Recent Posts Widget

Pulau Dosa

http://cerita-porno.blogspot.com/2015/08/pulau-dosa.html



    CHAPTER 01 : KEBERANGKATAN


    Nurul mencoba mengatur nafasnya yang kini memburu tak beraturan, sekujur tubuhnya masih merinding ketakutan atas apa yang baru saja ia alami beberapa menit yang lalu. Jari-jari lentik gadis cantik itu masih tampak sedikit gemetar meski tadi rekan-rekannya yang lain telah berusaha menenangkannya. Sebenarnya ia tidak ingin berada sendirian di kamar yang menakutkan ini, namun ia tidak punya pilihan lain, instruksi yang diberikan dalam pelatihan kali ini jelas-jelas mengharuskan mereka untuk tidur di kamar mereka masing-masing. Nurul kini hanya bisa meringkuk bersembunyi di balik selimut berwarna merah darah yang memang disediakan di masing-masing kamar.

    Sejatinya Nurul ingin segera terlelap, namun setiap ia memejamkan mata ia terbayang tentang kejadian menakutkan yang baru beberapa menit lalu dialaminya. Nurul menutupi seluruh tubuh bahkan kepalanya menggunakan selimut. Berharap kantuk segera membawanya terlelap dan pagi lekas tiba.

    Namun suara derik itu terdengar lagi, diikuti dengan bisikan yang terdengar serak dan kering. Nurul makin meringkuk, memejamkan kedua matanya rapat-rapat, berharap agar bisikan-bisikan yang disebut sebagai suara angin oleh rekan-rekannya menghilang.

    Sayang bagi gadis itu, bisikan itu tidak menghilang. Alih-alih menghilang, bisikan itu malah terdengar semakin dekat dan dekat sebelum akhirnya Nurul dapat dengan jelas mendengar apa yang disebutkan dalam bisikan tersebut.

    “Nurul,” ujar suara serak dan kering tersebut.

    *_*_*

    Jarum-jarum jam di arloji Swiss Army berwarna hitam yang dikenakan Edi menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit saat ia turun dari mobil bersama enam orang rekannya yang lain. Angin di dermaga kecil itu bertiup cukup kencang. Di atas mereka, langit cerah membentang dengan bintang-bintang yang bertabur indah dan bulan purnama bulat sempurna menghiasi sang langit.

    “Masih ada empat puluh lima menit lagi,” gumam Asri, gadis manis berkulit eksotik itu mengibaskan rambut panjangnya, T-shirt merah jambu yang dikenakannya sedikit kontras dengan warna kulitnya.

    “Lebih baik daripada terlambat bukan?” ujar Letnan Kolonel Satria, orang yang bertugas mengantarkan mereka ke dermaga tersebut. “Ini nama kapal kalian, pastikan kalian sudah ada di atas kapal itu sebelum jam delapan pagi atau kalian akan ditinggalkan,” Letkol Satria menyodorkan secarik kertas pada masing-masing dari tujuh orang tersebut.

    “Apa ini?” Edi keheranan melihat kertas yang diterimanya. Kertas itu tidak berisi tulisan, melainkan sebuah kombinasi angka. Edi menoleh ke arah rekan-rekannya yang juga tampak kebingungan. Hanya ada satu orang yang tampak santai dan tampak tidak terkejut dengan isi kertas yang diterimanya. Orang itu adalah Ellyas Enyas, seorang pemuda lulusan akademi kepolisian Balikpapan.

    “Ini Enkripsi,” jawab Enyas santai sambil membakar rokoknya.

    “Kau bisa menerjemahkannya? Enyas?” Via bertanya, rambut sebahunya tampak tertata rapi. Via membaca deretan angka dan tanda yang tertulis pada kertas di tangannya.

    11/10/12/4—12/10/9/8

    Enyas diam sejenak, semua mata tertuju padanya.

    “Ya, kurasa tugasku cukup sampai disini,” LetKol Satria memecah keheningan yang ada sambil beranjak ke arah mobilnya. “Semoga sukses dengan latihan kalian.”

    “Terima kasih banyak komandan,” Nurul, gadis tercantik diantara tiga gadis lain yang juga ikut dalam rombongan mereka mengucapkan terima kasih sembari tersenyum ramah. Selain cantik Nurul juga terlihat lebih sopan diantara gadis lainnya.

    “Jangan buat skandal lagi, Nur,” Devisha, gadis yang cukup akrab dengan Nurul dengan sengaja menyenggol lengan Nurul dengan sikutnya. “Kau tidak ingin membuat Letkol Satria jadi korban kecantikanmu kan?”.

    “Yee, itu kan bukan salahku,” Nurul mencibir.

    “Empat puluh persen dari itu adalah salahmu,” Aryosh menimpali, perawakan Aryosh terlihat cukup menakutkan, badannya tegap, tinggi sekitar 186 cm dengan otot-otot lengan yang cukup terlatih. Aryosh mungkin lebih cocok sebagai binaragawan daripada detektif atau polisi.

    Tiga pemuda dan empat gadis yang ada di dermaga itu, Enyas, Edi, Aryosh, Nurul, Via, Devisha dan Asri adalah tujuh orang yang berhasil lolos dalam uji kompetensi sebagai detektif khusus kepolisian. Mereka telah mengalahkan ratusan pemuda-pemudi lainnya. Dan saat ini mereka tengah dikumpulkan dalam rangka latihan awal guna meningkatkan kemampuan mereka. Kode rahasia berbentuk enkripsi yang baru saja mereka terima adalah bukti bahwa kapabilitas mereka sebagai detektif baru kepolisian yang muda dan berbakat sedang diuji.

    Tiba-tiba saja perhatian teralih saat Enyas melangkah ke sebuah arah tanpa bicara sepatah katapun, membuat keenam rekannya memandang heran ke arahnya.

    “Hei! Enyas!” Edi berseru memanggil. Enyas berhenti dan menoleh ke arahnya.

    “Mau kemana? Kau sudah memecahkan enkripsi itu?” tanya Edi.

    Enyas tersenyum, wajahnya tampak heran. “Sudah jelas kan? Kalian tidak bisa memecahkannya? Kita tidak boleh terlambat kan?” Enyas menjawab, raut wajahnya tampak seperti orang yang keheranan, heran karena rekan-rekannya belum bisa menemukan jawaban atas enkripsi yang dibagikan tadi.

    “Kau benar, Enyas,” Asri berjalan mendekat ke arah Enyas. “Ini cukup mudah,” ujar gadis itu sambil menatap rekan-rekannya yang lain. Sebuah tatapan yang menggoda.

    “Kalian bisa mengikutiku kalau kalian mau,” ujar Enyas. “Tapi aku tidak menjamin apa mereka mengijinkan kalian naik jika kalian tidak bisa memecahkan enkripsi tersebut.”

    “Sial!” Edi mengumpat. “Kau selalu menggodaku, setidaknya beri kami petunjuk!” Edi meminta petunjuk dari Asri dan Enyas. Via, Nurul dan Devisha yang belum berhasil memecahkan sandi rahasia itu juga ikut meminta petunjuk.

    “Enkripsi adalah permainan mengkonversi angka menjadi huruf,” mendadak Aryosh bicara dengan suara beratnya yang cukup mengejutkan. “Kalian bahkan tidak mencoba,” ujarnya sambil bergabung dengan Enyas dan Asri, tanda bahwa ia telah memecahkan kode rahasia tersebut.

    “Oke,” Via mengambil pena dari tas tangannya. “Sebelas,” gumamnya. “Huruf ke-sebelas dalam alfabet adalah huruf K,” gadis itu menuliskan huruf K di kertasnya.

    Melihat apa yang dilakukan Via, empat lainnya segera melakukan hal yang sama.

    “KJLD-LJIH,” Edi membaca hasil konversinya. “Apa maksudnya itu?”.

    “Kau pikir akan semudah itu?” Aryosh mengomentari. “Kalau cuma sederhana seperti itu sih kurasa anak SD juga bisa.”

    “Tiga puluh menit lagi, Enyas,” Asri mengingatkan. “Kurasa sebaiknya kita segera naik ke kapal.”

    Enyas melirik arlojinya. “Kau benar,” jawabnya kemudian sambil berbalik.

    “Hey! Beri kami petunjuk lagi” raut wajah Edi sudah terlihat cukup panik, demikian juga dengan Nurul yang cantik. Kulit putih gadis itu tampak memucat karena panik. Enyas dan Asri tampak melenggang tanpa menghiraukan.

    “Bukan dua puluh enam,” Aryosh berkata datar, suaranya cukup mengejutkan. “Dua belas, bukan dua puluh enam,” ujarnya sambil berbalik mengikuti Enyas dan Asri.

    “Dua belas bukan dua puluh enam?” Edi mengulang petunjuk yang diberikan Aryosh, wajahnya tampak semakin bingung.

    “Dua puluh enam adalah jumlah dari alfabet,” ujar Via sambil berpikir.

    “Berarti bukan alfabet, kita harus menemukan sesuatu yang terkait dengan huruf dan jumlahnya hanya dua belas” Devisha mencoba memecahkan petunjuk dari Aryosh. “Apa yang hanya dua belas? Lusin? Satu lusin? Selusin? Bulan?”

    “BULAN!!” seru Via, Devisha dan Nurul bersamaan, Edi hanya bengong melihat ketiga gadis itu.

    “Bulan ke-11, November, kita ambil huruf depannya yaitu N,” Via mulai menganalisa.

    “Berikutnya bulan ke-10, Oktober, berarti O,” Devisha menambahkan.

    “ke-12 itu Desember berarti D,” Nurul kini mulai ikut menganalisa.

    “N-O-D-A-D-O-S-A” Edi menyelesaikan susunan enkripsinya berdasarkan petunjuk dari Aryosh yang telah dipecahkan oleh Via dan Devisha. “Aku rasa itu nama kapal kita,” Edi tampak sumringah, wajahnya kini mirip dengan orang yang baru saja lolos dari maut.

    “Ayo, waktu kita tidak banyak,” Via bergegas.

    *_*_*

    “Sampai juga kalian,” ledek Enyas saat melihat keempat rekannya satu-persatu naik ke geladak kapal. “Aku dan Asri sudah berpikir betapa tenangnya pelatihan di pulau tanpa kalian,” guraunya lagi.

    “Sebaiknya kalian tunda dulu bulan madu kalian,” Via menjawab sebal. “Ngomong-ngomong, bagaimana kalian bisa langsung tahu cara memecahkan enkripsi itu?”

    “Siapa bilang kami langsung tahu?” jawab Asri sambil meminum sebotol air mineral di tangannya. “Kami hanya langsung berusaha mencari jawaban, bukannya mengeluh dan membiarkan rasa bingung menguasai.”

    “Apalagi sampai mengemis-ngemis minta bantuan,” Aryosh berkata singkat. Edi tampak tersinggung dengan sindiran Aryosh. Sayang, tampaknya dia lebih takut dengan sosok Aryosh yang jelas-jelas terlihat jauh lebih garang darinya.

    “Jadi detektif itu harus tenang dulu, kan? Itu kan yang diajarkan Inspektur Ipus saat uji seleksi dulu?” Enyas mengingatkan rekan-rekannya.

    “Bagaimana rasanya jadi orang pertama yang naik ke kapal ini?” tanya Edi dengan maksud menyindir.

    “Sayang sekali aku bukan yang pertama,” jawab Enyas ringan.

    “Jadi Asri yang lebih dulu naik? Atau Aryosh?” Edi menoleh ke Asri dan Aryosh, keduanya menggeleng.

    “Dia detektif pertama yang naik ke kapal ini,” ujar Enyas sambil menunjuk ke beranda samping kapal. “Sepertinya dia juga akan mengikuti pelatihan ini.”

    Edi menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Enyas. Seorang pemuda seumuran mereka tampak memandang ke laut lepas yang gelap di hadapannya, sesekali asap rokok berwarna putih muncul dari bibir pemuda tersebut.

    “Siapa dia?” tanya Devisha.

    “Anak emas,” nada bicara Asri menunjukkan kekurang-sukaannya kepada pemuda yang tengah mereka bicarakan. “Kalian mungkin tidak pernah bertemu dengannya, dia mendapatkan jalur khusus dalam seleksi detektif kepolisian. Aku cukup sering melihatnya di kantor polisi pusat.”

    “Memangnya siapa sih?” kali ini Nurul yang bertanya.

    “Anak angkat Kapolri Komang Mahendra” Asri menjawab. “Namanya Rio.”

    Untuk beberapa saat semua mata memandang ke arah Rio. Rio sendiri bukannya tidak sadar bahwa saat ini ia jadi sorotan. Rio berusaha untuk tetap cuek dengan apapun yang tengah dibicarakan ketujuh orang yang akan menjadi rekannya dalam pelatihan kali ini. Baginya, pelatihan ini cukup penting, karena ia ingin menjadi detektif seperti apa yang disarankan oleh ayah angkatnya, Komang Mahendra yang saat ini menjabat sebagai Kepala Polisi Republik Indonesia.

    “Hai, aku Ellyas Enyas,” Enyas membuyarkan ketenangan Rio. Pemuda itu menyodorkan tangannya, mengajak Rio untuk berjabat tangan. Rio tersenyum dan menerima jabatan tangan Enyas.

    “Rio,” ujarnya singkat.

    “Jalur khusus dari uji seleksi kan? Aku dengar kau mendapatkan jalur khusus karena berhasil membantu kepolisian memecahkan kasus pembunuhan tingkat dua?” Enyas membuka pembicaraan.

    “Itu kasus dua tahun yang lalu,” Rio menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya ke angkasa. “Waktu itu aku masih kelas dua SMU.”

    “Luar biasa, pantas saja mereka memberimu jalur khusus...”

    “orang berpikir aku adalah anak emas karena mendapatkan jalur khusus, sebagian berpikir aku istimewa, sebagian lain menganggap itu semua karena aku adalah anak angkat Kapolri. Tapi kuberi tahu kau, Ellyas... aku juga berusaha keras untuk ini. Sama seperti halnya dirimu,” Rio memotong ucapan Enyas begitu saja.

    “Panggil aku Enyas,” Enyas menjawab seraya tersenyum. “Aku pikir kau pantas untuk menjadi detektif, terlepas dari siapapun dirimu, kau sudah melakukan hal yang hebat.”

    “Kita lihat saja apa yang kau katakan itu adalah pandanganmu yang sebenarnya tentangku, Ellyas Enyas, pemuda yang mendapatkan nilai tertinggi dalam semua bidang yang diujikan pada uji seleksi. Mereka berharap cukup tinggi padamu,” Rio mencoba mengejutkan Enyas dengan menyebutkan semua data yang diketahuinya tentang Enyas.

    “Rupanya kau mempelajariku,” senyum samar terkembang di wajah Enyas, senyum yang menyiratkan rasa bangga karena telah menarik perhatian pria yang disebut-sebut sebagai detektif nomor satu masa depan di kepolisian.

    “If you know both yourself and your enemy, you can win numerous,” ucap Rio sebelum menghisap rokoknya dalam-dalam.

    “Art of war Chapter 3, Sun Tzu,” Enyas tersenyum mengetahui asal kutipan yang baru saja diucapkan Rio. “Hohoho... kurasa ini akan jadi menarik,” Enyas tertawa kecil menanggapi ucapan Rio.

    “Seharusnya menarik,” ujar Rio sambil mengalihkan pandangannya ke laut lepas. “Tahukah kau apa yang saat ini lebih menarik bagiku?”

    “Apa?”

    “Dari tadi aku tidak berhenti bertanya dalam hati, kenapa mereka memberi kapal ini nama NODA DOSA,” gumam Rio seraya menghisap rokoknya sekali lagi.

    “Karena hanya kapal ini yang akan mengantarkan kalian ke pulau Dosa,” suara seorang pria cukup mengejutkan mereka, Enyas dan Rio menoleh ke arah pria itu nyaris bersamaan. Pria itu mengenakan kaos polos berwarna abu-abu dan celana pendek yang tampak kumal. Dari kerut-kerut samar di wajahnya tampak pria itu berusia sekitar empat puluhan.

    “Dan anda adalah?” Enyas memberanikan diri untuk bertanya.

    “Agil,” jawab pria tersebut. “Pemilik sekaligus kapten di kapal ini. Meski hanya kapal kecil, setidaknya aku memilikinya. Kalian sudah bertemu dengan Ganjar putraku kan? Yang tadi mempersilahkan kalian naik kemari?. Aku rasa sebentar lagi kalian akan bertemu dengan istriku, Mila. Dia sedang menyiapkan makan malam.”

    “Pulau Dosa?” Rio mengulang pernyataan yang diucapkan oleh Agil.

    “Aku rasa kalian akan mengetahuinya saat kalian ada di dalam kamar kalian masing-masing,” jawab Pria tua tersebut.

    “Anda tinggal di kapal ini bersama keluarga?” Enyas bertanya.

    “Yah, ini adalah rumahku, setidaknya itu yang tersisa setelah orang serakah bernama Billy menyita pulau dan rumahku. Membangun sebuah resort yang akhirnya hanya penuh dengan dosa dan darah,” Pak Agil tampak kesal. “Dan karena itu, aku, keluargaku dan istri kedua Ayahku hanya bisa tinggal di kapal ini.”

    “Bisa beritahu kami sedikit mengenai pulau yang menjadi tujuan kita?” Enyas kembali bertanya, mencoba menggali informasi lebih dalam tentang apa yang mereka hadapi kali ini.

    “Ah tidak, maaf,” Agil menggeleng. “Aku sudah terlalu banyak bicara, harusnya kalian mencari jawaban atas semua pertanyaan kalian sendiri. Bukan bertanya.”

    “Bertanya adalah sebagian dari pekerjaan kami sebagai detektif,” Rio meniupkan asap rokoknya, membumbungkannya ke langit malam yang makin gelap.

    “Hahaha, kalian memang suka bertanya,” Agil terkekeh-kekeh mendengar ucapan Rio. “Sebaiknya kalian berkumpul di ruang tengah, makan malam akan segera disajikan,” ujarnya seraya berbalik pergi.

    *_*_*


   

    CHAPTER 02 : DI ATAS NODA DOSA




    Tiga meja kayu berbentuk bundar tertata rapi membentuk segitiga dengan jarak sekitar dua meter dari masing-masing meja. Sebuah meja panjang berisi beberapa hidangan yang tersaji rapi berada di satu sudut ruangan. Disamping meja hidangan tersebut, sebuah lemari tua berbahan kayu jati setinggi satu meter menjadi tumpuan televisi empat belas inchi yang tidak menyala. Televisi itu sempat menyala, namun tidak ada gelombang siaran yang bisa diterima oleh televisi tersebut.

    Asri, Enyas, Aryosh dan Edi berada di satu meja makan. Tampak asyik menyantap hidangan laut yang disajikan oleh Mila, istri Agil sang pemilik kapal. Meja di samping mereka diisi oleh Nurul, Devisha dan Via yang sibuk membicarakan pengalaman mereka saat pertama kali naik ke kapal ini. Sepertinya ini adalah pertama kalinya mereka naik kapal.

    Meja bundar ketiga diisi oleh Rio seorang, entah kenapa tidak ada seorangpun yang mau berbagi meja dengannya. Mungkin karena yang lain belum mengenal Rio secara resmi, Rio sendiri tampak acuh, seolah tidak memiliki keinginan mengenal anggota detektif muda yang lainnya.

    Rio baru saja menghabiskan makan malamnya dan hendak menyulut sebatang rokok saat Via pindah ke mejanya.

    “Jadi namamu Rio?” tanya Via sambil tersenyum.

    Rio hanya mengangguk pelan, menyimpan kembali rokoknya ke tempatnya. “Kau?”

    “Kau tidak membaca berkas tentangnya?” tiba-tiba saja Enyas berpindah meja dan bergabung bersama Rio dan Via.

    “Hanya berkas tentangmu yang masuk dan tersimpan di meja Kapolri,” jawab Rio sambil mengambil gelas berisi air putih dan meminum habis isinya. “Aku tidak mengenal yang lain.”

    “Hoo kalau begitu kau harus berkenalan dengan yang lain,” Enyas berkata sembari beranjak dari kursinya. “Semuanya, ada yang ingin memperkenalkan diri,” ujar Enyas seraya menepukkan tangannya. “Rio silahkan...” tambahnya lagi.

    Rio tersenyum kecut, raut wajahnya terlihat malas-malasan saat ia berdiri dan mulai memperkenalkan dirinya.

    “Perkenalkan, namaku Rio. Baru bergabung sebagai detektif melalui jalur khusus,” ujar Rio tanpa memandang mata-mata yang kini berpusat padanya.

    “Oke Rio, yang di depanmu adalah Via,” Enyas mulai memperkenalkan yang lain pada Rio. Via beranjak dari kursinya dan menyodorkan tangannya untuk berjabatan.

    “Rio,” ucap Rio sambil menjabat tangan halus Via.

    “Via,” gadis itu menjawab dengan nada yang dibuat secentil mungkin, Devisha melengos melihat sikap Via, tampaknya ia menganggap sikap Via terlalu berlebihan.

    “Aku rasa kau harus bersalaman dengan semuanya, Rio. Bukankah begitu cara orang Indonesia berkenalan?” Enyas tersenyum, senyum yang terlihat cukup menyebalkan di mata Rio.

    Rio berjalan mendekat ke arah Aryosh, Edi dan Asri untuk berjabatan, setelah itu dia melanjutkan ke Devisha dan Nurul.

    “Oke, berarti sekarang kita sudah saling kenal, semoga kita semua bisa kompak dalam pelatihan kali ini,” Enyas tersenyum lebar.

    “Kau putra dari Kapolri?” Asri bertanya ketus tanpa memandang wajah Rio.

    “Anak angkat tepatnya. Kapolri mengadopsiku,” Rio menjelaskan.

    “Oh, kami tahu apa yang dimaksud dengan anak angkat,” Aryosh menyindir dengan suara beratnya. Rio mencoba untuk tidak menanggapi apa sindiran tersebut.

    Suasana hening sejenak, sebuah suasana yang tidak mengenakkan kini memenuhi ruang tengah kapal. Seolah datang untuk mengakhiri suasana yang akward, Agil dan istrinya, Mila, masuk sambil membawa sebuah kotak dengan gambar Tri Brata berwarna emas di empat sisi kotak tersebut.

    “Maaf mengganggu waktu santai kalian, tapi ini saatnya membagi kamar. Kepolisian telah menetapkan kamar-kamar kalian di kapal ini. Aku akan memanggil nama dan meminta kalian maju untuk menerima kunci kamar kalian,” ujar Agil.

    “Memangnya ada berapa kamar di kapal ini?” tanya Via.

    “Empat belas kamar termasuk kamar tidurku, Anakku dan kamar Ibuku,” jawab Agil. “Oke, kita mulai dari Enyas.”

    Enyas maju untuk menerima kunci kamarnya. Dia melihat ke gantungan kunci berbahan logam yang menunjukkan nomor ‘1’ sebagai nomor kamarnya. Agil memanggil nama mereka satu-persatu hingga kunci kamar selesai dibagikan.

    “Oke, kita akan tiba di tempat tujuan sekitar pukul sembilan pagi, aku harap kalian bisa beristirahat di antara ayunan ombak yang cukup memabukkan malam ini. Dan satu lagi... kepolisian telah menyiapkan sesuatu di masing-masing kamar kalian. Aku sendiri tidak tahu isinya apa,” Agil menjelaskan sebelum pergi meninggalkan ruang tengah kapal. Rio beranjak menuju kamarnya tidak lama kemudian, diikuti dengan detektif-detektif yang lain.

    *_*_*

    Rio duduk di tepi ranjang kamarnya yang terasa bergoyang mengikuti ombak lautan. Kertas sampul berwarna coklat dengan lambang Tri Brata, lambang yang digunakan oleh kepolisian berserakan di lantai kamarnya. Isi dari bingkisan itu, sebuah VCD Player Portable dengan layar berukuran sepuluh inchi kini ada di pangkuannya. Jari telunjuk Rio menekan tombol ‘ON’ dan alat itupun menyala.

    Lambang Tri Brata muncul di layar, diikuti dengan sosok yang dikenal olehnya -ayah angkatnya sendiri yang menjabat sebagai Kapolri- Komang Mahendra, muncul dengan senyum di wajahnya.

    “Sebelumnya aku harus mengucapkan selamat bergabung dengan kepolisian kepada kalian semua,” Komang Mahendra memulai ucapannya. “Dan kami mengumpulkan kalian semua pada pelatihan ini, tujuh detektif muda kami, untuk melakukan analisa singkat kalian terhadap kasus pembunuhan tingkat satu yang terjadi lima tahun yang lalu di sebuah pulau yang kami sebut sebagai Pulau Dosa.”

    Rio mengambil sebuah buku saku dan pena dari tas ranselnya dan mulai menuliskan sesuatu.

    “Lima tahun lalu, Divisi Khusus Kejahatan Tak Terpecahkan yang dipimpin oleh Inspektur Ipus mendapatkan kasus besar yang cukup menarik untuk dijadikan bahan pelajaran kalian.”

    Layar sepuluh inchi menampilkan foto sebuah ruangan, salah satu dinding ruangan itu penuh dengan noda darah. Satu hal yang menarik perhatian Rio adalah benda yang teronggok di atas lantai ruangan tersebut, sebuah tangan kanan yang berlumuran darah.

    “Seorang pengunjung pulau itu menemukan seonggok tangan di kamar yang disewanya. Dari sinilah kasus besar itu dimulai.”

    Layar berganti, menampilkan foto kaki kiri yang berlumuran darah di semak-semak.

    “Keesokan harinya seonggok kaki ditemukan di semak-semak tepat di belakang penginapan. Selang sehari setelah kaki tersebut ditemukan, Inspektur Ipus beserta tim dari kepolisian tiba di lokasi. Mereka tiba pukul sembilan pagi, dan pukul empat sore hari itu juga, potongan tangan kiri ditemukan di dalam kamar tempat potongan tangan kanan ditemukan. Ya... potongan tangan itu seolah muncul begitu saja di ruangan yang terkunci rapat.”

    Rio menekan tombol pause untuk memperhatikan dengan seksama foto-foto yang ditampilkan pada rekaman tersebut. Dari bentuk jari dan potongan kaki, Rio menyimpulkan bahwa korban adalah wanita. Setelah menambahkan beberapa catatan di buku sakunya, Rio melanjutkan rekaman tersebut. Insting detektifnya merasa tertantang dengan ketidakmungkinan yang baru saja disampaikan ayah angkatnya; ‘potongan tangan itu seolah muncul begitu saja di ruangan yang terkunci rapat’. Merasa cukup, Rio menekan kembali tombol play.

    “Esok harinya sesuatu yang lebih gila terjadi. Potongan Tubuh yang masih tersambung dengan kaki kanan ditemukan di dasar kolam renang di belakang penginapan. Tidak jauh dari lokasi penemuan potongan kaki kiri. Inspektur Ipus meminta agar semua pengunjung tidak meninggalkan kamar dan beliau memimpin tim untuk menyusuri sekitar penginapan. Empat jam kemudian mereka menemukan kantung plastik hitam yang digantungkan di dekat dermaga. Kantung itu berisi kepala korban, dengan hidung, mata, telinga dan gigi yang sudah diurai terpisah.”

    Seketika perut Rio terasa mual kala layar menunjukkan isi kantung plastik yang ditemukan oleh Inspektur Ipus dan kawan-kawan. Sebuah pemandangan yang sangat sadis, menjijikkan dan memuakkan. Bagaimana bisa seseorang mencincang orang lain seperti itu, membongkar-bongkar bagian tubuh orang lain seperti sebuah mainan bermerek LEGO.

    Layar berganti, kali ini menampilkan foto tujuh orang wanita, empat diantaranya adalah warga negara asing.

    “Dan itu belum semua...” Kapolri Komang Mahendra melanjutkan. “Sekembalinya tim yang dipimpin Inspektur Ipus, Tujuh orang wanita pengunjung pulau yang seharusnya ada di kamar mereka masing-masing dinyatakan hilang. Hilang seperti menguap begitu saja.”

    Rio terkesima, dia telah membaca banyak cerita misteri, menonton banyak sekali film tentang detektif atau beberapa berkas kasus rumit yang sempat dibawa pulang oleh Ayah angkatnya, namun apa yang disimaknya dari rekaman kali ini jauh lebih mengejutkan. Darahnya terasa bergejolak, otaknya kini dipenuhi oleh rasa ingin tahu dan mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan tentang apa yang sebenarnya terjadi di Pulau Dosa lima tahun yang lalu.

    “Inspektur Ipus mengerahkan seluruh timnya menyusuri pulau guna menemukan tujuh wanita yang hilang namun tidak menghasilkan apa-apa. Keesokan paginya, kami seolah mendapatkan tamparan keras dengan ditemukannya puluhan kantung plastik hitam yang berisi potongan-potongan tubuh para wanita tersebut di kamar-kamar yang disewa oleh para wanita itu. Isinya bercampur antara potongan tubuh satu wanita dengan wanita yang lain. Inspektur Ipus berusaha mengidentifikasi potongan-potongan tubuh itu secepat yang ia bisa. Sebuah langkah yang tidak percuma, dari identifikasi tersebut Inspektur Ipus mendapat kesimpulan bahwa mereka menemukan enam mayat dari tujuh wanita yang hilang.”

    Layar berganti menampilkan foto seorang wanita berambut hitam pendek. Wanita itu tampak seperti gadis berusia remaja.

    “Laily, gadis delapan belas tahun asal Sumatra Barat belum ditemukan. Inspektur memeriksa seluruh ruangan yang ada di penginapan, aku tidak bisa menceritakan bagaimana Inspektur Ipus berhasil menemukan gadis itu terikat di sebuah ruangan tanpa busana, itu adalah salah satu tugas kalian untuk mengungkap bagaimana Inspektur Ipus berhasil menemukan wanita itu.”

    Layar kembali berubah, menampilkan foto seorang pria tua berbadan kurus, kulit pria itu terlihat hitam gelap.

    “Inspektur Ipus berhasil mendapatkan informasi dari Laily, gadis itu memberitahu siapa yang menculiknya dan melakukan pembantaian massal tersebut. Adalah Suherman, pria berusia lima puluh dua tahun, penduduk asli pulau yang bekerja sebagai tukang kebun pulau tersebut adalah pelakunya. Inspektur Ipus dan timnya segera bergerak untuk menangkap pelaku. Sayang sekali mereka kalah cepat, Suherman telah lebih dulu mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di dalam rumahnya yang terkunci rapat.”

    Layar kembali menampilkan Kapolri Komang Mahendra.

    “Kasus itu telah terpecahkan, namun tetap menjadi satu dari sekian kasus paling menarik yang diselesaikan oleh Divisi Khusus Kejahatan tak Terpecahkan. Kasus itu dapat menjadi pembelajaran yang baik bagi kalian semua, para detektif muda. Sekarang, kami memberikan tiga tugas yang harus kalian sajikan sebagai laporan hasil pelatihan pada kami,” Kapolri Komang Mahendra menghentikan ucapannya sejenak.

    “Pertama, kalian harus menuliskan nama-nama rekan kalian sesama detektif yang ikut dalam pelatihan kali ini. Kedua, kalian akan menuliskan bagaimana caranya Inspektur Ipus dapat menemukan Laily berdasarkan hasil pengamatan dan analisa kalian selama tiga hari di pulau tersebut. Dan ketiga, kalian harus menyerahkan foto-foto ruangan tempat Laily disekap,” pria yang menjabat sebagai Kapolri itu menjelaskan tugas yang harus dikerjakan oleh para detektif muda dalam pelatihan kali ini.

    “Selama tiga hari kalian akan berada di pulau tersebut, semua bekal makanan akan diberikan oleh Agil, pemilik kapal Noda Dosa ini saat kalian tiba di pulau itu nanti. Kapal ini akan meninggalkan kalian di tempat resort berdarah yang indah itu dan baru akan kembali tiga hari kemudian. Selama itu, kalian harus bisa menjaga diri kalian sendiri sebagai seorang detektif yang dapat diandalkan. Dan dalam pelatihan kali ini, kalian diperbolehkan bekerja secara kelompok. Namun, kalian tidak diperbolehkan bertukar kamar, kamar-kamar kalian, baik di atas Noda Dosa atau di Pulau Dosa nanti telah ditentukan, pelanggaran terhadap peraturan ini bersifat permanen. Jadi... semoga sukses dan nikmati pelatihan sekaligus liburan kalian ini. Sampai jumpa lagi di Kantor pusat kepolisian, Detektif.”

    Rekaman berakhir tepat setelah Kapolri Komang Mahendra menyebut kata ‘Detektif’. Rio mengamati catatannya untuk beberapa saat, sebelum memutuskan untuk memutar kembali rekaman tersebut, memastikan ia tidak melewatkan satupun petunjuk penting.

    *_*_*


   
   

    CHAPTER 03 : MALAM PENUH DOSA


    Via keluar dari kamarnya di tengah malam yang hening. Dia masih merasa cukup mual dengan apa yang baru saja dilihatnya dalam rekaman yang diberikan oleh kepolisian. Benar-benar sebuah pemandangan yang brutal dan menjijikkan. Gadis itu benar-benar tak habis pikir, bagaimana mungkin ada seseorang yang sebegitu keji dan tanpa perasaan. Mencincang korbannya seperti sebuah mainan Lego yang bisa dibongkar-pasang dan digeletakkan begitu saja setelah bosan. Via menyusuri koridor kamarnya, melewati dua kamar di sebelahnya yang masing-masing dihuni oleh Edi dan Nurul. Gadis berambut sebahu itu menuruni tangga dan berbelok keluar, ke arah geladak kapal, gadis itu menghirup udara laut malam dalam-dalam sambil mengangkat kedua tangannya, membuat dadanya membusung membentuk siluet tubuh rampingnya.

    “Udara laut malam tidak baik untuk kesehatan,” suara Pak Agil mengejutkan Via. Gadis itu menoleh ke samping kanan, dimana Pak tua Agil sedang duduk santai di atas sebuah matras yang di gelar di lantai sambil merokok. “Tidak bisa tidur Non?” tanya Pak tua itu santai.

