********
Suasana café itu tampak lenggang, selain aku hanya ada sepasang
kekasih yang duduk berdempetan, bahkan berpelukan, seakan bila mereka
terpisah sedikit saja ada sebagian dari mereka yang mati. Mereka saling
tatap dengan mesra, dengan pandangan yang membuatku iri setengah mati.
Aku hanya bisa mengaduk banana milkshake pesananku. Gadis pujaanku
akhirnya tiba, ia memandang ke sekeliling isi café hingga akhirnya ia
melihatku di meja sudut, senyum indah langsung merekah di bibirnya yang
mungil ketika ia berjalan menghampiriku.
“Aduh sori telat, biasa lalu lintas Jakarta. Kamu nunggu lama?”
Pipinya merona merah dan nafasnya sedikit memburu, aku tahu ia
berjalan terburu-buru, ia tidak suka membuat seseorang menunggu, apalagi
aku.
“Nggak kok, baru juga dateng. Jadi udah kepikiran mau beli apa?” kataku sambil menyedot milkshake.
Hari itu ia memakai rok jeans yang cukup pendek,dengan tank top warna biru yang dipadu dengan jaket.
“Kayaknya beli jam tangan aja. Kan pas banget tuh buat hadiah ulang tahunnya Rindra” wajah cantiknya kembali tersenyum.
Nama gadis itu adalah Rani, usianya 21 tahun. Orang tuanya dari Jawa
tulen, tapi kulit Rani amat terang dan logat Jawa sama sekali tidak
terdengar dari nada bicaranya. Meski gaya bicaranya amat lemah lembut
dan sopan yang mengingatkanku akan putri keraton. Apa ia cantik? Wow
banget. Kecantikan yang bisa membuat Rama melupakan Shinta sekalipun.
Apa tubuhnya indah? Sangat. Bentuk tubuh seperti miliknya akan
menginspirasi para pelukis pemuja keindahan alam untuk terus
menggoreskan kuasnya.
Apa semua itu yang membuatku jatuh cinta padanya? Bukan, aku jatuh
cinta padanya karena takdir yang mengharuskanku. Takdir yang memaksaku
untuk satu kampus dan bersahabat dengannya. Takdir pula yang memaksaku
untuk selalu melihatnya kemanapun mataku memandang. Kurasa takdir pula
yang membisikan nama Rani ditelingaku dan menitipkan asa dihatiku.
“I love you…” kataku perlahan, tapi cukup untuk terdengar olehnya.
Ia tersenyum cantik sekali. “I Love you too” bisiknya perlahan.
Entah apa yang membuatku jatuh cinta kepadanya. Mungkin caranya
mengernyitkan hidung jika sedang bosan, mungkin selera humornya, atau
sikap tubuhnya ketika aku sedang berbicara dengannya (seakan tidak ada
hal yang lebih menarik baginya selain mendengarkan lanturanku yang tidak
jelas juntrungannya), atau malah caranya mengibaskan rambut ketika
kegerahan. Aku tidak tahu, dan juga tidak peduli. Ketika aku pertama
kali bilang terus terang bahwa aku mencintainya, Rani melihatku dengan
pandangan aneh, lalu ekpresi kebingungan muncul di wajahnya. Ia pun lalu
berjalan pergi tanpa bilang apa-apa. Keesokan harinya kami kembali
bertemu di kampus, aku tersenyum jengah, ia juga. Aku mendekatinya dan
ia tidak berjalan pergi.
Kami tidak pernah berbicara tentang status hubungan kami, kami
biarkan mengalir begitu saja seperti seharusnya. Kami berbicara melalui
mata, bertukar pikiran melalui sentuhan, dan melebur jiwa kami hanya
dengan senyuman. Tanpa perlu membuang nafas dan menggetarkan
tenggorokan. Kami tahu bahwa meskipun kami tak bisa bersama, hanya
simfoni namaku yang bergema di hati Rani, dan hanya lukisan Rani yang
tergambar di hatiku.
Rani sudah memiliki seorang pacar, namanya Rindra. Ia tampan, gaul,
dan putra seorang pengusaha kaya raya yang diragukan kehalalan sumber
penghasilannya. Menurutmu Rindra kah yang menyebabkan aku dan Rani tidak
bisa bersatu? Bukan…kami tidak bisa bersatu juga karena takdir, takdir
yang memaksaku lahir dari rahim perempuan Tionghoa, takdir yang
memaksaku memiki dua nama yang salah satunya adalah Lena Dewanti, dan
takdir yang memaksaku terlahir dengan payudara dan bukannya penis.
Sebelum bertemu dengannya aku adalah seorang gadis yang “normal”,
menjerit histeris ketika melihat boyband idolaku, tergagap ketika harus
mengobrol dengan lelaki keren dan ganteng, dan memiliki impian untuk
menikah dan menjadi seorang ibu. Dan segalanya belum berubah. Aku bukan
pecinta kaum sejenis, aku mencintai Rani. Bukan karena ia perempuan,
tapi karena ia adalah Rani, karena memang aku tidak bisa tidak
mencintainya. Masyarakat itu egois, keras kepala, dan tanpa ampun.
Segala yang ia pandang tak sesuai dan tak ia sukai, akan ia gilas sampai
habis. Dikecam,dihina, dipermalukan, sampai akhirnya dibasmi, adalah
nasib bagi mereka yang berani berdiri menentang masyarakat dan berteriak
“Inilah aku!” Jadi aku dan Rani merunduk dalam-dalam, hidup dengan
topeng kepalsuan menutupi wajah kami yang sebenarnya, dan pura-pura
mengikuti dogma yang menghimpit hidup kami, dan menciptakan “seragam”
yang tak bisa kami lepas selamanya. Tapi kami tidak sepenuhnya menyerah,
sebab setiap kali lampu sorot masyarakat itu melewati kami, kami pun
melepas topeng masing-masing dan menikmati hidup seperti yang dimaksud
oleh takdir.
“Perempuan itu diciptakan untuk laki-laki! Bukan untuk lesbi!”
seseorang pernah berkomentar didepan kami, dan kami saling bertukar
senyum menertawakan kebodohannya.
“Yuk kita berangkat. Ntar abis belanja, kita jadi nonton kan?” katanya memutus lamunanku.
Aku mengangguk dan kamipun beranjak.
********
Ada sesuatu dari kegelapan bisokop yang selalu membuatku tenang dan
tentram. Mungkin karena ditengah-tengah kegelapan itu, aku bisa menjadi
diriku yang sebenarnya, tanpa ada yang menghakimi dan menotok jidatku
sambil bilang “Pendosa!”. Aku sudah lupa film apa yang waktu itu kami
tonton. Yang kuingat adalah kami berdua saling berpegangan tangan dengan
erat. Aku meletakkan tanganku ke pahanya yang tak tertutup. Dan
beberapa menit kemudian aku menyelusupkan tanganku di antara kedua
kakinya. Rani bergerak dan secara perlahan mengusapkan tangannya ke
bagian dalam pahaku. Kulepaskan desahan kecil ketika Rani menemukan apa
yang diinginkannya. Sementara kami berpura-pura menonton film,
kumain-mainkan rabaanku di gundukan bukit yang masih tertutup celana
dalam itu. Tanganku menyusuri belahannya dan kugosok pelan sampai terasa
celana dalam itu sedikit basah, sementara ujung jari Rani bergeser naik
dan turun di bagian yang sama dari celana dalam milikku, mendorong kain
yang tipis itu ke dalamku. Akupun membalasnya dengan menyingkapkan
bagian depan celana dalamnya dan menyelipkan dua jariku ke dalam
vaginanya. Kudorong lembut melaluil bibir vaginanya yang mungil, terasa
benar-benar hangat dan lembut di dalam dan aku bisa merasakan
otot-ototnya berkontraksi seakan memijat perlahan jariku. .Tidak butuh
waktu lama sebelum kami berdua mulai kehausan dan dahaga akan satu sama
lain. Kami mulai bernafas kencang dan berat.
