Recent Posts Widget

Romantisme Polwan

http://cerita-porno.blogspot.com/2015/07/romantisme-polwan.html

HARI PERTAMA : THE INVISIBLE HAND


“ ….Saya terima nikahnya Tantri Wulandari binti Zulkarnaen, dengan mas kawin emas 10 gram tunai”.

“ Bagaimana para saksi sah??”.

“ Sah!”.

“ Maka dengan ini secara resmi kalian berdua, kami nyatakan, telah resmi sebagaia suami-istri”.

Dipasangkan cincin nikah itu di jari Tantri. Setelah itu mereka menandatangani buku nikah, dan berfoto begitu mesra dihadapan penghulu, menunjukkan pada khalayak bahwa cinta mereka telah berhasil diperjuangkan hingga ke jenjang pernikahan. Begitu cantik sahabatku hari ini. Siapa sangka pria yang berhasil menyuntingnya hanyalah seorang pria biasa. Tantri adalah salah seorang Polwan tercantik di Polres kami. Sudah menjadi tradisi bila Polwan tercantik, akan menikah dengan Polisi juga, bisa Perwira ataupun Bintara. Namun Tantri berani melawan semua mitos itu. Padahal ada Inspektur Jaka, anak Komandan Hendri, yang khusus mengajukan pindah ke Polres kami sejak 6 bulan yang lalu, hanya demi mengejar Tantri. Apa mau dikata Tantri menolaknya. Sahabatku itu punya prinsip yang kuat, dan benar-benar teguh memegangnya. Dia tidak akan peduli apa kata dunia ini, yang dia pikirkan hanya kesetiannya pada apa yang diyakininya. Aku tidak bisa seperti dia.

Namaku Sinta. Brigadir Satu Sinta. Aku satu angkatan dengan Tantri. Sejak pertama dinas, dialah yang menjadi teman sekamarku. Sebagai sahabat karib kami telah bersama melalui suka duka pendidikan Kepolisian, kami saling mengerti satu sama lain. Kami punya satu kesamaan ; kami sama-sama perantauan disini. Bayangkan dua orang gadis, masih berusia awal 20an, terpisah jauh dari orang tua, dipaksa hidup mandiri dan dewasa sebelum waktunya.

Hal itu berat. Buatku khususnya, amat berat. Sejak kecil aku dimanjakan oleh kedua orang tuaku. Semua keinginanku pasti dikabulkan. Banyak teman Polwan seangkatan, yang menjulukiku “anak mami” waktu di Pendidikan. Wajar, karena aku begitu canggung, ketika harus berhadapan dengan disiplin keras selama berada disana. Untung ada Tantri, dialah yang menjadi sahabat sekaligus pembimbingku untuk melalui hari yang keras di asrama.

“ Brigadir Sinta”, sebuah suara mengaburkan lamunanku.

“ Siap Komandan Burhan”, jawabku.

“ Cantik sekali kamu hari ini! kebaya pink yang kamu pake itu, buat kamu jadi tambah sexy he he”, Pak Burhan melirikku dengan pandangan “ nakal” yang menjadi ciri khasnya sehari-hari.

“ Siap tidak Komandan, saya biasa saja”, elakku.

Sebenarnya selain Tantri, akulah salah satu Polwan paling cantik di sini. Kulitku berwarna putih khas sebuah daerah indah dari negeri kita. Tubuhku tidak terlalu tinggi, beda dengan Tantri yang seperti peragawati, aku cenderung mungil. Sebagai Polisi wanita, tentu penampilanku terjaga. Tubuh langsing, kencang. dan berbentuk menghiasi tubuhku.

Hari ini aku memang membantu Tantri menjadi “pager ayu” yang menerima kedatangan tamu undangan. Oleh panitia, kami disediakan baju kebaya berwarna pink, yang begitu pas membalut tubuh kami. Mengenakan kebaya seperti sekarang, banyak tamu undangan yang tidak menyadari kalo kami itu adalah Polwan.

“ Sin, ikut Bapak yuk!”.

“ Ijin ikut kemana Komandan?”, tanyaku penasaran, sekaligus tidak nyaman. Polwan mana yang merasa tenang bila berhadapan dengan Pak Burhan.

“ Ada bisnis yang Bapak mau bicarakan sama kamu”.

“ Bisnis?? ijin Komandan saya jadi semakin tidak mengerti”.

“ Sini deh sebentar”, tangannya mengajakku menepi ke salah satu sudut kosong Hotel, “ Ayo sini, biar kamu tau apa yang Bapak maksudkan”.

Dengan penuh tanda tanya, kuikuti kemauan Pak Burhan untuk berbicara di sudut itu. Sebelumnya aku minta ijin dulu kepada teman pager ayu yang lain.

“ Ada apa Komandan?”, tanyaku penuh rasa penasaran.

Pak Burhan mengeluarkan hand phonenya dan menunjukkannya kepadaku, “ ini mengenai pacarmu Tanto, baca sms ini! dia disinyalir telah melakukan penggelapan barang bukti”, Pak Burhan menatapku dengan pandangan yang sinis, “ Dia menggelapkan mobil mewah yang disita dari seorang pelaku tindak korupsi, sekarang berkasnya ada di meja Bapak”.

Aku mendadak panik mendengar kabar dari Pak Burhan. Bagaimanapun Tanto memang pacarku, dan apapun yang menyangkut dia, baik itu prestasi maupun pelanggaran disiplin, pasti aku tersangkut.

“ Siap Komandan”, jawabku masih penuh kebingungan.

“ Sekarang yang menentukan nasibnya Tanto kamu Sin!”, Pak Burhan berkata penuh penekanan.

“ Lho kenapa tergantung saya Komandan?”, sangat bingung aku sekarang.

“ Kamu itu cantik Sin”, tangan Pak Burhan mulai menyentuh pipiku, dan mulai mengelu-elusnya, “ sudah lama Bapak merhatiin kamu, Bapak suka sama Kamu”, Pak Burhan terus mengelus pipiku. Aku hanya berdiri mematung menerima elusannya di pipiku. .

Kucoba melirik ke arah podium utama, tempat Tantri sedang berdiri menerima ucapan selamat dari para undangan, tapi dia sedang sibuk sekali menerima jabat tangan para tamu. Sudah menjadi kebiasaanku, meminta saran ataupun bantuan Tantri dalam setiap persoalan. Kini dia tidak bisa lagi menjadi pelindungku. Harus bagaimana aku sekarang.

“ Gak usah mikirin Tantri!”, Pak Burhan menegurku menyadari aku sedang melihat ke podium, “ anak itu gak tau diuntung! mau dilamar Perwira, malah milih cowo jelek kayak gitu”, Dari nada suaranya Burhan jelas menyimpan kebencian terhadap Tantri. “ Kamu lebih cantik dari dia Sinta, badanmu juga lebih montok dari dia”, tangan Burhan yang semula mengelus pipiku, kini memegang daguku dan diangkatnya pelan agar menatap wajahnya ,” Kamu mau bantu pacarmu??”.

“ Bbbbantu bagaimana Komandan, Ssssinta tidak mengerti”, suaraku mulai terbata karena terpojok seperti ini, keringat dingin perlahan membasahi gaun kebayaku.

“ Kamu bisa milih, Bapak akan naikkan kasus ini, biar nanti Tanto dihukum keluar dari Kepolisian atau…..”.

“ Aaaaatau apa Komandan??”, aku semakin merinding.

“ Atau kamu nemenin Bapak! he he. Bapak udah lama pengen “nyicipin” kehangatan Polwan bening kayak kamu Sinta”, Burhan menjulurkan lidahnya kepadaku seperti hendak melumatku, “ bagaimana??”, Burhan tersenyum mesum tanpa melepakan pegangannya di daguku.

Selintas aku teringat perbuatan Burhan setengah tahun yang lalu. Saat itu Tantri sedang menghadapi musibah, pacarnya- kini suaminya- Alex, kala itu kecelakaan motor di Pulau Dewata, aku menelponnya sambil menangis ingin curhat mengenai pelecehan Burhan terhadapku.

Setengah tahun yang lalu, Burhan memanggilku masuk ke ruangannya, dan mengajakku untuk berbuat mesum. Bukan hanya itu, dia juga meraba secara tak senonoh, beberapa titik sensitive tubuhku. Sayang saat itu Tantri tidak punya waktu untuk mendengar curhatanku. Hingga kini dia tidak tau apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Pak Burhan. Ketika itu aku berhasil menolak kemesuman Burhan dan terbirit-birit lari meninggalkan ruangannya.

Kini aku tidak sanggup berkata apa-apa lagi. “Tanto kenapa kamu menempatkan aku di posisi seperti ini. Mendengarmu akan dipecat menghancurkan hatiku, dan membuatku lemah dihadapan orang ini”, batinku.

“ Bapak tau kamu pasti lebih memilih nemenin Bapak!”, Burhan kembali menantangku untuk menjawab tawarannya.

Aku terbisu tidak sanggup berkata.

“ He he ayo ikut Bapak, kita tinggalin si Tantri bodoh itu”, Pak Burhan langsung menggandeng tanganku.

Aku pasrah saja ditariknya menjauh dari ruang resepsi. Untuk terakhir kali aku menoleh ke arah Tantri mengharap perlindungannya, tapi dia tidak menoleh.

“ Tantri tolonglah aku!”, jeritku dari dasar hati. Tapi Tantri terus saja tersenyum pada para tamu undangan yang menghampirinya, tanpa mempedulikanku.

Burhan terus menggandengku sepanjang jalan, tanpa menghiraukan pandangan orang lain. Mengenakan kebaya yang demikian ketat, rasanya membuatku berjalan begitu tertatih. Mau dibawa kemana aku ini sebenarnya.

“ Ayo naik mobil Bapak, jangan malu-malu Sin!”, tangan Burhan dengan nakal meremas belahan pantatku, setibanya kami di parkiran. Burhan memarkir mobilnya agak jauh dari lokasi sehingga jarang orang yang melintas di tempat ini.

“ Ummmm wanginya tubuhmu Sin”, aku dipepet menempel ke body mobil dalam posisi membelakanginya, “ kamu gak boleh nglawan ya! inget nasib Tanto ada di kamu! kalo kamu bisa muasin Bapak, Tanto bisa bebas, tapi, kalo kamu ngecewain Bapak, bukan hanya Tanto yang dipecat, kamu juga bisa Bapak libatiin supaya ikut dipecat, Ngerti kamu Sinta!!”.

“ Sssssiap mengerti Komandan”, jawabku dengan air mata yang mulai menetes di pipi.

“ He he he pinter kamu cupppp”, Burhan mulai menciumi tengkukku yang terpampang jelas dihadapannya. Perutnya yang buncit terasa menekan tubuhku hingga semakin menempel di mobilnya. Dengan tetap mendaratkan ciuman di tengkuk, tangannya tak henti meremas-remas pantatku.

Bertepatan saat dia sedang asyik menggerayangiku, kami tiba-tiba dikejutkan dengan suara mobil yang datang dan parkir tak jauh dari parkiran kami.

“ Ckkk kenapa sih mobil ini ikut-ikutan parkir disini! ganggu aja”, geram Burhan menahan kesal Karena aksi bejatnya terganggu.

Aku merasa lega dapat lolos, meski sesaat, dari perilaku cabul Komandanku sendiri. Dengan penuh kegugupan berusaha kurapikan dandananku yang acak-acakan. Mobil itu berhenti tepat disamping kami. Kulihat pengemudinya turun kemudian melangkah pelan, namun penub percaya diri ke arah kami. Laki-laki itu begitu muda, gagah, percaya diri, dan berwibawa.

“ Komandan Burhan sedang apa Komandan disini?”, tanyanya.

“ Itu urusanku Jaka, ngapain kamu nanya-nanya segala”, Begitu ketus Burhan memberi jawaban.

Menerima jawaban kasar seperti itu Inspektur Jaka hanya tersenyum dan menoleh ke arahku, “ Brigadir Sinta bukan??”, tanyanya kepadaku.

“ Sssssiap betul Komandan”.

“ Kebetulan aku ada perlu sama kamu, bisa ikut aku sebentar”, begitu bahagia aku mendengar ajakannya, hingga nyaris berlari untuk menghampirinya.

“ Hei Jaka jangan kurang ajar ya kamu! ingat pangkatku lebih tinggi dari kamu! Si Sinta ini ada urusan denganku, kamu jangan ganggu dia!”.

Sangat tenang Jaka menerima hujatan Burhan, “ Siap Komandan, betul pangkat Komandan lebih tinggi dari saya. Tapi, yang ada perlu dengan Brigadir Sinta adalah papaku Komandan Hendri. Kalo saya tidak salah, pangkat Papaku masih lebih tinggi darimu Komandan. Mohon ijin sebelumnya atas kelancangan saya”.

“ Ciuh”, mendengar jawaban Jaka, Burhan meludah ke tanah, “ Perwira muda jaman sekarang gak punya sopan santun!”, geramnya, “ awas kamu ya Jaka! ada masalah kamu nanti, kuhabisin kamu!!”, Burhan kembali meludah, dan mendorongku agar minggir dari mobilnya.

Dengan meraungkan gas mobilnya sebagai ekspresi kekesalan, Burhan meninggalkan kami berdua dalam kepulan debu yang begitu menyakitkan mata.

“ Uhuuk…uhukkk…uhukkk..”, aku terbatuk karena polusi debu ini.

“ Kasian kamu Sinta nih pake sapu tanganku”, Jaka telah berdiri di sampingku sambil menyodorkan sapu tangannya. Dengan malu-malu kuambil sapu tangannya, langsung kututupi hidungku dengannya. Begitu harum sapu tangan ini, sama seperti orangnya. Hari ini Inspektur Jaka adalah laki-laki paling tampan yang pernah kutemui seumur hidupku. Bukan hanya secara tampilan fisik dia ganteng, tapi dia telah menyelamatkan hidupku. Aku berhutang budi kepadanya.

“ Kamu baik-baik saja Sin?”, tanyanya dengan wajah penuh perhatian.

Aku menunduk tersipu, masih tidak percaya diperhatikan oleh seorang Perwira idaman seperti dia, “ Sssssiiaaap baik Komandan”, akhirnya lidahku bisa juga menjawab pertanyaannya.

“ Mau ngapain Burhan sama kamu Sin??”, tanyanya.

“ Eeeee…eeeeee….”, aku tergagap tidak bisa bicara.

“ Udah gak usah dijawab!, aku tau di itu mesum. Makanya ngeliat kamu sama dia, aku yakin ada yang gak beres. Sekarang, yuk temenin aku masuk kedalam!”, ajaknya ,“ malu aku Sin, masuk ke nikahannya Tantri seorang diri aja gak sama pendamping. Apa kata orang nantinya”.

“ Eeeeee Sssssinnta sekarang masihh jadi pagerrrr ayuuuu Komandan”, aku masih saja tergagap.

“ Gak apa, pager ayu cantik kayak kamu, pasti bikin orang iri sama aku, yuk ikut”, Jaka hanya menolehkan kepalanya agar aku mengikutinya. Baru saja Burhan berusaha mencabuliku. Sekarang tiba-tiba ada perwira muda tampan, idola seluruh Polwan, ingin ditemani masuk olehku, dan memujiku dengan mengatakan aku cantik. Rasanya aku melayang tinggi.

“ Tolong ya Sin!”, Jaka berbicara kepadaku yang masih saja tertunduk salah tingkah.

“ Aaaaaapaa Kooommandan yyyang dapat Sinnnta bantu?”.

“ Gak usah gugup begitu”, dia tersenyum , “ kamu udah punya pacarkan si Tanto?”, aku mengangguk, “ Sebentar saja lupakan Tanto ya Sin! temenin aku! bersikaplah sebagai pendampingku ya! sebentar saja paling cuma 15 menitan”, dia menatapku dengan pandangan yang begitu dalam. Tantri pernah bercerita padaku, bagaimana besarnya daya tarik Inspektur jaka terhadap wanita. Semula aku tidak mempercayainya, tapi sekarang…aku telah bertekuk lutut di telapak kakinya.

“ Siiiap Koomandan”, jawabku. Dalam hatiku bahkan aku menjawab, “silakan Komandan jadikanlah aku sebagai pacarmu. Kalo sekarag engkau “menembakku”, Tanto pasti segera kuputusin.

“ Terima kasih Sinta”, Jaka kembali tersenyum dan menggandeng tanganku.

Berbeda dengan Burhan yang menyeretku bagai binatang. Jaka membawaku dengan lembut dan penuh kehangatan. Dia memang betul-betul berkharisma. Baru saja kami memasuki gedung, sedah banyak mata yang menatap kami berdua dengan rasa ingin tahu. Terlihat di setiap bangku, beberapa ibu-ibu undangan, mulai kasak-kusuk berbisik. Pasti mereka sedang bergosip mengenai Jaka yang hadir bersamaku.

“ Wah ini pendampingmu Jack?? cantik sekali”, tanya seorang pejabat tinggi di Kepolisian Daerah.

“ Siap betul Komandan, ini Sinta”, jawab Jaka memperkenalakanku.

Begitu fasih Jaka memperkenalkanku kepada setiap tamu yang bertemu dengan kami. Dia betul-betul memperlakukanku seperti pendampingnya. Begitu bangga dia, meskipun hanya pura-pura, memperkenalkanku kepada orang-orang. Banyak orang yang memang telah mengenalku, menjadi penasaran dan mendatangi kami. Beberapa diantara mereka, pejabat dari Provinsi belum mengenalku, tapi memuji kecantikanku. Tiba-tiba Sinta si pager ayu menjadi terkenal di ruangan ini.

Digandeng terus aku oleh Jaka, sampai kami naik ke tangga yang menuju podium utama tempat Tantri berada.

“ Selamat ya Mbak Tantri! Sudah menikah dengan pria yang sangat kamu cintai”, Jaka menjabat tangan Tantri dan menatap wajahnya.

“ Terima kasih banyak Mas sudah mau datang ke nikahan kami. Lho?? Mas bareng Sinta??”, Tantri tampak terkejut dengan kehadiranku tepat dibelakang Jaka. Tangan Jaka tetap tidak lepas memegang tangan Tantri.

” Iya, Mbak belum tau ya kami berduakan pacaran sekarang”, Jaka menatapku dengan senyum yang begitu indah, wajahku betul-betul merah padam dibuatnya.

“ Gak nyangka! selamat ya Mas”, Tantri tetap tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Akhirnya dengan sebuah anggukan Jaka melepas tangan Tantri, “ Mas Alex selamat ya!”, Jaka kini menyalami Alex, “ jaga Mbak Tantri baik-baik ya! Mas laki-laki yang berntung”, kata Jaka.

“ Sin!”, suara Tantri mengejutkanku, “ Beneran kamu jadian sama Jaka??”, belum sempat aku menjawab, tangan Jaka sudah menggandeng tanganku , “ bener donk Mbak, masa gak percaya, ayo sayang kita turun!”, ajaknya sambil memanggilku dengan panggilan “sayang”.

“ Selamat ya!”, bisik Tantri kepadaku sebelum turun tangga.

Aku jadi bingung sendiri. Selamat apa?. Apa sebenarnya yang terjadi??. Semua terjadi begitu cepat, aku tidak sanggup mengikutinya.

Tanpa berkata apa-apa Jaka, terus menggandengku begitu mesra. Dia tidak ingin berlama-lama berada di ruang resepsi, perlahan namun pasti, ia menggandengku untuk melangkah bersamanya menuju parkiran mobil.

Aku betul-betul hanya bisa terpesona, melihat semua gerakannya yang begitu cepat, namun memancarkan pesona. Sambil terus tertunduk dengan berjuta pikiran dan perasaan, aku mengikuti saja kemana aku ingin dibawa olehnya. Ketika Jaka membukakan pintu mobilnya agar aku naik, aku menuruti tanpa mampu mengatakan apapun. Diciumunya tanganku lembut dengan begitu gentel, kemudian ditutupnya pintu mobil.

Jaka masuk tanpa berkata apapun, kemudian menghidupkannya dan menjalankannya. Aku tidak tau hendak dibawa kemana. Jakapun hanya diam membisu sepanjang perjalanan. Dia terus mengemudi dalam kebisuan, sampai kami tiba di sebuah rumah yang cukup besar. Tampaknya ini adalah rumahnya sendiri.

Dengan tangkas, diajaknya aku turun, kemudian dibukanya kunci rumahnya. Tampaknya tidak ada orang yang menunggui rumahnya, karena begitu sunyi rumah ini. Cepat dia menutupnya kembali. Kemudian, apa yang berikutnya terjadi betul-betul di luar kuasaku.

Jaka menciumku di bibir hingga tubuhku tersandar di pintu. Begitu bergelora dia mencumbuku. Aku sebagai wanita, seakan tak berdaya, menerima ciuman ini. Sebagai anak manja, dibekap kemudian dicium oleh pria dengan wibawa demikian besar, bagaikan impian yang menjadi nyata. Kubalas cimuannya dengan gelora yang sama. Tanto sebagai pacarku, tidak pernah kurasakan memberikan ciuman yang begitu penuh hasrat seperti yang dilakukan Jaka sekarang.

Bibir kami bertemu begitu erat. Saling bertukar rasa dalam keindahan hasrat birahi. Jaka begitu menikmati keintiman yang hadir dengan pertemuan bibir kami. Tanpa melepas ciumannya dibawanya aku menuju kamarnya yang terletak tak jauh dari sana.

Ditendangnya pintu kamar dengan tetap mendekapku. Tubuhku yang mungil, membuat Jaka begitu mudah menyeretku. Sampai di ujung tempat tidur. Jaka melepas ciumannya. Nafasnya begitu memburu dirasuki oleh nafsu. Jaka kemudian mengangkat tubuhku, dan melemparnya ke atas ranjang.

Terlempar seperti itu, membuat pikiranku ikut melayang. Aku betul-betul tak kuasa menolak perzinahan yang begitu indah seperti yang akan dilakukan Jaka kepadaku. Masih tanpa mengucap satu patah katapun, Jaka dengan otot tangannya yang kuat berusaha melepas kebayaku. Tak sabar dia dengan begitu banyaknya lipatan di kebaya ini hingga merobeknya dengan ganas.

Dirobek rok kebayaku dari sisi samping. kemudian kancing baju kebayaku dikoyaknya. Kedua tangannya menyingkap kebaya itu. Kini tubuhku hanya tinggal mengenakan Bh dan CD saja. Kembali diciuminya aku yang tengah “melayang”, tak sadarkan diri, menerima kejutan terbesar dalam hidupku ini.

Geriliya ciumannya telah dimulai berawal dari pagutannya di leherku. Warna putih kulit leherku mulai berubah menjadi kemerahan akibat cupangannya.

Ciumannya terus turun hingga turun menuju ke BHku. Kembali dia hilang kesabaran dan membetot tali BH serta Cd yang menghalanginya menikmati kemolekan tubuhku secara keseluruhan. Setelah pakaian dalamku tanggal, tampak dari tatapan matanya begitu terpesona Jaka melihat tubuhku.

Ukuran tubuhku memang mungil, namun payudaraku cukup montok dengan puting yang menggoda. Perutku cukup ramping, karena disiplin makan yang kulakukan selama ini. Turun ke bawah organ intimku ditumbuhi rambut kemaluan halus yang terawatt.

Tanpa menunggu waktu lama Jaka mengenyot puting payudaraku.

“ Aaaaaaggggghhhhhh”, aku menjerit.

Jaka semakin bersemangat mendengarku menjerit. Ditangkapnya kedua payudaraku yang padat berisi, kemudia diremasnya begitu kencang.

“ Uuuuuuuuuhhhhhhh”, kugelengkan kepalaku ke kiri dan kanan, bersamaan dengan jambakanku di rambutnya. Sangat tidak sopan, seorang anak buah menjambak rambut atasannya, hanya saja kami berdua kini sedang birahi, aturan apa yang dapat mengatur manusia yang tengah birahi?.

“ hufffff….huffffff”, ditiupnya putting susuku yang sudah mengacung karena terangsang, kemudian dilahapnya.

“ Aaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh”, aku terpejam, dengan rahang kaku, menerima sedotan keras di payudaraku. Begitu nikmat rasanya mendapat “kejutan” yang menghantam setiap pori kulit tubuhku.

Bergantian Jaka menyusu di teteku. Kadang dia gigit puting susu itu, sampai membuat tubuhku terangkat saking tak sanggup menanggung sensasinya. Sambil menyusu, tangannya mulai meraba ke area selangkanganku.

Dirabanya sejenak celah diantara rambut kemaluan itu. Kemudian berusaha ditusuknya celah itu dengan jarinya. Saat merasakan jarinya dapat masuk dengan mudah ke lubang sempit itu, Jaka menganggukkan kepalanya, sambil melihat wajahku. Anggukannya seolah ingin menyatakan ; bahwa aku sudah tidak perawan lagi, dan dia sangat senang mengetahui hal itu.

Baju batik yang dari tadi dikenakannya dilepasnya berikut celana panjangnya. Inspektur Jaka yang biasa kulihat berpakaian seragam lengkap, kini polos bugil dihadapanku. Tubuhnya begitu perkasa, lengkap dengan penis yang telah mengacung tegak. Tanpa basa basi, kedua tangannya mengangkangkan kedua pahaku, dan mengarahkan senjatanya yang telah siap tempur ke gerbang pintunya.

Kedua tanganku menyentuh pinggang dan perutnya bersiap untuk menerima penetrasi laki-laki impianku ini. Wajah kami kini berhadapan. Kini tak ada lagi Jaka dengan wibawanya, yang ada hanya laki-laki yang tengah dimabuk hasrat seksual. Nafasnya memburu. Matanya terpejam, saat dia mulai mendorong penisnya masuk ke dalam liang senggamaku.

“ UUuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu”, aku mengikutinya memejamkan mata, dibarengi desahan pelan.

Penisnya kurasakan mulai masuk sempurna di dalam vaginaku. Jaka mulai menggeram tertahan, tak sanggup merasakan kehangatan serta kerapatan vaginaku.

Penisnya yang tertanam, mulai diangkatnya perlahan sampai seperampatnya terangkat, kemudian disodoknya lagi masuk ke dalam.

“ Oooooooohhhhh Siiiiintaaaaa”.

“ Uhhhhhhhhhhh ahhhhhhhh Masssssss”, kubalas racauannya.

Sodokannya perlahan, mulai sliding dengan lancar. berulang-ulang ditumbuknya liang senggamaku. Jaka menindihku dengan konsentrasi yang begitu terfokus. Diciumnya kini bibirku , sambil penisnya berusaha terus menyodok. Membalas gerakannya, mulai kupuntir pantatku, untuk membuat gerakan memutar pada vaginaku, ini kulakukan agar penisnya merasakan terpelintir oleh otot vaginaku.

“ ooooooooooooooooohhhhh”, Jaka makin gila menggeram.

Terus kuputar pantatku. jaka menghentikan gerakan putaranku dengan tangannya. Wajahnya tampak merah padam membiru tak sanggup menghadapi puntiranku.

Diciumnya bibirku. Sambil membalas ciumannya, kueratkan kuncian kakiku dipinggangnya, untuk semakin memperdalam penetrasinya.

“ mmmmmmmmmmmm”, Jaka semakin tak kuat.

Sambil mengunci kaki, mulai kukocok penisnya di dalam vaginaku, dengan menggerakkan pantat turun naik secara mandiri.

“ Sintaaaaa kamuuuuuuu…………………”, melotot Jaka dengan ekspresi campur-campur.

Terus, kunaik turunkan tubuhku dengan gerakan yang makin cepat, tanpa memberinya kesempatan untuk menunda ejakulasinya.

Dari dalam liang cintaku sendiri, rasa gatal nikmat memang sudah tak sanggup kutahan lagi. Desakan untuk meletupkan kegatalan ini, membuatku semakin memacu pinggulku agar gesekan penis di vaginaku makin terasa.

Ketika gesekan itu telah terpusat di titik yang tepat, bersamaan dengan itu seluruh aliran darahku berkumpul di titik itu. dalam gerak lambat penis Jaka terasa menggesek dan menumbuk titik itu dengan penis kerasnya, hingga akhirnya tanpa dapat kutahan, membuatku meledak tak terkendali.

“ Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh”, kucakar punggung Jaka, sambil terus mengangkang memompa vaginaku agar semakin cepat menggesek penis Jaka.

Rasa orgasme itu begitu nikmat. Bukan orgasme biasa. tapi sebuah ledakan akibat rasa gugup, binal, terkejut, bingung menjadi satu. Terus kucakar bahu jaka. Puntiranku tidak kuperlambat justru kupercepat.

“ Sintaaaaa akuuu mau keluarrrrrrrrr”, Jaka mencabut penisnya, dan mengarahkannya ke payudaraku, “ Sintaaaaaa…….croooot….crooot…croooooot”, deras penis itu memancarkan air mani yang begitu kental. Tubuh Jaka mengejang hebat diatas tubuhku.

Setelah semuanya tertumpah rebahlah dia diatas tubuhku. Nafas kami sama-sama tak beraturan.

“ Terima kasih Sinta, kamu cantik sekali”, Jaka berbisik dengan nafas tersengal.

“ Komanndan…..”.

“ Panggil saja Mas Jaka”.

“ Harusnya aku yang mengucapkan terima kasih Mas”, balasku. Kami kembali berpelukan mesra.

Jaka segera terlelap dipelukanku. Meninggalkan aku yang begitu kebingungan. Sekarang begitu aneh kisah cintaku. Aku sudah memiliki pacar, namun kini pacarku itu terbelit kasus yang mengancam karirnya dan juga karirku. Burhan sebagai atasanku malah ingin memancing di air keruh terhadap kasus itu. Sekarang ada yang lebih parah, aku tengah dibekap oleh seorang perwira tampan, yang tanpa basa-basi menggunakan wibawanya untuk meniduriku dan tanpa rasa bersalah, aku justru menyambut nafsunya.

“ Wahai cahaya mentari, apakah esok engkau masih bersinar untuk menghangatkan hidupku yang tak dapat ditebak ini??”, gumamku dalam hati

Hajat Jaka telah tertumpah di payudaraku. Bagi Lelaki, bila telah berhasil “menumpahkan benih” di tubuh seorang wanita, sama artinya telah “mengecapkan stempel” pada diri wanita itu. Mungkin, Jaka telah berhasil mengecapku menjadi wanita kesekian yang telah berhasil ditidurinya.

Dasar lelaki, kalo udah “selesai” kemauannya, langsung aja mendengkur. Jaka kini pulas tertidur. Sejenak, aku merasa akan menjadi calon istri seorang Perwira. “Pejantan” yang takluk disisiku ini bisa jadi bakal mendampingi hidupku selamanya. “ Kamu pemimpi Sinta, mana mau dia sama kamu”, suara hatiku tiba-tiba berbicara. “ Kenapa dia tidak mau?? barusan saja dia menggauliku seperti aku adalah istrinya?”, jawabku , “ Dia lagi birahi aja tadi, salahmu sendiri mau aja “digauli” kayak binatang begitu!. Ingat Sin, kamu masih punya Tanto!. Gimana perasaan dia??, Udahlah cepat tinggalin rumah ini!”, perintah suara dalam hati.

Mendengar nama Tanto, menyentak kesadaranku akan urusan yang belum selesai. “ Tanto, ada dimana kamu, kita perlu bicara”, aku membatin. Tangan Jaka yang masih memelukku kutepikan, kemudian beranjak bangun dari ranjang tempat tidur. Kebaya pink yang semula begitu indah ini kini sudah terkoyak oleh birahi. Harus mengenakan apa aku untuk pulang?. Inisiatif, Kubuka lemari Jaka untuk mencari pakaian yang pantas kukenakan. Kupinjam saja dulu bajunya yang pas dengan ukuranku.

Dari dalam lemari aku menemukan sepasang celana pendek dan kaos bola ukuran sedang, yang terlihat pas. Walaupun “lobok”, minimal pakaian ini dapat membungkus ketelanjanganku. Habis salin aku melangkah keluar kamar. Sebelum meninggalkan ruangan, kulirik Jaka yang masih terlelap telanjang. “ Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku Mas??, besar harapanku kepadamu. Tapi, apakah kamu akan sambut cintaku?. Bagaimana jika ini hanya menjadi cinta yang bertepuk sebelah tangan”.

Meski pesimis soal masa depan hubungan kami, setidaknya persetubuhan panas tadi membangkitkan harapanku untuk suatu saat dapat bersanding dengannya di pelaminan. Kulangkahkan kaki keluar dari rumah Jaka dengan sejuta kesan dan pertanyaan. “Bagaimanapun kedudukan sosial kami tidak sederajat. Tapi bukankah cinta sejati selalu misterius. Sepanjang kami berdua memiliki cinta, semua bisa terjadi”, lamunku sambil menaiki taxi yang akan mengantarku pulang ke asrama.

HARI KEDUA : “ FIRST LOVE IS THE DEEPEST “

Keesokan harinya, aku terbangun gamang di ranjang. Tantri kini telah meninggalkan rumah dinas. Dia meninggalkanku seorang diri. Markas berencana menempatkan seorang Polwan remaja baru untuk menggantikan Tantri. Rasa sepi yang mulai melanda benar-benar perih. Aku tak sanggup , berada dalam kesunyian, tanpa seorangpun yang mau mendengarkan keluh kesahku seputar permasalahan kehidupan.

Berusaha tegar diriku untuk bangkit kembali dan menata kehidupan demi menyongsong hari baru. Walau terasa berat namun hidup harus terus berjalan. Kuambil handphone untuk sekedar menyapa Tantri, menanyakan kabarnya yang tengah asyik berbulan madu.

“ TRI SAYANG , GIMANA KABAR BULAN MADUNYA??”, kuketik cepat, sambil mengenakan Pakaian Dinas Harian.

Tak lama, bunyi pesan balasan berbunyi. Segera kubaca ; “ BULAN MADUNYA HEBOH SIN!. GIMANA KABARMU?? AKU KAGET BANGET KAMU JADIAN SAMA JAKA! SEJAK KAPAN?? KENAPA GAK PERNAH CERITA”.

“ AKU BINGUNG SOAL ITU TRI! KAPAN AKU BISA TELPON KAMU BUAT NYERITAIN SEMUANYA??”.

“ NANTI SORE BISA. TELPON AKU YA SINTA!”.

“ OKE TRI MAKASIH BANYAK YA SAYANG!! SALAM UNTUK ALEX”.

Kututup hand phone. Meski berjauhan, setidaknya Tantri masih bersedia untuk mendengar, itu sangat membantu. Sebelum berangkat tugas kusiapkan terlebih dahulu seluruh perlengkapan dinas yang diperlukan agar hari ini dapat kulalui dengan sukses tanpa halangan. Peralatan ini semuanya kusimpan di dalam tas, kemudian kubawa naik ke sepeda motor. Untuk pertama kalinya aku berangkat menuju kantor tanpa siapapun yang mendampingi.

Sampai di Markas, sosok Pak Burhan merupakan “momok” yang harus dihindari. Sedari apel dia terus mencariku. Secara sembunyi-sembunyi dan bergerak senyap aku berupaya mengelak. Kebetulan hari ini ada demonstrasi mahasiwa menuntut pengusutan kasus korupsi. Aku merasa tertolong kala membaca Surat Perintah penugasan, dimana namaku tercantum sebagai salah seorang Polwan yang ikut serta dalam regu pengamanan.

Lain Komandan Burhan, lain pula Inspektur Jaka. Tak disangka dia juga mencariku. Khusus untuk dia, aku tak tau harus berkata apa. Kemarin, tanpa mengucap satu patah katapun, dia menggumuliku. Tentu aku tak bisa menyalahkannya begitu saja. Aku sendiri “jangan-jangan” yang ingin ditiduri oleh seorang Perwira tampan. Bukankah setiap Wanita memiliki pesona, yang akan digunakannya untuk “menjaring” mangsa yang diinginkan untuk menjadi suami. Pesona itu adalah tubuhnya. Ketika pria bujangan memutuskan “meniduri” seorang gadis, maka si wanita punya posisi tawar lebih besar untuk menuntut dinikahi.

Namun untuk Jaka, posisi tawarku tetap lemah. Bagaimanapun juga, posisiku yang terjebak ditengah “dilema”, menempatkanku dalam posisi rumit. Dilema yang kumaksud, disebabkan oleh tiga pejantan ini ; yang pertama Tanto pacarku yang membawa kasus, kemudian Pak Burhan dengan kekuasaannya, terakhir Jaka lewat wibawa dan ketampanan seorang Perwira. Dilihat dari sudut manapun peristiwa kemarin terasa begitu aneh. Hal itulah yang membuatku malu menemuinya. Bagaimanapun aku masih menjaga kehormatan dari pandangan orang lain dan partner kerja. Statusku masih pacarnya Tanto seorang Brigadir Kepolisian. Walau secara kepangkatan, statusnya masih jauh di bawah Jaka, secara kodrati, dia tetaplah manusia yang memiliki hati. Bagaimana perasaannya kalo dia tau pacarnya telah ditiduri seorang Perwira?.

Aku memutuskan mengesampingkan semua kemungkinan terburuk yang hadir, dan memilih memusatkan perhatian menghadapi demonstrasi. Segera kutukar bajuku di ruang ganti dengan Pakaian Dinas Lapangan. PDL merupakan baju lapangan khusus untuk menghadapi kegiatan di medan operasi. Berbeda dengan PDH yang mengenakan rok dan berlengan pendek, Pakaian PDL merupakan seragam tangan panjang, dibawahnya rok diganti celana panjang berkantung, lengkap dengan sepatu boot panjang. Untuk menghadapi demo, baju ini masih dilengkapi rompi anti peluru, kemudian baret. Sejenak kupantaskan penampilanku di cermin. Ketika kunilai semua telah “pas” barulah kebergabung dengan regu pengamanan.

Apel Briefing singkat menjadi awal pengantar tugas. Pasukan yang berbaris rapi merupakan symbol kesiapan menghadapi tantangan. Selain kesiapan personil, tampak dari kejauhan tiga buah unit mobil truk berukuran besar milik unit anti huru-hara telah siap mengangkut para pasukan. Disamping truk, juga berjejer mobil besar “barracuda” dan water cannon. Semua kelengkapan sudah siap.

Bersama pasukan dan kelengkapan anti huru-hara, kami melangkah menuju kendaraan.

“ Sinta tunggu sebentar!”, sebuah suara menghentikan langkahku.

” Sssssiiap Inspektur Jaka”, kenapa aku masih saja tergagap bila bersua dengannya.

“ Kamu menghilang kemarin!”, Jaka menyentak dengan pertanyaan yang membuatku otomatis tertunduk, “ Mas nyari kamu ke tiap sudut rumah, tapi kamu lenyap”.

“ Iiiiiiyyyaa mmmmaaaf Kkoom….Masss….Koomannndan”, aku makin tergagap dan salah tingkah, “ Mmmmaaaf Siiinnta gggak enak Komandandann, takut ada orangg yang liat. Ooo ya Ssiinta ngammbil bajuu Kkomandan yang ada di lemaari, ada di ttas Komandan, nnanti diantarrkan ke ruangann”.

“ Emang kenapa kalo ada orang yang liat?? ”, sosor Jaka.

“ Iiiiyaaa Koomannndan maalllu ….”.

“ Gak boleh kamu ngilang lagi kayak kemarin Sinta! Mau kemana kamu sekarang?”.

“ Ppppenggamanan demo Komanndan”.

“ Ada demo? dimana?”.

“ Di depan Kantor Bbbupati Komandan, aaada yang menuntut kkkasus korupsi”.

“ Hati-hati kamu! nanti Mas pengen bicara lagi, menghadap ya ke ruangan! sambil Bawa baju yang kemarin kamu ambil”.

“ Ssssiiiaapp Mass, eee maksudd Siinta; Kkomandan”.

Dia berpaling dingin seperti biasa. Begitu menjaga wibawanya dia dihadapan orang lain. Peristiwa kemarin seolah tak meninggalkan bekas apapun. Apa sebenarnya arti persetebuhan bagi laki-laki?. Dibanding diriku yang merasa begitu bersalah, dia justru cuek dan dingin. Apakah dunia kami memang berbeda? entahlah aku tidak tau. Kehilangan Tantri mulai terasa. Sosoknya yang selalu mau mendengarkan dan memberikan solusi sangat tak tergantikan. Dia pasti sanggup memberi jawaban mengenai dinginnya sifat Jaka.

Dengan langkah pasti kunaiki truk Pasukan anti Huru-hara. Bergabung bersama Polwan lain yang bertugas. Kami sama-sama berdoa terlebih dahulu. Bagimanapun pekerjaan sebagai Polisi mempertaruhkan nyawa. Komandan reguku hari ini adalah Inspektur Febi. Sebagai pimpinan, dia telah membagi tugas yang harus kami laksanakan di lokasi. Aku sendiri kebagian mengamankan demo di garis depan sebelah barat. Loksai ini berbatasan dengan pagar Kantor Bupati.

Setibanya di lokasi, kami- sekali lagi- melaksanakan apel persiapan. Setelah jelas pembagian tugas, meluncurlah kami menuju daerah persiapan. Siang itu aku banyak melamun dan termenung. Panasnya cuaca hari ini, yang masih ditambah menumpuknya kerumunan demonstran di depan kantor Bupati, tak sanggup mengalihkan lamunanku akan permasalahan berat yang tengah dihadapi.

Bagaimana menghadapi masalah yang bertumpuk?. Burhan tetap merpakan fokus utama. Kehilangan sosok Tantri sangat memukulku secara psikologis. Tanto sampai sekarang menghilang. Dan Jaka begitu misterius. “ Hufff Sinta, kamu udah gede, gimana coba caramu menyelesaikan ini”, batinku.

“ HATI-HATI…HATI-HATI….PROVOKASI”.



Berjarak setengah meter dihadapanku, para Demonstran mulai meneriakkan yel-yel dan merengsek maju sesekali menggoyang pagar betis Polisi. Mereka terus berteriak keras mengeluarkan aspirasinya.

“ TURUNKAN PEJABAT XXX, DIA TELAH MENCORENG MUKA KABUPATEN KITA DENGAN MELAKUKAN TINDAK TIDAK TERPUJI!!....”. Lantang mereka berbicara.

“ BAPAK POLISI DI HADAPAN KITA INI, BERUSAHA MENAHAN KITA UNTUK MEMASUKI RUMAH RAKYAT!! AYO TEMAN-TEMAN KITA MAJU UNTUK MENDOBRAK PAGAR TEMPAT PERSEMAYAMAN PARA KORUPTOR!!!”.

Polwan disampingku menggandeng tanganku untuk makin merapatkan pagar betis. Tampaknya situasi memburuk. Para Polwan telah ditarik mundur ke ring dua. Teman-teman PHH bersenjatakan pentungan telah mengambil alih pengawalan ring satu.

Berhadapan dengan kepanikan seperti ini, pikiranku malah kembali disibukkan memikirkan sosok Jaka. Begitu tampan dia, calon pejabat tinggi di Kepolisian. Sangat tinggi derajatnya di tengah masyarakat. “ Bagaimana ya seandainya aku menjadi istrinya. Kemudian bersanding mesra dengannya di pelaminan??”, aku kembali terbenam dalam lamunan.

Entah dari mana semua berawal, saat aku tengah asyik berkhayal, terdengar bunyi kaca pecah dihantam batu, bersamaan dengan terdengarnya baku pukul hebat ditengah kerumunan masa. “ Plakk….plukkk….bugggg…bagggggg…..AMPUUUUNNN……ADUUU UHHHH”, raungan dan jeritan mulai nyaring terdengar.

Kondisi menjadi tak lagi terkendali. Inspektur Febi, lantang berteriak-teriak kepada para Polwan untuk mundur ke balik pagar. Anggota PHH laki-laki yang bersenjatakan tameng dan pentungan mulai merengsek maju membubarkan masa. Di tiap sudut jalan, kepulan asap hitam - hasil ban yang terbakar- mulai mengganggu pernafasan dan penglihatan.

“ JANGAN MELAMUN SINTA!!! CEPAT LARI MASUK KE BALIK PAGAR!! DEMO SUDAH ANARKIS!!”, Inspektur Febi bereteriak sambil tangannya menarik rompi anti peluruku. Tersadar dari semua lamunan, aku berlari kencang masuk ke dalam pagar. Inspektur Febi terus menarikku hingga berhasil selamat terlindung dibalik tembok.

“ HEI BODOH JANGAN MELAMUN!!”, Febi menamparku, “ BISA MATI KAMU KALO NGLAMUN!!”.

“ Sssssiiiiap Koooomannndan mmaaafkannnn Sssinta”.

Aku hanya bisa meminta maaf terbata-bata, menyadari begitu fatalnya keteledoranku karena kehilangan fokus. Kuintip situasi aktual di depanku, telah berubah demikian brutal dan tak terkendali. Rekan-rekanku dari anti huru hara telah mengambil tindakan tegas untuk membubarkan masa. Gas air mata telah dilontarkan demi merusak titik konsentrasi masa.

Dari balik pagar, mobil water canon maju untuk menyiramkan air ke arah demonstran.

Inilah dinamika demokrasi yang berwujud demonstrasi. Dua hari sebelumnya, ijin yang masuk ke Polres, pelaku demo ini adalah mahasiswa. Namun di lapangan, sejumlah masa misterius bergabung dan memprovokasi demonstran. Akibat provokasi yang dikobarkan di tengah ribuan masa sangatlah fatal. Hujan lemparan batu bukan hanya membuat jatuhnya korban jiwa dari kedua belah pihak, tapi juga porak porandanya infrastruktur pemerintah dan masyarakat.

Polisi telah mempunyai protap yang jelas dalam menghadapi situasi semacam ini. Teman-teman begitu terlatih dalam mengendalikan masa. Segala tahapan, dari memberikan himbauan persuasive hingga upaya deteksi dini-melalui intel lapangan, telah ditempuh. Hanya saja ketika masa tetap mengamuk dan mulai merusak tindakan tegas-yang terukur- harus dilakukan.

Upaya pengendalian masa berjalan lancar. Berkat profesionalitas anggota di lapangan, hanya butuh 15 menit sejak lemparan batu pertama, masa pendemo telah berhasil dipukul mundur. Situasi berangsur kondusif. Anggota PHH dan intel telah meringkus sejumlah pelaku yang diduga provokator. Tim kesehatan juga mulai turun merawat korban jiwa dari kedua belah pihak.

Sisa anarkisme demo ini begitu terlihat. Pecahan kaca yang berhamburan, puluhan demonstran maupun Polisi terkulai bersimbah darah di jalanan, Gedung fasilitas pemerintahan dan masyarakat hancur lebur. Alangkah mengerikannya dampak demo yang berujung anarkis. Nafsu untuk “memaksakan sebuah pendapat” menghancurkan segala hal yang telah terbangun dengan baik.

“ Sinta sini kamu!”, Komandan Febi memanggil setelah suasana kondusif.

“ Siiap Koomandan”, sadar akan kekeliruan, aku mengambil sikap sempurna siap menerima hukuman.

“ Kamu meleng tadi! Bodoh sekali! Kalo kamu sampe celaka, aku yang akan tanggung jawab!. sebagai hukumannya kamu tinggal disini!. Ikuti mobil ambulance yang membawa korban ke Rumah Sakit. Data jumlah korban! laporkan balik kepadaku di Markas!”.

“ Siap Komandan”, Setelah memberi perintah, Inspektur Febi pergi kembali ke markas.

Untung saja aku hanya dihukum ringan. “ Huff kalo dihukum fisik, apalagi ditegur senior bisa mampus kamu Sinta” ujarku dalam hati.

Rombongan pengendali masa telah kembali ke markas. Mereka meninggalkanku bersama tim kesehatan. Kata orang aku ini orang yang ramah. Meski tidak terlalu pandai, untuk urusan bergaul aku termasuk supel. Dalam waktu singkat, aku telah akrab dengan tim kesehatan. Mereka orang-orang baik yang mendedikasikan dirinya dalam bidang medis.

Dibawah arahan mereka, mulai kubantu para korban. Banyak teman Polisi yang terluka terkena lemparan batu. Puluhan mahasiswa maupun warga juga banyak yang terluka terkena pentungan. Semua korban jiwa kudata rapih di catatan. Pemberian pertolongan pertama akhirnya rampung. Kami dapat mengantar mereka menuju Rumah Sakit.

Rumah Sakit Umum Daerah kami kini super sibuk melayani korban. Hadirnya para wartawan yang begitu banyak untuk menggali info seputar insiden ini membuatku merasa cemas. “Bagaimana ya caraku menghadapi wartawan?. Tidak ada Polisi lain- yang masih sehat-selain diriku disini”, mulai panic aku melihat awak media.

Berlagak sibuk aku untuk menghindari mereka. Kuambil tumpukan kertas kosong dari meja resepsionis. Dengan percaya diri aku mencoret-coret kertas itu. Menurutku, kini aku tampak sibuk dan tidak mungkin mereka akan menggangguku.

” Permisi, ibu yang bertanggung jawab disini??”. Rupanya dugaanku salah.
Aku berlagak cuek, terus mencoret-coret lembaran kertas.

“ Bu berapa korban yang jatuh??”, tanya wartawan lain.

Ketika kumelirik, rupanya para wartawan telah berkerumun. Aku tak bisa lagi berakting.

” Apa pemicunya Bu Sinta??”, kata wartawan lain yang rupanya membaca papan namaku.

Kilatan lampu flash kamera mulai berkelebat. aku semakin cemas. Dalam situasi tertekan seperti ini biasanya aku jadi tergagap.

“ Bu jangan diam saja donk! berapa jumlah korban??”.

Didesak terus aku terpaksa menjawab, “ Mmmmm, Jjjjuumllah …kkoorban 72 orang”, aku memaksa diri untuk tegas tapi tak bisa. Melihat aku tergagap para wartawan semakin mencecar, “ Dari mana saja mereka Bu?? ada yang tewas tidak?? siapa yang harus bertanggung jawab??”, terus mereka memburu, hingga membuatku semakin terjepit.

“ Sebentar bapak-bapak!, kasian Ibu ini. Biar saya bantu Beliau, apa yang mau ditanyakan?. Saya Dokter Ilham yang bertanggung jawab sekarang di ruang UGD ini”, Seorang Dokter muncul dari arah belakang. Sangat lega rasanya hatiku mendapat pertolongannya.

“ Pak Dokter berapa jumlah korbannya?? dari mana saja?? dan bagaimana perawatannya??”.

“ Baik saya jelaskan ; jumlah korbannya adalah 72 orang. Rinciannya sebagai berikut ; 10 orang dari Polisi sisanya dari mahasiswa maupun masyarakat. Semua korban kami jamin mendapat perawatan terbaik dari Rumah sakit”.

Fasih, dokter ganteng ini menjawab pertanyaan wartawan. Aku merasa sangat mengenalnya. Kenapa aku jadi telmi begini. Hanya Tantri yang tau “penyakitku” saat sedang tertekan. Bukan hanya jadi gagap, aku juga jadi lambat berfikir dan bersikap seperti orang bodoh. Termasuk dengan sosok Dokter ini. Andai saja dalam keadaan tenang, pasti, aku bisa mengenalnya.

Tenang sekali dia diserbu dengan pertanyaan bertubi-tubi seperti itu. Alih-alih panik, dia begitu relax. Kadang dia membuat joke yang mampu mencairkan suasana. Dengan kemahirannya, dalam waktu singkat para wartawan mampu diajak keluar dari ruang UGD. Berhasil menyingkirkan para insan pers, Dokter itu melangkah ke arahku. Siapa dia sebenarnya?.

“ Sinta apa kabar?? masih ingat aku??”, dia menyapaku. Kecurigaanku benar, seharusnya aku mengenal dia.

“ Mmmaaf Dok, sayyya luppa”.

“ Masih seperti dulu, gugupan kalo tertekan. ini aku Ilham.”.

“ Ilham??? yang bener???”. Akhirnya aku ingat sosok ini, “ Masa kamu.. udah jadi dokter Ham??”.

“ Iya berkat doamu, aku udah jadi dokter”.

“ Perasaan aku gak pernah doain kamu deh Ham”.

“ Ha ha ha masih kayak Sinta yang dulu! polos kalo ngomong. Yuk duduk dulu sini! kita ngobrol dulu mengenang masa lalu”. Diajaknya aku untuk duduk di sebuah bangku.

“ Gimana kabarmu Sin?. Lama kita gak jumpa”.

“ Baik Mas, aku sekarang jadi Polisi. Dinesnya di Polres sini”.

“ O ya?. Wah jodoh donk kita. Aku juga dinas di RSUD sini Sin. Aku kangen kamu!. Lama amat kamu ngilang”.

“ Ada kok Mas. Sinta gak ngilang”.

Cowo inilah yang merenggut kegadisanku. Sebenarnya aku menyerahkan kegadisanku kepadanya secara sukarela. Sedikit mengenang masa lalu. Waktu itu aku kelas tiga SMA, Ilham sudah jadi seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran. Figurnya kayak seorang kakak buatku ; dewasa, pinter, ngayomin dan sabar. Sifat lemotku dalam belajar terbantu banget dengan kehadiran Ilham.

Suatu saat waktu sedang belajar barsama, Ilham mengutarakan cintanya. Tidak berhenti sampe disitu, tak lama Dia juga berniat menikahiku. Buatku yang memang tidak terlalu “mudeng” sama urusan begituan, tawarannya hanya kuanggap angin lalu. Ilham tidak menyerah. Meski terus kuabaikan dia terus membantuku lahir batin. Dalam bidang pelajaran kehadirannya buat aku makin pintar.

Orang tuaku waktu itu “getol” nyuruh agar aku masuk Polwan. Untuk masuk Polwan memerlukan hasil UAN yang baik. Disinlah Ilham terus membantuku siang malam, supaya aku mendapat nilai bagus yang memenuhi persyaratan.

Singkat cerita, aku berhasil lulus dengan nilai memuaskan. Sebagai “rasa terima kasih”, aku menerima saja waktu Ilham ngajak aku liburan ke tempat wisata yang hawanya dingin. Masalhnya Ilham ngajak aku berdua saja. Tentu aku harus mencari cara membohongi orang tua. Akhirnya dipilihlah momen perpisahan sekolah, yang memang memilih tempat di lokasi yang sama. Ilham membooking sebuah villa, tak jauh dari lokasi kami menginap. Siang hari aku memang menghabiskan waktu bersama teman-teman, tapi di malam hari aku dijemput Ilham untuk menginap bersamanya.

Villa itulah yang menjadi saksi tercerabutnya mahkota keperawanan. Ditemani hawa dingin dan nafsu muda mudi yang begitu bergelora. Aku menyerahkan segalanya untuk Ilham. Bila harus menjawab, bagaimana rasanya malam itu, aku akan menjawab tegas ; “menyakitkan!”. Bertentangan dengan semua mitos yang kulihat di televisi, “membelah” keperawanan seorang gadis, tanpa “ilmu” yang mumpuni dan terburu-buru akan sangat menyakitkan. Pasca malam itu, Ilham masih mengajakku melakukan hubungan sampai beberapa kali, dan aku selalu menyanggupinya. Semuanya terjadi hingga aku masuk ke pendidikan Polwan. Sejak masuk asrama, baru sekarang aku bertemu lagi dengannya.

Jujur aku berbeda prinsip dalam hal ini dengan Tantri. Dia begitu tinggi menjunjung tinggi nilai keperawanan. Sedangkan aku, mengikuti kebanyakan pola pikir teman sepermainanku -waktu SMA- yang menganggap menyerahkan keperawanan sebelum waktunya adalah hal yang biasa-biasa saja.

“ Kamu tambah cantik Sin!”, Ilham memecah kebisuan.

“ Nggak ah Mas, biasa aja. Bau asep gini kok dibilang cantik”.

“ Justru makin cantik kamu kalo bau asep Sin!”.

“ Huu gombal!!”, merengut, wajahku menatap kearahnya. “ Udah punya istri kamu Mas?”, tanyaku.

“ Belum Sin masih jomblo aku”.

“ Cowo dimana-mana kalo ditanya cewe soal status,pasti jomblo jawabannya”.

“ Eh serius nih Sin. Kamu sendiri udah punya pacar belum??”.

Pertanyaan ini langsung mengingatkan aku sama Tanto dan masalahnya, jadi kualihkan aja omongannya ke topik lain. Ngomong sama Ilham memang lain. Kayak bicara sama orang yang mengerti banget siapa itu Sinta. Udah lama kami gak ketemu tapi obrolan kami tetap nyambung. Ilham ini bisa dibilang cinta pertamaku. Meski sampe sekarang, aku tetap gak ngerti; apa itu sebenarnya yang disebut cinta.

“ Brigadir Sinta, ayo kita kembali ke markas! semua korban sudah ditangani oleh Rumah sakit”, suara kepala unit kesehatan memotong pembicaraan kami.

“ Baik siap Pak! saya akan segera menyusul ke mobil”.

Ilham tampak kecewa harus berpisah denganku. “ Mas, aku pergi dulu ya! makasih banyak atas bantuanmu tadi!”, aku membungkuk kepadanya sebagai sikap menghormati.

“ Tunggu Sin berapa nomer hapemu? nomermu yang dulu udah gak aktif”.

“ Buat apa mas??”.

“ Pake nanya lagi! buat menghubungi kamu lah”.

“ Kirain!. Nih Mas nomerku..”, aku mendiktekan nomer hp, “ Ya udah Mas, Sinta jalan dulu ya”. Aku pamit meninggalkan Ilham yang masih terpesona.

“ Sin!”.

“ Ya mas??”, aku menoleh ke arahnya.

“ Kamu makin cantik”.

Kubalas ungkapannya dengan senyum.

Semakin banyak saja laki-laki muncul dalam hidupku. Sekarang judulnya cinta lama bersemi kembali buat Ilham. Untukku? hmm aku tak tau jawabannya.
Dengan mengendarai mobil kesehatan aku diantar kembali ke markas. Sesampainya di Polres, aku segera mengambil baju dan celana Jaka yang “kucolong” dari lemarinya. Janji untuk mengembalikan baju ini harus kutepati. Setengah berlari, kumenuju ruangan Jaka, berharap agar orangnya belum pulang. maklum sekarang sudah mulai gelap dan ruangan telah banyak yang kosong. Kesibukan mengurus korban membuat aku kemalaman. Sampai di sana, ruangan Jaka tampak kosong. “Apa Jaka sudah pulang ya?”.

Kuberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan. Melihat suasana yang begitu sepi, kuputuskan buat balik kanan saja. Namun, saat hendak meninggalkan ruangan, sepasang tangan kokoh tiba-tiba mencengkramku dari belakang. Kaget sekali aku jadinya. Apalagi saat tangan itu langsung melingkar di pinggangku yang masih berbalut rompi anti peluru.

“ Darimana kamu Sin?? Mas kangen sama kamu”, rupanya Jaka yang menyergapku. sembunyi diamana dia tadi?. Tanpa basa-basi, Dia mulai menciumi leherku dari belakang.

“ Ahhhhh Mas aku masih bau keringet”, aku berusaha mengelak dari ciumannya.

“ Gak apa cantik!”, Jaka terus menciumku sambil tangannya berusaha membuka rompi anti peluru. ” Bleg”, ditendangnya pintu ruangan, hingga tertutup. “ Kamu buat Mas tergila-gila, sekarang Mas mau menikmatimu”, dibaliknya badanku hingga kami berhadap-hadapan. “ Cuuup”, mesra dia mencium bibirku. Kubalas ciumannya dengan gelora yang sama.

Tangan Jaka berusaha melepaskan rompi anti peluru yang masih menempel ditubuhku. Dipepetkannya diriku ke tembok, kemudian diangkatnya kedua tanganku. Tangannya begitu lincah melepas semua jepitan rompi. Dalam waktu singkat rompi itu tanggal semua. Kami kembali berciuman mesra.

Lepasnya rompi anti peluru, membuat Jaka bebas menggerayangi tubuhku yang masih mengenakan PDL. Tangannya memegang erat tanganku untuk mengacung ke atas. “ Jangan turunkan tanganmu Sinta!”, bisknya. Aku mengangguk. Dia kembali menciumku, kini sambil tangannya “memompa payudaraku dari balik pakaian dinas. Tanganku yang teracung ke atas, membuat pompaannya di payudaraku begitu mudah.

“ Haaahh….hahhhh…hahhh”, aku sulit mengatur nafas kareana terus “dipompa”.

“ Blakkk”, kami berdua terkaget-kaget, saat daun pintu tiba-tiba didobrak. Aksi kami otomatis terhenti.

“ Jaka! ngapain kamu sama Brigadir Sinta”, keras nada bentakan yang kudengar..

Mendapat dobrakan seperti itu Jaka kaget, menoleh langsung ke sumber suara. Sedangkan aku yang terhalang tubuh Jaka masih belum tau siapa sosok yang mendobrak pintu ini.

“ Komandan Burhan..anda belum pulang??”, Jaka terlihat syok.

“ Pulang?? gimana aku bisa pulang, kalo ada anak buahku yang berbuat mesum. Awas kamu Jaka, perbuatanmu ini pasti kulaporkan ke Provost!”, Pak Burhan maju dengan nada arogan.

Tampaknya angin kini berpihak kepadanya , “ Nanti disana gak ada lagi Bapakmu yang bisa ngelindungin kamu!”, ditempelkannya wajahnya ke muka Jaka, “ Plakkkk”, Burhan menampar Jaka begitu keras hingga dia terhuyung. “ KAMU BENAR-BENAR BRENGSEK JAKA!!”, Burhan meledak. Jaka hanya bisa tertunduk menerima perlakuan Burhan.

“ Brigadir Sinta, sini kamu ikut saya! kita tinggalin orang gak bener ini”, Burhan menarikku untuk mengikutinya. Kini Jaka tdk sanggup lagi menolongku. Dia hanya bisa menatapku yang ditarik oleh Burhan sambil mengelus wajahnya yang habis ditampar.

Seperti ulangan adegan di Ruang Resepsi Tantri, Burhan kembali menyeretku. Bedanya kini kami menyusuri lorong markas. Dituntun aku menuju mobilnya. Langsung didorongnya aku agar segera masuk ke dalam. Pak Burhan segera menghidupkan mobil dan kami mulai berjalan.

“ Kurang ajar anak itu! Mau nyabulin kamu dia ya??”, masih emosi Burhan berbicara.

“ Mmmmmm kkkammmi, gggaak ngaaapa….”, aku mengelak.

“ Udah gak usah nutup-nutupin Sinta”, talunjuknya diarahkan ke bibirku , “ Jujur sama Bapak”.

“ Bbener Kkomanndan…..”. Kondisi “kegep” seperti ini membuatku jadi salah tingkah.

Posisiku sebagai wanita- anak buah lagi- kepergok sedang berbuat mesum oleh atasannya jelas membuat tak sanggup lagi bersikap.

“Sinta, kalo kamu bohong sama Bapak, kemesuman ini akan bapak naikkan agar jadi skandal besok!”.

“ Iijjin Koomandan betull gak terjadi apa-apa..”, aku menunduk berusaha bertahan.

Pak Burhan memindahkan gigi mobilnya semakin mempercepat perjalanan. “Aku gak munafik Sin”, dia kembali bercerita, “ aku cabul!! semua temanmu pasti bilang begitu”, emosinya tampak belum reda, “ tapi Bapak gak akan ngelakuin itu di kantor kayak yang Jaka lakukan barusan!”, dia menggeleng-geleng kesal, ” DASAR MUNAFIK DIA!”.

“ Kalo kamu gak percaya Sinta”, kembali dia berusaha berbicara, “ coba tanya semua Polisi Wanita yang kasusnya ditangani Bapak, gak ada diantara mereka yang bapak buka aibnya”, tegas gaya bicaranya, “ aman mereka semua, bapak gak pernah ngerendahin harga diri mereka, kayak yang dilakukan Jaka tadi terhadapmu”.

“…..”.

“ Mau tau apa aja kasus yang pernah bapak tangani?, ada Polwan yang foto bugilnya disebarin sama pacarnya. Persis kayak insiden yang jadi isu nasional itu, tapi bapak berhasil ngeredam dan beritanya gak sampe kemana-mana. Banyak juga yang indisipliner trus kasusunya mau diangkat sama atasannya, bapak juga yang nolong. Kalo Bapak dianggep jahat Sin, itu karena Bapak minta ditemenin satu atau dua malam doank sama mereka. Toh itu juga gak beratkan??. Sebagai imbalannya bapak jamin kasus mereka aman”.

Burhan melepas pegangannya dari perseneleng dan memegang wajahku lembut. “ Untuk kamu lain Sin! Bapak suka sama kamu”, aku terbisu, “ Bapak gak mau kebodohan Tanto, buat kamu tercemar”, entah dari mana datangnya tapi mulai terbit simpatiku kepada Burhan. “ Kamu masih muda! ngeliat orang masih dari luarnya doank. Kamu belum bisa ngeliat ada apa dibalik penampilan seseorang”, Burhan kembali menatap ke jalan, “ Si Jaka itu..hati-hati kamu sama dia”.

Entah apa yang dia maksudkan dengan ucapan itu. Burhan mendadak membelokkan mobilnya ke sebuah outlet baju ekslusive. Harga baju disini mahal dan hanya untuk mereka yang punya uang. Pak Burhan begitu misterius, sejenak lalu dia memaki Jaka, kini dia berbelok ke outlet. Mau apa dia?.

“ Ayo turun Sin! Lusuh kamu bau asep lagi. Bapak mau beliin baju buat kamu!”, Burhan begitu lembut. Beda sekali dengan tampilan bandotnya yang kami biasa lihat sehari-hari.

“ Sore Komandan!”, seorang tukang parkir menghormat kapadanya, “ Sore Ibu Polisi”, dia juga menghormat dengan sopan kepadaku, “ mau belanja Komandan Burhan??”, Burhan tampak merogoh kantong celananya. Perutnya yang membuncit jelas terlihat, “ Nih buat kamu Sep”, Burhan memberi tips untuk tukang parkir itu, ” Gimana anakmu sekolahnya lancar??”, Berwibawa sekali nada pertanyaannya. “ Lancar Komandan, berkat bantuan Komandan yang ngebantu SPPnya kemarin, anak saya bisa bersekolah lagi, kami sekeluarga gak tau harus ngebales apa sama kebaikan Komandan”, Sangat berterima kasih dia. “ Udah kamu kerja yang baik aja ya! cari uang halal, jangan yang haram. Nanti tak tangkep kamu kalo nyari uang haram”, canda Burhan. “ Siap Komandan”, balas si tukang parkir.

Kami berdua masuk ke dalam boutique. Benar dugaanku memang indah sekali baju-baju yang dipajang. Begitu mempesona dan trendi.

“ Tuh Sin kamu pilih dua stel baju yang kamu suka! Bapak yang bayar”.

“ Ehhh sssserrriuuusss Komm….”, aku tergagap mendapat kejutan ini.

“ Plek”, ditepuknya bahuku, “ Kamu gak usah gagap gitu kalo sama Bapak! tenanglah! Bapak gak gigit kamu kok”.

“ Ssssss….”.

“ Siaap”, potongnya, “ coba ulangi sekali lagi! Siap Komandan!”, tatapanya lembut menenangkan.

“ Sssiap Kkkkomandan”, aku berusaha.

“ ULANGI SINTA!”, suaranya meninggi.

“ Siap Komandan!”.

“ Nah tuh bisa!”, dia tersenyum senang,” Dah kamu pilih baju yang kamu suka! Bapak tunggu disini saja. Kamu yang pilih bajunya!”, lanjut Burhan.

Pak Burhan duduk di dekat kasir sambil menyuruhku memilih baju. Bingung!. Hanya itu kata yang bisa menggambarkan pengalaman ini. Semua perputaran roda nasib membuat aku jadi limbung.

10 menit telah berjalan dan aku gagal memilih satu bajupun. Melihat harga yang tertera membuatku gamang. Begitu mahal dan berkelas. Rasanya tidak pantas untukku.

“ Kamu harus yakin Sin!”, suara Burhan mengejutkanku.

“ Yakin Komandan?”.

“ Belajar yakin! kamu itu cantik!. lebih dari Tantri, tapi kamu gak sadar. Gaya bicaramu masih gagapan, itu nunjukin masih ada keraguan dari dalam diri”, Burhan menghela nafas, perut buncitnya membuat nafasnya terdengar begitu berat. “ Sekarang pilih dua baju, Bapak tungguin!”, tegasnya.

“ Ssiiap Kkoomanndan”.

“ Tuh gagap lagi!”.

“ Maafkan Sinta Komandan”.

“ Iya udah cepet dipilih! jangan sampe bapak berubah pikiran!”, ultimatum Burhan.

Mendapat dorongan kepercayaan seperti ini, membuatku lebih percaya diri. Segera kutentukan dua baju indah yang dijajar di etalase. Baju yang kupilih berwarna biru dan merah. Kubawa kehadapan Pak Burhan kedua baju ini untuk mendapat penilaiannya.

“ Gimana kedua baju ini Komandan?”.

“ Bagus Sin! kalo kamu yakin pasti bisa. Tuh liat baju pilihanmu! cantik juga sexy kayak orangnya! Dah dicoba aja tuh di ruang ganti!”, Burhan menunjuk kamar ganti.

Tanpa menunggu lama, segera kumasuki kamar ganti itu, untuk mencoba baju baru yang kukenakan. Baju model gaun semi resmi warna biru ini begitu pas ditubuhku. Apalagi bila dibanding dengan penampilan “maskulinku” sebelumnya dengan baju dinas, rasanya gaun ini memancarkan keanggunanku yang tersembunyi.

Berjalan aku keluar dengan gaun biru ini. Burhan terkesima melihatku. Berulang kali dia mengungkapkan kekagumannya baik dengan kata-kata maupun bahasa tubuh. Meski secara fisik tidak tampan, setelah mengenalnya, Pak Burhan ternyata memiliki hati baik yang sanggup memberikan kesan.

Selain membelikan baju rupanya dia juga membelikanku sepatu yang pas dengan warna gaun. Katanya gak lucu udah cantik make gaun, tapi pake spatu boot.

Bagai seorang putri aku di “make over” oleh Pak Burhan. Laki-laki yang tiada henti berusaha menggerayangiku sebelumnya, kini berubah drastis. Diantarnya aku untuk membayar semua ini di kasir. Kemudian dimintanya aku untuk naik lagi ke mobil.

Dalam mobil Pak Burhan menatapku. “ Kamu cantik Sin”, ditariknya bibirku dan kami mulai berciuman. Tanpa perlawanan apapun kali ini. Malahan aku cenderung pasrah saja bibirku dicium oleh laki-laki paruh baya ini.

“ Hanya kamu yang bisa buat Bapak begini!”, kembali dia menghela nafas, “ semuanya jadi tidak sesuai dengan rencana Bapak”, Burhan menggeleng , “ kamu benar-benar cantik Sinta.

Aku tertunduk merasa tersanjung, “ Emang apa rencanaya Pak?”, tanyaku malu-malu.

“ Mau tau aja kamu!”, Pak Burhan memasukkan perseneling dan kami berjalan lagi.

Perjalanan ini membuatku penasaran akan dibawa kemana. Apakah aku akan dibawa ke hotel kemudian Pak Burhan akan beraksi?. Kemungkinan ini membuatku bimbang. Sebelumnya jelas, dia adalah “bandot” tak berperasaan. Namun kini dia bagaikan laki-laki paling beperasaan di markasku. Entah apa sebenarnya yang terjadi dengannya.

Setelah berputar-putar sambil mengobrol ngalor-ngidul, rupanya dugaanku salah. Pak Burhan mengantarku pulang. Sangat diluar dugaan. Kupikir aroma hotel yang akan kucium malam ini, rupanya Burhan mengantarku pulang.

“ Ini rumah dinasmu Sin, kita sudah sampai”.

“ Komandan, Sinta gak tau harus ngomong apa. Semua yang Komandan kasih ini….”.

“ Jujur Sin, Bapak juga gak tau apa yang sebenarnya Bapak lakukan”, Burhan memotong ucapanku, “ Awalnya Bapak cuma kepengen nidurin kamu, tapi ngeliat Jaka mainin kamu di kantor tadi, Bapak jadi iba, trus….entahlah Bapak juga bingung”.

“ Terima kasih banyak ya Pak Burhan” tulus terima kasihku meluncur dari bibir.

“ Ya sama-sama Sinta!. O ya untuk urusan Tanto kita obrolin lagi besok”.

“ Siap besok saya akan ngadep ke ruangan Komandan”.

“ Gak Sin, bukan di ruangan! Besok malam Bapak mau ngajak kamu makan malam. Kamu mau?”.

“ Siaap mau Komandan”, otomatis aku menjawab.

“ Bagus! pake baju yang Bapak beliin sekarang. Jam 19 Bapak jemput kamu”.

“ Siap Komandan”.

Tidak ada yang terjadi malam ini. Dugaan kalo Pak Burhan adalah tukang mesum untuk sementara tak terbukti. Entah apa yang ada dipikiran Pak Burhan. Setidaknya aku masih dapat bernafas lega.

“ Brrrrrt….brrrrrttt….brrrrrt”, bunyi panggilan telpon. Kulihat handphone untuk melihat siapa yang menghubungi, rupanya Tantri. Tadi pagi aku sangat ingin bicara dengannya, tapi sekarang, hubungan misterisuku dengan Pak Burhan yang baru saja terjadi, membuatku mengurungkan niat untuk bicara dengannya.

Pasti dia tidak setuju dengan apa yang kulakukan. Tapi bukankah manusia itu misteri terbesar di alam semesta. Orang yang terlihat baik bisa jadi jahat. Orang yang terlihat jahat malah bisa saja baik. Sebelumnya aku bertemu dokter Ilham, pacar pertamaku. Kemudian Jaka lalu Burhan. tapi kenapa pertemuan dengan orang terakhir inilah yang begitu berkesan?. Rasa deg-degan dihati ketika pak Burhan mengajarkanku arti keyakinan membuat hatiku berdesir. Rasa apa yang kurasakan terhadap pria yang usianya jauh diatasku ini??....

Sejuta perasaan masih menggelayutiku saat membuka pintu rumah. Perasaan ingin berbincang lagi dengan Pak Burhan begitu kuat kurasa.

“ Cklek”, pintu berhasil kubuka.

“ Sinta! ngapain kamu sama si Burhan tengik itu?”, sebuah suara mengagetkanku.

“ Ttttaaannntooo, kkkaaammmu?”, rasanya baru saja hilang kegagapanku, kemunculan Tanto yang tiba-tiba justru memunculkannya kembali.

“ Baju apa yang kamu pake ini”, Tanto merapat ketubuhku penuh curiga ,” Burhan yang beliin kamu”, tangannya yang kekar mencekikku, “ NGAKU SINTA!! DIAPAIN KAMU SAMA BURHAN?”.

“ Gggggakkk diaaapaa-apaaainn Masss”, Plakk…plakkk…plaaakk, belum selesai jawabanku, Tanto sudah memotongnya dengan tamparan keras dipipiku.

Digampar keras seperti itu, aku langsung terjatuh terhuyung membentur pintu yang belum tertutup.

“ LONTEE KAMU SINTA!!!”, kasar sekali ucapan Tanto.

“ Ahhhh ammpuuun Mmmasss”, dia menjambak rambutku agar mengikuti dia. Setengah terseret aku berusaha mengikuti kemauannya. Rumah yang kososng membuatnya semakin buas.

“ Ammpuun Masss”, aku terus mengiba minta dikasihani, namun Tanto tidak mau mendengar, terus diseretnya aku menuju kamar.

“ Braggg”, pintu kamar ditendangnya. Tanpa belas kasih, Tanto melemparku ke sudut kamar.

“ Berani benar kamu mengkhianatiku Sinta. Kamu, HARUS DIBERI PELAJARAN!!”,.
Tanto adalah amarah. Itulah sifat paling pas untuk menggambarkan kepribadiannya. Tubuhnya yang tinggi kekar selalu dipenuhi dengan emosi. Apakah itu bawaan? ataukah “ekses” dari pendikan? bisakah itu merupakan alam bawah sadarnya yang berontak akibat tingginya tingkat stress dalam pekerjaan?. Semua itu adalah pertanyaan yang masih belum kutemukan jawabannya hingga hari ini.

Bagaimanapun Dia adalah pacarku sejak aku dinas di Polres. Latar belakang aku memilihnya mungkin karena membutuhkan sosok pria yang bisa memberikan perlindungan. Bukankah aku sudah cerita tentang ketergantunganku pada Tantri. Sebenarnya hal yang sama berlaku untuk Tanto. Kedua orang ini-kuanggap- mampu memberikan kepadaku sesuatu yang sangat kubutuhkan; Sebuah perlindungan.

