yang menutup tas itu ia berkata “Tuh kan, ada lebihnya... pasti udah ehem-ehem....”
Reni kini merogohkan tangan kedalam tas itu, sepertinya ia sedang mencari sesuatu.


“Yeeee...... dasar otak mesum” aku mengumpat seraya menimpuk Reni dengan bantal yang tergeletak di sampingku.
“Hahaha.... udah deh, lo ngaku aja” Reni tetap tertawa meledek kendati sebuah bantal baru saja mendarat di wajahnya.


“Gini-gini gue masi perawan, enak aja!!” sebal… ia meragukan aku. Memangnya aku terlihat seperti wanita nakal? Aku menyilangkan tangan di dada seraya memajukan bibirku.
“Mana coba gue liat Nay?” Reni mendekat ke arahku. “Buka celana...” pintanya.


’Ya ampun… gak percaya amat’


Perlahan aku membuka kancing pengait celanaku. Reni yang berlutut di bawah ranjang membantuku melepaskan celana dengan menariknya menggunakan kedua tangannya.


Saat celana yang kukenakan telah terlepas, aku membuka kedua pahaku lebar-lebar agar Reni bisa melihat dengan jelas lipatan vaginaku yang berwarna merah muda dengan bagian sedikit putih di lubangnya.
Aku sama sekali tidak malu melakukan ini. Aku dan Reni memang sangat terbuka walaupun tentang hal super pribadi sekalipun. Bahkan, hubungan persahabatan kami sudah berjalan lebih jauh dari sekedar sahabat.


“Salut gue.... bisa-bisanya lu tahan gak di masukin” kata Reni. Ia menggelengkan kepala seraya terus mengamati selaput dara di lubang vaginaku.


Kala itu aku masih memakai kaus dan mencondongkan tubuhku 45 derajat ke belakang dengan kedua tanganku sebagai tumpuannya. Aku mengerling ke arah selangkanganku dan melihat wajah Reni menyembul di sana. “Ya bisa lah... emang elo, kalo liat kontol langsung gelagapan salah tingkah”


’Hehehe….. sekarang giliran lo yang mati kutu….’


“Halah... Lu kalo di giniin juga gak mungkin nolak...” sebal dengan argumen yang kulontarkan, Reni membenamkan wajahnya di selangkanganku lalu mulai memainkan lidahnya yang bergerak liar.


“Aaaasssh..shit..... Gue belom siap Ren...” aku menengadahkan wajah membiarkan Reni mengoral vaginaku. Jilatan lidah Reni memang nomor wahid. Hanya dia yang pernah melihat dan merasakan vaginaku selama ini.


“Sssstttt.... udah Ren...g-gue aaaaaaaakkkkkkkkkkhhhh.....” tubuhku menegang seketika, entah kenapa jilatan Reni saat ini begitu nikmat mendarat di klitorisku. Mungkin sudah terlalu lama aku merindukan jilatannya, terlebih karena aku sudah tidak pernah bertemu dengan Reni hampir empat bulan lamanya.


“Yahh... nggak seru ahh, baru juga mulai, belom ada satu menit lu udah ngeden” ucap Reni seraya menjilat bibirnya yang dibasahi cairan kewanitaanku.
“Lu terlalu profesional sih... Hehe” jawabku.


“Nyindir nih ceritanya?” Reni bersungut, ia mulai melepaskan busananya. Kemeja bermotif kotak-kotak itu ia lemparkan ke atas ranjang berikut dengan celana jeans yang ia kenakan.
Reni beralih ke travelbag miliknya dan mengambil sebuah dildo vibrator di sana.


’Ohh… dari tadi nyari gituan ternyata…’


“Sekarang bantuin gue Nay... gue jadi kepingin gara-gara ngeliat lo nyembur” ucapnya.
Aku hanya tersenyum sambil memandangi raut wajah Reni yang mesum dari sudut mataku.
Kuraih kait bra berukuran 35C yang ia kenakan, kulepas, lalu kulemparkan ke atas ranjang bersama kemeja serta celananya. Tak lupa, celana dalam hitam yang ia kenakan juga kulucuti dengan mudah, menyisakan tubuh semampai Reni telanjang tanpa busana.


Aku masih dalam posisi duduk saat Reni merapatkan tubuhnya padaku.
Dua buah payudara sekal itu menggantung tepat di depan mataku dengan puting berjarak hanya beberapa senti dari bibir ini.


Aku menjulurkan lidah, berusaha menggapai puting susu berwarna cokelat muda milik Reni.
“Aaakhhh...” Reni melenguh pelan, ia merangkulkan kedua tangannya di bahuku lalu menekan wajahku agar terbenam di payudaranya.


“Aahhh.....Nay....mmmhhh...” Reni mulai meracau, desahan-desahan dengan mudah meluncur dari bibirnya sementara aku masih disibukkan dengan kedua puting menantang yang kuhisap bergantian.
Aku mengambil dildo vibrator yang dibawanya dengan tangan kiriku.
Dengan menekan sebuah tombol kunyalakan alat itu.


“Rrrrrrrttt.....”
Ujung batang replika penis itu bergetar. Tanganku merasakan sensasi getaran yang mulai menjalar. Aku mulai membayangkan, bagaimana rasanya jika benda ini menyeruak ke dalam vaginaku yang masih perawan.


‘Aakkhh.... jangan, aku gak boleh macam-macam’ batinku.


Reni nampak sudah sangat haus akan belaian, mungkinkah ia sudah lama tidak bersetubuh dengan para kliennya? Ahh, mana mungkin. Menurut penuturannya, dalam semalam Reni bisa melayani hingga tiga orang pria hidung belang. Dengan reputasi Reni sebagai penjaja tubuh kelas atas, dalam semalam ia dapat mengantungi uang hingga tiga sampai empat juta rupiah.


“Sluuurpp...sluuurrpp....”
Puting susu Reni memang sangat nikmat, mengacung keras menantang namun tetap lembut ketika berdansa dengan lidahku. Aroma tubuh Reni agak lain dari biasanya, mungkin ia mengganti parfum.


Dildo yang kugenggam dengan tangan kiriku mulai kuarahkan pada selangkangan Reni.
Benda inilah yang selalu membantunya menggapai orgasme saat bermain bersamaku. Yah, Reni adalah seorang bi-sex. Ia pernah bercerita padaku, ketika suatu saat dirinya dipergoki sedang bersenggama dengan seorang klien oleh istri klien tersebut.


Istri klien tersebut bertanya.
“Apa bedanya pelacur macam ini dengan wanita terhormat seperti aku?”
“Mari kutunjukkan nyonya...” jawab Reni singkat.


Ia mulai mencumbu wanita paruh baya itu dengan lidahnya.
Lima menit berselang, istri sang klien sudah meronta ingin dipuaskan. Sementara sang klien sendiri hanya menonton dengan pandangan penuh nafsu saat kedua wanita itu bercumbu seraya mengurut penisnya yang masih tegak berdiri.


~***~


“Nay.......akkkhhhhhh.....” Reni mulai meracau.
Mengingat cerita Reni membuatku lupa bahwa kami sekarang sedang terlibat permainan yang sesungguhnya. Aku mengerling sejenak dan mendapati raut wajah Reni begitu teduh dalam tiap desahan yang meluncur dari bibirnya. Dildo bergetar yang kugenggam kini kugesek-gesekkan ke mulut vagina milik Reni.


“Mau di masukin...??” tanyaku.
“I-iyaaahhh........” Reni mendekap tubuhku erat. Ia menaikkan sedikit pantatnya agar memudahkanku melakukan permintaannya.


“Sleep......”
“AAAAKKHHH.......” Reni memekik saat ujung dildo bergetar itu menyeruak masuk ke dalam vaginanya yang sudah basah. Tidak terlalu sulit, Reni bahkan tidak merasa sakit sama sekali. Mungkin karena vaginanya sudah terbiasa menerima sesuatu. Aku mulai berani untuk menggerakkan dildo itu keluar masuk dengan cepat.


“Ssstt... jangan keras-keras....” ucapku ketika menyadari Reni memekik cukup keras.
Reni hampir saja kehilangan kendali. Ia kini mengatupkan bibir dan matanya rapat-rapat.
Wajahnya benar-benar menyiratkan sebuah kenikmatan yang menjalar di seluruh tubuhnya.


Aku iri... sangat iri.
Di saat lawan mainku bebas menggapai orgasme sedahsyat mungkin, aku hanya bisa menggigit jari dengan orgasme tak seberapa yang ku peroleh dari jilatan lidah Reni.
Mungkin suatu saat, aku akan mempertimbangkan ucapan Reni untuk menjual keperawananku.
Menggadaikan harga diriku dengan kemilau harta yang kubutuhkan. Aku tak akan jadi orang yang munafik selamanya.


“Nayyy....aaakhhh....Nayyy........” Reni mulai memanggil-manggil namaku.
Aku tahu, saat seperti ini adalah saat di mana Reni begitu bernafsu akan diriku. Ia tak akan melepaskanku begitu saja sebelum ia mendapatkan apa yang ia inginkan, dalam hal ini kepuasan.


Dildo itu kugerakkan maju-mundur dengan cepat.
Vagina Reni yang sudah terbiasa menerima hujaman tak asing lagi dengan kondisi seperti ini. Ia terlihat sangat menikmati tiap detik ketika benda bergetar itu menancap dalam di vaginanya.


“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....”
Hampir sampai, racauan Reni sangat khas. Aku bisa mengenali dengan mudah arti dari tiap gumamannya, saat di mana ia bernafsu, saat di mana ia ingin lebih, dan saat di mana ia hampir mendapatkan apa yang ia mau.


Dalam sekali hentakan aku memasukkan dildo itu dalam-dalam.
“AAaaaaaaaakkkhhhhHHHH.....” tubuh Reni menegang dengan cepat. Ia mendekapku erat.
Dapat kurasakan bibirnya yang dingin menempel pada leherku. Di bawah sana, vagina Reni sudah menyemburkan lelehan cairan kenikmatan itu.


Aku sengaja tak mematikan dildo itu dan membiarkannya menancap di sana.
Itulah cara yang disukai Reni untuk menikmati sisa-sisa orgasmenya.
“Fuaaahhhhh....enak banget Nay...” ucapnya santai.
Aku tak habis pikir, bagaimana bisa ia berkata sesantai itu saat ada sebuah benda bergetar hebat di dalam vaginanya?. Reni kemudian merebahkan diri di ranjang, tepat di sebelahku.


“Gila... bisa-bisanya lu rebahan sambil di colok”
“Hihihi.... enak tau Nay... lu mesti cobain kapan-kapan”


Kurenggangkan tubuhku yang sudah berlumuran peluh, lalu kurebahkan tepat di samping Reni.
“Nay.......” ucapnya.
“Hmm... apa cinta...?”


Reni mulai meraba tubuhku dengan sebelah tangan.
“Geli tau.......” ucapku tanpa berusaha menyingkirkan tangannya.
Sesungguhnya aku sangat menikmati sentuhan-sentuhan itu. Seakan mengobati penyesalanku yang tetap mempertahankan kesucian ini.


“Mau nenen Nay.....” Reni merajuk seperti anak kecil.
Tangan yang meraba perutku yang rata kini mulai menyusup di bawah kemeja yang masih kukenakan.
“Ihhhh..... ada-ada aja lu.... isep aja si....” ucapku seraya menyodorkan payudaraku pada wajah Reni.


“Hihihi.... boleh ya....”
Dengan cepat ia menanggalkan kemeja dan braku hingga payudaraku menyembul tepat di hadapannya.
“Iyahh..”


“Sluurpp....” ohh, sapuan lidah itu.
“Mmmhh...” kuluman itu.


Payudaraku kini sudah menjadi santapan Reni.
Nikmat sekali sensasi yang ditimbulkan oleh tiap sapuan lidah yang dilancarkan Reni. She is the real pro.
“Nnnggghhhh...... enak Ren... terus” pintaku.


Reni memang selalu mengerti apa yang kuinginkan.
Ia mulai meraih vaginaku dengan jemarinya.


Reni mulai mengusap lembut.
Perlahan-lahan semakin liar, jari tengahnya menyeruak kecelah lipatan daging merah di bawah sana. Mencari letak tonjolan daging dengan berjuta reseptor rangsangan seksual.


Dahiku mulai berkeringat.
Cumbuan Reni sungguh teramat dahsyat.


Di bawah sana, liang keperawananku mulai berkedut lembut.
Aku melemaskan bahu dan tubuhku, membiarkan seluruh hasratku tertuang pada otot vagina di sana.


Rileks.... nyaman sekali.
Aku memejamkan mata menikmati tiap lecutan listrik statis di otakku. Aku sadar, bahwa aku telah menjadi pecandu berat. Kendati hasratku hanya bisa dipuaskan dalam hubungan sesama jenis, namun aku cukup puas dengan semua ini.


“AAAaaaaaaaakkkhhhhhhhhh............”
Lima menit berselang, aku sudah tak mampu lagi menahan denyutan dinding vaginaku yang semakin kuat.


Cairan orgasme itu menyembur dengan hebat, tubuhku menegang seketika.
Itu adalah permainan paling lama yang kulakukan selama aku mengenal Reni. Biasanya aku tak akan bertahan lebih dari dua menit dalam rengkuhan berjuta rangsangan yang dilancarkannya.