”Len, kita pulang sekarang yuk” kata Rani dengan nafas sedikit memburu.
“Ayo”, bisikku balik didekat telinganya, sedangkan hidungku menghirup aroma tubuh Rani yang segar.
“Ayo”, bisikku balik didekat telinganya, sedangkan hidungku menghirup aroma tubuh Rani yang segar.
Kugenggam tangannya dan menariknya keluar dari bioskop. Kami sudah
tidak peduli pada sisa film yang belum kami tonton itu. Mobilku berjalan
menembus lalu lintas Jakarta yang padat merayap, serasa seabad rasanya
sebelum kami akhirnya sampai kerumah Rani. Begitu sampai dan memarkirkan
mobilku di carport, kami praktis berlari ke kamar Rani, benar-benar tak
sabar untuk melanjutkan perbuatan yang terpaksa kami tinggalkan.
Untunglah seperti biasa rumahnya kosong, kecuali dua pembantunya yang
seperti biasa tinggal di belakang. Begitu kami memasuki kamar, Rani
langsung mengunci pintu kamar itu. Dengan tidak sabar, aku menarik
tangannya dan mengajaknya duduk dipinggir tempat tidurnya. Kami pun
duduk saling berhadapan di atas ranjang, wajah amat berdekatan. Dengan
segera, aku memagut bibir Rani yang merekah di depanku. Lidahku
menyelusup melalui celah mulutnya yang terbuka dan lidahnya
mempermainkan lidahku, mengulumnya dengan lembut. Aku pun membalas
mengulum lidahnya dengan hangat. Tanganku perlahan-lahan merayapi
permukaan pahanya, yang lembut, dan Halus, dengan sebuah gerakan yang
indah Rani menopangkan kedua tangannya kebelakang, Dua bukit didadanya
yang membusung bergerak turun naik mengikuti Irama nafasnya seolah-olah
sedang mengundangku untuk segera menikmati isinya , dibalik kaus ketat
yang dipakai olehnya.
Untuk sesaat aku menarik kepalaku dan memandangi wajah rani,tanganku
membelai rambutnya dengan lembut, kemudian merayapi pipinya yang merona
kemerahan, aku mencoba memikirkan sebuah sensasi kenikmatan yang baru
sedikit saja aku cicipi. Terasa sebuah perasaan aneh mengalir di sekujur
tubuhku saat lidah kita saling bersentuhan. Apakah ini yang dinamakan
cinta? Ataukah ini nafsu birahi? Aku tidak tahu. Aku cuma orang bodoh
yang terombang-ambing oleh gelombang yang bergelora didalam Hatiku, I
cannot even separate love from lust.
Aku kembali mendekatkan bibirku pada bibirnya yang sedikit merekah
terbuka, dengan lembut kukecup bibirnya yang merekah sedikit terbuka,
Kuluman-kuluman bibir kami yang lembut membuat nafas kami semakin berat,
kami berdua semakin sulit untuk mengendalikan desahan-desahan nafas
kami. Sementara mulutku masih terus melumat bibirnya yang ranum,
tanganku mulai meluncur ke bawah ke arah dada Rani. Aku menyingkapkan
kaus ketat yang ia pakai ke atas, dan Rani pun meliukkan tubuhnya sambil
menarik kaus ketatnya hingga terlepas melalui kedua tangannya,
membukanya hingga lepas. Ia juga melepaskan kait bra yang ia pakai, dan
membiarkanku menarik bra hitam itu hingga lepas dari tubuhnya. Tampaklah
dua bukit indah mempersona di dadanya, membusung menantang, amat indah
kalo tidak bisa dibilang sempurna, jari tanganku bergerak menyentuh
bulatan induk buah dada Rani dalam sebuah gerakan melingkar-lingkar yang
semakin lama semakin sempit dan akhirnya Jari telunjukku tiba dipuncak
payudara Rani, dengan lembut kutekan-tekan putting susunya yang sudah
mengeras, jari telunjuk dan jari jempolku menjepit putting susunya
kemudian kupilin-pilin perlahan sambil sesekali menarik putting susu
Rani yang semakin lancip mengeras. Kedua Mata kami saling memandang
dengan tatapan mata yang sayu,wajah kami kembali saling merapat dan
Bibir kami kembali bertautan, layaknya musafir yang baru menemukan air,
kami saling memuaskan dahaga dengan rakusnya. Perlahan kugerakkan
tanganku lebih jauh ke bagian bawah dari perut Rani, menyusup kebalik
roknya dan menyelinap ke balik celana dalamnya. Ujung-ujung jariku
menyentuh rambut-rambut lembutnya dan gelitikan lembutku membuat Rani
mengerang perlahan. Kedua kaki Rani tampak mengejang, butir-butir
keringat lembut membasahi tubuhnya , sehingga tubuh rani tampak semakin
lembut dan basah mengkilap semakin indah
“Hhhhhhhhhhh… ” Rani Hanya dapat mendesah panjang, sambil mengibaskan
rambutnya yang indah, Kedua matanya terpejam dan kepalanya menengadah
saat jari-jariku bergeser lebih jauh ke dalam, menerobos lipatan-lipatan
lembutnya dan segera kurasakan sumber kebasahannya. Kurasakan badanku
bergetar, tak pernah dalam hidupku aku sedekat ini dengan gadis lain.
Kami pun bergeser ketengah ranjang dan menanggalkan apa yang tersisa di
badan kami. Seluruh tubuhku mulai bergetar penuh antisipasi. Aku pun
kembali melumat bibirnya, kugigit bibirnya yang ranum dengan lembut
sebelum , kecupanku menelusur turun ke leher dan dadanya. Harum
keringatnya membalut badannya, dan aku benar-benar menikmati rasa
keasin-asinan pada leher dan celah dadanya itu. Puting payudaranya merah
segar berbeda dengan milikku yang berwarna coklat, dan saat kusedot
kedua putingnya, warna mereka berubah menjadi gelap dan mengeras.
Kurasakan kedua ujung dadaku juga mulai terasa semakin menegak mengeras
karena bersentuhan dengan perutnya yang lembut dan halus. Rani bergerak
duduk dan menyandarkan diri ke kepala ranjang. Lalu dengan kedua jarinya
dipisahkannya kedua bibir vaginanya, dan dengan penuh nafsu kusaksikan
jarinya yang lain menerobos masuk. Setelah mengaduk-ngaduk beberapa saat
jari lentiknya benar-benar basah. Vaginanya tampak semakin basah ,
cairan-cairan Vagina Rani meleleh menebarkan aroma harum yang khas. Lalu
mulailah kutelusuri kakinya yang jenjang dengan bibirku, punggung kaki…
betis… lutut… dan berhenti ketika aku sampai di bagian dalam pahanya.
