MASA LALU
Namaku Lidya Dian Irawati, aku sudah bersuami, hasil dari pernikahanku dengan Mas Rifki aku melahirkan dua orang anak, putra putri. Kini mereka tumbuh menjadi anak remaja yang baik dan penurut.
Jujur aku bukanlah Ibu yang baik buat mereka, mungkin ini dikarenakan masa laluku. Saat aku masih kecil, aku sering memergoki Mamaku, Ibu kandungku berselingkuh dengan Adik kandungnya sendiri. Awalnya aku tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan disaat Papa sedang tidak berada dirumah, tapi seiring bertambahnya usia akhirnya aku mengerti apa yang mereka lakukan.
Saat itu aku marah, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, mengadukan perbuatan Mama ke Papa, adalah sesuatu yang mustahil, karena kalau sampai Papa tau bisa-bisa mereka bercerai, belum lagi rasa malu yang harus di tanggung keluargaku, karena bagaimanapun juga keluarga besarku adalah keluarga yang terpandang.
Rasa benci yang dulu memenuhi relung hatiku, perlahan mulai memudar seiring dengan seringnya aku melihat mereka yang sedang bersetubuh, hingga akhirnya aku menjadikannya sebagai rutinitas, mengintip mereka yang sedang bersetubuh.
Aku masih ingat, saat itu hari rabu, aku baru pulang dari sekolah, aku tau Papa sedang tidak ada dirumah, itu artinya Mama dan Adiknya Akmal pasti sedang bersetubuh didalam kamar orang tuaku, dan seperti biasanya aku menyempatkan diri untuk mengintip mereka.
Tapi hari itu adalah hari tersial dalam hidupku, aku tidak menyangkah kalau aksiku mengintip Mama dengan adiknya ketahuan.
Bukannya marah, takut ataupun merasa malu, Mama malah menjelaskan tentang perselingkuhan mereka, seolah apa yang mereka lakukan bukanlah sesuatu perbuatan yang salah, bahkan Mama malah mengajarkanku bagaimana rasanya di setubuhi. Dengan bujuk rayunya, hari itu kuserahkan darah perawananku kepada Om Jamal, adik kandung Mama.
Selama beberapa tahun aku menjadi simpanan Om Jamal dan dengan beberapa pria simpan Mama, bahkan aku sempat hamil walaupun akhirnya terpaksa di gugurkan. Hubungan terlarang itu berlanjut hingga aku lulus SMA dan kulia di luar kota, setiap pulang kampung Om Jamal pasti meniduriku didepan Mama.
Hubungan terlarang ini baru berakhir setelah aku bergabung dengan organisasi agama di kampusku. Agar benar-benar bisa lepas dari mereka, aku nekat menikah muda dengan Rifki Kakak kelasku sekaligus seniorku di organisasi.
Dua tahun setelah aku menikah, Ibu dinyatakan meninggal karena terkena penyakit kelamin yang mematikan, jujur saat itu aku sangat khawatir, takut kalau nanti juga tertular, karena aku juga telah melakukan hubungan yang beresiko selama bertahun-tahun, apa lagi adiknya dan beberapa teman kencan Mama juga meninggal karena HIV.
Tanpa sepengetahuan Suamiku, aku memeriksakan diri kerumah sakit, dan ternyata aku aman.
Bertahun-tahun lamanya kami menikah, aku berhasil melupakan masa laluku, hingga kami dikaruniai dua orang anak.
Tapi entah kenapa dua tahun belakangan ini, semenjak Suamiku tak bisa lagi memuaskan birahiku diatas ranjang, bayangan masa lalu kembali hadir. Segala cara sudah kulakukan, bahkan aku nekad membeli beberapa mainan sex untuk memuaskanku.
Kehadiran sex toy memang mampu menutupi kekosongan yang ditinggalkan oleh Suamiku, tapi bayangan masa laluku tidak juga mau hilang, apa lagi setiap kali aku melihat kedua anakku.
Tepatnya setengah tahun yang lalu aku menyerah, aku mulai membayangkan Putriku disetubuhi pria lain, dan anak laki-lakiku slalu kugambarkan menjadi pria losser, anak laki-laki yang penakut, yang hanya bisa pasrah melihat Kakak perempuannya, ataupun Uminya dan orang-orang yang dia cintai di setubuhi didepannya.
Semakin lama aku mulai berkeinginan mewujudkan fantasiku, mengkhayal saja sudah tidak cukup bagiku. Perlahan aku mulai mewujudkan fantasyku, dimulai dari merubah karakter mereka, Aziza kudidik seperti diriku dulu, menjadi anak gadis yang centil dan juga menjadi anak yang nakal, sementara Adam kudidik menjadi anak yang manja dan penakut tapi penurut.
Ini gila, dan aku sudah gila...
***
Cukup lama aku mematung didepan cermin, memperhatikan penampilanku yang serba hitam membalut tubuhku, walu usiaku kini sudah memasuki 38 tahun tapi bentuk tubuhku sama seperti saat aku masih berusia 20 an tahun.
Tentu aku merasa bangga dengan apa yang kumiliki saat ini, walaupun aku sudah melahirkan dua orang anak, tapi bentuk tubuhku tidak kalah kalau dibandingkan dengan anak remaja. Mungkin aku bisa masuk dalam katagori hot mom.
"Umi buruan, nanti kami telat kesekolah."
"Bentar sayang, ini Umi juga hampir selesai." Jawabku sambil memasang bros di jilbab hitamku.
Oh iya yang manggil tadi itu anak pertamaku, Aziza Khanza Az Zahra, usianya saat ini 16 tahun, dia tumbuh menjadi anak remaja yang cantik, aku yakin pasti banyak pria yang suka kepadanya.
Oke persiapan sudah selesai, ternyata aku memang sangat cantik. Aku berjalan santai keluar kamar, kulihat kedua anakku sudah menungguku didalam mobil.
"Buruan Umi."
"Iya sayang." Segera aku masuk kedalam mobil toyota Inova, duduk disamping putraku Adam "Ayo Pak jalan." Kataku kepada sang sopir.
Perlahan mobilpun bergerak melaju meninggalkan perkarangan rumah, menembus kemacetan jakarta, entah kapan jakarta bisa terhindar dari kemacetan.
Yang pertama turun dari mobil adalah putriku Aziza, seperti biasanya aku mencium kedua pipinya dan berpesan agar ia rajin-rajin belajar. Sebelum mobil meninggalkan perkarangan sekolah, aku melambaikan tanganku memberi semangat kepada putriku.
Sekitar lima belas menit kemudian, mobil kembali berhenti diparkiran sekolah putraku, tapi kali ini aku turut turun dari mobil.
"Tunggu Dam, kok buru-buru banget." Terpaksa aku memgejarnya saat ia hendak bergabung bersama teman-teman sebayanya.
"Ada apa lagi si Umi."
"Kamu lupa ya ?" Kataku memasang wajah tidak suka, kulihat putraku tersenyum kecut saat mendengar ucapanku dengan nada yang cukup tinggi.
"Maaf Umi." Ujarnya, lalu menyalimi tanganku.
Tidak sampai disitu saja, aku menarik wajahnya lalu aku melakukan hal yang paling ia benci dihadapan teman-temannya. Kucium kedua pipinya, lalu keningnya sehingga meninggalkan bekas lipstik tipis di sekujur wajahnya, tentu saja hal tersebut membuat kedua sahabatnya tertawa.
"Eheem... enaknya yang dicium." Ledek Rudi salah satu sahabat anakku. Adam langsung mendelik tanda tak suka diledek, aku hanya tertawa kecil melihat tingkah putraku yang lucu.
"Kenapa ? kalian mau ?" Godaku, tentu saja godaanku di tanggapi penuh semangat oleh kedua sahabat anakku, aku nyaris tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi wajah mereka berdua.
Sungguh aku sangat mengenal mereka berdua termasuk tentang kemesuman mereka, aku sangat sering memergoki mereka didalam kamar anakku menonton video porno, bahkan aku perna mendapatkan celana dalamku dikamar mandi anakku berlumuran sperma mereka. Marah ? Tentu saja tidak, aku malah senang, mengingat usiaku yang tidak muda lagi tapi masih menarik dimata mereka.
"Mau dong Tante." Serempak mereka mengajukan diri.
"Iih, masi kecil udah nakal, mau jadi apa gedenya nanti."
"Ya Tante, kali ini aja Tante, besok-besok gak lagi deh." Pinta Bambang memasang wajah polosnya, dasar anak jaman sekarang paling pintar ngerayunya.
"Hmmm, gimana ya ?" Kataku pura-pura berfikir sambil mengetuk-ngetuk daguku.
"Please Tante !" Timpal Rudi.
"Boleh, tapi dengan satu syarat !"
"Syaratnya apa Tante ?"
Kulirik putraku yang dari tadi diam saja, tapi aku yakin saat ini dia pasti sedang kesal, anak mana coba yang gak kesal kalau Ibunya digodain oleh sahabatnya sendiri, tapi aku senang, ide nakal tiba-tiba melintas di otakku.
"Syaratnya kalau anak Tante mau bibirnya Tante cium, soalnya Adam paling gak suka kalau bibirnya Tante cium, padahal Tante ini Ibunya, seharusnya gak jadi masalahkan ? Kalau kalian bisa bujuk Adam mau di cium bibirnya sama Tante, nanti Tante kasih ciuman buat kalian berdua, gimana ?" Kulirik mereka satu persatu yang masih tampak bengong mendengar ucapanku. Hihi... siapa suruh tadi ngebalas ngegodain.
Cukup lama mereka berdiam, mungkin mereka tidak percaya dengan apa yang mereka dengar, mencium bibir anaknya sendiri, tentu saja itu terdengar tabu, apa lagi keinginan ini keluar dari mulutku, seorang wanita alim yang kemana-mana slalu mengenakan kerudung lebar.
Bukan hanya mereka sebenarnya yang terkejut, anakku sendiri juga tampak terkejut, mungkin Adam tidak menyangka kalau Ibu kandungnya ini sangat ingin mencium bibirnya.
"Umi apa-apaan sih ?" Protes Adam, aku tau dia pasti tidak suka dengan ide gilaku.
"Gak papalah Dam, sama Ibu kandung sendiri."
"Iya Dam, dosa loh kalau gak nurut sama Ibu kandungmu sendiri, nanti kayak si Malin kundang di kutuk jadi batu, mau kamu ?" Timpal Rudi, duh... anak ini memang paling pintar ngebujuk.
"Gue udah gede, bukan anak kecil." Balas Adam.
"Yakin udah gede ? Pacar aja gak punya !" Ledek Bambang, jujur sebagai seorang Ibu, sebenarnya aku cukup tersinggung, tapi ya sesekali gak papa deh.
"Udah gak usah malu."
"Tapiii... " Kesal mendengar perdebatan mereka yang lama, aku nekat menarik kembali putraku, lalu dengan cepat aku mencium bibir anakku beberapa detik lamanya.
Sebanarnya ada rasa takut juga saat mencium anakku, bagaimanapun saat ini aku sedang berada di lingkungan sekolah, tapi untunglah suasana sekolah agak sepi, hanya meninggalkan beberapa siswa yang sedang sibuk sendiri tanpa memperhatikan kami.
Sambil memanggut bibir anakku, aku melirik kearah mereka berdua yang tampak terkesima melihat apa yang kulakukan sekarang terhadap anak kandungku, sensasi ini membuatku sangat terangsang, vaginaku terasa basah, bahkan aku yakin cairan cintaku sedikit mengalir dari sela-sela pahaku.
Segera kulepas pagutanku, sejenak kulihat ekspresi wajah anakku yang tampak tidak.percaya dengan apa yang barusan kulakukan, aku yakin ini adalah ciuman pertama baginya. Ini gila, aku mengambil ciuman pertama darinya, anak kandungku sendiri.
"Udahkan Tante ?" Tanya Bambang, aku tau maksud dari pertanyaanya barusan.
"Pengen banget kayaknya dicium Tante."
"Pasti dong Tante, hehehe... kapan lagi bisa ngerasain ciuman Tante."
Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah gila mereka, tapi ya aku sudah berjanji jadi aku harus melunasi janjiku kepada mereka.
"Sini !" Panggilku, dengan serempak mereka berdua mendekat.
Lalu satu-persatu dari mereka kuhadiai kecupan di kedua pipi mereka, ya... hanya pipi tidak untuk yang lainnya, aku tidak ingin membuat Adam lebih kesal lagi, bagaimanapun juga aku sebagai Ibunya juga harus bisa menjaga perasaan anak kandungku.
***
ADA APA DENGANKU ?
Apa sih maunya Umi ? Seneng banget bikin malu aku didepan mereka, apa lagi tadi sampe ada acara cium-cium segala. Ini semua juga salahnya mereka, sebagai teman seharusnya mereka mengerti perasaanku, bukannya mengambil kesempatan dalam kesempitan seperti yang mereka lakukan tadi.
Menyebalkan... !
Oh iya, namaku Adam Ghazali, dan yang ikut nganter tadi adalah Ibuku. Jujur aku tidak suka kalau dia mengantarku kesekolah, aku malu sama temanku yang lain, mereka biasanya diantar sama sopir, mereka sangat berbeda denganku yang setiap hari diantar oleh Umiku. Parahnya, didepan mereka Umi sering mempermalukanku, contohnya seperti yang ia lakukan tadi pagi. Dan anehnya Umi tampak begitu menikmatinya.
Sudalah Adam, mungkin itu hanya perasaan kamu saja, tentu tadi pagi Umi hanya bercanda.
Ya... aku paham, apa yang dilakukan Umi adalah sebuah bukti kalau beliau sangat menyayangi kami, seharusnya aku bangga, disaat orang tua temanku yang lainnya sibuk dengan urusan mereka masing-masing, tapi Umi masih mau menyempatkan diri memperhatikan kami.
Apa benar Umi sebaik itu ? Aku tidak boleh berprasangkah buruk terhadap orang tua kandungku sendiri, mana mungkin dia melakukan itu karena dia memang sengaja ingin ngerjaiku.
Tapi sejujurnya aku merasa aneh dengan sikap Umi beberapa bulan belakangan ini, karena sebelumnya Umi sangat jarang mengantarku kesekolah, tapi semenjak aku naik kelas dua smp, Umi jadi kerajinan nganterin aku kesekolah, selain itu sekarang dia jauh lebi bawel dari sebelumnya.
"Widiiii... pagi-pagi udah bengong !"
"Setan, ngagetin aja loh Bang ?" Orang yang di bentak malah cengengesan. "Gak usah senyum-senyum, ada perlu apa ?"
"Ngerti aja ni sohib kita." Timpal Rudi, entah semenjak kapan dia duduk disampingku.
"Ntar pulang sekolah, kita mampir kerumah loh ya, biasa main ps ! Penasaran gue gak bisa menang dari loh."
"Alesaaan, main ps apa liat nyokap gue ?"
"Hahaha... itu bonus bro !" Jawab Bambang sambil menepuk pundakku.
Terpaksa aku garuk-garuk kepala mendengar permintaan sahabatku yang gila ini. Bagaimanapun juga sebagai seorang anak tentu saja aku kesal dengan mereka berdua, entah kenapa mereka suka sekali main kerumahku, hampir setiap hari malahan, alasan mereka sama yaitu main ps, padahal aslinya mereka sengaja datang kerumah karena ingin ngeliat Umi.
Tapi mereka juga tidak dapat disalahkan begitu saja, Umi juga ikut andil dalam masalah ini.
Sebenarnya aku juga bingung dengan sikapnya Umi, dulu Umi sangat menjaga penampilannya, bahkan saat berada didalam rumah sekalipun, tapi kini ia berubah seratus persen. Memang diluar rumah ia tetap sama seperti Umi biasanya, tapi perubahan akan terlihat ketika ia sedang berada dirumah.
Didalam rumah Umi tampil sangat seksi, tak jarang dirumah ia hanya menganakan gaun tidur yang tipis atau tanktop dan hotspan yang sangat menggoda. Aku sendiri anaknya, terkadang sangat terangsang melihat kemolekan tubuh Umi, apa lagi mereka temanku. Aku tidak bisa membayangkan kalau nanti kedua temanku khilaf, lalu berbuat macam-macam terhadap Umi.
"Aah... Umi !" Aku mendesah pelan.
"Kenapa Dam ? Loh juga suka ya sama nyokap loh sendiri ? Paraaah loh !"
"Eh... maksudnya apa ?"
"Udah gak usah bohong, tadi loh bilang Umi sambil mendesah gitu." Kata Rudi membenarkan perkataan Bambang.
"Udah sana, bentar lagi Pak Horas datang." Kudorong tubuh mereka agar segera menjauh dariku.
Gila, mana mungkin aku sehina itu, ingat Adam Umi adalah Ibu kandungmu, kamu boleh bernafsu sama siapa saja tapi tidak dengan Ibu kandungmu, walaupun seseksi apapun Ibu kandungmu.
***
Perasaanku tidak enak saat mengajak kedua temanku kerumah biasanya kami memang suka main ps di ruang keluarga, selain tvnya yang besar, ruangannya juga cukup besar sehingga membuat nyaman kedua sahabatku.
Sesampainya diruang keluarga, perasaan yang tadi menggangguku kini terjawab sudah, ternyata Umi sedang tertidur didalam kamarnya, tapi yang jadi masalahnya kamar Umi dalam keadaan terbuka lebar, dan Umi tidur hanya dengan mengenakan tanktop dan celana hotspan berwarna hitam, warna yang begitu kontras dengan kulitnya yang putih bening.
Sejenak kami terdiam, mata kami tertujuh kearah Umi yang sedang tertidur lelap, paha mulusnya kini menjadi santapan mata kami.
Siaaaallll... ada apa denganku, kenapa aku diam saja ? Ayo Adam gerak, tutup pintunya.
Rasanya kakiku begitu berat melangkah hanya untuk sekedar menutup pintu kamar Umi, karena pemandangan yang disuguhi Umi untuk kami benar-benar sangat menggoda, membuat burungku mulai menggeliat, perlahan bangun dan mengeras.
Sadarlah Adam aku mohon, dia yang tidur disana adalah Ibu kandungmu. Ya benar dia Ibu kandungku, tapi dia juga wanita dewasa yang sempurna.
"Jiiirr, Ibu loh seksi banget man." Puji Rudi sambil menyikut lenganku.
"Setan loh, udah ayo main." Ajakku, dengan kesadaran yang tersisa aku mengajak kedua sahabatku untuk bermain ps seperti yang telah kami rencanakan.
"Ganggu aja ni loh." Protes Rudi.
"Kalian dulu aja de main, gue lagi males."
"Yakiinn, biasanya loh yang paling semangat tanding, tapi oke deh... !" Fuuhh... untunglah Bambang dan Rudi mau menuruti ucapanku.
Aku duduk diatas sofa, sementara mereka lesehan duduk didepan tv. Saat mereka lagi sibuk dengan permainan mereka, aku malah menyibukan diri dengan memperhatikan Umi yang sedang tertidur lelap. Entah kenapa, aku jadi sangat suka memperhatikan tubuh Umi.
Umi menggeliat perlahan, ia bergerak membalik tubuhnya hingga terlentang. Dari posisiku aku dapat melihat gundukan vaginanya yang tebal, ternyata hotspan itu tak bisa menutupi tebalnya vagina Umi. Selain itu aku juga bisa melihat benjolan kecil di dadanya yang meruncing, kalau dilihat-lihat sepertinya itu puttingnya Umi.
Ternyata Umi gak pake Bh, aku tak tau ini sebuah keberuntungan atau musibah bagiku.
Sadar gak si Umi, anakmu ini sudah gede, mana tahan kalau melihat pemandangan seindah ini, seharusnya kalau mau pake pakaian seseksi itu, harusnya pintunya di tutup, kalau sudah seperti ini aku juga yang repotkan.
"Hmmm... pamtesan dipanggil gak denger, ternyata ?"
"Loh Rudi, gak jadi mainnya ?" Tanyaku kaget, tiba-tiba Rudi sudah duduk disampingku.
"Udah selesai keless, tadi gue kalah, gih... buruan gantiin gue." Katanya sambil mengusirku, dengan sangat terpaksa aku mengalah.
Tapi aku bukanlah anak yang bodoh, sebelum aku tanding lawan Babang, aku segera menuju kamar Umi, lalu dengan perlahan kututup daun pintu kamar Umi. Aku tak rela kalau Rudi menikmati tubuh Ibu kandungku.
"Ya, gak asik ni." Desah kecewa Rudi ketika pintu kamar Umi tertutup rapat.
Sorry kawan, tubuh Ibu gue bukan gratisan.
"Yuk Bang main." Ajakku semangat empat lima, setidaknya sekarang Umi aman dari mata jalang milik Rudi.
Staaar... permainan dimulai, aku langsung melakukan serangan pertama yang mematikan, sementara Rudi kulihat sepertinya tidak menyerah memandangi pintu kamar orang tuaku, mungkin dia berharap ada keajaiban sehingga pintu itu bisa terbuka dengan sendirinya. Sungguh kasihan nasib Rudi, sampe kucing bertanduk pintu itu tidak akan terbuka sendiri.
Akhirnya permainan ini dimenangkan olehku, itu artinya kini giliran Rudi yang menantangku.
Tapi saat Bambang mengusir Rudi, anak itu malah tampak enggan posisinya digantikan Bambang, sepertinya Rudi sadar diri dia tidak mungkin bisa menang melawanku. Tapi karena didesak terus menerus akhirnya Rudi maju menantangku.
Ternyata benar apa yang dikatakan orang tua, main game bisa membuatmu lupa waktu. Tak terasa hampir tiga jam kami bermain dan selama itu aku tak tergantikan, membuatku mulai jenuh.