Benar kata Pak Burhan tadi sore, aku hidup penuh dengan keraguan. Sikap itulah yang membuatku kehilangan keyakinan pada diri sendiri. Tatkala manusia tidak mampu mengurus dirinya sendiri, saat itulah dia akan bergantung pada orang lain untuk mengurusi dirinya. Keragu-raguan itulah yang membuatku memutuskan untuk memilih Tanto. Pria garang yang terlihat sangat tau cara mengurus dirinya sendiri.

Sebutkanlah sifat yang orang muak untuk melihatnya, maka Tanto memilikinya. Sombong, tergesa-gesa, pemarah, pencemburu berat, hyper sex, suka “menerabas” aturan. Syarat untuk menjadi pria dengan julukan “ bad boy” ada dalam dirinya. Lantas kenapa aku memilihnya? jawabannya mudah ; kuanggap, dia dapat memberiku perlindungan. Sesimpel itulah pilihan wanita. Berusaha mendapat laki-laki yang sesuai dengan kebutuhannya.

Kini berhentilah menyesali diri Sinta. Lihatlah dirimu sekarang. Sedari dulu, kamu sudah tau siapa itu Tanto, tapi tetap saja pacaran dengannya, hasilnya? ; kamu selalu jadi korban monster ini. Dasar wanita bodoh! berulang-ulang dianiyaya kamu tetap saja setia kepadanya. Mau jadi apa kamu Sinta?.

Tanpa belas kasih sedikitpun, Tanto menjambak rambut dan menyeretku hingga masuk ke dalam kamar. Dibantingnya aku ke sudut ruangan.

“ KAMU HARUS DIBERI PELAJARAN!!”, Tanto berteriak.

“ Maaaassss jangggannn Massss..aaammmpuunii Sinntaa…”, aku memelas.

Direnggutnya rambutku agar aku berdiri. “ Ditidurin Burhan kamu Sinta??”, ujarnya lembut sambil mengelus wajahku.

“ Eeengggakkk Massss…”, aku menggeleng berusaha meyakinkannya.

“ Sniff..sniffff..snifff…”, Tanto mengendus-ngendus ke seluruh bagian tubuhku, “ mana buktinya Sinta??”, dia terus berusaha menghirup aromaku. “ Aroma parfum Burhan ada di seluruh tubuhmu sayang”, katanya dengan nada lembut tapi penuh dengan kata-kata menusuk hati.

“ NGAKU SINTA!!!”, dijambak rambutku hingga aku terjambak tertengadah. “ Sssiinnta ggakk nggggapaa-ngaaapaainn Massss..ampuunnnn”, aku terus memelas meminta dikasihani.

“ Kalo gitu Sinta, aku harus buktiin kamu sudah tidur sama si Bandot itu!”, kata Tanto kembali dengan nada sinis. “ baring di kasur Sinta!”, perintahnya.

“ Masssss….”, aku berusaha menolak perintahnya.

“ CEPAT BARING DI RANJANG!!”, dia berteriak keras.

Penuh ketakutan, aku mengikuti perintahnya berbaring di ranjang. “ TERLENTANG! ANGKAT TANGANMU KE ATAS!”, Tanto memberi perintah tanpa melihat kepadaku. Dia sibuk mengambil sesuatu dari dalam lemari baju. Penuh tatapan sinis, dia melangkah naik ke ranjang. Dikangkangi tubuhku sambil wajahnya menampakkan kengerian. sangat ngeri aku menatapnya. Tanpa dapat kucegah seluruh tubuhku merinding ketakutan.

“ Sini tanganmu cantik”, dengan lembut dia mengambil kedua tanganku dan mengikatnya menjadi satu di tengah tiang ranjang dengan seikat kain. Dibuatnya kedua tanganku segera terikat tak dapat begerak kemana-mana. Semakin ketakutan aku sekarang.

“ Massss…aku mmmmaauuu diapppaiin Masss?”, mataku mulai menitikkan air mata.

“ Gak diapa-apain Sinta”, Tanto mencium bibirku, “ aku cuma pengen minta jatah malam ini”, dia kembali tersenyum mesum.

Diciuminya lagi bibirku. Tanto bukan pencium yang baik, kurasakan jelas bagaimana kasarnya dia ketika berciuman.

“ Bajumu ini mahal kayaknya Sinta??”, kembali dia bertanya sesuatu yang menusuk hati, “ harus diapain baju ini”, tangannya mengangkat rokku naik sampe ke atas celana dalam. “ Oooh kamu masih pake CD, baguss”, model baju yang cukup mahal ini memang mempermudahnya untuk menggerayangiku.

“ AAAAHhhhhhhh”, aku menjerit, kala Tangan Tanto dengan keras mencubit vaginaku.

“ Kenapa jerit Sinta?? sakit sayang?”, tanyanya sambil menempelkan wajahnya ke hidungku.

“………………….”, aku tak mampu menjawab.

“ Maafin Mas ya Sinta!, sini Mas elus-elus saja memekmu”, tangannya menembus celana dalamku dan mulai menjamahnya.

“ mmmmmm”, mulai kurasakan sensasi aneh akibat sentuhannya.

Tanto telah cukup lama menjadi pacarku. Pergaulan bebas kami selama ini, membuatnya merasa bebas “mengubek-ubek” tubuhku. Seperti sekarang ini, tangan Tanto tak henti mengorek vaginaku. Dia memperlakukanku seperti istrinya, sekaligus budak seksnya.

Sentuhannya tangannya diawali dari sisi luar vagina. tangannya tidak langsung menyentuh sasaran utamanya, tapi berputar-putar di kulit luarnya. Sesekali dia melebar sampai ke paha dalamku, kemudian melipir di pantatku untuk meremas perlahan.

Aku mulai menggigit bibir, berusaha menahan rangsangan “tak diinginkan” yang mulai datang. Kenapa aku terangsang? bukankah seharusnya aku sedang ketakutan dengan sifat “psikopat” Tanto?. Masalahnya, Kami memang sering bermain peran ketika melakukan hubungan seksual. Sering Tanto menyuruhku berdandan seperti yang dikehendakinya, kemudian menyetubuhiku buas sesuai sekenarionya sendiri.Parahnya kebodohanku membuatku tak sanggup membedakan maksud tanto saat ini. Pikiranku yang biasa memikirkan segala hal secara positif, beranggapan bahwa Tanto hanya akting menjambakku tadi, palingan ini hanya scenario saja untuk menyetubuhiku lagi dengan bermain peran seperti biasa. Pikiran seperti itulah yang membuatku mulai menikmati permainannya dan terangsang.

“ Jangan nangis ya Sinta!”, tangannya membasuh bekas air mataku yang sudah kering. Diciuminya bibirku, sambil tangannya tak beranjak mengucek bagian bawahku.

“ Enak cantik?”, bisiknya. Aku mengangguk. “ JAWAB YANG KERAS KALO DITANYA SINTA!”, tiba-tiba dia berteriak lantang. “ Eeeeenakkk Mas..enakkkk”, jawabku gelagapan. “ Seberapa enak sayang??”, tanyanya dengan suara yang melembut lagi. “ Enakk banget Mas”, jawabku berusaha menyenangkan hatinya.

“ Mendesah donk kalo enak! Mas paling senang dengar desahanmu”, katanya sambil tangannya mulai menyentuh klitoris dan belahan vaginaku.

“ ahhh..ahhh…”, aku mulai mendesah seperti yang diinginkannya.

“ MENDESAH YANG KERAS DONK SINTA!! KAYAK DI FILM BOKEP GTU LHO. LEMES BANGET KAMU!”, kembali dia berteriak dengan nada tinggi. Aku benar-benar bingung menghadapi pacarku yang satu ini dengan semua ketidakstabilan emosinya . “ AHHH..UUHHH…AHHHHHH”, aku mulai mendesah hebat, seolah-olah menikmati apa yang dilakukannya pada tubuhku. “ he he begitu donk. itu baru pacarku. Sinta si binal”, berkata seperti itu, dia kemudian berhenti untuk mengambil sesuatu dari bawah kasur.

Aku betul-betul kaget ketika melihat Tanto sudah memegang gunting besar di tangannya, yang diambilnya dari bawah kasur.

“ Masss…..kenappppa…megangg guntingg???..”, tanyaku dengan nada ketakutan.

“ Baju ini kebagusan buat kamu Sinta”, dia langsung mengarahkan gunting itu untuk merobek gaun biru mahal yang dibelikan Pak Burhan “. Krek..krekkk…bunyi suara baju yang disobek oleh Tanto membuatku teriris. “ mahal baju ini Sinta, gak pantes buat kamu!”, katanya yang dalam waktu singkat telah berhasil merobek gaun biru mahal ini. Menerima perlakuannya, aku begitu sedih dan menitikkan air mata. Meskipun singkat, pertemuan sekilas dengan Pak Burhan sangatlah berkesan, dan baju ini merupakan saksinya. Melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Tanto merobek baju ini membuatku sangat sedih.

“ Ya Tuhan, tolong selamatkanlah aku dari Tanto, dia tidak sedang pura-pura, dia sungguh-sungguh Ingin menyakitiku”, doaku sambil menitikkan air mata dan menyadari niat jahatnya.

“ Eit ngapain matamu berkaca-kaca gitu sayang?? gak senang bajunya dirobek sama Mas??”, matanya kembali mendelik menatapku. Posisiku yang terikat membuatku tak berdaya. “ ennggggaaakk Masss”, jawabku sambil menggelengkan kepala. “ Ngaku yang jujur sedih kamu bajunya Burhan dirobek??AYO NGAKU!!!!”, bentaknya sambil mencekik leherku”.

“ nnnnngggggaakkkk maa….s.sss”, aku tercekik.

“ hmmm”, mulai dilonggarkan cengkramannya, “ Mas percaya kok sama kamu Sinta”, bisiknya sambil menurunkan celananya. “ kamu gak usah sedih ya! sekarang kamu sepong kontol Mas aja ya cantik!”, dia langsung mengangkangiku dengan mengarahkan penisnya yang setengah tegak. Dibawanya penis itu kedepan mulutku untuk dioral. Penuh ketidak berdayaan segera kumasukkan penis setengah keras itu ke mulutku dan mulai kuhisap pelan.

“ OOOOOH SSSIINNTA YANG KERAS DONK HISAPANMU!”, dia memegangi kepalaku.

Kuikuti kemauannya sebisaku. “ GAK KERASA! UDAH LAMA KAMU GAK NYEPONG KAMU YA? NIH MAS KASIH TAU CARA YANG NYEPONG YANG BENER!”, Tanto menekan tubuhnya sehingga mampu menenggelamkan sedalam-dalamnya penisnya dimulutku. Dia melakukannya dengan cara membebankan tumpuan berat badannya pada bagian pinggang dan pantatnya. Menerima bobot tubuh ditambah penisnya membuatku langsung “nyungsep”. Semau sendiri, dimaju mundurkan penisnya di dalam mulutku. Begitu egois Tanto ini, hanya memikirkan kenikmatannya sendiri, tanpa pernah memikirkan ketidak nyamanan yang kualami untuk mendatangkan kenikmatan untuknya.

“ UHHHUKKK…UHHUUKKK..UHUUUKKK”, aku langsung tersedak seperti mau muntah saat akhirnya dia melepas penis itu dari mulutku. Beberapa cairan ludahku ikut tercecer di sekitaran bibirku.

“ Enak sayang??”,.tanyanya, “ uhukkk..uhuukk….uhukk”, masih terbatuk aku berusaha mengangguk.

“ Sekarang Sinta, giliran memekmu ya sayang yang NGRASAIN KONTOLKU!”, tanpa basa-basi langsung dibenamkan penisnya di vaginaku dalam-dalam. CD yang masih ada disana tidak dicopotnya. Hanya ditepikannya sedikit CD itu kemudian mulailah gocekan penetrasinya di vaginaku dimulai.

Rasanya perih menerima tusukannya. Vaginaku yang masih tegang menerima keanehan perilakunya, membuatnya belum terlumasi dengan sempurna.

“ cleepp…cleeepp.clleeepp”, bunyi penisnya mulai menumbuk dalam relung vagina.

“ SINTA MEMEKMU INI MEMANG PALING ENAAAAKKK”, jeritnya semakin mempercepat pompaannya.

“ ENAK GAK SINTA???”,tanyanya. “ eeennaakk ahhh ahhh massss”, jawabku sambil mendesah pelan menahan sakit. “ BLOON KAMU YA! KALO ENAK MENDESAH YANG KERAS!!!”, bentaknya sambil menjenggut rambutku.

“ IYYA MASSS, ENAKK, AAAAHH…OOOOHHHHH..UUUUUUUHHHH”, aku mulai menjerit-jerit penuh kepalsuan hanya untuk menyenangkannya.

“ SINTA….SINNTAAA..SIINNTAAAA”, dia terus menusukkan penisnya dengan menyebut-nyebut namaku.

“ MASS KELUUUAAAR SINTAAA…. BUKA MULUTMU SAYANG TELEN SEMUA PEJUHKU!!!”, dia mencabut penisnya dari vaginaku, dengan cepat dibawanya ke mulutku. Penis yang siap akan meledak itu benar-benar dikehendakinya untuk kutelan. dimasukkannya lagi penis itu dalam-dalam seperti oral sebelumnya, beban tubuhnya yang ditekan ke kepalaku membuatku kembali terbenam.

“ SINTAAA TELEENN SINNTAAA AGGGGHHHHHH”, berkali-kali semburan dari penisnya menyembur dan aku tak bisa menghindar.

“ HAAHH..HAHHH..HAHHH”, jerit Tanto.

Aku hanya diam berusaha tidak muntah karena dipaksa meminum spermanya. Banyak cairan itu tertelan menimbulkan rasa enek yang parah.

“ Uhuuuk…uhukkk…uhukkkk…”, batukku sekarang diiring dengan rasa mual. “ Hooekkk”, aku hampir muntah, untung dapat kutahan.

“ pengen muntah kamu Sinta??”, tanyanya.

Aku menggeleng, “hooeeek”, tapi benar-benar aku tak mampu menipu rasa mual dari dalam mulutku.

“ Meski mau muntah, kamu tetep cantik Sinta”, katanya, “ sayang Burhan sudah nidurin kamu”, lanjutnya, “ mas kecewa sama kamu, kecewa berat!”, katanya dengan suara lirih, sambil mengambil bantal disisiku, “ MAS KECEWA SINTA”, mendadak dia membenamkan wajahku dengan bantal itu. “ MASSS KECEWAAA!!!”, dia berteriak sambil membenamkan wajahku dengan tenaganya yang kuat sekali. rasa mualku jadi hilang akibat dibenamkan bantal, berganti rasa panik dan putus asa.

“Dipendem” bantal, udara mulai sulit kudapat. Tanto ternyata ingin membunuhku. “ Ya Tuhan tolong hamba….Ya Tuhan tolongggg…”, doaku, sambil menggoyang seluruh tubuh untuk berontak. Gerakan histerisku justru semakin memperkuat cengkraman Tanto pada bantal.

“ hmmmm…hmmmm…hmmmmm”, aku terus menendang-nendang tak berdaya. Untungnya masih ada celah , rupanya ikatan Tanto ditanganku tidak terlalu kuat, dengan digoncang oleh gerakanku ikatan ini mulai lepas. Dengan terus menendang-nendang, tanganku berusaha berontak hingga akhirnya ikatan ini bisa lepas. Masih “ngap-ngapan” tanganku yang kini bebas meraih wajah Tanto yang belum sadar bahwa ikatannya telah lepas, kemudian kucolok tepat dimatanya.

“ ADUUUUHHHH”, jeritnya sambil terguling-guling kesakitan.

“ huh..huhh..huhhh”, aku menghimpun nafas banyak-banyak, setelah sempat tidak bernafas selama sekian menit.

Dengan gontai Tanto bangkit berusaha meraih dan mencabut gesper pinggang dari celananya yang terjatuh tak jauh dari tempatnya terguling . “ KURANG AJAR KAMU SINTA”, dia meraung sambil meraih celananya dan mencabut gespernya. Dia kini berdiri kalap, sambil memutar-mutar gespernya ke arahku. “ SINTA KAMU BENER-BENER BERENGSEK….”, dengan penuh emosi, tanpa bisa menyelesaikan ucapannya, dia mencambuk gesper itu langsung mengarah tepat ke arahku.

“ Ctarrrrr”…”, cambukan pertamanya mendarat tepat di tubuhku.

“ agghhhh” aku yang hanya tinggal mengenakan BH dan Cd terkena telak cambukan pertama itu dibagian pinggang. Nyeri sekali rasanya.

Kesakitan sekali , naluri “survivalku” bangkit. Kumeloncat kehadapannya untuk mendorong tubuhnya. Tanto begitu kuat, didorong olehku dia tidak bergeming. Alih-alih dia berusaha mencambukku lagi.

“ Ctttarrr”, aku refleks meloncat berputar ke samping, gesper itu menyerempet tembok.

“ KAMU HARUS MATI SINTA!!!!!”, Tanto meraung melompat ke arahku. Tubuhku yang lebih ringan membuatku masih mampu melontar ke sisi sebelahnya. Serudukan Tanto hanya menyentuh angin.

“ Huhhh”, tidak puas dengan gesper, Tanto mengayunkan tinjunya ke arahku. Berat bobot tubuhnya dan emosi tinggkat tinggi yang sedang menyelubunginya membuat gerakannya lebih lambat dan aku bisa menghindari jotosannya.

“ Masss aammmmpppuni Sssiinnta Masss…”, aku terus berusaha memelas, berharap penuh pada belas kasih Tanto.

“ Ctarrr”, menganggap pukulannya sia-sia, kembali dia mengayunkan cambukan gespernya ke arahku. Kali ini aku melompat ala harimau ke depan dan berhasil lolos lagi.

Dengan berguling kudepan tubuh Tanto yang terbuka pertahanaanya aku bersiap melancarkan serangan balasan. Kucakar muka berikut matanya. “Agggagagahhhhhhh”, ganti Tanto yang menjerit, “ LONTEE KAMU SINTA”, Mendapat cakaranku Tanto semakin kalap. Gerakannya sekarang benar-benar diniatkan untuk menghabisiku. Beberapa cambukan dahsyat masih dapat kuhindari dengan lincah.

“ masssss berrrhentilllahhh..TOOLLONG BERHENTILAH ”, terus kuberusaha menyadarkannya.

“ MAMPUS KAMU!!!”, Dia melompat ke arah kakiku. Tidak siap aku menerima serbuannya kali ini. Ditabrak dengan keras tubuhku hingga aku jatuh terlentang. Meski sudah jatuh, masih berusaha kuberontak dengan mencakarnya. “ Heeeeggghhh”, Tanto mencekikku dengan tangannya yang kuat menghentikan seranganku, “ Aaaam….mmpuu….nn”, aku tercekik kehabisan nafas. Mendapat leherku, kini Tanto mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghabisiku.

Sambil tangan kanan mencekik, tangan kirinya merenggut gesper dan mencambukku, “ Ctarrr….ctarrrr….ctarrrr”, tiga cambukan telak mendarat di pinggang, perut dan payudaraku. Begitu perih rasa cambukan itu, tapi cekikan Tanto di leherku membuat cambukannya berkurang kekuatannya. Tanganku terus berupaya untuk mengehentikannya dengan gerakan yang tanpa harapan.

“………………”, rasanya setengah kesadaranku mulai menghilang, sempat kulirik wajah Tanto yang mutlak telah kerasukan jiwa setani.

“ Heeeggghhh”, Tanto semakin mengencangkan cekikannya. Dalam kondisi “blank”, hanya tinggal mengenakan BH dan CD saja mungkin aku akan segera sampai ke ujung hidupku. Sinta akhirnya kamu akan kembali kepada Sang Pencipta.

“ Wahai Tuhan Sang Pencipta Alam, tolonglah hamba”. Hatiku penuh kepasrahan menyongsong datangnya maut yang tinggal sejengkal lagi. Rasanya seluruh tenaga dan pikiranku mulai melayang perlahan-lahan.

“ TUHAN…..TUHAN…TUHAN ”,bibirku mengucap, menyiapkan momen sekarat yang mulai menjelang. Mataku rasanya mulai mendelik, sebentar lagi akan keluar akibat tercekik. aku yakin ajalku tinggal sebentar lagi. “ TUHAN..TUHAN…TUHAN..”, Aku kembali menyebut nama-Nya. “ Terimalah hamba-Mu ini. Inilah nyawaku ambilah”.

Tanto tiba-tiba berhenti dengan tubuh bergetar merinding karena sesuatu hal yang dia lihat.

Tubuhnya gemetaran, apa yang sebenarnya terjadi dengannya aku tak tahu. Dia kemudian bergegas bangkit-masih tanpa celana- dan lari terbirit-birit keluar dari kamar.

Bagai seekor ikan yang keluar dari air, kemudian kembali menemukan air, aku menghirup udara sebanyak-banyaknya. Terlentang, kuhirup udara segar sedalam-dalamnya dari dalam hidung, kemudian kuhembuskan dari mulut. “hmmmmmmm…..huuuufffffff”. Semua rasa sakit yang mulai kurasakan, tidak seberapa dibanding nikmatnya mampu kembali bernafas, “ Terima kasih Ya Tuhan”, aku begitu bersyukur telah mendapat pertolongan-Nya. meski nyawa sudah diujung rambut, pertolongan Tuhan telah menyelamatkanku.

Kenapa Tanto tadi gemetaran?? mengapa dia berhenti mencoba membunuhku?? masa bodoh. Yang penting aku hidup.

Terngiang-ngiang nasihat Tantri yang selalu diucapkan setiap hari kepadaku ; “ Sin, apapun yang terjadi selalu ingat Tuhan ya! mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Esa selalu membantu kita”. Tak kenal lelah Tantri memberi petuah itu, dan hasilnya betul-betul kurasakan sekarang.

“ hah..hahh..hahh…”, masih terengah-rengah kuberusaha untuk mengambil nafas. Cekikan Tanto betul-betul membuatku kesakitan. seluruh tubuhku kini berangsur dapat berfungsi normal kembali. Kesakitan yang lain memang mulai muncul, luka sabetan di kulit mulai perih terasa. tapi semua rasa itu kutepikan jauh-jauh. Bagaimanapun mensyukuri nikmat masih diberi kesempatan hidup begitu terasa indah sekarang.

kelelahan hebat, dibalut deg-degan hampir mati, meskipun kini masih dilanda kesakitan, rasa syukur yang terasa meluap-luap di hati membuatku terpejam, dan jatuh tertidur.
HARI KETIGA : NO MIND ALLOWED

Paginya aku bangkit dengan tubuh remuk redam. Tertatih-tatih aku mencoba melangkah ke depan cermin. Bagimana kondisi tubuhku sekarang? untunglah Tanto tidak memukul wajahku, sehingga tidak ada bekas lebam di wajah. Sabetannya di pinggang memang perih, tapi bisa ditutupi oleh baju nantinya. Sedangkan bekas cambukannya memang betul-betul menyeplak di kulitku. Warna kulitku yang putih semakin mempertegas luka yang terjadi semalam. Kuhitung ada sekitar lima luka yang terceplak telak di kulit.

Tapi kamu memang bodoh Sinta. Wanita lain yang mengalami nasib tragis sepertimu ,pasti akan tenggelam dalam tangisan ,depresi dan traumatis berkepanjangan. Kamu beda, sedari tadi kamu hanya tersenyum dan bersyukur kerena tidak mati malam tadi. ” Yah setidaknya aku tidak sedih berkepanjangan. Coba kalo aku menyerah sekarang tenggelam dalam hanyutan duka, mau menjadi apa aku?? sulit memang, tapi cobalah untuk bangkit Sinta!”, kataku menyemangati diri sendiri.

Rasanya tiap centi tubuhku betul-betul remuk. Hatiku lebih sakit karena karakterku telah dibunuh oleh prasangka dan fitnah pribadi Tanto. Faktanya adalah Pak Burhan memang mengajakku jalan. Tapi diluar dugaan, Burhan justru berprilaku santun sekali dihadapanku dan mengantarku pulang, dengan tanpa menyentuhku sama sekali. Tanto yang kebetulan ada di rumah dinasku, melihat pak Burhan mengantarku, dan berprasangka secara keji. Betapa sadis dampak dari sebuah prasangka.

Aku tidak pandai. Kuakui itu dan dulu kuanggap itu sebagai kelemahan. Namun perjalanan waktu membuatku sadar kalo kelemotanku itu dapat menjadi kelebihan juga. Bayangkan dengan lambatnya aku berfikir, membuatku tidak punya energy ekstra untuk berprasangka buruk terhadap orang lain. Tidak seperti Polwan lain yang kadang memendam rasa iri terhadap rekan kerjanya yang lebih cantik, tajir, atau berposisi lebih “basah”, aku tidak bisa seperti itu. Buatku mampu selamat, satu hari saja, tanpa dimarahi oleh atasan, karena kebodohanku, adalah anugerah terbesar.

Itulah mungkin yang membuatku dikenal supel, mudah bergaul, dan disukai oleh orang banyak. Aku telmi, tapi kebodohanku membuat aku tidak punya prasangka di hati. Sebaliknya Tanto, dimana ya dia sekarang? kasian kamu Tanto, begitu kerasukan setan, padahal hanya disulut oleh sebuah pikiran buruk dalam dirimu sendiri. Coba kamu mau mengikutiku sedikit saja untuk selalu berfikir yang baik, pasti kamu tidak melakukan kebuasan semalam. Egomu terlalu besar Tanto untuk mendengar saran dari seorang wanita.

“Pikiran baik” itulah senjataku. Maklum kalo sudah punya otak pas-pasan masa mau digunakan untuk berfikir yang jelek?. Pikiran baik itu selalu kugunakan saat berhungan dengan semua orang. Contohnya pak Burhan, sejahat-jahatnya Pak Burhan digosipkan, sebenarnya aku tidak pernah berprasangka apapun kepadanya. Hanya saja “gambaran” seseorang yang timbul akibat “gossip” yang beredar, memang dapat mempengaruhi pandangan orang. dari gossip aku mulai percaya kalo Burhan adalah bandot, ternyata?? gossip itu salah, dia baik sekali kemarin.

“ Aduh nyeri sekali seluruh tubuhku! celakanya sebentar lagi sudah waktunya apel pagi. Ayo Sinta semangat kamu harus segera berangkat! disemprot Inspektur Febi pagi-pagi bukan sarapan yang menyehatkan. Akhirnya meski masih menahan nyeri kupaksakan untuk berdiri mengenakan kembali baju tugas yang telah disiapkan malam sebelumnya.

Untunglah bekas luka hanya terdapat di kulitku sehingga mampu disembunyikan oleh baju. Tak ada sabetan Tanto yang mengenai tubuhku yang terlihat keluar. Sambil meringis aku berjalan tertatih menuju motor untuk berangkat ke kantor. Rasa kulit lecet bersentuhan dengan kain baju sangat mengiris perasaan.

Sepeda motor ini adalah sahabat setiaku. Motor inilah yang setia mengantarku kemanapun sepanjang karirku. Kesetiaan dan kehandalan mesinnya membuatku selalu memperlakukannya penuh kasih sayang. sifat penuh belas kasih juga dominan dalam diriku. Sejahat-jahatnya Tanto dahulu sampai semalam, aku selalu ada untuk membantunya di tengah kesulitan. Bahkan, meskipun dia hendak membunuhku seperti semalam, bila Pak Burhan menawarkan membebaskannya dari kasusnya-walau dengan “imbalan” tubuhku sebagai jaminanya, aku akan segera menyanggupinya. kenapa kamu mau Sinta? aku tak tau wahai pikiranku, tapi perasaanku mengatakan begitu, jadi aku lakukan saja.

Penuh nyeri di sekujur tubuh aku berangkat ke markas. Sepanjang jalan kurasakan sejuknya udara pagi. Begitu kubersyukur pada Yang Kuasa atas limpahan nikmatnya yang masih dapat kurasakan. Semua pemandangan dan keindahan ini tak pernah kuhargai sebelumnya. Akan tetapi setelah merasakan dicekik hingga hampir mati, semua anugerah Tuhan menjadi begitu bermakna. Kemarin, aku seperti menjadi seokor ikan yang gelagapan keluar dari air. Apa mungkin karena selalu dilimpahi oleh air, seokor ikan menjadi kurang bersyukur, hingga tibalah saat air itu dikuras dari dirinya hingga dia sekarat, barulah dia menghargai limpahan air itu? entahlah pertanyaan itu terlalu berat buatku.

“ HHmmmm Sinta indahnya udara pagi inii…”, aku melambatkan laju motor sejenak menghirup udara segar pagi hari.





Memasuki jalan protokol, kumelihat di tepian jalan sosok seorang ibu tua tukang jamu hendak menyebrang jalan. Sangat padatnya jalanan dengan kendaraan, membuat Ibu itu sulit untuk menyebrang. Mengambil resiko akan terlambat apel pagi dan mendapat omelan dari Inspektur Febi, kuputuskan untuk menepikan motorku untuk sejenak membantu Ibu jamu.

“ Ibu ayo saya bantu nyebrang”, sapaku dengan ramah.

“ Wah makasih banyak Nduk, udah dari tadi Mbok disini gak bisa nyebrang-nyebrang banyak banget mobilnya”, curhat Mbok Jamu.

Aku tersenyum mendengarnya, kuambil tangannya kemudian kugandeng dan kubantu menyebrang jalan.

“ Nduk makasih banyak! semoga Nduk selalu “diparengi” lindungan dan kelancaran dari Gusti Allah”, Ibu itu mendoakanku dengan tulus sekali.

“ Amin, terima kasih banyak ya Mbok! hati-hati dijalan”, kembali kuberikan senyum kepadanya kemudian melangkah kembali ke sepeda motorku.

Sebelum kunyalkan mesinnya aku masih sempat berfikir dulu ; “ Didoain sama Ibu tadi membuatku tambah semangat! tapi kalo dihitung-hitung, sekarang sudah jam segini, apel pagi jelas tidak keburu. Ah kenapa tidak sarapan bubur ayam saja dulu, kebetulan aku belum makan, lagipula cari penyakit sekali datang jam segini- bukan hanya Inspektur Febi, senior Polwan yang lain juga masih banyak yang bisa “nyap-nyap” gak karuan, bisa jadi bubur beneran nanti aku”.

Lagipula aku ingin sejenak duduk untuk mengistirahatkan nyeri luka sabetan di kulit. “ Akh nekad ajalah makan bubur dulu Sinta”, tegasku. Kuputuskan untuk mampir dulu saja ke bubur ayam langgananku tak jauh dari jalan protokol. Lengkaplah sudah syarat sebagai Polwan paling kacau di kantor , selain agak telmi, aku juga sedikit nakal, maksudnya nekad dan suka nerabas aturan. Tapi bukan nakal yang berat, hanya curi-curi kesempatan makan bubur sambil sekali-kali bolos apel pagi gak kenapakan?.

“ Mas, bubur ayam biasa ya!”, pesanku.

“ Ya Bu Sinta segera dianterin, mau pake sate apa aja?”, tanya penjual bubur dengan ramah.

“ Sate ati sama telor puyuh aja ya Mas biasa”, jawabku sambil tersenyum.

“ Iiih Si Eneng manis amat kalo senyum”, canda si tukan bubur yang membuatku tersenyum plus tersipu.

Huff akhirnya aku bisa duduk menarik nafas sebentar. Luka yang digores Tanto terasa “sedikit” hilang dengan senyum dan doa tulus dari Mbok jamu tadi dan kepolosan tukang bubur di hadapanku. rasanya melihat orang kecil seperti mereka begitu tulus menjalani hidup sedikit banyak membuatku malu. Meskipun kamu habis dihajar habis-habisan Sinta, setidaknya masih banyak orang lain yang lebih menderita dari kamu, tapi mereka selalu bersyukur dan tegar menjalani hidup.

Pengalaman sepele, membantu Mbok jamu menyebrang tadi, membuatku makan dengan lahap. Kukunyah perlahan sate ati dan telur puyuh yang tersaji, untuk menikmati betul tekstur rasa masakannya. Sebagai wanita aku punya kebiasaan makan dengan lambat sekali. Tantri saja sering kesal dengan kebiasaan itu. apalagi saat di pendidikan, kami dituntut makan cepat dalam hitungan detik, aku pasti tertinggal dan lagi-lagi mendapat hukuman dari para senior ataupun pelatih.

Untukku pribadi momen makan adalah sakral. Selain bentuk rasa syukur terhadap pemberian Yang Maha Kuasa, menikmati makanan perlahan juga membantuku untuk tidak mudah merasa lapar. Bagaimanapun kehidupan seorang Polwan menuntut kami untuk menjaga badan selalu “slim”. Yang terutama, makan secara perlahan juga membuatku bisa merasakan benar racikan bumbu dan kenikmatan masakan yang tersaji. Sebagai wanita aku selalu berdoa supaya suatu saat bisa memasak masakan sendiri. Aku belum bisa masak, tapi setidaknya dengan membiasakan makan pelan-pelan dan menikmati makanan benar-benar akan membuatku bisa masak suatu saat nanti. Betul tidak sih pikiranku itu?? aku bingung sendiri.

Asyik, aku tenggelam dalam kenikmatan ritual makan bubur. Rasa bubur yang berpadu dengan suiran daging ayam, ditambah kecap, daun bawang, seledri dan kacang, terasa begitu pas di lidah. Mmmm rasanya sejenak saja persoalan kehadiran empat pria sekaligus dalam hidupku serta penganiyayaan Tanto lenyap dilahap oleh rasa bubur ini. Banyak wanita lain yang memerlukan shoping, clubbing atau gadget canggih, untuk menghilangkan stress. Untukku?? cukup makan sepiring bubur ayam yang enak.

” Dor”. Tiba-tiba terdengar bunyi letusan keras sekali tak jauh dari posisi aku duduk.

Kuputar kepalaku untuk mencari arah letusan yang keras itu, tapi tak kulihat apapun yang terjadi. Apa itu ya?? mungkin ban meletus , kasian pengendaranya harus menuntun motornya kalo betul itu bunyi ban meletus. Mmmm cuek saja kulanjutkan kembali memakan sesondok bubur lagi. Ah kerupuk ini, kenapa aku lupa untuk menyantapnya ya.Dasar Sinta kerupuk aja kamu lupa apalagi yang lain. “ kriuk..kriuk..kriukkk”, kukunyah kerupuk itu dengan penghayatan yang syahdu.

“ Dorr”, bunyi ledakan kedua terdengar. Ada lagi ya motor yang meledak bannya?. Kenapa bisa begitu ya. Antara ya dan tidak aku memikirkan itu, sebab aku kini tengah merem melek menikmati suapan bubur dengan sate atinya. Mmm enakkk. Betul-betul enak Sinta.

Dari arah gerobak , tukang bubur berlari tergopoh-gopoh ke arahku.

“ Ibuuu Sinta ..tolooong Bu..ada perampokannn mobill…”, seorang tukang bubur penuh dengan hysteria ketakutan dan mulut yang menyembur beberapa butir ludah, mengucap grogi dan boros kepadaku.

Bengong, aku masih menggigit sate ati yang begitu gurih.

“ Ayo Bu tolong itu ada tiga orang mau nyolong mobil, mereka bawa pistol lagi”, tukang bubur itu memaksaku setengah menarik bajuku.

Masih bengong, aku berdiri sambil berupaya pelan-pelan mencerna apa yang terjadi sebenarnya. Tukang bubur mengarahkan telunjuknya ke sebuah arah. Kuarahkan mataku melihat ke titik lokasi yang ditunjuk itu. Mulai gamblang di pandanganku, terlihat tiga orang bersenjata sedang menodongkan senjatanya ke arah seseorang- tampaknya pemilik kendaraan- di seberang jalan.

Dengan masih mengunyah sate ati di mulut, aku berjalan “setengah meloading pikiranku” menuju mereka. Naluriku alamiahku meraba pistol yang melingkar di pinggang. Sebenarnya ini pistolnya Tantri, aku diminta mengembalikannya hari ini ke kantor. Aku sendiri dengan kecerobohanku sebenarnya tidak boleh memegang pistol oleh Inspektur Febi. Namun penganiyaan Tanto malam kemarin membuatku jaga-jaga dengan meletakkan pistol ini di sabukku.

Dari jarak tidak terlalu jauh kulihat pengendara mobil itu masih melakukan perlawanan. Hal itu membuat ketiga orang itu tampak panik dan hendak menembaknya. Situasi jalanan disini memang mulai lengang itulah yang membuat kawanan ini nekad beraksi. Pelan, mulai mampu kutelaah gawatnya situasi, saat melihat bahaya yang tengah dihadapi bapak itu. Aku berteriak spontan;

“ Polisi!! letakkan senjata kalian! ”, lantang aku berteriak.

Kaget dengan kemunculan seorang Polisi wanita yang tiba-tiba, mereka semakin panik. Salah seorang diantara mereka yang menggunakan topeng memukul pengemudi dengan gagang pistol dan langsung membuatnya tersungkur.

“ Letakkan senjata Bapak-Bapak”, aku berteriak, dengan tetap menjaga kesantunan berbahasa.

“ Cepat Tembak Dia!!! kita harus cabut dari sini”, seorang rekan malingnya menyuruh si pria bertopeng itu.

Aku masih belum sepenuhnya mudeng. Inilah yang aku tidak terlalu senang, ketika situasi berubah cepat dihadapanku tapi otakku masih berjalan ditempat . Dihadapanku ketiga orang ini saling berteriak-teriak. Ada yang mengacungkan jari telunjuknya ke arahku dengan wajah panik. Juga ada yang mulai mengacungkan moncong pistol arahku. Mau ngapain ya mereka?? Aku tetap maju penuh kebingungan, selangkah demi selangkah, sambil tetap mengunyah sisa makanan.

“ Dorrrr”, si perampok bertopeng menembakkan pistolnya ke arahku. Kedua temannya yang tadi menunjuk-nunjuk kini tergesa-gesa naik ke atas mobil.

Sampai disini aku masih belum “ngeh” ngapain orang itu menembak ke arahku. Bunyi letusan peluru yang begitu keras hanya mengagetkanku sehingga berhenti sejenak. Meski samar, tapi aroma bubuk mesiu mulai kucium , berikut desingan suara peluru yang tampaknya melesat disamping telingaku.

“ swwwiiiiinnggg”, terdengar seperti itu deru peluru yang melesat disisiku.

Peluru pertama itu, lucunya meleset. Aku tetap berdiri soalnya maka kusimpulkan peluru itu meleset. Lantas bagaimana Sinta?? apa yang harus kamu lakukan. Aku tidak tau. yang penting pistonya Tantri kucabut saja dulu dari bungkusnya, dan aku maju lagi ke arah mereka. mulai lagi, pasca ledakan tadi, aku melangkah maju tapi dengan tangan yang terentang lurus ke bawah memegang pistol. Tanganku kaku banget rasanya, tak bisa diangkat ke atas untuk mengarahkan pistol ini ke arah laki-laki bertopeng. Rupanya seperti ini ya rasanya megang pistol.

“ Bego kamu Ndul! nembak aja gak becus! tembak lagi cepet!!”, terdengar perintah kawanan yang telah berada di atas mobil.

“ iiiiyaaaa iyaaa bosss”, kata si Topeng, “ Dooooor….”, dia menembak lagi. tembakan kedua meletus kembali lagi-lagi mengarah tepat kepadaku. Aku masih saja berajalan penuh kepasrahan, tak berlindung terhadap apapun, menuju si penembak. Betul-betul Polisi paling bodoh aku ini. Rekanku di detasemen anti terror saja, kuyakin tidak akan melakukan apa yang sekarang aku lakukan.

Sesungguhnya aku ini belum dapat mencerna situasi yang terjadi, tapi berlagak terlihat seolah berani dengan maju ke depan, dengan sebuah niat mulia untuk menyelamatkan bapak korban tadi.

Niatnya sih baik, melindungi korban, Tapi apa daya tanganku sendiri tak mampu digerakkan untuk mengangkat senjata. Yang bisa aku lakukan hanya melangkah maju seperti orang idiot berhadapan dengan peluru.

“ Gilla saktttii Polwan inii bosss..”, si topeng kenapa mulai gemetaran dihadapanku ya?. Apa kerena peluru kedua juga gak kena??”.

“ Ndul..bego banget kamu!! jangan maen-maen cepat tembak… habisi dia”, pencuri yang dimobil berteriak-teriak, “ iya ngapain sih kamu cepetan begoo”, temannya menimpali.

“ Hiiiiiiii”, si topeng makin tampak bergetar hebatt ketika aku semakin dekat ke arahnya.

“ Dorrr….dorrrrr…..dorrrr…doorrr” empat tembakan beruntun dilontarkannya secara membabi buta.

Beberapa peluru kurasakan anginnya berdesing begitu kencang menerpaku. Dalam hati aku pasrah saja, menghadapi peluru itu. Sesuai saran Tantri, untuk selalu menyebut nama-Nya. berulang-ulang aku mengucap keagungan nama-Nya. Boleh saja aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tapi setidaknya aku mengingat nama Yang Maha Pelindung. pasti itu bisa melindungiku. yakinku dalam hati.

Lucunya empat peluru itupun kembali meleset. Benar-benar mukjizat. Aku tetap berdiri tegak dan melangkah maju. Kini jarakku dengan si penembak tinggal sejengkal. Tangannya yang begetar menodongkan pistolnya ke tepat ke arahku. Bagaimana kondisi tanganku?? masih kaku tidak bisa digerakkan apalagi diangkat.

“ Bapak yang terhormat letakkan senjatamu !”, ujarku perlahan penuh sopan santun. Terhadap orang yang mau membunuhmu?? kamu benar-benar sakit jiwa Sinta.

Sekarang bukan hanya tangan Bapak itu yang bergetar hebat, kakinya juga. Dia malah seperti melihat setan ketika melihatku. Tidak tau dia sedang berhadapan dengan siapa? Brigadir Sinta Polwan paling lemot di sini.

“ Hiiii hiiii”, membayangkan Polwan terlemot, aku tersenyum sendiri. Padahal sedang berhadapan dengan Si topeng yang tengah mendodongkan senjatanya setengah centi dihadapanku.

Melihat senyumku, Si topeng justru semakin ketakutan. Dengkulnya bergetar gempa bumi dihadapanku. Pistolnya jadi terlepas dari tangannya akibat tingginya skala richter goyangan kakinya.

Kedua temannya memutuskan lari kabur tunggang langgang meninggalkan mobil yang hendak dicuri. aku tidak tau kenapa mereka lari terbirit-birit begitu. masalahku hanya satu, tanganku mati rasa tidak mau terangkat. Ayo tangan tersayang bantu aku donk, ayo gerak gerak gerak.

Pertama kuberusaha menggoyang jariku. Belum berhasil. Kucoba lagi. Lebih tenang Sinta. Lebih tenang. Nahh jariku akhirnya bisa bergerak, kemudian bahuku, lenganku, dan akhirnya, ini yang kutunggu, tanganku bisa bergerak naik dan langsung terarah tepat ke arah muka si bapak penembak.

“Bapak yang terhormat, letakkan senjatamu!”, kataku dengan nada lembut yang renyah.

Sok jago aku kelihatannya, padahal cuma ngulang perintah aja. Tapi, untuk action bolehlah. Tanganku sekarang memegang senjata yang dirahkan tepat ke muka bapak itu. Kayak wanita cantik di film-filem action yang pernah kutonton.

“ Ampun Bu…ampunn..jangan tembak saya Bu Polisi”, dalam hitungan detik dia jatuh tersungkur di hadapanku, meraung-raung minta dikasihani.

“ ampuuunn Bu…ampuuunnn”, raung Bapak topeng diiringi derai tangis sesenggukan. “ Malu ih udah bapak-bapak kok nangis, ayo bangun Pak”, kataku sopan sambil dengan lembut membekuk Bapak ini, sesuai prosedur penangkapan.

“Hidup Ibu Sinta….. Plookkk…ploook…ploooookkk…..”, dari kejauhan masyarakat yang berkerumun di sekeliling tukang bubur semakin banyak, dan serentak bertepuk tangan riuh seperti melihat pertandingan sepak bola. kebanyakan nonton piala dunia barangkali mereka ya?.

Siapa yang mereka tepuki itu ya?? apa bapak ini??. Aku bingung siapa sebenarnya yang mereka berikan tepuk tangan itu. Ah daripada bingung, mending kucabut saja borgol yang terbelit di pinggangku kemudian kukenakan ke pria yang topengnya sudah kucopot ini. Kedua temannya berhasil kabur, semoga saja teman-teman dari Serse dapat segera menangkap mereka..

“ Ayo Bapak ikut saya ke pos Polisi”, ujarku sambil membawa dia dengan sopan ke tempat yang relative lebih aman.

“ Plokkk..plokkk…plokkk Bu Sinta hebat. Udah cantik sakti lagi”, si tukang bubur mendatangiku.

“ hush Mas, siapa sih yang kalian tepuki?? bapak ini??”, tanyaku bisik-bisik.

“ Ibu Sinta ini kalo becanda memang beneran deh, ya Ibulah masak bapak ini??”, katanya tetap dengan senyum lebar di wajahnya.

Baru sadar aku dengan segala sorotan ini yang rupanya ditujukan kepadaku. Akhirnya Sinta, untuk sesaat kamu jadi bintang filem juga. Salah tingkah aku jadinya mendapat perlakuan masyarakat yang begitu heboh. Karena terus menerus dipuji aku jadi rikuh, dan memutuskan untuk melihat kondisi Bapak korban yang tadi ditimpruk oleh gagang pistol. Masih terduduk dia didekat mobilnya tanpa seorangpun yang menolong.

Saat kudekati ternyata cukup lusuh juga ya beliau ini, untuk seorang pengendara mobil, pakaiannya terlalu sederhana.

“ Pak, ayo saya bantu bangun, gimana kepalanya masih sakit??”, kupegang lengannya untuk membantunya berdiri. Kok dia bawa karung kayak pemulung ya?? pikirku.

“ Mbak, korbannya itu saya lho!”, suara seorang pria dari belakang mengagetkanku, “ bapak itu pemulung, yang lagi ngambilin sampah yang bersetarakan”, lanjutnya lagi. Seketika kualihkan wajahku ke belakang untuk melihatnya. Seorang pria tampan, dengan busana rapi. Sebelumnya, rupanya dia telah ditolong oleh bapak-bapak lain. Melihatku salah orang, bapak-bapak itu cekikan geli. Aduh malunya aku, kenapa aku bisa salah orang ya. Baru aja jadi idola, udah jadi tertawaan lagi deh.

“ eee mmmaaf ya Pak”, ujarku pada pak pemulung. “ jadi mas ya korbannya??”, tanyaku kepadanya.

“ Iya Mbak”, dia sangat tampan, malah mirip seorang bintang film, “ Mbak, aku berhutang budi banget sama Mbak”, ujarnya sambil masih mengelus kepalanya yang tersabet gagang pistol. “ maksih banyak ya Mbaak….Sinta”.

“ Iya Mas sama-sama itu sudah tugas dan tanggung jawab kami”, ujarku dengan nada suara yang ditegas-tegasin. Lucu juga ya bila seorang wanita gugup sepertiku, bersua dengan pria yang demikian tampan, kemudian berlagak berwibawa. Tapi, kesalahan menggandeng orang tadi membuat nilai wibawaku sedikit jatuh dihadapannya.

“ Mbak Sinta, maaf kalo Rudi lancang, tapi, boleh gak aku ngajak Mbak makan malem?. Yah itung-itung Rudi ingin berterima kasih sama pengorbanan Mbak yang luar biasa”.

“ Pengorbanan apa ya Mas??”, tanyaku bingung.

“ maksud saya, tadi Mbak menghadapi 6 peluru lho, demi nyelamatin Rudi. Itu hal paling luar biasa yang pernah dilakukan orang sama aku Mbak”, dia menunduk malu-malu. “ utang budi ini, mungkin selamanya gak bisa Rudi tebus Mbak, tapi setidaknya Rudi bisa ajak mbak makan malem”.

“ Mmm kamu gak usah repot Rudi”, kataku. “ Ini sudah tugas Mbak kok, yang penting kamu sehat kan?”.

“ Sehat Mbak Sinta. Mbak kalo makan malam gak mau, boleh minta nomer hand phone gak??”.

“ Buat apa Rud??”.

“ mau ngucapin terima kasih mbak. Rudi beruntung banget udah diselamatin, yang nyelamatin Polwan cantik banget lagi”.

“ Ah kamu bisa aja”, ujarku menepis pujiannya, “Mbak ada di Polres terus kok Rud, main-main aja ke kantor, Mbak pasti ada disana”. Enak juga ya berlagak jadi wanita dewasa yang jual mahal, batinku.

“ Siap Mbak, nanti pasti Rudi main ke Polres”.

Kutinggalkan pria tampan itu. Bukannya aku pengen jual mahal, tapi udah cukup deh masalahku dengan egoisme para lelaki. Kalo seorang wanita pengen cari masalah, jalinlah hubungan dengan banyak pria, niscaya masalah pasti menghampiri anda. Hush Sinta kamu nasihatin diri sendiri lagi, sedangkan kamu sendiri pelaku utamanya.

“ Plokkk..plokkk…plokkkk…”, hidup ibu Sinta….” plok..plok..plokkkk…”, mereka terus bertepuk tangan, sambil mengawalku sampai parkiran motor. Pelaku sudah diamankan oleh Polisi yang telah tiba di lokasi. Dikawal oleh masa yang berkerumun begitu banyak, aku jadi rikuh sekali dan kurang nyaman.

“ Bu Sinta hebat sekali! sering-sering makan bubur disini ya Bu, untuk ibu gratis deh buburnya”, kata tukang bubur. “ mampir ke toko saya juga ya Bu Sinta, saya gratisin juga barang di toko”, kata bapak disebelahnya. wah jadi pahlawan benar aku sekarang ini. “ Maksih banyak ya Bapak-bapak, Sinta ijin dulu ya kembali bertugas”, ujarku dengan penuh hormat pada mereka.

“ Hidup Bu Sinta!”, mereka serempak bersorak, “ plok…plokk..plokkk..plokkk”, mereka mengiringi keberangkatanku dengan tepuk tangan yang hampir saja membuatku hilang kendali motor. Untung aku tidak jatuh, coba jatuh, jadi bahan tertawaan betul aku nanti jadinya.

Kembali Brigadir Sinta mengendarai sepeda motor. Ingat Sinta kamu bukan hebat kayak yang dikatakan bapak-bapak tadi. Cuma kebetulan dan perlindungan dari Yang Kuasa. Jelas-jelas bukan karena kamu Sinta.

Tapi setidaknya kejadian tadi, menghilangkan rasa sakit di sekujur tubuhku. Setelah lolos dari cambukan gesper tanto, sekarang kamu lolos dari pelor. Bukan hanya 1 pelor, sekaligus 6. hebat betul kamu. Polwan paling lemot bisa-bisanya menaklukan peluru.

Sesampainya di kantor suasana telah lengang. tampaknya para rekan Polisi lain telah kembali ke bagiannya masing-masing untuk bekerja. Hufff Sinta action tadi pagi cukup kamu saja yang tau, gimana kalo orang lain tau? bisa dihukum kamu. Mana ada Polisi yang nyongsong peluru kayak kamu tadi?? itu betul-betul edan.

“ Brigadir Sinta sini kamu!”, terdengar dari suaranya ini pasti Inspektur Febi.

“ Siap Komandan”, tergesa aku segera lari menghampirinya.

“ Apa yang kamu lakukan tadi di jalan protokol????, aksi bodoh lagi??”, tampaknya berita itu sudah sampai ke telingan Inspektur Febi, “ Sinta jawab!”.

“ Siap Komandan”, aku senang gagapku mulai menghilang. Ngalahin peluru bisa, masak naklukin gagap gak bisa Sinta. “ tadi ada perampokan mobil di sudut jalan protokol, saya berinisiatif menyelamatkan korban Komandan”.

“ Itu tindakan bodoh Sinta! lain kali kamu panggil bantuan dulu! kamu tau, semakin banyak aksi kekerasan terhadap Polisi akhir-akhir ini, itu yang membuat aku, selaku Komndanmu gak henti cerewet sama kamu”, cepat sekali untaian kata itu keluar dari bibir Komandan yang satu ini.

“ siap Komandan”, jawabku dengan sikap hormat.

“ Kamu sudah dilatih bagaimana caranya dalam menghadapi situasi seperti itu, utamakan keselamatanmu sendiri dulu Sinta! ingat itu baik-baik!”, tegasnya. “ Siap Komandan maafkan Sinta”, jawabku lagi. “Ya sudah kembali bekerja sana!”, Inspektur Febi memerintahku. “ Siap Komandan”, aku segera balik kanan. “ Sin”, tegurnya lagi, “ kamu gila tapi..nice job”, dia mengacunkan jempolnya. “ Siap Komandan”, jawabku dengan penuh keriangan di hati. Dipuji Inspektur Febi gitu lho, kapan lagi??.

Suasana dan mood hari ini tiba-tiba begitu berbeda. Setelah disiksa Tanto semalam, sebuah kebaikan sederhana merubah suasana hariku. Kususuri lorong kantor dengan segala aktifitas dan kerumitan persoalannya. Pada sebuah ruangan, kulihat sekumpulan ahli forensik sedang menelaah barang bukti di tkp. Dari arah bagian Reskrim banyak terdapat pesakitan yang menunggu giliran diperiksa. Unit narkoba juga sedang sibuk mempersiapkan penggerebekan parik sabu-sabu. Semuanya tengah sibuk dengan urusannya masing-masing.

Kuputuskan untuk melalui sisa hari itu dengan membantu Inspektur Febi dalam mengurusi masalah personil. Ternyata Beliau adalah wanita yang sangat baik. Dia disiplin dan punya naluri kepemimpinan yang tinggi. Sangat menjaga anak buahnya, itulah yang membuatnya sangat sering mengomeliku. Aku dianggapnya ceroboh dan membahayakan.

Sore itu aku menunggu telpon dari Pak Burhan yang telah janji mengajakku ketemuan malam ini. tapi sedari tadi dia tidak menghubungiku. Barangkali aku bisa benar-benar bebas darinya. Tidak mungkin aku menyambangi ruangannya. bagaimanapun tidak mungkin aku yang akan menghungunginya duluan.

Tapi sebagai bawahan situasi ini serba sulit. mau pulang duluan aku takut dianggap melanggar janji. tapi mau menunggu juga tidak tau ada dimana orangnya sekarang.

Sampai maghrib aku masih berrada di ruang kerja menunggu kejelasan. Setelah kupastikan tidak ada tanda-tanda keberadaan Pak Burhan aku memutuskan pulang saja. Jaka juga lenyap seharian ini. Entah ada dimana dia sekarang.

Ketika aku hendak pergi, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan keras dari salah satu ruangan Polres.

Semua anggota yang masih tinggal di ruangan serentak berlari mencari sumber suara.

Dari arah ruangan Komandan Burhan, para anggota yang terlebih dulu datang, telah berkerumun penuh kepanikan dan saling berteriak satu sama lain.

Kucoba untuk menerobos masuk tapi tidak bisa karena regu provost telah menutup akses ruangan. Terpaksa kutanyakan kepada salah seorang anggota Provost yang terlihat sangat panik.

“ Mas apa yang terjadi??”,

“ Komandan Burhan bersimbah darah di dalam ruangannya Brigadir”.

“ ya ampun kenapa mas??”, tanyaku

“ masih belum jelas. Bisa jadi Beliau ditembak orang, bisa juga percobaan bunuh diri”.

“ ………”

NIGHT BEFORE DAYS 4 ; BERCINTA DENGAN MAUT

Siapakah Komandan Burhan sebenarnya?. Ini jadi pertanyaan paling dibicarakan di Markas. Desas desus, gossip, sampai takhayul, tiba-tiba merebak ke permukaan. Bertentangan dengan kebiasaanku untuk sedikit berfikir dan stay positive, teman-teman justru teralu negative melihat sosok pak Burhan. Ada yang menyebutnya mata keranjang , suka daun muda , sampe penjahat kelamin. Namun pada dasarnya gossip sangatlah mengganggu penilaian orang akan sesesorang yang dimaksud. Aku sangat yakin tidak ada satu sifat pun dari yang digosipkan oleh mereka mampu menggambarkan sosok beliau yang sebenarnya.

Penilaianku sendiri, Pak Burhan adalah sosok yang baik. Pertemuan kami sebenarnya hanya berlangsung singkat dan misterius. Namun hal tersebut sudah cukup untuk membuatku berfikir yang paling baik tentang Beliau . Kata orang, dedikasinya pada pekerjaan membuatnya ditinggal cerai oleh istrinya delapan tahun lalu.

Saat masih bersama istrinya, Pak Burhan merupakan figur pria normal yang perhatian terhadap keluarganya. Baru sepeninggal istrinya, yang tak tahan dijadikan istri kedua (istri pertama adalah pekerjaannya) Beliau mulai berubah.

Sebenarnya di lingkup kerjaan, karir dan prestasinya untuk mengungkap kasus kejahatan masih salah satu yang terbaik. Bersama Komandan Hendri, Beliau merupakan salah seorang Polisi paling jenius. Mereka berdua berkali-kali masuk televisi untuk memberikan sebuah analisa ahli akan kasus kriminalitas.

Sayang hubungan mereka akhirnya berkembang menjadi rivalitas sengit. Persaingan mereka berkembang tidak hanya di karir kerjaan tapi juga menyentuh ranah pribadi.

Kejatuhan karir Burhan dimulai ketika dia bercerai dengan sang istri. Gosip mengatakan, perceraiannya menjadi objek rekan kerjanya yang iri dengan kejeniusan dan karirnya yang cemerlang untuk membuatnya jatuh. Maklum saja di dunia Kepolisian, karir seseorang biasanya berjalan beriringan dengan keharmonisan rumah tangga. Terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah tangga akan membuat karir seseorang dalam bahaya. Pak Burhan adalah salah seorang diantaranya.

Begitu jatuh surat keputusan cerai dari pengadilan, ikut terjun bebaslah karir cemerlang yang selama ini telah dirintisnya selama bertahun-tahun. Kejatuhan karir Beliau beriringan dengan melonjaknya karir pak Hendri (ayahnya jaka) yang mulai saat itu bersinar sendirian.

Dari sinilah sifat Pak Burhan berubah. Markas besar mencopotnya dari jabatan bergengsi dan memutasinya ke jabatan kering. Menghadapi kenyataan itu, Beliau berubah menjadi sosok yang begitu emosional, serampangan dan penuh rasa frustasi. Yang paling parah dari semua ini, dia juga berubah menjadi figur komandan cabul dan rajin menggoda para Polwan anak buahnya yang memiliki paras cantik dan sexy .

Puluhan sifat-sifat jahat yang mulai dipupuknya ini segera saja mendekatkannya pada dunia kejahatan bawah tanah. Bukankah sifat jahat akan menarik sifat jahat lainnya, dan sebaliknya sifat baik akan membuat sifat baik yang ada disekitarnya mendekat. Pak Burhan telah memilih untuk berputar haluan menjadi sosok jahat. gayung bersambut, para mafia kejahatan menangkap perubahannya ini dan mulai mengajaknya bersekutu.

Bertahun-tahun Burhan berkecimpung ke dalam dunia kejahatan bawah tanah dan mulai memiliki pengaruh. Keluwesannya bergaul dengan para bos mafia, germo, mucikari sampai gembong narkoba kelas kakap di provinsi kami, justru membuat karirnya kembali diperhitungkan. Lebih dari sekali, Markas besar harus memohon-mohon bantuannya untuk mengungkap kasus kejahatan misterius yang begitu sulit dilacak.

Akhirnya setelah sempat dibuang dan dikucilkan, karena pengaruh dan pemahamannya tehadap dunia kejahatan begitu membantu kinerja kepolisian, Markas besar kembali mengangkat Beliau untuk sebuah jabatan bergengsi yang dijabatnya hingga tertembak secara misterius malam ini.

Manusia memang ditakdirkan memiliki benang nasib nan misterius. Tepat dikala pak Burhan sepertinya memutuskan untuk berubah ( dari jahat menjadi baik kembali), dua buah peluru menembus tubuhnya dan membuatnya tergeletak di dalam ruang kerjanya. Siapa yang melakukannya? apakah bunuh diri atau ada seorang penembak misterius?.

Semua pertanyaan itu masih menjadi awan gelap yang menambah pekat selubung hitam kebingungan. Namun ditengah kekalutan, patut dipuji penanganan taktis tim forensik untuk segera mengungkap peristiwa sebenarnya. Bukan hanya telah berhasil menemukan selonsong peluru yang menembus tubuh Pak Burhan, mereka juga telah menemukan sejumlah petunjuk yang dapat dipakai untuk memecahkan kasus. Tim forensik telah melakukan semua prosedur yang diperlukan untuk melakukan identifikasi awal untuk menemukan motif peristiwa. Semua kejahatan dapat diungkap berdasar motif. Oleh karenanya upaya menemukan motif pelaku biasanya adalah hal pertama yang mesti dilakukan.

Bagaimana dengan kondisi Komandanku yang malang? Berkat kerja keras semua anggota, tubuh Pak Burhan telah dilarikan ke rumah sakit. Ketika tubuhnya yang berdarah-darah melintas, semua anggota dihalau, hingga hanya sedikit orang yang dapat melihat bagaimana kondisinya.

Dari beberapa teman yang dapat menyaksikan tubuhnya diangkut ke ambulance didapat informasi kalo Pak Burhan masih hidup. lapisan lemak yang tebal di tubuhnya rupanya telah menolongnya, hingga peluru gagal menjangkau titik vital yang dapat membunuhnya seketika.

“ Syukurlah Beliau masih hidup”, ujarku penuh rasa syukur.

“ Hei Sinta kenapa kamu mesti repot-repot bersyukur ? toh sebentar lagi dia akan mati dalam perjalanan”.

“ Wahai pikiranku yang usil, hidup atau mati itu bukan urusanku. Itu milik Tuhan. Sekarang Beliau masih bisa bernafas saja adalah sebuah karunia yang begitu besar. Belajarlah banyak-banyak bersyukur wahai pikiran agar hidupmu bisa menjadi tenang”. nasihatku pada diri sendiri.

Suasana kantor tetap mencekam. Semua anggota yang masih berada di kantor saat kejadian, dikumpulkan dan di briefing oleh seorang pejabat. Kami semua diinstruksikan tetap tenang dan tidak bergosip yang tidak-tidak sampai tim forensik dapat mengumpulkan semua fakta-fakta kejadian.

Dalam rangka menghindari kesimpang siuran informasi, kami juga diharamkan untuk memberikan informasi apapun kepada para awak media yang akan segera tiba. Seorang pejabat dalam bidang kehumasan telah disiapkan untuk memberi informasi yang terbaik dan meneduhkan kepada para wartawan.

Habis di briefing, kami semua kemudian diminta untuk berkumpul di sebuah ruangan aula agar mudah dipanggil bila dibutuhkan. Juga, kami tidak diperkenankan pulang hingga waktu yang belum ditentukan. Wajar sih kami diperlakukan seperti ini. Posisi kami yang masih berada di kantor pada saat kejadian, membuat kami adalah objek pesakitan. Maksudnya, objek yang bisa saja dijadikan saksi, atau yang terburuk bisa saja dikaitkan dengan kejadian bila terbukti terlibat.

Sebagai barisan objek pesakitan, perlakuan terhadap kami juga berbeda. Untuk menuju aula saja kami dikawal oleh dua orang provost dengan sebuah perintah tegas; untuk mengawasi setiap gerak gerik kami.

Dengan dikawal dua orang pria tinggi tegap, digiringlah kami untuk berkumpul disebuah aula kecil kantor. Kami tak tau mau harus ngapain di sini. Palingan kami hanya bisa ngeriung dan mengobrolkan kegentingan situasi. Terlihat dari raut wajahnya, teman-teman tetap tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya terhadap apa yang baru saja terjadi. Dalam sejarahnya, kantor kami baru kali ini mengalami kejadian heboh dan berdarah-darah. Meskipun rekan kerjaku sudah biasa menangani kejadian seperti ini, huru hara yang terjadi di dalam rumahnya sendiri tetap membuat mereka syok.

Ramai dibicarakan tentang kemungkinan demi kemungkinan. Apa yang sebetulnya terjadi?. Betulkah Pak Burhan mencoba bunuh diri??. Adakah orang yang tidak suka dengannya dan menembaknya??. Kalo betul iya siapa yang berani menembaknya di dalam ruangannya sendiri yang dipenuhi kami para polisi?. Trus kalo memang ada penembaknya, kok bisa tidak terendus sama sekali?.

Dua opsi itu ; bunuh diri dan penembak jitu menjadi fokus pembicaraan. Sambil bersila di tengah ruangan aula, masing-masing dari kami, dengan spesialisasinya masing-masing berusaha menganalisa. Aku sendiri hanya bisa terbengong-bengong mendengar semua argument yang bersileweran. Sebagian bisa kucerna, banyak diantaranya yang tak dapat kumengerti. Buatku yang terpenting pak Burhan masih hidup. Bukankah kalo hidup, Beliau bisa menceritakan dengan pasti apa yang sebenarnya terjadi?.

Bunuh diri merupakan salah satu kemungkinan. Banyak diantara kami yang menimbang motif bila memang opsi ini yang terjadi. “Pak Burhan stress karena karirnya mentok”, kata seseorang rekan. “ Bukan dia takut karena dikejar mafia akibat kelakuannya sendiri, jadi memutuskan menembak dirinya sendiri”, kata yang lain. “ kebanyakan main cewe sih dia jadi ilang kewarasannya”, kata orang yang kayaknya benci banget dengan sosok Burhan.

Dari pengalamanku bersama Beliau, khususnya waktu di boutique kemarin ada sisi positif dari Beliau yang bisa diambil. Dengan mata kepala sendiri kulihat, bagaimana seorang tukang parkir sangat berterima kasih dengan kebaikan pak Burhan. Rasa terima kasih itu menunjukan bahwa Beliau sebenarnya masih memiliki hati. Tindakannya waktu dinikahan Tantri memang menunjukkan libidonya yang tak terkendali, namun esoknya saat dia tinggal menjentikan jarinya saja untuk bisa menikmati tubuhku, secara mengejutkan justru tidak dilakukannya. Semua kejanggalan perilakunya membuatku berfikir bahwa ada sesuatu yang baik dengan Pak Burhan. kejahatan dan kebaikan memang berjalan beriringan dalam tubuhnya. tapi kuat perasaanku mengatakan bahwa kebaikanlah yang tampaknya mulai unggul, sebelum peluru itu berusaha merenggutn nyawanya.

Kemungkinan kedua adalah penembak misterius. Untuk topik ini kami benar-benar berdebat hebat. Ada yang berpendapat tidak mungkin ada orang yang berani. Sedangkan yang lain mengatakan ada. Dan kalaupun ada pelakunya kuat kemungkinan dari kalangan kami sendiri, yang telah mengetahui selak beluk kantor.

Rasanya semua argument ini membuatku kunang-kunang. rangkaian kejadian beberapa hari ini, betul betul membuatku mual. Ditiduri jaka, menangani demonstrasi secara sembrono, Pak Burhan memergoki Jaka dan menamparnya telak dihadapanku, penyiksaan Tanto, sampai menghadang peluru dengan nekat, semua terjadi dalam tiga hari yang begitu singkat. Apakah kebetulan kalau semua harus terjadi ketika Tantri tidak ada?.

“Waduh Sinta kalo kamu tidak segera cari makanan untuk dimakan bisa-bisa kamu segera ko’id”, batinku.

Perutku begitu keroncongan. Makanan terakhirku adalah bubur ayam tadi pagi. siang aku lupa makan. Sore mau makan sepulangnya dari kantor malah jadi begini, tertahan tak bisa kemana-mana, para wartawan telah datang berkerumun dengan kamera dan video recordernya.

“ Udahlah Sinta, nekad aja kayak tadi, persetan sama wartawan, kita nekad makan aja dulu di penjual nasi goreng depan kantor untuk mengisi perut”.

“ Coba bayangin Sinta, nasi goreng kambing yang disajikan lengkap dengan sambal terasi dan kerupuknya mmm begitu nikmat. ayo Sinta kabur aja”, desak pikiranku.

“ mmmm ayo deh siap udah lapar juga nih” jawabku mengiyakan.

Maka berjalanlah aku untuk meninggalkan teman-teman yang masih asyik berdebat di aula. Diam-diam saja aku melipir minggir meninggalkan mereka semua.

“ mau kemana Brigadir??”, suara anggota Provost yang berjaga di depan aula mengagetkan.

“ eeee mau ke toilet dulu senior”, jawabku sekenanya saja.

“ Ya sudah jangan lama-lama!”.

“ Terima kasih senior”.

Kembali aku berjalan mengendap-ngendap di pelataran markas. Aura kantor sendiri masih mencekam. rasannya anyir darah pak Burhan begitu menyengat tercium keseluruh ruangan.

“ hanya satu bau yang bisa mengalahkan bau darah. Apalagi Sinta kalo bukan bau nasi goreng cak Man depan kantor. Hmm, rasa aroma nasinya sudah mengundangmu untuk datang dan menyantapnya dengan lahap. Ayo cepat kita keluar dari sini dan makan nasi goring itu”, suara pikiran terus memprovokasi.

Sudah lama aku kerja disini, jadi hafal betul lika liku jalan tikus yang dapat membawaku keluar dari sini. Boleh saja pintu depan ditutup, tapi toh aku bisa manjat pagar buat keluar he he he.

Senyap aku melintasi ruangan kantin kantor yang telah tutup di bagian sayap kanan kantor. Sayang sekali kantin ini hanya buka sampe sore, kalo saja sampe malam kan gak perlu kayak gini. Dari arah kantin, aku melangkah cepat tak sampai 50 meter jauhnya dari sana untuk menemukan tembok berukuran tidak terlalu tinggi yang bisa mengeluarkanku dari kurungan kantor.

“ Huuuppp”, aku melompat dengan kaki kaki kanan ikut meraih pinggiran pagar. Sangat berpengalaman dalam bidang loncat meloncat pagar aku tinggal selangkah lagi menuju kebebasan sebelum sebuah suara menghardik.

“ SINTA!!”, hardik Inspektur Febi, yang berhasil memergokiku.

Aku beku mematung. dalam posisi memanjat pagar, kepergok oleh Komandanku sendiri.

“ CEPAT TURUN! ATAU KULEPAS ANJING PEMBURU BUAT NGEJAR KAMU!”.

“ Ssiiaaap Komannndan”, mendengar anjing pemburu disebut aku jadi gemetar dan langsung melompat kembali masuk dalam pagar. Anjing Polisi besar-besar badannnya makannya aja daging daging segar yang sering lebih bergizi dari yang dimakan oleh manusia.

“ MERANGKAK KAMU DARI SANA KE SINI SINTA!! SITUASI GENTING BEGINI KAMU MAU KABUR LAGI!”.

Patuh dan ketakutan langsung saja kubaringkan tengkurap badanku, dan merangkak sambil menyeret seluruh badanku. Berat lho harus merangkak tengkurap begini, minimal tanganmu harus kuat agar bisa menjadi tumpuan buat menyeret badanmu ke depan.

“ Bangun kamu!”.

“ ssssssiiap Kkkkomanndan”, jawabku gugup.

“ Keterlaluan nakalnya kamu ini!” Inspektur Febi bicara dengan nada yang lebih lembut, “ kalo tidak kayak gini situasinya, aku akan suruh kamu lari keliling kantor ini sampe elek”, ancamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “ sekarang kamu ikut aku ke ruangan Komandan Hendri kamu dipanggil!”.

Sedikit kasar aku dipaksanya ikut. Meski kondisiku semi digelandang tetap ada dua hal yang ingin kutanyakan padanya.

Pertanyaan pertama ; “ Ijin Komandan kok bisa tau Sinta mau keluar lewat pagar?”.

“ kamu udah lama jadi anak buahku Sinta! tetek bengek soal kamu aku udah hapal!”.

Ok itu pertanyaan pertama, coba pertanyaan kedua ; “ Ijin lagi Komandan, kalo boleh tau ada apa ya Komandan Hendri manggil Sinta??”, tanyaku dengan lebih penasaran. Bukan apa-apa ya, selama tugas disini gak pernah aku dapat kehormatan dipanggil sama Komandan setenar Pak Hendri.

“ Gak usah banyak nanya dalam situasi kayak gini!”.

“ Siap Komandan”, jawabku dengan lemas. Alasan lemas dan gontaiku bukan karena tidak mendapat jawaban memuaskan darinya tapi karena belum makan. Aduh nasi goreng, padahal rasa gurihmu sudah menyeplak di lidahku, tapi dasar nasib aku malah ketangkap.

Bicara soal Komandan Hendri, tau tidak beliau ini merupakan figure yang sangat ingin medapatkan menantu Tantri. Namun sayangnya dia gagal karena Tantri lebih memilih Alex. jabatannya adalah Kepala Divisi Kriminal di Polres. Dia merupakan rivalnya Pak Burhan. Di kantor, kejeniusannya dalam memecahkan kasus sangat tersohor. Semua orang memujanya. Hanya sedikit yang mengkritiknya, mereka kebanyakan dari barisan simpatisan pak Burhan, yang masih menganggap jabatannya selayaknya milik pak Burhan.

Ada apa ya aku dipanggil olehnya? sepanjang karirku di Kepolisian hampir tidak pernah aku dipanggil olehnya. Beliau hanya tertarik dengan pegawai dengan potensi kecerdasan otak yang tinggi seperti Tantri. Untuk polisi kurang begitu cerdas sepertiku, bisa dipanggil olehnya adalah sebuah mimpi yang jadi kenyataan.

“ Tokk…tokk..took”, Inspektur Febi mengetuk ruangan. “ Mohon ijin Komandan, Brigadir Sinta menghadap”, lanjutnya sambil memberi penghormatan. sangat protokoler sekali Komandan Febi ini. “ Makasih Febi”, jawab suara dari dalam ruangan , “ masuk Brigadir Sinta! kamu juga masuk saja Feb, temani Bapak”, sambungnya sambil memanggil namaku dan Febi.

Bergegas aku masuk ke dalam untuk menemui Komandan Hendri. Beliau tengah duduk di meja kerjanya dengan begitu serius. Raut kecerdasan memang memancar jelas dari wajah Beliau. Benar kata Tantri, selain begitu cerdas, Beliau juga ganteng. Menatapnya mengingatkanku pada ketampanan jaka yang begitu memukau.

“ Sinta duduk!”.

“ Inspektur Febi, benar ini Sinta anak buah anda?”, tanyanya langsung kepada Febi. “ Betul Komandan”.

“ Kalian berdua duduk dulu”, tunjuknya agar kami duduk di depan mejanya. “ Ok Bapak langsung saja. Sinta kamu tau kenapa kamu Bapak panggil?”, tanya Komandan Hendri, dengan nada seorang penyidik tegas dan langsung tertuju ke sasaran.

“ Sssiiiiaapp bbbbellum ttau Kkoo..mmandan”, aku tergagap lagi, menerima serangan awal.

“ kamu tidak boleh gagap lagi Sinta! kamu harus punya keyakinan”, terngiang jelas instruksi Pak Burhan ditelingaku yang menegurku karena gagapku waktu di boutique.

“ Tenang Sinta! jangan gugup”, lanjut pak Hendri tenang sambil mengambil satu gelas air mineral, “ minum dulu ini, cobalah relax”, perintahnya. Tanpa menunggu segera kuseruput air mineral yang ditawarkan hingga habis tak tersisa. “ haus kamu?”, tanya Pak Hendri lagi kini dengan senyum. “ Tidak Kommmandan”, jawabku mulai bisa menghilangkan gagap, akibat teringat nasihat pak Burhan. “ gak haus, tapi Itu kayak bocor air minummu Sinta”, terusnya dengan senyum, membuatku jadi malu sendiri.

“ Ok kita bicara serius Sinta”, ujarnya sambil mengenakan kacamatanya, “ kamu bapak panggil, karena bapak menangkap ada kaitan kejadian ini dengan kamu…”, ujarnya sambil menatap curiga ke arahku, “..terkait dengan tertembaknya Burhan, maaf Komandan Burhan, maksud bapak”, ralatnya. Dari nada suaranya tergambar betapa keras persaingan antara mereka berdua.

“ Kenapa saya dikait-kaitkan Komandan?” , tanyaku penasaran.