Kujilat, kukecup, dan kugigit lembut kulitnya yang putih mulus. Ya
ampun, Rani betul-betul lembut! Kuciumkan kecupan-kecupan kecil
mengitari vaginanya, dan dengan susah payah kutekan keinginanku untuk
langsung menyelami “melahap” vagina itu dengan mulutku.
“Lena… please…” Rani memohon dengan nafas terengah-engah.
“Jangan terlalu terburu-buru”, balasku sambil meninggalkan jejak-jejak kecupan-kecupan basah menuruni perutnya.
Rani mengangkat pantatnya mencoba membimbing mulutku ke arah vaginanya.
”Len… please!” jeritnya tak sabar. keduaJari telunjuk rani bergerak
menekan bibir vaginanya agar semakin merekah , mulutnya mendesah-desah
dalam desahan nafsu yang semakin berkobar-kobar.
Kurebahkan diriku di antara kedua paha Rani, kugunakan tanganku untuk
membuka lebar labianya. Kugunakan hidungku untuk membelah lipatan
kelaminnya dan menghirup dalam-dalam. Keharuman vagina Rani menyengat
inderaku. Bibir vagina itu benar-benar rapat dan tipis, jadi aku
merenggangkannya dengan kedua jariku, dan terlihatlah isi bagian
dalamnya yang berwarna merah muda. Lalu perlahan kutarik kulit pelindung
kelentitnya, menjadikan klitorisnya yang bengkak mencuat keluar, dan
kugosok perlahan dengan menggunakan jari telunjuk dan jempolku.
Klitorisnya betul-betul keras dan tegang, dan berdetak kencang saat kusentuh. Kutiup tonjolan ini, dan pinggul Rani terangkat dan menyodor-nyodorkan selangkangannya, klitorisnya berusaha mendapatkan sebanyak mungkin gesekan. jemari tangannya menelusuri rambut kepalaku. Terkadang Rani menjerit kecil akibat gejolak nafsu yang terlalu hebat melanda tubuhnya, desah nafasnya semakin tidak beraturan, kadang kepalanya terkulai kesebalah kekiri , kadang terkulai kesebelah kekanan
Klitorisnya betul-betul keras dan tegang, dan berdetak kencang saat kusentuh. Kutiup tonjolan ini, dan pinggul Rani terangkat dan menyodor-nyodorkan selangkangannya, klitorisnya berusaha mendapatkan sebanyak mungkin gesekan. jemari tangannya menelusuri rambut kepalaku. Terkadang Rani menjerit kecil akibat gejolak nafsu yang terlalu hebat melanda tubuhnya, desah nafasnya semakin tidak beraturan, kadang kepalanya terkulai kesebalah kekiri , kadang terkulai kesebelah kekanan
“Lennnn…. Ennnnhhhhh…..Nnnhhhh” Rani merengek sambil menekuk lututnya
dan membuka kedua kakinya kesamping selebar yang dapat ia lakukan,
sebuah keindahan duniawi kini terpampang dihadapan wajahku
Sambil menarik napas panjang, kupejamkan kedua mataku. Lidahku
menelusur sepanjang garis celah vagina Rani menikmati cairan-cairan
kewanitaanya yang semakin banyak meleleh, begitu gurih dan nikmat.
Bibir-bibir lembut Rani membuka dan kukecup surga kecil di belahan paha
seorang gadis. Kucicipi sari vagina Rani, dan rasanya ternyata lebih
manis lagi daripada aromanya. Kurenggangkan pahanya lebar-lebar dan
kucelupkan lidahku ke dalam lubang kecil merah muda yang hangat dan
lembab milik kekasihku itu.
Dinding-dinding manis kemaluannya bergerak-gerak membuka dan menutup,
menjerat lidahku erat-erat. Aromanya memenuhiku dengan gairah saat
kujilat, kusedot, dan kutelan cairan orgasmenya. Aku benar-benar tersapu
oleh kenikmatan terlarang dari berhubungan intim dengan seorang gadis.
Campuran dari keringatnya yang keasinan dan sari vaginanya yang manis,
adalah rangsangan yang tak ada duanya. Kuselipkan kembali lidahku ke
dalam kemaluannya, Aku menyedot dan menjilat, sampai Rani menjerit tak
kuasa menahan kenikmatan yang menjajahnya. Tubuh Rani bergetar keras
sambil meremas ganas rambutku. Wajahnya tersapu warna merah seakan
segenap pembuluh darahnya menegang kencang, hingga mulutnya meneriakkan
jeritan yang panjang. Rani baru saja mengalami orgasme terhebat yang
pernah dia alami., desahan nafasnya tersedat-sendat, tubuhnya yang indah
terkulai dalam pelukan Hangat kenikmatan puncak klimaks. Aku menegakkan
tubuh dan duduk di pangkuan Rani, memposisikan payudaraku di depan
wajahnya. Dengan Lembut Rani mencium Bulatan Payudaraku yang membuntal
padat, giginya menggigit lembut Bulatan Payudaraku seolah olah ia ingin
menggodaku, kemudian Dikulumnya salah satu puting susuku di antara
kedua bibirnya dan mulutnya yang hangat menyedoti putingku, mengirimkan
gelombang-gelombang kenikmatan ke seluruh tubuhku. Sementara Tangannya
merayap mengusapi puncak payudaraku yang satunya lagi, tangan Rani
menggenggam induk Payudaraku dan meremasnya dalam remasan-remasan lembut
yang teratur. Rangsangan demi rangsangan seakan-akan memacu nafsuku
untuk semakin menggeliat-geliat dengan semakin liar dalam kenikmatan
seksual, tubuhku serasa semakin gerah terpanggang dalam bara api
kenikmatan yang semakin Panas memanggang nafsu birahiku “Ohhhhh…
RAnnnnnnn……” Aku Hanya dapat merintih dengan pasrah ketika rani
merayapkan dan menyelipkan tangannya di antara pahaku dan mulai
mengusap-usap celah vaginaku yang berdenyut – denyut dalam denyutan yang
semakin nikmat.
Setelah menatap wajahku, Ia melanjutkan menghisap payudaraku dengan
lembut sekaligus jarinya menjalari vaginaku, sedangkan aku hanya
mendesah-desah menyambut dua jari Rani ke dalam relung tubuhku. Rani
meletakkan Jari tengahnya diantara belahan Vaginaku, kemudian dengan
lembut Jari itu bergerak menggeseki belahan vaginaku , cairan-cairan
kewanitaanku yang semakin banyak meleleh seolah olah menjadi pelumas,
gesekan-gesekan Jari Rani terasa semakin licin dan geli sehingga
membuahkan rasa nikmat yang semakin lama semakin meluap-luap tanpa dapat
kubendung lagi “Annnnnnhhhhh…” aku agak menahan nafasku ketika
merasakan denyutan-denyutan yang semakin kuat diwilayah intimku,
kupejamkan mata untuk semakin meresapi denyutan-denyutan itu yang
semakin lama semakin nikmat dan kurasakan cairan kental kewanitaanku
menyemprot keluar saat ujung-ujung jari Rani menjepit klitorisku.