"Udahan yuk, gue menang terus ni gak seru." Kataku sambil meletakan stik ps.
"Serius ni ?" Aku mengangguk lemah. "Bagus deh, aku juga udah mulai bosan." Jawab Bambang, lalu meletakan stik tersebut dilantai.
Tak lama kemudian Bambang berdiri lalu bergabung duduk di sofa disamping Rudi, mata mereka berdua sama seperti sebelumnya, tertuju kearah kamar orang tuaku. Dasar saraf, pintu ketutup gitu masih aja diplototin.
Aku rebahan sejenak, mataku menerawang jauh kembali mengingat pemandangan yang sempat kulihat beberapa jam yang lalu. Ada apa denganku sebenarnya ? Bagaimana mungkin aku begitu bernafsu terhadap Ibu kandungku sendiri, sampe-sampe burungku sedari tadi tidak mau kembali tidur.
Sudalah, semakin aku pikirkan, semakin aku tidak menemukan jawabannya.
"Lagi ngeliatin apa si Bro, seru banget kayaknya, ikut doooongggg... "
Sungguh apa yang kulihat saat ini sangat sulit dipercaya, pintu Umi yang tadinya tertutup rapat kini kembali terbuka lebar, dan parahnya ternyata Umi sudah bangun dari tidurnya, dan sekarang dia sedang membelakangi kami duduk didepan meja rias hanya mengenakan handuk yang melilit ditubuhnya.
Oh Tuhaaan... apa yang ada di pikiran Umi, apa dia tidak sadar kalau sedari tadi kedua teman gilaku ini sedang memperhatikannya, atau jangan-jangan Umi memang sengaja melakukannya, tapi untuk apa ?.
Tidak... ini pasti ada yang salah.
^_^
SEBUAH JANJI
Aku terbangun saat mendengar suara pintu kamarku tertutup, sekilas aku melihat Adam yang menutup pintu kamarku. Sepertinya dia baru pulang sekolah, kalu dari suara yang kudengar sepertinya dia tidak sendirian.
Rudi dan Bambang ? Itu pasti suara mereka, dasar Adam dia sengaja menutup pintu kamarku agar kedua temannya tidak bisa melihatku.
Kulirik jam dinding di kamarku, ternyata sudah jam dua siang, itu artinya aku tertidur hingga dua jam lamanya. Sepertinya aku sangat kecapean, tapi gak apalah, toh gara-gara tertidur mereka jadi dapat rejeki nomplok dariku hehe. Dasar aneh, seharusnya aku marah, bukan terangsang seperti ini.
Sepertinya aku harus menggoda mereka, untuk mewujudkan fantasiku, mumpung mereka sekarang ada dirumahku.
Segera aku bangun dari tempat tidurku, sedikit merapikan penampilanku didepan cermin, kuikat rambutku hingga leher mulusku terpampang jelas, semakin mempertegas.kecantikanku.
"Kamu memang nakal Lidya, gak kasian apa sama mereka ? Hhmm... tapi biarin deh, biar mereka cepat dewasanya." Duh membayangkannya saja sudah membuat vaginaku terasa basah.
Segera kubuka tanktop dan hotspanku, lalu kuganti dengan gaun tidurku yang tipis. Dibalik gaun ini, aku hanya mengenakan celana dalam jenis G-string, tentu hal itu kulakukan untuk menggoda mereka.
Oke persiapan sudah selesai, saatnya aku beraksi didepan mereka. Hmm, kok aku jadi deg-degkan kayak gini ya.
Perlahan kubuka pintu kamarku, ternyata disitu ada Rudi yang sedang duduk disofa, ia tampak sangat terkejut saat melihatku membuka pintu kamarku. Kubalas keterkejutannya dengan senyuman.
Setelah membuka pintu kamarku, aku kembali naik keatas tempat tidurku, tapi sebelum itu aku mengambil majalah untuk kujadikan alasan agar aku tidak terlihat begitu murahan dimata mereka.
Aku tidur terlentang sambil membaca majalah, posisi kaki kananku sengaja kutekuk, sementara kaki kiriku kubiarkan terjuntai.
Aku yakin saat ini dia pasti bisa melihat betis dan paha mulusku, dan untuk memastikannya, dari balik majalahku, aku melihat kearah Rudi yang sedang menatap nanar kearahku. Rudi, ngeliatnya jangan gitu banget bisa-bisa Tante orgasme duluan.
Sabar... sabar... ini belum seberapa kok, pertunjukannya baru saja dimulai.
Sekarang aku ingin dia melihat celana dalam g-string yang kukenakan, dengan sengaja kutekuk kaki kiriku yang tadinya terjuntai, hingga rokku turun sampai kepangkal pahaku, tentu gerakannya kubuat sepelan mungkin agar ia bisa menikmati pertunjukan yang kuberikan secara perlahan, lalu aku mulai menggoyang kedua kakiku, seperti orang yang sedang lagi asyiknya membaca buku.
Saat tiba digerakan membuka, aku sengaja menghentikan goyangan kakiku, kini aku yakin mata Rudi sangat leluasa memandangi pangkal pahaku hingga kecelana dalamku yang berwarna hitam.
Seerr... aliran hangat menjalar tubuhku, aku tau ini tandanya aku sudah amat terangsang, ingin rasanya aku membuka seluruh pakaianku hingga aku telanjang bulat didepannya, tapi untunglah sedikit kesadaran membuatku tidak senekat itu.
Kembali aku mengintip dari sisi majalahku, bermaksud ingin melihat reaksi wajah Rudi, tapi saat mataku melihat keluar ternyata di situ ada Bambang. Astaga semenjak kapan anak itu duduk disitu.
Bambang tersenyum kearahku, lalu memberiku kode kalau saat ini Rudi sedang menemani anakku bermain.
Pantesan kok orangnya berbeda, ternyata mereka sedang berganti posisi.
Gak ada Rudi, Bambangpun jadi...
Aku kembali melanjutkan aksiku, tapi kali ini aku berganti posisi tidurku, dari terlentang hingga tengkurap. Tadi kakiku yang menghadap kearah pintu, tapi kali ini wajahku yang mengarah kepintu.
Sebelum aku tengkurap, aku sengaja membuka beberapa kancing gaun tidurku hingga payudarahku seperti ingin melompat keluar.
Seneng ya bisa liat tetek Tante, tapi Tante juga senang kok kamu liatin hihihi, apa lagi liat muka mesum Bambang, duhh... rasanya pengen sekali minta dia buat.remesin tetekku.
Kembali sambil tidur tengkurap dengan di topang oleh kedua sikuku, agat posisi payidarahku menggantung, dengan begitu Bambang bisa sangat leluasa menikmati payudarahku. Kembali aku berpura-pura membaca majalah.
Sesekali aku melihat kearah Bambang yang tampaknya sudah sangat bernafsu terhadapku, bahkan Bambang sudah tidak malu-malu lagi meremas-remas penisnya dari balik celana birunya. Rasanya aku ingin tertawa sekaligus sangat terangsang melihat tingkah Marwan.
Sesekali aku membalik halaman demi halaman majalah, agar aku terlihat benar-benar sibuk membaca majalah, tapi sesekali aku menyempatkan diri untuk melihat kearah Bambang, tingkah Bambang benar-benar berhasil membuatku salah tingka.
Tak lama kemudian Rudi kembali bergabung, sekilas aku melihat mereka berbisik sambil melihat kearahku, aku pura-pura tidak tau kalau mereka sedang memperhatikanku. Lalu sedetik kemudian giliran Bambang yang menghilang.
Ternyata capek juha kalau posisi kek gini trus, aku kembali berganti posisi yang lebih nyaman, aku duduk bersandar menghadap kearah pintu kamarku, tak jauh dariku Rudi duduk menghadapku, tapi aku pura-pura cuek, walaupun sebenarnya aku deg degkan, apa lagi dengan cara Rudi menatapku, seperti ingin menelanjangiku.
Ternyata Rudi semakin berani didepanku, padahal dia tau kalau aku bisa melihatnya, tapi dia tetap nekat membuka celana birunya sekaligus celana dalamnya.
Tentu aku langsung protes, mataku melotot untuk menakutinya, tapi bukannya segera memasukan kembali burungnya, eh dia malah ngocok didepanku sambil nyengir kuda, dasar anak kurang ajar. Tapi sudalah, biarlah dia melepas hasratnya asal pejunya nanti gak sampe belepotan. Awas saja kalau sampe kena sofaku.
Sekarang apa yang harus kulakukan ? menghentikan aksiku ? Atau... Aaerttt... sudalah mending aku mandi saja, siapa tau air dingin bisa meredam nafsuku.
Ini semua gara-gara Rudi, dasar anak kurang ajar, seharusnya aku ngerjain dia, bukan dia yang mengerjain aku seperti ini. Mana Suamiku lagi diluar kota, terpaksa main sendiri lagi.
Segera aku membuang muka, memberi tau dia kalau aku tidak suka dengan caranya yang terlalu vulgar, lalu setelah itu aku turun dari tempat tidurku, kuambil handuk yang terlipat rapi di dalam lemari, lalu sambil berjalan santai membelakanginya aku masuk kedalam kamar mandi. Nanggung-naggung de lo, di kasi enak dia malah ngelunjak.
^_^
Selesai mandi, kulihat Rudi dan Bambang sedang duduk berdampingan di atas sofa, tapi kini Rudi sudah menyimpan kembali burungnya, kulihat mukanya pucat pasi, aku yakin dia merasa bersalah karena perbuatannya barusan. Siapa suruh dikasi enak malah kurang ajar, emang dia pikir aku wanita murahan apa.
Aku duduk didepan meja rias, seperti biasanya layaknya wanita pada umumnya, aku berias untuk mempercantik diriku, sementara itu tak jauh dibelakangku aku yakin mereka berdua pasti sedang melihatku.
"Umi, kok pintunya gak di tutup sih, kan malu dilihat mereka berdua ?" Adam mendekatiku dengan raut wajah merah padam, sepertinya dia marah.
"Ada apa sayang ? Kok dateng-dateng langsung sewot ? Sini duduk dulu." Kataku menenangkan anakku, Adam duduk ditepi tempat tidurku, wajahnya kulihat masih tertekuk.
"Coba cerita sama Umi." Tanyaku, sembari menggeser tempat dudukku, mengarah kearahnya.
"Kan Umi tau di luar ada mereka, tapi kok pintunya di biarin kebuka gitu."
"Jadi itu masalahnya, emangnya kenapa kalau mereka melihat sayang, Umi kan gak telanjang didepan mereka, Umi masih pake handuk kok, ni liat... " Kataku santai, sembari membusungkan dadaku, memperlihatkan lipatan handuk yang kugunakan.
Kulihat jakun anakku turun naik, sepertinya dia terangsang melihatku hanya mengenakan handuk. Dasar, tadi marah-marah sekarang malah diam.
"Ya sudah, kalau kamu gak suka, Umi pake baju dulu ya !"
"Bu... bukan gitu Umi, kok Umi marah si ?" Adam menahan tanganku saat aku hendak mengambil pakaian didalam lemari pakaian.
"Habis anak Umi sekarang sudah mulai ngatur-ngatur, ini gak boleh, itu gak boleh." Protesku, aku pura-pura marah kepadanya, padahal aku sebenarnya senang melihatnya tidak berdaya didepanku.
"Ya gaklah Mi, bukannya marah tapi gak enak sama mereka Umi."
"Ya sudah, kalau gitu biar Umi ngomong langsung sama mereka." Kataku, lalu aku beranjak hendak menemui mereka berdua.
"Tapi Umi... Umi tunggu !" Panggilnya, sambil mengejarku yang suda jalan lebi dulu.
Tapi Adam telat mencegaku, karena dalam hitungan detik aku sudah berdiri didepan kedua sahabat anakku, mereka berdua melongok melihatku menghampiri mereka.
"Hayo lagi pada liatin apa ?" Godaku, sembari memicingkan mataku, seperti sedang.mencurigai mereka.
"Hehehe... habis Tante ngagetin aja ni."
"Ngaggetin apa... "
"Umi." Potong Adam, kulihat ia tampak begitu khawatir kepadaku.
Anak mana yang tidak khawatir melihat Ibunya yang cantik berdiri didepan temannya yang mesum hanya mengenakan handuk, apa lagi di balik handuk ini, aku sudah tidak mengenakan pakaian apapun.
Perasaanku jadi campur aduk, antara malu, bersalah dan horni. Aku berdiri hanya mengenakan handuk dihadapan dua anak laki-laki yang sedang tanggung-tanggungnya, sementara disampingku ada putraku yang sedang mengkhawatirkanku.
"Kenapa sayang ? Ini Bunda baru tanya sama mereka." Kataku cuek, sembari membenarkan lilitan handuk yang menutupi tubuhku, tentu saja hal itu membuat kedua sahabat anakku semakin tercengang.
"Gak perlu Umi." Jawab anakku sewot.
"Emang mau tanya apa Tante ?" Ujar Bambang, sepertinya dia penasaran, sementara Rudi kulihat wajahnya pucat, sepertinya dia takut kalau aku nanti membahas perbuatan nekatnya.
"Kata Adam, kalian terganggu ya Tante pake handuk kayak gini didepan kalian ?" Tanyaku langsung tembak tanpa basa-basi lagi.
"Ya... gak dong Tan, malahan... " Tiba-tiba saja Rudi menyikut lengan Bambang, agar tidak melanjutkan perkataannya.
"Malahan apa ? suka ?" Duh... Lidya, kok kamu makin berani aja sih, gimana kalu mereka nantinya jawab iya, bisa-bisa anakmu nanti ngamuk. "Sudah jujur aja, gak papa kok !" Kataku sembari meminta mereka berdua untuk memberiku tempat agar bisa duduk.
Dengan cepat mereka berdua menyingkir, lalu dengan santainya aku duduk diantara mereka berdua. Kedua tanganku kuletakan diatas paha mereka sesekali aku meremas, memijit pelan paha mereka berdua.
Kulihat mereka berdua saling pandang, seolah tidak percaya dengan apa yang kulakukan terhadap mereka berdua. Sementara anakku tidak kalah kagetnya, dia berdiri melihatku dengan mulut terbuka.
"Iya Tante saya suka." Jawab Bambang.
"Terus kamu Rudi suka gak ?" Tanyaku kepada Rudi, karena kulihat dia hanya diam saja, mungkin dia masi trauma karena tadi.
"Su... su... "
"Susu maksud kamu ?"
"Bu... bukan Tante, maksudnya suka."
"Bilang suka aja susah banget si." Protesku. "Sekarang kamu denger sendirikan sayang, teman kamu suka kok, mereka sama sekali gak terganggu dengan penampilan Umi." Kataku kepada Adam.
"Tapi Umi."
"Biarin aka si Dam, Umi loh mau telanjang juga gak papa kok, kami sama sekali gak terganggu, sama kita mah santai Dam, ya gak Rudi ?" Yang ditanya malah ngangguk-ngangguk gak jelas.
"Kamu denger sendirikan ?" Sebelum Adam kembali mengajukan protesnya, aku buru-buru mengusirnya. "Ya sudah sana, kamu kewarung sebentar, beliin Umi martabak telor." Pintaku.
"Iya Umi."
Akhirnya Adam menyerah, dia berjalan meninggalkanku sendiri dengan wajah tertunduk lesu.
Sebenarnya inilah yang kuinginkan, aku ingin Adam mulai terbiasa melihat Uminya dilecehkan seperti yang kulakukan barusan, tapi tentu saja aku harus melakukannya dengan perlahan, kalau tidak semua rencanaku bisa berantakan.
Adam adalah anak kandungku, dan dia juga seorang anak laki-laki. Aku bisa saja langsung meberikan pertunjukan ekstream didepannya, dengan cara melakukam ML bersama kedua sahabatnya, tapi apakah ada jaminan kalau Adam bisa menerimanya dan diam saja ? Tentu saja tidak, dia akan sangat marah, bahkan bisa jadi dia nekat menghabisi kedua temannya. Dengan alasan itulah kenapa aku memberinya pertunjukan dengan cara perlahan agar dia terbiasa dan mulai menikmati setiap kali aku dilecehkan.
Setelah yakin Adam telah pergi, sekarang adalah saat yang tepat untuk memberi sedikit hadiah kepada mereka berdua.
"Sekarang kalian jawab dengan jujur pertanyaan Tante, tadi kalian ngintipin Tante ya ?"
"Enggak kok Tan." Jawab Rudi.
"La tadi kamu ngapain ngeluarin burung kamu sambil liatin Tante baca majalah ?" Tanyaku, lalu dengan sedikit nekat aku meletakan tangan kananku diatas selangkangan Rudi, tentu apa yang kulakukan membuat Rudi belingsatan.
"Tapi itukan bukan salah saya Tente, habis Tantenya juga yang duluan menggoda kita, iyakan Bang ?" Jawab Rudi meminta dukungan dari temannya.
"Iya Tante, kitakan cowok normal, liat cewek bening masak di anggurin. Seharusnya Tante bertanggung jawab sudah bikin kita kentang kayak gini."
"Kentang ? Emang kalian mau masak ?"
"Bukan kentang itu Tante, tapi kena tanggung, udah di bikin keras gini tapi gak ada penyelesaiannya." Jawab Rudi sewot, aku tau apa yang kulakukan barusan pasti sangat menyiksa mereka.
"Kalau gitu maafin Tante ya tadi sudah nyiksa kalian berdua, sini buka celananya ?" Tantangku, tapi mereka berdua balah bengong.
"Serius Tante."
"Iya serius dong Rudi, katanya radi Tante harus tanggung jawab." Kataku meyakinkan mereka berdua. "Tapi ada syaratnya."
"Apa Tante ?"
"Syaratnya gampang kok, kalian hanya perlu melakukan ini untuk Tante......" Jawabku.
^_^
Untuk pertama kalinya setelah menikah aku melihat kelamin pria lain selain Suamiku sendiri. Tentu kondisi ini membuatku gugup, apa lagi di depanku saat ini ada dua penis yang sudah siap tempur.
Sesuai janjiku, kalau mereka setuju melakukan sesuatu untukku, maka aku akan membantu mereka menuntaskan birahi muda mereka.
Aku tiduran diatas tempat tidur dengan pakaian lengkap sehari-hari, yaitu mengenakan kerudung dan jubah hitam, sementara mereka berdiri disamping tempat tidurku sambil memperhatikanku.
Mula-mula aku menarik bagian bawah gaunku yang panjangnya hingga dibawa mata kaki. Kutarik dengan perlahan hingga betisku terlihat, mempertontonkan kaki jenjangku yang selama ini kurawat dengan baik, sehingga tak ada bekas lecet.
"Kok betisnya bisa seputih itu Umi." Aku memang meminta mereka untuk memanggilku Umi untuk saat ini saja.
"Iya dong sayang, kan selalu Umi rawat."
"Kami boleh menciumnya gak Umi, biar betisnya makin kinclong hehe !" Pinta Bambang, sambil mengocok penisnya yang sedari tadi sudah sangat tegang.
"Boleh dong sayang, tapi jilatinnya yang bersih ya."
"Beres Umi... " Jawab mereka serempak.
Lalu Bambang dan Rudi mengambil salah satu kakiku, dan tanpa ada rasa jijik mereka mulai menjilati kedua kakiku, di mulai dari jari-jari Kakiku. Ternyata aku baru tau, kalau jilatan di jari-jari kakiku bisa membuatku terangsang seperti ini.
"Anak pintar, jilatin yang bersih... "
"Jempol Umi enak banget, hmmpp... hmmmp... " Puji Rudi sambil mengulum jari jempolku.
Sementara Bambang lebih sering menjilati betisku, sepertinya Bambang memang lebih suka betisku ketimbang jari-jari kakiku. Sambil menikmati jilatan mereka, aku berusaha mati-matian mempertahankan bagian bawah gamisku agar tidak tersingkap lebih jauh, apa lagi Bambang dari awal berusaha membuka lebar kakiku agar bisa melihat dalamanku.
Tapi sesuai dengan kesepakatan, mereka berdua hanya boleh menyentuh bagian bawah kakiku kecuali mereka berhasil membuatku lupa diri, tentu itu tak muda bagi mereka berdua.
"Umi... buka sedikit ya ?" Bujuk Bambang, dia mulai berani memijit pahaku.
"Betis Umi rasanya enak banget loh, apa lagi bagian yang disana passti lebi enak lagi." Kini giliran Rudi yang ngegombal.
Serangan demi serangan, akhirnya membuat pertahananku mulai goyah. Tanpa sadar kedua kakiku terbuka semakin lebar, dan bagian bawah gamisku terangkat semakin tinggi.
Tentu saja kesempatan itu tidak disia-siakan mereka berdua. Dengan gerakan cepat, merek berpindah menjilati bagian dalam lututku, hal itu membuatku kegelian hingga tak sadar aku mulai lepas kendali.
"Aahkk... geliii jangan disitu, Umi mohooon !" Kataku mohon ampun, tapi mereka berdua sama sekali tidak perduli.
"Siapa suruh tadi nantangin kita, sekarang nikmatin aja ya Umi !" Ujar Rudi sombong.
Tapi harus kuakui mereka berdua memang sangat pandai dalam merangsangku, sepertinya mereka sudah biasa merangsang perempuan. Sial, aku bisa kalah oleh dua orang anak remaja.
"Aaahkk... cukupp, amppuunnn oooww... !" Aku semakin belingsatan saat Bambang bergerak menjilati pahaku, apa.lagi Bambang dengan beraninya meremas-remas dadaku. Siaaal...
"Hehehe... ini belom seberapa Umi."
