Hari pertama masa orientasi di sekolahku ada satu hal yang ku sadari, ada seorang selebriti indonesia yang satu sekolah denganku. Seorang gadis cantik blasteran Indonesia-Jerman yang terkenal dengan jargon : “Udah beychek gha ada oyjeck..”, Cinta Laura Kiehl namanya. Semasa smp aku hanya melihatnya melihatnya di layar kaca. Sekarang aku begitu dekat dengannya. Sangat dekat karena dia duduk di sebelahku sambil memperhatikan pak Yono, kepala sekolah kami memberi sambutan pembukaan acara MOS.
Tak sedikitpun ku dengar apa yang dikatakan pak Yono. Pikiran dan mataku berkonsentrasi pada bidadari berkulit merah muda yang ada di sebelahku ini. Sesering mungkin aku mencuri pandang padanya.
“Cantiknya makhluk Tuhan yang satu ini,” aku bergumam dalam hati.
Sekali pandangan mata kami bertemu, dia tersenyum kepadaku.
“Manisnya gadis ini..”kembali aku menarik nafas panjang.
Pikiranku melayang, tangan kananku menopang dagu, melamun membayangkan kami berdua berjalan berpegangan tangan di lorong sekolah ini. Pasti banyak yang akan iri padaku.
“Ech, khamu phunya penscil engga?” tiba-tiba bidadari di sebelahku bertanya.
“Eh.. ohh.. a-ada ada,” jawabku grogi.
“Aduh cinta... matamu.. bibirmu..” bathinku tak terdengar.
“Ni pensilnya..” kuserahkan pensilku padanya.
“Jangankan pensil, jiwakupun kuserahkan untukmu,” kembali bathinku berbicara lirih.
Diambilnya pensil dari tanganku dan dia mulai sibuk membuat gambar di halaman terakhir buku tulisnya, untuk menghilangkan kebosanan akibat pidato retorik pak Yono.
Kembali kunikmati pemandangan indah ciptaan Tuhan yang kini mencoret-coret buku tulisnya.
“Cinta cinta..” hanya dalam hati keberanianku memanggil namanya.
Apa daya? Aku bukanlah siapa-siapa baginya, bahkan bagi dunia ini. Bagaikan mendapat durian runtuh aku bisa bersekolah disini, di sekolah internasional ternama di Jakarta. Jika bukan karena kemurahan hati bos bapakku, mana mungkin keluargaku bisa menyekolahkanku disini. Bapakku hanya satpam di pabrik rokok samporno, karena pengabdiannya selama 20 tahun sebagai satpam itulah, begitu mendengar aku yang menjadi juara umum sewaktu smp tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan sekolah menengah atas, bos bapakku memberikan biaya untuk aku sekolah disini. “agar bakat dan kepintaranmu tak sia-sia”, begitu kata bos bapakku.
“Ech, ini penscil mu.. makhasich ya.. aku Cinta, nama kamu siapa?” dia menyodorkan tangannya sesudah kuambil pensil dari tangannya.
“Ehh.. sa-saya..eh, a-aku.. Doni.” kembali virus aziz gagap menyerangku.
Kusambut uluran tangannya. “Alamak.. halusnya tanganmu.. cinta cinta...” kunikmati memegang jemari lentik dan halus dengan sedikit melamun, yang membuat pandanganku lurus kosong dan sedikit tolol. Suara tawa tertahan membuat aksi “camel face” ku terhenti. Segera ku lepas genggaman tanganku. Dia berlalu sambil menahan tawanya.
“Bodohnya kau Don.. Don...” aku memaki pada diri sendiri.
Sebulan setelah kejadian itu, entah rejeki atau musibah, aku dan Cinta di tempatkan sekelas dan sebangku. Setelah kejadian itu aku nyaris tak berbicara padanya. Malu hati ini rasanya. Kegalauan ini membuatku berubah. Jadi susah tidur, tak enak makan, lebih suka menyendiri dan sering melamun sore-sore di pos kamling dekat rumahku.
“Seringnya kau melamun lay? Sampai-sampai tak kau dengar kami datang.” Togar kawanku menepuk pundakku dari belakang.
“Iyo.. ono opo tho Dhon?” Roso menimpali.
“Ga’ pa pa ahh..” aku memalingkan muka dari mereka. Togar dan Roso makin penasaran.
“Yo ojo ngono tho Dhon? Kowe iki konco ku, senasib sepenanggungan.. moso ga gelem crito.. sharing, ngono lho,” kata Roso memancing.
“Benarnya itu lay.. siapa tau aku dan si Roso ini bia bantu kau,” Togar menambahkan.
“Hmmm... “, aku memikirkan perkataan mereka. “Gini kawan..“ sengaja kuberi jeda agar bertambah khidmat.“Aku lagi suka sama orang,” kataku setengah berbisik untuk menambah kesan “rahasia”-nya.
“Cewe yo Dhon?” tanya Roso tolol.
“Bukan.. kambing.. ya cewelah, kau bodo’ “ Potong Togar sambil menjitak Roso.
“Yah begitu lah.. “ kataku menghela nafas panjang.
“Oww cewe tho? Kalo itu aku bisa bantu kalian..” kata Roso. Aku dan Togar berpaling kepadanya.
“Beneran ni?” kami serempak bertanya tidak yakin.
“Apa kalian lupa? Bapakku itu kan orang pintar.. dukun paling hebat di kampung ini,” Roso berkata membanggakan bapaknya yang satu-satunya dukun di kampung kami.
“Trus..” kami berdua belum mengerti
“Ya kita serahkan saja sama bapakku.. cinta di tolak, dukun bertindak..” kata Roso mantap.
“Hmmm.. boleh juga ide si Roso ini..” Togar manggut-manggut sambil memegangi dagunya yang tak berjanggut.
“Tapi.. apa ga jadi masalah nantinya?” aku meragu.
“Tidak mungkin lah.. bapak si Roso ini sudah terkenal kesaktiannya.. Cuma anaknya ini saja yang agak...“ Togar tidak melanjutkan kata-katanya, malah melirik Roso dengan pandangan mengejek.
“Koyo kowe paling sempurna ae cukkk.. cukk,” balas Roso pada Togar. “pokoke tak jamin aman dah Dhon,” Roso menambahkan.
“Ya sudah ayo kita ke rumahmu.. daripada aku galau begini..” aku pasrah.
Sesampainya di rumah Roso, kami disambut Pak Pujo, ayahanda Roso.
“Wah tumben kalian berdua main kemari?” sapa Pak Pujo padaku dan Togar.