Dielus, dijepit, dan diperah seperti itu membuat clitorisku menjadi
betul-betul sensitif, dan eranganku kini semakin keras saja. High yang
kurasakan betul-betul intens. Kuhentikan gerakanku dan menarik tubuh
Rani, hingga ia telentang di tengah ranjang dengan kedua kaki
terkangkang lebar. Dengan gerakan cepat tangan kiri kiriku meraih
pergelangan kaki kirinya dan mengangkat,dan meletakkannya di pundakku
sementara dengan tangan kananku mendorong lutut kanannya, melebarkan
labianya. Memposisikan bagian bawah dari tubuh langsingnya di antara
kedua pahaku, kutarik ke atas kulit depan klitorisku sementara Rani
melakukan hal yang sama dengan klitorisnya sendiri, lalu aku pun
bergeser sehingga kedua kemaluan kami bertemu. Perasaanku saat itu tak
bisa dilukiskan dengan kata-kata. Kedua vagina kami, dengan labia yang
basah saling menghempas, saling menjalin, dan saling meleleh menjadi
satu. Aku bergerak memutar-mutar dan kedua clitoris kami yang mencuatpun
saling bergesekan.
“aah, ahh, Ran.. niii”, kupejamkan mata dan perlahan kuremas-remas dadaku dengan tanganku yang bebas. “
“Ooooh, ngh… aakh”, tubuhnya mulai terkejang-kejang. maju mundur naik
turun. Kurasakan bagian bawah tubuhku bergerak-gerak seperti kehilangan
kontrol,
“Ooooh… ohh… ahhh..!” seru kami bersamaan saat kedua vagina kami
saling bergesekan dengan kencangnya. Tubuhku menggelinjang hebat, Rani
mengejang dan terasa waktu pun menghilang saat secara bersamaan vagina
kami menyemburkan cairan kental orgasme
Gelombang orgasme yang datang menghempas membuat kami hanya bisa terbaring lunglai dengan tubuh gemetaran. Setelah kembali mengatur nafas, kulepaskan diriku dan kuhempaskan diriku di samping Rani supaya kami bisa saling bertatapan wajah. Kami bersentuhan, berciuman lembut, betul-betul kehabisan tenaga dan kecapaian.
Gelombang orgasme yang datang menghempas membuat kami hanya bisa terbaring lunglai dengan tubuh gemetaran. Setelah kembali mengatur nafas, kulepaskan diriku dan kuhempaskan diriku di samping Rani supaya kami bisa saling bertatapan wajah. Kami bersentuhan, berciuman lembut, betul-betul kehabisan tenaga dan kecapaian.
Kulingkarkan lenganku di bahunya, dan kurangkul kekasihku erat-erat.
“Ran… I love you sooo much” kataku.
“Iya tahu… kan tadi udah bilang” katanya sambil tersenyum.
“Berapa kali pun aku bilang, gak akan pernah cukup…” kataku.
“Dan berapa kalipun kamu bilang, gak akan pernah cukup aku mendengarnya…” balas Rani.
Nafasku dan Rani menyatu, seperti yang sudah ditakdirkan…
*******
Seminggu berlalu sejak peristiwa itu, dan segalanya berubah dengan
cepat. Rani tiba-tiba menghilang dari kampus, bila aku menelpon tak
pernah diangkat, dan ketika aku datang langsung kerumahnya, pembantunya
terus menerus bilang bahwa Rani sedang keluar. Firasat buruk
menghantamku. Ketika akhirnya aku bertemu dengan Rindra di kampus, aku
menanyakan keberadaan Rani. Nada suaranya sungguh tidak ramah ketika
menjawab pertanyaanku.
“Denger yah, mulai sekarang kamu jangan dekat-dekat Rani lagi, jangan
mencoba menghubunginya, jangan melihatnya, bahkan jangan memikirkan
Rani lagi. Stay away from her!” katanya tegas.
“Lho, emangnya kenapa?” tanyaku.
“Gak usah pura-pura lagi, Rani udah cerita semuanya pada aku. Dia
bilang dia ingin putus denganku karena jatuh cinta pada kamu! Itu gila
namanya. Kalian berdua perempuan, mana bisa bersatu” katanya.
Hatiku berbunga-bunga mendengarnya. Diluar dugaanku, ternyata Rani yang terlebih dahulu mengutarakan perasaannya pada dunia.
“Dimana dia sekarang? Aku ingin ketemu!” kataku tak sabar ingin menjumpai kekasihku.
“Lu budek apa! Aku bilang jauhin dia, atau…” kata Rindra dengan tatapan mengancam, sambil berjalan melewatiku.
Aku bukannya tidak mendengar nada ancaman itu, hanya saja aku tidak
peduli, asalkan bisa bertemu dengan Rani, berjalan telanjang kaki sampai
ke Thailand pun akan kujalani.
*******
Aku melakukan semua yang kubisa untuk menemukan Rani, tapi semua pintu selalu terbanting menutup di depan mukaku. Teman-teman yang lain tidak ada yang tahu dimana Rani, dan Keluarga Rani sepertinya telah tahu semuanya dan mendukung usaha Rindra untuk menjauhkanku darinya. Akupun melapor ke polisi mengenai kehilangan Rani, dan dua hari kemudian aku mendapat kejutan. Rindra menghampiriku di kampus dan berkata.
Aku melakukan semua yang kubisa untuk menemukan Rani, tapi semua pintu selalu terbanting menutup di depan mukaku. Teman-teman yang lain tidak ada yang tahu dimana Rani, dan Keluarga Rani sepertinya telah tahu semuanya dan mendukung usaha Rindra untuk menjauhkanku darinya. Akupun melapor ke polisi mengenai kehilangan Rani, dan dua hari kemudian aku mendapat kejutan. Rindra menghampiriku di kampus dan berkata.
“Kamu mau ketemu Rani? Oke aku izinkan, tapi setelah ini kalian berdua harus menjauh satu sama lain. Gimana?” katanya.
Aku mengangguk tanpa ada niat untuk menepati janjiku. Masalah nanti
biarkan untuk nanti, sekarang yang penting aku harus bertemu dengan
kekasihku. Tak lama kemudian, mobil Rindra pun bergerak keluar kampus,
membawaku sebagai penumpang.
*******
Rindra ternyata membawaku kedaerah Puncak, hawa sejuk sore hari di
puncak langsung terasa karena jendela mobil sengaja kubuka. Mobil Rindra
berbelok dari jalan utama, dan memasuki jalan yang lebih kecil. 5 menit
kemudian, mobil itu akhirnya berhenti di pekarangan sebuah villa yang
lumayan besar dan mewah. Rindra mematikan mesin mobil dan bergerak
turun, akupun melakukan hal yang sama.
“Ayo, Rani ada didalam” katanya sambil mendahuluiku berjalan menuju pintu masuk villa.
Firasat buruk menghampiriku, tapi langsung tersapu oleh rasa rinduku
terhadap Rani. Jadi akupun mengikuti langkah Rindra menuju villa itu.
Bagian dalam villa itu ternyata kosong seperti tidak berpenghuni,
perabotan pun hanya seadanya, kursi sofa, lemari pajangan kosong, dan
beberapa meja. Aku tidak melihat keberadaan Rani didalam.
“Rani! Mana Rani?” tanyaku pada Rindra.