“ Insting Sinta. Sudah puluhan tahun bapak menangani situasi kayak gini, insting bapak jarang salah. Baiklah bapak akan jelaskan sama kamu biar ngerti. kenapa kamu terkait? ada tiga jawaban. Pertama; Saksi mata dari anggota melihat kemarin sore di Kantor, Burhan berjalan pulang bersama kamu”. mendengar ini aku jadi deg-degan. “ Kedua ; malamnya, tetanggamu melihat Burhan mengantar kamu ke rumah dinas” , aku semakin deg-degan dan putus asa, “ dan ini yang harus kamu jawab, sebab ketiga ; dimalam yang sama, empat rumah disebelahmu, mendengar kamu menjerit-jerit seperti dianiyaya”, Pak Hendri mengambil nafas sejenak, “ coba kamu jelaskan satu-satu!”, ujarnya tenang tapi menusuk.

Aku termenung dalam kebimbangan. Bagaimana menjelaskan semua ini. Dia begitu diteil. Bahkan penganiyayaan Tanto di rumah rupanya terdengar oleh tetangga. Sebagai Polisi, ini untuk pertama kalinya aku mengalami dienterogasi oleh atasan sendiri. Dan yang mewawancarai bukan Polisi sembarangan tapi yang terbaik. Bagaimana bisa begitu cepat dia mengaitkan semua ini?. Kualitas Komandan Hendri memang betul-betul handal.

“ mmmmm”.

“ Silakan dijawab Sinta”.

“ Eeeeeeee”, aku masih bingung harus dimulai dari mana menjawab tiga pertanyaan maut.

“ Komandan Hendri mohon ijin”, Inspektur Febi menyela, “ Sinta ini anak buah saya, ijinkan saya untuk bicara sebentar empat mata dengannya, agar beliau lebih kooperatif dalam penyidikan”.

“ Ok Feb. tapi gak usah pake empat mata segala! kamu cukup bicara disini saja, dihadapan bapak”, jawabnya tegas.

“ Siap Komandan”, jawab Febi dengan patuh, “ Sin! kamu dengar ya, tolong bantu Komandan Hendri dalam wawancara ini! kamu jangan malu-maluin pembinaanku sebagai Komandanmu!”. Inspektur Febi bicara begitu lugas memintaku kooperatif.

“ Siap baik Komandan”.

“ Bagus Sinta!”, Komandan Hendri memotong. “ Feb terima kasih”, katanya pada Febi. “ Ayo kita mulai lagi! gimana Sin pertanyaan pertama soal pertemuanmu sore kemarin dengan Pak Burhan?”.

“ Siap Komandan, betul kemarin sore saya diajak pulang bareng Komandan Burhan”.

“ Pernah kamu diajaknya pulang bareng sebelumnya Sin??”.

“ Belum Komandan”, jawabku. “ kenapa sore itu dia ngajak kamu?”, kejar Pak Hendri. “ Mmm..”, aku agak terhenti karena teringat nanti kalo aku jawab pertanyaannya, bisa-bisa jaka malah tersangkut dan yang paling kutakutkan, kalo itu terungkap, skandal diantara kami akan terbongkar. “ beliau mengajak saya karena motor saya mogok kemarin Komandan”, asal aku menjawabnya. “ Mogok??”, tanyanya tak percaya. “ Betul Komandan”. Pak Hendri tampak menerawang mencari celah dari jawabanku tadi. “ Jam berapa dia nganter kamu pulang dari kantor??”, tanyanya lagi. “ mmmm, saya lupa persisnya Komandan. Tapi saya pulang sehabis mengawal demonstrasi”, jawabku. “ Berarti jam 16 kira-kira?”, posisi duduk Pak Hendri kini maju seperti telah menemukan sesuatu. “ Bukan Komandan”, bantahku.” Lho katamu tadi sehabis pulang ngawal demo?? semua pasukan sudah pulang jam 15.30 Sinta”.

“ Mohon ijin menyela Komandan”, Inspektur Febi kembali menyela. Pak Hendri mengangkat tangannya mempersilakan Febi untuk bicara. “ Ijinkan saya menerangkan, adalah betul Sinta mengawal demo kemarin, tapi dia tidak ikut pulang bersama rombongan”, Febi membantuku, aku jadi tambah simpati dengannya. “ lho kenapa Sinta terpisah dari rombongan Feb??”, heran pak Hendri kelihatannya. “ Iya karena Brigadir Sinta saya minta untuk mengantarkan para korban terlebih dahulu ke rumah sakit komandan”.

Komandan Hendri mengangguk. Fakta baru buatnya ini segera ditulis. “ Ok Sinta, lantas kamu pulang jam berapa kemarin sama Burhan?”, kembali dia mengejarku. “ Febi! kamu cari bukti otentik kalo benar Sinta kemarin kamu suruh ke Rumah Sakit! sekarang!!! bapak tunggu!” perintahnya kepada Febi. Sebagai penyidik handal yang telah banyak makan asam garam, jelas terlihat dia tidak gampang percaya pada sebuah laporan. “ Siap segera saya ambilkan Komandan”, Febi segera menghambur keluar ruangan untuk mengambil data.

“ Jawab Sinta!”, matanya menatap lekat. Tinggal berdua saja dengannya aku jadi makin grogi. “ Selepas jam 19 Komandan seingat Sinta”. Ditulisnya lagi jawabanku. “ Kemana dulu kalian??”, tanyanya tampak mulai kurang sabar. “ Tidak kemana-mana Komandan”. Dia mencocokan data di dua kertas. “ Jangan bohongi bapak Sinta”, matanya tampak melotot sekarang.

“ Mohon ijin Komandan”, Febi kembali datang. Selaannya berkah yang besar buatku yang telah terpojok. “ ini salinan laporan yang ditulis Brigadir Sinta kemarin sore di RSUD, di cap dan ditandatangani oleh Dr. Ilham, seorang dokter di RSUD”.

Dengan tekun Pak Hendri memeriksa tiap laporan yang aku tulis.

“ hmmmm”, dia berpikir. “ Kita rubah cara kita bertanya dan menjawab ya Sinta. Sekarang jawab singkat saja setiap pertanyaan bapak dengan jawaban ; ya atau tidak. Bisa dimengerti?”.

“ Siap mengerti Komandan”.

“ Kemarin sore kamu pulang bareng Burhan?”.

“ Ya komandan”.

“ Malamnya Beliau mengantar kamu ke rumah dinas?”.

“ Ya Komandan”.

“ Habis itu dia menganiyaya kamu didalam rumah dinasmu sendiri?”.

“…….”.

“ Sinta!!”.

“ Siap Komandan”. Jawabku gemetar. “ Ya atau tidak saja jawabannya Sinta!”, tegasnya.

“ Tidak Komandan”.

“ kamu yakin tidak terjadi penganiyayaan oleh Burhan sepulangnya dia mengantar kamu?”, tanyanya lagi. “ Siap tidak Komandan”, jawabku dengan nada pasti, “ Komandan Burhan tidak pernah melakukan kekerasan apapun terhadap saya”, jawabku agak bergetar karena emosional Pak Burhan telah dituduh begitu.

Hening sejenak.

“ Baik. kita masuk pertanyaan berikutnya, tetap jawab saja ya atau tidak Sinta”.

“ Siap Komandan”.

“ Pak Burhan mengajak kamu ke hotel?”.

“ Tidak Komandan”.

“ Dia meniduri kamu??”, pandangannya tajam kali ini.

“ Tidak Komandan”, keras jawabanku.

“ Dia memaksa meniduri kamu di rumah dinasmu??”.

“SIAP TIDAK KOMANDAN”, jawabku dengan nada tinggi.

Hening.

“ Minum dulu Sinta!”, pintanya untuk meredakan situasi yang memanas di ruangan ini.

“ Siap Sinta tidak haus Komandan”, jawabku masih jengkel karena terus diarahkan seperti ini.

“ Plek” Febi menepuk bahuku. “ Minumlah dulu” teduhnya sambil menusukkan sedotan ke air mineral dihadapanku. tampaknya Febi telah menyadari bahwa emosiku naik gara-gara dituding seperti itu.

“ Komandan Hendri mohon ijin, tampaknya Sinta berkata jujur mengenai hal itu”, belanya.

“ …………..”, Beliau tidak menjawab.

“ Ceritakan dulu apa yang sebenarnya terjadi malam itu Sinta!”, ujarnya lembut tapi membawaku menuju babak interogasi baru. “ kenapa kamu berteiak-teriak kesakitan malam itu sampai terdengar jelas oleh para tetangga?”.

“…………………….”, aku bungkam.

“ JAWAB BRIGADIR SINTA! INI PERINTAH!!”, hardik Pak Hendri dengan nada tinggi.

“…………………….”, aku tetap bungkam dan menunduk tak mau menjawab.

“JAWAB!”, pak Hendri mulai berdiri dan melangkah ke arahku. “ AYO JAWAB!!”, kembali dia berteriak lantang.

“ Komandan”, Inspektur Febi menengahi, “ Mohon ijin ! Sinta Cuma perlu waktu menjawabnya. jangan ditekan seperti dia adalah tersangkanya”, kembali Febi membelaku.

“ ………………..”, Pak Hendri terlihat menarik nafas dalam-dalam berusaha meredakan emosinya yang membuncah.

“ Ya sudah kalian berdua keluar dari ruangan saya!”, perintahnya. “ Kamu gali info dari Sinta ini Feb! kalo sampe besok dia tidak mau buka mulut, bapak akan perintahkan dia untuk ditahan, karena menghambat penyidikan”, ancamnya.

“ Siap Komandan! kami mohon ijin! Besok Brigadir Sinta pasti akan memberi jawaban terbaik buat Komandan”, janji Febi.

Berdua kami hormat penuh respek pada pak Hendri dan serempak balik kanan. Febi kemudian mengajakku untuk bergerak ke aula kecil tempatku tadi berkumpul dengan beberapa rekan yang bernasib sama. Dia tidak banyak bicara kali ini, dan hanya terfokus ke satu titik tujuan. sayangnya aku belum mengetahui apa titik itu.

“ Komandan”, ujarku memecah kebisuan, “ terima kasih sudah membela Sinta tadi”.

“ Ssst itu tugasku. Selain itu sebagai wanita dituding seperti itu tentu sangat menyakitkan”.

Febi terus menggeretku masuk ke aula. “ Hmm mana ya bapak itu?”, tanyanya. “ Bapak siapa komandan?”, ujarku. “ Nah Itu dia pak Didin”. Hah kenapa komandan Febi ingin bertemu pak Didin ada apa ya?.

“ Pak Didin mohon maaf mengganggu” ucapnya. “ ya Bu Febi dan bu Sinta, ada apa Bu?? saya sudah boleh pulang ke rumah sekarang??”, tanyanya. “ Mohon maaf Pak Didin boleh minta waktu sebentar saja ada yang perlu kami bicarakan”, ajak Febi agar kami melipir ke sudut yang sepi.

“ Ada apa ya Bu?”, tanya pak Didin bingung.

“ maaf ya Pak, yang pertama bapak belum boleh pulang. yang kedua pak Didin saya mau bertanya ; Sinta ini tetangga anda bukan ??”, tanya Febi terus terang. Astaga kenapa aku telat menyadari, rupanya febi masih berusaha mengorek keterangan tentang kasusku, tapi dengan cara mewawancara langsung tetangga sebelah rumah.

“ betul Bu”, liriknya kepadaku. “ ada apa ya??”.

“ Tolong ceritakan apa yang bapak dengar kemarin malam dari rumah Sinta Pak!”, mohon Febi. Sekilas tatapan pak didin bertemu denganku. Tak berdaya aku hanya bisa pasrah menundukkan wajah.

“ Bu Sinta maafkan saya ya kalo ikut campur urusan daleman rumah ibu”, buka pak Didin. “ betul Bu Febi, malam kemarin saya mendengar Ibu Sinta mengerang-ngerang kesakitan beberapa kali disertai bunyi dentuman keras, seperti terjadi pemukulan”.

“ Pak Burhan yang melakukan itu Pak Didin?”.

“ Bukan Bu!. Pak Burhan hanya mengantar bu Sinta saja. Kenapa saya bisa yakin?? karena saya sempat berpapasan dengan mobil Pak Burhan waktu dia hendak kembali pulang dan Bu Sinta sudah masuk ke dalam rumah”.

“ lantas bapak punya gambaran siapa yang kira-kira menganiyaya Sinta?”.

Pak Didin kembali menatapku iba. “ Tanto bu”, ujarnya pelan.

“ Tanto pak??”, Febi terdengar gusar. “ Iya Tanto. Jujur Bu, ini bukan pertama kalinya terjadi keributan di rumah Sinta. Dulu kalo Tantri tidak ada di rumah, sering sekali mereka berdua ribut yang berujung jeritan dari ibu sinta. apalagi sekarang tantri sudah pindah, Tanto sepertinya jadi semakin bebas melakukan tindak kekerasan terhadap Bu sinta. tapi….”.

“ Lanjutkan pak, tolong!”, mohon Febi.

“ Ibu Sinta ini punya sifat penyabar yang besar. Dia bisa bersabar selama ini pacaran dengan orang yang terus menganiyayanya. saya beserta istri selalu salut dengan ketabahan Bu Sinta selama ini menghadapi Tanto. kalo bu Febi gak percaya omongan saya coba tanya orang satu kantor ini tentang perilaku Tanto!”.

“Mmm saya percaya sama Pak Didin. terima kasih ya Pak. Informasi dari bapak sangat berarti. Sekarang ijinkan kami undur diri ya pak!. Ada tugas segera yang kami berdua harus lakukan”, ijin febi.

“ Bu Sinta”, kata pak Didin kepadaku,” maafkan saya ya”.

Aku tersenyum. Beliau tidk bersalah apapun.

Febi membawaku masuk ke dalam kamar mandi wanita di Polres. Kemudian mengunci pintunya dari dalam.

“ Tanto mukulin kamu selama ini?”. tanyanya. “ siap tidak Komandan”, jawabku tetap berusaha menutupi prilaku Tanto. “ Ayo sinta, bantu aku! ngaku sajalah demi kebaikanmu sendiri”, himbau Inspektur Febi kepadaku. “ Siap tidak Komandan”, aku masih berusaha menutupi. Febi terlihat menggeleng-geleng tak percaya dengan kekerasan hatiku.

“ Baiklah Sin, kamu maksa aku. Tindakan ini harus dilakukan”, ujar Inspektur Febi dengan raut tegang. “ Buka bajumu Sinta, kamu resmi digeledah karena kamu berusaha menutupi penyidikan! surat penggeledahan akan segera dibuatkan, tapi karena gentingnya situasi, itu bisa menyusul, sekarang copot bajumu”.

“ Kkkoomanndann”, aku gelagapan, kalo baju ini dilepas bekas lukaku pasti terlihat jelas.

“ Cepat!!!!”.

Akhirnya dengan hati yang berat kulepas pakaianku. Begitu terbuuka bajuku, segera saja raut muka Inspektur Febi berubah. Dia menedekatkan wajahnya ke kulitku untuk melihat kengerian akibat bekas cambukan di kulit perut, pinggang dan sebagian payudaraku.

“ Luka apa ini Sinta?? masih coba menutup-nutupi??”.

“ Saya kepeleset Komandan”.

“ Kepeleset??”, disentuhnya luka yang masih segar di kulitku. “ sampe kayak gini lukanya Sinta??, kepeleset kayak apa sampe bisa kayak gini ck ck ck”. Febi menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil menatapku lekat, “ kamu diam saja mendapat penganiyayaan seperti ini Sinta?? jangan seperti ini, aku komandanmu, penganiyayaan seperti ini tidak boleh dilakukan kepada satu orang pun dari anak buahku”, ujar Inspektur Febi dengan nada yang agak emosional, “ pakai bajumu ikut aku! kita akan kejar Tanto!”, ujarnya cepat sambil melempar kembali bajuku untuk kukenakan.

“ Kkkooomannndannn??”, gagapku datang lagi.

“ GAK USAH BANYAK OMONG! PAKE BAJUMU SINTA! TANTO GAK BAKAL LOLOS AKU JAMIN ITU!!”.

Bersegera aku mengenakan kembali seragamku dibawah pengawasannya. ketika baju telah terpasang Febi segera mengayunkan tangannya sebagai tanda agar aku mengikutinya.

Segalanya kembali terjadi dengan kecepatan yang begitu tinggi. Inspektur Febi menarikku untuk naik ke mobil preman sambil membawa senjata lengkap laras pendek miliknya. dia tampak tegang sekali di dalam mobil. Suasana malam yang telah memasuki tengah malam, membut jalanan sepi. Febi menginjak gasnya maksimal.

“ mauu kemana kita Komandan??”.

“ Ke rumahmu Sinta!”.

“ Kenapa ke rumahku Komandan??”.

“ Gak usah banyak nanya”, kesal dia sepertinya. “ Siapkan senjatamu! kalo naluriku benar Tanto akan kembali ke rumahmu”.

“ kenapa dia kembali ke rumah dinasku Komandan??”.

“ karena Tuhan selalu membuat seorang penjahat kembali ke tempat dia melakukan kejahatannya Sinta”.

Aku merenung mendapat ilmu darinya. Sangat cerdas Komandanku satu ini.

Masalahnya ada satu hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi dan sangat mengganggu. Aku sudah begitu lapar dan lemas. rasanya seluruh tubuhku kini telah mengeluarkan keringat dingin karena mengalami kelelahan akut. Untunglah kecepatan Febi membuat kami segera tiba di rumah dinas.

Berdua kami segera keluar dari mobil dan bergerak senyap tanpa berusaha membangunkan para tetangga yang pasti sudah terlelap. Seperti di film action, kami mengitari rumah terlebih dahulu untuk memastikan jejak Tanto.

Kewaspadaan kami begitu tinggi. febi menyuruhku menggunakan senjata. Dia yang masuk ke pintu rumahku duluan. rumah dinas yang tak terlalu besar ini, membuat kami segera mampu mensweepingnya. Sejauh ini aman. Tanto tidak terdeteksi. Tinggal dua kamar lagi. Kamar Tantri dan kamarku.

“ Buka kamar Tantri dulu Sin!” perintah Febi.

Segera kubuka kamar itu. Aman. Tidak ada tanda-tanda kamar ini pernah dimasuki orang sepeninggalnya Tantri.

“ Sekarang kamarmu!”, kubuka juga kamarku dengan cepat namun tetap waspada. Juga aman. Sepertinya dugaan Febi salah Tanto tidak kembali kesini malam ini.

“ Hmmm”, Febi menarik nafas panjang. Di kamarku hanya ada sedikit perabotan. hanya ada lemari baju besar, kasur, dan kaca rias, serta beberapa fotoku selama dalam pendidikan. mata Febi menyapu seluruh ruangan. Dia menuju ke foto kecil ukuran postcard yang ada di meja rias. dia lihat foto yang memajang kemesraan antara aku dan tanto.

Mmmm aku kok lupa menutup lemari baju ya. Ujarku melihat lemari baju yang sedikit terbuka. Febi masih serius menatap foto. aku bergerak untuk menutup lemari baju yang terbuka.

“ Jebret”, pintu lemari itu tiba tiba menghantam badanku, untung saja tenganku sedikit terlentang didadaku sehingga pintu lemari yang tiba tiba terbuka itu masih dapat tertahan tidak mengahantam telak ke wajah.

Tanto keluar dari lemari menyerbu dengan buas. Dia mendorongku hingga terlempar menghantam tembok. aku langung rebah. Tenagaku sudah betul betul habis. Terbentur tembok kepalaku membuatku langsung tak berrdaya. Febi yang kurang siap karena sedang teralihkan fokusnya, segera diseruduknya dengan tenaganya yang kuat sehingga pistolnya lepas dari genggaman. Febi berusaha berontak tapi dua pukulan telak Tanto di wajah dan perutnya segera membuatnya pingsan tak sadarkan diri.

Puas menghantam Febi. Dengan begitu arogan Tanto melangkah ke arahku. Dengan sombong dan penuh kemenangan dikangkanginya aku. Tanganku yang berusaha melawan langsung ditangkapnya dan dibawanya terentang tak bisa kemana-mana.

“ Mmmmmm”, aku berusaha berontak, tapi Tanto langsung membungkam mulutku dengan ciumannya.

“ hhheeeeeggghhh”, aku berusaha melepas ciumannya.

Dikatup mulutku dengan jarinya agar diam, “ Febi sudah pingsan sayang! kamu mau juga seperti dia??”, tanyanya sambil memainkan jarinya di hidungku. “ Kamu semakin cantik Sinta. Kok aku baru menyadari ya betapa cantiknya kamu??”.

Habis menggombal dia kembali mencumbuku. Berbeda dengan peristiwa sehari sebelumnya, ciumannya kini begitu penuh perasaan. Disentuhnya bibirku pelan dengan bibirnya, kemudian dihisapnya dalam-dalam. Tanto biasanya malas dengan aktifitas berciuman, tapi sekarang??di momen ini, kenapa dia begitu menikmatinya?. perlahan-lahan, dia menikmati bibirku. Setiap centi, bibirku yang penuh dihisapnya. Mungkin karena terlalu sering mengincar bibir vaginaku, dia tak pernah tau betapa exotiknya bibirku. Mungil, penuh, sensual dan berwarna kemerahan alamiah itulah bentuk dari bibirku yang kini dipagutnya.

Lidahnya pun mulai keluar bermain di mulutku. Dengan lincah, lidah itu berputar searah jarum jam, untuk membasahi ronga-rongga bibirku. Dia begitu perlahan memainkan bibirku dari luarnya, kemudian setelah puas berputar kembali memakan hidangan utama bibirku secara keseluruhan. OOww rasanya begitu intim, tanpa ada keterburuan, begitu akrab secara emosional.

Pilihan apa yang tersedia untukku terhadap pacarku ini. Tenaganya sekarang begitu kuat. sedangkan aku begitu gontai. Dia telah memukul Febi. Tinggal sejengkal lagi dia bisa menghabisiku. kalo otakku yang tidak pintar ini ingin selamat, sebaiknya kita ikuti saja permainannya sambil mengulur-ngulur waktu, siapa tau dia mengurungkan niatnya untuk menghabisiku seperti kemarin.

Dengan pemikiran itu, Aku mulai membalas ciumannya dengan gelora yang sama. Lebih baik kuladeni saja dulu nafsunya, daripada dia kembali kalap. Di lantai rumah dinasku, bersisian denagn Febi yang telah tak berdaya, kami berciuman seperti seorang kekasih. Kini tak ada perlawanan lagi dariku. Permainan lidahnya kusambut, dengan lidahku yang juga bermain disekeliling mulutnya. Bagai dua orang yang saling beradu tarik tambang, kami berdua maju mundur menikmati indahnya permainan ciuman ini. Saat ciuman Tanto maju, untuk memberi kedalaman hisapan, lidahnya masuk jauh ke dalam mulutku dan berputar-putar di rongganya, nafsuku perlahan mulai bangkit.

Sebaliknya ketika giliranku datang untuk menyerang balik, kugunakan hisapanku yang juga dalam untuk memancing lidahnya keluar dan melumatnya dalam-dalam. Ciuman kami terus berlangsung di ruangan ini.

“ Ayo kita naik ke ranjang sayang, aku pengen minta jatah malam ini hehe”, ujar tanto sambil menggendongku naik ke atas ranjang.

Aku begitu pasrah kali ini. tak ada lagi niat untuk melawan dalam bentuk apapun. Tenagaku sudah nol.

“ Jangan dipikirkan kamu mau aku apain!, yang pasti, aku ingin menikmati tubuhmu sepuas-puasnya!”.

Tanto segera melepas bajunya. tampak jelas bentuk tubuhnya yang berotot saat baju itu dilepas. Setelah melepas bajunya Tanto langsung membungkamku lagi dengan mulutnya. Ciumannya tidak memberiku peluang untuk melawan. Dia menciumku sambil tangannya berusaha melepas seragam dinasku yang masih melekat.

“ Uuuuuuuuuuhhhhhhh”, kugigit bibirku, saat Tanto berhasil melepas semua kancing baju kerjaku. Dengan giginya kemudian dia melepas kaitan BHku dengan gerakan yang amat sensual. Melihat dia begitu sexy melepas bajuku, membawaku semakin ingin meledak saja. Jari tangan Tanto, yang besar kemudian menyingkirkan Bh itu, dan memulai remasannya di payudaraku. Sekali lagi dia sabar dalam memberiku rangsangan. Alih-alih asal caplok seperti biasanya, kini dia begitu lihai untuk tidak terburu buru.

“ Kasian lukamu ini, sakit sayang???”.

“……………..”, aku menggeleng sambil meringis saat tangannya menyerempet ke bekas lukaku.

“ Uuuuuuhhhhhh”, aku mendesah getir saat Tanto justru mencium bekas luka itu. Dibelainya lembut kulit kemerahan yang lecet itu. Kemudian dicumbunya pelan lalu dijilatnya.

“ Aggggggghhhhh”, terpejam aku berusaha menahan rasa nyeri yang timbul. Tanto menahan tanganku agar tidak berontak. Dia terus menciumi bekas lukaku yang ada di pinggang. tangannya juga tak henti mengusap-usap bekas luka lain yang terdapat di payudara dan perutku.

“ gak usah ngelawan Sinta. Lukamu pasti sembuh kalo aku jilati terus”, kembali lagi dia tenggelam untuk menciumi bekas luka maha karya dirinya sendiri.

Dari bekas lukaku tangannya kemudian bergerak meraba sisi luar payudaraku, kemudian meremasnya pelan tapi tidak menyentuh putingnya. Remesannya naik perlahan hingga menuju putingku. Dalam gengamannya yang kuat aku begitu terhipnotis.” Ahhhhhhhhhh “, aku menjerit, bersamaan dengan gerakan telunjuknya yang berputar bermain-main di ujung putingku. Antisispasi tubuhku untuk menantikan sentuhannya diputingku, membuatku sangat penasaran ketika ia tidak mau memenuhinya.

Walau mulai terangsang, aku sedikit sadar akan kenihilan hubungan kami, kemudian berusaha berontak untuk menghentikan semua aksinya. Aku takut terbuai dalam kenikmatan. Tapi Tanto selalu menghentikan aksiku dengan memegang tangan dan tubuhku. Diangkatnya tangan itu ke atas agar tidak bisa berontak. Dalam situasi ini, aku jadi makin tak berdaya. Tanto hanya tersenyum penuh nafsu saat menatap wajahku yang mulai terangsang hebat akibat kemahirannya.

Tanto, yang satu tangannya mengunci kedua tanganku, dengan tangan yang lain berusaha melepaskan celana kerjaku. Dengan menendang-nendang hampa berusaha kuhentikan keinginannya. Tapi sekali lagi dia terlalu kuat. Kemampuanku sudah habis untuk melawan. Celana kerjaku dengan mudah dipretelinya hingga hanya menyisakan CD saja.

Tangan yang tadi menelanjangi celanaku kini masuk dengan leluasa ke balik CD itu. Dua jari Tanto menyibakkan jembutku, kemudian mulai bermain di tepian vaginaku. Dia tau benar cara memainkan vagina itu sekarang. Sangat cepat tanto berubah. Kemarin dia asal tembak saja kini dia begitu piawai.

Sekarang tangan itu membelai dengan begitu lembut. Seperti menggunakan hati, tangan itu tidak main kasar. Sebaliknya tangan yang nyusup di balik CD itu, menciptakan iklim hangat dan terus dipanaskan sehingga menyentuh titik didih.

Bersamaan dengan itu dia kembali menciumiku. “ Mmmm..mmmmmm…mmmmm”, aku berusaha berontak, karena semua rangsangan ini mulai tak tertahan. Terasa begitu berlebihan buatku. “ Diam cantik!”, bisik Tanto, “ gak usah dilawan! nikmati aja!”, katanya.

Tangan tanto yang mengunci kedua tanganku mulai turun menuju payudaraku sehabis memerintahkan itu. Kembali dengan gentel dia meremas-remas kedua bukit menonjol yang ada di dadaku.

“ Aaaaagggggggghhhhhh”, aku menjerit lagi saat mulut tanto mulai mengenyot payudaraku yang kiri, sedang sebelah tangannya tak beranjak membuai dadaku yang kanan. Begitu hebat dia. Tangan yang dibawah juga membuatku semakin mendidih. Alih-alih asal main colok ke vaginaku. tangan itu justru asyik menstimulasi seluruh area sensitive disekitaran kawasan itu.

Paha dalamku di belainya, perbatasan pantat diputarinya, area bawah pusar ditekannya, apalagi sisi luar vagina, tak henti digodanya. Semua dilakukannya hanya dengan satu tangan. Tanto yang sekarang, mahir memilih momentum. Jari telunjuknya hanya mulai masuk mencolok vaginaku bertepatan dengan mulutnya yang menyusu di putting payudaraku.

bayangkanlah dua titik sensitive tubuhmu terstimulasi di saat yang bersamaan. Apa yang dapat kamu rasakan lagi Sinta selain sebuah mega rangsangan yang membuat bulu romamu merinding berdiri semuanya .

“ Ammmpunnnnnn Masss Tantooo… agggghhhhh ampuuunnnn….jangan mainin tetek sama itu Sinta…….”. Mendapat rangsangan yang terus meningkat intensitasnya aku menjelang terbang dalam kenikmatan yang aneh. Tanpa penetrasi dan hanya pijatan, kenyotan di payudara, serta jari yang bermain didalam vagina aku seperti akan diantar menjemput orgasme.

Jepitannya diputing, diiringi dengan towelan-towelan cepat, lengkap dengan remasan nakal diseluruh permukaan payudara begitu merangsang. Cupangan di putingku juga makin hebat karena dia mulai menggigit-gigit lembut menghadirkan sensasi nyeri-nyeri nikmat. dari bawah jarinya mulai mengocok-ngocok maju mundur seperti ingin mengeluarkan sesuatu.

Titik puncak itu akhirnya tiba ketika jari itu semakin cepat mengocok bersamaan dengan gigitan dan remasannya di payudaraku.

“ Hhhhuuuuggghhh……agggggghhhhhh…….uuuggggggkk”, aku melenting tinggi dengan Tanto yang menyambut lentinganku dengan bibirnya yang mencaplok payudaraku dengan hisapan nan indah. Meski tubuhku terungkit tangannya tak mau dilepasnya untuk tetap melaksanakan galiannya. Malam ini Tanto benar-benar membuatku mabuk.

Aku kehilangan nafas sesaat , dan sekilas pikiranku buyar.

“……………………………..”, begitu indah rasanya meski hanya untuk sepersekian detik, untuk memasuki dimensi tanpa pikiran yang dipenuhui kenikmatan seperti ini. Penari baletpun kalah melihat tegangan tinggi yang kuberikan saat menyambut orgasme. kontraksi otot di seluruh tubuh terasa begitu maksimal dengan kedutan-kedutan hebat diseluruh tubuh. rangsangan dari dua titik atas dan bawah, mempertemukan dua aliran darah di satu titik yaitu area rahim sampai vagina. Pertemuan itulah yang menghadirkan ledakan tepat diseputaran perut. Untuk melepas ledakan itu tak henti aku seperti mengedan untuk meledakan semuanya.

“ Haaaaaaaaggggggghhhhhh”, keras berusaha kutumpahkan seluruh beban dan masalah kehidupan dalam satu tarikan nafas orgasme. rasanya begitu indah. Mengalami kondisi keluar dari dalam diri, itu rasanya tak terlukiskan. Tidak perlu menginginkan apapun karena dititik ini tidak ada keinginan lagi. bahkan tidak perlu berpikir apapun ,karena toh tak ada lagi yang dapat dipikirkan. Yang ada hanya ledakan syahwat, yang meluluhlantakkan semua bangunan persendian dalam sebuah erupsi sempurna.

Kulitku yang putih membuat wajahku tampak berwarna orange, penuh dengan darah yang bergejolak disana kala diterjang kenikmatan. Nafasku timbul tenggelam memasuki keadaan nafas dan tanpa nafas. Laki laki perkasa di depanku ini terus memberi rangsangannya secara maksimal di payudara serta vaginaku untuk memastikan bahwa orgasme itu benar-benar tuntas .

Histeria kenikmatan itu memang begitu eksentrik. Sebuah seni tingkat tinggi manusia yang tak sanggup lagi kugambarkan dengan kata-kata. Bayangkanlah ada dua aliran darah dalam tubuh yang memiliki tugas masing-masing. yang diatas memiliki fungsi menjalankan tubuh bagian atas. Sedang yang dibawah memiliki kewajiban menjalankan tubuh bagian bawah. Bagaimana bila kedua aliran darah yang selayaknya tidak bertemu itu, kemudian dipersatukan oleh sebuah seni yang bernama klimaks kenikmatan. Sebuah seni yang menyatukan seluruh aliran darah dalam tubuh kedalam satu titik temu. Ketika aliran daran itu bersatu yang ada hanyalah ketiadaan.

Maksud ketiadaan disini adalah tidak ada satupun kata yang mampu menjelaskannya. Saat kata “kenikmatan” disebut memang kata itu sedikit tepat menggambarkannya. Akan tetapi tak mampu menggambarkan semua sensasi yang meluap luap.

Gambaran terbaik tak dapat dikatakan melalui kata-kata. Namun tergambar jelas dari ekspresi alamiah dari dalam tubuh. Begitu dahsyat klimaks ini ketika diekspresikan dengan jambakan dan cakaran hebat kepada Tanto yang kini bertindak bagai master seksualku. Sambil mengerang-ngerang penuh syahwat, kugenggam apa saja yang bisa kuraih dan kupelintir, cabik, dan tarik dengan sedemikian keras.

Tanto yang mendapat cakaran di tangannya, mengernyit pelan dengan senyum lebar kebanggan seorang lelaki yang berhasil membuat wanitanya lupa daratan. Senyum para pejantan yang menaklukan egoism seorang wanita dan menundukkannya untuk berserah diri dibawah kehandalan tangan dan cumbuannya.

“ ammmmppuuunnn…..ampunnnn….ammpuuuunnnn”, tiba kembali ke dunia nyata, aku berusaha menyingkirkan tangan Tanto yang masih berusaha menyerangku dari dua titik . Dengan tenaga normal tentu tak bisa aku menyingkirkan tangannya, tapi dengan tenaga spontan yang muncul akibat dorongan ingin menghentikan badai kenikamatn ini aku berhasil menyingkirkan Tanto. Tangan serta mulutnya yang masih di payudara kuhalau dengan lengan yang mendapat bantuan tenaga bahu. Sedangkan tangannya di vagina kusiukut dengan dengkul.

saat dia akhirnya rebah, segera kuringkukkan tubuhku dalam posisi duduk di ranjang sambil berusaha meredakan semua kenikamtan yang masih tersisa. badai itu lama hilangnya. Kedutan di vagina maupun payudara rasanya masih begitu terasa sampai beberapa menit.

“ hahh….hahhh…hahhhh”, nafasku masih acak-acakan.

Tanto tetap tersenyum sambil membiarkanku meredakan sendiri badai kenikmatan yang menghantam.

“ brakkkkkk”. Saat aku masih belum pulih benar. Pintu mendadak didobrak oleh seseorang.

Panik, Tanto langsung berdiri menatap ke arah sumber suara. Sedangkan aku juga tak kalah panik berusaha mencari apapun untuk menutupi ketelanjanganku.

“ TANTO………….APA APAAN KAMU!”, mendengar suara itu membuatku heran sekaligus bahagia. itu suara pak Burhan dan ajaibnya dia masih hidup.

“ Dasar kamu Komandan cabul”, melihat Pak Burhan yang datang Tanto kalap dan menyerbu ke arah beliau.

“Brug”, Tanto berusaha menyerang pak Burhan dengan pukulannya. Untunglah dengan teknik tinggi, pak Burhan menahannya dengan satu tangan kemudian ditelikung tubuh Tanto yang kekar untuk kemudian dilemparkan hingga menabrak kaca rias.

Tanto ambruk seketika .

Tanpa mempedulikan kemungkinan Tanto akan bangkit lagi, pak Burhan melangkah ke arahku.

“ Sini Sinta, kasian kamu”, ujar pak Burhan sambil menutupi tubuhku yang telanjang dan merangkulku penuh kasih sayang. Rasanya begitu damai berada dalam pelukan pria ini, yang berkali kali melihat kelemahanku tapi selalu berusaha menutupinya dengan cinta yang tulus.

saat aku dipeluk oleh Pak BUrhan , Tanto rupanya bangkit kembali dan mengambil sebuah pistol yang tergeletak milik Inspektur Febi. Diarahkannya pistol itu kearah kami berdua.

“ PAKK AWASSSS!!”, jeritku histeris saat melihat Tanto menodongkan pistol ke arah kami.

“ MAS TANTO , JANGAN TEMBAK!!!”, jeritku.

“ Sssst”, Burhan menghentikan jeritanku, “ jangan khawatir Sinta”, katanya,” Bapak akan melindungimu cantik. Bapak akan selalu ada untuk kamu”, ujarnya dengan senyum yang begitu indah sambil menjadikan tubuhnya sebagai tameng.

“ Dorrrr……dorrrrrr”, dua peluru terhambur menghantam pria gendut namun gempal ini.

Jeritanku nyaring terdengar seiring dengan cipratan darah pak Burhan yang terciprat ke wajah.

“ Bapakkkkkkkkkk”, aku menjerit histeris.

Begitu besar kesedihanku hingga tanpa sadar mengusap ngusap darah Pak Burhan yang tumpah ke seluruh wajahku seperti orang gila.

“ Tidaaaaaakkkkk”, dalam keadaan bersimbah darah di muka aku menjerit perih.

“ TIDAAAAAAAAKKKKKKKKKK”.

************************************************

“ Sinta…bangun….bangun Sinta”, teriakan inspektur Febi menyadarkanku.

“ hahhhhh”, aku tersadar. “Pak Burhan Komandan???”, cengkramanku keras pada Febi.

“ Kkoomandan apa yang terjadi dengan Pak Burhan??”, tanyaku panik semakin mencengkram pundak Febi.

“ SINTA TENANG!!!. kamu mimpi buruk sehabis pingsan tadi”.

“ Aaaapa yang terjadi Komandannnn?? saya pingsan???”, tanyaku penasaran.

“ Iya kamu pingsan habis diseruduk Tanto! maafkan aku sempat lengah tak menyadari dia bersembunyi di dalam lemari”, kata Inspektur Febi sambil menepis darah yang keluar dari hidungnya.

“ Darah..Komandan berberdarah??”, aku segera melepas cengkraman.

“ Gak apa Sin!, Cuma mimisan. Habis mendorongmu Tanto menyerangku dengan buas, kemampuan bela diriku kalah darinya. Pistol yang kubawa terlempar,tapi untung aku sempat menendang kemaluannya hingga dia menjerit-jerit”.

“ Menendang kemaluannya Komandan??”.

“ iya dia langsung roboh Sin. tapi fisiknya memang kuat. meski sudah jatuh, dia cepat bangkit kembali dan menghambur lari tunggang langgang. Para tetanggamu sudah bangun semua untuk mengejarnya”.

“ Ayo kita kejar lagi Tanto Komandan!”.

“ Hush kamu terlalu lemah. Waktu kamu tak sadarkan diri meski cuma lima menit, tapi membuatku cemas gak karuan. Apalagi saat kamu ngigau waktu pingsan. Nih minum dulu air ini supaya kamu benar-benar sadar!”.

“ Terima kasih Komandan”.

“ Kalo kamu sudah sadar, kita jalan lagi Sinta!. Malam ini kita lembur”.

“ Siap Komandan. Tapi….”.

“ Tapi apa??”.

“ Sinta mohon ijin boleh makan dulu tidak Komandan?. Sinta lapar sekali”.

Febi tersenyum. “ Oke kita makan dulu Sinta, malam ini aku yang traktir”.

Betapa bahagianya hatiku akhirnya bisa makan juga. Tapi mimpi tadi aneh juga ya. Meski Cuma mimpi tapi kenapa pengalaman orgasmenya itu terasa nyata. Darah yang muncrat ke wajahkupun terasa jelas. Apakah ini tanda bahwa Tantol benar-benar menembak Pak Burhan??”.

Sisa malam itu berlalu tanpa terasa. Memenuhi janjinya, Febi mentraktirku makan di warung makan yang masih buka. Sedikit sulit menemukannya karena telah tengah malam, namun akhirnya dapat kami temukan dan cukup menggembirakan hati, karena rasa masakannya enakkk.

Iyalah warung yang masih buka inikan restoran sea food terkenal di daerahku yang buka sepanjang malam sampai menjelang subuh. Menyantap sea food yang bergizi tinggi mampu memulihkan cepat stamina.

Pulang dari resto kami balik kanan menuju kantor. Suasana di kantor dini hari bukannya sepi malahan bertambah ramai. Para wartawan yang mendatangi markas semakin banyak. Terlihat jelas lambang pers mereka yang beberapa diantaranya bertuliskan nama stasiun tv dan media cetak papan atas nasional. Rupanya kejadian sekarang, bukan lagi menjadi konsumsi media lokal semata tapi sudah menjadi isu nasional.

Karena mengendarai mobil preman kami tidak terlihat mencolok dan mudah lolos dari perhatian para wartawan. Meski awalnya menentang, Inspektur Febi terpaksa setuju dengan usulku untuk masuk kantor dengan cara memanjat pagar. Gimana? Pagar yang mana?, jelas donk jawabannya, pager yang tadi kupanjat sebelum dihardik Febi.

Berdua kami saling bantu untuk menjangkau ketinggian pager yang relatif tidak terlalu tinggi. Dengan menundukkan diri aku membantu Febi naik. Kakinya bertumpu pada punggungku agar dapat menjangkau pagar. Setelah terjangkau barulah dia menggapainya dan dengan kekuatan otot punggung melompat ke dalam. Aku sendiri tak perlu bantuan. Maklum sudah ahli kalo masalah beginian he he. Cukup ambil bangku kecil bekas warung di sebelah, dijejek ringan dan huuuup, aku berhasil menggapai atap pagar, kuungkit badanku naik dibantu kaki dan kedua tangan, akhirnya mendaratlah aku dengan selamat.

“ Jago kamu Sin, kalo soal loncat tembok”.

“ Ah Komandan, gak keren donk kalo jagonya Sinta hanya masalah pager Doank”.

“ Semua diawali dari hal kecil Sin. Awalnya Cuma pager, siapa tau lain waktu jadi hotel dan apartemen”.

“ Lho apa hubungannya sama hotel sama apartemen Komandan??”.

“ Gak tau Sin, aku udah lelah, jadi ngasal ngomong aja”.

Kami sama-sama tertawa menertawakan kelucuan kami yang sudah kelelahan tapi terus saja memaksakan diri. Febi mengajakku untuk tidur saja di ruangannya. Meskipun awalnya menolak tapi karena dipaksa aku jadi menurut. Ruangan Febi memiliki karpet yang cukup nyaman untuk dibuat rebahan. Berdua kami rebah di karpet itu dengan kelelahan parah dan segera tertidur.

DAYS 4 ; DIGNITY

Pagi itu aku terbangun dengan cipratan air di muka. Febi telah bangun dan tempaknya telah mandi dan bersiap dengan seragam lapangan. Jam berapa ini? Tidurku begitu tak terasa.

“ Bangun anak mama! Mandi sana sudah siang”.

“ Mmm jam berapa Komandan?”.

“ Jam 6 “.

“ Komandan sudah mandi??”.

“ Udahlah, kamu mandi cepat! Hari ini ada apel besar-besaran diambil Bos besar dari propinsi”.

“ Kenapa mendadak Komandan??”.

“ Merespon kejadian kemaren Sinta. Udah gak usah banyak tanya mandi sana”.

Menahan rasa sakit kepala sebelah, aku berjalan ke kamar mandi yang terdapat di ruangan Febi. Tidur sejenak kalo dilakukan siang hari enak dan bikin segar. Tapi kalo pada malam hari bisa buat migrain dan mood hilang. Huuufff rasanya lelah sekali.

Cepat aku mandi. Istilah mandi bebek benar-benar kulakukan. Pokoknya yang terpenting semua bagan tubuhku kembai bersih dan segar sudah cukup. Berikutnya kuhanduki tubuhku dan kukenakan lagi pakaian dinas yang telah kupakai dari kemarin. Hiii jorok banget sih kamu Sinta. Ya mau gimana lagi? Pulang gak diijinkan tapi pakaian tidak disediakan.

Keluar dari kamar mandi, kulihat Febi sedang membaca laporan. Sebagai seorang perwira dia memang benar benar memiliki kualitas. Rajin, cerdas, komitmen, dan melindungi anak buah, betapa beruntung aku mendapat Komandan handal seperti beliau.

“ Sin, bajumu masih yang kemarin?”, melihatku dia berkomentar.

“ Iya Komandan, saya tidak bawa baju ganti”.

“ Dalemannya juga yang kemarin?”.

“ Siap iya Komandan”.

“ Dasar jorok kamu! Ambil baju safari di lemari itu! Ukuran kita sama pasti cukup buat kamu. Dalemnnya juga kamu ambil aja di laci bawah”.

“ Mmmmaksuudnya, Sinta pake baju punya Komandan?”.

“ Betul Sinta! Cepet deh gak usah banyak mikir! Nanti keburu apel”.

Wah baik sekali aku dipinjami baju. Lemari yang ditunjuk oleh Febi segera kubuka. Di dalamnya begitu rapi dan tertata. Terdapat beberapa baju dinas yang telah siap. Baju safari yang dimaksud Febi juga ada disana dalam keadaan rapi dan wangi. Ada tiga warna tersedia, biru, coklat dan hijau muda. Kuambil yang hijau muda. Baju safari Polwan itu bentuknya panjang. Biasanya pas badan. Sedikit menonjolkan lekuk tubuh namun tetap memberi kesan elegan. Baju ini biasa dipakai oleh mereka yang memiliki tugas khusus. Itulah sebabnya Febi memintaku mengenakannya, karena situasi yang kami hadapi sekarang dapat dikategorikan khusus dan luar biasa. O ya tak lupa sepasang daleman milik Febi juga kupinjam untuk mengganti milikku yang sudah tidak higienis. Untunglah ukuran daleman Febi juga masih pas untuk kukenakan.

Kupatut diriku di cermin sejenak.

“Mmm mengenakan baju ini kamu jadi makin cantik Sinta”, pujiku pada diri sendiri sambil berlenggak lenggok di depan cermin.

Ketika aku kembali ke ruang utama, Febi sudah berdiri dari bangkunya dan menggenggam senjatanya. Kulirik jam di dinding sudah pukul 6.55. Sebentar lagi bel. Bergerak cepat aku dan Febi segera beranjak menuju lapangan apel.

Perhitungan Febi tepat, setibanya kami di lapangan bel pun berdering.

“ kamu gabung dengan pasukan Sin!”.

“ Siap. Komandan mau kemana??”.

“ Ada satu hal yang aku harus lakukan”, ujarnya langsung berlari ke aula.

Cepat sekali dia mau kemana ya?? Ah sudahlah Sinta Fokus ke apel saja dulu. Karena yang mengambil apel adalah Kapolda, jadi persiapannya begitu serius. Sudah begitu para wartawan ikut juga meramaikan suasana. Dengan kamera serta para penyiar yang mulai on air, mereka betul betul menarik perhatian kami yang memang belum pernah melihat pemandangan para wartawan yang begitu gesit memburu berita.

Banyak dari para Polisi yang harus melayani wawancara live dari wartawan. Untunglah kemarin sudah ada briefing yang menyiapkan kami dalam menghadapi wawancara. Tampaknya jelas ini sudah menjadi berita nasional. Seru juga ya kalo kerjaan kami diikuti kamera terus pagi, siang malam. Rasanya kami akan segera jadi artis.

Akhirnya apel yang ditunggu itupun mulai. Kapolda memasuki lapangan upacara. Dibelakangnya jajaran pejabat tinnggi turut mendampingi lengkap dengan gemerlapan lencana dan tanda pangkat. Jaka terlihat ditugaskan menjadi komandan upacara. Febi sendiri tidak terlihat sosoknya lagi.

Melihat Jaka menjadi Komandan upacara, mengembalikan memoriku tentang sebuah hubungan terlarang. Gimana tidak terlarang sedangkan tidak ada yang megetahuinya, dan kalaupun ada yang tau sebisanya harus dibungkam karena bisa saja berujung skandal. Lihatlah dia sekarang, lengkap dengan pedang di pundak begitu tampan, kuat, dan berwibawa.

“ Siaaaaaap Graak!”.

Dari nada suaranya mengandung ketegasan juga ego yang besar. Sudah berulang kali rasanya berusaha kusangkal kekagumanku pada Jaka. Tapi hatiku selalu berkhianat dan kembali jatuh dalam pesona wajahnya yang tampan. Bagi kaum laki-laki memilih wanita biasanya tergantung apa yang dikatakan oleh mata.

Cantik, bahenol, serta seksi merupakan gambaran sosok wanita ideal dari kacamata kaum laki-laki. Untuk wanita berbeda, pemilihan laki-laki tidak hanya ditentukan oleh mata akan tetapi juga oleh pesona laki-laki yang bernama “kharisma”. Tampan dan bertubuh sexy untuk seorang lelaki bolehlah, tapi tanpa kerjaan dan masa depan yang jelas buat kami ya nggak juga “keles”.

Kembali ke apel. Kapolda tampak serius saat memberi sambutan. Dia tekankan tiga hal. Pertama ; janji untuk mengungkap kasus ini secepatnya. Kedua ; instruksi agar kami semua mengerahkan yang terbaik dalam penyelesaian kasus. Ketiga ; harapan kepada para wartawan untuk memberi pemberitaan yang teduh ,tidak simpang siur dan menenangkan masyarakat.

Selesai apel, para wartawan segera memburu Pak Kapolda. Kami para peserta apel dapat kembali ke bagian kerja kami masing-masing. Sebelum kembali aku mencari Febi tapi dia masih tak terlihat. Kemana ya dia. Hmm kubiarkan saja dulu nanti juga Febi akan mencariku sendiri.

“ Sinta”, sebuah suara memanggil.

“ Siap Komandan Jaka”.

Begitu tampan dia dengan pedang yang telah disarungkan dan sapu tangan putih. Betul-betul sosok laki-laki jantan.

“ Kemana aja Sinta? Kemarin aku nyari-nyari kamu”.

“ Emm saya ada tugas kemarin Komandan”.

“ Papa nyari kamu! Beliau minta aku buat nyari kamu dan ngenter kamu ke ruangannya”.

Wah masalahku dengan Pak Hendri dimulai lagi nih.

“ Oo Siap Komandan nanti Sinta akan segera mengahadap Beliau bersama Inspektur Febi”.

“ Kenapa harus sama Febi?? Udah kamu ikut aku aja nanti kuantar ke Papa. Ayo!”.

Meskipun malas terpaksa aku memenuhi ajakan Jaka.

“ Pakai baju safari kamu makin cantik Sinta”, puji Jaka.

Aku tersipu tak mampu menengadahkan wajah. Sepanjang jalan menuju ruangan ayahnya, Jaka tak henti memujiku dan membuatku ingin menenggelamkan wajahku di kolam saja.

Sesampainya kami dalam ruangan Pak Hendri suasana riuh. Banyak sekali anggota yang sepertinya merupakan anggota tim buru sergap sedang di brifing. Mereka berkumpul lengkap dengan senjata yang terlintang di pinggang. Pak Hendri saja jadi tak terlihat karena tenggelam dibalik lautan tubuh mereka.

“Komandan ijin menghadap”, kata Jaka tegas.

Mendengar suara Jaka para anggota yang tadinya ribut mendadak tenang. Meski pangkat mereka banyak yang diatas Jaka, hubungan darah dia dengan Pak Hendri membuat mereka segan. Melihat Jaka datang sambil membawaku, pandangan Pak Hendri berbinar.

“ Sinta sini nak”, ramah sekali sambutan Beliau.

Berdua aku dan Pak Hendri berbincang di luar ruangan. Jaka tinggal di dalam.

Dalam pembicaraan ini awalnya Pak Hendri momohon maaf atas tempramennya yang kurang baik semalam. Dijelaskannya bahwa kondisi genting kemarin telah mempengaruhinya secara emosional hingga sulit berfikir secara rasional. Beliau juga menerangkan informasi intelijen tentang kejadian pada tengah malam antara aku, Febi, dan Tanto. Dari info itu Beliau berterima kasih padaku karena telah membantu memecahkan sebagian besar dari kasus.

Jelas aku bingung dengan segala penjelasan Pak Hendri yang demikian runut. Apa yang telah kubantu hingga beliau harus berterima kasih??. Lantas yang dikatakan dengan; memecahkan sebagian besar kasus itu maksudnya apa?? Aku kok tidak mengerti.

“ Jaka! Kesini nak”, Pak Hendri memanggil putranya.

“ Siap Komandan”.

“ Tolong antar Sinta ke Polda sekarang ya! Ada data yang diperlukan oleh mereka untuk penyelesaian kasus tertembaknya Burhan”.

“ Kenapa harus ke Polda Komandan?”, meski jelas sedang bicara dengan ayahnya, Jaka tetap menjaga adab.

“ Mereka udah turun tangan Jaka. Kasus ini kategori berat. Kamu kawal Sinta selama di Polda ajarkan dia untuk hanya menjawab poin-poin penting pertanyaan saja!. selepas itu antarkan pulang ke rumah ya, kasian Sinta pasti cape. kamu dapat dispensasi istirahat Sinta”.

“ Siap Komandan!”, ujar jaka. “ Siap Komandan terima kasih banyak”, jawabku hampir bersamaan.

Wah perkembangan menarik sepertinya. Aku dipanggil Polda dan dapat kesempatan istirahat sorenya. masalahnya, nada-nadanya aku akan diinterogasi lagi. Tapi sekarang yang mendampingiku Jaka yang ganteng dan bukan Febi. Masalahnya Pak Hendri menugaskan khusus putranya untuk mengawalku, apakah itu tidak berlebihan??.

Hmmm semua pemikiran masih bergelayut dalam pikiran ketika Jaka membawaku dengan mobilnya menuju Polda. Rasanya dianugerahi rasa terima kasih oleh seorang Polisi jempolan seperti Komandan Hendri, atas sesuatu yang aku tidak tau apa, tergolong ganjil.

Bukankah, kata Beliau, aku membantu memecahkan kasus Pak Burhan. Lantas apa yang sebenarnya kubantu??. Hmm apa membawa Febi ke rumahku kemarin merupakan pemecahan masalahnya??. Kalo jawabannya iya, berarti ini ada kaitannya dengan Tanto. Ya betul Sinta kenapa kamu gak pikir dari tadi soal Tanto.

Apakah Tanto inti masalah ini??. Kalo ditarik seperti ini runtutannya, menjadi jelas Tanto yang akan jadi tersangka dan akan diburu oleh tim buru sergap. Lucunya Tanto sendiri merupakan anggota tim buru sergap. Sekarang kalo tim itu ingin menangkap anggotanya sendiri, apakah mereka bisa??.

“ Ahhh semua permainan pikiran detektif ini membuatku pusing”, batinku sambil tepok jidat.

“ Ngapain?? Pusing? Atau mabuk??”, Jaka berujar.

Astaga asyik berfikir aku sampe lupa ada Jaka disebelahku. “ eeee ggakk kenapa kok Komandan, lagi mikir aja”.

“ Mikir apa Sinta??”.

“ Mmm soal Polda....”.

Sebenarnya aku juga tegang dengan akan kembali mengalami interogasi. Rasanya pengalaman kemarin malam saja sudah cukup. Bagaimana sih rasanya harus jujur tanpa harus membuat masalah baru?. Dalam ajaran agama kan jelas mana yang hitam dan putih. Sekarang putih adalah kejujuran. Sedangkan hitam adalah kebohongan. Kemarin aku keras untuk jujur saat pertanyaan ke arah Pak Burhan menjurus Fitnah. Jangan dilupakan aku juga tegas untuk berbohong kala interogasi mengarah ke arah Jaka. Kalo aku jujur kasian dia dengan karirnya yang cemerlang di depan mata. Oooo interogasi betapa bertanya harus kembali manjalani dirimu dan keunikannya.

“ Kenapa soal Polda Sin? Kamu grogi??”.

“ Iiiiiya Kkomandan ssedikiit”.

“ Plek”, tangan Jaka menepuk pahaku. “ tenang ada aku! Percayalah!”, senyum dia begitu manis , “ satu lagi jangan panggil aku Komandan kalo sedang berduaan, seperti kemarin saja panggil “mas”.

“ Sssiaap Mass”.

Mas itu panggilan yang aneh. Terdengar akrab juga mesra. Masalahnya hanya boleh diucapkan kalo kami sedang berdua. Jadi kalo di hadapan orang lain panggilanku padanya tetap komandan. Itukan panggilan hirarki atas bawah. Hmm dimana akrabnya? Serta disebelah mana mesranya?.

Jaka cukup taktis untuk melaksanakan perintah ayahnya dengan cepat dan tepat. Dalam waktu singkat kami telah tiba di tujuan. Suasana disini lebih penuh dengan disiplin. Tampak jelas dari kualitas para anggotanya yang penuh dengan tata krama dan protokoler. Lumrah sih, cakupan medan tugas mereka memang lebih luas.

Tanpa membuang waktu, Jaka membawaku ,sesuai perintah, ke bagian divisi kriminal Polda. Disini, aku kembali dimintai keterangan. Bila kupelajari baik-baik inti pertanyaannya berputar ke masalah kemungkinan keberadaan Tanto. Mereka memintaku untuk menyebut “spot-spot” yang biasa didatangi oleh pacarku itu.

Awalnya aku agak berat memberi jawaban dan ingin menutup diri lagi seperti kemarin. Sayangnya disebelahku duduk Jaka. Dia dengan kehadirannya saja sudah cukup untuk membuatku tak berdaya. Strategi Pak Hendri tepat dengan memintanya mengawalku. Setiap Jaka memintaku untuk cerita kepada penyidik aku pasti memenuhinya. Beragam pertanyaan mulai dari kapan kami mulai pacaran hingga hoby Tanto berhasil digali oleh penyidik. Meski tampaknya aku sudah buka-bukaan, faktanya tetap ada hal yang kurahasiakan. Masalah Pak Burhan dan hubungan terlarangku dengan Jaka tetaplah rahasia. Sampai kapan hubunganku dengannya dikategorikan “hubungan terlarang”?. Bukankah tinggal menunggu kesediaan darinya saja untuk meresmikan status hubungan kami?.

Seandainya saja, aku sendirian kemari bisa-bisa berjam-jam jadinya pemeriksaan yang kujalani. Sekali lagi aku bersyukur dengan kebijakan Pak Hendri. Jaka memang betul-betul berguna. Dengannya rangkaian interogasi yang bisa berlangsung 6 sampai 8 jam diselesaikan hanya dalam 3 jam saja.

“ Huff kalo aku diforsir terus dengan pertanyaan berat pasti semua rahasia bisa terbongkar!. Untunglah semua sudah selesai”.

“ selesai kan Sinta!”, Jaka berujar.

“ Iya mas terima kasih banyak atas bantuannya”.

“ Itu sudah tugasku, gimana tadi pengalaman di ruang interogasi??”.

“ Deg degan mas. Takut salah jawab”.

Sebenarnya lebih dari itu. Aku takut tidak bisa memperhitungkan konsekuensi dari sebuah pertanyaan dan jawaban. Apa yang akan ditemukan oleh seseorang yang mencari-cari kesalahan seseorang?? Pasti kesalahan. Itulah hakikat sebuah penyidikan yaitu mencari kesalahan. Sekarang gimana kalo yang dicari itu kesalahan dari pegawai yang amburadul sepertiku. Pastinya akan ditemukan berjuta kesalahan.

“ Ya yang penting udah lewat Sin ayo kita pulang”, gandengnya ramah.

Selalu tak berdaya aku oleh semua kelembutannya. Dia adalah pria yang luar biasa mempesona. Ketika dia bersikap begitu baik terhadap wanita, hampir dapat dipastikan kaumku akan “klepek-klepek”.

Mobilnya kembali siap untuk membawa kami kembali ke markas. Distarternya mobil itu dan kami mulai beranjak meninggalkan pelataran Polda.

Di dalam mobil Jaka banyak bercerita. Tidak seperti pertemuan sebelumnya dimana dia lebih banyak diam.

Sepanjang perjalanan kami bertemu dengan konvoi anak SMA yang tampaknya baru saja merayakan kelulusan. Mereka berkonvoi dalam kelompok besar sambil berboncengan, berteriak-teriak, dan baju dicoret coret dengan cat. Banyak diantara mereka yang mengabaikan aspek keselamatan berkendara dengan tidak mengenakan helm. Selain itu banyak juga diantara mereka yang mengenakan motor berknalpot racing yang menimbulkan kebisingan. Berhadapan dengan ini Jaka memilih untuk mengemudi dengan lebih perlahan untuk memberi kesempatan mereka melewatinya.

“ Sinta “.

“ Ya Mas”.

“ Mas cinta sama kamu”, ujarnya terdengar sungguh-sungguh.

“ Kenapa tiba-tiba Mas??...”.

Jaka menatapku serius. “ Emang gak boleh kalo aku cinta sama kamu Sinta??”.

“ Bbbbuukkaan beegittu Masss…”.

Jaka menepikan mobil. Anak-anak sekolah masih berseliweran di jalanan utama.

“ Sinta”, dia menggenggam tanganku kemudian menarik tubuhku untuk memberikan ciuman di bibir. Kejutan berikutnya dalam hidupku ; menerima ciuman darinya. Tanpa mempedulikan kaca mobilnya yang tidak terlalu gelap dan anak sekolah yang semakin ramai, dia begitu antusias memberikan ciuman. Menerima semua perlakuan ini, aku hanya bisa terpejam dan membiarkan semuanya mengalir.

Pengalaman dicium olehnya, meski hanya sesaat, merupakan momen relaksasi sekaligus refleksi. Dalama pagutan bibir pria nan tampan dengan karir cemerlang ini, aku melayang dalam sebuah impian memiliki dia sebagai suami. Juga dalam genggamannya, aku mengistirahatkan semua beban yang terasa begitu berat membebani pundak. Menjadi wanita saja sudah demikian berat masih ditambah sebagai Polisi dengan kerumitan beban persoalan. Aku perlu penyegaran dan ciuman jaka dapat menjadi medianya.

“ Maukah kamu menerimaku sebagai kekasihmu Sinta??”, kata Jaka melepas ciumannya.

“ Mmmasss….aakuu…….”.

“ Praaaaangggggg”, belum selesai jawabanku terucap sebuah batu bata besar telah melayang memecahkan kaca mobil dan menyerempet kepala Jaka.

“ Adduhhh aaagggghh”, Jaka mengerang memegangi kepalanya yang tampak mulai mengalir darah segar akibat tertimpuk bata.

Kulihat di hadapanku pelajar yang tadi berkonvoi, rupanya saling bertemu dengan rombongan pelajar lain dari sekolah yang berbeda. Perilaku mereka yang dari tadi memang terlihat ugal-ugalan rupanya memprovokasi kumpulan pelajar lain untuk memberikan serangan.

Tawuran pecah tepat dihadapan kami.

Setumpukan batu mulai beterbangan dan menghantam mobil dan pertokoan. Melukai puluhan orang tak berdosa. Para pelajar ini juga mulai mengeluarkan beraneka macam senjata dari dalam tas maupun dari balik baju. Parang, celurit, gesper berduri, botol, samurai, sampai cincin berduri, kulihat mulai bertebaran di tangan mereka.

Darimana mereka mendapat semua senjata ini??, bukankah mereka generasi muda harapan bangsa yang seharusnya belajar di sekolah??. kalo begini perilaku mereka bukankah mereka belajar untuk membunuh sesamanya??.

Sekilas kupegangi Jaka yang masih mengerang-ngerang histeris. Kuambil saputangan yang kubawa dan kutekankan ke luka sobek yang mulai menganga di jidatnya. “ Dipegang mas, ditekan sedikit, biar berhenti pendarahannya”, ujarku menenangkan. Suasana dihadapanku semakin “ chaos “. Titik konsentrasi tawuran justru terjadi di depan mobil kami. Untuk menghindari mereka semakin brutal dan menghancurkan mobil, aku harus segera keluar.

“ Mas tunggu dulu disini ya, Sinta harus bubarkan mereka!”.

“ Sinta”, dia menggenggam lenganku, “ Jangan nekad, tunggu bala bantuan saja”.

“ Kalo nunggu, mereka bisa mengahancurkan mobilmu Mas, gak apa kok tenang aja, Tuhan pasti menolong Sinta”, kataku menenangkan. Sebenarnya aku juga takut sekali, tapi mau bagaimana lagi, tawuran tepat terjadi didepan mataku dan korban mulai berjatuhan. 50 meter di hadapanku seorang anak sekolah sudah jatuh dari motornya dan mulai dikeroyok dengan demikian brutal.

“ Ya Tuhan dengan menyebut nama-Mu tolonglah Sinta, anak dihadapanku ini, dan juga Jaka memerlukan bantuan, tolonglah aku agar dapat membantu mereka”.

Diawali dengan doa, aku mulai membuka pintu dan keluar ke lokasi tawuran. Dihirup dari aromanya saja perang antar pelajar ini tidak menyenangkan hawanya. Bau knalpot motor, beberapa benda yang dibakar, dan bahasa-bahasa kotor yang keluar dari mulut mereka menunjukkan kebinatangan dan kesetanan sifat manusia. Kenapa kita yang sesama manusia bisa begitu tega menganiyaya. Apalagi mereka pelajar SMA yang seharusnya menyadari bahwa kawannya yang dikeroyok masih memiliki masa depan yang terbentang luas.

Adik pelajar yang jatuh tadi mulai dikeroyok oleh 10 orang. Tidak puas hanya dengan memukuli korban, mereka juga mulai menggunakan senjata tajam untuk menyakitinya. salah seorang yang tampak paling kesetanan kulihat malah bersiap menancapkan sebilah belati ke perutnya.

“ Ya Tuhan beri kekuatan tanganku untuk menembakkan pistol ini”.

Sekarang tidak boleh lagi ada kegugupan seperti kemarin. Aku gugup dan tidak bisa mengangkat senjata lagi sama artinya dengan nyawa anak itu melayang.

Dengan cepat kali ini, tanganku meraih gagang pistol, mencabutnya dari sarung, membuka katup pengaman, mengangkat tanganku tinggi ke atas, dan menarik pelatuknya.

“ Doorrrrr…doorrrrrr”, dua peluru kutembakkan ke angkasa.

“ POLISI HENTIKAN ULAH KALIAN”, ujarku keras. Ketika 10 orang itu mendadak berhenti untuk melihat sumber ledakan, langsung kutodongkan senjataku ke arah mereka untuk menakut-nakuti agar mereka segera meninggalkan korban.

Melihatku hanya sendirian, mereka berusaha melempariku dengan batu.

Aku tak takut.

Tanpa memedulikan batu yang dilempar, aku maju merengsek untuk membubarkan mereka. Melihat polisi wanita yang dilempari batu bukannya takut malahan berlari maju, anak-anak itu ciut nyalinya. Mereka mundur.

Akhirnya aku berhasil, sebelum ada yang berhasil menikam adik itu, mereka semua berhamburan lari.

Segera kulihat keadaannya. Mengenaskan, meski belum terlalu parah, tapi mereka benar-benar sudah membuat adik ini babak belur, bonyok berdarah-darah.

“ kamu masih bisa berdiri dik??”, tanyaku. dia mengangguk, “ ayo ikut sama Mbak”, papahku untuk segera mengungsikannya dari jalanan. Adik itu masih bisa berdiri, sehingga dapat segera kubantu untuk memasuki pinggiran jalan dan berlindung di sebuah bangunan. Melihat ada Polisi yang sudah tiba, para warga mulai berani keluar dari rumah untuk menghalau para pelajar.

Titik titik tawuran yang tadinya begitu banyak kini mulai menyusut. Anak-anak tanggung ini mulai kabur dari lokasi. Mereka yang sial, dan tertangkap warga harus kembali babak belur karena dihakimi masa. Aku berkali-kali harus menghentikan warga yang ingin main hakim sendiri.

“ BAPAK-BAPAK HENTIKAN SERAHKAN KEPADA KAMI SEMUANYA”, teriakku berkali-kali untuk menghentikan amuk masa.

Untunglah para warga masih menghargai kami dan mendengarkan sehingga tidak ada lagi korban yang harus terjatuh. Suasana berangsur kondusif, apalagi setelah beberapa teman-teman sudah tiba di lokasi untuk membantu mengendalikan suasana. Beberapa pelajar berhasil diamankan dan mulai digelandang. Teman-teman mereka yang berhasil lolos tinggal menunggu waktu saja karena rekan-rekan dari Polantas telah bersiap meringkus mereka di jalanan.

Jaka segera mendapat perawatan dari anggota medis. Kembali kulihat keadaan mengenaskan di hadapanku, puing-puing kerusakan yang harus timbul akibat ulah tangan anak-anak muda.

Apa yang ada di kepala mereka?? meraka bukannya baru saja lulus sekolah. Apakah benar kelulusan harus dirayakan dengan parade penuh arogansi dan kerusakan seperti ini??.

“ Huuuff apapun itu, aku bersyukur bahwa Tuhan masih menolongku, coba kamu gugup lagi dan tidak bisa mengangkat senjata Sinta, bisa-bisa adik itu sudah jadi mayat hidup”.

“ Brigadir Sinta”, seorang Polisi senior yang baru tiba memanggilku.

“ Siap Komandan”, hormatku pada beliau.

“ terima kasih atas keberanianmu hari ini, kalo saja kamu gak berani untuk menghadapi anak-anak ini Brigadir, sudah ada korban yang tewas. Ini sudah kali kedua kamu melakukan aksi heroik. Kami sangat berterima kasih”, katanya sambil menjabat tangan.

“ Siap sudah menjadi kewajiban Sinta Komandan”, ujarku sambil menyambut jabat tangannya.

Rasanya begitu bahagia bila ada orang yang menghargai usahamu. Mmm aku sendiri juga heran kenapa aku bisa seberani sekarang. Seseorang gugupan dalam beberapa hari ini terus menerus menjadi hero. Aku memutuskan tidak larut dalam kebahagiaan dan berusaha untuk melihat kondisi Jaka.

Dia sedang dirawat serius, kata tim medis kepalanya perlu mendapat 5 jahitan. Sambil meringis-ringis menahan sakit, Jaka juga mengacungi jempol atas tindakanku yang sangat berani. katanya tindakanku tadi nekad tapi begitu spektakuler.

“ Tidak ada Polisi lain yang menyerbu seberani kamu Sinta!”, pujinya.

Aku sangat bahagia mendapat pujian dari Jaka yang bagai pangeran tampan . Beberapa rekan Polisi yang baru datang juga ikut menyelamatiku membuatku semakin rikuh. Asal tau aja ya sifat dasarku sangatlah pemalu. Disanjung sanjung orang membuatku justru merasa gamang.

Untuk sedikit menghilangkan diriku dari pandangan, kutemui anak sekolah babak belur yang dirawat oleh tim medis.

“ Gimana keadaanmu dik?”, tanyaku.

“ Bbbbaiikk Buu ”, dia bukan gugup, hanya kesakitan di mulutnya akibat digebukin membuatnya sulit bicara.

“ dari sekolah mana kamu??”.

“ ssayya darri STMM Bbuuu”.

“ Kenapa kamu tawuran??”.

“ mmmmmm…”, dia terdiam.

“ semoga kamu bisa belajar dari kejadian hari ini ya dik! kamu hampir mati karena tawuran”, kataku sambil membesarkan hati adik itu. Orang tuanya pasti cemas karena kelakuannya. Anak jaman sekarang bertindak tanpa mempedulikan perasaan orang lain.

“ Sinta ayo kita pulang!!”, dari Jauh Jaka memanggil.

Aku segera kembali ke tempat Jaka dirawat. Kulihat dia sudah mulai diperban. Setelah dokter malakukan Med Check terakhir, kami diperkanankan pulang. Kutawarkan pada jaka untuk menggantikannya menyetir. Dia menolak. Kaca mobil yang pecah di dekat joknya membuatku kasian kalo dia yang mengemudi. Tapi dia bersikeras untuk tetap menyetir.

“ Baru kali ini Sinta, aku melihat wanita seberani kamu”, pujinya.

“ Ah Mas biasa aja kok itu sudah tugas Sinta”, jawabku.

“ Terima kasih ya Sinta, kalo bukan karena keberanianmu mungkin mobil ini sudah habis dibakar anak-anak itu”.

“ Wah Mas ini orang kesekian yang ngucapin terima kasih ke Sinta, gak apa kok mas. Nyantai aja”, ujarku penuh rasa malu.

Kami berdua kembali berjalan dengan mobil yang berjalan tanpa ac. kami tidak memerlukan ac lagi sekarang Karena jendela sudah terbuka lebar. Jaka mengemudi dengan tenang terlihat tidak terganggu dengan balutan perban di dahi.

Sudah empat hari berturut turut aku mengalami peristiwa mendebarkan bagaikan di film action. Ada apa ini Sinta?? kenapa hidupmu jadi begitu seru sekaligus sial?? tampaknya kamu perlu diruwat dulu untuk membuang sial.

Kupikir kami akan kembali ke kantor, rupanya jaka membawaku sekali lagi menuju rumahnya. Melihat pelataran rumah ini sudah cukup membuatku merinding. Masih terbayang jelas bagaimana perlakuan pria ini kepadaku sebelumnya. “ Ahh apalagi yang akan dia lakukan padaku di rumah ini”, batinku. Di halaman sebuah mobil warna merah tampak mentereng terparkir. Milik siapa mobil ini??, apa jaka punya dua mobil?.

Jaka turun dari mobil dan dengan sopan mempersilakanku untuk turun. Kemajuan! dia tidak main seruduk seperti kemarin. Berdua kami memasuki rumah Jaka dengan tenang tanpa keterburuan dan nafsu yang tak terkendali.

Jaka mengajakku untuk duduk di sofa ruang tamu. “ Sinta..kepalaku rasanya sakit lagi”, ujarnya. “ Mana mas coba Sinta lihat”, jawabku sambil mencoba memeriksa luka yang tertutup perban.

Tanganku yang berusaha memeriksa kepala Jaka tiba-tiba ditangkapnya.

“ Aku cinta padamu Sinta ”, diciumnya bibirku.

Kali ini ciuman itu kubalas dengan penuh gairah. Kami saling berciuman dengan ganas. Aku yang memegang kendali sekarang. Posisiku yang diatas jaka, membuatku mudah untuk gencar menyerangnya. Kuciumi dia sambil tanganku membuka cepat kemejanya. Tangan Jaka rupanya juga tak sabar ingin cepat menelanjangiku. Dua orang yang kelaparan kini saling cabik untuk melucuti busana lawan jenisnya. Sekarang kami sangat buas dan ingin memakan hidangan di depan mata.

Cepat kami berdua kini sama-sama telanjang polos di ruang tamu rumah Jaka. “ Ummmm”, mulut jaka kusumpal dengan ciumanku. Aku pegang kendali. Jaka yang cidera tampaknya kehabisan tenaga untuk mendominasi. Dari mulut ciumanku turun ke leher kemudian dadanya.

Inilah sisi liar dari seorang wanita bernama Sinta. Wanita yang bisa juga dimabuk birahi oleh ketampanan seorang pria kemudian ingin mengerahkan seluruh tenaganya untuk menaklukan pria pujaan hati. Tekuk lutut di sudut kerling wanita. Bait lagu itu tiba-tiba melintas di pikiran.

Dada Jaka yang ditumbuhi bulu-bulu halus tak terlalu tebal kini kugoda. Kupelintir putting susunya yang mungil kemudian kukulum dengan bersemangat. “ Sintaaaaaaaa agggghhhhh”, Jaka mengerang. Jeritannya membuatku tambah bersemangat merangsangnya. Tanpa melepas cumbuan dan cubitanku diputingnya, tanganku yang satu kuarahkan ke pusarnya. Kucolok pusar nan menggemaskan itu kemudian kutekan-tekan ritmis dan kukelikitik. “ agggghhhhhh”, jaka histeris menjambak rambutku. Lucu melihatnya kegelian namun tak sanggup tertawa. Bagaimana dia bisa tertawa sedang rangsanganku begitu nikmat.

Berhadapan dengan seranganku yang cepat dan bertubi tubi Jaka semakin kelejotan. Kurasakan dengan pahaku rangsanganku berhasil. Jelas kurasa, pahaku mulai bergesekan dengan sebuah tombak kejantanan yang tegak berdiri. Tanganku yang sedari tadi mengeksplore dadanya kualihkan menyentuh perutnya yang ramping. Kubelai perut itu dan kuraba pinggangnya untuk merangsangnya. Terlihat dari ekspresinya Jaka semakin menggila.