“Iyo Pak.. iki koncoku enek masalah,” kata Roso pada bapaknya.
“Masalah opo tho le?” kata Pak Pujo kembali berbahasa Jawa.
“Masalah kambing.. eh, masalah wedo’an pak,” kata Roso to the point.
“Begini pak.. saya... “ aku bingung dan malu menjelaskannya, ku sikut lengan Roso.
“Ngene lho pak.. koncoku iki..” Roso menepuk bahuku, “tresno karo wong wedhok.. arep di tulungi ngono lho phak,” Roso menjelaskan pada bapaknya.
‘Hmmm..”, Pak Pujo manggut-manggut. “kamu yakin Dhon mau bantuan saya?” Pak Pujo menanyakan keteguhan hatiku.
“Sudah satu bulan saya tidak enak makan, tidak bisa tidur dan susah belajar.. hanya bapak yang dapat membantu saya” kataku setengah memohon.
Kembali Pak Pujo manggut-manggut, “ya sudah ayo kita masuk ke dhalam”, ajak pak Pujo. “Kalian dhudhuk dhulu disini” kata Pak Pujo pada kami, sejenak dia masuk ke dalam kamar yang ditutupi tirai hitam kemudian keluar membawa botol bening kecil yang berisi cairan bening kekuningan.
“Ini namanya minyak pemikat sukma, minyak pelet paling ampuh sejagad raya ini.. cukup kamu mengoleskan atau menyentuhkan minyak ini dengan tanganmu pada kulit gadis itu, maka dia akan menyukaimu lebih dari apapun.. pergunakan sebaik-baiknya,” titah Pak Pujo menyerahkan minyak pelet itu padaku.
“Terimakasih banyak pak,” kuucapkan terimakasih pada Pak Pujo.
Saat aku menyerahkan sejumlah uang untuk membayar minyak pelet itu, Pak Pujo menolaknya, “tidak usah Dhon.. kamu dan Roso sudah berteman sejak lama.. saya berikan minyak itu dengan cuma-cuma.”
“Terimakasih banyak pak,” sekali lagi aku mengucapkan terimakasih, “kalau begitu saya pamit pak,” aku berpamitan.
“Tunggu Dhon..” cegah Pak Pujo, “ada satu hal yang mau saya ingatkan.. cinta sejati tidak di dapat dengan minyak pelet itu..” kata Pak Pujo bijak.
“Iya pak, saya mengerti..” jawabku sekenanya. “Kau akan jadi milikku Cinta..” bathinku.
Di sekolah aku mencari cara agar dapat mengoleskan minyak pelet pemikat sukma itu pada Cinta. Akhirnya aku dapatkan alasan yang tepat.
“Cinta.. “ aku gugup, “kamu udah buat pr fisika blum?” tanyaku.
“Ouww.. phisic? Udah..” jawabnya.
“Boleh penjem ga? Aku lupa bikin kemaren,” tanyaku penuh harap.
“Yes off course.. here you go,” kata Cinta berlogat britishnya sambil menyerahkan buku pr fisikanya padaku.
Sengaja ku sentuh tangannya dengan tanganku untuk mengoleskan minyak pelet pemikat sukma padanya. Saat ku sentuh tangannya, terjadi perubahan ekspresi pada wajahnya, raut mukanya membias merah. Aku menunggu reaksinya. Cinta tersenyum manis padaku. Aku tak tahu apa pelet ini berhasil atau tidak.
Aku coba mengajaknya untuk pertama kali, “Cinta.. ke kantin yuk?” aku tes keampuhan minyak pelet ini.o“Okey,” jawabnya singkat dengan wajah berseri.
“Yes!! Aku berhasil!!” hatiku terlonjak kegirangan.
Kami berjalan bersama menuju kantin sekolah, ku gandeng tangannya, Cinta tertunduk malu-malu pasrah. Berbunga-bunga hatiku melihat pandangan iri bercampur heran seisi sekolah. Sepintas kulihat Roso dan Togar menunjuk kami dengan ekspresi tak percaya.
“Macam mana pula ini? kenapa Si Dony itu bisa berpegangan tangan sama cewek blasteran itu?” kata Togar.
“Mungkin itu Ghar, yang bikin kawan kita pusing selama ini.” Roso menggelengkan kepalanya menatap Dony dan Cinta berjalan ke kantin.
“Ahh.. sial!! Tau begini, dari dulu aku minta barang ‘itu’ sama bapakmu”
“Belum rejekimu Ghar...”
Cinta tersenyum tersipu duduk berhadapan denganku. Kami duduk berduaan, nasi goreng kantin serasa 5 kali lebih enak, dunia bagaikan miliku dan Cinta. Hanya ada kami berdua, yang lain nebeng di kontrakan sebelah.
Sejak saat itu interaksi kami semakin intens. Kemanapun kami selalu berdua bagaikan orang pacaran, indahnya dunia ini. Pernah suatu kali ku ajak Cinta nonton bioskop. Dalam keremangan bioskop film Perahu Kertas diputar proyektor. Ku pandang wajahnya dalam gelap bioskop. Kejap cahaya memantul dari layar perak akibat pergantian adegan yang antara Kugy dan Keenan tak mengurangi kecantikan Cinta Laura Kiehl. Ku elus punggung tangan kiri Cinta dengan tangan kananku. Ku genggam tangannya, Cinta melihatku dan tersenyum manis. Ku dekatkan wajahku padanya. Perlahan matanya mulai menutup. Ku cium bibirnya lembut, dia menyambut ciumanku. Cinta meremas tanganku menahan hasrat. Sebuah ciuman pertama antara aku dan Cinta yang tak berlangsung lama namun lembut, hangat dan basah. Sebuah sensasi menyenangkan sekaligus menenangkan akibat ciuman yang mampu memacu tubuh menghasilkan hormon oksitosin dan menurunkan kadar hormon kortisol dan menghasilkan hormon adrenalin si hormon penyembuh/penghilang sakit.
“I love you..” ku bisikan di telinganya setelah firts kiss dengannya.
“I love you too..” kembali dia menciumku.
Sejak saat itu, kami bagaikan ketagihan berciuman akibat hormon dopamine yang membuat kami mabuk cinta. Kapanpun dimanapun kami mencuri waktu untuk bermesraan berciuman, di kelas, perpustakaan, UKS bahkan di parkiran. Waktu seakan mendukung kegiatan ”remaja” kami. Selalu ada kesempatan saat kami menginginkannya. Ciuman biasa, French kiss, ditambah rabaan serta remasan pada payudara, paha dan belahan pantat yang tidak ditolak oleh Cinta. Aku tidak berani melakukan lebih dari petting, aku sadar resikonya nanti jika aku melakukan hubungan sex dengannya. Aku sadar aku hanyalah anak seorang satpam dan masih duduk di bangku sekolah. Tanpa perkerjaan dengan penghasilan cukup, tak ada yang kujadikan pegangan nanti jika kami kebablasan.