“Kamu ini bener-bener keterlaluan. Kenapa sih kamu mesti
ngejar-ngejar Rani terus, apa kamu pikir kamu bisa membangun keluarga
dengannya. Masa depan kayak apa yang bisa kamu tawarkan pada Rani?” kata
Rindra tiba-tiba.
“Tapi kami saling mencintai. Bukankah itu yang paling penting” kataku.
“Bodoh. Kamu tidak akan bisa membahagiakan Rani. Kamu cuma akan
menyakitinya, menyengsarakan hidupnya” katanya sambil mengunci pintu.
“Aku sebenernya gak ingin kalo mesti seperti ini. Tapi kamu gak
memberiku pilihan. Kalo dibiarkan saja, kamu cuma akan bikin hidupku dan
hidup Rani jadi berantakan saja” katanya sambil melangkah menuju salah
satu pintu dan membukanya.
Dari pintu yang terbuka itu, keluar 4 orang pria berbadan besar dan
menyeramkan, semuanya sudah bertelanjang dada. Tampang mereka tampang
klise preman atau penjahat seperti yang sering muncul di film-film.
Kulit hitam dipenuhi tato, badan berotot dengan bekas luka dimana-mana,
dan wajah menyeramkan saking jeleknya. Rindra memberi isyarat dengan
kepalanya sebelum masuk kedalam kamar. Dan ke empat pria menyeramkan
itupun menghampiriku dengan gerak tubuh mengancam.
“Eh mau apa kalian? Mana Rani” kataku ketakutan melihat ekspresi wajah wajah mereka yang seperti hendak menelanku bulat-bulat
“Wuiiiihhh cakep bener nih cewek, kirain bakalan yang kayak gimana. Tau gini mah, gue gak usah minta bayaran nih ama si bos. Malahan mestinya kita yang bayar” kata lelaki yang berkumis.
“Eh mau apa kalian? Mana Rani” kataku ketakutan melihat ekspresi wajah wajah mereka yang seperti hendak menelanku bulat-bulat
“Wuiiiihhh cakep bener nih cewek, kirain bakalan yang kayak gimana. Tau gini mah, gue gak usah minta bayaran nih ama si bos. Malahan mestinya kita yang bayar” kata lelaki yang berkumis.
“Iya nih. Wajahnya cakep dan kulitnya putih, nggak tahu kalau bagian
tubuh yang lainnya”, kata si Codet sambil memandangku dengan
tersenyum-senyum.
“Kita bisa pesta semalem suntuk nih. Apalagi gue belum pernah
ngerasain memek amoy. Yuk dah, kita garap rame-rame”, timpal lelaki yang
Kribo lagi.
Keempat orang itu segera mengepungku dan menutup seluruh jelan keluarku. Si Kribo mendekatiku dari depan dan tangannya mencoba meraihku, jadi aku segera mundur menjauh. Namun Tiba-tiba si kumis menyergapku dari belakang. Kedua tangannya meremas-remas kedua belah payudaraku dengan brutal. Sakit sekali rasanya.
Keempat orang itu segera mengepungku dan menutup seluruh jelan keluarku. Si Kribo mendekatiku dari depan dan tangannya mencoba meraihku, jadi aku segera mundur menjauh. Namun Tiba-tiba si kumis menyergapku dari belakang. Kedua tangannya meremas-remas kedua belah payudaraku dengan brutal. Sakit sekali rasanya.
“Eeeihh! Jangaaann!” Aku berteriak-teriak. Akan tetapi tak seorang
pun dari mereka yang menggubrisku, bahkan mereka semua semakin dekat
mengepungku.
Si Kribo kembali mendekatiku dan dengan cepat meraba-raba pipiku, sambil ia berkata pada teman-temannya,
“Wuiihh baru pipinya aja udah alus gini, gimana yang lainnya” katanya sambil tertawa-tawa.
Sementara si kumis tangannya masih asyik memencet-mencet payudaraku
sehingga membuatku merintih-rintih kesakitan. Aku meronta-ronta dengan
sekuat tenaga. Tapi tenaganya ini jauh lebih kuat dariku.
Si Codet meraih pinggangku dan mencoba membuka kancing celana jeansku, tapi aku meronta keras menyulitkan usahanya.
“Beepp” sebuah tinju mendarat keras di ulu hatiku. Nafasku langsung
terasa sesak, pandanganku nanar, dan kaki lemas, badanku pun sulit untuk
kugerakkan, apalagi untuk melawan.
Si Codet pun meneruskan usahanya membuka celanaku, dan kali ini ia
berhasil. Celanakupun merosot hingga jatuh ke lantai, dan dengan dibantu
si kumis yang mengangkat tubuhku, celanaku pun bisa ditarik lepas. Mata
keempat lelaki seram itu kulihat melotot menyaksikan pahaku yang putih
dan mulus. Kemudian si Codet dan Kribo meraba-raba kedua belah pahaku
itu. Sementara di atas, payudaraku terus digumuli oleh tangan si kumis
dengan ganasnya. Dan.., “Sreek! Sreekk!” Dengan sekali tarikan keras, si
kumis menarik kemeja ketat yang kupakai, hingga kancing kemejaku
berjatuhan ke lantai. Si kumis lalu menariknya hingga lepas dari
tubuhku.
Kini tubuh bagian atasku yang hampir telanjang hanya ditutupi oleh
bra saja. Melihat kedua payudaraku yang lumayan besar menyembul dari
balik bra yang kukenakan,mereka kelihatan semakin bernafsu untuk
menggagahiku.
Tak lama kemudian, si kumis melepaskan tali pengikat bra-ku dan
menariknya lepas, sehingga payudaraku yang menggantung dengan indahnya
di dadaku terlihat bebas tanpa penutup apapun. Melihat pemandangan itu
sejenak orang-orang yang mengepungku tertegun. Kumanfaatkan kebengongan
mereka. Segera aku melepaskan diri dan mencoba berlari ke arah pintu
keluar. Tapi celaka, si botak yang dari tadi hanya diam, langsung
menangkap tanganku, lalu ditariknya dengan keras. Kemudian ia
mendorongku dengan keras, sehingga membuatku jatuh terduduk di atas
karpet ditengah ruangan.
“Jangan! Jangan, Mas, Bang! Jangan perkosa saya!Berapa Rindra bayar kalian, saya bayar dua kali lipat!” kataku memohon.
“Jangan! Jangan, Mas, Bang! Jangan perkosa saya!Berapa Rindra bayar kalian, saya bayar dua kali lipat!” kataku memohon.
“He he he, kalo udah kayak gini sih, mana peduli kita soal duit. Jadi
lu mendingan diem dan nikmatin aja keperkasaan kita-kita” kata si Kribo
yang dari tadi emang paling banyak omong.
Segera dengan tidak membuang-buang waktu mereka langsung mendekati
tubuhku yang masih terduduk dan mulai mengerubutiku. Si kumis langsung
mencium wajahku, mula-mula hidung dan pipi, hingga akhirnya bibirku
dilumatnya dengan ganas. Sementara tangan-tangan milik si Codet dan
Kribo tidak tinggal diam, dengan bernafsu mereka meraba-raba buah dadaku
dan meremas-remasnya dengan sangat bernafsu. Aku menggeliat-geliat
mencoba melepaskan diri, tapi sia-sia karena kaki dan tanganku sudah
terkunci erat-erat.