Rudi bangkit, lalu duduk disamping kepalaku sambil menyodorkan penisnya didepan wajahku. Memang sesuai kesepakatan kalau mereka berhasil menaklukanku, maka aku bersedia membantu mereka dengan mengulum penis mereka sampe mereka puas.
"Buka dong Umi mulutnya."
"Oke Umi nyerah, tapi ingat ya janjinya gak ada yang namanya penetrasi."
"Tenang Umi, kami pasti menepati janji kami, kecuali Umi sendiri yang minta hehe." Kepedean, mungkin itu kalimat yang cocok untuk Bambang, walaupun aku sangat menginginkannya, tapi aku tidak akan melakukannya, karena tujuan awalku bukan ini.
Aku tak ingin menanggapi ocehan Bambang, segera kulumat habis penis Rudi, kuhisap cukup kuat sehingga Rudi meringis keenakan.
Walaupun aku sudah lama tidak mengoral penis, bukan berarti aku tidak bisa. Dulu, Mama perna mengajarkanku bagaimana cara memuaskan kaum adam hanya dengan mengulumnya saja.
"Pelan... pelan Umi ! Aahhkk... ngilu Umi." Rengek Rudi, tapi aku tidak perduli.
Sesekali aku jilati lobang kencingnya yang terasa asin, sementara tanganku memijit pelan kantung pelirnya agar Rudi cepat orgasme.
Dan benar saja, kurasakan tubuh Rudi menegang, suaranya yang keras mulai terdengar parau, itu artinya sebentar lagi aku berhasil menaklukannya. Sementara itu, Bambang berusaha keras merangsangku dengan menjilati paha bagian dalamku, bahkan terkadang jilatannya menyentuh pinggiran celana dalamku.
Sesuai dengan perjanjian, aku melarang mereka berdua menjilati vaginaku walaupun dari balik celana dalam yang kukenakan, kalau mereka melanggar, maka perjanjian batal dan tentu mereka juga yang akan rugi.
"Umiiii aku keluarrr !" Pekik Rudi, lalu kurasakan semburan hangat spermanya didalam mulutku. Kata orang sperma anak remaja bisa buat kita awet muda, dengan alasan itu aku menelan habis spermanya.
"Cepet banget loh, gue belom puas loh uda ngencrot aja." Protes Bambang, dia tampak kesal.
"Ampun bos, gue nyerah !" Jawab Rudi, terduduk lesu bersender ditembok kamarku.
"Sesuai perjanjian, sekarang giliran kamu." Kataku memanggil Bambang, jujur aku hampir menyerah, tapi untunglah Rudi sudah bisa kuatasi dengan cepat.
Dengan malas-malasan, Bambang mendekatiku sambil menyodorkan penisnya kearahku. Dengan perlahan kukocok penisnya, lalu aku mulai menjilati batang kemaluannya, sementara tanganku yang satunya kugunakan untuk memijit pelan kantung pelirnya.
Perlahan, kubuka mulutku, lalu kusambut penis Bambang dengan lidaku.
"Gilaaaa... enak banget Rud." Ocehan Bambang setelah merasakan oralku.
"Kan tadi gue uda bilang, tapi lohnya gak percaya." Jawab Rudi yang saat ini sedang menonton aku yang lagi mengulum penis Bambang.
"Hhhehhhe... Henaknyan ?" Kataku.
"Gila ini enak banget Umi, Aahkk... "
Aku semakin mempercepar gerakan kepalaku maju mundur, sambil menghisap penisnya. Tak lama kemudian, untuk kedua kalinya aku mendapat hadiah sperma dari mereka berdua.
^_^
4. Bab baru
Pagi-pagi sudah suntuk begini, padahal biasanya kalau jam istirahat begini aku paling bersemangat, bersantai sambil menikmati bakso Mang Ujang. Tapi... ah sudalah, mungkin ini hanya perasaanku saja.
Kemarin sore, aku diminta Bunda untuk beli martabak telor, sialnya ternyata warung yang menjual martabak telor hanya ada dipasar, terpaksa aku berjalan cukup jauh hanya untuk sekedar membeli sebungkus martabak telor, belom lagi tempatnya yang rame pengunjung, terpaksa aku ngikut antri lebih dari satu jam.
Sepulang dari pasar rumah tanpa sepi, kedua sahabatku sudah tak ada dirumah, iseng aku menghampiri Umi yang ternyata sedang tidur dikamarnya, tapi yang membuatku kaget Umi dalam keadaan setenga telanjang.
Ya... aku tau dan aku sering melihat Umi tertidur dalam keadaan seperti itu, tapi entah kenapa kemarin tampak ada yang beda dari Umi.
Tidak... aku percaya Umi, bahkan sangat mempercayainya, Umi tidak mungkin berbuat sejauh itu bersama kedua sahabatku, Umi adalah wanita baik-baik dia bukan wanita binal.
"Woi... bengong aja lu Man ? Lagi mikirin apa ?" Lagi-lagi mereka berdua yang datang.
"Pasti lagi mikirin Tante Lidya ya ?" Tebak Bambang.
"Sembarangan, jangan asal ngebacot loh Bang. Emang gue udah gila apa punya pikiran mesum sama Ibu kandung gue sendiri."
"Na... siapa yang bilang gitu." Mati aku salah ngomong.
"Jadi, loh serius Man, terangsang sama Ibu kandung eloh sendiri ?" Tanya Rudi dengan intonasi suara yang cukup pelan, sehingga aku tidak perlu merasa takut atau khawatir kalau nanti suara kami terdengar oleh orang-orang disekitar kami.
"Kalau gue jadi eloh, mungkin gue juga akan meresakan hal yang sama seperti yang eloh rasakan saat ini."
"Ma... maksudnya ?" Tanyaku.
"Gak usah munafik Dam, Ibu loh cantik, seksi lagi... kalau gue jadi anaknya, mungkin gue akan sering ngintipin dia, gue balalan jadikan dia bahan coli gue, tapi sayang Ibu gue gak secantik nyokap eloh." Jelas Rudi sambil menerawang matanya melihat kearah langit-langit kantin seolah ia sedang berfikir keras.
Benar juga apa yang dikatakan Rudi, Umi memang sangat cantik, aku sendiri sering pangling kalau melihatnya, apa lagi kalau ia menganakan pakaian seksi, pasti si junior langsung memberontak. Tapi untuk sejauh ini, aku tidak punya pikiran seperti Rudi untuk sengaja ngintipin Ibu kandungku sendiri, apa lagi sampai menjadikannya bahan coliku.
"Parah loh... !"
"Hahaha... Habis Umi loh nakal si Dam." Ledek Rudi sambil menjitak kepalaku. Sial, rasanya sangat sakit, bukan hanya dikepalaku tapi juga didadaku.
"Udah ah, jangan diledikin terus, yuk kita kebelakang." Ajak Bambang sambil menarik tangan Rudi.
"Mau kemana ?"
"Biasa ngerokok, mau ikut ?"
"Ya banci loh ajakin, mana mau dia hahaha... " Ni anak kayaknya memang harus dikasih pelajaran. Untung badannya gede, kalau gak uda gue ajakin berantem ni anak.
Tak lama akhirnya mereka menghilang dari pandanganku, tapi perkataan Rudi barusan, tidak ikut menghilang bersama mereka. Ucapan Rudi terngiang-ngiang dikepalaku. Umi memang sangat menggairahkan, bentuk tubuhnya sangat profesional, ukuran dadannya juga besar, jadi ingat payudarahnya duo srigala.
Tapi apa benar Umi senakal itu ? Haha... ini gila, tidak mungkin, Umi bukan tipe wanita seperti itu.
^_^
Hari ini akhirnya aku bisa tersenyum, setelah selama berada di sekolah aku dilanda rasa suntuk. Aku pulang sendiri tanpa ditemani mereka berdua, setidaknya aku tidak perlu merasa khawatir kalau nanti mereka kembali menggoda Umi.
Sesampainya dirumah, kulihat sepatu Kak Aziza sudah nangkring lebih dulu didepan rumah, padahal biasanya ia suka pulang sore.
"Udah pulang Dek ?"
"Iya dong, biasanya juga pulang jam segini kok, emang Kakak doyan keluyuran." Jawabku ngasal, lalu tanpa permisi aku mengusir Kakak agar menggeser duduknya.
"Apaan sih Dek, gangguin orang lagi nyantai aja." Sewot Kak Aziza sambil menoyor kepalaku.
"Sakit tau gak."
"Siapa suruh gangguin orang." Jawab Kak Aziza, lalu dia beranjak dari sofa dan tiduran di depan televisi.
"Umi mana Kak ?"
"Ada tuh dikamarnya, lagi tidur."
Segera kualihkan pandanganku kearah kamar Umi, ternyata benar yang dikatakan Kak Aziza, aku lihat Umi sedang tiduran didalam kamarnya sambil memeluk bantal guling. Lagi-lagi Umi tidur hanya mengenakan daster, membuat kedua paha mulusnya terekpose.
Tak sadar sang junior kecil mulai berdiri, memberontak sekuat tenaga. Astaga... apa benar yang Rudi katakan tadi pagi ? Sepertinya aku memang sudah gila, terangsang melihat Ibu kandungku sendiri.
Perlahan mataku bergerak menelusuri kaki Umi, hingga kepantatnya yang dibalut celana dalam berwarna pink, di bagian sisinya dikelilingi renda-renda kecil yang semakin mempercantik celana dalam yang dikenakan Umi, belum lagi belahan pantatnya yang ngejiblak di balik celana dalamnya. Tentu saja pemandangan tersebut sangat memanjakan mataku.
Maafkan anakmu ini Umi, tapi untuk kali ini saja biarkan aku menikmati keindahan lekuk tubuhmu.
Sesekali aku memperhatikan Kak Aziza, tentu saja untuk memastikan aksiku tidak tertangkap olehnya. Tapi sepertinya kondisi aman, karena Kak Aziza tampak begitu fokus menonton televisi.
Aku sedikit terkejut saat tiba-tiba tubuh Umi bergerak, beruba terlentang, kupikir Umi akan segera bangun, tapi ternyata ia hanya sekedar mengigau, setelah memastikan kalau ia sedang tertidur lelap, aku kembali fokus menikmati keindahan pemandangan yang ia suguhi.
Di posisinya sekarang, aku dapat melihat gundukan kecil yang cukup tebal, belahan vaginanya yang berbentuk segaris menerawang dari balik celana dalamnya.
Sial, celanaku sekarang terasa sesak, terpaksa aku harus mengganti posisi burungku dengan gerakan cepat agar tidak ketahuan Kak Aziza, bisa gawat kalau dia sampai tau kalau aku sedang mencuri pandang kearah Umi yang sedang tertidur.
Cukup lama aku menikmati pemandangan yang diberikan secara gratis oleh Umi, hingga akhirnya aku sudah benar-benar tidak tahan lagi.
"Kak, Adek kekamar dulu ya." Kataku lalu segera beranjak dari sofa.
Sesampainya didalam kamarku, aku berbaring di atas kasurku, segera kubuka celanaku, membebaskan juniorku dari sarangnya yang sedari tadi membelengguh dirinya.
Perlahan dengan mata terpejam tanganku bergerak naik turun mengocok penisku dengan irama perlahan sambil membayangkan Umi. Maaf ya Umi, aku sudah tidak tahan lagi, Umi memang terlalu sempurna.
^_^
Aku terbangun saat jam dinding menunjukan pukul 7 malam, sepertinya aku tertidur setelah masturbasi.
Selesai mandi, aku bergabung bersama Umi dan Kak Aziza yang sedang duduk disofa sambil menonton sinetron disalah satu tv swasta. Aku memutuskan untuk tiduran dikarpet.
Jujur aku tidak begitu tertarik dengan apa yang ditampilkan saat ini dilayar televisi, tapi yang membuatku tertarik adalah penampilan Kak Aziza dan Umi, mereka berdua malam ini kompak mengenakan tanktop dan rok mini, tentu posisiku saat ini sangat menguntungkan bagiku, cukup dengan menoleh sedikit maka aku dapat melihat paha mulus Kak Aziza dan Umi.
Umi duduk dengan kedua kaki menyentuh lantai, tapi posisi kedua kakinya terbuka, walaupun tidak begitu lebar tapi itu sudah cukup bagiku untuk dapat mengetahui warna celana dalam Umi.
Kulihat celana dalam Umi yang berwarna hitam mengintip malu-malu diantara kedua pahanya.
Sementara Kak Aziza duduk sambil memeluk lututnya, membiarkan bagian bawahnya terbuka sangat lebar. Aku yang awalnya sama sekali tidak tertarik dengan Kak Aziza, mendadak sangat terangsang ketika melihat selangkangan Kak Aziza yang dibalut kain segitiga berwarna cream.
"Kamu sudah ngerjain pr belum Dam ?" Tanya Umi, nyaris saja aku ketahuan kalau sedang ngintipin mereka berdua, tapi untunglah aku dengan cepat mengalikan pandanganku kearah yang lain.
"Sudah kok Mi." Kataku berbohong.
"Kapan ? Bukannya tadi sore kamu tidur."
"Aku ngerjain prnya sebelum tidur kok." Jawabku singkat. Jujur aku masih deg-degkan takut ketahuan Umi.
"Kalau orang tua ngomong, matanya jangan kemana-mana, sini lihat Umi." Omel Umi yang tidak suka dengan caraku yang mengabaikannya.
Dengan pura-pura malas aku menoleh kearahnya, padahal sebenarnya aku sangat senang sekali, itu artinya Umi belum menyadari aksi nakalku barusan, belum lagi dengan begini tanpa perlu bersusah paya, aku sudah bisa menikmati selangkangan mereka berdua. Otomatis sang junior kembali memberontak hebat. Untuk menutupi sang junior, aku memeluk erat bantal gulingku, sehingga ia terjepit, menimbulkan sensasi nikmat.
Entah disangaja atau tidak, rok yang dikenakan Umi tersingkap semakin lebar, apa lagi posisi kakinya yang semakin mengangkang, membuat celana dalamnya terlihat semakin jelas.
Nafasku mulai memberu, bahkan hanya untuk sekedar menelan air liur saja aku kesulitan.
"Beneran prnya sudah selesai, Umi tau loh, kalau kamu lagi berbohong."
"Su... sudah kok Umi."
"Yakin ?" Katanya mengintimidasiku. Aku tau Umi paling tidak suka kalau aku berbohong.
"Eehmm, bentar lagi ya Umi, tanggung ni."
"Umi paling gak suka di bohongi, sekarang kerjain pr kamu didalam kamar Umi aja, biar nanti Umi periksa hasilnya." Perintah Umi, tentu perintah Umi tak bisa di ganggu gugat.
Tanpa disuruh dua kali, aku terpaksa kembali kekamarku, padahal posisiku tadi sudah sangat menguntungkan bagiku, tapi mau dikata apa, perintah Umi tidak bisa diganggu gugat. Aku segera mengambil bukuku, lalu sesusai dengan perintah Umi, aku mengerjakan tugasku dikamarnya.
Biologi, bukanlah mata pelajaran yang kusukai, bahkan aku sangat membencinya. Kami diminta Pak Robbi untuk menjelaskan tentang reproduksi manusia, sesuai dengan yang sudah kami pahami.
Saat aku mulai menulis prku, Umi menyusulku kekamarnya, lalu berdiri disampingku sambil memperhatikanku yang sedang mengerjakan pr. Entah kenapa aku jadi deg-degkan, ada suatu perasaan tegang yang menyelimutiku.
"Ehmmm, penjelasan kamu kurang tepat."
"Jadi harus gimana Umi ? Aku gak paham soal ginian."
"Ya sudah, biar Umi bantu kamu ya." Katanya sembari mengucek-ngucek rambutku.
Posisinya yang sedikit membungkuk membuatku leluasa memandangi payudarahnya. Bahkan sekilas aku dapat melihat puttingnya, sepertinya keberuntunganku malam ini belum berakhir.
"Reproduksi manusia terjadi karena secara seksual, ketika sperma pria menyatu dengan sel telur milik perempuan. Sistem reproduksi manusia di bedakan menjadi alat reproduksi, pria dan wanita."
"Alat reproduksi punya laki-laki biasa disebut dengan penis, penis terbagi menjadi dua bagian, batang penis dan kepala penis. Penis sebagai alat untuk memproduksi sperma, dan sperma itulah nantinya yang akan melahirkan anak manusia." Jelas Umi, tapi aku tak begitu memperhatikannya, karena fokusku hanya kearah payudarahnya yang terbuka.
"Sementara punya wanita biasa di sebut vagina, kegunaannya untuk menampung penis pria, dan menerima sperma pria lalu menyalurkannya kerahim, ke sel telur hingga terjadinya pembuahan."
"Ooo begitu ya Umi, caranya gimana Umi, kok bisa menyatu ?" Tanyaku polos, entah apa yang ada di pikiran Umi, tiba-tiba ia tertawa dan kembali mengucek-ngucek rambutku, sepertinya dia sangat suka sekali merusak tatanan rambutku.
"Itu bisa terjadi, kalau ada seorang pria dan wanita sudah menikah, karena kalau sudah menika mereka sudah boleh melakukan hubungan intim." Jelas Umi.
Aku menggeser tempat dudukku, menghadap kearahnya. Mumpung Umi lagi sibuk menjelaskan pertanyaaku, jadi aku tidak perlu merasa khawatir kalau sedang memperhatikan payudarahnya.
"Hubungan intim itu kayak gimana sih Umi ?"
"Duh kamu ini, kok nanyanya sampe sejauh itu." Jawab Umi, tanpanya ia mulai kesal.
Kemudian Umi memilih tiduran dikasurnya, tak mau ketinggalan aku berjongkok disampingnya, lalu dengan gerakan reflek aku memijit betisnya tanpa diminta olehnya. Tentu saja hal itu kulakukan untuk mengalihkan perhatiannya agar aku bisa mengintip celana dalamnya.
"Ya, namanya juga gak ngerti Umi."
"Gak ngerti apa gak tau ?"
"Emang bedanya apa sih Umi ?"
"Hihihi, kamu ini lucu deh, ya udah Umi jelaskan tapi mijitnya yang bener ya." Pintanya, tentu dengan senang hati aku menyetujuinya.
Kembali aku fokus memijiti betisnya, tanganku bergerak menuju lututnya, dan berhenti dibagian pahanya. Paha Umi rasanya begitu empuk, kenyal-kenyal gimana gitu. Membuatku semakin bersemangat memijit kakinya sambil mendengar penjelasan Umi tentang hubungan intim antara seorang pria dan wanita.
"Hubungan intim itu, biasa juga di sebut bersetubuh, atau kasarnya suka disebut ngentot. Kamu ngertikan ngentot ? hihi... " Aku mengangguk mengiyakan. "Tuh paham... "
"Emang kalau mau gituan harus suami istri dulu ya Umi."
"Gituan gimana ? Umi gak ngerti."
"Ya gitu, ngentot maksudnya." Jelasku lebih vulgar.
"Na gitu dong, ngomong gitu aja kok susah banget sih. Kalau sama Umi gak usah malu gitu sayang, malahan Umi lebih suka denger kamu ngomong seperti itu dari pada sok jaim kayak tadi." Ujar Umi, lalu tiba-tiba kaki kirinya melakukan sebuah gerakan, sehingga membuat roknya tersingkap cukup banyak.
Mendadak aku kembali merasakan sesak nafas, tubuhku terasa menggigil, burungku yang tadi sempat melemas kini kembali ireksi dengan sempurna.
"Sebagusnya begitu, habis nikah baru boleh ngentot, tapi zaman sekarang ini asal sudah mimpi basah, sudah di bisa ngentot kok. Kamu sendiri udah mimpi belom ?"
"Eh... susudah kok Umi." Jawabku gelagaban, jujur aku paling risih kalau ditanya beginian.
"Oh ya... kamu mimpiin siapa ?" Tanya Umi tanpa begitu antusias.
Sejenak aku terdiam, bingung antara mau jujur atau berbohong. Karena mimpi basah pertamaku adalah dengan Umi sendiri, aku takut kalau jujur Umi akan sangat marah, tapi kalau aku berbohong, rasanya ada yang kurang.
"Tapi Umi jangan marah ya ?"
"Umi tau kok, kamu pasti mimpiin Umikan ? Ayoo jujur sama Umi." Tebaknya sambil mentoel hidungku.
"Kok Umi tau ?" Ujarku bingung, bagaimana dia bisa tau kalau aku perna memimpikan ia. Atau jangan-jangan Umi juga tau kalau akhir-akhir ini aku sering memperhatikannya.
"Tau dong, kamu itu anak Umi, jadi Umi sangat paham tentang perubuhan sikap kamu, cara memandang kamu ke Umi, cara bicara kamu ke Umi, semuanya Umi tau kok. Bahkan Umi juga tau kalau tadi kamu ngintipin roknnya Umi sama Kakak kamu." Mungkin saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus sanking malunya. Bagaimana mungkin Umi bisa tau semunya.
Sumpah aku kaget setengah mati, ternyata selama ini Umi tau kalau akhir-akhir ini aku sering.mencuri pandang kearahnya, parahnya lagi tadi saat aku mengintip mereka, Umi juga menyadarinya. Tapi... kenapa Umi gak marah ya ? Setidaknya dia menegurku, atau menyinggungku, tapi ini.dia hanya diam bahkan membiarkanku mengintip mereka.
Apa Umi juga suka aku intipin ? Atau... duh kacau.
"Kenapa ? Malu... !"
"Ee, maaf Umi." Jawabku.