    “Ya begitulah,” jawab Via sambil memperhatikan penampilan Pak tua Agil malam itu. Penampilan Pak Agil saat itu memang sedikit berbeda. Pria empat puluh tahun itu hanya mengenakan celana boxer berwarna putih yang kumal dan bertelanjang dada, menampakkan tubuh tuanya yang masih terlihat tegap dan gagah. Seketika itu muncul ide nakal di kepala Via, gadis itu memang suka menggoda pria, sejak SMU dia terkenal sebagai gadis cerdas yang liar. Dan kali ini fantasi tengah memenuhi kepalanya, fantasi yang makin kuat saat ia melihat tonjolan batang kejantanan Pak Agil yang cukup besar.

    Via memandang pangkal paha Pak Agil cukup lama, menerka-nerka seberapa besar, panjang dan keras batang itu jika dalam keadaan ereksi. Sejak uji seleksi dimulai dua bulan yang lalu, dia memang belum berhubungan intim sekalipun. Uji seleksi detektif ini benar-benar telah menguras waktu dan perhatiannya. Apalagi, selama ini Via hanya melayani pria-pria sebayanya, fantasi liarnya semakin diperkuat oleh rasa penasaran tentang bagaimana rasanya disetubuhi oleh pria yang lebih tua dua puluh tahunan darinya.

    “Bapak bisa berpikir aneh-aneh kalau Non terus melihat seperti itu ke celana Bapak,” kata-kata Pak Agil mengejutkan Via, menyadarkan gadis itu dari lamunan liarnya. Tapi entah kenapa, kalimat yang diucapkan oleh Pak Agil justru terdengar seperti sebuah pancingan di telinga Via. Gadis itu buru-buru memalingkan pandangannya ke laut, mencoba menyembunyikan perang batin yang kini melandanya.

    Via mengangkat dagunya, memandang ke atas langit yang bertabur bintang. Di antara bintang-bintang tersebut, bulan sabit bertengger dengan angkuhnya. Ini malam yang benar-benar indah dan romatis, sebuah malam yang cukup mendukung untuk sebuah persetubuhan di bawah langit lepas, desir gelombang laut akan menambah warna dari persetubuhan tersebut. Via tidak lagi mampu berpikir jernih, dia dapat merasakan kewanitaannya terasa lembab dan ada sensasi ingin disentuh. Tidak butuh waktu lama bagi Via untuk kembali larut dalam fantasi liarnya; ‘disetubuhi oleh Pria tua di tengah laut, di bawah naungan langit malam yang indah’.

    “Non benar-benar cantik ya?” tiba-tiba saja Pak Agil sudah berada di samping Via tanpa disadari oleh gadis berambut sebahu itu. “Cewek-cewek muda jaman sekarang cantik-cantik,” pujinya lagi.

    “Eeh... Bu Mila dimana ya Pak?” Via bertanya, mencoba mencari pengalihan atas imajinasinya. Mencoba mengingatkan dirinya sendiri bahwa Pak Agil adalah suami dari seorang wanita.

    “Mila sudah tidur Non. Dia tidak boleh terlalu lelah, fisiknya sebenarnya lemah,” Pak Agil menceritakan tentang keadaan istrinya. “Bahkan untuk melayani birahi suamipun tidak bisa.”

    Via menoleh, sedikit terkejut dengan kata ‘melayani birahi’ yang baru saja diucapkan oleh Pak Agil. Kata ‘birahi’ saat ini dapat menimbulkan debaran sendiri dalam diri gadis tersebut.

    “Maksud Bapak? Bu Mila tidak bisa...” Via menghentikan kata-katanya, mencoba menemukan kata yang tepat untuk menggantikan ‘nafsu birahi’.

    “Ya Non, Bapak tidak bisa ngentot Mila,” berlawanan dengan Via yang mencoba berhati-hati memilih kata, Pak Agil malah dengan santainya mengucapkan kata ‘ngentot’. Kata itu membuat darah Via serasa berdesir.

    “Sudah lama sekali Bapak tidak ngentot,” Pak Agil tampaknya dapat membaca gejolak di hati gadis muda di sampingnya yang kini pipinya tampak bersemu malu. Pria tua itu kini mencoba memanfaatkan situasi, tanpa mengalihkan pandangannya ke arah laut yang gelap, Pak Agil menggerakkan tangannya ke bagian bawah tubuhnya, mengelus batang kejantanannya sendiri dalam gerakan yang jelas memancing perhatian.

    Gerakan Pak Agil membuat Via menoleh ke apa yang dilakukan tangan pria tua itu. Pak Agil mengelus-elus batang kejantanannya, membuat penisnya tercetak makin jelas di boxer kumal yang dikenakannya. Kini Via dapat melihat panjang batang kejantanan Pak Agil yang terlihat cukup besar dan menantang. Gairah gadis muda itu makin terbakar, khayalan liarnya semakin berapi-api. Via mencoba untuk tetap menatap ke arah laut gelap tanpa mempedulikan apa yang dilakukan Pria tua di sebelahnya, namun ekor matanya sesekali masih menangkap gerakan-gerakan siku pria tua itu. Via mencoba memejamkan matanya, namun itu malah memperjelas fantasi liarnya tentang bagaimana nikmatnya persetubuhan liar di tengah laut lepas.

    “Eng!” Via memekik kecil terkejut saat merasakan tangan Pak Agil merangkul pinggang mungilnya. Tidak berhenti disitu, tangan pria tua itu terus merayap ke kedua buah dadanya. Rupanya Pak Agil telah memanfaatkan momen saat Via sibuk dengan perang batinnya, antara menikmati atau mengendalikan fantasi liarnya. Akal sehatnya memintanya untuk menghardik aksi kurang ajar yang dilakukan Pria empat puluh tahun ini kepadanya, namun remasan pria tua itu lembut bertenaga tanpa kesan terburu-buru, dan itu sungguh terasa nikmat! Lebih nikmat dari yang dibayangkannya.

    Via memejamkan matanya saat Pak Agil meremas-remas dadanya dari belakang, gadis itu kini larut dalam gairahnya. Sekujur tubuhnya terasa lemas, hingga tanpa sadar punggung gadis itu kini tersandar di dada telanjang pria tua itu. Menyadari tidak adanya penolakan dari sang gadis, Pak Agil makin leluasa meremas-remas dada ranum gadis yang usianya jauh lebih muda darinya. Telapak tangan pria tua itu meremas-remas pelan sembari memusatkan tenaga remasannya di bagian puncak buah dada yang masih terbungkus baby doll biru muda berbahan tipis itu.

    Pria tua itu menginginkan lebih, dan dia tahu bahwa gadis muda yang saat ini dalam rengkuhannya juga menginginkan hal yang sama. Akal sehat Via masih bekerja saat Jemari tangan kanan Pak Agil menyentuh kancing depan babby doll-nya, pikirannya masih dalam kebimbangan saat jari-jari tua yang kasar itu melepaskan kancing-kancing itu dari lubangnya. Gerakan dan remasan tangan kiri Pak Agil di dada kirinya masih terasa nikmat, dan birahi masih menguasai tubuh gadis muda itu. Via dapat merasakan jantungnya berdebar makin kencang saat satu-persatu kancing itu lolos tanpa perlawanan sedikitpun.

    “Ahh...sshh...” desahan dan desisan keluar dari bibir mungil Via saat tangan kanan pria itu menyelusup masuk ke dalam bra-nya, menyentuh langsung kulit buah dada kirinya dan memberi rangsangan kuat melalui putingnya. Kancing baby doll yang dikenakannya memang hanya lima buah teratas, namun itu mampu memberi celah yang cukup bagi tangan kanan Pak Agil untuk menyusup masuk ke dalam, memberi rangsangan yang sangat kuat untuk dilawan. Badan Via bergetar sesekali saat Pak Agil menjepit putingnya dengan kedua jari dan memilin-milinnya pelan. Gadis itu semakin larut dalam api gairah liarnya.

    Desahan Via semakin memburu, tubuhnya menggeliat-geliat kecil. Pria tua itu terbukti berpengalaman dalam memancing birahi lawan jenisnya. Tangan kiri Pak Agil yang bebas menggenggam lembut jemari kiri Via dan menuntun jemari lentik gadis itu ke batang kejantanannya yang masih terbalut boxer kumal. Sadar akan apa yang diinginkan oleh Pak Agil, Via mengelus lembut batang kejantanan pria tua itu dan mulai meremas-remasnya pelan.

    Pak Agil cukup terkejut saat ia menemukan pengait bra gadis itu ternyata ada di depan, sebuah keuntungan yang tidak disia-siakan olehnya. Pak Agil menarik tangannya dari buah dada kiri Via untuk selanjutnya melepas kaitan bra yang dikenakan gadis muda itu. Pria tua itu mengangkat ujung bawah baby doll yang dikenakan Via, mengangkatnya cukup tinggi hingga payudara gadis muda itu terbuka bebas. Selanjutnya dapat ditebak, pria tua itu menggunakan kedua tangannya untuk meremas dua bukit kembar gadis itu. Pak Agil sungguh merasa beruntung malam ini, payudara Via yang berukuran 34B terasa kencang dan padat di tangannya. Via mendesah makin kencang merasakan remasan tangan kasar Pak Agil yang kini terasa makin bertenaga, menghantarkan kenikmatan yang juga semakin kuat, gadis itu bersandar pasrah, mulutnya terbuka kecil, matanya terpejam dan tubuhnya sesekali menggeliat.

    Rangsangan itu semakin kuat saat Pak Agil mulai mengecup lehernya, helaan nafas pria tua di tengkuk Via membuatnya merinding. Via memalingkan wajahnya ke arah kiri kala Pak Agil mencium sebelah kanan leher dan tengkuknya.

    “Aaahh.. Pakk...” Via tak kuasa untuk tidak menjerit saat tangan kanan pria tua itu dengan cepat turun dan menekan kewanitaannya yang masih terbalut celana tidur berbahan tipis. Nafas Via semakin memburu kala tangan kanan pria itu menyusup masuk ke celananya, terus menyusup ke dalam celana dalamnya dan menekan-nekan klitorisnya. Liang kewanitaan gadis muda itu memang sudah lembab dan basah. Tangan kiri Pak Agil mempercepat pilinannya di payudara kiri gadis itu, seiring dengan semakin cepatnya gerakan jari tengah tangan kanan pria tua itu menggesek-gesek klitorisnya.

    Via membuka matanya, memalingkan wajahnya ke wajah Pak Agil dan dengan liar bergerak melumat bibir pria tua itu, tangan kiri Via semakin kencang meremas penis Pak Agil. Mereka berdua beradu mulut. Pengalaman seks pria tua itu semakin terbukti handal karena dia mampu berciuman dengan sangat panas tanpa menurunkan tempo gerakan jarinya, baik di puting payudara maupun di vagina gadis itu. Via makin blingsatan, desahannya teredam oleh ciumannya yang semakin ganas. Tiba-tiba Via melepaskan ciumannya.

    “Pakk... Akuhhh... Engghhhh!!!” gadis itu melenguh setengah menjerit, badannya mengejan hebat sambil bersandar di tubuh Pak Agil. Pak Agil dapat merasakan adanya cairan yang keluar dalam jumlah cukup banyak membasahi jari kanannya yang berada di dalam celana dalam gadis muda itu. Via mengejan untuk beberapa kali sebelum kembali tersandar lemas. Matanya terpejam, nafas gadis itu memburu hebat, membuat dadanya yang membusung indah terlihat naik-turun.

    Via masih merasa tubuhnya sangat lemas akibat orgasme hebat yang baru saja ia rasakan kala pria tua yang baru beberapa jam dikenalnya itu mendorong punggungnya ke arah pagar besi di tepi kapal. Via memegangi pagar besi yang cukup berkarat itu, mencoba menahan tubuhnya sendiri. Dia dapat merasakan celananya ditarik turun bersamaan dengan celana dalamnya, angin laut terasa di bibir-bibir kewanitaan Via yang kini tak terhalang sehelai benangpun. Pak Agil mengangkat pinggang Via hingga sedikit terangkat, entah kapan pria tua itu menurunkan boxer kumalnya. Yang jelas, kini Via dapat merasakan benda lunak, keras dan hangat di gerbang kewanitaannya. Gadis muda itu sadar bahwa tidak lama lagi, tubuhnya akan dimasuki oleh pria tua yang baru dikenalnya, sebuah pengalaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

    “Ngghh...” tubuh Via sedikit terdorong saat penis Pak Agil memasuki liang kenikmatannya. Mereka melenguh bersamaan saat batang itu terus merangsek masuk ke dalam vaginanya. Mata Pak Agil terpejam saat ia merasakan betapa sempitnya vagina gadis muda itu. Sebuah pengalaman yang selama ini hanya bisa ia bayangkan, menyetubuhi gadis kota yang cantik dan muda.

    Pak Agil tidak terburu-buru, ia mendiamkan batang kejantanannya sejenak di dalam vagina Via. Setelah diam untuk beberapa detik merasakan nikmatnya jepitan vagina gadis itu, barulah ia mulai menggerakkan pinggulnya, membuat rasa nikmat di penisnya menjadi semakin nikmat.

    Genjotan penis pria tua itu terasa bertenaga dan dalam, Via mendesah setiap kali batang itu bergerak masuk ke dalam tubuhnya. Payudaranya berayun mengikuti pompaan pria tua yang kini tengah mencampurinya. Gadis itu merasakan nikmat yang tak terbantahkan, terasa berbeda dan lebih nikmat dari teman-teman pria yang pernah menyetubuhinya.

    “Enak Non, legit,” puji pria tua itu di sela-sela lenguhannya sembari mempercepat gerakan pinggulnya.

    “Ahh... ssh... jangan di.. dalam ya Pakkh.. Ouuhh,” ujar Via terbata-bata.

    Tiba-tiba saja, Pak Agil menghentikan gerakannya, membenamkan penisnya dalam-dalam dan melangkah hingga tubuh mereka kini benar-benar menempel. Pria tua itu memegang bahu gadis cantik yang kini disetubuhinya erat-erat.

    “Tahan ya Non, Bapak genjot kencang-kencang,” ujarnya memberi peringatan sebelum mulai memacu vagina gadis cantik itu kencang-kencang.

    Via setengah menjerit setengah mendesah saat pria tua itu kini tanpa ampun menggempur vaginanya. Gerakan pria tua itu cepat dan bertenaga. Tubuh gadis itu kini terayun-ayun kencang, Via mempererat genggamannya pada pagar tepi agar tidak kehilangan keseimbangan. Beberapa menit kemudian gadis itu menjerit dan mengejan, menandakan orgasme kedua yang didapatnya. Pria tua itu masih tidak berhenti, tidak juga mempedulikan Via yang tengah orgasme. Pak Agil tampak sedang mengejar kenikmatannya sendiri saat ini. Benar saja, tidak lama kemudian giliran pria tua itu yang mendorong kencang, membenamkan penisnya dalam-dalam ke vagina sang dara, melenguh dan mengejan hebat. Sedang Via, ia terlalu lemas untuk bereaksi kala pria tua itu menyemprotkan benih-benih kelelakiannya ke dalam rahim sang gadis.

    Dua insan berlainan jenis dan usia itu tampak bermandikan peluh, nafas keduanya memburu. Akal sehat gadis itu berangsur-angsur kembali. Setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi, dimana akhirnya fantasi liarnya menjadi kenyataan. Dikemas dalam sebuah persetubuhan hebat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

    Yang tidak disadari oleh keduanya, dua pasang mata melihat apa yang baru saja mereka lakukan. Rio yang saat itu tengah menjelajahi isi kapal untuk mencari angin segar tanpa sengaja bertemu dengan Edi yang tengah mengintip aksi Via dan Pak Agil melalui tepi pintu kapal. Saat menyadari keberadaan Rio, Edi memberinya isyarat untuk diam dengan jari telunjuknya dan memberi isyarat mata agar Rio melihat ke arah Via dan Pak Agil. Dan keduanya pun mendapat sebuah pertunjukan gratis yang liar di tengah malam yang mencekam.

    *_*_*

    Rio beranjak dari samping Edi saat Pak Agil melucuti pakaian Via dan menuntunnya ke arah matras kumal yang terletak di lantai geladak kapal. Tampaknya pria tua itu belum puas dan ingin menyetubuhi gadis muda itu lagi. Via sendiri tampak pasrah.

    “Belum selesai lho,” bisik Edi saat Rio bergegas pergi.

    “Terlalu banyak melihat hal seperti itu hanya akan membuatmu makin sulit tidur,” jawab Rio dingin sambil melangkahkan kakinya kembali ke kamar, meninggalkan Edi yang memutuskan untuk menikmati pertunjukan tak berbayar di hadapannya.

    Sepanjang langkahnya Rio tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang gadis cantik, yang memiliki otak cukup cerdas seperti Via, seorang detektif kepolisian bisa dengan mudahnya dikalahkan oleh nafsu birahi. Malam itu adalah pengalaman pertamanya menyaksikan persetubuhan secara live. Bohong jika ia tidak terangsang atau tertarik dengan hal semacam itu. Seandainya tidak tertarik, tentu ia sudah pergi sedari tadi, bukannya malah ikut mengintip di samping Edi.

    Rio sudah sampai di depan pintu kamarnya kala sekelebat bayangan lewat di ujung koridor. Gerakannya cepat, menimbulkan rasa penasaran dalam benaknya. Rio memicingkan matanya, mencoba untuk melihat lebih jelas, namun ujung koridor itu terlalu gelap. Akhirnya dia memutuskan untuk mengabaikan hal tersebut dan memutar kunci kamarnya. Saat itulah secara tiba-tiba hidungnya mencium aroma yang wangi, seperti aroma bunga sedap malam.

    ‘Tok...tok...tok...’

    Sebuah suara mengejutkan Rio, suara itu berasal dari kamar di ujung koridor. Saat itu, entah kenapa ia merasa bulu tengkuknya merinding, diikuti rasa takut yang segera ditepisnya. Rio bukanlah penakut yang mudah ditakuti. Dia bahkan tidak percaya dengan hal-hal yang berbau mistis. Segalanya pasti dapat dijelaskan dengan logika, itulah yang menjadi prinsip detektifnya.

    ‘Tok...tok...tok...’

    Suara itu terdengar lagi, tiga ketukan berirama. Rio memicingkan matanya sekali lagi sebelum akhirnya melangkah menuju ujung koridor yang gelap. Ada perasaan ganjil yang kini menyelimuti dirinya, sebuah perasaan yang aneh, rasanya kini ia dapat merasakan suhu udara di sekitarnya berubah menjadi dingin. Rio hanya tersenyum menertawakan dirinya sendiri yang mulai berpikir di luar logika. Udara yang dingin pastilah karena udara memang sedang dingin.

    Langkah detektif muda itu berhenti tepat di ujung koridor yang gelap, di hadapan sebuah pintu kamar yang tidak memiliki nomor. Rio yakin benar bahwa kamar itu bukan tempat rekan-rekannya yang lain menginap. Semua kamar memiliki nomor. Bahkan kamar yang ditempati Pak tua Agil dan istrinya Mila pun memiliki nomor. Ruangan yang kini ada di depannya pastilah hanya sebuah kamar yang difungsikan sebagai sebuah gudang.

    ‘Tok...tok...tok...’

    Suara itu terdengar lebih jelas, kali ini Rio yakin suara itu berasal dari balik pintu di hadapannya. Rio mengetuk pintu itu empat kali.

    ‘Tok...tok...tok...tok’

    Tidak ada jawaban.

    “Permisi? Ada orang di sana?” Rio bertanya cukup keras.

    Masih tidak ada jawaban. Rio memegang kenop pintu ruangan tersebut, berhenti beberapa saat untuk mempertimbangkan apakah ia harus membuka pintu itu atau tidak. Bagaimanapun ini bukan kapal atau rumah miliknya, tidak seharusnya ia seenaknya membuka ruangan.

    ‘Tok...tok...tok...’

    Tiga ketukan itu terdengar lagi. Seolah meminta Rio untuk membuka pintu. Akhirnya Rio memutar kenop pintu dan perlahan membukanya.

    ‘Krieeett...’

    Pintu itu berderik saat Rio membukanya, Rio melihat sebuah ruangan yang gelap, ruangan itu terlihat seperti kamar tempatnya menginap. Sebuah ranjang dengan kain sprei berwarna putih, sebuah meja, sebuah kursi dan sebuah lemari. Sama seperti isi kamarnya.

    ‘Tok...tok...tok...’

    Suara itu terdengar lagi, rupanya berasal dari meja, Rio melihat seseorang sedang duduk di kursi tepat di depan meja. Rambutnya panjang, sosok itu memegang sesuatu di tangannya. Di atas meja di hadapan sosok tersebut ada sebuah papan kayu setebal kurang lebih empat sentimeter dan di atas papan tersebut ada empat tangkai bunga sedap malam berwarna putih. Ujung-ujung bunga tersebut tampak pipih seperti telah dihantam oleh sesuatu. Rio terkejut saat sosok itu menoleh ke arahnya.

    “Siapa?” tanya sosok tersebut, dari suaranya Rio dapat mengenali sosok tersebut sebagai seorang wanita tua. “Maaf aku tidak mendengarmu. Oh! Apakah kau menginap di kamar dekat sini? Apa aku sudah mengganggu tidurmu dengan pukulan-pukulanku?”

    Rio diam tak menjawab untuk beberapa saat, ia memicingkan matanya entah untuk keberapa kalinya, mencoba menangkap wujud dari sosok yang kini bicara padanya menggunakan suara wanita tua.

    “Oh, maaf, aku tidak begitu suka terang,” sosok itu beranjak dari kursinya, dari bayang siluet yang ditangkap oleh mata Rio, sosok itu tampak sedikit bungkuk dan berjalan tertatih menuju ke samping lemari.

    ‘Klik!’

    Lampu ruangan itu berpendar perlahan, sempat menyala dan meredup beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar menyala. Lampu ruangan itu tidak begitu terang, berbeda dengan lampu kamar atau lampu ruangan lain di kapal ini yang cukup terang. Rio memandang ke sosok yang tadi bicara dengannya. Seorang wanita tua dengan rambut putih yang tergelung rapi tampak tersenyum padanya. Wanita itu mengenakan daster longgar berwarna biru yang bagian atasnya ditutup dengan rajutan sweater kumal berwarna putih.

    “Tamu ya? Maaf kalau aku mengganggu, biasanya tidak ada tamu yang mau menginap di koridor ini karena hanya ada satu kamar tamu di koridor ini,” ujar wanita tua itu sambil tersenyum. Wanita itu cukup terlihat sehat untuk wanita seusianya, wajahnya terlihat ramah. Gurat-gurat kecantikan masa muda masih dapat terlihat samar dibalik wajah keriputnya. “Aku tidak tahu kalau kali ini Agil menyewakan kamar di koridor ini juga. Sekali lagi maafkan aku.”

    “Saya yang minta maaf telah seenaknya membuka kamar Nenek,” ujar Rio dengan sopan. Kali ini Rio merasa telah melakukan hal yang benar-benar tidak sopan. Seenaknya masuk ke kamar seseorang merupakan pelanggaran privasi yang serius. Bisa saja Nenek ini menghardiknya, Rio bersyukur wanita tua itu tampak sangat ramah.

    “Nenek... Ibu dari Pak Agil?” tanya Rio kemudian.

    “Ibu tiri,” wanita tua itu tersenyum menjelaskan. “Aku sedang membuat wewangian dari bunga sedap malam. Tahukah bahwa bunga sedap malam ini akan lebih wangi jika kau memipihkannya seperti ini?” Wanita tua itu mengangkat cobek kayu yang dipegangnya dan menghantamkannya tiga kali ke bunga sedap malam di atas meja.

    ‘Tok...tok...tok...’

    Rio tersenyum menyadari bahwa bunyi ketukan yang didengarnya itu ternyata berasal dari pukulan nenek tua tersebut. Dia semakin tersenyum saat mengingat bahwa beberapa menit yang lalu ia sempat berpikir di luar logika tentang asal suara tersebut.

    “Baiklah Nek, saya akan kembali ke kamar saya,” Rio undur diri, masih dengan nada yang sangat sopan.

    “Oh baiklah” ujar nenek itu kemudian. “Sebelum itu, nenek ingin bertanya, kenapa kalian ingin pergi ke pulau Dosa? Itu bukan tempat yang bagus untuk liburan.”

    “Oh, kami ini detektif kepolisian Nek, kami sedang mengadakan pelatihan di pulau itu,” jawab Rio sambil tersenyum.

    “Oh begitu, kalau begitu kita akan bersama-sama di pulau itu selama beberapa hari,” ujar Nenek itu kemudian. “Mampirlah ke pondokku di dekat dermaga jika butuh sesuatu, Anak muda.”

    “Setahu saya, kepolisian telah menyiapkan semuanya, Nek. Dan lagi, kapal ini akan langsung pergi setelah mengantarkan kami. Apa Nenek akan tinggal di pulau itu bersama Ganjar? Cucu nenek?”

    Nenek itu menggeleng seraya tersenyum lemah. “Agil tidak akan mengijinkan Ganjar tinggal denganku di pulau itu,” jawab Nenek itu lembut. “Lagipula aku terbiasa sendiri di pulau itu. Kebun bunga di halaman belakang rumahku perlu disirami.”

    Rio membalas senyuman lembut orang tua itu, senyuman nenek itu terasa menyenangkan, ada rasa damai di setiap tutur lembut sang Nenek. Rio undur diri sekali lagi sebelum menutup pintu kamar dan kembali ke kamarnya sendiri.

    *_*_*


   

    CHAPTER 04 : WELCOME TO PULAU DOSA


    Edi adalah orang terakhir yang memasuki ruang tengah kapal Noda Dosa pagi itu. Pemuda beramut ombak itu menggosok-gosok matanya sebelum mengambil piring yang telah disediakan di sudut ruangan.

    “Jadi kalian sudah melihat rekamannya?” Aryosh yang baru saja menyelesaikan sarapannya bertanya kepada Enyas.

    “Kita sedang makan, Yosh,” Asri memandang kesal ke arah Aryosh. Gadis itu merasa sedikit mual saat Aryosh menyebut tentang rekaman yang mereka terima di kamar masing-masing.

    “Ada gambaran, Nyas?” Aryosh bertanya lagi, mengabaikan Asri yang melotot ke arahnya.

    “Masih samar,” jawab Enyas sambil meletakkan sendok dan garpunya. “Kita masih butuh banyak sekali petunjuk.”

    “Setidaknya ada satu tugas yang mudah, kan?” Nurul yang berada di meja lain ikut menanggapi pembicaraan. “Yah, setidaknya aku sudah menyelesaikan tugas pertamaku,” gadis itu terlihat bersemangat.

    Dalam sekejap, seluruh mata yang ada dalam ruangan memandang ke arah Nurul, tak terkecuali Rio yang baru saja hendak membakar rokok di tangannya.

    “Lho? Kenapa?” Nurul tampak bingung dengan sikap ketujuh rekannya.

    “Kau menyelesaikan tugas pertamamu?” Enyas berpaling menghadap ke arah Nurul. “Bagaimana bisa?” tanyanya kemudian.

    “Lho? Tugas pertama kan sangat mudah?” Nurul mengernyitkan alisnya, berusaha memahami keheranan yang muncul di wajah rekan-rekannya. “Tugas pertama kan hanya menulis nama rekan-rekan sesama detektif? Tinggal menuliskan nama kalian semua, kan?”.

    Enyas tertawa mendengar jawaban Nurul yang tampak benar-benar polos. Aryosh menggeleng-gelengkan kepalanya, Asri, Via, Devisha dan Edi ikut menertawakan Nurul. Rio hanya tersenyum sinis sambil membakar rokoknya.

    “Kenapa tertawa?” wajah cantik Nurul terlihat cemberut. Gadis itu tampaknya belum mengerti apa yang menyebabkan rekan-rekannya menertawakannya.

    “Ada berapa jumlah kita, Rul?” kali ini Devisha yang bicara. Nurul melihat ke sekitarnya dan mulai menghitung satu-persatu.

    “Delapan termasuk aku,” jawab Nurul kemudian.

    “Dan kau ingat apa yang diucapkan Kapolri Komang Mahendra di awal rekaman?” Devisha bertanya sekali lagi. Nurul menggeleng.

    “Dan kami mengumpulkan kalian semua pada pelatihan ini, tujuh detektif muda kepolisian,” Devisha mengulangi ucapan Komang Mahendra di awal rekaman.

    “Tujuh? Artinya?” Nurul baru menyadari apa yang ia lewatkan.

    “Ya,” ujar Enyas. “Jumlah kita delapan orang, dan hanya ada tujuh diantara kita yang benar-benar Detektif. Artinya ada satu nama yang harusnya tidak kita tulis dalam tugas pertama kita.”

    “Kita semua mengikuti uji seleksi bersama kan? Kecuali satu... Rio,” Nurul memandang ke arah Rio yang tampaknya sudah menduga percakapan ini akan terjadi. “Rio yang bukan detektif.”

    “Belum tentu juga,” Asri menanggapi, gadis itu tampak tidak setuju dengan hipotesa yang diambil oleh nurul. “Dari kita bertujuh yang ikut dalam seleksi, hanya Enyas yang hasilnya jelas-jelas diumumkan bahwa ia lulus. Selebihnya, termasuk aku sendiri, menerima pemberitahuan itu lewat surat ke alamat masing-masing.”

    “Berarti yang tidak memiliki surat adalah satu orang yang dimaksud,” Nurul kembali melontarkan sebuah hipotesa.

    Asri mengangkat kedua telapak tangannya, “harusnya begitu, tapi jujur saja, aku tidak membawa suratku.”

    “Aku juga,” jawab Aryosh kemudian. “Siapa yang sangka kita butuh surat itu,”

    “Apa kalian pikir aku membawanya?” Enyas menyatakan bahwa ia juga tidak membawa surat yang dimaksud. “Devisha, Nurul, Via, Edi, apa kalian berempat membawa surat kalian?”

    Edi dan Via menggeleng, sedang Devisha dan Nurul mengangguk.

    “Jadi hanya kalian berdua yang membawanya.” Ujar Enyas kemudian.

    “Tapi.... menurutku bagaimanapun Rio lah yang paling mencurigakan,” Nurul terus berusaha memojokkan Rio.

    Senyum sinis kembali muncul di sudut bibir Rio yang kini lebih memilih untuk menikmati rokoknya ketimbang menanggapi ucapan Nurul.

    “Oh, aku tidak akan mengambil kesimpulan secepat itu,” Via menimpali. “Aku sih akan melihat petunjuk yang akan diberikan dulu sebelum mengambil kesimpulan.”

    “Petunjuk apa?” Aryosh bertanya pada Via. “Bagaimana kau bisa tahu kita akan dapat petunjuk?”

    “Semalam aku bicara dengan Pak Agil, bukankah sebagai detektif kita harus pandai mencari informasi?” jawab Via sebelum menenggak habis segelas air putih di hadapannya. Sesaat setelah Via menyelesaikan ucapannya, Rio dan Edi beradu pandang, saat ini hanya merekalah yang tahu apa yang dimaksud ‘bicara’ oleh Via. Rupanya Via sempat mengambil keuntungan dari apa yang ia lakukan semalam.

    Pembicaraan mereka terhenti saat Pak Agil dan istrinya, Mila, memasuki ruang tengah. Mereka berdua membawa sebuah kotak kardus berukuran sedang dengan logo Tri Brata di keempat sisi kardus tersebut.

    “Oke, aku minta perhatiannya,” ucap Pak Agil sambil menepukkan kedua tangannya. Perhatian kedelapan peserta pelatihan secara otomatis tertuju pada pria tua itu.

    Pak Agil mengeluarkan sebuah VCD Player Portable seperti yang diterima para peserta di kamar mereka masing-masing. Setelah meletakkannya sedemikian rupa, Pak Agil menyalakan player tersebut. Kembali, logo Tri Brata muncul di layar, diikuti tampilnya Kapolri Komang Mahendra.

    “Selamat pagi, Detektif,” sapa Kapolri Komang Mahendra sambil tersenyum. “Aku rasa kalian semua sudah menangkap kesulitan yang aku berikan dalam tugas pertama kalian. Ya, satu dari kalian tidak termasuk detektif kepolisian. Menyenangkan bukan? Saat insting detektif kalian diminta untuk menerka-nerka siapa sebenarnya satu dari kalian yang bukan detektif?”

    Seisi ruangan tampak serius memperhatikan apa yang diucapkan oleh Komang Mahendra, kecuali satu orang, Rio tampak lebih memilih untuk menikmati rokoknya yang kini mengepulkan asap putih.

    “Tiga hari yang lalu aku beserta tim pergi ke Pulau Dosa untuk mempersiapkan semuanya. Memastikan bahwa unsur-unsur utama penunjang kehidupan seperti air dan listrik di pulau itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dan pada kesempatan itu, kami menyebar petunjuk-petunjuk yang bisa kalian gunakan untuk menyelesaikan tugas pertama kalian, menemukan siapa diantara kalian yang bukan bagian dari kepolisian,” Kapolri melanjutkan lagi ucapannya.

    Rio mematikan rokoknya dan bergabung bersama yang lain, mencoba menangkap petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Kapolri yang tak lain adalah ayah angkatnya sendiri.

    “Kami menyiapkan tujuh petunjuk yang ditulis di atas kertas berlogo Tri Brata seperti ini,” Komang Mahendra menunjukkan sebuah kertas berukuran A4 dengan logo Tri Brata tercetak di atasnya. “Masing-masing kertas mewakili satu huruf. Petunjuk pertama akan diberikan begitu saja kepada orang yang pertama kali naik ke atas kapal Noda Dosa, dan enam lainnya telah disebar ke seisi pulau. Kalian boleh bekerja sama, saling bertukar informasi, atau menyimpan sendiri petunjuk yang kalian temukan, itu semua terserah pada diri kalian masing-masing.”

    Kapolri Komang Mahendra menghentikan ucapannya untuk sejenak, sebelum menunjukkan sebuah kertas dengan gambar di atasnya, gambar itu terlihat semacam sebuah peta.

    “Masing-masing dari kalian akan menerima sebuah peta seperti ini,” ucap Kapolri. “Ini adalah peta Pulau Dosa. Kalian punya tiga hari sebelum kapal Noda Dosa kembali menjemput kalian. Manfaatkanlah waktu kalian sebaik-baiknya, kalian tidak boleh bertukar kamar. Dan sebagai catatan, kami tidak menempatkan petugas atau orang lain di pulau tersebut, kalian harus berusaha sendiri. Semoga sukses, Detektif.”

    Layar kembali menunjukkan lambang Tri Brata, sebelum benar-benar padam. Pak Agil membagikan lembaran kertas yang merupakan peta dari Pulau Dosa. Selesai membagikan peta tersebut, Pak Tua itu memanggil Rio dan menyerahkan secarik kertas berlambang Tri Brata dengan nomor ‘1’ tertera di punggung kertas tersebut.