Aku hanya bisa menjerit lirih, “Aaagghhh…., aaggghhh…, jaangaannn…, jannngaannn…, aaammmpunnnnn…, aammmppunnnnnn…!”
Akan tetapi sambil tertawa-tawa si Codet berkata, “Tenang saja, nanti
juga lo akan merasa keenakan, niiihhhh… Toket lu bener-bener asyik,
udah kenyal, alus lagi”, katanya sementara kedua tangannya tetap masih
meremas-remas payudaraku sambil terkadang mememencet dan memuntir
putting payudaraku.
Kemudian sambil menduduki kedua kakiku, tangan si Kribo segera
mengelus-elus kedua pahaku yang sudah setengah terpentang itu dengan
bebas. Tangannya mula-mula hanya bermain-main di kedua paha, naik turun,
tapi akhirnya secara perlahan-lahan mulai mengelus-elus belahan di
antara kedua pangkal pahaku yang masih ditutupi CD itu. Tidak cukup
sampai di situ, jari-jarinya menyusup kebalik celana dalam yang
kukenakan dan menyusup masuk kedalam liang vaginaku.
Aku hanya bisa menggeliat-geliat saja dan pantatku menggeser ke kiri
dan ke kanan mencoba menghindari tangan-tangan yang menggerayangi
seluruh tubuhku itu.
Meskipun aku tahu itu sia-sia, tapi dari mulutku tetap terdengar
jeritan”,Jaaangannnn…, jannngann…, aadduuhhh…, aaddduhhhhh….!” tak
terasa air mata putus asa mengalir dari kedua bola mataku.
Pegangan pada tangan kananku sedikit melonggar, kesempatan ini tidak
aku sia- sia kan. Aku menarik lepas tanganku dan langsung mendorong
kepala si kumis yang menciumiku, aku lalu mencakar wajahnya cukup dalam
hingga berdarah, iapun menjerit kesakitan.
“Arghhh!… amoy sialan, gak tahu mau dikasih enak yah!”
Plaakkk! Plaaakk! Dua kali ia menampar kedua pipiku. Kepalaku
langsung terasa pening, dan pipiku rasanya seperti terbakar. Panas dan
perih. Aku benar-benar merasa putus asa, perasaan terhina dan
ketidakberdayaan menghantamku secara bersamaan. Dalam keadaan shock,
tubuhku rasanya kaku tak berdaya.
“Breettt” CD warna hitam, yang kupakai ditarik dengan kasar hingga
sobek dan segera dicampakkannya ke pinggir oleh si Codet, sehingga
sekarang aku benar-benar telah berada dalam keadaan polos, telanjang
bulat tanpa selembar benang pun yang melekat. Aku terkapar tak berdaya
dengan tangan-tangan hitam kasar yang sedang menggerayangi sekujur
tubuhku.
“Hehehe, lihat tuh jembutnya lebat banget. Aku suka sama yang kayak gini” kata si Codet.
Iapun kemudian meraba-raba dan mengelus-elus bulu kemaluanku sambil
membuka kedua pahaku selebar mungkin. Tangan hitam dan kasar itu segera
menjamah liang vaginaku itu sambil menggesek-gesekan jempolnya pada
tonjolan daging kecil yang terletak di bagian atasnya. Tidak bisa tidak,
aku memekik kecil merasakan sentuhannya. Sementara puting payudaraku
diisap-isap oleh Kribo dengan lahapnya sambil sesekali meremas dan
mempermainkan putingnya dengan tangannya. Sedangkan si kumis melumat
bibirku dengan rakus dan lidahnya dengan paksa dimasukkan ke dalam
mulutku, air liurnyapun mengucur deras kedalam mulutku, menjijikkan
sekali rasa dan baunya.
“Tuhan, tolong saya Tuhan” doa’ku keras-keras. Tapi yang kulihat cuma wajah-wajah menyeramkan yang menyeringai buas kearahku.
Tak lama kemudian, si Codet yang sepertinya sudah tidak sabar, membuka celana sampai ke celana dalamnya. Tampaklah batang penisnya yang telah tegang, berwarna hitam pekat, besar dengan bagian kepalanya yang bulat mengkilat dan bagian batangnya yang dikelilingi oleh urat-urat menonjol, terlihat sangat mengerikan. Ia berjongkok di antara kedua pahaku, yang dengan paksa dibuka melebar olehnya. Mataku terbelalak melihat benda hitam besar di antara kedua paha si Codet itu. Belum apa-apa aku telah merasa ngilu pada vaginaku membayangkan benda hitam besar itu nantinya akan mengaduk-aduk vaginaku dengan ganas. Satu tangan si Codet memegang batang penisnya dan dengan perlahan-lahan digosok-gosokkannya pada bibir vaginaku. Begitu kepala penisnya menyentuh klitorisku badanku menjadi kejang dan agak berkelejotan.
Tak lama kemudian, si Codet yang sepertinya sudah tidak sabar, membuka celana sampai ke celana dalamnya. Tampaklah batang penisnya yang telah tegang, berwarna hitam pekat, besar dengan bagian kepalanya yang bulat mengkilat dan bagian batangnya yang dikelilingi oleh urat-urat menonjol, terlihat sangat mengerikan. Ia berjongkok di antara kedua pahaku, yang dengan paksa dibuka melebar olehnya. Mataku terbelalak melihat benda hitam besar di antara kedua paha si Codet itu. Belum apa-apa aku telah merasa ngilu pada vaginaku membayangkan benda hitam besar itu nantinya akan mengaduk-aduk vaginaku dengan ganas. Satu tangan si Codet memegang batang penisnya dan dengan perlahan-lahan digosok-gosokkannya pada bibir vaginaku. Begitu kepala penisnya menyentuh klitorisku badanku menjadi kejang dan agak berkelejotan.
“Eeehhmm…”, si Codet terus menggesek-gesekan kepala penisnya pada
bibir vaginaku yang akhirnya menjadi licin dan basah oleh cairan yang
keluar dari dalam vaginaku sendiri. Merasakan bibir vaginaku yang telah
basah itu, si Codet berkata.
“Oohhhh rupanya lo udah pengen juga yaaa..!” Kemudian dengan
perlahan-lahan ia mulai menekan kepala penisnya membelah bibir vaginaku.
Mendapat tekanan seperti itu, bibir vaginaku tertekan ke bawah dan
mulai terbuka. Dengan menambah tekanannya, akhirnya kepala penis si
Codet mulai terbenam ke dalam liang vaginaku.
“Erghhhh… bang, jangan” aku memohon untuk terakhir kalinya.
Tapi tanpa belas kasihan, si Codet langsung menekan habis penisnya ke dalam vaginaku. “Aadduuuhh…, sakiittt…!”, jeritku
Lagi-lagi si Codet menjawabnya dengan mendorong sekuat tenaga
sehingga seluruh barang penisnya amblas seluruhnya, sampai kedua pahanya
yang hitam itu menekan dengan ketat pahaku yang terkangkang itu. Aku
meronta-ronta menahan rasa sakit yang tak terhingga. Kewanitaanku yang
masih sempit itu dihajar begitu saja oleh batang kemaluan si Codet.