"Sudah seharusnya kamu minta maaf ke Umi, karna selama ini kamu gak jujur, tapi kamu gak usah khawatir Umi sama sekali gak marah kok." Lalu tiba-tiba Umi menarik roknya hingga benar-benar tersingkap, memperlihatkan sepasang kaki jenjangnya dan juga selangkangannya. "Tapi kamu harus tetap dihukum untuk menebus kesalahan kamu." Gleeek..
^_^
"Adam! Sebagai ganjarannya kamu harus Umi hukum!" Ujar Lidya dengan tegas.
"Haaahh... Glekk!" Aku hanya bisa menelan ludah. "Hukumannya apa Umi?" Tanyaku penasaran.
"Hukumannya.............." Umi sedikit berpikir, kemudian tersenyum licik.
"Hukumannya kamu harus puasa penuh 29 hari dan jangan berpikir yang nggak-nggak sama Umi sampai lebaran." Katanya dengan mantap.
"Haahh...! Terus cerita Adam 'Maafkan Mama' di 64.237.43.94 gimana dong Umi? Ga update-update dong?"
"Udah! Ga usah banyak omong! Umi mau ke kamar dulu mau tidur-tiduran sambil baca majalah."
Umi langsung ngeloyor pergi ke kamarnya dan, "BLAMMM...!" Pintu kamarnya pun tertutup.
Belum habis keterkejutanku akan hukuman itu, "kreeekk..." Pintu kamar Umi terbuka sedikit. Wajahnya sedikit keluar dari pintu.
"Satu lagi dam. Kalau bisa kamu sering-sering ajak dua temanmu itu rajin-rajin main kesini ya. Hihihi..." Katanya sambil tersenyum manis.
"Kalau setiap mereka kesini ntar suruh langsung masuk ke kamar Umi aja. Umi mau hukum mereka berdua juga. Hihihi..."
dan, "BLAAMM...!" Pintu kamarnya pun tertutup.
"Apa yang dikatakan Umi barusan? Rasanya aku akan.... akan....... BRUKKK!"
Akupun pingsan saat itu karena cemburu.
Apa Dosaku Umi
Aku duduk ditepian tempat tidur Umi dalam keadaan pesakitan menunggu hukuman apa yang akan kuterima darinya. Mungkin aku akan disuruh membersihkan rumah, atau uang jajanku akan di potong, tapi setidaknya itu akan lebi baik dari pada Umi mengadukan perbuatanku kepada Abi.
Sekitar satu jam kemudian, Umi kembali kekamar, kudengar suara pintu tertutup, lalu di kunci.
Aku menundukan wajahku saat Umi mendekat, jujur terkadang aku merasa begitu bodoh, seandainya saja aku tidak mengakui kebiasaan burukku selama ini, mungkin aku tidak perlu menjadi orang pesakitan. Ah sudalah, penyesalan memang selalu datang terakhir.
"Sudah Umi pikirkan hukuman yang akan Umi berikan kepadamu." Katanya, aku masih diam menanti hukuman seperti apa yang kudapatkan darinya. "Umi akan kasih tau Abi, biar Abi saja yang memutuskan hukuman untukmu." Lanjutnya, membuat tubuhku gemetar. Sumpah demi apapun ini tidak boleh terjadi.
"U... umi aku mohon jangan." Segera saja aku bersujud didepannya sambil memegangi pergelangan kakinya, Sungguh aku sangat ketakutan, bayangan hukuman yang akan Abi berikan kepadaku membuat bulu kudukku berdiri.
Terakhir aku di hukum Abi, saat aku ketahuan sedang merokok, saat itu Abi sangat murka lalu memukuliku membabi buta, wajahku lebam, tubuhku membiru, bahkan aku sempat sakit tidak masuk sekolah selama dua hari karena di pukul habis-habisan. Semenjak itu aku tidak perna lagi merokok.
"Kesalahan kamu sangat berat, Umi pikir biarlah Abi kamu yang memutuskan hukuman apa yang layak kamu terima untuk menebus kesalahan kamu."
"Jangan Umi, aku mau di hukum apa saja, asal Umi tidak mengadukanku ke Abi."
Umi diam sejenak, lalu dia duduk di tepian tempat tidurnya, sementara aku masih bersimpu di lantai didepannya. Saat aku mengangkat kepalaku, saat itu juga aku kembali mendapat pemandangan yang mampu menentramkan hatiku yang lagi ketakutan. Sepasang paha mulus terpampang dihadapanku.
"Nakal kamu Adam, baru di bilangin sudah berani ngintipin Umi lagi." Ucapannya membuat si junior yang tadi sudah bangun kembali tidur.
Aku segera menundukan wajahku kembali, tapi Umi segera mengangkat daguku, sehingga wajahku juga ikut terangkat. Perlahan mataku kembali bertemu dengan kedua lututnya, lalu kedua lututnya yang tadi bertemu, perlahan memisahkan diri, merenggang semakin merenggang, sehingga matakupun dapat melihat celana dalamnya yang sedang mengintip malu-malu.
"Yakin mau dihukum apa saja ?" Ujarnya, aku mengangguk yakin.
"Kamu gak akan nyesal, hukuman Umi pasti lebi berat dari Abi, kalau Abi paling cuman mukul tapi kalau Umi pasti lebih dari situ." Lanjutnya, lalu tangannya kanannya meraih kepalaku dan mengucek-nguceknya perlahan.
"Ya gak kok Umi, asal Abi gak di kasi tau, aku mau di hukum apa aja Umi." Kataku meyakinkannya. Umi tersenyum, sepertinya dia senang dengan jawabanku lalu dia berdiri.
"Buka baju kamu." Pinta Umi, kini aku yang terdiam. "Kok diam, buka baju kamu, katanya mau di hukum apa aja ? Atau kamu mau Abi yang kasih hukuman buat kamu." Ulang Umi, walau aku tidak mengerti apa yang diinginkan Umi sebenarnya, tapi aku lebi memilih membuka pakaianku dari pada berurusan dengan Abi.
Segera kubuka pakaianku hingga telanjang bulat, sumpah aku malu banget, dengan bersusa paya aku menutupi selangkanganku.
"Kok di tutupin, buka dong sayang."
"Tapi Umi ?" Ujarku protes.
"Kenapa ? Kamu malu ? Waktu ngintip kamu perna gak mikir kayak gini." Lanjut Umi, membuat rasa bersalahku semakin besar. Lalu tiba-tiba kakinya menjulur dan mengais tanganku agar menjauh dari selangkanganku, dengan terpaksa aku menyingkirkan tanganku.
Saat ini mungkin wajahku seperti kepiting rebus, menahan malu, apa lagi Umi seperti sengaja melecekanku, dengan kakinya dia memainkan testisku, sesekali kurasakan dia mencubit kantung penisku dengan kedua jari kakinya.
Sakit si, tapi entah kenapa aku merasa ada sensasi yang luar biasa menjalar ketubuhku, bahkan penisku sendiri meresponnya dengan memberi hormat.
"Kamu nakal sekali Adam, berani ngintipin Umi, bahkan sampe ngayalin Umi yang enggak-gak."
"Maaf." Kataku.
"Kamu suka ?" Tanyanya, sambil mengurut penisku.
""uhhk.. suka apanya Umi ?" Tanyaku sembari mendesah, walaupun sedikit merasa risih dengan perlakuan Umi, tapi harus kuakui, permainan kaki Umi di penisku sangat enak sekali.
"Ini, kontol kamu Umi mainin begini, kamu sukakan ?" Ulangnya, sambil tersenyum memandang si junior yang suda ereksi sempurna.
"Tidak Umi, aku malu." Kataku jujur, walaupun aku keenakan.
"Sukakan ?" Diulanginya lagi kalimat yang sama.
"Iya Umi." Jawabku pasrah.
Lalu tiba-tiba saja Umi menarik tanganku, dan menjatuhkanku keatas tempat tidurku, dengan gerakan yang begitu cepat dia mengambil borgol didalam lemari kecil yang ada disamping tempat tidurnya, lalu tanpa bisa kutolak, kedua tanganku dengan cepat ia borgol kebelakang.
Siksaanku belum berakhir, untuk menahan tubuhku, Umi mendudukiku sehingga aku benar-benar tidak bisa bergerak karena tertimpa berat tubuhnya.
"Umi, kenapa ?" Tanyaku bingung.
"Umi boleh hukum kamu apa sajakan ?" Katanya balik bertanya. "Kamu anak nakal, tapi Umi suka kamu nakal sayang." Bisiknya, lalu tanpa menunggu jawabanku tiba-tiba saja Umi memanggut bibirku dengan ganas.
Awalnya aku merasa sangat kaget dengan perubahan yang di tunjukan Umi, tapi lama kelamaan aku terbiasa dan mulai membalas pagutan Umi.
Aku melenguh tertahan saat tangan kanannya menggenggam burungku, mengurutnya perlahan. Tak lama kemudian Umi melepas pagutannya, dan memandangku senang, memerkan gigi-giginya yang rapi. Lalu tak lama kemudian, Umi membuka gaun tidurnya, menyisakan pakaian dalam yang melekat ditubuhnya.
"Sebagai hukumannya, kamu harus melayani Umi malam ini." Bisiknya, lalu dia kembali memeluk tubuhku. Sempurna dadanya yang besar kini menindi dadaku.
Bodoh... bodoh... bodoh... sekarang aku mengerti apa yang diinginkan Umi dariku, ternyata... Ah Umi, kenapa gak bilang kalau ini yang Umi inginkan, kalau aku tau dari awal, pasti aku akan memilih di hukum Abi dari pada mendapatkan hukuman dari Umi.
Ini tidak boleh terjadi, memang aku suka Umi, sering ngintipin Umi, tapi kalau sampe menyetubuhi Umi sendiri, aku tidak mau, walaupun aku sangat ingin tapi ini salah, ini dosa besar. Sadarlah Umi... Aahkk... AKU ANAK KANDUNGMU.
Umi melepas branya, lalu membuangnya membiarkan payudarahnya yang besar terguncang didepanku. "Kamu mau inikan ? Ayo sayang di kulum, jangan malu-malu gitu sama Umi. Bukannya kamu suka ngintipin susunya Umi." Katanya, sambil menyodorkan payudaranya kedepan wajahku.
Aku kembali berontak, menggelengkan kepalaku menolak payudarahnya dengan tegas. Tapi Umi menahan kepalaku, menekan payudarahnya kemulutku, reflek aku menutup mulutku dengan sangat rapat agar payudarahnya tidak sampai masuk kemulutku.
Mungkin sebagian orang akan berfikir kalau aku ini bodoh, bahkan Umi sendiri mungkin berfikiran sama. Aku memang bodoh tapi aku tidak cukup gila untuk menuruti kemauan Umi, seandainya saja saat ini dia orang lain, bukan Ibu kandungku, mungkin sudah sedari tadi aku membalas perlakuannya, tapi ini Ibu kandungku sendiri, aku tidak ingin menjadi anak durhaka dengan menodai Ibu kandungku sendiri.
"Ayo kulum puttingnya Umi, dulu waktu masih kecil kamu paling suka nenen sama Umi." Katanya memaksaku, tapi aku tetap berusaha sekuat tenaga menolak permintaan Umi.
"Hmm... " Aku menolaknya dengan tegas.
Tidak kehilangan akal, Umi menjepit hidungku hingga aku kesulitan bernafas, awalnya aku masi bisa bertahan, hingga akhirnya aku menyerah dan membuka mulutku untuk mengambil nafas, dan kesempatan itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Umi untuk menyumpal payudarahnya kedalam mulutku.
Awalnya aku merasa kesulitan mengulum payudarahnya, yang menurutku ukurannya terlalu besar, tapi lama kelamaan aku terbiasa dengan payudarahnya didalam mulutku, bahkan aku mulai menghisap, sesekali lidahku memainkan puttingnya tanpa kusadari, semua yang kulakukan hanya mengikuti naluri.
Dengan erat Umi membekap kepalaku, memperlakukanku seperti balita, sementara aku sendiri mulai bingung dengan diriku sendiri. Disisi lain aku tak menginginkannya tapi tubuhku menghianatiku, mulutku tanpa di perintah bergerak dengan sendirinya, menghisap dan menjilati puttingnya, bahkan ketika Umi menarik payudarahnya aku merasa kecewa, tapi kekecewaanku terganti ketika dia menyodorkan payudaranya yang lainnya.
"Enak ya sayang ? Tadi bilangnya gak mau ?" Ejek Umi, aku hanya diam sambil menyusu kepadanya.
Puas memaksaku mengulum kedua payudarahnya, Umi bangkit berdiri didepanku, lalu dengan gayanya yang seksi ia menurunkan celana dalamnya dengan sangat perlahan, hingga aku seperti terhipnotis dengan cara ia meloloskan celana dalamnya.
Umi mengambil celana dalamnya, lalu melempar celana dalam itu kearahku.
"Ambil, lalu duduklah dan diam." Katanya yang terdengar seperti sebuah perintah untukku. Tanpa berfikir lagi aku menuruti ucapannya.
Aku kembali duduk ditepian tempat tidurnya dalam kedaan telanjang bulat, begitu juga dengan keadaan Umi yang tidak jauh berbeda denganku. Lalu Umi berjongkok didepanku, tangannya kembali membelai penisku, dan sedetik kemudian, tiba-tiba Umi sudah menjilat kepala penisku tanpa bisa kucegah.
"Ja... jangan Umi." Tolakku dengan suara bergetar.
"Sluppss... Diam, atau Umi akan sangat marah denganmu. Sluuhpp... Sluupss... " Lagi-lagi Umi mengancamku.
"Tapi Umi, Aahkk... geli Umi." Rintihku, tapi jujur aku sangat menikmatinya, membuatku sedikit ragu untuk menolak servis oral darinya.
"Kontol kamu enak sayang, walaupun ukurannya kecil, Hhmmpp....Sluippss... Umi gak nyangka kalau kontol kamu seenak ini, kalau tau begini sudah dari dulu Umi perkosa kamu." Ceracau disela-sela menikmati batang penisku.
Sepertinya benar apa yang dikatakan Umi, saat ini aku sedang diperkosa olehnya tanpa bisa memberi perlawanan berarti. Gila, aku diperkosa oleh Ibu kandungku sendiri.
Lima belas menit telah berlalu, aku merasa sebentar lagi aku akan segera keluar, pinggulku sedari tadi bergerak kiri kanan, menahan rasa geli di penisku, sementara Umi sendiri sepertinya tidak mau berhenti, malahan semakin hebat saja ngulum penisku, sampe-sampe kedua pipinya kempot karena ulahnya.
"Umi... mau pipis !" Kataku, tidak tahan.
"Keluarin aja sayang, biar Umi telan spermanya kamu, Umi juga pingin ngerasaain spermanya kamu, enak apa gak ?" Katanya enteng, seperti tidak ada masalah dengan apa yang sedang kami lakukan saat ini.
"Aaahh... Umi, enaaaakkk... aahkk... " Rintihku semakin lepas.
Karena sudah mendapat izin, aku mulai ikut menggoyang pinggulku berharap aku mendapatkan orgasme pertamaku didalam mulut Umi. Membayangkannya saja sudah membuatku merasa sangat bersalah sekaligus sangat terangsang.
"Umi, aku keluaaar !" Pekikku, lalu dari ujung kepala penisku menyembur cairan kental kedalam mulutnya, dan seperti yang Umi katakan, dia benar-benar menelan spermaku tak bersisa.
===
Di sudut ranjangnya, aku menangis tanpa suara, aku tidak mengerti dengan diriku sendiri, sebelumnya aku slalu mebayangkan diriku sendiri bisa bersetubuh dengan Ibu kandungku sendiri, tapi ketika hal itu benar-benar terjadi, aku malah menyesal, dan ada rasa sakit jauh di dalam hatiku, aku merasa diriku sangat kotor.
Kuusap air mataku, kembali kupandangi Umi yang telanjang bulat sedang memegang kamera, lalu di susul kilatan cahaya dari lampu kamera, selama beberapa kali.
Bukan hal baru bagiku di foto oleh Umi, tapi tidak untuk dalam kondisi seperti ini. Aku meringkuk dalam keadaan telanjang bulat, kedua tangan di borgol dan mulutku di sumpal celana dalamnya.
"Bagus." Katanya, sambil melihat hasil karyanya.
Lalu Umi kembali berjalan mendekatiku, dia memintaku tidur bersujut di lantai, disamping tempat tidurnya. Aku menurut saja, sudah kepalang tanggung pikirku, sekalian aja nyebur.
"Mulai detik ini, kamu harus menuruti semua kemauan Umi, atau Umi akan sebar foto ini keteman-temanmu." Ancamnya, sambil tersenyum licik, sementara aku hanya tertunduk lesu. "Sekarang bersikan kaki Umi pake mulutmu itu kontol." Perintahnya dengan kasar, tanpa memperdulikan perasaanku yang semakin terluka.
Walaupun aku tidak ingin melakukannya, tapi di bawah ancamannya aku tidak berani membantanya. Kuangkat kaki kanannya, sebelum menjilatinya, aku meludakan celana dalamnya yang basah oleh air liurku terlebi dahulu, setelah itu aku baru mulai mejilati jari-jari kakinya. Sedikit keberuntungan yang kuperoleh, ternyata kaki Umi tidak bau, malahan sangat wangi, sepertinya dia membersikan kakinya terlebih dahulu sebelum memintaku menjilati kakinya.
Setelah menjilati jari kakinya hingga bermandikan air liurku, aku berpinda kebetisnya lalu terus naik hingga kepahanya, gerakan itu kulakukan berulang-ulang. Setelah kaki kanannya, aku beralih kekaki kirinya, kuperlakukan sama dengan kaki kanannya.
"Hihihi... kamu kayak hewan peliharaan tau gak hihi." Ledeknya, sambil menjejalkan seluruh jari kakinya kedalam mulutku, aku nyaris saja tersedak akibat perbuatannya.
"Bluupss... bluuppss... bluppps... "
"Enak ya ?" Tanyanya, lalu melepas jari kakinya dari dalam mulutku, hingga aku bisa kembali bernafas dengan bebas tanpa adanya kaki Umi didalam milut.
"Iya, eeenak !" Jawabku dengan sangat terpaksa.
"Sekarang, kamu jilatin hidangan utama dari Umi, sampai bersi ya." Gleek... Aku dipaksa menelan air liurku sendiri yang terasa hambar, ketika Umi mengangkat kedua kakinya diatas pinggiran sofa.
Aku yang masih bersujud didepannya, dapat melihat jelas bibir vagina Umi yang basah, berwarna putih seperti buih, ada rasa yang cukup kuat untuk segera mencicipinya, tapi untunglah kesadaran mampu menekan keinginanku agar tidak langsung menjilatinya hingga ada perintah dari Umi yang sekarang beruba menjadi majikanku.
"Kamu sudah gak sabar ya ? Hihi... ayo jilatin sekarang." Perintahnya, seolah mengerti apa yang sedang kupikirkan.
Kubenamkan kepalaku di selangkangannya, lidahku menjulur menjilati vaginanya, kusedot pelan clitorisnya, sesekali kutusuk lobang vaginanya. Kulakukan apa yang perna kulihat dari film porno koleksi pribadiku.
"Aahkk... uuhkk... enak ! Kamu pinter !" Puji Umi, sambil mencengkram rambutku.
""Sluupss... sluuopss... sluuupss... "
"Ya begitu, lebi dalam lagi... aahkk... "
Kugigit sedikit clitorisnya, lalu kutarik pelan. Kulakukan hal itu berulang-ulang, selain menarik, aku juga suka menghisap clitorisnya, rasanya asin tapi gurih, pokoknya aku suka, sanking sukanya penisku sampe berdiri maksimal.
"Umi... mau sampe sayang."
Semakin dia mengerang aku semakin bersemangat menjilati vaginanya, hingga akhirnya Umi memuncratkan cairan dari dalam vaginanya ke wajahku sangat banyak sekali, hingga wajahku berlumuran lendir yang lengket.
"Aaaaaaaahkkk.... kamu hebaaat !" Erangnya, sambil mengapit kepalaku dengan kedua pahanya, membuatku kesulitan bernafas.
Setelah beberapa menit, seiring dengan erangannya yang mereda, jepitan di kedua pahanya ikut melonggar, membuarku kembali bisa bernafas lega. Aku terduduk lemas didepannya, sambil berusaha mengatur nafasku, Umi hampir saja membunuhku.
Sejenak suasana kamarnya mendadak hening, Umi hanya tersenyum memandangku, seolah dia mengucapkan terimakasi kepadaku.
"Kamu hebat, mulai sekarang kamu harus jadi pemuas nafsu Umi, oh iya satu lagi, jangan perna mencoba untuk membanta perintah Umi." Kembali dia mengancamku, aku hanya mengangguk pasrah.
Umi turun dari tempat tidurnya, lalu dia membuka borgolku membuat kedua tanganku kembali bebas bergerak setelah satu jam lebi tak bisa kugerakan akibat belenggu borgol sialan itu.
"Sekarang kamu boleh keluar, tapi... jangan coba-coba mencuci mukamu sampai besok pagi."
"Iya Umi, terimakasih untuk malam ini." Kataku tak bersemangat, lalu aku berdiri, mengenakan kembali pakaianku satu lersatu, setelah itu aku pergi keluar kamarnya. Sekilas aku sempat melihat dirinya yang tampak begitu puas setelah mengerjaiku habis-habisan.
Umi kenapa kau tega melakukan ini semua kepadaku ? Apa kesalahanku begitu berat sehingga harus kubayar dengan harga diriku. Setelah gejadian malam ini, apakah aku masih layak untuk hidup ? Ah... Umi kenapa kau hancurkan masa depanku, anak kandungmu sendiri yang selama sembilan bulan berada di dalam rahimmu. Maafkan aku Tuhan, maafkan juga kesalahan Umiku.