    Rio membuka lipatan kertas tersebut dan memperhatikan isinya, ada tujuh lingkaran tergambar berjajar di kertas tersebut, enam dari lingkaran itu berwarna merah, satu di antaranya berwarna biru. Dua lingkaran pertama dari kiri adalah lingkaran berwarna merah yang terisi penuh, lingkaran ketiga dan ketujuh masih berwarna merah namun hanya terisi setengah penuh. Lingkaran keempat dan kelima adalah lingkaran merah yang penuh, sama seperti lingkaran pertama dan kedua. Sedang lingkaran keenam adalah lingkaran penuh berwarna biru, satu-satunya lingkaran yang berwarna biru.

    Rio memperhatikan gambar di bawah tujuh lingkaran tersebut. Tepat di bawah ketujuh lingkaran tersebut tergambar angka dua, diikuti gambar pangkat melati satu yang biasa digunakan oleh kepolisian. Rio mengenali lambang tersebut sebagai lambang yang digunakan untuk menandai pangkat Komisaris Polisi.

    Semua mata saat ini memandang ke arah Rio yang sedang membaca apa yang tertulis di dalamnya. Seisi ruangan saat itu tampak sangat penasaran dengan petunjuk yang didapatkan oleh Rio. Seolah sadar dengan hal itu, Rio beranjak dari kursinya dan melangkah ke luar ruangan, setelah meletakkan kertas berisi petunjuk begitu saja. Senyum terkembang di wajah pemuda itu, senyum yang menunjukkan bahwa ia telah berhasil memecahkan sandi yang tertulis dalam petunjuk pertama.

    Tepat setelah Rio meninggalkan kertasnya, Tujuh orang yang tersisa mendekat ke arah kertas tersebut untuk melihat apa isi dari petunjuk pertama. Beberapa menit kemudian, mereka tampak bingung, Enyas mengambil buku catatannya dan meggambar ulang gambar yang ada di petunjuk pertama. Detektif yang mendapat nilai tertinggi dalam uji seleksi itu lalu kembali ke bangkunya, mencoba memecahkan apa yang tertulis pada petunjuk pertama. Senyum yang hampir mirip dengan yang muncul di raut wajah Rio, tergambar di wajah Enyas beberapa menit kemudian.

    “Kau bisa? Enyas?” tanya Edi yang jelas-jelas terlihat kesulitan memecahkan sandi tersebut.

    “Petunjuk itu masih belum menunjukkan apa-apa,” jawab Enyas kemudian. “Tapi setidaknya aku tahu apa yang ada di dalam petunjuk tersebut.”

    “Beri aku petunjuk,” Edi mendekat ke arah Enyas dan berbisik meminta bantuan.

    “Kau meminta petunjuk untuk memecahkan sebuah petunjuk?” Enyas menyindirnya. “Sekali-sekali tunjukkan kalau kau memang detektif, Detektif Edi.”

    Edi mendengus kesal, “kau jadi semakin sombong,” keluhnya. “Sebentar lagi mungkin kau jadi sama sombongnya seperti anak emas itu.”

    Enyas hanya tersenyum menanggapi ucapan Edi.

    *_*_*

    Cuaca cukup cerah saat kapal Noda Dosa merapat di dermaga Pulau Dosa. Via sibuk memperhatikan petanya, memperhatikan keterangan-keterangan tempat yang tertulis di atas peta tersebut.

    “Jadi kita harus jalan kaki ke penginapan?” wajah Nurul tampak cemberut saat mengetahui jarak antara penginapan dengan dermaga yang terlihat cukup jauh.

    “Tidak sampai satu kilometer kok,” jawab Pak Agil yang sedang sibuk menurunkan beberapa kotak kayu. Ganjar, putra Pak Agil mendorong sebuah trolli dan membantu Ayahnya mengangkat kotak-kotak kayu tersebut ke atas trolli. “Nah, yang ada di dalam kotak ini adalah bahan makanan dan minuman untuk bekal kalian selama tiga hari di pulau ini. Sampai jumpa tiga hari lagi.”

    Rio menyapukan pandangannya ke sekitar, tampak seolah mencari sesuatu.

    “Ada apa?” tanya Ganjar pada Rio.

    “Eh, aku mencari Nenekmu, katanya beliau akan tinggal di pulau ini juga bersama kami?” Rio menjelaskan sosok Nenek yang ia cari.

    “Oh, Nenek sudah turun lebih dulu,” jawab Ganjar. “Jadi kakak yang semalam bertemu dengan Nenek? Nenek cerita tentang Kakak, kata beliau kakak orangnya sopan sekali.”

    Rio tersenyum mendengar apa yang diceritakan oleh Ganjar. “Nenekmu orang yang ramah.”

    “Ayo cowok-cowok yang membawa barang-barang ini,” Asri berkata setengah berteriak, mencoba mengalahkan angin laut yang berhembus cukup kencang di dermaga.

    “Kenapa harus cowok?” Edi protes. “Bukankah sekarang jamannya emansipasi? Dimana kaum feminis yang mati-matian mengatakan cowok dan cewek itu sama saja?”

    “Yee, itu kan dalam artian yang berbeda,” Nurul mendukung Asri.

    “Dasar cewek, maunya yang enak-enak saja, giliran yang berat dikembalikan ke cowok,” Edi meneruskan protesnya.

    “Heh, kalau kamu laki-laki, kamu akan lebih sedikit bicara, seperti Aryosh tuh,” Via menunjuk ke arah Aryosh yang kini tengah mendorong trolli berisi kotak-kotak perbekalan mereka. “Cowok kok banyak omong,” Via sempat menyindir Edi sekali lagi.

    “Apa kamu bilang? Dasar pela...”

    “Sudah, simpan saja tenagamu, detektif,” Enyas menepuk pundak Edi. “Bagaimana kalau membantu membawakan karung beras di belakang? Aku dan Rio membawa masing-masing satu, kalau kau membawa satu juga maka kita tidak perlu kembali ke dermaga sesampainya kita di penginapan.”

    Edi menoleh ke arah Rio yang kini memanggul sekarung beras dan berjalan mengikuti jalan setapak tanpa banyak bicara. Enyas juga saat ini tengah memanggul sekarung beras. Akhirnya Edi memutuskan untuk mengangkat sebuah karung yang tersisa.

    Mereka berjalan beriringan mengikuti jalan setapak yang merupakan satu-satunya jalan menuju penginapan, mereka melewati pohon-pohon yang cukup rimbun dan asri, pemandangan di sepanjang perjalanan terlihat hijau dengan udara yang terasa cukup menyegarkan.

    “Hei, lihat itu,” Asri yang berada paling depan menunjuk ke sebuah papan petunjuk yang ada di persimpangan jalan setapak. Sebuah kertas berlambang Tri Brata terpaku di papan petunjuk tersebut. Asri setengah berlari ke arah kertas tersebut dan dengan hati-hati menarik kertas itu lepas dari paku yang menancapnya.

    “Petunjuk lagi?” tanya Devisha dan Nurul yang berlari menyusul Asri. “Apa isinya?”

    “Hmm...” Asri membolak-balikkan kertas di tangannya, kertas itu hanya berlambang Tri Brata, tanpa ada sesuatu yang tertulis di dalamnya.

    “Kosong...” ujar Asri bingung.

    “Apa yang kalian dapat?” Aryosh menghentikan trollinya.

    Asri memberikan kertas itu pada Devisha dan Nurul yang kini membolak-balikkan kertas tersebut, sesekali mengarahkan kertas itu ke langit, seolah berharap ada sesuatu yang muncul jika mereka mengarahkan kertas tersebut ke matahari.

    “Benar-benar kosong,” gumam Devisha sambil menyodorkan kertas itu ke arah Enyas yang tampak berkeringat.

    “Simpan saja dulu, kita pecahkan di penginapan nanti,” jawab Enyas.

    *_*_*


   
   

    CHAPTER 05 : THE MANSION

    “Masih jauh ya?” keluh Nurul sambil menyeka bulir-bulir keringat di dahinya. Gadis cantik itu tampak kelelahan. Kendati begitu, kecantikan Nurul tetap terlihat.

    “Sabar,” ujar Devisha yang berjalan tepat di sebelah Nurul. “Kalau melihat peta ini kita sudah dekat kok.”

    Empat pemuda dan empat pemudi itu melanjutkan langkahnya melewati jalan setapak yang dikelilingi oleh pohon-pohon rimbun. Para pria yang tengah membawa bekal perlengkapan mereka berjalan dalam diam, tampaknya mereka lebih memilih untuk tidak bicara demi menyimpan tenaga.

    “Lihat!!” Via bersorak seraya menunjuk sesuatu di depan mereka. Ujung atap dari sebuah bangunan terlihat diantara rimbunnya pepohonan. “Itu pasti penginapan yang dimaksud!” ujar gadis berambut sebahu itu riang.

    Aryosh menegakkan pandangannya ke arah ujung bangunan sebelum mulai mempercepat langkahnya.

    “Woow...” Asri tampak kagum akan apa yang dilihatnya sekarang. Mereka sampai ke sebuah taman rumput hijau dengan patung berbentuk kuda jingkrak yang mengeluarkan air. Gemericik air yang keluar membuat suasana terasa hidup, ditambah bunga-bunga yang tumbuh di sekitar kaki patung tersebut.

    Bukan taman itu yang membuat Asri berdecak kagum, melainkan apa yang ada setelah taman tersebut. Sebuah bangunan megah bergaya Eropa, dengan empat pilar besar di depan bangunan. Dinding-dinding putihnya tampak sedikit kusam, beberapa tanaman merambat liar di dinding dan pilar-pilar bangunan tersebut. Di lantai dua terlihat jendela-jendela besar berbentuk persegi yang biasa digunakan pada bangunan-bangunan lama. Jendela tersebut berjajar rapi.

    “Ini sih bukan penginapan,” Enyas menurunkan karung berisi bahan makanan yang dipanggulnya. “Ini sebuah mansion,” tambahnya seraya menyeka keringat di keningnya.

    “Mewah juga ya?” Rio ikut berkomentar.

    “Tapi sepertinya menyeramkan,” Via yang saat itu ada di dekat Rio menyahut. “Seperti bangunan mewah yang terabaikan di film-film horror.”

    “Kau bisa tidur bersamaku jika merasa takut, Via,” ujar Edi, mencoba meluncurkan Speak Speak Iblis ke gadis tersebut. Via hanya mencibir lalu menjauh.

    “Seharusnya kau lihat ronde kedua dari permainan Via semalam, Rio,” Edi menyenggol bahu Rio dengan sikunya. “Luar biasa HOT,” tambahnya.

    “Aku pikir lebih baik aku tidak meracuni pikiranku dengan hal semacam itu agar bisa fokus ke pelatihan kali ini,” jawab Rio dingin.

    “Oh, ternyata...” sebuah senyum aneh tersungging di bibir Edi sebelum pria itu melangkah menjauh. Entah apa maksud dari senyum Edi.

    Rio mengangkat kembali karung yang dibawanya sebelum menyusul ke arah rekan-rekannya yang telah memasuki halaman mansion tersebut.

    Kraaak....

    Nurul dan Devisha mendorong double door yang merupakan pintu depan mansion. Pintu berukuran besar yang cukup berat itu menimbulkan suara derak ketika dibuka. Sedikit ragu-ragu, Devisha melangkahkan kakinya di atas lantai mansion yang dilapisi marmer berwarna terang.

    “Besar sekali...” gumam Devisha melihat sebuah ruangan yang besar dan gelap.

    “Kita harus menemukan saklar lampu,” Asri dengan sigap membuka tas ranselnya dan mengambil sebuah senter kecil. Senter itu cukup berguna untuk mencari sesuatu di ruangan yang gelap.

    Asri mengarahkan senternya menyapu seisi ruangan, cahaya bulat yang diciptakan senter tersebut bergerak membelah kegelapan ruangan, menyorot dua buah tangga berukuran besar yang ada di sisi kanan dan kiri ruangan, sebuah karpet merah di tengah ruangan dan sebuah piano merah yang terlihat klasik di tengah ruangan. Sepertinya saat ini mereka berada di ruang lobby dari mansion yang dulunya dipergunakan sebagai penginapan ini.

    Cahaya senter Asri terus menyapu hingga menemukan panel tombol berwarna putih yang menempel pada dinding di bawah tangga sebelah kanan. Asri menyorot panel tersebut untuk beberapa saat.

    “Sepertinya itu tombol lampunya,” ujar Asri seraya melangkah mendekat ke tombol tersebut.

    “Hati-hati,” Enyas mengingatkan. Pria itu meletakkan karung yang tadi dipanggulnya lalu bergegas melangkah ke samping Asri. “Biar aku saja,” ujar Enyas dengan sikap yang gentleman.

    “Oh, terima kasih,” Asri menyerahkan senternya pada Enyas dan mundur kembali ke arah pintu.

    Enyas melangkahkan kakinya ke arah panel tersebut dengan hati-hati, lampu senternya menyorot beberapa pecahan keramik yang berserakan di lantai, beberapa tampak seperti puing-puing pot yang terpecah. Saat Enyas telah berada di depan panel tersebut, ia terdiam sejenak, membaca tulisan yang tercetak di bagian atas tombol-tombol tersebut.

    Sebuah senyum muncul di raut wajah Enyas saat menyadari bahwa tombol-tombol di hadapannya memang tombol yang digunakan untuk menyalakan lampu penerangan mansion. Enyas menjulurkan jarinya, menekan sebuah tombol.

    ‘CTEK!’

    Tidak ada yang terjadi. Enyas menekannya sekali lagi.

    ‘CTEK! CTEK!’

    Masih tidak ada yang terjadi.

    “Sepertinya mereka tidak berfung...”

    ‘KLOTAK-KLOTAK-KLOTAK!’

    Suara gaduh muncul dari dalam kegelapan ruangan, Enyas mengarahkan senternya ke arah suara dan sempat melihat sekelebat bayangan melompati piano. Rio yang melihat tersebut membuka ranselnya dan mengambil senter miliknya. Rio bergerak maju ke arah piano dengan senter menyala di tangannya, pemuda itu tampak maju tanpa rasa takut sedikitpun.

    “Hey! Rio!” Enyas memanggil Rio yang kini berhenti di depan piano, menggerakkan senternya ke arah kaki-kaki piano dan terus ke lantai di bawah piano tersebut. Cahaya senter milik Rio menangkap sebuah gerakan, tidak lama kemudian sekelebat sosok melesat dari kaki piano tersebut berlari dengan empat kakinya ke arah ruangan lain. Rio tersenyum menyadari sosok sebenarnya dari bayangan itu.

    “Apa itu, Rio?” Enyas bertanya dari kejauhan.

    “Seekor kucing,” jawab Rio sambil tetap memunggungi rekan-rekannya. “Cobalah tombol yang lain, Nyas,” saran Rio kepada Enyas.

    ‘CTEK!’ terdengar suara Enyas menekan tombol yang lain.


    Sudut mata Rio menangkap sesuatu pada kaki piano di hadapannya, Rio berjongkok dan menyorot kaki piano tersebut dengan senternya, sebuah goresan terlihat di kaki piano tersebut, tampak seperti bekas cakaran. Rio meraba kaki piano itu dengan dua jarinya untuk memastikan goresan tersebut.

    ‘CTEK! CTEK!’ Enyas masih mencoba tombol yang lain.

    Rio mendekatkan kepalanya ke arah goresan pada kaki piano, mengamatinya lebih dekat. Dan seketika itulah Rio merasakan sesuatu yang aneh, sebuah hawa dingin yang entah dari mana seolah menyergap tengkuknya, bulu kuduknya terasa merinding. Rio mencoba mengabaikan perasaan aneh yang muncul tiba-tiba itu, sebuah perasaan yang sangat tidak biasa. Rio mengatur nafasnya dan memejamkan matanya.

    Saat itulah Rio merasakan hawa dingin yang merindingkan bulu kuduk itu semakin kuat, diikuti dengan perasaan aneh yang menjalari punggungnya. Perasaan di punggungnya itu, sama dengan perasaan yang terasa kala seseorang menatapmu dalam waktu yang cukup lama.

    Rio membuka matanya, dia dapat merasakan sesuatu sedang menatapnya dari belakang, dari balkon di lantai dua yang gelap. Perasaan itu terasa semakin kuat, perlahan namun pasti, Rio menoleh ke belakang dalam posisi masih tetap berjongkok.

    Rio memandang ke lantai dua di belakangnya, gelap, dan dalam keadaan gelap tersebut, ia melihat sesuatu yang samar, seolah siluet seseorang mengenakan pakaian putih panjang tengah berdiri dan menatap ke arahnya, semakin lama sosok itu tampak semakin jelas, seorang wanita berambut panjang, dengan kulit pucatnya, dengan wajah yang tersamarkan kegelapan mengangkat tangan kirinya perlahan, seolah menunjuk ke arah Rio.

    KLAP!!

    Tiba-tiba lampu menyala terang, secara reflek, mata Rio berkedip, Rio mengerjapkan matanya berkali-kali untuk menyesuaikan dengan kondisi terang yang muncul tanpa aba-aba. Setelah beradaptasi, Rio memandang kembali ke arah sosok samar seorang wanita yang tadi menatapnya dari lantai dua. Sosok itu kini tak lagi ada, seolah tak pernah ada di sana.

    “Yes! Berhasil!” ujar Enyas yang akhirnya berhasil menyalakan lampu. Rio menatap ke arah Enyas yang kini mendekat ke arahnya.

    “Ada apa Rio?” tanya Enyas. “Kau seperti habis melihat hantu.”

    “Hey, lihat, petunjuk ketiga,” Nurul menunjuk secarik kertas dengan logo Tri Brata yang ada di atas piano merah di tengah ruangan. Gadis itu lantas bergegas untuk mengambil kertas tersebut, melewati Rio yang masih tampak bingung.

    “Kosong lagi?” tanya Devisha.

    “Tidak, yang ini ada isinya. Lihat,” Nurul menunjukkan kertas tersebut pada Devisha.

    Devisha mengernyitkan alisnya melihat isi kertas tersebut. Sebuah pesan singkat yang ditulis dalam bahasa inggris ;

    IN 4 OUT 4


    “Apa maksudnya itu?” tanya Nurul pada Devisha.

    “Biar kulihat,” Asri meminta Devisha agar menyerahkan kertas berisi petunjuk tersebut. Devisha menyerahkan kertas tersebut pada Asri. Asri membaca sekilas, membolak-balik kertas tersebut sebelum mnyerahkannya pada para pria.

    “Empat di dalam empat di luar,” gumam Devisha setengah berbisik pada Nurul. “Ada empat lelaki di sini dan empat wanita. Kurasa itu ada hubungannya dengan petunjuk kali ini.”

    “Jangan bilang kalau kita harus berhubungan badan dengan para lelaki itu,” timpal Nurul.

    Devisha memandang heran ke arah Nurul. “Apa hubungannya dengan berhubungan badan?” tanya Devisha heran.

    “Ya... kan bisa dikeluarkan di dalam atau di luar?” ujar Nurul dengan wajah tak bersalahnya.

    Devisha menepuk keningnya sendiri.

    “Sebaiknya kita letakkan barang di kamar masing-masing, sesuai dengan pembagian kamar yang diberikan,” Asri memberi ide.

    “Semua kamar ada di lantai dua ya?, kita harus menaiki tangga setelah perjalanan dari dermaga yang cukup melelahkan itu. Bagus sekali,” Via berjalan malas menuju tangga.

    “Letakkan saja karung-karung kalian di atas troli, biar kuantarkan ke dapur,” ujar Aryosh pada Enyas, Edi dan Rio.

    “Kau tahu dimana dapurnya?” Edi bertanya pada Aryosh, kecurigaan tentang bagaimana Aryosh bisa mengetahui posisi dapur di mansion ini pada kunjungan pertamanya ke tempat ini.

    “Tidak,” jawab Aryosh. “Tapi aku rasa tidak sulit mencarinya,” tambahnya sambil menunjuk ke sebuah pintu berwarna putih dengan tulisan ‘KITCHEN’ pada daun pintunya.

    “Aku duluan,” Rio melangkah menuju tangga meninggalkan ruang lobby dan nyaris menabrak Aryosh yang tengah mendorong trolinya ke arah dapur. Enyas menatap gerak-gerik Rio yang terlihat aneh baginya.

    “Ada apa dengannya?” gumam Enyas sambil berbalik menatap piano merah di dekatnya, mencoba mencari sesuatu yang janggal dari piano tersebut.

    “Aku tidak akan dekat-dekat dengan Rio jika aku jadi kau, Enyas,” ujar Edi tiba-tiba.

    “Kenapa?” Enyas bertanya.

    “Rio itu homo, aku punya dasar mengatakan hal tersebut,” jawab Edi meyakinkan.

    “Tidak... aku tidak percaya,” jawab Enyas sambil tersenyum mengejek.

    “Oke, aku tanya padamu, apa menurutmu Via adalah gadis yang jelek?” Edi melontarkan sebuah pertanyaan.

    “Tidak, Via.. cantik menurutku.”

    “Seksi?”

    Enyas tidak segera menjawab, ia mencoba menerka-nerka arah pertanyaan yang disampaikan oleh Edi. “Ya... dia seksi.”

    “Kalau di depan matamu, Via sedang bersetubuh dengan seorang pria, keduanya sama-sama dalam keadaan telanjang bulat, dan sangat menggairahkan. Apa kau akan memalingkan wajahmu dan menolak melihatnya?”

    “Tidak, tentu saja tidak. Aku akan menikmati apa yang kulihat.”

    “See?” Edi tersenyum. “Semalam aku dan Rio melihat Via bersetubuh dengan Pak tua pemilik kapal, dan Rio malah memilih pergi.”

    “Kau? Apa? Via dengan Pak Agil?” Enyas mengernyitkan alisnya, seolah tidak percaya dengan apa yang baru dikatakan oleh Edi.

    Edi tersenyum dan mengeluarkan ponsel berkameranya. “Aku sempat mengambil beberapa foto,” ujarnya sambil menunjukkan foto-foto yang menunjukkan Via sedang berhubungan badan dengan Pak Agil.

    “Oh shit...” gumam Enyas melihat foto-foto di layar ponsel Edi, tampak jelas di sana seorang pria berbadan tegap yang posturnya tampak seperti Pak tua Agil sedang menindih seorang gadis yang tak lain adalah Via. Wajah Via terlihat jelas di foto tersebut, bibir gadis itu setengah terbuka, matanya terpejam. Via terlihat sangat menikmati perlakuan Pak Agil atas tubuh telanjangnya.

    “Aku tidak berbohong, Rio malah memilih pergi. Bukankah itu berarti dia seorang homosexual?” Edi menekankan hipotesanya kembali.

    Enyas menggeleng dan tersenyum. “Kau tidak bisa menyimpulkan semudah itu, Detektif Edi,” timpal Enyas dengan nada yang sangat tenang. “Kita tidak tahu bagaimana Rio dibesarkan, bagaimana ia menerima ajaran atau pendidikan tentang moral. Dan lagi, dia adalah putra angkat Kapolri, bisa saja ia memutuskan pergi karena ia tidak ingin citranya jadi buruk atau tersangkut masalah nantinya.”

    “Aryosh tidak setuju denganmu,” Edi balas menimpali. “Dia sependapat denganku.”

    “Terserahlah, aku tidak ingin terlibat dengan hipotesamu itu,” Enyas menolak untuk berdebat. “Yang aku inginkan sekarang adalah kita bertiga, aku, kau dan Rio bekerja sama dalam menyelesaikan tugas ini.”

    “Aku tidak akan bekerja sama dengan seorang homosexual,” Edi menolak permintaan Enyas mentah-mentah. “Lagipula bisa saja Rio bukan detektif!”

    “Oh, itu tidak mungkin,” ujar Enyas sambil tersenyum. “Aku, Rio dan dirimu sudah pasti detektif. Begitu juga dengan Nurul.”

    “Bagaimana kau bisa seyakin itu?” Edi tampak meragukan kebenaran dari apa yang baru saja diucapkan Enyas.

    “Satu petunjuk mewakili satu huruf, ingat?” Enyas mendekat ke arah piano merah di tengah ruangan dan membuka penutup tuts piano yang berdebu. “Dan petunjuk pertama menunjukkan bahwa aku, kamu, Rio dan Nurul adalah detektif.”

    “Berhenti berbelit-belit, Nyas. Katakan apa yang dimaksud dengan petunjuk pertama.” Edi mulai kehilangan kesabaran.

    “Angka dua dan lambang komisaris polisi itu kuncinya,” Enyas meminta Edi mendekat dengan isyarat tangan. Edi bergerak mendekat.

    “Apa sebutan lain bagi Kompol? Komisaris Polisi?” tanya Enyas.

    “Hmm... sebutan lainnya... Mayor,” jawab Edi.

    “Tepat!” Enyas membenarkan jawaban Edi. “Angka dua itu merujuk ke kata ‘Di’. Sama seperti yang digunakan pada istilah dikotil-monokotil.”

    “Di dengan mayor... artinya?”

    “Diatonis Mayor. Apa itu berarti sesuatu bagimu?” senyum di wajah Enyas semakin mengembang.

    “Diatonis mayor, diatonis minor, itu semacam ada hubungannya dengan musik?” Edi tampak ragu dengan jawabannya.

    “Nada dasar dalam sebuah titinada,” Enyas menyempurnakan jawaban Edi. “Tujuh lingkaran, sebagian terisi penuh dan dua diantaranya terisi setengah, persis dengan jumlah ketukan dalam sebuah titinada. Satu-satu-setengah-satu-satu-satu-setengah. Mengerti?” Enyas menunjuk ke arah tuts piano di hadapannya. “Tuts berwarna putih ini bernilai satu, dan tuts berwarna hitam di antaranya bernilai setengah. Nada dasar yang digunakan dalan diatonis mayor adalah C.”

    “Dan satu lingkaran berwarna biru itu adalah yang huruf yang dimaksud, lingkaran keenam berwarna biru dan terisi penuh...” Edi mulai mencoba menganalisa. “C-D-E-F-G-A-B, petunjuk itu berarti huruf A!”

    “Kau benar, detektif. Namamu, Rio dan Nurul tidak memiliki unsur A di dalamnya. Sudah jelas kalian adalah detektif kepolisian.”

    “Cerdas sekali!” Edi tersenyum. “Tapi bagaimana denganmu? Namamu memiliki huruf A di dalamnya.”

    Enyas tersenyum dan mengangkat kedua tangannya. “Kalau itu terserah kalian apakah kalian mau mempercayaiku atau tidak,” ujar Enyas.

    “Bagaimana dengan petunjuk kedua dan ketiga? Kau sudah memecahkannya?” Edi menanyakan perihal petunjuk kedua yang berupa kertas kosong dan petunjuk ketiga yang bertuliskan ‘IN 4 OUT 4’.

    “Aku belum tahu soal petunjuk kedua,” jawab Enyas. “Tapi kalau petunjuk ketiga, itu jauh lebih mudah dari petunjuk pertama. Masalahnya adalah...”

    “Masalahnya adalah?” Edi mengulang ucapan Enyas.

    “Petunjuk ketiga itu memiliki dua jawaban, dan aku tidak tahu yang mana jawaban yang benar,” jawab Enyas kemudian.

    *_*_*


   
   

    CHAPTER 06 : WET AT WATERFALL

    Rio membiarkan barang-barang bawaannya berserakan begitu saja di atas ranjang kamar mansion. Sebagian tubuhnya masih gemetar, ia masih dapat merasakan hawa dingin yang menjalar seketika di tengkuknya. Sosok yang tadi menatapnya tanpa ekspresi dari kegelapan di lantai dua jelas bukan manusia. Sosok seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun putih yang terlihat berbaur samar dengan kegelapan di sekitarnya.

    Cermin besar yang merupakan bagian dari lemari pakaian di kamar itu memantulkan bayangan Rio. Wajahnya terlihat sedikit pucat, Rio berusaha mengatur nafasnya sedemikian rupa, dalam benaknya, pria itu berusaha untuk mengalihkan pikirannya. Mencoba membangkitkan logika-logikanya agar dapat mengalahkan ketakutannya akan sosok hantu wanita tersebut.

    ‘Tok tok tok’

    Ketukan di pintu kamar sedikit mengejutkan Rio. Tapi hal itu membuatnya merasa lega. Setidaknya, sebuah ketukan yang mengejutkan dapat mengalihkannya dari rasa takut yang hampir menguasainya.

    “Rio? Kau di dalam?” terdengar suara Enyas memanggil.

    Rio beranjak dari duduknya dan melangkah untuk membuka pintu. Ia menemukan Enyas dan Edi di depan pintunya. Sepertinya kedua rekannya sudah siap untuk menjelajahi pulau.

    “Ada apa?” tanya Rio.

    “Kau mau ikut bersama kami? Kita akan mencari petunjuk ke seisi pulau,” Enyas mengajak Rio mencari petunjuk bersamanya.

    “Dimana yang lain?” Rio bertanya sekali lagi.

    “Nurul dan Devisha sudah pergi lebih dulu, Asri memilih bersantai di pantai bersama Via, sedang Aryosh… sepertinya ia masih ada di kamarnya,” jawab Enyas.

    “Apa kita harus mengajaknya? Enyas?” Edi tampaknya kurang suka dengan ide mengajak Rio di perburuan petunjuk ke seisi pulau.

    “Ya,” Rio menimpali sebelum Enyas sempat menjawab pertanyaan yang dilontarkan Edi. “Kenapa aku harus ikut dengan kalian?”

    “Oh ayolah Rio,” Enyas menanggapi. “Kau tahu lebih baik bekerja sama dengan kami ketimbang dengan yang lain kan? Setidaknya tidak satupun dari kita akan mencoba mengaburkan petunjuk.”

    “Kenapa aku harus berasumsi kalian tidak akan mengaburkan petunjuk yang didapat?” Rio menunjukkan ketidakpercayaannya pada apa yang baru disampaikan oleh Enyas.

    “Karena petunjuk pertama menunjukkan bahwa kita adalah detektif,” Edi menyahut. “Kau tahu kan? Petunjuk pertama itu adalah diato…”

    “Aku adalah orang pertama diantara kalian yang membaca petunjuk pertama,” Rio memotong kalimat Edi. “Jelas aku tahu kalau petunjuk itu berarti huruf A.”

    “Oh, aku tidak akan bekerja sama dengan seorang homosexual!” Nada bicara Edi meninggi. “Kau boleh bekerja sama dengan sang anak emas kalau kau mau, Enyas. Tapi jangan harap aku akan bekerja sama dengan seorang homo!”

    “Jangan kuatir, aku juga tidak berminat untuk bekerja sama dengan seorang amatir macam dirimu, detektif Edi,” Rio membalas ucapan Edi dengan sinis.

    Edi bergegas pergi ke arah tangga, meninggalkan Enyas dan Rio yang kini berhadap-hadapan.

    “Kau yakin tidak ingin bekerja sama?” Enyas menawarkan sekali lagi.

    “Aku rasa Aryosh lebih bisa diandalkan dibanding partner barumu itu, Enyas,” Rio menjawab, sebuah jawaban yang menyiratkan penolakan atas tawaran yang diberikan oleh Enyas.

    “Baiklah,” Enyas mengangkat bahunya dan bergegas menyusul Edi, meninggalkan Rio yang memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

    *_*_*

    “Kau percaya hantu?” Rio bertanya pada Aryosh di tengah-tengah perjalanan mereka menuju Solar Power Plant yang terletak di bagian lain pulau.

    “Hantu?” Aryosh mengernyitkan alisnya. “Kau takut hantu?”

    “Tidak,” jawab Rio tanpa ekspresi. “Aku hanya bertanya apa kau percaya akan adanya hantu.”

    “Oh, aku percaya pada keberadaan makhluk lain selain manusia, terlepas dari bagaimana kamu mendefinisikan hantu,” jawab Aryosh. “Aku merasakan keberadaan makhluk halus begitu memasuki mansion.”

    “Kau dapat merasakan keberadaan mereka?” Rio memandang ke arah Aryosh.

    “Hanya merasakan saja, aku rasa semua orang punya potensi untuk merasakan keberadaan makhluk-makhluk itu.”

    “Dimana kau merasakannya? Maksudku bagian mansion yang mana? Ruang tengah? Dapur?” Rio makin mempertajam pertanyannya.

    Aryosh menghentikan langkahnya, untuk sesaat ia memandang ke atas, ke arah beberapa burung yang bertengger di dahan pohon.

    “Lantai dua, di koridor lantai dua, koridor yang menghadap ke arah piano,” jawab Aryosh kemudian.

    Rio memandang ke arah Aryosh, ia sedikit terkejut dengan apa yang baru saja disampaikan Aryosh. Posisi yang dimaksud Aryosh hampir sama dengan tempat dimana sosok hantu wanita itu muncul.

    “Seperti apa sosoknya?” Rio bertanya sekali lagi.

    “Entahlah, aku kan tidak melihatnya? Hanya merasakan keberadaannya saja,” jawab Aryosh sambil melanjutkan langkahnya. “Aku rasa kita hampir sampai,” ujar Aryosh sembari menunjuk ke ujung sebuah menara tinggi yang menjulang diantara pepohonan. Menara itu dapat dilihat dari lantai dua mansion tempat mereka menginap.

    Rio mempercepat langkahnya, beberapa menit kemudian mereka sudah sampai di tepi hutan. Di atas dataran rendah, beberapa puluh meter di depan Rio dan Aryosh, terlihat panel-panel solar power plant yang berjajar rapi, mengelilingi sebuah menara tinggi yang merupakan menara kendali dari power plant tersebut.

    “Ternyata mereka sudah disini lebih dulu,” gumam Rio saat melihat Enyas dan Edi sedang berbincang-bincang di depan menara kendali. Enyas tampak melihat ke arah Rio dan Aryosh, detektif muda itu melambai ke arah mereka. Aryosh dan Edi melanjutkan langkah mereka memasuki kawasan Solar Power Plant tersebut.

    “Apa yang kau temukan?” tanya Aryosh pada Enyas dan Edi.

    “Maaf aku tidak akan bicara padamu selama kau bersama si homo itu,” jawab Edi sinis sambil menunjuk ke arah Rio. Ia tampak masih kesal dengan Rio yang menyebutnya sebagai amatir.