“Waaah…, gila sempit benar niihhh, mimpi apa gue semalam, bisa nikmatin amoy gratisan kayak gini”, katanya.
“Waaah…, gila sempit benar niihhh, mimpi apa gue semalam, bisa nikmatin amoy gratisan kayak gini”, katanya.
Sambil tertawa-tawa dia menggenjot tubuhku habis-habisan. Sementara
aku hanya bisa merintih-rintih dan menjerit-jerit. Dengan suara jeritan
yang makin lama makin lemah. Sementara si Codet bergerak maju mundur
dengan ganasnya, setiap tarikan dan dorongan semuanya diiringi oleh
eranganku. Aku biasanya selalu menikmati seks dengan pacarku terdahulu
yang seorang laki-laki, tapi perkosaan ini bukan seks namanya, ini
penyiksaan. Penis yang bergerak keluar masuk vaginaku ini, tidak ada
bedanya dengan batang besi, tidak ada kenikmatan sama sekali, yang ada
hanya rasa sakit. Akhirnya setelah 15 menit, si Codet mulai bergerak
makin cepat. Aku yang sudah kelelahan mengerang lemas merasakan sakit
yang menggigit pada vaginaku. tubuku juga terbanting-banting seirama
dengan gerakan si Codet.
“Eeeggh, anjrittt, eegh.. eegh.. eegh..” dengus si Codet “akk..
eaaah.. eaaahh..” tubuhnya mengejang sesaat sambil mendorong batang
kejantanannya masuk ke liang vaginaku dalam-dalam.
Dari batang penisnya menyembur keluar sperma yang langsung membanjiri
rahimku. Tubuhku sekarang berkilau selain karena keringat, juga karena
air liur dari lidah-lidah yang menjilati tubuhku dari paha sampai wajah.
Si Codet bangkit berdiri dan mempersilahkan pria berikutnya untuk menikmati tubuhku.
Dan tanpa mau membuang-buang waktu, si Kribo langsung membuka
retsleting celananya dan mengeluarkan batang kemaluannya. Lalu ia
menindih tubuhku. Aku menjerit cukup keras ketika batang si Kribo amblas
seluruhnya ke dalam liang vaginaku, mulutnya pun melumat payudara dan
puting susuku, bahkan sesekali menggigit-gigit permukaan payudaraku,
bekas cupangannya pun terlihat memerah jelas di permukaan payudaraku
yang putih. Ia terus memompa batang kemaluannya naik-turun di dalam
kewanitaanku. Sakit dan perih rasanya. vaginaku pun terlihat memerah
karena terus terusan menerima tekanan dan gesekan-gesekan. Tanpa
mengenal belas kasihan, si Kribo mulai memaju-mundurkan pantatnya,
sehingga penisnya, keluar masuk berulang-ulang kedalam vaginaku. Sambil
melakukan itu ia berkata, “Waahh, eenaak niih masih seret…!” Sementara
si Kumis dan Botak sibuk mengelus-elus dan meremas-remas payudara serta
membelai-belai seluruh badanku. Si Kribo memegang kedua pinggulku dan
menariknya keatas, sehingga pantatku terangkat. Dengan posisi ini ia
dengan leluasa menancapkan penisnya dalam-dalam tanpa halangan. Sambil
pantatnya dimaju-mundurkan, sesekali si Kribo menekan pantatku
rapat-rapat ke tubuhnya dan memutar-mutar pinggulnya, mengocok-ngocok
habis vaginaku. Dan saking kerasnya genjotan si Kribo, kedua payudaraku
membal-membal mengikuti goyangan
“He.., he.., he.., gimana neng, enak kan ngentot ama lelaki sejati?!
Makanya jangan ngentot ama cewek mulu!” katanya tanpa menghentikan
aktifitasnya.
Mendengar ejekan itu kedua temannya tertawa-tawa. Sementara si Botak
menduduki dadaku dan menjepitkan penisnya diantara kedua bukit
payudaraku, sambil mendorong pantatnya maju mundur, sehingga penisnya
menggesek-gesek di antara kedua gundukan buah dadaku. Sambil tertawa
puas ia berkata. Ia tidak peduli bahwa aku merasa begitu sesak karena
diduduki olehnya, nafasku pun putus-putus.
“Wah, baru kali ini aku ngerasain dipijat sama susu amoy. Rasanya lebih enak daripada susunya perek yang biasa gua pakai”
Tak lama kemudian si Kribo yang menggenjot vaginaku tampak
terengah-engah. Iapun mengalami ejakulasi dan menumpahkan spermanya ke
dalam vaginaku. Setelah itu giliran si Kumis yang merasakan vaginaku. Ia
berbaring dan menarik tubuhku untuk menindihnya. Aku merasakan suatu
benda tumpul menggesek-gesek mulut vaginaku. Rupanya si Kumis sedang
mengarahkan penisnya. Mataku terbelalak dan tubuhku menjadi kaku tegang
ketika merasakan kepala batang penis si Kumis, mulai memasuki belahan
vaginaku. Si Kumis pun menarik pantatku turun dengan kuat, sehingga
batang penisnya yang telah terjepit diantara bibir kemaluanku itu,
akhirnya terdorong masuk dengan kuat dan terbenam dalam- dalam, diikuti
dengan jeritan panjang yang keluar dari mulutku. Akan tetapi si Kumis
dengan cepat mulai memompa dan mengaduk-aduk vaginaku dengan
gerakan-gerakan yang buas, tanpa mengenal kasihan sambil melakukannya ia
juga meremas-remas buah dadaku yang tergantung bebas itu.
Sebelum aku berhasil bernafas dengan normal kembali, sebuah kepala penis mendorong tepat di liang anusku.
“Ya Tuhan! Jangaann! Please” sia-sia aku memohon.
Aku akan diperkosa dua orang sekaligus! Tolong tuhan! jeritku dalam
hati. Dengan satu dorongan kepala penis Botak akhirnya terbenam kedalam
anusku.Aku pun hanya bisa melolong ketika penis Botak mulai menembus
lebih dalam masuk anusku,5, 10, 15 cm penis itupun masuk! Aku terbaring
terengah-engah dengan penis si Botak yang masuk seluruhnya dalam anusku.
Ia lalu memegangi pantatku dan mulai bergerak lagi, perlahan tapi
masih tetap menyakitkan. Akupun menangis di atas dada si Kumis,
sementara si Botak terus memompa keluar masuk dengan brutalnya. Ia juga
meremas-remas pantatku dan sesekali menamparnya hingga kulit pantatku
kemerahan dan pedih rasanya.
“Saakiitt!”, jeritku. “Ampuunn! Ampuunn!”.
Jeritanku rupanya hanya menambah semangat para pemerkosaku. Mereka justru makin keras menghentak-hentakan, pinggul dan pantatnya. Kedua penis hitam itu secara bersamaan bergerak keluar dan masuk vagina dan anusku yang masih sempit. Bagian bawah diriku seperti tersobek-sobek, tak terlukiskan sakitnya, rasanya aku ingin mati saat itu juga. Tapi Botak dan Kumis terus bergerak keluar masuk, sampai akhirnya aku hanya bisa merintih-rintih pelan, terlalu sakit dan lelah untuk bisa berteriak. Tiba-tiba aku melihat Rani. Ia sedang berdiri disamping Rindra yang memeluk kedua bahunya dari belakang. Rani menangis… tangannya menggapai kearahku, ia berusaha melepaskan diri dari Rindra, namun tidak bisa. Rani menangis mulutnya terus menerus membentuk kata; maaf… maaf… maaf. Tapi tidak ada suara yang keluar.