Namaku Lidya Dian Irawati, aku sudah bersuami, hasil dari pernikahanku dengan Mas Rifki aku melahirkan dua orang anak, putra putri. Kini mereka tumbuh menjadi anak remaja yang baik dan penurut.
Jujur aku bukanlah Ibu yang baik buat mereka, mungkin ini dikarenakan masa laluku. Saat aku masih kecil, aku sering memergoki Mamaku, Ibu kandungku berselingkuh dengan Adik kandungnya sendiri. Awalnya aku tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan disaat Papa sedang tidak berada dirumah, tapi seiring bertambahnya usia akhirnya aku mengerti apa yang mereka lakukan.
Saat itu aku marah, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, mengadukan perbuatan Mama ke Papa, adalah sesuatu yang mustahil, karena kalau sampai Papa tau bisa-bisa mereka bercerai, belum lagi rasa malu yang harus di tanggung keluargaku, karena bagaimanapun juga keluarga besarku adalah keluarga yang terpandang.
Rasa benci yang dulu memenuhi relung hatiku, perlahan mulai memudar seiring dengan seringnya aku melihat mereka yang sedang bersetubuh, hingga akhirnya aku menjadikannya sebagai rutinitas, mengintip mereka yang sedang bersetubuh.
Aku masih ingat, saat itu hari rabu, aku baru pulang dari sekolah, aku tau Papa sedang tidak ada dirumah, itu artinya Mama dan Adiknya Akmal pasti sedang bersetubuh didalam kamar orang tuaku, dan seperti biasanya aku menyempatkan diri untuk mengintip mereka.
Tapi hari itu adalah hari tersial dalam hidupku, aku tidak menyangkah kalau aksiku mengintip Mama dengan adiknya ketahuan.
Bukannya marah, takut ataupun merasa malu, Mama malah menjelaskan tentang perselingkuhan mereka, seolah apa yang mereka lakukan bukanlah sesuatu perbuatan yang salah, bahkan Mama malah mengajarkanku bagaimana rasanya di setubuhi. Dengan bujuk rayunya, hari itu kuserahkan darah perawananku kepada Om Jamal, adik kandung Mama.
Selama beberapa tahun aku menjadi simpanan Om Jamal dan dengan beberapa pria simpan Mama, bahkan aku sempat hamil walaupun akhirnya terpaksa di gugurkan. Hubungan terlarang itu berlanjut hingga aku lulus SMA dan kulia di luar kota, setiap pulang kampung Om Jamal pasti meniduriku didepan Mama.
Hubungan terlarang ini baru berakhir setelah aku bergabung dengan organisasi agama di kampusku. Agar benar-benar bisa lepas dari mereka, aku nekat menikah muda dengan Rifki Kakak kelasku sekaligus seniorku di organisasi.
Dua tahun setelah aku menikah, Ibu dinyatakan meninggal karena terkena penyakit kelamin yang mematikan, jujur saat itu aku sangat khawatir, takut kalau nanti juga tertular, karena aku juga telah melakukan hubungan yang beresiko selama bertahun-tahun, apa lagi adiknya dan beberapa teman kencan Mama juga meninggal karena HIV.
Tanpa sepengetahuan Suamiku, aku memeriksakan diri kerumah sakit, dan ternyata aku aman.
Bertahun-tahun lamanya kami menikah, aku berhasil melupakan masa laluku, hingga kami dikaruniai dua orang anak.
Tapi entah kenapa dua tahun belakangan ini, semenjak Suamiku tak bisa lagi memuaskan birahiku diatas ranjang, bayangan masa lalu kembali hadir. Segala cara sudah kulakukan, bahkan aku nekad membeli beberapa mainan sex untuk memuaskanku.
Kehadiran sex toy memang mampu menutupi kekosongan yang ditinggalkan oleh Suamiku, tapi bayangan masa laluku tidak juga mau hilang, apa lagi setiap kali aku melihat kedua anakku.
Tepatnya setengah tahun yang lalu aku menyerah, aku mulai membayangkan Putriku disetubuhi pria lain, dan anak laki-lakiku slalu kugambarkan menjadi pria losser, anak laki-laki yang penakut, yang hanya bisa pasrah melihat Kakak perempuannya, ataupun Uminya dan orang-orang yang dia cintai di setubuhi didepannya.
Semakin lama aku mulai berkeinginan mewujudkan fantasiku, mengkhayal saja sudah tidak cukup bagiku. Perlahan aku mulai mewujudkan fantasyku, dimulai dari merubah karakter mereka, Aziza kudidik seperti diriku dulu, menjadi anak gadis yang centil dan juga menjadi anak yang nakal, sementara Adam kudidik menjadi anak yang manja dan penakut tapi penurut.
Ini gila, dan aku sudah gila...
***
Cukup lama aku mematung didepan cermin, memperhatikan penampilanku yang serba hitam membalut tubuhku, walu usiaku kini sudah memasuki 38 tahun tapi bentuk tubuhku sama seperti saat aku masih berusia 20 an tahun.
Tentu aku merasa bangga dengan apa yang kumiliki saat ini, walaupun aku sudah melahirkan dua orang anak, tapi bentuk tubuhku tidak kalah kalau dibandingkan dengan anak remaja. Mungkin aku bisa masuk dalam katagori hot mom.
"Umi buruan, nanti kami telat kesekolah."
"Bentar sayang, ini Umi juga hampir selesai." Jawabku sambil memasang bros di jilbab hitamku.
Oh iya yang manggil tadi itu anak pertamaku, Aziza Khanza Az Zahra, usianya saat ini 16 tahun, dia tumbuh menjadi anak remaja yang cantik, aku yakin pasti banyak pria yang suka kepadanya.
Oke persiapan sudah selesai, ternyata aku memang sangat cantik. Aku berjalan santai keluar kamar, kulihat kedua anakku sudah menungguku didalam mobil.
"Buruan Umi."
"Iya sayang." Segera aku masuk kedalam mobil toyota Inova, duduk disamping putraku Adam "Ayo Pak jalan." Kataku kepada sang sopir.
Perlahan mobilpun bergerak melaju meninggalkan perkarangan rumah, menembus kemacetan jakarta, entah kapan jakarta bisa terhindar dari kemacetan.
Yang pertama turun dari mobil adalah putriku Aziza, seperti biasanya aku mencium kedua pipinya dan berpesan agar ia rajin-rajin belajar. Sebelum mobil meninggalkan perkarangan sekolah, aku melambaikan tanganku memberi semangat kepada putriku.
Sekitar lima belas menit kemudian, mobil kembali berhenti diparkiran sekolah putraku, tapi kali ini aku turut turun dari mobil.
"Tunggu Dam, kok buru-buru banget." Terpaksa aku memgejarnya saat ia hendak bergabung bersama teman-teman sebayanya.
"Ada apa lagi si Umi."
"Kamu lupa ya ?" Kataku memasang wajah tidak suka, kulihat putraku tersenyum kecut saat mendengar ucapanku dengan nada yang cukup tinggi.
"Maaf Umi." Ujarnya, lalu menyalimi tanganku.
Tidak sampai disitu saja, aku menarik wajahnya lalu aku melakukan hal yang paling ia benci dihadapan teman-temannya. Kucium kedua pipinya, lalu keningnya sehingga meninggalkan bekas lipstik tipis di sekujur wajahnya, tentu saja hal tersebut membuat kedua sahabatnya tertawa.
"Eheem... enaknya yang dicium." Ledek Rudi salah satu sahabat anakku. Adam langsung mendelik tanda tak suka diledek, aku hanya tertawa kecil melihat tingkah putraku yang lucu.
"Kenapa ? kalian mau ?" Godaku, tentu saja godaanku di tanggapi penuh semangat oleh kedua sahabat anakku, aku nyaris tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi wajah mereka berdua.
Sungguh aku sangat mengenal mereka berdua termasuk tentang kemesuman mereka, aku sangat sering memergoki mereka didalam kamar anakku menonton video porno, bahkan aku perna mendapatkan celana dalamku dikamar mandi anakku berlumuran sperma mereka. Marah ? Tentu saja tidak, aku malah senang, mengingat usiaku yang tidak muda lagi tapi masih menarik dimata mereka.
"Mau dong Tante." Serempak mereka mengajukan diri.
"Iih, masi kecil udah nakal, mau jadi apa gedenya nanti."
"Ya Tante, kali ini aja Tante, besok-besok gak lagi deh." Pinta Bambang memasang wajah polosnya, dasar anak jaman sekarang paling pintar ngerayunya.
"Hmmm, gimana ya ?" Kataku pura-pura berfikir sambil mengetuk-ngetuk daguku.
"Please Tante !" Timpal Rudi.
"Boleh, tapi dengan satu syarat !"
"Syaratnya apa Tante ?"
Kulirik putraku yang dari tadi diam saja, tapi aku yakin saat ini dia pasti sedang kesal, anak mana coba yang gak kesal kalau Ibunya digodain oleh sahabatnya sendiri, tapi aku senang, ide nakal tiba-tiba melintas di otakku.
"Syaratnya kalau anak Tante mau bibirnya Tante cium, soalnya Adam paling gak suka kalau bibirnya Tante cium, padahal Tante ini Ibunya, seharusnya gak jadi masalahkan ? Kalau kalian bisa bujuk Adam mau di cium bibirnya sama Tante, nanti Tante kasih ciuman buat kalian berdua, gimana ?" Kulirik mereka satu persatu yang masih tampak bengong mendengar ucapanku. Hihi... siapa suruh tadi ngebalas ngegodain.
Cukup lama mereka berdiam, mungkin mereka tidak percaya dengan apa yang mereka dengar, mencium bibir anaknya sendiri, tentu saja itu terdengar tabu, apa lagi keinginan ini keluar dari mulutku, seorang wanita alim yang kemana-mana slalu mengenakan kerudung lebar.
Bukan hanya mereka sebenarnya yang terkejut, anakku sendiri juga tampak terkejut, mungkin Adam tidak menyangka kalau Ibu kandungnya ini sangat ingin mencium bibirnya.
"Umi apa-apaan sih ?" Protes Adam, aku tau dia pasti tidak suka dengan ide gilaku.
"Gak papalah Dam, sama Ibu kandung sendiri."
"Iya Dam, dosa loh kalau gak nurut sama Ibu kandungmu sendiri, nanti kayak si Malin kundang di kutuk jadi batu, mau kamu ?" Timpal Rudi, duh... anak ini memang paling pintar ngebujuk.
"Gue udah gede, bukan anak kecil." Balas Adam.
"Yakin udah gede ? Pacar aja gak punya !" Ledek Bambang, jujur sebagai seorang Ibu, sebenarnya aku cukup tersinggung, tapi ya sesekali gak papa deh.
"Udah gak usah malu."
"Tapiii... " Kesal mendengar perdebatan mereka yang lama, aku nekat menarik kembali putraku, lalu dengan cepat aku mencium bibir anakku beberapa detik lamanya.
Sebanarnya ada rasa takut juga saat mencium anakku, bagaimanapun saat ini aku sedang berada di lingkungan sekolah, tapi untunglah suasana sekolah agak sepi, hanya meninggalkan beberapa siswa yang sedang sibuk sendiri tanpa memperhatikan kami.
Sambil memanggut bibir anakku, aku melirik kearah mereka berdua yang tampak terkesima melihat apa yang kulakukan sekarang terhadap anak kandungku, sensasi ini membuatku sangat terangsang, vaginaku terasa basah, bahkan aku yakin cairan cintaku sedikit mengalir dari sela-sela pahaku.
Segera kulepas pagutanku, sejenak kulihat ekspresi wajah anakku yang tampak tidak.percaya dengan apa yang barusan kulakukan, aku yakin ini adalah ciuman pertama baginya. Ini gila, aku mengambil ciuman pertama darinya, anak kandungku sendiri.
"Udahkan Tante ?" Tanya Bambang, aku tau maksud dari pertanyaanya barusan.
"Pengen banget kayaknya dicium Tante."
"Pasti dong Tante, hehehe... kapan lagi bisa ngerasain ciuman Tante."
Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah gila mereka, tapi ya aku sudah berjanji jadi aku harus melunasi janjiku kepada mereka.
"Sini !" Panggilku, dengan serempak mereka berdua mendekat.
Lalu satu-persatu dari mereka kuhadiai kecupan di kedua pipi mereka, ya... hanya pipi tidak untuk yang lainnya, aku tidak ingin membuat Adam lebih kesal lagi, bagaimanapun juga aku sebagai Ibunya juga harus bisa menjaga perasaan anak kandungku.
***
ADA APA DENGANKU ?
Apa sih maunya Umi ? Seneng banget bikin malu aku didepan mereka, apa lagi tadi sampe ada acara cium-cium segala. Ini semua juga salahnya mereka, sebagai teman seharusnya mereka mengerti perasaanku, bukannya mengambil kesempatan dalam kesempitan seperti yang mereka lakukan tadi.
Menyebalkan... !
Oh iya, namaku Adam Ghazali, dan yang ikut nganter tadi adalah Ibuku. Jujur aku tidak suka kalau dia mengantarku kesekolah, aku malu sama temanku yang lain, mereka biasanya diantar sama sopir, mereka sangat berbeda denganku yang setiap hari diantar oleh Umiku. Parahnya, didepan mereka Umi sering mempermalukanku, contohnya seperti yang ia lakukan tadi pagi. Dan anehnya Umi tampak begitu menikmatinya.
Sudalah Adam, mungkin itu hanya perasaan kamu saja, tentu tadi pagi Umi hanya bercanda.
Ya... aku paham, apa yang dilakukan Umi adalah sebuah bukti kalau beliau sangat menyayangi kami, seharusnya aku bangga, disaat orang tua temanku yang lainnya sibuk dengan urusan mereka masing-masing, tapi Umi masih mau menyempatkan diri memperhatikan kami.
Apa benar Umi sebaik itu ? Aku tidak boleh berprasangkah buruk terhadap orang tua kandungku sendiri, mana mungkin dia melakukan itu karena dia memang sengaja ingin ngerjaiku.
Tapi sejujurnya aku merasa aneh dengan sikap Umi beberapa bulan belakangan ini, karena sebelumnya Umi sangat jarang mengantarku kesekolah, tapi semenjak aku naik kelas dua smp, Umi jadi kerajinan nganterin aku kesekolah, selain itu sekarang dia jauh lebi bawel dari sebelumnya.
"Widiiii... pagi-pagi udah bengong !"
"Setan, ngagetin aja loh Bang ?" Orang yang di bentak malah cengengesan. "Gak usah senyum-senyum, ada perlu apa ?"
"Ngerti aja ni sohib kita." Timpal Rudi, entah semenjak kapan dia duduk disampingku.
"Ntar pulang sekolah, kita mampir kerumah loh ya, biasa main ps ! Penasaran gue gak bisa menang dari loh."
"Alesaaan, main ps apa liat nyokap gue ?"
"Hahaha... itu bonus bro !" Jawab Bambang sambil menepuk pundakku.
Terpaksa aku garuk-garuk kepala mendengar permintaan sahabatku yang gila ini. Bagaimanapun juga sebagai seorang anak tentu saja aku kesal dengan mereka berdua, entah kenapa mereka suka sekali main kerumahku, hampir setiap hari malahan, alasan mereka sama yaitu main ps, padahal aslinya mereka sengaja datang kerumah karena ingin ngeliat Umi.
Tapi mereka juga tidak dapat disalahkan begitu saja, Umi juga ikut andil dalam masalah ini.
Sebenarnya aku juga bingung dengan sikapnya Umi, dulu Umi sangat menjaga penampilannya, bahkan saat berada didalam rumah sekalipun, tapi kini ia berubah seratus persen. Memang diluar rumah ia tetap sama seperti Umi biasanya, tapi perubahan akan terlihat ketika ia sedang berada dirumah.
Didalam rumah Umi tampil sangat seksi, tak jarang dirumah ia hanya menganakan gaun tidur yang tipis atau tanktop dan hotspan yang sangat menggoda. Aku sendiri anaknya, terkadang sangat terangsang melihat kemolekan tubuh Umi, apa lagi mereka temanku. Aku tidak bisa membayangkan kalau nanti kedua temanku khilaf, lalu berbuat macam-macam terhadap Umi.
"Aah... Umi !" Aku mendesah pelan.
"Kenapa Dam ? Loh juga suka ya sama nyokap loh sendiri ? Paraaah loh !"
"Eh... maksudnya apa ?"
"Udah gak usah bohong, tadi loh bilang Umi sambil mendesah gitu." Kata Rudi membenarkan perkataan Bambang.
"Udah sana, bentar lagi Pak Horas datang." Kudorong tubuh mereka agar segera menjauh dariku.
Gila, mana mungkin aku sehina itu, ingat Adam Umi adalah Ibu kandungmu, kamu boleh bernafsu sama siapa saja tapi tidak dengan Ibu kandungmu, walaupun seseksi apapun Ibu kandungmu.
***
Perasaanku tidak enak saat mengajak kedua temanku kerumah biasanya kami memang suka main ps di ruang keluarga, selain tvnya yang besar, ruangannya juga cukup besar sehingga membuat nyaman kedua sahabatku.
Sesampainya diruang keluarga, perasaan yang tadi menggangguku kini terjawab sudah, ternyata Umi sedang tertidur didalam kamarnya, tapi yang jadi masalahnya kamar Umi dalam keadaan terbuka lebar, dan Umi tidur hanya dengan mengenakan tanktop dan celana hotspan berwarna hitam, warna yang begitu kontras dengan kulitnya yang putih bening.
Sejenak kami terdiam, mata kami tertujuh kearah Umi yang sedang tertidur lelap, paha mulusnya kini menjadi santapan mata kami.
Siaaaallll... ada apa denganku, kenapa aku diam saja ? Ayo Adam gerak, tutup pintunya.
Rasanya kakiku begitu berat melangkah hanya untuk sekedar menutup pintu kamar Umi, karena pemandangan yang disuguhi Umi untuk kami benar-benar sangat menggoda, membuat burungku mulai menggeliat, perlahan bangun dan mengeras.
Sadarlah Adam aku mohon, dia yang tidur disana adalah Ibu kandungmu. Ya benar dia Ibu kandungku, tapi dia juga wanita dewasa yang sempurna.
"Jiiirr, Ibu loh seksi banget man." Puji Rudi sambil menyikut lenganku.
"Setan loh, udah ayo main." Ajakku, dengan kesadaran yang tersisa aku mengajak kedua sahabatku untuk bermain ps seperti yang telah kami rencanakan.
"Ganggu aja ni loh." Protes Rudi.
"Kalian dulu aja de main, gue lagi males."
"Yakiinn, biasanya loh yang paling semangat tanding, tapi oke deh... !" Fuuhh... untunglah Bambang dan Rudi mau menuruti ucapanku.
Aku duduk diatas sofa, sementara mereka lesehan duduk didepan tv. Saat mereka lagi sibuk dengan permainan mereka, aku malah menyibukan diri dengan memperhatikan Umi yang sedang tertidur lelap. Entah kenapa, aku jadi sangat suka memperhatikan tubuh Umi.
Umi menggeliat perlahan, ia bergerak membalik tubuhnya hingga terlentang. Dari posisiku aku dapat melihat gundukan vaginanya yang tebal, ternyata hotspan itu tak bisa menutupi tebalnya vagina Umi. Selain itu aku juga bisa melihat benjolan kecil di dadanya yang meruncing, kalau dilihat-lihat sepertinya itu puttingnya Umi.
Ternyata Umi gak pake Bh, aku tak tau ini sebuah keberuntungan atau musibah bagiku.
Sadar gak si Umi, anakmu ini sudah gede, mana tahan kalau melihat pemandangan seindah ini, seharusnya kalau mau pake pakaian seseksi itu, harusnya pintunya di tutup, kalau sudah seperti ini aku juga yang repotkan.
"Hmmm... pamtesan dipanggil gak denger, ternyata ?"
"Loh Rudi, gak jadi mainnya ?" Tanyaku kaget, tiba-tiba Rudi sudah duduk disampingku.
"Udah selesai keless, tadi gue kalah, gih... buruan gantiin gue." Katanya sambil mengusirku, dengan sangat terpaksa aku mengalah.
Tapi aku bukanlah anak yang bodoh, sebelum aku tanding lawan Babang, aku segera menuju kamar Umi, lalu dengan perlahan kututup daun pintu kamar Umi. Aku tak rela kalau Rudi menikmati tubuh Ibu kandungku.
"Ya, gak asik ni." Desah kecewa Rudi ketika pintu kamar Umi tertutup rapat.
Sorry kawan, tubuh Ibu gue bukan gratisan.
"Yuk Bang main." Ajakku semangat empat lima, setidaknya sekarang Umi aman dari mata jalang milik Rudi.
Staaar... permainan dimulai, aku langsung melakukan serangan pertama yang mematikan, sementara Rudi kulihat sepertinya tidak menyerah memandangi pintu kamar orang tuaku, mungkin dia berharap ada keajaiban sehingga pintu itu bisa terbuka dengan sendirinya. Sungguh kasihan nasib Rudi, sampe kucing bertanduk pintu itu tidak akan terbuka sendiri.
Akhirnya permainan ini dimenangkan olehku, itu artinya kini giliran Rudi yang menantangku.
Tapi saat Bambang mengusir Rudi, anak itu malah tampak enggan posisinya digantikan Bambang, sepertinya Rudi sadar diri dia tidak mungkin bisa menang melawanku. Tapi karena didesak terus menerus akhirnya Rudi maju menantangku.
Ternyata benar apa yang dikatakan orang tua, main game bisa membuatmu lupa waktu. Tak terasa hampir tiga jam kami bermain dan selama itu aku tak tergantikan, membuatku mulai jenuh.