Hubunganku dengan Cinta membuat duniaku terasa jauh lebih indah. Roso yang berbadan tambun, kini ku lihat bagaikan model obat diet. Togar yang bermuka kaku persegi kulihat bagaikan personel Super Junior. Pelajaranpun serasa semakin gampang untuk ku kerjakan. Singkat kata, Cinta adalah suplemen kehidupan yang dapat membuat tai kucing terasa Magnum Gold.
Walaupun mempunyai kekasih, tak membuat hubungan pertemananku dengan Togar dan Roso terputus. Kami masihlah tiga serangkai yang selalu bersama. Mungkin pada jam sekolah aku selalu bersama Cinta, tapi sepulang sekolah kami tetap akrab seperti sedia kala.
Sore ini aku dan Roso duduk di pos ronda kesayangan kami. Kupetik gitarku sambil mendendangkan lagu-lagu pop alay kesukaan anak muda zaman sekarang, Roso pun menimpali ku bernyanyi. Mulai dari Armada hingga Kangen Band, entah kenapa tiba-tiba aku jadi hapal lagu-lagu single mereka. Padahal sejak lulus sekolah dasar kupajang poster “Adam Levine dan empat orang di belakangnya” atau yang kita kenal dengan nama Maroon 5 serta poster-poster Muse, Alterbridge, Traffic Light dan sebangsanya di dinding kamarku.
Duet kami bernyanyi tidaklah terlalu buruk. Hanya menggetarkan kaca jendela pada rumah-rumah sekitar, sukses membunuh burung perkutut peliharaan pak RT dan membuat kucing yang lewat tiba-tiba ingin kawin.
“Kamu dimana.. dengan siapa.. semalam berbuat apa...”
“Hwoii!!” Seseorang yang kukenal suaranya menepuk pundakku dari belakang. Aku berbalik padanya dan tersenyum manis cenderung terlihat blo’on.
“Dari mana aja kamu Ghar? Udhah kita tungguin dari tadhi juga”
“Aku tadi bantu mamak aku, biasalah bisnis keluarga”
“Halaah... paling kamu abis nagih utang lagi.”
“Nah! Itu kau tau bisnis mamak aku,” katanya terkekeh. Togar menyalakan sebatang rokoknya dan bertanya padaku, “jadi... bagaimana hubunganmu sama si bule itu?”.
“Hmm... bagaimana ya?” Pertanyaan Togar membuatku mau tidak mau menarik kedua sudut bibirku ke samping. “Ya lancar lah... seperti biasa...”.
“um... bagaimana ya...” alis Togar bertemu dan pandangannya menyamping, “sebenarnya, ada yang mau ku tanyakan padamu...”.
“Apa gar?”
“Paling-paling dia mau minta sisa minyak pelet dari bapakku,” potong Roso
“Ahh.. bukan, bukan itu kawan.. begini.. apa pacarmu itu punya...” Togar mulai menggaruk kepalanya.
“Punya apa Gar?” aku jadi penasaran pada kawanku ini.
“Punya itu..”
“Itu... itu... itu opo tho? Ngomong sing genah Ghar!” kali ini Roso yang ikutan penasaran.
“Punya anu..” aku yakin, seluruh kutu di kepala Togar pasti sudah rontok semua karena garukan tangannya semakin keras. “Punya sepupu atau apalah yang sejenis.” Kulit Togar yang kecoklatan, berubah warna menjadi merah kehitaman, bagaikan kepiting bakar yang telat diangkat.
“Sejenis? Maksudmu iki opo tho?” Roso menyuarakan suara hatiku, kebingungan kami sama rupanya.
“Yah.. itu.. sama-sama bule begitu.” Togar membalikkan badannya menahan rasa malu.
Aku dan Roso saling berpandangan dan memegangi perut kami menahan tawa.
“Ppfftt ppffttt.. pwahahahhahaha...” pertahanan tawa Roso jebol rupanya, “kowe iki Ghar.. Ghar.. Dony sing nganteng ngene ae mumet kok.. lah awakmu sing rupane koyo preman terminal kok malah doyan bule?? Eling Ghar... eling...”
Togar tersenyum kecut mendengar ejekan Roso namun ada nada optimis saat dia berkata, “namanya juga usaha.. siapa tau aku bisa memperbaiki keturunan? Ya kan?”
“Ya sudah... nanti ku tanyakan sama Cinta,” kataku menepuk bahu Togar.
“Benaran ini Don?” ada binar harapan di mata Togar.
“Iya.. kau sabar tapi ya...” jawabku meyakinkannya.
Roso mulai berjalan ke belakangku dan terbatuk, “huk.. uhuk.. ngimpi.. uhuk.. huk..”
Togar yang mulai kesal mengambil sandal di kakinya dan mulai mengejar Roso yang telah berlari menjauh. Aku tertawa melihat tingkah kedua kawanku ini.
Bersama Cinta, waktu terasa begitu cepat, tak terasa libur semester pertama sudah di depan mata. Tak kuduga Cinta kekasihku mengajak aku liburan di villa milik Michael Kiehl ayahnya yang terletak di pesisir pantai Anyer. Karena aku tidak punya kegiatan saat liburan semester nanti, aku mengiyakan permintaan Cinta. Baik aku maupun Cinta berbohong pada orangtua kami dengan mengatakan liburan bersama teman-teman, padahal hanya kami berdua. Cinta menyetir mobilnya menuju villa, aku yang sedari awal tidak bisa menyetir hanya duduk di sebelah Cinta dengan perasaan tidak enak hati. “Duh.. laki-laki macam apa aku ini.. masa cewek yang nyetir?” aku hanya berkata dalam hati.