Jeritanku rupanya hanya menambah semangat para pemerkosaku. Mereka justru makin keras menghentak-hentakan, pinggul dan pantatnya. Kedua penis hitam itu secara bersamaan bergerak keluar dan masuk vagina dan anusku yang masih sempit. Bagian bawah diriku seperti tersobek-sobek, tak terlukiskan sakitnya, rasanya aku ingin mati saat itu juga. Tapi Botak dan Kumis terus bergerak keluar masuk, sampai akhirnya aku hanya bisa merintih-rintih pelan, terlalu sakit dan lelah untuk bisa berteriak. Tiba-tiba aku melihat Rani. Ia sedang berdiri disamping Rindra yang memeluk kedua bahunya dari belakang. Rani menangis… tangannya menggapai kearahku, ia berusaha melepaskan diri dari Rindra, namun tidak bisa. Rani menangis mulutnya terus menerus membentuk kata; maaf… maaf… maaf. Tapi tidak ada suara yang keluar.
Lepaskan! Tolong lepaskan! Aku ingin lepas dan menemui kekasihku yang
kurindukan. Aku ingin menghapus air mata itu dari pipinya. Kenapa ia
menangis? Aku ingin memeluknya dan menghiburnya, semua ini bukan
salahnya, bukan salah kami, bukan pula salah Rindra. Lalu salah siapa?
Tidak ada yang perlu disalahkan, semua ini memang sudah diguratkan pena
takdir.
Tiba-tiba si Kumis meracau tidak jelas dan menghentakkan pinggulnya,
dan cairan hangat sperma terasa memenuhi vaginaku, untuk ketiga kalinya
dalam satu hari, rahimku dibanjiri sperma para bajingan ini. Aku sudah
tidak mampu lagi bergerak ketika Botak, juga dengan keras dan brutal
mencapai puncak dan meyemprotkan spermanya didalam anusku. Dan dengan
terengah-engah terbaring lemas disampingku, sementara tubuhku masih
menindih tubuh si Kumis. Aku telungkup dengan kaki mengangkang, bisa
kurasakan cairan sperma meleleh keluar dari vagina dan anusku.
Si Kurus mendorong tubuhku kesamping, seakan aku sampah yang
mengganggunya. Ia dan si Botak bangkit dan memakai celana mereka kembali
sambil tertawa-tawa.
Si Botak berkata, “Puas banget gue hari ini. Dapet memek amoy cantik gratisan”
“Gimana rasanya, enak khan ngentot ama kita-kita.?.!” kata si Kurus.
Mereka semua tertawa mendengar perkataan si Kurus.
Aku menulikan telingaku, yang kupedulikan hanya keberadaan Rani. Aku
menengok kesekeliling ruangan tapi ia sudah menghilang. Begitu juga
Rindra. Kemana mereka pergi?
Perlahan kesadaranku menghilang, dan gelap menyongsongku. Damai
sekali rasanya, tidur… tidur… kamu sudah terlalu lelah… lupakanlah
sejenak semua yang sudah terjadi… everything’s gonna be alright.
********
Aku terbangun didalam kamar tidurku, diatas ranjangku sendiri. Sekujur tubuhku sakit sekali rasanya, seperti baru saja dipukuli. Belakangan baru kuketahui bahwa para pembantuku menemukanku didudukkan menyender ke pagar rumahku dalam keadaan pingsan. Tidak ada yang melihat siapa yang menaruhku disitu. Aku menyuruh para pembantuku untuk tidak menceritakan peristiwa ini pada keluargaku. Aku juga menutup mulutku rapat-rapat mengenai semua yang telah menimpaku. Dua minggu berselang aku mendengar dari Lusi, temanku dan Rani, bahwa Rindra dan Rani bertunangan dan akan segera menikah begitu mereka lulus kuliah tahun depan. Begitu mendengarnya, hampir saja aku berlari menuju rumah Rani. Jangan menyerah! Tolong jangan menyerah! Aku belum. Tapi Lusi menghentikan niatku dan menyerahkan sepucuk surat untukku, dari Rani. Dengan tidak sabar aku merobek sampulnya dan membaca isinya.
Aku terbangun didalam kamar tidurku, diatas ranjangku sendiri. Sekujur tubuhku sakit sekali rasanya, seperti baru saja dipukuli. Belakangan baru kuketahui bahwa para pembantuku menemukanku didudukkan menyender ke pagar rumahku dalam keadaan pingsan. Tidak ada yang melihat siapa yang menaruhku disitu. Aku menyuruh para pembantuku untuk tidak menceritakan peristiwa ini pada keluargaku. Aku juga menutup mulutku rapat-rapat mengenai semua yang telah menimpaku. Dua minggu berselang aku mendengar dari Lusi, temanku dan Rani, bahwa Rindra dan Rani bertunangan dan akan segera menikah begitu mereka lulus kuliah tahun depan. Begitu mendengarnya, hampir saja aku berlari menuju rumah Rani. Jangan menyerah! Tolong jangan menyerah! Aku belum. Tapi Lusi menghentikan niatku dan menyerahkan sepucuk surat untukku, dari Rani. Dengan tidak sabar aku merobek sampulnya dan membaca isinya.
“Lena, maafin aku. Gara-gara aku semua ini terjadi, aku sudah
bersalah kepada kamu. Tapi yang paling bikin aku menyesal adalah; aku
tidak bisa melanjutkan hubungan diantara kita.
Sebagai gadis Jawa, aku dibesarkan dengan prinsip bahwa keluarga
harus dinomor satukan diatas segalanya, diatas kebahagianku sendiri
sekalipun. Dan sekarang keluargaku membutuhkan aku. Pernikahanku dengan
Rindra akan membantu keadaan keuangan perusahaan papa yang hampir gulung
tikar.
Aku tahu ini egois, tapi kumohon lupakan aku, selamanya.”
Surat itu tak bertanda tangan. Dan ada noda-noda lunturan tinta
akibat air mata si penulis yang berderai jatuh. Aku terhenyak. Jadi
hanya sampai disini sajakah kisah cintaku dengan Rani? Aku ditinggal
sendiri, sementara Rindra dan Rani bahagia selamanya, layaknya
dongeng-dongeng yang selalu dibacakan mamaku dulu. Tidak… tidak ada
happy ending dalam cerita ini. Karena pada kenyataanya kami semua tidak
akan menemukan kebahagian yang selalu kami cari. Rindra tidak akan
bahagia, karena selamanya cintanya pada Rani tidak akan berbalas. Rani
tidak akan bahagia, karena terkungkung dalam mahligai perkawinan yang
sejak awal tidak ia inginkan. Aku tidak akan bahagia, karena aku
sekarang hanyalah seonggok selongsong kosong saja, karena apa yang
penting bagi diriku, bagian yang melengkapi diriku… telah hilang bersama
kepergian Rani.
Tidak ada happy ending bagi siapapun dalam cerita ini.
Yang ada hanyalah sayap-sayap patah yang terluka…
The End