    “Tidak ada apa-apa disini selain tuas dan panel,” Enyas menjawab pertanyaan Aryosh, mencoba untuk tidak ikut ambil bagian dalam konflik antara Edi dan Rio.

    “Tidak ada petunjuk?” Aryosh kembali bertanya, mencoba mencari tahu apakah Enyas dan Edi menemukan kertas berlambang Tri Brata yang merupakan bagian dari tujuh petunjuk yang tersebar.

    “Nihil,” Enyas menggeleng. “Jujur, tadinya aku berharap ada petunjuk di tempat ini. Tapi hasilnya nihil. Kecuali petunjuk tersebut ada di ruang bawah tanah yang terkunci.”

    “Terkunci?” kali ini Rio angkat bicara. “Ada ruangan yang tidak bisa dimasuki?”

    “Ada ruang bawah tanah yang terkunci rapat,” Enyas menjelaskan. “Kita bisa mengintip ke dalam lewat jendela yang ada di pintu ruangan tersebut, ruangan kecil, mungkin sekitar satu meter persegi, isinya cuma alat pembersih lantai. Sepertinya itu hanya tempat penyimpanan alat-alat pembersih.”

    “Sebaiknya kita ke dalam, Yosh,” Rio mengajak Aryosh untuk masuk ke dalam menara kendali.

    “Dan sebaiknya kita pergi dari sini, Nyas,” Edi menimpali. “Aku sudah cukup muak berada di dekat homosexual.”

    Rio berjalan masuk ke dalam menara kendali, mengabaikan kata-kata Edi yang bersifat provokatif. Aryosh terlihat bingung dengan apa yang terjadi, dia menatap Edi dan Rio bergantian.

    “Lebih baik kita tidak bersikap kekanakan,” ujar Enyas sambil bergegas meninggalkan tempat itu. Edi mengikuti tepat di belakangnya.

    Aryosh memandang Edi dan Enyas yang berjalan meninggalkan area Solar Power Plant, matanya menangkap ke arah Edi yang memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana panjangnya. Satu hal yang tidak diketahui oleh Aryosh, Rio ataupun Enyas, tangan kanan Edi menggenggam secarik kertas berlambang Tri Brata di dalam saku kanan celananya.

    *_*_*

    “Waah sejuk sekali,” Nurul tampak senang melihat air terjun di hadapannya. Rimbunan pohon di sekitar mereka tampak berpadu selaras dengan air terjun dan sungai dangkal yang penuh bebatuan. Air sungai itu terlihat jernih.

    “Ayo kita istirahat dulu di sana,” Devisha menunjuk pondok kecil berbahan kayu yang terbangun di tepi sungai.

    Nurul berjalan dengan lincah ke tepi sungai, berjongkok dan memasukkan tangannya ke dalam air sungai yang mengalir. Air sungai itu tampak bening dan menyegarkan.

    “Airnya jernih,” Nurul mengomentari air sungai di hadapannya. “Sepertinya segar sekali, rasanya aku ingin mandi di sungai ini.”

    Devisha duduk di pondok kecil tidak jauh dari tempat Nurul berada, gadis itu memandang ke sekitarnya, rimbunan pohon yang mengelilingi mereka, air terjun yang cukup tinggi, sungai kecil yang tampak jernih, sebuah pemandangan yang sangat sulit ditemui di Jakarta, tempat kelahirannya.

    “Lepas saja,” ujar Devisha saat ia melihat Nurul mulai menggulung ujung celana jeans. “Kau tidak ingin kembali ke mansion dengan celana yang basah, kan?”

    Nurul menoleh ke arah Devisha yang memandangnya sambil tersenyum. Nurul memandang sekitarnya, memastikan bahwa tidak ada orang lain di dekat sana selain mereka berdua.

    “Aku hanya ingin mencoba kedalaman sungainya kok,” Nurul berkata menanggapi saran dari Devisha.

    “Oh, aku tahu kau ingin mencoba kesegaran airnya,” Devisha tersenyum sambil beranjak dari duduknya. Gadis itu tidak melepaskan pandangannya dari Nurul saat tangannya menyentuh kancing celana jeansnya sendiri, melepas, dan menurunkannya sambil sedikit menggoyang tubuhnya.

    Devisha tidak berhenti disitu, gadis itu memegang ujung kaos yang dikenakannya lalu menarik kaos tersebut ke atas, serta merta kaos tersebut lepas melalui kepala gadis manis tersebut. Dengan santainya, Devisha menurunkan celana dalamnya, membuat kewanitaannya yang hanya tampak seperti garis vertikal tipis terpampang bebas.

    “Aku butuh bantuan disini,” ujar Devisha sambil berbalik badan memunggungi Nurul, meminta Nurul membantunya melepaskan kait bra yang dikenakannya.

    Nurul tersenyum melihat kelakuan Devisha yang sudah dikenalnya sejak masih duduk di bangku SLTP. “Dasar…” timpal Nurul sambil mendekati Devisha.

    *_*_*

    Rio memandangi panel-panel di depannya dengan seksama, dua lampu indikator berwarna hijau di depannya menyala. Tepat di bawah lampu-lampu yang menyala tersebut terdapat tulisan ‘POWER’ yang menurutnya pertanda bahwa listrik di pulau telah dialirkan.

    “Ada yang kau temukan?” Aryosh bertanya.

    “Aku bahkan tidak paham dengan apa yang ada di sini,” jawab Rio sekenanya. “lihat panel-panel ini, benar-benar membingungkan.”

    “Jangan tanya padaku, aku sama butanya tentang kelistrikan,” Aryosh menimpali. “Kita tidak bisa naik ke ujung menara karena lift itu tidak berfungsi,” Aryosh menunjuk ke arah elevator yang tak bergerak meski Aryosh telah berkali-kali mencoba mengoperasikannya.

    “Dan tidak ada tangga menuju kesana,” Rio melengkapi ucapan Aryosh. “Tidak ada petunjuk disini, sebaiknya kita ke tempat lain.”

    Rio dan Aryosh keluar dari menara kendali, berjalan meninggalkan area Solar Power Plant.

    “Kemana kita pergi?” tanya Aryosh sambil membuka peta yang dibawanya.

    “Aku rasa sebaiknya kita selidiki sekitar mansion, seharusnya ada satu atau dua petunjuk di sana,” Rio menjawab pertanyaan Aryosh.

    “Ide yang bagus Rio,” Aryosh memandang Rio untuk sesaat. “Apa ada yang ingin kau bicarakan, Rio?” tiba-tiba saja Aryosh bertanya.

    “Tentang apa? Power Plant ini? Ya, aku hanya merasa aneh untuk apa membangun Solar Power Plant sebesar ini jika hanya untuk mengalirkan listrik ke dermaga dan mansion. Menurutku itu sebuah pemborosan.”

    “Pemilik pulau ini pasti seorang milyader yang bingung menghabiskan uangnya,” komentar Aryosh.

    “Namanya Billy, Pak Agil sempat menyebut namanya. Mungkin ia ingin mendirikan sebuah resort besar yang lengkap dengan taman bermain atau mungkin dia ingin mendirikan kotanya sendiri di pulau ini.”

    “Ya, bisa jadi,” Aryosh menimpali.

    Keadaan hening untuk sesaat, Aryosh dan Rio berjalan melewati jalan setapak dan mulai memasuki hutan.

    “Ada lagi yang ingin kau sampaikan?” Aryosh bertanya sekali lagi.

    “Hah?” Rio memandang Aryosh dengan wajah bingung, tidak paham dengan arah pertanyaan Aryosh. “Maksudmu? Kau ingin tahu soal petunjuk pertama? Soal tujuh lingkaran itu? atau soal petunjuk ketiga? IN 4 OUT 4?”

    Aryosh menggeleng, “Aku bisa memecahkan semua petunjuk itu sendiri,” ucapnya kemudian.

    “Lalu? Apa maksud dari pertanyaanmu itu?”

    “Tentang Edi,” Aryosh menjawab.

    “Oh, detektif amatir yang malas berpikir itu. Ada apa dengannya?”

    “Dia menyebutmu seorang homosexual,” wajah Aryosh tampak serius saat mengucapkan kalimat homosexual.

    “Oh, aku tidak mau memikirkan hal tidak penting seperti itu,” Rio sedikit tertawa menanggapi ucapan Aryosh. “Tidak perlu diperhatikan, terserah apa yang ingin dikatakan detektif amatir itu.”

    “Aku pernah berada di posisimu,” sahut Aryosh, masih dengan nada yang serius. “Kau tidak perlu menutupi apapun di depanku. Tidak perlu berpura-pura menjadi orang yang bukan dirimu.”

    Tawa kecil Rio terhenti seketika, Rio memandang ke wajah Aryosh yang tampak serius dengan apa yang saat ini mereka bahas.

    “Apa maksudmu dengan berpura-pura menjadi orang yang bukan diriku?” Rio mengernyitkan alisnya.

    “Kau boleh terbuka padaku, aku sama sepertimu, kita memang kaum minoritas, banyak orang yang menganggap kita sebagai manusia rendah, gila, bahkan hina,” Aryosh meletakkan tangan kanannya ke pundak Rio. “Hanya kita yang bisa mengerti kaum kita,” ucap Aryosh seraya menatap mata Rio dalam-dalam.

    “Brengsek!” Rio mengibaskan pundaknya dan melompat mundur. Untuk sejenak Rio mengamati Aryosh dari ujung kaki hingga kepala, seolah ia tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Aryosh. “Kau benar-benar berpikir aku homosexual?? Dan kau… kau seorang homosexual?” ujar Rio dengan nada yang cukup tinggi.

    “Ya, sama sepertimu? Kenapa kau harus berpura-pura? Kita ini sama,” Aryosh tampak heran dengan sikap Rio.

    Rio mengarahkan telunjuknya ke arah Aryosh. “Tidak Aryosh!” ujar Rio sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku bukan homo! Maaf, tapi aku normal, aku tertarik dengan lawan jenisku, dan aku tidak tertarik dengan hubungan sejenis!” Rio berkata sambil menuding-nudingkan jarinya ke arah Aryosh.

    Aryosh diam untuk sesaat, entah apa yang saat itu dipikirkan oleh Aryosh, tapi akhirnya ia menyadari bahwa Rio bukanlah seorang homosexual, tidak seperti dirinya.

    “Aku rasa kita berpisah disini, Aryosh, maaf, tapi lebih baik begitu,” Rio berpaling dan melangkah menjauh dari Aryosh yang masih diam. Tiga langkah kemudian, Rio berbalik menatap Aryosh. “Tidak perlu khawatir, Aryosh…” ujar Rio kemudian. “Aku tidak akan memberitahu siapapun tentang hal ini,” ucapnya sebelum meninggalkan Aryosh. Sepanjang perjalanan Rio menggeleng-gelengkan kepalanya, ia masih tidak percaya akan fakta bahwa seorang pria berbadan besar, tinggi dan kekar, dengan nada suara yang berat layaknya pria jantan seperti Aryosh, ternyata seorang homosexual.

    *_*_*

    Gemericik air terjun terdengar berbaur dengan canda tawa dua gadis yang sedang bertelanjang ria di bawahnya. Tubuh padat berisi milik Devisha terlihat begitu menggairahkan dalam keadaan basah, rambut panjang hitamnya tampak menempel di sebagian buah dadanya yang membusung indah. Gadis itu menjerit kecil saat Nurul memberi cubitan kecil pada payudaranya yang berareola kecoklatan dengan puting yang tidak begitu menonjol.

    Pemandangan di samping Devisha tidak kalah menggairahkan, seorang gadis berparas cantik dengan tubuh ramping namun terlihat padat dan berlekuk juga telanjang tanpa sehelai benangpun. Nurul, gadis berkulit cerah yang sering mempermainkan banyak pria sekaligus tampak usil mencolek-colek payudara Devisha. Jika ada laki-laki yang melihat keduanya dan diharuskan memilih salah seorang diantara Nurul dan Devisha, pastilah sebagian besar laki-laki akan memilih untuk menikmati Nurul yang berparas lebih cantik, sebagian yang lain mungkin memilih Devisha karena tubuhnya dapat dikatakan lebih montok, payudara Devisha memang lebih besar dan lebih membusung kencang dibandingkan Nurul.

    “Aw!” Devisha memekik lagi saat Nurul dengan isengnya mencolek bagian kewanitaannya. Nurul tertawa cekikikan melihat reaksi Devisha.

    “Sekali lagi kau lakukan itu, akan kubuat kau lemas di bawah air terjun ini,” ancam Devisha.

    “Siapa takut?” Nurul malah menantang Devisha.

    Tanpa banyak bicara, tangan kanan Devisha merengkuh tengkuk Nurul, yang lebih pendek beberapa sentimeter dari dirinya dan menarik kepala Nurul hingga bibir mereka bertemu. Devisha melumat dan menghisap bibir Nurul dengan ganas dan Nurul membalas ciuman tersebut dengan tidak kalah ganasnya.

    Dua orang gadis yang sama-sama telanjang bulat saling melumat, Keduanya mendekatkan tubuh mereka, Devisha menempatkan tangan kirinya melingkar dari pinggul ke punggung Nurul, membuat tubuh telanjang keduanya kini bergesekan di bawah percikan air terjun. Buah dada kedua gadis itu saling bersinggungan, bergesekan seolah tak ingin kalah dengan gesekan bibir keduanya. Kedua tangan Nurul kini melingkar di pinggang Devisha, gadis cantik itu membelitkan kaki kanannya ke kaki kiri Devisha, membuat paha mereka merapat, membuat liang kenikmatan mereka sesekali saling menggesek.

    “Ah…” Nurul melepaskan ciumannya saat dengan sengaja Devisha mengangkat lutut kanannya hingga menekan liang kewanitaan Nurul. Sambil menjaga keseimbangan, dengan lihai Devisha menggesek-gesekkan pahanya ke vagina Nurul, memberikan rangsangan yang samar-samar terasa nikmat bagi Nurul. Mata indah Nurul semakin terpejam saat Devisha mendaratkan bibirnya menyusuri leher putih Nurul, Devisa memainkan lidahnya di sekujur leher gadis cantik itu sambil sesekali memberikan hisapan yang makin merangsang.

    Seolah ingin mengejar kenikmatan yang lebih, kedua tangan Nurul kini berada di bongkahan pantat montok Devisha, meremas dan menarik-narik bongkahan indah itu sehingga gesekan paha Devisha di liang kewanitaannya semakin terasa. Nurul dapat merasakan vaginanya mulai basah, bukan hanya basah karena guyuran air terjun, namun juga karena cairan lain yang keluar dari dalam liang kenikmatannya sendiri.

    Ciuman dan hisapan Devisha kembali naik ke bibir Nurul, keduanya kembali terlibat dalam ciuman yang semakin panas, lidah keduanya bertemu, saling menyapu dan saling membelit saat tubuh keduanya menempel erat. Setelah itu, dengan lembut Devisha menghentikan ciumannya, keduanya bertemu pandang dan saling tersenyum. Detik berikutnya, Devisha bergerak turun, berjongkok hingga liang kewanitaan Nurul berada tepat di hadapan wajahnya.

    “Ouhh… yesshh…” Nurul melenguh saat merasakan sesuatu yang hangat dan bertekstur menyapu kewanitaannya, menghantarkan sebuah kenikmatan ke seluruh tubuhnya. Nurul kembali melenguh saat Devisha mulai menusukkan lidahnya dengan lembut, membelah bibir kewanitaan Nurul yang terlihat bersih terawat. Dengan gerakan yang teratur lidah itu menyapu lipatan bagian dalam bibir kewanitaan Nurul, hal itu dilakukan berkali-kali sebelum lidah itu bergerak naik, menyentil bagian sensitif dari liang kewanitaan itu sendiri.

    “Ohh… Beib…” Nurul meracau saat Devisha memainkan klitorisnya dengan lidah. Dengan mahir Devisha memainkan lidahnya, bergerak melingkari klitoris Nurul, menyentil-nyentilnya dengan gerakan yang makin lama makin cepat. Tanpa sadar Nurul menjepit kepala Devisha dengan kedua pahanya. Nurul kini tidak lagi malu untuk mengeluarkan suara desahan yang lebih kencang dari sebelumnya. Gadis itu mendesah, menggelinjang, kedua tangannya bermain di payudaranya sendiri, memutar dan memilin puting payudaranya yang mengeras.

    “Ahhhh!!!” Akhirnya Nurul menjerit, tubuhnya tampak tegang, dengan sigap Devisha menahan pinggang Nurul agar tidak ambruk, Devisha memejamkan matanya saat merasa cairan orgasme Nurul yang menyembur, semburannya tidak kencang, namun cukup banyak mengalir di lidah Devisha.

    Nurul masih sedikit kesulitan menjaga keseimbangan saat Devisha kembali berdiri dan melumat bibirnya. Mereka berdua kembali larut dalam percumbuan sejenis hingga tidak menyadari keberadaan orang lain yang kini berjalan mendekat ke arah pondok kayu.

    “Ah!” Nurul sedikit memekik dan mendorong tubuh telanjang Devisha menjauh saat ia menyadari kehadiran orang lain. Devisha menoleh dan menemukan Rio sedang berjalan ke arah pondok, berusaha untuk tidak memandang kedua gadis tersebut.

    “Lanjutkan saja permainan kalian, jangan khawatirkan aku,” ujar Rio tanpa memandang ke arah Nurul dan Devisha. “Aku hanya tertarik pada apa yang tertempel di tiang pondok itu,” Rio mencabut secarik kertas berlambang Tri Brata yang tertempel di salah satu tiang pondok kecil tersebut. Rupanya kertas tersebut luput dari pengamatan Nurul dan Devisha.

    “Oh, tentu kami tidak khawatir kepadamu, Rio,” Devisha menyahut menanggapi kalimat Rio.

    Rio berhenti dan berbalik memandang ke arah Nurul dan Devisha. Kali ini Rio memandangi tubuh telanjang Devisha dan Nurul dengan seksama, dari ujung kaki hingga kepala, sempat berhenti cukup lama saat memandang buah dada Devisha yang membusung kencang. Devisha dan Nurul seketika merasa risih, pandangan Rio barusan adalah pandangan penuh nafsu.

    “Kalian cantik dan menarik sekali, tubuh kalian bagus dan Nurul, kau benar-benar cantik. Sayang kalian sepasang lesbi.” Ucap Rio dengan nada yang melecehkan.

    Nurul yang terlihat risih menutupi kewanitaannya yang basah dengan tangan kanan sedang tangan kirinya berusaha menutupi kedua buah dadanya.

    “Apa bedanya dengan seorang homosexual sepertimu? Kami sudah mendengarnya dari Edi, bahwa kau seorang gay,” Devisha membalas ucapan Rio dengan ketus.

    “Oh, kau ingin bukti bahwa aku bukan gay?” Rio merentangkan kedua tangannya. “Kemarilah dan hisap penisku!” Tanpa basa-basi Rio menurunkan resleting celananya dan mengeluarkan penisnya yang tampak menegang. “Pertunjukan kalian tadi sangat membuatku terangsang,” ujar Rio setengah geram.

    Pandangan Devisha dan Nurul kini tertuju pada batang kejantanan sepanjang kurang lebih 15-16 sentimeter milik Rio, batang itu bengkok ke arah kiri namun tampak keras dan tegak. Wajah Nurul terlihat memerah, liang kewanitaannya yang baru saja mendapatkan orgasme terasa berdesir gatal, gadis itu menatap ke arah batang kejantanan Rio lekat-lekat, seolah membayangkan kenikmatan yang dirasakannya saat batang itu memasuki tubuhnya.

    “Siapa yang sudi melakukan itu!” Berbeda dengan Nurul, Devisha tidak menatap batang kejantanan Rio lekat-lekat. Gadis itu justru membalas apa yang dilakukan Rio dengan mengacungkan jari tengahnya ke arah Rio.

    “Oh, jadi begitu…” Rio tersenyum dan kembali memasukkan penisnya ke dalam celana. “Rupanya, satu dari kalian adalah biseks?” ucap Rio setelah menaikkan kembali resletingnya.

    “Apa pedulimu?!” Devisha membalas ucapan Rio dengan nada yang semakin ketus.

    “Oh, aku tidak peduli,” Rio membaca apa yang tertulis di kertas petunjuk yang baru ia ambil dari kolom pondok kayu kecil di dekat mereka. Rio diam untuk beberapa saat, seolah mencoba merekam apa yang tertulis di atas kertas tersebut.

    OUT 4 IN 4


    Rio tersenyum penuh makna, ia berhasil mengerti apa yang dimaksud dalam petunjuk kali ini. Rio meletakkan kertas berisi petunjuk tersebut itu di atas dipan pondok lalu memandang sekali lagi ke arah Devisha, kemudian Nurul.

    “Kau bisa merasakannya jika kau berminat, Nurul,” Rio mengedipkan matanya sebelum pergi meninggalkan Devisha dan Nurul yang masih dalam keadaan tanpa busana.

    *_*_*


   
   

    CHAPTER 07 : STRANGE NIGHT

    “Apa-apaan ini?” Rio mendengus kesal saat membaca kertas yang berisi giliran masak untuk makan malam. “Kenapa para pria yang harus mendapat giliran masak pertama?” protesnya.

    Sore itu mereka berkumpul di ruang makan yang tidak terpisah dengan lobby dimana piano merah ada di tengah ruangan. Ruang makan itu terletak di sudut ruangan, dengan dua buah jendela besar di samping meja makan panjang. Pemandangan yang dilihat lewat jendela itu cukup indah, sebuah mercusuar yang terbangun di atas pulau kecil, sebuah jembatan gantung menghubungkan antara Pulau Dosa dengan pulau kecil tersebut. Sayang, jembatan gantung itu telah rusak dan putus.

    “Kami lelah sudah berkeliling pulau sepanjang hari, wajar dong kalau para pria menunjukkan sikap gentleman-nya dengan membiarkan kami beristirahat?” ujar Asri, gadis yang membuat jadwal giliran masak selama mereka di Pulau Dosa.

    “Kau hanya bermain di pantai seharian! Jangan berlagak seperti orang yang sudah mengelilingi pulau demi mencari petunjuk,” Enyas menimpali kalimat Asri.

    “Sudahlah, atau jangan-jangan kalian, para pria, tidak bisa memasak?” Devisha menyindir dengan nada yang mengejek.

    “Oh, kalau soal itu…” Rio menimpali sindiran Devisha. “Aku memang tidak bisa memasak,” tambahnya dengan wajah tanpa dosa.

    “Aku juga tidak,” Enyas ikut menimpali. “Memasak mie instant saja sering gagal. Kau bisa memasak? Aryosh?”

    “Sedikit,” jawab Aryosh, “Tapi aku tidak menjamin bagaimana rasa masakanku.”

    “Kalian semua payah!” Edi beranjak dari kursinya dan tersenyum penuh kesombongan. “Oke, aku akan menjadi chef kalian malam ini. Dan kalian bertiga,” ia menunjuk ke arah Enyas, Rio dan Aryosh. “Akan menjadi asistenku di dapur.”

    “Memangnya kau bisa memasak?” Nurul tampak meragukan kemampuan memasak yang dimiliki Edi.

    “Tiga tahun bekerja paruh waktu sebagai chef di Trattoire,” Edi menjawab, masih dengan nada sombongnya.

    “Restoran Italia yang terkenal itu?” Nurul tampak masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh Edi.

    “Saat ini kau boleh ragu, Bambolina. Simpan dulu komentarmu sampai kau merasakan kelezatan masakan buatanku,” Edi memanggil Nurul dengan panggilan Bambolina yang berarti boneka kecil.

    “Sepertinya layak untuk dibuktikan,” Devisha tersenyum sinis. “Kehebatan Chef Edi.”

    “Seorang chef saja tidak cukup, kualitas masakan juga dipengaruhi oleh kemampuan chef assistant. Dan malam ini, kalian para ladies, akan menyaksikan kehebatan Chef Edi dengan tiga asistennya yang kita singkat saja menjadi Chef Edi and the E.R.A,” Edi seenaknya menyingkat nama Enyas, Rio dan Aryosh menjadi E.R.A.

    “Sepertinya menarik,” gumam Enyas.

    *_*_*

    Sore itu empat pria berkutat di dapur mansion, Edi yang kini menyebut dirinya sendiri sebagai Chef Edi memilih bahan makanan dan menentukan menu yang mereka olah. Di luar dugaan, rupanya dapur mansion itu memiliki perlengkapan masak yang nyaris setara dengan yang dimiliki restoran bintang lima. Edi memotong-motong bahan makanan dengan cepat dan terlatih, membuktikan bahwa ucapannya bahwa ia pernah menjadi chef di restoran Italia bernama Trattoire bukan isapan jempol belaka. Enyas terlihat sedang memarut keju, Aryosh tengah memotong daging, dan Rio mengaduk-ngaduk sebuah panci yang berisi bahan pasta.

    “Lakukan dengan perasaan, Enyas,” Edi mendekat ke arah Enyas setelah memasukkan hasil potongan wortel, daun bawang dan paprika ke dalam wadah untuk dicuci. “Memarut keju itu mudah, namun jika kau memarutnya seperti ini…” Edi memutar alat parut kecil berbahan logam hingga horizontal, sejajar dengan permukaan meja dan menggesekkan keju ke atas parutannya. “Hasilnya akan lebih rapi dan mudah meleleh saat dipanaskan. Rasanya akan jadi lebih baik nantinya.”

    Enyas mengangguk dan menirukan apa yang telah dicontohkan oleh Edi tanpa banyak berkomentar.

    “Salah Rio!” kali ini Chef Edi mengomentari apa yang dilakukan oleh Rio, “Kau tidak boleh mengaduknya sembarangan, aduk searah jarum jam dan pertahankan kecepatan adukan, jangan terlalu cepat, jangan terlalu lamban! Camkan itu.”

    Rio membalas ucapan Edi dengan tatapan kesal, namun tetap berusaha menjaga emosinya. Genggamannya pada sendok pengaduk semakin kencang, tapi ia berhasil mempertahankan gerakan mengaduknya.

    “Kau tidak bisa memotong daging dengan baik ya? Aryosh?” Edi menghampiri Aryosh dan merebut pisau potong dari tangan Aryosh. “Badanmu saja yang besar,” cemooh Edi. “Kau harus memperhatikan urat dan otot yang ada pada daging, potong searah dengan urat dan otot agar daging itu mudah di kunyah dan lebih lumer di lidah nantinya,” Edi memberi contoh dengan terampil.

    Saat keempat pria sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam, empat wanita lainnya malah asyik bermain kartu di lobby mansion. Keadaan ini rasanya kebalikan dari apa yang terkandung dalam lirik lagu; ‘wanita dijajah pria sejak dulu’.

    “Straight Flush,” ujar Via sambil menunjukkan kartunya, ia berhasil menang lima kali berturut-turut.

    “Kok bisa begitu sih?” Devisha meletakkan kartunya dengan kesal. “Bagaimana kau bisa mendapatkan kartu bagus lima kali berturut-turut?”

    “Keberuntungan pemula,” ucap Asri yang dalam lima ronde terakhir selalu memutuskan untuk fold. Asri yang juga berperan sebagai bandar kembali membagikan kartu. Usai membagikan dua kartu tangan ke masing-masing peserta, Asri membuka kartu meja pertamanya, Jack Spade.

    “Raise Two,” ujar Via yang berarti ia menaikkan taruhan menjadi dua kali lipat.

    Tiga gadis yang lain mengikuti bet yang diajukan oleh Via. Tidak satupun dari mereka yang melakukan fold. Asri kembali membuka kartu kedua di atas meja, Ace Clover.


    “Raise two,” Via kembali menaikkan taruhan.


    “Fold,” Devisha mendengus kesal dan memutuskan untuk mundur.

    “Call,” Nurul memutuskan untuk ikut. Asri melakukan hal yang sama dengannya.

    Satu kartu lagi dibuka, Four Diamond.

    “Raise two,” sekali lagi Via menaikkan taruhan. Tampaknya gadis itu ingin menambah rekor kemenangannya menjadi enam kali berturut-turut.

    “Asem,” Nurul mengumpat. “Fold,” Gadis cantik itu memutuskan untuk mundur.

    Asri memandang ke arah Via yang kini menatapnya balik sambil tersenyum.

    “Bagaimana denganmu? Asri? Masih punya cukup nyali menghadapi permainan sang pemula yang beruntung?” sindir Via, rupanya Via cukup kesal dengan ucapan Asri yang menyebut kemenangannya lima kali berturut-turut sebagai keberuntungan pemula.

    “Pemula tetap saja pemula,” Asri membalas ucapan Via dengan nada datar. “All in,” Asri menantang Via dengan All in yang berarti menaikkan taruhan menjadi lima puluh kali lipat.

    Via terdiam sejenak, melirik ke tiga kartu di atas meja, sebuah kartu Jack, sebuah As dan sebuah kartu berangka empat. Ditangannya saat ini ia memiliki dua buah kartu As dan King. Saat ini kartunya telah membentuk Three of a kind, dan dengan satu keberuntungan kartu itu dapat menjadi Full house. Ia hanya butuh satu kartu King, Jack atau empat.

    “All in,” Via menjawab tantangan Asri.

    Tanpa membuang waktu, Asri membuka satu kartu keempat di atas meja; Four Spade.

    “Yes!!” Via bersorak sambil membuka kartunya, “Full House, Ace,” ujarnya bangga.

    “Sial!” Asri mengumpat. “Pemula tetap saja pemula,” mendadak nada bicara Asri kembali datar sambil membuka kartu tangannya. “Four of a kind, Four,” ujarnya sambil menunjukkan dua buah kartu berangka empat yang ada di tangannya. Devisha dan Nurul terkejut dengan apa yang ada di kartu tangan milik Asri. Keduanya bersorak melihat Via yang kalah di ronde kali ini.

    “Asem!!” Via balas mengumpat. Kemenangan yang sudah di depan mata ternyata sirna begitu saja.

    "Apa kau sadar kalau matamu berkedip-kedip saat kartu tanganmu bagus?" komentar Asri. "Aku melihatnya setiap kali kau mendapatkan kartu bagus. Dan kurasa kartumu cukup bagus kali ini. Sayang, kali ini keberuntungan bukan untuk pemula."

    “Ngomong-ngomong, kalian menemukan petunjuk di pantai?” Nurul bertanya pada Via dan Asri yang seharian tadi mengunjungi pantai.

    “Tidak,” Via menggeleng. “Tapi kami menemukan petunjuk di dermaga.”

    “Kalian ke dermaga?” Kali ini Devisha yang bertanya.

    “Apa kalian pikir kami ke pantai hanya untuk main-main?” Asri berkata kalem. “Karena tidak menemukan petunjuk apapun di pantai, kami pergi ke dermaga dan menemukan satu petunjuk tertempel di dinding rumah di dekat dermaga.”

    “Oh, rumah milik Pak Agil,” timpal Nurul.

    “Bagaimana dengan kalian? Kalian menemukan sebuah petunjuk?” Via balik bertanya.

    “Hmm, bukan kami yang menemukannya sih, Rio yang menemukannya,” jawab Nurul.

    “Bagaimana kalau kita saling bertukar petunjuk?” Asri meletakkan kartu ke atas meja dan memberikan tawaran untuk bertukar informasi.

    “Oke,” Devisha mengeluarkan secarik kertas dengan lambang Tri Brata. Asri juga mengeluarkan kertas yang sama dari saku celananya dan mereka saling menyerahkan satu sama lain.

    “Ini kebalikan dari petunjuk yang ada di atas piano,” komentar Asri saat membaca tulisan OUT 4 IN 4 yang ada pada kertas yang diberikan oleh Devisha.

    “Kurasa dua petunjuk itu berhubungan,” komentar Via.

    “Kurasa begitu,” jawab Asri kembali.

    Berbeda dengan Asri, Devisha dan Nurul tampak serius mengamati apa yang tertulis di atas kertas berlambang Tri Brata yang diberikan oleh Asri, empat baris rumus persamaan matematika yang tampak sangat sederhana tertulis di atasnya. Tiga rumus teratas berwarna merah dan satu rumus terakhir berwarna biru, tidak seperti tiga rumus lainnya, rumus keempat tertulis tanpa tanda sama dengan.

    X+X=2X

    2X-X=X

    X/X=X

    X-X

    Devisha menggelengkan kepalanya, tanda ia tidak mengerti dengan apa yang sedang dibacanya saat ini. Kali ini, Nurul tampak lebih berinisiatif, gadis cantik itu mengeluarkan sebuah notes kecil dari sakunya dan menuliskan sesuatu di atas notes tersebut dengan menggunakan pena.

    “Ini arti dari X di rumus tersebut,” Nurul menunjukkan apa yang ditulisnya di atas notes kepada Devisha. “Persamaan paling sederhana, hanya dengan satu unknown variable, tidak banyak angka yang bisa digunakan dalam rumus tersebut.”

    “Dari dulu kau memang jauh lebih jago matematika dariku,” jawab Devisha. “Tapi yang kau dapatkan itu angka, kita butuh huruf… Tunggu dulu, jika kita mengkonversikan angka itu berdasarkan urutan deret huruf dalam alphabetical. Itu jadi..”

    “Ya, huruf ini,” ujar Nurul sambil menuliskan sebuah huruf.

    “Lima dari kita berdelapan memiliki huruf itu dalam namanya, termasuk juga aku,” Devisha menimpali.

    “Oh, aku tidak akan khawatir padamu,” Nurul tersenyum seraya menggenggam telapak tangan Devisha.

    “Sepertinya kalian dapat memecahkan petunjuk itu,” ujar Asri melihat Devisha dan Nurul yang sedari berbisik-bisik lalu tersenyum.

    “Ya, sepertinya begitu,” jawab Devisha.

    “Petunjuk yang itu memang lebih mudah dibanding petunjuk-petunjuk yang lainnya, apa kalian sudah memecahkan petunjuk ini juga?” Asri mengangkat tangannya, menunjukkan kertas petunjuk yang tadi diberikan Devisha padanya.

    “Sayang sekali kami sama tidak tahunya seperti kalian,” Devisha menggeleng.

    “Yang aku tahu, kuncinya ada di angka empat ini, empat ini adalah kita,” Asri memulai analisanya.

    “Kenapa empat itu menjadi kita?” Nurul menanyakan dasar ucapan Asri.

    “Berapa jumlah kita? Delapan, jumlah angka di petunjuk itu? Empat ditambah empat sama dengan delapan, berapa jumlah laki-laki dan wanita di rombongan kita? Empat pria dan empat wanita,” Asri menjelaskan dengan sejelas-jelasnya.