"Udahan yuk, gue menang terus ni gak seru." Kataku sambil meletakan stik ps.
"Serius ni ?" Aku mengangguk lemah. "Bagus deh, aku juga udah mulai bosan." Jawab Bambang, lalu meletakan stik tersebut dilantai.
Tak lama kemudian Bambang berdiri lalu bergabung duduk di sofa disamping Rudi, mata mereka berdua sama seperti sebelumnya, tertuju kearah kamar orang tuaku. Dasar saraf, pintu ketutup gitu masih aja diplototin.
Aku rebahan sejenak, mataku menerawang jauh kembali mengingat pemandangan yang sempat kulihat beberapa jam yang lalu. Ada apa denganku sebenarnya ? Bagaimana mungkin aku begitu bernafsu terhadap Ibu kandungku sendiri, sampe-sampe burungku sedari tadi tidak mau kembali tidur.
Sudalah, semakin aku pikirkan, semakin aku tidak menemukan jawabannya.
"Lagi ngeliatin apa si Bro, seru banget kayaknya, ikut doooongggg... "
Sungguh apa yang kulihat saat ini sangat sulit dipercaya, pintu Umi yang tadinya tertutup rapat kini kembali terbuka lebar, dan parahnya ternyata Umi sudah bangun dari tidurnya, dan sekarang dia sedang membelakangi kami duduk didepan meja rias hanya mengenakan handuk yang melilit ditubuhnya.
Oh Tuhaaan... apa yang ada di pikiran Umi, apa dia tidak sadar kalau sedari tadi kedua teman gilaku ini sedang memperhatikannya, atau jangan-jangan Umi memang sengaja melakukannya, tapi untuk apa ?.
Tidak... ini pasti ada yang salah.
^_^
SEBUAH JANJI
Aku terbangun saat mendengar suara pintu kamarku tertutup, sekilas aku melihat Adam yang menutup pintu kamarku. Sepertinya dia baru pulang sekolah, kalu dari suara yang kudengar sepertinya dia tidak sendirian.
Rudi dan Bambang ? Itu pasti suara mereka, dasar Adam dia sengaja menutup pintu kamarku agar kedua temannya tidak bisa melihatku.
Kulirik jam dinding di kamarku, ternyata sudah jam dua siang, itu artinya aku tertidur hingga dua jam lamanya. Sepertinya aku sangat kecapean, tapi gak apalah, toh gara-gara tertidur mereka jadi dapat rejeki nomplok dariku hehe. Dasar aneh, seharusnya aku marah, bukan terangsang seperti ini.
Sepertinya aku harus menggoda mereka, untuk mewujudkan fantasiku, mumpung mereka sekarang ada dirumahku.
Segera aku bangun dari tempat tidurku, sedikit merapikan penampilanku didepan cermin, kuikat rambutku hingga leher mulusku terpampang jelas, semakin mempertegas.kecantikanku.
"Kamu memang nakal Lidya, gak kasian apa sama mereka ? Hhmm... tapi biarin deh, biar mereka cepat dewasanya." Duh membayangkannya saja sudah membuat vaginaku terasa basah.
Segera kubuka tanktop dan hotspanku, lalu kuganti dengan gaun tidurku yang tipis. Dibalik gaun ini, aku hanya mengenakan celana dalam jenis G-string, tentu hal itu kulakukan untuk menggoda mereka.
Oke persiapan sudah selesai, saatnya aku beraksi didepan mereka. Hmm, kok aku jadi deg-degkan kayak gini ya.
Perlahan kubuka pintu kamarku, ternyata disitu ada Rudi yang sedang duduk disofa, ia tampak sangat terkejut saat melihatku membuka pintu kamarku. Kubalas keterkejutannya dengan senyuman.
Setelah membuka pintu kamarku, aku kembali naik keatas tempat tidurku, tapi sebelum itu aku mengambil majalah untuk kujadikan alasan agar aku tidak terlihat begitu murahan dimata mereka.
Aku tidur terlentang sambil membaca majalah, posisi kaki kananku sengaja kutekuk, sementara kaki kiriku kubiarkan terjuntai.
Aku yakin saat ini dia pasti bisa melihat betis dan paha mulusku, dan untuk memastikannya, dari balik majalahku, aku melihat kearah Rudi yang sedang menatap nanar kearahku. Rudi, ngeliatnya jangan gitu banget bisa-bisa Tante orgasme duluan.
Sabar... sabar... ini belum seberapa kok, pertunjukannya baru saja dimulai.
Sekarang aku ingin dia melihat celana dalam g-string yang kukenakan, dengan sengaja kutekuk kaki kiriku yang tadinya terjuntai, hingga rokku turun sampai kepangkal pahaku, tentu gerakannya kubuat sepelan mungkin agar ia bisa menikmati pertunjukan yang kuberikan secara perlahan, lalu aku mulai menggoyang kedua kakiku, seperti orang yang sedang lagi asyiknya membaca buku.
Saat tiba digerakan membuka, aku sengaja menghentikan goyangan kakiku, kini aku yakin mata Rudi sangat leluasa memandangi pangkal pahaku hingga kecelana dalamku yang berwarna hitam.
Seerr... aliran hangat menjalar tubuhku, aku tau ini tandanya aku sudah amat terangsang, ingin rasanya aku membuka seluruh pakaianku hingga aku telanjang bulat didepannya, tapi untunglah sedikit kesadaran membuatku tidak senekat itu.
Kembali aku mengintip dari sisi majalahku, bermaksud ingin melihat reaksi wajah Rudi, tapi saat mataku melihat keluar ternyata di situ ada Bambang. Astaga semenjak kapan anak itu duduk disitu.
Bambang tersenyum kearahku, lalu memberiku kode kalau saat ini Rudi sedang menemani anakku bermain.
Pantesan kok orangnya berbeda, ternyata mereka sedang berganti posisi.
Gak ada Rudi, Bambangpun jadi...
Aku kembali melanjutkan aksiku, tapi kali ini aku berganti posisi tidurku, dari terlentang hingga tengkurap. Tadi kakiku yang menghadap kearah pintu, tapi kali ini wajahku yang mengarah kepintu.
Sebelum aku tengkurap, aku sengaja membuka beberapa kancing gaun tidurku hingga payudarahku seperti ingin melompat keluar.
Seneng ya bisa liat tetek Tante, tapi Tante juga senang kok kamu liatin hihihi, apa lagi liat muka mesum Bambang, duhh... rasanya pengen sekali minta dia buat.remesin tetekku.
Kembali sambil tidur tengkurap dengan di topang oleh kedua sikuku, agat posisi payidarahku menggantung, dengan begitu Bambang bisa sangat leluasa menikmati payudarahku. Kembali aku berpura-pura membaca majalah.
Sesekali aku melihat kearah Bambang yang tampaknya sudah sangat bernafsu terhadapku, bahkan Bambang sudah tidak malu-malu lagi meremas-remas penisnya dari balik celana birunya. Rasanya aku ingin tertawa sekaligus sangat terangsang melihat tingkah Marwan.
Sesekali aku membalik halaman demi halaman majalah, agar aku terlihat benar-benar sibuk membaca majalah, tapi sesekali aku menyempatkan diri untuk melihat kearah Bambang, tingkah Bambang benar-benar berhasil membuatku salah tingka.
Tak lama kemudian Rudi kembali bergabung, sekilas aku melihat mereka berbisik sambil melihat kearahku, aku pura-pura tidak tau kalau mereka sedang memperhatikanku. Lalu sedetik kemudian giliran Bambang yang menghilang.
Ternyata capek juha kalau posisi kek gini trus, aku kembali berganti posisi yang lebih nyaman, aku duduk bersandar menghadap kearah pintu kamarku, tak jauh dariku Rudi duduk menghadapku, tapi aku pura-pura cuek, walaupun sebenarnya aku deg degkan, apa lagi dengan cara Rudi menatapku, seperti ingin menelanjangiku.
Ternyata Rudi semakin berani didepanku, padahal dia tau kalau aku bisa melihatnya, tapi dia tetap nekat membuka celana birunya sekaligus celana dalamnya.
Tentu aku langsung protes, mataku melotot untuk menakutinya, tapi bukannya segera memasukan kembali burungnya, eh dia malah ngocok didepanku sambil nyengir kuda, dasar anak kurang ajar. Tapi sudalah, biarlah dia melepas hasratnya asal pejunya nanti gak sampe belepotan. Awas saja kalau sampe kena sofaku.
Sekarang apa yang harus kulakukan ? menghentikan aksiku ? Atau... Aaerttt... sudalah mending aku mandi saja, siapa tau air dingin bisa meredam nafsuku.
Ini semua gara-gara Rudi, dasar anak kurang ajar, seharusnya aku ngerjain dia, bukan dia yang mengerjain aku seperti ini. Mana Suamiku lagi diluar kota, terpaksa main sendiri lagi.
Segera aku membuang muka, memberi tau dia kalau aku tidak suka dengan caranya yang terlalu vulgar, lalu setelah itu aku turun dari tempat tidurku, kuambil handuk yang terlipat rapi di dalam lemari, lalu sambil berjalan santai membelakanginya aku masuk kedalam kamar mandi. Nanggung-naggung de lo, di kasi enak dia malah ngelunjak.
^_^
Selesai mandi, kulihat Rudi dan Bambang sedang duduk berdampingan di atas sofa, tapi kini Rudi sudah menyimpan kembali burungnya, kulihat mukanya pucat pasi, aku yakin dia merasa bersalah karena perbuatannya barusan. Siapa suruh dikasi enak malah kurang ajar, emang dia pikir aku wanita murahan apa.
Aku duduk didepan meja rias, seperti biasanya layaknya wanita pada umumnya, aku berias untuk mempercantik diriku, sementara itu tak jauh dibelakangku aku yakin mereka berdua pasti sedang melihatku.
"Umi, kok pintunya gak di tutup sih, kan malu dilihat mereka berdua ?" Adam mendekatiku dengan raut wajah merah padam, sepertinya dia marah.
"Ada apa sayang ? Kok dateng-dateng langsung sewot ? Sini duduk dulu." Kataku menenangkan anakku, Adam duduk ditepi tempat tidurku, wajahnya kulihat masih tertekuk.
"Coba cerita sama Umi." Tanyaku, sembari menggeser tempat dudukku, mengarah kearahnya.
"Kan Umi tau di luar ada mereka, tapi kok pintunya di biarin kebuka gitu."
"Jadi itu masalahnya, emangnya kenapa kalau mereka melihat sayang, Umi kan gak telanjang didepan mereka, Umi masih pake handuk kok, ni liat... " Kataku santai, sembari membusungkan dadaku, memperlihatkan lipatan handuk yang kugunakan.
Kulihat jakun anakku turun naik, sepertinya dia terangsang melihatku hanya mengenakan handuk. Dasar, tadi marah-marah sekarang malah diam.
"Ya sudah, kalau kamu gak suka, Umi pake baju dulu ya !"
"Bu... bukan gitu Umi, kok Umi marah si ?" Adam menahan tanganku saat aku hendak mengambil pakaian didalam lemari pakaian.
"Habis anak Umi sekarang sudah mulai ngatur-ngatur, ini gak boleh, itu gak boleh." Protesku, aku pura-pura marah kepadanya, padahal aku sebenarnya senang melihatnya tidak berdaya didepanku.
"Ya gaklah Mi, bukannya marah tapi gak enak sama mereka Umi."
"Ya sudah, kalau gitu biar Umi ngomong langsung sama mereka." Kataku, lalu aku beranjak hendak menemui mereka berdua.
"Tapi Umi... Umi tunggu !" Panggilnya, sambil mengejarku yang suda jalan lebi dulu.
Tapi Adam telat mencegaku, karena dalam hitungan detik aku sudah berdiri didepan kedua sahabat anakku, mereka berdua melongok melihatku menghampiri mereka.
"Hayo lagi pada liatin apa ?" Godaku, sembari memicingkan mataku, seperti sedang.mencurigai mereka.
"Hehehe... habis Tante ngagetin aja ni."
"Ngaggetin apa... "
"Umi." Potong Adam, kulihat ia tampak begitu khawatir kepadaku.
Anak mana yang tidak khawatir melihat Ibunya yang cantik berdiri didepan temannya yang mesum hanya mengenakan handuk, apa lagi di balik handuk ini, aku sudah tidak mengenakan pakaian apapun.
Perasaanku jadi campur aduk, antara malu, bersalah dan horni. Aku berdiri hanya mengenakan handuk dihadapan dua anak laki-laki yang sedang tanggung-tanggungnya, sementara disampingku ada putraku yang sedang mengkhawatirkanku.
"Kenapa sayang ? Ini Bunda baru tanya sama mereka." Kataku cuek, sembari membenarkan lilitan handuk yang menutupi tubuhku, tentu saja hal itu membuat kedua sahabat anakku semakin tercengang.
"Gak perlu Umi." Jawab anakku sewot.
"Emang mau tanya apa Tante ?" Ujar Bambang, sepertinya dia penasaran, sementara Rudi kulihat wajahnya pucat, sepertinya dia takut kalau aku nanti membahas perbuatan nekatnya.
"Kata Adam, kalian terganggu ya Tante pake handuk kayak gini didepan kalian ?" Tanyaku langsung tembak tanpa basa-basi lagi.
"Ya... gak dong Tan, malahan... " Tiba-tiba saja Rudi menyikut lengan Bambang, agar tidak melanjutkan perkataannya.
"Malahan apa ? suka ?" Duh... Lidya, kok kamu makin berani aja sih, gimana kalu mereka nantinya jawab iya, bisa-bisa anakmu nanti ngamuk. "Sudah jujur aja, gak papa kok !" Kataku sembari meminta mereka berdua untuk memberiku tempat agar bisa duduk.
Dengan cepat mereka berdua menyingkir, lalu dengan santainya aku duduk diantara mereka berdua. Kedua tanganku kuletakan diatas paha mereka sesekali aku meremas, memijit pelan paha mereka berdua.
Kulihat mereka berdua saling pandang, seolah tidak percaya dengan apa yang kulakukan terhadap mereka berdua. Sementara anakku tidak kalah kagetnya, dia berdiri melihatku dengan mulut terbuka.
"Iya Tante saya suka." Jawab Bambang.
"Terus kamu Rudi suka gak ?" Tanyaku kepada Rudi, karena kulihat dia hanya diam saja, mungkin dia masi trauma karena tadi.
"Su... su... "
"Susu maksud kamu ?"
"Bu... bukan Tante, maksudnya suka."
"Bilang suka aja susah banget si." Protesku. "Sekarang kamu denger sendirikan sayang, teman kamu suka kok, mereka sama sekali gak terganggu dengan penampilan Umi." Kataku kepada Adam.
"Tapi Umi."
"Biarin aka si Dam, Umi loh mau telanjang juga gak papa kok, kami sama sekali gak terganggu, sama kita mah santai Dam, ya gak Rudi ?" Yang ditanya malah ngangguk-ngangguk gak jelas.
"Kamu denger sendirikan ?" Sebelum Adam kembali mengajukan protesnya, aku buru-buru mengusirnya. "Ya sudah sana, kamu kewarung sebentar, beliin Umi martabak telor." Pintaku.
"Iya Umi."
Akhirnya Adam menyerah, dia berjalan meninggalkanku sendiri dengan wajah tertunduk lesu.
Sebenarnya inilah yang kuinginkan, aku ingin Adam mulai terbiasa melihat Uminya dilecehkan seperti yang kulakukan barusan, tapi tentu saja aku harus melakukannya dengan perlahan, kalau tidak semua rencanaku bisa berantakan.
Adam adalah anak kandungku, dan dia juga seorang anak laki-laki. Aku bisa saja langsung meberikan pertunjukan ekstream didepannya, dengan cara melakukam ML bersama kedua sahabatnya, tapi apakah ada jaminan kalau Adam bisa menerimanya dan diam saja ? Tentu saja tidak, dia akan sangat marah, bahkan bisa jadi dia nekat menghabisi kedua temannya. Dengan alasan itulah kenapa aku memberinya pertunjukan dengan cara perlahan agar dia terbiasa dan mulai menikmati setiap kali aku dilecehkan.
Setelah yakin Adam telah pergi, sekarang adalah saat yang tepat untuk memberi sedikit hadiah kepada mereka berdua.
"Sekarang kalian jawab dengan jujur pertanyaan Tante, tadi kalian ngintipin Tante ya ?"
"Enggak kok Tan." Jawab Rudi.
"La tadi kamu ngapain ngeluarin burung kamu sambil liatin Tante baca majalah ?" Tanyaku, lalu dengan sedikit nekat aku meletakan tangan kananku diatas selangkangan Rudi, tentu apa yang kulakukan membuat Rudi belingsatan.
"Tapi itukan bukan salah saya Tente, habis Tantenya juga yang duluan menggoda kita, iyakan Bang ?" Jawab Rudi meminta dukungan dari temannya.
"Iya Tante, kitakan cowok normal, liat cewek bening masak di anggurin. Seharusnya Tante bertanggung jawab sudah bikin kita kentang kayak gini."
"Kentang ? Emang kalian mau masak ?"
"Bukan kentang itu Tante, tapi kena tanggung, udah di bikin keras gini tapi gak ada penyelesaiannya." Jawab Rudi sewot, aku tau apa yang kulakukan barusan pasti sangat menyiksa mereka.
"Kalau gitu maafin Tante ya tadi sudah nyiksa kalian berdua, sini buka celananya ?" Tantangku, tapi mereka berdua balah bengong.
"Serius Tante."
"Iya serius dong Rudi, katanya radi Tante harus tanggung jawab." Kataku meyakinkan mereka berdua. "Tapi ada syaratnya."
"Apa Tante ?"
"Syaratnya gampang kok, kalian hanya perlu melakukan ini untuk Tante......" Jawabku.
^_^
Untuk pertama kalinya setelah menikah aku melihat kelamin pria lain selain Suamiku sendiri. Tentu kondisi ini membuatku gugup, apa lagi di depanku saat ini ada dua penis yang sudah siap tempur.
Sesuai janjiku, kalau mereka setuju melakukan sesuatu untukku, maka aku akan membantu mereka menuntaskan birahi muda mereka.
Aku tiduran diatas tempat tidur dengan pakaian lengkap sehari-hari, yaitu mengenakan kerudung dan jubah hitam, sementara mereka berdiri disamping tempat tidurku sambil memperhatikanku.
Mula-mula aku menarik bagian bawah gaunku yang panjangnya hingga dibawa mata kaki. Kutarik dengan perlahan hingga betisku terlihat, mempertontonkan kaki jenjangku yang selama ini kurawat dengan baik, sehingga tak ada bekas lecet.
"Kok betisnya bisa seputih itu Umi." Aku memang meminta mereka untuk memanggilku Umi untuk saat ini saja.
"Iya dong sayang, kan selalu Umi rawat."
"Kami boleh menciumnya gak Umi, biar betisnya makin kinclong hehe !" Pinta Bambang, sambil mengocok penisnya yang sedari tadi sudah sangat tegang.
"Boleh dong sayang, tapi jilatinnya yang bersih ya."
"Beres Umi... " Jawab mereka serempak.
Lalu Bambang dan Rudi mengambil salah satu kakiku, dan tanpa ada rasa jijik mereka mulai menjilati kedua kakiku, di mulai dari jari-jari Kakiku. Ternyata aku baru tau, kalau jilatan di jari-jari kakiku bisa membuatku terangsang seperti ini.
"Anak pintar, jilatin yang bersih... "
"Jempol Umi enak banget, hmmpp... hmmmp... " Puji Rudi sambil mengulum jari jempolku.
Sementara Bambang lebih sering menjilati betisku, sepertinya Bambang memang lebih suka betisku ketimbang jari-jari kakiku. Sambil menikmati jilatan mereka, aku berusaha mati-matian mempertahankan bagian bawah gamisku agar tidak tersingkap lebih jauh, apa lagi Bambang dari awal berusaha membuka lebar kakiku agar bisa melihat dalamanku.
Tapi sesuai dengan kesepakatan, mereka berdua hanya boleh menyentuh bagian bawah kakiku kecuali mereka berhasil membuatku lupa diri, tentu itu tak muda bagi mereka berdua.
"Umi... buka sedikit ya ?" Bujuk Bambang, dia mulai berani memijit pahaku.
"Betis Umi rasanya enak banget loh, apa lagi bagian yang disana passti lebi enak lagi." Kini giliran Rudi yang ngegombal.
Serangan demi serangan, akhirnya membuat pertahananku mulai goyah. Tanpa sadar kedua kakiku terbuka semakin lebar, dan bagian bawah gamisku terangkat semakin tinggi.
Tentu saja kesempatan itu tidak disia-siakan mereka berdua. Dengan gerakan cepat, merek berpindah menjilati bagian dalam lututku, hal itu membuatku kegelian hingga tak sadar aku mulai lepas kendali.
"Aahkk... geliii jangan disitu, Umi mohooon !" Kataku mohon ampun, tapi mereka berdua sama sekali tidak perduli.
"Siapa suruh tadi nantangin kita, sekarang nikmatin aja ya Umi !" Ujar Rudi sombong.
Tapi harus kuakui mereka berdua memang sangat pandai dalam merangsangku, sepertinya mereka sudah biasa merangsang perempuan. Sial, aku bisa kalah oleh dua orang anak remaja.
"Aaahkk... cukupp, amppuunnn oooww... !" Aku semakin belingsatan saat Bambang bergerak menjilati pahaku, apa.lagi Bambang dengan beraninya meremas-remas dadaku. Siaaal...
"Hehehe... ini belom seberapa Umi."