“Nahh... udah impas kan?” tanya Reni.
“Iya.....”


~** 4 **~






“Jadi.... ngomong-ngomong kenapa tiba-tiba lo ke sini Ren?” tanyaku.
Reni masih bertelanjang ria di kamar ini, ia dengan riang bersenandung kala tubuhnya sedang menindih tubuhku.
“Yah.... gue lagi ada masalah” jawabnya seraya terus memainkan kedua payudaraku.


“Lu mah masalah mulu di koleksi...”
“Habis mau gimana lagi? Cowo udah dikoleksi, sepatu udah, tas udah, baju... jangan ditanya kalo yang itu hihihi....” ia tersenyum.
“Sombong....”


“Hihihi.... yang gitu deh, lagi ada masalah sama seseorang...” lanjutnya.
“Dimana? Diskotik?” tanyaku.


Reni mengangguk.
“Masalah besar... gue gak akan balik lagi ke sana...” lanjutnya.
“Lho... trus? Lu mau kerja apa?”
“Gue udah ninggalin dunia itu Nay...” jawab Reni.


“Ohhh bagus deh.... moga-moga lu gak kaya gitu lagi....”
“Nggak akan kok.... gue udah gak akan pernah kerja kaya gitu lagi...”


Syukurlah, aku pikir Reni tak akan pernah mau beralih dari profesinya sebagai penjaja tubuh. Aku cukup miris melihat kehidupan yang ia jalani selama aku mengenal sosok Reni. Akhirnya sekarang ia terbebas dari jerat itu dan menjalani hari-hari baru.


“Udah ahh... gue numpang mandi ya...” ucapnya.
“Iya... sono pake aja...”
Reni bangkit, ia menyambar handuk biru milikku dan bergegas menuju kamar mandi.


“Tringgg...”
Handphoneku kembali berbunyi.


‘Loh... SMS dari Tomi lagi...’ batinku.
Jam di sudut layar handphone telah menunjukkan pukul satu dini hari. Apakah orang ini tidak pernah tidur? Jangan-jangan dia sebangsa kalong atau semacamnya.


‘Nay... sudah baca koran belum?’ tanya Tomi dalam SMS itu.


‘Apa pula maksudnya?’ batinku.
Aku baru ingat bahwa aku membeli koran saat singgah di minimarket tadi malam.
Kantung plastik bergambar logo minimarket itu masih teronggok di atas meja. Roti sobek yang tadi kumakan masih tersisa satu potong.


Aku mengenakan celanaku yang sempat dilepaskan oleh Reni.
Udara malam yang dingin tak boleh membuatku masuk angin, aku harus berjuang mencari pekerjaan baru esok pagi.


Kuraih kantung plastik itu.
Di dalamnya aku mengambil surat kabar yang kubeli.
‘Apa Tomi mau aku baca berita?’ batinku.


Kertas koran berwarna abu-abu itu kubentangkan di hadapanku.
’Halah, pemberitaan soal artis melulu’ gumamku dalam hati saat menemukan berita tentang publik figur yang baru melangsungkan pernikahan di pulau dewata.


Perlahan-lahan aku menyusuri tiap kolom berita utama hingga mataku terbelalak saat memandang ke pojok lembaran kertas abu-abu itu.


‘pihak kepolisian masih mengusut sebuah kasus pembunuhan yang terjadi di diskotik Exotica sebulan yang lalu. Korban yang berjenis kelamin wanita diketahui bernama Reni Anggraeni adalah seorang wanita panggilan yang saat itu sedang menemui seorang klien.


Wanita malang itu dibunuh dengan sadis. Kepalanya terpotong dengan isi otak berceceran, sementara isi perutnya terburai keluar dari luka sayatan pada perutnya yang berlumuran darah.
Pelakunya tak lain adalah sang klien sendiri, yang saat ini masih buron.’


”Crk..crkk..crrk...crrk....
Kedua tanganku yang menggenggam lembaran koran itu bergetar.


’Nggak.... ini gak mungkin...’


Bibirku tiba-tiba ikut gemetar seperti tanganku.
Reni Anggraeni adalah nama lengkap Reni. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?
Baru saja aku melakukan permainan panas bersama dirinya, dan sekarang aku mengetahui bahwa nama Reni Anggraeni disebut sebagai salah satu korban pembunuhan.


“lu gemetar karena kedinginan, atau karena sudah tau?” sebuah suara tiba-tiba membuatku tercekat. Aku terlonjak dari posisi dudukku di tepi ranjang.
Lembaran koran itu masih terbentang di hadapanku, dan aku dapat menerka dengan pasti, asal suara itu berada di balik lembaran koran ini.


Deg.....Deg......Deg.......
Jantungku kembali terpacu.


Rasa dingin yang tiba-tiba menyeruak kini menusuk ke dalam kulitku. Tulang belulangku yang tak dapat mentoleransi hawa dingin itu mulai ngilu. Aku benar-benar takut sekarang. Seluruh bulu kuduk kini berdiri serempak. Kulemparkan surat kabar yang kugenggam ke samping.


Di hadapanku, tepat di ambang pintu kamar mandi, sosok Reni yang tanpa kepala sedang berdiri mematung.


“Hhhhhhhh...........” napasku tercekat saat menyaksikan pemandangan itu.


Bercak-bercak darah menghiasi leher hingga busana yang membalut tubuhnya. Benar-benar mengerikan. Perutnya di sobek hingga aku bisa melihat usus dan organ lainnya menggantung keluar. Seumur hidupku, baru kali ini aku menemukan kengerian yang sesungguhnya. Apapun penyebabnya, kau bisa sebutkan satu persatu. Pocong? Kuntilanak? Vampir? Werewolf? Apapun yang bisa kau temui di film layar lebar. Semua itu tak ada apa-apanya dibanding kengerian yang saat ini kualami.


Napasku tercekat, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Aku hanya menggeleng kecil seraya memandang sosok tubuh Reni dengan mata membelalak ngeri.
“Naya......” ia kembali bersuara. Lirih dan dalam. Nada suara itu bergetar seakan menikam jantungku agar berhenti berdetak.


‘T-tapi bagaimana bisa?’ Batinku mulai bertanya-tanya.
Mungkinkah sesosok arwah dapat berbicara tanpa bantuan mulut.


“R-R-Ren....... R-Ren.....” kata-kata itu seakan tak mau keluar. Lidahku yang saat ini kelu menyembunyikan kata-kata itu dengan baik di dalam tenggorokanku.


“Nay.....”


“Hhhhhh...........” aku mencoba mengambil napas sebisaku. Nyali dalam diriku benar-benar sudah mati.
Tubuhku kini benar-benar kaku. Ketakutan yang teramat sangat sudah menyelubungi diriku.
Suara panggilan kedua tadi terdengar cukup dekat, tidak seperti panggilan pertama.


“Dibawah Nay.....”
Aku sontak menundukkan wajah.


“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA................... ............”


Teriakan itu tak dapat kutahan lagi.
Tepat di depan vaginaku yang terbalut celana jeans, seonggok kepala telah berada di sana, kepala Reni.
Bercak-bercak darah yang menempel membuat seringai yang disuguhkan Reni begitu mengerikan.


Aku meraih handphone yang tergeletak di samping tubuhku dan berusaha merangkak mundur menjauhi kepala itu.


“Nayyy....aaakhhh....Nayyy........” kepala Reni yang teronggok di tepi ranjang mulai memanggil-manggil namaku.
Panggilan itu..... panggilan itu adalah kalimat di mana Reni sangat menginginkan aku.
Aku seketika melompat turun dari ranjang dan berlari ke arah pintu masuk.


“BRAAAAAAK..............”
Kubanting daun pintu dengan keras saat aku keluar dari kamar.


Dengan tubuh gemetar ketakutan, kucoba menggedor kamar Bu Shinta.
“Buu.... bu Shintaaaa.. tolooonnggg.......”
“dokk....dok....dokk.....”


”Clekk.....” Pintu itu membuka sedikit karena gedoranku, daun pintu itu ternyata tidak dikunci.
Aku meraih handle pintu dengan tergesa-gesa dan mendorongnya.
“Bu Shin......” aku kehabisan kata.


Di hadapanku, kamar Bu Shinta tak ada ubahnya seperti panggung cerita horror.
Darah di mana-mana, Bu Shinta beserta anak-anaknya telah mati. Kepala mereka yang terpenggal berjajar rapi di tengah ruangan, sementara tubuh mereka terbaring kaku tak tentu arah.
“N-n-nggak........ ini......” aku tiba-tiba teringat dengan suara gaduh yang sempat ku dengar dari kamar Bu Shinta. Mungkinkah suara itu tercipta saat mereka binasa?


“Nay..... jangan lari......” sebuah bisikan kudengar.
Aku menoleh dan melihat bayangan Reni mulai muncul dari jendela kamarku.
Aku kembali ke lorong, lalu berlari menuju tangga untuk turun ke lantai dasar dan lari meninggalkan rumah susun ini.


“Nay.......” sayup-sayup suara Reni masih memanggilku.


Aku terburu-buru menuruni tangga hingga nyaris terpeleset karena anak tangga semen yang mulai berlumut.


‘L-looohhh.......’ mataku, satu-satunya indera yang bisa kupercaya. Kini tak bisa dipercaya lagi.
Kendati aku sudah berada di bawah tangga, namun aku masih berada di lantai tiga. Lorong itu sangat kukenali.


Aku menoleh ke kanan, ke arah pintu kamarku yang kini terbuka dengan cahaya lampu terpancar dari dalam kamar.
“Nayyy....aaakhhh....Nayyy........” sosok Reni yang mendekap kepalanya di pinggang muncul perlahan.


“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHH......... .” aku berteriak sejadi-jadinya, berusaha membangunkan orang-orang yang telah terlelap dalam kantuk.
Aku segera menghambur turun kembali menuruni tangga.


“Tringgg...”
Handphone yang kugenggam kembali berbunyi, nyaris saja aku terperanjat oleh benda bergetar di dalam genggamanku.


Aku tak punya waktu untuk melihat SMS dari siapa itu. aku terus berlari menuruni anak tangga itu lagi.
“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....” suara Reni terdengar semakin dekat. Desahan itu, desahan saat Reni benar-benar hampir menggapai apa yang diinginkannya.


Entah sejak kapan air mataku mengalir membasahi pipi, bibirku bergetar hebat.
Rasa takut yang menyelubungi pikiranku, kini menjadi pemacu adrenalin yang membuatku terus berlari.


Aku kini sudah berada di bawah anak tangga.
Namun sama seperti tadi, aku masih tetap berada di lantai yang sama.


‘Adaa apaaaaaa iniiiiiii.........’ batinku meronta.
Aku makin kehabisan akal. Aku tak mungkin terus berlari berputar-putar.
Aku harus mencari akal.


“Nay..........” suara Reni semakin dekat.
Degup jantung yang kurasakan, seakan ingin membunuh diriku.


“Ting.. tring....ting...ting.. Tring..” lagu Canon in piano mulai melantun dari handphoneku yang bergetar.
Seseorang sedang menelepon ke nomorku.


Kupandangi sejenak layar handphone itu, nama Tomi terpampang di sana.
“Ha-halo...” aku berdiri terpaku menjawab telepon dari Tomi sambil menoleh ke kiri dan ke kanan.
‘Nay..... jangan banyak berpikir... kamu harus naik ke lantai atas...’ ucap Tomi di ujung saluran telepon sana.


“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....” suara Reni terdengar kembali.
Kali ini sungguh dekat. Dadaku masih naik turun menggapai udara saat aku kembali menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara itu. Handphoneku masih menempel lekat-lekat di telinga.


‘Nayyyyyy............. lariiiiii.............’ Tomi berteriak.
Saat itu tiba-tiba kurasakan rasa sakit yang teramat sangat dari pergelangan kakiku.
“AAKKHH...”


Sontak aku mengibaskan kaki dan memandang ke sana. “KYAAAAAAAAAAAAAA...............” aku kembali menjerit.
Reni, lebih tepatnya kepala Reni sedang menggigit pergelangan kakiku.
Matanya yang merah menyala benar-benar menyiratkan hasrat untuk membunuh.


Aku meronta, kakiku kukibaskan dengan kuat hingga gigitan kepala Reni terlepas.
Kepala itu sempat terlontar membentur dinding sebelum menggelinding ke arah sepasang kaki yang berdiri kaku.


Tubuh Reni yang tanpa kepala bersimbah darah berdiri di sana.
“Nay.... lo kok jahat sama gue....” Reni berkata dengan sorot mata benci dari kepalanya yang tergeletak di lantai.


“Jangan lari Nayy.... jangan lari.........” Reni berbisik
Saat itu, seluruh pintu yang berada di lorong tiba-tiba terbuka dan menimbulkan suara gaduh.
”BRAKK....BRAKKK...BRAK........”
Dari sana, muncul puluhan sosok yang menenteng kepalanya masing-masing.
“Aaaarrrrkkk....kkkrrrkkkkk..... Naaaya.....” suara parau kini bersahutan memanggil namaku.
Raut wajah dari kepala-kepala yang terpenggal itu sangat kukenali. Mereka adalah tetanggaku yang sama-sama tinggal di rumah susun ini. Di antara mereka, aku bisa melihat Bu Shinta beserta anak-anaknya.