    “Masuk akal, itu logika yang bagus,” Devisha menimpali.

    “Tinggal IN dan OUT yang belum terpecahkan,” Via ikut mengomentari.

    “IN-OUT, masuk-keluar, keluar-masuk” Nurul bergumam.

    “Aku rasa kurang tepat jika di artikan sebagai keluar-masuk,” Asri mengomentari gumaman Nurul. “Untuk keluar-masuk biasanya digunakan exit dan enter kan?”

    “Berarti yang dimaksud IN dan OUT itu adalah dalam dan luar?” Devisha mengernyitkan alisnya.

    “Inside and Outside,” Via mencoba melakukan analisa. “Di dalam dan di luar.”

    “Di dalam 4 dan di luar 4, apakah itu artinya ada empat petunjuk di dalam bangunan ini dan empat petunjuk lagi di luar bangunan ini?” Nurul kembali bertanya.

    “Bisa jadi,” Devisha segera menimpali. “Sudah empat petunjuk yang kita temukan di luar mansion, satu di kapal, tertempel di papan petunjuk jalan menuju kemari, dermaga, dan air terjun. Satu ditemukan di dalam mansion, yaitu di atas piano.”

    “Sebentar dulu,” Asri menyahut. “Ada dua petunjuk yang menggunakan IN, OUT, dan angka empat. Satu petunjuk mewakili satu huruf, apa menurut kalian petunjuk di atas piano dan yang kalian temukan di air terjun itu merujuk ke satu huruf yang sama?”

    “Kalau iya, itu artinya yang bukan detektif diantara kita adalah orang yang memiliki huruf yang sama di dalam namanya,” Via mengalihkan pandangannya ke arah Nurul.

    “Hah? Hey, maksudmu itu aku?” Nada suara Nurul meninggi.

    “Hanya kau yang namanya memiliki dua huruf yang sama, huruf U, Nurul,” Via mulai memberi tekanan pada Nurul.

    “Itu tidak mungkin,” Devisha angkat bicara, mencoba membela Nurul yang merupakan pasangan-nya. “Pertama, ada tujuh petunjuk, masing-masing petunjuk mengarah ke satu huruf, berarti ada tujuh huruf, sedang Nurul hanya memiliki lima huruf, satu-satunya yang memiliki tujuh huruf pada nama hanya kau, Devisha.”

    “Oh, aku tidak memiliki huruf yang sama pada namaku,” Devisha mencoba berkelit.

    “Dan Nurul tidak memiliki huruf A pada namanya!” Devisha meneruskan pembelaannya. “Petunjuk yang kalian temukan di dermaga, variabel X dalam rumus tersebut merujuk ke angka 1, huruf pertama dalam deret huruf alphabetical adalah huruf A. Nurul tidak memiliki huruf A dalam namanya.”

    “Bisa saja yang dimaksud petunjuk itu bukan huruf A,” kali ini Via angkat bicara.

    “Bisa saja dua petunjuk IN dan OUT itu memiliki dua arti yang berbeda!” Devisha terus mendebat.

    “Dua petunjuk yang kau maksud memang berhubungan, tapi mengacu ke dua huruf yang berbeda,” Rio menimpali. Ketegangan yang terjadi antara keempat wanita itu rupanya membuat mereka tidak menyadari kehadiran Rio yang hendak menginformasikan bahwa makan malam telah siap. Keempat gadis yang sedang asyik berdebat itu terkejut dengan kehadiran Rio.

    “Dan aku rasa rumus-rumus dengan variabel X itu tidak mengacu ke huruf A,” Rio melihat ke secarik kertas di atas meja, tepat di depan Devisha. “Jawaban dari petunjuk itu ada pada rumus yang terbawah yang berwarna biru.”

    Keempat gadis itu secara serentak mencondongkan badan mereka untuk mengamati kertas petunjuk yang dimaksud Rio.

    “Lama sekali kalian?” Edi berteriak dari arah meja makan. “Bukankah ini waktunya kalian merasakan kelezatan yang disajikan oleh Chef Edi dan asistennya E.R.A?”

    Rio melangkah ke arah meja makan, diikuti oleh Nurul, Via, Asri dan Devisha tidak lama kemudian.

    *_*_*

    “Luar biasa,” puji Devisha setelah menyantap hidangan makan malam yang dihidangkan oleh Chef Edi dan E.R.A.

    “Sekarang kalian baru percaya kemampuanku,” sesumbar Edi. Nada bicaranya menunjukkan kesombongan yang semakin menjadi-jadi.

    “Sepertinya urusan masak-memasak kita serahkan saja pada Chef Edi,” Via memberi usul.

    “Sudah cukup, aku tidak akan ke dapur lagi,” Rio menolak untuk kembali beraktivitas di dapur.

    “Berarti dengan ini, E.R.A resmi dibubarkan,” Devisha malah menanggapi ucapan Rio dengan sebuah joke yang tidak lucu.

    Enyas yang duduk paling dekat dengan jendela memandang ke arah luar jendela, di luar terlihat sangat gelap. Hanya cahaya bulan sajalah yang menjadi penerangan di luar sana. Siluet mercusuar yang menjulang kokoh terlihat samar, terbias oleh cahaya bulan.

    Delapan orang yang tengah duduk di meja makan sontak terkejut oleh lampu di seluruh ruangan yang tiba-tiba berkedip-kedip, meredup, lalu kembali terang, hal itu terjadi berkali-kali.

    “Ada apa in..”

    CLAPP!!

    Nurul belum sempat menyelesaikan kalimatnya saat lampu seisi mansion mendadak padam. Seketika ruangan itu menjadi gelap. Cahaya bulan yang menembus jendela sangat minim. Belum habis keterkejutan mereka akibat lampu yang tiba-tiba saja padam, sebuah sinar sangat terang menembus jendela sebelum hilang kembali. Mereka menoleh ke tempat sinar itu menyala, rupanya sinar tersebut berasal dari lampu besar di mercusuar yang kini tampak berputar. Sinar itu kembali masuk melalui jendela saat menyorot ke arah mansion.

    Deng…Ding…Deng…

    Kali ini giliran denting piano yang mengejutkan mereka, hampir secara serentak kedelapan pemuda-pemudi menoleh ke arah piano merah di tengah ruangan. Piano itu berbunyi, seolah memainkan sebuah nada yang mencekam, Piano itu bermain sendiri tanpa ada seorangpun yang memainkan tutsnya.

    Rio beranjak dari kursinya, berniat untuk melihat lebih dekat apa yang sedang terjadi. Namun langkahnya terhenti, detektif muda itu tercekat saat melihat sosok samar seorang wanita bergaun putih di atas koridor lantai dua, kali ini lebih jelas, sosok wanita tanpa ekspresi itu menunjuk ke arah piano merah yang tengah berdenting sendiri. Rio mengalihkan pandangannya ke arah piano dan ia semakin terkejut saat menyadari ada dua, tiga, empat sosok wanita bergaun putih berdiri beberapa meter mengelilingi piano yang tengah berbunyi tersebut. Rio merasa tengkuknya merinding, hawa dingin menguasainya, sosok-sosok itu mengangkat tangan kiri mereka perlahan dan menunjuk ke arah piano. Untuk mengusir ketakutan yang kini mulai merengkuhnya, Rio memalingkan pandangannya ke arah luar jendela.

    “Ah!!” Rio tersentak kaget saat ia melihat sosok wanita bergaun putih berdiri di luar jendela, rambutnya hitam, panjang dan jarang, kulitnya pucat seperti mayat, matanya hitam dan tak terlihat, bibir wanita itu berwarna merah darah, tampak menyeringai sambil tangan kirinya terangkat, menunjuk ke arah piano merah.

    Deng….

    Denting piano itu terhenti seketika, lampu sorot mercusuar yang tadinya menyala dan berputar mendadak padam. Detik berikutnya lampu mansion kembali berkedip sebelum akhirnya kembali menyala terang. Sosok wanita di balik jendela sudah tidak terlihat lagi, Rio memandang ke arah piano merah lalu ke koridor di lantai dua, tidak ada lagi sosok-sosok wanita bergaun putih yang menunjuk ke arah piano. Jantung Rio masih berdegup kencang saat ia tanpa sengaja memandang ke arah Enyas yang kini menunduk, bulir-bulir keringat dingin terlihat jelas di dahi lebar Enyas, wajah Enyas tampak pucat dengan nafas yang memburu. Saat itulah Rio sadar, dia bukan satu-satunya yang dapat melihat sosok wanita bergaun putih tersebut.

    *_*_*


   
   

    CHAPTER 08: GHOST'S WORD



    Suasana mencekam menyelimuti mansion malam itu, berbaur rapat dengan keheningan yang seolah menyimpan sesuatu. Delapan orang yang menjadi peserta pelatihan di Pulau Dosa memutuskan untuk beristirahat di kamar masing-masing usai insiden yang baru saja terjadi pada saat makan malam, listrik yang padam seketika, lampu sorot mercusuar yang entah bagaimana caranya tiba-tiba menyala dan berputar-putar, dan piano merah di tengah lobby mansion yang berdenting, memainkan beberapa nada tanpa seorangpun menyentuhnya.

    “Kau melihatnya? Enyas,” tanya Rio di tengah perjalanan mereka menuju kamar masing-masing. Kamar Rio dan Enyas memang bersebelahan.

    Enyas tidak segera menjawab, wajah detektif muda itu terlihat pucat, keringat masih membasahi dahinya.

    “Kau tidak akan ketakutan seperti itu jika tidak melihat sesuatu,” Rio berkata sekali lagi.

    “K..kau juga melihat mereka??” Enyas memandang ke arah Rio, ucapannya terbata-bata, tampak bibirnya sedikit bergetar. Rio mengangguk menjawab pertanyaan Enyas.

    “Enam sosok wanita…”

    “J..jangan teruss..kan,” Enyas memotong ucapan Rio sambil mengangkat telapak tangannya. “Mereka bisa saja masih ada di sini.”

    “Ingat waktu pertama kali kita tiba di mansion ini? Saat aku mendekati piano merah itu? aku melihat satu dari mereka berdiri di koridor lantai dua ini,” Rio menceritakan pengalamannya melihat sosok wanita saat Enyas mencoba menyalakan lampu mansion pagi tadi.

    “Kita bahas ini besok saja oke? Ak..aku ingin tidur,” Enyas menolak untuk mendengar apa yang diceritakan oleh Rio. Jari-jemari Enyas masih bergetar saat menyentuh kenop pintu kamarnya.

    “Baiklah,” Rio yang juga telah sampai di depan pintu kamarnya memutuskan untuk memberi waktu bagi Enyas yang terlihat shock berat akibat insiden saat makan malam barusan. Mungkin karena ini bukan pengalaman pertamanya, Rio bisa lebih tenang dibandingkan ia yang tadi pagi.

    *_*_*

    Dinding kamar yang dihuni oleh Nurul dilapisi dengan wallpaper bergambar alur kayu berwarna coklat gelap, memberikan kesan natural yang mewah. Tidak banyak perabotan yang ada di dalam kamar tersebut, sebuah lemari, sebuah meja, kursi berbahan kayu jati dan sebuah ranjang berukuran King Size yang dipannya juga terbuat dari kayu jati.

    Pikiran gadis cantik itu masih tertuju pada kejadian saat makan malam tadi, dimana piano merah di tengah ruang lobby dapat berdenting tanpa seorangpun memainkannya. Dia masih dapat merasakan hawa dingin yang menerpa tengkuknya saat piano itu berbunyi. Sebuah pengalaman yang sangat janggal baginya.

    Kreekkk….

    Perhatian Nurul teralihkan saat gadis itu mendengar sesuatu berderik, terdengar seperti derik sebuah pintu yang lama tidak dibuka. Gadis cantik itu menyapu sekitarnya, mencoba menemukan asal dari suara tersebut.

    Kreekk…

    Suara itu terdengar kembali, kali ini semakin jelas dan dekat. Samar-samar Nurul mendengar sesuatu yang berbisik, ia beranjak dari duduknya dan kembali memandang ke sekeliling kamar. Tidak ada apa-apa di kamar tersebut, Nurul melangkahkan kakinya ke arah jendela, menyibak tirai kain berwarna merah yang menjadi gorden jendela besar tersebut. Nurul memandang ke luar, memicingkan matanya, mencoba menemukan sesuatu di kolam renang yang terlihat lengang.

    Kreeek….

    Suara itu terdengar lagi, Nurul berbalik dan menyapu kembali seisi ruangan, kepanikan mulai hinggap dalam benaknya.

    Tok..tok…

    Rasanya jantung Nurul hampir copot kala ia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Gadis itu melangkah hati-hati ke arah pintu.

    Tok…tok..

    Ketukan itu terdengar lagi. Nurul berjongkok dan mendekatkan wajahnya ke lubang kunci, mencoba mengintip keadaan di balik pintu, menemukan siapa yang mengetik pintunya tengah malam begini.

    Dari lubang kunci Nurul dapat melihat lantai koridor yang dilapisi karpet tebal berwarna biru gelap, railing koridor yang terbuat dari kayu, namun ia tidak menemukan sosok apapun. Nurul terus mengintip dari lubang kunci sebelum sesuatu menutupi pandangannya, sebuah kelopak mata yang membalas tatapannya.

    “Aaaaaahh!!!”

    Nurul terjengkang, gadis itu menjerit keras karena terkejut, baru saja, beberapa detik yang lalu sebuah bola mata membalas tatapannya dari lubang kunci. Hal itu membuat gadis itu terkejut dan spontan menjerit. Terdengar suara pintu kamar sebelah terbuka, diikuti derap langkah yang terdengar mendekat.

    Dok!Dok!Dok! pintu kamar Nurul digedor oleh seseorang.

    “Nurul? Kau tidak apa-apa?” Suara pria yang berat terdengar dari balik pintu. Nurul mengenali pemilik suara itu, Aryosh yang menginap tepat di sebelah kamar Nurul. Suara Aryosh diikuti dengan suara beberapa derap langkah yang juga mendekat.

    “Apa yang terjadi?” ia dapat mendengar suara seorang wanita bertanya di balik pintu. Itu suara Devisha.

    “Ada apa Yosh?” kali ini suara pria terdengar, Nurul menduga itu suara Edi.

    “Tidak tahu, aku mendengar suara jeritan dari dalam kamar,” suara berat Aryosh terdengar kembali.

    Dok!Dok!Dok! Pintu kembali digedor.

    “Nurul? Kau baik-baik saja? Buka pintunya,” suara Devisha terdengar, Nurul melihat kenop pintunya bergerak-gerak, tampaknya Devisha sedang berusaha membuka pintu tersebut.

    Nurul beranjak dari jatuhnya dan menarik nafas panjang, sebelum memutar kenop pintu kamarnya. Rekan-rekannya telah berada tepat di depan pintu kamarnya memandangnya dengan pandangan yang menunjukkan rasa khawatir, terutama Devisha.

    “Kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi?” ujar Devisha sambil kedua tangannya memegang pundak Nurul.

    “Kenapa kau menjerit?” Aryosh yang berdiri tepat di belakang Devisha ikut bertanya.

    “Tidak.. aku tidak apa-apa,” Nurul menggelengkan kepalanya. “A…aku hanya terkejut saja,” tambahnya kemudian.

    “Ada apa?” tanya Devisha pada Nurul. “Apa yang membuatmu terkejut?”

    “A..aku…” Nurul berhenti, menarik nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. “Aku mendengar suara, seperti sesuatu yang berderik, bergeser, seperti pintu yang lama tidak dibuka.”

    “Aku juga mendengarnya dari kamarku,” Aryosh menimpali.

    “Lalu… ada yang mengetuk pintuku,” Nurul melanjutkan ceritanya. “Dua kali, ketukan itu terdengar dua kali. Aku mencoba mengintip melalui lubang kunci, dan…”

    “Dan??” Devisha menatap mata Nurul dalam-dalam, ia dapat melihat ketakutan di mata hitam Nurul.

    “Dan sebuah mata membalas tatapanku! Aku terkejut dan menjerit, lalu kalian semua datang,” Nurul menyelesaikan ceritanya.

    “Aku tidak menemukan siapapun di depan pintu kamarmu,” Aryosh menimpali cerita Nurul. “Tidak ada seorangpun di koridor saat aku keluar dari kamar.”

    Devisha berbalik memandang ke arah Aryosh. “Hanya kau dan Nurul yang menempati kamar di koridor ini kan?” tanya Devisha dengan nada penuh selidik.

    “Apa kau menuduhku menakut-nakuti Nurul?” Aryosh balas bertanya untuk melindungi dirinya sendiri.

    “Mungkin lebih baik kalau kau mendekati Nurul secara baik-baik daripada mengintip ketika ia akan ganti baju, Yosh,” Edi menambah keruh suasana.

    “Anjing!” Devisha termakan provokasi yang dilakukan oleh Edi, gadis itu mencengkeram kerah kaos yang dikenakan Aryosh dan mendorong badan besar pria itu, Aryosh terdorong mundur selangkah akibat tenaga Devisha yang di luar dugaan, cukup kuat untuk membuat Aryosh sedikit kehilangan keseimbangan. “Dasar laki-laki cabul!! Jadi kau mengincar Nurul?!”

    “Aku tidak mengincarnya!!” Aryosh mempertahankan dirinya. “Aku bahkan tidak tertarik dengannya sama sekali!! Aku tidak tertarik dengan wanita! Aku seorang GAY!!” tanpa sadar Aryosh malah memberitahu semua orang di sana bahwa ia adalah seorang homosexual.

    Seketika seisi ruangan terdiam karena pernyataan Aryosh yang mengejutkan. Devisha melepaskan cengkeramannya pada kerah kaos Aryosh. Rio memandang ke arah lain, beberapa detik yang lalu, ia adalah satu-satunya orang di sana yang tahu bahwa Aryosh adalah seorang homosexual. Rio telah berkomitmen untuk tidak memberitahukan hal itu kepada siapapun. Tapi kini? Aryosh malah memproklamirkan rahasianya sendiri.

    “Oh, pantas Rio lebih memilih untuk bekerja sama denganmu dibandingkan denganku dan Enyas,” Edi mulai menambah keruh suasana. “Rupanya kalian pasangan.”

    “Bicaralah sesukamu, Edi,” Rio menimpali dengan senyum mengejeknya.

    “Aku tidak peduli dengan siapa dan bagaimana diri kalian masing-masing,” Enyas mencoba menengahi. “Jika sudah tidak terjadi apa-apa di sini, aku akan kembali ke kamarku untuk beristirahat, esok bisa jadi hari yang panjang.”

    “Aku tak melihat keberadaan mereka disini,” Rio berbisik pada Enyas. Enyas mengangguk paham dengan apa yang disebut ‘mereka’ oleh Rio.

    “Mungkin Aryosh berbohong soal homosexual-nya. Sepertinya ia memang ingin mengintip tubuh Nurul.” Ujar Enyas.

    “Apa kau ingin aku menginap di kamarmu malam ini, Nurul?” Devisha menawarkan untuk menemani Nurul yang masih tampak ketakutan.

    “Oh, kau tidak bisa melakukan itu,” Asri menyahut. “Itu melanggar aturan yang ditetapkan.”

    “Persetan dengan peraturan! Apa kau akan membiarkan temanmu sendiri dalam ketakutannya?”

    “Seorang detektif mungkin akan sering menghadapi keadaan dimana ia harus melawan ketakutannya sendiri,” Via ikut menanggapi. “kurasa itu maksud dari peraturan tidak boleh bertukar atau pindah kamar. Agar kita bisa melawan ketakutan, apalagi setelah apa yang terjadi saat makan malam.”

    Devisha mendengus kesal, ia sudah tidak punya argumen lagi untuk melawan apa yang disampaikan oleh Asri dan Via terkait peraturan yang melarang mereka berpindah kamar. Devisha sekali lagi memandang ke arah Nurul.

    “A.. aku tidak apa-apa,” ucap Nurul, berusaha menenangkan Devisha yang tampak khawatir.

    “Teriak atau lari saja ke kamarku jika ada apa-apa lagi.” Ujar Devisha.

    *_*_*

    Nurul mencoba mengatur nafasnya yang kini memburu tak beraturan, sekujur tubuhnya masih merinding ketakutan atas apa yang baru saja ia alami beberapa menit yang lalu. Jari-jari lentik gadis cantik itu masih tampak sedikit gemetar meski tadi rekan-rekannya yang lain telah berusaha menenangkannya. Sebenarnya ia tidak ingin berada sendirian di kamar yang menakutkan ini, namun ia tidak punya pilihan lain, instruksi yang diberikan dalam pelatihan kali ini jelas-jelas mengharuskan mereka untuk tidur di kamar mereka masing-masing. Nurul kini hanya bisa meringkuk bersembunyi di balik selimut berwarna merah darah yang memang disediakan di masing-masing kamar.

    Sejatinya Nurul ingin segera terlelap, namun setiap ia memejamkan mata ia terbayang tentang kejadian menakutkan yang baru beberapa menit lalu dialaminya. Nurul menutupi seluruh tubuh bahkan kepalanya menggunakan selimut. Berharap kantuk segera membawanya terlelap dan pagi lekas tiba.

    Namun suara derik itu terdengar lagi, diikuti dengan bisikan yang terdengar serak dan kering. Nurul makin meringkuk, memejamkan kedua matanya rapat-rapat, berharap agar bisikan-bisikan yang disebut sebagai suara angin oleh rekan-rekannya menghilang.

    Sayang bagi gadis itu, bisikan itu tidak menghilang. Alih-alih menghilang, bisikan itu malah terdengar semakin dekat dan dekat sebelum akhirnya Nurul dapat dengan jelas mendengar apa yang disebutkan dalam bisikan tersebut.

    “Nurul,” ujar suara serak dan kering tersebut. Beberapa detik sebelum ia merasakan sepasang tangan membekapnya.

    *_*_*

    Rio membuka tirai jendela kamarnya, matahari pagi tampak bersinar gagah menerangi seisi pulau itu. Mata detektif muda yang lolos melalui jalur khusus itu menangkap sosok seorang pria berbadan kekar yang tampak sedang berlari kecil mengitari air mancur. Ya, pemuda itu bernama Aryosh, pemuda yang terlatih untuk menjaga keseimbangan bentuk tubuhnya, siapa yang menyangka bahwa pemuda itu adalah seorang homosexual yang baru beberapa jam lalu membuka rahasianya sendiri di depan rekan-rekannya.

    Perhatian Rio teralih saat ia menangkap sosok yang lain berlari kecil dari jalan setapak menuju ke mansion. Kali ini sosok itu wanita, Asri. Sejauh ini Rio menilai bahwa Asri, gadis berkulit eksotis itu adalah rekan wanitanya yang paling cerdas dibandingkan gadis-gadis yang lain. Di peringkat kedua, Devisha juga terlihat cerdas dan tangkas, berbanding terbalik dengan pasangan lesbinya, Nurul. Sedang Via, di mata Rio Via terlihat sebagai gadis yang mudah terbawa suasana dan siap mengambil keuntungan dalam kondisi apapun.

    Tok tok tok...

    Rio berbalik saat mendengar ketukan pada pintu kamarnya.

    “Kau sudah bangun? Rio?” suara seseorang terdengar dari balik pintu. Rio mengenali sang pemilik suara, detektif Enyas. Rio beranjak untuk membuka pintu.

    “Ada apa, Enyas?” Rio bertanya sambil menggosok-gosok matanya.

    “Mau membantu di dapur? Edi dan Devisha sudah di dapur lebih dulu untuk membuat sarapan,” ujar Enyas.

    “Bukankah sudah kubilang kalau aku takkan pergi ke dapur lagi?” Rio menjawab ajakan Enyas dengan penolakan cepat. “Tidak, aku tidak berminat.”

    “Oke, hmm... Rio, soal kejadian saat makan malam...” Enyas menghentikan ucapannya.

    “Kau melihatnya juga kan? Enyas?” Rio mendahului pertanyaan yang akan diajukan oleh Enyas. “Wanita-wanita berbaju putih itu?”

    “Sudah lama sekali aku tidak melihat sosok hantu,” Enyas menimpali. “Terakhir aku melihat dan bicara dengan mereka, itu saat aku masih kelas empat SD.”

    “Kau bicara dengan mereka?” Rio tampak tertarik dengan apa yang baru saja disampaikan oleh Enyas.

    “Dengar, aku...” Enyas menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang bisa mendengar pembicaraan mereka. “Kakekku adalah seorang cenayang, beliau bisa berkomunikasi dengan jin atau yang biasa kalian sebut sebagai hantu. Dan bakatnya itu menurun padaku, aku dapat berbicara dengan mereka, namun saat aku sadar aku memiliki kemampuan itu... kakekku telah meninggal sebelum sempat mengajarkanku bagaimana cara mengendalikan kemampuan itu.”

    “Jadi kemampuanmu itu tidak bisa kau kendalikan?” Rio kembali bertanya.


    “Aku selalu histeris saat pergi ke tempat umum baik pada malam atau siang hari, saat melihat seorang kriminal, aku selalu histeris, aku ketakutan. Hingga akhirnya Ayahku mengantarkanku ke seseorang yang bisa mengunci mati kemampuanku tersebut. Dan entah bagaimana, sepertinya semalam kemampuan itu terbuka lagi.”

    “Kau bisa berkomunikasi dengan mereka, itu yang lebih penting. Kita bisa bertanya kenapa mereka menunjuk ke arah piano,” Rio tampak antusias dengan ucapannya.

    Raut wajah Enyas berubah saat mendengar apa yang disampaikan oleh Rio.

    “Tunggu...” Enyas mengernyitkan alisnya, “kau mau aku, bicara dengan mereka? Dengan hantu-hantu wanita yang menyeramkan itu?” tanya Enyas.

    Rio mengangguk mengiyakan.

    “Oh shit,” Enyas mengumpat. “Tidak Rio, itu tidak akan terjadi, aku tidak akan mau berkomunikasi, bahkan bertemu dengan...” tiba-tiba saja Enyas berhenti bicara, pupil matanya melebar, detektif yang lulus dengan nilai ujian terbaik itu tampak tegang, menatap ke belakang Rio. Rio yang melihat perubahan pada diri Enyas menoleh ke arah pandangan Enyas.

    Tidak ada apa-apa di sana. Hanya jendela yang terbuka dan tirai-tirai merah yang melambai-lambai tertiup angin.

    “Ada apa, Enyas?” Rio bertanya ke arah Enyas.

    “Satu dari mereka di sini,” jawab Enyas dengan nafas yang mulai memburu. “Dia berdiri menghadap ke arah jendela, gaun putih, penuh darah, rambutnya jarang, tangan, leher dan kakinya berlumuran darah.” Enyas menggambarkan sosok di depan jendela yang dilihatnya.

    Mendengar hal itu membuat tengkuk Rio merinding seketika, ia merasakan ada hawa dingin yang merayap naik ke tengkuknya, Rio memandang ke arah jendela, sinar mentari pagi membuat sekitar jendela menjadi cukup terang. Dan tiba-tiba saja matanya menangkap siluet seseorang, siluet wanita bergaun putih menghadap ke luar jendela.

    “Aku bisa melihatnya sekilas,” ujar Rio. “Masuklah dan coba tanyakan padanya, Enyas,” Rio meminta Enyas untuk mencoba berkomunikasi dengan hantu itu.

    “Kau gila,” Enyas mengutuk Rio. “Bergerak saja rasanya aku tidak sanggup.”

    Rio memandang ke arah Enyas yang tampak ketakutan, dahinya berkeringat, beberapa bahkan telah menetes membasahi lensa kacamatanya.

    “Beranikan dirimu, detektif! Seandainya aku bisa berkomunikasi dengan mereka, pasti sudah kutanyakan sendiri!” Rio geram melihat sikap Enyas yang terlihat sangat ketakutan.

    “Di...dia mendengarmu,” Enyas berkata saat ia melihat hantu wanita itu berbalik, matanya hitam gelap, bibir merahnya menyeringai samar, kulitnya putih pucat dan tampak sangat kurus. Enyas melihat dengan jelas bagaimana hantu itu menatap Rio untuk beberapa saat, sebelum dengan cepat menoleh ke arahnya dan bergerak maju ke arah Enyas dengan sangat cepat.

    Rio melihat bagaimana Enyas memekik dengan nafas tertahan, Enyas tampak terkejut, nafasnya kini terdengar semakin memburu.

    “Apa yang terjadi Enyas?” tanya Rio setelah melihat Enyas yang tampak sedikit panik.

    “Di...dia...” Enyas berusaha menguasai dirinya sendiri. “Dia di... di belakangku.”

    “Kau bisa melihatkuu?”

    Enyas bergidik saat mendengar bisikan suara yang terdengar seperti suara angin yang berdesis di telinganya.

    “Kau bisa melihatkuu?”

    Suara itu terdengar kembali. Enyas mengepalkan tangannya, berusaha mengumpulkan keberanian di dalam dirinya.

    “Kau bisa melihatkuu?”

    “Ya, aku bisa melihatmu!” Enyas setengah berteriak, mencoba meledakkan ketakutan yang membelenggunya. Rio memperhatikan apa yang Enyas lakukan. Rio paham, Enyas tidak bicara padanya, melainkan bicara pada sosok lain yang ada di sana.

    “Hihihihi...”

    Bisikan tawa yang melengking terdengar di telinga Enyas.

    “Kau bisa mendengarkuu?”

    Hantu wanita itu bertanya lagi. Enyas memejamkan matanya, memberi sugesti pada dirinya bahwa ia tidak boleh kalah dengan ketakutannya, ketakutan adalah hal yang negatif, hal yang negatif akan melahirkan energi negatif, dan energi negatif hanya akan membuat mereka, makhluk-makhluk halus, menjadi lebih kuat lagi. Setidaknya itu yang pernah disampaikan oleh kakeknya. Enyas menarik nafas panjang sebelum membuka matanya dan berbalik, menatap langsung ke arah hantu wanita yang kini ada di hadapannya.

    Enyas sempat tersentak saat ia menyadari wajah pucat hantu itu sangat dekat dengan wajahnya, bibir merah hantu itu membuka lebar, tampak rahang hantu itu telah patah mata hitamnya tampak begitu dingin dan mencekam.

    “Ya, aku bisa melihatmu, aku bisa mendengarmu dan aku ingin menanyakan sesuatu padamu,” nada suara Enyas sekarang terdengar lebih baik dari sebelumnya.

    “Bebaskan kami...” Ujar hantu wanita itu berbisik, sosok itu kini menampakkan lidah merahnya yang menjulur panjang, menggantung hingga menyentuh lantai. “Bebaskan kami...”

    “Kau sudah bebas sejak dulu, kau hanya jin yang meminjam energi dari orang yang mati dengan tragis disini. Jangan pikir aku akan menganggapmu sebagai arwah manusia yang telah mati. Kau tidak bisa menipuku!” Enyas menyampaikan apa yang sempat didengarnya dari sang kakek. Roh manusia yang meninggal dunia akan memasuki alam kubur dan tidak bergentayangan di dunia ini, mereka yang bergentayangan adalah jin yang memanfaatkan kenangan, energi yang tertinggal dari kematian tragis yang dialami oleh manusia itu sendiri.

    “Apa maumuu?” Hantu wanita itu bertanya balik.

    “Kenapa kalian menunjuk ke arah piano merah? Bagaimana piano itu bisa berbunyi sendiri? Hantu mana yang memainkannya?”

    “Hihihihi....” hantu wanita itu tertawa lagi. “Mainkan... mainkan... mainkanlah... Hihihihi....” jawab hantu itu sebelum bergerak maju dengan cepat, menembus tubuh Enyas, membuat tubuh Enyas terhuyung ke belakang, sedikit kehilangan keseimbangan. Enyas menoleh ke arah perginya hantu wanita itu. Hantu itu tak lagi ada di sana.

    “Dia sudah pergi,” ujar Enyas sambil berusaha mendapatkan kembali keseimbangannya.

    “Apa yang ia katakan?” Rio bertanya pada Enyas.

    Belum sempat Enyas menjawab, terdengar derap langkah yang memburu dari arah tangga, beberapa detik kemudian Edi terlihat berlari tergopoh-gopoh, nafasnya masih tersengal-sengal saat ia sampai di depan Enyas dan Rio.

    “Ada apa?” tanya Rio heran.

    “Hhh... cepat... ada sesuatu terjadi di kamar Nurul..” ujar Edi dengan nafasnya yang tersengal-sengal.

    *_*_*


   
   

    CHAPTER 09 : BEHIND THE SCREEN


    ‘Creeek...Creek...’

    Suara gesekan antara logam dengan batu memenuhi seisi ruangan, berbaur dengan isak tangis seorang gadis yang terkekang tak berdaya oleh rantai yang terkunci kuat di setiap pergelangan tangan dan kakinya. Kedua tangan Devisha, nama gadis itu, tergantung dan kakinya terpasung, membuat tubuh telanjang gadis itu membentuk huruf X di udara. Devisha tidak bisa menjerit, tidak dengan mulut yang tersumpal kain, ia sudah terlalu lemas untuk meronta, ia hanya bisa menangis sesenggukan, membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini.

    Beberapa meter dari tubuh telanjang Devisha, sosok seseorang yang mengenakan jubah longgar berwarna abu-abu gelap tengah mengasai sebuah pisau berukuran delapan belas sentimeter dengan batu asah di tangan kirinya. Sosok itu mengenakan hood besar yang menutupi wajahnya. Di atas meja yang ada di sebelah sosok tersebut, bilah-bilah pisau dengan beraneka macam ukuran dan bentuk berjajar rapi, pisau-pisau itu tampak tajam karena baru saja di asah.

    Sosok itu beranjak dari kursinya, memperhatikan bilah-bilah pisau yang ada di atas meja. Tangannya bergerak dari satu pisau ke pisau lainnya, seolah sedang mempertimbangkan pisau mana yang hendak digunakannya, seolah sedang memperhitungkan dan membayangkan rasa sakit yang dapat diberikan dari masing-masing pisau tersebut.

    Tangannya berhenti di atas sebuah pisau kecil dengan gagang perak, pisau itu adalah scalpel yang biasa digunakan oleh dokter-dokter bedah dalam operasi. Jari-jemarinya yang dibalu sarung tangan berbahan kain itu bermain-main untuk beberapa saat di atas sclapel tersebut sebelum akhirnya mengambilnya. Pilihan telah dijatuhkan, dan kini sosok itu berbalik, berjalan ke arah Devisha yang kini berusaha meronta, menggeliat dan bergumam-gumam tidak jelas.