Dari perut aku terus turun untuk menyongsong hidangan utama. Sebuah penis sexy dengan kemampuan tegak sempurna. Sangat senang aku memandang penis ini, yang dirawatnya dengan baik dan memangkas habis rambut jembut disekelilingnya. Warnanya yang coklat mulai berwarna kemerahan karena aliran darah yang deras mengalir. Ujung penisnya yang berwarna lebih terang juga begitu menggarairahkan karena tak henti berdenyut menandakan ia siap meledak kapan saja.

“ Ahhhh….uhhhh…. ahhhhhh”, kaget aku karena mendengar dari kejauhan suara orang bersenggama. Suara apa itu? apakah Jaka memutar film porno dirumahnya sendiri?? tapi diakan bersamaku sedari tadi?? suara apa itu??. Meski penasaran aku berusaha cuek. Jaka juga terlihat tak terganggu.

Karena birahiku juga mulai membuncah, kukulum penis itu dengan penuh gairah. “ Sintaaaaa fuckkkkkk babyyyyyy”, racau Jaka sambil menjambak rambutku. Posisinya yang duduk di sofa memudahkannya untu melihat sebuah seni. Iya seni kenikmatan dimana seorang wanita memberikan segalanya agar dia terangsang. Disibaknya rambutku sehingga semakin membuatnya mampu melihat keindahan pertunjukan dengan aku sebagai pemain utama. Mulutku yang mungil dan sexy maju mundur memberinya sensasi oral.

Kupandang wajahnya yang merah padam dari bawah. Oooh melihat seorang pria ngos-ngosan seperti ini membuatku tembah semangat. Sambil tetap memberikan oral mulai kukangkangkan lebih lebar kedua kakinya. Kubelai dengan kedua tanganku pahanya yang ditumbuhi bulu lebat namun halus. Begitu sexy Jaka dengan kedua kaki yang terkangkang lebar dan kedua buah zakar yang begitu segar.

Kurogoh kantung zakar itu untuk semakin menambah sensasi. “ Hisaaap….hisaaap Sinta”, bisik Jaka memintaku cepat menghiap kantungnya. Aku tidak mau terburu-buru. tanganku malah masuk jauh ke dalam celah pantatnya dan menggelikitik celah antara lubang anal dan buah zakar yang ditumbuhi rambut kemaluan. Kutekan tekan area perbatasan itu dan kucabuti perlahan satu helai jembutnya.

“ Hoooooogggghhhhhh Fuckkkk”, Jaka histeris. “ Sintaaaaaaaaa”, dia semakin menjerit jerit mendapat permainan tangan dan hisapanku yang semakin dalam.

“ Huuuuuuuggggghhhh”, Jaka melenting saat apa yang diinginkannya tadi sekarang kupenuhi. Dengan kuat kuhisap habis biji pelernya bergantian. tanganku kunaikan agar bermain di putingnya menambah sensasi.

“ Ooouuuugggghhhh”, gerakan jaka semakin brutal dan mencengkram apapun di sofa.


“ Aku mauuu keluaaaaarrrr Sintaaaaa”, Jaka histeris ketika semua rangsangan yang kuberikan hampir mencapai klimaksnya.

Melihat dia menjemput ejakulasi. Aku naik turunkan semakin cepat mulutku. Cubitanku diputingnya kugantikan dengan pijatan di buah zakar. Mendapat totalitas layanan seperti ini Jaka meledak.

“…..oooooggghhhh oooohhhhhhh”, Dengan wajah yang tak mampu lagi kulihat, Jaka mulai menyembur. Tubuhnya semua bergetar. Tidak ada satu jengkal dari tubuhnya yang tidak ikut bergoyang. Kubantu dengan mengelus halus pahanya agar kenikmatannya dapat dikeluarkan semua.

“ Crrrooottt….crrrooottt…..crrrrooot”, lebih dari tiga semprotan menyembur di mulutku. Langsung kutelan sampai habis tak tersisa. Kata temen-temen menelan sperma ada khasiatnya. Aku tak tau apa manfaatnya, tapi aku senang menelan sperma. rasanya bisa buat aku awet muda.

“ hahhh….hahhh….hahhhhhh”, Jaka terengah-engah. “ Nakal kamu ya!” ujaranya kepadaku , “ ayo kita pindah main di dalam kamar, kubales kamu”, lanjutnya. Digendongnya aku dengan tangannya yang kuat untuk memasuki ranjang kamar tidur. Penisnya yang masih belepotan sisa sperma tampak menarik perhatian saat dia menggendong.

“ Huuupppp”, dilemparnya tubuhku di atas ranjang. “ Sebentar Sinta!! Kamu udah buat aku ngecrot, sebagai balasannya aku akan buat kamu gentian ngecrot!! kamu benar-benar nakal”, kata jaka yang kini tampak mencari sesuatu dari lemarinya untuk membalasku.

“ nah ini dia, come on baby lets play he he he”.

“ Hummmmmm”, sambil menindihku di atas ranjang dirinya langsung menciumku.

tangannya yang kokoh memegani kedua tanganku dan membawanya ke atas. Rupannya dia telah menyiapkan dua buah borgol yang tadi diambilnya dari lemari. Segera dia borgol kedua tanganku ke sudut ranjang sehingga aku terkunci.

“……”,tak bisa berkata apa-apa aku hanya memandang penuh nafsu ke arah Jaka.

“ Sekarang kamu yang akan aku buat ngap-ngapan Sinta”, jaka langsung menyerang leherku.

“ Agggghhhh masssss”, aku menjerit saat merasakan dari bawah vaginaku seperti dimasukan sesuatu. “ He he tahan sayang gak sakit kok, mas masukin vibrator dulu ke memekmu biar kamu tambah bergairah” , ujar jaka sambil memasukkan vibrator getar berukuran jempol ke dalam vagina.

Vibrator itu bergetar hebat dengan getaran yang berubah-rubah. Getarannya itu benar-benar membuatku gila. Baru pertama kali ada yang memasukkan alat ini ke kelaminku. Alat ini begitu pintar bergetar di spot-spot yang paling merangsang.

“ Agggghhh….aggggghhhh….aggggghhhhh”, aku terus mendesah tak kuat menahan sensasinya. “ ha ha ha benar Sinta teruslah mendesah”, Jaka tampak begitu senang melihat keadaanku. “ Masssss apa yang ka….muu….aggggghhhhh”, aku terpejam. jaka rupanya menciumi ketiakku yang terbuka lebar karena tanganku terangkat. Ketiakku yang putih bersih dilumatnya dengan liar.

“ Aroma ketekmu wangi Sinta, sexy lagi..slllrrggggg”, jaka menggigit. “ Addduuhhh aggghhhh”, aku semakin kelejotan. Tangan jaka bermain bebas memompa payudara. Diserang seperti ini aku mengalami orgasme pertama. “ masssss sintaaaa dapetttttt uuuuuuuhhhhhhh”, aku menjerit. Vibrator itu bergetar tepat di sebuah titik yang langsung membawaku klimaks.

Jaka tidak mengehentikan jilatannya di kedua ketiakku dia malah semakin mempercepat hisapannya. aku terlunjak-lunjak hebat selama beberapa menit dengan vibrator yang masih asyik bergetar.

“ ahhahh..hahhh…hahhhh”, baru reda rasanya badai itu, Jaka kembali menyerbuku kali ini putting susuku yang dimakannya. “ Huhhhh….uuhhhh….ahhhhhhh “, ngos-ngosan aku bersusaha mengimbangi semua permainan jaka. tanganku yang terborgol membuatku tak berdaya dihantam kenikmatan bertubi-tubi.

sambil me “nete” jaka membalas perlakuanku di sofa. tangannya mengubek-ngubek pusarku dan menusuk nusuknya perlahan. “ ammmpuuuuuuun masssssss”, aku tak tahan lagi dengan semua sensasi ini dan mendapat orgasme kedua dengan cepat. membantuku mengeluarkan orgasme kedua jaka mencabut vibrator di bawah dan menggantinya dengan jarinya yang mengocok keluar masuk vagina.

“ hagggghh…agggghhh…hagggggggH”, aku benar-benar lupa daratan. Terlunjak lunjak histeris selama beberapa saat untuk kemudian kembali rebah. Orgasme ini begitu spektakuler.

“ massss berhenti dulu mas…. ampun…. istirahat dulu……”.

“ He he he gantian cantik…kamu tadi membuatku “ muncrat “ di sofa. sekarang kamu yang aku buat ngecrot”. jaka memberikan pelukan.

Sangat baik dia untuk sejenak memberiku rehat. Tidak dipaksanya tubuhku, tapi dibiarkan merasakan nikmatnya sensasi orgasme. Dia peluk tubuhku dan diciuminya mesra.

“ ahhhh….aaahhhh…fuccckkkk….fuccccckk”, suara orang bersenggama itu semakin jelas terdengar. suara apa sih itu??. Kehidmatan “post” orgasmeku dengan Jaka sangat terganggu dengan suara desahan itu. Kayak suara film porno tapi begitu nyata.

“ masss suara apa itu??”, tanyaku dengan nafas yang masih terengah.

“ Husshh gak usah dipedulikan Sinta, yang penting kita nikmati permainan kita”, jawab jaka kembali menjilati ketiakku. “ ahhh massss geliiii”, aku kegelian. “ Ketiakmu sexy dan wangi sekali Sinta, mas jadi ketagihan “, jaka terus menciumi ketiakku.

“ Tokkkk…tokkkk…tokkkkk….JAKA BUKA!!!”.

Akuu terkejut sekali saat mendengar ketukan pintu dan suara seorang pria.

“ Masssss ssiaaaapppaaa???”, aku panik.

“ Brengsek..dia ganggu lagi”, jaka tampak kurang begitu terkejut tapi sangat terganggu.

“ Masss.. jangan dibuka pintunya. Sinta masih bugil mas. Lepasin dulu borgolnya..”, aku gelisah hebat karena masih terikat di ranjang. Tidak seperti di mimpi kemarin, dimana aku bisa segera mencari sesuatu untuk menutupi ketelanjangan. Dalam posisi terborgol, aku hanya bisa terlentang pasrah.

Tanpa memedulikanku Jaka bangkit untuk membuka pintu. Celaka mau ditaruh dimana muka ini kalo ada yang melihatku seperti ini.

“ Ngapain sih lu Doni ganggu aja??”, Jaka menghardik sumber suara.

Aku berusaha mamalingkan wajah tak kuasa menahan malu.

“ Udah lu diem aja Jack, gue mau ngeliat cewe baru lho”, kata sumber suara.

“ Kenalin nih si Icha pacar baru gue”, si cowo misterius bergerak mendekatiku.

“ agggghhhh masss sakitttt”, lho kok ada suara cewe juga yang mendesah. jangan-jangan yang sedari tadi mendesah suara cewe ini.

Penasaran aku palingkan wajahku ke arah sumber suara. “ hai cantik”, seorang cowo tinggi kekar kulihat sedang menggendong seorang wanita yang tingginya jauh lebih kecil darinya. Hyper sekali mungkin cowo ini karena sambil menggendong penisnya tetap tertancap ke vagina cewe yang tak henti mendesah dihadapanku. Dengan tangannya yang kuat dia naik turunkan pantat cewenya agar naik turun di penisnya.

Ini pertama kalinya aku melihat persetubuhan terjadi dihadapanku. Begitu vulgar dan tanpa sensor.

“ Gila Jack, she’s a sex goddess man, lu dapet dimana?”, katanya. “ aaaggghhh aaahhhh ahhhhhh”, si cewe tetap meraung-raung.

Apa jaka sudah terbiasa main seks ramean??. Pertanyaan ini berkecamuk di kepalaku melihat pemandangan pria dan wanita yang tiba-tiba muncul ini. Ada rasa malu, jijik, juga sensasi aneh yang muncul dalam diri tapi semua kutepikan.

Tantri pernah cerita, dulunya jaka ini playboy sekaligus praktisi kehidupan bebas. Apakah saking bebasnya hidupnya dulu sampai dia suka sex orgy??.

akhh aku gak tau. tapi buatku aku sangat terganggu sekali dengan kemunculan mereka. Bermain cinta buatku sama dengan keintiman. Kalo suasanya rame-rame begini aku malah jadi ill feel.

Tapi bagaimana ya caranya berontak?? aku terborgol sekarang. Muslihat apa yang dapat kulakukan agar Jaka segera melepaskanku??. Pokoknya kalo tangan ini bisa bebas apapun yang terjadi aku akan segera kabur dari sini.

Bagaimana ya pikiranku yang lemot caraku untuk lolos dari para pelaku orgy ini??.

Karena pikiranku lemot aku tidak berfikir dengan cara wanita lain. Mereka pasti menjerit atau meronta ronta bila berhadapan dengan kejadian kayak gini. Aku sudah dapat pelajaran dari pendidikan, para pemerkosa atau pria kelainan justru tambah terangsang bila korbannya berteriak-teriak. Aku sudah terikat sekarang bila aku teriak mau jadi apa?? mau tambah diperkosa sama mereka berdua?? bisa jadi bertiga kalo si cewe ikut-ikutan.

Tenang Sinta pikirkan cara untuk lolos.

“ Aha”, sebuah ide menghampiriku. Kucoba saja cara ini.

Kutatap wajah si cowo dengan penuh gairah. Pemandangan dia yang menyetubuhi cewenya kukesankan begitu membuatku terkesan sekaligus horny.

“ Shiiit she is hot”, kata Doni ketika pandangan kami bertemu. Dilepasnya gendongannya pada cewenya, dan dia melangkah ke arahku dengan penis tegak mengacung dan berlendir.

“ Cantik”, dipegangnya daguku, “ mau rasain maen sama abang??”, langsung diciumnya bibirku. “ Hussshh minggir lu Don jangan ganggu gue sama Sinta”, Jaka terlihat emosi melihatku disentuh Doni.

Dihalau tapi merasa kuinginkan, Doni kembali menyerbu kali ini Jaka didorongnya kemudian dia mengulum payudaraku.

Entah apa hubungan orang ini dengan jaka. tapi Jaka diam saja saat didorong. Alih-alih mengadakan serangan balasan khas laki-laki, dia malah tak mau kalah untuk juga mengenyot putting susuku yang satunya.

“ Ahhhhhh fuuuuckkk”, aku mendesah sambil mengeluarkan kata kotor. Meski semi sandiwara dikenyot dua orang benar-benar membuatku merinding.

“ Sexy bener keteknya cewe lu jack”, Doni mengusap-ngusap ketiakku.

“ Aggggghhhh shhhiitttt fuuucckkkk”, aku kembali meracau ketika mereka berdua secara bersamaan menghujani ketiakku dengan ciuman dan jilatan.

Rasanya aku mengalami orgasme ketiga dengan serangan dua orang laki-laki ini. Untuk memuluskan aktingku memang aku berusaha masuk dalam permainan mereka. kalo mau jujur permainan dua orang cowo di tubuhku memang memberi sensasi maksimal. Apalagi yang diserang memang bagian tubuhku yang sensitive. Tapi semua tetap kutahan. Meskipun meledak aku hanya terjungkit sedikit tanpa membuat gerakan yang berlebihan.

Tangan Doni meremas payudaraku , mulutnya tetap menjilati ketiak. Sedangkan jaka di sisi sebelahnya.

Akhirnya Jaka Merasa terganggu dengan kehadiran Doni. Melihatku terus dijamah , jaka emosi dan mendorong untuk kali kedua temannya itu.

“ Cukup!!! sana aja lu, garap cewe lu itu! jangan ganggu gue ama Sinta”.

Merasa kalah Doni berkata, “ ya udah gue maen di kursi ya”.

Ketika dia berlalu, kutatap mata Doni sambil mengerlingkan mata menggodanya. Mataku seolah bicara bahwa aku menginginkan kehadirannya.

Doni termakan umpanku. Ketika kujulurkan lidah untuk makin menggodanya, dia seketika meraih tubuh pacarnya yang bernama icha kemudian langsung digarapnya secara brutal.

“ ahhhh ahhhh ahhhhhhh”, icha mendesah desah seperti artis film porno.

seolah tak mau kalah, meskipun tadi habis ejakulais Jaka berusaha memulai pompaannya di vaginaku dengan penisnya yang belum ereksi maksimal. Melihat Doni mengocok pacarnya cepat, ego Jaka terkena. Dia juga memompaku dengan begitu cepat. sayang penisnya yang semi ereksi membuatku tidak merasakan apapun.

“ ahhhh fuccckkk masss enakkkk terusssss”, aku pura-pura meracau tak mau kalah dengan pacar Doni.

Doni yang melihat reaksiku tampaknya iri dengan kemahiran jaka dan ingin menunjukkan kebolehannya yang lain.

Dihadapan kami dia cabut penisnya kemudian dikangkangkan lebar kaki pacarnya. Setelah itu tangannya dengan dua jari mengocok cepat ke vagina pacarnya.

“ ooowww babbyyy youre gonnna make me sqqqquuuiiirrrtttt”, jerit Icha tidak tahan dengan rangsangan Doni. Tak lama dikocok Icha rupanya bisa menyemburkan air kenikmatan dengan deras. “ cuuurrr….cuuurrr…cuuurrr”, terlihat dimataku dan jaka bagaimana vagina Icha menyemburkan air dibarengi tubuhnya yang terus mengalami kejang-kejang.

Melihat itu aku terkejut. Ini pengalaman baru sekaligus bahan buatku untuk menyentuh ego jaka.

“ Masss Siiintaaa jugaaa mauuu dibuaaat kenccingg gttuu”, rengekku.

Mendengar rengekanku Jaka segera mencabut penisnya dan mulai meniru apa yang dilakukan Doni.

“ aaaaggghhh Maasss buat Sinta kencing masss…..”, aku menjerit penuh harap, seiring dengan makin kencangnya tangan jaka mengocok liang vaginaku.

“………………………….”, kering tak terjadi squirt.

usaha pertama jaka gagal. Tidak ada air apapun yang memancar dari vaginaku. jaka terlihat sedikit kecewa kemudian mencoba lagi.

sampe merah padam kini wajahnya sekuat tenaga berusaha mengocokku dengan sekencang-kencangnya.

Apakah berhasil?? tidak Jaka kembali gagal. Tidak ada air apapun yang nyembur.

“ Ckkkk”, aku menampakkan raut wajah kecewa, yang kuperlihatkan dihadapan Doni. Menangkap sinyalku Doni maju ke arah kami.

“ Gini Jack caranya biar gue tunjukin”.

“ jangan macem-macem deh lho udah urus aja tuh cewe loe”.

“ Mass…gak apa dia nyoba. Sinta pengen bisa kencing gtu mas”, rengekku.

Mendengarku berujar seperti itu Jaka tak berdaya. “ He he minggir jack biar laki-laki sejati yang maju”, kata Doni dengan arogan.

“ He he cantik gimana aroma vaginamu” diciumnya vaginaku, “ oooowwwww”, aku mendesah. “ hhummm kamu punya memek yang bagus ”, dipegang celah vaginaku. “ merah merekah dan sehat, kamu bisa nyemprot kenceng nih babe”, goda Doni. “ aahhhh masss jangan lama-lama ayao bikin Sinta kencing”, rajukku.

“ he he minta dulu donk manis”, syaratnya.

“ mmmmas Doni tolong buat Sinta ngecrit”.

“ yang keras babe!”.

“ BUAT SINTA NGECRIT MASSS OOOOH”, jeritku.

“ He he siap-siap cantik”.

dari kejauhan kulihat jaka sangat kecewa sekali dengan kelakuan temannya.

Dengan mahir dipijat perutku oleh Doni. Diurut-urut perut itu ke arah rahim. Tekanannya sangat pas. rasanya dari dalam perutku semua cairan seperti dipijat agar terpusat ke area pembuangan.

ada sekitar lima menit dia memijatku sambil melumasi vaginaku dangan rangsangan-rangsangan yang lihai. Kemudian mulai dicoloknya vaginaku dengan dua jarinya kemudian mulai dikocoknya seperti yang tadi dia lakukan.

“ Liat ini jaka loe akan liat cewe lho berubah jadi ahli squuuuirrrtt”, dia mulai mengocokku dengan jari terarah ke arah g-spot.

“ aaaahhhhh…..aaaahhhh…aaaahhhhhh”, aku melintir mlintir terangsang hebat.

“ haaahhhh”, dicabutnya jarinya dari vaginaku.

“…………………”, Sayangnya tidak terjadi apa-apa. Tidak setitik cairanpun yang keluar.

Aku menampakkan raut wajah kecewa.

“ don’t wory babe. kita coba lagi”.

kembali dia mencoba untuk mengocokku kencang sampe wajahnya juga berubah merah padam sendiri.

“ agggghhhh agggghhhhh makeee meee sqqquiiirttt maassss”, aku mengejang.

“…………………………..”, kembali kering.

Sayang kocokan kedua juga nihil. air tetap tak keluar.

“ hhahh…hahh…hahh..”, sambil terengah-engah aku kembali menampakkan wajah kecewa.

“ Maass mungkin tanganku harus dilepas borgolnya baru bisa squirt”, kataku pada Doni.

“ haahh o ya tanganmu diborgol toh babe. Lupa aku. makanya kamu gak muncrat-muncrat. Jack buka borgolnya cepet biar aku tunjukin ke kamu kejantanan laki-laki yang sejati”.

“ Iya iya gue buka”, kata jaka malas-malasan.

Siapa sih Doni ini sehingga bisa nyuruh-nyuruh jaka kaya begini??. Aku masih misteri dengan sosok ini. yang jelas Jaka salah bergaul dengan orang ini. Betapa pergaulan yang tak baik bisa merusak kita.

Jaka mulai membuka kunci borgolku yang kanan kemudin yang kiri.

Saat jaka melepas kunci borgol terakhir dia agak membungkuk. Disaat yang sama dengan sigap dan mematikan kugunakan kepalaku untuk menyundul rahangya.

“ hhhaaaaaggghhh”, disosok tepat di dagu membuat jaka terkejut sekaligus pingsan tak sadarkan diri.

Aku tak peduli lagi siapa yang kusundul itu. yang jelas buatku sebagai atasan dia-benar-benar membuat kecewa.

Doni yang masih bingung dengan apa yang terjadi juga segera kusodok dengan pukulan “ upper cut” tinju tepat mengenai rahangnya.

“ aaaaaauuugggghhhh ffuuucckkk bbbiitttcchhhh”, dia mengerang-ngerang pilu.

Pacarnya yang melihat lakinya kusodok ikut maju.

“ massssssss”, jeritnya sambil berusaha menyerangku.

Tanpa berpanjang gerak, siku tanganku langsung maju menyongsong wanita yang menyerbuku ini dan langsung menghantam hidungnya.

“ kreeeek”, bunyi hidung patah memilukan terdengar.

Icha menjerit-jerit.

Kuabaikan dia dan melangkah ke Doni.

“ hhu huuu huuu my chinnn bitchhh”, dia masih memaki saat lehernya kupegang dengan tangan.

“ mau bikin aku squirt mas??” kataku masih dengan penuh sopan santun, “ squirt itu aku yang menentukan bisa nggaknya, BUKAN KAMU!!”, langsung kutinju lagi dia dengan jab dan membuatnya tak sadarkan diri.

Kutatap jaka Komandanku itu dengan kasian.

sayang padahal kalo kamu mau yang normal normal saja kita bisa melakukan hubungan yang panas hari ini. Kenapa kamu bergaul dengan orang tidak jelas seperti Doni ini??.

Kembali kukenakan baju safari yang telah tercecer di ruang tamu. Aku tidak peduli siapa yang barusan kutonjok yang jelas harga diriku terselamatkan hari ini. hanya laki-laki sejati yang dapat memperlakukan wanita dengan baik. Laki-laki yang mengijinkan temannya untuk menyentuh tubuh wanitanya, atas nama persahabatan, fantasy seksual atau apapun itu layak disodok sampai pingsan.

Siapa itu Doni?? apa hubungannya dengan Jaka?? tidak jadi soal buatku. yang jelas mereka sudah pingsan semuanya.

Dengan percaya diri aku melangkah keluar.

“ THE JAB “

Langkahku begitu ringan meninggalkan rumah Jaka. Kuludahi sambil lalu dua mobil yang terparkir di halaman rumahnya sebagai ekspresi rasa jijik. Pengalaman melihat persenggamaan secara bersama-sama di depan mata sungguh sulit terlupakan. Semakin kaya seseorang, makin mentereng pangkatnya, semakin aneh juga kelakuannya.

Aku yakin pria yang bernama Doni bukanlah orang sembarangan. Mobilnya mewah. Pacarnya si Icha juga terlihat high class. Yang paling mengherankan, Jaka tidak berani berhadapan dengannya. Emangnya siapa dia bisa buat Jaka ragu-ragu begitu?.

“ Cuihh harus mandi besar nih gara-gara udah disentuh laki-laki tidak higienis seperti dia”, suara hati berbicara sambil mata mencari cari tukang ojek yang mangkal.

“ Bang ojek sini!!”, seorang tukang ojeg sudah terlihat.

Mendengar dipanggil dia menghampiri. “ Iya non mau kemana??”.

“ Antar ke jalan protokol ya Bang. Saya mau makan bubur!”.

“ Iya non silakan naik! ini helmnya”.

Diantar tukang ojek aku cabut dari rumah Jaka. Bagaimana ya rasanya maen sex rame-rame begitu??. Kembali sebuah pertanyaan unik menghampiri. Dasar kamu Sinta! gak usah dipikirin kelainan seksual mereka. Itu mainannya orang kaya yang kebanyakan duit. Saking kaya dan menterengnya jabatan, mereka pengen ngebeli wanita dengan uangnya. Mereka pikir bisa beli kamu juga buat diajakin ngeseks berempat, gak tau mereka Sinta ikut tinju di asrama. Mereka “Macem-macem”, Sinta tonjok, KO semua deh.

Sebagai informasi aku memang suka dengan olahraga tinju. Kalo kebanyakan jurus mana bisa diahapal sama otak yang lamban. Tantri ahli karate, dia udah sabuk hitam punya banyak jurus mematikan. Buatku tinju sudah cukup. Kuasai tiga teknik pukulan dengan baik ; jab, hook, upper cut. Jaga fisik, rapatkan pertahanan tangan, sudah cukup untuk membela diri.

Yah kalo cuma bonyok dikit sampe berdarah darah udah pernah ngalamin sih. Cocoklah olahraga ini karena gak banyak mikir. Terpenting “ feeling”, kapan harus mukul, kapan musti bertahan. Di kantor Sinta menangan lho kalo soal tinju. Wajar aja wong lawannya gak ada ha ha. Teman Polwan yang lain lebih milih nyalon mempercantik diri dan merawat tubuh daripada ikut tinju.

Terngiang ucapan kotor Doni dan Jaka tadi yang memuja wanginya aroma tubuhku. Padahal tadi pagi aku hanya mandi bebek. Tapi mereka masih muji kalo aromaku wangi. Apa rahasianya Sih??. Jawabannya gampang ; jaga makan. Sebagai wanita banyak-banyaklah makan sayur. Coba aja datang ke asrama liat pilihan makanan yang kupilih ; sayur segar, rujak, lalapan, buah-buahan, semua dimakan rutin tiap hari.

Daging-dagingan sama jeroan kadang-kadang aja. Yah palingan waktu makan bubur doank. Itu rahasianya kenapa kulitku segar, wangi dan cerah . Wangi tubuh hasil makanan alamiah beda sama bikinan semprotan parfum. Kalo parfum sementara aja wanginya, sedang yang alamiah permanen dan tahan lama. Ngeliat mereka berdua tadi begitu tergila gila sama aroma ketiakku menunjukan keberhasilan ngejaga badan dan aromanya. Buat wanita apa sih yang lebih utama daripada kemampuan ngejaga kecantikan badan dan aroma tubuh?.

Tapi sekali-kali boleh kan makan bubur lengkap ama daging dan jeraoannya??. Itu alasan utama, yang buat aku datang lagi ke tempat bubur ini untuk sejenak makan dan refreshing melupakan peristiwa aneh barusan. Momen makan selalu special untuk mendinginkan hati dan pikiran.

“ Dah sampe Non”.

“ Makasih ya Bang!. Ikut makan dulu yuk! nanti anterin saya habis dari sini balik ke asrama Polisi ya”.

“ Ooo Non Polisi ya?? iya siap Non”.

“ Mas pesen bubur biasa ya! sama buatin buat bapak ini juga !”.

“ Siap Komandan Sinta pahlawan kami”, tukang bubur memuji berlebihan.

Jadi artis bener kamu sekarang Sin. Lihat mata bapak-bapak sama ibu-ibu disini yang menatapmu kayak ngeliat artis ibu kota.

“ Bu Sinta boleh foto bareng??”, kata seorang bapak pelanggan bubur.

“ Wahh boleh Pak, tapi kenapa mau foto sama saya??”.

“ Ahh Ibu Sinta ini merendah aja. Ibu ini pahlawan kami. Udah cantik, sexy, pemberani lagi”.

Bapak itu orang pertama minta foto bareng. Habis itu ada lagi, lagi, lagi dan lagi. Bahkan anak-anak SMP yang lagi makan bubur juga ikut-ikutan minta foto bareng. Kalo gini ceritanya gimana caraku makan?? Jadi artis rasanya gak enak juga ya.

“ Udah cukup bapak-bapak, kasih kesempatan Bu Sinta makan dulu”, Mas bubur datang sambil membawa semangkuk bubur ayam. “ Silakan makan dulu ya Bu Polwan yang cantik. Gak usah khawatir sama bapak-bapak yang minta foto bareng! nanti saya halau semuanya”.

“ Wiss sejak kapan pake istilah-istilah Polisi Mas?”, tanyaku terkejut sekaligus geli mendengar kata halau. “ Ya sejak jatuh cinta sama bu Sinta lah”, ujarnya genit. “ huuuuuu”, bapak-bapak yang lain sontak menyoraki Mas bubur sebagai ekspresi rasa cemburu.

“ Heee”, aku hanya bisa tersenyum melihat semua tingkah laku mereka. Ada gak enaknya jadi orang beken, tapi ada juga nyamannya. Wanita mana sih yang gak seneng jadi pusat perhatian?. Temen-temen sesama Polwan aja pada rebutan ngincer posisi penyiar di televisi nasional biar beken. masalahnya syarat buat kesana kan harus cantik dan pinter. Sinta memang cantik, tapi pinter??. Hmm karena jawabannya enggak, tau diri aja deh buat ngebatalin niat ngelamar ke sana, itu sama aja mimpi di siang bolong.

Yah syukuri aja Sinta, meskipun belum pernah masuk tv, kamu udah jadi terkenal. Tenar dikalangan para pelanggan tukang bubur ini maksudnya. Udah deh gak usah banyak mikir soal ketenaran, sekarang yang penting makan.

Nah mulai deh momen indah menyantap hidangan utama bubur yang ueenakk ini. Apa yang buat bubur ini jadi makin enak ya?. Rasanya baru kemarin kemari, tapi rasa bubur ini jadi makin enak saja. Bumbunya begitu meresap dan kuahnya menambah rasa penasaran ingin menyantapnya terus.

Seperti biasa makan bubur gak lengkap tanpa sate dan kerupuk yang banyak. Udah kebiasaan yang dihafal sama bapak-bapak kalo aku makannya lama. saking lamanya, banyak diantara bapak-bapak itu yang curi-curi kesempatan untuk memotret lewat ponselnya. Sinta cuek aja. Kalo udah makan ngapain mikirin yang lain??. Rasa masakan ini tetap jadi fokus utama, hal lain lewat.

45 menit sudah berlalu. Bubur, sate, kerupuk semua sudah tandas. Mau kemana kita sekarang ??, kembali ke kantor??, ahh nggak lah malas. Lagipula tadi Pak Hendri ngasih ijin pulang mendahului, kapan lagi coba?? harus dimanfaatin semaksimal mungkin kesempatan langka kayak gini.

“ Mas berapa semuanya??”.

“ Untuk Bu Komandan ; GRATIS ”.

“ Yang bener sih Mas??? buat bapak ojeg deh saya bayarnya”.

“ Buat bapak ini juga gratis Bu Komandan. Pokoknya untuk pahlawan kami semua gratis”.

“ Wah jadi gak enak nih Mas”.

Tambah bikin gak enak perasaaan pandangan Tukang bubur dan bapak-bapak ini yang memujaku berlebihan. Mereka memberi semua kemudahan dan penggratisan syaratnya satu ; asal boleh foto bareng. Terpaksa deh sebelum pergi aku berikan pose-pose cantik untuk mereka.

Pengagungan mereka pada kecantikanku terlalu lebay, bayangin aja mereka sampai mengantarku rame-rame naik ke atas motor. Bahkan banyak diantara mereka rebutan ingin mengantar sampe di asrama. Semua kutolak secara halus, soalnya aku tetap setia sama bapak ojek. Sebagai wanita Sinta tipe setia banget lho. Tanto buktinya. Sebejat-bejatnya dia, Sinta tetap bertahan bersamanya. Asal tau aja ya, waktu dianiyaya di rumah dinas, sebenarnya Sinta bisa saja ngelawan dia dengan teknik tinju. Tapi kan kasian kalo pria yang kita sayangi harus ditunju. sakit nanti rasanya buat Tanto.

Bodoh kamu nih memang jadi cewe, Tanto aja gak sayang, tuh buktinya dia nyambukin kamu sampe puas. Itu urusan Tanto kalo gak punya belas kasih. Buatku rasa kasih sayang adalah segalanya.

“ DDadahh ibuu Sintaaa”, serempak mereka melepasku pergi bagai bintang film merangkap tuan putri dadakan.

“ Non??”, tanya tukang ojeg.

“ Ya Bang??”.

“ Non artis ya??”.

“ Apaan sih Bang saya Polisi bukan artis”.

“ habis fansnya banyak Non. Bapak juga mau deh jadi fansnya. Non cantik banget soalnya. hatinya baik lagi”.

“ husssh Bang, lihat ke depan aja deh biar kita berdua selamat sampe tujuan”, ketegasanku menghentikan gombalan si bapak.

Masih tersipu-sipu aku beberapa saat akibat perlakuan mereka dan pujian si bapak. Begitu mengagung-agungkan sosok wanita lemot ini mereka. Emang apa yang sudah aku lakukan??. Hanya membela seorang pemuda yang coba dirampok mobilnya. O ya apa kabar pemuda itu ya?? namanya si Rudi kan? cukup ganteng dia. Juga tajir. Semoga sehat ya Rud. kasian kepalamu bonyok dipukul sama perampok. Ya Tuhan kasiani si Rudi, lindungi dia agar cepat sembuh. Sinta berdoa tulus kepada sosok pemuda yang katanya sangat ingin main ke kantor itu.

Karena keasyikan berdoa dan memandang ke jalan, kami tak sadar ada dua sepeda motor yang tampaknya sengaja memepet motor kami.

Laki-laki yang datang dari motor sebelah kanan langsung menodongkan pistolnya ke arahku dalam jarak begitu dekat. Aku masih berdoa tak sadar apa yang dilakukan oleh pria ini.

“ Dorrrrrrrrr”, Pria tadi menembak tiba-tiba.

Jaraknya hanya sekian centimeter dariku, tapi tembakannya masih juga luput. Lucunya peluru yang meleset itu malah menghantam temannya yang ada di sebelah kiri. Tertembak telak, temannya langsung roboh ke jalan. Pak Tukang ojek terkejut dengan tembakan itu langsung mengerem mendadak.

“ Cccciiiiitttttt”, bunyi ban nyaring berdecit.

Kami berdua hampir jatuh, kalo saja bapak itu tidak memiliki keseimbangan tubuh yang cukup baik kami pasti telah terperosok.

“ Aduuuh hampir jatuhhh maaaf Non”

“ gak apa Bang untung kita gak jatuh”, Aku lihat pengemudi motor yang menembak tadi berhenti sejenak untuk memeriksa keadaan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Siapa lagi orang ini yang tiba-tiba mau menembakku?? apa gerembolan perampok mobil kemarin masih belum tertangkap dan penasaran mengejarku?.

“ Pak pinjam motornya dulu ya! saya mau kejar orang itu. bapak saya minta tolong telpon ke kantor polisi laporkan ada orang tertembak minta pertolongan segera!”.

“ IIiiyaaa Buu siaaapp”, bapak ojeg masih gemetaran.

“ Tenang ya Pak”, aku tersenyum menenangkannya.

Sekarang rasa jengkel mulai menghinggapi dan ingin menuntaskan urusan dengan orang ini segera. Hanya sekian centi rasanya peluru itu hendak menyambar kepala dan mencabut nyawaku. Maha Agung Tuhan yang masih melindungi.

Dengan gas poll aku berusaha mengejarnya. Menyadari dikejar, pria penembak juga tancap gas. Motor gede yang digunakannya tentu lebih cepat dari motor bebek ini, tapi pengejaran harus terus dilakukan. Ini bukan aksi sia-sia, Sinta punya kelebihan kok. Apa itu? hafal sama daerah ini. Kabupaten ini kecil saja ukuran wilayahnya. Penduduknya juga saling kenal satu sama lainnya. jadi gampang kalo kejar-kejaran, buat yang tau jalan.

Segesit apapun dia meliuk-liuk menerobos kepadatan lalu lintas, aku pasti bisa mengimbangi. Bukan hanya jago melompati pagar, untuk urusan menghapal jalan-jalan tikus Sinta juga piawai. Kulihat kini si penembak menyalip dua kendaraan dalam satu tarikan gas. Kemudian berbelok kayak pembalap moto gp, menikung di perempatan jalan.

Begitu boros gerakannya, macho sih, maskulin, tapi mubazir. Untuk mengejarnya aku cukup belok kanan sedikit pelan-pelan , lewati jalan setapak dan…hap itu dia terlihat lagi.

Manuver-manuver ekstrim terus dilakukan oleh si pria misterius. Menghadapinya mudah, cukup dengan dengan gerakan standart, konvensional dan biasa saja milik Sinta, tapi efektif.

Perjalanan berkelok-keloknya kini memasuki kawasan pergudangan tua yang sudah lama tidak beroperasi.

Sekarang saatnya perjalananmu berakhir wahai pria misterius. Jarakku dengannya tak sampai 50 meter. Cukup untuk dua buah peluru panas. Mari kita lakukan semua dengan benar, pertama lepaskan tangan dari pedal gas, trus cabut pistol dari pembungkus pinggang, buka tuas pengaman, selanjutnya bidik, rasakan arah angin, tarik nafas dalam-dalam. “ hhhhhmmmmm”, terakhir tarik pelatuk ;

“ Dorrr….dorrrrrrr”, dua peluru melesat bersamaan dengan manuver si pembalap bergerak condong ke kanan ingin berbelok. Bayangkan dalam gerakan slow motion, peluru yang ditembakkan memiilih sudut yang paling rendah dan telak menghantam kakinya.

“ Trassss”, peluru yang menembus kulit dan tulang terdengar nyaring.

Si Pria hilang keseimbangan jatuh terguling-guling lengkap dengan motornya yang terperosok.

Tenang, aku turun dari motor. Pasang standart motor jangan lupa Sinta. Yak selesai semua sekarang kita lihat siapa bapak ini sebenarnya.

Aku melangkah tenang ke arah bapak yang tergeletak tak bergerak, kubuka helmnya, dia pingsan. Kuambil sandaran kepala seadanya yang ada di sekitaran sini untuk menyangga kepalanya. Maski baru saja hendak berperan sebagai pencabut nyawa, melihat pria ini berdarah-darah menerbitkan rasa empati, soalnya sebentar lagi bisa jadi malah dia yang mau dicabut nyawanya oleh sang malaikat maut.

“ Ck ck ck jadi ini Polwan sakti itu Bos”, suara orang dari arah belakang cukup mengagetkan.

Tampak di sekeliling kawasan pergudangan tua, muncul dua puluh orang pria-pria berbadan tegap dan seram. Wajah mereka sangar khas preman. tato yang berseliweran dibadan mereka menambah kesan angker.

“ Ndul, kamu cek si Ruli gimana keadaannya!”, kata orang yang sepertinya pernah Sinta liat dua hari lalu waktu kejadian perampokan mobil. Rupanya sampai saat ini rombongan perampok mobil kemarin masih bebas. Kok bisa lambat ya kinerja teman-teman Reserse?? apa perhatian mereka terpusat semua ke penembakan Pak Burhan hingga tak bisa bertindak lebih cepat?. Masalahnya sekarang gawat juga nih menghadapi sekitar dua puluh orang pria berbadan besar-besar dengan libido tinggi begini.

“ Pingsan bosss”, kata orang suruhan.

“ Mbak Polwan manis”, si bos maju bicara, “ dua hari lalu, kamu berhasil menangkap seorang dari kami. Jujur Abang juga terkejut kenapa si bodoh itu gagal nembak kamu. Apa kamu bener-bener sakti, atau dia yang bener-bener o’on Abang gak tau”. Dia mengambil nafas. “ Tapi jujur Abang salut sama keberanian cewe seperti lu manis. Asal tau aja ya, sekarang luw ada di kawasan kami. Disini kalo luw kami perkosa rame-rame juga gak bakal ada yang tau ”.



SINTA IN ILLUSTRATION

“ Gak usah banyak ngomong deh Bang”, potongku. Semakin panjang dia ngomong semakin Sinta gak mudeng soalnya. “ Udah bilang aja mau apa kalian???”.

Agak terkejut juga si bos dipotong pidatonya. “ ngelunjak nih cewe beneran ! mentang-mentang Polwan. Kami ingin merkosa luw rame-rame disini tau”, tantangnya kesal.

“ Merkosa ane Bang?? ayo coba kalo bisa”, tantangku gak mau kalah.

“ Kurang ajar! Bocah-bocah ayo kita maju barengan! ini cewe sakti soalnya. Coba kita liat kesaktiannya bisa gak ngelawan kita segambreng ini. siapa aja diantara luw yang bisa ngelumpuhin dia, gue ganjar giliran pertama buat merkosa nih cewe”.

“ Asyiiikk beneran ya Banggg”, kata banyak diantara mereka yang mulai melihat tubuh Sinta dengan pandangan cabul dan lidah terjulur.

“Karena kita mau maenin nih cewe ampe pagi gak boleh ada yang make senjata! biar kejaga kemulusan badannya”.

“ Abang udah siap obat kuat nih neng buat ngwee kamu sampe besok pagi”.

“ Liat pantatnya Bang pasti kuat ngewenya nih cewe”.

“ Tuh liat tetenya kenceng banget”.

“ Kapan lagi kita bisa ngerasain cewe putih mulus begini”.

Semua ucapan cabul itu kudengar keluar dari mulut mereka. cuekin aja, ngapain juga dipikirin. Sehebat-hebat mereka hidup mati inikan bukan mereka yang nentuin. Bagus Sinta berdoa dulu sekarang sama yang ngasih hidup dan tempat kita semua balik nanti saat kematian menjemput. Kuangkat tangan dan menundukkan wajah. Khusyuk Sinta berdoa kepada Sang Maha Tunggal penentu nasib hamba-Nya.

“ Tolong Sinta Ya Tuhan. hanya Engkau yang dapat menolong. Meskipun jumlah mereka ada banyak, tidak akan Sinta tundukkan wajah ini pada mereka, sebab Sinta hanya mau tunduk kepada-Mu. Maka Ya Tuhan selamatkanlah sinta Amin ”.

“ MAJU KALIAN SEMUA”, Jariku kugoyangkan seperti Bruce Lee.

“ Ayo kita serrbbuuuuu, yang pertama ngalahin dia bisa merkosa sampe puas”.

Serentak mereka maju menyerbu.

“ YAAAAAAHHHHHHH”, raungan perang dimulai.

Tenang Sinta, majukan dulu kaki kiri ke depan. Dua tangan dinaikan sejajar dagu membentuk pertahanan “ double cover “ tinju. Kuda-kuda badan agak tunduk dikit, biar pinggang leluasa menghindari serangan. Kalo kaki udah kokoh, giliran tubuh diayunin kiri kanan nyiapin bahu buat nambah “power” tangan waktu mukul. Pondasi kaki memang harus kuat tapi “ foot work ” musti tetap lincah biar gampang menghindari pukulan sama tendangan.

Mereka berlari dengan penuh nafsu. Tanganku sudah mengepal sempurna menyambut kedatangan para berandal. Orang pertama tiba, dia menghambur ingin merangkul. Mudah diatasi, langkahkan tubuh satu langkah ke kanan, Rangkulannya luput, tangan kiriku masuk kasih “ hook” ,…. “ Bruuggg”, pukulan pertama mendarat tepat di dagu. Awal yang bagus. Bisa pingsan langsung nih orang.

Bener saja dia jatuh. Sekarang Dua orang dari kiri dan kanan mukul barengan. “ Wusssss”, pukulan dari kanan ngantem angin soalnya tepat waktu Sinta nunduk. Dua kakiku nekuk biar elastis nunduknya. Habis itu kaki kanan jungkit naik dikit, bahu maen, pukulan “ upper cut keras “ masuk , tenaga full.

“ Kreekk”, bunyi dagu patah.

“ Teeeep”, pukulan dari orang sebelah kiri kutahan sama “ double cover “ , langsung balas sama jab ke kemaluan. “ prrruuut”, pukulan masuk. “ Anjjjjjrrrriiit”, orang kedua berteriak samar kemaluannya penyok.

“ haaaaaaggggghhhhh”, orang ketiga nongol dari belakang kayak pegulat professional. Lebih mudah lagi serangan model beginian. Kaki kanan menumpu, kaki kiri buang lurus kebelakang gak perlu noleh. Asal perhitungan tepat serangan model smack down longgar di pertahanan alat kelamin. “ krrriiuuuuk”, bunyi buah zakar yang ke”plites” kaki cukup merdu terdengar. “ hhaaaaaaagggggggggg”, si pria yang terobsesi jadi pegulat berguling guling terkapar penuh histeria.

“ Ceweeee sialaaaaann”, orang keempat maju lagi. Porno nih orang kejantanannya nonjol ereksi sambil menyerang. Pasti dia lagi mikir jorok tentang Sinta. Serangannya gak maen-maen pake dua tangan sekaligus. Gini cara ngadepinnya ; geser kepala nunduk miring kanan. Pukulan tangan kiri meleset. Habis itu ayunin pinggang ke kiri biar kepala miring kiri barengan tangan kanan kasih hook ke mukanya. Pukulan tangan kanannya luput, hook Sinta masuk. “ Kraaaakkkk”. Hidungnya patah.

Orang kelima sekarang maennya rangkulan. Cara ngelepas rangkulan; Tunduk dikit, tangannya sekarang diatas badan, ngeles satu langkah ke kiri, sapu rangkulannya pake dua tangan.” Tep”, Rangkulan lepas, pertahanan muka lowong. Hajar bertububi-tubi. “ tap…tap…tap…tap.tap…tap…tappp”, delapan pukulan jab lurus ngantem telak ke muka. Salut kalo gak roboh.

Ambil nafas panjang dalam tiga tarikan. Kini saatnya menyerang frontal.

“ hhhhhmmmm”, hirup nafas dalam dalam. Orang keenam lagi bengong, tonjok cepat matanya. “ Braaaaakkkkk”, pukulan mendarat telak ke bola mata. Hirup nafas lagi. Orang ketujuh nendang, Keseimbangannya lemah. Sapu tendangannya pake tangan, Siku nyodok ke kemalaun. “ HHUUHAAAAHHHH”, kena dia.

Orang kedelapan berhasil ngerangkul dari belakang. Menghinadrinya mudah ; Tubuhku bungkuk dikit, ungkit pake tenaga pantat, kaget- dia hilang keseimbangan, lempar dia ke depan pake tenaga pinggang. Begitu dia Jatuh di depan mata, hirup nafas lagi buang cepat, pukulan beruntun meluncur “ tap…tap..tap..tap..tapp”, lima pukulan hook kiri kanan nyuci muka cowo ini.

“ Hiaaaaaat”, orang Sembilan , sepuluh dan sebelas maju bareng dari tiga arah. Serangan kombinasi cocok dipake sekarang Sinta. Bungkuk dikit ke orang yang ada di kiri, Hirup nafas, hantem “low blow” sekencangnya sambil cakar buah zakar.

“ konnnttooolllllkkuuu”, sebelum dia selesai jerit remes kencang bijinya, ungkit badannya pake bahu, angkat pake dua tangan. Samson wanita sudah lahir ; sinta namanya. Berlagak kayak Samson, Sinta angkat pria ini di atas kepala.

“ haaaaagggggghhh”, selanjutnya lempar badan orang ini ke dua orang temennya, “ Bruuuuugg”, mereka ambrug barengan.

sebelas pria tumbang. Tangan Sinta mulai sakit rasanya. tapi ada bagusnya, sisa dari begundal mulai ketakutan termasuk bosnya.

“ bossss saktii beneraaan Polwannn ini”. teriak sorang berandal.

Gak usah banyak jerit-jerit lagi deh, kita selesaikan pertunjukan ini. Aku cabut pistol dari pinggang arahin tepat ke si bos.

“ Lhhoo janggan tembakkkk nengggg”, si Bos kaget.

“ Dooorrrrrr”, pistol meledak, bidikan tepat, peluru nembus paha.

Si bos jatuh. Anak buahnya yang tinggal delapan orang pada tabrakan berusaha kabur. “ huffffff”, kutiup bubuk mesiu seperti koboi jaman dulu. Ngapain pada kabur??. Peluru Sinta juga tinggal satu. Dua dipakai membubarkan tawuran. Dua lagi nembak pemotor yang nembak barusan. satu special untuk pak bos. Biar kapok.

Kulihat sekeliling, 11 orang kesebelasan bergelimpangan mengerang ngerang, satu orang pingsan dan satu orang histeris kesakitan karena pahanya ketembus timah panas.

“ Huuupppp”, kurenggangkan dulu tubuhku dengan melemaskan semua otot tubuh yang tegang habis bertinju.

“ Untung aku petinju. Kalo bukan bisa udah habis diperkosa nih”.

Satu unit mobil preman tiba-tiba mendekat dengan kencang ke arahku. tampaknya ini mobilnya Febi dari mana aja dia.

“ Sinta”, katanya berhambur turun sambil berlari.

“ Kamu gak apa-apa???”, dipegangnya wajah dan tanganku yang berlumuran darah.

“ Ssiiaaapp gak apa Komanndan. Ini darah mereka yang nyiprat ke tangan Sinta”, kataku menenangkan.

“ Hanya kamu anak buahku yang benar-benar nekad”, ujarnya sambil tetap memegang wajahku. Komandan Febi tiba-tiba menggaet pinggangku, merapatkan tubuhku pada tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke wajahku.

“ Cuuup”, dia mencium bibirku tiba-tiba. Jujur aku masih gak ngerti apa yang dilakukannya. kami kaum wanita sudah biasa cipika-cipiki pipi. Mungkin di daerah asal Febi, cipika cipiki pake bibir ya??. Saking gak ngertinya dengan kelakuan Komandanku yang tiba-tiba mencium bibir aku diam saja.

Aku sendiri sangat senang dengan aktifitas berciuman. Itu momen relaksasi sekaligus refleksi. Dicium Febi aku nyantai aja dan gak pake perasaan apa-apa. Bayanganku, ini hanya aktifitas cipika-cipiki, cuma pake bibir. Sangat kurasakan adanya rasa sayang yang besar dari ciuman Febi. Bibirnya yang lembut bersentuhan dengan bibir mungilku mentransfer rasa sayang. sangat membuat relaks dan menenangkan. Apalagi tangannya juga memelukku dengan kuat. Sebagai Polisi wanita fisik Febi cukup kuat sehingga menentramkan.

Lidah Febi tiba-tiba ikut keluar dari mulutnya dan mengajak lidahku bersentuhan.

“ Kommanndann”, aku hentikan dia dengan menaikkan sikuku, karena kalo lidah sudah keluar nafsu yang main.

Agak gugup dengan penolakanku Febi terlihat rikuh.

“ tangan Sinta sakit Komandan”, kataku menunjukkan tanganku sekaligus berusaha menjaga perasaannya yang kayak kehilangan muka dalam bersikap.

“ Kenapa tanganmu Sin?”.

“ Habis ninju banyak cowo Komandan”, ujarku bercanda.

“ Coba aku liat. gila kamu nih benar-bener Sinta ”, ujarnya sambil menyentuh hidungku dengan ramah sekali. rasa kikkunya tadi sepetinya sudah hilang berganti rasa sayang yang besar.

Dielus-elusnya tanganku dengan lembut sekali seperti ingin menghilangkan sakitnya. saat tadi menjatuhkan sepuluh orang rasanya tanganku gak kenapa-napa. tapi habis itu memang kerasa nyeri sekali. Terkait Febi aku sempe sekarang masih belum ngerti kenapa dia jadi begitu sayang padaku. Ciumannya tadi kuanggap hanya cipika cipiki saja tapi versi sebuah kebudayaan yang mengkin aku belum pernah mengetahuinya, karena ilmuku yang “cetek”.

Dielusnya kini wajahku berkali-kali dengan penuh rasa sayang. hatiku sangat sensitive kalo merasakan kasih sayang orang lain . Yang aku mau tanyakan hanya satu sama Febi ; kenapa dia tiba-tiba menyayangiku dengan rasa sayang yang demikian meluap-luap?.

“ nggguuuiing….ngguuiiinnggg….nggguuuiinnngggg”, bunyi sirine mobil patroli nyaring terdengar. Febi tetap tenang tidak beranjak untuk memijat tanganku. Sekumpulan anggota turun dari mobil, kulihat ada lebih dari 10 mobil yang datang. Kasian bapak-bapak yang tergeletak ini mereka harus masuk penjara deh karena tingkah lakunya sendiri.

Rombongan anggota yang turun terbagi dalam dua gelombang. grup satu menangkapi semua pria kesebelasan begundal yang berjatuhan di tanah. grup dua menuju arah kami. Rombongan yang ke arah kami kenapa banyak Polwannya ya?? dari Polwan Provost lagi. Padahal gak ada satupun dari penjahat yang kutonjok tadi wanita. Buang-buang tenaga nih kantor.

“ Inspektur Febi”, seorang Provost memanggil Febi.

“ Iya kalian tangkap saja para begundal yang bergelimpangan itu” kata Febi tenang tanpa menoleh kebelakang.

“ Mohon maaf Inspektur, tapi kami diperintahkan oleh Polda untuk menangkap Brigadir Sinta”.

“ APA??? NGAWUR PASTI KALIAN?? ATAS PERINTAH SIAPA??”, Febi berbalik badan marah. Dia tampak sangat tak percaya apa yang didengarnya barusan.

Aku masih bengong dengan kelakuan mereka. Siapa yang mau mereka tangkap??.

“ Atas nama Kapolda Inspektur, kami harus menangkap Brigadir Sinta”, kata Provost.

“ COBA KULIHAT SURAT PERINTAHNYA KALIAN PATI SALAH ORANG”, nada Febi masih tinggi.

“ Brigadir Sinta anda ditangkap atas tuduhan terlibat dalam upaya pembunuhan Komisaris Burhan”, tanpa mempedulikan protes dari Febi dua orang Polwan maju untuk membacakan surat perintah. “ Karena anda adalah “ anggota “ kami tidak perlu memborgol saudari selama tetap patuh terhadap jalannya proses penahanan ini”, mereka membacakan hak-hakku dengan cepat.

“ Anda ikut kami sekarang”, dua orang Polwan menangkap tanganku dan membawaku menuju mobil tahanan.

“ SINTA KAMU JANGAN IKUT.SAYA PROTES TERHADAP PANANGKAPAN INI”, Febi masih emosional berusaha berontak untuk menghampiriku. Dua orang Polwan Provost berbadan besar menahannya. Kutoleh ke arah Febi masih dengan bingung. “ Sintaa…”, dia memanggil namaku sambil ditahan oleh Provost. dari matanya terlihat linangan air mata. Febi menangis tapi dia tahan semampunya.

“ Tenang ya Komandan”, senyumku padanya menenangkan. Meski belum bisa menangkap rangkaian kejadian ini aku berusaha memberikan Febi kedamaian hati. Dia terlalu emosional.

Dimasukkan ke dalam mobil tahanan yang tertutup, aku diapit oleh dua orang di kedua sisi tubuh. Para wartawan mulai datang berlari-lari menuju mobil.

Aku terbengong-bengong di dalam mobil berusaha mencerna situasi. Teriakan para wartawan yang saling bersahutan tidak ada yang bisa kudengar dengan baik. Para Polisi pria yang telah selesai meringkus para perampok, datang menghalau para awak media.

“ PEMIRSA, KAMI MENYAMPAIKAN HEADLINE NEWS LANGSUNG DARI LOKASI KEJADIAN. POLISI BARU SAJA MENANGKAP SEORANG POLWAN BERNAMA BRIGADIR SINTA RACHMAWATI YANG DIDUGA IKUT TERLIBAT DALAM PERCOBAAN PEMBUNUHAN TERHADAP KOMISARIS BURHAN”, suara presenter televisi mengagetkan sekaligus menyadarkan lamunanku.

Aku hampir saja dibunuh oleh puluhan penjahat. Berkat ijin Tuhan aku berhasil mengalahkan mereka. Beberapa menit kemudian kenapa malah aku yang ditangkap??. Percobaan pembunuhan Komandan Burhan?? astaga kenapa mereka menuduhku begitu keji.

Sudah ratusan penjahat yang kutangkap dan kubawa ke penjara. Sekarang kenapa malah aku yang dibawa masuk ke penjara. Butiran air mata mulai menetes di kedua mata.

“ ngiuuuungg…..ngiiiuuungggg…ngiuuuunnggg”.

“ PEMIRSA BISA KITA SAKSIKAN BERSAMA, BAGAIMANA IRING-IRINGAN MOBIL POLISI AKAN SEGERA MEMBAWA TERSANGKA BRIGADIR SINTA MENUJU KE KANTOR POLISI. KAMI AKAN TERUS MENYAMPAIKAN PERKEMBANGAN BERITA INI LIVE AND EKSLUSIVE”, suara presenter itu menjadi suara yang paling tidak enak untuk kudengar.

5.1 . STRANGER IN THE NIGHT

Sore yang nestapa. Diapit dua orang Polwan Provost, aku melangkah bagai pesakitan di lorong menuju kamar tahanan yang terletak di dalam kantorku sendiri. Seumur hidup, tidak pernah aku merasa begitu asing dan terpinggirkan seperti sekarang. Semua mata yang melihat Sinta adalah para Komandan, senior, sahabat, junior, dan para pegawai yang biasa berinteraksi dengan begitu akrab.

Sekarang mereka tidak lagi memandangku sebagaimana biasa. Lebih tepatnya mereka mulai menilai Sinta sebagai seorang pesakitan. Kedua tangan yang baru saja menghajar puluhan berandal mulai terasa nyeri. Tidak seberapa sakit di kulitnya, tapi begitu mengiris luka di hati. Segala bentuk pengabdian pada tugas dibayar dengan sebuah penangkapan tanpa bukti. Sedari tadi air mata tak henti mengalir.

“ Ayo Sinta cobalah berfikir positif. Bukankah kamu sendiri yang mengikrarakan diri sebagai duta posistif thingking?”, seru suara pikiran.

“ Gimana caraku bisa berfikir posistif dalam kondisi kayak begini wahai pikiran??. Kamu tidak lihat perjuangan Sinta sampai sekarang??, aku berjuang demi tugas dan pengabdian pada Negara, kemudian dibalas dengan tuduhan tanpa alasan yang begitu menyakitkan”, berdebat aku dengan pikiran sendiri.

“ Menyakitkan??? apa sebenarnya yang bisa nyakitin kamu Sinta?? dikeroyok dua puluh orang begundal saja kamu menang. Emang apa yang lagi bisa nyakitin kamu??”, suara pikiran kembali menantang.

Termenung aku mendengar argumentasinya. Betul juga apa yang dikatakan pikiran, kalo dua puluh orang preman saja cuma jadi tempe dihantam kibasan tinjuku, masak berhadapan dengan fitnahan remeh begini saja bisa bikin aku KO?.

” Baiklah pikiran, Sinta setuju denganmu! Ayo kita bangkit! jangan sedih !”, dengan ketetapan hati kusapu butiran air mata yang terus menetes di pipi.

“ JADI BAGAIMANA MENURUT ANDA PROF? ANDAKAN SEORANG PAKAR DALAM MASALAH KRIMINALITAS, KETERLIBATAN SEORANG POLWAN DALAM KASUS PERCOBAAN PEMBUNUHAN SEORANG KOMISARIS POLISI, APAKAH DAPAT DIKATAKAN SEBUAH FENOMENA BARU??”, sebuah suara dari televisi mengalihkan perhataian kami.

Wawancara live di sebuah stasiun tv nasional sedang tayang. Letak televisi yang menggantung di ruang tunggu membuatku dapat menyimak sejenak berita hangat yang menggegerkan masyarakat. Bukan hanya masyarakat satu kabupaten, tapi satu Negara kesatuan, mungkin, sedang melihat wawancara aktual yang begitu terkini.

“ DAPAT DIKATAKAN DEMIKIAN MBAK JOSELYN, SEORANG POLWAN IKUT ANDIL UNTUK MEMBUNUH ATASANNYA SENDIRI. BICARA SOAL TINDAK KRIMINALITAS, KITA HARUS MENENGOK MOTIF…………….”

“ KIRA-KIRA APA PROF, MOTIF DARI BRIGADIR SINTA DALAM KASUS INI??”.

“ ADA BANYAK MBAK , BISA JADI FAKTOR SAKIT HATI, PERNAH MENDAPAT PELECEHAN SEKSUAL, BISA JUGA TINGKAT STRESS YANG TINGGI, ATAUPUN……”.

“ TAPI PROF BIASANYA KAN TINDAKAN KEJAHATAN DILAKUKAN OLEH LAKI-LAKI BUKAN WANITA……..”.

Gamblang kusimak dilayar kaca dua sosok manusia sedang melakukan dialog yang disaksikan oleh puluhan juta pasang mata pemirsanya.

“ Apa sebenarnya yang kalian bicarakan??”, Aku berusaha memahami. “ Untunglah kamu dianugerahkan dalam kecepatan begitu lambat duhai pikiran, seandainya saja kamu lebih cepat prosessornya, kita berdua bisa sakit hati mendengar hal yang mereka sedang diskusikan”.

Ada banyak cara menyimak sebuah berita yang disajikan di tv ; Orang bijak melihat, memahami, dan mengambil hikmah dari acara yang mereka saksikan. Kaum cendikia melihat, memperbandingkannya dengan teori yang mereka kuasai dan meragukan segala hal yang dilihat. Orang normal melihat acara dan labil dalam pemahaman, kadang “ mudeng “, lebih sering alpa. Paling parah diantara semua adalah orang dengan kemampuan mencerna otak sepertiku ; melihat , gak paham apa yang disaksikan sebenarnya, dan sama sekali tidak bisa mengambil hikmah apapun, serta punya potensi meniru contoh jelek dari teladan buruk yang diberikan oleh layar kaca.

Dalam pandangan orang-orang lambat berfikir, dua orang di layar yang asyik berdiskusi ini hanyalah sedang ngobrol santai, cuma bedanya ; dishooting pake kamera. Mereka cerminan era emansipasi dan modernitas ; yang satu wanita “cemerlang “, dan laki-laki paruh baya.

Si wanita cemerlang merupakan figure ideal perempuan jaman sekarang ; cantik , lumayan sexy, intelek, ahli komunikasi public dengan bahasa lokal maupun interlokal , pendidikan lulusan sekolah luar negeri, dan penuh keyakinan. Dari gerak gerik luarnya saja terlihat dia siap menaklukkan dunia. Bapak paruh baya disebelahnya merupakan kebalikannya ; jadul, sama sekali tidak menarik, komunikasi payah, pintar mungkin tapi sorotan kamera membuatnya jadi orang semi ; setengah pintar juga rada blo’on, dan ragu-ragu.

Karena Sinta suka banget sama aktifitas nge-seks. Acara ini kayak sedang melihat seorang wanita dengan gairah ranjang meluap-luap, sedang memplonco laki-laki paruh baya ganjen yang sok pede karena pengaruh obat kuat. Sama sekali tidak imbang dan menyedihkan. Bapak kenapa kamu tidak tinggal saja di rumah dan istirahat??. Wanita pembawa acara jelas-jelas sedang mengebiri anda.

Kurang apa coba kelucuan bapak ini??. Katanya namanya saja ; Prof. Menggelikan tidak?? Kok ada ya orang tua yang tega-teganya menamakan anaknya Prof??. Apa coba arti kata Prof dalam kamus besar bahasa Indonesia??. Sebuah nama tapi kayak penggalan kata tanggung yang belum selesai ditulis.

Pujangga bilang apalah arti sebuah nama. Tapi buat Sinta nama itu penting. Nama mencerminkan orangnya. Gak percaya?? lihat aja si bapak yang seharusnya jadi narasumber jadi tampak begitu o’on di layar kaca. Kok tampak bodoh?? lha iya donk, orang lemot kayak Sinta aja bisa ngeliat, setap waktu, omongan si bapak dipotong sama si Mbak penyiar. Kan hanya orang kurang pandai yang ucapannya diserobot terus.

Salut Sinta sama keberanian Mbak penyiar. Berani amat ya dia motong-motong omongan pak Prof??. Sinta aja paling gak berani motong orang kalo lagi ngomong. Takut kualat. Ah tapi itu mah salah si bapak sendiri, siapa suruh namanya gak jelas kayak kepotong begitu, jadinya dipotong orang terus kan kalo ngomong.

“ He..he..he nama orang kok Prof”, aku tertawa sendiri dengan kelucuan nama si bapak.

“ Apa yang kamu tertawakan Brigadir?”, Polwan Provost berwajah sangar di sampingku menegur.

“ Eeeeeh tidak menertawakan apa-apa senior”, senyum yang semula hadir segera kuhapus dari wajah digantikan dengan muka merengut.

Kenapa ya dalam lingkungan kerjaku sebuah senyum itu mahal. Gak yang cowo ataupun cewe semuanya mahal memberikan senyum. Tapi kalo disuruh merengut pada jago-jago. Negur pengendara gak tertib di jalan ; merengut. Ngasih tilang SIM ; merengut. Ngajarin anak sekolah yang kurang disiplin ; merengut. Ngobrol sama temen ; merengut. Trus gimana kalo lagi berhubungan suami- istri ya? apa merengut juga?? pasti gak bisa “ konak” tuh suaminya kalo diperengutin sama mereka yang hobi merengut.

“ He he berhubungan badan merengut ya gak nikmat donk”, aku tertawa sendiri lagi.

“ BRIGADIR SINTA KAMU SENYUM-SENYUM APA??”, Provost sebelah kembali membentakku.

“ Eeeee siap tidak senior”, aku merengut kembali.

Agak kesal mereka berdua sepertinya sehingga mempercepat segala proses pengurusan administrasi.

“ Ayo ikut kami ke selmu!”, si Provost yang masih jengkel mengantarku masuk ke dalam sel tahanan.

Sempit sekali sel tahanan yang kudiami belum lagi sangat sumpek. Tapi masih beruntung ditahan di kantor sendiri, karena ditempatkan sendirian gak gabung sama napi yang lain, trus kebersihan ranjang dan ruangan terjamin. Bau ranjang kecilku sekarang saja hmmmm wangii. selain itu juga tersedia kamar mandi ukuran mini di dalam sel jadi aku gak akan rebutan kamar mandi. Tampaknya instruksi dari kantor yang menyuruhku ditahan disini sangat bijaksana. kalo ditahan satu sel rame-rame udah pasti Sinta tersiksa dan gak bakalan bisa tidur.

“ Nih bajumu, tadi sudah diambilkan oleh juniormu dari rumah dinas”, senior provost menyerahkan satu tas berisi baju. Rupanya baik juga kok dia. Wajah merengut bukanlah indikator baik buruknya seseorang.

“ Istirahatlah yang nyaman Brigadir Sinta, besok kamu akan mulai menjalani pemeriksaan intens”, ujar mereka sebelum meninggalkanku. dari nada suaranya mereka punya rasa sayang yang besar.

“ Siap senior terima kasih banyak”, balasku penuh hormat atas kebaikan mereka.

Bunyi sepatu dinas yang berderap lantang menemani perjalanan mereka berdua meninggalkan ruangan.

“ Hufff akhirnya kesunyian dan kesendirianlah yang akan menemani kamu Sinta”. Lemas, kurebahkan tubuh di ranjang. Sejuta perasaan hadir menghampiri. Kesedihan tetap yang dominan menguasai. Hari ini rasanya begitu panjang. Coba kurefleksikan seluruh peristiwa yang datang bertubi-tubi ; Apel pagi –Febi - Jaka – Polda – interogasi – Jaka – Doni – sex orgy – penembak misterius- dua puluh berandal – Febi – ciuman- penjara.

“ HAAAHHHH KENAPAAAA JADIIII BEGIIIINIIIIIII”, aku berteriak lantang mengusir kegalauan.

“ HOI JANGAN TERIAK-TERIAK KAMU BRIGADIR SINTA”, ups rupanya provost wanita yang tadi masih belum jauh.

“ SSssssiiiaaaap SENIOR MMMAAAFKAN SIINTA”.

Ahhhh gak asik disini. Mau ngapa-ngapain salah. Sedih sudah seharusnya, tapi kalo meluapkan kesedihan gak boleh. mau denger musik gak bisa. Mau smsan atau browsing, handphone sudah disita. Mau makan gak bisa gimana caranya coba dalam sel begini??.

“ Peeettttt”, seluruh lampu lorong tahanan tiba-tiba dipadamkan. Sudah jam sepuluh malam. Seluruh tahanan diwajibkan tidur. Untung di dinding atas sel ada lubang kecil yang tertutup kelambu. Dari sana ada cahaya lampu dari luar yang dapat masuk. Bisa ngeliat minimal dimana tadi naruh tas dan peralatan yang dibawa sama junior.

Kalo kamu gak punya mental yang kuat Sinta bisa gila kamu sebentar lagi. Situasi sekarang mungkin yang disebut kesunyian yang bisa membunuh itu ya. Bingung mau ngapain di kegelapan malam, aku memilih untuk mandi saja. Kulepaskan begitu saja baju dan celana safari di lantai dan ngeloyor bebas ke kamar mandi sempit. Siapa juga yang mau ngintip gelap gulita begini. Sebelumnya handuk, CD dan BH baru yang disiapkan junior kubawa ke kamar mandi.

“ Byuuurr…byuuuurr…byuuurrr”. Brrrrrr dingin banget mandi malam-malam. Berkali-kali sebenarnya Sinta ingin menangis meratapi nasib. Tapi menangis tidak konsisten dengan komitmen awal donk. Entah kenapa Sinta harus komitmen buat gak boleh ngeluarin air mata.

“ Wajar kali kamu udah dianiyaya kayak gini Sin”, kata pikiran.

“ Masalahnya kalo Sinta nangis-nangis lagi kayak dulu di pendidikan bisa kesurupan lagi duhai pikiran”, debatku.

“ Bener juga ya, Selain hobi kesurupan kalo nangis-nangis kamu juga gemar mikir soal kemungkinan bunuh diri!”, pikiran menyahut.

Tuh alasannya kamu bahaya kalo nangis-nangis lagi Sinta. Dulu waktu di asrama, Sinta paling hobi nangis-nangis Bombay kayak anak ABG labil. Dimarahi senior ; nangis, gak bisa ngerjain tugas ; nangis, dikejain penjahat ; nangis. Bayangin aja kalo tiap dihantem masalah nangis kapan kelarnya?????.

“ Ahhhh udah deh mending coba tidur aja buat ngelupain masalahnya”, ujarku sambil ngeloyor menuju ranjang dengan handuk yang masih menempel di tubuh.

Masih mengeringkah badan pake handuk aku berdiri ditengah kegelapan malam dalam sel tahanan. Tidak ada suara peradaban manusia apapun yang bisa menemani. Suara televisi saja sudah lenyap apalagi radio, canda tawa tetangga tinggal kenangan. Sel tahanan betul-betul dibuat untuk membuat gila para penghuninya. Semakin cepat kamu bisa menghilangkan sedih kewarasan dapat dirasakan. Tapi kalo kemu bersedih, kegilaan dan bangsal rumah sakit jiwa bakal tercatat seumur hidup sebagai tempat peristirahatan. Hiiiiii gak mauuu jadi orang gilaaaaa.

Handuk yang membelit tubuh Sinta buang begitu saja untuk menghilangkan pikiran gila. Hmmmm enakan tidur sambil telanjang bulat aja deh biar waras.

Tidur bugil yang paling pas buat dilakuin sekarang. Soalnya bukan hanya gak ada hiburan buat mendinginkan otak, kipas angin aja gak ada. Selain biar otak adem, Sinta memang hobi tidur telanjang, sejak dari rumah maupun di asrama. Wanita kan perlu menjaga sirkulasi darah di payudaranya jadi dianjurkan gak pake BH waktu tidur.

Bertelanjang ria , aku terlentang di ranjang dengan suara jangkrik yang menemani.

“ Hummmm apapun yang terjadi besok, Sinta serahkan padamu Ya Tuhan”. Dengan berdoa aku memejamkan mata dan berusaha tidur, siapa tau semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk, dan esok, ketika terbangun semuanya sudah baik-baik saja seperti sedia kala.

“ Ckleeeekk”, suara jeruji besi dibuka.



Baru sebentar sekali aku tidur. Mata rasanya menuntut untuk kembali terpejam. Suara tadi kudiamkan saja. Aku terlalu lelah , remuk redam, begitu lemas dan agak pening karena waktu tidur yang awut-awutan. Waktu tidur tidak boleh lagi terganggu.

“ Heeeeppp”, mulutku tiba-tiba dibekap oleh seseorang. Tidurku berantakan lagi jadinya. Berusaha kutinju pembekap ini, tapi dia lebih cepat memiting tanganku dengan teknik kuncian terlatih. “ heeeeegggg”, kedua tanganku tak berhenti berontak tapi si penyusup mampu menguncinya dengan kokoh.

“ Sssssttt Sinnta ini akuu, jangan ngelawan”, bisik si penyusup.

Cahaya sel yang remang-remang, membuat mataku harus berkontraksi maksimal untuk melihat siapa gerangan dia.

“ KKoomandan Febi….”, aku sangat terkejut dengan kemunculannya.

“ Kokk bisa masuk sini???”, sambil duduk karena kuncian Febi telah dibuka, kutanyakan pertanyaan yang membuatku penasaran.

“ tep”,jari telunjuknya dirapatkan ke bibirku sebagai sinyal jangan berisik.

“ Ssssst, aku ngikutin kamu sejak dari area pergudangan. Tak kusangka kamu akan ditahan disini. Perkiraanku kamu akan ditahan di lapas wanita, rupanya kantor masih punya belas kasih. Di sini bukan hanya kamu yang jago lompat pagar, aku juga hafal luar kepala setiap sudutnya”, terang Febi. Dia melihatku dengan tatapan yang begitu terpesona dengan tubuhku yang telanjang bulat.

Sadar begitu ceroboh dan gak sopan, aku berusaha meraih selimut untuk menutupi tubuh.

“ klep”, tangan Febi Manahan tanganku. Dilepasnya selimut agar tubuhku tetap telanjang.

” Ayo kita kabur Sinta!”, ajaknya.

“ Kabur kemana Komandan??”.

“ Kemana saja yang yang penting kamu bebas dan tidak diperlakukan kayak binatang”, Febi terlihat gusar.

“ Eeeeee sebenarnya Sinta mau aja kabur Komanndann tapii……”.

“ Tapi apa???”.

“ Tapi Sinta harus mempertanggung jawabkan apa yang difitnahkan oleh siapapun yang memasukkan Sinta kesini, Kalo kabur sekarang, sama artinya Sinta bersalah Komandan”, aku menunduk karena malu telah berani mengeluarkan pendapat.

“ Kamu berani Sinta???”, diangkatnya wajahku.

“ Sinta berani Komandan, menghadapi lusinan laki-laki aja Sinta berani, masak nagadepin penjara “ cemen” kayak gini takut”, tegas aku berujar.

“ Kalo kamu berani, aku ada bersamamu Sinta”, ujar Febi sambil mendekatkan bibirku agar mencium bibirnya.

“ Cupp”, tanpa basa basi dia langsung mencium bibirku. “ Aku akan menjagamu”, bisiknya sebelum kembali mencium dan mulai menindih tubuhku.

Menghadapi Febi yang menciumiku sedang aku dalam posisi terlentang, membuatku pasrah. Aku tak berdaya merasakan kesungguhan dan pengorbanan yang telah diperjuangkannya untuk menyelamatkan seorang anak buahnya.