“Hiks...hikss.... please... jangan sakitin gue Ren.... p-please.....” air mata ini semakin deras mengalir.
Dadaku sesak, napasku tercekat, kakiku gemetar, sungguh aku tidak ingin mati. Tidak sekarang, tidak di sini.


Aku tak mau membuang waktu lagi. Segera kunaiki tangga untuk kabur dari kejaran Reni.
Aku masih tak mengerti apa sebenarnya yang terjadi pada diriku. Jika benar Reni telah meninggal, mengapa ia menghantuiku seperti ini. Apa sebenarnya salahku padanya, seingatku aku tidak pernah berlaku kasar ataupun memulai konflik dengannya.


“Ggaaaarrrrrhhhh......” puluhan sosok dengan kepala terpenggal itu masih mengejarku.
’Ohh tuhan, dosa apa yang telah kulakukan.’ batinku di sela isak tangis.


Langkah kakiku berderap menaiki tangga semen berlumut itu.
Lututku mulai ngilu, seakan tak sanggup lagi melangkah walau hanya sekali. Kuraih pegangan tangga yang terbuat dari pipa sebesar lengan untuk menyeimbangkan tubuh.


Kepalaku kini menengadah keatas untuk memandang rangkaian anak tangga yang akan kulewati.
“Nay..........” Reni kembali memanggil namaku. “Tunggu aku Nay...........”
Aku tak peduli lagi, aku tak ingin percaya lagi. Mulai detik ini, aku tak akan menaruh kepercayaan pada siapapun. Teman, sahabat, kekasih, bahkan keluarga, semuanya hanya menyimpan kebohongan.


Anehnya, ketika aku menaiki tangga.
Aku bisa berpindah dari lantai tiga ke lantai empat. Aku tak lagi terkurung di sana dan akhirnya menjauh.


“Hihihihihihihi...........” tawa itu begitu mengerikan.
Melengking tinggi seperti suara derit pintu yang berulang-ulang. Reni masih mengejarku.


Sesaat aku menoleh ke bawah tangga sebelum melanjutkan naik ke atap gedung.
Kepala Reni yang sedang di dekap oleh kedua tangannya kini memandang ke atas seraya bibirnya masih mengeluarkan tawa mengerikan.


’Tuhan... biarkan aku hidup.... pleaseee....’
Aku tak dapat lagi menahan racauan dalam hati. Sorot mata Reni benar-benar nampak bersungguh-sungguh. Mungkinkah ia yang menjadi dalang kematian para penghuni rumah susun?


“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA... aaaaaaaaaaaaaaaaaaa.........” saat melewati anak tangga dan menginjakkan kaki di lantai lima, aku kembali menjerit kencang saat beberapa tangan kini melingkar di tubuhku.


“Lepaaaaaaaaassss.... LEPAS...” hardikku.
Bau busuk yang menyegat kini tercium semakin menusuk. Aku menoleh ke balik punggung dan menemukan setidaknya tiga sosok tubuh tanpa kepala berada di sana. Tangan-tangan berlumuran darah itu mencengkeram tubuhku


Aku meronta sekuat tenaga.
Darah yang melumuri tubuh mereka membuat cengkeraman kuat itu terasa licin. Dengan sebuah kibasan kuat, aku melepaskan diri dan kembali berlari.


Aku tak bisa lagi berdiam, atap gedung sudah dekat.
Aku tidak tahu apakah di atas sana aku akan selamat, namun aku tak punya pilihan lain. Setiap kali aku mencoba turun ke lantai bawah, maka aku akan kembali ke lantai tiga.


”Clank......”
Kubuka pengait pintu besi yang menghalangi langkahku dengan kasar.


Entah apa maksudnya, namun sepertinya Reni ingin menyiksaku dalam ketakutan.
Karena, jika ia memang berniat membunuhku, maka ia tak akan pernah membiarkanku lolos dari kamar kontrakan tempat kami bercumbu.


Aku menghambur ke atap gedung.
Di atas sana, atap gedung itu adalah tempat terbuka dengan lantai beton setebal tiga puluh sentimeter.
Tempat ini jarang sekali didatangi siapa pun. Baik itu penghuni rumah susun atau bukan, atap gedung ini selalu dihindari karena sangat panas di siang hari, dan sangat mengerikan pada malam hari.


Malam ini, suasana jauh lebih mengerikan.
Kendati Jakarta selalu disebut sebagai kota yang tidak pernah tidur, namun saat ini Jakarta seperti kota mati. Tak terdengar suara klakson kendaraan bermotor di kejauhan, tak ada canda gurau para pemabuk di ujung jalan, yang ada hanya langit kelam sepi, sunyi.


Bulan purnama di atas sana bersinar begitu terang.
Entah apakah semua ini karena aku terlalu banyak melihat darah atau memang karena fenomena alam langka. Bulan itu bersinar kemerahan.


“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....” suara Reni terdengar kembali.


Aku menoleh seketika ke arah pintu masuk atap.
Reni dengan kepalanya yang didekap erat di dada telah berdiri di sana.


“Akhirnya..........” Reni berkata dengan nada puas.

~** 5 **~





Sosok Reni yang berdiri angkuh di dekat pintu masuk atap, kini memandangku dengan tajam.
Ia menyeringai begitu lebar. Seakan puas dengan keadaanku yang putus asa dan gemetar.


Aku kini berdiri cukup jauh dari sosok Reni. Mungkin kira-kira sepuluh meter jauhnya.
“Tringgg...”
Sebuah SMS kembali masuk ke layar handphoneku. SMS dari Tomi.
‘Jangan lihat matanya Nay....’


Entah apakah aku begitu bodoh atau lugu. Ketika aku membaca SMS itu, sontak aku menoleh ke arah Reni. Perasaan campur aduk antara takut, khawatir, ngeri, dan ingin tahu, kini berperang di dalam pikiranku.


“Hhhhhhhhhhh.......” leherku bagai tercekik, aku tak bisa mengambil napas saat tubuhku tiba-tiba tersentak kaget. Reni kini tepat berada di hadapanku. Tubuhnya melayang tak berpijakan. Tubuhku masih gemetar. Aku tak dapat bernapas walau hanya untuk bertahan hidup.


Jarak antara aku dan Reni saat ini tidak sampai satu meter.
Tubuhnya yang tanpa kepala melayang-layang di udara, sementara kepalanya sendiri kini ia genggam dengan kedua tangannya. Rambutnya yang hitam menjuntai kini telihat laksana tirai gelap yang akan mengakhiri panggung sandiwara dalam hidupku.


Reni mengulurkan kepala dalam genggaman tangannya ke hadapan wajahku.
“Nay.............” ucapnya. Saat itulah aku berusaha menutup mata semampuku. Namun, mata Reni yang merah menyala seakan memancing rasa ingin tahu dalam hati ini. Aku terbelalak ngeri saat cahaya kemerahan mulai berpendar menyilaukan.


“AAAAAAARRRRGHHHH....” aku memekik saat pandangan mata kami bertemu. Mataku pedih, sakit sekali rasanya.


Saat itu, bagai sebuah pedang mengoyak tubuhku.
Sakit sekali, bagai tercabik-cabik, mataku seakan terbakar. Aku mengejan kuat, bibirku yang bergetar kini terkatup rapat. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa sakit ini.


Pandangan mataku mulai kabur. Semuanya menghitam. Aku masih mengerang menahan sakit dengan kedua telapak tangan kutangkupkan di wajahku.
Darah di seluruh kepalaku seakan mengalir turun. Wajahku kini pucat, nyaris bisa disamakan dengan orang mati.


Reni mengangkat sebelah tangannya.
Telapak tangan itu tepat ia arahkan ke dadaku.


”Wuuuuuuuuuufffff...........”
Tanpa sebuah pukulan atau sentuhan, Reni membuat tubuhku terlempar ke belakang.
”Zraaakkk.....gluduk...gluduk....” aku terpental cukup jauh.
Siku dan lututku kini terasa sakit, perih karena luka lecet akibat berbenturan dengan lantai atap yang kasar.


“Nnngghhh.....” aku mengerang.
Aku berusaha bangkit setelah jatuh bergulung-gulung beberapa meter.
Pandangan mataku kembali. Perlahan aku bisa melihat semuanya dengan jelas.
Sempat aku berpikir bahwa ajalku sudah akan datang menjemput, namun aku baik-baik saja. Hanya beberapa luka ringan yang kuderita di siku dan lututku.


Kupandangi telapak tanganku sejenak, seluruhnya masih normal. Aku kini dapat bergerak bebas.
Hanya satu yang berbeda. Cahaya bulan merah itu sudah tidak nampak lagi. Yang menerangi tempatku bersimpuh sekarang adalah cahaya perak yang temaram.


Aku menoleh kembali ke arah Reni.
Di sana sosok Reni sudah berubah menjadi Reni yang kukenal. Kepalanya tak lagi terpisah, tubuhnya tak lagi berlumuran darah. Di sana, Reni berdiri dengan gaun putih transparan seraya mencekik leher seseorang yang berusaha meronta untuk melepaskan diri.


“Lepasin dasar pelacur.......” hardik sosok yang dicekik oleh Reni.
“Gak akan gue biarin lu bertindak semau lu Tom.... udah cukup apa yang lu lakuin ke gue” ucap Reni.


’T-Tom????’


Pikiranku melayang jauh. Lututku masih terlalu lemas untuk berdiri.
Aku ingat betul raut wajah orang itu. Dia adalah Tomi, teman baruku.
Aku tak akan pernah melupakan wajah yang telah membuatku ketakutan setengah mati.


Tapi sebenarnya ada apa ini? Bagaimana Tomi bisa sampai di sini? Dari mana ia datang? Bagaimana bisa Reni mengenal sosoknya.


“Nay........ lu nggak apa-apa kan?” tanya sosok Reni. Ia kini memandang lurus ke arahku dengan sebuah senyum tulus. Senyum yang telah lama kukenal. Senyum itulah yang selalu berhasil membuat kegundahanku angkat kaki.


“R-Renn.....?” tanyaku ragu-ragu. Tanpa sadar air mataku kembali mengalir.
Aku sungguh kebingungan mencerna seluruh kejadian ini. Beberapa saat yang lalu, Reni sedang memburuku. Ia ingin membunuhku sama seperti apa yang ia lakukan pada Bu Shinta dan anak-anaknya.
Tapi kini senyum tulusnya sungguh tak berbohong. Aku kenal betul senyum itu.


Reni berpaling dariku.
Matanya yang teduh senada dengan senyum tulus itu berubah tajam mengerikan. Bibir Reni menyeringai lebar hingga nyaris menyentuh kedua telinganya. Ia kini menatap Tomi yang sedang meronta merasakan cekikan pada lehernya. Tomi menggenggam pergelangan tangan Reni kuat-kuat.


“Nay.... to...long...” suara Tomi terdengar begitu pelan dan terbata-bata. Tenaganya mulai habis.
Kakinya yang sempat meronta-ronta kini mulai diam perlahan.


“Bagaimana Tom.... sebentar lagi lo bakal kehilangan kekuatan, lo akan terbakar di neraka. Di sana lo bisa menyesali tindakan lo yang gak berperikemanusiaan” ucap Reni.


“Ren....JANGAAANN.....” aku memekik.
Seketika itu Reni menoleh, masih dengan tatapan tajam seperti ia menatap Tomi.
“Apa maksud lo Nay?”
“Apa yang lo lakuin? Tomi itu temen gue... dia yang udah bantu gue... dia yang.....”


“DIA BANTU LO KARENA MAU KEPERAWANAN LO...” suara Reni meninggi.
Aku tersentak kaget. Belum pernah selama aku mengenal Reni, ia membentakku. Reni adalah sahabat yang baik, tutur katanya lembut, jika ia membentakku demikian keras, pastilah ada alasannya.
“Dia sengaja bikin lo dipecat Nay.... dengan begitu dia bisa bikin lo berhutang sama dia”


“A-apa maksud lo Ren? Apa maksud semua ini.... “ aku mulai frustasi.
Di sana, kulihat raut wajah Reni berubah gundah.
Reni melambaikan tangannya. Mengisyaratkan agar aku mendekati mereka.


Rasa takut yang sempat menguasaiku perlahan hilang. Kendati aku belum bisa mempercayai Reni sepenuhnya, setidaknya aku tahu dari sorot matanya bahwa Reni tidak akan menyakitiku.


“Bajingan ini.... dia yang udah ngebunuh gue Nay, lo harus tau....” ucap Reni. “gue udah balas dendam... gue bunuh dia dengan cara serupa. Tapi sama kayak gue, dia gentayangan. Bedanya, kalo gue udah sepenuhnya jadi roh karena dibunuh manusia, dia masih setengah roh karena dibunuh oleh roh” lanjutnya.


“Dia punya satu tujuan sebelum benar-benar mati.... dia mau renggut keperawanan lo Nay”


Deg...Deg...Deg...
Jantungku berdebar cepat. Pandangan mata ingin tahu yang kutunjukkan kini berubah khawatir.
Bukan karena takut, namun karena mendengar kata-kata Reni yang baru saja ia ucapkan.