    Sosok berjubah itu diam untuk sesaat, seolah mengamati tubuh indah Devisha, kakinya, lutut, paha mulus, vagina Devisha yang hanya pernah dimasuki oleh dildo, lekuk pinggang yang sedikit melebar, payudara dengan puting tenggelam dan areola yang lebar, leher jenjang, hingga wajah manis gadis itu. Devisha terus mencoba meronta saat tangan kiri sosok berjubah itu menyentuh pinggangnya, sedangkan tangan kanan yang memegang scalpel bergerak mendekat ke bagian bawah buah dada gadis itu.

    “Mmmpphhhh!!”

    Jeritan Devisha tertahan saat ujung scalpel merobek kulit bagian bawah payudaranya kirinya, masuk sekitar satu atau dua sentimeter saja lalu bergerak ke arah kanan, darah mengalir membasahi mata pisau dan perut rata Devisha.

    Sosok berjubah itu mendekatkan kepalanya, seolah hendak melihat hasil sayatannya, ia memiring-miringkan ujung scalpel-nya seakan mencari arah yang tepat. Setelah menemukan arah yang menurutnya pas, tangan kanannya kembali bergerak.

    “Hmpppphh!! Mmpphh!!” Devisha meronta, matanya terpejam menahan rasa sakit yang sangat saat scalpel itu bergerak lancar mengiris daging di permukaan kulit payudaranya. Cengkeraman tangan kiri di pinggangnya membuat gadis itu tak bisa meronta terlalu banyak.

    Sosok berjubah itu terus mengiris, tanpa mempedulikan jerit terahan dari Devisha. Beberapa menit kemudian, sosok itu melemparkan sesuatu ke lantai; kulit payudara Devisha yang terkuliti sempurna.

    *_*_*

    Beberapa jam sebelumnya.

    Enyas, Edi dan Rio bergegas ke kamar Nurul, mereka menemukan Devisha, Aryosh, Asri dan Via di kamar tersebut. Devisha tampak panik dan khawatir, kepanikan dan kekhawatiran juga tergambar di wajah yang lain, namun lebih jelas tergambar di wajah Devisha.

    “Apa yang terjadi?” Enyas bertanya, pandangan matanya teralih saat menemukan noda merah di karpet. Enyas memandang ke arah tempat tidur, ranjang itu juga dipenuhi oleh noda berwarna merah.

    “Itu... darah?” tanya Enyas kemudian.

    “Sepertinya,” jawab Rio, satu-satunya yang tampak tenang dalam situasi seperti ini. “Kita akan menggunakan cuka untuk memeriksa bekas darah tersebut, semoga ada cuka di antara bahan makanan kita,” Rio berkata seraya menoleh ke arah pintu. Insting detektif menuntunnya untuk memeriksa ke arah akses masuk yang ada. Rio melihat bagian samping pintu yang rusak, seseorang mendobraknya masuk.

    “Dimana Nurul?” tanya Enyas kepada Devisha.

    “Tidak ada, dia tidak ada di sini, hanya ada bekas darah saat aku masuk ke ruangan ini,” jawab Devisha.

    “Devisha yang pertama kali masuk ke ruangan ini, aku, Via, Aryosh dan Edi berlari kemari karena mendengar Devisha memanggil-manggil Nurul dengan suara keras,” Asri memberikan pernyataannya.

    “Melihat apa yang terjadi, aku langsung mendatangi kalian berdua,” Edi menambahkan.

    “Keadaan sudah seperti ini saat kau masuk kemari?” Rio bertanya pada Devisha sambil menunjuk ke arah pintu yang rusak.

    “Aku mendobraknya,” Aryosh menimpali. “Devisha panik karena pintu ini terkunci sedang Nurul tidak menggubris panggilan juga gedoran di pintunya.”

    “Aku mengintip dari lubang kunci dan melihat darah di lantai, aku panik dan meminta Aryosh untuk membuka pintu ini dengan cara apapun,” Devisha menyempurnakan cerita Aryosh.

    Rio mendekat ke bekas darah yang memanjang dari kasur, memanjang ke lantai hingga bekas darah itu berhenti di dinding. Rio memandang ke arah Enyas, Asri, Via, Aryosh, Edi dan Devisha.

    “Kita tidak boleh panik dulu, belum tentu ini adalah darah,” Enyas memberikan pernyataan, mencoba menjaga agar tetap dapat berpikir jernih menghadapi apa yang saat ini terjadi.

    “Enyas benar,” Asri ikut bicara. “Bisa saja ini bagian dari pelatihan kita, kan? Mungkin saja Nurul memang diminta bersembunyi, mungkin ia adalah salah satu dari kita yang bukan detektif? Seperti yang disampaikan dalam petunjuk kembar IN 4 OUT 4 dan OUT 4 IN 4. Hanya Nurul yang memiliki dua unsur huruf yang sama dalam namanya, kan?”

    “Ada petunjuk seperti itu?” Enyas tampak heran, ia belum mendengar informasi akan adanya petunjuk OUT 4 IN 4.

    “Aku menemukannya di air terjun, lalu Devisha dan Nurul menyimpannya,” Rio menjelaskan seraya berjongkok, memperhatikan bekas darah dengan seksama. “Ada yang punya tisu?”

    Aryosh meraih saku celana training dan menyodorkan saputangan kainnya ke arah Rio.

    “Yang aku minta tisu, bukan saputangan yang bercampur DNA mu,” Rio mendengus kesal. Via membuka tas tangannya dan menyerahkan sebungkus tisu kecil yang masih tersegel rapat.

    “Ada petunjuk lain lagi yang kalian temukan?” Enyas bertanya sekali lagi. Via kembali membuka tas tangannya dan mengeluarkan secarik kertas berlogo tri Brata dengan empat rumus X tertulis di atasnya.

    “Dan selama ini kalian diam?” Enyas memandang ke kertas berisi rumus.

    “Hey, kami tidak punya kewajiban untuk memberitahu apa yang kami punya padamu kan?” Via membela diri.

    “X adalah 1, susunan terakhir pada rumus ini, X-X adalah 1-1, mengacu ke huruf H,” Enyas menjabarkan cara memecahkan petunjuk yang ditemukan oleh Asri dan Via di dermaga.

    “Oh! Semudah itu ternyata,” komentar Via. “Hanya ada dua dari kita yang memiliki huruf H pada namanya, Aryosh, dan kau, Devisha.”

    “Aku sudah tahu siapa,” Enyas kembali berkomentar.

    “Oh, kau sudah memecahkan IN 4 OUT 4?” Via menimpali. “Beritahu kami jawabannya.”

    “Oh, aku tidak punya kewajiban untuk memberitahu apa yang kupunya kan?” balas Enyas.

    “Guys!!, kita harus menemukan Nurul! Kalau benar jawaban dari petunjuk rumus itu adalah huruf H, artinya Nurul tidak punya alasan untuk menghilang begitu saja kan?” Devisha mencoba mengembalikan fokus mereka ke hilangnya Nurul.

    “Oh, tentu saja dia punya alasan,” Asri memandang tajam ke arah Devisha. “Kau cukup dekat dengannya, kan? Dan kau mengandung huruf H di namamu.”

    “Oh, ayolah! Saat kita berdebat kusir di sini, mungkin Nurul sedang dalam bahaya besar!” Devisha tetap bersikukuh bahwa mereka harus segera mencari Nurul.

    “Belum tentu Nurul sedang dalam bahaya, bahkan belum tentu noda merah itu adalah bekas darah,” Edi ikut memberi tekanan.

    “Hampir dapat dipastikan ini adalah bekas darah,” Rio beranjak berdiri seraya mengangkat tisu di tangannya. “Devisha benar, kita harus segera menemukan Nurul. Aku menemukan rambut di bekas darah yang ada di dekat dinding ini. Rambut dan tampaknya sebagian kulit, aku tidak bisa memastikan, kita tidak punya peralatan forensik di sini.”

    “Apa yang menurutmu terjadi disini Rio?” Enyas bertanya.

    “Seseorang masuk kemari, membuat luka di bagian kepala Nurul, hingga meninggalkan bekas percikan darah di bantal dan ranjang ini,” Rio menunjuk ke noda merah di bantal dan sprei. “Setelah itu ia menyeret Nurul ke dinding ini. Sebelum mengangkatnya dan pergi melalui jendela,” Rio menunjuk ke arah jendela yang tertutup rapat. “Hey, itu tidak mungkin...” gumam Rio kemudian.

    “Ya,” Enyas menimpali. “Semua jendela terkunci, pintu terkunci dari dalam, dan mayat tidak ditemukan. Ini pembunuhan yang mustahil kecuali...”

    “Kecuali?” Via bertanya.

    “Kecuali pembunuhnya adalah hantu,” Asri melengkapi kalimat Enyas.

    “Lantas? Apa yang harus kita lakukan? Tidak ada orang lain di pulau ini selain kita, kan?” Devisha tampak histeris. Gadis itu terlihat benar-benar mengkhawatirkan Nurul.

    “Tepatnya, kita belum pernah bertemu orang lain selain kita berdelapan di pulau ini,” Enyas mencoba merubah sudut pandangnya.

    “Oh, ada orang lain di pulau ini selain kita,” Rio menimpali ucapan Enyas.

    Seluruh pandangan mata mengarah ke arah Rio setelah detektif muda itu menyelesaikan kalimatnya.

    “Maksudmu, ada orang lain selain kita?” Devisha bertanya pada Rio. “Siapa?”

    “Nenek,” jawab Rio. “Orang tua Pak Agil. Beliau tinggal di dekat dermaga, aku bertemu dengannya di kapal Noda Dosa. Dia tinggal di sayap yang sama denganku. Dia bilang dia akan tinggal di pulau ini untuk merawat bunga-bunga di rumahnya.”

    “Apa menurutmu Nenek itu pelakunya?” Asri bertanya. “Nenek itu menyelinap kemari malam-malam dan membawa Nurul?”

    “Nenek itu sudah sangat tua, Asri,” Rio menjawab. “Aku tidak yakin Nenek itu sanggup memanggul Nurul keluar dari Mansion ini.”

    “Apa Nurul masih ada di mansion ini? Di sebuah ruangan di mansion ini mungkin?” Via ikut memberi opini.

    “Ada kemungkinan untuk itu,” jawab Enyas. “Kita selidiki dalam dan sekeliling mansion dulu, jika tidak ditemukan juga, kita akan berpencar untuk mencari petunjuk.”

    *_*_*

    Jakarta, waktu dan hari yang sama.

    Kepala polisi Komang Mahendra sedikit terkejut saat seorang pria berkumis yang mengenakan pakaian formal masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk terlebih dahulu.

    “Apa kau tidak bisa mengetuk lebih dulu sebelum masuk? Ipus,” ujar Komang Mahendra geram.

    “Apa maksudnya, Komandan?” Inspektur Ipus mengabaikan pertanyaan yang diajukan oleh Komang Mahendra. Pria itu menunjukkan sebuah surat resmi dari kepolisian yang berisi tentang panggilan pelatihan untuk detektif yang baru bergabung. “Kenapa kau malah mengadakan pelatihan di pulau itu?”

    “Aku rasa itu adalah hal yang baik bagi mereka,” Komang Mahendra beranjak dari kursinya, nada suaranya cukup tinggi. “Kasus yang kau tangani lima tahun yang lalu adalah kasus yang menarik untuk dipelajari, itu akan jadi masukan berguna bagi mereka, memecahkan sandi sekaligus membuka rahasia pulau tersebut. Itu jika mereka mampu.”

    “Pulau itu terlalu berbahaya! Bukankah aku sudah meminta kepadamu agar pulau Dosa ditutup untuk selamanya?!” Inspektur Ipus menggebrak meja kerja Kapolri, membuat Komang Mahendra sedikit tersentak.

    “Kasus itu sudah selesai lima tahun yang lalu, Inspektur!!” Komang Mahendra membentak balik Inspektur Ipus. “Sudah tidak ada lagi yang tertinggal di pulau itu selain rahasia pulau itu sendiri! Mereka hanya berada disana selama tiga hari, setelah itu anggota kita akan menjemput mereka!”

    “Kau tidak tahu apa yang kau lakukan, Bapak Kapolri yang terhormat,” Inspektur Ipus mengarahkan jari telunjuknya tepat ke depan wajah Kapolri Komang Mahendra. “Pulau itu jauh lebih berbahaya dari yang kau tahu. Aku ingin pelatihan itu dibatalkan dan semua detektif muda yang ikut dalam pelatihan itu dijemput sesegera mungkin!”

    “Aku yang memberi perintah disini, Inspektur!!” Komang Mahendra balas membentak. “Pelatihan itu tetap akan berlangsung! Dan kau...” Komang menuding ke arah Inspektur Ipus. “Kau diskors selama dua bulan karena sikapmu yang tidak sopan! Sekarang juga, pergi dari ruanganku!!”

    Inspektur Ipus menatap geram pada pria yang hampir sama tuanya dengan dirinya. Tangannya mengepal. “Aku akan mengirim anak buahku untuk menjemput mereka.”

    “Kalau kau berani mengganggu pelatihan ini, kau akan dipecat!” ancam Kapolri Komang Mahendra.

    “Tidak perlu repot-repot,” senyum mengejek tampak di kerut-kerut wajah tua Inspektur Ipus. “Aku akan menjemput mereka dan setelah itu, akan kuajukan surat pengunduran diriku. Kau boleh mencoba menghentikanku jika kau mampu.” Ujar Inspektur Ipus seraya berbalik meninggalkan ruang kerja Kapolri. Membanting pintu kaca ruangan hingga pecah.

    “Bangsat,” gumam Kapolri Komang Mahendra seraya duduk kembali ke kursinya dan meraih ponselnya. Jari-jari tua Kapolri itu menekan tombol-tombol di ponselnya untuk menghubungi seseorang.

    “Ada apa?” tanya suara berat seorang pria di seberang sana.

    “Inspektur Ipus bersikeras untuk menghentikan pelatihan itu. Apa yang harus aku lakukan?” tanya Komang Mahendra di telepon.

    “Biarkan saja, memang sudah saatnya, aku ambil alih dari sini. Kau duduk tenang saja di kursimu, Bapak Kapolri,” suara pria di seberang itu terdengar kalem, tenang dan lembut. Seolah apa yang baru saja disampaikan oleh Kapolri Komang Mahendra bukanlah hal baru yang belum diduganya.

    Seorang pria tua berdarah Indo-Belanda meletakkan ponselnya ke atas meja kerjanya. Rambut putih dan keriput di wajah pria itu menunjukkan usianya. Dengan tenang pria itu membuka lacinya, mengambil sebatang cerutu, memotong ujungnya lalu menyalakan api untuk membakarnya. Pria tua itu memandang ke arah seorang remaja yang sedang menyaksikan layar televisi di sudut ruang kerjanya.

    “Kau suka dengan apa yang kau lihat, Juna?” tanya pria itu kemudian.

    “Aku selalu menikmati pertunjukanmu, Wise Crow,” jawab pemuda bernama Juna tersebut.

    “Kini waktunya menutup layar,” ujar Wise Crow sebelum menghisap dalam-dalam cerutunya.

    *_*_*

    Rio dan Asri menelusuri jalan setapak menuju dermaga, mereka baru saja memeriksa pantai dan tidak menemukan petunjuk baik dari kepolisian maupun keberadaan rekannya yang hilang, Nurul. Pagi hingga siang mereka memeriksa seisi mansion dan di sekitar mansion, namun tanda-tanda keberadaan Nurul tidak juga tampak. Hari sudah menjelang sore saat mereka tiba di dermaga.

    “Jam berapa ini?” tanya Rio pada Asri yang mengenakan jam tangan berwarna putih. Asri melirik ke arlojinya.

    “Setengah tiga,” jawab gadis berkulit eksotis tersebut. “Kau melihat sesuatu disini, Rio?”

    Rio menggeleng. “Tidak,” jawabnya. “Semoga yang lain lebih beruntung dari kita,” tambah Rio.

    Setelah memeriksa mansion dan sekitarnya tanpa mendapatkan hasil, mereka memutuskan untuk membagi menjadi tiga kelompok. Rio dan Asri bertugas memeriksa pantai dan dermaga. Enyas, Devisha dan Aryosh memeriksa air terjun dan hutan di sekitar air terjun. Sedang Edi dan Via bertugas memeriksa Solar Power Plant.

    Rio memandang ke sekitar, mereka baru saja memeriksa pondok kecil yang seharusnya menjadi pos administrasi dan front office untuk pengunjung Pulau Dosa. Tidak ada apa-apa di dalam pondok itu selain sekardus brosur tentang Pulau Dosa, sebuah meja dan dua buah kursi. Rio memandang ke arah rumah kecil tidak jauh dari tempat mereka berada. Rumah Nenek, Ibu dari Pak Agil.

    “Aku akan memeriksa keadaan Nenek, sekaligus menanyakan beberapa hal. Kau ikut?” tanya Rio pada Asri yang tampak kelelahan.

    “Pergilah, aku istirahat dulu sebentar, nanti aku menyusulmu,” ucap Asri seraya menyeka keringat di dahinya menggunakan tangan.

    “Baiklah, berteriaklah jika ada sesuatu, tetaplah waspada.”

    “Jangan kuatir,” Asri tersenyum ke arah Rio. “Aku juara tiga kejuaraan kempo SMU tingkat Nasional,” jawab gadis eksotis itu.

    Rio sedikit lega mendengar jawaban Asri. Setidaknya ia tahu Asri dapat membela dirinya sendiri. Rio berjalan menuju ke arah rumah Nenek di dekat dermaga, beberapa pot bunga tumbuh subur di dekat pintu rumah kayu tersebut.

    Tok, tok, tok, Rio mengetuk pintu rumah tersebut. Tidak ada jawaban.

    “Nenek? Kau ada di dalam?” tanya Rio sambil mencoba mengintip ke dalam rumah melalui jendela. Jendela rumah itu tertutup tirai yang menghalangi pandangan Rio. “Nenek?” Rio memanggil sekali lagi.

    “Masuklah,” terdengar suara parau seorang wanita tua dari dalam rumah. “Masuklah, Nak.”

    Rio memutar gagang pintu dan mendorong pintu rumah tersebut. Pintu itu berderik, keadaan di dalam rumah begitu gelap karena jendela yang tidak dibuka. Rio melangkah masuk dan menemukan sosok Nenek sedang duduk di atas kursi goyang, tangannya menggenggam sebuah bola wol. Rupanya Nenek sedang merajut saat Rio datang.

    “Ada yang bisa Nenek bantu? Anak muda?” tanya Nenek itu sambil tersenyum lembut ke arah Rio.

    “Ah, aku hanya memeriksa keadaan Nenek, apa Nenek baik-baik saja?” tanya Rio dengan nada yang sopan.

    “Memangnya apa yang bisa membuatku tidak baik-baik saja?” Nenek bertanya balik, masih dengan senyum lembut yang tergambar di wajah tua wanita itu. “Ini rumah Nenek, Nenek pasti baik-baik saja disini.”

    “Ah, ya...” Rio tersenyum. “Kami kehilangan teman kami, seorang gadis bernama Nurul. Rambutnya sebahu, apa Nenek melihatnya di sekitar sini?”

    “Kehilangan?” tanya Nenek sambil menghentikan gerakan jarinya. “Oh, gadis yang malang, ia tidak tersesat di hutan kan?”

    “Aku rasa tidak,” jawab Rio. “Semalam kami masih melihatnya ada di kamarnya dan... tiba-tiba dia hilang begitu saja.”

    Senyum lembut yang meneduhkan mendadak hilang dari wajah sang Nenek. Kini Rio dapat merasakan sang Nenek menatapnya dalam-dalam.

    “Manusia tidak hilang begitu saja, anak muda. Tidak seperti air yang menguap begitu saja.”

    “Aku tahu Nek, karena itulah... Oh ya Nek, Nenek tidak pernah takut di sini? Tidak pernah melihat hantu atau apapun?” Rio mencoba mengalihkan pembicaraan.

    “Kau melihatnya?” Nenek itu bertanya. Rio menjawab dengan satu anggukan kecil. “Mereka tidak akan menyakitimu, tidak akan menyakiti kalian, bahkan jika mereka ingin sekalipun, mereka tidak akan bisa menyakiti kalian.”

    “Jadi Nenek pernah melihat mereka juga? Wanita-wanita bergaun putih?”

    “Ada lebih banyak dari sekedar gerombolan wanita bergaun putih, anak muda. Jika kau berkeliaran di hutan pada tengah malam, atau berjalan saja menyusuri jalan setapak yang gelap di malam hari. Kau pasti dapat melihat lebih dari sekedar gerombolan wanita bergaun putih,” Nenek itu berhenti, ia kembali tersenyum. “Mereka sudah ada di sini lama sekali... sangat lama,” ujar sang Nenek. “Kembalilah ke mansion sebelum gelap, Anak Muda. Jika hantu yang kau khawatirkan, percayalah, mansion adalah tempat yang paling aman bagi kalian semua.”

    “Baiklah Nek, aku kembali dulu ke mansion,” ujar Rio setengah bergidik membayangkan bahwa ada lebih banyak penampakan yang mengerikan dari sekedar wanita-wanita bergaun putih yang menunjuk ke arah piano merah. Rio menutup pintu rumah dan berjalan menuju ke arah Asri yang tampak sudah siap untuk melanjutkan perjalanan.

    “Bagaimana? Aku baru hendak menyusulmu ke sana,” ujar Asri saat melihat Rio berjalan mendekatinya.

    “Nenek baik-baik saja, dia memberiku nasihat agar kita segera kembali ke mansion sebelum gelap datang.”

    “Oh, apa ada binatang buas di pulau ini?” tanya Asri.

    “Aku tidak tahu kalau soal itu,” jawab Rio. “Nenek memperingatkan kita soal hantu.”

    “Hey!” Asri meninju bahu Rio. “Kau membuatku takut, tahu!” ujar gadis eksotis itu kesal.

    “Apa kau pikir aku tidak takut?” Rio menyentuh tengkuknya yang terasa bergidik setiap ia mengingat tentang hantu-hantu wanita yang memenuhi ada di mansion. Ia mengingat apa yang disampaikan oleh sang Nenek, keadaan di luar mansion bisa jadi lebih buruk dari di dalam mansion.

    *_*_*


   
   

    CHAPTER 10 : THE RED PIANO

    Pintu mansion telah terbuka saat Rio dan Asri memasuki mansion. Saat itu langit telah mulai memerah, pertanda bahwa malam hari akan segera tiba. Asri dan Rio dapat mencium aroma masakan dari arah dapur. Rio membuka pintu dapur dan menemukan Edi yang sedang memasak.

    “Oh, kalian sudah datang rupanya,” ujar Edi saat melihat Rio dan Asri.

    “Mana yang lain?” tanya Asri pada Edi yang tampak sibuk menumis buncis.

    “Entah, aku rasa belum datang, aku yang pertama sampai ke mansion. Kupikir tidak ada salahnya menyiapkan masakan sebelum kalian semua datang. Kalian pasti lapar, kan?” jawab Edi.

    “Mana Devisha?” Rio bertanya. “Bukankah kau bersamanya?”

    Edi mengangkat wajannya dan meletakkan tumisan buncis ke atas piring datar, aroma wangi buncis tersebut tercium. Aroma yang sungguh harum dan menggoda selera.

    “Tadinya kupikir dia sudah kembali lebih dulu, tapi ternyata aku tidak menemukannya di mansion,” jawab Edi sambil menusuk sebuah buncis dengan garpu dan memakannya. “Kurang garam sedikit,” gumamnya.

    “Jadi kau meninggalkan Devisha sendirian?” nada suara Asri sedikit meninggi mengetahui bahwa Edi tidak kembali bersama Devisha. “Bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya? Bagaimana kalau dia tersesat?”

    “Hey, dia yang memaksa untuk pulang sendiri!” Edi membela dirinya. “Kami baru tiba di Power Plant saat dia marah dan memutuskan untuk kembali ke mansion. Dia yang meninggalkanku!”

    “Apa yang terjadi sebenarnya, Edi?” Rio bertanya, menatap tajam ke arah Edi.

    “Kami berjalan melalui jalan setapak menuju ke Power Plant. Kau tahu kan perjalanan di sana cukup jauh jadi aku berusaha untuk mengajaknya berbincang. Dia hanya menanggapi kalimatku seadanya, dan itu menyebalkan!” Edi mendengus kesal, mengambil sebotol garam dan menakar isinya menggunakan sebuah sendok teh. “Kami sudah hampir sampai saat dia marah karena menyebut sikapnya berlebihan menghadapi hilangnya Nurul,” Edi mencampurkan garam ke masakannya, mengambil sepotong buncis dengan garpu dan memakannya. “Ini baru pas,” ujarnya. “Dia mendadak marah, menyebutku sebagai pecundang, monyet, dan beberapa umpatan lagi. Setelah puas mengumpat dia berbalik meninggalkanku.”

    “Kau tidak berusaha mencegahnya?” Asri mengucapkan sebuah pertanyaan yang menyudutkan Edi.

    “Tentu aku mencegahnya! Aku bukan pria bodoh yang membiarkan seorang wanita pulang sendirian.”

    “Lantas?” Asri terus mengejar jawaban Edi.

    “Marahnya makin menjadi, lihat?” Edi menunjukkan pipinya yang tampak memerah. “Dia menamparku dan meninggalkanku begitu saja. Dan kupikir aku tidak akan kembali dulu sebelum melaksanakan tugasku memeriksa Power Plant. Yang benar saja, aku tidak berjalan sejauh itu hanya untuk kembali tanpa hasil.”

    “Menemukan sesuatu di Power Plant?” tanya Rio.

    “Tidak, kondisinya sama persis seperti saat terakhir aku berada di sana,” jawab Edi.

    “Kita harus mencari Devisha, Rio. Kita tidak bisa membiarkannya sendiri di luar sana,” Asri meyakinkan Rio untuk mencari Devisha.

    “Oh ayolah Asri,” Edi menimpali ucapan Asri. “hanya ada jalan setapak di luar sana. Dan siapapun yang mengikuti jalan setapak tidak akan tersesat.”

    “Dia benar, Asri,” Rio membenarkan ucapan Edi. “Kecuali ia melihat sesuatu, sesuatu yang menarik perhatiannya untuk keluar dari jalan setapak.”

    “Itu lebih berbahaya, kita harus mencarinya, Rio.” Asri meyakinkan Rio untuk pergi bersamanya mencari Devisha.

    “Tunggu, aku ikut..Uhukk!!” Edi terbatuk setelah menyatakan ia akan ikut bersama Asri dan Rio untuk mencari Devisha. “Uhukk!! Uohoook!!” batuk yang dialami Edi semakin menjadi-jadi, pria itu menutupi mulutnya dengan kedua tangan sembari batuk.

    “A..pa?” Wajah Edi tampak terkejut saat ia melihat tangannya yang dilumuri ludah dan darah.

    “Hei, kau baik-baik saja Edi?” Rio bergegas ke arah Edi yang tiba-tiba terhuyung jatuh, beruntung Rio cukup cekatan untuk menangkap tubuh Edi sebelum ia jatuh menghantam lantai. Rio melihat ke arah Edi, wajahnya tampak pucat.

    “Uhhukk!!” Edi kembali batuk, darah menyembur cukup banyak bersama batuknya, berceceran di lantai dapur dan sebagian menempel di punggung kemeja yang dikenakan Rio. Nafas Edi terdengar memburu lemah.

    “Apa yang terjadi dengannya?” Asri terlihat panik.

    “Bahan makanan dan minuman kita...” Rio memandang ke tumis buncis yang tersaji di piring. “Ada yang meracuni bahan makanan dan minuman kita. Bantu aku membawanya ke kamar.”

    Asri mengangguk setuju. Rio memapah tubuh Edi dan membawanya naik ke lantai dua, Edi beberapa kali batuk saat Rio memapahnya. Darah ikut menyembur setiap kali Edi batuk. Rio berusaha membuka kamar Edi, namun terkunci. Rio berusaha merogoh ke saku celana Edi, mencari kunci kamar. Tangannya menemukan kunci kamar yang ditempati Edi, namun itu bukan satu-satunya yang ada di saku celana pemuda yang jago memasak tersebut. Secarik kertas berlogo Tri Brata ikut tertarik jatuh saat Rio menarik keluar kunci kamar.

    “Itu?” Asri memandang ke arah kertas yang terjatuh dari saku celana Edi.

    “Kita akan mengurus kertas itu nanti. Ayo kita baringkan Edi di tempat tidur,” ujar Rio menimpali pandangan Asri.


    *_*_*

    Beberapa jam sebelumnya,

    Devisha mendengus, raut wajahnya menampakkan rasa kesal yang cukup tinggi. Bagaimana ia bisa terima saat Edi menyebut Nurul, pasangannya yang tengah hilang, sebagai penggoda kaum lelaki yang bisanya hanya memanfaatkan kaum lelaki dengan kecantikannya. Devisha berjalan menyusuri jalan setapak untuk kembali ke mansion sambil memegangi telapak tangannya yang memerah karena telah menampar pipi Edi.

    “Laki-laki sialan,” Devisha masih mengumpat, kesalnya pada Edi masih belum juga hilang. Gadis itu menghentikan langkahnya saat melihat sesuatu melambai di antara pepohonan. Devisha memicingkan matanya, detik berikutnya ia tampak terkejut karena mengenali sesuatu yang melambai sebagai robekan kain pakaian yang tersangkut di ranting pohon. Devisha berlari mendekati kain tersebut. Alangkah terkejutnya ia saat menyadari bahwa corak kain tersebut sama persis dengan baju tidur yang dikenakan oleh Nurul semalam. Devisha memandang ke sekelilingnya, mencoba menemukan petunjuk yang lain, pandangan matanya melihat secarik kain lain yang tersangkut di ranting pohon beberapa meter dari dirinya. Gadis itu melangkah ke arah kain tersebut, menginjak rerumputan yang berbaur dengan tumpukan daun-daun kering.

    SRAAAAAK......

    “Aaah!!” Devisha menjerit saat pijakan kakinya hilang, tubuhnya meluncur jatuh ke dalam lubang yang cukup dalam. Gadis itu dapat merasakan sendi pergelangan kakinya terkilir saat ia mendarat cukup keras ke dasar lubang tersebut.

    “Uuh...” Devisha merintih, lengan gadis itu lecet akibat gesekan dengan tanah dan akar pohon yang keluar dari dinding-dinding lubang tersebut. Ia memandang ke atas, lubang itu mungkin hanya sedalam tiga meter. Tampak akar-akar pohon menembus tanah yang menjadi dinding-dinding lubang tersebut.

    Setelah mengatur nafasnya Devisha beranjak bangkit, namun gadis itu sedikit kesulitan karena kakinya yang terkilir. Nyeri di kakinya memaksa gadis itu untuk berjongkok memegangi mata kakinya, meringis menahan nyeri di mata kakinya. Gadis itu merintih pelan sebelum akhirnya kembali berusaha untuk berdiri, tangannya menumpu ke dinding-dinding lubang tersebut, dengan terpincang-pincang, gadis itu meraih akar pohon yang terdekat, setelah memastikan akar tersebut cukup kuat, ia menarik tubuhnya ke atas dengan susah payah.

    SRAAAKK!!

    Tubuh gadis itu kembali meluncur ke bawah saat ia baru mencapai setengah dari kedalaman lubang. Kali ini ia mendarat dengan punggung lebih dulu, kepala gadis itu terantuk sebongkah batu di dasar lubang. Gadis itu sempat meringkuk merasakan nyeri di punggungnya sebelum pandangan matanya memudar. Ia dapat melihat bayangan seseorang berdiri di bibir lubang sebelum kesadarannya benar-benar hilang.

    *_*_*

    Rasa lembab di wajah mengembalikan kesadaran Devisha. Gadis itu dapat merasakan sentuhan kain basah mengusap wajahnya. Devisha dapat merasakan seseorang membasuh wajahnya dengan sebuah kain basah. Reflek, gadis itu menggerakkan kepalanya menghindar dari usapan-usapan di wajahnya.

    Butuh waktu beberapa detik bagi Devisha untuk mengembalikan pandangannya. Kini gadis itu dapat melihat sosok yang sedang mengusap wajahnya dengan handuk putih kusam yang telah dibasahi. Sosok itu mengenakan jubah longgar berwarna abu-abu dengan hood yang menyembunyikan wajahnya. Devisha terkejut saat menyadari ia tidak lagi berbusana, lebih terkejut lagi kala gadis itu tak dapat menggerakkan tangan dan kakinya yang terikat kencang dalam posisi berdiri, membuat tubuhnya membentuk huruf X.

    “Siapa kau?!” tanya Devisha setengah membentak sosok berjubah di hadapannya.

    Sosok itu diam tak menjawab, usapannya kini turun ke leher Devisha. Memberikan rasa geli kala bulir-bulir air itu merambat pelan turun dari leher ke dadanya. Gerakan tangan sosok berjubah itu terus turun higga ke lingkar bagian atas dadanya, memijat-mijat buah dada kenyal yang tampak kencang menggoda itu dengan gemas.

    “Ah!” Devisha memekik kecil, badannya sedikit menggelinjang kala usapan handuk basah itu sampai di putingnya. Memberikan rasa geli yang menyengat. Devisha dapat mendengar tarikan nafas sosok berjubah itu.

    “Siapa kau? Apa yang kau lakukan??” tanya Devisha.

    Sosok berjubah itu menghentikan kegiatannya. Nafasnya terdengar memburu, seolah tengah menahan sesuatu dalam dirinya. Sosok itu melempar handuk basah di tangannya ke lantai lalu bergerak menjauh, mengambil sebuah kain berwarna biru tua di atas meja lalu mendekat ke arah Devisha yang kini tampak gusar.

    “Hey!! Apa-apan ini!!” Devisha berontak saat sosok itu membelitkan kain biru tua itu ke kepalanya, menutupi pandangan matanya. “Lepaskan!! Siapa kamu bajingan!!” Devisha memaki, gadis itu dapat merasakan ikatan di belakang kepalanya ditarik kencang hingga ia tidak dapat melihat apapun lagi. Hanya gelap dan suara tarikan nafas sosok berjubah itu yang terdengar semakin berat.

    “Diamlah,” ujar sosok berjubah tersebut.

    Devisha menghentikan rontaan sia-sianya kala gadis itu mendengar dan mengenali suara tersebut.

    “Nurul??” ujar Devisha.