Deburan ombak menyambut kami begitu sampai di villa milik keluarga Kiehl. Sebuah villa yang besar, tiga kali besar rumahku, dengan halaman yang luas ditumbuhi padang rumput nan hijau. Bangunan 2 bertingkat dengan cat putih dan coklat krem dengan arsitektur campuran modern berjendela besar ini begitu megah bagiku. Tak henti-hentinya aku mengagumi villa ini. “jyangan bengong ajya.. c’mon”, kata Cinta dengan logat khasnya mengajaku masuk. Aku masuk menenteng tas 2 tas kami yang berisi baju, sebuah tas laptop dan sebuah tas kecil berisi kamera digital. Dekorasi khas bangunan modern minimalis menghiasi ruangan villa. Sofa putih yang terlihat empuk, sebuah meja kaca bulat, dan tv besar bertuliskan “plasma” menempel cantik di dinding berwarna abu-abu muda. Cinta mulai membuka semua gorden jendela villanya, membuat cahaya matahari sore masuk menyinari villa ini. Ku taruh semua tas di sofa dan membantu cinta membuka gorden pada jendela belakang villa. Terdapat kolam renang persegi panjang di belakang villanya, dengan 2 pasang kursi hitam terbuat dari besi menghias pinggir kolam. Aku takjub pada keindahan dekorasi villa ini. Pengaturan tata letak yang tak pernah ku lihat sebelumnya.
“Are you hungry beibh?” Cinta bertanya sambil menarik gorden.
“Iya ni.. laper..” aku mengangguk pada cinta.
Cinta berjalan membuka kulkas dan melihat-lihat, “kamu mau American meal?”, tanya Cinta sambil mengeluarkan sekotak telur ayam dari kulkas.
“Apaan tuh?” aku bingung mendengar kata american meal.
“Egg with beef beacoon, ham, sausage and bread, “ Cinta menjelaskan dengan logat british english yang fasih.
“Hah?” yang ku mengerti hanya kata sausage yang artinya sosis.
“Telur, daging asap, ham, sosis dan roti,” Cinta menjelaskan dengan bahasa yang ku mengerti.
”Oww.. boleh boleh.. emangnya kamu bisa masak begituan?”, aku meragukannya. “Jangan sampe beracun ya..” kataku bercanda yang direspon muka sewot Cinta.
“Kalo sewot, kamu tambah manis Cin...” aku tersenyum melihat gadis manis ini mencibir padaku.
Cinta mulai sibuk membuat American meal di dapur dengan kitchen set lengkap yang aku yakin harganya sangat mahal. Aku melanjutkan membuka semua gorden di villa sambil memperhatikan Cinta yang serius dengan masakannya. Walaupun sedang memasak, ekspresi gadis itu tetap lucu di mataku. Seorang artis kaya raya dengan tangan mulus yang pintar memasak. Sedikit aneh mamang, tapi inilah yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri.
Aroma daging asap dan sosis digoreng menyerang indra penciumanku membuat rasa lapar semakin menyerangku. Aku duduk di sofa menunggu Cinta masak. Kuambil remote dan menyalakan tv untuk mengalihkan perhatianku. Aku bingung, hampir semua siaran menggunakan bahasa asing. Walaupun bisa sedikit bahasa inggris, tapi orang-orang bule di tv bicara begitu cepat. Ku pencet tombol remote mencari saluran indonesia dan terhenti saat kulihat dua tokoh kartun berkejaran. Tom si kucing mengejar Jerry si tikus dengan sebuah palu di tangan. Aku tergelak saat melihat palu Tom mengenai sasaran yang salah, seekor anjing galak abu-abu yang kemudian memukul Tom hingga babak belur. Dua pasang lengan melingkar di leherku.
Cinta mengecup pipiku dari belakang dan berkata,”udah siap beibh..”
Kami makan masakan Cinta. Rasanya enak menurut lidah Indonesiaku. Sebuah sosis, beberapa lembar daging asap, sebuah daging ham ditutupi telur mata sapi dan roti gandum ditemani segelas sirup jeruk, hanya satu yang kurang yaitu nasi. Aku sejak kecil terbiasa makan nasi dan sekarang dengan makan roti, perutku tidak merasa kenyang.
“Villa mu ga ada yang nungguin?” aku bertanya sambil menyuap sepotong daging asap ke mulutku.
“Hmm.. mmm.. “ Cinta menghabiskan kunyahannya, “ada.. bi Inah.. tapi dia datang pagi.. bersih-bersih,” jawabnya kemudian melanjutkan makan.
Selesai makan kami pun mandi bergantian. Cinta mandi lebih dahulu, aku menunggu antrian sambil menonton tv. Dua puluh menit kemudian, Cinta keluar kamar mandi.
“Your turn,” katanya padaku.
Aku menoleh, dia hanya mengenakan handuk menutupi payudara sampai beberapa sentimeter di bawah pangkal paha. Paha mulusnya terlihat jelas dengan kulit putih memperlihatkan urat darah berwarna biru kehijauan dengan jelas. Aku terpana melihat keindahan karya Sang Pencipta terpampang indah di depanku.
“Kok malah bengong? Ayo mandi, abis ini kita berenang..” kata Cinta menyadarkanku.
Diapun berjalan masuk ke kamar. Aku mandi dengan rasa penasaran dengan bentuk tubuh telanjang Cinta yang tadi sengaja disensornya dengan selembar handuk. Tak terasa tangan ini mulai mengurut penisku yang menegang karena memikirkan tubuh telanjang Cinta. Rasa penasaran bercampur dengan adegan-adegan film porno yang kulihat di hp teman kelasku, membuatku beronani dalam kamar mandi. Wajah artis perempuan dalam film porno, berganti dengan wajah manis Cinta Laura Kiehl, kujadikan objek imajinasi indahku. Hanya sebatas khayalan, aku terlalu pengecut untuk melakukan hubungan seks dengan Cinta.
“Tok tok...”.
“Beibh? Kok lama banget?”.
“I-iya.. sebentar Beibh..” Aku yang sedang asik mengurut penisnya menjawab gegalapan.
“Hurry up! Nanti sunsetnya lewat lho.”
“I-iya.. dikit lagi...”
Cepat-cepat aku menyabuni dan membilas tubuhkua lalu memakai celana renang model speedo.
“Beibh?”
“Iya iya..” aku membuka pintu dan terkejut melihat Cinta mengenakan pakaian renang jenis onepiece tanpa lengan. Lekuk tubuhnya tercetak jelas pada permukaan baju renang hitamnya.
“Hey? Kok bengong? Ayo..”.
“A-ayo,” aku mengulang perkataan Cinta.
Dia mengandeng tanganku menuju kolam renang, saat aku sibuk memperhatikan pantat montoknya yang bergoyang. Ingin rasanya aku remas pantat bulat Cinta, tapi aku lebih takut tangannya menampar pipiku.
“Here we go!” Cinta meloncat ke dalam kolam renang, menimbulkan riak air membias ke arahku.