Sontak aku menyilangkan tangan di dada menutupi kedua payudaraku dan bergerak mundur satu langkah.
Mungkinkah Tomi yang selama ini menjadi teman ngobrolku bukanlah manusia?
“T-tapi.... dia udah nolong gue Ren...” aku menundukkan wajahku.


Kuakui, aku menyesal telah menerima bantuan Tomi. Jika benar bahwa dirinya yang telah membunuh Reni, maka aku tak akan pernah memaafkannya. Namun di lain sisi, aku kini berhutang budi kepadanya.
Aku bimbang, haruskah aku membiarkan Tomi dilenyapkan. Aku tidak tega.


“Jangan anggap diri lo hutang budi sama dia Nay... dia yang udah jadi penyebab lo di pecat. Selama ini dia terus nempel di badan lo, nikmatin aroma tubuh lo.” Lanjut Reni. “sekarang dia gak akan bertahan lama” Reni kembali memandang wajah Tomi yang menderita dalam cekikannya.


“Ren....” ucapku lirih.
Reni kembali menoleh ke arahku.
“Kenapa dia ngebunuh lo?”


Entah apakah aku menanyakan hal itu dengan nada yang salah. Reni kini menundukkan wajahnya.


~***~


POV Reni
********


“Accchhhh... terus Tom.....” aku melenguh ketika penis Tomi dengan brutal dihujamkan ke dalam liang vaginaku. Aku dan Tomi, kini sedang bersetubuh dalam posisi women on top.


Payudaraku yang berayun liar tak dapat berlama-lama terbebas. Tomi segera meraih dan mengulum puting susuku seperti seorang musafir yang tersesat di padang gurun gersang.


“Mhhhh... toket lo bener-bener mantep Ren...” ucap Tomi dalam pergumulan kami.
“Nggghhhh.....aahhh...ahhhh.....” aku tak menyahuti racauannya. Tubuhku kini bergerak naik turun dengan sendirinya, kendati aku sedang berlakon sebagai sang pelayan, namun aku sangat menikmati persetubuhan kami.


Sex adalah sumber kehidupanku. Dari sanalah aku menggantungkan hidup dan mencari nafkah.
Tomi adalah salah satu dari banyak klienku yang rata-rata adalah pengusaha kelas atas. Umurnya belum menginjak kepala tiga. Bisa dibilang Tomi adalah pemuda yang sedang ranum-ranumnya.


“Mmmm..sslurpp..mmmhhh..” Tomi menarik tubuhku merebah, lalu melumat bibirku. Ohh, ia sangat haus akan kenikmatan.
Disela gerakan pinggulku yang masih intens bergerak naik turun, aku memainkan lidahku di dalam rongga mulut Tomi.


Tomi memang pemuda tampan dengan hasrat sex yang selalu meluap-luap.
Kendati ia memiliki seorang kekasih, namun Tomi rutin menggunakan jasaku seminggu dua kali.
‘Cewe gua memeknya nggak seenak lo Ren’ begitu ucapnya.


“Mmmmhh...... mmmmhh....” aku mendesah, meresapi kenikmatan saat rongga vaginaku terisi penuh oleh penisnya yang mengacung tegak.


”Slep....Slep....Slep.....”
Dengan kedua tangannya, Tomi meraih bongkahan pantatku dan sesekali menamparnya.
”Splakk....Splakkk....” ohh, aku suka diperlakukan seperti itu. Tiap tamparan pada bokongku membuat kulit di sana memerah. Perih, namun sebanding dengan derajat kenikmatan yang kian meninggi.


“Ohhhh..... gila.... emang memek seorang pro....aaaahhhhh....“ racauan kotor, dan terkadang makian kerap kudengar dilantunkan oleh Tomi. “Pereeek... anjing, enak banget memek lo Ren.....”


“Hhhhggghh.... Oohhhh, i-yaahh.... gue pelacur... gue budak sex lo Tom.... Ahhh...Ahhh....”
Hujaman demi hujaman membuat vaginaku kian berkedut. Cairan licin di dalam rongga itu sudah cukup banyak untuk membantu Tomi mempercepat gerakannya.


Tepat di hadapan wajahku, kulihat Tomi tersenyum senang.
Hidung kami yang mancung kini beradu saat kami saling menjulurkan lidah. Daging tak bertulang dengan liur membasahinya, masing-masing lidah kami kini saling bertaut.
“Sluurppp....Sluurpppp” aku suka, aku sungguh tergila-gila mengulum lidah pasangan mainku. Rasanya, sensasi basahnya, oohh.


”Plok...plokkk...plookk...ploookk...”
Tusukan penis yang dilancarkan Tomi semakin brutal. Ia kini mencengkeram pinggangku untuk menahan tubuh ini tetap diam. Sementara itu, ia menggerakkan tubuhnya naik turun dengan cepat sehingga penis sepanjang 17cm itu melesak dalam menerobos mulut rahimku.


Jujur, agak sakit rasanya jika ia menusukkan penis hingga sedalam itu.
Aku harus mengakhiri permainan ini sebelum vaginaku mengalami cidera.


“Akkkhhh...Akkkhhh........ enak banget kontol lo Tom...Akkkkhhhh...terus....”
Kalimat itu bukan kukatakan karena kenikmatan yang kurasa. Kalimat itu adalah jurus andalanku. Aku kerap mengucapkannya jika sudah bosan dengan permainan yang membuatku lelah.


“Nnnngghhh...aaaaaahhhhhhhhhh...aaaAAAhhhhHHHHH... ” tubuh Tomi menegang.
Penisnya berdenyut-denyut di dalam vaginaku. Tak lama setelahnya, sperma hangat itu menyembur membasahi dinding rahimku.


“Ohhhh...shit.. gua kena lu kibulin lagi” ucap Tomi.
“Hihihi... lagian lama banget sih, gue udah capek tau” ucapku beralasan.
Sebagai seorang pelayan, memuaskan klien adalah tanggung jawabku. Aku tidak bisa mengatakan sejujurnya bahwa vaginaku terasa cukup sakit saat ia menghujamkan penisnya sedemikian dalam.


Ya, itu bukanlah pertama kali aku melakukannya pada Tomi. Hasrat seksualnya yang menggebu telah kumanfaatkan dengan baik. Jika aku diam tak bersuara, permainan kami bisa berlangsung hingga tiga jam lamanya. Namun dengan sedikit racauan nakal, aku mampu membuat Tomi tumbang seketika.


“Ahhh.... long time kali ini mantep.....” ucap Tomi. Ia berbaring di ranjang tempat kami melakukan perzinahan, sementara tangan kanannya kini sedang menggapai laci meja untuk mengambil sesuatu.
Seperti biasa, setelah Tomi puas dengan pelayananku, ia memberikan sebuah amplop cokelat tebal berisi uang. Aku terbiasa tidak menghitungnya, begitu mengintip ada lima bundel uang di sana, aku segera memasukkannya ke dalam tas.


“Thank you hon.... kalo butuh service atau ganti oli, lo tau harus hubungin siapa” ucapku sambil melempar sebuah senyum nakal pada Tomi. Pakaian-pakaianku masih berserakan di lantai. Dengan tubuh bugil tanpa busana, aku memungut pakaian itu satu persatu dan mengenakannya kembali.


“Cling...”
Saat itulah sebuah SMS yang mengawali tragedi ini masuk ke dalam handphoneku.
Aku meraih handphone dan membuka isi SMS itu. Tanpa kusadari, Tomi sudah melilitkan tangannya di pinggangku.


“Siapa itu Ren??” tanya Tomi saat melihat fotoku berdua dengan Naya yang kupajang sebagai wallpaper.
“Ohh... ini Naya, sahabat gue” jawabku
“Wow... berapa DC-nya?”


Mendengar perkataan Tomi yang merendahkan Naya, aku segera melepaskan rangkulan Tomi.
“Dia bukan cewe murahan kayak gue yang mau tidur sama semua cowo... dia masih perawan” ucapku ketus. Kupandangi wajah Tomi dengan sorot mata tegas, tanda bahwa aku tidak menyukai ucapannya tadi.
“Yailah... begitu aja marah Ren. Gue berani bayar mahal kok kalo dia emang masih virgin. Lagian kan belom tentu dia nggak mau, emang lo udah nanya sama dia?”


“Sorry Tom... buat yang itu gue gak bisa bantu...” aku melenggang pergi menuju pintu masuk kamar hotel.
“Oh ya..?? coba kita lihat dulu ya.... hmmm... di mana benda itu” gumam Tomi. Ia sepertinya sedang mencari-cari sesuatu.


“Ahh.... ini dia” kini selembar buku cek sudah berada di genggaman tangan Tomi.
Ia mengambil sebuah pena lalu mulai menulis di atas selembar cek, dan merobeknya sebelum diberikan kepadaku.


“Ini dua puluh lima juta buat lo, kalo lo bisa ngeyakinin dia buat tidur sama gua...” ucap Tomi seraya menyodorkan cek itu kepadaku “dan bilang sama temen lo, gua bakal beli kesucian dia seharga lima puluh juta”


Deg...Deg...Deg...
Jantungku berdebar kencang, mataku membelalak kaget. Bukan karena menerima cek pemberian Tomi, namun karena mendengar nominal yang bersedia Tomi bayarkan untuk menikmati tubuh perawan Naya. Langkahku yang tadinya mantap, kini terhenti tepat sebelum tanganku meraih handle pintu.


“Gimana Ren? Lo tau bener gimana gua.... gua selalu dapetin apa yang gua mau”
Aku menoleh ke belakang dan memandang raut wajah Tomi yang tersenyum sinis.


’Naya..... gimana keadaan dia sekarang ya?’ batinku.
Pertanyaan itu sangat beralasan. Ibunda Naya baru saja meninggal satu bulan lalu. Naya pastilah sangat membutuhkan uang saat ini.


“oke.. gue coba” jawabku.


Sepulangnya aku dari sana, aku segera menghubungi Naya.
Aku tau, kemungkinan besar Naya akan menolak. Namun sejak awal niatku baik. Aku ingin meringankan bebannya saat ini. Hidup seorang diri di tengah ibukota Jakarta bukanlah hal mudah. Terlebih sejak ibunya meninggal. Kudengar tabungannya sudah habis untuk mengurus prosesi pemakaman.


Namun ketika aku meneleponnya, Naya menolak dengan halus.
Aku tau itu, sangat tau. Naya di didik dengan baik oleh ibunya yang memiliki pandangan agama yang kolot. Karenanya, Naya menjadi pribadi yang santun dan taat pada ajaran agamanya. Ia tak pernah menyentuh minuman keras atau hal-hal sejenis.


Dua hari berselang, aku segera mengabarkan penolakan itu kepada Tomi.
Kami membuat janji bertemu di diskotik Exotica. Tomi sudah menyewa sebuah kamar untuk berbincang denganku. Di sanalah Tomi marah besar.


”Plaaakkk.... ia menamparku


“TOLOL AMAT SIH LO..... NGEBUJUK AJA GAK BISA” hardiknya.
Aku yang kala itu jatuh terjerembab di lantai tidak dapat melawan Tomi saat ia mulai menganiayaku.
Aku dipukul, ditendang, diinjak, ditampar, dijambak, dan dijedotkan ke dinding.


“Dasar perek gak ada gunanya lo... Pelacur rendahan....”


Sakit...
Amat sangat sakit. Tubuhku yang menjadi bulan-bulanan kini terasa bagai sebuah telur rapuh yang diinjak. Aku kini terkulai lemas di lantai kamar itu dengan darah menetes dari luka di kepalaku.
Saat itu Tomi berjalan meninggalkanku sejenak. Membiarkanku tenggelam dalam tangis penyesalan karena menerima tawarannya.


”Buuggg....” Tomi kembali menendang tubuhku
“Bangun lo perek......”


Aku tak mampu menjerit, bahkan saat Tomi tiba-tiba menyabetkan sesuatu yang tajam hingga merobek perutku.
“Aaa..akk.................” sakit sekali rasanya, aku nyaris tak mampu menjerit karena kaget dengan rasa sakit yang datang begitu cepat.


Tak puas merobek perutku, kini Tomi meraih rambutku yang tergerai.
“AAAAKKKHHHHHH...... a-ampun Tom.... Am-punnn...” aku mencoba meronta, namun darah yang terus mengucur dari luka di perutku membuat kalimat itu terputus-putus. Aku takut... sangat takut, aku tidak bisa membayangkan jika sampai terbunuh di tempat ini.
Aku mencoba memohon saat Tomi mulai menjambak rambutku hingga kepalaku menengadah memandang ke arah langit-langit.


”Sreeeeeeetttt..........”


“Oooorrrkkkkkk....kkrrrrrookkkk......” suara jeritanku kini terdengar parau.
Tiba-tiba, kurasakan rasa sakit yang teramat sangat dari bagian leherku diikuti oleh suara keras seperti kayu dipatahkan. Rasanya, jauh lebih menyakitkan dibanding luka sayatan pada perutku.
Tubuhku tak dapat kurasakan lagi. Pandangan mataku mulai gelap, yang dapat kuingat pada detik-detik terakhir itu adalah darah yang memancar deras entah dari mana.