Cipika-cipiki Febi tidak sanggup lagi kutahan seperti tadi sore. Selain pusing, merasakan perjuangan beratnya untuk masuk ke dalam sel tahanan ditengah keheningan malam, membuatku tak sampai hati untuk melukai perasaannya.

Ciumannya juga menjawab kebutuhanku akan sebuah “ penyaluran” untuk meredakan seluruh masalah yang menimpa. Relaksasi dan refleksi itu yang selalu kucari dalam sebuah ciuman dengan hati. Apakah dengan hati juga Febi mencumbuku sehingga membuat ciumannya terasa nikmat dan melegakan??. Aku tak ambil pusing yang penting aku menjaga perasaannya. Lidah Febi mulai keluar mengundang lidahku untuk keluar bermain. Kali ini kusambut lidah itu dengan bergairah.

Rentetan masalah yang mendera ini terasa begitu berat. Alangkah indah bila ada seseorang yang tulus untuk membantu meringankannya. Pancaran kasih sayang Febi yang begitu besar, kurasakan begitu membantu. Kehadirannya sudah cukup membuat beban yang memberatkan pundak menjadi ringan.

Febi kini mengenakan celana training dan kaos pendek menindih tubuhku yang telah telanjang bulat. Pancaran remang-remang cahaya dari atas lubang sel manambah panas suasana.

“ Tanganmu sakit Sin??”, tanya Febi sehabis melepas ciumannya.

“ Ssedikit Komandan”, ujarku yang diam saja saat tanganku dipijat. Menghantam lebih dari sepuluh orang bukan hanya membuat otot pegal tapi juga nyeri sekali.

“ Sekarang kamu diam saja ya, biar kupijit tanganmu”, ujarnya masih sambil berbisik.

“………”, aku menangguk sebagai jawaban.

“ Hmmm ”, senyum Febi begitu indah terpantul cahaya lampu.

Usia Febi masih muda. Dia belum menikah. wajahnya begitu cantik, putih, dan memiliki sepasang mata sendu yang menambah kecantikannya. Ukuran tubuhnya sama sepertiku, itu kenapa pakaian dalamnya begitu pas kukenakan. Sangat pintar merawat badan dia sebagai wanita. Keharuman tubuhnya selalu membuat tergila-gila rekan-rekan kerja yang pria.

Pijatannya begitu lembut, dan penuh kasih sayang. tangannya yang mungil dengan jari-jari yang lentik memijatku dengan perlahan. Ditelusurinya tanganku dari lengan, sampai telapak tangan. Pijatan Febi membuatku tenang dan memejamkan mata. Melihatku memejamkan mata, Febi mulai berani melebarkan pijatannya hingga kadang-kadang menyentuh payudara dan bagian sensitive tubuhku. Kudiamkan saja semua tindakannya sebagai wujud rasa hormat kepadanya. Melihatku diam saja menerima semua aksinya, Febi semakin berani.

“ aaaahhhhhhhh”, aku membuka mata sambil mendesah saat tangan Febi terang-terangan membelai dua bongkah payudara yang telah bebas tak terhalang apapun. Bibirnya bersamaan turun begitu lembut mencumbu leher, bahu, lengan dan beberapa bagian tubuh yang lain. Sangat lembut rabaan dan ciumannya, berbeda dengan Tanto, Jaka,ataupun Doni yang sangat egois ketika mencium, Febi sangat tau apa yang sedang dilakukan.

Dalam hati sebenarnya, Sinta masih belum lepas dengan apa yang dilakukan Febi. Sebodoh-bodohnya Sinta tau ini aneh, bahkan menjurus kelainan. Kelakuannya membuat hati ini begitu galau. Mau melayani atau menolak??.

“ Kalo tidak mau diperlakukan begini, bilang sekarang Sinta, sebelum dia melangkah semakin jauh!”, pikiranku berpendapat.

“ Iya tindakan Febi pasti bentuk kelainan wahai pikiran. Tapi apa dayaku??? pengorbanannya begitu besar. Belum lagi perhatian dan perlindungannya yang diberikan kepada Sinta tak bakal mungkin dapat dibayar. Bila melayaninya bisa sedikit melunasi hutang budiku padanya, akan Sinta ladeni apapun permainanya”, tekadku sudah bulat untuk membiarkan Febi.

Kebulatan tekadku semakin didorong oleh kesunyian, kesepian dan runtutan masalah yang tidak berkesudahan sejak ditinggal Tantri. Rasanya semua propblema tak akan sanggup lagi kutahan tanpa merasakan rasa kasih sayang yang tulus dari sesama manusia. Saat kasih sayang itu justru murni hadir dari kaumku yang sesama jenis, merangkap komandanku sendiri, tak mampu lagi kutolak ekspresi sayang yang datang.

Kulepas bebanku dengan mengijinkan Febi melakukan apapun yang diinginkan.

Merasakan aku telah lepas dan menikmati permainannya, kedua tangan lentik Febi semakin luwes membelai-belai lembut payudaraku. Dengan telapak tangannya nan mulus, dibawanya tangan itu turun menelusuri perut, pinggang, pusar, sampai menyentuh sebagian Jembut. Dirabanya penuh penghayatan kulit tubuhku dan dijamahnya seperti dia tau pasti, titik-titik mana yang Sinta ingin disentuh. Tekanannya tak tergesa-gesa, namun penuh kepastian dan keyakinan. Keragu-raguanku hilang disapu aura yakin Febi. Bahkan untuk mencapai kenikmatan kita memerlukan keyakinan.

Tangannya sekarang naik memijat tulang bahuku. Dari sana dia beranjak menyentuh leher lalu beringsut kebelakang mengeksplore tengkuk. Rambut pendekku mempermudah akses menuju tengkuk yang ditumbuhi rambut-rambut halus nan sangat sensitive.

“ Hhhuuuuuugggghhhh”, Sinta merinding saat tengkuk tersentuh.


“ Kenapa Sin??”, Febi berbisik nakal.

“ Geli Komandan”.

“ Tahan ya sayang! ”, dia memijat tengkukku dengan pijatan tangan yang begitu piawai. Kedua telapak tangannya membawa tengkukku terangkat sehingga posisi tubuhku jadi begitu sexy ; Tertengadah, tak berdaya dan siap menjemput kenikmatan. Jari tengah Febi mengurut-urut tengkukku yang berbulu halus membuatku demikian geli sekaligus terangsang.

“ aaaaaahhhh KKoommmnaddaannn”, aku mulai menjerit lirih tertahan.

Melihat reaksiku Febi malah mengulum kupingku tanpa melepas pijatannya di tengkuk. Dia mulai membuatku lupa daratan dan melayang. Bibirnya menyedot nyedot kupingku menghadirkan sensasi geli, sedikit nyeri sekaligus enak.

“ Balik badanmu Sinta”, kedua tangannya yang masih berada di tengkuk membalik badanku sehingga tengkurap di ranjang yang berukuran kecil. Sebagai anak buah yang baik aku menuruti perintahnya.

“ hhhoooohhhh”, aku merinding seketika, saat Febi menghembuskan nafasnya di tengkuk yang telah terpampang bebas dihadapannya. Rambutku ditepikannya agar semakin memudahkannya mengeksplore bagian tergeli dari tubuhku.

“ hhhuuuhh huuuhhhh”, aku berusaha bertahan dalam kegelian yang teramat sangat dengan nafas tercekat. Febi tak mau melepas hirupan nafasnya dari daerah belakang leher. Tangan Febi mulai memforsir rangsangan dengan bergerak menyelip masuk untuk meremas payudaraku. Menindih tubuhku dalam posisi tengkurap di kasur, Febi tanpa keraguan menyelipkan tangannya disana dan meremesnya. Putingku yang semula terhimpit kasur diambilnya dan mulai dipelintir-pelintir dengan tangan mungilnya.

“ Ahhhhhh….heeeegggghhhh”, kugigit seprai untuk membungkam rangsangan yang hadir.

“ Kenapa Sinta??”, godanya sambil berbisik dari balik leherku.

“ Geli Komannnndannn uuuuuuuuuuu”, aku makin tak tahan karena tangannya terus bergeriliya memilin putting payudaraku.

“ Geli??? aku ciumin sekarang ya biar tambah geli “, Bukannya menghentikan permainannya Febi malahan mulai mencium dan menjilati tengkukku yang demikian sensitive.

“ aaaaagggghhhh”, aku segera berontak kegelian, kepalaku kugerakkan liar kiri kanan, diiringi badan yang bergetar, seprai kucerabut dari ranjang. Tindihan Febi terlalu sempurna, kedua tangannya yang bersemayam di payudaraku, kini bertindak sebagai pengunci yang paling efektif. Seliar-liarnya gerakanku dia masih mampu menjangkau leherku dan memberikan beragam variasi ciuman dan jilatan yang membuatku semakin gila.

“ Aaaaaaaaaggggghhhh”, bermula dari sensai geli, kini rasa nikmat mulai datang. Rasanya stimulasi di leher belakang mampu memancaing seluruh aliran darah untuk bergerak dan menyebar merata ke seluruh tubuh. Mukaku bersemu merah karena mendekati orgasme. untunglah kamar sel gelap sehingga Febi tidak mampu melihat perubahan rona wajahku.

Meninggalkan tengkuk, ciuman Febi perlahan turun ke area punggung. Dia cumbui perlahan-lahan punggungku yang sensual, dengan kedua tangan yang juga telah beranjak dari payudara, dan ikut membantu membelai wilayah punggung. Bibir Febi terus bergeriliya memberikan ciuman pada garis punggung utama yang memanjang sampai tulang ekor. Ciumannya berhenti pada perbatasan punggung dan pantat. Dijilatinya berlama-lama kawasan itu.

Dari perbatasan pantat Febi bergerak lagi, kali ini pinggangku yang dijilatinya dengan sangat bergairah. Tiap centi pinggang Sinta dilumurinya dengan cairan ludah. Bagai semut yang sedang bergerombol mengangkut makanan menuju sarangnya, jilatan Febi terus naik menuju sisi samping payudaraku. Tanpa malu-malu dia kemudian nyungsep untuk menikmati payudaraku dari samping. Dimiringkan tubuhku sehingga dia bisa mengakses putingku dan mengenyotnya.

“ ahhhhhhhhhhhhhhhhhhh”, aku hampir menjerit lantang, sebelum tangan Febi menyumpal mulutku dengan tangannya. Telunjuknya dimasukkan ke mulutku agar aku mengulumnya. Efektif! asyik mengulum meredakan keinginanku untuk mendesah atau menjerit.

Payudaraku yang satu telah puas disedotnya, kini dia beranjak naik menuju sisi tanganku yang memang telah terangkat tinggi.

“ Kamu wangi sekali Sin”, pujinya sebelum kembali menciumku kali ini di wilayah bahu. Jemarinya kemudian berkelana di sisi bahuku dilanjut ciuman-ciuman kecil disekitarnya.

Permainan Febi betul-betul membuatku relaks sekaligus segar.

“ OOOhhhhhh”, agak kasar kali ini transisi serangannya dari bahu kemudian mengangkangkan kakiku lebar.

bantal yang semula ada di dekat kepalaku diambilnya kemudian dipindahkan untuk menyangga sekitaran panggul. Posisi pantatku jadi sedikit terangkat karena disangga bantal, posisiku tetap tengkurap.

Febi cepat turun ke bawah. Kepalanya langsung menyerbu ke paha bagian belakang. Sekali lagi aku kegelian hebat karena pahaku diserang dengan mendadak.

“ Kiikkk…kiiikkk…kkiiikkkkkk”, aku terpingkal-pingkal tertahan karena menahan geli. Febi tau aku kegelian maka dipindahkan seranganku agar moodku tidak hilang dan langsung mengalihkan jilatannya ke vaginaku.

“ Aaaaaaaahhhhh Ffuuuccckkk”, seketika hilang cekikikanku berganti kenikmatan syahwati lagi. Teringat ucapan kotor waktu di rumah Jaka, aku ingin mengekspresikan kenikmatan ini dengan kata-kata kotor yang menggambarkan betapa mahirnya Febi memperlakukan tubuhku.

Jari lentik Febi mengusap-ngusap daerah klitorisku dari balik bantal. Lidahnya sibuk bermain bergantian merangsang vagina dan lubang anusku yang terhidang dimatanya. Usapan Febi lembut dengan irama yang naik turun. kadang dia cepat, kemudian dilambatkannya hingga perlahan sekali. Tidak dia pedulikan getaran-getaran otot kakiku yang terus gemetar karena terangsang.

Rasanya cairan cinta dalam vaginaku mulai penuh. Sebagian terasa mulai luber dan keluar dari goa kenikmatan. Febi tidak menghentikan sedetikpun jilatannya. Berhadapan dengan cairan cintaku yang mulai keluar dia malah menelannya dengan nyaman sekali. Mungkin rasanya manis seperti madu, sehingga dia mendapat tenaga tambahan untuk semakin intens menjilatiku.

“’ aaaahhh fffuuuccckkk…ggrrrrrrrrr…..ffuuuucckkkk…..grrrrrrr ”. Gigit seprai, mendesah, berusaha menahan desahan dengan menggigit seprai, mendesah lagi, semuanya terus kulakukan untuk menahan agar semua ledakan dalam tubuhku tidak terlalu nyaring terdengar dan menarik perhatian penjaga.

Seprei putih penjara sudah lepas semua dari bednya karena kutarik-tarik histeris. Febi punya stamina yang kuat dalam melakukan oral. Dari tadi dia tak henti menjilati, bahkan sebagai wanita dia hapal benar wilayah mana yang harus dijilati dan dieksploitasi. Dengan feelingnya yang lembut dia rasakan betul kapan daging klitorisku akan keluar karena terangsang. Klitoris adalah harta karun wanita. Sebuah pemicu ledakan yang tinggal ditekan dan meletuplah erupsi dalam kemaluan seorang wanita.

Saat dirasakannya jilatan di anus dan vaginaku telah cukup sehingga daging klitorisku telah keluar dari persembunyiannya, dialihkan jilatannya untuk menyerbu C-spot. Jari tangannya turut beralih menusuk masuk ke dalam vagina.

Menghantam dua arah untuk menyiksaku tidaklah cukup buat Febi. Alih-alih memberikan waktu buatku beradaptasi dengan stimulasinya, tangan Febi yang satunya justru dicelupkan ke lubang anus. Dengan jari telunjuknya dia turut tusuk juga lubang yang menganggur sedari tadi.

“ fffuuuuucccckkk aaaaahhhhhhhhhhhh………..sshhiiitttttt”, aku tak mampu lagi menahan jeritan saat merasakan dua jari Febi masuk sempurna dalam dua lobang bawahku. Jari yang di vagina dan di anus ditekan berkawanan arah sehingga keduanya seolah bertemu dan hanya dibatasi oleh dinding anus. Yang paling membuatku tidak kuat adalah sedotan Febi pada klitoris. Dia cium awalnya, kemudian jilat, lalu dihisap pelan, berangsur kuat, sehingga klitorisku rasanya mau copot saja.

Saat colokan Febi di kedua lubangku mulai dipercepat intensitasnya, dibarengi jilatan lidahnya yang demikian cepat di klitoris, cairan kenikmatanku yang semula berkumpul dirahim serta merta terdesak keluar melintasi saluran vagina kemudian ; “ bbbboooommm”, meledak begitu dahsyat.

“ HHHHHAAAAAAGGGGGGGHHHH………….FFFFFFFFFFUUUUUUCKKKK”, aku tumbang histeris terjungkit-jungkit mendapatkan orgasme. Semua persendian runtuh. Tanganku tanpa sadar menjambak rambut sendiri dan aku pun terungkit-ungkit selama berapa saat, kemudian rebah, terungit lagi, dan rebah lagi. Tingkat voltase setrum yang menyambar tubuhku begitu tinggi sehingga mataku terasa kunang-kunang.

Begitu nikmat orgasme yang kualami, sampai mampu menyapu bersih semua masalah yang ada. Febi terus merangsangku hingga semua kedutan yang timbul dari tubuhku reda.

Febi terus merangkulku sampai beberapa saat lamanya. “ Cuppp, istirahat ya Sinta anak buahku yang cantik! ”, Setelah berhasil menenggalamkanku dalam lautan dosa, Febi mencium keningku dan bersiap meninggalkan ruangan.

“ Itu hadiahku special buat kamu, supaya kamu tidak stress selama berada disini”, ujarnya sambil membelai rambutku dan mulai berdiri.Febi beranjak beringsut menjauh.

Meyadari dia hendak pergi begitu saja, aku segera membalik badan dan merangkulnya dari belakang.

“ Mau kemana Komandan??”, tanyaku penuh godaan.

“ lhoo?? mau keluar Sin, kalo kelamaan disini bisa-bisa kita berdua ketauan”, jawabnya mulai tedengar panik.

“ Masak hanya Sinta doank yang seger Komandannya enggak??”, kenakalanku kumat. “ Sinta juga bisa kok buat Komandan seger”, lanjutku.

Yah walaupun canggung toh minimal kamu harus ngebales kebaikan Febi selama ini Sinta.

“ Kasih Sinta lima menit aja Komandan! Sinta janji akan buat Komandan juga fresh he he he”, ujarku sambil mengangkat kaos Febi dan berusaha melepaskannya dari belakang.

“ Angkat tanganmu Komandan!”, perintahku. kapan lagi coba bisa memerintah seorang Komandan.

Febi menurut diangkatnya kedua tanganya ke atas sehingga memudahkanku menelanjanginya. Cepat kupreteli kaos mininya berikut daleman dan celananya agar waktu lima menit yang kumiliki optimal.

Kedua tanganku berhasil. Dalam waktu singkat Febi kini telah bugil. Tubuhnya bagus sekali. Begitu terawat. Bahkan tidak ada satu helai rambutpun di badannya. Berbeda denganku yang memelihara jembut, vagina Febi begitu kinclong tanpa bulu seperti wanita ABG saja.

Gemas dengan bentuk tubuhnya yang indah kupepet dia ke tembok.

“ Ooooohhh Sinta”, Febi mendesah ketika rambut pendeknya kujambak dari belakang. Posisinya kini terduduk diranjang dengan tumpuan kedua lutut dan tubuh terpepet tembok. Kubalas tunai perlakuannya yang tadi membuatku terjepit dalam posisi tengkurap. Kini akan kubuat dia semakin terpojok di tembok, tak bisa kemana-mana dan mengalami orgasme hebat.

“ Ummmmmm”, tanpa melepaskan jambakanku kucumbu dia dari belakang. Dalam posisi tertengadah ke atas, kucumbu Febi dari atas tubuhnya. Mulutku kami saling betemu. Rupanya tenagaku jauh lebih kuat dari Febi. Tenaga petinjuku betul-betul membuat Febi tak sanggup mengimbanginya.

“ Aaaaahaaaaaa”, tangannya berusaha menggapai kebelakang mencari rambutku agar bisa lepas. Segera kubuang tangan itu dengan menangkisnya dan memelintirnya seperti tahanan dengan satu tangan.

Ditanganku Febi tahanan sekarang. “ Aaaaaahh ammpuuunnnn”, dia semakin histeris saat kedua kakinya kukangkanghkan paksa dan satu tanganku yuang semula mengunci tangannya bergerak masuk ke dalam liang vagina.

Kucari-cari permukaannya dan kukucek cepat dengan tetap menjambak rambut. Kucolok lubang vaginanya dengan jari tengahku dan kucelupkan jari disana. “ Aaaaaaaaahhhh”, Febi menjerit lebih keras dariku. Jambakanku dirambutnya kulepas dan kusumpal mulutnya dengan tanganku. Tetap kuangkat kepalanya. Febi lebih sexy kalo sedang tertengadah begini.

Colokanku di vaginanya kupercepat dengan arah yang kupelajari dari si Doni di rumah Jaka.

“ mmmm…mmmm…mmmmm”, menggeleng-geleng Febi begitu lupa akan eksistensinya. Ada di alam yang berbeda dia sekarang. Tak ku lepas tanganku terus kukocok dia hingga kurasakan ada kedutan hebat di vaginanya. Febi tergetar hebat dengan mata terpejam menahan saripati tubuhnya akan menyembur.

“ Keluarin semua ya Komandan biar ringan“, berbisi Sinta lembut ditelinganya.

“ UUuuuuuuggghh…..nmmmmmmm….AAAAagaggghhhh”, nafas yang tersengal menjadi penanda ledakan kenikmatan yang begitu eksotis. Febi takluk dengan jari tanganku. Berbeda dengan tayangan film porno yang penuh dengan drama dan kepalsuan. Orgasme Febi begitu riil, natural, dan berasal dari dalam hati. Sebongkah daging yang tersembunyi di dalam dada itu memencarkan cinta yang tulus, kemudian dengan seni seksualitas yang sederhana, ekspresi cinta itu terpancar keluar menjadi alunan rintihan, getaran, dan ekslosiveme tubuh yang tak henti merintih.

“ Ooohhhh….ooohhh….aaaaaa”, seperti orang gila dengan mata tak memeliki fokus, Febi menggapai-gapai dinding mencari pijakan untuk tetap menjejakkan kakinya di dunia nyata. Kubantu dia dengan menjambak rambutnya lagi, dan memeluknya erat. Dijambak meskipun sedikit sakit, Febi lebih tenang. Kembali kudangakkan kepalanya untuk melihat ekspresi wajahnya.

“ heeeemmmmmmm”, digigitnya bibir atasnya. Dia semakin sexy saja dengan warna pipi yang bersemu merah. jadi begini raut wajah seorang wanita yang dihantam orgasme yang sejati. Begitu lepas dan sexy. Rangkaian orgasme pertamanya akhirnya berlalu.

Beberapa detik setelah selesai badai pertama, tanpa membuang waktu segera kutelantangkan dia di ranjang. Ingin kuberikan service yang optimal.

“ Sssiiinnttaaa kasiih akku kesemmpatann isstti…..ahhhhhhh”, omongannya terhenti, payudaranya telah kuhisap dalam dalam. Dimulai dari yang kanan kemudian beralih ke kiri.

Tangannya yang berusaha menahan , kutelikung dan kuangkat ke atas. Payudaranya jadi makin menyembul karena tangannya kuangkat. Payudara Febi begitu kencang dan montok. Agak mungil tapi kencang dengan sepasang putting berwarna merah menggemaskan.

Kalo payudara kanan sedang kuhisap, maka pentil kirinya kutowel-towe hingga dia histeris. Hisapanku pada payudara membuat Febi makin gila dan siap menjerit kapan saja. Sebelum kami terdengat oleh penjaga, kulepas dulu cumbuanku kemudian kuarahkan wajahku tepat di depan wajahnya.

“ huhh…huhhh…huuuhhh”, Febi terengah-engah.

Kami saling bertatapan. Wajah Febi yang hingar bingar dalam dentuman kenikmatan lucu juga, membuatku ingin tertawa melihatnya. jadi begini ya wajahku sendiri kalo sedang dalam birahi. Merah padam, nafas tak teratur, dan hilang akal. Buatku meskipun aktifitas ini menyenangkan, Aku tetap sangat sayang pada hubungan ranjang dengan laki-laki. Ini hanyalah sebuah refreshing yang menenangkan. Gila tapi asyik.

Tangan Febi yang masih terangkat sedikit tertekuk karena dia terus berontak. Kutuju lengannya yang tertekuk. Febi bingung dengan apa yang hendak kulakukan.

“ Ciiiuuuhh”, sedikit kuludahi lengannya. Dalam temaram sinar cahaya terlihat air ludahku turun perlahan menuju ketiaknya. kami berdua saling bertatapan melihat air itu meluncur perlahan turun.

“ Ciuuhhh”, kuludahi lagi ringan semakin membuat Febi bertanya-tanya apa yang hendak kulakukan selanjutnya.

Ketika air ludah kedua hinggap turun di ketiaknya, segera kulumat ketiak nan bersih itu dengan lidah yang lincah.

“ HHooooohhh aaaaggghhhhh Siiinnt….’, segera kubungkam mulut Febi. Mungkin dijilati ketiak merupakan pengalaman pertama buatnya, dia tampak kegelian sekaligus terangsang hebat. Ini pembalasan buatmu Komandan, yang menyerangku tadi di tengkuk.

“ Aaaaaaaammmmmmmm”, dia semakin berontak saat satu tanganku ikut masuk lagi ke vaginanya untuk memberi rangsangan selanjutnya. Rasa geli dan nikmat yang tadi dia berikan akan kubalas tunai sekarang.

“ ssslllrrg..slllrrgg…sllllrrrgg”, jilatanku kupercepat sedang tanganku yang mengocok vaginanya juga semakin dahsyat. tangan Febi berusaha berontak kupegangi tangan itu. Bila pun dia menjerit dan kami ketahuan biarin saja deh udah nanggung.

“ heeegghh heggghh heggghhh”, Febi melenting lagi untuk kedua kalinya. Tanganku merasakan limpahan cairan hadir di liang vaginanya. Kukocok terus hingga dia melunjak-lunjak lebih histeris dan tak tertahan.

Sangat indah adegan orgasme Febi diiringi lentingan hebat seluruh tubuhnya berkali-kali dan deru nafas yang terputus-putus berusaha menahan semua desakan syahwatnya sendiri.

“ hhhuuuuhhh…..huuuhhhh…hhuuuhhhh”, saat semua akhirnya reda kupeluk dia dari samping. Dia masih merem melek. kami berdua sama-sama telanjang.

“ Sintaaa enakk banget. awas kamu ya udah bikin aku bisa jadi histeris begini!”.

“ he he pembalasan Komandan”, ujarku kepadanya.

“ dasar”, disentuhnya hidungku mesra penuh dengan senyuman bahagia. Kami masih sempat saling berciuman dan berpelukan beberapa saat, sebelum akhirnya Febi harus segara bangkit dan mengenakan pakainnya kembali. Dari kejauhan suara dari penjaga terdengar mulai mendekat. Kami khawatir si penjaga akan menyidak ruangan ini karena terdengarnya bunyi-bunyian tak jelas.

Selesai berpakaian Febi melirikku masih dengna senyum ceria

“ Besok malam aku datang lagi ya Sin. Besok kamu harus memberikan kenikmatan yang sejati kepadaku!”, dia mengerlingkan matanya dan tersenyum begitu indah. Febi sering tersenyum tapi entah kenapa senyumnya yang sekarang begitu cantik dan mempesona.

“ Siap Komandan siapa takut”, tantangku.

Febi segera mengendap-ngendap keluar dengan gerakan begitu taktis meninggalkanku seorang diri lagi. Hufff rasanya cukup plong setelah dibantu febi mengeluarkan cairan syahwat dari dalam tubuh. Badan terasa begitu relaks dan memudahkanku untuk tidur karena aktifitas tadi mengeluarkan hormon pelepas stress. Kali ini kutarik selimut untuk menutupi ketelanjanganku. Dengan kondisi kepala yang kosong dan begitu ringan aku mulai tertidur. 5. 2. I STARTED A JOKE

“ Bangun Brigadir Sinta kamu mau dipindahkan ke lapas wanita”, suara Polwan senior hobi cemberut membuatku tersadar.

“ Uummmm”, berusaha keras membuka mata aku menatapnya. Bertemu muka dengan wajahnya seketika melenyapkan pusing dan galau.

“ CEPAT PAKAI BAJU!! BISA-BISANYA KAMU TIDUR TELANJANG DI TEMPAT SEPERTI INI”, melihatku tidur telanjang dia emosi dan mengeluarkan sumpah serapah.

“ Siiiiaaaap Komandan”, grogi aku berlari telanjang ke kamar mandi. Siapa coba yang gak grogi, baru bangun sudah disembur oleh kata-kata mutiara.

Kenapa sih aku harus dipindahkan?? udah enak disini selnya sepi dan bersih, sekarang dipindah lagi. Yah namanya aja nasib jadi tahanan. Kalo gak mau susah ya jangan jadi napi. Kebebasan habis dipasung oleh jeruji sel .

“ TIGA MENIT SELESAI SINTA!!!”, teriak sang senior dari balik kamar mandi.

“ SSSSSIIIIAAPP SEENNIIOORR”, tergopoh-gopoh aku tak sempat lagi berdebat dengan pikiranku, menyelesaiakn mandi secepatnya, dan berlari dengan sikap sempurna berdiri dihadapannya.

“ Brigadir Sinta siap berangkat senior”, ujarku dengan penuh hormat.

“ Berangkat??? kemana??”, tanyanya dengan nada yang sudah turun.

“ Keee lapass wanita senior??”.

“ IYA KITA MAU KE LAPAS, TAPI MASAK KAMU HANYA PAKE BH DOANK KESANANYA SINTAAA??????”, teriaknya.

Terkejut aku baru menyadari saking buru-burunya tadi aku hanya mengenakan BH sebagai atasan saja dan belum mengenakan pakaian apapun.

“ SSSiiiiiaaapp mmmaaaf seeeniiiorrrr”, aku balik kanan menahan malu berusaha mencari baju dan celana.

“ Dasar! ayo cepat aku kasih kamu waktu 1 menit, CEPAT!!!”.

“ SSsiiaaaap seenioorr”.

Dibawah satu menit aku sudah siap mengenakan pakaian yang rapi. Tak lama dengan pengawalan ketat, aku kembali digelandang ke mobil tahanan. Mereka sengaja memindahkanku pagi buta untuk menghindari kejaran wartawan. Bagaimanapun sekarang berita tentangku adalah isu nasional.

Kata para senior tempatku ditahan berikutnya adalah lapas khusus wanita. Saat kutanyakan kenapa tiba-tiba berubah? mereka bungkam. Kemudian kutanyakan pula kapan interogasi akan dimulai? jawabannya bukan hari ini.

“Kenapa bukan hari ini senior??, tanyaku penasaran. “ Banyak nanya kamu Brigadir! udah diam saja yang penting kamu ikut”. Itu jawaban mereka. Kata anak muda jaman sekarang jawaban itu anti demokrasi. Melanggar HAM, dan membunuh kebebasan berpendapat.

“ Sok tau kamu Sinta ngomong soal demokrasi lagi kamu sekarang!”, pikiran kembali datang.
“ Yah mau gak mau pikiran, kita kan hidup di jaman demokrasi sekarang. Setiap orang ngomongin soal itu. Jawabanya macam-macam, sampai gak ada yang bisa Sinta mengerti. Trus buat prosesormu yang lamban, apa itu demokrasi?. Jawabannya gampang perilaku Febi semalam itu demokrasi”.

“ Apa maksudmu dengan Febi??”, pikiran bertanya.

“ Ialah demokrasi buat Sinta kan saling memberi dan menerima. Febi kasih, Sinta beri tuntas perkara itu namanya demokrasi. Kalo senior disamping, ditanya gak jawab, tapi kalo dia tanya harus dijawab, itu gak tuntas namanya, apalagi demokrasi. Gimana jawabanku pikiran?? mantab toh”.

“………………….”, pikiran diam saja.

“ ye ye yeee akhirnya Sinta menang lawan pikiran”, kukepalkan tanganku sebagai ekspresi kemenangan.

“ NGAPAIN LAGI KAMU SINTA???”, Polwan senior menghardik.

“ SSiaaap tiiidak ngapa-ngapain senior”, langsung aku nyungsep malu dengan pandangan tertuduk.

Perjalanan ini memakan waktu sebentar. Letak lapas wanita tak jauh dari tahanan Polres tempatku ditahan sebelumnya. Melihat dari luarnya tempat ini kayak kandang ayam. Semoga dugaanku salah, kalo di dalam manusia ditumpuk-tumpuk kayak ayam dalam satu kandang. Sayangnya ternyata dugaanku benar. Casing luar mencerminkan apa yang ada di dalam.

Kesan sumpek, bau, sangat kotor, adalah tiga kesan pertama yang kurasakan ketika menginjakkan kaki untuk kali pertama di dalam lapas. Beberapa sel yang kulintasi menunjukkan betapa kemanusiaan, untuk beberapa aspeknya, telah menghilang di balik jeruji besi.

Satu sel berukuran tidak terlalu besar dihuni beberapa wanita dengan tatapan hampa. Fasilitas?? lebih baik jangan ditanyakan!. Lapas ini perlu pemberitaan media tampaknya sebagai syok terapi. andai saja wartawan masuk ke sini dan mengadakan reportase, bisa jadi lapas ini berubah lebih baik dan memanusiakan para tahanan.

Tatapan para penghuni lapas di beberapa sel juga sangat horror. Melihat seorang wanita berambut pendek dengan status seorang Polwan memasuki sarang mereka, membuat sebagian diantara mereka menebarkan aura permusuhan. Tatapan penuh intimidasi mulai bertebaran di seantero ruangan.

Menyadari akan segera menjadi daging segar yang akan dilempar ke sarang harimau, aku terus berdoa tidak henti memasrahkan hidup mati kepada Tuhan. Keberadaan kedua seniorku turut membantu meredakan ketegangan yang berkecamuk di dada. Sedikit beruntung mereka tidak memasukanku ke sel yang penuh wanita bertatapan setan. Entah sengaja atau tidak mereka memilihkan sel dengan para penghuni yang memiliki tatapan teduh dan tidak ingin menyakiti. Mereka tetap sangar tapi relative lebih tenang.

“ Kamu di sel ini saja dulu gabung dengan sepuluh orang tahanan!”, kata si Provost pencemberut yang kuketahui bernama Nila.

“ Siap”, kali ini Sinta gak banyak protes. Gimana mau protes masuk sel lain bisa jadi bubur nantinya.

“ Kesini dulu Brigadir!” Provost satunya yang bernama Leli menarikku agak menjauh dari penglihatan para napi.

“ Sinta kamu sabar dulu di dalam sini….”, agak menarik nafas Polwan Leli meneruskan bicara, “ Maafkan kami sebelumnya Sinta, kami Cuma menjalankan tugas”, akhirnya setelah dua hari bertindak penuh rengutan sekarang mereka mencair.

“ Siap senior, Sinta sangat paham”, jawabku.

“ Ssst diam-diam saja, semalam seharusnya kamu sudah masuk di lapas ini. Kami beserta para Polwan seniormu yang lain berusaha sekuat tenaga agar kamu bisa tidur nyenyak walaupun hanya semalam”, Polwan Nila ikut berbicara.

“ Pandangan napi disini pada Polwan sinis Sinta”, sekarang Bu Leli yang bicara. “ Mereka sangat sakit hati telah dimasukkan ke dalam penjara. Melihatmu sebagai perwakilan Polisi berada disini, membuat mereka tidak segan-segan membunuhmu”.

“ Haaahh….terrrus bagaiiimana senioorr??”, gentar juga aku jadinya.

“ Tenanglah dari semalam kami tidak tidur untuk memilih teman selmu yang kami yakini tidak akan menyakitimu”, Provost Nila menepuk bahuku menentramkan.

“ Iya Sin, mereka kami telah seleksi semalam. Diantara para napi lain merekalah yang paling baik. Tapi kamu jangan lengah. Sekutumu hanya ada mereka bersepuluh.Jangan kamu percaya sama napi yang lain dari ruangan manapun. Mereka bisa saja punya niat buruk untuk menghabisimu”, Bu Leli juga menentramkanku.

“ Sudah waktunya ayok kita masuk Sinta, jangan khawatir kami akan selalu mengawasimu”, mereka berdua bicara bersamaan.

Akhirnya masuklah aku ke dalam sel tahanan untuk pertama kali seumur hidupku.

Ketika kami masuk para tahanan berbaris rapi dan sopan. Ketika Polwan Nila hendak bicara memberi arahan, mereka mau mendengar dengan tenang.

“ KALIAN JAGA BAIK-BAIK SAHABAT KAMI SINTA! KALO KALIAN MENYENTUH SATU SENTI SAJA DARI TUBUHNYA, KAMI AKAN BALAS DENGAN PEMBALASAN YANG LEBIH BURUK TERHADAP KALIAN ”, Bu Nila memberikan doktrin.

“ Iya bu ”, serempak jawab mereka. Entah efektif atau tidak doktrinisasi mereka, tapi sikap para napi membuatku tentram.

“ Kami tinggal ya Sinta! jaga dirimu baik-baik”, Provost Bu Leli tersenyum indah. Dunia yang kelam tiba-tiba jadi bercahaya ketika melihat senyum beliau.

“ Sssiiaaap ttterima kasssih sennniooor”, gagapku saja sampai kumat gara-gara melihat senyum mereka berdua.

Tugas mereka sudah dilaksanakan dengan begitu baik. Benar mereka bertugas mengantarku masuk penjara. tapi dilakukan dengan sangat manusiawi sekali. Ternyata dari semalam sel inilah tempatku seharusnya tinggal. Bagaimana perjuangan mereka melindungiku walau hanya semalam dengan menempatkanku di sel pribadi sangat mengharukan.

Kelak kalo kamu bebas Sinta harus banyak berterima kasih pada mereka.

Berlalunya mereka dari pandangan menyadarkanku untuk segera berbaur. Ada 10 orang dengan 20 bola mata yang menatapku penasaran. Harus segera kuperkenalkan diriku pada mereka agar semuanya cair dan akrab.

“ Pagi saya Sinta, teman-teman siapa namanya??”, inisiatif aku ingin menyalami mereka satu persatu.

Wajah mereka wanita tapi beringas. Senior-seniorku di pendidikan saja tak ada yang seseram meraka wujudnya.

“ Saya Mun Bu Sinta”, wanita yang berwujud paling beringas berjalan mendekatiku. Tingginya jauh diatasku. Dia dulunya mungkin pemain basket wanita. Derap langkahnya memacu jantungku berdetak kencang karena agak takut melihatnya. Bisa-bisa aku langsung dihajar sebagai perkenalan.

“ Saya Sinta”, polos saja kujulurkan tanganku untuk menjabatnya. Seumur hidup Sinta tidak pernah betul-betul takut hanya agak. jadi kujabat dia dengan yakin.

“ Mun”, suaranya berat juga dan jabatan tangannya begitu keras. Tangan si Mun pasti sering dipakainya bekerja keras sehingga kasar semua permukaannya. Baru semalam merasakan tangan Febi yang begitu lembut, sekarang ketemu wanita tangannya gak ada lembut-lembutnya sama sekali.

Jabat tangan intimidasi dari Mun, kuhadapi tenang saja. Sekeras apapun remasannya di tanganku tidak bisa membuatku meringis. gimana mau membuatku sakit sedang tanganku masih baal hasil menonjok para begundal.

“ Hemmmm”, aku tersenyum penuh percaya diri.

Melihatku begitu tenang, Mun jadi bergetar sendiri dan memperlemah cengkraman tangannya.

“ Cupp”, yang membuatku terkejut kemudian adalah ketika dia mencium tanganku setelah tubuhnya gemataran melihat kharismaku.


“ EEehhhh Bu Mun gak usah pake cium tangan segala, Sinta jadi gak enak”, segera kucabut tangaku saking rikuhnya.

Melihat Mun bergetar dan mencium tanganku. Sembilan orang penghuni sel yang lain ikut maju bersamaan ingin berjabat tangan sebagai wujud rasa hormat. Benar dugaanku Mun adalah jeger dari sel yang kuhuni.

Tersudut di tembok aku akhirnya harus mau melayani jabat tangan mereka satu persatu yang dilakukan sambil mencium tangan.

“ Saya Jeny Bu. Saya Lidya. Kalo nama saya Anita,….”, kata mereka memperkenalkan diri satu persatu.

Tentu aku jadi heran sendiri kenapa mereka tiba-tiba bersikap begitu hormat dan pake cium tangan segala, maka kutanyakan pada pimpinan mereka si Mun.

“ Ibu Mun kok pake nyium tangan segala??”.

“ Mun sudah hidup lama di dunia Bu Sinta. Sudah banyak makan asam garam. Orang lain baru kudatangi pasti ketakutan setangah mati. Ibu beda, bukan hanya tidak takut, tapi Ibu menunjukkan kekuatan hati dengan tersenyum menyambut sebuah ancaman. Ibu wanita kuat. Layak dihormati. Berita di tv itu benar”.

“ Berita di teve apa Bu Mun??”.

“ Kami semua lihat di teve aksi Ibu Sinta sebelum ditangkap yang diberitakan menghajar tiga puluh orang laki-laki sekaligus. Semula kami tidak percaya. tapi melihat dengan mata kepala sendiri, Mun jadi yakin. Maafkan MUn telah berprasangka selama ini terhadap Kepolisian Bu SInta ”.

“ Berprasangka terhadap Kepolisian??”.

“ Ya mulanya kami pikir Polisi baik itu sudah tidak ada. Tapi melihat sosok Bu Sinta, kami tau prasangka itu salah. rupanya masih ada seorang wanita tangguh di Kepolisian yang layak untuk kami hormati”, kata Bu Mun dengan tegas.

“ Tttunggu dulu kalo tiga puluh orang itu lebay. Ppaaadahall gak sebanyak itu yang Sinta hajar Bu ”, usahaku untuk meluruskan berita sekaligus mengalihkan pembicaraan. Setiap saat kalo ada pujian berlebihan dialamatkan kepada SInta, itu harus segera dialihkan. Karena yakinlah itu dusta.

“ Gak masalah berapa banyak yang dipukul. Terpenting Ibu berani untuk menghadapi kesewenang-wenangan kaum laki-laki”, katanya.

“ Iya betulll setujuuuuu. HIDUP BU SIIINTAAAA”, ternyata Sembilan orang lainnya menyimak dan mengaminkan perkatannya bersamaan.

“ Aduuh kenapa jadi hidup. Sinta biasa aja Ibu-Ibu. Hanya Polwan yang mengabdi pada tugas. Itu aja gak lebih”, aku berusaha mencegah mereka mengagung-agungkan aksi konyol kemarin.

“ Mari duduk dulu Bu Sinta, kami hanya punya karpet sederhana ini disini”, ujar Bu Mun mengajakku istirahat. Keakraban sudah terjalin berkat sebuah jabat tangan.

Menuruti kemauannya aku ikut duduk di hambal ruangan.

Sepanjang hari itu mereka memperlakukanku begitu berlebihan dengan memenuhi sebagian besar kebutuhan Sinta. Mau minum diambilkan. Ingin makan disediakan. Di penjara Sinta malah dilayani oleh teman-teman. Mendengar dari cerita mereka, benar kata dua Polwan yang bertugas mengatarku masuk tahanan. Dalam lapas para tahanan terbagi. Khususnya dalam sikap mereka terhadap aparat yang menjadi napi. ada yang pro juga kontra. Ibu Mun bercerita, bahwa di blok sebelah sangat membenci aparat. Beliau memintaku agar selalu wapada dan selalu berada dalam lingkaran pertemanan. jangan melangkah sendirian. Yang membuatku salut Beliau berani menjamin, bahwa selama sosoknya masih ada, para tahanan lain pasti tidak berani macam-macam. Alangkah baiknya wanita yang dari luarnya terkesan beringas tapi hatinya romantis.

Siangnya untuk mengisi waktu mereka duduk melingkar. Aku duduk di tengah mereka. Sudah jadi tradisi setiap anggota akan bercerita apa saja untuk menghibur dan menyemangati rekannya. Cerita apa aja boleh; komedi, roman, sampai cerita jorok.

“ Bu Sinta karena merupakan member baru kelompok, kita berikan kesempatan pertama. Silakan Bu Sinta untuk menuturkan kisahnya. kalo bisa yang banyak ya Bu biar kami terhibur”, Bu Mun sebagai pimpinan rombongan memberiku kesempatan. Wah jadi juru bicara sekarang kamu Sinta.

“ Eeee Sinta siap cerita, tapi sebelumnya sebagai bahan cerita, Sinta mau tanya dulu; ggimana kehidupan ibu-ibu di dalam tahanan??, apa yang buat ibu-ibu masuk ke sini??”, berusaha kulempar pertanyaan kepada mereka untuk menjadi bahan masukan untuk meramu cerita.

Mereka menjawab dengan lancar. tak ada lagi sekat diantara kami. Dari jawaban yang kudengar cukup beragam, ada yang penjahat kambuhan, hobi nyopet, pelacur yang tertangkap, KDRT tapi si cewe yang menganiyaya suaminya, ada juga yang kasusnya berat karena membunuh.

“ Saya dihukum tiga puluh tahun Bu Sinta, karena menghilangkan nyawa”, kata ibu yang bernama Jeny.

“ Ibu bunuh siapa?”, tanyaku.

“ Mantan suami saya sendiri Bu”.

“ Kenapa bisa??”.

“ Iya bisa, kerjaan almarhum itu judi, mabok, maen perempuan, suatu saat dia datang ke rumah sambil mabok dan mukulin saya beserta buah hati kami. Saking maboknya dia tidur habis menganiyaya kami dengan buas, waktu dia tidur itu, saya ambil pisau dan menikamnya berkali-kali…”.

“ Eeehh iya cukup-cukup”, merinding kami semua mendengar ceritanya jadi lebih baik untuk menghentikan saja cerita Bu Jeny. “ trus ibu sudah berapa tahun disini???”, tanyaku berusaha mengalihkan topik.

“ Sudah empat tahun Bu, tapi buat saya hidup sudah berakhir…”, Jeny sangat sedih terlihat dari raut wajahnya.

“ Tep”, Ibu Mun menenangkan dengan merangkulnya.

“ Bu Sinta banyak dari kami disini sudah menganggap hidup kami sudah tamat. Ada diantara kami yang bisa keluar sebentar lagi seperti ibu Bety dan ibu Nuri, akan tetapi tanggapan dunia luar tetaplah sinis memandang setiap kami yang bebas. Padahal kami masih ingin bertobat dan menjadi anggota masyarakat yang baik. tapi buat masyarakat sekali berbuat salah kami tetap salah. Sekali menjadi penjahat, kami selamanya di cap penjahat….”, ibu Mun jadi tampak terharu.


“ Apalagi untuk teman kita, Ibu Jeny yang dihukum berat, hukuman dari masyarakat sangatlah keji. Yah kalo mau diibaratkan kami ini udah jadi debu semua Bu Sinta. Debu yang tak berarti. Ada dipinggirkan, tidak ada disyukuri karena kami dianggap hanya bisa bikin kotor”.

“ Debu Bu Mun???”, tanyaku.

“ Iya debu yang tak berarti”, Bu Mun menyeka matanya.

Aku termenung mendengar cerita mereka yang begitu sedih. “ Tapi debu jika dibersihkan bisa sangat berguna Ibu-Ibu”, ujarku menghibur dan membangkitkan semangat. Bahan untuk bercerita sudah ketemu.

“ Berguna bagaimana Bu Sinta???”, mereka tampak penasaran.

“ Betul bahwa debu selalu disapu kesana kemari. Namun satu butir debu yang mampu bersabar dalam menghadapi setiap sapuan itu akan menjadi begitu berarti, saat manusia yang biasa menyapunya mengalami kesulitan air”.

“ Kesulitan air???”.

“ Betul Ibu-ibu, si debu makhluk terbuang, akan digunakan manusia untuk mensucikan dirinya. Bukan main-main mereka mensucikan diri untuk bersiap menghadap Sang Pencipta. Debu yang biasa dibuang, ternyata bisa menjadi begitu tinggi posisinya. Yang lebih luar biasa, debu itu setiap hari dilecehkan, namun ketika digunakan kembali oleh manusia, dia tidak pernah mengeluh, lagi ihlas mengorbankan dirinya untuk kepentingan orang banyak”.


Dari tatapan matanya mereka tampak terkesima mendengar cerita yang Sinta sajikan.

“ Gimana caranya Bu, debu bisa jadi begitu berarti??”, Ibu Jeny sebagai pesakitan dengan hukuman terberat tampak paling bersemangat.

“ Ada tiga cara yang akan Sinta rangkai dalam tiga buah cerita pendek. Ibu-ibu mau dengar??”, tanyaku dengan nada bicara seorang guru taman kanak-kanak.

“ Mauuuuuuu”, mereka serempak menyahut.

“ Baiklah dengarkan baik-baik ya”. Tanpa disuruh sebenarnya perhatian mereka telah terfokus untuk mendengar.



“ Begini ceritanya ; “, aku berdiri di tengah mereka persis seperti kontestan stan up comedyan yang hendak menghibur para penonton. Sejak kapan aku ahli bercerita ?? hmm rasanya sejak dari pendidikan Kepolisian. Sebagai salah satu bentuk hukuman, dahulu seorang siswa yang merupakan biang kerok akan diminta untuk berdiri dihadapan teman-temannya yang lain untuk melawak atau menceritakan sebuah kisah yang menghibur. Nah karena Sinta salah satu yang paling payah di pendidikan, hukuman itu berkali-kali menimpa dan menjadi sebuah kebiasaan buatku untuk menuturkan sebuah kisah.

Kisah pertama berjudul, DEBU TIDAK PERNAH PUNYA PRASANGKA ;

Alkisah sebuah debu memiliki tempat tinggal di dalam rumput stadion sepak bola terkenal. Selama bertahun-tahun dia tinggal disana menjadi saksi hidup pertandingan-pertandingan besar yang berlangsung di Negara eropa. Semua pemain terbaik di dunia pernah bermain pada stadion terkenal tempat debu tinggal. Mereka juga tidak ada yang absen untuk menginjak-injak dan menendangnya tiada henti selama Sembilan puluh menit pertandingan berlangsung.

Karena biasa direndahkan, si debu sudah maklum dengan kehadiran mereka dan segala tingkah lakunya. Selama pertandingan tidak ada yang menoleh pada si debu. Yang dikenal dunia adalan nama pemain atau pelatih dari klub yang kesebelasannya menang. Paling hanya satu kali si debu ikut tersorot. Yaitu ketika rumput stadion dikritik olah seorang pelatih yang kesebelasannya kalah. alasan tekstur tanah yang bergelomang menjadi kambing hitam.

Bayangkan ibu-ibu! ribuan pertandingan berjalan lancar di stadion dan si debu tak pernah dipuji. Namun ketika sekali saja tanahnya bergelombang, dia dicaci habis-habisan.

Lantas bagaimana sikap si debu yang hatinya baik tersebut?? apakah dia ngambek?? apakah dia mengeluh?? atau dia ingin menggugat setiap pemain bola yang pernah menginjakan kaki di tubuhnya sebagai biang kerok??. Tidak ibu-ibu, si debu menjauhi prasangka. Setiap kali dia ditendang, selalu dia bangkit lagi untuk memberikan kontur tanah terbaik pada si penendang, agar dia bisa mencetak gol.

Berulang kali dia dihujat oleh pelatih tukang kritik, dan hanya dijawabnya sambil tersenyum dengan memberikan bagian terbaik dari dirinya kepada kesebelasan si pelatih agar tim yang diasuhnya bisa menang. Seberapa pun buruk dunia memperlakukan dirinya, tidak pernah sedetik pun dia berprasangka buruk sangka terhadap orang yang berbuat jahat.

Maka cara pertama untuk menjadi debu yang bararti adalah ; jauhi sebagian besar prasangka.

“ Ibu-bu masih mau mendengar cerita kedua???”, tanyaku.

“ Maauauuu”.

Kisah kedua berjudul ; DEBU SELALU YAKIN.

Tersebutlah sebuah wilayah di Negara antah berantah yang tak lepas dari peperangan dan pertumpahan darah. Setiap detik ada orang yang mati dengan darah tercecer di tanah. Dalam permukaan tanah sebutir debu tinggal dan merasakan anyir darah dalam setiap detik kehidupan.

Menghadapi keadaan ini semua orang menjadi ragu-ragu. Mereka mulai meragukan bisa hidup tidak esok hari, mereka ragu dengan masa depan anak mereka, juga ragu dengan cinta kasih, dan ragu akan datangnya perdamaian.

Si debu telah hidup di tanah itu sejak tahun-tahun sebelum masehi. Namun bedanya dengan manusia dia TIDAK PERNAH RAGU. Apa yang membuatnya selalu yakin ?? jawabannya ; dia YAKIN bahwa suatu saat TUHAN AKAN MENJADIKAN MANUSIA BISA MENCINTAI SAUDARANYA SEPERTI DIA MENCINTAI DIRINYA SENDIRI. Dengan keyakinan itu, meski tiap saat dia melihat jenazah dan pertumpahan darah, si debu selalu berdoa kepada Tuhan untuk kebaikan manusia.

Ibu-ibu sekalian, rupanya keyakinan si debu pada manusialah yang membuatnya setiap hari berdoa. Seuntai Doa hanya bisa dipanjatkan dengan adanya keyakinan. Tanpa keyakinan debu hanyalah lelucon ditengah keragu-raguan.

Maka cara kedua untuk menjadi debu yang berarti adalah ; hiduplah dengan yakin dan penuh doa terhadap kebaikan Tuhan. Hindari keragu-raguan ya Ibu-Ibu! teruslah berdoa!.

Terakhir, kisah ketiga adalah ; DEBU TAK KENAL PUTUS ASA.

Pada suatu kota yang jauh sekali di ujung dunia. Orang hidup dalam keputus asaan dan mudah sekali bunuh diri. Putus cinta ; bunuh diri. Di PHK ; bunuh diri. Gaji tak dibayar ; bunuh diri.

Ada sebutir debu yang mendampingi para manusia putus harapan untuk mengakhiri hidupnya dengan segala cara ; Menggunakan obat nyamuk, sampai gantung diri semua disaksikan.

Lucunya ketika ditanya apakah dia pernah kepikiran untuk ikut-ikutan bunuh diri, si debu menjawab lantang ; TIDAK MAU. Kok bisa kan tiap hari kamu liat orang putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan cara cepat??. Jawabannya ; benar sudah ribuan orang yang kusaksikan dan alasannya macam-macam tapi intinya satu ; mereka putus asa terhadap kehidupan.

Terus gimana caranya biar gak putus asa??.

Jawaban si debu ; berhentilah berfikir untuk kepentinganmu sendiri. Sebab bunuh diri hanyalah kepentingan egoisme dalam bentuk lain yang hanya memikirkan diri sendiri. kalo seseorang manusia masih memiliki rasa sayang kepada satu orang saja, niscaya dia tidak akan putus asa. Kenapa bisa begitu?? karena rasa sayangnya akan mampu menangkap ; bahwa rasa cinta kepada sesame manusia itu begitu indah. Dan hidup apa yang akan berarti untuk dijalani tanpa adanya cinta kepada orang lain??.

Jadi Ibu-ibu hiduplah dengan penuh cinta dan musnahkanlah rasa putus asa dengan cinta. Berhentilah mencintai diri sendiri, dan cintailah orang lain. Lihatlah, meskipun ruangan sel ini kecil dan sempit tapi rasa sayang teman-teman kita, membuat keindahan sel ini memancar begitu tinggi dan menumbuhkan harapan.

“ Tiga hal itulah yang akan membuat sebutir debu yang dianggap tak berarti menjadi begitu indah. Hilangkanlah prasangka, tumbuhkanlah keyakinan, dan selalu penuhilah hati dengan cinta dan harapan. Bila ketiga hal itu dilakukan ibu-ibu meski mendekam dalam penjara hanya Kedamaianlah yang akan kita rasakan”, aku menutup ceritaku.

“ PLOOKK..PLOOOKKK…PLOOOOKKKK”, tepuk tangan menggema dari balik sel. Teman-temanku bertepuk tangan riuh menyambut ceritaku. Senangnya ceritaku dihargai. Mereka serempak menjabat tanganku dan semakin menghormati setelah mendengar kisahku. Rupanya kebiasaan bercerita karena hukuman dulu mendatangkan manfaat.

Sehabis aku bercerita, mereka kemjudian giliran bercerita dengan beragam cerita yang unik dan menarik. Sore itu kami lalui dengan bahagia. Kebahagiaan kami membuat kami tak sadar di luar sana sedang terjadi keributan antara seorang napi dengan sipir penjara. Entah apa penyebabnya kami tak mau tau. Sebab cinta yang kami pancarkan telah memancarkan kedamaian. Merasa damai aku ijin tidur sejenak kepada teman-teman. Kelelahan masih begitu terasa di seluruh badan. Meski panas dan hanya tidur di tikar yang jauh dari wangi aku bisa tertidur pulas dikelilingi para napi berhati mulia. Sore itu hingga malam, aku tertidur demikian lelap ditengah udara yang begitu pengap dan panas. Keberadaan teman-teman yang baik disekelilingku membuat suasana yang tidak enak dari luar itu jadi terasa nyaman. Memang benar kenyamanan dari dalam hati itu lebih baik daripada kenyamanan bikinan.

Menjelang Maghrib suara ledakan membuatku terbangun.

“ Booom”, suara ruangan yang meledak serta merta membuatku terlonjak. Bu Mun telah berada disisiku untuk melindungi.

“Bu Sinta, di luar terjadi kerusuhan, ayo bangun”, dia membangunkanku.

“ Apa yang terjadi Bu Mun??”.

“ Seorang tahanan dianiyaya oleh sipir tadi sore dan itu berbuntut panjang. Lapas ini terlalu padat, masa mudah diprovokasi. Sekarang para napi mulai mengarahkan serangannya ke arah penjaga lapas dan sesama napi. Ayo Ibu Sinta bangun gak aman disini, Mereka yang sejak lama tidak senang dengan kami pasti akan segera menyerang”.

Kulihat sekeliling para tahanan sudah keluar semua dari selnya. Jumlah mereka begitu banyak. Beberapa diantara mereka sudah mulai membakari dan merusak benda-benda mudah terbakar yang tersebar begitu banyak di dalam penjara. Bau api yang menusuk mulai tercium.

Bersama Bu Mun dan rombongan, kami berlari menuju lorong penjara, beberapa titik lapas sudah berhasil ditembus oleh para tahanan. Para panjaga yang sial betul-betul dianiyaya habis-habisan oleh mereka. bersama Mun, jeny, Lidya, Anita dan teman-teman satu sel, aku berusaha menyelamatkan beberapa penjaga yang sedang dianiyaya. Tenaga Mun begitu besar dan dia ditakuti oleh para tahanan lain, sehingga aku dengan mudah menyelamatkan para sipir, dan membawa mereka untuk mengungisi ke tempat aman.

Beberapa titik lapas tapi telah porak poranda. Para tahanan mulai mampu merengsek masuk dan menyerang para sipir di sejumlah titik. Suasana menjadi demikian mengerikan. Tim anggota pengendali huru hara belum tiba di lokasi. Tampak di mataku api yang mulai menjalar dari ruangan samping. para tahanan telah berhasil membakar sayap ruangan.

Apa yang kami takutkan akhirnya datang. Dari belakang sekumpulan tahanan telah keluar dengan menggunakan senjata-senjata yang mampu dijarahnya dan bergerak menuju kami. Tampaknya inilah kelompok yang membenci Mun sekaligus sangat jijik dengan aparat.

“ Awas Bu Sinta, mereka adalah penjahat yang tak punya belas kasih”, Mun berteriak memperingatkan ketika sekumpulan napi mulai menyerang kelompok kami.

Ditengah kepulan asap, tawuran antar tahanan meledak. Masing-masing blok tahanan mempunyai urusan dan dendam yang belum selesai. Mereka jelas punya masalah dengan kelompok Mun cs sehingga ingin menuntaskannya dalam serbuan yang mematikan.

Dengan pentungan, pisau, linggis, sampai kursi, 30 orang maju untuk meyerang kelompok Mun.

“ Ini Bu ambil tongkat ini”, Mun melemparkan tongkat kepadaku.

“ Terima kasih sudah memberi cerita yang sangat bagus Bu Sinta. Jeny jadi tau debu bisa jadi berarti”, Jeni tersenyum padaku sesaat sebelum maju dengan gagah berani menghadang para peneyerbu.

Aku masih berdiri paling belakang karena mereka semua berusaha maju untuk melindungiku. Tidak mau terlalu dilindungi, juga tidak ingin menggunakan senjata aku turut maju ke tengah medan pertempuran berjuang bersama teman-teman.

“ Ya Tuhan tolonglah kami, lindungilah kami amin”, aku berdoa sesaat kemudian maju menyerbu.

“ Mun telah membabat dua orang dengan tongkat yang dia pegang. Kekuatan lengannya begitu luar biasa. Jeny dengan bersenjatakan kursi juga telah membuat pingsan satu orang, sedangkan Anita tampak membantu Lidya yang tersudut karena dikeroyok oleh beberapa orang.

Melihat posisi Anita dan Lidya yang terjepit aku berlari ke arah mereka. Empat orang penyerbu, dua bersenjatakan pisau tajam berusaha membunuhnya. Aku melompat harimau sambil berguling tiga putaran kedepan menubruk seketika dua penyerbu bersenjatakan pisau. Saat terjatuh mereka berusaha menusukku. Tangannya yang lurus berusaha meraih perutku, segera kutangkis, dan kupelintir agar pisau lepas. Temannya yang berusaha menusuk terkejut saat tubuh penyerang pertama kujadikan tameng hidup. Pisaunya menancap ditubuh rekannya. Syok dia lengah dan langsung saja kubabat dengan sikuku hingga dia tersungkur.

Anita terjatuh dan hendak ditebas kepalanya oleh dua penyerang tersisa. Cepat kuambil pisau yang terjatuh dan melemparnya ke arah kaki si penyerang.

“ Clleeep”, pisau yang kulempar melesat menancap paha. “ aaaaaaaaggggggghhhhh”, si penyerang meringis. Melihatnya menjerit Anita menghantam kepalanya dengan balok yang dia punya tepat di kepala. Penyerang malang terjatuh bersimbah darah. Lidya dan Anita selamat.

Para penyerang dari blok dua juga maju ingin menyerang kelompok kami. Rupanya para tahanan ini ingin memebela teman-temannya dengan menyerang kami. Mereka datang dari sudut yang persis berada di sebelahku. Berusaha meredam serbuan kuhadang 15 orang lagi yang baru datang.

“ happppp”, kurentangkan tangan lurus. “ jdeeeegg”, tangan masuk ke jidat penyerang pertama dia langsung roboh.

Penyerang kedua bersenjatakan pisau, kuhantam rahimnya pake upper cut mencungkil. Penyerang ketiga kucolok matanya. Penyerang keempat kujambak rambutnya dan kubanting ke tembok. penyerang kelima kuhantam dengan kepala hidungnya patah. Penyerang keenam kusudutkan ditembok dan kuberikan pukulan hook kombinasi, “ tap…tap..tapp….tapppp…tappp”. Penyerang ketujuh, delapan, Sembilan, sepuluh, semua kutaklukkan dengan cara pukul, tunduk, hajar, elak, pukul, menyamping, berputar, jab…jab….jab…jabbbb….jabbbbb…pukulan kombinasi menjatuhkan satu persatu tubuh mereka.

“ Jleeeebbbb”, suara kulit yang tertembus pisau terdengar di belakangku. “ Jennnyyyyy”, wajah Mun tampak begitu histeris melihat Jeny tertembus pisau perutnya karena berusaha melindunginya. Pemandangan Jenya yang berdarah-darah mendapat tusukan diperutnya menjadi pemandangan terburuk yang pernah kulihat.

“ Uuuuuuhhhh” Jeny terkapar.

“ Hiyaaaaaahhhhhhh”, Mun kalap dan menghajar setiap penyerang yang datang menghampirinya.


“ haaaahhhhhh”, bukan hanya Mun, aku juga ikut emosional melihat sahabatku sendiri tertikam. Aku juga maju dengan kalap menghantam para penyerbu dengan tinju terkeras yang pernah aku berikan.

“ Brugg…bletaakkk….breeeeeekkkk…..kreeeekk”, bunyi pukulanku yang terhambur dengan begitu kencang kepada para penyerbu.

“ Tep” sepasang tangan mengunci bahuku. Rupanya datang lagi para penyerbu dari belakangku. Perhatianku yang rusak akibat emosi membuatku lengah. Lima orang mengeroyokku bersamaan. Tangan yang terkunci membuatku tak berdaya. Seseorang wanita bertampang sangar melangkah ke hadapanku dan langsung mendaratkan bogem mentahnya tiga kali ke wajah dan perutku.

“ beg..begg..begggg”, rasanya hidungku mengeluarkan darah dihantam tinjunya. Pukulan yang mendarat di perutku juga membuatku tertunduk nyeri.

Si pemukul kemudian mencabut sebilah pisau dari balik bajunya. Dia bersiap menikamku.

“ Bu Sinnnta jangggggaaaannn”, Mun berusaha menolongku tapi sebuah kaki menjegalnya dan dia terjatuh. Selepas Mun terjatuh enam orang maju mengeroyoknya dan memukulinya bagai binatang.

Tak ada lagi yang dapat menolongku kini. Kupejamkan mata menunggu datangnya saat-saat akhir dalam hidupku. Sebilah pisau siap mengiris daging tubuhku.

“ Slllep”, bunyi tikaman datang. Tapi kenapa aku tidak merasa sakit??.

“ Doorrrr”, bunyi ledakan begitu dekat meledak di depan wajahku.

Kubuka mata, seorang wanita berambut pendek telah berada di depanku untuk menjadi tameng hidup menghadapi tajamnya belati.

“ Kkkoommannndann FFebbii”, aku terkejut melihat Febi memenuhi janjinya untuk kembali datang ke sel. tapi kenapa harus malam ini Komandan???di saat kondisi kacau dan mengerikan. Darah??? darah apa ini???. Ada darah mengalir dari pisau yang tertancap di perutnya kemudian terciprat ke bajuku. Rupanya tikaman itu mengenai Febi bertepatan dengan ledakan pistol yang menghantam penyerangnya.

“ FEBBBIIIII”, aku berteriak histeris melihatnya bersimbah darah dan mulai duduk terduduk tak berdaya.

Entah mendapat tenaga dari mana. Bahuku mengangkat si penyerang yang masih memegang tubuhku dari belakang dan memebantingnya ke depan. Serta merta kuhajar dia dengan pukulan kombinasi terkeras yang pernah kulepaskan. Begitu dia pingsan segera kuberlari memeluk Febi yang masih terduduk tak berdaya.

Kupeluk dia dari samping. Pisau yang masih menencap di perutnya segera kucabut.

“ Ssiiiinnnttaaa…..”, ngap-ngapan dia berusaha berujar kepadaku sambil mengelus wajahku.

“ KKoommmndaaaannn”, air mataku mulai jatuh dan membasahi pipinya.

“ jjjjjaaaaaanngggann nnnnnangiisss’, Dielusnya pipiku yang mengeluarkan airmata.

“ Hhhhhaaarrrriii iinnii kammmuu jannji akannn memmberrikuuu kennikkkmatannn yannnggg sejatttiiii”, ujarnya terbata-bata.

Tersenyum begitu indah Febi kepadaku kemudian dia memejamkan mata.

“ KKOMANNDANN JANGANNN MATIII….BANGUUUN KOMMNANNDANN…FFEBII BANGUUUUUNNN……………..BANGUNNNNLAHHHHH”, aku berteriak histeris.

Empat orang penyerang lainnya maju ke arahku. Mun sudah ambruk, teman-teman sibuk dengan pertempurannya masing-masing.

Jelas kulihat keempat orang itu dengan senjata tajamnya mengarah ke arahku ingin menghabisi nyawaku. Tidak ada lagi daya dan kekuatanku untuk menghadang mereka. Febi yang tergolek di pelukan membuatku makin tak berdaya.

“ Braaaakkkkk”, tiba-tiba dari arah depan seorang polisi wanita berseragam lengkap melakukan tendangan lurus dengan gaya karate ke seorang penyerang. Dengan tubuhnya yang tinggi semampai bagai peragawati, dan kulitnya yang eksotis, dia kemudian berbalik memberikan pukulan karate andalannya berantai merobohkan empat orang sekaligus.

Begitu mempesona sosok Polwan misterus ini yang tiba-tiba muncul dengan segala kecantikan dan pesonannya.

Brigadir Tantri Wulandari tiba-tiba muncul dan kembali menyelamatkanku untuk kesekian kalinya seumur hidup. Kecantikannya yang bagai peragawati selalu menjadi topeng yang menyembunyuikan keperkasaannya.

“ dorrr…doorrr…dooorrr”, Tantri memberikan tiga tembakan yang membubarkan masa. Sejak dari dulu dia tidak suka basa basi.

Mendengar tembakan Tantri, masa yang mengerubungi Mun dan rekanku yang lain berhamburan melarikan diri.

“ HARI INI KAMU JANJI AKAN MEMBERIKANKU KENIKMATAN YANG SEJATI”, terdengar jelas kata-kata Febi yang terucap sebelumnya.

Kulihat Febi yang telah kehilangan tanda-tanda kehidupan.

Kuangkat dia dan kugendong dengan kedua tanganku. Entah dari mana tenaga yang muncul untuk mengangkatnya aku sudah tak peduli. Kutatap Tantri sesaat, tampak dia menggeleng dengan pandangan penuh penyesalan melihat kondisi Febi.

“ FEBBBIIIIIII TTIIIDAAAAAKKKKKKKK JANGGAAANNN PERGIIIIIII”, dengan memanggulnya di kedua tangan, aku berteriak sedih.

“ Grup C, kalian semua menyebar ke sektor barat! Ambil alih objek vital penjara yang telah direbut napi!. Pak Joko dan Lukman, pimpin Grup D untuk menyisir bagian belakang lapas, tutup semua akses keluar! dan jangan biarkan ada napi yang kabur!! ”, suara khas Brigadir Tantri menggema memberikan Komando.

Rupanya dialah orang kedua dalam rantai komando kedatangan pasukan huru hara malam ini di lapas. Orang pertamanya sedang merenggang nyawa di pelukanku. Tertikamnya Febi membuat Tantri segera mengambil langkah taktis menggantikannya mengambil tongkat kepemimpinan.

Dibawah pimpinan Tantri, pasukan anti huru hara bertindak lugas. Mereka memblokade semua akses keluar-masuk dan melakukan tindakan keras terhadap napi yang melawan. Situasi “chaos” berangsur pulih. Banjir darah akibat kerusuhan masal akihirnya berhenti. Mun dan para teman baruku di lapas tampak tergelak di lantai. Sebagian dari mereka benar-benar terluka parah, sebagiannya lagi sengaja merebahkan diri seakan tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

“ HHhHHHAAAAHHHHHHHHHH”, aku histeris. Rasa sedih kehilangan Febi menusuk sampai ke sanubari.

“ KOMANNDANN FEEEBBIIIII TIDDDDAAAKKK…OOOOO TTIIIIDDAAAAKKKKKKK”, inilah raungan seorang Polwan yang penuh dengan kepiluan hati. Rasanya baru saja mendapatkan rasa kasih sayang dari Febi. Kemudian rasa itu akan direnggut paksa oleh tindakan keji para tahanan yang tidak punya rasa kasihan. Febi kugendong dan tak akan kulepas lagi. “ TIDAAAAAKKKKKKKKKKKK”.

“ PLAAAAKKKKKK”, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan membuat teriakanku terbungkam.

“ ccuuuuhhhh”, sangat keras tamparan yang datang, sampai-sampai membuat air ludahku ikut muncrat. Berusaha segera kuputar muka untuk melihat siapa yang berani-beraninya mengganggu kenikmatan tangisan orang yang dirundung duka.

Ternyata seorang Polwan yang lebih cocok menjadi peragawati, dengan tubuhnya yang tinggi semampai dan wajah cantik jelita dengan sebuah papan nama bertuliskan “ TANTRI”, berdiri tegak di depanku dengan wajah tegas tanpa kompromi. Raut mukanya yang “ lempeng “ tanpa rasa bersalah menjadi pemandangan mengejutkan yang membuat hatiku mengkerut.

Sudah enam hari kami tidak bertemu. Aku berharap awal pertemuan yang baik diantara kami berdua, penuh dengan keakraban , akan tetapi yang kudapat adalah sebuah tamparan. Dari semua Polwan yang bisa membuatku “ Skak-mat”, hingga tak bisa membantah satu patah kata pun hanya Tantri orangnya.

“ PLAAAAAAKKKKK”, tamparan kedua terasa lagi di pipi.

Rasanya semua orang yang menyaksikan hal ini akan kehilangan kepercayaan kepada kedua matanya. Sekali tamparan mungkin masih wajar, tapi untuk kali kedua, Tantri menampar sahabat karibnya dengan sekencang-kencangnya, kali ini yang kiri. Lebih keras kali ini Tantri mendaratkan telapak tangan, hingga hampir saja Febi terlepas dari gendonganku.

“ Triiiii….!!!”, aku menggeleng tak percaya, memintanya agar menghentikan aksi tampar-tamparan di depan orang banyak. Mendapat dua tamparan telak dihadapan khalayak ramai bukan hanya membuat pipiku merah tapi hatiku jadi ikut sakit. Ajaibnya air mata yang semula berhamburan kini hilang. Ditampar demikian keras, bukan hanya mampu menghapus air mata, sesegukan di hidung juga sirna.

“ HENTIKAN TANGISANMU SINTA!!!”, lantang Tantri berteriak.

“ SERAHKAN INSPEKTUR FEBI KEPADAKU!!!”, diserobotnya tubuh Febi dan dibopongnya untuk diserahkan pada tim medis. Sebagai wanita, tenaga Tantri cukup kuat. Dia atlet karate jangan lupa.

Hanya mampu terdiam aku menuruti perintahnya. Rasa malu, sedikit banyak mulai hinggap di hati akibat aksi tangisan yang terlalu telenovela barusan. Rupanya ratapan kesedihan yang kelewatan memang kurang baik. Tak ada untungnya memuaskan hawa nafsu untuk menangis meraung-raung , apa yang kudapatkan hanyalah rasa malu dan nyeri “ nyut-nyutan” di pipi.

“ Bu dokter tolong segera bawa Ibu Febi ke rumah sakit terdekat! lakukan yang terbaik untuk menyelamatkan nyawanya!”, Tantri meminta dengan halus kepada seorang anggota medis.

Kesopanan Tantri dalam bersikap, membuat tim medis melaksanakan tugas dengan begitu tangkas. Febi dibopong dengan tandu dan alat bantu pernafasan meninggalkan lapas. Kondisinya sangat memprihatinkan dengan ceceran darah di seluruh tubuh.

Selesai membereskan urusan Febi, Tantri melangkah kembali kepadaku.

“ ANGKAT DAGUMU SINTA! JANGAN TUNDUK-TUNDUK KAYAK ORANG BLO’ON BEGITU!!”, Tantri menghardikku sambil menuding-nuding. Salah makan apa dia ngamuk-ngamuk terus dari tadi??.

“ Ssssiiiaaappp”.

“ SIKAP SEMPURNA!!!”, bentaknya.

Masih kurang rela hati ini harus dibentak oleh sahabat sendiri. Sampe sekarang aku gak paham kenapa dia tiba-tiba kesetanan dan main hajar saja. Tapi mau bilang apa?? bagaimanapun statusku adalah tahanan. Akhirnya dengan berat hati, dalam satu gerakan, kulakukan apa yang diperintahnya.

Dalam jarak sekian centi dia berhenti dan menatapku dingin. takut dengan tatapannya kualihkan pandangan dari mukanya dan memilih menatap papan namanya saja. Tidak pernah ada senior yang bisa membuatku merasa segan sekaligus ketakutan begini. Dinginnya sikap Tantri membuat kakiku gemetar.

“ PLAAAAKKKKKKKKKKKKKK”, tamparan “ simbal “ begitu tiba-tiba menghantam pipiku bebarengan.

Baru saja mengambil sikap sempurna dengan pandangan lurus ke depan, kedua tangan Tantri kembali datang menampar pipiku kiri dan kanan bersamaan. Tamparan itu mulanya membuat kedua gendang telingaku berdenging hebat. Kemudian efek tamparan “ simbal “ itu merembet ke indra penglihatan. Mataku jadi bisa melihat kunang-kunang beterbangan ke sana kemari. Pemandangan di film kartun dimana banyak burung berputar-putar di sekeliling kepala benar-benar terjadi.

Kemudian kurasakan terjadi gempa bumi menjalar di kaki. Bumi bergoncang dan membuatku berjoget acak tanpa mampu menemukan pijakan.

“ Bruuuuuuugg”.

“……………………………………”.

***************************

“ Sssssiiiinnngggg”, aroma minyak gosok yang dioleskan di dahi dan indra penciuman membuatku sadar..

“ Nguuuuiiiinggg…..ngguuuiiiiiiingggg…..ngguuuuiiiin gggg”, raungan sirine mobil polisi menjadi irama pertama yang terdengar.

“ Udah sadar Sinta??”, suara Tantri yang sedang duduk disebelah dan mengoleskan minyak kayu putih membuatku kaget. Trauma melihatnya lagi , aku refleks mengatupkan kedua tangan ke pipi, saking takutnya mendapat kejutan yang tak menyenangkan.