Cinta menggerakan telapak tangannya memanggilku. Aku tersenyum dan ikut meloncat ke dalam kolam renang. Ternyata kolam yang terlihat pendek dari atas ini sedalam 2,5 meter, untungnya aku bisa berenang. Celana renangku menjadi sesak karena melihat selangkangan Cinta yang tertutup bagian segitiga baju renangnya saat aku hendak menuju permukaan.
Layaknya dua remaja dimabuk cinta, kami tertawa bercanda di kolam renang. Saling menyiramkan air satu sama lain, berlomba mencapai ujung kolam, alangkah indahnya kemesraan kami ini. Bukan moment-nya yang indah, tapi berkali2 badanku tergesek dengan payudara Cinta.
“Hehehhe.. asik ya?” kata Cinta yang bersandar di tepi kolam.
“Iya.. eh, liat tuh!” aku berseru menunjuk matahari yang mulai menyentuh tepian cakrawala.
“That’s beautifull!!”.
“Iya.. kaya kamu..” aku mencoba merayunya.
Cinta tak menjawab, tahu-tahu dia langsung meraih kepalaku dan mencium bibirku. Sepertinya rayuan gombalku, ditambah efek sinar jingga matahari yang menerpa kami, sukses besar.
Cinta melepaskan ciumannya dan mencubit perutku, “don’t try to lie to me.”
Sepertinya rayuanku tak berhasil, “Engga kok.. kamu emang cantik beneran.”
Cinta tersenyum manis mendengarnya. Kudekatkan kepalaku padanya dan kucium lagi bibirnya. Cinta menyambut ciumanku, tapi kali ini berbeda, dia menciumku seperti tak ada hari esok lagi. Cinta menggeser tubuhnya dan memelukku. Akupun memeluk pinggangnya. Kuberanikan diri meremas pantat montoknya. Penisku yang menegang dibalik speedo, bersentuhan dengan daerah bawah pusar Cinta. Aku takut dia akan marah, tapi dia tetap menciumku seakan tidak terjadi apapun di bawah sana.
Cinta kembali melepas ciumannya dan menatap mataku lurus, “do you love me?”
Aku mengangguk mantap.
Sebuah senyum terkembang di wajahnya. Tiba-tiba tangannya memegang penisku yang tegang. Reflex aku menepis tangannya.
“Why?” Cinta bertanya dengan raut wajah bingung, “katamu kamu mencintaiku?”
“Tapi...”
Cinta berbalik dan berenang ke ujung kolam, meninggalkanku yang merasa bersalah.
“Beibh...” aku mengejarnya ke ujung kolam dan memeluknya.
Cinta memunggungiku, tak sedetikpun wajahnya menatapku.
“Aku suka sama kamu.. aku cinta sama kamu.. tapi ga gini juga..”
“If you love me.. then prove it!” Cinta berseru dengan nada tinggi.
Ada kebingungan di hatiku, “apakah harus begini untuk membuktikan rasa sayangku padanya? Apakah harus mengikuti nafsuku dan melupakan nalarku?Tapi ini bukanlah cinta.. aku mencintainya, tapi dia... perasaanya padaku tidaklah nyata... hanya terpengaruh minyak pemikat sukma...”
Kurasakan ada yang mengelus celanaku, rupanya saat aku kebingungan, Cinta membalik badannya dan kembali tangannya mencari pemuas nafsu. Merasakan penisku yang tegang di balik celana, Cinta tersenyum penuh kemenangan.
Terdorong oleh nafsu, kembali kucium gadis manis di depanku. Cinta melenguh tertahan saat ku remas kedua pantatnya. Dalam air kami saling meraba, dinginnya angin sore yang berhembus dikalahkan oleh panas darah yang mengalir lancar di sekujur tubuh. Detak jantungku tak beraturan saat Cinta menurunkan baju renangnya dan memperlihatkan payudaranya. Walaupun tergolong kecil, namun tampak indah dengan puting merah muda yang mengacung tegang.
Kusentuh putingnya dengan jari telunjukku, Cinta tersenyum dan berkata, “suck it.. please..”
Tak menunggu lama, segera kuhisap puting merah muda nya. Cinta meremas-remas rambut di bagian belakang kepalaku, suara mendesis keluar dari bibirnya. Bergantian kumainkan lidahku di kedua putingnya di dalam air. Cinta membusungkan dadanya, menyodorkan payudaranya ke arah mulutku.
Puting payudara Cinta terasa kenyal dan lembut di bibirku. Sesekali kugigit kecil putingnya, membuat cinta mendesis bagai ular. Tanganku mengusap punggung gadis manis ini. kadang ku remas lembut pantatnya.
“Uhhh Don..” Cinta memanggil namaku dalam hasratnya.
Jari-jari Cinta masuk ke dalam air mencari selangkangannya. Cinta menggosok bagian klitorisnya yang masih tertutup baju renang. Gosokannya pada selangkangan sendiri ditambah hisapanku pada payudaranya membuat Cinta mendesah keras. Pinggulnya bergerak maju dan mundur di dalam air.
Tiba-tiba Cinta menghentikan gerakan tangannya dan meraih celana renangku. Dengan sekali tarikan, Cinta menurunkan celana renangku hingga tenggelam di dasar kolam. Aku refleks menutup selangkanganku, aku malu bila Cinta melihat “senjata pusaka”–ku ini.
Cinta membuka tanganku tapi aku menahan sekuat tenaga. Dia malah memaksa dan berkata, “i want it.”
“Jangan.. Aku malu,” kataku sambil menggeleng.
Dia tersenyum melihat tingkahku dan menyelam ke bawah air. Tangannya menyusup ke bawah selangkanganku dan meremas buah zakarku. Remasannya terasa enak-geli-ngilu membuatku bergerak-gerak menghindarinya.
“Pokoknya aku mau liat!!” nada suara Cinta meninggi disertai ancaman, “kalo engga boleh, nanti ku potong.”
Aku ngeri mendengar ancamannya, dengan terpaksa aku memperlihatkan penisku. Cinta tersenyum penuh kemenangan dan menggenggam penisku. Ada rasa aneh saat penisku dipegangnya. Jauh berbeda daripada saat aku onani, yang ini lebih memacu adrenalin.
Jantungku berdegup kencang menunggu apa yang akan dilakukannya. Dengan lembut Cinta mengurut penisku. Aku meringis menahan rasa nikmat dibawah sana. Genggaman tangan kecilnya menggesek saraf sensitif pada batang penisku. Ku pejamkan mataku menikmati kocokan tangan Cinta.
“Ahhhh..” desahan keluar dari mulutku tanpa dapat ku tahan. Pinggulku bergoyang mengikuti kocokan Cinta.
“Is it feels good?”