Detik selanjutnya Tomi melemparkan kepalaku menjauh. Pandangan mataku yang mulai gelap masih bisa menangkap sedikit bayangan saat kepalaku berputar dan membentur lantai.
Di sana, Tomi berdiri dengan sebuah golok besar tergenggam di tangannya. Tepat di sisi kaki kirinya, tubuhku yang tanpa kepala tergeletak dengan leher terpotong yang menyemburkan darah.


Dengan santai, Tomi berjalan menuju tubuhku yang tergeletak tanpa kepala dan menarik keluar isi perutku. Kejam, sungguh sebuah perlakuan yang hanya pantas dilakukan oleh binatang.


Senyum puas dari seorang iblis tergambar sempurna di raut wajahnya. Tomi ini berjalan menuju tas milikku dan meraih handphone di dalam sana.
Ia tersenyum puas saat mendapati nomor handphone Naya ada disana.
Dengan raut wajah penuh kekejaman, Tomi kembali berjalan kearah kepalaku dan menyabetkan goloknya untuk terakhir kali.


Pandangan mataku semakin gelap, sepertinya sel-sel syaraf yang menopang kesadaranku mulai tidak berfungsi.
Harapanku di saat-saat terakhir, ada dua.
Aku ingin membalas dendam dan ingin melindungi keperawanan Naya dari Tomi.


***


Meninggal secara tak wajar, jiwaku tak bisa pergi ke nirwana.
Keberadaanku masih terjaga. Kendati tanpa raga sejati, aku akan tetap melampiaskan dendamku pada Tomi dan sekaligus melindungi Naya.


Setelah beberapa hari berlalu, Tomi belum juga bisa melacak di mana Naya tinggal.
Kumanfaatkan kesempatan itu untuk membalaskan dendamku. Kekuatan yang telah aku kumpulkan harusnya sudah cukup.
Aku akan melindungi Naya..... Aku harus melindungi Naya……


~** 5 **~





POV Reni......



“J-jangan...... A-ampunn.... Ren...Ampun...” begitulah racauan yang keluar dari mulut Tomi ketika aku menampakkan diri di hadapannya. Saat itu Tomi sedang ada di rumahnya yang megah, sendirian. Ia baru saja melakukan hubungan sex dengan kekasihnya beberapa jam lalu.


“Ampun?? Hi..hi..hi..”
Aku menyuguhkan sebuah pemandangan sama persis dengan keadaan mayatku saat Tomi membunuhku.


“Lepas...Lepaaaaassss...AAAAaaaaakkhhhh....” Tomi meronta-ronta saat aku melemparkan kepalaku ke pangkuannya. Ia tergopoh-gopoh merangkak mundur saat berusaha menjauh.
“Akkkhhh...Akkkhhh........ enak banget kontol lo Tom...Akkkkhhhh...terus....” ucapku.


Wajahnya pucat pasi.
Aku yakin sekali ia hafal dengan kalimat itu. keringat dingin mulai terlihat membasahi leher dan dahinya.
Jerit putus asa dan rajukan memohon itu membuatku semakin bersemangat.


Pembalasan bagiku harus selalu lebih kejam.
Sebelum membunuhnya, aku ingin bermain-main dengan rasa takutnya.
Aku melompat maju ke arah Tomi. Dengan jari-jari tangan berkuku tajam, kulucuti seluruh pakaian yang menempel di tubuhnya.


”Breeekk....breeekkk...”


“UUAAAAHHH......AAAAAKKKHHH.....AAAKKKKHHH”
Ia meronta, memekik, menjerit, dan memohon kepadaku. Tubuhnya kini penuh dengan luka sayatan karena bercengkerama dengan jemariku yang berkuku tajam seperti serigala.


“Mmmmhhh.... belum Tom.... Belum” aku kini membelalakkan mata lebar lebar dan menatapnya dengan tajam. Dengan sekejap tatapan mata, kubuat tubuhnya kaku tak bergerak. Ia kini terbaring kaku tak berdaya. Menunggu, saat dimana ajal akan menjemputnya dengan kejam.


“Tom.... Mmmmhhh..... gue kangen sama kontol lo” ucap kepalaku yang kuletakkan di atas dada Tomi. Bibir Tomi bergetar hebat, air mata mulai menetes dari sudut matanya hingga mengalir ke telinganya.


Kini aku menampakkan tubuhku yang tanpa busana degan leher yang terpotong bersimbah darah. Aku menindihnya, menyebarkan rasa takut ke seluruh tubuhnya.
“lo suka ini kan Tom..... Hmmmmhhh??” kusodorkan puting susuku ke arah bibirnya yang mengatup.


Ia meronta, berusaha menghindar dari puting susuku yang berlumuran darah.
Namun bukan Reni namaku jika tak mampu memaksanya. Dengan sebuah jentikan jari, sebuah asbak yang tergeletak di atas meja kulesatkan ke arah dahinya.


”Duaggg......”


“AA- Aaaa-aaaakkhh..” Tomi memekik spontan saat luka di dahinya mulai berdarah. Saat itulah mulutnya terbuka lebar dan kujejali dengan puting susuku.


“MmmmmhhhHH.... ayo hisap Tom... gigit.... bukanya lo selalu suka sama toket gue?”
Puas sekali rasanya aku menyiksa batin Tomi. Ia kini begitu ketakutan hingga kurasakan penisnya menyemburkan air kencing. Hahaha, ia ngompol seperti bocah.


“Ihhh... kok udah nyemprot Tom... gue belom apa-apa nih.........” kepalaku di atas dadanya tersenyum sinis.
Dari puting susuku kini kubuat aliran darah yang terus mengucur deras.
“Hoookkhh...ohhhookkkhh...uudaaaa..oohhookk ampun....” Tomi meronta, rasa takutnya kini memuncak. Aliran darah yang mengucur deras itu membasahi wajahnya dan menyulitkan ia bernapas.


“Minum Tom.... ayo.... jangan malu-malu.....” kepalaku kini kupindahkan, dan kuletakkan di atas selangkangan Tomi, tepat di depan penisnya yang masih terkulai lemas.


Perlahan kepalaku mulai menjilat-jilat testisnya, berlanjut ke batangnya yang mulai mengeras dan berujung pada kuluman brutal pada ujung penisnya.


“Glek....glekk...glek....Ohhooookkk.....glekk....”
Merasa tak bisa menolak, Tomi akhirnya meminum darah yang mengucur dari puting susuku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana ngerinya berada dalam posisi Tomi sekarang.
“enak Tom.....?? mau coba yang ini??” kulepaskan puting susuku, dan kudekatkan leherku yang terputus ke mulut Tomi. Kini, darah itu kualirkan dari lubang tenggorokanku dan tepat mengucur ke mulutnya. Ia semakin gelagapan, Tomi menggeleng-gelengkan wajahnya, berusaha menghindari kucuran darah itu agar ia dapat bernapas.


Di bawah sana, penis Tomi sudah kutaklukkan sepenuhnya.
Penis itu mengeras dan mengacung tegak berdiri dengan kepalaku bertengger di ujung kepala penis itu.
Mulutku di sana terus menghisap penisnya dengan kuat. Sesekali, aku menggigit batang penis itu. Aku tahu, Tomi sangat benci jika penisnya terkena gigi saat sedang di oral.


Ahh, menyenangkan sekali. Tapi sayang, aku tidak bisa berlama-lama. Kekuatan rohku akan segera menipis jika aku terlalu lama bermain-main dengan ketakutannya.
Saatnya hidangan utama....!!


Kepalaku yang tersangkut di ujung penis Tomi, kini kulepaskan.
Aku memundurkan tubuhku, mendekatkan penis Tomi ke lubang vaginaku.
“MmmmhhhHH... gue udah kangen banget sama kontol yang satu ini...” gumamku.


Dengan sekali tekan kumasukkan penis Tomi ke dalam vaginaku.
Vagina, yang sudah kubumbui dengan gigi taring tajam di setiap sisinya.


“AAAAAAaaaaaaaaaaaarrrggghh....” Tomi memekik.
“Lohh... kenapa Tom? Apa memek gue makin enak dengan ditambah gigi taring?”


Tomi meringis kesakitan. Matanya ia katupkan erat-erat. Aku tahu ia menderita, dan aku senang karenanya. Aku tidak akan puas sebelum Tomi menyadari, bahwa kematian akan jauh lebih menyenangkan.


Namun kendati ia terus meronta, penis yang sudah mengeras itu tak akan mampu menolak lubang neraka di bawah sana. Dengan cepat aku menggerakkan tubuhku naik turun di pangkuan Tomi. Ia menjerit sejadi-jadinya. Ia akan tahu, seperti apa sakitnya seorang perawan saat pertama kali melakukan persenggamaan. Dengan ini, kuharap ia melupakan niat untuk memerawani Naya.


Belum puas sampai di situ.
Aku masih ingin menorehkan ingatan mengerikan di batin Tomi. Kuraih kepalaku dan kudekatkan ke arah wajah Tomi. Kutekan kepalaku keras-keras agar bibir kami menyatu.


‘Oohhh..... manisnya pembalasan dendam’ batinku.
Melihat air mata semakin deras mengalir di pipinya, aku merasa sudah cukup membuatnya menderita.
Dengan sedikit hentakan pada otot vaginaku, aku memotong penis Tomi. Ini akan jadi sebuah kenangan pahit di penghujung usianya.


“AAAAAAAAAARRRRRRGGHHH.....” ia menjerit. Air mata kembali mengalir deras dari sudut matanya.
Raut wajah penuh penderitaan itu tercetak jelas. Mata Tomi yang seakan ingin melompat dari tempatnya bersembunyi tak akan berbohong. Sorot mata itu benar-benar menyiratkan sebuah ketakutan dan putus asa.
Kini saatnya membalas Tomi dengan hal serupa.


”Ctek....” aku menjentikkan jari.


“lo ingat ini Tom??”
Dengan sihir, aku membuat sebuah golok bersimbah darah muncul di udara.
Mata Tomi memandang ngeri saat ia melihat golok itu. benda itulah yang memisahkan kepala dari tubuhku. Dan kini, benda yang sama akan membalaskan dendamku.
“Hi....Hi....Hi.....HI....HI....HI” aku tertawa puas melihat mata Tomi yang kini terbelalak ngeri.


”Zraaaaakkk.......”
Dengan sekali hujaman, kepala Tomi terlepas dari tubuhnya.


’Aku menang....’ gumamku.


Nikmatnya sebuah pembalasan. Sejenak, aku masih terdiam di sana meresapi indahnya warna merah tua yang mengalir dari lehernya, dan membasahi lantai ruangan ini. Tapi, kesenanganku nampaknya terusik oleh sebuah gejala aneh yang tiba-tiba terjadi.


’Loh?? Ada apa ini?’ batinku. Sungguh, kejadian aneh ini benar-benar diluar rencanaku.


Tubuh Tomi terbakar hebat dan berubah menjadi abu seketika. Sesaat aku tertegun. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia mati dengan cara yang aneh. Tapi akhirnya aku tidak ambil pusing, dendamku sudah terbalas, dan aku sudah melindungi keperawanan Naya dari tangan Tomi. Aku kini bisa tenang, seharusnya...... bisa tenang.


***


Satu minggu berlalu sejak kematian Tomi.
Namun, rohku belum juga meninggalkan dunia. Aku merasa, sepertinya ada yang tidak beres. Ini tidak masuk akal, akhirnya kuputuskan untuk mengawasi gerak-gerik Naya. Aku curiga, jangan-jangan proses kematian itu tidak sempurna.


Ternyata firasatku benar. Tomi belum mati sepenuhnya.
Jiwa Tomi berkelana bebas, ia kini justru sudah sangat dekat dengan Naya, bahkan sudah berkomunikasi.


Tomi yang sudah menjadi setengah roh masih mengincar diri Naya. Sepertinya, sebelum ia mati, Tomi telah bersumpah untuk menyelesaikan keinginannya. Dengan mata rohku, aku melihat dengan jelas bagaimana Tomi sudah merasuki diri Naya dan berdiam di dalamnya. Dengan campur tangan Tomi, perasaan Naya menjadi was-was jika aku berada terlalu dekat mereka. Dengan kekuatannya, ia berhasil menanamkan ilusi di pikiran Naya.


Bagaimana ini, jika tidak melenyapkannya, aku tidak akan bisa pergi ke akhirat.
Kekuatan rohku kini semakin menipis, aku harus mengumpulkan tenaga terlebih dahulu untuk mengantarkan jiwa Tomi ke neraka selamanya.


Hingga tadi sore, pengaruh jiwa Tomi sudah sedemikian kuat. Ia berhasil mengontrol sedikit bagian tubuh Naya, yang berujung pada tumpahnya minuman yang sedang ia sajikan. Imbasnya, Naya di pecat.


Saat itu...
Dapat kulihat dengan jelas raut wajah sesosok pria yang sungguh mirip seekor babi. Pria itu menghardik Naya dengan kata-katanya yang kotor.
Naya berusaha menjelaskan dengan terbata-bata, namun saat Naya mencoba bicara, babi itu segera memotong ucapannya.