“ Gak usah takut Sinta! ini Tantri sahabatmu lho”, dia tersenyum begitu renyah. “ Maafkan yang tadi ya karena menamparmu sampe pingsan!”, Tantri memelukku. “ Tanya semua orang kalo gak percaya, betapa paniknya aku waktu ngeliat kamu pingsan!”.

“ Habiss sakiitttt banget tau Trri tamparanmu!”, rengekku sambil ngambek.

“ Iya Sinta maafin aku”, dielus-elusnya rambutku sambil memeluk begitu erat , “ Yang tadi itu hanya sandiwara buat nyelamatin kamu!”, bisiknya.

“ Sandiwara gimana Triii?”.

“ SSsssssttt pelankan suaramu nanti kedengaran supir! ”.

“ Kedengaran bagaimana?? kita cuma duduk berdua dibelakang sini Tantri”

“ Walau Cuma berdua kita harus tetap waspada”, suara Tantri lirih.

“ Oke deh tapi jawab dulu sandiwara apa yang kamu maksud???”, aku bersuara sepelan mungkin.

“ Nanti aku jelasin, takut mobil ini ada penyadapnya”.

“ Ahhhhh Tantri gak seru nih”.

“ He he ntar juga seru Sinta”.

“ Kebiasaan dari dulu.. yeeee kesell”, aku merengut sambil menjulurkan lidah.

Gini nih kalo jadi orang pintar, bisanya main rahasia-rahasiaan terus. Tantri dalam kesehariannya selalu terbuka kepadaku. Masalah hubungannya dulu dengan Alex juga hanya aku yang tau. Hanya saja jika sudah bicara masalah kerjaan, Tantri berubah menyebalkan. Dia jadi tertutup dan gak bakalan ngasih bocoran apapun terkait kasus yang ditangani.

“ Sssstt”, godanya.

“ Huhhh’, aku buang muka.

“ Nggossip yuk”, rayunya.

“ Huhhhh”, aku tetap “ melengos “ sambil pasang muka jaim.

“ Gimana hubunganmu dengan Jaka?? orang kantor udah pada tau belum??”.

“ …………………….”, aku hanya menggeleng tak tau harus menjawab apa. mendengar nama Jaka disebut saja sudah cukup membuatku mual.

“ Tau gak kamu dianggap wanita pembawa sial lho sama orang kantor!”.

“ Apaaaaa???? yang bener sih Tri!!”, jaimku langsung sirna mendengar julukan itu.

“ Iya kata mereka, semua orang yang deket sama kamu kena musibah! Bahkan gak perlu deket, rumahnya sebelahan sama kamu aja kena sial. Semua orang kantor ngingetin aku buat ngejauhin kamu kalo gak mau ketularan”.

“ Tri, sedih banget sih nasibku ”, aku meratap.

“ Ha ha kamu tambah cantik kalo suntuk begitu ! tenanglah Sinta ! sejak di asrama kamu memang suka buat masalah yang aneh-aneh, tapi kalo ada aku aman kan??. Sebagai sahabat kita selalu hadir untuk saling mengisi”.

“ Itulah masalahnya Tri, sejak kamu cuti masalah datang kayak tsunami. Nih aku ceritain ya! Mulai dari nikahanmu aku dipanggil sama……”.

“ Ssssst…..” Tantri memelukku lagi dari samping. Kali ini dengan penuh rasa kangen. Hilang sudah figur wanita tukang “ tabok “ tadi berganti sosok yang lembut. Dielusnya hidungku lembut dengan jarinya. “ Aku sudah dengar semuanya. Kamu banyak melakukan hal hebat yang tak pernah kamu perbuat sebelumnya. Sinta sahabatku ternyata wanita yang kuat dan tangguh!!”.

“ Betulkah itu Tri?”.

“ Bener banget, Cuma ada satu cerita yang sampe sekarang aku gak percaya”.

“ Apa itu Tri??”.

“ Kata orang, kamu Polisi “ jenius “ yang bisa menangkap lusinan penjahat dalam waktu dibawah satu menit. Untuk prestasi itu aku aja gak bisa ngelakuin. Bener gak itu Sin???”.

“ Tri kamu godain aku ya”, kucubit pinggangnya.

“ Ha ha ha, Serius ini Sin. mereka benar kok , orang selalu salah menilai tentang kamu. Bolehlah orang menyebutku pintar. Tapi kamu Sinta sangat CERDAS. Diantara semua teman yang pernah aku kenal, kamulah yang peling cerdas ”, Dia mengucek ucek lagi rambutku.

“ TANTRRRIII NGELEDEEEK TERUSSS AHHHHH”, kucubitin dia sambil “ menggelikitik “ sebagai pembalasan aksi tamparan sebelumnya.

“ Hiii…hiiii…hiii…haaa..haaa ammmpunnn ampuuunnn Sintaaa”, Tantri tertawa sejadinya tak mampu menahan geli.

Kami berdua memang sangat akrab. Dengan latar belakang sama-sama orang perantauan yang tinggal jauh dari keluarga kami selalu berbagi suka duka kehidupan. Semua masalah tidak ada yang gak selesai kalo kami udah bertemu.

Buatku yang baru saja tertimpa rentetan masalah tak berkesudahan, kedatangan Tantri sangat membantu. Kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat kabur semua problema. Masalah apa yang gak lari terbirit-birit kalo ngeliat dia??. Tantri begitu jenius, dalam waktu singkat saja dia selalu dapat mambaca beragam masalah dan mencarikan solusi yang terbaik.

Ketika kusinggung mengenai statusku sebagai tahanan, Tantri bilang akan mengusahakan mengeluarkanku dari balik jeruji besi. Bagaimana caranya?? tanyaku. Jawabannya melalui jalur hukum dan demokrasi. Apa tuh maksudnya Tri?? kejarku dengan penuh penasaran. Katanya besok pagi dia telah berhasil meminta jajaran pimpinan Kepolisiaan Daerah untuk mau mengadakan rapat dengar pendapat. Rapat itu merupakan pintu gerbang kebebasanku.

“ Apa sih Rapat dengar pendapat itu Tri??”.

“ Ssssssstttttt nanti kedengarannnnn”, Tantri mengatupkan jarinya di bibir.

“ Grrrrrrrrrrrrrrrrrrr”, kugemeratakkan gigi sebagai ekspresi kekesalan.

Tantri hanya tersenyum melihatku yang salah tingkah. Satu sifat yang paling membuatku kagum dari sahabatku ini adalah kesabarannya. Dia selalu tekun menunggu saat terbaik tiba kemudian baru mengemukakan semua penjelasan. Andai saja sifat itu dimiliki oleh kaum pria mungkin bisa dikatakan wajar. Tapi kerena kaum wanita yang memilikinya, sifat itu jadi tergolong luar biasa.

“ Terima kasih banyak ya Tri”, aku sadar sedari tadi belum mengucapkan kata ini kepadanya. Begitu besar bantuannya, bahkan mungkin tak akan bisa kubayar sepanjang hidupku. Tapi semoga sebuah untaian rasa terima kasih dapat menggambarkan rasa tulus di hatiku kepadanya.

“ Hush, terima kasih diterima, tapi ngapain pake nangis segala Sinta??”, dielusnya air mataku. “ Inget perjanjian kita! Kamu gak boleh nangis! kalo kamu nangis nanti aku yang susah…”.

“ Susah buat ngusir setannya ya Tri”, candaku.

“ Ha…ha…haaaa”, kami tertawa gembira bersama.

Tantri mengantarku sampai masuk kembali ke tahanan Polres dari pintu belakang . Dia menyadari sorotan wartawan kepadaku begitu besar sehingga memilih menghindarinya.

“ Sampai deh kita Sinta”, Tantri menggandeng tanganku hingga keluar mobil. “ Nanti di pintu belakang ada dua ibu Polwan Provost senior yang akan ngantar kamu masuk ke dalam ruang tahanan”.

“ Ibu Nila dan Leli ya Tri, baik sekali lho mereka”.

“ Betul benget kalo mereka berdua sangat baik Sinta. Tapi, menyambung apa yang kubilang soal gossip di mobil, kedua senior kita itu juga ketiban sial kerena pernah deket-deket sama kamu. Sekarang, Ibu Nila dan Leli sedang menjalani pemeriksaan intensif oleh Propam karena dianggap melakukan kelalaian dalam prosedur pemindahan tahanan”.

“ Apa???? Tri mereka hanya melaksanakan tugas. Yang sial itu harusnya aku saja, jangan bawa-bawa mereka. Gimana sih kantor”, aku kesal sendiri.

“ Sabar ya Sinta jangan emosi!” Tantri menepuk bahuku menenangkan, “ Semuanya seperti benang kusut sekarang. Mudah-mudahan, bila Tuhan mengijinkan benang kusut ini akan menjadi terurai sebentar lagi. Yang harus kamu yakini ialah bahwa KAMU BUKAN WANITA PEMBAWA SIAL”, Tantri memegan wajahku dengan kedua tangannya.

“ Triii…. ”.

“ Ikuti aku Sinta! AKU WANITA CERDAS”.

“ Aaaaku waanita cerdass”.

“ BUKAN WANITA PEMBAWA SIAL”.

“Bukan wanita pembawa sial”.

Tantri memelukku. Wangi tubuhnya begitu harum. Aura badannya juga sangat menenangkan. Kesialan yang melekat di badanku semoga ikut tersapu karena mencum keharuman tubuh Tantri.

“ Kamu yang sabar ya! Pintu masuk sudah di depan masuklah ke dalam dengan yakin. Kedua orang Polwan yang ditugaskan sudah menunggu di balik pintu”.

Aku melangkah perlahan menuju pintu yang ditunjuk.

“ Jangan lupa berdoa ya Sinta!”.

“ Siap Tantri”, balasku dengan senyum sambil menghormat kepadanya. Kebaikan dan kebesaran hati membuatmu pantas untuk dihormati Tantri.

“ O ya satu lagi Tri”.

“ Apa Sin??”.

“ Tolong tengok Febi ya! kasiiaaann diaa”, mengingat sosok Febi aku hampir menangis lagi.

“………………”, Tantri mengangguk. “ Aku akan tunggui dia di RS kamu jangan khawatir.

Kesediaan Tantri untuk menunggui Febi di saat sekaratnya membuatku sedikit tenang. Akhirnya dengan memberanikan diri aku melangkahkan kaki kembali untuk masuk dalam kurungan penjara.

“ Ckleeeekkk”, bunyi pintu dibuka.

“ Brigadir Sinta anda ikut kami”, dua orang Polwan kembali mengapitku untuk diantar masuk ke dalam sel. Betul kata Tantri, dari sikapnya mereka begitu takut berdekatan denganku. Rupanya cap sebagai wanita pembawa sial sudah mulai identik dengan namaku. Saking identiknya para Polisi saja takut berdekatan apalagi berjabat tangan denganku.

Diantar tapi dengan para pengawal yang begitu risih dengan yang dikawalnya lucu juga. Tidak ada obrolan ataupun gerakan apapun yang menyiratkan timbulnya sebuah komunikasi. Yang ada hanya gerakan otomatis bagai robot.

Tak selang beberapa lama, tibalah kami di dalam sel. Mereka tergesa-gesa meninggalkanku sampai aku tak tau siapa nama ataupun identitas dua orang polwan tadi.

Dalam sel gelap yang kosong aku langsung duduk melamun. Kali ini aku tidak banyak protes lagi dan hanya bisa pasrah terhadap segala yang terjadi.

Pikiran tentang kondisi Febi tetap menggelayuti. Tantri sempat bilang di dalam mobil bahwa Febi masih ada peluang untuk hidup meskipun kecil sekali. Dia selalu memintaku untuk banyak berdoa meminta pada Sang Pencipta akan segala situasi yang kita hadapi dalam hidup.

Mengikuti nasihat Tantri, aku berdoa sepanjang malam agar Tuhan memberi Febi mukjizat sehingga kembali dapat merasakan anugerah kehidupan. Betapa hidup ini adalah anugerah terbesar dari Tuhan yang kurang kita hargai. Ketika anugerah itu dicabut, barulah kita sadar akan waktu yang telah kita sia-siakan 6.1 THE FLYING SINTA

“ PEMIRSA SEKALIAN, BARU SAJA KITA DENGARKAN BERSAMA, LAGU KEBANGSAAN DARI KESEBELASAN NERAKA. BERIKUTNYA KITA AKAN SEGERA SAKSIKAN SIARAN LANGSUNG SEPAK BOLA DARI STADION “ OLD HELL”. PERTANDINGAN ANTARA SEORANG MANUSIA YANG BERNAMA SINTA, MENGHADAPI KESEBELASAN NERAKA, UNTUK MEMPEREBUTKAN SEBUAH JIWA YANG BERNAMA FEBI”.

Dimana aku sebenarnya?? tempat apa yang begitu hiruk pikuk dan panas begini. Rasanya baru tadi aku berada dalam tahanan, kenapa kini sudah berada di tempat paling mengerikan yang pernah kulihat seumur hidup????.

Kalo film-film jaman sekarang senang sekali mempertontonkan cerita horror, maka tidak ada yang lebih mengerikan dari yang kusaksikan sekarang. Percayalah wahai para manusia yang pernah memiliki niat untuk bunuh diri dan tak lagi menghargai kehidupan, ataupun para bos mafia yang hobi menghilangkan nyawa orang lain, seandainya saja kalian mendapat kesempatan diundang ke sini kalian pasti berpikir lima ratus juta kali untuk memilih melakukan apa yang kalian niatkan.

Kengerian tempat ini bukan hanya pada nyala apinya, tapi pada apa yang ditanam oleh para penghuninya di setiap jengkal tanah yang teraliri api yang menjalar. Tanamlah sebiji pohon , kemudian rawatlah dengan baik biji itu dengan sifat penuh keyakinan, penuh kasih dan kesabaran hingga mampu tumbuh besar dan berbuah. Petiklah buah yang diperoleh dari proses yang penuh kebijakan itu dan cicipilah bagaimana rasanya. Semakin sabar dan penuh rasa sayang kita merawatnya, semakin manis dan lezat rasa buah yang dihasilkannya. Siapa yang tidak mau mencicipi buah yang dihasilkan pohon ini?? bukan hanya manusia, bahkan hewan dan tumbuhan pun berebut untuk menikmati rasanya.

Namun apa yang terjadi seandainya kita menanam satu biji benih pohon . Kemudian kita tumbuhkan benih tersebut dengan sifat keragu-raguan, penuh amarah dan ketidaksabaran. jangankan berbuah, benih tersebut besar kemungkinan tidak akan dapat menjadi pohon yang dapat mendatangkan manfaat apapun bagi lingkungan sekitarnya. Seandainya benih itu tetap menjadi pohon cicipilah rasa buah yang dihasilkan. Kita akan menjumpai rasa kecut, hambar, pahit, tawar, sepet dan rasa tak menyenangkan lainnya.

Nah buah seperti itulah yang tumbuh subur di tempat yang bernama neraka. Makhluk yang tinggal disini sifatnya suram dan tak menyenangkan. Bukan hanya bentuknya yang abnormal sifatnya juga lebih parah dari watak hewan. Yang lebih parah adalah tidak ada satu benih rasa cinta pun yang dapat tumbuh disini.

Pernah gak sih merasakan hidup satu hari tanpa cinta???. Bukankah manusia itu hidup untuk mencari cinta??. Mereka bergaul baik secara langsung maupun lewat social media demi cinta. Mereka bekerja demi meraih cinta. Ketika cinta tak dapat lagi dirasakan, manusia normal bisa menjadi gila bahkan membunuh dirinya sendiri. Para pembunuh yang tega melenyapkan nyawa orang lain selalu dilatar belakangi oleh ketaksanggupan mereka merasakan cinta.

Semua orang yang Sinta temui disini sama sekali tidak menunjukkan kualitas cinta. Tidak ada senyum, kesabaran, rasa syukur, ketenangan, kedamaian, saling tolong menolong, dan saling menguatkan serta memberi harapan. Jangankan satu hari, ditawari satu menit saja untuk tinggal disini dan dikasih bayaran berapapun Sinta gak bakal mau. Manusia hidup tanpa cinta pasti pengen bunuh diri terus ujungnya. Terus kalo bunuh dirinya ngulang-ngulang dan gak selesai-selesai siapa yang gak takut coba???.

“ PAK PROF, BAGAIMANA TANGGAPAN ANDA TERHADAP PERTANDINGAN MALAM HARI INI?”.

“ WELL, AKAN SANGAT MENARIK BU JOSELYN. SINTA BERADA DALAM SITUASI HIDUP MATI JADI DIA AKAN HABIS-HABISAN UNTUK MENYELAMATKAN FEBI”.

“ PELUANG MENANGNYA PROF??”.

“ KECIL SEKALI BU. TAPI KARENA DIA DITEMANI OLEH PELATIHNYA TANTRI , BISA JADI DIA TERMOTIVASI UNTUK MENANG”.

Mereka berdua sejak kapan sih alih profesi jadi presenter olahraga??. Aneh banget rasanya ngedenger presenter politik alih profesi ke dunia sportifitas.

Lagipula apakah bisa yang kusaksikan sekarang disebut olahraga yang mengedepankan sportifitas??. Kenapa panas sekali sih hawanya?? kalo gini kayak main bola di daerah gurun pasir. Ada dimana lagi si Tantri???. Kuputar kepala kesekeliling lapangan mencari sosoknya. OOo itu dia sedang mengenakan jas putih dan sedang berdiri di pinggir lapangan sambil bersedakep seperti pelatih profesional.

Dihadapanku berdiri 11 orang pemain bola dari kesebelsan neraka. Mereka sudah siap menghadapi pertandingan lengkap dengan sepatu bola dan seorang kiper yang melindungi gawang mereka.

Ini pertempuran yang tidak adil. Kulihat ke seluruh lapangan dan tidak kulihat seorang pun teman-teman yang akan menjadi rekan satu tim. Masak aku sendirian sebagai wanita akan menghadapi mereka bersebelas???. Dari postur saja sudah jelas kalah. Mereka tinggi besar . Otot-ototnya juga kekar-kekar. Pokoknya bentuk badan mereka begitu bagus dan pasti membuat iri siapapun yang melihat.


“ PRRRRRRRRRRRIIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT TTTTT”.

“ PEMIRSA PELUIT PANJANG TELAH BERBUNYI PERTANDINGAN DIMULAI! KICK OFF DARI KESEBELASAN NERAKA”.

“ Lhoooo apa yang dimulai???? WASIT SAYA MASIH SENDIRIAN, APA YANG DIMULAI????”, aku berteriak kebingungan berlari-lari.

“ PEMIRSA SERANGAN PERTAMA DIMULAI, KESEBELASAN NERAKA MEMERAGAKAN UMPAN-UMPAN PENDEK SATU DUA SENTUHAN MENGELILINGI SINTA. MENGELILINGI.. YA KAMI SEBUT MENGELILINGI, MEREKA MEMPERMAINKAN SINTA DENGAN MEMUTAR-MUTAR BOLA TEPAT DIDEPANNYA. LIHATLAH SINTA PARA PEMIRSA BERLARI HILIR MUDIK KE SANA KEMARI TANPA SEDIKIT PUN BISA MENYENTUH BOLA. RUPANYA STRATEGI TIKI TAKA YANG DITERAPKAN OLEH KESEBELASAN NERAKA ADALAH UNTUK MEMPERMALUKAN SINTA DI ATAS LAPANGAN”, presenter wanita melaporkan jalannya pertandingan.

“ TERLIHAT DARI AWAL PERTANDINGAN, INI AKAN JADI PARTAI YANG MUDAH BUAT KESEBELASAN NERAKA BU JOSELYN. SINTA SAMA SEKALI TIDAK MENUNJUKKAN DETERMINASI DAN KEMAMPUAN YANG LAYAK UNTUK MENANTANG MEREKA”, si Prof ikut-ikutan nimbrung.

“ BETUL SEKALI PAK PROF. KITA KEMBALI KE LAPANGAN. SEBUAH UMPAN SILANG DIBERIKAN OLEH WINGER DARI KESEBELASAN NERAKA, LANGSUNG KE MULUT GAWANG. SINTA BERLARI TERGOPOH-GOPOH MENUJU GAWANGNYA SENDIRI YANG TANPA PENJAGA GAWANG DAN GOLLLLLLLLLL………………. KESEBELASAN NERAKA BERHASIL MENCETAK GOL PERTAMA”.

“ Hooohh…..hoooohhhh….hoooohhh……..”, aku memegang lutut sambil ngos-ngosan. Hufffff capenya beneran. Aku yang biasa lari jarak jauh saja begitu ngap-ngapan harus melawan mereka semua.

“ Wasit kok bisa satu orang lawan sebelas sih, ini gak adil???”, aku berlari ke arah wasit untuk mendebat keanehan pertandingan.

“ Terlalu banyak protes, kartu kuning buat Sinta”, wasit menarik kartu dari bajunya dan mengangkat tangannya ke atas. “ Awas berani protes lagi kamu dikeluarkan dari pertandingan!!”, si wasit mengancam.

“ Sinta!!!”, pelatih Tantri mengacungkan tangannya kepadaku sebagai isyarat memanggil. Aku berlari menghampirinya masih ngedumel karena wasit yang berat sebelah..

“ Tri, mereka gak adil, masak aku dikeroyok seperti ini?? wasitnya lagi asal main kartu aja. Aku harus protes kemana Tri?????…..”.

“ Sinta, seberapa kuat keinginanmu untuk menyelamatkan Febi??”, Tantri memotong ocehanku.

“ Sangat kuat Tri. Aku akan mengerahkan apapun untuk menyelamatkan Febi”.

“ BUKTIKAN SINTA! tutup mulutmu dan bertandinglah dengan penuh keyakinan. ingat KEYAKINAN! apapun yang mereka lakukan padamu JANGAN PERNAH MENGGOYAHKAN KEYAKINANMU UNTUK MENYELAMATKAN FEBI!! Percuma mendebat wasit dia tidak akan mempedulikanmu”.

Mengingat Febi mengembalikan tekadku, “ baiklah Tri, aku akan berjuang”.

“ BUKTIKAN!! Kembali ke lapangan dan hadapi mereka DENGAN KEBERANIAN!!”.

“ YAK SEHABIS MENERIMA PENGARAHAN DARI PELATIHNYA SINTA KEMBALI KE LAPANGAN. BAGAIMANA MENURUT ANDA PAK PROF, MASIHKAH ADA HARAPAN BUAT SINTA??”.

“ SAYA PIKIR SINTA HARUS MENYERAH BU, PERTANDINGAN INI BUKAN LEVELNYA”.

“ PRRRIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTTT”.

“ PELUIT KEMBALI BERBUNYI. SINTA MELAKUKAN KICK OFF. DIA MENGGOCEK BOLA BAGAI PEMAIN BOLA PROFESIONAL. MUNGKIN DI KEPOLISIAN DIA RUTIN MAIN BOLA PROF. DIA MELAKUKAN GERAKAN “ STEP OVER “ TIGA KALI SEPERTI YANG BIASA DILAKUKAN PEMAIN TERBAIK DUNIA. SINTA BERHASIL MELEWATI SATU ORANG DIA MENDRIBLLE MAJU . TEKNIK YANG BAGUS DARI SINTA, DIA MELUNCUR KE DEPAN, BERGERAK MENYAMPING BERADU SPRINT DENGAN SEORANG GELANDANG BERTAHAN. DIA BERHASIL LOLOS”.

“ OOOOOOOWWWWWWW”, suara penonton yang terkesima melihat peristiwa di lapangan.

“ SEBUAH TEKEL DARI BELAKANG MENGHANTAM SINTA. GELANDANG BERTAHAN YANG KALAH SPRINT MENGGUNAKAN TEKEL BELAKANG DUA KAKI DAN MENJATUHKANNYA. SINTA BERDIRI MENGANGKAT KEDUA TANGANNYA MEMPROTES KEPUTUSAN WASIT. APA YANG TERJADI?? WASIT HANYA MENGGELENG DAN MENGISYARATKAN AGAR SINTA SEGERA BANGKIT”.

“ MESKI TERLIHAT SANGAT KECEWA. SINTA TIDAK BERLAMA-LAMA DENGAN PROTESNYA DIA BANGKIT DAN MENGEJAR BOLA YANG TELAH DIREBUT. LIHATLAH KINI DIA BEGITU AGRESIF UNTUK MENGEJAR BOLA. BERHADAPAN DENGAN PEMAIN YANG UKURAN TUBUHNYA JAUH DI ATASNYA DIA TAK RAGU–RAGU. BAHKAN DIA JUGA PERCAYA DIRI MELAKUKAN BODY CHARGE TERHADAP PRIA KEKAR DIDEPANNYA. PAK PROF TANGGAPAN MENGENAI PEKEMBANGAN DI LAPANGAN??”.



“ SINTA MENUNJUKKAN SPIRIT YANG LUAR BIASA KALI INI BU. LIHATLAH MESKIPUN KESEBALASAN NERAKA MEMEPERMAINKANNYA, DENGAN MEMUTAR-MUTAR BOLA DI HADAPANNYA SELAMA LEBIH DARI LIMA BERLAS MENIT BERJALAN, UNTUK MENJATUHKAN MENTALNYA. DIA SEOLAH TAK PEDULI DAN MAJU TIAP JENGKAL UNTUK MENGEJAR BOLA. STRATEGI INTIMIDASI KESEBELASAN NERAKA MULAI BUNTU MENGHADAPI KEBULATAN TEKAD SINTA”.

“ UUUH SEBUAH TACKEL DARI SINTA AKHIRNYA BERHASIL, DIA BERHASIL MEREBUT BOLA DARI KELENGAHAN PEMAIN TENGAH NERAKA. DIA MEMBAWA BOLA DENGAN SANGAT BAIK. BEGITU LENGKET BOLA DIGIRINGNYA. KEMBALI TACKEL DARI GELANDANG BERTAHAN, SINTA BERHASIL MELOMPAT, LALU BERPUTAR MENGECOH SEORANG PEMAIN LAINNYA. DIA MEMBAWA BOLA . SEKARANG DIA DIPEPET OLEH DUA ORANG PEMAIN. SINTA TENANG SEKALI, KESEIMBANGAN TUBUHNYA BEGITU BAIK, DIA BERHASIL MENYUSUP DARI DUA ORANG LANGSUNG MELAKUKAN TENDANGAN KE TIANG JAUH DAN…GOOOOLLLLLLLLL”.

“ Yesssssssss……..berhasil!!!, akhirnya aku bikin golllll, hosshh, hossshhh”, aku berlari ke arah Tantri untuk berbagi kebahagiaan.

“ Bagus Sinta!!! itu baru yang namanya keyakinan”, kami berjabat tangan.

“ Makasih Tri, tapi bagaimana trik selanjutnya agar aku bisa menang melawan mereka”.

“ Bekerja samalah dengan mereka!”, kata Tantri sambil menunjuk ke lapangan.

Tampak di lapangan telah muncul pemain-pemain yang berkostum sama denganku. Apakah mereka teman satu timku yang baru muncul??.

“ Mereka siapa Tri??”.

“ Mereka iman dalam dada yang menjadi nyata karena keyakinanmu kemudian menjadi rekan satu timmu. Sekarang pertandingan ini imbang Sinta. Sebelas lawan sebelas. Kamu tinggal perkuat keyakinanmu lebih kokoh dan tularkan kepada mereka agar tim semakin kuat dan dapat memenangkan pertandingan. MAJU SINTA SEMANGAT!!!!”.

“ PAK PROF SAAT INI TELAH MUNCUL TEMAN-TEMAN KESEBELASAN SINTA. APA ITU TULISAN SPOSNOR YANG ADA DI DADA MEREKA???”.

“ KEYAKINAN BU JOSELYN. MEREKA PUNYA SPONSOR DARI PERUSAHAAN KEYAKINAN. TUBUH MEREKA TERLIHAT KUAT-KUAT DAN IDEAL. TIBA-TIBA ANGIN PERTANDINGAN INI BERUBAH DAN SINTA PUNYA PELUANG MENANG. ANGGOTA TIMNYA TERLIHAT SAMA KUAT DENGAN KESEBELASAN LAWAN”.

Mendapat bantuan dari teman-teman yang berasal dari keyakinanku sendiri sangat membantu. Mereka bertempur tak kenal lelah melawan anggota kesebelasan neraka yang berasal dari sifat amarah, iri hati, keragu-raguan, hasud, dengki, dan segala elemen negative lainnya. bersama mereka aku berhasil menahan skor tetap 1-1 sampai peluit tanda pertandingan babak pertama berakhir.

“ PRRRRIIIIIIIITTTTTTTTTTTTT”.

“ AKHIRNYA PELUIT PANJANG BERBUNYI. KEDUA TIM SAMA-SAMA MELANGKAH KE RUANG GANTI UNTUK BERSIAP MENYONGSONG BABAK KEDUA. KITA KEMBALI KE STUDIO UNTUK MENYAKSIKAN PESAN-PESAN DARI RAJA SETAN BERIKUT”. Di dalam sebuah ruangan sempit stadion kami diberikan ruangan yang pengab, gelap, dan tidak manusiawi. Rupanya sifat-sifat baik manusia betul-betul dipinggirkan disini. Sebagai pelatih Tantri memberikan pengarahan ;

“ Baiklah, untuk Sinta dan sifat-sifat baiknya yang tumbuh subur dan menjadi pemain bola. Hanya ada satu hal yang akan bisa saya sampaikan sebagai pelatih ; babak kedua nanti, penonton akan menekan kalian dengan begitu hebat. Wasit juga akan turut serta bermain mengatur pertandingan dengan securang-curangnya.

Kalian akan berhadapan dengan pemain kedua belas dan ketiga belas dari kerajaan neraka. bagaimana cara mengahadapinya?? itu pasti yang kalian ingin tau. Ini trik yang akan sangat berguna untuk mengalahkan mereka ; Hadapilah goncangan-goncangan dari luar dengan tenang. jangan sekali-kali kalian terpengaruh dengan serangan dari luar, hingga merusak kondisi hati kalian sendiri. jagalah kesabaran, jangan ragu-ragu, tidak perlu takut selama kalian memiliki keyakinan akan sifat-sifat baik dalam diri. MENGERTI KALIAN???”.

“ SIAP MENGERTI BU PELATIHHHH”.

“ Mari kita berkumpul untuk berdoa bersama”, kata Tantri.

Sebagai tim kami meriung untuk sama –sama berdoa. Sekarang baru kulihat penampilan masing-masing dari anggota timku. Mereka begitu indah dan enak dilihat. Ada pemain laki-laki juga pemain wanita yang berpadu dalam sebuah kesetaraan yang harmonis. Berbalut kaos putih cahaya dan aura positif mereka membuat ruangan sumpek ini jadi sejuk dan terang. Rupanya cahaya betul-betul dapat merubah ruangan yang gelap jadi terang benderang.

“ Ya Tuhan, kuatkanlah tim kami dengan sifat-sifat baik untuk menghadapi mereka. Kuatkanlah hati kami dan jangan buat kami terpengaruh oleh segala hal buruk dari luar yang mereka sengaja ciptkaan untuk merusak hati kami. Tolonglah kami Amin. Teman-teman AYO KITA HIDUP UNTUK KEMENANGAN!!!!!!!!”

“ HIDUPPP TANTRIIIIII”, kami bersorak kompak. Kenapa nama Tantri yang disebut aku juga tak tau dan gak tertarik memikirkannya.

“ HIIYAAAAAATTTTTTTTTTT”, kompak kami semua berseru untuk menjalani hidup untuk kemanangan dan melangkah menuju lapangan dengan penuh keyakinan.

“ KITA KEMBALI KE STADION PARA PEMIRSA, KITA LIHAT BAGAIMANA KEDUA TIM SAMA-SAMA PERCAYA DIRI MENYAMBUT BABAK KEDUA. PAK PROF KOMENTAR ANDA MENJELANG BABAK KEDUA??????”.

“ KEDUA TIM SAMA-SAMA KUAT SEKARANG BU. TAPI PENONTON DI SEKELILING KITA TELAH MENGGILA. IBU RASAKAN SENDIRI ATMOSFER PERTANDINGAN MENJADI BEGITU PANAS, DENGAN PENONTON YANG TAK HENTI-HENTINYA MENGUMANDANGKAN YEL-YEL UNTUK MENDUKUNG TIM KESAYANGAN MEREKA. DUKUNGAN PENONTON INI PASTI AKAN SANGAT BERPENGARUH UNTUK MENDONGKRAK PERFORMANCE TIM NERAKA”.

“ BETUL SEKALI PAK PROF. TAPI MESKIPUN DEMIKIAN KITA DAPAT SAKSIKAN JUGA, BAGAIMANA TIM SINTA MENGHADAPI TEKANAN INI DENGAN BEGITU SABAR”.

“ PRRRRIIIIIIIITTTTTTTT”, peluit panjang berbunyi pertandingan babak kedua dimulai.

“ KICK OFF DARI KESEBELASAN SINTA. MEREKA LANGSUNG MELAKUKAN OPERAN PENDEK. OOH TIDAK BERHASIL! UMPAN DIPOTONG OLEH KESEBELASAN LAWAN. SERANGAN BALIK LANGSUNG DILAKUKAN. PEMAIN NOMER 9 ROBIN VAN AMARAH, MENYERANG DENGAN BRUTAL DAN MAIN SERUDUK SAJA. WASIT MENGANGGAP BUKAN PELANGGARAN. BEGITU CEPAT DIA MEMBAWA BOLA. OPER KE PEMAIN NOMER 10 BARON KEDENGKIAN, BERBAU HANDS BALL UMPAN TADI TAPI WASIT SEKALI LAGI TIDAK MENIUP PELUIT. PEMAIN NOMER 10 BERSIAP MENENDANG KE ARAH GAWANG.

OOOWW APA YANG TERJADI SAUDARA-SAUDARA, RUPANYA SEBUAH SLIDING TEKEL BERSIH BERHASIL DILAKUKAN OLEH FULL BACK NOMER 3 TIM SINTA PAOLO SABAR, DIA BERHASIL MEREBUT BOLA. LANGSUNG OPER KEPADA PEMAIN SAYAP WANITA SINTA NOMER 7 LUNA SYUKUR. GOCEK-GOCEK SEDIKIT DIA . PENONTON TERUS MENGINTIMIDASI LUNA. LUNA SYUKUR GOCEK BOLA DENGAN MENCUNGKIL BOLA MELEWATI SELA KAKI PEMAIN BELAKANG DAN BERHASIL LOLOS. DIA KIRIM UMPAN PANJANG KE DEPAN KEPADA PENYERANG ANDALAN MERAKA SINTA.

OOOOWWW PAK PROF, SINTA BERHASIL LOLOS DARI JEBAKAN OFF SIDE, LANGSUNG BERHADAPAN SATU LAWAN SATU DENGAN PENJAGA GAWANG. BOLA LAMBUNG MASIH MELAYANG DI UDARA, APA YANG AKAN SINTA LAKUKAN??? OOOWW SINTA MELAYANG, TERBANG MENYAMBUT BOLA, KIPER TELAH MENINGGALKAN GAWANGNYA. SINTA BERHASIL MENYUNDUL BOLA DENGAN TEPAT. BOLA MELAYANG BEGITU INDAH MENUKIK MENUJU GAWANG ……DAN APA YANG TERJADI SAUDARA-SAUDARA??????GOOOLLLLLLLLLLLLLL”.

“ YEssssssss berhasil lagi!!!satuuu golll ini untukmu Tantri”, aku sprint lari 80 meter menuju arah Tantri. Meski jaraknya jauh aku sangat ingin merayakan gol ini dengannya. Dia menyambutku dengan tangan yang telah siap untuk melakukan tos dan akupun menyambutnya dengan tos yang begitu bersemangat.

“ Tosssss”, tepukan tangan kami menggetarkan stadion.

Pasca tos dengan Tantri aku langsung mengepalkan tangan memprovokasi penonton. “ Apapun yang kalian ancamkan KEBENARAN PASTI MENANG!!!!!”, teriakku sambil menunjuk mereka satu persatu. penonton semakin mengamuk melihat provokasiku.

“ SEBUAH GOL SPEKTAKULER PAK PROF”.

“ BETUL BU. KITA LAYAK MEMBERIKAN JULUKAN THE FLYING SINTA KEPADA BELIAU KARENA GOLNYA YANG BEGITU INDAH. SINTA BETUL-BETUL BISA TERBANG”.

“ PENONTON MASIH TIDAK PERCAYA PAK PROF DENGAN APA YANG TERJADI. SINTA BERHASIL MEMBUAT SEISI STADION TERDIAM.

“ PRRRRIIIIITTTTTTTTT”.

“ KICK OFF KEMBALI BERGULIR. TIM NERAKA FRONTAL MENYERANG. DAVID DENGKI SEBAGAI SEORANG BEK TENGAH SAJA IKUT-IKUTAN MAJU MENYERANG. SEJUMLAH TABRAKAN-TABRAKAN KASAR KEMBALI TERJADI, WASIT TETAP DIAM SAJA. SINTA BERUSAHA MENAHAN PEMAIN SAYAP FERNANDO IRI YANG MELAKUKAN PENETRASI KE KOTAK PENALTI”.

“ BRRUUUUUGGGG”, bunyii sikutan.

“ UUUHH PASTI SAKIT SEKALI SINTA DISIKUT HINGGA BERGULING-GULING DI TANAH. BUKAN PELANGGARAN!!!. SINTA BANGKIT LAGI! BEGITU KUATNYA KEYAKINANNYA SEBAGAI WANITA DIA SAMA SEKALI TIDAK MANJA DAN BANGKIT SETIAP KALI JATUH. BERAPA KALI PUN DIA JATUH DIA KEMBALI BANGKIT DENGAN GAGAH BERANII”.

“ FERNANDO IRI OPER KEPADA DAVID DENGKI YANG MELAKUKAN OVER LAPING. OO APA YANG TERJADI?? DENGAN CERDIK GELANDANG BERTAHAN TIM SINTA, YAITU PEMAIN NOMER 16 BASTIAN DERMAWAN DAPAT MENCURI SEKALIGUS MEREBUT BOLA DARI DAVID DENGKI. BASTIAN MELAKUKAN SERANGAN BALIK. OPER BOLA KEPADA GELANDANG SERANG MEZUT TABAH. MEZUT WALL PASS DENGAN SAMY BESAR HATI, OPERAN SATU DUA LANGSUNG MENGARAH KE SISI KIRI LAPANGAN MENUJU LUNA SYUKUR. LUNA SYUKUR STEP OVER TIGA KALI MELEWATI SATU ORANG BEK, ONE ON ONE DIA DENGAN PENJAGA GAWANG. LUNA SYUKUR LOOP BOLA MELEWATI KEPALA PENJAGA GAWANG, DAN… GOOOLLLLLLLL….”.

LUNA SYUKUR BERLARI SAMBIL MENDADAHKAN TIGA JARINYA KE ARAH PENONTON TANDA BAHWA KEBATILAN AKAN SELALU KALAH.

SERANGAN BALIK CEPAT YANG LUAR BIASA DARI LUNA SYUKUR. PENONTON MULAI MENANGIS HISTERIS TAK MAMPU MEMPERCAYAI APA YANG DISAKSIKANNYA. SKOR 3-1 UNTUK KEUNGGULAN TIM SINTA”.

Aku berlari bersama teman-teman yang lain merayakan gol Luna Syukur. Rasa nyeri akibat diseruduk David Dengki kuhiraukan saja. kata Tantri apapun hal luar yang menghantamu jangan terpengaruh. Berpelukan erat kami sebagai sebuah tim. Alangkah indahnya ketika Luna Syukur, Samy besar hati, Mezut tabah, Bastian Dermawan, serta aku sendiri Sinta o’on dan teman-teman yang lain saling peluk dalam sebuah persatuan yang kokoh. Sebuah persatuan memang akan menguatkan siapapun yang menerapkannya. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Pepatah itu tiba-tiba terbayang.

“ PRIIIIITTTTTTTTTTTTTTTTTTTT”.

“ YAK PERTANDINGAN MULAI BERGULIR KEMBALI. ROBIN VAN AMARAH KICK OFF. KEBIMBANGAN MULAI TAMPAK DI WAJAHNYA. OPER DIA KEPADA BARON KEDENGKIAN, BARON OPER KEPADA MATT IRI. PEMAIN SAYAP MATT IRI OPER KEPADA FULL BACK PHILIP RAGU-RAGU . PHILIP TERLALU RAGU-RAGU SEPERTI NAMANYA. DITEKAN OLEH MEZUT TABAH DIA GOYAH. HILANG KETENANGANNYA, OPER SEMBARANGAN DIA KEPADA DAVID DENGKI. AHAYYYY SALAH UMPAN DIA. OPERAN JUSTRU JATUH KE KAKI PENYERANG TIM SINTA ROBERT IMAN. ROBERT TINGGAL BERHADAPAN DENGAN KIPER . DIA TIDAK EGOIS KASIH UMPAN KE SISI KIRI, ADA SIAPA DISANA. OOH ADA SINTA. DIA LANGSUNG MELAKUKAN TENDANGAN LURUS DAN GOLLLLLLLLLLLLLLLLLLLLLL”.

Kegembiraanku begitu meluap-luap sehingga aku langsung mengajak semua teman bersujud. Kami bersujud kepada Yang Maha Esa Pencipta segala kebaikan dan membuat kebaikan itu akan selalu menang melawan kejahatan. Dengan khusyuk dan penuh rasa terima kasih kami semua bersujud merayakan gol keeempat. Penonton di stadion yang dinanungi kajahatan semakin menangis melihat sujud kami.

Kami bertahan sebagai sebuah tim menghadapi tekanan demi tekanan dari kesebalasan yang penuh dengan amarah dan angkara murka. Tanpa ragu-ragu, dan penuh ketabahan kami mempertahankan setiap jengkal lebar lapangan untuk memperjuangkan sebuah nyawa.

“ PERTANDINGAN TELAH MEMASUKI INJURY TIME, KESEBELASAN NERAKA MASIH MENGURUNG PERTAHANAN TIM SINTA. YA AMPUN APA YANG TERJADI??? ROBIN VAN AMARAH DAN PHILIP RAGU-RAGU MALAH BERKELAHI SENDIRI. MEREKA BETUL-BETUL MEMALUKAN KARENA TAK SANGGUP MENANGGUNG RASA FRUSTASI.

BOLA DIAMBIL ALIH OLEH SINTA. SEORANG PEMAIN WANITA YANG BERUKURAN SEPERTI KUTU DIANTARA PARA PEMAIN NERAKA YANG BESAR-BESAR. SINTA MULAI MEMBAWA BOLA DARI TENGAH LAPANGAN, MENGAHADAPI ROBIN VAN AMARAH,SATU LANGKAH GOCEKAN KE KANAN DIA BERHASIL MELEWATI ROBIN. SINTA SPRINT MAJU KE DEPAN, DIHADANG OLEH BARON KEDENGKIAN DAN KOISUKE HASUT, SINTA MENGARAHKAN BOLA KE BAWAH KAKI BARON DAN DIAPUN LOLOS DARI DUA ORANG SEKALIGUS. HASUT SAMPAI TERJATUH. SINTA MAJU DENGAN YAKIN, DITUBRUK DIA DARI SAMPING OLEH PHILIP RAGU-RAGU, TAPI KESEIMBANGANNYA SANGAT KUAT, DIA MASIH BERDIRI, TINGGAL SATU LAGI KIPER SERGIO DENDAM BERUSAHA MENUTUP PERGERAKANNYA DENGAN SLIDING, SINTA MENAPAK SATU LANGKAH KE KANAN, DIA BERHASIL LOLOS MAJU SATU DUA LANGKAH KE DEPAN GAWANG YANG SUDAH KOSONG, LANGSUNG MELEPASKAN TEMBAKAN YANG.. GOOLLL…GOLLLL…GOLLLLLLLLL, 5-1 UNTUK TIM SINTAA….GOL SPEKTAKULER MELEWATI 5 ORANG PEMAIN PAK PROF.”.

“ PRIITTTTTTTTTT”, peluit panjang berbunyi pertandingan berakhir.

“ BERSAMAAN DENGAN GOL KELIMA, PELUIT PANJANG JUGA BERBUNYI MENGAKHIRI PERTANDINGAN 5- 1 UNTUK KEMENANGAN TIM SINTA”.

“ GRRRUUDUKK….GRRUUDDDUKKKK”, bunyi sebuah gerbang terbuka.

“ AHHHH APA YANG TERJADI PAK PROF?? SEBUAH GERBANG DIBELAKANG STADION TERBUKA LEBAR TAPI TAK ADA SATUPUN PENONTON YANG DAPAT MEMASUKINYA”.

“ ITULAH GERBANG “ HARAPAN DAN KETAKUTAN” BU JESOLYN. HANYA DAPAT DIMASUKI OLEH ORANG YANG MAMPU MENGHADAPI UJIAN DARI SIFAT JAHAT NERAKA. SINTA SANGAT KUAT DAN SABAR SEHINGGA MAMPU MENGALAHKAN KEKUATAN NERAKA INILAH SAATNYA DIA MELAKSANAKAN NIAT MULIANYA. KITA DAPAT LIHAT COACH TANTRI DAN SELURUH TIM MENDATANGINYA DAN MENGANTARNYA MENUJU GERBANG”.

“ Sin sekarang tinggal kamu sendiri yang dapat maju”, kata Tantri kalem memberi arahan.

“ Apa maksudmu Tri?? kan ada kalian semua yang akan menemaniku masuk ke dalam”.

“ Tidak Sinta hanya ada kamu sendiri. Dan hanya kamu yang dapat masuk, kami semua dan seluruh sifat-sifat baikmu hanya mampu mengantarkan sampai disini. Gerbang harapan dan ketakutan hanya dapat dimasuki olehmu”.

“ Lantas bagaimana caraku menyelamatkan Febi kalo kamu gak ikut Tantri??”, tanyaku.

“ Buktikan kalo kamu dapat mencintai orang lain sama seperti kamu mencintai dirimu sendiri hanya itu caranya!”.

“ Apa maksudnya itu Tri?? aku gak paham???”.

“ Percuma mencoba dipahami Sinta! kamu harus mengalaminya sendiri! masuklah ke dalam! kami mendukungmu! di dalam tidak ada lagi suara komentator ataupun penonton berisik yang akan mengkritik atau menyorakimu. Semuanya hanya tinggal keheningan. BERJUANGLAH!”, Tantri dan tim kebaikan melepasku.

*******************

Dengan berat hati aku memasuki labirin gelap gerbang “ harapan dan ketakutan”. Kulirik sebentar pada mereka yang merupakan perwujudan sifat-sifat baikku, kemudian kuberanikan diri untuk memasuki dimensi tanpa ruang dan waktu yang sangat hampa dan sunyi. Benar bila disebut ini adalah gerbang “ harapan dan ketakutan “. Berkali-kali aku begitu ketakutan dan hendak surut ke belakang untuk lari ke pelukan Tantri.

Tapi sebuah harapan untuk bertemu dengan Febi dan berkesempatan untuk menyelamatkannya mengembalikan niatku ke jalur awal.

“ Aku takut Sinta, kenapa kita tidak keluar saja dari sini. Begitu gelap tempat ini, tanpa ada satu berkas cahaya pun yang dapat menembus”.

“ Betul pikiran, jujur saja siapa sih yang mampu hidup di tempat suram dan gelap begini, masalahnya semua ini kulakukan semua untuk Febi”.

“ Kenapa sih kamu harus berjuang untuk dia?? dari orientasi seksualnya saja dia kurang jelas??”.

“ Aku tidak pernah menilai orang hanya dari kulitnya wahai pikiran. Setiap orang yang bergaul denganku diperlakukan setara dengan menjaga hati dan perasaannya. Febi sangat lembut juga baik. Kekerasan pendidikan Kepolisian gagal melenyapkan kelembutan di hatinya. Perasaan sayang kepada Febilah yang membuatku terus melangkah maju setapak demi setapak untuk sebuah alasan yang bahkan aku tak mengerti”.

Perjalanan ini terasa begitu jauh tanpa titik akhir. Kerongkonganku kering minta dibasahi oleh seteguk air. Masalahnya air apa yang terdapat di ruang hampa dan gelap??. Ususku merengek minta diisi makanan karena lapar. Sekali lagi pertanyaannya adalah diisi menggunakan apa?? tidak ada penjual makanan di jalan gelap nan begitu sunyi.

Semakin jauh melangkah aku makin gontai. Ruang dan waktu yang kukenal selama ini hanyalah 24 jam sehari semalam. Tak kurang juga tak lebih. Gerbang ini memaksaku merevisi pemahaman tantang waktu. Semakin jauh kumelangkah, semakin tua kumerasa. Jelas terasa punggungku menjadi bungkuk, mataku mulai rabun tak mampu lagi melihat jauh ke depan. Kecantikan kulitku yang begitu kencang berganti dengan kulit kendur yang kehilangan pesonanya.

Dari seorang pemain bola wanita yang begitu bertenaga sebelumnya, aku berubah menjadi nenek-nenek. Jangan-jangan waktu satu menit disini sama dengan 10 atau 100 tahun di dunia. Relativisme waktu mendadak berlaku bagi tubuhku.

“ Uuufffffff…..uhukkkk…..uhukkkk….aku lelah pikiran”, nada nenek-nenek terdengar.

“ Nafasku kenapa jadi cepat tersengal begini??? pikiran….woooiii pikiraannnn dimanakah kamu??? jangan bilang kamu juga meninggalkanku di tengah penderitaan ini??? “

“ UUffffff”, aku rebah dalam posisi tengkurap. Sudah tak mampu lagi melangkah. Dimensi waktu gerbang ini telah menyerap habis semua pesona kecantikan, sensualitas dan kesexyan tubuhku digantikan ketuaan dan ketidak berdayaan.

Hanya dalam hitungan menit Sinta seorang wanita yang diibaratkan bunga yang sedang mekar-mekarnya dirubah menjadi Sinta yang tua dan hanya menunggu waktu akan gugur lepas dari tangkai pohon dan jatuh kembali ke tanah.

“ Sintaaaa….Sinntaaa….tollloongg akuuuu”, suara Febi yang juga sama-sama tuanya menyadarkanku. Berusaha kuangkat kepalaku dengan tenaga seseorang yang tak lagi punya otot di tubuhnya.

Tak jauh dihadapanku, Febi duduk ditengah kobaran api yang hendak membakarnya. Kami berdua merintih, sama-sama tua renta dan tak memiliki lagi pesona yang membuat kagum dunia.

“ Tolong aku….”, Febi melambai-lambai minta tolong.

“ Huuuhhh”, berusaha kunaikkan tubuhku. Tapi aku terlalu lemah.

“ Bruuuggg”, aku jatuh.

“Aggghhhhh”,berusaha kukerahkan semua daya dan upaya.

“ Bruuus”, apa daya tak ada tenaga apapun yang tersisa aku terjatuh lagi.

“ Hugggghhhhh”, aku berusaha menggerakkan jempol kaki untuk membangkitkan harapan. “ Braaaggg”, tapi itu juga gagal. Hanya kepalaku saja yang naik turun tanpa harapan.

Ketakutanku akan usia tua telah menjadi nyata. Harapanku untuk menyelamatkan Febi dengan tenagaku sendiri juga sudah lenyap ditelaan kondisi seorang wanita tua renta. Di gerbang ketakutan dan harapan aku kehilangan keduanya sekaligus. Sepanjang jalan menuju gerbang aku melangkah optimis dalam usaha mencari Febi, dan ketika menemukannya aku tak mampu melakukan apapun lagi. Bahkan untuk menggerakan jari kaki aku tak sanggup. Sangat tragis.

“ HHiikk…hhiiiikkk”, hanya air mata yang dapat keluar dari kedua mataku menghadapi kejamnya kenyataan yang terjadi.

“ Hiiikkkk…hikkkkk”, aku terus menangis… menangis….menangis dan terus menangis hingga air mataku habis terkuras.

“ ……………”, akhirnya aku hanya bisa terdiam tanpa suara. Harapanku sudah sirna. Ketakutanku juga sudah lenyap. Apalagi yang harus kutanggung di pundak???. beban apa lagi yang harus kutanggung??. Semuanya tinggal tersisa kepasrahan.

Kuangkat kepalaku melihat Febi. Kali ini tidak lagi dengan keinginan menyelamatkan ataupun menolongnya. Sekarang dalam tatapanku yang ada hanyalah sebuah cinta yang murni. Cinta yang tulus untuk memandang seseorang sebagaimana adanya dan mencintainya tanpa harus menginginkan apapun.

Cinta yang memberikan segalanya, tanpa mengharapkan untuk memiliki, apalagi minta dibalas. Dalam pandangan mata hanya ada sebenih cinta yang tak sanggup lagi ditangkap oleh pikiran . Cinta yang murni. Berasal dari hati nurani.

“ Buktikan kalo kamu dapat mencintai orang lain seperti kamu mencintai dirimu sendiri hanya itu caranya!”, perkataan Tantri terdengar kembali.

“ Inilah jawabannya Tri. Cintaku yang lalu hanya tertuju pada diriku sendiri. Dan itu hanyalah cinta egois yang tak mempedulikan orang lain. Maka caraku untuk mencintai orang lain seperi halnya mencintai diriku sendiri adalah dengan memberikan segalanya untuknya tanpa mengarapkan balasan apapun untukku.

Dengan cinta itu aku tiba-tiba dibangkitkan. Rupanya tubuh yang tua tak sanggup untuk terus menerus tak berdaya dibawah energy cinta yang demikian kuat Energi cinta itu membuatku kembali muda dan menarikku bangkit, masuk kedalam selubung cahya putih gemilang yang menghilangkan semua lelah dan sifat tua. Cahaya putih itu yang kemudian membawaku dengan pasti menembus kobaran api langsung ke hadapan Febi.

Aku tidak berusaha apapun. Hanya bisa pasrah dan tunduk pada kekuatan cinta, kemudian cinta membawaku kehadapan Febi. Panas api tak mampu membakar gelora cinta. Harapan dan ketakutan telah lebur dalam satu sifat yang sejati. Cinta pulalah yang kemudian membawa tanganku untuk memeluk Febi yang telah tua renta dan tak memiliki harapan. Kupeluk dia dengan kasih sayang yang bersih dari nafsu birahi yang sering menipu. Cahaya yang menyelubungi kami kemudian meremajakan Febi dan mengembalikan kecantikannya kembali.

Cinta dengan ijin Tuhan meremajakan kami berdua memulihkan kemudaan kami dan mengembalikan kecantikan kami yang abadi.

Sinar kehidupan yang semula hilang dari wajah Febi kembali bersinar. Febi semakin bercahaya terang dan kami berdua lebur dalam satu cahaya gemilang yang begitu indah.

“ ………………………………….”.

“ Cprattttt”, bangun pemalas sudah siang!.

Tantri menyipratkan air ke mukaku, serta merta menyadarkanku dari perjalanan panjang dari dimensi tanpa ruang.

“ Trii, bagaimana keadaan Febiii???”, itulah pertanyaan refleks yang kunantikan jawabannya di dunia nyata.

“ Hidup Sin!!! dokter berhasil menyelamatkannya. Dia pasti disayangi Tuhan. Nafasnya sempat hilang lebih dari lima menit, tapi kemudian kembali muncul dan tiba-tiba dia kembali hidup. Mukjizat terjadi lagi didepan mataku Sinta”.

“ Seperti yang kamu lihat dulu menimpa Alex ya Tri???”.

“ Benar Sinta”, Tantri menggeleng mengingat peristiwa percintaannya .Dia merenung sesaat kemudian tersenyum penuh optimisme dan berujar ; “ Sekarang bersiaplah Sinta!! kita akan berangkat menuju RAPAT DENGAR PENDAPAT DI POLDA!!! ”.

“……………………………”.

Pelukan erat Tantri menentramkan suasana hati yang bergejolak tiada henti dalam enam hari terakhir. Seluruh cobaan, kerumitan persoalan kehidupan, serta dinamika pasang surut perasaan seorang wanita terobati dalam pelukan seorang sahabat. Adakah yang dapat menggantikan keintiman pertemanan antar dua orang sahabat??.

Keakraban hubungan antara sahabat terbangun atas dasar ketertarikan satu sama lain. Berdasar kesamaan minat, mereka mengokohkan hubungan dengan komunikasi, dan saling mendengar curahan hati satu sama lain. Dalam pondasi hubungan nan kokoh itulah masing-masing mereka merasa berharga, dibutuhkan dan layak hidup di belantara kehidupan duniawi yang kadang-kadang terasa tragis.

Pelukan Tantri memberiku kekuatan hidup. Difitnah demikian kejam di ruang sidang, sebagian dari diriku meminta untuk segera mengajukan surat pengunduran diri dari institusi Kepolisian. Semua jerih payahku selama mengabdi di Kepolisian seakan menghilang ditiup asap kepalsuan sebuah laporan. Apakah Negara tidak pernah menghitung bagaimana pengorbananku demi masyarakat??. Cukuplah mereka membayarku dengan gaji yang pas-pasan namun jangan fitnah diriku seperti ini.

Seandainya saja tidak ada seorang pun mampu membangkitkan jiwa positif dalam diri, bisikan iblis yang menuntut kompensasi untuk dihormati itu pasti kuturuti. Alasan utama merubah bisikan negative yang datang, adalah teriakan orasi para pedagang kecil pendukungku di luar sana. Tanpa mempedulikan rasa lelah dan terik matahari, mereka mengorbankan segalanya untuk seorang Polisi Wanita. Bisakah pengorbanan mereka dibayar dengan watak kekanak-kanakanku yang meminta berhenti sebagai Polisi?? jawabannya pasti tidak. Meski aku bekerja berpuluh puluh tahun ke depan sebagai Polisi baik, rasanya masih belum cukup untuk membayar pengorbanan mereka.

Bapak-bapak dan ibu-ibu di depan bukan orang kaya dan berkecukupan. Hidup mereka pas-pasan namun mandiri dan tidak ingin merepotkan orang lain. Menjadi pedagang, mereka mencari rezeki secara halal. Membayangkan mereka rela tidak mendapatkan uang satu hari ini, karena menutup lapak dagangannya demi diriku sangat membuat terharu, sekaligus mampu meniup jauh-jauh bisikan setan tadi. Seandainya saja di halaman Polda tidak banyak wartawan meliput, mereka pasti yang pertama aku ingin temui.

Selain mereka, motivasiku adalah Tantri. Polisi Wanita berusia sebaya denganku namun memiliki kebesaran hati dan banyak sifat mulia.

“ Dia masih berbulan madu Pak Hakim” , kata Kompol Eduard di ruang sidang. “ Belum membaca berkas dari kesatuannya”. Rangkaian kata itu menjadi bukti pengorbanan Tantri. Pasangan mana sih mau diganggu saat berbulan madu??. Bukankah momen sakral bagi para mempelai itu selayaknya dihabiskan berdua tanpa gangguan orang lain??. Alih-alih mengisi bulan madunya dalam lautan cinta dan kebahagiaan, sahabatku nan molek lebih memilih melewatkannya terbenam dalam kerumitan kasus seorang Sinta.

Perjuangan teman satu rumahku, dengan lebih memprioritaskan kepentinganku daripada kebahagiaannya sendiri layak diingat oleh setiap orang di ruang persidangan. Ketika aku memeluknya semua penonton di belakang kami bertepuk tangan dengan riuh. Mereka seolah turut merasakan apa yang kami rasakan. Berkali-kali jabat tangan, tepukan semangat di bahu, maupun doa mengharapkan keselamatan untuk karier kami di masa depan, menghampiri setelah sidang usai.

Bahkan seorang Ketua Persidangan, Kombes Pol Harun sampai turun langsung menjabat tangan kami, mengajak ngobrol dan memberi kata-kata inspirasi.

“ Brigadir Tantri dan Brigadir Sinta”, suara Kombes Pol Harun menyapa kami.

“ Siap Komandan!”, kami menjawab serempak.

“ Selamat! kalian berdua mengajarkan banyak hal mulia kepada kami hari ini!”.

“ Mohon ijin Komandan??”, Tantri bertanya.

“ Persidangan belum pernah berbalik arah sedemikian kencang Tantri”.

“ Berbalik arah Komandan??”, tanyaku gantian bertanya.

“ Kamu hampir pasti akan kembali ke tahanan tadi Sinta, seandainya tidak muncul surat dari Kompol Burhan”.

“ Siap Komandan”, jawabku.

“ Ijin, tapi kenapa Komandan memutuskan untuk membebaskan Sinta hanya berdasar secarik surat tersebut??”, Tantri dengan kritis bertanya.

“ KEPERCAYAAN Tantri! itu hal besar yang kalian ajarkan kepada kami”.

“ Eeeee maafkan saya kalo tidak mengerti Komandan. Tapi saya betul-betul gak paham??”, aku bertanya lugu.

“ Kita percaya dengan seseorang manusia Sinta, walaupun orang bersangkutan tidak hadir dan terlihat di ruang sidang. Bahkan dalam perjalanan kariernya Beliau sempat berubah dengan mencontohkan hal-hal kurang baik. Akan tetapi setiap orang yang pernah merasakan secara langsung karakter Komisaris Burhan akan memiliki kepercayaan kepadanya. Saat reses, banyak hakim anggota menyerang catatan hitam Burhan, tapi kepercayaan kami kepadanya membuat catatan itu menjadi tak berarti”.

“ Siap Komandan”.

“ Mengabdilah dengan baik untuk Kepolisian! Kalian masih muda. Masih jauh perjalanan. Selalu berbuat terbaik meskipun dunia mengatakan yang terburuk tentang kalian! Kelak ketika mereka yang berkata buruk merasakan sendiri kebaikan kalian, mereka akan belajar untuk percaya pada Institusi Kepolisian. Persis seperti anggota dewan hakim belajar percaya pada Kompol Burhan. Kalian mengajarkan kami untuk memiliki sebuah kepercayaan”.

“ Siap Komandan!”.

“ Mereka akan belajar untuk percaya pada Institusi Kepolisian “. Sangat indah perkataan Komandan Harun, menjewer pikiranku sendiri, yang meskipun sesaat tapi mewacanakan untuk mengundurkan diri. Bagaimana bisa aku mundur, sedangkan para anggota hakim saja belajar kepada kami?. Sebenarnya pujian Hakim Ketua sangat berlebihan tapi ada benarnya. Percaya merupakan kunci hubunganku dan Tantri. Berapa kali coba aku bertanya pada Tantri namun tidak dijawab?. Juga betapa sifat “ o’on ku” sangat membahayakan dia tapi tidak dihiraukannya. Siapa sangka kepercayaan yang kami bangun dalam rumah dinas dahulu, dapat memancarkan auranya hingga ke ruang sidang.

Ada sebuah nasihat seorang pujangga kubaca berulang-ulang waktu di asrama ; “ Bila ingin merubah dunia, rubah dirimu sendiri terlebih dahulu”. Betulkah jika dengan bahasaku sendiri petuah itu kugubah menjadi ; “ Bila ingin membuat dunia percaya pada dirimu, terlebih dahulu percayalah pada dirimu sendiri”. Nah kata-kata itu terdengar bijak dan menggambarkan peristiwa barusan.

Pak Harun melanjutkan memberi kami motivasi dalam mengarungi dunia kerja. Dia ceritakan pasang surut kariernya selama puluhan tahun. kami mendengar dengan respek segala hal yang diutarakannya. Bagaimana Beliau bertahan tetap menjadi Polisi idealis nan setia menjunjung tinggi kode etik, walau dihadang berjuta rintangan menjadi poin terpenting yang kami akan selalu ingat sepanjang perjalanan karier.

Lama beliau bercerita, khususnya mengenai besarnya rasa pengertiannya pada kami selaku anak buahnya di persidangan. Dikatakan bahwa alasan utama Beliau bersimpati pada kami adalah karena sebuah alasan sepele yaitu ; rasa kesetiaan pada Korps. Bukan arti kata ini dalam arti negative, akan tetapi dari sisi positif. Sebagai seorang Polisi baik, kemudian melihat anak buahnya berjuang untuk kebaikan, menerbitkan simpati dan bela rasa. Itulah sebabnya Beliau membela kami.

Rasa cinta akan kebaikan jugalah yang membuat Beliau mengamanatkan sebuah tugas pada kami. Beliau menitipkan nomer hand phone untuk dapat kami hubungi. Guna nomer itu hanya satu ; kami harus melaporkan pada Beliau terkait berita Komisaris Burhan. Bagaimana kondisi Pak Burhan, apa curahan hatinya, bahkan siapa penembak misterius sore itu bila beliau sudah bisa bercerita, harus segera dilaporkan kepada Beliau.

Aku dan Tantri menyanggupi tugas itu. Untuk Tantri yang sudah pernah bersua sebelumnya dengan Pak Burhan tugas ini relative mudah. Tapi untukku?? tentu tak semudah kelihatannya. Ada hubungan emosional tumbuh antara aku dan Pak Burhan. Entah hubungan apa itu sebenarnya, yang pasti terdapat rasa sayang, hormat, dan segan berbaur menjadi satu. Pertemuan singkat antara kami berujung malapetaka. Bila Tuhan mengijinkan momen pertemuanku nanti dengan Beliau pastilah emosional.

Setelah Pak Harun pergi, barulah kami berdua beranjak meninggalkan ruang persidangan. Kali ini tidak lagi dikawal oleh anggota Provost. Tanpa pengawalan merupakan sebuah anugerah karena disanalah aku merasa bebas. Bayangkan saja sudah beberapa hari ini, aku melangkah gontai terpasung dari dunia luar. Di kanan dan kiri berdiri pria ataupun wanita berbadan besar yang menjepitku. Kini semuanya telah usai. Semoga untuk selamanya.

Bersama Tantri aku melangkahkan kaki ke luar dan menghirup kebebasan. Aku sangat ingin menemui para pendemo tapi dia menolak. Sekali lagi, dengan alasan untuk menghindari kejaran wartawan, Tantri menyusupkanku ke sebuah jalan tikus terhubung langsung dengan pintu samping Polda.

Meskipun aku sangat kecewa dengan keputusan Tantri, hati ini paham untuk sementara itulah keputusan terbaik. Kemampuan menjawab pertanyaan wartawanku masih sangat gagap, sedang kasus ini tergolong begitu sensitive dengan kejanggalan di mana-mana. Lebih baik aku menghindar dulu nanti ketika suasana telah pulih baru kutemui mereka.

Seakan masih tak percaya dengan namanya mukjizat, detik ketika kaki ini menyentuh pelataran dunia luar nan asri, aku bersujud di tanah. Tantri tak dapat mencegahku. Tak kupedulikan debu atau kotoran disana, aku hanya ingin bersujud dan mensyukuri kebebasan. Teringat jelas saat aku bersyukur bersama teman-teman di theater of hell dunia mimpi. Bagaimana perasaan damai dan tenang selalu menemani setiap tarikan nafas kita kala sujud.

“ Sudah Sinta, ayoo bangun!”, Tantri menepuk bahuku.

“ Hikkk….hiiikkk….hiiikkk”, aku menangis.

“ Ayo kita pulang!”, peluk Tantri mengajakku bangun.

“ Iya Tri hikk…hikk…aku udah kengen rumah dinas”, jawabku masih sesenggukkan.

“ Kamu pulang ke rumahku bukan ke rumah dinas”, lembut jawaban Tantri.

“ Lho??? Aaaaku ggak mmau ganggu kamu Tantrii. Kamu udah terlalu banyak membantu”.

“ Sampai Tanto ketangkap Sinta! Cuma sampe dia ketangkap. Lagipula gak aman kalo sekarang kamu pulang”.

“ Yakin gak apa Tri?? Alex gak keberatan??”.

“ Dia tidak keberatan Sinta! kami senang kamu tinggal di rumah kok”.

“ Terima kasih banyak ya Tri”.

“ ……………”, Tantri kembali merangkulku sebagai ungkapan sayang.

Dia terus memelukku hingga kami tiba di mobilnya.

“ Masuklah Sin! biar aku yang mengemudi!”, Tantri mempersilakanku naik. Tak lama kemudian dia menstarter mobil dan menginjak pedal gas untuk membawa kami meninggalkan pelataran gedung Polda. Banyak cerita di gedung ini yang tak akan kami lupakan untuk bertahun-tahun lamanya.

***********************************

Tantri membawaku menginap di rumahnya. Rumah Tantri sederhana namun rapih dan tertata indah. Katanya, rumah ini merupakan wujud cinta mereka berdua. Entah dia akan tinggali rumah ini untuk berapa lama, karena tuntutan kerja kami sering meminta untuk pindah tugas, namun Tantri merawat rumah ini dengan sangat baik. Sama seperti ketika dia tinggal di rumah dinas, Tantri selalu mengutamakan kebersihan dan kedamaian di dalam rumahnya. Bukan hanya kondisi rumah wajib terjaga, namun terpenting keadaan hati para penghuninya. Dia tidak ingin mendengar atau menjumpai pertengkaran apalagi kekerasan terjadi di sini karena hati orang yang mendiaminya dipenuhi curiga.

Lihatlah ke sekeliling rumahnya, sebagai wanita pembersih dan perfeksionis rumah Tantri memang sangat bersih. Dia mengakui rumah ini secara resmi baru mulai ditinggali kemarin sepulangnya mereka dari bulan madu. Akan tetapi sejak mereka merencanakan pernikahan, rumah ini telah dirawat dengan begitu telaten agar, saat waktunya tiba, mereka dapat mendiaminya dengan nyaman. Di dinding terpasang foto Tantri dan Alex saling bergandengan tangan dan menatap begitu mesra penuh limpahan kasih sayang.

Perjalanan cinta mereka berdua terbilang panjang dan penuh rintangan. Mulai dari status Alex sebagai orang biasa, hingga keindahan penampilan fisik maupun kecerdasan Tantri begitu tersohor dan menjadi incaran para perwira muda dari semua kesatuan, mampu mereka atasi dengan keteguhan hati dan keyakinan teguh. Kesungguhan mereka berdua untuk berjuang mewujudkan cintanya hingga tiba di pelaminan layak ditiru oleh semua Polwan.

Dalam keseharian kami memang wanita berseragam dengan standart disiplin tinggi. Namun dibalik itu, kami tetaplah para wanita yang butuh dicintai dan dihargai sebagai manusia normal. Kami para Polwan sangat memerlukan pasangan yang dapat memberi rasa cinta selama pengabdian kami untuk Negara. Kami butuh belahan jiwa untuk mengisi hari dan menyediakan bagi kami penerimaan, penghargaan, dan kasih sayang. Semoga kelak aku dapat menemukan cinta sejatiku kemudian berusaha mewujudkannya seperti Tantri dan Alex.

Mereka berdua membuatku kagum. Bagaimana ya bila kelak aku bersuamikan pria biasa-biasa saja dan bukan Polisi??. Skenario itu belum pernah terlintas di benakku sebelumnya. Dalam khayalanku Polisi hanya pas bersanding dengan Polisi. Mereka satu dunia kerja seharusnya lebih mudah untuk saling mengerti. Bila bersuamikan pria dengan profesi lain, apakah mereka bisa mengerti kami?? Itulah ketakutan terbesarku. Tapi Tantri bisa, lantas kenapa aku tak bisa?. Punya suami beda profesi juga bisa digunakan memperluas cakrawala.

Asyik berfikir, dahiku berkerut dan tangan menyentuh dagu. Poseku seperti para apa ya kalo Tantri biasa ngomong, ah ya seperti para filusuf tercetak di patung-patung.

“ HEIII SERIUS AMITT”, Tantri menganggetkan. Sangat mengejutkan tepukannya sampai buat aku meloncat kaget.

“ Hiiiiiiiiiiiiii….Tri kamu ngagetin aja!!!”,

“ Kamu udah kayak Professor aja sih gayanya!! Mikir apa sih??”.

“ Eeeee enggak gak mikir apa-apa”.

“ Tuh kan main rahasia-rahasiaan”.

“ Kan belajar dari kamu Tri”.

“ Huuuhhh dasar”, Tantri merengut.

“ Ha ha ha”, untuk pertama kalinya aku bisa tertawa lepas membalas kelakuannya.

“ Hush jangan kelebaran ketawanya nanti lalat masuk”, balas Tantri sambil menutup mulutku gemas dengan jarinya. “ ini kamarmu ya Sin! Selama tinggal disini, bebas-bebas aja ya anggap seperti di rumah dinas saja!!”, katanya.

“ Tri tapi sampai kapan aku tinggal disini?? gak enak tau, belum lagi sama Alex”.

“ Iya aku mengerti perasaanmu Sinta. Tapi ini untuk kebaikanmu sendiri! sampai Tanto tertangkap ya! habis itu kamu boleh kembali ke rumah dinas”.

“ Tri harus ngapain aku buat membalas semua kebaikanmu???”.

“ Hushhh kamu gak perlu melakukan apa-apa!! cukup jadilah dirimu sendiri Sinta. Kami cinta dirimu apa adanya”, Tantri menepuk bahuku.

“ Emang kayak apa diriku apa adanya Tri???”.

“ Mmmm banyak sih, sifat-sifatmu unik, yang paling berkesan buatku kamu itu polos, lugu, jujur, dan….”.

“ Dan???”.

“ Enak buat dicubitin pipinya hiiiiiiii”, Tantri mencubit kedua pipiku dengan gemas.

“ Auuuuu sakit Tantriiii”, kali ini aku hanya mengelus-elus pipi dan tak membalas kelakuannya.

“ Ha ha ha, makanan udah siap tuh di meja Sin. Makan dulu ya habis itu istirahat!. Aku mau kembali ke kantor sebentar ada yang mau diurus”.

“ jadi aku ditinggal sendiri Tri???”.

“ Iya donk. kenapa, takut???”.

“ Enggaklah masak Polwan takuuut!”.

“ Bagus! ”, jawab Tantri sambil mengacungkan jempolnya ke arahku dan melangkah cepat keluar rumah.

Untuk sesaat aku masih terbengong dalam suasana sunyi rumah Tantri. Aku bukan takut dalam kesendirian. Tapi masih belum percaya dapat meraih kebebasan. Kucubit lenganku keras untuk men-check jangan-jangan aku mimpi. Auuuu sakit kok, berarti aku telah benar-benar bebas. wah senangnya.

“ AKUUUU BEBASSSSSSSSSSS”, tak peduli di dengar tetangga aku berteriak sekencang-kencangnya.

Kebebasan ini harus kukabarkan secepatnya pada orang-orang terdekat. Siapa lagi kalo bukan Papa dan Mama di rumah. Mereka pasti cemas sekali dengan keadaan anaknya yang bolak-balik masuk teve dan diberitakan sebagai tahanan. Lagipula pemberitaan jaman sekarang diulang-ulang lebih banyak daripada orang makan obat.

Segera kuberlari keluar rumah untuk mencari counter pulsa. Kala kutemukan, kubeli hape seadanya dengan harga terjangkau, kemudian mengisi pulsa banyak-banyak biar bisa lama menelpon mereka berdua. Setelah semuanya sudah dibeli, barulah aku balik kanan lagi ke rumah Tantri dengan berlari. Rasanya sudah tak tahan untuk menumpahkan semua curahan hati dan gundah gulana yang telah tertimbun kepada Mama dan Papa tercinta.

Sampai rumah aku langsung menghambur masuk kamar dan memencet nomer telpon. “ tuuuutttt……tuuuutttt…..tuuuuutttttt”, bunyi panggilan telpon menunggu diangkat.

“ Halo “, suara wanita paruh baya mengangkat telpon.

“ Ma ini Sinta!!”.

“ SINTAAAAA GIMANA KABARMU NAKKKK…. MAMA SAMA PAPA UDAH MAU BERANGKAT KE SANA. KAMI CEMAS MELIHAT BERITA KAMU DI TV. DIMANA KAMU SEKARANG NAK????? UDAH MAKAN BELUM???????”, mamaku sangat histeris.

“ Ma, tenang Ma, Sinta sehat Ma…..”, aku mulai curhat panjang lebar kepada Mamaku tersayang. Persis seperti para anak gadis lain kalo udah curhat lupa waktu, aku pun demikian. Kuhabiskan waktu dari siang hingga menjelang maghrib untuk menelpon tanpa jeda.

Kutenangkan orang tuaku yang begitu panik dan cemas. Mereka sampai hendak membawa keluarga satu kampung ke sini untuk menjenguk. Wah bisa ribet nanti ngurusnya kalo keluarga besarku datang semua. Mau diinapkan dimana mereka?? aku saja masih harus mengungsi di rumah Tantri. Huh pokoknya lelah meyakinkan papa dan mama untuk tenang dan gak maksain diri datang kesini. Namanya orang tua pasti mencintai anaknya lebih besar daripada anaknya mencintai mereka dan siap berkorban apa saja.