Aku mengangguk cepat, mataku masih memejam, hilang sudah ketegangan yang tadi sempat melanda, berganti rasa gelisah yang aneh. Nafasku terasa lebih berat, ada rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh. Aku nyaris tak kuat menahan nikmat kocokan Cinta.
Ada yang aneh kurasakan, penisku seperti diselimuti rasa hangat, padahal air kolam ini tadinya dingin. Kubuka mataku, kulihat kepala Cinta sudah di dalam air. Ternyata Cinta menghisap penisku, pantas saja rasanya hangat. Pemandangan yang selama ini hanya kulihat di fillm porno, sekarang kualami sendiri. Hangat dan basah rongga mulut Cinta, ditambah lembut lidahnya menyapu setiap senti batang penisku. Alamak.. sungguh mati, rasanya enak betul.
Tak lama, Cinta kembali muncul dari bawah air dan bertanya padaku, “want more?”
Aku mengangguk mantap.
Bukannya menyelam dan menghisap penisku, Cinta malah menjepit penisku di sela pahanya. Batang penisku bergesekan dengan selangkangannya. Cinta memelukku dan mengoyang pantatnya ke depan. Jepitan pahanya pada penisku terasa sempit bukan main.
Aku tak mau kalah, segera kuremas pantatnya yang kenyal. Desahan kami saling besahutan. Untung saja villa ini sepi dan jauh dari rumah penduduk. Jika tidak mungkin saat ini kami berdua sudah diarak ke kantor kelurahan terdekat.
Nafsuku yang semakin memuncak menuntunku meloloskan baju renang yang dipakai Cinta. Lembar tipis kain yang menghalangi kulit mulus dadanya dari pandanganku kini telah melorot turun hingga ke perut ratanya.
Seandainya hidup adalah sebuah keterpaksaan,
Bagaimana kau jelaskan bintang yg setia peluki dada malam?
Kurapatkan tubuhku padanya, mulutku tak sabar ingin menyusu pada payudaranya yang kecil namun indah dipandang. Cinta memegangi payudaranya dan mengarahkannya ke mulutku. Gadis manis ini tahu apa yang kuinginkan.
Jika aku adalah satu dari sekian banyak pilihan
Maka cinta adalah suatu pemahaman akhir....
Lembar yg terlepas dari kitab kehidupan-mu
Lembut kurasa putingnya dalam mulutku. Cinta yang tertawa kegelian diantara desahnya membuatku semakin ingin menjelajahi tiap lekuk tubuhnya. Tangannya tak mau diam saat ku hisap payudaranya, selalu meremas dan merangsang penisku.
Aku tak perlu zikir
Ataupun sihir
Aku hanya butuh kau!
Aku tak mau kalah, kupijat lembut selangkangannya. Mulutnya mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris begitu cepat, tak sanggup otakku mengartikannya. Semua kata diucapkan dengan nada tinggi, hanya satu yang kumengerti, gadis ini sama bernafsunya sepertiku.
Tak perlu rumit berfikir
Mari cicipi rindu mengelegak,
kita...
Hasratku memuncak ingin dituntaskan. Kutelanjangi tubuh Cinta dalam rendaman air kolam renang. Rupanya Cinta menginginkan hal yang sama. Tangan gadis ini segera memeluk dan kakinya mengait di pinggulku. Jangankan bercinta dalam air, di atas ranjangpun aku tak pernah. Tapi aku tak ingin mengecewakannya, aku bertindak sewajar mungkin, walaupun batang penis berdenyut terasa hingga urat kepala.
Suara tawamu,
Tapal yg batasi antara surga dan neraka...
Cinta menggenggam batang penisku dan mengarahkan menuju vaginanya. Tiba-tiba kaitan kakinya mengencang dan selangkangannya merapat pada selangkanganku. Lututku gemetar, bukan karena dinginnya air, tapi karena rasa aneh yang menjalar dari pangkal selangkanganku meluas ke seluruh tubuh. Tanpa dapat ku tahan, desahan lega keluar perlahan dari mulutku.
Senyum yang tersipu itu....
Telah mekarkan bunga bunga suram di tepi jurang
Cinta tersenyum melihat raut wajahku. Dia memelukku erat dan berbisik lirih, “sorry... aku tidak perawan lagi..”
Tempat aku menjejak
Dan mencium sejuta aroma cinta mengangkasa...
Aku sedikit terkejut dengan apa yang diucapkannya. Walaupun tidak perawan, vagina Cinta begitu rapat menjepit penisku. Aku tak berkata apapun, hanya kecupan mesra ku tempelkan di pipinya. Kuikuti naluri untuk menggoyang pinggulku. Rasa hangat dan basah yang melapisi batang penisku ditambah jepitan vaginanya membuat sensasi persetubuhan pertamaku ini tak kan terlupakan seumur hidupku.
Pada lekuk tubuhmu,
Kutemukan legenda yang belum pernah ditulis
Cinta yang bernafsu mencium bibirku dan ikut menggoyangkan tubuhnya. Setiap gerakan kami begitu bermakna. Rasa yang tak terlukiskan, hanya dapat dirasakan dan di ekspresikan dengan ciumanku pada bibirnya. Memimpikannya pun aku tak berani, tapi kini aku sedang menggoyangkan penisku yang masuk menusuk vagina Cinta. Jikalau ini adalah mimpi, tolong jangan bangunkan aku.
Semoga tak salah kuterjemahkan
Mantra dibalik redup matamu
Yang telah memikat segala mahluk tak berdaya
Yang ingin sejenak berlari dari dunia...
Matahari mulai tenggelam. Jingga sinarnya memancar menerangi tubuh telanjang kami. Ada sensasi tersendiri yang kurasakan, indahnya sunset dan nikmat yang ku kejar berdua bersama Cinta. Sungguh perpaduan keindahan yang tidak dapat dituliskan oleh puisi manapun.
Semakin lama, gerakan kami semakin cepat. Laju nafas kamipun semakin pendek. Ada rasa enak yang ingin ku kejar. Ciuman kamipun tak dapat melampiaskan perasaan nikmat ini. Cinta mengalihkan ciumannya pada leherku, yang anehnya, membuatku semakin bersemangat menusukan penisku pada vaginanya.
Pantatnya aku remas keras. Rasa gatal pada kepala penisku muncul akibat gerakan pada lubang vaginanya yang seakan meremas penisku. Ku percepat goyanganku karena firasatku mengatakan spermaku sebentar lagi akan menyembur seperti adegan di film biru. Rupanya tempo cepat goyanganku membuat cinta menjerit keenakan dan remasan vaginanya semakin kuat. Walaupun ngilu kurasakan pada penisku akibat remasan vaginanya, aku tak perduli. Kudaki ujung kenikmatan ini tanpa jeda.