Aku, yang tak terima Naya diperlakukan seperti itu, tak akan tinggal diam.
Aku tahu betul seperti apa jalan pikiran si-babi. Aku bisa membaca pikirannya dengan jelas.
Ia adalah seorang yang tamak tentang apapun...APAPUN. Ia bahkan memanfaatkan sekertarisnya yang begitu membutuhkan pekerjaan, dengan memaksanya berhubungan intim.


’Bajingan ini tidak bisa dibiarkan....’ batinku.
Aku berpikir sejenak. Aku bisa saja membunuhnya dengan mudah, namun jika aku sampai salah perhitungan, maka jiwa si-babi akan berkelana seperti halnya Tomi.


Ahhh ya, aku tahu bagaimana caranya.
’Huh....akan kubuat orang lain membunuhnya....Hi...hi...hi...hi...hi’


POV Naya
*******


Segala hal yang diceritakan Reni telah menjawab semua pertanyaanku.
Namun aku kini tak bisa berpikir jernih. Apa yang harus kulakukan untuk menanggapi semua ini. Terlebih, Reni telah melenyapkan nyawa manager RichTaste. Aku tidak bisa percaya begitu saja bahwa Reni masih sahabatku, Reni yang dulu kukenal.


“Ren....?” tanyaku.
Sejenak kupandangi raut wajah Tomi yang sekarat, ia hampir menjemput ajalnya dalam cekikan Reni.
“Ya Nay?” jawabnya. Ia memandangku dengan tatapan teduh seperti biasa.


“Kenapa lo lakuin semua ini Ren? Lo udah bunuh seseorang....”
“Kenapa?” Reni bertanya balik. Ia nampak tidak puas dengan kata-kataku yang mempertanyakan sikapnya.


“Gue sayang sama lo Nay.... gue gak akan biarin siapa pun nyakitin lo....”
Aku menarik napas sejenak. Ohh Tuhan, bantu aku berpikir jernih.
Tatapan mata Reni berubah sendu saat mengucapkan kalimat itu. Aku tidak bisa lagi mempertanyakan sikapnya, karena jika aku ada dalam posisinya, mungkin aku akan melakukan hal yang sama, bahkan lebih kejam.


“Apa yang bisa gue lakuin?” tanyaku “maksud gue, apa gak ada cara lain buat mengakhiri ini semua? Gue nggak mau lo jadi seperti ini Ren.... gue gak mau...” kata-kata itu terucap begitu saja dalam rasa putus asaku.
Mataku memandang wajah Reni dengan berkaca-kaca. Cahaya bulan yang menerangi kami sesekali tertutup awan. Dalam gelap, dapat kulihat mata Reni berpendar keunguan. Sangat berbeda dengan warna merah menyala yang kulihat sebelumnya.


“Nggak.... gue gak bisa ngebiarin si-bangsat ini ngedapetin apa yang dia mau...” ucap Reni seraya kembali memandangi wajah Tomi.
“Trus? Apa dengan begini dia bakal berhenti gangguin gue? Apa dengan dia mati, dia akan hilang dari hidup gue?” tanyaku.


Reni diam sejenak, ia tak langsung menjawab. Sepertinya ia ragu, karena yang saat ini kulihat, Reni menundukkan wajahnya.
“Ada dua kemungkinan Nay.... gue juga nggak tau pasti mana yang bakal terjadi” jawab Reni.


Telingaku kini meningkatkan kewaspadaannya. Aku ingin mendengar segala kemungkinan yang disampaikan Reni dengan baik.


“Pertama, setelah gue bunuh setengah raganya untuk kedua kali, dia bakal bener-bener mati dan jadi roh.... sama kayak gue, lalu pergi ke neraka” lanjutnya. “Yang kedua, rohnya gak bakal tenang dan tetep ngehantuin lo”


Mataku terbelalak mendengar kemungkinan kedua yang dikatakan oleh Reni.
“A-apa.... nggak... gue gak mau Ren... gue gak mau” jawabku seraya menggelengkan kepala.
Aku sudah muak dengan keadaan ini. Aku tak ingin lagi berurusan dengan Tomi. “Trus gimana Ren....please... kasi gue pilihan...”


“Nggak Nay.... lo ga boleh nurutin apa maunya, gue gak akan birain dia nyentuh badan lo” jawab Reni.
“Lo terlalu berharga buat gue Nay... gue gak akan ngebiarin dia merawanin lo” lanjutnya.


“A-apa cuma itu pilihannya? Apa cuma dengan ngebiarin dia merawanin gue?”
“Jujur.... gue berharap ada pilihan lain....” jawabnya.


“Tapi lo yakin kan? Dia gak akan ganggu gue lagi kan?”
“Sorry Nay, gue nggak tau kalo soal itu. Kemungkinannya gak terbatas. Yang gue tau, lo udah berhutang sama dia... dan hutang sama roh itu berbahaya Nay”


“huk... uhuk.... cepet bunuh gue Ren... Dengan begitu.... k-kita bisa setara, lo ga akan bisa nge..halangin gue lagi.. huk... uhuk...” Tomi tertawa sinis. “lo tau betul, roh gak akan.... bi-bisa.... pergi ke akhirat sebelum.... keinginannya terpenuhi”


“JANGAN BANYAK OMONG LO ANJING......” Reni menyentak, sorot matanya yang tajam semakin berpendar keunguan.
Namun kurasa kata-kata itu hanyalah luapan emosi Reni semata, karena kulihat, dia sama sekali tidak memperkuat cekikannya.


Aku kini berada dalam persimpangan jalan yang tak bisa kupilih.
Di satu sisi, aku ingin terlepas dari Tomi selamanya. Tapi di lain sisi, aku tidak bisa merelakan keperawananku untuknya.


Berpikir sejenak dalam diam, aku menundukkan kepalaku. Aku harus membuat keputusan. Ya, satu keputusan yang terbaik bagi semuanya.
“Ren... biarin dia dapet apa yang dia mau” ucapku.


Mendengar ucapanku barusan, Reni sontak menoleh ke arahku.
“A-apa?? Nay..... lo jangan bodoh..... keperawanan lo jauh lebih berharga”
“Trus gue punya pilihan apa lagi Ren?? Gue udah berhutang sama dia, dan gue gak mau terus di hantuin kayak gini... gue mau bebas Ren... dan gue gak mau ngebebanin lo lagi.... lo udah cukup menderita karena gue.... karena keegoisan gue...”


Reni memandang lekat-lekat ke arah mataku.
Ia ingin menangis, namun air mata sudah tak mungkin mengembalikan semuanya.


“Nay....” Reni seakan membujuk diriku untuk berpikir kembali.
“Ren, anggap aja gue nurutin saran lo. Gara-gara gue, lo sampe terbunuh.. gue gak mau lagi kalo lo harus nanggung semuanya karena keegoisan gue. Lepasin dia Ren, biar dia dapetin apa yang dia mau dan lo bisa tenang” Aku telah membulatkan tekad. Mungkin inilah saatnya aku melepas sebuah kesucian demi seorang sahabat. Terlebih, aku ingin Reni juga mendapat ketenangan karena aku telah ikhlas merelakan kesucianku direnggut.


Reni memandang bengis ke arah wajah Tomi yang tersenyum tipis dalam cekikannya.
Bibir Reni gemetar. Ia tau, bahwa tidak ada gunanya menahan keinginanku. Sementara itu, Tomi terus tersenyum mendengar kata-kata yang telah kuucapkan.


Tomi menang...


Dengan geram, Reni melempar tubuh Tomi menjauh.
Tubuh Tomi melayang di udara. Sisa-sisa kekuatan roh miliknya sudah merasuk kembali ke dalam raga fana itu. Tubuh Tomi yang melayang di udara malam, berpendar merah sesaat sebelum ia turun dengan perlahan.


“Hehehe... keputusan yang bagus cantik...” ucap Tomi seraya menjejakkan kaki di lantai atap.
Senyum penuh kemenangan tersungging di bibirnya. Ya, rencana yang di disusun oleh Tomi berjalan lancar.


Wajah Reni berubah makin beringas.
“GUE INGETIN LO TOM..... BERANI LO MAIN KASAR SAMA NAYA........” Reni mengacungkan jari telunjuknya ke arah Tomi.
“Terus kenapa? Lo mau bunuh gue Ren? Silahkan.... so what” Tomi merentangkan kedua tangannya, seakan mempersilahkan Reni untuk mencabik tubuh fana itu.


“Ren, cukup.... ini semua salah gue” aku menoleh sesaat ke arah Tomi. Ia masih berdiri di sana dengan tangan terentang serta sebuah senyum licik yang berpadu dengan sorot matanya yang menyala merah.
“Lakukan apa yang lo mau Tom... gue bakal bayar hutang gue sekarang”


“Huhuhu.... seperti yang gue prediksi. Lo pasti bakal bayar hutang lo”
Tomi berjalan mendekat. Tubuh manusianya mulai berubah bentuk. Bulu-bulu hitam tumbuh di sekujur tubuhnya menggantikan busana yang membalut tubuh itu. Otot dada dan lengannya membesar. Aku menelan ludah sejenak, membayangkan apa yang akan terjadi jika tubuh mengerikan itu menyetubuhiku. “Lo.... milik gue sekarang...” suara Tomi berubah parau.


“R-Ren.. D-dia.......” ucapku terbata-bata. Aku kini bergidik ngeri.
“Ya... jiwa di sana itu, adalah manifestasi pikiran jahat Tomi. Gue juga bisa berubah kayak gitu kalo gue lagi punya niat jahat” jawab Reni.


Sebuah perasaan berdesir hinggap di sekujur tubuhku.
Tomi yang sudah berdiri di hadapanku, kini mengusap pipi kananku dengan tangannya yang berbulu. Ia mendekatkan wajahnya memandangku lekat-lekat dari berbagai sisi.


“Mmmhh... benar-benar barang bagus” gumamnya.
Kurasakan dengan jelas hembusan napasnya yang panas menerpa daun telingaku. Tanganku kukepalkan erat-erat. Aku kini sangat takut, benar-benar takut. Tak pernah terbayang dalam hidupku, jika suatu saat keperawananku akan direnggut oleh sesosok makhluk mengerikan.


“Nay... tenang, gue ada di sini” Reni merangkulkan kedua tangannya di pinggangku. Ia memeluk dan merapatkan tubuhku padanya. “Ini bakal sedikit sakit, tapi gue pastiin dia gak akan nyakitin lu lebih jauh”


Pelukan Reni membuatku sedikit tenang, payudaranya yang lembut kini menopang punggungku.
Reni menuntunku untuk merebahkan diri di lantai atap, dan mulai membantuku untuk melepaskan busana. Punggungku kini dapat merasakan debu kerikil kasar yang menempel di sana. Butiran pasir dan debu kini menempel pada punggung dan bokongku.


Aku mengerling sejenak, memandang ke arah sosok mengerikan Tomi.
Pandanganku terarah tepat di selangkangannya. Di mana sebuah penis hitam besar berdiri tegak.


”Glek....” aku menelan ludah.


Reni meraih pipiku, lalu memalingkan wajahku agar berhadapan dengan wajahnya.
“Sssst... jangan dilihat Nay, lo pandang aja wajah gue” ucap Reni. Pandangan matanya begitu sayu. Reni kini meletakkan pundakku di pangkuannya. Jemari Reni yang lembut kembali membelai pipiku. “Gue sayang banget sama lo Nay...” ia berkata lirih, sedetik kemudian sebuah cairan perak membasahi pipinya.


Mendengar ucapannya, air mataku kembali mengalir.
Rasa haru menyelimuti perasaanku. Entahlah apakah Reni merasakan hal yang sama. Berada dalam keadaan seperti itu aku hanya mampu berkata “Ren... maaf, gara-gara gue...”


”Cuuupp...”
Reni memotong ucapanku dengan sebuah kecupan. Bibirnya membungkam suaraku hingga aku tak mampu berkata-kata.


Mendapat perlakuan penuh kasih dari Reni, vaginaku mulai dibanjiri cairan kenikmatan. Reni tahu akan hal itu, dan ia akan melakukan apapun agar membuat cairan itu semakin membanjir. Dengan lembut ia membelai payudaraku agar vaginaku semakin licin.


“Wah... mengharukan sekali....” ucap Tomi dengan senyum sinisnya. “Saatnya hidangan utama.... bukan gitu Ren??” ucapnya pada Reni. Reni tidak menggubris, ia tahu, tak ada gunanya menanggapi ucapan Tomi.
Perlahan Tomi menyibak kedua pahaku ke samping. Vaginaku yang kemerahan kini dapat ia lihat dengan leluasa. “Mmmmmhh... sayang kalo memek bagus gini gak di nikmatin dulu”


Aku sudah tak ingin melihat apa yang akan dilakukan Tomi terhadap tubuhku. Aku sudah tidak peduli.
Anganku kini dipenuhi oleh bayangan Reni, seorang sahabat yang setia bersamaku bahkan setelah ia mati.


”Sluuuurrpppp....”


“Mmmmhhhh....” aku melenguh mesra dengan bibir yang masih menyatu dengan bibir Reni.
Di selangkanganku, aku merasakan sebuah sapuan lidah dingin yang menelusuri tiap lipatan vaginaku.
Mataku terpejam. Yang kubayangkan saat ini adalah Reni, sedang mengoralku di sana.