Rudi bangkit, lalu duduk disamping kepalaku sambil menyodorkan penisnya didepan wajahku. Memang sesuai kesepakatan kalau mereka berhasil menaklukanku, maka aku bersedia membantu mereka dengan mengulum penis mereka sampe mereka puas.
"Buka dong Umi mulutnya."
"Oke Umi nyerah, tapi ingat ya janjinya gak ada yang namanya penetrasi."
"Tenang Umi, kami pasti menepati janji kami, kecuali Umi sendiri yang minta hehe." Kepedean, mungkin itu kalimat yang cocok untuk Bambang, walaupun aku sangat menginginkannya, tapi aku tidak akan melakukannya, karena tujuan awalku bukan ini.
Aku tak ingin menanggapi ocehan Bambang, segera kulumat habis penis Rudi, kuhisap cukup kuat sehingga Rudi meringis keenakan.
Walaupun aku sudah lama tidak mengoral penis, bukan berarti aku tidak bisa. Dulu, Mama perna mengajarkanku bagaimana cara memuaskan kaum adam hanya dengan mengulumnya saja.
"Pelan... pelan Umi ! Aahhkk... ngilu Umi." Rengek Rudi, tapi aku tidak perduli.
Sesekali aku jilati lobang kencingnya yang terasa asin, sementara tanganku memijit pelan kantung pelirnya agar Rudi cepat orgasme.
Dan benar saja, kurasakan tubuh Rudi menegang, suaranya yang keras mulai terdengar parau, itu artinya sebentar lagi aku berhasil menaklukannya. Sementara itu, Bambang berusaha keras merangsangku dengan menjilati paha bagian dalamku, bahkan terkadang jilatannya menyentuh pinggiran celana dalamku.
Sesuai dengan perjanjian, aku melarang mereka berdua menjilati vaginaku walaupun dari balik celana dalam yang kukenakan, kalau mereka melanggar, maka perjanjian batal dan tentu mereka juga yang akan rugi.
"Umiiii aku keluarrr !" Pekik Rudi, lalu kurasakan semburan hangat spermanya didalam mulutku. Kata orang sperma anak remaja bisa buat kita awet muda, dengan alasan itu aku menelan habis spermanya.
"Cepet banget loh, gue belom puas loh uda ngencrot aja." Protes Bambang, dia tampak kesal.
"Ampun bos, gue nyerah !" Jawab Rudi, terduduk lesu bersender ditembok kamarku.
"Sesuai perjanjian, sekarang giliran kamu." Kataku memanggil Bambang, jujur aku hampir menyerah, tapi untunglah Rudi sudah bisa kuatasi dengan cepat.
Dengan malas-malasan, Bambang mendekatiku sambil menyodorkan penisnya kearahku. Dengan perlahan kukocok penisnya, lalu aku mulai menjilati batang kemaluannya, sementara tanganku yang satunya kugunakan untuk memijit pelan kantung pelirnya.
Perlahan, kubuka mulutku, lalu kusambut penis Bambang dengan lidaku.
"Gilaaaa... enak banget Rud." Ocehan Bambang setelah merasakan oralku.
"Kan tadi gue uda bilang, tapi lohnya gak percaya." Jawab Rudi yang saat ini sedang menonton aku yang lagi mengulum penis Bambang.
"Hhhehhhe... Henaknyan ?" Kataku.
"Gila ini enak banget Umi, Aahkk... "
Aku semakin mempercepar gerakan kepalaku maju mundur, sambil menghisap penisnya. Tak lama kemudian, untuk kedua kalinya aku mendapat hadiah sperma dari mereka berdua.
^_^
4. Bab baru
Pagi-pagi sudah suntuk begini, padahal biasanya kalau jam istirahat begini aku paling bersemangat, bersantai sambil menikmati bakso Mang Ujang. Tapi... ah sudalah, mungkin ini hanya perasaanku saja.
Kemarin sore, aku diminta Bunda untuk beli martabak telor, sialnya ternyata warung yang menjual martabak telor hanya ada dipasar, terpaksa aku berjalan cukup jauh hanya untuk sekedar membeli sebungkus martabak telor, belom lagi tempatnya yang rame pengunjung, terpaksa aku ngikut antri lebih dari satu jam.
Sepulang dari pasar rumah tanpa sepi, kedua sahabatku sudah tak ada dirumah, iseng aku menghampiri Umi yang ternyata sedang tidur dikamarnya, tapi yang membuatku kaget Umi dalam keadaan setenga telanjang.
Ya... aku tau dan aku sering melihat Umi tertidur dalam keadaan seperti itu, tapi entah kenapa kemarin tampak ada yang beda dari Umi.
Tidak... aku percaya Umi, bahkan sangat mempercayainya, Umi tidak mungkin berbuat sejauh itu bersama kedua sahabatku, Umi adalah wanita baik-baik dia bukan wanita binal.
"Woi... bengong aja lu Man ? Lagi mikirin apa ?" Lagi-lagi mereka berdua yang datang.
"Pasti lagi mikirin Tante Lidya ya ?" Tebak Bambang.
"Sembarangan, jangan asal ngebacot loh Bang. Emang gue udah gila apa punya pikiran mesum sama Ibu kandung gue sendiri."
"Na... siapa yang bilang gitu." Mati aku salah ngomong.
"Jadi, loh serius Man, terangsang sama Ibu kandung eloh sendiri ?" Tanya Rudi dengan intonasi suara yang cukup pelan, sehingga aku tidak perlu merasa takut atau khawatir kalau nanti suara kami terdengar oleh orang-orang disekitar kami.
"Kalau gue jadi eloh, mungkin gue juga akan meresakan hal yang sama seperti yang eloh rasakan saat ini."
"Ma... maksudnya ?" Tanyaku.
"Gak usah munafik Dam, Ibu loh cantik, seksi lagi... kalau gue jadi anaknya, mungkin gue akan sering ngintipin dia, gue balalan jadikan dia bahan coli gue, tapi sayang Ibu gue gak secantik nyokap eloh." Jelas Rudi sambil menerawang matanya melihat kearah langit-langit kantin seolah ia sedang berfikir keras.
Benar juga apa yang dikatakan Rudi, Umi memang sangat cantik, aku sendiri sering pangling kalau melihatnya, apa lagi kalau ia menganakan pakaian seksi, pasti si junior langsung memberontak. Tapi untuk sejauh ini, aku tidak punya pikiran seperti Rudi untuk sengaja ngintipin Ibu kandungku sendiri, apa lagi sampai menjadikannya bahan coliku.
"Parah loh... !"
"Hahaha... Habis Umi loh nakal si Dam." Ledek Rudi sambil menjitak kepalaku. Sial, rasanya sangat sakit, bukan hanya dikepalaku tapi juga didadaku.
"Udah ah, jangan diledikin terus, yuk kita kebelakang." Ajak Bambang sambil menarik tangan Rudi.
"Mau kemana ?"
"Biasa ngerokok, mau ikut ?"
"Ya banci loh ajakin, mana mau dia hahaha... " Ni anak kayaknya memang harus dikasih pelajaran. Untung badannya gede, kalau gak uda gue ajakin berantem ni anak.
Tak lama akhirnya mereka menghilang dari pandanganku, tapi perkataan Rudi barusan, tidak ikut menghilang bersama mereka. Ucapan Rudi terngiang-ngiang dikepalaku. Umi memang sangat menggairahkan, bentuk tubuhnya sangat profesional, ukuran dadannya juga besar, jadi ingat payudarahnya duo srigala.
Tapi apa benar Umi senakal itu ? Haha... ini gila, tidak mungkin, Umi bukan tipe wanita seperti itu.
^_^
Hari ini akhirnya aku bisa tersenyum, setelah selama berada di sekolah aku dilanda rasa suntuk. Aku pulang sendiri tanpa ditemani mereka berdua, setidaknya aku tidak perlu merasa khawatir kalau nanti mereka kembali menggoda Umi.
Sesampainya dirumah, kulihat sepatu Kak Aziza sudah nangkring lebih dulu didepan rumah, padahal biasanya ia suka pulang sore.
"Udah pulang Dek ?"
"Iya dong, biasanya juga pulang jam segini kok, emang Kakak doyan keluyuran." Jawabku ngasal, lalu tanpa permisi aku mengusir Kakak agar menggeser duduknya.
"Apaan sih Dek, gangguin orang lagi nyantai aja." Sewot Kak Aziza sambil menoyor kepalaku.
"Sakit tau gak."
"Siapa suruh gangguin orang." Jawab Kak Aziza, lalu dia beranjak dari sofa dan tiduran di depan televisi.
"Umi mana Kak ?"
"Ada tuh dikamarnya, lagi tidur."
Segera kualihkan pandanganku kearah kamar Umi, ternyata benar yang dikatakan Kak Aziza, aku lihat Umi sedang tiduran didalam kamarnya sambil memeluk bantal guling. Lagi-lagi Umi tidur hanya mengenakan daster, membuat kedua paha mulusnya terekpose.
Tak sadar sang junior kecil mulai berdiri, memberontak sekuat tenaga. Astaga... apa benar yang Rudi katakan tadi pagi ? Sepertinya aku memang sudah gila, terangsang melihat Ibu kandungku sendiri.
Perlahan mataku bergerak menelusuri kaki Umi, hingga kepantatnya yang dibalut celana dalam berwarna pink, di bagian sisinya dikelilingi renda-renda kecil yang semakin mempercantik celana dalam yang dikenakan Umi, belum lagi belahan pantatnya yang ngejiblak di balik celana dalamnya. Tentu saja pemandangan tersebut sangat memanjakan mataku.
Maafkan anakmu ini Umi, tapi untuk kali ini saja biarkan aku menikmati keindahan lekuk tubuhmu.
Sesekali aku memperhatikan Kak Aziza, tentu saja untuk memastikan aksiku tidak tertangkap olehnya. Tapi sepertinya kondisi aman, karena Kak Aziza tampak begitu fokus menonton televisi.
Aku sedikit terkejut saat tiba-tiba tubuh Umi bergerak, beruba terlentang, kupikir Umi akan segera bangun, tapi ternyata ia hanya sekedar mengigau, setelah memastikan kalau ia sedang tertidur lelap, aku kembali fokus menikmati keindahan pemandangan yang ia suguhi.
Di posisinya sekarang, aku dapat melihat gundukan kecil yang cukup tebal, belahan vaginanya yang berbentuk segaris menerawang dari balik celana dalamnya.
Sial, celanaku sekarang terasa sesak, terpaksa aku harus mengganti posisi burungku dengan gerakan cepat agar tidak ketahuan Kak Aziza, bisa gawat kalau dia sampai tau kalau aku sedang mencuri pandang kearah Umi yang sedang tertidur.
Cukup lama aku menikmati pemandangan yang diberikan secara gratis oleh Umi, hingga akhirnya aku sudah benar-benar tidak tahan lagi.
"Kak, Adek kekamar dulu ya." Kataku lalu segera beranjak dari sofa.
Sesampainya didalam kamarku, aku berbaring di atas kasurku, segera kubuka celanaku, membebaskan juniorku dari sarangnya yang sedari tadi membelengguh dirinya.
Perlahan dengan mata terpejam tanganku bergerak naik turun mengocok penisku dengan irama perlahan sambil membayangkan Umi. Maaf ya Umi, aku sudah tidak tahan lagi, Umi memang terlalu sempurna.
^_^
Aku terbangun saat jam dinding menunjukan pukul 7 malam, sepertinya aku tertidur setelah masturbasi.
Selesai mandi, aku bergabung bersama Umi dan Kak Aziza yang sedang duduk disofa sambil menonton sinetron disalah satu tv swasta. Aku memutuskan untuk tiduran dikarpet.
Jujur aku tidak begitu tertarik dengan apa yang ditampilkan saat ini dilayar televisi, tapi yang membuatku tertarik adalah penampilan Kak Aziza dan Umi, mereka berdua malam ini kompak mengenakan tanktop dan rok mini, tentu posisiku saat ini sangat menguntungkan bagiku, cukup dengan menoleh sedikit maka aku dapat melihat paha mulus Kak Aziza dan Umi.
Umi duduk dengan kedua kaki menyentuh lantai, tapi posisi kedua kakinya terbuka, walaupun tidak begitu lebar tapi itu sudah cukup bagiku untuk dapat mengetahui warna celana dalam Umi.
Kulihat celana dalam Umi yang berwarna hitam mengintip malu-malu diantara kedua pahanya.
Sementara Kak Aziza duduk sambil memeluk lututnya, membiarkan bagian bawahnya terbuka sangat lebar. Aku yang awalnya sama sekali tidak tertarik dengan Kak Aziza, mendadak sangat terangsang ketika melihat selangkangan Kak Aziza yang dibalut kain segitiga berwarna cream.
"Kamu sudah ngerjain pr belum Dam ?" Tanya Umi, nyaris saja aku ketahuan kalau sedang ngintipin mereka berdua, tapi untunglah aku dengan cepat mengalikan pandanganku kearah yang lain.
"Sudah kok Mi." Kataku berbohong.
"Kapan ? Bukannya tadi sore kamu tidur."
"Aku ngerjain prnya sebelum tidur kok." Jawabku singkat. Jujur aku masih deg-degkan takut ketahuan Umi.
"Kalau orang tua ngomong, matanya jangan kemana-mana, sini lihat Umi." Omel Umi yang tidak suka dengan caraku yang mengabaikannya.
Dengan pura-pura malas aku menoleh kearahnya, padahal sebenarnya aku sangat senang sekali, itu artinya Umi belum menyadari aksi nakalku barusan, belum lagi dengan begini tanpa perlu bersusah paya, aku sudah bisa menikmati selangkangan mereka berdua. Otomatis sang junior kembali memberontak hebat. Untuk menutupi sang junior, aku memeluk erat bantal gulingku, sehingga ia terjepit, menimbulkan sensasi nikmat.
Entah disangaja atau tidak, rok yang dikenakan Umi tersingkap semakin lebar, apa lagi posisi kakinya yang semakin mengangkang, membuat celana dalamnya terlihat semakin jelas.
Nafasku mulai memberu, bahkan hanya untuk sekedar menelan air liur saja aku kesulitan.
"Beneran prnya sudah selesai, Umi tau loh, kalau kamu lagi berbohong."
"Su... sudah kok Umi."
"Yakin ?" Katanya mengintimidasiku. Aku tau Umi paling tidak suka kalau aku berbohong.
"Eehmm, bentar lagi ya Umi, tanggung ni."
"Umi paling gak suka di bohongi, sekarang kerjain pr kamu didalam kamar Umi aja, biar nanti Umi periksa hasilnya." Perintah Umi, tentu perintah Umi tak bisa di ganggu gugat.
Tanpa disuruh dua kali, aku terpaksa kembali kekamarku, padahal posisiku tadi sudah sangat menguntungkan bagiku, tapi mau dikata apa, perintah Umi tidak bisa diganggu gugat. Aku segera mengambil bukuku, lalu sesusai dengan perintah Umi, aku mengerjakan tugasku dikamarnya.
Biologi, bukanlah mata pelajaran yang kusukai, bahkan aku sangat membencinya. Kami diminta Pak Robbi untuk menjelaskan tentang reproduksi manusia, sesuai dengan yang sudah kami pahami.
Saat aku mulai menulis prku, Umi menyusulku kekamarnya, lalu berdiri disampingku sambil memperhatikanku yang sedang mengerjakan pr. Entah kenapa aku jadi deg-degkan, ada suatu perasaan tegang yang menyelimutiku.
"Ehmmm, penjelasan kamu kurang tepat."
"Jadi harus gimana Umi ? Aku gak paham soal ginian."
"Ya sudah, biar Umi bantu kamu ya." Katanya sembari mengucek-ngucek rambutku.
Posisinya yang sedikit membungkuk membuatku leluasa memandangi payudarahnya. Bahkan sekilas aku dapat melihat puttingnya, sepertinya keberuntunganku malam ini belum berakhir.
"Reproduksi manusia terjadi karena secara seksual, ketika sperma pria menyatu dengan sel telur milik perempuan. Sistem reproduksi manusia di bedakan menjadi alat reproduksi, pria dan wanita."
"Alat reproduksi punya laki-laki biasa disebut dengan penis, penis terbagi menjadi dua bagian, batang penis dan kepala penis. Penis sebagai alat untuk memproduksi sperma, dan sperma itulah nantinya yang akan melahirkan anak manusia." Jelas Umi, tapi aku tak begitu memperhatikannya, karena fokusku hanya kearah payudarahnya yang terbuka.
"Sementara punya wanita biasa di sebut vagina, kegunaannya untuk menampung penis pria, dan menerima sperma pria lalu menyalurkannya kerahim, ke sel telur hingga terjadinya pembuahan."
"Ooo begitu ya Umi, caranya gimana Umi, kok bisa menyatu ?" Tanyaku polos, entah apa yang ada di pikiran Umi, tiba-tiba ia tertawa dan kembali mengucek-ngucek rambutku, sepertinya dia sangat suka sekali merusak tatanan rambutku.
"Itu bisa terjadi, kalau ada seorang pria dan wanita sudah menikah, karena kalau sudah menika mereka sudah boleh melakukan hubungan intim." Jelas Umi.
Aku menggeser tempat dudukku, menghadap kearahnya. Mumpung Umi lagi sibuk menjelaskan pertanyaaku, jadi aku tidak perlu merasa khawatir kalau sedang memperhatikan payudarahnya.
"Hubungan intim itu kayak gimana sih Umi ?"
"Duh kamu ini, kok nanyanya sampe sejauh itu." Jawab Umi, tanpanya ia mulai kesal.
Kemudian Umi memilih tiduran dikasurnya, tak mau ketinggalan aku berjongkok disampingnya, lalu dengan gerakan reflek aku memijit betisnya tanpa diminta olehnya. Tentu saja hal itu kulakukan untuk mengalihkan perhatiannya agar aku bisa mengintip celana dalamnya.
"Ya, namanya juga gak ngerti Umi."
"Gak ngerti apa gak tau ?"
"Emang bedanya apa sih Umi ?"
"Hihihi, kamu ini lucu deh, ya udah Umi jelaskan tapi mijitnya yang bener ya." Pintanya, tentu dengan senang hati aku menyetujuinya.
Kembali aku fokus memijiti betisnya, tanganku bergerak menuju lututnya, dan berhenti dibagian pahanya. Paha Umi rasanya begitu empuk, kenyal-kenyal gimana gitu. Membuatku semakin bersemangat memijit kakinya sambil mendengar penjelasan Umi tentang hubungan intim antara seorang pria dan wanita.
"Hubungan intim itu, biasa juga di sebut bersetubuh, atau kasarnya suka disebut ngentot. Kamu ngertikan ngentot ? hihi... " Aku mengangguk mengiyakan. "Tuh paham... "
"Emang kalau mau gituan harus suami istri dulu ya Umi."
"Gituan gimana ? Umi gak ngerti."
"Ya gitu, ngentot maksudnya." Jelasku lebih vulgar.
"Na gitu dong, ngomong gitu aja kok susah banget sih. Kalau sama Umi gak usah malu gitu sayang, malahan Umi lebih suka denger kamu ngomong seperti itu dari pada sok jaim kayak tadi." Ujar Umi, lalu tiba-tiba kaki kirinya melakukan sebuah gerakan, sehingga membuat roknya tersingkap cukup banyak.
Mendadak aku kembali merasakan sesak nafas, tubuhku terasa menggigil, burungku yang tadi sempat melemas kini kembali ireksi dengan sempurna.
"Sebagusnya begitu, habis nikah baru boleh ngentot, tapi zaman sekarang ini asal sudah mimpi basah, sudah di bisa ngentot kok. Kamu sendiri udah mimpi belom ?"
"Eh... susudah kok Umi." Jawabku gelagaban, jujur aku paling risih kalau ditanya beginian.
"Oh ya... kamu mimpiin siapa ?" Tanya Umi tanpa begitu antusias.
Sejenak aku terdiam, bingung antara mau jujur atau berbohong. Karena mimpi basah pertamaku adalah dengan Umi sendiri, aku takut kalau jujur Umi akan sangat marah, tapi kalau aku berbohong, rasanya ada yang kurang.
"Tapi Umi jangan marah ya ?"
"Umi tau kok, kamu pasti mimpiin Umikan ? Ayoo jujur sama Umi." Tebaknya sambil mentoel hidungku.
"Kok Umi tau ?" Ujarku bingung, bagaimana dia bisa tau kalau aku perna memimpikan ia. Atau jangan-jangan Umi juga tau kalau akhir-akhir ini aku sering memperhatikannya.
"Tau dong, kamu itu anak Umi, jadi Umi sangat paham tentang perubuhan sikap kamu, cara memandang kamu ke Umi, cara bicara kamu ke Umi, semuanya Umi tau kok. Bahkan Umi juga tau kalau tadi kamu ngintipin roknnya Umi sama Kakak kamu." Mungkin saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus sanking malunya. Bagaimana mungkin Umi bisa tau semunya.
Sumpah aku kaget setengah mati, ternyata selama ini Umi tau kalau akhir-akhir ini aku sering.mencuri pandang kearahnya, parahnya lagi tadi saat aku mengintip mereka, Umi juga menyadarinya. Tapi... kenapa Umi gak marah ya ? Setidaknya dia menegurku, atau menyinggungku, tapi ini.dia hanya diam bahkan membiarkanku mengintip mereka.
Apa Umi juga suka aku intipin ? Atau... duh kacau.
"Kenapa ? Malu... !"
"Ee, maaf Umi." Jawabku.