Cinta juga mempercepat gerakannya dan menyuruhku tetap menusukan penisku. Tangannya menjambak rambutku dengan keras. Kupegang pantatnya agar penisku masuk lebih dalam.
“Come on! Come on! Come on!”
Aku tak memikirkan apa yang dikatakannya lagi, hanya deru nafasku yang ku dengar. Rasa gatal ini semakin menjadi.. sedikit lagi.. sedikit lagi..
“Ahhhhhhh!!!” aku berteriak begitu spermaku menyembur dalam vaginanya.
Cinta juga menjerit panjang, badannya memelukku erat, membuat penisku menancap lebih dalam. Bersamaan dengan menghilangnya sinar matahari, persetubuhan kami Berakhir Cinta yang menggendong pada tubuhku tak melepaskan pelukannya. Posisi kami masih sama, hanya penisku yang semakin mengendur ketegangannya.
Ku kecup kepalanya yang bersandar di bahuku. Nafasnya masih tak beraturan seperti orang sehabis berlari. Kuusap rambutnya lembut. Mataku memandang garis horizon laut yang dihiasi lampu-lampu kecil kapal nelayan. Badanku yang lelah merasakan kedamaian dalam pelukannya. Sekali lagi ku katakan, tolong jangan bangunkan aku dari mimpi indah ini....
Aku duduk bersandar di tiang penyangga pos kamling sambil memeluk gitar kesayangan, hidupku terasa tak bergairah. Sejak kejadian di villa anyer, hari terasa silih berganti begitu cepat, rutinitasku berjalan monoton tanpa jeda. Bangun, sekolah, pulang, belajar, pos kamling ditambah dengan makan, minum, tidur dan aktivitas di kamar mandi. Semuanya kulalui tanpa merasakan maknanya. Mungkin memang benar syair dalam lagu yang dinyanyikan Rhoma Irama, “hidup tanpa Cinta, bagai taman tak berbunga...”
Cinta memang ada dalam hidupku, namun aku yang tak ada dalam hidupnya. Benar kata pepatah, Cinta sejati lebih berarti daripada Cinta palsu. Cinta selalu berkata “sayang”, “love you”, “miss you” dan sebangsanya, namun semua itu palsu. Semua kasih sayang semu itu berasal dari efek minyak pelet yang diberikan Pak Pujo padaku. Terlebih lagi “kejadian” di villa yang membuatku dihantui rasa bersalah padanya.
Sudah sebulan ini aku menghindarinya. Sejak dimulainya semester baru, tak sepatah katapun kuucapkan padanya. Dorongan rasa bersalah memaksaku untuk menghindarinya. Malu hati ini untuk bertemu muka dengannya. Di kelas kami berdua bagai sepasang musuh yang duduk sebangku. Berkali-kali Roso dan Togar mencariku dan mengatakan salam dari Cinta yang kusambut dengan tarikan nafas panjang.
Togar dan Roso juga berkali-kali menanyakan apa yang terjadi, tapi baru kali ini aku tidak menceritakannya pada mereka. Sejak kecil, tidak ada rahasia diantara kami. Togar selalu menceritakan “hot news” pengintipan penghuni baru di kost putri milik ibunya, kami juga tahu Roso masih ngompol sampai kelas 2 smp. Akupun bercerita pada mereka tentang semua masalahku, namun tidak kali ini, aku memendamnya sendiri.
Sudah dua hari aku tidak masuk sekolah untuk mengurangi rasa bersalahku. Dan dua hari juga aku tidak melihat kedua teman gilaku itu. Mungkin hari ini aku akan menceritakan masalah ini pada mereka dan berharap mereka dapat memberikan solusi. Jujur saja, isi pikiranku sudah diambang batas daya tahanku.
Sejam aku menunggu, belum muncul juga kedua kawanku ini. kulihat lagi jam yang menempel kalem di pos kamling, ini sudah jam 4 sore, harusnya mereka sudah disini setengah jam yang lalu. Detik demi detik, menit demi menit. Yang kutunggu tak kunjung muncul. Malah seorang mbak pedagang jamu tiba-tiba lewat di depanku dan menawari jamu galian rapet. Ini apa coba??
Rasa bosan menunggu mulai menyerangku. Kugenggamkan jemari ini pada fret gitar dan memainkan kunci D.
“Dunia ini.. panggung sandiwara.. ceritaaaaaanya mudah berubah.”
Tiba-tiba terdengar suara nyaring siulan dari arah barat. Kulihat dua sosok berseragam putih abu-abu berjalan ke arahku sambil cengengesan. Yang satu gemuk dan yang satu kurus. Mereka adalah kedua sahabatku, Roso dan Togar.
“Disini kau rupanya Lay?” sapa Togar padaku.
Aku hanya tersenyum lemah pada mereka.
“Kamu udah dua hari ndak sekolah.. dicariin terus sama Cinta,” potong Roso sebelum sempat aku menjawab sapaan Togar.
“Iya Ros...”aku mengeleng lemah.
“Ada masalah apa tho kalian?”
Aku terdiam sesaat, ada rasa ragu untuk menceritakannya pada mereka.
“Kau bilang saja Lay, siapa tau kami ini bisa membantumu?” kata Togar menepuk pundakku.
“Sebenarnya.. aku merasa takut..”
“Takut kenapa kau ini? Masa laki-laki takut?” kata Togar sambil memasukan tangan ke dalam sakunya.
“Bukan itu Gar... aku merasa bersalah pada Cinta. Aku telah membuatnya menyukaiku dengan pengaruh minyak pelet dari Pak Pujo.”
“Lha? Terus apa yang bikin kamu takut Dhon?”
“Di satu sisi aku merasa bersalah padanya, di sisi lain aku takut jika aku mengatakan yang sebenarnya akan membuat aku kehilangan Cinta.”
Kedua temanku serempak manggut-manggut bagaikan dua orang psikiater yang mulai mengerti dilema kejiwaan yang aku alami.
“Tapi, kamu benar-benar suka sama dhia tho?” tanya Roso.
Aku mengangguk.
“Sayangnya kan kau sama do’i?” kali ini Togar yang bertanya.
“Iya, aku sayang sama dia... tapi...”
“Serius sama mbak Cinta?”
“Iya aku serius, tapi...”
“Kau tak main-main kan sama do’i?”
“Aku tak main-main, tapi...”