“Mmmmhh.....Mmmhhh....” aku kembali melenguh.
Kenikmatan itu kurasakan dari jemari Reni yang memilin puting susuku.
“Aaaaakkhh.. Rennnn.....” aku kini bisa bebas meracau saat Reni melepaskan pagutan kami. Ia merebahkan diri dengan tetap menjadikan pahanya sebagai bantal untuk kepalaku. Kuraih leher Reni dan kudekatkan kepalanya ke payudaraku.


”Sluurppp...”
Reni mulai bermain dengan lidahnya. Puting susuku yang mengacung keras tak luput dari jilatan dan kulumannya.


’Ohhh god..... aakkhhh nikmat’


“AAAAaaaaakkkhh..... MMmmmmhhh....” aku meracau.
Otot-otot vaginaku mulai berkedut. Sensasi nikmat pada jilatan Tomi di klitorisku membuatku melayang.
Hasratku semakin menggebu. Denyutan itu kurasakan semakin kuat sebelum aku melenguh panjang.


“Ooooooohhhhhhhhh......”
Cairan kenikmatan itu menyembur deras. Tomi yang masih membenamkan wajahnya di sana tampak begitu puas karena berhasil menghantarkanku menuju orgasme yang pertama. Bak seorang yang kelaparan ia menjilati cairan vaginaku dan menelannya.


“Hehehehe..... nikmat banget... perfect” gumam Tomi.
Tubuhnya yang hitam berbulu, kini bangkit. Ia mengarahkan kepala penisnya mendekat ke lubang vaginaku, lalu menekannya perlahan.


“Aakkhhh....saaakit....” aku memekik pelan saat kepala penis berdiameter enam sentimeter itu membelah lubang perawanku. Saat itu Reni mengerling ke arah Tomi. Pandangan matanya tajam mengancam, seakan memperingatkan Tomi untuk tidak berlaku kasar.


Perih...
Ya, hanya itu yang kurasakan. Aku tidak pernah membayangkan bahwa ritual melepaskan keperawanan bisa begitu menyakitkan. Yang kutahu, hanyalah racauan dan desahan penuh nikmat yang dipertontonkan pada artis film panas dalam tiap adegannya.


“Okay...okay... kita main halus ya sayang... Mmmhh....” Tomi kembali menyuguhkan senyum memuakkan. Ia memandangku sejenak, menikmati lekuk tubuhku dengan matanya. Raut wajahku yang tenggelam dalam kenikmatan semakin membuat hasratnya menggebu.


Perlahan-lahan, Tomi kembali menusukkan batang kejantanannya ke dalam vaginaku.
Dapat kurasakan dengan jelas rasa tersayat yang datang silih berganti. Selaput daraku telah robek, kehormatanku telah direnggut. Kini aku telah resmi menyandang status tidak perawan.


“HHhhggggghhh....” aku mengejan menahan perih, saat penis Tomi kembali menyeruak masuk semakin dalam hingga tenggelam sepenuhnya di dalam vaginaku. Aku tidak bisa terus berdiam, aku harus mengalihkan perhatianku pada sesuatu.


Saat itulah aku sadar bahwa vagina Reni berada tepat di hadapanku.
Aku tersenyum sejenak sebelum mendekatkan wajah ke vagina miliknya. Gaun putih transparan yang ia kenakan kusibak dengan mudah, lalu aku mulai memainkan peranku.


“Ooouuuhh...Nayy....Mmmmhh....”
Reni mulai menggeliang saat sapuan lidahku merayap di lipatan vaginanya.
Sebelah tangannya kini membelai rambutku dengan lembut.


Aku sangat menyayangi Reni seperti saudaraku sendiri.
Mungkin jika tragedi ini telah berakhir, aku tak akan lagi melihat sosoknya. Kuanggap ini sebagai ucapan perpisahan terakhir sebelum Reni benar-benar pergi untuk selamanya.


Menyadari kemungkinan itu, air mataku kembali menetes.
Sahabat macam apa aku ini. Di saat Reni mengorbankan nyawanya untuk melindungiku, aku justru tak bisa melakukan apapun untuk dirinya. Aku hanya berharap, pengorbanan ini bisa membawa jiwa Reni untuk tenang di alam sana.


“Uuuugghhhh.....Aaaakkhhh...”
Rasa sakit pada liang vaginaku semakin menjadi-jadi saat Tomi mulai menggoyangkan pinggulnya maju-mundur. Vaginaku terasa begitu sesak menerima penisnya yang besar dan mengacung keras.


“Aaaakkhhh... gilaaa... enak banget memek lo Nay....” Tomi mulai meracau.
Ia memegangi pinggangku seraya tetap menggenjot dengan tempo pelan.


Reni kembali mengulum puting susuku.
Berharap rangsangan itu sedikit mengobati rasa sakit yang kurasakan.
Yah, itu sangat membantu. Rangsangan nikmat itu sedikit membuatku lupa tentang betapa sakit vaginaku saat ini.


“Aaaaaahhhh...MMmmmhh........Ahhhhhhh...Ahhhh...Ah hh..Ahhh..Ahhh..” aku melenguh berulang kali. Suara itu menggema di kegelapan malam.
Tomi mulai mempercepat tempo permainan. Dari sorot matanya aku dapat menilai bahwa ia sangat menikmati jepitan vaginaku yang masih sangat sempit.


“Yeess.... Ahhhh... Holy shit.... emang bener-bener gak ada tandingannya, memek perawan....”
Aku dan Reni tak menggubris ucapan Tomi. Kami berdua menenggelamkan diri pada permainan kami.
Reni sudah hanyut dalam fantasinya. Sementara aku sedang membayangkan Reni menusuk-nusuk vaginaku dengan dildo vibrator miliknya.


“Ren..... terus tancep Ren.... Aaahhh....”
Rasa sakit pada rongga vaginaku mulai memudar. Aku mulai menikmati permainan ini.
Hasratku akan sebuah penis yang menyeruak ke dalam vaginaku telah tercapai. Kendati penis itu berasal dari sesosok mengerikan di hadapanku, aku tak mempedulikannya. Bagiku, permainan ini adalah permainanku bersama Reni, dan keperawanan ini kupersembahkan untuk Reni seorang. Keberadaan Tomi di sana hanyalah sebagai pemeran figuran, hanya sebuah pion yang tak berarti dalam papan permainan catur.


”Slepp...Slepp...Slepp...”
Tomi mulai bermain dalam tempo cepat. Penis hitam itu menghujam liang vaginaku semakin dalam.
Gerakan tubuh fana miliknya membuat tubuhku bergoyang-goyang. Pinggangku yang masih bersentuhan dengan lantai atap kasar semakin membuat hasratku meninggi. Entah masokis atau bukan, aku cukup menikmati penderitaan ini.


“Nnnngghhh...Nnnnnngghhhhh....AaaaaahhhhHHHH...”
Aku melenguh panjang saat cairan vaginaku menyembur dari sela penis Tomi. Darah perawanku meleleh di sana bersama cairan bening yang menetes di lantai atap.


“Ohh..... udah nyampe duluan ternyata... hahaha...” Tomi tertawa sinis.
Penisnya masih terus bergerak di dalam liang vaginaku, kendati aku kini megap-megap saat berusaha mengambil napas.


Aku yang baru saja mengalami orgasme cukup hebat tak mampu menahan hujaman yang terus kuterima. Reni tau akan hal itu. Dengan sebelah tangan ia mendorong Tomi menjauh untuk melepaskan penisnya.


”Plop...” penis Tomi terlepas.
Akhirnya, untuk beberapa detik aku bisa menikmati orgasme kedua yang kurasakan.


“Ehh... apa-apaan nih?” hardik Tomi.
“Jangan macem-macem lo...” Reni mengarahkan telunjuknya ke wajah Tomi. “Biarin Naya istirahat dulu bajingan...”


Melihat Reni yang terbakar amarah, aku segera menarik lengannya untuk merebah di sampingku.
“N-Nay....??” ucapnya saat memandangku dengan raut wajah kebingungan.


Tubuh Reni sudah terbaring bersamaku di lantai atap.
Dengan sebelah tangan aku menyibak gaun putih yang membalut tubuhnya hingga payudara Reni menyembul di hadapanku.


“Ren.... gue sayang sama lo” ucapku seraya menindih dan mengulum puting payudaranya.
Aku tak dapat melihat raut wajah Reni saat itu. Namun dari jemarinya yang bergetar saat membelai rambutku mesra, dapat kusimpulkan bahwa Reni sedang menahan tangis.


“Cepet selesaiin mau lu Tom... dan tinggalin gue selamanya” ucapku tanpa menoleh ke arah Tomi.
Pinggul dan bokongku sudah terangkat ke atas. Aku bersujud di atas tubuh Reni dan kembali menatap matanya. “Ren.... gue gak mau berpisah dari lo..” ucapku saat itu.


Reni hanya tersenyum. Ia merangkulkan kedua tangannya ke leherku, mengisyaratkan padaku untuk mendekat. Saat bibir kami menyatu, dapat kurasakan Tomi sedang menancapkan penisnya kembali.


”Slep....” dapat kurasakan kembali, penisnya yang besar kini mengisi rongga vaginaku hingga penuh sesak. Rasa perih itu kembali, namun aku tak mau mempedulikannya.


Bibir Reni yang lembut kini kunikmati dalam sela tangis haru.
Aku tak mau ia pergi, sungguh. Aku tak ingin memiliki sahabat lain selain dirinya.
“Hehehe.... udah pasrah rupanya...” ucap Tomi dibalik punggungku.


”Sleppp... Sleppp... Sleppp...”
Penis Tomi kembali menikmati sempitnya liang vaginaku. Tak munafik, aku juga merasakan betapa nikmatnya disetubuhi. Namun dalam pikiranku, sosok Tomi telah kubuang jauh-jauh. Seperti sebelumnya, kuanggap persetubuhanku dengan Tomi sebagai persetubuhanku dengan Reni.


“Aaaakkkhh.. Ren..... enak...Akkkhh....” aku mulai meracau.
Reni memandangku dengan perasaan haru saat itu. Ia paham, bahwa racauan yang terlontar dari bibirku hanya untuk mengalihkan pikiran semata. “Nayy...Mmhh... isepin toket gue Nayyy....” ucapnya membalas racauanku.


Tanpa perlu dikatakan untuk kedua kali, segera kuturunkan wajahku ke arah payudara Reni.
Dengan rakus kedua payudara ranum itu kunikmati. Reni sangat menyukai gigitan-gigitan lembut di area putingnya. Dan aku, akan memberikan semua itu dengan senang hati.


“Akkkhhh...Akkkhhh........ enak banget kontol lo Tom...Akkkkhhhh...terus....” merasakan gigitan lembut, Reni mulai meracau tak jelas. Namun aku menangkap apa maksud perkataan itu. Ia sedang memprovokasi Tomi.
“Tooomm...AaaaaakkhhHHH... enak banget Tommm... sodok teruss... AAAAaaakkkHHH..” kuikuti apa yang Reni lakukan.


“DIEM LO BERDUA ANJING.....AAAAAAKKHHH...AKKKKHHHHHHHHHH.....” hardik Tomi.
Sesuai dugaan, Reni tersenyum licik saat memandang raut wajah Tomi yang tenggelam dalam fantasinya. Dinding-dinging vaginaku merasakan dengan jelas bagaimana penisnya berkedut-kedut dan membesar.


“Slep.. Slep.. Slep.. Slep..”
Tomi mempercepat gerakannya. Umpan yang dilemparkan olehku dan Reni berhasil membuatnya memacu hasrat. Gesekan yang semakin intense, membuatku terbakar nafsu. Aku sudah merasakan, bahwa orgasme ketiga itu akan segera datang.


“OOOOooooooohhhh........” Tomi melenguh panjang seraya menancapkan penisnya sedalam mungkin ke dalam rahimku.


”Croott..... Crooott.... Croott...”


“AAAAaaaaaaaaakkhhh....AAAHHHHH....”
Hujaman dahsyat itu membuatku menggeliang. Tanpa sadar aku ikut tenggelam dalam badai orgasme ketiga yang lebih kuat dari sebelumnya.
Cairan hangat dari ujung penisnya menyembur, memenuhi rahimku dengan spermanya.


Setelah orgasme Tomi berakhir, kami semua terdiam.
Dapat kurasakan rongga vaginaku mulai merapat kembali. Penis Tomi perlahan-lahan kembali mengecil sebelum akhirnya terlepas dengan sendirinya.


Cairan putih kental mengalir keluar dari lubang vaginaku bersama dengan darah kesucian. Debu-debu halus yang menyelimuti lantai atap berubah menjadi lembab ketika cairan kental itu menetes membasahi mereka.


Keringat dan peluh yang membasahi sekujur tubuh telah menguras habis seluruh tenagaku.
Kepalaku mulai pusing, pandangan mataku mulai gelap. Kupeluk erat-erat tubuh Reni sebelum kesadaranku hilang di dalam pelukannya.


~***~


Saat aku membuka mata, aku sudah kembali berada di dalam kamar kontrakanku.
Pakaian yang membalut tubuhku masih lengkap, kendati keringat yang membasahi tubuhku masih menempel.