    Tidak ada jawaban, sosok berjubah itu diam dan mundur selangkah. Berhenti sejenak menghadap ke arah Devisha yang kini tak dapat melihatnya, seolah sedang mengamati gadis telanjang yang kini terikat tak berdaya.

    “Nurul? Kaukah it.. ahh...” Kalimat Devisha terpotong oleh desahannya sendiri kala ia merasakan sesuatu yang basah, hangat dan terasa kesat menyentuh dan bergerak-gerak di pusarnya. Menimbulkan rasa geli di perutnya. Devisha tak perlu melihat untuk tau apa benda hangat yang tengah mengusap perutnya, ia tahu betul bagaimana rasanya saat seseorang menjilat tubuhnya.

    Sosok berjubah itu memainan lidahnya melingkari pusar gadis cantik yang terikat telanjang di depannya. Lidah itu semakin turun hingga menyentuh bagian kewanitaan Devisha. Membuat tubuh Devisha menggelinjang merasakan rasa geli yang menyengat. Rasa itu semakin kuat kala sosok berjubah itu menggerakkan lidahnya menyusuri garis kemaluan Devisha.

    Lidah itu perlahan bergerak pelan membelah bibir kewanitaan Devisha, bergerak dan terus merangsek masuk dengan perlahan. Membuat Devisha semakin menggelinjang.

    “Ah...” satu desahan terlepas dari bibir Devisha yang kini sedikit terbuka akibat rangsangan di kewanitaannya. Mendengar desahan tersebut, sosok berjubah itu menarik lidahnya, berdiri dan berbalik ke arah meja yang berisi gulungan kain.

    “Mmpphh!!” teriakan protes Devisha tertahan saat sosok berjubah itu menyumpal mulutnya dengan segumpal kain. Detik berikutnya, pandangannya kembali setelah kain yang menutup matanya dilepaskan.

    Devisha memandang ke arah sosok berjubah abu-abu yang diam di hadapannya. “Nurul? Apa yang terjadi?” tanya Devisha heran. Ia yakin benar bahwa suara yang didengarnya tadi adalah suara Nurul.

    Sosok itu menggeleng sebelum menjawab dengan nada setengah berbisik. “Tidak...” ujar sosok berjubah itu. “Tidak apa-apa,” bisiknya lagi seraya berbalik dan melangkah menuju meja besar di sudut ruangan.

    Mata Devisha mendelik ketika melihat apa yang kini ada di tangan sosok berjubah itu, sebuah pisau kecil berwarna perak. Kilau pisau kecil yang disebut scalpel itu menunjukkan ketajaman yang dimilikinya. Devisha berusaha meronta saat sosok berjubah itu menyentuh payudaranya. Devisha menggumam tidak jelas dan menggeleng-geleng saat ia merasakan ujung dingin scalpel sedikit menusuk kulit payudaranya.

    Dan satu dorongan kecil mengawali rasa sakit yang dilukiskan dari jerit tertahan gadis itu.

    *_*_*

    Devisha menangis tersedu dan terisak menahan rasa sakit yang begitu hebat kala sosok berjubah itu meremas-remas payudaranya yang kini hanya tampak bagai tonjolan merah, basah tanpa kulit yang menutupinya. Rasa sakit itu sungguh luar biasa, gadis itu memejamkan matanya, mengharap kematian segera menjemputnya. Devisha benar-benar tidak menyangka bahwa akan datang saat seperti ini dalam hidupnya. Saat dimana ia sangat menginginkan kematian untuk menggantikan rasa sakit yang kini menyiksanya.

    Sosok berjubah itu menarik kedua tangannya, sarung tangan yang dikenakannya kini dilumuri oleh darah. Sosok itu beranjak pergi, mengambil segelas air dan menyiramkannya ke wajah Devisha. Tampaknya sosok berjubah itu ingin agar Devisha tetap sadar saat ia bermain-main dengan tubuhnya.

    Isak sedu Devisha tampaknya tak sedikitpun menyenggol rasa iba dari sosok berjubah tersebut. Sosok itu kini kembali ke meja yang berisi deretan senjata tajam. Devisha sudah terlalu lemah saat ia melihat sosok itu kembali membawa sebuah alat pemotong keramik elektrik dengan pisau bundar yang bergerigi kecil. Sosok itu menancapkan saklar dan menyalakan tile cutter tersebut.

    Zzzingg....

    Devisha memejamkan matanya saat ia mendengar deru tile cutter yang dinyalakan. Suara deru itu terdengar semakin dekat. Memberikan rasa ngeri di setiap desingannya. Devisha semakin tersedu, mengharap rasa iba dari sang sosok berjubah yang kini menyiksanya meski ia tahu, rasa iba itu takkan pernah datang.

    “Mmpphhh!!! Mmmmhhh!!”

    Jeritan Devisha berbaur dengan deru mesin tile cutter yang kini memberikan rasa sakit luar biasa pada kewanitaannya. Pisau bundar bergerigi tile cutter itu berputar cepat, memotong klitorisnya, membongkar liang kewanitaannya. Nafas sosok berjubah itu semakin memburu, melihat darah yang bercipratan. Bersama dengan potongan-potongan kecil daging kewanitaan Devisha yang terlempar tidak beraturan ke lantai, dinding dan jubahnya.

    *_*_*

    “Sang pemberi yang tak bisa menerima,” Asri membaca apa yang tertulis di kertas berlambang Tri Brata yang jatuh dari saku Edi. Gadis itu diam dan berpikir sejenak, sebelum akhirnya tersenyum. Ya, tampak jelas bahwa gadis itu telah mengerti apa yang dimaksud oleh petunjuk kali ini. Asri menoleh ke arah Rio yang tampak sibuk membuka kemeja yang dikenakan Edi. Tampaknya Rio telah lupa tentang kertas petunjuk tersebut. Asri meremas kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku celananya.

    “Kau akan baik-baik saja, aku akan mencari obat, pasti ada obat di bahan perlengkapan kita,” Rio mencoba menenangkan Edi. Edi sudah tak lagi batuk, namun darah masih keluar dari sudut bibir Edi. Berkali-kali Rio memeriksa nadi di leher Edi untuk memastikan mantan chef assistant di restoran Italia itu masih hidup.

    “Aku akan mencari obat-obatan di perbekalan kita. Kau jaga Edi di sini,” Rio memberi instruksi pada Asri.

    “Aku ikut denganmu,” Asri menolak untuk tinggal di kamar Edi.

    Rio memandang ke arah Edi dan beralih ke arah Asri untuk beberapa saat.

    “Dua orang lebih cepat mencari dibanding satu orang kan?” Asri berkata, mencoba meyakinkan agar Rio mengijinkannya ikut mencari obat.

    “Baiklah,” Rio bergegas meninggalkan kamar, menuju ke arah dapur, tempat perbekalan mereka disimpan. Baru saja Rio menuruni tangga, pintu mansion terbuka lebar, tampak Enyas dan Via memasuki mansion.

    “Kemana Aryosh?” tanya Rio kepada Enyas. “Seharusnya kalian bersamanya.”

    “Saat berada di air terjun ia merasa mendengar sesuatu dari arah hutan, dia bilang dia mendengar jeritan seorang wanita. Ia pergi memeriksanya dan tidak kunjung kembali, kami pikir Aryosh telah kembali lebih dulu ke mansion,” jawab Enyas.

    “Bagus!” ujar Rio. “Setelah Devisha kini Aryosh yang hilang.”

    “Hilang? Ada apa sebenarnya, Rio?” Via tampak khawatir.

    “Edi dan Devisha terpisah, Devisha belum juga kembali dan seseorang meracuni bahan makanan kita,” Asri menjawab pertanyaan Via.

    “Racun?” Enyas dan Via bertanya nyaris bersamaan.

    “Edi mencicipi masakannya dan kini terbaring, darah terus keluar dari mulutnya. Kalian harus membantuku, pasti ada obat di perbekalan kita,” Rio meminta bantuan Enyas dan Via untuk mencari obat di antara perbekalan mereka.

    “Bagaimana dengan Nurul? Ada tanda-tanda tentangnya?” Via bertanya lagi.

    Asri menggeleng lemah. “Negative,” ujar gadis berkulit eksotis tersebut. “Sekarang Devisha dan Aryosh juga hilang.”

    “Siapa yang hilang?” suara berat Aryosh terdengar dari arah pintu. Tampak Aryosh memasuki mansion dan keheranan melihat ekspresi panik di wajah rekan-rekannya. “Apa yang terjadi? Kenapa kalian memandangku seperti itu?”

    “Aku akan melihat kondisi Edi,” Enyas bergegas menuju ke tangga.

    Langkah kaki Enyas tertahan saat ia melihat sesuatu berdiri di atas tangga. Seorang wanita bergaun putih dengan rambut tebal terurai tampak menatap ke arahnya. Wanita itu diam, dan Enyas tak dapat menahan perasaan dingin yang seketika itu menjalari tengkuknya. Enyas menoleh ke arah dapur dan melihat sesosok hantu wanita yang lain tengah berdiri menatapnya.

    “Hihihihi...”

    Tawa melengking terdengar tepat dari belakang Enyas. Enyas tidak menoleh ke belakang, ia cukup tahu apa yang saat ini mungkin berada sangat dekat dengan dirinya. Enyas bergidik, ia dapat merasakan peluh yang tiba-tiba saja muncul di dahinya akibat rasa bergidik yang mengerikan itu. Enyas memejamkan matanya, mencoba mengatur nafasnya, mengembalikan ketenangannya. Setelah dirasa cukup, detektif muda itu kembali membuka matanya.

    “Aaah!!” Enyas menjerit dan bergerak ke belakang saat menemukan sosok wanita berambut tebal yang tadi menatapnya dari arah tangga sudah berada sangat dekat di depannya. Enyas mundur beberapa langkah hingga ia dapat merasakan tubuhnya sedikit tersengat kala ia menembus sosok wanita lain yang ada di belakangnya.

    “Mainkan...” bisik salah satu dari hantu wanita itu.

    “Mainkaaan...” terdengar bisikan kering dari hantu wanita yang lain.

    “Mainkaaan...”

    “Kau tidak apa-apa Enyas?” Rio menepuk pundak Enyas, membuat Enyas terkejut setengah mati. Enyas menoleh ke arah Rio dengan gerakan yang cepat, menunjukkan bahwa tepukan kecil Rio sangat mengejutkannya. Saat itulah Rio menyadari apa yang sedang terjadi pada diri Enyas.

    “Mereka disini?” tanya Rio. “Apa Enyas? Apa yang mereka katakan?”

    “M...Ma... mainkan...” ujar Enyas terbata-bata, ia masih belum bisa mengendalikan ketakutannya.

    “Mainkan? Apa yang dimainkan?” Rio terus bertanya sedang Asri, Via dan Aryosh hanya bisa memandang heran ke arah mereka berdua.

    Enyas mengangkat jarinya perlahan, menunjuk ke arah piano merah di tengah ruangan.

    “Mainkan pianonya?” Rio melangkah ke arah piano merah di tengah ruangan dan membuka penutup tuts piano yang dilapisi debu. Rio mengangkat jarinya dan memandang heran ke tuts-tuts tersebut. “Apa yang harus aku mainkan, Enyas?”

    “Sebenarnya apa yang kalian lakukan?” Aryosh bertanya dengan suara beratnya.

    “Tuts yang dimainkan semalam...” gumam Rio. “Tuts mana yang dimainkan semalam?”

    “Do-Mi-Sol-Do-Mi-Sol,” jawab Asri.

    Rio menoleh ke arah Asri. “Bagaimana kau bisa tahu?”

    “Apa kau pikir aku akan ada di sini jika aku tidak punya kelebihan?” Asri menjawab pertanyaan Rio yang meragukan daya ingatnya. “Mungkin tidak istimewa, tapi sebagian besar keluargaku adalah pemusik.”

    Rio mengamati tuts di depannya sebelum meletakkan jarinya ke atas tuts, dan mulai memainkannya.

    Deng...deng...deng...

    Rio memainkan nada Do-Mi-Sol sesuai arahan dari Asri.

    Deng...deng...deng...

    Enyas bergidik, wanita-wanita bergaun putih menoleh ke arah piano, tangan mereka terangkat perlahan dan menunjuk ke arah piano merah tersebut.

    Kilasan cahaya menembus jendela di ruang makan, menembus hingga ke lobby dan lalu hilang sebelum kembali muncul. Via dan Aryosh melihat ke sumber cahaya dan menemukan bahwa cahaya itu berasal dari lampu suar mercusuar yang entah mengapa, kini menyala dan berputar.

    “Nada itu membuat lampu mercusuar menyala,” gumam Asri.

    Kreek...kreek...

    Suara derik muncul entah darimana, Rio merasakan tubuhnya sedikit terguncang. Suara derik itu semakin terdengar jelas saat Rio menyadari piano merah itu bergetar kuat. Membuat seisi ruangan terkejut dan tenggelam dalam kebingungan masing-masing.

    *_*_*


   
   

    CHAPTER 11: THE LABYRINTH

    Rio beranjak menjauh dari piano kala ia merasakan lantai dibawahnya bergetar hebat. Perhatian Enyas teralih ke arah piano merah yang tampak bergetar untuk beberapa detik. Tidak satupun dari mereka berlima menduga apa yang terjadi kemudian. Mereka hanya bisa memandang takjub saat piano dan lantai di bawahnya bergeser, sebuah lubang seukuran pintu terbuka menganga menggantikan piano yang kini telah bergeser.

    “Ruang rahasia?” Via tampak heran dengan apa yang terjadi di depan matanya. Wajar saja, ruang rahasia bukanlah hal yang lumrah di sebuah bangunan biasa. Apalagi ruang tersebut terbuka dengan memainkan sebuah kombinasi nada di piano di atas ruangan tersebut.

    “Kau membawa sentermu, Asri?” Rio bertanya.

    Asri memberikan senter yang tergantung di ikat pinggangnya dan memberikannya ke arah Rio. Rio menyalakan senter tersebut dan menyorot ke lubang yang gelap tersebut. Tampak sebuah tangga turun terbuat dari beton di dalam lubang tersebut. Rio melangkah mendekati lubang tersebut.

    “Kau akan masuk?” Enyas tampak ragu, ia melihat sekelilingnya, memandang wanita-wanita bergaun putih yang kini bergerak menjauh dari lubang, seringai menyeramkan tampak di wajah hantu-hantu wanita tersebut.

    “Hihihi....” tawa melengking wanita-wanita bergaun putih itu terdengar mengiang di seisi ruangan, menggema dari dinding-dinding ruangan. Enyas tahu, dialah satu-satunya orang dalam ruangan itu yang mendengar tawa melengking yang terasa seolah mengelus-elus tengkuknya.

    “Ada apa Enyas?” tanya Rio yang menangkap keraguan di wajah Enyas. “Bukankah jelas kalau kita harus masuk, mungkin di bawah situ adalah tempat Laily ditmukan.”

    “Tidak apa-apa,” Enyas menggeleng. “Mereka menjauh sambil tertawa, dan itu mengerikan.”

    Via, Asri dan Aryosh saling berpandangan satu sama lain, menunjukkan ketidakmengertian mereka atas pembicaraan Enyas dan Rio.

    “Apa yang kalian bicarakan? Siapa yang kalian sebut sebagai mereka?” Asri bertanya pada Enyas dan Rio.

    “Bukan apa-apa,” Enyas menjawab. “Abaikan saja apa yang kami katakan.”

    Raut kecurigaan muncul di wajah Asri akibat jawaban Enyas. “Hanya satu dari kalian yang bukan detektif, kan?”

    “Oh, ayolah Asri,” Rio menimpali. “Haruskah kita bicarakan hal ini sekarang?”

    “Ini semua sungguh aneh!” tanpa diduga Via angkat bicara. “Nurul hilang, Devisha belum kembali, kalian bilang seseorang meracuni Edi dan sekarang ruang rahasia di bawah piano. Apa yang sebenarnya terjadi?! Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini??”

    “Kau mau jawabannya?” Rio memandang lekat-lekat ke arah Via. “Kurasa sesuatu di bawah sana dapat memberi kita jawaban,” Rio berkata seraya menyorot ke ruang rahasia yang baru saja terbuka.

    “Oh, aku tidak akan masuk ke sana bersamamu atau bersama Aryosh,” Asri menimpali. Gadis berkulit eksotis itu merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan secarik kertas berlambang Tri Brata yang tadi dipungutnya setelah kertas itu jatuh dari saku Edi. Asri menunjukkan apa yang tertulis di atas kertas tersebut.

    Sang pemberi tak dapat menerima


    “Kalian paham apa yang dimaksud dengan petunjuk ini?” Asri bertanya ke arah Enyas, Rio, Aryosh dan Via. “Yang dimaksud sebagai pemberi adalah donor. Donor yang hanya bisa memberi tapi tidak bisa menerima dari golongan lain.”

    “Donor universal,” gumam Via. “Golongan darah ‘O’,” tambahnya kemudian.

    “Tepat sekali, Via,” Asri melanjutkan kalimatnya. “Siapapun dari kita yang bukan detektif, dan kemungkinan besar adalah pelaku dibalik semua keanehan ini adalah orang yang memiliki huruf ‘O’ pada namanya.”

    “Hanya ada dua orang diantara kita yang memiliki huruf ‘O’ pada namanya. Rio dan kau Aryosh,” Via melengkapi hipotesa yang disampaikan oleh Asri.

    “Mungkin itu bisa membantumu,” Enyas menunjuk ke arah secarik kertas berlambang Tri Brata yang tergeletak di atas lantai di bawah piano merah.

    Via bergegas mengambil kertas tersebut, dia menemukan bekas double tape yang menempel di punggung kertas. Rupanya selama ini kertas petunjuk itu menempel di bagian bawah piano dan jatuh akibat pergeseran lantai piano.

    “The Catapult,” ujar Via membaca apa yang tertulis. Enyas dan Rio tersenyum mendengarnya.

    “Tujuh petunjuk telah lengkap,” ujar Enyas sambil tersenyum. “Petunjuk pertama merujuk ke tangga nada diatonis mayor yang menunjukkan lingkaran biru pada sandi tersebut. Huruf A.”

    “Menunjukkan bahwa aku dan Edi bukanlah yang dimaksud,” ujar Rio. “Petunjuk kedua adalah kosong,” Rio menjelaskan maksud dari petunjuk kedua yang mereka temukan tertempel di papan penunjuk arah pada perjalanan mereka dari dermaga menuju mansion. “Tidak ada arti dari petunjuk tersebut.”

    “Tidak ada arti?” Via tampak bingung.

    “Tujuh petunjuk mewakili tujuh huruf yang merupakan nama dari orang yang bukan detektif diantara kita,” Rio menjelaskan. “Satu petunjuk kosong menandakan bahwa ada satu huruf yang hilang. Ya, orang yang dimaksud oleh petunjuk-petunjuk tersebut hanya memiliki enam huruf dalam namanya.”

    “Itu menunjukkan bahwa Devisha yang memiliki tujuh huruf bisa kita abaikan,” Enyas menimpali. “Petunjuk ketiga IN 4 OUT 4 dan petunjuk kelima OUT 4 IN 4 adalah petunjuk yang memiliki satu jawaban yang sama,” Enyas kembali menerangkan. “Analogimu saat menyebut angka empat itu adalah kita itu sudah benar. IN dan OUT mengacu pada INSIDE dan OUTSIDE. Huruf yang dimaksud dalam dua petunjuk tersebut ada di dalam empat orang di antara kita dan diluar atau tidak ada di dalam nama empat orang yang lainnya.”

    Asri tampak serius menyimak penjelasan yang disampaikan oleh Enyas. “Aku tahu!” gadis berkulit eksotis itu berseru. “Huruf R, hanya Rio, Aryosh, Nurul dan aku yang memiliki huruf R pada namanya.”

    “Ada satu huruf lagi,” Via menyahut. “Huruf S. Devisha, Asri, Enyas dan Aryosh. Hanya empat orang itu yang memilikinya.”

    “Ya, dari empat petunjuk itupun kita seharusnya sudah mengerti siapa di antara kita yang namanya terdiri dari enam huruf dan mengandung huruf A, R, dan S,” Rio menimpali.

    “Asri,” Via melempar pandangan curiga ke arah Asri. Asri membalas pandangan Via dengan tatapan yang seolah berkata; ‘yang benar saja!’.

    “Aku juga sempat berpikir Asri orangnya,” ujar Rio kalem. “Tapi petunjuk kelima membantahnya. Empat baris rumus X itu terang-terangan menunjuk ke huruf H. Ditambah petunjuk yang jatuh dari saku celana Edi yang menunjuk donor universal atau huruf O.”

    “Dan petunjuk terakhir kita, The Catapult. Seandainya petunjuk di bawah meja ditemukan lebih dulu, maka kita tidak memerlukan enam petunjuk lainnya,” Enyas berkata sambil tersenyum.

    “Ya, petunjuk yang baru saja kita temukan itu adalah petunjuk kunci dari semua petunjuk yang ada. Hanya ada satu orang diantara kita berdelapan yang memiliki huruf tersebut pada namanya,” Rio menimpali.

    “Apa maksud dari petunjuk terakhir? The Catapult??” Via dan Asri bertanya nyaris bersamaan.

    “Katapel,” jawab Enyas. “Jangan berpikit mesin catapult yang digunakan pada perang-perang jaman kerajaan. Berpikirlah tentang senjata katapel kecil yang biasa dimainkan anak-anak.”

    “Huruf Y,” ujar Asri. “Katapel berbentuk menyerupai huruf Y.”

    Seketika itu Rio, Enyas, Asri dan Via menoleh ke arah Aryosh, satu-satunya selain Enyas yang memiliki huruf Y pada namanya. Jika kelulusan Enyas adalah sesuatu yang telah diumumkan secara nasional, maka jelas bahwa Aryosh lah satu-satunya yang tersisa. Aryosh memejamkan matanya dan tersenyum.

    “Ya,” ucap pria berbadan besar yang sempat menyatakan dirinya sebagai gay itu. “Aku bukan detektif. Aku tidak lolos dalam uji seleksi yang kita lalui bersama, Enyas, Via, Asri. Setelah uji seleksi tersebut kepolisian mengirimiku surat. Aku sangat senang saat menerima surat itu. Kupikir itu adalah surat yang menyatakan kelulusanku. Tapi ternyata aku salah,” Aryosh menggeleng-geleng. “Surat itu menyatakan kegagalanku sekaligus memintaku untuk ambil bagian dalam pelatihan ini. Mereka membayarku untuk ikut dalam pelatihan dengan berpura-pura sebagai bagian dari kalian, detektif-detektif yang lulus uji seleksi.”

    “Jadi kau tahu soal semua keanehan ini?” Asri bertanya pada Aryosh.

    “Mereka memberitahuku jawaban dari sandi-sandi yang digunakan. Baik sandi pertama kita saat mencari nama kapal, hingga tujuh petunjuk yang disebar di pulau Dosa ini. Tapi mereka tidak memberitahuku dimana lokasi tujuh petunjuk itu. Dan aku juga sama tidak tahunya dengan kalian mengenai keanehan-keanehan yang terjadi,” Aryosh mengangkat kedua tangannya pertanda bahwa ia tidak ambil bagian atas hilangnya Nurul, belum kembalinya Devisha, bahan makanan yang diberi racun, maupun ruang rahasia di bawah piano merah.

    “Bagaimana kami tahu kalau kau bicara jujur pada kami?” Via menunjukkan kecurigaannya. “Bisa saja kau menipu kami, bisa saja ini semua hanya bagian dari peran yang kepolisian berikan padamu.”

    Aryosh mengangkat bahunya dan menggeleng, menunjukkan bahwa ia tidak tahu bagaimana caranya untuk membela diri dari pertanyaan menyudutkan yang dilontarkan oleh Via.

    “Hanya ada satu cara untuk memastikannya,” timpal Rio seraya mengarahkan sorotan senternya ke ruang rahasia yang terbuka di hadapan mereka.

    *_*_*

    Pelabuhan, waktu yang sama.

    Inspektur Ipus, ketua divisi khusus kejahatan tak terpecahkan mempercepat langkahnya menuju kapal yang tengah diam bersandar di salah satu dok. Kapal tua itu tampak cukup menyeramkan, namun Inspektur Ipus tahu betul ketangguhan dari kapal bernama Noda Dosa tersebut.

    “Ayah,” seru Dean memanggil Inspektur Ipus yang tak lain adalah Ayah kandungnya.

    “Inspektur, Dean. Berapa kali kukatakan agar tidak memanggilku Ayah saat kita sedang bertugas?” Inspektur Ipus mengingatkan Dean yang saat ini merupakan satu dari dua detektif lain yang menjadi anggota divisi yang dipimpinnya.

    “Tapi Ayah kan sedang tidak bertugas?” Dean mengingatkan balik bahwasanya saat ini Inspektur Ipus sedang dalam masa skorsing.

    “Jagalah sedikit wibawaku, Dean,” Inspektur Ipus menjawab. “Toh apa yang kita lakukan sekarang jauh lebih penting dari skorsing yang aku terima.”

    Dean tersenyum mendengar apa yang disampaikan Ayahnya. Di sepanjang perjalanan mereka dari kantor polisi hingga pelabuhan, Ayahnya telah menjelaskan apa yang membuat Pulau Dosa menjadi sangat berbahaya.

    Sebuah mobil sedan berwarna merah marun berhenti tidak jauh dari mereka. Seorang pria berbadan tegap dengan usia yang tampak sedikit lebih muda dari Inspektur Ipus turun bersama seorang wanita mengenakan blazer abu-abu yang tampak berusia sekitar tiga puluhan. Keduanya melangkah mendekati Inspektur Ipus dan putranya, Dean.

    Hanya berselang kurang dari lima menit, sebuah mobil van kepolisian memasuki halaman parkir. Dua belas pria berseragam biru gelap dengan rompi anti peluru hitam yang dihiasi lambang Tri Brata berwarna emas berukuran besar di dada kanan dan lambang pancasila di dada kiri mereka tampak memanggul senjata M-16 yang dipasangi Scoope dan Silencer. Dua belas pria itu mengenakan helm berwarna senada dengan rompi mereka. Masker gas tampak mengalungi leher mereka.

    “Siap inspektur!” Wanita dan pria berbadan tegap itu memberi hormat kepada Inspektur Ipus.

    “Dari mana saja kalian?” Inspektur Ipus terlihat kesal dengan terlambatnya pasangan suami-istri yang merupakan anggota divisinya. Meski terlihat kesal, Inspektur Ipus cukup bersyukur karena ketiga anggota divisinya telah memenuhi panggilan tak resminya.

    “Maaf inspektur, kami harus mengantarkan putra semata wayang kami ke rumah Neneknya dulu,” Poi, wanita berblazer abu-abu menjelaskan alasan keterlambatan mereka.

    “Dia tidak membuat ulah lagi kan? Putra kalian itu?” Inspektur bertanya.

    “Tidak, inspektur,” Poi menjawab pertanyaan Inspektur Ipus. Wanita yang berhasil menyabet gelar juara lima tahun berturut-turut di ajang kejuaraan Karate Piala Kapolri ini memang memiliki keunikan pada namanya, entah salah pada waktu menuliskan akte atau memang bermaksud seperti itu, Poi memiliki nama lengkap yang cukup singkat; Poi Nem.

    Lain lagi dengan suaminya yang terpaut sepuluh tahun darinya. Pria berbadan tegap itu cukup terkenal sebagai jawara bela diri di kepolisian. Kendati di usianya yang sudah menginjak kepala empat, Kareditya Tambusius Ron, nama lengkap pria tersebut, mampu bergerak lincah, tangkas dan bertenaga. Bisa dibilang pasutri ini adalah petugas lapangan terkuat yang dimiliki kepolisian. Ipus mengkombinasikan keduanya, bisa dibilang Ipus memiliki pasangan paling berbahaya di pertarungan jarak pendek dalam divisinya.

    Mereka berdua memang pasangan paling tangkas dan berbahaya yang dimiliki kepolisian, namun keduanya tampak memiliki selera cukup buruk dalam penamaan. Seolah meneruskan jejak sang Ibu yang memiliki nama Poi Nem, putra semata wayang mereka yang tahun ini baru duduk di bangku SMU mereka namai dengan nama yang bisa dibilang unik; Mega Tambusius Ron, yang sering mereka singkat sendiri sebagai Mega T Ron.

    “Mengumpulkan mereka tidak mudah, Inspektur,” Kareditya menunjuk ke arah dua belas petugas dengan perlengkapan tempur yang kini berbaris rapi, menunggu instruksi.

    “Mereka akan sangat membantu, Kared,” Inspektur Ipus tersenyum.

    “Bukankah sebaiknya kita bergegas?” Dean mengingatkan mereka. “Lebih cepat kita sampai ke pulau itu, lebih cepat juga kita bisa menjemput para detektif muda itu.”

    Ipus menoleh ke arah putra semata wayangnya. Putra yang telah diberitahunya tentang banyak hal. Banyak hal yang mungkin sebaiknya tak diketahui oleh orang lain.

    “Kau benar, Dean,” Inspektur Ipus mengalihkan pandangannya ke arah kapal Pulau Dosa tidak jauh dari tempat mereka berada. “Mari kita jemput mereka.”

    Pak Agil yang tengah asyik memancing terkejut kala ia melihat Inspektur Ipus dan rombonganya naik ke geladak kapal. Pria tua beranjak dari duduknya, melempar sebatang rokoknya ke laut.

    “Itu hanya akan mencemari laut, Pak Agil,” Ipus berkomentar.

    “Bukankah perjalanan seharusnya besok? Kalian seperti hendak pergi perang,” Pak Agil mengomentari dua belas orang pasukan khusus bersenjata lengkap yang tengah menaiki kapal. “Kau juga bukan polisi yang biasanya, kemana dia?”

    “Kau mengenaliku, Pak Agil?” senyum terkembang di wajah keriput Ipus.

    “Tentu,” jawab Pak Agil. “Kau polisi yang lima tahun lalu membawa pasukan lengkap untuk mengatasi pembunuhan berantai itu,” Pak Agil balas tersenyum.

    “Ingatan yang sangat bagus,” puji Ipus. “Kami yang mengambil alih dari sini. Jadi, bisakah kita berangkat?”

    “Mudah kalau hanya berangkat,” jawab Pak Agil. “Tapi aku belum membereskan kamar dan menyiapkan bahan makanan, seharusnya besok pagi kami baru belanja untuk mempersiapkan perjalanan.”

    “Oh, kami tidak perlu semua itu,” Inspektur Ipus menanggapi ucapan Pak Agil. “Pastikan saja kita sampai ke Pulau Dosa secepatnya.”

    “Paling cepat besok pagi kita akan tiba di sana. Pilih saja kamar yang kalian suka,” Pak Agil menyanggupi permintaan Inspektur Ipus.

    Dean bergerak ke dak kapal, memandang halaman parkir pelabuhan yang sebentar lagi akan mereka tinggalkan. Satu yang tidak disadari oleh mereka semua di sana adalah keberadaan dua pasang mata di dalam mobil sedan BMW berwarna merah yang sedari tadi mengamati mereka semua.

    “Apa kita tidak perlu menghentikan mereka? Wise?” tanya Juna, pemuda yang saat ini duduk di kursi kemudi BMW merah itu.

    “Tidak perlu,” Wise Crow menggeleng, wajahnya terlihat tenang dan dalam, ekspresi yang sulit sekali dibaca. “Tetap saja kita akan tiba lebih cepat dari mereka, kan?” tambahnya kemudian.

    *_*_*

    Aryosh melangkahkan kakinya menuruni tangga beton yang cukup curam dengan sangat hati-hati. Enyas berjalan tepat di belakang Aryosh, pemuda gay yang ternyata bukan detektif diantara delapan pemuda-pemudi yang mengikuti pelatihan di Pulau dosa. Di belakang Enyas, Asri diikuti oleh Via. Sedang Rio memutuskan untuk berjalan di urutan paling belakang untuk menjaga punggung rekan-rekannya. Sesekali Rio melihat ke atas, ke arah lubang di samping piano yang menjadi pintu masuk mereka.

    Mereka berlima sampai ke lantai dasar ruang rahasia tersebut. Masing-masing menyorotkan senternya menyapu seisi ruangan. Dinding-dinding ruangan itu terbuat dari batu, ruangan itu terasa lembab.

    “Itu,” Via berkata saat lampu senternya menyoroti sebuah pintu kayu yang tampak tidak terawat.

    Enyas mendorong punggung Aryosh dengan senternya, memberi isyarat agar Aryosh maju lebih dulu ke arah pintu.

    “Sudah kubilang aku tidak tahu apa-apa soal ini,” Aryosh berkata. “Berhentilah menganggapku sebagai dalang dari semua keanehan ini.”

    “Saat ini, kami tidak punya orang lain yang berpotensi selain dirimu, Yosh,” Enyas menanggapi keluhan Aryosh. “Kami tidak punya pilihan selain memutuskan untuk tidak mempercayaimu.”

    Aryosh menghela nafas panjang saat mendengar tanggapan Enyas. Dengan terpaksa, pemuda gay berbadan kekar itu melangkah ke arah pintu dan memutar kenop pintu tersebut.

    Krieettt....

    Pintu terbuka, sebuah lorong panjang ada di balik pintu tersebut. Beberapa hiasan dinding berbentuk ular terpasang rapi di sepanjang lorong tersebut. Sebuah pintu lain terlihat di ujung lorong tersebut. Sebuah pintu berwarna merah. Aryosh melangkah masuk.

    “Sial!” Enyas mengumpat kecil sambil memalingkan wajahnya ke lantai di bawahnya.

    “Ada apa?” Asri bertanya pada Enyas yang tiba-tiba saja menghentikan langkahnya, membuat Asri yang berada tepat di belakangnya menabrak punggung Enyas. Untuk beberapa saat tak satupun dari mereka berdua yang menyadari siku tangan Enyas yang menekan payudara gadis berkulit eksotis tersebut.

    “Tidak, tidak apa-apa,” Enyas menggeleng dan kembali menatap ke Aryosh yang kini berbalik memandanginya. Enyas mengangkat sikunya dari payudara Asri saat menyadari sesuatu yang empuk dan kencang ada di ujung sikunya. “Maaf,” ujar Enyas setengah gugup.

    “Sudahlah,” Asri menjawab kalem sambil tersenyum.