"Sudah seharusnya kamu minta maaf ke Umi, karna selama ini kamu gak jujur, tapi kamu gak usah khawatir Umi sama sekali gak marah kok." Lalu tiba-tiba Umi menarik roknya hingga benar-benar tersingkap, memperlihatkan sepasang kaki jenjangnya dan juga selangkangannya. "Tapi kamu harus tetap dihukum untuk menebus kesalahan kamu." Gleeek..
^_^
"Adam! Sebagai ganjarannya kamu harus Umi hukum!" Ujar Lidya dengan tegas.
"Haaahh... Glekk!" Aku hanya bisa menelan ludah. "Hukumannya apa Umi?" Tanyaku penasaran.
"Hukumannya.............." Umi sedikit berpikir, kemudian tersenyum licik.
"Hukumannya kamu harus puasa penuh 29 hari dan jangan berpikir yang nggak-nggak sama Umi sampai lebaran." Katanya dengan mantap.
"Haahh...! Terus cerita Adam 'Maafkan Mama' di 64.237.43.94 gimana dong Umi? Ga update-update dong?"
"Udah! Ga usah banyak omong! Umi mau ke kamar dulu mau tidur-tiduran sambil baca majalah."
Umi langsung ngeloyor pergi ke kamarnya dan, "BLAMMM...!" Pintu kamarnya pun tertutup.
Belum habis keterkejutanku akan hukuman itu, "kreeekk..." Pintu kamar Umi terbuka sedikit. Wajahnya sedikit keluar dari pintu.
"Satu lagi dam. Kalau bisa kamu sering-sering ajak dua temanmu itu rajin-rajin main kesini ya. Hihihi..." Katanya sambil tersenyum manis.
"Kalau setiap mereka kesini ntar suruh langsung masuk ke kamar Umi aja. Umi mau hukum mereka berdua juga. Hihihi..."
dan, "BLAAMM...!" Pintu kamarnya pun tertutup.
"Apa yang dikatakan Umi barusan? Rasanya aku akan.... akan....... BRUKKK!"
Akupun pingsan saat itu karena cemburu.
Apa Dosaku Umi
Aku duduk ditepian tempat tidur Umi dalam keadaan pesakitan menunggu hukuman apa yang akan kuterima darinya. Mungkin aku akan disuruh membersihkan rumah, atau uang jajanku akan di potong, tapi setidaknya itu akan lebi baik dari pada Umi mengadukan perbuatanku kepada Abi.
Sekitar satu jam kemudian, Umi kembali kekamar, kudengar suara pintu tertutup, lalu di kunci.
Aku menundukan wajahku saat Umi mendekat, jujur terkadang aku merasa begitu bodoh, seandainya saja aku tidak mengakui kebiasaan burukku selama ini, mungkin aku tidak perlu menjadi orang pesakitan. Ah sudalah, penyesalan memang selalu datang terakhir.
"Sudah Umi pikirkan hukuman yang akan Umi berikan kepadamu." Katanya, aku masih diam menanti hukuman seperti apa yang kudapatkan darinya. "Umi akan kasih tau Abi, biar Abi saja yang memutuskan hukuman untukmu." Lanjutnya, membuat tubuhku gemetar. Sumpah demi apapun ini tidak boleh terjadi.
"U... umi aku mohon jangan." Segera saja aku bersujud didepannya sambil memegangi pergelangan kakinya, Sungguh aku sangat ketakutan, bayangan hukuman yang akan Abi berikan kepadaku membuat bulu kudukku berdiri.
Terakhir aku di hukum Abi, saat aku ketahuan sedang merokok, saat itu Abi sangat murka lalu memukuliku membabi buta, wajahku lebam, tubuhku membiru, bahkan aku sempat sakit tidak masuk sekolah selama dua hari karena di pukul habis-habisan. Semenjak itu aku tidak perna lagi merokok.
"Kesalahan kamu sangat berat, Umi pikir biarlah Abi kamu yang memutuskan hukuman apa yang layak kamu terima untuk menebus kesalahan kamu."
"Jangan Umi, aku mau di hukum apa saja, asal Umi tidak mengadukanku ke Abi."
Umi diam sejenak, lalu dia duduk di tepian tempat tidurnya, sementara aku masih bersimpu di lantai didepannya. Saat aku mengangkat kepalaku, saat itu juga aku kembali mendapat pemandangan yang mampu menentramkan hatiku yang lagi ketakutan. Sepasang paha mulus terpampang dihadapanku.
"Nakal kamu Adam, baru di bilangin sudah berani ngintipin Umi lagi." Ucapannya membuat si junior yang tadi sudah bangun kembali tidur.
Aku segera menundukan wajahku kembali, tapi Umi segera mengangkat daguku, sehingga wajahku juga ikut terangkat. Perlahan mataku kembali bertemu dengan kedua lututnya, lalu kedua lututnya yang tadi bertemu, perlahan memisahkan diri, merenggang semakin merenggang, sehingga matakupun dapat melihat celana dalamnya yang sedang mengintip malu-malu.
"Yakin mau dihukum apa saja ?" Ujarnya, aku mengangguk yakin.
"Kamu gak akan nyesal, hukuman Umi pasti lebi berat dari Abi, kalau Abi paling cuman mukul tapi kalau Umi pasti lebih dari situ." Lanjutnya, lalu tangannya kanannya meraih kepalaku dan mengucek-nguceknya perlahan.
"Ya gak kok Umi, asal Abi gak di kasi tau, aku mau di hukum apa aja Umi." Kataku meyakinkannya. Umi tersenyum, sepertinya dia senang dengan jawabanku lalu dia berdiri.
"Buka baju kamu." Pinta Umi, kini aku yang terdiam. "Kok diam, buka baju kamu, katanya mau di hukum apa aja ? Atau kamu mau Abi yang kasih hukuman buat kamu." Ulang Umi, walau aku tidak mengerti apa yang diinginkan Umi sebenarnya, tapi aku lebi memilih membuka pakaianku dari pada berurusan dengan Abi.
Segera kubuka pakaianku hingga telanjang bulat, sumpah aku malu banget, dengan bersusa paya aku menutupi selangkanganku.
"Kok di tutupin, buka dong sayang."
"Tapi Umi ?" Ujarku protes.
"Kenapa ? Kamu malu ? Waktu ngintip kamu perna gak mikir kayak gini." Lanjut Umi, membuat rasa bersalahku semakin besar. Lalu tiba-tiba kakinya menjulur dan mengais tanganku agar menjauh dari selangkanganku, dengan terpaksa aku menyingkirkan tanganku.
Saat ini mungkin wajahku seperti kepiting rebus, menahan malu, apa lagi Umi seperti sengaja melecekanku, dengan kakinya dia memainkan testisku, sesekali kurasakan dia mencubit kantung penisku dengan kedua jari kakinya.
Sakit si, tapi entah kenapa aku merasa ada sensasi yang luar biasa menjalar ketubuhku, bahkan penisku sendiri meresponnya dengan memberi hormat.
"Kamu nakal sekali Adam, berani ngintipin Umi, bahkan sampe ngayalin Umi yang enggak-gak."
"Maaf." Kataku.
"Kamu suka ?" Tanyanya, sambil mengurut penisku.
""uhhk.. suka apanya Umi ?" Tanyaku sembari mendesah, walaupun sedikit merasa risih dengan perlakuan Umi, tapi harus kuakui, permainan kaki Umi di penisku sangat enak sekali.
"Ini, kontol kamu Umi mainin begini, kamu sukakan ?" Ulangnya, sambil tersenyum memandang si junior yang suda ereksi sempurna.
"Tidak Umi, aku malu." Kataku jujur, walaupun aku keenakan.
"Sukakan ?" Diulanginya lagi kalimat yang sama.
"Iya Umi." Jawabku pasrah.
Lalu tiba-tiba saja Umi menarik tanganku, dan menjatuhkanku keatas tempat tidurku, dengan gerakan yang begitu cepat dia mengambil borgol didalam lemari kecil yang ada disamping tempat tidurnya, lalu tanpa bisa kutolak, kedua tanganku dengan cepat ia borgol kebelakang.
Siksaanku belum berakhir, untuk menahan tubuhku, Umi mendudukiku sehingga aku benar-benar tidak bisa bergerak karena tertimpa berat tubuhnya.
"Umi, kenapa ?" Tanyaku bingung.
"Umi boleh hukum kamu apa sajakan ?" Katanya balik bertanya. "Kamu anak nakal, tapi Umi suka kamu nakal sayang." Bisiknya, lalu tanpa menunggu jawabanku tiba-tiba saja Umi memanggut bibirku dengan ganas.
Awalnya aku merasa sangat kaget dengan perubahan yang di tunjukan Umi, tapi lama kelamaan aku terbiasa dan mulai membalas pagutan Umi.
Aku melenguh tertahan saat tangan kanannya menggenggam burungku, mengurutnya perlahan. Tak lama kemudian Umi melepas pagutannya, dan memandangku senang, memerkan gigi-giginya yang rapi. Lalu tak lama kemudian, Umi membuka gaun tidurnya, menyisakan pakaian dalam yang melekat ditubuhnya.
"Sebagai hukumannya, kamu harus melayani Umi malam ini." Bisiknya, lalu dia kembali memeluk tubuhku. Sempurna dadanya yang besar kini menindi dadaku.
Bodoh... bodoh... bodoh... sekarang aku mengerti apa yang diinginkan Umi dariku, ternyata... Ah Umi, kenapa gak bilang kalau ini yang Umi inginkan, kalau aku tau dari awal, pasti aku akan memilih di hukum Abi dari pada mendapatkan hukuman dari Umi.
Ini tidak boleh terjadi, memang aku suka Umi, sering ngintipin Umi, tapi kalau sampe menyetubuhi Umi sendiri, aku tidak mau, walaupun aku sangat ingin tapi ini salah, ini dosa besar. Sadarlah Umi... Aahkk... AKU ANAK KANDUNGMU.
Umi melepas branya, lalu membuangnya membiarkan payudarahnya yang besar terguncang didepanku. "Kamu mau inikan ? Ayo sayang di kulum, jangan malu-malu gitu sama Umi. Bukannya kamu suka ngintipin susunya Umi." Katanya, sambil menyodorkan payudaranya kedepan wajahku.
Aku kembali berontak, menggelengkan kepalaku menolak payudarahnya dengan tegas. Tapi Umi menahan kepalaku, menekan payudarahnya kemulutku, reflek aku menutup mulutku dengan sangat rapat agar payudarahnya tidak sampai masuk kemulutku.
Mungkin sebagian orang akan berfikir kalau aku ini bodoh, bahkan Umi sendiri mungkin berfikiran sama. Aku memang bodoh tapi aku tidak cukup gila untuk menuruti kemauan Umi, seandainya saja saat ini dia orang lain, bukan Ibu kandungku, mungkin sudah sedari tadi aku membalas perlakuannya, tapi ini Ibu kandungku sendiri, aku tidak ingin menjadi anak durhaka dengan menodai Ibu kandungku sendiri.
"Ayo kulum puttingnya Umi, dulu waktu masih kecil kamu paling suka nenen sama Umi." Katanya memaksaku, tapi aku tetap berusaha sekuat tenaga menolak permintaan Umi.
"Hmm... " Aku menolaknya dengan tegas.
Tidak kehilangan akal, Umi menjepit hidungku hingga aku kesulitan bernafas, awalnya aku masi bisa bertahan, hingga akhirnya aku menyerah dan membuka mulutku untuk mengambil nafas, dan kesempatan itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Umi untuk menyumpal payudarahnya kedalam mulutku.
Awalnya aku merasa kesulitan mengulum payudarahnya, yang menurutku ukurannya terlalu besar, tapi lama kelamaan aku terbiasa dengan payudarahnya didalam mulutku, bahkan aku mulai menghisap, sesekali lidahku memainkan puttingnya tanpa kusadari, semua yang kulakukan hanya mengikuti naluri.
Dengan erat Umi membekap kepalaku, memperlakukanku seperti balita, sementara aku sendiri mulai bingung dengan diriku sendiri. Disisi lain aku tak menginginkannya tapi tubuhku menghianatiku, mulutku tanpa di perintah bergerak dengan sendirinya, menghisap dan menjilati puttingnya, bahkan ketika Umi menarik payudarahnya aku merasa kecewa, tapi kekecewaanku terganti ketika dia menyodorkan payudaranya yang lainnya.
"Enak ya sayang ? Tadi bilangnya gak mau ?" Ejek Umi, aku hanya diam sambil menyusu kepadanya.
Puas memaksaku mengulum kedua payudarahnya, Umi bangkit berdiri didepanku, lalu dengan gayanya yang seksi ia menurunkan celana dalamnya dengan sangat perlahan, hingga aku seperti terhipnotis dengan cara ia meloloskan celana dalamnya.
Umi mengambil celana dalamnya, lalu melempar celana dalam itu kearahku.
"Ambil, lalu duduklah dan diam." Katanya yang terdengar seperti sebuah perintah untukku. Tanpa berfikir lagi aku menuruti ucapannya.
Aku kembali duduk ditepian tempat tidurnya dalam kedaan telanjang bulat, begitu juga dengan keadaan Umi yang tidak jauh berbeda denganku. Lalu Umi berjongkok didepanku, tangannya kembali membelai penisku, dan sedetik kemudian, tiba-tiba Umi sudah menjilat kepala penisku tanpa bisa kucegah.
"Ja... jangan Umi." Tolakku dengan suara bergetar.
"Sluppss... Diam, atau Umi akan sangat marah denganmu. Sluuhpp... Sluupss... " Lagi-lagi Umi mengancamku.
"Tapi Umi, Aahkk... geli Umi." Rintihku, tapi jujur aku sangat menikmatinya, membuatku sedikit ragu untuk menolak servis oral darinya.
"Kontol kamu enak sayang, walaupun ukurannya kecil, Hhmmpp....Sluippss... Umi gak nyangka kalau kontol kamu seenak ini, kalau tau begini sudah dari dulu Umi perkosa kamu." Ceracau disela-sela menikmati batang penisku.
Sepertinya benar apa yang dikatakan Umi, saat ini aku sedang diperkosa olehnya tanpa bisa memberi perlawanan berarti. Gila, aku diperkosa oleh Ibu kandungku sendiri.
Lima belas menit telah berlalu, aku merasa sebentar lagi aku akan segera keluar, pinggulku sedari tadi bergerak kiri kanan, menahan rasa geli di penisku, sementara Umi sendiri sepertinya tidak mau berhenti, malahan semakin hebat saja ngulum penisku, sampe-sampe kedua pipinya kempot karena ulahnya.
"Umi... mau pipis !" Kataku, tidak tahan.
"Keluarin aja sayang, biar Umi telan spermanya kamu, Umi juga pingin ngerasaain spermanya kamu, enak apa gak ?" Katanya enteng, seperti tidak ada masalah dengan apa yang sedang kami lakukan saat ini.
"Aaahh... Umi, enaaaakkk... aahkk... " Rintihku semakin lepas.
Karena sudah mendapat izin, aku mulai ikut menggoyang pinggulku berharap aku mendapatkan orgasme pertamaku didalam mulut Umi. Membayangkannya saja sudah membuatku merasa sangat bersalah sekaligus sangat terangsang.
"Umi, aku keluaaar !" Pekikku, lalu dari ujung kepala penisku menyembur cairan kental kedalam mulutnya, dan seperti yang Umi katakan, dia benar-benar menelan spermaku tak bersisa.
===
Di sudut ranjangnya, aku menangis tanpa suara, aku tidak mengerti dengan diriku sendiri, sebelumnya aku slalu mebayangkan diriku sendiri bisa bersetubuh dengan Ibu kandungku sendiri, tapi ketika hal itu benar-benar terjadi, aku malah menyesal, dan ada rasa sakit jauh di dalam hatiku, aku merasa diriku sangat kotor.
Kuusap air mataku, kembali kupandangi Umi yang telanjang bulat sedang memegang kamera, lalu di susul kilatan cahaya dari lampu kamera, selama beberapa kali.
Bukan hal baru bagiku di foto oleh Umi, tapi tidak untuk dalam kondisi seperti ini. Aku meringkuk dalam keadaan telanjang bulat, kedua tangan di borgol dan mulutku di sumpal celana dalamnya.
"Bagus." Katanya, sambil melihat hasil karyanya.
Lalu Umi kembali berjalan mendekatiku, dia memintaku tidur bersujut di lantai, disamping tempat tidurnya. Aku menurut saja, sudah kepalang tanggung pikirku, sekalian aja nyebur.
"Mulai detik ini, kamu harus menuruti semua kemauan Umi, atau Umi akan sebar foto ini keteman-temanmu." Ancamnya, sambil tersenyum licik, sementara aku hanya tertunduk lesu. "Sekarang bersikan kaki Umi pake mulutmu itu kontol." Perintahnya dengan kasar, tanpa memperdulikan perasaanku yang semakin terluka.
Walaupun aku tidak ingin melakukannya, tapi di bawah ancamannya aku tidak berani membantanya. Kuangkat kaki kanannya, sebelum menjilatinya, aku meludakan celana dalamnya yang basah oleh air liurku terlebi dahulu, setelah itu aku baru mulai mejilati jari-jari kakinya. Sedikit keberuntungan yang kuperoleh, ternyata kaki Umi tidak bau, malahan sangat wangi, sepertinya dia membersikan kakinya terlebih dahulu sebelum memintaku menjilati kakinya.
Setelah menjilati jari kakinya hingga bermandikan air liurku, aku berpinda kebetisnya lalu terus naik hingga kepahanya, gerakan itu kulakukan berulang-ulang. Setelah kaki kanannya, aku beralih kekaki kirinya, kuperlakukan sama dengan kaki kanannya.
"Hihihi... kamu kayak hewan peliharaan tau gak hihi." Ledeknya, sambil menjejalkan seluruh jari kakinya kedalam mulutku, aku nyaris saja tersedak akibat perbuatannya.
"Bluupss... bluuppss... bluppps... "
"Enak ya ?" Tanyanya, lalu melepas jari kakinya dari dalam mulutku, hingga aku bisa kembali bernafas dengan bebas tanpa adanya kaki Umi didalam milut.
"Iya, eeenak !" Jawabku dengan sangat terpaksa.
"Sekarang, kamu jilatin hidangan utama dari Umi, sampai bersi ya." Gleek... Aku dipaksa menelan air liurku sendiri yang terasa hambar, ketika Umi mengangkat kedua kakinya diatas pinggiran sofa.
Aku yang masih bersujud didepannya, dapat melihat jelas bibir vagina Umi yang basah, berwarna putih seperti buih, ada rasa yang cukup kuat untuk segera mencicipinya, tapi untunglah kesadaran mampu menekan keinginanku agar tidak langsung menjilatinya hingga ada perintah dari Umi yang sekarang beruba menjadi majikanku.
"Kamu sudah gak sabar ya ? Hihi... ayo jilatin sekarang." Perintahnya, seolah mengerti apa yang sedang kupikirkan.
Kubenamkan kepalaku di selangkangannya, lidahku menjulur menjilati vaginanya, kusedot pelan clitorisnya, sesekali kutusuk lobang vaginanya. Kulakukan apa yang perna kulihat dari film porno koleksi pribadiku.
"Aahkk... uuhkk... enak ! Kamu pinter !" Puji Umi, sambil mencengkram rambutku.
""Sluupss... sluuopss... sluuupss... "
"Ya begitu, lebi dalam lagi... aahkk... "
Kugigit sedikit clitorisnya, lalu kutarik pelan. Kulakukan hal itu berulang-ulang, selain menarik, aku juga suka menghisap clitorisnya, rasanya asin tapi gurih, pokoknya aku suka, sanking sukanya penisku sampe berdiri maksimal.
"Umi... mau sampe sayang."
Semakin dia mengerang aku semakin bersemangat menjilati vaginanya, hingga akhirnya Umi memuncratkan cairan dari dalam vaginanya ke wajahku sangat banyak sekali, hingga wajahku berlumuran lendir yang lengket.
"Aaaaaaaahkkk.... kamu hebaaat !" Erangnya, sambil mengapit kepalaku dengan kedua pahanya, membuatku kesulitan bernafas.
Setelah beberapa menit, seiring dengan erangannya yang mereda, jepitan di kedua pahanya ikut melonggar, membuarku kembali bisa bernafas lega. Aku terduduk lemas didepannya, sambil berusaha mengatur nafasku, Umi hampir saja membunuhku.
Sejenak suasana kamarnya mendadak hening, Umi hanya tersenyum memandangku, seolah dia mengucapkan terimakasi kepadaku.
"Kamu hebat, mulai sekarang kamu harus jadi pemuas nafsu Umi, oh iya satu lagi, jangan perna mencoba untuk membanta perintah Umi." Kembali dia mengancamku, aku hanya mengangguk pasrah.
Umi turun dari tempat tidurnya, lalu dia membuka borgolku membuat kedua tanganku kembali bebas bergerak setelah satu jam lebi tak bisa kugerakan akibat belenggu borgol sialan itu.
"Sekarang kamu boleh keluar, tapi... jangan coba-coba mencuci mukamu sampai besok pagi."
"Iya Umi, terimakasih untuk malam ini." Kataku tak bersemangat, lalu aku berdiri, mengenakan kembali pakaianku satu lersatu, setelah itu aku pergi keluar kamarnya. Sekilas aku sempat melihat dirinya yang tampak begitu puas setelah mengerjaiku habis-habisan.
Umi kenapa kau tega melakukan ini semua kepadaku ? Apa kesalahanku begitu berat sehingga harus kubayar dengan harga diriku. Setelah gejadian malam ini, apakah aku masih layak untuk hidup ? Ah... Umi kenapa kau hancurkan masa depanku, anak kandungmu sendiri yang selama sembilan bulan berada di dalam rahimmu. Maafkan aku Tuhan, maafkan juga kesalahan Umiku.