Sepanjang sore itu kegiatanku di rumah Tantri hanya menghabiskan waktu untuk menelpon sampai telinga panas. Setelah itu aku beribadah maghrib sejenak, kemudian karena kelelahan parah, jatuh tertidur dan lupa makan siang.

********************** Rasanya lama aku tidur, hingga akhirnya terbangun jam sepuluh malam karena perut begitu keroncongan. Biasanya kalo udah tidur aku susah bangun tapi belakangan ini waktu tidurku memang amburadul. Huh lapar sekali, sudah berapa lama kamu tertidur Sinta. Aku berjalan keluar kamar sambil mengucek-ngucek mata. Tadi karena keasyikan menelpon aku lupa tutup pintu dan menyalakan lampu kamar. Untunglah ruang tamu masih menyala sehingga cahaya masih bisa masuk dari cela pintu kamar. Kala hendak kupegang gagang pintu sebuah suara menahan langkahku.

“ Sinta udah tidur Ma??”, suara Alex akhirnya terdengar.

“ Udah Pa, dia kalo udah tidur biasanya lama, pagi baru bangun”.

“ Nih Papa bawain teh diminum dulu!”.

Kuintip dari pintu untuk melihat posisi ngobrol mereka. Berdua mereka sedang duduk di sofa berposisi membelakangiku sambil menonton televisi. Letak kamarku tepat di balakang mereka. Gelapnya kamar membuatku tak khawatir mereka bisa melihatku.

“ Hayooo kenapa garuk-garuk hidung terus?? lagi suntuk ya!!!”.

“ Iya stress sama kerjaan Pa”, Tantri melendotkan kepalanya pada dada bidang suaminya.

“ Berhenti donk garuk-garuk hidungnya! coba ceritan ke Papa apa masalahnya!”.

“ Mama capek jadi orang lain Pa”.

“ Lho?? maksudnya gimana istriku yang cantik??”.

“ Jadi wanita tanpa ekspresi, raja tega, harus menutupi perasaan setiap saat, sangatlah berat dan mengiris hati ”, nada suara Tantri terdengar emosional.

“ Pasti ada kaitan sama kasus Sinta ya Ma??”.

Dari posisi duduknya kulihat, Tantri mengangguk. Wah tanpa sengaja aku bisa nguping nih orolan mereka. Apalagi topiknya serius terkait diriku. Rasanya sejak lama aku penasaran ingin mengetahui bagaimana sih sebenarnya penilaian Tantri terhadapku. Sekaranglah saatnya!.

“ Sahabatku itu baik sekali Pa. Belum pernah aku jumpai Polwan sepolos dia. Coba Papa bayangkan seandainya di posisi mama, di hadapan orang banyak harus menamparnya hingga jatuh pingsan…”.

“ Menampar sahabat karib sampai pingsan???”, Alex terkejut.

“ Sssst jangan keras-keras nanti Sinta bangun”.

Mereka membalik wajah serempak menatap ke kamarku. Kaget aku berlari ke sprint balik ke kasur dan pura-pura tidur. Eeee bodohku kok gak ilang-ilang ya. Mereka kan hanya ngelirik doank dan tidak berniat menyidak kamar. Huuuh memberanikan diri kembali aku berjalan perlahan lagi ke cela pintu, khusus untuk mencuri dengar obrolan orang dewasa.

“ Terus gimana Ma??”.

“ Tamparan itu melukai hati Mama. Menggendong tubuh Sinta yang tergoler pingsan di depan mata sendiri sangatlah traumatis”, Tantri menutup matanya berusaha melupakan insiden itu. “ Apalagi sebelumnya Mama sok-sokan memberanikan diri menggendong Inspektur Febi dengan penuh ceceran darah di perutnya”.

“ Papa tolong! mama gak bisa ngelupain pemandangan tragis itu”, Tantri gemetar sepertinya mengalami trauma.

“ Ssssttt tenang Mama…bersabarlah”, Alex merangkul mesra Tantri dan mengelus-elus rambut pendeknya dengan penuh rasa sayang.

“ Mama bersumpah tidak pernah berniat menampar Sinta ataupun berlagak berani untuk meyelamatkan Febi. Mama takut ngelihat darah Pa”, Tantri mengakui ketakutan terbesarnya. “ Semoga Sinta memaafkan Mama, juga Semoga Tuhan menyelamatkan Febi hik..hikkk”, tampak jelas di mataku Tantri menangis.

“ Sssst jangan menangis! Kan ada Papa disini”, penuh cinta alex terus mengelus rambut istrinya.

“ Hiikk…hhiikkk, saat laporan mama diserang habis-habisan oleh anggota hakim di ruang sidang Pa, rasanya sakit sekali hikk…hiikk…tapi…hikk..hhikk sebagai anggota Polwan, mama tidak boleh terlihat lemah. Menyembunyikan perasaan dari dunia itu berat sekali..hu…huu…hhuuuuu”, tangisnya meledak tak tertahan. Untuk pertama kalinya aku melihatnya sebagai manusia normal. Tidak hanya seorang Tantri nan jenius, cantik, cemerlang akan tetapi dia juga masih punya sesuatu yang perlu dihargai oleh orang lain. Waktu masih serumah, bila ada masalah dia hanya mengurung diri di kamar.

“ Ssstt…sssstt…sssstttt”, Alex berusaha meredakan kesedihan Tantri.

“ Mama ngundurin diri aja ya Pa!”.

“ Hush nanti kalo Mama mundur, Kepolisian kehillangan satu orang Polisi baik donk!”.

“ Emang mama baik Pa??”.

“ Sangat baik”, Alex tersenyum.

“ Sinta Sahabatku yang paling baik saja kutampar sampe pingsan, masak orang baik ngelakuin itu Pa??”.

“ Demi kebaikan Mama. Hanya untuk kebaikan tindakan itu terpaksa dilakukan”.

“ Bagaimana cara mama biar bisa pulih ya Pa ??”.

“ Jangan lupa Mama udah punya suami sekarang ! memang kita baru semingguan menikah. Kata para senior, sedang dalam proses adaptasi dalam hubungan pernikahan. Tapi yang terpenting, kita kan sudah mengikat janji untuk terus bersama dalam segala situasi.Suka, duka, panas, dingin, kaya, miskin, kita sudah komit untuk selalu bersama Istriku tercinta”, Alex mencium kening Tantri.

“ Terus bersama ya Pa”.

“ Iya! Mama tidak sendiri lagi! lupakan Tantri yang biasa menyelesaikan persoalan seorang diri. Sudah ada suami sekarang yang bisa dijadikan tempat Mama bersandar dan menyerahkan segala beban persoalan”.

“ Menyerahkan segala beban???”, Tantri menatap langsung ke wajah Alex.

“ Betul! bukankah lebih ringan kalo mama udah curhat tentang masalah yang bikin gundah gulana??. Kalo udah cerita kita berdua bisa cari solusi terbaik”.

“…..”, Tantri mengangguk. “ Terasa lebih ringan sekarang ”, akhirnya dia bisa tersenyum. Beban masalahnya tadi sudah bisa dilepaskannya.

“ Itulah gunanya kita menikah. Untuk meringankan hidup kita. Biasanya mama sendiri kalo ada masalah, terus ngurung diri di kamar, nangis-nangis sampe ketampung di satu galon air matanya”.

“ Hussss lebay amat sih Pa!”, Tantri mencubit pipi Alex.

“ Ha..ha sekarang mama gak usah begitu lagi! ada masalah cerita aja ke Papa! mudah-mudahan lebih ringan hidup kita ”.

“ Hidup ringan yang membawa kita menuju kebahagiaan ya Pa”.

“ Akhirnya istriku sang jenius telah kembali he he”.

wajah Tantri terlihat memerah dan menunduk karena tersipu.

“ Mama paling cantik kalo lagi tersipu begini”, Alex memegang dagu Tantri dan mencium bibirnya.

Dari pintu tepat di belakang mereka, aku terus menguping dan mengintip . Sempat terlintas niat untuk tidak mengintip, namun rasa ingin tau meniadakan niat itu. Dengan antusiasme tinggi kuintip lagi aksi percumbuan mereka di sofa.

Kepala Tantri terbenam di punggung sofa sedangkan Alex asyik mencumbunya dari atas. Belum pernah kusaksikan sebelumnya sebuah ciuman dapat sedemikian bergelora. Alex begitu menikmati apa yang sedang dilakukannya. Tanpa terburu-buru dia menghisap bibir sexy istrinya. Ciumannya disertai aksi saling hisap yang dalam. Tangannya kulihat juga mulai meraba-raba ke bawah tubuh Tantri. Terhalang sofa membuatku hanya bisa menyaksikan aksi cumbuan mereka saja.

Tak lama, Alex melepas ciumannnya dan mengecup sekeliling wajah Tantri. Pipi, telinga, dagu yang lancip semuanya dicium dengan gairah membara. Tantri baru saja mencurahkan isi hatinya penuh derai air mata, kini dia dapat mengatur emosinya dan bersikap pasif saja menikmati semuanya sambil rebah di punggung sofa.

“ Uuuuhhhh Paah”, dia mulai mendesah ketika cumbuan Alex tiba di leher dan menjilati permukaannya. Rambut pendek Tantri ditepikan Alex dengan tangannya dan dia mencumbu tengkuknya dari samping. “ Sssssstt ”, Tantri gemetar geli-geli nikmat.

Kepala Alex yang nyungsep menjelajahi leher dan tengkuk mulai dijambak rambutnya oleh sahabatku. Jambakan itu bukan dimaksudkan untuk mengusir lidah suaminya, namun untuk memberi semangat agar aksi penjilatan itu diteruskan dengan lebih liar. Mendapat sinyal, Alex semakin mengintensifkan serbuannya. “ aaahhh ssshhiiitt…..aaaahhhhh”, sepertinya tangan Alex dibawah sedang memompa payudara Tantri hingga memicu reaksi demikian heboh.

“ Sssssttttt”, Alex menghentikan aksinya, menutup mulut sang istri dengan tangan, kemudian menatap pintu kamarku. Aku sangat kaget, dengan reflek responsive aku tiarap di lantai kamar.

“ Ooo..ooo…Sinta ketauan ngintip lagi..”, lucunya dalam keadaan begini pikiranku justru menggubah lagu dangdut terkenal disesuaikan dengan kondisi terkini dan membuatku tertawa terpingkal sendiri.

“ Jangan keras-keras nanti Sinta bangun!”, bisik Alex.

“ Gak usah khawatir, dia kalo udah tidur susah bangun. Udah mama siapin tadi makanan di meja. Kalo dia udah makan bisa tambah lama tidurnya”.

“ Yakin Ma??”, Alex masih memandang kamarku. Pasti dia tak dapat melihatku karena aku sudah menempel ke lantai dan kamar gelap.

“ Yakin baget!! ayo donk terusin Pah, tanggung nih”, Tantri merajuk.

“ He he tanggung gimana Mama??”.

“ Mmmm enaknya tanggung papah”.

“ Mama pengen enak???”.

“ Mmm.mmmm”, Tantri mengangguk manja.

“ Bilang donk!”.

“ Pah mama pengen….”.

“ pengen apa hayoooo”.

“ Pengen basah”.

“ Mmm basah dimana??”.

“ Di itu tuh”, Tantri melirik ke area bawah tubuhnya.

“ Hi hi hi papa seneng kalo mama ngomong nakal siap-siap ya”.

Tubuh Tantri sekarang dibaringkan Alex agar rebah dengan kepala tersangga bahu sofa. Alex turun ke “ bawah” untuk mengolah organ nikmat rahasia para wanita. Posisi mengintipku sekarang sudah tidak tiarap lagi, aku bisa duduk bersila dan menonton dengan tenang. Tapi pemandangan yang bisa kuliat hanya kepala Tantri dan kaki Alex saja.

“ Uuuuuhhh…”, kepala Tantri mulai terlihat gelisah. Desahan lebih sering keluar dari bibirnya. dari tanda-tandanya sepertinya permainan oral sex udah dimulai nih. Sayang aku hanya bisa melihat sebagian dari adegan “ live show” ini. Maunya sih liat full, tapi gini juga gak apalah, toh sama-sama nikmatnya.

Tangan Alex melempar celana training panjang yang Tantri kenakan berikut celana dalamnya. Kini Tantri telah telanjang bulat di bawah sana. Kakinya satu dinaikkan ke punggung sofa. Jelas kulihat kaki jenjang Tantri begitu mulus tanpa bulu sama sekali. “ Ooooohhhh”, desahan nyaring terdengar, dengan kaki terbuka selebar itu, Alex pasti lebih bebas mengeksplore lubang sempit nan nikmat miliknya.

Sejenak aku berfantasi sendiri tentang apa yang terjadi di balik sofa. Pikir-pikir kalo perawatan kaki aja bisa semulus itu, vagina Tantri ada jembutnya gak ya??. Hmm pasti dia babat habis rambut dibawah sana untuk memberi palayanan maksimal buat sang suami.

“ Aaaahhhhhhh”, desahan nikmat terus-terusan terdengar. Sebagai wanita Tantri tipe yang menurutku amat percaya diri. Jalannya “ permainan“ mereka di ruangan utama rumah lho. Tapi tidak menghalangi Tantri meraung-raung mengekspresikan dirinya. “ Uuhhhhhh”, wajah Tantri kini menghadap ke arah kamarku. Tampak jelas kulihat dia mengigit kaos yang masih dikenakan untuk menyalurkan rasa “ nano-nano” di vaginanya.

Kulit wajahnya nampak bersemu merah dan dia sudah begitu kesulitan membuka matanya. terpejam dia menggigit kaos dengan satu tangan terangkat meremas rambutnya sendiri.

“ Uuuuhhhh Papaa jarinya kenapaaa ikuut dimasssuukkiinnn ssiiihh aaaaahhhhhh”, Tantri menggila. Kaos putih berikut BHnya dilepas dengan tak sabar dan dilemparnya sendiri ke lantai. Tangan yang semula kulihat naik ke atas kepala menghilang di balik sofa. “ HHhaaaahhhh”, kepala Tantri tampak tertengadah maksimal dengan kaki diatas permukaan sofa berkontraksi tegang. “ Huuuhh…huuuhhh….hhuuuhhh”, kepala Tantri menggigil hebat, nafasnya tak terkendali.

“ Aaaaahhhh Ccuuukkuupp pappahh”, kaki Tantri mendorong tubuh Alex agar menjauh. Akhirnya aku lihat kepala Alex lagi setelah tadi terbenam di balik sofa . Melihat pemandangan di depan matanya ,wajah Alex juga ikut berubah penuh birahi. Dia melepas bajunya begitu tangkas. Wow, bagus sekali badan Alex ketika polos tanpa busana. Kata orang kantor dia hoby fitness, pantas saja badannya begitu padat berotot. Lemak di tubuhnya tak terlihat diganti otot-otot simetris. Melihatnya aku bisa melihat definisi dari postur tubuh seorang pria perkasa.

Saat dia menurunkan celana kuperhatikan dahulu wajah Tantri, dia begitu terkesima. Ganti aku melihat ke arah Alex dan gentian terpukau. Penis Alex kulihat, dari segi ukuran normal dengan rata-rata laki-laki, akan tetapi penis itu begitu tegak dan bisa tegang maksimal. Aku merupakan praktisi sex bebas, sudah pernah merasakan tiga penis selama ini ; Ilham, Tanto dan Jaka, tapi belum pernah melihat penis bisa tegak demikian kencang. Aliran darahnya pasti demikian lancar dan sanggup memompa darah dengan kuat sehingga penis itu bisa ereksi bagai tombak.

Tantri sebagai istri dari pemilik penis yang akan memuaskannya sebentar lagi itu saja kagum dengan kesehatan suaminya. “Papa perkasa banget deh”, pujinya. “ Mama juga uuuu sexy abissss, sini Ma nungging, kita maen belakang”.

Tubuh Tantri dibangunkan agar duduk dengan tangan bertumpu punggung sofa dan wajah mengarah ke kamarku. Ups aku jadi tiarap lagi. Padahal udah enak-enak duduk kayak nonton layar tancep, sekarang ngeliat sambil tiarap lagi.

Lagi seru-serunya nih permainan mereka, aku gak pengen keganggu ngintipnya. “ Oooooohhh”, Tantri menungging bertumpu sofa, Tanto hilang lagi dari radarku. Pasti dia melakukan oral lagi pada sahabatku dalam posisi itu.

“ Ahhhhhhh”, Tantri menelungkupkan wajah pada tangannya. “ Masih gelii papahhh”,Dia menggeleng-geleng terlihat kegelian.

“ Tenang ma kan ada lobang satunya, sama-sama enak kok he he he”.

Aku tak dapat melihat apa yang terjadi tapi terlihat Tantri kembali tenggelam dalam kenikmatan. tangannya sendiri digigitnya untuk meredakan rasa apa pun yang lahir akibat permainan oral di lubang satunnya. Apa ya lubang dimaksud??. Kumasukkan tanganku ke dalam celana, kuraba lubang vagina. Kalo yang ini kayaknya bukan. Tangan kumasukkan lebih dalam hingga tiba di daerah dubur. Apa lubang ini ya?? wah gimana rasanya kalo ini dirangsang?? apa enak juga??. Alex total banget menservice Tantri.

Rasanya lama Alex mengolah lubang itu sebelum akhirnya Tantri menjerit, “ ahhhh…aaahhhh…ahhhhhhh”, dia mendangak tinggi. Untuk kedua kalinya dia mengalami orgasme dahsyat. Tubuh Tantri melenting ke belakang sehingga payudaranya terlihat.

Meski teman satu rumah, aku tak pernah melihat Tantri telanjang sebelumnya. Baru kali ini aku melihat bentuk payudaranya yang montok dan demikian kencang. Payudara itu berubah berwarna kemerahan akibat terhantam orgasme. Puting susunya ikut-ikutan jadi merah dan kehilangan warna aslinya. Alex bangkit dari bawah sofa dengan sigap menggenggam leher Tantri yang sedang naik posisinya, kemudian melihat kebawah sebentar dan mengarahkan penisnya untuk menerobos lubang vagina.

“ hagggghhh”, Tantri mendelik ketika vaginanya ditembus penis tegak. Sexy sekali melihat dia mendapat penetrasi sambil dicekik ringan lehernya. Seakan tak percaya dengan serangan kilat Alex, kedua tangannya menggapai-gapai ke belakang untuk menemukan kepala suaminya. Kala ditemukan, dia jambak-jambak rambut Alex untuk menumpahkan rasa frustasi syahwati. Kami sebagai wanita gampang frustasi dalam hal seksual, gimana gak stress baru sebentar orgasme, tubuh sudah memberi sinyal lanjutan akan siap meledak kembali. Multi orgasme adalah anugerah dari Sang Pencipta kepada para wanita.

“ Uuuugghhh…uuuggghh…uuggghhh”.

“ Slleep..sllleppp..sleeeepppp”.

Bunyi tumbukan penis dengan vagina dan desahan mereka berdua menjadi irama tunggal di rumah ini. bagaimana ya rasanya mendapat penetrasi penis setegang punya Alex??. Membayangkannya saja sudah membuat vaginaku semakin banjir. Sedari tadi entah sudah berapa kali aku ikut-ikutan mendapat orgasme akibat melihat tontonan nikmat gratis dengan pemain utama kedua pengantin baru sahabatku sendiri. Jangan salah, meskipun sekarang tengkurap, tanganku nyungsep ke balik celana sedari tadi mengecek “ lubang “ dan melakukan mastrubasi. Rupanya mengintip persetubuhan secara langsung lebih enak daripada nonton film porno.

“ Aaaaagghhh…aaaagghhh”, jeritan Tantri semakin menjadi akibat tangan Alex yang satu hinggap di putting payudaranya dan memilin milinnya nakal.

“ Sssssttt nanti Sinta bangun”, bisik Alex, tangannya yang sedari tadi memegang leher beralih untuk memasukkan jari ke mulut Tantri. Mendapat jari masuk mulutnya Tantri menghisapnya rakus untuk membungkam raungannya sendiri.

“ Mmmm..mmmm…mmmm”, Tantri terbungkam.

“ Sleeeepppp….slleeepp…sleeeeppp”,penetrasi ritmis terus Alex lakukan. Bukan hanya penisnya tegak perkasa, daya tahan staminanya untuk bersetebuh juga diatas rata-rata. Tantri begitu terhanyut dalam genjotan Alex. Matanya sulit terbuka dengan sadar. Aku bisa merasakan , apa yang dirasakan Tantri. Apalagi dengan penis dan stamina sebagus Alex wanita mana sih yang tidak kehilangan kewarasannya??.

Jari Alex dilepas dari mulut Tantri. Sedikit kasar Alex mendorong kepala Tantri agar rebah di penggung sofa. Dia tempel wajah Tantri dengan lengannya agar tak bisa kemana-mana, kemudian dia hujamkan penisnya dengan tusukan bertubi-tubi.

“ Slleeepp…slleeppp…slllepepp”, lebih dari lima puluh tusukan menghujam membuat tantri kehilangan jeritan saking nikmatnya. Tangan Alex sekarang menarik rambut pendek Tantri kemudian dijambaknya sehingga sahabatku menjadi seperti kuda binal yang tengah ditunggangi oleh seorang joki perkasa.

“ Hhhaaaaaa”, Tantri hanya bisa merem dengan mulut terbuka di begitukan. Alex terdengar berbisik-bisik di telinga Tantri tanpa melepas jambakannya. “ Pssstt…pssstt…mama mau dientot….”, kayaknya dia berkata jorok di telinga Tantri, langsung diabalas dengan anggukan dan penetrasi semakin tajam dan dalam.

“ Uuuuuhhhh”, Tantri mendapat orgasme karena pengaruh bisikan kata-kata jorok di telingannya dan penetrasi tiada henti. Jambakan Alex luput karena rambut pendek memang sebenarnya susah buat dijambak. Tantri menggigit kulit sofa. Tak membiarkan Tantri istirahat, Alex kembali mencekik ringan lehernya dan membawanya kembali bangkit menjauhi sofa.

Kedua tangan Alex masuk ke sela lengan Tantri, kemudian mengangkatnya tinggi, setelah itu memiringkannya agar menghadap ke wajahnya.

“ Aaaaaahhh ammmpuunnn papppaaaahhh”, Tantri menjerit tak tertahan kala lidah alex mnghantam ketiaknya nan begitu mulus sekali. Alex sepertinya hafal betul kesukaan Tantri, dia menggenjot penisnya untuk melakukan penetrasi kecepatan tinggi. “ pplleepp..pleeppp..plleepp..plleeeppp”. Mendapat bombardir di ketiak dan vagina Tantri lagi-lagi meledak.

“ Hh………………aaahhhhhhhhh…..aaaahhhhhh”, dia lepaskan dirinya pada badai kenikmatan dengan pasrah tanpa perlawanan. Alex mempercepat jilatannya pada ketiak tantri. “ Uuuhhhhhh…uuhhhh….uuuhhhh”, tantri seperti mengeden membantu mengeluarkan cairan kenikmatan.

“ Huuuhhhhhh”, tak lama kemudian, dia rebah bagai petinju KO di punggung sofa. Alex masih menancapkan penisnya tapi hanya ditusukkan saja tanpa penetrasi. “ Papa….uuuuuhhhh”, Tantri masih berusaha meredakan syarafnya.

“ kamu binal sekali mama cuuupp”, dicumbu bahu Tantri sejenak dan dibantu untuk mendinginkan temperatur tubuhnya.

“ papah perkasa banget deh…”.

“ He he demi mama papa olahraga terus supaya bisa perkasa”.

“ Pindah mainnya ke dalem yuk Pah, biar mama bebas berekspresinya”.

“ Ayooo”, Alex mencabut penisnya dan menggendong Tantri dengan kedua tangannya masuk ke dalam kamar.

Ketika menggendong aku tak lepas menatap penis yang tetap mengacung meski sudah dibanjiri lender kemaluan Tantri. Aku jadi tergila-gila dengan penis laki-laki sehat macam dia.

Sekarang ruang utama kosong, mereka telah masuk kamar. Kukejar mereka ke kamar sambil mengendap-ngendap berharap pintu lupa ditutup. Harapanku terkabul. Keasyikan menggendong, Alex lupa menutup pintu.

Sejenak saja aku meninggalkan aksi panas mereka, posisi sudah berubah. Tantri kini sudah berada di atas suaminya ganti memberi sex oral. Tantri tak kalah total menservice sang suami. Meski masih belepotan lender vagina, penis Alex di hisapnya dengan antusias. Tak terlihat rasa jijik atau enggan dalam diri Tantri. Untuk menghargai sebuah seni persetubuhan mereka berdua membuang kata jijik jauh-jauh dan diganti dengan kata “ menginginkan”. Pasangan mana yang tak merasa dihargai bila bagian tubuhnya begitu diinginkan oleh suami atau istrinya.

Tantri mengkaraoke penis suaminya dengan buas. Lidahnya membasahi permukaan tombak mini itu dengan lidahnya sampai begitu basah, tanpa terlewat satu senti pun. Sehabis itu dicelupkan penis itu ke mulut dan mulai dihisap dalam-dalam. Pemandangan naik turunnya kepala Tantri dan berganti histerisnya Alex menjadi pemandangan erotis berikutnya.

Ada satu hal menarik yang kulihat dari celah pintu, yaitu teknik Tantri membasahi lubang anal suaminya dengan ludah dan mencoba memasukkan satu jarinya masuk ke dalam sambil tetap menghisap. Dia memberi double rangsangan sekaligus dengan menyerang alat kelamin sekaligus anal. Alex tadi begitu perkasa, sekarang rebah tak berdaya dipermainkan oleh istrinya.

Kepandaian Tantri rupanya tidak hanya dalam soal kerjaan. Untuk urusan ranjang dia tak kalah lihai. sebagai sesama wanita, kutangkap ketajaman feelingnya untuk memprediksi tingkat rangsangan yang diberikan. Berkali-kali Alex sudah membuka mulutnya mengatakan siap ejakulasi tapi tak keluar, karena Tantri menghentikan stimulasinya.

Tampaknya Tantri ingin bermain lama. Kaum laki-laki nafsunya doank kadang yang besar, tapi sekali croot beres. kami para wanita nafsu memang lambat naiknya, tapi kalo udah naik, susah turunnya.

“ Uuhhhh mama”, Alex geleng-geleng kepala saat mengira Tantri menyudahi siksaannya dengan menghentikan oral. Tapi siksaan nikmat rupanya berlanjut lagi. Tantri mengangkangi suaminya dan memasukkan penis sexy itu ke dalam liang vagina. Sekarang kendali ada di pihak wanita. Woman on top yang dilakukan Tantri sangat berbeda dari yang biasa ditampilkan di film-fim blue.

Dia tidak main naik turun tapi menggunakan hatinya untuk merasakan daging hidup yang ada di vaginanya. Tantri dapat merasakan titik mana kelemahan suaminya yang akan memicu ejakulasi. Dia juga tau titik kuatnya dimana Alex akan dapat bertahan meski diulek sedemikian hebat.

Diserangnya Alex hanya di titik kuat sehingga dia dapat mempertahankan diri. Meskipun demikian Tantri tidak melupakan kenikmatannya sendiri. Sedari tadi tangannya sudah memegang kepalanya sendiri dan mengucek-uceknya sebagai penanda dia tengah menikmati momen ini.

Menyadari tidak diserang di titik lemah, Alex bangkit percaya dirinya dan berani melakukan rangsangan teratur di seluruh penjuru tubuh Tantri.

Payudara Tantri dikulum sesekali dan diremas berkali-kali membuat Tantri lupa diri. Tak sampai lima belas menit kuhitung sudah tiga kali lagi tantri orgasme dengan ekspresi tubuh yang indah. Bila meraih orgasme paha Tantri selalu merapat ke perut Alex dan dia menjerit-jerit.

“ AHhhhhhhhhhh”, akhirnya orgasme keempat dalam 15 menit, juga berhasil diraih Tantri dan dia merebahkan diri di dada Alex. Mereka berdua banjir keringat dan nafas tersengal-sengal.

“ Huhhh….hhuuhhhh…enak banget papah”.

“ Huuhh huuh huuhh iya Ma, istirahat dulu ya! papah cape!”.

“ eits papa hanya boleh istirahat kalo mama bilang boleh”.

“ waaahh ampun mamaaaa”.

“ Mmm mmm mmm”, tantri hendak turun lagi untuk memberikan oral. Bagaimanapun Alex belum ejakulasi dari tadi. Sepertinya Tantri sengaja supaya momen ejakulasi itu tak akan terlupakan.

“ Bentar…benntar …bentar Mama…”.

“ MMm…mmmm”, Tantri memiting suaminya dengan kuncian karate.

“ Papa Cuma mau nutup pintu doank mama!”.

“ Awas ya kabur!!”.

Waduuuhh gawat mendengar pintu disebut-sebut aku panik. Terlalu panik malah aku terpeleset jatuh hanya beberapa senti dari pintu. “ Duugg….duuuggg….dduuugggg”, jantung berdegup kencang, Alex melirik pintu sedetik saja , aku pasti ketahuan. kakiku tak sangup dibangkitkan karena kram saking tegangnya.

“ Ayyyooo papa jangan kabur!! mama borgol nanti!!”.

“ Iya-iya Ma..brreeggg”, terganggu dengan panggilan tantri, alex menutup pintu sekenanya tanpa memperhatikannya sehingga kehadiranku tak terlihat.

Pintu sudah ditutup, masih kucoba mengintip dari lubang kunci tapi tak ada pemandangan apapun yang terlihat.

“ Ahhhh…papppaaahh…aaaahhhhhhh”. Bunyi desahan tantri dan raungan Alex masih bisa terdengar. Huhhhh, meski kecewa aku lega karena tak ketauan tadi. kakiku begitu mudah digerakkan kalo gak tegang. Rupanya orang kalo panik itu bisa buat gak bisa jalan ya??

Karena sudah tidak ada lagi yang bisa dilihat, aku tingggalkan pintu kamar dan melangkah ke meja makan. Daripada hanya dengerin desahan yang bikin pening, lebih baik aku makan saja.

Suara desahan pengantin baru di balik pintu membuat makanku jadi gak khusyuk. Biasanya aku makan lama dan menikmati, sekarang hanya sekenanya saja tanpa mempedulikan rasa. aku memutuskan untuk meminjam motor Tantri dan meng-smsnya bahwa motornya kubawa. aku ingin mencari angin sejenak. melihat persetubuhan mereka membuat darahku ikut panas dan harus didinginkan dengan hembusan angin malam.

Lewat tengah malam sekarang. Rasanya sudah sejam lebih aku berputar-putar keliling kota tanpa tujuan. Motor Tantri menemaniku di malam nan sunyi ini. Pemiliknya entah sudah selesai belum bertempur dengan suaminya. Gambaran persetubuhan dan desahan mereka yang begitu erotis masih terbayang jelas. Bagaimana keduanya silih berganti menggilir kenikmatan merupakan hal baru bagiku.

“ Ahhhhhh Papaaaaa”, desahan serta wajah sahabatku tak mau pergi dari pikiranku walaupun sudah dibawa menghirup angin malam. Gigitan, remasan, penyerahan kendali tubuh, serta ciuman-ciuman mesra di antara keduanya terasa begitu nyata. Vaginaku masih saja terasa lembab akibat sensasi mengintip persetubuhan.

Ada bahayanya juga lho kalo seorang wanita sudah pernah merasakan nikmatnya hubungan intim sebelum menikah. Bahaya itu bernama bisikan setan untuk menyalurkan hasrat syahwatnya pada pria bukan suaminya. Aku contoh nyatanya, terinspirasi dari Tantri, vaginaku terasa gatal ingin digaruk oleh laki-laki. Kutimbang-timbang, kalo bisikan setan berwujud birahi tak lagi terbendung siapa ya laki-laki yang bisa kuajak menyalurkannya??. Apakah Jaka?? hmm wajah ganteng, masa depan cerah, sayang kelainan. Bagaimana dengan Tanto?? memikirkannya saja sebaiknya jangan, bukan orgasme nanti yang dikejarnya tapi nyawaku. Bisa-bisa dibunuh aku nanti. Lantas kandidat berikutnya ialah Ilham sang dokter? mmm dia nominasi kuat. Sebagai pria pencabut keperawananku, Ilham terlihat menjanjikan.

“ Kita pikir baik-baik dulu sebelum bertindak!, Pikiran, bantu Sinta!! Benarkah kalo di tengah malam begini, Sinta main ke kantornya kemudian mengajaknya bercinta??”.

“ Emangnya kamu gak tau malu Sinta??. Inilah akibat dari kamu terlalu banyak menonton film-film porno; hilang akal sehat. Asal kamu tau, indahnya hubungan seksual ala Alex-Tantri hanya bisa diraih karena adanya “ cinta “. Mereka bukan bersenggama seperti anjing atau kucing di pinggir jalan, tapi melakukannya sebagai mekhluk dengan kapasitas tinggi yang mampu melahirkan seni seksualitas lebih dari binatang”.

“ Emang gimana seksualitas lebih dari yang biasa dilakukan binatang pikiran??”.

“ Yah kamu lihat sendiri Sinta, binatang kalo bersetubuh pasti inginnya memuaskan nafsunya sendiri, tanpa memikirkan perasaan pasangannya”.

“ Tapi manusia kupu-kupu malam kalo bersetubuh juga memikirkan perasaan pelanggannya??”.

“ Itu Melayani atas dasar imbalan. Pelayanan seperti itu hanya bisa menghasilkan desahan, raungan dan orgasme palsu. Malahan kalo lama-lama hidup dalam kepalsuan, mereka akan kehilangan kemampuan untuk merasakan mana orgasme sejati dan palsu. Lihatlah Alex! kenapa dia harus bersusah payah menahan ejakulasinya sedangkan spermanya sudah sampe di ujung penis??”.

“ Agar Tantri bisa memperoleh kepuasan???”.

“ Betul itulah bedanya manusia dengan binatang kala berhubungan seks. Manusia bisa memilih ; mau memuaskan dirinya sendiri atau memuaskan pasangannya. Sekarang alih-alih memiuaskan pasangan, kalo kamu datang ke tempat dokter Ilham lalu mengajaknya bercinta itu sama saja dengan binatang yang mentingin nafsu sendiri. Kamu gak mikir barangkali dia sedang banyak pasien. Mereka butuh pertolongannya. lagipula kamu itu wanita Sinta, emang gak punya malu untuk menahan syahwat??. Salah sendiri tadi ngintip Tantri, birahi jadinya yang muncul. Udah tahan aja libidomu itu! resiko ngintip tanggung sendiri!”, pikiran terus menasihati dan aku mengangguk-angguk sendiri menyadari kebenarannya.

“ brrrrrrrrmmmm”, bunyi deru gas motor terus terdengar.

“ Yah kamu benar soal kualitas seksualitas manusia harusnya lebih indah dari hewan wahai pikiran, tapi Sinta akan tetap ke rumah sakit. Sssst jangan rusuh dulu, Sinta sama sekali gak ada niatan buat ngajakin Ilham nge-sex kok, cuma mau menjenguk doank. Sinta ingin nengok Komandan Burhan dan Febi sekaligus melihat kondisi mereka. Kebetulan keduanya dirawat di RS yang sama”.

“ Kamu gak salah Sinta?? tengah malam buta mau menjenguk orang di rumah sakit??”.

“ Eeee Gak apa donk , menjengukkan bisa kapan saja, lagipula Sinta Cuma mau melihat kondisi mereka kok”.

“ Diusir kamu nanti sama satpam!!!”.

“ Kamu terlalu pesimis, belum juga dicoba udah “ nge-per” duluan, nih ikutin Sinta kita lihat apa yang terjadi!”.



Akhirnya meski sempat berdebat panjang, sudah kuputuskan, untuk meluncur ke Rumah Sakit.

“ Brrrrrrmmmm”, kugas motorku cepat menyusuri jalan lengang menuju tempat Febi dan Pak Burhan dirawat.

Dalam waktu singkat, didukung jalanan sepi, tibalah aku di RSUD. Kuparkir motorku di parkiran. Sekilas kuperhatikan masih ada dua petugas stand by. Seorang aparat lho Sinta ini jangan lupa, jadi punya feeling kuat soal keamanan suatu tempat. Kami biasa menjadi lebih peka seandainya merasa akan terjadi sebuah kejadian akibat penjagaan yang longgar.

Suasana sekeliling RSUD relative sepi. Masih ada beberapa perawat hilir mudik tapi para pengunjung sudah tidak ada yang terlihat. Semuanya telah beristirahat di dalam gedung. Ada yang tergoler di lantai depan ruangan pasien, juga ada di dalam ruangan. Kudatangi meja resepsionis dan bertanya pada suster penjaga dimana ruang Komisaris Burhan dan Febi dirawat. Awalnya mereka keberatan mengijinkanku masuk, namun atas alasan pemeriksaan keamanan yang kukemukakan, dibarengi menunjukkan tanda pengenal anggota akhirnya mereka bersedia.

Perasaanku tidak enak. Seharusnya dalam keadaan merawat dua orang korban sekaligus saksi kunci dari sebuah kasus besar, rumah sakit ini dilengkapi dengan system keamanan yang lebih baik. Dalam hitunganku, seharusnya ada petugas pengawal lebih banyak daripada hanya dua orang satpam di pos depan.

Walaupun Masih ada perasaan mengganjal di hati, kupaksakan untuk naik ke lantai dua. Tanpa ditemani suster, aku menuju kamar nomer dua dan tiga tempat kedua Komandanku dirawat. Sangat mudah menemukannya karena kedua kamar itu terletak paling ujung dekat tangga. Kecurigaanku semakin besar mendapati lantai dua juga sepi. Tidak ada satu petugas keamanan pun yang berjaga.

Sebagai langkah antisipasi kucoba menelpon Tantri mengabarkan longgarnya keamanan disini. “ ttuuuuttt…tttuuuttt….ttuuuuuuttt”, bunyi telpon menunggu diangkat. “ Nomer yang anda tuju….”, suara operator menjawab. Tantri kamu mau main sampe berapa ronde sih??? sampe sekarang kok hand phone belum diangkat. “ Huhhh kesellll dugg“ kutendang tembok karena frustasi.

Tak tau harus melakukan apa lagi, kucoba mengiintip sejenak ke kamar nomer 2 dan kulihat Pak Burhan tengah tidur tenang. Selang oksigen menutupi hidungnya membantu pernapasan. Pada kursi di depan tempat tidurnya ada seorang anggota keluarga yang menungguinya sambil tiduran di sofa.

“ Kalo pihak keamanan tidak ada, untuk sementara aku saja deh yang menjaga mereka!”, batinku.

Sekarang Kualihkan pandanganku ke kamar sebelahnya tempat Febi dirawat. Rupanya tidak ada keluarga yang datang menungguinya. Tampak dia tidur sendiri masih dengan jarum infus menempel di lengan. Kucoba membuka pintu, tidak terkunci. betul-betul longgar dan menjengkelkan pengawalan untuk mereka berdua.

Ruangan kecil tempat merawat Febi kumasuki perlahan. Sejuk hawa dalam ruangan dengan AC menyala dalam suhu sedang. Komandanku nan cantik terlihat terbaring terlentang. Masa kritisnya dua hari lalu sudah berhasil dilalui. Dia kini kembali terlihat cantik dengan warna kulit yang memancarkan gairah kehidupan. Nafasnya naik turun teratur. Indah sekali melihat seorang wanita cantik sedang tidur nyenyak seperti ini.

“ Tep……”.

“ Hiiiiiiiiiiiiiiiiii”, aku kaget setengah mati.

Febi bangun mencengkram tanganku keras. Bahkan dalam kondisi sakit kewaspadaannya tetap terjaga.

“ Kooommannndannn iniii Sinnttaaaa”, ujarku gemetaran kaget.

“ ………”, Febi tersenyum lembut kemudian kembali tenang melepaskan cengkramannya.

“ Kukira kamu penjahat Sinta! tarik kursi, duduklah di dekatku!”, perintahnya.

Aku menarik kursi duduk di sebelah ranjangnya berdekatan dengan kepala Febi. “ Komandan sudah sehat??” tanyaku.

“ Sudah Sin! Polwan gak boleh sakit lama-lama he he”, tawanya mengembang. Melihatnya kembali ceria membangkitkan rasa haru dalam hati. Tanpa terasa air mata menetes dari kedua bola mata.

“ Sleeeepp”, Febi mengusap pipiku lembut menyeka butiran air mata yang mulai berjatuhan.

“ Jangan menangis Sinta! kamu penolongku tidak boleh bersedih”.

“ Komandan sniff sniifff salah, justru Sintalah penyebab Komandan tertusuk di tahanan”.

“ Itu pilihanku Sinta untuk datang menyelamatkanmu. Kalo kemudian aku harus tertusuk maka itulah resikonya. Jangan pikirkan soal itu. Kamulah sang penolong! tanpa kamu aku pasti sudah mati”.

“ Sniifff…sniiiiff Sintaa gak ngerti Komandann??”.

“ Aku nyaris mati Sinta. Dalam kondisi koma, sejengkal lagi aku melihat dengan mata kepala sendiri, jiwaku akan masuk jurang neraka….”, raut wajah Febi berubah serius.

“ Tidak ada satu orang pun mau menyelamatkanku saat itu. Tapi kamu dengan berani datang menolong menerobos kobaran api….sniiff”, Febi menghentikan ucapan karena mulai emosional. Setangguh-tangguhnya dia sebagai Polisi Wanita, sisi wanitanya masih berlaku. Dia mulai menangis.

“……..dan kamu berhasil membawaku kembali….sniff terima kasih banyak Sinta….”, Febi memelukku . Kami berpelukan penuh keharuan. Meski hanya di dalam mimpi aku pernah merasakan rasa pelukan ini. Saat di neraka, seberkas cahaya membawaku masuk ke dalam api dan bisa menyelamatkan Febi melalui sebuah pelukan. Melalui ekspresi kasih itulah api neraka padam. Sekarang rasa itu datang lagi melingkupi kami berdua menghadirkan kedamaian. Lama kami berpelukan.

“ Heeeeppppp”, Febi tiba-tiba melepas pelukannya dan membenamkan kepalaku agar masuk ke kolong ranjang.

“ Berlindung di bawah kasur!! ambilkan senjataku di laci lemari paling bawah Sinta cepat!!”.

Menurut, aku meringkuk di bawah kasur mengendap-ngendap ke lemari yang terletak di samping tempat tidur untuk mengambilkan senjata febi. Pistol enam peluru miliknya telah terisi penuh.

“ Iiiinni Kommmnaddannn”, aku menjangkaukan tangan ke atas untuk memberikan pistol.

“ Sembunyi di bawah kolong!!”.

Hmmm ada apa ya??. kok jadi tegang begini situasi. Padahal baru aja Sinta merasakan kedamaian, jadi begini lagi keadannya.

“ wweess…wwweess…wwesssss…prookk…prrookk..prrookk”, dari depan kamar terdengar bunyi derap sepatu banyak orang. Siapa mereka?? apa dokter datang mau visit pasien?? tapi kenapa banyak sekali dokternya??.

“ Ckleeeekk”, pintu dibuka. Dua orang terdengar memasuki kamar Febi.

“ Ini Inspektur Febi??”, seorang pria bertanya.

“ Iya betul dia! sama kayak di foto”.

“ sayang sekali, padahal Febi cantik sekali , kenapa harus dibunuh cepat-cepat”.

Celaka orang-orang ini ingin membunuh Komandan Febi rupanya.

“ Lihat kemolekan tubuhnya! Gimana rasanya “ngewee” sama Polwan secantik dia Bro??”.

“ Rasanya pasti “ Nyos “ Mal, kita cobain aja dulu yuk! habis itu baru kita habisin”.

“ Ok tutup pintunya dulu Bro! biar yang lain menghabisi Burhan di sebelah, kita ngentot dulu sama si Febi”.

“ Ckklleeekk..sllleppp”, Si Bro menutup pintu dan menguncinya.

“ Siapa giliran pertama ayo kita suuiitt!!”.

“ Tu..wa..ga….Nah aku menang Mal!! giliranku pertama. Lu nonton aja dulu, dari kursi sono tuh..he he he gue mau “ ngwee” ama cewe cakep!”, kaos si Bro di lepas dan dijatuhkan ke lantai. Dari bawah tempat tidur, tanganku rasanya sudah gatal ingin langsung keluar dan menonjok pria cabul ini berikut temannya.

“ Mmmm tubuhmu wangi manis, bibirmu penuh menggairahkan, kita main bagian yang mana dulu nih”.

“ Teeeppp”, bunyi tangan dikunci. “ Kita main ini aja Bro!!” suara Febi terdengar.

“ Doooooooooooorrr”. Bunya letusan pistol demikian kencang meletus. Cipratan darah tumpah di lantai.

“ Brrrooo”, orang kedua berdiri terkejut dari kursi.

“ Doooorrrr”, letusan kedua meledak, dia juga tumbang.

“ Duugg…duugg…duggg ”, dari luar pintu digedor kencang. Aku keluar dari persembunyian melangkah cepat ke pintu.

“ Menjauh kamu dari pintu Sinta!!”, Febi memerintah.

“ Sinta mohon ijin untuk tidak patuh Komandan!!”, jawabku.

“ Ngawur kamu! cepat minggir !!!mereka bersenjata Sinta!”.

“ Tenang Komandan”, tegang sekali hatiku tapi apa boleh buat demi menyelamatkan Febi dan Pak Burhan. Sejenak aku berdoa kepada Tuhan memohon perlindungan.

“ Amin” , kukatupkan tangan ke muka.

“ Sinta jangan gila kamu!!”.

“ He he sayangnya kita kadang-kadang perlu berbuat gila Komandan!”, aku tersenyum renyah membuka slot kunci dan membuka pintu.

**************** Baru saja kubuka pintu, moncong senjata sudah menyambut. “ Doorrr”, si pemegang senjata menembak. Terlambat baginya, untung buatku, tembakannya luput, aku sudah menunduk duluan mencengkram kemaluannnya.

Kupelintir punyanya sekencang mungkin , “ aaaauuuuuuuu”, kemudian dengan tenaga bahu tubuhnya kuputar ke arah kawanannya. Bangun cepat, aku memegang tangan si penembak yang masih memegang senjata dan menjerit kesakitan, kutegakkan tangannya lalu arahkan ke teman-temannya yang berdiri di sekelilingnya.

“ Dorrr…dorrr…dorrr…doorrr..doorrrr”, kutembak lima orang sekaligus di kakinya.

Bertumbanglah kawanan tersebut seperti daun di musim gugur.

“ Drrraaagg”, terakhir kusikut pria yang pelernya sudah kuremas sampai pingsan.

Sadar akan gentingnya situasi, cepat kumasuki ruangan Komandan Burhan yang sudah terbuka. Keluarga beliau yang menunggui di sofa tadi sudah tergeletak di lantai pingsan. Di dalam ruangan ada dua orang yang mengarahkan senjata ke Komandan Burhan bersiap menembaknya.

“ Doorrrr”, aku tembak duluan kaki orang pertama. Tembakanku kena dia jatuh. Orang kedua mengarahkan senjatanya tepat ke arahku. Tanganku tidak cukup cepat untuk merespon balik.

“ Braggg”, dari belakang Komandan Burhan bangkit dari tempat tidurnya dan menghantam orang kedua dengan pispot. Penyerbu kedua pingsan seketika.

“ Sinta….heehh hehhh heehh”, masih menggunakan selang oksigen Pak Burhan memaksa berdiri. Kondisinya begitu lemah dia hampir terjatuh ke lantai. Untunglah aku sigap merangkulnya. Kutangkap Beliau kemudian kududukan kembali di ranjang.

“ Komandan baik-baik saja???”.

“ Hehh…hehhh…hehhh”, beliau mengangguk belum sanggup bicara banyak,” heh..hehh..hehh….”, nafasnya masih berat sekali.

“ Komandan istirahat lagi ya!! Biar Sinta yang bereskan semuanya”, dengan kedua tangan kubantu Beliau untuk rebah kembali di ranjang.

“ Dooorrrr…..bruuugg”, aku terkejut dengan bunyi tembakan berikutnya.

” Bahaya!!! panggil teman-teman di bawah cepa….dddooorrrr”, bunyi tembakan lagi.

Aku begerak cepat melihat apa yang terjadi. Di luar sudah jatuh lagi dua orang. Siapa yang menembak mereka???.

“ Sinta…”, Febi berdiri gontai di depan pintu kamarnya memegang pistol dan tiang berisi selang darah. Rupanya dia yang menembak para penyerbu susulan tadi.

“ Komandan Febi, kenapa berdiri?? Komandan belum sembuh benar”, aku memegang tangannya.

“ Kamu bener-bener ngeyel Sinta!! tindakan gila kamu itu membahayakan…..”.

“ Ssssstttt”, kututup bibirnya dengan jari. “ Komandan tolong disini saja ya jagain Pak Burhan! Sinta mau turun ke bawah, ngejar komplotan mereka”.

“ Sendirian?? kamu ini edan beneran atau…..”.

“ Ckleeek”, pintu kamar lain terbuka. Dengan wajah panik para pasien ke luar melihat kondisi yang terjadi. Febi tak bisa berkata apa-apa karena banyaknya orang yang melihat. Saat dia tak bisa bicara, langsung aku berlari menuju tangga, meninggalkan Febi yang masih bengong.

Baru mau menuruni tangga Febi memanggil, “ Sin”. Aku menoleh.

“ Bawa senjataku!”.

“ Komandan saja yang pegang!”, jawabku. “ Tolong jaga Pak Burhan”, lanjutku sambil melanjutkan berlari turun.

Berlari sprint aku ke arah Lobi. Kepanikan terlihat di lantai satu. Para pasien yang mendengar ledakan senjata berkerumun di lobi, suster berusaha menenangkan mereka. Untunglah para penyerbu berikutnya belum terlihat. Mungkin mereka tertahan dengan kepanikan di dalam sehingga tidak berani masuk.

Feelingku mengatakan mereka masih di halaman. Aku lanjut berlari.

“ HEEEII ITUUU SI POLWANN!!”, ada lebih dari sepuluh orang berjaket hitam-hitam menuding-nuding ke arahku setibanya aku di pelataran parkir. Ini pasti mereka. Kuhentikan lariku, lantas dengan gagah menghadapi mereka berhadap-hadapan. Sebagai Polwan aku harus berani!! untuk inilah kami dilatih.

“ JANGAN PADA CEMEN LU BERANINYA NGELAWAN ORANG SAKIT!!”, kuprovokasi mereka dengan jari tengah teracung.

“ PADA GAK PUNYA KONTOL APA LU??? LAWAN GUE SINI”, tantangku. “ CIIIUUUUH”, kumeludah ke arah mereka untuk semakin membuat panas.

“ ANJJIINNG KEJARR TUH CEWEE!!!!”, mereka terpancing dengan provokasiku. Semuanya mengejarku dan tidak ada yang bergerak masuk ke dalam.

Berlari cepat aku menyusuri pelataran RSUD menuju jalan besar. Suasana sepi dini hari berubah riuh dengan bunyi gas mobil dan motor milik mereka yang di gas poll. Mereka sadar tak akan sanggup mengejarku sambil berlari sehingga menggunakan kendaraan. Sedikit aku membalikkan kepala untuk menghitung jumlah para pengejar. Ada tiga mobil, dua motor trail, dan sebuah motor bebek bersamaan memburuku. Tetap berusaha tenang dengan terus mengingat nama Tuhan, aku mulai mengatur nafas saat berlari.

Adalah kesalahan besar apabila aku “ meng-geber” lari sprint untuk menghindari mereka. Selain boros nafas, berapa sih kecepatan kaki dibanding akselerasi mobil atau motor??. Kecepatan kendaraan hanya dapat diimbangi dengan penguasaan medan. Sekali lagi kemampuanku menghapal jalan berguna. Sinta hafal betul kawasan sini berikut jalan tikusnya. Berkali-kali ujung mobil sudah meneyentuh kaki Sinta tapi bisa dihindari dengan manuver-manuver tajam di tikungan sempit.

“ Huuhh….huuuuh…hhuuuhh”, deru nafasku tetap terkendali. Mereka terus mengejar dengan ulet. Sudah lebih dari 2 kilometer, tapi mereka belum juga dapat mendapatkanku. Para begundal itu semakin kesal.

“ Sampai kapan kamu akan berlari Sinta??”, pikiran tiba-tiba hadir.

“ Huhhh….huuuhhh….huhhhh sampai lapangan di bawah kita pikiran”.

Kuintip sejenak medan jalan sudah semakin lapang. Tidak ada satu kendaraanpun yang lewat. Di sebelah kiri jalan, ada turunan tajam yang beralaskan tanah menghubungkan langsung ke arah lapangan. Inilah tempat yang kunantikan sedari tadi untuk bermanuver.

“ Awas motor Trail sudah ada disampingmu Sinta”, pikiran menjerit.

“ Huuuuppp”, aku melompat harimau berguling, langsung memegaskan kakiku agar melonjak serong kiri, serbuan motor pertama berhasil dihindari.

“ Awaaassss Sinnntaaaa mobil mau nabrak!!!”, pikiran menjerit lagi.

“ Haaaapppppp”, aku melompat jauh ke dataran curam yang merupakan turunan menuju lapangan besar itu. tabrakan mobil luput lagi. Aku terjun bebas meluncur ke bawah sambil berguling-guling.

“ Bruuugg…brruuugg…. brrruuuuggggg”, dengan tangan terentang lurus aku berguling turun dari atas ke bawah. rasanya cukup jauh turunanku sehingga aku cukup pusing ketika tiba di lapangan. Untunglah kontur tanahnya lembut sehingga tubuhku tidak terlalu sakit. Tiga mobil pengejar harus berputar lumayan jauh untuk menjangkau lapangan. tapi dua motor trail cepat memburuku dengan menjajaki tanah hingga tiba di lapangan.

“ Brruuumm…..brruuuummmm…brruuuummmm”, melihatku berusaha duduk mengembalikan kesadaran akibat guling-guling tadi, mereka bersikap meledek dengan “menggereng-gerengkan” gas motor.

“ Huuuf Terima kasih Ya Tuhan masih memberiku keselamatan”, Tak henti aku berdoa.

“ Brrrrruuuuummmmm”, tanpa menungguku bangkit, kedua motor menerjang maju.

“ Huuuupppp”, bangkit berdiri, kuambil dua butir batu berukuran sedang yang kebetulan ada di dekatku. Bersamaan dengan laju motor, kulempar kedua batu bersamaan ke arah muka mereka berdua yang masih memakai helm.

“ Brrruuuuummmm……bbbblletaaakk….praaangggg….ckkkiiii itttt……..brraaaaaggggggg”.

Ajaib. Tanpa perlu bergerak lebih jauh. Kedua lemparanku tepat sasaran menembus helm depan para pemotor, menghilangkan keseimbangan, dan membuat tubuh mereka terlempar dari sepeda motor.

“ Krreeeekk……aaaahhhhhhh…..bbrrrmmmmm…..aaaaduuuuhhh ”, bunyi nyeri terdengar hasil jatuhnya mereka.

Sudah berulangkali Sinta berpesan pada setiap pengendara motor di jalan ; hati-hati ya kalo mengemudi! jadilah pelopor keselamatan berlalu lintas! Kalo kalian ngebut terus jatuh, sakit sekali nantinya lho. Bagi siapa saja yang tak mempercayai nasihatku, lihatlah kedua pengendara motor barusan, jatuh dengan mengenaskan.

Lucu juga ya jatuh karena batu. Gimana teorinya?? sejenak aku berfikir bagai ilmuwan. yah meski kurang pintar kadang aku suka menganalisa sesuatu. Batu dilempar dengan kekuatan penuh dari satu arah. Dari arah sebaliknya datang motor berkecepatan tinggi. Tenaga batu yang meluncur menuju motor menjadi berlipat-lipat akibat pengaruh kecepatan dari benda pertama ketika keduanya bertumbukan. Jadi kesimpulannya ; kecepatan berpengaruh terhadap tenaga sebuah benda. Bener gak sih itu??? ahhh rasanya benar lah.

“ Ho Ho Ho Sinta jago Fisika sekarang”, asyik aku berdecak pinggang sambil meniru gelak tawa tokoh kartun terkenal menyadari betapa cerdasnya Sinta dalam pelajaran fisika.

“ Hoo…Hooo..Hhoo.. fisika is my style….uuppss”, asyik tertawa, aku baru sadar tiga mobil tadi sebentar lagi tiba di lapangan dan memacu kecepatannya begitu tinggi ke arahku.

“ Mau kemana sekarang kamu Sinta?? langkah seribu saja kabur ke belakang!!”, pikiran datang lagi.

“ Mmm malu ah masak ahli fisika kabur”.

“ Ahli apaan nilaimu itu jelek banget pada pelajaran itu dasar o’on!!!”.

“ Ssstt”, aku berfikir lagi, “ apabila sebuah benda berkecepatan tinggi dihadapi dengan mundur ke belakang, benda tersebut bisa menghilangkan gaya benda yang mundur hingga nilainya nol point, atau sama dengan aku mati ; death”, aku mengerutkan dahi, “ Sebaliknya bila dilawan dengan kecepatan sama tinggi, maka bisa membuat kesetimbangan yang akan menghilangkan kecepatan benda pertama hingga mencapai nol juga, atau ; mereka yang death”.

“ apa katamu Sinta??? kesetimbangan apaan itu?? emang kamu tau apa artinya????”.

“ Yak, jadi pikiran, kita akan lari sprint untuk melawan kecepatan mobil. Ayyyyooo larriiiii!!!!”.

“ Gilllaaa….gilllaaa…gillaaaaa teori apaaan sih yang kamu sebut tadi???gak ilmiah???? anehh”.

“ Majuuuuuuuu”.

Kutinggalkan pikiran dengan debatnya yang gak mutu. Jujur Sinta juga gak ngerti teori barusan. Mereka yang berniat membunuhku mungkin lebih tau apa artinya. Tapi kelihatan dari cara mengemudinya ketiga mobil itu juga bingung dengan kelakuanku. Mereka syok ada seorang wanita berani-beraninya menyongsong tiga mobil berkecepatan tinggi dengan berlari sprint sekencang-kencangnya.



Saking bingungnya tak ada yang mencabut senjata dan menembak. Padahal dalam perkiraanku, seharusnya dalam tiap mobil ini pasti membawa pistol. Kuputuskan dengan kemampuan ilmu fisikaku yang datang tiba-tiba, bahwa aku harus berlari di tengah. Ketiga mobil sekarang berposisi sejajar. Tampak kebingungan aku akan memilih mobil yang mana untuk membunuh diriku sendiri.

“ Sinta lebih cerdas dari mesin”, begitu batinku sambil berlari.

“ Mesin gak punya IQ pastinya. Meski hanya dibawah 100, minimal aku masih punya IQ dan bisa mengalahkan mobil tak ber-IQ”..

“ Kamu itu ngawur aja Sinta si bodoh”, pikiran lucunya muncul lagi waktu aku sprint.

“ Gimana cara kamu ngalahin mobil???”, pikiran menghardik.

“ Tenang pikiran nih aku ajarin caranya!!! sebut aku sekarang Sinta si jenius”.

Pertama, larilah dengan perlahan, mengincar spion kanan pengemudi mobil tengah. “ Artinya ; tanpa mereka sadar Sinta harus mengincar sisi tempat supir berada”.

“ Kedua, hitung jarak, kecepatan dan waktu”.

“ Gimana cara kamu ngitung semua itu sedangkan jarak mobil dengan kamu tinggal dua jengkal lagi Sintaaaa????”.

“ Nah itulah jaraknya yang kubutuhkan memang hanya dua jengkal!”, ketika tinggal dua jengkal, Sinta terbang persis seperti di mimpi ketika membuat gol lewat sundulan.

“ Hitung kecepatan mobil dan waktu terbang di udara. Bila hitunganku tepat, maka saat mobil berada tepat di samping, Sinta masih terbang. Setelahnya dengan manfaatkan kecepatan angin, arahkan tangan ke kepala pengumudi yang jendelanya terbuka. Jangan tanggung!satu tangan tidak bakal kuat. Arahkan dua-duanya ke pengemudi. Lantas gunakan mukanya sebagai tumpuan hingga arah tubuhmu berbalik sesuai arah mobil”.

“ Hhuuugggghhhh”, pengemudi gelagapan karena tangan Sinta menutupi wajahnya dan menjadikannya tumpuan.

Sekarang mobil dan Sinta searah, ikuti arah angin tanpa melepaskan pegangan pada pengemudi. Rasakan ketika tenagamu menjadi dua kali lipat akibat bantuan angin.

“ kraaakkk”, Leher pengemudi terdengar patah akibat pegangan tangan Sinta dan…. dia akan kehilangan kendali mobil, tak lama lagi pasti menabrak mobil di sampingnya. Sekarang lepaskan tangan dan berguling-guling untuk mengurangi rasa sakit akibat jatuh dari mobil berkecepatan tinggi.

“ BOOODDDDDOOOHHH AWWAAAAASSSS…..BRAAAAGGGGGGG”.

Mobil tengah menghantam mobil di kiri, akibat pengemudi patah leher dan membanting setir ke kiri. Kedua mobil rusak parah..

“ Brruuuggg…brruuggg…..brruuuugggg”, aku berguling-guling lagi dengan pose sama seperti di lapangan.

“ Ckkkiiiitttt”, mobil satunya bisa lolos dari tabrakan beruntun berusaha mengerem.

Sekarang saatnya menghabisi mereka Sinta. Kuberlari sprint ke belakang mobil. suasana gelap membuat mereka bingung mencariku.

“ Carrii cewe laknat itu!!!”, pengemudi di belakang turun mengacungkan sejata laras panjang sambil membuka pintu. Bodoh sekali dia aku sudah berada tepat di samping pintu mobilnya. Sebelum dia turun kututup lagi pintu mobilnya dengan kencang padahal tangannya masih terentang .

“ Kraaakkkk aaannnjrrriiiittt”, tangannya patah kugencet,senjatanya lepas dan kuambil.

Mendadak situasi berubah. sekarang bukan aku lagi yang ditodong tapi menodong senjata ke arah mereka.

“ Mmmm angkat tangan bapak-bapak!!!”, kuancam mereka.

“Aaammpunn Buuu….ammppunnn”, kata mereka. Timbul rasa kasian dalam hati tapi kewaspadaan ala Tantri dan Febi harus diterapkan dalam kondisi seperti ini. Coba kuhitung jumlah mereka satu persatu. Mobil ini muat sepuluh penumpang. Dua deret kursi sudah angkat tangan, tapi deret belakang aku tak bisa liat.

Detik kala kucoba melihat kursi paling belakang, kilatan cahaya pistol terpantul mengenai mataku. Tanganku refleks menekan picu.

“ Injak pedal gas kaburrrr!!!!!”.

“ Rattttaaatt…tatttt…tattttt…tattttt”, deretan peluru dari tanganku menghujani sisi samping mobil yang meluncur cepat tak tentu arah. Saking tegangnya karena kutembak, driver mobil itu malah menabrakan mobil itu ke pohon yang terletak tak jauh di depannya.

“ Braaagggggg”, bunyi pohon dan mobil bertumbukan keras.

“ Huuffffff”, akhirnya semua selesai, kutiup moncong pistol seperti di teve untuk membuat kesan gaya.

“ Nggeeennnggg……ngggeeennngggggg….ckkkittt”, o ya aku lupa tinggal satu motor lagi si pengendara motor bebek. Kembali aku mengaktifkan modus siaga.

Lebih tenang dari para temannya dia turun perlahan dan melepas helmnya.

“ Ckkk…ckkk…ckkk..semua kamu “ babat” seorang diri Sinta! hebat!!”.

Duuggg… jantungku terhenti ketika melihat siapa pria itu sebenarnya setelah dia melepas helm.

“ Mas bersama mereka mau bunuh Komandan Burhan dan Febi????”, tanyaku.

“ Aku gak kenal mereka! mungkin aku mempertimbangkan mau menyerang Burhan, tapi mereka datang duluan! Urusanku sekarang hanya menyelesaikan urusan di antara kita yang belum beres”.

“ Mas mau menyakiti Sinta???”.

“ YA!!”.

“ Pistol ini aku tembak sekali beres kamu Mas!”, tantangku.

“ Aku kenal kamu Sinta! kamu gak bakal tega!”.

“ He he Sinta bukan gak tega Mas, tapi…”, kubantinng pistol ke tanah.

“ Dooorrr”, pistol meletus sendiri karena lupa kukunci pengamannya, ledakannya hampir mengenai dia.

“ Annjjrriiittt Sinnntaaaa, jangan asal main banting pistol aja kamu!!!”.

“ Maaaff..maaaff Mas lupa ngunci Sintanya!!...”, aku menunduk minta maaf kepada pria sok berani yang rupanya takut juga dengan tembakan barusan. Huuh cemen loe, bisanya “ petantang-petenteng” aja sih.

“ Ok serius sekarang Mas! Sinta bukan gak tega!!”, ulang deh dialog tadi padahal udah keren tapi ilang momen gara-gara pistol meletup, “ tapi pake pistol gak rame, begini baru seruuuu”, kuangkat kedua tangan memperlihatkan tinjuku sebagai sinyal mengajaknya duel one on one. Bukan senjata, tapi kedua tanganku yang akan menghadapi duel terakhir melawan TANTO.
\
“ Enak makanannya Sin??”.

“ Mmm enak buangggeettt Mas”.

“ Lama kamu kalo makan ya???”.

“ Makan itu harus dinikmati Mas, ngapain juga cepet-cepet??”.

“ Punyaku udah habis dari tadi, kamu setengahnya aja belum”.

“ Weekk siapa suruh ngajakin Sinta makan bareng, resiko tanggung yang ngajak hi hi hi”.

“ Sin…..”.

“ Mmmm ngomong aja sih Mas, Sinta kalo udah makan gak mau diseling ngomong, rasa makanannya jadi berkurang”.

“ Kamu mau gak jadi pacar Mas???”.

“ Eeeeee pacar???”.

“ Iya”.

“ Mmmm, Mas nembak aku ceritanya???”.

“ Iya. Gak maksa kok Sin, kalo kamu gak mau Mas rela kok”.

“ Eeeeee “.

“ Gimana jawabannya mau atau enggak kamu jadi pacarku??”.

“ ……………..”.

“ Sin???”.

“ Mmmmaaauuu ddeeehh Massss”.

“ Terima kasih Sinta”.

“ Ccuuupppp”.

Untuk pertama kalinya Tanto mencium bibirku. Baru sekian detik dia menembak, berikutnya dia mencium mesra. Kata orang ciuman pertama paling berkesan buat seorang wanita. Itu benar. Ciuman sepersekian detik itu membekas lebih kuat dalam ingatan daripada puluhan hubungan seksual kami kemudian.

Tanto menciumku penuh cinta. Tidak terburu-buru. Dikemudian hari semakin jarang dia lakukan. Begitu dihayati momen intim diantara kami, membawaku melayang melampaui imajinasi. Untunglah makanan di mulut sudah tertelan semua hingga aku bisa menikmati benar-benar sensasi ciuman pertamaku dengan Tanto.

Nantinya persetubuhan diantara kami hanyalah tinggal soal penetrasi. Masuk, tusuk, cabut , semprot, begitu saja terus-terusan. Hilang sudah rasa kedamaian di hati ketika mendapat ciuman pasangan. Tidak ada lagi relaksasi maupun intimasi yang diharapkan lahir dari sebuah cumbuan.

Padahal malam itu di sebuah restoran sederhana yang telah sepi, sebuah cumbuan terasa begitu nikmat. Bukan hanya pertemuan dua bibir, lebih dari itu, ciuman menyatukan dua insan berbeda jenis dalam satu hembusan nafas. Karakter kami berbeda sekali tapi ciuman mampu menyatukannya. Sekat-sekat pembatas yang sebelumnya berdiri kokoh di antara kami, luntur dalam harmoni penyatuan.

Rasanya sudah begitu lama ciuman bersajarah tersebut kualami, tapi bekasnya masih ada, bahkan dikala aku tengah berhadapan “ one on one “ melawan Tanto.

Kami berdua meringsek maju dengan kesiapan kuda-kuda siap tempur. Wajah Tanto dipenuhi nafsu ingin menghabisiku. Seandainya saja, masih ada setitik nurani dalam dirinya untuk bisa melihat kedalaman hatiku, Tanto tak akan melakukan ini. Dari lubuk sanubari aku masih ingat wajah Tanto waktu dia memberiku ciuman pertama.

Entah apa sebenarnya yang merubahnya. Kata Tantri ; “ pasangan ketika bercerai hanya bisa melihat hal paling buruk dari pasangannya, tanpa berusaha mengingat kebaikan yang pernah diperbuat pasangannya di masa lampau”. Nyaris tak mungkin apabila seorang suami, istri, pacar, maupun kekasih tidak pernah melakukan kebaikan kepada pasangannya. Sebuah kebaikan mesti itu hanya sekecil semut tetaplah dihitung. Demikian pula sangatlah tak adil bagi Tanto, bila aku hanya bisa melihat sisi terburuk tanpa berusaha melihat sisi kebaikan dalam dirinya. Bagaimana pun selama sekian tahun kami bersama, dia telah banyak melakukan perbuatan baik.

Nasi telah menjadi bubur sekarang. Mesti terus berupaya berfikir posistif, sebagian diriku juga sudah paham ; Tanto hampir kehilangan akal sehatnya. Satu-satunya hal yang tersisa di kepalanya hanyalah menghabisi diriku.

“ Kita harus hadapi Tanto dengan serius Sinta!! jangan setengah hati!!”.

“ Siap pikiran!!”.

“ Kalo kamu gak tega dia akan bunuh kamu. Jadilah wanita buas!!!”.

“ Baiklah pikiran!”.



Deru nafas Tanto terdengar berat. Dia memasang kuda-kuda bela diri andalannya. Tak mau kalah aku pun mementaskan kuda-kuda tinjuku dihadapannya. Mata kami saling pandang, tak mau lepas satu-sama lain. Tidak ada yang berinisiatif memulai. Kami terus merapat hingga jarak antar kami hanya tinggal dua langkah.

Tidak ada diantara kami yang bisa berdiri tenang. Semuanya berposisi menunduk bersiap mengeluarkan jurus andalan. Siapa pun yang dapat menjatuhkan lawan pertama kali hampir dipastikan menang.

“ Wuuuuuusssssss”, deru angin malam menambah tegang.

“ …………”, hening.

“ Ciiiiaaaattttt”, Tanto membuka serangan, kaki kirinya mencoba menghantam rusuk kananku.

“ Beeeggg”, double coverku turun ke pinggang menangkisnya.

“ Wuuuuusss”, aku memancingnya dengan sebuah pukulan jab pura-pura.

“ Seeeettt”, Tanto melangkah mundur menjaga jarak.

Kami berdua masih berhati-hati dalam pembukaan duel. Saling jaga jarak mewarnai usaha kami melihat celah pertahanan masing-masing.

“ Suuutt…sssuuutt…sssuuuttt”, aku inisiatif melangkah kecil-kecil zig-zag khas tinju berusaha mempersempit jarak dengan kepala terus bergoyang untuk menutup ruang serangnya.

“ Haaaaaatttt”, melihatku maju, Tanto memberikan tendangan putar sambil melompat. Kaki kanan andalannya berusaha menghantam kepalaku.

Dengan kuda-kuda kuat, aku menunduk cepat. Lompatannya meninggalkan lubang menganga di celah selangkangan. Berusaha kumanfaatkan celah itu dengan pukulan jab.

“ Sseeett….taaaappp”, bagus sekali refleksnya! tangan Tanto menangkis tinjuku. Hilang keseimbangan, dia melenting ke belakang, terjatuh. “ guussssraaaakkk…..sseeett”, jatuh, Tanto segera bangkit. Dia kembali merapatkan jarak denganku. Ronde pertama tampaknya selesai. Sama-sama mengatur nafas kami bersiap untuk ronde kedua.

Kembali kami berdiri berhadap-hadapan. Nafas kami mulai terdengar ngos-ngosan.

“ Cccciiiaaaattt”, Ronde kedua dimulai, Tanto menyabetkan tangan kanan ke bahu.

“ Blleeetaaaakk”, uugghh nyeri, kubiarkan sabetannya menghantam bahuku, demi menjaga pertahanan tidak terbuka.

“ Haaatt…plaaakk….Hattt…plaaakk…..hattttt….plaaakkk” , kombinasi pukulan Tanto datang. Tumpuan kakinya sangat kokoh. Setiap pukulan ditopang tenaga kaki yang tertanam kuat di tanah.

Wajah, perut, dan leherku berusaha diserangnya. Double coverku masih rapat, semua serangannya tertahan tepat waktu.

“ Ciiiiaaatt”, sekarang ganti tendangan mencangkul tanah diperagakannya. Kakinya mengangkat tinggi bersiap menghujam ke bawah untuk memberi kerusakan fatal pada jaringan organ tubuh.

“ Huuuppp”, kaki kiriku bertumpu ke depan, kemudian kutarik punggung agar mundur. “ Jeett”, kaki kiri kulunjakkan agar membantu penarikan tubuh.

“ Wuuusss”, cangkulan hanya menyentuh angin. “ Heepp”, Mendarat di tanah kakinya menumpu sejanak , kemudian mendorong kaki satunya memberikan tendangan lurus.

“ Buuuggg”, tendangan masuk ke ulu hatiku.

“ Uuuu……”, aku sulit bernafas. Hampir jatuh, aku berusaha mengatur nafas agar tetap berdiri.

Tanto melihat pertahananku terbuka. Dia maju untuk menyerang frontal. “ ddaaagg…daagggg…daagggg…daaaggg…daaaggg…cciaaaaatt t”, beruntun enam kali tandangan menerjangku.

Nafasku tersendat, aku hanya bisa mengangkat tangan menutup wajah. Modus “ sansak hidup” diaktifkan. Modus ini bertujuan menerima setiap serangan dengan tabah tanpa bergerak, dengan harapan tubuh cukup kuat untuk terus berdiri. Sekali jatuh hampir pasti aku mati.

“Bletak…bleetaaakk…bletakkk..bletakkk”, Tanto tak kenal lelah menghambur serangan. “haaahh…hahhh…haahhhh…”, karena hambur serangan dia sulit mengatur nafas.

“ Mmmm…mmm…mmmm”, melihat dia kesulitan bernafas. Kubuka double cover, menurunkan tangan ke pinggang, kemudian sengaja menggeleng-gelengkan kepala untuk meledeknya. “ Sinta gak ngerasa apa-apa tuh Mas. Cuma segitu doank??yeeeekk”, kujulurkan lidah.

Diledek seperti itu Tanto panas, tapi apa daya nafasnya belum pulih. Ronde kedua sepertinya selesai.

“………“.

“ Hahh…hahh..hahhh..hahhh”, dia masih mengambil nafas.

“Maafin Sinta ya Mas Huuupp…tappp…tappp….tappp….tappp…tapppp…tapppp…ble eetaaakkk”, Kumanfaatkan kondisi fisiknya, mengawali gerakan dengan sopan, sekarang giliranku menghamburkan serangan. Pukulan jab dan hook bergelombang menerjang Tanto. Meski nafas belum stabil, dia cukup sigap, serbuan kilatku di tangkis semua. Tapi batu yang diterjang air bah sekeras apa pun pasti jebol. Gelombang pukulanku pendek-pendek cepat. Tak mampu ditangkap saking cepatnya. Sebuah pukulanku akhirnya bisa “ nyelonong “ menembus pertahanannya mengenai dagu. Kepala Tanto terbuang ke belakang. Ketika kepala itu kembali ke posisi semula, Tanto gontai karena efek pukulan. Siapa sih petinju dunia yang tidak goyah bila dagu terkena pukulan??. Disanalah letak saraf otak berada. Satu pukulan saja cukup membuat KO.

“ Huuuppp”, kudorong dia agar jatuh. Dalam keadaan pusing Tanto jatuh, “ Gusssraaaakkk”.

Dalam posisi terlentang kududuki dadanya. Wajahnya kuberondong pukulan. “ tappp…tapppp….tapppp…tapppp…taaaappp…crrooott…crro oottt”, darah segar tumpah dari pelipis Tanto saat kulitnya sobek.

“ annjjjrriiitttt….hhiiaaaatttt”, kedua kakinya berusaha meraih leherku untuk melakukan kuncian.

“ Huuupp”, aku sadar gerakannya. Cepat aku berguling ke depan menghindari datangnya kaki. Tanto berhasil lepas dari pukulan, aku selamat dari kuncian.

“ Huuuhh…huuhhh..hhuuuhh”, Aku bisa saja maju lagi, tapi kutahan, kasian Tanto, pelipisnya sobek. Kubiarkan dia bangkit dahulu. Meski ini duel terakhir etiket pertarungan harus ditegakkan.