Mereka saling berpandangan dan mengangguk satu sama lain. Tiba-tiba dengan gerakan cepat Togar mengambil handphone dari saku celananya dan berbicara pada orang di seberang telepon tanpa memencet tombolnya.
“Sudah kau dengar kan? Ayo kemari lah.”
Orang yang diajak menelepon tidak menjawab, hanya terdengar bunyi tanda panggilan dihentikan.
“Siapa itu?” kataku bingung.
“Kau lihat sajalah sendiri,” jawab Togar yang diikuti anggukan Roso.
Pandangan keduanya beralih ke ujung jalan, menunggu seseorang yang mungkin tadi di telepon Togar. Aku yang merasa penasaran, ikut melihat ke ujung jalan. Tak berapa lama sosok putih berambut panjang berjalan dengan cepat mendekat ke arah kami.
Alamak!! Mati aku. Itu bukan hantu, lebih menakutkan dari hantu. Itu Cinta Laura Kehl, dengan raut wajah paling seram yang pernah aku lihat. Oke, walaupun seram, masih terlihat cantik tentunya.
Dia marah, dia sedih, dia kesal, dia ingin memakanku hidup-hidup. Semua terlihat jelas pada wajahnya. Ingin rasanya aku lari dari tempat ini, tapi melihat gelagatku, Togar dengan cepat menangkap lenganku dan memandangku dengan senyum liciknya. Siaaaaal!!
Cinta kini telah berdiri di depanku dan berkacak pinggang seakan menungguku untuk menjelaskan sesuatu. Kedua temanku beringsut ke belakang, seakan mengumpanku pada Cinta yang mengeluarkan aura singa betina lapar ini. Aku hanya menunduk, tak berani memandang wajahnya. Bagaikan terdakwa di depan sang pengadil, tubuhku terasa menciut lebih kecil dari semut.
Cukup lama suasana hening tak bersuara. Akhirnya kuberanikan mencuri pandang pada wajah gadis di depanku. Sorot matanya tajam memandangku. Alisnya naik sebelah begitu mata kami bertemu. Aku tidak siap jika bertemu dia sekarang. Bagaikan pujangga yang kehabisan inspirasi, otakku sibuk merangkai kata-kata penjelasan untuknya.
“Cinta... sebenarnya...”
“Jadi...” Cinta memotong penjelasan pujangga gagalku, “selama ini kamu mendekatiku dengan modal minyak pelet?”
“Iya...” aku mengangguk bagai pesakitan.
“And then, you think that i had efected by your magic charm??” nada suaranya meninggi.
Aku kembali mengangguk. Walau tak mengerti benar apa yang dikatakannya.
“Do you think i am a stupid girl, huh?!!” kali ini suaranya bukan hanya meninggi, tapi melampaui satu oktav.
Aku hanya menggeleng dan masih menunduk.
“Kita ke rumah Mr. Pujo....”
“Iya...” aku masih menunduk.
“NOW!!” Cinta menarik lenganku dengan keras.
Aku, Roso dan Togar mengantarkan Cinta yang menggandeng lenganku menuju rumah Roso. Sepanjang perjalanan orang-orang melihat kami, tiga orang pribumi berjalan bersama gadis setengah bule, dengan heran. Mereka menunjuk aku yang digandeng oleh Cinta. Mereka tidak tahu, tangan Cinta yang menempel di lenganku, berkali-kali mencubitku sepanjang perjalanan. Aku meringis dalam penyesalan.
~****###****~
“Pak... Pak...” Roso masuk mendahului kami, memanggil bapaknya.
“Ono Opho tho Le?”
“Ngene pak....” Roso membisikan beberapa kalimat pada Pak Pujo.
Pak Pujo melihat ke arah kami sambil mengangguk tenang, berkebalikan dengan raut wajah Roso yang menjelaskan duduk permasalahan kepada bapaknya dengan aura “siaga satu”.
Pak Pujo mendekati kami sambil tersenyum. Beliau menyalami kami satu per satu. Aku yang sudah tak sabaran, segera membuka suara untuk meminta tolong padanya, “Begini Pak...”
“Did you make that magic charm for Dony?” potong Cinta.
“Yes, I do,” jawab Pak Pujo tenang.
Aku, Togar dan Roso saling berpandangan.
“Pak’e iso ngomong mbule tho?” tanya Roso heran.
“Yo iso tho Le... jamanne wes nganggo ipad, moso yo ra iso?” jawab Pak pujo.
“Jadi, Bapak bisa bantu saya??” tanya Cinta.
“Sebenarnya minyak pelet itu...”
“Bukan... bukan itu, saya mau bapak membuatkan beberapa minyak pelet lagi buat Dony, biar nanti bisa pelet saya lagi.”
Pak Pujo tersenyum mendengar permintaan Cinta, aku terkejut bukan main, sementara Togar dan Roso yang tidak mengerti hanya bengong.
“Jadi kamu bukannya mau disembuhin sama Pak Pujo??” tanyaku heran.
“Yang bilang aku mau disembuhin siapa ha?”
“Jadi..” aku menunjuk padanya yang dijawab anggukan dan senyum termanis oleh Cinta.
“Aku udah suka sama kamu dari dulu, cuma kamunya ga mau deketin aku, jadi aku nungguin kamu.”
“Jadi...”
“Iya bebh,” jawab Cinta yang kembali menggandeng lenganku.
“YESSS!!” aku berteriak keras sambil mengepalkan tanganku ke udara, persis seperti pemain bola yang baru mencetak gol. Rasa senang luar biasa merasuk dalam hatiku. Apabila ini adalah cerita di film Bollywood, sekaranglah saatnya musik berputar dan kami menari dan bernyanyi berpasangan dengan Togar, Roso, Pak Pujo dan penduduk kampung sebagai penari latarnya.
Pak Pujo menggeleng melihat kelakuan Dony dan Cinta. Perlahan Roso dan Togar mendekati Pak Pujo.
“Pak.. ehmm... bisa aku minta dikit minyak peletnya? Ada cewe cantik di sekolah yang aku taksir,” kata Togar malu-malu.
“Bisa... bisa,” jawab Pak Pujo.
“Ahh, serius ini pak?” wajah Togar berubah cerah.
“Bisa Ghar.. kamu mau merk apa? Bimoli? Filma? Atau yang tradisional, minyak kelapa?”
“Bukan minyak goreng pak, minyak pelet yang Pak Pujo kasi buat si Dony.”
“Ya itu yang saya kasi kemaren.”
“Jadi si Dony??”
Pak Pujo tak menjawab, hanya mengangguk dan tersenyum.
TAMAT