    Seandainya saja yang berada tepat di belakang Enyas adalah Rio bukan Asri, mungkin ia sudah menceritakan apa yang membuatnya mengumpat. Umpatan itu datang dari rasa terkejut yang bercampur ketakutan. Terkejut karena melihat potongan-potongan tangan dengan darah yang masih menetes di pangkal potongannya merambat-rambat di dinding lorong yang tengah mereka lalui. Beberapa kepala dengan kulit wajah pucat, mata merah dan seringai menyeramkan berguling-guling di lantai lorong tersebut. Pemandangan mengerikan yang saat ini tidak ingin dilihatnya.

    Brakk!!

    Mereka berlima baru sampai di tengah lorong ketika terdengar suara keras dari arah mereka masuk. Rupanya bunyi itu adalah bunyi yang dihasilkan oleh pintu masuk mereka yang tertutup dengan kencang. Sesuatu yang janggal terjadi, Rio memicingkan matanya. Sedari tadi Rio merasakan dingin di tengkuknya, seolah ada angin kecil yang membelai tengkuknya. Tapi jelas tidak mungkin angin sekecil itu dapat menghempaskan daun pintu sekencang itu.

    “Aku akan memeriksanya, kalian lanjutkan saja, nanti aku menyusul,” ujar Rio sambil bergegas ke arah pintu masuk mereka.

    Langkah Rio terhenti saat ia melihat sesuatu, gumpalan asap halus berwarna hijau muda keluar dari ornamen dinding berbentuk ular yang ada di kedua sisi dinding. Bukan sesuatu yang terlihat baik.

    “Lari!” Rio berbalik ke arah rekan-rekannya yang juga tampak bingung dengan keadaan yang terjadi. “Lari! Cepat!” Rio kembali berteriak, ia bergegas berlari ke arah pintu masuk. Pintu masuk terlalu jauh untuk Aryosh, pria berbadan kekar itu memutuskan untuk berlari ke arah pintu merah. Melihat apa yang dilakukan Aryosh, Enyas dan Asri berlari mengikutinya, meninggalkan Via yang tampak bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Via menatap Rio yang berlari dan sempat tersandung, di sisi lain Aryosh, Asri dan Enyas sedang berusaha membuka pintu merah dan tampaknya mereka kesulitan. Beberapa detik berikutnya Via dapat merasakan semua seolah berputar, beberapa detik sebelum gadis berambut sebahu itu kehilangan kesadarannya.

    *_*_*

    Tik... tik...tik...

    Bunyi air yang menetes jatuh ke atas lantai batu membangunkan Rio dari ketidaksadarannya. Rio mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengembalikan pandangannya. Ia meringis saat merasakan nyeri di dalam kepalanya. Hal terakhir yang ia ingat adalah tersandung, lemas, sakit kepala sebelum kesadarannya hilang.

    Anak angkat Kapori Komang Mahendra itu beranjak berdiri dan memandang sekitarnya, dia berada di sebuah ruangan berbentuk persegi yang ukurannya tidak lebih besar dari tiga meter persegi. Tiga sisi ruangan itu adalah dinding batu yang lembab, satu sisi yang tersisa adalah jeruji besi. Sebuah lampu neon berpendar terang, tergantung di langit-langit ruangan. Ruangan ini tampak seperti ruang sel tahanan yang tak lagi terawat.

    Rio berjalan ke arah jeruji, mengenggam jeruji besi itu dengan kedua tangannya dan berusaha melihat ke luar jeruji. Hanya sebuah lorong memanjang di hadapannya, tanpa ada tanda-tanda kehidupan di sana.

    Sreek...

    Rio memalingkan wajahnya saat mendengar sesuatu bergerak. “Ada orang di sana?” Rio setengah berteriak.

    “Uhhuk!! Uohhok!!”

    Seseorang yang menempati sel di samping kanan Rio terbatuk-batuk. Tanda bahwa ada orang yang menghuni sel tersebut.

    “Siapa di sana?” tanya Rio.

    “Itu kau? Rio? Aku.. Uohhok!!” suara itu menjawab dan batuk sebelum menyelesaikan kalimatnya.

    “Edi?” Rio mengenali suara tersebut. Hal terakhir tentang Edi yang ia ingat adalah saat Edi batuk darah akibat seseorang meracuni bahan makanan mereka. “Bagaimana kau bisa ada di sini?”

    “Aku.. Uohhok!! Tidak tahu, begitu sadar aku sudah disini.. Uohhok! Huekk!!” Edi menjawab sembari terbatuk-batuk. “Kau sendiri?”

    “Aku tidak tahu!” Rio menjawab pertanyaan Edi.

    “Rio? Edi?” seseorang memanggil nama mereka berdua, kali ini datangnya dari sel sebelah kiri Rio.

    “Enyas? Kaukah itu?” tanya Rio kemudian.

    “Ya, bagaimana kita bisa ada di sini?” Enyas mengulangi pertanyaan yang sedari tadi tidak satupun dari mereka dapat menjawabnya.

    “Kalian disini?” sebuah suara terdengar menggema. Kali ini suara wanita. Suara itu kemungkinan berasal dari sel di sebelah sel yang dihuni oleh Enyas.

    “Asri??” tanya Enyas dan Rio nyaris bersamaan. Sedangkan Edi masih terbatuk-batuk.

    “Aku bersama Aryosh, dia tidak sadarkan diri,” Asri memberitahu yang lainnya. Gadis itu memutuskan untuk tidak menggambarkan keadaannya yang saat ini tanpa busana. Bahkan, dalam hati Asri memohon agar kesadaran Aryosh, yang kini terkulai di sel sempit bersamanya, tidak cepat kembali. Gadis berkulit eksotis itu tidak bisa membayangkan rasa malu yang akan menghinggapinya jika Aryosh melihatnya dalam keadaan telanjang. Meskipun ia tahu Aryosh seorang gay yang mungkin tidak akan mengganggunya.

    “Via terbaring di sel ku,” Enyas menimpali. “Ia masih belum sadar dan...”

    “Dan?” Rio menanyakan sisa kalimat Enyas yang belum selesai.

    “Dan dia tanpa pakaian,” ucap Enyas kemudian.

    Nguuiiiiiingggggg.....

    Sebuah suara terdengar kencang, terdengar seperti suara yang keluar dari dua microphone menyala yang didekatkan. Tinggi dan kencang, memberi rasa bising yang menyakitkan telinga.

    Clapp!!

    Seketika keadaan berubah menjadi gelap saat neon-neon yang menjadi penerangan mendadak padam. Enyas, Rio dan Asri terkejut dalam kegelapan. Tak satupun dari mereka berani bersuara, hanya suara batuk Edi yang tidak dapat ditahan.

    “Uohhok!! Uohhokk!! Siapa..?” Batuk itu seketika terhenti. Rio menempelkan telinganya di dinding agar dapat mendengar lebih jelas apa yang terjadi di ruangan sel Edi.

    Ngiiieek..

    Terdengar suara pintu jeruji yang terbuka dari ruangan sel yang dihuni oleh Edi. Diikuti dengan suara batuk Edi yang berulang-ulang.

    “Siapa kamu?! Uhhuk! Apa yang.... Uohhok!! LEPASKAN!! HEI!! Uohhokk!!”

    Rio mengernyitkan alisnya, sesuatu sedang terjadi di sel yang dihuni oleh Edi. Rio dapat mendengar suara langkah seseorang di sel tersebut.

    Dziing......

    Sesuatu mendesing, seperti suara mesin yang sedang dinyalakan. Rio memejamkan matanya, mencoba menerka apa yang menjadi asal suara itu.

    “Lepaskan! Uohhok!! Tidd... Aaaaaghhh!!”

    Jeritan Edi memenuhi koridor, terdengar hingga ke sel yang dihuni oleh Asri. Bunyi desingan mesin itu kini terdengar berbeda. Desingannya berubah menjadi suara desingan mesin yang sedang menggiling sesuatu. Teriakan-teriakan Edi terus terdengar di sela-sela bunyi desingan mesin tersebut, sebuah teriakan yang menunjukkan rasa sakit luar biasa yang tengah di dera sang pemilik suara. Sayup-sayup Rio dapat mendengar Edi memohon ampun, namun jeritan kesakitannya menyusul tidak lama kemudian. Untuk beberapa menit lamanya koridor dan ruang sel-sel diisi oleh erangan-erangan Edi, hingga erangan itu menghilang. Meninggalkan desingan mesin yang seolah terus menggiling. Beberapa menit setelahnya, desingan itu ikut menghilang, berganti dengan suara derap langkah.

    “Siapa disana?! Apa yang terjadi?! Hey! Edi!! Jawablah aku!!” Rio tidak bisa menahan dirinya untuk berteriak memanggil Edi. Namun tak ada jawaban dari sel yang dihuni oleh Edi.

    Clapp!!

    Lampu kembali menyala, Rio memandang ke ruang sel yang dihuninya.

    “Aaah!!”

    Jeritan kembali terdengar, kali ini asalnya dari sel yang dihuni oleh Asri dan Aryosh.

    “Asri?! Ada apa?” Enyas yang selnya berada tepat di sebelah sel Asri bertanya.

    “Tidak, tidak ada apa-apa, aku hanya terkejut,” jawab Asri yang kini memilih untuk meringkuk, menekuk kakinya ke perutnya dan menyilangkan kedua tangannya, mencoba menyembunyikan tubuh telanjangnya.

    “Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu terkejut,” jawab Aryosh yang rupanya telah sadar. “Kau tidak perlu menutupi tubuh telanjangmu, tidak akan berpengaruh padaku. Aku seorang gay, kau ingat?”

    Asri mendelik marah ke arah Aryosh. Kalimat Aryosh barusan sama saja dengan memberi tahu Rio dan Enyas bahwa saat ini ia sedang dalam keadaan telanjang bulat.

    “Apa yang terjadi Enyas? Rio? Bagaimana kita bisa ada disini?” pertanyaan lama itu kembali terdengar. Kali ini dari mulut Aryosh.

    “Kami sama bertanyanya dengan dirimu,” Enyas menjawab singkat. Ia menoleh ke belakang saat merasa sesuatu bergerak di belakangnya. Enyas melihat Via yang bergerak meringkuk ke sudut ruangan, berusaha menutupi tubuh telanjangnya. “Kau sudah sadar rupanya,” ujar Enyas sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.

    Tap... tap...tap...

    Suara derap langkah terdengar mendekat dari arah koridor. Rio menoleh ke arah suara, seseorang mengenakan jubah abu-abu tampak berjalan mendekat. Sosok itu membawa sebuah ember logam kecil di tangan kirinya, wajahnya terhalang hood berwarna senada dengan jubah longgar yang dikenakannya.

    “Siapa kau?!” Rio menghardik sosok berjubah itu.

    Tidak ada jawaban. Sosok berjubah itu berjalan tenang melewati sel yang dihuni oleh Rio sambil menenteng ember logamnya. Mendadak Rio merasa mual saat ia melihat isi dari ember tersebut. Sebuah potongan lengan, dua ruas jari yang kukunya telah dicabut dan sebuah kepale berambut pendek yang wajahnya menghadap ke dasar ember.

    “Anjing!!” Rio memaki. “Siapa kau bangsat!! Lepaskan kami!!” Rio mendorong-dorong jerujinya dengan penuh tenaga. Seolah berharap jeruji itu bisa lepas begitu saja.

    Sosok berjubah itu berjalan melewati sel yang dihuni oleh Enyas. Rio dapat melihat tangan Enyas terjulur, berusaha untuk menggapai ujung jubah abu-abu namun gagal. Koridor itu cukup lebar sehingga tangan Enyas tak sampai.

    Suara dentingan jeruji besi terdengar saat sosok berjubah itu melewati sel yang dihuni oleh Asri dan Aryosh. Sepertinya Aryosh berusaha mendorong jatuh jeruji itu dengan tenaganya. Sayang sekali tenaga gay berbadan kekar seperti Aryosh masih tidak cukup untuk menjatuhkan jeruji tersebut.

    “Lepaskan kami bangsat!!” Aryosh mengumpat. Sebuah umpatan yang rupanya tidak cukup untuk menarik perhatian sang sosok berjubah. Sosok itu berlalu dalam diamnya.

    “Kau lihat itu, Enyas?” Rio berkata kepada Enyas yang tertahan di sel sebelahnya. “Kita harus keluar dari sini.”

    “Aku tidak memiliki apa-apa,” Enyas menjawab. “Apa kau punya alat yang bisa membuka jeruji ini?”

    “Tidak,” jawab Rio singkat.

    “Jadi kita akan mati di sini?” tiba-tiba saja Via menyahut. Suara gadis itu bergetar, menggambarkan ketakutan dan keputus-asaan yang kini menghinggapinya.

    “Kau tidak melihat apapun di sini Enyas?” Rio bertanya. “Hantu atau apapun yang bisa kita minta pertolongan?”

    “Tak satupun terlihat,” Enyas menjawab. “Lagipula butuh jin tua yang memiliki ilmu cukup tinggi untuk bisa membantu mengambilkan kunci. Untuk menyenggol benda saja mereka butuh energi cukup besar!”

    “Dia kembali,” Aryosh memberitahu yang lainnya saat melihat sosok berjubah itu terlihat berjalan ke arah mereka sambil membawa sebuah jeriken. Sosok itu tampak menyiramkan isi jeriken tersebut ke dinding dan lantai yang di laluinya. “ini buruk...” ujar Aryosh.

    “Kenapa?” Enyas bertanya.

    “Sepertinya dia akan membakar kita semua hidup-hidup,” Aryosh berkata getir.

    *_*_*

    “Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Juna bertanya sembari memutar-mutar rubiknya tanpa semangat. Menyiratkan kebosanan yang kini melandanya.

    “Tidak ada,” jawab Wise Crow sebelum menghisap cerutunya. “Kita hanya menunggu.”

    “Puh,” wajah Juna terlihat kurang senang. “Seharusnya aku tinggal saja di ruang cafe dan menonton dengan santai. Pasti akan lebih menarik,” keluhnya sambil memandang langit-langit goa.

    “Kau yang memutuskan untuk ikut, kan?” Wise Crow menanggapi keluhan Juna dengan santai. “Kau sendiri yang mengatakan ingin mengucapkan selamat pada tokoh utama dalam pertunjukan kali ini.”

    “Aku tidak yakin kau bisa mengoperasikan kapal selam mini buatanku dengan baik,” Juna menimpali. “Ada banyak teknologi baru yang kutanamkan di kendaraan ini, sedikit sulit untuk mengoperasikannya. Seandainya saja aku tahu kau tidak perlu persenjataan mungkin aku memilih untuk tidak ikut.”

    “Aku bukan Agen tipe A. Senjata terbesarku adalah waktu, kan?” nada Wise Crow masih terdengar santai dan seolah tanpa beban. “Bersabarlah sedikit, Director.”

    *_*_*

    Rio mendorong jeruji selnya kuat-kuat saat sosok berjubah itu melewati selnya seraya menyiramkan isi jeriken ke dinding dan lantai ruangan.
    “Jawab aku bangsat!! Apa kau tidak bisa bicara?! Hey!! Bangsat!!” Rio terus memaki sosok berjubah tersebut. “Rupanya kau hanya pengecut yang bisu, hah?!” Rio belum berhenti memaki, berharap kalimat-kalimatnya dapat menarik perhatian sosok berjubah tersebut.

    Dan rupanya itu berhasil. Sosok berjubah itu kini berbalik menghadapnya, diam seolah memandangi Rio yang masih saja mendorong-dorong jeruji selnya. Rio tidak dapat melihat wajah yang tersembunyi sempurna di bawah hood lebarnya, namun Rio tahu, sosok itu kini tengah mengamatinya.

    “Kau punya nama? Hey, pengecut?!” Rio terus berusaha memprovokasi. Ia melihat tangan sosok berjubah yang terbalut sarung tangan itu menggenggam.

    “Blood of roses..” sosok berjubah itu bicara lirih sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya.

    “Kau... Nurul??” Enyas yang samar-samar mendengar suara lirih sosok itu bertanya. “Nurul? Apa yang kau lakukan? Hey!!” Enyas terus bertanya, namun sosok berjubah itu tidak menggubrisnya, tetap menyiramkan isi dari jeriken yang dibawanya.

    Dan mereka semua terdiam kala sosok itu melempar jeriken kosong di tangannya. Sosok itu diam untuk beberapa saat, sebelum mengeluarkan pemantik api, menyalakan pemantik tersebut dan melemparnya ke arah jeriken.

    Api menyala dan menjalar dengan cepat mengikuti jalur siraman sosok berjubah tersebut. Berkobar dengan cepat menjilat-jilat dinding koridor. Rio menoleh ke arah sosok berjubah itu namun sosok itu tak lagi terlihat. Udara di koridor itu kini terasa memanas. Rio dapat mendengar sesenggukan yang mungkin berasal dari Via atau Asri yang kini menangis. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan untuk menenangkan yang lainnya. Ia tak bisa membuka jeruji yang menahannya.

    Rio menyandarkan punggung dan kepalanya ke arah dinding, memejamkan matanya dan menarik nafas panjang. Sebuah senyum sinis muncul di raut wajahnya, senyum ketidakpercayaan, dia benar-benar tidak menyangka hidupnya akan berakhir seperti ini. Terjebak di sebuah pulau, di sebuah sel dan terpanggang hidup-hidup. Saat ia mulai memasrahkan semuanya, saat itulah hidungnya mengendus aroma bunga sedap malam yang cukup menusuk. Rio membuka matanya dan terkejut melihat seseorang melemparkan besi bundar dengan banyak kunci tergantung pada besi bundar tersebut. Rio mengenali sosok tersebut.

    “Nenek?” Rio mengernyitkan alisnya dan mendekat ke jeruji. “Bagaimana bisa?”

    “Diamlah anak muda,” ujar Nenek tersebut. “bebaskan dirimu dan bantu teman-temanmu keluar dari sini. Cepatlah, ikuti tanda kapur yang akan aku tuliskan ke dinding agar kalian tidak tersesat. Cepatlah! Waktu kita tak banyak,” Nenek itu beranjak pergi meninggalkan jeruji.

    Rio tahu betul, ia tidak memiliki banyak waktu untuk berpikir. Dengan sigap Rio meraih rangkaian kunci dan mencobanya satu persatu.

    “Apa yang terjadi Rio, siapa Nenek itu?” terdengar suara Enyas bertanya.

    “Kau juga melihatnya?” Rio bertanya balik.

    “Tentu saja!” jawab Enyas.

    Cklek!

    Rio berhasil menemukan kunci yang cocok, detektif muda itu mendorong pintu jerujinya dan bergegas untuk membuka sel yang menahan rekan-rekannya. Ia memulai dengan membuka pintu sel yang dihuni oleh Aryosh dan Asri mengingat sel yang mereka huni adalah sel yang terjauh dari tempatnya berada saat ini.

    Hawa ruangan sudah sangat panas, Rio dapat merasakan telapak kakinya ikut memanas. Dengan konsentrasi penuh Rio mecoba satu-persatu kunci di tangannya, api berkobar semakin besar, keadaan sudah benar-benar genting.

    Cklek!

    Tidak ada waktu yang bisa dibuang, segera setelah berhasil membuka pintu sel Aryosh dan Asri, Rio beralih ke sel tempat Enyas dan Via ditahan. Asri memekik tertahan saat gadis berkulit eksotis itu merasakan panas di telapak kakinya. Aryosh yang melihat hal itu segera mengambil tindakan yang cukup gentleman. Direngkuhnya tubuh telanjang Asri dan digendongnya dengan kedua tangannya yang kekar. Asri cukup terkejut karena tidak menduga Aryosh akan menggendongnya.

    Cklek!

    Pintu sel terakhir terbuka. Enyas melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Aryosh, menggendong Via. Namun karena tenaga Enyas tak sebaik Aryosh, maka Enyas hanya menggendong Via dengan punggungnya. Payudara telanjang gadis itu terasa menekan punggung Enyas.

    “Kemana kita?” Aryosh bertanya pada Rio.

    “Kesana,” Rio menunjuk ke arah perginya sang Nenek. “Ikuti aku, kita ikuti tanda dari kapur.”

    Rio sempat menoleh ke arah sel yang dihuni oleh Edi, tampak potongan-potongan tubuh yang di cincang dengan sangat brutal tergeletak tak berbentuk di lantai sel tersebut. Untuk sejenak, Rio bergidik ngeri membayangkan apa yang telah terjadi kepada Edi. Edi memang bermulut besar, sedikit sombong dan menyebalkan, namun tetap saja terlalu tragis jika ia harus meninggal secara terpotong-potong tak beraturan. Rio menghentikan lamunannya dan bergegas menyusuri koridor, menghindari jilatan-jilatan api di sepanjang koridor tersebut. Enyas dan Aryosh yang masing-masing menggendong Via dan Asri mengikuti Rio hingga ke mereka berhenti di sebuah persimpangan. Rio melihat tanda panah yang ditulis menggunakan kapur di dinding.

    “Lewat sini,” ucap Rio kemudian.

    Mereka terus menyusuri koridor yang berkelok dan bercabang-cabang, ibarat sebuah labirin bawah tanah raksasa. Rio dapat melihat goresan kapur di dinding itu semakin menipis, menandakan kapur yang digunakan oleh sang Nenek sudah semakin sedikit. Satu yang mengganjal di benak Rio adalah bagaimana mungkin mereka belum bisa menyusul sang Nenek, padahal mereka berjalan cukup cepat dan tidak berhenti sekalipun.

    Dan perjalanan mereka berakhir di sebuah pintu berwarna lorong buntu.

    “Tidak mungkin!!” Rio mendekat ke dinding batu yang menjadi ujung perjalanan mereka. Rio meraba-raba dinding tersebut dengan kedua tangannya, berharap menemukan sebuah tombol atau apapun yang bisa membuat dinding itu terbuka. “Kenapa jalan buntu?!”

    “Kau sedang menginjak anak kecil, Rio,” Enyas berkata sambil mengatur nafasnya. Dia masih menggendong Via yang saat itu tanpa busana.

    “Hah?” Rio bergerak mundur, untuk beberapa saat tadi Rio tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Enyas sebagai ‘anak kecil’. Untuk beberapa saat Rio benar-benar lupa bahwa Enyas dapat melihat makhluk halus.

    “Ke atas,” ujar Enyas kemudian. “Anak kecil itu menunjuk ke atas.”

    Rio memandangi langit-langit di atasnya yang memang tampak lebih pendek ketimbang langit-langit di sepanjang lorong yang mereka lewati. Rio mengangkat kedua tangannya dan merasakan sesuatu yang dapat diangkat. Anak angkat Kapolri itu memusatkan tenaganya di telapak tangan dan mulai mendorong batu yang berada di atasnya.

    Sinar matahari segera masuk dan menerangi ruangan ketika batu di atas Rio bergeser. Rio melompat naik dan menemukan dirinya berada tidak jauh dari pondok kayu di dekat air terjun. Rio berbalik untuk membantu rekan-rekannya yang lain.

    “Dimana kita?” tanya Via yang kini menutupi bagian bawah tubuhnya dengan kaos yang baru saja di berikan oleh Enyas. “Terima kasih, Nyas,” Via mengucapkan terima kasih. Enyas hanya tersenyum dan untuk beberapa saat ada raut wajah yang menggelikan muncul di wajah Enyas.

    Aryosh kini bertelanjang dada, memberikan kaosnya pada Asri yang kini menyilangkan tangannya, menutupi payudaranya yang cukup besar, padat dan menantang. Seandainya saja mereka dalam keadaan normal, mungkin saja akan terjadi pesta seks diantara mereka, dengan Aryosh sebagai pengecualian.

    Rio memandang matahari yang sudah terlihat condong. Dari udara yang terasa panas, Rio menyadari bahwa hari telah menjelang sore. Itu artinya mereka telah tidak sadarkan diri dalam waktu yang cukup lama.

    “Kita harus kembali ke mansion,” ujar Rio kemudian.

    “Tidak setuju,” Enyas menolak gagasan Rio. “Menurutku kita harus sembunyi, sosok berjubah itu mungkin masih ada di mansion.”

    “Kita sergap dan kita bekuk dia,” Aryosh menanggapi. “Aku akan menghajarnya sepuasku sebelum menyerahkannya ke kepolisian,” ujarnya geram.

    “Hei, lihat!” Asri menunjuk ke arah hutan, dimana ia melihat segerombolan orang bergerak ke arah mereka.

    “Sial! Kita harus sembunyi!” Enyas terlihat panik. “Ayo kita pergi dari sini!”

    “Kurasa tidak perlu,” Rio mengangkat satu tangannya, memberi isyarat agar mereka semua tidak panik. “Gerakan mereka terlalu terorganisir, orang-orang ini kemungkinan adalah militer atau orang kepolisian. Lagipula, seorang psikopat seharusnya bekerja sendirian.”

    “Aku masih belum percaya sosok itu adalah Nurul” Enyas menimpali. “Tapi suara itu jelas sekali, itu suara Nurul.”

    “Ada orang di sana?” terdengar seseorang diantara gerombolan itu berteriak.

    “Kami disini!!” Via berteriak sembari melambai-lambaikan tangannya, membiarkan bukit kembarnya berayun bebas. “Kami detektif yang ikut dalam pelatihan!”

    “Inspektur, mereka di sini!” salah seorang dari gerombolan itu kembali berkata sebelum mereka bergerak serentak mendekat ke air terjun. Rio bersyukur saat mengenali pria tua diantara gerombolan pasukan bersenjata lengkap. Inspektur Ipus, salah seorang aparat yang sering muncul di televisi karena prestasinya dalam memecahkan banyak kasus kriminal yang tak terpecahkan.

    “Kalian tidak apa-apa?” tanya Inspektur Ipus seraya mendekat. “Kemana yang lainnya?”

    “Mati,” Asri menjawab lirih. “Nurul membunuh mereka.”

    “Nurul? Dia salah satu detektif yang lulus uji seleksi kan? Aku sudah membaca data tentang kalian semua. Hanya data tentang seorang pemuda bernama Aryosh yang tidak ada karena ia tidak lulus uji seleksi,” Inspektur Ipus memandang ke arah pemuda berbadan kekar yang bertelanjang dada. “Kau yang bernama Aryosh, kan?” tanya Inspektur Ipus. Aryosh mengangguk menjawabnya.

    “Beri nona-nona ini pakaian,” Dean yang datang bersama pasukan bersenjata memberi perintah kepada para pasukan khusus kepolisian. “Ayah, sebaiknya kita menanyakan apa yang terjadi setiba di tempat yang aman,” ujar Dean kemudian.

    “Bawa mereka ke kapal,” perintah Inspektur Ipus.

    *_*_*

    Juna mengangkat kedua tangannya untuk meregangkan tubuhnya. Pemuda yang masih duduk di bangku kelas satu SMU itu menguap bosan.

    “Kau benar-benar membuatku bosan, Pak Tua,” ujarnya pada Wise Crow yang sedang memotong ujung cerutu barunya. “Jangan sampai aku membunuhmu karena kebosanan.”

    “Kupikir kau akan menyukainya,” jawab Wise Crow. Tidak jelas apa yang dimaksudkan oleh pria tua itu tentang bagian mana yang akan disukai oleh Juna, bagian kebosanan atau bagian dimana Juna membunuhnya. “Seorang penjaga yang sadis, brutal dan patuh. Bukankah itu yang kau inginkan sebagai penjagamu, Director?”

    “Ya, kau benar,” Juna kembali memutar-mutar kubus rubik 50x50 nya yang entah sudah berapa kali diselesaikan lalu diacaknya kembali. “Untuk itu kan aku menghabiskan dana cukup besar dari Association demi menciptakan pulau ini? Kita melatih seorang psikopat di pulau ini, membiarkannya membunuh sesuka hatinya sebelum melatihnya kembali untuk menahan diri. Itu semua ide yang brilliant Wise.”

    “Dan penjagamu telah tiba,” Wise Crow tersenyum saat melihat sosok berjubah keluar dari balik kegelapan goa. Pria tua itu berdiri untuk menyambut sosok berjubah tersebut.

    “Kau datang terlalu cepat!” ujar sosok tersebut.

    “Itu karena kami tidak ingin kehilanganmu,” Wise Crow mengeluarkan pemantik dari saku jasnya dan menyulut cerutunya. “Sebaiknya lepaskan pengubah suara dari lehermu, cukup menggelikan mendengar suara gadis bernama Nurul itu keluar dari dirimu, Edi.”

    Edi, pemuda yang mengenakan jubah longgar berwarna abu-abu itu menurunkan hood yang menutupi wajahnya dan menarik lepas sebuah alat berbentuk segitiga yang merupakan alat perubah suara. Edi melemparkan alat itu ke arah Juna yang dengan sigap menangkap alat buatannya tersebut.

    “Aku sudah menghabisi dua gadis lesbian itu persis seperti yang tertulis dalam case,” ujar Edi seraya menanggalkan jubahnya. “Racun yang kau berikan itu benar-benar membuatku batuk darah! Sialan!”

    “Kita harus memberikan pertunjukan yang terbaik, kan?” Wise Crow menimpali ucapan Edi.

    “Kau datang terlalu cepat, aku masih ingin bermain-main dengan empat orang yang lain. Kau bilang aku bebas melakukan apa saja selama tidak membunuh mereka. Aku sudah membayangkan betapa menyenangkan memotong kedua puting pelacur bernama Via, mengiris sebagian pantat pria homo, mengiris perut gadis bernama Asri hingga rahimnya sedikit robek dan pasti sangat mengasyikkan mengiris pelan-pelan lidah detektif hebat bernama Enyas itu!. Sirene panggilanmu membuyarkan semuanya!!” Edi tampak kesal karena merasa kesenangannya terganggu oleh sirene yang dibunyikan Wise Crow.

    “Kau lebih baik dari pendahulumu, Edi. Menahan diri untuk tetap mematuhi case adalah hal utama agar kau tetap bisa bertahan di Association. Pendahulumu? Ia bertindak berlebihan dengan membunuh terlalu banyak orang di luar target. Dan kami menggantungnya di rumahnya karena hal tersebut. Kerja bagus, Edi, kau layak menerima codename-mu.”

    “Dan kapan aku akan menerima codename itu? Kapan aku dapat ijin untuk menghabisi pemuda yang kau bilang memiliki Blood of Roses itu?” Seringai jahat terkembang di wajah Edi.

    “Kurasa kau akan kesulitan menghabisi Blood of Roses bahkan jika aku mengijinkannya,” Wise Crow tersenyum. Sebuah senyum sombong yang memuakkan.

    “Bagaimana kalau kita coba buktikan saja kata-katamu itu?” tantang Edi.

    “Tidak, tidak,” Wise Crow menggeleng. “Mulai sekarang, kau tidak hanya akan mendapat codename sebagai agen tipe A. Tapi kau juga akan bekerja secara pribadi untuknya. Sama seperti Deadly Orchid,” Wise Crow menunjuk ke arah Juna.

    “Dia?” Edi mengernyitkan alisnya. “Aku harus bekerja pada anak kecil yang menjadi asistenmu? Yang benar saja!”

    “Jaga bicaramu, psycho,” Juna tampak tersinggung. “Kau sedang bicara dengan seorang Director.”

    “Dia? Director Association?” Edi tampak tidak percaya.

    “Director No. 6 tepatnya,” Wise Crow membuang cerutunya yang masih menyala ke laut. “Sekarang naiklah ke dalam kapal dan kita pergi dari sini. Welcome aboard, Mr. Edi... mungkin sebentar lagi aku akan memanggilmu Hard Bougenville,” ujar Wise Crow seraya tersenyum lebar.

    *_*_*

    Rio menghisap rokoknya, memandang ke arah rumah di dekat dermaga. Dia baru saja selesai memberikan keterangannya tentang apa yang terjadi pada mereka selama di Pulau Dosa. Hampir tidak ada hal yang tidak ditanyakan oleh Detektif Dean sepanjang interogasi. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia berhadapan dengan seseorang yang seolah mampu membaca pikiran sekaligus membuatnya mengingat semua detail kejadian yang ia alami hingga kejadian terkecil sekalipun.

    “Hari yang berat, Nak?” tanya Pak Agil yang datang dan ikut menyulut rokok tepat di sebelah Rio. “Siapa sangka tragedi lima tahun yang lalu bisa terulang kembali.”

    “Ya, itu mengerikan,” ujar Rio sambil menghembuskan asap dari hidung dan bibirnya. “Tapi kami harus berterima kasih pada Nenek, seandainya saja Nenek tidak datang membantu, mungkin kami sudah terpanggang di sana, bisa tolong sampaikan terima kasihku kepada Nenek? Aku ingin menyampaikannya langsung tapi aku tidak menemukannya di dalam rumah. Sepertinya beliau sedang bersembunyi entah dimana.”

    “Nenek?” Pak Agil memandang heran ke arah Rio. “Ada Nenek di pulau ini?” tanyanya lagi.

    “Nenek,” Rio mencoba menegaskan ucapannya. “Ibu tiri anda? Beliau yang membawakan kami kunci sel saat kami hampir terpanggang. Beliau juga yang menuliskan petunjuk menggunakan kapur agar kami bisa keluar dari labirin bawah tanah yang menyesatkan itu!”

    “Jangan bercanda, Nak!” wajah Pak Agil tampak serius dan menyeramkan. “Ibu tiriku telah meninggal lima tahun yang lalu,” ujar Pak tua pemilik kapal Noda Dosa itu dengan mimik serius.

    *_*_*

    Rio membuka pintu rumah itu dengan sangat hati-hati, keadaan rumah itu sama gelapnya dengan saat terakhir Rio berkunjung untuk melihat keadaan sang Nenek. Aroma bunga sedap malam masih tercium di ruangan tersebut, posisi kursi goyang masih tetap sama. Di atas kursi goyang tersebut tampak rajutan yang belum selesai dan sebuah bola benang wol yang tersambung dengan rajutan tersebut. Rio memberanikan diri untuk melangkah mendekat.

    Klontang!!

    Langkah Rio terhenti saat kakinya menyandung sesuatu hingga terlempar. Rio menyalakan senter untuk melihat benda apa yang tanpa sengaja tersandung olehnya. Sebuah asbak berbahan logam tampak tertelungkup di lantai akibat sandungan kaki Rio, abu rokok dan beberapa puntung rokok berhamburan di sekitarnya. Rio berjongkok dan mengambil sebuah puntung rokok dan memperhatikannya dengan seksama.

    Puntung rokok itu berwarna hitam dengan gambar mawar putih pada filternya.

    TAMAT

Pulau Dosa, Pada: Minggu, Agustus 02, 2015
Copyright © 2015 CERITA DEWASA Design by bokep - All Rights Reserved