“ Teeennngg”, dalam pikiranku bunyi bel ring berbunyi menandakan ronde ketiga selesai. Tanto diselamatkan oleh bel ring. “ Saved by the bell”.

“ Huuuupp”, Tanto bangkit. Tangannya memegangi kepala.

“ Masih mau lanjut Mass???”, godaku.

“ KURANG AJAR KAMU SINTA!!!”.

“ Mmm itu jawaban untuk lanjut ya?? ayo lanjutt!!!”.

“ Ccciiiaaaatttt”, Tanpa disuruh Tanto menyerang dengan lebih cepat dan liar. Semua pukulan kaki dan tangan digunakannya. Ronde keempat mulai.

“Buuuggg…bbuuuggg…bbuuuggg…bbuuuugggg….bbuuugggg…b buugg….plaakk…”, Variasi jurus tiba melibatkan pukulan kombinasi. Awalnya seluruh serangan itu dapat kutahan dengan double cover, tapi saking cepatnya tiga pukulan tetap bisa masuk dan menghantam hidung dan pipi. Menerima pukulan di pipi aku terjatuh.

“ Gusssraaakkkkk”, untung pipi yang kena. Kalo dagu??.

“ Ha..ha…ha..haaaa”, Tanto begitu senang melihatku jatuh dengan hidung mengeluarkan darah. Dikiranya aku KO apa??? Sinta masih lebih kuat dari ini kelesss.

Segera aku bangkit, memegang hidung persis kayak bintang film laga legendaries, menyentuh darah di hidung sedikit, kemudian menyapunya penih gaya ; “ Cuuuiiiihh”, Sinta udah seperti cewe jagoan beneran sekarang.

“ Maju Mas!! gak kerasa pukulanmu!!”, tantangku.

Sekarang waktunya merubah gaya bertinju. Sebelumnya aku petarung bergaya “ Fighter” yang memburu lawan dengan double cover setia menempel di dagu. Kini kuganti dengan gaya “ boxer”. gaya ini tidak memerlukan double cover. Seperti petinju legendaries berjuluk “ the greatest”, Kedua tanganku bersemayam di pinggang meninggalkan pertahanan muka. langkah kakiku melompat-lompat ringan, begitu lincah tanpa pertahanan sama sekali. Kecepatan langkah kakiku adalah pertahanan itu sendiri.

Entah kebetulan atau tidak, gaya “ boxer “ sekilas mirip gaya kung fu milik bintang film legendaris yang gayanya baru saja kuikuti untuk menyapu darah di hidung. Bedanya aku tak akan menggunakan kaki untuk menyerang lawan.

“ Ayooo Mas Tantooo…majuuu Sinta disini!!”, kuledek lagi tanto.

“ Huuuhhhhhh ciiiaaaatt…cciiiaaattt…ciiaaattt…”, Tanto panas. Pukulan kiri datang Sinta mundur. Tendangan kanan menerjang, Sinta melompat ke samping. Tendangan cangkul menghujam, Sinta tangkis pake tangan kanan.

“ Tep ”, pertahanan tanto lowong setelah tendangannya kutangkis. “ beleetaaakk”, ,memanfaatkan longgarnya pertahanan pukulan kiriku menghujam wajah Tanto.

“ Bllaaaggg”, Tanto kena telak. Keseimbangan hilang. Dia berusaha menutup wajahnya menahan pukulan lanjutan. Sebagai petinju bergaya boxer aku tak akan menyerbu seperti tadi. Sebaliknya aku sabar menunggu hingga dia membuka sendiri pertahanannya.

Sekali lagi aku memberi kesempatan Tanto untuk pulih terlebih dahulu. Ronde empat selesai. Sebentar lagi ronde lima.

“ Huuup”, Meski pusing juga berdarah-darah ego laki-laki memang lebih tinggi dari gunung Himalaya. Tanto memasang kuda-kuda lagi. Gak kenal kapok dia masih mau menyerang.

“ Hap…ayo Mas..happp….ayo Mas..happp….”, aku menari di atas tanah, provokasi selalu kuberikan untuk memancing Tanto emosi.

“ huup…hup..huupp…huuppp”, kakiku kugerakkan kiri kanan lincah menyiapkan foot work.

“ Haaaahhh”, Tanto termakan umpanku dia naik pitam.

“ Ciaaaaatttt”, sabetan tangan Tanto terjangkan ke arahku, “ Tappp”, kutepis ringan. “ Huupp”, kubalas sebuah pukulan jab pancingan ke arah kepalanya. “ Tap” dia tangkis”, aku mundur mengatur jarak.

“ Wussss…wuuuss….wuuss”, Tanto maju dengan serangan ritmis. Pukulan, tendangan kombinasinya, menghantam tubuhku.

“ Beeegg….taaaappp”, sebagian kubiarkan masuk, sisanya kutahan dengan tangan.

“ huuuppp”, pukulan hook balasan coba kumasukkan ke kepalanya. “ Tap”, ditepis lagi-lagi aku mundur.

“ Ciiaaatt…ciiaaattt…cciiiaaaatttt….cciiiaaatt”, Tanto menggila, empat tendakan putar berturut-turut digeber. Aku mundur dengan langkah ringan menghindarinya.

Tanto berhenti. Dia mengambil nafas panjang mengembalikan oksigen dalam paru-parunya. Posisi menyerang memang selalu lebih lelah, baik dari sisi tenaga maupun mental. Sebuah serangan tepat sasaran akan meningkatkan motovasi petarung bertipe pnyerang. Namun, pukulan luput akan membuat jengkel, menaikan emosi, dan menyedot tenaga. Tidak baik emosi naik dalam petarungan. Hal Itu kupelajari dari tinju. Semakin naik emosi, pukulan akan menjadi tak terkontrol. Sebaliknya karena aku sedari tadi hanya bertahan, staminaku terjaga, kepalaku tetap dingin.

Bertahan lebih baik untuk pernafasan. Bertahan tidak membuat emosi bila dilakukan dengan sabar. Malahan bertahan dapat melatih pikiran agar tetap tajam untuk mengindera serangan mana yang harus ditahan maupun dilepas. Kok dilepas?? iya kalo semua derangan ditangkis, pertahanan kita pasti terbongkar. Petarung sejati tau kapan harus berkorban.

“ Mmmm…mmmm..mmmmm”, Setiap dia ngos, Sinta pasti menggeleng-geleng kepala di depannya, bersikap seolah pukulan tendangannya tak berasa sama sekali. Provokasi buat membangkitkan emosinya harus terus dilakukan agar dia semakin hilang kontrol. Bukankah ahli bela diri pasti lupa ilmunya kalo dia emosi.

“ Gak kerasa Mas….gak kerasaaa…Cuma gitu doank???”, kuledek dia.

Wajah Tanto merah padam. Sebagai pacar Sinta hafal tabiatnya. Ketidakmampuan mengendalikan diri sendiri, adalah sisi lemah Tanto yang akan kumanfaatkan.

“ Ciiiiaaaattt….ciiiaaatt….cciiaaaattt”, dia maju lagi dengan lebih brutal. Pukulan-pukulannya terlihat keras tapi semakin tak terarah. Lihatlah dia menahan nafasnya ketika menendang atau memukul. cara memukul seperti itu hanya menghamburkan energy lebih banyak.

“ Huup…huupp…hhuupp”, langkah ringan sambil berjinjit, kupentaskan begitu indah menghindari semua aksinya. Seperti penari balet, aku berputar-putar membiarkannya melampiaskan seluruh emosinya. Tak terhitung berapa banyak pukulan-tendangan yang Tanto berikan, semuanya dapat kuhindari.

“ Heeehh…heehh…hheehhh….”, Tanto ngap-ngapan. “ Heeeh…heee..cciiiaaaattt”, dia maju lagi tanpa memikirkan nafas. Sinta tidak mengelak lagi sekarang. Aku maju menyongsongnya. Sudah kuhitung semuanya; Tanto maju dengan tenaga besar, Sinta juga maju mengincar kepalanya. Sayang untuk Tanto, konsentrasinya sudah terkuras. Dia tak sannggup menduga apa rencanaku.

Dalam posisi maju tanganku mengeluarkan pukulan jab lurus mengarah ke rahangnya. Jab itu menjadi dua kali lipat tenaganya karena objek serangannya bergerak maju.

“ Brrraaaggg…..kkrraaaakkk”, pukulanku masuk telak. Serangan Tanto menghilang di telan jab. “ Jduuukk”, dia nyungsep mencium tanah.

Lucu melihat posenya yang nyungsep tengkurap. Tapi aku gak boleh berleha-leha. Inilah momen mengakhiri semua kekonyolan ini. Kuputar tubuhnya agar telentang kemudian kutindih dia. Pukulanku siap mengakhiri drama nan tragis antara aku dan dia.

“ Huuuppp”, hampir saja kutonjok dia. Tapi hatiku tersentuh melihat matanya yang belum kembali ke dunia. Tanto masih di awang-awang akibat ku-jab. Kalo di tinju dia sudah KO mencium kanvas. Kutunggu dengan sabar kapan dia pulih.

Kira-kira sepuluh hembusan nafas kemudian, kesadarannya kembali. Dia bisa melihatku dan mengerti situasi kritisnya.

“ Huuuppp”, tanganku sudah diudara siap memberi satu pukulan mematikan.

“ Cuuuuuhhh”, Tanto meludah ke arahku tepat mengenai wajah. Tiba-tiba harga diriku panas karena diludahi. Sepanjang petarungan aku menjaga etiket. Kenapa lawanku tak sanggup melakukan hal yang sama??. Tanganku begitu gregetan ingin menghabisinya seketika akibat air ludah tadi.

Tapi disaat itu secara ajaib aku teringat Tuhan. Setan masuk membuat kita emosi melalui perbandingan kita terhadap orang lain. Aku melakukan begini sedangkan kenapa dia melakukan begitu??. Seperti itulah metode setan mengaburkan akal sehat kita. Sinta tak boleh terpancing oleh setan.

“ Huuuhhh”, membuang egoku sendiri, aku bangkit meninggalkannya. Duel sudah selesai akibat sikap tidak hormatnya tadi terhadapku.

“ SIINNTAAA maaauu kemana kammuu??? habisi aku Sinta sekarangg!!!!”.

“ Huuhhh, ngapain aku harus menghabisi kamu Mas??”.

“ Taaappii ttingggal saatu pukulan lagi kamu bisa membunuhku Sinntaaa”.

“ Sebelumnya Sinta bertarung tanpa emosi Mas. Sampai tadi Mas meludahi Sinta. Hadir setan dalam diriku karenanya, itu tidak baik. Aku bukan seperti kamu Mas yang senang mengikuti bisikan setan!!!”, kutinggalkan dia sambil mengambil senjata yang yang meledak sendiri tadi.

“ SSIINTAAA…SIINNTAAA..”, Tanto terus memanggil namaku.

Tak kupedulikan. Duel sudah selesai. Terserah mau apa dia nantinya. Semoga duel ini dapat memberinya pelajaran hingga memilih jalan yang benar. Kutinggalkan dia menaiki unduk-ndukan tanah yang menghubungkan dengan jalan besar di atasnya.

Jalan besar telah sepi. Hiruk pikuk pertarungan di bawah sama sekali tak terasa.

Baru saja berjalan beberapa langkah, sebuah mobil berkecepatan tinggi datang dari arah belakang. Sinta pasang ancang-ancang. Jangan-jangan ini begundal yang tertinggal. Kecurigaanku semakin besar melihat arah mobil mengarah tepat ke sini. Lagi-lagi dengan kecepatan tinggi.

Aku bersiap mengarahkan senjata ke mobil. “ Nggeeenngg…ccciiitttt”, mobil mengerem berhenti tepat di hadapan. Aku bersiap menembak.

“ SSIINNTAAA CEPAT NAIKK!!!”, kata pengemudi mobil.

“ Masss, kirain siapa! hampir saja kutembak kamu”.

“ Ayooo naikk!!!”.

“ Mas aja deh!!! SInta jalan aja!”, kutolak ajakannya.

“ Tolonglah Sinta!!”.

“ Gak ah Mas! Sinta sendiri aja!!!”.

“ Untuk terakhir kalinya deh, aku mohon kamu untuk percaya padaku!. Setelah ini Sinta boleh gak mau percaya lagi!! tapi “ please” untuk kali ini aja naik ke mobil!!”, wajahnya memancarkan aura serius berbalut kepanikan yang tak pernah kulihat sebelumnya.

“ Ada apa sih Mas???”.

“ Nanti kujelasin di mobil!! naiklah cepat!!”.

“ Mmm ”, aku mengangguk.

Sebenarnya jiwa raga ini enggan masuk mobilnya, akan tetapi melihat raut wajahnya begitu serius, aku jadi penasaran. Kaca dekat pengemudi mobil sudah diganti, tapi masih belum rapih. Interior dalam masih persis sama seperti ketika dia mengajakku beberapa hari yang lalu.

“ Ada apa Mas???”.

“…….”, dia tidak menjawab.

Begini terus sih kelakuan nih cowo. Sudah berkali-kali dibuat begini Sinta tak tahan juga. Kali ini aku harus mendapat jawaban. Kudekati wajahnya, nada suara kutinggikan sedikit untuk berkata ; “ MASSSS ADA APA SIIH???”.

Cukup lega dapat melakukan tindakan kurang sopan seperti ini kepadanya. Mengingat semua kelakuan menjurus kelainan miliknya, sebuah teriakan bisa melampiaskan tingkat sebalku yang telah masuk taraf stadium tinggi.

“ Brrraaaagggg”, masih dalam posisi kepala rapat dengan kuping Inspektur jaka, aku terlempar ke belakang hingga membentur kaca mobil. Untunglah pintu sudah dikunci. “ Uuuuhhhh”, penggungku membentur pintu.

“ Cckkkiiiiittttt”, Jaka berusaha mengembalikan kendali mobil yang oleng akibat diseruduk dari belakang.

“ Kamu gak apa Sin???”, tanpa melepas pandangan dari jalan, jaka bertanya.

“ Uuhhh sakit dikit Mas, siapa sih mere…..”.

“ Brraaaaggg”, benturan kedua terjadi. Aku terdorong lagi, kali ini ke depan.

“ Teepp”, tangan kutumpu pada dash board mobil menghindari benturan.

“ Heegghh”, jengkel, kupersiapkan lagi senjata. “ Ckreekk…krreek”, tanpa banyak bertanya lagi pada Jaka aku melompati jok pindah ke kursi belakang.

“ Sinta mau ngapain kamu???”.

“ Mereka mau bunuh kamu Mas???”, tanyaku.

“ Sepertinya sih begitu”.

“ Kenapa banyak sekali pembunuh ya akhir-akhir ini??”.

“ …….”, Jaka diam tak mengerti.

Jelas kulihat sekarang dari kaca mobil ada tiga mobil mengejar kami. Masing-masing tampak tidak ingin memberi jaka kesempatan untuk meloloskan diri. Kalo aku dikejar-kejar begundal rasanya kok sudah biasa. Tapi Jaka??? kenapa dia ikut dikejar-kejar juga??. Semua kok jadi aneh begini ya.

“ Braaaagggggg”, cukup keras kali ini mobil pengejar menabrak kami.

“ Ckkiitttttttttttttt”, Jaka melakukan maneuver ekstrim. Untung aku sudah berpegangan kuat di sofa mobil hingga tidak terlempar. Dalam keadaan mobil berlari cepat, Jaka menarik tuas rem tangan , hingga mobil dipaksa berputar. Ketiga mobil sedikit terkejut hingga tak mengantisipasi perubahan arah kami.

“ Ngggeennngg”, jaka menggas lagi mobilnya setelah kami balik kanan.

“ Ckkkitt….ckkkittt…cckkiiittt”, ketiga mobil segera melakukan manuver untuk kembali mengejar kami.

“ Apa kesalahanmu sama mereka Mas??”.

“ Kamu Sinta!!”.

“ Lho kok aku sih???”.

“ Iya aku mencintai kamu! itulah yang membuat mereka mengejarku.

“ Ahhh masak siihh????”, aku penasaran sekaligus tersipu.

“ ……………”, Jaka mengangguk semakin membuatku tersipu.

“ Sialan ini mobil gak ada tenaganya buat lari! Sudah di gas poll tapi tetep aja terkejar!”, Jaka ngedumel.

“ Hmmm tenang Mas! coba Sinta bantu”.

“ Sinta bantuanmu itu kadang ngorbanin dirimu sendiri tau!! kayak pas tawuran itu kamu nekad melawan mereka sendirian. Gimana kalo terjadi apa-apa????”.

“ Ahhh siapa juga sih Mas yang peduli sama Sinta kalo terjadi apa-apa??”.

“ Aku peduli Sinta!!! seandainya saja terjadi sesuatu denganmu…. aku peduli!!”.

Untuk pertama kalinya, Jaka berusaha untuk berbicara sambil melihat wajahku. Padahal dia lagi mengemudi, udah gitu dikejar-kejar sama tiga mobil gak jelas, tapi tetap berusaha untuk menatapku. Kami kaum wanita mudah terenyuh oleh sebuah hal kecil. Tindakan Jaka merupakan salah satunya. Begitu sepele tindakannya, namun cukup menyentuh hatiku. Rasa cintanya terasa kuat memancar.

“ Terima kasih ya Mas. Sekarang Sinta mau minta maaf karena harus ngerusakin mobilmu lagi!!”.

“ APA??? APA KATAMU???”.

“ Rattaaat….prangg…..tattt…tatttt…tatttt…taattt…tatt tt”, ketiga mobil sudah dekat bersiap menabrak lagi. Tidak ada lagi opsi yang kumiliki selain menembak mereka. Kebetulan senjata ini memiliki kemampuan menembak beruntun. Semoga saja dapat mematahkan serbuan mereka.

“ Prrraaanggg…praaannggg…praaaanggg”, berhasil, ketiganya porak poranda terkena tembakan. Satu mobil terbalik akibat bannya pecah. Dua mobil lagi hilang arah karena sopirnya tertembak. Mobil kami akhirnya bebas.

Jaka melirik ke belakang tak percaya dengan tindakanku.

“ Upppsss…maaaf…maaaf…maaafinn Sinta ya Mass!!!”, aku merasa bersalah telah memecahkan mobilnya.

“ Pindahlah ke depan Sinta!!”.

Menurut aku melompat lagi ke depan. “ Kenapa mereka mengejarmu Mas???”, tanyaku. Jaka tersenyum.

“ Nanti aku jelaskan Sinta!! senang bisa bertemu lagi denganmu!!”, ucapannya sekarang selalu dibarengi matanya yang menatap ke arahku. Sikap tubuhnya membuatku merasa dihargai.

“ Upss, Sinta juga minta maaf ya Mas kerana “ menandukmu” waktu di rumah”, aku menunduk mengingat tragedy tak menyenangkan tersebut, “ juga kaca mobil belakang, nanti Sinta ganti deh!!!”.

“ Aku pantas kamu tanduk Sinta!! kaca mobil lupain aja. Tindakanmu tadi heroik banget!!”.

“ Ahhh Mas bisa aja. Itu hal biasa buat Sinta si jagoan he he he”.

“ Kamu jagoanku Sinta!!”, Jaka manis sekali memujiku.

Dini hari ini suasana hatiku langsung berubah akibat kedatangannya. Senyum bahkan perhatiannya sanggup menghilangkan semua kepenatan. Sakit di sekujur tubuh ikut hilang besama rasa kasihnya. Seminggu lalu dia membawaku, dengan mobil yang sama, tanpa rasa cinta sedikit pun. Kala itu hanya ada nafsu dan syahwat.

Waktu tampaknya telah merubah Jaka. Sebagai wanita aku bisa merasakan perubahan besar dalam karakternya. Kapan sih dia memandangku saat bicara??. Saat berhubungan badan, pandangan matanya hanya terpusat pada payudara maupun bagian sensual tubuhku. Kali ini dia menatapku penuh rasa cinta.

“ Maukah kamu tidur di rumaku lagi?? malam ini saja”.

“ Mas….”, aku ragu.

“ Iya dosaku banyak kepadamu di rumah Sinta. Tapi kondisi malam ini rawan!! Informasi dari intelijen mengatakan serangan terorganisir diluncurkan di saat yang sama untuk menghabisi Pak Burhan , Febi, dan…”.

“ Inspektur Jaka??”, tanyaku.

“ Benar, entah bagaimana nasib Pak Burhan dan Febi…”.

“ Mereka selamat Mas!”.

“ Hah, kok kamu bisa tau Sinta?? siapa yang menyelamatkan mereka??”.

“ Tuhan mas ”.

“ ……”, Jaka tak sanggup berkata apa-apa.

“ Tuhan juga menyelamatkan kamu Mas”.

“ Iya Sinta. Aku bersyukur telah diberikan keselamatan…..Tuhan begitu baik padaku,”, dia merenung,” kamu terutama yang berkorban paling banyak”, lanjutnya.

“ Sinta gak ngapa-ngapain Mas”.

“ Boleh gak aku mohon sesuatu padamu lagi?”.

“ Apa??”.

“ Mau ya tidur di rumah satu hari saja!! Hanya sampai kondisi kembali normal”.

“ …..”, aku mengangguk.

Jaka terlihat bahagia dengan jawabanku. Coba kuingat-kuingan dengan ini sudah tiga kali aku menyambangi rumahnya. Dua pengalaman sebelumnya sama sekali gak berkesan, bahkan traumatis. Semoga kunjungan ketiga lebih baik.

Setibanya kami di rumah, Jaka memperlakukanku begitu sopan. Disiapkan khusus bagiku kamar tersendiri terpisah darinya. Aku minta jaminan darinya, dengan ancaman akan menanduknya lagi, seandainya mencium sedikit saja kehadiran temannya ; si pengemar sex orgy itu. Doni terlihat batang hidungnya, Sinta out, itu perjanjiannya. Jaka menyanggupi sembari berjanji bahwa Doni tidak akan berani datang lagi. Pukulanku padanya sudah cukup membuatnya kapok.

Beres menyiapkan kamar untuk kudiami. Jaka, dengan tangannya sendiri, membuatkanku makan malam. Pantaskah disebut makan malam sedangkan matahari hampir terbit??. Meski terlihat canggung dia merebus sendiri dua mie instan, berikut telur dan sayuran.

“ aku sudah belikan baju buatmu Sinta!. Kaos kesukaanmu yang pas badan dan agak jungkies. Celana training panjang juga sudah disiapkan berikut semua pakaian dalamnya. Maaf ya, tapi “ pengalaman” kita membuatku tau semua ukuranmu”.

“ ………….”, aku bingung harus berkata apa jadinya.

“ Mandilah dulu! setelah itu segera kembali kesini! kita makan sama-sama mie instan buatanku pasti enak!!”.

“ Siap Komandan”., panggilan itu kusematkan lagi padanya. Sebelumnya aku pernah bersumpah tidak akan menyebutnya lagi dengan panggilan itu gara-gara perilakunya bersama Doni. Tapi melihat semua perubahan dalam dirinya sekarang dia layak menyandang panggilan itu.

Untuk menghormatinya aku tidak lama-lama mandi. Kamarnya sangat lengkap fasilitasnya. Sebuah shower dengan air hangat siap kugunakan. Rasanya cukup bisa melonggarkan otot-otot tubuhku aliran air hangat. Setelah berkontraksi terus-terusan membabat para begundal, sayangnya termasuk Tanto, ototku perlu dibuat relax.

Habis mandi kukenakan semua baju yang telah dibelikannya. Bahkan hingga pakaian dalam semuanya pas dan begitu nyaman kukenakan. Kenapa dia harus repot-repot membelikanku semua ini??. Mengenakan kaos pas tubuh kesexyan tubuhku kembali terlihat. Sebelumnya, bila mengenakan kaos “gombrang” ditambah rambut pendek, bisa-bisa orang salah menyangkaku sebagai laki-laki.

Memberanikan diri aku keluar dari kamar. Sampai sekarang aku selalu grogi bila bertemu Jaka. Ada tuntutan untuk selalu berpenampilan terbaik di hadapannya. Apakah ini tandanya aku jatuh cinta??. Bukankah wanita selalu salah tingkah bila bertemu cowo yang ditaksirnya.

“ Ayo Sinta kita makan dulu!!!“, sambut Jaka. “ Sssrrrrggg”, Jaka menarikkanku kursi dan mempersilakanku duduk “ Silakan duduk tuan putri Sinta!!”.

“ Komandan kok jadi baik gini sih?? Sinta jadi gak enakkk….”.

“ Ssstt, kamu layak dihormati dan dicintai Sinta!!”.

“ ……..”, aku membisu. Dicintai?? itu kata-kata terbaik yang ingin kudengar keluar dari mulutnya.

“ Kamu cantik make baju yang kubelikan!”.

“ Terima kasih Mas. Kok repot-repot beli baju wanita berikut pakaian dalamnya?? jangan-jangan buat orang lain ya???”

“ Enggak kok buat kamu seorang saja Sinta!! lihat donk ukurannya, pas kan??”.

“ Pas sih Mas”.

“ Nah itu dia bukti cintaku!”.

“ Tapi kenapa??”.

“ Karena aku sayang kamu Sinta!!”, Jaka menatapku.

Kubalas tatapannya untuk menilai keseriusannya. Jelas dari guratan wajah, dia sungguh-sungguh. Dunia lucu ya, sebelumnya Sinta menyukai dia atas dasar pangkat, kegantengan ataupun prospek masa depan. Sekarang semuanya jadi tak berarti. Sinta gak butuh pangkat, emangnya mau diapain coba. Kegantengan?? semakin ganteng cowo biasanya kelakuannya makin aneh. Prospek masa depan?? bergelut saban hari dengan peluru, membuatku tak terlalu lagi memikirkan masa depan. Yang penting bisa hidup sekarang, kita isi sebaik-baiknya. Siapa tau besok ada peluru menerjang mau bilang apa??.

Sekarang yang membuatku menyukai dia hanyalah kualitas kepribadiannya. Perhatian, kemampuan menghargai wanita, jujur, berani mengakui kesalahan, dan segala perubahan dalam dirinya menerbitkan asa cinta.

Jaka rupanya seorang pria yang juga lambat makannya. Mie buatannya kami nikmati perlahan-lahan sekali. Katanya makanan itu harus dinikmati agar rasanya meresap di lidah. Aneh kan?? aku tak pernah cerita padanya betapa kata tersebut telah begitu sering kuucapkan.

Sambil makan perlahan, kuceritakan seluruh kisahku yang penuh action dalam seminggu terakhir. Dia sabar mendengarkan semua ceritaku. Berkali-kali dia terpingkal-pingkal mendengar kepolosan tutur kataku. Baru sekarang hambatan pangkat berikut status sosial berhasil kami lampaui. Tak ada lagi batas antara perwira- bintara. Kami ngobrol berdua sebagai Sinta dan Jaka. Rasanya begitu menyenangkan.

Ketika waktu beribadah tiba, di luar dugaan Jaka mengajakku menunaikannya bersama-sama. Buatku sendiri hal itu sangat berarti. Jaka telah berubah. Apakah bisa orang berubah secepat dia?? Kalo dia memiliki niat kuat perubahan pasti bisa terjadi.

Setelah ibadah selesai dia memimpinku berdoa mengharapkan keselamatan serta kebahagiaan bagi kami berdua. Jaka mengajakku sebagai pengikutnya ketika beribadah. Aku sebaliknya bersedia dia menjadi imamku. Persatuan diantara kami semoga diberikan perkenaan oleh Yang Kuasa.

“ Ya Tuhan, selamatkanlah kami berdua. Lindungilah dari segala kejahatan yang tengah menyelimuti kami saat ini. Bersihkanlah kami dari segala fitnah maupun kemungkaran. Selamatkanlah calon istriku Sinta! lindungi dia dari segala aksi nekadnya. Bila seorang penjahat Ya Tuhan, semoga Engkau tidak mengijinkan hal ini terjadi, mencoba menembak dia lagi lindungilah dia. Tamengi Sinta seperti Engkau telah berkali-kali melakukannya dalam seminggu terakhir. Terima kasih atas segala lindungan-Mu Amin”. Bersama kami mengatupkan wajah setelah doa selesai ditunaikan.

“ Calon istri Mas???”, tanyaku.

“ Betul, hatiku sudah mantap Sinta!! besok seluruh dunia akan tau, bahwa dirimulah yang akan bersanding di sisiku”.

Butir air mataku mengalir. Tak sanggup lagi hati menanggung perasaan nan begitu penuh. Hati manusia terbelah kata orang bijak. Sampai dia menemukan jodohnya, serpihan hati tetap belum lengkap dan selalu mencari kekurangannya. Hanya saat kedua belahan hati telah bersua perasaan penuh tersebut baru dapat dirasakan.

Jaka memelukku dia juga menangis. Kami berdua menangis haru. Laki-laki bisa menangis juga ya ketika merasakan cinta??. Rupanya laki-laki dan perempuan itu sama-sama manusia yang memiliki persaan. Kami berdua berpelukan haru. Sebagai wanita kami dikaruniai jiwa keibuan. Betul akulah yang pertama menangis. tapi merasakan jaka ikut menangis, rasa haruku segera reda. Rasa itu berganti jiwa mengayomi, yang ingin menentramkan hati pasangan. Kuelus bahu kekarnya untuk memberi keteduhan.

“ Terima kasih Sinta!”.

“ Buat apa Mas??”, mata kami berdua sama-sama berkaca-kaca.

“ Segalanya”.

“ Cuuupp”. siapa yang memulai kami juga tak tau. Tapi dalam waktu sepersekian detik bibir kami sudah berpagut. Kami berciuman mesra sebagai kekasih. Setelah lama terpisah, Tuhan mempertemukan kami kembali. Rasa haru yang sebelumnya datang menambah kesyahduan cumbuan kami.

Dalam ciuman intim, tak ada yang ingin dominan atau memenangkan sesuatu. Kami berdua sama-sama ingin kalah. Tak ada yang ingin mengambil kuasa. Semuanya pasrah menikmati aliran cinta. Kami berdua hadir dalam ciuman. Kami nikmati tiap detik momennya. Detak jarum jam di dinding bahkan mampu kudengar menjadi irama merdu mengiringi persatuan sepasang kekasih.

Bibir kami saling bertaut. Maju menghisap, setelah itu saling mengendurkan, tak lama menghisap lagi kemudian mengendur. Mata kami terpejam menikmati betul anugerah terindah ekspresi kasih dari Sang Pencipta. Tak ada lagi rasa takut, resah , gelisah, cemas. hanya ketenangan, rasa dicintai dan penghargaan yang hadir diantara kami. Jaka melepaskan ciumannya dan menggendongku masuk ke dalam kamar. Begitu “ gentel “ dia rebahkan diriku diranjang. Lagi-lagi aku terkejut saat dia tidak langsung menggumuliku ganas seperti kali pertama kami bersua. Ditariknya selimut lalu diselumitinya tubuhku.

“ Tidur dulu ya sayang!! kamu sudah melakukan banyak hal luar biasa malam ini! Istirahatlah dulu!!”, Jaka mencium keningku kemudian bangkit.

“ Mas…..”.

“ Hmmm??”.

“ Sinta gak bisa tidur kalo sendirian”.

“ Mmm manja!! kamu kan Polwan!”.

“ Eeenngaaakk bisaaa tidduurr, temeninnn!!”, raungku manja.

“ Iya deh, aku temenin”.

Jaka mengalah. Dia rebah di sampingku.

“ Peluk Sinta Mas!!!”.

“ Mmmmm”, Jaka menurut.

“ Kenapa kamu jadi manja gini sayang???”.

“ Sinta sendirian seminggu terakhir menghadapi badai cobaan Mas. Perlu seseorang buat meluk Sinta itu aja kok”.

“ Ngerti Sinta!! dah tidur!! aku tidur disampingmu sekarang. Kamu aman bersamaku”.

Jaka memelukku dalam posisi menyamping. Tubuhnya yang jauh lebih tinggi merangkulku dari belakang. Dapat kurasakan deru nafasnya menerpa kulitku. Dalam waktu singkat dia tertidur duluan. Siapa sih yang capek sebenarnya?? aku atau dia?? kok malah dia tidur duluan.

“ Hhhmmm senangggnnyaaaa”, aku tersenyum bahagia. Pertama kalinya aku bisa merasakan sebahagia sekarang. Begitu total, begitu penuh. Selanjutnya dalam senyum indah itulah aku terlelap.

***** “ Bangun Mas, sudah siang!!”, aku bangun duluan dan membangunkan Jaka. Dia masih memelukku. Sepanjang tidur kami terus berpelukan.

“ Mmmm sudah jam berapa Sinta??”.

“ Sembilan Mas”.

“ Ups kita berdua kesiangan ke kantor nih”.

“ Sinta mah udah biasa dimarahin mas, gak tau kalo…”, jari Jaka menutup mulutku.

“ Kita berangkat sama-sama ke kantor Sinta. Kalo ada yang marahin kamu, hadapin aku dulu!!”. Jaka berujar tegas.

“ Iya Mass”.

“ Cuuppppp”, kami berciuman kembali.

“ Aku mandi duluan ya!!”, jaka bangun cepat menuju kamar mandi. Bajunya dilepas begitu saja di depan kamar mandi.

Dari semalam kuperhatikan pancaran matanya tetap penuh nafsu saat menatapku. Namun rasa bersalah atas kelakuan temannya tempo hari, tampaknya membuatnya menahan diri.

“ Mmm coba kita uji, masih bernafsu gak dia kalo melihat kemolekan tubuhku”, watak nakalku kumat. aku ingin menggoda Jaka. Kulucuti seluruh bajuku di depan pintu kamar mandinya yang tak terkunci.

Jaka mandi dari shower. Teralisnya tak ditutup sehingga aku dapat melihat jelas postur kekarnya dari belakang. Pantat serta punggungnya yang padat berotot semakin membuatnya terlihat sexy. Dari belakang kupeluk dia dalam keadaan kami sama-sama telanjang.

“ Siinntaaa…”, Jaka terkejut. Dia membalikkan tubuhnya.

Dipeluknya aku kemudian langsung diciumnya. Matanya memancarkan gairah membara.

“ Sinta kamu udah gak marah soal kejadian waktu itu???”.

“ Mmm..mmm”, aku menggeleng. “ Sinta sudah maafkan Mas!!”,ujarku tersenyum.

“ Terima kasiihh…”, jaka menciumku lagi kali ini dengan gairah yang tak lagi ditahan-tahan.

Dia masih canggung. Ciumannya tak dibarengi remasan ataupun belaian melibatkan tangan. Maka coba kupancing dia. Kuelus bahu, kemudian otot-otot lengannya, naik ke dadanya, untuk membuatnya terangsang. Tanganku yang satu mengelus penisnya yang telah tegang sedari tadi akibat melihatku telanjang.

“ Mmmm”, Jaka terbakar.

“ Uuuhh” Dipepetnya aku ke dinding kamar mandi. Diangkatnya kedua tanganku tinggi agar memegang tiang handuk yang ada di atas. Kucoba untuk menyentuh bahunya lagi. Jaka memegang tanganku agar tidak turun. Matanya mengisyaratkan agar jangan melepas pegangan tangan. Aku memahami maksudnya.

“ OOooooohhhh”, aku terangsang seketika kala bibirnya melumat leherku dengan ganas. Kedua tangannya sudah hinggap di payudaraku yang terlihat membesar akibat pengaruh tangan yang terangkat.

“ Uuuhhhh”, dipompa payudaraku dengan gemas.

“ Aaaahhh”, tanpa malu-malu aku mendesah kencang. Jaka semakin bersemangat mendengarku menyambut permainannya. lidahnya tak mau pergi terus menghisap-hisap pori-pori leherku. Sensasi geli-geli nikmat kembali kurasakan. Apalagi pompaannya di payudara terasa semakin membuatku membara.

Sensasi mengintip Tantri kemarin malam akhirnya bisa menemukan pelampiasaanya. Efek dari mengintip membuatku gampang terangsang, baru dibelai sedikit saja oleh Jaka aku sudah belingsatan.

Jaka pindah menciumi tulang bahuku. Dia menikmati tiap senti dari tubuhku. dia ciumi aroma tubuhku yang terkenal wangi dan menghisapnya tanpa kenal lelah.

“ Auuuuu”, aku mengernyit saat bekas lebam di bagian bahu disentuhnya.

“ Masih sakit sayang??”.

“ Mmm..mmm”, aku mengangguk.

“ Aku akan menyembuhkanmu!!”, Jaka menciumku.

“ Cuupp…ccuupp”, dia menciumi lebam-lebam di sekujur tubuhku. Bahkan tanganku yang masih menggenggam tiang dia elus dengan hangat. jaka ingin menciumi seluruh bekas lukaku demi usahanya meringankan rasa sakit yang masih melekat di sana.

“ Uuuuhhhh”, aku mengejang saat dia menciumi perutku. Tepat diperut tadi Tanto menendangku. Dicium dan dibelai lembut oleh jaka, perutku berangsur pulih. Rasa mulas sekarang berganti kenikmatan.

“ Haaaahhhh”, Jaka naik lagi. Kini dia beroperasi di seputaran payudaraku. Air shower yang tadi dimatikan sekarang dihidupkannya. Air distelnya tetap hangat dan mengucur perlahan menyentuh kulitku. Sensasi percumbuan di bawah air mancur makin membuatku horny. Jaka membasahi payudaraku dengan air hangat. jarinya mengelus-ngelus sisi luar putingku. Perlahan sekali dia mempermainkannya.

Aku semakin ketagihan dengan semua kelakuannya.” haaaahhhhh”, aku mendelik saat lidahnya akhirnya membasahi sisi luar payudara. Dia tidak mau langsung menyentuh puting. Hanya jari-jarinya saja menowel-nowel. Lidahnya konsisten bermain di luar zona cokelat.

jaka tidak menginginkanku menurunkan tangan. hal tersebut membuatku tak berdaya.

“ Mass….”, aku merengek.

“ Mmmmm”, dia menatapku.

“ Isepin Mas”.

“ Mmmm apanya…..”.

“ Puting Sinta Mas…”.

“ Sinta mau dijilat???”.

“ Mau Mas”.

“ Emang gimana rasanya kalo putingmu aku jilatin Sinta??”.

“ Ennnnnaaaakkk Masssss”.

“ Ok!! tapi ada syaratnya!!”.

“ Apa Masssss???”.

“ Mendesah yang keras ya!!. Mas seneng banget denger suaramu kalo lagi enak begitu”.

“ Mmm….mmmm”, aku mengangguk.

Jaka perlahan mengalihkan mulutnya bersiap mencaplok payudaraku sebelah kanan. Dilakukannya dengan bertahap. Pertama dijilati dulu putingku. Berikutnya dia hembuskan nafas ke dadaku menghadirkan rasa hangat. Kemudian dicaploknya seluruh puting payudaraku.

“ Aaaaaaahhh…..”.

Menuruti keinginannya aku meraung-raung. Teringat bagaimana Tantri bereaksi terhadap rangsangan suaminya, begitu lepas penuh rasa percaya diri. Tantri bisa melakukannya karena dia tau suaminya mencintainya. Sekarang aku pun dapat melakukan hal sama. Jaka mencintaiku itulah yang membuatku yakin dan melepaskan ekspresi terdahsyat.

Peganganku di tiang semakin kencang. Seluruh tubuhku bergetar hebat. Sebuah cumbuan diiringi hisapan di payudara mengirim sinyal rangsangan ke seluruh tubuh. “ Hhoooohhh”, kepalaku tertengadah tak mampu menghadapi kenikmatan. Bergantian Jaka melumat payudaraku dimulai dari kanan kemudian kiri. Dengan cerdik dia dekatkan payudaraku agar bersatu kemudian dia jilati keduanya hampir bersamaan.

“ Ggaaaaahhhh Massssss”, aku melunjak-luncak. Tangannya menggerayangi payudaraku.

“ Heehhh…hhhheee..hheeeehh”, mata kami bertemu. Deru nafas aku dan dia sama-sama memburu.

“ Ccuuuuppp”, Jaka mencium bibirku lama. Air masih mengalir perlahan menahan erotisme suasana kamar mandi.

“ Uuuuhhhh”, dialihkan lagi ciumannya. Dia mengincar ketiakku. Tidak langsung menuju target tapi berputar-putar dahulu seperti tadi dia hendak mencaplok payudara.

“ Hahhhh ssshhhhiiiitttt”, aku tak tahan. Bukan hanya rangsangannya begitu berlebihan. Tapi dipaksa menunggu rangsangan betul-betul membuatku mendidih.

“ Huuufff….hhuuuffff”, hidung Jaka sudah hinggap di ketiakku, menciuminya penuh cinta. Aroma tubuhku tak perlu diragukan wangi. Semalam sebelum tidur aku sudah mandi duluan. Kebiasaanku untuk selalu makan sehat kaya buah dan sayur juga mendukung aromaku selalu terjaga.

“ Sssslllrrrgg….sssslllrrggg…sssllrrgg”, Jaka memuai petualangannya menservice lembah-lembah ketiakku. Saat jilatannya datang, vaginaku mulai menyemburkan cairan-cairan nikmat. Semuanya memenuhi vaginanku. Orgasme pertamaku tiba. rangsangan, perhatian, dan perlakuan “ gentelnya “ akhirnya mengantarkanku menuju gerbang langit ketujuh.

“ haaaahhhhhh”, aku begitu lepas menyalurkan semua kedahsyatan orgasme. Jilatan Jaka menambah kecepatan ledakan-ledakan orgasme dari dalam tubuh. Dari manakah asalnya orgasme??. Apakah dari vagina keluar ke lantai??. Menurutku bukan, orgasme itu dari dalam hati. Hanya si wanita yang bisa tau dia orgasme atau tidak. Syaratnya pun hanya satu; dia harus mau menyerahkan dirinya pada pasangannya. Saat dia mau menyerahkan dirinya untuk lepas dalam kuasa sang pasangan, itulah waktu orgasme menjemputnya.

“ ssslllrrggg….ssslllrrrggg…slllrrggg”, Jaka tau aku orgasme. Ditekannya perut bawahku untuk membantu proses pelepasan. Seluruh masalah hilang seketika. Perasaan “ terbang “ menggantikannya. Sex memang bisa membuat kecanduan bagi wanita karena efeknya seperti narkoba ; Memberi kedamaian sekaligus ketenangan.

“ Ooooohh Massss”, kulepas pegangan tanganku dari atas. Sudah tak tahan lagi rasanya.

“ Heeehhh….heeehh…heeehhh”, aku perlu waktu buat istirahat. Jaka mengerti, dia memelukku hangat sembari mencumbuku lagi. Sudah berkali-kali kami berpagutan tapi rasa cintanya tak pernah berkurang. Dalam posisi berpelukan erat dapat kurasakan kedutan-kedutan dari arah bawah. Penis Jaka tampaknya sudah disesaki oleh aliran darah yang minta diledakkan.

Tanpa disuruh aku merosot ke bawah. Kubalik posisi kami dalam sekali gerakan.” Haahhh Sinntaaa”, Jaka terkejut dengan kekuatan tenagaku. Iyalah sudah bolak-balik menghajar puluhan pria dalam satu kesempatan tenagaku sudah teruji.

“ Tangan ke atas mas!!”, perintahku sambil mengerling nakal. “ Pegang besinya!!”, lanjutku.

Jaka menurut, digenggamnya besi penyangga handuk. “ Hhhhhaaahhhhhh”, sekarang gantian dia yang berekspresi lepas setelah menerima rangsanganku. Belajar darinya, aku tak mau terburu-buru. Penisnya sudah tegak optimal, semakin memudahkanku untuk merangsangnya perlahan-lahan, mulai dari sisi kulit batangnya hingga ke ujung. Kujilati seluruh bagian penisnya dengan antusias.

Dia menungguku mengulum penisnya. Masih belum juga kuberikan. Aku malahan asyik menikmati garis lurus tepat di tengah ujungnya. Kujilat-jilat ujungnya. dalam posisi memegang tiang, Jaka tak berdaya. Di mataku dia semakin menawan. Kulihat dari bawah matanya telah begitu hornya. Isyarat matanya mengharapkanku untuk segera melakukan oral.

“ Ssssllleepp…ssslleeepp…sllleeepp”, kuturuti keinginannya.

“ Oooooohhhh Siiiinnttaaa”, Jaka terdangak. Bibirku yang mungil menservicenya. Kumaju mundurkan penis itu perlahan-lahan di mulutku agar sensasinya semakin meresap dan membuatnya gila. Oral “ slow motion” yang kulakukan betul-betul menyihirnya. dia tak mampu berkata apa-apa, hanya mendesah-desah penuh gairah.

Pengalaman melihat Tantri dan Alex, menambah wawasanku akan sebuah seni oral. Air yang mengalir membasahi tubuh Jaka semakin mempermudah segalanya. Mulutku tetap mengulumnya. Kedua tanganku mulai berkelana. Awalnya memegang perut bawahnya, beralih menyentuh jembutnya, kemudian bertamasya ke belakang menyentuh pantatnya.

“ Siintta apa yang kamuuu…ooohhh”, sedikit kupaksa kakinya agar membuka selebar bahu. kupermainkan pantatnya seperti Tantri mempermainkan Alex. Air yang datang kugunakan untuk membasahi pantatnya. Kupermainkan belahan pantatnya sambil terus memberikan oral. Tak henti kulihat bagaimana espresi Jaka menerima semua kelakuanku. Melihat dia semakin menggila menambah semangatku.

“ UUUuhhhhhh SSiiinnntaaaa”, jaka menjerit kala satu jariku berusaha masuk dalam lubang anusnya mamberikan pijatan prostat seperti yang diajarkan Tantri. Air kugunakan sebanyak-banyaknya agat tanganku semakin licin dan mudah masuk ke dalam liangnya.

“ Slllepp”, saat tanganku berhasil masuk jaka mendelik tak percaya akan kenakalanku.

“ Haaahhhh fffuuuccckkkkk”, Jaka tak tahan dengan semuanya. Dia lepaskan juga pegangan tangannya dan memegangi kepelaku. Bukan untuk memaksa agar kecepatannya sesuai kehendaknya tapi memegang rambutku kemudian mengelus-elusnya penuh kasih sayang.

“ Uuuuuhhhh…kamu nakal sayangggggggg”, Dia histeris dengan semua perilakuku.

“ Sleeepp…slleeepp…sllleeeppp”, dari slow motion, kecepatan kutambah. jariku juga keluar masuk semakin cepat.

“ Jangan cepat-cepat!! nanti keluar Sinta”.

“ mmm…mmmm”, aku mengangguk memintanya untuk mengeluarkan saja semua laharnya tanpa ragu ragu. Satu tanganku yang masih bebas mengurut-urut buah pelernya agar laharnya menyembur semakin kuat.

“ Aaaaahhh Siiinnntaaaaa, aku keluaaararrrr….ccrrooott…ccrooottt..crrooottt”.

Jaka mengejang-ngejang dalam genggamanku. dia tumpahkan seluruh perasaannya. Semua cairan spermanya kutelan dengan lahap. Bukan hanya spermanya yang tumpah ruah di mulutku. Kegembiraan bahkan kesedihannya pun turut tumpah dalam ejakulasinya. Dia mengelus rambutku dan jatuh ke bawah. Kami berpelukan mesra. Jaka menarikku agar menindihnya dan kami sekali lagi berpelukan di lantai kamar mandi.

Getaran tubuh Jaka lama hilangnya. Dia menyeka air matanya. tampaknya sebuah orgasme bisa juga menyeret sisi lain dari seorang laki-laki. Dia mengelus bibirku membersihkan sisa sperma yang tertinggal, kemudian kembali menciumku. lama kami berciuman dalam posisi saling menindih. Kubantu dia meredakan gairahnya secara perlahan-lahan.

“ kamu sudah membuatku ke khayangan Sinta”, dia mengambil handuk dan mengelap seluruh tubuhku yang basah.

“ Mmm..mmm”, aku mengangguk.

“ Sekarang giliranku membuatmu senang, Huuuuppp”, Jaka menggendongku.

“ Auuuu mass hati-hatiii, nanti bisa jatuhhh”.

“ Enak aja aku kuat tauuuu!!!”, Jaka memamerkan ototnya.

“ Mas…”.

“ Mmmm??”.

“ Sinta gak mau kalo maennya di kamar ah!! trauma!”.

“ He he siapa juga yang mau maen di kamar??”.

“ Lhoo???jadi mau men dimana Mas??”.

“ Outdoor Sinta”.

“ Haaahhh???”.

Jaka membawaku ke halaman belakang rumahnya yang cukup luas. Kami berdua masih sama-sama telanjang. Rumput hijau rumahnya tertata rapi. Terdapat sebuah air mancur buatan begitu menentramkan hati terletak di tengahnya. Di sebuah sudut terdapat gazebo indah dengan ornament etnik dan beralaskan kerpet tebal. Bantal-bantal banyak terserak di dalamnya. Mungkin tempat ini sering jaka jadikan tempat untuk menghilangkan stressnya dalam pekerjaan.



Dia membaringkanku di tengah gazebo. Disangganya kepalaku dengan bantal agar nyaman. Kami berciuman mesra kembali. Terdapat sensasi berbeda saat sebuah ciuman dilakukan di alam terbuka. Semilir angin yang bertiup mengantarkan Sang Surya yang semakin naik ke puncaknya. Cicit burung terdengar sedang bertengger pada pepohonan.

Baru saja padahal Jaka “ keluar “, tapi dia rela untuk kembali memberikan kepadaku sebuah permainan syahwat. Laki-laki lain pasti lebih memilih tidur setelah muncrat daripada melakukan sesuatu yang menyenangkan pasangannya. Tak bosan-bosan sepertinya Jaka menjelajahi seluruh bagian tubuhku. Kembali dia ciumi bibir, leher, bahu, telinga, ketiak, payudara, pusar, bahkan jari-jari tanganku satu persatu diciumi dan dijilatinya.

“ Uuuhhh Massss”, Jaka mengangkat kedua kakiku. Diciuminya tumitku kemudian jari-jari kakiku diciuminya.

“ Aaaahhhhh”, aku merasa sangat tersanjung dengan servicenya. Cumbuannya menjalar perlahan dimulai dari betis naik menuju paha. Dielusinya paha dalamku kemudian dicumbu halus. Pantatku kemudian tak terlewat dipermainkannya.

Puas mengeksplore tubuh bawahku mulai dia kangkangkan kedua kakiku lebar-lebar. Tidak lupa dia ganjal pinggulku dengan bantal hingga vaginaku semakin mudah diakses. Serangannya berawal dari memijat perut bawahku. Setelahnya dia mulai mencumbu area selangkangan tanpa menyentuh langsung ke menu utama.

Keterburu-buruan sama sekali tak terlihat dalam diri Jaka padahal waktu kerja sudah sangat terlambat. baru setelah sepuluh menitan dia berputar-putar di luar vagina, mulai dijilatinya area intimku langsung ke intinya. jembutku disisihkan kemudian dia lumat daging vaginaku.

Celah sempit vaginaku dibukanya dengan kedua tangan kemudian lidahnya menyeruak masuk. “ Aaaaahhhhhhhhhh”, aku tak berdaya. Lidah itu sekan masuk hingga ke dalam akibat dia membuka celahnya. Rasa yang datang begitu sulit digambarkan. Nikmat-nikmat gimana gitu. Remasan tanganku pada seprai kasur, desahan yang makin tak terkendali, atau goyangan liar kepalaku menjadi rangkaian ekspresi dari sebuah kenikmatan sejati.

“ Heegghhhhh”, baru saja Jaka mengoralku tapi aku segera saja tiba di puncak. Orgasmeku begitu indah sekarang. Kulepaskan semua cairan tertahan yang minta dilepaskan. Getaran tubuhku seperti tersetrum listrik ribuan volt. Lama aku terlunjak-lunjak dalam genggaman Jaka.

Dia terus menjilatiku. “ UUuuhhh masss istirahat ddduulluu geeelliiii Massssss…….”, aku berusaha berontak karena kenikmatan telah berganti rasa geli tak tertahan akibat sensifitas kulit meningkat tajam. Jaka tak menggubrisku dia mencengkram kuat kedua pahaku agar makin mengangkang dan menjilati kembali dengan lahap.

Dari geli aku semakin gelid dan geli. Sangat tak tahan berusaha kujambak rambutnya, tapi aku tak tega. maka meskipun semakin geli berusaha kutahan saja semua rasa yang datang. Ajaib ternyata datang sensasi berbeda. Awalnya geli itu semakin menjadi. Tak lama geli berubah menjadi sensasi nikmat kemudian beralih semakin nikmat, lanjut lagi kenikmatan meningkat eskalasinya, dan ; “ Buuummmmm”.

Aku meledak lagi. Lebih dahsyat dari sebelumnya. Semua otot-otot tubuhku berkontraksi maksimal untuk mengelurakan kenikmatan itu. jaka begitu mahir. Ledakan tidak membuatnya mengendurkan jilatan. Dia terus menghantamku dengan menahan kedua kakiku hinga aku meledak lagi..lagi..dan lagi.

“ OOohhhh Massss ennaaakkkk banggeeettt”, akhirnya semuanya berlalu. Aku terkapar kehilangan tenaga. Lututku hilang daya; “ kopong”. Dalam rengkuhan pria tampan bernama Jaka, tubuhku masih saja bergetar.

“ Kok gemetaran gitu sayang??”.

“ Gara-gara Mas sih”.

“ Ha ha. Gimana rasanya??”.

“ Enakkkkkk”.

“ he he pengen enak lagi??”.

“ Mmm..mmm”, aku mengangguk.

“ Jadi istriku ya!!”.

“ mmm…mmmm”, kembali aku mengangguk.

“ Terima kasih sayang”.

“ Terima kasih kembali Mas sudah mau mencintai Sinta”.

“ Kamu wanita yang luar biasa Sinta!! Mas beruntung banget bisa dapetin kamu”.

“ Aku o’on lho Mas!! kamu gak nyesel nantinya??”.

Jaka menutup mulutku, “ Tidak boleh menghina diri sendiri seperti itu!! kamu jenius Sinta!! wanita paling jenius yang pernah kutemui”.

“ Ahhh masak sih Mas??”.

“ Iya”.

“ Mas kan dulu naksir banget sama Tantri, apa Mas mau nikahi aku karena pelarian gak dapetin Tantri??”.

“ jawaban yang jujur atau gak??”.

“ Jujur donkkk ahhhhh”, kucubit pinggangnya.

“ auuu sakit tau dicubit sama cewe jagoan. He he jawabannya ; kamu memang cinta sejatiku Sinta. kamu bukan pelarian!! , aku mau menikahi kamu karena kamulah; “Sinta”. wanita yang hanya mau menjadi dirinya sendiri. Bertahun-tahun kamu hidup bersama Tantri, tapi kalian berdua tetap menjadi diri kalian masing-masing. Tantri tak dapat mempengaruhimu. Begitupun kamu tak dapat mempengaruhi Tantri. Dalam perjalanan kamu malah tampil lebih jenius mengalahkan Tantri!!”.

“ Ahhhh Mas ngaco”.

“ iyaaa beeennerrrr!!”.

Kami berdua tidak ada yang ingin beranjak bangkit dari kemesraan yang telah terbangun begitu indah. Sayangnya aku sadar waktu kerja sudah sangat terlambat.

“ Mas, sudah siang. Gimana kerjanya??”.

*********** “ Ya ampunn, bener Sinta. Berada di samping wanita cantik nan sexy sepertimu, aku jadi lupa waktu”, Jaka menciumku sejanak kemudian menghambur masuk untuk salin. Aku melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sekali lagi aku tidak membawa baju seragam sangat bingung harus mengenakan apa ke kantor.

Jaka keluar dari kamar sudah berseragam lengkap. Pakian dinas harian telah melekat dengan gagah di tubuhnya yang atletis. Bila nanti menjadi istrinya, aku bertekad untuk tetap menjaga asupan makanannya agar dia selalu gagah ketika mengenakan seragam. Kalo nanti dia membuncit kan lucu banget keliatannya.

“ Mas”.

“ Ya???”.

“ Miring lencananya”, aku maju menyentuh seragamnya dan membetulkan letak sebuah lencana yang terlihat miring.

“ makasih sayang”.

“ Brraaaaggggg”, pintu yang didobrak mengejutkan kami berdua.

Lima orang mengenakan jaket kulit menyerbu ke dalam rumah dan mengacungkan senjatanya pada kami berdua.

“ MAU APA KALIAN???”, tegas Jaka menghardik mereka. tangannya menarikku agar sembunyi di balik tubuhnya.

“ Kami tidak ada urusan dengan anda Inspektur!! kami hanya menginginkan Sinta”.

“ SINTA BERSAMA SAYA!!! KALIAN TAU SEDANG BERHADAPAN DENGAN POLISI, BERANI-BERANINYA MAIN TODONG DI RUMAH SAYA!!!”, Jaka melindungiku sambil membentak mereka.

Dibentak meraka keder juga, tak ada yang berani maju.

“ Serahkan Sinta Inspektur jaka!”, dari belakang pintu seorang pria mengenakan jaket kulit muncul.

“ Komandan Eduard”.

“ Cepat serahkan Nak!!”.

“ Tidak!!”.

Berlindung dibelakang tubuh Jaka aku begitu ketakutan. Tanpa sadar tanganku mencengkram baju dinasnya. Bukankah sebelumnya dengan berani aku menghadapi begundal-begundal. Mengapa sekarang aku jadi ketakutan begini??. Si pikiran nan biasa mendampingiku pun terbisu tak mau nimbrung.

Ketika bertarung keroyokan dengan para berandal, pertempuran itu hanya melibatkan diriku seorang. Sekarang ada jiwa lain yang kucintai hadir di tengah medan laga. Jaka, kehadirannyalah yang membuatku ketakutan. Aku sayang padanya. Sangat tak menginginkan sesuatu yang buruk menimpanya. Masih belum hilang trauma psikologis terhadap orang yang berdiri didepan kami saat ini. Dia menghantam laporan Tantri secara telak di persidangan. Sekarang dia ingin menangkapku.

“ Mungkin anda sudah lupa Komandan, Brigadir Sinta sudah dibebaskan oleh persidangan”, kata Jaka.

“ Dewan hakim melakukan kesalahan. Mereka meralat keputusan itu dan memerintahkanku menangkap Sinta kembali”.

“ Mana surat penangkapannya Komandan?? mengapa anda membawa preman jalanan dan bukannya petugas resmi dalam penangkapan ini??”.

“ Tidak usah banyak tanya Inspektur!! cepat serahkan Sinta kepadaku!!”.

“ Mmm…mmmm”, Jaka meniruku , dia menggeleng-gelengkan kepalanya secara menyebalkan kepada Pak Eduard.

“ JANGAN MEMBANTAH PERINTAH PIMPINAN INSPEKTUR CEPAT SERAHKAN SINTA!!!”.

“ Mmmm…mmmmm”, Jaka menggeleng.

Komandan Eduard maju mendekati Jaka. Aku semakin ketakutan berusaha menguatkan peganganku di baju jaka.

“ Tenanglah sayang, aku akan melindungimu”, bisik Jaka menenangkanku.

“ SERAHKAN SINTA!!”.

“ …….”, Jaka diam, menatap lekat ke arah Komandannya tanpa melepas pandangan dari matanya. Dia tidak takut digertak.

“ Jdddaaaakkkkk”, sebuah bogem mentah mendarat di pipi Jaka. Kepalanya sampai sedikit berputar kebelakang saking kerasnya pukulan yang diberikan.

“ ………”, Jaka hebat. Dia sama sekali tak berniat membalas. Kembali dia arahkan seluruh tubuhnya menghadapi Eduard.

“ KURANG AJAR SEKALI KAMU!!! CEPAT SERAHKAN SINTAAA!!!!”.

Jaka tak bergeming.

“ Jdaaaakkkkk”, Eduard menghajar kali kedua.

“ Cprraaatt”, darah menyembur dari hidung Jaka, cipratannya mengenaiku. Aku merangkulnya. Dia menepikan tanganku sambil tersenyum. “ aku baik-baik saja sayang”, bisiknya.

Kembali dia hadapi Eduard dengan gagah berani. Tangannya mengelus hidung yang mulai mengalirkan darah.

“ BRENGSEK KAMU INSPEKTUR!!!”.

Pancaran mata Jaka tak menunjukkan sedikit pun rasa takut.

“ Duduklah dulu Komandan!! kita bicarakan baik-baik. Bukankah kita sama-sama Polisi?? kenapa harus jadi begini??”, benar-benar hebat pengendalian dirinya. Bahkan setelah dihajar begitu telak dia tidak emosi.

“ Huuuhhh”, kesal Eduard menurutinya duduk di sofa ruang tamu.

Jaka menggandengku agar duduk bersamanya di sofa persis di depannya.

“ Ckleekkk”, bunyi korek api dinyalakan.

“ Cesss”, rokok dibakar. Komandan Eduard menghisap rokoknya dalam-dalam. Aku hanya bisa menunduk melihat permainan psikologis mereka berdua.

“ Habis kamu Nak huuuff!!”, dia mengepulkan asap rokoknya untuk menghina Jaka.

“ Ijin??”.

“ Kelakuanmu pagi ini akan membuatmu dipecat jadi Polisi!! aku menjamin hal tersebut!!”.

“ Heehh”, Jaka tersenyum, “ Apa dasarnya Komandan??”, tanya Jaka.

“ Melindungi tersangka!! huuffff”.

Jaka melirikku sambil tersenyum. “ Brigadir Sinta calon istri saya Komandan, dan dia sama sekali bukan tersangka”. Ucapannya membuatku merasa dilindungi.

“ Haaahh calon istri?? ha ha haaaa”, dia tertawa lebar. “ Kalian akan menikah di tahanan kalo begitu”.

“ Heeehh” Jaka tersenyum.

“ Berapa tahun kamu baru mengabdi di Kepolisian Inspektur??”.

“ Baru dua tahun Komandan”.

“ Masih seumur jagung Nak. Kamu tau sudah berapa lama aku mengabdi??”.

Jaka menggeleng.

“ Puluhan tahun Nak!!”, Komandan Eduard memerintahkan kawananya untuk merapat di belakangnya.

“ Aku akan membawa Sinta dengan atau tanpa seijinmu Nak!! Tangkap wanita brengsek itu”, ujar Eduard membuatku tercekat.

“ Sebentar!!” Jaka mengacungkan jari ke arah lima orang di depan agar menahan langkahnya. karismanya yang tinggi membuat kelima orang tadi menurut.

“ Komandan, sebentar lagi rumah ini akan didatangi pasukan resmi Kepolisian yang akan menangkap anda beserta orang-orang ini!!”.

“ MENANGKAPKU??? ha ha ha atas dasar apa??”.

“ Pasal berlapis Komandan! percobaan pembunuhan berencana, rekayasa barang bukti, intimidasi saksi, dan lain-lain!!”.

“ Waktu kerjamu baru dua tahun Nak,kamu masih hijau. gak ada dasar dari tuduhanmu itu”.

“ Buktiku ada di Doni Komandan!!”.

Mendengar nama Doni disebut, membuatku ikut terkejut. Penggemar sex orgy itu bersama pacarnya Icha kedua-duanya telah kusikat. Apa hubungan dia dengan Komandan Eduard?.

“ Doni??”, raut wajah Eduard berubah memancarkan kepanikan.

“ Anak anda”, Jaka menekan kata anak.

“ Kamu???”.

“ Sejak aku bertugas di Polres, papa sudah memintaku mewaspadai dua orang yaitu Pak Burhan dan Anda!! papa mewaspadai rivalitas diantara kalian berdua yang semakin tidak sehat”.

“ ……..”, Eduard diam.

“ kenapa Papa memintaku mengintai kalian berdua??. Diantara semua perwira senior di Polres dan Polda hanya kalian berdualah yang menjalin kontak intens dengan dunia bawah tanah tempat para penjahat bernaung. Papa menyadari adanya upaya untuk menggunakan pengaruh dunia kejahtan untuk mengatrol karier salah seorang diantara kalian”.

“ Kamu tidak punya bukti apa-apa Nak”, Eduard berusaha mengembalikan harga dirinya.

“ Doni sudah membongkar semuanya Komandan, tanpa dia sadari”, rupanya perilaku jaka yang seperti kelainan itu adalah upayanya untuk masuk dalam lingkaran pergaulan Doni yang merupakan anak dari seorang perwira menengah di Polda.

“Apa yang dia bongkar Nak?? dia bahkan tak tau apa-apa”.

“ Dialah yang menembak Komandan Burhan sore itu”, ujar Jaka tenang. “ Atas perintah anda!!”.

“ Kamu benar-benar ngawur Nak”.

“ Anda memerintahkan Doni datang ke kantor sore itu untuk membawa pesan penting. Pak Burhan menerima Doni tanpa menyedari itulah siasat anda untuk menyingkirkan beliau. Doni berhasil lolos karena ada sejumlah orang penting didalam Polres yang membantu anda. Siapa sebenarnya komplotan anda, kami belum tau. Tapi Papa telah melakukan pembersihan mulai hari ini untuk menangkap kalian semua”.

“ TANGKAP MEREKA BERDUA CEPAT!!!”, mendengar ucapan Jaka, Eduard terlihat emosional dan memerintahkan para premannya menodongkan senjatanya ke arah kami.

“ Ckleeekk…ckeeellkk”, lima senjata menodong kami tepat di kepala. Aku dan Jaka tak berdaya. kami sudah pasrah dengan segala sesuatu yang akan terjadi. Jaka memegang tanganku menatap dengan tersenyum menentramkan hatiku.

“ kalo kalian berdua aku lenyapkan maka semua bereskan Inspektur!! Semua bukti bisa kurekayasa!!”.

“ JANGAN BERGERAK!!! rombongan tim detasemen 88 anti teror mendobrak masuk.

Dengan senjata laras panjang mereka menodong semua preman berikut Komandan Eduard sekaligus. Disergap oleh regu terlatih yang biasa menangani aksi terror di seluruh penjuru tanah air, membuat mereka ciut. Senjata segera mereka letakkan di lantai.

“ MAU NANGKAP SIAPA KALIAN??”, bentak Pak eduard.

“ Komisaris Polisi Eduard anda ditangkap”, Kompol Nurseha dari Polda muncul sebagai Komandan penangkapan.

“ Apa buktimu Nur?? kamu tidak punya bukti untuk menangkapku”.

“ Buktinya ada pada Inspektur Jaka”.

“ Apa??”, Eduard menoleh.

“ Ini”, jaka mengangkat sebuah pulpen. “ Barang bukti ini yang membuat anda mengirim orang untuk melenyapkanku semalam Komandan! pulpen ini berisi kamera didalamnya milik Komandan Burhan yang merekam momen tertembaknya Beliau. Rekaman sudah saya tunjukkan kepada Kompol Nurseha kemarin malam dan sudah diperbanyak rekamannya!”.

“ Anda ditangkap atas tuduhan Percobaan pembunuhan berencana terhadap Komisaris Polisi Burhan, intimidasi terhadap saksi Didin Saparudin, rekayasa kasus Brigadir Sinta Rachmawati,……..”.

Daftar itu masih sangat panjang. Butuh waktu lama bagi Kompol Nurseha untuk membacakan rentetan kejahatan yang telah dilakukan Pak Eduard. Setelah pembacaan yang cukup lama akhirnya mereka semua digelandang ke mobil tahanan dengan pengamanan ekstra ketat dari Densus. Mereka memperlakukan mereka seperti menangkap teroris.

“ Terima kasih banyak Inspektur Jaka dan Brigadir Sinta atas segala kerja keras kalian untuk mengungkap kasus ini!!”, Kompol Nurseha menghampiri kami.

“ Siap Komandan!”, jawabku.

Jaka menghormat kepada Beliau kemudian bertanya, “ Komisaris, rasanya sangat ganjil bila semua tindakan ini, hanya dilakukan oleh Kompol Eduard beserta anaknya. Khususnya di Polres pasti masih ada pelaku lainnya”.

“ Betul Inspektur! ayahmu sedang melakukan upaya penyelidikan intensif terkait hal tersebut”.

“ Hmmmm”, Jaka terlihat berfikir serius.

“ Tidak usah cemaskan itu Inspektur!!”.

“ Tapi kejahatan….”.

“ Kejahatan pada intinya bersemayam di setiap diri manusia. Upaya memberantasnya tidak dapat dilakukan dalam sekali tangkap, tapi memerlukan upaya terus menerus untuk melawannya. Setiap hari seorang anggota Polisi bangkit dari tempat tidurnya untuk melawan kejahatan. Siapa yang sangka Inspektur, bahwa kejahatan itu sendiri rupanya mengincar si Polisi sebelum mengincar orang lain.

Kalian berdua masih sangat muda, masih panjang perjalanan. Ingatlah sebuah pesan klasik dari para seniormu ini; “sebelum kalian berangkat kerja untuk menangkap penjahat, tangkaplah terlebih dahulu penjahat yang ada dalam diri kalian sendiri!!”.

Dalam kasus Kompol Eduard penjahat itu bernama kedengkian dan iri hati terhadap rekan kerjanya sendiri”.

“ Terima kasih Komisaris”, jaka menjawab.

“ Kamu dan Sinta?? kalian??”, Kompol Nurseha mengalihkan pembicaraan.

“ Kami akan segera menikah Komisaris”, Jaka cepat menjawab.

“ Syukurlah aku turut gembira”, dia tersenyum, “ Selamat buat kalian berdua!! o ya hari ini Kompol Burhan ingin bertemu kalian, jenguklah Beliau!!”.

“ Siap Komandan”.

“ Top ”, Ibu nurseha mengacungkan jempolnya sambil tersenyum sebelum berlalu meninggalkan kami.

“ Ijin Komandan!”.

“ Apa Sinta??”.

“ Bagaimana dengan Tanto??”, tanyaku.

“ Hukumannya pasti dikurangi. tapi dia mencoba membunuhmu bukan Brigadir??”.

“ EEeeee”.

“ Kamu memaafkan dia??”.

“ Siap iya Komandan!”.

“ Sifatmu itu membuat kejahatan tidak pernah menang melawanmu Sinta”, Bu Nur tersenyum lagi.

“ Ijin???”.

“ Kamu tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan. Hmm kamu beruntung punya calon istri sebaik dia Inspektur!! Kepolisian bangga pernah memiliki anggota sepertimu Sinta”.

“ Siap Komandan terima kasih”, aku berdiri sikap sempuran dan menghormat atas segala kebaikan Beliau.

“ Nguuuiiingg…ngguuiiingg….ngguuiiinnggg”, bunyi sirine mobil Polisi kembali menegakkan hukum di negeri ini. Di dalam mobil itu penjahat sebanernya telah tertangkap. Akan tetapi siapa sebenarnya komplotan Beliau masih memerlukan kerja keras kami untuk mengungkapnya.

“ Sin”.

“ Ya Mas??”.

“ Kalo Tanto bebas, apakah kamu akan meninggalkanku??”.

“ Mmm..mmm”, aku menggeleng, “ cintaku sudah kuberikan padamu Mas, kalo kamu masih setia dengan ikrarmu barusan, aku pun demikian”.

“ Terima kasih sayang!! aku sangat takut kehilanganmu”, Jaka kembali merangkul kami kembali berciuman mesra.
****** Penuh rasa cinta kami berkendara menuju RSUD. Jaka mengajakku terlebih dahulu menjenguk Komisaris Burhan. Sesampainya di rumah sakit suasanya cukup ramai. Banyak pedagang makanan yang berjejer depan rumah sakit. Para pembeli melirik ke arah kami. Mungkin melihat Polisi, kemudian dihubungkan dengan peristiwa semalam membuat mereka sangat ingin tau.

Sudah siang sekarang, sejumlah “ Police line” telah digelar untuk memudahkan tim forensik mengumpulkan barang bukti. Regu forensic sudah pulang. Hanya ada beberapa anggota tampak stand by di lantai satu dan dua. Jaka mempersilakanku duluan ke lantai dua, dia hendak berkoordinasi dulu dengan anggota di bawah.

Aku berlari ke tangga. “ Bu, cari siapa??”, kata suster. “ Maaf karena peristiwa semalam, semua penjenguk pasien harus kami tanya terlebih dahulu”.

“ O iya Sus, saya Polisi juga kok, mau menjenguk Komandan Burhan dan Febi”.

“ Pak Burhan sedang melakukan scanning di ruang operasi. Semalam dia melakukan gerakan yang seharusnya belum diperbolehkan sehingga harus diadakan pengecekan ulang terhadap Beliau. Tapi untuk pasien Febi ada di ruangannya sedang ada visit dokter”.

“ Baik Sus terima kasih”.

Aku berlari menuju kamar Febi berada. hampir saja aku masuk tapi langkahku tertahan ketika kulihat Febi tengah tertawa riang bersama seorang dokter. Dia sedang duduk di kursi berhadap-hadapan dengan dokternya. Tampak dari raut wajahnya dia begitu gembira. Aku tak bisa mendengar perkataan mereka, tapi aku bisa mendengar tawa bahagia dari raut wajah Febi. Aku begitu gembira saat dokter itu dengan berani menggenggam tangan Febi. Siapa sih yang berani menggenggam tangan Polwan sembarangan?. yang membuatku gembira adalah reaksi Febi. Dia tersipu, malu dan menampakan sambutan posistif kepada sentuhan dokter tersebut.

Ilham memang sudah pernah punya pacar Polisi. Oleh karenanya ketika harus merawat Febi dia terlihat luwes dan mudah berinteraksi. Dengan gaya bicaranya dia bisa meringankan kesepian Febi. sampai sekarang belum ada keluarganya yang menjenguk. Febi pasti kesepian. tapi melihat tangan mereka yang saling menggenggam dan tatapan mata keduanya yang penuh cinta, aku tau tak lama lagi Febi pasti tak akan kesepian lagi.

Manusia sangat berbahaya ketika sendirian, terasing dan tak memiliki siapa pun untuk berbagi permasalahan. Orientasi seksual Febi sebelumnya aneh. tapi mungkin semuanya berawal dari kesendiriannya. Ketika dia menemukan seseorang pria yang mampu menerimanya dengan tulus dia terlihat amat gembira. Melihatnya gembira membawaku sangat bahagia. Tidak mau menganggu kemesraan mereka aku memutuskan turun saja ke lantai satu.

“ Sinta Gimana Pak Burhan dan Febi?”, Jaka menyambutku dengan pertanyaan setibanya aku di bawah.

“ Mereka berdua sedang medical check up Mas, gak bisa diganggu”.

“ Mmm ok kita berangkat ke kantor dulu yuk kalo begitu. nanti sore kita kembali lagi”.

“ Tapi aku belum bawa baju dinas”.

“ Nanti kita mampir dulu ke rumah dinasmu!”.



“ Siap mas”.

Kami berdua berjalan bersisian menuju pelataran parkir. Ada banyak orang hendak masuk ke dalam rumah sakit. Para penjenguk pasti panik akibat peristiwa penyerbuan semalam sehingga berbondong-bondong datang.

“ Brrrrrmmm”, dari jauh Tantri masuk ke parkiran dengan mobilnya. Dia mendadahkan tangan pada kami berdua, kemudian memarkir mobil dan menguncinya.

Keluar dari mobil Tantri melangkah menuju kami. Jaka dan aku terus berpegangan tangan merayakan kasih sayang diantara kami berdua.

“ Inspektur Jaka kamu telah membuat hidupku berantakan!!!”. Diantara puluhan manusia yang berjalan menuju Rumah sakit, seorang pengunjung dengan mengenakan jaket menutupi wajah, membuka tudung kepalanya dan mengacungkan pistol.

“ Tanttoooo”, aku tercekat melihat sosoknya yang masih penuh lebam di wajah karena tonjokanku.

Dari belakang, Tantri sadar gentingnya situasi mancabut pistol dan mengarahkan ke arah Tanto.

Melihat tangan Tanto hanya beberapa detik lagi akan menekan picu, membuatku menarik Jaka ke belakang. Kutamengi dia dengan tubuhku, kutatap mata Tanto dalam-dalam. Tanto tampak begitu terkejut melihatku melindungi tubuh Jaka.

Tatapannya menggambarkan penyesalan, tapi pelatuk telah terlanjur ditekan.

Dalam hati kuucapkan sebuah nama yang selalu kuucap sejak aku dilahirkan ke dunia nan fana ini;

“ TUHAN”.

“ DOR!!!”.

“……………”.

“……………..”.

“……………….”

TAMAT.
Romantisme Polwan, Pada: Rabu, Juli 29, 2015
Copyright © 2015 CERITA DEWASA Design by bokep - All Rights Reserved