Kucoba meraba lutut dan sikuku, namun tak ada luka lecet akibat kejadian semalam.
’Apa itu hanya mimpi?’ tanyaku dalam hati.
Sontak aku menanggalkan celana yang kukenakan dan memeriksa vaginaku.


Selaput daraku sudah robek. Itu artinya kejadian semalam bukanlah mimpi semata.
Teringat akan kejadian yang menimpa Bu Shinta, aku segera mengenakan celana kembali dan menghambur keluar kamar.


“Eh...Naya, kok tumben udah siang belum berangkat kerja?” sapa Bu Shinta yang sedang berjalan menyusuri lorong untuk kembali ke kamarnya.
“B-Bu Shinta gak apa-apa kan?” ucapku gelagapan. Aku berjalan mendekat ke arahnya, lalu kuamati tiap jengkal tubuhnya dengan seksama. Tidak ada tanda-tanda luka fisik atau semacamnya. Mungkinkah kejadian semalam hanya mimpi? Tapi jika benar mimpi, kenapa keperawananku bisa hilang?


Bu Shinta memiringkan kepala dengan tatapan bingung. Ia menatap raut wajahku yang terkesan panik lalu berkata.
“Kamu kenapa Nay??”


Seketika itu aku memeluk tubuh Bu Shinta dan menangis di bahunya.
“N-nggak Bu.... Hiks.... Naya gak apa-apa.... Hiks...hiks.... Naya cuma mimpi buruk semalam...”
“Lhoo... mimpi kok dipikirin amat Nay... sudah gak apa-apa kok” ucap Bu Shinta seraya membelai rambutku yang hitam tergerai.


“Ibu.... aku laper...” anak Bu Shinta yang paling bungsu berdiri di ambang pintu dan menatap kami.
“Kak Naya kenapa bu?” ia bertanya dengan nada polos.
“Nggak apa-apa... Kak Naya habis mimpi buruk semalam...” ucap Bu Shinta.


Aku melepaskan pelukanku padanya dan mulai menyeka air mataku.
Perasaanku kini lega, ternyata kejadian tewasnya keluarga Bu Shinta hanyalah halusinasi yang ditanamkan Tomi.


“Duh Nay... sampe keringetan gini. Mandi dulu sana, sudah jam sembilan lhoo..” ucap Bu Shinta.
“I-iya Bu....” ucapku.


~***~


Menemukan fakta bahwa seluruh kejadian mengerikan yang menimpa para penghuni rumah susun itu hanyalah ilusi, pikiranku benar-benar tenang.
Aku kembali ke kamarku untuk membersihkan diri. Di atas meja yang bersanding dengan ranjangku, lampu handphoneku sudah menyala berkedip.


Tadinya kupikir bahwa lampu itu berkedip adalah tanda bahwa baterainya hampir habis. Namun setelah meraihnya, aku menemukan sebuah SMS dari Tomi.


Deg....Deg....Deg....
Jantungku kembali berdebar.


Mungkinkah Tomi belum menghilang sepenuhnya dari dunia? Bukankah aku telah membayar hutangku dengan keperawanan. Aku kembali dirundung perasaan takut, sangat takut.


“Baca aja Nay..... gak perlu takut”


“AAAAAAAAAAAAAA.............” aku tersentak kaget.
Sebuah suara yang berasal dari balik punggungku membuatku sontak berbalik.
Di sana, sosok Reni berdiri anggun dengan gaun putih transparan, seperti yang kulihat semalam.


“R-Ren... l-lo....” ucapku gelagapan.
“Jangan takut begitu si.... Tomi udah pergi kok... kali ini untuk selamanya” ucap Reni. “Lo jangan benci Tomi ya… jangan pernah nyimpen dendam kayak gue…”


Aku menarik napas panjang sesaat.
Berharap agar rasa sesak di dada ini menghilang.
“Nay.....” Reni mendekat.


Aku sontak melangkah mundur menjauhinya. Tak bisa kupungkiri, aku kembali takut.
“Ihhh... kok lo takut sama gue sih... oke, gue gak ngedeket deh... baca aja dulu SMSnya..”
Aku melirik sejenak ke arah handphone yang berada dalam genggamanku sebelum memandang kembali ke arah Reni.


“Baca aja... nggak usah takut...” ucapnya lagi.


Debar jantungku mulai stabil, aku mulai bisa bernapas dengan normal.
Segenap keberanian sudah kukumpulkan untuk membuka SMS dari Tomi. Dengan sebuah sentuhan jari, aku menekan tombol hijau di sudut kiri atas pada barisan keypad.


‘Nay... ini Tomi.

Aku minta maaf untuk semua yang telah aku lakukan. Aku tau keegoisanku sudah buat kamu dan Reni menderita. Aku cuma mau ucapin terima kasih untuk semuanya, berkat kamu aku sekarang tenang. Sebagai permintaan maaf, sebelum aku pergi, aku udah transfer uang lagi ke rekening kamu. Mungkin uang sama sekali gak bisa dibandingkan dengan kesucian kamu, tapi... manfaatkan baik-baik. Seperti sebelumnya, aku cuma mau berguna buat orang lain sebelum aku benar-benar pergi, aku nggak akan muncul lagi. Sekarang aku tenang, aku bisa pergi.’


SMS panjang itu telah kubaca dengan seksama.
Jika semua yang dikatakan Tomi benar, lantas kenapa Reni tidak bisa pergi bersamanya? Mengapa jiwa Reni tetap terjebak di dunia nyata?


“R-Ren...” ucapku lirih.
“Iyah... gue tau lo mau tanya apa” jawab Reni. “kejadian semalam bukan mimpi, Tomi bener-bener udah merawanin lo. Tapi kejadian yang nimpa orang-orang lain cuma ilusi....” lanjutnya.


“Setelah semuanya selesai, Tomi sempet minta maaf sama gue, sebelum akhirnya pergi. Dia ngirim raga utuhnya ke tempat pembuangan sampah, polisi udah nemuin jasadnya tadi pagi.”
“T-Terus?? Kenapa lo gak bisa pulang ke akhirat?” tanyaku.


“Hihi... lo lupa ya, sumpah gue ada dua. Yang pertama, gue bakal bales dendam ke Tomi dan itu udah gue lakuin” ucapnya. “yang kedua, gue mau lindungin lo supaya Tomi nggak ngambil keperawanan lo, dan gue gagal” lanjutnya.


“J-jadi....” mataku memandang lekat-lekat ke arah Reni yang tersenyum memandangku.
“Yap.... gue gak bisa pergi sebelum misi gue berhasil Nay... dan sekarang karena misi gue gagal, gue bisa tetep ada di sini nemenin lo” ucapnya.


Rasa bahagia sekaligus haru menyeruak di dalam hatiku. Aku menundukkan wajah dan membiarkan air mataku kembali mengalir.
Di satu sisi, aku menyalahkan diri sendiri. Karena keegoisanku Reni berakhir sebagai roh yang terjebak di antara yang hidup. Namun di lain sisi, aku bahagia karena bisa terus bersama Reni.


“Sssshhh.. udah, yang terjadi biarlah terjadi. Lo gak perlu nyesel” Reni mendekat dan memeluk tubuhku.
Dapat kurasakan hangatnya kasih sayang yang dicurahkan Reni padaku, bahkan di saat ia telah tiada, Reni tetap setia mendampingiku.


“Lagian, gue juga seneng bisa terus sama-sama lo Nay...” ucapnya.
Reni menyeka air mataku dengan ibu jarinya. “Jadi jangan sedih ya Nay..... gue gak mau liat orang yang gue sayang sampe nangis”


Aku tersenyum dalam tangis dan kuanggukkan kepala beberapa kali.


~***~


Hari-hari setelah kejadian itu berjalan normal. Tak terasa, sudah beberapa bulan berlalu.
Aku kini memiliki pekerjaan baru. Atau bisa dikatakan sebagai usaha baru.


Saat aku mengecek saldo di tabunganku pagi itu, aku menemukan sembilan digit angka berada di layar ATM.


Aku hanya bisa menutup mulutku dengan kedua tangan saat memandangnya dengan rasa tak percaya. Tomi benar-benar telah mentransfer banyak uang ke dalam rekeningku. Dari uang yang diberikan Tomi, aku memulai sebuah usaha yang menghidupiku hingga kini.


Well… tidak mudah untuk memaafkan Tomi, aku akui itu.
Namun seiring waktu berlalu, aku kini telah merelakan semuanya. Kesucianku, kini telah menghantarkan jiwa seseorang untuk kembali ke akhirat.


Reni, sahabatku kini setia menemani hari-hariku.
Ia mengikuti ke manapun aku pergi dengan melayang di sampingku. Reni berkata, ia akan melindungiku dari setiap orang yang mencoba berbuat jahat.


Seperti saat itu.
Saat itu aku sedang menaiki motor matic menuju toko handphone milikku, motorku di cegat oleh beberapa orang pria yang mengacungkan sebilah pisau di masing-masing tangan mereka.


Entah seperti apa sosok mengerikan yang ditampakkan Reni, mereka semua membelalakkan mata dengan ngeri. Kutebak, Reni menampakkan sosoknya yang tanpa kepala. Para perampok itu lari tunggang-langgang, meninggalkanku dan Reni yang tertawa cekikikan.


Walaupun masih tersisa sedikit rasa benci terhadap diri Tomi.
Namun dalam hati aku berterima kasih. Karena berkat bantuannya, aku bisa merubah hidupku menjadi lebih baik. Lagipula, berkat usaha baruku, aku bisa memberi lapangan pekerjaan untuk orang lain.


“Ehh... Mbak Naya. Tumben pagi bener datengnya Mbak?” sapa Dara, salah satu karyawanku di toko handphone.
“Iya Ra... lagi jenuh di rumah, jadi pengen nengokin kalian” jawabku sambil memarkirkan motorku di pinggir jalan.


Pandanganku beralih pada sebuah papan neon box yang bertengger di atas toko.
Di sana terpampang nama toko milikku.


Friend’s Fone


Kudedikasikan nama toko itu pada sosok Reni dan Tomi, sahabatku.
Setelah memandang papan neon box itu beberapa saat, aku melanjutkan langkahku naik ke lantai dua. Di sana adalah ruanganku untuk mengurusi stok barang dan pembukuan.


Ruko ini terdiri dari tiga lantai.
Ruangan itu cukup besar karena aku tidak menggunakan sekat untuk membatasi ruangannya.
Di lantai paling atas, aku sudah mempersiapkan sebuah ruangan untuk kutinggali nantinya. Agaknya jenuh juga hidup di rumah susun yang pengap dan sumpek. Namun karena belum selesai membereskan lantai atas, aku tetap bertahan di kontrakanku untuk sementara waktu.


“Nay.... lanjutin yang semalem yuk?” Reni berbisik di telingaku.
Aku hanya tersenyum karena paham maksud dari kata-katanya.


Setelah duduk di kursi nan empuk, aku menarik sebuah laci paling bawah yang tersemat di meja kerjaku.
Di sana, sebuah dildo vibrator milik Reni kusimpan.


Ya, di ruangan inilah terkadang aku melampiaskan nafsu bersama Reni.
Kulepaskan kait pada celana denim yang kukenakan dan kutarik hingga sebatas mata kaki. Dildo vibrator milik Reni segera kunyalakan. Yah, bisa dibilang benda ini adalah warisan yang diberikan Reni untukku.


Kubuka lebar kedua pahaku dan kutancapkan dildo bergetar itu ke dalam lubang vaginaku di sana.
Selama ada Reni di sini, aku tak perlu takut kegiatan kami diketahui. Reni akan segera memperingatkan aku begitu ada salah satu karyawan yang naik ke lantai atas.


“Mmmmhhh.....” aku menggumam meresapi tiap getaran di dalam vaginaku. Akhirnya, kata-kata Reni menjadi kenyataan. Aku bisa merasakan betapa nikmatnya membiarkan dildo vibrator ini menancap di dalam vaginaku.
Di sisi tubuhku, Reni sudah menampakkan tubuh polos tanpa busana. Ia mendekatkan payudaranya pada wajahku dan memintaku untuk menghisapnya.


Hidup, terkadang memang tak berjalan secara masuk akal.
Terkadang, kita harus memilih sesuatu yang bahkan tak kita inginkan.
Begitu pula hidupku.


Berbagai kepahitan yang telah kujalani memberikan banyak pelajaran berharga.
Salah satunya membuatku mencetuskan sebuah kalimat.
“Iblis atau bukan, sahabat tetaplah seorang sahabat”


Aku sempat bertanya pada Reni.
Mungkinkah ia akan pergi meninggalkan aku suatu saat nanti? Jawabnya, “Mungkin Nay...”
“Jangan dong, gue kan gak mau sendirian lagi... emang karena apa lo bisa ninggalin gue??” tanyaku lagi.


“Gue akan menghilang untuk selamanya.... kalau seorang sahabat udah ngelupain bahwa gue ada….”








~~**Friend of Fiend**~~
-E-N-D-
Friend of Fiend, Pada: Rabu, Juli 29, 2015
Copyright © 2015 CERITA DEWASA Design by bokep - All Rights Reserved